Si KangKung Pendekar LUgu 4 [Soh Sim Kiam]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 09 September 2011

Ternyata Tik Hun tidak memikir bahwa sebenarnya ilmu silatnya sendiri yang telah mencapai kemajuan pesat hingga sudah hampir mencapai tingkatan yang tiada taranya. Sesuatu yang dapat didengarnya dengan jelas bagi telinga orang lain sebaliknya sedikitpun tidak terdengar apa2.
Dalam pada itu kedelapan orang itu makin lama sudah makin mendekat. Sungguh Tik Hun sangat heran: "Perbuatan kedelapan orang itu benar2 sangat lucu, memangnya mereka mengira tiada seorangpun yang mengetahui kedatangan mereka hingga mesti main germat-germet seperti maling kuatir kepergok?"
Sementara itu kedelapan orang itu sudah lebih dekat lagi. Mendadak sipengemis tua tampak bergetar sambil miringkan kepalanya untuk mendengarkan.
"Ha, dia sudah dengar sekarang barangkali? Kenapa baru dengar sekarang, apa tuli?" demikian Tik Hun membatin.
Padahal sipengemis tua yang sudah menjadi Tauke itu sebenarnya tidak tuli. Soalnya jarak kedelapan orang itu memang masih jauh. Kalau Tik Hun dua-tiga tahun yang lalu pasti juga takkan mendengar suara rombongan Ban Cin-san, bahkan lebih dekat juga belum tentu dapat mendengarnya.
Sementara itu kedelapan orang itu sudah dekat benar2, kini mereka melangkah setindak demi setindak dengan hati2, terkadang berhenti dulu, lalu melangkah maju pula, terang mereka juga kuatir diketahui oleh orang didalam rumah.
Namun sekarang sipengemis tua sudah mengetahui kedatangan musuh. Dengan tenang ia mendekati pojok ruangan dan mengambil sebatang tongkat yang tertaruh disitu. Itulah sebatang "Liong-thau-bok-koay" atau tongkat kayu berukiran kepala naga.
"Masakah tongkat begitu akan dipakai sebagai senjata?" demikian Tik Hun merasa heran.
Se-konyong2, serempak kedelapan orang diluar rumah itu berlari maju dan mengepung dari empat jurusan kearah gedung. "Blang", mendadak pintu didobrak orang hingga terpentang, secepat kilat seorang telah mendahului menerjang masuk, itulah dia Ban Ka.
Menyusul Sim Sia, Bok Heng dan lain2 juga lantas ikut menyerbu kedalam.
Sesudah ketujuh Ban-keh-te-cu itu menyerbu masuk, serentak mereka mengepung sipengemis tua di-tengah2 sambil senjata siap ditangan.
Namun pengemis tua itu ternyata tenang2 saja, bahkan ia ter-bahak2 dan berkata: "Hahahaha! Bagus, bagus! Apa anak2 sudah datang semua? Dan dimana Ban-suko, mengapa tidak nampak?"
Maka terdengarlah suara tertawa lepas seorang diluar rumah, menyusul masuklah orang itu dengan langkah berlenggang, itulah dia "Ngo-in-jiu" Ban Cin-san.
Sesudah berada didalam rumah, Ban Cin-san berdiri berhadapan dengan pemngemis itu terpisah oleh lubang galian, kedua orang sama2 mengamat-amati masing2, selang sebentar barulah Ban Cin-san membuka suara: "Gian-sute, wah, berpisah selama lima tahun, tahu2 engkau sudah menjadi OKB (orang kaya baru)."
Begitu selesai mendengar ucapan Ban Cin-san itu, seketika kacau-balau pikiran Tik Hun oleh berkecamuknya macam2 pertanyaan. "Ha? Jadi......... jadi pengemis tua inilah tak-lain-tak-bukan adalah Jisupek Gian Tat-peng yang selama ini cuma dikenal namanya saja itu?" demikian ia tidak habis heran.
Maka terdengar sipengemis tua itu sedang menjawab: "Suko, aku cuma mendapat sedikit rejeki yang tak berarti, tapi selama beberapa tahun ini usahamu tentu banyak kemajuan, bukan?"
"Terima kasih atas pujimu," sahut Ban Cin-san. "He, anak2, mengapa tidak lekas memberi hormat kepada Susiok?"
Serentak Loh Kun dan lain2 lantas berlutut memberi hormat kepada pengemis tua itu dan berkata: "Terimalah hormat kami, Susiok!"

"Sudahlah, sudahlah! Sambil memegang senjata, tentu tidak leluasa untuk menjura, maka boleh tak usahlah," seru pengemis tua itu dengan tertawa.
Diam2 yakinlah Tik Hun: "Jika demikian, jadi pengemis ini memang betul Gian-supek adanya."
"Sute," demikian Ban Cin-san telah berkata pula, "ada apa kau menggali tanah didalam rumah sini? O, barangkali kau mengusahakan pertambangan, ya? Besar amat lubang yang kau gali ini?"
Tapi sipengemis tua alias Gian Tat-peng itu tenang2 saja, ia tertawa dingin, lalu menjawab: "Dugaan Suheng salah semua. Soalnya musuh Siaute terlalu banyak, aku ingin bersembunyi disini, maka sengaja menggali lubang perlindungan ini. Tapi lubang inipun serta guna, jika musuh terbunuh oleh Siaute, maka sekalian aku lantas menguburnya disini dengan tidak perlu menggali liang kubur lain. Sebaliknya jika Siaute dibinasakan musuh, maka lubang inipun dapat dianggap sebagai tempat tidurku untuk se-lama2nya."

"Wah, bagus, bagus! Sute memang pintar berpikir!" demikian Ban Cin-san tertawa memuji. "Tapi badan Sute toh tidak terlalu gede, kulihat liang inipun sudah lebih dari cukup, rasanya tidak perlu menggali lebih dalam lagi."
"Benar, untuk mengubur seorang memang lebih dari cukup, tapi kalau untuk mengubur delapan orang mungkin masih kurang dalam," sahut Gian Tat-peng.
Melihat kedua saudara perguruan itu begitu berhadapan sudah lantas perang mulut dengan kata2 tajam, tiba2 Tik Hun menjadi teringat kepada apa yang pernah diceritakan Ting Tian dahulu. Pikirnya: "Menurut cerita Ting-toako, katanya Suhu bersama Ban-supek dan Gian-supek bertiga telah mengeroyok dan membunuh guru mereka, Bwe Liam-seng. Sedangkan guru mereka sendiri saja dibunuh, apalagi diantara mereka masakah dapat diharapkan adanya hubungan persaudaraan yang baik? Menurut cerita Ting-toako (bacalah hal 38 jilid 2), katanya mereka bertiga telah berhasil merebut Soh-sim-kiam-boh dari guru mereka, tapi tidak mendapatkan Kiam-koat yang merupakan inti rahasia dari pelajaran ilmu pedang itu. Padahal Kiam-koat itu melulu terdiri dari angka2 saja, katanya angka pertama adalah '4', angka kedua adalah '51', angka ketiga adalah '33', angka keempat adalah '53', angka kelima '18', angka keenam '7' dan .......... sampai ajalnya Ting-toako angka2 itupun belum selesai diucapkan. Bukankah Kiam-boh sudah mereka rebut dari guru mereka, mengapa sekarang mereka mencari lagi kesini?"
Dalam pada itu Ban Cin-san telah berkata: "Sute yang baik, kita berdua adalah saudara seperguruan sejak kecil, kau cukup kenal pikiranku, akupun paham isi hatimu, buat apa mesti bicara secara ber-putar2! Mana, serahkan!" ~ Begitu kata2 terachir itu dilontarkan, berbareng ia sodorkan tangannya kedepan.
Namun Gian Tat-peng hanya geleng2 kepala, sahutnya: "Belum dapat kutemukan. Kelicinan Jik-losam memang harus diakui kita bukan tandingannya. Sampai sekarang aku masih belum dapat mengetahui dimanakah dia telah menyembunyikan Kiam-boh itu."
Kembali Tik Hun terkesiap, pikirnya pula: "Agaknya sesudah mereka bertiga berhasil merebut Soh-sim-kiam-boh dari guru mereka, kemudian Suhu berhasil pula mengangkangi sendiri kitab ilmu pedang itu. Tapi mengapa selama itu tiada terjadi apa2? Ya, tentu disebabkan Suhu dapat bertindak dengan sangat licin hingga selama itu perbuatannya tak diketahui oleh kedua Supek ini. Dan kalau Suhu tidak tinggal disini, dengan sendirinya Kiam-boh itu selalu dibawanya ke-mana2, masakah Kiam-boh itu dapat disembunyikan atau dipendam didalam rumah ini? Sekarang mereka membongkar-bangkir tempat ini, bukankah terlalu tolol perbuatan mereka itu?"
Akan tetapi ia tahu sekali2 Ban Cin-san dan Gian Tat-peng itu bukan orang tolol, mungkin berpuluh kali, bahkan beratus kali lebih pintar dan cerdik daripada Tik Hun sendiri. Habis, rahasia dan muslihat apakah yang berselubung dibalik kesemuanya ini?
Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san telah tertawa ter-bahak2. Katanya: "Sute, masakah kau perlu berlagak pilon lagi? Ha-ha, orang mengatakan Samsute kita adalah Tiat-soh-heng-kang, tipu-akalnya lihay, tapi menurut hematku, adalah Jisute kau yang lebih lihay. Mana serahkan!"
Dan kembali ia menjulurkan kedua tangannya pula.
Tapi Gian Tat-peng me-nepuk2 kantongnya yang kosong itu, sahutnya: "Jika sudah kudapatkan, masakah antara kita masih perlu di-beda2kan milikmu atau milikku? Jika barang itu dapat ketemukan, tentu akan kutunjukan secara terbuka, kita boleh melatihnya bersama dan kita dapat tukar pikiran pula, bukankah begini lebih baik. Bukan aku sengaja mem-besar2kan hal ini, tapi sesungguhnya Suheng, andaikan mestika itu kudapatkan, seorang diri saudaramu ini juga tak sanggup melatihnya, tapi mesti minta Suheng yang memegang pimpinan ini. Sebaliknya, hehe, seumpama Suheng yang menemukan mestika itu, biarpun anak muridmu cukup banyak, tapi kepandaian mereka masih hijau, maka perlu juga rasanya bantuan saudaramu ini untuk berkongsi."
"Kau sudah pernah mendatangi gua disana itu, apa yang telah kau ketemukan?" tanya Ban Cin-san.
"Gua apa?" sahut Gian Tat-peng dengan heran. "Didekatan sini ada gua, maksudmu?"
"Sute," kata Cin-san, "kita adalah saudara seperguruan selama puluhan tahun, buat apa achirnya mesti cekcok sendiri? Harap kau keluarkan saja, marilah kita mempelajari bersama, ada untung sama dirasakan, ada rugi sama dipikul."
"Sungguh aneh, mengapa kau yakin benar2 menuduh aku sudah memperolehnya?" tanya Tat-peng. "Jika betul aku sudah mendapatkan barangnya, buat apa aku masih susah-payah menggali disini?"
"Huh, banyak tipu akalmu yang licin, siapa tahu permainan apa yang sedang kau lakukan?" ujar Cin-san.
"Suko, kau sendiri toh cukup kenal Samsute, masakah barangnya akan begini gampang kita ketemukan?" kata Tat-peng. "Menurut pendapatku, belum tentu pula disimpannya didalam rumah ini, bila menggali tiga hari masih belum kutemukan apa2, maka akupun tidak ingin meneruskan lagi penggalian ini."
"Haha, kukira lebih baik kau menggali sebulan atau dua bulan supaya permainan sandiwaramu ini bisa lebih hidup," jengek Ban Cin-san.
Seketika air muka Gian Tat-peng berubah, segera ia bermaksud unjuk gigi, tapi sesudah dipikir pula, sedapat mungkin ia menahan gusarnya, sahutnya kemudian: "Suheng, cara bagaimana aku harus berbuat supaya kau mau percaya?" ~ Habis berkata, ia terus membuka jubahnya dan dibalik, ia kebas2 jubahnya itu, maka terdengarlah suara gemerincing yang nyaring, dari jubahnya itu jatuh beberapa tahil perak dan sebuah pipa tembakau, ia pun tidak menjemput kembali barang2 itu, tapi masih mengebas beberapa kali jubahnya itu.
"Hm, memangnya kau begitu bodoh, masakah kau membawanya didalam bajumu?" kata Ban Cin-san. "Ya, andaikan kau bawa, tentu juga kau simpan dibagian dalam, tidak mungkin kau taruh disaku luar."
Gian Tat-peng menghela napas, sahutnya: "Jikalau Suheng tetap tidak percaya, ya apa boleh buat, silakan menggeledah badan Siaute saja."
"Maafkan kalau begitu," kata Cin-san. Lalu ia memberi tanda kepada Ban Ka dan Sim Sia.
Kedua pemuda itu mengangguk tanda tahu, lalu mereka memasukkan pedang mereka kesarungnya, dari kanan-kiri segera mereka mendekati Gian Tat-peng.
Menyusul Ban Cin-san memberi isyarat pula kepada Bok Heng dan Loh Kun, kedua orang itu pelahan2 lantas menggeser kebelakang Gian Tat-peng dengan pedang tetap terhunus.
Dalam pada itu Gian Tat-peng telah tepuk2 lagi saku baju dalam dan berkata: "Nah, silakan geledah!"
"Maaf, Susiok," kata Ban Ka, terus saja ia mengulur tangannya kedalam saku sang paman guru.
Tapi mendadak ia menjerit tajam sekali, cepat ia menarik kembali tangannya, waktu diperiksa dibawah sinar obor yang terang itu, maka tertampaklah dipunggung tangannya terdapat seekor ketungging yang besar. Rupanya sangat kesakitan hingga Ban Ka ber-jingkrak2, "plok", cepat ia baliki tangan dan menggablok ketepi tanggul liang galian, seketika ketungging berbisa itu terpukul hingga hancur. Tapi punggung tangannya sudah terkena bisa binatang itu, kontan saja terus abuh.
Ban Ka masih berlagak jagoan, sedikitpun ia tidak sudi merintih, tapi keringat dingin dijidatnya sudah lantas merembes keluar ber-butir2 sebesar kedelai.
Kemudian terdengar Gian Tat-peng berseru kaget: "Ai, Ban-hiantit, darimanakah kau mendapatkan serangga berbisa seperti itu? Wah itu adalah ketungging loreng, lihaynya tidak kepalang. Suko, hayolah lekas, lekas, kau membawa obat penawar racun tidak? Kalau terlambat sebentar lagi, wah tentu celaka, tentu celaka!"
Maka tertampak punggung tangan Ban Ka yang abuh itu dari warna merah berubah menjadi matang biru, lalu menjadi hitam, ada satu garis merah pelahan2 menaik kearah lengan.
Namun Ban Cin-san insaf telah terjebak oleh tipu keji sang Sute, karena sudah kepepet, terpaksa ia menahan perasaannya dan berkata: "Sute, kakakmu ini terimalah menyerah padamu, aku mengaku kalah sudah, harap kau berikan obat penawarnya dan kami lantas pergi, untuk seterusnya kami takkan datang kembali untuk merusuhi kau lagi.
"Tentang obat penawar, ya, dulu aku memang punya, tapi kemudian, lama kelamaan entah tertaruh dimana, biarlah lewat beberapa hari lagi akan kucarikan dan mungkin akan dapat diketemukan. Pabila tidak, nanti aku akan pulang ke Tay-beng-hu untuk mencari resep obat itu dan membelikannya diapotik. Ya, apa mau dikata, habis kita sesama saudara seperguruan sih."
Mendengar jawaban itu, sungguh dada Ban Cin-san hampir2 meledak saking gusarnya. Luka terpagut ular atau diatup ketungging seperti itu dalam waktu singkat saja jiwa penderita mungkin akan melayang, asal garis merah yang mulai menaik ke lengan itu menembus sampai didada, maka kontan penderita itu akan terbinasa, tapi sang Sute enak2 bicara tentang "lewat beberapa hari lagi obat penawar itu akan dicari" dan katanya akan cari resepnya dulu ke Tay-beng-hu, padahal jarak Tay-beng-hu itu be-ribu2 li jauhnya, bahkan secara tidak kenal malu mengatakan pula tentang hubungan baik sesama saudara seperguruan apa segala.
Tapi apa daya, jiwa putera kesayangannya tergantung diujung rambut, terpaksa Ban Cin-san menahan perasaannya, seorang laki2 hendak membalas dendam masih belum terlambat untuk menunggu sepuluh tahun lagi. Maka katanya pula: "Sute, harini sudah terang aku terjungkal habis2an. Apa yang kau inginkan, hendaknya kau katakan terus terang saja."
Gian Tat-peng benar2 seorang licik, biar orang kerupukan setengah mati, tapi ia justeru bersikap ngular kambang, dengan pe-lahan2 ia miring kepala untuk memikir, habis itu barulah ia menjawab: " Suko, apa sih keinginan yang kuharapkan dari kau? Sudahlah, kau suka bagaimana dan aku akan menurut saja."
Diam2 Ban Cin-san gemas tidak kepalang, didalam hati ia bersumpah: "Baik, sedemikian kau mendesak diriku, sedikitpun tidak mau mengalah, pada suatu hari kelak pasti aku akan suruh kau kenal akan kelihayanku." ~ Dan lahirnya ia tenang2 saja dan menjawab: "Baiklah aku berjanji untuk selanjutnya takkan bertemu lagi dengan Sute, kalau aku meng-utik2 apa2 lagi kepada Sute anggaplah aku orang she Ban ini bukan manusia."
"Ai, mana aku berani terima sumpahmu seberat itu," ujar Gian Tat-peng dengan senyum culas. "Begini, aku hanya mohon Suko menyatakan bahwa 'Soh Sim Kiam-boh" itu diakui sebagai milik Gian Tat-peng. Kalau yang menemukan kelak adalah Gian Tat-peng sendiri itulah tidak perlu lagi dipersoalkan, tapi umpama Suko yang menemukan, maka juga harus diserahkan kepada Sutemu ini."
Dalam pada itu separoh tubuh Ban Ka sudah kaku lumpuh, hawa racun pelahan2 mulai menyerang otaknya hingga kepalanya terasa pening, mata menjadi gelap, tubuhnya sempoyongan, tanpa kuasa lagi ia berkelejetan seperti orang kena penyakit ayan.
"Sute, Sute!" seru Loh Kun dengan kuatir, cepat ia maju untuk memayang Ban Ka. Waktu di periksa lengannya, ternyata garis merah itu sudah lewat ketiak dan menjurus kedada. Cepat ia berpaling kepada Ban Cin-san dan berseru: "Suhu, segala permintaannya kita sanggupi saja!"
Dibalik kata2nya itu se-olah2 menyatakan bahwa kita terpaksa menerima syaratnya, tapi kelak kita masih dapat ingkar janji dan membalas sakit hati.
Ban Ka adalah putera tunggal kesayangan Ban Cin-san, dengan sendirinya jago "Ngo-in-jiu" itu tidak dapat menyaksikan puteranya itu mati konyol begitu saja, terpaksa ia lantas berseru: "Baiklah, 'Soh-sim-kiam-boh' itu anggaplah sebagai milik Sute. Kionghi. Kionghi!"
"Jika begitu, biarlah kucari dulu kedalam kamar sana, boleh jadi aku akan mendapatkan obat penawar apa yang berguna, hal ini tergantunglah nasib Ban-hiantit sendiri yang entah akan mujur atau malang."
Habis berkata, tetap dengan caranya yang ngular kambang ia bertindak kedalam. Segera Ban Cin-san mengedipi Loh Kun dan Bok Heng dan segera kedua pemuda itupun ikut masuk kedalam.
Selang agak lama, tunggu punya tunggu ketiga orang itu masih belum keluar, suara merekapun tidak kedengaran. Sebaliknya keadaan Ban Ka semakin payah, sudah dalam keadaan tak sadarkan diri dan tak berkutik lagi bersandar dalam pegangan Sim Sia.
Keruan Ban Cin-san semakin kelabakan bagaikan orang kebakaran jenggot. Segera ia berkata kepada muridnya yang lain, yaitu Pang Tam: "Coba kau lihat kedalam sana!"
Pang Tan mengiakan, tapi belum lagi ia bertindak, sementara itu tertampak Gian Tat-peng sudah berjalan keluar dengan muka ber-seri2 dan berkata: "Untung, untung! Ini, dapat kutemukan ~ sembari berkata ia lantas unjukan sebuah botol porselen kecil dan menyambung pula: "Ini adalah obat penawar racun, tentu akan manjur sekali untuk menyembuhkan racun antupan ketungging."
Habis berkata, ia terus mendekati Ban Ka, ia membuka sumbat botol dan menuang keluar sedikit obat bubuk warna hitam, ia bubuhkan obat dipunggung tangan Ban Ka sambil berkata: "Ban-hiantit, agaknya nasibmu masih mujur!"
Obat penawar itu ternyata sangat mustajab, hanya sekejap saja dari luka itu lantas merembes keluar air hitam dan menetes ketanah, makin lama makin banyak darah hitam yang menetes itu dan garis merah dilengan Ban Ka itupun pelahan2 menurun kembali kepergelangan tangan.
Ban Cin-san menghela napas lega, tapi mendongkol pula. Jiwa puteranya memang telah dapat diselamatkan, tapi pamornya sekarang benar2 bangkrut habis2an. Bertempur saja belum dan dia mesti mengaku kalah, bukankah hal ini terlalu penasaran baginya?
Selang tak lama pula, achirnya Ban Ka membuka mata dan memanggil: "Ayah!"
Lalu Gian Tat-peng menutup kembali botolnya dan menyimpannya kedalam baju, katanya dengan tertawa: "Nah, selamat jalan, aku tidak menghantar, ya!"
"Panggil mereka keluar," kata Ban Cin-san kepada Sim Sia, maksudnya kedua muridnya yang menyusul Gian Tat-peng keruangan belakang tadi.
Sim Sia mengiakan, lalu menuju keruangan belakang sambil berseru: "Loh-suko, Bok-suko, hayolah lekas keluar, kita akan berangkat!"
Tapi ia tidak mendapat sahutan seorangpun, kembali ia menggembor lagi beberapa kali dan tetap sunyi senyap tiada suara apa2. Tanpa menunggu perintah sang Suhu lagi segera Sim Sia menerjang kebelakang.
Namun sial benar2, sekali ia sudah masuk, untuk selanjutnya iapun tidak keluar lagi.
Keruan Ban Cin-san curiga dan kuatir, tapi segera iapun sadar: "Didalam rumah keparat Gian Tat-peng ini kalau bukan ada jagoan silat lihay, tentu didalam situ dipasang perangkap rahasia apa2 hingga ketiga muridku sekali masuk lantas terjebak tipu muslihatnya. Dalam keadaan demikian biarpun aku memohon lagi dengan merendah diri juga tiada gunanya."
Karena pikiran itu, tanpa bicara segera ia lolos pedang, sekali bergerak, kontan ia menusuk keleher Gian Tat-peng.
Selamanya Tik Hun belum pernah melihat sang Toasupek Ban Cin-san mengunjukan ilmu silatnya, kini melihat tusukannya itu sangat kuat dan keji pula, diam2 ia memuji: "Ehm, bagus, serangannya ini sangat tepat."
Hendaklah diketahui bahwa kepandaian Tik Hun sekarang sudah luar biasa, maka setiap permainan silat orang lain baginya boleh dikata seperti mengambil barang disaku sendiri gampangnya, apakah permainan silat orang itu salah atau benar dengan segera akan dapat diketahui olehnya. Ia melihat serangan pertama Ban Cing-san itu sedikitpun tiada tempat kelemahan, maka dapat diduga ilmu silat sang paman guru itu memang tidak rendah.
Begitulah maka Gian Tat-peng telah mengegos untuk hindarkan tusukan Ban Cin-san tadi, menyusul kedua tangannya yang memegangi tongkat tadi mendadak dipentang, tahu2 tongkat itu putus menjadi dua, "creng", tahu2 tangannya telah bertambah sebatang pedang yang gemilapan menyilaukan mata.
Kiranya tongkat itu sebenarnya adalah senjata "dwi-guna", boleh dipakai sebagai tongkat dan dapat pula digunakan sebagai pedang bila ujung tongkat yang berukir kepala naga itu ditarik, maka kepala naga itu akan berubah tugasnya menjadi garan pedang dan bagian tongkat yang bawah sebenarnya adalah sarung pedang.
Maka begitu pedang sudah dilolos, segera Gian Tat-peng melancarkan serangan balasan hingga dalam sekejap saja terdengarlah suara "trang-tring" yang nyaring, kedua saudara seperguruan itu lantas saling labrak ditengah lubang galian luas itu.
Sejak tadi para kuli kampung itu sudah kuatir menyaksikan pertengkaran mulut kedua orang itu, kini melihat mereka mulai saling tempur dengan senjata, keruan kuli2 kampung itu bertambah ketakutan hingga mereka sama menyingkir kepojok ruangan dan tiada seorangpun yang berani membuka suara.
Tik Hun juga pura2 ketakutan, tapi diam2 iapun perhatikan pertarungan kedua paman guru itu.
Sesudah mengikuti belasan jurus lagi, diam2 Tik Hun merasa gegetun, pikirnya: "Tenaga dalam kedua Supek ini mengapa begitu cetek? Meski tipu serangan mereka masing2 ada keunggulannya sendiri2, tapi kalau kebentur lawan yang punya Lwekang tinggi, sekali senjata beradu, sekali gebrak saja pasti senjata mereka akan mencelat keudara, jangan lagi hendak bicara serang-menyerang segala? Dan kalau kedua Supek ini ingin ilmu silat mereka tambah maju, mereka harus mulai dengan memupuk tenaga dalam, kalau tiada memiliki tenaga dalam yang kuat, sekalipun mendapatkan Soh-sim-kiam-boh juga tiada gunanya. Apalagi usia mereka sudah lanjut begini, untuk melatih Lwekang agaknya juga sudah susah."
Dan setelah mengikuti beberapa jurus pula, kembali ia lebih gegetun lagi: "Nyata sekali ilmu silat Lau Seng-hong berempat pendekar yang bergelar "Lok-hoa-liu-ciu" adalah jauh lebih tinggi daripada kedua Supek ini. Kulihat ilmu silat kedua Supek ini memang sejak mula sudah sesat jalan, melulu mengutamakan perubahan2 tipu serangan yang indah dipandang, tapi sebenarnya tak berguna. Mereka tidak pikir cara bagaimana harus memupuk tenaga dalam yang merupakan landasan ilmu silat.
Apakah sebabnya mereka bisa salah? Ya, aku menjadi ingat, dahulu waktu Suhu mengajarkan ilmu pedang padaku juga demikian caranya dia memberi petunjuk. Agaknya mereka, Ban-supek, Gian-supek dan Suhu bertiga saudara seperguruan memang
beginilah memperoleh didikan dari Suco (kakek guru). Pada hal ilmu silat kembangan begini kalau ketemukan lawan yang bertenaga dalam sedikit lebih kuat, maka silat kembangan mereka ini seketika tiada gunanya sama sekali. Ya, sungguh aneh, mengapa mereka belajar ilmu pedang cara begini?"
Begitulah Tik Hun tidak habis mengerti oleh cara belajar silat Suhu dan kedua Supeknya itu.
Dalam pada itu dilihatnya Sun Kin, Pang Tan dan Go Him bertiga juga sudah mulai mengerubut maju, mereka tidak pikirkan pula tentang peraturan Kangouw apa segala.
Maka tertawalah Gian Tat-peng dengan ter-bahak2: "Bagus, bagus! Toasuko, makin lama makin jempol kau! Sekian banyak begundalmu yang kau bawa untuk mengeroyok Sutemu ini!" ~ Meski ia bersikap tenang2 saja seperti tak terjadi apa2, tapi permainan pedangnya sudah mulai kacau menghadapi empat lawan itu.
Pikir Tik Hun pula: "Ilmu pedang kedua Supek masing2 mempunyai keunggulannya sendiri2. Dahulu Gian-supek telah mengajarkan tiga jurus 'Ji-koh-sik', 'Ni-kong-sik' dan 'Gi-kiam-sik' padaku hingga aku dapat melabrak habis2an kedelapan Ban-bun-tecu, tapi kini ia sendiri menggunakan tipu2 serangan itu untuk menghadapi Ban-supek ternyata tiada sedikitpun gunanya. Ai, mengapa mereka tidak paham bahwa ilmu pedang yang indah2 permainannya kalau tidak dilandasi dengan tenaga dalam yang kuat, apa sih gunanya? Dan sungguh aneh, mengapa mereka tidak tahu hal ini?"
Se-konyong2 dalam benaknya terkilas sesuatu kejadian dimasa lampau: "Menurut cerita Ting-toako mengenai asal-usul Sin-ciau-keng, nyata Suco Bwe Liam-sing pasti paham betapa pentingnya landasan Lwekang tapi mengapa beliau tidak mengatakan kepada ketiga muridnya? Jangan2 …… jangan2 …." ~ berpikir sampai disini, tanpa merasa ia menggigil dan keringat dingin merembes keluar dipunggungnya, badannya gemetar sedikit.
Seorang kampung disebelahnya yang berusia sudah tua tiada hentinya menyebut Budha dan berdoa: "Omitohud, Omitohud! Semoga jangan terjadi pembunuhan disini. Adik cilik, jangan takut, jangan takut!"
Rupanya ia melihat Tik Hun gemetar, maka disangkanya pemuda itu ketakutan oleh pertarungan sengit itu, maka orang tua itu lantas menghiburnya. Padahal hatinya sendiri sebenarnya juga sangat ketakutan.
Begitulah sekali Tik Hun sudah dapat menerka dimana letak keganjilan itu, cuma hal ini terlalu keji dan penuh kepalsuan hati manusia, maka ia tidak ingin banyak memikirkan pula, bahkan tidak ingin membentangkan satu jalan pikiran yang membenarkan pendapatnya itu. Namun Tik Hun tadi sudah berhasil memecahkan teka-teki yang ganjil itu, dengan sendirinya segala sesuatu hal yang paling kecil sekalipun juga akan dapat diarahkan kesitu. Dan setiap gerak serangan Ban Cin-san dan ketiga muridnya itu selalu menambah dan membuktikan kebenaran pendapat Tik Hun itu.
"Ya, ya, tidak salah lagi, tentu beginilah halnya. Tetapi, ah apa mungkin? Sebagai guru masakah bisa berlaku sekeji ini? Tidak, tidak bisa ~ namun jika bukan begitu, mengapa bisa begini? Sungguh sangat aneh?"
Achirnya terbayanglah suatu adegan yang sangat jelas dalam benaknya. "Beberapa tahun yang lalu, itulah ditempat yang sama ini, aku dan Jik Hong sumoay sedang latihan dan Suhu berdiri disamping untuk memberi petunjuk. Suhu telah mengajarkan suatu jurus yang indah dan aku telah melatihnya dengan giat. Tapi ketika untuk kedua kalinya aku bertanya apa yang Suhu ajarkan lantas tidak sama lagi, gayanya sih tetap sangat bagus tapi sudah berbeda daripada yang pertama. Tatkala itu aku mengira ilmu pedang Suhu itu terlalu hebat dan banyak perubahannya, tapi kini demi dipikir sebab apakah satu jurus ilmu pedang bisa ber-beda2 cara mengajarkan, maka terang gamblang sekali dapat kuketahui sekarang.
Mendadak ia merasa sangat berduka, sangat sedih, pikirnya pula: "Suhu telah sengaja menyesatkan aku, sengaja mengajarkan ilmu pedang yang tidak baik padaku. Sebenarnya kepandaiannya cukup tinggi, tapi ia sengaja mengajarkan padaku ilmu pedang yang cuma indah dipandang tapi tidak berguna dipakai …….. dan Ban-supek juga begitu, kepandaiannya terang jauh berbeda daripada para anak muridnya ini …."
Dalam pada itu dilihatnya Gian Tat-peng sedang beraksi pula, tangan kiri bergaya, dan tangan kanan bergerak, ujung pedang disendal hingga ber-putar2 dalam bentuk lingkaran2, lalu dengan cepat luar biasa terus menusuk kedada lawan.
Sebaliknya Ban Cin-san juga cepat menangkis, pedangnya menabas melintang ber-ulang2, lawannya tujuh kali memutar pedang, iapun menabas tujuh kali hingga lingkaran2 kecil pedang lawan dipecahkan semua olehnya.
Menyaksikan itu, kembali Tik Hun berpikir pula: "Ketujuh lingkaran2 itu sebenarnya tidak perlu, sebab paling achir toh dia menusuk kedada Ban-supek, jika begitu, mengapa tidak terus langsung menusuk saja, bukankah lebih cepat dan lebih ganas? Sebaliknya Ban-supek juga menabas dan menangkis lingkaran2 kecil itu, nampaknya memang bagus, tapi sebenarnya gobloknya keliwat. Kalau dia balas menusuk keperut Gian-supek, bukankah sejak tadi dia sudah menang!"
Mendadak benaknya terbayang pula suatu adegan dimasa dahulu.
Waktu itu dia sedang berlatih bersama sang Sumoay Jik Hong. Banyak juga variasi ilmu pedang yang dimainkan Jik Hong, sebaliknya ia sendiri agak lupa kepada tipu jurus yang diajarkan oleh Suhunya hingga dia terdesak kalang-kabut oleh serangan Jik Hong, ber-ulang2 terpaksa ia mundur. Dan selagi Jik Hong mencecar pula tiga kali hingga dia kelabakan takbisa menangkis, nampaknya pasti dia akan kalah, pada saat sudah kepepet inilah ia tidak memikirkan apa yang pernah dipesan sang guru lagi, tapi pedangnya diangkat untuk menangkis sekenanya, menyusul terus menusuk kedepan.
Aneh juga, serangan Jik Hong itu tampaknya bergaya indah dan lihay, dan tangkisan Tik Hun tampaknya kaku ngawur, tapi malah serangan Jik Hong itu dapat dipatahkan, bahkan tusukan Tik Hun terus mengancam ke pundak Jik Hong. Sedang Tik Hun bingung karena tak sempat menarik kembali tusukannya itu, se-konyong2 Jik Tiang-hoat melompat maju dengan membawa sepotong kayu, cepat ia sampuk hingga pedang Tik Hun kena dihantam jatuh terpental. Dalam pada itu Jik Hong dan Tik Hun sudah kaget setengah mati. Maka Jik Tiang-hoat telah damperat Tik Hun mengapa tidak menurut petunjuk ajaran sang guru, tapi main ngawur.
Tatkala itu Tik Hun juga pernah memikir: "Aku menyerang secara 'ngawur', tapi mengapa malah menang?"
Tapi pikiran itu hanya sekilas saja lantas hilang. Segera terpikir olehnya: "Ya, mungkin ilmu pedang Sumoay sendiri pun kurang sempurna, bila betul2 ketemukan lawan tangguh, caraku ngawur tadi tentu akan bikin celaka diri sendiri."
Begitulah sama sekali ia tidak pikirkan bahwa tipu serangan yang dilontarkan secara mendadak itu sebenarnya jauh lebih hebat dan lebih praktis daya gunanya.
Dan kalau dipikir sekarang, terang berbeda sama sekali pendapatnya. Kini ilmu silat Tik Hun sudah sempurna, dengan terang gamblang ia dapat melihat dengan jelas bahwa diantara permainan silat Cin-san dan Gian Tat-peng itu hanya gerak kembangan yang tiada gunanya, sedangkan apa yang diajarkan Ban Cin-san kepada muridnya dan apa yang diajarkan Jik Tiang-hoat kepada Tik Hun, gerak tipu yang tak berguna itu lebih banyak pula. Nyata sekali bahwa Suco Bwe Liam-sing sebenarnya sudah tahu bahwa jiwa ketiga muridnya itu tidak jujur, maka diwaktu mengajar sengaja menyesatkan mereka kejalan yang tidak benar. Kemudian waktu Ban Cin-san dan Jik Tiang-hoat mengajar kepada muridnya, jalan sesat itu menjadi makin jauh lagi.
Sungguh Tik Hun tidak habis mengarti, dengan tipu serangan yang tidak berguna itu kalau dipakai bertempur melawan musuh, itu berarti menyerahkan jiwa sendiri kepada musuh. Mengapa Suco, Supek dan Suhu begitu keji dan kejam? Mengapa mereka begitu culas.
Sambil memandangi muka Gian Tat-peng, kemudian Tik Hun mendadak ingat sesuatu kejadian dimasa dahulu. Yaitu pada hari Bok Heng datang untuk mengundang gurunya menghadiri perayaan ulang tahun sang Supek. Tatkala itu ia sedang berlatih dengan Jik Hong, mendadak terdengar suara orang tertawa dibalik onggok jerami sana, waktu Suhunya memeriksa kesana, kiranya adalah seorang pengemis tua yang sedang menjemur diri dibawah sinar matahari sambil mencari tuma dibajunya yang rombeng itu. Tatkala itu Suhu tidak tahu, padahal sebenarnya pengemis tua itu adalah samaran Gian Tat-peng. Senantiasa Gian-supek itu mengintai disekitar rumah tinggal Suhunya itu untuk mencari sesuatu dan sudah tentu yang dicari adalah Soh-sim-kiam-boh, malahan sampai sekarang kedua Supek itu masih bertempur memperebutkan kitab pusaka itu.
Begitulah jika disana Tik Hun sedang mengelamun mengenangkan kejadian2 dahulu, adalah ditengah kalangan pertempuran sana Ban Cin-san masih saling labrak dengan sengit bersama Gian Tat-peng. Tapi karena Ban Cin-san mengeroyok bersama ketiga muridnya, maka Gian Tat-peng makin lama makin terdesak.
Se-konyong2 Sun Kin menusuk kepunggung Gian Tat-peng, tapi cepat Tat-peng sempat membaliki pedangnya untuk menangkis, berbareng pedangnya menyabat kebawah, maka menjeritlah Sun Kin, "trang" pedangnya jatuh ketanah, pergelangan tangannya juga luka terkena senjata lawan. Dan pada saat yang hampir sama itu, kesempatan itu telah digunakan dengan baik oleh Ban Cin-san, "cret" pedangnya juga kena menggores suatu luka panjang di lengan kanan Gian Tat-peng.
Sambil mengikuti pertarungan Ban Cin-san melawan Gian Tat-peng itu. Tik Hun menjadi ter-heran2 mengapa tipu2 serangan mereka hanya indah dalam gaya permainan saja, tapi sama sekali tidak berlandaskan Lwekang?
Karena kesakitan, cepat Tat-peng mengoperkan pedangnya ketangan kiri. Dan sudah tentu ia kurang biasa menggunakan pedang dengan tangan kiri, apalagi lukanya juga tidak ringan, darah mengucur membasahi tubuhnya, maka setelah beberapa jurus lagi, kembali bahu-kirinya tertusuk pula oleh pedang Ban Cin-san.
Para kuli kampung yang menonton disamping itu menjadi pucat ketakutan, mereka saling berbisik menyatakan kekuatiran mereka akan kemungkinan terjadinya perkara jiwa, tapi tiada seorangpun diantara mereka yang berani bersuara keras.
Sebaliknya Ban Cin-san sudah bertekad harus membunuh sang Sute, maka serangan2nya semakin gencar dan semakin keji. "Cret", kembali dada kanan Gian Tat-peng kena tertusuk lagi.
Tampaknya dalam berapa jurus lagi jiwa Gian Tat-peng pasti akan melayang dibawah pedang sang Suheng, tapi toh dia masih melawan mati2an, sepatahkatapun dia takmau minta ampun. Rupanya ia cukup kenal watak sang Suheng yang culas, apalagi selama belasan tahun mereka telah "perang dingin" secara diam2, kalau dia minta ampun, itu berarti akan makin dihina dan tidak mungkin berguna.
Dalam pada itu Tik Hun sedang memikir: "Dahulu waktu di Hengciu, Gian-supek pernah menolong aku dari labrakan sibandit besar Lu Thong, malahan iapun mengajarkan tiga jurus ilmu pedang padaku hingga aku terhindar dari aniaya dan hinaan murid2nya Ban-supek. Sebelum aku membalas budinya ini, mana boleh aku menyaksikan dia mati ditangan orang."
Karena itu Tik Hun pura2 gemetar ketakutan, tapi cangkul yang dipegangnya itu telah siap mengeduk tanah.
Pada saat lain dilihatnya pedang Ban Cin-san kembali menusuk lagi keperut Gian Tat-peng dan tampaknya Gian Tat-peng sudah tak sanggup menangkis lagi, pada detik itulah secepat kilat Tik Hun sendalkan cangkulnya, kontan segumpal tanah melayang kearah Ban Cin-san. Tenaga sambaran gumpalan tanah itu tak terkatakan kuatnya, karena tertumbuk oleh tenaga itu, seketika Ban Cin-san tak tahan, "bluk", kontan ia jatuh terjungkal.
Oleh karena diluar dugaan, maka tiada seorangpun yang tahu darimana datangnya gumpalan tanah itu. Dan selagi suasana agak panik, tanah cangkul Tik Hun yang kedua kalinya telah menghambur lagi, tapi sekali ini yang diarah adalah lentera minyak dan lilin ditepi meja sana, maka dalam sekejap itu padamlah lilin dan lentera, dalam rumah menjadi gelap gelita disertai suara jerit kaget orang banyak. Dan pada saat lain Tik Hun lantas melompat maju, cepat ia kempit Gian Tat-peng terus menerjang keluar.
Setiba diluar rumah, segera Tik Hun tutuk beberapa Hiat-to penting dipundak, dada dan lengan untuk menahan keluarnya darah dari luka Gian Tat-peng itu. Lalu ia panggul sang Supek, ia keluarkan Ginkangnya yang tinggi terus berlari secepat terbang kearah pegunungan dibelakang rumah.
Karena Ginkangnya hebat, tempat disekitar situ juga sangat dikenalnya, maka Tik Hun terus berlari menuju kelereng gunung yang paling terjal dan susah ditempuh. Gian Tat-peng menggemblok diatas pundak pemuda itu merasa badannya se-akan2 me-layang2 di-awang2 dan mirip dialam mimpi saja. Sekalipun ia sudah kenyang asam-garam kalangan Kangouw, tapi susah disuruh percaya bahwa didunia ini ternyata ada tokoh silat setinggi ini.
Begitulah jalan yang dituju oleh Tik Hun itu makin lama makin tinggi, kira2 lebih satu jam, achirnya tibalah diatas puncak gunung yang paling tinggi disekitar situ. Puncak gunung itu menjulang tinggi menembus awan, jangankan orang lain susah mendaki kesitu, biarpun Tik Hun sendiri juga baru pertama kali ini datang kesitu. Dahulu ia dan Jik Hong sering memandangi puncak gunung ini dari jauh dan bersenda-gurau secara ke-kanak2an, siapa duga harini kebetulan dia menolong jiwa seorang, maka didatanginya puncak gunung ini.
Kemudian ia letakan Gian Tat-peng ditepi sebuah batu cadas, lalu ia tanya: "Kau membawa obat luka atau tidak?"
Tanpa menjawab, tapi Gian Tat-peng terus berlutut dan menyembah, katanya: "Siapakah nama Inkong (tuan penolong) yang mulia? Hari ini Gian Tat-peng selamat berkat pertolonganmu, sungguh budi setinggi langit ini entah cara bagaimana harus kubalas."
Tik Hun adalah orang jujur tulus, meski ia tidak ingin memberitahukan siapa dirinya sendiri, tapi ia pun merasa tidak pantas menerima penghormatan sang Supek, maka cepat iapun berlutut dan balas menyembah, sahutnya: "Cian-pwe jangan banyak adat hingga membikin hati Cayhe merasa tidak enak. Cayhe adalah seorang 'Bu-beng-siau-cut' (perajurit tak bernama, keroco), namaku tiada harganya untuk dikenal, tentang sedikit urusan ini kenapa mesti bicara soal membalas budi segala."
Tapi Gian Tat-peng masih berkeras ingin tahu. Sebaliknya Tik Hun tidak dapat membohong dengan nama palsu, hanya tetap ia takmau beritahukan namanya.
Gian Tat-peng tahu bahwa banyak tokoh2 kosen dari dunia persilatan yang suka mengasingkan diri dan menghapuskan namanya dari pergaulan ramai, dari itu iapun tidak berani mendesak terus, kemudian ia mengeluarkan obat luka yang dibawanya dan membubuhkan dilukanya sendiri.
Melihat luka2 diatas tubuh sendiri itu, mau-tak-mau Gian Tat-peng merasa ngeri dan bersyukur pula, pikirnya: "Untung ada tua penolong ini, kalau tidak, mungkin saat ini aku sudah menjadi almarhum?"
Lalu Tik Hun mulai membuka suara: "Cayhe ada beberapa persoalan yang susah dimengerti, maka ingin minta penjelasan pada Cianpwe."
"Janganlah Inkong menyebut diriku sebagai Cianpwe," kata Tat-peng dengan merendah. "Jika Inkong ada pertanyaan apa2, asalkan Tat-peng tahu, tentu akan kukatakan se-jujur2nya, sedikitpun tidak berani berdusta."
"Bagus sekali, inilah yang kuharapkan," kata Tik Hun. "Nah tolong tanya Cianpwe, apakah gedung itu adalah kau yang membangunnya?"
"Benar," sahut Tat-peng.
"Cianpwe sengaja mengupahi orang buat menggali lubang besar itu, tentunya ingin mencari 'Soh-sim-kiam-boh' itu, dan apakah sudah diketemukannya?" tanya Tik Hun pula.
Tat-peng terkesiap, pikirnya: "Ai, kukira dia menolong aku dengan maksud baik, tak tahunya juga seorang yang lagi mengincar 'Soh-sim-kiam-boh'." ~ Tapi mau-tak-mau iapun menjawab: "Sudah banyak jerih-payah yang kukorbankan, tapi sampai saat ini belum memperoleh sedikit tanda2 yang berguna. Harap Inkong maklum bahwa apa yang kukatakan ini adalah sesungguhnya. Pabila Tat-peng sudah memperoleh apa yang dicari itu, tentu akan kupersembahkan dengan kedua tangan. Sedangkan jiwaku juga Inkong yang menolong, masakah aku masih sayangkan benda yang toh takkan berguna jika jiwa sudah melayang."
"Eh, jangan kau salah sangka," kata Tik Hun sambil goyang2 tangannya. "Aku sendiri tidak inginkan Kiam-boh itu, untuk bicara terus terang, meski kepandaianku cuma biasa saja, tapi aku yakin kalau cuma kitab seperti 'Soh-sim-kiam-boh' apa itu, rasanya belum tentu akan berpaedah bagiku."
"Ya, ya, memang!" kata Tat-peng. "Ilmu silat Inkong sudah tiada taranya dan dijaman ini tiada tandingannya, sedangkan 'Soh-sim-kiam-boh' itu hanya sejilid kitab pelajaran ilmu pedang yang biasa saja. Kami bersaudara perguruan karena ingin memperoleh kitab pusaka perguruan sendiri, maka sangat menilai tinggi atas kitab itu, padahal dimata orang luar itu cuma kitab yang tiada artinya."
Biarpun Tik Hun adalah seorang tulus dan tidak pandai ber-liku2, tapi ia dapat juga mendengar apa yang dikatakan Gian Tat-peng ada yang tidak jujur, namun iapun tidak membongkar kebohongan orang itu, tapi ia bertanya lagi. "Kabarnya tempat ini adalah kediaman lama Sutemu Jik Tiang-hoat. Katanya Jik Tiang-hoat itu berjuluk 'Tiat-soh-heng-kang', apakah artinya julukan itu?"
Sejak kecil Tik Hun dibesarkan oleh gurunya, apa yang dilihatnya selama itu adalah sang guru itu seorang tua pedusunan yang jujur dan lugu, tapi Ting Tian justeru mengatakan bahwa gurunya adalah seorang yang banyak tipu akalnya sebab itulah ia sengaja tanya Gian Tat-peng untuk mengecek kebenaran apa yang dikatakan Ting Tian itu.
Maka terdengar Gian Tat-peng telah menjawab: "Suteku Jik Tiang-hoat memang berjuluk 'Tiat-soh-heng-kang', yaitu orang memperumpamakan dia itu laksana seutas rantai besi besar yang melintang dipermukaan sungai hingga semua lalu-lintas air itu takbisa naik dan takdapat turun, artinya mengatakan Jik-sute itu seorang yang banyak tipu muslihatnya, caranya keji pula terhadap orang."
Sungguh hati Tik Hun sangat menyesal, pikirnya: "Apa yang dikatakan Ting-toako itu ternyata sedikitpun tidak salah. Guruku ternyata benar seorang yang demikian, sejak kecil aku telah tertipu olehnya dan beliau selamanya juga tidak pernah mengunjukan watak aslinya padaku." ~ Namun demikian dalam hatinya tetap timbul sekelumit harapan, maka tanyanya pula: " Juluk orang Kangouw itu belum tentu dapat dipercaya penuh, boleh jadi musuhnya yang sengaja memberikannya julukan itu untuk meng-olok2nya. Sebagai sesama saudara perguruan, tentunya Gian-cianpwe cukup kenal bagaimana wataknya, nah, sebenarnya bagaimanakah wataknya itu?"
Gian Tat-peng menghela napas, kemudian katanya: "Bukanlah aku sengaja hendak membicarakan kejelekan saudara perguruanku sendiri, tapi karena Inkong ingin tahu, Cayhe tidak berani berdusta sedikitpun, maka biarlah kukatakan terus terang. Jik-suteku itu lahirnya memang kelihatan seperti orang desa yang ke-tolol2an, tapi sebenarnya hatinya licin, pikirannya tajam. Kalau tidak, masakah 'Soh-sim-kiam-boh' itu dapat jatuh kedalam tangannya?"
Tik Hun manggut2, selang sejenak barulah ia berkata pula: "Darimana kau tahu dengan pasti bahwa 'Soh-sim-kiam-boh' itu berada padanya? Apa kau menyaksikan dengan mata kepala sendiri? Menurut kabar, katanya engkau suka menyamar sebagai seorang pengemis tua, apakah benar?"
Diam2 Gian Tat-peng terkesiap lagi, ia heran orang begitu lihay dan serba tahu mengenal seluk-beluk dirinya. Maka jawabnya: "Wah, berita Inkong benar2 sangat tajam hingga setiap tindak-tanduk Cayhe dapat diketahui Inkong. Semula aku pikir, 'Soh-sim-kiam-boh' itu kalau bukan berada ditangan Ban-suko tentulah berada pada Jik-sute, maka diam2 aku menyamar sebagai pengemis tua untuk menyelidiki antara kedua tempat tinggal Suheng dan Sute itu. Tapi sesudah kuselidiki sekian lamanya, achirnya aku menarik kesimpulan bahwa Kiam-boh itu tidak berada pada Ban-suko tapi pasti berada ditangan Jik-sute."
"Apa yang meyakinkan kesimpulanmu itu?" tanya Tik Hun.
Jawab Gian Tat-peng: "Dahulu waktu guru kami akan wafat, beliau telah menyerahkan Kiam-boh itu kepada kami bertiga saudara seperguruan ……"
Tik Hun jadi teringat kepada cerita Ting Tian tentang peristiwa berdarah pada suatu malam dipantai Tiangkang, dimana Ban Cin-san, Gian Tat-peng dan Jik Tiang-hoat bertiga telah mengeroyok guru mereka hingga mati. Maka ia lantas mendengus demi mendengar keterangan Gian Tat-peng itu, katanya: "Hm apa betul gurumu menyerahkan kitab itu kepada kalian secara baik2? Hm kukira belum …. belum tentu benar, bukan? Apakah beliau meninggal secara wajar?"
Keruan kejut Gian Tat-peng tak terhingga, mendadak ia melompat bangun, ia tuding Tik Hun dan berseru: "Apa kau … kau adalah Ting … Ting Tian … Ting-toaya?"
Hendaklah diketahui bahwa kejadian Ting Tian yang mengubur jenazah Bwe Liam-sing itu achirnya tersiar dikalangan Kang-ouw, sebab itulah demi mendengar dosa sendiri yang membunuh guru dibongkar oleh Tik Hun seketika ia mencurigai pemuda itu adalah Ting Tian.
Tapi dengan dingin Tik Hun berkata: "Aku bukan Ting Tian, Ting-toako adalah seorang pembenci kejahatan, dengan mata kepala sendiri ia telah menyaksikan kalian bertiga mengeroyok hingga tewasnya Suhu kalian, pabila aku adalah Ting-toako, tidak mungkin harini aku mau menolong jiwamu, tentu akan kubiarkan kau mati dibawah pedangnya Ban Cin-san."
"Habis siapa engkau?" tanya Gian Tat-peng dengan takut dan sangsi.
"Kau tidak perlu urus siapa aku," sahut Tik Hun. "Jika ingin orang lain tidak tahu, kecuali kalau engkau sendiri tidak berbuat. Nah, katakan terus terang, setelah kalian menewaskan gurumu dan berhasil merebut 'Soh-sim-kiam-boh', kemudian bagaimana?"
"Jika …. jika engkau toh sudah tahu semuanya, buat …. buat apa tanya padaku lagi?" sahut Gian Tat-peng dengan suara gemetar.
"Ada sebagian yang kuketahui, tapi ada sebagian aku tidak tahu. Maka kau harus mengaku dengan sejujurnya, jika bohong sedikit saja tentu akan kuketahui."
Sungguh takut dan hormat pula Gian Tat-peng kepada Tik Hun, katanya kemudian: "Mana aku berani membohongi Inkong? Begini, sesudah kami mendapatkan 'Soh-sim-kiam-boh' itu, setelah kami periksa, ternyata yang ada cuma Kiam-boh (kitab pelajaran ilmu pedang) dan tiada terdapat Kiam-koat (kunci pelajaran ilmu pedang) yang penting itu, jadi percumalah kami mendapatkan Kiam-bohnya saja ……"
Diam2 Tik Hun membatin: "Menurut Ting-toako, katanya Kiam-koat itu menyangkut rahasia suatu partai harta karun yang belum diketemukan sesudah Bwe Liam-sing, Leng-siocia dan Ting-toako wafat semua, maka didunia ini sudah tiada seorangpun yang tahu akan Kiam-koat itu, sebaiknya kalian jangan mengimpi pula akan memperolehnya."
Dalam pada itu terdengar Gian Tat-peng sedang melanjutkan: "Sebab itulah, maka kami masih terus menyelidiki dimanakah beradanya Kiam-koat itu. Tapi kami bertiga saling curiga-mencurigai, masing2 sama kuatir kalau Kiam-boh itupun akan dikangkangi pihak lain, maka setiap malam diwaktu tidur, Kiam-boh itu lantas kami kunci didalam sebuah peti besi, kunci daripada peti itu kami buang ketengah sungai dan peti besi itu kami simpan dilaci meja yang kami kunci pula. Malahan peti besi itu kami gandeng pula dengan tiga buah rantai besi yang kecil dan masing2 terikat dipergelangan tangan kami, jadi asal ada seorang yang bergerak sedikit, segera dua orang yang lain akan lantas terjaga bangun."
Penjagaan seperti itu sungguh sangat kuat," ujar Tik Hun.
"Benar," sahut Gian Tat-peng. "Tapi toh masih terjadi juga keonaran."
"Terjadi keonaran apa?" tanya Tik Hun.
"Malam itu kami tidur didalam suatu kamar, tapi esok paginya mendadak Ban-suheng ber-teriak2. "Dimana Kiam-boh itu? Dimana?" ~ Waktu aku terjaga bangun, kulihat laci meja yang tersimpan peti besi itu sudah terbuka, tutup peti besi juga melompong. Kiam-boh yang tersimpan didalam peti itu sudah terbang tanpa bekas. Keruan kami bertiga sangat kaget, cepat kami mencari kesana kemari dan sudah tentu hasilnya nihil. Kejadian itu benar2 sangat aneh sebab pintu dan jendela kamar itu masih tetap tertutup rapat dan terkunci dengan baik, maka daapt diduga pencuri Kiam-boh itu pasti bukan dilakukan orang dari luar, sebaliknya adalah orang yang berada didalam kamar, jadi kalau bukan Ban-suko tentu adalah Jik-sute, satu diantara mereka berdua itu pasti adalah malingnya."
"Jika begitu, mengapa dia tidak membuka jendela atau pintu agar disangka dicuri oleh orang luar?" tanya Tik Hun.
"Tangan kami tergandeng oleh rantai besi, kalau diam2 bangun untuk membuka laci dan peti besi itu masih mungkin, tapi kalau berjalan agak jauh untuk membuka pintu atau jendela, maka rantai besi yang menggandengkan kami itu akan kurang panjang," kata Tat-peng.
"O, kiranya begitu, lalu apa yang kalian lakukan lagi?" tanya Tik Hun pula.
"Sudah tentu kami tidak tinggal diam mengingat Kiam-boh itu tidak mudah kami peroleh tapi direbut dengan mengadu jiwa," sahut Tat-peng. "Maka diantara kami bertiga telah saling menyalahkan dan terjadilah pertengkaran, bahkan saling tuduh menuduh pula, namun tiada seorangpun yang dapat membuktikan tuduhan masing2, akhirnya terpaksa masing2 menuju kearahnya sendiri-sendiri ……"
"Ada sesuatu yang aku merasa tidak paham, harap suka memberi penjelasan," kata Tik Hun. "Bahwasanya kalian bertiga adalah saudara perguruan, jikalau gurumu memiliki sejilid Kiam-boh pusaka, lambat atau cepat toh pasti akan diwariskan kepada kalian, apakah mungkin Kiam-boh ini akan dibawanya serta kedalam liang kubur? Dari itu, mengapa kalian turun tangan sekeji itu dan mengapa mesti membunuh guru kalian untuk mendapatkan Kiam-boh itu?"
"Ai, dasar guruku itu memang sudah pikun barangkali," sahut Tat-peng. "Coba, masakah kami bertiga dituduh berhati tidak jujur dan berjiwa jahat, maka beliau bertekad akan mengajarkan ilmu silatnya kepada orang luar. Oleh karena kami sudah tak tahan lagi, sudah terpaksa, maka berbuat seperti apa yang terjadi itu."
"O, kiranya begitu. Habis, darimana kemudian kau yakin bahwa Kiam-boh itu berada dalam tangan Jik-sutemu?" tanya Tik Hun.
"Semula yang kucurigai adalah Ban Cin-san, sebab dia yang menggembor lebih dulu tentang kemalingan itu. Dan biasanya itu maling suka teriak maling, itulah siasat yang paling sering digunakan. Tapi sesudah diam2 aku menguntit dia, tidak lama kemudian aku lantas tahu dia bukan malingnya. Sebab dia sendiri juga sedang membayangi Samsute. Jikalau Kiam-boh itu berada ditangan Ban Cin-san, tidak mungkin dengan susah-payah ia malah menyelidiki orang lain, tapi ia tentu akan menghilang sejauh mungkin untuk meyakinkan ilmu pedang itu. Namun setiap kali aku melihat dia, selalu kulihat dia sedang mengertak gigi dengan gemas, sikapnya tidak sabar lagi dan dendamnya tidak kepalang. Karena itulah aku lantas ganti sasaran, yang kuincar sekarang adalah Jik Tiang-hoat."
"Lalu adakah sesuatu yang kau ketemukan?" tanya Tik Hun.
"Tidak, Jik Tiang-hoat itu benar2 memang seorang yang licin, sedikitpun ia tidak menunjuk sesuatu tanda yang mencurigakan," sahut Tat-peng dengan menggeleng kepala. "Pernah aku mengintai waktu dia mengajar ilmu pedang kepada putri dan muridnya, tapi dia sengaja berlagak bodoh, ia sengaja mengubah nama2 jurusnya dengan istilah2 yang aneh dan menggelikan. Tapi semakin dia berlaga pilon, semakin menimbulkan curigaku. Selama tiga tahun aku terus mengintai gerak-geriknya, tapi tetap tiada sesuatu lubang kelemahan yang kudapatkan. Diwaktu dia tiada dirumah, pernah beberapa kali aku menggerayangi rumahnya, tapi hasilnya nihil, jangankan Soh-sim-kiam-boh apa segala, biarpun kitab belajar membaca juga tiada sedikitpun terdapat dirumahnya. Hehe, Suteku ini benar2 seorang maha licin, seorang cerdik, seorang pintar!"
"Kemudian bagaimana?" tanya Tik Hun lagi.
"Kemudian, kemudian pihak Ban Cin-san akan merayakan ulang tahunnya. Ia telah mengirim seorang muridnya untuk mengundang Jik Tiang-hoat ke Heng-ciu untuk ikut merayakan Shejit sang Suko," tutur Tat-peng pula. "Sudah tentu, merayakan Shejit hanya siasat saja, yang benar Ban Cin-san ingin mencari tahu bagaimana keadaan Jik-sutenya. Begitulah Jik Tiang-hoat lantas berangkat ke Heng ciu dengan membawa serta seorang muridnya yang ke-tolol2an, kalau tidak salah bernama Tik Hun dan puterinya, Jik Hong juga ikut. Ditengah perayaan ulang tahun itu, entah mengapa mendadak si tolol Tik Hun itu telah berkelahi dengan kedelapan anak-murid Ban Cin-san, dalam keadaan dikerubut itu mendadak Tik Hun melontarkan tiga tipu serangan yang hebat hingga menimbulkan curiga Ban Cin-san. Segera ia mengundang Jik-sute kedalam kamarnya untuk bicara, tapi bicara punya bicara, achirnya mereka sendiripun bertengkar, sekali tusuk Jik Tiang-hoat telah melukai Ban-suko, habis itu ia lantas kabur dan menghilang entah kemana lagi. Aneh, sungguh aneh, benar2 sangat aneh!"
"Aneh tentang apa?" tanya Tik Hun.
"Tentang Jik Tiang-hoat yang menghilang itu, sejak itu tidak pernah kelihatan lagi batang-hidungnya, entah dia telah sembunyi dimana, bahkan kabar sedikitpun tiada lagi," kata Tat-peng. "Diwaktu Jik Tiang-hoat berangkat ke Hengciu, dengan sendirinya tidak mungkin ia membawa serta Kiam-boh yang dia serobot dari kedua Suhengnya itu, tapi pasti dia simpan kitab pusaka itu disuatu tempat rahasia dirumahnya itu. Semula aku menaksir sesudah dia melukai Ban Cin-san, tentu malam itu juga ia akan pulang kerumah untuk mengambil Kiam-boh, lalu merat sejauh mungkin. Selama itulah, begitu terjadi peristiwa itu di Heng-ciu, segera aku menggunakan kuda pilihan mendahului datang ke Wan-leng sini, aku sembunyi disekitar rumahnya untuk mengintai dimanakah dia menyimpan Kiam-boh curian itu, dengan begitu aku akan segera menyergapnya. Akan tetapi tunggu punya tunggu, tetap dia tidak muncul. Akhirnya aku menjadi tidak sabar lagi, dengan tidak sungkan2 lagi aku lantas bongkar rumahnya hingga murat-marit, aku lalu menggali kitab pusaka yang dia pendam dirumahnya itu. Namun sampai sekarang rupanya usahaku ini sia2 belaka, jerih payahku itu terbuang percuma. Coba kalau tidak ditolong oleh Inkong, bukan mustahil sekarang jiwaku sudah melayang disitu."
"Dan kalau menurut pendapatmu, kira2 saja Jik-sutemu itu sekarang berada dimana?" tanya Tik Hun.
"Inilah aku benar2 tidak dapat menerkanya," sahut Tat-peng dengan menggeleng. "Besar kemungkinan dia sudah ketulah dan sudah mati menggeletak dimana atau jatuh sakit untuk tidak pernah sembuh lagi atau boleh jadi mengalami kecelakaan apa2 serta sudah menjadi mangsa harimau atau serigala."
Melihat cara Gian Tat-peng omong itu penuh mengunjuk rasa senang pabila sang Sute itu benar2 sudah mati, diam2 Tik Hun menjadi muak terhadap manusia rendah itu. Tapi lantas terpikir olehnya bahwa selama ini memang tiada kabar berita tentang gurunya itu, besar kemungkinan memang sudah mengalami sesuatu halangan apa2.
Maka ia lantas berbangkit dan berkata. "Terima kasih atas keteranganmu yang sebenarnya ini, sekarang Cayhe mohon diri lebih dulu."
Dengan penuh hormat kembali Gian Tat-peng menjura tiga kali lagi, katanya. "Budi kebaikan Inkong yang tiada terhingga ini selama hidup Gian Tat-peng takkan melupakan."
"Hanya soal kecil ini mengapa mesti dipikirkan," sahut Tik Hun. "Kau boleh merawat lukamu disini, Ban Cin-san itu takkan dapat menemukan kau, maka tidak perlu kau kuatir."
"Saat ini besar kemungkinan dia lagi kelabakan seperti semut di minyak wajan panas, mana dia sempat untuk memikirkan mencari aku?" sahut Tat-peng dengan tersenyum.
"Sebab apa?" tanya Tik Hun dengan heran.
"Sebab saat ini dia tentu lagi kelabakan memikirkan keselamatan puteranya," tutur Tat-peng. "Tangan puteranya itu telah kena disengat oleh ketungging yang berbisa jahat itu, untuk bisa sembuh harus ber-turut2 dibubuhi obat sebanyak sepuluh kali, kalau cuma sekali dibubuhi obat, memang sakitnya akan hilang untuk sebentar, lalu tidak lama kemudian akan kambuh lagi lebih jahat."
"Wah jika begitu, apakah jiwa Ban Ka itu akan melayang?" kata Tik Hun agak kaget.
Racun ketunggingku itu memang benar2 lain daripada yang lain," tutur Tat-peng dengan ber-seri2. "Yang hebat adalah Ban Ka itu takkan mati seketika, tapi dia akan merintih dan menderita selama sebulan suntuk, habis itu barulah jiwanya melayang. Hahaha, sungguh hebat, sungguh bagus!"
"Kalau sebulan kemudian baru dia akan mati, jika begitu tentu dia akan dapat menemukan tabib pandai untuk mengobati lukanya yang disengat ketungging itu," ujar Tik Hun.
"Agaknya Inkong tidak tahu bahwa ketungging berbisa itu bukanlah sembarangan serangga yang dibesarkan oleh alam, tapi adalah piaraanku sendiri, sejak kecil aku telah melolohi dia dengan macam2 obat penawar agar mereka sudah biasa atau kebal oleh obat penawar itu, maka kalau tabib umumnya membubuhkan obat penawar ditempat yang disengat itu, sudah tentu takkan berguna sama sekali. Hahaha!"
Dengan melirik hina Tik Hun mengikuti cerita manusia keji itu, diam2 ia membatin: "Hati orang ini benar2 terlalu kejam dan menakutkan. Bukan mustahil lain kali akupun akan kena disengat oleh ketungging yang ia piara itu. Menurut pesan Ting-toako, katanya kalau berkelana di Kangouw hendaklah jangan timbul maksud untuk membikin celaka orang, tapi juga jangan lengah untuk menjaga kemungkinan dicelakai orang. Maka lebih baik aku minta sedikit obat penawar dari dia sekedar untuk persediaan siapa tahu bila kelak ada gunanya."
Maka ia lalu berkata: "Gian-cianpwee, obat penawar untuk racun ketunggingmu itu bolehlah serahkan padaku saja."
"Baik, baik," sahut Gian Tat-peng tanpa pikir. Tapi ia tidak lantas menyerahkan obat yang diminta, sebaliknya tanya dulu. "Inkong minta obat penawar itu, entah akan digunakan untuk apa?"
"Ketunggingmu itu sangat lihai, bisa jadi pada suatu saat aku kurang hati2 hingga tersengat, tapi kalau aku sudah punya obat penawarnya tentu takkan kuatir lagi," sahut Tik Hun.
Wajah Gian Tat-peng mengunjuk rasa risi, sahutnya dengan tertawa: "Ah Inkong suka bergurau saja. Sedangkan buat pertolongan jiwa Inkong padaku belum kubalas, masakah aku mempunyai maksud untuk mencelakai Inkong."
"Ya, tapi ada baiknya juga aku menjaga segala kemungkinannya, sedia payung sebelum hujan, kan tiada jeleknya," kata Tik Hun sambil mengulurkan tangannya.
"Ya, ya!" sahut Gian Tat-peng dan terpaksa ia mengeluarkan botol obat penawar itu dan diserahkan kepada tuan penolong jiwanya itu.

Sesudah meninggalkan Gian Tat-peng dipuncak gunung itu, Tik Hun kembali pula kegedung itu untuk menyelidiki keadaannya. Tapi dilihatnya gedung itu sudah sepi senyap tiada seorangpun, para kuli kampung sudah bubar, simandor dan si Koankeh juga entah menghilang kemana lagi.
"Suhu mungkin sudah meninggal, Sumoay kini sudah menjadi isteri orang, maka tempat ini untuk selanjutnya terang takkan kudatang lagi," demikian pikir Tik Hun. Segera ia tinggalkan gedung itu dan berangkat menuju kebarat-daya dengan menyusur tepi sungai.
Sementara itu fajar sudah menyingsing, sang surya mulai mengintip diufuk timur, beberapa puluh meter jauhnya, waktu Tik Hun menoleh, ia melihat sinar fajar cemerlang dipucuk pohon2. Yang didepan gedung itu, air sungai juga ber-kelip2 memancarkan cahaya ke-emas2sannya, pemandangan demikian ini sudah sejak kecil kenyang dilihat oleh Tik Hun, tanpa merasa ia menggumam lagi: "Untuk selanjutnya aku takkan kembali lagi ketempat ini."
Setelah membetulkan rangselnya, ia pikir tugas yang masih harus dilaksanakannya hanya tinggal satu saja yaitu mengubur abu tulang Ting-toako bersama jenazah Leng-siocia. Maka tempat yang harus ditujunya sekarang adalah Heng-ciu.
Pikirnya pula: "Sikeparat Ban Ka itu telah mengakibatkan hidupku merana seperti sekarang ini, syukur orang jahat tentu mendapat ganjaran yang setimpal, maka rasanya akupun tidak perlu membalas dendam dengan tanganku sendiri, menurut kata Gian Tat-peng katanya dia akan me-rintih2 dan sesambatan selama sebulan, habis itu baru akan mati, entah apa yang dikatakan itu benar atau tidak. Jika ternyata jiwanya masih belum melayang umpamanya, maka aku baru menambahi dia dengan tusukan pedangku biar bagaimanapun jiwa anjingnya harus kucabut."
Begitulah ia lantas berangkat ke Heng-ciu yang tidak jauh dari barat Ouw-lam itu, maka tiada seberapa hari iapun sampailah disana.
Sesudah mencari kabar, diketahuilah bahwa Leng Dwe-su masih tetap menjadi Tihu disitu. Maka ia tetap menyaru seorang gelandangan yang dekil agar tidak dikenal orang.
Begitu masuk kota, pikiran pertama yang timbul padanya adalah: "Aku ingin menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri cara bagaimana Ban Ka tersiksa oleh racun ketungging itu. Entah apakah dia dapat disembuhkan dan entah apakah dia sudah pulang kesini atau belum, boleh jadi dia masih tinggal di Ouwlam untuk berobat."
Maka pelahan2 ia menuju kerumah keluarga Ban itu, dari jauh lantas dilihatnya Sim Sia sedang keluar dari gedung megah itu secara ter-gesa2, agaknya sedang sibuk mengalami sesuatu masalah gawat.
Pikir Tik Hun: "Jika Sim Sia berada disini, tentu Ban Ka juga sudah pulang. Maka malam nanti biarlah aku menyelidikinya kesitu."
Segera ia kembali ketaman bobrok dahulu, taman itu tidak jauh dari rumah keluarga Ban itu. Ditaman itulah dahulu Ting Tian meninggal sesudah lebih dulu membunuh Ciu Kin, Kheng Thian-pa dan Tay-beng. Kini berkunjung lagi ketempat lama ia melihat taman itu semakin rusak, keadaan semakin tak keruan. Di-mana2 runtuhan puing dan tumbuh2an liar.
Ia mendatangi pohon Bwe dahulu itu, ia me-raba2 lekak-lekuk pohon tua itu sambil memikir. "Waktu itu Ting-toako menghembuskan napasnya yang penghabisan dibawah pohon ini, tapi wujut pohon ini sampai sekarang masih tetap sama, sedikitpun tiada berubah, sebaliknya Ting-toako sekarang sudah menjadi abu."
Begitulah ia lantas duduk ter-menung2 dibawah pohon Bwe itu, achirnya ia terpulas juga.
Kira2 dekat tengah malam, ia mendusin dan mengeluarkan rangsum kering untuk tangsal perut lalu keluar dari taman bobrok itu dan menuju kerumah keluarga Ban.
Ia memutar kepintu belakang gedung besar itu, dari sini ia melompat pagar tembok dan masuk ketaman bunga. Menghadapi tempat bersejarah itu, tanpa merasa hati Tik Hun menjadi pedih, pikirnya: "Dahulu aku terluka parah dan sembunyi digudang kayu sana, tapi Sumoay tidak membantu dan menolong aku, ia benar2 tidak berbudi, bahkan ia malah memanggil suaminya untuk membunuh aku."
Begitulah sambil membayangkan kejadian dahulu dan selagi ia mulai melangkah kedepan, tiba2 dilihatnya ditepi empang sana ada tiga titik sinar api yang ber-kelip2.
Tik Hun menjadi curiga dan segera berhentikan langkahnya ia mengumpet dibelakang sebatang pohon, lalu mengintai ketempat sinar api itu. Sesudah diperhatikan, akhirnya dapat diketahuinya bahwa bintik2 sinar api itu tak-lain adalah tiga batang dupa yang tertancap disuatu Hiolo (tempat menancap dupa). Hiolo itu tertaruh diatas satu meja kecil dan didepan meja itu ada dua orang yang sedang berlutut dan menyembah kepada langit.
Tidak lama kemudian kedua orang itu tampak berbangkit, maka jelaslah Tik Hun melihat satu diantaranya adalah Jik Hong, seorang lagi adalah satu dara cilik, terang itulah puteri sang Sumoay yang dipanggil "Kong-sim-jay" itu.
Terdengar perlahan-lahan Jik Hong berdoa: "Dupa pertama ini memohon agar Tuhan Allah memberkahi keselamatan bagi suamiku, agar lukanya segera sembuh, abuhnya lekas kempis dan racunnya segera hilang, supaya tidak lama tersiksa oleh racun ketungging itu. Khong-sim-jay, hayolah berkata, bilang mohon Tuhan Allah memberkati penyakit ayah lekas sembuh".
"Ya, ibu, mohon Tuhan Allah memberkati penyakit ayah lekas sembuh, supaya ayah tidak berteriak2 kesakitan lagi" demikian dara cilik itu menirukan nada sang ibu.
Mendengar itu, diam-diam Tik Hun merasa senang dan syukur atas penderitaan Ban Ka. Tapi ia gemas pula atas perhatian Jik Hong terhadap suaminya itu.
Kemudian terdengar Jik Hong berdoa lagi: "Dan dupa kedua ini mohon Tuhan Allah memberkati ayahku dalam keadaan selamat dan sehat walafiat, semoga lekas2 pulang untuk berkumpul lagi. Khong-sim-jay, lekas bilang mohon Tuhan Allah memberkati Gwakong semoga berumur panyang".
"Ya, ibu, Gwakong, hendaklah engkau lekas pulang, mengapa engkau tidak lekas pulang", demikian sidara cilik menirukan pula.
"Katakan mohon Tuhan Allah memberkahi selamat", sang ibu mengayarkan.
"Ya, ibu, mohon Tuhan Allah memberkahi selamat pada Gwakong, kepada ayah dan kepada kakek", kata dara cilik itu. Selamanya ia belum pernah melihat Jik Tiang Hoat yaitu Gwakong atau kakek luarnya, maka yang dipikirkan adalah ayahnya dan kakeknya sendiri, yaitu Ban Cin-san.
Dan sesudah berhenti seyenak, kemudian Jik Hong berdoa lagi dengan suara agak lirih: Dan dupa yang ketiga ini memohon kepada Tuhan Allah agar memberkahi dia dalam keadaan sehat, semoga dia hidup senang dan mendapatkan isteri baik dan lekas mendapat anak……………………….". ~ berkata sampai disini, suaranya menyadi serak se-akan2 tersumbat tenggorokannya, lalu ia mengusap air matanya dengan lengan baju.
"Kembali ibu terkenang kepada Kuku, ya" tanya si dara cilik.
"Khong Sim-jay, bilang mohon kepada Tuhan Allah agar memberkahi keselamatan kepada Khong-sim-jay Kuku………….." kata Jik Hong pula.
Memang Tik Hun sudah heran ketika Jik Hong berdoa untuk dupa yang ketiga. Ia tidak tahu siapakah yang dimintakan berkah. Dan demi mendadak mendengar bekas kekasih itu menyebut "Khong-sim-jay Kuku", seketika telinganya seperti mendengung, hatinya serasa berkata: "Ha, dia maksudkan aku, dia maksudkan aku?".
Dalam pada itu si dara cilik telah menurut kata ibunya tadi dan sedang bersuyut:"Ya, Tuhan Allah, ibuku selalu terkenang kepada Khong-sim-jay Kuku, mohon diberkahi selamat dan rejeki besar agar kelak aku dibelikan sebuah boneka besar. Dia adalah Khong-sim-jay, akupun Khong-sim-jay, kami sama-sama Khong-sim-jay. Eh, ya, ibu kemanakah perginya Khong-sim-jay Kuku itu? Mengapa dia tidak pernah pulang?"
Maka Jik Hong telah menyawab: "Khong-sim-jay Kuku itu telah pergi ke tempat yang yauh, yauh sekali. Kuku itu telah meninggalkan ibumu, tetapi ibumu senantiasa memikirkan dia…………………". ~ berkata sampai disini tiba-tiba ia peluk anak perempuannya itu dan menyusupkan kepalanya di dada bocah itu, lalu masuk kerumah dengan langkah lebar.
Pelahan2 Tik Hun keluar dari tempat sembunyinya dan mendekati Hiolo yang ditinggalkan itu. Dengan ter-menung2 ia memandangi ketiga batang dupa itu semakin lama makin surut, sampai akhirnya menjadi abu semua, tapi ia masih ter-mangu2 di situ tanpa bergerak sedikitpun.
Ia baru tersadar ketika burung berkicau dengan ramai dan fayar sudah menyingsing, maka cepat ia tinggalkan taman keluarga Ban itu. Ia berkeliaran kian kemari di dalam kota Heng-ciu tanpa arah tuyuan.
Tiba-tiba didengarnya suara "creng-creng" yang berisik, itulah bunyi kecer seorang tabib kelilingan yang sedang menawarkan obatnya sepanjang yalan.
Mendadak hati Tik Hun tergerak. Bukankah ia ingin menyaksikan sendiri bagaimana keadaan Ban Ka yang sesambatan tersiksa oleh racun ketungging itu?
Terus saya ia mendekati tabib kelilingan itu, ia keluarkan sepuluh tahil perak untuk membeli pakaian tabib itu beserta peti obat dan peralatan lainnya. Sudah tentu tabib kelilingan itu sangat heran ada orang mau memborong barang2nya yang rombeng itu, padahal nilainya tidak lebih dari lima tahil perak. Sudah tentu ia kegirangan setengah mati, bagai orang putus lotre. Tanpa tahan harga lagi ia terus lepaskan kepada Tik Hun.
Sesudah memborong milik tabib kelilingan itu, lalu Tik Hun kembali ke taman bobrok itu, disitulah ia ganti pakaian, ia menyaru sebagai tabib. Lalu ia tumbuk sedikit rumput obat dan airnya ia gunakan untuk poles mukanya sendiri, malaha ia sengaya tambal sepotong koyok dimata kiri sendiri hingga muka aslinya susah dikenali lagi. Habis itu, segera ia menuju ke rumah keluarga Ban.
Didepan gedung keluarga Ban itu ia sengaya bunyikan kecernya sekeras mungkin, sesudah dekat pintu ia terus ber-teriak2 malah: "Tabib sakti, spesial mengobati segala macam penyakit aneh, segala yenis keracunan, baik disengat kelabang maupun dipagut ular, tanggung ces-pleng, sekali minum obatku, seketika sembuh!".
Begitulah sesudah ia ber-teriak2 beberapa kali, lantas tertampaklah dari dalam berlari keluar dengan buru2, setelah dekat orang itu lantas memanggilnya: "He, Sinshe, kemarilah sini".
Tik Hun kenal orang itu adalah muridnya Ban Cin San yang bernama Go Him, yaitu orang yang dahulu telah menabas putus jarinya itu.
Tapi kini Tik Hun dalam penyamaran, muka aslinya sudah berobah 180 derayat, dengan sendirinya Go Him tidak kenal dia lagi.
Pelahan-lahan Tik Hun mendekati Go Him, karena kuatir suaranya dikenal orang, ia sengaya menekuk suara dan berkata: "Ada apakah Tuan? Apakah engkau menderita penyakit aneh, misalnya bisul jahat atau abuh bengkak yang tak dikenal namanya?"
"Hus, apakah kau kira aku ini mirip seorang penderita sakit?" Semprot Go Him, "He, aku ingin tanya padamu, kalau disengat ketungging, apakah kau dapat menyembuhkan?"
"Ha-ha, mengapa tidak bisa?" sahut Tik Hun sengaya bergelak tawa. "Sedangkan ular-ular berbisa seperti Jik-lian-coa (ular gelang rantai), Kim-kah-tay (ular bergelang kaki), Bak-kia-coa (ular kaca-mata, kobra) dan lain-lain ular berbisa paling jahat yuga ces-pleng bila makan obatku, apalagi cuma penyakit sepele kena disengat ketungging, he-he, itulah penyakit tak berarti".
"Ah, jangan kau omong besar dahulu", uyar Go Him. "Hendaklah engkau ketahui bahwa ketungging itu bukan sembarangan ketungging, sedangkan tabib terkemuka di kota Heng-ciu juga tak berdaya menyembuhkannya, masakah kau sanggup mengobati?"
"Ha, masakah ada ketungging selihay itu?" demikian Tik Hun pura-pura mengkerut kening. "Padahal ketungging didunia ini paling lihay cuma sebangsa Hwe-kat (ketungging kelabu), Kim-ci-kat (ketungging mata uang emas), Moa-tahu-kat (ketungging kepala burik), Ang-bwe-kat (ketungging ekor merah), Pek-kah-kat (ketungging kaki putih) dan………………………." Begitulah ia sengaja mencerocos dengan aneka macam-macam nama-nama ketungging sampai berpuluh-puluh jenis banyaknya. Habis itu baru ia berkata pula: "Setiap yenis ketungging itu memang ber-beda2 racunnya, cara pengobatannya juga berlainan, maka biarpun namanya saja tabib pandai, jikalau cuma nama kosong saya sudah tentu takkan becus menyembuhkan luka disengat ketungging".
Mendengar sekaligus tabib kelilingan itu mencerocos berpuluh nama yenis ketungging, mau tak mau Go Him merasa kagum dan tertarik, segera katanya: "Jika begitu, silakan Sinshe masuk ke dalam untuk mengobati suhengku, Jikalau dapat menyembuhkan, tentu suhuku akan memberi hadiah besar".
Tik Hun mengangguk dan ikut masuk ke dalam gedung itu. Begitu melangkah masuk, seketika Tik Hun teringat kepada keyadian dulu, dimana ia dan sumoay mengikut sang suhu menghadiri perayaan ulang tahun sang Supek, tatkala itu ia masih seorang pemuda desa yang hijau, segala apa belum pernah dilihatnya dan semuanya serba baru baginya, maka sepanjang jalan ia asyik bicara dengan Sumoay tentang pemandangan yang mereka lihat itu. Kini berkunjung kembali kegedung yang sama, namun suasananya sudah berbeda.
Ia ikut Go Him masuk keruangan dalam, setelah menyusur dua tempat Cimche, akhirnya sampai dibawah sebuah loteng. Segera Go Him menengadah keatas dan berseru: "Samsuso, ini adalah seorang tabib kelilingan, katanya mampu mengobati segala penyakit kena disengat ketungging, apakah perlu aku mengundang tabib ini untuk periksa penyakit Suko?"
Lalu terdengar suara berkeriut, jendela loteng dibuka orang, tertampak Jik Hong melongok keluar dan berkata: "Baiklah, terima kasih Go-sute, malahan hari ini Suko-mu tambah kesakitan, lekas undang Sinshe naik ke sini".
"Baiklah Suso", sahut Go Him. Lalu ia berpaling kepada Tik Hun: "Silakan, Sinshe". ~ Ia menyilakan sang "Sinshe" naik ke loteng, tapi ia sendiri tidak ikut mengantar.
Maka Jik Hong berseru lagi: "Go-sute, silakan kaupun ikut kemari membantu".
Go Him mengiakan, maka iapun ikut naik keatas loteng.
Setiba diruangan loteng, Tik Hun melihat ditengah situ didekat yendela tertaruh sebuah meya tulis yang besar dengan penuh segala peralatannya dan banyak kitab-kitab pula, diatas meja terdapat pula sehelai baju anak kecil yang belum selesai diyahit.
Sementara itu tampak Jik Hong telah memapak keluar dari kamar sana, mukanya tidak berbedak dan bergincu, tapi tidak mengurangi cantiknya, hanya tampak agak kurus dan pucat sedikit, mungkin terlalu letih dan kurang tidur karena mesti merawat sang suami.
Tik Hun hanya memandang sekeyap saya kepada sang Sumoay itu lalu tidak berani memandang lagi sebab kuatir dikenali. Kemudian ia ikut masuk kedalam kamar, disitu kelihatan ada sebuah ranjang kayu yang besar, diatasnya merebah seseorang dengan menghadap kedalam sana sambil tiada hentinya me-rintih2. Itulah dia Ban Ka.
Dan ditepi ranjang itu seorang dara cilik berduduk diatas dingklik cilik kecil sedang memiyat pelahan-lahan kaki sang ayah. Tapi demi melihat wayah Tik Hun yang kotor dan aneh itu, ia menjerit takut dan mengumpet ke belakang sang ibu.
Kemudian Go Him berkata: "Suko-ku ini kena disengat ketungging berbisa, racunnya masih belum hilang, harap Sinshe suka memeriksa dan kasih obat bila perlu".
Tik Hun mengiakan. Kalau diluar tadi ia bisa mencerocos bagai air bah membanyir untuk bicara dengan Go Him, adalah sekarang sesudah melihat Jik Hong, seketika hatinya ber-debar2 dan mulut serasa terkancing, untuk bicarapun rasanya susah.
Tapi iapun mendekati ranyang dan tepuk pelahan dipundak Ban Ka. Pe-lahan2 Ban Ka membalik tubuh, ketika ia membuka mata dan melihat macam Tik Hun yang luar biasa itu, mau tak mau ia terkesiap juga.
Maka terdengar Jik Hong mendahului berkata: "Samko, ini adalah Sinshe yang diundang oleh Go Sute, katanya…………..katanya ia pandai mengobati segala macam racun serangga dan ular, boleh jadi dia ada obat mujarab yang dapat menyembuhkan lukamu". ~ Nyata nadanya juga tidak menaruh kepercayaan bahwa tabib gelandangan seperti itu mampu mengobati penyakit sang suami.
Tapi Tik Hun tidak bicara, ia periksa punggung tangan Ban Ka yang abuh itu. Ia melihat bagian tangan itu hitam hangus mengerikan.
"Ini adalah sengatan ketungging berbisa keluaran Wan-leng di barat Ouw-lam, di Ouw-pak tiada terdapat ketungging seyenis itu". kata Tik Hun kemudian.
"He, ia betul, memang betul disengat oleh ketungging di Wan-leng sana". seru Go Him dan Jik Hong berbareng.
"Sesudah Sinshe dapat mengetahui asal-usul ketungging yang menyengat itu, tentu Sinshe dapat mengobatinya?" tanya Jik Hong pula dengan penuh harapan.
Tik Hun sengaya menghitung dengan jari, lalu katanya pula: "Ehm, ketungging itu menyengatnya diwaktu malam, kalau tidak salah, ehm, sampai sekarang sudah lewat tuyuh hari tujuh malam lamanya".
Keruan Go Him saling pandang dengan Jik Hong, habis itu mereka berseru berbareng lagi: "Betul, betul, sungguh dugaan Sinshe sangat tepat, memang pada malam hari kena disengat oleh ketungging dan sampai sekarang sudah tujuh hari tuyuh malam. Maka harap Sinshe lekas tolong memberi obat".
Sudah tentu Tik Hun bukan dewa yang bisa meramalkan kejadian yang sudah lalu dan dapat menduga apa yang belum datang. Soalnya ia sendiri yang menyaksikan Ban Ka disengat oleh ketunggingnya Gian Tat-peng, dengan sendirinya ia dapat mengatakan dengan jitu.
Begitulah maka ia menjadi senang dan kasihan pula melihat kelakuan Jik Hong dan Go Him yang keyut-keyut girang itu. Maka iapun sengaya jual mahal, segera katanya pula: "Apakah tuan ini telah menggecek mati ketungging itu dengan punggung tangannya? Kalau tidak berbuat demikian sebenarnya masih dapat tertolong, tapi kini ketungging itu dibunuh diatas punggung tangan, seketika racunnya lantas tersebar semua kedalam luka, untuk menolongnya sungguh maha sulit sekarang".
"Memang jelas sekali uraian Sinshe, tapi apapun juga mohon Sinshe sudilah menolong jiwanya", pinta Jik Hong dengan kuatir dan gopoh.
Kedatangan Tik Hun ke Heng-ciu ini sebenarnya ingin menyaksikan sendiri cara bagaimana Ban Ka menderita dan me-rintih2 mendekati ajalnya, yaitu untuk melampiaskan rasa dendamnya selama ini, maka sedikitpun tiada pikiran padanya untuk menolong jiwa musuh besarnya itu.
Namun seyak semalam didengarnya doa restu Jik Hong yang ternyata masih tidak melupakan dirinya, bahkan memohon kepada Tuhan Allah agar memberkati selamat bahagia bagi dirinya, semoga lekas beristri dan beranak, malahan mengatakan bahwa dirinya yang telah meninggalkan Sang Sumoay itu, dari ucapan terakhir ini agaknya Sumoay masih yakin bahwa dia benar2 pada malam itu hendak kabur bersama gundiknya Ban Cin-san, yaitu si Mirah, oleh sebab itulah maka Sumoay menyesal dan putus asa lalu menikah pada Ban Ka.
Diwaktu kecilnya Tik Hun sangat penurut kepada segala kehendak Jik Hong, tidak pernah ia membangkang atau membantah apa yang dikatakan sang Sumoay. Maka kini demi mendengar permohonan Jik Hong yang penuh kuatir itu, hati Tik Hun menyadi lemas, segera ia bermaksud mengeluarkan obat penawar yang diperolehnya dari Gian Tat-peng itu.
Tapi mendadak ia mendapat pikiran lain: "Si keparat Ban Ka ini telah membuat aku menderita dan merana selama ini, dia merebut pula Sumoayku, kalau aku tidak membunuhnya dengan tanganku sendiri sebenarnya sudah dapat dikatakan aku cukup murah hati, mana boleh sekarang aku menolong jiwanya pula?".
Karena pikiran itu ia segera menggeleng kepala dan menjawab: "Bukanlah aku tidak mau menolongnya, tapi sesungguhnya dia sudah terlalu mendalam keracunan, pula sudah tertunda sekian hari, racunnya sudah masuk otak, untuk menolongnya sudah sangat susah".

Tiba2 Jik Hong meneteskan air mata, ia tarik si dara cilik tadi dan berkata padanya: "Kong-sim-jay mestikaku, lekaslah kau menjura kepada paman Sinshe ini, mohon beliau sukalah menolong jiwa ayahmu".
"Jang………………jangan menjura apa segala……………….," cepat Tik Hun menggoyang-goyang tangannya.
Tapi anak itu memang sangat penurut, rupanya tahu juga ayahnya sakit sangat payah, maka terus saya ia berlutut dan menyembah beberapa kali.
Kelima yari kanan Tik Hun sudah terpapas kutung oleh Go Him dahulu dan seyak tadi ia masukkan saku, maka ia hanya gunakan tangan kiri untuk membangunkan anak dara itu. Waktu menarik bangun bocah itu, tiba-tiba dilihatnya dilehernya memakai sebuah kalung dengan mainan yang berukir empat huruf 'Tik-yong-siang-bo'.
Melihat itu, Tik Hun menyadi tertegun, teringat olehnya tempo dulu waktu dia pingsan di dalam gudang kayu rumah keluarga Ban ini, ketika ia sadar kembali, ia dapatkan dirinya berada di dalam suatu sampan dan terombang-ambing di tengah sungai Tiang-kang, disampingnya terdapat beberapa tahil perak dan sedikit perhiasan, diantaranya yuga terdapat sebuah mainan yang bertuliskan empat huruf seperti itu. Ia menjadi heran, jangan-jangan……. jangan-jangan………….
Maka ia tidak berani memandang lagi, pikiran kusut akhirnya jernih kembali, terbayang pula keadaan waktu dahulu itu. "Ya,….ketika aku jatuh pingsan digudang kayu itu, selain Jik-Sumoay yang menolong aku, terang tiada orang lain lagi. Dahulu aku mencurigai dia sengaya hendak membunuh aku, tapi semalam ia berdoa…….berdoa kepada Tuhan, ia telah mengutarakan isi hatinya terhadap diriku. Dan kalau dia begitu mencinta aku, tempo dulu itu sudah tentu tidak mungkin bermaksud membunuh aku. Masakah aku ditakdirkan bahwa sesudah mengalami derita sengsara selama ini, lalu aku akan dipersatukan lagi dengan Sumoay seperti sekarang ini".
Teringat kemungkinan akan ruyuk kembali dengan sang Sumoay tanpa merasa hati Tik Hun ber-debar2 pula, ketika ia melirik Jik Hong, dilihatnya wajahnya penuh merasa kuatir, dengan penuh perhatian Sumoay itu sedang memandangi Ban Ka yang menggeletak diranjang itu, sorot matanya mengunyuk rasa cinta kasih yang tak terhingga.
Melihat sinar mata sang Sumoay itu, seketika hati Tik Hun mencelus lagi. Kembali terbayang lagi keyadian dahulu yang masih diingatnya dengan yelas. Hari itu ia bertempur melawan Ban-bun-pat-tecu, ia dikeroyok dan dihajar mereka hingga matang biru dan hidung bocor. Kemudian Sumoay telah menjahitkan bajunya yang terobek dalam perkelahian itu, sorot mata sang Sumoay pada saat mendampinginya itulah juga penuh rasa kasih sayang seperti sekarang sang Sumoay itu memandangi Ban Ka. Maka kini, teranglah sorot mata yang membahagiakan setiap lelaki itu oleh sang Sumoay telah diberikan kepada suaminya dan tiada mungkin dituyukan kepadanya lagi.
"Pabila aku tidak memberi obat penawar padanya, siapakah yang dapat menyalahkan aku? Dan bila nanti Ban Ka sudah mampus, dimalam hari diam2 aku datang kesini untuk membawa kabur Sumoay, siapakah yang dapat merintangi aku? Dengan begitu aku dapat berkumpul pula dengan Sumoay sebagai suami isteri selama hidup. Tentang anak dara ini, ehm, biarlah akan kubawa serta dia………………Tetapi, ai, tak bisa, tak bisa! Sumoay sudah biasa menyadi nyonya muda dirumah keluarga Ban yang kaya ini, hidupnya senang serba cukup, masakah dia mau ikut pergi bersama aku untuk meluku sawah dan mengangon kerbau lagi? Apalagi wayahku yelek begini, tidak banyak 'makan' sekolah, lagi tanganku yuga cacat, masakah aku sesuai menyadi jodohnya? Dan apakah dia sudi ikut kabur bersama aku?"
Begitulah demi teringat dirinya sendiri yang serba kurang dan serba rendah itu, Tik Hun menyadi malu diri dan kecil hati, ia menunduk termangu-mangu.
Sudah tentu Jik Hong tidak tahu bahwa pada saat sesingkat itu pikiran sang 'Sinshe' sedang melayang-layang sejauh itu. Maka dengan terkesima iapun memandangi Sinshe itu dengan harapan akan terdengar ucapan menggirangkan dari mulutnya bahwa suaminya dapat tertolong.
Sementara itu Ban Ka masih terus me-rintih2 dan sesambatan, racun ketungging itu meresap sampai diruas tulang ketiaknya, keruan rasanya menjadi seperti lengannya itu terkutung sakitnya.
Dan sesudah menunggu agak lama, sang Sinshe masih diam saja, Jik Hong tambah kuatir, kembali ia memohon pula: "Sinshe, tolong………… tolonglah engkau mencoba saja, asal……. asal dapat mengurangi sedikit penderitaannya juga………….juga mendingan baginya, andaikan… andaikan…………, akhirnya dia…………. Ya, juga tak bisa menyalahkan pada Sinshe". ~ Maksudnya akan mengatakan bila jiwa Ban Ka itu toh tak bisa diselamatkan lagi, asal penderitaannya dapat dikurangi, biarpun akhirnya mati juga tidak terlalu tersiksa lagi.
Maka Tik Hun tersadar dari lamunannya tadi, seketika itu hatinya serasa hampa, segala harapannya musna sirna, ia benar-benar ingin mati pada saat itu juga. Dengan segenap hati ia mencintai sang Sumoay, tapi Sumoay itu telah dipersunting oleh musuhnya, bahkan kini orang yang dicintai itu memohon dengan sangat agar dia menolong musuh itu. Apa gunanya lagi menjadi manusia seperti itu? 'Aku lebih suka menjadi Ban Ka yang menderita dan tersiksa seperti sekarang ini, tapi didampingi Sumoay yang memandang padaku dengan penuh kasih sayang, biarpun akan mati dalam beberapa hari lagi juga tidak menyadi soal'. Demikian pikirnya.
Begitulah tanpa merasa ia menghela napas dan mengeluarkan obat penawar yang diperolehnya dari Gian Tat-peng itu, ia tuang sedikit obat bubuk warna hitam dan dibubuhkan dipunggung tangan Ban Ka.
"He, betul, memang betul itulah obat penawarnya, wah, ini……….. ini berarti akan tertolonglah!" Demikian mendadak Go Him berseru.
Tik Hun menjadi heran mendengar seruan yang bernada aneh itu. Bahwasanya sang Suheng 'berarti akan tertolong' seharusnya ia ikut bergirang, akan tetapi nadanya itu, justeru merasa sangat kecewa malah, bahkan merasa menyesal dan dongkol pula.
Tik Hun coba melirik ke arah Go Him, ia melihat sorot mata pemuda itu menyinarkan rasa benci dan keji. Keruan Tik Hun bertambah heran. Tapi demi teringat bahwa diantara kedelapan anak murid Ban Cin-san itu tiada seorangpun yang baik, sedangkan Ban Cin-san sendiri saling bunuh membunuh dengan guru dan saudara seperguruannya, maka tidaklah heran bila diantara anak2 muridnya itu juga saling cakar2an. Dan kalau begitu, tentunya hubungan antara Ban Ka dan Go Him tidak baik, tapi mengapa ia malah mengundang aku untuk mengobati Suhengnya itu?
Dalam pada itu tangan Ban Ka yang abuh itu, begitu dibubuhi obat hitam tadi, hanya sebentar saja dari luka itu lantas mengeluarkan air hitam. Lambat-laun sakit Ban Ka juga berkurang, dengan suara lemah ia dapat berkata: "Terima kasih Sinshe, obat penawar ini benar-benar sangat bagus".
Sungguh girang Jik Hong tidak kepalang, cepat ia membawakan tempolong untuk menadah darah hitam yang menetes terus dari luka sang suami itu sambil tiada henti-hentinya menyampaikan terima kasih kepada Sinshe sakti alias Tik Hun.
"Suso, sekali ini Sinshe telah berjasa besar, bukan?" tiba-tiba Go Him berkata.
"Benar, aku harus menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Go Sute", sahut Jik Hong.
"Hanya omong di mulut saja percuma, tapi harus dengan kenyataan", uyar Go Him dengan tersenyum.
Jik Hong tidak gubris padanya lagi, tapi berpaling dan berkata kepada Tik Hun: "Numpang tanya siapakah nama Sinshe yang mulia? Kami harus memberi penghargaan sepantasnya kepada Sinshe".
Tapi Tik Hun goyang-goyang kepala, sahutnya: "Tidaklah perlu penghargaan apa segala. Tapi racun ketungging ini harus berturut-turut dibubuhi obat ini sepuluh kali baru bisa sembuh sama sekali" ~ dan dengan perasaan hampa dan pilu tak terucapkan, akhirnya ia berkata pula sambil mengangsurkan botol obat yang diperolehnya dari Gian Tat-peng itu: "Ini, terimalah semua obat penawar ini".
Sebaliknya Jik Hong menyadi ragu2, sebab sama sekali tak tersangka olehnya bahwa urusan bisa terjadi sebegitu gampang, katanya kemudian: "Biarlah kami membeli saya kepada Sinshe, entah berapa harganya?"
"Tidak, tidak perlu beli, tapi kuberikan cuma-cuma padamu", kata Tik Hun.
Sungguh girang Jik Hong tak terhingga, cepat ia terima botol obat itu, sambil memberi hormat, katanya: "Sinshe begini berbudi dan murah hati pula, betapapun kami harus menyuguhi engkau barang secawan arak. Go-sute, silakan engkau menemani Sinshe keruangan tamu untuk berduduk sebentar."
"Sudahlah, tidak perlu duduk lagi, aku akan mohon diri saya", uyar Tik Hun.
"Tidak, jangan", seru Jik Hong, "Budi pertolongan Sinshe atas yiwa suamiku ini kami tidak dapat mendapat membalas apa-apa, maka hanya secawan arak saja harap engkau sudi menerima sekadar sebagai penghormatan kami. Sinshe, betapapun engkau janganlah pergi dahulu!."
"Betapapun, engkau jangan pergi dahulu!" kata-kata ini sekali menyusup kedalam telingan Tik Hun, betapapun keras hatinya juga lantas lemas seketika. Pikirnya: "Sakit hatiku ini sudah terang tak terbalas lagi, sesudah aku menguburkan Ting-toako, untuk seterusnya aku juga tidak mungkin kembali ke kota Heng-ciu lagi, selama hidup ini, aku takkan bertemu pula dengan Sumoay. Dan sekarang ia hendak menyuguhi aku secawan arak, ya, dengan demikian boleh yuga aku akan dapat memandangnya lebih lama sedikit".
Oleh karena itu, iapun memanggut sebagai tanda menerima undangan Jik Hong.
Tidak lama kemudian, meya perjamuan sudah dipersiapkan, yaitu diruangan tamu di bawah loteng. Tik Hun diminta duduk ditempat yang paling terhormat, Go Him mengiringi disebelahnya. Karena merasa sangat berterima kasih kepada Sinshe yang berbudi itu, maka Jik Hong sendiri telah melayaninya minum arak dan menyuguhkan daharan.
Agaknya Ban Cin-san dan anak muridnya yang lain waktu itu tiada dirumah, maka tiada orang lain lagi yang ikut hadir dalam peryamuan itu.
Dengan penuh hormat Jik Hong menyuguhkan tiga cawan arak kepada Tik Hun dan diminum habis oleh 'Sinshe' itu. Tiba-tiba perasaannya pilu hingga matanya memberambang, ia tahu bila tinggal lebih lama disitu mungkin air matanya bisa lantas menetes, hal mana tentu akan mengakibatkan rahasianya terbongkar.
Maka cepat ia berbangkit dan berkata: "Sudahlah cukup, terima kasih atas suguhanmu, sekarang aku permisi untuk pergi dan selanjutnya takkan datang lagi."
Jik Hong agak heran oleh ucapan tabib kelilingan yang tidak genah itu. Tapi karena potongan sang tabib memang agak lucu, maka iapun tidak ambil perhatian, segera dijawabnya: "Ai, mengapa Sinshe ter-buru2 saja? Atas budi pertolonganmu itu, kami tidak dapat membalas apa-apa, di sini ada seratus tahil perak, harap Sinshe suka terima sekedar sangu dalam perjalanan. " ~ sembari berkata iapun mengangsurkan sebungkus uang perak dengan penuh hormat.
Mendadak Tik Hun menengadah dan ter-bahak2 tawa, katanya: "Akulah yang telah menolong dia, akulah yang telah menghidupkan dia! Sungguh lucu, akulah yang telah menghidupkan dia! Apakah didunia ini ada orang yang lebih goblok dari diriku?"
Dan meski dia bergelak tertawa dengan menengadah, tapi tanpa merasa air matanya juga berlinang-linang.
Keruan Jik Hong dan Go Him saling pandang dengan bingung melihat kelakuan 'Sinshe' yang setengah sinting itu.
Sebaliknya si dara cilik Khong-sim-jay lantas berteriak-teriak: "Heee, Sinshe menangis, Sinshe menangis!".
Tik Hun menyadi terkejut, ia tahu telah dicurigai orang, ia kuatir rahasianya akan ketahuan, maka ia tidak berani bicara lagi dengan Jik Hong, hanya dalam hati ia berkata: "Seyak ini aku takkan bertemu lagi dengan kau".
Diam-diam ia mengeluarkan kitab kuna yang didalamnya terselip pola sulaman sepatu yang diketemukan di dalam gua dengan Wan-leng tempo hari, ketika orang tidak memperhatikan, pelahan2 ia taruh kitab itu diatas kursi, lalu tanpa memandang lagi kepada Jik Hong ia lantas mohon diri dan tinggal pergi.
"Go-sute, harap engkau hantarkan Sinshe." Kata Jik Hong.
Go Him mengiakan, lalu mengikut dibelakang Tik Hun.
Sambil masih memegangi bungkusan uang perak tadi, hati Jik Hong ber-debar2 tak keruan. Pikirnya: "Siapakah sebenarnya Sinshe itu tadi? Mengapa suara tertawanya mirip benar dengan orang itu? Ai, entah mengapa, meski jiwa Ban-long dalam keadaan bahaya, tapi pikiranku selalu menyeleweng dan memikirkan dia saja, ai, dia……dia entah……"
Begitulah ia menyadi ter-menung2 sendiri, ia taruh bungkusan uang perak itu di atas meja, dengan tumpang dagu ia berduduk pula di atas kursi.
Kebetulan kursi yang didudukinya sekarang adalah kursi yang bekas diduduki Tik Hun tadi. Ketika mendadak merasa menduduki sesuatu benda, Jik Hong berbangkit lagi dan memeriksanya, maka lantas tertampaklah sejilid kitab kuna yang sudah ke-kuning2an.
Se-konyong2 Jik Hong berseru tertahan sekali, cepat ia jemput kitab itu dan mem-balik2 halamannya, segera terjatuh keluar dari kitab itu sehelai pola sepatu, ia kenal itu adalah buah tangannya waktu masih tinggal dirumah dibarat Ouw-lam sana.
Ia ternganga sambil memegang kitab dan pola itu, kedua tangannya gemetar. Ketika ia mem-balik2 lagi kitab itu, kembali diketemukannya sepasang kupu2 guntingan dari kertas, seketika terbayanglah waktu berduaan dengan Tik Hun duduk berjajar di dalam gua, dimana ia telah menggunting kupu2 kertas itu.
Tanpa terasa ia berseru tertahan pula, katanya didalam hati: "He, dari……… dari manakah kitab ini? Sia…..siapakah yang membawanya kesini? Jangan2 Sinshe itu tadi?".
Melihat sikap ibunya agak aneh, si dara cilik Khong-sim-yay menyadi takut, ber-ulang2 ia memanggil: "Mak, mak, ken…kenapakah kau?"
Jik Hong terkeyut oleh seruan anaknya ini, tapi cepat ia masukkan kitab itu kedalam bajunya sambil berlari keluar rumah secepat terbang.
Sejak ia menjadi anak menantu keluarga Ban, hidupnya selalu lemah-lembut halus sopan, tidak pernah ia berlari kesetanan seperti itu. Keruan kaum hamba dan dayang keluarga Ban menyadi ter-heran2 melihat nyonya muda mereka berlari cepat dengan Ginkang sekaligus dari ruangan dalam terus menyusur Cimche terus keluar rumah.
Waktu sampai dipelataran depan, kebetulan Jik Hong melihat Go Him telah masuk kembali, maka cepat ia tanya: "Dimanakah Sinshe itu?"
"Orang itu sangat aneh, tanpa bicara apa-apa ia sudah pergi", sahut Go Him, "Suso, ada urusan apakah kau mencarinya lagi? Apakah keadaan Suko berubah buruk?"
"Tidak, tidak", sahut Jik Hong sambil memburu keluar pintu, ia menengok kesana dan mengintai kesitu, tapi bayangan tabib kelilingan itu sudah tak tertampak lagi.
Jik Hong ter-longong2 sejenak diluar pintu, kembali ia mengeluarkan kitab kuna tadi, dan setiap kali melihat pola sepatu dan kupu2 kertas itu, seketika timbul pula pemandangan2 gembira ria dimasa mudanya. Bayangan2 itu bagaikan air bah membanjir kedalam benaknya hingga tanpa merasa air matanya bercucuran.
Mendadak ia berubah pikiran: "Mengapa aku begitu bodoh? Bukankah barusan Ban-long ikut kong-kong dan lain2 pergi ke Wan-leng untuk mencari Gian-susiok, boleh yadi tanpa sengaja mereka telah masuk kedalam gua dan disanalah kita ini telah diketemukan, lalu sekalian ada yang membawa pulang kitab ini. Memangnya Sinshe yang tidak terkenal itu ada hubungan apa dengan kitab ini?".
Tapi lantas datang pikiran lain pula: "Ah, tidak, tidak, tidak! Masakah mungkin teryadi secara begitu kebetulan? Gua itu letaknya sangat rahasia, sekalipun ayahku yuga tidak tahu, masakah Ban-long dan rombongannya dapat menemukannya? Tuyuan mereka adalah mencari Gian-supek, manabisa mereka kesasar kedalam gua rahasia itu? Tadi waktu aku membersihkan meja kursi peryamuan, sudah terang keempat kursi itu aku melapnya hingga bersih, tidak mungkin ada sejilid kitab seperti ini. Dan kitab ini kalau bukan tabib itu yang membawanya, habis darimanakah datangnya?"
Begitulah dengan penuh curiga dan sangsi pelahan2 ia kembali ke kamarnya. Dilihatnya sehabis dibubuhi obat tadi, semangat Ban Ka sudah banyak lebih baik, sakitnya juga mulai hilang.
Sambil memegangi kitab itu, sebenarnya Jik Hong bermaksud menanya sang suami, tapi lantas terpikir olehnya: "Lebih baik aku jangan ter-buru2 cari keterangan dulu, jangan2 tabib itu……tabib itu adalah…………….."
Dalam pada itu terdengar Ban Ka sedang bicara padanya: "Hong-moay, Sinshe itu benar2 adalah tuan penolong jiwaku, kita harus memberi penghargaan se-tinggi2nya kepadanya"
"Ya, aku tadi telah menghadiahkan dia seratus tahil perak, tapi dia justru tidak mau terima meski kupaksa", tutur Jik Hong, "Ai, benar2 seorang kangouw yang aneh, seorang yang berbudi. Obat penawar itu…………………… he, dimanakah botol obat itu tadi? Apakah kau simpan di dalam laci meja?"
Tadi waktu Jik Hong mau keluar untuk melayani "Shinshe" yang akan dijamunya itu, ia ingat betul botol obat itu ditaruhnya di atas meja di depan ranjang Ban Ka, tapi kini sudah hilang.
Maka Ban Ka telah menjawab: "Tidak, aku tidak menyimpannya, bukankah tadi kau taruh diatas meja?"
Tapi meski Jik Hong sudah mencari kian kemari diseluruh kamar itu, tetap botol obat itu tidak kelihatan. Keruan ia sangat gelisah dan cemas, pikirnya: "Jangan2 karena pikiranku tadi lagi bingung, maka obat itu kubawa serta sambil lari keluar dan yatuh? Tapi, ah, tidak bisa, aku ingat betul2 botol obat itu kutaruh di atas meja, didekat mangkok obat itu".
Ban Ka yuga sangat gugup, katanya: "Le……lekas kau mencari lagi, masakah bisa hilang? Sungguh aneh. Tadi aku hanya terpulas sebentar dan masih ingat benar2 botol obat itu tertaruh di atas meya."
Mendengar itu Jik Hong bertambah kuatir, segera ia keluar kamar, ia coba tarik puterinya dan tanya padanya: "Khong-sim-jay, tadi waktu ibu keluar, adakah siapa2 yang masuk ke kamar?"
"Ada, Go-sioksiok tadi datang, ketika melihat ayah tidur, ia lantas keluar lagi", tutur si dara cilik.
Jik Hong menghela napas lega mendapat keterangan itu, lapat2 ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi Ban Ka sedang sakit, apapun yang teryadi tidak perlu dia ikut tahu hingga ikut menanggung kuatir. Maka katanya kepada Khong-sim-jay: "Anak baik, kau temani ayah di dalam kamar, ya, kalau ayah tanyakan ibu, bilanglah ibu lagi menyusul Sinshe untuk minta obat bagi ayah".
Sidara cilik memanggut dan menyahut: "Ya, mak, kau lekas pulang, ya!"
Dan sesudah tenangkan diri, pelahan-lahan Jik Hong membuka laci meja Ban Ka, ia ambil sebilah belati dan diselipkan dipinggang dalam baju, kemudian ia turun ke bawah loteng. Pikirnya: "Keparat Go Him itu, bila bertemu aku ditempat sepi, selalu ia cengar-cengir padaku dengan maksud tidak baik. Tabib tadi itu adalah dia yang mengundang, jangan2 dia bersekongkol dengan tabib itu dan telah mengatur tipu muslihat keji apa2".
Begitulah sambil memikir ia bertindak ketaman dibelakang rumah. Sampai diserambi samping, dilihatnya Go Him sedang ter-menung2 memandangi ikan mas di empang sambil bersandar lankan.
"Go-sute", segera Jik Hong menegur, "lagi berbuat apa engkau di sini seorang diri".
Ketika berpaling dan melihat penegur itu adalah Jik Hong, seketika muka Go Him berseri-seri, sahutnya: "Kukira siapa, tak tahunya adalah Suso. Engkau mengapa tidak menjaga Suko di atas loteng, tapi masih punya tempo luang untuk jalan2 kesini?"
"Ai, aku merasa sangat kesal," sahut Jik Hong sambil menghela napas, "Setiap hari selalu mendampingi orang sakit, dan semakin tangan Suko-mu kesakitan, perangainya juga bertambah kasar. Maka aku perlu keluar untuk jalan2 menghibur hati dan lara".
Mendengar yawaban itu, sungguh girang Go Him melebihi orang dapat 'buntut', dengan cengar-cengir segera ia membumbui: "Ya, memang, engkau memang perlu istirahat dan menghibur diri. Sebenarnya Suko juga keterlaluan, punya isteri cantik sebagai engkau masih kurang terima, tapi malah suka mengamuk saja, sungguh keterlaluan".
Jik Hong mendekati orang dan bersandar yuga di atas lankan untuk memandangi ikan mas yang lagi berenang kian kemari dengan bebas ditengah empang itu, lalu sahutnya dengan tertawa: "Ah, Suso-mu ini sudah tua, masakah masih dikatakan cantik apa segala, bukankah akan dibuat tertawa orang?"
"He, mana bisa, mana bisa", cepat Go Him berkata, "Suso benar-benar sangat cantik. Diwaktu masih gadis engkau mempunyai kecantikan seorang gadis, sesudah menyadi Siaunaynay (nyonya muda) yuga tetap mempunyai kecantikan sebagai Siaunaynay. Tanyakan saya diseluruh kota Heng-ciu ini, siapa orangnya yang tidak mengatakan bahwa bunga tercantik adalah tertanam dikeluarga Ban".
Sampai disini mendadak Jik Hong memutar tubuh dan mengangsurkan tangannya sambil berkata: "Mana, serahkan sini".
"Serahkan apa?", tanya Go Him dengan tertawa.
"Obat penawar itu", kata Jik Hong dengan muka membesi.
"Obat penawar apa? Entah, aku tidak tahu, apakah kau maksudkan obat penawar untuk luka Ban-suko itu?," demikian Go Him berlaga pilon.
"Benar!", sahut Jik Hong tegas. "Sudah terang kau yang mengambilnya".
Go Him tertawa licik, sahutnya: "Tabib itu adalah aku yang mengundangkan, obat penawar adalah aku yang mengusahakan. Kini Ban-suko dibubuhi satu kali, paling tidak ia akan terhindar dari penderitaan untuk beberapa hari".
"Tapi Sinshe itu bilang obat itu harus dibubuhkan ber-turut2 sepuluh kali", kata Jik Hong.
"Ya, aku sungguh menyesal, sungguh aku menyesal", tiba-tiba Go Him goyang2 kepala.
"Menyesal tentang apa?", tanya Jik Hong
"Semula aku menyangka tabib kelilingan yang dekil seperti itu masakah mempunyai kepandaian apa2, maka aku mau mengundang dia ke atas loteng, tujuanku sebenarnya adalah ingin mencari kesempatan untuk melihat Suso, siapa duga, eh, keparat itu benar2 mempunyai obat mujarab untuk menyembuhkan racun disengat ketungging. Sudah tentu, sudah tentu, hal itu sangat bertentangan dengan maksud tujuanku", demikian tutur Go Him.
Sungguh gusar Jik Hong tak terkatakan oleh cerita orang itu, tapi obat penawar yang dicarinya itu masih ditangan orang, ia harus bersabar untuk mendapatkan obatnya, habis itu baru akan membikin perhitungan dengan manusia rendah itu.
Maka dengan tertawa ia menjawab: "Habis kalau menurut kau, cara bagaimanakah kau mengharapkan balas jasa dari Sukomu agar engkau mau menyerahkan obat penawar itu?"
Tiba2 Go Him menghela napas, sahutnya: Sam-suko sendiri sudah menikmati kebahagiaan selama beberapa tahun ini, kalau sekarang dia harus mati yuga pantas rasanya".
Air muka Jik Hong berubah seketika, tapi sedapat mungkin ia menahan perasaannya, dengan menggigit bibir ia diam saya.
Maka Go Him berkata pula: "Waktu kau datang ke Heng-ciu untuk pertama kalinya, diantara kami berdelapan saudara seperguruan, siapakah orangnya yang tidak kesengsem padamu? Dan kami menjadi penasaran melihat sitolol Tik Hun itu siang malam senantiasa mendampingi engkau, maka kami be-ramai2 lantas berkomplot untuk menghajarnya hingga babak belur…………………."
"He, kiranya kalian menghajar Sukoku itu malahan adalah disebabkan diriku?" kata Jik Hong.
"Ya, memang", sahut Go Him, "Dan untuk menghajarnya sudah tentu harus dicari alasan. Maka kami sengaja menuduh dia suka menonjolkan diri buat bertempur dengan bandit Lu Thong hingga membikin malu kami yang menyadi anak murid keluarga Ban yang berkepentingan. Padahal tuyuan kami adalah demi dirimu. Suso! Habis, kau menambalkan bajunya, mengayak bicara padanya dengan mesra, tentu saja kami 'minum cuka'!".
Diam-diam Jik Hong terkesiap oleh cerita itu, pikirnya: "Apa benar peristiwa itu adalah gara2 diriku? Ai, Ban-long, mengapa selama ini kau tidak pernah mengatakan hal ini kepadaku?".
Tapi ia masih pura2 tidak paham dan berkata pula dengan tertawa: "Ai, Go-sute, engkau ini memang pintar berkelakar. Padahal waktu itu aku aku adalah seorang gadis desa, seorang nona yang ke-tolol2an, dandananku juga mentertawakan orang, apanya sih yang menarik?"
"Tidak, tidak", uyar Go Him. "Orang cantik tulen justeru tidak perlu berdandan atau bersolek segala. Suso, bila bukan karena kesemsem padamu, tentu tidak sampai …………" ~ berkata sampai di sini mendadak ia berhenti dan tidak meneruskan lagi.
"Apa lagi", tanya Jik Hong
"Setelah kami dapat menahan kau dirumah keluarga Ban ini, untuk mana aku orang she Go yuga tidak sedikit mengeluarkan tenaga," kata Go Him pula, "akan tetapi, Suso, setiap kali kau bertemu muka dengan aku selalu bersikap dingin2 saya, tersenyum sekali saja padaku yuga tidak pernah, coba, apakah hal itu tidak membikin hatiku menjadi panas".
"Cis", semprot Jik Hong dengan tertawa, "Aku tinggal dirumah keluarga Ban, lalu aku menikah pada Suko-mu, semuanya itu adalah aku sendiri yang sukarela, tenaga apa yang pernah kau korbankan dalam urusan itu? Toh waktu itu kau tidak ikut membujuk padaku apa segala, ai, kenapa kau sembarangan omong saja?"
"Meng…………….. mengapa aku tidak korbankan tenaga?" bantah Go Him, "Cuma saya engkau sendiri yang tidak tahu."
Jik Hong tambah curiga, segera katanya dengan membujuk: "Sute yang baik, coba katakanlah sebenarnya kau ikut mengorbankan tenaga apa, tentu Susomu ini takkan melupakan jasamu itu?"
Go Him meng-goyang2 kepala, katanya kemudian: "Urusan itu sudah lama lalu, buat apa di-ungkat2 lagi? Andaikan kau mengetahui juga tiada gunanya".
"Ya, sudahlah, jika kau tidak mau menerangkan, akupun tidak memaksa", kata Jik Hong. "Nah, Go-sute, lekaslah serahkan obat penawar itu padaku, kita berada berduaan disini jangan2 akan dipergoki orang dan akan menimbulkan sangkaan jelek".
"Kalau siang hari memang kuatir dipergoki orang, tapi kalau malam hari tentu tidak kuatir lagi", uyar Go Him sambil tertawa.
"Apa katamu", bentak Jik Hong tertahan dengan muka membeku sambil mundur setindak.
Tapi dengan menyengir Go Him berkata pula: "Jika kau ingin menyembuhkan penyakit Ban-suko, hal ini tidak sulit asalkan nanti tengah malam kau datang ke gudang kayu sana, aku akan menunggu engkau di sana, Jika kau mau menurut pada keinginanku itu, aku lantas memberikan kadar obat yang cukup untuk dibubuhkan satu kali diluka Ban-suko".
"Anjing keparat, kau berani omong begitu, apa kau tidak takut dicincang oleh Suhumu?" damperat Jik Hong dengan gemas.
"Memangnya aku sudah siap untuk korbankan jiwaku ini, tegasnya aku sudah nekat," sahut Go Him. "Padahal Ban Ka sibocah apek itu apanya sih yang dapat menangkan aku? Soalnya ia adalah putera Suhu sendiri, hanya itu saja. Padahal semua orang toh ikut keluarkan tenaga, mengapa mesti dia sendiri yang menikmati wanita cantik sebagai engkau ini?"
Jik Hong semakin curiga mendengar Go Him berulang-ulang mengatakan 'mengeluarkan tenaga'. Tapi karena Go Him lantas menghambur dengan kata2 makian kotor, ia benar2 tidak tahan lagi, maka katanya segera: "Kau mengaco-belo tak keruan, sebentar jika Kongkong pulang, biar akan kulaporkan padanya, lihat saja kalau dia tak membeset kulitmu".
"Ha-ha, aku justeru ingin coba," sahut Go Him dengan menjengek. "Aku akan tunggu disini, asal Suhu memanggil aku, segera aku menuang isi botol ini untuk umpan ikan di dalam empang. Tadi aku sudah tanya tabib itu tentang obat penawar ini, dia bilang, obat ini hanya tinggal sebotol, untuk membuatnya lagi sedikitnya akan makan tempo setahun atau dua tahun."

Sambil berkata ia terus mengeluarkan botol porselen itu, ia tarik sumbat botol dan dijulurkan keatas empang, asal tangannya sedikit miring, seketika obat penawar didalam botol itu akan tertuang kedalam empang, dan itu berarti jiwa Ban Ka takkan tertolong pula.
Keruan Jik Hong menjadi kuatir, cepat serunya: "He, he! Jangan, jangan! Lekas kau simpan kembali obat itu, kita masih dapat berunding lagi".
"Apa yang perlu dirundingkan lagi?", uyar Go Him dengan tersenyum iblis. "Jika kau ingin menolong jiwa suamimu, maka kau harus menurut apa yang kukatakan."
"Ya, pabila memang betul dahulu kau menaruh hati padaku dan pernah mengeluarkan tenaga demi diriku, maka……………. mungkin aku akan…………. Tapi, ah, tidak bisa jadi, aku tidak percaya", demikian Jik Hong sengaja berkata.
"He, hal itu sungguh2 seribu kali sungguh2, sedikitpun bukan omong kosong," cepat Go Him menegaskan. "Malahan itu adalah tipu-akalnya Samsute, dia suruh Ciu Kin dan Bok Heng menyamar sebagai Jay-hoa-cat untuk memancing sitolol Tik Hun kekamarnya si Mirah. Dan orang yang menaruhkan emas-intan dibawah ranjang Tik Hun itu tak lain tak bukan adalah aku Go Him sendiri. Coba, Suso, Jika kami tidak menggunakan akal itu, masakah kami dapat menahan engkau untuk tinggal dirumah keluarga Ban ini?"
Seketika Jik Hong merasa kepalanya pening dan pandangannya menyadi gelap. Ucapan Go Him itu mirip sebilah belati yang menikam ulu-hatinya. Tanpa merasa ia menyerit tertahan: "Oh, Allah! Jadi aku telah keliru mendakwa dia, aku salah menuduh dia yang sebenarnya tidak berdosa!".
Sesaat itu Jik Hong agak sempoyongan, untung ia masih sempat memegangi lankan.
Sebaliknya Go Him sangat senang, katanya pula dengan suara lirih: "Suso, apa yang kukatakan ini sungguh2, lho! Dan jangan kau katakan kepada orang lain. Kami berdelapan saudara sudah bersumpah bahwa siapapun tidak boleh membocorkan rahasia ini kepada orang lain".
Mendadak Jik Hong menyerit sekali, ia terus berlari pergi, ia mendorong pintu taman belakang terus berlari keluar dengan cepat.
Dan Go Him masih berseru padanya: "He, kemanakah kau, Suso? Tengah malam nanti jangan lupa, ya!".

Setelah keluar dari pintu belakang, Jik Hong terus menuyu ketempat yang sepi dari orang, sesudah menyusur beberapa kebun sayur, akhirnya dilihatnya di arah barat sana ada sebuah Su-theng (rumah berhala pemujaan leluhur) kecil yang tak terawat, pintu rumah berhala itu setengah tertutup, segera ia mendorong pintu itu dan masuk kesitu.
Maksud Jik Hong adalah ingin mencari suatu tempat yang sunyi agar dia dapat memikirkan secara tenang bahwasanya: "Tik Hun dipitenah orang atau bukan? Kitab kuna bekas miliknya itu darimanakah datangnya? Cara bagaimana menghadapi Go Him yang bermaksud jahat dengan memperalat obat penawar penyambung nyawa suaminya itu? Dan bagaimana sebenarnya dengan diri Ban-long sang suami?
Begitulah Jik Hong bersandar disebatang pohon waru yang besar, sampai lama dan lama sekali tetap ia tak dapat menarik kesimpulan dan mengambil keputusan.
Se-konyong2 terdengar suara kelotak-kelotek orang berjalan dari dalam Su-theng itu tahu2 muncul seseorang. Itulah seorang wanita setengah umur dengan rambutnya yang panjang kusut terurai tak keruan, bajunya rombeng dan dekil sekali.
Melihat Jik Hong, wanita dekil itu tampak agak takut2, dengan menyisir pelahan2 ia menyelinap masuk kedalam rumah berhala itu. Dan baru ia melangkah masuk keruangan dalam, kembali ia menoleh memandang sekejap lagi pada Jik Hong, rupanya sekali ini ia dapat mengenali siapa Jik Hong, tanpa terasa ia menjerit kaget.
Waktu Jik Hong memandangnya hingga sinar mata kedua orang kebentrok, tanpa kuasa lagi wanita itu mendadak berlutut serta memohon padanya: "Siau-naynay (nyonya muda), ha……..harap jangan kau ka……..katakan aku berada di……disini."
Keruan Jik Hong heran sebab ia merasa tidak kenal wanita dekil itu, ia tanya: "Siapakah kau? Untuk apa kau berada disini?"
"O, ti……tidak apa2, aku ……aku adalah seorang pengemis," sahut wanita itu dengan gelagapan, habis itu, ia lantas berbangkit dan masuk keruangan dalam dengan langkah cepat.
Pikiran Jik Hong tergerak oleh tingkah-laku wanita kotor yang tidak dikenal itu, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres atas wanita itu. Tapi lantas berpikir pula olehnya: "Ah, aku sendiri sudah cukup kesal menghadapi macam2 urusan, buat apa ikut campur urusan orang lain lagi?"
Lalu ia membatin. "Keparat Go Him itu mengatakan cara mereka mempitenah Tik-suko, hal itu pastilah betul dan bukan omong ksosong, lantas kitab itu ……kitab itu …….."
Berpikir sampai disini tanpa merasa ia pegang dahan pohon waru disampingnya dan digoyangkan pelahan hingga daun waru kering jatuh berserakan.
Pada saat itulah ia dengar suara orang berlari, kiranya siwanita dekil tadi telah merat melalui pintu belakang Su-theng itu.
Jik Hong semakin heran, pikirnya: "Entah mengapa wanita ini demikian takutnya padaku ………Ha, teringatlah aku, dia…….dia adalah Tho Ang, si Mirah …….."
Demi mengenali si Mirah itu, dengan cepat Jik Hong lantas memburu kepintu belakang sana, segera ia cabut belatinya sambil membentak: "Tho Ang, kau berbuat apa secara sembunyi2 disini?"
Memang wanita dekil itu betul adalah Tho Ang alias si Mirah, itu gundiknya Ban Cin-san dahulu yang katanya bergendakan dengan Tik Hun dan tertangkap basah itu.
Ketika namanya dipanggil Jik Hong, memangnya si Mirah sudah gugup, apalagi melihat nyonya muda itu menghunus belati lagi, keruan ia ketakutan setengah mati, dengan gemetar ia berlutut pula sambil memohon: "Siau…….Siau-naynay, am…….. ampunilah aku!"
Jik Hong sangat heran oleh kelakuan wanita itu. Sejak dia tinggal didalam keluarga Ban, ia hanya bertemu beberapa kali dengan Tho Ang, tidak lama kemudian lantas tidak pernah bertemu pula. Apalagi setiap kali bila teringat kejadian Tik Hun hendak kabur bersama si Mirah itu, rasa hatinya menjadi seperti di-sayat2, lantaran itulah maka menghilangnya Tho Ang itupun tidak pernah digubrisnya. Siapa duga wanita bejat itu ternyata sembunyi didalam Su-theng atau rumah berhala bobrok ini.
Su-theng ini jaraknya tidak jauh dari rumah keluarga Ban, tapi sejak Jik Hong menjadi nyonya mantu, penghidupan yang dia tuntut sudah berbeda daripada waktu perawan hidup dikampung halamannya sana, ia tidak pernah keluyuran diluaran lagi, walaupun sering juga keadaan Su-theng bobrok itu dilihat olehnya dari jauh, tapi belum pernah ia memasukinya.
Keadaan Tho Ang sekarang juga tak keruan, rambutnya kusut masai, mukanya kurus pucat, hanya beberapa tahun tidak berjumpa tampaknya malah sudah lebih tua beberapa puluh tahun, makanya Jik Hong pangling. Cuma Tho Ang sendiri yang ketakutan hingga menimbulkan curiga Jik Hong dan sesudah di-pikir2, achirnya teringat juga olehnya diri si Mirah itu. Coba kalau Tho Ang tinggal pergi pelahan2 seperti tidak terjadi apa2, sedang Jik Hong sendiri lagi kusut pikirannya tentu dia takkan diperhatikan.
Begitulah Jik Hong lantas geraki belatinya sambil mengancam: "Apa yang kau lakukan dengan sembunyi2 disini? Hayo lekas mengaku terus terang!"
"Aku ti……tidak berbuat apa2," sahut Thoa Ang dengan ketakutan. "Siaunaynay, aku ……aku telah diusir oleh Loya, beliau mengatakan bila kepergok aku masih berada di Hengciu sini, tentu aku …….aku akan dibunuh olehnya, akan tetapi……akan tetapi aku tiada mempunyai tempat lain lagi, terpaksa……terpaksa sembunyi disini untuk cari hidup dengan minta2 sesuap nasi. Siau……..Siaunaynay, selain Hengciu, aku tidak tahu kemana aku harus pergi? Maka sukalah……sukalah Siaunaynay berbuat bajik, jangan……janganlah katakan pada Loya tentang diriku."
Mendengar ratapan orang yang cukup kasihan itu, Jik Hong lantas simpan kembali belatinya. Katanya kemudian: "Sebab apa kau diusir Loya? Mengapa aku tidak tahu?"
"Akupun tidak……..tidak tahu sebab apa mendadak Loya tidak suka padaku lagi," tutur Tho Ang. "Padahal Tik…….urusan orang she Tik itu bukanlah salahku. Ai, tidak……..tidak seharusnya aku bercerita tentang ini."
"Kau tidak mau bercerita juga boleh, sekarang juga kuseret kau pergi menemui Loya," ancam Jik Hong sambil jambret lengan baju si Mirah.

Keruan si Mirah ketakutan, dengan gemetar ia berkata: "Aku …….aku akan bercerita! Siaunaynay, apa yang kau ingin tahu?"
"Ceritakan tentang orang…….orang she Tik itu, sebenarnya bagaimana duduknya perkara? Sebab apakah kau hendak kabur bersama dia?" demikian kata Jik Hong.
Saking takut dan gugupnya hingga Tho Ang ternganga dan terbelalak tanpa bisa bicara.
Dengan mata tak berkesip Jik Hong pandang lekat2 wanita itu, rasa takut dalam hatinya mungkin berpuluh kali lebih hebat daripada si Mirah. Yang ditakutkan adalah cerita si Mirah, jangan2 cerita itu akan menyatakan bahwa: Waktu itu memang benar Tik Hun telah memperkosanya.
Tapi karena sesaat itu Tho Ang tidak dapat bicara, maka wajah Jik Hong menjadi pucat lesi, jantungnya se-akan2 berhenti berdenyut, saking tegangnya.
Achirnya, mengakulah Tho Ang: "Kejadian itu bukan……..bukan salahku, Siauya (tuan muda) yang suruh aku berbuat begitu, suruh aku peluk orang she Tik itu se-kencang2nya serta menuduh dia hendak memperkosa diriku dan membujuk aku agar kabur bersama. Hal ini telah kututurkan kepada Loya, sebenarnya Loya toh percaya juga, tapi…….tapi achirnya tetap beliau mengusir aku."
Sungguh Jik Hong merasa sangat terima kasih dan berduka, merasa penasaran dan merasa kasihan. Dalam hati ia meratap: "O, Suko, jadi akulah yang telah salah sangka jelek padamu, seharusnya aku mengetahui hatimu yang suci murni, tapi toh aku telah menyangka jelek dan membikin susah padamu!"
Begitulah ia tidak dendam pada Tho Ang, sebaliknya ia malah agak berterima kasih, untunglah wanita itu yang telah membuka ikatan hatinya yang tertekan selama ini. Didalam rasa duka dan pedihnya itu tiba2 terasa pula semacam rasa manis diantara rasa pahit getir. Meski selama ini ia telah menjadi isterinya Ban Ka, tetapi orang yang benar2 dicintainya didalam lubuk hatinya selalu hanya seorang yaitu Tik Hun. Sekalipun sang Suko itu mendadak berubah pikiran, sekalipun jiwanya ternyata kotor dan rendah, biarpun seribu kali pemuda itu berbuat salah, seribu kali berhati palsu, tapi hanya dia, ya hanya dia, tetap dia seoranglah yang selalu dikenangkan dan dirindukan oleh Jik Hong.
Mendadak segala rasa benci dan dendam telah berubah menjadi sesal dan duka pada diri sendiri, pikirnya: "Pabila sejak dulu aku tahu duduknya perkara, sekalipun menghadapi bahaya apapun juga pasti akan kutolong dia keluar dari penjara. Tapi dia telah menderita sehebat itu, entah cara bagaimana dia akan pikir atas ………atas diriku?"
Melihat Jik Hong diam saja, Tho Ang coba melirik nyonya muda itu, lalu katanya dengan suara gemetar: "Siaunaynay, banyak terima kasih pabila sudi membiarkan aku pergi, aku akan ……….akan tinggalkan Hengciu ini dan takkan kembali kesini untuk selamanya."
Jik Hong menghela napas, katanya kemudian: "Ah, sebab apakah Loya mengusir kau? Apa kuatir aku mengetahui duduknya perkara itu? Tetapi, hai mungkin sudah takdir ilahi, secara kebetulan harini aku telah pergoki kau disini."
Habis berkata iapun lepaskan pegangannya pada lengan baju orang. Mestinya ia ingin memberikan persen sedikit uang perak, tapi ia keluar secara buru2 hingga pada sakunya tidak terdapat apa2.
Melihat Jik Hong sudah melepaskan dirinya, kuatir akan terjadi apa2 lagi, buru2 Tho Ang melangkah pergi, tapi mulutnya masih menggumam: "Habis, di waktu malam Loya tentu ketemu setan, tentu memasang tembok, mengapa aku yang disalahkan? Toh bukan aku yang sembarangan omong."
Mendengar itu, cepat Jik Hong memburu maju dan bertanya: "Kau omong apa? Melihat setan dan pasang tembok apa katamu?"
Tho Ang sadar telah kelepasan mulut lagi, cepat ia menyahut: "O tidak ada apa2, tidak ada apa2. Aku bilang Loya sering melihat setan diwaktu malam, ditengah malam selalu bangun untuk memasang tembok."
Melihat tingkah-laku orang yang angin2an itu, Jik Hong pikir mungkin sejak si Mirah itu diusir oleh Kongkong (bapak mertua) penghidupannya sangat susah, maka pikirannya menjadi kurang waras. Habis, masakah Kongkong dikatakan tengah malam bangun untuk pasang tembok? Padahal didalam rumah tidak pernah dilihatnya tembok yang dipasang Kongkong.
Rupanya Tho Ang kuatir nyonya muda itu tidak percaya, maka ia mengulang lagi: "Ya, dia pasang tembok, tapi tembok …….tembok palsu. Setiap tengah malam Loya suka…….suka menjadi tukang batu maka aku telah mengatai dia beberapa kata, dan dia lantas marah2, aku dihajar hingga babak-belur, kemudian aku diusirnya pula…….." ~ Begitulah sambil mengomel dan menggerundel tak habis2, ia terus mengeloyor pergi dengan beringsat-ingsut.
Jik Hong menjadi terharu memandangi bayangan wanita celaka itu, pikirnya: "Paling banyak ia cuma lebih tua 10 tahun daripadaku, tapi ia telah berubah sedemikian jeleknya. Entah mengapa Kongkong telah mengusirnya? Mengapa dia mengatakan Kongkong melihat setan dan pasang tembok ditengah malam buta? Ah, mungkin pikiran wanita ini memang tidak waras lagi. Ai, disebabkan seorang wanita goblok seperti ini. Suko telah merana selama hidup dan akupun menderita selama ini!" ~ Berpikir sampai disini, bercucuran air matanya.
Begitulah Jik Hong menangis hingga sekian lamanya sambil bersandar dibatang pohon waru itu, tapi sehabis menangis hatinya yang pepet tadi menjadi agak lega, perlahan2 barulah ia pulang kerumah. Ia tidak melalui taman belakang lagi, tapi masuk dari pintu samping terus kembali keatas loteng sendiri.
Begitu mendengar suara tangga loteng itu, segera Ban Ka bertanya dengan tak sabar: "Hong-moay, obat penawarnya didapatkan tidak?"
Jik Hong tidak menjawab, ia terus masuk kekamar, ia melihat Ban Ka duduk
diatas ranjang dengan sikap yang tidak sabar menunggu lagi, tangannya yang terluka itu terletak ditepi ranjang, darah hitam setetes demi setetes merembes keluar dari punggung tangannya dan jatuh kedalam baskom yang menadah dibawah ranjang itu. Dara cilik Khong-sim-jay sudah lama tidur disebelah kaki ayahandanya.
Tadi sesudah mendengar cerita Go Him hingga berlari keluar rumah, dalam hati Jik Hong sebenarnya penuh rasa murka terhadap Ban Ka. Ia benci kepada caranya yang keji dan kotor itu untuk mempitenah Tik Hun. Tapi kini demi melihat air muka sang suami yang tampan pucat itu, cinta kasih suami-isteri selama beberapa tahun ini kembali membuatnya lemah hati. Pikirnya: "Ya, betapapun adalah karena Ban-long cinta padaku, makanya dia berusaha menyingkirkan Tik-suko, caranya memang keji hingga membikin Suko kenyang menderita, tapi kesemuanya itu adalah demi diriku."
Dan karena tiada mendapat jawaban, maka Ban Ka telah bertanya pula: "Obat penawarnya sudah dibeli lagi belum?"
Karena bingung apakah mesti memberitahukan atau tidak kepada suami tentang kelakuan Go Him yang kurangajar itu, maka segera ia menjawab: "O, aku sudah ketemukan tabib itu, aku telah memberikan uang lagi dan minta dia segera meramukan obatnya."
Mendengar itu, barulah Ban Ka merasa lega hatinya, katanya. "Hong-moay, jiwaku ini akhirnya engkaulah yang menyelamatkan."
Jik Hong paksakan diri tertawa, ia merasa bau darah berbisa yang berada didalam baskom itu sangat menusuk hidung, segera ia membawakan sebuah tempolong ludah untuk menggantikan baskom itu, lalu baskom itu dibawanya keluar.
Tapi baru beberapa langkah, bau darah berbisa itu menerjang hidungnya hingga kepalanya terasa pening, diam2 ia mengakui betapa lihaynya racun ketungging itu. Cepat ia keluar kamar, ia taruh baskom itu dilantai ditepi meja, lalu ia hendak mengambil saputangan dari bajunya untuk menutupi hidung, kemudian darah berbisa itu akan dibuangnya.
Tapi begitu tangannya menjulur kedalam saku, segera ia memegang kitab kuno itu. Ia tertegun sejenak, kembali hatinya ber-debar2 lagi, ia mengeluarkan kitab itu, ia duduk ditepi meja, lalu satu halaman demi satu halaman dibaliknya. Ia masih ingat dengan jelas kitab itu diambilnya dari bawah sebuah kopor rusak milik sang ayah yang penuh tersimpan baju lama, waktu itu ia sedang mencari sesuatu baju lama dan tanpa sengaja telah diketemukan kitab itu. Padahal ia tahu ayahnya tidak banyak makan sekolah, biarpun huruf segede telur juga tiada dua keranjang yang dikenalnya, entah darimana sang ayah menemukan kitab seperti itu. Tatkala itu kebetulan ia baru selesai menggunting dua buah pola sulaman, maka ia lantas selipkan kertas pola kedalam buku itu. Dan ketika suatu hari ia bermain lagi kegua rahasia itu bersama Tik-suko, kitab itu sekalian lantas dibawanya kesana, sejak itu kitab itupun selalu tertinggal didalam gua, mengapa sekarang bisa diketemukannya disini? Apakah Tik-suko menyuruh tabib kelilingan tadi menghantarkannya padaku? Tabib itu…….. jangan2 …… kelima jarinya terpapas putus semua oleh Go Him? Ya, tabib itu mengapa……. Mengapa selalu menyembunyikan tangan kanan didalam saku."

Begitulah se-konyong2 Jik Hong teringat pada waktu itu. Di kala tabib keliling itu membubuhi obat pada Ban Ka tiada seorangpun yang memperhatikan tangan yang digunakan sitabib adalah tangan kiri dan tidak pernah memakai tangan kanan, kini demi teringat dahulu jari tangan kanan Tik Hun pernah terpapas putus oleh Go Him, seketika terbayanglah kembali adegan2 tadi waktu sitabib membuka peti obat, mengambil botol obat dan membuka sumbat botol serta menuang obat bubuk itu, ya, kesemuanya itu melulu dilakukan oleh tangan kiri sitabib.
"Jangan2……. Jangan2 tabib itu adalah Tik-suko? Tapi mengapa mukanya sedikitpun tidak sama?" demikian pikir Jik Hong. Dan saking kusut dan kesalnya, ia menjadi berduka, air matanya bercucuran dan menetes diatas kitab yang dipegangnya itu.
Air matanya menetes terus hingga membasahi kitab kuno dan hal mana belum disadari oleh Jik Hong, air matanya menetes diatas sepasang kupu2 guntingan kertas, yaitu kupu2 San Pek dan Eng Tay, nasib percintaan mereka baru akan terjalin sesudah keduanya mati semua ………
Dalam pada itu Ban Ka sedang berseru didalam kamar: "Hong-moay, aku merasa gerah sekali, aku ingin bangun untuk jalan2 sebentar."
Tapi Jik Hong sendiri lagi tenggelam dalam lamunannya, maka tidak mendengar suara sang suami itu. Waktu itu ia sedang memikir: "Tempo hari dia (Tik Hun) telah mematikan seekor kupu2 hingga sepasang kekasih telah dicerai-beraikan olehnya. Apakah dia telah ketulah oleh perbuatannya itu dan hidupnya ini diharuskan merana dan menderita!………
Dan pada saat itulah mendadak dibelakangnya seorang telah berseru dengan suara kaget. "He, itulah ……..Soh ……… Soh-sim-kiam-boh!"
Keruan Jik Hong juga berjingkrak kaget, cepat ia menoleh, ia melihat Ban Ka dengan wajah kegirangan dan penuh semangat sedang berkata: "He, Hong-moay, darimanakah kau memperoleh kitab itu? Lihatlah, aha, kiranya begitu, kiranya demikian!"
Segera ia memburu maju, dengan kedua tangannya ia memegang kitab kuno ditangan isterinya. Ia balik sampul kitab itu, dengan jelas dibacanya judul kitab itu adalah "Tong-si-soan-cip" (pilihan2 syair jaman Tong).
Kemudian ia melihat halaman yang ketetesan air mata Jik Hong itu adalah sebuah syair yang berkalimat "Seng-ko-si" dan disamping bawahnya timbul tiga huruf kecil ke-kuning2an, ketiga huruf itu adalah "tiga puluh tiga" atau dalam angka menjadi "33". Beberapa baris tulisan itu telah basah kena air mata Jik Hong.
Saking girangnya Ban Ka sampai lupa daratan, ia ber-teriak2: "Aha, disinilah letak rahasianya, ya, kiranya harus dibasahi dahulu, lalu akan timbul hurufnya. Bagus! Bagus! Tentu adalah kitab ini. He, Khong-sim-jay, Khong-sim-jay, lekas pergi mengundang Engkong kemari, katakan ada urusan penting!"
Begitulah ia lantas membangunkan sidara cilik yang lagi tidur nyenyak itu dan disuruhnya pergi mengundang sang Engkong (kakek), yaitu Ban Cin-san.
Sambil memegangi kitab syair itu dengan erat2, Ban Ka menjadi lupa tangannya yang terluka dan kesakitan itu, sebaliknya ia terus bicara sendiri: "Ya, pasti inilah kitabnya, tentu tidak salah lagi. Ayah bilang Kiam-boh itu berwujut sejilid Tong-si-soan-cip, tentu tidak salah lagi, apakah perlu disangsikan lagi sekarang? Hahaha, pantas lebih dulu harus membikin basah kitab ini dan dengan sendirinya rahasianya akan timbul sendiri."
Karena luapan rasa girang yang tak terkendalikan, maka Ban Ka telah mengoceh tak tertahan, hal mana telah membikin Jik Hong menjadi paham juga duduknya perkara.
Pikirnya: "Apakah kitab ini adalah 'Soh-sim-kiam-boh' yang dibuat rebutan antara ayahku dan Kongkong itu? Jika begitu, sebenarnya kitab ini telah didapatkan oleh ayahku, tapi secara tak sadar aku telah mengambilnya untuk menjepit pola sepatu. Tapi waktu ayah kehilangan kitab pusaka ini, mengapa beliau tidak kelabakan dan mencarinya? Ah, tentu juga sudah dicarinya, cuma dicari kesana kesitu tidak ketemu, lalu disangkanya telah dicuri oleh Gian-supek dan diantepin saja. Mengapa dahulu ayah tidak tanya padaku tentang kitab yang hilang itu? Sungguh sangat aneh!"
Jika Tik Hun, tentu sekarang ia takkan heran sedikitpun, sebab ia sudah tahu Jik Tiang-hoat itu adalah seorang yang licin, seorang yang banyak tipu akalnya, sekalipun didepan puterinya juga sedikitpun tidak mau mengunjukan sesuatu tentang kitab pusaka Soh-sim-kiam-boh itu. Waktu kitab itu hilang, tentu juga ia berusaha mencarinya ubek2an, tapi sesudah tidak diketemukan kembali, ia lantas pura2 tidak terjadi apa2, hanya diam2 ia menyelidiki dengan segala jalan untuk memperhatikan apakah kitab itu bukan dicuri oleh Tik Hun? Atau dicuri puterinya? Tapi disebabkan Jik Hong tidak merasa mencuri, ia tidak perlu takut sebagaimana seorang maling kuatir konangan, maka dengan sendirinya penyelidikan Jik Tiang-hoat menjadi sia2.
Dalam pada itu Ban Cin-san baru saja pulang, ia sedang diruangan makan. Ketika ia dipanggil cucu perempuannya, ia sangka luka puteranya mungkin berubah buruk, maka belum lagi sarapannya dihabiskan dia sudah lantas buru2 kebelakang sambil membopong sidara-cilik. Dan begitu ia melangkah keatas loteng, dia lantas mendengar suara seruan Ban Ka yang kegirangan. "Haha, di-cari2 tidak ketemu, siapa duga diperoleh secara begini mudah. Eh, Hong-moay, mengapa engkau kebetulan membasahi kitab ini dengan air? Sungguh kebetulan, mungkin memang takdir ilahi!"
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa air yang membasahi kitab itu adalah air mata sang isteri yang barusan sedang merindukan seorang laki2 lain.
Begitulah Ban Cin-san menjadi lega demi mendengar suara sang putera itu, segera iapun masuk kedalam kamar.
"Tia, Tia! Lihatlah, apakah ini?" seru Ban Ka segera sambil mengunjukan kitab 'Pilihan2 syair jaman Tong' itu kepada sang ayah yang baru masuk itu.
Hati Ban Cin-san tergetar demi nampak kitab ke-kuning2an yang tipis itu, cepat ia taruh Khong-sim-jay ketanah, lalu terima kitab yang diangsurkan Ban Ka itu dengan hati ber-debar2 hebat.
Itulah dia "Soh-sim-kiam-boh" yang telah dicarinya mati2an selama belasan tahun kini telah kembali didepan matanya.
Memang benar inilah kitabnya, kitab asli yang pernah dimilikinya bersama Jik Tiang-hoat dan Gian Tat-peng, yaitu hasil rampokan mereka bersama dengan menganiaya guru mereka.
Dahulu mereka bertiga telah mem-balik2 dan mempelajari bersama isi kitab itu didalam hotel, akan tetapi kitab itu toh bukan "Kiam-boh" sebagaimana orang sangka, kitab itu tidak lebih hanya sejilid kitab syair kuno yang umum, kitab "Tong-si-soan-cip" yang juga dapat dibeli dengan mudah disetiap toko buku setiap tempat.
Dengan macam2 jalan mereka bertiga saudara perguruan telah menyelidiki isi kitab itu. Pernah mereka menyorot setiap halaman kitab itu dibawah sinar matahari dengan harapan menemukan apa2 didalam lempitan kertas itu, pernah juga mereka membaca beberapa bait syair itu dijungkir balik, dibaca pula secara me-lompat2 dan macam2 cara lagi dengan tujuan mendapatkan sesuatu rahasia didalamnya, tapi semua usaha itu hanya sia2 belaka, hasilnya nihil. Mereka bertiga saling curiga mencurigai, kuatir kalau pihak lain menemukan rahasia didalam kitab itu dan dirinya sendiri tidak tahu. Maka setiap malam diwaktu tidur, mereka lantas mengunci kitab itu didalam sebuah peti besi, peti besi itu digandeng pula dengan tiga utas rantai besi serta masing2 diikat dipergelangan tangan mereka bertiga. Akan tetapi pada suatu pagi hari, tahu2 kitab itu sudah menghilang tanpa bekas.
Akibat hilangnya kitab itu selama belasan tahun mereka bertiga saudara perguruan telah bertengkar tidak habis2, masing2 saling selidik menyelidiki. Dan mendadak kitab itu telah muncul didepan matanya sekarang.
Ban Cin-san coba membalik halaman keempat dari kitab itu. Ya, memang betul, ujung kiri halaman itu tersobek sedikit, itulah kode rahasia yang sengaja dibuatnya tempo dulu, ia kuatir kedua Sutenya itu mungkin menukarnya dengan sejilid "Tong-si-soan-cip" yang serupa dan dirinya tertipu, maka ia sendiri harus menaruh sesuatu tanda dulu diatas kitab asli itu.
Ketika ia membalik pula halaman ke-16, benar juga bekas goresan kuku yang ditaruhnya dahulu itu juga masih kelihatan. Ya, tidak salah lagi, memang betul kitab ini tulen adanya.
Begitulah ia lantas manggut2, sedapat mungkin ia menahan rasa senangnya itu, katanya kemudian kepada sang putera: "Ya, memang betul adalah kitab ini, darimana kau memperolehnya?"
Segera sorot mata Ban Ka beralih kepada Jik Hong dan bertanya: "Hong-moay, darimanakah kitab ini kau temukan?"
Jik Hong sendiri sejak melihat sikap Ban Ka tadi, yang terpikir olehnya melulu diri ayahnya saja, ia pikir: "Kemanakah perginya ayah selama ini? Sesudah aku mengambil kitabnya ini dan kubawa kedalam gua itu, beliau mencari ubek2an. Padahal kitab ini yang selalu dibuat incaran dan menyebabkan pertengkaran mereka, dalam hati ayah tentu sangat luar biasa sayang kepada kitab ini. Entah kitab kuno seperti ini mempunyai manfaat apa hingga mesti mereka ributkan? Tapi dahulu aku telah mengambilnya dari kopor ayah, sekali2 tidak boleh kubiarkan kitab ini jatuh ditangan Kongkong."
Apabila sehari dimuka, pada waktu itu Jik Hong masih belum tahu duduknya perkara tentang penderitaan Tik Hun yang dipitenah orang, tentu ia masih sangat cinta dan penuh kasih-sayang kepada suaminya, dan dalam penilaiannya mungkin sang suami akan lebih utama daripada ayahnya sendiri, apalagi sang ayah entah kemana perginya selama ini, entah akan pulang lagi atau tidak?
Namun keadaan sekarang sudah berubah lain. "Sekali2 kitab ayahku itu tidak boleh kubiarkan jatuh ditangan mereka. Tentu Tik-suko yang telah mengambil kitab ini dari gua dan diserahkan padaku, dengan sendirinya tidak boleh kuberikan pada mereka, hal ini bukan saja demi ayah, tapi terutama demi Tik-suko!" demikian ia ambil keputusan.
Begitulah maka waktu Ban Ka bertanya padanya darimana diperoleh kitab itu, Jik Hong sendiri lagi memikirkan cara bagaimana harus merebut kembali kitab yang telah dipegang oleh bapa mertuanya itu. Padahal ilmu silat Ban Cin-san sangat tinggi, sekali2 dirinya bukan tandingannya apalagi sang suami juga berada disitu, untuk merebutnya denggan kekerasan terang tidak mungkin.
Mendadak tertampak olehnya baskom yang terletak didekat meja sana, didalam baskom masih terisi setengah baskom air darah, yaitu sebagian adalah air cuci muka Ban Ka dan darah berbisa yang menetes dari luka tangannya. Air didalam baskom itu berwarna merah hitam, kalau…… kalau diam2 kitab itu direndam didalam air baskom, tentu mereka takkan menemukannya kembali. Akan tetapi, cara bagaimana, harus dicari kesempatan untuk memasukkan kitab itu kedalam baskom?
Demikian Jik Hong sedang putar otak, sebaliknya sorot mata Ba Cin-san dan Ban Ka juga sedang diarahkan padanya. Kembali Ban Ka mengulangi pertanyaannya: "Hong-moay, darimanakah kau memperoleh kitab ini?"
Baru sekarang Jik Hong terkesiap, cepat ia menyahut: "Ah, entahlah, akupun tidak tahu, tadi aku keluar dari kamar dan tahu2 melihat kitab itu diatas meja. Apakah itu bukan milikmu?"
Karena seketika itu tidak jelas duduknya perkara, maka sementara Ban Ka tidak mengusut lebih jauh, yang terpikir olehnya yalah ingin lekas memberitahukan kepada sang ayah tentang pengalamannya yang luar biasa tadi. Maka ia lantas berkata kepada Ban Cin-san: "Lihatlah, ayah! Asal halaman kitab ini dibasahi, lantas timbul hurufnya disitu." ~ Segera iapun menunjukkan angka "33" yang terdapat disebelah kalimat syair "Seng-ko-si" itu. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa air yang membasahi halaman kitab itu adalah air mata sang isteri, air mata rindu sang isteri kepada seorang laki2 lain yang bernama Tik Hun. Kalau dia tahu, entahlah bagaimana perasaannya, akan girang atau akan marah?
Dalam pada itu Ban Cin-san sedang meneliti syair "Seng-ko-si" itu, ia lagi meng-hitung2 huruf syair satu demi satu, mulai dari suatu bait yang berbunyi: "Loh-cu-tiong-hong-siang……." hingga achirnya jatuh pada huruf "He-hong-seng……."
Itu dia, huruf ke-33 jatuh pada huruf "Seng"!
Ban Cin-san gablok pahanya sendiri sekali dan berseru: "Tepat! Memang beginilah caranya, ya beginilah caranya! Kiranya rahasianya terletak disini! Hai, Ka-ji, engkau benar2 sangat pintar, syukur dapatlah kau menemukan caranya ini. Memang harus memakai air, ya, harus pakai air! Sungguh tolol, dahulu kami justeru tiada seorangpun yang memikirkan tentang pemakaian air untuk menemukan rahasia didalam kitab ini!"
Melihat kedua orang itu penuh semangat asyik mempelajari rahasia yang tersimpan didalam kitab itu, segera Jik Hong menarik puterinya kedalam kamar sana, ia pondong dara cilik itu didalam pangkuannya dan pelahan2 berkata padanya: "Khong-sim-jay, kau lihat baskom itu bukan?"
Dara cilik itu manggut2, sahutnya: "Ya, tahu!"
"Nah, sebentar kalau Engkong, ayah dan ibu berlari keluar semua, kau lantas melemparkan buku yang dipegang Engkong tadi kedalam baskom agar kerendam air kotor itu, jangan sampai diketahui oleh Engkong dan ayah, ya," demikian Jik Hong mengajarkan puterinya.
Sidara cilik kegirangan, disangkanya sang ibu hendak mengajarkan suatu permainan yang menarik padanya, maka dengan tertawa ia bersorak: "Bagus, bagus!"
"Tapi jangan sekali2 diketahui oleh Engkong dan ayah, lho! Kemudian kaupun jangan katakan pada mereka, ya!" pesan Jik Hong pula.
"Ya, Khong-sim-jay pasti takkan bilang pada mereka, pasti tidak!" seru sidara cilik.

Lalu Jik Hong keluar kamar depan lagi, katanya kepada Ban Cin-san: "Kongkong, aku merasa didalam kitab itu ada sesuatu yang ganjil."
Cin-san menoleh, tanyanya: "Ganjil apa sih?" ~ Memangnya ia sendiri juga merasa was-was karena munculnya kitab itu secara mendadak, datangnya terlalu mudah, hal mana bukanlah sesuatu alamat baik. Maka ia bertambah pikiran demi mendengar ucapan nyonya mantunya itu.
"Íni, disini!" kata Jik Hong kemudian sambil mengulurkan tangannya.
Ban Cin-san lantas serahkan kitab syair itu kepadanya. Sesudah Jik Hong mem-balik2 halaman kitab itu, kemudian dikeluarkannya sepasang pola kupu2 itu dan berkata: "Kongkong, didalam kitabnya dahulu apakah terdapat sepasang kupu2 kertas semacam ini?"
Cin-san terima kupu2 kertas itu dan mengamat-amatinya, lalu sahutnya: "Ya, tidak ada!"
"Habis apa artinya kupu2 kertas didalam kitab ini?" ujar Jik Hong. "Apakah didalam Bu-lim terdapat seseorang tokoh yang berjuluk 'Hek-oh-tiap' (kupu2 hitam) dan sebagainya? Dengan meninggalkan kupu2 kertas ini didalam kitab, mungkin adalah tanda peringatan bahwa mereka akan datang menuntut balas?"
Biasanya memang sering terjadi didalam Kangouw bahwa sebelum menuntut balas, seorang telah mengirimkan tanda peringatan lebih dulu kepada orang yang akan didatanginya. Dan selama hidup Ban Cin-san justeru tak terhitung banyaknya kejahatan yang pernah diperbuatnya, dengan sendirinya ia terkejut mendengar ucapan Jik Hong itu, apalagi kupu2 kertas memang nyata terselip didalam kitab itu. Ia coba meng-ingat2 apakah pernah memusuhi seorang tokoh yang berjuluk 'Hek-oh-tiap' dan sebagainya? Tapi seingat dia toh tidak ada.
Selagi ia merenung, mendadak terdengar Jik Hong membentak: "Siapa itu? Ada apa main sembunyi2 disitu?" ~ Segera ia tuding keatas wuwungan rumah diluar jendela, maka berbareng Ban Cin-san dan Ban Ka memandang kearah sana, tapi toh tiada terdapat apa-apa.
Cepat Jik Hong sambar sepasang pedang yang tergantung didinding, ia lemparkan sebatang kepada Ban Cin-san dan sebatang kepada Ban Ka, serunya pula. "Aku melihat tiga sosok bayangan orang berkelebat kesana!"
Sementara Cin-san dan Ban Ka menyambuti pedang yang dilemparkan Jik Hong itu, segera Jik Hong lantas tarik laci meja dan masukan kitab syair itu kedalamnya dan sambil berbisik: "Jangan sampai dicuri musuh!"
Ban Cin-san berdua percaya saja, mereka memanggut. Segera mereka bertiga melompat keluar jendela dan naik keatas rumah, waktu memandang sekeliling situ, namun tiada tertampak seorangpun. "Coba periksa kebelakang sana!" kata Cin-san.
Bertiga orang terus menguber kerumah belakang sana. Tiba2 terlihat sesosok bayangan orang berkelebat dipengkolan sana, segera Cin-san membentak: "Siapa itu?" ~ Dan waktu ia melesat maju, kiranya orang itu bukan lain adalah muridnya nomor enam, yaitu Go Him adanya.
"Kau melihat musuh tidak?" tanya Cin-san pula.
Sebenarnya wajah Go Him sudah pucat seperti mayat, ia ketakutan setengah mati ketika mendadak melihat Suhu bertiga menguber kearahnya dengan senjata terhunus, ia mengira perbuatannya yang kotor itu telah dilaporkan oleh Jik Hong. Dan demi mendengar pertanyaan sang guru itu, barulah ia merasa lega. Cepat ia menayhut: "Ya, barusan seperti ada orang berlari lewat sini, makanya Tecu lantas memburu kemari untuk mencari tahu apa yang telah terjadi."
Sebenarnya jawabannya itu adalah untuk menutupi sikapnya yang kikuk itu, sebaliknya menjadi kebetulan bagi Jik Hong yang membohong itu.
Segera mereka berempat menguber pula kebelakang, ber-ulang2 Go Him bersuit memanggil Loh Kun, Bok Heng dan lain2, tapi meski seluruh isi rumah mereka kerahkan untuk mencari musuh, toh tiada suatu bayanganpun yang kelihatan.
Karena kuatirkan kitab "Soh-sim-kiam-boh" yang masih tertinggal dikamar itu, segera Cin-san suruh Loh Kun dan para Sute-nya mencari lebih jauh jejak musuh. Ia sendiri bersama Ban Ka dan Jik Hong lantas kembali kekamar loteng.
Segera pula ia membuka laci hendak mengambil kitab itu, tapi ……..
Sudah tentu laci itu sudah kosong melompong, kitab itu entah sudah terbang kemana?

Keruan kejut Ban Cin-san dan Ban Ka tak terkatakan, mereka mencari ubek2an didalam kamar, dan sudah tentu nihil hasilnya.
"Adakah seorang masuk kesini?" Ban Cin-san coba tanya Khong-sim-jay.
"Tidak ada!" sahut sidara cilik. Kemudian ia berpaling dan main mata dengan sang ibu, hatinya sangat senang.
Sudah terang gamblang Ban Cin-san berdua menyaksikan sendiri Jik Hong memasukan kitab itu kedalam laci, dikala menguber musuh juga selalu nyonya mantu itu berada bersama mereka, dengan sendirinya bukan Jik Hong yang main gila. Ia menduga pasti adalah tipu muslihat musuh yang "memancing harimau meninggalkan sarang", lalu mencuri kitab pusaka itu.
Keruan Ban Cin-san dan Ban Ka merasa lemas, mereka saling pandang dengan lesu dan menyesal.
Sebaliknya Jik Hong dan Khong-sim-jay sangat senang, mereka saling main mata, saling kedip penuh arti ………
Begitulah anak murid Ban Cin-san yang lain telah sibuk mencari jejak musuh disetiap polosok rumah dan sudah tentu tiada suatu bayanganpun yang diketemukan.
Ban Cin-san pesan kepada Jik Hong agar jangan sekali2 bercerita keapda Loh Kun dan lain2 tentang diketemukannya Kiam-boh dan kemudian hilang lagi. Sudah tentu Jik Hong mengiakannya dengan baik. Selama ini Jik Hong sudah makin sadar akan hubungan guru dan murid keluarga Ban itu, begitu pula hubungan antara murid satu dengan murid lainnya selalu dilakukan dengan tidak jujur, masing2 hanya memikirkan kepentingan sendiri2, satu sama lain saling curiga-mencurigai.
Dengan rasa menyesal dan penasaran kemudian Ban Cin-san kembali kekamarnya sendiri, yang terpikir olehnya adalah tanda kupu2 hitam kertas didalam kitab itu. Sebaliknya Ban Ka juga payah keadaannya, sesudah ber-lari2 menguber musuh, tekanan darahnya naik, luka ditangannya itu menjadi kesakitan lagi, maka ia telah merebah di ranjangnya untuk mengaso dan tidak lama iapun tertidur.
Diam2 Jik Hong pikir kitab syair itu akan sangat berguna bagi ayahnya, kalau kerendam terlalu lama didalam air mungkin akan rusak. Segera ia masuk kekamar dan coba memanggil sang suami beberapa kali, tapi Ban Ka sudah tertidur nyenyak, segera ia keluar lagi dan bawa baskom itu kebawah, ia buang air darah didalam baskom itu hingga kelihatan dasar baskom. Ia puji si Khong-sim-jay sangat pintar dan penurut, tidak merasa wajahnya menampilkan senyuman puas.
Sama sekali diluar dugaannya bahwa sebenarnya sudah sedari tadi Ban Ka telah curiga padanya.
Tadi waktu sidara cilik main mata dengan sang ibu, kelakuan itu telah dapat diketahui oleh Ban Ka hingga timbul rasa curiganya. Maka ia sengaja pura2 tidur, dan begitu Jik Hong turun kebawah, segera iapun bangun dan dengan ber-jinjit2 seperti maling kuatir kepergok, ia mengawasi gerak-gerik sang isteri.
Karena kitab itu berbau amis darah yang merendamnya tadi, Jik Hong merasa muak dan tidak sudi memegangnya, ia pikir: "Dimanakah kitab ini harus kusembunyikan?"
Segera teringat olehnya ditaman belakang ada sebuah kamar pojok yang biasanya dibuat simpan barang rongsokan sebangsa pacul, tenggok, sapu dan sebagainya, pada waktu itu tentu tiada terdapat orang disitu. Segera ia petik daun bunga seruni hingga penuh satu baskom untuk menutupi kitab yang basah itu, lalu menuju ketaman.
Sesudah masuk kedalam kamar dipojok taman itu, ia melihat kamar itu tidak terawat, temboknya banyak yang rontok, ujung dinding sana ada beberapa potong bata sudah mulai merenggang. Ia pikir: "Kalau kitab ini kusembunyikan disini tentu takkan dicurigai siapapun juga." ~ Segera ia mengorek keluar beberapa potong bata itu, ia masukkan kitab itu kedalam liang dinding itu, lalu bata2 itu dipasangnya kembali hingga rapat.
Habis itu, dengan masih menjinjing baskom itu ia berjalan kembali sambil ber-nyanyi2 kecil seperti tiada pernah terjadi apa2.
Waktu lewat diserambi, mendadak dari pengkolan sana menyelinap keluar seorang sambil membisikinya: "Suso, tengah malam nanti jangan lupa, ya! Aku tunggu kau didalam gudang kayu sana!" ~ Siapa lagi dia kalau bukan Go Him.
Memangnya Jik Hong lagi menahan rasa kuatir kalau perbuatannya dipergoki orang, ketika mendadak muncul seorang dan berkata begitu padanya, keruan jantungnya se-akan2 copot saking kagetnya.

Segera iapun mendamperatnya: "Cis, kau cari mampus, besar amat nyalimu, apa kau sudah bosan hidup?"
Tapi dengan cengar-cengir Go Him menjawab: "Demi Suso, biarpun jiwaku akan melayang juga aku rela. Suso, engkau inginkan obat penawarnya atau tidak?"
Dengan gemes Jik Hong sudah meraba belati yang tersimpan didalam bajunya itu, sungguh ia ingin sekali tikam mampuskan manusia rendah itu dan merampas obat penawarnya.
Tapi Go Him adalah seorang licin dan culas, sudah tentu ia cukup waspada terhadap segala kemungkinan. Dengan menyengir ia berkata pula dengan pelahan: "Suso, jangan kau coba2 menyerang, asal kau menyerang dengan tipu 'Wajah manusia muncul dari balik gunung' dan menikam kearahku, maka aku sudah siap akan menghindar dengan gerakan 'kepala kuda timbul disamping awan', dan sekali tanganku bergerak begini, seketika obat penawar ini kubuang kedalam empang." ~ Sembari berkata ia terus ulurkan tangannya dan apa yang digenggamnya memang betul adalah botol obat penawar itu. Ia kuatir Jik Hong menubruk untuk merebutnya, maka lebih dulu ia lantas mundur beberapa langkah kebelakang.
Tahu kalau pakai kekerasan juga takkan berhasil merebut obat penawar itu, terpaksa Jik Hong batalkan niatnya, segera ia menyisir lewat dari samping orang. Dan dengan suara pelahan Go Him membisikinya lagi: "Ingat Suso, aku cuma sanggup menanti sampai tengah malam. Lewat tengah malam kau tidak datang, jam satu malam aku lantas tinggal pergi bersama obat penawar ini, aku akan kabur sejauh mungkin dan takkan kembali ke Hengciu lagi. Haha, andaikan mati juga orang she Go ini tidak sudi mati ditangan ayah dan anak she Ban."
Waktu Jik Hong sampai dikamarnya, ia mendengar Ban Ka sedang me-rintih2, nyata racun ketungging telah kumat lagi dengan hebat.
Ia duduk menyanding meja dengan bertopang dagu, pikirannya bergolak tak tertahankan. Ia pikir: "Caranya dia (Ban Ka) mempitenah Tik-suko sungguh sangat keji, tapi nasi sudah menjadi bubur, apa mau dikata lagi? Selama beberapa tahun ini sesungguhnya iapun sangat baik padaku, sebagai seorang wanita, menikah ayam ikut ayam, kawin dengan bebek turut bebek, selama hidupku sudah ditakdirkan akan menjadi suami-isteri dengan dia. Cuma Go Him itu benar2 keparat, cara bagaimana supaya aku dapat merebut obatnya?" ~ Ia melihat air muka Ban Ka pucat kurus, diam2 ia membatin pula: "Luka Ban-long sangat parah, jika kukatakan perbuatan Go Him itu padanya, dalam gusarnya tentu ia akan mengadu jiwa padanya dan tentu akan membuat keadaannya lebih payah."
Begitulah pikirannya menjadi kusut. Sementara itu hari sudah gelap, sesudah makan malam, Jik Hong mengatur puterinya tidur, ia sendiri masih gelisah. Sesudah dipikir pulang-pergi, achirnya ia mengambil keputusan akan laporkan persoalan Go Him itu kepada Ban Cin-san, sebagai seorang tua yang berpengalaman tentu akan dapat mencari jalan keluar yang sempurna. Tapi urusan ini tidak boleh diketahui oleh Ban Ka, harus menunggu sesudah sang suami itu tidur nyenyak, barulah akan dilaporkan kepada bapa mertuanya ini. Selama beberapa hari ia benar2 terlalu capek merawat luka suaminya itu siang dan malam, namun ia tidak dapat tidur. Ia menunggu setelah terdengar suara mendengkurnya Ban Ka, lalu bangun dengan pelahan2, dengan hati2 ia turun kebawah loteng, ia menuju keluar kamarnya Ban Cin-san.
Sinar bulan menembus kedalam kamar Ban Cin-san, melalui celah2 jendela dapat dilihatnya bahwa didalam kamar bapa mertua itu sudah gelap, pelita sudah dipadamkan, ia menduga orang tua itu sudah tidur.
Diluar dugaan, sesudah ia mendekati jendela, tiba2 dari dalam kamar orang tua itu terdengar suara "he-he-he" yang aneh, yaitu suara orang yang bernapas dikala mengeluarkan tenaga besar untuk berbuat sesuatu.
Jik Hong sangat heran, sebenarnya ia sudah akan memanggil, tapi segera diurungkan. Ia coba mengintip kedalam kamar melalui celah2 jendela, dibawah sinar bulan yang remang2 ia melihat Ban Cin-san sedang merebah diatas tempat tidurnya, kedua matanya terpejam, tapi kedua tangannya tampak men-dorong2 sekuatnya keatas.
Sungguh heran Jik Hong tak terkatakan, pikirnya dengan menahan napas: "Pasti Kongkong sedang melatih sesuatu ilmu Lwekang yang hebat. Konon diwaktu orang melatih Lwekang, yang paling dipantang adalah gangguan yang mengagetkan, jika hal mana terjadi, seringkali orang yang sedang berlatih itu akan 'Cau-hwe-jip-mo' (sesat jalan dan kemasukan api) hingga membikin celaka diri sendiri. Sebaiknya aku menunggu dulu, biar beliau selesai latihan barulah akan kupanggilnya."
Ia mengikuti terus tingkah-laku Ban Cin-san itu. Ia melihat sesudah men-dorong2 keatas sebentar, kemudian Ban Cin-san berbangkit dan turun dari tempat tidurnya serta melangkah beberapa tindak kedepan, lalu berjongkok dan menjulur tangannya keatas seperti sedang mencekeram sesuatu.
Diam2 Jik Hong membatin: "Kiranya Kongkong sedang melatih Kim-na-jiu-hoat (ilmu memegang dan menangkap)!"
Tapi sesudah diperhatikan sebentar lagi. Ia melihat gerak-gerik Ban Cin-san makin lama makin aneh, kedua tangannya ber-ulang2 mencengkeram entah apa yang hendak dipegangnya, habis itu lantas ditumpuknya kebawah satu persatu dengan rajin dan teratur, jadi mirip tukang batu sedang memasang bata. Namun dilantai situ toh kosong melompong tiada terdapat sesuatu benda apapun, jadi gerak-geriknya itu hanya perbuatan kosong belaka.
Dan sesudah me-megang2 sebentar lagi keudara, kemudian tampak orang tua itu meng-ukur2 dengan kedua tangannya, mungkin merasa sudah cukup besar, lalu kedua tangannya bergaya seperti mengangkat sesuatu benda besar dari tanah dan dimasukkan kedepan.
Jik Hong merasa bingung menyaksikan itu, dengan jelas dilihatnya kedua mata Ban Cin-san itu masih tertutup rapat, gerak-geriknya itu sekarang sudah terang bukan lagi melatih sesuatu ilmu silat apa segala, tapi lebih mirip sigagu sedang main sandiwara. Tiba2 teringat oleh Jik Hong ucapan si Mirah dirumah berhala siang tadi bahwa: "Ditengah malam Loya suka bangun untuk pasang tembok!"
Tapi gerak-gerik Ban Cin-san sekarang toh bukan lagi pasang tembok, kalau dikatakan ada sangkut-pautnya dengan tembok, maka lebih mirip kalau dia sedang membongkar tembok.
Lapat2 Jik Hong merasakan semacam firasat yang menakutkan. Pikirnya pula: "Ah, tentu Kongkong telah kena penyakit Li-hun-cing (sakit ngelindur). Kabarnya orang yang dihinggap penyakit tidur seperti itu, terkadang orangnya bisa bangun ditengah malam dan jalan2 atau bekerja tanpa disadari oleh orang yang bersangkutan sendiri. Bahkan ada yang telanjang bulat ber-jalan2 diatas rumah, ada pula yang membakar rumah dan membunuh orang dan macam2 perbuatan lain yang aneh2, tapi sesudah mendusin, sama sekali orang yang bersangkutan tidak tahu apa2."
Begitulah Jik Hong melihat pula sesudah Ban Cin-san bergaya memasukan sesuatu benda besar kedalam lubang dinding yang sebenarnya tiada wujutnya itu, kemudian tampak orang tua itu men-dorong2 lagi beberapa kali dengan kuat keatas, habis itu ia menjemput bata dilantai yang tiada wujud itu lalu dipasangnya, sekali ini benar2 bergaya sedang pasang batu.
Semula Jik Hong agak merinding menyaksikan perbuatan aneh yang menyeramkan itu kemudian sesudah melihat gayanya yang sedang pasang tembok, maka ia tidak begitu takut lagi sebab sebelumnya sudah diketahui akan hal itu. Katanya didalam hati: "Menurut Tho Ang, katanya Kongkong sering bangun ditengah malam untuk pasang tembok, suatu tanda penyakit tidurnya ini sudah lama dideritanya. Dan pada umumnya orang yang mempunyai sesuatu penyakit aneh tidaklah suka kalau diketahui orang lain. Tho Ang sekamar dan setempat-tidur dengan Kongkong dan tahu pula akan penyakitnya ini, dengan sendirinya Kongkong merasa kurang senang."
Karena pikirannya itu, rasa ragu2nya tadi menjadi hilang. Yang terpikir olehnya sekarang hanya: "Dan entah berapa lamanya penyakit tidur Kongkong itu akan berlangsung. Kalau sampai lewat tengah malam hingga sikeparat Go Him merat dengan membawa obat penawar, wah tentu celaka."
Sementara itu dilihatnya Ban Cin-san sedang bergaya mengambil bata yang dibongkarnya tadi dan dipasang kembali kelubang dinding tanpa wujut itu, kemudian lantas bergaya seperti tukang kapur yang sedang melabur dinding. Dan sesudah segala sesuatu itu selesai dilakukannya, lalu kelihatan orang tua itu ber-senyum2 dan naik pula keatas ranjang untuk tidur pula.
Pikir Jik Hong: "Setelah sibuk sekian lamanya, mungkin pikiran Kongkong belum lagi tenang kembali, biarlah aku menunggu sebentar lagi untuk memenggilnya."
Tapi pada saat itu juga, tiba2 terdengar pintu kamar bapa mertua itu diketok orang beberapa kali, menyusul ada orang memanggil dengan suara tertahan: "Tia-tia, Tia-tia!" ~ Itulah suara sang suami, Ban Ka.
Jik Hong agak terkejut, ia heran pula: "Mengapa Ban-long juga kemari? Untuk apakah dia datang?"
Ia lihat Ban Cin-san terus mendusin dan berbangkit, setelah tenangkan diri sejenak, lalu orang tua itu bertanya: "apakah Ka-ji disitu?"
Sebagai seorang jago silat, rupanya Ban Cin-san sangat cepat terjaga bangun asal mendengar sesuatu suara pelahan saja. Malahan jika penyakit ngelindurnya sedang kumat, pada saat itulah malah susah kalau orang hendak menyadarkan dia.
Maka terdengar Ban Ka telah mengiakan diluar kamar. Dan Cin-san lantas turun dari tempat tidurnya dengan enteng tanpa menerbitkan suara sedikitpun, biarpun usianya sudah lanjut, tapi gerak-geriknya ternyata masih gesit sekali, segera ia membukakan pintu dan membiarkan Ban Ka masuk sambil bertanya: "Apakah kau sudah memperoleh keterangan tentang Kiam-boh?" ~ Nyata yang selalu terpikir olehnya adalah kitab pusaka itu.
"Tia!" terdengar Ban Ka memanggil pelahan sekali sambil melangkah masuk dengan sempoyongan, cepat ia berpegangan pada sandaran kursi yang berada disitu.
Kuatir kalau bayangan sendiri yang tersorot cahaya rembulan itu akan dilihat oleh mereka, cepat Jik hong meringkuk kebawah jendela sambil mendengarkan dengan cermat, ia tidak berani mengintip gerak-gerik kedua orang itu lagi.
Ia dengar Ban Ka merandek sejenak sesudah memanggil ayahnya tadi, lalu katanya dengan suara ter-putus2: "Tia, men…… menantumu itu bukan …….bukan orang baik2."
Jik Hong terkejut pula, ia heran mengapa sang suami berkata begitu?
Maka terdengar Ban Cin-san sedang tanya: "Ada apa lagi? Suami-isteri bertengkar?"
"Kiam-boh sudah diketemukan. Tia, menantumu itulah yang mengambilnya," sahut Ban Ka.
"Ha, sudah diketemukan? Itulah bagus, bagus!" seru Cin-san dengan girang. "Dimana kitabnya?"
Jik Hong juga terkejut dan heran tak terkatakan. Ia pikir: "Mengapa dapat diketahui olehnya? Ah, tentu sibocah Khong-sim-jay itu yang telah berkata pada ayahnya."
Tapi ucapan Ban Ka selanjutnya telah membantah sangkaannya itu. Ban Ka telah memberitahukan kepada ayahnya bahwa dia telah mengetahui gerak-gerik Jik Hong dan Khong-sim-jay yang mencurigakan, maka ia sengaja pura2 tidur, tapi diam2 mengawasi tingkah-laku Jik Hong, ia melihat isterinya itu membawa baskon ketaman belakang dan diam2 ia telah menguntitnya, ia menyaksikan Jik Hong menyembunyikan Kiam-boh kedalam lubang dinding didalam kamar pojok taman sana…..
Sungguh Jik Hong gegetun setengah mati: "O, ayah yang bernasib malang, kitabmu itu kembali jatuh lagi ditangan Kongkong dan Ban-long, untuk merebutnya kembali terang akan maha sulit. Baiklah, aku mengaku salah, memang Ban-long lebih lihay daripadaku."
Kemudian terdengar Ban Cin-san sedang berkata: "Wah, bagus sekali jika begitu, lekaslah, lekas ambil kitab itu, dan kau boleh pura2 tidak tahu apa2 untuk melihat bagaimana kelakuan isterimu itu, jika dia tidak singgung2 lagi, maka kau juga tidak perlu katakan padanya. Aku justeru sangat curiga darimanakah datangnya kitab ini, jangan2…….jangan2………." ~ begitulah ia tidak melanjutkan jangan2 apa?
Maka Ban Ka telah berkata: "Tia!" ~ suaranya kedengaran sangat menderita.
"Ada apa?" sahut Cin-san.
"Sebabnya menantumu mencuri Kiam-boh itu, kiranya …….kiranya adalah untuk ……." berkata sampai disini suaranya menjadi gemetar dan se-akan2 tersumbat.
"Untuk siapa?" Cin-san menegas.
"Kiranya adalah untuk……untuk sianjing keparat Go Him itu!" sahut Ban Ka achirnya.
Telinga Jik Hong serasa mendengung, hampir2 ia tidak percaya pada telinganya sendiri. Hanya dalam hati ia berkata: "Perbuatanku itu adalah demi ayahku, mengapa bilang untuk Go Him? Mengapa menuduh aku berbuat untuk Go Him?"
Begitulah Jik Hong merasa penasaran oleh tuduhan Ban Ka itu. Ia dengar Ban Cin-san juga sangat heran dan kejut, orang tua itu telah tanya: "Untuk Go Him, katamu?"
"Ya," sahut Ban Ka. "Sesudah kulihat dia menyembunyikan Kiam-boh ditaman belakang sana, dari jauh aku menguntitnya pula, siapa duga …….siapa duga setiba diserambi situ, ternyata ia telah main kasak-kusuk dengan keparat Go Him, perempuan …….perempuan jalang itu benar2 tidak tahu malu lagi!"
"Tapi selama ini aku melihat tingkah-lakunya toh sangat baik dan sopan, tidak mirip seorang yang kotor seperti itu, apa kau tidak salah lihat? Dan apa yang dibicarakan oleh mereka?" demikian kata Ban Cin-san dengan ragu2.
"Anak kuatir dipergoki mereka, maka tidak berani terlalu mendekat, pula diserambi sana tiada tempat sembunyi, terpaksa aku mengumpet diujung tembok untuk mendengarkan," tutur Ban Ka. "Tapi suara percakapan sepasang anjing laki-perempuan itu sangat lirih, aku tidak dapat mendengar seluruhnya, hanya sebagian saja dapat kudengar dengan jelas."
"O," Cin-san bersuara, katanya: "Sudahlah, Ka-ji sabarlah dulu. Seorang laki2 masakah kuatir tidak bisa mendapat isteri lagi? Sesudah Kiam-boh itu dapat kita temukan, pula bila rahasia didalam Kiam-boh sudah kita pecahkan, dalam sekejap saja kita akan menjadi kaya-raya sekaligus kau ingin membeli seratus orang isteri dan seribu selir juga sangat gampang. Nah, duduklah kau, bicaralah dengan pelahan2."
Lalu terdengar suara "krak-krek" papan ranjang, Ban Ka telah duduk ditepi tempat tidur itu, kemudian berkata pula dengan napas ter-engah2. "Sesudah perempuan jalang itu selesai menyembunyikan kitab, rupanya ia sangat senang, bahkan ber-nyanyi2 kecil segala. Ketika ketemu gendaknya, yaitu sikeparat Go Him, segera binatang she Go itu cengar-cengir dan berkata padanya: 'Suso, tengah malam nanti jangan lupa, lho! Aku menanti engkau digudang kayu sana!" ~ ucapan ini dengan terang dapat kudengar dengan baik, sedikitpun tidak salah."
"Dan, bagaimana lagi jawab perempuan jalang itu?" tanya Cin-san.
"Dia…….dia mendamperat: 'Kau cari mampus, besar amat nyalimu, apakah kau sudah bosan hidup!'" tutur Ban Ka.
Sungguh hancur hati Jik hong mendengar cercaan pada dirinya itu, ia tidak tahu mengapa mereka mempitenah orang baik2? Padahal ia berbuat, demi kepentingan sang suami dan ingin merebut obat penawar untuk meneymbuhkan lukanya, tapi sang suami malah menistanya secara begitu keji, sungguh lelaki yang tidak punya Liangsim, demikian pikir Jik Hong.
Ia dengar Ban Ka sedang melanjutkan ceritanya lagi: "Sesudah kudengar percakapan mereka itu, sungguh hatiku sangat panas, kalau bisa sungguh aku ingin menubruk maju dan bunuh kedua anjing laki dan perempuan itu. Tapi aku tidak membawa senjata, apalagi dalam keadaan terluka, aku tidak dapat menempur mereka secara terang2an, segera aku lari kembali kekamar agar sesudah perempuan jalang itu pulang kekamar takkan mencurigai diriku. Dan apa yang dibicarakan sepasang anjing laki dan perempuan itu selanjutnya aku tidak tahu lagi."
"Hm, bapa anjing tidak nanti melahirkan puteri harimau, dasar sekeluarga she Jik mereka itu adalah manusia2 rendah semua," demikian Cin-san memaki. "Baiklah kita pergi mengambil dulu Kiam-boh itu, kemudian kita menjaga diluar gudang kayu untuk menangkap basah perbuatan hina sepasang anjing laki-perempuan itu, lalu habiskan jiwa mereka."
"Rupanya perempuan jalang itu sudah tidak seranti ditunggu oleh gendaknya, maka jauh sebelum tengah malam sudah keluar sejak tadi," kata Ban Ka. "Sementara ini mungkin…….mungkin sedang……" ~ saking geregetan barangkali hingga terdengar giginya berkrutukan.
"Jika begitu, sekarang juga kitapun berangkat kesana," ujar Cin-san. "Bawalah senjata, tapi kau jangan turun tangan, biar aku mengutungi kaki dan tangan mereka dulu, kemudian kau sendiri menghabiskan nyawa sepasang anjing laki-perempuan itu."
Lalu kelihatan pintu kamar dibuka, sambil memayang Ban Ka, Ban Cin-san membawa puteranya itu menuju ketaman belakang.
Sembari bersandar ditembok, sungguh pedih sekali hati Jik Hong, air matanya bercucuran bagai hujan. Maksudnya ingin luka sang suami bisa lekas sembuh, siapa tahu sang suami berbalik mencurigai dirinya berbuat serong. Sedangkan ayahnya sejak menghilang tidak pernah kembali lagi. Tik Hun telah merana entah kemana dengan menanggung penasaran tanpa berdosa, dan kini……kini sang suami bersikap demikian pula padanya, penghidupan seperti ini entah bagaimana nasib selanjutnya?
Begitulah ia merasakan kekosongan hati, sungguh ia tidak ingin hidup lagi, sama sekali tiada pikirannya buat memberi penjelasan pada sang suami atau minta dikonfrontir dengan Go Him sebagai saaksi, seketika ia cuma merasa badannya lemas dan bersandar didinding.
Selang tidak lama, tiba2 terdengar suara tindakan orang, Ban Cin-san dan Ban Ka telah kembali diruangan duduk, mereka sedang berunding pula.
"Tia," demikian Ban Ka lagi berkata, "kenapa kita tidak bunuh Go Him saja digudang kayu tadi?"
"Didalam gudang hanya terdapat Go Him sendiri," sahut Cin-san dengan suara rendah, mungkin perempuan jalang itu telah tahu gelagat jelek, maka sudah merat sendiri lebih dulu. Jika kita takbisa menangkap basah perbuatan kotor mereka, mana boleh kita sembarangan membunuh orang mengingat kita adalah keluarga terkemuka dikota Hengciu sini? Kau harus tahu sesudah kita mendapatkan Kiam-boh, masih banyak pekerjaan penting lain yang harus kita lakukan dikota ini, maka kita harus sabar, jangan terburu napsu hingga menggagalkan usaha besar kita!"
"Habis, apakah kita antepin saja urusan ini?" tanya Ban Ka. "Dan cara bagaimana dendam anak ini harus dilampiaskan?"
"Untuk melampiaskan dendam apa sih susahnya?" uyar Cin-san. "Kita dapat gunakan cara lama!"
"Cara lama?" Ban Ka menegas.
"Ya, cara lama! Cara kita mengerjakan Jik Tiang-hoat dulu!" kata Cin-san. Ia merendek sejenak, lalu sambungnya pula: "Sementara ini kau kembali kekamar dulu, sebentar aku akan mengumpulkan para anak murid dan kau boleh datang bersama mereka keluar kamarku. Hati2lah, jangan sampai menimbulkan curiga orang."
Sebenarnya pikiran Jik Hong sedang kusut tak keruan, ia sudah putus asa, yang masih terasa berat olehnya adalah puterinya yang masih kecil itu. Dan demi tiba2 mendengar Ban Cin-san menyatakan hendak "menggunakan cara lama dikala mereka mengerjakan Jik Tiang-hoat dahulu" terhadap Go Him, seketika otaknya seperti dikompres dengan es, dengan segera pikirannya jernih kembali, sekilas timbul suatu pertanyaan dalam benaknya: "Dengan cara apakah mereka telah mengerjakan ayahku dahulu?"
Ia pikir hal ini diselidikinya hingga terang. Dan sebentar Kongkongnya akan mengumpulkan para anak muridnya, kemanakah ia harus bersembunyi?
Sementara itu terdengar Ban Ka sedang mengiakan perintah ayahnya, lalu melangkah pergi. Kemudian Ban Cin-san menuju keluar, ia berseru menyuruh pelayan menyalakan pelita dan mengundang para muridnya.
Tidak lama kemudian dari sana-sini terdengarlah suara berisik para muridnya yang sedang mendatangi untuk berkumpul. Jik Hong tahu bila tinggal lebih lama disitu, tentu akan ada orang lalu diluar jendela dan mempergoki jejaknya. Sesudah ragu2 sejenak, terus saja ia menyelinap masuk kedalam kamarnya Ban Cin-san. Ia singkap seperei yang menutupi kolong ranjang, lalu menyusup kebawah. Dengan begitu, asal tiada orang menyingkap seperei yang menjulur hampir ketanah itu, tentu tiada seorangpun yang dapat mempergoki jejaknya.
Ia bertiarap melintang dikolong ranjang, tidak lama kemudian tertampaklah ada sinar pelita merembes masuk melalui bawah seperai, ada orang masuk dengan membawa pelita. Ia melihat sepasang kaki yang bersepatu ikut melangkah masuk, itulah kakinya BanCin-san. Sesudah kaki itu melangkah disamping kursi, lalu terdengar suara berkeriut perlahan, Ban Cin-san telah duduk diatas kursi. Lalu terdengarlah ia memerintahkan pelayan keluar dan menutup pintu kamar.
Tidak lama, terdengar suara Loh Kun berseru diluar kamar. "Suhu, kami sudah datang semua, silakan Suhu memberi perintah."
"Ehm, bagus! Nah, kau boleh masuk dulu," sahut Ban Cin-san.
Segera Jik Hong melihat pintu kamar didorong, sepasang kakinya Loh Kun tampak melangkah masuk, kemudian pintu kamar dikancing lagi.
"Ada musuh telah mendatangi rumah kita, apakah kau tak tahu?" demikian Cin-san mulai bertanya.
"Siapakah musuh itu? Tecu tidak tahu," sahut Loh Kun.
"Orang itu menyaru sebagai seorang tabib kelilingan, bahkan sudah pernah datang kemari," ujar Ban Cin-san.
Diam2 Jik Hong terkejut: "Masakah dia mengenali siapakah gerangan sitabib itu?"
Maka terdengar Loh Kun sedang menjawab: "Tecu telah mendengar juga hal itu dari Go-sute. Dan siapakah musuh itu sebenarnya?"

"Orang itu dalam keadaan menyamar, aku tidak melihat dengan sendiri, maka aku belum dapat meraba asal-usulnya," kata Cin-san. "Maka besok pagi2 hendaklah kau menyelidiki kesekitar utara kota, kemudian melapor padaku hasilnya. Sekarang kau keluar dulu, sebentar aku akan memberi tugas lain lagi."
Loh Kun mengiakan, lalu keluar kamar.
Ber-turut2 Ban Cin-san memanggil pula murid keempat Sun Kin dan murid kelima Bok Heng, apa yang dikatakan pada mereka pada garis besarnya serupa tadi. Hanya saja Sun Kin ditugaskan kesekitar selatan kota dan Bok Heng menyelidiki timur kota. Dikala memberi pesan pada Bok Heng sengaja ditambahkannya: "Go Him akan menyelidiki barat kota, Pang Tan dan Sim Sia akan memberi bantuan dimana perlu. Sedangkan Ban-suko kalian masih sakit, ia takbisa ikut keluar."
"Ya, Ban-suko memang perlu istirahat dulu," demikian sahut Bok Heng, lalu membuka pintu dan keluar kamar.
Sudah tentu Jik Hong tahu apa yang dikatakan Ban Cin-san itu sengaja hendak diperdengarkan kepada Go Him agar pemuda itu tidak menaruh curiga apa-apa.
Maka terdengarlah Ban Cin-san sedang memanggil pula: "Go Him masuk!" ~ suaranya tetap tenang dan ramah, sama seperti memanggil Loh Kun dan lain-lain.
Jik Hong melihat pintu kamar terbuka lagi, kaki kanan Go Him melangkah masuk dulu, tampaknya agak ragu2 sedetik, tapi achirnya masuk juga. Ia melangkah maju kedepan Ban Cin-san dan menunggu perintah.
Dari tempat sembunyinya Jik Hong melihat jubah Go Him bagian bawah itu agak keder sedikit, suatu tanda dalam hati Go Him sangat ketakutan, maka tubuhnya agak gemetar.
Maka terdengar Ban Cin-san sedang bertanya: "Kita kedatangan musuh, kau tahu tidak?"
"Tecu sudah mendengar uraian Suhu barusan diluar kamar, katanya adalah tabib kelilingan itu," sahut Go Him. "Orang itu adalah Tecu yang mengundangnya kemari untuk mengobati Ban-suko, sungguh tidak nyana bahwa dia adalah musuh kita, harap Suhu suka memberi maaf."
"Orang itu menyamar, pantas juga kalau kau tidak tahu," ujar Cin-san. "Nah, besok pagi kau pergi kesekitar barat kota untuk menyelidiki, jika ketemukan jejaknya, harus kau mengawasi gerak-geriknya."
"Ya, Suhu!" sahut Go Him.
Se-konyong2 Jik Hong melihat kedua kaki Ban Cin-san bergerak, mendadak orangnya berdiri, tanpa merasa Jik Hong menyingkap sedikit seperai ranjang untuk mengintai keluar. Tapi sekali mengintip, seketika ia kaget setengah mati, hampir2 saja ia menjerit.
Ternyata adegan didalam kamar itu membuatnya terbelalak kesima. Ia melihat kedua tangan Ban Cin-san lagi mencekik leher Go Him dengan keras dan Go Him baru saja ulur tangan sendiri hendak melawan, namun sudah keburu tidak berdaya karena kena dicekik. Ia melihat kedua mata Go Him itu mendelik, makin lama makin mencotot keluar hingga mirip mata ikan emas. Telapak tangan Ban Cin-san terluka kena cakaran kuku Go Him, tapi ia mencekik se-kuat2nya, betapapun ia tidak mau lepas tangan.
Lambat-laun kedua tangan Go Him mulai terbuka dengan lemas, ia tak mampu berkutik lagi.
Sampai achirnya Jik Hong melihat lidah Go Him juga menjulur keluar, makin lama makin panjang, keadaannya sangat mengerikan, keruan hati Jik Hong ber-debar2 hebat.
Selang sebentar lagi, pelahan2 Ban Cin-san mengendurkan cekikannya, ia sandarkan Go Him diatas kursi. Rupanya ia sudah sediakan apa yang perlu, maka ia telah ambil dua carik kertas kapas yang sudah dibasahi dulu dengan air, lalu ditutup diatas mulut dan hidung Go Him. Dengan demikian pemuda itu takkan dapat bernapas, dan dengan sendirinya juga takkan siuman untuk selamanya.
Diam2 Jik Hong memikir: "Kongkong pernah berkata bahwa keluarga mereka adalah kaum terkemuka dikota Hengciu sini, tidak boleh sembarangan membunuh orang. Dan ayahnya Go Him kabarnya adalah hartawan disekitar kota, tentu urusan ini takkan selesai sampai disini saja, akibatnya tentu akan geger kelak."
Dan pada saat itu juga, tiba2 terdengar suara bentakan Ban Cin-san: "Bagus sekali perbuatanmu, hayolah lekas kau mengaku terus terang, apakah perlu aku hajar kau dahulu?"

Semula Jik Hong kaget sebab mengira jejaknya telah diketahui orang tua itu, tapi mendadak terdengar, suaranya Go Him lagi menjawab: "Suhu, engkau suruh aku meng…….mengaku apakah?"
Sungguh kejut Jik Hong tak terkatakan, sudah jelas dilihatnya Go Him sudah menggeletak diatas kursi tanpa bernyawa lagi, masakah sekarang bisa bicara pula? Apakah pemuda itu telah hidup kembali? Tapi toh jelas kelihatan bukan begitu halnya, Go Him masih tetap bersandar dikursi tanpa bergerak sedikitpun.
Waktu Jik Hong mengintip pula, ia melihat bibir Ban Cin-san sendiri yang sedang bergerak, ia menjadi heran. "Ha, jadi Kongkong yang lagi bicara? Tapi sudah terang tadi itu adalah suaranya Go Him."
Maka didengarnya pula Ban Cin-san telah membentak lagi: "Mengaku apa? Hm, jangan kau berlaga pilon. Kau sekongkol dengan musuh dan bermaksud mengerjakan sesuatu kejahatan dikota Hengciu ini, apa kau masih berani mungkir?"
"Su…….Suhu, keja……kejahatan apakah?" demikian suaranya Go Him.
Dan sekali ini Jik Hong dapat melihat dengan jelas dan nyata, memang betul Ban Cin-san sedang bicara sendiri dengan menirukan suaranya Go Him, pintar amat cara menirukannya itu hingga serupa benar.
"Kiranya Kongkong masih mempunyai kepandaian simpanan dalam hal menirukan suara orang, mengapa selama ini aku tidak tahu. Apakah maksud tujuannya dengan menirukan suara ucapan Go Him ini?" demikian tanda2 tanya yang timbul dalam hati Jik Hong. Dalam lubuk hatinya yang dalam sana lapat2 teringatlah sesuatu olehnya, tapi itu hanya sesuatu yang samar2 yang belum dapat dipelajari dengan baik. Dalam hati kecilnya timbul semacam rasa kuatir yang susah dimengerti.
Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san sedang berkata pula dengan suara keras: "Hm, kau sangka aku tidak tahu, ya? Kau telah sekongkol dengan tabib kelilingan yang kau bawa kemari itu, orang itu adalah seorang penjahat besar, kau sekongkol dengan dia hendak menggerayangi ………"
"Menggerayangi apa, Suhu? Tecu benar2 tidak tahu?" demikian ia tirukan suaranya Go Him.
Habis itu kembali dengan suara sendiri Cin-san membentak: "Kau hendak menggerayangi kantor Leng-tihu untuk mencuri sesuatu dokumen rahasia, betul tidak? Ha, masih kau berani mungkir?"
"Su……… Suhu, darimanakah engkau mendapat tahu? Suhu, sudilah meng…... mengingat hubungan baik kita selama ini, am…….ampunilah perbuatanku ini, lain…… kali Tecu tidak berani lagi."
"Hm, urusan sebesar ini, masakah begini gampang mengampuni kau?"
Setelah diperhatikan, Jik Hong merasa suara Go Him yang ditirukan Ban Cin-san itu sebenarnya tidak terlalu mirip, cuma ia sengaja menahan suaranya hingga kedengarannya agak samar2, bahkan setiap kalimat selalu ditambahi panggilan "Suhu" dan ber-ulang2 menyebut "Tecu", maka bagi pendengaran orang diluar kantor dengan sendirinya menyangka memang betul adalah Go Him yang sedang bicara. Apalagi dengan nyata semua orang menyaksikan Go Him masuk kedalam kamar serta mendengar percakapan mereka, walaupun suara selanjutnya agak sedikit berlainan, namun selain Go Him masakah didalam kamar itu masih ada orang lain lagi?"
Begitulah pelahan2 Ban Cin-san lantas mengangkat mayatnya Go Him, ia berjongkok untuk menyingkap seperai yang menutup kolong ranjang itu.
Keruan Jik Hong ketakutan setengah mati bila kepergok oleh bapa mertuanya.
Sambil menahan napas ia menantikan apa yang akan terjadi. Dibawah sinar pelita yang remang2 ia melihat sebuah kepala orang menyusup dulu kekolong ranjang, itulah kepalanya Go Him dengan matanya yang mendelik bagai mata ikan mas. Karena mayat Go Him itu terus dijejalkan kekolong ranjang oleh Cin-san, terpaksa Jik Hong menggeser sedapat mungkin, namun badannya toh saling dempel juga dengan mayat itu.
Dalam pada itu sandiwara Ban Cin-san masih main terus, terdengar ia berkata: "Nah, Go Him, apakah kau tidak lekas berlutut? Segera akan kuringkus kau untuk diserahkan kepada Leng-tihu, apakah beliau akan mengampuni kau atau tidak, itulah aku tidak berani menjamin."
"Suhu, apakah engkau benar2 tidak dapat mengampuni Tecu?" demikian suara Go Him tiruan.
Maka Cin-san menjawab: "Hm, mempunyai murid seperti kau, pamorku sudah kau bikin ludas, masakah masih ingin aku mengampuni kau?"

Lalu Jik Hong melihat orang tua itu mengeluarkan sebilah belati dari bajunya, pelahan2 Cin-san menikam kedada sendiri. Tapi didalam baju dibagian dada itu entah sudah diganjal dengan gabus atau benda lain yang empuk maka begitu belati ia ditusukan, segera menancap tegak disitu.
Dan baru saja Jik Hong tahu apa yang bakal terjadi, benar juga segera terdengar suara bentakan Ban Cin-san: "Masih kau tidak mau berlutut?"
Menyusul ia menirukan suara Go Him: "Suhu, engkaulah yang terlalu mendesak padaku, kau tidak dapat menyalahkan aku lagi!"
Dan mendadak Ban Cin-san berteriak: "Aduuuuh!" berbareng ia tendang daun jendela hingga terpentang sambil berteriak pula: "Bangsat kecil, kau……kau berani menyerang gurumu?"
Segera terdengarlah suara gedubrakan, pintu kamar telah didobrak Loh Kun dan lain2 dari luar dan be-ramai2 mereka lantas menyerbu kedalam kamar. Mereka melihat sang guru lagi memegangi dada, dari celah2 jarinya merembes keluar air darah (besar kemungkinan adalah tinta merah yang sudah dipegangnya lebih dulu).
"La……..lari kesana! Bangsat kecil itu sudah lari sesudah menikam aku satu kali!" demikian seru Ban Cin-san dengan suara ter-putus2 dan agak sempoyongan. Le……lekas kejar, ke…..kejar!" ~ dan habis itu, segera iapun jatuhkan dirinya diatas ranjang.
Ban Ka pura2 kuatir, ia ber-teriak2: "Tia-tia! Tia-tia! Parah tidak lukamu?"
Dalam pada itu Loh Kun, Sun Kin, Bok Heng, Pang Tam dan Sim Sia berlima sudah lantas melompat keluar jendela dan menguber sambil mem-bentak2. Seisi rumah sama terkejut juga hingga geger.
Jik Hong yang sembunyi dikolong ranjang itu merasa mayat Go Him lambat-laun mulai dingin. Ia sangat takut, tapi sedikitpun tidak berani bergerak. Ia tahu Kongkong masih merebah diatas ranjang dan sang suami juga berdiri didepan ranjang situ.
Maka terdengarlah Ban Cin-san sedang bertanya dengan suara rendah: "Ada orang menaruh curiga tidak, Ka-ji?"
"Tidak," sahut Ban Ka. "Sungguh mirip benar permainan ayah. Sama seperti waktu membunuh Jik Tiang Hoat, sedikitpun tidak kentara."
"Sama seperti waktu membunuh Jik Tiang Hoat, sedikitpun tidak kentara", kata2 ini seperti sebilah belati tajam yang menikam ulu hati Jik Hong.
Memangnya lapat2 sudah timbul firasat tidak enak dalam hatinya, cuma saja ia masih tidak percaya akan kemungkinan itu. Ia pikir: "Selamanya Kongkong toh sangat ramah-tamah padaku, suami juga sangat baik dan mencintai aku, masakah mungkin mereka membunuh ayahku?"
Dengan sembunyi dikolong ranjang, Jik Hong dapat mengikuti Ban Cin-san membunuh muridnya sendiri, yaitu Go Him, dengan secara licik. Ternyata bapa mertua itu pandai pula menirukan suara orang lain. Seketikan Jik Hong teringat kepada kejadian ayahnya dahulu, apa barangkali ayahnya juga telah menjadi korban kelicikan Ban Cin-san itu?
Tapi sekarang ia telah mendengar dan melihat sendiri, dengan rapi mereka telah atur perangkap untuk membunuh Go Him. Pantas tempo dulu iapun mendengar suara ayahnya yang sedang bertengkar dengan Ban Cin-san didalam kamar, kemudian melihat Ban Cin-san terluka oleh tikaman ayahnya serta melihat daun jendela terbuka, ayahnya tentu sudah kabur melalui situ. Dan sekarang sudah jelas duduknya perkara, semuanya itu adalah sandiwara belaka yang sengaja diatur oleh Ban Cin-san. Pada waktu itu ayahnya tentu sudah dibunuh olehnya, lalu Ban Cin-san menirukan suara ayahnya, pantas waktu itu suara ayahnya kedengaran agak serak berbeda daripada biasanya. Dan rupanya memang sudah takdir ilahi bahwa kejahatan Ban Cin-san itu harus tamat riwayatnya, secara kebetulan sekarang ia sembunyi dikolong ranjang hingga dengan mata kepala sendiri menyaksikan adegan yang mengerikan itu. Coba kalau tidak melihat sendiri, siapa orangnya yang mau percaya?
Begitulah maka terdengar Ban Ka lagi bicara: "Dan perempuan hina itu, bagaimana harus ditindak? Apakah kubiarkan begitu saja?"
"Sabar dulu, pelahan2 kita dapat bereskan dia," ujar Cin-san. "Harus kita lakukan dengan tak diketahui orang dan tak dilihat setan supaya tidak merusak nama baik keluarga Ban dan mencemarkan pamor kita berdua."
"Ya, memang cara berpikir ayah sangat rapi," sahut Ban Ka. Dan tiba2 ia menjerit: "Aduuuh…….."
"Ada apa?" tanya Cin-san cepat.
"Luka ditangan anak ini kembali kesakitan lagi," kata Ban Ka.
"O!" Cin-san bersuara. Dan dalam hal ini memang dia sama sekali tak berdaya.
Bicara tentang luka Ban Ka itu, Jik Hong lantas ingat obat penawar yang berada pada Go Him itu. Pelahan2 ia ulur tangannya untuk menggerayangi bajunya Go Him, ia merasa botol porselin kecil itu masih berada didalam sakunya, segera ia mengambilnya dan dimasukan dalam baju sendiri. Dengan rasa pilu ia memikir: "Ban-long, o, Ban-long, hanya separoh pembicaraan keparat Go Him ini yang kau dengar dan kau sudah lantas mendakwa aku berbuat serong dan sebab itu juga kau tidak dengar bahwa obat penawar berada pada keparat ini. Sesudah dia dibunuh oleh ayahmu, sebenarnya dengan tanpa susah2 kau dapat mengambil obat penawar ini, tapi toh kalian tidak tahu.
Sementara itu karena tidak menemukan bayangan Go Him, tidak lama kemudian Loh Kun dan lain2 telah pulang juga satu-persatu serta datang pada Ban Cin-san untuk tanya keadaan sang guru itu.
Waktu itu Ban Cin-san sudah membuka baju hingga dadanya telanjang, tampak kain pembalut membelebat dari leher memutar kedada, melingkar kepunggung, lalu membalut kembali kedada dan naik lagi keleher.
Sekali ini lukanya tidak begitu parah seperti dahulu. Habis, ilmu silat Go Him tidak mungkin lebih lihay daripada paman gurunya ~ Jik Tiang Hoat. Walaupun tikamannya itu cukup hebat, tapi tidak membahayakan. Demikian permainan sandiwara Ban Cin-san.
Dan sudah tentu para muridnya sangat lega melihat sang guru tidak berbahaya lukanya, mereka sama mencaci-maki pada Go Him yang dikatakan manusia durhaka dan murtad, semuanya menyatakan besok akan pergi mencari orang-tuanya untuk diajak bikin perhitungan, mereka mengharap sang guru merawat diri baik2, lalu mengundurkan diri. Hanya tinggal Ban Ka yang masih duduk ditepi ranjang untuk menjaga ayahnya.
Yang gelisah adalah Jik Hong, ia ingin mencari suatu kesempatan untuk lari keluar, ia meringkuk disebelah mayat Go Him, rasanya muak dan sebal, maka sedapat mungkin ingin lekas pergi, tapi kuatir pula kalau diketahui oleh Ban Cin-san berdua, sama sekali ia tiada akal untuk meloloskan diri.
Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san lagi bicara: "Kita harus bereskan dulu mayatnya, jangan sampai rahasia kita diketahui orang."
"Apakah akan dibereskan seperti caranya Jik Tiang-hoat?" tanya Ban Ka.
Cin-san memikir sejenak, lalu katanya: "Ya, lebih baik dengan cara lama itu."
Jik Hong meneteskan air mata pedih, katanya didalam hati. "Dengan cara bagaimanakah mereka telah kerjakan ayahku?"
"Apakah akan dipasang disini? Ayah tidur disini, apakah tidak merasa risi?" tanya Ban Ka.
Sementara boleh aku pindah kekamarmu," sahut Cin-san. "Yang kukuatirkan yalah mungkin masih akan timbul sesuatu yang sulit, masakah orang begitu baik hati menghantarkan kembali Kiam-boh ini kepada kita? Maka kita berdua harus bersatu-padu untuk melawan musuh. Kelak kalau kita sudah kaya-raya masak kuatir tidak punya gedung yang lebih mentereng daripada ini?"
Ketika mendengar mayat Go Him akan "dipasang" disitu, seketika terkilas sesuatu dalam benak Jik Hong, segera iapun paham duduknya perkara: "Ya, dia …….dia telah pasang mayat ayahku didalam tembok. Dengan licin ia telah musnakan mayat ayahku, pantas selama ini tiada kabar-berita tentang jejak ayahku. Pantas pula Kongkong…… tidak, tidak, ia bukan Kongkong lagi, tapi jahanam Ban Cin-san itu suka bangun ditengah malam untuk pasang tembok. Rupanya dia terlalu banyak berbuat kejahatan, pikirannya terganggu, maka telah kena penyakit tidur, dalam tidurnya ia suka bangun untuk pasang tembok……"
Kemudian ia dengar Ban Ka sedang tanya: "Tia, sebenarnya apakah manfaat yang berada pada Kiam-boh itu? Engkau mengatakan kita akan mendapatkan harta karun hingga kaya-raya mendadak? Apa barangkali kitab ini bukan……bukan kitab ilmu silat segala, tapi adalah sesuatu rahasia mengenai suatu partai harta karun terpendam?"
"Ya, sudah tentu bukan kitab ilmu silat, tapi yang dikatakan didalam Kiam-boh itu adalah suatu tempat simpanan harta karun," sahut Cin-san. "Dahulu situa bangka Bwe Liam-sing hendak mewariskan kitab itu kepada orang luar, hehe, benar2 tua bangka, masakah murid sendiri juga tak dipercayai. Eh, Ka-ji, lekas, lekas kau ambil Kiam-boh itu."
Setelah ragu2 sejenak, kemudian Ban Ka mengeluarkan sejilid buku dari bajunya. Kiranya sepeninggalnya Jik Hong dari kamar pojok taman itu, segera Ban Ka masuk kesitu dan mengeluarkan kitab itu dari lubang dinding.
Kitab itu habis direndam oleh Jik Hong, maka sampulnya belum lagi kering. Ban Cin-san menerima kitab itu sambil melirik sekejap pada puteranya itu, pikirnya: "Barusan mengapa kau ragu2? Kenapa tak mau keluarkan kitab itu secara blak2an? Apa kau hendak membohongi aku untuk mengangkangi sendiri kitab ini?"
Tapi sekarang ia tiada tempo buat menyelami pikiran sang putera itu, segera ia mem-balik2 kitab itu satu halaman demi satu halaman.
Sesudah terendam sekian lamanya didalam air darah yang berbisa dibaskom itu, kedua halaman sampul berikut beberapa halaman muka dan belakang dari kitab itu sudah basah semua, tapi halaman2 bagian tengah masih tetap kering.
Maka dengan suara rendah Ban Cin-san telah berkata: "Kitab ini apakah dapat kita pertahankan atau tidak sesungguhnya sulit dipastikan. Paling penting sekarang kita harus menyelidiki rahasia yang tertulis didalam kitab ini, dan bila kemudian kitab ini dirampas orang lagi, hal mana takkan menjadi soal bagi kita. Nah, pergilah ambil sebatang potlot dan kertas, kita harus mencatatnya dengan baik. Nah, kau juga harus apalkan jurus pertama dari Soh-sim-kiam-hoat berasal dari syair 'Jun-kui' (Musim semi tiba pula) ciptaan To Hu (Tu Fu, penyair tersohor dijaman dinasti Tong) ……"
Sembari berkata ia terus gunakan jarinya untuk mengambil ludah, lalu digunakan membasahi halaman kitab yang tertulis syair To Hu itu, tiba2 ia berseru pelahan kegirangan, katanya: "Ha, angka 'empat'! Empat…….empat…….bagus! Huruf keempat adalah 'Kang', nah, catatlah yang betul. Dan jurus kedua berasal dari syair To Hu pula yang berjudul 'Tiong-kang-ciau-leng'." ~ Kembali ia membasahi jari dengan ludah dan lagi2 ia bersorak pelahan: "Ha, angka '51'. Nah, satu, dua, tiga, empat, lima………" ~ begitulah ia menghitung terus satu huruf demi satu huruf hingga huruf ke-51, dan ternyata jatuh pada huruf 'Leng'. "Ha, huruf 'Leng', jadi 'Kang-leng', bagus. 'Kang-leng', kiranya memang betul adalah di Hengciu sini."
"Tiatia, hendaklah pelahan sedikit suaramu," kata Ban Ka ketika melihat ayahnya menjadi lupa daratan saking girangnya.
Maka Ban Cin-san telah tersenyum, katanya: "Ya, benar, memang tidak boleh lupa daratan saking senangnya. Nah, Ka-ji, jerih-payah ayahmu ini achirnya tidaklah sia2, rahasia besar ini achirnya dapat kita ketemukan juga!"
Dan se-konyong2 ia menutup kembali halaman kitab itu, katanya dengan suara tertahan: "Tapi, Ka-ji, sebab apakah musuh sengaja menghantarkan Kiam-boh ini kepada kita, sekarang aku sudah tahulah!"
"Sebab apakah?" Hal mana sampai sekarang aku masih tidak paham," ujar Ban Ka.
"Ya, sebab setelah mendapatkan Kiam-hoat ini, tetap musuh tak dapat memecahkan rahasia didalam kitab, dan dengan sendirinya tiada berguna, bukan?" kata Ban Cin-san dengan ber-seri2. "Padahal Soh-sim-kiam-hoat kita setiap jurusnya memakai nama yang berasal dari syair jaman Tong, dengan sendirinya orang dari golongan lain takkan tahu hal ini. Didunia ini sekarang hanya aku dan Gian Tat-peng yang ingat dengan baik nama2 jurus ilmu pedang kita. Hanya aku dan dia yang tahu nama setiap jurus itu berasal dari syair yang mana. Seperti jurus pertama harus mencarinya pada syair 'Jin-kui' dan jurus kedua harus mencari pada syair 'Tiong-kang-ciau-leng' dan begitu seterusnya."
"Tia, kenapa kau tidak pernah mengajarkan padaku?" demikian Ban Ka bertanya.
BanCin-san tampak agak kikuk oleh teguran itu, segera ia menjawab: "Habis aku mempunyai delapan anak murid, setiap hari kalian berada bersama, kalau melulu aku ajarkan padamu, tentu juga akan diketahui oleh mereka, dan itu berarti bikin urusan runyam."
"O, kiranya musuh mempunyai tipu muslihat tertentu, ia ingin kita menemukan rahasia didalam kitab ini dan membiarkan kita pergi mencari harta karun itu, kemudian ia akan menyergap kita, dengan demikian ia akan keduk keuntungannya tanpa susah payah," demikian kata Ban Ka.
"Ya, memang betul terkaanmu," kata Cin-san. "Maka setiap tindakan kita harus waspada, jangan sampai usaha kita sia2 belaka, jangan2 harta karun belum diperoleh, tapi jiwa kita sudah melayang dulu ditangan musuh."
Kemudian itu menggunakan ludah pula untuk membasahi syair ketiga, katanya: "Jurus ketiga dari Soh-sim-kiam-hoat kita berasal dari syair 'Song-ko-si' ciptaan Ju Bek, angka kuncinya adalah '33' seperti apa yang sudah kelihatan ini, nah, satu, dua, tiga, empat…….Ha, huruf tiga-puluh-tiga jatuh pada huruf 'Seng' (kota). Eh, jadi lengkapnya adalah 'Kang-leng-seng' (kota Kang-leng atau Hengciu). Aha, ini dia, memang benarlah, tidak salah lagi, apa yang mesti disangsikan pula? He, kenapa tanganku ini terasa sangat gatal?"
Begitulah tiba2 ia merasa punggung tangan kirinya sangat gatal, segera ia kukur2 dengan tangan kanan. Tapi punggung tangan kanan ikut terasa gatal pula, cepat ia garuk2 lagi dengan tangan kiri dan begitulah secara ber-ulang2, ia kukur2 sini dan garuk sana.
Sesudah kukur2 dan garuk2, sebenarnya Ban Cin-san tidak ambil perhatian, kembali ia membaca isi Kiam-boh pula dan berkata: "Dan jurus keempat ini……….he, gatal benar?" ~ dan kembali ia kukur2 tangan kiri. Tapi sekali ini ia coba periksa tangan itu, ia melihat punggung tangan disitu terdapat beberapa jalur bekas tinta hitam, keruan ia heran, ia merasa tidak pernah menulis, kenapa tangannya terpercik noda tinta?
Sementara itu ia merasa tangannya semakin gatal, waktu ia periksa tangan kanan, disitu juga terdapat beberapa jalur bekas tinta bak yang silang melintang tak keruan.
"Ha, ayah, dari……..darimanakah noda hitam diatas tanganmu itu?" demikian teriak Ban Ka tiba2. "Tampaknya tanda itu seperti terkena racun ketungging Gian Tat-peng itu?"
Ban Cin-san tersadar oleh ucapan puteranya itu, ia merasa tangannya semangkin gatal, tanpa merasa ia garuk2 lagi kesana dan kesini.
"Wah, jang……...jangan digaruk, racun itu berasal dari kukumu itu," seru Ban Ka.
"Ai, memang benar!' segera Ban Cin-san juga berteriak. Iapun sadar seketika, katanya: "Ya, karena Kiam-boh ini direndam didalam air darah berbisa oleh siperempuan jalang itu, dengan sendirinya kitab inipun mengandung racun jahat itu. Ai, ku……. kurangajar sikeparat Go Him itu, mati saja tidak rela hingga tanganku kena dicakarnya sampai terluka, dan sekarang racun ketungging telah masuk melalui luka ini, rasaku menjadi risi, tapi agaknya tidak apa2……..Aduuuh, kenapa makin lama semakin sakit. Auuuuuh, aduuuuh!" ~ begitulah saking tak tahan achirnya ia me-rintih2 kesakitan.
"Tia, agaknya racun ketungging yang masuk ditanganmu itu, tidak banyak, biarlah kuambilkan air untuk dicuci," ujar Ban Ka.
"Ya, benar!" sahut Ban Cin-san. Dan mendadak ia berseru: "Tho Ang! Tho Ang! Ambilkan air!"
Ban Ka mengkerut kening, ia pikir: "Ayah barangkali sudah pikun? Sudah lama Tho Ang telah diusir olehnya sendiri, kenapa sekarang me-manggil2?"
Segera iapun mengambil sebuah baskom, dengan cepat ia menuju ketepi sumur, ia menimba air satu baskom penuh, lalu dibawa masuk kekamar dan ditaruh diatas meja. Terus saja Ban Cin-san masukan kedua tangannya untuk direndam didalam baskom, dan memang benar kerendam air dingin, rasa sakit dan gatalnya menjadi jauh berkurang.
Diluar dugaan bahwa racun ketungging yang mengenai Ban Ka itu telah berubah sifatnya, sesudah dibubuhi obat penawar satu kali, darah hitam yang merembes keluar dari lukanya itu telah berubah sifatnya menjadi semacam racun lain jauh lebih jahat daripada racun semula, apalagi tangan Ban Cin-san itu bekas luka kena cakaran Go Him, luka cakaran itu tergurat cukup dalam hingga racun yang meresap kesitupun jauh lebih cepat dan lebih berat.
Maka hanya sebentar saja ia merendam tangannya, segera air didalam baskom itu berubah menjadi hitam, bahkan lambat-laun air hitam itu berubah menjadi ketat hingga mirip tinta bak.
Keruan Ban Cin-san saling pandang dengan Ban Ka, mereka sangat terkejut. Sejenak kemudian, waktu Ban Cin-san mengangkat tangannya, mendadak ia menjerit kaget. Ternyata kedua tangannya itu telah abuh se-akan2 menjadi dua bola, sekalipun luka tangan Ban Ka yang disengat ketungging tempo hari juga tidak sejahat sekarang ini.
"Ai, celaka! Mungkin tidak boleh direndam didalam air!" seru Ban Ka.
Saking kesakitan Ban Cin-san menjadi mata gelap, "bluk", kontan ia tendang pinggang Ban Ka sambil memaki: "Binatang, jika tahu tidak boleh direndam dengan air, kenapa tadi kau mengambilkan air? Bukankah kau sengaja hendak bikin celaka padaku?"
Karena tendangan itu, saking kesakitan sampai Ban Ka menjengking meringis sambil pegang pinggangnya. Katanya dengan suara ter-putus2: "Ak……..akupun tidak tahu, mana mungkin sengaja hendak bikin celaka pada ayah?"
Dengan jelas Jik Hong yang sembunyi dikolong ranjang itu dapat mengikuti percekcokan ayah dan anak itu, tapi perasaannya waktu itu tak keruan rasanya, entah merasa sedih atau girang, karena mengingat akan dapat menuntut balas.
Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san lagi ber-jingkrak2 sambil ber-teriak2: "Wah bagaimana ini, bagaimana ini?"
"Dikamarku sana ada sedikit obat tahan sakit, meski takbisa memunahkan racun, tapi dapat menghilangkan rasa sakit sementara, apakah ayah mau memakainya?" kata Ban Ka.
"Ya, ya! Lekas, lekas ambil sana!" sahut Cin-san.
"Tapi apakah manjur atau tidak, anak tidak berani menjamin, lho!" kata Ban Ka. "Jangan2 tidak manjur, nanti ayah akan marah dan menendang aku lagi!"
"Maknya!" damperat Cin-san dengan gemas. "Bapakmu sudah hampir sekarat dan kau masih merasa penasaran karena tendangan tadi? Kau diberi gegares hingga sebesar cecongormu itu, hanya tendangan sekali saja apa salah? Bangsat, hayo lekas pergi ambil, lekas!"
Terpaksa Ban Ka mengiakan, lalu putar tubuh dan keluar.
Melihat diwaktu perginya sang putera masih mengunjuk sikap penasaran, diam2 Cin-san merasa was-was. Ia lihat kedua tangan sendiri bukan main besarnya, mirip pelembungan yang ditiup hingga penuh, kulit sebagian tangan itu sampai menitis, kerut kisutnya sampai tak kelihatan lagi, kalau abuh lagi sedikit, bukan mustahil bisa segera pecah.
"Marilah kita pergi bersama!" serunya segera kepada sang putera. Dengan demikian ia pikir akan terhindar dari kemungkinan dipermainkan oleh puteranya sendiri. Maka lebih dulu ia masukan Soh-sim-kiam-boh kedalam baju, lalu menyusul kearah Ban Ka dengan langkah cepat.
Mendengar kedua orang itu sudah pergi jauh, segera Jik Hong merangkak keluar dari kolong ranjang, pikirnya: "Kemana aku harus pergi sekarang?" ~ sesaat itu ia menjadi bingung, ia merasa dunia seluas itu baginya se-akan2 sebesar daun kelor dan tiada tempat berteduh baginya.
"Mereka telah membunuh ayahku, sakit hati ini masakah tak kubalas? Tapi dendam sedalam lautan ini cara bagaimana harus membalasnya? Bicara tentang ilmu silat, terang aku selisih sangat jauh dibandingkan Kongkong dan Ban-long, apalagi mereka percaya penuh bahwa aku telah bergendak dengan Go Him, bukan mustahil sekali bertemu dengan mereka pasti aku akan dibunuhnya, dan cara bagaimana aku harus melawan mereka? Jalan satu2nya sekarang yalah……..yalah pergilah mencari dulu Tik-suko, bila sudah ketemu, tentu akan dapat dicari jalan yang sempurna untuk menuntut balas. Dan bagaimana dengan Khong-sim-jay? Ai, mana boleh kutinggalkan dara cilik itu?"
Begitulah demi teringat kepada puterinya yang masih kecil itu, ia menjadi tidak tega tinggal minggat. Segera ia berlari keloteng dibelakang sana, ia bertekad akan membawa puterinya itu untuk melarikan diri dan kelak baru akan dicari jalan membalas dendam. Dalam hati kecilnya iapun tidak berani percaya seratus prosen bahwa ayah dan anak she Ban itu benar2 adalah orang yang membunuh ayahnya. Memang Ban Cin-san dikenalnya sebagai seorang manusia keji dan kotor. Tapi Ban Ka? Suaminya selama ini sangat mencintainya, betapapun hubungan suami-isteri itu susah diachiri begitu saja.
Ketika ia ber-lari2 sampai dibawah loteng, ia mendengar suara Ban Cin-san yang serak sedang ber-teriak2 kalap. "Begitu berisik suaranya, tentu Khong-sim-jay akan terjaga bangun dengan kaget," demikian pikir Jik Hong.
Cinta kasih ibu memang suci murni. Demi ingat kemungkinan puterinya akan terjaga bangun dan kaget, tanpa pikirkan bahaya atas diri sendiri, segera Jik Hong naik keatas loteng dengan pelahan2, dengan hati2 ia berusaha tidak mengeluarkan suara.
Kamar tidur Khong-sim-jay terpisah dibelakang kamar tidur suami-isteri mereka, yaitu dipisah dengan selapis papan. Sesudah Jik Hong menyelinap kedalam kamar itu, dari sinar pelita yang tembus dari kamar tidurnya sendiri, ia melihat puterinya itu sudah lama terjaga bangun, dengan mata terbelalak dara cilik itu kelihatan sangat ketakutan, dan begitu melihat ibundanya sudah datang, segera bocah itu mewek2 hendak menangis.
Cepat Jik Hong memburu maju terus memeluknya kencang2, ia memberi tanda agar bocah itu jangan bersuara.

Anak dara itu memang pintar dan menurut pula, benar juga ia lantas diam saja. Maka ibu dan anak berdua lantas berkelonan diatas ranjang.
Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san sedang ber-teriak2: "Wah, celaka! Obat tahan sakit ini makin membikin sakit malah, bagaimana baiknya ini? Hayolah lekas cari tabib kampungan itu, harus memakai obat penawarnya itu baru dapat sembuh!"
"Ya, benar, harus memakai obatnya itu barulah racun itu bisa dipunahkan," Ban Ka ikut berseru. "Nanti kalau sudah terang tanah, segera suruh Loh-toako dan lain2 keluar serentak untuk mencari tabib kampungan itu."
"Masakah mesti menunggu sampai terang tanah?" semprot Cin-san dengan gusar. "Kenapa tidak……..Aduuuh………Aduuh………Aduuuuh! Aku tak tahan, aku tak tahan!" ~ dan mendadak ia terus terguling dilantai saking kesakitan sampai ia berkelojotan kian kemari seperti orang sekarat. Dan mendadak ia berteriak pula. "Lekas, lekas ambil pedang! Potong……potonglah kedua tanganku ini, lekas potong kedua tanganku!"
Menyusul lantas terdengar suara gedubrakan dan gemerantang, suara jatuhnya meja kursi dan pecah hancurnya perkakas rumah tangga sebangsa mangkok-cangkir. Dengan ketakutan Khong-sim-jay peluk ibundanya dengan kencang, mukanya pucat. Tapi pelahan2 Jik Hong telah meng-elus2 dara cilik itu agar jangan takut, namun iapun tidak berani bersuara.
Rupanya Ban Ka juga sangat gugup dan kuatir, terdengar ia sedang berkata: "Tia, harap kau bisa tahan sebentar saja, masakah tanganmu boleh dipotong? Lebih baik kita harus mencari obat penawarnya."
Mungkin Ban Cin-san sudah tidak tahan lagi oleh siksaan luka yang berbisa itu, mendadak ia menjadi murka, bentaknya dengan mendelik: "Kenapa kau tidak mau memotong kedua tanganku untuk membebaskan aku dari siksaan kesakitan? Ha, tahulah aku, tentu kau……kau ingin aku lekas2 mati agar kau bisa ……bisa kangkangi sendiri Kiam-boh ini, kau ingin mendapatkan harta karun itu sendirian……."
Ban Ka menjadi gusar juga karena dituduh secara tidak se-mena2, sahutnya: "Tia, saking kesakitan hingga pikiranmu agak linglung, lebih baik engkau tidurlah sebentar. Padahal bila engkau tidak memimpin dalam urusan ini, apa sih gunanya aku mendapat Kiam-boh itu?"
"Hm, pikiranku linglung? Tapi pikiranmu sendiri sudah tidak bermaksud baik," sahut Cin-san sambil tiada hentinya berkelojotan kian kemari dilantai. "Aduuuh, mati aku, sakitnya!…….Matilah aku……..Ya, toh aku akan mati, biarlah kita bubar pasar saja, kita semua takkan mendapatkan apa2!"
Mendadak matanya merah membara, segera ia mengeluarkan Kiam-boh itu dari bajunya, lalu satu halaman demi satu halaman dirobeknya.
Keruan Ban Ka terkejut dan merasa sayang, cepat ia berseru: "Hai, jangan, jangan disobek!" ~ Dan segera ia mencegahnya, terus saja ia pegang sebelah kitab itu,
Tapi Ban Cin-san masih pegang erat2 bagian lain dari kitab itu dengan mati2an, betapapun ia tidak mau lepas.
Kiam-boh itu habis direndam didalam air berdarah, sebegitu jauh masih belum kering, sekarang kena ditarik lagi oleh kedua orang, seketika kitab itu terobek menjadi dua bagian. Ban Cin-san pegang separoh jilid dan Ban Ka juga memegang setengah buku.
Selagi Ban Ka tertegun oleh kejadian itu, kembali Ban Cin-san mulai me-robek2 lagi halaman kitab itu.
Sudah tentu Ban Ka merasa berat kehilangan kitab itu, ia tidak rela harta karun yang diimpikan oleh setiap orang itu akan lenyap begitu saja, segera ia merangsang maju untuk merebut lagi bagian kitab ditangan ayahnya itu. Maka terjadilah betot-membetot, achirnya saling gumul, dan kitab itu menjadi makin kumal dan hancur ber-keping2.
Se-konyong2 Ban Ka menjerit: "Aduuuh, sakitnya!"
Kiranya setelah terjadi tarik dan betot dan achirnya saling gumul itu, tanpa sengaja luka ditangan Ban Ka itu kena pula racun yang meresap didalam kitab itu. Dan racun yang berada didalam kitab itu sungguh bukan main jahatnya, hanya sekejap saja kedua tangan Ban Ka kembali abuh lagi seperti pelembungan, rasa sakitnya yang menusuk ulu hati dan merasuk tulang itu benar2 susah ditahan. Apalagi dasar ilmu silatnya selisih jauh kalau dibandingkan ayahnya, sehabis sakit tentu tenaganya juga masih lemah. Sebab itulah, begitu racun itu masuk kedalam lukanya dan meresap mengikuti aliran darah, maka kumatnya menjadi cepat luar biasa.
Jadi sekarang kedua orang ~ ayah dan anak ~ itu sama2 berkelojotan diatas lantai sambil men-jerit2 ngeri.
Sesudah mendengarkan agak lama, achirnya Jik Hong merasa tidak tega, betapapun hubungan suami-isteri selama itu telah mendorongnya bertindak, ia tidak dapat berpeluk tangan menonton saja. Segera ia berbangkit dari tempat tidur dan menuju kepintu kamar. Melihat Ban Cin-san berdua masih ber-gulung2 dilantai, segera ia menegur dengan dingin: "Ada apakah kalian? Kenapa bergulingan ditanah?"
Melihat Jik Hong, tiada tempo buat marah lagi bagi Ban Cin-san berdua. Segera Ban Ka memohon: "Hong-moay, tolong, tolonglah lekas pergi mencari tabib kampungan itu, mohonlah dia suka lekas meracikan obat penawarnya, aduuuh……..sungguh sakit sekali, aku tidak tahan lagi, mo…….mohon bantuanmu……."
Melihat keringat memenuhi jidat sang suami dengan menahan sakit, hati Jik Hong semakin lemah lagi, tanpa pikir ia lantas mengeluarkan botol porselin kecil itu, katanya: "Obat penawarnya berada disini!"
"Wah, bagus, bagus!" serentak Ban Cin-san dan Ban Ka berteriak girang bagaikan orang tarik lotere 150 juta. Segera mereka me-ronta2 untuk merangkak bangun.
Melihat sorot mata Ba Cin-san yang menampilkan sifat buasnya binatang, Jik Hong pikir kalau kesempatan ini tidak digunakan untuk memaksa pengakuannya, mungkin kelak akan susah meyelidiki duduknya perkara sebenarnya. Maka ia lantas membentak: "Tahan dulu, jangan bergerak! Asal kalian ada yang melangkah maju satu tindak saja, segera obat penawar ini akan kulemparkan kedalam empang dibawah sana, biar kita mati semuanya!" ~ Sembari berkata ia terus membuka daun jendela dan membuka sumbat botol pula, ia angsurkan botol porselin itu keluar jendela, asal dia lepas tangan, segera botol itu akan jatuh kedalam empang dan obatnya akan buyar terkena air serta takbisa dicari lagi.
Ban Cin-san berdua menjadi mati kutu, benar juga mereka tidak berani sembarangan bergerak, mereka terpaku ditempatnya sambil saling pandang.
"Eh, menantuku yang baik, asal kau memberikan obat penawar itu, aku berjanji akan meluluskan kau ikut pergi bersama Go Him, sedikitpun aku takkan merintangi kalian. Selain itu aku akan menghadiahkan pula seribu tahil sebagai modal untuk kalian…….aduuh, sakit……dan ……dan Ka-ji juga takdapat menahan kau bila engkau toh sudah ingin pergi, maka……maka kau boleh tak perlu kuatir."
Jik Hong pikir orang ini benar2 licin dan rendah tak kenal malu, sudah terang Go Him telah dicekik mati olehnya sendiri, tapi masih digunakannya untuk menipu orang.
Sementara itu terdengar Ban Ka juga berkata padanya: "Ya, Hong-moay, meski aku merasa berat, tapi jiwaku lebih penting, aku berjanji takkan membikin susah pada Go Him."
"Hm, hati kalian barangkali sudah beku, ya? Masakah masih mempunyai pikiran jijik seperti itu?" jengek Jik Hong. "Aku hanya ingin tanya sesuatu pada kalian, asal kalian mengaku dengan sejujurnya, segera aku akan memberikan obat penawar ini."
"Baik, baik! Lekas kau tanya, pasti akan kujawab. Aduuuuh, aduuuuuh!………" demikian sahut Ba Cin-san sambil merintih.
Pada saat itulah tiba2 angin meniup kencang masuk dari jendela hingga sobekan kertas yang berserakan dikantor itu bertebaran dan ada yang kabur keluar. Tiba2 sepasang kupu2 kertas itupun terbang keatas, itulah pola kupu2 guntingan Jik Hong tempo dulu yang diselipkannya ditengah kitab itu. Karena angin meniup terus, maka sepasang kupu2 kertas itupun se-akan2 terbang kian kemari dengan hidup didalam kamar, Jik Hong menjadi pedih dan duka, terbayang olehnya suasana gembira ria waktu dia bermain dengan Tik Hun didalam gua dimasa dahulu.
Dalam pada itu Ban Ka juga telah mendesak: "Ya, apa yang kau ingin tahu, lekaslah tanya. Asal tahu tentu akan kukatakan terus terang."
Dan karena itu barulah Jik Hong tersadar dari lamunannya, katanya kemudian: "Tentang ayahku. Dimanakah beliau? Apa yang telah kalian perbuat atas diri beliau?"

"Ayahmu, hehe, darimana aku tahu, bukankah dahulu ia telah melarikan diri?" ujar Ban Cin-san dengan tertawa yang di-buat2. "Tentang saudara-seperguruanku itu, aduuuh……….aku juga sangat terkenang padanya, auuh, ck-ck-ck……..Ai, toh kita sekarang juga sudah besanan, kan sangat baik toh?"
Begitulah sambil menjawab Ban Cin-san sembari ber-teriak2 kesakitan.
Tapi Jik Hong tidak bisa tertipu lagi, dengan muka masam ia menyemprot: "Huh, masih berani kau berkata demikian? Ayahku sudah dibunuh oleh kau, betul tidak? Cara kau membunuh beliau adalah sama seperti kau membunuh Go Him, betul tidak? Dan kau telah masukan jenazahnya kedalam tembok, betul tidak?"
Ber-ulang2 tiga kali pertanyaan: "Betul tidak?" telah membuat Ban Cin-san dan Ban Ka menjadi gelagapan dan terperanjat, sama sekali tak mereka duga bahwa Jik Hong dapat mengetahui terbunuhnya ayahnya, bahkan terbunuhnya Go Him juga tahu.
Maka dengan suara tak lancar Ban Ka bertanya: "Da……..darimana kau tahu?"
Dengan pertanyaan itu, sama saja Ban Ka telah mengakui segala kejadian itu memang betul adanya.
Dalam pedih dan gusarnya segera Jik Hong bermaksud melepaskan botol porselin yang dipegangnya itu kedalam empang. Melihat gelagat jelek, segera Ban Ka bermaksud menubruk maju untuk merebut kalau Ban Cin-san tidak keburu membentak untuk mencegahnya. Dalam keadaan begitu, Cin-san tahu akan lebih runyam lagi bila memakai kekerasan.
Dan pada saat itu juga tiba2 sidara cilik Khong-sim-jay berlari keluar dari kamarnya sambil berseru: "Ibu, ibu!"
Segera dara cilik itu bermaksud memburu kepangkuan ibundanya.
Sekilas Ban Ka mendapatkan akal, cepat ia sambar Khong-sim-jay sebelum dara cilik berlari lewat disisinya, ia angkat bocah itu dan segera mencabut belati mengancam diatas kepala puterinya sendiri itu sambil membentak: "Baiklah, kalau mau mati, biarlah kita tua-muda seisi rumah ini mati bersama saja, sekarang biarlah kubunuh Khong-sim-jay dulu!"
Keruan Jik Hong kaget, puterinya itu merupakan mestika jiwanya, cepat ia berseru: "Jangan! Lekas lepaskan dia, apa sangkut-pautnya dengan bocah yang tak berdosa itu?"
"Ya, toh kita semua tak bakal hidup lagi, maka lebih dulu biar kubunuh Khong-sim-jay saja," ujar Ban Ka. Dan sekali tangannya terangkat, segera belatinya hendak menikam kedada si-bocah.
"Jangan! Jangan!" saking kuatirnya Jik Hong terus memburu maju hendak menolong.
Meski Ban Cin-san dalam keadaan tersiksa oleh karena serangan racun dalam tubuh, tapi ia sudah kenyang asam-garam, demi melihat Jik Hong kena dipancing oleh Ban Ka dan berlari maju, tanpa ayal lagi ia lantas menyikut hingga tepat pinggang Jik Hong kena ditutuk olehnya, menyusul ia terus rampas botol obat penawar ditangan menantu itu dan buru2 ia bubuhkan obat penawar itu dipunggung tangan sendiri.
Cepat Ban Ka ikut memburu maju untuk minta dibubuhi obat pemunah racun itu. Sebaliknya Jik Hong masih sempat mencapai puterinya serta merangkulnya dengan erat2 tanpa menghiraukan orang lain.
Segera Ban Cin-san ayun kakinya, Jik Hong didepaknya hingga terguling, menyusul ia lepaskan ikat pinggang sendiri untuk meringkus menantunya itu dengan menelikung kedua tangannya kebelakang, kemudian kedua kakinya diikat pula kencang-kencang.
Sambil men-jerit2 memanggil ibu, Khong-sim-jay memburu kearah Jik Hong. Tapi sekali Ban Cin-san ayun tangannya, tepat dara cilik itu kena digampar hingga kelengar. Tapi gamparan itu memakai telapak tangannya yang abuh hingga Ban Cin-san meringis kesakitan sendiri sambil merintih tertahan.
Obat penawar racun ketungging itu memang "ces-pleng", sesudah dibubuhi obat itu, hanya sebentar saja dari luka kedua orang itu lantas merembes keluar air berdarah, rasa sakit mulai hilang dan berubah menjadi rasa gatal, tak lama kemudian rasa gatal itupun berkurang dan achirnya lenyap.
Sungguh lega dan senang sekali Ban Cin-san dan Ban Ka karena jiwa mereka telah dapat dirampas kembali dari tangan raja achirat. Dan sekali jiwa mereka sudah selamat, segera timbul lagi jiwa tamak mereka. Segera mereka teringat kepada kitab pusaka yang merupakan kunci bagi suatu partai harta karun itu.
Untuk sejenak mereka celingukan kian kemari, mereka melihat didalam kamar masih banyak bertebaran sobekan2 kertas, banyak pula yang sedang kabur keluar jendela tertiup angin.
"Wah, celaka!" demikian se-konyong2 kedua orang berteriak bersama. Segera mereka memburu maju hendak mencegah kaburnya sobekan2 kertas itu.
Namun kertas kecil2 itu sudah tak keruan tempatnya, sebagian sudah jatuh kedalam empang diluar jendela sana, ada pula yang sedang me-layang2 di udara dan hampir masuk ke air.
"Wah, cialat! Lekas buru, lekas!" teriak Ban Cin-san.
Dan tanpa dikomando untuk kedua kali lagi, segera mereka berdua memburu kebawah loteng secepat terbang, saat itu mereka sudah lupa pada kelakuan mereka yang me-rengek2 secara menjijikan waktu sekarat tadi.
Begitulah Ban Cin-san dan Ban Ka telah berlari ke taman, dengan napsu mereka ingin menangkap kembali potongan2 kertas yang bertebaran itu. Tetapi be-ratus2 potong kertas yang kecil-kecil itu sudah terpencar tak keruan, ada yang kecemplung ke dalam empang, ada yang jatuh keluar pagar tembok, ada yang me-layang2 keudara terbawa angin. Maka biarpun mereka berdua tubruk sini dan sambar sana sambil berjingkrakan seperti orang gila, hasilnya juga tidak seberapa, apalagi kertas yang sudah di-robek2 itu masakah dapat memulihkan kitab aseli Soh-sim-kiam-boh itu?
Begitulah meski sakit ditangan Ban Cin-san sudah hilang, tapi sakit di dalam hatinya menjadi tambah hebat. Dalam dongkolnya yang tak terlampiaskan itu, segera ia mendamperat puteranya: "Semuanya gara2 kau bangsat kecil ini. Kalau kau tidak main tarik dan betot padaku, masakah Kiam-boh itu bisa hancur seperti sekarang?".
Ban Ka menghela napas dan tidak mengubar lagi kertas2 yang sudah hancur itu. Sahutnya: "Tia, kalau tadi anak tidak mencegah, mungkin Kiam-boh itu sudah lebih hancur daripada sekarang".
"Ah, kentut!" semprot Ban Cin-san, walaupun dalam hati ia harus mengakui kebenaran ucapan puteranya itu, tapi dimulut ia tidak mau kalah, masih 'kentat-kentut' terus.
"Tia," kata Ban Ka kemudian, "baiknya kita sudah tahu bahwa tempat yang dimaksudkan itu adalah Kang-leng-seng-lam (selatan kota Kang-leng), mungkin dari sisa Kiam-boh yang masih ada itu dapat kita temukan sedikit petunjuk lain, dan mungkin kita masih dapat menemukan harta terpendam itu."
Semangat Ban Cin-san terbangkit seketika demi mendengar peringatan puteranya itu, serunya cepat: "He, benar, memang tempat itu adalah 'Kang-leng-seng-lam'……..
Dan pada saat itu yuga, tiba2 diluar pagar tembok sana ada suara orang mengulangi kalimat itu dengan pelahan: "Kang-leng-seng-lam!".
Keruan keyut Ban Cin-san berdua bukan kepalang demi mendengar suara itu. Seketika mereka memburu keluar sana. Mereka melihat dua sosok bayangan yang sedang menghilang dibalik tikungan jalan sana, cepat Ban Cin-san membentak: "Bok Heng, Sim Sia, berhenti!".
Tapi jangankan berhenti, bahkan menolehpun tidak kedua orang itu lantas kabur dengan cepat.
Dan selagi Ban Cin-san bermaksud mengejar, tiba2 Ban Ka berkata: "Tia, di atas loteng masih ada sisa Kiam-boh itu, pula masih ada…………. masih ada perempuan jalang itu".
Setelah memikir, Ban Cin-san merasa benar juga usul puteranya itu, ia mengangguk tanda setuju dan segera mereka kembali keatas loteng.
Disana tertampak sidara cilik Khong-sim-jay sudah mendusin dan sedang menangis dalam pangkuan ibundanya. Jik Hong sendiri tak bisa berkutik karena anggota badannya terikat, namun ia coba menghibur dan membujuk puterinya yang kecil itu.
Ketika melihat kakek dan ayahnya telah kembali, Khong-sim-jay menjadi lebih takut hingga tangisannya makin keras.
Bukannya menimang, sebaliknya datang2 Ban Cin-san terus depak sekali dipantat dara cilik sambil memaki: "Kau anak sial ini, berani menangis lagi segera kutabas batang lehermu!"
Khong-sim-jay semakin ketakutan hingga mukanya pucat sebagai kertas saking ketakutan hingga dia tidak berani menangis lagi.
"Tia", kata Ban Ka dengan suara perlahan, "perempuan jalang ini telah mengetahui engkau adalah……………. adalah pembunuh ayahnya, pula dia telah menyaksikan kematian Go Him, untuk semuanya itu terang dia takkan bisa dibiarkan hidup terus. Lantas cara bagaimana kita harus membereskan dia?".
Cin-san memikir seyenak, kemudian katanya: "Kedua orang diluar tadi sudah terang adalah Bok Heng dan Sim Sia, bukan?"
"Betul, memang mereka itu, pasti tidak salah lagi," sahut Ban Ka. "Mungkin rahasia Kiam-boh itu sudah bocor, mereka telah mengetahui Kang-leng-seng-lam adalah tempatnya."
"Ya, urusan tidak boleh di-tunda2 lagi, kita harus lekas2 mendahului turun tangan," uyar Cin-san. "Baiklah, tentang perempuan jalang ini, boleh kita bereskan seperti ayahnya saya."
Sejak Jik Hong diringkus, ia sendiripun insaf pasti tiada harapan buat hidup lagi, terutama karena dia telah membongkar rahasia kekejaman mereka berdua. Kini mendengar ayah mertua itu mengatakan hendak membereskan dia seperti ayahnya, maka iapun tidak pikirkan mati hidup sendiri, yang dia beratkan adalah puterinya yang masih kecil itu.
Segera ia berkata: "Ban……………. Ban-long, jelek-jelek kita telah bersuami-isteri sekian lamanya, tidaklah menjadi soal jiwaku melayang, tapi sesudah aku mati, hendaklah kau menjaga baik2 pada Khong-sim-jay!".
Ban Ka hanya mendengus saya tanpa menjawab.
Sebaliknya Ban Cin-san berkata: "Membabat rumput harus sampai akar-akarnya, mana boleh kita tinggalkan bibit bencana dikemudian hari? Bocah ini sangat pintar lagi cerdik, apa yang terjadi hari ini telah dilihatnya semua, siapa berani menjamin bahwa kelak takkan dibocorkan olehnya kepada orang luar?".
Ban Ka mengangguk pelahan-lahan. Sebenarnya ia sangat sayang kepada puteri satu-satunya itu, betapapun dara cilik itu adalah darah dagingnya sendiri. Tapi apa yang dikatakan ayahnya itu juga ada benarnya, kalau meninggalkan bibit bencana ini, bukan mustahil kelak akan menimbulkan akibat yang susah dibayangkan.
Air mata Jik Hong bercucuran melihat kekejaman kedua orang itu, katanya dengan suara ter-putus2: "Ka…..kalian keji sekali, masakah anak……..anak kecil begini juga tak dapat kalian ampuni?".
"Sumbat saya mulutnya daripada dia cerewet tak habis2, jangan2 nanti dia berteriak hingga bikin geger tetangga malah." Kata Ban Cin-san.
Mengingat jiwa puterinya juga akan amblas ditangan kakek dan ayahnya yang kejam itu, mendadak Jik Hong menggembor benar2: "Tolong! Tolong!".
Ditengah malam sunyi kelam, suara teriakan 'tolong' yang memecah angkasa itu kedengarannya menjadi lebih seram.
Cepat Ban Ka menubruk maju, dan tekap mulut Jik Hong. Tapi Jik Hong masih terus berteriak: "Tolong! Tolong!". ~ Cuma mulutnya ditekap tangan sang suami, maka suaranya menjadi serak dan tertahan.
Segera Ban Cin-san menyobek sepotong kain baju dan diberikan kepada sang putera. Terus saya Ban Ka sumbat mulut Jik Hong hingga tak bisa bersuara lagi.
"Pendam dia sekuburan dengan keparat Jik Tiang-hoat itu, sungguh bagus sekali mereka ayah dan anak bersatu liang kubur", kata Cin-san.
Ban Ka mengangguk, segera ia kempit Khong-sim-jay, lalu mereka menggotong Jik Hong ke kamar baca dibawah loteng.
Kamar baca itu teratur bersih, dindingnya juga terkapur putih. Diam-diam Jik Hong membatin: "Apakah ayahku telah dicepit oleh mereka ditengah dinding yang putih ini?".
Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san sedang berkata pula: "Biarlah aku yang membongkar dinding ini, kau boleh pergi menyeret kemari mayatnya Go Him itu! Hati2lah, jangan sampai diketahui oleh orang!".
Ban Ka mengiyakan dan segera berlari ke kamar tidurnya Ban Cin-san.
Lalu Cin-san membuka almari meya tulis, ia mengeluarkan alat2 pertukangan, ada pahat, ada palu, ada lingis dan macam2 lainnya, komplit. Ia pandang dinding yang putih itu, kedua tangannya ber-gosok2, ia berpaling memandang sekejap kepada Jik Hong dengan air muka yang sangat senang.
Melihat sorot mata orang yang buas sebagai binatang itu, tanpa merasa Jik Hong mengkirik sendiri.
Sementara itu Ban Cin-san telah memegang palu dan pahat, ia periksa dulu duduk tembok yang benar, lalu ia memahat diantara sela2 bata. Sesudah sela2 bata longgar, segera ia goyang2kan dengan tangan dan dikorek keluar sepotong bata itu, caranya ternyata sudah sangat apal seperti bekas tukang batu saja.
Sesudah sepotong bata itu dilolos keluar, tertampak Ban Cin-san meng-endus2 bata itu. Mungkin ia ingin tahu apakah di dalam dinding itu masih berbau mayatnya Jik Tiang-hoat atau tidak.
Melihat ketrampilan Ban Cin-san dalam hal membongkar bata itu, Jik Hong lantas ingat waktu penyakit tidur orang itu angot tadi, waktu itu bapa mertua itupun bergaya mengorek tembok, memasukkan mayat, memasang bata dan sebagainya. Memangnya Jik Hong sudah mengkirik, demi melihat Ban Cin-san meng-endus2 pula bau mayat ayahnya yang dicepit di dalam dinding itu, maka Jik Hong menjadi takut, gusar dan berduka pula.
"Kau bangsat keparat yang terkutuk ini!", demikian ia memaki. Tapi karena mulutnya tersumbat, maka yang terdengar hanya suara 'ah-uh' yang tak jelas.
Dan selagi Ban Cin-san hendak membongkar bata kedua, tiba-tiba terdengar suara orang berlari diluar, segera tertampak Ban Ka berlari masuk dengan langkah sempoyongan dan badan gemetar, katanya dengan suara ter-putus2: "Tia, ce…………. celaka ! Go…….. Go Him…………….. Go Him……………..".
"Go Him kenapa?", tanya Ban Cin-san sambil berpaling.
"Hi…..hilang! Go…… Go Him menghilang", kata Ban Ka dengan ter-gagap2.
"Kentut! Masakah orang mati bisa menghilang?", damperat Ban Cin-san. Tapi dari suaranya yang rada gemetar itu, terang iapun kaget dan kuatir. Bahkan 'plok', bata yang terpegang ditangannya itu tanpa merasa jatuh kelantai.
"Aku………aku telah mengangsurkan tangan ke kolong ranyang ayah hen…..hendak menyeret mayat itu", demikian tutur Ban Ka dengan tak lancar, "Tetapi….. tetapi tanganku tidak menyentuh apa-apa. Cepat kunyalakan pelita dan coba menerangi kolong ranyang, namun…………..namun mayat itu sudah menghilang tanpa bekas. Aku mencari diseluruh pelosok didalam kamar ayah, tapi tiada……..tiada menemukan apa2".
"Aa…………..aneh, sungguh aneh!" kata Cin-san sambil merenung, "Apa barangkali Bok Heng dan Sim Sia yang main gila!".
"Tia, jangan2…………….jangan2 yahanam Go Him itu belum…..belum putus napasnya, sesudah pingsan sebentar, lalu……..lalu hidup kembali!" uyar Ban Ka.
"Kentur! Mana bisa jadi!" seru Cin San dengan gusar. "Ayahmu ini berjuluk 'Ngo-in-jiu', dalam hal ilmu menggunakan tangan betapa lihaynya, masakah mencekik seorang saya takbisa membuatnya mampus?."
"Ya, seharusnya tidak bisa jadi", sahut Ban Ka. "Akan tetapi, sehabis Go Him itu dicekik mampus oleh ayah, entah mengapa………..entah mengapa mayatnya sekarang bisa menghilang? Jangan2………..jangan2……."
"Jangan2 apa?", tanya Cin-san.
"Jangan2 di dunia ini benar2 ada……………..ada mayat hidup?"
"Hus! Ngaco-belo belaka!", bentak Cin-san. "Sudahlah, lekas kita bereskan perempuan yalang dan anak setan ini dan nanti boleh kita mencari mayatnya Go Him lagi. Mungkin urusan ini sudah ketelanyur diketahui orang luar, kitapun susah menetap lagi dikota Heng-ciu ini."
Ban Ka mengiakan, segera ia berjongkok dan membantu membongkar tembok kamar. Batu bata sepotong demi sepotong dikorek keluar hingga dalam sekejap saya tertampaklah suatu lubang besar.
"Tia, ti……………tidak beres ini!" tiba2 Ban Ka berseru dengan suara gemetar.
"Apanya yang tidak beres?", tanya Cin-san
"Di……………..dimanakah mayatnya Jik Tiang-hoat?", sahut Ban Ka. "Umpama mayatnya sudah…….sudah busuk dan lapuk, paling tidak…………….paling tidak pakaiannya dan…………..dan tulangnya toh mesti ada disini?".
Benar yuga, pikir Cin-san. Segera ia angkat pelita minyak untuk menerangi liang dinding itu. Tapi mendadak terdengar suara nyaring, hancurnya pelita minyak jatuh ke lantai, seketika keadaan menyadi gelap gulita. Hanya sinar bulan yang remang-remang menyorot masuk ke kamar melalui jendela itu hingga menambah seramnya susasana di dalam kamar.
Kiranya Ban Cin-san sendiripun kaget demi melihat di dalam liang dinding itu tidak diketemukan mayatnya Jik Tiang Hoat. Dinding itu adalah dinding dua lapis, padahal mayat itu dia sendiri yang masukkan dahulu, masakah sekarang bisa menghilang?.
Selang agak lama, barulah Ban Cin-san pulih dari kagetnya, katanya dengan rada gemetar: "Sungguh aneh, mengapa bisa hilang? Sudah terang aku sendiri yang memasukkan mayat itu kedalam dinding, masakah mayatnya bisa terbang sendiri?"
"Tia, jangan2……jangan2 dinding lapisan yang sebelah sana ada jalan tembusan lagi?" uyar Ban Ka.
"Tidak, tidak ada!" kata Cin-san. "Dinding ini adalah buntu semua, mana mungkin ada jalan tembusan? Coba…coba kau ulurkan tanganmu untuk meraba, apa benar disitu tiada sisa2 mayat?".
Ban Ka mengiakan walaupun didalam hati sebenarnya sangat ketakutan. Dengan sendirinya ia tidak berani meraba dengan tangannya, selang agak lama barulah ia berkata: "Ti…………….tidak ada apa2!". ~ padahal tangannya tidak pernah dimasukkan kedalam liang dinding itu.
Ban Cin-san yuga dapat menduga puteranya tidak berani meraba liang dinding itu, katanya kemudian: "Coba nyalakan pelita lagi, kita harus periksa pula hingga tahu duduknya perkara".
Ban Ka mengiakan pula, lalu tangannya me-raba2 dilantai dan diketemukan pelita tadi, tapi pelita minyak itu sudah hancur, juga ketikan api hanya diketemukan batunya, sedang ketikannya entah jatuh dimana.
Begitulah kedua orang itu sibuk mencari kian kemari dan tetap tidak menemukan apa2. Akhirnya Ban Cin-san menjadi aseran, katanya: "Sudahlah, tak perlu menggubris lagi tentang mayat itu. Boleh kau turun tangan membunuh perempuan jalang itu dan pendam dia kedalam liang situ".
Ban Ka mengiakan lagi. Segera ia mendekati Jik Hong dengan menghunus golok, katanya dengan suara gemetar: "Hong-moay, harap yangan kau sesalkan aku, tapi engkau sendirilah yang berdosa padaku!".
Jik Hong tak bisa bersuara, tapi dalam hati ia sangat murka. Kalau dirinya sendiri hendak dibunuh adalah dapat dimengerti, tapi puterinya yang masih kecil dan tak berdosa itu yuga hendak dibunuh mereka, sungguh kedua manusia she Ban itu lebih mirip dengan binatang buas. Mendadak ia menjadi nekat, sekuatnya ia menubruk mayu hingga bahu Ban Ka kena disruduk.
Ban Ka tergentak mundur dua tindak. Ia menjadi gusar, segera golok diangkatnya sambil memaki: "Perempuan jalang, ajalmu sudah tiba, masih kau berani main galak?"
Dan selagi goloknya hendak diayunkan, tiba2 didengarnya suara 'krek-krek', suara pintu dibuka.
Keruan Ban Ka terperanjat, cepat ia menoleh. Dibawah sinar bulan yang remang2 dilihatnya pintu kamar baca itu sudah terpentang, tapi tiada tampak bayangan seorangpun.
"Siapa?", segera Cin-san yuga membentak.
Tapi tiada suara sahutan seorangpun. Sebaliknya pintu berbunyi 'krek-krek' pula.
Didalam keadaan yang remang2 itu, tertampak suatu bayangan orang menggeser pelahan2 kedepan kamar. Bayangan orang itu kaku tegak sambil me-lompat2, anehnya lututnya tidak tertekuk dikala melompat, yadi baik diwaktu menggeser maupun diwaktu melompat, bayangan itu tetap tegak.
Keruan kaget Ban Cin-san dan Ban Ka tak terhingga, ber-ulang2 mereka mundur2 dengan ketakutan.
Dalam pada itu bayangan orang itu makin mendekat hingga kini mukanya tersorot oleh cahaya bulan yang remang2.
"Haaaaaaa", berbareng Cin-san dan Ban Ka berteriak kaget.
Ternyata kedua mata orang itu mendelik, lidahnya menyulur panyang keluar, lubang hidungnya, mulutnya dan telinganya mengucurkan darah. Siapa lagi dia kalau bukan Go Him yang telah mati dicekik oleh Ban Cin-san itu?
Melihat keadaan yang menyeramkan itu, Jik Hong yuga merinding dan hampir2 mati kaku ketakutan.
Sesudah menggeser masuk ke dalam kamar, Go Him lantas berdiri tak bergerak lagi, kedua tangannya pelahan2 terangkat lurus kearah Ban Cin-san.
Ban Cin-san menyadi nekat, ia kerahkan antero keberaniannya dan membentak: "Setan Go Him, masakah Locu takut kepada mayat hidup seperti kau?" ~ berbareng ia terus lolos golok dan membacok.
Tapi baru setengah yalan serangannya dilancarkan, se-konyong2 pergelangan tangannya terasa kesemutan, cekalannya menyadi kendur, golok jatuh kelantai dan menerbitkan suara gemerantang. Menyusul mana pinggangnya juga terasa kaku pegal, lalu tubuhnya tak bisa berkutik lagi.
Sebagai seorang kawakan Kang-ouw yang sudah banyak berpengalaman, segera Ban Cin-san sadar bahwa dibelakang mayatnya Go Him itu ada seorang kosen lagi yang sangat hebat ilmunya. Ia tidak tahu siapakah gerangannya, tapi ia menduga besar kemungkinan adalah musuh yang meninggalkan tanda kupu2 kertas hitam itu.
Sebaliknya Ban Ka ternyata tidak paham duduknya perkara. Ketika dilihatnya lengan Go Him kemudian berganti arah dan menyulur kepadanya, ia menjadi ketakutan setengah mati, sungguh ia ingin menyerit: "Go-sute, ampunilah aku!" ~ tetapi suara jeritan itu se-akan2 tersumbat ditengah tenggorokan hingga susah dikeluarkan.
Anda sedang membaca artikel tentang Si KangKung Pendekar LUgu 4 [Soh Sim Kiam] dan anda bisa menemukan artikel Si KangKung Pendekar LUgu 4 [Soh Sim Kiam] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/si-kangkung-pendekar-lugu-4-soh-sim.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Si KangKung Pendekar LUgu 4 [Soh Sim Kiam] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Si KangKung Pendekar LUgu 4 [Soh Sim Kiam] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Si KangKung Pendekar LUgu 4 [Soh Sim Kiam] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/si-kangkung-pendekar-lugu-4-soh-sim.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar