Cula Naga Pendekar Sakti
LIONG KAK SIN HIAP
Oleh: BOE BENG TJOE
Jilid ke I
MALAM itu adalah malam Pee-gwee Tiong Ciu,
yaitu pertengahan bulan delapan atau juga musim
rontok, dari pemerintahan Kaisar Yong Ceng tahun
ke-7, rembulan permai sekali. Daerah di sebelah
timur dari propinsi Ciat Kang seperti bermandikan
sinar rembulan.
Malam itu juga angin barat mendesir berhembus
menerpa pohon-pohon, menimbulkan suara halus,
sampai samar-samar terdengar dua kali suara tanda
waktu dari atas rangon tembok kota. Terkadang saja
terdengar salak anjing. Di waktu malam sudah larut,
semua pintu rumah terkunci rapat-rapat.
Di istana Goanswee Giok Hu (Jenderal Giok Hu)
lentera menyala terang, beberapa orang perajurit
berjaga-jaga di muka istana Semua dalam
kesunyian. Demikian pula beberapa orang yang
berkumpul di ruang tamu istana Jenderal Giok Hu
2
tersebut tengah melakukan pembicaraan dengan
suasana yang hening, suara mereka pelahan sekali.
Jumlah mereka empat orang, tampaknya ada
sesuatu yang sangat penting tengah mereka
rundingkan. Yang duduk di sebelah kanan dekat
meja besar tempat diletakkan beberapa cawan
minuman, seorang lelaki berusia hampir empat
puluh tahun, mukanya tampan, gagah sekali.
Sepasang kumis terjuntai pendek sampai sisi
dagu, jenggotnya juga tumbuh pendek dan teratur
rapi. Bajunya tungshia bersulam yang indah. Dia
tidak lain dari Jenderal Giok Hu.
Duduk di samping kirinya seorang lelaki berusia
lebih tua, hampir lima puluh lima tahun. Sama
seperti Giok Goan-swee, orang inipun gagah
sikapnya, mengenakan baju yang bersulam indah
pula. Dia adalah wakil Giok Goanswee, yaitu Thio Pie
Lam.
Dua orang lainnya yang duduk berhadapan
dengan Giok Goanswee adalah dua orang laki-laki
berpakaian sebagai Siucai, pelajar. Pakaian mereka
sederhana, namun wajah mereka tampak sehat dan
sikap merekapun gagah dengan mata memancar
sinar terang.
Yang seorang berusia hampir lima puluh tahun,
yang satunya lagi berumur tidak lebih dari tiga puluh
empat tahun. Yang berusia lebih tua tidak lain Giam
3
Cu, seorang sasterawan terkenal pada jaman ini.
Buah kalamnya sudah dibaca oleh seluruh rakyat
dan bernadakan cinta pada negara.
Yang duduk di sisinya, yang berusia lebih muda,
adalah murid tertuanya, yaitu Bun San Cu, seorang
yang memiliki semangat berkobar-kobar dan
pergaulan yang luas sekali, sudah berhasil
menciptakan beberapa sajak yang bersemangat
perjuangan dan cinta terhadap negeri.
Giam Cu adalah sahabat karib Jenderal Giok Hu.
Duapuluh tahun yang lalu, Jenderal Giok Hu banyak
belajar dari sahabatnya ini, karenanya walaupun kini
sudah menjadi Jenderal yang memiliki kekuasaan
sangat besar, Jenderal tersebut tetap menghormati
Giam Cu.
Hampir setiap tahun sekali mereka bertemu
untuk merundingkan berbagai sajak jika bukan Giam
Cu yang mengunjungi Jenderal Giok Hu, tentu sang
Jenderal yang menemuinya. Belum setahun sejak
pertemuan mereka yang terakhir, Giam Cu justeru
telah mengunjungi Jenderal Giok Hu, tampaknya
pujangga terkenal itu memiliki persoalan yang
sangat penting sekali.
Keheningan di ruang tersebut terisi oleh batukbatuk
perlahan Jenderal Giok Hu, disusul kemudian
oleh kata-katanya: "Giam-heng, persoalan yang
diceritakan olehmu telah kumengerti seluruhnya,
tapi apakah Giam-heng sudah memikirkannya
4
dengan sedalam-dalamnya akan akibat yang bisa
timbul dari keinginan Giam-heng?"
"Ya, kalau saja Goanswae bersedia membantu
kami, tentu semuanya berjalan lancar." menyahuti
Giam Cu. "Kami sudah bertekad, walaupun
bagaimana Kaisar Yong Ceng harus dihukum atas
kelalimannya, rakyat sudah terlalu menderita."
"Giam-heng," kata Jenderal Giok Hu sambil
menghela napas dalam-dalam, "aku memahami
akan kegagahanmu yang mencintai negara dan tetap
setia kepada bangsa dan negara. Akan tetapi yang
Giam-heng utarakan tadi bukanlah pekerjaan
mudah. Bukan aku tidak menyetujui saran Giamheng
juga bukan maksudku untuk menentang, tetapi
cobalah Giam-heng pertimbangkan dengan seksama
lagi, apakah tidak akan menyebabkan berjatuhan
korban yang terlalu banyak jika niat Giam-heng
dilaksanakan? Menurutku, pasti yang akan lebih
menderita lagi adalah rakyat."
Giam Cu menghela napas, ia merogoh saku
jubahnya mengeluarkan segulungan kertas.
"Goanswee bacalah ini," katanya sambil
menyodorkan gulungan kertas itu. "Kukira Goanswee
bisa memahami lebih dalam lagi perasaan kami."
Jenderal Giok Hu menyambuti gulungan kertas
itu, membuka dan membacanya. Wajahnya tampak
jadi semakin murung. Kemudian perlahan
5
disodorkannya surat itu kepada Thio Pie Lam, wakil
Jenderal tersebut.
Muka Thio Pie Lam yang sejak tadi sudah
murung, jadi tambah murung setelah membaca
surat tersebut, karena surat itu ternyata di tulis
sendiri oleh Giam Cu, dengan huruf-huruf yang
sangat indah. Bunyi surat itu sebagai berikut:
"Goanswee Giok Hu, rakyat sekarang semakin
menderita oleh kelaliman Kaisar Yong Ceng, yang
semakin lama kian memeras rakyatnya, seakan juga
ingin menghirup titik darah terakhir dari seluruh
rakyat. Tidakkah hati Goanswee tergerak untuk
membantu kami menghukum Kaisar Yong Ceng ?
Kami yakin, Goanswee akan selalu ingat, betapapun
darah yang mengalir di sekujur tubuh Goanswee
adalah butir-butir darah Han, yang akhirnya pasti
akan dihirup pula oleh Kaisar yang lalim itu.
Kemuliaan yang lebih terpuji untuk Goanswee.
walaupun kelak hanya sebagai seorang petani biasa,
dibandingkan sekarang Goanswee duduk di
singgasana kekuasaan yang disediakan oleh Kaisar
penjajah itu ! Giam Cu dan kawan-kawan selalu
berdoa kepada Thian agar dilimpahkan kemuliaan."
Selesai membaca surat itu Thio Pie-Lam menoleh
kepada- atasannya dengan muka yang
memancarkan berbagai macam perasaan, la seakan
mengalami kesukaran untuk mengutarakan sesuatu.
6
Jenderal Giok Hu menghela napas dalam-dalam
dengan muka tetap murung.
"Pie Lam," kata Jenderal itu dengan suara
menunjukkan kesusahan hatinya. "Bagaimana
komentarmu?"
"Ini .... ini sesungguhnya sangat berbahaya
sekali, Goanswee. Kalau saja Kaisar mengetahui hal
ini.... tentu.... tentu..." kata Thio Pie Lam dengan
kata-kata yang tidak lancar.
"Cukup Pie Lam," kata Jenderal Giok Hu
"Simpanlah baik-baik surat Giam Sianseng."
Thio Pie Lam mengiakan dan bangkit menuju
kesebuah lemari, menarik laci dan menyimpan surat
Giam Cu di situ. Kemudian dia kembali ketempatnya,
duduk disamping atasannya.
"Nah Giam-heng," kata Jenderal Giok Hu
kemudian dengan ragu kepada Giam Cu. "Semua
saran Giam-heng telah kudengar seluruhnya.
Baiklah, hal itu nanti dibicarakan perlahan-lahan,
jangan tergesa-gesa." Giam Cu tersenyum.
"Goanswee," katanya, "memang sudah kuduga
bahwa Goanswee akan mengalami pertentangan
bathin, karena memang persoalan itu bukanlah hal
yang gampang untuk diselesaikan hanya dalam satu
atau dua hari untuk mengambil suatu keputusan."
7
Giam Cu berdiri diikuti oleh muridnya. Bun San
Cu. baru kemudian melanjutkan lagi kata-katanya:
"Kini kami pamitan, karena masih banyak yang perlu
kami selesaikan, Kami berharap untuk kemurahan
hati Goan swee bahwa nanti sudah tiba saatnya
tentu Goanswee mau mendukung perjuangan kami."
Jenderal Giok Hu cepat berdiri dan membalas
hormat kepada kedua tamunya.
,Giam-heng, bukankah lebih baik bermalam dulu
di sini ?" Tanya Jenderal itu. "Kalian masih terlalu
lelah, baru tiba di sini dan belum beristirahat, Mana
mungkin kalian cepat-cepat pamit untuk melakukan
perjalanan lagi ?"
"Terima kasih Goanswee, di lain kesempatan
nanti kita akan bercakap-cakap selama tiga hari tiga
malam, dengan kegembiraan penuh. Sekarang, di
saat rakyat tengak menangis dan menderita,
bagaimana mungkin hati bisa tenang untuk
merundingkan semua urusan sastera maupun
kegemaran kita?"
Giam Cu merangkapkan kedua tangannya,
membungkukkan tubuhnya dalam-dalam memberi
hormat pada Jenderal itu sebagai tanda pamitan.
Muridnya pun memberi hormat kepada Jenderal Giok
Hu dan Thio Pie Lam.
Jenderal Giok Hu menghela napas dalam-dalam
dan dengan perasaan berat mengantarkan tamunya
8
sampai di gerbang istananya. Ketika berada di ruang
dalam lagi berdua dengan Thio Pie Lam, muka
Jenderal Giok Hu muram sekali.
"Pie Lam, pembicaraan kita tadi dengan Giamheng
dan muridnya harus dirahasiakan. Terus terang
saja, persoalan ini membuatku berada di posisi yang
serba salah dan membingungkan. Hong-siang
(Kaisar) telah menganugrahi budi dan kedudukan
yang demikian besar kepadaku, mana mungkin aku
bisa mengkhianatinya untuk membantu Giam Cu
angkat senjata menentang Hongsiang ? Tetapi, apa
yang diucapkan oleh Giam Cu pun semua
merupakan kenyataan yang tidak bisa kita hindarkan
walaupun kita memejamkan mata." Jenderal itu
menghela napas dalam-dalam lagi. Kusut sekali
pikirannya.
"Jadi bagaimana keputusan Goanswee ?" Tanya
Thio Pie Lam .
"Aku sedang bingung dan belum bisa mengambil
keputusan, Pie Lam. Tetapi yang pasti aku tidak bisa
membantu Giam Cu. Tetapi akupun tidak mungkin
bisa menangkapnya Giam Cu sahabat karibku, aku
mengerti akan perasaan dan jiwanya yang tetap
setia pada negara. Aku memaklumi akan
perasaannya itu. Tetapi jika suatu saat kelak kalau
ia angkat senjata dengan kawan-kawannya,
bukankah aku akan berhadapan dengannya ?"
9
Dan Jenderal Giok Hu menghela napas dalam
dalam lagi. Tangannya dikibaskan perlahan:
"Sekarang tinggalkanlah aku sendiri. Pie Lam !"
Thio Pie Lam mengiyakan da mengundurkan diri.
Lama Jenderal Giok Hu duduk termenung dituang
itu. Pikivannya sangat kusut.
Malam semakin larut. Tidak diketahui oleh
Jenderal Giok Hu, bahwa sejak tadi ada seseorang
yang mendekam di atas payon genting,
mendengarkan percakapan Jenderal Giok Hu dengan
Giam Cu berempat. Sosok tubuh itu tetap
mendekam tidak menimbulkan sedikit suara,
menanti dengan sabar. Akhirnya dilihat Jendeial Giok
Hu bangkit dari duduknya dan berlalu meninggalkan
ruangan tersebut.
Sosok bayangan itu sabar sekali menunggu terus,
dan setelah merasa aman, ia melompat turun,
masuk ke dalam ruang itu dengan sikap hati-hati
sekali. la membuka laci lemari dan mengambil
gulungan surat yang diterima Jenderal Giok Hu dari
pujangga Giam Cu. Dimasukkan gulungan surat itu
ke dalam saku jubahnya, menutup kembali laci dan
cepat-cepat berlalu dari ruangan tersebut.
la segera menuju ke istal kuda, dengan memakai
seekor kuda yang tampak kuat dan gagah, sosok
tubuh itu meninggalkan istana Jenderal Giok Hu.
Malam semakin larut, angin Barat berhembus
semakin dingin.
10
-------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------
------
CU KONGKONG tertawa menyeringai sambil
memperhatikan surat yang dibuka lebar-lebar di
depannya. Sudah tigakali dibacanya surat itu,
sampai akhirnya meledak tertawa terkekeh Cu
Kongkong. "Hebat," kata Cu Kongkong sambil
menoleh pada orang yang berlutut di sampingnya.
"Kau sudah melakukan tugas dengan baik, Liam
Kong. Aku akan menghadiahkan pangkat kepadamu,
karena kau sudah memperoleh apa yang
kuinginkan."
"Terima kasih atas kemurahan hati Kongkong,"
kata orang yang berlutut itu sambil menganggukanggukkan
kepalanya. "Liam Kong akan ingat
seumur hidup budi kebaikan Kongkong, walaupun
Liam Kong harus mati, tentu mati dengan puas."
Cu Kongkong tertawa terkekeh perlahan
menggulung surat di tangannya. "Liam Koog, sudah
berapa lama kau menyusup masuk ke istana Giok Hu
?" Tanya Cu Kongkong, mukanya bersungguhsungguh,
tidak terlihat senyum atau tertawanya
lagi."
Sudah lebih dari setengah tahun, Kong-kong,"
jawab Liam Kong.
11
"Apakah selama itu Giok Hu tidak
memperlihatkan tanda-tanda akan mengkhianati
kesetiaannya pada Hongsiang mulai meluntur ?"
Tanya Cu Kongkong lagi.
"Ampun Kongkong, apa yang hamba lihat
Goanswee Giok Hu tetap setia pada Hongsiang.
Bahkan, terakhir setelah pertemuan dengan Giam
Cu, Goanswee Giok Hu masih bilang kepada Thio Pie
Lam bahwa ia tidak ingin menangkap Giam Cu
karena hubungan mereka sebagai sababat, tetapi
justeru kalau Giam Cu mengangkat senjata jelas
akan berhadapan dengannya. Itu menunjukkan
Jenderal Giok Hu tetap setia kepada Hongsiang."
Cu Kongkong mendengus. "Hem, aku tetap
meragukan katanya. Surat ini merupakan bukti
nyata. Hongsiang. Aku tidak menyukai Giok Hui
karena ia terlampau cerdik, yang kukuatirkan
sewaktu-waktu kekuatan yang dimilikinya semakin
besar. Bukankah sekarang pun ia merupakan satusatunya
Jenderal yang paling dipercaya oleh
Hongsiang ? Karenanya Giok Hu harus disingkirkan.
Kau mengerti maksudku, Liam Kong?"
"Mengerti Kongkong," menyahuti Liam Kong
sambil memanggut-manggutkan kepalanya dengan
keadaan tetap berlutut. "Liam Kong mengerti
Kongkong."
"Bagus. Selama setengah tahun melaksanakan
tugasmu menyelusup kedalam istana Giok Hu dan
12
menyamar sebagai pelayan keluarga Giok Hu,
semuanya dapat kau laksanakan dengan sebaikbaiknya.
Besok akan kusarankan kepada Hongsiang
agar kau di angkat sebagai Congtok di Bun An,
menggantikan Congtok Lie Tek Hong, yang akan
ditarik pulang ke kota raja, kami akan pensiunkan
dia."
Liam Kong manggut-manggutkan kepalanya
girang luar biasa dan mengucapkan terima kasih
tidak hentinya.
"Sekarang pergilah kau beristirahat!" perintah Cu
Kongkong sambil mengibaskan sedikit lengan
jubahnya.
Liam Kong mengiyakan, mengundurkan diri
sambil tidak hentinya mengucapkan terima kasih
atas kemurahan hati Cu Kongkong yang akan
menganugerahi pangkat Congtok padanya.
Cu Kongkong adalah Cu Bian Liat, pengurus para
Thaykam di istana. (Thaykam) kebiri, pelayan
istana). Cu Kongkong memiliki kekuasaan sangat
besar, sebab ia merupakan "orang kedua" di saat
itu. Bahkan Yong Ceng walaupun resmi sebagai
Kaisar. namun hampir keseluruhan kebijaksanaan
raja itu diatur oleh Cu Kongkong.
Sudah lama Cu Kongkong mengetahui bahwa
Jenderal Giok Hu merupakan Jenderal berdarah Han.
Walaupun benar ibu Jenderal Giok Hu seorang
13
wanita Boan, tetapi ayah Jenderal tersebut adalah
orang Han sejati.
Yang membuat Cu Kongkong tambah kuatir,
justeru belakangan ini Kaisar Yong Ceng semakin
mempercayai Jenderal Giok Hu, yang selalu berhasil
meredakan pemberontakan di berbagai propinsi,
dengan kemenangan yang gemilang. Tentu saja
keberhasilan Jerderal Giok Hu menambah
kepercayaan Kaisar Yong Ceng padanya.
Keberhasilan Jenderal Giok Hu menumpas
berbagai pemberontakan di berbagai propinsi dan
tempat itu justeru membuat Cu Kongkong jadi
kurang gembira. la melihat Jenderal Giok Hu
semakin lama kian diserahi kekuasaan yang semakin
besar, dan kalau suatu waktu Jenderal yang masih
berdarah Han tersebut berbalik memusuhi Kaisar
Yong Ceng, niscaya akan sulit ditumpasnya. Karena
itu Cu Kongkong berusaha untuk meruntuhkan
Jenderal Giok Hu, mencari-cari kesalahan Jenderal
tersebut.
Atas perintahnya juga Liam Kong, anak buah
yang setia pada Cu Kongkong, pergi menyamar
sebagai rakyat biasa dan masuk bekerja di istana
Jenderal Giok Hu sebagai seorang pelayan. Setengah
tahun lebih Liam Kong memperhatikan gerak-gerik
Jenderal Giok Hu, tetapi selama itu yang
disaksikannya justeru Jenderal yang seorang ini
sangat setia kepada junjungannya. Baru pada
malam itu ia berhasil mencuri dengar seluruh
14
percakapan Jenderal Giok Hu dengan Giam Cu,
malah ia pun berhasil mencuri surat Giam Cu yang
diserahkan kepada Cu Kongkong. Surat Giam Cu
itulah yang akan dipergunakan Cu Kongkong
meruntuhkan Jenderal Giok Hu dari kedudukannya
yang ada.
Waktu itu, setelah Liam Kong berlalu, Cu
Kongkong langsung pergi ke kamar Kaisar Yong
Ceng. Kaisar tengah menulis sebuah sajak, dan
ketika dilapori bahwa Cu Kong kong
mengunjunginya, Kaisar itu segera menunda
tulisannya tersebut dan menemui pengurus Thaykam
yang diseganinya juga, oleh Cu Kongkong
menceritakan bahwa Jenderal Giok Hu akan
memberontak dan sebagai bukti nyata diberikannya
surat yang ditulis Giam Cu, kepada Kaisar.
Membaca surat itu muka Kaisar Yong Ceng merah
padam karena murka.
"Hongsiang jangan pusingi urusan ini, serahkan
pada Kongkong untuk mengurusnya !" kata Cu
Kongkong sambil tersenyum licik.
"Ya," kata Kaisar Yong Ceng. "Aku tidak mau
mendengar lagi tentang Giok Hu! Kongkong,
selesaikanlah sebaik-baiknya ! "
15
Girang Cu Kongkong, sebab ia berhasil
mempengaruhi Kaisar Yong-ceng. Semula ia
menduga tentu memperoleh kesulitan untuk
meyakinkan Kaisar bahwa Jenderal Giok Hu ingin
memberontak. Segera Cu Kongkong mengundurkan
diri dan menulis sebuah Firman, mencap dengan cap
kerajaan.
Memang setiap Firman Kaisar selalu ditulis oleh
Cu Kongkong, dan disinilah letak kekuasaan Cu
Kongkong yang terbesar, karena jika ia tidak
menyukai seseorang, sekali saja ia menulis sepucuk
Firman, niscaya celakalah orang itu.
Sebab walaupun Firman itu ditulis oleh Cu
Kongkong, tetapi itu adalah Firman Kaisar yang
lengkap dengan cap kerajaan. Tidak ada
seorangpun, baik Menteri, Jenderal atau pun siapa
saja, yang dapat membangkang terhadap bunyinya
Firman Kaisar tersebut.
PAGI itu pohon Yangliu bergoyang-goyang ditiup
oleh angin Barat, lemah gemulai. Seorang
penunggang kuda yang melarikan binatang
tunggangannya dengan cepat sekali, seakan ingin
merusak ketenangan suasana di tempat itu. Bahkan
waktu kuda berlari memasuki kota, penunggang
kuda itu tidak bermaksud memerlahankan larinya
binatang tunggangan tersebut.
Kuda itu berhenti tiba-tiba di depan istana
Jenderal Giok Hu. Penunggang kuda itu, seorang
16
lelaki bertubuh tegap dan mukanya kotor oleh debu
segera menerobos masuk ke dalam istana Jenderal
tersebut. Pengawal di depan pintu berdiri dengan
sikap hormat, karena mengenali orang tersebut
Khang Thiam Lu, pahlawan nomor satu di pasukan
Jenderal Giok Hu.
Thio Pie Lam, wakil Jenderal Giok Hu menyambut
kedatangan Khang Thiam Lu. Heran Thio Pie Lam
melihat sikap Khang Thiam Lu yang begitu tergesagesa
dan gugup, seakan ada sesuatu yang tidak
beres.
Khang Thiam Lu membisikkan sesuatu pada Thio
Pie Lam, muka Pie Lam seketika berobah pucat dan
jadi gugup. Berdua mereka ceoat-cepat masuk ke
dalam, menemui Jenderal Giok Hu.
Jenderal Giok Hu menyambut mereka dengan
sikap tenang dan ramah, menyuruh mereka duduk.
Tetapi Khang Thiam Lu bukannya duduk malah
sudah menjatuhkan diri berlutut di depan Jenderal,
katanya gugup sekali: "Harap Goanswee ampuni
hamba, tetapi cepatlah Goanswee berkemas untuk
berangkat. Bahaya ada di depan mata."
Jenderal Giok Hu mengerutkan kening melihat
kelakuan anak buahnya ini. Biasa-nya Khang Thiam
Lu gagah perkasa. Menghadapi persoalan yang
bagaimana sulit maupun berbahayanya, ia tidak
pernah jadi gugup seperti ini.
17
"Tenanglah Thiam Lu, ceritakanlah apa yang
terjadi?!" Tanya Jenderal Giok Hu.
"Bahaya ada di depan mata Goanswee."
menjelaskan Thiam Lu. "Cu Kongkong sudah
mengirim orang-orangnya untuk menghukum
Goanswee. Mereka membawa Firman Kaisar.
"Memang ini pasti perbuatan keji Cu Kong kong
yang ingin mencelakai Goanswee. Karenanya,
cepatlah Goasnwee menyingkir, kami yang akan
menghadapi mereka."
Kening Jenderal Giok Hu mengkerut dalamdalam.
"Iring-iringan pasukan Kaisar sedang menuju
kemari?!" Tanya Jenderal itu.
"Benar. Goanswee. Hamba sudah menyelidiki dan
ternyata mereka membawa Firman Kaisar untuk
menghukum Goanswee sekeluarga, dengan tuduhan
bahwa Goanswee bekerja sama Giam Cu ingin
memberontak !"
Muram wajah Jenderal Giok Hu, ia menggeleng
perlahan, katanya dengan sikap gagah : "Tidak
Thiam Lu, aku tidak percaya Hongsiang akan mudah
dihasut Cu Kongkong dan menjatuhkan hukuman
kepadaku sekeluarga ! Aku tidak percaya, aku akan
menyambut kedatangan mereka!"
18
Khan Thiam Lu tampak semakin gugup dia
menoleh kepada Thio Pie Lam, seakan ingin
memohon Pie Lam bantu membujuk atasan mereka
mau menyingkir dari istananya tersebut. Pie Lam
pun tampak kebingungan.
"Goanswee," kata Pie Lam sambil maju
mendekati Jenderal Giok Hu. "AIangkah
bijaksananya kalau Goanswee menyingkir sementara
waktu. Jika nanti persoalan sudah jelas, barulah
Goanswee memperlihatkan diri."
Tetapi Jenderal Giok Hu menggelengkan
kepalanya. "Tidak." katanya. "Aku tidak akan
meninggalkan posku. Sekarang kalian siapkanlah
penyambutan untuk utusan Hong siang !"
Pie Lam dan Thiam Lu semakin kebingungan,
tetapi Jenderal Giok Hu dengan sikap gagah dan
muka bersungguh sungguh sudah bertanya: "Apakah
sekarang kalian berdua sudah tidak mematuhi
perintahku lagi?!"
"Tidak berani, tidak berani !" Thiam Lu dan Pie
Lam cepat-cepat berlutut. "Tetapi Goanswee..."
Thiam Lu menitikan air mata menangis. "Hamba tadi
telah menyelidiki, mereka bermaksud buruk pada
Goanswee dan keluarga Goanswee.... sekarang
mereka masih terpisah kurang lebih 50 lie lagi,
kalau... kalau Goanswee mau menyingkir dulu tentu
masih keburu.... Semua ini perbuatan Cu Kongkong,
Goanswee Bukankah selama ini sudah belasan orang
19
pencinta negeri, Menteri maupun Jenderal yang
dibinasakan oleh Cu Kongkong dengan caranya yang
keji ?"
Melihat Thiam Lu begitu gugup dan panik, sampai
menangis karena menguatirkan keselamatan
Jenderal Giok Hu, Jenderal itupun tidak bisa marah.
Setelah menghela napas ia bilang: "Thiam Lu, Pie
Lam, kalian berdua tentu tahu dan tak mau mengerti
betapapun besarnya bahaya yang akan datang
sebagai seorang Jenderal yang diangkat dan
dipercaya oleh Hongsiang, mana mungkin aku harus
menyingkirkan diri karena akan datang utusan
kaisar. Mengertilah kalian. Juga, aku tidak percaya
Hongsiang akan melupakan jasa-jasaku begitu saja,
melupakan kesetiaanku, percayalah Thiam Lu.
Betapapun juga kekuatiranmu itu tidak beralasan!"
Setelah berkata begitu, Jenderal Giok Hu berdiri
tegak, dengan sikap gagah dan suara berpengaruh,
katanya: "Sekarang laksanakan kewajibanmu dan
tugas kalian untuk mempersiapkan penyambutan
utusan Hongsiang. Lakukanlah ! "
Pie Lam maupun Thiam Lu tidak berdaya lagi
untuk membujuk atasan mereka, mereka tampak
kebingungan. Thiam Lu yang memang cetek air
matanya sudah menangis terus sambil
mengundurkan diri. Tetapi keputusan Jenderal Giok
Hu tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Jenderal Giok Hu berjalan hilir mudik di ruang itu
setelah kedua orang anak buahnya mengundurkan
20
diri. Pikirannya kusut sekali. Tadi ia bersikap gagah
dan menyatakan kepada Thiam Lu dan Pie Lam
bahwa ia tidak percaya Kaisar akan mengirim utusan
buat menghukum dia dan keluarganya tetapi
sesungguhnya di dasar hatinya terhadap kekuatiran
seperti itu.
Hanya saja rasa tanggung jawab dan harga diri
sebagai seorang Jenderal, betapapun besarnya
bahaya yang akan datang, ia tidak boleh
meninggalkan pos-nya. Dugaan bahwa Cu Kongkong
ingin mencelakainya dan keluarganya, memang ada
pada hati Jenderal Giok Hu. Dia tahu siapa Cu
Kongkong. Namun, ia pun sulit percaya bahwa
Hongsiang bisa terpengaruh begitu mudah oleh Cu
Kongkong.
Jenderal Giok Hu pun menghubung-hubungi
peristiwa lenyapnya surat Giam Cu yang ditaruh di
laci lemari buku di ruang tamunya dengan berita
kedatangan utusan Kaisar yang ingin
menghukumnya. Dan dugaannya, pasti ada
penghianat yang telah mencuri surat Giam Cu,
diberikan kepada Cu Kongkong. Yang kemudian
jatuh ketangan Kaisar Yong Ceng.
Teringat akan hal itu Jenderal Giok Hu menghela
napas dalam-dalam. Tetapi kegagahannya sebagai
seorang Jenderal tidak memungkinkan dia dan
keluarganya harus melarikan diri dan dikejar-kejar
pasukan Kaisar seperti seorang pencuri dikejar
21
petugas berwajib. Dan, Jenderal Giok Hu pasrah saja
apa yang akan terjadi.
Sebagai pahlawan nomor satu di pasukan
Jenderal Giok Hu, Khang Thiam Lu memiliki banyak
anak buah. Justeru ia menerima laporan adanya
pasukan Kaisar yang tengah iring-iringan menuju ke
istana Jenderal Giok Hu. Khang Thiam Lu sengaja
pergi sendiri buat membuktikan dan ia berhasil
menyelidiki apa tujuan iring-iringan tersebut, la
menangkap seorang perajurit dan mengorek
keterangan dari mulut perajurit tersebut, yang
diculik dan kemudian saking murkanya ia
membunuh dengan sekali menepuk kepala perajurit
itu yang menjadi pecah. Mati seketika.
Cepat-cepat Khang Thiam Lu memberi kabar
kepada Jenderal Giok Hu agar menyingkir. Tetapi
sarannya ditolak Jenderal tersebut, dan Thiam Lu
kebingungan.
Biasanya, jika utusan Kaisar datang untuk
menghukum seseorang, hal itu sudah tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Tidak ada jalan lain buat Thiam
Lu. ia mempersiapkan pasukannya, kalau memang
nanti Jenderal Giok HB dipaksa oleh Firman Kaisar
dan ingin dicelakai, maka ia akan mengadakan
perlawanan dengan seluruh kekuatan pasukannya
yang berjumlah hampir tiga puluh orang.
Ada alasan mengapa Khang Tbiam Lu begitu
panik dan kebingungan. Begitu pula halnya dengan
22
Thio Pie Lam, jadi ikut bingung setelah Khang Thiam
Lu menceritakan kepadanya bahwa di dalam
pasukan itu ikut Congkoan Gie Lim Kim (pengurus
pasukan yang melindungi Kaisar) Ban It Say, yang
terkenal gagah dengan ilmu golok tunggalnya.
Juga bersama rombongan itu ikut serta Thio Yu
Liang, Congkoan Kim Ie Wie (pengurus pasukan
yang bersulam jubah emas), seorang jago pedang
nomor satu di jaman ini, karena ilmu pedang Peklui-
kiam (Pe-dang Kilat) sudah kesohor di seluruh
daratan Tionggoan dan sulit dicari tandingannya.
Iring-iringan utusan Kaisar itu dilengkapi oleh 500
orang pasukan Kim Ie Wie, yang semua rata-rata
berkepandaian tinggi.
Itulah sebabnya mengapa Khang Thiam Lu dan
Thio Pie Lam jadi kebingungan dan panik. Dengan
diperlengkapinya iring-iringan Kaisar sekali ini
dengan kekuatan yang demikian hebat, jelas
sengaja agar Jenderal Giok Hu tidak bisa meloloskan
diri, Bahkan jago istana seperti Thio Yu Liang dan
Ban It Say ikut serta dalam iring-iringan Kaisar
tersebut. Bukankah tidak ada seekor lalatpun yang
bisa lolos dari tangan kedua jago nomor satu dari
istana Kaisar itu ?
Jenderal Giok Hu sendiri yang keluar menyambut
kedatangan rombongan utusan Kaisar itu,
didampingi oleh Khang Thiam Lu dan Thio Pie Lam.
Dengan sikap sangat hormat Jenderal tersebut mem
23
persilahkan para tamunya itu untuk masuk ke dalam
istananya.
Tetapi dari rombongan tersebut keluar seorang
Thaykam berusia hampir lima puluh tahun, dengan
sikap angkuh dan sinis, suaranyapun angker waktu
ia berseru: "Giok Hu pengkhianat! Berlututlah untuk
menerima Firman Hongya !"
Muka Jenderal Giok Hu berobah pucat, tetapi
ketika melihat Thaykam itu membuka segulungan
kain merah bersulam naga dari benang emas, tidak
berani ayal lagi Jenderal Giok Hu berlutut, buat
menerima Firman Kaisar.
"Giok Hu menantikan perintah Hongya !" kata
Jenderal Giok Hu dengan suara tergetar.
Dengan suara lantang Thaykam itu membacakan
Firman Kaisar: "Karena terbukti Giok Hu tidak pandai
berterima kasih atas kebaikan Tim yang sudah
menganugerahi pangkat sangat tinggi padanya, di
mana ia masih berpikir untuk memberontak
menentang Tim, bekerja sama dengan para
pemberontak seperti Giam Cu, dengan ini Tim
nyatakan seluruh pangkat dan kekuasaannya
dilepaskan darinya, dan Tim anugerahi kemuliaan
terakhir untuk Giok Hu dan keluarganya dengan
kematian."
Muka Jenderal Giok Hu semakin pucat pias
mendengar bunyinya Firman Kaisar, karena itulah
24
tanda bahwa ia sekeluarga harus menerima
hukuman mati. Tubuhnya menggigil.
"Tetapi. . Hongya,. . ." Suara Jenderal Giok Hu.
tidak terdengar jelas.
Thio Pie Lam berdua Khang Thiam Lu pun
menjadi pucat pias, malah Khang Thiam Lu yang air
matanya cetek sudah mengucurkan air mata
menahan isak tangisnya.
"Giok Hu ! Apakah kau mengakui semua dosadosamu
itu ?!" Tanya Thaykam yang membacakan
Firman Kaisar dengan suara nyaring.
"Tetapi... hamba akan menjelaskan seluruh
persoalan kepada Hongya,...Berilah hamba
kesempatan untuk bertemu dulu dengan Hongya!"
"Hemmm, Hongya sudah menganugerahi
kemuliaan terakhir untukmu. Dan, kami di tugaskan
untuk melaksanakan tugas mewakili Hongya
menganugerahkan kemuliaan tersebut !" Setelah
berkata begitu, Thaykam tersebut menoleh kepada
orang yang bertubuh tinggi besar dan memelihara
brewok tanpa kumis, yang tengah mengawasi
Jenderal Giok Hu dengan tatapan sinis.
Dialah Ban It Say, Congkoan Gie Lim Kun.
Thaykam itu bilang lagi: "Ban Tayjin, mulailah
melaksanakan tugas. Tidak boleh sepotong jiwa
anjing, mau pun ayam yang dibiarkan lolos !"
25
Ban It Say tertawa sambil mengangguk Tangan
kanannya dikibaskan. Belasan orang berpakaian
sulam emas, yaitu Kim It Wie dengan masingmasing
golok ditangan sudah melompat mendekati
Jenderal Giok Hu.
Thio Pie Lam berdua Khang Thian Lu terkejut,
muka mereka pucat pias. Thio Pie Lam melompat ke
depan Jenderal Giok Hu, menangkis beberapa golok
yang menyambar akan membacok Jenderal tersebut.
Sedangkan Khang Thiam Lu cepat cepat mencekal
lengan Jenderal Giok Hu. teriaknya: "Goanswee,
mari menyingkir !"
Tetapi Jenderal Giok Hu mengibaskan tangannya,
maka cekalan Khang Tiam Lu ter lepas. "Pergilah
kau !" Katanya dengan muka yang pucat seperti
mayat. la tampak jadi putus asa campur kecewa.
Walaupun sebetulnya Jenderal Giok Hu memiliki ilmu
silat yang cukup tinggi, tidak terlihat tanda-tanda ia
ingin mengadakan perlawanan. la tetap dalam
keadaan berlutut.
Thio Pie Lam mati-matian menghalau beberapa
golok yang datang mengancam, kemudian berseru:
"Khang heng, cepat ajak Goansweeya menyingkir !"
Khang Thiam Lu dengan air mata bercucuran
berkata lagi untuk membujuk Jenderal Giok Hu:
"Goanswee, apakah kau sudah tidak mencintai
keluargamu lagi. . . ?!"
26
Jenderal itu tetap berdiam diri saja dengan muka
yang pucat seperti kapur tembok.
Tubuhnya menggigil. Tetapi Khang Thiam Lu tidak
bisa meneruskan kata-katanya, dia merasakan
tengkuknya dingin dan cepat berkelit ke samping,
kerena ia tahu itulah serangan bokongan. Namun,
Khang Thiam Lu kaget, ia sudah berkelit, hawa
dingin itu masih tetap menyambar di tengkuknya.
Dia mengayunkan tangan ke atas menangkisnya.
Lengan Khang Thiam Lu terasa nyeri, tubuhnya
bergoyang-goyang, kemudian mundur dua langkah
ke belakang. Orang yang menyerangnya adalah Ban
It Say, Cong koan Gie Lim Kun, yang tertawa
mengejek terkekeh dan tengah menyambar dengan
tangan kirinya lagi.
Khang Thiam Lu menggerakkan pedangnya buat
menebas lengan Congkoan Gin Lim Kun tersebut,
tetapi gesit bukan main Ban It Say bisa melindungi
tangannya, dimana ia menekuk tangan kirinya,
mendadak tangan kanannya menghantam ke depan,
telak sekali memukul dada Khang Thiam Lu.
Pikiran Khang Thiam Lu tengah kalut, karenanya
ia tidak bisa menghindari pukulan Ban It Say,
dimana perhatiannya sebagian tertumpah pada
keselamatan Jenderal Giok Hu. Akibat pukulan Ban It
Say, tubuhnya terpelanting, namun cepat sekali ia
bisa bangkit dan menghirup dalam-dalam hawa
udara untuk mengumpulkan semangatnya.
27
Ban It Say tertawa terkekeh, katanya:
"Kau ingin melindungi pemberontak, heh?!"
Kedua tangannya sudah menyambar lagi.
Hebat cara menerjang Ban It Say, dia seperti
tidak memperdulikan pedang Khang Thiam Lu yang
melintang ingin menebas ke dua tangannya Malah,
dengan sebat sekali kedua jari tangannya berhasil
menjepit pedang Khang Thiam Lu.
Hati Khang Thiam Lu mencelos, dia tidak sangka
Congkoan Gie Lim Kim ini sangat liehay, namanya
memang tidak kosong. Cepat-cepat dia melepaskan
cekalan pada pedangnya, telapak tangan kirinya
menghantam pundak Ban It Say.
Ban It Say nyengir mengejek, kemudian
mematahkan pedang Khang Thiam Lu. Baru saja ia
ingin menerjang Khang Thiam Lu, mendadak
Jenderal Giok Hu berseru: "Hentikan! Semua
berhenti!"
Semua orang jadi berdiam diri, belasan orang
Kim Ie Wie yang waktu itu tengah bertempur dengan
pasukan Khang Thiam Lu pun berhenti dan menoleh
kepada Jenderal Giok Hu.
Jenderal Giok Hu tetap berlutut, mukanya pucat
pias, bibirnya agak gemetar. Dia ber kata dengan
suara nyaring: "Lihatlah," kata nya dengan
melepaskan pedang yang tergantung di
28
pinggangnya. "Ini adalah Kim kiam (Pedang Emas)
hadiah Hongya, merupakan pedang kekuasaan yang
dianugerahi oleh Hongya. Sekarang Hongya
menganggap aku berdosa, menjatuhkan hukuman
mati kepada ku sekeluarga. Walaupun ini merupakan
kejadian penasaran yang akan terbawa sampai ke
akherat, namun sebagai Jenderal yang setia kepada
Hongya, jelas aku tidak boleh membangkang
terhadap setiap keinginan Hongya. Baiklah, aku
menerima hukuman yang dijatuhi Hongya !"
Selesai berkata begitu, tahu-tahu Jenderal Giok
Hu mencabut Kim kiam, menghunusnya dengan
cepat. Sama cepatnya dengan itu menggorok leher
Jenderal tersebut, sehingga lehernya putus dan
kepalanya menggelinding ke lantai. Tubuhnya
mengikuti kemudian, rebah di lantai, darah
berceceran.
Thio Pie Lam berdua Khang Thiam Lu menjerit
kaget dan sedih, mereka coba mencegah perbuatan
Jenderal yang sudah berputus asa itu. Tetapi mereka
tidak keburu, karena dirintangi oleh Ban It Say dan
anak buahnya. Malah waktu itu sudah melompat
maju seseorang, yang tubuhnya kurus jangkung,
mengenakan tungshia (baju panjang) warna kuning.
Melihat keadaannya dia seperti seorang
penyakitan, tetapi dia tidak lain dari Thio Yu Liang,
Congkoan Kim le Wie yang sangat terkenal ilmu
pedangnya. Dengan sikap seenaknya kedua
tangannya bergerak, dan kemana saja tangannya
29
bergerak, terdengar jerit kematian, karena seorang
tentara Jenderal Giok Hu yang terhajar kepalanya
terbinasa. Bengis sekali Congkoan Kim le Wie ini.
Bagaikan kalap Thio Pie Lam berdua Khang Thiam
Lu berusaha menerjang Ban It Say dan Thio Yu
Liang. Tetapi kepandaian jago nomor satu dari istana
itu benar-benar kosen, mereka gagah sekali. Thio
Pie Lam berdua Khang Thiam Lu seakan tidak
dipandang sebelah mata oleh mereka.
Ketika suatu kali Thio Yu Liang menghantam
dengan jari telunjuknya, menotok pundak Khang
Thiam Lu, Tubuh Thiam Lu tidak ampun lagi
kejengkang keras ke belakang, bahkan belum lagi
bangkit berdiri dia sudah memuntahkan-darah
segar.
Pasukan Kim Ie Wie yang lainnya sudah
menerjang masuk ke dalam istana Jenderal Giok Hu,
semua pelayan maupun tentara Jenderal Giok Hu
dibinasakan. Seperti perintah Thaykam yang tadi
membacakan Firman Kaisar, bahwa sepotong jiwa
anjing maupun ayam tidak boleh ada yang lolos.
Hampir seratus orang lebih pelayan keluarga
Jenderal Giok Hu dibinasakan. Sanak famili maupun
isteri dan dua orang anak perempuan dari Jenderal
Giok Hu dibinasakan semuanya.
30
Khang Thiam Lu setelah memuntahkan darah
segar, sebetulnya ingin melompat berdiri dan matimatian
ingin mengadu jiwa.
Tetapi tiba-tiba dia teringat sesuatu. Dan seketika
ia memiliki semangat lagi, karena ia harus
menyelamatkan seseorang. Dia batal berdiri, hanya
berdiam sejenak. Setelah melihat Thio Yu Liang tidak
memperhatikannya dan tengah mengibas-ngibaskan
lengan jubahnya untuk membersihkan debu
dibajunya, Khang Thiam Lu merangkak hati-hati
menyingkir kedekat pintu, kemudian menyelinap ke
balik istal dan berlari sekuat tenaga menuju ke arah
pantai.
"Hem, tidak ada yang berarti di sini!"
Menggumam Thio Yu Liang kepada Ban It Say waktu
itu tengah melayani Thio Pie Lam dengan kedua
tangannya.
Ban It Say tertawa bergelak-gelak. sambil
menyampok tangan kanan Thio Pie Lam yang
menyambar kepadanya ia menyahuti: "Ya, memang
sungguh mengecewakan! Kukira Jenderal bau itu
mempunyai banyak kaki tangan yang tangguh !
Aneh, hanya gentong-gentong nasi tidak punya guna
yang muncul di depan kita ! Eh, kita apakan gentong
nasi yang satu ini, Thio-heng ?!"
Thio Yu Liang tertawa.
31
"Aku akan memperlihatkan suatu pertunjukan
yang istimewa !" Jawab Thio Yu Liang. Perlahanlahan
dia menghunus pedang nya, dilemparkannya
pedang itu ke tengah udara. Waktu pedang itu
menukik meluncur turun, Thio Yu Liang sambil
tertawa menyentil dengan jari telunjuknya pada
pedang tersebut, yang seketika terpental keras dan
menyambar kedada Thio Pie Lam.
Thio Pie Lam kaget dan hatinya mencelos melihat
menyambarnya pedang lawan tetapi pedang itu
terlalu cepat menyambar dadanya, dia tidak bisa
menghindar, tahu-tahu tubuhnya terdorong kuat,
kejengkang, dadanya ditembusi pedang Thio Yu
Liang dan mata pedang itu menancap juga di batang
pohon, seakan-akan tubuh Thio Pie Lam disate oleh
pedang tersebut! Ban It Say tertawa keras.
"Thio-heng, kau merampas jasaku!" Teriaknya.
"Semua ini jasa kita berdua!" kata Thio Yu Liang
tidak acuh dan menghampiri Thio Pie Lam yang
tertancap di batang pohon, menarik pedangnya dan
membersihkan di baju mayat Thio Pie Lam.
Thaykam yang membacakan Firman Kaisar telah
menghampiri Ban It Say.
"Ban Tayjin, coba periksa, apakah dua orang
anak perempuan dan seorang anak lelaki Giok Hu
sudah diberesi semuanya ? Juga isteri dan 29 sanak
famili yang tinggal bersamanya, apakah sudah
32
semuanya dirapikan. Hitung dan perhatikan dengan
baik, jangan sampai salah ! Seratus tiga belas
pelayan, seorang isteri, tiga anak, dan ditambah dua
puluh sembilan sanak pamili. Seluruhnya berjumlah
seratus empat puluh enam. Jika ditambah oleh Giok
Hu jadi seratus empat puluh tujuh jiwa."
Ban It Say mengangguk dan mulai menghitung,
sedangkan Thio Yu Liang menghampiri Thaykam itu.
"Bagaimana dengan pasukan perang dimarkas
angkatan perang, yang semula berada di bawah
kekuasaan Giok Hu ?!" Tanya Thio Yu Liang "Apakah
Kongkong sudah membereskan semuanya ?"
"Thio Tayjin, kau jangan kuatir. Kong kong selalu
mengatur dengan sempurna segalanya. Telah
diangkat Jenderal Wang Shie sebagai pengganti Giok
Hu. Keadaan di sana pun sudah teratasi dengan
baik! Ada dua ribu lebih tentara yang memihak pada
Giok Hu, mereka semua sudah dibereskan !" jawab
Thaykam itu.
Thio Yu Liang mengedip-ngedipkan matanya.
"Apakah kini tugas kami sudah selesai, Tayjin"
Tanyanya.
Thaykam itu mengangguk.
"Ya, kita akan langsung kembali ke ke kotaraja,"
Jawabnya.
33
Ban It Say sudah selesai menghitung dan
menghampiri itu.
"Seluruhnya berjumlah seratus empat puluh tiga
jiwa !" Lapor Ban It Say. "Juga tampaknya ada yang
tidak beres, anak lelaki Giok Hu yang katanya
berusia tujuh tahun tidak ada di antara mayat-mayat
itu...!"
Mukanya Thaykam tersebut berobah hebat, agak
gugup dia perintahkan: "Cari ! Periksa sekitar
tempat ini ! Pasti ada beberapa pelayan yang
berusaha menyelamatkan anak pemberontak ini !"
Segera juga pasukan Kim Ie Wie dibawah
pimpinan Thio Yu Liang dan Ban It Say mencari anak
lelaki Jenderal Giok Hu dan memeriksa sekitar
tempat itu. Tetapi yang mereka cari tidak juga
berhasil ditemukan.
Sia-sia usaha mereka, sehingga Thay kam itu
marah-marah. Yang jadi sasaran kekejaman Ban It
Say dan Thio Yu Liang bersama anak buahnya,
penduduk yang berdekatan dengan istana Jenderal
Giok Hu menjadi korban.
Entah berapa puluh orang yang mereka bunuh.
Darah membanjir di istana Jenderal Giok Hu.
seorang Jenderal yang terkenal sangat setia dan
cinta pada negara akhirnya mati di tangan
Kaisarnya. junjungannya. Rakyat cuma bisa
mengusap dada waktu mendengar peristiwa yang
34
menyedihkan tersebut, salah satu korban dari
kelaliman Kaisar Yong Ceng.
-------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------
----
MALAM telah larut, di pantai selatan suara ombak
berdebur dengan gemuruh, angin selatan pun
berhembus sangat keras dan dingin. Walaupun
rembulan bersinar penuh di langit, tetapi sinarnya
tidak cukup menerangi sekitar daerah pantai itu,
batu-batu karang yang tidak rata bentuknya
menimbulkan bayang-bayang seperti bayangan
hantu malam yang menyeramkan. Hanya
dipermukaan air laut yang tengah pasang itu yang
memantulkan sinar berkeredepan akibat timpahan
cahaya bulan.
Dibalik sebungkah batu karang yang cukup besar
bentuknya, di sebelah dalam dari kaki batu karang
yang menjorok ke dalam membentuk seperti goa,
tampak dua sosok tubuh duduk dengan menggigil
kedinginan. Sosok tubuh yang satu duduk
menyender di dekat mulut goa di kaki gunung
karang itu, tampaknya lemah dan sedang terluka
berat. Scdangkan yang seorang lagi duduk dengan
dipangkuannya rebah sesosok tubuh kecil, seorang
anak lelaki berusia antara enam atau tujuh tahun,
yang tubuhnya dibungkus oleh baju luar dari salah
seorang kedua orang tersebut.
35
Anak lelaki itu tengah tidur nyenyak. Keadaan di
tempat itu hening dan sepi sekali, cuma suara debur
ombak yang menampar serta menerjang batu-batu
karang di pantai yang terdengar jelas.
Orang yang menyender di mulut goa memanggil
dan menggeser tubuhnya sedikit, tiba-tiba
keheningan di tempat itu terpecahkan oleh suara
muntah orang tersebut. Sosok tubuh di dalam goa
yang tengah memangku anak lelaki kecil itu tampak
kuatir dan tidak tenang.
"Tayjin, apakah kesehatan Tayjin semakin
memburuk?!", tegur orang didalam goa itu.
Orang diluar pintu goa mengulapkan tangannya
beberapa kali. "Tidak. Tidak apa-apa. Aku masih
kuat untuk melindungi kalian !" Kemudian dia
menyender lagi, sinar bulan yang berkelebat
menyinari tempat itu karena pumpalan awan yang
menutupi bulan bergeser, memperlihatkan wajsh
orang itu pucat pias.
Di sisi mulutnya tampak noda-noda darah, karena
yang dimuntah kannya tadi adalah darah! la
tampaknya tengah terluka di dalam tubuh yang
cukup parah. Orang tersebut berpakaian seperti
seorang pahlawan kerajaan, biarpun tubuhnya sudah
lemah, kenyataannya ia masih ingin memperlihatkan
sifat-sifat gagah, bahwa ia masih sanggup untuk
melindungi kedua orang itu.
36
Siapakah orang-orang di dalam goa di bawah
batu karang yang bentuknya seperti goa itu ?
Yang tadi memuntahkan darah tidak lain dari
Khang Thiam Lu, pengawal pribadi Jenderal Giok Hu
yang sempat meloloskan dari tangan orang-orang
yang jadi utusan Kaisar Yong Ceng, yang ingin
membabat seluruh keluarga Jenderal Giok Hu.
Semula Khang Thiam Lu bertekad untuk mengadu
jiwa melindungi Jenderal Giok Hu. bahkan waktu
menyaksikan Jenderal Giok Hu menemui kematian
mengenaskan hati, ia menjadi nekad dan ingin
mengadu jiwa.
Walaupun ia sudah dilukai Thio Yu Liang oleh
totokan yans mengandung tenaga dalam kuat sekali,
membuat Thiam Lu terluka didalam tubuh yang
parah, ia masih ingin mengadakan perlawanan
sampai titik napas terakhir.
Hanya saja saat itu justeru ia teringat kepada
putera bungsu Jenderal Giok Hu, yaitu Giok Han,
yang diketahuinya tengah bermain di pantai
bersama Lam Sie. seorang pelayan keluarga
Jenderal Giok Hu.
Memang sejak kecil Giok Han diasuh oleh Lam
Sie, seorang pelayan yang setia dan jujur, berusia
sudah cukup lanjut hampir 60 tahun, karenanya,
akhirnya dengan hati yang pedih dan perasaan yang
berat, Khang Thiam Lu berusaha untuk meloloskan
diri, dan dia berhasil dengan usahanya untuk
37
menyingkir dari gedung Jenderal Giok Hu yang
tengah dibanjiri darah itu.
Dengan air mata bercucuran Khang Thiam Lu
berlari-lari ke pantai, untuk mengajak Lam Sie dan
Giok Han menyingkir menyelamatkan diri dari
ancaman maut orang-orangnya Kaisar Yong Ceng.
Sejak pagi tadi memang Giok Han tidak seperti
biasanya, rewel sekali, sering menangis dan sulit
untuk dibujuk oleh pengasuhnya. Lam Sie semula
menyangka Giok Han sakit sehingga rewel seperti
itu.
Khang Thiam Lu menyuruh Lam Sie mengajak
Giok Han ke pantai, untuk menenangkannya dengan
mengambil kulit-kulit kerang, karena memang
kesukaan Giok Han mengambil serta mengumpulkan
kulit kerang yang banyak terdapat di pasir pantai.
Lam Sie pun mengajak putera bungsu Jenderal
Giok Hu ke pantai, buat diajak bermain-main di
pantai. Justeru karenanya jiwa putera bungsu
Jenderal Giok Hu jadi lolos dari kematian.
Khang Thiam Lu bertekad harus menyelamatkan
jiwa putera junjungannya, walaupun ia dalam
keadaan terluka parah namun Thiam Lu mengempos
seluruh sisa tenaganya untuk berlari ke pantai dan
mengajak Giok Han bersama pengasuhnya
menyingkir agak jauh dan bersembunyi di bawah
sebongkah batu karang dipantai itu. Sengaja ia tidak
38
mengajak anak junjungannya serta pengasuh anak
itu meninggalkan pantai, sebab ia yakin pasukan
kerajaan yang diutus Kaisar Yong Ceng tidak
mungkin menggeledah pantai itu.
Jika ia kembali ke kota atau pun meninggalkan
pantai untuk pergi kekota lainnya, kemungkinan
dilihat orang dan diketahui jejak mereka oleh orangorang
Kaisar Yong Ceng lebih besar. Hanya saja luka
di dalam tubuh Khang Thiam Lu semakin parah juga.
Sejak siang tadi ia sudah duduk bersemedhi
untuk mengempos semangat murni, guna mengobati
dirinya. Tetapi gagal. Totokan Thio Yu Liang benarbenar
hebat. Sudan berkali-kali Khang Thiam Lu
memuntahkan darah, keadaannya semakin lemah
dan payah. Muka-nya semakin pucat pasi, seperti
kapur tembok putihnya. Di malam yang sangat
dingin oleh sampokan angin pantai membuat
penderitaan Khang Thiam Lu semakin hebat, tetapi
ia masih berusaha terus dengan penuh kewaspadaan
untuk menjaga keselamatan Giok Han dan Lam Sie.
Itulah sebabnya ia masih duduk bersender di
pintu, goa batu karang itu, berjaga-jaga kalau saja
ada orang yang ingin mencelakai anak junjungannya
tersebut. la bertekad akan mengadu jiwa untuk
melindungi anak junjungannya.
Lam Sie yang sejak tadi membujuk Giok Han
untuk tenang berdiam di dalam goa, merasa hancur
luluh hati maupun perasaannya. Betapa tidak, tadi
39
sudah didengarnya dari Khang Thiam Lu bahwa
junjungannya serta keluarga Jenderal itu sudah
dibabat habis oleh orang-orang Kaisar Yong Ceng,
terbunuh semuanya. Air mata turun berkali-kali
membasahi pipinya yang sudah keriput.
Sisa makanan kering yang kebetulan masih ada
yang dibawanya tadi ketika mengajak Giok Han ke
pantai, diberikan kepada anak itu, agar Giok Han
tidak lapar dan tidak masuk angin.
Hanya saja, menjelang senja, sisa makanan yang
ada telah habis. Giok Han merengek ingin makan
karena lapar. Bingung bukan main Lam Sie dan
Khang Thiam Lu. Sebetulnya Khang Thiam Lu hampir
nekad ingin pergi ke rumah penduduk terdekat di
pantai itu, untuk meminta atau mengambil sedikit
makanan buat majikan kecilnya, tetapi Lam Sie
sudah mencegahnya kalau Khang Thiam Lu yang
dalam keadaan luka parah pergi ke rumah penduduk
di dekat pantai itu, berarti sama saja mereka
menunjukkan jejak kepada orang-orangnya Kaisar
Yong Ceng, dan bahaya yang mengancamnya akan
besar sekali.
Dengan bingung kedua orang itu akhirnya
membujuk Giok Han untuk bersabar menahan
laparnya. "Besok paman Khang akan membelikan
Siauwya makanan yang enak-enak, ya ?!"
membujuk Lam Sie dengan hati yang pedih.
40
Karena lapar dan lelah, akhirnya Giok Han
tertidur dipangkuan Lam Sie. Hawa malam dingin
sekali, membuat anak itu sering menggigil. Khang
Thiam Lu berdua Lam Sie sudah membuka masing
masing baju luarnya dan mempergunakan untuk
menyelimuti anak itu. Hanya saja baju luar itu tidak
cukup untuk mencegah dinginnya udara malam,
Giok Han yang tidur dengan perut lapar masih sering
menggigil kedinginan.
Hati Lam Sie semakin pedih saja, begitu juga
Khang Thiam Lu, yang melihat keadaan anak
junjungannya seperti itu dengan hati tersayat-sayat,
air matanya sampai menitik beberapakali. Cuma
saja, mereka menguatkan hati untuk bertahan
sampai tibanya fajar, sampai bahaya telah lewat.
Waktu merambat terus dan suara debur ombak
yang terdengar terus menerus, selain dari itu tidak
terdengar suara apapun juga di kekelaman malam
pada sekitar daerah pantai tersebut. Khang Thiam Lu
sangat lelah dan menderita oleh luka di dalam tubuh
yang kian parah itu, tetapi ia masih memaksakan
diri mementang kedua matanya lebar-lebar untuk
bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan,
tangannya mencekal pedangnya erat-erat.
Lam Sie pun sangat lelah, matanya sering
tertutup untuk, beristirahat, namun ia sering
terhentak bangun dengan terkejut. Dan waktu
malam semakin larut, sekali lagi Lam Sie tersentak
41
kaget karena Giok Han mengigau memanggilmanggil:
"Papa...Papa... Mama.... Mama...!"
Air mata Lam Sie dan Khang Thiam Lu jadi
bercucuran, hati mereka hancur sedih sekali. Tetapi
tidak ada yang bisa mereka lakukan. Lam Sie cuma
memeluk Giok Han yang didekap erat-erat. Anak itu
tetap tidur dengan hati-hati Lam Sie meletakkan di
pangkuannya lagi.
Akhirnya fajar menyingsing. Giok Han sudah
terbangun dari tidurnya.
"Paman Khang, Paman Lam, Hanjie lapar...!" kata
anak itu.
Lam Sie dan Khang Thiam Lu mengangguk sambil
memaksakan diri tersenyum, walaupun hati mereka
pedih sekali.
"Sebentar lagi kita beli makanan yang banyak
dan enak-enak untuk Siauwya, ya ?!" Bujuk Lam
Sie,
"Kukira sekarang sudah boleh menyingkir, Lam
Lopeh !" kata Khang Thiam Lu. "Pasukan Kaisar
tentu sudah menarik diri meninggalkan tempat ini!"
Lam Sie mengangguk. "Kita harus mengambil
arah yang berlawanan dengan mereka. Tetapi Khang
Tayjin, apa rencana kita untuk Siauwya ?"
42
Khang Thiam Lu menghela napas dalam-dalam. la
berpikir sejenak, kemudian menyahuti: "Kita pergi
ke kota Siauw An, menemui guruku, kita nanti minta
nasehatnya."
Lam Sie mengangguk menyetujui, karena dia
sendiri bingung kemana ingin membawa majikan
kecilnya itu, untuk diselamatkan. Memang ia pun
setuju dengan rencana Khang Thiam Lu, tentu guru
dari pengawal Jenderal Giok Hu ini bisa memberikan
jalan yang terbaik, setidak-tidaknya bantu
melindungi Giok Han.
Bukankah kepandaian guru Khang Thiam Lu pasti
lebih tinggi dari Thiam Lu sendiri ? Di samping itu
luka di dalam tubuh Khang Thiam Lu bisa diobati
oleh gurunya. Hanya saja, dari daerah pantai itu
untuk pergi mencapai kota Siauw An harus
menempuh perjalanan tidak kurang dari 20 hari
perjalanan, yang dikuatirkan Lam Sie apakah Khang
Thiam Lu sanggup melakukan perjalanan sejauh itu
dalam keadaan terluka cukup parah seperti ini ?
"Ayo Lam Lopeh, bersiap-siaplah ! Kita harus
berangkat sekarang untuk mengejar waktu! Tetapi
ingat Lam Lopeh, kalau nanti dalam perjalanan ada
rintangan, aku akan berusaha mengatasi rintangan
itu dan kau harus terus membawa Siauwya menemui
guruku. Carilah Gan Sie Hung di Siauw An.
Mengertikah kau, Lam Lopeh ?!"
43
Lam Sie mengangguk, lalu menggendong Giok
Han. Tetapi Giok Han menolak untuk digendong oleh
pengasuhnya yang sudah cukup tua itu.
"Paman Lam, biar aku jalan sendiri!", kata anak
itu. "Paman Lam tampak sudah lelah, sedangkan aku
sudah tidur semalaman rasanya bisa jalan sendiri !"
Lam Sie terharu mendengar perkataan majikan
kecilnya, dengan air mata bercucuran dipeluknya
Gok Han. "Nanti kita beli makanan yang enak-enak,
Siauwya.", bisiknya.
Matahari fajar memerah di ufuk Timur, air laut
sudah surut dan keadaan di pantai itu sangat sepi.
Ketiga orang tersebut meninggalkan tempat itu.
Khang Thiam Lu dengan Lam Sie selalu waspada dan
berhati-hati, setiap bertemu dengan seseorang,
mereka tentu akan bersikap hati-hati dan waspada.
Setelah melakukan perjalanan cukup jauh,
mereka sampai di sebuah kampung yang tidak
begitu besar. Sebuah perkampungan nelayan. Lam
Sie membeli beberapa makanan untuk majikan
kecilnya. Dengan perut kenyang, Giok Han tidak
rewel lagi.
Hanya saja, ketika mereka ingin melanjutkan
perjalanan, Giok Han dengan heran bertanya kepada
Lam Sie : "Paman Lam, kita mau kemana ? Pergi
jauh-jauh nanti dimarahi Papa!"
44
"Papa yang suruh kami membawa Siauwya ke
suatu tempat. Papa sedang menunggu Siauwya di
sana ! "Berbohong Lam Sie.
"Apakah Mama dan ciecie berada disana juga?"
Tanya Giok Han.
"Ya," menyahuti Lam Sie. "Siauwya tidak perlu
kuatir, Papa tidak akan memarahi Siauwya, karena
ini perintahnya."
Mereka melanjutkan perjalanan lagi. Hari itu Giok
Han tampak segar dan ia melakukan perjalanan
dengan sering berlari-lari dengan tertawanya yang
nyaring. la memetik bunga, melempari sungai yang
mereka lalui dengan butir-butir batu, tampaknya
riang. Sedikitpun anak itu tidak tahu, bahwa seluruh
keluarganya sudah menjadi korban keganasan
Kaisar Yong Ceng.
Khan Thiam Lu sebetulnya sudah semakin payah,
luka di dalam tubuhnya kian parah. Tetapi ia
berusaha untuk tetap bisa melakukan perjalanan,
sekali-sekali ia memuntahkan darah segar.
Melihat keadaan Khang Thiam Lu seperti itu, Lam
Sie semakin kuatir saja. Bagaimana kalau Khang
Thiam Lu sudah tidak kuat bertahan lebih jauh,
sehingga lukanya kian parah lalu mati Apa yang
harus dilakukannya? Berulang kali selalu saja Lam
Sie membujuk agar Khang Thiam Lu beristirahat,
perjalanan mereka tidak perlu tergesa-gesa, dan
45
agar Khang Thiam Lu pun mengundang tabib untuk
mengobati luka di dalam tubuhnya.
Tetapi Khang Thiam Lu selalu menggeleng lesu. la
hanya sekali-kali menelan beberapa pil merah, pil
Sie-hun-tan buatan gurunya, agar ia bisa bertahan
lebih lama lagi dengan luka di dalam tubuhnya.
Cuma saja, terakhir ia menelan tiga butir pil itu,
dilihatnya sisa di dalam botol hanya ada dua belas
butir lagi. Berarti paling tidak hanya bisa
dipergunakan untuk empat hari. Jika obat itu habis,
celakalah dia!
Mengundang tabib biasa hanya akan sia-sia,
karena luka yang dideritanya adalah akibat totokan
liehay dari Thio Yu Liang, tidak mungkin bisa
disembuhkan oleh tabib biasa. Malah bisa
mengundang bahaya, kalau tabib itu bercuriga dan
melaporkan kepada pihak yang berwajib. Akan
menimbulkan kerewelan. Tetapi Khang Thiam Lu
tidak pernah mengutarakan kekuatirannya itu, dia
hanya gelisah seorang diri.
Jika malam sudah tiba, mereka bermalam di
rumah penduduk, yang mereka berikan beberapa tail
perak buat tuan rumah. Sudan tiga hari tiga malam
mereka melakukan perjalanan. Dan pada malam
keempatnya, waktu mereka bermalam dirumah
seorang penduduk disebuah desa kecil Khang Thiam
Lu merasakan napasnya sesak satu-satu, tubuhnya
separuh sudah kaku sulit digerakkan, ia tahu daya
tahan tubuhnya tidak akan lama lagi maka, waktu
46
dilihatnya Giok Han sudah tidur, perlahan-lahan
Khang Thiam Lu menggeser tubuhnya ke dekat Lam
Sie, mukanya pucat sekali. Air matanya mengucur
deras.
"Sungguh penasaran ! Sungguh penasaran!"
Mengeluh Khang Thiam Lu dengan suara gemetar.
Lam Sie melihat keadaan Khang Thiam Lu seperti
itu jadi ikut mengucurkan air mata. "Beristirahatlah
Khang Tayjin, agar besok tenaga Khang Tayjin
pulih..." hiburnya.
Khang Thiam Lu menggelengkan kepala. Air
matanya tetap mengucur deras.
"Sungguh penasaran Lam Lopeh, tampak aku
tidak kuat untuk bertahan lebih lama guna
melindungi Siauwya dan kau, Lopeh... lukaku
tampaknya sulit dibendung untuk ber tahan
beberapa hari lagi saja.... Mungkin aku hanya bisa
bertahan untuk satu hari lagi saja... Sungguh
penasaran . . . Ooo, Thian tampaknya tidak menaruh
belas kasihan kepada kita, Lam Lopeh !" Khang
Thiam Lu, kemudian menangis terisak-isak.
Lam Sie kuatir bukan main, dipegangnya lengan
Khang Thiam Lu, dirasakan tubuh orang she Khang
tersebut gemetar. Juga dilihatnya muka Khang
Thiam Lu yang pucat pias itu berselubung warna
gelap, matanya sudah tidak bersinar, di bawah
pelupuk matanya tampak warna hitam gelap,
47
menunjukkan bahwa orang she Khang ini memang
sudah tipis harapannya untuk mempertahankan
hidupnya lebih jauh, karena terlalu sedih campur
kuatir, Lam Sie tidak bisa bilang apa-apa, dia
menangis terisak-isak.
Khang Thiam Lu dengan air mata bercucuran
memandangi Giok Han yang tengah tidur, duduk
bengong berdiam diri saja. Sampai akhirnya dia
menoleh kepada Lam Sie, katanya: "Jika terjadi
sesuatu pada diriku kau harus membawa Siauwya
mencari guruku di Siauw An, Lopeh ..." kata Thiam
Lu lagi.
Lam Sie mengangguk beberapa kali dengan
sesengukan.
Khang Thiam Lu mengeluarkan botol obatnya,
tinggal sebutir. Diawasinya botol obat itu. Memang
akhir-akhir ini setiap kali memuntahkan darah, ia
cuma memakan sebutir pil obatnya tersebut.
Seharusnya ia memakan enam atau paling sedikit
tiga butir, namun untuk memperpanjang
penggunaan obat pil Sie-hun-tan tersebut, ia
sengaja memakannya hanya sebutir demi sebutir.
Setelah mengawasi sekian lama pada botol
obatnya itu, Khang Thiam Lu menghela napas
dalam-dalam. Dia ingin memasukkan pula botol obat
itu kesaku bajunya, tetapi gerakan itu tiba-tiba
tersentak, ia memuntahkan darah segar. Lam Sie
48
kaget, cepat-cepat memijiti leher dan menumbuki
perlahan-lahan punggung Thiam Lu.
Jilid ke 2
Dengan napas yang sesak satu-satu dan muka
pucat pias kehijau-hijauan, Khang Thiam Lu
mengeluarkan obat yang tinggal sebutir itu dari
botolnya, kemudian dimasukan ke dalam mulutnya,
ditelan dengan dibantu oleh air ludah. Lam Sie
cepat-cepat mengambilkan secawan air teh, yang
diminum sedikit oleh Thiam Lu.
Napas Thiam Lu semakin sesak, ia menyenderkan
tubuh di dinding dengan muka yang pucat pias dan
mata tertutup. Tampaknya memang keadaan Thiam
Lu semakin parah saja. Lam Sie jadi menangis
terisak-isak, kalau Thiam Lu mati, habislab
harapannya untuk dibantu dan dilindungi olehnya
guna menyelamatkan Giok Han. Tanpa Thiam Lu,
jelas pengasuh tua tersebut akan menghadapi lebih
banyak kesulitan dalam melindungi dan
menyelamatkan majikan kecilnya.
"Jangan menangis, Lopeh...." kata Thiam Lu
sambil membuka matanya perlahan-lahan. Napasnya
masih sesak dan suaranya gemetar "Kalau aku mati,
usahakanlah Siauwya bisa tiba di tempat guruku...
ceritakan seluruh peristiwanya... perbuatan lalim
orang-orang Yong Ceng..."
49
Lam Sie mengangguk-angguk sambil terisak-isak.
Untuk tiba di Siauw An masih memerlukan waktu
perjalanan belasan hari. la mengurut dada Khang
Thiam Lu dengau air mata tetap mengucur tidak
berhasil dibendungnya.
Malam sangat sunyi, pemilik rumah ini pun
rupanya sue!ah tidur. Tetapi, dalam kesepian dan
keheningan itu. tiba-tiba jendela kamar diketuk
beberapa kali oleh seseorang, disusul suara tertawa
yang perlahan.
Khang Thiam Lu berdua Lam Sie kaget tidak
terhingga, muka mereka pucat pias. Khang Thiam Lu
mencekal pedangnya erat-erat, dengan dibantu oleh
siku tangannya, dia coba bisa duduk dengan benar.
Hanya saja, tubuhnya bergoyang-goyang seperti
akan terguling, biarpun Thiam Lu sudah mengempos
seluruh sisa tenaganya.
Kembali terdengar suara ketukan perlahan di
jendela kamar, Thiam Lu berdua Lam Sie saling
pandang sejenak dengan kekuatiran yang sangat,
sedangkan Thiam Lu bertekad, dalam keadaan
lukanya yang parah seperti itu, akan mengadu jiwa
kalau seseorang bermaksud buruk terhadap mereka.
Pedangnya yang dicekal kuat-kuat itu gemetar.
Kudengar suara orang menangis di dalam kamar,
pasti ada peristiwa yang sangat menyedihkan hati
dialami oleh orang di dalam kamar itu !" Terdengar
suara seseorang suara yang parau dan dalam.
50
"Kau usil sekali, biarkan saja mereka menangis.
Apakah kita perlu ikut menangis dengan mereka?"
Terdengar suara wanita agak nyaring.
"Aku bermaksud membantu mereka jika memang
mereka memperoleh kesukaran," menyahuti suara
lelaki yang parau itu. "Coba kau ketuk lagi."
Terdengar suara wanita yang menggumam
seperti tidak senang, tetapi disusul kemudian
dengan suara ketukan perlahan pada daun jendela.
"Hei orang di dalam kamar, apakah kalian tengah
dalam kesulitan?!" Terdengar suara wanita itu cukup
nyaring.
Butir-butir keringat sudah membanjiri kening
Khang Thiam Lu, ia sangat kuatir sekali. Dalam
keadaan terluka parah seperti ini, kalau ada orang
yang bermaksud tidak baik pada mereka, apa yang
bisa dilakukannya ? Sedangkan Lam Sie hanya
seorang pelayan tua yang tidak memiliki kepandaian
apa-apa, tenaganya sangat lemah. Lam Sie pun
sangat kuatir, dia sudah menghampiri pembaringan
dimana Giok Han tengah tidur nyenyak, bersiap-siap
untuk melindungi Siauwya-nya sampai titik darah
penghabisan dengan mengadu jiwa jika seandainya
ada orang yang mau mengganggu keselamatan
majikan kecilnya itu.
51
"Apakah orang di dalam kamar itu tuli dan gagu
semuanya ?!" Terdengar lagi suara menggumam
wanita itu. "Kau saja yang panggil mereka !"
"Panggil sekali lagi, aku yakin mereka tengah
menghadapi kesulitan!" Kata suara lelaki yang parau
dan dalam itu.
Terdengar suara ketukan lagi.
"Apakah kalian tuli dan gagu?" Menegur wanita
diluar kamar.
Khang Thiam Lu mengempos seluruh sisa
tenaganya. Dia berdiri, walaupun dengan tubuh yang
bergoyang-goyang seperti akan rubuh. Dicekal
pedangnya kuat-kuat dan melangkah menghampiri
jendela. Dengan tangan kiri yang gemetar lemah, ia
membuka daun jendela itu. Diluar sangat gelap,
sinar rembulan tidak berhasil menerangi sekitar
tempat itu. Tampak sepasang manusia tengah
memandangi mereka.
Yang satu seorang lelaki berusia empat puluh
tahun, berpakaian sebagai pelajar, hanya anehnya
bajunya itu penuh tambalan. Keadaannya mirip
pengemis apalagi dengan kopiahnya yang sudah
bulukan berbentuk segi tiga muncung tinggi.
Di sampingnya berdiri seorang wanita berusia tiga
puluh lima tahun, berpakaian yang hampir serupa,
yaitu penuh tambalan bagaikan pakaian pengemis.
52
Muka mereka, yang saat itu tengah tersenyum, tidak
memperlihatkan tanda-tanda jahat.
Hanya saja dari cara berdiri mereka, juga lagak
mereka yang saling berpaling dan tersenyumsenyum
di antara mereka berdua, seakan juga
mereka ini sepasang suami isteri yang tidak beres
ingatannya.
"Maaf, maaf, kami mengganggu !" kata lelaki
berpakaian pengemis itu. "Tampaknya tuan sedang
menghadapi kesulitan. Dan, apa tuan sedang terluka
didalam yang berat sekali !"
Dengan tangan gemetar Khang Thiam Lu menjura
memberi hormat. "Siapakah jie wie ? Ada petunjuk
apakah untukku ?"
"Petunjuk ?" Wanita itu menoleh kepada lelaki
yang mungkin suaminya. Kemudian tertawa. Lelaki
itu juga tertawa "Petunjuk apa ya ? Kukira kita yang
perlu memperoleh petunjuk darinya..."
Lelaki itu mengangguk-angguk tanpa senyum,
sikapnya serius sekali. "Ya, petunjuk apa, ya ?
Petunjuk ? Ooooo, apakah petunjuk untuk bisa
makan dengan rapi ? Apa ya ?" Dan mendadak sikap
seriusnya lenyap, dia tertawa lebar.
Khang Thiam Lu menyaksikan kelakuan kedua
orang itu yang tidak karuan, jadi mengerutkan
alisnya, Dengan memaksakan diri tersenyum, karena
53
dia tidak mau terlibat urusan, Khang Thiam Lu
bilang: "Maaf, jika jiewie tidak ada urusan lainnya,
kami ingin beristirahat, hari sudah terlalu larut
malam."
"Ya, ya, tampaknya kau memang perlu istirahat
!" kata si lelaki yang tampaknya sinting itu. "Eh,
tunggu dulu. Tadi kau yang menangis, bukan ?"
Alis Khang Thiam Lu kembali berkerut. "Maaf, aku
sudah sangat mengantuk."
Tetapi lelaki itu tidak memperdulikan sikap Khang
Thiam Lu, dengan sikap serius dia bilang kepada
wanita di sampingnya. "Aku yakin dia yang
menangis. Mungkin dia takut mati," dan dia tertawa.
"Lihat saja, dia terluka di dalam yang parah,
mungkin hatinya sedih, takut untuk mati. Dia jadi
menangis, kalau mungkin memanggil Mama dan
Papanya .... untuk lari dari elmaut." Dan dia tertawa
lagi.
Wanita yang berpakaian sebagai pengemis itu
pun mengangguk-angguk sambil tertawa. "Ya, ya,"
katanya, "kukira memang dia takut mati dan jadi
sedih- Menangis bukan jalan yang baik, nak !" katakata
yang terakhir diucapkan oleh wanita itu sambil
berpaling kepada Khang Thiam Lu, memang
ditujukan kepada Khang Thiam Lu.
Mendelu sekali hati Khang Thiam Lu, Bebal ia
melihat kelakuan kedua orang itu yang dilihatnya
54
tidak beres, membuatnya jadi mendongkol. Coba
kalau dalam keadaan biasa, dia tidak sedang terluka
parah seperti ini, sejak tadi-tadi dia sudah mengusir
sepasang manusia yang tampaknya tidak beres
ingatannya itu.
Tetapi sekarang, ia menahan diri dan mengekang
perasaannya, jika terjadi keributan tentu tidak baik
untuk pihaknya. Dengan menahan kemendongkolan
hatinya, Khang Thiam Lu bilang: "Baiklah, terima
kasih untuk perhatian jiewie berdua," katanya.
"Maaf, aku tidak bisa menemani kalian berdua lebih
lama lagi."
Lelaki yang berpakaian seperti pengemis itu
tersenyum, ia mengeluarkan sekerat daging
dendeng kemudian memakannya, mengunyah
dengan sikap seenaknya. Melihat lagaknya, Khang
Thiam Lu semakin yakin bahwa lelaki ini tidak beres
pikirannya.
"Sayang, sayang sekali ! Penyakit yang tidak
begitu berbahaya seperti itu, akhirnya harus
membuatnya mati ! Tampaknya dia terluka oleh
totokan....!" Menggumam lelaki berpakaian
pengemis itu sambil berpaling kepada wanita yang
menjadi kawannya.
"Ya, lukanya sebelumnya tidak usah membuat dia
sampai menemui ajalnya !" Menyahuti wanita itu,
mengambil daging dendeng di tangan lelaki itu,
kemudian memakannya.
55
Khang Thiam Lu yang sejak tadi sudah mendelu
dan ingin menutup lagi daun jendela kamar,
mendengar percakapan ke dua orang tersebut. Tibatiba
serupa ingatan berkelebat di pikirannya, hatinya
kaget bercampur girang. la ingat kepada seseorang.
"Apakah mereka bukan sepasang Tabib Hutan yang
sangat terkenal sekali, yang di dalam kalangan
Kangouw merupakan tabib yang mengetahui 104
luka yang terparah dan sanggup diobati, sehingga
merekapun digelari sebagai Sepasang Bengkel
Manusia ?!"
Sepasang Tabib Hutan yang dimaksudkan oleh
Khang Thiam Lu adalah sepasang suami isteri yang
memiliki perangai luar biasa anehnya, di dalam
kalangan Kangouw mereka sangat terkenal sebagai
pasangan suami isteri yang memiliki pengetahuan
sangat tinggi untuk ilmu pengobatan.
Sampai digelarinya sepasang suami isteri itu
sebagai Sepasang Bengkel Manusia, karena mereka
berdua seperti juga bengkelnya manusia, jika ada
yang terluka parah, asal belum mati dan masih
bernapas, pasti jiwa orang itu bisa diselamatkan dan
disembuhkan.
Kepandaian lmu silat merekapun tidak rendah,
ilmu andalan sepasang tabib yang terkenal itu
adalah masing-masing sebatang pedang, mereka
sanggup bekerja sama satu dengan yang lainnya,
seakan juga ilmu pedang mereka itu utara Im
dengan Yang yang dapat saling menutupi kelemahan
56
mereka satu dengan yang lainnya. Tabib yang pria
bernama cukup aneh juga, yaitu Tung Yang,
sedangkan terinya bernama Tung Im.
Namun, sepak terjang sepasang tabib itu sulit
diterka dan juga sangat susah mengetahui di mana
mereka berada.
Karena teringat kepada sepasang tabib luar biasa
itu yang diduga oleh Khang Thiam Lu adalah
sepasang lelaki dan wanita yang berada di luar
jendela kamarnya, ia jadi batal menutup jendela
kamarnya, dia mengawasi kedua orang itu raguragu.
"Apakah jiewie Sepasang Tabib Hutan?" Tanya
Khang Thiam Lu akhirnya, masih tetap ragu.
Lelaki yang berpakaian seperti pengemis
menunda mengunyah, mementang matanya lebarlebar,
kemudian balik bertanya: "Sepasang Tabib
Hutan ? Ooooooo, sungguh keterlaluan sekali kau,
Tuan.... apakah kau beranggapan kami ini manusia
hutan ?!"
Mendengar jawaban orang itu, juga menyaksikan
sikapnja, Khang Thiam Lu jadi semakin yakin kepada
dugaannya, dengan muka yang sejenak berseri,
cepat-cepat merangkapkan sepasang tangannya
memberi hormat kepada kedua orang itu. "Maaf,"
katanya, "tadi Siauwte terlalu lancang dan kurang
ajar menyambut kedatangan jiewie. Jika memang
57
jiewie sudi untuk singgah ke tempat kami, betapa
senangnya kami !"
Lelaki dan wanita itu saling pandang sejenak
lamanya, kemudian yang laki-laki mengulap-ulapkan
tangannya.
"Tidak," katanya, "tidak. kami tidak mau singgah.
Hu, nanti kau menyangka bahwa kami menginginkan
makananmu. Kami sendiri masih mempunyai
makanan, tidak kesudian pada makananmu!"
Setelah berkata begitu, lelaki itu mengeluarkan lagi
sekerat dendeng dari sakunya, mengunyahnya
sambil sekali-sekali berkata dengan mata yang
meram melek : "Enak, enak sekali. Sungguh
sedap..."
Khang Thiam Lu jadi bimbang lagi. Apakah
sepasang manusia yang tampaknya tidak beres
pikirannya ini adalah Sepasang Tabib Hutan yang
terkenal itu ? Mungkinkah itu ? Melihat lagaknya
mereka selain sinting juga sangat jorok sekali,
sampai seperti pengemis mana mungkin mereka
bisa memiliki ilmu pengobatan yang lihay dan juga
tidak kelihatan tanda-tanda orang itu memiliki ilmu
silat yang berarti.
Wanita di samping si lelaki berpakaian pengemis
sudah merebut lagi dendeng di tangan temannya,
sambil katanya. "Kau tua bangka sungguh kikir,
58
mengeluarkannya sekerat demi sekerat..." dan ia
mengunyah lagi.
Lelaki itu tersenyum dengan sikap yang agak
sinting, merogoh sakunya mengeluarkan sekerat
daging dendeng lagi. Khang Thiam Lu hanya
mengawasi bengong saja. "Mau ?." Tanya lelaki itu
sambil menyodorkan daging itu kepada Khang Thiam
Lu. "Sangat gurih dan enak .... makanlah !"
Khang Thiam Lu menggelengkan kepalanya
perlahan-lahan diliputi keraguan dan putus asa.
Tidak mungkin sepasang manusia yang tampaknya
sinting itu adalah Sepasang Tabib Hutan yang sangat
terkenal itu. Punah harapan yang tadi sempat
muncul dihatinya. Dengan lesu ia bermaksud
menutup daun jendela kamar.
"Tolol ! Manusia dungu !" Menggerutu lelaki
berpakaian pengemis itu. karena maksud baiknya
ditolak Thiam Lu. "Nih, makan !" Perkataannya itu
diakhir dengan timpukan dendeng itu ke arah muka
Khang Thiam Lu. Kaget Khang Thiam Lu, dia coba
memiringkan kepalanya ke kiri, tetapi mendadak
wanita di sisi lelaki itu pun sudah menimpuk dengan
sisa daging dendengnya ke muka Khang Thiam Lu.
itulah timpukan yang disertai tenaga dalam, angin
menyambar cukup keras.
"Kalian....?", belum lagi habis perkataan Khang
Thiam Lu, di saat mulutnya tengah terbuka begitu,
justeru menyambar sepotong daging lainnya. Karena
59
lelaki berpakaian seperti pengemis itu sudah
menimpuk dengan sepotong daging lainnya. Tepat
sekali timpukan lelaki itu, tenaganya pun sudah
diperhitungkan, sebab masuk ke dalam mulut Khang
Thiam Lu tanpa berakibat buruk.
Coba kalau tidak sedang terluka didalam yang
parah seperti itu, niscaya Khang Thiam Lu bisa
menghindarkan timpukan sepasang manusia itu.
Hanya saja dia cuma berhasil menghindar dari dua
timpukan dan timpukan yang terakhir itu langsung
masuk ke dalam mulutnya. Memang lelaki itu
tampaknya semula menimpuk untuk menggertak
belaka.
Waktu daging dendeng itu masuk ke dalam mulut
Khang Thiam Lu, seketika terasa olehnya hawa yang
dingin bukan main dari daging itu, seperti juga
sepotong es masuk ke dalam mulutnya. Di samping
itu daging dendeng itu harum sekali, harum melebihi
bunga bwee-tan kaget Khang Thiam Lu, hatinya
tergerak. Dan ia batal mengeluarkan daging itu dari
dalam mulutnya.
"Kunyah. Makan ! Kau mau mati ?!" Teriak lelaki
itu. "Ayo makan ! Jangan pikirkan soal kematian,
kalau belum saatnya tidak nantinya mati !"
Khang Thiam Lu yang sejak beberapa hari
terakhir sudah berputus asa oleh luka di dalam
tubuhnya, dan sekarang di waktu dalam keadaan
sudah demikian lemah, sudah tidak memperdulikan
60
segala ancaman. la seketika jadi nekad. Pikirnya:
"Biarlah aku makan dendeng ini, kalau memang
sepasang manusia ini bermaksud baik, dan mereka
Sepasang Tabib Hutan, aku tentu tertolong. Jika
tidak, ya paling tidak aku memang mati juga."
Karena berpikir begitu. Khang Thiam Lu
mengunyah. Bukan main harumnya daging itu,
sehingga terasa olehnya seperti bukan tengah
makan daging, melainkan tengah mengunyah
sekuntum bunga. Malah terasa juga wangi arak dari
daging yang dikunyah. Seketika, Khang Thiam Lu
tersadar.
Bukankah daging itu adalah semacam daging
obat, karena Sepasang Tabib Hutan memang sangat
aneh dalam memberikan pengobatan kepada orangorang
yang meminta pertolongan dari mereka ?
"Enak ?!" Tanya lelaki asing itu ketika melihat
Thiam Lu tengah mengunyah. "Buka mulutmu ....
Aku akan membagi lagi kepadamu !"
Selama mengunyah daging itu, semangat Khang
Thiam Lu seperti berangsur pulih dan ia merasa jauh
lebih segar dari sebelumnya. Semakin kuat
dugaannya bahwa sepasang manusia di luar
kamarnya ini adalah Sepasang Tabib Hutan. Maka
tanpa ragu-ragu ia membuka mulutnya Iebar-lebar,
sedangkan lelaki asing itu menjentik sesuatu, yang
menyambar masuk ke dalam mulut Khang Thiam Lu.
itulah sebutir pil, yang juga menyiarkan harum
61
semerbak keras sekali. Begitu Khang Thiam Lu
mengunyahnya, ia merasakan tubuhnya sangat
segar, kalau semula tubuhnya bergoyang-goyang
tidak bertenaga seakan ingin rubuh terguling,
sekarang dia sudah bisa berdiri tegak di atas kedua
kakinya. Memang pengobatan yang sangat luar biasa
serta menakjubkan sekali !
Waktu itu yang lelaki telah menoleh kepada si
wanita, katanya: "Jangan lama-lama di sini, bisa
berabe, jangan-jangan nanti dia minta dibagi lebih
banyak, bisa-bisa aku jadi rudin !" katanya sambil
menuntun tangan si wanita. Wanita asing itu
mengangguk sambil mengikuti si lelaki asing untuk
meninggalkan tempat tersebut.
Kiiang Thiam Lu yang merasakan tubuhnya
bertambah segar, tengah girang dan bersyukur,
hanya bengorg takjub saja. Namun melihat kedua
orang itu ingin pergi, segera dia melompat keluar
dari jendela. Benar-benar menakjubkan, karena dia
bisa melompat lincah keluar dari kamar, berbeda
dengan keadaannya pada sebelumnya yang begitu
lemah dan seakan sudah mendekati ajal.
Dia berlari mengejar kedua orang itu,
merangkapkan kedua tangannya memberi hormat
sambil katanya: "Terima kasih atas pertolongan
jiewie," katanya dengan membungkukkan tubuh
dalam-dalam. "Terimalah hormat Siauwte Khang
62
Thiam Lu. yang tidak akan melupakan budi kebaikan
Siauwte."
Tetapi, tidak disangka-sangka, waktu tubuh
Khang Thiam Lu membungkuk memberi hormat,
tahu-tahu tangan kanan lelaki itu terayun
menghantam telak sekali punggung Khang Thiam
Lu. Sartgat kuat pukulan itu, sampai Khang Thiam
Lu sulit mengelak dan juga terjerambab ke depan.
Dia kaget tidak terhingga. Jadi apa maksud kedua
orang itu, apakah mereka ingin menolongnya atau
memang hendak mencelakainya ? Bukankah tadi
mereka memberikan obat yang sangat mujarab dan
aneh kepadanya ?
Tetapi mengapa sekarang justeru lelaki itu
menghantam begitu kuat kepadanya ? Dan disusul
kemudian Khang Thiam Lu memuntahkan darah
yang bergumpal hitam. Mukanya jadi pucat lagi.
"Apa itu budi kebaikan ?!", menggumam lelaki
aneh itu, dia menuntun tangan wanita temannya.
"Mari Kie-moay, kita harus cepat-cepat pergi, bisabisa
nanri dia minta budi kebaikan yang lebih besar
lagi !" kedua orang itupun melangkah sangat cepat,
sekejap saja sudah lenyap dari pandangan Khang
Thiam Lu.
Lama Khang Thiam Lu duduk bengong di atas
tanah. Lam Sie melongok dari jendela. Tadi melihat
Khang Thiam Lu melompat keluar dari kamar, dia
cepat-cepat menghampiri jendela, untuk melihat apa
63
yang terjadi. Hatinya kuatir bukan main. Tetapi
dilihamya Khang Thiam Lu tengah memberi hormat
kepada kedua orang itu, keadaannya tampak jauh
lebih segar dari sebelumnya.
Hati Lam Sie jadi agak tenang. Hanya saja baru
saja hatinya mulai tenteram, dia melihat lelaki itu
menghantam dengan tangannya ke punggung Khang
Thiam Lu, kuat sekali. membuat Khang Thiam Lu
terjerambab dan memuntahkan darah hitam
bergumpal. Lam Sie menjerit kaget dan cepat-cepat
kembali ke pembaringan, memeluki majikan kecilnya
dengan muka pucat serta tubuh menggigil.
Dia kuatir kedua orang asing itu masuk ke dalam
kamar untuk membunuh Siauwyanya Jan dia.
Bukankah Khang Thiam Lu sudah dihantam
terjerambab tanpa berdaya ? Mengingat lagi
memang pada waktu itu Lam Sie tahu benar Khang
Thiam Lu tengah terluka di dalam yang sangat
parah, sehingga tidak mungkin bisa melindungi dia
bersama majikan kecilnya.
"Oooh Thian, mengapa tidak juga di beri jalan
lolos untuk Siauwya .... ?!" Mengeluh Lam Sie
dengan air mata bercucuran.
Malam sangat sepi, kedua orang aneh itu sudah
pergi entah kemana. Khang Thiam Lu masih duduk
bengong dengan muka yang pucat. Lam Sie yang
menunggu sesaat lamanya, keaadaan masih juga
sepi, tidak terjadi sesuatu, memberanikan diri
64
mendekati jendela, justeru di waktu itu la melihat
Khang Thiam Lu tengah menampar kepalanya
sendiri beberapa kali sambil berteriak kegirangan.
Lam Sie jadi tertegun tidak mengerti. Apakah
Khang Thiam Lu sudah berobah ingatan ? Bukankah
tadi dia dihantam kuat-kuat oleh orang itu. namun
mengapa sekarang dia malah memukuli kepalanya
sendiri sambil berteriak kegirangan ? Apakah
hantaman orang aneh itu menyebabkan Khang
Thiam Lu tidak beres pikirannya ? Keringat dingin
membanjir di sekujur tubuh Lam Sie, yang
mengawasi tambah kuatir saja.
Waktu itu Khang Thiam Lu sudah berjingkrak
kegirangan, menghampiri Lam Sie yang masin
tertegun mengawasi tingkah lakunya dengan hati
yang kecut.
"Lam Lopeh aku yakin kedua orang tadi Sepsang
Tabib Hutan." kata Khang Thiam Lu. "Mereka telah
menolongi jiwaku, memberikan obat yang mujarab.
Kini aku sudah sembuh dari luka di dalam, hanya
perlu untuk memelihara tenaga dalam dengan
bersemedi dalam beberapa hari mendatang, setelah
itu aku akan sehat seperti semula, berarti aku dapat
melindungi kalian !"
"Oooh benarkah Tayjin ?" Tanya Lam Sie dengan
suara tergetar karena terharu, air matanya sampai
menitik turun, Kemudian dia berjongkok,
65
menghadap ke langit, gumamnya : "Oooo Thian.
sungguh besar berkahMU kepada kami !"
Khang Thiam Lu menepuk perlahan pundak Lam
Sie waktu ia sudah melompat masuk ke dalam
kamar. Dia tertawa. "Sekarang kita tidak perlu
bingung, karena yang terpenting harus tiba di
tempat guruku, guna meminta petunjuk beliau
bagaimana melindungi Siauwya. Aku yakin, Yong
Ceng pasti menyebar orang-orangnya untuk mencari
Siauwya kita, karena ia pasti tidak akan mau
mengerti dengan menghilangnya Siauwya."
"Ya, Tayjin," mengangguk Lam Sie. "Mudahmudahan
Thian selalu melindungi kita!"
Khang Thiam Lu mengangguk. Katanya :
"Pergilah tidur, Lam Lopeh. Aku yang akan berjaga
malam ini. Besok pagi kita perlu melanjutkan
perjalanan."
Lam Sie tidak membantah, dia memang terlalu
lelah, selama berhari-hari ia selalu dikuasai oleh
kekuatiran yang sangat, juga memperhatikan
keselamatan majikan kecilnya melakukan perjalanan
tanpa kenal lelah, seringkali dia menggendong Giok
Han, kalau tampak sudah lelah. Jika malam hari,
iapun tidak bisa tidur, karena hatinya tidak tenang.
Sekarang, rebah sebentar saja dia sudah tertidur
nyenyak di samping Giok Han.
66
Khang Thiam Lu menghela napas dalam-dalam,
duduk bersemedhi, unruk mengatur tenaga dalam
dan pernapasannya. Bagi seorang akhli silat kelas
satu, jelas dengan duduk bersemedhi mengatur
pernapasannya, sudah bisa mempersegar dirinya,
mengurangi rasa lelah. Namun. waktu dia mengatur
jalan pernapasannya, Khang Thiam Lu tercekat
hatinya, karena dirasakan adanya suatu kelainan
pada pernapasannya. Seperti kacau, tidak biasanya
yang selalu teratur dengan baik. Thiam Lu sampai
berhenti bersemedhi, duduk termenung.
"Apakah kedua orang tadi memang Sepasang
Tabib Hutan ? Apakah memang mereka bermaksud
menolongku, atau memang kebalikannya ingin
mencelakaiku?" Dengan hati diliputi was-was. ia
mulai bersemedhi untuk mengatur pernapasannya.
Mulanya berlangsung wajar dan lancar tetapi lewat
seperempat jam, tiba-tiba darahnya seperti bergolak
dan sulit untuk dikendalikan lagi. Hati Thiam Lu
tercekat lagi, untuk ke dua kalinya ia menghentikan
semedhinya.
"Pasti ada yang tidak beres di dalam diriku!"
Berpikir Thiam Lu. "Apakah memang kedua orang itu
setengah-setengah menolongku? Atau memang
lukaku belum lagi sembuh benar?! Tapi, sudahlah!
Yang terpenting semenit aku bisa hidup, semenit aku
akan melindungi Siauwya !"
Dan dia tidak bersemedhi lagi, duduk dengan
mata menatap kosong kepada kegelapan malam.
67
Hatinya pedih teringat cara kematian Jenderal Giok
Hu, seorang Jenderal yang sebetulnya sangat setia
dan jujur.
Kokok ayam terdengar. Lam Sie sudah bangun,
bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Giok
Han dibangunkan. Anak itu menatap heran : "Kita
mau pergi kemana lagi, Paman Lam ?!"
Haii Lam Sie sedih bukan main, setiap kali anak
itu bertanya seperti itu, rasa dukanya jadi meluap. la
memeluk majikan kecilnya, air matanya menitik
turun.
"Menemui Papa Siauwya." jawabnya.
"Berapa jauh lagi kita harus melakukan
perjalanan, Paman Lam ?!"
"Beberapa hari lagi," menyahuti Lam Sie.
Khang Thiam Lu mengajak mereka tidak
membuang-buang waktu, untuk segera melanjutkan
perjalanan. Pagi itu hawa udara sejuk seperti biasa,
Giok Han berlari-lari kecil dengan gembira, sampai
akhirnya merasa letih, barulah ia digendong oleh
Lam Sie.
Melakukan perjalanan kurang lebih dua puluh lie,
tiba-tiba Khang Thiam Lu yang berpengalaman
melihat sesuatu yang tidak beres. Di sebatang pohon
68
menancap sebatang bendera kecil berbentuk segi
tiga dan warnanya hitam gelap.
Cepat-cepat Thiam Lu menghampiri dan
memperhatikan bendera itu. Hanya bendera warna
hitam gelap. Tidak ada gambar apa-apa pada
bendera hitam itu, hanya di tengah-tengah bendera
itu terlihat bulatan kecil warna kuning. Lain dari itu
tidak terlihat tanda apa-apa. Alis Thiam Lu berkerut,
dia menduga-duga, entah milik siapa bendera itu ?
Mendadak Thiam Lu teringat seseorang, jantungnya
seperti berhenti berdegup, mukanya pucat pias dan
tubuhnya tergetar sedikit.
Cepat-cepat, dengan sikap agak bingung ia
mengajak Lam Sie dan Giok Han melanjutkan
perjalanan. Lam Sie heran melihat sikap Thiam Lu,
tetapi ia tidak berani menanyakan apa-apa.
Dengan muka yang masih tetap pucat, Thiam Lu
berbisik kepada Lam Sie: "Kalau terjadi sesuatu kau
tidak usah memperdulikan aku, segera menyingkir
dengan Siauwya."
"Tayjin ..."
"Jangan bertanya sesuatu, ingat pesanku tadi.
Ayo, kita harus melakukan perjalanan yang cepat,"
tampaknya Thiam Lu tengah diliputi kegelisahan
yang sangat.
69
Lam Sie tidak berani terlalu banyak bertanya
kepada Thiam Lu, hanya menggendong Giok Han
dan melakukan perjalanan dengan cepat.
Melakukan perjalanan tidak lebih dari tiga lie,
tiba-tiba di sebatang pohon terlihat bendera yang
serupa dengan bendera hitam yang pernah mereka
lihat tadi. Muka Thiam Lu semakin pucat pias.
"Kita harus mengambil jalan lain, tampaknya dia
memang berada disekitar kita !" bisik Thiam Lu
dengan suara tergetar. la mengajak Lam Sie Giok
Han menikung ke kanan dan mulai melakukan
perjalanan dengan cepat. Selama itu Thiam Lu tetap
panik. Tetapi berjalan dua lie lebih, kembali tampak
sebatang bendera hitam yang serupa dengan yang
dua tadi. Sekali ini Thiam Lu berdiri mematung
dengan wajah pucat.
"Tampaknya kita sulit menghindar darinya,"
menggumam Thiam Lu dengan suara tergetar.
Lam Sie jadi kuatir bukan main. "Ada apa
sebenarnya, Tayjin ?!" tanyanya.
"Jangan bertanya-tanya dulu, ingat pesanku tadi,
apapun yang terjadi, kau jangan perdulikan aku dan
selamatkanlah Siauwya. Sekali ini kalau kita bisa
lolos dari tangannya, selamatlah kita !" Thiam Lu
kemudian mengajak Lam Sie dan Giok Han
melakukan perjalanan lebih cepat.
70
Sepanjang perjalanan mereka selalu melihat
bendera hitam dengan lingkaran kuning kecil di
tengahnya, bendera-bendera yang serupa dengan
yang sebelumnya. Dan selalu tiap tiga lie mereka
bisa melihat bendera itu, seakan-akan bendera aneh
tersebut berada di mana-mana.
Melihat Thiam Lu panik seperti itu, Lam Sie
tambah kuatir. Dia berlari-lari dengan menggendong
Giok Han yang didekapnya erat-erat.
Tengah hari setelah melalui hampir tiga puluh lie,
mereka bertemu sebuah perkampungan. Tetapi
perkampungan ini sangat sepi sekali. Thiam Lu mulai
curiga dan tidak tenang begitu memasuki
perkampungan yang seperti tidak berpenghuni
tersebut. la mengawasi sekitar tempat itu. Sepi,
tidak seorang manusiapun terlihat.
"Tempat apa ini, paman Khang ?!" Tanya Giok
Han digendongan Lam Sie.
Khang Thiam Lu tidak menjawab, dia benar-benar
tegang oleh suasana tersebut, sedangkan Lam Sie
membujuk majikan kecilnya: "Ini sebuah
perkampungan kecil, Siauwya. kita akan beristirahat
di sini. Jangan banyak bertanya dulu Siauwya. nanti
kalau ternyata tidak ada penjahat barulah kita
makan minum."
71
"Penjahat ? Paman Lim dan paman Khang takut
pada penjahat? Tangkap saja, masukkan ke dalam
penjara!" kata Giok Han dengan suara lantang.
"Sstttt," bisik Lam Sie. "Diam-diamlah dulu
Siauwya."
Thiam Lu waktu itu sudah memperhatikan sekitar
tempat itu. ia melambaikan tangannya memanggil
Lam Sie agar lebih mendekat.
"Aku merasakan ada yang tidak beres di tempat
ini, apakah lebih baik kita meneruskan perjalanan
tanpa perlu singgah disini ? Apakah Lam Lopeh
masih kuat untuk melanjutkan perjalanan?!"
Lam Sie mengangguk ragu-ragu.
"Ya, Tayjin, tampaknya suasana kampung ini
menimbulkan perasaan yang kurang enak mengapa
demikian sepi dan tampaknya tidak ada seorang
manusiapun?!"
"Ya, tidak terlihat seorang manusiapun juga.
Bahkan suara ayam dan anjing tidak terdengar, Lam
Lopeh." menyahuti Khang Thiam Lu dengan suara
agak tergetar.
Lam Sie merasakan tubuhnya tergetar sedikit,
dan dia baru menyadari memang bukan tidak
tampak, seekor ayam atau seekor anjing dan
72
binatang lainnya tidak tampak, tidak juga terdengar
suara ayam atau salak anjing.
Ini memang luar biasa, kesepian yang
menakutkan. Lam Sie jadi memeluk Giok Han lebih
erat. Perkampungan apa ini yang demikian kosong
sehingga tidak ada satupun makhluk hidup yang
tampak?
Melihat Khang Thiam Lu berdua Lam Sie tegang
ssperti itu, Giok Han berbisik di telinga Lam Sie:
"Ada apa sebenarnya, Paman Lam ?!"
"Tidak ada apa-apa, Siauwya, kita hanya perlu
barhati-hati, karena tampaknya ada penjahat
disekitar tempat ini." Membujuk Lam Sie.
"Paman Khang memiliki ilmu silat yang tinggi dan
gagah, mengapa kita harus takut ?" Bisik Giok Han.
"Siauwya jangan banyak bertanya dulu nanti
akan paman jelaskan." kata Lam Sie.
Khang Thiam Lu meminta Lam Sie berdua Giok
Han berdiam di tempatnya, dia sendiri maju
beberapa tombak menghampiri perkampungan itu.
Memang tidak seorang manusiapun dilihatnya.
Mukanya jadi semakin pucat. " Apakah dia yang
datang ?!" Tampaknya memang tidak ada makhluk
bernapas yang dibiarkannya hidup."
73
Cepat-cepat Thiam Lu kembali ke samping Lam
Sie, kuatir ada sesuatu yang mengancam Lam Sie
dan majikan kecilnya
"Bagaimana Tayjin, apakah kita meneruskan saja
perjalanan tanpa perlu mampir di situ ?!" Tanya Lam
Sie dengan suara perlahan.
Khang Thiam Lu mengangguk perlahan. mukanya
masih pucat dan tegang. "Lam Lopeh, ingat
pesanku. Selamatkanlah Siauwya jika terjadi
sesuatu,"
"bisiknya.
Lam Sie cuma mengangguk, hatinya semakin
tidak tenang. "Sebenarnya apa yang terjadi di
perkampungan itu, Tayjin ?"
"Kukira, seluruh penduduk, berikut ayam anjing,
bebek dan makhluk berjiwa lainnya, telah dibunuh
semuanya oleh dia!"
"Dia ? Dia siapa, Tayjin ?"
"Nanti akan kujelaskan kalau kita berhasil lolos
dari tempat ini !" Bisik Thiam Lu, suaranya tergetar
dan menarik tangan Lam Sie untuk menyingkir dari
tempat tersebut.
Setelah meninggalkan perkampungan itu dua lie
lebih, mereka melihat lagi sebatang bendera kecil
74
bentuk segi tiga berwarna hitam. Lam Sie melihat
tubuh Thiam Lu menggigil, muka Khang Thiam Lu
pun bertambah pucat. "Cepat Lam Lopeh, kita harus
cepat menyingkir dari tempat ini!" Berbisik Thiam Lu
dengan suara serak dan kering.
Lam Sie semakin kuatir dan tegang, ia tidak
berani banyak bertanya. Walaupun sudah lelah
menggendong Giok Han, ia setengah berlari
melakukan perjalanan.
Baru melakukan perjalanan belum satu lie, di
depan mereka menggeletak dua sosok mayat, tidak
bernapas. Muka mereka biru gelap seperti mati
keracunan. Di samping kedua orang itu, terpisah
kurang lebih belasan tombak, tampak bangkai
seekor anjing yang juga mati dengan tubuh hitam
bagaikan keracunan.
Dengan ketegangan yang meningkat, Thiam Lu
menghampiri kedua mayat dan memeriksanya.
Akhirnya dengan suara serak kering dia mengguman
: "Benar dia..."
Tidak buang waktu lagi segera Khang Thiam Lu
menarik tangan Lam Sie. diajaknya berlari. "Cepat
.... terlambat sedikit saja, celakalah kita!"
Lam Sie berlari-lari menggendong Giok Han, yang
mengawasi terheran-heran. Bocah itu tidak mengerti
mengapa kedua orang Paman itu demikian tegang.
Berlari belum begitu jauh, tiba-tiba terdengar suara
75
Khim (harpa) yang dipetik lembut dan merdu dari
arah depan mereka, halus sekali suara musik itu,
bagaikan musik dari Sorga.
Khang Thiam Lu seperti terpantek ke dua kakinja
di tanah, karena ia berhenti berlari dengan
mendadak. Hampir saja Lam Sie yang menggendong
Giok Han terpelanting ke depan. Untung dia masih
sempat mencekal kuat-kuat tangan Khang Thiam Lu
membuatnya hanya terhuyung ke depan beberapa
langkah.
"Kita terlambat !", mengeluh Thiam Lu dengan
bibir agak tergetar. Dengan muka pucat dia menoleh
kepada Lam Sie: "Ingat pesanku, janganlah
perdulikan apa yang terjadi, selamatkanlah Siauwya
! Pergilah sekarang ke kampung tadi .... cepat ....
ayo cepat Lam Lopeh .... sedetik saja terlambat,
sulit kita melindungi Siauwya ..."
Lam Sie mengetahui bahwa Khang Thiam Lu
seorang gagah perkasa, pengawal pribadi dari
Jenderal Giok Hu Tidak pernah Thiam Lu bersikap
seperti itu, karena menghadapi kematianpun dulu ia
tidak pernah gentar.
Sekarang ia panik dan tegang seperti itu, pasti
ada sesuatu yang benar-benar menakutkan. "Ayo
cepat Lopeh, oooooo, terlambat sedikit saja,
habislah kita ..."
76
Lam Sie tidak bisa bertanya apa-apa, karena
tangannya telah digentak oleh Thiam Lu, agar dia
berlari balik dari arah mana tadi mereka datang.
Sedangkan Thiam Lu berdiri tegang menantikan
datangnya orang yang memetik Khim dengan suara
merdu itu, dengan tangan menggenggam
pedangnya. Tubuhnya agak menggigil.
Lam Sie berlari akan meninggalkan Thiam Lu,
tetapi Giok Han sudah berkata: "Paman Lam, jangan
tinggalkan Paman Khang!"
"Cepat! Ayo cepat pergi !" Bentak Thiam Lu
dengan sikap semakin tidak tenang, sedangkan
suara Khim itu semakin dekat dan sangat merdu.
"Oooo, betapa pengecutnya Paman Lam kalau
meninggalkan paman Khang ! Tampaknya ada
sesuatu yang mengancam keselamatan jiwa paman
Khang!" Teriak Giok Han sambil meronta ingin turun
dari gendongan Lam Sie.
"Siauwya, kita harus menyingkir dulu, paman
Khang pasti bisa menghadapi apapun juga ..."
Membujuk Lam Sie, yang kebingungan dan tegang.
"Tidak mau!" Menggeleng Giok Han. "Turunkan
aku !"
"Siauwya !?"
77
"Turunkan aku !" Dan Giok Han mengawasi
Paman Lam dengan sorot mata yang bening. Bola
mata yarg tajam, bola mata bocah yang tentu saja
masih bersih. Lam Sie jadi serba salah. Belum
pernah dia menolak setiap permintaan Giok Han,
sebagai pengasuh yang baik, ia selalu patuh
terhadap keinginan Giok Han.
Tetapi sekarang tampaknya memang ada bahaya
yang menakutkan, maka Lam Sie jadi serba salah.
Khang Thiam Lu jadi panik melihat Lam Sie masih
belum meninggalkan tempat itu, dengan keringat
dingin sudah memenuhi muka dan sekujur
tubuhnya, dia menoleh, bentaknya: "Lam Sie apakah
kau tidak mau mendengar perintahku lagi ? Ayo
cepat bawa Siauwya meninggalkan tempat ini !
Cepat !"
Dan dia membanting-banting kakinya dengan
jengkel kebingungan. Mukanya pun pucat pias.
Suara Kim semakin terdengar jelas mendekat.
"Paman Khang, aku tidak mau pergi
meninggalkan kau !" Teriak Giok Han nyaring.
kemudian menoleh kepada Lam Sie yang tengah
kebingungan : "Paman Lam, turunkan aku !"
"Siaawya, keadaan.."
"Turunkan aku!" Giok Han meronta "Apakah
Paman Lam sudah tidak sayang aku lagi?"
78
Lam Sie terpaksa menurunkan Giok Han dari
gendongannya, ia kuatir majikan kecilnya itu jatuh
sehingga melukainya atau mempersakiti Giok Han.
Setelah diturunkan dari gendongan, dengan sikap
yang gagah dan dada membusung ke depan, hocah
itu bilang : "Paman Lam, betapa Paman tidak malu
bersikap sepengecut itu ! Tidaklah Paman Lam malu,
melihat Paman Khang akan menghadapi bahaya, lalu
ingin melarikan diri menyelamatkan diri sendiri..."
Lam Sie menunduk dengan hati susah.
"Siauwya..."
"Paman Lam tidak perlu beralasan apa pun juga,
aku sudah menyaksikan betapa Paman terlalu
mementingkan diri sendiri! Seharusnya Paman Lam
membantui Paman Khang menghadapi bahaya itu
sampai tetes darah terakhir!" kata Giok Han dengan
suara nyaring dan sikapnya yang dibuat-buat gagah
jadi lucu tampaknya. "Kalau paman Lam tidak mau
membantui paman Khang, biarlah aku yang akan
membantuinya."
Thiam Lu melihat Giok Han berdua Lam Sie belum
meninggalkan tempat itu, jadi membanting-banting
kakinya kebingungan, mulanya seperti orang ingin
menangis karena terlalu tegang dan bingung.
"Aduhh, Lam Sie benar-benar kau tidak tahu bahaya
tengah mendatangi. Ayo cepat pergi... ayo cepat..."
Berseru Thiam Lu.
79
Tetapi sudah terlambat. Sekarangpun Lam Sie
berdua Giok Han ingin pergi, sudah tidak akan
keburu lagi, sebab orang yang memetik Khim itu
sudah muncul, tengah mendatangi ke arah mereka
dengan tindakan perlahan-lahan, di tangan kiri
tercekal alat tetabuhan berbentuk seperti labu,
tangan kanannya memetik tali-tali Khim yang
terbentuk aneh itu.
"Benar dia," mengeluh Thiam Lu dengan bibir
kering. Mukanya semakin pucat.
Orang yang baru muncul dengan alat musik yang
aneh bentuknya itu tidak lain seorang gadis cantik
jelita, rambutnya yang tumbuh panjang dibiarkan
tergerai ujungnya sampai kebetis kakinya. Wajahnya
luar biasa cantik, matanya indah, hidungnya
mancung kulitnya putih seperti juga lapisan salju di
gunung Thian San, bibirnya tampak terkatup rapat,
walaupun tidak tersenyum namun bibir yang tipis
merah itu sangat bagus sekali.
Jari-jari tangannya yang memetik tali-tali alat
musiknya lentik dan menarik, ia mengenakan baju
panjang terbuat dari sutera putih. Kalau melihat
gadis itu di malam hari, tentu akan disangka orang
sebagai peri atau dewi.
Lam Sie melihat gadis itu pun jadi tertegun raguragu.
Gadis inikah yang ditakuti oleh Thiam Lu ?
Gadis secantik itukah yang membuat Thiam Lu jadi
tegang dan ketakutan, seakan tengah menghadapi
80
kehadiran seorang malaikat pencabut nyawa dari
akherat ?
Sungguh tidak bisa diterima akal sehat Lam Sie,
bahwa gadis yang tampak cantik jelita, lemah
lembut, juga gemulai langkah kakinya, bisa
membuat Thiam Lu ketakutan seperti itu. Dia
menghela napas dalam-dalam hati Lam Sie agak
tenang. Kalau hanya gadis itu saja, pasti Thiam Lu
tidak perlu takut seperti tadi, sebab ia akan bisa
menghadapinya.
Giok Han melihat wanita itu, jadi tersenyum dan
menarik ujung tangan baju Lam Sie, bisiknya:
"Paman Lam, dia tampaknya Ciecie yang baik,
mengapa kalian tadi harus ketakutan setengah mati
? Bukankah malah menyenangkan bisa
mendengarkan Ciecie itu memainkan alat musiknya
? !"
Wanita cantik jelita yang baru datang itu tiba-tiba
menyentak salah satu tali alat musiknya,
mendenting nyaring sekali, menusuk anak telinga.
Dia menyudahi memainkan lagunya, matanya yang
tampak sangat indah itu, tapi memancarkan sinar
yang dingin, perlahan-lahan merayap kearak Giok
Han. Bibirnya yang terkatup tanpa senyum perlahanlahan
pun terbuka, suaranya sangat merdu luar
biasa waktu dia bilang: "Adik kecil, apakah kau
menyukai lagu yang ku-mainkan tadi ?"
81
Giok Han mengangguk sambil tertawa. "Ciecie
pandai sekali memainkan alat musik mu, suaranya
sangat merdu," sahutnya.
Thiam Lu sangat kebingungan dan gugup
berulang kali dia memberi isyarat kepada Lam Sie
agar membawa Giok Han pergi menyingkir.
Dengan tenang, wanita itu menoleh kepada
Thiam Lu : "Tayjin, tampaknya kau sudah
melakukan perjalanan sangat jauh. Lelah sekali.
Maukah kau mendengar lagu lainnya ? Siauwmoay
bersedia memainkan beberapa lagu untukmu !"
Bibir Thiam Lu tergetar, dia memaksakan diri
buat tersenyum.
"Siocia, kau memang pandai sekali memainkan
alat musikmu itu..." Memuji Thiam Lu dengan suara
yang serak.
"Pranggggg !"
"tiba-tiba alat musik ditangan wanita itu hancur
berkeping-keping sebab wanita itu menghantamkan
alat musik tersebut ke sebongkah batu di dekatnya
yang ada di jalan tersebut, Dengan muka yang
semakin dingin dia bilang: "Pandai memainkan alat
musik ? Apa itu saja ?!"
Muka Thiam Lu jadi pucat pias, dia sampai
mundur selangkah kebelakang. Sedangkan Giok Han
82
dan Lam Sie pun kaget tidak terkira waktu alat
musik itu dihancurkan oleh wanita tersebut,
sehingga mereka memandang sayang pada alat
musik yang telah hancur itu.
Giok Han mempergunakan kedua tangannya
menutupi telinganya, karena waktu alat musik itu
dihantamkan pada batu suaranya menyakiti anak
telinga. Bocah itu pun mengawasi seakan akan
merasa sayang alat musik berbentuk aneh itu sudah
hancur berkeping-keping, seakan juga dia mengiler
untuk memegang alat musik yang menarik hati itu.
"Maksudku... maksudku...." Suara Thiam Lu tidak
lancar.
"Katakan, apakah hanya itu saja?" Suara wanita
itu tidak keras, bukan membentak tetapi bernada
memerintah. Mukanya yang cantik jelita dingin
sekali, tidak memperlihatkan perasaan sedikitpun
juga.
"Di samping pandai bermain musik, Siocia
adalah... adalah pembunuh nomer satu didunia !"
Akhirnya Thiam Lu menyahuti.
Bibir wanita itu tidak tersenyum, tetap terkatup,
wajahnya, pun dingin, tidak memperlihatkan
kemarahan. Cuma sinar matanya jadi semakin
dingin, membuat Thiam Lu menggigil seperti
disambar oleh hawa dingin nya salju.
83
"Ya, akulah pembunuh nomer satu di dunia,
disamping pandai bermain musik," kata wanita itu.
"Dan kau tunggu apa lagi ?"
Thiam Lu menghela napas, dia berusaha
mengempos seluruh semangatnya. Walaupun ia
tahu, wanita didepannya adalah wanita pembunuh
yang tiada taranya di dunia, namun iapun
sebetulnya bukanlah seorang pengecut yang gentar
menghadapi kematian. Tadi, jika dia tampak begitu
tegang dan kuatir, hanya disebabkan ia kuatirkan
keselamatan Giok Han, putera dari majikannya,
yaitu Jenderal Giok Hu. Meiihat keadaan sudah tidak
bisa dihindarkan lagi dan tidak ada jalan lain, maka
Thiam Lu berusaha mengumpulkan seluruh hawa
murninya, dia bilang: "Siauwte Khang Thiam Lu
tidak takut walaupun harus menerima sepuluh kali
kematian. Cuma sekarang aku tengah memikul
tugas yang berat sekali. Jika memang Siocia
mempunyai urusan denganku, baiklah aku akan
menemui Siocia dua bulan mendatang. Beritahukan
saja, di mana aku harus menemui Siocia ?"
Wanita cantik itu tetap tidak tersenyum juga
tidak memperlihatkan perasaan marah di mukanya.
Hanya dingin sekali dia bilang: "Apakah kau masih
tidak mau menyelesaikan sendiri? Perlu aku turun
tangan?"
Thiam Lu nyengir pahit, wajahnya berduka sekali.
"Siocia terlalu mendesak, aku terpaksa lancang
untuk minta petunjuk Sio-cia..."
84
Bibir yang semula terkatup rapat tidak pernah
tersenyum itu, mendadak merekah, membentuk
seulas senyuman tipis. Namun hanya sekejap saja
sudah lenyap, terkatup lagi, rapat sekali.
"Baik, tampaknya kau ingin mati dengan tubuh
yang berkembang!" Belum lagi habis suara wanita
jelita itu, seperti juga suara tersebut mash
mengambang di udara, tiba-tiba berkelebat, sesosok
bayangan putih, karena tubuh wanita itu gesit luar
biasa dan tidak terlihat cara bergeraknya, sudah
berada di samping Thiam Lu. "Nih kuhadiahkan
bunga yang kau inginkan". Bisik wanita itu.
Thiam Lu mengendus harum semerbak menerpah
hidungnya, sebetulnya dia sudah bersiap siaga sejak
tadi. tetapi wanita jelita tersebut bergerak begitu
cepat dan tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Dia
melihat tangan wanita itu seperti mendorong
sesuatu-dia tahu tentu melepaskan senjata rahasia.
Maka tidak pikir panjang dia mengibaskan
pedangnya sambil membuang diri kesamping
pedangnya im akan menabas perut wanita itu.
Giok Han menjerit kaget dan takut melihat
pedang menyambar perut wanita jelita tersebut,
Lam Sie juga kaget. Tetapi, sungguh luar biasa
wanita itu. Mukanya tetap dingin, pinggulnya
digoyangkan, dengan gerak yang sulit diikuti oleh
mata, tahu-tahu perutnya seperti bisa menciut, dan
85
pedang menyambar tempat kosong, hanya terpisah
dua dim dari baju sutera yang dikenakannya !
Thiam Lu sudah melompat berdiri dengan
keringat dingin membasahi tubuhnya. Dia melirik ke
belakangnya, benar apa yang di sangkanya. Lima
batang jarum sudah menancap di batang pohon
yang ada di dekat situ. Dia berwaspada dengan
pedang siap di tangannya, tergenggam kuat-kuat.
"Lam Sie, bawa Siauwya pergi... cepat !" Dia
masih berteriak menganjurkan Lam Sie untuk segera
angkat kaki dari tempat itu. "Tidak ada seorang
manusiapun bisa hidup kalau bertemu siluman ini,
cepat... ayo pergi... terlambat ssdetik saja, celakalah
Siauwya di tangannya yang beracun..."
Belum habis Thiam Lu berseru, wanita itu sudah
berkelebat lagi, sudah berada di dekat Thiam Lu.
Wajahnya tetap tidak berperasaan, tidak tersenyum,
juga tidak memperlihatkan tanda tanda marah.
Dingin sekali tangannya berkelebat, duabelas batang
jarum halus menyambar lagi kepada Thiam Lu dari
segala penjuru, atas tengah dan bawah.
Thiam Lu mencium bau harum semerbak berbeda
dengan jarum-jarum beracun lain yang menyiarkan
bau anyir dan amis, justeru jarum-jarum yang
dilemparkan wanita itu, yang diduga oleh Thiam Lu
mengandung racun hebat, justeru menyiarkan
harum semerbak, cepat-cepat dia memutar
pedangnya untuk melindungi dirinya dari sambaran
86
jarum-jarum itu. Terdengar suara "ting, ting" seperti
suara air hujan yang jatuh di atas seng, jarumjarum
itu terpental.
Tetapi mendadak sekali Thiam Lu merasakan
pergelangan tangannya nyelekit sakit dan gatal,
semangatnya terbang, hatinya tercekat. "Habislah
aku !" Mengeluh Thiam Lu, sebab dia tahu ada
sebatang jarum yang mengenai pergelangan
tangannya. Tubuh Thiam Lu malah terhuyung
mundur, dia merasa sekujur tubuhnya jadi panas,
mukanya pucat pias.
Rupanya, wanita cantik jelita itu sangat lihay
melemparkan jarum-jarumnya, yang di lepaskan
dengan beruntun sambung menyambung. Puluhan
batang jarum yang tadi bisa dihindarkan Thiam Lu,
tetapi ada sebatang yang berhasil menancap di
pergelangan tangannya. Pergelangan tangan itu
seketika menjadi hitam membengkak, tenaga Thiam
Lu juga jadi seperti lenyap, dia merasa lemas untuk
mengangkat tangannya, memutar pedangnya.
Tangannya tidak mau menuruti keinginan hatinya
lagi.
Lam Sie yang sejak tadi berdua Giok Han berdiri
di pinggir jalan, mengawasi semua kejidian itu.
Mereka juga melihat pohon tadi yang ditancapi
kelima batang jarum wanita itu, yang telah menjadi
layu, batangnya menjadi kering, daun-daunnya
rontok, rantingnya meroyot mati.
87
Lam Sie kaget dan takut, keringat dingin
membanjir keluar sepasang lututnya jadi lemas. Dia
baru mengerti mengapa Thiam Lu begitu ketakutan
pada wanita ini, rupanya dialah seorang wanita akhli
dalam penggunaan racun yang daya kerjanya sangat
dahsyat. Betapa berbahayanya wanita cantik jelita
dan tampak lemah gemulai tersebut.
Waktu itu mata Thiam Lu berkurang-kunang, ia
terhuyung beberapa langkah seakan mau rubuh.
Tetapi, mati-matian dia berusaha mempertahankan
dirinya, agar tidak rubuh. Dengan seluruh sisa
tenaga yang masih ada, walaupun lidahnya terasa
kaku dan bibirnya kering, Thiam Lu masih berteriak :
"Lam... Sie... cepat pergi... pergi...!"
Wanita jelita itu tidak tersenyum juga tidak
memperlihatkan kemarahan di mukanya dingin tidak
berperasaan. Hanya tubuhnya berputar-putar riang
mengelilingi Thiam Lu. Baju sutera putih yang
dipakainya itu berkibar-kibar, dia seperti juga
bayangan putih yang berkelebat kesana kemari di
sekitar Thiam Lu Malah, tangannya sudah terayun
lagi, lima batang jarum kecil-kecil menancap di dada
Thiam Lu, berbentuk bunga Bwee. Bukan main
beracunnya jarum-jarum tersebut Pasti Thiam La
menemui kematiannya sekali ini di tangan wanita
jelita itu.
Mata Thiam Lu semakin kabur, apa yang
dilihatnya seperti menjadi gelap dan tidak jelas lagi.
la mengeluh, tapi dalam saat-saat yang gawat
88
seperti itu Thiam Lu masih ingat kepada majikan
kecilnya. dia berseru:
"Cepat tinggalkan .... tempat ini ... *" Suaranya
semakin serak dan perlahan, kemudian tidak ada
suara yang bisa keluar dari mulutnya, karena lidah
dan bibirnya sudah kejang.
Wanita jelita itu masih mengelilingi Thiam Lu
dengan tubuh yang ringan berke-lebat-kelebat ke
sana kemari, tetapi mendadak sekali dia berseru:
"lhhhhh!" Dan tubuhnya berhenti tegak di
tempatnya, mengawasi Thiam Lu dengan mata
terbuka lebar-lebar.
Pada mukanya yang sebelumnya selalu dingin
tidak terlihat perasaan apapun kini memancarkan
perasaan heran yang bukan main besarnya.
Thiam Lu sudah terhuyung-huyung lemah bahkan
sudah tidak kuat berdiri. Jatuh terduduk dengan
tubuh lemas tidak bertenaga-Dia tahu, tidak
mungkin bisa hidup lebih lama lagi. la sudah terkena
jarum wanita jelita itu dalam jumlah yang tidak
sedikit, dia pasti mati. Tapi, dalam saat-saat seperti
itu, Thiam Lu masih berusaha mengempos hawa
murni di dalam tubuhnya, karena dia ingin
menganjurkan Lam Sic dan Giok Han agar melarikan
diri, meninggalkan tempat itu dan juga wanita si
pembunuh nomor satu di dunia tersebut.
89
Tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya,
kepalanya dirasakan pusing seperti dikemplang oleh
godam yang ribuan kati, juga matanya sudah gelap,
tidak ada sesuatu yang dilihat selain kunangkunang.
Darahnya juga bergolak akibat dia
mengerahkan sisa tenaga dalamnya untuk mengatur
pernapasannya. Sebetulnya diapun tahu, jika dia
mengempos pernapasannya, darahnya berjalan lebih
cepat, berarti mempercepat kematiannya, sebab
racun akan lebih cepat tiba di jantung terbawa oleh
darah tubuhnya lemas tidak bertenaga, darahnya
semakin lama semakin bergolak .... sama seperti
waktu dia bersemedhi kemarin malam, untuk
mengatur jalan pernapasannya darahnya bergolak.
Wanita cantik jelita yang lemah gemulai itu masih
terneran-heran mengawasi Thiam Lu, akhirnya
mulanya menjadi dingin tidak berperasaan lagi.
Mulutnya terkatub rapat. Dia mendesis dengan suara
perlahan, tapi tetap merdu: "Di mana Sepasang
Tabib Hutan ?!"
Walaupun keadaannya sudah sekarat, namun
Thiam Lu masih bisa mendengar pertanyaan wanita
itu, pikirannya tetap sadar. Dia tercengang,
mengapa wanita inipun mengetahui dia pernah
bertemu dengan Sepasang Tabib Hutan, yang
pernah menolongnya itu?"
Dia mau menjawab pertanyaan wanita itu, tapi
mulutnya tidak bisa bergerak buat bicara, tidak
90
sepatah perkataanpun yang ter-luncur dari
mulutnya.
"Katakan, di mana Sepasang Tabib Hutan itu ?!"
Tanya wanita itu lagi.
Thiam Lu tetap tidak bisa menjawab, dia hanya
merasakan tubuhnya seperti melayang-layang di
tengah angkasa, matanya tetap gelap, tidak ada
sesuatu yang bisa dilihatnya. Dan hanya
didengarnya lagi kata-kata wanita itu :"Walaupun
kau dilindungi Sepasang Tabib Hutan, jangan harap
kau bisa menolak kematian dari tanganku !"
Giok Han waktu itu tengah mengawasi semua
kejadian dengan hati tidak tenteram. Dia semula
melihat wanita cantik itu sangat mengagumkan dan
tampaknya juga sebagai Ciecie yang baik hati.
Karenanya dia yakin paman Khang maupun paman
Lam tidak perlu takut pada wanita-itu.
Tetapi melihat dalam waktu sangat singkat
paman Khangnya seperti tersiksa ditangan wanita
itu, keadaannya juga sangat mengenaskan, Giok
Han tidak dapat menahan diri lagi, Ketika Lam Sie,
yang saat itu sudah memutuskan untuk
mempergunakan kesempatan diwaktu wanita
pembunuh nomor satu didunia itu tidak melihat
mereka, ingin melarikan diri, maka Giok Han
menyentak tangannya, dia malah berlari
menghampiri wanita pembunuh nomor satu didunia
itu. Semangat Lam Sie serasa terbang meninggalkan
91
raganya, dia berusaha menjambret tangm majikan
kecilnya: "Siauw ya..!" panggilnya dengan suara
serak.
Tapi Giok Han sudah meninggalkan Lam Sie
cukup jauh, dia sudah berada didekat wanita
pembunuh nomor satu didunia, yang tengah
menghampiri Thiam Lu, dengan tangan kanan
terangkat perlahan-Iahan ingin menimpukkan
sesuatu.
"Ciecie, mengapa kau sejahat itu ?!" Teriak Giok
Han nyaring.
Teriakan Giok Han menyebabkan wanita
pembunuh nomor satu didunia menunda gerakan
tangannya dan menoleh. Matanya sekejap
berkelebat dengan tajam, tapi kemudian biasa
kembali, tampak indah dan tidak menakutkan, dia
malah telah menurunkan tangan kirinya dan
tanyanya: "Aku jahat?"
Giok Han dengan muka merah menyahuti: "Ya,
mengapa kau begitu jahat menyiksa paman Kham
?!"
"Jadi kau meminta aku mengampuninya ?" tanya
wanita pembunuh nomor satu itu dengan suara
tawar.
"Ya, tidak selayaknya kau menyiksanya,"
menyahuti Giok Han, gagah sekali.
92
"Baik. aku tidak akan menyiksanya. Tetapi sudah
menjadi peraturanku, bahwa seseorang boleh
diampuni kalau ada penggantinya"
"Penggantinya ?"
"Ya... maukah kau jadi penggantinya, mewakili
paman Khangmu itu untuk menerima kematian?!"
Tanya wanita pembunuh nomor satu itu dengan
suara dingin.
Giok Han tercengang. Lam Sie sudah berlari
menghampiri Giok Han, dipeluknya kuat-kuat, dia
berlutut didepan wanita pembunuh nomor satu
didunia, ratapnya. "Nona. janganlah membunuh
Siauwya, kalau kau mau membunuh, bunuhlah aku!"
"Hmmm, aku tidak perlu dengan kau tua
bangka!" Dingin sekali suara wanita itu matanya
tampak bergerak-gerak dan sepasang alisnya
mengkerut dalam-dalam. Lalu dia memandang
kearah Giok Han : "Bagaimana, apakah kau mau jadi
penggantinya ?!"
Giok Han ragu-ragu sejenak, kemudian dia
membusungkan dada, katanya dengan suara
mantap: "Baik, aku yang akan mewakili paman
Khang untuk disiksa oleh kau makluk jahat!"
"Apa yang kau bilang?"
"Kau makluk jahat!"
93
"Coba kau ulangi sekali lagi !"
Lam Sie merasakan semangatnya melayang
meninggalkan raganya, dia tahu kini sudah tidak ada
jalan untuk melindungi majikan kecilnya. Pasti
makian Giok Han sudah membuat wanita pembunuh
nomor satu menjadi marah. Dia jadi menangis
sesenggukan Memeluki Giok Han erat-erat.
Dengan gagah Giok Han bilang: "Paman Lam, kau
jangan menangis. Seorang lelaki sejati tidak akan
gentar menghadapi kematian, karenanya tidak usah
menangis. Malu. Biarkan saja dia menyiksaku,
karena memang sudah terbukti dia makhluk jahat !"
"Kau benar-benar berani memakiku ?" Tanya
wanita pembunuh nomor satu didunia sambit
mementang matanya.
Hati Giok Han tergetar sedikit, goncang oleh
tatapan tajam wanita itu, tetapi akhirnya dengan
nekad dia jawab: "Ya. memang kau makluk jahat,
seperti iblis, mukamu sama seperti juga pantat sapi,
buruk mukamu buruk hatimu...!"
Tubuh wanita pembunuh nomor satu di dunia
tergetar. Dia mengayunkan tangannya. Tetapi,
belum lagi dia melepaskan jarum-jarumnya,
tangannya diturunkan, dia batal sendirinya. Bocah
didepannya sangat berani sekali. Nekad benar.
94
Dulu, wanita pembunuh nomor satu di dunia
adalah seorang wanita yang berperasaan lembut. la
mempunyai kekasih yang memiliki adat sangat
keras. Karena suatu pertengkaran, kekasihnya
meninggalkannya.
Sejak saat itulah wanita tersebut menjadi
pembunuh yang tiada taranya, mengumbar
kemarahannya kepada semua lelaki dan wanita.
yang dianggapnya jauh lebih bahagia darinya.
Diapun jadi beku hatinya, dingin tidak berperasaan.
Selama dua tahun siang malam dia menangisi
kepergian kekasihnya dan air matanya seperti
menjadi kering.
Tetapi kini, melihat sikap Giok Han yang nekad,
hati wanita pembunuh nomor satu di dunia jadi
tergoncang keras, mukanya yang semula tidak
memancarkan perasaan apa-apa jadi memerah
sejenak, jantungnya berdegup. Dia teringat, dulu
terakhir kali kekasihnya ingin meninggalkan dia,
pernah berkata kasar: "Wajahmu yang cantik tidak
sepadan dengan hatimu yang busuk. Kau
seharusnya menjadi wanita yang buruk, seburuk
hatimu!" Dan setelah memaki begitu, kekasihnya
pergi meninggalkannya, tidak pernah kembali lagi.
Jilid ke 3
Dimaki oleh Giok Han sebetulnya dia ingin
membunuh Giok Han dengan jarum-jarum
beracunnya tetapi justeru akhirnya dia membatalkan
95
sendiri maksudnya. Sikap bocah itu mengingatkan
dia pada kekasihnya. Tetapi semua itu hanya
berlangsung beberapa detik saja, kemudian
mukanya sudah membeku tidak memiliki perasaan
apapun juga.
Hatinya malah jadi dengki melihat bocah di
depannya, walaupun masih kecil, namun sangat
cakap. Kulitnya bersih, mukanya mungil dan
rambutnya hitam. Sepasang alis tebal dan hitam
menambah cakapnya muka bocah itu. Dan diamdiam
dia jadi menyukai Giok Han.
Itulah, beberapa detik tadi dikuasai oleh perasaan
menyayang kepada Giok Han. Namun hatinya
membatu kembali. Dengan dingin dia bilang: "Siapa
namamu ?"
"Buat apa memberitahukan nama kepada
manusia tidak sopan dan tidak baik jiwanya seperti
kau?" Menyahut Giok Han. "Seorang wanita
terhormat adalah yang hidup sebagai nona baik-baik
didalam rumah, yang pria pergi untuk berjuang,
memiliki pangkat dan membuat negara menjadi
makmur. Kepada orang-orang seperti itulah aku
menghormati ..."
"Kepadaku apakah kau tidak hormat ?!" Tanya
wanita pembunuh nomor satu di dunia dingin sekali
suaranya.
Giok Han menggeleng.
96
"Tidak! Aku malah benci!"
Lam Sie tambah ketakutan, dia kuatir satu kali
saja tangan wanita itu bergerak, habislah jiwa
majikan kecilnya, karenanya dia tidak mau berkisar
dari tempatnya, dengan air mata bercucuran karena
takut, dia melukai majikan kecilnya tersebut.
"Berapa besar kebencianmu terhadapku ?" Tanya
wanita pembunuh itu.
"Aku sangat benci ! Selama kau tidak merobah
kelakuanmu yang jahat dan kejam, yang senang
menyiksa orang lain, maka selama itu juga aku
benci padamu ! Tidakkah kau pernah membaca ujarujar
Locu, yang berbunyi : Manusia yang dikuasai
perasaan jahat, marah, dengki dan iri hati adalah
patung-patung yang akan terbakar, manusia yang
sama seperti sampah saja. Kukira, kau pun sama
seperti sampah...!"
Walaupun hati wanita itu sudah membeku sejak
putus hubungan dengan kekasihnya dan selalu
menjadi dingin tanpa perasaan tetapi sekali ini
mendengar perkataan Giok Han, si bocah yang
berusia masih sangat kecil tapi nekad, dia jadi
tergoncang hatinya.
Dia ingat, setiap kali bertengkar dengan
kekasihnya yang sangat dicintainya, maka
kekasihnya akan berkata: "Kau wanita yang seperti
sampah saja, dikuasai oleh nafsu ingin menguasai
97
dan mengendalikan orang lain ! Kau tidak layak
untuk dihormati !" Dan kata-kata Giok Han menusuk
benar hati wanita itu. Tetapi, setelah dia
memejamkan matanya sekejap, dia bisa menguasai
diri lagi.
"Baiklah, aku akan mengampuni kau dan juga
paman Khang-mu itu, kalau kau dapat menjawab
dua pertanyaanku!" kata wanita pembunuh nomor
satu di dunia, dingin suaranya.
Girang Giok Han mendengar janji wanita itu.
"Apa kedua pertanyaanmu itu ?" tanyanya.
"KaIau aku membebaskan paman Khang mu dari
kematian, apakah kau masih membenciku ?" tanya
wanita itu.
Giok Han adalah seorang bocah yang berperasaan
halus, walaupun tabiatnya sangat keras. Dia
semakin keras jika ditentang keinginannya, dan Lam
Sie sudah mengenal benar tabiat majikan kecilnya
ini. Semakin ditekan, semakin kuat perlawanan Giok
Han dia bisa menjadi nekad. Tetapi jika dilayani
dengan lemah lembut, maka hati si bocah akan
runtuh, apapun yang diminta orang akan diberikan,
kalau bisa kepalanyapun akan di berikan buat orang
Iain.
Sekarang mendengar suara wanita itu, yang
nadanya memelas, maka Giok Han tidak tega untuk
98
memaki terus wanita itu, terlebih lagi mendengar
janji wanita tersebut yang akan mengampuni paman
Khangnya. Segera dia menggeleng. "Jika kau tidak
menganiaya paman Khang, maka kau seorang Ciecie
yang cantik. Aku tidak membenci kau lagi."
"Benar ?"
"Ya, tetapi kau harus janji tidak boleh berlaku
galak pada siapapun, tadi aku jadi ketakutan karena
melihat kau terlalu galak !" menyahuti Giok Han.
Bibir wanita itu merekah tersenyum. Baru sekali
ini Giok Han dan Lam Sie melihat wanita itu
tersenyum, sebab sejak tadi mukanya selalu dingin.
"Baiklah, sekarang kau jawab pertanyaan ku yang
kedua. Kalau kau mau jawab dengan jujur, maka
aku akan menepati janjiku !" kata wanita itu.
"Katakanlah, kalau aku tahu tentu akan kujawab
pertanyaanmu, Ciecie !" kata Giok Han.
Sejenak hati wanita itu tergoncang mendengar
dia dia dipanggil Ciecie dengan nada suara yang
lembut, penuh persahabatan. Dia adalah wanita
yang mengalami patah hati yang parah, selalu
dikejar-kejar oleh perasaan dendam belaka. Setiap
pria dia menbencinya setengah mati.
Tetapi sekarang bocah kecil ini memanggilnya
dengan sebutan Ciecie nada suaranya seperti manja
99
dan juga halus hatinya jadi tergoncang. Tapi cepat
dia bisa mengendalikan hatinya, mukanya dingin
sekali waktu dia berkata: "Dimana sekarang ini
berdiamnya sepasang Tabib Hutan ??"
"Apa ?!" Tanya Giok Han heran. "Sepasang Tabib
Hutan ?!"
"Ya, dimana mereka berada?"
"Akh, Ciecie hanya bergurau saja!", kata Giok
Han. "Mana ada Sepasang Tabib Hutan ?"
Muka wanita itu berobah.
"Jangan main-main, katakan yang jujur! Atau
memang aku akan meneruskan maksudku untuk
membinasakan paman Khangmu itu! Juga kau
dengan tua bangka itu akan kubinasakan !"
"Aku tidak pernah mendengar atau mengetahui
tentang Sepasang Tabib Hutan. Kau percaya syukur,
tidak mau percayapun tidak apa-apa !"
"Benar-benar kau tidak mengetahui tentang
Sepasang Tabib Hutan?!", menegasi wanita itu.
Giok Han mengangguk.
"Sejak kecil Papa selalu mendidikku agar tidak
berbohong pada siapapun, karena kata Papa kalau
100
berbohong maka mulutnya akan jadi monyong dan
bengkak. Bukankah seorang anak dengan mulut
yang bengkak dan monyong akibat berbohong akan
tampak jelek sekali ?!" menyahuti Giok Han.
Agak geli hati wanita pembunuh nomor satu
diduga itu mendengar jawaban Giok Han yang agak
jenaka. Tetapi hatinya mendadak jadi sedih. Dia
menengadah, memandang kelangit, Mukanya
berduka, kemudian dingin kembali, Matanya juga
dingin tidak bersinar seperti tadi, Lesu sekali dia
menggumam : "Berapa lamakah manusia hidup di
dunia ? Berapa lamakah manusia mereguk manisnya
madu cinta ?" Dan, dia melangkah perlahan lahan
meninggalkan tempat itu.
"Hei, Ciecie, kau mau kemana ?!" Teriak Giok Han
melihat wanita itu melangkah pergi.
Tetapi wanita itu tidak menjawab pertanyaan
Giok Han, dia melangkah terus perlahan-lahan,
dengan tindakan kaki yang ringan. Baju sutera putih
yang dipakainya berkibar-kibar ringan tertiup oleh
hembusan angin, dari jauh tampaknya sangat
menarik.
Dia seperti seorang dewi yang tengah dirundung
kesedihan Samar samar masih terdengar
gumamnya: "Berapa lamakah manusia bisa hidup
didunia ? Berana lamakah manusia bisa mereguk
manisnya madu cinta ?" Semakin lama semakin jauh
101
dan kemudian lenyap dari pandangan mata Giok Han
dan Lam Sie.
Lam Sie menangis terisak-isak memeluki majilan
kecilnya, berulang kali dia bilang: "Oooh, terima
kasih pada Thian yang telah melindungi Siauwya !
Terima kasih Thian!: Terima kasih !"
Giok Han menoleh kepada Lam Sie "Paman Lam,
siapa sebenarnya Ciecie yang adatnya aneh itu ?"
"Aku juga tidak tahu, mungkin paman Khang bisa
memberitahukannya kepada kita siapa wanita
itu...!". menyahuti Lam Sie dan mereka jadi teringat
pada Khang Thiam Lu, yang waktu itu sudah rebah
lemas tidak berdaya, tapi tidak mati walaupun
napasnya satu-satu.
Cepat-ccpat Lam Sie mendekati Khang Thiam Lu,
waktu dia mau menggendongnya, Thiam Lu
menggerakkan tangannya perlahan sekali,
mengisyaratkan agar Lam Sie tidak menyentuh
tubuhnya.
Lam Sie baru teringat bahwa Thiam Lu terkena
jarum-jarum beracun, jika tubuh disentuh maka Lam
Sie pun akan keracunan. Tetapi melihat keadaan
Khang Thiam Lu seperti itu Lam Sie semakin
bingung. Kalau Thiam Lu tidak segera ditolong, tentu
ia akan semakin gawat keadaannya.
102
Tetapi untuk membawanya kekampung yang sepi
itu, kepada siapa meminta pertolongan? Kampung
tadi adalah perkampungan yang kosong, mana ada
tabib ?
"Paman Khang, bagaimana keadaanmu?" Tanya
Giok Han berjongkok didekat Thiam Lu.
Bibir Thiam Lu bergoyang-goyang, tetapi tidak
ada suara yang keluar dari mulutnya. Mukanya
sudah hitam seperti baja bakar karena keracunan.
Tubuhnya lemah tidak bertenaga, matanya seperti
mau terbalik.
Menyaksikan keadaan paman Khangnya itu, Giok
Han pun menangis sambil memanggil-manggil:
"Paman Khang, apa yang harus kami lakukan untuk
menolongmu?"
Tetapi menangis tidak lama, Giok Han seperti
teringat sesuatu. "Dia pasti belum pergi jauh !"
Gumamnya.
"Apa ?" Tanya Lam Sie tidak mengerti.
Tetapi Giok Han tidak menyahuti pertanyaan Lam
Sie, dia segera melompat berdiri dan berlari menuju
kearah perginya wanita pembunuh nomor satu
didunia. Dia berlari sekuat tenaganya untuk
mengejar wanita itu.
103
Lam Sie kaget tidak terkira, dia mengejar Giok
Han sambil berteriak-teriak: "Siauw-ya, kembali!
Kembali ! Siauwya . . . ooooo, janganlah pergi
mencari bahaya ! Siauwya, kembali ! Ayo kembali !"
Tetapi Giok Han berlari terus tanpa perdulikan
Lam Sie, Pengasuh tua itu jadi kebingungan. Dia
ragu sejenak, karena kalau mengejar Giok Han
berarti dia meninggalkan Thiam Lu yang keadaannya
sangat gawat dan tengah dalam sekarat itu. Tetapi
walaupun bagaimana diapun tidak bisa membiarkan
majikan kecilnya pergi jauh-jauh darinya, demi
keselamatan majikan kecilnya-maka akhirnya dia
mengambil keputusan-dia mengejar Giok Han.
Berlari cukup jauh dan napas Giok Han memburu
keras akhirnya dia melihat di depannya wanita
pembunuh nomor satu tengah berjalan perlahan
sekali, dengan sikap seperti orang hilang ingatan.
"Ciecie ! Tunggu dulu, Ciecie !" Giok Han
memanggil sekuat suaranya.
Wanita itu mendengar panggilan Giok Han,
menahan langkah kakinya, menoleh dengan wajah
yang dingin
Giok Han sudah menghampiri lebih dekat.
"Kau mau apa lagi ?!" Dingin suara wanita itu,
mukanya pun tidak berperasaan.
104
Lam Sie yang mengejar dibelakang jadi
mengeluarkan keringat dingin ketika menyaksikan
Giok Han sudah berhasil mengejar wanita itu dan
tengah berdiri berhadapan. Dia kuatir kalau-kalau
wanita pembunuh nomor satu itu berobah pikiran
dan turunkan tangan jahat kepada Giok Han.
Giok Han nyengir, katanya: "Ciecie yang baik,
tadi kau sudah berjanji tidak akan membunuh
paman Khang, bukan ?"
Dengan mata yang tidak berperasaan wanita itu
mengangguk.
"Bukankah sudah kutepati janji itu ?" dingin
suaranya. "Paman Khangmu, kau dan tua bangka
yang bersamamu tidak kubunuh! Kau harus tahu
bocah, baru sekali inilah aku melanggar
kebiasaanku, karena sebelumnya tidak terkecuali
seorang manusia, seekor anjing, seekor ayam
ataupun seekor bebek yang boleh lepas di
kematiannya ditangan-ku !"
Waktu berkata begitu, suara wanita itu walaupun
tetap merdu, tapi didalamnya mengandung nada
yang dingin menyeramkan" Giok Han sampai
menggidik ngeri. Tapi bocah ini benar-benar tabah,
dengan nekad dia bilang: "Sekarang paman Khang
sudah tidak berdaya sudah dilukai oleh kau, Cie-cie
yang baik. Kalau kau tidak mengobatinya ataupun
105
membagi obat untuknya, bukan kah sama saja
dengan kau membunuhnya. tampaknya paman
Khang hanya bisa bertahan beberapa saat lagi, lalu
mati ! Bagaimana Ciecie bisa bilang kau sudah
menepati janjimu?"
Wanita itu tetap tidak memperlihatkan perasaan
apapun dimukanya, girang, marah atau bersedih.
Tawar, tanpa perasaan apapun. Suaranya juga tawar
waktu dia bilang: "Paman Khangmu tidak akan mati.
Dia di bantu oleh Sepasang Tabib Hutan. Setelah
berkata begitu, tanpa perdulikan Giok Han, dia
melesat pergi.
Tubuhnya seperti kapas, melesat cepat luar
biasa, dalam waktu beberapa detik dia sudah
terpisah jauh, hanya masih terdengar suaranya dari
jarak terpisah jauh "Tidak terkecuali manusia,
anjing, ayam, bebek ataupun tumbuh-tumbuhan
yang terkena jarum Bwee-sim-tok (Racun Hati
Bunga Bwee) yang bisa mempertahankan hidupnya
lebih dari 5 detik. Tetapi paman Khang-mu sudah
terkena lebih dari enam batang jarum Bwee-sim-tok,
dia masih tidak mati. Di dalam tubuhnya sudah ada
penawar racun yang pasti diperolehnya dari
Sepasang Tabib Hutan..." Suaranya semakin lama
semakin samar dan tidak jelas, dan wanita itupun
suaah tidak terlihat bayangannya lagi.
Giok Han berdiri tertegun di tempatnya. Wanita
itu sudah pergi meninggalkannya begitu cepat, mana
mungkin dia bisa mengejarnya ?
106
Lam Sie menubruk majikan kecilnya,
memeluknya erat-erat sambil menangis.
"Siauwya, oooh, Siauwya . . . mari kita kembali
melihat keadaan Khang Tayjin . . , mari Siauwya"."
Bujuknya.
Giok Han berdua Lam Sie kembali ke tempat di
mana Thiam Lu menggeletak. Ketika mereka tiba di
sana, suatu kemujijatan terjadi. Thiam Lu tampak
tengah duduk ber-semedhi, walaupun mukanya
masih hitam kelabu, namun dia sudah bisa duduk
dan ini berarti ia sudah memperoleh kemajuan. la
tengah bersemedhi mengatur pernapasannya.
"Oooo, kalau begitu Ciecie aneh itu tidak
membohongi aku!" Menggumam Giok Han waktu
melihat keadaan Thiam Lu. Lam Sie pun ikut girang
dan bersyukur, saking terharunya dia sampai
menitikkan butir-butir air mata.
Sebetulnya, dulu Lam Sie tidak pernah menangis,
hanya sekarang disebabkan keluarga Jenderal Giok
Hu, majikannya, telah mengalami malapetaka yang
begitu mengenaskan, menyebabkan air mata Lam
Sie cetek sekali dan dia mudah menangis. Apa lagi
kalau dia memikirkan nasib Giok Han, majikan
kecilnya, yang sangat malang itu.
Sebagai anak yatim, tanpa orang tua, tanpa
sanak famili, hidup terlunta-lunta dalam pelarian.
Seorang putera dari Jenderal besar seperti Giok Hu,
107
yang akhirnya harus jadi pelarian, yang selalu
dibayangi maut setiap saat. Harus hidup terluntalunta.
Betapa menyedihkan.
"Siauwya, kita jangan mengganggu Khang Tayjin,
ia sedang mengobati lukanya dengan tenaga
dalamnya," Lam Sie memberitahukan majikan
kecilnya.
Giok Han mengangguk, dengan sabar dia
bersama Lam Sie duduk agak jauh dari Thiam Lu.
Akhirnya Thiam Lu membuka matanya, walaupun
mukanya masih gelap kelabu, tapi dia sudah bisa
menggerakkan tangannya.
Giok Han berdua Lam Sie segera menghampiri.
"Apakah keadaan paman Khang kini lebih baik ?!"
Tanya Giok Han penuh perhatian campur girang.
Murung sekali muka Thiam Lu, dia mengangguk.
"Ya. Ini suatu kemujijatan yang aneh luar biasa !
Biasanya, siapa yang terkena jarum Bwee-sim-tok
wanita itu, jangan harap bisa hidup ! Hanya lima
detik atau sepuluh detik jiwa korban jarum beracun
itu akan melayang ! Dia adalah wanita beracun yang
sangat ganas, tidak pernah menaruh belas kasihan
kapada siapapun juga. Sampai bebek, anjing dan
ayampun selalu menjadi sasaran jarumnya,
dibinasakan semua ! Dari anak-anak, orang tua,
wanita laki-laki, semuanya dibunuhnya, Tidak
108
pernah ada yang lolos, baru sekali ini ada
pengecualian, dia tidak membunuh kita bertiga ..."
Thiam Lu menghela napas dalam-dalam.
"Siapakah sebenarnya Ciecie itu, paman Khang ?!"
canya Giok Han.
"Namanya Bie Lan. Dia berasal dari keluarga Liok.
Tetapi sekarang dia dikenal dengan sebutan Bwee
Sim Mo Lie (iblis Wanita Hati Bunga Bwee), dialah
pembunuh nomor satu dalam kalangan Kangouw
(sungai telaga) di jaman ini. Benar-benar luar biasa,
baik kepandaiannya maupun racunnya, sulit
ditandingi. Selama ini, jarang ada yang bisa
menghadapi keganasan iblis Wanita Hati Bunga
Bwee itu !" menjelaskan Thiam Lu.
"Mengapa dia berbuat sejahat itu paman Khang ?!
"Tanya Giok Han, ingin mengetahui benar.
"Dulu sebetulnya dia seorang gadis yang lemah
lembut, namun memiliki tabiat yang keras. Apa yang
diinginkannya harus diperolehnya. Siapa tahu, dia
sempat jatuh cinta pada seorang laki-laki yang
sudah beristeri dan mempunyai anak. Sebelumnya
mereka hanya bersahabat saja, siapa tahu akhirnya
tumbuh cinta kasih diantara mereka berdua, Liok Bie
Lan memaksa pria itu agar membunuh isteri dan
anak-anaknya, kalau memang isterinya tidak mau
diceraikan. Tentu saja keinginan Bie Lan ditentang
oleh kekasihnya.
109
Akhirnya terjadi bentrokan di antara mereka,
mereka sering bertempur, karena kekasih Bie Lan
pun seorang yang memiliki kepandaian tinggi,
pertengkaran demi pertengkaran menambah
renggangnya hubungan mereka, dan akhirnya
mereka berpisah. Bie Lan sakit hati, entah
bagaimana caranya dia mencari guru, mempelajari
ilmu racun.
Dia berhasil, dia muncul lagi setelah menghilang
hampir tiga tahun, dengan kepandaian yang semakin
tinggi, baik ilmu silat maupun ilmu penggunaan
racun, Dia jadi iblis Wanita yang sangat ganas,
hampir tidak ada manusia anjing, bebek dan ayam
yang lolos dari kematian di tangannya, tanpa
pengecualian.
Tidak perduli apakah korbannya itu dari kalangan
hitam atau golongan putih, juga tidak perduli apakah
penduduk yang tidak bersalah apa-apa, kalau
bertemu dengan Bie Lan akan habislah jiwa mereka,
itulah akhirnya Bie Lan digelari sebagai Bwee Sim Mo
Lie."
"Siapakah kekasih Ciecie Bie Lan itu, paman
Khang ?" Tanya Giok Han lebih jauh.
"Aku sendiri tidak mengetahui dengan jelas,
tetapi menurut cerita-cerita orang Kangouw, justru
kekasih Liok Bie Lan adalah salah seorang murid Bu
Tong Pay, yang liehay ilmu silatnya. Karenanya
110
setiap kali mereka bertengkar dan bertanding, selalu
juga Bie Lan tidak bisa merobohkan kekasihnya.
Mungkin jika berhasil merobohkan kekasihnya, ia
akan membunuh kekasihnya itu. Dan sebab itu pula
mengapa Bie Lan pergi mencari guru lagi,
mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi serta
mempelajari ilmu penggunaan racun yang dahsyat.
Entah dengan siapa dia belajar semua itu, tetapi
yang jelas kepandaiannya puluhan kali lipat lebih
hebat dari sebelumnya...!"
Tentang nama kekasih dari Liok Bie Lan aku
sendiri tidak tahu. Hanya ilmu keluarga Liok
walaupun liehay, tetap bukan tandingan dari
kepandaian kekasih Liok Bie Lan, karena memang
kekasih Bie Lan liehay dan sudah menguasai ilmu Bu
Tong Pay cukup sempurna.
Menurut cerita orang, kekasih Bie Lan adalah
murid Bu Tong Pay tingkat ke tiga.
Thiam Lu menghela napas dalam-dalam dia
bilang: "Aku beruntung terhindar dari kematian
karena pernah bertemu dengan Sepasang Tabib
Hutan yang sangat liehay tadi malam, yang telah
memberikan dendeng obat padaku. Sekarang aku
baru menyadari mengapa jalan darahku selalu
bergolak jika ku kerahkan pernapasan dan hawa
murni di tubuh, akibat pukulan Sepasang Tabib
Hutan, yang memutar balik peredaran darahku,
111
sehingga diserang oleh jarum-jarum beracun Liok
Bie Lan tadi, tidak sampai membuatku mati.
Mata Bie Lan pun sangat tajam, melihat aku tidak
segera mati terluka oleh beberapa batang jarum
beracunnya, dia dapat menduga bahwa aku
tertolong oleh obatnya Sepasang Tabib Hutan, maka
dia menanyakan Sepasang Tabib Hutan itu."
"Ada hubungan apa antara Liok Bie Lan Ciecie
dengan Sepasang Tabib Hutan itu, paman Khang ?!"
Tanya Giok Han semakin ingin mengetahui.
"Aku sendiri tidak tahu, mungkin di antara
mereka ada ganjalan sakit hati...!", menjelaskan
Thiam Lu. "Baiklah, sekarang kita boleh bersyukur
karena bahaya telah lewat. Mari kita lanjutkan
perjalanan."
"Paman Khang belum sehat benar, lebih baik kita
beristirahat dulu sampai paman Khang sembuh dan
sehat benar," kata Giok Han.
Thiam Lu menggeleng sambil bangun berdiri.
"Sekarang aku sudah pulih sebagian, sudah bisa
melanjutkan perjalanan. Jika membuang-buang
waktu, aku kuatir racun yang masih bersarang di
dalam tubuhku akan mengamuk lagi, tentu aku akan
gagal mengajak kalian menemui guruku ..."
112
"Menemui guru paman Khang ? Untuk apa ?!"
Tanya Giok Han heran. "Bukankah keberangkatan
kita ini untuk pergi menemui Papa ?"
Thiam Lu menghela napas dalam-dalam wajahnya
murung dan air matanya menitik turun. Dengan
terbata-bata dia menceritakan apa yang telah
dialami oleh keluarga Jenderal Besar Giok Hu, ayah
Giok Han. Hal ini terpaksa diceritakan oleh Thiam Lu,
karena selama dalam perjalanan selalu muncul
urusan-urusan yang membuat Thiam Lu bertiga
terancam.
la kuatir kalau sewaktu-waktu dia mati, maka
Lam Sie memperoleh kesulitan untuk menceritakan
peristiwa itu, sebab tidak mengetahui siapa-siapa
yang telah membunuh ayah, ibu, kakak perempuan
Giok Han dan sanak familinya seluruh keluarga.
Dia memberitahukan pada Giok Han, yang harus
di ingat adalah dua nama, yaitu Ban It Say serta
Thio Yu Liang. Thiam Lu juga menceritakan bahwa
semua bencana itu disebabkan oleh Kaisar Yong
Ceng. Waktu menceritakan semuanya, air mata
Thiam Lu tidak berhentinya mengucur. Lam Sie juga
menangis terisak-isak.
Bagaikan mendengar petir bagi Giok Han waktu
mendengarkan cerita Thiam Lu. Wa-laupun dia
masih kecil, namun dia seorang anak yang cerdas
dan cepat sekali mengerti urusan. Dia menangis
113
sesenggukan dan akhirnya pingsan tidak sadarkan
diri.
Thiam Lu berdua Lam Sie jadi kebingungan.
Thiam Lu tidak berani menyentuh tubuh Giok Han,
sebab dia tahu di tubuhnya sendiri masih
mengendap racun yang dahsyat dia kuatir kalau
menyentuh tubuh Giok Han nanti bisa
membahayakan bocah itu. Lam Sie yang telah
berusaha menyadarkan majikan kecilnya.
Waktu siuman, Giok Han menangis terisak-isak
sedih sekali, Lam Sie berdua Thiam Lu coba
menghiburnya.
"Paman Khang sengaja menceritakan semua ini
kepadamu, agar kau ingat Siauwya, betapapun juga
setelah dewasa nanti, kau harus membalaskan sakit
hati keluargamu ! Karenanya, sekarang kau harus
berusaha menghindar dari kejaran orang-orang Yong
Ceng, agar kau memiliki kesempatan menuntut ilmu
dan nanti membalas sakit hati ayah ibu, saudara dan
sanak familimu !" kata Khang Thiam Lu di antara
isak tangisnya.
Giok Han memeluk Lam Sie erat-erat sambil
menangis, kemudian dia melepaskan pelukannya,
menjatuhkan diri di hadapan Khang Thiam Lu,
katanya dengan air mata bercucuran: "Terima kasih
atas pertolongan Paman Khang dan Paman Lam
114
berdua atas diriku, budi kebaikan itu tidak akan
Hanjie lupakan sampai kapanpun juga. Tetapi Hanjie
pun tidak akan melupakan nama-nama seperti Ban
It Say, Thio Yu Liang maupun raja jahat Yong Ceng !
Ketiga nama itu akan terukir terus sampai kelak
Hanjie bisa membalas sakit hati Papa, Mama, Ciecie
dan saudara-saudara Hanjie... para paman dan bibi
yang lainnya ! Hanjie bersumpah, jika Hanjie tidak
bisa membersihkan nama Papa dari fitnah dan
membalas sakit hati Papa, Hanjie tidak mau
hidup...!"
Lam Sie memeluk Giok Han, sedangkan Thiam Lu
dengan air mata bercucuran tapi bibir tersenyum
terharu, berkata : "Bagus. itulah semangat lelaki
sejati, Siauwya ! Kami akan berusaha melindungi
Siauwya sampai titik darah terakhir, untuk
membalas budi kebaikan Papa Siauwya, Giok
Goanswee ! Mari kita lanjutkan perjalanan, tempat
tujuan masih cukup jauh... mudah-mudahan tidak
ada rintangan lainnya !"
Giok Han mengangguk. Lam Sie
menggendongnya. Tetapi Giok Han menolak.
"Jangan bersusah payah dan bercapai lelah lagi
untukku, paman Lam. Aku berhutang budi yang
sedalam lautan dan setinggi gunung, karena tanpa
kau berdua paman Khang, aku tentu sudah terbunuh
juga oleh orang-orang Kaisar jahat itu ! Bahkan, aku
akan menganggap kalian berdua, paman Khang dan
115
paman Lam, sebagai pengganti kedua orang tuaku !"
kata Giok Han sambil menangis terisak-isak.
Lam Sie berdua Khang Thiam Lu pun terharu atas
nasib majikan kecil mereka, ke duanya bertekad
untuk mempertaruhkan jiwa buat melindugi Giok
Han.
Perjalanan dilanjutkan, walaupun Thiam Lu belum
sehat seperti sebelumnya, ia sudah bisa melakukan
perjalanan. Hanya sekali-sekali dirasakan kepalanya
pening dan pandangan matanya kabur gelap
berkunang-kunang.
Jika terjadi seperti itu, maka Thiam Lu duduk
bersemedi 10 menit, mengatur pernapasannya, dan
jika darahnya terasa bergolak, peredaran darahnya
seperti terbalik, dia menghentikan semedhinya.
Tidak berani Thiam Lu memaksa untuk mengatur
pernapasan dan hawa murni tubuhnya lebih lama
lagi, kuatir kalau-kalau bisa menyebabkan timbulnya
hal-hal yang tidak diinginkan pada anggota dalam
tubuhnya. Maka semedhinya selalu disudahi dan
rasa pening lenyap, matanya menjadi terang lagi
dan semangatnya pulih.
Sejak dari saat itu, Giok Han tidak mau
digendong oleh Lam Sie, dia berjalan kaki sendiri.
Walaupun Lam Sie berulangkali membujuknya agar
dia mau digendong, tetapi selalu Giok Han
menolaknya.
116
Dan hati Thiam Li berdua Lam Sie tambah terharu
melihat sikap bocah ini, sebab melakukan perjalanan
sepanjang hari seperti itu, menyebabkan Giok Han
sangat menderita, kakinya jadi luka-luka oleh lecet
yang cukup pedih, tetapi bocah itu keras hati, tetap
tidak mau digendong.
Sejak mengetahui peristiwa yang menimpa
keluarganya, ia jadi sangat menghormati Lam Sie
dan Thiam Lu, karenanya dia tidak mau
menyusahkan Lam Sie lagi dengan
menggendongnya. Walaupun telapak kakinya selalu
terasa sakit buat berjalan, dia tetap menahannya.
Hanya sekali-sekali jika istirahat Giok Han
menangis meratapi Papa, Mama dan Ciecieciecienya.
Anak ini jadi murung sekali sepanjang hari
tidak pernah riang seperti hari-hari sebelumnya.
Melakukan perjalanan empat hari Giok Han jatuh
sakit. Tubuhnya panas. Thiam Lu mengajak Lam Sie
dan Giok Han menumpang di rumah seorang
penduduk.
Entah sudah beberapa kali Giok Han tidak
sadarkan diri akibat demam yang tinggi, tubuhnya
panas seperti menguap. Tidak jarang juga bocah itu
mengigau memanggil-manggil Papa, Mama atau
Ciecienya. Hati Thiam Lu berdua Lam Sie seperti
disayat-sayat pisau, sedih bukan main.
117
Melihat majikan kecil mereka tampaknya sangat
menderita sekali. Tetapi apa daya mereka untuk
meringankan penderitaan Giok Han ? Anak ini
tergempur bathinnya, hancur perasaannya terlalu
dalam dukanya, juga menderita berat dalam
melakukan perjalanan, sehingga akhir nya dia jatuh
sakit seperti itu.
Dua hari dua malam Thiam Lu berdua Lam Sie
menunggui Giok Han, berbagai usaha dilakukan
mereka untuk merendahkan panas tubuh Giok Han.
Pada hari ketiga. Giok Han mulai sadar dan panas
tubuhnya mulai turun.
Sengaja Thiam Lu menunda perjalanan mereka,
menunggu kesembuhan Giok Han. Beruntung
pemilik rumah yang mereka tumpangi sangat baik,
membantu mereka mencarikan daun-daun obat
untuk Giok Han.
Setelah mengasoh hampir sepuluh hari,
kesehatan Giok Han mulai berangsur pulih. Tetapi,
bocah itu tidak lincah lagi, ia jadi pemurung.
Tubuhnya pun jauh lebih kurus dari sebelumnya. Dia
sering termenung, karena anak itu rupanya masih
selalu, teringat cerita Khang Thiam Lu tentang
bencana berdarah yang menimpa keluarganya.
Setelah lewat dua hari lagi, Thiam Lu mengajak
Lam Sie dan Giok Han untuk melanjutkan
perjalanan, karena mereka tidak bisa terlalu lama
menunda-nunda perjalanan tersebut. Kuatir bahaya
118
dari orang-orang Kaisar Yong Ceng datang
mengacau kalau mereka terlalu lama berada disitu.
Untuk mencapai kota Siauw An masih
memerlukan waktu perjalanan delapan hari lagi, dan
mereka melakukan perjalanan tidak terlalu cepat
seperti sebelumnya, karena Thiam Lu maupun Lam
Sie menyadari bahwa Giok Han harus banyak
istirahat, dia baru sembuh dari sakitnya.
Selama dalam perjalanan Giok Han pun jarang
bcara, dia jadi pendiam dan murung, Lam Sie
berusaha untuk menghiburnya, namun tetap saja
tidak bisa memulihkan kegembiraan anak tersebut.
Ada satu yang membuat Thiam Lu kian hari kian
berkuatir, peredaran darah ditu-buhnyapun semakin
acak-acakan sulit untuk dikendalikan. Karenanya dia
berharap bisa cepat-cepat tiba ditempat gurunya,
disamping untuk minta gurunya melindungi Giok
Han, pun ingin meminta pertolongan gurunya
mengobati luka yang dideritanya.
Selama dalam perjalanan Giok Han tidak pernah
mengeluh, walaupun kakinya mulai luka-luka lecet
yang lebih lebar, dia tidak pemah merintih
kesakitan. Setiap kali Lam Sie membujuknya untuk
menggendongnya, Giok Han tersenyum sedih,
katanya: "justeru kalau Giok Han sudah lebih besar
dari sekarang yang harus menggendong paman
Lam, karena paman Lam sudah berusia lanjut...!"
119
Dan jawaban seperti itu membuat Lam Sie berdua
Thiam Lu semakin terharu. Mereka tidak bisa
memaksa Giok Han untuk digendong saja dalam
perjalanan tersebut, karena walaupun masih kecil
tampaknya Giok Han memiliki hati yang tabah dan
keras seperti Papanya. Memang, biarpun masih
kecil, anak itu rupanya mewarisi Sifat-sifa t gagah
dari Papanya, Jenderal Besar Giok Hu.
Perjalanan dilakukan perlahan-lahan, seringsering
beristirahat. Thiam Lu menduga dengan
perjalanan yang lambat seperti itu mungkin dua
belas hari lagi baru bisa tiba di Siauw An. Beruntung
selama dalam perjalanan tidak bertemu halangan
lainnya. Untuk menghibur hati Giok Han, Thiam Lu
sering menceritakan serak terjang orang-orang
gagah dalam rimba persilatan dari berbagai
golongan.
Tampaknya Giok Han tertarik mendengarkan
cerita-cerita kegagahan para pendekar dalam rimba
persilatan dia pun sering bilang dengan
bersemangat, jika sudah dewasa kelak ingin jadi
pendekar yang gagah dan mementingkan perbuatan
mulia.
Menjadi pendekar sakti, untuk membalaskan sakit
hati orang tua dan saudara-saudaranya.
"Nanti guruku tentu mau mengajarkan kau ilmuilmu
yang sangat tinggi," kata Thiam Lu. "Aku yakin
120
Siauwya kelak bisa menjadi Pendekar gagah
perkasa!" Menghibur Thiam Lu.
Semakin seringnya mendengar kisah-kisah
kegagahan orang-orang rimba persilatan, Giok Han
semakin memperlihatkan sikap gagah dan tabah,
tidak kenal lelah dalam perjalanan. Hanya saja
Thiam Lu dan Lam Sie yang menguatirkan kesehatan
Giok Han bisa terganggu kalau melakukan
perjalanan terlalu berat, maka mereka banyak
mempergunakan kesempatan untuk beristirahat.
Seharinya paling tidak mereka cuma menempuh tiga
puluh lie lebih.
Kota Siauw An merupakan kota yang cukup
besar, juga penduduknya sangat padat. Di jalan
Yang-cen, tampak barisan rumah-rumah penduduk
yang tidak begitu padat, karena jalan ini merupakan
jalan utama di kota tersebut, para orang kaya dan
berpangkat mendiami rumah-rumah yang berada di
jaIan tersebut.
Dengan sendirinya, jalan itu merupakan jalan
yang tidak terlalu bising dan ramai.
Di depan sebuah rumah yang pada kedua sisi
pilarnya terdapat patung singa-singaan besar
berwarna hitam, dengan pintu warna hitam, gelang
tembaga yang mengkilap ke kuning-kuningan,
tampak seseorang tengah membersihkan daun-daun
kering yang runtuh dari pohon yang tumbuh di
depan rumah itu.
121
Dengan sapu dan pengki orang itu membersihkan
sekitar depan rumah itu. Usia orang tersebut
mungkin sudah lima puluh tahun, tapi tubuhnya
masih gagah dan tegap.
Tengah membersihkan patung singa-singaan
sebelah kanan, mendadak menghampiri seorang
pemuda berpakaian pelajar.
Usia pemuda itu baru 20 tahun, pakaiannya
sangat rapi. Selintas lihat segera bisa diterka bahwa
dia pasti putera hartawan atau putera pembesar
negeri. Waktu berjalan menaiki undakan tangga
menghampiri pelayan yang tengah membersihkan
patung singa-singaan ltu, lagaknya angkuh,
mulutnya tersenyum sinis sekali. Kopiah yang
dipakainya kopiah pelajar yang bersulam benang
emas.
"Hei Tang Kui, mana majikanmu?!" Tegur pemuda
itu dengan sikap yang lancang tidak ada hormat
sedikitpun.
Pelayan rumah itu menoleh, tampaknya dia
terkejut. Kemudian membungkukkan tubuhnya
dengan sikap takut-takut, tersenyum-senyum
terpaksa.
"Oooo, Cie Kongcu datang ? Apa kabar Cie
Kongcu?!", tanya pelayan itu.
122
Sepasang alis pemuda itu mengkerut dalamdalam,
tampaknya galak sekali.
"Tang Kui, apakah telingamu sudah tuli ?",
bentaknya bengis. "Aku tanya, dimana majikanmu?"
"Oooo, Cie Kongci menanyakan Loya ? Maafkan
Kongcu, maklumlah umurku sudah tua, sehingga
pendengaranku tidak baik lagi Loya ada di dalam.
Apakah perlu aku memanggil Loya?"
"Hmmm," angkuh sekali pemuda itu bersikap,
mengawasi sinis ke dalam rumah lewat sela pintu
yang agak terbuka. Kemudian mendekati Tang Kui,
pelayan itu. "Sekarang" katanya, "kau dengarkanlah
baik-baik pertanyaanku !"
"Ya, ya Kongcu. Apa pertanyaan Kong cu?"
"Apakah Yang Siocia ada ? Pergi kau beritahukan
padanya bahwa aku rindu benar padanya dan ingin
bertemu dengannya."
Ceriwis sekali cara bicara pemuda itu. Tang Kui
tampak kaget. "Cie Kongcu, maafkan... aku... aku
tidak berani untuk memberitahukan Siocia akan
kedatangan Kongcu, Di dalam ada Lo ya... nanti
Loya akan memarahiku," kata pelayan itu takuttakut.
Pemuda itu jadi cemberut, tahu-tahu tangan
kanannya menjitak kepala Tang Kui cukup keras,
123
sampai berbunyi nyaring dan Tang Kui berseru
kesakitan, tapi tubuhnya tetap membungkuk tidak
berani melawan.
"Pelayan goblok kau!" kata Cie Kongcu sengit.
"Tentu saja kau beritahukan Siociamu tanpa
diketahui Ioyamu. Pergi sana, awas kalau kau tidak
memberitahukan kepada Siociamu . . . akan kujitak
lagi kepalamu!"
Pelayan itu sangsi, tapi dia juga takut pada
pemuda yang galak ini. Maka akhirnya ia terpaksa
masuk ke dalam.
Pemuda itu menunggu dengan sikap tidak sabar.
Sampai akhirnya pelayan itu ke luar lagi.
"Sudah ?" Tanya Cie Kongcu sambil tertawa lebar
dan merogo sakunya, mengeluarkan lima tail perak,
disodorkan kepada Tang Kui. "Hadiah untukmu !"
Pelayan itu tidak mau menerima hadiah si
pemuda, dia menggoyang-goyangkan tangannya.
"Terima kasih Kongcu, tidak usah beri hadiah,"
katanya agak gugup. "Tentang Siocia..."
"Ya, kenapa dengan Siociamu ?" Tanya si pemuda
tidak sabar.
124
"Siocia sedang bercakap-cakap dengan Loya,
tidak ada kesempatan untuk memberitahukan pada
Siocia tentang kedatangan Kongcu!"
Muka Cie Kongcu jadi guram, dia melemparkan
uang yang lima tail perak ke muka Tang Kui.
"Ambil buatmu! Tetapi jika Siociamu selesai
bercakap-cakap dengan Loyamu, kau harus segera
memberitahukan kepadanya bahwa aku sudah
kemari, dan aku menunggu dia di taman Lo-sik-wan.
Mengerti?!"
"Mengerti Kongcu. Tetapi, apakah harus
disampaikan pada Siocia bahwa Kongcu
menunggunya di taman Lok-sik-wan ?", tanya Tang
Kui.
"Tentu saja. Aku akan menunggunya di sana.
Semakin cepat dia datang menemui aku, semakin
baik lagi. Nanti kau akan ku persen lebih banyak lagi
!"
"Tapi... tapi Kongcu..." Tang Kui tampak bingung
dan ragu-ragu.
"Apa lagi ?" bentak Cie Kongcu, galak sikapnya.
"Bagaimana kalau Siocia tidak mau pergi
menemui Kongcu, malah nanti memarahiku ?",
tanya Tang Kui.
125
Muka Cie Kongcu berobah muram, dia tahu-tahu
menghunus pedang pendek dari balik jubah dan
pedang pendek itu ditandai-kan ke leher Tang Kui.
"Kalau Siociamu tidak mau datang ke Lo-sik-wan,
berarti lehermu akan putus. Mengerti ?",
mengancam Cie Kongcu dengan suara bengis.
Kaget Tang Kui, semangatnya serasa terbang
meninggalkan raganya. Tubuhnya sampai terhuyung
kebelakang dengan muka pucat hampir dia jatuh
keserimpet. "Mengerti... mengerti Kongcu."
Cie Kongcu memasukkan pedang pendeknya ke
sarungnya, mengibaskan jubahnya dan melangkah
pergi dengan sikap yang angkuh sekali.
Tang Kui berdiri bengong mengawasi kepergian
pemuda itu, setelah melihat si pemuda lenyap
ditikungan jalan, barulah dia berani menggerutu:
"Hu, hu, kalau Loya mengetahui kelakuanmu seperti
itu, tentu Loya tidak akan mau mengerti. Pasti akan
menghajarmu habis-habisan, pemuda berandal !"
Tang Kui tiba-tiba berdiri tertegun, mulutnya
setengah terbuka, matanya pun terpentang lebarlebar,
seperti menyaksikan sesuatu yang
mengejutkannya. Namun, akhirnya ia berseru
gembira dan berlari menghampiri ketiga orang yang
tengah mendatangi ke arahnya.
126
"Khang Tayjin, mengapa kau tidak kirim kabar
akan pulang?!", berseru Tang Kui.
Ketika orang itu tidak lain dari Khang Thiam Lu,
Lam Sie dan Giok Han. Thiam Lu tersenyum, ia pun
senang bertemu dengan Tang Kui, pelayan setia
yang sudah puluhan tahun bekerja pada gurunya.
"Apakah kau baik-baik saja, Tang Lopeh ?", tanya
Thiam Lu. "Suhu ada di rumah ?"
"Ada. Ada, Tayjin. Oooo, betapa rindunya aku si
tua pada Tayjin. Sudah berapa tahun Tayjin tidak
berkunjung?" Berkata sampai di sini barulah Tang
Kui melihat pakaian Thiam Lu bertiga Iusuh dan
tidak keruan, juga mukanya agak pucat, dia
bertanya heran campur kaget: "Tayjin, apa yang
terjadi ?"
Thiam Lu tersenyum dan mengajak Lam Sie
berdua Giok Han masuk ke rumah gurunya, diikuti
oleh Tang Kui Pelayan itu masih menanyakan
beberapa pertanyaan, tetapi Thiam Lu mengulapkan
tangannya. Mereka menanti di ruang tamu, Tang Kui
berlari ke dalam untuk memberitahukan kedatangan
Thiam Lu bertiga kepada majikannya.
Tidak lama kemudian ke luar seorang.
lelaki bertubuh jangkung kurus, dengan kumis
jenggot yang sudah memutih, sikapnya tenang dan
masih gagah, tetapi terpancar kegembiraan. Belum
127
lagi dia melihat Thiam Lu bertiga, sudah bertanya :
"Thiam Lu, sudah lama kau tidak berkunjung..."
Tetapi di waktu itu dia melihat Giok Han dan Lam
Sie, juga keadaan Thiam Lu bertiga yang pakaiannya
tidak keruan, ia jadi tertegun, tanyanya ragu-ragu :
"Apa yang sudah jadi, Thiam Lu ?"
Thiam Lu cepat-cepat menghampiri gurunya dan
berlutut di depan lelaki tua itu, yang memang Yang
Bu In, pendekar tua yang pernah sangat terkenal
dengan Wan-kun (Ilmu Pukulan Kera) sehingga
disegani oleh orang-orang KangOuw di Kangouw dan
sekitarnya.
Sambil memberi hormat pada gurunya, air mata
Thiam Lu sudah mengalir. la menceritakan apa yang
telah dialami oleh atasannya, yaitu Jenderal Giok Hu
sekeluarga yang dimusnahkan oleh orang-orangnya
Kaisar Yong Ceng.
Muka Yang Bu In berobah muram, ia menghela
napas dalam-dalam sambil gumamnya: "Menteri dan
Jenderal setia dibunuh penjilat dan pengkhianat
dibiarkan berkeliaran, tampaknya negeri jadi
semakin tidak aman dan akan runtuh...!" ia lalu
menoleh kepada Giok Han, katanya lagi : "Kasihan
anak ini..."
Thiam Lu perintahkan Giok Han memberi hormat
kepada gurunya, Lam Sie juga datang memberi
hormat kepada guru Thiam Lu. Giok Han walaupun
128
masih kecil, tetapi ia mengerti aturan. la segera
menjatuhkan diri. Bahkan ia cerdas sekali, dengan
sesenggukan anak itu bilang : "Lopeh, tolonglah
Hanjie."
Hati Yang Bu In semakin terharu, dia mengusap
usap kepala anak itu. "Anak pintar" katanya dengan
mata berkaca-kaca. "Bukan" hanya aku yang akan
melindungimu, tetapi semua orang gagahpun akan
melindungimu. Janganlah kau bersedih terus atas
malapetaka yang menimpah keluargamu, kau harus
tabah dan mulai sekarang harus rajin-rajin belajar
ilmu silat, karena di pundakmu ada beban yang
berat, yaitu kau harus melenyapkan penasaran
orang tua dan saudara-saudaramu kalau kelak sudah
besar."
Dengan mata masih mengucur. Giok Han tetap
berlutut dan menganggukkan kepalanya berulang
kali. "Terima kasih, Lopeh," kata anak itu. "Hanjie
akan memperhatikan nase-hat-nasehet Lopeh."
Yang Bu In menoleh pada Tang Kui, perintahnya :
"Siapkan kamar untuk mereka perjalanan yang jauh
tentu membuat mereka sangat lelah"
Tang Kui mengiyakan dan berlalu, sedangkan Bu
In menoleh pada Thiam Lu, katanya; "Sekarang
kalian tentu lelah sekali, pergilah beristirahat dulu,
nanti baru kita bercakap-cakap lagi."
129
Thiam Lu mengiyakan. Suasana di rumah Bu In
sungguh tenteram. Terlebih lagi memang sudah
bersengsara selama dalam perjalanan, Thiam Lu
bertiga Lam Sie dan Giok Han beristirahat dengan
sebaik-baiknya.
Sore itu Tang Kui sibuk mempersiapkan meja
untuk perjamuan. Mukanya murung, karena tadi dia
baru saja disemprot oleh Yang Lan, Yang Siocia.
Waktu Tang Kui memberitahukan perihal kedatangan
Cie Kongcu yana ceriwis itu pada nona majikannya,
Yang Lan gusar. la memaki mengapa Tang Kui tidak
memberitahukan tadi-tadi padanya, agar dia bisa
menghajar pemuda kurang ajar itu.
Yang Lan mamang puteri tunggal keluarga Yang,
masih muda usianya paling tidak baru 18 tahun,
walaupun ia memiliki paras yang cantik dan tubuh
yang menarik, sifatnya sangat keras. Sejak kecil ia
sudah dididik langsung oleh ayahnya, sehingga
menjadi seorang nona yang memiliki kepandaian
tidak rendah. la pun tidak kenal takut.
Namun disebabkan sejak kecil sudah melatih ilmu
silat, tidak jarang sikapnya seperti lelaki, tidak
memperdulikan lagi aturan-aturan hubungan pria
dan wanita, ia bergaul cukup bebas dengan pemuda
manapun juga. Cie Kongcu adalah salah seorang dari
sekian banyak pemuda yang menginginkan si gadis
hanya saja bedanya Cie Kongcu putera Tiehu di kota
itu, sebagai putera pembesar yang paling berkuasa
130
di kota tersebut, tentu saja dia besar kepala dan
angkuh.
Dia ingin mempergunakan kekuasaan ayahnya
untuk menundukkan Yang Lan. Hanya sayang, slfatsifatnya
inilah yang membuat Yang Lan malah jadi
muak dan membencinya. Selalu si gadis tidak
pernah melayani pemuda tersebut.
Sebetulnya, sudah beberapa kali Yang Lan ingin
menghajar pemuda angkuh dan ceriwis tersebut,
cuma masih dipikirkan oleh Yang Lan akibatnya
kalau ia bertindak terlalu keras pada pemuda itu,
yang pasti bisa membahayakan ketenteraman
keluarganya.
Ayah Cie Kongcu pasti tidak mau mengerti jika
anaknya itu dihajar babak belur oleh Yang Lan.
Hanya saja, semakin lama lagak Cie Sun Hoat. Cie
Kongcu itu, semakin semena-mena, selalu
sewenang-wenang terhadap orang-orang yang tidak
berdaya, rasa tidak puas di hati Yang Lan semakin
besar saja.
Sekarang Tang Kui melaporkan bahwa pemuda
itu mengharuskan dia sore ini pergi ke taman Lo-sikwan,
meluaplah kemarahan Yang Lan. Dirasakannya
ini merupakan penghinaan untuk dirinya. Walaupun
Yang Lan menyadari Cie Sun Hoat memiliki ilmu silat
juga, tapi kepandaiannya dirasakan jauh berada di
atas pemuda itu.
131
Dan ia bertekad sore ini akan memberikan
hajaran kepada pemuda ceriwis tersebut, supaya
nanti tidak terlalu kurang ajar. la ingin'melakukan
rencananya itu sendiri, tidak memberitahukan pada
ayahnya, karena kuatir dilarang oleh ayahnya.
Waktu Tang Kui mulai merapikan meja untuk
persiapan perjamuan, Yang Lan bermaksud pergi ke
taman Lo-sik-wan untuk menemui Cie Sun Hoat. la
memperhitungkan paling tidak memerlukan waktu
semakanan nasi dan ia sudah bisa kembali ke rumah
untuk ikut hadir dalam perjamuan, guna
menghormati Suhengnya yang baru pulang.
Yang Lan bersiap-siap untuk berangkat ia
merapikan pakaiannya, agar singsat dan
menyandang pedang di pinggangnya. Lalu
memeriksa kantong senjata rahasia. Baru saja ia
mau berangkat, waktu itu ayahnya tampak
mendatangi dengan wajah yang tidak wajar seperti
biasanya, muram sekali. Si gadis terkejut.
Yang Bu In menghampiri puterinya dengan lesu,
sepasang alisnya mengkerut waktu melihat cara
berpakaian nnaknya. "Kau mau kemana, Lanjie ?"
tanyanya.
Si gadis tidik biasa berdusta, ia menceritakan
maksud kepergiannya dan rencana untuk menghajar
Cie Sun Hoat. Yang Bu In menggeleng-gelengkan
kepalanya, dengan sikap tegang ia bilang:
132
"Persoalan anak itu biarkan saja, bukan urusan yang
penting. Sekarang kau ikut ayah."
Dan Bu In memutar tubuhnya. Yang Lan
mengikuti dengan perasaan heran, pertama, sikap
ayahnya yang tidak biasanya. Jika sebelumbelumnya
selalu tenang menghadapi berbagai
masalah yang bagaimana berat sekalipun, sekarang
justeru tampak agak gelisah dan mukanyapun
muram agak pucat. Kedua, apa yang ingin
diperlihatkan ayahnya dengan mengajaknya ? Apa
yang ingin dilakukan ayahnya apakah yang telah
terjadi ?
"Thia, ada apa?" Tanya si gadis yang tidak bisa
membendung perasaan ingin tahunya, waktu ia
mengikuti ayahnya di sampingnya.
"Nanti kau akan melihat sendiri,"" me-nyahuti
ayahnya "Ayo cepat, ada sesuatu yang tidak beres."
"Tentang apa, Thia ?"
"Akan ada ancaman bahaya yang sangat besar..."
menyahuti ayahnya.
Kembali Yang Lan heran melihat kelakuan
ayahnya. Sebagai seorang pendekar gagah
berkepandaian tinggi, Yang Bu In tidak pernah
gentar pada siapapun juga. Sejak dulu. jarang ada
yang dapat menandingi kepandaiannya. Tetapi
sekarang tampaknya ada sesuatu yang bisa
133
membuat Bu In demikian gelisah, pasti urusannya
pun sangat hebat.
Diam-diam Yang Lan jadi ikut gelisah, hatinya
berdebar-debar. Tetapi melihat sikap ayahnya
bersungguh-sungguh seperti itu, si gadis tidak
berani banyak bertanya. Hanya hatinya diliputi
seribu satu macam pertanyaan, yang tidak terjawab.
Ayahnya ternyata mengajak ke ruang semadhi.
Bu In membuka pintu kamar semadhi kemudian
menunjuk ke arah tembok bagian atas dari dinding
sebelah kanan kamar itu. "Lihatlah," katanya dengan
suara agak tergetar. "Dia sudah meninggalkan tanda
pengenalnya."
Yang Lan menengadah dan melihat sesuatu yang
membuat hatinya tergetar. Di dinding itu terdapat
dua belas bangkai ayam, yang terpantek di situ
dalam posisi seperti bunga bwee. Di samping kanan
dari bangkai-bangkai ayam itu, terpisah beberapa
cie. tampak sebuah lukisan bendera, bentuknya segi
tiga, dengan gambar bulatan kecil di tengahnya.
Gambar apapun tidak terdapat di lukisan bendera
tersebut, selain lingkaran kecil itu. Muka Yang Lan
berobah.
"Apa maksudnya semua ini, Thia?" tanya Yang
Lan sambil menoleh mengawasi ayahnya. "Apa yang
sudah terjadi, Thia ?"
134
Muka Bu In muram dan gelap sekali, tampak ia
tengah berpikir keras. Setelah menghela napas
dalam-dalam, barulah ia menjawab pertanyaan
anaknya: "Inilah bahaya yang kukatakan tadi tengah
mengancam kita."
"Siapa yang melakukan ini, Thia? Siapa DIA yang
Thia sebutkan tadi ?" tanya Yang Lan lagi.
Muka Bu In berobah agak pucat, tubuhnya pun
menggigil. Tampaknya ada sesuatu yang hebat
tengah dipikirkannya.
"Thia, kita harus mencari orang yang berbuat
kurang ajar ini, yang mengotori kamar samadhi
Thia-thia !" Berseru Yang Lan yang kemarahannya
sudah tidak bisa ditahan lagi.
Tetapi ayahnya mengulap-ulapkan tangannya,
Dengan lesu ia menghampiri anaknya. Dipegangnya
pundak Yang Lan.
"Anak, tampaknya memang bencana itu akhirnya
datang juga." katanya. "Kau harus tenang, kita
harus bisa menguasai diri, agar bencana itu tidak
memusnahkan seluruh keluarga Yang !"
"Memusnahkan seluruh keluarga Yang ? Apa
maksud Thia-thia ? Manusia kurang ajar mana yang
tidak kenal mati ingin mengganggu keluarga Yang
?!" Berseru Yang Lan.
135
Bu In menghela napas dalam-dalam, ia
tampaknya bersusah hati, katanya: "Tampak nya
inilah yang disebut takdir. Memang, akhirnya takdir
itu sulit dihindarkan juga..." Menggumam Bu In
dengan suara tergetar.
"Thia." panggil Yang Lan. "Mengapa Thia-thia
bersikap seperti itu ? Bukankah kita bisa mencari
orang yang berbuat kurang ajar itu dan beri
pelajaran keras kepadanya ?"
Bu In menggelengkan kepalanya.
"Percuma, tidak mungkin kita bisa
menghadapinya." menyahuti Bu In lesu.
Bukan kepalang heran hati Yang Lan. Dari dulu
belum pernah ia menyaksikan sikap ayahnya seperti
sekarang. seperti ketakutan, gelisah dan putus asa.
Benar-benar Yang Lan jadi tidak mengerti oleh sikap
ayahnya sekarang ini.
"Apakah orang itu sangat liehay. Thia ?" Tanya
Yang Lan tidak sabar. "Kita hisa maju bersama untuk
menghadapinya, Thia... walaupun bagaimana
liehaynya orang itu. kita berdua pasti bisa
menghadapi dan mengatasinya."
Bu In menghela napas dalam-dalam sambil
menggelengkan kepalanya. Dia menuding kearah
bangkai-bangkai ayam yang terpantek di tembok
dengan posisi yang aneh itu. "Coba kau perhatikan,"
136
"katanya lesu. "Apakah ada sesuatu yang aneh ?"
Yang Lan memperhatikan bangkai-bangkai ayam
itu, lalu menggelengkan kepalanya ia tidak melihat
keluar-biasaan dari bangkai-bangkai ayam itu,
hanya keluar-biasaannya bangkai-bangkai ayam itu
terpantek di tembok dalam kamar semadhi ayahnya.
"Tidak ada sesuatu yang luar biasa Thia. Hanya
perbuatan kurang ajar seperti ini berarti menghina
keluarga Yang secara keterlaluan ! Orang itu harus
dihajar sekeras-keras-nya, kalau perlu dibunuh !"
Kata Yang Lan kemudian.
Bu In menghela napas dalam-dalam.
"Anak," katanya lesu. "Perhatikanlah, ayam-ayam
itu dibunuh dengan cara memutuskan lehernya,
bukan ? Bangkai-bangkai ayam itu masing-masing
tidak berkepala lagi."
Menggidik juga hati Yang Lan, dia memperhatikan
sekali lagi. Benar saja, semua bangkai-bangkai ayam
itu tanpa kepala. Darah yang menetes dari leher
bangkai-bangkai ayam tak berkepala itu mengotori
tembok berceceran, memang tampaknya kepala
ayam itu masing-masing ditarik dengan kuat sampai
putus, kemudian bangkai ayam itu dipantek.
137
"Dan, kau perhatikan lagi, ayam-ayam itu
terpantek ditembok bukannya oleh paku!"
Menjelaskan Bu In pula, lesu dan perlahan suaranya.
Yang Lan kembali terkejut, dia memperhatikan.
Dan apa yang diberitahukan ayahnya memang tidak
salah, bangkai-bang-kai ayam itu terpantek
ditembok bukan oleh paku, tetapi oleh masingmasing
sebatang jarum yang cukup panjang!
Tercekat hati Yang Lan. inilah luar biasa, siapakah
yang telah memantek bangkai-bangkai ayam itu
dengan hanya mempergunakan jarum ? Kalau
bangkai-bangkai itu terpantek oleh paku, itu bukan
hal yang mengherankan. Tetapi justeru sekarang
bangkai-bangkai ayam itu ternyata dipantek oleh
jarum-jarum yang tipis halus itu, tetapi dapat
menembus dinding yang keras. Ini menunjukkan
tenaga dalam orang itu sangat tinggi. Siapakah
orang itu?
Dengan muka yang berobah jadi tegang, Yang
Lan bertanya kepada ayahnya: "Thia, sesungguhnya
siapakah orang yang kurang ajar itu yang telah
melakukan semua ini ?"
Untuk sejenak Bu In tidak menjawab, dia cuma
menggumam: "Ya, mungkin sudah tiba saatnya aku
berhitungan dengannya !" Lalu dia menoleh kepada
Yang Lan: "Orang itu memiliki dendam yang kalau
ingin dibilang sedalam lautan dan setinggi gunung,
itu masih belum apa-apa. Dendamnya sudah
138
melebihi dalamnya lautan dan tingginya gunung,
mungkin juga dendamnya itu setinggi langit !"
Dengan mata guram Bu In menoleh kepada
bangkai-bangkai ayam yang terpantek ditembok,
lalu katanya lagi: "Sekarang kau hitung bangkaibangkai
ayam itu."
Yang Lan menuruti perintah ayahnya. Dia
menghitungnya. "Dua belas ekor semuanya, Thia."
"Ya, perhatikan posisi terpanteknya bangkaibangkai
ayam itu. pertama-tama, di atas sana
terpantek dua ekor, bukan?" Kata Bu In tidak
bersemangat.
"Benar. Thia."
"ltu berarti untuk aku dan ibumu!"
"Apa Thia ?"
"Dua ekor bangkai ayam yang paling atas,
diartikan adalah aku dan ibumu, Dan kau lihat,
dibawahnya hanya terpantek seekor bangkai ayam,
bukan ?"
"Benar Thia."
"ltu berarti dirimu,"
"Thia ?"
139
"Dan dibawahnya ada berapa bangkai ayam lagi
?" Tanya Bu In pula.
"Tiga bangkai ayam, dan dibawahnya tiga
bangkai lagi Thia."
"Ya. ltulah diartikan enam orang pelayan kita.
Tiga ekor bangkai ayam disebelah atas diartikan
pelayan laki-laki kita dan tiga ekor dibawahnya
adalah tiga orang pelayan wanita keluarga Yang,
yang harus mati juga !"
Menggidik Yang Lan mendengar suara ayahnya
yang dalam dan tegang, benar-benar luar biasa
peristiwa yang terjadi hari ini. Alis sigadis mengkerut
dalam-dalam. dengan ragu-ragu kemudian dia
bertanya: "Lalu, yang tiga ekor lagi itu untuk siapa.
Dua bangkai ayam, kemudian terakhir satu bangkai.
Bukankah kita semuanya hanya berjumlah sembilan
orang?"
Bu In menghela napas dalam-dalam, tampak
jelas dia tengah bersusah hati. "Ya, di rumah mi
memang kemarin berjumlah sembilan orang. Dia
bermaksud membunuh kita sekeluarga, tanpa
perduli semua pelayan pun harus mati. Tetapi, hari
ini justeru jumlah dirumah kita ini sudah bertambah
menjadi duabelas orang ! Bukankah Thiam Lu, Lam
Sie dan Giok Han bertiga melengkapi jumlah
bangkai-bangkai ayam itu menjadi dua belas ekor?
Dua ekor bangkai yang dibawah dari barisan tiga
adalah dimaksudkan Thiam Lu dan Lam sie Dan yang
140
terakhir, bangkai ayam yang seekor itu adalah Giok
Han ! Genaplah jumlah seluruh penghuni rumah ini,
duabelas jiwa ! Dan semuanya harus mati !"
Habislah kesabaran Yang Lan.
"Thia, walaupun orang itu memiliki tiga pasang
tangan dan tiga pasang kaki mustahil kita tidak bisa
menghadapinya ? Terlebih pula sekarang ada Khang
Suheng, tentu kita bisa menghadapinya dengan
sebaik-baiknya ! Thia-thia jangan kuatir."
Bu In tersenyum, tapi senyumnya itu lebih mirip
seperti meringis..
"Kalau ingin dinilai kepandaiannya, mungkin aku
masih bisa menghadapinya, walaupun mungkin
sekarang aku tidak bisa seperti dulu lagi, yaitu
merobohkannya, tapi rasanya iapun sulit buat
mencelakai aku. Tetapi, yang berbahaya sekali pada
orang itu, justeru dia kini sudah mahir sekali
mempelajari ilmu racun yang sangat ampuh...
selama belasan tahun ia mati-matian mempelajari
ilmu racannya, dan sekarang ia sudah berobah
menjadi pembunuh nomor satu di dunia yang paling
kejam dan bengis yang bisa membunuh tanpa mata
berkedip. Setiap orang yang bertemu dengannya,
kabarnya harus mati Tidak ada satu jiwapun yang
lolos, besar kecil, tua muda, pria dan wanita
semuanya harus mati ditangannya, oleh racunnya
yang dahsyat...!"
141
Yang Lan jadi bingung dan gelisah.
"Lalu apa yang harus kita lakukan Thia ?",
tanyanya gugup.
"Kau harus berusaha tetap menghadapinya
dengan tenang. Bagaimanapun sulit buat mengelak
lagi dari dia. Tetapi yang kukuatirkan adalah
keselamatan Giok Han, anak itu yang belum
mengerti apa-apa, dan iapun satu-satunya
keturunan Jenderal Giok Hu, ternyata harus masuk
dalam daftar kematian yang diberikan DIA. Juga aku
ingin minta sesuatu kepadamu, Yang Lan. Kau harus
melakukan perintahku ini baik-baik. janganlah
buang-buang waktu, ajaklah ibumu untuk
menyingkir dari rumah ini. Kukira aku sanggup
untuk menghadapi DIA dan merintanginya setengah
harian, sampai kalian bisa menyingkir lebih jauh.
Semakin jauh kalian menyingkir dari sini semakin
baik lagi."
Benar-benar membingungkan Yang Lan. Ayahnya
bisa berputus asa seperti itu. Padahal dulu, ayahnya
tidak pernah gentar menghadapi bahaya yang
bagaimana besar sekalipun. Tetapi sekarang
mengapa tampaknya semangat sang ayah itu runtuh
dan dia berputus asa ?
"Thia, sebetulnya siapakah DIA itu ?!" tanya Yang
Lan akhirnya.
142
"Belasan tahun yang lalu ia sudah merupakan
iblis wanita yang paling kejam, aku sudah kerkalikali
bertanding dengannya, tetapi sejauh itu ia tidak
berhasil merubuhkanku. Akhirnya dia menghilang.
Selama dua belas tahun tidak terdengar lagi sepak
terjangnya. Hanya pernah dikatakannya kepadaku,
bahwa ia akan pergi mempelajari ilmu racun, dan
kelak suatu saat ia akan mencariku, untuk buat
perhitungan.
Jilid ke 4
"Justeru sejak tiga tahun yang lalu dari sahabatsahabatku
ada kabar bahwa dia sudah turun gunung
dan mengacau rimba persilatan dengan
kekejamannya, kecil besar dan wanita pria! Bahkan
binatang-binatang yang bertemu dengannya, seperti
bebek, ayam ataupun anjing, memiliki nasib yang
buruk juga, karena akan dibunuh pula!
Hanya yang mengherankan, menurut sahabatsahabatku,
dia masih tetap muda jelita, sangat
cantik sekali dengan pakaian sutera putihnya,
usianya mungkin baru duapuluh tahun lebih.
Padahal, dulu saja sudah dua puluh tahun lebih, dan
kini tentunya dia sudah berusia empat puluh
tahunan... Apakah memang dia pun mempelajari
ilmu yang khusus untuk bisa awet muda?!"
Setelah bercerita begitu, Bu In menghela napas
dalam-dalam, dia bilang lagi: "DIA she Thio dan
bernama Eng Goat, Ingatlah olehmu, jika memang
143
aku sampai terbinasa di tangannya dan kalian ibu
anak bisa lolos, suatu saat kelak kau harus
membalaskan penasaranku. Sekarang sudah tidak
ada waktu lagi untuk menceritakan sebab-sebab
permusuhan kami, nanti kalau ternyata aku bisa
lolos dari maut, waktu itu akan kuceritakan sejelasjelasnya.
Ayo cepat, sekarang juga kau ajak ibumu
untuk menyingkir dari rumah ini!" Waktu berkata
begitu, sikap Bu In gelisah agak panik, tegang.
Yang Lan jadi menitikkan air mata.
"Thia, apakah tidak mungkin lagi buat kita
bersama-sama dengan Khang Suheng untuk coba
mengadakan perlawanan guna menghadapinya.
Siapa tahu ada perobahan dan bisa lolos dari
bahaya...?"
Tiba-tiba muka Bu In jadi bersungguh-sungguh,
dengan kumis jenggotnya yang sudah memutih itu
bergerak-gerak, tampaknya dia marah. "Yang Lan,
apakah sekarang kau sudah tidak mau mematuhi
lagi perintahku?"
Kaget Yang Lan. Sejak kecil sampai dewasa
belum pernah menyaksikan ayahnya marah, diapun
belum pernah dibentak seperti itu.
"Thia... kau...?", sigadis jadi menangis keras.
Sejenak kemudian kemarahan Bu In menurun,
dia memeluk puterinya.
144
"Lanjie, pergilah ajak ibumu menyingkir," katanya
dengan suara yang berobah jadi lembut lagi. "KaIau
memang kau sayang padaku, kau harus menuruti
kata-kata ayah. Pergilah ! Percuma saja kalau kita
harus mati semua ditangan DIA ! Biarlah aku sendiri
yang akan menghadapinya. Sebentar lagi akupun
akan perintahkan Thiam Lu buat mengajak Lam Sie
din Giok Han menyingkir dari rumah ini... sebelum
DIA muncul ? Maka, sekarang cepatlah berkemas,
bawalah yang perlu saja, lalu ajaklah ibumu
menyingkir, semakin jauh semakin baik."
Yang Lan tidak berani membantah, dia
menghapus air matanya, katanya: "Baiklah Thia...
tetapi, tetapi..."
Alis Bu In mengkerut.
"Ayo pergi ! Cepat !" Bentaknya.
Yang Lan tidak berani membantah lagi, Walaupun
hatinya merasa berat harus mengajak ibunya
menyingkir dan meninggalkan ayahnya menghadapi
musuh yang tampaknya disegani dan memilik
kepandaian yang tidak disebelah bawah kepandaian
ayahnya. Dia menangis sesenggukan berlari
kekamarnya untuk mengemasi barang-barang
seperlunya.
Setelah Yang Lan meninggalkannya, Bu In berdiri
bengong dikamar semedhinya, mengawasi bangkaibangkai
ayam yang terpantek ditembok. Dia
145
menghela napas berkali-kali dengan muka pucat.
Perlihan sekali bibirnya terdengar menggumam:
"Pembalasan... pembalasan...". setelah mengawasi
bangkai-bangkai ayam yang terpantek sekian lama,
iapun keluar dari kamar semedhinya. Memanggil
Tang Kui, yang diperintahkan memanggil Khang
Thiam Lu. Cepat Thiam Lu datang menemuinya.
Thiam Lu heran melihat gurunya berdiri didepan
pintu kamar semedhi dengan wajah yang luar biasa,
pucat dan muram, tidak biasanya sikap gurunya.
Tadi waktu Tang Kui menyampaikan ia dipanggil
sang guru, Thiam Lu sudah bertanya tanya didalam
hati, apakah gurunya ingin mendengar cerita
peristiwa menyedihkan dari bencana yang menimpali
keluarga Jenderal Giok Hu ? Tapi, setelah melihat
keadaan gurunya seperti itu, Thiam Lu cepat
menduga, pasti terjadi sesuatu yang hebat.
"Suhu," Thiam Lu menghampiri dan memberi
hormat. "Ada apakah, Suhu ? Tampaknya ada
sesuatu yang tidak beres...?"
Bu In tidak menyahut pertanyaan muridnya, dia
mengajak Thiam Lu masuk kedalam kamar
semedhinya, Melihat bangkai-bangkai ayam yang
terpantek ditembok dan bendera segi tiga yaag
dilukis oleh darah, hati Thiam Lu tercekat.
"Bwee Sim Mo Lie ?!" Berseru Thiam Lu dengan
tubuh agak menggigil.
146
"Ya, tiga tahun belakangan ini memang kudengar
dari sahabat-sahabat Kangouw. DIA digelari sebagai
Bwee Sim Mo Lie," kata Bu In dengan sikap lesu,
"Kau pernah mendengar tentangnya ?"
"Bukan hanya mendengarnya saja, Suhu. Waktu
dalam perjalanan kemari, kami bertiga telah
bertemu dengannya dan hampir saja Tecu mati
ditangannya, diserang oleh jarum-jarum beracunnya
!"
Sambil berkata begitu Thiam Lu membuka baju
dibagian dada dan memperlihatkan bekas luka luka
jarum timpukan Bwee Sim Mo Lie Liok Sie Lan.
Muka Bu In berobah hebat, dia menghampiri dua
langkah lebih dekat pada Thiam Lu, tanyanya
dengan suara tergetar: "Kau.... pernah bertemu
dengannya ?"
Thiam Lu mengangguk dan menceritakan
pengalamannya, waktu terjadi serangan orang orang
Kaisar Yang Ceng, di mana dia berhasil meloloskan
diri, demi melindungi dan menyelamatkan anak
satu-satunya dari Jenderal Giok Hu, agar tidak
terbinasa oleh orang-orang Kaisar. Juga diceritakan
pertemuannya dengan Sepasang Tabib hutan, yang
cara memberikan pengobatan atau pertolongannya
aneh sekali, juga pertemuannya dengan Bwee Sim
Mo Lie Liok Bie Lan, wanita pembunuh nomor satu di
dunia itu.
147
"Oooo. kalau saja Sepasang Tabib Hutan berada
di sini, mungkin kita masih bisa menghadapi
bencana yang akan menimpa keluarga Yang !"
Mengeluh Bu In setelah selesai mendengar cerita
muridnya,
"Apakah Bwee Sim Mo Lie punya ganjalan dengan
Suhu ?" Tanya Thiam Lu, jadi ikut tegang.
Bu In mengangguk dengan wajah murung.
"Ya, itulah urusan belasan tahun yang lalu.
Tetapi, coba kau ceritakan ciri-ciri Bwee Sim Mo Lie
padaku,"
"kata Bu In dengan sepasang alis mengkerut.
Thiam Lu menceritakan ciri-ciri Bwee Sim Mo Lie,
cara berpakaiannya, wajahnya dan juga cara-cara
iblis wanita itu bicara.
"Aneh ! Sungguh. aneh !" menggumam Bu In
setelah mendengar tentang ciri-ciri Bwee Sim Mo
Lie, keningnya berkerut dalam-dalam. "Mengapa dia
bisa awet muda seperti itu ? Ilmu apa yang
dipelajarinya ?" kemudian dia menoleh kepada
muridnya, tanyanya: "Apakah kau melihat jelas
wajahnya?"
"Ya Suhu," mengangguk Thiam Lu, dia heran
melihat kelakuan gurunya. "Apakah ada sesuatu
yang mencurigakan. Suhu ?"
148
"Usianya !" kata Bu In. "UMUR iblis wanita itu
yang sangat mengherankan."
"Teecu memperhatikan dengan jelas, wajahnya
memang cantik dan masih muda sekali Suhu,
mungkin baru duapuluh tahun. Dia memiliki wajah
yang dingin, tidak memperlihatkan perasaan apapun
juga..."
"Aneh ! Lalu apa lagi yang kau ketahui mengenai
DIA ?" tanya Bu In.
"Apa yang Teecu dengar dari teman-teman dalam
Kangouw, iblis wamta itu puteri dari keluarga Liok,
namanya Bie Lan..."
"Apa ? She Liok ?" Tampak Bu In kaget.
"Ya, orang-orang Kangouw mengetahuinya dia
bernama Liok Bie Lan, Suhu!"
"Oooo, urusan jadi semakin rumit. Aneh sekali !
Jadi dia bukan Thio Eng Goat ?"
"Thio Eng Goat ? Siapa dia Suhu ?"
"Iblis wanita yang bergelar Bwee Sim Mo Lie itu !"
Thiam Lu menggeleng.
149
"Maafkan Suhu, Teecu kurang begitu jelas
tentang dia. Apakah dia Liok Bie Lan atau Thio Eng
Goat, Tecu tidak berani memastikannya."
"Akh, urusan mengapa jadi demikiap ruwet ?"
Menggumam Bu In. "Apakah iblis wanita yang
menyatroniku ini bukan DIA ? Tapi tidak mungkin,
bendera segi tiga dengan di dalam bendera itu
tertera lukisan bulat kecil, adalah tanda pengenal
DIA ! Apakah munculnya dia kembali dalam
Kangouw setelah menghilang belasan tahun, lalu
disertai dengan penggunaan nama baru?"
Thiam Lu cuma mengawasi bingung pada
gurunya. Bu In menghela napas dalam-dalam waktu
mengetahui muridnya tengah mengawasi terheranheran
dan bingung padanya.
"Thiam Lu, kini aku ingin memberitahukan
kepadamu, bahwa iblis wanita itu mengancam akan
membunuh seluruh keluarga Yang, bahkan kau
bersama Lam Sie serta Giok Han sudah dimasukkan
dalam daftar, Lihatlah, jumlah bangkai ayam itu
duabelas ekor. Sedangkan di rumah ini hanya
berpenghuni 9 jiwa. Aku, subo (isteri guru) dan
sumoay (adik seperguruanmu), ditambah enam
orang pelayan, tiga laki-laki dan tiga wanita.
Ditambah dengan kau. Lam Sie serta Giok Han,
jumlahnya jadi duabelas ekor. Karenanya, kau harus
mengajak Lam Sie serta Giok Han cepat-cepat
menyingkir dari rumah ini !
150
Biarkanlah aku menghadapi sendiri iblis wanita
itu. Walaupun dia tangguh, tetapi rasanya aku masih
bisa menghadapinya untuk seharian. Nah, pergilah
kau menjajak Giok Han dan Lam Sie. Anak itu harus
di selamatkan, dia putra satu-satunya Jenderal Giok
Hu yang masih hidup. Pergilah !"
Pucat muka Thiam Lu, dia kaget mendengar
perintah gurunya. Cepat-cepat dia menekuk
lututnya, berlutut di depan gurunya; "Suhu,
janganlah menyuruhku untuk meninggalkan Suhu.
Walaupun bagaimana bahayanya iblis wanita itu,
Teecu akan mendampingi Suhu buat menghadapinya
!"
"Thiam Lu, apakah sekarang kau mulai
membangkang terhadap perintahku?" Bentak Bu In,
yang tiba-tiba tampak jadi gusar serta suaranya
keras meninggi.
Thiam Lu tetap berlutut mengangguk-anggukan
kepalanya sambil menangis.
"Janganlah Suhu menempuh bahaya seorang diri.
Teecu belum pernah melakukan sesuatu buat Suhu.
Ijinkanlah sekali ini Teecu mendampingi Suhu buat
menghadapi iblis wanita itu. Kalau memang harus
buang jiwa di tangan iblis itu, hati Teecu puas..."
kata Thiam Lu dengan air mata bercucuran deras.
151
Hati Bu In jadi tergoncang, dia terharu melihat
kesetiaan muridnya. Dia tertegun bengong di
tempatnya dengan mata yang merah, air mata
mengembang di matanya, sehingga tampak
berkaca-kaca.
"Thiam Lu, bangunlah!" Perintahnya sambil
mengangkat pundak muridnya. Kemudian katanya
lagi : "Aku mengetahui baktimu sebagai muridku,
Thiam Lu. Tetapi yang harus kau ingat adalah
keselamatan Giok Han. Dia jauh lebih berarti dari
segala-galanya. Tanggung jawabmu besar sekali
terhadap keselamatan jiwa anak itu. Nah, pergilah !
Turutilah kata-kataku . . . !"
Thiam Lu menggeleng sambil menghapus air
matanya. "Percuma saja Suhu. Bwee Sim Mo Lie
tangguh sekali, terlebih-lebih racunnya. Rasanya,
kalau sekarang Teecu mengajak Giok Han
menyingkir, itupun sudah terlambat. Pasti iblis
wanita itu sudah berada di sekitar tempat ini...
Karenanya, ijinkanlah Teecu mendampingi Suhu
untuk bersama-sama menghadapi iblis itu."
Terharu Bu In melihat kesetiaan muridnya. Alasan
yang dikemukakan Thiam Lu pun bisa diterima
dalam akal sehat. Bukanlah Bwee Sim Mo Lie sudah
berkeliaran di sekitar tempat ini ? Bahkan, dia sudah
berhasil menyelusup masuk ke kamar semedhi Bu
In, memantek belasan bangkai ayam, tanpa ada
seorangpun yang mengetahui. Karenanya, kilau
Thiam Lu mengajak Giok Han menyingkir, itu sama
152
bahayanya dengan berdiam di tempat ini. Kalau di
tengah jaian iblis wanita itu menghadang dan
membunuh Thiam Lu bertiga Giok Han dan Lam Sie,
bukankah itu lebih berbahaya ? Bukankah seorang
diri saja Thiam Lu tidak mungkin bisa menghadapi
iblis wanita yang tangguh itu ?
Akhirnya, setelah menghela napas dalam-dalam,
Bu In mengangguk.
"Baiklah Thiam Lu, tetapi kau harus melihat
gelagat. Kalau sekiranya bencana sudah tidak bisa
dielakkan, maka kau harus berusaha membawa Giok
Han menyingkir dan membiarkan aku seorang diri
coba menghadapi iblis itu..."
Thiam Lu mengangguk dengan berduka. Dia
sudah melihat Bwee Sim Mo Lie, karenanya dia tahu
iblis wanita itu selain tangguh ilmu silatnya, juga
liehay racunnya. Kalau hanya ilmu silatnya belaka,
belum tentu gurunya gentar menghadapi iblis wanita
tersebut. Walaupun belum tentu gurunya bisa
merubuhkan iblis wanita itu, namun Bwee Sim Mo
Lie pun rasanya sulit buat merubuhkan gurunya.
Sekarang justeru kenyataan yang ada Bwee Sim
Mo Lie liehay dengan racunnya, karenanya dia jadi
sangat berbahaya sekali. Walaupun Bu In tangguh,
tak-diragukan dia bisa menghadapi racun iblis
wanita itu.
153
Tiba-tiba Bu In teringat sesuatu. Cepat-cepat dia
keluar dari kamar semedhinya untuk pergi mencari
Yang Lan, membatalkan perintahnya agar Yang Lan
mengajak ibunya menyingkir dari rumah ini.
Rupanya Bu In sudah menyadari, kalau Yang Lan
berdua isterinya menyingkir dari rumah ini, belum
tentu bisa dijamin keselamatannya, bahkan jauh
lebih berbahaya.
Kalau iblis wanita itu menghadang mereka, siapa
yang bisa menghadapi ? Yang Lan seorang diri tentu
sulit bisa meloloskan diri dari ancaman maut di
tangan iblis wanita itu Jika di rumah ini, berarti Bu
In, Khang Thiam Lu dan Yang Lan bertiga masih bisa
bergabung untuk menghadapi Bwee Sim Mo Lie.
Segera Khang Thiam Lu diajak berunding oleh Bu
In dan Yang Lan, dengan cara bagaimana mereka
bisa menghadapi iblis wanita im. Bu In minta Thiam
Lu menceritakan lagi pengalamannya waktu dilukai
oleh Bwee Sim Mo Lie, untuk mencari kelemahan
iblis wanita itu.
Semua pelayan keluarga Yang, termasuk Tang
Kui diperintahkan sembunyi di ruang tengah.
Demikian pula Lam Sie dan Giok Ban, ditempatkan di
ruang tengah bersama-sama para pelayan-pelayan
itu, yang semuanya diliputi perasaan tegang.
Perjamuan yang semula ingin diselenggarakan sore
ini, jadi dibatalkan.
154
Waktu lewat serasa merambat sedetik demi
sedetik sangat menggelisahkan, suasana tegang
meliputi mereka. Walaupun Yang Bu In berusaha
bersikap tenang, tetapi ia selalu gagal, karena dari
sikapnya jelas ia sangat gelisah dan bingung.
Mukanya pun agak pucat. Bu In beisiap-siap di
ruang belakang sedangkan Thiam Lu di ruang depan.
Yang Lan sendiri berada di dekat ruang tengah,
bersama ibu, Giok Han, Lam Sie dan kee-nam orang
pelayan keluarga Yang. Suara berkeresek sedikit
saja bisa mengejutkan mereka.
Tetapi Bwee Sim Mo Lie yang dttunggu-tunggu itu
belum juga datang, karena sejauh itu belum lagi
diketahui kapan iblis wanita tersebut akan
menyatroni keluarga Yang tersebut. Hari sudah
merambat mendekati magrib. Yang Lan perintahkan
seorang pelayan, nya untuk menyalakan api
penerangan.
Ketegangan dan kegelisahan yang menguasai
orang-orang yang ada di rumah keluarga Yang
tersebut semakin lama semakin hebat, mereka
selalu dicekam oleh perasaan kuatir, kalau-kalau
iblis wanita itu menyerang secara membokong,
murcul dengan tiba-tiba. Kewaspadaan tetap tinggi,
setiap ada suara yang bagaimana perlahanpun,
mereka pasti akan menoleh untuk melihat dan
memperhatikan penuh kewaspadaan. Hati mereka
berdebar-debar diliputi kegelisahan dan kuatir.
155
Dalam keheningan yang ada itu, mendadak
terdengar suara gelang pintu yang terbuat dari
kuningan dibentur-benturkan keras kepada pintu
luar rumah keluarga Yang. Suaranya menggema
nyaring sekali.
Thiam Lu sampai melompat berdiri dengan
tangan mencekal pedang erat-erat, hatinya berdebar
keras. Apakah si iblis sudah datang ?
Bu In pun yang berjaga-jaga di ruang belakang,
ikut tercekat hatinya. Sepasang alisnya mengkerut.
Siapakah yang telah menggedor-gedor pintu luar itu
? Si iblis wanita lah yang datang ? Tetapi dia tidak
berani meninggalkan tempatnya, dia hanya
memasang pendengarannya. Kalau memang si iblis
yang datang, dia akan segera keluar untuk
membantui Thiam Lu.
Dengan muka agak pucat dan hati tegang Thiam
Lu menghampiri pintu rumah. Kembali gelang
kuningan pada pintu dibentur-benturkan keras
sekali, disusul dengan suara seseorang menggerutu:
"Oooh, manusia-manusia tuli semua! Sungguh
menyebalkan !"
Itulah suara laki-laki ! Thiam Lu berkurang
kuatirnya, tapi tetap berwaspada waktu membuka
daun pintu. Seorang pemuda berpakaian pelajar
berdiri dengan sikap yang angkuh. Ketika melihat
156
Thiam Lu, dia melirik dengan sorot mata yang sinis.
"Hmm, satu jam lebih tuan mudamu menunggu di
sini, apakah kalian tuli semua ?!" Tegurnya tawar.
Khang Thiam Lu tidak kenal pemuda ini dia
mengawasi sejenak, lalu tanyanya : "Siapa kah
Hengtai dan siapakah yang Hengtai cari ?"
Alis pemuda itu berkerut, dengan sikapnya yang
angkuh, pemuda itu yang tidak lain dari Cie Sun
Hoat, bilang: "Aku tadi sudah meninggalkan pesan
kepada salah seorang pelayan keluarga Yang, agar
Yang Siocia datang ke taman Lo-sik-wan. Tapi
mengapa Yang Siocia tidak datang ? Apakah
memang keluarga Yang mulai berkepala besar dan
ingin cari gara-gara denganku ?!"
Tidak senang Thiam Lu melihat sikap pemuda itu,
tetapi waktu itu justeru keluarga Yang tengah
terancam bencana yang besar dia berusaha
menahan diri dan memaksakan tersenyum:
"Maafkan, Yang Siocia justeru sedang sibuk sehingga
tidak bisa menemui Hengtai Nah, rasanya lebih tepat
kalau lain waktu Hengtai datang berkunjung lagi
kemari mungkin Yang Siocia bisa menemuimu."
Dengan sikap yang angkuh dan tangan di
pinggang, Cie Sun Hoat membentak : "Apa! Lain
waktu kembali kemari? Cepat panggil Yang Siocia
buat menemuiku !" Dan waktu membentak begitu,
mata Cie Sun Hoat terpentang lebar-lebar, mendelik.
157
Thiam Lu semakin tidak menyukai pemuda itu di
depannya. Kalau saja terjadi di waktu-waktu biasa,
tentu dia akan menghajar babak belur pemuda
kurang ajar tersebut. Belum lagi dia bilang apa-apa
lagi dari dalam sudah terdengar teriakan Yang Lan :
"Khang Suheng, dia pemuda ceriwis putera Tiehu di
kota ini, dia ingin berbuat kurang ajar pada keluarga
Yang, beri tanda mata agar di waktu mendatang dia
tidak terlalu tekabur!"
Walau tidak mengetahui duduk persoalannya,
tetapi mendengar anjuran Yang Lan, Thiam Lu
seketika bisa mengambil kesimpulan bahwa pemuda
ini pasti bukan orang baik-baik, katanya: "Nah, kau
sudah mendengar sendiri bukan ? Yang Siocia tidak
mau menemuimu. Pergilah, sebelum terjadi sesuatu
yang kurang baik untukmu !" Dingin sekali suara
Thiam Lu.
Cie Sun Hoat masih bertolak pinggang dan
sikapnya semakin menjadi-jadi. "Ooooh, benarbenar
keluarga Yang cari penyakit ! Biar, aku akan
masuk melihat, berapa hebatnya keluarga Yang
sehingga tekebur seperti itu?!" Dia pun segera
mementang kedua kakinya melangkah mau masuk
melewati Thiam Lu.
Mendelu hati Thiam Lu menyaksikan kelakuan si
pemuda yang kurang ajar ini. Waktu itulah tangan
kirinya diulur buat menjambak pundak pemuda
tersebut. Maksudnya mencegah pemuda itu masuk
melewati pintu gerbang.
158
Cie Sun Hoat merasakan sambaran angin di
belakangnya, ia memutar sedikit pundaknya dan
menggeser kaki kanannya, tangan kirinya tiba-tiba
mencolok ke arah mata Khang Thiam Lu. itulah
serangan telengas dan keji. Benar-benar diluar
dugaan Khang Thiam Lu.
Untung saja serangan itu dilakukan Cie Sun Hoat
yang tenaga dalamnya belum terlatih baik, kalau
dilakukan oleh seorang ahli niscaya celakalah Thiam
Lu, apalagi memang dirinya belum lagi sembuh dari
luka di dalam.
Mengetahui Cie Sun Hoat memang bukan orang
baik-baik, melihat cara menyerangnya yang begitu
kejam, cepat Thiam Lu merobah kedudukan
tangannya. Jika semula ia hendak mencengkeram,
sekarang jari-jari tangannya terkepal dan tahu-tahu
menghantam tepat dada Cie Sun Hoat, karena
tangannya itu diturunkan dan meluncur melebihi
kecepatan sambaran tangan Cie Sun Hoat sendiri.
Tercekat hati Cie Sun Hoat, tapi ia tidak bisa
berbuat lain, hanya menjerit keras ketika dirasakan
dadanya sakit luar biasa, tubuhnya juga melayang
terpental ke dalam rumah, jatuh terbanting cukup
keras. Mukanya pucat pias, meringis menahan sakit
pada dadanya ketika ia berusaha untuk bangkit.
Khang Thiam Lu tidak bertindak sampai di situ
saja, ia cepat menjambak bahu si pemuda,
kemudian melemparkannya ke luar gerbang.
159
"Sekali lagi kau berani datang kemari untuk
mengacau jiwamu tidak akan kuampuni lagi !"
Mengancam Thiam Lu mendongkol.
Cie Sun Hoat yang terbanting untuk ke dua
kalinya merangkak bangun. Setelah berhasil berdiri,
dengan muka masih meringis ia menuding Thiam Lu,
katanya : "Monyet liar ! Kau akan merasakan
akibatnya berani menghina Siauwya (tuan muda)-
mu !"
"Tetapi sambil mengancam begitu, pemuda itu
dengan muka masih meringis telah beringsut-ingsut
mundur, kemudian berlari pergi.
Mendongkol sekali Thiam Lu. Kalau saja ia bukan
sedang dalam keadaan seperti saat itu, dimana
keluarga Yang tengah meng hadapi ancaman bahaya
yang besar, niscaya dia akan mengejar pemuda itu
dan membereskannya. Seumur hidupnya baru sekali
ini dirinya dimaki orang lain dengan sebutan monyet
liar". Ditutupnya pintu gerbang dan kembali ke
dalam, ke ruang thia. untuk berjaga-jaga pula di
situ.
Peristiwa mcngacaunya Cie Sun Hoat tidak jadi
pembicaraan di antara orang-orang di dalam gedung
Yang Bu In, sebab mereka kembali dicekam oleh
ketegangan atas ancaman bahaya maut yang belum
lagi tiba. Semuanya tetap waspada dan suara yang
160
sekecil apapun akan menyebabkan mereka terkejut
dan bersiaga.
Waktu beredar terus, malam telah tiba. Sunyi
sekali keadaan di gedung Yang Bu In mungkin, kalau
saat itu ada seseorang menyaksikan keadaan
gedung keluarga Yang akan menduga bahwa gedung
itu kosong dan tidak berpenghuni.
Tidak terdengar suara apapun, hanya suara
napas dari orang-orang yang berada di dalam
gedung, mengandung ketegangan dan juga rasa
kuatir !
Hari semakin larut malam, Tang Kui ingin buang
air kecil ke belakang. Dengan hati berdebar-debar
dia pergi ke belakang. Pergi ke belakang tidak lama
tiba-tiba terdengar suara teriakan Tang Kui yang
keras disusul dengan munculnya Tang Kui yang
berlari-lari dengan muka pucat dan tubuh menggigil
keras.
Yang Bu In, Khang Thiam Lu dan yang lainnya
kaget tidak terkira oleh jeritan Tang Kui, mereka
melompat ke belakang. Ketika melihat si pelayan
masuk dengan keadaannya seperti itu, cepat Thiam
Lu melompat ke sampingnya, mencekal lengannya.
"Tang Lopeh, ada apa ?" Tanyanya sambil
menggoyang-goyangkan lengan pelayan tua
tersebut.
161
Tang Kui tidak bisa menyahuti, tubuhnya
menggigil keras, malah kakinya yang gemetar itu
lemas tidak bertanaga lagi, dia jatuh terduduk.
Mulutnya terbuka seakan ingin mengucapkan
sesuatu, tapi tidak ada suara yaug keluar dari
mulutnya, Bibirnya gemetar keras, mukanya pucat
seputih kapur tembok.
"Tenanglah Lopeh, ada apa ?!" Desak Thiam Lu
tambah kuatir. Semua orang juga mengawasi
dengan hati berdebar.
Tam Kui menunjuk ke arah jurusan belakang
dengan tangan menggigil keras matanya terbuka
lebar-lebar. Tidak ada sepatah perkataan yang
keluar dari mulutnya. Mungkin disebabkan rasa takut
yang kelewatan, menyebabkan ia tidak sanggup
untuk bicara. Tidak buang waktu lagi Thiam Lu
meloncat ke belakang, Yang Bu In mengikuti di
belakangnya dengan sikap bersiap siaga, Sebelum
menyusul Thiam Lu, Bu In masih sempat pesan pada
Yang Lan: "Kau tetap jaga di sini, jangan kemanamana
!"
Ketika Bu In sampai di belakang, dilihatnya Thiam
Lu tengah berdiri menjublek mengawasi sesuatu.
Segera Bu In mengawasi kearah tempat yang
tengah dipandangi Thiam Lu, hati Bu In jadi
tergoncang keras sepasang alisnya mengkerut
dalam-dalam. Bu In menyaksikan pemandangan
yang benar-benar menggetarkan hati, terlebih lagi
waktu itu keluarganya memang tengah menghadapi
162
ancamam bahaya, tidak mengherankan hatinya
tergoncang keras. Tetapi ia tertegun sebentar,
kemudian melompat mendekati Thiam Lu.
"Pemuda yang sore tadi..." menggumam Thiam
Lu waktu melihat Bu In. Bu In menghela napas
dalam-dalam. "Pasti pekerjaan Bwee Sim Mo Lie,"
menggumam Bu In. "Entah apa maksudnya
membinasakan pemuda itu ?"
Sambil berkata begitu Bu In mendekati pohon
Touw dimana pada salah satu cabangnya terikat
bergantung sesosok mayat. Dan mayat itu
tergantung dengan kedua kaki terikat di atas, kepala
terjungkir di bawah, kedua tangan mayat itu
terjuntai ke bawah. Mayat itu tidak lain dari mayat
Cie Sun hoat, pemuda yang sore tadi mengacau di
depan rumah keluarga Yang.
Lama Bu In berdiri tertegun di situ mengawasi
mayat Cie Sun Hoat, lni kesulitan baru untuk
keluarga Yang, karena Cie Sun Hoat putera tunggal
yang sangat dimanja oleh ayahnya yang juga
terkenal lalim, justeru mati serta mayatnya berada
di dalam rumah keluarga Yang.
Mendadak Bu In berseru. "Celaka !" dan keringat
dingin mengucur deras. Tubuhnya agak menggigil.
Thiam Lu yang mendengar seruan Bu In, cepatcepat
melompat ke dekatnya. Belum lagi dia
bertanya, Bu In sudah bilang: "Celaka ! iblis itu pasti
sudah berada di sini ! Kita telah meninggalkan
163
mereka... Ayo cepat kembali! Oooo, mudanmudahan
tidak terlambat !"
Thiam Lu kaget bukan main mendengar
perkataan Bu In. ia pun baru teringat kepada Yang
Ian, Giok Han dan yang lainnya yang mereka
tinggalkan. Dengan diantara mayat Cie Sun Hoat
dan digantung di pohon Touw yang tumbuh di dalam
rumah keluarga Yang, niscaya Bwee Sim Mo Lie
memang sudah berkeliaran di dalam rumah ini!
Tidak buang waktu sedetikpun, kedua orang itu
segera berlari ke ruang dalam.
Mereka baru bisa bernapas lega setelah melihat
disitu tidak terjadi sesuatu apapun. Hanya orangorang
orang berkumpul di situ memandang Thiam Lu
berdua Bu In dengan muka pucat pias, mata mereka
memancarkan kekuatiran yang amat sangat. Mereka
tadi sudah mendengar cerita Tang Kui tentang
mayat yang tergantung di pohon Touw yang tumbuh
di belakang rumah mereka.
Tang Kui yang ketenangannya mulai pulih tadi
sudah bisa menceritakan apa yang dilihatnya, yang
membuat dia kaget dan takut setengah mati, sampai
tidak bisa bicara saking ketakutan. Setelah diberi
minum secawan air teh, barulah dia bisa
menenangkan diri dan menceritakan kepada semua
orang yang berkumpul di situ. Cerita Tang Kui
membuat semua orang tambah kuatir.
164
Terlebih lagi Yang Lan, yang menguatirkan
keselamatan Thiam Lu dan ayahnya, kalau memang
dia tidak ingat bahwa orang-orang yang berada
diruang itu harus dilindungi olehnya, niscaya dia
sudah menyusul ke belakang. Dia kuatir kalau-kalau
ayahnya dan Thiam Lu bertemu dengan si iblis dan
mendalami cidera.
Tapi kalau Yang Lan menyusul juga kebelakang
lalu siapa yang akan melindungi Giok Han dan yang
lainnya? Karenanya, dengan gelisah, dia tetap
bersiap siaga disitu, hanya matanya terpentang
lebar dengan hati berkuatir untuk keselamatan ayah
maupun Thiam Lu. Setelah melihat kedua orang itu
kembali tanpa kurang suatu apa, barulah hati Yang
Lan lebih tenang.
Bu In menceritakan bahwa mayat yang
tergantung di pohon Touw di belakang rumah
meraka adalah mayat Cie Sun Hoat. Dan Bu In minta
mereka berwaspada, karena si iblis pasti sudah
berkeliaran dirumah ini.
Disaat Bu In tengah bercerita begitu justeru dari
kejauhan di antara keheningan malam yang larut,
terdengar suara petikan musik Khim. Suara Khim ttu
perlahan dan samar, tapi lembut dan merdu.
Hati semua orang yang berkumpul di ruang itu
jadi tegang, terlebih para pelayan yang semuanya
165
sudah diliputi ketakutan bukan main. Bu In
memesan agar tidak seorangpun pergi memisahkan
diri ke ruang lain, dengan berkumpul menjadi satu di
ruang ini, berarti Bu In bertiga Yang Lan dan Thiam
Lu lebih mudah untuk melindungi mereka.
Malam semakin larut. Suara Khim tetap
terdengar, hanya sekarang terdengar semakin dekat
juga. Disusul kemudian oleh suara tertawa yang
merdu. Sesosok tubuh berkelebat, dalam bentuk
bayangan putih, karena sesosok tubuh itu
mengenakan baju panjang yang terbuat dari sutera
putih yang halus.
Rambutnya panjang terurai, wajahnya cantik.
Dan dia memang tidak lain dari Liok Bie Lan atau si
wanita iblis Bwee Sim Mo Lie ! Saat itu Bwee Sim Mo
Lie sudah berdiri di pekarangan depan rumah
keluarga Yang, tembok pekarangan yang begitu
tinggi tadi mudah sekali dilompati, tubuhnya sangat
ringan, bagaikan gumpalan kapas saja waktu
hinggap di tanah. Di tangannya tercekal sebuah alat
musik Khim yang berbentuk kecil. Dulu ia sudah
menghancurkan alat musiknya dan ini mungkin yang
baru diambil dari orang lain atau dibelinya. Tetapi,
wanita iblis selihay Bwee Sim Mo Lie rasanya akan
mudah sekali mengambil sesuatu yang di
inginkannya dari orang lain.
Muka semua orang berobah pucat, tidak
terkecuali Yang Bu In Dilihatnya, Bwee Sim Mo Lie
yang berdiri di hadapannya bagaikan segumpal es
166
yang dingin, seorang wanita tanpa perasaan di
wajahnya. Dan ia pun melihat wajah Bwee Sim Mo
Lie bukanlah seraut wajah yang dikenalnya. Thiam
Lu berdua Yang Lan sudah bersiap-siap dengan
pedang mereka, sewaktu-waktu Bu In mengalami
ancaman di tangan Bwee Sim Mo Lie, mereka akan
menerjang untuk menghadapi waniia iblis tersebut.
"Yang Bu In, apakah kau sudah siap untuk
menerima hukuman ? Waktu tidak banyak lagi,
sebentar lagi akan menyingsing sang fajar," merdu
sekali suara Bwee Sim Mo Lie di antara keheningan
malam.
Tubuh Bu In menggigil sedikit, tapi cepat ia bisa
menguasai dirinya. la melangkah maju dua tindak,
kemudian merangkapkan tangannya, tanyanya :
"Maaf, siapakah nona? Mengapa aku si tua Yang Bu
In harus menerima hukuman dari nona ?"
Bu In berusaha suaranya tetap tenang, walaupun
agak parau dari biasanya.
Wajah Bwee Sim Mo Lie tidak memperlihatkan
perasaan apapun juga. Tidak terlihat sikap
mengejek, marah, senang ataupun nafsu
membunuh. Seraut wajah yang benar-benar lembut
dan cantik, tapi dingin tanpa perasaan terpancar dari
mukanya itu.
Suaranya yang halus pun tidak menunjukkan
tanda-tanda apapun: "Aku diutus oleh guruku yang
167
mulia Thio Eng Goat untuk menghukum kau
sekeluarga. Sekarang jawablah pertanyaanku,
apakah kau sudah siap menerima hukuman ?""
Mendengar disebut Thio Eng Goat, tubuh Bu In
menggigil sedikit, kemudian memaksakan diri
tertawa. "Jadi," katanya. "nona murid Thio Kouwnio
?"
"Ya, dan guruku yang mulia perintahkan aku
untuk menghukummu."
"Apakah Thio Kouwnio kini dalam keadaan sehatsehat
dan baik?" Tanya Bu In tanpa perdulikan
perkataan Bwee Sim Mo Lie.
Wanita iblis yang cantik jelita itu tidak
memperlihatkan perasaan apapun juga pada
wajahnya, hanya jari tangannya mendenting
memetik salah satu tali Khimnya. Suara itu nyaring
sekali dan sangat panjang menggema di malam
yang sepi itu.
"Yang Bu In, manusia tidak tahu diuntung, dulu
kau puas karena pernah menghancurkan hati dan
perasaan guruku yang mulia," katanya dengan suara
tanpa perasaan.
"Sebetulnya kalau guruku yang mulia inginkan
jiwamu di saat itu pun bisa dilakukannya, tetapi
tentu kau akan mati dengan mata meram. la
menunggu sampai kau menikah dan mempunyai
168
anak, agar kan mengerti bagaimana perasaan harus
berpisah dengan orang-orang yang kita sayangi.
Dulu hatimu sekeras batu, dan kau tidak berterima
kasih atas kasih sayang guruku yang mulia,
karenanya kau meremehkan perasaan seorang
wanita ! Hanya saja, guruku terlambat untuk
menghukummu setelah didengarnya kau sudah
menikah dan mempunyai anak, kau licin sekali bisa
menyembunyikan jejakmu.
Kini, aku drutus oleh guruku yang mulia
mewakilinya menghukum kau sekeluarga, dan kau
tidak mungkin bisa melenyapkan jejakmu ! Tiga
bulan yang lalu guruku baru mengetahui dari
seorang kawannya bahwa sesungguhnya kau
sekeluarga berada di sini!"
Yang Bu In tersenyum pahit, katanya : "Dengan
dulu Siocia... Dulu sebetulnya hanya salah paham
belaka antara aku si tua dengan gurumu."
"Aku tidak membutuhkan alasan-alasanmu. Aku
hanya melaksanakan tugas yang di berikan oleh
guruku yang mulia. Kedatanganku hanya untuk
menghukum kau sekeluarga tanpa perlu mendengar
berbagai alasanmu !" Tetap suara Bwee Sim Mo Lie
merdu, tanpa perasaan apapun juga. Dingin,
bagaikan dinginnya es.
"Salah paham yang timbul antara aku dengan
gurumu Siocia tidak mempunyai hubungan apa-apa
dengan keluarga atau orang lain ! Aku akan ikut
169
nona pergi menemui gurumu, janganlah kau
mengganggu orang lain, aku yang akan bertanggung
jawab atas kesalahan yang pernah kulakukan,
walaupun tubuhku harus tercingcang hancur luluh
ribuan keping, aku rela!"
"Sudan kuberitahukan tadi, bahwa kedatanganku
kemari untuk melaksanakan perintah guruku yang
mulia dan tidak ada tawar menawar. Perintah guruku
yang mulia itu berbunyi: "Hai muridku, hukumlah
manusia tidak kenal budi Yang Bu In sekeluarga.
Tidak sepotong jiwapun yang boleh lolos. Orangorang
yang memiliki hubungan dengan Yang Bu in,
harus dihukum pula!" ltulah bunyi perintah guruku
yang mulia" Dingin luar biasa suara Bwee Sim Mo
Lie, sehingga semua orang yang mendengar
perkataannya jadi tergetar hatinya.
Menyaksikan ayahnya diperlakukan Bwee Sim Mo
Lie seperti itu, tanpa memperoleh muka terang
sedikitpun, Yang Lan jadi nekad. Tangannya yang
mencekal pedangnya kuat-kuat tergetar, menahan
amarah. Dia bermaksud akan melompat ke dekat
ayahnya tapi Khang Thiam Lu sudah mencekal
lengannya, mencegah keinginan si gadis.
"Jangan sumoay. Kita lihat saja dulu
perkembangannya," bisik Thiam Lu. Dia mencegah
kenekadan si gadis, karena Thiam Lu tahu benar
keliehayan wanita iblis tersebut. Bahkan Thiam Lu
sendiri tengah ragu-ragu dan kuatir sekali, bahwa
gurunya walaupun dibantu oleh Yang Lan dan dia,
170
belum tentu bisa menghadapi wanita iblis itu.
Terlebih lagi racun Bwee Sim Mo Lie yang sangat
luar biasa.
Yang Lan menggigit bibirnya, dia menuruti
permintaan kakak seperguruannya. Hanya matanya
merah mengawasi gusar kepada Bwee Sim Mo Lie.
Yang Bu In waktu itu tersenyum kecut, katanya:
"Baiklah nona, Lohu (aku si orang tua) bersedia
menerima hukuman dari gurumu. Tapi, walaupun
bagaimana tidak bisa kubenarkan kalau gurumu
itupun menghendaki isteri dan anakku atau orangorang
yang dekat denganku harus menerima
hukuman darinya !"
Kembali jari Bwee Sim Mo Lie memetik satu tali
khimnya, mendenting keras dan nyaring.
"Kau menolak atau menerima hukuman yang
dijatuhkan pada kau sekeluarga, itu urusanmu
sendiri. Kedatanganku kemari untuk menghukum
kau sekeluarga dan ini perintah guruku yang mulia
dan tidak bisa tidak kulakukan!" Setelah berkata
begitu, Bwee Sim Mo Lie memetik tali Khimnya
memainkan sebuah lagu, irama musik itu sangat
halus dan merdu sekali, diiringi oleh nyanyian apa,
yang tidak kalah merdunya: "Sejuta butir air mata,
tidak lebih berharga dari sebutir cinta yang abadi.
Sejuta kali tangis tidak bisa menyembuhkan luka
dihati.."
171
Bernyanyi sampai disitu, mendadak tangannya
berkelebat. Yang Bu In menyangka dirinya diserang,
ia bersiap-siap untuk menerima serangan siwanita
iblis itu. Tapi ia menanti sia-sia. Tidak ada serangan.
Bahkan dia mendengar pekik yang menyayat hati,
ternyata Tang Kui sudah melompat-lompat
berkelejetan, kemudian rubuh bergulingan di lantai,
tubuhnya mengejang-ngejang, lalu kaku diam.
Dia mati. Matanya mendelik, mukanya sudah
berobah hitam kelabu, dari mulutnya keluar busa !
itulah kematian yang sangat mengenaskan, Peristiwa
itu terjadi hanya dalam beberapa detik saja, cepat
luar-biasa. Rupanya Bwee Sim Mo Lie sudah
membinasakan Tang Kui dengan jarum beracunnya.
Bu In dan yang lainnya kaget tidak terkira, Yang
Bu In tertegun sejenak, kemudian meledak teriakan
mengandung kemarahan. Habis kesabaranrya.
Dihunus pedangrya, melintangkan didepan dada,
tubuhnya sudah melompat maju ke dekat Bwee Sim
Mo Lie, disusul oleh seruannya: "Semua menyingkir
ke tempat lain, biar aku hadapi iblis terkutuk ini !"
Waktu Bu In melompat ke dekat Bwee Sim Mo
Lie, tangan wanita iblis yang cantik ini bergerak lagi.
Beberapa titik sinar terang menyambar kearah muka
Bu In. Tapi Bu In sudah bersiap-siap dengan
pedangnya.
Melihat dirinya diserang oleh jarum-jarum yang
pasti beracun itu. segera memutar pedangnya untuk
172
menghalau jarum-jarum tersebut. Sebetulnya, yang
ditakuti Yang Bu In adalah racun Bwee Sim Mo Lie
ini, tentang ilmu silat siwanita iblis dia tidak gentar.
Usia Bwee Sim Mo Lie yang masih demikian
muda, betapapun lihaynya dia, tetap Yang Bu In
tidak gentar. Pasti kurang latihan dan juga kurang
tenaga dalamnya. Berbeda kalau memang harus
menghadapi Thio Eng Goat, guru wanita iblis ini.
Yang perlu dijaga-jaga oleh Yang Bu In hanyalah
penggunaan racun dari Bwee Sim Mo Lie, karena
memang Thio Eng Goat dulu sangat lihay
menggunakan racun, bahkan merupakan iblis yang
sangat beracun dan paling disegani oleh semua
orang dalam kalangan Kangouw.
Pelayan-pelayan lainnya bersama Giok Han dan
Lam Sie sudah disuruh oleh Thiam Lu agar
menyingkir ke ruang belakang, lalu Thiam Lu diikuti
oleh Yang Lan melompat kedekat siwanita iblis untuk
membantui Bu In. Pedang mereka menikam
serentak kepada si iblis yang telengas dan kejam
tidak berperasaan itu.
Bu In yang sudah berhasil memunahkan
sambaran jarum-jarum beracun Bwee Sim Mo Lie,
juga balas menikam dengan pedang, ilmu redang Bu
In sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali,
sebagai jago pedang yang sekian puluh tahun
mengangkat nama besar-nya dengan hanya
mengandalkan pedangnya tersebut.
173
Kini dalam keadaan terdesak seperti itu oleh
ancaman si iblis yang tidak bisa diajak kompromi, ia
menyerang dengan jurus yang hebat. Mata
pedangnya seperti tergetar dan menjadi banyak,
seakan bisa menyerang bebeiapa tempat ditubuh si
iblis.
Melihat dirinya dikepung dari tiga jurusan, Bwee
Sim Mo Lie tidak gentar. la pun tetap dengan
sikapnya yang dingin tanpa perasaan apapun
diwajahnya. Cuma tubuhnya seperti gumpalan
kapas, ringan sekali berkelebat, dengan tangan
kanan menotok pergelangan tangan Yang Lan,
mempergunakan tekukan jari telunjuk karena
memegang Khim nya, sedangkan letak Khim itu
ditekuk masuk kedalam ketiaknya, perut Khim itu
menerima tikaman pedang Thiam Lu. Tangan kiri
iblis itu menghadapi tikaman pedang Bu In.
Tampaknya ia memiliki jurus yang dapat
mengimbangi penyerangan Bu In yang mata
pedangnya tergetar itu, ia melilit dengan ujung
lengan jubahnya yang lebar, pedang Bu In seperti
menerobos masuk ke dalam jubah Bwee Sim Mo Lie
dan kesempatan itu dimanfaatkan si wanita iblis
untuk mencengkeram pundak Bu In, tepatnya pada
letak jalan darah Hu-yang-hiat.
Tercekat hati Bu In, kaget tidak terkira. Keringat
dinginpun mengucur deras. la kaget karena melihat
kenyataan Bwee Sim Mo Lie seperti sudah
mempersiapkan jurus-jurus untuk menghadapi dan
memunahkan jurus jurus ilmu pedangnya.
174
Rupanya guru Bwee Sim Mo Lie, yaitu Thio Eng
Goat memang khusus sudah menciptakan semacam
ilmu silat untuk menghadapi ilmu pedang Bu In.
Untung saja tenaga dalam Bwee Sim Mo Lie belum
terlalu tinggi, coba kalau Thio Eng Goat yang
melakukannya, niscaya Bu In sudah kena dicelakai,
sebab pedangnya yang menerobos masuk kedalam
lengan jubah seperti terjepit dan jari tangan lentik
dari Bwee Sim Mo Lie yang berkuku panjang
mencengkeram pundaknya.
Bu In sudah menurunkan pundaknya, masih
diusahakan untuk menghindarkan cengkeraman
tangan Bwee Sin Mo Lie. Tetapi tidak urung bajunya
robek dan kulit pundaknya baret oleh goresan kukukuku
tajam dari jari tangan lentik si wanita iblis.
Mati-matian Bu In melompat mundur dengan
langkah terhuyung, ia berhasil menarik pulang
pedangnya terlepas dari jepitan jubah lengan Bwee
Sim Mo Lie.
Bu In merasakan luka baret dipundaknya gatal
luar biasa, seketika hatinya jadi kuatir. Ternyata
kuku-kuku jari tangan wanita iblis itu memang
mengandung racun yang ganas. Jago tua itu
mengkertak giginya. la jadi nekad dan murka.
Segera menerjang lagi dengan tikaman demi
tikaman. Masih untung bahwa tenaga dalam Bwee
Sim Mo Lie belum sempurna dan masih satu atau
dua tingkat dibawah Bu In. kalau tidak niscaya sulit
buat Bu In menghadapi wanita iblis yang lihay ilmu
silat dan ilmu racunnya.
175
Juga saat itu Thiam Lu berdua Yang Lan
membantu menyerang Bwee Sim Mo Lie. Walaupun
kepandaian Thiam Lu berdua masih tidak cukup
untuk mengimbangi kelihayan wanita iblis tersebut,
sedikitnya memecahkan perhatian Bwee Sim Mo Lie,
sehingga Bu In masih sanggup menghadapi wanita
iblis itu cukup baik.
Bwee Sim Mo Lie tetap tenang dan wajahnya
tidak tampak perasaan apamu juga, la melayani
ketiga orang lawannya dengan ilmu silat dan sekalisekali
mempergunakan racunnya.
Bu In merasakan pundaknya semakin lama
semakin gatal dan lenyap rasa. Dia tambah kuatir,
Walaupun si iblis tidak bisa berhasil merubuhkannya
dalam waktu singkat, tokh racun yang sudah
mengendap di dalam tubuhnya akan bekerja
semakin ganas. Jika rasa gatal dan ba'al itu sudah
sampai kedada celakalah Bu In. Karena itu, matimatian
Bu In mengeluarkan jurus-jurus
simpanannya menyerang dahsyat kepada Bwee Sim
Mo Lie.
Waktu pertempuran tengah berlangsung, di ruang
belakang para pelayan sedang ketakutan. Ada
diantara mereka yang menangis karena kematian
Tang Kui, yang mayatnya masih menggeletak di
ruang thia, tidak bisa mereka bawa. Tadi Thiam Lu
sudah berpesan, agar tidak seorangpun yang
menyentuh mayat Tang Kui, yang mati keracunan,
176
yang bisa mencelakai orang lain yang menyentuh
mayat beracun tersebut.
Lam Sie memeluki Giok Han, takutnya bukan
main. Dia kuatir wanita iblis yang memang
diketahuinya sangat kejam itu, tidak bisa dihadapi
oleh Bu In bertiga, lalu membinasakan mereka
semua. Dia pernah menyaksikannya betapa Thiam
Lu sangat mudah di-rubuhkan oleh Bwee Sim Mo Lie
dan tertolong disebabkan kenekatan Giok Han pada
beberapa hari yang lalu.
Giok Han juga tampak gelisah. Suatu saat, ia
meronta melepaskan diri dari pelukan Lam Sie.
"Paman Lam, mengapa Ciecie itu masih saja jahat
dan kejam?!", tanya si bocah tidak mengerti.
"Bukankah dia bilang tidak akan melakukan
kejahatan lagi dan juga sudah pergi tidak mengikuti
kita. Namun sekarang mengapa ia datang kemari
lagi?"
Lam Sie menekan rasa kuatir dan takutnya,
menghela napas dalam-dalam guna melapangkan
dadanya, Barulah kemudian menjawab pertanyaan
majikan kecilnya; "Wanita itu seorang penjahat yang
sangat kejam, ia senang membunuh tanpa mengenal
kasihan! Mudah-mudahan saja Yang Toaya dan
Khang Lopehmu bisa menghadapinya."
177
"Kalau memang dia sangat jahat, biarlah aku
pergi menemuinya dan memakinya!" Kata Giok Han
bersemangat.
"Apa ?" Tubuh Lam Sie menggigil. "Oooh,
Siauwya, jangan bergurau! wanita itu sejahat iblis
dan jangan main-main dengannya. Lebih baik kita
diam di sini saja, biar paman Khang dan Yang Toaya
yang membereskannya."
"Aku tidak takut, paman Lam, Bukankah dulupun
dia tidak marah kepadaku, waktu kumaki-maki ?
Mungkin dia mau pergi kalau kutemui dan meminta
kepadanya agar tidak menggangu kita dan keluarga
Yang Kongkong (kakek Yang) !"
Lam Sie menggelengkan kepalanya berulang kali
dengan gugup, dia memeluki lagi majikan kecilnya.
"Jangan Siauwya, dengarlah kata-kata paman
janganlah membantah ! Demi keselamatan
Siauwya."
Mendadak Giok Han mendorong dada Lam Sie,
dengan sepasang alis yang bentuknya sangat bagus
itu mengerut dalam-dalam, dan sikap yang gagah
serta dada membusung, bocah itu bilang: "Paman
Lam, sekali lagi kudengar paman lam terlalu
mementingkan diri sendiri seperti itu, aku tidak mau
dekat-dekat dengan kau lagi ! Lihatlah, Yang
Kongkong, Yang Ciecie dan paman Khang sedang
menghadapi bahaya, mereka mempertaruhkan jiwa
178
dengan gagah berani. Semua itu dilakukan mereka
demi siapa ? Untuk kita ! Sekarang mengapa di saat
mereka terancam bahaya kita malah bersembunyi
dan berpeluk tangan saja ? Bukankah sikap seperti
itu merupakan sikap pengecut yang tidak tahu malu
?"
Lam Sie jadi bingung, sampai dia mau menangis
tidak bisa mau tertawa pun tidak bisa. Sulit buat dia
menjelaskan kepada Giok Han, bahwa bahaya yang
tengah berada di-depan mata adalah bahaya yang
sangat mengerikan dan merupakan ancaman maut
yang menakutkan.
Dia coba memegang tangan Giok Han, tapi Giok
Han menepis tangan Lam Sie, dengan gagah si
bocah bilang: "Aku akan pergi menemui wanita jahat
itu, paman Lam jangan coba-coba menahanku !",
kata Giok Han dengan suara yang nyaring.
Pelayan-pelayan lain jadi kebingungan juga dan
coba membujuknya. Lam Sie bingung luar biasa,
sampai dia tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di
depan Giok Han, manggut-manggntkan kepalanya
menangis keras.
"Siauwya, oooo, Siauwya, biarlah aku si tua Lam
Sie yang mati ditangan iblis itu. Biarpun harus mati
seratus kali, aku masih rela. Tetapi, aku mohon agar
Siauwya tidak keluar untuk menempuh bahaya...!"
serak suara Lam Sie di antara isak tangisnya.
179
Giok Han tertegun, tapi cepat dia bilang: "Dengan
sikap seperti sekarang ini paman Lam, bukankah
sama saja kita terlalu mementingkan diri sendiri ?
Untuk apa kita hidup terus, kalau besok-besok kita
harus menerima ejekan sebagai manusia tidak
berbudi yang tidak tahu berterima kasih, terlalu
mementingkan diri sendiri Sampai menyaksikan
penolong yang pernah menyelamatkan jiwa kita
tengah terancam bahaya tetap saja kita berpeluk
tangan !" Waktu berkata begitu, nyaring suara Giok
Han. Masih kecil bocah itu, tapi sikapnya gagah luar
biasa. Dan Lam Sie dengan air mata bercucuran
membasahi pipinya tertegun mengawasi bingung
pada bocah tersebut.
Di dalam hati ia berpikir betapa sama sifat dan
tabiat Giok Han dengan ayahnya, Jenderal Giok Hu.
yang memiliki adat serta sikap keras menghadapi
kecurangan maupun perbuatan tercela. Tampaknya
Giok Han walaupun masih kecil, memang memiliki
warisan sifat dan adat ayahnya. Berani dan keras
kepala untuk membela kebenaran. Teiapi, tahukah
Giok Han betapa seluruh jiwa didalam rumah
keluarga Yang sebetulnya tengah terancam,
kematian di tangan Bwee Sim Mo Lie ?
Tahukah Giok Han betapa berbahayanya Bwee
Sim Mo Lie ? Dan apa yang bisa dilakukan Giok Han,
untuk menghadapi wanita iblis yang kejam dan
telengas itu, walaupun memang ia memiliki jiwa
yang luhur dan mulia ingin membela Khang Thiam
Lu bertiga Yang Bu In dan Yang Lan? Bukankah
180
sekali saja Bwee Sim Mo Lie mengayunkan
tangannya. Giok Han akan terbinasa ?
Karena bingung dan panik, akhirnya Lam Sie
cuma bisa menangis sesenggukan sambil memeluki
kaki Giok Han. Yang Hujin isteri Yang Bu In, juga
membujuk agar Giok Han tidak keluar, karena
sangat berbahaya.
Giok Han menghela napas. Dia memegang
pundak Lan Sie, pengasuh setia itu. "Paman Lam,"
katanya, "maafkan Hanjie karena sudah melontarkan
kata-kata yang mungkin menyinggung atau melukai
hati paman Lam."
Mendengar perkataan Giok Han, bukannya
berhenti dari tangisnya, malah Lam Sie semakin
keras dalam isak tangisnya. Memeluk majikan
kecilnya itu. "Tidak Siauwya tidak ada kata-kata
Siauwya yang membuat paman kecewa. Paman
cuma teringat kepada Goanswee...."
Mendengar disebut tentang ayahnya, Giok Han
juga jadi mengucurkan air matanya menangis. Tapi
cuma sebentar, karena dia seperti kaget teringat
sesuatu dan menyusut air matanya. Dengan muka
masih basah oleh air mata sibocah bilang: "Tidak !
Kita tidak boleh menangis seperti anak kecil !"
Semua orang yang berada di ruang itu, termasuk
Yang Hujin, jadi merasa lucu melihat lagak dan
mendengar kata-kata Giok Han. Dia bilang tidak
181
boleh menangis seperti anak kecil, padahal Giok Han
sendiri adalah seorang bocah! Dan itu adalah didikan
dari ayahnya, Jenderal Giok Hu, yang selalu
memberitahukan Giok Han, bahwa seorang Kuncu
(manusia sejati dan mulia) tidak boleh menangis.
Hal itu selalu diungkapkan jika Giok Han dulu-dulu
menangis disebabkan oleh sesuatu, atau
menginginkan sesuatu yang tidak diperolehnya,
ataupun terjatuh.
Dan kata-kata itu demikian meresapnya ke dalam
hatinya, sehingga tadi tanpa disadarinya iapun
bilang seperti itu, padahal dia sendiri memang masih
seorang bocah ! Tetapi walaupun sikap Giok Han
lucu, tidak seorang pun bisa tertawa, mereka tetap
dicekam ketegangan Giok Han pun sudah bilang lagi
. "Paman Lam, ijinkanlah Hanjie keluar. Sebentar
saja Percayalah. Hanjie tidak akan mengalami apaapa,
Hanjie cuma ingin berusaha menolong paman
Khang, Yang Kong-kong dan Yang Ciecie ! Kalau
memang sekarang Hanjie tidak keluar untuk
membantui mereka dan mereka mengalami bahaya
ditangan wanita itu, sampai kapanpun juga Han jie
pasti menyesal terus menerus tanpa ada gunanya !"
Lam Sie yang sangat kebingungan tidak bisa
menjawab, hanya mengawasi Yang Hujin dan yang
lainnya seakan minta bantuan mereka untuk
membujuk Giok Han, Air mata mengucur terus dan
membasahi pipi orang tua itu.
182
Yang lainnya membujuk Giok Han agar mau
menuruti permintaan Lam Sie, agar tidak keluar.
Namun Giok Han menggeleng tetap ingin keluar,
walaupun Yang Hujin telah membujuknya.
"Walaupun bagaimana Hanjie harus membantui
mereka !"
Sebetulnya para pelayan keluarga Yang itu ada
yang ingin bertanya kepada Giok Han, saking
kewalahannya melihat sikap si bocah, kalau Giok
Han keluar, apa yang bisa dilakukannya dengan usia
masih kecil dan tidak memiliki kepandaian apa-apa ?
Bukankah itu hanya mencari mati saja? Tapi mereka
tidak berani berkata seperti itu, kuatir sibocah jadi
ngambek.
Akhirnya Lam Sie kewalahan dan tidak memiliki
jalan lain untuk membujuk Giok Han. Dia
menghapus air matanya. "Baiklah," katanya,
"marilah kita berdua keluar untuk menemui wanita
jahat itu, Siauwya!"
Alis Giok Han mengkerut.
"Paman Lam tidak usah ikut, kalau memang
wanita jahat itu ingin turunkan tangan jahat, biarlah
aku saja. Paman Lam jangan sampai ikut terseret
menjadi susah. Paman Lam diam saja di sini ?" kata
si bocah.
Lam Sie menggeleng, menghapus lagi air mata
yang masih mengucur.
183
"Siauwya, jika memang ada yang harus mati,
biarlah paman Lam yang mati," kata pengasuh yang
setia itu. "Walaupun harus menerima kematian
ratusan kali, paman rela asal Kongcu bisa terlindung
selamat, Peng-an bahagia nantinya. Paman hanya
inginkan Siauwya selalu sehat dan bahagia, itu pun
sudah membuat paman akan bahagia. Mari, Siauwya
keluar bersama paman."
Terharu hati si bocah melihat kesetiaan pengasuh
tua ini. Dia memeluk paman Lam nya dan menangis
terisak-isak.
"Paman, entah berapa banyak penderitaan yang
paman Lam karena membela dan menyelamatkan
Hanjie." kata Giok Han terisak dengan tangisnya.
"Entah bagaimana Hanjie harus membalas budi
kebaikan paman ?"
Yang lainnya juga terharu melihat peristiwa
tersebut, di mana Lam Sie sambil merangkul
majikan kecilnya juga menangis terisak-isak, mereka
jadi ikut menitikkan air mata. Yang Hujin ikut
terharu. la melihat, betapa mulia dan luhurnya jiwa
dan hati Giok Han, yang tetap memaksa ingin keluar
untuk membantui Yang Bu In, Yang Lan dan Khang
Thiam Lu, walaupun bocah itu masih terlalu kecil dan
tidak bisa apa-apa. Tidak percuma tampaknya Giok
Han sebagai putera Jenderal besar Giok Hu !
184
Mendadak Giok Han berseru: "Oooh, Hanjie lupa
lagi. Kita mana boleh menangis seperti ini, seperti
anak kecil saja !". Dia menyusut air matanya.
"Justeru kita harus cepat-cepat keluar untuk
membantui Yang Kongkong bertiga !"
Giok Han keluar didampingi Lam Sie. Mereka
melihat Yang Bu In bertiga tengah kewalahan
menghadapi Bwee Sim Mo Lie yang sambil
berkelebat kesana kemari menghadapi setiap
desakan ketiga orang lawannya, sepasang
tangannya bergerak tidak hentinya seperti orang
sedang menabur sesuatu. Ratusan batang jarum
beracunnya menyambar kesana kemari membuat
ketiga orang lawannya kewalahan.
Memang kalau bicara soal kepandaian ilmu silat,
Yang Bu In tidak gentar menghadapi Bwee Sim Mo
Lie, namun, sekarang ia menghadapi wanita iblis
yang pandai sekali mempergunakan racun. Apalagi
dia tadi sudah terkena cengkreman kuku-kuku jari
tangan Bwee Sim Mo Lie yang beracun, dimana
pundaknya dirasakan semakin lama semakin ba al,
mengurangi leluasa bergeraknya. Setiap
serangannya jadi agak lambat, tidak selincah
sebelumnya.
Khang Thiam Lu dan Yang Lan melihat keadaan
orang tua itu, semakin kuatir. Bahkan saat itu
karena nekad, Thiam Lu tahu-tahu menubruk Bwee
Sim Mo Lie dengan pedangnya, la ingin melindungi
185
gurunya yang tengah kewalahan menghalau hujan
jarum-jarum beracun. Tetapi tidak disangka-sangka
lengan baju wanita iblis itu mengibas ke-arah muka
Thiam Lu, tersebar bubuk putih sangat halus, dan
Thiam Lu mencium harum semerbak yang dalam
sekejap mata membuat pandangan matanya
berkunang-kunang, tubuhnya lemas, tenaganya
lenyap, lututnya lunglai seakan tidak memiliki
tenaga lagi. rubuh ambruk di tanah !
Yang Lan menjerit kaget dan cepat-cepat
menerjang dengan beberapakali tikaman pedangnya
kepada Bwee Sim Mo Lie, begitu juga Yang Bu In
yang kaget tidak terkira waktu melihat keadaan
muridnya, ia sebetulnya sedang sibuk menghalau
hujan jarum-jarum beracun dengan putaran
pedangnya, karena kaget maka gerakannya tertunda
jadi perlahan selama satu detik, tetapi itu
menyebabkan dia menerima bahaya ! Dua batang
jarum menerobos masuk dan menancap di lengan
kiri serta dada kiri.
Tubuh Yang Bu In terhuyung mundur, mukanya
pucat. Mati-matian jago tua itu mengempos
lwekangnya, dengan tenaga dalamnya berusaha
untuk mendorong dan mencegah racun bekerja di
tubuhnya. Dia berhasil, racun tidak menjalar luas
dari lukanya, tetapi ganasnya racun itu membuat
tenaga Yang Bu In berkurang banyak, belum lagi
untuk mengerahkan tenaga dalamnya.
186
Bwee Sim Mo Lie tanpa memperlihatkan perasaan
apapun di wajahnya, menjepit pedang Yang Lan, dia
coba merampasnya. Tapi Yang Lan yang nekad tidak
perdulikan bahaya, dia meneruskan tikamannya.
Dan Bwee Sim Mo Lie terkesiap waktu mata pedang
tetap meluncur akan menikam dadanya. "Ihhh," dia
berseru dan batal menjepit pedang si gadis,
melompat ke samping buat menghindarkan diri.
Yang Lan yang sudah nekad hendak menyerang
lagi, tapi waktu itu terdengar suara teriakan:
"Perempuan busuk, berhenti!" Di susul oleh Giok
Han yang menghampiri ke dekat Bwee Sim Mo Lie
dan nekad sekali bocah itu memeluk tubuhnya. Lam
Sie kaget tidak terkira, dia ingin mencegah, tapi
tidak keburu.
Dan semangat pengasuh setia itu serasa terbang
meninggalkan raganya melihat majikan kecilnya
begitu nekad telah memeluk Bwee Sim Mo Lie.
Bwee Sim Mo Lie waktu menyingkir dari tikaman
pedang Yang Lan, sebetulnya sudah mempersiapkan
jarum-jarum beracunnya hendak balas menyerang
kepada Yang Lan. Tetapi dia jadi kaget tidak terkira
tubuhnya tahu-tahu dipeluk oleh Giok Han.
Dan, untuk beberapa detik dia seperti linglung
hilang ingatan, pikirannya jadi melayang-layang.
Namun akhirnya Bwee Sim Mo Lie bisa menguasai
diri, bentaknya : "Kau lagi bocah ! Ayo lepaskan !"
187
Jilid ke 5
Tetapi Giok Han menggeleng, bocah itu
menjawab: "Tidak. Kau perempuan busuk ! Kemarin
dulu kau berjanji tidak akan menganiaya paman
Khang, tetapi sekarang kau mencelakainya !"
Berkata sampai disitu Giok Han tidak bisa menahan
isak tangisinya, karena dia sangat kuatirkan
keselamatan Khang Thiam Lu, Tahu-tahu dia
menggigit pinggang Bwee Sim Mo Lie.
Kaget wanita iblis itu merasah pinggangnya sakit,
mukanya merah padam karena murka. Tahu-tahu
tangan kanannya diulurkan, menjambak punggung
Giok Han, ia ingin melemparkan tubuh sibocah.
Tapi Giok Han menggigit keras sekali, tangannya
tetap memeluk kuat-kuat. Nekad sekali bccah ini.
Dia merasakan punggungnya sakit sekali dijambak
Bwee Sim Mo Lie, membuat dia menggigit semakin
keras.
Kaget Bwee Sim Mo Lie, mukanya merah padam.
Dia membentak lagi : "Lepaskan gigitanmu !"
Giok Han tidak mau melepaskan gigitannya. Bwee
Sim Mo Lie menarik lagi untuk melepaskan tubuh
sibocah, tapi dia merasakan setiap kali menarik
tubuh sibocah, gigitan itu membuat pinggangnya
tambah sakit, membuatnya mengendorkan lagi
tarikannya.
188
"Baiklah!", mendengus Bwee Sim Mo Lie. "Kau
mau mampus rupanya !"
Tangan kanannya ingin menghajar batok kepala
Giok Han, tapi waktu itulah dia menunduk dan
melihat wajah sibocah, mata Giok Han tengah
menatap kepadanya. Bagus sekali mata itu, dan saat
itu sepasang mata yang indah itu memancarkan
sinar kemarahan dan benci, tidak terpancar
sedikitpun perasaan takut pada mata bocah
tersebut. Mulut sibocahpun masih tetap menggigit
kuat-kuat pada pinggang Bwee Sim Mo Lie.
Tubuh Bwee Sim Mo Lie menggigil sedikit, hatinya
tergetar. Tangannya yang sudah terangkat jadi
lemas tidak bertenaga dan turun terjuntai.
Dia jadi ingat sepasang mata yang sama seperti
itu, yang memandang benci dan penuh kemarahan
padanya. tanpa terdapat sinar ketakutan. Mata yang
mengingatkan padanya peristiwa-peristiwa masa
lalunya yang menyedihkan.
Bwee Sim Mo Lie menggigit bibirnya, kemudian
dia berhasil menguasai dirinya. "Bocah yang baik,
lepaskanlah gigitanmu !" Cie-cie tidak akan
mengganggu kau."
Tapi Giok Han tetap menggigit dan menggelenggelengkan
kepalanya. Karuan saja Bwee Sim Mo Lie
yang harus meringis menahan sakit, waktu kepala
Giok Han menggeleng ke kiri kanan, gigitan pada
189
pinggang wanita iblis ilu bergerak-gerak menambah
rasa sakit sampai keulu hati, pinggangnya seperti
kejang oleh gigitan Giok Han.
"Apa yang kau inginkan sebenarnya, bocah ?",
tanya Bwee Sim Mo Lie lagi.
"Mata Giok Han melirik kepada Khang Thiam Lu
yang menggeletak ditanah.
"Ooooh, kau ingin minta aku membebaskan orang
itu dari kematian?!" tanya Bwee Sim Mo Lie lagi.
Giok Han mengangguk-angguk beberapa kali.
Bwee Sim Mo Lie terjengki menahan sakit.
Gigitan Giok Han semakin sakit saja akibat dia
mengangguk.
"Baik, baik, memang sudah kujanjikan padamu,
dia kubebaskan dari kematian, tapi dia manusia
tidak mengenal selatan, kebaikan yang kuberikan
malah disalah artikan, dia duga aku tidak berani
membunuhnya, dia ingin membantu keluarga Yang!
Tapi, biarlah sekali ini jiwanya kuampuni!"
Giok Han melepaskan tangan kanannya yang tadi
meranakul tubuh Bwee Sim Mo Lie dan menunjuk
kepada Yang Bu In dan Yang Lan.
"Mereka juga harus diampuni ?!" tanya Bwee Sim
Mo Lie.
190
Giok Han mengangguk.
"Baik, baik," si wanita iblis menghela napas, "Aku
memenuhi permintaanmu! Sekarang lepaskanlah
gigitanmu !"
Giok Han melepaskan gigitannya. Tapi sedang si
bocah kegirangan, belum lagi bicara apa-apa, tahutahu
tubuhnya dirasakan melayang diudara dan
matanya berkunang-kunang, seperti ada ribuan
binatang yang memain di matanya itu.
Rupanya waktu Giok Han melepaskan gigitannya,
kesempatan itu dipergunakan Bwee Sim Mo Lie
mendorong tubuh si bocah membuat Giok Han
terpental cukup keras dan terbanting di tanah.
Perlahan-lahan Giok Han coba bangun berdiri dia
memaki kalang kabut: "Perempuan hina yang tidak
tahu malu ! Kau selalu berdusta... mulutmu tidak
bisa dipercaya, sama seperti anjing...!"
Waktu itu Bwee Sim Mo Lie tengah mengusapusap
pinggangnya yang tadi digigit Giok Han
rupanya ia masih kesakitan. Begitu kuatnya gigitan
Giok Han tadi seperti juga kulit pinggang wanita iblis
itu akan terkelupas. Meninggalkan tanda gigi-gigi si
bocah pada pinggangnya yang cukup dalam.
"Bocah setan, kau mencari mampus!" Teriak
Bwee Sim Mo Lie yang meledak murkanya. Tadi dia
sengaja menahan diri, karena dia tengah kesakitan
191
oleh gigitan Giok Han. Sekarang justeru dia telah
terbebas dari gigitan itu, sehingga kembali meledak
murkanya, apa lagi sempat dia melihat kulit di
pinggangnya yang tergigit oleh Giok Han
menimbulkan tanda yang jelek.
Pinggangnya yang bagus mulus jadi memiliki
tanda, yang mungkin tidak akan lenyap sampai
kapanpun juga, sebab luka gigitan itupun
mengeluarkan darah, bajunya yang putih di bagian
pinggang sampai merah oleh darah.
Tubuhnya ringan sekali melompat ke dekat Giok
Han, dia mendengus bengis: "Kau juga harus
mampus, bocah setan !" Tangan kanannya diangkat
untuk menghantam kepala Giok Han
Lam Sie menjerit kaget, berlari hendak
menghampiri majikan kecilnya yang terancam
bahaya. Yang Lan tidak tinggal diam, dia melompat
menikam punggung wanita iblis itu. Tapi wanita iblis
itu tidak membatalkan pukulan pada batuk kepala
Giok Han, hanya tangan kirinya dipergunakan buat
melibat pedang Yang Lan.
Gok Han tidak tahu bahwa jiwanya tengah
terancam bahaya maut, dia masih memaki:
"Perempuan tidak tahu malu, aku akan adu jiwa
kalau kau masih menganiaya Khang Lopeh dan yang
lainnya...!"
192
Telapak tangan Bwee Sim Mo Lie hanya terpisah
beberapa dim lagi dari batok kepala Giok Han, sekali
saja telapak tangan itu me ngenai batok kepala si
bocah, niscaya kepala Giok Han akan pecah hancur
berantakan dan menemui kematian.
Di waktu itulah hati Bwee Sim Mo Lie tergetar
lagi. Mata itu. Ya, sepasang mata Giok Han yang
tengah menatap berani sekali kepadanya,
memancarkan sinar kemarahan tanpa rasa takut,
menyebabkan Bwee San Mo Lie teringat kepada
sepasang mata bekas kekasihnya, yang sama seperti
mata Giok Han.
Tangan yang hampir mengenai kepala si bocah
tidak bisa ditarik. Dia hanya bisa mengurangi tenaga
pukulan tersebut dan dimiringkan, sehingga bukan
kepala si bocah yang dihantam, melainkan
pundaknya. Tubuh Giok Han terbanting keras
ditanah, tanpa bergerak, pingsan!
Itupun masih untung buat Giok Han. karena
dalam beberapa detik itu Bwee Sim Mo Lie masih
terpengaruh oleh sorot matanya yang tajam dan
indah itu, yang mengingatkan st wanita iblis kepada
bekas kekasihnya sehingga dia tidak jadi memukul
kepala Giok Han.
Dalam beberapa detik itu jiwa Giok Han seperti
lolos dari lobang jarum. Benar dia terpukul hebat
pada pundaknya, yang membuat bocah itu terpental
193
dan terbanting keras, lalu pingsan, tapi itu tidak
sampai membahayakan jiwanya.
Lam Sie merasakan semangatnya seperti
meninggalkan raganya, kagetnya tidak terkira. Dia
menjerit: "Oooh, kau telah membunuh Siauwyaku.
iblis laknat !" Dia berlari menubruk tubuh Giok Han,
menangis sedih sekali.
"Siauwya, ooo, Siauwya... meneapa nasib
keluarga Giok demikian buruk? Tentu Goanswe di
akherat pun tidak meram.. Ooh, Siauwya . . . jelek
benar nasibmu!" Dan setelah sesambatan seperti itu
Lam Sie pun rubuh ringsan tidak sadarkan diri
dengan muka basah oleh air mata. Dia terlalu
berduka, sehingga dia tidak bisa menguasai diri lagi,
membuatnya pingsan tidak sadarkan diri.
Pedang Yang Lan yang terlibat oleh ujung lengan
kiri si wanita iblis, tidak bisa ditarik pulang.
Walaupun Yang Lan berusaha menarik pedangnya,
namun gagal. Hati si gadis jadi berdebar, tapi
teringat ancaman bahaya maut pada ayahnya dan
Thiam Lu, ia berteriak nekad dan melompat sambil
menghantam dengan telapak, tangan kiri Sambil
mengerahkan seluruh tenaganya.
Bwee Sim Mo Lie memutar sedikit tubuhnya
untuk menghadapi Yang Lan, karena tadi dia
memang membelakangi Yang Lan. Tangan kanannya
diayunkan, belasan batang jarum menyambar dada
Yang Lan.
194
Terkesiap Yang Lan melihat jarum beracun dalam
jumlah banyak menyambar dari jarak begitu dekat,
dan dia jadi putus asa. "Thia, sayang puterimu tidak
bisa membantu mu !" Mengeluh si gadis putus asa
dan memejamkan matanya. Walaupun usaha
apapun yang akan dipergunakan si gadis, tidak
mungkin dia bisa menghindar dari belasan batang
jarum beracun si iblis, karena jarak mereka terpisah
sangat dekat benar. Yang Lan cuma bisa menunggu
maut tiba.
Tetapi tiba-tiba Yang Lan mendengar seruan
Bwee Sim Mo Lie: "Ihh !" sehingga si gadis
membuka matanya, saat itu tubuhnya tengah
meluncur turun dan kakinya bisa menginjak tanah.
Tidak sebatang jarumpun yang menancap di
dadanya. Dia segera mengawasi kepada Bwee Sim
Mo Lie.
Waktu itu Bwee Sim Mo Lie sudah terpisah
kurang lebih empat tombak, di depan si iblis berdiri
seorang lelaki tua dan wanita tua, dengan pakaian
lusuh.
Segera Yang Lan tersadar, pasti kedua orang itu
yang telah menyelamatkannya. Mereka yang telah
menghalau jarum-jarum beracun si iblis. Dan
memang kedua orang itulah yang tadi waktu Yang
Lan dalam detik-detik kematian, telah menolongnya,
dengan mempergunakan topi tikar dan jarum-jarum
itu menancap di topi tikar butut itu membuat si
gadis terhindar.
195
Orang tua yang berpakaian lusu itu tengah
menghampiri topi tikarnya yang menggeletak
ditanah. dia kemudian berdiri dan mengawasi
belasan jarum yang menancap di situ.
"Hmm, sungguh berbahaya! Sungguh berbahaya!
Menggumam lelaki tua itu dengan suara yang
mengejek. "Tidak kusangka Thio Eng Goat masih
terus mengolah racunnya dan coba merajai Kangouw
dengan keganasannya ! Sungguh sayang! Sungguh
sayang, muridnya tidak kalah ganasnya dari wanita
iblis Thio Eng Goat..."
Sikap Bwee Sim Mo Lie tidak tenang. Biasanya
pada muka si iblis tidak terlihat perasaan apapun,
sangat dingin. Namun sekarang mukanya sebentar
merah, sebentar pucat.
"Sepasang Tabib Hutan" kata Bwee Sim Mo Lie
akhirnya dengan suara yang dingin. "Ada pesan dari
guruku yang mulia untuk kalian! Di bulan duabelas
pada tanggal lima belas, kalian datanglah di lembah
Kui-hun (Arwah Setan), guruku yang mulia
menunggu kau di sana!" Kemudian tanpa menanti
jawaban Sepasang Tabib Hutan, Bwee Sim Mo Lie
berkelebat menenteng Khimnya meninggalkan
tempat itu.
Lelaki dan wanita berpakaian seperti pengemis
itu, yang memang tidak lain dari Sapasang Tabib
Hutan, tertawa.
196
"Aneh, inilah undangan luar biasa. Mengundang
tanpa kartu dan juga mengundang untuk datang
kelembah Arwah Setan ! Hu, aku takut untuk datang
kesana, nanti bisa kesurupan !" Melucu lelaki itu itu.
Yang wanita pun tertawa.
"Tua bangka, lebih baik kau tolong dulu mereka
yang sedang kesurupan itu!" Kata yang wanita.
Orang tua yang berpakaian mesum dan seperti
pengemis itu menepuk kepalanya beberapa kali
sambil tertawa. "Ya, ya, memang semakin tua aku
semakin pikun saja! Mengapa aku tidak mengobati
mereka yang sedang kesurupan itu ?!"
Setelah berkata begitu, lelaki tua yang
berpakaian mesum tersebut menghampiri Khang
Thiam Lu, memeriksa keadaannya, kemudian
mengangguk-angguk: "Dia sedang tidur nyenyak
dan ber mimpi, jiwanya tidak akan dibawa oleh
setan penasaran !"
Lalu dia memeriksa keadaan Yang Bu In. Keadaan
Yang Bu In sudah payah benar, karena saat itu
tenaga pertahanannya sudah mulai habis. Walaupun
tadi dia sudah mengerahkan lwekangnya untuk
membendung menjalarnya racun, namun semakin
lama semakin lemah pertahanannya, ia sudah
menggeletak lemas, tubuhnya ba'al hampir sekujur
tubuhnya menguap panas dan merah. Racun mulai
menerobos dari pertahanan Yang Bu In, mulai
menjalar.
197
Setelah memeriksa beberapa saat, lelaki tua
berpakaian mesum seperti pengemis tertawa. Ooo,
ini kesurupan yang cukup berat. Ayo setan laknat,
keluarlah meninggalkan korbanmu...!"
Sambil berkata begitu, tangan kanan lelaki tua
tersebut menghantami dada Yang Bu In beberapa
kali.
Yang Bu In kaget tidak terkira, hatinya tercekat
kaget, tapi seketika dia merasakan dari telapak
tangan lelaki tua mengeluarkan hawa hangat,
semakin lama semakin hangat, satiap kali lelaki tua
itu memukul dadanya, hawa hangat itu seperti
menerobos masuk.
Belum lagi Yang Bu In mengetahui apa yang
tengah dilakukan lelaki tua tersebut, mulutnya telah
dijejali oleh sepotong dendeng. "Kunyah !" Perintah
orang tua itu. Dan dia menurut saja perintah orang
tua itu, mengunyah Harum dan menyegarkan.
Lelaki tua itu sudah menghampiri wanita tua yang
tadi datang bersamanya. "Kie-moay mereka sudah
tidak kesurupan lagi. Ayo kita pergi!!"
"Pergi ? Ooo, tua bangka ! Benar-benar pikun
kau! Bukankah kau bilang ingin membawa anak
itu?!" Sambil berkata begitu, wanita tua tersebut
menunjuk kepada Giok Han dan Lam Sie yang masih
pingsan.
198
Kembali lelaki tua itu memukul-mukul kepalanya.
"Benar-benar aku sudah pikun, semakin pikun !
Sampai aku lupa apa maksud yang sebenarnya
kedatanganku kemari!"
Ringan sekali tubuhnya melompat ke dekat Giok
Han dan Lam Sie. la memeriksa keadaan kedua
orang itu. Waktu memeriksa keadaan Giok Han,
sepasang alis orang tua itu mengkerut.
"Kie-moay, kemari kau ! Celaka ! Benar-benar
celaka !" Berseru lelaki tua itu.
Muka wanita tua itu jadi berobah.
"Apanya yang celaka ?"
Murid si iblis sudah turunkan tangan jahat
padanya !"
"Ooo, apakah dia bisa disembuhkan ?"
"Tentu... tetapi memakan waktu yang cukup
lama! Tulang selangkanya dihantam melesak patah
dan yang parah justeru hawa kotor beracun telah
meresap masuk ke dalam tulangnya! Pukulan yang
ganas dan kejam sekali terhadap bocah seumur ini!"
Wanita tua itu tampak jadi bingung. Dia
memeriksa keadaan Giok Han. Lalu menoleh kepada
Yang Lan: "Nona yang baik, bisa kami pinjam kamar
untuk mengobati anak ini ?"
199
Yang Lan tengah mengawasi bingung kelakuan
kedua orang itu, yang telah menolonginya dan juga
menyelamatkan keluarganya dari wanita iblis Bwee
Sim Mo Lie. Mendengar pertanyaan wanita tua itu,
cepat-cepat Yang Lan mengangguk, katanya:
"Tentu... tentu Locianpwe..."
Tanpa banyak bicara lagi wanita tua itu
menggendong Giok Han, Sedangkan Lam Sie ditotok
oleh lelaki tua itu, segera sadar.
Yang Lan juga sudah meminta kepada para
pelayan untuk membantu Yang Bu In dan Khang
Thiam Lu dibawa ke dalam.
Begitu tersadar dari pingsannya. Lam Sie
menangis terisak-isak sedih sekali, mengikuti wanita
tua yang membawa Giok Han.
"Hu, hu aku paling sebal mendengar orang
menangis!" Mengerutu lelali tua itu, membuat Lam
Sie berusaha menahan isak tangisnya, hanya air
mata yang masih mengucur terus dengan deras.
Menangis tanpa bersuara.
Setelah meletakkan Giok Han di pembaringan,
wanita dan lelaki tua itu melakukan pemeriksaan
padanya. Malah lelaki tua itu segera menguruti
beberapa bagian anggota tubuh Giok Han.
200
Sam jam lebih lelaki dan wanita tua itu
mengobati Giok Han dengan sikap serius. Lenyap
sikap ugal-ugalan mereka.
Siapakah mereka ? Ternyata yang lelaki tua tidak
lain dari Tung Yang, dan wanita tua itu adalah
isterinya, Tung Im. Nama sebenarnya ialah Tung
Siang Bun dan isterinya Lauw Kie Ing.
Karena si suami biasa dipanggil dengan sebutan
Tung Yang, si isteri juga selalu dipanggil dengan
sebutan Tung Im. Tung Yang biasa memanggil
isterinya dengan sebutan Kie-moay, sedangkan
isterinya memanggil Tung Yang dengan sebutan tua
bangka.
Di dalam kalangan Kangouw mereka terkenal
sekali sebagai sepasang pendekar aneh yang sangat
pandai ilmu pengobatannya, itulah sebabnya mereka
diberi gelaran Sepasang Tabib Hutan, akibat dari
sikap dan tingkah laku mereka yang ugal-ugalan,
seperti orang hutan yang tidak kenal aturan.
Sepak terjang sepasang suami isteri ini memang
sangat aneh, ugal-ugalan dan tidak mematuhi
peraturan. Apa yang mereka senang lakukan tentu
akan dilakukan oleh mereka.
Kesehatan Yang Bu In sudah mulai membaik.
Berkat pukulan-pukulan pengiriman hawa murni dari
Tung Yang pada dadanya lewat sentuhan kulit tubuh
dengan kulit telapak tangan, juga dibantu oleh obat
201
penawar racun yang ada pada dendeng yang
diberikan padanya, sekarang sudah bisa berdiri.
Hanya mukanya yang masih agak pucat. Bersama
puterinya Yang Lan, Yang Bu In datang kekamar di
mana Giok Han tengah dirawat oleh Sepasang Tabib
Hutan itu.
Waktu itu Sepasang Tabib Hutan baru selesai
memberikan pertolongan kepada Giok Han, mereka
sedang duduk bengong. Melihat Yang Bu In dan
puterinya, keduanya tetap bengong mengawasi Giok
Han, tanpa perduli pada ayah dan anak itu.
Lam Sie duduk dilantai menangis tanpa bersuara,
cuma air matanya yang mengucur Dia tidak berani
ber suara, karena tadi Tung Yang bilang ia paling
sebal mendengar orang menangis.
Yang Bu In menghampiri kedua Tabib Hutan yang
berperangai aneh itu, merangkapkan kedua
tangannya, memberi hormat. "Terima kasih atas
pertolongan jiewie," katanya "Lohu Yang Bu In
sekeluarga telah diselamatkan oleh jiewie !"
Tung Yang melirik, katanya dingin: "Jangan
berterima kasih kepada kami" dia menunjuk Giok
Han yang masih belum sadarkan diri. "Berterima
kasihlah kepada anak ini. Karena dia, kami mau
turun tangan menolongi kalian! Kami menginginkan
anak ini ! "
202
Yang Bu In mengangguk tanpa berani banyak
berkata lagi, kuatir mengganggu kedua Tabib Hutan
yang sedang mengobati Giok Han. Di tariknya
tangan Yang Lan, untuk berdiri di pinggir.
Waktu itu Giok Han merintih perlahan, tapi belum
sadar. Tung Yang mendadak lompat berjingkrak
sambil menepuk tangannya beberapa kali,
mengejutkan semua orang yang ada disitu.
"Selamat! Selamat!" Bersera Tung Yang girang. "
Bisa diselamatkan ! Selamat! Dia tidak akan
kesurupan lebih lama lagi !" *
Tung Im mengangguk dengan muka yang berseri.
"Ya, selamat!" katanya. "Bocah ini bisa kita
selamatkan !"
"Hmm, tentu saja pasti bisa diselamatkan oleh
kita! Apa yang bisa dilakukan oleh Thio Eng Goat jika
berhadapan dengan kita ? Kita pasti akan sanggup
menyembuhkan bocah itu!"
"Tua bangka, jangan ribut-ribut, lihat... bocah ini
masih perlu dirawat dengan cara Tiam-hoat
(totokan) !"
"Ya ! Ya!" Dan Tung Yang berdua isterinya, Tung
Im, sibuk menotoki sekujur tubuh Giok Han. Kagum
Yang Bu In melihat kemahiran ilmu totokan
Sepasang Tabib Hutan, karena jari tangan mereka
selalu menotok dengan tepat, dengan tenaga yang
203
seimbang. Benar-benar tidak kecewa Tabib Hutan
begitu terkenal.
Keringat telah membanjir keluar dari sekujur
tubuh Tung Yang dan Tung Im. "Panas! Panas sekali
! Hu, kamar ini seperti neraka saja !"
Kemudian Tung Yang menoleh kepada orangorang
yang ada di situ, katanya: "Ayo kalian keluar!
Keluar ! Hanya membikin panas kamar ini ! "
Yang Bu In dan yang lainnya mengetahui bahwa
kedua tabib ini mungkin juga ingin melakukan suatu
pengobatan rahasia terhadap Giok Han, cepat-cepat
mengiyakan dan keluar tanpa tersinggung. Tetapi
Lam Sie merasa berat harus meninggalkan majikan
kecilnya, namun dideliki oleh Tung Yang, terpaksa
keluar meninggalkan kamar.
Ketika berada di luar kamar, cepat-cepat Lam Sie
menghampiri Yang Bu In. Dengan muka berkuatir
dia bertanya : "Loya, bagaimana keadaan
Siauwyaku."
Yang Bu In menghela napas.
"Tenanglah saudara Lam, Giok Han pasti bisa
disembuhkan," hiburnya. "Kedua, orang itu
Scpasang Tabib Hutan yang terkenal sangat pandai
untuk ilmu pengobatan, tadi mereka sudah
mengatakan Giok Han berhasil mereka selamatkan,
Tenang-tenang sajalah, kita percayakan saja
204
keselamatan Giok Han ditangan mereka. Berdo'alah
kepada Thian!"
Lam Sie menyusut airmatanya, menangis terisakisak.
Dia merasakan betapa buruknya nasib Giok
Han. Ayah bocah itu dan keluarganya sudah
mengalami bencana oleh Kaisar dan sekarang
keadaan Giok Han pun demikian buruk, dalam
keadaan luka parah seperti itu.
Lama juga pintu kamar tertutup, sampai akhirnya
Tung Yang keluar.
"Arak ! Mana arak?!" Berseru tabib yang aneh
perangainya itu. "Haus! Oooo. tuan rumah yang
buruk, mana arak untuk tamu ? Apakah tamu akan
dibiarkan haus seperti aku ini ? Benar-benar tuan
rumah yang kikir !"
Yang Bu In tersenyum, dia tidak tersinggung atau
kurang senang oleh sikap Tung Yang. Yang Lan
sudah berlari pergi mengambilkan arak. .Ketika
menerima poci arak. Tung Yang segera meneguk
isinya.
"Arak yang harum! Arak yang harum!" Dia
menyusut bibirnya. "Eh nona yang manis, apakah
kau sudah menikah?"
Pipi Yang Lan jadi berobah merah dan
menggeleng malu-malu.
205
"Sayang! Sayang !" Mengeluh Tung Yang
kemudian.
Yang Lan jadi ingin tahu. "Mengapa harus
disayangkan. Locianpwe ?" Tanyanya.
Tung Yang tidak segera menjawab dia meneguk
arak dipoci, kemudian barulah dia menyahuti: "Aku
merasa sayang bahwa kau nona cantik bertemu
dengan aku, situa bangka yang tidak punya anak
Kalau aku punya anak lelaki, tentu akan kuanjurkan
agar anakku itu mengambil kau menjadi isterinya !"
Pipi Yang Lan berobah memerah, dia malu bukan
main digoda seperti itu. "Locianpwe jangan
menggodaku..." Katanya perlahan suaranya.
"Eh, aku bukan sedang menggodamu ! Aku bicara
sungguh-sungguh! Siapa yang mengodamu? Justeru
melihat kau, aku jadi menyesal bukan main,
mengapa dari dulu-dulu aku tidak bikin anak lelaki?"
Pipi Yang Lan semakin berobah merah. Kasar
memang perkataan Tung Yang, tetapi dialah
penolong keluarganya, karenanya sigadis tidak
marah. Dia cuma merasa malu.
Tung Yang membawa poci arak itu kedalam
kamar. Pintu kamar ditutupnya lagi.
Semua orang menunggu sesaat lamanya dengan
perasaan gelisah dan kuatir. Khang Thiam Lu yang
206
sudah sadar dan datang ke situ, mendengar cerita
Yang Lan dan apa yang telah terjadi selama dia
pingsan dan tak sadarkan diri.
Oooo, jadi sepasang Locianpwe itu yang sudah
menyelamatkan kita? Dulu aku pernah bertemu
dengannya dan dia menolongi jiwaku!" Kata Thiam
Lu girang.
Dua jam lebih sudah lewat, tetapi pintu kamar
tidak juga dibuka dari dalam. Fajar sudah
menyingsing, matahari sudah memancarkan
siramya. Semua orang semakin gelisah, karena
sudah selama itu pintu kamar tetap tidak terbuka.
Setelah hari mendekati siang, Lam Sie tidak bisa
menahan kegelisahannya.
Dia mengetuk pintu kamar. Walaupun Thiam Lu
dan yang lainnya melarang, tetapi Lam Sie tidak bisa
dicegah. Dia mengetak daun pintu berkali-kali. Tidak
terdengar jawaban. Dia memdorong pintu itu,
ternyata tidak dikunci, sehingga daun pintu terbuka
lebar. Tetapi didalam kamar tidak terlihat seorang
manusiapun juga hanya daun jendela yang kelihatan
terbuka lebar !
Lam Sie menjerit kaget, yang lainnya segera ikut
masuk kedalam kamar. Mereka jadi bingung. Tetapi
Thiam Lu segera melihat di tembok ada guratanguratan
dalam bentuk huruf, ternyata itulah tulisan
yang dilakukan oleh mata pedang, yang diguratkan
pada tembok, bunyinya: "Anak ini berjodoh dengan
207
kami, karenanya kalian tidak usah berkuatir
tentangnya, kami akan merawatnya baik-baik. Dari
Tung Yang dan Tung Im.
Lemas tubuh Lam Sie, yang lainnyapun
tercengang setelah membaca surat itu. Namun
akhirnya Thiam Lu menghibur Lam Sie.
"Kau seharusnya gembira Lopeh, karena ditangan
mereka Siauwya kita terjamin keselamatannya.
Mereka sepasang suami isteri yang memiliki ilmu
sangat tinggi. Memang adat mereka aneh, tetapi
mereka bukanlah penjahat2. Karena itu biarlah
Siauwya dirawat mereka."
Lam Sie cuma menangis sambil menganggukangguk
saja.
Yang Bu In sendiri menyesal atas kepergian
sepasang Tabib Hutan secara begitu, Dia belum lagi
bisa bercakap-cakap dan menjamu Sepasang Tabib
Hutan itu, sedangkan mereka sudah menyelamatkan
diri dan keluarganya.
Lam Sie selanjutnya tinggal dirumah keluarga
Yang. Karena tidak tahu harus pergi kemana. Dia
hanya berharap suatu saat kelak bisa bertemu lagi
dengan Siauwyanya.
Khang Thiam Lu tinggal selama setengah tahun
dirumah gurunya, untuk berjaga-jaga, kalau saja
suatu saat Bwee Sim Mo Lie muncul menyatroni
208
keluarga Yang. Tetapi selama itu tidak terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan, Bwee Sim Mo Lie pun
sudah tidak muncul lagi.
Kematian Cie Sun Hoat sudah diatasi, karena
pada hari itu Thiam Lu sudah membuang mayat
pemuda itu ketempat pelesiran, dibelakang gedung
berkumpulnya bunga raya (pelacur). Tempat
pelesiran itu jadi heboh dan keesokan harinya
ditutup.
Entah berapa banyak orang yang ditangkaptangkapi
oleh ayah Cie Sun Hoat, namun keluarga
Yang terhindar dari bentrokan dengan ayah Cie Sun
Hoat.
Selama tinggal dirumah keluarga Yang, hubungan
Khang Thiam Lu dengan Yang Lan semakin akrab,
setahun kemudian merekapun meresmikan
perkawinan, terangkap menjadi sepasang suami
isteri.
Pesta perkawinan itu diselenggarakan secara
meriah oleh keluarga Yang, selama sebulan penuh.
Sebagai mantu keluarga Yang, sebetulnya Khang
Thiam Lu sering juga menyesali mengapa dirinya
harus terikat oleh perkawinan? Bukankah
seharusnya dia pergi berjuang untuk membantu
para pendekar pencinta negeri bersama-sama
menentang Kaisar lalim ?
209
Bukankah seharusnya ia pergi membalas sakit
hati Giok-Goanswee, yang sekeluarga telah ditimpa
malapetaka begitu hebat? Sampai akhirnya Khang
Thiam Lu tidak bisa menahan perasaannya lagi, ia
menceritakan segalanya kepada isteri disuatu
malam. Akhirnya sepasang suami isterinya itu
memutuskan untuk merantau, guna melaksanakan
cita cita Khang Thiam Lu, yaitu membantu para
pecinta negeri untuk menentang Kaisar lalim.
Yang Bu In dan isterinya tidak bisa menahan
keinginan anak dan mantu mereka, dengan perasan
berat mereka mengijinkan. Lam Sie mengantarkan
kepergian sepasang suami isteri muda itu dengan
linangan air mata. "Kalau Tayjin bertemu dengan
Siauya, tolong beri kabar kepadaku," minta Lam Sie
waktu mereka ingin berpisahan.
Khang Thiam Lu mengiyakan dan berjanji akan
menyelidiki bagaimana keadaan Giok Han dan
Sepasang Tabib Hutan itu.
Kemana perginya Giok Han dan Sepasang Tabib
Hutan? Ternyata Sepasang Tabib Hutan sudah
memutuskan bahwa Giok Han akan mereka bawa
serta, jika diberitahukan kepada Yang Bu In atau
Thiam Lu, mereka kuatir timbul kerewelan.
Karena itu, Tung Yang memutuskan membawa
Giok Han secara diam-diam. Tung Im menyetujui.
Mereka melalui jendela kamar itu meninggalkan
210
keluarga Yang. Tung Yang yang menggendong Giok
Han yang masih dalam keadaan tidak sadarkan diri
Dengan mengandalkan Ginkang (ilmu
meringankan) tubuh mereka yang tinggi, Sepasang
Tabib Hutan itu tidak mengalami kesulitan buat
meninggalkan rumah keluarga Yang. Mereka bahkan
meninggalkan kota tersebut.
Setelah berada diluar kota Siauw An, mereka
baru beristihat, Giok Han diletakkan dibawah
sebatang pohon, matahari fajar segera menyingsing.
"Anak ini memerlukan pengobatan yang disertai
penyaluran tenaga lwekang, jika tidak tulang
pundaknya itu bisa membuatnya tidak bisa
mengerahkan seluruh tenaganya kalau bocah ini
sudah besar," kata Tung Yang sambil duduk
disamping Giok Han.
"Kiemoay, kita harus mencari tempat yang tepat
untuk pengobatan ini."
Tung Im mengangguk "Ya, memang benar,"
katanya. "Tetapi kalau kita harus membawanya
pulang, berarti urusan kita bisa berantakan. Kita
turun gurung, lagi karena untuk menyelesaikan
persoalan besar itu. Jika memang disebabkan bocah
ini kita harus gagal melaksanakan urusan besar itu,
apakah kau situa bangka tidak akan menyesal
nantinya?"
211
Tung Yang duduk termenung. Dia menggigit-gigit
bibirnya. Sikapnya tidak ugal-ugalan seperti
sebelumnya, kini tampak ia tengah berpikir sungguh,
Sampai akhirnya dia bilang: "Begini saja, kita tak
usah membawa pulang bocah ini, cukup mencari
tempat yang sepi untuk mengobatinya. Atau kalau
perlu kita menumpang dirumah penduduk, Kita obati
dia, setelah itu kita ajak dia bersama kita, sambil
membereskan urusan yang sangat penting itu."
"Baiklah," kata Tung Im. "Aku hanya menurut
saja apa yang kau putuskan, tua bangka !"
"Lebih baik kita mencari rumah penduduk yang
bisa kita tumpangi, kukira dalam tiga atau empat
hari bocah ini sudah bisa kita sembuhkan. Kita tidak
boleh menunda-nunda pengobatan untuk bocah ini,
sebab jika terlambat dan tulang Pie-peenya tidak
bisa dikembalikan seperti semula, kelak biar dia
berhasil mempelajari ilmu yang paling tinggi
sekalipun, akan percuma saja, la tidak bisa
mempergunakan ilmunya dengan sebaik-baiknya."
"Apakah ada rumah penduduk yang bisa kita
tumpangi ? Keadaan kita seperti pengemis. Apakah
ada penduduk yang mau membiarkan kita
menumpang dirumah mereka ?" Tanya Tung Im
ragu-ragu.
"Yang terpenting uang. Kita berikan uang,
mereka akan tutup mata terhadap cara berpakaian
kita!" Menyahuti Tung Yang.
212
Sambil berkata begitu Tung Yang menggendong
Giok Han, Tung Im mengikuti suaminya mencari
rumah penduduk disekitar tempat itu yang sekiranya
cocok untuk mereka tumpangi, guna mengobati Giok
Han.
Setelah melakukan perjalanan cukup jauh sampai
matahari fajar sudah menyingsing, mereka melihat
sebuah rumah penduduk yang letaknya terpencil,
sekelilingnya hanya hutan dan pohon-pohon liar
yang lebat.
Segera Tung Yang memutuskan rumah itu cocok
untuk tempat mereka menumpang sementara.
Segera mereka menghampiri rumah itu.
Rumah penduduk yang terpencil ini tidak begitu
besar, letaknya terpencil dari rumah penduduk
lainnya. Keadaan disitu sunyi sekali, tidak terlihat
seorang manusiapun juga. Pintu rumah juga tertutup
rapat-rapat Tung Yang mengetuk pintu rumah itu,
tidak lama kemudian seorang Hwesio berusia tiga
puluh tahun membukakan pintu.
Tung Yang berdua Tung Im jadi tercengang,
karena mereka tidak menyangka bahwa penghuni
rumah tersebut seorang hwesio, pendeta dengan
kepala yang botak licin.
Si Hwesio mengawasi Tung Yang dait Tung Im,
kemudian tersenyum.
213
"Omitohud," katanya sambil merangkapkan
kedua tangannya. "Ada keperluan apakah jiewie
datang kemari ?"
Tung Yang merasa sudah terlanjur datang
dirumah ini, segera memberitahukan bahwa dia
bermaksud untuk menumpang beberapa hari
dirumah tersebut. "Kalau memang Taysu tidak
keberatan kami ingin menumpang beberapa hari
disini. Anak kami ini sedang sakit demam,
karenanya kami ingin ia beristirahat dulu dengan
baik, Kalau demamnya sudah berkurang barulah
kami melanjutkan perjalanan."
Mata si pendeta bersinar sejenak mengawasi Giok
Han, kemudian mengangguk. "Sian-cai, siancai,
silahkan masuk. Tentu saja Pin-ceng tidak bisa
menolak kunjungan kalian." Dan Hwesio itu
membuka daun pintu lebih lebar.
Tung Yang berdua Tung Im sebetulnya curiga
dirumah tersebut bisa terdapat pendeta tersebut.
Tetapi mereka mengucapkan terima kasib dan
masuk. Mereka tidak gentar kalau memang
sipendeta penjahat tentu mereka bisa sekalian
menghajarnya. Mereka tidak kuatir sedikitpun juga,
sebab yakin si pendeta tidak mungkin bisa main gila
terhadapnya.
Tetapi waktu memasuki rumah itu, kembali
mereka tercengang. Didalam ruang itu terdapat tiga
orang Hwesio lainnya, yang sebaya dengan Hwesio
214
yang tadi membukakan pintu. Kecurigaan Tung Yang
dan Tung Im semakin besar.
Apa yang sedang dilakukan keempat orang
Hwesiio tersebut dirumah ini? Tung Yang dan Tung
Im berani memastikan bahwa keempat orang
Hweshio itu bukanlah pemilik rumah ini.
Ketiga orang Hweshio diruang dalam melirik
kepada Tung Yang dan Tung Im, tanpa seorangpun
berdiri atau melontarkan sepatah kata. Mereka
berdiam diri saja. Hweshio yang yang tadi
membukakan pintu, sudah mengantarkan Tung Yang
Tung Im kesebuah kamar-Giok Han diletakkan diatas
pembaringan.
Si Hweshio menutup daun pintu, sebelum
merapatkan daun pintu dia masih bilang: "Kalian
boleh tinggal disini selama kalian masih memerlukan
tempat peristirahatan, tetapi jiwie tidak boleh
mencampuri urusan apapun yang terjadi didalam
rumah ini ! Pinceng harap, kalianpun tidak usah
keluar-keluar dari kamar itu... demi kebaikan kalian
juga."
Tung Yang sebetulnya ingin bertanya pada si
Hweshio, tetapi Tung Im sudah menarik lengan
bajunya, dan Tung Im yang menyahuti: "Terima
kasih Taysu. Kami akan memperhatikan katakatamu."
215
Daun pintu sudah ditutup. Tung Yang tidak bisa
menahan perasaan ingin tahunya, dia segera
memutar tubuhnya mendekati pintu tapi lengannya
sudah ditarik oleh isterinya "Tua bangka, jangan
usil! Tidak usah kita campuri urusan mereka,
mengapa kau harus harus ngintip ngintip?"
Muka Tung Yang berobah merah, dia nyengir.
"Bukan ngintip perawan, aku hanya ingin
mengetahui apa yang mereka lakukan ditempat ini?"
"Biarkan saja apa yang ingin mereka lakukan!
Kita tidak usah mencampuri. Bocah ini sedang
memerlukan perhatian kita, untuk menyembuhkan
lukanya. Menurutku, keempat pendeta itu bukan dari
jalan hitam, mereka bukan pendeta jahat!"
"Bagaimana kau bisa mengetahui hal itu?" Tanya
Tung Yang yang tidak senang, "hati manusia siapa
yang bisa baca. Diluar kelihatan baik, tidak tahunya
hati dan perasaannya sama jahatnya seperti iblis !"
Tung Im tertawa tawar. "Kalau mereka pendetapendeta
jahat, apa yang mereka bisa lakukan
terhadap kita? Biarkan saja, jika memang mereka
mencari mampus berarti mereka membentur kita !
Tetapi menurutku, mereka bukanlah pendetapendeta
jahat!"
Tung Yang tidak memaksa untuk mengintip
kedekat pintu, dia kembali duduk di tepi
pembaringan. Memperhatikan wajah Giok Han.
216
"Kita mulai sekarang saja," kata Tung Im.
Tung Yang mengiyakan.
Segera sepasang suami isteri itu mulai menguruti
sekujur tubuh Giok Han, terutama sekali dibagian
dekat pundak si bocah, yang telah terpukul hebat
oleh Bwee Sim Mo Lie.
Memang benar Bwee Sim Mo Lie dalam beberapa
detik sebelum menghantam Giok Han, sudah
berusaha menarik pulang tenaganya dan menggeser
tangannya tidak sampai memukul kepala Giok Han,
akan tetapi tenaga pukulannya tetap merupakan
pukulan yang sangat kuat dan beracun.
Biarpun Giok Han terhindar dari kematian, namun
dia sudah terluka hebat! Terlebih pula memang Giok
Han tidak memiliki ilmu silat sedikitpun, sehingga
luka yang dideritanya itu bertambah parah saja,
menyebabkan bocah itu menahan rasa sakit yang
luar biasa sampai pingsan tidak sadarkan diri.
Sibuk sekali tampaknya Tung Yang berdua Tung
Im berusaha untuk mengurut dan menyalurkan
tenapa dalam mereka lewat telapak tangan masingmasing,
untuk disalurkan ketubuh Giok Han.
Di luar kamar, pendeta yang tadi mengantarkan
Tung Yang dan Tung Im sudah kembali kepada
ketiga orang pendeta lainnya. Salah seorang
pendeta yang duduk di sebelah kanan, menegur
217
dengan suara perlahan: "Sam-te, mengapa kau
mengijinkan orang-orang itu menumpang di sini ?
Bagaimana kalau mereka mengganggu pekerjaan
kita ?"
Pendeta yang dipanggil Sam-te menggeleng:
"Mereka orang-orang tua dan seorang anak kecil,
apa yang bisa mereka lakukan? kita tidak perlu
kuatir dan terlalu memperhatikan mereka. Anak
mereka sedang sakit demam yang keras dan kulihat
anak itu dalam keadaan pingsan. Mana pantas aku
menolak permintaan mereka buat menumpang agar
anak mereka yang sakit itu bisa beristirahat dengan
baik ?"
"Tetapi Sam-te, kau terlalu ceroboh sekali, kalau
sampai urusan ini terganggu dan rencana kita gagal,
tentu Suhu akan menegur dan menyesali kita," kata
pendeta yang seorangnya lagi.
"Jie-suheng tidak perlu kuatir. Aku jamin kedua
orang tua itu bukan orang-orang yang pantas kita
perhatikan. Biarkan saja mereka beristirahat dan
kita kita mengurus pekerjaan kita."
Pendeta yang dipanggil sebagai Jie-suheng
(kakak seperguruan nomor dua) cuma menghela
napas saja. Si pendeta yang jadi Sam-te (adik
seperguruan ketiga) sudah duduk di samping Jiesuhengnya,
katanya "Apa kah pagi ini kita mulai
mengurus pekerjaan itu ?"
218
"Ya rasanya memang kita harus mulai
melaksanakan rencana kita pagi ini. Semalaman
suntuk kita menanti di sini, tapi yang kita tunggutunggu
tidak juga datang," menyahuti Jie-suheng.
"Suhu sudah berpesan agar kita bekerja serapi
mungkin, jangan sampai menimbulkan bentrokan
yang lebih luas," kata Samte, "karenanya, kalau
memang masih bisa ditempuh dengan jalan damai,
kita harus melakukannya dengan cara yang lebih
sabar dan agak mengalah."
Pendeta yang seorangnya menggeleng.
"Aku tidak setuju," katanya. "Kalau kita
mengalah, niscaya persoalan itu tidrik bisa
diselesaikan. Malah akan menyebabkan mereka
besar kepala dan bertambah sombong."
"Apakah Toa-suheng (kakak seperguruan nomor
satu atau yang tertua) mempunyai jalan lain ?"
Tanya si Sam-te.
"Kita harus menghadapinya dengan kekerasan,
memaksa agar mereka mau menyerahkan kembali
barang-barang kita ! Jangan mereka menyangka
murid-murid Siaw Lim Sie mudah dihina. Kita harus
menjaga muka terang pintu perguruan, walaupun
harus mati kita harus tetap bersikap gagah!
Mengapa kita harus mengalah pada mereka ?"
Waktu berkata begitu, Toa-suheng ini rupanya sulit
219
menahan diri, suaranya keras sekali karena diliputi
amarah.
Hwesio yang tiga lainnya berdiam diri. Akhirnya
yang seorang yang sejak tadi berdiam diri saja, ikut
bicara : "Apa yang Toa-suheng bilang memang ada
benarnya. Kita harus memperlihatkan bahwa muridmurid
Siau Lin Sie bukanlah sebangsa manusia yang
mudah dihina sekehendak hati oleh siapa saja! Kita
harus memberikan pelajaran yang keras kepada
mereka !"
"Sie-te (adik seperguruan keempat) apakah kau
pun punya usuI?" tanya Jie-suheng.
"Aku setuju dengan Toa-suheng," menyahuti Siete
tegas. "Kita harus memberikan ganjaran yang
tepat dengan perbuatan mereka, yang sudah
meremehkan kita."
"Baiklah, kalau begitu terserah Toa-Suheng saja,
apa yang harus kita lakukan !" kata Sam te dengan
suara perlahan.
"Pagi ini juga kita harus pergi menyatroni
mereka, jika memang mereka tetap tidak mampu
memberi muka terang kepada kita buat apa kita
sungkan lagi pada mereka? Kita hadapi mereka
dengan kekerasan !" kata To-suheng.
Begitulah, Toa-suheng ini kemudian berbisik-bisik
dengan ketiga orang adik seperguruannya untuk
220
mengatur rencana mereka, Tidak lama kemudian
keempat pendeta itupun sudah meninggalkan rumah
tersebut. Waktu itu matahari pagi tengah
memancarkan sinarnya yang hangat.
Walaupun tengah sibuk mengobati luka Giok Han,
tapi Tung Yang dan Tung Im mendengar sebagian
dari pembicaraan keempat orang pendeta tadi.
Setelah diluar kamar sepi tidak terdengar suara
orang, perasaan ingin tahu Tung Yang semakin
besar. Setelah selesai menguruti sekujur tubuh Giok
Han dan memberikan semacam Yo-wan (obat
pulung) kepadanya, yang dimasukan dengan cara
memijat dagu dekat rahang si bocah, sebab Giok
Han sedang pingsan, Tung Yang keluar dari kamar.
Dia tidak melihat seorang pendetapun di ruang
tengah rumah itu. Dia memperoleh kenyataan
keempat pendeta itu sudah pergi. Tung Yang
kembali kedalam kamar.
"Aneh, entah apa yang ingin mereka lakukan ?
Dan siapa yang ingin mereka satroni untuk memberi
ganjaran seperti yang mereka katakan tadi ?!"
Menggumam Tung Yang dengan suara perlahan.
Tung Im tertawa. "Tua bangka mengapa kau
semakin tua jadi semakin usil terhadap urusan orang
lain? Biarkan saja mereka mengurus urusannya, kita
mengurus bocah ini!"
221
"Aku bukan usil ingin mencampuri urusan
mereka, cuma aku heran keempat pendeta itu entah
bentrok dengan pihak mana!"
"Kalau kau sudah tahu, apa yang ingin kau
lakukan ?"
"Tidak melakukan apa-apa."
"Hmm, kau berdusta, tua bangka! Kau tentu ingin
membantui mereka, bukan ?"
Tung Yang nyengir sambil garuk-garuk kepalanya
yang sudah penuh oleh uban, sehingga rambutnya
berwarna kelabu. "Susah dibilang," katanya
menggumam. "Seperti tujuan kita yang pertama
turun gunung ialah untuk mengurus persoalan kita.
Tapi akhirnya kita terlibat urusan bocah ini... bukan
kah ini diluar dugaan !"
"Tentang bocah ini lain persoalannya," kata Tung
Im. "Seperti telah kita ketahui, bocah ini adalah
putera bungsu Giok Goan-swee, yang lolos dari
kematian di tangan orang-orangnya Kaisar lalim.
Kita terlambat tiba di sana untuk menolong Jenderal
yang setia itu.
Karenanya, setelah ada darah daging Jenderal itu
yang sempat lolos apakah kita tidak mau turun
tangan untuk menyelamatkan keturunan Giok
Goanswee satu-satunya ? Sayangnya kau selalu
bertindak terlambat. Kita datang ke tempat Jenderal
222
Giok Hu di saat seluruh keluarga Jenderal setia itu
sudah dianiaya oleh orang-orang Kaisar lalim itu.
Kemudian kitapun terlambat mengetahui bahwa
bocah ini adalah satu-satunya keturunan Jenderal
setia itu, kita baru mengetahui waktu orang she
Khang menceritakan seluruh riwayat anak ini kepada
Yang Bu In. Barulah kita turun tangan menghalau
Bwee Sim Mo Lie !
Dulu, di tengah perjalanan kita masih belum
mengetahui bocah ini adalah keturunan satu-satunya
Jenderal Giok Hu yang masih hidup, sehingga kita
cuma menolong orang she Khang itu dan kemudian
menghindar dari Bwee Sim Mo Lie ! Sungguh kau tua
bangka yang selalu bekerja lambat !"
"Kie-moay, kau tidak bisa mempersalahkan aku,"
kata Tung Yang, "kau juga bersalah !"
"Aku bersalah ?! Tung Im berdiri dengan bertolak
pinggang. "Oooh, tua-bangka! Kau pandai sekali
bersilat lidah! Mengapa kau begitu hina tidak berani
mengakui kesalahanmu?"
"Aku bukan membantah bahwa aku ini tidak
bersalah" menyahuti Tung Yang sambil gasuk-garuk
kepala. "Waktu itu kau cemburu, kalau kita bertemu
dengan Bwee Sim Mo Lie mungkin aku akan teringat
pada Thio Eng Goat, iblis yang cantik jelita itu.."
223
"Hu, memang kau seorang tua bangka yang
ceriwis, maka mana bisa aku percaya penuh padamu
? Selalu kau sulit menahan diri kalau melihat wanita
cantik. Murid si iblis Thio juga sangat cantik, kalau
kubiarkan kau bertemu dengannya berarti kau akan
mengalami sulit tidur selama sepuluh hari. Tidak
enak makan dan selalu bengong memikirkan murid
si iblis Thio itu !"
"Tetapi akhirnya kita berdua keluar
memperlihatkan diri dan bertemu dengan murid si
iblis Thio itu, bukan ?"
"Ya, demi menyelamatkan jiwa bocah ini !"
"Nah, Kie-moay, kau lihatlah! Apakah setelah
bertemu dengan murid si iblis she Thio itu aku sulit
tidur dan tidak enak makan? Tokh tidak ?"
"Hmmmm !" Mendengus Tung Im sambil duduk
kembali ditepi pembaringan.
"Dengarlah Kie-moay, walaupun bagaimana
dimataku tidak ada wanita cantik lainnya didunia ini
selain kau! Kau merupakan isteriku yang cantik,
yang baik hati dan sangat kucintai !"
Merah pipi Tung Im. Walaupun sudah sama-sama
tua, tapi mendengar pujian seperti itu, berkembang
girang hati Tung im. Dia girang bercampur malu.
224
"Hu, rayuan gombal yang tidak ada harganya !
Kita sudah sama-sama tua dan sebentar lagi akan
masuk liang kubur. Jangan coba-coba merayuku
dengan rayuan murah seperti itu !"
Tung Yang tersenyum. Dia menghampiri
isterinya.
"Oooo, isteriku yang cantik, ternyata kau masih
saja memiliki rasa cemburu yang besar dan
berlebihan? Sampai mati, aku akan tetap mencintai
kau. Percayalan, aku tidak mungkin bisa hidup
didunia ini tanpa kau ! Aku boleh kehilangan seluruh
ilmu silatku, kehilangan jiwaku, tetapi janganlah
kehilangan kau!" Sambil berkata begitu, disertai
tertawa, Tung Yang merangkul istrinya.
Tung Im meronta sambil memukuli dada Tung
Yang. "Cisss, tua bangka tidak tahu malu" Makinya,
tapi hatinya senang bukan kepalang. Malah,
akhirnya dia tidak memukuli dada Tung Yang dan
merebahkan kepalanya didada Tung Yang. Memang,
walaupun mereka sudah sama-sama tua, tapi selalu
mesra. Sikap mereka terbuka dan sering bergurau.
Tung Im dan Tung Yang sebetulnya sejak sepuluh
tahun yang lalu sudah tidak pernah turun gunung.
Mereka hidup mengasingkan diri tidak pernah mau
tahu tentang peristiwa dalam kalangan Kangouw.
Memilih hidup tenang tanteram ditempat
pengasingan mereka, yaitu dipuncak gunung Bie
San.
225
Walaupun sebelumnya mereka merupakan
sepasang pendekar aneh yang berkepandaian sangat
tinggi dan jarang menemui tandingan tapi mereka
tidak pernah berpikir lagi untuk melibatkan diri
dalam berbagai urusan Kangouw.
Bahkan Tung Yang sudah bersumpah bahwa ia
akan melewati hari-hari tuanya bersama isterinya
tanpa mempergunakan pedang maupun ilmu
silatnya. Seperti juga jago tua ini sudah menyimpan
pedang dan ingin melewati usia tuanya dengan
tenang sebagai manusia biasa.
Sengaja mereka memilih tempat yang sepi dan
tersembunyi di puncak Bie San, karena kuatir
ketenangan mereka diganggu oleh kedatangan
teman atau pun lawan. Maka sejak Tung Yang
berdua Tung Im mengasingkan diri, tidak ada
seorangpun, baik lawan maupun kawan, yang
mengetahui dimana tempat pengasingan mereka.
Bahkan, tidak ada seorangpun yang mengetahui
apakah Tung Yarg dan Tung Im masih hidup.
Tetapi, tampaknya memang Tung Yang dan Tung
Im sulit untuk hidup tenang tenteram dan tidak
melibatkan diri dalam urusan Kangouw, sebab
disuatu sore disaat Tung Yang turun gunung, untuk
membeli beberapa kebutuhan mereka dikampung
yang ada dikaki gunung Bie San sebelah Barat,
justeru Tung Yang bertemu dengan beberapa puluh
orang Kangouw yang berkumpul di kampung itu.
226
Tentu saja Tung Yang heran menyaksikan
munculnya demikian banyak orang Kangouw
dikampung jang biasanya sangat sepi. Dia segera
mengikuti gerak-gsrik puluhan orang Kangouw itu,
memasang telinga mendengarkan percakapan
mereka. Ternyata puluhan orang Kangouw itu adalah
para pendekar yang setia pada negeri dan mereka
tengah melakukan perjalanan kedaerah sebelah
timur dari propinsi Ciatkang, untuk menolongi
Jenderat Giok Hu.
Berita tentang akan dihukumnya Jenderal Giok
Hu sekeluarga oleh Kaisar Yong Ceng sudah tersiar
dikalangan pendekar gagah pecinta negeri. Karena
Kaisar Yong Ceng menduga Jenderal Giok Hu
mempunyai hubungan baik dengan pujangga Giam
Cu serta ingin bekerja sama dengan pujangga
ternama, yang tengah giat menghimpun para
pendekar untuk coba membangun negeri dan
meruntuhkan Yong Ceng.
Kaget bukan main Tung Yang mendengar semua
itu. la tidak menyangka bahwa Jenderal Giok Hu
yang sangat terkenal setia itu tengah terancam
bahaya maut. Segera ia kembali kepuncak Bie San
dan menceritakan kepada isterinya, mengajak untuk
turun gunung, guna membantu dan melindungi
Jenderal Giok Hu.
Tung Im tidak bisa menolak keinginan suaminya,
begitulah mereka turun gunung, untuk pergi
membantui Jenderal Giok Hu. menyelamatkan
227
Jenderal itu bersama keluarganya. Tetapi
kedatangan mereka terlambat. Dua hari setelah
terjadi pembantaian di rumah keluarga Jenderal Giok
Hu. Mereka hanya menyaksikan para pendekar yang
datang terlambat juga ketempat itu, menangisi
mayat-mayat malang melintang digedung istana
Jenderal Giok Hu.
Beberapa orang pendekar gagah membawa
mayat Jenderal Giok Hu, untuk mempersatukan
kembali kepala dengan tubuh dan kemudian dikubur
disuatu tempat yang dirahasiakan.
Kedatangan para pendekar gagah dan Sepasang
Tabib Hutan terlambat, karena orang orang Kaisar
Yong Ceng pun sudah mendengar tentang
bergeraknya banyak para pendekar gagah yang
ingin membantui Jenderal Giok Hu.
Kalau Hal itu terjadi, tentu orang-orang Kaisar
menghadapi kesulitan tidak kecil. Mereka
mempecepat perjalanan dan empat hari lebih cepat
mendahului dari rencana sebelumnya. Karenanya
waktu itu keluarga Jenderal Giok Hu dibantai tanpa
kesulitan apa-apa. Disamping Jenderal Giok Hu
tinggal di Istananya tanpa memiliki banyak pengawal
Sebab seluruh pasukan ditempatkan di Markas Besar
dan diperbatasan. Hukuman yang dijatuhi Kaisar
Yong Ceng pun sangat cepat pelaksanaannya,
sehingga orang yang setia kepada Jenderal Giok Hi
belum lagi sempat datang untuk menyelamatkan
Jenderal yang setia tersebut.
228
Celakanya, Jenderal Giok Hu pun tidak
bermaksud untuk mengadakan perlawanan, ia tidak
mau disebut sebagai Jenderal pemberontak, la
menerima hukuman yang dijatuh Kaisar Yong Ceng
dengan cara bunuh diri memotong lehernya sendiri
sampai putus. Kematian yang sangat mengenaskan.
Bukan main kecewanya Sepasang Tabib Hutan
atas keterlambatan mereka tiba di Istana Jendral
Giok Hu. Mereka yakin, jika waktu itu mereka berada
digedung Jenderal Giok Hu, niscaya bisa
menyelamatkan Jenderal setia itu maupun
keluarganya.
Dalam keadaaan bersedih dan uring-uringan
seperti itu, justeru Sepasang Tabib Hutan bertemu
dengan Khang Thiam Lu yang dalam keadaan terluka
di dalam yang parah. Tung Yang menolong Thiam Lu
dengan memberikan obat serta menghantam
punggungnya, guna membuka beberapa jalan darah
di tubuhnya tidak berbahaya lagi. Mereka kemudian
pergi. Sedikitpun mereka tidak menyangka bahwa
bocah yang bersama Thiam Lu adalah keturunan
satu-satunva Jenderal Giok Hu yang masih hidup.
Kalau mereka mengetahui tentu disaat itu juga
mereka rawat. Sampai akhirnya mereka mendengar
tentang sepak terjang Bwee Sim Mo Lie, tetap tidak
memperlihatkan diri pada iblis ganas itu. Hanya
mengikuti rombongan Thiam Lu secara diam-diam
dan memberikan perlindungan.
229
Sebetulnya. sudah beberapa kali Bwee Sim Mo Lie
ingin mencelakai Khang Thiam Lu bertiga Lam Sie
dan Giok Han. sebab selama belum membunuh
ketiga orang itu, seialu juga Bwee Sim Mo Lie masih
penasaran. Dia ingin membunuh secara diam-diam,
untuk membuktikan walaupun bagaimana dia
merupakan pembunuh nomor satu di dunia.
Biarpun di mulut sudah berjanji pada Giok Han,
untuk melepaskan ketiga orang itu dari kematian,
tapi hatinya tetap tidak puas. Dia berusaha untuk
membunuh Thiam Lu bertiga secara diam-diam
dengan jarum beracunnya.
Cuma saja. Sepasang Tabib Hutan selalu bisa
menggagalkan usaha Bwee Sim Mo Lie, dengan cara
memberikan pertolongan secara diam-diam.
Akhirnya sampailah Thiam Lu bertiga di rumah
keluarga Yang, barulah Sepasang Tabib Hutan
mengetahui bahwa bocah yang bersama Thiam Lu
adalah Giok Han.
Waktu itu mereka sebetulnya ingin segera
memperlihatkan diri, tapi akhirnya menunda
keinginan tersebut, sebab mereka mengetahui Bwee
Sim Mo Lie tengah berkeliaran di sekitar rumah
keluarga Yang, ingin menceIakai keluarga Yang, juga
Thiam Lu Lam Sie dan Giok Han.
Sebab itulah Sepasang Tabib Hutan itu tetap
tidak memperlihatkan diri. Sampai akhirnya di saat
Yang Lan mengalami ancaman bahaya, mereka
230
muncul memperlihatkan diri. Tidak ada jalan lain,
karena mereka melihat Giok Han pun sudah terluka
oleh tangan ganas Bwee Sim Mo Lie.
Maunya Tung Im. jika tidak perlu mereka tidak
usah memperlihatkan diri. Mereka boleh
memberikan perto'ongan secara diam-diam: Siapa
tahu, Giok Han pun dicelakai oleh Bwee Sim Mo Lie
dan mereka tidak ke buru untuk muncul
menolonginya, sebab bersembunyi agak jauh. Dan
itulah sebabnya sepasang suami isteri ini akhirnya
harus memperlihatkan diri juga.
Sekarang justeru mereka memperoleh kenyataan
Giok Han terluka cukup parah, jika tidak
memperoleh pengobatan yang tepat niscaya bisa
merugikan masa depan Giok Han. Sebagai Sepasang
Tabib yang sangat liehay dalam ilmu
pengobatannya, tentu saja Sepasang Tabib Hutan
tersebut mengetahui benar, bahwa luka Giok Han
bisa saja disembuhkan dalam waktu singkat, hanya
di bagian luar belaka.
Sedangkan bagian dalamnya rusak. Dan kelak
jika sudah dewasa tentu bocah itu akan mengalami
kesulitan untuk mempergunakan Lwekangnya.
Karena Tung Yang maupun Tung Im mengetahui
Giok Han harus disembuhkan dalam arti yang
sebenar-benarnya sembuh, agar tidak menimbulkan
kesulitan lagi buat anak itu kalau sudah dewasa.
231
Penyembuhan yang utama adalah melenyapkan
hawa beracun yang sudah meresap ke dalam tulang
pundak Giok Han yang patah. Kalau hanya untuk
sekedar menyambung tulang pundak si bocah, itu
bukan pekerjaan yang sulit. Sekarang justeru yang
sulit, harus memulihkan kembali seluruh urat dan
otot di pundak itu, agar tidak ada sedikitpun sisa
hawa racun tangan maut Bwee Sim Mo Lie.
Hari itu di rumah tempat mereka menumpang
sangat sepi, tidak terlihat seorang manusiapun juga.
Keempat orang pendeta itupun tidak terlihat mata
hidungnya. Beberapa kali Tung Yang keluar dari
kamar, tetap saja ia belum melihat keempat pendeta
itu kembali.
Mendekati sore, Tung Yang dan Tung lm yang
tengah menguruti lagi sekujur tubuh Giok Han, agar
hawa racun di tubuh bocah itu keluar semuanya,
mendengar suara ribut-ribut di luar kamar.
Kemudian sunyi lagi. Selesai melakukan pengurutan,
Tung Yang keluar.
Dilihatnya keempat orang pendeta itu sudah
kembali, tapi keadaan mereka sangat luar biasa,
keempat orang Hwesio itu semuanya menderita
luka-luka disekujur tubuh, keadaannya sangat
mengenaskan sekali, jubah kependetaan merekapun
koyak-koyak.
Darah yang menodai pakaian tampak
dipunggung, lengan, muka dan bagian tubuh
232
lainnya, keadaan keempat Hwesio itu sangat
menyedihkan.
Tung Yang melihat keadaan keempat orang
Hwesio itu, jadi berdiri tertegun sejenak, kemudian
kembali ke dalam kamar. Sedangkan keempat
pendeta itu hanya melirik sekilas pada Tung Yang
dan mereka berdiam diri. Muka mereka murung.
Rupanya mereka sudah dirubuhkan oleh lawan
dengan cara menyedihkan sekali. Tidak ada seorang
pun di antara keempat pendeta itu yang bersuara.
Semuanya bungkam.
Tung Im kaget waktu diberitahukan Tung Yang
tentang keadaan keempat orang Hwesio itu.
"Apa yang sudah terjadi pada mereka?"
Menggumam Tung Im.
Tung Yang nyengir.
"Sudah jelas mereka kena dirubuhkan oleh lawan
dengan menyedihkan." kata Tung Yang. "Entah siapa
lawannya, tampaknya ilmu pedangrya tak boleh
dipandang remeh Walaupun keempat orang Hwesio
itu merupakan pendeta-pendeta yang belum tinggi
Lwekangnya, dan hanya terbawa oleh emosi
disebabkan usia muda, tapi mereka adalah muridmurid
Siauw Lim Sie yang tidak boleh terlalu
diremehkan ilmunya. Kalau memang mereka tidak
ketemu lawan yang benar-benar liehay, tentu
berempat keadaan mereka tidak rusak seperti itu."
233
Tung Im mengangguk. "Ya, seharusnya mereka
sedikitnya masih bisa mempertahankan diri. Ilmu
silat pedang Siauw Lim Sie memiliki pertahanan
yang kuat dan ketat, tidak mungkin sembarangan
orang bisa merubuhkan mereka berempat dengan
keadaan menyedihkan seperti itu."
Waktu Tung Yang mau berkata-kata lagi tiba-tiba
terdengar salah seorang dari keempat pendeta itu
berkata: "Benar-benar memalukan hari ini kita
dirubuhkan dengan cara yang menyedihkan seperti
ini ! Entah apa kata suhu jika kita laporkan semua
ini!"
"Sudahlah Toa-suheng, walaupun bagaimana kita
harus melaporkan kepada Suhu. Tidak mungkin kita
menghadapi mereka, kepandiannya memang jauh
diatas kita. Bukankah merekapun mengatakan, jika
tidak memandang kita dari tingkatan muda, mereka
akan membinasakan kita? Kalau melihat ilmu
pedang mereka, memang ancaman mereka bukan
main-main dan bisa saja mereka membuktikan
untuk membinasakan kita. Buktinya, setiap disebut
bagian mana anggota tubuh kita akan dilukainya,
meka bagian tersebutlah yang terluka, walaupun kita
sudah berjaga-jaga dengan rapat."
"Tetapi bagaimana dengan barang kita?" tanya
pendeta lainnya.
"Kita serahkan saja pada Suhu untuk meminta
dari mereka !"
234
"Tetapi pamor kita sudah runtuh ditangan
mereka, dua orang manusia aneh itu!"
Jilid ke 6
"Ya, kita tidak perlu mati, Toa-suheng. Memang
manusia aneh itu memiliki kepandaian yang sangat
tinggi, yang mungkin setingkat dengan guru kita.
Kalau kita rubuh di tangan mereka, kita tidak perlu
menyesal."
"Bagaimana kalau mereka menghilang tanpa
meninggalkan jejak di saat kita pergi memberikan
laporan pada suhu ?"
"Kita atur begini saja, dua dari kita pergi melapor
pada Suhu, dua lainnya tetap mengawasi mereka."
"Hai, hai," terdengar Toa-suheng menghela napas
dalam-dalam. "Siapa sangka urusan ini meluas
semakin ruwet, kalau Suhu yang menemui mereka
dan sampai Suhu rubuh di tangan mereka, bukankah
pamor Siauw Lim Sie runtuh di tangan kita?"
"Mana mungkin Suhu rubuh di tangan mereka?
Bukankah Suhu sangat liehay dan jangankan
mereka, sedangkan kalau sekarang berkumpul
beberapa orang aneh lainnya yang membantu
mereka, Suhu mungkin masih bisa menghadapi
dengan baik."
235
"Sam-te, urusan ini sebetulnya urusan kecil, di
mana Suhu pernah bilang, jika kita bisa meminta
secara baik-baik, memang ada baiknya kita tidak
perlu mempergunakan kekerasan, Suhu bilang,
dengan memandang Siauw Lim Si., mungkin mereka
mau mengembalikan barang-barang kita. Tetapi
kenyataannya, kita tidak memberi muka terang,
mereka malah mengejek, di katakannya Siauw Lim
Sie pintu perguruan apa dan apa harganya disebutsebut
di depan mereka ? Diwaktu itu aku tidak bisa
menahan diri dan mulai membuka serangan,
karenanya Kita akhirnya mengalami kejadian
menyedihkan dan memalukan ini, di mana kita
dirubuhkan dengan mudah oleh mereka.
Jika hal itu diketahui oleh Suhu, apakah Suhu
bisa menahan diri untuk bicara baik-baik dengan
mereka? Jika sampai terjadi pertempuran dan suhu
dirubuhkan mereka, inilah repot. Berarti urusan akan
meluas. Kalau tetua-tetua kita harus turun gunung
mengurus persoalan mi, bukankah Siau Lim Sie akan
kehilangan muka ?!"
Sejenak keadaan jadi hening, tidak terdengar
suara ke empat orang pendeta itu. Tampaknya
mereka sedang bingung.
Tung Yang berdua Tung Im pun merasa heran.
Entah urusan apakah yang tengah di-hadapi
keempat orang pendeta Siauw Lim Sie itu ? Barang
apakah yang ingin mereka minta? Siapakan MEREKA
yang dimaksudkan oleh keempat orang pendeta
236
Siauw Lim Sie itu. yang tampaknya memiliki
kepandaian sangat tinggi dan ilmu pedang yang
tidak bisa diremehkan? Lalu siapa guru keempat
murid Siauw Lim Sie itu ?
Karena semua pertanyaan itu tidak bisa terjawab,
dasar memang Tung Yang memiliki tabiat selalu
ingin tahu urusan orang lain, jadi merasakan hatinya
gatal. Semakin lama hatinya semakin terkitik oleh
keinginan buat mengetahui persoalan yang
sebenarnya. Dia nyengir kepada isterinya,
bilangnya: "Aku akan keluar buat menanyai umsan
apakah yang sedang mereka hadapi. Mereka muridmurid
Siauw Lim Sie, tampaknya urusan mereka
adalah urusan yang benar, Tidak ada salahnya kalau
kita membantu mereka, jika memang diperlukan."
"Hai, hai," menghela napas Tung Im. "Kembali
kumat sifat usilmu !"
Tetapi Tung Yang cuma nyengir dan isterinya
tidak menahannya waktu dia keluar dari kamar.
Keempat pendeta itu berpaling mengawasi Tung
Yang, tidak ada yang menyapanya, Tung Yang
menghampirinya sambil tertawa. "Aduh, aduh,
mengapa keadaan Siewie Taysu seperti itu ?", tanya
Tung Yang "Kebetulan aku memiliki obat luka, kalau
kalian tidak keberatan menerimanya, mau aku
berikan buat kalian !"
237
Sambil berkata begitu Tung Yang mengeluarkan
empat butir Yo wan berwarna coklat tua dan
menyerahkan kepada keempat pendeta itu. Keempat
pendeta tersebut ragu-ragu menerima Yo-wan itu,
mengawasinya sejenak, kemudian si Hwe-shio yang
jadi Toa-suheng bertanya pada Tung Yang :
"Lojinke, siapakah Lojinke sebenarnya ?"
"Aku si orang tua perantauan yang tidak punya
tempat tetap," menjawab Tung Yang "Silahkan
Siewie Taysu makan obatku, jangan kuatir, obat itu
bukan racun, pasti bisa menyembuhkan luka-luka
Taysu sekalian, kebetulan memang aku si tua
mengerti sedikit-sedikit ilmu pengobatan."
Keempat orang pendeta itu berdiam bimbang,
sampai si Toa-suheng memecahkan pembungkus Yowan
dan menciumnya. Dia merasakan harum
semerbak dari Yo-wan tersebut, menunjukkan
bahwa itulah obat yang sangat baik sekali, karena
memancarkan harumnya Cengsom dan kolesom.
Juga ia mencium beberapa bau obat-obat lainnya
yang diramu dalam Yo-wan tersebut.
Akhirnya ia menelan Yo-wan tersebut, ketiga
orang hweshio lainnya mengikuti perbuatan Toasuheng
nya. Mereka pun menelan Yo-wan di tangan
masing-masing. Segera mereka merasakan
semangat mereka pulih, jauh lebih segar dan
sebelumnya.
238
Si Toa-suheng merangkapkan kedua tangannya,
katanya: "Pin-ceng Kam Siang Cie mengucapkan
syukur dan terima kasin pada Lojinke. Tampaknya
Lojinke sedang menghadapi kesulitan dengan anak
Lojinke yang kabarnya menderita demam. Apakah
sekarang anak Lojinke sudah sembuh ?"
Tung Yang nyengir. "Sudah, sudah sembuh,"
katanya. "Sekarang keadaannya jauh lebih baik.
Tetapi justeru aku si tua jadi heran melihat Taysu
berempat mengalami keadaan seperti itu. Siapakah
penjahat yang telah menganiaya kalian berempat?"
Kam Siang Cie menghela napas dengan wajah
murung, katanya kemudian: "sebetulnya sungguh
memalukan sekali. Kami kebetulan bertemu dengan
lawan yang sangat tangguh, kami berempat rubuh
ditangan mereka. Walaupun Pinceng bersama tiga
Sute Pinccng berusaha mengadakan perlawanan,
tetap saja nihil. Kedua ojang musuh kami itu benarbenar
tangguh. Mereka. bernama Thian Tee Jie Kui
(Dua Iblis Bumi Langit)"
Muka Tung Yang berobah, dia berseru kaget.
"Apa ?", tanyanya. "Thian Tee Jie Kui berada disini ?"
Melihat sikap Tung Yang, keempat pendeta itu
memandang heran dan bercuriga. Memang Kam
Siang Cie sejak pertama kali melihat Tung Yang dan
Tung Im, ia sudah bercuriga bahwa kedua orang tua
itu bukanlah orang biasa. Sekarang mendengar
tentang Thian Tee Jie Kui muka Tung Yang berobah,
239
walaupun sejenak saja, itu sudah cukup menambah
kecurigaan Kam Siang Cie dan ketiga orang adik
seperguruannya. Mereka jadi semakin berwaspada.
"Benar," menyahuti Kam Siang Cie. "Thian Tee Jie
Kui yang telah "melukai kami, Apakah Lojinke kenal
dengan mereka?"
"Tung Yang sudah bersikap biasa, dia nyengir
sambil garuk-garuk kepalanya.
"Tidak. tidak hanya sering dengar tentang
mereka," katanya. "Kabarnya Thian Tee Jie Kui
sangat hebat ilmunya, jarang yang bisa menandingi
mereka."
Dimulut dia berkata begitu, dihatinya Tung Yang
justeru berpikir! "Aneh, keempat keledai gundul ini
tidak tahu selatan, mereka berani bermusuhan
dengan Thian Tee Jie Kui? Mana mereka bisa layani
kedua iblis Bumi Langit itu ? Seratus pendeta seperti
mereka sekalipun tidak mungkin bisa melayani Thian
Tee Jie Kui "
"KaIau begitu Lojinke banyak mendengar tentang
kalangan Kangouw dan tentunya Lojinke sendiripun
orang Kangouw," kata Kam Siang Cie.
Tung Yang nyengir lagi.
"Ya, ada beberapa orang Kangou-w yang jadi
sahabatku, dari merekalah aku mendengar kisahKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
240
kisah tentang Kangouw," menyahuti Tung Yang.
"Oya, barang apa yang sebetulnya Taysu berempat
ingin ambil dari Thian Tee Jie Kui?"
Kam Siang Cie bersama tiga orang saudara
seperguruannya bimbang, mereka saling
mengawasi. Tetapi akhirnya Kam Siang Cie
memutuskan untuk menceritakan apa yang tengah
mereka lakukan dan telah dialami oleh mereka,
karena mengingat budi kebaikan Tung Yang yang
sudah memberikan obat luka kepada mereka.
Tampaknya Tung Yang pun bukan sebangsa manusia
tidak baik.
"Sebetulnya kami malu buat menceritakannya,"
bercerita Kam Siang Cie akhirnya. "Sebulan yang
lalu dua orang Sute Pinceng melakukan perjalanan
turun gunung untuk mengawal barang yang akan
dikirim ke Bu Tong Pay..."
"Aneh !" Mcmotong Tung Yang tiba-tiba.
"Bukankah selama ini Siauw Lim Sie memiliki
peraturan yang keras, bahwa murid-muridnya
dilarang untuk jadi piauwsu (pengawal barang
kiriman) maupun membantu pekerjaan Piauw-kiok?
Apa yang didengar olehku situa, jika ada murid
Siauw Lim Si yang melanggar larangan tersebut
akan menerima hukuman sangat berat dari pintu
perguruan ? Juga yang aneh, justeru seperti Tay-su.
tidak memakai gelaran seperti pendeta-pendeta
Siauw Lim Sie lainnya, Taysu hanya memakai tiga
huruf nama, yaitu Kam Siang Cie...!"
241
Kam Siang Cie menghela napas, lesu sekali
sikapnya. "Tentang gelaran memang kami belum
berhak memakainya, karena kami adalah murid
Siauw Lim Sie tingkat kesembilan. Murid-murid
Siauw Lim Sie yang sudah mencapai tingkat empat,
barulah mempergunakan gelaran dengan resmi."
"Jadi pendeta-pendeta Siauw Lim Sie dari tingkat
kelima kebawah belum boleh memakai gelaran?"
Tanya Tung Yang tambah heran.
"Ya. memang peraturannya begitu. Tetapi
biaranya murid-murid dari piniu perguruan kami
sudah mempersiapkan gelaran untuk dirinya, yang
dipergunakannya jika turun gunung. Ialu bagi muridmurid
yang tidak mematuhi peraturan pintu
perguruan. Kami kira melanggar peraturan seperti
itu tidak baik buat kami, mengapa kami harus
memaksakan diri memakai gelaran kependetaan,
sedangkan kedudukan kami memang belum sampai
pada tingkat yang telah ditetapkan? semua
peraturan tersebut untuk mencegah murid-murid
yang belum mencapai tingkat empat melarikan diri
turun gunung, karena merasa kepandaiannya sudah
cukup. Biasanya murid dari pintu perguruan kami
yang sudah mencapai tingkat keempat, barulah
menyadari, betapapun juga mereka harus lebih
menyempurnakan kepandaiannya. Kesadaran
mereka Iebih penuh dan baik dari murid-murid
tingkat lima, keenam atau ketujuh dan seterusnya.
Banyak orang yang sengaja datang ke Siauw Lim Sie
kami untuk mempelajari ilmu silat kami, hanya
242
untuk memiliki ilmu silat dan setelah merasa cukup
dengan ilmu siiat yang mereka peroleh, akan turun
gunung dengan cara melarikan diri. Mereka tidak
mau menjadi pendeta seumur hidupnya.
Sebab itu, buat apa mereka mempergunakan
gelaran dulu, jika pada akhirnya tokh mereka
melarikan diri ? Bukankah jika terjadi persoalan
seperti itu, murid yang melarikan diri itu sudah bisa
mempergunakan namanya terus dan tidak usah jadi
pendeta, juga tidak mempersulit pintu perguruan
kami"
Tung Yang mengangguk-angguk baru mengerti.
"Ooo, kiranya begitu..." katanya.
"Tentang peraturan yang menyatakan murid
Siauw Lim Sie dilarang ikut mencampuri urusan
piauwkiok, memang Lojinke tidak salah. Ada
peraturan seperti itu, jika ada murid Siauw Lim Sie
dari tingkat keberapa saja, yang diketahui jelas
membantu kegiatan Piauwkiok, maka akan dijatuhi
hukuman yang berat. Selama sepuluh tahun harus
duduk bersemedhi menghadapi tembok, untuk
menebus dosa mereka.
Tetapi kedua Sute Pinceng yang turun guaung
justeru tidak ada urusan dengan pihak Piauwkiok.
Mereka malah menerima tugas dari guru kami untuk
membawa sesuatu barang, yang akan diberikan
kepada pihak Bu Tong Pay, kepada Ciangbunjin
243
pintu perguruan tersebut, karena barang itu sangat
penting sekali dimana mencegah timbulnya salah
paham diantara Siauw Lim Pay dan Bu Tong Pay.
Barang itu bisa membuktikan bahwa pihak Siauw
Lim Sie tidak bersalah terhadap pembunuhan masal
belasan orang murid Bu Tong Pay dikota Bian Sang.
Tetapi sayang, justeru dalam perjalanan kedua Sute
Pinceng telah di lukai oleh Thian Tee Jie Kui, tetapi
kami gagal untuk merampas kembali barang itu dari
tangan Thian Tee Jie Kui, dia benar-benar manusiamanusia
aneh berkepandaian sangat lihay." Setelah
berkata begitu, Kam Siang Cie menghela napas
dalam-dalam, mukanya murung.
"Barang apa yang Taysu maksudkan sebagai
barang bukti itu ?", tanya Tung Yang semakin
ketarik. "Bolehkah aku situa mengetahuinya ?"
Sepasang alis Kam Siang Cie mengkerut,
menunjukkan keraguan. Kemudian baru dia
memberitahukan. "Dua pucuk surat, didalam surat
itu dijelaskan siapa pembunuh belasan murid Bu
Tong Pay ! Kalau surat itu tidak sampai ketangan
ciangbunjin Bu Tong Pay, niscaya akan menimbulkan
salah paham besar, akhirnya melahirkan bentrokan
keras antara Siauw Lim Sie dengan Bu Tong Pay,
sebab baru-baru ini justeru banyak orang-orang
Kangouw menuduh pelaku pembunuhan masal
terhadap murid-murid Bu Tong Pay adalah pihak
Siauw Lim Pay!
244
Celakanya lagi, justeru pada setiap korban
terdapat tanda lima jari tangan, yang ada didada
masing-masing, tanda bekas pukulan Sin Wan Kun
Hoat, salah satu ilmu pukulan Siauw Lim kami, ltulah
sebabnya banyak yang menduga bahwa pembunuh
murid-murid Bu Tong Pay dilakukan oleh orang
Siauw Lim.
Kami selama sebulan lebih melakukan
penyelidikan dan berhasil menemukan dua pucuk
surat sebagai tanda bukti bahwa pelakunya bukan
orang Siauw Lim, kami ingin mencuci bersih nama
baik pintu perguruan kami, karenanya guru kami
perintahkan dua orang Sute Pinceng, yaitu Liok Sute
dan Ngo Sute untuk mengantarkan barang bukti itu
kepada Ciangbunjin Bu Tong Pay, agar selanjutnya
kami dua pintu perguruan bisa bersama-sama
melakukan penyelidikan siapakah pembunuh kejam
yang sebenarnya.
Namun, siapa sangka muncul Thian Tee Jie Kie,
yang merampas barang bukti itu. Kedua adik
seperguruan Pinceng pulang dalam keadaan luka
parah, sebetulnya Suhu sudah tak sabar lagi dan
ingin menemui Thian Tee Jie Kui, hanya saja setelah
dipertimbangkan Suhu perintahkan kami berempat
untuk meminta pulang barang bukti itu, sebab kalau
Suhu yang menemui Thian Tee Jie Kui sulit
menghindarkan pertempuran lagi. Rupanya memang
Thian Tee Jie Kui mencari-cari urusan dengan pihak
kami, ia malah menghina dan melukai kami."
245
Tung Yang mengangguk, ia mulai mengerti duduk
persoalannya. Di dalam hatinya Tung Yang berpikir:
"Ya, memang tampaknya Thian Tee Jie Kui mencaricari
urusan dengan pihak Siauw Lim. la sengaja
melukai dua adik seperguruan pendeta ini, tidak
dibunuhnya. Padahal jika Thian Tee Jie Kui mau, dia
bisa melakukannya dengan mudah. Demikian juga
terhadap keempat pendeta ini.
Tampaknya persoalan bukan urusan enteng, di
balik semua ini pasti tersembunyi urusan yang cukup
ruwet. Kalau sampai Siauw Lim dengan Bu Tong
bentrok, inilah hebat."
Kam Siang Cie menghela napas, katanya lagi
dengan lesu: "Kami telah dirubuhkan, pamor kami
sudah runtuh, kami bermaksud pulang, terima kasih
atas hadiah obat Lojinke."
"Tunggu dulu," kata Tung Yang. "Sekarang Thian
Tee Jie Kui berada di mana ?"
Kam Siang Cie tidak segera menyahuti, ia
mengawasi, Tung Yang sejenak, baru kemudian
katanya : "Mereka berdiam di lamping bukit Kiesung,
tidak terlalu jauh dari sini !"
"Mari kita pergi menemui mereka !" ujar Tung
Yang sambil berdiri.
Kam Siang Cie berjingkrak karena kaget demikian
juga tiga orang aiik seperguruannya.
246
"Lojinke...?" Suara Kam Siang Cie tidak lancar.
Tung Yang nyengir. "jangan kuatir, kalian tidak
akan celaka di tangan mereka. Aku punya cara
untuk meminta surat-surat penting kalian dari
tangan mereka."
Sekarang Kam Siang Cie berempat semakin yakin
bahwa orang tua di depan mereka ini bukanlah
orang sembarangan. Tapi mereka bimbang, apakah
orang tua ini bisa menghadapi Thian Tee Jie Kui ?
Apa yang bisa dilakukan Tung Yang? Cara apa yang
katanya bisa dipergunakan untuk meminta suratsurat
penting dari kedua iblis itu ?
Melihat Kam Siang Cie berempat mengawasi
ragu-ragu padanya, Tung Yang nyengir lagi,
katanya: "Jangan kuatir, kujamin tidak akan terjadi
sesuatu yang tidak menyenangkan pada kalian.
Tunggu, aku ingin beritahu kan dulu pada isteriku..."
"Locianpwe," tiba-tiba Kam Siang Cie
merangkapkan kedua tangannya, "Bolehkah kami
mengetahui siapa Locianpwee sesungguhnya ?"
"Nanti juga kalian mengetahui," menyahuti Tung
Yang, kemudian kembali ke dalam kamar.
"Nah, kumat lagi kebiasaan burukmu, selalu usil
mencampuri urusan orang lain !" Belum lagi Tung
Yang sempat memberitahukan pada Tung Im,
isterinya sudah menyambutnya dengan kata-kata
247
seperti itu, sebab Tung Im mendengar semua
percakapan Tung Yang dengan keempat pendeta
Siauw Lim.
"Terpaksa, kebetulan Thian Tee Jie Kui berada di
sini, siapa tahu urusanku yang dulu belum
diselesaikan dengan mereka bisa diselesaikan
sekarang ? Kau jaga Giok Han, aku akan menemani
keempat pendeta itu!"
Tung Im tertawa. "Baiklah, percuma saja aku
menahan-nahan kau tua bangka, kau manusia yang
tidak bisa dicegah, selalu maunya sendiri. Pergilah,
tapi jangan lama-lama jika Hanjie sudah sadar,
tentu membutuhkan pengobatan yang lebih cermat
lagi"
Tung Yang keluar menghampiri keempat pendeta.
la bilang: "Nanti Siewie Taysu yang menghadapi pule
sepasang iblis itu. jangan takut, aku nanti
memberikan cara yang terbaik untuk menghadapi
mereka, inilah jurus-juius yang perlu kalian
pergunakan, niscaya Thian Tee Jie Kui tidak bisa
mencelakai kalian !"
Sambil berkata begitu, Tung Yang
memperlihatkan gerakan-gerakan yang terdiri dari
beberapa jurus. Sederhana dan mudah untuk
ditangkap dan dipahami oleh keempat pendeta
tersebut. Menyaksikan jurus-jurus yang
diberitahukan oleh Tung Yang, keempat pendeta itu
jadi kaget dan kagum.
248
Mereka baru menyadari bahwa Tung Yang
memang benar-benar seorang jago tua yang
memiliki kepandaian tinggi. Jurus-jurus yang
diajarkan oleh Tung Yang memang cara yang paling
baik untuk menghadapi serangan yang
bagaimanapun dari lawan.
Sederhana sekali jurus itu, cuma terdiri dari
empat gerakan, akan tetapi dengan empat gerakan
yang diulang-ulang terus, musuh yang bagaimana
tangguhpun tidak bisa menerobos pembelaan diri
tersebut.
Tung Yang menyuruh keempat pendeta itu
mempraktekkannya, dan memberitahukan
kekeliruan-kekeliruan yang mereka lakukan. Jurus
yang diajarkan Tung Yang sebetulnya mirip dengan
jurus "Sie Kuan Cap Peh Lo Han", hanya saja
terdapat perbedaan sedikit pada bagian pembukaan
serta penutupnya. Jauh lebih ketat. Kam Siang Cie
berempat jadi kagum bukan main, kini mereka
menghormati benar orang tua itu.
"Mari kita berangkat," ajak Tung Yang setelah
melihat keempat pendeta tersebut berhasil
menguasai gerakan dari jurus yang diajarkannya.
Walaupun ragu-ragu, keempat pendeta itu
mengangguk. Diam-diam mereka girang, karena
mereka percaya orang tua ini yang tampaknya
sangat liehay, bisa jadi tuan penolong. Mereka telah
runtuh di tangan Thian Tee Jie Kui, kalau sekarang
bisa merebut dua pucuk surat penting dari tangan si
249
iblis atas pertolongan orang tua ini, bukankah
mereka tidak perlu terlalu kecewa ? Yang membuat
mereka ragu-ragu ialah, kalau orang tua ini rubuh di
tangan Thian Tee Jie Kui. bukankah mereka
berempatpun akan dianiaya oleh kedua iblis itu ?
Sebab sebelum melepaskan keempat pendeta
yang sudah dilukai itu, Thian Tee Jie Kui sempat
biiang: "Jika, kalian berempat kembali kemari,
waktu itu kami tidak akan bermurah hati seperti
sekarang, jantung kalian satu persatu akan kami
keluarkan untuk dipanggang... Tapi keempat
pendeta itu nekad.
Dengan berlari-lari mereka pergi ke lamping bukit
Kie-sung, tidak terlalu jauh, sebab mereka cepat
sudah tiba di sana, keadaan di sekitar tempat itu
sepi, tidak terlihat seorang manusiapun juga.
Lamping bukit tersebut berada di lembah Sui-kok,
pohon-pohon tumbuh liar.
Kam Siang Cie menunjuk pada lamping bukit di
sebelah kanan. "Mereka berdiam di goa yang
terdapat di bukit itu!"
", katanya.
"Ayo kalian berempat menyerbu lagi, nanti kalau
Taysu berempat gagal menghadapi mereka, barulah
aku turun tangan!"
250
Kam Siang Cie menarik napas dalam-dalam,
untuk menindih keraguan. la menoleh kepada ketiga
orang adik seperguruannya, mengangguk memberi
isyarat. Dengan ringan mereka melompati
sebungkah batu besar, melompati lagi beberapa
potong batu tibalah mereka di depan goa, di tempat
mana menurut Kam Siang Cie berdiam Thian Tee Jie
Kui.
Baru saja Kam Siang Cie berempat menancapkan
kaki di tanah depan goa yang gelap sudah terdengar
suara yang mengaung bengis : "Kalian benar-benar
mau mampus, kerbau-kerbau dungu ! Bukannya
pulang ke kandangmu di Siauw Lim, malah masih
berkeliaran di sini ! Siapa yang kalian bawa-bawa
kemari ?"
Kaget juga Tung Yang, benar-benar hebat
pendengaran Thian Tee Jie Kui. Dengan hanya
mendengar saja, dari jarak yang cukup jauh seperti
itu, ia sudah mengetahui Kam Siang Cie bukan
datang berempat saja. Segera Tung Yang tertawa
terbahak-bahak.
"Aku Tung Yang yang ingin menyelesaikan
persoalan kita, Thian Tee Jie Kui ! kebetulan tadi aku
bertemu dengan keempat Taysu itu, kusuruh mereka
mengantarkan aku kemari." Suara Tung Yang pun
mengaung karena ia tidak mau kalah, menggunakan
Lwekangnya waktu berkata-kata, seperti juga suara
Tung Yang menggetarkan bukit tersebut dan
sekitarnya.
251
Ooh, oooh. kiranya si tabib siluman yang datang
!" Terdengar suara mengejek dari dalam goa, suara
wanita. "Mana gundikmu. tabib siluman ?"
"Hehehe. gundikku sedang kelelahan, ia minta
aku sendiri yang menyelesaikan persoalan kita yang
sudah tertunda puluhan tahun !"
"Hu ! Hu ! Sialan ! Kau datang sendiri, berarti aku
hilang kegembiraan. Paling tidak hanya suamiku
yang melayani kau!"
"
"Kalian maju bersama juga aku tidak ke beratan,
kita akan main-main dengan gembira !" Manyahuti
Tung Yang, sambil melesat mendekati goa itu.
"Hei kerbau-kerbau Siauw Lim," terdengar suara
mengaung tadi, suara laki-laki, disusul dari dalam
goa muncul sesosok tubuh, seorang tua yang
berjenggot panjang dan mengenakan jubah hijau.
Orang itu benar-benar kate tingginya belum cukup
tiga kaki dan mukanya luar biasa pula.
Tapi, yang paling yang paling luar biasa adalah
jenggotnya yang berukuran lebih panjang dari pada
badannya, sehingga terseret-seret di tanah. Bagian
pinggang dari jubahnya yang berwarna hijau tua,
diikat dengan tali rumput yang juga berwarna hijau.
Matanya mendelik menyapu pada Kam Siang Cie
berempat: "Apakah kalian minta mampus baru
252
senang? Mengapa tidak cepat-cepat menggelinding
pergi ?"
Kam Siang Cie tidak buang waktu lagi, segera
menubruk dengan pedang ditangan, menikam pada
si Jenggot ini. Tiga orang adik seperguruannya juga
membarengi dengan tikaman mereka.
Si Jenggot salah seorang dari Thian Tee Jie Kui,
berlaku bengis satu kali ia sudah didesak, ia tidak
mau membiarkan. Dengan beruntun ia
mempergunakan "Pek Khong Ciang" atau "Pukulan
udara kesong"" untuk menghajar keempat pendeta
Siiuw Lim Sie. Akan tetapi hatinya tercekat, sebab
tahu-tahu cara menyerang keempat pendeta
tersebut berobah.
Ini tidak pernah disangka-sangka, sebab belum
lama yang lalu masih mudah untuk merubuhkan
keempat pendeta itu. Tapi seketika si Jenggot
tersadar. "Hat. ini tentu kau tabib siluman yang
main gila!" Segera tangannya meraba pinggangnya,
berkelebat sinar menyilaukan, di tangan si Jenggot
sudah tercekal pedang, yang waktu digerakkan
mengeluarknn suara mengaung. "Sekarang aku
tidak akan memberi ampun lagi pada kalian,
walaupun kalian menangis dan terkencing-kencing
mohon pengampunan!"
253
Membarengi kata-katanya. pedangnya
berkelebat. Terdengar suara benturan antara benda
logam yang terjadi beruntun, yang luar biasa empat
batang pedang Kam Siang Cie berempat jadi
buntung !
Tung Yang mengawasi dengan hati menyesal. Dia
mengajari Kam Siang Cie berempat jurus yang bisa
dipergunakan membela diri dengan rapat. Tapi
tampaknya Kam Siang Cie gagal untuk
memanfaatkan jurus yang diajarkannya itu. Di
samping Lwekangnya yang masih kalah jauh dengan
si Jenggot, keempat pendeta itupun main buka
serangan, itulah kesalahan terbesar, kalau saja Kam
Siang Cie berempat mau hanya bela diri belum tentu
mereka dapat dirubuhkan begitu cepat.
Namun Tung Yang tidak bisa berdiam diri terlalu
lama, keempat pendeta Siauw Lim Sie itu terancam
keselamatannya. la segera melompat kedepan.
Waktu itu pedang si Jenggot mengaung berkelebatan
menikam Kam Siang Cie. dikibas oleh ujung lengan
baju Tung Yang, sehingga pedang saling bentur
dengan ujung lengan baju Tung Yang.
Pedang terhentak, kesempatan itu dipergunakan
oleh Kam Siang Cie melompat mundur, mukanya
pucat pias, karena ia baru saja lolos dari kematian.
Tiga orang adik seperguruannya pun melompat
mundur.
254
Si Jenggot menarik pulang pedangnya, tertawa
dengan muka bengis.
"Aku tidak menyangka bahwa kau si tabib
siluman mau bekerja untuk Siauw Lim Sie, sungguh
bermimpipun tidak pernah kusangka." mengejek si
Jenggot.
"Dengar dulu," kata Tung Yang. "Urusan kita
tertunda dan belum terselesaikan. Sekarang kita
bisa bertemu, tentu saja aku jadi tidak sabar.
Persoalan kau dengan pendeta-pendeta Siauw Lim
Sie boleh kalian urus nanti !"
Muka si Jenggot dalam keadaan biasa sudah
menakutkan, karena seperti muka mayat. Tapi
sekarang mukanya jauh lebih menakutkan. "Aku
tidak nyana Sioe Bok Tiang Seng Kang begitu
liehay," kata si Jenggot mengejek. "Tampaknya
setelah berpisah belasan tahun, kau memperoleh
kemajuan yang lumayan !"
"Eh, Jenggot!" kata Tung Yang nyengir "Sekarang
kita tidak usah terlalu banyak basa-basi. Aku ingin
sekali melihat berapa banyak kemajuan yang selama
ini kau peroleh."
"Baiklah, mari kita mulai!", kata si jenggot.
"Hanya sayang gundikmu tidak di ajak serta,
sehingga isteriku harus kesepian berdiam saja di
dalam goa."
255
"Senjata apa yang akan kau gunakan?" Tanya
Tung Yang. "Coba aku lihat dulu !"
"Kau anggap pedangku ini tidak pantas
dipergunakan melayanimu?" si Jenggot menegasi.
"Boleh ! Lihatlah !" la berjingkrak, tahu-tahu
pedangnya sudah menyambar menimbulkan suara
mengaung, kearah leher Tung Yang.
Tung Yang tertawa terkekeh-kekeh, melompat
mundur. Dengan sikap mengejek dia bilang:
"Aduhhhh, hampir saja leherku putus !" Tangannya
merogo kantong bajunya mengeluarkan sebuah
gunting kecil, yang di angkat tinggi-tinggi. "Kau tahu
kegunaan gunting ini?", tanyanya.
Muka si jenggot semakin menakutkan, ia rupanya
meluap kemarahannya oleh ejekan Tung Yang.
Gunting kecil di tangan Tung Yang adalah gunting
untuk meracik daun obat-obatan, sekarang ingin
dipergunakan untuk melayaninya.
Bukankah itu sama saja dengan ejekan yang tak
terkira bagi si jenggot ? Dia segera mengibaskan
pedangnya, Bersiap-siap untuk melompat
menerjang.
"Eh, Jenggot !", kata Tung Yang, tetap mengejek.
"Apakah kau tahu nama gunting mustikaku ini ?"
256
"Segala senjata bangsa siluman mana bisa
mempunyai nama yang mulia ?!", menyahuti si
Jenggot murka.
Tung Yang tertawa terbahak-bahak. "Benar kau,"
katanya. "Namanya memang kurang mulia. Gunting
ini dinamakan Kauw Mo Cian (Gunting Bulu Anjing),
karena mengetahui bahwa di tempat ini terdapat
seorang manusia jadi-jadian yang berjenggot
panjang, aku sudah sengaja membawa Kauw Mo
Cian untuk menggunting jenggotnya!"
Kam Siang Cie bersama seorang adik
seperguruannya, si Sie-te lantas saja tertawa besar
karena tidak bisa menahan perasaan lucu atas
ucapan dan lagak Tung Yang. Mereka seperti
melupakan suasana tegang yang tadi mereka
hadapi, dimana hampir saja mereka celaka di ujung
pedang si Jenggot. Sedangkan Jie Suheng dan Samte
pun turut merasakan geli di dalam hati.
Thian Tee Jie Kui mengibaskan pedangnya seraya
berkata: "Memang jenggotku agak terlalu panjang.
Aku akan merasa berterima kasih jika kau suka
tolong mengguntingkannya. Marilah !"
Selagi sang lawan berkata-kata, Tung Yang
mengawasi dinding bukit dengan mata mendelong,
seperti juga ia tak mendengar perkataan orang. Tapi
mendadak cepat bagaikan kilat, gunting itu
menyambar jenggot Thian Tee Jiu Kui. Serangan
tiba-tiba itu sama sekali tak diduga si Jenggot.
257
Untuk berkelit sudah tak mungkin lagi, tapi sebagai
ahli silat kelas satu, dalam keadaan berbahaya,
secara otomatis kedua kakinya menjejak bumi dan
kedua tangannya memegang gagang pedang, di
mana ujung pedang menekan bumi, sehingga pada
saat itu juga badannya yang kate mencelat ke atas,
setombak lebih tingginya.
Tung Yang cepat, tapi Thian Tee Jee Kui yang
laki2 ini lebih cepat lagi. Demikianlah, dalam
segebrakan itu meraka sudah mempertunjukkan
kepandaian yang mengejutkan orang.
Akan tetapi, walaupun Thian Tee Jie Kui laki-laki
ini berhasil menyelamatkan diri, ia tidak berhasil
seluruhnya, karena tiga lembar jenggotnya sudah
kena digunting putus.
Tung Yang kelihatan gembira sekali. Sembari
mengangkat tiga lembar jenggot itu dengan tangan
kirinya, ia meniup keras-keras. Tiga lembar jenggot
itu menyambar kearah ranting pohon yang tidak
terpisah jauh darinya. Dengan mengeluarkan suara
nyaring ranting pohon itu patah dan jatuh ke tanah.
Kam Siang Cie berempat kagum dan kaget
melihat ilmu yang luar biasa dari orang tuayang
sebelumnya tidak mereka pandang sebelah mata.
Tetapi Thian Tee Jie Kui yang laki-laki ini mengetahui
bahwa yang barusan mematahkan ranting bukannya
tiga lembar jenggot itu, tapi tiupan itu yang disertai
dengan tenaga dalam.
258
Karena terlalu kagum menyaksikan peristiwa itu,
adik seperguruan Kam Siang Ce yang ketiga. Samce
menganggap bahwa ranting itu dijatuhkan
dengan tenaga jenggot. "Locianpwe !" ia berteriak.
"Jenggotmu benar-benar lihay ! Omi to-hud !"
Tung Yang tertawa terbahak-bahak. "Eh, Jenggot
! Mari kau !" ia menggapai. Semakin lama
kegembiraan Tung Yang terbangun.
Sesudah dipermainkan beberapa kali, si Jenggot
jadi mata gelap. la menyambar Tung Yang dengan
pedangnya, walaupun bertubuh kate, si Jenggot
ternyata mempunyai tenaga yang luar biasa. Dengan
menerbitkan kesiuran angin dahsyat, pedang yang
berkilauan itu, menyambar-nyambar, jika kena,
sudah pasti Tung Yang akan mengalami ancaman
tidak enteng.
Pada saat pedang itu tinggal terpisah setengah
kaki dari dirinya, tangan kiri Tung Yang sekonyongkonyong
menyambar ke bawah coba menerkam
gagang pedang, sedangkan gunting ditangan
kanannya lagi-lagi menyambar jenggot Thian Tee Jie
Kui.
Bukan main gusarnya si Jenggot. Dengan sekaii
mringkan kepala, jenggotnya terlolos dari guntingan,
sedang pedangnya terus disabetkan kebawah,
ketangan Tung Yang.
259
"Ah !" Kam Siang Cie mengeluarkan seruan
tertahan dan ketiga orang adik seperguruannya pun
berseru kaget. Mereka membuka mata lebar-Iebar
untuk dapat melihat lebih terang, apa yang akan
terjadi."
Begitu pedang menabas tangan musuh, Thian Tee
Jie Kui merasakan bahwa ia seolah-olah memukul
kapas. la mengenal bahaya, buru-buru ia menarik
pulang senjatanya. Tapi sudah kasep ! Dengan sekali
membalikkan tangan, Tung Yang sudah
mencengkeram ujung pedang itu !"
Thian Tee Jie Kui kaget dan gusar. Sam-bil
mengerahkan tenaga dalamnya, ia menyodokkan
pedangnya. Sodokan itu hebat luar biasa dan
menurut pantas Tung Yang akan tertikam atau
sedikitnya terdorong oleh ujung pedang.
Tapi diluar dugaan, dengan mengerahkan sedikit
tenaga, tahu- tahu tubuh Tung Yang melompat
kesamping. sehingga Thian Tee Jie Kui menyodok
tempat kosong. Berbareng dengan melompatnya
Tung Yang, iapun terpaksa melepaskan cekalannya
pada ujung pedang.
Dengan geregetan Thian Tee Jie Kui membuat
sebuah lingkaran dengan pedangnya yang lalu
ditikamkan ke kepaIa musuh. Kali ini Tung Yang
agaknya sengaja ingin mempertontonkan ilmunya.
Dia mengerahkan tenaga, tubuhnya "terbang"
setombak lebih, melewati pedang yang menyambar
260
itu. Melihat kepandaian yang begitu luar biasa, tanpa
merasa Kam Siang Cie berempat bersorak sorak.
Menghadapi lawan yang begitu berat, Thian Tee
Jie Kui segera mengempos semangatnya dan
mengirimkan tikaman-tikaman dahsyat. la
mengetahui bahwa tak gampang-gampnng bisa
melukakan musuh, akan tetapi jika ia bisa mendesak
musuh, ia sudah boleh dikatakan memperoleh
kemenangan.
Tak dinyana, ilmu Tung Yang sungguh luar biasa.
Belasan tahun mereka berpisah, ternyata
kepandaian Tung Yang memperoleh kemajuan yang
pesat sekali. Tangan kanannya yang mencekal
gunting tak hentinya menyambar jenggot Thian Tee
Jie Kui, sedang tangan kirinya selalu menggunakan
setiap kesempatan untuk merebut pedang musuh,
dengan ilmu Kin Na Ciu Hoat.
Dalam sekejap, mereka sudah bertempur puluhan
jurus, tanpa ada yang keteter. Tapi tak usah
dikatakan lagi, bahwa dalam pertandingan itu. si
Jenggot tidak dipandang sebelah mata oleh Tung
Yang, yang tetap hanya menggunakan gunting kecil
peracik daun-daun obat sebagai senjatanya !
Sesudah lewat beberapa jurus lagi. Thian Tee Jie
Kui merubah cara berkelahinya. la memutar
senjatanya bagaikan titiran, sehingga tubuhnya yang
kate seolah-olah dikurung dengan sinar putih. Dilain
pihak, Tung Yang melompat-lompat tak hentinya,
261
sehingga di tempat itu terdapat suatu pemandangan
yang betul-betul luar biasa.
Kam Siang Cie berempat mengenal rupa-rupa
ilmu silat dari berbagai partai dan cabang persilatan.
Akan tetapi, sesudah beberapa lama memperhatikan
ilmu pedang si Jenggot dan ilmu silat Tung Yang,
belum juga mereka bisa meraba ilmu apa yang
digunakan sikate.
Si Jenggot tahu bahwa Tung Yang sengaja
mempermainkannya dan jika pertandingan
dilangsungkan terus, ia tentu akan mendapat malu
didepan mata empat orang murid Siauw Lim Sie.
Maka lantas saja dia berseru: "Tabib siluman, aku
ingin bicara, hentikan dulu permainan kita. Setelah
bicara, nanti kita bisa main-main seribu jurus lagi!"
iapun bermaksud melompat keluar dari gelanggang.
Tung Yang sudah berteriak : "Tak bisa! Tak bisa!"
Berbareng dengan perkataannya, badannya melesat
dari tempatnya menubruk pedang si Jenggot.
Hampir pada detik itu juga, dengan berbunyi:
"Tring," pedang si Jenggot sudah tersentil dan
terpegang oleh tangan kiri Tung Yang yang lalu
menggerakkan tangan kanannya untuk menggunting
jenggot orang. Semua orang terkesiap, karena si
Jenggot pasti tak bisa berkelit lagi dan jenggotnya
yang begitu indah akan segera tergunung putus.
Tapi ada suatu hal yang tidak diketahui Kam
Siang Cie berempat. Jenggot Thian Tee Jie Kui
262
bukannya jenggot biasa, sebaliknya justeru "senjata"
yang dapat digunakan seperti Joanpian. Demikianlah
pada detik yang sangat berbahaya ia
menggoyangkan kepalanya dan jenggot itu segera
menggulung gunting Tung Yang, yang lalu
dibetotnya.
"Hei, Jenggot!" teriak Tung Yang. "jenggotmu
benar-benar lihay !" Untuk sejenak mereka berkutet.
Jenggot Thian Tee Jie Kui membetot gunting, sedang
tangan Tung Yang tetap menjepit pedang sikate.
Untuk kesekian kalinya Tung Yang tertawa
berkakakan. "Menarik, sungguh menarik !" katanya.
Sekonyong-konyong, berkelebat sesosok
bayangan yang gerakannya cepat luar biasa,
menghantam punggung Tung Yang.
Kam Siang Cie berempat menduga bahwa
bokongan itu, yang dikirim secara mendadak, tak
akan dapat dikelit lagi. Tapi, pada detik yang
menentukan seperti kilat tangan Tung Yang
menyanggah bawah ketiak orang itu, yang tenaga
pukulannya segera dapat dipunahkan.
"Bangsat !" maki orang itu dengan suara gusar.
"Mari kita adu jiwa !"
"Akur !" menyambut Tung Yang. "Kukira ini lebih
menarik, untuk menyelesaikan persoalan kita !"
263
Ternyata orang yang membokong itu seorang
wanita yang mencelat keluar dari dalam goa. Dialah
Thian Tee Jie Kui yang kedua. Keadaannya juga luar
biasa. Si Jenggot sudah luar biasa keadaannya,
wanita ini malah lebih luar biasa lagi, Tubuhnya
tinggi, lebih tinggi dari ketinggian badan wanita
umumnya, kurang lebih sembilan kaki, jangkung
sekali. Yang menyolok adalah rambutnya, yang
seperti tumbuh hanya beberapa helai saja
dikepalanya, jarang benar, mendekati gundul.
Mukanya yang jelek jadi tambah jelek dengan
tambutnya seperti itu. Bajunya juga berwarna hijau
seperti baju si Jenggot.
Karena tadi Tung Yang memunahkan bokongan
Thian Tee Jie Kui yang perempuan, si Jenggot
memiliki kesempatan untuk menjauhi Tung Yang.
Pedangnya diputar, sambil menikam memaksa Tung
Yang melepaskan jepitannya, dan ia sudah terpisah
lima tombak dari Tung Yang.
Si Jangkung sudah menghunus pedangnya. Tadi
dia mengikuti jalannya pertempuran, ia memperoleh
kenyataan keadaan tidak menguntungkan suaminya,
maka ia muncul sambil membokong, Pedang di
tangannya di kibaskan.
"Mari mulai !" katanya. "Aku ingin meliliat berapa
jauh sudah kau latih ilmu anjingmu itu !"
Tung Yang tertawa terbahak-bahak. "Ya, memang
kebetulan sekali, adanya kalian aku bisa berlatih
264
untuk melihat berapa jauh ilmu yang telah kulatih
memperoleh kemajuan !"
Si Jenggot menggelengkan kepala "Tidak ! Tidak
adil! Nanti kalau kita menang, dia bilang kita
mengandalkan jumlah banyak menindas dia !
Pergilah kau jemput gundikmu, bawa kemari ! kami
akan menunggu !"
He, he, kau suruh aku jemput isteriku ? Ooo, aku
tahu tentu kau sudah rindu ingin melthal betapa
cantiknya isteriku, bukan?"
Muka si Jenggot jidi merah padam, tambah
menakutkan saja dengan mukanya seperti mayat.
Isteri si Jenggot, si jangkung, tidak sabar lagi.
Pedangnya menyambar menikam dada Tung Yang.
Tapi Tung Yang tiga kali bisa menghindarkan. Si
Jenggot juga tidak tinggal diam, karena ia tahu
isterinya tidak mungkin sanggup menghadapi Tung
Yang seorang diri, pedangnya berkelebat menikam
Tung Yang.
Semakin lama semakin hebat. Sesudah lewat
beberapa jurus lagi, si Jenggot segera bersilat
dengan ilmu Kim Liong Hie Sui (Naga Emas Memain
Di Air). Dengan berkesiuran angin yang menderuderu,
pedangnya mengancam beberapa bagian
berbahaya di tubuh Tung Yang.
265
Dikepung dua lawan tangguh, Tung Yang jadi
sibuk juga. Beberapa kali gunting kecilnya sempat
menangkis pedang si Jangkung.
Tadi Tung Yang meremehkan si Jenggot, tapi
sekarang ia baru mengerti bahwa kalau maju berdua
bersama-sama, Thian Tee Jie Kui benar-benar hebat.
Si Jenggot seperti burung yang tumbuh sayap,
kepandaiannya jadi beberapa kali lipat dibandingkan
tadi.
Rupanya ilmu pedang si Jenggot dengan ilmu
pedang si Jangkung merupakan ilmu pedang yang
dapat bekerja sama. Hati Tung Yang tercekat juga
"Hmm," pikirnya. "Kemajuan mereka ternyata tidak
kecil..." karenanya Tung Yang pun tidak berani
main-main, ia melayani dengan penuh kesungguhan.
Setelah bertempur beberapa jurus lagi, Tung
Yang mulai sibuk menghadapi kedua lawannya ini,
walau tidak sampai terdesak. Bahkan akhirnya Tung
Yang sudah menyimpan gunting kecilnya,
menghadapi dua lawannya lebih serius.
"Sampai kapanpun juga." kata si Jangkung,
"jangan harap kau bermimpi kami memberikan kitab
obat yaug kau inginkan itu !"
"Hmm. tanpa kitab obat itu akupun sudah bisa
meramu obat-obat yang kuinginkan."
266
Tung Yang menyahuti sambil menghindar
tikaman pedang si jangkung pada pahanya. "Aku
tidak menginginkan lagi kitab obat itu !Kalian
memiliki pun tidak mungkin bisa mempelajarinya !"
Si Jangkung berseru bengis, pedangnya tiga kali
beruntun menikam. Tapi Tung Yang berhasil
menghindar. Namun, waktu ia ingin mengelak dari
tikaman ketiga, justeru pedang si Jenggot pun
menyambar punggung Tung Yang, membuatnya
kaget.
Dia tersentak sedetik, tapi hal itu menyebabkan
pedang si Jangkung menyerempet lenganrya,
bajunya nya robek,kulit lengannya juga baret oleh
ujung pedang, darah mengucur.
Secepat kilat jari tangan Tung Yang menyentil
pedang si Jenggot, ia merasakan ujung jari
tangannya yang menyentil kesemutan, segera sadar
bahwa si Jenggot menikam dengan Lwekang yang
tinggi. Sedahgkan si Jenggot mundur, telapak
tangannya pedih akibat getaran sentilan Tung Yang.
Mempergunakan kesempatan itu Tung Yang
melompat mundur sampai tiga tombak, mereka
bertiga berhadapan.
"Sekarang baiklah," kata Tung Yang dengan
muka bersungguh-sungguh, tangannya menghunus
pedangnya dari balik jubahnya. "Aku terpaksa
menghadapi kalian, karena kalian tampaknya tidak
267
seperti dulu lagi, yang mau mencampuri urusan
Kangouw dan mengadu domba perguruan demi
perguruan silat satu dengan yang lainnya ! Dulu aku
menghormati kalian, sebab kalian hanya mengejar
ilmu yang lebih tinggi... namun sekarang kalian
entah bekerja untuk siapa ingin mengadu domba
Siau Lim Sie dengan Bu Tong Pay ?"
"Apa pedulimu ?" Si Jangkung berteriak.
"Itu urusan kami yang tidak patut dicampuri oleh
kau ! Hari ini kau akan melihat bahwa Thian Tee Jie
Kui jauh lebih liehay dari kau dan kitab obat itupun
Syah menjadi milik kami, jika kau sudah kami
rubuhkan! Kedatanganmu kemari seorang diri, itu
salahmu sendiri ! Bagi kami kau datang berdua
dengan gundikmu atau sendiri sama saja tidak ada
perbedaan !"
"Aku siap melayani kalian ! Tapi sebelum itu,
kembalikanlah dulu surat-surat yang kalian curi dari
murid Siauw Lim Sie, agar mereka bisa pergi
meninggalkan tempat ini dan kita bisa main sepuas
hati !" Tung Yang bilang. "janganlah jadi maling hina
yang cuma menginginkan surat-surat orang lain!"
Muka si jangkung dan si jenggot berobah. Si
Jangkung juga tertawa mengejek. "Tepat kiranya
dugaan kami, kau rupanya bekerja untuk Siauw Lim
Sie ! Baik, mulailah ! Setelah membereskan kau,
keempat anjing Siauw Lim itupun akan kubereskan
!"
268
Ketiga orang itu berhadap-hadapan, siap untuk
mengukur ilmu. Kam Siang Cie berempat mengawasi
tegang, mereka tahu akan ada tontonan yang luar
biasa, mungkin sulit mereka saksikan lagi seumur
hidup.
Si Jenggot dan si Jangkung pun menyadari, Tung
Yang dengan pedangnya pasti jauh lebih liehay dari
sebelumnya, mereka tidak berani sembarangan
memulai.
Dalam keadaan tegang dan sunyi seperti itu,
karena mungkin yang terdengar hanyalah suara
napas yang tertahan-tahan dari Kam Siang Cie
berempat, mendadak terdengar suara yang lembut
sekali, sabar luar biasa: "Omitohud, mengapa harus
saling bunuh ? Bukankah Thian telah memberikan
kehidupan pada kalian dan kalian harus memelihara
kehidupan itu sebaik-baiknya ?"
Menyusuli suara yang lembut dan sabar itu,
muncul dua orang berjubah panjang warna kuning,
dengan kepala yang botak. Mereka dua orang
pendeta. Kam Siang Cie berempat melihat kedua
pendeta itu, yang satu berusia hampir empat puluh
tahun dan yang seorang lagi pendeta tua bampir
berumur 80 tahun dan tubuhnya kurus, segera
berseru girang. Berlari menghampiri, mereka
berlutut sambil memanggil : "Suhu ! Sucouw !"
Pendeta tua itu dengan sabar menggerakkan
tangan kanannya, memberi isyarat pada keempat
269
orang cucu murid itu bangun. Sedangkan muka
pendeta yang usianya lebih muda, yang dipanggil
Suhu (guru) oleh Kam Siang Cie berempat, sangat
guram, sepasang alisnya berkerut mengawasi Thian
Tee Jie Km berdua.
"Jangan memberi penghormatan, jangan
memberikan penghormatan, kalian murid-murid
Siauw Lim Sie yang baik, sudah berusaha sekuat
kemampuan kalian untuk memulihkan keruwetan
yang akan terjadi itu. Bangunlah...!" kata pendeta
tua itu waktu Kam Siang Cie mengadu pada gurunya
tentang sikap Thian Tee Jie Kui yang tetap tidak mau
mengembalikan surat-surat penting yang telah
dirampas kedua iblis itu, malah menghina pintu
perguruan mereka.
Tung Yang melihat kedatangan kedua pendeta itu
jadi kaget. Dia kenal pendeta tua itu, Wei Sin
Siansu, pendeta Siauw Lim Sie tingkat dua. Sampai
pendeta ini datang sendiri, berarti urusan benarbenar
sangat penting. Sedangkan pendeta yang
lebih muda guru Kam S ang Cie berempat, tidak
dikenal Tung Yang.
"Siancai ! Siancai !" Wei Sin Siansu
merangkapkan kedua tangannya sambil melangkah
menghampiri Tung Yang. "Terima kasih atas bantuan
Tung Siecu!"
Tung Yang cepat-cepat menyimpan pedangnya,
merangkapkan kedua tangannya menghormat pada
270
pendeta tua itu. "Siansu, apakah selama ini sehatsehat
saja ?"
"Terima kasih, berkat doa Siecu keselamatan
Loceng cukup baik!" menyahuti pendeta itu sabar.
Mukanya pun penuh kasih, memaksa orang untuk
menghormatinya. Sinar matanya sangat bening,
tajam tapi mengandung kelembutan.
"Oooo ya, mana Tung Hu jin !"
"Kami telah mengobati luka seorang anak,
kebetulan kami bertemu dengan empat murid
Siansu. la sedang menunggui sambil meneruskan
pengobatan pada anak itu." Menjelaskan Tung Yang.
"Omitohud ! Apa yang terjadi pada anak itu?"
Tanya Wei Sin Siansu. "Apakah lukanya berat ?"
"Cukup berat, Siansu. Dia putera Giok Goanswee
yang sempat lolos dari tangan maut orang-orang
Yong Ceng !"
Muka Wie Sin Siansu berobah guram, ia
merangkapkan kedua tangannya. "Omitohud,
semoga Thian bisa memimpin Kaisar itu..." katanya.
"Loceng pun sudah mendengar peristiwa itu. Kalau
urusan di sini sudah selesai, Loceng mgin bertemu
dengan anak Giok Goanswee itu. Sayang ! Sayang !
Jenderal setia seperti Giok Goanswee harus
menemui bencana seperti itu!"
271
Waktu Wei Sie Siansu tengah bercakap-cakap
dengan Tung Yang, guru Kam Siang Cie tampaknya
sudah tidak sabar. Dengan muka yang guram
pendeta ini melangkah maju mendekati Thian Tee
Jie Kui. Sepasang tangannya dirangkapkan dan
membungkukkan sedikit tubuhnya pada sepasang
iblis itu, katanya dingin : "Siauwceng Bun An Taysu
ingin memohon pada Jiewie (tuan berdua) agar mau
memberi sedikit muka terang pada Siauw Lim Sie
kami, mengembalikan surat-surat kami."
Melihat kedatangan Bun An Taysu berdua Wie Sin
Siansu. Thian Tee Jie Kui mulai bimbang. Kalau yang
datang hanya Bu An Taysu. jelas mereka tidak takut.
Tapi Wei Sin Siansu adalah pendeta yang sulit diukur
lagi.
la termasuk pendeta yang disegani oleh semua
orang-orang Kangouw, sikapnya yang sabar dan
lembut memaksa semua orang menghormatinya,
kalau sampai Wei Sin Siansu turun tangan, bukanlah
hal ini sama saja berarti Thian Tee Jie Kui
memperoleh kesukaran yang tidak kecil?
"Hem, surat-surat itu kami peroleh bukan dengan
jalan mudah," kata si Jangkung dengan suara dingin.
"Apakah demikian gampang kalian memintanya
kembali ?"
Sebetulnya Bun An Taysu sudah tidak sabar, tadi
dia mendengar pengaduan Kam Siang Cie tentang
perlakuan Thian Tee Jie Kui dan kemendongkolan
272
sudah membakar hati si pendeta. Hanya saja dia
masih berusaha membawa sikap yang sabar.
"Apa yang diinginkan Jiewie ?" tanyanya sambil
mengawasi Thian Tai Jie Kii bergantian. " iiirat-surat
itu milik kami, dan sudah selayaknya kalau kami
memintanya pula dari tangan Jiewie ..."
"Hemm, jika kalian inginkan surat-surat itu,
boleh! Boleh ! Kami akan mengembalikannya,
asalkan kalian bisa memenuhi persyaratannya !"
Kata si jangkung dingin.
"Apa syarat-syaratnya ?" Bun An Taysu menegur.
"Kami akan mengembalikan surat-surat itu," kata
si Jangkung dingin, "Asal kau sanggup menerima
tiga kali pukulan kami berdua tanpa memberikan
perlawanan!"
Muka Bu An Taysu berobah. Tangannya tahu-tahu
mencekal gagang pedang, dan "Sreeeettt !"
pedangnya terhunus. Mukanya memerah. "Jiewie
terlalu mendesak, terpaksa Siauwceng harus
meminta pengajaran dari Jiewie ..."
Rupanya habis kesabaran Bu An Taysu, iu
bermaksud menghadapi kedua iblis itu.
"Bun An. mundur !" Tiba-tiba terdengar perintah
Wei Sin Siansu. "Simpanlah pedangmu !" Wei Sin
Siansu melangkah ke depan Thian Tee Jie Kui. "Tadi
273
Jiewie bilang, asal kami bisa menerima tiga pukulan
Jiewie tanpa memberikan perlawanan, Jiewie akan
mengembalikan surat-surat itu ? Dapatkah nanti
Jiewie menepati janji kalau tawaran Jiewie kami
terima ?"
Si jangkung tertawa mengejek. "Kau sudah
terlalu tua dan pasti tidak akan sanggup menerima
tiga pukulan kami berdua, kami tidak akan
mengingkari janji, asal ada salah seorang di antara
kalian yang bersedia menerima tiga pukulan dari
kami tanpa memberikan perlawanan !"
"Omitohud ! Loceng bersedia menerimanya !
Tulang-tulang tua Loceng bersedia menerima tiga
pukulan kalian!" Sabar sekali suara Wei Sin Siansu.
"Nah, silahkan Jie wie !" Wei Sin Siansu
merangkapkan kedua tangannya, memejamkan
mata, bersiap-siap menerima pukulan kedua iblis itu.
Kaget semua orang Bun An Taysu sampai
berseru: "Suhu ?!" tapi Wei Sin Siansu tidak
melayani panggilan muridnya. Cucu muridnya
berempat juga hanya bisa memandang dengan
kuatir, tanpa bisa melakukan apa-apa melihat kakek
guru mereka yang ingin menerima pukulan-pukulan
dari kedua iblis itu tanpa memberikan perlawanan.
Tung Yang tidak kurang kagetnya. Wa-laupun
bagaimana kosennya Wei Sin Siansu tapi menerima
tiga pukulan tanpa memberikan perlawanan, itu
sama saja seperti mencari kematian. Terlebih lagi
274
yang akan memukul adalah Thian Tee Jie Kui,
sepasang iblis yang kepandaiannya pun tidak rendah
!
Mungkin Wei Sin Siansu tidak akan mengalami
celaka apa-apa kalau ia boleh mengerahkan
lwekangnya waktu menerima ketiga pukulan
sepasang iblis itu, karena memang lwekang Wei Sin
Siansu sudah mencarai tingkat yang sulit diukur.
Tapi tanpa mempergunakan lwekangnya, menerima
tiga pukulan itu dalam keadaan "kosong", sama saja
seperti Wei Sin Siansu bunuh diri ! Tung Yang tidak
bisa menahan diri, ia melompat ke samping si
pendeta tua. "Siansu, jangan turuti keinginan gila
mereka. Biarkan Lohu yang akan melayani mereka,
iblis seperti mereka tidak boleh dihadapi dengan
sikap seperti itu, bisa membahayakan jiwa Siansu..."
Wei Sin Siansu membuka matanya, sabar sekali
sikapnya. "Omitohud ! Omitohud Siecu jangan
kuatir, umur manusia berada di tangan Thian.
Biarkanlah Loceng memenuhi keinginan mereka."
Tung Yang mendelik pada Thian Tee Jie Kui. Tapi
dia tidak berdaya untuk membujuk Wei Sin Siansu
agar membatalkan maksudnya.
Thian Tee Jie Kui tersenyum saling pandang satu
dengan yang lain. Mereka percaya begitu menerima
pukulan pertama mereka, si pendeta tua akan mati
seketika. Bayangkan saja, menerima pukulan tanpa
ada perlawanan, tanpa mengerahkan lwekang,
275
menerima dengan keadaan "kosong", bagaimana
tangguhnya sekalipun seseorang, pasti tidak akan
sanggup menerima pukulan yang kekuatannya cuma
seratus kati sekali pun.
Apa iagi yang akan melakukan pukulan tersebut
Thian Tee Jie Kui. yang bisa mempergunakan
lwekangnya dan kekuatan dari pukulan mereka
sekitar 500 kati sampai 1000 kati !
Sebagai pendeta suci, Wei Sin Siansu tidak mau
terjadi pertumpahan darah. Jika memang masih ada
jalan keluar, ia tidak menyetujui pertempuran itulah
sebabnya pendeta suci Siauw Lim Sie ini memilih
jalan menerima syarat-syarat yang diajukan Thiian
Tee Jie Kui, menerima tiga pukulan mereka tanpa
memberikan perlawanan !
"Silahkan, Jiewie !" kata Wei Sin Siansu sabar dan
meram kembali, sabar suaranya.
Tun Yang, Bu An Taysu, Kam Siang Cie berempat
dan Thian Tee Jie Kui mengawasi si pendeta suci
yang sudah menanti pukulan-pukulan dari Thian Tee
Jie Kui dengan pasrah Kalau Tung Yang.. Bun An
Taysu dan Kam Siang Cie berempat mengawasi
dengan berkuatir, sedangkan Thian Tee Jie Kui
mengawasi si pendeta dengan perasaan terheranheran.
276
Tidak mereka sangka bahwa pendeta itu
bersungguh-sungguh menerima syarat mereka.
Akhirnya si Jenggot melenggak. dia tertawa besar.
"Baiklah Siansu," kata si Jenggot. "Kau jangan
mempersalahkan kami, kau yang minta kami
melakukannya."
Thian Tee Jie Kui memasukkan pedang masingmasing,
kemudian bersiap-siap dengan pukulan
mereka, keadaan jadi tegang sekali. Tung Yang, Bun
An Taysu dan yang lainnya mengawasi dengan hati
berdenyut-denyut, bersiap-siap kalau memang Wei
Sin terancam keselamatannya mereka akan
menyerbu untuk menolong. Hati mereka tegang
bukan main.
Si Jenggot mengerahkan tujuh bagian tenaga
dalamnya, disalurkan pada kepalan tangannya.
Begitu pula si Jangkung. Serentak mereka
mengayunkan tangan, memukul Wei Sin Siansu.
Bisa dibayangkan hebatnya pukulan itu, kalau
pukulan tersebut dilakukan si Jenggot atau si
Jangkung sendiri-sendiri, mungkin tenaga
pukulannya tidak terlalu hebat tapi kini mereka
melakukannya serentak berdua, dua tenaga
digabungkan menjadi satu, kepalan tangan Thian
Tee Jie Kui mengenai punggung Wei Sin Siansu.
Tubuh pendeta itu bergoyang-goyang, tapi tidak
sampai terjerunuk ke depan. Pendeta suci itu tetap
berdiri di tempatnya, matanya tetap meram, hanya
277
mukanya berobah agak pucat. Tangannya masih
dirangkapkan.
Ketika kepalan tangan Thian Tee Jie Kui
menghantam punggung si pendeta suci Siauw Lim
Sie, tangan Tung Yang mencekal gagang pedangnya
erat-erat dengan telapak tangan berkeringat.
Sedangkaii Bun An Taysu bersama empat muridnya
mengawasi dengan muka pucat, kuatir bercampur
legang.
"Jurus pertama," sabar sekali suara Wei Sin
Taysu. "Silahkan Jiewie dengan jurus kedua !"
Thian Tee Jie Kui saling mengawasi. Mereka
sebetulnya menghormati juga pendeta suci ini,
mereka kagumi akan ketabahan si pendeta yang
mau menerima pukulan mereka tanpa melawan.
Memang itu ditepati oleh si pendeta, yang menerima
pukulan Thian Tee Jie Kui tanpa mengerahkan
Lwekangnya. Tadi Thian Tee Jie Kui memukul
dengnn tujuh bagian tenaga dalam mereka, pertama
mereka merasa sayang jika si pendeta benar-bennr
mati di tangan mereka, walaupun bagaimana
mereka tidak mau kalau ilmu yang sudah begitu
tinggi dipelajari si pendeta harus lenyap karena
kematiannya.
Alasan kedua. Thian Tee Jie Kui pun bukan
manusia bodoh. Mereka berlaku hati-hati kuatir
kalau Wei Sin Taysu main gila. Begitu pukulan
mereka menghantam, si pendeta mempergunakan
278
lwekangnya untuk mengadakan perlawanan. Ini bisa
mencelakai Thian Tee Jie Kui, kalau mereka
memukul sekuat tenaga lwekang.
ltulah sebabnya mereka hanya mempeigunakan
tujuh bagian saja dari tenaga dalamnya, jika ada hal
yang tidak terduga, mereka masih bisa menarik
pulang tenaganya dan mempergunakan sisa
tenaganya untuk mengadakan pembelaan diri.
Hanya saja, pukulan mereka seperti tidak
memberikan hasil apa-apa, jangankan si pendeta
rubuh, terjerunuk kedepan saja tidak kuda-kuda si
pendeta suci tidak berobah. Di samping perasaan
kagum, Thian Tee Jie Kui penasaran.
"Baiklah."
"pikir si Jenggot. "Kau yang minta kematian dari
kami, lihatlah... apakah sekarang kau masih
sanggup menerima pukulan kami ?!" sambil berpikir
begitu si Jenggot melirik pada si Jangkung, memberi
isyarat agar isterinya memukul lebih kuat. Mereka
bersiap-siap, waktu si Jenggot berseru: "inilah
pukulan kedua !" tangan mereka meluncur dengan
tenaga lwekang yang jauh lebih kuat, sembilan
bagian!
Pukulan Thian Tee Jie Kui sekali ini mengeluarkan
suara nyaring, tubuh Wei Sin Siansu terdorong maju
kedepan, kuda-kuda kakinya gempur, ia maju
sampai lima langkah ! Muka pendeta suci itu tambah
279
pucat, karena kelewat pucat sampai muka Wie Sin
Siansu kehijau-hijauan.
Si pendeta suci tidak menyangka lwekang Thian
Tee Jie Kui kuat dan terlatih baik. la merasakan
anggota dalam tubuhnya seperti pada jungkir balik,
keringat memenuhi keningnya, juga kepala dan
tubuhnya. Setetes demi setetes butir-butir keringat
jatuh, tubuhnya agak menggigil.
Tetapi tinggal satu jurus lagi, jika ia menolak
menerima pukulan yang ketiga, jelas Thian Tee Jie
Kui tidak mau memberikan surat-surat yang pernah
dirampas oleh kedua iblis itu. Hanya saja, kalau ia
menerima satu pukulan lagi, Wei Sin Siansu yakin
kecil sekali kemungkinan ia berhasil menerimanya.
"Suhu?" panggil Bun An Taysu kuatir.
Wei Sin Siansu membuka matanya, mengulapkan
tangannya. "Tinggal satu jurus lagi. Biarkan Loceng
menerimanya, urusan jadi beres." Sabar sekali
suaranya. Kemudian menoleh pada Thian Tee Jie
Kui: "Jiewie beleh memukul lagi, inilah yang
ketiga..!"
Pendeta suci yang sudah lanjut usia itu
memejamkan matanya lagi, dengan sepasang
tangan terangkapkan.
Keringit dingin mengalir dari sekujur tubuh Kam
Siang Cie berempat. Mereka kuatir bukan main
280
untuk keselamatan Sucouw tersebut. Tung Yang pun
merasakan hatinya berdebar keras, la kagum
melihat kegagahan pendeta suci Siauw Lim Sie itu.
Betapa tidak, menerima pukulan-pukulan Thian Tee
Jie Kui tanpa memberikan perlawanan, bahkan
semua itu diterima dengan keikhlasan hati yang
tinggi.
Sebetulnya jika saja Wei Sin Siansu mau. Thian
Tec Jie Kui bukanlah tandingannya, karena
kepandaian pendeta suci itu sudah mencapai tingkat
yang sulit untuk diukur. Tokh dia memilih cara
seperti itu, yaitu menerima tiga pukulan dari kedua
iblis tersebut. Kini adalah saat-saat menentukan
Thian Tee Jie Kui akan memukul untuk ketiga
kalinya.
Thian Tec Jie Kui sendiri diam-diam kagum sekali
pada ketangguhan Wei Sin Siansu. "Benar-benar
hebat pendeta Siauw Lim ini" pikir si Jenggot. "Tapi,
pukulan yang ketiga ini harus dilakukan lebih kuat
lagi... dua kali dia memang tidak memberikan
perlawanan, mustahil ketiga ini ia akan membokong
kami dan secara diam-diam memberikan perlawanan
?"
Segera si Jenggot memberi isyarat pada si
Jangkung, mereka bersiap-siap untuk memukul lagi.
Si Jenggot malah berbisik : "Kerahkan seluruh
tenagamu !" Si Jangkung mengangguk. Mereka
memang mengempos seluruh kekuatan tenaga
dalam pada kepalan tangan masing-masing. Disertai
281
dengan teriakan nyaring, sepasang iblis itu memukul
punggung Wei Sin Siansu.
Pendeta tua itu terpukul hebat. Tubuhnya
terhuyung kedepan, tapi dia bisa mempertahankan
diri tidak sampai rubuh. Begitu kuat pukulan ketiga
yang diterima dari Thian Tee Jie Kui, sampai
sipendeta suci itu merasakan sekujur tubuhnya sakit
bagaikan di hantam bungkahan batu besar yang
menimpanya.
Seluruh isi perutnya seperti terbalik. Rasa sakit
seperti dari perut naik ke-ujung ubun-ubun, dan
jantungnya seperti ingin berhenti berdenyut
menerima pukulan yang dahsyat seperti itu. Cepat
cepat Wei Sin Siansu mengerahkan lwekangnya,
untuk menguasai diri. Matanya gelap untuk sejenakdia
berdiam diri. Sampai akhinya dia merangkapkan
kedua tangannya:
"Omitohud Omi-tohud ! Loceng sudah menerima
tiga pukulan Jiewie, tentu surat-surat itu mau Jiewie
kembalikan pada kami, bukan?"
Thian Tee Jie Kui berdiri tertegun, mereka kagum
bukan main melihat ketangguhan sipendeta suci itu.
Kalau orang lain, mungkin tulang-tulang sekujur
tubuhnya sudah hancur luluh oleh pukulan terakhir
Thian Tee Jie Kui.
282
Jilid ke 7
Tung Yang sendiri kaget dan kagum. Dia kaget
melihat hebatnya pukulan Thian Tee Jie Kui, waktu
kedua tangan iblis-iblis itu menyambar
mengeluarkan kesiuran angin yang keras dan kuat,
kagum karena si pendeta suci Siauw Lim masih
berhasil menguasai dirinya, tidak sampai rubuh,
hanya terhuyung ke depan beberapa langkah.
"Baiklah," kata si Jangkung sambil merogo
sakunya mengeluarkan dua gulung surat
diangsurkan kepada Wie Sin Siansu. "Surat-surat
kalian tidak kami butuhkan lagi !"
Wie Sin Siansu menyambuti surat itu, Thian Tee
Jie Kui melesat menjauh, mereka ingin pergi
meninggalkan tempat itu.
"Tunggu dulu!" Bun An Taysu begitu nyaring
sambil berlari mengejar Thian Tee Jie Kui. Muka
kedua iblis berobah, mereka memutar tubuh
masing-masing mengawasi Bun An Taysu. "Apa yang
ingin Siauwceng tanyakan pada kalian !"
"Apakah pihak Siauw Lim Sie merupakan
manusia-manusia yang tak berharga bicaranya ?
Kami sudah menyerahkan surat-surat kalian. apakah
masih ingin mencari-cari persoalan dengan kami?"
Tanya si Jenggot gusar.
283
"Siauwceng ingin menngetahui Jiewie bekerja
untuk pihak mana dan mengapa seperti sengaja
ingin mempersulit Siauw Lim Sie, agar timbul
bentrokan antara pihak Siauceng dengan Bu Tong
Pay ?"
Hal ini tidak perlu kau ketahui, yang terpenting
surat-surat kalian sudah kami kembalikan"
menyahuti si jangkung ketus. Dia menarik tangan
suaminya. "Ayo kita pergi !"
Bun An Taysu tidak menahan kepergian kedua
iblis tersebut, dengan muka guram kembali ke sisi
Wie Sin Siansu.
Waktu itu tubuh Wie Sin Siansu bergoyanggoyang
seperti mau rubuh dan "Uwaah !" si pendeta
suci memuntahkan darah segar, mukanya pucat
pias. la gagal untuk menyembuhkan luka dalam
tubuhnya dengan lwekangnya. Semula Wie Sin
SianSu berusaha sekuat tenaganya agar tampak
tetap segar setelah menerima tiga pukulan Thian
Tee Jie Kui, sebab kedua iblis itu akan lebih berani
kalau mengetahui Wie Sin Siansu sudah terluka,
justeru kepergian Thian Tee Jie Kui memang
disebabkan mereka gentar melihat Wie Sin Siansu
tidak terluka menerima tiga pukulan yang dahsyat,
kalau sampai pihak Siauw Lim Sie merobah
pikirannya, bukankah Thian Tee Jie Kui akan
memperoleh kesulitan ? Karenanya. mereka cepatcepat
menyingkirkan diri.
284
Wie Sin Siansu menghela napas dalam-dalam.
"Setelah Loceng beristirahat sebulan tentu
kesehatan Loceng akan pulih." katanya sabar.
Tung Yang cepat-cepat mengeluarkan dua butir
Yo-wan, diberikan kepada si pendeta suci Siauw Lim.
"Telanlah obat ini Siansu Walaupun obat ini bukan
obat dewa yang bisa menyembuhkan luka dalam
yang berat, tapi sedikitnya bisa mengurangi rasa
sakit dan juga memperpanjang umur!"
Wie Sin Siansu tersenyum, ia mengucapkan
kebesaran Sang Buddha beberapa kali, menerima
pemberian Tung Yang. "Terima kasih Tung Siecu.
Urusan telah selesai, dengan dikembalikanya suratsurat
ini pada kami, salah paham dari pihak Bu Tong
Pay bisa dihindarkan. Bun An, biarlah surat ini kau
bersama Loceng yang mengantarkan ke Bu Tong
San, agar tidak timbul kericuhan lagi dalam
perjalanan!"
Bun An Taysu mengiyakan, lalu menoleh kepada
Kam Siang Cie berempat. "Pergilah kalian pulang,
beritahukan pada Hongihio aku berdua Sucouw akan
pergi ke Bu Tong San menyampaikan surat-surat
penting ini ! Laporkan juga pada Hongthio, urusan
telah beres, surat-surat penting sudah berhasil kami
minta dari Thian Tee Jie Kui."
Kam Siang Cie berempat memberi hormat,
mereka segera meninggalkan tempat itu, terlebih
dulu juga memberi hormat pada Tung Yang.
285
Tung Yang melihat Wie Sin Siansu dalam keadaan
luka yang tidak ringan, karenanya cepat ia bilang
pada Bun An Taysu : "Taysu, lebih baik beristirahat
dulu, agar gurumu bisa pulih kesegarannya !"
Wie Sin Siansu membuka Yo-wan yang diberikan
Tung Yang, ia bilang : "Benar Bun An, kita ikut Tung
Hiapsu (pendekar Tung) untuk menemui putera Giok
Goanswee Bun An Taysu mengangguk...
"Baiklah Tung Hiapsu kami memang ingin
bertemu dengan putera Giok Goanswee. Menyesal
kami tidak dapat menolong Giok Goanswee
sekeluarga dari malapetaka itu."
Mereka kembali ke rumah di mana Tung Im
berdua Giok Han tadi dtinggal. Tapi, waktu sampai di
depan rumah itu, Tung Yang sudah mengerutkan
alisnya. la melihat sesuatu yang tidak beres terjadi
di rumah itu.
Daun pintu terbuka, di dekat pintu terdapat
sebatang pedang menggeletak tanpa sarungnya.
Pasti sudah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Segera Tung Yang menahan Bun An Tay su dan Wie
Sin Siansu.
"Tampak terjadi sesuatu yang tidak beres,
Siansu," menjelaskan Tung Yang pada Wie Sin Siansu.
Segera ia melompat kedekat pintu. Dari dalam
berkelebat sinar putih dari berbagai jurusan kearah
Tung Yang, itulah beberapa batang pedang, yang
286
menyambar padanya-Bahkan pedang-pedang itu
menyambar dengan kecepatan luar biasa. Untung
Tung Yang sudah berwaspada sejak tadi, begitu
melihat menyambarnya pedang-pedang tersebut, ia
segera melompat ke belakang, menyentil salah satu
pedang yang menyambar kearah mukanya.
Menyusul dengan itu melompat beberapa sosok
tubuh dari dalam rumah, dari balik semak
belukarpun sudah lompat keluar belasan sosok
tubuh lainnya. Dalam waktu sekejap mata hampir
tigapuluh orang Tosu (pendeta yang melihara
rambut, penganut agama Toisme) mengurung Tung
Yang bertiga Wie Sin Siansu dan Bun An Taysu
ditengah-tengah lingkaran.
Muka semua Tosu bengis dan galak, mereka
memandang dengan mata tajam mengancam.
Pedang merekapun siap tercekal di tangan untuk
menerjang maju. Diantara mereka ada Tosu berusia
empat puluh tahun, yang maju kedepan
merangkapkan kedua tangannya tanpa melepaskan
pedangnya pada Wie Sin Siinsu.
"Wie Sin Sian-su, kami murid-murid Bu Tong Pay
menghormati Siansu, asal Siansu mau berterusterang,
murid-murid Siauw Lim mana yang sudah
menurunkan tangan jahat pada murid murid Bu
Tong Pay selama ini ?!" Suaranya lantang sekali.
"Pinto yakin tentu Siansu akan bicara jujur..!"
287
Muka Bm An Taysu berobah hebat, dia gusar dan
mendongkol.
"Kalian selalu mudah begitu saja main tuduh,
main fitnah ! Kami dari Siauw Lim tidak pernah
melakukan sesuatu yang melanggar hukum
kemanusiaan, tetapi kalian selalu memojokkan kami
dengan tuduhan yang tidak-tidak ! Lalu, apa maunya
kalian sekarang main kurung dan kepung seperti
ini?"
Tosu setengah baya itu mengawasi Bun An Taysu
dengan mata tajam, tapi ia tidak meladeni. Segera
ia bilang lagi pada Wie Sin Siansu. "Maukah Siansu
bicara yang sebenarnya ?"
Tung Yang sudah tidak sabar, la kuatirkan
isterinya dan Giok Han.
"Kerbau-kerbau busuk," memaki Tung Yang "Kau
apakan isteriku dan Hanjie?!" Sambil berseru begitu
tubuh Tung Yang melesat kearah pintu, maksudnya
mau menerobos masuk. Tapi tiga orang Tosu yang
berjaga ditempat itu segera menyambuti dengan
tikaman pedang mereka.
Habis kesabaran Tung Yang, sambil
menghindarkan pedang disebelah kanan, kedua
tangannya serentak maju, dengan gerakan sangat
cepat sekali dia berhasil mencengkeram pergelangan
tangan kedua Tosu itu, membetotnya, sampai tubuh
kedua Tosu itu terjerumuk kedepan mencium tanah.
288
Tung Yang sendiri menerobos masuk kedalam
rumah. Hanya saja ketika melewati pintu, ia
disambuti oleh tikaman dua batang pedang. Tanpa
buang waktu Tung Yang melayani dua orang Tosu
yang menyerang setengah membokong,
mulutnyapun sudah berteriak nyaring: "Kie-moay,
bagaimana keadaanmu dan Hanjie ?"
"Tua bangka sialan, mengapa pulang demikian
terlambat ?" teriak Tuni Im dari dari dalam kamar.
"Kerbau-kerbau busuk Bu Tong itu mempergunakan
asap bius merubuhkan aku! Mereka menghina aku
menotok jalan darah dan mengikatku ! Juga Hanjie
diikat mereka! Sungguh kurang ajar sekali! Kau
harus membalaskan sakit hatiku, tua bangka !"
"Oooo, begitu kurang ajar kelakuan kerbaukerbau
ini?" teriak Tung Yang. "Baik aku akan
melampiaskan sakit hatimu, Kie-moay !" Tahu-tahu
tubuh Tung Yang berkelebat sangat cepat, sehingga
kedua Tosu yang akan menyerang lagi dengan
pedang masing-masing, kaget kehilangan lawannya.
Sebelum mereka tahu apa-apa, tengkuk masingmasing
telah kena dicekuk, kemudian dilemparkan
keatas. tubuh mereka menabrak langit-langit. Kedua
Tosu itu menjerit kesakitan, apa lagi wakiu tubuh
mereka jatuh ambruk dilantai, sakitnya bukan main.
Mereka coba menggunakan Ginkang buat
menolong diri, tapi tubuh mereka seperti kaku,
seakan jalan darahnya tertotok, Tung Yang
mendekati mereka, berjongkok disamping kedua
289
Tosu itu tangannya menampar berulang kali, muka
kedua Tosu itu seketika merah bengkak.
"Kerbau dungu seperti kalian yang berani main
gila menghina isteriku, ya?"! teriak Tung Yang
sengit, tangannya terayun lagi menampar pulang
pergi muka kedua Tosu itu.
"Kami... kami.. hanya menjalankan perintah!"
Seru kedua Tosu itu, mata mereka kunang-kunang
dan gelap. Sebetulnya kedua Tosu itu sebagai murid
Bu Tong Pay tidak gampang-gampang akan
menyerah, mereka bukan manusia-manusia
pengecut. Untuk menghadapi kematian mereka tidak
gentar. Tapi tamparan Tung Yang keras sekali,
telapak tangan itu seperti lempengan besi yang
menghajari muka mereka pulang pergi, sakitnya luar
biasa, kepala merekapun pusing bukan main. Dalam
mendongkol dan gusarnya, Tung Yang mengumbar
tamparan pada kedua Tosu itu.
Setelah puas menampari kedua Tosu itu, Tung
Yang berdiri sambil mengayunkan kaki kanannya
menendang beberapa kali. Barulah dia pergi
kedalam kamar, meninggalkan kedua Tosu itu yang
sudah jatuh pingsan !
Tung Im dan Hanjie dalam keadaan terikat.
Cepat-cepat Tung Yang membebaskan isterinya dari
ikat pinggang pada tangan dan kakinya, kemudian
Giok Han. Bocah itu masih pingsan belum sadarkan
diri, Tung Yang memeriksa denyut nadinya dengan
290
cara Bong Me dan ia mengetahui kesehatan Giok
Han tidak terganggu.
"Tua bangka, kau pergi kemana saja begitu lama
? Bagus ya, aku sampai dihina hidung kerbau Bu
Tong itu, sedangkan... sedangkan..." Gusar Tung
Im, ia melampiaskan kemendongkolannya pada
Tung Yang. Tapi, cepat sekali ia melesat keluar
kamar tanpa meneruskan kata-katanya, melihat dua
Tosu yang menggeletak pingsan, dia mengayunkan
kaki kanannya menendang pergi dengan sengit.
Kemudian berlari keluar untuk menghajar Tosu-tosu
lainnya. Tapi melihat Tosu-tosu itu tengah
mengepung dua orang pendeta berjubah kuning.
Tung Im jadi ragu-ragu, dia kembali ke kamar.
Tung Yang nyengir.
"Maafkan Kie-moay, aku mana menyangka
hidung-hidung kerbau itu bisa menghinamu ? Biar
aku akan melampaiskan penasaranmu, jagalah
Hanjie, aku akan pergi menghajar hidung-hidung
kerbau itu!"
Tung Im hanya mendengus, Tung Yang cepat
cepat keluar. Dilihatnya Wie Sin Siansu tengah
bicara dengan sabar. "Bun An, mundurlah, Biarlah
Loceng yang bicara."
Bun An Tay su yang masih berdarah panas, tidak
berani membantah perintah Suhunya, segera
mundur beberapa langkah. Wie Sin Siansu dengan
291
sabar meneruskan kata-katanya. "Dan Totiang,
tahukah Totiang, betapa dalam persoalan ini ada
pihak ketiga yang ingin mengadu dombakan kita,
Siau Lim dengan Bu tong? Marilah kita bicara baikbaik
! Simpanlah pedangmu, Totiang!"
"Hemmm !" Tosu setengah baya itu cuma
mendengus, dia tidak menuruti permintaan Wie Sin
Siansu menyimpan pedangnya, bahkan dicekalnya
kuat-kuat, kuatir kalau Wie Sin Siansu menyerang
tiba-tiba padanya. Dengan sorot mata tajam malah
ia mengawasi Wie Sin Siansu.
"Siansu mau bicara, bicaralah ! Pinto minta
Siansu mau bicara yang jujur."
Wie Sin Siansu tertawa sabar. "Totiang," katanya.
"Apakah Totiang tidak percaya pada Loceng,
mungkin Totiang beranggapan Loceng akan bicara
ngawur berdusta ? Omi-tohud ! Omitohud !"
"Tetapi kenyataan memang memperlihatkan
pihak Siauw Lim Pay yang harus mempertanggung
jawabkan pembunuhan terhadap beberapa orang
saudara seperguruan Pinto!" Ketus sekali Tosu itu
menjawab.
"Ya, ya, kalau memang terbukti Siauw Lim Pay
yang bersalah dalam persoalan ini, tentu kami akan
bertanggung jiwab. Loceng pun akan menyerahkan
murid murid Siauw Lim Pay yang melakukan
kejahatan dan perbuatan kejam itu pada kalian, agar
292
kalian yang mcngadilinya ! Tetapi sekarang Loceng
mohon agar Totiang mau mendengar dulu kata-kata
Loceng. Baru-baru ini pihak Loceng berhasil
memperoleh bukti-bukti yang bisa membersihkan
nama baik kami dan membuktikan bahwa
pembunuhan-pembunuban terhadap murid Bu Tong
Pay bukanlah dilakukan oleh pihak Loceng !"
"Bukti-bukti ?" tanya Tosu itu. "Apakah buktibukti
itu bukan buatan Siauw Lim Sie sendiri, untuk
cuci tangan dari dosa-dosanya?"
Wie Sin Siansu menghela napas dalam-dalam.
"Omitohud ! Omitohud ! Kami tidak akan melakukan
perbuatan hina seperti itu. percayalah pada Loceng,
tidak ada baiknya kita saling bercuriga."
"Bukti-bukti apa yang bisa Siansu berikan pada
kami ?" Tanya Tosu itu setelah ragu-ragu sejenak.
"Ini dua pucuk surat. Bukti-bukti ini yang akan
bicara, bahwa pihak Loceng tidak tersangkut dalam
pembunuhan tersebut!" Wie Sin Siansu
mengeluarkan dua pucuk surat yang tadi
dikembalikan Thian Tee Jie Kui. "Memang
sebelumnya pihak Loceng sudah mengirim dua
orang murid Siauw Lim pergi mengantar surat-surat
ini, hanya terjadi rintangan dalam perjalanan.
Beruntung dua pucuk surat ini akhirnya bisa diminta
kembali. Bacalah oleh Totiang."
293
Tosu itu bimbang, tapi ia memberi isyarat pada
murid Bu Tong yang ada di sampingnya untuk
mengambil surat-surat itu dari tangan Wie Sin
Siansu. Tosu itu, dengan pedang tercekal di tangan,
masih berusia muda tidak lebih dari duapuluh lima
tahun. Ia tetap mencekal pedangnya waktu
mengambil kedua pucuk surat itu dari tangan Wie
Sin Siansu, kemudian diserahkan pada Tosu
setengah baya.
"Bacalah oleh kau, Lu Pin," perintah Tosu
setengah baya itu.
Lu Pin Tojin mengiyakan, meletakkan pedangnya
di tanah, membuka gulungan surat yang satu. Tapi
gulungan itu agak lengket dan sulit dibuka. Akhirnya
dengan agak sulit ia berhasil membuka gulungan
surat tersebut, diusap-usap oleh tangannya untuk
dibeber. Lu Pin Tojin mulai membaca: "Ciangbunjin
Bu Tong Pay Yang Mulia, bersama dengan surat ini
kami atas nama Siauw Lim Sie... Oooo... Oooo...!"
Dan di susul dengan teriakan Lu Pin Tojin, tubuhnya
segera rubuh berguling-guling di tanah jari
tangannya dikibas-kibaskan seperti menderita
kesakitan. Keadaan Lu Pin Tojin seperti seekor
kerbau yang disembelih.
Semua orang kaget Wie Sin Siansu sendiri sampai
berobah mukanya. Tosu setengah baya itu
memandang dengan mata terbeliak murid-murid Bu
Tong Pay lainnya mengawasi Lu Pin Tojin dengan
muiut ternganga. Tapi itu hanya beberapa detik,
294
Tosu setengah baya segera tersadar apa yang harus
dilakukannya, dia melompat ke dekat Lu Pin Tojin
buat memeriksa keadaannya.
Waktu itu Lu Pin Tojin masih kelejatan di tanah,
mukanya sudah hitam gelap, suaranyapun semakin
perlahan, sampai akhirnya tubuhnya berkelejatan
lemah, diam tidak bergerak lagi.
Muka Tosu setengah baya itu berobah geram,
memancarkan kemarahan yang meluap-luap.
pedangnya dikibaskan mengaung. "Hwesnio hina, di
depan kami kau masih berani melakukan
pembunuhan dengan cara hina seperti ini!" Berseru
Tosu setengah baya tersebut sambil mengawasi Wie
Sin Siansu dan Bun An Taysu dengan mata yang
seperti mau melompat keluar. "Sekarang apa yang
ingin kalian berdua katakan lagi untuk bela diri."
Semua murid Bu Tong Pay sudah mencekal
pedang mereka erat-erat. Tampaknya mereka gusar
sekali dan siap menerjang maju. Bun An Taysu juga
jadi kaget tidak terkira, tapi segera ia sadar bahwa
Lu Pin To jin keracunan.
Rupanya gulungan surat itu mengandung racun
yang cara kerjanya sangat dahsyat. Diam-diam Bu
An Taysu menggigil ngeri. Coba kalau ia yang
membuka surat itu, entah bagaimana nasibnya. Tapi
semuanya sudah terjadi begitu, tidak ada pilihan lain
bagi Bun An Taysu selain bersiap-siap untuk
menerima kemarahan Tosu-Tosu Bu Tong Pay itu.
295
Muka Wie Sin Siansu muram, tubuhnya menggigil
sedikit menahan goncangan hatinya, la tidak
menyangka bahwa Thian Tee Jie Kui bisa melakukan
perbuatan rendah seperti itu, mengembalikan dua
surat-surat itu dengan sebelumnya menaburkan
racun yang daya kerjanya sangat dahsyat.
"Tenanglah Totiang," kata Wie Sin Siansu
"Dengar dulu penjelasan Loceng."
"Kata-kata apa lagi yang ingin kau ucapkan untuk
bela diri ? Di depan mata kami kau masih berani
membunuh murid Bu Tong Pay ! Baiklah, Pinto Khoe
Cie Tojin ingin minta pengajaran dari Siansu !"
Waktu itu mata Khoe Cie Tojin merah dibakar
gusar yang meluap-luap, ia pun memberi isyarat
kepada kawan-kawannya untuk bersiap-siap
menyerbu kedua Hweshio Siauw Lim tersebut.
Wie Sin Siansu menghela napas dalam-dalam,
tidak disangkanya urusan jadi demikian runyam.
Semula ia menyangka, begitu membaca surat-surat
tersebut, salah paham pihjk Bu Tong Pay bisa
dihilangkan dan terselesaikan.
Tetapi siapa sangka, justru muncul lagi urusan
yang menambah ruwet persoalan ini. "Baiklah
Totiang, kini Loceng akan bicara terus terang.
Bukankah Loceng tadi telah memberitahukan bahwa
pihak Siauw Lim sudah mengirim dua orang
muridnya untuk mengantarkan surat-surat ini pada
296
Ciangbunjin kalian? Nah, justeru dalam perjalanan
surat-surat itu dirampas oleh Thian Tee Jie Kui !
Loceng turun gunung justeru buat mengurus suratsurat
itu, minta pada Thian Tee Jie Kui
mengembalikan surat-surat itu.
Memang akhirnya Thian Tee Jie Kui mau
mengembalikan surat-surat tersebut, Lo ceng dan
murid Loceng ini belum lagi membuka dan
melihatnya. Kami semula percaya Thian Tee Jie Kui
akan bersikap baik, karena mereka kalah bertaruh !
Siapa tahu. Thian Tee Jie Kui sudah menaburkan
racun jahat pada surat-surat tersebut ! Omitohud !
Omitohud !"
Muka Khoe Cie Tajin merah dan pucat bergantian
karena terlalu marah, tubuhnya menggigil, matanya
merah dan mengalirkan air mata. Seorang Sutenya
sudah mati karena keracunan, justeru terjadinya di
depan pucuk hidungnya !
"Apapun alasan yang dimajukan, kami sudah
tidak bisa mempercayai lagi pihak Siauw Lim Pay!
Kami minta pertanggungan jawab ! Satu jiwa harus
dibayar satu jiwa! Silahkan kalian mengeluarkan
senjata, kami akan mengadu jiwa demi keadilan !"
Teriak Khoe Cie Tojin.
Urusan jadi demikian runyam. Tung Yang segera
melompat masuk kedalam gelanggang. "Dengarkan
!" teriaknya. "Aku yang menyaksikan sendiri Wie Sin
Siansu meminta pulang surat-surat itu dari tangan
297
Thian Tee Jie Kui, dan sejak menerima kembali
surat-surat itu tadi belum lama, Wie Sin Siansu
belum lagi membuka surat itu atau membacanya !
Aku Tung Yang bersedia jadi saksi, tidak mungkin
aku berdusta !"
Waktu berkata begitu Tung Yang bicara keras
sekali, sebab diapun murka Wie Sin Siansu didesak
demikian rupa oleh orang-orang Bu Tong Pay.
Setengah kalap Khoe Cie Tojin mengibaskan
pedangnya sampai mengaung. "Tung Yang, di dalam
Kangouw namamu pun bukannya terlalu bersih!
Kami tidak bisa mempercayai kesaksianmu ! Kami
menyaksikan sendiri, betapa beraninya orang Siauw
Lim membunuh saudara seperguruan kami didepan
mata kami !"
"Apa ? Kau tidak percaya padaku ? Jadi kau
anggap aku berdusta dan memberikan kesaksian
palsu?" teriak Tung Yang gusar campur mendongkol.
"Apakah kalian kira Tosu-tosu hidung kerbau dari Bu
Tong pun terhitung manusia-manusia bersih dan
baik ? Cisss, kulihat justeru murid-murid Bu Tong
merupakan gentong-gentong nasi tidak punya guna
! Manusia tidak tahu malu!"
Khoe Cie Tojin dan saudara seperguruannya
semakin kalap. Bahkan mereka siap-siap menerjang,
tapi Wie Sin Siansu lompat ke samping Tung Yang.
"Tung Hiapsu. sudahlah Berikanlah Loceng
kesempatan untuk bicara!"
298
"Murid-murid Bu Tong mamrsia-manusia bejat
tidak tahu malu!" Masih Tung Yang memaki, dia
jengkel mendengar Khoe Cie Tojin menyebut-nyebut
dia dalam kalangan Kangouw namanya tidak terlalu
bersih. Hal itu sangat menyinggung perasaannya.
Bu An Taysu sendiri waktu itu sudah gusar
melihat kelakuan murid-murid Bu Tong yang
mengancam akan menyerang, ia bersiap-siap untuk
menerima setiap serangan. Tapi bukan main
kagetnya Bin An Taysu melihat Wie Sin Siansu
memuntahkan darah segar.
Suhu...?!" Bun An Taysu berseru sambil
melompat kedekat gurunya. "bagaimana keadaan
Suhu? "
Wie Sin Siansu menghela napas, menggelengkan
kepalanya perlahan mendorong sedikit lengan Bin An
Taysu. Lalu memandang pada Khoe Cie Tojin.
"Totiang, benar-benarkah Totiang tidak mau
mendengar dulu keterangan Loceng ? Tidakkah
Totiang mau memberikan kesempatan beberapa saat
saja untuk penjelasan yang benar ?"
Tung Yang memang mendongkol terhadap
pendeta-pendeta Bu Tong Pay, ia menuding dengan
tangan kanan. "Kalian hidung kerbau dungu, lihatlah
! Karena kedunguan kalian membuat Wie Sin Siansu
memuntahkan darah segar seperti itu ! Kalau
memang Siansu itu mau mencelakai kalian apakah
299
kalian masih bisa hidup? Berapa tingginya
kepandaian kalian!"
Benar kata-kata Tung Yang merupakan makian,
tapi kata-kata itu merupakan kenyataan. Khoe Cie
Tojin dan kawan-kawannya pun tahu, kalau Wie Sin
Siansu bersama Bun An Taysu hendak mencelakai
mereka, tentu hal itu tidaklah terlalu sukar.
Walaupun belum tentu mereka semuanya bisa
dibinasakan oleh Wie Sin Siansu dan Bun An Taysu
apalagi dibantu oleh Tung Yang, tapi mereka pasti
akan rusak terluka parah.
Sedangkan buat menangkap Wie Sin Siansu
berdua Bun An Taysu pasti tidak mungkin bisa
dilaksanakan mereka. Setelah berpikir sejenak Khoe
Cie Tojin bilang ketus: "Baiklah, kami tidak
menyangka sedikutpun, bahwa yang melakukan
pembunuhan-pembunuhan kejam terhadap saudarasaudara
seperguruan Pinto bukan hanya muridmurid
Slauw Lim Sie tingkat bawah ! Tokoh Siauw
Lim Sie seperti Wie Sin Siansu Locianpwe pun ikut
serta terlibat didalamnya ! Pantas saudara-saudara
seperguruan Pinto tidak berhasil membela diri dan
terbinasa mengenaskan! Kamipun memang tidak
memiliki kehormatan buat berurusan dengan Wie Sin
Siansu Locianpwe, kami akan kembali ke gunung
untuk melaporkan semua ini pada tetua-tetua kami!"
Wie Sin Siansu menghela napas mukanya
semakin murung. Kalau Khoe Cie Tojin dan muridmurid
Bu Tong Pay ini pulang ke gunung
300
memberikan laporan mereka, bukankah urusan jadi
semakin ruwet dan salah paham antara Bu Tong Pay
dengan Siauw Lim Sie akan semakin berat dan
hebat?
"Dengarlah dulu. Totiang," kala Wie Sin Siansu
"Loceng cuma mohon kalian mau mendengar dulu
keterangan Loceng. Nanti barulah kita lihat, siapa
yang bersalah dalam hal ini. Loceng ingin
memperlihatkan, betapapun dugaan Bu Tong Pay
selama ini keliru, karena Siauw Lim Sie memang
tidak tersangkut dalam kasus pembunuhan yang
terjadi selama ini terhadap murid-murid Bu Tong !
Semua itu hanya fitnah belaka !"
Muka Khoe Cie Tojin berobah pucat dan merah
bergantian, air matanya masih mengucur deras, ia
menangis sedih. "Baiklah. kata-kata apa lagi yang
ingin Siansu kemuka kan, untuk pelengkap laporan
kami pada Ciangbunjin setelah kami pulang ke
gunung?"
"Marilah kita melihat dulu surat-surat itu!" Kaia
Wie Sin Siansu sambil menunjuk kedua gulungan
surat yang menggeletak di tanah. "Setelah membaca
isi surat itu, tentu Totiang dan murid-murid Bu Tong
lainnya akan menyadari bahwa selama ini kita hanya
diadu dombakan oleh pihak ketiga, yang
menginginkan kita bentrok dengan yang lainnya !"
Khoe Cie Tojin mengawasi ragu-ragu si pendeta
suci Siauw Lim Sie, akhirnya ia mengangguk.
301
"Mungkin juga nanti terbukti bahwa musuh yang
mencelakai orang-orang kami bukan pendetapeadeta
suci Siauw Lim Sie, melainkan orang bulan !
"Jelas kata-kata terakhir itu merupakan ejekan yang
ditujukan kepada Wie sin Siansu dan Siauw Lim pay.
Mata Bun An Taysu mendelik, ia mendongkol
bukan main. Tapi Wie Sin Siansu membawa sikap
tetap saleh, ia merangkapkan kedua tangannya
memberi hormat. "Terima kasih, Totiang rupanya
masih mau memberi muka terang kepada Loceng."
Kemudian Wie Sin Siansu memberi isyarat
kepada Bun An Taysu agar membacakan isi suratsurat
yang menggeletak di tanah. Bun An
melaksanakan perintah, dengan ujung pedangnya
dia menggeser surat yang satu dan mulai membaca
dengan saara yang nyaring:
"Ciangbunjin Bu Tong pay Yang Mulia, bersama
dengan surat ini kami atas nama Siauw Lim Sie ingin
menyampaikan berita yang rasanya tidak begitu
menyenangkan. Sejauh ini Bu Tong Pay sudah
mengembangkan sayap dan terlalu mengumbar
murid-muridnya, seakan dalam Kangouw hanya ada
Bu Tong Pay, padahal Thio Sam Hong, cakal-bakal
Bu Tong Pay tokh memperoleh kepandaiannya dari
Siauw Lim Pay kami. ltulah sebabnya, sebagai
ganjaran yang setimpal, kami menghukum beberapa
murid Bu Tong Pay..." Membaca sampai di situ,
suara Bun An Taysu semakin perlahan tubuhnya
302
menggigil. la melirik pada Wie Sin Siansu dengan
muka berobah pucat.
Wie Sin Siansu pun berdiri dengan tubuh
gemetar. la kaget tidak terkira. Tidak disangkanya
bunyi surat tersebut berobah dari yang
sesungguhnya. Tung Yang pun kaget tidak terkira,
dia tidak menyangka sedikitpun akan begitu macam
bunyinya surat yang di anggap bisa menolong
meredahkan kesalahan-pahaman antara Sauw Lim
Sie dengan pihak Bu Tong Pay.
Muka Khoe Cie Tojin berobah hebat, sebentar
merah sebentar pucat kehijau-hijauan. la bersama
murid-murid Bu Tong Pay lainnya merasa terhina
dan sakit hati, karena menganggap pendeta-pendeta
Siauw Lim Sie itu memang sengaja hendak
menghina dan mempermainkan mereka. Tangan Koe
Cie Tojin menggenggam gagang pedang kuat-kuat.
Setelah rasa kagetnya berkurang, dalam sikap
ragu-ragu, Bun An Taysu melanjutkan lagi membaca
surat itu : "Jika keputusan dan kebijaksanaan kami
ini kurang mengembira-kan hati Tojin-Tojin
terhormat dari Bu Tong Pay. kami persilahkan untuk
berkunjung saja berhitungan di Siauw Lim Sie.
Setiap saat kami menanti. Sekali lagi kami ingin
menegaskan, selanjutnya Bu Tong Pay harus tunduk
dan patuh pada Siauw Lim Sie. Tertanda : Hongthio
Siauw Lim Pay, Tang Sin Siansu."
303
Hebat bunyinya surat itu. Bukannya bisa
meredahkan salah paham yang terjadi, malah bisa
memperruncing persoalan. Bun An Taysu membaca
surat yang satunya lagi, dengan suara agak
tergetar:
"Ciangbunjin Bu Tong Pay yang Mulia, jika
memang murid-murid Bu Tong Pay sulit diurus dan
diajar, silahkan kirim mereka ke Siauw Lim Sie, kami
yang akan mendidiknya, mengajarkan pada mereka
bagaimana menjadi Tosu yang baik dan saleh. Salam
dari murid-murid Siauw Lim Sie,"
Bunyi surat yang kedua inipun sama hebatnya
seperti yang pertama. Muka Bun An Taysu sampai
berobah pucat, keringat dingin menitik deras di
keningnya "Suhu . . . ?" Suaranya sember ketika ia
menoleh kepada Wie Sin Siansu, seakan ingin minta
pendapat gjrunya. Wie Sin Siansu berdiri dengan
mata terpejam dan muka pucat puas.
Tubuh pendeta Suci yang tua itu gemetaran
menahan rasa kaget, marah dan campur sesal !
Tidak disangkanya bahwa surat-surat itu bukanlah
surat-surat asli yang diinginkan. Rupanya Thian Tee
Jie Kui sudah menukarnya surat-surat asli dengan
surat-surat yang dipalsukan tersebut! inilah hebat,
tampaknya salah paham antara Bu Tong Pay dengan
Siauw Lim Pay tidak bisa diredakan lagi.
Khoe Cie Tojin tidak bisa menahan diri lagi,
tubuhnya tiba-tiba melompat kepada W'e Sin Siansu,
304
pedangnya menikam dada,pendeta suci itu diiringi
teriakan nekad, air matanya juga bercucuran. "Pinto
akan adu jiwa..."
Sebetulnya sebagai pendeta suci Siauw Lim Sie
yang me nitiki kepandaian sudah sukar diukur, Wie
Sin Siansu bisa saja meng-hindarkan diri diri
tikaman tersebut. Tapi ia tidak melakukannya.
Bibirnya yang gemetar cuma menyebut:
"Omitohud...! Siancay ! Siancay !" Matanya
dipejamkan dan ia membiarkan mata pedang yang
akan menancap di dadanya!
Tidak terkira kagetnya Bun An Taysu, tapi ia tidak
mungkin keburu menolongi Wie Sin Siansu. Bun An
cuma berseru: "Suhu... hati-hati...!"
Tung Yang sejak tadi berdiri menjublek karena
heran dan kaget mendengar Bun An Taysu membaca
surat-surat itu dengan isinya yang di luar dugaan,
juga tidak kurang kagetnya melihat jiwa pendeta
suci Siau Lim Sie terancam.
Tanpa pikir panjang tubuhnya melompat dan ia
menangkis pedang Khoe Cie Tojin dengan ranting
pohon yang sejak tadi dicekalnya. Telapak tangan
kirinya juga memukul dada Khoe Cie lojin.
Murid Bu Tong P^y yang seorang ini sedang
nekad dan kalap, tapi tidak urung pukulan telapak
tangan Tung Yang menyebabkan ia terpental ke
belakang dengan muka yang pucat pias.
305
Murid-murid Bu Tong Pay lainnya ingin menyerbu,
tetapi Khoe Cie Tojin memberi isyarat. "Baiklah,
kami murid-murid Bu Tong Pay memang tidak punya
guna. Kami akan memberitahukan hal itu kepada
tetua-tetua kami, agar mereka minta pengajaran
para Siansu, untuk jadi Tosu-tosu yang baik dan
saleh !"
Setelah berkata dengan kemurkaan yang
meledak, ia memberi isyarat kepada saudarasaudara
seperguruannya, mereka angkat kaki
meninggalkan tempat itu.
Wie Sin Siansu membuka matanya, hendak
mencegah kepergian Khoe Cie Tojin dan saudarasaudara
seperguruannya. Tetapi hal itu tidak
dilakukannya, akhirnya ia menghela napas dengan
muka yang murung. Urusan telah berkembang
semakin buruk.
Bun An Taysu melompat ke dekat Wie Sin Siansu.
"Suhu," katanya. "Mengapa surat-surat itu..."
"Omitohud!" Thian Tee Jie Kui berhasil menukar
surat-surat itu dengan yang palsu. Tampakuya
persoalan semakin rumit, karena pihak Bu Tong pai
semakin keras menuduh yang tidak-tidak kepada
pihak kita." Berulangkali pendeta suci itu menghela
napas wajahnya muram.
"Kita tidak perlu kuatir, Suhu !" Kata Bun An
Taysu mendongkol. "Kalau memang pihak Bu Tong
306
tidak mau memberi sedikit muka terang kepada kita
dan tetap bersikeras menuduh yang tidak-tidak
kepada kita, hal itu rasanya tidak boleh dibiarkan
saja. Kita harus menghadapinya, agar mereka tidak
kecewa !"
"Siancay ! Siancay ! Bun An, jangan berpendirian
seperti itu. Kita memang kena fitnah dan kewajiban
kita untuk membersihkan nama baik kita. kalaupun
bagaimana tetua-tetua Bu Tong Pay harus diberikan
pengertian, bahwa pihak kita berdua tengah diadu
dombakan oleh pihak lainnya. Namun urusan sudah
terjadi demikian jauh, jadi semakin rumit."
Tung Yang menghampiri Wie Sin Siansu. "Siansu
tidak boleh kecil hati, kalau Bu Tong Pay tidak mau
memberi muka terang pada pihak Siansu, apa
salahnya dihadapi dengan sebaik-baiknya ?
Bukankah mereka para hidung kerbau yang dungu
tidak bisa diberi pengertian ?"
Wie Sin Siansu tersenyum pahit. "Tung Hiapsu,
terima kasih atas perhatian Hiapsu. Urusan ini
adalah persoalan dalam pintu perguruan kami, dan
akan kami selesaikan sebaik mungkin. Oya, bisakah
Loceng melihat putera Giok Goanswee ?"
Tung Yang mengajak Wie Sin Siansu dan Bun An
Taysu ke dalam rumah, memperkenalkan kepada
isterinya, Tung Im. Waktu itu Giok Han masih rebah
pingsan belum sadarkan diri, Melihat keadaan Giok
307
Han, alis Wie Sin Siansu berobah tambah muram,
sepasang alisnya yang sudah putih berkerut.
"Omitohud ! Omitohud ! Apa yang telah terjadi
pada diri Siauw Kongcu ini?" tanya Wie Sin Siansu
dengan suara yang ragu-ragu.
"Ia dilukai secara kurang ajar oleh Bwee Sim Mo
Lie, racun mengendap didalam tulang pundaknya."
Menjelaskan Tung Yang.
Wie in Siansu menghela napas dalam-dalam.
"Sayang, sayang..." gumamnya dan tidak bilang
apa-apa lagi.
Tung Yang dan Tung Im jadi heran. Bahkan Tung
Yang tidak bisa menahan diri, segera mendekati Wie
Sin Siansu, merangkapkan kedua tangannya
memberi hormat. "Apakah Siansu ada pengajaran
tentang anak ini?" tanyanya.
Muka Wie Sin Siansu muram benar, dia menghela
napas dalam-dalam, baru sekarang dengan sikap
yang sudah berobah menjadi sabar kembali, dia
menunjuk kepada Giok Han. "Kalau Giok Kongcu
tidak segera memperoleh pengobatan yang tepat,
niscaya akan sia-sialah jika tokh akhirnya ia tetap
bisa hidup." setelah berkata begitu, sipendeta
berulangkali berucap : "Siancay ! Siancay !"
Tercekat hati Tung Yang. la sebagai tabib yang
memiliki ilmu pengobatan yang tinggi. Memang
308
diketahuinya bahwa Giok Han harus menerima
pengobatan yang cukup lama, tapi dia tidak melihat
bahaya yang terlalu besar pada luka bocah itu.
"Siansu, kami mohon petunjuk Siansu..." kata Tung
Yang, ia mengawasi pendeta tua itu.
"Tung Hiapsu, maafkan, Loceng tahu bahwa Tung
Hiapsu seorang ahli pengobatan, Tetapi, Giok
Kongcu memerlukan Im Giok (Batu Pualam Dingin)
yang terdapat di Lo-im-tang, agar racun didalam
tubuhnya terhisap keluar seluruhnya Hal ini Loceng
kemukakan bukan sekali-kali meremehkan
kepandaian Tung Hiapsu, tapi sekali saja melakukan
sedikit kekeliruan, bukankah berarti penyesalan
seumur hidup? Omitohud ! Omitohud !"
Tung Yang semakin kaget. Segera ia tersadar,
betapa memang luka Giok Han memang hebat
sekali. Pendeta suci itu memiliki penglihatan yang
sangat tajam. Memang apa yang diucapkan Wie Sin
Siansu tepat sekali saja Tung Yang keliru dalam
pengobatan pada Giok Han, maka bisa menyebabkan
Giok Han bercacad seumur hidup.
Ini merupakan suatu persoalan yang harus
diputuskan dengan cepat. Tentang Im Giok, batu
pualam yang dimiliki Siauw Lim Sie, memang pernah
didengarnya. Im Giok sebuah pembaringan terbuat
dari batu Giok yang usianya sudah ribuan tahun,
dingin sekali. Jika seseorang duduk berssmedhi
diranjang batu Im Giok tersebut, bisa menambah
cepat kesempurnaan Lwekang. Jika rebah di ranjang
309
Im Giok, seluruh tubuh akan bersih dari racun-racun
kotor, yang semuanya akan terhisap keluar dari
tubuh.
"Siansu!" kata Tung Yang sambil memberi hormat
lagi kepada Wie Sin Siansu "Ada sedikit
permintaanku, Entah Siansu mau memenuhinya atau
tidak.."
"Katakanlah Tung Hiapsu. jika memang Loceng
sanggup melakukannya, tentu akan memenuhi
permintaan Tung Hiapsu."
"Anak itu," kata Tung Yang sambil menunjuk
pada Giok Han yang rebah pingsan diranjang. "Ia
menderita luka karena keracunan hebat, oleh tangan
jahat Bwee Sim Mo Lie, Lohu memang mengerti
sedikit ilmu pengobatan dan tahu tentang racunracun.
Jika menghadapi racun-racun biasa saja,
memang Lohu bisa menyembuhkan sebaik-baiknya.
Namun sekarang, anak itu menderita luka yang
parah. Racun sempat menerobos masuk kedalam
tulangnya yang patah. Kasihan kalau anak itu
sampai cacad, terlebih lagi dia putra satu-satunya
dari Giok Goan-swee almarhum...
Wie Sin Siansu merangkapkan kedua tangannya,
dengan ssbar pendeta alim Siauw Lim Sie itu bilang:
"Jadi maksud Tung Hiapsu ingin meminta agar kami
memperbolehkan anak itu mempergunakan ranjang
Im Giok, bukan ?"
310
Tung Yang mengangguk. "Ya, di samping
memperbolehkan anak itu mempergunakan ranjang
Im Giok, juga Lohu ingin meminta kemurahan haii
Siansu untuk bantu menyembuhkan anak itu, agar ia
terhindar dari cacad. Memang semula Lohu bertekad
hendak berusaha menyembuhkannya, tapi sekarang
Lohu berpikir lain. Lohu kuatir kalau kalau nanti
gagal dengan usahaku, sehingga berakibat buruk
untuk anak itu. Kalau memang Siansu tidak
keberatan, sekali lagi Lohu mohon kemurahan hati
Siansu untuk menolong anak itu. Juga, jika sudah
sembuh anak itu tidak memiliki famili, jika ikut
dengan kami hal itu tidak baik, cara hidup kami tidak
menentu. Alangkah baiknya jika anak itu diasuh oleh
Siauw Lim Sie..."
"Siancay ! Siancay !" Wie Sin Siansu tersenyum
sabar. "Baiklah! Dengan memandang Giok Goanswee,
agar arwahnya bisa tenteram karena
keturunannya satu-satunya tidak di telantarkan,
maka Loceng akan berusaha untuk memenuhi
permintaan Tung Hiapsu !"
Girang Tung Yang. la bersama Tung Im memberi
hormat kepada pendeta tua yang alim itu,
mengucapkan terimakasih. Wie Sin Siansu memberi
isyarat kepada Bun An Taysu agar menggendong
Giok Han, kemudian mereka berpisahan.
Sebelum berpisahan Tung Yang masih sempat
berjanji akan bantu menyelidiki tentang Thian Tee
Jie Kui dan siapa orang yang berada di belakangnya,
311
yang ingin mengadu domba Siauw Lim Pay dengan
Bu Tong Pay.
Juga Tung Yang berjanji akan berusaha bantu
menyelidiki tentang dua surat penting yang hilang,
yang sempat dipalsukan oleh Thian Tee Jie Kui.
Merekapun berpisahan, Wie Sin Siansu berlalu
membawa Giok Han, sedangkan Tung Yang berdua
Tung Im memutuskan tidak kembali ke tempat
mereka, di puncak gunung Biesan.
Mereka sudah berjanji pada Wie Sin Siansu untuk
bantu pihak Siauw Lim Sie menyelidiki tentang
surat-surat yang lenyap, juga mereka ingat akan
"undangan" Thio Eng Goat, iblis beracun. Mereka
harus memenuhi undangan itu, yaitu di bulan duabelas
pada tanggal limabelas datang ke lembah Kuihun
(Arwah Setan).
Sebetulnya Tung Im maupun Tung Yang ingin
melewati hari-hari tua mereka dengan tenang di
tempat pengasingan dan tidak mencampuri urusan
Kangouw. Namun kini tampaknya mereka sudah
terseret ikut dalam pergolakan dalam dunia
persilatan, tampaknya sulit buat mereka menarik diri
lagi...
Wie Sin Siansu pendeta suci Siauw Lim Sie,
biasanya ia sangat tenang, walaupun menghadapi
urusan yang paling berat sekalipun. Tung Im dengan
Tung Yang hanya melihat pendeta itu menaruh
312
perhatian untuk keselamatan Giok Han. tapi tidak
terlihat perasaan lain di muka pendeta suci itu.
Tetapi setelah berpisah dengan Tung Im dan
Tung Yang, Wie Sin Siansu lenyap ketenangannya, la
sambil berlari di sisi Bun An Taysu yang
menggendong Giok selalu melirik memperhatikan
wajah Giok Han. "Anak ini harus diselamatkan ! Hai !
Hai ! Untung saja kita bertemu pada waktu yang
tetap. Terlambat beberapa hari lagi, entah
bagaimana masa depan anak ini. Kasihan keluarga
Giok Goanswee telah dihancurkan oleh Kaisar lalim,
anak ini, yang merupakan satu-satunya keturunan
Giok Goanswe, tengah terancam jiwanya."
Sebetulnya Bun An sejak pertama mereka melihat
Giok Han, sudah mengetahui bahwa gurunya
berkuatir. Sudah puluhan tahun Bun An Taysu
mendampingi gurunya, karenanya ia tahu gurunya
tengah tegang, sebap seperti biasanya kalau
perasaannya tengah gelisah. Wie Sin Siansu akan
memandang sesuatu dengan mata bersinar tajam,
justeru waktu melihat Giok Han pertama kali, mata
Wie Sin Siansu memang bersinar sangat tajam.
Sekarang mendengar perkataan gurunya seperti
itu. Bun An Taysu jadi tidak mengerti. "Suhu,"
katanya tanpa mengurangi larinya. "Anak ini
memang terluka cukup berat, tetapi rasanya tidak
akan membahayakan jiwanya."
313
Wie Sin Siansu menghela napas geleng-geleng
kepalanya "Bun An tidakkah kau lihat pada bagian
tepat titik jalan darah Su-ho-hiat tiga hun dibawah
alis, ada bayangan hitam sama ?"
Bun An Taysu tengah menggendong Giok Han,
tapi ia bisa menoleh dan melihat. Benar saja, pada
titik jalan darah Su-ho-hiat tiga hun dibawah alis
Giok Han, ada bayangan kehitam-hitaman. Hati Bun
An Taysu tercekat inilah berbahaya untuk
keselamatan jiwa Giok Han. Biasanya, jika seseorang
menderita luka parah, dan pada titik Su-ho-hiat-nya
terlihat bayangan hitam, berarti lukanya itu parah
benar, yang mengganggu kerjanya jantung.
Kalau sampai warna titik di Su-ro-hiat menghitam
lebih gelap, akan putuslah napas orang itu.
Walaupun obat dewa tidak mungkin bisa
menyelamatkannya lagi. Segera Bun An Taysu
tersadar, mengapa gurunya begitu gelisah. Bun An
Taysu jadi berdiam diri saja dengan hati ikut gelisah.
"Apa yang harus kita lakukan, Suhu ?" tanyanya.
Wie Sin Siansu kelihatannya seperti orang
linglung, la tak menyahut, cuma menggelengkan
kepala. Alisnya yang memutih tampak mengkerut
dalam-dalam. "Satu-satunya jalan yang bisa kita
tempuh," Wie Sin Siansu bilang setelah lewat
beberapa lama, memperpanjang jiwa anak ini
dengan membendung jalan darau Wai-sie, Seng-sie
dan Cie-kang. Jalan darah itu semuanya harus
ditotok dengan tepat, nanti setelah tiba di Siauw Lim
314
barulah kita menggunakan ranjang Im Giok dan
memohon kemurahan hati Hongthio buat
mempergunakan Tat Mo Sinkang menyelamatkan
jiwa anak ini! Walau bagaimanapun, anak ini harus
diselamatkan, jangan sampai mengecewakan arwah
Giok Goanswee !" berkata sampai disitu Wie Sin
Siansu menghela napas. Pikirannya agak kalut.
Urusan antara Siauw Lim dengan Bu Tong Pay yang
timbul salah paham, walaupun merupakan urusan
yang cukup berat, tapi tidak menggelisahkan seperti
memikirkan keselamatan Giok Han, yang sampai
saat itu masih tetap pingsan tidak sadarkan diri.
Setelah itu, sipendeta suci Siauw Lim Sie berdua
muridnya hanya berlari dengan mempergunakan
ilmu lari cepat tanpa berkata-kata, keduanya
berdiam diri.
Selang beberapa hari, sesudah menyeberangi
Sangai Kuning(Hoangho) dan masuk kedaerah
S'amsay, keadaan Giok Han mengalami kemajuan.
Setelah tiga jalan darahnya, Wai-sie dan Cie-kang,
ditotok oleh Wie Sin Siansu dengan Tat Mo Sinkang,
boleh dibilang umur si bocah bisa diperpanjang,
untuk bertahan sampai mereka bisa mencapai Siauw
Sit San, di mana kuil Siauw Lim Sie berada.
Mungkin masih memerlukan perjalanan satu
bulan lebih. Dua hari sejak penotokan ketiga jalan
darah tersebut, Giok Han mulai sadar, pertama-tama
si bocah kaget dan menanyakan mengapa ia bisa
berada bersama kedua pendeta itu. Wie Sin Siansu
315
sabar menceritakan segalanya, juga apa yang
didengarnya dari Tung Yang diceritakan lagi pada
Giok Han.
Bocah itu jadi heran dan bingung. Waktu Tung
Yang mcnolongi dan membawanya pergi, si bocah
dalam keadaan pingsan, Hal itu tidak diketahuinya.
la hanya ingat, waktu itu dia tengah berkutetan
dengan Bwee Sim Mo Lie yang digigitnya, yang
diingatnya telah menghantam dan membuat ia
terpental menderita kesakitan Selanjutnya dia tidak
tahu lagi, karena jatuh pingsan.
Agak rewel Giok Han menanyakan tentang encie
Yang Lan-nya, tentang Yang Bu In, terutama sekali
mengenai Lam Sie, pengasuh tua yang setia itu,
juga tentang Khang Thiam Lu, kewalahan Wie Sin
Siansu menerima pertanyaan bertubi-tubi dan rewel
dari si bocah. ia sendiri tidak tahu dan tidak kenal
dengan orang-orang yang ditanyakan Giok Han.
namun sabar sekali pendeta alim ini melayani setiap
kerewelan Giok Han. "Tenanglah, anak. Nanti kau
akan bertemu lagi dengan mereka... sekarang
kesehatanmu harus dipentingkan dulu, jangan
terlalu banyak berpikir, bisa mengganggu
kesehatanmu."
Tapi Giok Han masih terus juga rewel, Bun An
Taysu yang selalu mewakili Wie Sin Siansu
menenangkan Giok Han, ikut kewalahan juga. Hanya
saja, kedua pendeta itu sabar luar biasa. Mereka
ingat, anak ini adalah satu-satunya keturunan Giok
316
Goanswee yang masih hidup, merekapun terharu
melihat begitu besar perhatian Giok Han kepada
orang-orang yang dicintainya, yang pernah dekat
dengannya.
Di dalam dunia persilatan kedua Hweshio Siauw
Lim Sie ini adalah pendeta-pendeta suci yang sangat
disegani, yang tidak akan banyak bicara jika tidak
perlu. Mereka adalah pendeta-pendeta saleh yang
tidak mungkin dilibat oleh kerewelan seperti yang
dilakukan oleh Giok Han.
Tapi kini, terhadap Giok Han, kedua pendeta itu
seperti berobah bagaikan burung beo yang harus
bicara terus menerus menenangkan si bocah,
membujuknya dan menghiburnya.
Giok Han tidak puas dengan keteranganketerangan
kedua Hweshio itu, apa lagi mendengar
dirinya akan dibawa ke Siauw Lim Sie, akhirnya
disebabkan terlalu jengkel, bocah itu menangis:
"Aku tidak boleh menangis. Seorang Kongcu tidak
akan menangis!" Waktu menangis Giok Han
menggumam begitu tidak hentinya, namun air
matanya tetap mengucur deras ! Tentu saja ini
merupakan peristiwa mengharukan campur lucu.
Hati Wie Sin Siansu jadi tergetar, hatinya terharu.
Biasanya ia merupakan pendeta alim yang tidak
mudah dikuasai oieh perasaan marah, senang,
jengkel dan lain-lainnya, hanya sekarang dia ikut
terharu, apa lagi mengingat seluruh keluarga diiri
317
bocah di depannya ini telah dimusnahkan oleh Kaisar
yang lalim. Dipeluknya Giok Han, ditepuk-tepuk
punggungnya penuh kasih sayang dan sabar.
"Benar anak, kau tidak boleh menangis. Seorang
Kongcu tidak akan menangis."
"Tapi .... tapi mengapa aku harus di pisahkan dari
Encie Yang Lan ? Paman Bu In ? Paman Khang
Thiam Lu dan naman Lam Sie ? Mengapa aku harus
dibawa ke Siauw Lim Sie ? Bukankan .... bukankah
Taysu bisa membawaku pulang di tengah-tengah
mereka?", kata Giok Han sambil menghapus air
matanya.
Wie Sin Siansu menghela napas. Sabar sekali
katanya: "Kesehatanmu tidak baik, kau terluka
anak. Karenanya kami membawa mu ke Siauw Lien
Sie untuk berobat. Nanti setelah sembuh tentu kami
akan mengantarkan kau kembali ke tengah-tengah
mereka, orang-orang yang kau cintai !"
"Taysu tidak berbohong?" tanya Giok Han.
Wie Sin Siansu tidak marah, juga tersinggung
oleh pertanyaan si bocah. "Loceng berjanji dan akan
menepati janji Loceng."
Giok Han menoleh kepada Bun An Taysu. "Taysu
juga berjanji?".
318
"Ya berjanji, nanti kami akan mengantarkan kau
kembali ke Encie Yang Lan, ke paman Lam Sie dan
yang lain-lainnya," menyahuti Bun An Taysu sambil
tersenyum.
"Jangan bohong ya ?! Aku anak yang bernasib
jelek, orang tuaku dibunuh orang. keluargaku
dihancurkan. Di dunia ini aku hidup sendiri, Encie
Yang Lan, paman Lam Sie dan yang lain-lainnya
sangat sayang padaku Kalau... kalau aku dipisahkan
dari mereka... nanti... nanti aku tidak tahu kemana
harus pergi, hidup sendiri..." Dan air mata Giok Han
mengucur lagi, tampaknya dia jadi sedih.
Terharu hati Wie Sin Siansu dan Bun An Taysu,
mereka segera menghibur Giok Han. Dasar bocah,
tentu saja Giok Han tidak tahu siapa kedua pendeta
didepannya, yang sebetulnya merupakan hwesiohwesio
suci Siauw Lim Sie.
Orang lain, untuk bertemu dan bercakap-cakap
dengan mereka sulitnya bukan main, justeru
sekarang Giok Han demikian rewel dan sikapnya
selalu memperlihatkan din tidak mempercayai kedua
Hwe-sio suci itu !
Sejak kecil Wie Sin Siansu maupun Bun An Taysu
hidup di kuil Siauw Lim Sie. Setiap hari bergaul
dengan kitab-kitab suci, mereka tidak pernah kenal
wanita ataupun juga berpikir untuk kawin, Sekarang
mereka berdua harus menghibur dan menenangkan
Giok Han, tentu saja keduanya jadi kewalahan. Jika
319
ada yang menyaksikan, betapa kedua Hwesio itu
demikian sibuk selalu menghibur dengan berbagai
janji dan tingkah agar si bocah gembira, tentu orang
akan tertawa geli.
Bun An Taysu sampai mengajak Giok Han untuk
main petak, saling kejar, atau main hitung-hitung
jari tangan, permainan yang biasa dilakukan anakanak
!
Karena sikap yang luar biasa sabar dan juga Giok
Han melihat kedua Hwesio itu tidak memperlihatkan
tanda-tanda sebagai orang jahat, akhirnya lewat
beberapa hari bocah itupun mulai pulih
kegembiraannya, walaupun masih sering rewel
menanyakan Encie Yang Lannya, paman Lam Sie,
paman khang Thiam Lu, atau juga menanyakan
kapan ia diantarkan untuk bisa berkumpul dengan
mereka.
Satu yang membuat tenang hati Giok Han,
walaupun Wie Sin Siansu tidak mengetahui siapa itu
Bwee Sim Mo Lie yang disebut-sebut Giok Han
sebagai Ciecie yang paling jahat dan tengah
mengancam keluarga Yang, pendeta suci yang
bijaksana ini bilang bahwa Bwee Sim Mo Lie
akhirnya bisa dibujuk untuk menjadi teman keluarga
Yang, sehingga tidak terjadi pertempuran lagi
Oooo, jadi Ciecie Bwee Sim Mo Lie tidak marahrnarah
lagi pada keluarga paman Yang ? tanya Giok
Han.
320
"Ya, mereka sudah jadi sahabat, karenanya kau
tidak perlu kuatir lagi tentang mereka." Menimpali
Bun An Taysu
Setelah melewati Hoancoan, mereka terpisah
tidak jauh lagi dengan Siauw Sit San. Melakukan
perjalanan 6 hari lagi, akhirnya mereka tiba dikuil
Siauw Lim Sie.
Melihat Siauw Lim Sie yang megah dan angker,
Giok Han sejenak tertegun. "Hebat, hebat !" pujinya.
Bun An Taysu menoleh pada si bocah. "Apanya
yang bagus, Hanjie ?"
"Kuil ini sangat indah, mungkin istana Kaisar lalim
itupun rmsih kalah angkernya!" menyahiti Giok Han.
Bun An Taysu tertawa. "Tentu. istana seorang
Kaisar yang umumnya kotor, penuh dengan
perbuatan maksiat, penuh dengan orang-orang yang
berlumuran dosa, mana bisa dibandingkan dengan
keangkeran kuil kami ?"
Waktu bicara begitu, walaupun tengah menimpali
pembicaraan seorang bocah, wajah Bun An Taysu
pun memperlihatkan kebanggaan, mukanya berseriseri,
memandang betapa megahnya kuil Siauw Lim
Sie, yang sudah sekian puluh ribu rahun berdiri
tanpa pernah goyah oleh perobahan jaman maupun
perobahan pemerintahan.
321
Giok Han tidak bisa menangkap makna perkataan
Bun An Taysu, ia mengawasi si pendeta. Dilihat
muka Bun An Taysu berseri-seri, matanya tajam
sekali, tanpa disadari timbul rasa hormat di hati Giok
Han pada Hweshio ini. Agung sekali sikapnya. "Jadi
di istana Kaisar lalim itu memang banyak orang
berdosa, Taysu ? Juga istana itu kotor sekali ?"
Bun An Taysu seperti tersadar dari lamunannya,
ia tersenyum sabar, mengusap-usap kepala s bocah.
"Nanti setelah dewasa kau akan mengerti semuanya,
Han jie."
"Wie Sin Siansu pun seperti kesima mengawasi
Siauw Lim Sie yang berdiri tegak angker di
hadapannya. Betapa kini justeru Siauw Lim Sie
tengah dilibatkan oleh fitnah agar bentrok dengan
Bu Tong Pay.
Benar Bu Tong Pay tidak sebesar Siauw Lim Sie,
tidak seangker Siauw Lim Sie, akan tetapi Bu Tong
Pay bukanlah pintu perguruan yang lemah. Terlehih
lagi yang membuat Wie Sin Siansu menyesal sekali,
Bu Tong Pay merupakan satu-satunya pintu
perguruan dari golongan putih, yang disegani oleh
seluruh dunia persilatan setelah Siauw Lim Sie !
Kembalinya Wie Sin Siansu bersama Bun An
Taysu yang membawa Giok Han segera dilaporkan
pada Hongthio Siauw Lim Sie, Tang Sin Siansu.
322
Sute Tang Sin Siansu yang lainnya, Tang Bun
Siansu, Tang Lang Siansu dan Tang Lu Siansu, ikut
menyambut. Mereka sebelumnya telah menerima
laporan dari Kam Siang Cie berempat yang sudah
kembali ke Siauw Lim Sie beberapa waktu yang lalu.
Wie Sin Siansu berdua Bun An Taysu cepat-cepat
memberi hormat kepada tetua-tetua mereka.
Dengan muka agak muram Tang Sin Siansu bilang:
"Wie Sin, bagaimana lukamu ? Apakah tidak ada
halangan sesuatu ? Urusan memang kabarnya dapat
kau selesaikan dengan diambil kembali kedua pucuk
surat berharga itu, hanya saja kau terlalu berani
dengan menerima ketiga pukulan dari manusia
rendah seperti Thian Tee Jie Kui."
Dengan sikap hormat Wie Sin menyahuti:
"Setelah beristirahat sebulan lebih dengan
mempergunakan Tat Mo Sinkang, berkat doa
Hongthio, kesehatan tecu telah pulih sebagaimana
biasa, tapi perihal kedua surat itu..."
Wie Sin Siansu menoleh pada Bun An Taysu yang
waktu itu tengah saling lirik dengan Giok Han dan
tersenyum-senyum, karena si bocah selalu berbisikbisik
rewel sekali menanyakan mengapa begini
banyak pendeta, dan siapa keempat pendeta tua
yang tampaknya begitu alim dan agung sehingga
Bun An Taysu harus menjelaskan dengan berbisikbisik
juga.
323
"Tecu kira Bun An bisa menjelaskannya kepada
Hongthio..." Bun An Taysu cepat-cepat maju
memberi hormat kepada tetua-tetuanya dan
menceritakan apa yang sudah terjadi, tentang
dipalsukannya surat-surat itu. Muka Tang Sin Siansu
berobah murung.
"Kalau demikian kita harus kirim orang ke Bu
Tong Pay. menjelaskan duduk persoalan yang
sebenarnya, tanpa perlu mengandalkan kedua surat
itu lagi. Kiia usahakan pihak Bu Tong Pay mau
mengerti," kata Tang Sin Siansu setelah Bun An
Taysu selesai dengan ceritanya, kemudian Hongthio
ini menoleh pada Tang Bun Siansu:
"Sute, Bagaimana kalau kau mewakiliku untuk
menemui Ciangbunjin Bu Tong, menyelesaikan
persoalan ini ?"
Alis Tang Bun Siansu yang sudah putih semuanya
seperti tumpukan salju, mengkerut. "Apakah hal ini
tidak akan menyebabkan bertambah besarnya salah
paham antara pihak kita dengan pihak Bu Tong ?
Suheng, walaupun bagaimana surat-surat yang
menjadi bukti harus kita peroleh, juga kita harus
membongkar perbuatan siapa yang telah
menyebarkan fitnah ke alamat kita! Dengan cara
demikian jelas bisa diterima oleh Ciangbunjin Bu
Tong Pay."
Tang Sin Siansu menghela napas dalam-dalam.
"Rasanya, Ciangbunjin Bu Tong masih mau
324
memberikan muka terang pada kita kalau kau
mewakiliku secara resmi menemuinya. Tidak ada
pilihan lain,"
"Baiklah Suheng, kapan aku berangkat ?"
"Secepatnya. Aku yakin Siong Kie Tojin bukan
seorang berpikiran cupat bisa terhasut oleh fitnah
rendahan seperti itu. Jika kita bisa menjelaskan
duduk persoalannya dengan sebaik-baiknya, kesalah
pahaman ini bisa diatasi."
"Baiklah Suheng, aku terima perintah.
Secepatnya aku akan berangkat ke Bu Tong San."
Tang Sin Siansu menoleh pada Wie Sin Siansu,
menunjuk Giok Han tanyanya : "Wie Sin, siapakah
engko kecil itu ?"
Wie Sin Siansu baru ingat Giok Han. Cepat-cepat
ia menarik tangan Giok Han. "Hanjie berlututlah
memberi hormat kepada Hongthio..."
Giok Han mengawasi sejenak Tang Sin Siansu,
dia tidak berlutut, hanya kedua tangannya kemudian
dirangkapkan, membungkuk memberi hormat.
Dengan suara lantang ia bilang : "Siauw-tee Giok
Han menanyakan kesehatan Lohweshio (pendeta
tua) apakah baik-baik saja?
325
Tercekat Wie Sin Siansu dan Bun An Taysu sudah
melompat ke dekat Giok Han, katanya gugup:
"Hanjie. kau harus memanggil... Siansu..!"
Melihat kelakuan si bocah Tang Sin Siansu tidak
marah, bahkan tersenyum. la melihat jiwa anak ini
keras sekali, karena ia tidak bersedia berlutut dan
malah memberi hormat dengan tingkah seakan-akan
ia sudah dewasa.
Waktu berkata menanyakan kesehatan Tang Sin
iapun bersikap gagah sekali. Matanya bersinar
tajam, tidak takut-takut menatap pada Tang Sin.
Diam-diam hati Tang Sin Siansu heran, entah siapa
anak yang luar biasa ini. la mengibaskan sedikit
lengan jubahnya perintahkan Bun An Taysu mundur,
dengan suara penuh kasih Tang Sin Siansu
bertanya:
"Siancay ! Siancay ! Hormatmu telah Loceng
terima. Giok Siauwko (engko kecil Giok), tampaknya
kau harus beristirahat karena kesehatanmu tidak
begitu baik."
Kaget Giok Han. Bukan main tajamnya mata
pendeta suci itu, yang sekali lihat saja mengetahui
bahwa Giok Han tengah terluka di dalam. Tang Sin
Siansu tidak perdulikan sikap Giok Han, hanya
menoleh pada Wie Sin Sian Su: "Giok Siauwko
tampaknya perlu perawatan di Im Giok Tong dan
juga titik jalan darah Wai-sie, Seng-sie dan Cie-kang
yang tertotok harus segera dibebaskan. Jika ketiga
326
jalan darah itu tertotok dalam waktu berlarna-lama
bisa memberikan akibat sampingan yang tidak
menyenangkan. Segeralah rawat Giok Siauwko, dan
malam ini kau menemuiku di Kim-ih-tong untuk
membicarakan beberapa hal."
Setelah berkata begitu, Tang Sin Siansu menoleh
lagi pada Giok Han, sabar suaranya. "Giok Siauwko,
istirahatlah dengan tenang, sementara ini.
kesehatan kau perlu perawatan yang sebaikbaiknya.
Hai, bar, entah siapa yang turunkan tangan
begitu telegas kepadamu yang masih demikian
muda?"
Tanpa menantikan jawaban Tang Sin Siansu
memberi tanda agar yang lain boleh mengundurkan
diri, sedangkan Hong-thio Siauw Lim Sie itupun
sudah memutar tubuh. Wie Sin Siansu tidak ayal lagi
membawa Giok Han ke Im Giok Tong, untuk
memberikan pengobatan pada si bocah.
Giok Han kagum pada Tang Sin Siansu. Pendeta
tua yang alim itu selain mengetahui ia terluka berat,
juga sekali lihat mengetahui tiga jalan darahnya
dalam keadaan tertotok. Segera lahir perasaan
menghormat yang sangat besar terhadap Hongthio
Siau Lim Sie itu.
Wie Sin Siansu perintahkan Bun An Taysu
mengurus keperluan buat Giok Han yang waktu itu
telah rebah telentang di pembaringan Im Giok,
sebuah pembaringan yang terbuat dari batu Giok
327
berwarna merah darah, dan dari Im Giok
menyiarkan hawa yang dinginnya melebihi dinginnya
es.
Jilid ke 8
Walaupun tubuhnya menggigil, Giok Han tidak
berani membantah waktu Wie Sin Siansu
perintahkan ia rebah disitu. Gigi si bocah sampai
bercatrukan.
Selesai mengatur segalanya. Wie Sin Siansu
memberitahukan Giok Han bahwa ia harus pergi
menghadap Hongthio, karena pasti Hongthionya
ingin minta keterangan tentang Giok Han. "Kau
harus rebah disini tiga hari tiga malam, Hanjie,"
menjelaskan Wie Sin Siansu sebelum meninggalkan
Im Giok Tong.
Kaget Giok Han. "Taysu", katanya, ia tetap
memanggil Wie Sin Taysu dengan sebutan Taysu
disamakan seperti ia memanggil Bun An Taysu, tapi
Wie Sin Siansu pun tidak keberatan atas panggilan
seperti itu.
"Aku bisa mati kedinginan jika harus rebah terus
disini.."
Wie Sin Piansu tirsenyum. "Tidak ada orang yang
mati jika rebah di Im Giok, bahkan bisa menambah
kekuatan dan kesegaran tubuh!"
328
Giok Han masih mau bertanya, tapi pendeta itu
sudah memutar tubuh dan meninggalkannya. Bun
An Taysu yang melayani Giok Han, untuk makan
minum sibocah semua diatur dengan sebaikbaiknya,
setiap tiga jam sekali diberikan semangkok
bubur sarang burung Yan-oh yang telah dicampur
obat, demikian pula untuk minum Giok Han pun
sudah dicampur semacam obat.
Rebah setengah harian, setelah makan dan
minum dua kali, Giok Han tidak merasa kedinginan
lagi. Malah bocah itu merssakan tubuhnya seperti
mengeluarkan uap yang panas sekali, keringat yang
banyak, ranjang Im Giok pun tidak dingin, hanya
sejuk, tidak menyiksa lagi.
Bun An Taysu yang diam-diam memperhatikan
tingkah Giok Han, jadi heran juga. Dia melihat bocah
ini sangat keras hati. Jangankan seorang bocah
seperti dia, sedangkan Bun An Taysu sendiri disuruh
rebah di pembaringan im Giok sebelum makan Yanoh
dicampur obat dan minum air obat lainnya, tidak
akan sanggup menahan dinginnya pembaringan batu
giok merah tersebut.
Tetapi Giok Han justeru tadi biarpun sangat
kedinginan, hanya bertanya apakah dia tidak akan
mati kedinginan pada Wie Sin Siansu, setelah
melihat Wie Sin Siansu tidak begitu
mengacuhkannya, bocah inipun tidak rewel lagi,
hanya gigit giginya rapat-rapat dan tidak membuka
mulut lagi, biarpun dinginnya luar biasa disekujur
329
tubuh. Muka bocah itu sampai hijau pucat menahan
dingin, tubuhnya juga bergoncang hebat.
Menyaksikan hal demikian Bun An Taysu jidi
berpikir: "Bocah luar biasa! Tidak kecewa dia
keturunan Jenderal besar Giok Hu."
Dalam perjalanan ke Siauw Lim Sie. Bun An
Taysu pun sudah melihat bahwa Giok Han tidak
seperti anak-anak sebaya lainnya. Giok Han memiliki
sikap yang berani sekali, terkadang mendekati
kenekadan. Keras hati dan otaknya sangat cerdas.
Setiap pertanyaannya selalu pada hal-hal yang
penting. Sejak saat itu saja sebetulnya sudah
muncul rasa sayang dihati Bun An Taysu, karenanya
melihat Giok Han menggigil keras seperti itu, tidak
ayal ia memberikan Yan-oh campur obat agar
sibocah bisa menahan rasa dingin ranjang lm Giok.
Wie Sie Siansu sendiri tahu, setiap orang, apa lagi
seorang yang tidak mengerti ilmu silat, rebah
diranjang lm Giok akan diserang dingin luar biasa.
Tapi pendeta suci itu mengeraskan hatinya, agar
Giok Han tetap rebah di ranjang itu, pura-pura tidak
mengetahui si bocah menderita kedinginan hebat.
Pertama, dengan cara demikian bisa
membekukan sebagian racun yang mengendap di
dalam tulang sumsum pada pundak Giok Han, kedua
lebih cepat proses penghisapan racun yang
dilakukan oleh ranjang lm Giok.
330
Wie Sin Siansu pun punya alasan lainnya, ia ingin
mendidik Giok Han agar keras dan lebih tabah,
seperti yang selama ini di perlakukan terhadap
semua murid-murid Siauw Lim Sie, ditanam
kedisiplinan yang kuat. Bukankah di waktu
mendatang bocah ini harus diasuhnya, dididik,
seperti permintaan Tung Yang beberapa waktu lalu
yang telah diluluskannya ?
Tapi maksud Wie Sin Siansu justeru keliru
diterima oleh Giok Han. Waktu pertamakali ia rebah
di pembaringan lm Giok, menderita kedinginan hebat
dan Wie Sin Siansu meninggalkannya dengan sikap
biasa saja seperti tidak melihat penderitaannya, si
bocah justeru berpikir sedih: "Biar, memang aku
anak yatim yang tidak punya orang tua lagi,
siapapun boleh memperlakukan aku semau-maunya
! Aku tidak boleh memperlihatkan kelemahanku
pada pendeta tua kurus itu biar mati aku harus tetap
rebah di ranjang ini. Aku tidak boleh membiarkan dia
nanti menghinaku sebagai anak tidak berguna !"
Dan Giok Han gigit giginya kuat-kuat, bibirnya
kehitam-hitaman menuruni dingin luar biasa,
tubuhnya mengigil keras. la nekad biar harus mati,
dia tidak akan meninggalkan ranjang Im Giok!
Hanya rasa sedih sering menyelinap ke dasar
hatinya, ia jadi teringat lagi keadaannya
sebatangkara, tidak ada orang tua, tidak ada sanak
famili, hidup seorang diri, dan tidak ada orang yang
melindunginya lagi.
331
Walaupun Wie Sin Sian-su dan Bun An Taysu
sepanjang perjalanan ke Siauw Lim Sie
memperlakukannya sangat manis dan baik, tokh
sekarang ia disiksa rebah kedinginan hebat di
ranjang Im Giok! la jadi membanding-bandingkan
dengan paman Lam Sie-nya, yang benar-benar
mengasihinya, sangat sayang.
Teringat pada paman Lam Sie nya, hati Giok Han
jadi sedih, matanya merah dan air matanya hampir
mengucur keluar. Mendadak ia berpikir; "Tidak !
Tidak! Aku tidak boleh menangis. Kalau pendeta itu
melihat aku menangis, dia tentu menyangka aku
menangis disebabkan tak tahan dingin ! Aku tidak
boleh menangis !" Mati.matian Giok Han menahan
agar air matanya tidak mengucur keluar.
Setelah beberapakali makan Yan-oh dan minum
air yang diberikan Bun An Taysu, rasa dingin itu
berkurang, bahkan akhirnya hilang. Ranjang Im Giok
terasa sejuk saja. Giok Han jadi girang. "Hemmmm,
lihat, Sekarang aku sudah terbiasa di ranjang ini.
bisa melawan hawa dingin itu. Tentu si pendeta
kurus itu akan kecewa melihat aku tidak kedinginan
lagi !" Pikir si bocah. Mimpipun dia tidak bahwa
sebetulnya yang membuatnya tahan melawan hawa
dingin itu disebabkan ia makan Yan-oh dan minum
air yang telah dicampur obat, yang diberikan oleh
Bun An Taysu atas perintah Wie Sin Taysu sejauh
itu. walaupun Giok Han menerima perlakuan yang
manis dari Wie Sin Siansu dan pendeta-perdeta
lainnya, tokh dia masih selalu bercuriga, sulit
332
mempercayai sepenuhnya pendeta-pendeta itu,
tidak seperti dia terhadap paman Lam Sie-nya, yang
memang dipercayai sepenuhnya...
Wajah Tang Sin Siansu muram mendengar cerita
Wie Sin Siansu tentang malapetaka yang menimpa
keluarga Jenderal Besar Giok Hu. "Ya. di dunia
segalanya tak ada yang sempurna. Yang sempurna
sesungguhnya tidak sempurna, yang baik
sesungguhnya buruk, yang buruk sesungguhnya
baik ! Kaisar yang penuh gemerlap kemewahan dan
kekuasaan, sesungguhnya lebih buruk akhlaknya
dari seorang pengemis ! Selama manusia di dunia
mengejar kemuliaan, hidupnya akan bertarung
dengan berbagai kesulitan. Selama manusia
mencapai kedudukan tinggi, semakin berat
penderitaan dan kesengsaraan yang akan
dterimanya di dunia ini. Omitohud...."
Wie Sin Siansu pun menghela napas. Dengan
hati-hati ia memandang pada Hongthionya. "Kalau
memang Hongthio tidak keberatan, tecu ingin
mengajukan suatu permohonan ..." katanya.
"Bilanglah, Wie Sin," Tang Sin Siansu mengawasi
Wie Sin Siansu, sehingga Wie Sin Siansu tidak berani
menatap lebih lama dan menunduk. "Bukankah kau
ingin anak yang malang nasibnya itu diperkenankan
tinggal di sini ?"
"Benar, Hongthio." hati-hati sekali Wie Sin Siansu
menyahuti. "Seperti yang sudah tecu ceritakan tadi
333
bahwa tecu sudah menyanggupi permintaan Tung
Yang Hiapsu untuk merawat anak itu. Kalau memang
Hongthio mengijinkan..."
Tapi, apakah anak ini mau dirawat dengan
lingkungan di sini ? Maukah dia kelak dicukur rambut
? Maukah dia menerima kehidupan sebagai Hwesio
?"
"Dia masih kecil, Hongthio. Jika memang dirawat
dengan baik tentu ia pun akan mengerti maksud
baik kita."
"Baiklah kau rawatlah baik-baik anak itu. Jika
kelak setelah dewasa ia keberatan untuk masuk
dalam dunia HOED kita tidak perlu memaksa. Di
dasar hati anak itu bersemayam dendam yang
besar, yang akan bertambah besar jika kelak setelah
ia dewasa, Karena itu, akan sia-sialah kalau tokh
kita kelak memaksa ia memasuki jalan HOED
(BUDDHA).
la masih kecil, tapi sudah dilibat oleh jaring
kehidupan, sehingga jaring-jaring itu sulit dilepaskan
kembali sebelum ia mengalami kehidupan yang
sebenarnya. Biarpun demikian, anak ini harus dididik
dengan sebaik-baiknya tanpa perbedaan. Yang harus
kau perhatikan Wie Sin. juga menjadi tugasmu,
usahakanlah agar dendam yang membakar hatinya
itu dapat dikurangi sedikit demi sedikit.
334
Mustahil untuk melenyapkan, tapi jika dapat
DIKURANGI, niscaya anak itu tidak akan mengalami
kesengsaraan yang lebih berat jika sudah dewasa
karena terbakar terus menerus oleh dendamnya."
"Petunjuk Hongthio akan Tecu laksanakan sebaikbaiknya,
terima kasih untuk kemurahan hati
Hongthio," kata Wie Sin Siansu dengan sikap
hormat.
Tang Sin Siansu memberi isyarat Wie Sin Siansu
boleh mengundurkan diri. Sepeninggal Wie Sin
Siansu, Hongthio Siauw Lim Sie itu duduk
termenung dengan wajah murung, la seorang
pendeta saleh, seorang pendeta alim, yang sangat
mulia hatinya dan sudah mencapai tingkat yang
tinggi dalam kependetaannya. la selalu dapat
menguasai diri dari segala kegembiraan yang
berlebihan, kesedihan. kebingungan atau
kegelisahan. la tidak gampang marah, juga tidak
gampang gembira, semuanya selalu berlangsung
dengan wajar.
Tetapi persoalan Giok Han, justeru di dasar
hatinya timbul perasaan kuatir Kekuatiran yang
menggelisahkan. la melihat anak itu walaupun masih
kecil, tapi di dirinya terdapat sesuatu yang rasanya
tidak di miliki oleh anak-anak sebaya dengannya.
Seperti waktu memberi hormat kepadanya di mana
Giok Han tidak mau berlutut, hanya memberi hormat
seperti lazimnya orang-orang dewasa.
335
la pun berkata-kata dengan mantap dan terang.
Justeru dalam kesempatan itu Tang Sin Siansu
sempat melihat sinar mata si bocah yang tajam luar
biasa, seperti lautan yang dalam, yang mengandung
berjuta-juta rahasia. Hongthio Siau Lim Sie yang
bijaksana inipun tidak mengetahui, mengapa
mendadak saja di saat itu timbul kekuatiran waktu ia
mengetahui dari Wie Sin bahwa bocah itu adalah
satu-satunya keturunan Jendcral Bcsar Giok Hu yang
telah dianiaya oleh orang-orang Kaisar.
Terlebih lagi setelah mendengar cerita Wie Sin
Siansu tentang sikap-sikap Giok Han selama dalam
perjalanan menuju pulang ke Siauw Lim Sie, hati
Tang Sin Siansu semakin ragu-ragu, tidakkah bocah
yang masih kecil itu, yang tampak tidak berdaya,
kelak setelah menerima gemblengan dari Siauw Lim
Sie, akan menimbulkan ledakan dahsyat ?
Jika memang dapat dikendalikan sehingga
ledakan itu tidak menimbulkan kesulitan kesulitan,
adalah hal yang sangat baik. Tetapi dapatkah ?
Bukankah Giok Han tampak seorang yang terlalu
keras hati, perasa dan cerdas sekali ? Apakah api
dendam yang tumbuh di dasar jiwa anak itu kelak
tidak akan ikut membakar Siauw Lim Sie ?
Dan semalaman itu Tang Sin Siansu jadi
mempertimbangkan persoalan Giok Han, walaupun
pada Wie Sin telah di ijinkannya untuk menerima
Giok Han sebagai muridnya, mendidik dan
merawatnya ! itupun sebetulnya sudah melanggar
336
dari kebiasaan Siauw Lim Sie selama ribuan tahun
menerima seorang murid, yang harus dari tingkat
termuda, dan seharusnya yang diperintahkan
menjadi guru Giok Han adalah pendeta Siauw Lim
Sie tingkat ke 9, bukan Wie Sin Siansu, pendeta
tingkat 2 !
Giok Han masih rebah di pembaringan Im Giok
waktu Wie Sin Siansu kembali ke lm Giok Tong. Bun
An Taysu melaporkan tahwa kini daya tahan Giok
Han mulai membaik, setelah beberapa kali makan
Yan-oh yang dicampur obat dan minum air obat
yang diberikannya. Win Sin Siansu hanya
mengangguk, langsung mendekati pembaringan.
Giok Han melirik Wie Sin Siansu tanpa bilang
apa-apa, sipendeta tersenyum. "Kesehatanmu mulai
membaik, Hanjie. Dan dalam beberapa hari
mendatang kau akan dapat disembuhkan, racun di
dalam tulangmu akan bisa terhisap habis dan bersih
oleh Im Giok I"
Lalu Giok Han diperintahkan duduk. Di dalam hati
si bocah berpikir; "Hm. Hm kau pura-pura tidak
heran melihat aku bisa bertahan terus di
pembaringan ini?"
Walaupun hatinya agak mendongkol, namun dia
tidak berani mengutarakan perasaannya.
Wie Sin Siansu tidak bilang apa-apa, hanya mulai
memijiti sekujur tubuh Giok Han. Lalu meminta Giok
337
Han rebah lagi-Tampak Wie Sin Siansu puas.
"Siancay ! Siancay ! Akhirnya kesulitan itu bisa
teratasi juga. Nanti jika sudah tiba saatnya, Loceng
akan minta pada Hongthio agar membebaskan
seluruh jalan darahmu dari sisa-sisa racun dengan
desakan Tat Mo Sinkang. Dengan kemurahan hati
Hongthio, niscaya seluruh sisa racun itu bisa
dipunahkan."
"Hu, kemurahan hati ! Sejak tadi aku disiksa
seperti ini masih disebut kemurahan hati !" Pikir
Giok Han mendongkol.
Wie Sin Siansu mengawasi si bocah. "Setelah kau
sembuh, kau harus mengikuti semua petunjuk
Loceng, karena selanjutnya kau akan Loceng rawat
sebagai murid Loceng.
Upacara pengangkatan murid, guru kelak di
selenggarakan dan dipimpin oleh Hongthio."
"Aku menjadi muridmu, Taysu?" tanya Giok Han,
ingin bangun duduk, tapi pundak-nya ditekan sedikit
oleh Wie Sin Siansu, dia jadi rebah terus.
"Aku... aku ingin kembali ke rumah Encie Yang
Lan."
"Nanti kalian bisa bertemu, kau akan kumpul
kembali dengan orang-orang yang kau cintai. "Tapi
untuk kepentingan dan kebaikanmu, kau harus
338
menerima pendidikan dari Loceng, seperti
permintaan Tung Hiapsu."
"Aku . . . aku tidak kenal siapa Tung Hiapsu itu,
Taysu... dia tidak berhak untuk menyuruh aku
berguru pada Taysu."
"Nak kau akan bertemu dengan Tung Hiapsu,
sekarang kau harus menuruti apa yang
diinginkannya, semua ini untuk kebaikanmu juga.
Hanjie,"
"Tapi aku tidak mau baca Liamkheng. Untuk apa
belajar Liamkheng!" Teriak Giok Han sambil
berontak bangun, duduk sambil mementang
matanya lebar-lebar.
Wie Sin Siansu tersenyum. "Siancay ! Apakah kau
akan belajar ilmu kependetaan? Membaca
Liamkheng ?" tanya si pendeta, sabar. "Tidak Hanjie,
kau akan mempelajari ilmu silat Siauw Lim kami."
"Sulit ?" Giok Han tampak murung. Sebagai
seorang bocah ia tidak tahu apa itu Siauw Lim,
karena ia selama ini kagum pada Khang Thiam Lu,
yang diketahuinya sebagai pembantu ayahnya yang
memiliki kepandaian tinggi sekali, la juga kagum
kepada Yang Bu In, guru Khang Thiam Lu. yang
diduga i pasti memiliki kepandaian lebih tinggi dari
Khang Thiam Lu sendiri. Juga Giok Han kagum pada
Yang Lan, gadis yang lincah dan cantik, yang pandai
sekali menggerakkan pedangnya.
339
Tapi pendeta tua ini yang kurus dan seperti tidak
mempunyai tenaga, apakah bisa mengajarkan ilmu
silat? Mungkin untuk menggerakkan pedang saja
pendeta yang sudah sangat tua dan kurus ini sudah
tidak kuat. Karena itu Giok Han mengawasi Wie Sin
Siansu ragu-ragu.
Wie Sin Siansu mengusap-usap kepala si bocah.
"Sekarang rebahlah kembali tenang-tenang di sini.
Jangan berpikir apa-apa, karena itu bisa
memperlambat kesembuhanmu, Hanjie. Loceng
akan datang kemari besok pagi. Suhengmu, Bun An,
akan merawatmu."
Giok Han masih diam saja, dia benar-benar ragu.
Dia sudah dengar dari Khang Thiam Lu mengenai
malapetaka yang menimpa keluarganya. Dia pernah
minta pada Yang Bu In, guru Khang Thiam Lu, agar
ia diterima menjadi muridnya, agar kelak bisa
memiliki kepandaian seperti Khang Thiam Lu.
Tapi, sekarang pendeta ini yang akan
mengangkat dia jadi murid. Bisa apa pendeta setua
iyu ? Paling tidak ia hanya diajarkan membaca
Liamkeng. Dan Giok Han tambah mendongkol saja.
"Tidak, aku tidak mau jadi keledai gundul seperti
dia !" pikirnya. "sekarang biar saja, dia mau bicara
apapun boleh, tapi jika ada kesempatan aku akan
melarikan diri dari tempat ini."
340
Sedang Giok Han bengong, Bun An Tay-su
menghampiri. "Kionghie. Sute,"
"katanya sambil tersenyum. "Tidak kusangka kau
memiliki rejeki demikian bagus bisa langsung
menjadi suteku.."
"Rejeki bagus kentut !" pikir Giok Han tambah
mendongkol. "Siapa sudi jadi keledai gundul seperti
kau!" Karena mendongkol Giok Han diam saja. Dia
jadi semakin bimbang. Dia kalau menjadi murid Wie
Sin Siansu berarti jadi Sute (adik seperguruan) Bun
An Taysu. Sedangkan Bun An Taysu seorang Hwesio,
berarti dia juga harus jadi Hwesio.
Mencukur rambut, makan hanya makan sayuran
tanpa barang berjiwa, yaitu cia-cai. Membaca
Liamkheng setiap hari. Oooo, semakin dipikirkan,
Giok Han semakin sebal. la jadi ingin cepat-cepat
bisa meninggalkan kuil ini. agar bisa cepat-cepat
kumpul dengan Khang Thiam Lu dan yang lain-
Iainnya.
Bcberapa hari telah lewat lagi, kesehatan Giok
Han mengalami kemajuan pesat.
Setelah tujuh hari rebah di pembaringan Im Giok,
yang sudah tidak menyiksa Giok Han dengan hawa
dinginnya, malam hari ke delapan Hongthio Siauw
Lim Sie datang ke Im Giok Tong, meletakan telapak
tangan di punggung Giok Han dan segumpal hawa
panas seperti menerobos masuk lewat kulitnya,
341
tersalur ke seluruh tubuhnya, membuat Giok Han
merasakan tubuhnya bagaikan terbakar hawa panas
itu.
Keringat membanjir membasahi sekujur
tubuhnya. Sepatah katapun tidak diucapkan Tang
Sin Siansu. begitu pula setelah selesai menyalurkan
Tat Mo Sinkang Hongthio Siauw Lim Sie
meninggalkam Im Giok Tong tanpa mengucapkan
sepatah perkataan.
Giok Han memang sedang mendongkol jadi
semakin mendongkol. "Hu, sombongnya ! Jangan
takut, keledai gundul, nanti kalau ada kesempatan
aku pun akan meninggalkan tempat ini, sehingga
kau tidak ngambek, seperti itu harus menanggung
makan tidurku."
Dua hari Wie Sin Siansu melakukan pengurutan
tubuh Giok Han. si bocah juga merasakan
pundaknya tidak nyeri lagi. Akhirnya Wie Sin Siansu
bilang: "Sekarang kau sudah sembuh
keseluruhannya. Tadi Hongthio berpesan, besok pagi
akan diselenggarakan upacara pengangkatan gurumurid.
Kau jangan bersikap ugal-ugalan, jangan
membikin malu Loceng. "
Giok Han cuma mengangguk. Otaknya bekerja
keras, semakin dekat saat upacara pengangkatan
guru-murid, dia semakin keras ingin melarikan diri.
342
Malam telah larut. Dilihatnya Bun An Taysu telah
meninggalkan Im Giok Tong untuk istirahat. Memang
belakangan ini Bun An Taysu tidak perlu menunggui
Giok Han seharian penuh, sebab si bocah telah
sembuh tidak kurang suatu apapun.
Dengan berindap-indap Giok Han turun dari
pembaringan Im Giok, menuju ke pintu. Tidak
dikunci, dia keluar. Keadaan di luar ruangan terang
oleh sinar rembulan, harumnya asap hio dan samarsamar
suara pendeta-pedeta yang tengah membaca
Liamkheng serta ketukan berirama kayu Bokkhie.
Giok Han bingung, pintu mana untuk keluar.
Tembok-tembok kuil tinggi dan tidak mungkin
melarikan diri lewat tembok-tembok kuil tersebut.
Dia mencari-cari pintu gerbang kuil tapi Siauw Lim
Sie demikian luas. Namun Giok Han bertekad bulat,
ia harus melarikan diri.
Sedang Giok Han berindap-indap dengan sikap
hati-hati mencari pintu gerbang, ia berusaha tidak
dilihat oleh pendeta-pendeta Siauw Lim Sie,
mendadak dilihatnya dua orang murid Siauw Lim Sie
dari tingkatan muda tengah jalan menghampiri, di
tangan dua orang Hwesio muda itu membawa baki
berisi mangkok. Mungkin mereka baru-selesai
melayani guru mereka.
Giok Han cepat-cepat menyembunyikan diri
dibelakang batu gunung-gunungan kecil di sebelah
kanan, menunggu sampai kedua
343
Hweshio muda itu cukup jauh, ia bermaksud
keluar dari tempat persembunyiannya. Tiba-liba Giok
Han kaget, karena pundaknya ditepuk seseorang.
Cepat ia menoleh. Wie Sin Siansu berdiri dengan
bibir tersenyum berdiri tidak jauh dari tempat Giok
Han dan dengan suara yang sabar sekali pendeta itu
bilang:
"Kau baru sembuh Hanjie, malampun telah larut.
Ayo kembali ke tempatmu! - Bukankah besok pagipagi
kau sudah harus bangun, untuk menjalani
upacara pengangkatan guru-murid ?"
Giok Han tertegun sejenak, tapi akhirnya
ngoloyor untuk kembali ke kamarnya-Dalam hatinya
dia mengutuki dirinya sendiri. "Tolol, beritahukan
saja kau tidak mau jadi muridnya, urusan jadi beres.
Tapi.. marahkah dia? Ayo, katakan saja...!"
Begitulah batinnya bertentangan. Akhirnya
setelah melangkah beberapa tombak, Giok Han
menahan langkahnya, memutar tubuhnya. Wie Sin
Siansu masih berdiri di tempatnya, tetap dengan
senyum yang sabar.
"Taysu..." Giok Han ragu-ragu, suaranya
perlahan.
"Ada yang ingin kau katakan, Hanjie ?"
"Taysu ... sebetulnya aku ingin memberitahukan
kepidamu, Taysu. Aku ... aku tidak mau menjadi
344
muridmu. Bukankah kau sudah berjanji setelah aku
sembuh, akan akan mengantarkan aku ke rumah
Encie Yang Lan ?"
Wie Sin Siansu tersenyum. Dia seorang pendeta
yang waspada. sejak semula ia sudah menyadari
adanya pertentangan dan perasaan tidak menyukai
dihati bocah itu terhadap lingkungan maupun
dirinya. Tadipun pendeta ini tahu Giok Han nekad
hendak melarikan diri. Hanya sengaja hal itu tidak di
tegurnya, ia pura-pura tidak tahu maksud si bocah.
Sekarang Giok Han bilang begitu, ia semakin
yakin Giok Han memang tengah mengalami
pertentangan dihatinya. "Benar apa yang Hongthio
beritahukan, anak ini mempunyai hati yang keras,
suka nekad dan juga kepala batu. la harus
ditundukkan dulu, menyadarkannya agar ia tahu
semua itu untuk kepentingannya."
Berpikir begitu Wie Sin Siansu merangkapkan
kedua tangannya, "Siancay," katanya. "tentu saja
Loceng tidak akan memaksa kau menjadi murid
Loceng. Tetapi dengarlah Hanjie, betapapun Loceng
hanya ingin melaksanakan kewajiban, memenuhi
janji Loceng pada Tung Hiapsu. Kami sama berusaha
memikirkan masa depanmu. Kini kau sudah yatim
piatu, kami berkasihan..."
Mata Giok Han tiba-tiba terbuka lebar-lebar
"Tetapi aku tidak pernah minta kepada Taysu untuk
berkasihan kepadaku" Katanya keras. "Juga aku
345
tidak pernah minta dikasihani dari orang yang
disebut Tung Hiapsu itu! Walaupun aku anak yatim,
aku tidak mengemis belas kasihan dari siapapun !"
"Siancay! Siancay ! jangan kau salah menafsirkan
perkataan Loceng. Justru yang kami lakukan semua
ini untuk, menghormat mendiang ayahmu,
keluargamu yang telah di dimusnahkan oleh Kaisar
yang lalim itu. Jika kini kau meninggalkan Siauw Lim
Sie, lalu ada orang Kaisar lalim ini yang mengetahui.
kau pasti dicelakai mereka. Loceng ingin agar kau
baik-balk belajar di sini, nanti setelah dewasa kau
boleh meninggalkan tempat ini, kemana saja kau
mau,"
"Hu, keledai tua ini mau menakut-nakuti aku,"
pikir Giok Han. Segera dia menyahuti: "Biarlah,
Taysu tidak usah repot-repot memikirkan
keselamatanku. Jika memang aku tertangkap oleh
orang-orang Kaisar lalim itu, namanya sudah nasib.
Aku pasrah saja." -
Tiba-tiba lenyap senyum Wie Sin Siansu.
sikapnya serius dan wajahnya jadi angker. Melihat
perobahan sikap si pendeta. Giok Han juga kaget.
Mata si pendeta bersinar-seakan di matanya itu ada
sinar yang kuat sekali, sangat terang dalam
kegelapan malam.
"Han jie, kecewa kau sebagai putera Giok
Goanswee ! Kami mengetahui Giok Goanswee
seorang Jenderal besar yang jujur dan berani, tapi
346
keberaniannya itu untuk membela negara! Tapi kau?
Kau lebih rela mati teraniaya ditangan orang-orang
rendah kaki tangan kaisar lalim itu !Dimana
kegagahanmu? Mana usahamu agar kelak bisa jadi
seorang yang berguna untuk bangsa seperti yang
dirintis oleh ayahmu ?"
Ditegur dengan suara keras seperti itu. Giok Han
jadi tertunduk. Dia kaget dan hatinya bimbang. Apa
yang diucapkan pendeta suci Siauw Lim itu sangat
mendera dihatinya. Ya, Thia-thia sudah tiada,
apakah sebagai anak Thia-thia aku tidak berusaha
untuk menjadi seorang manusia berguna untuk
bangsa? Walaupun pendeta-pendeta ini belum tentu
bisa mendidikku dengan ilmu yang berarti, tapi apa
salahnya? Dia tokh bermaksud baik.? Nanti masih
bisa dipertimbangkan lagi kalau ternyata dia tidak
bisa mendidik dengan ilmu yang tinggi. . ."
Disebut-sebut tentang ayahnya, Giok Han juga
jadi sedih.
Wie Sin Siansu menghela napas dalam-dalam,
kemudian menghampiri Giok Han, di usap-usap
kepala sibocah.
"Hanjie," suara Wie Sin Siansu berobah sabar,
penuh kasih sayang. "Loceng harap kau mau
memenuhi satu permintaan Loceng. Terimalah
keinginan Loceng, kau menjadi murid Loceng. Nanti
setelah tamat pelajaran mu, kau boleh pergi kemana
347
kau suka. Loceng tidak akan melarang, inilah janji
Loceng."
"Luar biasa!" Pendeta suci Siauw Lim Sie tingkat
kedua sampai meminta dan berharap bisa
mengambil Giok Han sebagai muridnya-agar Giok
Han mau mengangkatnya sebagai guru sibocah !
inilah urusan yang baru pertama kali terjadi dalam
rimba persilatan!
Orang lain, walaupun bersembah sujud sambil
menangis tujuh hari tujuh malam, memohon agar di
terima menjadi murid Siauw Lim Sie, merupakan
urusan yang sulit sekali! Tetapi Giok Han kini yang
didesak oleh Wie Sin Siansu, pendeta suci Siauw Lim
Sie tingkat dua, agar mau menjadi muridnya!
Kepalanya diusap-usap seperti itu oleh Wie Sin
Siansu, juga mendengar suara sipendeta yang
lembut, hati Giok Han jadi lunak lagi.
"Bagaimana ?" Tanya Wie Sin Siansu ketika
melihat Giok Han menengadah tanpa berkata apaapa,
mata sibocah memancarkan keraguan.
"Baiklah, Taysu..." perlahan suara Giok Han.
"Siancay ! Omitohud ! Sekarang kembalilah kau
ke Im Giok Tong. Ini adalah malam terakhir kau
tidur disitu, saat-saat terakhir untuk membersihkan
tubuh dari racun-racun yang pernah mengendap
didalam tulangmu."
348
Giok Han tidak bilang apa-apa, ngeloyor kembali
kedalam Im Giok Tong. Wie Sin Siansu berdiri disitu
dibawah siraman sinar rembulan, menghela napas
lega. Tampaknya Giok Han mulai mengerti akan
maksud baiknya. Wie Sin Siansu mempunyai alasan
sendiri mengapa ia demikian memaksa agar Giok
Han menjadi muridnya.
Pertama-tama ia ingat bahwa Giok Han seorang
bocah yang jelas sifatnya masih kekanak-kanakan
Hal itu dimaklumi oleh Wie Sin Siansu. Ke-dua, ia
merupakan putera satu-satunya dari Jenderal besar
Giok Hu, yang sekeluarga telah dianiaya dan musnah
oleh tangan kejam Kaisar lalim yang tengah
berkuasa.
Wie Sin Siansu seperti rakyat lainnya, sangat
menghormati Jenderal yang jujur dan setia pada
negeri. Rasa hormat itulah menimbulkan rasa
sayang kalau Giok Han sebagai keturunan Giok
Goanswee satu-satunya yang masih hidup, harus
terlantar dan tersia-sia.
Jika anak itu kelak memperoleh seorang guru
yang biasa saja, bukankah arwah Giok Goan-Svvee
tidak akan meram? Belum lagi kemungkinan kalau
terjadi sibocah jatuh ketangan orang-orang golongan
hitam. Karena itulah Wie Sin Siansu berusaha agar
sibocah bisa ditundukkannya dan mau menjadi
muridnya!
349
Itu pula sebabnya mengapa Wie Sin Siansu akan
mendidik langsung bocah itu, tidak diserahkan
kepada muridnya ataupun cucu muridnya, agar
menjadi guru sibocah.
Masih ada alasan lainnya yang terpenting buat
Wie Sin Siansu, la melihat Giok Han memiliki bakat
yang sangat baik, ditambah kecerdasannya yang
memang terpuji, bahwa bocah itu memiliki otak
yang terang. Hal ini telah dibicarakan Wie Sin Siansu
dengan Tang Sin Siansu, Hongthionya.
Kekuatiran terbesar jika dengan semua keadaan
seperti itu, dimana bakat, kecerdasan dan juga api
dendam yang terpendam didasar hati sibocah, jatuh
ketangan orang tidak bertanggung jawab, nicaya
bisa disalah gunakan ! Memang kemungkinan Giok
Han kelak menjadi seorang yang tanguh dan cerdas,
bisa saja terjadi.
Tanpa pengarahan yang tepat, apa jadinya pada
bocah itu kelak ? Apakah bocah itu akan dibiarkan
tanpa pengarahan dan kelak menjelma jadi seorang
dedengkot iblis?
Alasan-alasan itulah mengapa Tang-Sin Siansu
dan juga Wie Sin Siansu memilih lebih baik bocah itu
dirawat dan dididik dalam lingkungan Siauw Lim Sie,
dengan harapan agar bocah itu kelak tumbuh dalam
350
lingkungan baik, bisa menjelmakan jiwa dan
perasaannya pada arah yang baik pula.
Wie Sin Siansu menghela napas dalam-dalam,
rembulan bersinar terang, akhirnya pendeta suci
tersebut kembali kekamarnya.
Keesokan paginya tampak kesibukan di ruang Tat
Mo Tong, belasan murid Siauw Lim Sie tengah
mempersiapkan suatu upacara sembahyang. Tidak
lama lagi akan diselenggarakan upacara
sembahyang pengangkatan guru-murid antara Giok
Han terhadap Wie Sin Siansu. Hanya bedanya
sekarang, tidak terdapat alat-alat pemangkas
rambut, seperti yang biasa terjadi pada upacaraupacara
yang sama di waktu-waktu sebelumnya,
karena sekali ini memang terdapat pengecualiannya
dimana Giok Han tidak akan dicukur rambutnya,
tidak menjadi murid Siauw Lim Sie yang harus
menjadi Hweshio.
Sejak pagi tadi Giok Han sudah diajak Bun An
Taysu untuk salin pakaian, dengan seperangkat
pakaian yang rapi dan bersih. Kemudian diajak ke
Tat Mo Tong, dimana sudah berkumpul banyak
sekali murid-murid Siauw Lim Sie. Giok Han di
dudukkan di-sebuah tikar anyaman bergamparkan
patkwa.
Suasana hening sekali. Waktu Wie Sin Siansu
melangkah masuk dalam ruangan, semua murid
yang berkumpul di ruang itu, yang semuanya terdiri
351
dari tingkat ke 9, 8, 7, 6, 5, dan 4, berdiri menjurah
memberi hormat, Murid murid Siauw Lim tingkat 3,
dan duduk di sebelah atas undakan ruang itu ikut
berdiri memberi hormat kepada Wie Sin Siansu.
Setelah Wie Sin Siansu mengambil tempat duduk
tidak jauh dari Giok Han, beralaskan selembar tikar
bergambar patkwa juga, menyusul masuk Hongthio
Siauw Lim Sie Tang Sin siansu.
Didahului oleh suara genta yang dibunyikan
berturut-turut sebanyak 10 kali, suara genta
menggema di seluruh tempat itu seputaran kuil
Siauw Lim Sie. Di belakang Tang Sin Siansu tampak
murid-murid Siauw Lim Sie tingkat ke 1, sute dari
Tang Sin Siansu. Mereka terdiri dari Tang Lang
Siansu, Tang Lu Siansu dan Tang Bun Siansu.
Untuk keperluan menghadiri upacara
pengangkatan murid baru Siauw Lim Sie, Tang Lun
Siansu yang menerima perintah Suhengnya untuk
pergi ke Bu Tong Pay, sudah menangguhkan
keberangkatannya. Ini memang merupakan
peraturan Siauw Lim Sie. dimana untuk
pengangkatan seorang murid baru Siauw Lim Sie,
selain harus dipimpin oleh Hongthio Siauw Lim Sie,
juga disaksikan oleh tiga tetua lainnya. Tang Bun
Siansu Tang Lang Siansu dan Tang Lu Siansu,
dengan demikian resmilah sang murid menjadi
murid Siauw Lim Sie.
Ketika keempat pendeta suci Siauw Lim Sie
memasuki ruang Tat Mo Tong, semua pendeta yang
352
berkumpul di ruangan itu berdiri. Murid-murid Siauw
Lim mulai dari tingkat ke 4 sampai tingkat ke 9
berlutut menyambut kedatangan ketua mereka.
Tang Sin Siansu berempat dengan ketiga orang
sutenya mengambil tempat duduk. Sikap mereka
angker sekali, masing-masing mengenakan jubah
merah darah bersulamkan benang emas kuning
gemerlapan. Inilah jubah resmi pemimpin-pemimpin
Siauw Lim Sie.
Keadaan di dalam ruangan itu hening sekali
"Murid-murid dan cucu murid yang berkumpul hari
ini," berkata Tang Sin Siansu dengan suara yang
jelas dan sabar, tapi berwibawa, "semua untuk
menyambut kehadiran seorang saudara seperguruan
kalian. Hari ini adalah hari pengangkatan resmi
seorang murid baru dari pintu perguruan kita. Calon
murid itu bernama Giok Han, berusia 7 tahun tiga
bulan, putera dari tuan Giok Hu, yang pernah
menjabat pangkat Goanswee. Setelah
mempertimbangkan dalam beberapa hal yang
berhubungan dengan anggaran dasar pintu
perguruan kita, calon murid Giok Han akan diterima
menjadi murid Siauw Lim Sie perawatan dan
pendidikannya akan dipercayakan kepada Wie Sin
Siansu, murid Siauw Lim Sie tingkat ke 2..."
Berkata sampai di situ, Tang Sin Siansu tidak bisa
meneruskan kata-katanya, karena seketika di dalam
ruangan itu ramai oleh suara bisik-bisik di antara
para pendeta. Ini merupakan kejadian yang tidak
353
pernah terjadi dalam pintu perguruan Siauw Lim Sie,
seorang anak berusia 7 tahun yang akan diterima
menjadi murid Siauw Lim Sie bisa langsung dirawat
dan dididik oleh murid tingkat ke 2, merupakan
urusan yang janggal bagi semua pendeta yang
berkumpul di situ, sebabnya, dengan menjadi murid
Wie Sin Siansu, status Giok Han resmi menjadi
murid tingkat ke 3, setingkat dengan Bun An Taysu
dan beberapa murid-murid Wie Sin Siansu lainnya.
Juga Giok Han seketika menjadi Susiok (paman
guru) dan Susiokcouw (kakek paman guru) dari
murid Siauw Lim Sie tingkat 4, 5, 6,7,8, dan 9.
Murid-murid Bun An Taysu dan yang lainnya
otomatis menjadi keponakan murid Giok Han !
Urusan demikian luar biasa, karenanya murid-murid
Siauw Lim Sie itu saling berbisik.
Tang Sin Siansu mengangkat lengan jubahnya,
mendehem, kemudian berkata angker: "Loceng
harap semua tenang. Dengarkan baik-baik. semua
keputusan yang diambil bukan berdasarkan
keputusan seketika. Hal ini telah dirundingkan di
antara tetua-tetua dan pimpinan-pimpinan kita. Ada
beberapa faktor dan alasan mengapa kami harus
mengambil keputusan seperti itu, yang rasanya agak
panjang kalau harus dikemukan di sini sekarang,
apakah ada pertanyaan ?"
Sepi ruangan itu. Tidak ada yang bertanya.
"Omitohud," memuji Tang Sin Siansu atas kebesaran
354
Sang Buddha "Kita bisa segera memulai upacara
sembahyang pengangkatan guru-murid."
Segera beberapa orang pendeta yang memang
bertugas mengurus jalannya upacara sembahyang
pengangkatan guru-murid itu menghampiri Giok
Han, yang sejak tadi duduk diam saja dengan hati
bertanya-tanya, mengapa pendeta-pendeta yang
berkumpul di ruangan tersebut memandangi dengan
sikap tidak puas.
Giok Han dipimpin jalan kehadapan Tang Sin
Siansu, ia diajarkan berlutut dan memanggil Tang
Sin Siansu dengan dengan sebutan "Sucouw" (kakek
guru) tiga kali. Tang Sin Siansu meletakkan telapak
tangan di pundak si bocah, sabar dan halus
suaranya ketika ia bilang: "Bangunlah."
Menyusul kemudian baru Giok Han memberi
hormat dengan berlutut kepada Tang Bun Siansu,
Tang Lang Siansu dan Tang Lu Sian Su yang
masing-masing dipanggil dengan sebutan
"Susiokcouw." Upacara berikutnya Giok Han
melakukan sembahyang terhadap meja abu Tat MO
COUWSU pendiri pintu perguruan Siauw Lim Sie,
leluhur pertama yang membangun kuil Siauw Lim
Sie. Oi meja abu itu terdapat gambar lukisan
seorang Hweshio bertubuh tinggi besar dan tegap,
dengan berewok yang tebal, tampaknya bukan
seperti orang Han.
355
Angker dan berwibawa sekali. Hidup lukisan
tersebut, sehingga mata pendeta dalam gambar itu
seakan memancarkan sinar berpengaruh. Giok Han
memasang hio tujuh batang, berlutut di depan meja
abu mengangguk tujuh kali. Waktu itu Tang Sin
Siansu pun sudah berdiri di samping Giok Han,
dengan tangan mencekal beberapa batang hio
menyala, berucap dengan suara nyaring : "Tecu
Tang Sin Siansu menghadap Couwsuya menghunjuk
hormat. Bersama Tecu ikut serta murid tingkat
ketiga, Giok Han, menghadap pada Couwsuya. Berkah
dan bimbingan Couwsuya diharapkan benar oleh
Giok Han." la berlutut dan menganggukkan
kepalanya tiga kali. Menancapkan hio di tempatnya,
menjurah lagi.
Kemudian, Tang Sin Siansu memutar tubuhnya
Tang Bun Siansu, Tang Lang Siansu dan Tang Lu
Siansu pun setelah memberi hormat kepada meja
abu Tat Mo Couwsu, berdiri di belakang Tang Sin
Siansu. Giok Han masih berlutut.
"Giok Han !" suara Tang Sin Siansu angker sekali.
Giok Han terkejut mengangkat kepalanya, tapi
seorang pendeta pengatur upacara sembahyang
yang ada disamping Giok Han berbisik: "Menunduk,
jangan angkat kepala. Menjawablah panggilan
Hongthio."
"Ya Hongthio . . ?"
356
"menyahuti Giok Han perlahan sambil
menundukan kepalanya lagi.
Sepasang alis Tang Sin Siansu dan juga Tang
Bun. Tang Lang maupun Tang Lu Siansu, jadi
mengkerut. Pendeta pengatur upacara sembahyang
itu sibuk membisikan Giok Han: "Jangan memanggiI
dengan sebutan Hongthio. Kau harus memanggil
dengan Sucouw."
"Ya.. Sucouw ?! Giok Han mengulangi
jawabannya, tapi hatinya jadi tambah tidak senang.
Demikian bertele-tele dan rumit upacara
pengangkatan guru-murid. Dia jadi sebal.
"Dengarkanlah baik-baik Giok Han !" kata Tang
Sin Siansu lagi. "Mulai hari ini kau diterima menjadi
salah seorang murid Siau Lim Sie. Karena yang akan
mendidik dan merawat kau murid-murid Siauw Lim
Sie tingkat ke dua, dengan sendirinya kau sebagai
murid Siauw Lim Sie tingkat ke 3. Berkat doa dan
restu Couwsuya, ijin dari leluhur-leluhur kita yang
lainnya, upacara sembahyang pengangkatan guru
murid berlangsung dengan lancar. Mengingat akan
usiamu yang masih terlalu kecil, kami tidak akan
memaksa kau mengambil jalan HOED, karenanya
kau adalah satu-satunya murid Siauw Lim Sie yang
tidak cukur rambut, kaupun tidak perlu
mempergunakan gelar kependetaan, cukup
mempergunakan namamu yang semula.
357
Kelak jika kau sudah dewasa dan bermaksud
menempuh jalan HOED, hal itu baru akan
dipertimbangkan kembali, barulah Kami tetuatetuamu
akan mencarikan gelaran mulia untukmu.
Mulai sekarang, kau terikat oleh peraturan-peraturan
Sauw Lim Sie yang harus kau patuhi sebaik-baiknya.
Dengarkanlah baik-baik!"
"Ya, Sucouw ..." Menyahuti Giok Han
Walaupun sebal tapi hatinya gentar melihat
keangkeran Tang Sm Siansu dan tiga pendeta Suci
Siauw Lim lainnya yang berdiri di belakang Hongthio
tersebut, sehingga ia tidak berani rewel.
"Peraturan yang pertama," bilang Tang Sin Siansu
lagi, "bunyinya : Setiap murid Siauw Lim Sie harus
patuh pada gurunya seperti kepada orang tuanya,
menghormati guru maupun pintu perguruannya.
Harus patuh kepada saudara seperguruan yang
tingkatannya lebih tinggi darinya, harus
memperhatikan kesejahteraan saudara-saudara
seperguruan, demikian juga terhadap saudarasaudara
seperguruannya yang tingkatannya lebih
bawah. Tidak boleh mempelajari ilmu silat dari
perguruan lain, terlebih lagi ilmu sesat."
Giok Han hanya mendengarkan, sepatah
perkataanpun tidak diperhatikan, masuk telinga kiri
keluar telinga kanan, Sebal sekali sibocah dengan
upacara-upacara yang demikian rumit dan berteletele.
358
"Bunyi peraturan kedua: Setiap murid Siauw Lim
Sie harus menjunjung tinggi kebenaran, keadilan
dan welas asih. Tidak boleh mempergunakan
kepandaiannya buat melakukan perbuatan tercela
atau tindakan yang bisa mendatangkan malu
terhadap pintu perguruan. Tidak boleh
mempergunakan kepandaiannya untuk menindas
yang lemah. Peraturan yang ketiga : Setiap murid
Siauw Lim Sie ..." Hongthio Siauw Lim Sie itu
membacakan terus peraturan-peraturan Siauw Lim
Sie, yang harus dipatuhi oleh setiap murid Siauw Lim
Sie, yang keseluruhannya berjumlah 30 peraturan.
Sampai akhirnya setelah selesai membacakan ketiga
puluh peraturan tersebut, Tang Sin Siansu bilang:
"Dan bagi setiap murid Siauw Lim Sie yang
melanggar salah satu dari peraturan yang telah
diberitahukan kepadanya di hadapan Couwsuya,
akan menerima hukuman yang setimpal dengan
dosa-dosanya !"
Tang Sin Siansu mengibaskan lengan jubahnya,
Wie Sin Siansu maju, duduk di sebuah kursi yang
ada disamping Hongthio Siau Lim Sie, kemudian
Giok Han maju berlutut di depan Wie Sin Siansu,
memanggil "Suhu !" tiga kali sambil memanggutkan
kepala tujuh kali.
Wie Sin Siansu menepuk-nepuk pundak Giok Han
sambil tersenyum. "Bangunlah muridku . . . mulai
sekarang kau harus rajin-rajin-belajar apa yang
akan kuajarkan kepadamu."
359
"Ya Suhu," dan Giok Han berdiri di samping
gurunya. Murid-murid Siauw Lim Sie mulai dari
tingkatan ke sembilan maju memberikan ucapan
selamat kepada Giok Han. Memang agak lucu juga
peristiwa pengangkatan guru murid sekali ini, karena
pada waktu ini murid-murid tingkat 9, 8. 7 dan
seterusnya memanggil Giok Han dengan panggilan
"Susiokcouw"
"Susiok" dan Iain-lain, panggilan tingkat yang
lebih muda kepada tingkat yang lebih tinggi.
Sedangkan murid-murid Siauw Lim Sie tingkat 2
dan 3 yang memberikan ucapan selamat kepada
Giok Han sambil menyertai nasehat-nasenat mereka,
agar Giok Han rajin-rajin belajar.
Pendeta tingkat 2, saudara-saudara seperguruan
yang sama tingkat dengan Wie Sin Siansu,
memanggil Giok Han dengan sebutan Sutit,
keponakan murid. Pendeta dan tingkat 3 memanggil
Giok Han "Sute " adik seperguruan. Bun An Taysu
sendiri sambil tertawa berkata kepada sute
bungsunya ini: "Sute, aku akan senang sekali nanti
latihan bersama-sama kau!"
Tetapi 8 murid Wie Sin Siansu lainnya,
tampaknya tidak begitu gembira dengan
memperoleh seorang sute kecil seperti Giok Han,
mereka tampak tidak puas. Seorang bocah seperti
Giok Han mendadak saja bisa mencapai kedudukan
yang sama tingkat dengan mereka.
360
Upacara pengangkatan guru-murid itupun
dilanjutkan dengan minum teh, dan akhirnya bubar.
Giok Han memperoleh kamar yang terletak pada kuil
sebelah timur, tempat untuk murid-murid Siauw Lim
Sie tingkat 2 dan 3. kamarnya bersih, ia sekamar
dengan Bun An Taysu, si Toasuheng (kakak
seperguruan tertua), karena Wie Sin Siansu
memerintahkan Bun An Taysu mendampingi si Sute
bungsu ini sambil membimbingnya.
Memang benar Wie Sin Siansu yang akan
mendidik langsung murid bungsunya. namun Bun An
Taysupun harus sering-sering memberikan petunjuk
kenada Giok Han. agar si adik seperguruan bungsu
itu tidak mengalami kesulitan untuk menerima
semua pelajaran dari Wie Sin Siansu.
Wie Sin Siansu mulai mendidik Giok Han dari ilmu
dasar, yaitu ilmu pukulan delapan belas arhad, Cap
Peh Lo Han Kun. Ilmu pukulan ini terbagi dalam 18
jurus dan setiap jurus terbagi dalam 6 gerakan,
sehing ga keseluruhannya berjumlah 108 gerakan.
Ini merupakan langkah pertama bagi murid
SiauwLim Sie melatih ilmu pukulan, jika sudah
menguasai Cap Peh Lo Han Kun, barulah akan
ditingkatkan kepada ilmu pukulan lainnya. Walaupun
disebut sebagai ilmu dasar, Cap Peh Lo Han kun dari
Siauw Lim Sie ini bukanlah ilmu sembarangan.
Seorang ahli dari Siauw Lim Sie, dengan
mempergunakan ilmu pukulan tersebut pasti tidak
361
akan rubuh ditangan musuh berjumlah lebih dari 70
orang! Terlebih lagi kalau ilmu pukulan Cap Peh Lo
Han Kun disertai dengan tenaga Sinkang akan
menjelma sebagai ilmu pukulan yang tiada
lawannya!
Setelah sebulan lebih berlatih, Giok Han mulai
senang. Kegembiraannya pulih. Ternyata para
pendeta-pendeta itu tidak mengajarkannya
membaca Liamkheng seperti yang ditakutinya.
Hanya Bun An Tavsu suka juga mengajarkan Giok
Han membaca maupun menulis, yang sama sekali
tidak ada sangkut paut dengan kependetaan.
Membaca syair-syair kuno, menulis dan juga
mengenal makna huruf-huruf dari jaman kuno
sampai huruf yang sekarang dipergunakan.
Karena sekamar dengan Giok Han, Bun An Taysu
pun di waktu-waktu senggang suka bercerita pada si
bocah tentang pengalamannya di dunia Ka-ngouw.
Memberitahukan juga cara hidup orang-orang
Kangouw, tokoh-tokoh Kangouw yang terkenal. Jika
mendengarkan cerita Bun An Taysu tentang tokohtokoh
Kangouw maupun kejadian-kejadian di rimba
persilatan Giok Han senang sekali. Sebagaimana
seorang anak kecil lainnya, diapun senang di
dongengi, hanya bedanya bocah ini menginginkan
dongeng dari kisah kenyataan para pendekar
dijaman silam, bukan dongengan yang tidak masuk
dalam akal.
362
Otak Giok Han memang encer dan mudah
menerima semua pelajaran yang diberikan Wie Sin
Siansu maupun Bun An Taysu. Tidak pernah si bocah
mengalami kesulitan dalam mempelajari Cap Peh Lo
Han Kun.
Wie Sin Siansu sendiri merasa heran campur
girang. la tidak menyangka Giok Han bisa menerima
semua pelajaran dengan mudah. Dengan sendirinya,
semuanya berlangsung lancar tanpa kesulitan.
Sebelumnya Wie Sin Siansu merencanakan untuk
mengajarkan ke setiap jurus dari Cap Peh Lo Han
Kun pada Giok Han selama seminggu. Jurus pertama
sudah dilatih seminggu baru akan diajarkan jurus
yang kedua dan begitu seterusnya.
Tetapi ketika hari pertama Wie Sin Siansu
mengajarkan jurus pertama Cap Peh Lo Han kun,
Giok Han sudah segera bisa menangkap apa yang
diajarkan kepadanya. Tidak sampai setengah hari
tangan dan kuda-kucla kedua kakinya sudah
mantap, dan menjelang sore hari ia sudah
menguasai jurus pertama ilmu pukulan delapan
belas arhad tersebut !
Mulanya Wie Sin Siansu tercengang, takjub, tidak
mempercayai apa yang disaksikannya. Namun
akhirnya pendeta alim Siauw Lim Sie itu harus
mengakui kelebihan-kelebihan Giok Han dari bocahbocah
sebaya dengannya, baik bakat maupun
kecerdasannya. "Tidak kecewa ia keturunan seorang
363
besar seperti Giok Hu Goanswee !" Berpikir Wie Sin
Siansu saat itu.
Keesokan paginya Wie Sin Siansu perintahkan
Giok Han mengulangi jurus pertama yang kemarin
dipelajarinya. Si bocah bisa menjalankan jurus itu
dengan baik tanpa kesalahan sedikitpun. Kuda-kuda
kedua kakinya pun tepat. Wie Sin Siansu jadi
memutuskan mengajarkan jurus kedua. Jurus ini
lebih rumit dan sulit, dengan enam gerakan juga
seperti jurus pertama.
Tapi setiap gerakan memiliki perobahanperobahan
yang mendadak. Dia menyangka Giok
Han memerlukan waktu empat atau lima hari untuk
mempelajari dan menguasainya, walaupun otak si
bocah sangat encer. Tapi si pendeta tua itu kecele
lagi. Giok Han bisa mempelajaiinya malah lebih
cepat dari jurus pertama ! Jurus kedua dari ilmu
pukulan delapan belas arhad itu telah dikuasai waktu
matahari tepat bersinar di tengah-tengah, menjelang
tengah hari ! Tidak ada alasan lagi buat Wie Sin
Siansu menunda-nunda jurus lainnya, yang siang itu
diajarkan kepada Giok Han.
Sebagai pendeta yang sakti, Wie Sin Siansu pun
akhirnya mengetahui mengapa jurus pertama yang
lebih mudah dari jurus ke dua malah dilatih lebih
lama oleh Giok Han.
Jurus pertama dilatih satu harian, sedangkan
jurus kedua yang lebih sulit hanya setengah hari
364
saja. Hal itu disebabkan jurus pertama adalah saatsaat
pertama kali Giok Han melatih ilmu silat Cap
Peh Lo Han Kun, memerlukan persesuaian keadaan
tubuh dan lain-lainnya. Jurus kedua dilatihnya
justeru ketika ia sudah bisa menyesuaikan diri,
karenanya jauh lebih cepat !
Jurus ketiga, ke empat dan seterusnya dilatih
pada hari ke dua itu, mulai tengah hari sampai sore!
Waktu akan kembali ke tempatnya, Wie Sin Siansu
sudah menurunkan seluruh ke delapan belas jurus
Cap Peh Lo Han Kun ! Memang suatu kejadian luar
biasa, dalam dua hari Giok Han sudah menguasai
kedelapan belas jurus Cap Peh Lo Han K.un, lengkap
dengan setiap 6 perobahan gerakan dari setiap
jurus, yang dapat dikuasainya dengan baik tanpa
ada kesalahanpun juga !
Malam iiu Wie Sin Siansu segera melaporkan hal
itu kepada Tang Sin Siansu. Dengan muka berseriseri
penuh rasa girang dan takjub, Wie Sin Siansu
menceritakan bagaimana mulai jurus ke 2 sampai
jurus ke 18, dilatih oleh Giok Han hanya dalam
waktu 1 hari saja !
Mendapat keterangan seperti itu muka Tang Sin
Siansu malah jadi murung, tampaknya ia bersusah
hati. Wic Sin Siansu kaget, ia menyangka dirinya
melakukan suatu kesalahan. Apalagi dilihatnya
Hongthionya berdiam diri saja.
365
"Hongthio," kata Wie Sin Siansu hati-hati.
"Apakah... apakah ada sesuatu yang tidak benar ?"
Tang Sin Siansu menghela napas dalam-dalam.
"Tampaknya apa yang Loceng kuatirkan akan
menjadi kenyataan. Jika anak itu tidak dipelihara
dengan pengarahan sebaik-baiknya, bisa
menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit."
Wie Sin Siansu tidak mengerti, hanya mengawasi
Hongthionya.
"Wie Sin, kau sudah melihat betapa cerdasnya
anak itu, bukan?" Tanya Tang Sin Siansu sambil
mengawasi Wie Sin Siansu, Cepat cepat Wie Sin
Siansu mengiyakan. "Nah, dari semua itu saja sudah
bisa kita pastikan, bahwa Giok Han dapat
mempelajari sebagian besar ilmu silat Siauw Lim Sie
tidak lebih dari dua atau tiga tahun! Ilmu perguruan
kita tidak akan rampung hanya di latih dua puluh
tahun, sedikitnya memerlukan tigapuluh tahun,
itupun belum pasti bisa dilatih keseluruhannya.
Kalau sekarang ilmu pintu perguruan kita yang harus
dilatih oleh seorang murid selama tigapuluh tahun
lebih, dapat dilatih oleh seseorang hanya dalam
waktu dua atau tiga tahun, apa yang akan terjadi ?"
Wie Sin Siansu tercekat, mukanya jadi pucat.
Seketika ia baru tersadar. "Maksud Hongthio... Giok
Han..."
366
"Bocah itu tampaknya luar biasa sekali, berbeda
dengan anak-anak sebaya lainnya. Buktinya? Cap
Peh Lo Han Kun biasanya bisa dikuasai oleh seorang
murid baru setelah ia berlatih dengan tekun selama
satu tahun. Terkadang lebih. Tapi, Giok Han bisa
menguasainya dalam dua hari, seperti dalam
laporanmu tadi ! Benar-benar kejadian yang sulit
diterima oleh akal kita. Sesuatu yang sangat
mustahil, tapi sudah menjadi kenyataan.
Melihat kenyataan seperti itu, Loceng berani
memastikan anak itu bisa mempelajiri sebagian ilmu
silat kita dalam waktu dua tiga tahun. Tidak lebih
dari itu!"
Wie Sin Siansu jadi berpikir keras. Apa yang
dikatakan Hongthionya ini tidak keliru. Melihat
kecerdasan yang dimiliki Giok Han, tampaknya
memang bukan mustahil ia bisa mempelajari
sebagian ilmu silat Siauw Lim Sie dalam waktu yang
sangat singkat.
"Hongthio," kata Wie Sin Siansu kemudian,
"apakah hal ini bukan terjadi hanya kebetulan saja,
mungkin nanti melatih ilmu lainnya ia tidak akan
secepat itu? Atau..."
Tang Sin Siansu tersenyum sabar, ia
mengulapkan tangannya. "Omitohud! Siancay! Kau
tentu ingin bilang bahwa Giok Han kebetulan bisa
mempelajari Cap Peh Lo Han Kun begitu cepat dan
mungkin jika mempelajari ilmu lain ia tidak secepat
367
itu? Loceng kira malah sebaliknya ! ia akan lebih
cepat dan lebih mudah menguasai ilmu lainnya,
karena semakin banyak ilmu yang telah diserap,
bukakah ia akan lebih cepat memahami sesuatu
jurus dari setiap ilmu pukulan, yang bagaimana sulit
sekalipun?
Boleh saja kita menduga bahwa dulu waktu
ayahnya masih hidup, ia sudah mulai mempelajari
ilmu silat dibawah bimbingan ayahnya atau
panglima-panglima kepercayaan ayahnya.
Kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi mengingat
ayahnya seorang Jenderal besar, Tapi, masuk
akalkah jika Cap Peh Lo Han Kun dipelajari dan
dikuasai oleh seorang anak seperti Giok Han hanya
dalam dua hari? Sedangkan murid tingkat sembilan,
yang sudah bertahun-tahun berdiam disini, jika kita
perintahkan membawakan Cap Peh Lo Han Kun,
belum tentu bisa membawakannya dengan
sempurna, kesalahan kesalahan kecil pasti
dibuatnya. Sedangkan menurut laporan kau Wie Sin,
waktu itu Giok Han sudah menguasai kedelapan
belas jurus Cap Pen Lo Han Kun, kau perintahkan
kepadanya membawakan dari mulai jurus-jurus ilmu
pukulan itu dan tidak ada kesalahan kecilpun yang
dilakukannya! Yang Loceng kuatirkan, kalau
memang anak itu bisa dibawa dalam pengarahan
yang baik, tentu merupakan anugerah HODCOUW
(Sang Budha), tapi kalau sebaliknya ? Siapa yang
bisa mengendalikannya kelak kalau ia sudah dewasa
dan menguasai ilmu silat Siauw Lim ?"
368
Wie Sin Siansu menggidik mendengar perkataan
Tang Sin Siansu terakhir itu. "Kalau demikian,
apakah harus ada pembatasan-pembatasan dulu
dalam menurunkan pelajaran kepada anak itu.
Hongthio?" tanya Wie Sin Siansu.
Tang Sin Siansu menggeleng. "Siancay, hal itu
tidak baik. Tidak pernah perbuatan seperti itu kita
lakukan terhadap murid yang manapun. IImu Siauw
Lim yang manapun berhak dipelajari oleh seluruh
murid-murid Siauw Lim Sie, tanpa pengecualian,
tergantung dari kemampuan dan bakat mereka.
Hanya Giok Han tampaknya memiliki keluar-biasaan
yang harus dipertimbangkan sebaik-baiknya,
bagaimana caranya membawa anak itu pada
suasana lingkungan jiwa yang baik, agar
perkembangan jiwanya lurus dan bersih."
"Kita tak berhak menghambatnya dengan
membatasi ilmu untuknya, tapi perlu sekali
pengamatan terhadap semua sepak terjangnya,
dengan demikian kita bisa mengetahui secepatnya
bagaimana jiwa dan watak anak itu, agar tidak
terjadi penyesalan setelah terlambat. Jika terlihat
tanda-tanda kurang baik dalam sepak terjangnya,
kita harus segera menghentikan pengajaran
padanya. Kita akan rundingkan lagi hal itu, apakah
perlu diambil langkah-langkah seperlunya, misalnya
anak itu dikeluarkan dari Siauw Lim Sie dengan
alasan tertentu dan dipercayakan kepada pintu
perguruan lainnya."
369
Wie Sin Siansu mengangguk. "Tecu akan
memperhatikannya sebaik mungkin. Mudahmudahan
apa yang kita kuatirkan tidak terjadi, dan
sepak terjang anak itupun semoga saja tida sesat."
"Omitohod." Tang Sin Siansu merangkapkan
tangannya memuji kebesaran Sang Buddha. "Besok
adalah hari ketiga kau mendidik Giok Han, ilmu apa
yang akan kau ajarkan lagi padanya ?"
"Semula Tecu bermaksud akan mengajarkan Sin
Wan Kun, tapi setelah menerima petunjuk-petunjuk
Hongthio, biarlah anak itu akan tecu perintahkan
melatih dulu sebulan jurus-jurus Cap Pen Lo Han
Kun, agar ia lebih mahir."
Tang Sin Siansu mengangguk, menyetujui
rencana Wie Sin Siansu. "Besok jika ia sedang
berlatih Loceng akan pergi melihatnya," kata
Hongthio tersebut.
Wie Sin Siansu pamitan mengundurkan diri dari
hadapan Hongthionya, di kamarnya ia duduk
bersemedi. Tapi pikirannya tidak bisa tentram.
Sebagai seorang yang sejak kecil melatih ilmu silat
dan hidup sebagai seorang pendeta alim, ia sangat
menomor satukan ilmu silat, semakin tinggi
kepandaiannya, semakin besar penghargaannya
terhadap ilmu silat yang lebih sulit.
Juga akan merasa gembira jika bisa mendidik
murid-muridnya memperoleh kemajuan, sekarang
370
Giok Han menjadi muridnya, bocah itu memiliki
bakat dan kecerdasan yang luar biasa tentu saja di
samping kekuatiran terhadap pesan-pesan
Hongthionya, ia pun merasa bersyukur, di mana
Giok Han bisa mengharapkan menerima semua
ilmunya dengan baik.
Walaupun sebagai pendeta alim, Wie Sin Siansu
tetap saja seorang manusia, yang masih belum
keseluruhannya sanggup melepaskan diri dari
perasaan girangnya. Sebab itu ia merasa sayang
kalau bakat yang demikian bagus pada diri si bocah
tersia-sia. Hanya saja Wie Sin Siansu pun berpikir,
kalau sampai apa yang dikuatirkan oleh Hongthio
Siauw Lim Sie terjadi, di mana Giok Han berhasil
melatih seluruh ilmu Siauw Lim Sie dalam wakta
singkat, kemudian berpaling dari jalan yang lurus,
siapa yang bisa menguasainya ?
Wie Sin Siansu jadi gelisah ia bcrsemedhi umuk
menenangkan pikirannya, sampai akhirnya selesai
bersemedhi, si pendeta alim yang biasanya tidak
pernah bingung menghadapi persoalan bagaimana
rumitpun, memutuskan bahwa ia akan mengulur
waktu dulu sementara ini, agar bisa memperhatikan
sepak terjang Giok Han, adakah jiwa dan watak si
bocah bersih dan lurus atau kebalikannya, Jika
memang terbukti bocah itu memiliki sifat yang baik
dan terpuji, ia tidak akan ragu-ragu lagi meneruskan
pendidikan pada bocah itu.
371
Keesokan harinya, waktu Wie Sin Liancu
Perintahkan Giok Han melatih kedelapan belas jurus,
Cap Peh Lo Han Kun, secara diam-diam Tang Sin
Siansu memperhatikan. Dia ia semakin yakin dengan
dugaannya bahwa Giok Han merupakan seorang
bocah luar biasa, yang memiliki banyak kelebihan
dari bocah-bocah sebaya lainnya Delapan belas jurus
Cap Peh Lo Han Kun, dengan setiap jurus ada 6
perobahan gerak, dapat dilakukan Giok Han dengan
baik, tanpa melakukan satu kesalahanpun juga,
walaupun ia baru 3 hari mempelajari ilmu Cap Peh
Lo Han Kun tersebut. Keputusan Tang Sin Siansu
semakin bulat, bahwa Wie Sin Siansu harus
membatasi dulu dan mengulur waktu dalam
mewarisi kepandaiannya pada si bocah.
Hal itupun disampaikan kepada Wie Sin Siansu.
"Kita perhatikan dulu selama tiga bulan, jika selama
ini Giok Han berkelakuan baik, barulah diwarisi
secara wajar." perintah Tang Sin Siansu pada Wie
Sin Siansu.
Karena keputusan Tang Sin Siansu, akhirnya
selama sebulan lebih itu Giok Han hanya melatih
semacam ilmu saja, yaitu Cap Poh Lo Han Kun. la
melihat delapan belas jurus, jurus ke satu sampai
jurus ke delapan belas, kemudian kembali ke jurus
pertama.
Memang membosankan, pernah Giok Han
menanyakan kepada Wie Sin Siansu, apakah tidak
ada ilmu lainnya yang bisa dipelajarinya, selain Cap
372
Peh Lo Han Kun, Giok Han juga memperlihatkan
bahwa ia benar-benar sudah menguasai kedelapan
belas jurus ilmu pukulan Arhad tersebut.
Tapi Wie Sin Siansu selalu bilang. "Kau harus
berlatih sampai benar-benar menguasai ke delapan
belas jurus itu, muridku. Masih banyak kelemahan
dan kekurangan yang kau lakukan. Jika sudah tiba
waktunya aku akan mengajarkan lagi ilmu lainnya !"
Jilid ke 9
Karena rasa bosannya harus terus menerus
melatih Cap Peh Lo Han Kun, akhirnya Giok Han
lebih sering memperhatikan Bun An Taysu yang
tengah berlatih, Giok Han duduk dan mengawasi
saja latihan yang dilakukan Bun An Taysu. Kalau
malam hari, Giok Han pun sering meniru-niru Bun
An Taysu duduk bersemedi, banyak bertanya kepada
Toasuhengnya ini apa yang harus dilakukan melatih
ilmu pernapasan.
Karena Bun An Taysu menyukai sute kecilnya ini,
akhirnya ia suka juga memberitahukan cara-cara
melatih ilmu pernapasan. la menyangka Giok Han
hanya iseng-iseng meniru setiap gerak-gerik yang
dilakukannya, ikut duduk bersemedhi. Tetapi siapa
tahu, Giok Han benar-benar melatih dengan penuh
kesungguhan.
Rasa isengnya malah membuat si bocah lebih
tertarik untuk mendengarkan Toasuhengnya
373
menceritakan berbagai ilmu-ilmu silat Siauw Lim Sie,
yang telah dikuasai Toasuhengnya tersebut. "Nanti
jika kau sudah memperoleh dasar yang cukup kuat,
Suhu tentu akan mengajarkan kau ilmu-ilmu itu,"
Bun An Taysu selalu berkata begitu jika Giok Han
terlalu rewel bertanya sesuatu yang berhubungan
dengan ilmu silat yang diceritakan oleh Bun An
Taysu.
Pada suatu malam, ketika mereka ingin tidur,
Giok Han menggoyangkan lengan Toa suhengnya.
"Ada apa, Sute ?" tanya Bun An Taysu sambil
bangkit duduk.
"Tadi siang kuperhatikan kau berlatih,
Toasuheng. Aku telah meniru setiap jurus yang kau
latih. Sekarang Toasuheng lihat, apakah aku keliru
menirunya ?!" Setelah bilang begitu, Giok Han mulai
bergerak-gerak dalam jurus-jurus silat.
Bun An Taysu tertawa dan memperhatikannya. la
memang sangat sayang pada Giok Han, karenanya
senang si pendeta melihat kegembiraan sute
kecilnya itu-
"Kau benar-Suteku yang cerdas, jurus-jurus itu
dapat kau tiru bagus sekali..." puji Bun An Taysu.
Tapi mendadak senyumnya lenyap, matanya terbuka
lebar-lebar, mukanya jadi tegang. la memperhatikan
lebih serius setiap jurus yang dilakukan oleh Giok
374
Han, sampai akhirnya Bun An Taysu memekik kaget,
melompat dan memegang lengan Giok Han.
"Sute, siapa yang mengajarkan kau ilmu ini ?"
tegur Bun An Taysu.
Giok Han tertawa. "Suhu rnana mau mengajarkan
aku ilmu ini ? Selalu Suhu perintahkan aku melatih
Cap Peh Lo Han Kun tanpa pernah mengajarkan ilmu
lain, sampai aku bosan melatih delapan belas jurus
itu-itu juga !"
"Lalu siapa yang mengajarkan Tat Mo Kunhoat ini
padamu ?"
Giok Han tertawa "0oo, jadi nama ilmu pukulan
itu Tat Mo Kunhoat, Toasuheng? Lucu, namanya
mengambil nama Couwsuya!"
"Jangan bergurau, Sute... beritahukan kepadaku,
siapa yang mengajarkan ilmu itu padamu ?" desak
Bun An Taysu, wajahnya tegang dan sikapnya
serius.
"Sudan kuberitahukan tadi padamu, Toasuheng...
aku melihat kau berlatih dan aku meniru
jurus-jurus yang kau latih!"
"Benarkah ? Kau tidak berbohong?"
"Benar, Toasuheng, sebetulnya ada apa ?
Tampaknya kau tegang sekali ?!"
375
Bun An Taysu tidak segera menyahuti. la
menggumam sambil melepaskan cekalannya pada
kedua lengan Giok Han. "Mustahil ! Benar-benar
mustahil !"
"Apanya yang mustahil, Suheng ?" tanya Giok
Han jadi heran melihat kelakuan Toasuheng nya
tersebut.
Tiba-tiba Bun An Taysu menoleh mengawasi Giok
Han tajam. "Sute, jangan sekali-kali kau perlihatkan
pada Suhu babwa kau bisa membawakan jurus-jurus
Tat Mo Kun Hoat. Kita berdua akan dihukum Suhu..."
"Oooo, kita akan dihukum Suhu?" Tanya Giok Han
kaget.
"Ya. Suhu pasti menyesali aku, karena akan
menuduh aku sudah mengajarkan kau Tat Mo Kun
Hoat. Tahukah kau. ilmu itu baru boleh dipelajari
oleh murid-murid yang sudah mencapai tingkat
empat. Kalau sampai Suhu mengetahui kau bisa
menjalankan jurus-jurus itu, niscaya Suhu akan
marah. Kau harus berjanji Sute, sampai kapanpun
juga tidak akan memperlihatkan kepada Suhu bahwa
kau bisa membawakan jurus-jurus Tat Mo Kun Hoat
!"
Giok Han mengangguk, tertawa. "Suheng jangan
kuatir. Aku tidak tolol, kalau untuk dihukum buat
apa kuperlihatkan kepada Suhu ? Bukankah itu sama
saja seperti ular cari penggebuk ?"
376
"Tapi aneh," kata Bun Au Taysu seperti,
mengoceh sendiri. "Aku tidak pernah
memberitahukan kepadamu bagaimana menjalankan
jurus-jurus Tat Mo Kun Hoat, tapi mengapa sekarang
kau bisa membawakan semua jurus itu tanpa satu
juruspun salah?"
"Apa susahnya, Suheng ?!" menyahu ti Giok Han
"Oja, tadi Suheng bilang murid tingkat 4 baru boleh
mempelajari Tat Mo Kun hoat, kenapa begitu
Suheng?"
"Sute, kalau kita belum mencapai tingkat 4 dan
mempelajari Tat Mo Kun Hoat, kita bisa tersesat.
Juga untuk melatih Tat Mo Kun Hoat, diperlukan
penggunaan lwekang yang tepat, sedangkan kau
sendiri belum pernah melatih Lwekang, kalau
melatih Tat Mo Kun Hoat bukankah kau akan
tersesat ?"
Giok Han lari memeluk Bun An Taysu "Aduhh,
bagaimana ini, Suheng? Aku akan tersesat ? Kau
harus menolongku Suheng, kau harus mengajarkan
aku ilmu itu dengan cara yang tepat... mengajarkan
aku lwekang..."
Rasa kaget Bun An Taysu sudah berkurang, ia
tertawa melihat lagak Giok Han, senang hati si
pendeta dipeluk seperti itu oleh adik seperguruannya
yang masih kecil ini.
377
"Sudahlah" Kata Bun An Taysu sambil mengusapusap
kepala Giok Han. "Asal kau mau berjanji tidak
memberitahukan Suhu, aku nanti akan mengajarkan
kau ! ingat semua ini harus kau latih secara diamdiam,
jika ketahuan Suhu selanjutnya aku tidak mau
perdulikan kau lagi !"
"Aku berjanji tidak akan membocorkan rahasia
kita berdua, Suheng," berjanji Giok Han.
Sejak malam itulah Giok Han banyak menerima
petunjuk-petunjuk dari Bun An Taysu. si murid
kepala Wie Sin Siansu, kepandaiannya pun sudah
mencapai tingkat yang tinggi, sehingga diajarkan
oleh Bun An Taysu sebetulnya bagi Giok Han sama
saja seperti diajarkan oleh Wie Sin Siansu.
Walaupun sudah mencapai tingkat yang tinggi,
tingkat ke tiga, namun Bun An Taysu tetap rajin
belajar dan berlatih. Jika dulu ia selalu berlatih
seorang diri, sekarang selalu ditemani oleh Giok
Han. Bahkai setelah lewat dua minggu, Giok Han
dijadikan sebagai kawan berlatihnya! Bun An Taysu
pun mengajarkan Giok Han bagaimana cara duduk
bersemedhi mengatur jalan pernapasan sarta
melatih lwekang.
Yang membuat Bun An Taysu kagum campur
heran, melihat Giok Han dapat menerima semua
petunjuknya dengan mudah dan cepat bisa
menguasainya. Bun An Taysu jadi tertarik, sengaja
ia memberikan pelajaran yang lebih berat, namun
378
tetap saja Giok Han bisa menerima dengan mudah !
Tat Mo Kun Moat saja sudah seluruhnya dikuasai
oleh Giok Han hanya dalam lima hari! Memang
hampir sulit dipercaya tapi hal itu sudah menjadi
kenyataan.
Hari-hari lewat cepat sekali, tanpa terasa Giok
Han sudah hampir tiga bulan berada di Siauw Lim
Sie. Wie Sin Siansu sendiri mulai mengajarkan ilmu
pukulan Sin Wan Kun. Ia melihat selama hampir tiga
bulan ini Giok Han tidak memperlihatkan tandatanda
yang tidak baik, anak itu malah semakin patuh
dan jinak, berbeda dengan sebelumnya yang cukup
binal dan keras kepala.
Sama seperti waktu mempclajari Cap Peh Lo Han
Kun, mempelajari Sin Wan Kun pun Giok Han tidak
memerlukan waktu terlalu banyak. Hanya empat
hari ia sudah berhasil menguasai semua jurus Sin
Wan Kun. Wie Sin Siansu tambah takjub saja, hanya
di dasar hatinya terdapat kegembiraan yang meluapluap,
memiliki murid secerdas Giok Han. la pun
sangat sayang serta memanjakan Giok Han.
Akhir-akhir ini malah Wie Sin Siansu seperti
sudah melupakan pesan-pesan Tang Sin Siansu,
Hongthionya. la bersemangat sekali mendidik Giok
Han. Semakin cepat bocah itu mencernakan
pelajaran yang di berikan, semakin banyak yang
diturunkan oleh Wie Sin Siansu.
379
Giok Han sangat rajin dan tekun berlatih. Pada
pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, Giok Han
pergi ke hutan kecil di belakang kuil Siauw Lim Sie
sebelah utara. la melatih ilmu Cap Peh Lo Han Kun
disusul kemudian dengan Sin Wan Kun. Malah, kalau
sudah melatih ilmu pukulan Sin Wan Kun ia akan
menyusuli dengan Tat Mo Kun Hoat.
Cuma saja, pagi ini waktu Sin Wan Kun tengah
dijalankan pada jurus ke enambelas, tiba-tiba
didengarnya seseorang berkata : "Kita harus bangga
mempunyai Susiok kecil yang lincah!" Disusul
kemudian tertawa terbahak-bahak beberapa orang.
Giok Han berhenti berlatih, ia menoleh, Tampak
Kam Siang Cie bertiga dengan dua orang sutenya,
yaitu Phoey Cie Seng dan Lo Tam Bun, yang rupanya
sejak tadi sudah berdiri di situ menyaksikan si bocah
latihan.
Sambil tertawa Kam Siang Cie menghampiri Giok
Han "Susiok" kata murid Bun An Taysu ini sambil
merangkapkan kedua tangannya memberi hormat,
tadi sempat kulihat Susiok menjalankan jurus ke
enambelas dari Sin Wan Kun. Apakah Susiok tidak
keliru menjalankannya ?"
Muka Giok Han berobah merah. "Suheng maukah
kau memberikan petunjuk kepadaku?" tanya Giok
Han.
380
""Oooo, ooo, mana berani Sutit menerima
sebutan Suheng dari Susiok? Sutit seperti kejatuhan
bulan saja!" Kata Kam Siang Cie, tertawa. Tetapi
jelas sikapnya mengejek. "Mana berani memberi
petunjuk kepada Susiok ! Malah, Sutit ingin minta
nasihat dan petunjuk dari Susiok!"
Muka Giok Han memerah sedikit, la baru teringat
bahwa kedudukannya dalam Siauw Lirn Sie berada
setingkat di atas Kam Siang Cie bertiga, Bukankah
dia adik seperguruan Bun An Taysu, guru ketiga
pendeta itu?
Tapi melihat sikap mengejek Kam Siang Cie, Giok
Han tidak senang. Bukankah mereka bertiga harus
menghormatinya sebagai Susioknya. "Baiklah," kata
Giok Hnn akhirny. "Kalian datang kemari mau apa ?"
"Kami tahu Susiok sedang berlatih di-sini," kata
Phoey Cie Seng, yang ikut bicara. "Karena itu ccpatcepat
kami datang kemari buat minta nasehat dan
petunjuk Susiok ! Bukankah begitu Liok Siete ?"
"Benar," menyahuti Lo Tarn Bun. "Harap Susiok
mau memberikan nasehat dan petunjuk pada kami
!"
"Susiok," kata Kam Siang Cie yang tidak mau
memberikan kesempatan kepada Giok Han. "Harap
Susiok bermurah hati dan tidak menolak
permohonan kami."
381
"Hari ini aku tidak sempat," kata Giok Han raguragu.
"Lain kali saja..."
"Kalau tidak hari ini mau kapan lagi?" Tanya Kam
Siang Cie, sikapnya jadi semakin kurang ajar,
mengejek, sinis dan meremehkan susiok kecilnya
itu.
"Harap Susiok tidak menolak !" Tanpa menanti
jawaban Giok Han, Kan Siang Cie menoleh pada Lo
Tam Bun. "Lo Siete, pergi cepat kau minta petunjuk
dari Susiok !"
"Baik! Baik!"
"menyahuti Lo Tam Bun dengan sikap sama
kurang ajarnya. la ber-sama-sama Kam Siang Cie,
Phoey Cie Seng dan murid-murid Bun An Taysu
semuanya tidak puas waktu Tang Sin Siansu
mengumumkan Giok Han diterima menjadi murid
Siauw Lim Sie tingkat 3, menjadi murid Wie Sin
Sansu.
Dengan demikian Giok Han resmi sebagai adik
seperguruan dari guru mereka. Juga resmi sebagai
Susiok (paman guru) mereka. Dengan usia begitu
kecil, apa kelebihan Giok Han menjadi Susiok dari
Kam Siang Cie dan yang lain-lainnya? Dan ingatan
seperti itulah membuat murid-murid Bun An Taysu
yang jumlahnya tujuh orang itu jadi tidak puas.
382
Sudah cukup lama mereka bertujuh ingin mencari
gara-gara dengan Susiok kecil itu. tapi selama itu
belum juga memperoleh kesempatan. Siapa tahu,
pagi ini waktu mereka sedang bercakap-cakap
bertiga di depan hutan kecil itu, dilihatnya Giok Han
mendatangi dan berlatih seorang diri. Kam Siang Cie
segera mendapat ide untuk mempermainkan Susiok
kecilnya itu. Dia memberitahukan maksudnya dan
disetujui oleh Phoey Cie Seng dan lo Tam Bun.
Karenanya mereka cepat-cepat menghampiri Giok
Han, untuk mempermainkannya.
Lo Tam Bun merangkapkan kedua tangannya
memberi hormat pada Giok Han. "Harap Susiok
memberi petunjuk !" la me-rani dengan sikap yang
muda menantikan petunjuk dari yang tua.
Giok Han jadi bingung, la mana bisa berkelahi
dengan tiga pendeta itu? Sebagai anak yang cerdas,
Giok Han tahu mereka tidak puas karena dirinya jadi
Susiok mereka karenanya pendeta-pendeta itu selalu
menyebut panggilan "Susiok" dengan suara serta
sikap sinis. Juga sekarang ketiga pendeta itu mau
mempermainkannya.
"Aku benar-benar tidak punya waktu, sekarang
aku harus berlatih. Pergilah kalian!" Kata Giok Han
sekenanya.
Lo Tam Bun rupanya tidak mau kehilangan
kesempatan bagus ini. Tahu tahu tangan kanannya
383
menjambak pundak Giok Han, ingin dicengkeram
"Maafkan Susiok, Sutit berbuat kurang ajar !"
Giok Han kaget, dia melihat tangan Lo Tam Bun
menyambar pundaknya, tari dia mana bisa
mengelakkannya. Segera si bocah merasakan
pundaknya sakit, belum lagi berkurang kagetnya
tahu-tahu tubuhnya sudah terjerunuk ditarik oleh
kekuatan yang membuatnya mencium tanah!
Kam Siang Cie dan Phoey Cie Seng tertawa
terbahak-bahak. Sedangkan Lo Tam Bun sambil
tertawa bilang: "Maaf, maaf Susiok, tidak sengaja..."
"Ooo. kau membuat Susiok kaget," berseru Phoey
Cie Seng sambil tertawa, menghampiri Giok Han,
mengulurkan tangannya mencekal lengan Giok Han.
Dipegangnya tangan Phoey Cie Seng, Giok Han
berusaha bangun, karena menyangka bahwa Phoey
Cie Seng ingin bantui dia bangun. Tetapi hati Giok
Han tercekat lagi.
Phoey Cie Seng bukan bermaksud baik, ketika
memegang tangan Giok Han ia terhuyung seperti
ingin jatuh, Eiii, eiii," dia berseru. Secara diam diam
Phoey Cie Seng mengerahkan tenaga pada jari-jari
tangannya, menghentak tubuh Giok Han, sehingga
terbanting di tanah! Debu mengepul, pakaian Giok
Han kotor dan waktu ia merangkak bangun mukanya
kotor bercampur darah yang keluar dari bibirnya
yang pecah beradu dengan gigi.
384
Giok Han tersadar bahwa Hwesio-Hwesio ini ingin
mempermainkannya. Dia mengibaskan bajunya,
matanya mendelik sambil menghampiri Lo Tam Bun.
"Kau berani mempermainkan aku, ya ?" Mengomel
Susiok kecil itu.
Tetapi waktu melewati Kam Siang Cie, tanpa
diketahui olch Giok Han. kaki si bocah digaet oleh
kaki kanan Kam Siang Cie, tidak ampun lagi si bocah
terjerembab dengan hidung mencium tanah ! Dari
hidungnya segera keluar darah.
Melihat muka Giok Han berlumuran darah, ketiga
Hweshio itu jadi kaget. Timbul rasa takutnya. Kalau
urusan ini diketahui oleh suhu mereka, pasti mereka
bertiga menerima hukuman.
"Sahte." kata Kam Siang Cie yang berhenti
tertawa. "Jangan keterlaluan !"
Waktu itu Phoey Cie Siang tengah mencengkeram
baju dipunggung Giok Han, ia dengan tertawa-tawa
menampari muka si bocah. "Ah, muka Susiok kotor.
Maaf ! Maaf ! Ka-rena keteledoran kami telah
membuat Susiok kaget dan kotor seperti ini !"
Tamparan itu bukan tamparan biasa. Phoey Cie
Seng memang sudah tiga bulan ini merasa iri dan
tidak senang harus menjadi keponakan murid Giok
Han, sekarang ada kesempatan seperti ini, maka
dipergunakan sebaik-baiknya, "plak, plak, plakkk,
385
plokkk !" terdengar berulang kali suara tamparan
tersebut.
Giok Han selama tiga bulan ini mendapat
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar