Peristiwa Merah Salju 1 [Serial Pisau Terbang keEmpat]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 13 September 2011

Peristiwa Merah Salju

BIAN CHENG LANG ZI
THE BLACK SABRE
Gu Long (Khu Lung)

PENDAHULUAN
Dalam rumah itu tiada warna lain kecuali warna Hitam! Gelap dan pekat.
Sinar matahari menjelang magrib yang menyorot masuk ke dalam rumah pun berubah warna
menjadi abu-abu, menandakan firasat jelek.
Sebelum sinar matahari menyorot masuk, dia sudah berlutut di sana, berlutut di depan sebuah
pemujaan warna hitam, di atas sebuah kasuran bundar yang hitam pula.
Kain tirai penutup pemujaan itu melambai turun, tiada orang bisa melihat barang apa yang
berada di dalam pemujaan itu, takkan ada orang yang bisa melihat raut wajahnya pula. Karena
mukanya tertutup cadar hitam, jubah lebar yang panjang semampai menutupi seluruh badan,
laksana gumpalan awan nan lembut, yang kelihatan hanya sepasang jari-jari tangan yang kering,
kurus dan berkerut-kerut seperti cakar setan. Kedua tangannya terangkap di depan dada,
mulutnya komat-kamit, tapi terang bukan sedang berdoa memohon berkah dari Yang Maha Kuasa,
namun mulutnya sedang mengutuk.
Mengutuk Yang Maha Kuasa, mengutuk sesama manusia, mengutuk segala makhluk hidup di
alam semesta ini.
Seorang pemuda yang berpakaian serba hitam pula berlutut di belakangnya, seolah-olah sejak
zaman dulu kala dia memang sudah berlutut di situ mengiringi orang, seolah-olah dia akan terus
berlutut sampai dunia kiamat.

Cahaya matahari menyinari mukanya. Raut wajahnya kelihatan cakap ganteng dan amat
menonjol, tapi bentuk serta mimiknya laksana ukiran patung yang terbuat dari gumpalan salju dari
puncak gunung tertinggi.
Sinar matahari semakin guram, angin menderu semakin kencang.
Mendadak dia berdiri, disobeknya kain tirai hitam itu, serta dirogohnya keluar sebuah kotak besi
hitam dan tempat pemujaan itu.
Memangnya kotak besi hitam inikah barang yang dia puja-puja? Dengan kencang dia
memegang kotak itu, sampai urat-urat hijau di tangannya merongkol keluar, namun tangannya
gemetar terus tak henti-hentinya.
Di atas altar pemujaan terdapat sebilah golok, sarung golok berwarna hitam legam, demikian
pula gagang golok bercat hitam. Mendadak dia mencabut golok, sekali ayun dia belah kotak besi
itu menjadi dua. Tiada barang lain di dalam kotak besi itu kecuali setumpuk bubuk merah
menyala. Segera dicomotnya segenggam bubuk merah, katanya, "Kau tahu apa ini?"
Tiada orang tahu kecuali dia sendiri.
"Inilah salju, merah salju!" suaranya melengking tajam menggiriskan, seperti jeritan setan di
tengah malam nan dingin.
"Waktu kau dilahirkan, salju ini sudah merah, merah berlepotan darah!"
Pemuda baju hitam itu menundukkan kepala.
Dia maju ke depan si pemuda, pelan-pelan dia taburkan bubuk salju merah itu ke atas kepala,
pundak dan badannya, "Kau harus ingat, sejak sekarang kau adalah malaikat, malaikat penuntut
balas! Peduli apa pun yang kau lakukan, tidak perlu kau menyesal, peduli dengan cara apa pun
kau menghadapi mereka, memang sepantasnyalah kau lakukan!"
Suaranya mengandung keyakinan yang terdengar amat ganjil, seolah-olah kutukan malaikat
iblis dan setan yang paling jahat di atas langit atau di bumi ini, seluruhnya sudah tersembunyi di
dalam bubuk salju yang merah ini, kini seluruhnya sudah bersemayam dan terbenam di dalam
raga si pemuda ini.
Lalu dia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, mulutnya menggumam, "Untuk hari ini,
aku sudah mempersiapkan diri delapan belas tahun lamanya, tepat delapan belas tahun, kini
segala apa yang diperlukan sudah siap seluruhnya, tidak segera kau berlalu?"
"Aku.....” pemuda itu masih tertunduk.
Mendadak dia ayun dan mengacungkan golok itu tinggi-tinggi terus dibanting hingga menancap
di lantai di depan si pemuda, bentaknya bengis, "Lekas pergi, penggal kepala mereka dengan
golok ini sebelum mereka mampus seluruhnya, jangan kau kembali menemui aku, kalau tidak,
bukan Thian akan mengutuk kau, aku pun akan mengutukmu."
Hujan angin sedang mengamuk di luar.
Dengan mendelong dia mengawasi si pemuda yang pelan-pelan berjalan keluar, menuju
kegelapan malam nan pekat, lama kelamaan bayangannya seolah-olah tertelan dan bersenyawa
dengan tabir malam nan pekat itu. Demikian pula golok hitam di tangannya seolah-olah sudah
terbaur dalam kegelapan ini
Tabir malam memang sudah menyelimuti seluruh jagat raya.
BAB 1. ORANG YANG TAK MEMBAWA PISAU
Dia tidak bersenjata. Begitu masuk dilihatnya Pho Ang-soat! Memang di sini sudah banyak
orang, orang-orang dari berbagai kalangan dan beraneka ragam, tapi orang seperti dia, tidak
pantas berada di tempat seperti ini. Karena dia tidak setimpal.

Itulah suatu tempat yang aneh, tempat yang luar biasa. Musim rontok hampir berlalu, tapi di
sini hawa masih hangat sejuk seperti musim semi. Kini malam sudah larut, tapi tempat ini masih
terang benderang seperti siang hari bolong.
Di sini ada arak tapi bukan warung arak. Banyak orang berjudi, tapi bukan tempat perjudian. Di
sini ada kalanya bisa kau cari perempuan yang dapat melayani segala kesenanganmu, namun di
sini bukan sarang pelacur.
Bahwasanya tempat seperti ini tidak perlu memakai nama, namun ratusan li di sekitarnya,
tempat ini amat terkenal, tempat yang yang paling ramai dikunjungi orang dari segala penjuru
dunia.
Di tengah ruang besar tersebar rapi delapan belas meja. Meja mana pun yang kau pilih dan kau
duduk di sana, segala macam arak dan hidangan yang paling lezat, dan mahal dapat kau nikmati,
jikalau kau masih ingin mencari kesenangan lain, maka kau cukup mendorong pintu.
Delapan belas pintu tersebar di seluruh pelosok ruangan besar ini. Peduli pintu mana yang kau
dorong dan kau masuk ke sana, pasti kau takkan kecewa, tak pernah menyesal telah mencari
kesenangan di sini.
Di belakang ruangan besar ini, masih terdapat tangga tinggi yang menuju ke atas loteng. Tiada
orang tahu tempat apakah loteng tinggi di belakang ini, tiada orang yang pernah naik ke atas sana
untuk melihat keadaannya.
Karena hakikatnya setelah berada di sini kau tidak perlu susah-susah naik ke atas loteng, di
bawah sudah cukup terlayani dan menemukan apa saja yang kau inginkan.
Di ambang tangga terdapat sebuah meja persegi yang rada kecilan, menyanding meja kecil ini
duduklah seorang laki-laki pertengahan umur yang berpakaian perlente dan berdandan amat
menyolok sekali.
Agaknya dia selalu duduk menyendiri, di tempatnya ini, seorang diri bermain dadu. Jarang
orang melihat dia melakukan pekerjaan lain kecuali dadu di tangannya itu, tiada orang yang
pernah melihat dia bangkit berdiri dari tempat duduknya.
Kursi yang diduduki lebar besar dan empuk. Di sisi kursi tegak dua tongkat kayu merah.
Banyak orang pergi datang, hilir mudik di dalam ruangan besar ini, namun tiada seorang pun
yang pernah menarik perhatiannya. Apa pun yang dilakukan orang lain, seolah-olah tiada sangkutpautnya
dengan dirinya. Namun kenyataan bahwa dia adalah pemilik atau majikan dari rumah
megah ini. Suatu tempat yang aneh, umumnya memang dimiliki oleh seorang yang aneh pula.
Jari-jari Pho Ang-soat menggenggam sebilah golok. Sebilah golok yang bentuknya amat aneh,
sarung dan gagangnya serba hitam mengkilap.
Dia sedang makan, sesuap nasi sesuap lauk-pauk perlahan-lahan dia makan. Karena dia makan
menggunakan sebelah tangannya.
Tangan kiri menggenggam golok, peduli apa pun yang sedang dia kerjakan, selamanya tidak
pernah dia lepaskan goloknya ini. Golok nan gelap, baju yang hitam, biji mata kelam pula. Hitam
mengkilap.
Oleh karena itu meski tempat duduknya jauh dari pintu besar, tapi waktu Yap Kay melangkah
masuk, sekali pandang matanya lantas melihat dirinya, melihat golok di tangannya pula.
Tapi Yap Kay sendiri selamanya tidak pernah membawa senjata.
Musim rontok hampir menjelang. Malam semakin larut. Di sepanjang jalan raya mi, hanya di
atas pintu itu saja yang masih memasang sebuah lampion merah.
Sebuah pintu kecil dan sempit, sinar lampion remang menerangi tanah tandus di muka pintu,
angin musim rontok menghembus keras menerbangkan pasir dan dedaunan kering. Sekuntum
kembang seruni yang sudah layu terguling-guling di atas tanah terhembus angin, entah darimana
datangnya, tak tahu bakal kemana pula terhembus angin.

Bukankah kehidupan manusia mirip juga dengan sekuntum seruni layu ini, yang terima
diombang-ambing terhembus angin ke sana kemari, memangnya siapa pula yang tahu akan nasib
sendiri. Oleh karena itu kenapa pula manusia harus bersedih dan berduka serta bergulat terhadap
nasib sendiri?
Kalau seruni ini dimiliki seseorang, maka dia pun tidak akan terima nasibnya yang jelek tidak
menentu itu, karena dia sudah pernah mengecap kehidupan nan gemilang dan semarak. Pernah
dipuja dan dipandang serta disayang oleh manusia. Dan itu sudah lebih dari cukup baginya.
Pada ujung jalan yang sana, adalah padang rumput nan luas tak berujung pangkal, demikian
pula pangkal jalan di sebelah yang lain adalah padang rumput yang tak berujung pangkal pula.
Maka lampion ini seolah-olah merupakan setitik pancaran sinar mutiara di tengah-tengah padang
rumput ini.
Langit bersambung pasir kuning, pasir kuning mencapai ujung langit. Seolah-olah manusia pun
berada di pinggir langit. Demikianlah keadaan Yap Kay seakan-akan dia baru datang dari ujung
langit itu.
Menyusuri jalan panjang ini, pelan-pelan dari tempat kegelapan langsung menuju ke tempat
yang disinari cahaya lampion itu Lalu dia duduk di tengah jalan, kaki pun diangkat ke atas. Sepatu
tinggi yang dipakai terbuat dari kulit domba, biasanya hanya penggembala ternak yang mondarmandir
di padang rumput saja yang sering memakai sepatu tinggi semacam ini. Seperti pula
penggembala di padang rumput, sepatu inipun sudah mengalami pahit getirnya kehidupan, tahan
panas tertimpa hujan, tahan segala siksa dan penderitaan hidup.
Tapi sekarang alas kaki sepatu ini sudah berlubang saking tipis dan sering tergesek dengan
tanah, dengan sendirinya telapak kakinya pun ikut tergesek luka mengeluarkan darah. Mengawasi
telapak kakinya yang terluka, dia menggeleng-geleng kepala seolah-olah merasa tidak puas dan
kurang senang. Bukan tidak puas terhadap sepasang sepatu tingginya ini, tapi kurang senang dan
tidak puas terhadap kakinya sendiri.
"Tapak kaki orang macamku ini, kenapa begitu tak berguna bisa pecah tergosok tanah seperti
kaki orang lain?" Dicomotnya segenggam pasir terus dituang ke dalam lubang di atas sepatunya.
"Kau begini tidak becus, biar ku bikin kau lebih tersiksa, lebih menderita."
Dia berdiri, sehingga pasir menggosok luka-luka di telapak kakinya. Lalu dia tertawa, tawanya
laksana secercah sinar matahari yang mendadak muncul di tengah-tengah kepulan debu pasir
yang beterbangan memenuhi langit.
Lampion itu terombang-ambing ditiup angin. Segulung angin menghembus datang, seruni layu
itu terhempas terbang Sekali raih sigap sekali dia menangkap kembang layu itu. Kelopak kembang
sudah rontok tinggal beberapa lembar yang terbawa masih kokoh bertahan di atas tangkainya
yang sudah mengering.
Ditepuk-tepuknya pakaiannya yang seharusnya sudah dibuang ke dalam tempat sampah,
dengan teliti dan hati-hati dia selipkan tangkai kembang layu ini ke dalam sebuah lubang di atas
bajunya.
Melihat sikapnya, seolah-olah pemuda hartawan bangor yang baru saja berdandan dengan
perlente menyisipkan sekuntum kembang merah segar yang menyolok seharga ribuan tahil emas
di atas jubah beludrunya. Maka dia merasa puas akan segala sesuatunya mengenai keadaan diri
sendiri. Kembali dia tertawa lebar.
Pintu sempit itu tertutup. Dengan mengangkat kepala dan membusungkan dada, dengan
langkah lebar dia beranjak maju mendorong pintu. Maka dia lantas melihat Pho Ang-soat. Pho
Ang-soat bersama goloknya.
Golok masih tergenggam di tangan yang pucat memutih, sebaliknya golok itu tetap hitam
mengkilap.
Dari goloknya, lalu melihat tangannya, terakhir dari tangan Yap Kay melihat mukanya. Muka
yang pucat, biji mata yang hitam bening.

Terpancar senyuman pada mata Yap Kay, seolah-olah hatinya amat puas melihat segala
sesuatu yang dipandangnya. Dengan langkah lebar dia melangkah ke depan Pho Ang-soat, lalu
duduk berhadapan.
Sumpit Pho Ang-soat tidak berhenti, sesuap nasi sesuap sayuran, makannya lambat, namun
tidak berhenti atau melirik kepadanya.
Mengawasi orang, tiba-tiba Yap Kay tertawa, katanya, "Selamanya kau tidak minum arak?"
Bukan saja tidak mengangkat kepala, Pho Ang-soat pun tidak menghentikan makannya. Pelanpelan
dia lalap sisa nasi di dalam mangkuknya, baru dia meletakkan sumpit dan mangkuk,
sekarang dia mengawasi Yap Kay.
Senyuman Yap Kay laksana sinar matahari. Sebaliknya roman muka Pho Ang-soat yang pucat
itu tetap kaku tidak berubah, rada lama kemudian baru sepatah demi sepatah menjawab, "Aku
tidak minum arak."
"Kau tidak minum?" tanya Yap Kay. "Bagaimana kalau kau traktir aku dua cangkir saja?"
"Kau ingin aku mentraktir dua cangkir arak? Kenapa?" tanya Pho Ang-soat. Kata-katanya amat
lambat, seolah-olah setiap patah katanya harus dia pertimbangkan dulu baru diucapkan, karena
setiap patah kata yang diucapkan dari mulutnya, dia selalu berani bertanggung jawab. Maka dia
amat hati-hati, selamanya tidak pernah mengucap kata-kata yang salah.
"Kenapa?" Yap Kay berkata. "Karena aku merasa kau boleh dipandang. Kecuali kau, di tempat
ini boleh dikata tiada seorang pun yang boleh dipandang."
Pho Ang-soat menunduk, mengawasi tangannya. Bila dia suka bicara, begitulah sikap dan
mimiknya.
"Kau sudi tidak?" tanya Yap Kay.
Pho Ang-soat tetap memandang tangannya sendiri.
"Inilah kesempatanmu yang paling baik, kalau kau sia-siakan kesempatan terakhir ini, apa kau
tidak merasa sayang?"
"Tidak merasa sayang," sahut Pho Ang-soat akhirnya sambil geleng-geleng kepala.
Yap Kay tertawa lebar, katanya, "Kau ini memang menyenangkan, bicara terus terang, kecuali
kau, umpama orang lain berlutut dan minta-minta kepadaku, aku pun takkan sudi minum setetes
araknya." Suaranya lantang dan keras seolah-olah dia sedang bicara dengan seorang tuli,
sehingga orang lain mau tidak mau pasti mendengar ucapannya. Asal mendengar kata-katanya,
siapa pun takkan bisa mengendalikan amarahnya.
Serempak beberapa orang yang ada dalam rumah ini sudah berdiri, orang yang bergerak paling
cepat dan tangkas adalah seorang pemuda berpakaian abu-abu menyoreng pedang. Pinggang
pemuda ini ramping, pundaknya justru lebar, pedangnya dihiasi beberapa butir berlian yang
kemilau, kuncir pedangnya pun merah dalu warnanya amat serasi dengan warna baju yang
dipakainya.
Tangannya sedang memegangi sebuah cangkir yang penuh berisi arak, entah bagaimana dia
bergerak, cuma putar badan tahu-tahu sudah menerobos tiba di hadapan Yap Kay. Arak yang
memenuhi cangkirnya, ternyata setetes pun tiada yang tercecer keluar. Agaknya bukan saja
pemuda ini berpakaian serba mewah, dalam latihan ilmu silatnya tentu juga tidak kal.ih
mewahnya.
Sayang sekali Yap Kay tidak melihat polahnya, Pho Ang-soat pun tidak melihat.
Pemuda baju abu-abu itu menampilkan senyum lucu yang dibuat-buat, karena dia tahu seluruh
perhatian hadirin dalam rumah ini semua tertuju kepada dirinya. Pelan-pelan dia menepuk pundak
Yap Kay, katanya, "Aku traktir kau minum arak mau tidak?"
"Tidak!" sahut Yap Kay.

"Cara bagaimana baru kau mau? Bagaimana kalau aku berlutut meminta-minta kepadamu?'
"Baik sekali!" ujar Yap Kay
Pemuda baju abu-abu tertawa lebar, orang lain ikut tertawa pula. Yap Kay pun tertawa,
katanya dengan memicingkan mata, "Cuma walau kau berlutut di depanku, aku pun tidak mau
minum." "Kau tahu siapa aku?" tanya pemuda itu.
"Kurang jelas, sampai pun kau ini apakah manusia, aku sendiri juga kurang tahu."
Kaku senyuman lebar yang menghias muka si pemuda, jari-jari tangannya sudah mencekal
gagang pedangnya, "Sreng", pedang sudah dilolosnya. Tapi yang dipegang hanya gagang pedang
saja karena batang pedangnya masih ketinggilan di dalam sarungnya.
Baru saja pedang terlolos sepertiga, mendadak Yap Kay mengulur tangannya menyentik, maka
pedang panjang yang terbuat dari baja murni itu seketika patah. Tepat satu dim di bawah
gagangnya, meski pedang tadi sudah terlolos keluar sebagian, namun karena terjentik patah,
kutungan pedang itu kembali melorot masuk ke sarungnya.
Mengawasi kutungan pedang di tangannya, pucat-lesi selebar muka si pemuda. Tiada orang
yang tertawa lagi dalam rumah ini, bukan saja tak bisa tertawa, sampai pernapasan pun rasanya
hampir berhenti, hening lelap, yang kedengaran hanya sebuah suara lirih saja.
Suara dadu yang kelotokan. Apa yang terjadi barusan seolah-olah hanya dia seorang saja yang
tidak tahu menahu. Walau Pho Ang-soat melihat, namun roman mukanya tetap tak menunjukkan
mimik hatinya.
Mengawasi orang, kata Yap Kay tertawa, "Coba kau lihat, aku tidak membohongi kau, sulit
bukan orang minta aku minum araknya."
Pelan-pelan Pho Ang-soat menganggukkan kepala, sahutnya, "Kau tidak membohongi aku."
"Lalu kau mau traktir aku tidak?"
"Tidak," pelan-pelan Pho Ang-soat geleng-geleng kepala, pelan-pelan pula berdiri dan membalik
badan seolah-olah dia tak sudi membicarakan hal ini. Tapi sebelum beranjak dia sempat berpaling
kepada pemuda baju abu-abu itu, katanya kalem, "Gunakanlah uangmu yang kau belikan pakaian
untuk membeli pedang yang bagus, tapi lebih baik kalau selanjutnya kau tidak usah membawa
pedang kalau pedang dibuat perhiasan, sungguh amat berbahaya." Kata-katanya pun pelan jujur
dan setulus hatinya. Memang inilah nasehat yang berguna.
Tapi bagi pendengaran pemuda baju abu-abu ini, sungguh tak keruan rasa hatinya. Mengawasi
Pho Ang-soat, mukanya yang pucat seketika membesi hijau.
Pho Ang-soat sedang berjalan keluar pelan-pelan jalannya lebih lambat dari kata-katanya,
malah gaya jalannya pun amat aneh. Kaki kirinya melangkah dulu ke depan, barulah kaki
kanannya pelan-pelan terseret maju di permukaan lantai.
"Ternyata dia seorang timpang."
Agaknya Yap Kay terkejut dan heran, merasa sayang dan kasihan pula. Kecuali ini, jelas dia
tidak punya perasaan atau maksud lainnya.
Kedua tangan pemuda baju abu-abu terkepal kencang, marah dan kecewa pula, sebetulnya dia
mengharap Yap Kay merenggut Pho Ang-soat kembali ke tempat duduknya. Meski kepandaian silat
Yap Kay amat menakutkan, tapi orang timpang ini tidak perlu dibuat takut. Sekilas pemuda ini
memberikan lirikan mata, orang-orang yang duduk semeja dengan dirinya seketika bergerak, dua
orang berdiri pelan-pelan, agaknva merekahendak mengejar keluar.
Pada saat itulah dalam rumah ini berkumandang sebuah suara yang aneh dan menusuk
pendengaran, "Kau tidak sudi ditraktir minum orang lain, sudikah kau mentraktir orang lain?"
Suaranya rendah dan halus, setiap orang mendengar dengan jelas. Seolah-olah orang yang bicara
ini berada di samping telinganya, namun dimana dan siapa yang bicara, tiada seorang pun yang

tahu. Akhirnya baru ada orang melihat, kiranya laki-laki pertengahan umur yang berpakaian
perlente dan rapi itu tengah berpaling mengawasi sambil tersenyum lebar.
Yap Kay pun tertawa, katanya, "Orang mentraktir aku atau aku mentraktir orang dua persoalan
yang tidak sama."
“Benar, tidak sama" kata laki-laki pertengahan umur tertawa.
Maka biar aku saja yang mentraktir, seluruh hadirin aku traktir."
Sikapnya begitu angker seolah-olah dia menganggap dirinya sebagai majikan atau pemilik
tempat ini.
Pemuda baju abu-abu tiba-tiba mengertak gigi, bergegas dia berlari meninggalkan tempat ini.
Berkata Yap Kay pelan-pelan, "Namun bila aku mentraktir orang minum, siapa pun tidak boleh
tidak harus minum, harus minum sampai mabuk."
Pemuda baju abu-abu menghentikan langkahnya di ambang pintu, dadanya turun naik, serunya
sambil berpaling ke belakang, "Apa kau tidak tahu mentraktir orang minum arak perlu
menggunakan uang."
"Uang? Coba kau lihat apakah orang seperti tampangku ini ada membawa uang?"
"Kau memang tidak mirip orang yang tidak punya duit," jengek pemuda abu-abu.
"Untungnya beli arak belum tentu harus memakai uang perak, pakai kacang juga boleh."
Pemuda itu melengak, serunya, "Kacang? Kacang apa?"
"Kacang seperti ini!" sahut Yap Kay kalem, entah sejak kapan tahu-tahu tangannya mencekal
sebuah kantong, tangannya menyendal, kacang yang berada di dalam kantong seketika
berjatuhan, seolah-olah dia menggunakan permainan sulap belaka. Ternyata kacang yang dituang
dari dalam kantong itu adalah kacang emas.
Mengawasi kacang-kacang emas yang bergelundungan memenuhi lantai, lama si pemuda baju
abu-abu melongo, akhirnya dia mengangkat kepala dan berkata dengan tawa dibuat-buat, "Hanya
satu hal aku tidak mengerti."
"Apa-apa yang tidak kau ketahui, pasti aku tahu."
"Kau tidak mau orang mentraktir minum, kenapa kau malah ingin mentraktir orang, adakah hal
ini berbeda?"
Dengan mengedip-ngedipkan mata, Yap Kay menghampiri, katanya lirih, "Kalau ada anjing mau
mentraktir kau makan tahi, kau mau tidak?"
Berubah muka si pemuda baju abu-abu, sahutnya, "Sudah tentu tidak mau."
"Aku pun tidak mau," ujar Yap Kay tertawa, "tapi aku sering memberi makan anjing."
Waktu Pho Ang-soat berjalan keluar, entah sejak kapan di luar sudah bertambah dua buah
lampion. Dua orang laki-laki serba putih menenteng dua lampion ini, tegak lurus berdiri di tengah
jalan.
Pelan-pelan Pho Ang-soat menutup pintu, dengan langkah pelan-pelan pula dia menuruni
undakan pintu, melangkah ke depan, baru sekarang dia melihat di belakang kedua orang yang
membawa lampion ini masih ada orang ketiga. Lampion bergoyang-gontai terhembus angin,
namun ketiga orang ini seperti patung batu, tegak tak bergerak. Sinar lampion menyoroti badan
dan muka mereka, dari rambut kepala sampai ke ujung kaki mereka, penuh ditaburi debu pasir
kuning yang tebal, dipandang dalam keremangan malam, kelihatan keadaan mereka amat seram
menakutkan dan misterius.
Bahwasanya Pho Ang-soat anggap tidak pernah melihat mereka, waktu dia berjalan pandangan
matanya tertuju ke kejauhan di depan sana.

Entah mengapa sorot matanya kaku dingin tak berperasaan meski menampilkan emosi, terang
bukan perasaan hangat, kasih sayang, malah kebalikannya menampilkan penderitaan, dendam
dan kedukaan yang mendalam? Pelan-pelan dia menyusuri jalan raya, laki-laki ketiga yang berdiri
di belakang dua temannya yang membawa lampion, mendadak memapak maju, katanya, "Harap
tuan berhenti sebentar."
Pho Ang-soat lantas berhenti. Orang minta dia berhenti, dia lantas berhenti, bukan saja tidak
bertanya siapa dia, enggan bertanya apa alasan orang menyuruhnya berhenti.
Ternyata sikap orang ini amat sopan, tapi waktu badannya membungkuk, sorot matanya tetap
mengawasi golok di tangannya, baju yang membelit pakaiannya tiba-tiba seperti mengkeret
kencang, terang seluruh badannya sudah disiagakan berjaga dari segala kemungkinan.
Namun Pho Ang-soat tidak bergerak, golok di tangannya pun tidak bergeming, malah sorot
matanya pun tertuju lurus ke depan ke tempat nan jauh. Kegelapan memenuhi jagat raya itu.
Lama juga baru orang baju putih ini merasa lega dan mengendor ketegangannya, tanyanya
sambil tersenyum, "Maaf kalau Cayhe memberanikan diri bertanya, apakah hari ini tuan baru tiba
di sini?"
"Ya," sahut Pho Ang-soat. Hanya sepatah kata jawabannya, namun dia renungkan dulu sekian
lamanya baru bersuara.
"Tuan datang darimana?" tanya orang baju putih.
Pho Ang-soat menundukkan kepala, matanya mengawasi goloknya.
Setelah menunggu lama, orang baju putih unjuk tawa dipaksakan pula, tanyanya pula, "Apakah
tuan segera hendak berlalu?"
"Mungkin."
"Mungkin juga tidak pergi?"
"Mungkin!"
"Kalau tuan sementara tidak pergi, Sam-lopan ingin mengundang tuan besok malam
bertandang ke rumahnya untuk sesuatu keperluan."
"Sam-lopan?"
"Yang kumaksud tentunya adalah Sam-lopan dari Ban-be-tong."
Ternyata kali ini dia tertawa. Sungguh menggelikan bahwa orang tidak kenal siapa sebenarnya
Sam-lopan.
Tapi dalam pandangan Pho Ang-soat seolah-olah memang tidak ada sesuatu yang menggelikan
di dunia ini.
Orang baju putih agaknya tak bisa tertawa lebih lanjut, lalu batuk-batuk dua kali dan berkata
pula, "Sam-lopan ada berpesan kepada Cayhe, betapapun harap tuan suka datang, kalau tidak.....”
"Kalau tidak kenapa?" tanya Pho Ang-soat.
"Kalau tidak, Cayhe tidak bisa pulang memberikan pertanggung jawaban, terpaksa biar berdiri
di sini saja tak usah pulang."
"Kau mau berdiri di sini?"
"Ya!"
"Sampai kapan?"
"Sampai tuan sudi menerima undangan."
"Baik sekali

Di saat orang baju putih menunggu jawabannya, tak terkira dia malah putar badan tinggal
pergi. Kaki kirinya melangkah lebih dulu, lalu kaki kanan diseret maju. Kaki kanannya itu seolaholah
sudah cacad dan kaku mati rasa.
Keruan berubah air muka orang baju putih, seluruh pakaian di badannya melembung kencang
seperti ditiup angin, namun setelah Pho Ang-soat pergi jauh ditelan kegelapan, dia tetap berdiri di
tempatnya tak bergerak.
Segulung angin menghembus datang membawa taburan pasir, namun berkedip pun matanya
tidak pernah bergerak. Orang di sampingnya yang menenteng lampion tak tertahan bertanya lirih,
"Membiarkan dia pergi begini saja?"
Orang baju putih mengencangkan mulut tidak bersuara, namun sejalur darah merembes keluar
dari ujung mulutnya, pelan-pelan mengalir ke lehernya, namun cepat sekali noda darah ini
menjadi kering terhembus ingin berpasir.
Pho Ang-soat tidak berpaling. Asal dia berjalan ke depan, selamanya lidak pernah berpaling ke
belakang.
Deru angin semakin keras, dalam gang sempit itu merupakan sederetan rumah-rumah gubuk
rendah yang dibuat dari papan, seolah-olah hampir terhembus roboh oleh hempasan angin
berpasir yang kencang ini.
Pho Ang-soat langsung menuju ke arah ujung, lalu berhenti di depan pintu sebuah rumah yang
terakhir. Begitu langkahnya berhenti, daun pintu lantas terbuka.
Tak terdengar suara orang, tiada sinar lampu, keadaan dalam rumah lebih gelap dari luar.
Tanpa bersuara Pho Ang-soat terus melangkah masuk, lalu dia membalik badan merapatkan pintu
lalu dipalangnya pula. Seolah-olah dia sudah biasa berada dalam kegelapan ini.
Dalam kegelapan sekonyong-konyong terulur sepasang tangan, memegang sebelah tangannya.
Itulah sepasang tangan yang halus, hangat dan lembut Pho Ang-soat berdiri kaku, dia biarkan saja
jari-jari kedua tangan ini memegangi tangan kanan yang tidak memegang golok, maka
terdengarlah sebuah suara seperti berbisik di pinggir telinganya berkata, "Sudah lama aku
menunggumu "
Itulah suara merdu, hangat merayu dan manis, suara seorang muda, gadis remaja yang genit.
Pho Ang-soat mengangguk, lama juga baru pelan-pelan dia berkata, "Memang sudah lama kau
menunggu."
"Kapan kau datang?" tanya gadis itu.
"Hari ini, waktu magrib tadi."
"Kenapa tidak langsung kau kemari."
"Ya, tidak!"
"Kenapa?"
"Sekarang kan aku sudah berada di sini "
"Benar, sekarang kau sudah di sini, asal kau sudah tiba betapapun lamanya aku menunggu
juga setimpal."
Berapa lama sebenarnya dia sudah menunggu? Siapa pula gadis ini?
Kenapa dia menunggu di tempat ini? Tiada orang tahu, kecuali mereka sendiri, di dunia ini
terang takkan ada orang yang tahu.
"Segalanya sudah kau siapkan?" tanya Pho Ang-soat.
"Semuanya sudah siap, apa pun yang ingin kau lakukan cukup asal kau katakan saja."
Pho Ang-soat tidak banyak bicara lagi.

Suara gadis itu semakin lembut merangsang, "Aku tahu apa yang kau inginkan, aku tahu. Jarijarinya
menggeremet di kegelapan, akhirnya menemukan kancing-kancing pakaian Pho Ang-soat.
Jarinya lincah dan mahir serta tangkas benar.
Tiba-tiba Pho Ang-soat sudah telanjang bulat. Dalam rumah serapat dan pendek ini tiada angin,
tapi kulit dagingnya seolah-olah kedinginan terhembus angin dingin sampai gemetar dan
mengejang.
Bagai bisikan impian yang merayu suara gadis itu berkata, "Selama ini kau adalah seorang
bocah, sekarang aku ingin kau menjadi seorang laki-laki sejati, karena ada kalanya sesuatu urusan
hanya bisa dikerjakan oleh laki-laki sejati.
Bibirnya hangat dan basah, dengan ringan dan bernafsu menciumi dada Pho Ang-soat.
Begitupun jari-jarinya terus bekerja memancing dan menggelitik....
Akhirnya Pho Ang-soat melorot jatuh, roboh ke atas ranjang, namun golok di tangannya tidak
pernah terlepas. Seakan-akan golok ini sudah merupakan darah daging raganya, menjadi salah
satu bagian dari kehidupan jiwanya. Selamanya dia tidak akan terlepas, tidak akan berpisah.
Sang fajar telah menyingsing, cahaya remang sudah menyorot masuk melalui sebuah jendela
kecil di tempat yang tinggi. Mereka masih nyenyak dalam impian dan tenggelam dalam
kenikmatan. Golok masih berada di tangannya.
Bangunan rumah ini terbagi dua ruangan bagian belakang adalah sebuah dapur. Dari dapur
terendus bau nasi yang harum.
Seorang nenek yang sudah ubanan tengah menggoreng telur di atas wajan, tak lama kemudian
goreng telur mata sapi sudah dia taruh di atas sebuah tatakan kembang. Nenek ini sudah peyot
dan bungkuk, kulitnya kering keriputan, mungkin karena terlalu banyak bekerja berat, kedua
tangannya itu sudah sedemikian kasar, jelek dan tak terurus lagi.
Kamar bagian depan ternyata diurus begitu rapi, bersih dan nyaman, kasurnya baru, sepreinya
baru saja diganti.
Pho Ang-soat masih nyenyak dalam tidurnya. Tapi waktu si nenek melangkah masuk dari dapur
dengan langkah hati-hati, tahu-tahu matanya sudah terbuka lebar. Tidak kentara rasa kantuk
sama sekali dari kedua matanya.
Dalam bilangan dua petak kamar rumah ini, tinggal mereka berdua saja yang ada. Kemanakah
gadis yang genit dan romantis semalam itu? Memangnya dia pun sudah lenyap mengikuti
datangnya fajar. Masakah dia memang silumana jadi-jadian di malam hari?
Mengawasi si nenek yang melangkah ke dalam kamar, sedikit pun Pho Ang-soat tidak
menunjukkan perubahan mimik muka, mulut terkancing, apa pun tiada yang dia tanyakan. Kenapa
dia tidak mengajukan pertanyaan? Memangnya dia anggap pengalaman semalam sebagai mimpi
indah belaka?
Telur itu baru digoreng, masih terdapat tahu yang segar, lobak dan kacang yang direbus
dengan garam. Nenek itu meletakkan tatakan di atas meja, katanya sambil mengunjuk tawa
berseri, "Hidangan pagi hanya lima sen uang perak, termasuk sewa kamar seluruhnya empat ketip
tujuh sen, satu bulannya terhitung sepuluh tahil perak, harga seringan ini di daerah ini sudah
termasuk tarip yang paling murah"
Pho Ang-soat meletakkan sekeping perak di atas meja, katanya, "Aku tinggal tiga bulan, perak
ini bernilai lima puluh tahil."
"Sisanya yang dua puluh tahil?"
"Setelah aku mati belikan peti mati."
"Kalau kau belum mati?"
"Simpan saja untuk beli peti matimu kelak"

Keluar dari gang sempit yang jorok ini, tibalah di jalan raya yang panjang itu.
Angin badai sudah reda
Cahaya matahari membuat taburan pasir kuning di sepanjang jalan raya berkilauan seperti
emas murni. Jalan raya kini sudah banyak orang berlalu-Ialang, namun pandangan Pho Ang-soat
bentrok ke arah laki-laki baju putih semalam itu. Dia tetap berdiri di tempat semalam, sampai pun
gayanya pun tidak berubah. Pakaian yang putih bersih kini sudah berlepotan debu menguning,
tapi raut mukanya tetap pucat lesu, pucat seperti tidak berdarah.
Secara diam-diam banyak orang yang berlalu-lalang melontarkan sorot pandangan aneh dan
heran kepadanya, sorot mata yang menyala dan lebih tajam dari terik sinar matahari di musim
rontok ini. Kalau dia sudah tahan dan menerima keadaan dirinya semalam suntuk, maka dia pun
tetap bertahan oleh pandangan orang banyak yang menusuk perasaan ini.
Memangnya sabar dan bertahan itu merupakan suatu siksaan, tapi sabar dan bertahan itu
sendiri kadang kala merupakan suatu seni pula. Dan laki-laki baju putih ini amat tahu akan seni
semacam ini.
Memang sering orang yang tahu akan seni seperti ini bisa memperoleh keuntungan dan hasil
gemilang sesuai dengan harapannya.
Lambat-lambat Pho Ang-soat sudah mendatangi ke arahnya, tapi sorot matanya masih tertuju
lurus ke depan nan jauh sana.
Dari kejauhan mendadak hembusan debu pasir menguning yang bergulung-gulung mendatang,
tujuh ekor kuda tengah dibedal kencang, laksana anak panah menerjang ke jalan raya ini.
Penunggangnya semua adalah ahli cekatan di punggung kuda, waktu membedal tiba di hadapan
orang ini mendadak badannya mencelat tinggi dari pelana kudanya, bendera diacungkan miring,
golok terus dilolos, ketujuh penunggangnya bergelantung di pinggir pelana, golok terayun sebagai
pemberian hormat. Itulah penghormatan yang paling sering dilakukan oleh kaum penunggang
kuda.
Dari cara pemberian hormat ini, boleh diperkirakan bahwa laki-laki baju putih ini tentu
mempunyai kedudukan yang tidak rendah.
Bahwasanya dia boleh tidak usah menghadapi siksaan diri seperti ini, tapi dia toh rela
merasakan dan tetap sabar. Siapa pun kalau dia rela menyakiti diri dan merendahkan diri seperti
ini, maka dia pasti mempunyai suatu tujuan tertentu. Lalu apa maksud dan tujuannya?
Sinar golok berkelebat menyinari raut mukanya yang kaku tak berperasaan, dalam sekejap
mata ketujuh ekor kuda ini sudah membedal tiba di ujung jalan raya sana. Sekonyong-konyong
kuda yang terakhir meringkik keras dan melonjak berdiri dengan kedua kaki belakangnya, sekali
penunggang kudanya menarik tali kekangnya, kuda itu lantas berputar membalik ke arah
datangnya semula, laksana anak panah tiba-tiba membedal balik. Penunggangnya mencelat
naik dan berdiri di atas pelana, tangannya mengangkat tinggi sebatang tombak hitam dari besi
panjang. Begitu kuda menerjang lewat, orang itupun mengayun tangan dan tombak panjang itu
meluncur bagai anak panah menancap tegak di tanah di samping laki-laki baju putih, balutan kain
sutra warna putih yang tergulung di ujung pangkal tombak segera melambai tertiup angin,
ternyata itulah sebuah panji segi tiga. Di tengah panji putih ini tertulis lima huruf besar warna
merah dara, berbunyi:
"Kwan tang ban be tong."
Panji besar ini berkibar-kibar dihempas angin pagi nan cerah, kebetulan mengalingi muka orang
baju putih dari sorot matahari.
Dalam waktu sekejap kuda tunggangan itu ternyata sudah putar balik pula, mengejar temantemannya
dan menghilang di ujung jalan lain meninggalkan lautan debu panjang.

Cahaya matahari pagi menyinari panji besar itu. Puluhan pasang mata yang berada di pinggir
jalan menjublek mengawasi panji besar itu, saking terpesona mereka lupa bersorak.
Sekonyong-konyong seseorang tertawa lepas dengan lantang, serunya, "Kwan tang ban be
tong, bagus benar Kwan tang ban be tong!"
BAB 2. BAN BE TONG
Lampion di atas pintu sempit itu sudah padam. Seseorang tengah berdiri di bawah lampion itu,
tertawa dengan menengadah, gelak tawanya menggetarkan debu yang melekat di atas lampion itu
dan runtuh berhamburan, jatuh di mukanya. Dia anggap sepi dan seperti tidak merasakan.
Memangnya menghadapi segala persoalan Yap Kay selalu bersikap acuh tak acuh, bersikap tak
peduli.
Baju yang dia pakai tetap baju yang rombeng, kotor dan bau, yang dia kenakan semalam
kemana pun dia pergi, di sana seolah-olah diliputi semacam bebauan busuk, bau kulit yang
mengering atau bau mayat yang hampir membusuk. Tapi berdiri di tempatnya, seakan-akan dia
anggap setiap orang senang menikmati bau busuk yang keluar dari badannya.
Lubang bajunya yang merekah itu masih terselip sekuntum kembang, tapi bukan kembang
seruni yang layu itu, namun sekarang sudah ditukar sekuntum kembang mutiara. Entah kembang
mutiara milik perempuan siapa yang diambilnya dari hiasan sanggulnya.
Dari pandangan ke tempat jauh, tiba-tiba Pho Ang-soat menarik sorot matanya menatap lekatlekat
ke muka Yap Kay. Tapi dia malah beranjak ke tengah jalan, menghampiri ke depan laki-laki
baju putih dengan langkah sempoyongan, seperti orang mabuk hendak menangkap rembulan di
permukaan air, namun sepasang matanya terpentang lebar, ketajaman biji matanya seperti biji
mata Jengis Khan yang sedang memanah rajawali. Lalu dengan memicingkan mata, dia
mengawasi laki-laki baju putih, katanya, "Semalam, agaknya kau sudah berada di sini."
"Ya," sahut laki-laki baju putih.
"Sekarang kau masih di sini."
"Benar!"
"Apa yang kau tunggu di sini?"
"Menunggu tuan."
Yap Kay tertawa menyengir, ujarnya, "Menunggu aku? Aku toh bukan perempuan cantik molek,
buat apa kau menunggu aku?"
"Dalam pandangan Sam-lopan, gadis-gadis molek di seluruh jagat ini, tiada satu pun yang
memadai seperti tuan sebagai Enghiong besar."
"Baru hari ini aku tahu bahwa aku ternyata seorang Enghiong, tapi memangnya orang macam
apakah sebenarnya Sam-lopan itu?"
"Seorang yang simpatik, mengenal dan menghargai Enghiong."
"Bagus, aku senang terhadap orang demikian, dimana dia? Boleh aku suruh dia mentraktir aku
minum arak." Bahwa dia bilang hendak menyuruh orang mentraktir dia minum, seolah-olah dia
sudah memberi muka kepada orang itu.
"Memangnya Cayhe mendapat tugas dari Sam-lopan," demikian kata laki-laki baju putih ini.
"Kedatangan Cayhe mengundang tuan untuk menghadiri perjamuan kecil pada malam nanti."
"Perjamuan kecil aku tidak mau, sediakan arak yang banyak dan paling bermutu."
"Di dalam Ban-be-tong ada menyimpan tiga ribu gantang, tuan boleh minum sepuasnya."

Yap Kay bersorak kesenangan, serunya, "Kalau demikian, kau tidak mengundang aku, juga aku
pasti akan meluruk ke sana."
"Terima kasih"
"Kau sudah berhasil mengundang aku, kenapa tidak segera berlalu?" "Tamu yang harus
kuundang seluruhnya ada enam orang, sekarang baru lima orang yang menerima undangan."
"Maka kau belum menunaikan tugas dan tidak bisa pulang?"
"Ya."
"Siapa yang tidak mau menerima undanganmu?" Tanpa menunggu jawaban laki-laki baju putih,
tiba-tiba dia sudah tertawa lebar pula, serunya, "Aku tahu siapa yang kau maksudkan, agaknya
bukan saja dia tidak mau mentraktir orang minum arak, dia pun tidak mau menerima undangan
orang lain untuk minum arak."
Laki-laki baju putih hanya menyengir kecut.
"Umpama kau berdiri tiga hari tiga malam di sini, aku berani tanggung kau tidak akan bisa
menggerakkan hatinya, yang betul-betul bisa menarik perhatiannya di dunia ini mungkin hanya
sesuatu saja."
Laki-laki baju putih terima menghela napas saja.
"Untuk menggerakkan hati orang macam dia, hanya ada satu cara saja.”
"Mohon petunjuk."
"Peduli kemana pun ingin mengundangnya, terang dia tidak akan sudi menerima undanganmu,
kau pancing dia pun tidak berguna. Tapi asal kau dapat menggunakan sesuatu cara yang menarik
perhatiannya, umpama kau tidak mengundangnya, dia akan datang sendiri, malah harus pergi ke
sana!"
"Sayang sekali Cayhe betul tidak tahu dengan cara apa baru aku bisa menarik perhatiannya."
"Boleh kau lihat caraku," ujar Yap Kay, tiba-tiba dia putar badan, dengan langah lebar dia
menghampiri Pho Ang-soat.
Agaknya Pho Ang-soat memang berdiri di sana sedang menunggu dirinya. Yap Kay
menghampirinya dalam jarak yang amat dekat, seolah-olah ada sesuatu rahasia yang hendak dia
bicarakan, katanya lirih, "Tahukah kau siapakah aku sebenarnya? Apa hubungannya dengan kau?"
"Kau siapa? Masakah punya sangkut-paut dengan aku?" raut mukanya tetap tidak berubah,
namun jari-jari tangan yang mencekal gagang golok kelihatan menonjol urat-uratnya.
Yap Kay tertawa, katanya, "Kalau kau ingin tahu, nanti malam datanglah ke Ban-be-tong, di
sana kuberitahu kepadamu." Tanpa memberikan kesempatan kepada Pho Ang-soat untuk bicara,
bergegas dia putar tubuh tinggal pergi, langkahnya pun cepat dan enteng seakan-akan kuatir Pho
Ang-soat mengejarnya.
Namun bergerak pun Pho Ang-soat tidak bergeser dari tempatnya, kelopak matanya
diturunkan, matanya mengawasi golok di tangannya, kelopak matanya semakin mengkeret dan
akhirnya memicing sipit.
Sementara Yap Kay kembali ke hadapan laki-laki baju putih, katanya sambil menepuk pundak
orang, "Sekarang kau boleh pulang memberi laporan, malam nanti aku tanggung dia pasti duduk
di dalam Ban-be-tong."
Laki-laki baju putih ragu-ragu katanya, "Betulkan dia mau pergi?"
"Umpama dia tidak mau pergi, sudah menjadi tanggung jawabku, kau sudah tidak punya
kewajiban apa-apa lagi di sini."
"Terima kasih!" kata laki-laki baju putih mengunjuk tawa lebar.

"Tak usah kau sungkan terhadapku, kau harus berterima kasih kepadamu sendiri."
"Terima kasih kepadaku sendiri?" seru laki-laki baju putih melengak.
"It-kiam-hwi-hoa Hoa Boan-thian yang sudah menggetarkan Kangouw dua puluh tahun yang
lalu, ternyata sudi berdiri sehari semalam di sini untuk orang lain, kenapa aku tidak bisa
membantu kesulitannya?"
Mengawasi Yap Kay, mimik laki-laki baju putih amat aneh, lama berselang baru dia berkata
tawar, "Agaknya banyak urusan yang tuan ketahui."
"Untungnya tidak terlalu banyak," sahut Yap Kay tertawa.
Laki-laki baju putih ikut tertawa, tersipu-sipu dia menjura, katanya,
"Selamat bertemu nanti malam "
"Ya, harus bertemu nanti malam!"
Sekali lagi laki-laki baju putih menjura, pelan-pelan dia membalik badan dicabutnya tiang
bendera itu terus menggulungnya, mendadak dengan ujung tiang benderanya ini dia menutul
tanah, tahu-tahu badannya sudah melambung tinggi. Kebetulan dari jalan samping sana
membedal keluar seekor kuda, maka tepat sekali badan laki-laki baju putih meluncur dan hinggap
di punggung kuda. Kuda kekar itu meringkik panjang, tahu-tahu kakinya sudah berlari pesat
puluhan tombak jauhnya.
Mengawasi punggung orang yang pergi jauh, tiba-tiba Yap Kay menghela napas, gumamnya,
"Agaknya Ban-be-tong merupakan sarang naga gua harimau, jago-jago silat tak terhitung
banyaknya ..." Lalu diulurkannya kedua tangannya di kedua sisi sambil menggeliat terus
berbangkit. Waktu dia berpaling ke arah Pho Ang-soat, entah kapan bayangan Pho Ang-soat sudah
tidak kelihatan.
Langit membiru cerah, pasir menguning terbentang luas. Pasir kuning bersambung dengan
langit, berpadu dengan pasir kuning. Selepas mata memandang, jauh di ujung langit sana tampak
selembar bendera putih yang besar sedang melambai-lambai di tengah angkasa dengan
megahnya. Kalau bendera itu seolah-olah berada jauh di ujung langit. Demikian juga letak Ban-betong
itu seolah juga berada di ujung langit.
Padang rumpat nan luas tak berujung pangkal, jalanan di sini terbuka oleh derap kaki kuda
jauh memanjang, lurus lempang menuju ke arah kibaran bendera besar. Di bawah bendera besar
itulah Ban-be-tong berada.
Seorang diri Pho Ang-soat berdiri di tengah padang rumput nan liar ini, berdiri di pinggir jalan
kuda, dari kejauhan dia mengawasi bendera besar itu, entah berapa lama dia berdiri, berapa lama
dia mendelong mengawasi bendera itu?
Sekarang baru pelan-pelan dia menggerakkan badan. Dari ujung langit yang berpadu dengan
pasir menguning itu, tiba-tiba muncul setitik merah, bagaikan meteor jatuh sedang meluncur
mendatangi. Itulah seekor kuda gincu, seorang yang berpakaian serba merah.
Baru tiga langkah Pho Ang-soat beranjak dari tempatnya, didengarnya derap kaki kuda sudah
berada di belakangnya. Dia tidak berpaling, melangkah lagi beberapa tindak, kuda tunggangan itu
tahu-tahu sudah menerjang lewat di sampingnya.
Penunggang kuda yang berpakaian serba merah itu sudah berpaling, sepasang matanya yang
bening setajam gunting, sekilas menatap ke golok di tangannya, sigap sekali jari-jari tangannya
yang halus dan mungil itu sudah menarik kekang menghentikan lari kudanya.
Kuda yang bagus, penunggangnya pun cantik molek, namun Pho Ang-soat seolah tidak
melihatnya, kalau dia tidak sudi melihat, apa pun dianggapnya tidak terlihat.
Si cantik di atas kuda justru sedang mengawasinya dengan tajam, katanya tiba-tiba, "Kaukah
orang itu? Orang yang tidak sudi diundang oleh Hoa-siangcu?" Rupanya cantik, suaranya pun
merdu.

Pho Ang-soat tidak mendengar.
Bertaut alis si penunggang cantik ini, serunya lantang, "Kau dengar, malam nanti jika kau tidak
berani datang, kau ini kunyuk keparat, biar kubunuh kau buat umpan anjing." Cemeti di
tangannya mendadak segalak ular beracun dengan gencar melecut ke muka Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat tetap tidak melihatnya.
Tiba-tiba ujung cemeti menukik turun terus menggulung enteng, "Tar", dengan ringan saja
meninggalkan sejalur semu merah di kulit mukanya.
Pho Ang-soat tetap seperti tidak melihat dan tidak merasakan, namun jari-jarinya yang
mencekal golok otot-ototnya tiba-tiba merongkol kencang.
Terdengar si cantik di atas kuda cekikikan, serunya mengolok, "Ternyata kau ini manusia kayu."
Suara cekikikan semerdu keleningan itu semakin jauh, meninggalkan buntut debu panjang yang
menguning di angkasa, sekejap saja yang kelihatan hanya setitik merah saja.
Baru sekarang Pho Ang-soat mengangkat sebelah tangannya meraba muka yang kena cemeti
tadi, mendadak sekujur badannya bergetar dengan keras. Hanya jari-jari tangannya yang
mencekal golok saja masih kelihatan teguh dan kokoh buat tak bergeming sedikit pun.
Yap Kay masih berbangkis lagi beberapa kali. Tiada orang memperhatikan, sedikitnya hari ini
dia sudah berbangkis tiga empat puluhan kali. Tapi dia justru tidak mau pergi tidur. Dia malah
kelayapan ke timur keluyuran ke barat, memandang kiri mengawasi kanan, seolah-olah terhadap
segala sesuatu yang dipandangnya amat menarik perhatiannya Namun untuk tidur, sedikit pun
belum timbul seleranya.
Saat itu dia baru saja keluar dari sebuah toko kelontong, baru saja dia menyeberang jalan
hendak menuju ke warung di sebarang sana yang berjualan bakmi. Dia suka mengobrol dengan
berbagai orang dari berbagai kalangan, terasa olehnya setiap pemilik toko di daerah ini aneh-aneh
semua.
Bahwasanya orang yang aneh tidak lebih dan tak lain tak bukan adalah dirinya sendiri, langkah
kakinya tidak cepat, namun berlainan dengan gaya Pho Ang-soat. Walau Pho Ang-soat seorang
cacad, seorang timpang yang jalannya amat lamban, tapi di waktu berjalan badannya tetap tegap
dan lurus, laksana sebatang tonggak. Berlainan dengan Yap Kay, jalannya kemalas-malasan
seperti kurang makan dan tak punya semangat, seolah-olah tulang-tulang sekujur badannya sudah
copot semua, cukup sekali tutul kepalanya, badannya pasti akan terjungkal roboh.
Waktu dia menyeberang jalan itulah sekonyong-konyong seekor kuda tengah dibedal kencang
menerjang jalan laksana anak panah lepas dari busurnya. Itulah seekor kuda gincu warna merah
menyala, penunggangnya secantik kembang Tho, termasuk kembang Tho yang berduri.
Belum lagi kuda itu menerjang tiba di depan Yap Kay, penunggangnya sudah mengayun
cemetinya sambil membentak, "Apa kau ingin mampus? Lekas minggir!"
Dengan kemalas-malasan Yap Kay mengangkat kepala, sekilas melirik kepadanya, agaknya
untuk berkelit pun sudah amat enggan. Terpaksa si cantik menarik tali kekang sekerasnya, namun
cemeti di tangannya segera terayun dengan sengit. Kali ini dia lebih tak kenal sungkan seperti
menghadapi Pho Ang-soat tadi. Cemetinya melecut dengan keras.
Tapi dengan ayal-ayalan Yap Kay mengangkat sebelah tangannya, tahu-tahu ujung cemetinya
sudah terpegang olehnya. Seolah-olah jari-jari tangan ini bisa bermain sulap secara ajaib,
sembarang waktu dapat melakukan sesuatu yang pasti berada di luar dugaan.
Keruan merah padam selebar muka gadis baju merah ini, semerah gincu yang dia poleskan di
bibirnya. Yap Kay hanya menggunakan tiga jarinya menjepit ujung cemetinya, tapi walau dia
sudah mengerahkan setaker tenaganya, jangan harap dia bisa menarik lepas cemetinya itu.
Sudah tentu kejut dan gugup si gadis bukan main, makinya, "Kau ... apa yang kau inginkan?"

Dari ujung matanya Yap Kay mengerlingkan, sikapnya masih kemalas-malasan. "Aku hanya
ingin memberitahukan beberapa hal kepadamu."
Gadis baju merah menggigit bibir, serunya, "Tidak mau kudengar."
Berkata Yap Kay tawar, "Tidak mau dengar juga boleh, cuma seorang perawan besar kalau
sampai terjungkal jatuh dari punggung kuda, tentu merupakan tontonan gratis yang paling
menarik."
Sekonyong-konyong terasa oleh gadis baju merah segulung tenaga raksasa tiba-tiba menerjang
ke arah dirinya melalui cemetinya yang tertarik kencang ini, terasa sembarang waktu dirinya
memang bisa terjungkal roboh dari atas kuda, tak tahan segera dia berseru, "Kau ada omongan
apa? Mau kentut lekas kentut."
“Tidak pantas kau segalak ini," ujar Yap Kay tertawa, "kalau tidak galak, kau ini toh gadis cantik
yang mungil. Tapi begitu menarik muka, kau mirip induk harimau yang buruk rupa dan
membosankan."
"Masih ada apalagi?" seru gadis baju merah menahan amarah.
"Masih ada, peduli kuda gincu ini atau induk harimau, kalau menginjak orang sampai mampus,
kau harus menebus jiwa orang."
Pucat muka gadis baju merah saking dongkol, serunya penuh kebencian, "Sekarang kau boleh
lepaskan tanganmu, bukan?"
Mendadak Yap Kay tertawa, katanya, "Masih ada sebuah hal."
"Hal apa?"
"Laki-laki seperti aku ini, bertemu dengan perempuan macammu ini, kalau namamu saja tidak
kutanyakan, lalu melepasmu pergi begini saja, bukankah aku terlalu menyepelekan diriku, juga
memandang enteng dirimu juga."
Gadis baju merah mengejek dingin, "Kenapa aku harus memberitahu namaku kepadamu."
"Karena kau tidak ingin jatuh dari punggung kuda."
Roman muka gadis baju merah bersemu kuning, biji matanya tiba-tiba berputar, katanya tibatiba,
"Baik, biar kuberitahu aku bernama Bibi, she Li, nah kau sudah harus lepas tangan bukan?"
Dengan tersenyum Yap Kay melepaskan tangannya, katanya, "Bibi Li, nama ini..... Walau dia
sadar, tapi kuda dan penunggangnya sudah melonjak ke depan, terus berlari bagai mengejar
angin.
Terdengar gadis baju merah tertawa lebar di punggung kudanya, serunya, "Sekarang kau
sudah mengerti bukan, aku adalah Bibi Li dari kau cucu keparat ini." Agaknya dia kuatir Yap Kay
mengejar datang, maka setelah puluhan tombak jauhnya, tiba-tiba badannya mencelat naik
melambung tinggi bagai burung walet meluncur masuk ke dalam pintu sempit kecil di pinggir jalan
itu. seolah-olah bila dia sudah masuk ke dalam pintu sempit ini pasti tiada orang yang berani
mengganggu dan menyakiti dirinya lagi.
Delapan belas meja di dalam pintu itu masih kosong melompong Hanya sang majikan yang
aneh dan misterius itu tetap duduk di meja kecil di bawah tangga, orang itu sedang main dadu.
Hari sudah siang. Siang hari bolong tempat ini biasanya tidak pernah melayani pengunjung.
Dagangan yang diusahakan pemilik rumah ini bukan usaha terpandang dan boleh dipuji, namun
tata-tertib dan peraturan yang berlaku di sini amat keras. Maka setiap orang yang berada di sini
harus tunduk dan patuh akan peraturan ini.
Laki-laki pertengahan umur ini sudah memelihara rambut uban di kedua samping atas
telinganya, jalur-jalur keriput yang menghias mukanya itu entah mengandung pahit getir, suka ria
dan betapa banyak rahasia, namun kedua jari-jari tangannya terpelihara begitu baik laksana jarijari
seorang gadis pingitan.

Begitu mentereng pakaian yang dikenakan, boleh dikata sudah terlalu mewah, terlalu
berkelebihan. Di atas meja ada cangkir arak terbuat dari emas, arak yang terisi di dalam cangkir
berwarna kuning mengkilap seperti batu zamrud. Saat itu dia sedang meletakkan lembaran kartu
satu per satu di alas meja menjadi formasi Patkwa.
Begitu menerobos masuk gadis baju merah lantas meringankan langkahnya, pelan-pelan dia
maju menghampiri sambil menyapa, "Paman kau baik-baik saja." Begitu berada di dalam rumah
ini, gadis yang liar, binal dan nakal ini seketika berubah menjadi sopan-santun tahu aturan dan
lemah lembut.
Laki-laki itu tidak mengangkat kepala berpaling ke arahnya, cuma dengan tersenyum dia
mengangguk, sahutnya, "Duduklah!"
Gadis baju merah lantas duduk di hadapannya, seolah hendak bicara, tapi lantas dia
mengulapkan tangan, katanya, "Tunggu sebentar." Ternyata dia mau dengar kata, duduk di
tempatnya dan menunggu dengan sabar.
Laki-laki itu masih tetap mengamati kartu-kartu yang sudah berbentuk Patkwa di atas meja,
mukanya bersih dan angker, kurus rada keriput, seperti sudah kenyang tertimpa panas dan hujan,
sikapnya kelihatan amat prihatin dan perasaan semakin berat, lama kemudian baru dia
menengadah sambil menghirup napas panjang, roman mukanya yang semula cerah seketika
diliputi rasa kuatir, hilanglah selera mainnya.
Tak tahan bertanya gadis baju merah. "Benarkah dari lembaran-lembaran kartu ini kau dapat
meramalkan banyak persoalan?"
"Ehm," laki-laki itu mengangguk.
Berkedip-kedip mata gadis baju merah, "Hari ini apa saja yang dapat kau ramal?"
Laki-laki itu mengangkat cangkir emasnya, lalu menghirup seteguk, sahutnya tawar, "Ada
kalanya sesuatu urusan lebih baik tidak kau ketahui saja."
"Kalau tahu kenapa sih?"
"Rahasia alam sulit diraba, kalau kau tahu kemungkinan malah kau bisa tertimpa malapetaka."
"Kalau tahu ada petaka, bukankah bisa berusaha menghindar?"
Pelan-pelan laki-laki itu menggeleng kepala, sikapnya amat prihatin, katanya, "Setiap petaka
belum tentu selalu dapat dihindarkan, dan yang ini jelas tidak mungkin dihindari.
Lama juga gadis baju merah mengawasi kartu-kartu di atas meja itu, mulutnya menggumam,
"Kenapa aku tidak bisa melihat apa-apa dari kartumu ini?"
"Justru kau tidak melihatnya, maka aku lebih gembira dari kau."
Sesaat lamanya gadis baju merah terlongong pula, akhirnya berseri tawa, "Urusan ini aku tidak
peduli, aku hanya ingin tanya kau, malam ini kau datang ke rumah kami tidak?"
"Malam ini?" laki-laki ini mengerut kening.
"Ayah bilang, nanti malam ayah ada mengundang beberapa tamu yang istimewa, maka beliau
pun ingin mengundang paman hadir dalam perjamuan kecil itu, sebentar lagi kereta akan datang
menjemput."
Laki-laki itu termenung sebentar, katanya, "Mungkin lebih baik aku tidak hadir saja."
Cemberut muka gadis baju merah, katanya, "Sebenarnya ayah juga tahu kau tidak akan mau
menerima undangannya, tapi dia menyuruh aku kemari, susah-susah aku kemari malah di tengah
jalan aku digoda oleh setan cilik, hampir saja aku mati saking jengkel."
Terdengar seorang menanggapi dengan tertawa, "Setan kecil tak pernah menggoda bibi centil,
malah bibi centil hendak menendang mampus setan cilik."

Gadis baju merah seketika menjublek di tempatnya. Entah sejak kapan Yap Kay datang dengan
kemalas-malasan ia menggelendot di depan pintu, cengar-cengir mengawasi dirinya. Seketika
berubah roman muka di gadis, "Berani kau terobosan kemari?"
"Yang tidak boleh terobosan ke tempat seperti ini bukan aku, tapi adalah kau."
Gadis baju merah membanting kaki, serunya, "Paman, tidak lekas kau usir dia keluar, coba kau
dengar apa-apaan ucapannya itu."
Laki-laki itu tertawa, katanya, "Hari hampir gelap, lekas kau pulang saja, supaya ayahmu tidak
gelisah menunggu kau pulang."
Kembali gadis baju merah melongo, tiba-tiba dia membanting kaki sekeras-kerasnya terus
menerobos lewat di samping Yap Kay. Langkahnya terlalu tergesa-gesa, hampir saja dia
tersungkur jatuh kesandung palang pintu.
Yap Kay tertawa geli, katanya, "Bibi centil berjalanlah dengan baik, kalau sampai tersungkur
mampus, tiada orang yang bisa mengganti jiwamu lho."
Gadis baju merah terus menerjang keluar, "Blang", daun pintu dia tutup sekeras-kerasnya, tibatiba
dia menarik daun pintu sedikit terbuka dan menongolkan kepala ke dalam sambil mengolokolok,
"Terima kasih atas perhatian cucu baik, bibi kamu takkan mati terjatuh."
Habis kata-katanya daun pintu ditutup pula sekeras-kerasnya, terdengar seruan panggilan di
luar pintu, disusul derap kuda berlari mendatangi, sebentar berhenti di depan pintu, kejap lain
suaranya sudah menghilang di ujung jalan.
Yap Kay menghela napas, mulutnya menggumam dengan tertawa getir, "Kuda gincu yang
jempolan, induk harimau yang cantik pula."
Laki-laki itu tiba-tiba menyeletuk dengan tertawa, "Hanya separo benar kata-katamu."
"Yang mana tidak benar?"
"Orang-orang di sekitar sini memberi julukan kepada kuda dan pemiliknya itu, orangnya digelari
harimau gincu, kudanya dijuluki budak gincu."
Yap Kay tertawa.
Laki-laki itu melanjutkan, "Dia itulah puteri tunggal tuan rumah yang akan mengadakan
perjamuan nanti malam."
Yap Kay kaget, serunya, "O, jadi dia ini puteri Sam-lopan dari Ban-be-tong?"
Laki-laki itu manggut-manggut, sahutnya tersenyum, "Maka kuanjurkan nanti malam kau harus
lebih hati-hati, jangan sampai pahamu itu tergigit oleh harimau gincu itu."
Yap Kay tertawa lebar, mendadak dia dapati laki-laki di hadapannya ini berjiwa lapang terbuka
seperti lahirnya yang sebatang kara dan misterius, maka dia bertanya, "Siapakah sebenarnya
nama Sam-lopan itu?"
"She Be, Be Hong-ling."
"Be Hong-ling, kenapa dia pakai nama perempuan?"
"Ayahnya bernama Be Khong-cun, puterinya bernama Be Hong-ling." Sepasang matanya yang
tajam seolah-olah bisa menembus hati orang sedang mengawasi Yap Kay, katanya pula sambil
tersenyum, "Yang benar kau ingin ketahui tentunya bukan nama ayahnya, tapi nama harum
puterinya."
Yap Kay bergelak tawa, serunya, "Semoga tuan rumah yang mengadakan perjamuan nanti
malam, seperti juga pemilik tempat ini senang humor dan gampang mulut, tidak sia-sia Yap Kay
menempuh perjalanan ini."
"Yap Kay?"

"Benar, Yap berarti daun, Kay berarti terbuka atau boleh juga diartikan senang dan riang."
"Benar-benar sesuai namanya dengan pribadi orangnya." "Lalu siapakah nama majikan di sini?"
Laki-laki itu menepekur sebentar, sahutnya, "Cayhe Siau Piat-li."
"Siau bunyi daun terhembus angin, Piat berarti berpisah, Li berarti rawan, apa benar begitu
maksudnya?" tanya Yap Kay.
"Apakah tuan merasa namaku ini mengandung firasat jelek?" tanya Siau Pait-li.
"Firasat jelek belum tentu, cuma ... lapat-lapat membuat orang merasa hambar dan menusuk
perasaan saja."
"Tiada perjamuan yang tak bubar di dunia ini, kehidupan manusia takkan bisa selamanya tidak
akan berpisah dalam suasana yang menyedihkan, kelak tentunya tuan akan pergi meninggalkan
tempat ini, kenapa pula Cayhe tidak akan demikian, maka kalau mau dipikirkan secara seksama,
namaku inipun terlalu umum sekali."
Yap Kay bergelak tawa pula, ujarnya, "Tapi sejak zaman dulu kala, hanya berpisahanlah yang
sering mengakibatkan jiwa melayang, tapi tuan menggunakan nama yang amat mengetuk hati
orang, sudah seharusnya kau paham akan segalanya."
Siau Piat-li ikut tertawa lebar, katanya, "Benar, memang harus paham segalanya." Lalu
ditenggaknya habis secangkir araknya, mengawasi cangkir yang dipegangnya, terlongong sekian
lama dan mendadak berkata pula keras "Sebenarnya dalam kehidupan manusia umumnya,
peristiwa yang benar-benar dapat mengetuk sukma orang bukan hanya perpisahan saja, namun
adalah berkumpul."
"Berkumpul?"
"Kalau tidak berkumpul, masakah ada perpisahan?" Lama mulut Yap Kay komat-kamit, akhirnya
menghela napas, mulutnya mengigau, "Benar, kalau tak berkumpul, mana bisa berpisah ...? Kalau
tidak berkumpul, mana mungkin harus berpisah.....?” Berulang kali dia senandungkan katakatanya
ini, seperti orang linglung lagaknya.
"Oleh karena itu tuan pun salah, maka seharusnya kau pun sudah paham akan selanjutnya."
Yap Kay maju menghampiri, menuang arak terus ditenggaknya habis sekali tegukan, kembali
mukanya berseri riang, katanya, "Jikalau tiada kesalahan tadi, masakah ada secangkir arak ini?
Oleh karena itu kesalahanmu itu sendiri ada kalanya juga bermanfaat."
Tiba-tiba derap roda kereta dan ringkik kuda mendatangi, akhirnya berhenti di luar pintu.
Siau Piat-li menarik napas panjang, katanya, "Baru saja bicara soal berpisah, agaknya memang
sudah tiba saatnya berpisah, kereta dari Ban-be-tong sudah datang menyambut tamunya."
"Tapi kalau tiada perpisahan, masakah bisa berkumpul?" Yap Kay meletakkan cangkir dengan
tertawa, tanpa berpaling lagi dengan langkah lebar dia beranjak keluar.
Mengawasi langkah orang menghilang di luar pintu, Siau Piat-li menggumam seorang diri,
"Kalau tiada perpisahan, masakah bisa berkumpul pula? Cuma harus disayangkan, ada kalanya
suatu perpisahan selamanya takkan bisa berkumpul kembali.
Sebuah kereta besar warna hitam dengan delapan kuda yang berjajar memanjang dua-dua
berhenti di depan pintu. Warna hitam yang gelap mengkilap, seseorang berdiri tegak menyambut
kedatangan tamu. pakaiannya serba putih sebersih salju Di atas kereta ada tertancap miring
selembar bendera sutra putih dengan tulisan "Kwan-tang-ban-be-tong" dari tulisan merah darah
yang menyolok.
Baru saja Yap Kay menghampiri, orang baju putih segera menjura sambil menyapa dengan
tertawa, "Tuan tamu yang tiba pertama kali, silakan naik ke atas kereta." Usia orang ini lebih
muda dari Hoa Boan-thian, namun sekitar empat puluhan tahun, mukanya bulat, kulitnya putih

halus memelihara sedikit kumis dan jenggot, tanpa tertawa orang yang memandang mukanya
sudah akan merasa simpatik dan ingin berkenalan padanya.
Mengawasi orang, Yap Kay bertanya, "Kau sudah kenal aku?"
"Cayhe belum kenal."
"Kalau belum kenal, darimana kau tahu kalau aku salah satu tamu dari Ban-be-tong kalian?"
Laki-laki baju putih ini tertawa, katanya, "Tuan baru saja datang, namun kegagahan tuan sudah
tersebar luas di seluruh pelosok kota, apalagi kalau bukan seorang Enghiong seperti tuan,
masakah kau bisa mengenakan kembang mutiara milik perempuan tercantik di seluruh jagat ini?"
"Kau kenal akan asal-usul kembang mutiara ini?"
"Semula kembang mutiara ini adalah aku yang memberikan," sahut orang baju putih, tanpa
memberi kesempatan Yap Kay bicara, tiba-tiba dia menghela napas dan menyambung dengan
tertawa getir, "Cuma harus dibuat sayang, meski aku ini menganggap diriku terlalu romantis, toh
aku belum berhasil mendapat hadiah senyuman manis dari si cantik itu."
Yap Kay tertawa, katanya menepuk pundak orang, "Dulu aku pun pernah disanjung oleh orang,
tapi baru pertama kali ini selama hidupku aku mendapat puji sanjung sedemikian menggembirakan
hati."
Bilik kereta itu lebar, bersih dan nyaman, sedikitnya bisa memuat duduk delapan orang Tapi
sekarang hanya Yap Kay seorang yang berada di dalamnya.
Waktu bertemu dengan Hoa Boan-thian tadi dia sudah merasa Ban- be-tong merupakan sarang
naga gua harimau, setelah melihat laki-laki baju putih yang ini lebih besar keyakinannya, bukan
saja pihak Ban-be-tong pandai menilai orang, mereka pun pandai menempatkan seseorang pada
jabatan yang sesuai. Siapa saja kalau bisa mendapat pembantu orang seperti ini dalam
menunaikan tugasnya dengan tak kenal lelah dan setia, maka orang itu tentulah seorang tokoh
yang luar biasa.
Pikiran Yap Kay jadi ingin lekas-lekas tiba di sana, ingin melihat dan berhadapan orang macam
apakah sebenarnya Sam-lopan itu, maka tak tahan dia bertanya, "Mana tamu-tamu yang lain?"
"Kabarnya ada seorang tamu lain tuanlah yang menanggung kedatangannya," sahut laki-laki
baju putih ini.
"Kau tidak usah kuatir, orang ini pasti akan hadir, malah kutanggung dia akan bekerja menurut
caranya sendiri, yang kutanya adalah empat tamu yang lain."
Laki-laki baju putih ini termenung, sahutnya kemudian, "Sekarang seharusnya mereka sudah
tiba."
"Tapi kenyataan mereka sekarang belum datang."
Tiba-tiba laki-laki baju putih ini tertawa pula, katanya, "Oleh karena itu kami tidak perlu
menunggu yang harus datang, mereka akan berangkat sendiri."
Tabir malam sudah menjelang. Padang rumput nan belukar ini kelihatan sepi, lebih luas dan
besar. Bendera Ban-be-tong sudah tertelan kegelapan malam yang tak menentu ujung rimbanya.
Laki-laki baju putih duduk di hadapan Yap Kay, mukanya dihiasi senyuman lebar. Senyuman
mekar di mukanya kelihatannya selalu tidak akan pudar dan tak pernah merasa lelah. Derap kaki
kuda membuka kesunyian laksana bunyi guntur di kejauhan.
Tiba-tiba Yap Kay menghela napas, katanya, "Kalau malam ini hanya aku seorang yang hadir
dalam pesta undangan ini, mungkin selanjutnya aku tidak akan bisa pulang ke rumah lagi."
Orang baju putih seperti tertusuk perasaannya, namun dia tetap tersenyum dibuat-buat, "Ah,
mana boleh berkata begitu?"

"Kabarnya di dalam Ban-be-tong ada disimpan tiga ribu gantang arak paling bagus, kalau hanya
aku seorang saja yang menghabiskan, bukankah aku bisa mampus terlalu banyak minum air katakata?"
"Untuk hal ini tuan boleh tidak usah kuatir, di dalam Ban-be-tong tidak sedikit jago-jago minum
yang punya takaran besar, umpama saja Cayhe sendiri suka menemani tuan minum beberapa
cangkir."
"Kalau benar banyak jago-jago silat tangguh di dalam Ban-be-tong, maka jiwaku jelas takkan
selamat lagi."
Senyuman laki-laki baju putih kelihatan seperti kaku sebentar, katanya, "Setan arak sih
memang ada, mana ada jago-jago silat kosen segala?"
"Yang kumaksud memangnya jago-jago dalam minuman keras, begitu banyak orang di sana
kalau satu per satu mereka mengajak aku minum, luar biasa sekali bila aku tidak mabuk sampai
mati."
"Tujuan Sam-lopan mengundang tuan tidak lebih hanya sekedar berkenalan dan bersahabat
dengan Enghiong sejati, meski beliau menyuruh orang menyuguh arak, tidak lebih hanya sekedar
basa-basi belaka, masakah para tamu dilolohnya sampai mabuk."
"Tapi aku toh merasa takut juga."
"Takut apa?"
"Takut kalian meloloh aku," ujar Yap Kay tertawa.
Laki-laki baju putih ikut tertawa. Tepat pada saat itulah di tengah padang rumput nan luas
terbuka itu lapat-lapat seperti kedengaran semacam lagu nyanyian yang aneh, nyanyian sedih dan
memilukan seperti orang menangis dan meratap, mirip pula doa kutukan yang amat janggal
kedengarannya, tapi setiap patah kata nyanyiannya kedengaran dengan jelas:
"Langit bergoncang, bumi bergetar.
Mata mengalirkan darah, bulan tidak bersinar.
Sekali masuk Ban-be-tong.
Golok memotong pisau, manusia putus ususnya!
Langit bergoncang, bumi bergetar.
Air mata bagai darah, orang putus ususnya.
Sekali masuk Ban-be-tong, jangan harap kau bisa pulang ke kampung halaman."
Begitu pilu dan seperti ratapan jiwa, terasa suara nyanyian ini bergema di udara terbuka di
tengah padang rumput nan luas ini, seolah-olah mengandung doa kutukan, seperti pula setan
gentayangan yang sedang meratapi nasibnya di tengah malam buta.
Lama kelamaan berubah air muka orang baju putih, mendadak dia mengulur tangan membuka
daun jendela, katanya, "Maaf, permisi sebentar." Belum habis kata-katanya, badannya sudah
menerobos keluar lewat jendela, sekali berkelebat bayangannya telah menghilang entah kemana.
Kusir kereta segera mengayun cambuknya, "Tar!", kedelapan kuda penarik kereta meringkik
bersama, serempak menghentikan langkah dan kereta pun berhenti.
BAB 3. GOLOK TAK TAJAM, MANUSIA TANPA PERASAAN
Begitu melesat tiga tombak jauhnya, ujung kaki laki-laki baju putih menutul bumi dengan gaya
It-ho-jiong-thian (burung bangau menjulang ke langit), bagai seekor belibis badannya melambung
tinggi meluncur ke depan sana.

Tegalan belukar di tengah padang rumput sepi hening, di tengah kegelapan malam, melulu
kelihatan reflek sinar pasir kuning yang kemilau, mana ada bayangan manusia. Gema suara
nyanyian yang memilukan itu seolah-olah masih mengalun terbawa angin lalu.
Angin badai sedang menderu. Terdengar suara laki-laki baju putih tengah membentak di
kejauhan sana, "Agaknya saudara sengaja hendak cari gara-gara, kenapa tidak berani muncul."
Suaranya rendah dan berat, tapi tenaganya penuh dan berisi, setiap patah katanya bergelombang
terdengar sampai jauh. Lenyap beberapa patah kata-katanya itu kembali laki-laki baju putih ini
sudah berlompatan dengan tangkasnya puluhan tombak jauhnya, tahu-tahu bayangannya sudah
menyelinap hilang ke dalam semak belukar di pinggir jalan sana.
Angin menghembus sehingga rumput-rumput liar itu tertiup menari-nari laksana deru ombak
samudra yang mengalun turun naik. Tak kelihatan bayangan orang, juga tidak mendapat jawaban.
Laki-laki baju putih menjengek dingin, "Baik, asal kau sudah berada di sini, coba buktikan sampai
kapan kau bisa menyembunyikan diri." Lalu dia menengadah melihat cuaca, badannya tiba-tiba
bersalto mundur, beruntun tujuh delapan kali lompatan, sigap sekali badannya sudah meluncur
turun di pinggir kereta.
Yap Kay masih duduk di dalam kereta dengan menggelendot kemalas-malasan, jari-jarinya
mengetuk-ngetuk berirama dinding kereta, sementara mulutnya menirukan nyanyian itu, Begitu
masuk Ban-be-tong, golok memotong pisau, orang putus ususnya, jangan harap bisa pulang ke
kampung halaman ..." Matanya terpicing, mukanya seperti tersenyum simpul, seolah-olah dia amat
tertarik dan sedang menikmati baik-baik syair lagu ini.
Setelah membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam kereta, laki-laki baju putih mengunjuk
tawa dibuat-buat, katanya, "Entah orang gila darimana yang sembarang menyanyikan lagu sinting.
Harap tuan jangan percaya begitu saja."
"Peduli benar atau tidak arti nyanyiannya ini, sedikit pun tidak ada sangkut-pautnya dengan
aku, kudengar atau tidak bukan menjadi soal."
"Oh?" laki-laki baju putih bersuara dalam tenggorokan.
"Coba lihat," kata Yap Kay lebih lanjut sambil menepuk-nepuk badannya. "Bukan saja aku tidak
membawa golok, ususku mungkin sudah luluh dan membusuk oleh kerasnya arak, apalagi aku
sudah berkelana sampai di ujung langit, empat lautan menjadi rumahku, hakikatnya aku tidak
punya kampung halaman, jika Sam-lopan betul-betul hendak menahan aku di Ban-be-tong,
memangnya kebetulan malah bagi aku."
Laki-laki baju putih bergelak tawa, katanya, "Tuan memang seorang yang lapang dada, periang
dan suka humor, orang lain terang tak bisa memadai."
Yap Kay mengedip-ngedipkan matanya, katanya tersenyum, "Yan hong hwi ho Hun Cay-thian
memiliki tiga macam Ginkang tunggal yang tiada taranya, bukankah sama saja tiada orang lain
yang bisa memadai?"
Sekilas laki-laki baju putih ini melongo, lekas sekali dia sudah bergelak tertawa, serunya,
"Puluhan tahun sudah orang she Hun menyingkir dari kalangan Kangouw, sungguh tak nyana
sekali pandang tuan masih bisa mengenali diriku, sungguh pandangan yang tajam luar biasa."
"Pandanganku memang tidak begitu baik, tapi Tui-jian-tui-gwat-hwi hun sek (gaya mendorong
jendela mencapai bulan mega terbang), It ho ciong thian-koan-hun-sek (bangau menjulang ke
langit menonton awan) dan Pat poh kan sian cui hun sek (delapan langkah mengejar tonggeret
mengudak mega). Ginkang puncak tinggi yang jarang terlihat di kalangan Kangouw, aku masih
bisa membedakannya dengan baik."
"Ah, sungguh harus disesalkan," ujar Hun Cay-thian (mega di atas langit).
"Kepandaian selihai itu kalau masih harus disesalkan, rasanya Cayhe harus melompat turun dari
kereta ini untuk bunuh diri saja."

Berkilat biji mata Hun Cay-thian, katanya, "Tuan masih semuda ini, tapi bukan saja punya
pengalaman dan pengetahuan yang luar biasa, malah berbagai ilmu silat dari berbagai cabang dan
golongan dapat diketahui dengan baik, sebaliknya sampai detik ini Cayhe masih belum tahu sedikit
pun asal-usul tuan, bukankah harus disesalkan?"
"Memangnya aku ini gelandangan yang menjadikan empat lautan sebagai tempatku berteduh,
jika tuan bisa mengetahui asal-usulku, barulah boleh terhitung aneh."
Hun Cay-thian sedang menepekur masih ingin dia mengajukan pertanyaan, mendadak dari luar
didengarnya tiga kali ketukan pintu entah siapa yang mengetuk pintu di luar.
"Siapa?" bentak Hun Cay-thian.
Tiada penyahutan, tapi dari luar kembali terdengar ketukan pintu tiga kali.
Hun Cay-thian mengerut alis, mendadak dia mendorong terbuka pintu kereta. Pintu kereta
terpentang dengan menjeblak lebar, semak-semak belukar di pinggir jalan seperti terbang mundur
ke belakang, umpama orang-orangan dari kertas pun takkan mungkin bisa tergantung di luar
pintu, apalagi badan manusia yang masih hidup.
Tapi hanya manusia yang masih hidup saja yang bisa mengetuk pintu.
Dengan muka bersungut Hun Cay-thian menjengek dingin, "Hanya manusia yang paling goblok
saja sudi melakukan perbuatan tak sopan ini."
Dia sudah hendak menarik daun pintu, sekonyong-konyong sebuah tangan semampai turun
dari atap kereta. Sebuah tangan yang kurus kering berwarna kekuningan, jari-jari tangannya
malah mencekal sebuah mangkuk pecah.
Maka terdengarlah suara aneh melengking bukan laki-laki bukan perempuan berkata di atap
kereta, "Ada arak tidak, lekas tuang secawan untukku, aku sudah hampir mampus kekeringan."
Setelah melihat tangan ini, ternyata Hun Cay-thian malah tertawa, katanya, "Untung di dalam
kereta ada kusimpan arak, kenapa Loh-siansing tidak turun saja?"
Pelan-pelan dua kaki yang berlepotan lumpur yang mengenakan sepatu rumput yang sudah
rombeng dan berlubang alasnya, tengah bergoyang-gontai mengikuti gerakan kereta yang
berguncang di tengah jalan raya.
Yap Kay jadi kuatir, takut orang ini terpeleset jatuh dari atap kereta. Tak nyana tiba-tiba
bayangan orang berkelebat, tahu-tahu orang itu sudah berada di dalam bilik kereta, dengan tegak
dan lurus duduk di hadapan Yap Kay.
Matanya berkedip-kedip setengah mengantuk setengah mabuk, dengan acuh tak acuh
mengawasi Yap Kay.
Sudah tentu Yap Kay pun sedang mengawasi dia. Tampak orang ini mengenakan pakaian jubah
Siucay, bukan saja dicuci bersih, malah tidak kelihatan ada tambalan. Dipandangnya dulu
tangannya, lalu beralih ke kakinya, siapa pun takkan menyangka orang bisa mengenakan pakaian
seperti itu. Semakin dipandang, Yap Kay merasa orang ini sungguh lucu dan menarik.
Loh-siansing ini mendadak melotot, katanya, "Kenapa kau menatap aku? Kau kira bajuku ini
hasil curian?"
Yap Kay tertawa, sahutnya, "Kalau benar hasil curian, tolong kau beritahu dimana tempatnya,
biar aku pun ke sana mencuri sepotong."
Loh-siansing masih melotot, tanyanya, "Sudah berapa lama kau tak pernah salin pakaian?"
"Belum begitu lama, kira-kira belum tiga bulan!"
Seketika bertaut alis Loh-siansing, katanya, "Tak heran di sini seperti ada bau udang busuk
yang menyesakkan napas."
Yap Kay balas bertanya, "Berapa hari kau salin pakaian?"

"Berapa hari baru salin pakaian? Celaka dua belas, setiap hari sedikitnya aku salin dua tiga
kali."
"Kalau mandi?"
"Kalau mandi memang berabe," kata Loh-siansing sungguh-sungguh, "aku tidak sembarang
mencuci badan."
"Kau ini umpama botol baru diisi arak baru, sebaliknya aku ini bagai botol lama diisi arak baru,
jadi kami berdua boleh dikata setahil tiga uang, kenapa pula harus dibedakan antara kau baru dan
aku lama, kau wangi atau aku busuk?"
Lama juga Loh-siansing mengamatinya, tiba-tiba biji matanya jelilatan, mendadak berjingkrak
bangun, serunya lantang, "Bagus sekali, lucu benar, perumpamaanmu memang tepat, kau ini
tentu seorang sekolahan yang pintar, hayolah, lekas keluarkan araknya, setiap kali berhadapan
dengan anak sekolahan, kalau tidak minum dua cangkir, tentu aku bisa jatuh sakit keras."
Hun Cay-thian tersenyum, katanya, "Mungkin kalian memang belum kenal, Loh-siansing adalah
tokoh kenamaan dari Bu-tong, orang Kangouw yang paling kenyang duduk di bangku sekolahan
pula, nama aslinya Loh Loh-san Loh-toasiansing."
"Cayhe Yap Kay," Yap Kay memperkenalkan sendiri.
"Aku pun tidak peduli kau ini Yap Kay atau Yap Pit, cukup asal kau ini orang sekolahan yang
pintar, biar kuiringi kau minum tiga cangkir."
"Jangan kata hanya tiga cangkir, tiga ratus cangkir juga boleh."
"Benar, hanya seorang ahli yang sekali minum bisa menghabiskan tiga ratus cangkir, janganlah
sia-siakan kesempatan sebaik ini, mana araknya, hayolah!"
Dari bawah tempat duduk yang tersembunyi Hun Cay-thian mengeluarkan dua buah guci arak,
katanya tertawa, "Sam-lopan sedang menunggu, harap Loh-siansing jangan mabuk dulu di atas
kereta ini."
Mendelik mata Loh Loh-san, katanya, "Peduli amat dengan Sam-lopan atau Su-lopan, yang
kuhormati bukan Lopan (majikan), aku hanya sungkan terhadap anak sekolahan yang pintar,
marilah kita habiskan secangkir dulu!"
Baru tiga cawan masuk perut, mendadak "Trang", cawan rongsokan itu tiba-tiba jatuh
menggelundung ke pojok kereta. Waktu Hun Cay-thian berpaling, dilihatnya Loh Loh-san sudah
meliuk lemas meringkuk di atas tempat duduknya, ternyata sudah mabuk.
Tak tertahan Yap Kay tertawa geli, katanya, "Laki-laki ini cepat benar mabuknya."
“Tahukah kau, laki-laki ini masih punya sebuah nama yang lain, yaitu Sam-bu Siansing."
"Apa Sam-bu Siansing?"
"Hidung belang tapi tidak punya keberanian, senang arak tidak punya takaran, suka judi
selamanya tidak pernah menang, serba tidak maka dinamakan Sam-bu, maka ia sendiri lantas
menamakan dirinya Sam-bu Siansing," demikian Hun Cay-thian menerangkan.
"Kalau dia memang seorang sekolahan yang romantis apa sih halangannya? Tiada ruginya juga
dia punya nama itu."
"Sungguh tak nyana tuan pun bisa sejiwa dan sepandangan dengan laki-laki ini."
Yap Kay mendorong daun jendela, katanya sambil menarik napas, "Sampai kapan baru kita
akan sampai di Ban-be-tong?"
"Sekarang sudah tiba?"
Yap Kay melongo, katanya, "Masakah sekarang sudah sampai?" "Belum sampai kelewatan, di
sini pun sudah merupakan perbatasan milik Ban-be-tong."

"Berapa sih besarnya Ban-be-tong?"
Hun Cay-thian tertawa, ujarnya, "Meski tidak begitu besar, tapi dari umur ke barat, umpama
kau naik kuda yang paling cepat dan membedalnya sekencang mungkin, dari pagi-pagi kau
berangkat sampai hari magrib baru kita akan tiba di ujung barat sana."
Yap Kay menghela napas, "Kalau begitu apakah Sam-lopan hendak mengajak-kami-makan
nyamikan pagi."
"Tempat penyambutan Sam-lopan berada tak jauh di depan sana," sahut Hun Cay-thian.
Memang di tengah hembusan angin malam yang sepoi-sepoi dari kejauhan sayup-sayup sudah
terdengar suara ringkik kuda dari perbagai penjuru. Bila kau melongok keluar melalui jendela, di
tempat nan jauh sana sudah kelihatan cahaya api di depan sana. Tempat penyambutan atau
perjamuan Ban-be-tong, tentunya di tempat yang diterangi cahaya api itu.
Cahaya api terang benderang, kereta berhenti di depan sebuah pagar kayu. Pagar kayu setinggi
tiga tombak. Bagian dalam yang dikelilingi pagar tinggi ini merupakan bangunan rumah-rumah
yang luas dan besar, entah berapa banyak.
Sebuah pintu gerbang berdiri megah di kegelapan malam, tiang bendera yang berdiri tegak di
belakang pintu gerbang ini entah berapa pula tingginya. Tapi bendera di pucuk tiang sudah
diturunkan.
Dua baris laki-laki berseragam putih berjajar di dua samping pintu gerbang, empat orang di
antaranya tersipu-sipu memburu maju membuka pintu.
Begitu menginjakkan kaki di atas bumi, Yap Kay langsung menggeliat sambil menghirup napas
sedalam-dalamnya, matanya lantas dijelajahkan ke sekelilingnya, terasa betapa megah dan luas
bangunan di sini, sekali-kali takkan bisa dibayangkan oleh seorang penduduk kota di daerah luar
perbatasan di sini.
Hun Cay-thian menghampiri ke dekatnya, katanya tersenyum, "Bagaimana menurut pendapat
tuan mengenai tempat ini?"
"Aku hanya merasa seorang laki-laki sejati memang harus mempunyai pambek, Sam-lopan bisa
memiliki apa yang dia miliki sekarang, memang tidak sia-sialah hidupnya."
"Memangnya seorang yang luar biasa, tapi bisa mendapatkan apa ying dia miliki sekarang,
memangnya bukan suatu perjuangan yang gampang "
Yap Kay manggut-manggut, tanyanya pula, "Bagaimana dengan Loh-siansing?"
"Dia sudah roboh, tak bisa berjalan lagi."
Berkilat biji mata Yap Kay, mendadak dia tertawa pula, katanya, "Untungnya tamu yang naik
kereta ini bukan hanya kami berdua saja."
"Oh?" Hun Cay-thian melengak heran.
Yap Kay sudah maju ke sana, menepuk pundak kusir kereta yang sedang menyeka keringat di
depan kereta, katanya tersenyum, "Tuan terlalu capai!"
Kusir ini melengak, katanya mengunjuk tertawa, "Memangnya ini kerjaan Siaujin yang harus
dilakukan."
Kata Yap Kay, "Sebetulnya kau kan bisa duduk di dalam kereta dengan nikmatnya, kenapa
harus merendahkan diri dan menghabiskan tenaga."
Sesaat lamanya kusir ini melongo, mendadak dia tanggalkan topi rumputnya, terus bergelak
tawa sambil menengadah, "Bagus, memang pandanganmu tajam, sungguh kagum, sungguh
kagum."
"Di saat kereta berhenti sebentar di tengah jalan tadi, tuan bisa menerobos keluar dari bawah
kereta, menutuk Hiat-to kusir kereta, terus dilempar ke semak-semak di pinggir jalan, serta

menelanjangi pakaian untuk kau pakai sendiri, betapa cepat gerak-gerikmu, rapi bekerja, sungguh
harus dibuat kagum."
Kusir kereta ini kembali melengak, tanyanya, "Darimana kau tahu siapa aku ini?"
"Di kalangan Kangouw kecuali kau Hwi thian ci cu (laba-laba terbang), siapa pula yang
mempunyai gerakan selincah dan secepat itu, sungguh patut dibuat kagum."
Dengan tertawa lebar, Hwi thian ci cu segera mencopot jubah putihnya terus dibuang, maka
tampaklah seragam pakaiannya yang hitam ketat, langsung dia menghampiri Hun Cay-thian serta
menjura, katanya, "Cayhe hanya sekedar main-main saja, harap Hun siangcu tidak ambil di hati."
"Tuan sudi datang, berarti sudah memberi muka kepadaku. Silakan!"
Tatkala itu Loh Loh-san sudah digotong dua orang turun dari kereta dan dibawa masuk ke
dalam.
Setelah menjura, Hun Cay-thian berjalan di depan menunjukkan jalan, hngsung mereka
melewati sebuah pekarangan besar dan luas. Dua daun pintu besar dari kayu putih yang
menghadang jalan mereka, tiba-tiba terbuka dengan mengeluarkan suara keriutan.
Sinar lampu menyorot keluar dari sebelah dalam, tampak seseorang berdiri tegak di ambang
pintu, seolah-olah seluruh badannya sudah sesak menghadang di depan pintu besar ini.
Perawakan Yap Kay tidak terhitung rendah, tapi dia harus mendongak baru bisa melihat jelas
tampang orang ini. Ternyata orang berjambang-bauk lebat, pakaiannya serba putih, pinggangnya
mengenakan sabuk kulit hitam lebar satu kaki, di dalam sabuknya ini terselip miring sebatang
golok melengkung besar yang berbentuk aneh warna hitam legam, tangan kanannya sedang
menggenggam sebuah cangkir arak. Dalam genggaman tangannya, cangkir itu tidak besar, tapi
kalau lain orang belum tentu cukup memeganginya dengan kedua tangannya.
Lekas Hun Cay-thian melangkah ke depan, sapanya tertawa, "Mana Sam-lopan?"
Laki-laki jambang-bauk ini menyahut, "Sedang menunggu, tamunya sudah datang semua?"
Siapa pun bila pertama kali mendengar suara bicaranya, pasti akan berjingkrak kaget, waktu
ucapan pertama keluar dari mulutnya, serasa seperti bunyi guntur di pagi hari, begitu keras
sampai telinga orang terasa mendengung.
"Tiga orang tamu sudah datang lebih dulu," sahut Hun Cay-thian.
Tegak alis laki-laki raksasa ini, tanyanya bengis, "Mana yang tiga lagi?"
"Mungkin sebentar sudah tiba."
Laki-laki raksasa ini manggut-manggut, katanya, "Aku bernama Kongsun Toan, aku ini orang
kasar, kalian silakan masuk." Sesuai dengan namanya 'Toan' atau putus, kata-katanya pun
diucapkan dengan terputus-putus.
Di belakang pintu atau di sebelah laki-laki raksasa ini adalah sebuah pintu angin yang besar dan
lebar terbuat dari kayu putih pula, tingginya hampir dua tombak, bukan saja tidak diberi lukisan,
juga tiada huruf-huruf yang tertulis di atasnya, tapi kelihatan mengkilap karena dicuci bersih.
Baru saja Yap Kay dan lain-lain memasuki pintu, mendadak terdengar derap lari kuda yang
ramai mendatangi, sembilan ekor kuda tengah membedal datang dari kegelapan malam di luar
sana. Begitu tiba di luar pagar kayu itu, penunggangnya memiringkan badan dan mengangkat
sebelah kakinya, tahu-tahu badannya sudah melompat turun di atas tanah, bukan saja gerakan
penunggang dan kudanya rapi dan serasi, sampai pun dandanan mereka pun seragam.
Kesembilan orang ini sama mengenakan topi berhias warna kuning emas, jubah panjang
dengan warna abu-abu mulus, di pinggang masing-masing menyoreng pedang panjang, gagang
pedangnya ditaburi berlian yang kemilau, cuma satu di antara sembilan orang ini pinggangnya
mengenakan sabuk emas, pangkal pedangnya dihiasi sebutir Ya-bing-cu (mutiara yang bersinar di
malam hari) sebesar kelengkeng.

Sembilan orang ini adalah pemuda-pemuda ganteng dan gagah, semua berperawakan tegap
dan kekar, sikapnya angker dan berwibawa, di antara delapan pemuda yang lain, dengan
membusungkan dada berbondong mereka melangkah masuk. Kata pemuda bersabuk emas itu
dengan tersenyum, "Cayhe datang sedikit terlambat, mohon maaf, mohon maaf."
Mulutnya mohon maaf, tapi raut mukanya amat angkuh, siapa pun yang melihat mimik
mukanya akan tahu hakikatnya, hatinya sedikit pun tak ingin mohon maaf. Setelah melewati
pekarangan lebar itu, sembilan orang ini langsung menuju pintu besar dari kayu putih itu.
Kongsun Toan mendadak membentak seperti geledek, "Siapa yang bernama Buyung Bing-cu?"
Pemuda perlente yang bersabuk emas itu bertolak pinggang, matanya memandang ke atas,
sahutnya dingin, "Inilah aku."
Berkata Kongsun Toan bengis, "Sam-lopan hanya mengundang kau seorang, suruh
pengawalmu ini mundur keluar."
Berubah air muka Buyung Bing-cu, katanya, "Mereka tidak boleh masuk?"
"Tidak boleh."
Seorang pemuda yang dekat di belakang Buyung Bing-cu meraba gagang pedangnya seperti
hendak mencabut senjata. Mendadak sinar kilat berkelebat, belum lagi pedangnya tercabut keluar,
tahu-tahu sudah tertabas kutung menjadi dua berikut sarungnya oleh golok sabit Kongsun Toan.
Cepat sekali golok Kongsun Toan sudah kembali ke dalam sarungnya, bentaknya bengis, "Siapa
berani main senjata di Ban-be-tong, pedang ini sebagai contohnya."
Berubah hijau, pucat dan merah padam rona muka Buyung Bing-cu, mendadak tangannya
menampar balik ke belakang, menggampar pipi pemuda itu, bentaknya gusar. "Siapa suruh kau
melolos pedang? Tidak lekas kalian menggelundung keluar."
Tanpa berani bercuit lagi pemuda itu memegangi pipinya yang bengap terus mengundurkan diri
sambil menundukkan kepala.
Yap Kay merasa geli. Dia kenal pemuda ini adalah orang yang memaksa dirinya minum arak
kemarin malam itu. Naga-naganya pemuda ini sembarang waktu ingin benar melolos pedang,
sayang sekali sebelum senjatanya terlolos tahu-tahu sudah tertabas kutung lebih dulu oleh orang.
Di balik pintu angin adalah sebuah pendopo besar. Siapa pun yang baru pertama kali melihat
pendopo ini, bukan mustahil dia akan kaget bukan main. Memang pendopo ini lebar puluhan
tombak saja, tapi panjang dan amat dalam sekali, boleh dikata sulit dibayangkan dan diukur
beberapa panjangnya. Bila seseorang dari ujung sini hendak menuju ke ujung pendopo yang sana,
kemungkinan dia harus melangkah dua ribu tindak.
Dinding pendopo sebelah kiri bergambar kuda yang tak terhitung banyaknya sedang berderap,
ada yang sedang meringkik, mengangkat kepala, ada yang sedang mendirikan bulu surinya, ada
pula yang mengangkat kaki depannya, setiap gaya kuda-kuda itu berlainan, setiap kuda digambar
begitu hidup, gagah dan perkasa. Pada dinding sebelah kanan, yang dikapur bersih, hanya
bertulisan huruf yang besar, setinggi tiga kali manusia, tintanya hitam mengkilap dan keras, gaya
tulisannya hidup seperti naga terbang burung hong menari. Tulisan itu berbunyi: "Ban-be-tong"!
Tepat di tengah-tengah pendopo ini terdapat sebuah meja panjang terbuat dari kayu putih
pula, begitu panjang sehingga selintas pandang sebuah jalan raya, orang bisa melarikan kudanya
di atas meja ini. Pada kedua sisi meja panjang ini, kira-kira ada tiga ratusan pasang kursi kayu
putih juga.
Jika kau belum pernah mengunjungi Ban-be-tong, selamanya tidak akan pernah terbayang
olehmu di dunia ini ternyata terdapat meja sedemikian panjangnya, pendopo yang luas dan begini
besarnya!
Bukan saja dalam pendopo ini tiada pajangan yang antik, tapi juga tiada perabot-perabot yang
mewah, tapi setiap orang yang berada di sini akan merasakan kebesaran, kemegahan, keangkeran

dan keagungannya. Siapa pun yang berada di sini, sanubarinya tentu merasa khidmat dan napas
pun terasa berat.
Pada ujung meja di sebelah sana, pada sebuah kursi besar yang lebar, duduk seorang baju
putih, sebenarnya orang bagaimana laki-laki yang duduk di atas kursi kebesaran itu, tiada yang
melihat jelas, yang terang dia duduk di sana dengan angker dan gagah. Umpama dalam rumah ini
tiada orang lain, dia pun tetap duduk dengan tegak beraturan, meski kursi besar itu ada
sandarannya, tapi pinggangnya duduk tegak lurus seperti tonggak kayu.
Seorang diri dia duduk menyendiri di tengah pendopo yang besar dan panjang ini, jaraknya
dengan orang-orang di sebelah sini begitu jauh. Seolah-olah dia memang sengaja menjauhkan diri
dari kehidupan duniawi yang serba kotor ini.
Meski Yap Kay tidak melihat jelas raut mukanya serta mimiknya, namun dia sudah melihat akan
kesepian dan kesebatang-karaannya. Seolah-olah dia benar-benar sudah menutup diri dari
kesibukan dunia, tiada kegembiraan, tiada kenikmatan, tiada berfoya-foya dan tidak punya teman.
Memang beginikah imbalan seorang Enghiong di dalam mencapai cita-citanya? Seorang diri dia
duduk di tempat nan jauh menyepi dari keramaian, seolah-olah sedang merenungkan, entah
merenungkan pahit getir perjuangannya masa lampau? Atau sedang meresapi kehidupan manusia
yang merana?
Sedemikian banyak orang beranjak masuk membuat ribut, dia seolah-olah tidak pernah
mendengar, tidak pernah melihat kehadiran mereka. Tapi dia itulah majikan atau pemilik Kwantang-
ban-be-tong.
Meski sekarang dia sukses di dalam perjuangannya di medan laga, namun dia sendiri belum
berhasil memerangi tekanan batin yang merangsang sanubarinya yang paling dalam, kekontrasan
antara lahir dan batin. Oleh karena itu meski sekarang dia memiliki segala apa yang ada di muka
bumi ini, namun dia sendiri belum berhasil mendapatkan ketenangan dan kedamaian hidup yang
sejahtera dan tenteram.
Dengan langkah lebar Hun Cay-thian menuju ke sana, meski langkahnya lebar, namun
tindakannya amat ringan, pelan-pelan dia menghampiri ke pinggir orang, setelah membungkuk
hormat dengan suara lirih dia berbisik di pinggir telinganya.
Setelah itu baru laki-laki itu seperti sadar dari lamunannya, segera dia bangkit berdiri, katanya
sambil merangkap kedua tangannya, "Silakan tuan-tuan, silakan duduk."
Dengan tangan menggenggam gagang pedang, Buyung Bing-cu melangkah lebih dulu. Tahutahu
Kongsun Toan melangkah menghadang di depannya. Berubah pula air muka Buyung Bing-cu,
katanya dengan nada berat, "Tuan ada petunjuk apalagi?"
Kongsun Toan tidak berbicara, sorot matanya seperti harimau lapar menatap pedang di
pinggangnya.
Kembali berubah air muka Buyung Bing-cu, katanya, "Apa kau ingin aku menanggalkan
pedangku?"
Dengan sikap dingin Kongsun Toan manggut-manggut, katanya sepatah demi sepatah, "Tiada
orang yang boleh membawa pedang memasuki Ban-be-tong."
Pucat hijau lalu merah padam air muka Buyung Bing-cu keringat mulai membasahi hidungnya
yang tinggi mancung, otot hijau pada punggung tangannya sudah merongkol keluar pada
tangannya yang mencekal gagang pedang.
Kongsun Toan tetap berdiri di tempat, dengan dingin mengawasi dan berdiri sekokoh gunung.
Lama kelamaan jari-jari Buyung Bing-cu gemetar, agaknya tak tahan lagi dia sudah akan
mencabut pedangnya. Untunglah pada saat itu mendadak sebuah tangan kurus kering dan kuat
terjulur maju, pelan-pelan menahan tangannya yang mencekal pedang. Sigap sekali Buyung Bingcu
berpaling, dilihatnya secercah senyuman mekar dari muka Yap Kay.

Katanya kalem, "Apakah bila tangan tuan memegangi senjata di tangan baru berani memasuki
Ban-be-tong?"
"Tang", pedang itu akhirnya jatuh di atas meja.
Sebuah lampion besar warna putih mentah laksana lampu langit pelan-pelan dikerek ke pucuk
tiang bendera yang puluhan tombak tingginya. Lima huruf merah menyala jelas sekali berjajar
membundar mengelilingi lampion besar ini, berbunyi: "Kwan tang ban be tong".
Dengan menggelendot pada pagar, anak-anak muda yang menyoreng pedang itu sedang
menengadah mengawasi lampion besar yang dikerek ke atas ini Tak tahan ada di antaranya yang
tertawa dingin mengejek, "Kwan tang ban be tong, hmm, pongah benar lagaknya."
Terdengar seseorang menanggapi, "Ini bukan berlagak, tapi hanya merupakan suatu pertanda
khas belaka."
Tadi jelas tiada orang berada di bawah tiang bendera itu, entah sejak kapan tahu-tahu orang
ini sudah bertolak pinggang di bawah tiang bendera, sekujur badannya serba putih. Nada
bicaranya kalem dan pelan, sikapnya angker dan mantap. Orang ini tidak membawa senjata. Tapi
dia bukan lain adalah tokoh ahli pedang kenamaan di Kangouw, It kiam kwi hoa Hoa Boan-thian
(kembang bertebaran di langit).
Agaknya pemuda seragam abu-abu itu tiada yang tahu siapa dia sebenarnya, segera ada yang
bertanya, "Pertanda? Pertanda apa?"
Pelan-pelan Hoa Boan-thian menerangkan, "Lampu ini hanya sebagai pertanda untuk
memberitahu kepada jago-jago Kangouw yang kebetulan lewat di sini, di dalam Ban-be-tong, kini
ada urusan penting yang sedang dirundingkan, kecuali orang-orang yang diundang oleh cukong
pemilik Ban-be-tong, orang lain peduli dia punya urusan penting apa pun, lebih baik tunda saja
sampai besok pagi."
Mendadak terdengar seseorang menanggapinya pula dengan dingin, "Bagaimana jika ada orang
datang malam ini juga?"
Dengan tenang seperti acuh tak acuh Hoa Boan-thian mengawasinya, mendadak tangannya
terulur, mencabut pedangnya yang tersoreng di pinggangnya. Memangnya jarak mereka amat
dekat, tapi Hoa Boan-thian begitu mengulur tangan lantas berhasil mencabut gagagnnya, sekali
gentak, pedang panjang yang terbuat dari baja murni ini seketika berbunyi nyaring dan putus jadi
tujuh delapan potong. Karenanya pemuda itu berdiri mendelong dengan pandangan terkesima
tanpa berani banyak tingkah lagi.
Sisa kutungan pedang yang pendek itu pelan-pelan dimasukkan kembali ke dalam sarung
pedang si pemuda, baru Hoa Boan-thian berkata tawar, "Hembusan angin badai berpasir di sini
amat besar, di dalam kamar samping sana ada disediakan hidangan, kenapa kalian tidak ke sana
saja mimum barang dua cangkir?" Tanpa menunggu reaksi mereka, pelan-pelan dia putar badan
tinggal pergi.
Pemuda-pemuda itu beradu pandang, jari-jari mereka dengan kencang menggenggam gagang
pedang masing-masing, namun tiada satu pun di antara mereka yang berani mencabutnya. Pada
saat itu pula mereka tiba-tiba mendengar di belakang ada orang berkata kalem,
"Pedang bukan barang hiasan, orang yang tidak tahu menggunakan pedang, lebih baik jangan
menyoreng pedan." Itulah kata-kata kasar yang menusuk perasaan, namun dikatakan setulus hati
oleh si pembicara. Karena orang bukan hendak mencari kesukaran, maksudnya hanya ingin
memberi nasehat kepada pemuda-pemuda hijau ini.
Keruan berubah air muka pemuda-pemuda jubah abu-abu ini, serempak mereka memutar
badan, maka tampaklah si pembicara pelan-pelan muncul dari tempat gelap. Langkahnya amat
lambat, kaki kirinya melangkah dulu selangkah, kaki kanannya selalu diseretnya ke depan.

Dengan tajam mereka tujukan pandangan masing-masing ke depan pendatang ini, entah siapa
tiba-tiba mengajukan pertanyaan, "Apakah si timpang ini yang semalam kau temukan di warung
minuman itu?"
Pucat dan menghijau muka pemuda yang ditanya, dengan tajam ia mengawasi Pho Ang-soat
sambil mengertak gigi, katanya mendadak, "Apakah golokmu itu pajangan?"
"Bukan!" sahut Pho Ang-soat.
"Kalau demikian, kau tahu cara menggunakan golok?" Pho Ang-soat menundukkan kepala
mengawasi golok di tangannya.
"Kalau begitu kau tahu cara menggunakan golokmu itu," kata pemuda itu, "kenapa tidak kau
gunakan untuk kami lihat?"
"Golok ini bukan untuk tontonan."
"Bukan tontonan, memangnya untuk membunuh orang? Memangnya kau pun mampu
membunuh orang?" mendadak pemuda itu bergelak tertawa. "Kalau kau memang berani, haraplah
kau bunuh aku saja, terhitung kau memang berani dan pintar bertindak."
Pemuda yang lain ikut tertawa, terdengar seorang lain berkata, "Jika kau tidak berani, jangan
harap kau bisa melangkah masuk pintu besar ini, silakan kau merangkak masuk lewat pagar ini."
Lalu mereka bergandengan tangan serta melebarkan kaki berdiri menghadang di depan pintu.
Pho Ang-soat tetap menundukkan kepala mengawasi golok di tangannya, lama juga baru dia
bergerak, ternyata dia benar-benar membungkukkan badan menerobos lewat melalui bawah pagar
kaki masuk ke dalam pintu.
Seketika para pemuda itu terloroh-loroh senang, agaknya sudah lupa akan hinaan yang
diterimanya tadi, pedang diputus orang tadi.
Bahwasanya Pho Ang-soat anggap tidak mendengar gelak tawa mereka yang menghina, pelanpelan
dia menerobos pagar terus beranjak masuk dengan langkah berat, entah sejak kapan
pakaian sekujur badannya sudah basah kuyup oleh keringatnya sendiri.
Mendadak gelak tawa para pemuda itu terputus sirap sama sekali, entah siapa melihat lebih
dulu telapak kaki di atas lantai, maka tiada seorang pun yang bisa meneruskan tawanya. Karena
mereka tahu, setiap langkah kaki Pho Ang-soat meninggalkan telapak kaki yang melesak dalam ke
lantai batu itu. Mirip benar dengan ukuran golok atau pisau buatan seorang ahli.
Terang dia mengerahkan seluruh tenaga badannya, baru berhasil mengendalikan emosi dan
kemarahan hatinya. Sebenarnya dia bukan laki-laki yang bisa bertahan, tapi demi suatu sebab,
mau tidak mau dia harus tahan uji dan tahan sabar. Memangnya apa tujuannya?
Hoa Boan-thian berdiri di bawah emperan jauh di sebelah sana, mimik mukanya amat aneh,
seakan-akan merasa kaget dan heran, namun seperti gentar dan ketakutan. Maklumlah bila
seseorang melihat seekor serigala kelaparan sedang memasuki rumahnya, nah seperti itulah mimik
muka Hoa Boan-thian saat itu. Dan sekarang dia sedang mengawasi Pho Ang-soat
Pedang itu masih menggeletak di atas meja.
Setiap orang sudah menempati sebuah kursi dan tersebar pada ujung meja panjang di kanan
kiri majikan Ban-be-tong. Ban-be-tong-cu tetap duduk lurus tegak di tempatnya, kedua tangannya
terpentang terletak di atas meja. Sepasang tangan yang tidak lengkap lagi, karena jari-jari tangan
kirinya tinggal ibu jarinya saja yang tetap utuh tumbuh di tempatnya. Lucu sekali jari-jari yang lain
ternyata sedikit pun tidak meninggalkan bekas-bekasnya. Tebasan golok itu hampir dikata
memapas kutung telapak tangannya. Tapi dia tetap berani berlaku terang-terangan, diletakkan di
atas meja tanpa disembunyikan. Karena kehilangan jari-jari ini dia merasa bukan sesuatu yang
memalukan, sebaliknya sebagai peristiwa yang harus dibanggakan. Ya, itulah bekas atau catatan
abadi di atas badannya yang takkan luntur seumur hidup dari hasil perjuangannya yang gigih.

Setiap kerut keriput yang menghiasi kulit mukanya, seolah-olah ukiran hasil dari pengalaman
hidupnya yang amat berbahaya, menderita seolah-olah dia sedang memberitahu kepada orang
lain peduli persoalan apa pun jangan harap dapat merobohkan dirinya. Sampai pun membuat dia
membungkuk badan pun jangan harap.
Tapi sepasang sorot matanya, kelihatan tenang damai, sedikit pun tidak menampilkan cahaya
berwibawa yang menggetarkan nyali orang. Apakah kehidupan yang penuh siksa dan derita itu
sudah memudarkan kewibawaannya selama ini? Ataukah lantaran dia sudah mempelajari cara
untuk menyembunyikan sorot matanya yang berwibawa itu di hadapan orang?
Sekarang dia sedang mengawasi Yap Kay dengan nanar. Setelah mengawasi satu per satu,
sorot matanya berhenti lama pada setiap wajah hadirin, paling akhir berhenti pada raut muka Yap
Kay. Memang dia sering lebih lama menggunakan kedua matanya daripada menggunakan
lidahnya. Karena dia tahu banyak melihat dapat menambah pengetahuan dan pengalaman,
sebaliknya banyak bicara melulu menambah bencana bagi manusia.
Yap Kay sedang tersenyum simpul.
Mendadak Ban-be-tong-cu juga tertawa, katanya, "Selamanya tuan tidak pernah membawa
senjata?"
Dengan tersenyum Yap Kay manggut-manggut sebagai jawaban.
"Kenapa?" tanya Ban-be-tong-cu.
"Karena aku tidak memerlukannya."
Segera Ban-be-tong-cu manggut-manggut, ujarnya, "Tidak salah, keberanian yang sejati,
memangnya bukan diperoleh dari golok atau pedang!"
Buyung Bing-cu mendadak tertawa dingin, jengeknya, "Seorang persilatan bila tidak membawa
golok atau pedang, belum tentu lantas bisa membuktikan bila dia benar-benar punya keberanian."
Kembali Ban-be-tong-cu tertawa, katanya tawar, "Keberanian itu sendiri memangnya suatu
yang aneh, bukan saja tidak bisa kau lihat, tak mungkin kau raba dan bisa kau rasakan,
hakikatnya kau pun tidak bisa membuktikannya, oleh karena itu sorot matanya beralih ke muka
Yap Kay, katanya lebih lanjut pelan-pelan "Seorang yang benar-benar mempunyai keberanian, ada
kalanya di dalam pandangan orang, dia malah seorang lemah yang penakut."
"Masuk akal," seru Yap Kay sambil menepuk paha." Aku memang kenal orang seperti itu."
"Siapakah dia?" segera Ban-be-tong-cu bertanya.
Yap Kay hanya tersenyum tidak menjawab, matanya berpaling mengawasi seseorang yang baru
saja muncul dari balik pintu angin. Tawanya amat aneh dan mengandung arti yang mendalam.
Mengikuti pandangan orang, Ban-be-tong-cu ikut berpaling ke sana, seketika dia melihat
kedatangan Pho Ang-soat.
Di bawah penerangan lampu dalam pendopo ini, jelas tertampak muka Pho Ang-soat yang
pucat-pias, begitu pucat memutih seolah-olah tembus cahaya. Tapi sepasang biji matanya hitam
bening, mirip kegelapan malam di luar yang tak berujung pangkal, entah berapa banyak
tersembunyi mara-bahaya, betapa banyak rahasia yang terkandung di dalamnya.
Sarung golok hitam legam, tiada kembangan tiada hiasan. Dengan kencang dia pegang
goloknya ini, pelan-pelan dia membelok dari pintu angin, butiran keringat di ujung hidungnya
belum lagi kering, tiba-tiba dilihatnya seorang raksasa laksana sebuah gunung sedang
menghadang di depannya, dia bukan lain Kongsun Toan adanya. Dengan pandangan tajam dan
beringas Kongsun Toan sedang mengawasi golok di tangannya.
Pho Ang-soat pun sedang mengawasi golok di tangannya sendiri, kecuali golok ini, boleh dikata
belum pernah dia melirik kepada sesuatu benda atau kepada siapa pun.

Berkata Kongsun Toan dengan suara kereng, "Tiada orang yang boleh masuk Ban-be-tong
dengan membawa pedang, juga tiada orang boleh masuk Ban-be-tong dengan membawa golok."
Lama juga Pho Ang-soat berdiam diri, akhirnya berkata pelan-pelan, "Selamanya tidak ada?"
"Tidak ada."
Pelan-pelan Pho Ang-soat manggut-manggut, dari golok di tangannya sorot matanya beralih ke
arah golok melengkung yang terselip miring di pinggang Kongsun Toan, katanya tawar, "Dan kau?
Kau bukan manusia?"
Berubah hebat air muka Kongsun Toan.
Buyung Bing-cu mendadak tertawa lebar, serunya sambil mendongak, "Bagus, pertanyaan
bagus!"
Arak dalam cangkir emas di tangan Kongsun Toan pelan-pelan tumpah keluar, mengalir dan
membasahi telapak tangannya yang hitam kasar bagai baja. Cangkir emas itu sudah teremas
gepeng oleh jari-jari tangannya. Mendadak cangkir emas gepeng itu mencelat terbang ke atas,
disusul sinar perak berkelebat, "Ting-ting-ting", cangkir emas yang gepeng itu ternyata sudah
tertabas menjadi tiga potong dan jatuh di bawah kakinya. Sinar golok melengkung itu laksana
bianglala masih memancarkan sinar kemilau.
Gelap tawa Buyung Bing-cu seketika sirap seperti putus tertabas oleh sinar golok.
Pendopo sebesar ini, seketika hening lelap tiada suara. Dengan telapak besinya pelan-pelan
Kongsun Toan mengelus-elus batang pedangnya yang tajam, matanya berkilat menatap Pho Angsoat,
katanya tandas, "Jika kau punya golok seperti ini, boleh kau bawa kemari."
"Aku tidak punya."
"Memangnya golok apa di tanganmu itu?" tanya Kongsun Toan mengejek.
"Tidak tahu. Aku hanya tahu, golok ini bukan untuk menabas cangkir arak." Dia harus
mendongak baru bisa melihat muka Kongsun Toan yang kasar seperti ukiran dari batu, dengan
tekad dan watak yang kukuh. Sekilas saja dia memandang muka orang, lalu memutar badan, sorot
matanya menampilkan rasa hina dan memandang rendah, kaki kiri melangkah dulu, kaki kanan
lalu diseretnya ke depan.
"Kau hendak pergi?" bentak Kongsun Toan garang.
Tanpa berpaling Ang-soat menjawab tawar, "Aku kemari bukan menonton orang memotong
cangkir arak."
"Kau sudah berani kemari, maka golok itu harus kau tinggalkan, mau pergi, golok itu harus juga
kau tinggalkan baru boleh pergi."
Pho Ang-soat menghentikan langkahnya, pakaiannya yang belum kering mendadak
mengencang, tampak otot-otot besar di badannya merongkol keluar. Lama juga baru dia bertanya
pelan-pelan "Siapa yang bilang demikian?"
"Golokku ini," sahut Kongsun Toan
"Sebaliknya golokku ini tidak berkata demikian."
Kulit daging di balik pakaiannya kelihatan mengejang, bentaknya bengis, "Apa yang dia
katakan?”
Separah demi sepatah Pho Ang-soat berkata, "Ada golok harus ada orang, ada orang tentu ada
golok."
"Kalau aku harus menahan golokmu itu bagaimana?"
"Kalau golok di sini, maka orangnya harus di sini pula."

"Bagus, bagus sekali!" bentak Kongsun Toan keras. Di tengah bentakannya ini sinar golok
laksana lembayung berkelebat, cepat sekali membacok ke arah pergelangan tangan Pho Ang-soat,
Pho Ang-soat tetap berdiri dalam gaya semula, goloknya tidak keluar dari sarungnya, tangannya
pun tidak bergeming. Pada detik-detik yang menentukan dimana golok melengkung itu hampir
saja memapas kutung pergelangan tangannya, sekonyong-konyong seseorang membentak,
"Tahan!"
Sinar golok seketika berhenti tepat pada saat seruan ini menghardik, tajam golok melengkung
itu tinggal lima dim lagi dari pergelangan tangan Pho Ang-soat. Tapi tangannya tetap tenang dan
tak tergoyahkan sekokoh batu cadas.
Dengan melotot Kongsun Toan menatap tangan ini, keringat sebesar kacang berbaris menetes
turun dari jidat ke muka, terus membasahi pakaian di depan dadanya. Bila goloknya sudah
terayun, di dunia ini hanya satu orang saja yang kuasa menyuruhnya berhenti.
BAB 4. HIDUP MATI BERSAMA GOLOK
Syukurlah tebasan golok ini tidak diteruskan. Memangnya siapa yang tahu bagaimana akibatnya
bila golok itu ditebaskan?
Yap Kay menghirup napas panjang, terunjuk senyum di kulum, dengan senyuman ini dia
mengawasi Ban-be-tong-cu.
Ban-be-tong-cu juga sedang tersenyum, mulutnya menggumam, "Bagus, ternyata memang
tabah, punya keberanian."
Yap Kay tertawa lebar, katanya, "Mata Cayhe ini belum buta, untunglah pandanganku kepada
seseorang tidak keliru."
"Apakah dia itu Pho-kongcu yang tidak mau datang meski sudah tiga kali diundang Hoasiangcu?"
"Itulah dia!" sahut Pho Ang-soat pula.
"Kalau Pho-kongcu sudah sudi kemari, berarti sudah memberi muka, silakan, silakan duduk!"
Mendadak Kongsun Toan membalik badan, sorot matanya berkilat menatap Ban-be-tong-cu,
serunya serak, "Goloknya?"
Tersorot pandangan penuh arti yang mendalam dari Ban-be-tong-cu, katanya tertawa,
"Sekarang aku hanya melihat orangnya, sudah tidak melihat lagi goloknya."
Kongsun Toan mengertak gigi, kulit daging sekujur badannya sampai berkerut-kerut
mengejang, mendadak dia membanting kaki, "sreng", golok sabitnya menukik turun amblas ke
dalam sarungnya.
Lama berselang baru Pho Ang-soat pelan-pelan membalik badan, dengan langkah kakinya yang
berat melangkah masuk duduk di tempat kejauhan Tangannya masih erat menggenggam
goloknya. Golok yang dipegang tangan ini terletak di samping pedang panjang milik Buyung Bingcu
yang tergeletak di atas meja dengan mutiaranya yang kemilau itu. Warna sarung goloknya
yang kelam itu seolah-olah membuat pudar cahaya mutiara besar itu.
Demikian pula cahaya muka Buyung Bing-cu seketika itu pudar, mukanya menghijau pucat,
mendadak dia berjingkrak berdiri. Sorot mata Hun Cay-thian bersinar tajam, sejak tadi dia
memang sedang mengawasi orang, mukanya mengulum senyum, "Tuan....
Tak menunggu kata-kata orang, Buyung Bing-cu sudah menyela, "Kalau ada orang berani
membawa golok masuk ke dalam Ban-be-tong, kenapa aku tidak boleh membawa pedang?"
"Sudah tentu boleh, cuma ...

"Cuma apa?"
"Cuma apakah tuan berani juga menanggung akibatnya, beranikah? Bila pedang ada orangnya
hidup, pedang tiada orangnya gugur?"
Buyung Bing-cu tertegun, sorot mata yang semula mengandung senyum mengejek, perlahanlahan
beralih ke arah telapak tangan besi Kongsun Toan yang mengeluarkan otot hijau merongkol
itu, terasa bulu kuduknya berdiri, badannya semakin dingin dan giris.
Selama ini Loh Loh-san mendekam di atas meja seperti baru bangun dari mabuknya, mendadak
dia menggebrak meja, serunya tertawa lebar, "Bagus, pertanyaan bagus
Mendadak badan Buyung Bing-cu berkelebat, dengan langkah sebat mendadak dia melangkah
maju meraih ke arah pedangnya. Tapi sebelum jari-jarinya sempat meraih ke arah pedangnya.
"Brak-prang", suaranya amat ramai, tahu-tahu tujuh pedang sekaligus telah dilempar ke atas
meja pula. Itulah tujuh pedang yang serupa dengan hiasan yang seragam pula, di gagang pedang
dihiasi tujuh biji zamrud yang sewarna dan serupa pula, tampak kemilau di bawah penerangan
sinar api yang terang benderang. Keruan jari-jari tangan Buyung Bing-cu seperti kaku berhenti di
tengah udara, jari-jarinya benar-benar menjadi kaku.
Entah kapan Hoan Boan-thian pun sudah berada di dalam, meski ia tidak menampilkan rasa
hatinya, dengan tenang dia mengawasi orang, katanya tawar, "Jika tuan ingin menyoreng pedang,
silakan sekaligus bawa ketujuh pedang ini."
Mendadak Loh Loh-san bergerak tertawa pula, serunya, "Kwan tang ban be tong ternyata
memang sarang harimau goa naga, agaknya orang-orang yang datang kemari malam ini takkan
bisa pergi dengan leluasa.
Kedua tangan Ban-be-tong-cu tetap terpentang di atas meja, duduk tenang-tenang, tegak
lurus, tidak pernah bergeming dari gayanya semula Peduli terjadi peristiwa apa pun di tempat ini
seolah-olah dia boleh berpeluk tangan di luar kalangan tidak perlu turut campur. Sampai melirik
pun agaknya dia tidak sudi mengawasi Buyung Bing-cu.
Raut muka Buyung Bing-cu amat jelek sekali, matanya melotot ke arah pedang di atas meja,
lama juga dia menjublek di tempatnya, akhirnya dia bertanya, "Mana mereka?"
"Orangnya masih ada," sahut Hoan Boan-thian.
Hun Cay-thian segera tertawa, timbrungnya, "Di dunia ini memang jarang ada orang yang
benar-benar konsekuen, berani sama-sama gugur bersama alat senjatanya."
Loh Loh-san segera menanggapi dengan tertawa, "Nah, oleh karena itulah bagi orang yang
pintar dia tidak mau membawa senjata, maka dia tidak perlu menyoreng pedang." Kepalanya
masih mendekam di atas meja, entah masih mabuk atau tidak, tiba-tiba tangannya menggapaigapai
di atas meja seperti sedang mencari apa-apa, mulutnya menggumam, "Mana araknya?
Kenapa di sini selalu hanya bisa menemukan pedang atau golok, sukar benar menemukan arak?"
Akhirnya Ban-be-tong-cu bergelak tertawa, serunya, "Bagus, pertanyaan bagus, hari ini aku
mengundang kalian, memangnya ingin minum sepuas-puasnya bersama kalian sampai mabuk.
Hayo lekas siapkan arak!"
Loh Loh-san mengangkat kepala, dengan matanya yang sipit masih mengantuk dia mengawasi
orang, katanya, "Apakah kalau belum mabuk tak bisa pulang?"
"Ya, sebelum mabuk takkan pulang.”
"Tapi kalau benar-benar sudah mabuk, bagaimana? Apa bisa pulang?"
"Sudah tentu bisa!"
Loh Loh-san menghela napas sambil mengelus dada, kembali dia mendekap di atas meja,
mulutnya mengomel, "Kalau demikian legalah hatiku... mana arak?"

Arak sudah disuguhkan, cangkirnya emas, tekonya besar terbuat dari perunggu, araknya
berwarna hijau bening.
Rona muka Buyung Bing-cu mirip benar dengan arak yang menghijau ini, sikapnya menjadi
kikuk dan runyam, mau duduk atau berdiri? Ataukah dia harus keluar saja?
Mendadak Yap Kay juga menggebrak meja. katanya, "Arak sebagus ini, kalau tidak dinikmati
sepuasnya, bukankah menyia-nyiakan hidup? Masa muda jangan dibuang percuma? Sudah lama
aku dengar Buyung-kongcu seorang pemuda serba bisa, pandai silat pintar sastra, seorang
seniman yang pandai tarik suara lagi, entah sudikah tarik suara di sini untuk menghibur hati nan
lara menyemarakkan suasana?"
Akhirnya Buyung Bing-cu mengalihkan sorot matanya, dengan tajam dia pandang Yap Kay
seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat.
Ada sementara orang setiap mengulum senyum selamanya tidak mengandung perasaan jahat,
Yap Kay justru orang macam ini.
Lama juga Buyung Bing-cu mengawasinya, mendadak dia menghela napas panjang, katanya,
"Baik!" Lalu ditariknya sebuah teko besar, menuang secangkir penuh terus ditenggaknya habis,
dengan mengetuk cangkir emas yang berdering nyaring sebagai iringan musiknya, segera dia tarik
suara mulai berdendang:
"Langit bergetar bumi bergoncang. Mata mengalirkan darah, bulan tak bersinar. Begitu masuk
ke Ban-be-tong. Golok menguntungi pisau, manusia putus ususnya."
Berubah rona muka Hun Cay-thian mendengar nyanyian ini. Serempak Kongsun Toan membalik
badan, sorot matanya gusar menyala-nyala, telapak besinya sudah meraih gagang goloknya pula.
Cuma sikap Ban-be-tong-cu tetap tenang tak bergerak, malah rona mukanya menampilkan
senyuman terang seolah-olah sedang menikmati makna lagu ini.
Kembali Buyung Bing-cu menenggak habis secangkir arak, seolah-olah dengan arak ini dia
hendak membangkitkan keberaniannya, katanya keras, "Bagaimana pendapat kalian mengenai
syair laguku ini?"
"Aku pernah mendengarnya," Yap Kay mendahului buka suara.
Bercahaya sorot mata Buyung Bing-cu, sahutnya, "Setelah tuan mendengarnya, bagaimana
pendapat tuan?"
"Terasa olehku hanya sebaris kalimat saja yang benar-benar mengandung arti."
"Hanya satu kalimat saja?"
"Ya, hanya satu saja."
"Kalimat yang mana?"
Yap Kay memejamkan mata, segera dia pun tarik suara bersenandung pelan-pelan, "Golok
memutus pisau, orang putus ususnya. Beruntun dia ulangi dua kali, lalu membuka kedua matanya
pula mengerling ke arah Ban-be-tong-cu, katanya tersenyum, "Entah apakah Tongcu juga bisa
menikmati dimana letak kebagusan dari kalimat ini?"
"Mohon petunjukmu!" kata Ban-be-tong-cu.
"Golok memutus pisau, orang putus ususnya. Kenapa tidak dikatakan pedang memutus pisau,
justru dikatakan golok memutus pisau?"
Dengan sorot matanya yang tajam berkali-kali dia pandang Buyung Bing-cu lalu berpindah
kepada Pho Ang-soat, terakhir dia menatap Ban-be-tong-cu.
Tenang-tenang Pho Ang-soat duduk di tempatnya, dengan tenang mengawasi golok di
tangannya, kelopak matanya seolah-olah sedang mengkeret menyipit.

Sebaliknya biji mata Buyung Bing-cu memancarkan cahaya terang, tanpa sadar dia sudah
duduk kembali, ujung mulutnya mengulum senyuman aneh yang penuh mengandung arti. Begitu
sorot matanya bentrok dengan pandangan Yap Kay, seketika menampilkan rasa terima kasih yang
tak terhingga. Mungkin Hwi-thian-ci-cu memang laki-laki yang tidak suka cerewet, maka dia pun
selalu hanya menggunakan sepasang matanya. Diam-diam dalam hati dia sudah bertekad hendak
mengikat persahabatan dengan Yap Kay.
"Menjadi sahabatnya agaknya jauh lebih menyenangkan daripada menjadi musuhnya, juga
lebih mudah."
Melihat titik terang ini, segera Hwi-thian-ci-cu mengangkat seteko arak di depannya terus
ditenggak habis, katanya dengan mengerut kening, "Memangnya kenapa harus golok memotong
pisau, dimanakah letak kebagusan dari makna kata-kata ini?"
Hoa Boan-thian menarik muka, katanya dingin, "Kebagusan dan makna kata-katanya, tentu
hanya bisa diutarakan oleh orang yang melagukan nyanyian ini, seharusnya kalian langsung
bertanya kepadanya."
Yap Kay manggut-manggut sambil tersenyum, katanya, "Memang pantas, agaknya Cayhe salah
sasaran.
Mendadak Ban-be-tong-cu tertawa lebar ujarnya, "Tuan tidak salah bertanya."
Berkilat pula sorot mata Yap Kay, serunya, "Mungkin Tongcu juga......
Dengan suara berat Ban-be-tong-cu segera memutuskan kata-katanya, "Golok kuda dari Kwantang
tiada duanya di seluruh dunia, entah pernahkah kalian dengar pameo ini?"
"Golok kuda dari Kwan-tang? .... Apakah di antara golok dan kuda dari Kwan-tang ini satu sama
lain mempunyai hubungan?"
"Bukan saja ada hubungan, malah sangkut-pautnya sangat erat."
"Oh!" Yap Kay bersuara dalam mulut dengan manggut-manggut.
"Dua puluh tahun yang lalu, dalam Bu-lim hanya diketahui adanya To-be-bun, tiada yang tahu
adanya Ban-be-tong."
"Tapi dua puluh tahun kemudian, dalam Bu-lim justru hanya dikenal adanya Ban-be-tong, tiada
yang tahu adanya To-be-bun."
Seri tawa yang menghias muka Ban-be-tong-cu sudah lenyap, lama dia berdiam diri, akhirnya
menarik napas, katanya sepatah demi sepatah, "Itulah karena orang-orang dari Sin-to-tong sudah
mati dan tersapu bersih pada tujuh belas tahun yang lalu." Meskipun rona mukanya kelihatan
tenang-tenang saja, namun kerut keriput mukanya seolah-olah menyembunyikan keinginan
membunuh yang menghayati sanubarinya, siapa pun yang melihatnya pasti akan merinding dan
bergidik. Siapa pun yang pernah melihatnya sekali, pasti takkan berani melihatnya untuk kedua
kalinya.
Tapi Yap Kay justru masih menatap mukanya, tanyanya, "Entah cara bagaimana pula orangorang
Sin-to-tong itu sampai ajal seluruhnya?"
"Seluruhnya terbunuh di bawah golok."
Mendadak Loh Loh-san menggebrak meja pula, mulutnya mengigau, "Ahli renang akhirnya mati
kelelap, ahli golok belakangan mati di bawah golok orang lain, memang omongan orang kuno
tidak salah, masuk akal, masuk akal... mana arak!"
Ban-be-tong-cu mengawasi tangan kirinya yang tertabas kutung empat jarinya, setelah orang
bicara habis, dengan tandas dia melanjutkan, "Setiap warga Sin-to-tong, semuanya adalah
saudara dari Ban-be-tong, setiap orang terpenggal kepalanya oleh golok orang, seluruhnya
mampus di bumi bersalju, hutang darah ini selama delapan belas tahun mendatang seluruh
saudara-saudara dari Ban-be-tong tiada satu pun yang pernah melupakannya."

Yap Kay tidak menyingkir dari tatapan sorot mata orang, sikapnya tetap wajar dan tenang,
setelah merenung, akhirnya bertanya pula,
"Selama delapan belas tahun ini, apakah Tongcu belum berhasil menyelidiki, siapakah
pembunuh sebenarnya?"
"Belum!"
"Tangan Tongcu ini.....
"Terpapas juga oleh golok yang sama."
"Tongcu mengenal golok itu, namun tidak mengenal siapakah orang
itu?"
"Golok tidak mungkin bisa ditutupi dengan kain hitam seperti yang dipakai untuk menutupi
mukanya."
"Benar, kalau golok dibungkus kain hitam maka dia tidak akan bisa membunuh orang."
Pho Ang-soat tetap menatap golok di tangannya, mendadak dia menyela dingin, "Kalau golok
berada di dalam sarungnya?"
"Berada di dalam sarungnya, sudah tentu golok itupun takkan bisa membunuh orang."
"Bahwa golok tetap berada di dalam sarungnya, apakah lantaran kuatir dikenali oleh orang?"
tanya Pho Ang-soat.
"Aku tidak tahu," sahut Yap Kay. "Aku hanya tahu satu hal."
Pho Ang-soat sedang pasang kuping mendengarkan.
Sambil tertawa Yap Kay berkata, "Aku tahu bila aku ada sangkut-paut dengan peristiwa
berdarah delapan belas tahun lalu, tentulah aku takkan membawa golok memasuki Ban-be-tong
ini." Sambil tersenyum dia melanjutkan, "Kecuali aku ini seorang pikun, kalau tidak, lebih suka
membawa tombak atau pedang, sekali-kali tak berani membawa golok."
Pelan-pelan Pho Ang-soat berpaling muka, sorot matanya beralih dari goloknya sendiri ke muka
Yap Kay, sorot matanya memancarkan mimik yang aneh sekali. Baru pertama kali ini dia menatap
muka orang begini lama, bukan mustahil merupakan yang terakhir pula.
Pandangan Buyung Bing-cu sudah pudar seperti mabuk arak, mendadak dia berseru lantang,
"Untunglah peristiwa itu terjadi delapan belas tahun yang lalu, peduli membawa golok atau
membawa pedang, kukira sudah tidak menjadi soal lagi."
"Kukira belum tentu," jengek Hoa Boan-thian dingin.
"Semua yang hadir di sini," kata Buyung Bing-cu lebih lanjut, "kecuali Loh-siansing, yang masih
anak-anak semua, memangnya mereka waktu itu sudah pandai membunuh orang?"
Tiba-tiba Hoa Boan-thian mengalihkan pokok pembicaraan, tanyanya, "Entah tuan sudah
pernah menikah belum?"
Agaknya Buyung Bing-cu belum menangkap juntrungan pertanyaan ini, terpaksa dia manggutmanggut.
"Sudah punya keturunan belum?"
"Satu putra satu putri," sahut Buyung Bing-cu.
"Jika tuan ada bermusuhan dengan orang, jika tuan sudah tua tak punya tenaga, lalu siapa
yang harus menuntut balas sakit hati tuan?"
"Sudah tentu puteraku yang bertanggung jawab menuntut balas."
Hoa Boan-thian tertawa saja, dia tidak bertanya lebih lanjut. Memang dia tidak perlu banyak
kata lagi.

Lama juga Buyung Bing-cu melongo, akhirnya berkata dengan tertawa getir, "Apakah tuan
mencurigai bahwa di antara kami adalah keturunan dari pembunuh itu?"
Hoa Boan-thian menolak menjawab pertanyaan ini, menolak menjawab biasanya berarti pula
semacam jawaban.
Merah jengah selebar muka Buyung Bing-cu, katanya, "Kalau demikian, hari ini Kongcu
mengundang kami kemari, memangnya ada maksud tertentu?"
"Ya, memang ada!" jawaban Ban-be-tong-cu tegas dan lantang.
"Mohon keterangan!" seru Buyung Bing-cu.
Berkata Ban-be-tong-cu pelan-pelan, "Kalau ada manusia, tentu ada anjing ada ayam,
sepanjang perjalanan kemari, adakah kalian mendengar lolong anjing dan suara ayam berkotek?"
"Tidak pernah," Buyung Bing-cu menjawab lebih dulu.
"Adakah kalian tahu apa sebabnya?"
"Mungkin sekitar sini tiada orang yang memelihara anjing dan ayam," kembali buyung Bing-cu
menjawab.
"Peternakan kuda di pinggir perbatasan, mana mungkin tiada orang memelihara anjing dan
ayam?"
"Oh, jadi ada?" tanya Buyung Bing-cu.
"Hanya Hoa-siancu seorang saja, dia ada memelihara delapan belas ekor anjing ajak yang
dibawanya dari perbatasan Tibet."
Dengan ujung matanya Buyung Bing-cu melirik ke arah Hoa Boan-thian, katanya dingin,
"Mungkin anjing-anjing peliharaan Hoa-siangcu tiada satu pun yang bisa menyalak, bukankah
anjing galak yang pandai menggigit orang tidak perlu menyalak?"
Hoa Boan-thian menarik muka, katanya, "Tiada anjing yang tidak bisa menyalak di dunia ini."
Tiba-tiba Loh Loh-san bersuara lagi. "Hanya semacam anjing saja yang tidak bisa menyalak."
"Anjing mati?" tanya Hoa Boan-thian.
"Benar," Loh Loh-san tertawa lebar "Anjing mati, hanya anjing yang sudah mati takkan bisa
menyalak lagi, demikian pula hanya orang yang sudah mati takkan bisa bicara lagi.
Hoa Bian-thian mengerut kening, tanyanya, "Kalau orang mabuk?"
"Orang mabuk bukan saja pandai pentang bacot, malah dia selalu mengeluarkan kata-kata
yang menyebalkan."
"Agaknya kau jujur dalam hal ini," jengek Hoa Boan-thian.
Kembali Loh Loh-san terloroh-loroh, katanya, "Memangnya omongan jujur biasanya amat
menyebalkan bagi orang yang berhati jahat ... mana arak?" Gelak tawanya mendadak terputus,
kembali dia jatuh pulas di atas meja.
Hoa Boan-thian mengerut kening, selebar mukanya menampilkan rasa muak.
Tiba-tiba Hun Cay-thian menyela bicara, "Di dalam Ban-be-tong semula ada dua puluh satu
ekor anjing jantan, tujuh belas anjing betina, jumlah seluruhnya tiga puluh delapan ekor, ayam
ada tiga ratus sembilan puluh tiga ekor, rata-rata setiap hari bertelur tiga ratus butir, yang
dimakan setiap hari ada empat puluh ekor, belum masuk dalam hitungan ini." Bagai seorang koki
yang biasa bekerja di dapur, dengan hapal di luar kepala satu per satu dia sebutkan data-data
yang ada kepada hadirin.
Yap Kay tertawa, katanya, "Entah berapa banyak ayam jantan? Berapa ayam betina? Kalau
yang betina lebih banyak dan yang jantan sedikit, terpautnya terlalu banyak lagi, maka HoaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
siangcu harus lekas-lekas tambah obat kuat, supaya ayam-ayam betina tidak terpengaruh dalam
memproduksi telur."
Hun Cay-thian segera tertawa, katanya, "Tuan ternyata memang orang baik hati, sayang sekali
sekarang tidak perlu susah-susah lagi."
"Kenapa?" tanya Yap Kay tidak tahu.
Mendadak Hun Cay-thian menarik muka, katanya, "Kini ketiga puluh delapan anjing, tiga ratus
sembilan puluh tiga ayam seluruhnya sudah mati bersih dalam semalam suntuk."
Bertaut alis Yap Kay, tanyanya, "Cara bagaimana matinya?"
Hun Cay-thian berprihatin, sahutnya, "Terputus kepalanya dengan golok, semuanya mampus
dengan kepala terpenggal."
Mendadak Buyung Bing-cu tertawa, katanya, "Jika Hun-siancu ingin menemukan jejak
pembunuh anjing dan ayam itu, aku sih bisa memberi sedikit bantuan."
"Oh? Coba jelaskan."
"Pembunuh itu adalah seorang koki, kalau suruh aku sekaligus membunuh tiga ratus ekor
ayam, terang aku belum becus melakukannya."
Hun Cay-thian menarik muka, katanya, "Dia bukan koki."
"Darimana kau tahu?" tanya Buyung Bing-cu menahan geli.
"Sekaligus orang ini mampu membunuh empat ratusan anjing dan ayam tanpa diketahui oleh
orang lain, betapa cepat gerakan goloknya itu! Golok kilat yang cepat sekali."
Yap Kay manggut-manggut, timbrungnya, "Memangnya gerakan golok yang amat cepat sekali."
"Tebasan golok secepat ini, jangan kata ayam dan anjing, umpama manusia pun leluasa
dibunuhnya satu per satu."
Kata Yap Kay tertawa, "Itu tergantung orang-orang macam apa saja yang dia bunuh."
Sorot mata Hun Cay-thian menatap ke arah Pho Ang-soat, katanya,
"Golok tuan ini apakah sekaligus mampu mengutungi empat ratusan kepala anjing dan ayam?"
Mimik Pho Ang-soat tidak berubah, sahutnya dingin, "Sembelih ayam memotong anjing, tidak
perlu menggunakan golokku ini."
Mendadak Hun Cay-thian menepuk tangannya, serunya, "Nah, itulah betul!"
"Apanya yang betul?" tanya Yap Kay.
"Seorang yang memiliki kepandaian golok selihai itu, dengan senjata setajam itu, masakah
dalam semalam suntuk sengaja meluruk kemari hendak menyembelih ayam memotong anjing?"
"Jika otak orang itu sinting, tentulah dia terlalu iseng dan mencari kerja pocokan untuk
melemaskan otot dan tulang."
"Masakah tuan-tuan belum bisa meraba kemana tujuan dari perbuatan pembunuh ini?" tanya
Hun Cay-thian.
"Tak bisa kuraba," sahut Yap Kay.
"Umpama kalian belum bisa meraba juntrungannya, tentunya pernah juga mendengar
beberapa patah kata."
"Kata-kata apa?" tanya Buyung Bing-cu.
Sorot mata Hun Cay-thian mendadak menampilkan rasa takut dan seram, katanya tandas,
"Anjing ayam tidak ketinggalan hidup!"

"Apa? Anjing ayam tidak ketinggalan hidup?" seru Buyung Bing-cu terkesiap kaget, "kenapa
ayam anjing diberantas seluruhnya?"
"Kalau membunuh tidak beres keseluruhannya, masakah bisa tidak meninggalkan bibit bencana
di kelak kemudian hari?"
"Kenapa harus memberantas sampai ke akar-akarnya? Memangnya...
para pembunuh delapan belas tahun yang menghabiskan seluruh anak murid Sin-to-bun itu,
hari ini meluruk datang pula ke Ban-be-tong?" tanya Buyung Bing-cu tak mengerti.
"Tentulah mereka adanya," sahut Hun Cay-thian yakin. Meski sedapat mungkin dia kendalikan
emosinya, namun rona mukanya sudah menghijau.
setelah mengatakan kata-katanya, lekas dia angkat cangkir menenggak habis araknya, lalu
menyambung perlahan, "Kecuali mereka, terang tak mungkin orang lain."
"Darimana kau bisa berpendapat begitu?" tanya Buyung Bing-cu
"Kalau bukan mereka, kenapa ayam anjing dibunuhnya lebih dulu, baru dia membunuh
manusia? Bukankah berarti mengusik rumput mengejutkan ular?"
"Lalu kenapa pula mereka harus berbuat demikian?" tanya Buyung Bing-cu setengah tak
percaya.
Hun Cay-thian mengepal jarinya kencang-kencang, keringat dingin sudah membasahi jidatnya,
katanya dengan mengertak gigi, "Karena mereka tidak ingin kami mati terlalu cepat, mati dengan
gampang!"
Di tengah kegelapan malam di luar yang sepi, sayup-sayup terdengar suara ringkikan kuda,
suasana di dalam Ban-be-tong menjadi tambah sunyi, tegang mencekam perasaan.
Pho Ang-soat tetap mengawasi golok di tangannya. Yap Kay sebaliknya celingukan kian kemari
memperhatikan air muka setiap hadirin. Entah sejak kapan kembali Kongsun Toan sudah mencekal
sebuah cangkir yang lain, dengan lahapnya dia sedang menenggak habis araknya secawan demi
secawan.
Sementara Hoa Boan-thian sedang berdiri menggendong kedua tangannya, dengan enteng dia
mondar-mandir di bawah dinding gambar kuda-kuda yang hidup itu, langkah kakinya berat dan
berdentam laksana diganduli rantai besar ribuan kati beratnya.
Dengan muka memutih Hwi-thian-ci-cu sedang menengadah melihat langit-langit rumah
dengan mendelong, entah apa yang sedang dipikirkan.
Arak yang baru masuk ke dalam perut Buyung Bing-cu lekas sekali sudah mengalir keluar
menjadi keringat dingin. Peristiwa berdarah delapan belas tahun yang lalu ini, bila tiada sangkutpautnya
dengan dia, kenapa dia harus menampilkan perasaan yang begitu takut?
Walaupun Ban-be-tong-cu masih tenang-tenang dan duduk lurus tak merubah gaya duduknya,
seolah-olah segala persoalan tidak menyangkut dirinya Akan tetapi kedua tangannya itu sudah
amblas melesak ke permukaan meja.
Sekali mabuk menghilangkan kerisauan hati, memang orang yang mabuk lebih enak. Tapi apa
benar Loh Loh-san betul-betul mabuk?
Seketika ujung mulut Yap Kay menampilkan senyuman manis, mendadak dia menyadari di
antara sekian banyak hadirin, yang benar-benar tidak berubah hanyalah dirinya sendiri.
Lilin besar sudah menjadi pendek. Angin menghembus masuk dari balik pintu angin, sehingga
api lilin bergoyang-gontai, sehingga roman muka orang-orang di dalam Ban-be-tong ini ikut
berubah-ubah, dari hijau menjadi pucat lalu merah menyala, seolah-olah setiap hadirin
mengandung maksud-maksud jahat terhadap sesama orang yang hadir dalam rumah ini.
Sesudah lama keheningan ini mencekam perasaan mereka, akhirnya Buyung Bing-cu
mengunjuk tawa kecut, katanya lebih dulu, "Masih ada sebuah hal yang belum kumengerti."

"Oh? Hal apa?" tanya Hun Cay-thian.
"Mereka sudah membabat habis seluruh Sin-to-tong, seharusnya kalianlah yang mencari
mereka untuk menuntut balas, kenapa malah mereka yang lebih dulu meluruk ke sini mencari
perkara kepada kalian?"
"Sin-to dan Ban-be semula memangnya seperguruan, sejak mula mereka sudah berjuang
bersama, senasib sepenanggungan."
"Jadi kau maksudkan bahwa mereka pun bermusuhan dengan pihak Ban-be-tong kalian?"
Buyung Bing-cu menegaskan.
"Malahan dendam kesumat yang tidak mungkin dilerai lagi," ujar Hun Cay-thian.
"Kalau begitu kenapa mereka harus menunggu delapan belas tahun baru meluruk kemari
membuat perhitungan?"
Pandangan Hun Cay-thian seolah-olah tertuju ke tempat yang jauh, katanya pelan-pelan,
"Pertempuran delapan belas tahun yang lalu, meskipun mereka memberantas habis seluruh orangorang
Sin-to-tong, namun kerugian yang mereka derita pun tidak ringan"
"Maksudmu waktu itu mereka sendiri sudah tidak punya tenaga untuk mencari perhitungan
kepada kalian?"
"Ban-be-tong berdiri di Kwan-tang, pasukan kudanya sudah berderap luas memasuki Tionggoan
selama tiga puluhan tahun, belum pernah ada seseorang yang berani mencari permusuhan dan
mengganggu usik meski hanya sebatang rumput atau sebatang pohon milik Ban-be-tong kami."
"Umpama benar mereka harus memulihkan tenaga dan menghimpun tenaga lagi, toh tidak
perlu menunggu delapan belas tahun lamanya," debat Buyung Bing-cu.
Setajam golok mata Hun Cay-thian menatap ke mukanya, katanya, "Mungkin karena mereka
sendiri sudah patah semangat, banyak yang cacad dan tenaga lemah karena sudah tua, oleh
karena itu mereka perlu menunggu tunas-tunas muda berkembang dan tumbuh dewasa, baru
berani meluruk datang menuntut balas."
"Agaknya tuan memang ada menaruh curiga kepada kami beramai?"
"Sakit hati delapan belas tahun yang lalu masih terbenam dalam sanubari, sakit hati hari ini
kembali tumbuh, ratusan saudara penghuni Ban-be-tong semua mempertaruhkan jiwanya untuk
pertempuran terakhir yang menentukan ini, apakah tidak pantas kalau kami beramai harus
bertindak kelewatan?"
"Tapi bukankah semalam kami baru tiba di tempat ini?" Buyung Bign-cu mendebat lagi.
Yap Kay tiba-tiba tertawa, selanya, "Justru karena kami orang-orang asing yang baru tiba
kemarin malam, maka kecurigaan mereka terhadap kami lebih besar."
"Kenapa?" tanya Buyung Bing-cu pula.
"Karena kejadian itu baru kemarin malam pula terjadi."
"Memangnya begitu tiba di sini, kami lantas turun tangan, apakah tidak mungkin orang-orang
yang sudah tiba tujuh delapan hari lebih dulu yang turun tangan?"
"Dendam perhitungan delapan belas tahun yang lalu, sedetik pun tidak bisa ditunda-tunda lagi,
apalagi harus menunggu tujuh delapan hari?"
Buyung Bing-cu menyeka keringat di atas jidatnya, gumamnya, "Soal ini tidak boleh dicampuraduk
dalam persoalan ini."
"Bisa tidak dibicarakan bersama, yang terang kita harus berterima kasih kepadanya."
"Terima kasih?"

Yap Kay menenggak dulu secangkir arak, lalu katanya dengan tersenyum, "Jika bukan
kecurigaan terhadap kita terlalu besar, masakah hari ini kita bisa berkumpul di sini menikmati arak
simpanan bertahun-tahun dari Ban-be-tong?"
Tiba-tiba Loh Loh-san menggebrak meja pula, serunya tertawa lebar,
"Bagus, ucapan bagus, seseorang bila bisa berpikir secara terbuka menghadapi setiap
persoalan, maka dia akan hidup senang bahagia menjadi manusia... arak, mana arak." Arak segera
ditenggaknya habis.
Buyung Bing-cu segera mengejek dingin, "Ternyata bisa juga kau menenggak habis secangkir
arak lagi."
Melotot mata Loh Loh-san, katanya, "Asal aku tidak pernah melakukan perbuatan terkutuk,
peduli dia mau menganggap aku ini sebagai pembunuh ayam, pembunuh anjing, yang terang
memang tiada sangkut-pautnya dengan aku, kenapa aku tidak bisa menghabiskan arak ini?...
araknya? Masih ada arak tidak?" Waktu arak diangsurkan kepadanya, dia sudah roboh mendekam
di atas meja lagi, segera hidungnya menggeros keras.
Dengan mendongkol Hoa Boan-thian melotot kepadanya, ingin rasanya sekali jinjing dia seret
orang ini dari tempat duduknya terus dilempar keluar pintu.
Terhadap orang lain, terhadap urusan apa pun, selalu Hoa Boan-thian dapat menguasai diri dan
bersabar, menguasai emosi. Kalau tidak, masakah dia sudi berdiri semalam suntuk di tengah
hembusan angin badai yang dingin dan kotor itu, tapi begitu berhadapan dengan Loh Loh-san,
amarahnya seketika seperti hendak meledak, rona mukanya yang dingin kaku seketika
menampilkan rasa muak dan benci.
Yap Kay sebaliknya amat tertarik. Terhadap persoalan apa pun, jika ada sesuatu yang rada
ganjil atau istimewa, sekali-kali dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan malah dia pasti amat
ketarik untuk mencampuri atau ingin mengetahui seluk-beluknya. Di kala dia mengamat-amati
orang lain, Ban-be-tong-cu pun sedang mengawasi dirinya.
Entah memang sengaja atau tidak? Sorot mata kedua orang tiba-tiba bentrok, laksana
tajamnya senjata yang tiba-tiba saling bentur, seketika kedua sorot mata mereka sama-sama
memuncratkan kembang api. Ban-be-tong-cu tertawa dipaksakan seolah-olah hendak
mengutarakan apa-apa.
Tapi tiba-tiba Buyung Bing-cu mengejek dingin pula, "Sekarang boleh terhitung aku paham
seluruhnya."
"Kau paham apa?" tanya Hun Cay-thian.
"Tentunya Sam-lopan berpendapat, di antara kami berlima, satu di antaranya pasti kemari
dengan tujuan menuntut balas, bahwa hari ini kami diundang dan dikumpulkan di sini, bukan lain
adalah hendak menemukan siapakah orang itu sebenarnya!"
"Apakah bisa menemukannya?" tanya Ban-be-tong-cu tawar.
"Tidak mungkin," sahut Buyung Bing-cu. "Bukan saja orang tidak memberikan tanda pengenal
di raut mukanya, kalau dia diharuskan mengakui sendiri, mungkin lebih sukar dari memanjat ke
langit"
Ban-be-tong-cu tersenyum, ujarnya, "Kalau tidak bisa ditemukan, buat apa Cayhe harus
bersusah-payah dengan mengadakan perjamuan minum arak ini?"
Yap Kay segera menimbrung dengan tertawa, "Urusan yang susah-susah tentunya Sam-lopan
tidak akan sudi melakukannya."
"Kiranya Yap-heng lebih memahami maksudku."
"Pertemuan malam ini," sela Buyung Bing-cu pula. "Apakah maksud yang sebenarnya? Apakah
Sam-lopan masih ada petunjuk lainnya? Ataukah memang benar-benar hanya ingin mengundang
kami minum sepuasnya belaka?" Setelah menenggak habis tiga cangkir arak, agaknya pemuda

anak hartawan ini menjadi besar nyalinya, pertanyaannya selalu tajam dan mendesak keterangan
tuan rumah.
Agaknya Yap Kay pun menaruh perhatian akan hal ini, seolah-olah pada diri Buyung Bing-cu dia
menemukan sesuatu tanda-tanda yang luar biasa.
Ban-be-tong-cu masih menepekur, tiba-tiba dia bangkit berdiri, katanya tertawa, "Sekarang
malam sudah larut, jalan kembali ke kota terlampau jauh, untuk itu Cayhe sudah menyiapkan
beberapa kamar tamu untuk kalian, sukalah kalian menyesuaikan diri dengan keadaan yang serba
kekurangan ini, ada omongan apa biarlah dibicarakan besok saja."
Yap Kay segera menggeliat sambit berbangkis, katanya, "Benar, ada omongan apa tidak
berhalangan dibicarakan besok saja."
Hwi-thian-ci-cu baru sekarang buka suara, "Agaknya Yap-heng memang seorang yang bisa
menyesuaikan diri. Sayang sekali bukan setiap orang di dunia ini bisa seperti Yap-heng, gampang
mau menyesuaikan diri dengan keadaan."
Bersinar pandangan Ban-be-tong-cu, tanyanya, "Jadi tuan?"
Hwi-thian-ci-cu menghela napas, ujarnya, "Orang seperti aku ini, kalau tidak mau
menyesuaikan diri juga tidak bisa lagi "
Sementara pandangan Buyung Bing-cu tertuju pada delapan pedang di atas meja itu katanya,
"Apalagi tempat di sini tentunya jauh lebih aman, nyaman dan menyegarkan daripada hotel di
dalam kota."
"Pho-kongcu
"Asal golokku ini boleh tinggal di sini, maka jiwa ragaku berada di sini," sahut Pho Ang-soat.
"Tidak bisa," teriak Loh Loh-san.
"Aku tidak bisa tinggal di sini."
Hoa Boan-thian seketika menarik muka, katanya, "Kenapa tidak bisa tinggal di sini?"
"Jika tengah malam buta rata bocah itu gentayangan main bunuh, celaka bila kesalahan
memenggal kepalaku, bukankah aku mampus dengan penasaran?"
"Jadi tuan berkukuh hendak tinggal pergi?"
Dengan tingkah mabuknya, mendadak Loh Loh-san tertawa, katanya, "Tapi jika besok pagi
kalian masih bisa menyediakan arak, umpama betul-betul kepalaku terpenggal mampus juga
setimpal dan pasrah nasib."
Setiap orang bangkit berdiri, tiada satu pun yang berkeputusan hendak berlalu. Mereka merasa
meski malam ini sukar mereka lewatkan dengan tenang dan tenteram, namun tinggal di sini lebih
baik daripada berlalu atau pulang ke kota. Apalagi seorang diri berjalan di tengah padang rumput
yang belukar, bukan mustahil kemungkinan bisa mengalami sesuatu di luar dugaan.
Hanya Kongsun Toan seorang yang masih duduk angker di tempatnya, secangkir demi
secangkir dia terus melalap arak dari cangkirnya.
BAB 5. MALAM DI TEPI KOTA
Angin badai mereda, malam semakin larut.
Orang yang berjalan di depan sebagai penunjuk jalan sambil menenteng sebuah lentera adalah
Hun Cay-thian. Dengan langkah kakinya yang berat, pelan-pelan Pho Ang-soat mengikut di
belakangnya, ada sementara orang memang selamanya tidak merelakan orang lain berjalan di
belakangnya.

Yap Kay justru sengaja mengendorkan langkahnya, dia ketinggalan di belakang. Terpaksa Pho
Ang-soat ikut melambatkan jalannya, berjalan berjajar di sampingnya. Langkah kakinya yang berat
terdengar laksana tajamnya golok sedang mengerik tulang.
Tiba-tiba Yap Kay tertawa dan katanya membuka kesunyian, "Sungguh aku tidak habis
mengerti, ternyata kau pun mau tinggal di sini."
"Oh?" Pho Ang-soat bersuara dalam mulut.
"Malam ini Ban-be-tong-cu mengundang kita, kemungkinan maksudnya ingin mengetahui
apakah di antara orang-orang yang diundangnya ini ada yang tak mau tinggal di sini."
"Kau bukan Ban-be-tong-cu."
"Kalau aku ini dia, aku pun akan berbuat seperti ini, siapa pun jika dia bermaksud membunuh
habis keluarga musuhnya, sekali-kali dia tidak akan sudi tinggal di rumah musuhnya." Setelah
berpikir sebentar, dia lantas menambahkan, "Umpama mau tinggal, tentulah dia bisa
memperlihatkan gerak-gerik yang janggal dan lain daripada orang lain, malah bukan mustahil dia
akan melakukan sesuatu perbuatan yang luar biasa."
"Jika kau, kau pun akan berbuat demikian?" tanya Pho Ang-soat.
Yap Kay tertawa, tiba-tiba dia mengalihkan ke soal lain, "Tahukah kau, siapakah orang yang
paling dia curigai dalam benaknya?"
"Siapa?"
"Kau dan aku."
Pho Ang-soat tiba-tiba menghentikan langkahnya, dengan nanar dia mengawasi Yap Kay,
tanyanya tegas, "Sebetulnya kau atau bukan?"
Yap Kay ikut berhenti dan putar badan berhadapan sahutnya kalem, "Seharusnya akulah yang
mengajukan pertanyaan ini kepadamu, sebetulnya kau atau bukan?"
Keduanya sama-sama berdiri tegak di tempatnya tanpa bergerak, keduanya saling pandang,
mendadak mereka sama-sama tertawa.
"Agaknya baru pertama kali ini aku melihat kau tertawa," kata Yap Kay.
"Bukan mustahil yang terakhir kalinya pula," sahut Pho Ang-soat.
Mendadak Hoa Boan-thian muncul dari kegelapan, biji matanya memancarkan sinar terang
sedang mengawasi mereka, katanya dengan tersenyum, "Kenapa kalian sama-sama tertawa
riang?"
"Karena sesuatu yang tidak menggelikan."
"Ya, sedikit pun tidak menggelikan," Pho Ang-soat menambahkan.
Kongsun Toan masih sibuk menenggak araknya tak habis-habisnya. Ban-be-tong-cu mengawasi
orang minum, lama berselang, akhirnya dia menghela napas, katanya, "Aku tahu kau ingin minum
sampai mabuk, tapi setelah kau mabuk tidak akan bisa membereskan sesuatu."
Mendadak dengan sekuat tenaga Kongsun Toan menggebrak meja, katanya keras, "Kalau tidak
mau memangnya kenapa? Bukankah sama saja membikin jengkel orang lain?"
"Bukan dibikin jengkel, itulah bersahabat, siapa pun ada kalanya dia harus bisa menahan sedikit
sabar."
Jari-jari Kongsun Toan pelan-pelan meremas kencang, sehingga arak mengalir keluar
membasahi meja, Kongsun Toan mengawasi cangkir yang teremas gepeng di telapak tangannya,
katanya tertawa dingin, "Tahan, sabar! Selama tiga puluh tahun aku ikut kau keluar hidup masuk

mampus, mengalami seratus tujuh puluhan kali pertempuran besar kecil, darahku yang mengalir
sudah cukup membuat orang kelelap mati, sekarang kau masih mau menyuruh aku bersabar, lebih
celaka lagi hari ini aku harus dibuat malu dan dongkol oleh seorang bocah timpang."
Sikap Ban-be-tong-cu masih tetap tenang, katanya dengan menghela napas, "Aku tahu akan
tekanan batinmu, aku pun.....
"Tak usah kau katakan lagi," mendadak Kongsun Toan menukas dengan keras. "Aku sudah
tahu akan maksudmu, sekarang kau sudah punya keluarga, punya keturunan, maka setiap
tindakanmu tidak boleh sembrono seperti dulu lagi." Sambil menggebrak meja, mulutnya
mengomel lebih lanjut, sambil menyungging senyum sinis, "Aku tidak lebih hanya seorang
pesuruh, seorang pegawai kecil dari Ban-be-tong, seumpama harus dibuat jengkel dan
dipermainkan orang demi Sam-lopan, sudah merupakan suratan takdir."
Mengawasi muka orang, terpancar perasaan duka pada sorot mata Ban-be-tong-cu, lama dia
termenung, baru membuka suara, "Siapakah majikan? Siapa pula pegawai? Dunia kita ini semula
memangnya kita bersama yang membuka dan mendirikannya, umpama anak kandungku sendiri
tidak seakrab dan sekental hubungan kita. Segala sesuatu di tempat ini, kau memiliki separo, apa
pun yang kau inginkan, sembarang waktu bisa kau ambil, umpama kau ingin putriku, aku pun
boleh segera memberikan kepadamu." Suaranya terdengar tawar dan datar, namun makna dan
perasaan yang terkandung di dalam setiap patah katanya benar-benar cukup membuat seseorang
yang berhati baja mengucurkan air mata.
Kongsun Toan tertunduk diam, matanya berkaca-kaca, tak tertahan air matanya akhirnya
berketes-ketes. Untunglah saat itu Hun Cay-thian, Hoa Boan-thian berdua sudah balik kembali.
Di hadapan kedua orang ini, sikap Ban-be-tong-cu lebih keren dan tenang, katanya dengan
suara berat, "Apakah mereka semua tinggal?"
Lekas Hun Cay-thian mengiakan.
Perasaan duka pada sorot mata Ban-be-tong-cu sudah sirna, kini berubah dingin kaku dan
tajam, katanya setelah menepekur sebentar, "Loh Loh-san, Buyung Bing-cu dan maling terbang itu
tinggal tidak perlu dibuat heran."
"Kau kira mereka tidak perlu dicurigai?" tanya Hun Cay-thian. "Paling tidak kecurigaan terhadap
mereka lebih ringan." "Kukira belum tentu," sela Hoa Boan-thian.
"Belum tentu?" tanya Ban-be-tong-cu.
"Buyung Bing-cu bukan orang yang gampang diurus, sikap dan tingkah-lakunya memang
sengaja dia lakukan, menurut kedudukannya, setelah dihina dan diremehkan seperti itu, tak
mungkin dia ada muka masih bertingkah di sini, membual lagi."
Ban-be-tong-cu manggut-manggut, katanya, "Aku pun sudah menduga perjalanannya kali ini
tentu mempunyai suatu rencana dan tujuan, tapi terang tujuannya bukan terhadap Ban-be-tong."
"Bagaimana dengan Loh Loh-san?" tanya Hoa Boan-thian. "Sastrawan palsu ini berada dimana
pun selalu suka mengagulkan diri sebagai angkatan tua, kenapa dari tempat sejauh itu, susahpayah
meluruk datang ke perbatasan yang serba miskin dan belukar ini?"
"Kemungkinan dia sedang menghindarkan diri dari kejaran musuhnya," ujar Ban-be-tong-cu.
Hoa Boan-thian tertawa dingin, katanya, "Anggota Bu-tong-pay banyak dan tokoh-tokoh
silatnya berkepandaian tinggi, selamanya hanya orang lain yang menyembunyikan diri dari
tuntutan musuh mereka, kapan mereka pernah lari dari tanggung jawab?"
Tiba-tiba Ban-be-tong-cu menghela napas, katanya, "Dua tiga tahun yang lalu, penghinaan
sekali tusukan pedang di bawah bukit Bu-tong-san itu, sampai sekarang masih belum bisa kau
lupakan?"
"Aku tidak pernah melupakannya," sahut Hoa Boan-thian, rona mukanya menjadi kelam.

"Tapi Bu-tong kiam khek Wi hun cu yang melukai kau dulu bukankah sudah mati di bawah
pedangmu?"
Kata Hoa Boan-thian sambil mengertak gigi penuh kebencian, "Sayang sekali anak murid Butong-
pay belum terbunuh habis seluruhnya."
Mengawasi orang, Ban-be-tong-cu menghela napas, katanya, "Kepalamu dingin, pandanganmu
tajam, tiada orang bisa melawan kecekatanmu dalam menghadapi perubahan setiap kejadian,
sayang sekali jiwamu terlalu sempit, kemungkinan kelak kau akan dirugikan oleh watakmu yang
buruk ini."
Hoa Boan-thian menundukkan kepala, mulutnya terkancing, tapi dadanya turun naik, jelas
perasaannya tidak tenang.
Hun Cay-thian ganti tampil bicara dengan persoalan lain, "Di antara kelima orang ini, walau
kecurigaan terbesar tertuju kepada Pho Ang-soat, tapi seperti apa yang dikatakan Yap Kay, jika
benar dia kemari ... untuk menuntut balas, buat apa dia datang ke Ban-be-tong membawa golok?"
Sorot mata Ban-be-tong-cu menaruh perhatian dan penuh arti, katanya, "Bagaimana dengan
Yap Kay sendiri?"
Hun Cay-thian berpikir sebentar, katanya, "Ilmu silat orang ini amat tinggi, cerdik dan
berpikiran panjang, jika benar dia adanya, jelas benar-benar merupakan musuh tangguh yang
amat menakutkan."
Mendadak Kongsun Toan menimbrung dengan suara dingin, "Kalian sudah bicara panjang
lebar, sudahkah kalian tahu siapa sebenarnya yang harus kalian curigai?"
"Belum ada," sahut Hun Cay-thian.
"Kalau toh belum bisa kalian tentukan kepada siapa kalian harus curiga, kenapa tidak bunuh
saja kelima orang itu, kan beres."
"Jika salah membunuh bagaimana?" tanya Ban-be-tong-cu.
"Salah membunuh, boleh cari yang lain dan bunuh lagi."
"Sampai kapan baru pembunuhan ini berakhir?" tanya Ban-be-tong-cu pula.
Kongsun Toan mengepal erat jari-jarinya, otot hijau di jidatnya merongkol keluar.
Sekonyong-konyong sebuah suara anak kecil memanggil di luar pintu, "Su-siok (paman
keempat), aku tidak bisa tidur, marilah kau mendongeng saja supaya aku lekas tidur."
Mendengar suara bocah ini, Kongsun Toan menghela napas, seolah-olah mendadak dia
berubah menjadi orang lain, seluruh daging badannya yang tegang tadi seketika mengendor,
pelan-pelan dia melangkah keluar.
Mengawasi bayangan punggung orang, sorot mata Ban-be-tong-cu tak ubahnya seperti sedang
mengawasi putranya sendiri yang paling disayang. Pada waktu itu, di luar terdengar suara
kentongan ditalu, malam semakin larut, sudah kentongan kedua.
Kata Ban-be-tong-cu pelan-pelan, "Menurut aturan, kalau toh mereka mau tinggal menginap di
sini, tentu tidak akan menunjukkan sesuatu gerakan apa-apa, tapi kami tidak boleh lena dan
ceroboh."
Hun Cay-thian dan Hoa Boan-thian mengiakan bersama. Hun Cay-thian segera menambahkan,
"Aku sudah memberi petunjuk kepada saudara-saudara kita yang jaga malam ini kutambah
delapan kelompok, sejak sekarang setiap setengah jam mereka harus meronda saling bertemu
pada tempat tertentu sebanyak tiga kali, asal melihat orang yang patut dicurigai, segera harus
membunyikan peluit atau menabuh gembreng memberi laporan."
Ban-be-tong-cu manggut-manggut, tiba-tiba seperti amat letih dia berdiri dan melangkah
enteng keluar pintu, selepas mata memandang, dia mengawasi padang rumput yang sudah
diselimuti tabir malam itu, perasaannya seperti gelapnya malam yang mulai diselimuti kabut tebal.

Hun Cay-thian mengikut di belakangnya, katanya sambil menghela napas, "Semoga malam ini
bisa damai tenteram tak terjadi apa-apa, supaya kau bisa istirahat sehari dengan baik-baik,
persoalan yang harus kau hadapi besok pagi mungkin lebih banyak, lebih sulit."
Ban-be-tong-cu menepuk pundaknya, katanya setelah menghela napas dengan menengadah,
"Setelah pertempuran kali ini, memang tiba waktunya kita harus istirahat.
Hembusan angin terus berlalu, sinar lampu di atas tiang bendera itu tiba-tiba terhembus
padam, tinggal bulan sabit yang menyendiri tergantung di cakrawala masih memancarkan sinar
redup.
Dengan mendelong Hun Cay-thian mendongak mengawasi bulan sabit ini, sorot matanya
diliputi kerisauan dan kekuatiran yang tidak terhingga. Bukankah Ban-be-tong bakal mengalami
nasib yang sama dengan lentera di atas tiang bendera yang tinggi itu, meski tinggi tempatnya,
jauh sinar lampunya mencapai, namun siapa tahu kapan kecemerlangan sinarnya itu bakal pudar
dan padam?
Malam semakin kelam, sinar rembulan sudah remang-remang, suasana sepi tak terdengar
ringkik kuda. Di padang rumput belukar di luar perbatasan ini di tengah malam yang hening dingin
ini, berapa orang pula yang bisa pulas?
Mata Yap Kay terbuka lebar, dengan mendelong dia mengawasi kegelapan malam di luar
jendela. Kini dia tidak tertawa. Senyuman yang selalu terkulum pada mukanya, bila tiada orang
senyuman mekarnya ini pasti kuncup. Dia tidak tidur.
Meski suasana di Ban-be-tong sini hening lelap, tapi pikirannya timbul tenggelam, seolah-olah
pasukan perang yang sedang berderap menuju ke medan laga, sayang sekali siapa pun tiada yang
tahu persoalan apa yang tengah bergejolak dalam benaknya.
Pelan-pelan dia mengelus jari-jarinya, jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya terasa
kasar, kasar seperti batu padas, telapak tangannya sudah kapalan, menonjolkan kulit daging yang
keras. Itulah bekas-bekas peninggalan selama bertahun-tahun dia memegang pisau. Tapi
dimanakah pisaunya?
Selamanya dia tidak pernah membawa pisau, apakah karena pisaunya sudah dia sembunyikan
di dalam hati?
Tangan Pho Ang-soat masih menggenggam kencang golok hitamnya. Dia pun tidak tidur,
sampai sepatunya pun tidak dia lepas.
Sinar rembulan yang redup dingin menyinari mukanya yang pucat kaku, menyinari golok hitam
di tangannya. Pernahkah goloknya ini dia cabut?
Kentongan ketiga ... Kentongan keempat...
Sekonyong-konyong di tengah kegelapan malam nan sunyi senyap ini terdengarlah suara
tambur dan gembreng ditabuh bertalu-talu dengan riuhnya.
Di bagian belakang Ban-be-tong serempak melesat keluar empat bayangan orang, bagai anak
panah cepatnya mereka melesat ke arah barat dimana terdapat istal kuda.
Hembusan angin seolah-olah membawa bau amis darah yang bisa memualkan orang.
Lampu di kamar Yap Kay menyala lebih dulu, sesaat kemudian baru dia berlari keluar.
Buyung Bing-cu dan Hwi-thian-ci-cu dalam waktu yang sama mendorong pintu berlari keluar.
Cuma pintu kamar Loh Loh-san yang masih terkancing rapat, dari dalam terdengar suara gerosan
keras seperti babi mendengkur. Sebaliknya pintu kamar Pho Ang-soat tidak bergeming, tak
menunjukkan sesuatu reaksi.
"Apakah barusan ada orang memberi tanda dengan pukulan gembreng?" tanya Buyung Bingcu.
Yap Kay manggut-manggut.

"Kau tahu ada kejadian apa?" tanya Buyung Bing-cu.
Yap Kay geleng-geleng kepala.
Pada saat itulah tampak dua sosok bayangan orang tengah melesat mendatangi, seorang
menenteng sebilah pedang yang memancarkan sinar kemilau seperti kembang beterbangan,
sebaliknya seorang yang lain bergerak lincah seperti burung bangau.
Sorot mata Hoa Boan-thian melirik ke arah tiga orang yang berdiri di luar pintu, gerak
badannya tidak berhenti, langsung menerjang ke arah pintu kamar Loh Loh-san. Di depan pintu
dia berhenti sejenak, didengarnya suara gerosan keras seperti babi mendengkur.
Sementara bayangan Hun Cay-thian bersalto di tengah udara, dengan ringan meluncur ke
depan pintu kamar Pho Ang-soat, serempak tangannya mendorong, ternyata dengan mudah
pintunya terdorong terbuka. Tampak Pho Ang-soat dengan angkernya berdiri di belakang pintu,
tangannya masih mencekal golok, sorot matanya tajam bersinar menciutkan nyali orang.
Tanpa disadari Hun Cay-thian menyurut mundur dua langkah, mukanya membesi hijau,
katanya, "Barusan kalian tidak pernah meninggalkan tempat ini?"
Tiada yang menjawab. Memang tidak perlu pertanyaan ini dijawab.
"Siapa di antara kalian yang mendengar sesuatu gerakan atau suara?" tanya pula Hoa Boanthian.
Tiada yang menjawab pula. Buyung Bing-cu mendadak mengerut kening seperti hendak buka
mulut, namun belum sempat suaranya keluar, tiba-tiba dia terbungkuk-bungkuk dan muntahmuntah.
Kiranya bau darah yang anyir dan amis itu terhembus angin sampai di sini.
Sekonyong-konyong ribuan kuda meringkik dan gaduh laksana dunia hampir kiamat.
Langit bergoncang, bumi bergetar. Mata mengalirkan darah bulan tidak bersinar....
Mata mengalirkan darah, bulan tidak bersinar. Ribuan kuda meringkik, manusia putus ususnya
....
Siapa pula yang tahu tragedi yang paling mengenaskan dan suara apa pula yang paling
menakutkan di dunia ini?
Terang sekali bukan pekik orang hutan di dalam selat sempit, bukan jerit tangis setan-setan
gentayangan di tanah pekuburan, namun itulah suara paduan ringkik dan lolong laksaan kuda
yang serempak menyatakan duka citanya di tengah malam kelam di padang rumput ini.
Tiada orang yang bisa melukiskan dengan kata-kata suara macam apakah itu, malah mungkin
juga belum pernah ada orang yang mendengarnya.
Jika tidak dunia kiamat atau terjadi bencana alam, jika tidak mengalami peristiwa tragis,
masakah sekian banyak kuda di tengah malam buta rata meringkik dan melolong bersama,
suaranya yang memilukan? Umpama seorang yang berhati baja, mendengar suara seperti itu, tak
urung pasti berdiri bulu roma serta serasa terbang arwahnya.
Istal di bagian barat berisikan kuda-kuda jempolan dan pilihan satu di antara seribu, kuda
pilihan yang takkan bisa dibeli dengan laksaan uang emas.
Darah segar masih mengalir dengan derasnya dari dalam istal, bau amis begitu tebal membuat
siapa pun yang mengendusnya pasti tumpah-tumpah.
Namun Ban-be-tong-cu tidak tumpah. Dengan kaku dia berdiri di antara genangan air darah
kuda-kudanya yang tersayang, seperti kehilangan semangat. Sementara dengan kedua lengannya
yang kokoh kekar Kongsun Toan memeluk sebatang pohon di depan istal, begitu kencang
pelukannya, namun sekujur badan masih gemetar dengan hebat sampai daun-daun pohon rontok
berhamburan.

Genangan darah membuat daun-daun itu terapung.
Waktu Yap Kay tiba di tempat itu, tak usah bertanya, dia pun sudah paham apa yang telah
terjadi. Setiap orang yang mempunyai mata tentu sudah melihat dan mengerti. Bagi orang yang
punya hati baik, pasti dia tidak akan tega melihat keadaan yang begini mengenaskan.
Boleh dikata tiada binatang di dunia ini yang mempunyai potongan badan terindah seperti
kuda, tiada yang mempunyai ketahanan dan ketabahan hidup seperti kuda. Tulang-tulangnya
yang kokoh kekar, tenaga hidupnya yang luar biasa, semua itu merupakan perlambang kehidupan
yang paling sempurna dari kehidupan dunia binatang. Memangnya siapa yang begitu kejam dan
tega membunuhnya dengan sekali bacok memenggal kepalanya? Sungguh pembunuhan yang
lebih kejam dan telengas dari membunuh manusia.
Yap Kay menghela napas, waktu dia membalik badan, kebetulan dilihatnya Buyung Bing-cu di
kejauhan sedang membungkuk badan tumpah-tumpah lagi. Demikian pula selebar muka Hwithian-
ci-cu pucat lesi, keringat dingin membasahi selebar mukanya.
Jauh di sebelah sana Pho Ang-soat berdiri di tempat gelap, tabir malam menyelubungi
mukanya, namun sarung golok di tangannya masih menampilkan sinar kemilau ditimpak sinar
bulan sabit yang redup.
Kongsun Toan melihat golok ini, segera dia memburu ke sana seraya membentak, "Cabut
golokmu!"
Pho Ang-soat menjawab tawar, "Sekarang bukan saatnya mencabut golok."
“Justru sekaranglah saatnya mencabut golok," seru Kongsun Toan beringas. "Ingin aku melihat
apakah batang golokmu berlepotan darah?"
"Golokku ini bukan dipamerkan kepada orang."
"Dengan cara apa dan apa kehendakmu baru kau bisa mencabut golok?"
"Aku mencabut golok hanya karena satu alasan."
“Alasan apa? Membunuh orang?"
"Itu tergantung terhadap siapa aku berhadapan, selamanya aku hanya membunuh tiga macam
orang."
"Orang macam apa saja?"
"Musuh, manusia rendah
"Satu lagi orang macam apa?"
Dengan dingin Pho Ang-soat mengawasinya, katanya, "Yaitu orang seperti kau yang memaksa
aku mencabut golok."
Kongsun Toan tergelak-gelak sambil mendongak, serunya, "Bagus, ucapan bagus. Memangnya
aku sedang menunggu kata-katamu ini. Jari-jarinya sudah menekan gagang golok sabitnya. Belum
lagi gelak tawanya sirna, jarinya sudah menggenggam kencang gagangnya.
Biji mata Pho Ang-soat bersinar lebih terang, agaknya dia pun sudah menantikan detik-detik
yang menentukan ini. Detik-detik mencabut golok! Akan tetapi pada detik-detik ini pula, di tengah
padang rumput nan luas di tengah kegelapan malam sana, mendadak berkumandang pula
nyanyian lagu yang memilukan itu:
"Bangkit bergoncang, bumi bergetar,
Bumi berlepotan darah, bulan tidak bersinar. Bidan redup angin
kencang malam pembunuhan.
Laksaan kuda meringkik, manusia putus ususnya."

Suara nyanyian ini mengambang seolah-olah kedengaran dari tempat nan jauh, tapi setiap
patah katanya dapat terdengar dengan jelas.
Seketika berubah air muka Kongsun Toan, mendadak terpentang kedua lengannya, serunya,
"Kejar!" Begitu badannya melambung tinggi melesat ke sana, di tengah kegelapan sana seketika
tersulut puluhan batang obor bagaikan naga panjang menggulung tiba dari berbagai penjuru.
Dalam waktu yang hampir bersamaan Hun Cay-thian pun membentak, kedua lengannya seperti
burung terbang, dengan Pat-pau-kan-sian-cui-hun-sek gerakan delapan langkah mengudak
tonggeret mengejar mega, seenteng asap, beruntun tiga lima kali lompatan beranting, tahu-tahu
badannya sudah melesat dua puluhan tombak jauhnya.
Yap Kay menghela napas, mulutnya menggumam, "Memang tidak malu digelari Hun-tiong-wiho
(bangau terbang di tengah mega) memang Ginkangnya hebat luar biasa." Seperti mengigau
sendiri, tapi seperti juga ditujukan kepada Pho Ang-soat, tapi waktu dia berpaling lagi, Pho Angsoat
yang sejak tadi berdiri di tempat itu, ternyata sudah menghilang entah kemana.
Genangan darah membeku kering, tidak lagi mengalir. Demikian pula cahaya api semakin jauh.
Seorang diri Yap Kay berdiri di depan istal, seolah-olah di tengah alam semesta ini tinggal dia
seorang diri.
Ban-be-tong-cu, Hoa Boan-thian, Pho Ang-soat, Buyung Bing-cu.... orang-orang ini seolah-olah
secara serempak mendadak menghilang dari kegelapan malam. Yap Kay menerawang sebentar,
lambat-laun ujung mulutnya menyungging senyuman manis, mulutnya menggumam lagi, "Aneh
dan amat menyenangkan, agaknya tiada seorang pun di antara mereka yang tidak menarik.
Obor terus bergerak memanjang dan bergerak di padang rumput. Sebaliknya bintang-bintang di
cakrawala mulai menyembunyikan diri dan tak tampak lagi.
Di tengah malam buta rata inilah Yap Kay putar-kayun ke sana kemari, kelayapan ke timur
mondar-mandir di barat, kakinya melangkah kemana saja tanpa tujuan tertentu. Seolah-olah di
tengah padang rumput sekarang ini terang tiada seorang pun yang lebih iseng dari dirinya.
Lampion besar di pucuk tiang bendera itu kembali menyala. Dengan menggendong tangan,
kakinya melangkah menuju ke arah lampion itu.
Sekonyong-konyong derap lari kuda membedal kencang ke arah sini, keliningan kuda pun
bergoncang keras berkumandang di kesunyian malam, tahu-tahu seekor kuda mencongklang
pesat dari kegelapan sana menenang datang. Penunggang kuda memiliki sepasang biji mata yang
jeli bening bersinar, sekilas orang melirik ke arahnya, mendadak mulutnya menghardik lirih,
serempak tangannya menarik tali kekang, kontan kuda tunggangannya meringkik sambil berdiri
dengan kedua kaki belakangnya dan berhenti tepat di sampingnya.
Kuda yang bagus, tinggi pula teknik si penunggang kuda.
Dengan tersenyum Yap Kay segera menyapa lebih dulu, "Bibi aleman ini ternyata belum
terbanting mampus, agaknya memang jempolan juga dia."
Seperti kelintingan, biji mata Be Hong-ling menatap kepadanya, katanya sambil tertawa, "Kau
setan gentayangan ini, kenapa belum pergi juga?"
"Belum lagi berhadapan dengan kecantikan Be-siocia yang rupawan masakah rela aku tinggal
pergi."
"Kau bajul rendah yang pintar putar bacot ini, coba lihat kupukul kau mampus!"
Maki Be Ho-liong sambil mengayun cemetinya, seperti ular sakti ujung cemetinya segera
melecut ke muka Yap Kay.
"Bajul rendah selamanya takkan gampang kau pukul mampus," ejek Yap Kay, belum lagi katakatanya
habis diucapkan, tiba-tiba badannya sudah mencelat dan persis duduk di punggung kuda,
duduk rapat berhimpitan di belakang Be Hong-ling.

Kontan Be Hong-ling mengangkat tangan menyikut ke belakang dengan sekuat tenaga,
makinya, "Apa yang kau inginkan?" Begitu sikutnya menyelonong ke belakang, tahu-tahu
lengannya sudah disekap orang.
Berkata Yap Kay pelan-pelan di pinggir telinganya, "Bulan redup angin kencang, aku sudah
kesasar sedemikian jauh tak bisa pulang, tolong Toa-siocia mengantarku pulang ya?"
Be Hong-ling mengertak gigi, makinya sengit, "Lebih baik kau mati saja." Kembali sikutnya yang
lain menyodok ke belakang, tapi lengannya yang satu inipun tahu-tahu sudah ditelikung ke
belakang, sampai bergerak pun tidak bisa lagi. Terendus bau badan laki-laki serta deru napasnya
menghembus di pinggir lehernya, rasanya geli sampai rambut kepala terasa kaku berdiri.
Ingin dia menarik leher dan mengangkat pundak, ingin menumbuk ke belakang sekuatnya, tapi
entah kenapa, ternyata seluruh badan terasa lemas-lunglai tak mampu mengerahkan tenaga.
Kuda tunggangannya yang digelari Budak gincu ini, agaknya memang kuda betina, semula
binal, kini mendadak menjadi aleman dan jinak-jinak merpati, langkahnya lari-lari kecil, lembut
lambat-lambat lari ke arah depan.
Padang rumput nan luas dan serba melompong, sinar api yang kelap-kelip di kejauhan, seolaholah
sinar api para nelayan pencari ikan di tengah samudra raya.
Hembusan angin musim rontok, rasanya juga menjadi lembut laksana hembusan angin musim
semi yang sepoi-sepoi. Mendadak terasa sekujur badannya panas memburu, serunya sambil
mengertak gigi, "Kau ... mau tidak mau kau harus melepaskan tanganku?"
"Tidak!" sahut Yap Kay pendek.
"Kau ini bajul hidung belang, tidak lekas kau turun, biar aku berteriak," demikian ancamnya.
Sebetulnya ingin dia pentang bacot memakinya kalang-kabut, namun mendengar suaranya sendiri,
terasa lembut dan mesra. Kenapa pula hal ini bisa terjadi?
Berkata Yap Kay dengan tertawa, "Kau takkan berani berteriak Apalagi umpama kau benarbenar
berteriak, di tempat sejauh ini, siapa yang mendengar suaramu?"
"Kau ... kau ... apa yang kau inginkan?"
"Apa pun aku tidak ingin." Deru napasnya seolah-olah selembut hembusan angin musim semi
yang sejuk dan menyegarkan, pelan-pelan dia melanjutkan, "Coba lihat, sinar bulan begini redup,
malam begini sepi dan dingin, seseorang yang tumbuh dewasa dalam pengembaraan, mendadak
bersua dengan gadis perawan secantik kau memangnya apa pula yang masih dia inginkan?"
Napas Be Hong-ling tiba-tiba menjadi cepat dan tersengal-sengal, jantungnya seperti hendak
berontak dari rongga dadanya, ingin buka suara, kuatir suaranya terdengar gemetar.
Mendadak Yap Kay bersuara pula, "Jantungmu sedang berdebar."
Dengan kencang Be Hong-ling menggigit bibir, katanya, "Jantung tidak berdetak, bukankah
menjadi orang mati?"
"Tapi jantungmu terang berdetak cepat, lebih cepat dari biasanya."
"Aku...."
"Sebetulnya tidak perlu kau katakan, aku pun sudah mengerti akan isi hatimu."
"Oh? Apa isi hatiku?"
"Jika kau tak tertarik dan menyukai aku, kau takkan menghentikan kudamu. Sekarang kau pun
tidak akan membiarkan kudamu ini jalan pelan-pelan."
"Aku ... apa yang harus kulakukan?"
"Cukup asal kau bersuit memberi aba-aba, maka kuda ini akan segera membantingku jatuh dari
punggungnya."

Mendadak Be Hong-ling tertawa, katanya, "Terima kasih kau memberi ingat kepadaku." Begitu
dia bersuit, tiba-tiba kuda tunggangan ini meringkik terus angkat kaki depan berdiri dengan kaki
belakang. Memang terbukti Yap Kay benar-benar terjungkal dari punggung kuda. Tapi dia sendiri
pun ikut terjungkal jatuh, kebetulan jatuh ke dalam peluhan Yap Kay. Maka terdengar keliningan
berbunyi nyaring, kuda itu sudah menggerakkan keempat kakinya berlari ke tempat yang jauh.
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Sayang sekali, barusan aku lupa memberi ingat kepadamu,
kalau aku terbanting jatuh, kau pun ikut terperosok pula."
Be Hong-ling mengertak gigi, makinya marah-marah. "Kau memang bajul, kau ini hidung
belang
"Tapi aku ini memang hidung belang yang lincah dan mungil, benar tidak?"
"Malah tidak tahu malu lagi," damprat Be Hong-ling. Tapi setelah mengeluarkan kata-katanya
ini, tak tertahan dia sendiri tertawa geli cekikikan, seketika merah jengah selembar mukanya.
Di tengah padang rumput dan luas ini, di bawah penerangan bulan sabit yang pudar, di tengah
malam nan sunyi di musim rontok ini bagaimana kau tega menyuruh seorang gadis cantik yang
sedang mekar, mau mengeraskan kepala dan menebalkan muka mendorong seorang laki-laki yang
memang tidak dibencinya. Seorang laki-laki yang nakal, bejat, namun serba luar biasa.
Tiba-tiba Be Hong-ling menghela napas, ujarnya, "Orang seperti kau, sungguh belum pernah
aku menjumpai."
"Memangnya laki-laki seperti aku tidak banyak jumlahnya."
"Terhadap gadis lain, apa kau pun akan bersikap seperti terhadapku?"
"Jika setiap berhadapan dengan seorang gadis aku bersikap seperti ini, tentu kepalaku ini sudah
digencet gepeng."
Kembali Be Hong-ling menggigit bibir, katanya, "Memangnya kau kira aku tidak bisa memukul
gepeng kepalamu?"
"Kau pasti tidak akan berbuat demikian."
"Lepaskan tanganku, coba lihat kubikin gepeng tidak kepalamu."
Ternyata Yap Kay benar-benar melepaskan tangannya. Sigap sekali dia putar badan sambil
mengayun tangan, kontan dia menampar ke muka orang. Tangannya terayun tinggi, tapi jatuhnya
pelan-pelan saja. Yap Kay pun tidak berkelit, dia tetap duduk di atas rumput tenang-tenang, diam
saja mengawasi dirinya. Tampak biji mata orang laksana bintang kejora di tengah malam buta.
Angin menghembus, sinar rembulan tampak semakin jauh. Akhirnya dia menunduk pelan-pelan,
katanya, "Aku ... aku bernama Be Hong-ling."
"Aku tahu."
"Kau sudah tahu?"
"Dari Siau-toasiokmu itu aku pernah mencari tahu tentang dirimu."
Seketika mekar senyum tawa Be Hong-ling, katanya, "Aku pun pernah mencari tahu tentang
dirimu, kau bernama Yap Kay."
Yap Kay menatap mata orang, katanya pelan-pelan, "Aku memang sudah tahu kau pasti pernah
mencari tahu tentang diriku."
Tertunduk semakin rendah kepala Be Hong-ling, mendadak dia melompat bangun, mengawasi
rembulan yang sudah mendoyong ke arah barat, katanya lembut, "Aku ... aku harus pulang!"
Yap Kay tidak bergerak, dia pun tidak menarik atau menahannya.
Be Hong-ling memutar badan, ingin pergi, namun berhenti pula, katanya, "Kapan kau hendak
pergi?"

Yap Kay merebahkan diri dengan tiduran telentang, lama juga baru dia menjawab pelan-pelan.
"Aku tidak akan pergi, aku menunggu kau."
"Menunggu aku?"
"Berapa lama aku ingin menetap di sini, Siau-toasiokmu itu pasti tidak akan mengusirku pergi"
Be Hong-ling berpaling sambil mengunjuk senyuman mekar dan riang, seperti burung sriti
selincah kecapung segera dia melayang pergi berlari pesat.
Malam yang kelam ini lama kelamaan berubah remang-remang berwarna abu-abu Bulan sabit
lambat-laun hilang tertelan oleh datangnya sang fajar.
Yap Kay masih rebah tenang-tenang tak bergerak, seolah-olah dia sedang menunggu
datangnya sang fajar yang sebentar bakal menyingsing Dia tahu dirinya takkan menunggu lama
lagi.
BAB 6. SIAPA YANG MENGUBUR GOLOK
Fajar menyingsing, sang surya mulai menongol di ufuk timur. Bau amis semalam sudah
terhembus hilang oleh angin pagi nan segar. Angin pagi yang membawa bau rumput kering yang
wangi. Bendera kebesaran Ban be-tong kembali berkibar di pucuk tiang.
Dengan mulut menggigit sebatang rumput kering, pelan-pelan Yap Kay menggerakkan langkah,
menuju ke arah bendera yang berkibar-kibar di tengah angkasa. Kelihatannya dia masih begitu
iseng dan acuh tak acuh, malas lagi, sinar surya yang cermelang menyinari butiran pasir-pasir
yang melekat di atas badannya, semua seperti memancarkan sinar kuning kemilau.
Di tengah dan tepat di bawah pintu gerbang yang besar itu, berdiri dua orang, salah seorang di
antaranya begitu melihat dirinya, segera putar badan berlari masuk ke Ban-be-tong.
Yap Kay tetap melangkah menghampiri, dengan tersenyum dia menyapa lebih dulu, "Selamat
pagi."
Namun rona muka Hun Cay-thian dingin dan sinis, sahutnya tawar, "Selamat pagi."
"Apa Sam-lopan sudah istirahat?"
"Tidak, dia sedang menunggu kau di pendopo besar, semua orang sedang menunggumu."
Memang semua sudah berkumpul di Ban-be-tong, roman muka setiap hadirin nampak serius
dan tegang. Di hadapan setiap hadirin terpampang hidangan pagi, namun tiada seorang pun yang
mau menggerakkan sumpitnya lebih dulu.
Seperti keadaan sejak mula, Loh Loh-san mendekap meja seolah-olah belum sadar dari
mabuknya.
Begitu melangkah masuk Yap Kay segera bersuara menyapa, "Selamat pagi para hadirin!"
Tiada yang memberi jawaban, tapi setiap pasang mata hadirin menatap ke arah dirinya,
agaknya aneh dan lucu benar sorot mata mereka.
Hanya Pho Ang-soat seorang tetap menurunkan matanya mengawasi golok di tangannya.
Di sebelah sana terdapat sebuah jatah hidangan pagi di atas meja yang kursinya masih kosong
belum dimiliki orang. Yap Kay langsung menuju ke sana dan duduk tanpa sungkan-sungkan dia
gerakkan sumpit dan melalap semangkuk bubur dengan sebutir telur. Bubur masih hangat, habis
semangkuk dia tambah semangkuk lagi.
Setelah dia kenyang dan meletakkan sumpitnya, barulah Ban-be-tong-cu mulai buka suara
dengan kalem, "Sekarang sudah tidak pagi lagi."
"Ehm, ya tidak pagi lagi."

"Semalam setelah kentongan keempat, setiap orang berada di dalam kamarnya masing-masing,
dan tuan?"
"Aku tiada di kamar."
"Dimana?"
"Karena tidak bisa pulas, terpaksa aku keluyuran ke sana kemari, tanpa terasa tahu-tahu hari
sudah terang tanah."
"Siapa yang dapat membuktikan keteranganmu ini?"
"Kenapa harus ada yang membuktikan?"
"Karena ada orang yang harus menuntut balik tiga belas jiwa orang!" kata Ban-be-tong-cu
lantang dengan tatapan mata tajam.
"Tiga belas jiwa orang?"
Ban-be-tong-cu manggut-manggut, katanya, "Tiga belas kali tebasan, tiga belas jiwa, cepat
benar golok itu."
"Jadi semalam setelah kentongan keempat, ada tiga belas orang yang terbunuh oleh tabasan
golok?"
"Benar," seru Ban-be-tong-cu dengan muka gusar dan sedih, "tiga belas orang, semua mati
terpenggal kepalanya."
Yap Kay menghela napas, "Anjing, kuda dan ayam tidak berdosa, manusia tak bersalah,
perbuatan orang itu memang rada keterlaluan."
Ban-be-tong-cu menatap matanya katanya beringas, "Memangnya tuan tidak tahu akan
kejadian ini?"
"Aku tidak tahu," gampang dan cekak-aos jawaban Yap Kay.
Ban-be-tong-cu tiba-tiba mengangkat sebelah tangannya, baru sekarang Yap Kay melihat jelas,
di atas meja di depan orang sebenarnya memang ada sebilah golok. Golok yang kemilau seperti
kaca, tajam goloknya tipis runcing. Dengan mengawasi tajam golok di tangannya itu, Ban-be-tongcu
berkata, "Bagaimana golok ini?"
"Golok bagus!" sahut Yap Kay.
"Kalau bukan golok bagus, masakah sekaligus dapat memenggal kepala tiga belas orang?"
Mendadak dia mengangkat kepala menatap Yap Kay, suaranya menjadi bengis, "Memangnya tuan
belum pernah melihat golok ini?"
"Belum."
"Tuan tahu dimana golok ini ditemukan?"
"Tidak tahu."
"Tepat di bawah tanah tempat kejadian pembunuhan."
"Di bawah tanah?"
"Setelah membunuh orang, lantas dia pendam golok ini di dalam taman, sayang sekali kerjanya
terlalu tergesa-gesa, maka golok ini akhirnya dapat kita temukan."
"Golok sebagus itu kenapa harus dipendam di dalam tanah?"
Ban-be-tong-cu menyeringai dingin, katanya dengan tandas, "Kemungkinan lantaran dia itu
seorang yang selamanya tidak pernah menggembol golok."
Sekian saat Yap Kay terlongong, akhirnya tertawa, katanya sambil menggeleng kepala, "Jadi
Tongcu beranggapan bahwa golok ini milikku?"
"Jika kau menjadi aku, bagaimana jalan pikiranmu?"

"Aku bukan kau."
"Semalam setelah kentongan keempat, Loh-toasiansing, Buyung-kongcu, Pho Ang-soat, dan
Hwi-thian-ci-cu ini, semua berada di kamar masing-masing, ada orang bisa membuktikan diri
mereka."
"Maka kematian tiga belas orang itu terang bukan hasil karya mereka," ujar Yap Kay.
Membara biji mata Ban-be-tong-cu, serunya bengis, "Dan tuan sendiri? Dimana kau berada
setelah kentongan keempat? Siapa bisa membuktikan dirimu?"
"Tiada."
Ban-be-tong-cu tidak bertanya lebih lanjut, sorot matanya menampilkan kegusaran yang
memuncak, lapat-lapat timbul keinginan membunuh. Terdengar derap langkah berat mendekati,
ternyata Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian sudah berada di belakang Yap Kay.
"Silahkan Yap-heng," kata Hun Cay-thian sinis.
"Menyilakan aku untuk apa?" tanya Yap Kay.
"Silakan keluar!" kata Hun Cay-thian.
Yap Kay menghela napas, mulutnya mengomel, "Duduk di sini aku sudah merasa nyaman,
justru sekarang aku disuruh keluar lagi" Sambil menghela napas, pelan-pelan dia berdiri. Segera
Hun Cay-thian membantu menarik mundur kursinya.
Mendadak Ban-be-tong-cu berseru pula, "Kalau golok ini memang milikmu, boleh kau bawa
pergi, nah sambutlah!" begitu mengayun tangan, golok itu melesat terbang melengkung dengan
sinar peraknya, langsung terbang ke depan Yap Kay.
Yap Kay diam saja tidak menyambuti. Sinar golok menyerempet lengan bajunya, "Trap!",
ujungnya menancap di meja sedalam tujuh dim.
Yap Kay menghela napas pula, katanya menggerundel, "Memang sebatang golok bagus, sayang
sekali bukan milikku."
Akhirnya Yap Kay melangkah keluar. Hoa Boa-thian dan Hun Cay-thian seperti bayangan yang
mengikuti gerak tubuhnya, dengan ketat mengintil di belakangnya. Siapa pun tahu, setelah Yap
Kay beranjak keluar, maka selamanya dia tidak akan pernah kembali. Semua hadirin
mengawasinya, sorot mata mereka menampilkan rasa kasihan dan ikut berduka cita, tapi tiada
seorang pun yang berdiri tampil bicara.
Sampai pun Pho Ang-soat pun diam saja. Sikapnya tetap dingin seperti segala kejadian di
sekitarnya tidak pernah menarik perhatiannya, seolah terhadap segala persoalan dia memandang
enteng, memandang hina.
Segera Ban-be-tong-cu menyapu pandang, katanya dengan suara berat, "Terhadap persoalan
ini, apa pendapat para hadirin?"
"Hanya sepatah kata," mendadak Pho Ang-soat bersuara.
"Silakan berkata."
"Bagaimana kalau Kongcu salah membunuh orang?"
"Salah bunuh, boleh bunuh lagi," sahut Ban-be-tong-cu lantang dengan menarik muka.
Pelan-pelan Pho Ang-soat manggut-manggut, katanya, "Ya, aku mengerti."
"Tuan masih ingin bicara?"
"Tidak perlu."
Pelan-pelan Ban-be-tong-cu mengangkat cangkir araknya, serunya, "Silakan, silakan makan
hidangan-hidangan itu."
Sinar surya cerlang-cemerlang, menyinari bendera besar yang berkibar tertiup angin.

Yap Kay langsung berjalan ke bawah sinar matahari, menengadah sambil menghirup napas
dalam-dalam, katanya tersenyum, "Cuaca hari ini sungguh amat baik."
"Ya, cuaca sebaik ini, kukira tiada orang yang ingin mati.”
"Dalam cuaca sebaik ini, kukira tiada orang yang ingin mati.”
"Sayang sekali, peduli cuaca baik atau buruk, setiap hari pasti ada orang mampus."
"Benar, memang harus dibuat sayang."
"Kentongan keempat semalam," tiba-tiba Hoa Boan-thian bersuara "sebenarnya dimana tuan
berada?"
"Di suatu tempat yang tiada manusia."
Hoa Bian-thian menghirup hawa segar, katanya, "Sayang, sayang, sungguh sayang!"
Berkedip mata Yap Kay, katanya, "Apanya yang dibuat sayang?"
"Tuan masih berusia begini muda sudah harus mati, bukankah amat disayangkan?"
"Siapa bilang aku akan mati?" ujar Yap Kay tersenyum, "Sedikit pun aku tidak ingin mati"
Hoa Boan-thian menarik muka, katanya, "Aku pun tidak ingin kau mati, sayang sekali ada
sesuatu benda yang tidak setuju."
"Benda apa?"
Tangan Hoa Boan-thian tiba-tiba diluruskan ke bawah, tiba-tiba telapak tangannya menepuk di
atas sabuk kulit selebar telapak tangan yang melingkar di pinggangnya.
"Sreng", sebatang pedang lemas yang terbuat dari baja murni tiba-tiba tercabut dari
sarungnya, sekali gentak menyongsong datangnya hembusan angin menjadi kaku dan lurus.
"Pedang bagus!" tak tertahan Yap Kay berseru memuji.
“Bagaimana dibanding golok itu."
"Tergantung di tangan siapa golok itu."
"Jika di tangan tuan?"
"Selamanya tanganku tidak pernah menggunakan golok, juga tidak perlu memakai golok."
" Tidak perlu pakai golok?"
"Membunuh orang aku lebih suka menggunakan tangan, karena aku paling senang menikmati
suara tulang teremas hancur oleh jari-jari orang."
Berubah air muka Hoa Boan-thian, katanya, "Pernahkah kau mendengar suara ujung pedang
menusuk amblas ke dalam kulit daging manusia?"
"Belum pernah."
"Suara itupun amat nikmat kedengarannya."
"Kapan bila ada kesempatan, berilah kesempatan supaya aku bisa mendengar."
"Sebentar juga kau segera mendengarnya," kata Hoa Boan-thian, pelan-pelan pedangnya
sudah terayun ujung pedang teracung miring menyongsong sinar surya memancarkan cahaya
kemilau yang menyilaukan mata.
Dalam pada itu, Hun Cay-thian pun tidak tinggal diam, sebat sekali dia sudah menggeser ke
belakang Yap Kay.
Sekonyong-konyong sebuah suara bocah berkata, "Sam-ik (bibi ketiga) coba lihat, mereka
hendak membunuh orang pula di sini, mari kita ke sana menonton?"

Sebuah suara lembut dari perempuan berkata, "Anak bodoh, membunuh orang ada apanya
yang patut ditonton?"
"Tontonan baik, paling tidak lebih baik dari menjagal babi."
Mendengar percakapan ini, pedang Hoa Boan-thian kembali diturunkan.
Tak tertahan Yap Kay berpaling ke belakang, dilihatnya seorang nyonya berpakaian serba putih
sedang menuntun seorang bocah laki-laki berpakaian merah, mereka muncul dari ujung rumah
sebelah belakang sana.
Nyonya ini bertubuh semampai, rambut kepalanya semampai menghitam legam, raut mukanya
berbentuk kwaci justru pucat seperti salju Dia bukan perempuan cantik yang dapat menyedot
sukma laki-laki, namun setiap gerak-geriknya tampak mengandung kematangan jiwa seorang
perempuan.
Peduli laki-laki macam apa pun, begitu berhadapan dengan dia akan lantas tahu, bukan saja
kau bisa mendapatkan kepuasan dan hiburan dari dirinya, kau pun akan mendapatkan pengertian
mendalam dan belas kasihan yang setimpal.
Bocah laki-laki yang dituntunnya itu berpakaian serba merah, rambut kepalanya diikal tepat di
tengah batok kepalanya, lalu diikat dengan pita merah sutra, meskipun perawakannya tinggi
kurus, namun sepasang matanya bundar besar, biji matanya hitam bening seperti buah
kelengkeng jelilatan, terang bocah yang lincah dan cerdik.
Sudah tentu Yap Kay mengunjuk senyuman lebar menyongsong kedatangan mereka. Setiap
berhadapan dengan bocah dan perempuan, senyum mukanya selalu mekar simpatik dan
mengasyikkan.
Setelah dekat dan melihat jelas dirinya, bocah itu kelihatan tertegun mendadak dia berjingkrak
senang dan berteriak, "Aku kenal orang ini."
Nyonya itu mengerut kening, katanya, "Jangan membual, lekas ikut aku pulang."
Bocah itu meronta lepas dari cekalannya, terus berlompatan lari ke depan Yap Kay, katanya
dengan jari kecilnya mengkili-kili ujung hidung, "Malu, malu, malu, memeluk Ciciku tidak mau
dilepaskan, coba katakan kau ini tahu malu tidak
Hoa Boan-thian seketika menarik muka, katanya, "Siau-hou-cu, membual apa kau?"
Berputar biji mata bocah ini, katanya, "Aku tidak membual, aku bicara sesungguhnya, semalam
aku melihat dia berpelukan dengan Cici, disuruh melepaskan dia tidak mau."
Tergerak hati Hoa Boan-thian, "Semalam, kapan terjadinya?"
"Di saat hari hampir terang tanah."
Seketika berubah air muka Hoa Boan-thian
Dari sebelah sana Hun Cay-thian membentak bengis, "Apakah kau sendiri yang melihat kejadian
ini? Awas jangan sekali-kali kau berbohong!"
"Sudah tentu aku melihatnya sendiri."
"Cara bagaimana kau bisa melihatnya?" tanya Hun Cay-thian.
"Semalam setelah kentongan berbunyi, Cici bangun, katanya mau keluar melihat-lihat, aku pun
minta ikut, tapi tidak boleh, di saat dia tidak memperhatikan aku, aku lantas bersembunyi di
bawah perut kuda."
"Selanjutnya bagaimana?"
"Cici tidak tahu, dia mencongklang kudanya ke tengah padang rumput, tak lama kemudian di
sana dia bertemu dengan orang ini, lalu mereka..... Belum habis dia bicara, nyonya itu sudah
menyeretnya pergi, namun mulutnya masih berkaok-kaok, "Aku bicara sesungguhnya dan aku
melihat dengan mata kepalaku sendiri, kenapa aku tidak boleh bicara?"

Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian saling beradu pandang, mukanya serba kelabu, mulut
terkancing tak bersuara lagi.
Mimik muka Yap Kay juga amat aneh, entah apa yang sedang terpikir dalam benaknya.
Tiba-tiba didengarnya seseorang berkata kereng "Kau ikut aku." Entah kapan Ban-be-tong-cu
sudah beranjak keluar, mukanya membesi hijau, tangannya menggapai kepada Yap Kay, dengan
langkah lebar dia keluar ke arah pekarangan.
Tatkala itu, di tengah padang rumput nan luas itu, tengah berkumandang dendang lagu
gembala yang merdu.
Rombongan kuda sedang berlari kencang di bawah timpaan sinar matahari, seluruh alam
semesta diliputi kebesaran jiwa kehidupan nan jaya.
Ban-be-tong-cu duduk tegak lurus, duduk di atas pelana kudanya yang berukir indah, cambuk
terayun kuda membedal, seolah-olah dia hendak melampiaskan kedongkolan dan kemarahan
hatinya. Untung kuda tunggangan Yap Kay juga seekor kuda pilihan yang baik, terhitung dia bisa
mengikuti dengan ketat sehingga tidak ketinggalan jauh
Pucuk bukit di depan sana serba menghijau seperti permadani, kelihatannya tidak begitu tinggi
dari kejauhan, tidak begitu jauh pula. Tapi dengan mencongklang kuda seperti dikejar setan ini,
mereka harus menghabiskan waktu satu jam lebih baru tiba di bawah lereng bukit.
Dengan lincah Ban-be-tong-cu terus melompat turun dari punggung kudanya, tanpa berhenti
melepaskan lelah langsung dia berlari-lari mendaki bukit. Terpaksa Yap Kay terus mengikuti
jejaknya.
Di lereng bukit menempati sebidang tanah yang cukup luas terdapat sebuah pusara besar,
rumput liar sudah tumbuh subur di atas pusara ini, beberapa batang pohon cemara tersebar
tumbuh di sekitarnya menahan hembusan angin barat.
Tepat di depan pusara ini, berdiri tegak sebingkai papan batu besar warna hijau tinggi sembilan
kaki. Tepat di tengah papan batu ini ada terukir huruf-huruf yang berbunyi: "Pusara para
pahlawan Sin-to-tong". Di sampingnya masih terdapat beberapa nama orang, berbunyi: "Pek
Thian-ih suami istri, Pek Thian-yong suami isteri bersemayam di sini".
Ban-be-tong-cu langsung mendatangi pekuburan ini dan berhenti di depan papan batu besar
itu, keringat sudah membasahi seluruh badan sehingga pakaiannya lengket dengan kulit
badannya.
Hembusan angin lalu di atas bukit terasa lebih dingin. Dia langsung berlutut di depan batu
nisan besar ini, lama juga dia seperti berdoa dan bersembahyang, akhirnya berdiri pelan-pelan,
waktu dia putar badan lagi, tampak kerut keriput yang memenuhi mukanya kelihatan semakin
tajam, di tengah lekuk keriput kulit mukanya itu, entah mengandung kenangan masa lalu yang
betapa memilukan dan mengenaskan. Entah betapa pula dendam sakit hati dan kebencian yang
terpendam di dalamnya.
Yap Kay berdiri diam tak bersuara menantang hembusan angin barat, terasa hatinya ikut
mendelu dingin seperti melayang-layang, entah betapa perasaan hatinya saat itu, dia sendiri pun
tidak bisa mengatakan.
Dengan menatap mukanya, Ban-be-tong-cu tiba-tiba bertanya, "Apa yang sudah kau lihat?"
"Sebuah kuburan."
"Kau tahu kuburan siapa?"
"Pek Thian ih, Pek Thian-yong ...."
"Kau tahu siapa meraka?"
Yap Kay geleng-geleng kepala.

Sikap Ban-be-tong-cu kelihatan lebih rawan, katanya prihatin, "Mereka adalah saudara tuaku,
seperti saudara sepupuku sendiri."
Yap Kay manggut-manggut, baru sekarang dia mengerti kenapa orang-orang di sini memanggil
Ban-be-tong-cu sebagai Sam-lopan (majikan ketiga).
Ban-be-tong-cu bertanya pula, "Tahukah kau kenapa aku harus mengubur mereka di dalam
satu liang lahat di sini?"
Kembali Yap Kay geleng-geleng kepala.
Ban-be-tong-cu mengertak gigi, kedua jari-jari tangannya terkepal kencang, mulutnya
mendesis, "Karena waktu aku menemukan mereka, darah daging mereka sudah digares habis oleh
kawanan serigala di padang rumput ini yang kelaparan tinggal setumpukan tulang belulang
melulu, siapa pun sulit membedakan mereka lagi."
Tanpa sadar kedua tangan Yap Kay ikut mengepal kencang, telapak tangannya malah basah
oleh keringat dingin.
Padang rumput terbentang luas di hadapan bukit rendah ini, pada ujung yang paling jauh sana
bertemu dan berdampingan dengan langit nan membiru. Hembusan angin melambaikan rumputrumput
liar yang tumbuh tinggi seperti tarian seorang penari yang gemulai dari kejauhan laksana
gelombang samudra yang mengalun lambat-lambat.
Ban-be-tong-cu putar badan menghadapi padang rumput nan luas ini, pandangannya lepas
lurus ke tempat nan jauh di depan sana, lama juga baru dia membuka suara pula, "Sekarang apa
pula yang kau lihat?"
"Padang rumput, alam semesta," sahut Yap Kay cekak-aos.
"Dapatkah kau melihat ujung tanah nan luas ini?"
"Tidak terlihat dari sini."
"Tanah perdikan nan luas, seluas padang rumput yang tak berujung pangkal ini adalah milikku."
Kelihatannya dia mulai terpengaruh oleh emosinya, katanya pula dengan suara lantang, "Semua
kehidupan di tanah perdikan nan luas ini, seluruh harta benda di sini, semuanya termasuk milikku!
Darah dagingku laksana akar yang kokoh kuat sudah tertanam dan berseri di dalam bumi ini."
Yap Kay pasang kuping, dia mandah mendengarkan saja. Sungguh dia tidak bisa menyelami
orang ini, dia pun tak bisa memahami apa makna semua kata-katanya ini.
Lama juga baru emosi Ban-be-tong-cu mulai reda, katanya kemudian dengan menghela napas,
"Siapa pun untuk dapat memiliki bumi sebesar ini bukan suatu hal atau perjuangan yang sepele."
Tak tahan Yap Kay pun menghela napas, katanya, "Ya, memang tidak gampang."
"Tahukah kau, cara bagaimana aku bisa memiliki semua ini?"
"Tidak tahu "
Mendadak Ban-be-tong-cu menarik sobek baju di depan dadanya maka tertampaklah dadanya
yang bidang kekar laksana baja, katanya, "Kau lihat lagi apakah ini?"
Mengawasi dada orang, serasa hampir berhenti napas Yap Kay Selama hidupnya belum pernah
dia melihat dada seorang dihiasi luka-luka bekas bacokan senjata tajam yang begitu banyak.
Perasaan Ban-be-tong-cu kembali bergolak, sorot matanya pun berkilat, katanya keras penuh
emosi, "Inilah imbalan yang harus kupertaruhkan, jadi segala ini harus kutukar dengan darah,
keringatku, dengan jiwa para saudaraku yang gugur"
"Aku tahu."
"Oleh karena itu," suara Ban-be-tong-cu semakin beringas, "siapa pun jangan harap bisa
merebut semua ini dari kedua tanganku, siapa pun tidak akan kudiamkan."

"Ya, aku maklum!"
Ban-be-tong-cu terengah-engah, orang tua yang sudah gemblengan di medan laga meski
dadanya masih begitu kokoh kuat laksana baja, tapi kondisi badannya sekarang, jelas sekali sudah
tidak memadai dibanding dulu. Apa memang demikiankah tragedi yang harus menimpa setiap
Enghiong yang mulai menanjak usianya.
Setelah napasnya teratur kembali, baru dia membalik badan, pundak Yap Kay ditepuknya,
sikapnya berubah menjadi lemah lembut dan penuh kasih sayang, ujarnya pelan-pelan, "Aku tahu
kau seorang pemuda yang punya pambek, meski diri sendiri berkorban, kau pun takkan mau
merugikan dan merusak nama orang lain, memang jarang pemuda seperti kau di dunia ini."
"Apa yang kulakukan, hanyalah karena aku merasa aku patut melakukannya, tidak perlu ditaruh
dalam hati."
"Apa yang kau lakukan memang tidak salah, aku ingin kau menjadi sahabatku, malah menjadi
menantuku kalau mungkin sampai di sini kembali dia menarik muka, sorot matanya setajam golok
menatap Yap Kay, katanya tegas, "Akan tetapi lebih baik kuanjurkan lekas kau berlalu saja dari
sini."
"Pergi maksudmu?"
"Benar, pergi, lekaslah pergi, lebih cepat jauh lebih baik."
"Kenapa aku harus pergi?"
"Karena banyak kesulitan di sini, siapa pun bila dia berada di sini maka dia takkan terhindar dari
lepotan amisnya darah segar."
"Aku tidak takut kesukaran, aku pun tidak takut bau amisnya darah."
"Tapi tidak pantas kau berada di tempat seperti ini kau harus segera pulang."
"Pulang kemana?"
"Kembali ke kampung halamanmu, di sanalah tempatmu berpijak dan tumbuh sampai hari tua."
Sekarang Yap Kay pun bergerak pelan-pelan membalik menghadapi padang rumput nan luas,
lama juga baru dia buka suara pelan-pelan, "Apa kau tahu dimana kampung halamanku?"
"Betapapun jauh letak kampung halamanmu, berapa banyak pula bekal yang ingin kau bawa,
aku bisa memberi kepadamu secukupnya."
"Kukira tidak perlulah, kampung halamanku tidak jauh."
"Tidak jauh? Dimana?"
Yap Kay mengawasi sekuntum mega di ujung langit sana, katanya, "Di sinilah kampung
halamanku."
Ban-be-tong-cu tertegun.
Yap Kay membalik badan pula, dengan nanar ia balik mengawasi orang, mimik mukanya
menampilkan perasaan yang aneh, katanya serius, "Aku tumbuh di sini, dewasa di sini, lalu
kemana kau suruh aku harus pergi?"
Turun naik dada Ban-be-tong-cu, kedua tangannya terkepal pula, tenggorokannya berbunyi,
namun sepatah kata pun tak kuasa diucapkannya.
"Tadi sudah kukatakan," kata Yap Kay lebih lanjut. "Aku hanya melakukan sesuatu yang pantas
kulakukan, dan lagi selamanya aku tidak gentar menghadapi segala kesulitan, aku pun tidak takut
bau darah."
"Maka kau harus tetap tinggal di sini," bentak Ban-be-tong-cu bengis.
Jawaban Yap Kay tegas, jawabannya hanya sepatah kata, "Ya!"

Angin barat bergulung-gulung, pohon cemara bersuit-suit bergoyang. Segumpal mega
terhembus datang, menutupi sinar matahari, cuaca menjadi gelap.
Walau pinggang Ban-be-tong-cu masih tegak, namun perutnya sudah mengkeret, seperti
sebuah tangan yang tak kelihatan sedang menindih dan meremas-remas perutnya, begitu keras
dan sakitnya sampai rasanya hampir muntah-muntah. Terasa tenggorokan dan mulutnya kecut
getir.
Yap Kay tinggal pergi. Dia tahu, namun dia tidak merintangi, malahan melirik atau berpaling
pun tidak ke arahnya. Kalau toh dia tidak bisa merintangi, buat apa dia harus mengawasi
kepergian orang?
Kalau kejadian ini berlangsung lima tahun yang lalu, dia pasti tidak akan membiarkan pemuda
ini pergi. Kalau lima tahun yang lalu, mungkin dia sudah mengubur si pemuda di tanah bukit ini.
Selamanya belum pernah ada orang yang berani menolak segala omongannya, apa pun yang
pernah dia ucapkan, selamanya takkan ada orang yang berani menentang. Tapi sekarang tibalah
saatnya, kenyataan dirinya sudah ditentang.
Tadi waktu mereka berhadapan, sebetulnya ada kesempatan dia melontarkan pukulan
tangannya menghajar hidung si pemuda. Kecepatan jotosan tangan ini, boleh dikata secepat
sambaran kilat, kalau hal ini terjadi lima tahun yang lalu, dia yakin dirinya pasti dapat memukul
roboh siapa saja yang berdiri di hadapannya.
Itulah yang dinamakan It-kun-hong-bun (sekali pukul menutup pintu)! Sebetulnya dia amat
yakin akan pukulannya ini malah boleh dikata selama ini dirinya belum pernah gagal. Akan tetapi
kali ini dia sia-siakan kesempatan ini, dia tidak turun tangan.
Beberapa tahun belakangan ini meski daging otot badannya masih kekar, keras dan kenyal,
sampai pun perutnya pun tidak tumbuh lemak yang berlebihan, walau sedang duduk atau sedang
berdiri, badannya tetap tegak lurus seperti tonggak kayu kokohnya selama banyak tahun ini,
lahiriahnya masih kelihatan gagah belum pernah terjadi sesuatu perubahan. Akan tetapi
memangnya kelemahan badaniah seseorang sukar dilihat dari lahiriahnya. Ada kalanya, sampai
pun diri sendiri tak melihat dan menyadari.
Bukan lantaran perutnya sudah tidak kuat lagi dibakar oleh panasnya arak, bukan lantaran
keisengannya terhadap perempuan terlalu sering, tidak sekuat dan segagah seperti dulu-dulu di
masa mudanya. Dan yang benar-benar berubah adalah hatinya sendiri.
Tiba-tiba disadarinya segala sesuatu yang dikuatirkan semakin bertumpuk-tumpuk, terhadap
persoalan apa pun, keyakinan dirinya sudah tidak setebal dulu.
Sampai pun di atas pembaringan, di saat dia sedang bergumul dengan perempuan yang paling
dia cintai, dia pun sudah tidak bisa seperti dulu dapat mengendalikan diri sesuka hati, beberapa
kali belakangan ini malah dia sendiri mulai curiga apakah permainannya benar-benar masih dapat
memuaskan orang lain.
Apakah segala ini sudah melambangkan ketuaan jiwanya, bila seseorang di dalam hatinya
sudah merasakan kelemahan badaniahnya, baru dia benar-benar terhitung sudah jempol, sudah
tua dan tak kuat lagi.
Lima tahun ... mungkin hanya tiga tahun ... tiga tahun yang lalu, siapa pun yang berani
menolak permintaannya, jangan harap orang dapat menyingkir dari hadapannya dengan langkah
berdiri. Sekarang umpama dia rela mempertaruhkan segala kekayaan dan kekuasaan yang dia
miliki, jangan harap dia bisa menebus masa-masa lalu yang sudah berselang selama tiga tahun ini.
Lalu berapa banyak lagi tiga tahun yang masih ketinggalan? Dia tidak mau memikirkan, sekarang
dia hanya bisa merebahkan diri dengan diam-diam. Sekonyong-konyong dia merasa badannya
amat letih.
Cuaca gelap, mega mendung, sebentar agaknya bakal hujan deras.
Sudah tentu Ban-be-tong-cu tahu akan cuaca yang buruk seperti ini, pengalaman hidup selama
bertahun-tahun, membuat dia sudah dapat melihat adanya perubahan pikiran orang lain.

Akan tetapi dia merasa malas, malas untuk berdiri, malas pulang. Diam-diam dia berbaring di
depan batu nisan, matanya mendelong mengawasi huruf-huruf yang terukir di depan batu nisan:
"Pek-thian-ih suami istri, Pek Thian-yong suami istri. Sebetulnya mereka adalah saudara
angkatnya, memangnya mereka mati dengan mengenaskan. Akan tetapi dirinya tak mungkin
menuntut balas bagi kematian mereka.
Kenapa?
Kecuali dirinya dan orang-orang yang sudah ajal ini, orang-orang yang tahu rahasia ini tidak
banyak. Rahasia ini sudah terbenam delapan belas tahun lamanya di dalam sanubarinya, seolaholah
sebatang duri runcing yang menusuk hulu hatinya, setiap kali dia teringat akan peristiwa itu,
seketika terasa hatinya sakit dan tersiksa.
Kupingnya yang tajam tidak mendengar adanya derap kuda yang berlari datang, tapi nalarnya
merasakan adanya seseorang yang sedang beranjak mendaki bukit. Langkah kaki orang ini tidak
ringan, namun langkahnya lebar, besar dan cepat sekali. Dari langkah lebar dan berat ini dia tahu
bahwa Kongsun Toanlah yang tengah mendatangi.
Hanya Kongsun Toan seorang saja yang bisa sama-sama menikmati dan menyembunyikan
rahasia itu. Dia percaya penuh kepada Kongsun Toan, umpama seorang ibunda mempercayai
puteranya.
Derap langkah kaki seperti suara orang bicara, setiap langkah orang pasti mempunyai derap
kaki yang berlainan. Oleh karena itu cukup asal mendengar langkah kaki ini, seorang buta lantas
dapat membedakan siapa dan orang macam apa yang sedang berjalan itu.
Langkah Kongsun Toan memang serasi dengan perawakannya, gagah kasar, berangasan,
begitu mulai bergerak tak mungkin dia mau berhenti sebelum maksudnya terlaksana. Tanpa ganti
napas langsung dia beranjak naik ke lamping gunung, setelah melihat Ban-be-tong-cu baru dia
berhenti, begitu berhenti mulutnya segera bertanya, "Mana dia?"
"Sudah pergi," pendek jawaban Ban-be-tong-cu.
"Kau biarkan saja dia pergi?" tanya Kongsun Toan.
Ban-be-tong-cu menghela napas, "Mungkin ucapanmu tidak salah aku sudah tua, sudah mulai
gentar menghadapi urusan."
"Takut menghadapi urusan?"
"Takut urusan, maksudnya tidak mau melibatkan diri pula di dalam persoalan yang tidak
penting dan menyulitkan diri sendiri."
"Kau beranggapan bukan dia?"
"Bagaimana pun juga, paling tidak peristiwa semalam bukan perbuatannya, ada orang yang
bisa membuktikan alibinya."
"Kenapa dia sendiri tidak mau menerangkan alibinya?"
"Mungkin karena dia masih terlalu muda, terlalu muda waktu mengucapkan "muda" terasa
ludah di mulutnya amat getir. Getir dan kecut
Kongsun Toan menunduk, dilihatnya huruf-huruf yang terukir di batu nisan, kepalannya
tergenggam kencang, mimik muka dan sorot matanya pun seketika berubah entah sedang
dirundung kepedihan, ketakutan atau dibakar oleh dendam kesumat. Lama juga baru dia bersuara
dengan berat, "Apa kau bisa memastikan bila Pek-lotoa benar-benar punya anak?"
"Ehm!" Ban-be-tong-cu hanya bersuara dalam mulut.
"Darimana pula kau bisa tahu bila anak yatimnya yang datang menuntut balas?"
Ban-be-tong-cu memejamkan mata, katanya sepatah demi sepatah, "Tapi kami bekerja amat
rahasia, kecuali mereka yang sudah meninggal, memangnya siapa pula yang mengetahui?"

"Rahasia apa pun, cepat atau lambat pasti akan diketahui oleh orang, jika ingin orang lain tidak
tahu, kecuali jangan kau lakukan, pameo ini kau harus selalu mengukirnya dalam sanubarimu."
Dengan mendelik Kongsun Toan menatap huruf di atas batu nisan, rasa ketakutan yang
terbayang dalam sorot matanya kelihatan semakin tebal, katanya mendesis sambil mengertak gigi,
"Jika anak yatim itu sudah tumbuh dewasa, tentunya usianya sudah sebaya dengan Yap Kay."
"Kira-kira sebaya pula dengan Pho Ang-soat."
Bergegas Kongsun Toan memutar tubuh, katanya sambil membungkuk badan mengawasinya,
"Menurut pendapatmu, kecurigaan siapa lebih besar di antara mereka?"
"Menurut situasi sekarang, kurasa Pho Ang-soat harus lebih dicurigai."
"Kenapa dia?"
"Lahirnya kelihatan pemuda ini amat tenang dingin, seorang yang amat sabar, hakikatnya
sabubarinya lebih bergolak dan emosi dari orang lain."
Kongsun Toan menyeringai dingin, katanya, "Tapi dia lebih suka merangkak lewat pagar untuk
masuk pintu seperti anjing daripada membunuh orang-orang tidak becus itu."
"Soalnya orang-orang itu tiada yang setimpal dia bunuh, bukan mereka yang harus dia bunuh."
Seketika berubah air muka Kongsun Toan.
Berkata Ban-be-tong-cu pelan-pelan, "Seorang laki-laki yang menyerupai watak berangasan,
keras dan selalu emosi, mendadak bisa berubah rendah diri dan terima dihina orang, hanya
lantaran satu sebab saja."
"Sebab apa?"
"Dendam kesumat!"
Bergetar badan Koangsun Toan, “Dendam kesumat!"
"Jika hatinya dihayati dendam kesumat yang harus dia tuntut, maka sedapat mungkin dia harus
berusaha mengekang diri sendiri, maka dia terima merendah diri, dihina dan dipermainkan, karena
tujuannya hanya ingin menuntut balas," matanya terbuka, seolah-olah matanya menyorotkan rasa
takut, katanya, "Pernahkah kau mendengar kisah Kou Jan menuntut balas? Justru karena dendam
yang bersemayam di dalam relung hatinya amat mendalam, maka segala sesuatu yang orang lain
tidak kuat menahan dirinya, ia justru dapat mengendalikan seluruhnya."
Terangkat kepalan tangan Kongsun Toan, katanya serak gemetar, "Kalau demikian, kenapa
tidak kau biarkan aku membunuhnya?"
Pandangan Ban-be-tong-cu tertuju ke ufuk langit nan jauh kelam itu, lama dia tidak bersuara.
Suara Kongsun Toan semakin berapi-api, "Sekarang kita sudah berkorban tiga belas jiwa orang,
memangnya kau masih takut salah membunuh orang?"
"Kau salah!" tukas Ban-be-tong-cu pendek
"Kau kira dia masih punya komplotan?"
"Yang terang, persoalan ini tidak mungkin dilakukan hanya oleh tenaga seorang."
"Bukankah keluarga Pek sudah terbabat habis ke akar-akarnya?"
Badan Ban-be-tong-cu yang rebah itu tiba-tiba melenting bangun, bentaknya bengis, "Jikalau
benar sudah terbabat habis seakar-akarnya, lalu darimana pula datangnya anak yatim itu? Jika
tiada seseorang yang membantunya secara diam-diam, memangnya bocah sekecil itu masih bisa
hidup sampai sekarang? Jikalau orang itu bukan seorang tokoh kosen dan lihai, darimana pula dia
bisa tahu akan perbuatan kita? Masakah dia bisa menyembunyikan diri dari kejaran dan razia
kita?"
Tertunduk kepala Kongsun Toan, mulutnya terbungkam.

Semakin kencang jari-jari Ban-be-tong-cu terkepal, desisnya lebih tegas, "Oleh karena itu, bila
kali ini kita harus bergerak, maka kita harus punya pegangan dan yakin benar pasti dapat
menjaring mereka seluruhnya, sekali-kali tidak boleh meninggalkan bibit bencana pula di kelak
kemudian hari."
Kongsun Toan mengertak gigi, katanya, "Tapi kalau kita harus menunggu demikian saja,
sampai kapan kita harus menunggu?"
"Betapapun lamanya kita harus menunggu, kita harus tetap menunggunya dengan sabar."
"Kini sudah tiga belas jiwa orang-orang kita amblas, kalau menunggu pula, entah berapa pula
jiwa yang harus berkorban?"
"Asal toh jiwa orang lain, umpama harus mengorbankan tiga ratus jiwa apa pula halangannya?"
"Kau kuatir dia turun tangan lebih dulu?"
"Kau tak usah kuatir, dia pasti tidak akan turun tangan secepat itu terhadap kami."
"Kenapa?"
"Karena dia pasti tidak akan membuat kami mati terlalu cepat, terlalu gampang."
Menghijau kaku raut muka Kongsun Toan, telapak tangannya yang besar itu sudah
menggenggam gagang goloknya.
"Satu hal yang paling penting, sampai detik ini dia belum berhasil mendapatkan suatu bukti
yang nyata, bukti bahwa kitalah yang turun tangan, maka.....
"Maka bagaimana?"
"Maka dia sengaja akan membuat kita takut, karena siapa pun bila hatinya dirundung
ketakutan, gampang sekali akan melakukan tindakan yang salah, di saat kita melakukan kesalahan
itulah baru dia bisa berkesempatan menangkap kelemahan kita."
"Oleh karena itu sekarang kita lebih baik tidak bertindak di luar garis?"
"Oleh karena itu satu-satunya jalan yang harus kita lakukan hanya menunggu, menunggu
sampai dia berbuat kesalahan lebih dulu." Sikap Ban-be-tong-cu mulai sabar, katanya kalem,
"Hanya menunggu, selamanya tidak akan salah!"
Memang menunggu dengan sabar selamanya tidak akan salah.
Bila seseorang bisa bersabar, dapat menunggu, cepat atau lambat pasti akan mendapat
peluang, mendapat kesempatan yang paling baik.
Tapi jika kau hendak menunggu, bukan mustahil pula kau harus mempertaruhkan imbalannya,
justru imbalan inilah yang lebih menakutkan.
Dengan kencang Kongsun Toan menggenggam goloknya, mendadak golok tercabut, sekali
ayun dia bacok batu nisan di hadapannya, kembang api muncrat. Tepat pada saat itu pula udara
dengan mega mendung kebetulan memancarkan kilat dan geledek pun menggelegar dengan
dahsyatnya ... kilauan golok Kongsun Toan seolah-olah menjadi pudar dan kehilangan cahayanya
di tengah sambaran kilat itu.
Tetesan air hujan sebesar kedelai bertetesan membasahi batu nisan itu, lalu mengalir melalui
celah-celah retakan yang terbacok golok barusan. Seolah-olah batu nisan inipun sedang
mengucurkan air mata menangisi nasibnya yang jelek.
BAB 7. AWAN HITAM MENYELIMUTI LANGIT
Hujan angin.

Hujan selebat ini takkan mungkin hanya merupakan setetes air belaka. Asal kau melihat atau
ketetesan setitik air dari langit, maka kau pasti akan tahu bila hujan lebat bakal segera turun.
Jendela tertutup rapat, keadaan rumah itu gelap-gulita.
Tetesan air hujan berjatuhan di atas genting, menetes di daun jendela, laksana tambur yang
dipukul bertalu-talu di tengah medan laga, laksana derap laksaan kuda saling terjang.
Yap Kay duduk miring sambil menjulurkan kedua kakinya, mengawasi sepasang sepatu
tingginya yang sudah butut, setelah menarik napas panjang, mulutnya menggumam seorang diri,
"Lebat benar hujan ini!"
Dengan hati-hati dan menumplekkan seluruh perhatiannya, Siau Piat-li tengah membalik kartu
gadingnya yang terakhir, lama dia mengawasi kartunya ini, baru kemudian dia berpaling dengan
tersenyum, katanya, "Biasanya di sini jarang turun hujan."
Yap Kay termenung, katanya kemudian, "Mungkin karena biasanya jarang turun hujan, maka
hujan kali ini luar biasa lebatnya."
Siau Piat-li manggut-manggut, dengan seksama dia mendengarkan suara hujan di luar,
akhirnya menghela napas, katanya pula, "Hujan hari ini memang turun bukan pada saatnya."
"Kenapa bukan pada saatnya?"
"Hari ini seperti biasanya, adalah hari dimana mereka sering masuk kota membeli benang,
pupur dan segala keperluan perempuan lainnya."
"Mereka? Mereka siapa yang kau maksud?"
"Satu di antara mereka, sudah pasti adalah yang paling kau ingin temui."
Yap Kay paham juntrungan kata-kata orang, namun dia bertanya, "Darimana kau tahu bila aku
ingin bertemu dengan dia?"
"Aku dapat melihatnya."
"Cara bagaimana kau melihatnya?"
Seperti menyayangi seorang puteranya, Siau-Piat-li mengelus-elus kartu gading di atas
mejanya, katanya kalem, "Mungkin kau tidak percaya, tapi memang kenyataan aku selalu dapat
melihat banyak persoalan dari permainan kartuku ini."
"Lalu apa pula yang dapat kau lihat dari kartumu itu?"
Mengawasi kartu-kartu gadingnya, lama kelamaan raut muka Siau Piat-li menjadi serius, sorot
matanya menampilkan rasa kuatir dan dibayangi tabir gelap, katanya, "Kulihat segumpal mega
mendung, menutupi di atas Ban-be-tong, di dalam mega mendung itu terdapat sebatang golok,
golok yang meneteskan noda darah.
Mendadak dia angkat kepala menatap Yap Kay katanya dengan suara tertekan, "Semalam
apakah terjadi sesuatu pembunuhan yang tragis di dalam Ban-be-tong?"
Agaknya Yap Kay tercengang oleh pertanyaan ini, lama baru dia menjawab dengan tertawa,
"Seharusnya kau merubah obyekmu menjadi tukang ramal saja."
"Sayang sekali aku hanya bisa melihat bencana atau kesedihan yang menimpa orang lain,
sebaliknya tidak pernah bisa kulihat rezeki nomplok seseorang."
"Kau ... kau belum pernah meramal nasib jelekku?"
"Kau ingin tahu sebenarnya?"
"Sudah tentu."
Sorot mata Siau Piat-li mendadak jadi berubah kosong melompong, seolah-olah sedang
menatap ke tempat nan jauh, katanya, "Di atas kepalamu juga tampak segumpal mega, jelas
sekali bila kau pun sedang dirundung kerisauan."

"Apakah aku memang mirip orang yang selalu risau?”
"Mungkin kerisauan itu bukan menjadi milikmu sendiri, tapi kau ditakdirkan begitu lahir di dunia
fana ini sudah terlibat banyak kesulitan dan kerisauan orang lain yang selalu membelenggu dirimu,
takkan mungkin kau menghindarinya."
Tawa Yap Kay tampak dipaksakan, katanya, "Apakah di dalam gumpalan mega di atas kepalaku
ini juga tersembunyi golok?"
"Umpama benar ada golok di sana pun tidak menjadi halangan."
"Kenapa?"
"Karena di dalam jiwamu terdapat banyak Kui-jin, maka di dalam menghadapi segala persoalan
selalu kau dapat terhindar dari mala petaka."
"Kui-jin?" Yap Kay menegas.
"Kui-jin yang dimaksud adalah menyukai kau dan lagi mereka adalah orang-orang yang bisa
membantu kau, umpamanya.....
"Umpamanya kau?" tukas Yap Kay.
Siau Piat-li tertawa, katanya geleng-geleng kepala, "Kui-jin di dalam jiwamu kebanyakan adalah
kaum hawa, umpamanya Cui-long!"
Mengawasi kembang mutiara di dada Yap Kay, dia menambahkan dengan tertawa, "Semalam
suntuk kemarin dia menunggu dirimu, kenapa tidak kau cari dia?"
"Tarip ranjang setinggi emas, laki-laki rudin seperti aku, bila sudah tahu bakal terusir keluar,
kenapa aku harus ke sana?"
"Kau salah."
"Oh, salah."
"Perempuan di sini belum tentu semuanya harus dibayar emas."
"Aku justru mengharap mereka seluruhnya demikian."
"Kenapa?"
"Karena dengan demikian tak usah banyak pikiran dan kuatir, hati pun takkan pernah gundah
dan risau."
"Apa kau mau bilang, bahwa seseorang yang dimabuk cinta pasti risau?"
"Betul."
"Kau salah lagi, seseorang bila sedikit pun dia tidak dihinggapi kerisauan, apa pula manfaatnya
dia hidup?"
"Aku justru lebih senang duduk-duduk di sini, kecuali di sini siang hari tidak menerima
kunjungan tamu."
"Kau sih boleh dikecualikan, kapan saja kau suka datang, terserah sampai kapan kau suka
duduk di sini tidak menjadi halangan, tapi aku kembali dia menghela napas, katanya getir, "Aku
sudah tua, semangatku tidak kuat lagi, bila tiba saatnya harus tidur, seluruh tubuh rasanya hampir
lumpuh."
"Jadi kau belum tidur?"
Tawa Siau Piat-li seperti rada berduka, katanya, "Orang tua selamanya segan tidur terlalu lama,
karena dia tahu masa hidupnya tidak akan lama lagi, apalagi aku ini mirip kucing malam."
Ditariknya tongkat di sisi kursinya, lalu dikempit di bawah ketiak, pelan-pelan dia berdiri,
katanya tiba-tiba, "Tengah hari nanti mungkin hujan akan reda, kemungkinan pula kau bisa
bertemu dengan dia!"

Siau Piat-li sudah naik ke atas loteng.
Waktu dia berdiri, baru Yap Kay melihat jubah panjang bagian bawahnya melambai kosong.
Ternyata kedua kakinya sudah buntung sebatas lututnya.
Cara bagaimana kedua kakinya ini dibacok kutung orang? Lantaran apa?
Siapa pun tak akan dapat mengetahui, kalau dia bukan orang sembarangan, masakah dia bisa
berada di sebuah kota kecil di perbatasan serta mengusahakan dagangan yang kurang pantas ini?
(sebagai germo).
Apakah dengan usahanya ini dia ingin menyembunyikan asal-usul dirinya? Apakah benar ada
sesuatu kekuatan yang misterius benar-benar dapat mengetahui untung rugi seseorang sebelum
kejadian itu sendiri terjadi?
Yap Kay sedang merenungkan hal ini, akhirnya matanya menatap ke arah kartu-kartu gading di
atas meja itu, segera dia berdiri menghampiri, tangan diulur meraba-raba. Mendadak terasa
olehnya bahwa kartu-kartu gading yang diduganya, semua adalah bikinan dari baja murni.
Terdengar suara batuk-batuk kecil tertahan, sayup-sayup berkumandang dari loteng kecil di
bagian belakang itu.
Yap Kay menghela napas, terasa olehnya bahwa laki-laki buntung ini bahwasanya adalah
seorang yang tersembunyi dan serba misterius, setiap patah kata-katanya seolah-olah
mengandung arti yang misterius pula, demikian pula setiap urusan yang dia lakukan, seolah-olah
mempunyai suatu tujuan yang misterius. Sampai pun loteng mungil tempat tinggalnya ini,
kemungkinan menyembunyikan sesuatu rahasia yang tidak diketahui orang lain.
Mengawasi tangga loteng sempit yang gelap itu, tiba-tiba muka Yap Kay dihiasi senyuman
lebar. Terasa olehnya tempat ini sungguh menarik perhatiannya.
Tengah hari. Ternyata hujan berhenti, menyeberangi jalan raya yang basah berlumpur, Yap Kay
beranjak ke seberang menuju toko kelontong di sebelah samping sana.
Pemilik toko kelontong ini adalah seorang laki-laki pertengahan umur yang supel dan suka
berkelakar, mukanya bulat, siapa pun yang memandang mukanya selalu dia mengulum senyuman
ramah.
Pembeli kebanyakan suka membayar harga semurah mungkin dan membeli barang yang paling
baik, meski kurang sedikit pembayarannya pun tidak menjadi soal, selalu dia berkata dengan
ramah, "Baiklah, sekedarnya pun bolehlah, toh sama tetangga dalam satu jalan raya."
Dia she Li, maka orang suka memanggilnya dengan Li-ma-hou (Li si ceroboh).
Yap Kay kenal Li-ma-hou, namun dia lupa memeriksa apakah di dalam toko kelontongnya ini
ada jual benang, pupur dan keperluan perempuan lainnya.
Tengah hari seperti sekarang, adalah waktunya orang makan siang, maka pada saat seperti ini
paling jarang orang berbelanja di toko kelontongnya. Seperti biasanya, setelah makan siang Li-mahou
sedang duduk termenung dengan malas-malas dan mengantuk di meja kasirnya.
Yap Kay pun tidak ingin membuat kaget orang, dia mondar-mandir kian kemari sedang melihatlihat,
tiba-tiba didengarnya suara kereta roda menggelinding di jalan raya yang bedek, sebuah
kereta besar dengan kencang sedang lewat di depan toko.
Kereta ini berwarna hitam legam, delapan kuda penariknya merupakan kuda-kuda pilihan yang
sudah terlatih baik sekali. Yap Kay masih ingat kereta inilah yang kemarin menjemput dirinya
menuju ke Ban-be-tong. Siapakah yang duduk di dalam kereta?
Baru saja dia hendak melongok keluar, di belakangnya seseorang sudah bersuara dengan
tertawa, "Agaknya bini muda Ban-be-tong-cu dan putri besarnya masuk kota hendak berbelanja
lagi, entah hari ini dia mau membeli telur ayam tidak?"
"Mereka toh tidak perlu mencukupi kebutuhan dapur, untuk apa beli telur ayam?" ujar Yap Kay
sambil membalik, maka dilihatnya entah sejak kapan Li-ma-hou sudah siuman, tengah tertawa

memicing mengawasi dirinya, sahutnya, "Nah, hal ini tentu tidak kau ketahui, perempuan jika
menggunakan telur ayam buat cuci muka, semakin dicuci semakin muda dan ayu."
"Oh, jadi bini atau menantumu juga setiap hari cuci muka dengan telur ayam?"
Li-ma-hou mencibirkan bibir, katanya tertawa dingin, "Biniku? Umpama setiap hari dia cuci
muka menggunakan tiga ratus butir telur, juga tetap bermuka kering seperti kulit jeruk." Tiba-tiba
dia mengunjuk seri tawanya yang lucu, katanya pula merendahkan suara, "Tapi dua cewek dari
Ban-be-tong itu, wah cantiknya laksana bidadari, Toaya kalau kau beruntung bisa.....
"Li-ma-hou," tiba-tiba terdengar suara anak kecil dari luar pintu, "kau sedang membual
apalagi?"
Lekas Li-ma-hou berpaling keluar, seketika berubah air mukanya, tersipu-sipu dia menyongsong
sambil mengunjuk tawa berseri kaku, "Tidak membual apa-apa, aku sedang membikinkan Siausiauya
sebuah permen Holou."
Tampak seorang anak laki-laki sedang berdiri di ambang pintu sambil bertolak pinggang,
matanya yang bundar besar sedang melotot, baju yang dipakainya lebih menyala dari warna
permen Holou itu, meski kecil usianya, namun sikapnya terlalu garang dan begitu berhadapan
dengan bocah cilik ini, Li-ma-hou seketika kuncup nyalinya dan pucat. Tapi begitu bocah ini
melihat Yap Kay juga berada di dalam toko ini, air mukanya pun berubah pucat, tanpa
menghiraukan Li-ma-hou dia putar badan hendak tinggal pergi.
Lekas Yap Kay mengejar keluar, sekali raih dia tangkap kuncir rambut di tengah kepalanya,
katanya tertawa, "Jangan kau ini hanya Siau-hou-cu (harimau kecil), umpama kau ini Siau-hou Ti
(rase kecil) juga jangan harap bisa lolos dari tanganku."
Siau-hou-cu agaknya bingung dan gelisah, katanya keras, "Aku toh tidak kenal kau, untuk apa
kau menarik-narik aku?"
"Bukankah tadi pagi kau masih kenal aku? Kenapa sekarang bilang tidak kenal?"
Merah malu selebar muka Siau-hou-cu, kembali ia mau berteriak.
"Kau patut mendengar omonganku," segera Yap Kay berkata, "berapa permen Holou yang kau
inginkan nanti kubelikan, kalau tidak, akan kuadukan kau kepada ayah dan Su-siokmu, bahwa tadi
pagi kau membual."
Lebih gelisah Siau-hou-cu dibuatnya, katanya dengan muka merah, "Aku ... aku ada membual
apa?"
Yap Kay merendahkan suaranya, "Semalam kau sudah tidur pagi-pagi, juga tidak bersembunyi
di bawah perut kuda tunggangan Cicimu, benar tidak?"
Biji mata Siau-hou-cu berputar-putar, katanya merengek, "Aku toh ingin membantu kau."
"Siapa yang suruh kau bilang demikian?"
"Tiada siapa-siapa, aku sendiri...
Yap Kay menarik muka, katanya, "Tidak kau bicara jujur kepadaku, terpaksa kugusur kau
pulang, kuserahkan kau kepada ayahmu."
Saking ketakutan Siau-hou-cu pucat gemetar, setiap kali mendengar soal ayahnya, maka bocah
ini akan bicara sejujurnya, katanya menunduk, "Baiklah, kau ingin tahu, biar kuberikan kepadamu,
Sam-iklah yang mengajar aku untuk bilang demikian."
Yap Kay kaget, serunya, "Apa Sam-ik? Apakah orang yang tadi pagi menarikmu itu?"
Siau hou-cu manggut-manggut.
Bertaut alis Yap Kay, katanya, "Darimana dia bisa tahu semalam aku ada bersama Cicimu?"
"Mana aku tahu?" sahut Siau-hou-cu memonyongkan bibirnya. "Kenapa tidak kau tanya dia
sendiri!"

"Terpaksa Yap Kay melepaskan tangannya, bocah ini selincah kelinci segera lari sipat-kuping.
Setelah tiba di seberang sana, baru dia berpaling sambil mengunjuk muka setan, katanya
cekikikan menggoda, "Kau boleh pergi tanya dia, tapi jangan kau peluk dia seperti kau peluk
Taciku, kalau tidak, ayahku bisa iri." Belum habis kata-katanya, dengan tangkas dia berlari masuk
ke dalam sebuah toko kain sutra.
Yap Kay mengerut alis, dia sedang termenung memikirkan kata-kata si bocah. Terang hal ini
berada di luar dugaannya. Siapakah Sam-ik? Darimana dia bisa tahu gerak-gerik dirinya semalam?
Kenapa pula dia mau menolong dan membereskan kesulitannya? Sungguh dia tidak habis pikir,
baru saja dia mengangkat kepala, kebetulan dilihatnya Sam-ik sedang beranjak keluar dari toko
kain sutra di seberang sana. Dandanannya masih tetap sederhana, pakaiannya serba putih laksana
salju, bukan saja mukanya tidak berkenalan dengan pupur, juga tidak berias, tapi membawa
kematangan jiwa seorang perempuan, siapa pun yang melihatnya tanpa menyentuhnya orang
sudah akan tergila-gila.
Di waktu Yap Kay mengawasinya, sepasang biji matanya yang jeli juga sedang mengerling ke
arah Yap Kay, entah memang disengaja atau tidak, malah seakan-akan mengunjuk senyuman
manis kepadanya. Tiada orang yang dapat melukiskan kecantikan senyuman ini.
Yap Kay sendiri seperti linglung dibuatnya, sesaat kemudian baru disadarinya bila di belakang
orang terdapat sepasang mata lain yang juga sedang menatap ke arah dirinya. Sepasang mata
yang terang bersinar ini tiba-tiba diliputi tabir kabut, seperti terselubung kain sari. Apakah karena
semalam dia tidak tidur? Ataukah karena dia baru saja menangis?
Berdetak jantung Yap Kay, melonjak-lonjak keras. Dengan malu-malu kucing dan manis mesra
Be Hong-ling tengah mengawasi dirinya, secara diam-diam dia telah memberikan lirikan mata yang
berarti pula. Melihat lirikan mata ini segera Yap Kay manggut-manggut.
Barulah Be Hong-ling merasa lega dan menundukkan kepala, sambil tertawa diam-diam,
segumpal awan merah seketika menghias roman mukanya.
Mereka tidak perlu bicara. Asal dengan sekali lirikan mata, bagaimana isi hatinya sudah cukup
dimengerti. Memangnya cukup dengan sekali kerlingan mata saja Yap Kay sudah akan maklum
akan arti tujuannya. Memangnya buat apa mereka harus bicara?
Suasana loteng kecil itu tetap hening tiada suara apa-apa, namun kartu gading di atas meja
entah sejak kapan sudah dikukuti dan disimpan.
Jendela terbuka, namun keadaan di dalam rumah tetap gelap.
Kembali Yap Kay duduk di tempatnya tadi, duduk sambil menunggu dengan sabar. Dia cukup
tahu maksud Be Hong-ling, namun sungguh mati dia tidak habis mengerti arti kerlingan mata
Sam-ik tadi.
Bini Ban-be-tong-cu sudah meninggal, laki-laki seperti dia sudah tentu di sampingnya tidak
boleh kekurangan perempuan. Memang hanya perempuan seperti itu baru setimpal berjodoh
dengan laki-laki macam ini.
Yap Kay sudah berhasil meraba asal-usul dan kedudukannya, namun masih belum paham akan
maksudnya. Terutama senyuman itu.
Yap Kay menghela napas, dia tidak ingin memikirkan lagi ... kalau dibayangkan, berarti dia
kurang simpatik terhadap Be Hong-ling. Akan tetapi senyuman yang satu ini, seolah-olah sudah
terukir dalam lubuknya, betapapun tidak bisa dilupakan.
Sekarang apakah yang tengah mereka kerjakan? Sedang beli telur di toko klontong?
Dengan telur ayam untuk cuci muka, apakah benar muka perempuan itu akan semakin muda
dan cantik?
Yap Kay memusatkan segala perhatiannya, ia berusaha untuk memikirkan sesuatu yang tiada
sangkut-pautnya dengan persoalan ini, tapi pikir punya pikir, selalu mereka berdua saja yang
berkecamuk dalam benaknya.

Untunglah pada saat itu daun pintu pelan-pelan didorong terbuka. Yang datang sudah tentu Be
Hong-ling adanya.
Baru saja Yap Kay hendak bangun, kembali hatinya tenggelam.
Yang datang ternyata bukan Be Hong-ling, namun adalah Hun Cay-thian. Diam-diam Yap Kay
menghela napas dalam hati, ia tahu hari ini dirinya akan sulit bisa menemui Be Hong-ling. Melihat
dirinya berada di sini, agaknya Hun Cay-thian juga merasa di luar dugaan, tapi setelah masuk
kemari, masakah harus putar balik?
Mendadak Yap Kay tertawa, katanya, "Apakah tuan hendak mencari Cui-long? Apa kau ingin
tanya dia, kenapa kembang mutiara ini dia berikan kepada orang lain?"
Hun Cay-thian batuk-batuk kering dua kali, tanpa bersuara dia menarik kursi terus duduk.
Yap Kay tertawa pula, ujarnya, "Laki-laki cari cewek, memangnya suatu kejadian yang paling
umum di dunia ini, kenapa tuan tidak langsung masuk ke sana?"
Agaknya perasaan Hun Cay-thian sudah mulai tenang, katanya kereng, "Aku memang sedang
mencari orang, tapi bukan mencari dia."
"Memangnya mencari siapa?"
"Pho Ang-soat."
"Untuk apa kau cari dia?"
Hun Cay-thian menarik muka, agaknya dia menolak menjawab.
"Bukankah dia masih tinggal di Ban-be-tong?"
"Sudah tiada lagi," sahut Hun Cay-thian.
"Kapan dia pergi?"
"Tadi pagi."
Berkerut alis Yap Kay, ujarnya, "Kalau tadi pagi dia sudah berlalu, kenapa di kota ini aku tidak
pernah melihat bayangannya?"
Hun Cay-thian ikut mengerut alis, tanyanya, "Bagaimana dengan yang lain?"
"Yang lain juga tiada satu pun yang kembali, hakikatnya di daerah sini tiada tempat lain, jika
mereka kemari, aku pasti sudah melihatnya."
Berubah sudah rona muka Hun Cay-thian, pelan-pelan kepalanya terangkat mengawasi loteng
kecil di bagian belakang itu.
Berkilat sorot mata Yap Kay, katanya, "Sam-lopan berada di loteng, apa tuan ingin bertanya
kepadanya?"
Sejenak Hun Cay-thian ragu-ragu tiba-tiba bergegas berdiri, pintu didorong terus melangkah
keluar.
Pada saat itu ada puluhan gerobak yang ditarik keledai, sedang mendatangi menuju ke jalan
raya ini dari luar kota. Ternyata gerobak-gerobak ini semua memuat peti mati, setiap gerobak
empat buah peti mati yang baru seluruhnya.
Seorang laki-laki bungkuk bermuka putih, mengenakan pakaian serba baru berwarna hijau,
bercokol di punggung seekor keledai lain tengah berjalan di pinggir kereta terdepan, rona
mukanya itu memang mirip seseorang yang sudah bertahun-tahun rebah di dalam peti mati,
jarang tersinar cahaya matahari.
Siapa pun yang melihat peti mati sekian banyaknya ke dalam kota ini, tak urung hatinya pasti
mencelos kaget. Demikian juga Hun Cay-thian, tak tahan dia bertanya, "Akan dibawa kemana petipeti
mati ini?"

Dari kepala sampai ke kaki si bungkuk ini mengamat-amatinya, tiba-tiba tertawa, katanya, "Dari
dandanan Toaya ini, apakah kau dari Ban-be-tong?"
"Ya, betul!" sahut Hun Cay-thian.
"Peti-peti mati ini justru akan kami kirim ke Ban-be-tong," kata si bungkuk.
Berubah air muka Hun Cay-thian, tanyanya, "Siapa suruh kau mengirim kemari?"
"Sudah tentu ada orang yang sudah membayarnya lunas, seluruhnya dia ada pesan tiga ratus
buah peti mati serupa ini, terpaksa tukang kami harus bekerja siang malam ...."
Belum habis orang bicara, Hun Cay-thian sudah menubruk maju serta menariknya dari
punggung kudanya, bentaknya bengis, "Orang macam apakah dia itu?"
Saking kaget dan ketakutan, si bungkuk sampai pucat dan gemetar, sahutnya gugup, "Dia ...
seorang, seorang perempuan."
Hun Cay-thian tertegun. "Perempuan macam apa?" desaknya.
"Seorang nenek," si bungkuk menerangkan.
Hun Cay-thian kembali tercengang, "Kau datang darimana? Dimana nenek itu sekarang?"
"Dia pun ada ikut bersama kami," sahut si bungkuk. "Dia di ... rebah di dalam peti mati di atas
kereta yang pertama itu."
Hun Cay-thian menyeringai dingin, jengeknya, "Rebah di dalam peti mati, memangnya dia
sudah mampus?"
"Belum mati, baru saja dia masuk ke sana untuk berteduh dari hujan, mungkin sekarang
ketiduran."
Salah satu peti mati di atas kereta pertama ternyata memang tutupnya rada miring dan ada
celah-celah lubang untuk pernapasan. Dengan tertawa dingin Hun Cay-thian melepaskan si
bungkuk, dengan langkah mantap dan siaga dia menghampiri, sekonyong-konyong secepat kilat
dia sikap tutup peti.
Memang di dalam peti mati ada orang, namun bukan seorang nenek, juga bukan seorang
hidup. Yang rebah di dalam peti adalah seorang mati, laki-laki yang sudah mati kaku.
Laki-laki ini berpakaian serba hitam ketat, selebar mukanya dihiasi jambang-bauk lebat
berwarna kehijauan, noktah darah yang meleleh keluar dari ujung mulutnya sudah mengering,
demikian pula kulit mukanya sudah mengkeret kering merubah bentuk aslinya, kecuali itu
badannya tidak tampak sesuatu luka, terang orang ini mati karena pukulan tenaga dalam yang
keras, menghancurkan isi perutnya.
Yap Kay berdiri di undakan batu yang teratas, dari tempat ketinggian ini kebetulan dia pun bisa
melihat wajah si korban, tak tertahan dia menjerit kaget, "Hwi-thian-ci-cu." Sudah tentu dia tidak
akan salah lihat, jenazah ini terang adalah Hwi-thian-ci-cu.
Hwi-thian-ci-cu sudah terbukti mati di dalam peti ini, lalu dimanakah Pho Ang-soat, Buyung
Bing-cu dan Loh Loh-san?
Mereka berempat dalam waktu yang sama meninggalkan Ban-be-tong, bagaimana mungkin
jenazah Hwi-thian-ci-cu bisa kedapatan di dalam peti mati ini?
Pelan-pelan Hun Cay-thian membalik badan, dengan beringas dia mengawasi si bungkuk,
tanyanya, "Orang ini bukan seorang nenek."
Gemetar sekujur badan si bungkuk, dia manggut-manggut dipaksakan, sahutnya megapmegap,
"Ya, bu ... bukan."
"Lalu dimana nenek yang kau katakan?"

Si bungkuk geleng-geleng, sahutnya, "Aku tidak tahu."
Kusir yang mengendarai kereta kuda juga berteriak, "Aku juga tidak tahu, semula aku jalan di
paling depan."
"Bagaimana kau bisa berjalan di paling depan?" tanya Hun Cay-thian.
"Kereta yang ini sebetulnya berada di paling akhir," demikian tutur kusir itu, "belakangan kami
sadar tersesat jalan, segera putar balik di tempat itu juga, maka kereta yang semula berada di
paling belakang menjadi di paling depan."
"Apa pun yang terjadi," jengek Hun Cay-thian, "seorang nenek takkan mungkin berubah
menjadi seorang laki-laki, coba kau jelaskan apa yang telah terjadi?"
Si bungkuk menggeleng kepala sekeras-kerasnya, sahutnya, "Siau-jin betul-betul tidak tahu."
Bengis bentakan Hun Cay-thian, "Kalau kau tak tahu memangnya siapa yang tahu?" Sebat
sekali badannya berkelebat, mendadak dia turun tangan, kelima jarinya laksana cakar besi,
mencengkeram ke tulang pundak kanan si bungkuk.
Semula badan si bungkuk sedang gemetar keras seperti balon yang digantung di atas tiang
ditiup angin deras, namun begitu Hun Cay-thian turun tangan menyerang dirinya, badannya tidak
gemetar lagi, gesit sekali kakinya melesat, tahu-tahu orangnya sudah menyelinap ke belakang Hun
Cay-thian, sekaligus telapak tangannya berbalik menabas ke arah tulang rusuk Hun Cay-thian.
Bukan saja jurus ini amat cepat perubahannya, malah temponya, posisi dan sasarannya amat
tepat sekali, damparan angin pukulannya pun keras dan dahsyat.
Dinilai dari gerak-gerik dan serangannya ini, maka dapatlah dimengerti bahwa permainan kedua
telapak tangannya ini, paling sedikit sudah terlatih tiga puluh tahun lamanya.
Hun Cay-thian mandah tertawa dingin, ejeknya, "Eh, ternyata memang sukup lihai!" Dalam
berkata-kata beruntun dia merubah dua kali perubahan gerak badannya, sementara kedua telapak
tangannya serempak balas menyerang lima jurus.
Hun Cay-thian memang ahli dalam main kegesitan dan kelihaian Ginkangnya, kini begitu dia
mengembangkan keahliannya, meskipun belum seluruhnya memperlihatkan perbawanya, tapi
betapa cepat dan tangkas perubahan serangannya kiranya jarang ada orang bisa melawannya.
Tak nyana si bungkuk pun mandah tertawa lebar, katanya, "Bagus, ternyata kau pun cukup
jempolan." Di tengah gelak tawanya, tiba-tiba badannya berputar seperti keong, tahu-tahu
badannya mencelat mumbul ke atas, terus menerjang naik ke atap rumah. Baru saja gerakannya
dikembangkan, mau berubah lantas berubah, ingin menyingkir segera berlalu, gerak tubuhnya
sungguh cepat luar biasa amat mengejutkan.
Sayang sekali hari ini dia menghadapi tokoh yang terkenal akan ilmu Ginkangnya yang tiada
taranya di seluruh dunia, orang dijuluki Hun-tiong-hwi-liong (naga terbang di tengah mega). Maka
baru saja badannya mencelat mumbul, bayangan Hun Cay-thian tahu-tahu sudah melejit tinggi
seenteng asap secepat anak panah, kelima jarinya laksana cakar garuda, sekali raih dia mencomot
ke punuk di punggung si bungkuk.
"Bret", jubah biru yang baru dia bikin pada bagian punggungnya tahu-tahu sudah tercomot
sobek, maka menonjollah punuk besar yang licin memancarkan cahaya kuning kemilau di
punggung orang. Disusul "Crat", suara yang cukup keras, dari punuknya yang kemilau menguning
itu, tahu-tahu melesat keluar tiga bintik sinar dingin mengincar kedua kaki Hun Cay-thian.
Terdengar Hun Cay-thian bersuit panjang, tahu-tahu badannya bersalto seperti burung dara
berjumpalitan di tengah angkasa, dengan gaya mendorong jendela memandang rembulan mega
terbang, tahu-tahu badannya sudah berdiri tegak dan tancap kaki di wuwungan rumah sebelah
sana.
Betapa cepat dan gesit gerakan reflek dari keahlian Ginkangnya ini, namun tak urung ketiga
bintik sinar dingin itu masih sempat menyerempet ujung pakaiannya. Waktu dia memandang ke

arah si bungkuk, badan orang sudah berlompatan segesit kera, berada tujuh delapan wuwungan
rumah orang, kembali punuknya yang berwarna kuning itu berkelebat sekali lagi terus menghilang.
Ternyata Hun Cay-thian tidak mengejar, lekas dia melompat turun, kulit mukanya yang
membesi hijau sudah dibasahi keringat, melihat bayangan musuh menghilang, mendadak dia
menghela napas, ujarnya, "Sungguh tak nyana Kim-pwe-tho-sin (bungkuk sakti punuk emas) Ting
Kiu bisa muncul di luar perbatasan ini."
Yap Kay ikut menghela napas, katanya dengan menggeleng kepala, "Sungguh aku pun tidak
pernah menduga akan dirinya."
"Kau pun tahu akan dirinya?"
"Setiap insan yang berkelana di Kangouw, berapa banyak orang yang tidak tahu akan dirinya?"
Hun Cay-thian tak bersuara, kelihatan sikapnya amat prihatin dan tertekan.
Berkata Yap Kay, "Orang ini sudah puluhan tahun mengasingkan diri, mendadak secara
bersusah-payah sudi mengirim peti-peti mati sekian banyak ini kemari untuk apa? Memangnya dia
pun ada sangkut-paut dengan musuh-musuh kalian itu?"
Hun Cay thian tetap berdiam diri.
"Apakah Hwi-thian-ci-cu terbunuh olehnya? Kenapa pula dia dibunuh?"
Sekilas Hun Cay-thian melotot kepadanya, katanya dingin, "Pertanyaan ini ingin kuajukan
kepadamu."
"Kau tanya aku, lalu kepada siapa aku harus bertanya?" mendadak Yap Kay tertawa, sorot
matanya beralih ke ujung jalan sana, mulut menggumam, "Mungkin aku harus pergi bertanya
kepada dia."
8 ANGIN MUSIM SEMI YANG MEMBEKUKAN
Dari ujung jalan raya sana, tengah mendatangi seseorang dengan langkah pelan-pelan,
langkahnya amat lamban berat seperti sulit menggerakan kaki, dia bukan lain adalah Pho Angsoat.
Tangannya tetap menggenggam kencang goloknya itu, langkah demi langkah bergerak maju
makin dekat, seolah-olah setiap menghadapi persoalan apa pun, langkah kakinya itu selamanya
takkan berubah, takkan menjadi cepat.
Tapi yang nampak baru dia seorang, kemanakah Loh Loh-san dan Buyung Bing-cu? Kenapa
tidak kelihatan jejak mereka?
Menyeberangi jalan langsung Yap Kay menyongsong kedatangannya, sapanya tertawa, "Kau
sudah kembali?"
Sekilas Pho Ang-soat melotot kepadanya, sahutnya dingin, "Kau belum mampus."
"Bagaimana dengan yang lain?"
"Aku jalan amat lambat."
"Jadi mereka berlalu lebih dulu di depanmu?"
"Ehm, kenapa?"
"Orang yang jalan duluan, kenapa belum juga tiba di sini?" "Darimana kau tahu mereka belum
kembali? Dan pasti kemari?" Yap Kay manggut-manggut, mendadak dia tertawa, tanyanya, "Kau
tahu siapa yang kembali lebih dulu?"
"Tidak tahu."

"Seorang yang sudah mati," ujar Yap Kay dengan menyungging senyuman sinis di ujung
mulutnya, katanya pula, "Yang jalan cepat di depan belum lagi tiba, orang mati yang tidak jalan
malah tiba lebih dulu, memang banyak serba-serbi dan kejadian ganjil di dunia ini."
"Siapa yang menjadi korban?" tanya Pho Ang-soat.
"Hwi-thian-ci-cu (laba-laba terbang)."
Pho Ang-soat sedikit mengerut kening sebentar dia menepekur, lalu berkata, "Sebetulnya dia
sengaja tinggal di belakang menemani aku."
"Menemani kau? Untuk apa?"
"Bertanya."
"Bertanya kepadamu."
"Ya, dia tanya, aku mendengar."
"Kau hanya mendengar, tidak menjawab?"
"Mendengar pun sudah menghabiskan tenagaku."
"Belakangan bagaimana?"
"Jalanku terlalu lambat."
"Setelah tidak berhasil mengorek keteranganmu maka dia segera menyusul teman-teman lain
yang sudah berada di depan?"
Terunjuk senyuman sinis pada sorot mata Pho Ang-soat katanya tawar, "Maka dia tiba lebih
dulu."
Yap Kay tertawa. Tawa yang tidak keruan rasanya.
"Kau tanya, sudah kujawab, kau tahu kenapa?"
"Aku pun sedang heran."
"Lantaran aku ada persoalan hendak bertanya kepadamu."
"Silakan berkata, aku pun menjelaskan."
"Sekarang belum tiba saatnya bertanya."
"Harus tunggu sampai kapan baru boleh bertanya?"
"Bila tiba waktunya aku ingin bertanya."
"Baik, terserah kapan kau ingin bertanya, sembarang apa pun yang kau tanyakan, aku pasti
akan menerangkan."
Begitu dia menyingkir ke pinggir, Pho Ang-soat segera beranjak lewat, melirik pun tidak melihat
ke jenazah yang berada di dalam peti, seolah dia amat menghargai pandangan sorot matanya
sendiri, peduli kau mati atau hidup, tidak boleh sembarangan dia mau melihatmu.
Yap Kay tertawa getir sambil menghela napas, waktu dia berpaling, dilihatnya Hun Cay-thian
sedang siap mengompas keterangan kusir kereta itu, dia pun malas untuk mendengarkan daripada
kau mengompas keterangan dari mulut si kusir ini, lebih baik kau langsung tanya kepada si korban
kemungkinan lebih gampang dan banyak hasilnya. Ada kalanya orang yang sudah mati pun bisa
memberitahu sesuatu rahasia kepadamu, cuma sudah tentu cara yang dikemukakan jauh
berlainan.
Setelah lohor.
Udara yang gelap, ternyata masih nampak juga sinar matahari yang menyelinap keluar dari
celah-celah mega. Jalan raya masih becek, belum kering, terutama karena lewatnya barisan
gerobak yang membawa muatan berat. Sekarang barisan gerobak itu sudah digusur masuk
seluruhnya ke Ban-be-tong.

Kalau tidak ditanyai supaya duduk persoalannya terang seluruhnya sekali-kali Hun Cay-thian
tidak akan mau melepas mereka pergi, umpama mereka memang benar-benar tidak berdosa.
Kereta indah warna hitam mengkilat yang tertarik oleh delapan kuda itu ternyata masih berada
di dalam kota, belum pulang, ada empat lima orang sedang sibuk membersihkan atau mencuci
kotoran lumpur yang melekat di badan kereta, ada pula yang sibuk memberi makan rumput
kepada kedelapan kuda itu.
Pernah kau melihat perempuan membeli barang-barang? Yang terang sesuatu kebutuhan yang
dapat mereka beli dengan mudah dan gampang, mereka justru membelinya sampai sekian
lamanya. Karena proses untuk membeli barang-barang itu sendiri, kadang kala merupakan suatu
kenikmatan bagi kaum perempuan. Bukan saja kenikmatan, sekaligus merupakan kesempatan
untuk mengobrol, saat-saat iseng untuk menghibur diri dan melepaskan ketegangan, merupakan
saat-saat yang paling cocok untuk memilih dan mencoba pakaian barunya, apalagi bila ada
perhiasan-perhiasan baru untuk dijajal, maka kesempatan sebaik ini sekali-kali tidak akan
dilewatkan begitu saja.
"Akan tetapi kenapa harus cuci muka dengan telur ayam? Pakai telur angsa masakah tidak
boleh?" Yap Kay amat tertarik akan hal ini. Akhirnya dia berkeputusan, kelak bila ada waktu, dia
akan mencoba sendiri cuci muka dengan telur angsa, ingin dia sendiri membuktikan apakah kulit
mukanya bisa semakin halus dan muda?
Tetangga toko kelontong ini adalah keluarga tukang jagal, di depan pintunya ada tergantung
selembar papan berminyak dan linyit bertuliskan, "Khusus menjual daging sapi, kambing dan
babi!".
Sebelah lagi adalah sebuah warung makan kecil, papan nama warungnya lebih linyit dan
mengkilap oleh minyak yang kotor, penerangan di dalam rumah pun rada gelap.
Pho Ang-soat pun sedang duduk di warung kecil ini, menyeruput semangkuk bakmi. Tangan
kirinya itu agaknya amat lincah, pekerjaan yang dikerjakan dua tangan oleh lain orang, dia cukup
mengerjakan dengan satu tangan, malah hasilnya lebih baik.
Maju lagi tak begitu jauh adalah gang sempit tempat dimana dia tinggal, meski tidak sedikit
keluarga yang tinggal di dalam lorong sempit ini, namun orang yang keluar masuk jarang sekali.
Tampak nenek tua renta dan terbungkuk-bungkuk itu sedang berengsot-engsot mendatangi,
lalu ditempelkannya selarik kertas merah yang sebelumnya sudah dibubuhi lem, di atas dinding
pojokan di sudut lorong sempit itu. Lalu dengan jalan terbungkuk-bungkuk pula dia kembali ke
rumahnya.
Di atas kertas merah ini, ada beberapa tulisan yang tak beraturan berbunyi: "Disewakan,
sebuah kamar baik, ranjang baru, diberi makan pagi. Uang sewa setiap bulannya dua belas tahil
perak, bayar di muka. Melulu bagi jejaka yang belum punya anak".
Tadi pagi nenek ini baru saja menerima lima puluh tahil uang sewa kamarnya, agaknya sudah
kemaruk akan pendapatan yang tinggi ini, maka dia ingin menyewakan pula kamar tempat tinggal
sendiri, malah uang sewanya lebih mahal dua tahil.
Pemilik toko kelontong sedang bersantai mengantuk, di dalam toko kain sutra di seberang sana,
dua nyonya muda yang bersolek kelewat batas sedang membeli jarum dan benang, mulutnya
selalu menerocos tak henti-hentinya, bicara dan kelakar tertawa kesenangan, sayang sekali raut
muka mereka jauh lebih jelek dibanding Sam-ik dan Be Hong-ling
Dimanakah Be Hong-ling bertiga? Kereta masih berada dalam kota, tapi kenapa bayangan
mereka tak kelihatan seperti ditelan bumi.
Dua kali sudah Yap Kay mondar-mandir di jalan raya ini, pulang pergi tetap tidak melihat
bayangan mereka.
Semula dia pun ingin masuk warung kecil itu sekedar mengisi perut, namun tiba-tiba ia
batalkan niatnya, langsung dia menghampiri ke ujung gang sempit itu, lalu dirobeknya kertas

merah yang menempel di atas dinding, digulung lalu disisipkan ke dalam sepatu tingginya. Di
dalam sepatu tingginya ini seperti ada sebatang benda keras, entah lantakan emas atau pisau
pendek?
Daun pintu yang paling sempit di jalan raya ini adalah sarang hiburan di dalam kota ini.
Pintunya sempit, namun denah rumah itu sendiri cukup besar. Di atas pintu sempit ini tidak diberi
papan nama pengenal, tiada sesuatu tanda khas apa-apa pula, namun di atas pintu tergantung
sebuah Ang-teng (lampu merah).
Bila lampu merah ini menyala, berarti sarang ini sudah mulai buka dagangan, sudah siap mulai
menerima uang yang kau rogoh dari kantongmu. Bila lampu padam, boleh dikata selamanya tidak
terlihat ada orang pernah keluar, sudah tentu tiada yang pernah masuk juga.
Di dalam rumahnya yang remang-remang gelap ini, ternyata ada orang di sini ternyata bukan
Siau Piat-li yang pemiliknya sebaliknya adalah Be Hong-ling. Orang yang sedang dicari ubekubekan
oleh Yap Kay tak ketemu, ternyata sudah menunggu di sini. Bukankah gerak-gerik anak
perempuan ada kalanya memang sulit diraba orang?
Yap Kay tertawa, tanyanya, "Lho, bagaimana kau bisa berada di sini?"
Be Hong-ling melotot sekali kepadanya, tiba-tiba berdiri, muka berpaling terus tinggal pergi.
Sejak tadi dia sudah melamun di sana, begitu melihat Yap Kay masuk, roman mukanya sudah
mengunjuk rasa girang dan berseri tawa, tapi entah kenapa, tiba-tiba dia menarik muka pula terus
berlari pergi.
Yap Kay tahu nona besar ini pasti marah dan dongkol karena sudah menunggu terlalu lama.
Memangnya bila kau berhadapan dengan nona besar sedang marah-marah, cara yang paling baik
untuk mengatasinya adalah tinggal diam saja, biarkan setelah rasa marahnya hilang baru mulai
kau bicara.
Dalam keadaan seperti ini, bila kau menarik atau merintanginya, membujuknya pula, maka kau
ini termasuk laki-laki dogol, laki-laki bodoh. Dan Yap Kay justru bukan laki-laki goblok. Maka dia
berpeluk tangan dengan menghela napas, dia duduk di atas kursi.
Be Hong-ling sudah menerjang keluar pintu, mendadak dia putar balik pula, katanya mendelik
kepada Yap Kay, "Hai, untuk apa kau kemari?"
Yap Kay mengedip-ngedipkan mata, sahutnya, "Mencari kau!"
"Mencari aku?" Be Hong-ling menyeringai dingin. "Baru sekarang kau kemari? Kau kira aku pasti
menunggu kau?"
"Bukankah kini kau sedang menunggu aku?"
"Sudah tentu tidak."
"Tidak menunggu aku, menunggu siapa?"
"Aku menunggu Sam-ik."
Yap Kay melongo, "Sam-ik? Dia pun mau datang?"
"Kau kira hanya laki-laki yang boleh kemari?"
"Apa pun aku tidak pernah menggunakan 'kira', aku juga tidak tahu bila kau sudah kemari,
maka sepanjang jalan raya ini aku ubek-ubekan mencarimu tanpa hasil."
Mata Be Hong-ling melotot sekian lama mengawasinya, "Selama ini kau sedang mencari aku?"
"Tidak mencari kau lantas mencari siapa?"
Be Hong-ling tiba-tiba cekikikan, katanya, "Kau memang pikun kau kira hanya ada satu pintu
yang bisa untuk masuk kemari?" ternyata dia datang dari pintu belakang, anak gadis perawan
sebesar ini berada di tempat sarang seperti ini, sudah tentu dia harus main sembunyi-sembunyi.

Yap Kay menghela napas, katanya tertawa getir, "Sungguh aku tidak habis pikir, kau pun bisa
keluar masuk lewat pintu belakang."
"Bukan aku yang ingin lewat belakang, Sam-ik."
Yap Kay tertegun, tanyanya, "Dia sudah datang?"
"Pikun, bukankah sudah kuberitahu kepadamu?"
"Mana dia?"
Be Hong-ling menggerakkan bibirnya menunjuk pintu ketiga di sebelah kiri, sahutnya, "Tuh di
dalam sana."
Membelalak mata Yap Kay, katanya keheranan "Dia di dalam? Untuk apa dia di dalam?"
"Mengobrol."
"Mengobrol dengan Cui-long?" ternyata di balik pintu itu adalah kamar tidur Cui-long.
"Memangnya mereka sebenarnya teman baik, setiap kali Sam-ik ke kota selalu mampir kemari
dan mengobrol dengan dia." Kembali dia melototkan mata kepada Yap Kay, katanya, "Darimana
kau bisa tahu dia bernama Cui-long? Kau pun mengenalnya?"
Tersekat jawaban Yap Kay, "Agaknya pernah aku melihatnya sekali?"
Semakin besar biji mata Be Hong-ling. "Seperti pernah melihat? Atau pernah berhadapan
langsung?"
"Berhadapan sungguh-sungguh."
Be Hong-ling memelengkan kepala, dengan ujung matanya dia mengerling, katanya, "Kalau
tidak salah, baru kemarin malam kau tiba di sini."
"Ya, kemarin malam."
"Jadi kemarin malam kau tinggal di sini?"
"Agaknya ... agaknya memang.......
Sambil mengertak gigi tiba-tiba Be Hong-ling putar badan berlari keluar tanpa berpaling lagi.
Tabiat nona besar ini sungguh mirip cuaca di bulan kelima, perubahannya cepat sekali. Yap Kay
menghela napas saja, kecuali berpeluk tangan apa pula yang dapat dia lakukan.
Kalau laki-laki sedang bicara berhadapan dengan seorang gadis, maka setiap patah katamu
harus kau pertimbangkan dengan seksama, terutama bila kau sedang bicara dengan gadis
pujaanmu. Entah berapa lama berselang, tiba-tiba daun pintu pelan-pelan didorong pula, pelanpelan
Be Hong-ling melangkah masuk pula, langsung duduk di hadapan Yan Kay. Rona wajahnya
lebih ayu kelihatannya, seperti tertawa tidak tertawa dia tatap muka Yap Kau, katanya tiba-tiba,
"Kenapa kau tidak bicara?"
"Aku tidak berani bicara."
"Tidak kenal?"
"Aku takut salah omong, membuat kau marah saja."
"Kau takut aku marah?"
"Takut sekali."
Jelilatan biji mata Be Hong-ling, tiba-tiba dia cekikikan lagi, katanya, "Pikun, bukan saatnya kau
bicara, mulutmu menerocos terus, tiba saatnya kau harus bicara, kita malah bungkam." Lambatlaun
sorot matanya menjadi redup, katanya lebih lanjut sambil terus menatap Yap Kay, "Pagi tadi,
kau ditanyai orang dimana kau semalam berada, kenapa tidak kau terangkan?"
"Entahlah."

"Aku tahu," ujar Be Hong-ling lembut. "Kau kuatir merembet diriku, kuatir orang suka iseng
omong tentang diriku, benar tidak?"
"Entahlah!" laki-laki yang pintar selalu dapat mencari saat yang tepat untuk pura-pura bodoh.
Semakin lembut dan halus kerlingan Be Hong-ling, "Apa kau benar-benar tidak takut mereka
membunuhmu?"
"Kenapa takut, aku hanya takut bila kau marah."
Be Hong-ling tertawa mekar, begitu lembut dan hangat seolah-olah hembusan angin musim
semi yang dapat mencairkan salju.
Yap Kay balas menatapnya, seolah-olah dia sudah terkesima.
Pelan-pelan Be Hong-ling menunduk, katanya, "Bukankah tadi pagi ayah mengajak kau bicara."
"Ehm!"
"Apa yang dia katakan?"
"Dia menyuruh aku pergi, suruh aku meninggalkan tempat ini."
"Apa jawabanmu?" tanya Be Hong-ling, lalu menggigit bibir.
"Aku tidak mau pergi."
Be Hong-ling angkat kepala sambil berdiri, katanya menggenggam tangannya, "Kau ... sungguh
kau tidak mau pergi?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Tiada Orang yang menunggumu di tempat lain?”
"Hanya ada satu orang yang menungguku di suatu tempat."
"Dimana?"
"Di sini."
Pecahlah gelak tawa Be Hong-ling, tawa manis yang riang, matanya berkedip seperti orang
yang baru bangun dari impian indah katanya kalem, "Selama hidupku ini belum pernah ada orang
yang bicara seperti kau ini, selamanya belum ada laki-laki yang menarik tanganku ... kau tahu
tidak? Percaya tidak?"
"Aku percaya," sahut Yap Kay.
"Soalnya orang lain menyangka aku ini galak, maka lama kelamaan aku pun merasa diriku ini
memang semakin galak, sebetulnya.....
"Sebetulnya kau ini memang tidak galak," kata Yap Kay tertawa.
"Sebetulnya bila aku kadang-kadang marah kepadamu, itu hanya pura-pura belaka."
"Kenapa harus pura-pura marah "
"Karena ... karena aku berpendapat bila tidak sering marah-marah, orang lain pasti akan berani
kurangajar terhadapku."
"Selanjutnya pasti takkan ada orang yang berani kurangajar terhadapmu."
"Jika ada orang kurangajar padaku, kau hendak melabraknya?"
"Sudah tentu, cuma... selanjutnya jangan kau pura-pura marah lagi."
"Tapi selanjutnya bila kau berani berada di tempat seperti ini, aku akan marah sungguhsungguh."

Tanpa bicara lagi Yap Kay merogoh gulungan kertas merah dari slop sepatunya. Begitu
membuka gulungan dan membaca isinya, seketika cerah air muka Be Hong-ling, seperti hembusan
angin musim semi yang membuat segar kuntum kembang.
Mengawasinya Yap Kay merasa gadis di hadapannya ini memang amat polos, jujur dan lincah,
ada kalanya tingkah-lakunya malah mirip anak-anak. Tak tertahan ditariknya tangan orang terus
diciumnya. Sudah tentu merah jengah selebar mukanya, merah panas.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang batuk-batuk kecil. Entah kapan Sam-ik sudah
membuka pintu melangkah keluar, berdiri di depan pintu dia sedang tersenyum mengawasi
mereka.
Semakin merah muka Be Hong-ling, lekas dia menyembunyikan kedua tangan ke belakang
punggung.
Sam-ik tersenyum, katanya, "Nah, sekarang tiba saatnya pulang!"
"Ehm!" Be Hong-ling bersuara berat, kepalanya tertunduk dalam.
"Aku keluar dulu dan kutunggu di sana," ujar Sam-ik. Waktu melangkah keluar, seperti sengaja
matanya mengerling pula kepada Yap Kau. Senyuman yang bisa menyedot sukma.
Senyuman Be Hong-ling cerah dan bersih, mungil, laksana sinar surya di permulaan musim
semi Sebaliknya senyuman Sam-ik laksana warna kembang mekar yang kental, begitu kental
sampai sukar dijajaki, begitu kental sehingga tanpa minum seseorang bisa dibikin mabuk. Di
hadapannya Be Hong-ling kelihatannya mirip anak-anak.
Siapa pun yang mengawasi langkahnya keluar, pasti akan terasa sesuatu yang luar biasa,
seolah-olah dia sudah mencari sesuatu milikmu. Sudah tentu Yap Kay tidak bisa mengemukakan
perasaan hatinya, maka dia segera bertanya, "Setiap kali kau ke kota selalu naik kereta yang satu
itu?"
Agaknya Be Hong-ling tidak mengerti kenapa orang menanyakan hal ini, tapi dia manggutmanggut.
"Ada berapa buah kereta seperti itu milik ayahmu?"
"Hanya satu saja. Orang-orang di sini kebanyakan suka naik kuda."
"Karena kalian hendak naik kereta ini, maka terpaksa mereka harus kembali sendiri-sendiri."
"Mereka siapa?"
"Tamu-tamu yang semalam bersamaku berada di rumahmu " "Mereka toh bukan anak-anak,
pulang sendiri kan tidak menjadi soal?
Kenapa kau harus berkeluh kesah?"
Yap Kay malah menghela napas, katanya, "Karena kami tiga belas orang yang pergi kini sudah
mampus satu, sebelas yang lain pun menghilang."
Terbelalak mata Be Hong-ling, tanyanya, "Siapa yang mati."
"Hwi-thian-ci-cu."
"Dan yang hilang?"
"Loh-toasiansing, Buyung Bing-cu dan sembilan pengawalnya." "Orang-orang segede itu
bagaimana bisa hilang?"
"Memangnya di tempat ini sembarang waktu bisa terjadi sesuatu yang aneh-aneh."
"Mungkin hanya rekaanmu saja, bukan mustahil sekarang mereka sudah kembali."
Yap Kay geleng-geleng kepala, tiba-tiba dia berkata, "Bolehkah aku sembarang waktu naik
kereta kalian itu ke depan sana?"
"Sudah tentu boleh, cuma buat apa kau mau ke depan sana?"

"Mencari orang yang hilang itu."
"Darimana kau tahu bila mereka berada di sekitar sini? Mungkin mereka sudah pulang lewat
jalan lain?"
“Tidak mungkin."
"Kenapa tidak mungkin?"
"Aku tahu."
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Ada orang memberitahu kepadaku."
"Siapa yang memberitahu kepadamu?"
Tertunduk kepala Yap Kay mengawasi tangannya, sahutnya tegas, "Seorang mati
"Hah, orang mati?" teriak Be Hong-ling kaget.
Yap Kay manggut-manggut, ujarnya pelan-pelan, "Tahukah kau, orang mati ada kalanya pun
bisa bicara, cuma cara mereka bicara sudah tentu berlainan dengan cara bicara orang hidup."
Dengan terbelalak kaget Be Hong-ling mengawasinya, katanya tersendat, "Apa yang dikatakan
orang mati pun kau percayai?"
Kembali Yap Kay manggut-manggut, mulutnya mengulum senyuman yang penuh arti, katanya,
"Persoalan yang diberitahu oleh orang mati selamanya tidak akan salah... karena hakikatnya dia
tidak perlu menipu kau."
Kedua jari-jari yang mengepal dari mayat itu kini sudah terbuka, jari-jarinya terpentang
bengkok kaku. Umpama orang mati ini bisa mengatakan sesuatu rahasia, yang terang jari-jari
tangannya takkan mungkin bisa terpentang sendiri.
Jari-jari Hwi-thian-ci-cu yang semula terkepal kencang, kini sudah terpentang, jarinya
melengkung dan kaku.
Ban-be-tong-cu berdiri di pinggir peti mati, sorot matanya tajam menatap kedua tangan ini.
Bukan saja dia tidak menghiraukan muka sang korban yang kerut-kemerut berubah dari bentuk
aslinya, dia pun tidak memeriksa noktah darah yang meleleh kering itu, hanya jari-jari tangan ini
saja yang menjadi perhatiannya.
Karena itu orang lain sama-sama menatap ke arah kedua tangan ini.
Mendadak Ban-be-tong-cu bersuara, "Apa yang kalian lihat?"
Hun Cay-thian dan Hoa Boan-thian beradu pandang, mereka tetap bungkam.
Berkata Kongsun Toan, "Aku hanya melihat sepasang tangan orang yang sudah mati, tiada
bedanya dengan keadaan orang mati lainnya."
"Justru amat berbeda," kata Ban-be-tong-cu tegas.
"Apa bedanya?" tanya Kongsun Toan.
"Jari-jari kedua tangan ini sebetulnya terkepal kencang, belakangan dipentang oleh seseorang
sehingga terpentang seperti ini."
"Kau dapat melihatnya?"
"Tulang-tulang orang mati dan darahnya sudah kaku dan membeku, bukan soal gampang untuk
membuka genggaman tangan seorang yang sudah ajal, oleh karena itu maka jari-jari baru
melengkung seperti ini, dan lagi jari-jarinya ini meninggalkan bekas-bekas luka."

"Apa tidak mungkin dia terluka sebelum mati?"
"Tidak mungkin."
"Mengapa tidak mungkin?"
"Kalau terluka pada waktu masih hidup, luka-luka ini pasti berdarah, cuma seseorang yang
sudah lama ajalnya tidak akan mengeluarkan darah meski kau potong lengannya." Tiba-tiba Banbe-
tong-cu berputar ke arah Hun Cay-thian, katanya, "Waktu kau melihat mayat ini, apakah dia
sudah lama mati?"
"Paling tidak satu jam lamanya," sahut Hun Cay-thian manggut-manggut. "Karena waktu itu
jazadnya sudah dingin kaku."
"Bagaimana tangannya waktu itu? Apakah mengepal dengan kencang?"
Hun Cay-thian menepekur sebentar, sahutnya tetap tertunduk, "Waktu itu agaknya aku tidak
memperhatikan tangannya."
Ban-be-tong-cu menarik muka, katanya dingin, "Waktu itu apa yang kau perhatikan?"
"Aku ... aku sedang sibuk mengompas keterangan orang lain."
"Keterangan apa yang berhasil kau peroleh?"
"Apa pun tidak kudapatkan."
Berkata Ban-be-tong-cu dengan keren dan tandas, "Lain kali kau harus ingat, sesuatu rahasia
yang dapat diberitahukan oleh seorang mati, kemungkinan lebih banyak dan lebih meyakinkan dari
keterangan orang hidup dan lagi jauh lebih dapat dipercaya."
Hun Cay-thian mengiakan.
"Kedua tangannya ini pasti menggenggam sesuatu di dalam jari-jari tangannya, dan barang itu
pasti merupakan sumber penyelidikan yang amat penting, bukan mustahil sesuatu barang yang
berhasil dia comot dari badan lawannya. Kalau waktu itu kau berhasil menemukan barang itu,
sekarang kita sudah tahu siapakah pembunuhnya.
Terunjuk rasa kagum dan hormat pada sorot mata Hun Cay-thian, sahutnya, "Lain kali pasti
akan kuperhatikan."
Lambat-laun roman muka Ban-be-tong-cu mengendor pula ketegangannya, tanyanya pula,
"Waktu itu, kecuali aku, masih ada siapa lagi yang berada di sekitar peti mati?"
Tiba-tiba bersinar mata Hun Cay-thian, sahutnya, "Masih ada Yap Kay."
"Adakah kau melihat dia pernah mengusik mayat ini?" Hun Cay-thian menggeleng-geleng
kepala, sahutnya, "Aku tidak memperhatikan, namun......
"Namun apa?"
"Agaknya dia pun amat memperhatikan mayat ini, lama dia berdiri di pinggir peti mati
mengawasinya dengan seksama."
"Apa yang diketahui oleh pemuda itu, kemungkinan jauh lebih banyak dari apa yang
seharusnya kau lakukan," kata Ban-be-tong-cu tertawa dingin.
Tiba-tiba Kongsun Toan menyela, "Orang ini hanya maling terbang, dia mati atau hidup apa
pula sangkut-pautnya dengan kita?"
"Ada, erat sekali," sahut Ban-be-tong-cu.
"Apa sangkut-pautnya?" Kongsun Toan menegas keheranan.
"Walau orang ini sebagai maling terbang namun dia seorang maling terbang yang cerdik
pandai, setiap kali dia beroperasi, pasti tidak pernah gagal, dari sini dapatlah dibuktikan bahwa
penyelidikannya terhadap sesuatu yang diincarnya pasti amat teliti dan tepat." Lalu

ditambahkannya dengan tekanan lebih tandas, "Oleh karena itu maka sengaja kusuruh orang
mengundangnya kemari
"Jadi orang ini sengaja kau undang kemari?"
"Aku merogoh lima ribu tahil perak untuk mengundangnya kemari"
"Untuk apa kau mengundangnya kemari?"
"Kuundang kemari supaya membantu aku menyelidiki secara diam-diam siapa yang hendak
menuntut balas kepadaku."
"Kenapa kau harus mengundang dia?"
"Karena dia sendiri tidak punya sangkut-paut dengan persoalan ini, sudah tentu kewaspadaan
orang terhadapnya jauh lebih kendor, maka kesempatan dan peluangnya untuk menyelidiki jejak
lawan pun lebih besar."
Kongsun Toan menghela napas, ujarnya, "Sayang sekali dia tidak berhasil mendapatkan apaapa
dalam penyelidikannya, sekarang sudah pasti lagi."
"Jika dia belum mendapatkan hasil seperti yang kuharapkan, maka jiwanya takkan mampus
secepat ini."
"Oh? Jadi?"
"Lantaran dia sudah menemukan rahasia si pembunuh itu, maka orang harus membunuhnya,
membunuhnya untuk menutup mulutnya."
Melotot mata Kongsun Toan, katanya, "Oleh karena itu bila kita bisa menemukan siapa
pembunuhnya, sekaligus kita akan mengetahui siapa pula orang yang sedang mempersulit kita."
"Maka sumber penyelidikan yang sudah tergenggam di tangannya itu, betapa penting artinya
dalam peristiwa ini."
"Biar aku pergi tanya kepada Yap Kay, apakah dia yang mengambil barang itu," kata Kongsun
Toan.
"Tidak perlu," tukas Ban-be-tong-cu.
"Kenapa?"
"Waktu dia mati, Yap Kay berada di dalam kota, maka terang bukan dia pembunuhnya," ujar
Ban-be-tong-cu seraya tertawa dingin. "Apalagi bila benar Yap Kay sudah mengambil sesuatu dari
jari-jari tangannya, takkan ada orang yang bisa mengompas keterangannya."
Jari-jari Kongsun Toan meraba gagang goloknya, mulutnya menyeringai dingin, selebar
mukanya dihiasi senyuman sinis yang menghina.
Hening sejenak, kemudian Ban-be-tong-cu bertanya pula, "Sebelum ajalnya, dengan siapa dia
bersama?"
"Loh-toasiansing, Buyung Bing-cu dan Pho Ang-soat," Hoa Boan-thian segera menjawab.
"Sekarang dimana mereka berada?"
"Pho Ang-soat sudah berada di kota, Loh Loh-san, Buyung Bing-cu dan para pengawalnya tidak
kelihatan."
"Pergilah cari mereka, bawa empat puluh orang untuk mencarinya," Ban-be-tong-cu
memberikan perintahnya.
Hun Cay-thian mengiakan.
"Sepuluh orang satu kelompok, terbagi menjadi empat kelompok, bawa rangsum dan air minum
lebih banyak, sebelum mendapat hasil penyelidikan, kalian jangan kembali."
Hun Cay-thian kembali mengiakan.

Apa pun yang dikatakan Ban-be-tong-cu selamanya dia mengiakan saja dengan tunduk hormat,
di hadapan Ban-be-tong-cu, tokoh Bu-lim yang dulu pernah malang melintang di dunia Kangouw,
ternyata terima diperbudak begitu saja.
Mendadak Kongsun Toan berkata, “Biar aku mencari Pho Ang-soat"
"Tidak perlu," tegas kata-kata Ban-be-tong-cu.
"Kenapa tidak perlu," seketika Kongsun Toan naik pitam. "Kenapa bocah itu tidak boleh dicari?"
"Masakah kau tidak bisa menentukan kematian orang ini?" tanya Ban-be-tong-cu.
Kongsun Toan tertunduk mengawasi goloknya, katanya, "Siapa yang menentukan bagi
seseorang yang bergaman harus membunuh orang dengan gamannya itu?"
Ban-be-tong-cu tidak segera menjawab pertanyaan ini, sementara Hun Cay-thian sudah tahu
diri dan mengundurkan diri lebih dulu, pelan-pelan dia merapatkan daun pintu.
Terangkat kepala Kongsun Toan, tanyanya mendesak "Siapa yang menentukan dia harus
membunuh orang dengan goloknya?"
“Dia sendiri."
"Dia sendiri?"
"Kalau benar dia kemari untuk menuntut balas, maka golok di tangannya itu perlambang dirinya
untuk menuntut balas, maka bila dia ingin membunuh orang, dia harus menggunakan goloknya
itu." Dengan tertawa tawar Ban-be-tong-cu menambahkan, "Jika dia bukan hendak menuntut
balas, buat apa kau harus mencari dia?"
Kongsun Toan tidak bicara lagi, lekas dia putar badan melangkah keluar, derap langkahnya
begitu berat laksana kerbau jantan yang sedang marah. Mengawasi bayangan raksasa orang,
sorot mata Ban-be-tong-cu tiba-tiba menampilkan rasa kuatir, rawan ketakutan, seolah dari badan
orang gede ini dia sudah membayangkan sesuatu tragedi yang mengenaskan.
Empat puluh orang, empat puluh ekor kuda.
Delapan puluh kantong air terbuat dari kulit kambing yang besar-besar, penuh berisi air jernih
dan membawa perbekalan rangsum secukupnya. Golok sudah diasah tajam, panah sudah
terpasang di busurnya.
Dengan teliti Hun Cay-thian menginspeksi sendiri dua kali, setelah puas baru dia manggutmanggut,
namun suaranya tetap keren dan berwibawa, "Sepuluh orang satu kelompok, berpencar
mencarinya, kalau tidak ketemu kalian pun tak usah kembali."
Kongsun Toan sudah kembali ke rumahnya sendiri. Keadaan rumah kelihatan morat-marit, tapi
ruangannya besar dan nyaman, kulit-kulit binatang yang berwarna-warni bergantungan menghiasi
dinding, di atas meja bertumpuk berbagai macam buah-buahan yang besar dan segar Berbagai
arak berkwalitas paling tinggi.
Pada malam yang sunyi, asal dia mau, seseorang pesuruhnya akan membawakan seorang
perempuan kemari, perempuan jenis apa pun menurut keinginannya, dari yang langsing ayu
semampai sampai yang bertubuh tambun buntak seperti gentong air, dari usia tiga belas sampai
tiga puluh tahun.
Memang itulah kenikmatan yang harus dia kecap, foya-foya merupakan sebagian dari
kehidupannya yang tertekan dan selalu dirundung ketegangan. Maklumlah, darah dan keringat
yang harus dia cucurkan sudah kelewat banyak. Namun demikian, dia belum pernah merasa puas
akan kehidupan serba berkecukupan ini, karena di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, masih
terpendam sebilah pisau, seutas cemeti. Dengan kedua tangannya sendiri yang berlepotan darah
memendamnya di dalam lubuk hati.

Peduli apa pun yang sedang dia lakukan, pisau itu seolah-olah bergerak di dalam lubuk hatinya,
demikian pula cemeti itu, selalu melecut sukma dan nalarnya sehingga jiwanya selalu dihinggapi
ketegangan dan seram.
Hujan salju nan lebat. Di dalam lautan salju itu, seperti seekor anjing gladak yang kelaparan
dan kedinginan, Pek Thian-ih merangkak-rangkak dan meronta-ronta, darah segar nan merah
menyala itu menghiasi bunga-bunga salju yang putih merah.
Sampai sekarang seolah-olah Kongsun Toan masih sering mendengar ratapan dan kutukan
suara orang yang mengerikan seperti lolong serigala liar yang buas, "Kenapa kalian berbuat
seperti ini terhadapku? Kalian binatang ini, binatang rendah. Umapama aku harus mati selaksa
kali, aku pasti akan menuntut balas kepada kalian."
Tergenggam kencang jari-jari Kongsun Toan, mendadak dia merasa mual dan hampir muntahmuntah.
Arak masih penuh terisi pada cangkir emas besar di atas meja, sekaligus dia tenggak sampai
habis, matanya sudah berkaca-kaca berlinang.
Sekarang benar-benar ada orang datang hendak menuntut balas, tapi dia terpaksa harus
menyembunyikan diri di dalam rumah seperti pengantin baru yang malu-malu dilihat orang,
dengan lengan baju menyeka air mata. Entah lantaran apa dia bercucuran air mata, air mata tetap
air mata.
Kembali dia mengisi penuh secangkir besar, lalu ditenggaknya pula sampai habis.
"Bersabar! Kenapa kau harus bersabar?"
"Kalau mungkin dia akan meluruk datang membunuh aku, kenapa tidak lebih dulu kuluruk dia
serta membunuhnya?" akhirnya dia menerjang keluar.
Mungkin dia keluar tidak ingin membunuh orang, tapi hatinya sungguh dihinggapi rasa
ketakutan yang tak terhingga. Bukan dendam kesumat, bukan kemarahan. Namun ketakutan yang
menghayati dirinya!
Memang jarang seseorang yang dihayati rasa dendam dan amarah yang meluap-luap lalu
meluruk orang serta membunuhnya, kalau karena ketakutan lantas membunuh orang, memang
sering terjadi. Bila seseorang ingin membunuh orang, kebanyakan bukan lantaran orang lain
melukai dirinya, yang terang justru kebalikannya, karena dirinya yang melukai orang, memangnya
hal ini merupakan suatu tragedi yang tragis dalam kehidupan manusia sejak dahulu kala.
BAB 9. KOKOH BAGAI BATU KARANG
Magrib. Sinar lampu yang terakhir masih sempat menyorot masuk menerangi kaki Pho Ang-soat
melalui lubang jendela, mengawasi pahanya sendiri seketika terbayang oleh Pho Ang-soat akan
jari-jari manis halus yang semalam meraba-raba pahanya ini.
Dia rebah di atas ranjang, saking penatnya sampai sepatu pun malas dicopot lagi.
Namun begitu terbayang akan sepasang tangan itu, perempuan itu, kulit badannya yang halus
dan lembut laksana kain sutra itu, paha dan kakinya yang berisi, serta gerak-gerik kakinya yang
merangsang ... seketika timbul gejolak aneh di relung hatinya, seolah-olah celana yang dipakainya
pun hampir diterjangnya sampai jebol.
Dia cukup mengerti cara bagaimana untuk menyalurkan rangsangan yang membakar dirinya
ini. Karena dia pernah melakukan. Akan tetapi keadaannya sekarang sudah lain, karena dia pernah
memiliki perempuan, perempuan tulen.
Seharusnya tidak pantas dia memikirkan hal ini, gemblengan atau latihan yang pernah
dialaminya, kemungkinan jauh lebih berat, lebih menderita dari laki-laki mana pun, akan tetapi dia

tetap seorang laki-laki di saat dirinya disinari cahaya surya yang kesetanan ini, kecuali adegan itu,
sungguh persoalan apa pun enggan dia memikirkannya, memang dia sudah teramat letih.
Entah kapan hujan lebat itu berhenti? Sinar surya menjelang magrib setelah hujan ini kenapa
selalu terasa lebih hangat? Bergegas dia melonjak bangun, berlari keluar! Dia ingin penyaluran, dia
harus melampiaskan keinginan ini, tapi dia justru bertahan, harus bersabar!
Suara jalan raya tenang-tenang saja, seolah-olah penduduk kota pegunungan ini sudah
mendapat firasat bahwa di kota kecil ini bakal terjadi sesuatu peristiwa besar yang mengejutkan,
malah orang-orang yang suka gelandangan di jalan raya pun rela menyembunyikan diri di rumah
menggendong anaknya.
Yap kay berdiri di bawah emperan rumah, mengawasi jalan raya yang becek berlumpur,
seakan-akan sedang merenungkan sesuatu persoalan rumit yang tak bisa dipecahkan.
Selanjutnya dia melihat Pho Ang-soat sedang beranjak keluar dan gang sempit di seberang
sana. Dengan senyuman lebar dia memberi lambaian tangan, namun Pho Ang-soat menganggap
tidak melihat dirinya, kulit mukanya yang pucat ini seolah-olah menampilkan semu merah dari
kobaran hatinya, matanya dengan nanar menatap ke arah pintu sempit di seberangnya sana.
Lampu merah di atas pintu sempit itu sudah menyala. Pandangan mata Pho Ang-soat mirip
nyala lampu ini, mulai berkobar. Jari-jarinya masih mencekal golok, pelan-pelan namun pasti dia
beranjak menuju ke sana.
Tiba-tiba terasa oleh Yap Kay pemuda yang biasanya pendiam dan berwatak kaku serta tenang
ini, hari ini agaknya sedikit berubah aneh.
Maklumlah bila seorang sudah menahan dirinya sekian lama, karena terdesak melampaui batas,
ada kalanya dia pasti ingin melampiaskannya meski hanya sekedarnya saja, kalau tidak, siapa pun
asal dia seorang laki-laki normal pasti takkan kuat menahan diri, akhirnya bakal meledak.
Yap Kay menghela napas, katanya seorang diri, "Agaknya memang harus minum arak sepuaspuasnya."
Memang lebih baik kalau mabuk dan jatuh pulas lupa daratan, maka di saat dia siuman, meski
kepala pening seperti hampir pecah, namun semangatnya pasti sudah mengendor. Sudah tentu
alangkah baiknya bila ada seorang perempuan.
Yap Kay sedang heran, dia tidak tahu apakah sebesar ini pemuda cacad ini pernah
bercengkeraman dengan perempuan. Jika selamanya belum pernah bersentuhan dengan
perempuan, mungkin malah lebih mending daripada laki-laki yang pada hakikatnya belum pernah
bercengkeraman atau pernah bersentuhan dengan perempuan, maka keadaan dirinya laksana
tanggul besar yang kokoh kuat takkan bisa jebol dan hancur meski diterjang air bah.
Sebaliknya laki-laki yang sudah pernah memiliki banyak perempuan pun tidak berbahaya jika
hakikatnya sudah tidak perlu ditahan dan dijaga lagi, masakah pertahanannya bisa luluh.
Justru yang paling berbahaya adalah laki-laki yang baru saja pernah bersentuhan, bak umpama
sebuah tanggul yang sudah sedikit ada lubang, siapa pun takkan tahu kapan lubang ini bakal
diterjang oleh air bah itu.
Pelan-pelan Pho Ang-soat menyeberang jalan, matanya masih tertuju ke pintu sempit dengan
lampu merah di atas pintu.
Bila lampu merah menyala, berarti usaha di sini mulai didasarkan.
Meski dasaran hari ini takkan laris seperti hari-hari biasanya, namun pengunjung utama dari
tempat hiburan ini adalah pelatih kuda dari peternakan kuda atau penjual kuda-kuda liar dari
tempat jauh. Yang terang orang-orang seperti mereka hari ini takkan berkunjung ke tempat ini.
Pelan-pelan Pho Ang-soat mendorong pintu, biji lehernya turun naik menelan ludah,
Di dalam rumah hanya terdapat dua pengunjung dari orang-orang setempat yang baru saja
bertengkar dengan bininya. Siau Piat-li sudah turun, sudah tentu duduk di tempatnya semula,

pelan-pelan orang sedang menikmati hidangan pagi. Hidangan pagi yang sedang digaresnya itu
adalah lembaran daging-daging kambing yang diiris tipis dan di pinggang, semangkuk gulai
kambing, masih ada lagi cangkir besar yang berisi arak, seperti arak anggur keluaran Persia yang
dituang di dalam cangkir menyala di malam hari. Memangnya Siau Piat-li seorang laki-laki yang
pandai menikmati kesenangan hidup.
Pho Ang-soat melangkah masuk, ragu-ragu sebentar, akhirnya dia memilih tempat dimana
kemarin malam dia duduk.
"Minum arak apa?"
Kembali dia ragu, sampai lama baru menjawab, "Arak tidak mau." "Mau apa?"
"Kecuali arak, apa saja yang ada boleh disediakan."
Siau Piat-li tiba-tiba tertawa, segera dia memberi pesan kepada pelayannya. "Kebetulan baru
saja kami menerima susu kambing yang masih segar, berilah seteko kepada Pho-kongcu, anggap
saja sebagai perhitungan dari dalam."
Tanpa menoleh segera Pho Ang-soat berkata, "Tidak perlu, makanan yang kuinginkan aku bisa
membayarnya sendiri."
Siau Piat-li tertawa, kerat daging panggang terakhir segera dia jejalkan ke dalam mulut,
dikunyah pelan-pelan, menikmati rasanya yang manis, segar dan amis, memangnya dia seorang
yang tidak suka ribut mulut. Namun dia pun sudah tahu bahwa seseorang yang suka ribut dan adu
mulut tengah mendatangi.
Derap tapal kuda yang berdentam riuh dan cepat di atas jalan raya tengah mendatangi dengan
cepat sekali, akhirnya berhenti tepat di depan pintu.
"Blang", pintu didorong dari luar secara keras dan kasar, sesosok badan laki-laki raksasa
melangkah lebar masuk ke dalam rumah, tidak mengenakan topi, sementara pakaian depan
dadanya terbuka lebar, golok melengkung besar terselip di pinggangnya.
Kongsun Toan!
Dengan tersenyum Siau Piat-li menyapa dengan gerakan tangan dan mimik mukanya, orang
menganggap tidak melihat dirinya. Tapi yang dia pandang justru Pho Ang-soat. Sorot matanya
seketika laksana seekor elang kelaparan yang melihat sesosok bangkai
Susu kambing sudah dihaturkan, memang masih hangat dan segar. Minuman semacam ini
hanya bisa dinikmati oleh penduduk perbatasan yang terpencil di dunia ramai, hanya penduduk
kota di luar perbatasan ini yang benar-benar bisa menikmatinya.
Seteguk saja Pho Ang-soat mencicipi, seketika dia mengerut kening.
Mendadak Kongsun Toan menyeringai dingin, "Hanya kambing yang minum susu kambing."
Pho Ang-soat tidak mendengar, diangkatnya cangkirnya, lalu dihirupnya pula seteguk.
Semakin keras suara Kongsun Toan karena olok-oloknya tidak dihiraukan, "Tak heran di sini
berbau prengus. ternyata ada seekor kambing busuk di sini."
Pho Ang-soat masih tidak mendengarkan, namun jari-jari yang mencekal golok tergenggam
kencang, otot hijau di punggung tangannya merongkol besar.
Mendadak Kongsun Toan menghampiri, "Biang", meja digebrak seraya membentak, "Minggir!"
Pho Ang-soat mengawasi susu kambing di tangannya, katanya kalem, "Kau suruh aku minggir!"
"Di sini tempat duduk untuk manusia, di belakang ada kandang kambing, di sanalah tempatmu
berpijak."
"Aku bukan kambing."

Kongsun Toan menggebrak meja pula, serunya, "Peduli kau ini barang apa, segeralah enyah
dari sini, tuan besar suka duduk di tempatmu ini."
"Siapakah tuan besar?"
"Aku, aku ini tuan besar, tuan besar adalah aku."
"Prak", cangkir teremas pecah. Dengan mendelong Pho Ang-soat m ngawasi air susunya yang
muncrat di atas meja, badannya sudah bergetar keras.
Kongsun Toan menatapnya, telapak tangannya yang segede kipas itu sudah meraba gagang
goloknya, ejeknya dingin, "Kau ingin menggelinding sendiri atau perlu orang lain menggotongmu?"
Dengan badan gemetar pelan-pelan Pho Ang-soat berdiri, sedapat mungkin dia mengendalikan
perasaan dan emosinya, melirik pun dia tidak.
Kongsun Toan tertawa lebar, serunya, "Agaknya kambing busuk ini akan menggelinding balik
keluar, kenapa tidak kau jilat kering susu kambing yang mengotori meja ini?"
Tiba-tiba Pho Ang-soat mengangkat kepala menatapnya lekat-lekat. Sepasang matanya laksana
bara yang sedang menyala besar.
Biji mata Kongsun Toan pun sudah merah membara, mukanya menyeringai sadis, "Apa
keinginanmu? Ingin mencabut golok?"
Pho Ang-soat tetap menggenggam goloknya dengan kencang, tak bergeming sedikit pun.
"Hanya manusia bisa mencabut golok, kambing busuk masakah bisa main senjata, jika kau ini
manusia, cabutlah golokmu itu."
Dengan mendelikkan mata, Pho Ang-soat seperti ingin menelannya bulat-bulat. Sekujur
badannya gemetar dan keringat dingin bercucuran.
Dua tamu lain yang semula sedang minum arak kini sudah menyingkir ke pojok ruangan, d
ngan mendelong kaget mengawasi mereka.
Sementara Siau Piat-li tenang-tenang menikmati arak anggurnya seteguk demi seteguk, jarijarinya
kelihatan mengejang karena tegang.
Hening lelap hanya terdengar deru napas yang ngos-ngosan, dari kedua orang yang sedang
berhadapan. Deru napas Pho Ang-soat enteng dan pendek cepat, sedang napas Kongsun Toan
keras dan panjang serta berat. Sebaliknya orang lain justru serasa berhenti napasnya.
Tiba-tiba Pho Ang-soat memutar badan, beranjak keluar, kaki kiri melangkah dulu setapak, kaki
kanan dengan kaku lalu diseretnya maju.
Sekeras-kerasnya Kongsun Toan meludah ke atas lantai, katanya menghina, "Ternyata kambing
busuk ini timpang kakinya."
Mendadak langkah Pho Ang-soat dipercepat, seolah-olah sudah tak kuasa berdiri tegak lagi,
dengan sempoyongan menerjang keluar.
Kongsun Toan tergelak-gelak, serunya, "Menggelindinglah yang jauh ke dalam kandangmu, bila
terlihat lagi oleh tuan besarmu, awas kupatahkan kakimu yang lain." Segera dia menarik kursi
terus duduk seraya mengg brak meja, "Bawa arak kemari, arak bagus!"
Sekonyong-konyong seseorang berseru lantang di depan pintu, "Bawa arak kemari, arak
bagus!"
Tahu-tahu Yap Kay melangkah masuk, tangan kirinya menuntun seekor kambing.
Kongsun Toan mendelik kepadanya, dia malah seperti tidak melihat kehadiran Kongsun Toan,
setelah mencari tempat, terus duduk. Tempat duduknya berhadapan dengan Kongsun Toan.
Kongsun Toan menyeringai dingin, serunya sambil menuding meja di depannya, "Mana
araknya? Lekas."

Yap Kay pun menggebrak meja, serunya, "Mana araknya? Lekas!" Dalam keadaan seperti ini,
sudah tentu arak segera disuguhkan.
Yap Kay langsung menuang secangkir penuh, namun tidak diminum sendiri, tahu-tahu sebelah
tangannya menarik leher kambing, secangkir arak itu terus dia cekokkan ke dalam mulut kambing.
Kalau alis tebal Kongsun Toan bertaut, sebaliknya Siau Piat-li sudah terpingkal-pingkal.
Yap Kay segera tertawa lebar dan menengadah, katanya, "Ternyata kalau orang minum susu
kambing, kambing justru minum arak."
Seketika berubah rona muka Kongsun Toan, sigap sekali dia berjingkrak bangun, bentaknya
bengis, "Apa katamu?"
Yap Kay tertawa tawar, ujarnya, "Aku sedang bicara dengan kambing ini, apakah tuan ini
seekor kambing?"
Tiba-tiba Siau Piat-li ikut tertawa, katanya, "Tempat ini bukan kandang kambing, darimana bisa
ada kambing."
Kongsun Toan berpaling melotot gusar ke arahnya
Siau Piat-li tersenyum, lalu katanya, "Apa Kongsun-heng juga ada maksud ingin mematahkan
kakiku? Sayang sekali sejak lama kedua kakiku ini sudah dikutungi orang."
Terkepal kedua jari-jari tangan Kongsun Toan, katanya mendesis tajam, "Sayang sekali ada
juga kaki orang yang belum buntung."
"Benar, kakiku belum buntung," ujar Yap Kay.
"Baik, kau berdiri."
"Bila saatnya duduk, biasanya aku jarang berdiri," ujar Yap Kay meringis-
Siau Piat-li menimbrung, "Bila masih bisa berdiri, biasanya aku jarang duduk."
"Aku ini orang malas."
"Aku ini orang yang tidak punya kaki."
Keduanya mendadak terbahak-bahak.
Pelan-pelan Yap Kay mengelus kepala kambing, matanya mengerling ke arah Kongsun Toan,
katanya tertawa, "Yo-heng Yo-heng (engkoh kambing), kenapa kau selalu suka berdiri?"
Kongsun Toan justru sedang berdiri. Merongkol otot hijau di atas jidatnya, mendadak
tangannya berbalik menggenggam goloknya, bentaknya, "Sambil duduk aku pun bisa membacok
kutung kedua kakimu." Dimana sinar perak berkelebat, golok tahu-tahu sudah tercabut keluar.
"Brak", meja besar yang terbuat dari kayu keras dan tebal itu seketika terbelah menjadi dua. Meja
itu terbelah tepat di hadapan Yap Kay dan roboh. Begitu pula sinar golok membacok turun tepat di
muka Yap Kay.
Yap Kay tidak bergeming, sampai pun kelopak matanya pun tidak berkedip. Dia tetap
tersenyum, katanya tawar, "Tak nyana golok sabitmu ini peranti untuk membelah meja."
Kongsun Toan menggerung kalap seperti banteng ketaton, goloknya terayun membundar.
Sekujur badan Yap Kay seketika terkurung di dalam lingkaran sinar golok kemilau itu, sorot
matanya seketika seperti memancarkan kilat perak.
"Tring", kembang api muncrat. Sebatang tongkat besi tiba-tiba menyelonong maju dari samping
menangkis bacokan golok sabit, terus menahannya di tengah udara. Dengan sebatang tongkatnya
Siau Piat-li menangkis bacokan golok, sementara tongkatnya yang lain menyanggah bumi dan
amblas lima dim ke dalam lantai Betapa dahsyat kekuatan bacokan golok ini.
Tapi badan Siau Piat-li sendiri tetap bertopang di atas tongkatnya ini tanpa bergeming,
demikian pula tongkatnya yang teracung ke depan menahan golok masih lempang dan tenang.

Karena kekuatan bacokan ini dia salurkan ke tongkatnya yang satu sehingga ujungnya amblas
masuk ke dalam lantai.
Rona muka Kongsun Toan sudah pucat-pias, katanya sambil mendelik kepadanya, "Urusan ini
tiada sangkut-pautnya dengan kau."
Siau Piat-li berkata tawar, "Di sini bukan tempatnya membunuh orang."
Darah semakin mendidih di rongga dada Kongsun Toan, namun goloknya tidak bergerak lagi.
Demikian pula tongkat besi itu sudah tidak bergeming.
Sekonyong-konyong tajam golok mulai menggesek batang tongkat, mulai terdengar suara
gesekan yang lirih lembut semakin keras dan menusuk telinga. Maka tongkat besi yang lain itu
mulai amblas satu dim demi satu dim ke dalam bumi. Tapi Siau Piat-li sendiri masih bergelantung
di atas tongkatnya tidak tergoyahkan.
Tiba-tiba Kongsun Toan membanting kedua kakinya, lantai marmer hijau di bawah kakinya
seketika pecah retak, cepat sekali dia sudah melangkah keluar. Sepatah kata pun tidak bersuara
lagi.
Yap Kay menarik napas panjang, katanya memuji, "Siau-siansing, hebat benar Lwekangmu."
"Amat memalukan."
"Siapa pun bila sudah berlatih Lwekang mencapai taraf Ih-hoa-kiat-bok (memindah kembang
menyambung dahan), tiada sesuatu yang perlu dibuat malu di dunia ini."
Tiba-tiba Siau Piat-li tertawa, ujarnya, "Yap-heng tajam benar pandangan matamu."
"Pandangan Kongsun Toan tentunya juga tidak jelek, kalau tidak, masakah dia mau berlalu
begitu saja."
"Mungkin juga karena orang yang benar-benar ingin dia bunuh bukan kau "
"Tapi jika bukan karena pertolongan Siau-siansing, mungkin hari ini aku sudah mampus di
tempat ini."
Siau Piat-li tertawa, katanya, "Jika aku tidak turun tangan, mungkin memang ada orang bakal
mampus di sini, tapi yang terang orang itu bukan kau."
"Bukan aku? Lalu siapa?" "Kongsun Toan!"
"Mana mungkin dia yang mati malah?"
"Dia itu laki-laki kasar berangasan, ternyata dia tidak tahu bahwa ilmu silat Yap-heng
hakikatnya sepuluh kali lipat lebih tinggi dari kepandaiannya."
Yap Kay tertawa seperti mendengar suatu yang menggelikan, katanya dengan geleng-geleng
kepala, "Siau-siansiang tentunya salah hitung kali ini."
"Kedua kakiku memang buntung, namun kedua mataku ini pasti tidak akan meleset, kalau
tidak, aku sudah menahan diri sepuluh tahun di sini, kenapa hari ini aku harus turun tangan."
Yap Kay menunggu kata-katanya lebih lanjut.
"Selama puluhan tahun ini, belum pernah aku melihat tokoh semuda kau, bukan saja ilmu
silatnya tinggi tak terukur, malah menyembunyikan kepandaian pula, maka dia berhenti, seperti
sedang menunggu pertanyaan Yap Kay selanjutnya.
Terpaksa Yap Kay bertanya, "Maka bagaimana7"
Kembali Siau Piat-li menghela napas, katanya, "Seorang cacad sebatangkara, untuk hidup di
tempat seperti ini bukan soal gampang, kalau bisa bersahabat dengan teman seperti Yap-heng
Mendadak Yap Kay menukas kata-katanya dengan tertawa, "Jika bersahabat dengan teman
seperti aku, kelak kau akan terlibat banyak kesulitan."

Berkilat pandangan Siau Piat-li menatap kepadanya, ujarnya, "Jika aku tidak takut menghadapi
bahaya?" "Boleh kita menjadi sahabat."
Seketika Siau Piat-li tertawa lebar, ujarnya, "Kalau begitu kenapa tidak lekas kau kemari minum
bersama."
"Umpama kau tidak ingin mengundang aku minum, aku pun tetap akan meminumnya."
Seorang sedang mencongklang kudanya lewat jalan raya, sekonyong-konyong sebuah tangan
gede menariknya turun dari punggung kudanya secara kekerasan, terus dilempar jatuh ke tanah
dengan kerasnya. Baru saja orang ini berjingkrak hampir memaki dengan gusar, seketika dia
urungkan niatnya
Karena dia sudah melihat jelas orang yang menariknya jatuh dari punggung kuda adalah
Kongsun Toan, dilihatnya pula roman muka Kongsun Toan yang sedang marah-marah, siapa pun
takkan ada yang berani mengusik Kongsun Toan yang sedang marah ini.
Dengan tangkas Kongsun Toan mencemplak ke punggung kuda terus dikeprak cepat-cepat
Dimanakah kuda tunggangannya sendiri?
Kuda tunggangan Kongsun Toan sedang membedal di tengah padang rumput, namun
penunggangnya adalah Pho Ang-soat.
Begitu keluar pintu dia terus mencemplak ke atas kuda serta mengepraknya dengan goloknya,
begitu keras hantaman goloknya di pantat kuda. Seolah-olah dia menganggap kuda tunggangan
ini sebagai Kongsun Toan
Dia perlu melampiaskan kobaran hatinya, kalau tidak, dia bisa gila dibuatnya. Kuda itupun
seperti jadi gila, dari jalan raya terus membedal ke padang rumput, dari magrib sampai gelap
akhirnya dirinya dikelilingi tabir malam nan pekat.
Angin badai menghembus datang, butiran pasir menyampuk mukanya, dia tidak berpaling,
terus memapak ke depan. Penghinaan seperti itupun dapat dia terima, ada apa pula yang tidak
dapat dia terima di dunia ini? Giginya berkerutukan kencang, darah merembes keluar dari ujung
bibirnya, darah terasa getir, getir dan kecut.
Sekonyong-konyong di tengah kegelapan itu timbul setitik bintang. Bukan bintang, namun
itulah lampion besar di pucuk tiang bendera dalam Ban-be-tong, sinarnya yang menyala lebih
terang dari cahaya bintang
Bintang akan tiba saatnya timbul dan tenggelam, bagaimana dengan lampion ini?
Dengan kencang dia renggut bulu suri kuda, dengan kuat dia pukulkan sarung goloknya untuk
membedal kudanya, dia perlu melampiaskan diri, demikian pula kecepatan lari kudanya pun dia
percepat agar lebih cepat melampiaskan gejolak hatinya.
Sekonyong-konyong kuda tunggangannya meringkik dengan pilu, kaki depannya tiba-tiba
tertekuk terus tersungkur jatuh. Dengan sendirinya Pho Ang-soat ikut terjungkal dan terbanting
keras bergelundungan di tanah, tanah nan tandus, tanah berpasir. Pasir yang keras menggesek
luka kulit mukanya, darah berlepotan di selebar mukanya. Demikian pula serasa hatinya pun sudah
berdarah.
Tahan sabar, sabar lagi, sampai kapan dia harus menahan sabar? Siapa kan tahu betapa getir
dan derita untuk menahan sabar ini? Tak tertahan air matanya bercucuran, air mata darah, air
mata bercampur darah.
Bintang-bintang berkelap-kelip di cakrawala.
Di bawah pancaran sinar bintang-bintang inilah tiba-tiba seekor kuda berlari-lari kecil lembut
tengah berderap mendatangi, sepasang mata si penunggang kuda laksana bintang kejora yang
sedang menyala di tengah kegelapan malam. Bunyi kelintingan kuda bak irama lagu dewata,
semakin jelas dan jelas, itulah Be Hong-ling.

Rona mukanya masih menampilkan senyuman mekar dan manis, sorot matanya
membayangkan hidup bahagia, kelihatannya dia jauh lebih cantik dari sebelumnya. Bukan lantaran
pancaran sinar bintang yang menambah semarak, bukan karena keremangan malam nan redup
ini, namun lantaran benih-benih asmara sudah tumbuh di dalam relung hatinya.
Asmara itu sendiri memangnya bisa merubah seorang perempuan menjadi genit dan mekar,
meski seorang perempuan paling buruk pun akan menjadi cantik. "Dia tentu sedang menunggu
aku, melihat aku mendadak pergi pula, tentu dia lebih senang dari memperoleh rezeki apa pun "
Sebenarnya tidak pantas dia datang saat sekarang. Tapi rasa kangennya, karena gejolak
asmara itu sehingga dia melupakan segala akibatnya.
Sebetulnya dia tidak bisa keluar. Akan tetapi cinta membuat dia lebih berani, asal dapat
melihatnya, meski hanya sekejap saja, segala urusan umpama dunia bakal kiamat pun tidak
menjadi perhatian dirinya.
Angin malam menghembus dingin, sedingin batang golok nan tajam. Tapi di dalam
perasaannya, angin dingin ini menjadi hangat. Tapi di tengah hembusan angin ini, sayup-sayup dia
mendengar isak tangis. Siapakah yang menangis di tengah padang rumput nan belukar dan sepi
ini secara diam-diam?
Sebetulnya dia sudah berputar ke arah lain, namun tahu-tahu putar balik, cinta bukan saja
membuat dia lebih cantik, cinta pun membuat hatinya lebih luhur, lebih bajik. Menaruh belas
kasihan terhadap sesamanya, menyelami kesukaran orang lain. Pertama-tama ditemukannya kvida
tunggangan Kongsun Toan yang sudah roboh kehabisan tenaga, lalu melihat Pho Ang-soat pula.
Pho Ang-soat meringkuk di atas tanah, sekujur badannya gemetar keras tak henti-hentinya.
Seolah dia tidak mendengar kedatangannya, juga tidak melihat orang turun mendekati dirinya
pula.
Dia sedang menahan derita yang paling berat di seluruh dunia, menahan siksaan yang paling
menakutkan. Di bawah sinar bintang, mukanya tampak sedemikian pucat, muka nan pucat ini
berlepotan air mata yang bercampur dengan darah, air mata darah.
Baru sekarang Be Hong-ling melihat jelas muka orang dan mengenalinya, saking kaget matanya
terbelalak, mulut pun berteriak tertahan, "Kau?"
Dia belum melupakan pemuda yang aneh ini, masih segar dalam ingatannya jalur-jalur merah
di pipi orang bekas lecutan cambuknya itu.
Pho Ang-soat kini sudah melihatnya, sorot matanya hampa dan kalut, seolah-olah kuda liar
yang terlepas dari pingitan. Dia meronta-ronta ingin bangkit, namun kaki tangannya seperti
dibelenggu oleh tali-temali besar yang tidak kelihatan, baru saja berdiri kembali terjungkal roboh.
Berkerut alis Be Hong-ling, tanyanya, "Kau sakit?" Pho Ang-soat mengertak gigi, buih kental mulai
merembes dari mulutnya, mirip benar dengan buih kental yang meleleh keluar dari mulut kuda
yang kehabisan tenaga itu.
Penyakit yang jahat dan menakutkan ini, sudah puluhan tahun menyiksa dirinya, di saat dia
didesak dan kepepet oleh situasi dan tak bisa melampiaskan kobaran hatinya, terasa dirinya sudah
tidak tahan lagi untuk melampiaskan keinginan hatinya, saat itulah penyakit aneh ini bisa kumat
secara mendadak. Selama ini pantang bila penyakitnya ini kumat dilihat orang, dia rela mati, lebih
baik masuk neraka daripada keadaan dirinya yang mengenaskan ini dilihat orang.
Tapi pada saat yang fatal ini, kenyataan orang telah menyaksikan keadaan dirinya yang
memalukan ini. Dia mengertak gigi, dengan sarung goloknya dia menghajar dan memukul diri
sendiri. Dia amat benci pada diri sendiri. Seorang laki-laki yang berwatak keras, laki-laki yang amat
bangga dan angkuh, kenapa justru Thian menakdirkan dirinya terserang atau terhinggapi penyakit
yang jahat dan memalukan ini?
Betapa kejam dan tak adil siksaan dan derita yang luar biasa ini. Dia rela mati, namun dalam
keadaan seperti ini untuk mati pun tak mudah lagi! Sekali-kali tak boleh mati, tugas belum selesai.

“Agaknya Be Hong-ling sudah tahu penyakit ini, katanya lembut setelah menghela napas, "Buat
apa kau memukul dirimu sendiri? Penyakit ini takkan membikin kau mati, malah cepat sekali
akan..”
Mendadak Pho Ang-soat mengerahkan seluruh kekuatannya mencabut golok, dampratnya
dengan menggerung gusar, "Enyah kau, enyah dari sini, kalau tidak kubunuh kau!" Untuk pertama
kali ini dia mencabut goloknya.
Golok yang cemerlang! Cahaya golok menyinari mukanya, muka yang berlepotan darah. Cahaya
golok nan pucat membuat raut mukanya kelihatan lebih menakutkan, seperti sudah gila, seperti
sedang menyeringai iblis.
Tanpa sadar Be Hong-ling menyurut mundur dengan perasaan ngeri, sorot matanya
menampilkan rasa kejut, takut dan seram. Ingin dia tinggal pergi, namun saat itu pula tiba-tiba
kaki tangan Pho Ang-soat mengejang, lalu berkelejetan dan roboh meronta-ronta. Seperti ayam
disembelih, laksana seekor kuda liar yang terjebak masuk ke dalam perangkap, liar putus asa,
sebatangkara dan tiada bantuan.
Golok itu masih tergenggam di tangannya, golok yang telanjang. Mendadak dia ayun goloknya
membacok paha sendiri, begitu keras bacokan ini, golok sampai amblas ke dalam kulit dagingnya.
Darah merembes keluar melalui batang golok, lambat-laun badannya yang kejang dan merontaronta
mulai lambat dan mereda, akhirnya berhenti. Kini tinggal gemetaran saja yang membuat
keringat dingin berketes-ketes, dengan kedingingan dia meringkuk seperti trenggiling. Seperti
anak kecil yang meringkuk karena ketakutan!
Sorot mata Be Hong-ling yang takut dan seram tadi kini sudah berganti menaruh belas kasihan
dan simpatik.
Di tengah kegelapan, dalam malam nan dingin, anak yang sebatangkara .... Tak tahan dia
menghela napas pelan-pelan, maju menghampiri, mengelus rambutnya sambil menghibur lembut,
"Ini bukan salahmu, kenapa kau harus menyiksa diri sendiri?" Inilah kasih sayang bak seorang ibu
kepada putranya tercinta. Pemuda sebatangkara yang menderita ini menimbulkan rasa iba,
membangkitkan jiwa keibuannya.
Air mata Pho Ang-soat bercucuran pula Betapapun dia kuat perkasa, angkuh dalam keadaan
seperti ini, akhirnya terketuk juga sanubarinya. Dengan bercucuran haru, mendadak dia berteriak,
"Aku memang salah, sebetulnya aku tidak patut dilahirkan, hakikatnya aku tidak harus hidup di
dunia fana yang penuh siksa ini." Teriakannya diliputi rasa kepedihan dan putus asa.
Tertusuk pula sanubari Be Hong-ling, rasa simpati dan haru, rasa kasihan laksana sebatang
jarum menusuk hulu hatinya bersama. Tak tahan lagi dia merangkulnya dalam pelukannya,
bujuknya lembut, "Kau tidak perlu bersedih, sebentar juga kau akan pulih kembali” Tak kuasa dia
meneruskan kata-katanya, karena air matanya pun berderai, tenggorokan serasa tersumbat.
Kini Pho Ang-soat sudah tenang, tidak lagi gemetar, napasnya justru semakin memburu. Be
Hong-ling bisa merasakan deru napasnya yang panas menembus pakaiannya menyentuh kulit
badannya. Maka dadanya lambat-laun terasa panas.
Rasa kasihan dan simpati yang tak terbatas, tanpa tedeng aling-aling lagi, sehingga dia lupa diri
bahwa berada dalam pelukannya adalah seorang pria. Memang inilah kebesaran jiwa kemanusiaan
yang menalari kesucian hati untuk beriba kepada sesamanya, dan semua ini dia lakukan di luar
kesadarannya. Namun sekarang dia tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh, suatu perasaan aneh
yang datangnya amat mendadak dan membakar sanubarinya. Hampir saja dia mendorongnya,
namun hati terasa berat.
"Siapa kau?" mendadak Pho Ang-soat bertanya.
"Aku she Be suara Be Hong-ling tiba-tiba terputus, karena dia pun merasakan deru napas si
pemuda ini tiba-tiba juga seperti berhenti. Sungguh dia tidak habis mengerti kenapa bisa terjadi
seperti ini

Tiada orang yang dapat membayangkan, betapa besar kekuatan rasa dendam seseorang,
adakalanya jauh lebih membara dan besar dari rasa cinta. Karena cinta itu lembut, hangat, laksana
hembusan angin musim semi, air yang mengalir di tengah hembusan angin musim semi.
Dendam justru amat meruncing dan tajam laksana sebatang golok, dalam sekejap mata dapat
menikam ke dalam hulu hatimu.
Pho Ang-soat tidak bertanya lagi, mendadak dengan kuat dia balas memeluknya, sekali raih
pakaiannya ditariknya sampai sobek.
Perubahan ini terlalu cepat dan mendadak, menakutkan lagi. Be Hong-ling teramat kaget dan
bergetar sanubarinya, seolah-olah dirinya menjadi kaku, lupa berkelit, lupa menyingkir, juga lupa
melawan.
Jari-jari Pho Ang-soat yang dingin sudah merambat di dalam dadanya yang hangat, dengan
sekuat tenaga menangkap ....
Perasaaan aneh laksana sebilah pisau, jantung Be Hong-ling seolah-olah tertikam berlubang
oleh tusukan pisau ini, ketakutan, malu dan marah seketika memuncak dalam rongga dadanya.
Serempak dia melompat bangun, serta-merta kedua tangannya bekerja pergi datang menggampar
muka Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat pun tidak berkelit atau melawan, kedua tangannya masih kencang memeluknya.
Demikian keras belenggu kedua tangannya ini sehingga Be Hong-ling kesakitan dan napasnya pun
menjadi sesak, tak tertahan air mata berderai, dengan mengepal kedua tangannya, sekuat tenaga
ia menghajar hidung orang.
Sebelah tangan Pho Ang-soat segera menangkap kepalannya. Maka dadanya yang terbuka
membukit terbentang di tengah hembusan angin lalu, montok dan kenyal.
Biji mata Pho Ang-soat sudah membara, seperti serigala yang rakus mengincar mangsanya, dia
menubruk lagi serta meraih-raih dan berusaha memeluknya lebih kencang.
Be Hong-ling mengangkat dengkulnya naik turun menghajar muka orang. Entah kenapa
keduanya tidak bicara dan tidak bersuara, tiada yang menjerit, memangnya jeritan di saat-saat
seperti ini di tempat ini pula tiada gunanya.
Keduanya seperti binatang liar, bergumul, banting membanting, meronta dan meraih serta
mengoyak. Lama kelamaan semakin banyak tempat-tempat telanjang di tubuh Be Hong-ling.
Pho Ang-soat sudah kesetanan, sebaliknya Be Hong-ling saking gusar dan malu pun sudah
menjadi kalap, juga panik, lambat-laun dia sudah kehabisan tenaga untuk melawan.
Sekonyong-konyong mulutnya terbuka menjerit sekuat-kuatnya, "Lepaskan, lepaskan aku ...
kenapa kau harus berbuat seperti ini terhadapku? Kenapa”. Dia tahu dalam keadaan dan tempat
seperti ini terang takkan ada orang yang bisa menolongnya, dia pun insyaf laki-laki yang sudah
kesetanan ini takkan bakal melepas dirinya. Itulah ratap tangisnya terhadap Yang Maha Kuasa
akan kemalangan yang menimpa dirinya.
Di tengah deru napas Pho Ang-soat yang tersengal-sengal itu terdengar mulutnya berkata, "Hal
ini kan memang kau sendiri yang menginginkan, aku tahu kau pun mengharapkan."
Boleh dikata Be Hong-ling sudah lemas kehabisan tenaga, hampir saja dia sudah putus asa dan
pasrah nasib, tidak meronta lagi. Setelah mendengar kata-katanya ini, mendadak dia himpun
seluruh kekuatannya, sekali pentang mulut sekuatnya dia menggigit pundak orang.
Saking kesakitan seluruh badan Pho Ang-soat seakan-akan mengkeret, namun tetap
menindihnya dengan kencang, seolah-olah ingin menindihnya sampai jiwa nafsunya tertekan
keluar.
Kini mulutnya sudah lepas dari pundak orang, mulutnya mengulum darah, mengunyah sekerat
daging ... mendadak dia muntah-muntah. Karena muntah-muntah ini, tenaganya semakin habis

dan tak kuasa melawan lagi, tepaksa mulutnya menjerit-jerit pula, "Oh, ampun aku mohon
kepadamu, kau tidak boleh berbuat seperti ini."
Boleh dikata Pho Ang-soat sudah hampir berhasil menodainya, mulutnya menyahut samarsamar,
"Kenapa tidak boleh, siapa bilang tidak boleh."
Tiba-tiba terdengar seorang menyahut dingin, "Aku yang bilang! Kau tidak boleh!"
Suaranya dingin, tenang dan dingin, terdengar menggiriskan.
Jika kemarahan terlalu memuncak, ada kalanya malah dapat membuat diri sendiri berubah
menjadi tenang dan tabah, bukankah golok biasanya pun dingin dan tenang.
Dalam pendengaran Pho Ang-soat, suara orang ini memang laksana sebilah golok. Sebat sekali
badannya segera menggelundung ke samping. Waktu dia melenting berdiri, maka dia pun melihat
Yap Kay di hadapannya.
BAB 10. MEMBUNUH MENGHILANGKAN SAKSI
Yap Kay berdiri di kegelapan, berdiri di bawah pancuran sinar bintang, seperti patung batu,
dingin kaku seperti batu es.
Kini Be Hong-ling pun sudah melihatnya, dengan menggapai-gapai dia meronta bangun, terus
menubruk ke dalam pelukannya, memeluknya kencang-kencang, pecahlah jerit tangisnya, saking
senang dan haru serta ketakutan, sepatah kata pun tak kuasa diucapkan.
Yap Kay pun tidak bersuara. Dalam keadaan seperti ini, bujuk dan menghiburnya akan
merupakan kata-kata yang berlebihan. Pelan-pelan dia tanggalkan jubah panjangnya untuk
menutupi badan orang.
Di sebelah sana Pho Ang-soat sudah menggenggam goloknya, sekali membalik dia melotot
kepada Yap Kay, sorot matanya entah marah atau amat malu. Melirik pun Yap Kay tidak hiraukan
tingkah orang.
Sambil mengertak gigi Pho Ang-soat mendesis, "Aku harus membunuh kau."
Yap Kay tetap tidak menghiraukan ancaman orang. Sekonyong-konyong Pho Ang-soat
mengayun goloknya menubruk maju. Kakinya yang sebelah itu memang cacad, malah kaki yang
sebelah pun masih mengalirkan darah, tapi begitu dia mengembangkan ketangkasannya, sungguh
tidak kalah gesit dan tangkasnya dari burung sriti, lebih beringas dari seekor serigala. Tiada orang
yang bisa menggambarkan betapa tangkas dan cekatan gerak-gerik dari seorang cacad seperti
dirinya. Tiada orang yang dapat melukiskan kecepatan serta perbawa sambaran goloknya!
"Aku harus membunuh kau!" tahu-tahu sinar golok sudah menyambar ke arah Yap Kay. Tak
nyana Yap Kay sedikit pun tidak bergerak. Belum lagi golok mengenai sasaran, tiba-tiba sinar
golok kuncup dan berhenti di tengah udara.
Sampai lama Pho Ang-soat melototkan matanya ke arah Yap Kay, tangan yang mengacungkan
golok itu semakin goyah, akhirnya gemetar, mendadak dia membalik badan terus membungkuk
dan muntah-muntah dengan hebatnya.
Yap Kay tetap tidak menghiraukan dia, melirik pun tidak, namun sorot matanya sudah
menampilkan rasa iba dan simpati. Dia cukup memahami jiwa dan keadaan pemuda ini, tiada
orang lain yang lebih paham dan menyelami jiwa pemuda ini dari dia sendiri, karena dia pun
pernah mengalami gemblengan dan derita yang sama.
Be Hong-ling masih sesenggukan. Pelan-pelan dia menepuk pundaknya, katanya kalem, "Kau
pulang lebih dulu."
"Kau ... kau tidak mengantar aku?" tanya Be Hong-ling.

"Aku tidak bisa mengantarmu."
"Kenapa?"
"Aku perlu tinggal di sini beberapa kejap lagi."
"Biarlah aku pun.”
"Kau harus segera pulang, tidurlah yang nyenyak, lupakan kejadian tadi, setelah besok
Be Hong-ling menengadah mengawasi, sorot matanya memohon dan harus dikasihani,
tanyanya, "Besok kau akan menengok aku?"
Mimik sorot mata Yap Kay masih aneh, lama juga baru dia berkata pelan-pelan, "Sudah tentu
aku akan menengok kau."
Dengan kencang Be Hong-ling menggenggam tangannya, air mata bercucuran pula, katanya,
"Umpama kau tidak menengok aku, aku pun takkan menyalahkan kau." Mendadak dia putar
badan, sambil menutupi dadanya dengan kedua tangan dia berlari sekencang-kencangnya seperti
gila.
Derap tapal kuda itu semakin jauh dan akhirnya tak terdengar lagi, alam semesta kembali
diliputi ketenangan.
Karena muntah-muntah ini seluruh badan Pho Ang-soat seolah-olah meringkuk, napasnya
masih ngos-ngosan.
Yap Kay tenang-tenang saja mengawasinya, setelah orang berhenti muntah-muntah, mendadak
dia bersuara dingin, "Sekarang kau boleh membunuhku."
Dengan badan terbungkuk, Pho Ang-soat melangkah beberapa tindak, diraihnya goloknya terus
menerjang ke depan. Sekaligus dia terseok-seok ke depan sampai cukup jauh baru berhenti, kini
badannya sudah rada terangkat, kepalanya mendongak, selebar mukanya yang kotor kembali
dibasahi air mata, keringat dan darah.
Yap Kay datang menghampiri, berdiri di belakangnya, tenang dan menunggu, katanya
kemudian, "Kenapa tidak kau turun tangan?"
Gemetar pula tangan Pho Ang-soat yang mencekal golok, mendadak dia membalik badan,
suaranya serak, "Kau memaksa aku?"
"Tiada yang memaksamu, kau sendiri yang memaksa dirimu, malah mendesaknya sedemikian
rupa." Kata-kata ini laksana cambuk melecut keras di badan Pho Ang-soat.
Berkata Yap Kay lebih lanjut dengan lebih tenang, "Aku tahu harus melampiaskan, kini tentu
kau sudah merasa nyaman, lebih baikan."
"Apa pula yang kau ketahui?"
"Aku tahu kau pasti tidak akan membunuhku."
"Memangnya tidak perlu."
"Orang yang ingin kau sakiti mungkin hanya dirimu sendiri, karena kau…”
"Tutup mulutmu!" hardik Pho Ang-soat dengan sorot mata yang amat menderita.
Yap Kay menghela napas, katanya pula, "Walau kau sendiri merasa berbuat salah, tapi apa
yang sudah salah itu bahwasanya bukan kesalahanmu."
"Memangnya salah siapa?"
"Seharusnya kau tahu siapa dia ... sudah tentu kau tahu."
Memicing kelopak mata Pho Ang-soat, tanyanya keras, "Siapa kau sebenarnya?"
"Aku adalah aku, she Yap bernama Kay."
"Apa benar kau she Yap?" bengis suara Pho Ang-soat.

"Apa kau benar she Pho?"
Keduanya beradu pandang, seolah-olah ingin meraba perasaan orang, pikiran dan nalarnya,
mengorek rahasia yang terbenam di dalam sanubari masing-masing.
Cuma kalau Yap Kay selalu tenang kendor dan dingin, Pho Ang-soat sebaliknya, laksana busur
yang sudah ditarik kencang. Lalu mereka tiba-tiba mendengar suatu suara yang aneh, seolah-olah
derap kaki kuda yang berlari-lari di atas tanah berlumpur, seperti jagal binatang sedang
memotong daging-daging korbannya.
Sebetulnya suara ini amat lirih, namun di tengah malam buta rata yang hening lelap ini,
ditambah kuping mereka berdua teramat tajam. Malah hembusan angin pun sedang meniup
datang dari arah sana pula.
Tiba-tiba Yap Kay membuka suara, "Aku kemari, sebetulnya bukan hendak mencarimu."
"Kau mencari siapa?"
"Orang yang membunuh Hwi-thian-ci-cu."
"Kau sudah tahu siapa dia?"
"Aku belum yakin, sekarang aku ingin menyusul ke sana dan menemukan dia," ringan sekali
badannya melejit terus bersalto sampai beberapa tombak jauhnya, begitu menancapkan kaki dia
berhenti, agaknya sedang menunggu Pho Ang-soat.
Ragu-ragu sebentar, akhirnya Pho Ang-soat mengejar juga ke sana.
Yap Kay tertawa, katanya, "Aku tahu kau pasti akan ikut ke sana."
"Kenapa?"
"Karena setiap peristiwa yang terjadi di sini, kemungkinan ada sangkut-pautnya dengan kau."
"Kau tahu siapa aku?"
"Kau adalah kau, kau she Pho bernama Ang-soat."
Angin badai melanda, suara aneh itupun berhenti.
Pho Ang-soat menutup kencang mulutnya tanpa bersuara lagi, sejak mula dia tetap bertahan
dalam jarak yang sama di belakang Yap Kay. Ginkang dan gerak badannya memang aneh, lincah
dan tangkas, malah kelihatannya indah pula. Di saat mengembangkan Ginkangnya, takkan ada
orang yang bisa melihat bahwa kakinya itu timpang.
Yap Kay sedang memperhatikan, tiba-tiba dia menghela napas, ujarnya, "Agaknya sejak kau
dilahirkan, kau sudah lantas berlatih ilmu silat."
Kaku muka Pho Ang-soat, jengeknya, "Dan kau?"
"Aku lain."
"Apanya yang lain?"
"Aku ini seorang jenius."
"Jenius biasanya cepat mampus."
"Dapat mati lebih cepat, bukankah suatu hal yang baik juga?"
Terpancar derita yang tak terhingga dari sorot mata Pho Ang-soat. "Aku tidak boleh mati, tak
boleh matiHatinya berteriak-teriak tak henti-hentinya
Sekonyong-konyong dia mendengar Yap Kay berpekik lirih.
Di tengah hembusan angin yang kencang ini, penuh diliputi bau amisnya darah, sinar bintang
yang berkelip-kelip menyoroti setumpukan mayat-mayat yang bergelimpangan. Seolah-olah jiwa di
tengah padang rumput ini tiada harganya sepeser pun, laksana kerbau dan kuda

Di samping tumpukan mayat-mayat ini sudah digali sebuah lubang besar, galiannya belum
dalam, di samping berserak tujuh delapan pacul dan sekop. Jelas setelah membereskan jiwa
orang-orang ini mereka sudah siap mengubur mayat-mayat ini di sini, namun melihat orang
datang, secara tergesa-gesa mereka meninggalkannya demikian saja.
Siapakah pembunuhnya? Siapa pun tiada yang tahu.
Tetapi yang terbunuh ternyata bukan lain adalah Buyung Bing-cu beserta sembilan pemuda ahli
pedang yang selalu mengikuti dirinya itu. Pedang Buyung Bing-cu sudah terlolos keluar, namun
kesembilan pembantunya itu satu pun belum ada yang sempat mengeluarkan senjata, tahu-tahu
jiwa sudah melayang dengan percuma
Yap Kay menghela napas, katanya seorang diri, "Pembunuhan yang cepat sekali, pembunuhan
yang keji!" Jika pembunuh itu bukan seorang ahli, masakah orang dapat bekerja demikian dan
begitu keji, menghabisi kesepuluh lawannya ini.
Pho Ang-soat menggenggam goloknya, agaknya dia mulai dihayati emosi pula, seolah-olah dia
sudah jeri melihat orang mati, dan mengendus bau darah.
Yap Kay sebaliknya tidak peduli. Dari dalam kantong bajunya dia k luarkan secuil kain, di atas
cuilan kain ini, terdapat sebuah kancing yang masih terjahit kencang. Cuilan kain berkancing ini
ternyata semutu dan warna dengan pakaian yang dikenakan Buyung Bing-cu, demikian pula jenis
kancingnya mirip satu sama lain.
Yap Kay menghela napas panjang, ujarnya, "Ternyata memang dia!"
Pho Ang-soat mengerut kening, agaknya dia belum paham.
"Cuilan kain ini kuambil dari genggaman tangan mayat Hwi-thian-ci-cu, sampai mati dia masih
tetap menggenggam kencang cuilan kain ini."
"Kenapa?"
"Karena Buyung Bing-cu adalah pembunuhnya! Tujuannya hendak memberitahu rahasia
pembunuhan dirinya kepada orang lain."
"Memberitahu kepada kau? Supaya kau menuntut balas bagi dia?"
"Sekali-kali bukan hendak memberitahu kepadaku."
"Lalu dia hendak memberitahu kepada siapa?'
"Kuharap aku bisa tahu."
"Kenapa Buyung Bing-cu harus membunuh dia?" Yap Kay geleng-geleng kepala. "Bagaimana
dia bisa berada di dalam peti mati itu?" Yap Kay geleng-geleng pula.
"Lalu siapa pula yang membunuh Buyung Bing-cu?"
Yap Kay menepekur sebentar, sahutnya, "Aku hanya tahu orang itu membunuh Buyung Bing-cu
untuk menyumbat mulutnya."
"Menyumbat mulut?"
"Karena pembunuh itu tidak ingin kematian Hwi-thian-ci-cu berada di tangan Buyung Bing-cu,
yang penting dia tidak ingin orang lain dapat menemukan Buyung Bing-cu "
"Kenapa?"
"Karena dia takut orang akan menyelidiki hubungannya dengan Buyung Bing-cu."
"Kau tidak tahu siapa dia?"
Yap Kay tidak banyak berkata lagi, dia tenggelam dalam renungannya. Lama juga baru dia
buka suara pula pelan-pelan, "Tahukah kau, tadi siang Hun Cay-thian ada mencarimu?"
"Tidak tahu."

"Katanya dia mencarimu, namun setelah melihat kau, sepatah kata pun dia tidak bicara apaapa."
"Karena yang dia cari sebetulnya bukan aku."
"Benar, yang dia cari sudah tentu bukan kau, lalu siapakah yang dia cari? Siau Piat-li? Cui-long?
Jika dia mencari kedua orang itu. kenapa dia harus membual?"
Bayu menghembus semakin kencang. Pasir kuning memenuhi angkasa, rumput-rumput
mengering. Kalau langit cemerlang laksana jade hitam yang dihiasi berlian, indah semarak, bumi
justru diliputi kegelapan dan kepedihan. Sayup-sayup hembusan angin membawa ringkikan kuda,
sehingga menambah suasana padang rumput yang lenggang ini terasa semakin seram.
Pelan-pelan Pho Ang-soat berjalan di depan, pelan-pelan pula Yap Kay mengikut di
belakangnya. Sebetulnya dia bisa memburu ke depan dan berjalan di muka, tapi tidak dia lakukan.
Di antara kedua orang ini seolah-¬olah terpaut sesuatu jarak yang aneh dan tak mungkin diraba,
namun seolah-olah ada suatu ikatan pula secara aneh satu sama lain.
Jauh di padang ilalang sana muncul titik-titik sinar api. Mendadak Pho Ang-soat berkata pelanpelan,
"Ada kalanya jika bukan kau membunuhku, mungkin aku yang membunuhmu."
"Ya, akan datang suatu ketika?"
Pho Ang-soat tetap tidak berpaling. Katanya sepatah demi sepatah, "Mungkin hari yang
menentukan itu akan segera tiba."
"Mungkin hari yang menentukan itu selamanya takkan ada."
"Kenapa?"
Yap Kay menghela napas, matanya menatap jauh ke arah titik api di ujung bumi sana, ujarnya,
"Karena bukan mustahil kita bakal sama-sama mati di tangan orang lain."
Rebah di atas pembaringan, bantal sudah basah kuyup oleh air mata Be Hong-ling. Sampai
sekarang sanubarinya masih belum bisa tenang, antara cinta dan benci, seolah-olah dua tangan
yang kokoh kuat hampir mengoyak-ngoyak jantungnya. Yap Kay dan Pho Ang-soat. Dua orang
yang berlainan dan serba aneh.
Padang rumput selama ini dalam keadaan tenang dan damai, sejak kedatangan kedua orang
ini, segala urusan segera berubah menjadi suatu peristiwa besar yang amat menakutkan. Siapa
pun tiada yang tahu sampai kapan perubahan ini bakal berkembang, kapan akan berakhir.
Siapakah sebetulnya kedua orang ini? Untuk apa mereka datang kemari? Teringat adegan
malam itu, di bawah pancaran sinar bintang-bintang, dia rebah meringkuk dalam pelukan Yap Kay.
Tangan Yap Kay begitu lembut dan manis, dia sudah siap mempersembahkan segala miliknya.
Tapi orang justru tidak mau menerimanya. Dikatakan bila dia akan pulang, mengharap dia suka
tinggal, sampai pun menahannya dengan kekerasan, dia pun tidak peduli lagi. Namun dia
membiarkan dirinya pergi begitu saja, kelihatannya dia licik, licin dan nakal, bejat lagi, tapi dia
membiarkannya pulang tanpa mengusik seujung rambutnya.
Di suatu malam yang lain, di bawah pancaran sinar bintang-bintang yang sama, di atas tanah
berpasir juga, dia justru bertemu dengan seorang laki-laki lain yang jauh berlainan. Sungguh mati
belum pernah terpercik dalam ingatannya bahwa Pho Ang-soat bisa melakukan perbuatan sekasar
itu. Bocah yang terlihat terasing dan sebatangkara ini, sekonyong-konyong berubah seliar dan
sebuas binatang jalang.
Sebab apakah yang membuatnya berubah begitu rupa? Bila teringat akan hal ini, hulu hati Be
Hong-ling seketika sakit seperti ditusuk jarum. Selama dibesarkan seusia sekarang, belum pernah
dia berhadapan dengan dua laki-laki yang jauh berbeda seperti ini, namun aneh juga kedua orang
ini, sama-sama sukar dapat dia lupakan, dua orang yang selama hayat di kandung badan bakal
melekat dalam sanubarinya. Dia tahu kehidupan jiwanya selanjutnya bakal ikut berubah lantaran
adanya kedua orang ini.

Tak terasa air matanya bercucuran pula.
Di atas rumah terdengar derap langkah kaki yang berat mondar-mandir kian kemari, dia tahu
itulah langkah kaki ayahnya.
Kebetulan Ban-be-tong-cu tinggal di atas kamar puterinya ini Seperti lazimnya setiap malam dia
pasti akan turun dari loteng menengok putra-putrinya, namun dua malam berturut-turut seolaholah
beliau sudah lupa sama sekali akan kebiasaan ini.
Dua hari sudah dia tidak pernah tidur, derap-derap langkah yang berat ini akan terus
berdentam sampai terang tanah baru berhenti.
Lapat-lapat Be Hong-ling mulai merasakan akan keganjilan sikap dan kerisauan hati serta
ketakutan ayahnya, kejanggalan-kejanggalan sebelum ini belum pernah dia lihat menghinggapi
ayahnya.
Namun kerisauan dan ketakutan kini mulai pula merangsang sanubarinya. Ingin dia menghibur
ayahnya, demikian pula dia mengharap sang ayah bisa menghibur dirinya. Tapi Ban-be-tong-cu
seorang ayah yang disiplin dan keras, meskipun amat mencintai putrinya yang satu ini, namun
hubungan antara ayah dan putri seolah-olah selalu dibatasi oleh sesuatu jarak yang tak bisa
didekatkan.
Bagaimana Sam-ik? Kenapa dua hari ini tidak menemui beliau?
Secara diam-diam Be Hong-ling turun dari pembaringan, dengan telanjang kaki, lalu dipakainya
mantel, bercermin di depan kaca membetulkan rambutnya. "Mencari Sam-ik untuk mengobrol?
Atau masuk ke kota pula untuk mencari si dia?" Sulit dia berkeputusan, dia tahu seorang diri tak
boleh berdiam lama-lama di dalam rumah. Hatinya amat gundah dan tidak tenteram.
Pada saat itulah, di keheningan suasana malam tiba-tiba didengarnya derap kaki kuda sedang
mendatangi dari peternakan di luar sana. Hanya mendengar derap langkahnya saja lantas bisa
membayangkan, kuda yang mendatangi pasti seekor kuda jempolan yang terpilih satu di antara
ribuan ekor di antaranya, maka penunggangnya tak usah disangsikan pasti seorang jagoan, dari
anak buah Ban-be-tong.
Pada tengah malam buta, jika tiada urusan genting pasti takkan ada orang yang berani
mengganggu ketenteraman ayahnya Baru saja dia mengerut kening, lantas didengarnya suara
ayahnya yang berwibawa, "Apakah sudah diketemukan?"
"Buyung Bing-cu sudah ditemukan," itulah suara Hun Cay-thian.
"Kenapa tidak digusur kemari?"
"Dia pun sudah mampus, Ce-suhu menemukan mayatnya empat li dari sini, tubuhnya tercacah
hancur oleh orang."
Sekejap hening, lalu terdengar suara lambaian baju meluncur dari jendela atas ke bawah. Tapal
kuda berderap lagi menuju keluar dan hilang ditelan malam.
Sekonyong-konyong timbul perasaan ngeri dan ketakutan luar biasa pada benak Be Hong-ling,
Buyung Bing-cu juga mati, dia pernah melihat pemuda perlente yang angkuh ini, kemarin dia
masih kelihatan begitu pongah dan sehat, malam ini ternyata sudah jadi mayat. Demikian pula
ahli-ahli kuda ayahnya, dulu waktu kecil suka mengejar dirinya menunggang kuda. Selanjutnya
giliran siapa pula yang terbunuh? Yap Kay? Hun Cay-thian? Kongsun Toan atau ayahnya? Seluruh
penghuni dalam tanah perdikan ini seolah-olah sudah dibayangi kematian. Dia merasa dirinya
sedang gemetar, cepat-cepat dia menarik pintu, dengan telanjang kaki dia berlari keluar, papan di
sepanjang serambi yang dilalui terasa dingin laksana es.
Kamar Sam-ik terletak di ujung serambi panjang ini. Pelan-pelan dia mengetuk pintu, tiada
reaksi, ketukannya lebih keras, tetap tidak mendapat jawaban. Sudah selarut ini, masakah Sam-ik
tidak berada dalam kamarnya? Terpaksa dia memutar ke belakang pintu, pekarangan sepi sunyi,
pelita dalam kamar Sam-ik sudah padam. Sinar bintang menyinari jendela kertas yang memutih
ini, dengan keras dia mendorong, daun jendela segera menjeplak terbuka. "Sam-ik!" pelan-pelan

dia memanggil ke dalam. Tetap tidak terdengar penyahutan. Ternyata kamar ini kosong
melompong tiada seorang pun, di dalam selimut yang terbentang itu berisi dua guling besar.
Angin malam terasa dingin menghembus dari pekarangan. Tak tahan lagi Be Hong-ling bergidik
merinding. Sekonyong-konyong pula disadarinya bahwa orang-orang di sekitarnya, kecuali dirinya,
semuanya mempunyai rahasia pribadi masing-masing.
Demikian pula ayahnya. Selama hidupnya ini belum pernah dia mengetahui akan pnbadi masa
silam ayahnya, selamanya dia pun tidak berani bertanya.
Waktu dia angkat kepala dengan terkejut, di ambang jendela tampak sesosok bayangan,
seorang raksasa, disusul ia dengar suara Kongsun Toan yang bengis, "Kembali ke kamarmu!"
Tak berani memandang orang, seluruh penghuni Ban-be-tong, siapa pun merasa takut dan jeri
terhadap Kongsun Toan. Dengan menarik kencang mantelnya, segera dia menerobos keluar
sambil menunduk, langsung kembali ke kamarnya, lapat-lapat didengarnya Kongsun Toan sedang
tertawa dingin di luar jendela Sam-ik.
0oo0
"Blang", daun pintu dia tarik tertutup dengan keras, jantung Be Hong-ling berdebur dengan
keras. Terdengar lari kuda di luar dibedal keluar dan menjauh, terus tak terdengar lagi. Dia
melompat ke atas pembaringan, menarik selimut terus menyembunyikan diri di dalam selimut,
badannya gemetar seperti kedinginan.
Terasa olehnya takkan lama lagi bakal terjadi suatu peristiwa besar di tempat ini, sungguh dia
tidak mau melihat peristiwa itu berkembang, dia tak mau mendengarnya juga.
"... sebetulnya aku tidak patut dilahirkan di dunia ini, aku tidak patut tumbuh di dunia fana ini
teringat akan kata-kata Pho Ang-soat, tak terasa air mata bercucuran membasahi mukanya. Tak
tahan dia bertanya pada diri sendiri, "Kenapa aku harus dilahirkan? Kenapa aku dilahirkan dalam
keluarga ini?"
Bantal Pho Ang-soat pun basah, namun dia sudah pulas dalam tidurnya. Di saat sadar dia tidak
pernah menangis, dia bersumpah sejak kini takkan gampang mengalirkan air mata. Tapi air
matanya bercucuran di tengah alam mimpinya. Karena kesadaran jiwanya yang suci baru bisa
memerangi rasa dendam hatinya, sehingga dia sadar dan bertobat bahwa tadi dirinya sudah
melakukan perbuatan terkutuk yang memalukan.
Menuntut balas, memangnya merupakan suatu tingkah-laku dari kehidupan manusia sejak
dahulu kala yang turun termurun sudah menjadi tradisi tak tertulis. Seolah-olah sama tuanya
dengan pertumbuhan manusia sejak zaman kuno. Meski perbuatan rendah seperti itu tidak patut
dipuji, namun merupakan suatu yang serius dan gagah. Akan tetapi hari ini justru dirinya sudah
menyalahi kegagahan ini.
Air matanya bercucuran di alam mimpi yang buruk, suatu mimpi yang menakutkan, terlihat
dalam impiannya itu ayah bundanya bergelimang di dalam lumpur darah, meronta-ronta di alam
bersalju, sedang berteriak-teriak kepadanya supaya dirinya menuntut balas sakit hatinya.
Sekonyong-konyong sebuah tangan yang halus dingin terjulur masuk ke dalam selimutnya,
pelan-pelan mengelus punggungnya yang telanjang. Ingin dia berjingkrak bangun, namun dua
tangan dengan hangat dan lembut menekan badannya, disusul sebuah suara merdu dan halus
berbisik di pinggir telinganya, "Kau sedang berkeringat."
Seluruh otot-otot dagingnya yang mengejang seketika mengendor seperti tanggul yang bobol
diterjang air bah, betapapun dia akhirnya datang juga.
Gelap sekali. Jendela sudah tertutup, kerai sudah tertarik, rumah gelap ini bagai sebuah
kuburan gelapnya.

Kenapa dia selalu muncul di tengah kegelapan, secara diam-diam, lalu lenyap pula di tengah
kegelapan? Dia membalik hendak duduk, tapi dia menekannya pula.
"Kau hendak apa?"
"Menyulut api."
"Tidak boleh pasang lentera."
"Kenapa? Aku tidak boleh melihatmu?"
"Tidak boleh," sahutnya sambil menurunkan badan menekan dada orang, lalu katanya pula
seperti berbisik dengan tertawa, "Tapi aku boleh berjanji kepadamu, aku bukan perempuan yang
jelek, memangnya kau sendiri tidak merasakan?"
"Kenapa aku tidak boleh melihatmu?"
"Karena kalau kau tahu siapa aku, bila di tempat lain kau melihat aku, sikapmu pasti akan
berubah, sekali-kali jangan sampai diketahui atau dilihat lain orang bila di antara kita ada
mempunyai hubungan gelap ini."
"Akan tetapi..”
"Tapi kelak pasti akan kuberi kesempatan untuk kau melihat aku, namun setelah peristiwa itu
berlalu, terserah berapa lama kelak kau ingin mengawasi aku."
Dia tidak banyak bicara lagi, sementara jari-jarinya sedang sibuk membuka kancing bajunya.
Namun perempuan itu lekas menangkap tangannya. "Jangan sembarangan bergerak."
"Kenapa?"
"Aku harus lekas-lekas pulang," sahutnya menghela napas, "Barusan sudah kukatakan, aku
tidak akan membiarkan orang lain tahu akan hubungan rahasia kita ini."
Pho Ang-soat menyeringai dingin dalam kegelapan.
Agaknya perempuan itu cukup tahu, dalam keadaan seperti ini bila keinginan laki-laki dicegah
atau ditolak, betapapun orang akan marah atau naik pitam.
"Di sini aku sudah tahan menderita hidup selama delapan belas tahu, bertahan terus kau pun
takkan bisa membayangkan derita yang kualami, kenapa aku harus bertahan, apa tujuanku?"
Suara perempuan itu menjadi serius dan kereng, "Tujuanku hanya untuk menunggu kau,
menunggu kau menuntut balas. Selama hidupku ini memangnya hanya kuperuntukan pembalasan
ini, belum pernah kulupakan, maka kau pun tak boleh lupa."
Tiba-tiba sekujur badan Pho Ang-soat serasa dingin kaku, keringat dingin membasahi kasur dan
selimut. Memangnya dia kemari bukan untuk bersenang-senang. Bahwa perempuan ini sudi
menyerahkan miliknya kepadanya, tujuannya hanya untuk menuntut balas.
"Tentunya kau tahu betapa menakutkan orang seperti Be Khong-cun itu, ditambah anak buah
yang membantunya," sampai di sini dia menghela napas, lalu menyambung, "Jika sekali gempur
kita tidak berhasil melumpuhkan dia, kelak mungkin selamanya takkan ada kesempatan lagi."
"Kongsun Toan, Hun Cay-thian dan Hoa Boan-thian, gabungan kekuatan mereka bertiga tidak
perlu dibuat takut."
"Bukan mereka yang kumaksud, Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian hakikatnya tidak ikut
campur atau tahu seluk-beluk peristiwa itu."
"Memangnya siapa yang kau maksudkan?"
"Sementara orang yang tidak berani unjuk diri, sampai detik ini aku belum berhasil menyelidiki
siapa mereka sebenarnya."
"Mungkin hakikatnya tiada orang-orang lain itu."

"Betapapun gagah perkasa ayah dan pamanmu kedua, hanya mengandal Be Khong-cun dan
Kongsun Toan berdua, masakah berani, mengganggu usik seujung rambut mereka? Apalagi istri
mereka adalah ksatria jantan pula di antara kaum hawa sampai di sini suaranya kedengaran
tersendat. Pho Ang-soat sendiri tak mampu bersuara juga, lama juga baru dia melanjutkan, "Sejak
ayahmu meninggal secara mengenaskan, orang-orang Kangouw memangnya amat curiga, tokoh
silat mana yang mampu membunuh kedua pasang suami isteri perkasa tiada bandingannya di
kolong langit ini?"
"Sudah tentu tiada orang bakal mengira bila Be Khong-cun manusia berhati serigala itu yang
melakukannya," suaranya mengandung kemarahan dan dendam. "Akan tetapi kecuali Be Khongcun
dan Kongsun Toan, pasti masih ada orang lain pula, kedatanganku kemari tujuan utama
adalah menyelidiki rahasia ini, sayang sekali selama ini belum pernah aku memergoki dia ada
hubungan dengan tokoh silat kosen dari dunia Kangouw, sudah tentu dia sendiri pun tutup mulut
serapat sumbat botol, selamanya tidak pernah menyinggung peristiwa itu."
"Tujuh delapan tahun penyelidikanmu sia-sia, memangnya sekarang kita lantas bisa berhasil
menyelidiki latar belakang peristiwa itu."
"Sekarang paling tidak kita sudah mendapatkan kesempatan."
"Kesempatan apa?"
"Sekarang ada orang yang sedang mengancam dia, bila dia sudah terancam dan terdesak
sehingga menemui jalan buntu, sudah tentu dia akan menuntun orang-orang di belakang layar
itu."
"Siapa saja yang sedang mengancam dirinya?"
Tidak menjawab dia malah berbalik bertanya, "Kemarin malam, tiga belas orang itu apakah
bunuh diri?"
"Bukan?"
"Lalu kematian kuda itu?"
"Bukan aku yang membunuhnya!"
"Kalau bukan kau, lalu siapa?" "Memangnya aku pun sedang heran."
"Kau tak bisa menebaknya?"
"Yap Kay maksudmu?"
"Orang ini memang serba misterius, kedatangannya di sini tentu mempunyai sesuatu tujuan,
tetapi jelas bukan dia yang membunuh orang-orang dan kuda-kuda itu."
"O? Bukan dia?"
"Aku tahu kemarin malam dia berada bersama siapa."
Untung rumah itu amat gelap, tiada yang tahu akan mimik muka Pho Ang-soat, mimik mukanya
amat aneh.
Pada saat itulah terdengar genting di atas kamar mereka berbunyi "Tak". Seketika berubah air
muka si perempuan, katanya dengan nada berat, "Kau tetap di sini, jangan kau mengeluyur
keluar." Habis kata-katanya dia dorong daun jendela terus menerobos keluar.
Pho Ang-soat melihat sesosok bayangan langsing secara remang-remang, lekas sekali orang
sudah menghilang.
Empat orang sudah mabuk dan tak sadarkan diri, keempat orang ini adalah ahli-ahli mengurus
kuda dari Ban-be-tong yang sudah berusia lanjut. Biasanya mereka memang sering mabuk, namun
entah kenapa hari ini mereka justru jatuh pulas lebih cepat dari biasanva

Menghadapi tiga belas kawan mereka yang setia mendadak mati dengan begitu mengenaskan,
menghadapi peristiwa-peristiwa yang mengerikan ini terjadi dan berlangsung secara bertubi-tubi,
betapa mereka takkan lekas mabuk?
Waktu orang keempat terjungkal roboh, kebetulan Yap Kay tengah menenteng pakaiannya,
menyelinap masuk dari daun pintu sebelah belakang. Sejak tadi dia sudah berada di sini, barusan
dia pergi ke kakus untuk buang air, bila arak terlalu banyak masuk perut, dengan sendirinya orang
akan lebih sering kencing, cuma kali ini waktu dia keluar untuk kencing, keluarnya terasa sedikit
lama.
Baru saja dia masuk, Siau Piat-li segera memberi kedipan isyarat kepadanya, dia langsung
menghampiri. Senyuman Siau Piat-li seolah-olah mengandung arti yang mendalam, katanya
tersenyum, "Ada orang minta kepadaku untuk menyampaikan sesuatu barang kepadamu."
"Cui-long maksudmu?" berkedip-kedip mata Yap Kay
Siau Piat-li pun mengedip mata, katanya, "Apakah selamanya kau ini pintar?"
"Sayang sekali setiap berhadapan dengan perempuan yang kusukai, aku ini menjadi pikun? Lalu
dari tangan Siau Piat-li dia menerima sebuah lempitan kertas yang dibikin model jantung, kertas
warna biru muda itu ada sebaris tulisan yang berbunyi: "Adakah kau berikan kembang mutiara
kepada orang lain?".
Yap Kay memegangi kembang mutiara di depan dadanya, seolah-olah dia sudah jadi linglung.
Mengawasi pemuda di depannya ini, tiba-tiba Siau Piat-li menghela napas, ujarnya, "Jika aku
dua puluh tahun lebih muda dari usiaku sekarang, pasti aku ajak kau berkelahi."
Yap Kay tertawa pula, katanya, "Peduli berapa usiamu, yakin kau bukan laki-laki yang mau
berkelahi lantaran seorang perempuan "
"Agaknya kau keliru menilai diriku."
"O? Masa?"
"Tahukah kau bagaimana kedua kakiku ini sampai putus?"
"Karena perempuan?"
Siau Piat-li tertawa getir, ujarnya, "Setelah aku tahu bahwa perempuan itu tidak lebih hanya
seekor anjing betina, namun sudah terlambat." Kembali dia tertawa lebar, katanya, "Tapi si 'dia'
itu pasti bukan perempuan seperti yang kulukiskan barusan, dia jauh lebih bersih, lebih suci dari
perempuan mana pun yang pernah kulihat, meskipun dia berada di tempatku, namun selamanya
belum pernah dia menjual diri sendiri."
"Memangnya apakah yang dia jajakan?"
"Yang dia jajakan adalah ciri laki-laki yang tak bisa membelinya namun semakin besar
hasratnya untuk membelinya."
^•"•^
Kalau kau dorong daun pintu kedua, kau akan memasuki sebuah lorong jalanan, jalanan yang
lebar, kedua sisinya berderet meja dan kursi. Pada ujung lorong terdapat sebuah pintu pula. Kalau
kau ketuk dan pintu tidak terbuka, maka kau harus menunggu di lorong jalanan lebar ini.
Yap Kay sedang mengetuk pintu. Lama juga baru dari balik pintu ada penyahutan, "Siapa yang
mengetuk pintu?"
"Seorang tamu," sahut Yap Kay.
“Hari ini Siocia tidak menerima tamu."

"Bagaimana kalau tamu yang bisa menendang pintu sampai roboh? Mau diterima tidak?" ujar
Yap Kay melucu.
Terdengar tawa cekikikan semerdu kelintingan di balik pintu, katanya, "Pasti Yap-kongcu yang
datang." Seorang gadis bermata besar jeli dengan tersenyum lebar membuka pintu, serunya
"Ternyata benar Yap-kongcu adanya."
"Tamu yang bisa menendang pintu sampai pecah di sini apa hanya aku seorang?" tanya Yap
Kay tertawa.
Nona cilik ini mengerling mata, sahutnya dengan nakal, "Masih ada satu lagi."
"Siapa?"
"Keledai yang mendorong gilingan!"
BAB 11. BISIKAN DI TENGAH MALAM
Dalam pekarangan kecil ini tertanam beberapa kelompok bambu kuning yang tersebar di sanasini,
kembang kuning kecil tumbuh subur di pojokan sana.
Kerai bambu sudah tergulung ke atas, seorang bidadari beralis lentik tak berpupur tak memakai
gincu, dengan bertopang dagu sedang duduk di depan jendela mengawasi kedatangannya dengan
mendelong. Raut mukanya mungkin tidak terhitung amat cantik, namun dia memiliki sepasang
mata yang seolah-olah bisa bicara, serta mulut berbibir tipis yang pandai berkicau.
Meski dia duduk tenang-tenang di tempatnya, secara wajar sudah menampilkan gaya dan
wibawa agung yang memabukkan laki-laki, jauh berlainan dengan kebanyakan perempuan yang
sering kalian lihat. Seorang perempuan demikian, terhadap laki-laki siapa pun pasti sudah cukup
berlebihan.
Untuk memperoleh kerlingan manisnya saja banyak laki-laki yang datang kemari, mereka akan
pura-pura menjadi seorang laki-laki sejati, seorang sosiawan, seorang laki-laki sejati yang
mempunyai uang banyak dan berpendidikan.
Tapi begitu mendorong pintu Yap Kay langsung masuk ke dalam, langsung merebahkan diri di
atas ranjangnya, sepatu tingginya pun tidak dicopot lagi, maka tampak dua lubang besar di dasar
sepatunya.
Bertaut alis lentik Cui-long, katanya, "Apa kau tidak bisa membeli sepatu baru?"
"Tak bisa!"
"Tidak bisa?"
"Karena sepatu ini bisa melindungi aku."
"Melindungi kau?"
Yap Kay mengangkat sepatunya, menuding lubang di sepatunya, katanya, "Kau sudah melihat
kedua lubang ini? Dia bisa menggigit orang, siapa-siapa bila tak sungkan padaku, dia akan bisa
menggigitnya."
Cui-long tertawa, berdiri dan segera datang menghampiri, katanya tertawa, "Aku jadi ingin tahu
apakah dia bisa menggigit aku."
Kontan Yap Kay menariknya sambil berkata, "Dia tidak berani menggigit kau, tapi aku berani."
Cui-long menjerit lirih, dengan aleman dia sudah rebah dalam pelukan Yap Kay.
Pintu tidak tertutup, andaikata tertutup, adegan romantis pun takkan bisa terbendung di dalam
rumah. Dengan muka merah nona kecil itu berlari menyingkir, namun dalam hati, besar hasratnya
untuk mengintip secara diam-diam.

Burung kenari di emperan agaknya terkejut, segera dia berkicau merdu tak henti-hentinya.
Di atas wuwungan rumah yang gelap itu, mendekam sesosok bayangan orang, sinar bintangbintang
yang remang-remang menerangi potongan badannya yang ramping, kepalanya
mengenakan cadar menutupi mukanya. Dia sedang menguntit seseorang hingga tiba di tempat ini,
jelas sekali dia melihat bayangan orang itu berkelebat di atap rumah yang mi
Namun begitu dia mengejar sampai di sini, bayangan orang itu sudah menghilang.
Dia tahu tempat apa di sebelah sana, namun dia tidak berani turun, tempat ini tidak akan
menyambut kedatangan perempuan.
"Siapakah dia? Kenapa dia mencuri dengar pembicaraan kami di atas rumah? Lalu apakah yang
sudah didengarnya?"
Kalau ada orang bisa melihat mukanya, pasti dengan jelas melihat mukanya yang diliputi gugup
dan ketakutan. Sekali-kali rahasia dirinya tidak boleh diketahui orang lain, ini merupakan
pantangan. Sejenak ia ragu-ragu, akhirnya dia mengertak gigi melompat turun. Dia berkeputusan
untuk menyerempet bahaya.
Selama hidupnya ini, dia sudah sering melihat berbagai mimik muka laki-laki yang beraneka
ragamnya, namun hanya Thian yang tahu, bila seorang laki-laki melihat perempuan memasuki
sebuah sarang pelacuran, bagaimana mimik mukanya saat itu.
Mata semua orang terkesima, seolah-olah mendadak melihat seekor kambing masuk ke dalam
sarang serigala. Bagi seekor serigala, bukan saja kedatangan kambing ini merupakan tantangan,
malah boleh dikata suatu penghinaan.
Hanya Tuhan yang tahu perempuan yang kesetanan ini untuk apa masuk ke tempat ini, akan
tetapi perempuan ini sungguh cantik luar biasa.
Seorang laki-laki jagal yang setengah mabuk matanya melotot bundar. Orang ini datang dari
luar daerah kemari untuk membeli kambing, dia tidak kenal siapa perempuan ini, dia pun tidak
tahu perempuan macam apakah perempuan ayu ini. Yang terang perempuan di dalam rumah ini
pasti adalah pelacur, umpama bukan pelacur pastilah kira-kira setingkat dengan itu.
Dengan sempoyongan segera dia berdiri dan maju menghampiri.
Tapi orang yang duduk di sebelahnya segera menariknya. "Jangan perempuan ini." "Kenapa?"
"Dia sudah punya keluarga."
"Keluarga siapa dia?"
"Ban-be-tong!"
Tiga huruf nama ini seolah-olah mempunyai tenaga gaib, bola yang baru saja melembung
seketika menjadi kempes lagi.
Sam-ik melangkah masuk, mukanya mengulum senyum manis, pura-pura tidak mendengar dan
tidak menghiraukan bisik-bisik orang lain. Sebetulnya tidak bisa tidak dia harus mendengarkan.
Ada sementara laki-laki yang menatap dirinya, warna matanya seolah-olah sedang melihat dirinya
mondar-mandir di hadapannya dengan telanjang bulat.
Untunglah Siau Piat-li segera menyapa dia, "Sim Sam-nio untuk apa kau kemari? Sungguh
merupakan tamu agung!"
Langsung dia menghampiri ke sana, katanya tersenyum, "Siau-sianseng tidak menyambut
kedatanganku?"
Dengan tersenyum Siau Piat-li menghela napas, ujarnya, "Sayang sekali aku tidak bisa berdiri
menyambut kedatanganmu."
"Aku kemari mencari orang."
"Mencari aku?"

"Kalau aku hendak mencari kau, tentu datang di saat tiada orang di
sini."
"Aku pasti menunggumu, yang terang aku tidak perlu takut orang mengurungi kedua kakiku
lagi."
Keduanya sama-sama tertawa. Keduanya sama-sama maklum masing-masing adalah rase tua
yang licin dan licik
"Cui-long ada tidak?"
"Ada, kau hendak mencari dia?"
"Ehm!"
Siau Piat-li menghela napas pula, ujarnya, "Kenapa laki atau perempuan ingin menemui dia?"
"Aku tidak bisa tidur, ingin mengajak ngobrol dia."
"Sayang sekali kau terlambat setindak."
Bertaut alis Sim Sam-nio, katanya, "Memangnya di dalam kamarnya malam-malam begini juga
ditempati tamu?"
"Kali ini seorang tamu yang istimewa."
"Apanya yang istimewa?"
"Istimewa karena dia rudin."
"Tamu yang terlalu rudin, masakah kau pun membiarkan dia masuk?"
"Sebenarnya ingin aku memperingati dia, sayang sekali berkelahi aku bukan tandingannya, lari
pun kalah cepat."
"Kau tidak membohongi aku?"
"Berapa orang yang bisa membohongi kau di dunia ini?"
"Siapakah orang yang kau maksud itu?"
"Yap Kay."
"Yap Kay?"
"Sudah tentu kau tidak akan mengenalnya, walaupun dia baru dua hari datang kemari, orang
yang mengenalnya sudah tidak sedikit jumlahnya."
Senyum Sim Sam-nio masih begitu manis menggiurkan, namun sorot matanya sudah
menampilkan hawa nafsu yang runcing tajam. Namun cepat sekali kelopak matanya yang
memicing melebar pula. Dilihatnya seseorang, "Blang", mendorong pintu dengan kasar, dengan
langkah lebar masuk ke rumah itu. Seorang raksasa bagai gembong iblis yang garang.
Dengan memegangi gagang goloknya Kongsun Toan berdiri di ambang pintu, mimik marah dan
seringai mukanya yang bengis sungguh cukup membuat orang yang bernyali kecil berhenti
napasnya. Demikianlah napas Sim Sam-nio serasa sudah berhenti.
Siau Piat-li menghela napas, ujarnya, "Orang yang harus datang tiada satu pun yang muncul,
orang yang tidak harus kemari justru datang semua."
Dipunggutnya selembar kartu gadingnya, lalu pelan-pelan diraba-raba serta diletakkan kembali
di atas meja, katanya pula sambil geleng-geleng kepala, "Agaknya besok pasti ada hujan badai,
kalau tiada urusan lebih baik jangan keluar pintu."
Kongsun Toan tiba-tiba menghardik keras, "Kemari kau!"
Laki-laki jagal itu tiba-tiba berjingkrak bangun, teman di sebelahnya tak sempat menariknya,
tahu-tahu orang sudah menerjang ke depan Kongsun Toan, katanya keras sambil menuding

hidung Kongsun Toan, "Bicara terhadap perempuan mana boleh sekasar tampangmu ini, awas kau
Belum habis bicara, tiba-tiba tangan Kongsun Toan melayang menggampar mukanya.
Perawakan si jagal ini cukup tinggi besar dan kekar lagi, namun badannya yang beratnya
ratusan kati itu ternyata terlempar terbang oleh tempelengan sekali saja, melampaui dua meja,
"Blum!", dengan keras menumbuk dinding.
Waktu badannya melorot jatuh, mulutnya berdarah, kepala pun bocor, darah bercucuran
Melirik pun Kongsun Toan tidak memandang kepadanya, matanya tetap melotot kepada Sim
Sam-nio, bentaknya bengis, "Kemari!"
Kali ini Sim Sam-nio tidak bersuara lagi, sambil menunduk dia melangkah maju.
Kongsun Toan tidak banyak bicara lagi, "Blak", dia mendorong pintu hingga terbuka, katanya,
"Ikut aku keluar!"
Kongsun Toan berjalan di depan, Sim Sam-nio mengikut di belakang. Langkahnya sungguh
amat lebar, sedapat mungkin Sim Sam-nio mempercepat langkahnya baru bisa mengintil di
belakangnya, gerakan Ginkang sekali lompat tiga tombak jauhnya tadi, kini sudah dilupakannya
sama sekali.
Malam sudah semakin larut Lumpur becek di jalan raya belum kering, setiap tapak berjalan
pasti meninggalkan jejak lubang yang cukup dalam. Angin menghembus dari arah padang rumput,
dingin sekali.
Dengan langkah lebar Kongsun Toan menuju ke ujung jalan tanpa menoleh, mendadak dia
buka suara, "Untuk apa kau keluar?"
Pucat muka Sim Sam-nio, katanya, "Aku toh bukan tawanan, sembarang waktu aku ingin keluar
pun boleh."
"Kutanya kau," seru Kongsun Toan kata demi kata, "untuk apa kau keluar?" Suaranya kalem,
namun setiap patah katanya membawa tekanan berat, buas dan diliputi nafsu membunuh.
Sim Sam-nio menggigit bibir, akhirnya dia menunduk dan menjawab, "Aku keluar ingin mencari
orang."
"Mencari siapa?"
"Memangnya peduli apa dengan kau?"
"Urusan Be Khong-cun adalah urusan Kongsun Toan pula, tiada orang yang boleh mengingkari
dia."
"Kapan aku pernah mengingkari dia?"
"Barusan!" hardik Kongsun Toan bengis.
"Kalau hanya ingin mengobrol dengan perempuan terhitung mengingkari dia, jangan kau lupa
aku inipun seorang perempuan, sudah biasa perempuan suka mengobrol dengan perempuan."
"Siapa yang kau cari?"
"Nona Cui-long!"
"Itu bukan perempuan, dia itu pelacur!"
"Pelacur? Kau pernah melacuri dia? Kau ingin melacuri dia?"
Mendadak Kongsun Toan membalik badan, sekali melayangkan kepalannya yang gede dia
hantam perut orang.
Sim Sam-nio tidak berkelit, juga tidak melawan. Mulutnya mengeluarkan suara seperti babi
disembelih, seketika badannya meliuk sambil sempoyongan mundur tujuh delapan langkah,
akhirnya jatuh terduduk di tanah, mulut seketika muntah-muntah, air kecut dalam perutnya pun
tumpah keluar

Kongsun Toan memburu maju, sekali raih dia jambak rambut orang terus dijinjingnya serta
membentak beringas, "Aku pun tahu kau inipun pelacur, tapi kau pelacur ini sekarang sudah tidak
bisa menjajakan diri lagi."
Sim Sam-nio mengertak gigi, sedapat mungkin dia menahan diri, namun air matanya tak
tertahan telah bercucuran, katanya gemetar, "Kau ...apa yang kau inginkan?"
"Pertanyaan yang kuajukan, harus kau jawab dengan baik, tahu tidak?"
Sim Sam-nio mengertak gigi tanpa menjawab. Telapak tangan Kongsun Toan segede kapak
segera menabas ke pinggangnya. Seketika badan Sim Sam-nio seperti hampir mengkeret
meringkuk kesakitan, air mata bercucuran lebih deras.
"Kau tahu tidak?" hardik Kongsun Toan.
Terpaksa dengan badan bergetar Sim Sam-nio manggut-manggut
"Jam berapa kau keluar?"
"Baru saja."
"Langsung kemari?"
"Kau sudah bertemu dengan pelacur itu?"
"Belum."
"Kenapa belum?"
"Dia sedang terima tamu."
"Kau tidak mencari orang lain? Tidak pergi ke lain tempat?"
"Tidak."
"Tidak?" kembali kepalannya menghajar dengan keras, mengenai daging mengeluarkan suara
yang aneh, agaknya dia senang mendengar suara seperti ini.
Tak tahan Sim Sam-nio berteriak, "Betul-betul tidak, betul-betul tidak" Kongsun Toan
menatapnya dengan beringas, kepalannya terkepal. Mendadak Sim Sam-nio menubruk maju,
dengan kencang dia memeluknya, serunya dengan sesenggukan keras, "Jika kau suka
memukulku, pukullah aku sampai mati... bunuhlah aku saja." Dengan kedua tangannya dia
memeluk leher orang, sementara kedua kakinya memiting pinggangnya.
Seketika timbul suatu perubahan pada badan Kongsun Toan, dia sendiri sudah merasakan akan
perubahan ini.
Dengan merebahkan kepala di atas pundaknya, Sim Sam-nio sesenggukan lebih memilukan,
ratapnya, "Aku tahu kau suka memukulku, pukullah, pukullah!”
Badannya bergerak-gerak dengan aneh dan merangsang, demikian pula kedua kaki dan
pantatnya ikut bergoyang-goyang.
Kemarahan yang memancar dari sorot mata Kongsun Toan kini sudah berubah menjadi nafsu
birahi, jari-jari yang terkepal kencang pun mulai mengendor. Deru napas orang tepat berada di
pinggir kupingnya, di atas
Napasnya mendadak menderu-deru kasar seperti banteng kehabisan tenaga
Ini Sam-nio merintih dan mengigau, "Kau bunuh aku pun tak menjadi soal, yang terang aku
tidak akan memberitahu kepada orang lain "
Kongsun Toan sudah mulai gemetar. Siapa pun takkan percaya laki-laki inipun bisa gemetar.
Siapa pun takkan bisa membayangkan manusia segede dan sekekar ini macam apa tampangnya
bila dia gemetar menahan emosi.
Jika kau kebetulan bisa menyaksikan, pasti kau tidak akan merasa tak mungkin malah akan
merasa takut, takut sekali. Kini mimik mukanya pun tengah menampilkan derita, karena dia tahu

dirinya harus menahan keinginan dan nafsu yang menyala-nyala ini. Lalu dia melayangkan lagi
kepalannya memukul perut orang, seketika badan Sim Sam-nio mengejang dan kelojotan, tangan
terlepas, kaki pun lemas jatuh ke tanah berlumpur, badannya meringkuk seperti cacing.
Kini tangan Kongsun Toan terkepal lagi, dengan melotot menyeramkan, tiba-tiba dia meludah
ke muka orang, lalu melangkah lewat badan orang, mencari kudanya. Bukan perempuan ini yang
dia benci, dia ingat dirinya sendiri, gegetun kenapa dia harus menolak tawaran menantang ini,
kenapa pula dirinya tidak berani menerimanya?
Kini Sam-nio sudah menyeka air mata. Pukulan tangan Kongsun Toan laksana tanduk sapi,
tempat dimana terkena pukulan, dagingnya sakit mencapai tulang sumsum, sebelum besok pagi,
tempat-tempat bekas pukulan itu pasti akan menghijau besar.
Akan tetapi sedikit pun hatinya tidak merasa marah, penasaran dan mengeluh karena sekarang
dia sudah tahu Kongsun Toan sekali-kali tidak akan membocorkan kejadian ini kepada siapa pun,
dia tidak ingin Ban-be-tong cu mengetahui bila di waktu malam dirinya pernah keluyuran di luar.
Kini yang tahu rahasia dirinya tinggal seorang lagi, orang yang mencuri dengar di atas rumah itu.
Apakah Yap Kay? Dia mengharap semoga orang itu bukan Yap Kay. Karena seseorang yang
dirinya sendiri mempunyai rahasia, biasanya takkan membocorkan rahasia orang lain. Sekarang
dia yakin dirinya punya pegangan buat menghadapi Yap Kay.
“Apa benar kau ini Yap Kay?"
"Apa tidak boleh bila aku ini Yap Kay?"
“Tapi orang macam apakah sebenarnya Yap Kay itu?"
"Seorang laki-laki amat miskin namun juga pandai terutama menghadapi perempuan
mempunyai caranya sendiri."
"Berapa banyak perempuan yang pernah kau miliki?"
"Coba kau terka?"
"Perempuan-perempuan macam apa saja mereka itu?"
"Semua bukan perempuan baik-baik, tapi terhadapku cukup baik."
"Dimana saja mereka berada?"
"Dimana saja ada, selama hidup aku paling takut naik ke ranjang tidur seorang diri, mirip sekali
bila mau main catur seorang diri."
"Tiada orang yang mengurus kau?"
"Aku sendiri tidak bisa mengurus diriku."
"Di rumah kau tidak punya sanak-kadang lainnya?"
"Rumah pun aku tidak punya."
"Lalu darimana kau kemari?"
"Dari tempat aku kemari."
"Mau ke tempat yang hendak kau tuju?"
"Baru sekarang ucapanmu benar."
"Selamanya kau tidak pernah membicarakan kisah hidupmu masa lalu dengan orang?"
"Selamanya tidak."
"Apakah kau mempunyai banyak rahasia yang tak ingin orang tahu?"
Yap Kay duduk di sampingnya, mengawasinya, di bawah pancaran sinar pelita yang remangremang
kelihatan rada pucat dan letih. Tapi matanya masih terpentang lebar. Tiba-tiba dia
berkata, "Aku hanya punya satu rahasia."

Semakin membelalak biji mata Cui-long, tanyanya, "Rahasia apa?"
"Aku ini siluman rase tua yang sudah bertapa menjadi manusia hidup selama sembilan ribu
tujuh ratus tahun." Lalu dia melompat turun dari pembaringan, memakai sepatunya dan
mengenakan pakaian terus melangkah keluar.
Cui-long menggigit bibir, diam saja mengawasi orang keluar, mendadak sekeras-kerasnya dia
pukuli bantal di sampingnya, seolah-olah dia mengharap bantal ini adalah Yap Kay.
***
BAB 12. AHLI SENJATA RAHASIA
Pekarangan kecil ini sepi lengang tak terdengar suara apa pun, loteng kecil di bagian belakang
itu ada cahaya api yang menyala keluar.
Siau Piat-li sudah naik ke loteng? Apa saja yang dia dapat kerjakan bila berada di atas loteng
sekecil itu? Apakah di atas loteng juga ada kartu untuk meramal? Ataukah ada perempuan yang
dia rahasiakan?
Sejak mula Yap Kay sudah merasakan seorang misterius yang menarik perhatiannya, pada saat
itulah tiba-tiba muncul tiga bayangan orang di atas kertas jendela.
Tiga orang.
Baru saja mereka berdiri, bayangan mereka segera lenyap tersorot oleh cahaya api. Bagaimana
mungkin ada tiga orang di atas loteng kecil itu? Siapakah dua orang yang lain?
Berkilat sorot mata Yap Kay, sungguh tak kuasa dia kendalikan rasa ingin tahunya. Jarak
pekarangan dan loteng itu tidak jauh, setelah mengencangkan pakaiannya, segera dia melejit
terbang ke arah sana.
Bangunan loteng ini model persegi, dikelilingi pagar kayu, bentuk bangunannya mirip dengan
gardu pemandangan, dengan ringan ujung kakinya menutup pagar, badannya terus bergelantung
di emperan loteng. Kebetulan daun jendela yang teratas sedikit terpentang, dari sini bisa
mengintip ke dalam, kebetulan dapat dilihatnya di dalam rumah tepat di tengah-tengah terdapat
sebuah meja bundar. Di atas meja tersedia hidangan dan arak.
Dua orang sedang minum arak duduk berhadapan, yang menghadap kemari adalah Siau Piat-li.
Di hadapannya duduk seorang yang mengenakan pakaian perlente, jari-jari tangannya yang
sedang mengangkat sumpit mengenakan tiga buah cincin yang bentuk masing-masing amat aneh.
Kelihatannya mirip tiga buah bintang. Orang ini ternyata adalah seorang bungkuk.
Sinar api dalam rumah tidak begitu terang, namun hidangan dan araknya justru masakan yang
paling mahal dan lezat.
Si bungkuk dengan pakaian perlente tengah mengangkat cangkir araknya dengan jari-jari
tangan yang bercincin aneh itu. Cangkirnya bening hijau dan kemilau, ternyata buatan batu
pualam yang terukir indah.
Siau Piat-li sedang tertawa, katanya, "Bagaimana arak ini?"
"Araknya biasa, cangkir ini masih mending," agaknya si bungkuk ini jauh lebih pintar berfoyafoya
dibanding Siau Piat-li.
"Aku memang tahu kau sukar dilayani, maka sengaja kutitip orang untuk membeli anggur
Persia asli ini dari selatan, tak nyana hanya mendapat pujian 'biasa' dari kau."
"Anggur Persia ada beberapa macam kwalitas, yang ini memang yang paling biasa."

"Kenapa kau sendiri tidak mau membawa yang paling baik."
"Sebetulnya sudah kusiapkan, sayang sebelum aku berangkat terjadi sesuatu sehingga
keberangkatanku terburu-buru dan lupa membawanya."
Naga-naganya mereka memang sudah berjanji untuk mengadakan pertemuan di sini.
Yap Kay semakin tertarik, karena sekarang dia tahu si bungkuk ini adalah Kim-pwe-tho-liong
(naga bungkuk berpunggung emas) Ting Kiu adanya.
Siapa pun takkan menyangka Kim-pwe-tho-liong ternyata menyembunyikan dirinya di sini?
Apalagi sudah berjanji lebih dulu dengan Siau Piat-li. Kenapa dia membawa peti-peti mati itu?
Apakah dia ada intrik dengan Siau Piat-li untuk menghadapi Ban-be-tong-cu?
Diam-diam Yap Kay mengharap Siau Piat-li bertanya kepada Ting Kiu, apakah sebenarnya yang
terjadi sebelum dia pergi? Tapi Siau Piat-li justru mengalihkan pokok pembicaraannya, katanya,
"Waktu datangmu kali ini adakah di tengah jalan kau bertemu dengan perempuan yang amat
yahud?"
"Tidak, belakangan ini perempuan yang betul-betul yahud, seolah-olah sudah semakin jarang."
"Kemungkinan lantaran sekarang kau sudah mulai bosan bermain dengan perempuan."
"Kabarnya di tempatmu ini ada perempuan yang hebat."
"Bukan saja hebat, boleh dikata malah dahsyat."
"Kenapa tidak kau undang dia kemari untuk menemani kita makan minum?"
"Dalam dua hari ini tidak boleh."
"Kenapa?"
"Dalam dua hari ini dalam benaknya sudah ada orang lain."
"Siapa?"
"Laki-laki yang mendapat perempuan seperti dia pasti akan tergerak dan tertarik, tentulah
mempunyai kepandaian yang lain dari yang lain."
Ting Kiu manggut-manggut. Biasanya dia jarang mau menyetujui komentar seseorang, namun
kali ini berlainan.
Tiba-tiba Siau Piat-li seperti tertawa geli, ujarnya "Tapi ada kalanya orang ini justru seperti
orang goblok."
"Goblok?"
"Habis bisa tidur bergumul dalam selimut yang wangi dan hangat dia tidak mau, malah senang
bersembunyi di luar terima dihembus angin malam."
Semula hati Yap Kay amat senang karena dirinya dipuji-puji. Memangnya laki-laki siapa pun bila
mendengar orang lain sedang memperbincangkan kehebatan dirinya dalam bermain perempuan,
hatinya tentu amat bangga dan syur. Akan tetapi kata-kata Siau Piat-li selanjutnya sungguh
membuat perasaannya sangat tidak enak. Mendadak dia merasa dirinya memangnya seperti
maling kecil yang baru saja ditendang keluar dari atas ranjang oleh orang.
Sementara Siau Piat-li sudah berpaling keluar ke tempat persembunyiannya, mukanya tengah
berseri tawa mengawasi daun jendela dimana dia bersembunyi.
Tangan Ting Kiu yang mengenakan cincin aneh itu sudah meletakkan cangkir di atas meja,
gaya dan gerakan tangannya itu amat aneh. Dia pun berpaling seraya berkata dengan tergelakgelak,
"Tuan rumah enak-enak minum arak di dalam, masakah membiarkan tamunya minum angin
di luar, tuan rumahnya memang kurang genah."
Terpaksa Yap Kay membuka jendela dan melayang masuk.

Waktu di luar pekarangan tadi, Yap Kay melihat tiga bayangan orang, lalu dimana bayangan
orang ketiga itu? Segala perabot dalam loteng kecil ini amat sederhana, terang tak mungkin ada
tempat buat bersembunyi. Maklumlah di tempat sempit ini, segala keperluan diletakkan di tempattempat
yang strategis sehingga sembarang waktu asal kau menggerakkan tangan bisa
menjamahnya dengan mudah.
Dari atas rak kayu di sebelahnya Siau Piat-li mengambil sebuah cangkir yang terbuat dari batu
jade buatan zaman dinasti Han, katanya sambil tersenyum, "Aku ini orang malas, orang cacad lagi,
kalau tiada keinginan tidak ingin bergerak."
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Kalau orang malas seperti kau terlalu banyak di dunia ini,
kehidupan dunia pasti jauh lebih nyaman."
"Karena komentarmu ini, kau cukup setimpal untuk mencicipi arak anggur buatan Persia ini."
"Sayang sekali arak ini adalah kwalitas yang paling biasa," lalu Yap ay angkat cangkir itu ke
arah Ting Kiu, katanya lebih lanjut, "Tempo hari aku sudah bertemu dengan Ting-siansing, maaf
kalau aku kurang adat."
Ting Kiu membesi muka, katanya dingin, "Kau tidak kurang adat, juga tidak usah minta maaf
segala."
Berkata pula Yap Kay, "Namun terhadap laki-laki vang amat paham mengenai seluk-beluk arak
dan perempuan, selalu menaruh hormat dan salut."
Muka Ting Kiu yang pucat buruk itu mendadak berubah senang, katanya, "Siau-lopan barusan
hanya salah mengucapkan kata-katanya."
"O, kata-kata apa?" tanya Yap Kay.
"Bukan saja kau pintar main perempuan, terhadap laki-laki kau pun pintar bermanis-manis
mulut."
"Itupun tergantung apakah dia itu benar-benar seorang lelaki, belakangan ini laki-laki yang
benar-benar sejati sudah banyak berkurang."
Tak terasa Ting Kiu tertawa geli. Laki-laki yang buruk rupa akan selalu merasa dirinya jauh
lebih punya pambek sebagai laki-laki sejati dari anak muda yang ganteng, demikian pula bagi
perempuan buruk yang selalu merasa dirinya lebih pintar dari perempuan cantik lainnya.
Baru sekarang Yap Kay berkesempatan menenggak habis arak dalam cangkirnya!
Suasana pertemuan tiga pihak kini mulai mengendor dan riang, dia tahu ucapan muluk-muluk
yang perlu dia utarakan sudah lebih dari cukup. Lalu apa pula yang harus dia ucapkan?
Pelan-pelan Yap Kay menduduki kursi yang tinggal satu, memangnya di sini tadi tempat duduk
orang ketiga itu. Cara bagaimana baru dia bisa mencari tahu orang ini? Dengan cara apa pula baru
dia bisa mengorek keterangan rahasia mereka? Bukan saja dia memerlukan suatu pertanyaan
yang lihai dengan cara diplomasi, malah pertanyaan inipun tidak boleh meninggalkan bekas-bekas
yang mencurigakan.
Di saat Yap Kay menepekur dan menimbang-nimbang, tiba-tiba Ting Kiu berkata, "Aku tahu kau
pasti punya banyak omongan yang hendak ditanyakan kepadaku." Mimik mukanya masih
mengulum senyum, namun sorot matanya sedikit pun tidak merasa senang, katanya pelan-pelan,
"Tentunya kau ingin tanya kepadaku, kenapa datang ke tempat ini? Kenapa mengantar peti mati
sebanyak itu? Bagaimana pula bisa kenal dengan Siau-lopan? Persoalan apa pula yang sedang
dirundingkan di sini?"
Yap Kay juga berseri tawa, namun sorot matanya dingin tajam, diam-diam dia menginsyafi
bahwa Ting Kiu ternyata jauh lebih sukar dihadapi dari apa yang dia bayangkan sebelumnya.
"Kenapa kau tidak bertanya?" Ting Kiu bertanya.
"Jika aku bertanya, apakah ada gunanya?"

"Tidak."
"Oleh karena itu aku tidak bertanya."
"Tapi ada sebuah hal aku boleh memberitahu kepadamu."
"O, hal apa?"
"Ada orang bilang di atas badanku dari atas sampai ke bawah setiap tempatnya ada membawa
senjata rahasia, apa kau pernah mendengarnya?"
"Ya, pernah kudengar."
"Kabar yang tersiar di kalangan Kangouw biasanya kurang dapat dipercaya."
"Di atas badanmu seluruhnya ada membawa senjata rahasia?"
"Tidak salah."
"Seluruhnya ada berapa macam?"
"Dua puluh tiga macam."
"Setiap macamnya dibubuhi racun?"
"Hanya tiga belas saja yang beracun, soalnya ada kalanya aku perlu mendapat keterangan dari
korbanku."
"Malah orang bilang, katanya sekaligus kau dapat menyambitkan tujuh macam senjata rahasia
yang berlainan."
"Ya, tujuh macam!"
"Cepat benar kerja tanganmu."
"Tapi masih ada seorang yang lebih cepat dari aku."
"Siapa?"
"Yaitu Siau-lopan yang duduk di sebelahmu ini."
Siau Piat-li selalu menghias mukanya dengan senyuman, katanya menghela napas, "Seorang
cacad yang malas, kalau tidak berusaha belajar beberapa macam senjata rahasia, masakah dia
bisa bertahan hidup."
"Benar, masuk akal."
"Dapatkah kau melihat dimana kiranya senjata rahasianya disembunyikan?"
"Di dalam tongkat besinya?"
Ting Kiu menepuk meja, serunya, "Bagus, pandangan yang tajam, kecuali dalam tongkat
besinya?"
"Tempat lainnya juga ada?"
"Hanya ada delapan macam, namun dalam sekejap mata dia sekaligus bisa menyambitkan
sembilan macam senjata rahasia."
"Di kalangan Kangouw, tokoh yang ahli senjata rahasia kiranya tiada yang bisa lebih unggul
dari kalian "
"Mungkin seorang pun tiada lagi."
"Sungguh tak nyana aku justru bisa duduk di antara dua tokoh kosen yang ahli dalam alat
senjata rahasia, sungguh merupakan kebanggaan"
"Kesempatan ini memang tidak banyak, maka kuanjurkan supaya kau duduk baik-baik dan
tenang-tenang saja, karena sekali kau bergerak, paling sedikit ada enam belas macam senjata
rahasia yang bakal menyerangmu." Dengan menarik muka Ting Kiu menambahkan, "Aku berani

bertaruh, di dunia ini pasti takkan ada orang yang bisa menghindar diri dari berondongan enam
belas macam senjata rahasia ini."
"Aku percaya."
"Oleh karena itu apa pun yang kutanyakan, lebih baik kau segera menjawab dengan baik."
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Untungnya aku ini memangnya tidak mempunyai sesuatu
rahasia yang harus disembunyikan terhadap orang lain!"
"Memang lebih baik bila kau tidak punya," jengek Ting Kiu, mendadak dari lengan bajunya
dikeluarkan segulung kertas terus dibeberkan di atas meja, katanya, "Kau she Yap, bernama Yap
Kay."
"Ya."
"Kau termasuk shio Hou (macan)?"
Yap Kay segera mengiakan.
"Tapi sejak masih orok kau sudah meninggalkan tempat ini?"
"Benar."
"Sebelum empat belas tahun, kau selalu menetap di sebuah biara di puncak Ui-san?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Yang kau latih mestinya Ui-san-kiam-hoat, namun belakangan waktu kau bergelandangan di
Kangouw, secara main curi kau mempelajari beberapa macam kepandian silat, waktu usia enam
belas, pernah juga jadi Hwesio untuk beberapa bulan, tujuanmu hanya untuk mencuri belajar Hokhou-
kun pihak Siau-lim-pay?"
"Ya."
"Belakangan kau pun pernah mencuri sesuap nasi dalam kalangan Piau-kiok di kotaraja, setelah
hutang bertumpuk-tumpuk karena kalah judi, terpaksa kau harus meninggalkan pekerjaanmu?"
"Tidak salah!"
'Di Kanglam lantaran seorang perempuan yang bernama Siau-pak-khia, kau bunuh Kay-si-samhiong,
maka terpaksa lari kembali ke Tionggoan?"
"Tepat sekali."
"Dua tahun belakangan ini, kau hampir menjelajahi seluruh daratan selatan dan utara sungai
besar, dimana-mana kau menimbulkan urusan, namun karena itu kau pun sedikit angkat nama
sehingga namamu cukup terkenal."
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Pengalaman hidupku agaknya kalian jauh lebih jelas dari
aku sendiri, buat apa pula kau tanya kepadaku?"
Setajam aliran listrik pandangan Ting Kiu, tanyanya pula, "Sekarang n ku hanya tanya kau,
kenapa kau harus ke tempat ini?"
"Kalau aku bilang daun jatuh kembali ke dekat akarnya, kalau di sinilah kampung kelahiranku,
sudah tentu aku harus pula menengoknya, kalau aku berkata demikian, kalian mau percaya
tidak?"
"Tidak percaya."
"Kenapa?"
"Karena kau sudah ditakdirkan lahir menjadi gelandangan."
"Kalau aku bilang kecuali tempat setan ini, sudah tiada tempat lain untuk aku berpijak, apa
kalian mau percaya?"
"Omonganmu ini masih boleh kuterima," kembali Ting Kiu membeber

kertas itu lebih panjang, katanya lebih lanjut, "Uang terakhir yang kau dapatkan, bukankah
hasil kemenangan kacang emas yang kau peroleh dari Lo-koan-tang itu?"
"Benar," sahut Yap Kay.
"Sekarang sekantong kacang emas itu mungkin sudah menjadi milik orang lain, apa benar?"
"Aku sebal dengan kacang, meskipun kacang kapri, kacang lanjar, kacang buncis, kacang kulit
ataupun kacang emas sama saja."
Ting Kiu mengangkat kepala menatapnya, katanya, "Tiada orang lain yang mengundangmu
kemari?"
"Tidak."
"Tahukah kau, kesempatan untuk mengeruk uang di tempat ini bukan gampang?"
"Aku bisa melihatnya."
"Lalu cara bagaimana kau ingin hidup lebih lanjut?"
"Yang terang aku belum pernah melihat di sini ada orang mati kelaparan."
"Kalau kau tahu di tempat lain ada kesempatan untuk mendapatkan laksana tahil perak, mau ke
sana?"
"Tidak mau."
"Kenapa?"
"Karena bukan mustahil di tempat ini aku justru jauh bisa memperoleh lebih banyak uang."
"O?"
"Aku dapat merasakan tempat seperti ini di sini lambat-laun akan memerlukan tenaga orang
seperti diriku."
"Orang macam apa kau ini?"
"Seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, dan yang penting aku bisa menutup rahasia orang
serapat tutup botol, jika ada orang mau membayar aku untuk melakukan sesuatu tugas, tentu aku
tidak akan mengecewakan si pembayar."
Sejenak Ting Kiu menepekur, sorot matanya memancarkan sinar terang, katanya tiba-tiba,
"Berapa taripmu untuk membunuh orang?"
"Itu tergantung siapa yang harus kubunuh."
"Yang kumaksud tarip yang tertinggi?"
"Tiga laksa."
"Baik, sekarang kuberi selaksa sebagai uang muka, setelah tugasmu selesai, sisanya kulunasi."
Seketika terpancar sinar terang dari mata Yap Kay, katanya, "Siapa yang ingin kau bunuh? Pho
Ang-soat?"
"Pho Ang-soat tidak setimpal berharga tiga laksa "
"Memangnya siapa yang setimpal?"
"Ban-be-tong-cu!"
Siau Piat-li duduk diam saja, seolah-olah sedang mendengar percakapan kontrak dagang dua
orang yang sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan dirinya.
Bola mata Ting Kiu menyala, dengan tajam tengah menatap muka Yap Kay, tangan yang
mengenakan tiga buah cincin berbintang itu kembali memperlihatkan gerakan dan gaya yang
aneh.

Akhirnya Yap Kay menghela napas, "Kiranya kalian yang hendak membunuh Ban-be-tong-cu,
ternyata kalian."
"Kau tidak mengira?" tanya Ting Kiu dengan mata jelalatan.
"Ada dendam apa kau dengannya? Kenapa mau membunuhnya?"
"Lebih baik kalau kau mengerti, sekarang kamilah yang bertanya kepadamu, bukan kau yang
mengajukan pertanyaan."
"Ya, aku mengerti."
"Ingin tidak kau mengeruk uang tiga laksa tahil?" Yap Kay tidak menjawab, juga tidak perlu
menjawab, tangannya sudah terulur ke depan.
Dua puluh lembar kertas uang yang masih baru, setiap lembar berharga seribu tahil.
"Lho kok dua laksa?" tanya Yap Kay.
"Ya."
"Agaknya kau memang royal."
"Bukan royal, namun hati-hati."
"Hati-hati?"
"Seorang diri kau takkan mampu membunuh Ban-be-tong-cu "
"O, lalu?"
"Maka perlu kau mencari pembantu."
"Jadi selaksa untukku, sisanya untuk pembantuku itu?"
"Tidak salah "
"Siapa yang setimpal kau bayar setinggi ini?"
"Siapa tentunya kau lebih tahu."
"Kau ingin aku mencari Pho Ang-soat?"
Ting Kiu diam saja sebagai jawaban.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku bisa membeli dia "
"Kau bukan temannya?"
"Dia tidak punya teman."
"Tiga laksa tahil cukup untuk mencari orang teman."
"Kalau ada orang tidak mau menjual diri?"
"Sedikitnya kau harus mencoba dulu."
"Kenapa tidak kau sendiri mencobanya?"
"Kalau kau tidak ingin memperoleh tiga laksa tahil ini, sekarang masih boleh kau kembalikan."
Yap Kay tertawa senang, berdiri terus mengundurkan diri
Mendadak Siau Piat-li menyeletuk dengan tertawa, "Kenapa tidak minum dulu dua cangkir baru
berangkat? Kenapa tergesa-gesa?"
Yap Kay mengacungkan uang di tangannya, katanya tertawa, "Ingin segera bisa menghabiskan
selaksa tahil ini."
"Uang sudah berada di tanganmu, kenapa terburu-buru."
"Kalau sekarang tidak kuhambur-hamburkan, kelak mungkin tiada kesempatan lagi."

Mengawasi bayangan orang yang menerobos keluar jendela, tiba-tiba Siau Piat-li menghela
napas, "Inilah seorang pintar."
"Memangnya."
"Kau mempercayainya?"
"Tidak seluruhnya?"
Siau Piat-li memicingkan mata, tanyanya, "Oleh karena itu baru kau mau teken kontrak dagang
dengan dia?"
Ting Kiu tersenyum, ujarnya, "Ini suatu kontrak yang istimewa "
Seseorang bila kantong kosong, tiba-tiba memperoleh rezeki nomplok dengan mengantongi
selaksa tahil uang, maka berjalan pun terasa ringan bagai terbang.
Tapi langkah Yap Kay justru kebalikannya, terasa berat. Kemungkinan lantaran dia terlalu penat
dan kehabisan tenaga. Cui-long memangnya perempuan pandai yang bisa membikin laki-laki
perkasa lelah kehabisan tenaga.
Kini sinar api dalam biliknya sudah padam, mungkin sudah tidur. Terbayang olehnya sebentar
dia bakal tidur nyenyak di sampingnya dengan nyaman, menghirup bau wangi, mengelus-elus
punggungnya yang halus telanjang itu, rangsangan ini sungguh tak kuasa Yap Kay untuk
menolaknya.
Langkahnya pelan-pelan, mendorong pintu lalu melangkah masuk. Daun pintu ternyata hanya
ditutupkan saja tanpa dikunci dari dalam, agaknya orang memang sedang menunggu dirinya.
Sinar bintang menyorot masuk ke dalam rumah, dia tertidur dengan seluruh badan tertutup
selimut, agaknya tidurnya teramat nyenyak. Yap Kay tersenyum, segera dia maju sambil
menyingkap selimut itu.
Sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, sebatang pedang laksana seekor ular beracun
tiba-tiba mematuk keluar dari balik selimut, menusuk ke arah dada Yap Kay.
Dalam keadaan demikian, jarak begitu dekat lagi, boleh dikata tiada tokoh silat mana pun yang
lihai bisa meluputkan diri dari tusukan pedang ini. Tapi Yap Kay justru laksana seekor rase yang
sudah lama dikejar-kejar dan hendak ditangkap oleh pemburu, setiap detik setiap waktu tak
pernah lupa bersiaga dan waspada. Dalam waktu yang gawat ini pinggangnya tiba-tiba seperti
putus, mendadak melengkung atau tertekuk ke belakang, maka sinar pedang menyerempet
dadanya.
Sebat sekali badannya melenting seperti pegas melompat mundur, berbareng kakinya melayang
menendang pergelangan tangan yang memegang pedang. Tapi tangkas sekali orang yang
bersembunyi di dalam selimut itupun sudah melompat keluar, tidak merangsek lebih lanjut,
dimana sinar pedangnya membundar, sekaligus dia melindungi mukanya, lalu menubruk ke arah
jendela di sebelah belakang.
Yap Kay tidak mengejar, namun dia berseru dengan tertawa "Hun Cay-thian aku sudah
mengenalimu, kau pergi pun tak berguna."
Orang itu sudah menerjang daun jendela sampai hancur, namun badannya seperti mobil yang
mendadak direm seketika berhenti, berdiri kaku, lama juga baru dia pelan-pelan berpaling muka.
Memang bukan lain Hun Cay-thian. Punggung tangannya yang memegangi gagang pedangnya
dihiasi otot-otot kencang yang merongkol keluar. Sorot matanya buas dan diliputi nafsu
membunuh.
"Ternyata yang sedang kau cari bukan Pho Ang-soat, juga bukan Siau Piat-li, yang kau cari
ternyata Cui-long."
"Dapatkah aku kemari mencarinya?" tanya Hun Cay-thian dingin.

"Sudah tentu boleh," sahut Yap kay tertawa. "Laki-laki seperti kau ini, mencari perempuan
seperti dia itu, memangnya suatu hal yang jamak, entah lantaran apa kau harus mengelabui aku?"
Berkilat biji mata Hun Cay-thian, tiba-tiba dia tertawa, ujarnya, "Aku kuatir kau jelus."
Yap Kay tertawa, serunya, "Yang jelas seharusnya kau, bukan aku."
^•"•^
Hun Cay-thian merenung sebentar, lalu katanya, "Dimana dia?"
"Seharusnya akulah yang mengajukan pertanyaan ini kepadamu."
"Kau tidak melihatnya?"
"Waktu aku berlalu, dia masih berada di sini."
"Tapi waktu aku tiba di sini, dia justru sudah tiada."
Yap Kay mengerut kening, "Mungkin pergi mencari laki-laki lain”
"Selamanya dia tak pernah mencari laki-laki, sudah berlebihan laki-laki yang mencarinya."
"Nah, dalam hal ini kau tidak tahu, laki-laki yang mencari dia, sudah tentu berbeda dengan lakilaki
yang dia cari."
"Kau kira dia mencari siapa?"
"Berapa laki-laki yang patut dia cari di tempat ini?"
Berubah air muka Hun Cay-thian, mendadak dia putar badan terus menerobos keluar. Kali ini
Yap Kay tidak merintangi, karena mendadak menyadari beberapa persoalan yang ingin benar dia
ketahui. Tiba-tiba terasa olehnya bahwa Cui-long ternyata perempuan yang misterius, tentu
perempuan ini juga menyembunyikan banyak rahasia.
Perempuan seperti dia, jika hendak mengusahakan dagang seperti ini.
banyak tempat akan lebih subur pendapatannya, tidak perlu dia memendam diri di tempat ini.
Bahwa dia terima tinggal di sini, tentu dia mempunyai suatu tujuan yang luar biasa.
Akan tetapi tujuan Hun Cay-thian mencari dia, terang jauh berbeda dengan maksud laki-laki
lain yang ingin mencarinya, antara kedua orang ini, pasti terjalin suatu ikatan rahasia yang
pantang diketahui orang lain.
Tiba-tiba Yap Kay menyadari lebih lanjut, setiap orang di sekitarnya seolah-olah memendam
rahasia masing-masing, sudah tentu dirinya sendiri termasuk di antaranya. Kini segala rahasia dari
berbagai orang-orang itu seolah-olah lambat-laun akan bakal tiba saatnya terbongkar seluruhnya.
Yap Kay menghela napas, besok masih banyak tugas yang harus dia selesaikan, akhirnya dia
berkeputusan untuk tidur lebih dulu. Dia mencopot sepatu, terus menyusup ke dalam selimut dan
tidur.
Lalu ditemukannya sebuah pakaian dalam yang berada di dalam selimut. Pakaian dalam
perempuan yang dia copoti sendiri. Kalau dianya sudah tiada, kenapa pakaian dalamnya tertinggal
di sini? Mungkinkah karena dia teramat gugup dan buru-buru, sampai pakaian dalam pun tak
sempat dipakai lagi, ataukah dia diseret orang dan didesak untuk berlalu? Kenapa dia tidak
meronta atau berteriak minta tolong? Yap Kay berkeputusan untuk menunggu di sini, menunggu
dia pulang. Akan tetapi dia takkan pernah kembali lagi.
Hari sudah subuh, sebentar lagi fajar bakal menyingsing. Pho Ang-soat masih belum bisa tidur.
Be Hong-ling juga tidak tidur.

Siau Piat-li dan Ting Kiu masih berada di loteng menikmati araknya. Kongsun Toan juga sedang
minum. Di bawah loteng. Seolah-olah semua orang sedang menunggu, menunggu suatu kabar
yang misterius.
Ban-be-tong-cu, Hoa Boan-thian, Loh Loh-san dan Sim Sam-nio, dimana mereka? Apakah
mereka pun sedang menunggu? Malam ini terasa panjang.
Malam ini delapan belas jiwa orang kembali berkorban
Pasir beterbangan, sesaat sebelum hari terang tanah, alam semesta masih selalu diliputi tabir
kegelapan berselimut kabut tebal, hawa terasa amat dingin.
Di tengah deru angin ribut ini, sayup-sayup seperti terdengar derap lari kuda.
Tujuh delapan orang duduk lemas, dengan badan terbungkuk-bungkuk di punggung kuda,
semuanya mabuk, untung belum sampai terjungkal roboh. Kuda mereka memang sudah kenal
jalan, maka mereka bisa pulang dengan selamat sampai di rumah.
Tukang-tukang kuda yang biasa hidup kesepian ini, sepanjang tahun harus bekerja giat banting
tulang berteman binatang, kaku dan paha mereka sudah kebal karena sering tergesek kulit
binatang. Sekali tempo menghibur diri ke kota, mabuk-mabukan, boleh dikata mereka sudah tidak
punya tempat hiburan yang layak.
Entah siapa di antara rombongan berdelapan orang ini yang menggumam, "Besok bukan
giliranku piket, malam ini seharusnya aku mencari cewek-cewek ayu untuk menghibur diri dan
tidur semalam suntuk memeluk si dia."
"Siapa suruh kau selalu kantong kosong, punya sedikit uang lantas beli air kuning (maksudnya
arak) untuk menuang perut."
"Kalau bayaran besok, aku pasti ingat mengirit beberapa duit."
"Kukira lebih baik kau cari kerbau betina saja untuk melampiaskan kebutuhanmu, yang terang
perempuan mana yang mau kau gauli?"
Maka mereka terloroh-loroh geli dan bersorak-sorai. Siapa dapat merasakan kegetiran hidup
mereka di dalam nada gelak tawa mereka. Tidak punya uang, tidak punya bini, tak punya rumah.
Umpama kata mereka roboh binasa di tengah padang rumput yang liar ini juga takkan ada orang
b rsedih dan mengucurkan air mata baginya. Terhitung kehidupan macam apakah ini?
Seseorang di antaranya mendadak mengempit perut kuda kencang-kencang, dengan sekeras
tenaganya mengeprak kuda terus membedal ke depan dengan mulut berteriak-teriak kesetanan.
Orang lain justru bergelak tertawa geli melihat kelakuannya itu.
"Siau-hek-cu agaknya sudah jadi gila."
"Sedikitnya sudah tujuh delapan bulan tidak pernah menyentuh perempuan, tempo hari yang
dia gauli malah nenek-nenek yang sudah kerempeng badannya."
"Kalau perempuan seperti Cui-long dapat menemani aku tidur semalaman, mati pun aku rela."
"Aku malah suka Sam-ik, badannya yang montok menggiurkan rasanya bisa kau remas keluar
air teteknya."
Sekonyong-konyong sebuah lolong jeritan berkumandang di tempat gelap sana. Siau-hek-cu
yang menerjang kegelapan ke depan itu mendadak menjerit ngeri, lalu terjungkal roboh dari
punggung kudanya. Kebetulan tersungkur di bawah kaki seseorang.
Seseorang bagaikan setan gentayangan tiba-tiba muncul dari tempat gelap, tangannya
menenteng sebuah golok panjang melengkung peranti menjagal kuda.
Arak yang panas seketika menjadi keringat dingin "Siapa kau? Setan atau manusia?"
Orang itu tertawa, ujarnya, "Masakah siapa aku kalian tidak kenal?"

Dua orang yang terdepan akhirnya melihat jelas siapa dia, seketika mereka menghela napas
lega, katanya mengunjuk tawa berseri, 'O, kiranya Baru saja suaranya keluar, golok jagal itu sudah
memapas kutung kepalanya. Darah segar muncrat kemana-mana, sementara itu teman-temannya
sudah menyusul tiba, semua orang melotot mengawasi orang ini, sorot matanya mengunjuk
ketakutan dan tidak percaya. Sungguh mereka tidak habis mengerti dan hampir tidak percaya
akan penglihatannya sendiri, kenapa orang ini mendadak menurunkan tangan jahatnya.
Kuda meringkik dan berjingkrak-jingkrak, orang-orang yang masih ketinggalan hidup serempak
menjerit ketakutan. Beramai-ramai mereka putar haluan dan mengeprak kudanya untuk lari. Tapi
laksana bayangan setan tiba-tiba orang itu sudah menubruk maju dan bergerak lincah kian kemari
sambil mengerjakan goloknya. Dimana goloknya berkelebat jiwa seorang pasti melayang.
Terdengar seseorang menjerit ketakutan. "Kenapa? Sebenarnya apa tujuanmu?"
"Jangan kau salahkan aku, salah kalian sendiri yang terima diperbudak oleh Ban-be-tong-cu."
Dua orang tampak meringkuk di pinggir api unggun, sorot matanya yang redup kelelahan
tengah mengawasi wajan di atas api unggun. Air di dalam wajan sudah mendidih, uap putih yang
mengepul terhembus buyar ditelan kabut tebal.
Salah seorang pelan-pelan memasukkan dua kerat daging kuda yang sudah kering dan keras itu
ke dalam wajan, mendadak dia tertawa, tawa rawan yang menusuk pendengaran.
"Aku dibesarkan di Kanglam, waktu kecil aku selalu bermimpi ingin mencicipi daging kuda, kini
terhitung sudah bosan dengan daging yang satu ini." Dengan mengertak gigi dia melanjutkan
dengan lebih sedih, "Setelah lanjut usia bila aku harus tetap makan daging kuda, lebih baik aku
tinggal di neraka saja."
Temannya yang lain tidak menghiraukan ocehannya, sebelah tangannya pelan-pelan tengah
merogoh ke dalam celananya. Waktu tangannya dikeluarkan telapak tangannya sudah berlepotan
darah.
"Kenapa? Tergesek pecah lagi? Memangnya nasibmu yang punya kulit daging begitu tipis? Baru
hari pertama kau sudah tidak kuat bertahan, besok masa kau masih kuat bertahan?"
Bahwasanya memangnya siapa yang kuat bertahan bercokol di punggung kuda berlari-lari terus
selama enam jam tak henti-hentinya. Waktu mulai masih mending, tahap lima jam kemudian,
pelana kudanya serasa tumbuh jarum-jarum runcing yang menusuk pantatnya.
Mengawasi telapak tangannya yang berlepotan darah, tak tahan anak muda ini menggerutu,
"Loh Loh-san, kurcaci yang dilahirkan anjing, kemana sih kau menyembunyikan diri, sehingga kami
harus menderita mencarimu."
"Kabarnya orang ini setan arak, bukan mustahil dia sudah terbanting mampus dari punggung
kudanya."
Dalam kemah di sebelah mereka terdengar suara dengkur yang berlainan nada dan suara, air
dalam wajan sudah mendidih pula.
Laki-laki yang lebih tua tengah mengumpulkan ranting-ranting kering dimasukkan ke dalam api
unggun, lalu dijemputnya setangkai rantai yang lebih besar untuk mengaduk daging dalam wajan.
Mendadak dari kejauhan terdengar lari kuda mendatangi. Cepat sekali seseorang menunggang
kuda membedal datang dari tempat gelap.
Serempak kedua orang ini meraba gagang pedang seraya berjingkrak berdiri, bentaknya bengis
bersama, "Siapa yang datang?"
"Inilah aku!" sahut seseorang di tempat gelap. Suara yang agaknya sudah amat dikenal.
Laki-laki yang lebih muda segera menjeput ranting kayu yang menyala dari api unggun terus
diangkat tinggi-tinggi di atas kepala untuk menerangi. Cahaya api menyinari muka laki-laki di atas
kuda. Serempak mereka tertawa berseri, sapanya, "Malam sudah larut, kau orang tua kenapa
belum lagi istirahat?"

"Ada urusan aku dengan kalian."
"Urusan apa?"
Tidak ada jawaban, sekonyong-konyong selarik sinar golok menyambar dari atas kuda, kepala
laki-laki yang lebih tua seketika terpenggal jatuh, badannya roboh ke atas api unggun
menumpahkan isi wajan. Keruan laki-laki yang lebih muda berdiri melongo, saking kaget mulutnya
terpentang lebar tak kuasa bersuara.
Kenapa orang ini berbuat sekeji ini terhadap mereka? Sampai mati dia masih belum mengerti.
Dengkur di dalam kemah masih terus berlangsung. Mereka memang sudah bekerja keras
sehari, maka tidurnya nyenyak, umpama geledek menggelegar di pinggir kuping mereka, mereka
pun takkan tersentak bangun. Kasihan adalah seseorang pertama yang dibikin terkejut dan
terbangun, karena dia mendengar suara seperti tapal kuda yang menginjak lumpur, serempak
melihat darah segar muncrat beterbangan dari tengah
Baru saja dia ingin minta tolong, tahu-tahu golok orang sudah membacok putus lehernya.
Setengah jam lagi fajar akan menyingsing.
Yap Kay memejamkan mata rebah di dalam selimut, seolah-olah sudah pulas.
Pho Ang-soat menggayung seember air dingin, dia sedang mandi Kongsun Toan sudah
kebanyakan air kata-kata, dengan langkah sempoyongan dia terseok-seok melangkah keluar,
melompat naik ke punggung kudanya.
Pelita di atas loteng sudah padam.
Tinggal Be Hong-ling seorang diri masih membelalakkan mata, dia sedang menunggu dengan
sabar.
Ban-be-tong-cu, Hun Cay-thian, Hoa Boan-thian, Loh Loh-san dan Sim Sam-nio?
Di saat banjir darah terjadi di padang rumput, dimanakah mereka? Dimana pula Cui-long
sekarang berada?
Dengan kencang tangan Be Hong-ling memegangi selimutnya, badannya basah oleh keringat
dingin. Sayup-sayup dia seperti mendengar jerit ngeri jauh di padang rumput sana, kalau dalam
keadaan biasa, mungkin dia sudah lari keluar untuk menengoknya. Tapi sekarang dia sudah
melihat banyak kejadian yang amat menakutkan, dia tidak berani melihatnya lagi, tidak tega untuk
melihatnya.
Hawa dalam rumah amat gerah dan pengap, namun jendela pun dia tidak berani membukanya.
Rumah ini memang dibangun menyendiri dari bangunan-bangunan yang lain, namun
bangunannya kokoh kuat dan besar serta luas. Kecuali dua bujang yang sudah lanjut usia, hanya
terdapat mereka ayah beranak. Kongsun Toan dan Sim Sam-nio yang menempati rumah besar ini.
Mungkin karena Ban-be-tong-cu hanya mau mempercayai beberapa orang ini saja, tentunya
Siau-hu-cu sekarang sudah pulas dalam impian, dua bu inang yang sudah setengah pikun,
umpama sudah bangun juga seperti tertidur layaknya.
Kini dalam rumah besar ini tinggal dia seorang diri, sebatangkara di dalam kegelapan membuat
dia diliputi ketakutan. Dengan mengertak gigi Be Hong-ling bangun berduduk.
Angin keras menghembus kertas jendela yang baru saja diganti, tiba-tiba sesosok bayangan
orang muncul di atas kertas jendela itu. Sesosok bayangan orang yang bertubuh tinggi kurus,
terang bukan ayahnya, juga pasti bukan Kongsun Toan. Terasa oleh Be Hong-ling perutnya serasa
meringkuk kejang kaku.
Pedangnya tergantung di ujung ranjang.
Bayangan di atas jendela tidak bergerak, seolah-olah sedang memperhatikan suara di dalam
rumah, sedang menunggu kesempatan untuk menerjang masuk.

Sekeras-kerasnya Be Hong-ling mengertak gigi, pelan-pelan menggeremet mengulur tangan
meraih pedang, pelan-pelan pula tanpa bersuara melolos pedang, lalu digenggamnya erat-erat.
Bayangan di jendela mulai bergerak agaknya hendak membuka jendela, keringat dingin yang
keluar dari telapak tangan Be Hong-ling yang menggenggam gagang pedang sudah membuat
ronce pedangnya basah kuyup. Sedapat mungkin dia mengendalikan diri, supaya tangannya tidak
gemetar, lalu pelan-pelan dia himpun semangat dan mengerahkan tenaga, dipusatkan ke telapak
tangan yang mencekal pedang. Dia sudah siap melompat dari tempatnya ke arah jendela terus
menusukkan pedangnya.
Dalam rumah amat gelap, gerakan yang sudah dia siapkan, maka dia harap orang di luar tidak
tahu akan gerak-geriknya ini. Tapi sebelum tusukannya dilancarkan, sekonyong-konyong
bayangan di luar jendela itu tahu-tahu sudah lenyap.
Maka dia pun mendengar derap lari kuda yang sayup-sayup dibawa angin. Tentunya orang di
luar itupun sudah tahu akan kedatangan orang, maka segera dia menyingkir.
"Akhirnya toh ada orang datang!" Be Hong-ling rebah di atas ranjang, seluruh badannya serasa
runtuh seluruhnya. Baru pertama kali dia benar-benar meresapi rasa ketakutan yang tulen seperti
ini.
Kemanakah orang di luar jendela tadi? Waktu dia membesarkan nyali, hendak mendorong daun
jendela, derap kaki kuda sudah tiba di luar jendela. Ia dengar suara bengis ayahnya yang tertekan
sedang memberi perintah, 'Jangan bersuara, ikut aku ke atas!"
Ban-be-tong-cu bukan pulang sendirian! Siapakah yang ikut dia pulang? Yang datang hanya
seekor kuda, masakah Ban-be-tong-cu menunggang satu kuda dengan seorang yang lain?
Tengah dia heran dan bertanya-tanya dalam hati, sekonyong-konyong didengarnya suara
rintihan perempuan yang lemah, lalu langkah kaki mereka naik ke atas loteng.
Bagaimana mungkin Ban-be-tong-cu pulang membawa seorang perempuan? Dia tahu
perempuan ini terang bukan Sam-ik, suara rintihan itu kedengarannya masih genit dari suara
perempuan muda.
Baru saja dia berdiri, lalu diam-diam merebahkan diri pula. Dia cukup memahami ayahnya.
Semakin tegang urat syarafnya, laki-laki semakin perlu perempuan, laki-laki yang menanjak
usianya, semakin perlu dihibur perempuan yang masih muda. Betapapun Sam-ik sudah rada tua.
Tiba-tiba Be Hong-ling merasa dia amat kasihan. Laki-laki bisa sembarang waktu keluar dan
pulang membawa perempuan, tapi bila perempuan di tengah malam buta tiada di dalam rumah,
sungguh merupakan suatu kejadian yang tak boleh dimaafkan.
Kertas jendela sudah kembali ke warna asalnya, putih menguning. Dimana orang tadi? Sudah
tentu orang tidak akan menghilang begitu saja seperti setan yang ketakutan sinar matahari, dia
pasti masih bersembunyi di suatu tempat yang tersembunyi, mencari kesempatan dengan kedua
jari-jari tangannya yang dingin untuk mencekik leher orang.
"Sasaran pertama kemungkinan adalah aku," tiba-tiba Be Hong-ling dijalari ketakutan,
untunglah ayahnya sudah pulang, fajar pun telah menyingsing.
Sebentar dia ragu-ragu, akhirnya dengan menggenggam pedang, telanjang kaki merundukrunduk
keluar, kalau tidak bisa menemukan bayangan hitam tadi, duduk atau berdiri hatinya
takkan bisa tenang.
Lampu yang terpasang di serambi panjang sudah padam, masih gelap, amat sunyi.
Kakinya yang telanjang berindap-indap di papan serambi yang dingin, tujuannya hanya ingin
menemukan orang itu, namun dia pun takut bila orang itu mendadak muncul di hadapannya.
Saat itu pula, didengarnya suara air dituang. Suaranya berkumandang dari kamar Sam-ik.
Apakah Sam-ik sudah pulang? Atau orang itu yang bersembunyi di sini?

Detak jantung Be Hong-ling rasanya bisa mencotot keluar dari rongga dadanya. Dengan
kencang dia mengertak gigi, pelan-pelan dan merunduk-runduk maju menghampiri, sekonyongkonyong
papan di bawah kakinya berbunyi, "Ngek", hampir saja dia berjingkat saking kagetnya,
maka dilihatnya daun pintu Sam-ik terbuka segaris. Sepasang mata yang tajam terang sedang
mengawasi dirinya dari belakang pintu. Itulah mata Sam-ik.
Baru sekarang Be Hong-ling menghela napas lega, katanya lirih, "Syukurlah, terima kasih
kepada langit dan bumi, akhirnya kau pulang!"
***
BAB 13. RAHASIA SIM SAM-NIO
Dalam kamar tidak menyulut pelita. Sim Sam-nio tengah mengenakan jubah panjang yang
lebar, agaknya sedang mandi, mukanya kelihatan berlepotan darah.
"Kau ... kau terluka?" seru Be Hong-ling kejut.
Tidak menjawab pertanyaan ini, Sim Sam-nio malah balas bertanya, "Kau tahu aku barusan
keluar?"
"Tak usah kuatir," ujar Be Hong-ling tertawa, "aku pun seorang perempuan, aku boleh purapura
tidak tahu." Dia tertawa bukan lantaran dia sudah tahu rahasia orang, dia tertawa adalah
karena dia beranggapan sekarang dirinya sudah besar, sudah dewasa. Menutupi rahasia orang lain
memangnya suatu hal yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang sudah matang.
Sim Sam-nio tidak banyak bicara lagi, pelan-pelan dia rendam kain sari yang berlepotan darah
itu ke dalam air, diawasinya kainnya yang berlepotan darah itu pelan-pelan tergenang basah ke
dalam air. Mulutnya pun masih mengeluarkan bau darah, memangnya darah yang sudah
terdorong sampai di tenggorokannya terus dia pertahankan sampai dia kembali ke rumah baru dia
muntahkan. Hantaman kepalan Kongsun Toan memangnya bukan ringan.
Be Hong-ling sudah melompat naik ke atas pembaringan, kedua kakinya ditarik bersila.
Sebelum ini selalu dia merasa kikuk dan risih serta hati-hati pula, sekarang justru berubah
sembarangan, katanya tiba-tiba, "Apakah di tempatmu ini ada arak, aku ingin minum secangkir
saja."
Sim Sam-nio mengerut kening, katanya, "Sejak kapan kau mulai belajar minum arak?"
"Di waktu usiamu sebesar aku dulu, masakah kau belum belajar minum?" balas tanya Be Hongling.
"Araknya disimpan di laci terbawah di dalam lemari itu " kata Sim Sam-nio sambil menuding
sebuah lemari di pojokan sana.
"Memangnya aku sudah menduga kau pasti menyimpan arak di sini, jika aku jadi kau, bila
malam tidak bisa tidur, pasti aku bangun minum arak seorang diri."
"Dua hari ini, naga-naganya kau memang sudah tambah dewasa." Be Hong-ling sudah
menemukan arak, dibukanya sumbat botol terus dituangnya dengan mulut beradu mulut seteguk
saja, katanya tertawa, “perempuan di tengah malam buta tiada di dalam rumah, sungguh
merupakan suatu kejadian yang tak boleh dimaafkan.”
Kertas jendela sudah kembali ke warna asalnya, putih menguning. Dimana orang tadi? Sudah
tentu orang tidak akan menghilang begitu saja seperti setan yang ketakutan sinar matahari, dia
pasti masih bersembunyi di suatu tempat yang tersembunyi, mencari kesempatan dengan kedua
jari-jari tangannya yang dingin untuk mencekik leher orang.

"Sasaran pertama kemungkinan adalah aku," tiba-tiba Be Hong-ling dijalari ketakutan,
untunglah ayahnya sudah pulang, fajar pun telah menyingsing.
Sebentar dia ragu-ragu, akhirnya dengan menggenggam pedang, telanjang kaki merundukrunduk
keluar, kalau tidak bisa menemukan bayangan hitam tadi, duduk atau berdiri hatinya
takkan bisa tenang.
Lampu yang terpasang di serambi panjang sudah padam, masih gelap, amat sunyi.
Kakinya yang telanjang berindap-indap di papan serambi yang dingin, tujuannya hanya ingin
menemukan orang itu, namun dia pun takut bila orang itu mendadak muncul di hadapannya.
Saat itu pula, didengarnya suara air dituang. Suaranya berkumandang dari kamar Sam-ik.
Apakah Sam-ik sudah pulang? Atau orang itu yang bersembunyi di sini?
Detak jantung Be Hong-ling rasanya bisa mencotot keluar dari rongga dadanya. Dengan
kencang dia mengertak gigi, pelan-pelan dan merunduk-runduk maju menghampiri, sekonyongkonyong
papan di bawah kakinya berbunyi, "Ngek", hampir saja dia berjingkat saking kagetnya,
maka dilihatnya daun pintu Sam-ik terbuka segaris. Sepasang mata yang tajam terang sedang
mengawasi dirinya dari belakang pintu. Itulah mata Sam-ik.
Baru sekarang Be Hong-ling menghela napas lega, katanya lirih, "Syukurlah, terima kasih
kepada langit dan bumi, akhirnya kau pulang!"
BAB 13. RAHASIA SIM SAM-NIO
Dalam kamar tidak menyulut pelita. Sim Sam-nio tengah mengenakan jubah panjang yang
lebar, agaknya sedang mandi, mukanya kelihatan berlepotan darah.
"Kau ... kau terluka?" seru Be Hong-ling kejut.
Tidak menjawab pertanyaan ini, Sim Sam-nio malah balas bertanya, "Kau tahu aku barusan
keluar?"
"Tak usah kuatir," ujar Be Hong-ling tertawa, "aku pun seorang perempuan, aku boleh purapura
tidak tahu." Dia tertawa bukan lantaran dia sudah tahu rahasia orang, dia tertawa adalah
karena dia beranggapan sekarang dirinya sudah besar, sudah dewasa. Menutupi rahasia orang lain
memangnya suatu hal yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang sudah matang.
Sim Sam-nio tidak banyak bicara lagi, pelan-pelan dia rendam kain sari yang berlepotan darah
itu ke dalam air, diawasinya kainnya yang berlepotan darah itu pelan-pelan tergenang basah ke
dalam air. Mulutnya pun masih mengeluarkan bau darah, memangnya darah yang sudah
terdorong sampai di tenggorokannya terus dia pertahankan sampai dia kembali ke rumah baru dia
muntahkan. Hantaman kepalan Kongsun Toan memangnya bukan ringan.
Be Hong-ling sudah melompat naik ke atas pembaringan, kedua kakinya ditarik bersila.
Sebelum ini selalu dia merasa kikuk dan risih serta hati-hati pula, sekarang justru berubah
sembarangan, katanya tiba-tiba, "Apakah di tempatmu ini ada arak, aku ingin minum secangkir
saja."
Sim Sam-nio mengerut kening, katanya, "Sejak kapan kau mulai belajar minum arak?"
"Di waktu usiamu sebesar aku dulu, masakah kau belum belajar minum?" balas tanya Be Hongling.
"Araknya disimpan di laci terbawah di dalam lemari itu " kata Sim Sam-nio sambil menuding
sebuah lemari di pojokan sana.
"Memangnya aku sudah menduga kau pasti menyimpan arak di sini, jika aku jadi kau, bila
malam tidak bisa tidur, pasti aku bangun minum arak seorang diri."

"Dua hari ini, naga-naganya kau memang sudah tambah dewasa." Be Hong-ling sudah
menemukan arak, dibukanya sumbat botol terus dituangnya dengan mulut beradu mulut seteguk
saja, katanya tertawa,
"Memangnya aku ini sekarang sudah besar, maka kau harus memberitahu kepadaku, siapa
yang kau cari waktu kau keluar tadi?"
"Kau tak usah kuatir, yang pasti bukan Yap Kay."
"Memangnya siapa? Pho Ang-soat?'
Jari-jari Sim Sam-nio yang sedang mengucek kain basah dalam baskom seketika berhenti kaku,
lama juga baru pelan-pelan dia berpaling menatapnya.
"Buat apa kau menatapku? Apakah karena tebakanku betul?"
Mendadak Sim Sam-nio merebut botol arak di tangannya, katanya, "Kau sudah mabuk, kenapa
tidak kembali ke kamarmu tidur saja, setelah sadar kembalilah menemui aku."
Seketika Be Hong-ling menarik muka, katanya dingin, "Tidak lebih aku hanya ingin tahu dengan
cara apa kau berhasil memeletnya, tentunya caramu itu cukup baik untuk menipu, kalau tidak,
masakah dia bisa kepincut terhadap kau perempuan yang sudah tua ini."
Dingin sorot mata Sim Sam-nio, katanya kata demi kata, "Apakah si dia yang kau taksir? Bukan
Yap Kay?"
Seolah-olah mukanya digampar dengan keras, muka Be Hong-ling yang pucat seketika berubah
merah padam. Agaknya besar hasratnya menerjang maju menampar pipi Sim Sam-nio, namun
saat itu juga dia mendengar langkah kaki yang mendatangi di atas papan di luar serambi sana.
Langkah kaki yang lambat dan berat, akhirnya berhenti di luar pintu, disusul seseorang berseru
lirih tertahan, "Sam-nio, kau sudah bangun?" Itulah suaranya Ban-be-tong-cu.
Seketika berubah air muka Sim Sam-nio dan Be Hong-ling, lekas Sim Sam-nio memberi tanda
dengan gerakan mulutnya ke arah ranjang, Be Hong-ling menggigit bibir, namun tanpa ayal
tersipu-sipu dia menyusup ke dalam selimut. Seperti keadaan Sim Sam-nio yang serba hati-hati
dan seolah-olah dirinya berdosa, karena dia sendiri pun mempunyai rahasia yang pantang
diketahui orang.
Untung Ban-be-tong-cu tidak masuk, tanyanya pula sambil berdiri di luar pintu, "Baru bangun?"
Sim Sam-nio mengiakan
"Enak tidurmu?"
"Tidak enak."
"Hayolah ikut aku ke atas mau tidak?"
"Boleh saja."
Hubungan mereka sudah kental selama puluhan tahun, maka percakapan mereka pun cekak
dan zakelijk.
Diam-diam Be Hong-ling merasa heran. Terang tadi dia mendengar ayahnya sudah membawa
seorang perempuan, sekarang minta Sam-ik naik ke atas? Lalu siapakah perempuan yang dia
bawa pulang?
Seorang diri Ban-be-tong-cu menempati tiga bilik besar di atas loteng, pertama kamar buku,
sebuah lagi kamar tidur, yang lain adalah ruang rahasia, sampai sedemikian jauh Sim Sam-nio
sendiri belum pernah masuk ke dalam kamar rahasianya ini.
Waktu beranjak naik ke loteng, pinggangnya masih tegak lurus, dilihatnya dari punggungnya,
siapa pun takkan menyangka dia sudah seorang tua.

Tanpa bersuara Sim Sam-nio mengikuti di belakangnya. Setiap kali diminta untuk naik, tidak
pernah dia menolak, sikap orang tidak begitu hangat namun juga tidak begitu dingin Adakalanya
sebagai perempuan normal dia pun bisa mempersembahkan pelayanan yang hangat dan
memuaskan seratus persen. Memang itulah perempuan yang masih diinginkan oleh Ban-be-tongcu.
Perempuan yang terlalu merangsang dan terlalu besar nafsunya sudah tidak lagi memenuhi
seleranya. Sudah tidak memadai lagi dengan kondisi badan serta usianya sekarang.
Pintu kamar di loteng tertutup rapat, Ban-be-tong-cu sengaja berhenti di luar pintu, tiba-tiba
dia putar badan menatapnya, tanyanya, 'Tahukah kau untuk apa kuajak kau naik kemari?"
Sim Sam-nio tertunduk, sahutnya lembut, "Terserah apa pun yang kau inginkan tidak menjadi
soal bagi aku "
"Kalau aku ingin membunuhmu?" serius nada ucapan Ban-be-tong-cu mukanya bersungguhsungguh
Tiba-tiba timbul rasa ngeri dan hawa dingin menjalari kuduknya, baru sekarang dia sadar bila
dirinya telanjang kaki.
Tiba-tiba Ban-be-tong-cu tertawa pula, "Sudah tentu aku tidak akan membunuhmu, di dalam
ada orang sedang menunggumu."
"Ada orang menunggu aku? Siapa?"
Mimik tawa Ban-be-tong-cu aneh, sahutnya pelan, "Selamanya kau tidak akan menduga siapa
dia." Dia membalik mendorong pintu, serasa hampir tiada keberanian Sim Sam-nio melangkah ke
dalam.
0oo0
Akhirnya hari sudah terang tanah. Pelan-pelan Pho Ang-soat sedang melalap bubur hangat
yang baru saja dimasaknya.
Lapat-lapat Yap Kay sudah merasakan bahwa Cui-long tidak akan pulang, dia sedang
mengenakan sepatunya
Loteng kecil itu sunyi senyap tiada suara apa-apa, Kongsun Toan sedang memasukkan
kepalanya ke dalam kubangan air kuda, seperti kuda kehausan dia minum air dingin sepuaspuasnya,
tapi umpama seluruh air sebuah sungai pun takkan bisa membuat pikirannya sadar.
Hembusan angin pagi dari padang rumput terasa membawa bau amis yang tawar.
Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian pun sudah kembali ke rumahnya masing-masing, mereka
sudah siap menuju ke pendopo besar untuk sarapan pagi. Setiap pagi seperti lazimnya mereka
mesti sarapan pagi di pendopo besar, ini sudah merupakan tata tertib Ban-be-tong.
Akhirnya Sim Sam-nio membesarkan hati, melangkah masuk ke kamar Ban-be-tong-cu.
Siapakah yang sedang menunggu dirinya di dalam?
Dengan memeluk kedua lututnya, Cui-long sedang duduk meringkuk di atas kursi besar yang
nyaman terbuat dari kayu cendana. Kelihatannya dia amat letih dan ketakutan.
Waktu Sim Sam-nio melihat dia, kedua orang itu kelihatannya sama-sama kaget.
Dengan dingin Ban-be-tong-cu mengamati reaksi mimik mereka, katanya tiba-tiba, "Sudah
tentu kalian kenal satu sama lain." Sim Sam-nio manggut-manggut.
"Sekarang dia sudah kubawa pulang, supaya selanjutnya kau tidak usah mencarinya di tengah
malam buta rata."

Reaksi Sim Sam-nio amat aneh, seperti sedang menerawang, hakikatnya tidak mendengarkan
ucapan Ban-be-tong-cu ini. Lama berselang baru pelan-pelan dia bergerak ke hadapan dengan
Ban-be-tong-cu, katanya kalem, "Kemarin malam aku memang pernah keluar."
"Aku tahu."
"Orang yang hendak kucari bukan Cui-long."
"Aku tahu," sahut Ban-be-tong-cu, dia sudah duduk, sikapnya masih tenang dan wajar, siapa
pun takkan bisa membedakan perasaan hatinya dari mimik mukanya.
Sim Sam-nio menatapnya bulat-bulat, katanya kata demi kata, "Orang yang kucari adalah Pho
Ang-soat!"
Ban-be-tong-cu sedang mendengarkan, sampai pun kelopak mata dan kulit daging ujung
matanya sedikit pun tidak bergerak. Bukan saja sorot matanya tidak menampilkan rasa kaget dan
marah, malah menampilkan perasaan simpatik dan memakluminya.
Suara Sim Sam-nio pun tenang, pelan-pelan dia melanjutkan, "Aku mencarinya, karena aku
beranggapan dialah si pembunuh yang menewaskan orang-orang itu."
"Bukan dia” ujar Ban-be-tong-cu.
Sim Sam-nio manggut-manggut pelan-pelan, "Memang bukan dia, tapi sebelum aku berhasil
menyelidikinya dengan gamblang, betapapun hatiku takkan bisa tenang."
"Aku mengerti."
"Dari sikapnya terhadap diriku, aku dapat menyimpulkan perempuan sejak dilahirkan memang
mempunyai suatu perasaan aneh, kalau dia membenciku, maka sikap dan tindak-tanduknya
terhadapku pasti berlainan."
"Aku paham!"
"Tapi terhadapku dia justru amat sungkan waktu aku ke sana, meski dia kelihatannya rada
kaget waktu aku hendak berlalu, dia toh tidak coba menahanku."
"Memang dia seorang Kuncu sejati!"
"Sayang sekali, kau punya teman yang bukan Kuncu betul-betul."
"O?"
Sim Sam-nio mengertak gigi, dengan mata merah tiba-tiba dia singkap pakaian bagian
bawahnya. Bagian bawah yang telanjang hanya ditutupi selembar kain ini. Meski usianya sudah
menanjak tiga puluh tahun, namun potongan badannya masih begitu molek, terpelihara dengan
baik sekali. Dadanya montok, dua bukit berdiri kenyal, perutnya datar mengercil, sementara kedua
pahanya jenjang halus dan padat, sayang sekali pada titik perempuan yang dihiasi alas subur
menghitam itu, kelihatan daging-daging yang membiru hijau.
Tak tertahan Cui-long menjerit tertahan sambil menutup mulut dengan tangan dan mata
terbelalak ngeri, berderai air mata Sim Sam-nio, katanya dengan suara gemetar, "Kau tahu siapa
yang menghiasi badanku ini?"
Mengawasi bekas luka-luka di perut Sim Sam-nio, terpancar rasa gusar pada sorot mata Banbe-
tong-cu, lama juga dia menepekur baru bersuara, "Aku tidak ingin tahu."
Sudah tentu Sim Sam-nio cukup tahu, kalau orang tidak ingin tahu, itu berarti dia sudah tahu.
Tanpa melanjutkan persoalan ini, pelan-pelan Sim Sam-nio membetulkan pakaiannya pula,
katanya rawan, "Baik juga kalau kau tidak tahu, aku hanya ingin supaya kau tahu, demi kau, apa
pun aku rela melakukannya."
Perasaan gusar yang berkobar di sorot mata Ban-be-tong-cu sudah berubah menjadi derita,
lama juga baru menarik napas, katanya, "Beberapa tahun ini, kau memang banyak melakukan
pekerjaan untukku, juga banyak menderita."

Sim Sam-nio sesenggukan pilu, tiba-tiba dia berlutut mendekam di bawah lututnya, tangisnya
pecah tak terkendali lagi. Pelan Ban-be-tong-cu mengelus rambutnya yang halus, sorot matanya
tertuju keluar jendela.
Angin pagi nan sepoi-sepoi menghembus datang dari padang rumput, rumput menari-nari
laksana gelombang ombak samudra timbul tenggelam, sang surya baru saja terbit, cahayanya
yang merah menguning menyinari gelombang rumput yang menari-nari tertiup angin, rombongan
kuda tengah berderap menyongsong sinar surya.
Berkata Ban-be-tong-cu setelah menghela napas. "Semula tempat ini merupakan padang
belukar, tanpa kau, mungkin aku sendiri tidak akan mampu membangun tempat ini sedemikian
indah, tidak ada orang tahu betapa besar bantuanmu terhadapku."
Berkata Sim Sam-nio sesenggukan, "Asal kau tahu saja, aku pun cukup puas."
"Sudah tentu aku tahu, kau membantuku merubah tempat ini jadi sedemikian indah permai,
cuma di kala aku harus kehilangan semua milikku ini, betapa rawan dan derita sanubariku."
Mendadak Sim Sam-nio mengangkat kepala, teriaknya kaget, "Kau ... kau ... apa katamu?"
Ban-be-tong-cu tidak mengawasinya lagi, katanya pelan-pelan, "Aku sedang membentangkan
sebuah rahasia."
"Rahasia apa?"
"Rahasia dirimu!"
"Aku ... aku punya rahasia apa?"
Semakin tebal rasa derita dalam sorot mata Ban-be-tong-cu, katanya tegas, "Sejak pertama kali
kau datang kemari, aku sudah tahu siapa dirimu sebenarnya."
Bergetar sekujur badan Sim Sam-nio, seolah-olah ada dua tangan yang tidak kelihatan tiba-tiba
mencekik lehernya. Napas pun serasa berhenti seketika, pelan-pelan dia bangkit berdiri,
melangkah mundur setindak demi setindak, sorot matanya memancar ketakutan.
"Kau bukan she Sim," ujar Ban-be-tong-cu, "kau she Hoa!"
Seperti dipukul godam kepala Sim Sam-nio mendengar kata-kata ini. Baru saja dia berdiri,
hampir saja dia terpeleset jatuh lagi.
"Gundik Pek Thian-ih yang bernama Hoa Pek-hong adalah kakak kandungmu."
"Kau ... darimana kau tahu?"
"Mungkin kau tidak percaya, tapi sebelum kau datang kemari, aku sudah pernah melihatmu,
aku pernah melihat kalian kakak beradik bergaul rapat dengan Pek Thian-ih. Waktu itu kau masih
kecil, kakakmu sudah mengandung keturunan Pek Thian-ih."
Badan Sim Sam-nio yang gemetar tiba-tiba berhenti, seluruh badannya serasa kejang dan kaku.
"Setelah Pek Thian-ih meninggal, aku pernah mencari kakak beradik itu, namun selama ini
kakakmu dapat menyembunyikan diri baik-baik, memangnya siapa bakal menduga kau justru
tahu-tahu sudah berada di sini."
Sim Sam-nio mundur pelan-pelan, akhirnya dia menemukan kursi dan duduk di situ.
Laki-laki di hadapannya inilah, selama tujuh tahun, setiap bulannya paling sedikit ada tujuh kali
dia harus menemani kebutuhan orang bermain di atas ranjang, menahan elusan jari-jari tangan
tak berkuku yang kasar seperti berduri, menahan bau keringatnya yang prengus. Ada kalanya
seolah-olah dia merasa yang tidur di sebelahnya adalah seekor kuda yang tua. Tujuh tahun
lamanya dia menahan diri, karena dia selalu berpandangan akhirnya usahanya pasi akan
mendapat hasil yang memuaskan sesuai rencana, dan untuk mencapai tujuan dia sudah siaga
cepat atau lambat harus mempertaruhkan imbalannya. Baru sekarang pula dia menyadari akan
langkah-langkah dirinya yang salah, salah secara mengerikan, salah secara menakutkan. Tiba-tiba

ia menyadari dirinya mirip seekor cacing di tangan anak kecil, dirinya sedang dan selalu
dipermainkan orang.
"Aku sudah sejak lama tahu kau siapa, tapi selama ini aku tidak membongkar kedokmu, kau
tahu kenapa aku harus merahasiakan hal ini?" tanya Ban-be-tong-cu.
Sim Sam-nio geleng-geleng kepala.
"Karena aku menyukaimu, dan lagi aku memang memerlukan perempuan seperti kau."
Tiba-tiba Sim Sam-nio tertawa, katanya, "Malah orang secara sukarela masuk rumah
menyerahkan dirinya sendiri secara gratis." Memang dia sedang tertawa, namun tawa yang sayu
dan pedih lebih menderita dari menangis. Mendadak terasa mual dan hampir muntah-muntah.
"Aku sudah lama tahu hubunganmu dengan Cui-long."
"O?"
"Sesuatu yang terjadi di sini Cui-long yang menyiarkan keluar, sesuatu yang terjadi di luar, Cuilong
pula yang menyampaikan kepada kau." Ban-be-tong-cu tiba-tiba tertawa, katanya lebih
lanjut, "Kau gunakan orang seperti dia untuk menyampaikan berita, memangnya suatu rencana
kerja yang baik sekali."
"Sayang sekali, serapi-rapi aku bekerja toh tetap sudah kau ketahui"
"Selama ini aku tidak pernah mencegah dan mengganggu kalian, soalnya aku tiada sesuatu
berita rahasia yang harus disampaikan kepadamu."
"Kemungkinan kau pun ingin tahu berita di luaran dari pihakku."
"Sayang sekali Cicimu justru jauh lebih cerdik dari kau, beberapa tahun sudah berselang, aku
tetap tak berhasil mencari tahu tempat tinggalnya."
"Oleh karena itu sampai detik ini dia tetap segar-bugar."
"Bagaimana dengan anaknya?"
"Masih tetap hidup."
"Sekarang sudah datang kemari?"
"Menurut dugaanmu bagaimana?"
"Yap Kay atau Pho Ang-soat?"
"Kau tidak akan bisa merabanya?"
"Meski kau tidak mau terus terang, aku pun bisa mencari akal untuk mengetahuinya."
"Memangnya kenapa kau harus bertanya kepadaku."
Ban-be-tong-cu menghela napas, ujarnya, "Sebetulnya sampai detik ini aku belum ingin
membongkar rahasiamu, terus terang aku tidak tega memutus hubungan kita yang sekarang."
"Sayang sekali kau dipaksa dan harus segera membongkar kedok asliku."
"Ya, begitulah kenyataannya."
"Kenapa?"
"Karena hal ini tidak boleh berlarut-larut lagi."
"Kalau toh sudah berlarut sampai puluhan tahun, apa halangannya berlarut beberapa hari lagi?"
Sikap Ban-be-tong-cu amat prihatin, katanya, "Aku punya anak, beberapa ratus saudara, aku
tidak tega melihat mereka mati satu per satu di hadapanku menjadi korban keganasan orang."
"Semalam berapa pula yang menjadi korban?"
"Sudah cukup banyak yang menjadi korban?"

"Menurut anggapanmu, siapakah pembunuhnya? Yap Kay? Pho Ang-soat?"
"Peduli siapa pembunuhnya, aku berani bersumpah kepadamu, dia pasti takkan lolos!"
"Hutang uang bayar uang, hutang jiwa bayar jiwa ... begitu maksudmu?"
"Tidak salah."
Sim Sam-nio tiba-tiba tertawa dingin, tanyanya, 'Lalu bagaimana dengan dirimu?"
Sorot mata gusar Ban-be-tong-cu seketika berubah ketakutan, ketakutan yang luar biasa.
Mendadak dia berjingkrak berdiri berpaling ke arah jendela, seolah tidak ingin mimik mukanya
dilihat oleh Sim Sam-nio.
Pada saat itulah dari luar kedengaran suara kelintingan berdering nyaring.
Ban-be-tong-cu menghela napas, ujarnya, "Cepat benar, sehari sudah
berlalu, sarapan pagi sudah tiba saatnya."
"Masih bisa kau makan hari ini?"
"Itulah tata tertib yang sudah kutegakkan, paling tidak aku tidak boleh melanggarnya sendiri."
Tanpa melirik lagi kepada Sim Sam-nio dengan langkah lebar dia beranjak keluar.
"Tunggu sebnetar," seru Sim Sam-nio.
Ban-be-tong-cu sedang menunggu.
"Masakah begini saja kau hendak berlalu?"
"Kenapa tidak boleh?"
"Kau ... bagaimana keputusanmu akan diriku?"
"Tidak apa-apa."
"Aku tidak mengerti maksudmu."
"Aku tiada maksud apa-apa."
"Kau sudah membongkar rahasiaku, kenapa tidak kau bunuh aku?"
"Membongkar rahasiamu adalah satu persoalan, membunuh adalah persoalan lain."
"Akan tetapi ...."
"Aku tahu sudah tentu kau tidak akan bisa menetap lagi di sini."
"Kau biarkan aku pergi?"
Ban-be-tong-cu tertawa, tawa yang pedih, ujarnya pelan-pelan. "Kenapa pula aku harus
melarangmu? Memangnya aku harus membunuhmu?"
Terpancar rasa kaget dan heran serta tak mengerti pada sorot mata Sim Sam-nio. Sampai detik
ini. baru dia menyadari dirinya belum memahami jiwa orang, mungkin sejak permulaan dirinya
memang belum bisa memahami karakternya. Tak tertahan dia bertanya pula, "Kalau kau biarkan
aku pergi, kenapa pula kau bongkar rahasiaku?"
Ban-be-tong-cu tertawa pula, ujarnya tawar, "Mungkin aku hanya ingin supaya kau tahu, aku
ini bukan orang pikun."
Sim Sam-nio menggigit bibir, katanya, "Atau mungkin juga lantaran kau tidak ingin aku
menetap di sini pula."
"Ya, mungkin," sahut Ban-be-tong-cu. Tanpa bicara lagi tanpa menoleh dia terus turun dari
loteng.
Langkah kakinya lambat dan berat kejap lain sudah terdengar tiba di bawah. Mungkin perasaan
hatinya jauh lebih berat lagi.

"Kenapa dia tidak membunuhku? Memangnya dia amat baik terhadapku?" terkepal kencang
kedua jari-jari tangan Sim Sam-nio, akhirnya dia berkeputusan untuk tidak memikirkan persoalan
ini lebih lanjut, kalau dipikir hanya menambah kedukaan saja.
Orang inilah yang sudah menipu dirinya, mempermainkan dirinya, tapi di saat orang lain
hendak membunuhnya, dia justru membiarkan dirinya pergi. Mungkin bukan sengaja orang
hendak menipunya, justru sebaliknya dirinya yang hendak menipunya. Peduli apa pun yang pernah
dia lakukan dulu, tapi terhadap dirinya, boleh dikata orang tidak terlalu jelek, tidak menyia-nyiakan
dirinya.
Tiba-tiba serasa ditusuk sembilu hulu hati Sim Sam-nio. Sebetulnya tidak pantas dia dijalari
perasaan seperti ini, belum pernah terbayang olehnya dirinya bakal dijalari perasaan seperti ini.
Tapi manusia tetap manusia. Manusia pasti mempunyai perasaan, kontras dan derita.
Sementara itu Cui-long sudah berdiri menghampirinya dan berjalan ke hadapannya, katanya
lembut, "Kalau dia sudah memberi jalan kepada kita, kenapa tidak segera kita berlalu?"
Sim Sam-nio menghirup napas panjang ujarnya, "Sudah tentu harus pergi, cuma ... mungkin
aku memang tidak patut kemari."
0oo0
BAB 14. RINGKIK KUDA JEMPOLAN
Ban-be-tong-cu pelan-pelan duduk. Meja panjang terbentang lurus di hadapannya, mirip
sebuah jalan raya yang amat panjang. Dari rawa dan genangan darah berjalan sampai di sini,
bahwasanya memang dia sudah menempuh perjalanan yang amat jauh. Jauh dan menakutkan.
Mulai dari sini, kemana pula dia harus pergi? Apakah harus kembali ke rawa-rawa dan ke
genangan darah itu?
Pelan-pelan Ban-be-tong-cu menjulurkan tangan ke atas meja, kerut keriput kulit mukanya
kelihatan lebih jelas di bawah pancaran sinar matahari pagi, lebih mendalam, lebih banyak, setiap
jalur kerut keriput mukanya entah mengalami betapa besar derita dan jerih payah. Di dalamnya
termasuk darah keringatnya sendiri, termasuk pula darah keringat orang lain.
Hoa-boan-thian dan Hun Cay-thian sudah menunggu di sana, duduk tenang dan diam, agaknya
banyak persoalan bergejolak dalam sanubarinya.
Maka tampak dengan langkah sempoyongan Kongsun Toan beranjak dari luar, begitu masuk
ruang pendopo besar ini seketika dirangsang bau arak yang memualkan. Ban-be-tong-cu tidak
mengangkat kepala melihatnya, juga diam-diam saja tak menghiraukan kedatangan orang.
Terpaksa Kongsun Toan mencari tempat duduknya sendiri, duduk tertunduk, agaknya dia tahu
maksud Ban-be-tong-cu.
Saat seperti ini tidak pantas dirinya mabuk-mabukan. Sungguh malu dan angkara murka pula
hatinya, marah dan benci terhadap dirinya sendiri. Ingin rasanya dia mencabut golok, membelah
dadanya sendiri, sehingga arak yang terbaur dalam darahnya mengalir keluar.
Suasana dalam ruang pendopo terasa tegang dan lengang. Sarapan pagi sudah tersedia,
terdapat sayur-mayur yang segar, serta panggang daging sapi yang masih mengepul.
Ban-be-tong-cu tiba-tiba tersenyum, katanya, "Lumayan juga hidangan pagi ini."
Hoa Boan-thian manggut-manggut. Hun Cay-thian juga manggut-manggut.
Hidangan memang lumayan, namun siapa yang ada selera untuk makan? Cuaca memang baik
juga, namun hembusan angin pagi nan sepoi-sepoi agaknya membawa bau anyir darah yang
menandakan firasat jelek.

Kata Hun Cay-thian dengan menunduk kepala, "Rombongan pertama dari orang-orang yang
disuruh meronda kemarin malam sudah ...."
"Laporan boleh kau sampaikan setelah makan," tukas Ban-be-tong-cu
"Ya," Hun Cay-thian mengiakan.
Maka semua orang menunduk, menggares hidangan masing-masing tanpa bersuara. Daging
sapi muda yang terpanggang lezat terasa getir dan kecut setelah dikunyah. Hanya Ban-be-tong-cu
seorang yang melalap hidangannya dengan selera penuh. Yang dia kunyah mungkin bukan
hidangannya, namun pikirannya sendiri
Segala persoalan ini tiba saatnya harus dibereskan satu per satu. Ada kalanya persoalan itu
sendiri tidak akan bisa beres mengandal kekuatan dan kepandaian silat yang tinggi, maka kau
harus menyelesaikannya menggunakan daya pikiran dan kecerdikanmu. Maka banyak sekali yang
harus dia pikirkan, harus dia pecahkan satu per satu, segalanya serba kalut, maka perlu dikunyah
pelan-pelan supaya satu per satu dapat dia cerna ke dalam perutnya.
Sebelum Ban-be-tong-cu menurunkan sumpitnya, orang lain tiada yang berani menghentikan
makannya.
Akhirnya dia meletakkan sumpitnya juga.
Letak jendela itu tinggi. Cahaya matahari menyorot masuk miring, menyinari debu-debu yang
menumpuk tebal di dalam ruang pendopo besar ini. Mengawasi debu yang bergulung-gulung di
antara sorot sinar matahari, mendadak Ban-be-tong-cu berkata, "Kenapa hanya di tempat yang
terkena sorot sinar matahari baru ada debu?"
Tiada yang menjawab, tiada orang yang bisa menjawab. Bahwasanya pertanyaan ini bukan
persoalan yang harus mereka pecahkan. Pertanyaan yang lucu dan bodoh.
Pelan-pelan sorot mata Ban-be-tong-cu menyapu pandang mereka satu per satu, kembali dia
tertawa, katanya, "Karena hanya di tempat yang tersorot sinar matahari saja baru kau dapat
melihat debu, soalnya bila kau tidak melihat debu itu sendiri, maka sering orang menyangka
bahwa debu itu bahwasanya tidak pernah ada." Pelan-pelan dia melanjutkan, "Sebetulnya peduli
kau melihat atau tidak, debu itu selamanya pasti ada."
Pertanyaan bodoh, jawaban yang pintar. Namun tiada orang yang mengerti kenapa mendadak
dia mengajukan persoalan ini, maka tiada satu pun di antara mereka yang memberi tanggapan.
Maka Ban-be-tong-cu lantas meneruskan pula, "Demikian pula banyak persoalan di dunia ini
yang mirip dengan debu ini, mungkin dia selalu sudah melibatkan dirimu, namun kau sendiri tidak
pernah melibatkannya, maka kau selalu mengira persoalan itu hakikatnya tidak pernah ada."
Ditatapnya Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian lekat-lekat, sambungnya pula, "Untunglah sorot
sinar matahari selalu bersinar ke dalam, cepat atau lambat pasti akan menyorot masuk ...."
Dengan kepala tertunduk Hoa Boan-thian dengan mendelong mengawasi setengah mangkuk
sisa buburnya, tanpa bersuara tidak menunjukkan perubahan mimik mukanya. Tapi tanpa
menunjukkan perubahan mimik justru merupakan suatu sikap yang aneh juga dalam pandangan
orang lain. Mendadak dia berdiri, katanya, "Rombongan pertama yang ditugaskan meronda di luar,
sebagian besar adalah anak buahku, aku harus segera membereskan penguburan mereka "
"Tunggu sebentar," seru Ban-be-tong-cu.
"Tongcu masih ada pesan apa?"
"Tidak ada."
"Memangnya harus menunggu apa?"
"Menunggu kedatangan seseorang."
"Menunggu siapa?"

"Seorang yang cepat atau lambat pasti akan datang."
Akhirnya Hoa Boan-thian duduk kembali dengan gerakan kalem, namun dia bertanya juga, "Jika
dia tidak datang?"
"Kita akan menunggunya terus," ujar Ban-be-tong-cu menarik muka. Waktu itu sikapnya
menjadi kereng, berarti persoalan yang menyangkut pembicaraan sudah berakhir. Perdebatan
sudah tidak boleh terjadi pula
Oleh karena itu semua yang hadir duduk pula, diam dan menunggu. Menunggu siapa? Untung
tidak Lama kemudian mereka sudah mendengar suara lari kuda yang mendatangi dengan cepat.
Tak lama kemudian seorang laki-laki berseragam putih sudah berlari masuk memberi lapor
dengan membungkuk badan, "Di luar ada orang mohon bertemu."
"Siapa?" tanya Ban-be-tong-cu.
"Yap Kay," sahut laki-laki itu.
"Hanya dia seorang diri?"
"Ya, hanya seorang diri."
Tiba-tiba tersimpul suatu senyuman aneh menghias muka Ban-be-tong-cu, mulutnya
menggumam, "Ternyata dia betul-betul kemari, cepat benar kedatangannya." Bergegas dia berdiri,
terus melangkah keluar.
Tak tahan Hoa Boan-thian bertanya, "Apakah dia yang Tongcu tunggu?"
Tidak mengakui juga tidak menyangkal, Ban-be-tong-cu malah berkata kereng, "Lebih baik
kalian tetap tinggal di sini saja menunggu aku kembali Kali ini kalian tidak akan lama menunggu,
karena lekas sekali aku sudah akan kembali."
Kalau Ban-be-tong-cu sudah berkata lebih baik kalian menunggu di sini, itu berarti kalian harus
menunggunya sampai dia kembali. Semua orang sudah tahu dan mengerti akan maksud katakatanya.
Mengawasi sinar matahari yang menyorot masuk dari luar jendela, Hun Cay-thian seperti
sedang memikirkan persoalan sulit yang mengganjal hatinya, seolah-olah dia sedang mengunyah
dan menganalisa ucapan Ban-be-tong-cu tadi.
Sementara jari-jari tangan Kongsun Toan terkepal kencang, sorot matanya merah membara
mengandung darah. Hari ini melirik pun Ban-be-tong-cu tidak dan tak mau mengajak bicara
dengan dirinya, kenapa sikapnya berubah sedemikian dingin? Apa sebabnya?
Hoa Boan-thian sebaliknya diam-diam sedang bertanya dalam hati, "Cara bagaimana Yap Kay
bisa mendadak datang ke sini? Untuk apa kedatangannya? Darimana Ban-be-tong-cu bisa tahu
bila pemuda ini bakal datang?
Benak masing-masing dirundung pikiran sendiri-sendiri, tiada seorang pun yang berhasil
memecahkan pertanyaan yang berkecamuk dalam benak masing-masing. Hanya satu orang saja
yang bisa memberi berbagai pertanyaan ini. Sudah tentu orang yang dimaksud bukan mereka
sendiri.
Cahaya matahari cerlang-cemerlang. Yap Kay berdiri di bawah pancaran sinar matahari. Asal
setiap waktu ada sinar matahari, seolah-olah dia selalu berdiri di bawah sinar matahari ini. Sekalikali
dia tidak akan pernah berdiri di tempat yang gelap teraling dari sinar matahari.
Saat itu dia sedang mendongak, mengawasi bendera besar yang melambai-lambai tertiup
hembusan angin padang rumput. Begitu asyiknya dia mengawasi bendera putih ini, seolah-olah
tidak menyadari bahwa Ban-be-tong-cu sudah keluar. Ban-be-tong-cu langsung mendekati, berdiri
di sampingnya. Dia pun menengadah ikut mengawasi bendera putih besar itu. Di tengah bendera
putih besar ini bertuliskan lima huruf besar warna merah segar berbunyi: "Kwan-tang-ban-betong".

Tiba-tiba Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Bendera besar yang megah, entah apakah setiap
hari kalian mengereknya ke atas tiang?"
"Ya, selalu berkibar," sahut Ban-be-tong-cu. Kini perhatiannya dia tumplekkan kepada Yap Kay,
matanya mengawasi setiap perubahan gerak-gerik Yap Kay, begitu cermat dan seksama
pengamatannya.
Akhirnya Yap Kay pun berpaling, balas mengawasinya, katanya pelan, "Untuk mengibarkan
bendera seperti ini di tengah angkasa, tentunya bukan suatu hal yang gampang."
Lama Ban-be-tong-cu berdiam diri, katanya setelah menghirup napas panjang, "Ya, memang
tidak gampang."
"Entah adakah persoalan yang gampang di dunia ini?"
"Hanya satu."
"Membohongi diri sendiri."
Yap Kay tertawa.
Ban-be-tong-cu justru tidak tertawa, katanya tawar lebih lanjut, "Untuk menipu orang
memangnya suatu hal yang sulit dilaksanakan, namun untuk membohongi diri sendiri justru amat
gampang."
"Akan tetapi apa hakikat dari seseorang yang harus membohongi dirinya sendiri?"
"Karena bila seseorang bisa menipu dirinya sendiri, maka hidupnya sehari-hari akan tetap riang
gembira."
"Dan kau? Kau bisa tidak menipu dirimu sendiri?"
"Aku tidak bisa."
"Maka hidupmu selalu tidak pernah senang."
Ban-be-tong-cu tidak menjawab, memang tidak perlu menjawab.
Mengawasi keriput kulit muka orang, sorot mata Yap Kay menampilkan belas kasihan dan
simpati akan penderitaannya.
Keriput itu hasil karya lecutan cambuk yang bertubi-tubi, cambuk yang tercekam dalam
sanubarinya sendiri.
0oo0
Pekarangan di dalam pagar tidak begitu luas, padang rumput di luar justru tak berujung
pangkal luasnya. Kenapa manusia suka hidup mengurung diri di dalam pagar?
Tanpa berjanji secara serempak mereka bergerak memutar badan, pelan-pelan beranjak ke
pintu gerbang.
Langit membiru laksana baru dicuci, cuaca cerah, hawa segar, rumput panjang melambai
menari ditiup angin bergelombang, alam semesta seolah membawa suasana yang serba rawan
dan memilukan.
Selepas mata memandang, Ban-be-tong-cu menghirup napas, katanya mendelu, "Sudah terlalu
banyak orang-orang mati di sini."
"Mereka yang mati adalah orang-orang yang tidak patut menjadi korban."
Ban-be-tong-cu sigap berpaling, sorot matanya setajam aliran listrik, katanya, "Memangnya
siapa yang patut mampus?"
"Ada orang bilang yang harus mampus adalah aku, ada pula yang beranggapan kau, maka ...."
"Maka bagaimana?"

"Maka ada orang menyuruhku kemari membunuhmu."
Ban-be-tong-cu menghentikan langkahnya, mengawasinya lekat-lekat, mimik mukanya tidak
menunjukkan rasa kejut atau keheranan. Seolah-olah hal ini sudah dalam dugaannya.
Beberapa ekor kuda yang terpencar dari rombongannya entah mendatangi darimana, Ban-betong-
cu mendadak mencelat tinggi mencemplak ke punggung kuda, tangannya melambai kepada
Yap Kay, kuda terus dikeprak dengan kencang.
Agaknya dia sudah memperhitungkan Yap Kay pasti akan mengikuti jejaknya. Ternyata Yap Kay
memang mengikutinya.
Tempat itu sudah dekat di ujung langit lereng bukit itu seolah-olah sudah merupakan suatu
alam yang lain dari yang lain. Yap Kay pernah datang ke tempat ini.
Setiap kali hendak membicarakan sesuatu urusan rahasia, Ban-be-tong-cu senang membawa
orang ke tempat ini. Seolah-olah hanya di tempat ini saja baru dia bisa membuka belenggu pagar
yang mengelilinginya.
Bekas bacokan golok Kongsun Toan masih membekas di atas batu nisan. Pelan-pelan Ban-betong-
cu mengelus bekas-bekas bacokan ini, seperti orang yang sedang mengelus bekas bacokan
golok di atas badan sendiri. Entah karena apa setiap kali dia berhadapan dengan batu nisan ini
lantas menimbulkan kenangan peristiwa tragis yang dulu itu?
Lama dan lama sekali, baru dia membalik badan. Hembusan angin sampai di sini, terasa
menjadi seram. Rambut kepala di ujung pelipisnya yang memutih uban terhembus angin
melambai, seolah-olah kelihatan menjadi lebih tua dari usianya. Tapi kedua matanya masih begitu
tajam, Yap Kay ditatapnya lekat-lekat, katanya, "Ada orang menyuruhmu membunuh aku?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Tapi kau tidak ingin membunuhku?"
"Darimana kau tahu?"
"Karena bila kau ingin membunuhku, kau tak akan memberitahu hal ini kepadaku."
Yap Kay mandah tertawa, tidak mengakui dia pun menyangkal.
"Tentunya kau pun sudah tahu," ujar Ban-be-tong-cu lebih lanjut. "Untuk membunuhku bukan
suatu tugas yang gampang dilaksanakan."
Yap Kay menepekur, katanya kemudian, "Kenapa tidak kau tanya kepadaku, siapakah yang
menyuruh aku membunuhmu?"
"Aku tidak perlu bertanya."
"Kenapa?"
"Hakikatnya selama ini aku tidak pernah memandang orang-orang itu dengan sebelah mataku,"
lalu dia menambahkan dengan suara lebih kalem, "banyak orang yang ingin membunuhku, tapi
yang patut kuperhatikan hanya satu orang saja."
"Siapa?"
"Sebenarnya aku sendiri juga belum berkepastian orang itu sebetulnya kau? Atau Pho Angsoat."
"Sekarang kau belum berkeputusan?"
Ban-be-tong-cu manggut-manggut, kelopak matanya mengkeret, katanya pelan-pelan,
"Sebetulnya sejak permulaan aku sudah harus dapat memastikan."
"Jadi kau berpendapat kematian orang-orang itu adalah Pho Ang-soat yang membunuhnya?"
"Bukan."
"Memangnya siapa kalau bukan dia?"

Terpancar derita dari sorot mata Ban-be-tong-cu, pelan-pelan dia bergerak membalik,
memandang lepas ke padang rumput luas nan jauh di sana. Sampai lama dia tidak menjawab
pertanyaan Yap Kay, katanya kemudian dengan suara kereng, "Aku pernah berkata, tempat ini
kuperoleh dari hasil jerih payah memeras keringat dan bercucuran tumpah darah, takkan ada
seorang pun yang bisa merebutnya dari tanganku." Kata-kata ini bukan jawaban.
Yap Kay justru seperti sudah dapat menyimpulkan suatu makna berarti di dalam beberapa
patah katanya itu, maka dia pun tak bertanya lagi.
Langit membiru, di antara warna kebiruan itu seolah-olah membawakan selingan warna abuabu
perak yang sulit dipandang, mirip benar dengan samudra.
Bendera besar yang berkibar di angkasa, dari sini kelihatannya begitu kecil dan terpencil
menyendiri di angkasa sana, huruf yang terpancang di atas bendera sudah tak bisa terbaca lagi.
Memang banyak urusan di dunia ini seperti itu. Jika kau merasakan sesuatu persoalan yang
genting dan berat .1 kibarnya, bila kau menerawang dan menganalisanya dari sudut lain, maka
kau akan mendapatkan serta menyadarinya bahwa urusan itu hakikatnya bukan suatu persoalan
yang harus dipandang serius.
Lama juga tiba-tiba Ban-be-tong-cu berkata pula, "Kau tahu aku punya seorang putri."
Tak tahan hampir saja Yap Kay tertawa geli. Sudah tentu dia tahu llan-be-tong-cu punya
seorang putri.
"Kau pun mengenalnya?" tanya Ban-be-tong-cu.
Yap Kay manggut-manggut, sahutnya, "Aku kenal!"
"Menurut pendapatmu bagaimana putriku itu?"
"Dia baik sekali," sahut Yap Kay, memangnya dia mengenalnya dengan baik sekali. Adakalanya
memang dia mirip putri pingitan yang Iri lalu dimanjakan, namun nuraninya sebetulnya lembut,
bijaksana dan kijik.
Lama pula Ban-be-tong-cu berdiam diri, tiba-tiba dia membalik
menatap Yap Kay pula, katanya, "Apa benar kau menyukainya?"
Seketika Yap Kay menyadari dirinya tertegun melongo oleh pertanyaan ini, sungguh belum
pernah terbayang olehnya Ban-be-tong-cu bakal mengajukan pertanyaan ini.
"Tentu kau merasa heran," kata Ban-be-tong-cu lebih lanjut, "kenapa aku tanyakan hal ini
kepadamu?"
"Memang aku merasa sedikit heran."
"Kutanya kau, karena kuharap kau suka membawanya pergi."
Yap kay melengak, tanyanya menegas, "Membawanya pergi? Membawa kemana?"
"Terserah kemana kau hendak membawanya, ke tempat yang kau sukai, kau boleh
membawanya, apa pun yang ada di sini, bila kau suka boleh membawanya."
Tak tahan Yap Kay bertanya, "Kenapa kau suruh aku membawanya pergi?"
"Karena ... karena dia amat menyukai kau."
Berkilat biji mata Yap Kay, katanya, "Dia menyukai aku, memangnya kami tidak boleh tetap
tinggal di sini?"
Berselimut bayangan gelap pada muka Ban-be-tong-cu, katanya pelan-pelan, "Segera akan
terjadi banyak peristiwa di sini, aku tidak ingin dia terlibat dalam peristiwa ini, karena pada
hakikatnya dia sendiri tiada sangkut-pautnya dengan persoalan ini."
Yap Kay menatapnya bulat-bulat, tiba-tiba menghela napas, ujarnya, "Kau memang seorang
ayah yang baik hati."

"Kau tidak terima anjuranku?"
Tiba-tiba terunjuk mimik aneh pada sorot mata Yap Kay, pelan-pelan dia pun membalik badan
memandang jauh ke padang rumput yang terbentang luas. Dia tidak langsung menjawab
pertanyaan Ban-be-tong-cu, lama kemudian baru bersuara pelan, "Aku pernah bilang, di sinilah
rumahku, jika aku sudah kembali, maka aku tak mau pergi pula."
"Kau tidak terima?" berubah muka Ban-be-tong-cu.
"Aku tidak bisa membawanya pergi, tapi aku juga boleh berjanji kepadamu, peduli peristiwa
apa pun yang terjadi di sini, dia pasti tidak akan terlibat di dalamnya," terpancar sinar terang dari
matanya, dengan kalem dia melanjutkan, "Karena persoalan itu memang tidak bersangkut-paut
dengan dia "
Mengawasi pemuda di hadapannya, mata Ban-be-tong-cu pun memancarkan sinar terang,
tiba-tiba dia tepuk pundak orang, katanya, "Marilah kutraktir kau minum arak "
Arak tergeletak di atas meja. Arak tidak bisa menyelesaikan tekanan batin seseorang, namun
arak justru bisa membantu kau menipu diri sendiri.
Kongsun Toan menggenggam cangkir emasnya, dia sendiri bingung kenapa dia harus minum
arak, sekarang bahwasanya bukan saatnya bagi dia minum arak. Tapi arak ini merupakan cangkir
kelima sejak tadi pagi
Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian tengah menatap kepadanya, bukan saja tidak membujuknya
untuk tidak minum lagi, mereka pun tidak mengiringi dia minum. Bahwasanya mereka dengan
Kongsun Toan memangnya mempunyai suatu jarak tertentu, arak yang membatasi hubungan
mereka, kini jarak itu rasanya semakin jauh.
Mengawasi arak dalam cangkir emasnya, tiba-tiba terketuk sanubari Kongsun Toan, mendadak
terasa olehnya betapa dirinya harus dikasihani, kini dirinya sebatangkara dan kesepian. Dia
mengalirkan darah, mengucurkan keringat, berjuang selama hidup, lalu apa yang dia peroleh
sekarang? Segala hasil jerih payahnya kini menjadi milik orang.
Menipu diri sendiri memangnya terdapat dua cara yang berlainan, pertama adalah menganggap
diri sendiri besar, angkuh dan pongah, cara yang lain adalah diri sendiri harus dikasihani,
bersimpati akan nasibnya sendiri.
Seorang anak laki-laki merunduk masuk secara diam-diam, pakaiannya yang merah menyala,
kucir rambut yang hitam di tengah kepalanya, meski anak inipun putra orang lain, tapi dia amat
menyukainya. Karena bocah inipun amat menyukai dirinya, mungkin hanya bocah ini yang benarbenar
menyukai dirinya di seluruh dunia ini. Diulurkan tangannya memegang pundak si bocah,
katanya dengan tersenyum, "Setan kecil, apakah kau hendak mencuri arak lagi?"
Bocah itu geleng-geleng kepala, tiba-tiba dia bertanya lirih, "Kau ... kenapa kau memukul Samik?"
"Siapa yang bilang?" Kongsun Toan tersentak bangun.
"Sam-ik sendiri yang bilang," sahut bocah itu. "Agaknya dia pun mengadu pada ayahnya, lebih
baik kau hati-hati sedikit."
Membeku muka Kongsun Toan, hatinya pun terasa dingin. Baru sekarang dia mengerti, kenapa
pagi ini sikap Ban-be-tong-cu jauh berlainan terhadap dirinya, tidak seperti biasanya. Sudah tentu
bukan mengerti keseluruhannya, cuma dia merasa dirinya sudah sedikit menyadari. Namun suatu
pengertian yang jauh lebih celaka daripada tidak mengerti sama sekali.
Dia dorong bocah itu serta bertanya, "Dimana Sam-ik?"
"Sudah keluar," sahut si bocah
Tanpa banyak bertanya lagi Kongsun Toan sudah berjingkrak terus menerjang keluar. Gerakgeriknya
mirip benar dengan seekor binatang liar yang terluka.

Hun Cay-thian dan Hoa Boan-thian tetap duduk di tempatnya tanpa bergerak. Karena Ban-betong-
cu menyuruh mereka tinggal dan menunggu di sini. Maka mereka tetap akan menunggu
sampai dia kembali.
Rumput padang ilalang tumbuh subur dan tinggi, bendera besar Ban-be-tong masih berkibar di
kejauhan. Pasir terasa hangat. Pho Ang-soat membungkuk mencomot segenggam pasir kuning ini.
Salju kadang-kadang juga bisa terasa hangat seperti ini bila salju itu berlepotan darah, dia
genggam pasir itu erat-erat, butiran pasir seakan-akan sudah melesak masuk ke kulit dagingnya.
Maka dia pun melihat Sim Sam-nio, bahwasanya dia hanya melihat dua perempuan cantik yang
masih asing baginya.
Mereka menunggang kuda, kuda dilarikan tergesa-gesa, demikian pula sikap mereka kelihatan
gugup dan terburu-buru.
Pho Ang-soat menundukkan kepala. Selamanya dia belum biasa menatap perempuan secara
lekat, hakikatnya dia belum pernah melihat Sim Sam-nio.
Tahu-tahu kedua kuda tunggangan justru berhenti di depannya. Tapi langkahnya tidak berhenti
karenanya, kaki kirinya melangkah ke depan, kaki kanan dengan kaku lalu diseret maju
meninggalkan jalur memanjang di atas pasir. Mukanya ditimpa sinar matahari, namun kulit
mukanya kelihatan mirip ukiran dinding salju di puncak gunung es. Salju yang selamanya tidak
pernah cair meski disinari cahaya matahari.
Tak nyana perempuan di punggung kuda tahu-tahu sudah melompat turun, mencegat di
depannya, Pho Ang-soat tetap tidak berpaling. Dia boleh tidak usah berpaling melihat muka orang.
Tapi kupingnya mau tidak mau harus mendengar ucapan orang. Tiba-tiba didengarnya perempuan
di depannya berkata, "Bukankah kau begitu getol ingin melihatku?"
Seketika sekujur badan Pho Ang-soat mengejang kaku, mengejang kaku karena sekujur
badannya tiba-tiba panas membara seperti dibakar. Dia memang belum pernah melihat muka Sim
Sam-nio, namun sudah sering dan hapal benar dengan suaranya. Di bawah pancaran sinar
matahari, suara ini ternyata masih sedemikian lembut dan hangat seperti di tempat gelap. Jari-jari
tangan yang lembut dan hangat itu, bibir yang basah dan hangat itu, suatu perasaan aneh atau
nafsu yang semanis madu ... semula terasa seperti berada di tempat nan jauh laksana khayalan
belaka. Tapi dalam sedetik ini, segala khayalan dan segala yang diimpi-impikan mendadak
berubah menjadi kenyataan.
Pho Ang-soat menggenggam kencang jari-jarinya, sekujur badannya bergetar lantaran tegang
dan emosi, hampir kepala pun tak berani diangkatnya. Akan tetapi betapa besar hasrat dan
keinginannya untuk melihat wajah perempuan pujaannya ini. Akhirnya dia mengangkat kepala
juga, akhirnya dilihatnya kerlingan mata yang manis dan mempesona, senyuman yang menyedot
sukma. Yang dilihatnya adalah Cui-long.
Orang yang berdiri di hadapannya adalah Cui-long. Dengan senyuman mekar bak bidadari
orang tengah menatap dirinya. Sim Sam-nio sebaliknya seperti orang yang masih asing berdiri di
kejauhan.
"Sekarang kau sudah melihatku!" ujar Cui-long lembut.
Sorot mata Pho Ang-soat yang semula dingin membeku, seketika seperti memancar cahaya
cemerlang yang dipenuhi gairah yang menyala-nyala. Dalam sekejap ini, dia sudah mencurahkan
seluruh perasaan hatinya, terhadap perempuan yang berdiri di hadapannya ini.
Inilah perempuan pertama yang pernah bergaul dengan dia.
Sim Sam-nio masih tetap berdiri di kejauhan tanpa beringsut dari tempatnya, matanya tidak
menampilkan mimik perasaannya Karena relung hatinya hakikatnya tidak dihayati perasaan seperti
dia. Tidak lebih dia hanya melakukan sesuatu yang harus dia lakukan, demi menuntut balas, apa
pun yang harus dan sudah dia lakukan adalah jamak dan pantas dia lakukan. Akan tetapi segala
persoalan sudah berubah sama sekali, kini dia tidak perlu meneruskan peranannya lagi. Dia pun
pantang diketahui hubungan rahasia dirinya dengan Pho Ang-soat, demikian pula Pho Ang-soat

sendiri harus dicegah untuk mengetahui. Mendadak dia merasa perutnya mual seperti hendak
tumpah-tumpah.
Pho Ang-soat masih menatap Cui-long, dengan seluruh perhatian mengawasinya, kulit mukanya
yang pucat sudah bersemu merah.
"Belum puas kau melihatku?" tanya Cui-long tertawa lebar.
Pho Ang-soat tidak menjawab, dia tidak tahu cara bagaimana harus menjawab.
"Baiklah," ujar Cui-long pula, "biarlah kau pandang aku sepuas hatimu."
Perempuan yang pernah berkecimpung di dalam sarang pelacuran, memangnya mempunyai
suatu cara khusus di saat dia bicara berhadapan dengan laki-laki. Gumpalan salju di puncak
gunung pun bisa dibikin cair karenanya.
Tak tertahan akhirnya Sim Sam-nio bersuara, "Jangan lupa saja yang pernah kuberitahukan
kepadamu tadi."
Cui-long manggut-manggut, tiba-tiba menghela napas pelan-pelan, ujarnya, "Sekarang
kubiarkan kau melihatku sepuas hatimu, karena situasi sudah berubah."
"Situasi apa yang berubah?" tanya Pho Ang-soat.
"Ban-be-tong sudah ...." belum habis kata-kata Cui-long, sekonyong-konyong terdengar derap
lari kuda mendatangi.
Seekor kuda menerjang tiba, penunggangnya bertubuh kekar gagah laksana menara, namun
gerak-geriknya selincah kelinci. Waktu kuda meringkik dengan kaki depannya terangkat tinggi,
penunggangnya dengan tangkas sudah melompat turun.
Berubah hebat air muka Sim Sam-nio, dia memburu maju bersembunyi di belakang Cui-long.
Kongsun Toan ikut mengudak datang, tangannya kontan menampar muka Cui-long sambil
membentak bengis, "Minggir!" Namun bentakannya tiba-tiba terputus. Telapak tangannya pun
tidak berhasil menampar muka Cui-long. Sebatang golok mendadak terjulur keluar dari samping
menahan tangannya yang melayang, sarung pedang hitam legam, gagang pedang pun hitam
pekat. Namun jari-jari tangan yang memegangnya justru putih memucat.
Merongkol keluar otot-otot hijau di atas jidat Kongsun Toan, berpaling muka dia melotot
kepada Pho Ang-soat, bentaknya beringas, "Lagi-lagi kau."
"Ya, inilah aku."
"Hari ini aku tidak ingin membunuhmu."
"Hari ini aku pun tidak ingin membunuh kau."
"Kalau begitu lebih baik kalau kau menyingkir."
"Aku justru senang berdiri di sini."
Kongsun Toan mengawasinya, lalu mengawasi Cui-long pula, mimiknya seperti heran,
katanya, "Apakah dia ini binimu?"
"Ya," sahut Pho Ang-soat pendek.
Kongsun Toan mendadak terloroh-loroh, serunya, "Apakah kau tidak tahu bila dia ini seorang
pelacur?"
Mengejang kaku sekujur badan Pho Ang-soat. Pelan-pelan dia mundur dua langkah menatap
Kongsun Toan, kulit mukanya yang pucat seolah-olah mengkilap terang tembus cahaya.
Kongsun Toan masih terkial-kial, seolah-olah selama hidupnya belum pernah dia menghadapi
sesuatu yang paling menggelikan.
Pho Ang-soat sedang menunggu. Jari-jari tangannya yang mencekal pedang pun seolah-olah
sudah mengkilap tembus cahaya. Jalur urat nadi dan jalan darah pada otot tangannya bisa terlihat

dengan jelas. Setelah loroh tawa Kongsun Toan berhenti, sepatah demi sepatah segera dia
menantang, "Cabut golokmu!"
Dua patah kata saja, suaranya enteng, seenteng deru napasnya. Kata-katanya pelan, sepelan
kutukan dari neraka.
Kongsun Toan seketika mengejang pula sekujur badannya, tapi biji matanya justru
memancarkan sinar membara. Katanya sambil menatap Pho Ang-soat, "Apa katamu?"
"Cabut golokmu!" Pho Ang-soat mengulangi tantangannya.
Matahari sudah terik. Pasir bergulung-gulung dihembus angin di bawah terik matahari, udara
cerah dan cahaya matahari nan cemerlang
kelihatan semarak, namun suasana membawa nafsu membunuh yang kejam d m sadis. Di sini,
meski jiwa terus tumbuh dengan subur, namun sembarang w.iktu kemungkinan gugur pula.
Seolah-olah di alam semesta ini segala makhluk di dalamnya seolah-olah saling membunuh secara
kejam, di sini tiada cinta kasih, tiada peri-kemanusiaan.
Jari-jari Kongsun Toan sudah menggenggam gagang goloknya. Golok sabit, gagang perak.
Batang golok yang mengkilap dingin, kini seperti sudah btrubah membara terpanggang di atas
tungku. Telapak tangannya sudah bei keringat, jidatnya pun sudah basah, sekujur badannya
seolah-olah sudah menyala di bawah pancaran terik matahari.
"Cabut golokmu!"
Arak dalam darahnya seakan-akan sedang mengalir di seluruh tubuhnya. Sungguh panas sekali,
serasa sukar ditahan lagi.
Pho Ang-soat tak bergeming di hadapannya, laksana gunung salju yang kokoh dan tak pernah
cair sepanjang tahun. Sebongkah es yang mengkilap tembus cahaya. Terik matahari sepanas ini,
sedikit pun tidak mempengaruhi dirinya. Peduli dimana pun dia berada, selalu seperti berdiri di
puncak salju yang tinggi dan jauh di sana.
Deru napas Kongsun Toan seperti kurang tenteram, sampai dia sendiri pun sudah mendengar
deru napas sendiri.
Seekor kadal pelan-pelan menongol keluar dari balik tumpukan pasir, pelan pelan pula
merambat ke dekat kakinya.
"Cabut golokmu!"
Bendera besar berkibar di kejauhan sana, hembusan angin lalu membawa suara ringkik kuda.
"Cabut golokmu!"
Butiran keringat mengalir turun lewat ujung matanya, terus melesak kedalam jambang-bauknya
yang kaku sekeras jarum, akhirnya membasahi bahu dan punggungnya.
Apakah Pho Ang-soat selamanya tidak pernah berkeringat? Tangannya masih tetap dengan
gayanya memegangi golok.
Sekonyong-konyong Kongsun Toan menggerung laksana singa mengamuk, golok tercabut,
tangan terayun! Sinar golok sabitnya mirip bianglala cepat laksana kilat menyambar, sinar
goloknya membundar. Tahu-tahumenukik balik membacok Hiat-to besar yang terletak di belakang
leher Pho Ang-soat sebelah kiri.
Pho Ang-soat seperti tidak berkelit, juga tidak melawan. Mendadak dia malah menerjang maju.
Sarung golok di tangan kirinya mendadak menahan tajam golok melengkung yang membacok
turun itu. Sementara goloknya sendiri pun sudah tercabut. "Clep!", tiada orang yang dapat
melukiskan suara apakah itu, sampai pun Kongsun Toan sendiri pun tidak tahu suara apa yang
didengarnya itu, sedikit pun dia tidak merasa sakit dan menderita, cuma tahu-tahu terasa isi
perutnya mendadak seperti dipuntir dan mengkeret, serasa hampir muntah. Waktu dia menunduk,
maka dilihatnya ada gagang pedang hitam yang menghiasi perutnya, gagang golok yang
mengkilap. Seluruh batang golok amblas ke dalam perutnya, ketinggalan gagangnya saja.

Selanjutnya dia lantas merasa seluruh kekuatan badannya sirna secara aneh dan ajaib, kedua
kakinya tak kuat lagi menopang berat badannya. Dengan mengawasi gagang golok ini, pelanpelan
dia roboh terjungkal, hanya gagang golok itu saja yang dia awasi, sampai mati pun dia
belum pernah melihat macam apa sebenarnya golok Pho Ang-soat kecuali gagangnya yang hitam
itu.
Pasir kuning dibasahi darah hangat, Kongsun Toan rebah di genangan ceceran darahnya
sendiri. Jiwanya sudah berakhir, kesulitan, penderitaan dan kesengsaraan hidup serta utangpiutangnya
pun sudah berakhir seluruhnya. Tapi bencana yang bakal menimpa orang lain justru
baru saja akan dimulai.
Lohor, matahari semakin terik. Di dalam cuaca seterik ini, begitu darah mengalir, lekas sekali
sudah menjadi kering. Tapi keringat selamanya tidak pernah membeku.
Hun Cay-thian sedang sibuk menyeka keringatnya, sambil menyeka keringat, mulut menenggak
air, agaknya dia seorang yang tidak tahan menderita.
Tidak demikian halnya dengan Hoa Boan-thian, dia justru jauh lebih bisa menahan diri.
Seekor kuda pelan-pelan berlari masuk ke dalam pekarangan besar itu. Seseorang tengkurap di
punggung kuda. Seekor kadal tengah menjilati darah yang membasahi badan orang. Sebatang
golok sabit yang besar terselip miring di pinggangnya, matahari menyinari rambut kepalanya yang
awut-awutan. Kini dia takkan bisa berkeringat lagi.
Sekonyong-konyong, kilat menyambar, guntur pun menggelegar, hujan lebat laksana
ditumpahkan dari langit.
Pendopo besar itu sudah mulai guram, air hujan masih deras bercucuran di luar emperan
seperti kerai mutiara.
Air muka Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian seperti perubahan cuaca yang mendung, dingin
dan gelap.
Dua laki-laki yang basah kuyup menggotong jenazah Kongsun Toan masuk ke dalam pendopo,
lalu membaringkan di atas meja. Tanpa bicara apa-apa diam-diam mereka mengundurkan diri
pula. Melirik pun mereka tidak berani berpaling ke arah Ban-be-tong-cu.
Ban-be-tong-cu berdiri di tempat gelap di belakang pintu angin, bila kilat menyambar baru
terlihat mukanya. Tapi tiada orang yang berani melihat ke arahnya. Pelan-pelan dia duduk di
depan meja, dengan kencang dia pegang tangan Kongsun Toan. Tangan yang kasar, dingin dan
kaku
Dia tidak mengucurkan air mata, namun mimik wajahnya lebih pilu sedih daripada gerung
tangisnya. Biji mata Kongsun Toan melotot keluar, seolah-olah sorot matanya menunjukkan rasa
derita dan ketakutan sebelum ajal. Memang selama hidupnya berkecimpung di dalam suasana
ketakutan, dalam kehidupan yang serba derita dan tertekan, maka selamanya wataknya menjadi
berangasan dan suka marah-marah. Sayang sekali orang-orang hanya melihat lahiriahnya yang
kasar dan suka marah-marah itu, tidak pernah mau menyelami lubuk hatinya yang paling dalam.
Hujan rada mereda, namun cuaca semakin gelap.
Tiba-tiba Ban-be-tong-cu berkata, "Orang ini adalah saudaraku, hanya dia inilah saudaraku
yang sejati."
Entah sedang mengigau atau sedang bicara dengan Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian, namun
dia melanjutkan, "Jika tiada dia, mungkin aku takkan bisa hidup sampai sekarang."

Akhirnya Hun Cay-thian menarik napas panjang, katanya berduka, "Kami tahu dia seorang yang
baik."
"Memang dia seorang baik, tiada orang yang lebih setia seperti dia, tiada orang yang lebih
berani seperti dia, namun selama hayatnya, belum pernah dia mengalami hidup tenteram dan
bahagia."
Hun Cay-thian dan Hoa Boan-thian hanya mendengar saja, kadang-kadang ikut menghela
napas.
Suara Ban-be-tong-cu sudah tersendat pilu, "Dia tidak seharusnya mati, namun sekarang dia
sudah mati."
"Pasti Pho Ang-soat yang membunuhnya," ujar Hun Cay-thian sengit.
Dengan mengertak gigi Ban-be-tong-cu manggut-manggut, lalu ujarnya, "Memang akulah yang
salah terhadapnya, seharusnya aku menerima usulnya, membunuh orang itu lebih dulu."
"Sekarang...."
"Sekarang sudah terlambat, terlambat...."
"Tapi kita lebih tak bisa melepas Pho Ang-soat pergi, kita harus menuntut balas bagi
kematiannya," kata Hun Cay-thian beringas.
"Sudah tentu harus menuntut balas, cuma ...." mendadak Ban-be-tong-ai berseru, sambungnya
dengan bengis, "Cuma sebelum menuntut balas, masih ada urusan yang harus kuselesaikan."
Berkilat sorot mata Hun Cay-thian, tanyanya ingin tahu, "Urusan apa?"
"Kau kemari, biar kujelaskan kepadamu."
Hun Cay-thian segera maju mendekat.
"Aku ingin supaya kau melakukan sesuatu bagiku."
"Silakan Tongcu katakan!"
"Aku ingin kau mampus!" tiba-tiba tangannya terbalik, tahu-tahu golok sabit Kongsun Toan
sudah disambarnya, dimana sinar golok berkelebat, secepat kilat tahu-tahu sudah menyambar ke
arah Hun Cay-thian.
Tiada orang yang dapat menggambarkan kecepatan dari sambaran golok ini, tiada orang akan
menduga secara tiba-tiba dia turun tangan terhadap Hun Cay-thian. Dan anehnya, Hun Cay-thian
sendiri justru seperti sudah berjaga-jaga akan serangan ini.
Dimana sinar golok berkelebat, badan Hun Cay-thian serempak
melejit naik, dengan gaya mendorong jendela memandang rembulan mega terbang, badannya
bersalto ke belakang. Maka darah pun seketika beterbangan muncrat kemana-mana. Meski tinggi
Ginkangnya dan cepat pula reaksinya menghadapi perubahan yang mendadak ini, sayang dia
masih kalah cepat dari sambaran golok Ban-be-tong-cu. Ternyata pergelangan tangan kanannya
sudah tertabas kutung oleh tabasan golok. Kutungan tangannya dengan darah berceceran jatuh
ke atas lantai.
Namun Hun Cay-thian sendiri ternyata tidak terjungkal roboh. Seorang tokoh kosen dari Bu-lim
yang sudah berpengalaman tempur ratusan kali sekali-kali takkan gampang dibikin roboh secara
gampang.
Punggungnya membelakangi dinding, mukanya sudah pucat-pias, sorot matanya penuh diliputi
rasa heran dan ketakutan. Ban-be-tong-cu tidak menyerangnya lebih lanjut, dia tetap duduk
tenang di tempatnya, dengan nanar dia mengawasi ujung golok di tangannya yang berlepotan
darah.

Hoa Boan-thian ternyata tetap berada di tempatnya mengawasi kejadian ini dengan sikap
dingin acuh tak acuh, tak kelihatan perubahan mimik mukanya. Asal golok itu bukan membacok
kutung tangannya, dia tidak perlu banyak peduli.
Lama juga baru Hun Cay-thian bisa buka suara, katanya dengan mengertak gigi, "Aku tidak
mengerti, aku ... sungguh aku tak mengerti."
"Kau harus tahu," dingin suara Ban-be-tong-cu. Kepalanya terangkat mengawasi lukisan
rombongan kuda yang berlari di atas dinding, katanya lebih lanjut, "Tempat ini memangnya
milikku, siapa pun yang ingin merebutnya dari tanganku, maka dia harus mampus!"
Lama Hun Cay-thian berdiam diri, tiba-tiba menghela napas, katanya, "Kiranya kau sudah tahu
seluruhnya."
"Sudah lama aku tahu."
"Agaknya terlalu rendah penilaianku terhadap kau," Hun Cay-thian tertawa getir.
"Aku toh sudah pernah bilang, banyak urusan di dunia ini mirip dengan debu, meski sudah
berada di sampingmu, namun selamanya tidak pernah kau melihatnya, demikian pula aku tidak
pernah jelas mengenal dirimu."
Berkerut-kerut kulit muka Hun Cay-thian, keringat dingin bercucuran, katanya setelah tertawa
getir, "Akan tetapi sinar matahari cepat Uiu lambat toh pasti menyorot masuk." Meski muka
tertawa, namun mimiknya lebih jelek, lebih tersiksa dari orang yang sedang menangis.
"Sekarang kau sudah mengerti bukan?" tanya Ban-be-tong-cu.
"Aku sudah mengerti," sahut Hun Cay-thian.
Sambil mengawasi orang, tiba-tiba Ban-be-tong-cu menghela napas, ujarnya, "Tidak
semestinya kau mengkhianati aku, seharusnya kau sudah mengerti akan martabatku."
Tiba-tiba tersimbul senyuman aneh di muka Hun Cay-thian, katanya, "Meski aku mengkhianati
kau, akan tetapi ...." Dia tidak menyelesaikan kata-katanya ini. Baru saja sorot matanya beralih
kepada Hoa Boan-thian, pedang Hoa Boan-thian tahu-tahu sudah menembus dadanya,
memanteknya di atas dinding.
Selamanya dia takkan punya kesempatan mengeluarkan isi hati yang ingin diutarakan. Pelanpelan
Hoa Boan-thian mencabut pedangnya. Pelan-pelan Hun Cay-thian melorot jatuh.
Setiap orang cepat atau lambat pasti akan roboh juga. Meski betapapun jaya, gagah dan
menyolok waktu dirinya hidup, di saat dia roboh kelihatannya tiada bedanya dengan manusia
umumnya.
0oo0
BAB 15. BUNGA BETERBANGAN DI ANGKASA
Darah yang bertetesan di ujung pedang sudah membeku kering. Pelan-pelan Hoa Boan-thian
membalik badan mengawasi Ban-be-tong-cu, Ban-be-tong-cu pun sedang mengawasi dia, katanya
tawar, "Kau membunuhnya!"
"Karena dia mengkhianati kau."
"Sekarang kau pun sudah mengerti?"
"Aku tidak mengerti, aku hanya tahu orang yang mengkhianati kau harus mati!"
"Apa kau tahu cara bagaimana dia mengkhianati aku?"
"Aku ingin bisa tahu."
"Buyung Bing-cu, Loh Loh-san, mereka adalah dia yang mengundangnya.''

Muka Hoa Boan-thian menampilkan rasa kaget, teriaknya tertahan, "Bagaimana bisa dia yang
mengundangnya? Memangnya apa hubungan kedua orang ini dengan dia?"
"Tidak punya hubungan apa-apa."
"Kalau tidak punya hubungan, kenapa mengundang mereka kemari? Aku tidak paham." Dua
buah pertanyaan yang bodoh sekali. Biasanya Hoa Boan-thian bukan orang yang bodoh.
Tapi Ban-be-tong-cu seperti tidak memperhatikan, memangnya dia tidak biasa menjawab
pertanyaan bodoh orang lain. Tapi kali ini dia justru menjawabnya.
"Justru karena mereka memang tidak punya hubungan dengan dia, maka dia mengundangnya
kemari."
"Untuk apa mengundang mereka kemari?"
"Untuk membunuh orang."
"Membunuh orang? Membunuh siapa?"
Ban-be-tong-cu menggenggam golok sabit katanya kalem, "Para saudara yang terbunuh dalam
dua hari belakangan ini, adalah buah karya mereka."
Hoa Boan-thian berjingkat kaget, serunya, "Mereka yang membunuh? Bukan Pho Ang-soat?"
Ban-be-tong-cu geleng-geleng, sahutnya dingin, "Pho Ang-soat hanya ingin membunuh satu
orang saja."
Umpama Hoa Boan-thian memang seorang bodoh, dia takkan bertanya lebih lanjut, sudah
tentu dia sudah tahu siapa yang hendak dibunuh oleh Pho Ang-soat.
"Akan tetapi, mengapa Hun Cay-thian mengundang orang-orang itu untuk membunuh para
saudara itu?"
"Karena dia hendak memaksa atau mendesakku meninggalkan tempat
ini."
Berkerut alis Hoa Boan-thian, "Memaksamu pergi?"
"Jika aku pergi, bukankah tempat ini menjadi miliknya?"
Hoa Boan-thian menghela napas, katanya, "Seharusnya dia menyadari kau bukan orang yang
bisa digertak pergi begitu saja."
"Tapi dia pun tahu bahwa aku mempunyai seorang musuh lihai yang tangguh, apa yang dia
lakukan tidak lain hanya supaya aku menyangka musuh besarku itu sudah meluruk datang."
Terunjuk senyuman sinis di ujung bibirnya, lalu menyambung, "Memang hampir saja aku percaya
waktu peristiwa itu terjadi."
"Kejadian apa pula yang membuat kau mulai curiga?"
"Meski rencananya matang dan teliti, toh dia salah memperhitungkan suatu hal."
"O, hal apa?"
"Sudah tentu dia takkan menduga musuh besarku yang tulen itu meluruk datang juga
bertepatan dengan kejadian malam itu."
"Memangnya suatu kejadian yang amat kebetulan."
"Kedatangan Pho Ang-soat memang bukan secara kebetulan."
"Bukan dia?"
"Dan lantaran dia tahu Hun Cay-thian mempunyai rencananya ini, maka dia lantas kemari
hanya bila Ban-be-tong terjadi sesuatu peristiwa yang merubah susana saja, baru dia mempunyai
kesempatan yang betul-betul baik "

"Cara bagaimana pula dia bisa tahu akan rencana Hun Cay-thian?"
Terpancar rasa tersiksa pada sorot mata Ban-be-tong-cu, lama juga baru dia berkata, "Karena
Sim Sam-nio sebenarnya adalah komplotan mereka."
Kelihatannya Hoa Boan-thian amat tercengang, katanya, "Tapi bagaimana pula Sim Sam-nio
bisa tahu akan hal ini?"
"Karena Cui-long pun orang kepercayaan mereka."
"Cui-long?"
"Cui-long berhasil dipelet, melalui Cui-long sebagai kusir untuk menyambung berita pulang
pergi, di luar tahunya bahwa Cui-long sekaligus juga membocorkan berita itu kepada Sim Samnio."
Hoa Boan-thian menarik napas panjang, katanya, "Agaknya bila laki-laki terlalu mempercayai
perempuan, usaha besar apa pun yang tengah dirintisnya pasti akan gagal total."
"Dia salah menilai Cui-long, dia pun salah menilai Hwi-thian-ci-cu."
"Waktu itu siapa pun takkan menduga bahwa Hwi-thian-ci-cu adalah orang yang kau undang."
"Oleh karena itu maka rahasia mereka seluruhnya ketahuan oleh Hwi-thian-ci-cu."
"Oleh karena itu pula maka Hwi-thian-ci-cu harus mati."
"Benar, tentunya dia terbunuh oleh Buyung Bing-cu untuk menyumbat mulutnya."
"Tapi kenapa Buyung Bing-cu sendiri akhirnya pun jadi korban?"
"Sebelum menemui ajalnya tentu Hwi-thian-ci-cu berhasil memegang suatu bukti, dan bukti itu
pasti dia dapat dari badan Buyung Bing-cu."
Hoa Boan-thian manggut-manggut, dia pun teringat jari-jari Hwi-thian-ci-cu waktu itu
tergenggam dengan kencang dan kaku.
"Sudah tentu Hun Cay-thian tidak pernah memperhatikan jari-jari Hwi-thian-ci-cu, karena hanya
dia yang tahu siapa yang membunuh Hwi-thian-ci-cu."
"Tapi tidak pernah terpikir olehnya bahwa ada orang lain yang memperhatikan jari itu, malah
bukti penting yang tergenggam oleh jari tangan itu diambilnya."
"Dia kuatir orang berhasil menyelidiki hubungan antara mereka, maka Buyung Bing-cu harus
dibunuhnya untuk menutup mulutnya."
"Sungguh tak terkira ternyata dia seorang yang kejam dan culas."
"Sekarang kau sudah paham seluruhnya."
"Masih ada dua hal aku kurang mengerti."
"Kau boleh bertanya."
"Loh Loh-san adalah angkatan tua dari Bu-lim yang kenamaan, Buyung Bing-cu adalah putra
hartawan kaya raya turun temurun, dengan kedudukan dan tingkat mereka, masakah begitu
gampang terima diundang untuk diperalat orang lain?"
"Sudah lama Buyung Bing-cu mengiler dan mengimpikan dapat mengangkangi usaha besar
Ban-be-tong, dengan berbagai daya-upaya dia ingin merebutnya, seseorang bila timbul rasa tamak
dan loba, maka dengan
mudah dia diperalat orang lain tanpa dia sendiri sadar bila dirinya sudah menjadi budak."
Hoa Boan-thian menggut-manggut, ujarnya, "Orang yang semakin kaya semakin kikir dan
tamak, hal ini aku cukup tahu, namun ... Loh Loh-san cara bagaimana pula bisa tertarik oleh
pancingan mereka?"

Sebentar Ban-be-tong-cu menepekur, katanya kemudian pelan-pelan, "Bukan dia yang
mengundang Loh Loh-san kemari."
"Bukan dia, memangnya siapa?"
"Memangnya Hun Cay-thian bukan biang keladi dalam rencana jangka panjang ini."
"O, lalu siapa?"
"Kemarin malam, Loh Loh-san, Buyung Bing-cu, Pho Ang-soat dan Hwi-thian-ci-cu, semua
menyekap diri di dalam kamar masing-masing, tapi tiga belas saudara dari istal bagian kuasamu
menjadi korban."
"Waktu itu aku mengira Yap Kaylah yang turun tangan menangani mereka."
"Memangnya pembunuh itu sengaja hendak menimpakan bencana ini kepada Yap Kay, tak
nyana ada orang yang membuktikan alibi Yap Kay waktu itu."
"Kau kira Hun Cay-thian pembunuhnya?"
"Bukan dia."
"Kenapa bukan?"
Ban-be-tong-cu menarik muka, katanya, "Aku cukup mengenal baik ilmu silatnya, demikian pula
sampai dimana taraf kepandaian tiga belas saudaranya yang menjadi korban itu, mengandal
tenaganya seorang tidak begitu gampang dalam waktu sesingkat itu membereskan mereka."
Sikap Hoa Boan-thian ikut prihatin, katanya, "Maka kau mengira di belakang tabir peristiwa ini
pasti ada seorang lain pula yang menjadi biang keladinya."
"Dugaanku tidak akan salah."
"Kau kira orang itulah biang keladi yang sesungguhnya?"
"Benar."
"Kau tahu siapa dia?"
Ban-be-tong-cu tidak menjawab secara langsung, katanya pelan-pelan, Pertama, hubungan
orang ini dengan Loh Loh-san pasti amat mendalam dan intim sekali, maka Loh Loh-san baru bisa
terbujuk olehnya untuk melakukan persekongkolan ini."
Hoa Boan-thian manggut-manggut, ujarnya, "Ya, masuk akal."
"Kedua, kedudukan orang ini pasti cukup tinggi di Ban-be-tong."
"Darimana kau bisa menyimpulkan hal ini?"
"Karena dia mempunyai kedudukan yang tinggi, setelah berhasil memaksaku lari, baru dia bisa
memegang tampuk pimpinan di Ban-be-tong."
Kembali Hoa Boan-thian tenggelam dalam alam pikirannya, akhirnya dia manggut-manggut,
katanya, "Ya, masuk akal juga."
"Tentunya dia pula seorang yang biasanya amat dipatuhi oleh Hun Cay-thian, maka Hun Caythian
baru mau diperintah olehnya."
"Masuk akal pula."
Semakin kereng sikap Ban-be-tong-cu, "Keempat sudah tentu dia pula orang yang amat
dipercaya dan dijunjung sebagai pimpinannya oleh ketiga belas orang korban itu, justru karena
mereka tidak bersiaga dan berjaga-jaga, maka dengan mudah jiwa mereka dihabisi tanpa mereka
menyadari elmaut sedang mengintip jiwa mereka."
Tiba-tiba Hoa Boan-thian tertawa, tawa yang aneh sekali, katanya pelan-pelan, "Justru karena
hubungannya intim dengan Loh Loh-san, maka di hadapan orang dia sengaja berpura-pura saling

membenci dan sebal, supaya orang lain tidak pernah menduga adanya ikatan erat di antara
mereka."
"Ya, begitulah."
"Kini tinggal sebuah hal masih belum sempat mengerti."
"Kau masih boleh bertanya."
Hoa Boan-thian menatapnya bulat-bulat, tanyanya, "Semua kenyataan ini apakah hasil dari
kesimpulan sendiri?"
"Bukan seluruhnya."
"Jadi ada orang yang membocorkan rahasia kepadamu?"
"Benar!"
"Siapa orang itu?"
"Cui-long."
"Lagi-lagi dia?" Hoa Boan-thian mengerut kening.
Tiba-tiba Ban-be-tong-cu tertawa, katanya tawar, "Hun Cay-thian mengira Cui-long sudah
patuh dan bertekuk lutut kepadanya, demikian pula Sim Sam-nio mengira Cui-long amat setia
kepadanya, di luar tahu mereka
Tak tertahan Hoa Boan-thian menukas, katanya, "Mereka semuanya salah hitung."
"Mereka sama-sama salah, kesalahan itu amat menggelikan "
"Bahwasanya Cui-long adalah orangmu?"
"Juga bukan."
"Lalu siapakah dia sebenarnya ...."
Ban-be-tong-cu balas menukas, katanya, "Kau kan tahu api profesinya?"
Terujuk rasa benci dan muak pada air muka Hoa Boan-thian, katanya dingin, "Sudah tentu aku
tahu, dia adalah pelacur."
"Kapan kau pernah mendengar seorang pelacur pernah setia terhadap seseorang?"
"Benar seseorang bila dia toh rela menjual dirinya sendiri, sudah tentu tidak akan segan-segan
menjual diri orang lain."
"Cuma kelihatannya dia sih bukan manusia seperti yang kau kira."
Tiba-tiba Hoa Boan-thian tertawa, ujarnya, "Soal ini jadi memben suatu pengajaran kepadaku."
"Pengajaran apa?"
"Pelacur tetap pelacur, meski dia cantik rupawan laksana bidadari dia tetap adalah pelacur."
"Agaknya kau jarang mengeluarkan omongan sekasar ini."
"Bukan saja hari ini terlalu banyak omong kasar, aku pun terlalu bodoh dalam bicara."
"Tentunya kau sudah paham seluruh persoalannya?"
"Apakah sekarang sudah terlambat "
"Agaknya memang sudah terlambat."
Hoa Boan-thian tertindak, katanya setelah menepekur beberapa saat lamanya, "Musuhmu yang
sesungguhnya apa benar Pho Ang-soat?"
"Tidak akan salah!"
"Aku bisa mewakilkan kau membunuhnya."

"Kau tidak akan mampu membunuhnya."
"Paling tidak aku bisa menyumbangkan sedikit tenagaku kepada kau '
"Tidak perlu."
"Sekarang Kongsun Toan dan Hun Cay-thian sudah mati, kalau kau pun membunuh aku,
bukankah kedudukanmu bakal terpencil?"
"Itu urusanku sendiri."
Kembali Hoa Boan-thian menepekur agak lama, katanya kemudian dengan menghela napas,
"Terhitung sudah puluhan tahun aku berkerja kepadamu."
"Enam belas tahun."
"Dalam enam belas tahun ini, aku pun pernah mengucurkan darahku bagi tempat ini,
mengalirkan keringat bagi kepentinganmu."
"Daerah ini bisa sesubur, sejaya dan semakmur sekarang, memangnya bukan hasil tenaga satu
orang untuk membangunnya."
"Kali ini paling-paling aku hanya ingin memaksamu menyingkir ke tempat jauh, hakikatnya tiada
maksud jahat hendak membunuhmu."
"Pohon besar di tengah pekarangan itu, tentunya kau masih pernah melihatnya."
Hoa Boan-thian manggut-manggut.
"Beberapa tahun belakangan ini, dia tumbuh dengan cepat dan subur, tumbuh dengan baik."
Terunjuk rasa rawan pada sorot mata Hoa Boan-thian, katanya kalem, "Waktu aku datang,
pohon itu belum lagi setinggi pagar, sekarang dua orang pun takkan bisa memeluknya!"
"Tapi bila kau hendak memindahkan ke tempat lain, dia pasti akan lekas menjadi kering dan
layu."
Hoa Boan-thian hanya diam sebagai jawaban.
"Demikian pula diriku, mirip dengan pohon tua itu, akarku sudah tumbuh dengan kokoh kuat di
daerah ini, kalau ada orang ingin aku pergi dari sini, aku pun akan mati kering dan layu."
Terkepal kedua jari-jari Hoa Boan-thian, "Karena itu ... karena itu kau ingin aku mati."
Ban-be-tong-cu berkata sambil mengawasinya, "Kau sendiri yang bilang, siapa pun yang
berkhianat terhadapku, maka dia harus mampus."
Mengawasi jari-jari tangannya yang mencekal pedang, Hoa Boan-thian menghela napas
panjang, ujarnya, "Ya, memang aku pernah bilang begitu."
"Sebetulnya aku bisa memaksa kau untuk berduel dengan Pho Ang-soat."
"Aku pun pasti akan menerima perintahmu."
"Tapi aku lebih senang turun tangan sendiri, sekali-kali aku tidak akan rela membiarkan orang
lain membunuhmu," kata Ban-be-tong-cu tandas, "karena kau adalah kerabat Ban-be-tong, karena
kau pun adalah sahabat baikku."
"Aku... aku mengerti."
"Baik sekali kalau kau mengerti."
"Sekarang aku hanya ingin bertanya sepatah kata pula."
"Silakan berkata."
Mendadak Hoa Boan-thian mengangkat kepala mengawasinya, katanya bengis, "Puluhan tahun
aku berjuang banting tulang, sampai sekarang apa yang berhasil kuperoleh, tidak lebih seperti

budak yang harus tunduk dan kau perintah seenakmu sendiri, jika kau menjadi aku, mungkinkah
kau pun akan berbuat seperti apa yang kulakukan sekarang?"
Tanpa berpikir Ban-be-tong-cu segera menjawab, "Pasti akan kulakukan, cuma ...." Terpancar
sinar terang setajam pisau dari biji mata Ban-be-tong-cu, "Jika perbuatanku kurang hati-hati,
rahasiaku ketahuan oleh orang, kau pun akan mati dengan meram tanpa menyesal."
Hoa Boan-thian balas mengawasinya, mendadak dia mendongak dan bergelak tertawa,
katanya, "Bagus, mati dengan meram tanpa menyesal apa segala, sayang sekali aku belum tentu
pasti akan mati di tanganmu." Pedang panjang di tangannya segera terayun, kembang pedangnya
laksana kuntum kembang beterbangan menari-nari di tengah udara, bentaknya beringas, "Asal
kau dapat membunuhku, aku pun akan mati dengan tenteram."
"Baik sekali, memang itulah ucapan seorang laki-laki sejati."
"Kenapa tidak segera kau bangkit dari tempat dudukmu."
"Duduk di sini aku pun tetap bisa membunuhmu."
Gelak tawa Hoa Boan-thian sudah terhenti, otot-otot hijau di punggung tangannya yang
mencekal pedang sudah merongkol keluar saking kencang dan tegangnya. Ban-be-tong-cu
sebaliknya masih tetap duduk di tempatnya dengan adem-ayem, tenang-tenang mengawasi golok
di tangannya.
Melirik pun tidak kepada Hoa Boan-thian. Seluruh darah daging sekujur badannya tiba-tiba
berubah melengkung laksana besi baja.
Hoa Boan-thian menatapnya, selangkah demi selangkah mendesak maju, ujung pedangnya
bergertar keras, jari-jari tangannya yang mencekal pedang mulai goyah dan lengan pun ikut
gemetar. Sekonyong-konyong mulutnya menghardik, sinar pedangnya berubah laksana pelangi,
seketika badannya mencelat terbang. Badan bersama pedangnya laksana kilat menerjang... keluar
jendela.
Ban-be-tong-cu menghela napas panjang, katanya, "Sayang ...." Baru dua patah katanya, tibatiba
badannya pun sudah mencelat terbang. Golok melengkung berubah laksana bianglala perak,
"Ting", golok dan pedang beradu. Sinar golok tiba-tiba membundar miring terus bergerak menyisir
batang pedang mengiris ke depan.
Hoa Boan-thian adalah seorang ahli pedang, betapa cepat gerak perubahan ilmu pedangnya, di
jagat ini jarang ada tandingannya Tapi kali ini baru dia betul-betul menyadari segala gerak
perubahannya ternyata sudah terkunci buntu dan mati kutu oleh gerakan lawan lebih dulu. Apalagi
badannya sedang terapung di tengah udara, di saat tenaganya menjelang habis dan tenaga baru
yang dia kerahkan belum lagi bekerja. Dalam waktu sesingkat itu, sinar golok yang menyilaukan
mata tahu-tahu sudah menutup mukanya, menyumbat pernapasannya.
Tiba-tiba dia merasa dingin, dingin menakutkan. "Jika kau berani berduel dengan aku, sungguh
aku bisa mengampuni jiwamu", itulah kata-kata terakhir Ban-be-tong-cu yang masih sempat dia
dengar.
Kilat dan guntur sudah berhenti, namun cuaca semakin gelap.
Kembali Ban-be-tong-cu duduk tenang-tenang di tempatnya semula, kelihatannya seolah-olah
amat letih, juga sedih dan risau. Di hadapannya terbaring jenazah Kongsun Toan, Hun Cay-thian
dan Hoa Boan-thian.
Sebetulnya mereka bertiga adalah teman-teman karibnya yang terdekat, pembantu yang paling
boleh diandalkan tenaganya, kini sudah menjadi mayat yang tak berjiwa dan tak berperasaan lagi,
tak ubahnya seperti mayat-mayat orang lain yang tidak dia kenal sebelumnya.
Tapi orang yang masih hidup tidak mungkin tidak mempunyai perasaan. Memangnya siapa
yang bisa mengerti perasaannya, perasaan hati orang tua yang sudah kenyang berkecimpung
dalam perjuangan hidup. Sebetulnya apa saja yang pernah dia miliki? Sekarang apa pula yang
masih tersisa?

Darah yang berlepotan di atas dinding pun sudah kering, tetesan darah baris demi baris seperti
sebuah gambar berwarna yang sengaja dibubuhkan di atas dinding.
Dua orang dengan langkah merunduk melongok ke dalam, melihat keadaan dalam pendopo
besar, seketika mereka menahan napas. Ban-be-tong-cu tidak bergeming, lama kemudian baru dia
berseru, "Perintahkan ke seluruh Ban-be-tong, semua saudara diharuskan berkabung dan tidak
boleh makan barang berjiwa tiga hari, siapkan pula segala keperluan untuk membereskan jenazah
Hoa-siangcu dan Hun-siangcu beserta Kongsun Toan.
* * *
BAB 16. SEKALI MASUK JARANG HARAP PULANG
Di tengah-tengah padang rumput terdapat sebuah kapel peristirahatan minum teh. Para
pengembala kuda suka menamakan tempat ini sebagai sarang tenteram, bahwasanya tempat ini
tidak lebih dibangun dari rumput alang-alang yang sederhana sekali.
Tapi di sekeliling padang rumput ini, hanya tempat ini saja satu-satunya tempat yang bisa
untuk berteduh dari teriknya matahari dan hujan bayu.
Begitu hujan mulai turun, Yap Kay dan Be Hong-ling sudah berlari masuk ke sarang tenteram
ini untuk berteduh dari curahan air yang tumpah dari langit
Hujan deras. Titik air selebat butiran mutiara yang berderet-deret berhamburan dari langit.
Padang ilalang nan luas tak berujung pangkal, kelihatannya seperti dunia impian belaka.
Be Hong-ling duduk di bangku panjang di samping teko air teh, kedua tangannya memeluk
lutut, dengan mendelong mengawasi padang rumput yang diterpa hujan.
Sudah lama dia tidak bicara. Bila perempuan tidak bicara, biasanya Yap Kay juga tidak
mengusiknya supaya dia buka suara. Selamanya dia berpendapat bila perempuan jarang
berbicara, maka laki-laki pasti berumur sedikit lebih panjang umur.
Sinar kilat menyinari wajah Be Hong-ling. Air mukanya jelek sekali, terang lantaran kurang
tidur, dan dilihat gelagatnya seperti dirundung banyak persoalan yang mengganjal sanubarinya.
Tapi air muka seperti ini kelihatannya malah berubah lebih matang, lebih tahu banyak urusan.
Yap Kay menuang secawan teh, sekaligus dia tenggak habis, dia harap yang terisi di dalam teko
air teh ini adalah air kata-kata. Sebetulnya dia bukan setan arak, hanya di kala hatinya riang atau
di saat hatinya bebal dan nsau baru dia ada hasrat minum arak. Sekarang hatinya sedang
mendelu, pikiran sedang pepat. Sekarang tiba-tiba dia ingin minum arak.
Be Hong-ling mengangkat kepala memandangnya sekejap, katanya tiba-tiba, "Biasanya ayahku
menentang kita berhubungan."
"O, lantas?"
"Tetapi hari ini dia justru menyuruh aku mengajakmu keluar bertamasya."
Yap Kay tertawa, ujarnya, "Memang orang giliran yang tepat, sayang waktunya yang tidak
benar."
Be Hong-ling menggigit bibir, katanya, "Apa kau tahu kenapa mendadak dia berubah haluan?"
"Tidak tahu."
"Pagi hari ini," kata Be Hong-ling pula menatapnya, "tentu kau sudah banyak bicara dengan
dia."

Yap Kay tertawa tawar, ujarnya pula, "Tentunya kau sudah tahu dia bukan laki-laki yang suka
cerewet, demikian pula aku."
Be Hong-ling tiba-tiba berjingkrak bangun, katanya keras, "Kalian pasti banyak membicarakan
apa-apa yang tidak ingin kuketahui, kalau tidak, kenapa kau tidak mau memberitahu kepadaku."
Yap Kay menepekur sebentar, katanya kalem, "Betulkah kau ingin supaya aku memberitahu
kepadamu?"
"Sudah tentu betul."
"Kalau aku bilang dia ingin kau kawin dengan aku, kau percaya tidak?"
"Sudah tentu tidak percaya."
"Kenapa tidak percaya?"
'Aku ...." mendadak Be Hong-ling membanting kaki, membalik badan, serunya, "Hatiku sedang
kusut, kau masih menggodaku."
"Kenapa hatimu kusut?"
"Aku pun tidak tahu, kalau aku tahu, hatiku takkan bingung seperti ini."
"Kedengarannya ucapanmu ini amat janggal dan lucu, namun masuk akal juga "
"Memang kenyataan demikian," seru Be Hong-ling uring-uringan, tiba-tiba dia berputar
menghadap Yap Kay pula, katanya, "Apa selamanya kau tidak pernah bingung?"
"Jarang sekali."
"Masakah selamanya kau tidak pernah tergerak hatimu?"
"Jarang sekali."
"Kau ... terhadapku kau pun tidak tergerak hatimu?"
"Pernah tergerak," jawaban yang gamblang dan terus terang.
Be Hong-ling justru seperti amat kaget, mukanya merah terus
menunduk, dengan keras dia kucek-kucek ujung bajunya, lama juga baru dia menghela napas,
katanya, "Saat seperti ini, di tempat seperti ini pula, jika benar kau menyukai aku, sejak tadi kau
seharusnya sudah memelukku, mencium aku."
Yap Kay tidak memberi reaksi, kembali dia menuang secawan the panas.
Setelah menunggu sekian lamanya, tak tahan Be Hong-ling merengek lagi, "Ehm, apa yang
kukatakan sudah kau dengar tidak?"
"Tidak"
"Memangnya kau tuli?"
"Bukan."
"Tidak tuli kenapa tidak mendengar?"
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Karena meski aku ini bukan tuli, namun aku seorang
bodoh, laki-laki linglung."
Be Hong-ling mengangkat kepala melotot kepadanya, mendadak dia menubruk maju serta
memeluknya dengan kencang. Begitu kencang pelukannya sampai terasa deru napasnya memburu
sesak.
Hujan bayu masih deras di luar, hawa semakin dingin, namun badan Be Hong-ling justru
semakin hangat, lemas-lunglai tapi serba kekeringan. Demikian pula bibirnya kering dan panas.
Jantungnya justru berdebar keras sekeras hujan bayu yang tumpah di padang rumput.

Pelan-pelan Yap Kay justru mendorongnya. Di saat-saat seperti ini, Yap Kay justru
mendorongnya.
Be Hong-ling melotot, mendelik dengan amarah menyala, sekujur badannya seolah-olah
berubah kejang. Dengan kencang dia menggigit bibir, seperti hendak menangis, katanya, "Kau ...
kau sudah berubah."
"Aku tidak akan bisa berubah," sahut Yap Kay lembut.
"Terhadapku dulu kau tidak seperti ini."
Yap Kay tenggelam dalam alam pikirannya, lama juga baru dia menghela napas, ujarnya,
"Mungkin karena sekarang aku lebih memahami dirimu daripada sebelum ini."
"Apaku yang kau pahami!"
"Bahwasanya kau tidak menyukaiku sepenuh hati."
"Aku tidak menyukaimu sepenuh hati? Aku ... memangnya aku sudah
gila?"
"Apa yang kau lakukan terhadapku, tidak lebih karena kau takut "
"Takut apa?"
"Takut kesepian, takut sebatangkara, sejak mula kau sudah dibayangi perasaan minder, kau
kira tiada seorang pun di dunia ini yang betul-betul memperhatikan dirimu."
Mendadak merah membara biji mata Be Hong-ling, kepala tertunduk, katanya pelan-pelan,
"Umpama kata keadaanku benar seperti yang kau katakan, maka kau harus lebih baik
terhadapku."
"Cara bagaimana aku harus bertindak baru kau anggap sikapku baik terhadap kau? Memelukmu
dan menciumimu di saat-saat tiada orang lain seperti saat ini? Melakukan ...." belum selesai katakatanya,
mendadak Be Hong-ling melayangkan telapak tangannya menampar pipinya sekuatkuatnya.
Begitu keras tamparan ini sampai telapak tangannya sendiri terasa panas dan
kesemutan. Tapi Yap Kay justru seperti tidak merasakan apa-apa, dengan tawar dia
mengawasinya, mengawasi air matanya bercucuran.
Dengan air mata bercucuran Be Hong-ling mengumpat sengit, "Kau bukan manusia, baru
sekarang aku tahu hakikatnya kau ini bukan manusia, aku benci kepadamu, membencimu sampai
kau mampus ...." Sembari berteriak-teriak dia berlari lintang-pukang keluar, lari ke dalam hujan
lebat. Sekejap saja bayangannya sudah hilang ditelan derasnya air hujan yang semakin tercurah
dari langit.
Yap Kay tidak mengejarnya keluar, malah bergeming pun tidak, tapi entah kenapa, tampak
mimik mukanya justru berubah teramat menderita seperti tersiksa batinnya.
Karena dalam sanubarinya pun mempunyai hawa nafsu yang keras, keinginan yang besar,
hampir saja dia tidak tahan hendak lari mengejar, menyandaknya serta memeluknya, tergulingguling
di padang rumput di saat hujan selebat ini.
Akan tetapi keinginannya itu tidak dia laksanakan. Apa pun tidak dia lakukan, hanya berdiri
kaku seperti patung batu, dia menunggu hujan ini reda ....
Akhirnya hujan ini reda.
Yap Kay menyusuri jalan raya yang masih tergenang air, langsung masuk ke pintu sempit yang
satu ini.
Dalam rumah tenang dan sunyi, hanya kedengaran satu suara saja, suara kartu dikocok.
Siau Piat-li tidak berpaling untuk menyambut kedatangannya, agaknya seluruh perhatian dia
tumplekkan kepada permainan kartunya itu untuk meramalkan sesuatu.

Yap Kay langsung menghampiri, lalu duduk.
Mengawasi kartu-kartu yang terbentang di hadapannya, mimik wajah Siau Piat-li kelihatan
masgul serta menguatirkan sesuatu.
"Hari ini apa yang berhasil kau ramal?" tanya Yap Kay.
Siau Piat-li menghirup napas panjang, sahutnya, "Hari ini apa pun tidak berhasil kuramalkan."
"Kalau tak berhasil kau ramal, kenapa harus menghela napas."
"Justru aku tidak berhasil maka aku menghela napas," akhirnya kepalanya terangkat menatap
Yap Kay, katanya lebih lanjut, "Hanya peristiwa yang paling berbahaya, paling menakutkan saja
selalu tak berhasil kuramalkan."
Lama Yap Kay berdiam diri, tiba-tiba tertawa, katanya, "Tapi aku justru merasakan adanya
hal...."
"O, hal apa?"
"Paling tidak hari ini kau tidak akan bangkrut."
Siau Piat-li sedang menunggu kata-katanya lebih lanjut. Tapi Yap Kay tidak bicara banyak,
cuma dari dalam kantongnya dia rogoh keluar setumpukan uang kertas yang masih baru, pelanpelan
dia letakkan di atas meja, pelan-pelan pula dia dorong ke hadapan Siau Piat-li.
Mengawasi tumpukan uang ini, ternyata Siau Piat-li diam saja, tidak mengajukan pertanyaan.
Soal ini hakikatnya memang tidak perlu dibicarakan, juga tidak perlu ditanyakan.
Berselang agak lama, Yap Kay baru tersenyum, katanya, "Sebetulnya tidak perlu aku
kembalikan uang sebanyak ini kepadamu."
"O, kenapa kau kembalikan?"
"Karena hakikatnya kau sendiri pun tidak ingin betul-betul supaya aku membunuhnya, betul
tidak?"
"O!"
"Kalian hanya ingin menjajal aku, apa benar aku ingin membunuhnya."
Tiba-tiba Siau Piat-li tertawa, ujarnya, "Terlalu banyak yang kau pikirkan, banyak pikiran bukan
suatu hal yang baik."
"Bagaimana pun juga, sekarang tentunya kau sudah tahu, aku bukan orang yang ingin
membunuhnya."
"Sekarang penduduk kota ini siapa pun memang sudah tahu."
"Kenapa?"
"Karena Kongsun Toan sudah mati, menemui ajalnya di bawah golok Pho Ang-soat."
Senyuman yang menghias muka Yap Kay tiba-tiba menjadi kaku membeku. Selamanya belum
pernah terunjuk mimik seburuk itu menghiasi mukanya.
Pelan-pelan Siau Piat-li melanjutkan, "Bukan saja Kongun Toan sudah mati, Hun Cay-thian dan
Hoa Boan-thian pun sudah mampus."
"Apa mereka juga mati di tangan Pho Ang-soat?" teriak Yap Kay. Siau Piat-li geleng-geleng
kepala. "Siapakah yang membunuh mereka?"
"Be Khong-cun!"
Kembali Yap Kay tertegun. Lama juga baru dia menarik napas panjang, mulutnya menggumam,
"Tak habis mengerti, sungguh tidak habis mengerti."
"Ada apa yang tidak bisa kau mengerti?"

"Bahwasanya kini dia sudah tahu bila ada seorang musuh tangguh yang akan membunuhnya
sembarang waktu, kenapa dua pembantunya yang terpercaya justru dia bunuh pada saat seperti
ini?"
Sikap Siau Piat-li amat tawar, katanya, "Mungkin karena dia sendiri memang manusia yang
paling aneh di dunia ini, maka selalu melakukan sesuatu yang di luar dugaan orang lain." Jawaban
yang tidak boleh dianggap jawaban, tapi Yap Kay seolah-olah sudah dapat menerima arti dari
jawaban yang bukan jawaban ini. Mendadak dia mengubah pokok pembicaraan, "Dimana tamu
agungmu yang berada di atas loteng kemarin malam itu?"
"Tamu agung?"
"Kim-pwe-tho-liong Ting Kiu."
Seperti baru sekarang Siau Piat-li ingat akan diri Ting Kiu, katanya tersenyum, "Dia pun seorang
yang aneh, sering dia pun melakukan hal-hal yang tidak dimengerti orang lain."
"O."
"Belum pernah terpikir dalam benakku bahwa dia pun bakal berada di tempat seperti ini."
"Bukankah dia mencari kau?"
"Memangnya siapa yang sudi mencari orang sepertiku yang cacad ini."
"Dia masih di atas loteng?"
"Sudah lama pergi."
"Kemana?"
"Mencari orang."
"Mencari orang? Mencari orang siapa?"
"Loh Loh-san."
"Mereka sahabat karib?"
"Bukan sahabat, malah musuh besar, musuh besar sejak beberapa puluhan tahun yang lalu."
"Jadi kedatangan Ting Kiu kali ini hanya untuk membikin perhitungan kepada Loh Loh-san?"
"Mungkin."
"Sebetulnya mereka punya permusuhan apa?"
"Siapa tahu? Memangnya dendam sakit hati orang-orang Kangouw sering berlarut-larut."
Lama Yap Kay termenung, tiba-tiba bertanya pula, "Di kalangan Kangouw pada puluhan tahun
yang lalu, katanya ada seorang tokoh ahli menggunakan senjata rahasia yang ganas dan culas,
kabarnya dia adalah murid tunggal Ang-hoa Popo."
"Yang kau maksud adalah Toan-yang ciam Toh-popo?"
"Benar."
"Namanya memang pernah kudengar."
"Pernah melihatnya belum?"
"Lebih baik selama hidupku ini aku tidak pernah melihatnya."
"Empat murid besar dari perguruan Jian-bin-jin-mo (manusia iblis seribu muka), belakangan
hanya tinggal seorang saja yang bernama Bu-kut-coa (ular tak bertulang) Sebun Jun, tentunya
kau pun pernah mendengar nama orang ini."
"Lebih baik berhadapan dengan Toh-popo daripada berhadapan dengan orang ini."

"Namun menurut apa yang kuketahui, kabarnya kedua orang ini sekarang sudah berada di
sini."
"Kapan mereka datang?"
"Sudah lama mereka di sini."
Kini Siau Piat-li yang termenung, tiba-tiba dia menggeleng-geleng kepala, katanya, "Tidak
mungkin, pasti tidak mungkin, kalau mereka sudah berada di sini, aku pasti tahu."
Yap Kay menatapnya, katanya, "Mungkin mereka sudah berada di Ban-be-tong, bukankah Banbe-
tong merupakan sarang naga dan gua harimau?"
Siau Piat-li sudah manggut-manggut, namun segera geleng-geleng pula.
"Mungkin karena Ban-be-tong sekarang sudah punya bantuan mereka, maka dia tidak perlu
gentar menghadapi musuh besarnya yang tangguh."
Tiba-tiba Siau Piat-li tertawa, ujarnya, "Itulah urusan Ban-be-tong, tiada sangkut-pautnya
dengan kami."
"Hari ini omonganku sungguh terlalu banyak." Agaknya dia sudah ingin pamitan, tapi pada saat
itu pula dari luar tahu-tahu sudah melangkah masuk seseorang.
Seorang laki-laki serba putih, pinggangnya terikat tali rami, tangannya membawa setumpukan
kertas mirip kartu undangan, seperti sampul surat pula.
Ternyata itu bukan sampul surat, juga bukan kartu undangan. Tetapi adalah berita duka cita.
Berita duka cita Koangsun Toan, Hun Cay-thian dan Hoa Boan-thian, atas nama Be Khong-cun.
Hari penguburan adalah besok lusa.
Pagi-pagi jenazah diberangkatkan, tepat tengah hari peti mati dimasukkan ke liang lahat,
selanjutnya dengan makanan tanpa daging menjamu para pelayat.
Ternyata Yap Kay pun menerima bagiannya. Setelah menyampaikan berita duka cita itu, lakilaki
berkabung ini lantas menjura, katanya, "Sam-lopan ada pesan pula, pada waktunya diharap
Siau-siansing dan Yap-kongcu hadir dalam upacara penghabisan."
Siau Piat-li menarik napas panjang, katanya prihatin, "Sahabat lama, setelah berpisah untuk
selamanya, kenapa aku tidak akan hadir?"
"Aku pun akan datang," ujar Yap Kay.
Laki-laki baju putih kembali menjura serta mengucapkan terima kasih.
Tiba-tiba Yap Kay berkata pula, "Agaknya tidak sedikit berita duka cita ini disebar "
"Sam-lopan adalah teman karib Kongsun-siansing selama puluhan tahun, beliau mengharap
upacara terakhir ini dapat dilaksanakan sebaik mungkin."
"Jadi setiap penduduk kota sudah memperoleh berita duka ini?"
"Boleh dikata seluruhnya sudah menerima." "
Bagaimana dengan Pho Ang-soat?"
Seketika tersorot rasa kebencian pada mata laki-laki baju putih, katanya dingin, "Dia pun
memperoleh selembar, cuma aku kuatir dia tidak berani hadir pada saat itu."
Yap Kay berpikir sebentar, katanya pelan, "Kupikir dia pasti akan datang."
"Semoga seperti harapan tuan," ujar laki-laki baju putih. "Kau sudah menemukan dia belum?"
"Belum lagi ketemu."
"Kalau kau percaya, aku mau mewakilkan kau menyampaikan kepadanya."

Sebentar bimbang, akhirnya laki-laki baju putih manggut-manggut, katanya, "Kalau begitu
membikin susah Yap-kongcu saja, terus terang Cayhe sebetulnya juga tidak sudi berhadapan
dengan orang seperti dia, lebih baik bila dia tidak sampai terlihat orang lain."
Siau Piat-li sedang menatap berita duka cita yang berada di tangannya, setelah laki-laki baju
putih pergi, baru dia menghela napas ringan, katanya, "Sungguh tak nyana Ban-be-tong pun
mengirim berita duka cita ini kepada Pho Ang-soat."
"Kau pernah bilang, dia kan orang aneh."
"Kau pikir Pho Ang-soat akan datang?"
"Pasti datang."
"Kenapa?"
"Karena aku tahu dia bukanlah laki-laki yang suka menyingkir dari kenyataan."
"Kalau kau anggap dia temanmu, lebih baik kau bujuk dia supaya jangan datang." "Kenapa?"
"Memangnya kau tidak merasakan bila berita duka cita ini merupakan jebakan?"
"Jebakan?" Yap Kay mengerut kening.
Sikap Siau Piat-li amat serius, katanya, "Kalau kali ini Pho Ang-soat sampai masuk ke Ban-betong,
mungkin selama hidupnya ini jangan harap bisa kembali ke kampung halamannya pula."
"Langit bergoncang, bumi bergetar, mata 'mengalirkan air darah, rembulan guram. Sekali
masuk ke Ban-be-tong. jangan harap pulang ke kampung halaman."
Setelah lohor, sesudah hujan reda cuaca cerah, langit membiru.
Yap Kay sedang mengetuk pintu tempat tinggal Pho Ang-soat.
Sejak pagi hari ini, sudah tiada seorang pun yang pernah melihat bayangan Pho Ang-soat lagi,
setiap orang yang menyinggung tentang si timpang yang bermuka pucat ini, pasti menunjukkan
mimik yang aneh, seolah-olah dia melihat seekor ular berbisa.
Peristiwa Pho Ang-soat membunuh Kongsun Toan, tentunya sudah tersiar luas di seluruh
pelosok kota.
Tidak ada reaksi dari dalam pintu sempit itu, tapi dari pintu sebelah yang sama sempitnya, tibatiba
menongol keluar kepala seorang nenek, dengan sorot mata curiga dan takut-takut mengawasi
Yap Kay. Kulit mukanya penuh dihiasi keriput, kulitnya sudah kering-kerontang.
Yap Kay tahu nenek ini adalah pemilik rumah yang disewakan ini, dengan senyum di kulum
segera dia bertanya, "Dimana Pho-kongcu?"
Nenek itu tertawa pula. Agaknya dia memang jarang marah.
Tiba-tiba berkata pula nenek itu, "Jika kau mencari si timpang yang pucat itu, dia sudah
pindah."
"Sudah pindah? Kapan dia pindah?"
"Selekasnya dia akan pindah."
"Darimana kau tahu dia akan pindah."
"Karena rumahku sekali-kali tidak akan kusewakan pada seorang pembunuh."
Yap Kay akhirnya mengerti. Bagi setiap insan yang berbuat salah terhadap Ban-be-tong, maka
dia sulit untuk menetap di kota kecil di pegunungan ini. Tanpa bicara lagi Yap Kay segera berlalu
meninggalkan gang sempit ini.
Tak nyana nenek itu ternyata membuntutinya, katanya, "Tapi kalau kau tidak punya tempat
tinggal, aku boleh menyewakan kamar itu kepadamu."
Yap Kay tertawa, katanya, "Darimana kau tahu bila aku ini bukan seorang pembunuh?"

"Kau tidak mirip pembunuh."
Tiba-tiba Yap Kay menarik muka, katanya, "Kau keliru, bukan saja aku pernah membunuh
orang, malah sudah tujuh delapan puluh orang yang menjadi korban."
Nenek itu gelagapan dan menyurut mundur dengan muka ketakutan.
Lekas sekali Yap Kay sudah keluar dari gang sempit itu, dia mengharap selekasnya bisa
menemukan Pho Ang-soat. Tapi sebelum dia berhasil menemukan Pho Ang-soat, dia malah
melihat Ting Kiu.
Ternyata Ting Kiu sedang duduk di bawah emperan rumah di seberang sana, tangannya
menyungging cawan sedang minum teh panas. Pakaian perlentenya itu terbungkus oleh
seperangkat jubah hijau yang baru pula, sikapnya kelihatannya acuh tak acuh dan kurang
bersemangat.
Pada saat itu dari ujung jalan raya sana tengah mendatangi seorang penggembala yang
menggiring empat-lima ekor kambing dengan pelan-pelan.
Penggembala kambing ini mengenakan baju pendek yang terbuat dari kapuk, kepalanya
mengenakan sebuah topi rumput. Topi rumput yang lebar ini dia tarik ke bawah sampai amblas,
karena batok kepalanya memang lebih kecil dari topi rumput itu.
Dengan menundukkan kepala, tangannya menenteng sebatang galah kecil, sementara
mulutnya sedang berdendang dengan lagu-lagu gembala yang lincah dan gembira.
Di tanah pegunungan yang serba belukar dan serba kekurangan dari segala kebutuhan hidup
ini, setiap laki-laki mengutamakan berburu binatang liar dengan memelihara burung elang atau
menggembala sapi, hanya laki-laki yang tidak punya harga diri saja suka mengembala kambing,
oleh karena itu bukan saja penggembala kambing selalu miskin, dia pun selalu menjadi cemoohan
dan olok-olok orang lain.
Hakikatnya tiada seorang pun di tengah jalan raya itu yang sudi melirik atau menyapanya,
agaknya penggembala kambing ini juga tahu diri, dia tidak berani berjalan di tengah jalan raya,
hanya satu harapannya dalam mengerjakan tugasnya sehari-hari, yaitu selekasnya membawa
kambing-kambingnya ini ke kandang.
Tak nyana di antara sekian banyak orang yang berada di sepanjang jalan raya ini, justru ada
seseorang yang tengah mengawasi gerak-geriknya. Begitu Ting Kiu melihat penggembala kambing
ini mendatangi, sorot matanya seketika bersinar terang, seolah-olah duduk sejak tadi di warung
minuman ini memang khusus sedang menunggu kedatangan orang.
Yap Kay pun sudah menghentikan langkahnya, dengan nanar dia mengawasi penggembala
kambing ini, lalu beralih pandang ke arah Ting Kiu pula. Ternyata biji matanya pun bersinar
terang.
Jalan raya masih basah oleh genangan air. Baru saja penggembala kambing ini berkisar
melewati genangan air, dia lantas melihat Ting Kiu dengan langkah lebar memapak ke
hadapannya dan menghadang jalan. Tanpa mengangkat kepala segera dia berkisar hendak lewat
dari samping Ting Kiu. Penggembala kambing biasanya penakut.
Siapa tahu Ting Kiu agaknya memang sengaja hendak cari perkara padanya, katanya tiba-tiba,
"Sejak kapan kau belajar jadi penggembala?"
Penggembala itu melengak, sahutnya gemetar, "Sejak kecil aku sudah mempelajarinya."
"Memangnya waktu di Bu-tong-san kau hanya belajar menggembala kambing?"
Kembali penggembala itu melengak, akhirnya dia mengangkat kepala pelan, dua kali dia melirik
kepada Ting Kiu, katanya, "Aku tidak kenal dengan kau."
"Aku sebaliknya mengenalmu."
"Agaknya kau salah mengenali orang."

"Orang she Loh, Loh Loh-san, umpama kau sudah berubah jadi abu, aku tetap mengenalmu.
Kali ini kemana pula kau hendak melarikan diri?"
Apa benar penggembala kambing ini Loh Loh-san? Sekian lamanya dia mcnepekur, lalu katanya
menghela napas, "Umpama kau mengenalku, aku tetap tidak mengenalmu."
Ternyata dia memang Loh Loh-san.
Ting Kiu tertawa dingin, tiba-tiba dia merenggut jubah hijau yang menutupi pakaian aslinya
yang mewah menyala itu, serta punuk di punggungnya, gamblang sekali punggungnya itu
bergambar naga emas dengan kelima jari kakinya.
"Kim-pwe-tho-liong?" Loh Loh-san berteriak terkejut.
"Ternyata kau masih mengenalku."
"Untuk apa kau mencariku?"
"Untuk membuat perhitungan."
"Membuat perhitungan apa?"
"Perhitungan lama, sepuluh tahun yang lalu, memangnya kau sudah lupa?"
"Melihatmu pun aku belum pernah, perhitungan lama darimana?"
"Hutang darah tujuh belas jiwa, jangan harap kau bisa mungkir, serahkan jiwamu!"
"Orang ini gila, aku ...."
Ting Kiu tidak memberi kesempatan Loh Loh-san banyak bicara lagi, serempak kedua
tangannya terkembang, tahu-tahu dia sudah mengeluarkan seutas cambuk emas lima kaki
panjangnya.
Sinar emas bertaburan laksana naga emas sedang menari-nari dengan lincahnya, dengan deru
angin yang kencang menyapu ke arah pinggang Loh Loh-san.
Sambil berkelit memiringkan badan, Loh Loh-san merenggut baju pendek yang terbuat dari
kulit domba itu, bagai segumpal awan terus ditebarkan ke depan, bentaknya, "Tunggu dulu!"
Ting Kiu tak menghiraukan seruannya, cambuk emasnya beruntun sudah berubah empat jurus
serangan. Loh Loh-san membanting kaki, kedua tangannya cepat memelintir baju kulit
kambingnya, ternyata dia gunakan senjata lemas pula. Inilah kepandaian sejati dari aliran dalam
Bu-tong-pay yang bisa mengkhususkan sesuatu benda lemas yang dipelintir atau dibasahi untuk
menjadi tongkat lemas. Bagi orang yang sudah melatih sempurna kepandaian ini, benda apa pun
bila berada di tangannya, bisa dia gunakan sebagai gaman untuk membela diri
Dalam sekejap kedua pihak sudah bergebrak belasan jurus di jalan raya yang becek tergenang
air itu.
Yap Kay menonton dari kejauhan, tiba-tiba dia menemukan dua hal. Seorang setan arak yang
tulen tidak mungkin bisa menjadi tokoh silat kosen dari Bu-lim, Loh Loh-san, hanya meminjam
arak untuk pura-pura gila, ternyata orang memang sengaja berpura-pura untuk mengelabui
pandangan orang, yang terang dia sebenarnya jauh lebih sadar dari siapa pun.
Akan tetapi naga-naganya dia memang betul-betul tidak kenal atau salah mengenali orang,
memangnya apakah sebetulnya yang telah terjadi? Yap Kau menerawang sebentar, kejap lain
ujung mulutnya sudah menyungging senyum, mendadak dia merasa kejadian ini amat
menggelikan.
Akan tetapi sesungguhnya hal ini tidak perlu dibuat geli. Mati sekali-kali bukan kejadian yang
menggelikan.
Kepandaian silat Loh Loh-san amat mahir dan matang, lucu Jenaka, ahli, meski serangannya
tidak gencar dan ganas, terang tidak menunjukkan lubang kelemahan. Tapi entah lantaran apa

tiba-tiba dia toh menunjukkan suatu gerakan aneh yang menunjukkan lubang kelemahannya.
Suatu lubang kelemahan yang fatal dan menamatkan riwayatnya.
Orang semacam dia hakikatnya tidak pantas menunjukkan lubang kelemahan seperti itu,
tangannya seolah-olah mendadak menjadi kaku dan kejang. Dalam selikas itulah. Yap Kay sudah
melihat sorot matanya Mendadak sorot matanya menampilkan rasa gusar dan ketakutan yang luar
biasa, lalu melototlah kedua biji matanya seperti biji mata ikan emas.
Cambuk emas Ting Kiu ternyata sudah membelit lehernya seperti naga berbisa yang ganas.
"Krak", tulang lehernya patah terjirat cambuk dengan kerasnya.
Ting Kiu mendongak sambil terloroh-loroh, serunya, "Hutang darah bayar darah, akhirnya aku
berhasil menuntut balas perhitungan lama ini." Di tengah gelak tawanya, tiba-tiba badannya
melejit mundur terus bersalto ke belakang di tengah udara, tiba-tiba bayangannya sudah
menghilang di balik wuwungan rumah penduduk. Tinggal Loh Loh-san yang rebah di dalam
genangan air dengan kepala tertekuk lemas ke belakang, biji matanya melotot besar dan kaku.
Kelihatannya sekarang berubah pula seperti laki-laki setan arak yang tengah mabuk dan pulas di
tengah jalan raya.
Tiada orang yang mendekati, tiada orang yang bersuara. Siapa pun bila melihat seseorang yang
semula segar-bugar mendadak menggeletak mampus begitu saja, persaan hatinya tentu tidak
tenteram.
Tauke toko kelontong berdiri di depan tokonya, kedua tangan memeluk perut, seakan-akan
merasa mual hendak muntah-muntah.
Matahari kembali terbit. Cahayanya yang segar menyinari mayat Loh Loh-san, menyoroti
noktah-noktah darah yang baru saja mengalir dari hidung, kuping dan matanya. Lekas sekali
darah itu sudah kering.
Pelan-pelan Yap Kay maju menghampiri, berjongkok, mengawasi mimik mukanya yang berubah
sedemikian seram menakutkan, katanya seperti berdoa, "Betapapun kami pernah berkenalan,
masih ada pesan apa pula yang ingin kau sampaikan kepadaku?"
Sudah tentu tiada. Orang yang sudah mati masakah bisa bicara memberi pesan apa-apa? Yap
Kay justru mengulurkan tangan menepuk pundaknya, katanya, "Kau tak usah kuatir, ada orang
yang akan membereskan jenazahmu, aku pun akan mengumpulkan beberapa cangkir arak untuk
menyirami pusaramu." Dengan menghela napas, pelan-pelan dia berdiri
Maka dia pun melihat Siau Piat li.
Ternyata Siau Piat-li juga berjalan-jalan di luar, dengan kedua tangan dia memegangi
tongkatnya untuk jalan, berdiri tenang di bawah emperan sana.
Kelihatannya raut mukanya jauh lebih pucat dari Pho Ang-soat di bawah sinar matahari.
Memangnya sepanjang tahun dia jarang terjemur sinar surya.
Yap Kay langsung menghampirinya, katanya setelah menghela napas, "Aku tidak suka melihat
orang membunuh orang, namun justru sering aku melihatnya."
Siau Piat-li diam saja, sikapnya seperti ikut berduka, lama juga baru dia bersuara, "Aku justru
sudah tahu bila dia akan berbuat demikian, sayang sekali aku tidak sempat menasehatinya."
Yap Kay manggut-manggut, katanya, "Loh-toasiansing memang mati terlalu cepat." Tiba-tiba
terangkat kepalanya, tanyanya, "Kau baru saja keluar."
"Seharusnya sejak tadi aku sudah keluar."
"Barusan aku sedang bicara dengan dia, ternyata tidak kulihat kau keluar "
"Dengan siapa kau bicara?" "Loh-toasiansing "
Siau Piat-li menatapnya lekat-lekat, lama juga baru dia berkata pelan-pelan, "Orang mati tidak
bisa bicara." "Bisa saja."

Mimik muka Siau Piat-li berubah amat aneh, serunya, "Orang mati juga bisa berbicara?"
"Cuma apa yang dikatakan orang mati, jarang ada orang bisa mendengarkan."
"Kau bisa mendengarkan?"
"Bisa."
"Apa saja yang dia katakan?"
"Katanya kematiannya terlalu penasaran."
"Dimana letak penasarannya?"
"Katanya Ting Kiu sebetulnya takkan mampu membunuhnya."
"Tapi kenyataan dia mampus di bawah cambuk emas Ting Kiu."
"Karena ada orang dari samping yang membokongnya secara gelap."
"Ada orang membokong dia? Siapa?"
Yap Kay menghela napas, tiba-tiba dia ulurkan telapak tangannya yang terbuka di hadapan
Siau Piat-li. Tepat di telapak tangannya ternyata terdapat sebatang jarum. Jarum yang berwarna
hijau keputihan ujung jarum masih berlepotan darah.
"Toan-yang-ciam?" teriak Siau Piat-li tertahan.
"Ya, inilah Toan-yang-ciam (jarum pemutus usus)"
"Kalau begitu Toh-popo memang sudah berada di sini "
"Malah sudah lama dia berada di sini."
"Kau sudah melihatnya?"
"Bila Toan-yang-ciam Toh-popo disambitkan. kalau ada orang dapat melihatnya, sia-sialah dia
dipanggil Toh-popo." Siau Piat-li mandah menghela napas saja.
"Tapi aku tahu bila dia tidak menyembunyikan diri di dalam Ban-be-tong."
"Darimana kesimpulanmu ini?"
"Karena dia menetap di dalam kota ini, bukan mustahil nenek yang sedang menggendong orok
itulah "
Berubah air muka Siau Piat-li, dia sudah melihat seorang nenek sedang menyeberang jalan
sambil menggendong seorang bocah.
"Kalau Toan-yang ciam sudah berada di sini, Bu-kut-coa pasti juga tidak jauh."
"Memangnya selama ini dia menyembunyikan diri di dalam kota ini?"
"Amat mungkin."
"Masakah belum pernah kudapati dalam kota ini adanya tokoh Bu-lim yang begitu kosen?"
"Memangnya tokoh silat sejati tidak gampang memperlihatkan wujudnya, bukan mustahil Tauke
toko kelontong itulah orangnya " Sambil mengawasi Siau Piat-li tiba-tiba dia tertawa pula,
sambungnya dengan kalem, "Kemungkinan pula kau adanya."
Siau Piat-li ikut tertawa. Di bawah sinar matahari, senyum tawanya kelihatan seperti menghina
dan merendahkan. Maka pelan-pelan dia membalik badan, pelan-pelan kembali ke dalam.
Bila melihat senyuman orang, Yap Kay bisa lupa bahwa laki-laki cacad yang satu ini kesepian,
sebatangkara. Tapi yang terlihat oleh Yap Kay sekarang adalah bayangan punggungnya. Bayangan
seorang yang kurus, cacad dan terasing dari pergaulan umum.
Tiba-tiba Yap Kay memburu maju menarik lengannya, katanya, "Kapan kau pernah keluar,
hayolah aku ingin mentraktir kau minum."

Agaknya Siau Piat-li amat heran dan kaget, tanyanya, "Kau hendak mentraktir aku minum?"
"Memangnya kapan aku pernah mentraktir orang minum."
"Mau minum dimana?"
"Kemana saja bolehlah, asal tidak di dalam rumahmu."
"Kenapa?"
"Arak dalam rumahmu terlalu mahal."
"Tapi di rumahku kau boleh teken bon."
Yap Kay terbahak-bahak, serunya, "Kau sedang memancing dan memincut aku?" Boleh teken
bon, istilah ini memang suatu pancingan yang tak terlawankan oleh setiap orang yang sedang
kantong kosong.
Siau Piat-li tersenyum, katanya, "Aku hanya sedang mencari langganan saja."
"Kadang kala kau memang mirip seorang pedagang."
"Memangnya aku ini seorang pedagang." Dengan tersenyum Siau Piat-li memandang Yap Kay,
katanya lebih lanjut, "Sekarang kau mau mengajak aku minum dimana? Menurut pendapatku
tempat dimana kau boleh teken bon terhitung tempat paling murah menjual barang-barangnya,
tempat minum arak adalah tempat yang paling kusenangi."
"Lalu bagaimana bila tiba saatnya kau melunasi bon itu?" tanya Siau Piat-li.
"Meski cukup menyebalkan dan menjengkelkan bila tiba saatnya harus membayar, tepi itu
urusan kelak, apakah aku masih hidup masih merupakan pertanyaan bagiku sendiri." Sambil
tersenyum segera Yap Kay membuka pintu, membiarkan Siau Piat-li masuk lebih dulu. Tapi dia
sendiri tetap berdiri di tempatnya tidak ikut masuk.
Karena pada saat itu pula, dia melihat Cui-long. Dengan kepala tertunduk Cui-long sedang
beranjak di bawah emperan rumah ke arah dirinya. Kenapa semalam dia menghilang? Kemana
saja selama ini? Darimana pula dia sekarang?
Sudah tentu tak tertahan lagi Yap Kay hendak menghujani pertanyaan ini, seolah-olah dia
pernah melihat kehadiran Yap Kay di depannya. Sebaliknya seorang yang lain sedang mengawasi
Yap Kay.
Pho Ang-soat.
0oo0
Akhirnya Pho Ang-soat muncul kembali.
Baru saja jari-jari tangan Yap Kay terulur hendak menarik Cui-long, matanya kebetulan melihat
Pho Ang-soat. Orang mengawasi jari tangan Yap Kay, sinar matanya yang dingin diliputi
kemarahan, kulit mukanya yang pucat sudah merah membara.
Pelan-pelan Yap Kay menarik tangannya, kembali dia mendorong daun pintu, sehingga Cui-long
berkesempatan masuk ke dalam. Setelah berada di dalam baru Cui-long berpaling sambil
mengunjuk senyuman manis kepadanya, seakan baru sekarang baru dia melihat dirinya di sini.
Yap Kay justru rada sukar tertawa, karena Pho Ang-soat masih menatapnya, warna matanya
mirip benar dengan suami yang sedang mengawasi gendak istrinya.
Yap Kay mengawasinya, lalu berpaling mengawasi Cui-long, sungguh dia tidak habis mengerti
apa yang telah terjadi. Tapi bukankah banyak kejadian aneh yang mengherankan di dunia ini?
Bukankah setiap malam mungkin saja terjadi hal-hal seperti ini?
Yap Kay tertawa, katanya, "Aku sedang mencarimu."
Lama juga Pho Ang-soat menatapnya, baru sahutnya dingin, "Kau punya urusan?"

"Ada sebuah barang yang ditinggalkan untuk kau."
"O!"
"Kau sudah membunuh Kongsun Toan?"
"Sejak mula aku memang sudah harus membunuhnya."
"Inilah berita undangan duka citanya."
"Berita duka cita?"
"Kau membunuhnya, pada hari upacara penguburannya, Ban-be-tong-cu justru
mengundangmu untuk minum arak, coba katakan bukankah amat aneh kejadiannya."
Pho Ang-soat mengawasi secarik kertas yang diangsurkan kepadanya, sorot matanya seperti
memancarkan perasaan yang aneh, katanya kemudian, "haik sekali, memang amat aneh dan
lucu."
Yap Kay mengawasi mata orang, katanya kalem, "Tentunya kau pasti akan hadir."
"Kenapa?"
"Karena hari itu pasti amat ramai."
Tiba-tiba Pho Ang-soat mengangkat kepala, katanya menatapnya, "Agaknya kau amat prihatin
terhadap urusanku."
"Mungkin karena aku ini memang orang yang suka usil."
" Tahukah kau kenapa Loh Loh-san menjadi korban pula?"
“Tidak tahu."
"Lantaran dia terlalu usil dan suka turut campur urusan orang lain."
Tanpa melirik pula kepada Yap Kay, pelan-pelan dengan berjalan dari samping Yap Kay,
langsung menuju ke tengah jalan.
Jalan masih tergenang air.
Kaki kiri Pho Ang-soat melangkah dulu setindak, kaki kanan baru ikut terseret maju ke depan.
Gaya jalannya aneh dan menggelikan.
Hari ini di saat dia menyeberang jalan, banyak orang mengawasi kakinya. Tapi sekarang
keadaan jauh berbeda, biasanya orang-orang di jalan mengawasi tangannya, tangan yang
mencekal golok. Golok yang sudah membunuh Kongsun Toan. Setiap sorot mata orang yang
memandangnya menampilkan rasa permusuhan.
"Sekarang seluruh penduduk kota tahu bila kaulah musuh umum Ban-be-tong, pasti takkan ada
seorang pun yang menganggapmu sebagai teman."
"Kenapa?"
"Karena penduduk kota ini paling tidak separo di antaranya hidup mengandalkan Ban-be-tong.
Maka sejak kini kau harus hati-hati, sampai pun minum secangkir air pun kau harus hati-hati",
itulah kata-kata Sim Sam-nio yang ditujukan kepada dirinya.
Sungguh dia tak habis mengerti, kenapa perempuan ini begitu besar perhatiannya terhadap
dirinya. Hakikatnya dia tidak kenal siapa perempuan ini, dia hanya tahu orang adalah teman karib
Cui-long, dia adalah bini atau peliharaan Ban-be-tong-cu.
Bagaimana mungkin Cui-long bersahabat dengan perempuan seperti itu? Dia tidak mengerti.
Entah lantaran apa setiap berhadapan dengan perempuan ini dia seperti merasa sebal dan
membencinya, besar harapannya supaya orang lekas menyingkir saja. Akan tetapi orang justru
tidak bisa menyelami perasaan hatinya.

Lama juga mereka berputar-putar di tengah padang rumput, besar harapan di sana mereka
menemukan suatu tempat yang tenteram dan tenang, duduk berhadapan dengan Cui-long.
Siapa pun sukar diberi pengertian bahwa untuk pertama kali inilah dia membunuh orang selama
hidupnya, mungkin Kongsun Toan sendiri pun takkan mau percaya. Tapi memang kenyataan baru
pertama kali ini dia membunuh orang.
Waktu dia mencabut pedangnya dari perut Kongsun Toan, tak tertahan dia sampai muntahmuntah,
memang siapa pun sukar memahami perasaan hatinya, sampai pun dia sendiri pun sulit
memahami sepak terjang dirinya sendiri. Melihat seseorang yang semula segar-bugar tiba-tiba
roboh menjadi mayat di depanmu, bukanlah suatu kejadian yang menggembirakan.
Sebetulnya dia tidak ingin membunuh orang, namun dia dipaksa untuk membunuhnya.
Tiada salju, hanya ada pasir. Merah Salju.
Darah segar ikut menyembur keluar waktu goloknya dicabut, membasahi pasir kuning.
Lama juga dia berlutut di atas pasir sambil tumpah-tumpah, sampai darah sudah kering, baru
dia bisa berdiri pula.
Waktu dia berdiri baru dia sadar bahwa Sim Sam-nio tengah mengawasinya, mengawasinya
dengan pandangan yang aneh sekali, entah karena simpatik? Menghina? Memandang rendah atau
merasa kasihan?
Peduli apa pun, yang terang dia tidak bisa menerimanya! Tapi dia justru bisa menahan diri
karena caci-maki, penghinaan dan kemarahan orang lain. Dia sudah biasa.
0oo0
Pho Ang-soat menegakkan badan, pelan-pelan dia menyeberang jalan.
Kini yang terpikir hanya ingin tidur, tidur menunggu kedatangan Cui-long. Setelah tiba di luar
kota, Sim Sam-nio baru berpisah dengan mereka. Dia tidak bertanya orang mau pergi kemana,
hakikatnya dia memang tidak ingin melihatnya lagi. Tapi dia justru menarik Cui-long, kembali
mereka kasak-kusuk. Tak lama kemudian Cui-long pun kembali.
"Biar aku pulang membereskan barang-barangku, lalu mencarimu, aku tahu. Sudah tentu Pho
Ang-soat tidak pernah menduga si 'dia' sebenarnya bukan Cui-long, tapi adalah Sim Sam-nio yang
dibencinya ini. Mungkin takkan ada orang tahu akan rahasia ini.
BAB 17. NENEK MISTERIUS
Kertas merah pengumuman itu masih merekat di dinding di ujung gang.
Waktu Pho Ang-soat menuju ke sana, maka dia pun melihat nenek yang ubanan itu tengah
berdiri menghadang di tengah gang sempit itu, sepasang matanya selincah kelinci sedang
menatap dirinya dengan diliputi rasa benci. Agaknya nenek ini juga bukan teman karibnya.
"Maaf, sukalah memberi jalan," pinta Pho Ang-soat.
"Kenapa aku harus memberi jalan?"
"Aku hendak pulang."
"Kabarnya kau mencela tempatku ini tidak baik, sekarang sudah pindah, kenapa kembali lagi?"
"Siapa bilang aku sudah pindah?"
"Aku yang bilang."

"Siapa yang bilang aku mencela tempat ini terlalu kotor?"
"Bukan kau mencela tempat ini kotor, tempat inilah yang mencelamu kurang baik."
Akhirnya Pho Ang-soat tahu dan dapat meraba juntrungan kata-kata si nenek, maka sepatah
kata pun dia tidak bersuara lagi, memangnya tidak perlu dibicarakan lagi.
"Buntalanmu sudah kukirim ke toko kelontong di sebelah, sembarang waktu kau boleh pergi
mengambilnya."
Pho Ang-soat manggut-manggut.
"Dan uang ini, boleh kau simpan untuk membeli peti matimu sendiri." Memangnya dia sudah
menggenggam sekeping uang perak, kini tiba-tiba dia timpukkan dengan sekuat tenaganya.
Terpaksa Pho Ang-soat harus mengulur tangan menyambuti. Tapi dia batal menangkap uang
itu. Karena begitu uang itu melesat terbang dari telapak tangan si nenek, mendadak terpukul balik
pula oleh sesuatu benda. Soalnya uang perak itu mendadak melayang turun, sebuah benda
memukulnya balik, kalau tidak, umpama jiwa Pho Ang-soat tidak ajal, maka lengannya itu yang
harus dipotong menjadi cacad buntung pula.
Kini puluhan jarum itu tiba-tiba terpukul balik mengarah ke nenek yang menyambitnya malah.
Tak terkira nenek tua renta yang jalannya harus merambat tembok ini, tiba-tiba badannya
melenting tinggi ke tengah udara terus bersalto dan lenyap di balik wuwungan.
Jejak penyamaran sudah ketahuan, maka dia sudah siap melarikan diri. Siapa tahu seseorang
justru sudah menunggunya di atas wuwungan.
Entah sejak kapan tahu-tahu Yap Kay sudah melejit naik ke atas wuwungan rumah pula, dia
sedang berdiri menggedong kedua tangannya, tersenyum mengawasi si nenek yang coba
melarikan diri ini.
Seketika berubah air muka si nenek, sepasang biji matanya yang jelilatan licin menampilkan
rasa ketakutan. Matanya tidak buta, sudah tentu dia cukup tahu bila Yap Kay bukan seorang yang
gampang diingusi dan dihadapi.
"Nenek," sapa Yap Kay tertawa, "bagaimana kau berubah menjadi begini muda?"
Nenek itu tertawa kering dua kali, katanya, "Bukan menjadi muda, yang benar tulangku jadi
ringan, begitu melihat kau si ganteng ini tulangku lantas berubah menjadi ringan sekali."
"Kabarnya bila orang tua menghirup darah orang, usianya bisa menjadi muda kembali."
"Kau ingin supaya aku menghirup darahmu?"
"Bukankah tadi kau sudah menghirup darah Loh Loh-san?"
Nenek itu menyeringai iblis, katanya, "Kakek tua bangka itu darahnya terlalu banyak
mengandung alkohol, lebih baik kalau minum darahmu saja." Di mana tangannya terayun, dari
dalam lengan bajunya tiba-tiba terbang keluar dua utas benang perak, bagai ular beracun yang
ganas tahu-tahu menjerat leher Yap Kay Senjata yang digunakan amat aneh dan jarang terlihat,
keji dan jahat lagi. Tapi seakan-akan Yap Kay justru seorang ahli dalam menghadapi berbagai alat
senjata yang serba keji dan jahat ini.
Entah bagaimana dia bergerak, tiba-tiba badannya berkisar, seperti merogoh keluar sesuatu
benda kehitam-hitaman dari lengan bajunya. "Ting", seketika dua utas benang perak itu lenyap
tak berbekas.
Jari-jari tangan si nenek yang kaku dan runcing laksana cakar burung itu seketika kaku
mengejang.

Yap Kay kembali menggendong kedua tangannya, berdiri di tempat semula dengan tersenyum
simpul, katanya, "Kau masih punya mainan apalagi, kenapa tidak kau keluarkan seluruhnya, biar
aku berkenalan dengan kelihaianmu."
Menatapnya lekat-lekat nenek itu berkata dengan suara serak, "Kau ... siapakah kau
sebenarnya?"
"Aku she Yap, bernama Yap Kay," sahutnya tertawa, "Yap berarti daun pohon, Kay atau Kaysim
berarti riang gembira. Sayang sekali bila hatiku riang, maka kau pasti takkan bisa gembira."
Tanpa bicara lagi, tiba-tiba nenek ini mengenjot kaki, badannya melejit ke tengah angkasa
terus bersalto ke belakang sejauh tiga empat tombak. Siapa tahu baru saja badannya meluncur
turun dan tancap kaki, tahu-tahu dilihatnya Yap Kay sudah berdiri di depannya dengan tersenyum
sambil menggendong tangan, senyum tawanya itu laksana seekor rase kecil.
Nenek ini menghela napas, serunya, "Bagus, Ginkang yang hebat!"
"Bukan Ginkang yang bagus, cuma tulangku yang lebih ringan."
Si nenek tertawa getir, katanya, "Agaknya tulangmu memang jauh lebih ringan dari punyaku."
Belum lagi ucapannya ini selesai dikatakan, jari-jari tangannya yang bagai cakar burung itu tibatiba
merangsek empat jurus ke arah Yap Kay.
Jurus permainannya ini juga teramat aneh, ganas dan culas. Tapi Yap Kay justru seorang ahli
dalam menghadapi berbagai serangan keji dan culas. Bukan saja gerak permainannya tidak aneh
dan luar biasa, juga tidak seperti orang mau sulapan. Cuma amat cepat, begitu cepatnya sehingga
orang sulit membayangkan gerakannya.
Baru saja kedua tangan si nenek bergerak, seketika dia merasakan sesuatu benda tahu-tahu
menggaris pada urat nadinya, selanjutnya kedua tangannya itu lantas menjuntai turun lemaslunglai,
tak mampu bergerak lagi.
Yap Kay tetap berdiri di tempatnya dengan menggendong tangan, seolah-olah tidak pernah
bergerak dan tidak terjadi apa-apa, senyum tawanya lebih riang dari tadi. Namun harus
disayangkan bila hatinya sedang riang, maka orang lain justru tak bisa bergembira.
Si nenek menarik napas panjang, katanya, "Aku pun tidak kenal kau, kenapa kau harus
bermusuhan dengan aku?"
"Siapa bilang aku hendak bermusuhan dengan kau?"
"Memangnya apa kehendakmu?"
"Tidak lain hanya ingin mentraktir kau minum arak saja."
Nenek ini melengak, "Mentraktir minum arak?"
"Biasanya jarang aku sudi mentraktir orang minum arak, jangan kau sia-siakan kesempatan
baik ini."
Si nenek mengertak gigi, katanya, "Kemana minumnya?"
"Sudah tentu di warung Siau Piat-li, di sana aku boleh teken bon"
Tangan Pho Ang-soat masih menggenggam goloknya dengan kencang. Dia tetap berdiri di
tempatnya semula dengan gaya tetap tak berubah, bergeming pun tidak. Tapi kulit mukanya yang
pucat kini sudah membara saking bergejolak sanubarinya.
Si nenek melompat turun dari wuwungan rumah, menundukkan kepala, pelan-pelan lewat di
samping orang. Melirik pun Pho Ang-soat tidak kepadanya, tiba-tiba dia berseru, "Tunggu!"
Maka nenek itu lantas berhenti menunggu,, agaknya dia berubah begitu mendengar katakatanya.
"Aku sudah pernah membunuh orang," kata Pho Ang-soat.

Si nenek mendengarkan.
"Tak jadi soal bagiku untuk membunuh lebih banyak satu jiwa."
Tangan si nenek sudah gemetar.
Yap Kay sudah beranjak mendatangi, katanya dengan tersenyum, "Membunuh orang seperti
orang minum arak, hanya tegukan pertama yang sulit tertelan, kalau kau sudah menghabiskan
cangkir pertama, berapa cangkir pula akan kau habiskan sudah tidak menjadi halangan, cuma...."
"Cuma bagaimana?" tanya Pho Ang-soat.
"Membunuh orang seperti orang minum arak, kalau terlalu banyak kau minum, kau akan
ketagihan dan jadi tuman." Sambil mengawasi Pho Ang-soat dia tertawa, katanya lebih lanjut,
"Lebih baik jangan kau tuman melakukan hal-hal seperti itu."
"Aku tidak ingin membunuhmu."
"Kau hendak membunuh dia?"
"Semula aku hanya membunuh dua macam orang, sekarang terpaksa bertambah semacam
lagi."
"Macam bagaimana?"
"Orang yang ingin membunuhku."
Yap Kay manggut-manggut, "Tadi dia ingin membunuhmu, sekarang kau hendak
membunuhnya, memangnya suatu hal yang adil."
"Kau minggir."
"Aku boleh minggir, tapi kau tak boleh membunuhnya. Tahu tidak?"
"Kenapa?"
"Karena dia toh tidak betul-betul ingin membunuhmu."
Pho Ang-soat mendelik kepadanya, kulit mukanya yang pucat seolah-olah menjadi bening, lama
juga baru dia berkata dengan tegas, "Sebetulnya kau ini siapa?"
"Yang terang kau sendiri tahu aku ini orang apa, kenapa justru kau tanyakan hal ini kepadaku?"
"Aku ingin tahu lebih jelas, karena aku masih berhutang sesuatu kepadamu."
"Kau hutang apa kepadaku?"
"Hutang jiwa kepadamu," mendadak Pho Ang-soat putar tubuh, katanya lebih lanjut dengan
kalem, "Cepat atau lambat aku harus membuat perhitungan kepadamu, sembarang waktu kau pun
boleh minta kepadaku." Kemudian kaki kirinya melangkah, kaki kanan lantas diseret ke depan.
Langkah kakinya sekarang kelihatan jauh lebih berat.
Tiba-tiba Yap Kay merasa bayangan punggung orang mirip benar dengan Siau Piat-li, kelihatan
sama-sama kesepian, sebatangkara pula. Malah kemungkinan keadaannya jauh lebih
mengenaskan, karena dia hanya punya satu pilihan untuk menempuh arahnya. Arah yang
selamanya takkan berpaling kembali.
Ada arak di atas meja.
Yap Kay menuang secangkir penuh untuk Siau Piat-li, lalu menuang pula secangkir yang lain
untuk si nenek, katanya tertawa, "Bagaimana tempat ini?"
"Lumayan."
"Araknya?"
"Baik juga."
"Kalau begitu kau harus berterima kasih kepadaku."

"Berterima kasih kepadamu?"
"Kalau bukan aku, masakah kau bisa berada di sini minum arak."
"Kenapa tidak bisa?"
Yap Kay tertawa, katanya, "Tempat ini adalah dunia laki-laki, Toan-yang-ciam Toh-popo meski
seorang tokoh kosen Bu-lim yang menggetarkan dunia, tapi dia adalah seorang perempuan."
Nenek itu berkedip-kedip mata, katanya menegas, "Aku ini Toh-popo?"
"Begitu melihat Loh Loh-san tersambit Toan yang ciam, aku lantas teringat kepadamu."
"Pandangan yang tajam," puji si nenek sambil menghela napas. "Tapi aku tiada maksud untuk
menuntut balas kematiannya."
"Kau tidak bermaksud?"
"Karena orang yang benar-benar ingin membunuh Loh Loh-san bukan kau! Kalau tidak...,"
"Oh, kenapa?"
"Aku hanya ingin bertanya kepadamu, kenapa kau membunuh orang demi kepentingan Ban be
tong?"
"Jadi orang yang betul-betul mau membunuh Loh Loh-san adalah Ban be tongcu?"
"Tentunya rekaanku tidak akan meleset."
"Jadi kau berpendapat bahwa aku membunuhnya untuk Ban be tongcu?"
Yap Kay manggut-manggut.
Kata si nenek, "Karena pada waktu itu aku pun berada di sana, dan lagi aku ini seorang nenek,
maka aku ini pasti adalah Toh-popo (nenek she Toh)."
"Memangnya pengertian ini gampang diselami." "Tentunya Toh-popo tidak mungkin seorang
laki-laki."
"Sudah tentu bukan."
Mendadak nenek ini tertawa, tawanya amat aneh.
"Kau kira hal ini amat menggelikan"
"Hanya satu saja yang menggelikan."
"Satu yang mana?"
"Aku ini bukan Toh-popo."
"Kau bukan?"
"Menjadi Toh-popo memang tiada jeleknya, sayang sekali aku ini adalah seorang laki-laki
tulen."
Keruan Yap Kay melenggong.
Si nenek yang disangkanya Toh-popo ini ternyata memang benar seorang laki-laki. Dari
mukanya dia mencopot sebuah kedok muka yang amat hidup dan bagus sekali buatannya, lalu
pelan-pelan dia menanggalkan pakaian luarnya dan berdiri tegak. Nenek yang semula sudah renta
dan terbungkuk-bungkuk kini berubah jadi laki-laki pertengahan umur yang bertubuh kurus kering,
siapa pun akan tahu bila orang ini adalah laki-laki tulen.
Baru sekarang Yap Kay tiba-tiba sadar bahwa pandangan matanya hakikatnya tidak setajam
dan seahli seperti yang pernah dia bayangkan sendiri.
Kata orang itu dengan tersenyum, "Apa perlu kau memeriksaku lagi, apa benar aku ini
sebetulnya laki-laki atau perempuan?"

Yap Kay geleng-geleng kepala, katanya dengan apa boleh buat, "Tak usahlah."
"Toh-popo tentunya tidak mungkin adalah seorang laki-laki"
"Sudah tentu bukan."
"Kalau begitu jadi aku ini terang bukan Toh-popo seperti yang kau sangka."
"Ya, kau memang bukan."
"Jadi kematian Loh Loh-san pun bukan karena aku yang membunuhnya."
Terpaksa Yap Kay harus mengakui ucapan orang, karena siapa pun tahu bahwa Toan yang
ciam adalah senjata rahasia tunggal milik Toh-popo.
Berkata pula laki-laki itu, "Aku pun tidak benar-benar ingin membunuh Pho Ang-soat."
Kembali Yap Kay harus mengakui pula, karena sampai sekarang kenyataan Pho Ang-soat masih
segar-bugar.
Orang itu menarik napas panjang, diangkatnya cangkir yang penuh arak, ditenggaknya habis,
katanya tertawa, "Memang arak bagus."
Setelah menghabiskan secangkir arak, dia berdiri terus beranjak pergi.
Kembali terpancar rasa mencemooh dan hina pada sorot mata Siau Piat-li, katanya tersenyum,
"Lain kali harap sukalah datang pula."
Orang itu tertawa, ujarnya, "Sudah tentu aku pasti datang, kabarnya di sini orang boleh teken
bon, apalagi beberapa petak rumah bobrokku itu tak ada yang menyewanya."
Yap Kay tiba-tiba berseru memanggil, "Sebun-jun."
Laki-laki itu segera berpaling. Semula mukanya masih dihiasi senyuman, tapi begitu dia
berpaling, air mukanya seketika berubah.
Kini ganti Yap Kay yang tersenyum senang, memang di kala hatinya riang, orang lain justru
kebalikannya. Agaknya laki-laki itu ingin tertawa pula, sayang sekali kulit daging mukanya seperti
sudah kaku.
Kata Yap Kay tersenyum, "Kalau arak ini memang bagus, kenapa Sebun-siangsing tidak
mencicipinya lagi beberapa cangkir pula."
Laki-laki itu berdiri menjublek di tempatnya mengawasi dirinya sekian lama, katanya kemudian
setelah menghela napas, "Sekarang tentunya aku tidak perlu lagi bertanya kepadamu siapa kau
sebenarnya."
"Ya, memang tidak perlu."
"Tapi aku ingin tanya kau, kau ini sebenarnya apakah manusia?"
Yap Kay tertawa lebar. Kembali dia yakin akan pandangan matanya yang tajam, ternyata
memang tidak sejelek seperti yang sudah dia bayangkan. Katanya sambil tertawa, "Murid-murid
kesayangan Jian bin jin mo ternyata memang berkepandaian silat yang aneh dan ganas, begitu
pula ilmu tata riasnya, sebetulnya aku takkan bisa melihat penyamaranmu."
Sebun Jun menghela napas, katanya, "Sekarang kau sudah melihat kenyataan, toh belum
terlambat juga."
"Sudah tentu Toh-popo pasti bukan seorang perempuan, tak mungkin pula menjelma jadi
seorang nenek tulen, kalau tidak, orang lain masakah tidak bisa menebaknya dengan jitu?"
"Ya, masuk akal."
"Lalu siapakah dia sebenarnya?"
Siau Piat-li tiba-tiba tertawa, katanya tawar, "Kemungkinan kau, kemungkinan pula aku."

"Mungkin juga memang ...." Yap Kay termenung pula, tiba-tiba dia berjingkrak, serunya keras,
"Aku tahu sekarang, pasti dia itulah Toh-popo adanya."
Sebun Jun menghela napas pula, gumamnya, "Sayang sekali baru sekarang kau paham,
mungkin sudah terlambat."
Pelan-pelan Pho Ang-soat menghampiri terus masuk ke dalam toko kelontong. Selamanya
belum pernah dia masuk ke dalam toko kelontong ini, memang selama hidupnya belum pernah dia
masuk ke toko kelontong di mana saja.
Memangnya dia sebenarnya bukan hidup di dunia yang fana ini, dia memiliki kehidupan
dunianya sendiri. Dalam dunianya itu hanya ada dendam, dendam sekali lagi dendam, tiada
lainnya.
Li Ma-hou sedang mendekam di atas meja kasirnya, kembali dia sedang mendekam di atas
meja kasirnya, kembali dia sedang mengantuk, seolah-olah sudah lama dia tidak pernah tidur
nyenyak.
Pho Ang-soat langsung menghampiri, dengan gagang goloknya dia mengetok meja. Li Ma-hou
berjingkrak kaget dan sadar dari kantuknya, seketika dia melihat golok hitam di tangan Pho Angsoat.
Gagang dan sarung golok sama-sama hitam legam, tapi apakah tajam goloknya masih
berlepotan darah! Keruan pucat-pias selebar muka Li Ma-hou, teriaknya ketakutan, "Kau ... apa
yang kau inginkan?"
"Aku ingin minta kembali buntalanku."
"Buntalanmu ... oh, ya, di sini memang dititipi sebuah buntalan," baru sekarang dia merasa
lega, tersipu-sipu dia membuka laci serta mengangsurkan sebuah buntalan kain. Sudah tentu Pho
Ang-soat hanya menerimanya dengan sebelah tangan. Sementara tangan yang lain masih kencang
memegangi goloknya.
Kongsun Toan sudah ajal oleh golok ini, siapa lagi yang bakal menjadi korban kedua? Mungkin
dia sendiri pun tidak tahu. Pelan-pelan dia membalik badan, tiba-tiba dilihatnya setumpukan telur
di atas keranjang yang dijajakan, tanyanya tiba-tiba, "Apa telur itu dijual?"
"Kau ingin beli?"
Pho Ang-soat manggut-manggut. Mendadak dia sadar, lapar ternyata rasanya begitu menyiksa,
suatu siksaan yang merupakan tekanan berat, lebih berat dari kobaran rasa dendamnya.
Sesaat Li Ma-hou mengawasinya, lalu geleng-geleng kepala, sahutnya, "Tidak, telur itu tak
kujual kepadamu."
Pho Ang-soat sudah tahu, semua pintu di dalam kota ini seolah-olah sudah tertutup rapat di
hadapannya, demikian pula pintu toko kelontong ini. Jika dia berkukuh dan berkeras hendak
membelinya, sudah tentu tiada seorang pun yang bisa merintanginya. Tapi dia bukan laki-laki
macam begitu. Sasaran utama untuk melampiaskan rasa marah hatinya jelas bukan kepada
seorang nenek, juga bukan kepada Tauke toko kelontong ini.
Sinar bulan sudah guram, hembusan angin malam sudah terasa dingin. Memangnya tiada
sesuatu tempat lagi bagi dirinya di sini? Dengan kencang dia cekal goloknya, mencekal
buntalannya, memangnya dia sudah biasa hidup di dalam alam dunia yang lain. Bagaimana pun
sikap dan kelakuan orang-orang di dunia ini terhadapnya, dia tetap acuh tak acuh, dia tidak peduli
kepada mereka.
Tak nyana Li Ma-hou justru menambahkan pula, "Telur ini tidak kujual kepadamu, karena telur
ini mentah, tentunya kau tidak makan telur mentah."
Pho Ang-soat menghentikan langkah, berdiri di tempatnya.
"Di belakang ada tungku, dalam tungku ada api, bukan saja bisa menggoreng telur, juga bisa
menghangatkan arak," demikian Li Ma-hou menambahkan.
"Berapa yang kau inginkan?" tanya Pho Ang-soat berpaling.

Li Ma-hou tertawa, "Ternyata Kongcu memang gampang mengerti, bolehlah dihitung dua belas
tahil saja." Dua belas tahil untuk sekali makan, sungguh tarip mahal yang menggorok leher
pembelinya. Tapi betapapun banyak kau memiliki uang perak juga tidak akan bisa mengisi perut,
lapar justru merupakan siksaan yang tak tertahankan.
Li Ma-hou sedang menggoreng telur. Nasi goreng telur. Araknya sudah dihangatkan, masih
terdapat semangkuk kecil acar dan kacang.
"Kacang dan acar ini gratis, arak pun boleh kau minum sepuasmu, silakan berapa banyak kau
habiskan."
Tapi setetes arak pun Pho Ang-soat tidak meminumnya. Karena begitu dia minum pasti mabuk,
sekarang bukan saatnya minum arak.
Li Ma-hou mengantar sepiring nasi goreng telur ke atas meja, melihat arak dalam cangkirnya
pula. katanya dengan mengunjuk tawa, "Toaya, anggap arak ini kurang enak?"
"Arak ini baik."
"Umpama tidak baik, bolehlah minum barang seteguk dua teguk untuk melepaskan lelah
meringankan tekanan hati."
Pho Ang-soat sudah mulai makan. Sedikit pun dia tidak takut bila nasi goreng itu beracun. Cara
untuk membedakan apakah di dalam sesuatu makanan ada dicampur racun ada tiga puluh enam
macam banyaknya, paling tidak dia paham dua puluh macam di antaranya. Soalnya bila dia sendiri
tidak ingin melakukan sesuatu, tiada seorang pun yang kuasa memaksanya. Sudah tentu Li Mahou
bukan laki-laki yang suka memaksa orang melakukan keinginan dirinya.
Kalau Pho Ang-soat tidak mau minum, maka dia sendiri yang akan menenggaknya sampai
habis. Seteko arak yang dihangatkan tadi sekaligus dia tenggak habis, katanya tertawa getir,
"Bicara menurut isi hati, aku sering menjadi heran, kenapa sebanyak ini orang di dunia yang suka
minum arak, arak sebetulnya jauh lebih sukar diminum dari obat racun "
"Kau tidak suka minum arak?" tanya Pho Ang-soat.
"Sebetulnya aku tidak pandai minum, sekarang juga aku sudah hampir mabuk." Memang dia
hampir mabuk, bukan saja kulit mukanya sudah merah legam, biji matanya pun sudah membara.
Pho Ang-soat mengerut kening, tanyanya, "Tidak bisa minum kenapa harus minum?"
"Arak ini sudah kupanasi, kalau tidak kuminum, besok akan rusak."
"Maka kau rela diri sendiri jatuh mabuk."
"Siapa pun bila dia ingin membuka toko kelontong, maka dia harus mempelajari satu hal."
"Hal apa?"
"Lebih baik diri sendiri yang rugi, jangan sekali-kali kau menyia-nyiakan barang yang dijajakan."
Sampai di sini Li Ma-hou menghela napas, katanya labih lanjut, "Maka laki-laki yang tidak becus
macamku ini saja yang rela membuka toko kelontong. Bukan saja tidak bisa mempersunting
seorang istri, seorang teman pun dia tidak punya."
Pelan-pelan Pho Ang-soat sedang melalap nasi gorengnya, tiba-tiba dia menghela napas ringan,
katanya, "Kau salah."
"Bluk", Li Ma-hou jatuh terduduk di sampingnya, katanya, "Dalam hal apa aku salah?"
"Hanya ada semacam orang di dunia ini yang tidak punya kawan."
"Orang macam apa dia?"
"Macam diriku ini." Kepala Pho Ang-soat terangkat, seolah sedang menatap ke tempat jauh,
seolah-olah kelihatan hambar kesepian.

Selamanya dia tidak punya teman, kelak mungkin takkan punya untuk selamanya. Jiwa raganya
seolah-olah sudah dia persembahkan demi dendam kesumat, dendam sakit hati yang takkan
terlampias dan terbuka untuk selamanya. Tapi dalam relung hatinya yang paling dalam, kenapa
justru mengharap persahabatan yang simpatik?
Dengan biji matanya yang membara Li Ma-hou mengawasinya, tanyanya tiba-tiba, "Yap-kongcu
itu masakah bukan temanmu?"
"Bukan," sahut Pho Ang-soat dingin.
"Tapi agaknya dia memandang kau sebagai teman karibnya"
"Itulah karena dia mempunyai ciri."
"Punya ciri?"
"Orang yang memandang diriku sebagai teman, otaknya pasti ada cirinya."
"Kalau begitu aku ini juga ada cirinya," ujar Li Ma-hou.
"Kau?"
"Karena sekarang ini aku juga hendak bersahabat dengan kau." Begitu mengoceh, lidahnya
seolah-olah menjadi besar, memang cepat benar dia jatuh mabuk.
Pho Ang-soat tiba-tiba meletakkan sumpit, katanya dingin, "Nasi gorengmu ini memang tidak
jelek rasanya." Tanpa berpaling kepada Li Ma-hou, pelan-pelan dia berdiri memutar badan, karena
dia tidak ingin orang melihat mimik mukanya. Tapi Li Ma-hou justru masih mengawasinya,
mengawasi punggungnya. Tampak pundak orang sudah mulai mengkeret, agaknya perasaan
hatinya tidak tenang.
Tiba-tiba terpancar cahaya aneh dari kedua biji mata Li Ma-hou, pelan-pelan dia mengulurkan
tangan, seperti hendak menepuk pundaknya. Tepat pada saat itulah, sekonyong-konyong selarik
sinar dingin berkelebat. Sebatang pisau tahu-tahu sudah menancap di atas punggung tangannya.
BAB 18. PISAU TERBANG PENYELAMAT NYAWA
Pisau sepanjang tiga dim tujuh mili. Pisau terbang.
Begitu melihat pisau ini, selebar muka Li Ma-hou seketika berkerut-kerut mengejang. Lalu
orangnya pun roboh, seolah disambar petir yang tak bersuara. Waktu dia roboh itulah sesuatu
benda kebetulan terjatuh ke atas meja terlepas dari genggaman tangannya.
Sigap sekali Pho Ang-soat tiba-tiba membalik badan, maka dia pun melihat Yap Kay.
Dengan tersenyum Yap Kay tengah melangkah masuk. Dia tidak membawa pisau.
Pho Ang-soat menatapnya, lalu mengawasi Li Ma-hou yang menggeletak di atas lantai,
bentaknya bengis, "Apa yang kau lakukan?"
Yap Kay mandah tertawa saja diperlakukan secara kasar. Selalu dia suka tertawa untuk
menjawab pertanyaan yang tidak perlu dia jawab.
Pho Ang-soat memang tidak perlu bertanya lagi, kini dia pun sudah melihat tiga batang jarum
di atas meja. Jarum yang mengkilap hijau keputihan. Jarum inilah yang terjatuh dari jari-jari
tangan Li Ma-hou.
Jika pisau itu tidak bertindak tepat pada waktunya, mungkin sekarang Pho Ang-soat sudah
mirip Loh Loh-san rebah di tanah tanpa bernyawa lagi. Apakah juragan toko kelontong yang
biasanya bekerja secara sembrono ini adalah Toh-popo yang berhati kejam bertangan gapah itu.

Lama sekali Pho Ang-soat menggenggam kencang goloknya, waktu dia mengangkat kepala,
dilihatnya Yap Kay tengah tersenyum kepadanya Mendadak Pho Ang-soat berkata dingin,
"Bagaimana kau tahu bila aku tidak akan bisa meluputkan diri dari bokongannya?"
"Aku tidak tahu," sahut Yap Kay.
"Kenapa selalu kau berusaha menolong aku?"
"Siapa bilang aku menolong kau?"
"Lalu untuk apa kau kemari?"
"Tidak lebih aku hanya menyambitkan pisau mengarah punggung tangan orang ini, tangan
miliknya, pisau milikku, dengan kau tiada sangkut-pautnya."
Terbungkam mulut Pho Ang-soat.
Pelan-pelan Yap Kay maju menghampiri, menghirup napas dalam-dalam, lalu katanya dengan
tersenyum, "Agaknya nasi goreng ini memang lezat sekali, wangi memenuhi selera."
"Hm," Pho Ang-soat menggeram.
"Arak ini agaknya juga baik mutunya, sayang sekali sudah habis."
Baru saja Pho Ang-soat hendak buka suara, tiba-tiba Yap Kay sudah tertawa pula, katanya,
"Pisauku itu cukup tidak untuk menukar arak seharga seketip?"
Orang yang rebah di lantai diam saja tak bergerak, tiada ada yang menjawab.
"Kalau tidak cukup," sela Pho Ang-soat, "kau harus mengganti golokku ini."
Tetap tiada orang yang bersuara atau menjawab.
Sambil menghela napas Yap Kay berjongkok menepuk pundak orang, katanya, "Toh-popo aku
sudah mengenalimu, buat apa kau ...." Suaranya mendadak terputus, roman mukanya seketika
menunjukkan keheranan dan terkejut, orang yang dia robohkan ini ternyata untuk selamanya
takkan bangun lagi.
Kulit daging muka orang ini sudah mengkeret seperti karet yang kedinginan, kaki tangan pun
sudah dingin kaku. Pisau masih menancap di punggung tangannya.
Mengawasi muka itu, lalu mengawasi pisau itu pula, berkata Pho Ang-soat, "Pisaumu beracun?"
"Tidak," sahut Yap Kay.
"Kalau tidak beracun bagaimana orang ini bisa mampus?"
"Usianya agak terlalu tua, orang tua biasanya memang tak tahan kaget."
"Maksudmu dia mampus lantaran kaget dan ketakutan?"
"Punggung tangan bukan tempat vital, pisauku terang tidak beracun."
"Katamu dia ini adalah Toan-yang-ciam Toh-popo?"
"Kalau Bu kut coa (ulat tak bertulang) bisa menjadi nenek, kenapa loh-popo tidak boleh
menjadi laki-laki?"
"Ya, aku pun tahu, orang macam apa sebenarnya Toh-popo itu."
"Memangnya kau harus tahu."
Pho Ang-soat tiba-tiba tertawa dingin, katanya, "Orang seperti dia, masakah bakal mati
ketakutan hanya oleh sebilah pisau sekecil itu?"
"Tapi kenyataan dia sudah mati"
"Sebetulnya pisau macam apakah itu?"

Yap Kay mandah tertawa. Seperti biasa dia senang tertawa untuk menjawab pertanyaan yang
tak perlu dia jawab.
Batang pisau ini tipis dan tajam luar biasa, memancarkan sinar kehijauan yang berkilauan.
Waktu dia mengawasi pisau ini, sorot matanya pun memancarkan cahaya. Lama sudah baru dia
bersuara kalem, "Bagaimana pun juga, tidak bisa tidak kau harus mengakui bahwa kenyataan
inilah sebatang pisau."
Lama juga Pho Ang-soat menepekur, katanya pelan-pelan kemudian, "Sungguh tak nyana kau
pun ahli menggunakan pisau."
Yap Kay tertawa pula.
"Selama ini belum pernah aku melihat kau membawa pisau."
"Memangnya pisauku tidak untuk dipertontonkan kepada orang."
Terpaksa Pho Ang-soat mengakui.
"Mungkin hanya pisau yang tidak kelihatan saja baru merupakan pisau yang paling
menakutkan."
"Tiada pisau yang tidak kelihatan di dunia ini," jengek Pho Ang-soat.
Dengan memicing Yap Kay mengawasi pisau di tangannya, katanya kalem, "Mungkin kau bisa
melihatnya, tapi bila kau benar-benar sudah melihatnya, mungkin saat itu sudah terlambat."
Pisau yang dapat membuat orang mati ketakutan, biasanya memang sebilah pisau yang tak
kelihatan. Karena begitu kau dapat melihatnya, segalanya sudah terlambat.
Tahu-tahu pisau itu sudah tak terlihat lagi. Mendadak pisau di tangan Yap Kay itu sudah lenyap,
seperti dia pandai main sulap saja.
Pho Ang-soat tertunduk, mengawasi golok di tangannya, sorot matanya menampilkan perasaan
yang aneh sekali. Akhirnya dia paham apa yang dimaksud oleh Yap Kay.
Kongsun Toan pun belum pernah melihat goloknya itu. Yang terlihat oleh Kongsun Toan
hanyalah gagang golok dan sarung goloknya.
Yap Kay berkata tawar, "Orang yang gampang terlihat oleh orang, sulit untuk dia membunuh
orang."
Pho Ang-soat sedang mendengarkan.
Pelan-pelan Yap Kay melanjutkan, "Maka orang yang tahu cara menggunakan pisau, maka dia
pun tahu cara bagaimana dia harus menyimpan pisaunya."
Pelan-pelan Pho Ang-soat menghela napas, seperti menggumam dia berkata, "Sayang sekali hal
ini sulit dilaksanakan."
"Ya, memang sulit."
"Jauh lebih sulit daripada kau menggunakannya."
"Agaknya kau sudah paham."
"Aku sudah paham," sahut Pho Ang-soat sambil angkat kepala mengawasi Yap Kay.
Tawa Yap Kay hangat dan simpatik.
Tiba-tiba Pho Ang-soat menarik muka pula, katanya dingin, "Oleh karena itu aku pun berharap
kau memahami satu hal"
"Hal apa?"
"Selanjutnya jangan kau datang berusaha menolongku, jalanlah menuju ke tujuanmu, aku akan
pergi ke arahku sendiri, bahwasanya kita tidak punya hubungan apa-apa, umpama kau mampus di
hadapanku aku pun takkan menolongmu."

"Kita bukan teman?"
"Bukan."
"Ya, aku pun mengertilah."
"Kalau begitu sekarang juga silakan kau tempuh ke arahmu sendiri"
"Dan kau, kau tidak mau keluar?"
"Kenapa aku harus keluar?"
"Ada orang sedang menunggumu di luar."
"Siapa?"
"Seorang nenek yang bukan nenek."
"Untuk apa dia menunggu aku?"
"Supaya kau ke sana bertanya, kenapa dia hendak membokong kau."
Seketika bersinar biji mata Pho Ang-soat, segera dia beranjak keluar dengan langkah lebar.
Bahwasanya dia tidak perlu tergesa-gesa keluar, karena betapapun lamanya orang di luar itu
harus menunggu, dia toh tidak pernah gugup dan gelisah. Orang yang sudah mati selamanya
takkan gelisah.
Perawakan Sebun Jun memang sedang-sedang saja, kini sudah meringkuk seperti trenggiling.
Mereka berada di pojokan belakang punggung lemari, biji matanya melotot keluar, seolah-olah
membawa perasaan gusar dan ketakutan sebelum ajalnya. Siapakah yang membunuhnya?
Agaknya dia sendiri tidak menduga bila orang itu akan datang membunuhnya. Sebuah bor baja
telak sekali tembus di hulu hatinya, darah yang mengalir dari lukanya masih belum lagi membeku
kering.
Sekelilingnya tidak kelihatan bayangan seorang pun. Kini tibalah saatnya orang-orang makan
malam, memang biasanya jarang orang berlalu-lalang di jalan raya pada saat-saat seperti ini.
Pho Ang-soat berdiri di sana, badannya pun sudah kaku, setelah dia mendengar langkah Yap
Kay yang mendatangi, baru dia bertanya dengan suara berat, "Katamu orang-orang inikah Bu kut
coa Sebun Jun?"
Berselang lama Yap Kay baru menghela napas, dengan ogah-ogahan dia mengiakan.
"Aku pun tahu orang macam apa dia sebenarnya."
"Memang pantas kau mengetahuinya."
"Tanpa memberi perlawanan dia pun tidak berteriak, tahu-tahu sudah mampus terbunuh."
"Memangnya ini serangan telak yang mematikan."
"Tak banyak orang yang mampu membunuhnya dengan cara ini."
"Banyak sekali."
"Banyak sekali?"
"Siapa pun boleh saja membunuhnya, karena dia hakikatnya sudah tidak punya daya untuk
melawan."
"Kenapa?"
"Aku kuatir dia tidak sudi menunggumu, maka sebelumnya sudah kutotok Hiat-tonya!" Yap Kay
tertawa getir, sambungnya, "Meski banyak orang yang bisa membunuh dia, namun yang benarbenar
ingin membunuhnya hanya seorang saja."
"Siapa?"

"Seorang yang kuatir kau dapat mengompas keterangannya."
"Kenapa dia hendak membunuhku? Siapa pula yang menyuruh dia membunuhku? ... inikah
rahasianya?"
"Tidak salah."
Pho Ang-soat tiba-tiba tertawa dingin, lalu putar badan tinggal pergi.
"Kemana kau?"
"Akan kutempuh jalanku sendiri, kenapa tidak kau tuju arah jalanmu sendiri?" Tanpa berpaling
pelan-pelan dia menyusuri jalan raya yang panjang ini.
Jalan raya ini sunyi lengang, lampion merah di atas pintu sempit itu sudah menyala. Kebetulan
segulung angin deras menghembus datang, kertas yang ditempelkan pada dinding di luar gang
sempit itu seketika tertiup lepas dan terbang entah kemana.
Angin terasa dingin, malam sudah tiba, apakah musim rontok pun bakal tiba?
Angin dingin, hawa sedikit panas. Tapi dalam rumah hangat segar seperti hawa di musim semi.
Memang bagi pandangan kaum pria, tempat ini seolah-olah sepanjang tahun adalah musim semi.
Meja-meja di pojokan sana sudah diduduki beberapa orang yang sibuk menghabiskan arak
masing-masing, malam belum larut, namun mereka sudah terpengaruh oleh air kata-kata.
Baru saja Yap Kay duduk, Siau Piat-li sudah mendorong cangkir arak kepadanya, katanya
dengan tersenyum, "Jangan lupa kau pernah berjanji hendak mentraktir aku minum." Cangkir itu
sudah diisi penuh arak.
Yap Kay tertawa, ujarnya, "Jangan lupa kau berjanji aku boleh teken bon di sini."
"Siapa pun yang pernah berjanji sesuatu kepadamu, agaknya sulit juga untuk melupakannya."
"Memangnya sukar."
"Maka boleh sesuka dan sepuasmu kau minum di sini."
Yap Kay tertawa lebar, cangkir diangkat terus ditenggaknya habis, kepalanya berpaling
matanya menjelajah, katanya, "Hari ini tamu yang datang tidak sedikit jumlahnya."
Siau Piat-li manggut-manggut, ujarnya, "Asal lampion merah menyala, segera orang bakal
masuk kemari."
"Maka aku curiga apakah seharian mereka sudah menunggunya lebih dulu di luar pintu."
"Tempat seperti ini memang rada aneh, setiap orang yang pernah berkunjung dua tiga kali,
lekas sekali dia sudah akan tuman, jika tidak kemari meski hanya untuk duduk dan berputar-putar
saja, agaknya mereka tidak bisa tidur."
"Sekarang juga aku sudah tuman, hari ini aku datang tiga kali."
"Maka aku menyukai kau."
"Oleh karena itu kau memperbolehkan aku teken bon di sini."
Siau Piat-li tergelak-gelak. Orang yang duduk di pojokan sana berpaling kemari dengan
pandangan keheranan. Paling tidak mereka sudah ratusan kali datang ke tempat ini, namun belum
pernah mereka melihat juragan dari sarang hiburan sebatangkara dan cacad ini tertawa
sedemikian riangnya. Tapi lekas sekali Siau Piat-li sudah menghentikan tawanya, katanya, "Apa
benar Li Ma-hou adalah Toh-popo?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Aku masih belum mengerti, cara bagaimana kau bisa mengetahuinya."
"Aku tidak tahu, hakikatnya apa pun aku tidak tahu."

"Jadi hanya tebakanmu saja."
"Aku hanya merasa sedikit heran, kenapa Sebun Jun menyuruh Pho Ang-soat mengambil
buntalannya di toko kelontong itu?"
"Hanya satu saja alasannya."
"Waktu aku sampai di sana, ternyata dia mengundang Pho Ang-soat untuk makan di luar."
"Itu tidak mengherankan."
"Justru mengherankan," ujar Yap Kay. "Sekarang setiap penduduk kota ini sudah tahu bahwa
Pho Ang-soat adalah musuh besar Ban be tong, orang dengan watak dan perangai seperti Li Mahou,
masakah dia berani berdosa terhadap Ban be tong?"
"Benar, seharusnya dia bisa menolak atau tidak berani menyimpan buntalan itu."
"Tapi dia justru menyimpannya."
"Maka dia pasti mempunyai suatu maksud tertentu"
"Maka aku baru merasa pasti dia itulah Toh-popo."
"Tebakanmu tidak meleset."
"Untung aku tidak salah tebak."
"Kenapa?"
"Karena dia sudah mati lebih dulu karena ketakutan."
Siau Piat-li melenggong.
"Tidak kau kira bukan?" tanya Yap Kay.
Siau Piat-li menghela napas, tanyanya, "Lalu Sebun Jun?"
"Dia pun sudah ajal."
Diangkatnya cangkir arak di depannya pelan-pelan. Siau Piat-li menenggaknya pelan-pelan,
katanya dingin, "Agaknya hatimu memang tidak lemah."
Yap Kay menatapnya bulat-bulat, katanya tawar, "Sekarang agaknya kau sudah menyesal
karena memberi peluang kepadaku untuk tekan bon."
"Aku hanya heran, orang-orang seperti mereka bagaimana bisa datang dan berada di tempat
seperti ini, malah begitu datang lantas menetap di sini lidak mau pergi."
"Mungkin mereka sedang menghindari kejaran musuh atau mungkin pula musuh besar mereka
adalah Pho Ang-soat."
"Tapi waktu mereka datang kemari, Pho Ang-soat masih seorang bocah kecil."
"Lalu kenapa mereka hendak membunuh Pho Ang-soat?" ujar Yap kay.
“Tidak seharusnya kau bunuh mereka, karena hanya mereka saja yang patut mengajukan
pertanyaan itu kepadamu."
"Memang mereka mati terlalu cepat dan belum saat ajalnya, namun.....
"Namun bagaimana?" Siau Piat-li menegas
Tiba-tiba Yap Kay tertawa pula, ujarnya, "Jangan kau lupa bahwa manusia mati ada kalanya
pun bisa bicara."
"Apa yang mereka katakan?"
"Sekarang belum bicara, karena aku belum sempat bertanya pada mereka."
"Kenapa tidak segera kau tanya?"

"Kalau aku tidak tergesa-gesa, tentu mereka pun tetap sabar."
Siau Piat-li tertawa pula, katanya tersenyum sambil menatap Yap Kay,
"Kau ini memang seorang yang aneh sekali."
"Sama anehnya dengan Sam-lopan ...."
"Lebih aneh lagi...." sampai di sini kata-katanya, mendadak terdengar suara ribut-ribut, di
antara suara ribut-ribut terdengar orang berteriak, "Api, kebakaran, lekas tolong kebakaran...."
Kobaran jago merah amat besar. Yang terbakar ternyata adalah toko kelontong Li Ma-hou. Asal
kebakaran ternyata dari gubuk papan di bagian belakang itu, sekejap saja seluruh toko kelontong
itu sudah terjilat begitu cepat api menjalar sampai tak bisa dikuasai lagi.
Umpama orang ingin menonton kebakaran dari seberang juga tidak mungkin lagi. Karena
bangunan rumah-rumah sepanjang jalan raya yang berhimpitan ini semuanya terbuat dari papan
kayu. Dalam sekejap seluruh penduduk jalan raya ini menjadi ribut dan sibuk, berbagai barang
yang dapat dibuat wadah air sudah diboyong keluar.
Cahaya api menerangi muka Siau Piat-li, raut mukanya yang pucat kelihatan merah dan
menguning ditimpa sinar api, katanya setelah menepekur, "Agaknya api mulai menjilat dari gubuk
di belakang yang menjadi dapur itu."
Yap Kay manggut-manggut.
"Waktu kau keluar, apa kau lupa memadamkan api?"
"Bahwasanya waktu itu belum saatnya menyalakan lampu."
"Apakah tungkunya tidak ada sisa api?"
"Tungku milik setiap keluarga selalu ada apinya."
"Jadi kau berpendapat ada orang yang sengaja melepas api membakar rumah itu?"
"Seharusnya aku ingat ada orang akan membakar rumah itu," ujar Yap Kay tertawa.
"Kenapa?"
Yap Kay tertawa aneh, ujarnya, "Karena mayat yang sudah terbakar hangus, selamanya dia
akan betul tidak bisa bicara lagi" Tiba-tiba dia merebut sebuah ember di tangan orang yang baru
saja lewat di depannya, dengan gigih dia ikut bekerja menolong memadamkan api. Lekas sekali
Siau Piat-li sudah tidak melihat lagi bayangannya, namun sorot matanya masih kelihatan banyak
dirundung persoalan dan hati pun masgul.
Tiba-tiba datang seseorang secara diam-diam ke dekatnya, lalu bertanya dengan lirih, "Apa
yang sedang kau pikirkan?"
Siau Piat-li tidak berpaling, sahutnya kalem, "Baru saja aku memperoleh suatu pelajaran."
"Pelajaran apa?" tanya orang itu.
"Kalau kau ingin seseorang bungkam dan tak bicara lagi, sesudah kau bunuh harus kau bakar
sekalian."
Banyak sekali orang yang sibuk berusaha memadamkan kebakaran ini, sayang sekali sumber
airnya yang tiada.
Untung belum lama berselang baru saja hujan, rumah-rumah penduduk tidak seluruhnya kering
seratus persen, walau kobaran api tidak segera bisa dipadamkan, tapi merambatnya yang sedikit
terhalang.
Yap Kay berjubel di antara orang banyak yang banting tulang menolong kebakaran, namun
sepasang matanya setajam mata elang jelalatan ke setiap penjuru, menjelajahi raut muka setiap
orang yang dilihatnya. Soalnya orang yang melepas api biasanya pura-pura ikut berusaha
menolong kebakaran, mungkin lantaran supaya tiada orang yang mencurigai dirinya, atau

mungkin dia ingin menikmati jerih payah orang-orang yang bekerja mati-matian memadamkan
api, sekaligus menikmati hasil karyanya dengan melepas api tadi. Sudah tentu ini merupakan sifat
atau sikap kejam dan tidak berperi-kemanusiaan, tapi orang yang melepas api itu memangnya
bukan mustahil memiliki jiwa yang eksentrik dan kejam? Cuma sayang sulit sekali dapat melihat
jiwa orang-orang seperti ini dari lahiriah dan tingkah-laku orang ini.
Baru saja Yap Kay merasa rada kecewa, tiba-tiba terasa ada seseorang tengah menarik lengan
bajunya dengan keras dari belakang. Begitu dia berpaling, dilihatnya orang itu sudah berpaling ke
arah lain dan sebat sekali sudah mendesak keluar dari gerombolan orang banyak. Itulah seorang
yang mengenakan topi beludru dan berpakaian jubah hijau. Sudah tentu Yap Kay tidak kalah
gesitnya ikut mendesak keluar dari kerumunan orang banyak. Setelah berada di luar, yang terlihat
juga cuma bayangan punggung orang baju hijau ini.
BAB 19. CABUT RUMPUT SEAKAR-AKARNYA
Biasanya Yap Kay amat senang menyelami bayangan punggung orang, terasa olehnya
bayangan punggung orang ini sedikit banyak mempunyai keistimewaan sendiri, maka bukanlah
soal sulit untuk mengetahui siapa sebenarnya orang itu dari bayangan punggungnya. Akan tetapi
bayangan orang baju hijau ini terasa asing baginya.
Perawakannya sih tidak terlalu tinggi, namun gerak-geriknya cukup cekatan dan gesit, lekas
sekali dia sudah tiba di ujung jalan raya sana. Sekonyong-konyong bayangan orang itu tahu-tahu
sudah lenyap tak berbekas lagi. Bintang-bintang berkelap-kelip di langit, padang rumput hening
lelap tak terdengar suara apa pun.
Dengan langkah lebar Yap Kay segera mengejar ke depan, mulutnya berseru perlahan, "Teman
di depan itu apakah ada petunjuk? Silakan berhenti untuk bicara."
Langkah orang jubah hijau bukannya berhenti malah dipercepat, beberapa kejap kemudian
setelah menempuh jarak tertentu, tiba-tiba badannya melejit terbang mengembangkan Ginkang
Pat poh kan sian (delapan langkah mengejar tonggeret) dari tingkat tinggi. Bukan saja Ginkang
orang ini amat tinggi, gaya gerakannya amat indah.
Tampak oleh Yap Kay jubah besarnya yang kedodoran itu melambai-lambai tertiup angin, tibatiba
terasa pula olehnya gerak-gerik orang ini seperti sudah amat hapal dan pernah dilihatnya
entah dimana. Semakin jauh mereka berlari, cuaca semakin gelap. Yap Kay sendiri juga tidak perlu
tergesa-gesa untuk menyandak orang itu.
Kalau orang jubah hijau ini tidak mau menemui dirinya, kenapa tadi menarik lengan bajunya?
Jika orang ini memang ingin bertemu dirinya, kenapa dirinya harus terburu-buru mengejarnya?
Angin menghembus rumput berombak, di antara sela-sela rumput yang tumbuh tinggi ternyata
terdapat sebuah jalanan kecil.
Agaknya orang itu amat hapal dengan situasi dan keadaan padang rumput dan sekitarnya, di
antara semak-semak rumput tinggi dia menuju ke timur lalu berbelok ke utara, kembali ke arah
barat, tiba-tiba bayangannya lantas lenyap.
Ternyata Yap Kay tetap kalem dan tidak menjadi gugup karenanya, dia pun berhenti dan
menunggu dengan sabar. Betul juga tak lama kemudian terdengar sebuah suara lirih di antara
semak-semak rumput panjang, "Kau tahu siapa?"
Yap Kay tertawa, mulutnya segera bersenandung dengan suara rendah, "Langit bergoncang,
bumi bergetar, orangnya bagai jade, batu jade berbau harum. Itulah Sim Sam-nio dari Ban be
tong."
Terdengar orang tertawa dari semak-semak rumput, tawa yang lincah dan merdu serta lembut.
Terdengar seorang berkata dengan tertawa, "Pandangan yang tajam, patut diberi hadiah."

"Hadiah apa?" tanya Yap Kay tertawa.
"Kau masuk kemari dan menikmati arak bersama," sahut Sim Sam-nio.
Di tengah semak belukar padang rumput ini, cara bagaimana ada tempat menyimpan arak?
Setelah Yap Kay masuk ke dalam, baru dia mengerti, ternyata di tempat belukar ini Sim Sam-nio
membangun sebuah bilik kecil di bawah tanah.
Jika bukan dia sendiri yang membawamu kemari, umpama ada selaksa orang yang menjelajah
seluruh padang rumput ini juga jangan harap bisa menemukan bilik kecil ini. Sungguh suatu
tempat yang aneh dan menakjubkan, bukan saja di dalam ada arak, malah di sini juga tersedia
sebuah balai-balai yang bersih, lemari rias yang antik, di atas meja riasnya malah dipajang
seonggok bunga segar.
Meja antik dimana sudah tersedia arak, terdapat pula beberapa macam sayur-mayur.
Yap Kay terlongong.
Sim Sam-nio mengawasinya dengan tersenyum simpul, itulah senyuman yang menyedot sukma
setiap laki-laki. Menghadapi senyuman yang menggiurkan ini, hati setiap laki-laki akan tergugah
dari ketinggian terhadap perangsang yang membangkitkan daya kelakian.
Katanya tersenyum manis, "Apakah kau merasa heran?"
Tiba-tiba Yap Kay pun tertawa, ujarnya, "Tidak heran."
"Tidak heran?" Sim Sam-nio melengak.
"Perempuan sepertimu, peduli apa pun pekerjaan yang kau lakukan, aku tidak perlu merasa
heran."
Jelalatan kerlingan biji mata Sim Sam-nio, katanya, "Agaknya kau ini memang laki-laki yang
serba tahu urusan."
"Demikian pula kau ini perempuan yang serba tahu."
"Oleh karena itu kita harus benar-benar menjadi orang yang betul-betul tahu urusan, duduk
dulu sambil minum arak.
"Dan selanjutnya," berkedip-kedip mata Yap Kay.
"Kalau kau toh laki-laki yang serba tahu, tidak pantas bertanya demikian di hadapan seorang
perempuan."
"Sebetulnya aku hanya ingin mendengar kau bercerita saja."
"Bercerita tentang apa?"
"Cerita tentang Sin to ban be."
"Darimana kau tahu bila aku bisa bercerita tentang kejadian itu?"
"Bukan hanya itu saja yang kuketahui lho."
Tiba-tiba Sim Sam-nio tidak bersuara lagi. Cahaya lampu yang redup menyinari mukanya
sehingga dia kelihatan lebih cantik, namun suatu kecantikan yang merawankan, cantik dingin yang
harus dikasihani. Pelan-pelan dia menuang secangkir penuh terus disodorkan kepada Yap Kay. Yap
Kay pun duduk.
Angin menghembus masuk dari lubang di sebelah atas, sinar lampu berkelap-kelip, seolah-olah
hari sudah larut malam. Alam semesta hening lelap, memangnya siapa akan menduga di dalam
bilik di bawah tanah ini dua orang sedang duduk berhadapan berdiam diri menikmati arak.
Memangnya siapa pula yang dapat meraba jalan pikiran mereka?
Kembali Sim Sam-nio memenuhi cangkirnya, pelan-pelan di tenggaknya pula, lalu katanya
pelan-pelan, "Kau tahu siapa juragan Sin to tong?"
Yap Kay manggut-manggut.

"Kau tahu bahwa Pek Thian-ih dan Be Khong-cun sebenarnya adalah saudara angkat
seperjuangan dalam menempuh kehidupan pelik di antara mati dan hidup?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Mereka berjuang mengadu pundak, dari luar perbatasan malang melintang sampai ke
Tionggoan, akhirnya Sin to tong dan Ban be tong amat tenar dan disegani di Bu-lim "
"Sudah lama aku tahu Pek-locianpwe adalah tokoh yang luar biasa."
Sim-sam-nio menghela napas, katanya rawan, "Justru karena dia seorang yang luar biasa,
maka akhirnya dia mengalami kematian yang begitu mengenaskan."
"Kenapa?"
"Karena dia sehingga Sin to tong sehari demi sehari semakin besar dan jaya, bukan saja lebih
unggul dari Ban be tong, di kalangan Kangouw boleh dikata tiada tokoh mana pun yang kuat
mengungguli dia "
"Kukira dia pasti banyak membuat kesalahan terhadap orang banyak."
"Kebesaran tokoh Bu-lim dengan ketenarannya, memang harus diraih dengan cucuran darah."
Kata Sim Sam-nio setelah mengertak gigi, "Dia sendiri pun tahu bahwa banyak orang Kangouw
yang membenci dirinya, tapi mimpi pun tak pernah terpikir olehnya bahwa orang yang paling
membenci dirinya adalah saudara angkat yang amat dekat dengan dirinya."
"Be Khong-cun maksudmu?" tanya Yap Kay.
Sim Sam-nio manggut-manggut, sahutnya, "Be Khong-cun membencinya, karena dia tahu
dirinya tidak unggul dibanding saudara angkatnya."
"Apa benar akhirnya dia meninggal di tangan Be Khong-cun sendiri?"
"Sudah tentu ada orang lain lagi."
"Kongsun Toan?"
"Kongsun Toan hanya budak yang diperalat, hanya dengan kekuatan mereka berdua,
memangnya berani mengusik Sin to tong, apalagi Pek-hujin dan Pek-jihiap merupakan tokoh-tokoh
silat yang berkepandaian top pula di dunia persilatan." Terpancar kebencian yang meluap-luap dari
sorot matanya, katanya pula, "Oleh karena itu, sedikitnya ada tiga puluh orang."
"Tiga puluh orang?" Yap Kay sampai mengkirik seram.
"Ketiga puluh orang itu tentunya merupakan tokoh-tokoh top dunia persilatan juga."
"Kau tahu siapa mereka itu?"
"Tiada orang yang tahu ... kecuali mereka sendiri, pasti tiada orang lain yang tahu." Tidak
memberi kesempatan Yap Kay bertanya, Sim Sam-nio lekas meneruskan, "Malam itu hujan salju
baru saja berhenti, Be Khong-cun mengundang Pek-toako bersaudara untuk menikmati panorama
salju, kitanya di Bwe hoa am di luar kota dia sudah menyiapkan sebuah perjamuan yang cukup
mewah."
Yap Kay mendengarkan penuh perhatian, seolah-olah setiap bait demi bait dan setiap patah
kata pun tidak ketinggalan, maka dia segera bertanya, "Bwe hoa am yang terang adalah tempat
ziarah orang beragama, mana bisa di sana disediakan perjamuan dan arak?"
"Orang yang benar-benar bisa membatasi diri untuk menyempitkan kehidupannya sendiri di
dunia ini ada berapa banyak?"
Yap Kay manggut-manggut ia sependapat, segera dia tuang secangkir arak pula.
Dia cukup menyelami perasaan hati orang. Perempan seperti dia ini tentu mempunyai
pandangan yang eksentrik terhadap segala sesuatu yang terjadi di dunia ini.

Setelah menghabiskan secangkir arak, Sim Sam-nio bicara lebih lanjut, "Agaknya selera
tamasya Pek-toako memang amat besar, maka dia bawa seluruh keluarganya ikut serta, siapa
tahu ... siapa tahu Be Khong-cun bukan ingin mereka melihat pemandangan salju yang putih, tapi
adalah salju nan merah!" Tangan yang menggenggam cangkir mulai gemetar, sorot matanya yang
bersinar menjadi merah dan berkaca-kaca.
Air muka Yap Kay pun prihatin, katanya, "Apakah tiga puluh orang itu sudah dipendam dulu
oleh Be Khong-cun untuk menjebaknya di Bwe hoa am?"
Sim Sam-nio manggut-manggut, katanya rawan, "Pada malam itulah keluarga Pek-toako
bersaudara, seluruhnya sebelas orang, semuanya gugur di luar Bwe hoa am, tiada satu pun yang
ketinggalan hidup."
"Ya, membabat rumput sampai akar-akarnya, perbuatan mereka terlalu kejam!"
Dengan ujung bajunya Sim Sam-nio menyeka air mata, katanya pula, "Yang paling
mengenaskan adalah Pek-toako suami istri, beliau malang melintang selama hidup, waktu ajalnya
ternyata badannya tidak utuh dan batok kepalanya entah terpenggal oleh siapa, sampai pun
puteranya yang berusia empat tahun pun mati di bawah tusukan pedang." Kembali dia mengisi
cangkirnya, cepat sekali dia habiskan araknya ini, lalu menyambung, "Tapi tiga puluh orang yang
ikut mengeroyok secara menggelap itu, ada dua puluhan lebih yang terbunuh juga olehnya."
"Empat jari di tangan kiri Be Khong-cun yang putus itu, tentunya juga terpapas kutung
olehnya."
"Di waktu Pek-toako tidak menduga dan tidak siaga, dengan seluruh kekuatan Kim kong ciang
lat dia memukul Pek-toako serta melukainya dengan berat, mungkin malam itu tiada satu pun di
antara mereka yang bisa selamat."
"Kim kong ciang?"
"Be Khong-cun adalah seorang tokoh yang amat berbakat, tangan kanannya meyakinkan Boh
san kun (pukulan memecah gunung), tangan kiri melatih Kim kong ciang, pukulan ini sudah dia
yakinkan sampai ke tingkat sembilan."
"Bagaimana dengan Pek-tayhiap?"
Bersinar biji mata Sim Sam-nio. "Kepandaian silat Pek-toako tiada taranya, menjagoi dan tiada
bandingannya di seluruh jagat, dinilai dari ilmu silat, kecerdikan pikiran, keberanian, pasti tiada
seorang pun di dunia ini yang setanding dengannya." Asal kita melihat sorot matanya, maka kita
akan mengerti betapa hormat dan kagum dirinya terhadap Pek-toako itu.
Yap Kay menghela napas, katanya, "Kenapa tokoh-tokoh perkasa sejak zaman dahulu kala,
selalu berakhir dengan nasib jiwanya yang amat mengenaskan?" Dia pun menenggak habis
secangkir arak baru meneruskan, "Setelah seluruh keluarga Pek-toako meninggal dengan
mengerikan, sudah tentu Be Khong-cun menjatuhkan semua tanggung jawab ini kepada orangorang
yang ikut menjadi pembunuh gelap itu."
Sim Sam-nio menyeringai dingin, ujarnya, "Lebih mengenaskan lagi, malah di hadapan orang
banyak dia bersumpah hendak menuntut balas bagi kematian Pek-toako."
"Di antara tiga puluh orang yang ikut bekerja itu, ada berapa orang yang masih ketinggalan
hidup?"
"Tujuh orang."
"Tiada orang tahu siapa mereka?"
"Tiada!"
"Sudah tentu mereka sendiri merahasiakan diri sendiri dan tidak mau memberitahukan kepada
siapa pun, mungkin Be Khong-cun tidak akan menduga bahwa rahasia ini akhirnya bocor juga"
"Mimpi pun dia tidak pernah menduga."

"Sebetulnya aku sendiri pun tidak mengerti, cara bagaimana rahasia ini akhirnya bisa bocor?"
Sim Sam-nio menepekur sebentar, katanya kemudian, "Satu di antara tujuh orang yang masih
hidup itu, tiba-tiba tersadar lahir batinnya, maka dia memberitahukan rahasia ini kepada Pekhujin."
"Masakah manusia macam ini punya nurani?"
"Sebetulnya dia pun sudah mampus di bawah golok Pek-toako tapi Pek-toako dapat
mengenalinya dari permainan silatnya, mengingat dia masih membawa manfaat, maka goloknya
tidak menghabisi jiwanya."
"Siapakah orang ini?"
"Pek-hujin pernah berjanji kepadanya, sekali-kali tidak akan membocorkan namanya."
"Apa manfaatnya dia menjadi manusia?"
"Jika manfaatnya itu diterangkan, mungkin kaum persilatan akan banyak yang tahu siapa dia
sebenarnya."
"Pek-tayhiap begitu hapal terhadap ilmu silatnya, apakah dia adalah teman baik Pek-tayhiap?"
"Memangnya Be Khong-cun bukan teman baik Pek-tayhiap? Tiga puluh orang pembunuh itu
bukan mustahil semua adalah teman baik Pek-toako."
"Agaknya teman baik memang jauh lebih menakutkan dari musuh besar."
"Tapi setelah Pek-toako mengampuni jiwanya, sepulang di rumah terketuk juga nuraninya,
kalau tidak, mungkin kematian dan penasaran Pek-toako bakal tenggelam ditelan masa."
"Dia tidak menerangkan siapa keenam orang yang lain?"
"Tidak."
"Kenapa tidak dikatakan?"
"Karena dia sendiri pun tidak tahu," sahut Sim Sam-nio, "biasanya Be Khong-cun bekerja
teramat teliti dan hati-hati, dia pilih ketiga puluh orang itu menjadi pembunuh Pek-toako secara
menggelap, sudah tentu sebelumnya sudah memakan waktu cukup lama untuk merencanakan dan
menyelidiki pribadi-pribadi mereka, maka dia tahu bahwa orang-orang ini terang juga mendendam
dan penasaran terhadap Pek-toako secara diam-diam?"
"Tentunya memang begitu."
“Tapi ketiga puluh orang itu secara langsung dihubungi oleh Ban be Khong-cun sendiri,
siapapun tiada yang tahu kedua puluh sembilan yang lain.”
“Tokoh-tokoh silat kelas tinggi dikalangan Kangouw kebanyakan memiliki ilmu tunggal, masingmasing
dengan senjata atau gaman yang khas pula, paling tidak orang ini bisa mencari sumber
penyelidikan.”
"Pada malam peristiwa itu, ketiga puluh orang ini bukan saja berseragam hitam dan
mengenakan kedok muka, malah senjata khas milik mereka sendiri pun sudah diganti yang lain,
apalagi tentunya orang itu juga mengerti betapa menakutkan ilmu silat Pek-toako, di waktu
melancarkan serangan hatinya tentu teramat tegang, sudah tentu tiada pikiran dan tidak sempat
lagi dia memperhatikan orang lain."
Yap Kay tertunduk diam menepekur sekian lamanya, tiba-tiba dia bertanya, "Lalu siapa pula
Pek-hujin itu?"
Sim Sam-nio menghela napas, katanya masgul, "Dia ... dia adalah perempuan yang patut
dipuji, seorang perempuan yang harus dikasihani, walaupun dia seorang gadis yang cantik
rupawan, tapi nasibnya sungguh jauh lebih mengenaskan dari siapa pun."
"Kenapa?"

"Karena laki-laki yang dia cintai bukan saja sudah punya istri dan anak, malah dia pun musuh
besar perguruannya."
"Musuh besar?"
"Mulanya dia adalah putri terbesar Mo kau Kaucu"
"Mo kau?"
"Sejak tiga ratus tahun yang lalu, semua golongan dan aliran persilatan di Bu-lim bila
menyinggung nama Mo kau, tiada orang yang tidak geleng-geleng kepala, sebetulnya anggota Mo
kau adalah manusia juga, mereka punya daging punya darah, apalagi asal kau tidak menyalahi
mereka, mereka pun tidak akan menyalahi kau."
Yap Kay tertawa getir, ujarnya, "Aku sendiri justru beranggapan bahwa Mo kau sebetulnya
hanya ada di dalam dongeng yang serba misteri belaka, siapa tahu di jagat ini memang kenyataan
ada."
"Selama dua puluhan tahun belakangan ini, orang-orang Mo kau memangnya tiada satu pun
yang pernah unjuk diri."
"Kenapa?"
"Karena Mo kau Kaucu pernah bertanding dengan Pek-toako di puncak Thian san dengan
syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh pihak yang kalah, bila mereka kalah, bersumpah sejak saat
itu tidak akan memasuki daerah Tionggoan"
"Pek-tayhiap memang tokoh tertinggi di antara para tokoh, sungguh hebat dan patut dipuji."
"Sayang sekali kau lahir terlambat dua puluh tahun, tidak pernah bisa melihatnya."
"Betapa gagah perwira dan kebesaran jiwanya pada masa itu, sekarang pun aku masih bisa
membayangkannya."
"Karena pertempuran di puncak Thian-san itulah, maka seluruh anggota Mo kau dari atas
sampai ke bawah, semua memandang Pek toako sebagai musuh besarnya."
"Agaknya jiwa orang-orang Mo kau memang terlalu sempit dan eksentrik."
"Pek-hujin adalah putri tunggal Mo kau Kaucu"
"Tapi dia justru jatuh hati terhadap Pek-tayhiap."
"Justru karena Pek-toako, sampai dia tidak segan-segannya menjadi murid dan anak yang
durhaka meninggalkan Mo kau dan ayah-bundanya."
"Dia sudah tahu bila Pek-tayhiap sudah punya istri?"
"Dia tahu, Pek-toako tidak pernah membohongi dia, maka dia benar-benar jatuh hati."
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Kalau kau ingin orang mencintaimu sesungguh hati, maka
kau pun harus menghadapinya dengan cintamu yang murni."
Sorot mata Sim Sam-nio menjadi hangat dan lembut, katanya lirih, "Jelas dia mengetahui Pektoako
takkan bisa sering-sering datang menjenguk dirinya, tapi dia rela menunggu, ada kalanya
dalam satu tahun dia hanya sekali melihat Pek-toako, tapi hatinya toh sudah puas."
Pandangan Yap Kay seolah-olah memandang ke tempat nan jauh. lama juga baru dia bertanya,
"Tentunya istri Pek-tayhiap tidak pernah tahu akan permainan asmara kedua orang ini."
"Sampai ajalnya dia tetap tidak tahu karena meski Pek-toako seorang Enghiong, tapi terhadap
istrinya yang satu ini dia rada takut juga, oleh karena itulah Pek-hujin itu yang menderita dan
menjadi kambing hitamnya."
"Ya, aku mengerti," ujar Yap Kay. Memang dia mengerti. Tragedi yang paling mengenaskan
bagi perempuan adalah dia mencintai laki-laki yang tidak patut dia cintai.
"Dan yang lebih mengenaskan, waktu itu perutnya sudah mengandung keturunan Pek-toako."

Yap Kay ragu-ragu, akhirnya bertanya, "Anak yang kau maksudkan bukankah...."
"Anak itu adalah Pho Ang-soat."
"Jadi dia kemari hendak menuntut balas kepada Ban be tong!"
Sim Sam-nio manggut-manggut, matanya berkaca-kaca, katanya,
"Untuk hari ini, entah betapa derita yang dialami mereka ibu beranak."
"Apakah selamanya Pek-hujin tidak memohon bantuan kepada Ayahnya?"
"Dia pun seorang perempuan yang berwatak keras, selamanya tidak suka dikasihani oleh siapa
pun meski ayahnya sendiri, apalagi orang-orang Mo kau sudah membenci begitu rupa terhadap
Pek-toako, memangnya mereka mau membantunya?"
"Kalau dia memang betul adalah putri Mo kau Kaucu, sudah tentu takkan punya teman lagi."
"Oleh karena itu dengan sepenuh hati dan dengan segala jerih payah dia tekun mengasuh dan
mendidik putranya semoga kelak bisa menuntut balas bagi kematian Pek-toako."
"Agaknya putranya itu tidak akan membikin kecewa harapannya."
"Sekarang dia memang boleh terhitung tokoh yang tangguh sekali, malah aku berani bilang
hanya beberapa orang saja yang mungkin kuasa menandingi dia di jagat ini, tapi memangnya
siapa yang tahu, untuk meyakinkan ilmu silatnya itu berapa parah dan beratnya dia menderita?"
"Peduli melakukan apa saja, jika ingin menonjol dan lebih unggul dari orang lain, memang
harus menderita."
Sim Sam-nio menatapnya lekat-lekat, tanyanya tiba-tiba, "Dan kau?"
"Aku? ...." Yap Kay tertawa, kelihatannya tawanya mengandung rasa pedih, lama juga dia diam
saja, lalu katanya dengan kalem, "Paling tidak aku lebih mending daripada dia, karena selamanya
tiada orang yang mengurusi diriku "
"Tiada diurusi orang apakah merupakan nasib yang baik?" tanya Sim Sam-nio.
Yap Kay tertawa pula, hanya tertawa saja tanpa berbincang apa-apa.
"Aku percaya ada kalanya aku pun akan mengurusimu," demikian ujar Sim Sam-nio, "derita
bagi seseorang yang tidak pernah diurus orang serba sepi dan sunyi, aku cukup memahaminya."
Tiba-tiba Yap Kay memutar haluan, katanya, "Kira-kira aku sudah cukup mengerti semua
peristiwa ini."
"Apa yang kuuraikan barusan sudah amat jelas dan terperinci."
"Tapi kau masih melupakan membicarakan satu hal."
"Hal apa?"
"Mengenai dirimu sendiri."
Sim Sam-nio ditatapnya lekat-lekat, katanya kalem, "Siapakah kau
sebenarnya, apa pula sangkut-pautmu dengan persoalan ini?"
Lama Sim Sam-nio berdiam diri, akhirnya baru menjawab, "Ban be tong mengira aku adalah
adik Pek-hujin, sebetulnya dia salah."
"Oh! Lalu?"
Sim Sam-nio tertawa kecut, katanya, "Sebetulnya aku pun orang Mo kau, tapi tak lebih hanya
seorang pembantu yang selalu melayani keperluan Pek-hujin saja."
"Pho Ang-soat mengenalmu?"
"Dia tidak mengenalku," ujar Sim Sam-nio geleng-geleng, "sejak masih kecil, aku sudah
meninggalkan Pek-hujin."

"Kenapa?"
"Karena aku ingin mencari kesempatan, masuk ke dalam Ban be tong untuk mencari berita."
"Ingin menyelidiki siapa sebenarnya keenam orang yang lain itu?"
"Yang terpenting memang itu yang kutuju"
"Kau tidak berhasil menyelidikinya?"
"Tidak!" sorot mata Sim Sam-nio mengunjuk rasa gegetun dan penasaran, katanya masgul,
"Oleh karena itu selama sepuluh tahun ini hidupku teramat sia-sia."
"Kau hanya seorang pembantu dekat Pek-hujin, tapi bekerja juga karena dendam ini sehingga
menyia-nyiakan masa remajamu serta jiwamu selama sepuluh tahun ini."
"Karena dia teramat baik terhadapku, selamanya dia menganggap aku sebagai adik
kandungnya sendiri."
"Tiada sebab lain?"
"Sudah tentu lantaran juga Pek-toako adalah laki-laki yang menjadi pujaan hatiku." Tiba-tiba
dia mengangkat kepala menatap Yap Kay, katanya pula, "Agaknya kau seperti ingin sekali
menanyakan sampai jelas setiap persoalan ini baru hati merasa lega."
"Memang aku paling suka mengorek keterangan pribadi orang lain."
Mimik muka Sim Sam-nio tiba-tiba berubah sangat aneh, katanya tetap menatap orang, "Oleh
karena itu maka kau pun suka mendekam di atas rumah mencuri dengar pembicaraan orang lain?"
Yap Kay tertawa, katanya, "Agaknya kau sendiri juga ingin menanyakan semua persoalan baru
lega hatimu."
Sim Sam-nio menggigit bibir, katanya, "Tetapi malam itu, perempuan yang berada di dalam
rumah bukan aku"
"Bukan kau?" tanya Yap Kay sambil mengedip-ngedipkan mata.
"Bukan!"
Mengawasi orang, mimik muka Yap Kay juga berubah aneh, lama berselang baru pelan-pelan
dia bertanya, "Siapa kalau bukan kau?"
"Cui-long!"
Mata Yap Kay tiba-tiba menyala terang, sampai sekarang baru dia paham, kenapa waktu Pho
Ang-soat melihat dirinya hendak menarik Cui-long, air mukanya mengunjuk rasa marah dan naik
pitam.
Pelan-pelan Sim Sam-nio mengisi cangkir sendiri dan cangkir Yap Kay, katanya, "Oleh karena
itu perempuan yang bergaul dengan kau malam itu bukan Cui-long."
"Siapa kalau bukan Cui-long?"
Sim Sam-nio menenggak habis secangkir arak, kerlingan matanya seremang kabut tebal,
katanya pelan-pelan, "Terserah kau anggap siapa dia, asal bukan Cui-long...."
Yap Kay menghela napas panjang, katanya, "Ya, aku sudah mengerti."
"Terima kasih," suara Sim Sam-nio lembut.
"Tapi aku sedikit tidak mengerti." tiba-tiba Yap Kay bertanya, "kenapa kau berbuat demikian?"
Tertunduk dalam kepala Sim Sam-nio, seolah-olah dia malu Yap Kay melihat mimik mukanya.
Lama berselang baru dia menghela napas, katanya rawan, "Untuk membalas dendam, sering aku
melakukan apa saja yang tidak senang kulakukan."

"Mungkin setiap orang pernah melakukan apa-apa yang tidak suka dia lakukan."
"Tapi kali ini aku sungguh-sungguh tidak mau melakukannya lagi."
Terpancar rasa iba dan simpatik pada sorot mata Yap Kay, katanya, "Sudah tentu bukan demi
dirimu sendiri."
"Memang aku amat takut bakal mencelakai dia, seharusnya tidak pantas dia punya hubungan
dengan perempuan seperti diriku, cuma ... aku pun demi diriku sendiri."
"O!"
Dengan kencang Sim Sam-nio menggigit bibirnya, katanya, "Aku sudah bekerja sesuai dengan
kemampuanku, sekarang aku tidak akan sudi menyentuh laki-laki yang tidak kusenangi."
BAB 20. MABUK UNTUK HILANGKAN MASGUL
Yap Kay mengangkat cangkir, menenggaknya sampai habis, kini terasa arak ini sudah mulai
getir. Sudah tentu dia pun bisa mengerti, perempuan kalau terpaksa harus bergaul dengan lakilaki
yang dibencinya, merupakan suatu hal yang amat memukul batin.
Tiba-tiba Sim Sam-nio mengangkat kepala sambil menyingkap rambutnya yang terurai,
katanya, "Selama hidupku ini, belum pernah aku menaruh hati kepada laki-laki siapa pun, kau
percaya tidak?" Sorot matanya mulai kabur, agaknya dia sudah dipengaruhi air kata-kata.
Yap Kay menghela napas pelan-pelan, hanya menghela napas saja.
"Sebetulnya Ban-be-tong-cu teramat baik terhadapku, seharusnya dia sudah membunuhku."
"Kenapa?"
"Karena dia sudah tahu siapa aku sebenarnya."
"Tapi dia tidak membunuhmu."
"Maka aku harus berterima kasih kepadanya, tapi aku justru lebih membencinya." Dengan
kencang ia genggam cangkir araknya, seolah-olah cangkir itu ibarat tenggorokan Ban-be-tong-cu
dan ingin dicekiknya.
Poci arak sudah kosong.
Yap Kay menuang separo araknya ke cangkir orang.
Selanjutnya dia minum pula setengah cangkir arak ini, minum pelan-pelan, seolah-olah dia
merasa amat sayang dengan sisa arak yang tidak banyak lagi ini.
Kata Yap Kay dengan menatapnya, "Kukira sekarang kau tentu tidak sudi untuk berhadapan
pula dengan Ban-be-tong-cu untuk selamanya."
"Aku tidak bisa membunuhnya, terpaksa tidak melihatnya saja."
"Tapi kau memang sudah bekerja sekuat tenagamu."
Tertunduk kepala Sim Sam-nio, matanya mengawasi cangkir di tangannya, katanya tiba-tiba,
"Tahukah kau kenapa aku mau memberitahu semua ini kepadamu?"
"Karena aku adalah laki-laki yang tahu urusan."
Suara Sim Sam-nio lembut "Kau pun laki-laki yang mungil, jika aku masih muda, pasti
kuusahakan untuk memeletmu."
"Sekarang kau toh belum tua," sahut Yap Kay mengawasi muka orang.
Pelan-pelan Sim Sam-nio mengangkat kepala balas mengawasinya, terkulum pula senyuman di
ujung bibirnya yang manis itu, katanya, "Umpama aku belum tua, tapi sudah terlambat." Meski

cantik senyumannya, tapi seperti membawa perasaan pahit getir yang sukar dilukiskan dengan
kata-kata. Senyuman yang pilu dan menyedihkan.
Tiba-tiba dia bergegeas berdiri, putar badan, kembali dia keluarkan sebuah poci arak, katanya
tertawa, "Oleh karena itu sekarang aku hanya ingin menemani kau minum sepuasnya sampai
mabuk bila perlu."
"Memang sudah lama aku tidak pernah mabuk lagi."
"Tapi sebelum kau benar-benar jatuh mabuk, ingin aku minta sesuatu supaya kau berjanji
kepadaku."
"Silakan berkata "
"Tentunya kau sudah tahu orang macam apa sebenarnya Pho Ang-soat itu."
Yap Kay manggut-manggut, kemudian ujarnya, "Aku pun amat menyenanginya."
"Kecerdikan otaknya boleh dipuji, apa pun yang dia pelajari, pasti dapat dipelajarinya dengan
baik, tapi dia pun seorang yang lemah, meski kelihatan biasanya dia amat kokoh kuat, sebetulnya
hanya sedapat mungkin mempertahankan diri belaka, kalau ada sesuatu pukulan yang benarbenar
merusak batinnya, pasti dia tidak akan kuat bertahan."
Yap Kay diam saja, dia tengah mendengarkan.
"Waktu dia membunuh Kongsun Toan, aku pun berada di sana, selamanya kau tidak akan
pernah membayangkan betapa derita batinnya setelah dia membunuh orang, setua ini hidupku
belum pernah aku melihat ada orang muntah-muntah sehebat itu."
"Maka kau kuatir dia ...."
"Aku hanya menguatirkan dia tidak akan tahan mengalami penderitaan itu ... mungkin dia bisa
gila jadinya."
"Tapi dia memangnya terpaksa harus membunuh orang."
"Tapi yang paling kukuatirkan hanya penyakitnya itu."
"Penyakit apa?"
"Semacam penyakit yang aneh. di dalam ilmu pertabiban dinamakan penyakit ayan, bila
panyakitnya itu kumat, seketika dia tidak akan bisa mengendalikan diri."
Terpancar semacam rona yang sedih pada raut muka Yap Kay, katanya menghela napas, "Aku
sudah pernah menyaksikan sendiri betapa derita keadaannya bila penyakitnya itu kumat."
"Dan yang lebih menakutkan adalah takkan ada orang yang tahu kapan penyakitnya itu bakal
kumat, sampai dia sendiri pun tidak tahu, maka dalam sanubarinya selalu dibayangi suatu
ketakutan, oleh karena itu selalu dia berada dalam keadaan siap siaga, dalam keadaan tegang,
selamanya dia tidak bisa mengendorkan dirinya,"
"Yang Kuasa kenapa justru memberi kesengsaraan dengan penyakit separah itu kepada orang
macam dia."
"Untung belum ada orang lain yang tahu akan penyakit anehnya itu, sudah tentu Ban-be-tongcu
sendiri pun tak tahu akan hal ini."
"Kau yakin benar bahwa tiada orang lain yang tahu?"
"Pasti tiada," sahut Sim Sam-nio tegas. Memang dia punya keyakinan, karena dia belum tahu
belakangan ini penyakit aneh Pho Ang-soat itu pernah kumat sekali, celakanya penyakitnya itu
kumat justru di hadapan Be Hong-ling.
Yap Kay berpikir sebentar, katanya, "Jika dia merasa tegang, apakah kemungkinan kumatnya
penyakit itu lebih besar?"
"Kukira demikian?"

"Jadi bila dia berduel dengan Ban-be-tong-cu. Tentu hatinya teramat tegang."
"Hal inilah yang paling kukuatirkan, kalau saat itu penyakitnya itu kumat .....” bibirnya tiba-tiba
jadi gemetar, sehingga kata-katanya tidak bisa dilanjutkan, bukan saja tidak berani bicara, sampai
memikirkan pun tidak berani.
Lekas Yap Kay mengisi pula cangkirnya, katanya, "Maka kau mengharap aku bisa
melindunginya dari samping."
"Aku bukan hanya mengharap, aku sedang memohon kepadamu."
"Aku tahu."
"Kau menerima permintaanku?"
Sorot mata Yap Kay seolah-olah tertuju ke tempat nan jauh pula, lama juga baru dia buka
suara, "Aku boleh melulusi, namun yang kukuatirkan sekarang bukan hal ini."
"Apa yang kau kuatirkan?"
"Tahukah kau, belum satu jam dia kembali, beruntun ada dua orang yang ingin
membunuhnya."
Terkesiap darah Sim Sam-nio, tanyanya terbelalak, "Siapa mereka?"
"Tentunya kau pernah mendengar Toan-yang-ciam Toh-popo dan Bu-kut-coa Sebun Jun."
Sudah tentu Sim Sam-nio pernah mendengar nama mereka. Seketika berubah rona mukanya,
gumamnya, "Aneh, kenapa kedua orang ini ingin membunuhnya?"
"Bukan hal ini yang kuherankan."
"Apa pula yang kau herankan?"
"Baru saja aku menyinggung kemungkinan kehadiran mereka di tempat ini, mereka lantas
muncul secara mendadak."
"Apakah kau merasa mereka muncul terlalu cepat? Secara kebetulan?"
"Bukan saja terlalu cepat mereka muncul, kematian mereka pun terlalu cepat, seolah-olah takut
ada orang bakal menyelidiki sesuatu rahasia mereka, maka buru-buru diri sendiri ingin mati."
"Bukan kau yang membunuh mereka?"
"Paling tidak aku tidak perlu buru-buru ingin mereka mampus."
"Jadi kau kira ada seseorang yang membunuh mereka untuk menutup mulutnya."
"Mungkin persoalan tidak begitu sederhana."
"Apa maksudmu, aku tidak mengerti "
"Kemungkinan dua orang yang mampus itu bukan Sebun Jun dan Toh-popo yang asli."
"Bisakah kau bicara lebih jelas dan terperinci?"
"Sudah tentu mereka mempunyai suatu alasan yang mendesak, maka terpaksa
menyembunyikan diri di sini."
"Benar, aku sependapat dengan kau."
"Sudah sekian tahun lamanya mereka menyembunyikan diri, sudah beranggapan tiada orang
tahu jejak mereka."
"Memangnya kenyataan tiada orang yang tahu jejak mereka."
"Tapi hari ini mendadak aku bilang pada orang kemungkinan mereka bersembunyi di tempat
ini."
"Cara bagaimana kau tahu?"

Yap Kay tertawa, ujarnya, "Banyak sekali urusan yang kuketahui." "Mungkin yang kau ketahui
memang terlalu banyak," kata Sim Sam-nio
"Kalau aku sudah telanjur bilang kemungkinan mereka berada di sini, sudah tentu ada orang
yang lantas mencari mereka."
"Yang mereka takuti bukan orang lain, tapi kau, karena mereka tidak habis mengerti cara
bagaimana kau bisa tahu bila mereka berada di sini, mereka pun takkan bisa mereka-reka apa
pula yang kau ketahui."
"Mereka kuatir jejaknya bocor, maka sengaja mengatur dua orang lain muncul, malah mereka
berdaya-upaya supaya aku betul-betul percaya bahwa kedua orang itu adalah Sebun Jun dan Tohpopo."
"Cara apa yang mereka gunakan?"
"Banyak sekali caranya, salah satu yang paling gampang dilaksanakan, dia menyuruh seseorang
membunuh orang menggunakan Toan-yang-ciam."
"Toan-yang-ciam adalah senjata rahasia tunggal milik Toh-popo, maka kau akan menduga bila
orang ini adalah Toh-popo."
"Ya begitulah," Yap Kay membenarkan.
"Jika ingin membunuh orang, sasaran yang paling baik sudah tentu adalah Pho Ang-soat."
"Memang di situlah titik paling ganjil dari seluruh rencana kerja mereka."
"Kalau kedua orang ini berhasil membunuh Pho Ang-soat, sudah tentu baik sekali, umpama
tidak mampu membunuh Pho Ang-soat, yang terang kegagalan itu tidak akan membawa akibat
apa-apa kepada rencana mereka."
"Benar sekali," Yap Kay setuju akan analisa ini.
"Setelah mereka turun tangan, maka Toh-popo dan Sebun Jun yang asli turun tangan
membunuh mereka untuk menyumbat mulutnya, supaya kau beranggapan Toh-popo dan Sebun
Jun benar-benar sudah mampus."
"Siapa pun tak bakal tertarik terhadap sesosok mayat yang sudah kaku dingin, selanjutnya
sudah tentu tiada orang yang akan mencari mereka."
Berkedip-kedip mata Sim Sam-nio, katanya, "Sayang sekali ada semacam orang yang selalu
punya perhatian dan tertarik terhadap mayat-mayat orang."
Yap Kay tersenyum, katanya, "Memang ada manusia macam itu di dunia ini."
"Oleh karena itu mereka menganggap hanya membunuhnya saja belum cukup, maka mereka
harus melenyapkan mayat-mayat itu pula."
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Sering aku dengar orang bilang perempuan cantik
kebanyakan tidak punya pikiran, agaknya omongan orang tidak bisa dipercaya."
Sim Sam-nio tersenyum lebar, katanya, "Ada orang bilang, laki-laki yang pintar putar otak,
biasanya tidak bisa memutar bacot, agaknya omongan ini tidak berlaku lagi atas dirimu."
Yap Kay tertawa. Seharusnya tidak perlu mereka tertawa saat itu Kata Sim Sam-nio,
"Sebetulnya masih ada beberapa persoalan yang belum kumengerti"
"Silakan utarakan."
"Yang jadi korban kalau bukan Toh-popo dan Sebun Jun, lalu siapa mereka?"
"Aku hanya tahu satu di antaranya memiliki kepandaian silat yang amat tinggi, terang bukan
golongan keroco yang tidak punya nama."
"Tapi kau kan tidak tahu siapa dia sebenarnya?"
"Mungkin kelak aku akan tahu."

"Sesuatu yang ingin kau ketahui, akhirnya pasti bisa kau ketahui."
"Mungkin aku ini orang yang selalu dibekali akal dan selalu punya jalan untuk mencapai yang
kuinginkan."
"Kalau begitu tentunya kau pun harus tahu, kenapa Toh-popo dan Sebun Jun menyembunyikan
diri ke sini."
"Menurut pendapatmu?"
Sikap Sim Sam-nio tiba-tiba jadi serius, katanya, "Tujuh orang masih hidup di antara ketiga
puluh orang pembunuh itu, kemungkinan sekarang kita sudah menemukan dua di antara tujuh
orang itu."
Mimik muka Yap Kay pun serius, "Inilah urusan yang cukup penting dan genting, maka lebih
baik kalau kau tidak terlalu cepat berkeputusan akan keyakinanmu."
Sim Sam-nio manggut-manggut, katanya pelan-pelan, "Boleh tidak kalau aku umpamakan
mereka saja."
Yap Kay hanya menghela napas, menghela napas juga merupakan suatu jawaban.
Maka Sim Sam-nio meneruskan, "Jika mereka belum mati, pasti masih berada di sini."
"Tidak akan salah."
"Orang-orang di sini tidak banyak."
"Tapi juga tidak sedikit."
"Menurut pendapatmu, siapa kiranya kemungkinan adalah Sebun Jun? Siapa pula kemungkinan
besar adalah Toh-popo?"
"Tadi sudah kukatakan, persoalan ini siapa pun sulit untuk memutuskan terlalu cepat sebelum
memperoleh data-data yang nyata."
"Tapi asal mereka belum mati, pasti masih berada di tempat ini."
"Sudah kukatakan tidak akan salah."
"Kalau mereka sembarang waktu bisa mencari dua orang untuk menjual jiwa bagi mereka,
maka boleh diduga bahwa di tempat ini pasti banyak kaki tangannya."
"Benar."
"Orang-orang itu sembarang waktu kemungkinan muncul untuk membokong Pho Ang-soat."
Yap Kay manggut-manggut dengan menghela napas.
"Dan hanya hal ini satu-satunya yang amat kau kuatirkan?"
"Dengan bekal kepandaiannya, sudah tentu orang-orang itu bukan tandingannya."
Sim Sam-nio juga manggut-manggut.
"Kalau dia adalah putra tunggal tuan putri Mo-kau, berbagai kepandaian silat dari aliran
samping pintu itu yang amat dibanggakan orang Mo-kau tidak sedikit yang dia pelajari."
"Ya, memang tidak sedikit."
"Tapi dia masih kurang memiliki satu hal."
"Hal apa?"
"Pengalaman," katanya pelan-pelan, "Dalam suasana seperti ini, hal ini merupakan titik tolak
yang amat penting, celakanya siapa pun takkan bisa mengajarkannya."
"Oleh karena itu ...."

"Maka kau perlu memberitahu kepadanya, tempat yang benar-benar berbahaya bukan di Banbe-
tong, kota kecil inilah yang benar-benar tempat paling bahaya bagi dia, dan lagi dia tidak akan
bisa melihatnya, takkan pernah terbayang dan terpikir juga olehnya."
"Kau kira Ban-be-tong-cu sudah mengatur perangkap yang terpendam di dalam kota?"
"Kau pernah bilang, dia adalah seorang yang amat teliti."
"Memang begitulah kenyataannya."
"Tapi sekarang tiada seorang pun yang berada di dekatnya sudi menjual jiwa bagi
kepentingannya lagi."
"Memang kematian Kongsun Toan merupakan suatu pukulan berat bagi dia."
"Seorang yang amat teliti dan hati-hati seperti dia, pasti dia pun amat besar perhatiannya bagi
perlindungan diri sendiri, umpama benar Kongsun Toan adalah temannya yang paling setia, dia
pasti tidak akan mempercayakan keselamatan dirinya untuk dilindungi olehnya."
"Memangnya Kongsun Toan bukan seorang yang benar-benar dapat dipercayai untuk
melindungi jiwanya."
"Tentunya dia jauh lebih mengerti akan diri Kongsun Toan daripada kau."
"Oleh karena itu maka kau mengira dia pasti sudah mengadakan persiapan?"
Yap Kay tertawa, ujarnya, "Kalau dia tidak punya keyakinan untuk menghadapi Pho Ang-soat,
masakah sekarang dia masih tetap tinggal di sini."
"Apa kau berpendapat bahwa Pho Ang-soat sudah kehilangan kesempatan untuk menuntut
balas?"
"Kalau dia hanya ingin membunuh Ban-be-tong-cu seorang saja, mungkin masih punya
kesempatan."
"Jika dia pun ingin mencari keenam orang yang lain?"
"Sulit sekali."
Sim Sam-nio menatapnya lekat-lekat, katanya tiba-tiba dengan menghela napas, "Sebenarnya
kau sedang menguatirkan kami? Ataukah demi Ban-be-tong untuk memberi peringatan kepada
kami? Sekarang aku jadi bingung dan tidak bisa membedakan lagi."
"Apa benar kau tidak bisa membedakan?"
"Walaupun kau sudah membeberkan banyak rahasia, tapi bila dipikirkan dengan seksama,
hakikatnya semua rahasia itu bagi kita tiada manfaatnya sama sekali."
"O? Lalu?"
"Jika kusampaikan semua rahasia ini kepada Pho Ang-soat, dia malah akan lebih tegang, lebih
kuatir, lebih gampang terbokong oleh orang."
"Kau boleh tidak usah memberitahu kepadanya."
Sim Sam-nio menatap mata orang, seolah-olah ingin meraba rahasia hati orang. Tapi dia tidak
berhasil, apa pun tidak terlihat olehnya. Akhirnya dia menghela napas, katanya, "Sekarang aku
hanya ingin tahu, kau ini sebetulnya siapa?"
Yap Kay tertawa pula, ujarnya tawar, "Bukan hanya kau saja yang pertama kali mengajukan
pertanyaan ini kepadaku."
"Selamanya tiada orang yang tahu akan asal-usulmu?"
"Itulah karena aku sendiri pun sudah lupa akan diriku sendiri." Diangkatnya cangkir, katanya
tersenyum, "Sekarang aku hanya ingat aku pernah berjanji kepadamu untuk mengiringi kau
minum sampai mabuk."

Mengerling biji mata Sim Sam-nio, katanya, "Kau benar-benar ingin mabuk?"
Tawa Yap Kay seperti mendelu, katanya kalem, "Tidak mabuk memangnya apa yang dapat
kulakukan?"
Bila Yap Kay siuman, Sim Sam-nio pun sudah mabuk.
Di kala dia mabuk, kini hanya tinggal seorang saja. Di bawah poci yang kosong tertindih
selembar kertas jambon yang ditinggalkan olehnya.
Di atas kertas jambon hanya terdapat sebaris huruf yang ditulis dengan gincu, gincu merah
laksana darah, "Perempuan yang semalam menemani kau minum di sini juga bukan aku".
Gincu yang sudah dipakai masih ditinggal di samping poci kosong, maka Yap Kay lantas
menambahkan beberapa huruf pula di baris sebelahnya, "Hakikatnya semalam aku tidak berada di
sini".
Memangnya apa yang bisa dia lakukan bila tidak mabuk? Memang lebih baik mabuk.
0oo0
Subuh.
Kabut pagi baru saja menguap naik ke udara laksana asap dari daun-daun rerumputan, langit di
ufuk timur sudah mulai bersemu kuning kemerah-merahan, bagian luarnya yang agak aneh jauh
berwarna putih perak kemilau.
Rumput-rumput tumbuh tinggi dan subur menghijau.
Yap Kay melangkah keluar, dia menghirup hawa pagi, hawa terasa segar dan basah.
Alam semesta seperti masih tertidur, tidak kelihatan bayangan orang, tak terdengar suara apa
pun, suatu ketenangan yang damai terasa aneh dan menyelimuti semesta alam nan besar ini.
Tentunya Be Hong-ling sekarang masih mendengkur, jarang anak muda yang berturut-turut
sampai dua malam tak bisa tidur. Betapapun rasa kantuk takkan bisa mengobati kegelisahan dan
kekuatiran hati.
Kalau orang tua sih jauh berlainan. Yap Kay percaya Ban-be-tong-cu pasti takkan bisa tidur
meski hanya sejenak. Laki-laki seusia dia, setelah mengalami berbagai kejadian yang rumit dan
menegangkan ini, kalau benar-benar dia bisa tidur sungguh kejadian luar biasa yang boleh dikata
ajaib.
Lalu sedang apa dia sekarang? Sedang mengenang dan menyedihi kawannya yang pergi
mendahuluinya? Ataukah sedang menguatirkan keselamatan sendiri?
Siau Piat-li mungkin juga sudah kembali ke atas lotengnya, mungkin sedang menenggak habis
secangkir araknya yang penghabisan sebelum tidur.
Entah apakah Ting Kiu sedang di sana tengah menemani dia minum arak?
Lalu dimana Pho Ang-soat? Apakah dia bisa menemukan suatu tempat berteduh untuk
menenteramkan diri?
Yang amat dikuatirkan dan dikenang Yap Kay mungkin adalah Sim Sam-nio. Sungguh dia tidak
habis mengerti kemana dia masih bisa pergi? Tapi dia percaya perempuan seperti dia, peduli
dalam keadaan dan situasi yang bagaimana pun pasti punya tempat tujuan yang sesuai. Kecuali
dia sudah kehilangan harga diri dan pikiran sehatnya.
Entah darimana tiba-tiba muncul seekor burung elang yang gundul kepalanya, terbang
melayang-layang di angkasa. Kelihatan amat letih dan kelaparan.
Dengan mendongak Yap Kay mengawasinya, sorot matanya menunjukkan rona yang penuh
diliputi pikiran yang mendalam, mulut menggumam, "Jika kau ingin mencari orang mati, kau salah
mencari sasaran, bukan di sini tiada orang mati, aku pun belum mati." Dia kedip-kedipkan

matanya, tiba-tiba tertawa, sambungnya, "Untuk mencari orang mati, harus mencari tempat yang
ada peti matinya, benar tidak?"
Burung elang itu berpekik rendah, seolah-olah sedang bertanya, "Mana peti matinya? Dimana
peti mati itu ...?"
0oo0
BAB 21. PEDANG TANPA SARUNG
Api sudah padam.
Toko kelontong Li Ma-hou sudah tinggal tumpukan puing, toko daging yang biasanya jagal
kambing, babi dan sapi itu serta warung bakmi itupun mengalami kebakaran total. Demikian pula
gubuk-gubuk kayu di dalam gang kecil itu sebagian besar telah musnah.
Barang-barang perabot yang berhasil tertolong dari amukan api masih berserakan dan
bertumpuk-tumpuk di pinggir jalan, beberapa ember kayu yang sudah jebol tengah
menggelundung dihembus angin kencang, entah siapa sebenarnya pemiliknya?
Kayu-kayu bakar yang sudah hangus masih kelihatan basah kuyup, terang amukan api baru
saja berhasil diatasi, sampai pun hembusan angin masih membawa bau hangus yang
menyesakkan napas.
Penduduk kota di perbatasan biasanya bangun pagi-pagi, namun di jalan raya tak kelihatan
bayangan seorang pun, mungkin karena semalam bekerja teramat berat dan keletihan menolong
kebakaran, kini masih memeluk bantal mendengkur dengan nyenyak.
Kota di pinggiran yang memang sudah jauh dari keramaian ini kini kelihatan semakin sepi serta
menyedihkan.
Dengan langkah pelan-pelan Yap Kay beranjak di jalan raya, dalam hati tiba-tiba merasa
dibebani adanya dosa. Betapapun kalau bukan lantaran gara-garanya, api tidak akan mengamuk,
seharusnya dia ikut menjinjing ember menolong kebakaran ini. Tapi semalam dia justru menjinjing
poci arak.
Setelah kebakaran besar ini, entah berapa banyak penduduk di kota kecil ini yang bakal
kehilangan tempat berteduh.
Yap Kay menghirup napas panjang, tiba-tiba teringat olehnya juragan Thio-losu pemilik warung
bakmi itu.
Thio-losu sesuai dengan namanya, memang seorang jujur dan polos, bukan saja dia pemilik
atau juragan warung bakmi ini, sekaligus dia merangkap sebagai koki dan pelayan, maka sekujur
badannya selalu dibalut selembar kain putih seperti celemek besar yang sudah berlepotan minyak,
sejak pagi-pagi sibuk sampai petang hari, hasil jerih payahnya sehari-hari dari keuntungan jual
bakmi ini untuk mencari cewek, mengawini istri pun tidak mampu.
Tapi setiap hari dia tetap berseri tawa dan riang gembira, umpama kau hanya makan
semangkuk bakmi dengan harga yang paling rendah cuma tiga ketip, dia tetap melayanimu
dengan seri tawa dan memandang kau sebagai malaikat rezeki.
Oleh karena itu meski bakmi yang dia masak dan dia suguhkan kepadamu mirip lem, selamanya
tiada orang yang mengomel atau menggerutu, tetap digaresnya dengan lahap.
Kini warung bakmi ini sudah tinggal tumpukan puing, orang jujur yang harus dikasihani ini
bagaimana selanjutnya akan menyambung hidup?
Ting-losu di sebelahnya tukang jagal babi itu, meskipun sama-sama hidup sebatangkara dan
tetap membujang, tapi keadaannya lebih mending daripada dia. Ting-losu masih mampu mogor di

kedai arak Siau Piat-li, menikmati beberapa cangkir arak, ada kalanya malah bisa tidur semalam
suntuk di tempat hiburan itu.
Di sebelahnya lagi yaitu toko kapuk, ternyata selamat tidak sampai terbakar, sampai pun papan
namanya pun tidak kurang suatu apa, demikian juga dua toko kain dan toko kerajinan tangan
yang berada di seberang jalan tetap bertengger dengan megahnya, kecuali kedai arak Siau Piat-li,
dalam kota ini terhitung ketiga toko ini yang paling mampu dan berkecukupan, umpama ketiganya
terbakar habis juga tidak menjadi soal bagi pemiliknya. Tapi ketiga toko yang serba kecukupan ini
justru tidak kurang suatu apa.
Yap Kay tertawa getir, baru saja dia hendak mencari orang untuk tanya kabar dan dimana
kiranya Thio-losu sekarang, tak nyana seseorang malah sudah mencarinya lebih dulu.
Lampion yang tergantung di atas pintu sempit itu ternyata masih menyala.
Seseorang tiba-tiba menjulurkan setengah badannya keluar, sambil melambaikan tangan tak
henti-hentinya kepada Yap Kay.
Muka orang itu putih, namun bukan pucat, mukanya selalu dihiasi senyuman gembira, dia
bukan lain adalah juragan atau pemilik toko kain sutra dari Hok-ciu itu, yaitu Tan-toakoan.
Di kota kecil ini tiada laki-laki lain yang bisa dibanding dia dalam kepandaian berdagang, juga
tiada orang yang begitu besar rezekinya, karena dia memang seorang supel, gampang bergaul
dan ramah-tamah.
Yap Kay kenal dia. Setiap orang yang membuka pintu perdagangan di sini, boleh dikata Yap
Kay sudah mengenalnya semua. Bila merasa dirinya senggang tak punya kerja, maka dia sering
mencari orang-orang ini untuk diajak mengobrol, selalu dia bisa memperoleh hasil yang di luar
dugaan. Tapi sekarang sungguh dia tidak habis mengerti untuk keperluan apa Tan-toakoan
memanggil dirinya? Tapi dia segera menghampiri, sengaja dia hiasi mukanya dengan senyuman,
belum lagi dia sempat bertanya, kepala Tan-toakoan sudah menyelinap kembali ke balik pintu.
Pintu tetap terbuka. Terpaksa Yap Kay melangkah masuk, tiba-tiba dilihatnya orang-orang yang
hampir seluruhnya dia kenal kini berada di sini, hanya Siau Piat-li seorang yang justru tidak hadir.
Kecuali roman muka Tan-toakoan yang selalu mengulum senyum, boleh dikata roman muka
yang lain-lain merengut dan bersungut-sungut, amat prihatin, meja di hadapan mereka tiada
hidangan, juga tiada arak, kosong melompong.
Jelas Yap Kay diundang bukan untuk makan minum.
Cuaca belum terang, pelita dalam rumah pun sudah dipadamkan, semua orang yang hadir
menarik muka, matanya melotot dan mengawasi dengan tajam, sikap mereka sedikit pun tidak
bersahabat.
"Memangnya mereka sudah tahu bahwa kebakaran ini lantaran gara-garaku?" Yap Kay
tersenyum sambil membatin, hampir tak tahan ingin dia bertanya kepada mereka, apakah
mengundang dirinya untuk membuat perhitungan dengan orang, namun bukan dirinya yang
mereka cari, tapi adalah Pho Ang-soat.
"Sejak kedatangan bocah she Pho itu, malapetaka seolah-olah ikut melanda tempat ini."
"Bukan saja dia main bunuh orang, malah main lepas api membakar rumah segala."
"Sebelum kebakaran ini terjadi, ada orang melihat dengan mata kepala sendiri dia pergi ke sana
menemui Li Ma-hou."
"Dia datang kemari, seakan-akan memang hendak membawa malapetaka bagi penduduk kota
ini."
"Kalau dia tidak meninggalkan tempat ini, boleh dikata kita bisa tidak bisa hidup tenteram lagi."
Kecuali Tan-toakoan yang tarik urat mengutarakan pendapatnya, juragan Song dari toko kapuk,
demikian pula Ting-losu dan Thio-losu, orang-orang yang biasanya tidak pandai bicara ini. hari ini

ternyata sempat juga memberi komentar. Setiap kali menyinggung nama Pho Ang-soat, kelihatan
sikap mereka amat gegetun dan benci sampai mengertak gigi, seolah-olah ingin rasanya menggigit
sekeping daging di badannya saking gemasnya.
Yap Kay diam saja mendengarkan, setelah mereka habis bicara, baru dia bertanya dengan nada
tawar, "Cara bagaimana kalian siap menghadapinya?"
Tan-toakoan menghela napas, ujarnya, "Sebetulnya kami ingin menyuruhnya pergi saja, tapi
kalau toh dia sudah kemari, sudah tentu tidak mau pergi begitu saja sebelum keinginannya
terlaksana, oleh karena itu
"Oleh karena itu bagaimana?"
Thio-losu segera menimbrung, "Kalau dia membuat kami tidak bisa hidup tenteram., maka kami
pun akan membuatnya hidup tidak tenteram atau membuatnya mampus kalau bisa."
Dengan kepalannya Ting-losu menggebrak meja, katanya keras, "Walau kita ini rakyat jelata
yang suka hidup damai, tapi kalau kita dibuat kepepet dan harus mencari jalan keluar, kukira kita
bukan orang yang boleh dibuat main-main."
Juragan Song mengangkat pipa airnya, katanya geleng-geleng, "Anjing saja kalau kepepet bisa
melompati tembok, apalagi manusia?"
Yap Kay pelan-pelan memanggutkan kepala, seolah-olah dia anggap apa yang mereka utarakan
memang masuk akal.
Setelah menghela napas, kembali Tan-toakoan buka suara, "Walau kita ada maksud
menghadapinya, tapi hati ada maksud sayang tenaga tidak memadai."
Juragan Song menambahkan pula, "Orang-orang jujur seperti kami ini sudah tentu takkan
unggul melawan laki-laki pembunuh."
Kata Tan-toakoan, "Untung kami kenal beberapa teman yang betul-betul mempunyai
kepandaian sejati."
"Sam-lopan (juragan ketiga) maksudmu?" tanya Yap Kay.
"Sam-lopan laki-laki yang punya gengsi dan kedudukan, memangnya kami berani mengganggu
dia?" sahut Tan-toakoan.
Yap Kay mengerut kening, katanya, "Kecuali Sam-lopan, aku sih tidak habis pikir siapa pula
tokoh yang punya kepandaian sejati di sini?"
"Yang kumaksud adalah pemuda belia yang bernama Siau Lok."
"Siau Lok? (Lok si kecil)," Yap Kay menegas dengan heran.
"Meski dia masih muda. kabarnya sudah menjadi tokoh pedang tingkatan kelas satu di kalangan
Kangouw."
Juragan Song menambahkan, "Kabarnya dalam setahun pada tahun lalu, dia membunuh tigaempat
puluh orang, malah yang dibunuhnya adalah tokoh-tokoh silat dari Bu-lim."
Thio-losu mengertak gigi, katanya, "Pembunuh yang ahli membunuh orang seperti dia, maka
pantas kalau kita mencari seorang yang ahli juga untuk menghadapinya."
Tan-toakoan tarik suara lagi, "Itulah yang dinamakan berani bertingkah kita gebuk, sewenangwenang
kita hajar."
Yap Kay menepekur, tiba-tiba dia bertanya, "Siau Lok yang kalian katakan, apakah Lok yang
berarti jalan raya itu?"
"Tidak salah," sahut Tan-toakoan.
"Apakah Lok Siau-ka adanya?"
"Itulah dia."
Anda sedang membaca artikel tentang Peristiwa Merah Salju 1 [Serial Pisau Terbang keEmpat] dan anda bisa menemukan artikel Peristiwa Merah Salju 1 [Serial Pisau Terbang keEmpat] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/peristiwa-merah-salju-1-serial-pisau.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Peristiwa Merah Salju 1 [Serial Pisau Terbang keEmpat] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Peristiwa Merah Salju 1 [Serial Pisau Terbang keEmpat] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Peristiwa Merah Salju 1 [Serial Pisau Terbang keEmpat] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/peristiwa-merah-salju-1-serial-pisau.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar