Pendekar Baja 2 [Serial Pisau Terbang Seri Pertama]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 13 September 2011

Kim Bu-bong menjengek, “Kalau dapat kau bedakan, memangnya ilmu rias macam
apa jadinya.”
Tergerak hati Sim Long, katanya mendadak, “Saudara memiliki buli-buli besi sembrani
‘Kian-kun-it-tay-ceng’ yang terbuat dari baja murni Laut Timur, khusus untuk
mematahkan serangan berbagai am-gi, tentunya kau pun pernah mempelajari cara
memudarkan ilmu rias keluarga Suto, entah sudi kiranya Saudara menunjukkan
keahlianmu untuk memulihkan wajah asli kedua nona itu.”
Si Kucing tertawa, katanya, “Ternyata kau pun tahu Kian-kun-it-tay-ceng segala,
sayang sekali aku tidak mempunyai keahlian seperti apa yang Saudara harapkan.
Umpama betul kedua nona ini berwajah secantik bidadari juga kita takkan punya
kesempatan untuk melihat wajah asli mereka.”
Tiba-tiba Go-losi menyeletuk, “Kenapa susah-susah memudarkan rias orang? Akan
kuambilkan air untuk mencuci mukanya, kalau tidak bisa hilang, masih bisa dikerik
dengan pisau, kan beres.”
Si Kucing tertawa geli, katanya, “Kalau urusan semudah apa yang kau bilang,
bukankah ilmu rias keluarga Suto akan mirip make-up para pemain sandiwara di atas
panggung. Padahal ilmu rias keluarga Suto tersohor di seluruh jagat, masa
kau anggap sepele saja dan bisa dikerik dengan pisau segala, jika kulit muka mereka
sampai tergores luka, lalu siapa akan bertanggung jawab?”
Go-losi menyengir dan tidak berani bersuara lagi.
Sebaliknya Cu Jit-jit yang mendengar percakapan mereka menjadi gelisah dan
jengkel pula. Ingin rasanya dia menggembor, “Boleh kalian mengerik mukaku dengan
pisau, umpama kulit mukaku rusak juga tidak menjadi soal ....”
Kim Bu-bong menatap mata Jit-jit, katanya kemudian, “Bukan saja wajah nona ini
sudah dioperasi, malah ia pun dicekoki obat bisu dan lumpuh oleh Suto Pian, kulihat
banyak persoalan yang ingin dia katakan, sayang mulutnya tidak bisa bersuara ....”
Mendadak si Kucing lari ke sana dan mendapatkan sebuah baskom pecah, diisi
dengan abu, lalu ditaruh di depan Cu Jit-jit, dicarinya pula sepotong kayu dan
disisipkan pada tangan Jit-jit.
Seketika mata Cu Jit-jit memancarkan rasa gembira.
Si Kucing berkata, “Tentu kau dengar pembicaraan kami, maka apa yang ingin kau
katakan boleh kau tulis di atas abu dengan kayu ini ....”
Tanpa menunggu selesai bicaranya, dengan tangan gemetar Jit-jit siap menulis, ia
pikir siksa derita segera akan berakhir, betapa senang dan haru hatinya dapatlah
dibayangkan.
Siapa tahu tenaga untuk menulis saja tidak ada, semula dia hendak menulis nama
sendiri, ternyata ranting kecil itu hanya mengoret-oret tak keruan di permukaan abu,
huruf apa yang ditulis tidak bisa dibaca. Lebih celaka lagi ranting kayu yang dipegang
itu akhirnya pun terlepas, keruan hati Jit-jit keki, dongkol, dan gugup setengah mati,
ingin rasanya ia tebas kutung saja tangan sendiri.
Dia ingin mencakar wajah sendiri, tapi tidak bertenaga, ingin dia menggigit putus lidah
sendiri juga tidak mampu menggigitnya, dia ingin menjadi gila namun bagaimana
caranya menjadi gila ia pun tidak tahu. Sampai ingin menangis tergerung-gerung juga
tidak mampu, terpaksa dia hanya bisa membiarkan air mata meleleh di pipinya.
Sim Long, Kim Bu-bong, dan si Kucing saling pandang, akhirnya mereka menghela
napas panjang, demikian pula anak buah si Kucing yang menyaksikan juga ikut
terharu dan gegetun.
Kata si Kucing setelah menghela napas, “Akan kucoba yang satu ini ....”
Pek Fifi juga tidak mampu bersuara, namun badannya tidak lunglai, maklum, dia
dianggap gadis lemah yang tidak tahan embusan angin kencang, maka si nyonya
baju hijau tidak mencekoki obat bisu dan melumpuhkan badannya.
Begitu si Kucing taruh baskom abu di depannya dia lantas menulis perlahan: “Aku
bernama Pek Fifi, gadis sebatang kara yang hidup menderita, entah mengapa nyonya
galak dan sadis itu menculikku dan menyiksaku begini rupa.”
Si Kucing manggut-manggut dan berkedip-kedip, tanyanya mendadak, “Apakah
sebelum ini kau berparas cantik?”
Sorot mata Pek Fifi mengunjuk rasa malu, ranting kayu digerakkan, tapi tak mampu
menulis lagi.
Si Kucing tertawa, katanya, “Kalau demikian, dugaanku pasti tidak salah lagi. Nona
yang senasib dengan kau ini, apakah dia juga cantik jelita? Siapa namanya?”
Pek Fifi menulis: “Aku tidak mengenalnya, juga belum pernah melihat wajah aslinya.”
Si Kucing termenung sejenak, katanya, “Kalau begitu, dia tersiksa lebih dulu
daripadamu?”
Pek Fifi menulis pula; “Betul, semula aku pun kasihan padanya, tak tahunya aku ....”
dia tidak meneruskan tulisannya, tapi orang lain sudah tahu maksudnya. Tampak air
matanya berlinang, tak tertahan akhirnya dia menangis juga.
Si Kucing menoleh dan berkata, “Sekarang baru kutahu nyonya jahat itu akan
menculik gadis-gadis cantik ini ke suatu tempat yang jauh, khawatir di tengah jalan
kurang leluasa, maka mereka dipermak menjadi sejelek ini.”
Sim Long menghela napas sambil mengangguk, batinnya, “Selain cekatan, daya
tangkap dan pikiran pemuda ini juga dapat bekerja cepat.”
Si Kucing berkata lebih lanjut, “Asalnya mereka adalah gadis jelita, kita tidak boleh
berpeluk tangan melihat nasib mereka yang jelek ini, apa pun kita harus berdaya
untuk memulihkan wajah asli mereka.”
Kim Bu-bong diam saja tanpa komentar.
“Apa daya?” ucap Sim Long sambil menghela napas. “Kecuali kita bekuk murid
keluarga Suto itu ....”
Sejenak si Kucing berpikir, lalu katanya dengan tertawa, “Di kota Lokyang ada
seorang temanku, walau usianya masih muda, tapi bun-bu-siang-coan (serbamahir
ilmu sastra dan ilmu silat), juga mahir pengobatan dan berbagai kepandaian yang
aneh, kalau kita mencarinya dan minta tolong, mungkin dia bisa membantu.”
Sim Long tertawa, katanya, “Kalau betul ada orang sepandai itu, aku ingin
menemuinya, kebetulan aku juga akan menyelesaikan suatu urusan di kota Lokyang,
cuma ... apakah Saudara ada hubungan baik dengan dia?”
“Orang itu selain pemabukan, juga gemar paras ayu, sifatnya cocok dengan aku, bila
kita pergi mencarinya, kuyakin dia pasti banyak mengeluarkan biaya.”
Tidak kepalang sedih hati Cu Jit-jit, ia tidak lagi memerhatikan percakapan mereka
lebih lanjut, dia cuma merasakan dirinya diangkut ke atas kereta, dia tidak tahu ke
mana dirinya akan dibawa oleh orang-orang ini.
Di dalam kereta ada seorang bocah yang dikenalnya, namun bocah ini tidak
mengenalnya lagi, duduknya juga menyingkir jauh ke sana dan tidak mau berdekatan
dengan dia.
Dengan sepotong kain si Kucing menutup kabin kereta, kuda penarik kereta dipecut
supaya lari lebih kencang menuju ke kota Lokyang. Tengah malam buta kereta kuda
ini menempuh perjalanan, setiba di Lokyang hari pun menjelang fajar. Mereka harus
menunggu kira-kira satu jam baru pintu kota terbuka. Kim Bu-bong menjalankan
keretanya masuk ke kota.
“Masih sepagi ini, apa enak mengganggu orang?” ujar Sim Long.
Si Kucing tertawa, katanya, “Di kota Lokyang ini, aku masih punya teman lain, pintu
besar rumahnya sepanjang tahun tidak pernah tertutup, siapa pun dan kapan pun
datang ke rumahnya tanggung takkan kelaparan dan kedinginan.”
“Apa betul ada orang sebaik itu?” ujar Sim Long.
Si Kucing berkeplok dan berseru, “Orang ini she Auyang dan bernama Hi, hobi
satu-satunya adalah berkenalan dengan orang-orang gagah di seluruh jagat, nanti
kalian akan membuktikan sendiri.”
Mendadak Kim Bu-bong menyeletuk, “Banyak juga kawanmu!”
Si Kucing tidak bicara lagi dia rebut cemeti terus sabet kuda dan membedal kereta
lebih kencang. Hari masih pagi, jalan raya sangat sepi, maka si Kucing berani
melarikan kereta itu sekencang angin.
Mendadak mereka tiba di sebuah persimpangan jalan, suasana di sini ternyata ramai
sekali, bau harum bunga semerbak merangsang hidung.
Si Kucing angkat cemetinya seraya berkata, “Inilah pasar bunga yang terkenal di kota
Lokyang, banyak penggemar bunga datang dari tempat ribuan li jauhnya, terutama
bunga botan (peoni) dari kota Lokyang terkenal di seluruh jagat.”
Sim Long tertawa, katanya, “Sudah lama kudengar pasar bunga di kota Lokyang yang
terkenal ini, hari ini kebetulan berada di sini, pantasnya kubeli beberapa kuntum
bunga segar, sayang ... ada maksudku membeli bunga tapi kepada siapa akan
kupersembahkan bunga itu? Biar kutunggu sampai kesempatan lain saja.”
Kedua orang ini bergelak dan saling pandang, sementara Cu Jit-jit yang berada di
dalam kereta mendengarkan dengan kesima.
Kalau sekarang dia bisa di samping Sim Long, lalu Sim Long turun membeli bunga
serta menyelipkan bunga itu di atas sanggulnya, umpama segera dia disuruh mati
juga rela.
Padahal dia juga tahu kereta mereka kini sedang lewat pasar bunga, tidak jauh ke
depan akan tiba di sarang iblis, di mana Pui Jian-li, Thi Hoat-ho, dan lain-lain
tersekap, meski dalam benaknya banyak rahasia yang ingin dibeberkan kepada
orang banyak, namun tidak mampu diutarakannya.
Pada saat itulah mendadak dua kereta harum yang ditarik dua ekor kuda putih datang
dari depan, langsung dilarikan ke dalam pasar bunga. Lentera perunggu yang
terpasang di depan kereta tampak mengilap, terdengar suara merdu percakapan
nona jelita laksana kicau burung, terkadang tampak wajah cantik mengintip di balik
tabir.
Kebetulan angin berembus dan menyingkap tabir, tanpa sengaja Cu Jit-jit melirik ke
sana, seketika jantungnya berdetak, kereta yang ditarik kuda putih itu bukankah
kereta iblis yang hari itu memuat Thi Hoat-ho dan lain-lain masuk ke kota ini.
Terdengar Him Miau-ji atau si Kucing bergelak tertawa dan berseru, “Haha, cantik
molek berkereta harum, entah siapa gerangan yang akan tergiur, tampaknya hasratku
terpaksa akan hanyut terbawa arus.”
“Ah, janganlah Anda bicara demikian, apakah si cantik takkan marah bila mendengar
celotehmu?” ucap Sim Long dengan tertawa.
“Kau tahu, meski indah bunga ini, apa mau dikata tumbuhnya di dinding tepi jalan,
asalkan Anda sudi membayar, dapatlah kupetik bunga itu bagimu, memangnya Anda
berminat?”
“Wah, kiranya engkau sudah cukup berpengalaman,” ujar Sim Long.
Dan kedua orang lantas saling pandang bergelak tertawa pula.
Cu Jit-jit terkesiap mendengar percakapan mereka.
Apakah mungkin sarang hantu yang banyak mengurung kaum kesatria itu adalah
tempat pelesir begituan dari kalangan atas? Dan para gadis penggembala berbaju
putih dan berkepandaian tinggi itu adalah perempuan penghibur di tempat pelesir itu?
Sungguh hal ini sukar dipercaya oleh Jit-jit.
Kereta itu akhirnya tiba di depan pintu gedung yang tak pernah tertutup sepanjang
tahun, melihat kedatangan si Kucing, sudah tentu Auyang Hi amat girang, segera ia
siapkan meja perjamuan menyambut kedatangannya. Tak lupa si Kucing
memperkenalkan Sim Long dan Kim Bu-bong, lalu ia sibuk dengan araknya sendiri.
Auyang Hi tertawa, katanya, “Kau kucing binal ini tampaknya semakin liar, sepanjang
tahun sukar melihatmu, hari ini kau datang kemari, kecuali ingin makan, memangnya
ada persoalan lain?”
Si Kucing tertawa, omelnya, “Memangnya kau kira aku kemari hendak makan gratis
melulu? Hehe, daging masam dan arak kecut yang kau hidangkan ini kau kira dapat
menarik selera kucing liar macam diriku?”
“Kalau kau pergi ke rumah orang lain, mustahil kau tidak diusir,” Auyang Hi berolok
dengan tertawa.
Si Kucing taruh cawan araknya, katanya, “Marilah bicara sesungguhnya,
kedatanganku hari ini memang lantaran satu hal, aku ingin bertemu dengan Ong
Ling-hoa, apakah belakangan ini dia berada di kota?”
“Beruntung kau, kebetulan dia belum meninggalkan Lokyang,” sahut Auyang Hi.
“Bicara tentang dia, aku jadi ingat satu lelucon.”
“Ong Ling-hoa memang banyak bikin lelucon, coba ceritakan apa yang membuatmu
geli.”
Auyang Hi bercerita, “Beberapa hari yang lalu waktu Leng-jisiansing jual-beli di sini,
mendadak muncul seorang gadis jelita dari keluarga kaya raya. Ong-kongcu kita itu
tentu saja menggunakan rayuannya untuk memikat nona itu, tak tahunya ....”
Sampai di sini dia sengaja berhenti.
Si Kucing tidak tahan, tanyanya, “Tak tahunya bagaimana?”
Auyang Hi tertawa, katanya, “Begitu melihat dia, nona itu seperti melihat setan, tanpa
menoleh terus lari terbirit-birit. Hal ini mungkin belum pernah terjadi selama hidupnya,
Keh-pak-bwe yang beruntung, semula dia sudah jual seorang pelayan kepada nona
itu, karena si nona lari, dalam keadaan kacau Keh-pakbwe membawa lari pula
pelayan itu.”
Si Kucing bergelak tertawa, baru dia ingin tanya siapakah nona itu, ternyata Sim Long
sudah mendahului bertanya, “Leng-jisiansing tersebut apakah ada hubungan dengan
Jin-gi-ceng?”
“Benar,” ujar Auyang Hi dengan menghela napas, “demi mempertahankan berdirinya
Jin-gi-ceng, Leng-jisiansing boleh dikatakan telah bekerja mati-matian, memangnya
siapa orang Kangouw yang tidak tahu cara berdagang Lengjisiansing tiada keduanya
di dunia ini. Dalam setahun entah berapa banyak keuntungan yang berhasil
dikeduknya, namun seluruh keuntungan itu dia serahkan kepada Jin-gi-ceng, awak
sendiri hidup sederhana, kapan dia pernah berpakaian perlente dan makan enak,
sepanjang tahun dia selalu mengenakan jubah biru, bagi yang tidak mengenalnya
pasti menyangka dia seorang siucay rudin.”
Sim Long kagum, katanya dengan hormat, “Siapa nyana Leng bersaudara adalah
kesatria gagah yang patut dibuat teladan.”
Belum habis dia bicara, dari luar pekarangan mendadak berkumandang gelak tertawa
seorang.
Terdengar suara seorang pemuda berkata, “Auyang-heng, terlalu kacungmu, aku
sedang mendengkur, dia bilang ada seekor kucing menerobos ke sini dan minta aku
mengusirnya, kau tahu aku mampu menundukkan naga dan membekuk harimau, tapi
setiap kali melihat kucing kepalaku lantas pusing.”
Seorang pemuda berpakaian perlente tampak masuk sambil tertawa riang.
Mendadak si Kucing membentak sambil melayang maju dan turun di depan si
pemuda, dia jambret baju orang seraya memaki dengan tertawa, “Pembual macam
dirimu, kecuali main sambar sini dan comot sana (maksudnya main
perempuan) apa pula kemahiranmu, berani mengaku pandai menundukkan naga
dan membekuk harimau segala.”
“Wah, celaka,” ujar pemuda itu tertawa, “kucing ini semakin liar.”
Si Kucing bersuara lantang, “Belakangan ini berapa banyak pula cewek yang berhasil
kau gaet? Ayo lekas mengaku.”
Pemuda itu masih ingin balas berolok, sekilas dilihatnya Kim Bu-bong dan Sim Long,
segera dia menghampirinya dengan langkah lebar, katanya dengan tertawa sambil
menjura, “Kedua Saudara ini jelas bukan orang biasa. Auyangheng, kenapa tidak
lekas kau perkenalkan mereka kepadaku.”
Agaknya Auyang Hi kelupaan karena mendengarkan selorohnya dengan si Kucing
hingga tidak ingat lagi nama Sim Long dan Kim Bu-bong, terpaksa dia berkata, “Inilah
Kim-tayhiap dan Sim-siangkong, Saudara ini adalah Ong Linghoa, Ong-kongcu, kalian
bertiga seperti naga di antara manusia, selanjutnya silakan bersahabat.”
Kim Bu-bong hanya mendengus, sedang Sim Long balas menghormat dengan
tertawa. Maka semua orang lantas menempati kursinya masing-masing, kembali
senda gurau terjadi.
Auyang Hi berkata pula, “Ong-heng, kucing liar ini sebetulnya ingin mencarimu tapi
tidak mau bilang untuk urusan apa, sekarang boleh kau tanya dia.”
Ong Ling-hoa tertawa, “Bila dicari kucing liar biasanya tidak pernah ada urusan enak,
tak heran beberapa hari ini burung gagak selalu berkaok di luar jendelaku, pepatah
memang benar, kalau badan lagi apes, menutup pintu duduk dalam rumah, bencana
tetap menimpa dari langit.”
Him Miau-ji alias si Kucing tertawa, katanya, “Kali ini kau salah terka. Kedatanganku
ini bukan untuk minta uang atau ingin minum arak, tapi kuantar dua gadis jelita kemari
supaya kau lihat dan menilainya.”
Diam-diam Sim Long tertawa dan membatin, “Si Kucing ini kelihatan kasar, tapi cara
kerjanya ternyata cukup rapi dan memakai otak, lebih dulu ia gelitik hati orang,
kemudian baru memancingnya.”
Ong Ling-hoa lagi tertawa, katanya, “Masa ada urusan baik kau mau mencari aku,
gorok leher pun aku tidak percaya, kedua cewek jelita itu boleh kau pandang sendiri
saja, terima kasih atas kebaikanmu.”
“Dasar manusia rendah,” maki si Kucing dengan tertawa, “masa menilai diriku dengan
hati busukmu, kini kedua cewek jelita sudah kubawa kemari, mau-tidakmau kau harus
memeriksanya, cuma ....”
Ia berkedip-kedip dan tidak melanjutkan ucapannya.
“Aku tahu setiap kali matamu melek-merem pasti sedang merangkai akal bulus,
agaknya akal bulusmu sudah berhasil memancing hasratku, hendaklah kau lanjutkan
uraianmu supaya orang lain tidak gelisah menunggu.”
Sim Long dan Auyang Hi tertawa geli.
Si Kucing lantas berkata, “Cuma untuk melihat kedua cewek menggiurkan ini, kau
perlu menggunakan keahlianmu.”
“Dengan keahlian apa baru aku bisa melihatnya?” tanya Ong Ling-hoa.
“Coba jelaskan dulu, kecuali main golok dan memutar tombak, menggosok tinta dan
menggerakkan pensil, meniup seruling, bernyanyi, meramal dan menujum serta
memberi obat pada orang yang sakit perut, apa pula keahlianmu?”
“Memangnya semua itu belum cukup?” tanya Ong Ling-hoa dengan tertawa.
“Belum cukup, malah ketinggalan jauh,” ujar si Kucing.
Ong Ling-hoa menggeleng kepala, katanya, “Kau ini memang bajingan, sayang aku
tidak tahu bagaimana tampang bapakmu, kalau tidak, tentu aku akan menyamar
menjadi beliau untuk menghajar adat kepada putra kurang ajar macam dirimu ini.”
“Nah, itulah yang kumaksudkan?” seru si Kucing mendadak sambil menggebrak
meja.
“Itu apa?” Ong Ling-hoa dan Auyang Hi sama melengak.
“Bukankah kau pun mahir ilmu rias, betul tidak?” tanya si Kucing. “Hehe, jangan
geleng kepala, barusan kau sudah omong sendiri, mau mungkir juga sudah kasip.”
“Memangnya kenapa?” tanya Ong Ling-hoa sambil menyengir.
Si Kucing menjelaskan, “Kedua nona ini telah dipermak sedemikian rupa oleh seorang
sehingga wajah aslinya yang jelita menjadi seburuk setan, jika kau mampu
mengembalikan wajah asli mereka, aku baru betul-betul menyerah kepadamu.”
“Siapa sih kedua nona itu?” tanya Ong Ling-hoa.
“Wah, aku sendiri kurang jelas,” ucap si Kucing sambil garuk kepala, “aku hanya tahu
satu di antaranya she Pek.”
Cahaya mata Ong Ling-hoa seketika guram seperti menghela napas secara
diam-diam, gumamnya, “Kiranya she Pek ....” mendadak dia tertawa pula, katanya,
“Terus terang, merias aku hanya mahir sekadarnya saja, kalau aku diharuskan
mengubah rupa seorang mungkin aku tidak mampu, tapi untuk mencuci samaran
seorang aku dapat mencobanya.”
“Itu sudah cukup,” seru si Kucing girang, “lekas ikut padaku.”
*****
Cu Jit-jit dan Pek Fifi sudah dibawa masuk sebuah kamar yang besar, si Kucing
menarik Ong Ling-hoa ke kamar itu, Sim Long dan lain-lain ikut dari belakang.
Begitu melihat Ong Ling-hoa, jantung Cu Jit-jit hampir melompat keluar, sungguh
mimpi pun tak terbayang olehnya bahwa si Kucing bakal membawa datang iblis
laknat yang menakutkan ini.
Setelah terjatuh ke tangan si nyonya berbaju hijau, ia merasa pemuda ini tidak lebih
menakutkan daripada si nyonya berbaju hijau.
Namun sekarang ia baru lolos dari cengkeraman iblis, kini mendadak bertemu lagi
dengan pemuda bajul ini, berbagai kejadian yang mengerikan dahulu itu seketika
terbayang pula olehnya, terpaksa dia menatap tajam ke arah Sim Long, hanya
menatap Sim Long baru rasa takutnya sedikit berkurang, sayang Sim Long tidak
balas menatapnya.
Terdengar Kucing berkata, “Lekas kau periksa, apakah wajah mereka ini bisa dicuci
bersih?”
Ong Ling-hoa lantas mendekatinya dengan saksama ia memeriksa muka mereka.
Jit-jit amat ngeri tapi juga terharu dan senang, karena ia yakin Ong Ling-hoa pasti
punya kepandaian untuk memulihkan wajah aslinya. Tapi tak terpikir olehnya bahwa
takdir telah mengatur nasib seorang secara ajaib, ternyata pemuda bajul ini yang
harus menolong dirinya, diam-diam dia mengertak gigi, batinnya, “Terima kasih
kepada Yang Mahakuasa yang telah mengatur secara aneh ini, nanti, bila aku bisa
bersuara, segera akan kubongkar rahasianya, coba saja bagaimana reaksinya?”
Khawatir Ong Ling-hoa melihat perasaannya lewat sorot matanya, lekas dia
memejamkan mata.
Cukup lama Ong Ling-hoa memeriksa wajah kedua gadis itu dengan teliti, si Kucing
dan lain-lain pun menunggu dengan sabar sambil menahan napas.
Akhirnya Ong Ling-hoa menegakkan badan sambil menghela napas, ucapnya,
“Hebat sekali, sungguh karya yang bagus ....”
“Bagaimana?” lekas si Kucing tanya. “Dapat kau tolong mereka?”
Ong Ling-hoa tidak segera menjawab, dia malah berkata, “Dinilai dari cara operasi
wajahnya ini, kelihatannya mirip kepandaian khas keluarga Suto yang jarang
diajarkan ....”
Si Kucing tepuk paha, serunya senang, “Aha, betul, agaknya kau memang boleh ...
kalau kau tahu asal-usul ilmu riasnya, tentu kau mampu menghapusnya.”
“Aku memang dapat mencobanya, tapi ....” setelah menghela napas, ia menyambung,
“orang yang mengoperasi wajah kedua nona ini boleh dikatakan sudah
mempraktikkan segala kemampuannya, kedua wajah yang dipermaknya ini sungguh
amat bagus, sedikit pun tidak kelihatan cirinya ....”
“Memangnya kenapa kalau begitu?” tanya si Kucing.
“Dalam pandangan kalian wajah mereka tentu amat buruk bagai setan, tapi menurut
penilaianku justru kedua wajah ini merupakan hasil karya seni terbesar dan terpuji,
serupa lukisan antik yang tak ternilai harganya, sungguh aku tidak tega untuk
merusak karya seni yang bagus ini.”
Sesaat si Kucing melenggong bingung, akhirnya dia tertawa dan memaki, “Kentut
anjing, kentut melulu!”
Ong Ling-hoa menggeleng kepala dan menghela napas, katanya, “Kau ini orang
kasar, mana kau bisa menilai karya seni.”
Si Kucing segera meraihnya, “Karya seni atau kentut anjing aku tidak peduli, aku
hanya menuntut supaya kau segera memulihkan wajah asli kedua nona ini, coba
katakan, mau tidak?”
“Berhadapan dengan kucing liar macammu ini, sungguh serbarunyam, tapi lepaskan
dulu tanganmu.”
Si Kucing tertawa sambil melepaskan pegangannya, katanya, “Masih ada, kedua
orang ini terbius hingga lumpuh dan bisu, bahwa kau pun ahli pengobatan, kuyakin
kau pun bisa menyembuhkan mereka.”
Ong Ling-hoa berpikir sejenak, katanya, “Wah ... baiklah akan kucoba, bahwa aku
harus memeras keringat, kalian pun jangan menganggur, bila aku minta bantuan
kalian, siapa pun tidak boleh menolak.”
Sembari bicara seperti tidak sengaja ia mengerling Sim Long sekejap.
Sim Long tertawa, katanya, “Bila diperlukan tenagaku, silakan bicara saja.”
Ong Ling-hoa tertawa, “Baiklah, kuterima janji kalian.”
Lalu sorot matanya tertuju Auyang Hi.
Auyang Hi tertawa geli, katanya, “Wah, giliranku yang kau incar, baiklah Ong-
toakongcu yang terhormat, apa kehendakmu? Katakan saja.”
“Bagus,” ujar Ong Ling-hoa. “Nah, perhatikan ... cuka hitam kualitas terbaik empat
gentong, arak lama terbaik empat gentong, garam murni sepuluh kati, kain kaci putih
halus empat blok ....”
“Wah, wah, memangnya kau mau jadi dukun beranak atau mau membuka toko
kelontong?” seru Auyang Hi.
Ong Ling-hoa tidak pedulikan ocehannya, katanya lebih lanjut, “Dua baskom tembaga
yang baru, minta ukuran yang paling besar, dua gunting baru, dua pisau kecil baru,
empat anglo, cerek tembaga empat, semua juga ukuran yang paling gede, dua ratus
kati batu bara yang bersih ... dan lekas suruh orangorangmu memotong dan menjahit
dua jubah panjang putih untuk aku dan Simsiangkong ini, ingat, dalam waktu
setengah jam jubah harus selesai, tidak perlu bagus jahitannya asal bersih.”
Yang hadir melongo dan bingung mendengar sekian banyak barang yang diminta dan
harus disiapkan dalam waktu singkat.
Si Kucing tertawa, katanya, “Barang-barang yang kau minta ini seperti mau buka toko
serbaada saja, memangnya kau ini ingin jadi dukun bayi, atau mau buka rumah
makan gelap yang menghidangkan daging manusia dari tubuh kedua gadis montok
ini?”
“Wah celaka tiga belas, aku yang repot,” ujar Auyang Hi tertawa, “dalam waktu
setengah jam harus menyiapkan barang-barang tetek bengek, susah ....”
Mulutnya mengeluh, namun wajahnya tetap berseri, sebab ia maklum kalau Ong
Ling-hoa menuntut barang-barang yang serbabaru itu, pasti dia akan melakukan
sesuatu yang mengejutkan.
Soal ilmu rias atau kemahiran mengubah rupa sudah sering didengar namun praktik
atau pelaksanaan yang bersangkutan dengan “operasi muka” ini baru sekarang dapat
dilihat oleh Auyang Hi, maka bergegas dia keluar menyiapkan apa yang diperlukan.
Belum setengah jam Auyang Hi sudah menyiapkan seluruh barang yang diperlukan,
batu bara sudah menyala di tungku, cerek tembaga besar pun sudah berisi air dan
tengah digodok, sebentar lagi pasti mendidih.
Ong Ling-hoa menyerahkan seperangkat jubah panjang warna putih kepada Sim
Long, katanya dengan tertawa, “Tolong Sim-heng juga pakai jubah ini, harap sudi
menjadi pembantuku?”
“Dengan senang hati ....” ucap Sim Long.
“Dan aku?” si Kucing bertanya tidak sabar. “Apa yang harus kulakukan?”
“Kau keluar saja, tunggulah di luar dan jangan berisik.”
Si Kucing melongo, serunya, “Keluar? Apa kami tidak boleh menonton?”
Auyang Hi tertawa, “Kalau dia suruh kau keluar, lekas kau keluar saja, kita ....”
“Kau pun harus keluar,” tukas Ong Ling-hoa.
Auyang Hi melengak. “Apa? .... Aku pun tak boleh menonton?”
Dengan serius Ong Ling-hoa berkata, “Dalam melaksanakan tugas aku perlu
ketenangan dan harus konsentrasi pikiran, siapa pun tak boleh mengganggu, sebab
bila sedikit lena dan menimbulkan sesuatu cacat di wajah kedua nona ini, umpama
obat dewa juga takkan bisa menyembuhkannya, karena itulah kalian harus keluar,
Kim-tayhiap ini pun harap menyingkir sementara waktu.”
Auyang Hi dan si Kucing saling pandang, sikap mereka tampak kecewa. Kim Bu-
bong cuma mendengus, ia putar tubuh terus keluar.
Apa boleh buat, terpaksa Auyang Hi dan si Kucing juga keluar.
Pintu jendela segera ditutup rapat oleh Ong Ling-hoa, kain gorden juga diturunkan
sehingga penerangan dalam kamar menjadi guram, suasana dalam
kamar seketika terasa seperti mengandung sesuatu yang gaib. Demikian pula
bara api dalam tungku yang menyala seperti menambah suasana misterius ini. Sim
Long berdiri diam dan mengawasi orang tanpa bersuara, air dalam cerek di atas
tungku sudah mendidih, mengepulkan asap dan bersuara mendesis.
Mendadak Ong Ling-hoa membalik badan, dia menatap Sim Long, lalu katanya,
“Kusuruh mereka menyingkir karena aku tidak ingin rahasia operasi muka ini
diketahui mereka, tentunya Sim-heng maklum akan hal ini.”
Sim Long tersenyum dan mengiakan. “Padahal Auyang Hi dan si Kucing sudah lama
bersahabat denganku, sebaliknya kau dan aku baru bertemu pertama kali ini, bahwa
aku tidak ingin membocorkan
rahasia ini kepada mereka, sebaliknya minta bantuanmu, dalam hal ini pasti ada
sebabnya, Saudara tentu merasa heran bukan?” Sim Long tetap tersenyum, katanya,
“Mohon keterangan.” “Soalnya meski kita baru berkenalan, tapi kegagahan Saudara
sungguh belum
pernah kulihat selama ini, sungguh sangat mengagumkan.” “Terima kasih akan
pujianmu, meski Cayhe banyak bergaul, tapi bicara tentang
sifat kepribadian, Him-heng itulah yang patut dipuji. Tapi bicara tentang kecerdikan,
terpelajar, kurasa Saudaralah yang nomor satu di dunia ini.” Dia merandek, sinar
matanya gemerdep, lalu meneruskan, “Kecuali itu, tentu
Saudara punya urusan lain, kalau tidak, tak mungkin ....”
Ong Ling-hoa menukas, “Betul, Siaute memang ada maksud lain, maka aku lebih
akrab terhadap Saudara.” “Sebabnya tentu amat menarik.” “Ya, memang amat
menarik.” “Kalau demikian, coba jelaskan, aku ingin mendengarnya.” Ong Ling-hoa
berpikir sejenak, katanya kemudian, “Waktu Auyang Hi
memperkenalkan engkau tadi, dia tidak menyebut nama besarmu, betul tidak?”
“Mungkin Auyang-heng sendiri tidak tahu jelas nama lengkapku, atau mungkin
sudah lupa, hal ini pun jamak dalam pergaulan umumnya.” “Tapi nama Saudara
dapat kutebak.”
“Ah, masa Saudara punya kepandaian demikian.”
Ong Ling-hoa tersenyum, “Bukankah nama besar Saudara adalah Sim Long?”
Terunjuk rasa kaget dan heran di wajah Sim Long, katanya, “Betul, bagaimana bisa
kau tebak namaku, mungkin ... seorang pernah menyinggung aku di hadapanmu.”
Kalau kedua orang ini asyik bicara, Cu Jit-jit yang mendengarkan di samping menjadi
gelisah malu tapi juga senang, dia tidak ingin Ong Ling-hoa menyebut nama Sim
Long, namun juga berharap dia akan mengatakan nama Sim Long, bukan saja tidak
rela kalau Ong Ling-hoa turun tangan kepada Sim Long, tapi juga berharap sekali
genjot Sim Long membinasakan Ong Ling-hoa.
Maka dia membuka lebar kedua matanya dan mengawasi Ong Ling-hoa, ingin tahu
cara bagaimana pemuda bajul ini hendak menghadapi Sim Long, apa pula yang
hendak dikatakannya?
Didengarnya Ong Ling-hoa berkata, “Kalau Saudara ingin tahu bagaimana kutahu
nama besarmu, ini ... kelak engkau akan tahu sendiri.”
Lalu dia mulai membuka tutup gentong cuka, tidak memandang pula kepada Sim
Long, tapi tangannya kelihatan rada gemetar.
Diam-diam lega hati Jit-jit, entah kecewa atau merasa bersyukur? Betapa pikirannya
sekarang sukar dijelaskan.
Ong Ling-hoa angkat sebuah cerek tembaga dan mengarahkan corong cerek ke
muka Pek Fifi, kepulan asap panas dari dalam cerek segera menyembur muka Pek
Fifi, terpaksa Pek Fifi memejamkan mata.
Selang sejenak, Ong Ling-hoa berkata, “Tolong Sim-heng buka tutup cerek.”
Sim Long mengiakan dengan tersenyum, ia membuka tutup cerek tembaga, padahal
tutup cerek tembaga itu terpanggang di atas tungku yang membara, panasnya bukan
main, tapi Sim Long memegangnya seperti tidak terasa panas sedikit pun. Sikap Ong
Ling-hoa seperti tidak menaruh perhatian, namun air mukanya sedikit berubah, entah
kaget, heran, memuji, iri, atau kagum.
Setelah tutup cerek terbuka, Ong Ling-hoa menuang cuka ke dalam cerek, segera
uap yang menyembur keluar dari cerek mengandung bau asam, uap panas asam
menyembur ke muka Pak Fifi semakin keras hingga matanya terpejam rapat.
Hal ini berlangsung sekian lama pula, setengah gentong cuka sudah menguap di
dalam cerek, kulit daging di ujung mulut Pek Fifi yang mengeras kelihatan mulai
lunak dan bergerak, malah kelihatan mengiler.
Ong Ling-hoa menurunkan gentong cuka, ganti angkat gentong arak dan arak
dituang ke dalam cerek pula, maka uap asam yang kental berubah menjadi bau arak
yang pedas, hanya sekejap air mata tampak bercucuran dari mata Pek Fifi.
Asap makin tebal memenuhi kamar, jidat Ong Ling-hoa dan Sim Long sudah
berkeringat, dua baskom tembaga raksasa yang tersedia diisi arak oleh Ong Ling-hoa,
cuka dan air putih dituang pula lalu berkata, “Sim-heng, tolong bukakan pakaian nona
ini dan masukkan dia ke baskom besar ini.”
Sim Long melengak, “Apakah pakaiannya harus dibuka.”
“Benar, pori-pori sekujur badannya sekarang tersumbat oleh obat rias, tanpa melucuti
pakaiannya mana bisa menolongnya?”
Sembari bicara Ong Ling-hoa mengeluarkan tiga botol kecil yang terbuat dari kayu,
dari botol-botol itu dia tuang sedikit puyer ke dalam kedua baskom besar, lalu berkata
dengan tertawa, “Seorang laki-laki sejati, memangnya tidak berani membuka pakaian
seorang perempuan?”
Waktu Sim Long menoleh ke sana, dilihatnya air mata Pek Fifi berlinang, sorot
matanya cemas, malu, dan minta belas kasihan.
Sim Long menghela napas, katanya, “Urusan mendesak, terpaksa aku memberanikan
diri, harap Nona maklum dan maaf akan kelancanganku.”
Perlahan dia membuka pakaian Pek Fifi.
Di luar pintu si Kucing dan Auyang Hi berjalan mondar-mandir, yang satu
menggendong tangan, yang lain mengepal tinju, wajah mereka tampak gelisah dan
tidak sabar, sikap mereka lebih mirip seorang suami yang gelisah menunggu istrinya
yang hendak melahirkan. Sementara Kim Bu-bong duduk diam di pojok sana, tapi
sorot matanya kehilangan ketenangan biasanya.
Terdengar suara mendesis air mendidih serta percikan api batu bara yang menyala
besar, air dituang, bau arak dan cuka bersama asap tebal merembes keluar,
terdengar pula suara gunting bekerja dan pisau mengiris, lalu terdengar pula suara
orang lagi mandi.
Tiba-tiba si Kucing tertawa geli, katanya, “Mendengar suaranya, mereka berdua
seperti lagi menyembelih babi atau memotong kambing, entah bagaimana kedua
nona itu dijagal ....”
Auyang Hi berkata, “Kalau aku boleh masuk melihatnya, suruh aku menyembah tiga
kali aku mau.”
“Siapa bilang tidak,” ucap si Kucing sambil menghela napas. “Cuma sayang ....”
Mendadak berkumandang suara kaget dan bentakan perlahan, itulah suara Sim
Long.
Kim Bu-bong melompat bangun dan hendak menerjang masuk, tapi si Kucing segera
menariknya mundur.
“Kau mau apa?” bentak Kim Bu-bong gusar.
Si Kucing tertawa, katanya, “Kenapa Saudara begini tegang, betapa gagah
perwiranya Saudara Sim kita, memangnya kau khawatir dia? Bila Kim-heng main
terobos ke dalam hingga Ong Ling-hoa gusar, bukan mustahil tugasnya yang belum
selesai akan ditinggal pergi, lantas bagaimana urusan selanjutnya, bukankah kedua
nona itu tidak bisa lagi hidup di muka umum.”
Kim Bu-bong termangu sejenak, akhirnya ia mendengus sambil mengipratkan tangan
si Kucing, dengan langkah lebar ia kembali ke tempat duduknya semula. Dia juga
maklum manusia seperti Sim Long tak mungkin mengalami sesuatu.
Tapi pada saat itulah di dalam kamar terdengar suara telapak tangan saling tepuk,
suaranya keras dan kerap seperti rentetan mercon saja, kembali Kim Bubong
berubah air mukanya, dia berdiri pula.
Auyang Hi juga berkerut kening, katanya, “Suara apa itu?”
Si Kucing berpikir, katanya kemudian, “Mungkin suara Ong Ling-hoa sedang
mengurut dan memijat kedua nona itu.”
Auyang Hi manggut-manggut, katanya, “Ya, mungkin demikian ....”
Walau diam saja, namun dalam hati Kim Bu-bong menerima pendapat si Kucing, tapi
baru saja ia berduduk, dari dalam kamar terdengar pula jeritan kaget pula. Yang
menjerit kali ini ternyata Ong Ling-hoa. Berubah air muka Auyang Hi, ia pun hendak
menerjang masuk ke sana, tapi si Kucing kembali menariknya mundur.
“Ong-heng biasanya tenang dan tabah,” kata Auyang Hi, “bila dia sampai menjerit,
mungkin ....”
“Mungkin kenapa?” tukas si Kucing. “Ong Ling-hoa sedang sibuk menolong kedua
nona itu, memangnya kau kira Sim-heng akan bertindak sesuatu kepadanya, apalagi
mereka baru saja kenal, belum pernah bermusuhan, malah saling kagum dan memuji
.... Hehe, kukira lantaran kau ingin masuk, maka sengaja kau cari alasan.”
Auyang Hi tertawa geli dan keki, katanya, “Kucing rakus, apa kau tidak merasa jeritan
itu agak ganjil?”
“Mungkin mereka terpesona oleh kecantikan kedua nona itu, hingga tak tahan dan
menjerit kaget, terutama Ong Ling-hoa si iblis perayu itu, mungkin tulangnya
sekarang sudah lemas lunglai,” kata si Kucing.
Auyang Hi menggeleng, “Umpama dugaanmu benar juga hanya mereka berdua saja
yang kebagian rezeki, tidak perlu kau ikut ribut.”
Pintu tertutup rapat, kecuali suara keras atau jeritan melengking, percakapan Sim
Long dengan Ong Ling-hoa tidak terdengar dari luar.
Auyang Hi melongok cuaca luar rumah, mentari sudah semakin tinggi, hampir dia
tidak tahan sabar, ia garuk kepala dan membanting kaki, sering bergumam, “Kenapa
mereka belum keluar, mungkin ... mungkin terjadi ....”
*****
Ketika Sim Long membuka kancing pertama baju Pek Fifi, nona itu memejamkan
kedua matanya, kaki tangan berkeringat dingin dan gemetar. Walau rupanya sudah
berubah buruk, tapi waktu dia memejamkan mata, kerlingan mata yang mengandung
rasa malu sungguh menggiurkan.
Sifat malu-malu seorang gadis jelita semacam ini justru tidak dimiliki oleh Cu Jitjit.
Walau gadis itu sudah memejamkan mata, agaknya Sim Long tidak berani menatap
mukanya, dengan perlahan dan hati-hati Sim Long melucuti pakaiannya, ujung jari pun
tidak menyentuh badan orang.
Ternyata Pek Fifi tidak mengenakan pakaian dalam, begitu baju luar tersingkap,
maka badannya yang mulus seketika terpampang di depan mata.
Bentuk tubuh yang elok, mulus, kenyal, dan halus terpampang di depan mata Sim
Long. Badan yang polos ini tidak merangsang nafsu tapi menimbulkan rasa kasih
sayang terhadap gadis yang lemah lembut, daya tarik gadis suci yang khas, yang
sukar dilukiskan.
Untuk melengos tidak sempat lagi, sekali pandang seketika Sim Long rada terkesima,
dia lupa untuk melengos, dia terpesona oleh kemulusan tubuh gadis telanjang di
depan mata ini. Biarpun dia seorang enghiong (kesatria), dia tetap seorang lelaki.
Ketika mendengar Sim Long disuruh membuka pakaian Pek Fifi, Cu Jit-jit lantas
mendelik mengawasi gerak-geriknya, kini melihat sikap kesima Sim Long itu, sorot
mata Jit-jit seketika memancarkan rasa keki dan iri. Dia membatin, “Sim Long, wahai
Sim Long, ternyata kau pun laki-laki mata keranjang, betapa besar cintaku kepadamu,
lelaki lain tiada yang terpandang olehku, tapi melihat perempuan lain, kau pun melotot
semacam ini, ai, sia-sia aku mencintaimu.”
Waktu dia melirik ke sana, Ong Ling-hoa berdiri membelakangi Sim Long dan Pek
Fifi, melirik pun tidak ke arah sini.
Setelah berdehem, Ong Ling-hoa bersuara, “Pakaiannya sudah dibuka belum?
Sekarang silakan Sim-heng masukkan dia ke dalam baskom besar, gunakan kain
putih yang baru kupotong, cuci atas kepala sampai kaki dan digosok dua kali,
gunakan dulu air baskom sebelah kiri, lalu dibilas dengan air baskom sebelah kanan,
sekali-kali jangan keliru.”
Sim Long menoleh, katanya gugup, “Tapi ... kenapa Saudara tidak turun tangan
sendiri?”
Ong Ling-hoa tetap tidak berpaling, katanya dengan tertawa, “Betapa terhormat
badan suci seorang anak perawan, hanya lantaran keadaan mendesak, terpaksa
harus dikerjakan, lebih baik kalau hanya seorang lelaki saja yang menjamah
badannya, betul tidak pendapat Sim-heng .... Selanjutnya dia sudah menjadi orang
Sim-heng, maka terpaksa mohon Sim-heng melanjutkan kerja sampai selesai.”
Sim Long menjadi gugup, serunya, “Dia ... dia sudah menjadi orangku apa?”
Ong Ling-hoa tertawa, katanya tanpa menjawab pertanyaannya, “Khasiat obat dalam
air sebentar akan hilang bila air mulai dingin, kenapa Sim-heng tidak lekas turun
tangan?”
Sim Long melongo sejenak, apa boleh buat, sambil menghela napas dia angkat Pek
Fifi dan diturunkan ke dalam baskom, lalu diambilnya setumpuk kain kaci putih.
Ong Ling-hoa berdiri sambil berpeluk tangan, katanya, “Kedua nona ini pasti
berwajah cantik laksana bidadari, hari ini sungguh Sim-heng amat beruntung.”
Kelihatan gusar pada wajah Sim Long, katanya keki, “Saudara bicara demikian,
memangnya kau anggap aku ini orang apa?”
“Ah, Siaute hanya berkelakar saja, harap Saudara jangan marah, tapi ....”
“Tapi apa?”
“Kau yang membawa kemari kedua nona ini, kesucian tubuh mereka juga sudah kau
pandang dan kau jamah, maka selanjutnya kuharap engkau tidak telantarkan mereka,
bila Saudara berjiwa pendekar, maka masa depan kedua gadis ini harus kau pandang
sebagai kewajibanmu, sekali-kali tidak boleh naksir pada gadis yang ketiga.”
Sudah tentu kaget dan gusar Sim Long, tapi apa yang diucapkan Ong Ling-hoa juga
terasa jujur dan tegas, seketika Sim Long jadi bungkam dan tak mampu mendebat.
Dalam persoalan ini sudah tentu hanya Cu Jit-jit saja yang tahu makna dari ucapan
Ong Ling-hoa itu, sebab kecuali dia sendiri siapa pun tidak tahu bahwa dia adalah Cu
Jit-jit.
Maksud tujuan Ong Ling-hoa adalah hendak mengikat Sim Long dengan kata-
katanya, supaya kedua gadis ini benar-benar membelenggu Sim Long sehingga dia
tidak bisa bebas dari tanggung jawab, untuk ini Ong Ling-hoa akan mengatur tipu
daya sehingga kedua gadis ini selanjutnya akan mengikat Sim Long, apalagi menurut
tradisi zaman itu, bila tubuh suci seorang gadis sampai terlihat, apalagi terjamah oleh
seorang laki-laki, maka selama hidup dia tidak akan kawin kecuali dengan lelaki itu
apalagi Sim Long adalah tipe lelaki gagah yang disukai anak gadis.
Bila Sim Long sudah terikat oleh kedua gadis ini, sudah tentu dia tidak boleh jatuh
cinta kepada gadis lain. Gadis ketiga yang dimaksud Ong Ling-hoa sudah tentu
adalah Cu Jit-jit.
Langkah yang dimainkan Ong Ling-hoa memang lihai, namun betapa rapi
perhitungannya, terjadi juga kekhilafan, tak pernah terbayang olehnya bahwa satu di
antara kedua gadis ini adalah Cu Jit-jit, dengan susah payah ia mengatur tipu
dayanya akhirnya justru merugikan diri sendiri.
Sim Long tidak bicara lagi, ujung mulutnya kembali mengulum senyum.
Ong Ling-hoa berkata, “Apakah Sim-heng sudah selesai memandikan dia? Baiklah,
silakan Sim-heng menggosok kering badannya .... Bagus, selanjutnya dengan tenaga
hangat Sim-heng boleh kau urut ke-46 hiat-to di sekitar perutnya, bila Sim-heng
merasa malu, boleh kenakan dulu pakaian nona ini.”
Belum habis dia bicara, didengarnya suara keresek kain baju, kejap lain terdengar
suara tepukan enteng telapak tangan, napas Sim Long lambat laun terdengar berat,
Pek Fifi juga mengeluarkan suara keluhan dan napas tersengal, keluhan yang
menggetar sukma.
Perlu dimaklumi tempat yang ditepuk dan diurut oleh Sim Long sekarang adalah
bagian yang peka di tubuh seorang gadis, apalagi kini yang mengurut adalah telapak
tangan lawan jenis, betapa nikmat rasanya dapat dibayangkan.
Cu Jit-jit melotot gusar mengawasi tangan Sim Long yang bergerak di atas badan Pek
Fifi, tiba-tiba terbayang olehnya waktu dirinya diurut dan dipijat oleh Ong Ling-hoa
tempo hari, bukankah rasanya juga nikmat memabukkan. Seketika terasa adanya
aliran hangat yang menyusuri seluruh badannya, hatinya seperti dibakar nafsu.
Mata Pek Fifi masih terpejam, napasnya makin memburu, badan bergeliat dan
gemetar.
Perlahan Ong Ling-hoa membalik tubuh, ia ambil gunting dan dimasukkan ke dalam
cuka yang mendidih, dengan tersenyum ia menyaksikan Sim Long mengerjai Pek Fifi,
katanya, “Jangan Sim-heng berhentikan kerja kedua tanganmu, tak peduli apa pula
yang kau lihat atau dengar, sekejap pun tidak boleh berhenti, kalau tidak, akan sia-sia
usahamu, dan kau sendiri harus bertanggung jawab.”
Sim Long tersenyum, katanya, “Jangan khawatir, selama hidupku belum pernah
melakukan sesuatu yang mengecewakan orang.”
Bukan dia tidak merasakan reaksi Pek Fifi, ia sendiri juga mulai terpengaruh oleh
reaksi yang menggelitik ini. Tapi lahirnya tetap kelihatan tenang dan wajar, seperti
yakin dan penuh kepercayaan pada diri sendiri bahwa segala apa yang akan terjadi,
dia sudah siap menghadapinya.
Ong Ling-hoa mendekati Pek Fifi, katanya, “Obat rias di muka nona ini karena
tersembur uap arak dan cuka dan terserang suhu panas badannya yang berkeringat
kini sudah mulai lunak.”
Sembari bicara kedua tangannya mulai meremas muka Pek Fifi, “kulit” muka Fifi yang
serupa asli itu sudah mulai berkerut oleh remasan-remasan tangannya, begitu
bentuknya berubah, sungguh tambah mengerikan roman mukanya.
Segera Ong Ling-hoa keluarkan obat dan dijejalkan ke mulut Fifi, katanya, “Aliran
darah dan napasnya sudah berjalan lancar, mulutnya juga sudah bisa bicara, cuma
....” tiba-tiba dia tertawa tertahan, lalu menyambung, “cuma karena rabaan
tangan Sim-heng, sekujur badannya menjadi lunglai, untuk bicara saja ogah buka
suara.”
Kalau orang lain yang mendengar perkataannya ini, mana sanggup lagi bergerak lagi
kedua tangannya, tapi Sim Long anggap tidak mendengar ocehannya, kedua
tangannya masih terus bekerja.
“Bagus!” Ong Ling-hoa memuji, dengan dua jari mendadak dia cubit kulit mata Pek
Fifi, tangan kanan yang sejak tadi pegang gunting lantas bekerja, “kres”, kontan dia
mengguntingnya. Kulit kelopak mata Fifi diguntingnya secuil, walau Fifi tetap diam
seperti tidak merasa sakit, tapi Sim Long dan Cu Jit-jit sama kaget.
Ong Ling-hoa lempar hasil guntingannya ke dalam ember garam, lalu pisau kecil
ditusukkan ke kulit mata yang barusan diguntingnya.
Kembali Sim Long kaget, tapi dilihatnya Pek Fifi diam saja seperti tidak merasakan
apa-apa. Dilihatnya kedua tangan Ong Ling-hoa terus bekerja, pisau kecil mengiris
pergi-datang, lapisan kulit muka Pek Fifi terkelupas sekeping demi sekeping, kulit
mukanya yang memang jelek kini kelihatan lebih buruk lagi.
Walau tahu kulit palsu itu buatan obat rias yang membeku, jantung Sim Long
berdegup juga.
Mendadak sinar dingin berkelebat, pisau kecil di tangan Ong Ling-hoa tiba-tiba
mengiris ke muka Sim Long.
Jit-jit melihat jelas kejadian ini, sungguh tidak kepalang kagetnya.
Sim Long lagi tumplak seluruh perhatiannya, jelas dia tidak mampu menghindari
sambaran pisau kecil ini.
Siapa tahu mendadak Sim Long berteriak kaget, menyusul lantas membentak pula,
kaki tidak bergerak, badan bagian atas menyurut mundur beberapa senti, pisau kecil
menyambar lewat pipinya, tidak sampai melukai kulit dagingnya.
Tanpa terasa keringat dingin membasahi tubuh Cu Jit-jit, ia mengkhawatirkan
keselamatan Sim Long tapi kedua tangan Sim Long tetap bekerja, tidak berhenti juga
tidak tertunda, masih terus mengurut, hanya sorot matanya tampak gusar, katanya,
“Apa maksud tindakanmu ini?”
Ong Ling-hoa berlagak seperti tidak terjadi apa-apa, katanya dengan tersenyum,
“Siaute hanya menguji ketenangan Sim-heng apa benar dalam keadaan
bagaimanapun kedua tanganmu tidak akan berhenti bekerja.”
Sim Long tersenyum, katanya, “O, begitu?”
Ia bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa, serangan pisau barusan tidak
disinggungnya pula.
Cukup lama Ong Ling-hoa menatapnya, sorot matanya menampilkan rasa kagum tapi
juga iri, tiba-tiba ia menghela napas, katanya, “Selama hidupmu, apakah tidak pernah
pikirkan urusan apa pun?”
“Sudah tentu ada,” sahut Sim Long tertawa. “Cuma orang lain tidak tahu saja.”
Cara bicaranya tetap tenang dan kalem, namun dalam pendengaran Ong Linghoa
entah kenapa tiba-tiba timbul rasa dingin dalam hati, pikirnya, “Ada manusia seperti
dia di dunia ini, apa artinya hidup bagiku ....”
Sembari berpikir tangannya juga tetap bekerja, kulit imitasi di muka Pek Fifi telah
dipotong-potong lagi dan dilemparkan ke dalam ember.
“Gerak tangan bagus ....” Sim Long memuji dengan tertawa. Tapi begitu melihat
wajah Pek Fifi, perkataannya terhenti, sekian lama dia melongo.
Tampak pipi Pek Fifi putih bersemu merah laksana mawar, bulu matanya yang
panjang tampak menghiasi pelupuk matanya yang terpejam, hidungnya mancung,
napas tersengal ....
Tadi Sim Long sudah melihat tubuhnya yang mulus, jarinya sempat menyentuh
kulitnya yang halus, namun perasaannya masih terkendali, kini setelah melihat raut
wajahnya yang molek memesona, entah mengapa timbul semacam perasaan aneh,
tangannya tak berani lagi menyentuh tubuhnya.
Betapa pun Sim Long adalah seorang lelaki, lelaki mana pun takkan terhindar dari
perasaan demikian.
Ong Ling-hoa juga terbeliak, lama dia termenung baru menarik napas panjang,
katanya dengan gegetun, “Ternyata memang cantik tiada bandingan ....”
Melihat betapa sikap kedua lelaki itu mengawasi wajah Fifi, sungguh dongkol dan
gemas bukan main perasaan Cu Jit-jit, dalam hati dia mengumpat, “Lelaki, dasar
lelaki, tiada lelaki baik di dunia ini.”
Walau hati mendongkol, tapi kedua lelaki di hadapannya ini, yang seorang adalah
pengagum dirinya, kalau tidak mau dikatakan kasmaran terhadapnya, seorang lagi
justru pemuda pujaannya, sekarang terlihat mereka kesengsem kepada orang lain,
dengan sendirinya timbul rasa cemburunya.
Betapa pun Jit-jit adalah orang perempuan, perempuan mana pun di dunia ini pasti
tak terhindar dari rasa cemburu.
Tanpa sengaja Cu Jit-jit mengerling Ong Ling-hoa, dilihatnya Ong Ling-hoa lagi
menatap Sim Long, sorot matanya penuh nafsu membunuh, Cu Jit-jit kaget, teriaknya
dalam hati, “Celaka ....”
Tengah mengeluh dalam hati, dilihatnya kedua tangan Ong Ling-hoa menghantam ke
arah Sim Long dengan cepat. Serangan ini pun dilancarkan secara mendadak, cepat,
dan ganas pula.
Di luar dugaan, meski Sim Long lagi menatap wajah si cantik, padahal setiap
gerak-gerik orang tidak lepas dari pengawasan Sim Long, baru saja telapak
tangannya bergerak, kedua telapak tangan Sim Long lantas memapak ke depan.
Empat telapak tangan beradu dan menimbulkan serentetan suara serupa seperti
bunyi mercon, setelah belasan jurus adu pukulan, Sim Long tampak masih berdiri
bergeming, Ong Ling-hoa justru menjerit dan tergetar mundur.
“Apa pula maksud perbuatanmu ini?” tanya Sim Long.
Ong Ling-hoa tergetar mundur dekat dinding baru dapat berdiri tegak lagi, ia
tepuk-tepuk jubah putih yang baru itu, sikapnya tetap tenang dan wajar seperti tidak
terjadi sesuatu, katanya dengan tertawa, “Siaute hanya ingin menjajal, setelah
mengurut dan menepuk tadi, apakah tenaga dalammu tidak berkurang?”
Setelah menatapnya lekat-lekat, akhirnya Sim Long tersenyum, katanya, “O, apa
betul? Banyak terima kasih atas perhatianmu.”
Sikapnya tetap santai seperti tidak terjadi apa-apa.
Mendelik mata Cu Jit-jit, sambil mengertak gigi diam-diam ia mengumpat, “Sim Long,
dungu kau, dia minta kau menjadi pembantunya adalah untuk mencari kesempatan
akan membunuhmu, masa kau tidak tahu? Kau goblok, kau tidak punya liangsim,
adakalanya, sungguh ingin kulihat kau dibunuh orang saja.”
Ternyata diam-diam Pek Fifi juga memicingkan mata dan mencuri lihat ke arah Sim
Long, wajahnya masih kelihatan jengah, entah bagaimana perasaannya terhadap Sim
Long, entah malu atau cinta dan kagum, yang jelas, kecuali Sim Long, matanya tidak
memandang orang lain lagi.
Ong Ling-hoa mengulang apa yang pernah dilakukan tadi terhadap Cu Jit-jit,
mukanya disembur dengan uap cuka yang mendidih.
Air mata dan ingus mengalir dari mata dan hidung Jit-jit, dia ingin menjerit dan
meronta karena tidak tahan, tapi bila teringat sebentar lagi dirinya akan bebas
dari siksa derita, maka jantungnya berdegup lebih cepat, rasa sakit kulit mukanya
tidak dirasakan lagi sebagai derita yang luar biasa, dia mengertak gigi dan bertahan.
Ke dalam baskom besar itu Ong Ling-hoa mengisi pula air arak, cuka, dan obat-
obatan, kali ini obat yang dia gunakan lebih banyak, ia berkata kepada Sim Long
dengan tertawa, “Untuk memulihkan keadaan nona yang satu ini jauh lebih sukar
daripada yang pertama tadi, karena itu Sim-heng harus banyak menguras tenaga
juga.”
Habis bicara dia mundur ke sana dan berdiri menghadap dinding.
Sim Long tertawa getir, katanya, “Apa sama seperti cara tadi?”
Terhadap setiap permohonan orang agaknya tak pernah dia menolak, segalanya
diterima dengan baik.
Ong Ling-hoa tertawa, katanya, “Betul, seperti tadi, mohon Sim-heng juga rendam
tubuh nona itu di dalam kedua baskom itu secara bergantian ....”
Melihat jari Sim Long sudah menyentuh kancing bajunya, jantung Jit-jit berdebar,
ingin rasanya dia menjerit. Terpaksa dia memejamkan mata, tubuh terasa dingin,
menyusul terangkat lalu terendam di dalam air hangat dalam baskom, tubuhnya
meringkuk, terdengar suara napas dan keluh yang merangsang nafsu, dalam hati tadi
dia pernah memaki Pek Fifi, namun suara napas dan keluh kepuasan sekarang ini
justru dia sendiri yang mengeluarkannya.
Dia seperti mabuk, seperti terbuai dalam impian, entah berapa lama kemudian,
akhirnya terasa tubuh terangkat pula, dikeringkan dengan kain dan mengenakan
pakaian, kini rasa kaku tubuhnya sudah berangsur hilang, lambat laun perasaannya
mulai pulih.
Lalu dia merasakan jari-jari yang hangat mulai mengurut dan memijat tubuhnya,
tanpa terasa napasnya mulai memburu lagi, suara keluhannya semakin keras.
Tanpa disadarinya dia bersuara, hal ini sepantasnya dibuat girang, dia pernah
bersumpah bila dirinya dapat bersuara, maka segera dia akan membongkar tipu
muslihat keji Ong Ling-hoa, ia pun pernah bersumpah akan mencaci maki Sim Long,
namun kini perasaannya seperti mabuk dan lupa daratan, ia lupa dirinya sudah bisa
bersuara dan bicara.
Pek Fifi meringkuk di ujung ranjang, sesekali dia mengintip ke arah Sim Long,
sementara Ong Ling-hoa masih berdiri menghadap dinding tanpa bergerak, seperti
sedang termenung.
Cukup lama Ong Ling-hoa berdiri diam, akhirnya dia membalik badan, gunting baru
dipegangnya terus mencubit kelopak mata Cu Jit-jit, tapi gunting tidak segera bekerja,
entah apa yang menyebabkan dia bimbang, sesaat dia memandang Sim Long dengan
terkesima.
Tak tahan Sim Long bertanya, “Kenapa Saudara tidak lekas turun tangan?”
“Pikiranku sekarang tidak tenteram dan sukar dikonsentrasikan, jika bekerja
sembarangan, mungkin bisa merusak wajah nona ini.” “Kenapa pikiranmu mendadak
kalut?” Ong Ling-hoa tersenyum, “Kupikir, setelah kusembuhkan dan memulihkan
wajah
kedua nona ini, entah bagaimana sikapmu terhadapku?” “Tentu kuanggap sebagai
sahabat, kenapa Saudara curiga?” “Tadi dua kali aku menjajalmu, apakah tidak kau
curiga bahwa sengaja hendak
kulukai atau membunuhmu?”
“Aku tidak bermusuhan dan tidak pernah berbuat salah apa pun terhadapmu, untuk
apa kau membunuhku?” Ong Ling-hoa tersenyum, katanya, “Kalau demikian,
legalah hatiku, semoga
Saudara tidak lupa akan apa yang kau katakan ini, selamanya anggap aku sebagai
sahabat.”
“Sudah tentu, asal Saudara sudi, tak nanti kulupakan.” “Bagus!” seru Ong Ling-hoa
tertawa, mendadak dia taruh gunting terus melangkah ke sana.
“Kenapa Saudara tidak turun tangan sekarang?” tanya Sim Long pula.
“Bahwa Saudara sudi bersahabat denganku, sepantasnya aku menyuguh tiga cawan
kepadamu,” diambilnya dua cawan dan diisi arak dari gentong. “Tapi ... tapi nona ini
....” “Tak perlu gelisah, aku bertanggung jawab memulihkan bentuk wajah asli nona
ini, sekarang boleh berhenti sementara, kujamin tak terjadi apa-apa.” Salah satu
cawan arak itu disodorkan, terpaksa Sim Long berhenti bekerja dan menerima
cawan arak itu.
Sambil angkat cawan Ong Ling-hoa tertawa, katanya, “Secawan arak ini semoga
Saudara banyak rezeki dan panjang umur, semoga pula selanjutnya Saudara sudi
menganggap diriku sebagai sahabat kental, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.”
Sim Long juga angkat cawannya, katanya dengan tertawa, “Terima kasih ....”
Saat mana keadaan Cu Jit-jit sudah berangsur pulih, kesadarannya mulai jernih,
tanpa sengaja dia melirik ke sana, dilihatnya Sim Long sedang angkat cawan arak
yang diterima dari Ong Ling-hoa dan akan diminum. Walau tadi dia keki terhadap Sim
Long, meski ia pun tahu bila dirinya bersuara, kemungkinan Ong Ling-hoa tidak akan
mau melanjutkan operasinya, dan kemungkinan besar selamanya mukanya akan
tetap buruk, namun melihat Sim Long hendak minum arak pemberian Ong Ling-hoa,
apa pun dia tidak pikir lagi, mendadak dia berteriak sekuatnya, “Lepaskan ....”
Sambung jilid 11
Pendekar Baja
Karya Gu Long Judul asli: Wu Lin Wai Shi Judul Bahasa
Inggris: A Fanciful Tale of the Fighting World Saduran: Gan
KL Tahun: 1979
Jilid 11
Mungkin sudah terlalu lama dia tidak bicara, kini mendadak bisa bersuara, suaranya
menjadi kurang jelas.
Ong Ling-hoa dan Sim Long sama terkejut, Sim Long berpaling dan bertanya, “Apa
kau bilang, Nona?”
Sebetulnya Cu Jit-jit ingin bilang, “Lepaskan cawan arak, araknya beracun.”
Sungguh tak terpikir olehnya mendadak dirinya bisa bicara. Setelah sekian lama jadi
orang bisu, kini dapat bicara lagi, betapa senang hatinya sukar dilukiskan.
Setelah tercetus perkataan “lepaskan”, ia sendiri pun kaget dan melongo, sampai
lama ia tak mampu menyambung ucapannya.
Jelalatan bola mata Ong Ling-hoa, mendadak dia memburu maju dan menepuk
hiat-to bisu si nona, maka Jit-jit tidak mampu bersuara lagi, ia cemas dan penasaran
hingga keringat dingin bercucuran.
Sim Long mengerut alis, “Kenapa Ong-heng tidak membiarkan nona ini bicara?”“
Ong Ling-hoa tertawa, katanya, “Nona ini terlampau lelah dan mengalami pukulan
batin, pikiran belum tenang, setelah dapat bicara dan dapat bergerak, bukan mustahil
dia akan melakukan sesuatu yang mengerikan, tadi hampir saja kulupakan hal ini, kini
biarlah dia istirahat dulu.”
Sejenak kemudian ia angkat cangkirnya pula, “Mari minum!”
Sim Long agak bimbang, namun melihat Ling-hoa sudah menghabiskan isi
cangkirnya, terpaksa ia pun tenggak araknya. Sudah tentu Cu Jit-jit yang berada di
samping jadi gugup dan khawatir setengah mati, air mata pun meleleh.
Ong Ling-hoa mengisi secangkir penuh pula, katanya dengan tertawa, “Secangkir ini
kudoakan saudara ....” dia memang pandai bicara, tutur katanya ramah dan sopan,
tanpa sadar Sim Long mengiringi dia menghabiskan tiga cangkir.
Sekujur badan Cu Jit-jit berkeringat dingin, kata-kata Ong Ling-hoa di penjara bawah
tanah tempo hari kini seperti mengiang kembali di telinganya, “Sim Long ... Sim Long
... Bagus, ingin kubuktikan orang macam apa dia sebenarnya ... aku justru akan bikin
dia mati di depanku.”
Seolah-olah terbayang oleh Jit-jit darah hitam meleleh dari tujuh lubang indra Sim
Long, lalu jatuh berkelejatan meregang jiwa. Sungguh ia ingin minum ketiga cangkir
arak beracun tadi dan bukan Sim Long.
*****
Bulan semakin tinggi, kini Si Kucing pun merasa rada heran.
Auyang Hi tetap mengentak kaki, katanya, “Kenapa belum lagi keluar?”
Kini dalam kamar tidak terdengar suara berisik apa pun, tenang dan sepi, hal ini
mempertebal rasa curiga mereka, akhirnya Si Kucing menghela napas, katanya,
“Sungguh terlebih sulit daripada menunggu orang melahirkan anak.”
Makan malam sudah disiapkan di atas meja, tapi ketiga orang ini tiada nafsu makan.
“Pasti terjadi sesuatu, ya, pasti terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan ...”
demikian gumam Auyang Hi. Lalu dia melirik Si Kucing, tanyanya, “Bagaimana?
Perlu tunggu lagi?”
“Tunggu sebentar lagi ... sebentar lagi,” sahut Si Kucing.
Mendadak Kim Bu-bong berkata, “Tunggu lagi sebentar, kalau terjadi sesuatu, kau
yang harus bertanggung jawab.”
“Aku yang bertanggung jawab?” Si Kucing menegas. “Kenapa aku yang harus
bertanggung jawab?”
“Kalau kau tidak berani bertanggung jawab, biar sekarang aku menerjang ke dalam,”
jengek Kim Bu-bong. Mendadak dia berbangkit, tapi Si Kucing telah mengadang di
depan pintu.
“Apa pula kehendakmu?” tanya Kim Bu-bong dengan gusar.
“Umpama ingin masuk juga harus memberi tanda lebih dulu,” ujar Si Kucing.
Auyang Hi segera mengetuk pintu, serunya, “Apa kami boleh masuk?”
Terdengar suara Ong Ling-hoa berkumandang dari dalam, “Kenapa terburuburu?
Tunggu sebentar lagi, hampir selesai.”
“Nah, bagaimana?” ucap Si Kucing dengan tertawa. “Apa salahnya tunggu sebentar
lagi.”
Mendengar ketukan pintu di luar, hati Cu Jit-jit amat girang, dia ingin berteriak supaya
Si Kucing, Kim Bu-bong, dan lain-lain terjang masuk, apa pun juga, pasti masih
sempat menolong jiwa Sim Long.
Tapi setelah mendapat jawaban Ong Ling-hoa, keadaan di luar kembali sunyi.
Keruan di samping cemas Cu Jit-jit pun amat kecewa dan sedih, dengan sedih ia
melihat Sim Long sekejap, sebetulnya dia tidak berani melihatnya lagi, namun tak
tertahan dia menoleh ke sana juga.
Tertampak Sim Long masih berdiri tegak di tempatnya, ujung mulutnya masih
mengulum senyuman khas yang santai dan gagah, sedikit pun tidak kelihatan
keracunan.
Keruan Jit-jit melongo, entah kaget, heran atau gembira, bahwa arak itu tidak
beracun, sungguh di luar dugaannya, mimpi pun tak terduga.
Didengarnya Ong Ling-hoa lagi berkata, “Tugas terakhir ini aku tidak perlu dibantu
lagi, Sim-heng telah bekerja cukup berat, tentunya lelah, silakan duduk dan istirahat
saja.”
Sim Long tertawa, katanya, “Kalau demikian, tolong saudara kerjakan sendiri.”
Kelihatannya dia memang sangat lelah, begitu duduk lantas memejamkan mata,
tubuhnya juga lemas. Senyum di ujung mulutnya juga sirna, badan yang lemas
akhirnya terkulai di kursi, entah tertidur pulas atau jatuh pingsan.
Baru saja hati Jit-jit merasa lega, melihat keadaan Sim Long, kembali air matanya
meleleh saking cemasnya, sayang dia tidak mampu bersuara dan menangis
tergerung-gerung.
Akhirnya Sim Long terperangkap juga oleh muslihat keji Ong Ling-hoa, ternyata
dugaannya tadi tidak keliru, ketiga cangkir arak tadi mengandung racun.
Dengan dingin Ong Ling-hoa mengawasi Sim Long, ia tersenyum, senyuman
misterius, dengan senyuman ini ia menghampiri Jit-jit, lalu menunduk dan
mengawasinya.
Seperti mau menyemburkan bara sorot mata Cu Jit-jit, saking gemasnya ingin
rasanya matanya benar-benar bisa menyemburkan api dan membakar mampus
manusia keji ini.
Tapi sorot mata Ong Ling-hoa sebaliknya begitu lembut penuh kasih sayang, dengan
tangan kiri dia membuka hiat-to di tubuh Cu Jit-jit, tapi tangan kanan tetap menekan
hiat-to bisunya.
Dengan demikian, meski Jit-jit bisa bersuara, namun napasnya belum lancar,
bersuara juga tidak bisa keras. Jit-jit tahu keadaan sendiri, maka ia pun segan buka
suara.
Dengan tersenyum ramah Ong Ling-hoa lantas berkata, “Nona Cu, kau ingin bicara,
kenapa tidak katakan saja?”
Mata Pek Fifi mendadak terbelalak, dia bergerak seperti hendak merangkak bangun,
tapi sekali Ong Ling-hoa kebaskan lengan bajunya pada hiat-to penidurnya, seketika
gadis itu tertidur pulas.
Jit-jit tambah kaget lagi, dengan suara gemetar katanya, “Da ... dari mana kau tahu
aku adalah ... adalah ....”
“Mendengar suara rintihanmu tadi, segera dapat kutebak siapa dirimu,” jawab Ong
Ling-hoa, “karena rintihanmu itu terasa sudah pernah kudengar, pada saat itulah aku
jadi menyesal kenapa baru sekarang teringat padamu, kenapa aku menyerahkan
dirimu kepada Sim Long, perangkap yang kurencanakan kini malah menjerat diriku
sendiri.”
Malu tapi juga benci Jit-jit, ia tahu iblis ini pernah mendengar rintihannya itu, adegan
tidak senonoh iblis laknat ini di dalam penjara bawah tanah tempo hari sampai mati
pun takkan dilupakannya.
Ong Ling-hoa berkata pula dengan tertawa, “Sayang Sim-siangkongmu belum pernah
mendengar suara keluhanmu yang menggetar sukma itu, maka mimpi pun dia tidak
menyangka akan dirimu ....”
“Kau iblis laknat ... kau ....” damprat Jit-jit dengan suara parau.
Ong Ling-hoa tidak menghiraukan caci makinya, dia berkata sendiri, “Karena mimpi
pun dia tidak menduga akan dirimu, maka umpama tadi kau berteriak
sekeras-kerasnya juga belum tentu dia mengenali suaramu, sebaliknya akulah justru
mengenal suaramu.”
Jit-jit menggereget, “Kau ... binatang!”
Ong Ling-hoa kelihatan semakin senang, katanya, “Betul, aku ini binatang, tapi
binatang macamku ini tanggung lebih kuat dan lebih bergairah daripada pahlawan
pujaanmu itu, hal ini pernah kukemukakan kepadamu tempo hari, walau waktu itu kau
tidak percaya, tapi asal kau mau melihat keadaannya sekarang, tentu kau akan tahu
seribu Sim Long juga tak dapat dibandingkan seorang Ong Ling-hoa.”
Jit-jit mendesis gemas, “Mencelakai orang secara keji dan kotor, masih berani
mengagulkan diri di hadapanku? Huh, bikin malu seluruh lelaki di dunia saja ... jika
dengan kepandaian sejati kau bunuh dia, aku pun akan menyerah padamu, tapi
perbuatanmu yang rendah dan kotor seperti ini, aku ... menjadi setan pun takkan
mengampuni jiwamu.”
Ong Ling-hoa tertawa, “Sayang sekarang kau masih hidup, masih segar bugar, ingin
menjadi setan juga tidak bisa.”
Teriak Jit-jit dengan suara serak, “Jika dia mati, segera aku pun akan menyusulnya ke
alam baka.”
“Dia mati? Siapa bilang dia mati?”
Jit-jit melengak, suaranya gemetar, “Kau ... kau tidak membunuhnya?”
Ong Ling-hoa tertawa, katanya, “Jika aku membunuhnya, bukankah seumur hidup
kau akan membenciku? Kau adalah gadis pujaanku satu-satunya selama hidup ini,
mana boleh kubikin kau membenciku?”
Kejut dan senang hati Jit-jit, katanya, “Tapi dia ... dia kini ....”
“Sekarang dia hanya terbius oleh obatku dan tidur pulas, tidak perlu kau khawatir,
daya kerja obatku itu sangat mustajab, sedikit pun tidak menimbulkan efek sampingan
yang merugikan, malah bila dia siuman nanti, dia takkan menduga bahwa barusan dia
telah terbius olehku, rasanya seperti mengantuk dan pulas sekejap di atas kursi.”
“Kau, kenapa kau lakukan hal ini ....”
“Aku berbuat demikian hanya supaya kau tahu betapa pun aku lebih kuat daripada
dia, jika dia betul-betul pintar seperti apa yang pernah kau katakan, mana mungkin
dia tertipu olehku?”
“Dia adalah seorang kuncu tulen, seorang lelaki sejati, sudah tentu takkan berpikir dan
menjaga diri terhadap muslihat keji seorang siaujin (manusia rendah),” kata Jit-jit.
Ong Ling-hoa tertawa keras, katanya, “Betul, dia adalah kuncu dan aku ini siaujin, tapi
kau ini juga siaujin. Siaujin sama siaujin, kebetulan adalah pasangan setimpal, akan
datang suatu ketika kau akan tahu hanya aku saja yang benarbenar setimpal menjadi
pasanganmu. Suatu hari kau akan kembali ke sampingku, ini mungkin karena pada
hakikatnya engkau memang bukan pasangannya, kenapa kau harus menunggu dan
menunggu dengan sia-sia, kuanjurkan lebih baik sekarang kau ikut aku saja, supaya
kelak kau tidak berduka dan menangis.”
“Kentut, kentut busuk! ...” maki Jit-jit dengan gusar. “Aku lebih suka kawin dengan
anjing dan babi, tidak sudi diperistri binatang yang lebih rendah daripada babi seperti
dirimu ini.”
“Sekarang boleh kau benci padaku, boleh kau maki diriku sesuka hatimu, tapi jangan
kau lupakan apa yang kukatakan kepadamu barusan ini.”
“Sudah tentu aku tidak akan lupa, mati pun aku tidak lupa. Jika kau seorang pandai,
sekarang juga harus kau bunuh aku dan Sim Long.”
“Kenapa harus kubunuhmu? Mana aku tega membunuhmu?”
“Bila kau tidak membunuhku, nanti kalau Sim Long siuman, tentu akan kubongkar
muslihatmu, kubongkar rahasiamu. Akan kusuruh Sim Long membunuhmu.”
Ong Ling-hoa tertawa, “Justru itulah keinginanku, kalau tidak, buat apa aku
melepasmu tempo hari? Kalau tidak, untuk apa sekarang aku bicara panjang lebar
denganmu?”
Melihat betapa senang orang tertawa, mau tak mau Cu Jit-jit menjadi ragu dan heran,
serunya, “Kau tidak takut?”
“Setelah kau katakan nanti baru akan tahu apakah aku takut atau tidak ....”
Tiba-tiba terdengar Sim Long yang pulas di atas kursi itu mengeluarkan sedikit suara
gerakan. Ucapan Ong Ling-hoa seketika terhenti, telapak tangan yang menekan
hiat-to di tubuh Cu Jit-jit juga dilepaskan, kembali ia tarik kelopak mata Cu Jit-jit terus
diguntingnya. Gerak-geriknya cekatan dan ahli benar.
Walau sekarang Jit-jit mampu berteriak, namun cinta pada kecantikan adalah
pembawaan setiap anak perempuan, betapa pun dia khawatir bila dirinya
bergembar-gembor, gunting dan pisau di tangan Ong Ling-hoa bukan mustahil bisa
mengiris kulit daging mukanya, itu berarti wajahnya yang ayu jelita akan cacat seumur
hidup. Terpaksa dia menahan diri sambil mengertak gigi.
Didengarnya Sim Long menarik napas panjang, agaknya telah berbangkit, lalu seperti
berdiri melenggong, akhirnya tertawa dan berkata, “Apakah saudara belum rampung
bekerja? Sungguh menggelikan, aku pulas di atas kursi.”
Ong Ling-hoa tidak menghentikan kedua tangannya, jawabnya, “Sim-heng hanya
mengantuk sekejap ... Hampir selesai pekerjaanku, boleh saudara kemari
melihatnya.”
Sim Long tertawa, katanya, “Aku memang ingin tahu siapa sebenarnya nona ini?”
“Jika nona itu begitu cantik molek, nona ini tentu juga bukan gadis sembarangan ...
Nah, silakan Sim-heng pentang lebar matamu, tunggu dan lihat sendiri.”
Mulut bicara sementara gunting bekerja, lapisan luar kulit muka Cu Jit-jit telah
digunting dan dikupasnya tidak keruan, kini dia tinggal mengusapnya saja dan wajah
asli Cu Jit-jit lantas terpampang di depan mata Sim Long.
Betapa pun tabah dan tenang hati Sim Long, tak urung menjerit kaget juga.
Suara kaget ini terdengar di luar, Kim Bu-bong tidak tahan lagi, cepat ia memburu
maju, sekali pukul, “blang”, daun pintu jebol dan orangnya pun menerobos ke dalam.
Sudah kasip Si Kucing mau merintangi, lekas ia pun ikut menerobos masuk, setiba di
depan ranjang, begitu melihat Cu Jit-jit, tak tahan ia pun menjerit kaget.
“Cu Jit-jit ... bagaimana mungkin kau ....” Sim Long tergegap.
Si Kucing juga mematung, gumamnya, “Jadi ... kiranya engkau ....”
Kedua orang ini memang tidak pernah membayangkan bahwa Cu Jit-jit yang
dicarinya ubek-ubekan sekian lamanya, ternyata berada di sampingnya sendiri.
Pada saat itulah mendadak Jit-jit membalik badan, kedua tangan bergerak sekaligus,
ia menyerang jian-kin-hiat di dada kiri, dan dua hiat-to mematikan di tubuh Ong
Ling-hoa.
Sudah tentu Ong Ling-hoa telah menduga akan serangan ini, mana bisa dia
kecundang semudah ini, sedikit berputar, dengan enteng dia menghindarkan diri.
Sebaliknya Si Kucing dan Sim Long kaget sekali, keduanya bergerak berbareng,
kedua tangan Cu Jit-jit telah dipegang mereka.
Sim Long menggenggam pergelangan tangan kanan si nona, katanya dengan suara
tertahan, “Jit-jit, apa kau gila? Mana boleh kau serang Ong-kongcu?”
Kedua pergelangan tangan Cu Jit-jit seperti terjepit tanggam, mana mampu meronta
lepas, dia gugup dan gelisah hingga mukanya merah padam, kedua kakinya
mencak-mencak, teriaknya serak, “Lepaskan! Kalian berdua babi goblok, kenapa
memegangiku? Lekas lepaskan, biar aku mengupas kulit bangsat keparat ini!”
Ong Ling-hoa tertawa, katanya, “Coba kalian lihat, susah payah kutolong nona ini
hingga bebas diri penderitaan, tapi nona ini malah mau mengupas kulitku ... Wah,
terhitung apa ini?”
Sim Long berkata, “Mungkin lantaran pikirannya belum jernih, maka ....”
Jit-jit mengentak kaki, makinya, “Kentut, kau tahu apa, pikiranku belum pernah
sejernih sekarang, kau ... kau inilah babi goblok.”
Ong Ling-hoa tertawa, “Kalau Nona berpikiran jernih, kenapa kebaikanku kau balas
dengan jahat?”
“Kau masih berpura-pura? Kalau bukan gara-garamu, mana bisa aku mengalami
nasib seperti ini? Aku ... aku ... apa pun aku akan membuat perhitungan denganmu.”
Ong Ling-hoa menyengir, ujarnya, “Apa yang dikatakan nona ini sungguh aku tidak
mengerti. Sim-heng, Auyang-heng, dan Si Kucing manis, apa kalian tahu apa
maksudnya?”
“Aku tidak mengerti,” ujar Si Kucing, “Nona Cu, kau ....”
“Tutup mulutmu,” bentak Cu Jit-jit.
Sim Long menghela napas, katanya, “Kaulah yang harus tutup mulut!”
“Manusia mampus, kau ini orang mampus,” pekik Cu Jit-jit. “Masa kau tidak tahu
bahwa Ong Ling-hoa inilah iblis yang menculik Thi Hoat-hou, Can Ing-siong, dan
lain-lain itu.”
Sim Long terperanjat, dengan alis bekernyit dia menoleh ke arah Ong Ling-hoa.
Ong Ling-hoa malah tertawa, katanya, “Nona Cu, apa kau perlu makan obat lagi?
Selama ini tidak kukenal Nona, kenapa Nona memfitnahku?”
“Selama ini belum kenal? Aku memfitnahmu? Kau, kau bangsat keparat, binatang,
perbuatan yang pernah kau lakukan kenapa tidak berani kau akui?”
“Aku pernah berbuat apa?” ujar Ong Ling-hoa dengan lagak bingung, “Aku telah
menolongmu, memangnya apa salahku? Sim-heng, tolong kau beri keadilan!”
Sim Long menghela napas, katanya, “Sudah tentu Ong-heng tidak salah, mungkin dia
....”
Hampir gila rasanya Cu Jit-jit, ia memandang kian-kemari tanpa menghiraukan
betisnya yang mulus menongol keluar dari balik bajunya.
Terpaksa Sim Long menutuk hiat-to bagian bawah tubuh si nona, katanya dengan
menghela napas, “Tenanglah.”
Setelah menutuk hiat-tonya, hatinya menjadi tidak enak, segera ia berkata pula, “Kau
tahu, tindakanku ini demi kebaikanmu.”
“Kau orang mampus, kenapa Ong Ling-hoa tadi tidak menusukmu mampus saja
supaya matamu melek dan biar kau tahu siapa sebetulnya yang salah, siapa pula
yang gila.”
“Ong-heng mana bisa membunuhku, kau ....” Sim Long menyengir.
“Masih omong lagi ... babi goblok, ingin kugigitmu, menggigitmu sampai mampus ....”
mulutnya segera terbuka dan hendak menggigit Sim Long, sudah ia tentu tak mampu
menggigitnya.
Agaknya Auyang Hi tidak tega, katanya, “Umpama benar ada persoalan, Nona harus
bicara dengan tenang dan secara baik-baik ....”
“Aku emoh bicara baik-baik, aku ... mau gila ... kalian bunuh aku saja, aku tidak mau
hidup lagi ....”
Apa yang dikatakan ada benarnya, kejadian sesungguhnya, orang lain justru
menganggap dia gila, keruan ia gugup, mangkel dan penasaran, mana dia kuat
menahan perasaannya, akhirnya dia menangis tergerung-gerung.
Orang banyak saling pandang, sesaat lamanya mereka melenggong dan tiada yang
bersuara.
Pek Fifi datang menghampiri, katanya dengan lembut, “Nona ... Siocia, jangan
menangis lagi, kumohon sukalah kau bicara dengan baik-baik. Dengan caramu ini
kau sendiri yang rugi ....”
“Peduli apa dengan kau, aku rugi adalah urusanku,” bentak Jit-jit dengan gusar. “Kau
... enyah, aku tak mau melihatmu.”
Fifi menunduk, seperti anak kecil yang penasaran dimarahi dia menyingkir ke pinggir.
Sim Long menghela napas, katanya, “Dia bermaksud baik, kenapa kau sekasar ini
terhadapnya?”
Dengan sesenggukan Jit-jit masih ribut, “Biar, kau mau apa? Dia orang baik, aku ...
aku orang gila, pergi kau merawatnya, jangan pedulikan aku.”
Akhirnya Pek Fifi juga tidak tahan, dia menjatuhkan diri di lantai dan menangis
keras-keras.
Ong Ling-hoa keluarkan sebutir pil, katanya, “Kukira keadaan Nona ini kurang sehat,
obat ini dapat menenangkan pikirannya, silakan Sim-heng beri minum padanya.”
Sim Long menatap Jit-jit, dilihatnya kedua bola matanya merah rambutnya kusut
masai, keadaannya memang seperti orang yang kurang waras, terpaksa dia terima pil
itu, katanya, “Terima kasih ....”
Kontan Jit-jit meratap dan berteriak, “Aku emoh ... emoh minum obat ... obat itu pasti
obat bius, bila kumakan obat itu ingin mati pun tak bisa.”
Sim Long tidak menghiraukan, pil itu diangsurkan ke depan mulutnya, katanya, “Turut
omonganku, jangan bandel ... telanlah pil ini ....”
Sekuatnya Jit-jit menggeleng kepala, suaranya serak, “Tidak mau, tidak mau, mati
pun tidak mau. O, tolong ... tolonglah aku, kumohon jangan kau paksa aku minum
obat ini, bila kumakan obat ini, selamanya tak bisa lagi membongkar rahasianya.”
Sim Long bimbang, katanya sambil menghela napas, “Kalau kau mau tenang dan
bicara dengan baik, aku tidak akan paksa kau, kalau tidak ....”
“Baiklah, aku akan bicara dengan tenang, asal kau tidak paksa aku minum obat itu.
Apa yang kau minta kulakukan tentu akan kulakukan.”
Sebenarnyalah dia sudah ngeri, maka menyerah dengan menderita.
“Apa benar pil ini beracun?” kata Ong Ling-hoa. Dia tertawa dingin dan ambil pil itu
dari tangan Sim Long terus dimasukkan ke mulut sendiri serta ditelan, sambil
mendongak katanya, “Kalau pil ini beracun, biar aku yang mati keracunan.”
Sim Long menghela napas, katanya sambil menggeleng, “Jit-jit, apa pula yang dapat
kau katakan?”
Bercucuran air mata Jit-jit, katanya, “Dengarkan, jangan kau percaya padanya, setiap
langkahnya pasti mengandung muslihat keji, dia ... dia manusia paling jahat di dunia
ini.”
Ong Ling-hoa menyeringai, “Nona Cu, sebetulnya ada permusuhan apa antara kau
dengan aku, kenapa kau fitnahku?”
“Sim Long, dengarkan penjelasanku, setelah aku berpisah dengan kau tempo hari,
kebetulan aku bertemu dengan rombongan Can Ing-siong, kulihat keadaan mereka
seperti orang linglung, gerak-geriknya lamban ....” sambil sesenggukan Jit-jit ceritakan
bagaimana dia memergoki gadis-gadis berbaju putih mengiring kawanan mayat
hidup, bagaimana dia sembunyi di bawah kereta hingga ikut terbawa ke dalam taman
yang serbaaneh, bagaimana dia kepergok Ong Linghoa, lalu ditawan oleh nyonya
jelita yang misterius itu, akhirnya dia disekap di penjara bawah tanah, secara ringkas
dan jelas diceritakan seluruhnya.
Kisahnya memang nyata, umpama Sim Long kurang yakin akan ceritanya terpaksa
juga harus percaya.
Ong Ling-hoa tertawa dingin, katanya, “Sungguh kisah yang menarik, apakah
Sim-heng percaya?”
Walau tidak menjawab, sorot mata Sim Long yang menatap muka orang dengan
tajam jelas memancarkan rasa curiga.
“Apakah Sim-heng tidak berpikir, jika kisahnya itu benar, urusan begitu penting dan
begitu rahasia, mungkinkah kulepaskan harimau pulang ke gunung, membebaskan
dia begitu saja?”
Auyang Hi ikut menimbrung, “Benar, dalam keadaan seperti itu, sudah tentu
Ong-heng takut rahasia bocor dari mulut Nona Cu, jelas tidak mungkin membebaskan
dia.”
Sim Long tetap tidak bersuara, sorot matanya yang masih curiga beralih menatap
Jit-jit.
Nona itu menunduk, katanya, “Dalam hal ini memang ada sebabnya, soalnya ....”
walau watak Jit-jit kasar dan keras, tapi untuk menjelaskan kejadian di dalam penjara
bawah tanah itu yang menyangkut kasih yang khusyuk masyuk itu, betapa pun sukar
diceritakannya.
Tapi Sim Long justru mendesak lagi, “Soal apa, katakanlah.”
Jit-jit mengertak gigi, mendadak dia angkat kepala dan berseru, “Baik, kukatakan,
soalnya orang she Ong ini mencintai aku, tapi aku justru kasmaran terhadap orang
she Sim, karena tak tahan pancinganku, dia tantang kubawa Sim Long padanya,
maka aku dibebaskannya.”
Bahwa seorang gadis belia berani bicara soal asmara di hadapan umum secara
blakblakan, Auyang Hi dan lain-lain berdiri terkesima, sorot mata Si Kucing pun
menampilkan rasa derita dan kecewa.
Ong Ling-hoa malah bergelak tertawa, katanya, “Tutur kata Nona Cu sungguh
mengasyikkan ... Umpama Nona Cu jelmaan bidadari, masakah perlu aku tergila-gila
seperti itu kepadamu.”
“Masih berani mungkir?” teriak Jit-jit serak. “Berulang kali kau hendak mencelakai Sim
Long, bukankah lantaran soal ini, barusan juga kau bilang kepadaku bahwa aku
adalah perempuan satu-satunya yang paling kau cintai ....”
“Barusan aku bilang begitu?” tukas Ong Ling-hoa dengan tertawa lebar. “Simheng,
apakah kau dengar?”
Sim Long menghela napas, katanya, “Aku tidak mendengar.”
“Jelas dia bilang begitu, tadi ... kau tadi terbius pulas oleh arak obatnya, saat itulah
dia bicara padaku.”
Ong Ling-hoa gelang-geleng kepala, katanya, “Nona bilang tadi aku berulang kali
hendak mencelakai Sim-heng, kini kau bilang dia terbius pula hingga tidur pulas ...
Sim-heng, bila benar aku hendak mencelakai kau, kenapa tidak mumpung kau terbius
kubunuhmu ... Saudara-saudara, coba perhatikan, apa benar ada manusia tolol
seperti itu di dunia ini?”
Hadirin diam saja dan saling pandang.
Jit-jit berteriak, “Kau membiusnya untuk berbicara denganku karena waktu itu kau
tahu siapa diriku, kau takut selama hidup aku membencimu, maka kau tidak berani
membunuhnya.”
“Waktu itu Sim-heng sendiri pun belum mengenali dirimu, bagaimana aku bisa
mengetahui akan dirimu. Apalagi, umpama benar aku sudah mengenalimu, tapi bila
kutahu kau bakal membongkar rahasiaku, kenapa aku mau menolongmu, sekarang
kuberi pula kesempatan bicara padamu, memangnya aku sudah gila? Mungkinkah
aku mencelakai jiwaku sendiri?”
Pembelaan masuk di akal, sudah tentu orang banyak tiada yang mau percaya pada
cerita Cu Jit-jit.
Melihat sikap ragu orang banyak, saking gugupnya hampir gila Jit-jit, teriaknya
dengan kalap, “Kau iblis laknat, mana kutahu muslihat yang kau rancang?”
“Tentu saja kau tidak tahu, karena apa yang kau ceritakan itu kau alami dalam mimpi,
omong kosong belaka, namun impian yang menyenangkan juga rupanya,” demikian
Ong Ling-hoa berolok-olok.
Setiap patah kata Jit-jit adalah kejadian sesungguhnya, peristiwa nyata, namun tiada
seorang pun yang mau percaya padanya, betapa rasa penasarannya sungguh sukar
dilukiskan. Dengan serak dia berteriak pula, “Apakah kalian tiada yang percaya pada
perkataanku?”
Tiada yang menjawab, namun sikap hadirin sudah memberi jawaban. Bola mata Cu
Jit-jit menyapu pandang wajah mereka satu per satu, akhirnya dia tak tahan isak
tangisnya pula, walau tangisnya amat sedih, namun tiada seorang pun yang mau
menghiburnya.
Tiba-tiba Si Kucing berkata, “Untuk membuktikan kebenaran kisah Nona Cu, kurasa
ada satu cara dapat kita tempuh.”
“Kau kucing ini ada akal aneh apa?” tanya Auyang Hi.
“Bila kisah Nona Cu benar, pasti dia bisa membawa kita ke tempat yang diceritakan
....”
Jit-jit berhenti menangis, serunya dengan terbelalak girang, “Betul, itulah cara yang
tepat! Tadi sudah kukatakan, aku akan bawa kalian ke tempat itu, orang she Ong
jangan boleh pergi, setiba di tempat itu, coba apa yang bisa dia katakan.”
Sim Long menghela napas, katanya, “Sebetulnya soal ini tidak perlu dibuktikan,
namun supaya dia tidak membuat ribut terpaksa kita gunakan cara ini, entah
Ong-heng sudi tidak menyertai kami?”
“Tak perlu Sim-heng omong pasti juga kuikut, aku pun ingin tahu, cara bagaimana
Nona Cu hendak membuktikan kisahnya. Kalau tak terbukti coba apa yang akan
diucapkannya.”
*****
Waktu itu sudah tengah hari, Lokyang termasuk kota besar di Tionggoan, sudah
tentu amat ramai, jalan raya penuh orang berlalu-lalang.
Rombongan Cu Jit-jit sudah tentu menarik perhatian orang.
Air mata Jit-jit sudah kering, matanya masih merah, dia berjalan paling depan,
liku-liku jalan di kota besar ini sudah tentu dia belum hafal, setelah putar kayun
sekian lama, belum juga dia menemukan tempat tujuannya.
Auyang Hi boleh dikatakan adalah rajanya kota Lokyang, orang paling berkuasa di
kota kuno ini, ada Auyang Hi di dalam rombongan ini, siapa berani bertingkah,
bahkan melirik pun tidak berani kepada mereka.
Sim Long dan Si Kucing berjalan di kanan-kiri mengapit Jit-jit, ternyata Pek Fifi juga
mengintil di belakang, berjalan sambil menunduk, sikapnya yang lembut dan jinak
sungguh harus dikasihani.
Setelah putar kayun setengah hari, Auyang Hi mengerut kening, katanya, “Agaknya
Nona Cu tidak hafal jalan di sini, coba katakan saja di mana atau apa nama tempat
itu, aku ini penduduk tua di kota ini, biar aku menunjukkan jalannya.”
Jit-jit cemberut, katanya, “Tak perlu kau menunjukkan jalan, juga tak perlu kau beri
komentar.”
Setelah putar satu lingkaran pula, mendadak mereka membelok ke sebuah jalan
panjang, di kanan-kiri jalan terdapat lima-enam buah warung kecil, bau makanan
yang harum merangsang hidung.
Perut Jit-jit sudah kelaparan, mencium bau masakan lezat, seketika tergerak hatinya,
mendadak dia teringat waktu dirinya melarikan diri dari toko peti mati, perutnya juga
sedang kelaparan, saat itu ia pun mencium bau masakan yang lezat seperti ini.
Waktu dia mendongak dan celingukan, merek toko dan nama warung sekitar tempat
ini rasanya seperti pernah dikenalnya.
Jit-jit terbelalak girang, mendadak dia berlari ke depan, begitu angkat kepala,
terlihatlah tiga huruf “ONG SOM KI” yang besar di sebuah pigura. Pigura berwarna
dasar hitam dengan tulisan huruf emas ini betapa pun tidak salah lagi, apalagi di
kedua pintu samping tergantung juga dua papan panjang yang berukir syair yang
hafal baginya.
Waktu dia melongok ke dalam, di belakang pintu terdapat sebuah panggung tinggi, di
atas lemari terdapat dua timbangan, dua kuli, seorang sumbing bibirnya, yang lain
burik, sedang menimbang uang perak. Keadaan toko ini masih persis seperti waktu
dirinya melarikan diri tempo hari.
Tak tertahan Jit-jit berteriak girang, “Nah, ini dia di sini!”
“Di toko peti ini?” Sim Long mengerut kening.
“Ya, dalam toko peti mati ini, tanggung tidak salah.”
Ong Ling-hoa tertawa, katanya, “Toko peti mati ini memang milikku, bila anggota
keluarga Nona Cu ada yang meninggal dan mau pakai peti mati, ukuran apa dan
kualitas terbaik juga dapat kusumbang beberapa buah.”
Jit-jit diam saja tidak menanggapi, langsung dia menerjang masuk lebih dulu.
Kedua pegawai itu hendak mengadang, begitu melihat Ong Ling-hoa, segera mereka
menjura dan munduk-munduk, sapanya dengar cengar-cengir, “Siauya, kau telah
datang, tumben Siauya datang kemari, biarlah hamba menyeduhkan teh wangi.”
Ong Ling-hoa mempersilakan para tamunya masuk, Sim Long bersama Si Kucing ikut
menerjang masuk di belakang Cu Jit-jit.
Toko peti mati ini memiliki ruang pamer yang amat besar, peti-peti mati yang sudah
siap dipasarkan dan yang belum jadi atau belum dipelitur tersebar di mana-mana, di
sebelah belakang tukang-tukang kayu yang bertelanjang dada sedang sibuk bekerja,
makan siang telah usai, banyak di antaranya sedang duduk di atas peti mati dan
mengobrol sambil menikmati teh panas, mengisap pipa tembakau, melihat Ong
Ling-hoa masuk membawa tamu, serempak mereka berdiri menyambut.
Pasah, gergaji, pahat, dan segala macam peralatan tukang kayu berserakan, serbuk
gergaji bertumpuk, pasahan kayu berserakan, tapi Cu Jit-jit tidak pedulikan kotoran di
sekelilingnya, dia maju ke samping kiri, dia memeriksa lantai di sekitarnya, maka
ditemukan sebuah papan batu di sebelah kiri ada tandatanda pernah dijugil. Seketika
wajahnya tersenyum senang, inilah senyuman pertama selama beberapa hari ini,
khawatir Ong Ling-hoa mencegah atau merintangi tindakannya, dia bersikap seperti
tidak terjadi apa-apa, langsung dia mendekat beberapa langkah, akhirnya dia tidak
kuat menahan sabar, mendadak dia melompat ke atas papan batu itu, ia berpaling
kepada Ong Ling-hoa dan berkata, “Nah, sekarang apa pula yang hendak kau
katakan?”
Ong Ling-hoa seperti bingung, katanya sambil mengerut alis, “Ada apa?”
Jit-jit tertawa, katanya, “Masih pura-pura pikun? Jelas kau tahu di bawah batu ini
adalah mulut gua di bawah tanah yang terahasia itu, dari lubang inilah hari itu aku
melarikan diri.”
Urusan sudah sejauh ini, mau tak mau orang setenang dan sedingin Kim Bubong
pun ikut terbeliak, sorot matanya tampak beringas menatap Ong Ling-hoa, tak
tahunya Ong Ling-hoa malah tertawa, katanya, “Bagus, bagus sekali!”
“Apanya yang bagus?” jengek Jit-jit. “Masa kau masih bisa tertawa?”
“Kalau di bawah batu ada lubang gua, kenapa Nona tidak membongkar papan batu
itu?”
“Sudah tentu harus kubongkar untuk bukti.”
“Biar aku?” seru Si Kucing sambil melompat maju.
Jit-jit mendelik, katanya, “Akulah yang menemukan tempat ini, siapa pun dilarang
menggangguku.”
Di sana terdapat palu besar, linggis dan sekop, Jit-jit mengambil sekop terus
menggali tanah di pinggir papan batu, lalu menjugil batu itu perlahan.
Kejap lain batu itu sudah terangkat ke atas dan terbalik ke sebelah samping, tapi
semua orang saling pandang dengan air muka berubah, Jit-jit juga menjerit kaget
sambil menyurut mundur. Di bawah papan batu ternyata adalah tanah padat, mana
ada lubang gua segala.
Mendadak Ong Ling-hoa tertawa terkial-kial, suaranya terdengar puas dan gembira.
Dengan kening bekernyit Sim Long awasi Jit-jit, sementara Si Kucing, Auyang Hi
menggeleng kepala, hanya Kim Bu-bong yang berdiri diam tanpa menunjukkan
reaksi apa-apa, Pek Fifi mencucurkan air mata.
Lama Jit-jit berdiri kesima, mendadak seperti gila dia ambil sekop dan membongkar
jubin sekitarnya, orang banyak menyingkir jauh, menonton dengan berpeluk tangan,
tiada yang membantu atau mencegah, jubin seluas dua tombak hampir terjugil semua
oleh sekop Jit-jit, tapi di bawah jubin jelas adalah tanah yang rata dan padat, tiada
tanda-tanda pernah digali atau ditimbun.
“Nona Cu,” ujar Ong Ling-hoa penuh kemenangan, “apa abamu sekarang?”
Cu Jit-jit basah kuyup keringat, pakaiannya berlumpur, kaki tangan pun kotor,
makinya sengit, “Kau bangsat keparat, kau ... pasti sebelumnya kau tahu kami akan
kemari, maka siang-siang kau sumbat lubang gua itu.”
Sim Long tertawa getir, timbrungnya, “Tanah yang kau bongkar tiada tanda pernah
digali atau ditimbun, orang awam pun tahu tempat ini tidak pernah
dibongkar ... Jit-jit, Nona Cu, kuminta jangan membual lagi, sia-sia kita semua
berputar kayun dan membuang tenaga belaka.”
Jit-jit geregetan, teriaknya dengan air mata bercucuran, “Sim Long, aku bicara
sebenarnya, semua kejadian nyata, kumohon padamu, percayalah kepadaku, selama
hidupku kapan pernah kudustaimu?”
“Tapi kali ini? Kali ini ....”
Mendadak Ong Ling-hoa menyela, “Jika Nona Cu masih penasaran, boleh kusuruh
orang membongkar tanah sekitar supaya dia periksa dengan teliti hingga persoalan
menjadi jelas.”
“Kenapa Ong-heng berbuat demikian ....” ujar Sim Long.
“Tidak apa, kalau urusan tidak dibikin beres, aku pun malu ...” lalu dia memanggil
tukang-tukang kayu itu dan berkata, “lekas kalian gali tanah di sekitar sini.”
Sebelum magrib, tanah di dalam ruang itu sudah digali sedalam beberapa kaki
hingga menjadi sebuah kolam, bagian bawah tanah adalah fondasi yang keras,
setiap orang yang bermata dapat melihat dengan jelas. Maka Sim Long dan lain-lain
hanya menggeleng kepala dan menghela napas.
“Bagaimana Nona Cu?” tanya Ong Ling-hoa dengan tertawa.
“Bluk”, akhirnya Jit-jit jatuh terduduk dengan lemas, mukanya pucat, matanya
mendelong seperti orang linglung.
“Ong Ling-hoa hanya memiliki toko peti mati satu ini di kota Lokyang, jadi tiada
cabang lain, jika kalian tidak percaya, boleh silakan mencari tahu kepada penduduk
dalam kota.”
Urusan sudah telanjur sejauh ini, siapa pula yang tidak percaya kepadanya?
Umpama sekarang dia bilang peti mati buatan tokonya semua bulat, mungkin tiada
orang yang berani bilang tidak percaya.
Sim Long berkata, “Kecuali minta maaf, terus terang tidak tahu apa yang harus
kukatakan, semoga Ong-heng mengingat dia adalah seorang gadis hijau, jangan
pikirkan persoalan ini dalam hatimu.”
“Mendengar pernyataan Sim-heng, umpama seluruh tokoku ini harus dibongkar juga
kurela,” kata Ong Ling-hoa. “Bagaimana kalau Sim-heng mampir dulu di
kediamanku?”
“Mana berani aku mengganggu lagi, lebih baik ....”
Mendadak Cu Jit-jit melompat bangun, serunya, “Kau tidak mau, biar aku ikut pergi.”
“Kau mau ke mana?” tanya Sim Long. Jit-jit mengucek mata, katanya, “Ke
rumahnya.” “Kapan Ong-kongcu mengundang kau ke rumahnya?”
“Dia mengundang kau, maka aku ikut, aku ... aku harus memeriksa rumahnya.”
“Betul,” ucap Ong Ling-hoa dengan tertawa, “betapa pun aku pasti juga mengundang
Nona Cu, apa pun Nona Cu harus memeriksa persoalan ini secara tuntas.”
***** Kekayaan Ong Ling-hoa merajai kota Lokyang, rumahnya megah pekarangan
luas, bentuk bangunannya sudah tentu sangat hebat. Begitu masuk pintu, bola mata
Cu Jit-jit lantas jelalatan, celingukan ke sana-sini. Ong Ling-hoa tertawa, katanya,
“Walau rumahku ini agak sempit, tapi di
belakang terdapat taman yang indah permai, sayang Siaute tidak pandai mengatur
tanaman dan bangunan sehingga keadaan morat-marit, mohon Simheng nanti
memeriksa ke sana dan sudilah memberi petunjuk.”
Sebelum Sim Long buka suara, Jit-jit menjengek, “Kita memang harus
memeriksa ke taman di belakang.” Sim Long tertawa getir, katanya, “Ong-heng
memang ingin kau periksa ke sana supaya selanjutnya tidak ribut lagi ....”
“Hanya manusia yang licin suka bicara secara terbalik, meski kutahu ucapannya juga
sengaja pura-pura tidak tahu.”
Segera dia mendahului melangkah ke dalam. Jit-jit berjalan tanpa menentukan arah,
melihat jalan lantas menerobos, sedikit pun tidak sungkan, serupa masuk ke rumah
sendiri saja.
Sim Long mengikut di belakangnya, sering tertawa sambil menggeleng kepala.
Pepohonan di sini serbahijau dan tumbuh subur terpelihara baik, di sana loteng, di
sini gerai pemandangan, letaknya diperhitungkan dengan tepat, jelas hasil
tangan seorang yang ahli bangunan dan tata taman, berada di taman ini rasanya
seperti di surga.
Taman seluas ini keadaan sepi lengang, tiada suara atau bayangan orang, kicau
burung juga tidak terdengar, hanya jangkrik atau sebangsa serangga saja yang
bernyanyi di tempat gelap.
Bergejolak perasaan Cu Jit-jit, batinnya, “Ke mana laki-laki kekar berbaju hitam serta
kawanan gadis penggiring mayat hidup itu?”
Meski binal dan galak, betapa pun dia sungkan main geledah di rumah orang.
Di ujung taman terdapat beberapa rumah berloteng kecil, di samping sana terdapat
istal kuda, suara ringkik kuda terdengar terbawa embusan angin. Semua ini jelas
bukan pemandangan yang pernah dilihat Jit-jit hari itu. Akhirnya dia menghentikan
langkahnya dan berkata, “Rumahmu bukan di sini.”
Ong Ling-hoa tertawa, katanya, “Masa rumahku sendiri tidak kukenal lagi dan Nona
Cu lebih mengenalnya malah? Kalau benar omonganmu, bukankah aku ini orang
pikun?”
“Jelas ini bukan rumahmu,” teriak Jit-jit, “hendak kau tipu diriku?”
Auyang Hi tidak tahan, dia menyela, “Sudah puluhan tahun Ong-kongcu tinggal di
sini, aku berani menjadi saksi dan pasti tidak salah, jika Nona Cu tetap tidak percaya,
Nona boleh tanya pula kepada orang lain ....”
“Kalau demikian ... dia pasti punya rumah yang lain.”
“Cayhe belum menikah, kurasa tidak perlu rumah lain untuk menyimpan si cantik.”
“Keparat,” mendadak Jit-jit menjerit, “bisa mati gemas aku!”
Mendadak dia berjingkrak, tangannya meraih secomot salju di atap gardu terus dijejal
ke mulut serta dikunyahnya dengan bernafsu, giginya sampai berkeriut, orang lain
menyaksikan dengan merinding, muka Jit-jit tampak merah padam seperti membara,
saking gugup, gelisah dan gusar, badannya seakan terbakar, ingin rasanya
bergulingan di atas salju.
Sim Long menyengir, katanya, “Buat apa kau menyiksa diri ....”
“Jangan kau urus aku,” bentak Jit-jit, “pergi ...” mendadak dia menerjang ke depan
Ong Ling-hoa, “aku ingin tanya, bukankah kau punya seorang ibu?”
“Kalau Cayhe tidak punya ibu, memangnya aku dilahirkan dari celah-celah batu?
Kenapa Nona tanya hal ini, apa kau sendiri tidak punya ibu?”
Jit-jit anggap tidak mendengar ocehannya, bentaknya, “Di mana sekarang ibumu?”
“Jadi Nona ingin bertemu dengan ibuku?”
“Betul, bawa aku kepadanya.”
“Baiklah, memang aku ingin memperkenalkan Sim-heng kepada ibuku ....”
“Ong-heng, jangan kau turuti kehendaknya, mana berani aku mengganggu
ketenangan ibumu,” kata Sim Long.
“Tidak apa, walau sudah lanjut usia, tapi ibuku paling suka menerima tamu muda
yang gagah, jika Sim-heng tidak percaya, ini, Auyang-heng boleh menjadi saksi.”
“Ya, betul,” ujar Auyang Hi. “Bukan, saja aku sering bertemu dengan ibunya, pernah
pula Siaute disuguh kuah jinsom masakan beliau sendiri, sungguh seorang tua yang
welas asih.”
*****
Waktu itu Ong-lohujin baru saja bangun tidur siang, rambutnya sudah ubanan
seluruhnya, namun tersisir rapi dan berduduk di tengah ruang besar, dengan tertawa
dia sambut kedatangan putranya yang membawa beberapa tamu. Raut wajahnya
yang penuh keriput tampak berseri tawa, sambil bicara dan berkelakar dia berpesan
kepada putranya supaya lekas menyiapkan perjamuan, jangan kurang adat terhadap
tamu.
Orang banyak saling pandang sekejap, dalam hati sama berpikir, “Memang seorang
tua yang welas asih.”
Tapi setelah berhadapan dengan nyonya tua welas asih ini, Jit-jit justru tambah
gelisah dan hampir gila. Sebetulnya dia hendak membentak gusar, “Dia bukan
ibumu!” Syukur dia belum gila benar-benar, dia tidak berani melontarkan kata
demikian, dalam keadaan seperti ini, dia insaf dirinya terpaksa harus menahan emosi,
maka dia hanya berpeluk tangan dan melancarkan gerakan tutup mulut.
Benaknya rasanya seperti butek dan pening, apa yang dipercakapkan orang lain
sepatah pun tidak didengarnya, apa yang dilakukan orang lain juga tidak dilihatnya.
Untunglah hidangan sudah disuguhkan, setelah makan, Ong-hujin pamit masuk
kamar, perjamuan usai, Sim Long mohon diri.
Dengan tertawa Ong Ling-hoa berkata, “Nona Cu ....”
“Ada apa berteriak-teriak?” bentak Jit-jit.
“Pintu rumahku selalu terbuka menyambut kedatangan Nona Cu, kalau dalam hati
masih curiga atau ada sesuatu yang kurang jelas, sembarang waktu boleh kau
datang kemari.”
Jit-jit hanya melotot saja dengan mendongkol tanpa balas berolok.
Ong Ling-hoa lantas berkata lebih lanjut, “Kenapa Nona Cu tidak bicara lagi?”
Cu Jit-jit mengentak kaki terus menerobos keluar lebih dulu.
Sim Long tertawa getir, katanya, “Begini sikap Ong-heng padanya, apa yang bisa dia
katakan pula.”
*****
Malam dingin, salju berhamburan. Sim Long tidak lagi minta meninggalkan kota, maka
rombongan kembali ke rumah Auyang Hi, hingga malam ketika perjamuan diadakan
pula, Cu Jit-jit tetap tutup mulut. Alisnya terkerut, kepala tertunduk, entah apa yang
sedang dipikirkan. Siapa pun mengajak bicara juga tidak dipedulikan, seperti tidak
mendengar.
Akhirnya Auyang Hi menghela napas, katanya, “Ong Ling-hoa memang bukan
seorang kuncu, tapi kuyakin dia juga bukan lelaki seperti apa yang dikisahkan oleh
Nona Cu, kurasa dalam persoalan ini pasti ada salah paham, Sim-heng, kau ....”
“Tanpa kau katakan juga kutahu,” tukas Sim Long.
“Apa lagi, meski dia bun-bu-siang-coan (serbamahir ilmu silat dan sastra), tapi belum
pernah dia pamer di depan umum, kecuali dua-tiga orang tua seangkatanku,
penduduk Lokyang hanya tahu dia seorang pemuda kaya yang suka pelesir, siapa pun
tidak tahu dia pandai kungfu, terhadap seluk-beluk dunia Kangouw dia lebih-lebih tidak
pernah ikut campur.”
“Hal itu juga sudah kuketahui,” kata Sim Long dengan tertawa.
Mendadak Cu Jit-jit menggebrak meja, teriaknya, “Kau tahu kentut!”
Sim Long mengerut kening, katanya, “Urusan sudah sejauh ini, kau masih ingin
membuat ribut, kau memfitnah orang, jika Ong-kongcu kurang bijaksana dan ramah
tamah, mana dia mau mengampuni kau.”
“Dia tidak mengampuni aku?” jengek Jit-jit penuh kebencian. “Hm, justru aku yang
tidak akan mengampuni dia.”
“Apa pula yang hendak kau lakukan?” tanya Sim Long.
Turun-naik dada Jit-jit saking gemas, akhirnya dia menghela napas dan berkata, “Aku
mau tidur.”
Sim Long tertawa, katanya, “Memangnya sejak tadi kau perlu tidur ....”
Sejak tadi Pek Fifi duduk di samping Cu Jit-jit, segera ia berdiri, katanya, “Biar
kulayani Nona beristirahat!”
Sambil menunduk dia ikut maju melangkah ke sana.
Mendadak Jit-jit membalik dan membentak, “Siapa minta dilayani? Enyahlah yang
jauh.”
Suara Fifi gemetar, katanya, “Tapi ... tapi budi pertolongan Nona ....”
“Orang she Sim itu yang menolong kau dan bukan aku, boleh kau ladeni dia saja,”
sambil mendorong ke belakang Jit-jit lantas berlalu.
Sudah tentu Fifi tidak kuat menahan tolakan itu, tubuh yang lemah itu terhuyung dan
air mata bercucuran.
Cepat Sim Long memapahnya, katanya, “Begitulah tabiatnya, jangan kau berkecil hati,
sebenarnya ... sebenarnya ... Ai, lahirnya dia kelihatan galak, padahal hatinya tidak
demikian.”
Berlinang air mata Fifi, ia mengangguk, suaranya masih gemetar, “Budi kebaikan
Nona Cu terhadapku setinggi gunung, selama hidupku ini sudah menjadi miliknya,
bagaimanapun sikapnya terhadapku adalah pantas ....”
Lama Sim Long menatapnya, wajahnya yang tenang mendadak memperlihatkan
perasaan haru, sesaat baru dia menghela napas, ujarnya, “Cuma ... terlalu
menyusahkan kau.”
Fifi tertawa pedih, katanya, “Aku memang bernasib jelek, derita apa pun sudah biasa
kualami, apa lagi ... apalagi para Kongcu bersikap sedemikian baik kepadaku ... inilah
... inilah hari-hari kehidupanku yang paling bahagia ....”
Tangannya tidak berhenti menyeka air mata, tapi air mata justru tidak berhenti
mengalir.
Agak lama Sim Long termenung, akhirnya dia menghela napas, “Pergilah tidur.”
“Terima kasih, Kongcu,” ucap Fifi, lalu dia memberi hormat dan melangkah pergi.
Auyang Hi menghela napas, katanya, “Perempuan seperti dia baru terhitung
perempuan tulen, lelaki mana bila dapat mempersunting gadis seperti dia, sungguh
bahagia selama hidupnya.”
Si Kucing mendebat, “Kau berkata demikian, memangnya Nona Cu itu bukan
perempuan tulen dan gadis idaman?”
“Nona Cu? ... Kurasa ... oh ....” Auyang Hi terbatuk-batuk untuk menghilangkan rasa
canggungnya.
“Rase tua, tidak mau bicara, buat apa pura-pura batuk?” berolok Si Kucing. “Yang
benar, meski Nona Pek sehalus sutra, secantik bunga, tapi Nona Cu juga tidak kalah
dibandingkan dia.”
“Nona Cu memang sangat cantik, cuma tabiatnya ....”
“Kau tahu apa? Dia mengumbar nafsu karena dalam hati sedang dirangsang emosi,
lelaki mana yang membuatnya kasmaran baru benar-benar bahagia hidupnya.”
Auyang Hi tertawa, katanya, “Apakah betul bahagia, untuk ini kurasa harus tanya
Sim-heng.”
Sim Long tertawa tanpa memberi jawaban. Saat mana hujan salju makin lebat di luar,
hawa dalam kamar justru masih hangat. Sim Long menatap keluar jendela,
mendadak dia bergumam, “Malam sedingin ini, mengapa ada juga orang yang keluar
di bawah hujan lebat?”
Auyang Hi tidak jelas, dia tanya, “Apa yang kau katakan, Sim-heng?”
“O, tidak apa-apa ... marilah, Him-heng, temani aku minum secangkir.”
Setelah beberapa cangkir arak masuk ke perut, mendadak Si Kucing mendorong
cangkir dan katanya dengan tertawa lebar, “Siaute sudah tidak kuat minum lagi, aku
mau tidur ... haha.”
Di tengah gelak tertawanya, “blang”, dia menumbuk kursi hingga terbalik terus
melangkah dengan sempoyongan keluar pintu.
Sim Long berkata, “Pertemuan meriah begini kenapa kau pergi lebih dulu?”
“Biarkan kucing itu pergi, mari kita minum tiga ratus cangkir,” agaknya Auyang Hi
mulai sinting.
*****
Setelah berada di luar, mata Si Kucing menjelajah sekitarnya, setelah yakin tiada
bayangan orang lain, dengan langkah sempoyongan dia berjalan beberapa langkah
lagi, tapi mendadak dia melompat ke balik pohon sana, gerak-geriknya tampak lincah,
cekatan dan mantap, sorot matanya yang semula seperti mabuk kini berkilat terang.
Dia meluncur seperti bermain ski saja, meluncur ke samping sana dan melewati
serambi, ia melayang ke sana di bawah hujan salju, lalu melompat ke wuwungan
yang tertimbun salju.
Hujan salju yang hebat, suasana remang-remang. Sedikit merandek, setelah
menentukan arah, Si Kucing melesat kencang ke depan. Embusan angin mengiris
muka setajam pisau, dinginnya meresap tulang sumsum, namun dia tidak mengerut
kening, dada baju malah disingkap terlebih lebar.
Beruntun dia melompat naik-turun delapan kali, kini dia sudah berada puluhan tombak
jauhnya, dari kejauhan sempat dia melihat sesosok bayangan orang yang bergerak di
wuwungan rumah di sebelah depan, segera ia berjongkok, menentukan arah dan
meneliti sekitarnya. Tanpa mengeluarkan suara Si Kucing merunduk maju ke sana,
langkahnya ternyata tidak meninggalkan jejak dan tanpa mengeluarkan suara. Dalam
sekejap dia sudah melejit turun di belakang orang itu dan berdiri tegak dengan diam.
Didengarnya orang itu sedang bergumam sendiri, “Menyebalkan, kenapa turun hujan
selebat ini? Pantas kebanyakan maling yang berpengalaman suka bilang ‘mencuri
jangan pada waktu hujan salju’, agaknya beroperasi pada saat seperti ini memang
tidak leluasa.”
Si Kucing tertawa, katanya tiba-tiba, “Apa yang kau curi?”
Orang itu berjingkat kaget dan membalik tubuh seraya mengayun tangga dan
memukul dada Si Kucing, tanpa peduli siapa lawannya, dia menyerang secara keji.
“Wah, celaka!” seru Si Kucing. Belum lenyap suaranya, orangnya sudah roboh.
Orang itu berpakaian ketat dan berkerudung kepala, setelah merobohkan orang, dia
berdiri bingung malah, bentaknya, “Siapa kau?”
Si Kucing telentang kaku sambil merintih-rintih. Orang itu bergumam, “Ginkang
orang ini tidak rendah, kenapa kungfunya tidak becus ....” karena ingin tahu, segera
dia melompat maju serta jongkok untuk memeriksa siapa gerangan korbannya ini.
Di bawah refleksi cahaya salju, dilihatnya mata Si Kucing terpejam, mukanya
pucat. Begitu melihat wajah Si Kucing, orang itu mendadak berseru kaget,
gumamnya pula, “Kiranya dia ... Wah, ba ... bagaimana baiknya?”
Agaknya dia gugup dan juga menyesal hingga suaranya gemetar, akhirnya dia raih
tubuh Si Kucing dan berkata, “He, kau kenapa? ... Ayo bicara ... kau ... kau ... kenapa
tak berguna, sekali pukul lantas sekarat begini.”
Dia tidak tahu bahwa Si Kucing sedang memicingkan mata dan mengintip
kelakuannya, ujung mulut malah menyungging senyum geli. Mendadak tangannya
bergerak menarik kain kerudung yang menutupi muka orang itu.
Orang itu kaget, saking gugupnya berlinang air matanya, siapa lagi dia kalau bukan
Cu Jit-jit. Si Kucing tertawa, katanya, “Ternyata kau, memang sudah kuduga akan
dirimu.”
Terangkat alis Cu Jit-jit, namun segera ia pun tertawa, “Oo, apa benar?” “Tapi tak
kuduga sebelumnya, melihat aku roboh terpukul, kau kelihatan khawatir, aku ... aku
....”
“Kau senang sekali, begitu?” tukas Jit-jit. “Kau bersikap sebaik ini kepadaku, tak
sia-sia aku memerhatikan dirimu.” “Memang selama ini aku amat baik terhadapmu,
masa kau tidak tahu?” “Aku ... aku tahu, kau ....” “Aku menghendaki kau ... kau
mampus,” mendadak Jit-jit ayun tangan
menggampar beberapa kali muka Si Kucing, ditambah sekali tendangan pula hingga
Si Kucing jatuh terjungkal.
Si Kucing tertegun ketika mukanya digampar, “bluk”, dengan keras dia jatuh
terbanting pula di atas salju, pantat seperti mau pecah, kepala pusing dan mata
berkunang-kunang.
Dilihatnya Cu Jit-jit bertolak pinggang, memaki sambil membungkuk badan ke
arahnya, “Kau kucing mampus, kucing malas, kucing busuk, memangnya nonamu
sudah buta, kau sendiri yang mabuk kepayang, kau ... kau lekas mampus saja.”
Sambil memaki dia mencomot salju terus ditimpukkan ke badan Si Kucing, lalu berlari
pergi tanpa menoleh lagi.
Sekujur badan Si Kucing bertaburan salju, baru saja dia hendak memanggil, ternyata
penghuni rumah terjaga bangun karena keributan ini, beberapa orang tampak lari
keluar sambil membawa pentung dan menerjang ke arahnya, tanpa bicara terus
menghajar Si Kucing dengan bernafsu.
Si Kucing tidak membalas, tapi berteriak-teriak, “Tahan, berhenti ....”
Tapi beberapa orang itu mencaci dengan gusar, “Maling keparat, ganyang saja, ayo
dibunuh!”
Setelah terkena beberapa kali gebukan pentung baru Si Kucing berhasil menerjang
keluar terus melompat ke atas genting dan melarikan diri, hatinya dongkol tapi juga
geli.
Sejak dia berkecimpung di dunia Kangouw, kapan pernah digebuk orang, apalagi
harus melarikan diri dalam keadaan runyam, waktu dia celingukan, bayangan Cu
Jit-jit sudah tidak kelihatan. Setelah mengejar beberapa saat lamanya, tak tahan dia
mengentak kaki dan mengomel, “Budak busuk, budak setan, seorang diri berkeliaran,
entah apa yang dilakukannya, bikin orang lain khawatir bagimu.”
Mendadak didengarnya cekikik tawa geli di tempat gelap, katanya, “Untuk siapa kau
bergelisah begini?”
Sambil membetulkan sanggulnya, Cu Jit-jit tampak muncul dari tempat gelap,
tubuhnya yang semampai dan menggiurkan menambah cemerlang cahaya salju yang
putih perak.
Si Kucing terpesona mengawasinya, katanya tergegap, “Untukmu ... tentu saja demi
kau.”
Jit-jit tertawa, “Jadi budak setan juga memaki diriku?”
Selangkah demi selangkah dia menghampiri, Si Kucing juga menyurut mundur,
dengan tertawa merdu Jit-jit berkata lembut, “Jangan khawatir, walau kau memakiku,
aku tidak marah.”
“Baiklah ... bagus sekali ....” padahal jawaban yang tidak genah, di mana letak
baiknya dan mana yang bagus dia tidak tahu, akhirnya Si Kucing tertawa geli sendiri.
“Coba lihat, sekujur badanmu berlepotan salju, mukamu juga bengep seperti dipukul
orang, bocah segede ini, memangnya kau tidak tahu menjaga dirimu sendiri?” tutur
kata Jit-jit lembut penuh kasih sayang, kejadian yang baru menimpa Si Kucing seperti
tiada sangkut pautnya dengan dirinya.
Si Kucing jadi menyengir, katanya, “Nona ....”
Jit-jit keluarkan saputangan sutra, katanya, “Lekas kemari, biar kubersihkan wajahmu
....”
Si Kucing malah mundur sambil menggoyang tangan, katanya, “Terima kasih, terima
kasih, maksud baik Nona tak berani kuterima, selanjutnya asal Nona tidak main kaki
dan tangan, Cayhe akan berterima kasih kepadamu.”
“Tadi aku hanya berkelakar denganmu, apakah kau sesalkan perbuatanku?”
“Aku ....”
“Kau ini memang masih bocah, kukira ... lebih baik kau anggap aku sebagai taci saja,
supaya kelak Taci bisa selalu membela dirimu.”
Mendadak Si Kucing terbahak-bahak.
Jit-jit melotot, “Kenapa tertawa?”
Dengan tertawa Si Kucing bertanya, “Sebetulnya ada urusan apa yang perlu
kukerjakan, lekas katakan saja, tak perlu bermuka-muka, jika aku punya taci seperti
dirimu, dalam tiga hari saja tulang badanku bisa terhajar remuk.”
Merah muka Jit-jit, mendadak tinjunya menjotos secepat kilat.
Tapi kali ini Si Kucing sudah siaga, mana mampu dia memukulnya.
Jit-jit mengertak gigi, makinya dengar geregetan, “Kucing mampus, kucing keparat,
kau ... kau.”
Si Kucing berkata, “Jangan khawatir, apa saja boleh kau katakan, pasti
kukerjakan.” Dia bicara sambil tertawa, namun sorot matanya menunjukkan
ketulusan hatinya.
Jit-jit tak mampu memakinya lagi, katanya, “Apa kau bicara setulus hati?” “Aku tidak
suka ngecap, ucapanku pasti dapat dipercaya.” “Tapi ... tapi kenapa kau bersikap
demikian?” “Aku ... aku ...” mendadak Si Kucing mengentak kaki, katanya, “jangan
kenapa
peduli aku bersikap demikian, pendek kata ... apa yang pernah kuucapkan pasti
takkan kujilat kembali, ada persoalan apa yang kau minta kulakukan, katakan saja.”
Jit-jit menghela napas, “Apakah kau hafal jalan di kota Lokyang ini?” “Jika kau ingin
cari penunjuk jalan, tepat sekali kau cari diriku, jalan raya dan
gang sempit di seluruh pelosok kota Lokyang ini serupa rumahku sendiri, dengan
mata tertutup juga aku bisa menemukan tempatnya.” “Baiklah, bawalah aku ke pasar
bunga kota ini.” ***** Tengah malam musim dingin, pasar bunga kota Lokyang yang
biasanya ramai
sekarang jadi sepi lengang, penjual kembang yang rajin bekerja sama datang
pagi-pagi, tapi tengah malam tak mungkin mereka berada di pasar. Cu Jit-jit
keluyuran ke sana kemari, Si Kucing mengintil di belakangnya.
Jit-jit bergumam, “Apakah kota Lokyang hanya ada pasar kembang satu ini?”
“Ya, hanya ada di sini, tiada cabang di tempat lain, kalau Nona ingin membeli bunga,
sekarang masih teramat pagi.” “Aku bukan ingin beli bunga.” “Tidak ingin beli bunga,
tapi berkeluyuran di pasar bunga, memangnya kau ingin
makan angin malam yang dingin?” Pandangan Jit-jit menatap ke tempat jauh,
mulutnya berkata lirih, “Dalam hal ini ada rahasianya.”
“Rahasia apa?” “Kalau kau ingin tahu, boleh kuceritakan kepadamu, tapi ...”
mendadak dia
menoleh dan mengawasi Si Kucing, katanya pula dengan serius, “sebelum
kubeberkan rahasia ini, ingin kutanya padamu.” Si Kucing tertawa, “Sejak kapan kau
sungkan padaku? ... Tanya saja.” “Ceritaku ini menyangkut Ong Ling-hoa, kau
percaya tidak?” Berkedip mata Si Kucing, gumamnya, “Ong Ling-hoa keparat itu
adakalanya
memang tampak plinplan, kalau orang tanya asal usul ilmu silatnya, sepatah kata pun
dia tak mau memberi keterangan. Coba katakan apa saja yang pernah dilakukannya,
aku tidak akan kaget atau heran.”
“Ya, pasti tidak salah lagi. Hari itu aku sembunyi di bawah kereta, waktu masuk kota
Lokyang pernah lewat dan mampir di pasar bunga ini, gadis-gadis di atas kereta
turun sejenak membeli bunga segar.”
“Maka sekarang kau ingin menelusuri kejadian hari itu mulai dari pasar bunga ini
untuk menemukan tempat di mana kau pernah disekap, begitu?” “Kau memang
pintar,” puji Jit-jit tertawa. “Syukurlah kalau tidak bodoh,” ujar Si Kucing dengan
jenaka. “Bagus, orang pintar, pergilah cari sebuah kereta dan bawa kemari.”
Mata Si Kucing terbelalak, tanyanya heran, “Cari kereta untuk apa?” Jit-jit
menggeleng, katanya, “Baru saja bilang kau pandai, kenapa berubah bodoh pula. Hari
itu aku sembunyi di bawah kereta, tiada yang bisa kulihat, terpaksa diam-diam aku
mengingat arah kereta berjalan, maka sekarang aku harus mengulang dengan
sebuah kereta ....”
“Betul, kali ini memang akulah yang bodoh, kenapa hal sepele begini tidak
kupahami. Tapi tengah malam buta begini, ke mana dapat kucari kereta?” “Laki-laki
macam dirimu, persoalan apa yang pernah menyulitkan kau? Jangankan hanya
sebuah kereta, sepuluh kereta juga dapat kau bawa kemari, betul tidak?”
Si Kucing garuk-garuk kepala, “Tapi ... tapi ....” “Aku minta tolong,
ya ... aku minta tolong, usahakan!” pinta Jit-jit.
Si Kucing menghela napas. “Baiklah, aku akan berusaha.”
Jit-jit tertawa lebar, katanya, “Nah, memang kau anak penurut, lekas pergi dan lekas
pulang, aku menunggumu ...” lalu dirabanya wajah orang dan berbisik di pinggir
telinganya, “harus berhasil dan lekas bawa kemari, jangan membuatku kecewa.”
Si Kucing bersungut-sungut, menggeleng kepala dan melangkah pergi.
Kira-kira sepemasakan air, terdengar derap kuda lari di bawah embusan angin dan
taburan salju, tampak Si Kucing membawa datang sebuah kereta besar, wajahnya
tampak puas dan bangga.
Jit-jit menyambut kedatangannya sambil berkeplok senang, serunya, “Bagus, engkau
memang pintar, dari mana kau peroleh kereta besar ini? Di mana kusirnya? Apakah
kau curi kereta ini?”
“Mencuri atau merampas sama saja, pendek kata aku sudah menunaikan tugas
dengan baik, memangnya kau belum puas? Untuk apa kau tanya asal usul kereta
ini?”
Jit-jit cekikikan, lalu ia hendak menyelinap ke bawah kereta.
“He, kau mau apa?” tanya Si Kucing.
“Goblok, berapa kali kukatakan padamu? Hari itu aku sembunyi di bawah kereta,
maka sekarang aku ....”
Mendadak Si Kucing bergelak tertawa, “Betul, betul, aku memang goblok!”
“Memangnya kau tidak goblok? Apa yang kau tertawakan?”
Si Kucing menahan gelinya, katanya, “Nona manis, hari itu karena khawatir kepergok
orang, maka kau sembunyi di bawah kereta, tapi sekarang untuk apa kau sembunyi di
bawah kereta pula? Untuk meneliti arah dan tujuan, apa bedanya duduk saja di depan
kereta, kenapa harus meringkal di bawah kereta?”
Merah muka Jit-jit, sesaat kemudian dia berkata sambil bersungut, “Hm, anggap
alasanmu kali ini betul, tapi juga alasan biasa, kenapa bangga? Orang bodoh
adakalanya juga bisa pintar.”
Si Kucing melongo, gumamnya kemudian, “Pantas Sim Long tidak berani bercuit di
depanmu, nona segalak dan sebinal ini, orang gelandangan seperti diriku ini juga
mati kutu.”
“Apa katamu?” bentak Jit-jit mendelik.
“Tidak apa-apa,” sahut Si Kucing gelagapan, “Nona baik, Nona manis, lekas naik
kereta.” Segera Si Kucing ayun cemeti, “tar”, kereta berkuda itu segera berlari ke
depan.
Jit-jit duduk di sampingnya, memejamkan mata dan mulut mulai menghitung, “Satu,
dua, tiga ... tiga puluh ... empat puluh ...” sampai hitungan empat puluh tujuh
mendadak dia membuka mata dan berseru, “keliru, keliru!”
“Apanya yang keliru?”
“Kereta ini terlalu lambat, dibandingkan laju kereta hari itu jauh lebih lambat, lekas
putar balik dan ulangi lagi dari depan pasar bunga.”
Si Kucing menghela napas dan mengiakan, kereta diputar balik dan diulang.
Kembali Jit-jit menghitung, “Satu, dua, tiga ...” waktu hitung sampai empat puluh
tujuh, kembali dia membuka mata dan berteriak, “salah, salah lagi, kali ini terlalu
cepat.”
Si Kucing tak sabar, katanya dengan mendongkol, “Apakah kau tidak bisa tahu lebih
dini bila salah? Kenapa setelah sejauh ini baru ....”
Jit-jit mendekap mulut orang, katanya dengan lembut dan tertawa, “Hanya sekali lagi,
ya, sekali saja, apa kau tidak sudi membantuku?”
Sesaat Si Kucing menatapnya dengan kesima, akhirnya dia tertawa getir, katanya, “Di
hadapanmu, aku benar-benar tak berdaya lagi, jangankan hanya sekali, sepuluh kali
juga kulakukan.”
Sembari bicara kereta dia putar balik.
“Kau memang anak baik,” puji Jit-jit dengan tertawa.
Waktu kereta dilarikan lagi, kecepatannya kali ini tepat, Jit-jit terus menghitung
sampai 90, lalu berkata, “Belok kanan, lalu belok ke kiri.”
Si Kucing memang melihat ada simpang jalan ke kanan. Maka kereta lantas
dibelokkan ke kanan, di sebelah depan benar juga ada jalan yang membelok ke
kanan, bilang belok kiri juga betul ada jalan membelok ke kiri, meski hitungan
jaraknya ada sedikit berselisih, tapi kebanyakan tepat, mau tidak mau Si Kucing
memuji dalam hati, “Daya ingat budak ini memang hebat, apa yang dikatakannya
agaknya bukan bualan.”
Tengah Si Kucing membatin, mendadak didengarnya Cu Jit-jit berseru dengan
tertawa, “Sudah sampai, pasti di sini!” Lekas Si Kucing tarik tali kendali dan
menghentikan kereta, tanyanya heran, “Di sini?”
Waktu Jit-jit membuka mata, dilihatnya jalan raya di sini dilapisi balok-balok batu
besar, diapit dinding tinggi, di depan sana terdapat sebuah pintu besar bercat merah,
undakan batu tampak bersih dan rata, lampion terpasang benderang, di kedua
samping undakan terdapat jalan samping yang bisa buat lewat kuda dan kereta,
sekilas pandang, seketika dia berseru girang, “Ini dia, pintu itulah!”
Si Kucing tampak heran dan kaget, katanya, “Maksudmu pintu di sana itu?” “Betul.”
“Kali ini mungkin kau keliru.” “Tidak salah, tidak keliru, pasti tidak keliru.” “Aku justru
bilang keliru, karena penghuni rumah ini sudah kukenal.” Jit-jit kaget dan terbelalak,
katanya, “Kau kenal? Apa betul rumah Ong Ling
hoa?” “Memang Ong Ling-hoa sering kemari, tapi pasti bukan rumahnya.” “Lalu ...
tempat apakah sebetulnya?” Si Kucing menyengir, katanya sambil menggeleng,
“Tak dapat kukatakan ....” “Kenapa tak dapat kau katakan, aku justru ingin kau
bicara ... Ayo katakan,
lekas!”
Karena terdesak, Si Kucing ragu-ragu, ucapnya, “Baiklah, kukatakan, tapi setelah
dengar, jangan merah mukamu.” “Mukaku merah? Memangnya begitu gampang?”
“Baiklah, biar kujelaskan, itulah tempat lampu merah.” “Tempat lampu merah”
artinya sarang pelacur, tapi Cu Jit-jit tidak tahu, setelah
melenggong sekian saat, lalu diliriknya beberapa kali, katanya, “Pintu besar itu
diterangi lampion sebesar itu, mana ada lampu merah?”
Si Kucing melongo, katanya dengan tertawa getir, “Maksudku penghuni di rumah ini
adalah kaum bidadari.”
“Penghuni rumah itu jelas kawanan iblis, kau justru bilang bidadari, memangnya kau
juga sehaluan dengan mereka?”
Dongkol hati Si Kucing, dengan tawa tertahan dia berkata, “Nona manis, apakah
benar kau tidak tahu apa-apa?”
“Apa pun aku tahu, kau ... kau memang sehaluan dengan mereka, kau ... kalian
memang ingin menggoda aku,” akhir katanya suaranya sudah setengah terisak.
“Nona manis, Nona ayu, jangan menangis ... jangan menangis ....”
Jit-jit melengos sambil mengentak kaki, “Kentut, siapa menangis? ... Lekas katakan,
tempat apakah itu, lekas katakan!”
Si Kucing menghela napas, “Baiklah, kujelaskan, bidadari adalah ... adalah nona-
nona yang kerjanya tidak senonoh.”
Khawatir Jit-jit curang paham, segera dia menambahkan dengan blakblakan, “Tempat
itu adalah sarang pelacur, penghuninya semua pelacur.”
Sudah tentu malu Jit-jit, ia menunduk dan memainkan ujung baju, mendadak dia
membalik tubuh dan melotot kepada Si Kucing, teriaknya, “Sarang pelacur? Mana
mungkin sarang pelacur? Kau tipu aku.”
“Kalau tidak percaya, kenapa tidak kau masuk memeriksanya.”
“Masuk ya masuk, memangnya aku takut?” segera dia melompat turun terus berlari
ke sana, tangan diangkat dan hendak menggedor pintu.
Tapi tangan yang sudah terangkat itu terhenti di udara, mendadak dia membalik dan
lari kembali.
Dengan tertawa Si Kucing mengawasi tingkah lakunya tanpa bicara.
Didengarnya Jit-jit bergumam, “Sarang pelacur, ya, mungkin saja tempat ini sarang
pelacur. Pek-hun-bok-li itu adalah ... adalah bidadari, sarang pelacur, digunakan
sebagai tempat operasi untuk menyembunyikan perbuatan mereka, memang akal
yang bagus, siapa yang menduga orang-orang gagah yang biasa malang melintang di
dunia persilatan bisa menjadi tawanan kawanan pelacur, lalu digusur dan disekap
dalam sarang pelacur?”
Si Kucing masih mengawasi tanpa bicara, namun kedua alisnya tampak bekernyit,
senyum pun lenyap, kini kelihatan prihatin.
Jit-jit menarik lengan bajunya, katanya perlahan, “Bagaimanapun aku sudah berada di
sini, apa pun harus kuselidiki hingga jelas duduknya perkara.”
“Ya, memang harus demikian, lekas Nona masuk saja.”
Jit-jit melenggong, “Kau ... kau suruh aku masuk sendiri?”
Si Kucing berkedip-kedip, katanya, “Apa Nona minta kutemani masuk?”
Jit-jit gigit bibir dengan mendongkol, “Hm, memangnya kau ingin kumohon padamu ...
Huh, jangan harap, kau kira aku tidak pernah masuk ke sana, memangnya apa yang
perlu ditakuti?”
Lahirnya bilang tidak takut, padahal dalam hatinya takut sekali, adegan di dalam
kamar bawah tanah, betapa tinggi kungfu si nyonya setengah baya yang cantik itu,
betapa jahat dan culas hatinya, semua itu cukup membuatnya ngeri dan bergidik.
Kejadian itu betul-betul membuatnya takut, seorang diri betapa pun dia tak berani
masuk ke sana.
Akhirnya Jit-jit bersuara, “Kau ...kau ....”
“Aku kenapa?” tanya Si Kucing.
“Apa kau tidak ingin masuk ke sana?”
“Untuk masuk ke tempat ini aku harus menunggu bila hari sudah mulai gelap,
kantongku penuh berisi, dengan langkah lebar dan membusung dada kumasuk
melalui pintu besar, mana boleh menyelundup masuk di tengah malam buta?”
Jilid 12
Lama Jit-jit menatapnya dengan mendelik, mendadak dia putar tubuh, sekali loncat ia
hinggap di atas pagar tembok dan langsung melompat ke dalam.
Sudah tentu si Kucing terperanjat, segera dia ikut melompat dan melayang, ke balik
tembok.
Siapa tahu, baru saja dia hinggap di tanah, segera dilihatnya Cu Jit-jit berdiri di kaki
tembok sambil mengawasinya dengan tertawa ejek, katanya, “Kutahu kau pasti tidak
tega membiarkan aku masuk sendirian.”
Dongkol, gemas juga geli si Kucing, katanya sambil menggeleng, “Baiklah, aku
betul-betul takluk padamu.”
“Kalau sudah takluk padaku, maka kau harus patuh pada perintahku.”
Mendadak si Kucing berkata serius, “Bila tempat ini betul tempat yang kau maksud,
maka jelas di sinilah sarang naga dan gua harimau, di sekeliling kita pasti terpasang
berbagai perangkap.”
“Ya, betul,” sahut Jit-jit.
“Karena itulah penyelidikanmu kali ini harus dilakukan dengan hati-hati, sedikit pun
tidak boleh salah langkah, sedikit lena mungkin takkan bisa keluar dari sini.”
“Aku tahu ... ikuti aku,” sembari bicara Jit-jit lantas melayang ke depan.
Sebelum tengah malam tempat ini biasanya masih riuh ramai, gelak tertawa dan
cekikikan genit, namun sekarang sunyi senyap, sinar lampu pun tidak kelihatan.
Di bawah pantulan salju Cu Jit-jit berusaha membedakan arah, namun dalam
keadaan remang-remang sukar baginya memastikan apakah dia pernah datang ke
sini.
Si Kucing menyusul di belakangnya, katanya, “Hati-hati, jangan meninggalkan bekas
kaki di permukaan salju.”
“Jangan khawatir, aku tahu.”
“Apa pun untuk jadi maling jelas kau bukan tandinganku, biar aku yang menunjukkan
jalan saja,” tanpa menunggu jawaban Cu Jit-jit si Kucing lantas mendahului melayang
ke depan.
Satu di depan yang lain di belakang, mereka merunduk ke taman belakang,
sepanjang jalan bukan saja tidak terdengar suara orang, juga tidak menemukan
rintangan atau perangkap.
Kesunyian yang agak ganjil, membuat orang tegang dan khawatir. Cu Jit-jit
merasakan jantung berdebar cepat dan keras.
Mendadak kakinya menyentuh sesuatu yang lunak, saking tegang dan kaget hampir
saja Jit-jit menjerit. Untung si Kucing keburu mendekap mulutnya, desisnya, “Ssst,
ada apa?”
Jit-jit tergegap, lidah terasa kelu, dia hanya menuding ke sana.
Waktu si Kucing memandang ke arah yang ditunjuk, tertampak di bawah pohon
kering meringkuk dua orang berbaju hitam tanpa bergerak, entah masih hidup atau
sudah mati. Keruan berubah air muka mereka, keduanya menyurut mundur setindak.
Kedua orang yang rebah di atas salju itu tetap tidak bergerak.
“Mungkin ... mungkin sudah mati?” ucap Jit-jit gemetar.
Si Kucing menunggu beberapa kejap pula, lalu mendekat dan berjongkok membalik
tubuh salah seorang berbaju hitam itu, kedua orang ini kelihatan melotot, mulut
terbuka lebar, mukanya berlepotan salju, kulit daging sudah kaku dan pucat karena
kedinginan, namun hidungnya masih bernapas lemah, dadanya pun masih hangat.
Kedua orang ini jelas belum mati.
Setelah memeriksa sekian lamanya, akhirnya si Kucing berkata, “Kedua orang ini
tertutuk hiat-tonya.”
Mengepal tinju Jit-jit, katanya tegang, “Dilihat dari dandanan kedua orang ini, jelas
tukang pukul atau penjaga pekarangan ini, mereka penjaga di sini ....”
“Ya, pasti demikian,” kata si Kucing.
“Tapi ... siapakah yang menutuk hiat-to kedua orang ini?”
“Kau tanya, padaku, aku tanya siapa?”
Jit-jit gelisah, katanya, “Masa tak dapat kau buka hiat-to mereka dan tanyai mereka?”
Si Kucing menggeleng kepala, “Bukan saja lwekang penutuk itu amat tinggi, cara
yang digunakan juga khas, kecuali ajaran perguruannya, siapa pun takkan mampu
memusnahkan tutukan hiat-to mereka.”
“Lalu ... siapakah gerangan penutuk itu?”
“Melihat gelagatnya, ada seorang kosen secara diam-diam telah datang lebih dahulu,
jejak kita bukan mustahil sudah di bawah pengawasannya ....”
“Lalu bagaimana baiknya?”
Si Kucing berdiri, “Mari kita pulang saja.”
“Pulang? Setelah datang kau bilang harus pulang? Umpama benar ada orang
mendahului kita, tapi dia menutuk hiat-to kedua budak ini, jelas dia berada di pihak
kita, bukankah berarti kita mendapat bantuannya, maka jangan pulang, apa pun
kejadian ini harus diselidiki sampai jelas.”
Si Kucing berpikir sejenak, memang beralasan si nona, dia lantas berkata dengan
menghela napas, “Baiklah, terserah.”
Maka kedua orang ini merunduk maju lebih lanjut, langkah mereka lebih hati-hati.
Mendadak tampak di hutan bambu tak jauh di sana ada sinar lampu.
“Tidak masuk sarang harimau mana bisa menangkap anak harimau, mari kita ke
sana,” ucap Jit-jit.
Urusan sudah telanjur, si Kucing tak bisa menolak, maka dia iringi Cu Jit-jit
menerobos ke dalam hutan bambu.
Di dalam hutan bambu terdapat tiga atau lima petak rumah mungil, sinar lampu
menyorot keluar dari jendela. Cahayanya remang-remang, terasa mengandung
kegaiban.
Si Kucing jadi tertarik, dengan tabah dia menyelinap ke bawah jendela, mereka
mendekam tak bergerak di bawah jendela dengan menahan napas dan pasang
kuping.
Sesaat kemudian terdengar suara rintihan seorang perempuan. Si Kucing dan Cu
Jit-jit saling pandang sekejap dan merasa tegang.
Diam-diam Jit-jit membatin, “Jangan-jangan ada Pek-hun-bok-li yang berbuat salah
dan sedang menjalani hukuman?”
Tapi anehnya, setelah mendengarkan sekian lama, bukan saja suara rintihan itu
tidak seperti orang kesakitan, malah agak ... agak ... entah agak apa Cu Jit-jit sendiri
tak bisa menerangkan.
Menyusul terdengar dengus napas seorang lelaki.
Kontan air muka si Kucing berubah, berubah aneh dan lucu, segera dia tarik lengan
baju Cu Jit-jit, maksudnya mengajaknya pergi.
Tapi Jit-jit sedang keheranan dan ketarik oleh suara keluhan itu, mana dia mau pergi.
Didengarnya suara laki-laki itu berkata di tengah sengal napasnya yang berat,
“Bagaimana ... nikmat? ....”
Suara genit seorang perempuan menjawab setengah merintih, “O, sayang ... aku ...
aku tidak tahan ... tidak tahan lagi ....”
Betapa pun hijaunya, akhirnya Jit-jit tahu juga apa yang tengah berlangsung di dalam
kamar, seketika merah mukanya, diam-diam dia berludah.
Si Kucing juga serbakikuk, keduanya melenggong dan tak bergerak, hingga tanpa
sadar sesosok bayangan berkelebat lewat di atas kepala mereka. Cepat mereka pun
berdiri dan lari ke luar hutan.
Setelah jauh, Jit-jit berkata dengan mendongkol, “Tidak tahu malu ... menyebalkan!”
“Dari sini dapat disimpulkan bahwa di tempat ini tak terjadi sesuatu yang ganjil, kalau
tidak masakah di dalam ada laki-laki iseng yang bermain dengan pelacur.”
Dengan wajah merah Jit-jit berkata, “Dari mana kau tahu laki-laki itu iseng, bukan
mustahil dia ... dia adalah temannya?”
Diam-diam si Kucing tertawa geli, batinnya, “Keluhan nikmat perempuan itu memang
disengaja untuk menyenangkan setiap lelaki iseng, orang seperti diriku mana bisa
dikelabui?”
Sudah tentu hal ini tidak dijelaskannya. Waktu dia angkat kepala dan menoleh,
tiba-tiba dia bertanya kaget, “He, apa yang berada di atas kepalamu?”
“Ada apa ....” sahut Cu Jit-jit, waktu dia angkat kepala, ia pun menjerit kaget, “Hei,
apa yang berada di atas kepalamu?”
Berbareng mereka meraba kepala, dari atas kepala mereka masing-masing
menjamah sebuah mahkota yang dirangkai dari ranting kayu kering, di atas mahkota
ranting kayu itu masing-masing terselip secarik kertas. Mereka tarik kertas itu, di
bawah keremangan mereka melihat tulisan di atas kertas itu berbunyi: “Ratu Tolol”,
sedangkan kertas si Kucing tertulis: “Raja Goblok”.
Siapakah yang menaruh mahkota ranting kering di atas kepala mereka? Kapan
ditaruhnya? Ternyata si Kucing dan Cu Jit-jit tidak tahu dan tidak menyadari sama
sekali.
Keruan tidak kepalang kaget mereka, namun setelah membaca tulisan itu di samping
mendongkol mereka pun geregetan, Jit-jit menggerutu, “Kentut, kentut anjing busuk.
Huh, ratu ... apa, kalau dapat kutangkap bajingan itu, awas, akan kubeset kulitnya.”
Si Kucing tertawa getir katanya, “Orang menaruh ranting di atas kepalamu saja tidak
kau ketahui, cara bagaimana mampu kau tangkap dia, bayangan saja tak dapat
melihatnya.”
Betapa tinggi kungfu orang, ginkangnya yang lihai dan gerak-geriknya yang cekatan
dan tangkas, ngeri Jit-jit membayangkannya, bila yang ditaruh di atas kepala mereka
bukan ranting kayu tapi senjata rahasia beracun yang bisa membuat luka kepala
mereka, lalu apa jadinya, keruan ia berkeringat dingin.
Si Kucing bergumam, “Pasti orang itulah yang menutuk hiat-to kedua orang berbaju
hitam tadi, tapi ... siapakah dia sebenarnya? Tokoh mana dalam dunia ini yang
berkepandaian setinggi ini?”
“Peduli siapa dia,” ucap Jit-jit, “lebih baik kita ....”
“Kita pulang saja,” tukas si Kucing.
“Pulang, pulang, kau hanya tahu pulang saja,” omel Jit-jit mendongkol.
Si Kucing menghela napas, katanya, “Orang itu jelas tak bermaksud jahat terhadap
kita, kalau mau, dengan mudah dia dapat mencabut jiwamu, tapi perbuatannya ini
jelas cuma ingin memperingatkan, supaya kita tidak terlalu lama berada di sini.”
“Kenapa ... kenapa ....”
Si Kucing memandang sekitarnya, lalu katanya, “Dalam kegelapan di sekitar kita ini
pasti banyak alat perangkap yang tak kelihatan, khawatir kita terjebak, maka orang
itu menganjurkan kita pulang saja.”
“Kalau dia suruh kau pulang, kau lantas pulang? Kau begitu patuh kepadanya?”
“Betapa pun orang bermaksud baik ....”
“Aku justru tak mau terima kebaikannya, aku justru ingin tahu lebih jelas,” belum
habis bicara segera orangnya melompat ke depan.
Si Kucing sudah kenyang berkelana di dunia Kangouw, pengalaman luas, banyak tipu
akalnya, gesit, dan cekatan, siapa saja yang bermusuhan dengan dia pasti pusing
tujuh keliling, tapi menghadapi Cu Jit-jit, justru dia sendiri yang kewalahan.
Cu Jit-jit sudah berlari ke depan, terpaksa dia mengikut di belakangnya. Dengan
kebat-kebit, mereka maju lagi beberapa puluh tombak jauhnya.
Sekonyong-konyong berkumandanglah bunyi keleningan, meski ringan suaranya, tapi
di tengah malam gelap dan sunyi, suaranya sungguh mengejutkan.
Menyusul tampak cahaya api menyala di sebelah depan.
Betapa besar nyali Cu Jit-jit kaget juga dia dan menghentikan langkah, terdengar
suara bentakan keras di sana, “Siapa itu? .... Berhenti! .... Tangkap maling!” Berubah
air muka si Kucing, “Wah, celaka ... lekas mundur ....” Belum lenyap suaranya,
tampak sesosok bayangan orang melesat keluar dari
arah cahaya api sana, gerakannya secepat kilat dan menubruk ke arah Cu Jit-jit
dan si Kucing bersembunyi. Gerak-geriknya sungguh amat cepat, walau melesat dari
depan, tapi Jit-jit dan si Kucing hanya melihat bayangannya saja, hakikatnya sukar
melihat raut wajah dan bentuk perawakan orang. Tatkala melesat lewat di samping
tubuh mereka, bayangan itu membentak lirih, “Ikuti aku!”
Sementara itu tampak bayangan orang banyak disertai langkah ramai sama memburu
ke arah Cu Jit-jit dan si Kucing, bentakan dan teriakan bertambah keras.
Dalam keadaan terdesak begini, terpaksa Jit-jit putar tubuh dan melompat keluar,
untung jalan mundur mereka belum tercegat, dengan cepat mereka melayang keluar
pagar tembok.
Setiba mereka di luar pagar tembok, bayangan misterius tadi tidak kelihatan lagi.
Jit-jit mengentak kaki, omelnya, “Maling mampus, bangsat goblok, dia sendiri
lebih setimpal dianugerahi julukan raja goblok, jejaknya yang konangan orang, kita
ikut susah.” “Kukira dia sengaja berbuat demikian,” ujar si Kucing setelah berpikir.
“Maksudmu dia sengaja memperlihatkan jejaknya? Memangnya dia sudah gila?”
“Sudah berulang kali dia memberi peringatan, namun kita tetap bandel, terpaksa
jejaknya sengaja diperlihatkan supaya kita pun mau tidak mau ikut kabur ....”
Jit-jit melenggong, katanya kemudian dengan gemas, “Apa sangkut paut urusan kita
dengan dia? Kenapa dia mempermainkan kita?” Mulut bicara, kaki tidak berhenti,
cepat sekali sudah melewati dua jalan raya. Pada saat itulah mendadak Jit-jit
berhenti. “Kau mau apa pula?” tanya si Kucing.
“Aku ingin kembali ke sana.” “He, apa kau sudah gila?” “Siapa bilang aku gila, aku
sangat sadar, setelah gagal menangkap maling,
mereka tentu tidur lagi, kenapa aku tidak boleh kembali ke sana?” Si Kucing
menghela napas, katanya, “O, nonaku yang manis, memangnya tak
kau pikir, setelah kejadian ini penjagaan tentu diperketat, kalau kau kembali ke sana,
pasti masuk perangkap mereka.” Jit-jit mengertak gigi, desisnya, “Mungkin betul
ucapanmu, namun aku tambah
yakin tempat itu adalah sarang iblis, kalau aku tidak memeriksanya pula ke sana,
mana hatiku bisa tenteram?”
“Berdasarkan apa kau begitu yakin?” “Coba jawab, kalau sarang pelacur biasa mana
mungkin dijaga sekian banyak orang? Apalagi berulang kali orang itu memberi
peringatan kepada kita, pasti dia tahu dalam taman itu banyak dipasang jebakan.
Nah, coba jawab lagi, sarang pelacur biasa mana mungkin terdapat jebakan dan
perangkap?”
Lama si Kucing terdiam, akhirnya menghela napas, katanya, “Aku selalu kalah
berdebat dengan kau.” “Kalau mengaku kalah, ayolah ikut aku pula.” “Baiklah, aku
ikut.”
“Betul?” seru Jit-jit girang. “Sudah tentu betul, tapi bukan malam ini, sekarang kita
pulang dulu, besok kita rancang dulu langkah kita, betapa pun sarang pelacur ini
harus diselidiki sampai jelas.”
Jit-jit bimbang sejenak, tanyanya, “Apakah omonganmu dapat dipercaya?”
“Setiap patah kataku laksana paku yang menancap di dinding, satu paku satu mata.”
“Baiklah, kali ini aku terima saranmu, besok kita lanjutkan penyelidikan ini.” *****
Setiba mereka di rumah keluarga Auyang, penghuni rumah besar itu sudah tidur
semua, agaknya tiada orang tahu apa yang dilakukan kedua orang ini setengah
malaman ini, segera mereka kembali ke kamar masing-masing.
Di musim dingin, malam pendek siang panjang, Jit-jit hanya tidur sebentar di atas
ranjang, waktu dia membuka mata mentari sudah memancarkan cahayanya ke dalam
kamar.
Cukup lama dia duduk termenung di atas ranjang, makin dipikir terasa makin
mencurigakan, mendadak dia menyingkap selimut terus berpakaian langsung dia
pergi ke kamar Sim Long.
Pintu kamar masih tertutup rapat, segera ia hendak menggedor, tapi urung, sejenak ia
berpikir, lalu berputar ke arah jendela dan pasang kuping mendengarkan, didengarnya
Sim Long masih mendengkur dengan teratur, jelas tidurnya sangat nyenyak.
Mendadak di belakangnya seorang menyapa perlahan, “Selamat pagi, Nona!”
Cepat Jit-jit membalik, yang berdiri di belakangnya dengan meluruskan tangan
ternyata Pek Fifi.
Secara diam-diam dia berdiri di luar jendela kamar orang lelaki dan mencuri dengar,
kini kepergok, keruan ia malu. Seketika dia menarik muka, baru saja dia hendak
mengumbar adat, mendadak pikirannya berubah, dengan tertawa dia berkata
perlahan, “Kau pun pagi, apa semalam enak tidurmu?”
Dua hari ini setiap melihat tampang Pek Fifi selalu dia jengkel, kini sikapnya
mendadak berubah ramah, sudah tentu Pek Fifi merasa di luar dugaan, ia jadi
kebat-kebit malah, sahutnya dengan hormat, “Terima kasih atas perhatian Nona, aku
... aku tidur dengan nyenyak.”
“Angkat kepalamu, biar kulihat mukamu.”
Fifi mengiakan dan perlahan angkat kepalanya.
Hujan salju sudah berhenti, mentari yang baru menyingsing memancarkan cahaya
keemasan menyinari wajah Pek Fifi.
Jit-jit menghela napas, ujarnya, “Memang cantik, melihatmu aku pun ketarik, apalagi
kaum lelaki hidung belang itu, sudah tentu tergila-gila ....”
Fifi kira rasa cemburu orang mulai angot lagi, maka dengan gugup dia berkata,
“Mana hamba berani dibandingkan dengan Nona ....”
“Tak usah sungkan, tapi ... jangan kau bohongi aku.” Fifi berjingkat kaget, katanya,
“Mana berani hamba bohongi Nona.” “Apa betul kau tidak bohong? Baik, jawab
pertanyaanku, kau bilang semalam
tidur nyenyak, kenapa kedua matamu tampak merah bengul?”
Wajah Fifi yang semula pucat seketika merah, katanya dengan tergegap, “Aku ...
hamba ....” Khawatir dimaki Cu Jit-jit, saking takutnya sampai tak mampu bicara. Jit-jit
malah tertawa, katanya, “Kalau semalam kau tidak tidur, aku ingin tanya
padamu, kamarmu di sebelah kamar Sim-siangkong, apa kau tahu semalam
Sim-siangkong keluar dari kamarnya tidak?” Lega hati Fifi, katanya, “Semalam
Sim-siangkong pulang ke kamar dengan mabuk, begitu rebah di ranjang lantas tidur
pulas, dari kamar hamba pun mendengar suara dengkurannya.”
Sesaat Jit-jit menimbang-nimbang, lalu berkerut alis dan bergumam, “Kalau
demikian, mungkin bukan dia ....” “Bukan dia siapa?” tiba-tiba seorang bertanya
dengan tertawa. Entah kapan Sim Long sudah membuka pintu dan melangkah
keluar.
Merah muka Jit-jit, katanya, “O, tidak ... tidak apa-apa.”
Sikapnya di hadapan Sim Long serupa Pek Fifi di hadapannya tadi, muka merah dan
menunduk kepala, tergegap tak mampu bicara. Sambil menunduk diam-diam Fifi
mengundurkan diri. Sim Long menatap Jit-jit, cahaya mentari yang keemasan
menyinari wajah Cu
Jit-jit, wajahnya kelihatan cantik, siapa pun melihatnya pasti merasa sayang.
Mendadak Sim Long menghela napas, katanya, “Wajahmu bak bunga mekar, lebih
cantik dari ....” “Siapa maksudmu?” tukas Jit-jit. “Sudah tentu kau, masa orang lain.”
Muka merah Jit-jit, belum pernah dia dengar Sim Long memuji kecantikannya, entah
kejut entah senang, dia menunduk dan berkata, “Apakah kau bicara setulus hatimu?”
“Sudah tentu setulus hati .... Angin pagi dingin di luar, marilah duduk di dalam kamar.”
Tanpa diminta lagi Jit-jit mendahului melangkah masuk dan duduk di dalam kamar,
terasa Sim Long masih terus mengawasi dirinya dengan saksama.
Ia menjadi rikuh, duduk tak tenang, berdiri juga tak enak, akhirnya dia mengomel
dengan tertahan, “Apa yang kau pandang? Bukankah aku serupa, beratus kali telah
kau pandangku, dipandang lagi juga takkan tumbuh sekuntum bunga di mukaku.”
Sim Long tersenyum, katanya, “Aku sedang berpikir, perempuan secantik kau bila
mengenakan mahkota di atas kepala pasti mirip seorang ratu.”
Terkesiap hati Jit-jit, “Ratu ... ratu apa?”
Sim Long bergelak tertawa, “Sudah tentu ratu kecantikan. Memangnya ada ratu lain.”
Tak tahan Jit-jit, ia mengawasi orang dengan saksama.
Sim Long tertawa, katanya, “Udara dingin bumi beku, keluar malam gampang masuk
angin, bila nanti malam kau ingin keluar, lebih baik mengenakan baju kapas ....”
Jit-jit berjingkrak, serunya, “Siapa bilang nanti malam aku mau keluar?”
“Siapa bilang kau mau keluar, aku hanya bilang umpama kau ingin keluar,”
mendadak Sim Long menoleh, lalu menyambung dengan tertawa, “Him-heng,
kenapa berdiri di luar jendela, silakan masuk?!”
Si Kucing berdehem, lalu melangkah masuk perlahan dan menyapa, “Pagi benar
Sim-heng bangun.”
“Sebetulnya tidak pagi lagi, bagi orang yang malam hari suka keluyuran menjadi
maling, semalam suntuk tidak tidur, tapi sekarang sudah bangun, dia baru dapat
dikatakan bangun pagi-pagi betul tidak Him-heng?”
Si Kucing menyengir, sahutnya, “Ya ... ya ....”
“Barusan kubilang ada seorang mirip ratu, kini kulihat tampang Him-heng, haha, cara
Him-heng melangkah bagai harimau lapar, gagah perkasa, bila mengenakan mahkota
juga, kau pasti mirip seorang raja.”
Melotot si Kucing mengawasi Sim Long, sampai sekian lama terkesima dan tak
mampu bersuara. Mendadak Sim Long berdiri, katanya, dengan tertawa, “Silakan
kalian duduk di sini, aku akan keluar melihat-lihat dulu.”
“Melihat ... melihat apa?” tanya Jit-jit. “Ingin kulihat apakah semalam ada maling
datang mencuri barang, mungkin
gagal mencuri malah kehilangan segenggam beras, kereta kuda yang ditumpangi
juga tertinggal di luar.” Dengan tertawa segera dia berlari keluar. Jit-jit dan si Kucing
saling pandang dengan melenggong dan tak mampu bicara. Sesaat kemudian si
Kucing tak tahan, ia buka suara, “Semalam pasti dia.” “Ya, pasti dia,” ucap Jit-jit. Si
Kucing menghela napas, katanya, “Sepak terjangnya sungguh menakjubkan,
gerak-geriknya laksana setan, tingkah kita ternyata tak mampu mengelabui dia ....
Ai, sungguh kungfu hebat.” Tiba-tiba Jit-jit tertawa, katanya, “Banyak terima kasih.”
Si Kucing heran, “Kau terima kasih apa?” Manis tawa Jit-jit, katanya, “Kau memuji
dia, berarti memujiku pula, mendengar pujianmu sungguh aku sangat senang, maka
aku mengucapkan terima kasih, jika kau maki dia, pasti kuhajarmu.”
Si Kucing melongo sejenak, akhirnya menghela napas, katanya, “Semalam dia
mempermalukan dirimu dan kau tidak marah?” “Siapa bilang dia mempermainkan
aku, maksud dia kan baik, ini ... ini kan kau sendiri yang bilang demikian? Kan
pantas kita berterima kasih kepadanya, kenapa mesti marah?”
Kembali si Kucing melenggong, katanya kemudian, “Tapi aku justru marah.”
“Kau marah apa?” tanya Jit-jit.
Si Kucing tidak menjawab, mendadak ia berterus melangkah pergi.
Jit-jit tidak mencegah, hanya katanya keras, “Hanya marah saja apa gunanya? Kalau
malam nanti kau dapat membebaskan diri dari pengawasannya baru terbukti kau
punya kepandaian tinggi, laki-laki yang serbapintar pasti akan disukai gadis.”
Si Kucing sudah pergi dengan langkah lebar, mendadak dia kembali dengan langkah
lebar pula, katanya, “Kau kira aku tak mampu membebaskan diri dari
pengawasannya?”
Dengan tertawa Jit-jit mengawasinya, katanya, “Apa kau mampu?”
“Mampu saja, boleh kau buktikan,” seru si Kucing keras. Setelah mengentak kaki,
kembali dia melangkah pergi.
Mengawasi bayangan orang yang lenyap di luar pintu, Jit-jit tertawa senang,
gumamnya, “Kau si Kucing ini pernah bilang selamanya tak pernah terpancing orang?
Sekarang kenapa terpancing juga olehku? .... Tampaknya laki-laki di dunia ini sama
saja, tiada satu pun yang tahan dihasut oleh orang perempuan .... Hanya ... kecuali
Sim Long saja ....”
Terbayang akan watak Sim Long yang tidak kenal kompromi, tidak doyan halus
maupun keras, sering berlagak bisu dan tuli lagi, sungguh ia gemas dan geregetan,
rasanya ingin menggigitnya. Tapi ... ia hanya menggigitnya perlahan, sebab khawatir
menyakitkan dia.
*****
Dengan sendirinya Auyang Hi berusaha menahan tetamunya supaya tinggal lebih
lama, Jit-jit juga tidak berniat pergi, maka kebetulan orang banyak lantas tinggal lebih
lama di rumah Auyang Hi.
Malamnya diadakan pula perjamuan besar. Setelah minum tiga cawan, si Kucing
mendadak berkata, “Eh, tiba-tiba teringat olehku suatu persoalan menarik.”
“Soal apa?” tanya Auyang Hi.
“Bila kita berempat bertanding minum arak entah siapa yang akan ambruk lebih
dulu?”
“Wah ....” Auyang Hi jadi bingung, ia menoleh ke arah Sim Long, lalu memandang
Ong Ling-hoa pula.
Sim Long diam saja, Ong Ling-hoa juga tidak memberi tanggapan.
Setiap orang yang gemar minum pasti tidak mau mengaku takaran minumnya sedikit
dan akan mabuk lebih dulu. Auyang Hi bergelak tertawa, katanya, “Persoalanmu
memang menarik, namun
sukar mendapatkan jawabannya.”
“Kenapa sukar,” ujar si Kucing, “asal Auyang-heng mau sediakan arak, hari ini juga
kita bisa menentukan kalah-menang.” Belum habis orang bicara Auyang Hi lantas
berkeplok, serunya, “Bagus! .... Ayo
keluarkan empat guci arak!” Cepat sekali empat guci arak yang diminta sudah
diusung keluar. Ong Ling-hoa tertawa, katanya, “Begini saja, satu orang satu guci,
siapa pun tak
dirugikan.” Sim Long tersenyum, “Jika habis satu guci dan belum mabuk, lalu
bagaimana?” “Bila empat guci belum mabuk, keluarkan lagi delapan guci,” kata Ong
Ling-hoa. “Kalau belum juga mabuk?” tanya Sim Long. Ong Ling-hoa tertawa, “Jika
masih juga belum ada yang mabuk, apa salahnya
kita teruskan adu minum sampai tiga hari?”
Si Kucing tepuk tangan, serunya dengan bergelak tertawa, “Haha, bagus! Tapi,
masih ada ....” “Masih ada apa?” tanya Auyang Hi. “Cepat atau lambatnya cara
minum juga harus diatur ....” ujar si Kucing. “Betapa cepat kau kucing ini dapat
minum kami pasti akan mengiringimu sama
cepatnya.” “Baik ....” seru si Kucing girang, segera diangkatnya satu guci dengan
kepala
mendongak, arak terus dituang ke dalam perut, sekaligus dia habiskan setengah
guci. Ketika mendengar si Kucing ribut urusan minum arak, Jit-jit lantas tahu maksud
si Kucing hendak mencekok mabuk ketiga orang ini, bila Sim Long juga mabuk,
maka dia takkan bisa menguntit gerak-gerik mereka malam ini. Dalam hati dia
tertawa geli dan bersorak akan akal si Kucing. Maka dia hanya menonton saja di
samping tanpa memberi komentar.
Empat orang ini memang jago minum, hanya sekejap saja isi empat guci sudah
terminum habis, segera Auyang Hi tepuk tangan dan menyuruh keluarkan empat guci
arak lagi.
Ketika empat guci ini habis diminum dan minta tambah empat guci, keadaan keempat
orang ini sudah mulai tak genah, mulai sinting, cara bicara juga ngelantur.
Jit-jit sangat tertarik, ia ingin menyaksikan siapa di antara keempat orang ini yang
mabuk dan ambruk lebih dulu. Tapi setelah berpikir pula, ia jadi tidak tertarik lagi.
Pikirnya, “Takaran minum keempat orang ini agaknya seimbang, jika si Kucing tak
mampu mencekoki Sim Long hingga mabuk, malah dia sendiri yang mabuk lebih
dulu, lalu bagaimana baiknya?”
Mendadak terlihat Sim Long berdiri dan berseru lantang, “Kucing tetap kucing, habis
tiga guci arak jatuh melingkar seperti kerbau.”
Mendadak ia roboh perlahan dan tak bangun lagi.
“Haha, ambruk satu ....” teriak si Kucing dengan tertawa.
Ong Ling-hoa mengedip mata, katanya, “Jangan-jangan dia pura-pura mabuk.”
Meski ingin mencekoki Sim Long sampai mabuk, tapi melihat keadaannya benar-
benar mabuk, Jit-jit menjadi gugup pula, dengan penuh perhatian dia berjongkok
memapah Sim Long, katanya, “Dia tidak pura-pura, tapi betul-betul mabuk, kalau
tidak masa dia mengoceh tak keruan.”
Ong Ling-hoa tertawa, “Tak nyana orang lain ambruk lebih dulu, bagus, bagus!
Biarlah kuminum lagi tiga cawan.”
Lalu dia habiskan tiga cawan arak, namun sebelum cawan ditaruh di atas meja,
orangnya mendadak tak kelihatan, kiranya dia telah merosot ke bawah meja dan tak
mampu bangun lagi.
Si Kucing tertawa, cawan didorongnya serta berbangkit, tapi sebelum sirap suara
tertawanya, ia pun ambruk telentang.
Auyang Hi bergelak, serunya, “Bagus ... bagus! Bicara soal kungfu memang berbeda
satu dengan yang lain, tapi soal kekuatan arak akulah yang paling jempol ....”
Ia pegang cawan dengan langkah sempoyongan dan keluar pintu. Sesaat kemudian
terdengar cangkir jatuh berantakan menyusul “bluk” yang keras, lalu suara Auyang Hi
tak terdengar lagi.
Dengan terkesima Jit-jit mengawasi mereka satu per satu, namun sesaat kemudian
mendadak si Kucing melompat bangun, katanya sambil mengawasi Cu Jit-jit, “Nah,
bagaimana, bukankah sekarang aku dapat melepaskan diri dari mereka.”
“Ya, anggaplah kau memang lihai, tapi ... tapi tak pantas kau mencekokinya sampai
begini,” apa pun Jit-jit tetap membela Sim Long.
Si Kucing melenggong sejenak, katanya dengan menghela napas, “O, perempuan ...
sudah kubela dia, dia malah membela orang lain ....”
Jit-jit angkat Sim Long ke atas ranjang dan menyelimutinya, habis itu baru dia ikut si
Kucing melesat keluar pekarangan. Kedua orang sama memikirkan persoalannya
sendiri, maka tiada yang buka suara.
Setiba di luar tembok rumah itu baru Jit-jit menoleh dan berkata, “Malam ini Sim Long
tidak akan memberi petunjuk dan perlindungan lagi, maka kita harus lebih hati-hati.”
“Hmk!” si Kucing hanya mendengus saja.
Jit-jit tertawa, “Kau minum arak sebanyak itu dan tidak mabuk, jangan-jangan kau
mabuk minum cuka (cemburu).”
Dengan enteng mereka melompati tembok, keadaan gelap gulita sekelilingnya sepi
seperti tiada penjagaan, ronda malam juga tidak kelihatan. Mereka maju terus tanpa
rintangan.
Entah berapa lama mereka sudah memasuki pekarangan besar ini, waktu diteliti
agaknya mereka sudah berada di taman belakang, pemandangan sekelilingnya
memang mirip seperti “sarang iblis” yang pernah dilihat Cu Jit-jit dulu.
Hutan cemara, hutan bambu, gardu pemandangan, loteng bersusun, gunung-
gunungan dan empang ....
Jalan kecil berkerikil sudah bertabur salju, empang teratai yang sudah membeku.
Makin pandang makin mirip, namun makin dipandang hatinya juga semakin tegang,
meski di musim dingin telapak tangan dan jidatnya ternyata berkeringat.
Mendadak si Kucing bergelak tertawa, “Haha, arak bagus, arak bagus, lagi sepoci ....”
Saking kaget jantung Cu Jit-jit seperti mau melompat keluar dari rongga dadanya,
cepat dia membalik dan menarik si Kucing terus diajak menggelinding ke tempat
gelap.
Ditunggu sesaat lamanya, keadaan tetap sunyi senyap, gelak tawa si Kucing ternyata
tidak mengejutkan penjaga atau ronda malam di taman ini.
Jit-jit merasa lega, ia tarik lengan baju si Kucing dan mengomel, “Sudah gila kau?”
Si Kucing menyengir, “Sudah gila, ya sudah gila, lebih baik minum arak ....”
“Celaka, kau ... kau mabuk?”
Mendadak si Kucing menarik muka, “Siapa mabuk, aku hanya ingin coba apakah di
sini ada orang atau tidak.”
“Caramu mencoba ini apakah tidak akan membikin jiwa melayang?” omel Jit-jit.
Mendadak si Kucing berkata keras pula, “Baiklah, jika kau minta jangan kucoba, aku
pun tidak akan mencoba.”
Tubuh Jit-jit berkeringat dingin, lekas dia memberi tanda dan mendesis, “Sssst,
jangan bicara.”
Mendadak si Kucing juga mendekap mulut dan berkata, “Sssst, jangan bicara.”
Khawatir dan gusar, serbasalah pula Jit-jit, ia tak tahu apa yang harus dilakukan lagi,
sekarang baru dia tahu, tadi si Kucing memang pura-pura mabuk, tapi setelah badan
kena angin malam, arak dalam perut berontak hingga betul-betul jadi mabuk. Kalau
tadi betul-betul mabuk masih mending, di tempat seperti ini dia baru mabuk, keruan
Jit-jit gugup setengah mati.
Tak terduga mendadak si Kucing berdiri, dengan hati-hati dia menuju ke sana,
gerak-geriknya kelihatan lincah dan cekatan, Jit-jit tak berhasil menariknya, terpaksa
dia ikuti saja langkah orang.
Setelah sekian jauhnya, langkah si Kucing betul-betul seringan kucing merunduk
tikus, enteng tak mengeluarkan suara, lega hati Cu Jit-jit, pikirnya, “Semoga dia tidak
mabuk, kalau tidak ....”
Baru melamun, mendadak si Kucing berlari ke arah sepucuk pohon cemara, kaki
tangan bekerja sekaligus, beruntun dia memukul dan menendang pohon itu sambil
berteriak-teriak, “Bagus, kau bilang aku mabuk, kuhajar kau ... kuhajar kau sampai
mampus.”
Di samping kaget, dongkol juga Jit-jit, segera dia memburu maju dan menekan tubuh
si Kucing pada batang pohon itu. “Plak-plok”, belasan kali dia gampar mukanya.
Si Kucing tidak meronta, juga tidak melawan, dia malah menyengir lucu.
Dengan gemas Jit-jit memaki, “Kucing goblok, kucing mabuk, akulah yang akan
menghajarmu sampai mampus!”
Kucing meratap, “Nona yang baik, jangan menghajarku sampai mampus, cukup
setengah mati saja.”
Walau gusar, Jit-jit merasa geli pula, namun saat itu dia sadar bahaya selalu
mengelilinginya, yang menemani dirinya justru kucing mabuk, dia bisa tertawa.
Keadaan taman tetap sunyi senyap dan tak kelihatan orang mengejar.
Dengan menahan suara Jit-jit berkata dengan geregetan, “Kucing mabuk, dengarkan,
sekali lagi kau bikin ribut, segera kututuk hiat-tomu dan kubuang ke semak-semak,
biar badanmu dicincang orang, kau tahu tidak?”
Si Kucing manggut-manggut, “Ya, aku tahu, aku tahu!”
“Masih berani kau bikin ribut?”
“Tidak, tidak berani lagi.”
Lega hati Jit-jit, katanya, “Baik, ikuti aku dan jangan berisik, berani bersuara sedikit
saja segera kucabut nyawamu.”
“Baik, ikuti kau perlahan, asal mengeluarkan suara, kau akan merenggut nyawaku.”
Diam-diam Jit-jit membatin, “Walau dia mabuk, pikirannya ternyata masih jernih.
Agaknya nasibku masih mujur, tadi dia ribut sekeras itu, ternyata tidak mengejutkan
orang.”
Maka kedua orang lantas maju lebih lanjut.
Si Kucing sudah mabuk hingga mengoceh tak keruan, seorang lagi gadis yang hijau
dan cetek pengalaman, betapa keras keributan yang dilakukan si Kucing tadi,
umpama orang mati pun akan terkejut bangun. Apalagi orang di sini pasti tidak mati.
Tapi keadaan tetap sunyi, dalam hal ini pasti ada sebab musababnya, namun bukan
saja Jit-jit tidak pikirkan hal ini, dia malah merasa senang dan menganggap dirinya
bernasib mujur.
*****
Dugaan Cu Jit-jit memang tidak salah, “sarang pelacur” ini memang betul adalah
sarang iblis yang tempo hari pernah membuat dirinya ketakutan setengah mati itu.
Maju beberapa langkah lagi lantas terlihat loteng kecil itu.
Walau keadaan sekelilingnya gelap gulita, namun sudah terbayang olehnya akan
wajah si nyonya setengah baya yang cantik dan berdandan seperti permaisuri itu
tengah berdiri di langkan dan melambaikan tangan kepadanya.
Rasa ngeri seketika menjalari benaknya, cepat dia tarik si Kucing terus menyelinap ke
belakang sepucuk pohon.
“Ken ....” baru si Kucing bersuara, mulutnya lantas didekap Cu Jit-jit. Tangan Jitjit
yang lain menuding loteng kecil itu, katanya, “Di ... di sana itulah.”
Si Kucing bersuara dalam kerongkongan sambil manggut-manggut.
Jit-jit berbisik pula, “Setiba di sini, jangan bersuara apa pun, perempuan yang tinggal
di atas loteng itu lebih menakutkan daripada setan, bila mengeluarkan suara dan
didengar olehnya, jang ... jangan harap bisa pulang, tahu tidak?”
Si Kucing manggut-manggut, selanjutnya bernapas pun dia tak berani terlalu keras.
Jit-jit segera lepaskan dekapan atas mulut orang, katanya perlahan, “Walau kita
sudah temukan tempat ini, tapi aku tidak tahu bagaimana baiknya? Perlukah kita
memeriksanya ke atas? Atau pulang dulu mengajak Sim Long kemari?”
Dengan berbisik si Kucing berkata, “Kita periksa lebih dulu.”
Jit-jit menghela napas, katanya, “Diperiksa dulu juga boleh, tapi tak dapat kau
bayangkan betapa menakutkan perempuan di atas loteng itu, apalagi kau sedang
mabuk ....”
“Tak jadi soal,” kata si Kucing tegas. Belum lenyap suaranya dia lantas melompat jauh
ke depan, meluncur secepat anak panah.
Jit-jit tak berhasil meraihnya, ingin berteriak tidak berani, saking khawatir berubah air
mukanya, sebetulnya dia ingin menyusul, sayang kedua kaki terasa lemas.
Dilihatnya si Kucing berlari langsung ke arah loteng, di mana kakinya melayang, dia
depak daun pintu bagian bawah, menerjang masuk dengan langkah tegap seperti
masuk rumahnya sendiri.
Tendangan si Kucing itu rasanya seperti menendang hulu hati Cu Jit-jit, seketika
kepala pusing, jantung pun serasa berhenti berdenyut. Dia ambruk di tanah,
kaki-tangan terasa dingin dan basah keringat, ia bersuara perlahan, “Wah, celaka ...
habis ....”
Dia yakin setelah si Kucing menerjang masuk ke sana, jiwanya pasti amblas dan
takkan keluar lagi dengan hidup, sebetulnya timbul niatnya akan ikut menerjang
masuk sebagai tanda setia kawannya, sayang, kakinya terasa lemas dan tak mampu
berdiri.
Dia membatin sambil mengertak gigi, “Salahmu sendiri minum sebanyak itu hingga
mabuk, kau ... kau mampus juga pantas, buat apa aku kasihan ....”
Walau demikian pikirannya, tapi entah kenapa, air mata lantas bercucuran.
Didengarnya si Kucing lagi mengamuk di dalam loteng, teriaknya, “Perempuan setan,
iblis perempuan, ayo keluar, kalau berani ayolah berhantam dengan pendekar besar
ini, coba kau yang mampus atau aku yang hidup, memangnya kau kira si Kucing takut
padamu?”
Menyusul terdengar suara “blang-blung” yang ramai disertai caci maki si Kucing,
agaknya telah terjadi baku hantam yang seru di dalam loteng.
Kalau betul terjadi pertarungan sengit, meski kepandaian si Kucing amat tinggi, apa
pun dia bukan tandingan si perempuan setengah baya yang menghuni loteng kecil itu,
apalagi saat itu si Kucing lagi mabuk.
Jit-jit tak tahan membendung air matanya, sambil menangis terisak dia berkata
sendiri, “Peduli kau mabuk atau tidak, kalau bukan lantaran aku, tentu kau ... kau
tidak akan mabuk dan takkan berada di sini .... Akulah yang membuatmu celaka ...
aku yang membuatmu celaka, tapi aku malah duduk saja di sini, tak menyertai kau
mengadu jiwa ... aku memang patut mampus ... pantas mati ....”
Tangan diangkatnya, mendadak dia gigit lengan sendiri, begitu jengkelnya hingga
lengannya digigitnya sampai berdarah.
Sementara itu tak terdengar lagi suara si Kucing di dalam loteng. Suasana menjadi
sepi, keadaan sunyi yang aneh dan mencekam lebih mengerikan dari kegaduhan,
dengan khawatir Cu Jit-jit angkat kepalanya, air mata masih berkaca-kaca di pelupuk
matanya, ia pandang ke sana dengan bingung.
Di tengah kesunyian yang mencekam perasaan ini, loteng kecil itu tetap menegak di
tengah kegelapan, tiada suara, tak terlihat sinar lampu, apalagi bayangan manusia ....
Di samping khawatir dia juga heran, batinnya, “Apakah yang terjadi .... Mengapa jadi
begini .... Mungkinkah dia ... dia menemui ajalnya? Tapi umpama dia gugur,
sedikitnya terdengar jeritannya.”
Loteng kecil yang tak bernyawa itu dalam pandangan Jit-jit sekarang berubah seperti
iblis jahat. Pintu yang terpentang oleh tendangan si Kucing tadi seperti mulut iblis
raksasa yang ternganga menunggu mangsanya, seperti juga menantang dan
mencemoohkan Cu Jit-jit, “Apa kau berani masuk?”
Bergidik Jit-jit. Tubuhnya memang sudah basah oleh salju, kini celananya juga basah
dan kotor, namun dia seperti tidak menyadari, matanya tetap mengawasi bangunan
loteng itu, persoalan lain seperti tak dipedulikan lagi. Daun pintu yang terpentang
bergerak-gerak tertiup angin, seperti lagi mengejek Cu Jit-jit, juga seperti sedang
menantang.
Dengan mengertak gigi Jit-jit meronta berdiri, diam-diam ia maki dirinya sendiri,
“Kenapa aku jadi penakut, mati saja tak takut, apa yang harus kutakuti?”
Ia tidak menyadari “rasa takut” adalah titik lemah manusia, kelemahan yang sudah
dibawa sejak lahir, kecuali orangnya mati, pingsan atau mati rasa, kalau normal,
siapa pun pasti punya rasa takut.
Meski tak kuasa menghentikan rasa takutnya, namun akhirnya Jit-jit berdiri. Walau dia
seorang gadis, tidak punya jiwa keperwiraan, namun wataknya suka menang dan
keras kepala, dia juga memiliki hati yang bajik, dia sudah bersumpah demi
kesejahteraan umat persilatan, dia harus membongkar rahasia ini, rahasia yang
menakutkan ini.
Setindak demi setindak dia melangkah ke arah loteng. Pintu masih terbuka lebar.
Tapi keadaan di dalam pintu lebih gelap daripada di luar, dengan ketajaman matanya
tetap sukar melihat keadaan di dalam rumah.
Jantungnya seperti hendak melompat keluar, rasa takut makin menjadi. Tapi sambil
mengertak gigi dia tetap melangkah masuk, tidak menoleh dan tidak berhenti.
Dari tempat dia jatuh terduduk tadi ke pintu loteng jaraknya tidak jauh, namun jarak
sedekat ini terasa betapa jauh dan lama perjalanan ini.
Akhirnya dia berada di pintu, untuk sampai ke situ rasanya dia sudah mengerahkan
seluruh tenaganya, kalau saat itu ada orang menerjang keluar dari balik pintu, sekali
tonjok pasti dapat membunuhnya.
“Blang”, mendadak daun pintu tertutup. Hampir saja Jit-jit menjerit. Padahal angin
yang bikin gara-gara.
Jit-jit menggigit bibir, tangan kiri meraba dada tangan kanan mendorong daun pintu
Perlahan daun pintu terbuka, di dalam tiada orang, juga tak ada reaksi apaapa.
Dengan menabahkan hati dia melangkah masuk. Meski masih ngeri, namun
kaki-tangannya kini sudah penuh tenaga, sekujur badan bersiap siaga, setiap saat dia
siap tempur menghadapi sergapan.
Namun setelah beranjak beberapa langkah, ternyata tiada kejadian apa pun yang
dialaminya. Saking gelap kelima jari tangan sendiri pun tak terlihat, tiada suara apa
pula, hening lelap, kecuali detak jantung sendiri.
Keadaan ini membuat Jit-jit jadi bingung dan heran, kesunyian yang ganjil ini malah
membuatnya terkejut, sukar untuk dimengerti sebenarnya apa yang terjadi?
Perangkap apa yang terpasang di loteng kecil ini? Muslihat apa pula yang
direncanakan musuh? Ke manakah si Kucing? Mati atau hidup? Kenapa penghuni
loteng ini tidak segera menyergap dirinya? Apa pula yang mereka tunggu?
Urusan sudah telanjur sejauh ini, terpaksa Jit-jit mengeraskan kepala dan melangkah
maju lebih lanjut. Dia tahu setelah berada di dalam rumah ingin mundur juga kepalang
tanggung, peduli ada perangkap atau muslihat apa, biarlah pasrah nasib.
Selangkah demi selangkah ia maju terus, telapak tangan sudah basah keringat
dingin, keadaan sekarang boleh diibaratkan seorang buta menunggang kuda lamur
dan tengah malam berada di tepi jurang.
Secara membabi buta dia terjang ke depan, setiap saat bukan mustahil dia akan jatuh
ke dalam perangkap dan mengalami bahaya, kecuali nona bandel ini mungkin tak ada
yang berani.
Tiba-tiba kakinya terasa menginjak sesuatu yang empuk, rasanya seperti kaki orang,
waktu tubuhnya tersungkur ke depan, kembali ia membentur sesuatu yang lunak.
Benda itu bukan saja basah juga lunak, terendus pula bau khas orang yang kasar,
itulah bau arak dan bau keringat, bercampur dengan bau sepatu yang bacin.
Saking kaget Jit-jit melompat mundur, bentaknya, “Siapa?”
Keadaan tetap hening, tiada reaksi apa-apa, tapi mendadak berkumandang gelak
tertawa orang.
Dengan suara serak Jit-jit berteriak, “Siapa kau sebenarnya? Kau ....”
Belum habis dia bicara, sinar lampu mendadak menyala di empat penjuru hingga
keadaan ruangan itu terang benderang.
Sudah sekian lama dalam kegelapan, mendadak melihat sinar lampu, tentu mata
Jit-jit terasa silau, cepat ia pejamkan mata sambil menyurut mundur.
Mendadak punggungnya menumbuk benda lunak pula, seperti badan laki-laki, saking
kaget dia menerjang maju lagi. Tak tersangka sepasang tangan segera menangkap
pundaknya.
Dia ingin meronta, namun didengarnya seorang laki-laki bicara perlahan di
sampingnya, “Berdiri yang tegak, jangan terjatuh.”
Suara yang sudah amat dikenalnya, seperti suara Sim Long. Saking kaget segera dia
membuka mata.
Mendingan kalau dia tidak membuka mata, seketika dia terbelalak tertegun, mulut
ternganga, sepatah kata pun tak mampu bicara.
Di bawah sinar lampu yang benderang, meja kursi di dalam rumah lengkap dan rapi,
mana ada bekas orang bertarung sengit? Seorang berduduk menghadap pintu sambil
tertawa lebar, siapa lagi kalau bukan Ong Ling-hoa.
Di tempat ini mendadak melihat Ong Ling-hoa, hal ini sudah cukup membuatnya
kaget, ternyata seorang yang duduk di sebelah Ong Ling-hoa dengan tersenyum
adalah Sim Long. Bahwa mendadak dia melihat Sim Long di sini masih bisa
dimaklumi, tapi mimpi pun dia tidak percaya bahwa seorang lagi yang duduk santai di
sebelah Sim Long ternyata bukan lain adalah si Kucing yang mabuk dan mengoceh
tak keruan hingga membuatnya takut dan menangis tadi.
Melihat ketiga orang ini sekaligus berkumpul di sini, meski cukup mengejutkan, tapi
yang lebih mengejutkan lagi setelah dia melihat seorang lain yang duduk di sebelah
si Kucing.
Tulang pipi orang ini menonjol, sorot matanya tajam berkilat, mulutnya lebar, dia
inilah Thi Hoat-ho yang sudah sekian lamanya hilang tak keruan parannya itu.
Keempat orang ini sekaligus berada di sini, padahal semula keempat orang ini adalah
lawan dan bukan kawan, tapi sekarang mereka duduk bersama di sini, mengawasi
dirinya dengan senyum geli, satu sama lain seperti tiada permusuhan.
Sebetulnya apa yang terjadi Jit-jit tidak habis mengerti.
Tiba-tiba keempat orang itu berdiri. Ong Ling-hoa bersuara lebih dulu sambil menjura,
“Kagum, sungguh kagum, keberanian Nona Cu memang mengejutkan, sungguh
jantannya kaum wanita, Cayhe betul-betul kagum lahir batin.”
Thi Hoat-ho juga menjura, katanya dengan tertawa, “Demi keselamatan kami, Nona
tak segan menempuh bahaya dan berusaha membongkar peristiwa ini, entah betapa
derita yang kau alami, sungguh Cayhe sangat berterima kasih, seumur hidup takkan
kulupakan.”
Dengan tersenyum Sim Long juga berkata, “Setelah mengalami peristiwa ini, baik
pengalaman maupun keberanianmu telah bertambah tidak sedikit, bila kau
mengalami derita juga setimpal.”
Si Kucing juga tertawa, katanya, “Kalian bilang dia belum tentu berani menerobos
kemari, tapi aku justru bilang dia pasti berani, aku ....”
Mendadak Cu Jit-jit berjingkrak, bentaknya, “Tutup mulut, tutup mulut semua.” Dia
menubruk ke depan Sim Long dan menjambret leher bajunya, teriaknya, “Sebetulnya
apa yang terjadi? Lekas katakan, katakan! Aku hampir gila!”
Si Kucing maju mendekat dan membujuk, “Nona, bicaralah baik-baik, kenapa ....”
“Plak”, belum habis dia bicara mendadak mukanya digampar oleh Jit-jit. Seketika si
Kucing melenggong di tempatnya, tangan mendekap pipi yang pedas dan sakit, tak
tahu apa yang harus diucapkan lagi.
Jit-jit menghadapinya sambil bertolak pinggang, serunya, “Bicara baik-baik, bicara
kentut. Ayo jawab, bukankah kau mabuk, kenapa sekarang mendadak segar bugar,
bukankah tadi kau pura-pura mabuk?”
Si Kucing menyengir, katanya, “Aku ... aku ....”
Mendadak Cu Jit-jit menjerit di dekat kuping orang, “Kau tipu aku, kenapa kau tipu
aku?”
Hampir pecah genderang telinga si Kucing, dia melompat mundur, serunya tergegap,
“Ini ... ini ....”
Si Kucing biasanya pandai bicara, sekarang gelagapan, si Kucing sekarang hanya
melirik Ong Ling-hoa dan mohon belas kasihan.
Ong Ling-hoa berdehem, katanya, “Urusan ini memang banyak liku-likunya, cuma
....”
Sim Long menukas, “Cuma kami tiada bermaksud jahat terhadapmu.”
“Tidak bermaksud jahat apa, masih berani kau bilang tak bermaksud jahat,” damprat
Jit-jit. “Coba jawab pertanyaanku, kenapa dia menipuku? Kenapa kau pun menipu
aku? Kalian laki-laki setan ini kenapa dusta padaku?”
Dia berteriak dengan suara setengah tersendat.
“Rahasia urusan ini mestinya hendak kami jelaskan kepadamu ....”
“Lantas kenapa tidak kalian jelaskan?” Jit-jit meraung.
Sim Long menghela napas, katanya, “Kau bicara seperti ini, cara bagaimana kami
dapat menjelaskan kepadamu.”
Jit-jit berjingkrak pula, serunya, “Seperti ini apa? Berani kau salahkan diriku, kalian
menipuku, memangnya begitu masuk kemari aku harus berlutut dan minta maaf
kepada kalian?”
Ong Ling-hoa tertawa, “Tapi Nona harus dengarkan dulu penjelasanku baru boleh
marah lagi.”
“Ya, seharusnya begitu,” timbrung Sim Long, “Nah, duduklah, dengarkan penjelasan
kami.”
“Aku justru tak mau duduk, kau mau apa?” bantah Jit-jit, dia mundur beberapa
langkah dan menarik sebuah kursi, lalu duduk. Entah kenapa, setiap saran Sim Long,
meski lahirnya dia membantah, tapi selalu diturutinya, perkataan Sim Long seperti
mengandung tenaga gaib, terpaksa dia harus tunduk dan menurut.
Sim Long menghela napas lega, katanya, “Baiklah. Urusan ini amat panjang untuk
diceritakan, silakan Ong-heng saja yang bicara dari permulaan.”
Ong Ling-hoa juga menghela napas lega, tuturnya, “Soal ini memang ruwet dan
berliku-liku, aku sendiri bingung, entah harus mulai dari mana?”
Hampir saja Jit-jit berjingkrak pula, teriaknya, “Kalau tidak tahu mulai bicara dari
mana, apa tak jadi bercerita?”
“Ah, sudah tentu harus kuceritakan, tapi ....”
“Tapi apa?” mendelik Jit-jit.
“Karena tidak tahu caranya mulai bicara, maka lebih baik Nona saja yang mengajukan
pertanyaan, apa saja boleh tanya dan pasti kujawab tanpa rahasia.”
“Baik, biar aku tanya,” ujar Jit-jit, namun dia lantas melenggong, kejadian yang
dialami memang berbelit-belit dan sukar dimengerti, hakikatnya dia sendiri juga
bingung soal apa yang perlu diungkap lebih dulu. Ia menunduk, lalu angkat kepala
pula, benaknya bekerja, biji matanya berputar, mendadak dilihatnya di atas dinding
depan tergantung sebuah lukisan raksasa.
Entah sebab apa, sorot matanya segera tertarik pada lukisan besar itu hingga gejolak
perasaannya seketika terhenti.
Itulah sebuah lukisan cat air, melukiskan keadaan tengah malam.
Di bawah cahaya rembulan yang sunyi sebuah jalan kecil yang berliku-liku menjurus
dari pojok kiri bawah terus menuju ke tengah lukisan dan lenyap di balik keremangan
malam, seperti ingin melukiskan perasaan “tak tahu datang dari mana dan tak tahu
pergi ke mana”.
Kedua tepi jalan kecil itu dipagari tebing curam, pepohonan tumbuh subur memenuhi
lereng gunung, bagian bawah adalah tanah dan batu padas berwarna cokelat kelabu.
Di belakang batu padas, sebelah kanan menjorok keluar pagar tembok warna merah,
di atas tembok kelihatan payon rumah yang bentuknya seperti kuil kuno dan
perkampungan misterius di pegunungan sunyi.
Di balik tebing kanan menongol setengah badan bayangan orang, rambutnya hitam
panjang, bola matanya jeli bening, itulah lukisan seorang gadis rupawan, seperti
sedang sembunyi, tapi juga seperti sedang mengintip.
Di bawah payon juga ada seorang perempuan, sama cantiknya, masih muda pula,
tubuhnya setengah berputar, seperti hendak melangkah keluar, juga seperti mau
masuk ke dalam.
Perempuan ketiga berdiri di jalan berliku itu, kepalanya miring hingga cuma sebagian
wajahnya saja kelihatan, seperti ingin menoleh dengan lirikannya, seperti juga hendak
menghindari tatapan perempuan di bawah payon itu.
Tiga perempuan dalam lukisan sama-sama cantik jelita, namun alis lentik mereka
tampak terkerut seperti dirundung persoalan yang merisaukan hati mereka, seperti
duka, tapi juga mirip dendam. Seperti lagi menghindar tapi juga seperti menantikan.
Apakah yang mereka nantikan? Kedatangan siapa yang mereka harapkan? Atau
menantikan sesuatu yang bakal terjadi?
Meski sebuah lukisan mati, namun apa yang terlukis itu justru serupa hidup.
Tiga perempuan yang terlukis dalam gambar itu menampilkan watak masingmasing
yang menonjol, setiap orang seperti siap melakukan sesuatu atau sedang melakukan
sesuatu yang khas.
Orang yang melihat lukisan ini memang tak tahu apa yang hendak dilakukan ketiga
perempuan itu, namun bila menatap lukisan ini sekian lamanya, dari relung hati akan
timbul semacam perasaan ngeri, seolah-olah apa yang akan dilakukan mereka
adalah peristiwa yang membuat orang bergidik.
Diterangi cahaya rembulan yang remang-remang sehingga lukisan itu bertambah
gaib dan misterius, seperti ada sesuatu yang akan terjadi, namun belum terjadi.
Lukisan yang sederhana dengan goresan biasa, namun hidup dan indah, sekaligus
menggambarkan berbagai makna dan perasaan yang berbeda-beda. Jelas
membuktikan pelukis ini punya perasaan yang kuat yang tertuang ke dalam
lukisannya ini, keadaan lukisan ini seolah-olah menggambarkan pengalaman
hidupnya sendiri.
Hanya pengalaman nyata saja dapat melimpahkan perasaan yang kuat dan menonjol,
dan perasaan yang paling kuat dalam hati manusia adalah cinta dan benci.
Tapi yang menarik perhatian Cu Jit-jit sekarang bukan perasaan cinta dan benci yang
meliputi lukisan itu melainkan tokoh dalam lukisan. Kini dia sedang menatap
perempuan yang berdiri di tengah jalan dalam lukisan itu, sorot matanya menampilkan
rasa kaget dan takut.
Walau hanya kelihatan sebagian wajahnya, namun Jit-jit segera dapat mengenali
perempuan dalam gambar itu bukan lain adalah perempuan setengah baya yang
cantik tapi berhati keji di atas loteng itu.
Akhirnya Jit-jit berkata, “Baik, aku ingin tanya, siapakah orang ini?”
“Guruku ....” jawab Ong Ling-hoa.
“Bohong,” bentak Jit-jit, “jelas kudengar kau panggil ibu padanya.”
Ong Ling-hoa tertawa, katanya, “Karena guruku teramat sayang kepada anaknya,
sejak kecil anaknya hilang tak keruan parannya, maka aku dipungut menjadi
muridnya, beliau anggap aku sebagai putra sendiri, dengan sendirinya aku
memanggilnya ibu.”
“Oo,” Jit-jit bersuara dalam mulut, agaknya dia menerima penjelasan ini, tapi kejap
lain dia bertanya pula dengan suara bengis, “Kalau begitu jadi kau mengakui aku
pernah melihatnya di sini.”
“Tidak salah,” sahut Ong Ling-hoa dengan tertawa sambil mengangguk.
“Jadi Can Ing-siong, Pui Jian-li, dan lain-lain juga betul digusur kemari dan disekap
dalam penjara bawah tanah. Kau pun pernah mengurung aku dalam kamar di bawah
loteng ini, kau bebaskan aku, dan aku pun betul-betul lari keluar dari toko peti mati
itu?”
“Betul, betul,” sahut Ong Ling-hoa tertawa.
Makin beringas sikap Jit-jit, pertanyaannya pun makin mendesak, namun semua
diakui oleh Ong Ling-hoa, malah sikapnya tenang, wajahnya selalu mengulum
senyum.
Tak tahan Jit-jit berjingkrak pula, serunya gusar, “Bagus! Sekarang kau baru
mengaku terus terang, kenapa waktu itu kau mungkir, celakanya orang sama anggap
aku ini membual, mengira aku ini orang gila.”
Dengan tertawa Ong Ling-hoa menjelaskannya, “Soalnya waktu itu aku belum tahu
Sim-heng kawan atau lawan? Sudah tentu aku menyangkal segala tuduhanmu, tapi
sekarang ....”
“Sekarang kenapa, memangnya sekarang Sim Long sudah sehaluan dengan kau?”
“Ya, sekarang kutahu, Sim Long dan Cayhe sehaluan menghadapi satu musuh yang
sama, maka terhadap persoalan apa pun sekarang tidak perlu kututupi lagi.”
Bergetar badan Cu Jit-jit, saking kaget dia menjublek.
Dengan mata kepala sendiri Jit-jit saksikan Ong Ling-hoa bersama ibunya melakukan
berbagai perbuatan aneh dan rahasia, setiap urusan pasti mencelakai jiwa orang,
malah menyangkut keamanan kaum persilatan umumnya, sungguh dia tidak percaya
Sim Long mau berdiri di pihak mereka, mimpi pun dia tidak percaya Sim Long yang
berjiwa pendekar sudi melakukan hal demikian.
Maka dia lantas berteriak, “Sim Long, lekas katakan, betulkah apa yang dikatakan?”
Sim Long tersenyum, sahutnya perlahan, “Apa yang diuraikan Ong-heng memang
betul.”
Jit-jit terkesiap pula, teriaknya serak, “Aku tidak percaya ... aku tidak percaya!”
Segera dia memburu ke depan Sim Long, dengan air mata berlinang dia berkata,
“Aku tak percaya kau sekomplotan dengan mereka, aku tak percaya kau ikut dalam
komplotan mereka yang kotor dan jahat.”
Sim Long menggeleng kepala, katanya sambil menghela napas, “Kau keliru....”
“Bluk”, Jit-jit jatuh terduduk di lantai, dengan mendongak dia mengawasi Sim Long,
sorot matanya menunjukkan rasa kaget dan gusar, curiga, tapi juga berduka,
ratapnya, “Masa ... masa kau pun serendah itu?”
“Kau lebih keliru lagi,” ucap Sim Long.
Dengan tangan memukul lantai Jit-jit meratap terlebih keras, “Sebetulnya apakah
yang terjadi? Apa yang terjadi? Aku tidak tahu ... aku tidak paham ... aku semakin
bingung.”
“Biar kujelaskan,” ucap Sim Long, “terhadap segala persoalan, jangan dinilai dari
luarnya saja, padahal penilaianmu hanya dari luar persoalan ini, maka bukan saja
tidak paham, kau pun salah paham.”
Rambut Jit-jit semrawut, wajahnya basah air mata, “Salah paham ....” serunya sambil
mendongak.
“Betul, salah paham,” sahut Sim Long, “Ong-kongcu juga bukan iblis jahat seperti apa
yang kau bayangkan, demikian pula sepak terjang Ong-lohujin juga tidak seperti yang
apa kalian sangka ....”
“Tapi kejadian itu semua kusaksikan sendiri,” tukas Jit-jit sengit.
Sim Long menghela napas, katanya, “Apa yang kau saksikan memang betul.
Thi-tayhiap, Pui-tayhiap, dan Can-piauthau serta yang lain memang ditolong keluar
dari makam kuno itu oleh Ong-lohujin. Sebelumnya beliau sudah menyusup ke dalam
kuburan itu, pada waktu kau dan aku bermain petak dengan Kim Put-hoan dan Ji
Yok-gi, sementara itu dia orang tua sudah menolong Canpiauthau dan lain-lain keluar
dari situ dan menyuruh orang membawanya kemari, tujuannya boleh dikatakan baik
dan tak bermaksud jahat.”
“Kalau tidak bermaksud jahat, kenapa tingkah lakunya serbamisterius, malah
membius kesadaran mereka, lalu menyuruh gadis-gadis berbaju putih itu
menggiringnya kemari? Jika betul dia berjiwa pendekar, setelah berhasil ditolong
keluar, sepantasnya segera dibebaskan dan suruh mereka pulang.”
“Soalnya Ong-lohujin tahu yang menjadi biang keladi intrik jahat ini adalah seorang
iblis laknat yang amat kejam, baik kungfu maupun akal muslihatnya tak mampu
dilawan oleh Can-piauthau dan lain-lain, bila waktu itu juga mereka dibebaskan,
orang-orang itu bukan mustahil akan jatuh lagi ke tangan iblis laknat itu, betul tidak?”
Jit-jit mendengus tanpa menjawab.
Lebih lanjut Sim Long berkata, “Menolong orang harus sampai tuntas, terpaksa beliau
menahan mereka sementara di sini, melindungi jiwa mereka, hanya di tempat ini saja
mereka akan selamat dari gangguan tangan jahat musuh.”
“Umpama betul demikian, tidak pantas dia menggiring mereka ke sini seperti hewan.”
“Kalau dia pakai cara biasa mengantar mereka kemari, dalam jarak seratus li pasti
konangan orang, jika iblis laknat itu mencegat di tengah jalan, bukankah usahanya
akan sia-sia belaka?”
Lama Jit-jit mencerna penjelasan Sim Long, akhirnya dia mendengus lagi sebagai
jawaban, namun masih uring-uringan.
“Apalagi keadaan waktu itu amat mendesak, hakikatnya Ong-lohujin tidak sempat
memberi penjelasan seluk-beluk persoalan ini, umpama dijelaskan juga belum tentu
mereka mau mendengar nasihatnya, demi keselamatan mereka di sepanjang
perjalanan, juga untuk memburu waktu, terpaksa digunakan cara luar biasa dan
menggiring mereka ke sini. Hal ini harus dimaklumi karena keadaan yang cukup
gawat itu, lawan yang harus dihadapi juga luar biasa, maka beliau menggunakan cara
yang luar biasa pula .... Justru karena caranya yang luar biasa itulah sehingga
menimbulkan salah paham.”
“Tapi ... tapi ... aku ikut kemari, kenapa dia memperlakukan diriku begitu rupa?” omel
Jit-jit.
Sim Long tersenyum, katanya, “Waktu itu beliau tidak tahu siapa kau? Kan pantas
kau dicurigai sebagai kaki tangan iblis laknat itu? Adalah logis kalau beliau bersikap
demikian kepadamu.”
“Tapi ... tapi ....” tapi bagaimana Cu Jit-jit tidak dapat menjelaskan. Walau dirasakan
penjelasan Sim Long agak dipaksakan, namun kedengarannya juga masuk akal,
hingga sukar menemukan lubang kelemahan penjelasannya itu.
Agak lama kemudian baru dia berkata pula, “Kau tahu sejelas ini, cara ... cara
bagaimana kau bisa tahu sejelas ini?”
“Sudah tentu Ong-heng yang menjelaskan persoalan ini kepadaku,” sahut Sim Long.
“Dia yang menjelaskan kepadamu? Mana mungkin dia memberitahukan kepadamu?
Kenapa tidak dijelaskannya kepadaku?”
“Wah, ini ....” Sim Long jadi gelagapan.
Ong Ling-hoa segera menyambung, “Soalnya hingga malam kemarin baru terpaksa
kuberi penjelasan kepada Sim-heng.”
“Malam kemarin?” teriak Jit-jit, “kenapa baru malam kemarin terpaksa kau jelaskan
kepadanya?”
Ong Ling-hoa tertawa, “Karena banyak persoalan meski dapat kukelabui Nona, tapi
tak bisa mengelabui Sim-heng, jadi daripada dikatakan kujelaskan kepada Sim-heng,
lebih tepat adalah karena Sim-heng sendiri yang telah membongkar persoalannya.”
“Tidak paham, aku tidak mengerti,” teriak Jit-jit.
“Sejak Nona membawa Sim-heng ke toko peti mati itu, Sim-heng telah menemukan
banyak kejadian ganjil, namun Nona sendiri malah tidak menyadarinya.”
Jit-jit menoleh ke arah Sim Long, katanya, “Keganjilan apa yang kau temukan,
kenapa aku tidak melihatnya?”
Sim Long tersenyum, katanya, “Padahal kejadian itu amat mencolok, siapa pun asal
sedikit memerhatikan pasti akan melihat keganjilannya, sayang saat itu hatimu
gundah dan pikiran tidak tenang ....”
“Memangnya ada keganjilan apa? Lekas katakan.”
“Apakah kau lihat merek toko yang tergantung di atas pintu dan papan syair di
kanan-kiri pintu ....”
“Memangnya aku buta, sudah tentu melihatnya, itulah papan merek yang dicat hitam
yang sudah luntur, hurufnya berbunyi ....”
“Tulisan apa tidak perlu dibaca.”
“Dibaca atau tidak sama saja. Pendek kata, bukan saja aku melihat jelas, juga masih
ingat betul, sudah kuperhatikan, papan merek itu tidak ada keganjilan apaapa?”
“Tapi apakah kau perhatikan papan syair panjang di kanan-kiri pintu itu? Papannya
sudah lapuk, catnya juga sudah ngelotok, umurnya sedikitnya sudah hampir sepuluh
tahun.”
“Tokonya sudah tua, adalah jamak kalau papan mereknya juga sudah lapuk, apanya
yang ganjil?”
“Anehnya, toko yang sudah tua, juga papan mereknya, demikian pula meja kursi dan
alat perabot lain dalam toko juga serbalama, hanya meja kasir yang tinggi tertutup
itulah kelihatan baru dipindah ke sana, bukan saja catnya belum kering, malah dibuat
secara kasar, jika dibandingkan papan merek dan meja kursi dalam toko jelas amat
mencolok perbedaannya.”
Jit-jit melengak, katanya, “Ya ... hal ini tidak kuperhatikan, tapi ....” ia merandek
sejenak, lalu berteriak, “Tapi apa pula sangkut pautnya?”
“Di situlah letak persoalannya, kalau hari itu sudah kau lihat adanya meja kasir besar
itu, kenapa meja kasir yang sekarang justru ditaruh di sana secara tergesa-gesa dan
baru lagi?”
Jit-jit melenggong pula, katanya kemudian, “Iya ... kenapa?”
“Masih ada, setiap toko peti mati mana pun, di dalam toko pasti ada bau khusus yang
tidak ada di tempat lain, Ong-som-ki adalah toko tua, seharusnya bau khusus itu
cukup tebal.”
“Ya, bau peti mati memang tidak enak rasanya, bau itu ... bukan bau kayu melulu, tapi
seram, bau apak seperti bau orang mati.”
“Itu betul, tapi waktu aku berada di Ong-som-ki tempo hari, bau yang kurasakan tidak
seperti bau orang mati, sebaliknya bau sejenis lilin wangi.”
Jit-jit menepuk paha, serunya, “Iya ... dan kenapa begitu?”
“Masih ada lagi, toko peti mana pun, yang selalu diperhatikan dan dihindari adalah
api, sebab seluruh isi toko adalah bahan yang mudah terbakar.”
Jit-jit mendengarkan dengan terkesima, tanpa terasa ia hanya mengiakan saja.
“Tapi di toko Ong-som-ki hari itu, pekarangan di belakang yang membuat peti mati,
kutemukan banyak permukaan dinding dan sudut tembok hitam hangus oleh asap
api,” dengan tersenyum Sim Long meneruskan, “pada saat kalian tidak memerhatikan,
perlahan aku meraba dinding, jari tanganku lantas hitam berminyak, dari sini terbukti
bukan saja tempat itu sudah sering tersembur asap api, malah dalam beberapa hari ini
juga masih disembur asap ....”
Tak tahan Jit-jit bertanya, “Aku kurang paham penjelasanmu ini, coba uraikan terlebih
jelas.”
“Kau tahu, untuk membuat hangus dinding putih diperlukan waktu yang cukup
panjang.”
“Betul, waktu kecil pernah kucuri makanan dapur, dinding di dapur seluruhnya
terbakar hangus, dinding dapur itu sedikitnya sudah puluhan tahun terkena asap.”
Sim Long tertawa, “Tapi waktu aku merabanya, hangus berminyak yang mengotori jari
tanganku ternyata masih baru, ini membuktikan bahwa selama bertahun-tahun,
tempat itu selalu disembur asap api ....”
“Ya, paham aku sekarang ....” mendadak Jit-jit berkedip dan berkata pula, “Tapi aku
juga tidak mengerti, apa pula sangkut pautnya dengan persoalan ini?”
“Ada dua hal penting menyangkut persoalan ini.”
“Orang mampus, lekas katakan!”
“Pertama, tempat pembuat peti mati pantasnya menyingkiri api dan asap, tapi dinding
sekitar tempat pembuatan peti mati justru hangus oleh semburan asap, bukankah
janggal?”
“Betul, memang aneh ...dan yang kedua?”
“Kedua, setelah berani kupastikan tempat itu sering kena asap, namun tak kulihat di
sana ada sepotong lilin pun, bukankah hal ini pun janggal?”
Jit-jit berpikir sekian lama, katanya, “Iya, kenapa begitu?”
Sim Long tertawa, “Waktu itu dalam hatiku sudah mulai coba meraba hal ini, namun
belum dapat dibuktikan, maka tak berani kupastikan, setelah keluar dari toko itu baru
dapat kupastikan seluruhnya.”
Jit-jit heran, katanya, “Setelah keluar dari toko lantas kau yakin dugaanmu betul?
Berdasar apa kau berani memastikan kebenaran dugaanmu?”
“Kulihat sebelah toko peti mati itu adalah toko lilin dan hio serta pelengkap
sembahyang.”
Jit-jit makin heran, “Toko lilin dibuka di sebelah toko peti mati, tiada bedanya
pegadaian dibuka di sebelah rumah judi, kukira ini sangat umum, berdasarkan hal ini
lantas kau yakin kebenaranmu?”
“Aku yakin beberapa hari yang lalu toko peti mati itu sebetulnya adalah toko lilin, toko
lilin sebelah itu sebetulnya adalah toko peti mati, jadi dalam jangka waktu dua-tiga
hari kedua toko itu telah saling tukar tempat.”
“Tukar tempat ....”
“Ya, tukar tempat, di pekarangan belakang toko peti mati semula adalah tempat
pembuatan lilin adalah logis kalau dindingnya menjadi hitam oleh hangus ....” melihat
Jit-jit masih bingung, maka Sim Long melanjutkan, “Karena mereka tukar tempat
secara tergesa-gesa, segala benda apa pun yang bisa bergerak cepat dipindah, tapi
meja kasir besar yang terpendam di lantai tak mungkin dipindah, maka toko peti mati
itu harus membuat ruang kasir yang serupa dengan semula ... meja kasir yang dibuat
secara tergesa-gesa dengan sendirinya kasar dan jelek, betul tidak?”
“Betul, betul ... betul!” dua kata “betul” yang diucap duluan sebenarnya masih
dirundung rasa bingung, namun pada ucapan “betul” yang ketiga, mendadak Jitjit
melonjak bangun. Tampak wajahnya berseri girang dan haru, teriaknya, “Ya, aku
tahu ... aku paham ....”
“Nah, coba sekarang kau uraikan, apa saja yang kau ketahui?” tanya Sim Long.
“Toko peti mati yang semula ada lorong bawah tanah, namun toko lilin yang semula
tidak ada, Ong Ling-hoa sudah memperhitungkan aku pasti akan kembali ke toko peti
mati dan mencari lorong gelap itu, maka dia tukar tempat kedua toko itu, waktu aku
datang lagi, sudah tentu tidak menemukan apa-apa.”
“Bagus, akhirnya kau paham juga,” kata Sim Long.
“Bentuk bangunan deretan toko sepanjang jalan itu sama, jelas seluruhnya milik
keluarga Ong Ling-hoa, kalau sang pemilik sendiri ingin pindah ke sana-sini, sudah
tentu tinggal memberi perintah saja,” demikian kata Jit-jit pula.
Ong Ling-hoa tertawa, “Tidak sederhana seperti apa yang kau kira, mereka juga
bekerja berat.”
Jit-jit tidak menghiraukan ucapannya, katanya pula, “Kedua toko saling tukar tempat,
penduduk sekitarnya dan para langganan sudah tentu merasa heran, tapi aku sendiri
tidak paham seluk-beluk keadaan setempat, dengan sendirinya tidak memerhatikan
hal-hal itu.”
Sim Long tertawa, “Justru di situlah kepintaran Ong-heng mengatur tipu dayanya, dia
memperalat titik kelemahan sifat manusia, terhadap sesuatu yang mudah dan sering
terlihat, biasanya orang tidak menaruh perhatian.”
Ong Ling-hoa tertawa, katanya, “Akalku itu memang bagus, namun tak bisa
mengelabui Sim-heng .... Sungguh tak kuduga bahwa daya pengamatan Simheng
teramat tajam, soal-soal sekecil itu pun tak lepas dari pengamatanmu.”
“Sebenarnya hal-hal itu cukup mencolok mata, cuma orang lain tidak memerhatikan,
kuyakin banyak rahasia di dunia ini sering terbongkar dari sesuatu yang terlihat jelas,
karena itulah cara pengamatanku berbeda daripada orang lain.”
Si Kucing menghela napas, katanya, “Untuk berlatih daya pengamatan setajam
Sim-heng, kurasa bukan pekerjaan yang mudah, padahal manusia sama mempunyai
dua mata, kenapa Sim-heng bisa melihat dan menemukan kelemahan itu, sebaliknya
kita tidak.”
Jilid 13
Jit-jit menukas, “Kedua mata setannya memang jauh lebih lihai dari mata orang lain,”
lalu ia melototi Sim Long, katanya dengan gemas, “Coba katakan, setelah tahu ada
keganjilan itu, kenapa tidak kau beri tahukan padaku, bagaimanapun terbongkarnya
rahasia ini kan juga lantaran diriku.”
Sim Long tertawa, katanya, “Karena kutahu betapa berangasan watakmu, tidak tahan
sabar, bila waktu itu kumat kebandelanmu, bisa jadi seluruh rencanaku akan
berantakan.”
“Baik, kau pandai... kau sabar, kau... kau punya rencana setan apa?” Jit-jit mengomel
panjang-pendek.
Ong Ling-hoa tertawa, ujarnya, “Waktu itu Sim-heng diam-diam saja, maka aku juga
tidak tahu rahasiaku telah diketahui olehnya, tapi setelah malam tiba....”
Dengan tertawa dia mengawasi Si Kucing dan Jit-jit, lalu melanjutkan, “Waktu
bayangan Nona berkelebat di luar jendela kami segera melihatnya, tapi hanya Si
Kucing saja yang mengejar keluar, semula aku juga ingin mengejar, tapi Simheng
menahanku,” lalu dia bergelak tertawa. “Hahaha, maka malam itu juga timbul niatku
untuk mencekok Sim-heng hingga mabuk, takaran minum arakku di Kota Lokyang
belum pernah menemukan tandingan.”
Jit-jit mencibir, katanya, “Caramu membual juga pasti belum ada tandingan.”
Ong Ling-hoa berlagak tidak mendengar, katanya lagi, “Siapa tahu, ingin kucekoki
Sim-heng, ia pun ingin mencekokiku kami terus saling tenggak, entah berapa cawan
sudah kami habiskan, Sim-heng belum mabuk, aku malah merasa pening kepala.”
“Setan arak cilik berhadapan dengan setan arak besar, sudah tentu yang kecil akan
kewalahan,” demikian Jit-jit berolok.
Ong Ling-hoa tertawa, “Aku mendekap meja dan terlena sekejap, waktu aku tersentak
sadar bayangan Sim-heng sudah tidak kelihatan, kutahu mengejar juga takkan
tersusul terpaksa aku mendahului lari ke taman ini.”
“Sim Long,” sela Jit-jit, “bicaralah terus terang, waktu itu kau ke mana?”
Ong Ling-hoa menyela, “Sim-heng memburu ke toko lilin ini di luar tahu siapa pun,
seluruh pegawai toko dia tutuk hiat-tonya, di taman belakang sana dia menemukan
mulut lorong bawah tanah ini.”
Mendadak Cu Jit-jit berteriak, “He, bukankah di mulut lorong itu dijaga seorang
raksasa, Sim Long, masa kau... kau mampu melawannya?”
Meski lahirnya dia memaki Sim Long, tapi batinnya sangat memerhatikan
keselamatan anak muda itu.
Sim Long tertawa, katanya, “Raksasa itu memang memiliki tenaga luar biasa, begitu
aku masuk lorong lantas berhadapan dengan dia, untung lorong itu sempit,
gerak-gerik orang itu lambat dan tidak leluasa, untung lagi dia bisu-tuli, tidak mampu
berteriak minta tolong, kalau tidak, tentu sukar menerobos penjagaannya.”
“Kau... kau membunuhnya?” tanya Jit-jit.
Sim Long menggeleng. “Aku hanya menutuk hiat-tonya.... Ai, kalau diceritakan
memang cukup mengejutkan, seluruhnya kututuk dua belas hiat-to di tubuhnya baru
dia roboh tersungkur.”
Jit-jit menghela napas lega, katanya, “Hm, lebih baik kau mati diremas olehnya
daripada hidup mendustai orang.”
Ong Ling-hoa berkata, “Kecuali penjaga raksasa itu, sepanjang lorong banyak
dipasang alat jebakan, orang biasa jangan harap bisa bergerak leluasa di dalam
lorong itu.”
Setelah menghela napas, ia menambahkan, “Tapi Sim-heng bukan saja dapat lolos
dari perangkap, tiga puluh enam penjaga di dalam lorong itu ada dua puluh satu yang
tertutuk roboh oleh Sim-heng, lima belas orang yang lain ternyata tidak melihat
kehadiran Sim-heng di lorong itu, segala alat perangkap itu dianggap seperti
permainan anak kecil saja oleh Sim-heng.”
“He, Sim Long,” seru Jit-jit tak sabar, “bagaimana sesudah kau keluar dari lorong
bawah tanah itu?”
“Memang banyak perangkap keji dalam lorong itu, setiap langkah menghadapi
bahaya, beruntung aku selamat keluar dari lorong itu, namun jejakku ternyata sudah
ketahuan Ong-lohujin.”
Tanpa terasa Jit-jit menjerit kaget, “Apa yang dia lakukan terhadapmu?”
“Agaknya beliau sudah memperhitungkan bahwa aku pasti akan datang, maka dia
duduk di mulut lorong menungguku, tentu saja aku pun kaget dan mengira bakal
terjadi pertempuran sengit.”
“Jadi baku hantam tidak? Dan siapa yang menang?” tanya Jit-jit.
“Tak tahunya beliau malah bersikap ramah dan tiada maksud bergebrak denganku,
dengan tersenyum dia menyambut dan mempersilakan aku duduk.
Betapa cerdik pandai beliau, besar wibawa dan gayanya yang anggun, sungguh
jarang kulihat selama hidupku.”
Jit-jit mendengus sambil melirik Ong Ling-hoa, syukur tidak tercetus kata makiannya,
namun sorot matanya sudah cukup berbicara.
Ong Ling-hoa lantas bercerita, “Malam itu aku langsung pulang kemari dan kujelaskan
persoalannya kepada ibunda, kubicarakan juga tentang Sim-heng.... Ibu amat tertarik
pada Sim-heng, beruntun dia tanya bentuk, asal-usul dan perguruan Sim-heng,
mendadak ibu turun dari loteng dan duduk di mulut lorong, semula aku heran,
mendadak Sim-heng muncul dari dalam lorong.... Ai, betapa tepat analisis ibu
terhadap segala persoalan, sungguh jarang ada bandingannya.”
Kembali Jit-jit mendengus, katanya kepada Sim Long, “Apa saja yang dia bicarakan
padamu?”
“Beliau menjelaskan seluk-beluk persoalan ini, baru kutahu rencana kerjanya itu
adalah untuk menghadapi Koay-lok-ong. Walau kaki Koay-lok-ong kini belum masuk
Tionggoan, namun orang ini sudah dipandang sebagai bibit bencana oleh kaum
persilatan umumnya, jika usahanya berhasil, maka huru-hara dan bencana bakal
menimpa kaum persilatan, kaum persilatan kita tak bisa lagi hidup tenteram,” setelah
menghela napas Sim Long meneruskan, “Sesudah mendengar penjelasannya, kecuali
mohon maaf akan kecerobohanku yang main terobos, malah kuminta beliau
melanjutkan mengatur siasat menghadapi persoalan ini, meski aku tak berguna,
sedikit banyak juga akan membantu....”
Dengan tertawa Ong Ling-hoa menyambung, “Karena itulah mulai sekarang Simheng
adalah kawan seperjuanganku, kesalahan paham sebelum ini siapa pun jangan
mengungkapnya lagi.”
Tiba-tiba Sim Long tertawa pula, katanya, “Tapi sebelum penjelasan beliau itu telah
terjadi satu peristiwa lucu.”
“Peristiwa lucu apa?” tanya Jit-jit.
“Yaitu kalian berdua....”
“Memangnya kenapa kami berdua?”
Ong Ling-hoa tertawa. “Waktu Nona dan Si Kucing masih berada di luar, jejak kalian
sudah ketahuan, semula ibu hendak berpura-pura tak tahu, akan dibiarkan kalian
berjalan-jalan sesukamu, tapi Sim-heng ingin memberi kejutan kepada kalian agar
kalian mundur teratur, maka ketika di bawah jendela....”
Teringat pada suara yang mereka dengar di bawah jendela, seketika merah muka
Jit-jit, teriaknya, “Sudahlah, jangan diteruskan....” lalu dia menerjang ke depan Sim
Long, teriaknya dengan suara serak, “Jawab pertanyaanku, dalam hal apa aku
berbuat salah padamu, ken... kenapa kau bersikap begitu kepadaku, kenapa tidak
kau biarkan aku kemari, tapi mengapa menakuti aku?”
“Soalnya urusan belum jelas,” jawab Sim Long dengan menyesal. “Kukhawatir
kedatanganmu akan membuat onar dan membikin gusar Ong-lohujin, kau pun bisa
menggagalkan rencana kerja. Kedua....”
Sampai di sini dia melirik Ong Ling-hoa sekejap, lalu bungkam dengan tertawa.
Maka Ong Ling-hoa berkata, “Kedua, waktu itu belum jelas persoalannya, lawan atau
kawan tidak jelas, Sim-heng khawatir kau menempuh bahaya, sedangkan dia tidak
leluasa memberi penjelasan kepadamu di hadapan ibu dan aku, maka terpaksa dia
menggunakan caranya itu, membuatmu kaget dan mundur teratur... betul tidak
Sim-heng?”
“Ya, begitulah,” sahut Sim Long.
“Dari sini dapat disimpulkan bahwa Sim-heng bermaksud baik....”
“Maksud baik apa, persetan.... Yang jelas dia sengaja hendak mempermainkan aku,
supaya aku ketakutan dan mendapat malu, dan dia sendiri senang, demikian juga
kau,” mendadak dia membalik ke arah Si Kucing, “Kau kucing mampus, kucing busuk,
kucing malas, kucing keparat.... Ayo jawab, bukankah kau tahu akan semua urusan
itu?”
Si Kucing menyengir, katanya tergegap, “Aku... aku....”
Dengan tertawa Ong Ling-hoa melanjutkan, “Lewat tengah hari tadi, hal ini memang
sudah kami jelaskan kepada Si Kucing....”
Jit-jit menuding Si Kucing, dampratnya, “Nah, betul tidak? Mereka kan sudah
memberitahukan kepadamu lebih dulu?”
“Rasanya memang demikian,” sahut Si Kucing dengan bersungut.
Beringas Jit-jit, “Jadi kalian saling mencekok arak tadi hanya untuk permainan
belaka?”
“Arak itu memang enak... huk, huk....” Si Kucing terbatuk.
“Hm, jangan pura-pura batuk. Jawab lagi, kau pura-pura mabuk dan membuat onar,
semua itu juga disengaja bukan?”
“Kepalaku memang rada pening, tapi... tapi tidak mabuk betul.”
“Kenapa kau dustai aku sehingga aku malu, jawab, kenapa? Kenapa?” selangkah
demi selangkah Jit-jit mendekati Si Kucing. Selangkah demi selangkah Si Kucing
menyurut mundur. Selesai Jit-jit bicara, Si Kucing sudah mundur mepet dinding,
mendadak dia
melompat dan bersembunyi di belakang Sim Long, serunya sambil menyengir,
“Sim-heng, lekas kau beri penjelasan.” Mendelik Cu Jit-jit, semprotnya, “Penjelasan
apa? Untuk apa penjelasan?” “Dalam hal ini Si Kucing tidak boleh disalahkan,” ujar
Sim Long.
“Bukan salahnya, lalu salah siapa?” seru Jit-jit. Sim Long termenung sejenak,
katanya, “Apakah kau perhatikan sehari ini ada seorang tidak pernah kelihatan.”
“Memangnya kenapa kalau tidak kelihatan, aku tidak.... He, iya, Kim Bu-bong
telah hilang, ke mana dia? Mungkinkah dia... dia....” “Mana mungkin kami bertindak
padanya,” tukas Sim Long, “sejak pagi dia sudah menghilang, kapan dia pergi dan ke
mana, kami juga tidak tahu.”
Jit-jit tertegun sekian lamanya, tiba-tiba dia membanting kaki seraya berteriak,
“Dia pergi atau tidak apa hubungannya dengan kalian menipu diriku?” “Kukhawatir
dia mendadak pulang, atau secara diam-diam mengawasi gerakgerik kita, maka tak
leluasa kujelaskan rahasia persoalan ini.... Ai, walau dia seorang lelaki gagah,
betapa pun dia adalah anak buah Koay-lok-ong.”
“Kau tidak menjelaskan rahasia ini kepadaku, kenapa kau jelaskan kepada kucing
mampus itu?” “Si Kucing pasti takkan membocorkan rahasia ini, sebaliknya kau....”
“Aku kenapa? Memangnya aku perempuan cerewet, perempuan bawel?” “Walau kau
tidak bawel, tapi kau tak bisa menyimpan rahasia, jika Kim Bu-bong mengintip
gerak-gerik kita secara diam-diam, umpama kau tidak membocorkan rahasia ini, dari
tindak tandukmu pasti akan kentara.”
“Bebal, watakku memang tulus lurus, tidak tahan sabar lagi, tidak selicin kalian yang
pandai mengatur muslihat, tapi....” suara Jit-jit menjadi serak, matanya merah, setelah
kucek-kucek mata dia melanjutkan, “Tapi umpama kalian tidak menjelaskan rahasia
ini kepadaku, apakah pantas kalian mempermainkan aku.”
“Soalnya....” mendadak Sim Long berpaling ke arah Si Kucing.
Si Kucing tertawa, katanya, “Soalnya... hatiku lagi riang setelah minum arak, aku
ingin bercanda dengan kau, sebetulnya tak ada maksud jahat apa pun, buat apa kau
marah.”
“Hati riang setelah minum arak? Buat apa marah? Kau... tahukah kau betapa hatiku
gelisah dan khawatir akan keselamatanmu? Tahukah kau dengan mempertaruhkan
jiwa aku menerjang masuk kemari demi menolong dirimu?”
Si Kucing melenggong, tanpa terasa ia menunduk, sungguh ia menyesal, terharu dan
terima kasih, dan entah bagaimana lagi perasaannya.
Jit-jit berkata pula, “Aku tahu kalian adalah orang-orang pintar, kalian bersekongkol
untuk mempermainkan aku si pandir ini, tapi pernahkah kalian pikirkan untuk apa dan
siapa perbuatan si pandir ini, memangnya demi diriku sendiri?”
Sim Long dan Ong Ling-hoa saling pandang dan tak mampu bersuara.
Jit-jit tertawa dingin, katanya pula, “Kalian orang-orang pandai ini, kalian kira
perbuatan demikian tidak menjadi soal, paling-paling hanya menggoda dan bercanda
saja denganku, toh aku tidak akan mati atau cedera, bila kejadian sudah lalu,
semuanya tertawa dan selesai, dari sini terbukti lagi betapa cerdik pandai kalian.”
Dengan mengertak gigi dan menahan air mata Jit-jit meneruskan dengan suara
tersendat, “Tapi kalian tidak pernah berpikir, betapa kalian telah melukai hatiku?”
“Sebetulnya ini....”
“Tutup mulutmu,” bentak Jit-jit menghentikan ucapan Sim Long, “Tak ingin kudengar
obrolanmu, selanjutnya aku tak mau lagi percaya pada kalian, aku... aku... tak mau
lagi melihat tampang kalian.”
Ia menyurut mundur, suaranya tambah serak, “Sekarang, aku akan pergi dan takkan
kembali selamanya, jika di antara kalian berani mengejar atau merintangiku, biar aku
segera mati di hadapan.”
Belum habis bicaranya mendadak dia putar tubuh terus lari tanpa menoleh seperti
kesetanan.
Si Kucing berteriak, “Nona Cu, tunggu!”
Dia melompat maju hendak mengejar, namun Sim Long keburu menahannya.
Keruan Si Kucing gugup, serunya, “Kau... kau tega membiarkan dia pergi?”
Sim Long menghela napas, katanya, “Memangnya mau apa kalau tidak membiarkan
dia pergi? Wataknya berangasan, siapa bisa merintanginya? Apalagi, biasanya dia
berani bilang berani berbuat, kalau kau mengejarnya keluar, mungkin dia betul-betul
bunuh diri di depanmu.”
“Tapi... dengan wataknya itu, seorang diri bukankah bakal menimbulkan bencana?”
Sim Long tersenyum, “Untuk ini jangan kau khawatir, dia tidak akan pergi jauh dari
sini.”
“Tidak jauh? Kenapa?” tanya Si Kucing heran.
“Karena masih banyak persoalan yang mengganjal hatinya, sebelum ditanyakan
sampai jelas, mungkin dia tidak bisa nyenyak tidur, tadi karena emosi dia lupa
mengajukan pertanyaan, tapi bila pikirannya tenang, pasti dia akan balik ke sini untuk
mengajukan pertanyaan lagi,” Ong Ling-hoa menimbrung dengan tertawa. “Betapa
mendalam pengertian Sim-heng terhadap Nona Cu, kuyakin apa yang diucapkan
Sim-heng pasti tidak salah.”
Terpaksa Si Kucing mengangguk, “Tidak salah, ya, semoga tidak salah!”
Dengan nanar dia menatap keluar pintu, dengan harapan semoga Cu Jit-jit lekas
kembali.
Malam makin larut, salju mulai turun pula dengan lebat.
Cu Jit-jit terus berlari dengan cepat, entah berapa lama dia berlari, tahu-tahu di depan
ada tembok tinggi, ternyata tanpa sadar dia berlari ke arah tembok kota. Padahal
pintu kota belum dibuka. Lekas Jit-jit menghentikan langkah, tak kuat dia
mengendalikan tubuhnya lagi, dia jatuh terduduk dan tidak mau bangun lagi, ia
bersandar di kaki tembok kota dan menangis.
Entah berapa lama dia menangis, suaranya mencolok di tengah malam gelap hingga
terdengar sampai jauh, untung penjaga pintu kota sudah terkapar mabuk, kalau tidak
tentu akan memburu kemari memeriksanya.
Tapi biarpun ada orang datang, Jit-jit tidak juga peduli. Segala urusan seperti tak
mau diurus lagi, ia hanya memikirkan rasa penasaran hatinya, ingin melampiaskan
perasaannya dengan menangis.
Jit-jit sudah biasa manja dan disanjung puji di rumah, kini setelah banyak mengalami
pukulan lahir batin, baru diketahui betapa kejamnya dunia ini. Memang inilah dunianya
yang kuat makan yang lemah, orang yang jujur dan baik hati memang ditakdirkan
harus menderita dan menjadi korban.
Angin malam yang dingin dengan cepat menenteramkan gejolak hatinya. Mendadak
teringat olehnya banyak persoalan yang belum sempat dia pikirkan.
Setelah berbicara panjang lebar dengan Sim Long, lalu ke manakah Onglohujin?
Kenapa tadi tidak muncul menemuinya? Apa sebabnya? Thi Hoat-ho berada di
loteng itu, lalu di mana Can Ing-siong dan Pui Jian-li serta yang lain? Apa betul
mereka juga sudah dibebaskan? Kalau sudah dibebaskan, kenapa tidak kelihatan
bayangan mereka?”
Dan lagi, kalau Ong-lohujin pernah pergi ke makam kuno itu, apakah hilangnya
Hwe-hay-ji (Si Anak Merah) ada sangkut pautnya dengan dia? Jika betul ada sangkut
pautnya, ke mana dia membawa bocah itu?
Persoalan ini ingin diketahuinya, terutama nasib adiknya, Si Anak Merah itu, tak
pernah dia melupakan keselamatan adik kandungnya itu. Walau tadi sudah timbul
rasa kecewa dan putus asa akan segala persoalan yang dihadapinya, tapi sekarang
dia baru sadar sementara persoalan tak mungkin diabaikan begitu saja. Cepat dia
berdiri dan putar badan hendak lari ke arah datangnya tadi. Tapi setelah berdiri dia
lantas tertegun, terbayang senyuman sinis Sim Long yang mencemooh dirinya,
seolah-olah mengiang perkataan Sim Long yang menyindir, “Kutahu akhirnya kau
pasti kembali....”
Saat itu Jit-jit sangat benci pada Sim Long, sambil membanting kaki dia mendesis
dengan geram, “Aku justru tak mau berbuat seperti apa yang diduganya, aku tak mau
kembali ke sana....”
Tapi bagaimana kalau dia tidak kembali? Malam makin larut, hujan dan dingin pula,
mau ke mana dia? Bagaimana mungkin ia menyelidiki semua persoalan yang ingin
diketahuinya itu? Tak tahan dia menjatuhkan diri pula di atas salju, air mata
bercucuran lagi.
Mendadak sebuah tangan yang dingin memegang pundak Jit-jit.
Keruan nona itu berjingkat kaget sambil putar badan, teriaknya, “Siapa?”
Di tengah remang malam, di antara bunga salju yang bertebaran, tertampak berdiri
sesosok bayangan orang, rambut panjang terurai semrawut, mukanya dingin kaku,
hanya jubahnya saja yang melambai tertiup angin.
Melihat bayangan ini, Jit-jit menjerit tertahan, “Kim Bu-bong, kiranya kau!”
Kim Bu-bong berdiri kaku seperti mayat dan tidak menjawab, pertanyaan Jit-jit
memang tidak perlu dijawab. Rasa kaget dan heran menyelimuti sanubari Cu Jit-jit,
tak tahan dia bertanya
pula, “Bukankah kau sudah pergi? Kenapa kembali lagi?”
“Di tengah malam gelap dan sepi, kudengar isak tangis yang menusuk telinga, maka
aku datang kemari.” “Kau... ke mana kau pergi semalam?” Kim Bu-bong
menggeleng, tidak menjawab. Jit-jit tahu bila orang tidak mau menjawab, siapa pun
tak dapat memaksanya
menjawab maka ia pun tak banyak bicara lagi. Kim Bu-bong berdiri kaku tak
bergerak dan menunduk mengawasinya. Lekas Jit-jit menunduk juga. Agak lama
kemudian baru Kim Bu-bong bertanya, “Apa yang kau tangisi?” “Tidak apa-apa,”
sahut Jit-jit sambil menggeleng. “Pasti ada urusan yang menyedihkan hatimu,” kata
Bu-bong, meski suaranya
kaku dingin, namun nadanya sedikit banyak mengandung rasa simpatik, manusia
seperti Kim Bu-bong dapat melontarkan pertanyaan seperti ini, sungguh jarang terjadi.
Ternyata pertanyaannya justru menyentuh rasa sedih Cu Jit-jit, tak tahan lagi dia
mendekap muka dan terisak pula. Lama Kim Bu-bong mengawasinya, mendadak
dia menghela napas, “O, anak perempuan yang kasihan....”
Serentak Jit-jit berbalik, teriaknya, “Siapa kasihan? Dalam hal apa aku harus
dikasihani? Justru kau yang kasihan.” “Makin kau tak mengaku, makin besar
kasihanku kepadamu.”
Jit-jit jadi melenggong, tapi mendadak dia terkial-kial, “Hahaha, dalam hal apa aku
kasihan... aku punya duit, aku cantik, aku masih muda, aku pandai menulis, pintar
kungfu, yang bilang aku kasihan pasti orang gila.”
“Lahirnya kau kelihatan gembira dan bahagia, padahal dalam hatimu menderita,
lahirnya kau memiliki segala apa yang kau inginkan, namun kau tidak dapat
memperoleh apa yang kau harap.”
Kembali Jit-jit melenggong, lalu menggeleng kepala, teriaknya, “Tidak, salah, seribu
kali salah.”
Kim Bu-bong mengawasinya lekat-lekat, “Lahirnya kau keras, padahal hatimu lembut,
lahirnya kau bersikap kasar dan galak kepada orang, padahal kau seorang nona baik
hati terhadap siapa pun. Hanya sayang... jarang ada manusia di dunia ini yang bisa
menyelami jiwamu, dan kau... anak perempuan yang kasihan, kau justru suka
melakukan hal-hal yang membuang tenaga dan hasilnya bertolak belakang.”
Dengan tercengang Cu Jit-jit mengawasinya, tanpa terasa dia terkesima. Sungguh tak
pernah terpikir olehnya bahwa masih ada orang yang bersimpati kepadanya dan mau
menyelami perasaannya.... Akan tetapi orang yang bisa menyelami jiwa dan simpati
kepadanya ini justru manusia yang dingin kaku ini.
Sungguh tak terpikir olehnya setelah Sim Long, Si Kucing, dan lain-lain bersikap
kejam padanya, sekarang laki-laki yang kaku dingin dan pendiam ini justru memberi
kehangatan kepadanya. Waktu dia angkat kepala, terasa orang aneh yang dingin
jelek ini sebetulnya tidak sejelek seperti apa yang pernah dipikirnya, di balik tampang
yang busuk orang ini memiliki hati yang mulia dan bajik.
Terasa sorot matanya yang tajam ternyata mengandung pengertian yang mendalam
terhadap sesama umat manusia. Dalam sedetik ini terasa oleh Jit-jit hanya orang yang
berdiri di depannya inilah lelaki sejati satu-satunya yang pernah dilihatnya.
Entah kenapa darahnya lantas bergolak, mendadak ia menubruk dan memeluk
pundak Kim Bu-bong yang keras bagai baja, katanya dengan serak, “Orang lain tiada
yang memahami penderitaanku, hanya engkau saja yang bisa menyelami jiwaku.”
Memang beginilah watak Cu Jit-jit, ingin berbuat apa segera dilakukannya, keruan
perbuatannya membuat Kim Bu-bong melongo kaget. Terasa air mata Jitjit menetes
juga meresap ke dalam bajunya yang tipis.
Lama dan lama sekali baru Kim Bu-bong menarik napas, katanya, “Selama hidupku
sebetulnya tidak ingin diriku dipahami orang lain, aku senang karena tiada orang mau
mengerti akan keadaanku, tapi sekarang... ai, seorang anak perempuan memang
mendambakan pengertian orang lain.”
Perlahan Jit-jit melepaskan pelukan dan mundur, dengan nanar dia mengawasinya, air
mata masih berlinang, tapi mendadak dia tertawa, “Dulu memang tiada orang
memahami diriku, tapi sejak kini, ada engkau yang dekat di dampingku, walau tiada
orang lain mau memahami diriku, namun aku cukup puas karena engkau mau
mengerti akan diriku.”
Kim Bu-bong melengos, tak berani beradu pandang dengan si nona, gumamnya,
“Apa betul kau bisa menyelami diriku?”
“Ya pasti dapat,” lalu ditariknya tangan Kim Bu-bong dan diajak lari ke pintu kota,
meski pintu kota masih tertutup, tapi di bawah pintu mereka bisa berteduh dari
hamburan bunga salju. Dia tarik tangan Kim Bu-bong dan diajak berduduk bersandar
pintu, katanya, “Sejak kini aku kan memahami dirimu sepenuhnya, aku ingin tahu
seluk-belukmu, sekarang juga ingin tahu riwayat hidupmu masa lalu... sudikah engkau
menceritakan perihal dirimu kepadaku?”
Kim Bu-bong menatap jauh ke sana, menghela napas sambil gelang kepala.
“Katakan, ceritakanlah! Kalau tidak kau ceritakan aku akan marah lho.”
Mendadak sorot mata Kim Bu-bong gemerdep setajam ujung golok, berkilau
menakutkan.
Tapi Jit-jit tidak kenal takut, juga tidak kenal menyingkir, ia malah mendesak,
“Katakanlah, katakanlah!”
“Betul, kau ingin tahu?” Kim Bu-bong menegas.
“Sudah tentu betul, kalau tidak buat apa kutanya.”
“Selama hidupku, yang paling kubenci adalah perempuan, setiap kali bertemu dengan
gadis cantik, tanpa menghiraukan segala akibatnya aku terus membelejeti pakaiannya
dan memerkosanya. Semakin mereka takut padaku, makin besar hasratku ingin
memerkosa dia, sejak berumur lima belas sampai sekarang entah sudah berapa
banyak gadis yang telah kuperkosa.”
Tanpa terasa menggigil tubuh Cu Jit-jit, seketika dia mengkeret mundur.
Kim Bu-bong menyeringai, katanya pula, “Walau biasanya aku bersikap alim,
pendiam, tapi di tengah malam dingin begini, tiada orang lain di sekitar sini, bila
bertemu dengan seorang perempuan maka aku akan menerkamnya dan
mempermainkannya sampai puas....”
Ngeri Jit-jit, dengan menggigil takut kembali dia menyurut mundur. Tapi di
belakangnya ada tembok, mundur juga tidak bisa lagi.
Tambah menakutkan Kim Bu-bong menyeringai, katanya, “Bukankah kau sendiri
yang ingin tahu kisah hidupku? Kenapa setelah kuceritakan kau jadi takut?.... Apa
sekarang kau ingin lari? Haha... hahaha....” mendadak dia mendongak dan
terbahak-bahak.
Mendadak Cu Jit-jit membusungkan dada sambil mendesak maju, teriaknya, “Kenapa
aku takut? Kenapa aku perlu lari?”
Kim Bu-bong tertegun malah, dia berhenti tertawa, tanyanya, “Kau tidak takut?”
“Biarpun dulu kau pernah berbuat jahat seperti apa yang kau ceritakan, hal itu
disebabkan perempuan itu takut melihat tampangmu, mereka hanya melihat luar
saja, mereka tidak melihat di balik tampangmu yang jelek ada sebuah hati yang bajik,
mereka takut dan menyingkir bila melihat kau, tentu saja kau tersinggung dan
menderita lahir batinmu, maka timbul keinginanmu menuntut balas, ini tidak dapat
menyalahkan dirimu, kalau orang lain tidak adil terhadap dirimu, kenapa engkau tidak
boleh memperlakukan jelek kepada mereka? Kenapa engkau tidak boleh menuntut
balas?”
Ia tersenyum, lalu menyambung, “Apalagi, jika sekarang engkau bercerita demikian
padaku jelas semua itu tidak betul terjadi dan lebih-lebih takkan kau lakukan
terhadapku.”
“Dari mana kau tahu takkan kulakukan?” tanya Kim Bu-bong.
Berkedip mata Jit-jit, katanya dengan tertawa, “Umpama betul kau pernah melakukan
kejahatan, aku pun tak perlu takut, kalau tidak percaya, boleh kau coba diriku.”
Bukan cuma membusung dada saja, ia terus mendesak maju. Kim Bu-bong berbalik
berjingkat kaget dan mundur selangkah, dengan melongo dia menatapnya dan entah
bagaimana perasaannya.
Jit-jit berkeplok, katanya dengan tertawa, “Engkau hanya hendak menggertak saja,
betul tidak? Siapa tahu tak berhasil kau gertak malah berbalik kena kugertak, apakah
tidak lucu?”
Kim Bu-bong menyengir, katanya, “Memang aku hanya menggertakmu....”
“Kau tak mau mengisahkan pengalaman hidupmu, niscaya kau pernah mengalami
suatu peristiwa yang membuat hatimu terluka dan sedih, maka selanjutnya aku takkan
tanya kepadamu lagi,” ditariknya tangan Kim Bu-bong, katanya lebih lanjut, “Tapi
engkau harus menjelaskan kepadaku, kenapa semalam kau pergi tanpa pamit....
Sebetulnya ke mana kau pergi secara diamdiam?”
“Pergi tanpa pamit?” Kim Bu-bong balas bertanya.
“Ya, kan kabur semalam, kenapa?”
“Semalam Sim Long menyuruh aku melakukan sesuatu tugas, apakah dia tidak
memberitahukan kepadamu?”
Kini giliran Jit-jit yang melenggong. Sesaat kemudian baru dia bertanya, “Jadi Sim
Long yang menyuruhmu pergi.... Tugas apa yang harus kau lakukan?”
“Mengejar dan menyelidiki jejak serombongan orang.”
“Kenapa dia sendiri tidak pergi? Kenapa engkau yang diberi tugas?”
“Waktu itu dia sendiri tidak sempat, tugas ini pun cocok bagiku, hubunganku dengan
dia seperti saudara kandung, kalau dia minta bantuanku, sudah tentu dengan senang
hati kulakukan.”
“Hm, dengan senang hati apa, sungguh penurut kau ini, kenapa setiap orang harus
turut perintahnya sungguh aku tidak mengerti.”
Lalu diraihnya secomot salju dan dibantingnya dengan gemas.
Kim Bu-bong mengawasinya lekat-lekat dengan mengulum senyum. Jit-jit mengentak
kaki, katanya, “Buat apa kau mengawasi aku, lekas ceritakan, apa yang harus kau
laksanakan? Urusan apa yang harus kau selidiki? Apa kau pun ingin mengelabui
diriku?”
Lama Kim Bu-bong bimbang, katanya kemudian, “Apakah sudah kau lupakan
perjanjian Sim Long dengan majikan Jin-gi-ceng?”
“O, ya, batas waktu yang dijanjikan sudah tiba....”
“Batas waktunya adalah kemarin malam.”
“Jadi mewakili dia menepati janjinya itu? Tapi... dari mana kau tahu seluk-beluk
persoalannya? Bagaimana kau memberi pertanggungan jawab kepada majikan
Jin-gi-ceng?”
“Yang mewakili dia menepati janji bukan aku, aku hanya ditugaskan mengawasi
orang yang mewakili dia itu.” “Aku tak mengerti apa yang kau katakan, lalu siapakah
yang ditugaskan mewakili dia?”
“Can Ing-siong, Pui Jian-li, dan lain-lain....” “O, mereka. Ya, benar, bila mereka pergi
ke Jin-gi-ceng, segala persoalan akan beres, Sim Long hadir atau tidak memang
tidak menjadi soal,” mendadak dia
tanya pula, “Tapi kalau mereka sudah mewakili Sim Long, kenapa harus diawasi?”
“Apa sebabnya aku tidak tahu, dia hanya menyuruh aku mengawasi jejak
mereka, bila urusan sudah jelas segera balik memberitahukan kepadanya.” “Jadi
kalian sudah berjanji sebelumnya,” hal ini kembali dia dikelabui oleh Sim
Long, keruan bukan main mendongkol hatinya, namun kali ini dia dapat menahan
emosinya. “Ya, betul,” sahut Kim Bu-bong mengangguk. “Kapan dia berjanji bertemu
dengan kau?” “Sekarang.” Jit-jit celingukan sambil menggigit bibir, katanya, “Di
mana kalian akan bertemu?” “Di sini,” sahut Kim Bu-bong. Jawaban yang sama
diucapkan dua suara sekaligus, keruan Jit-jit berjingkat
seraya menoleh, tertampak seorang tersenyum simpul di belakangnya, senyum
yang gagah dan menarik, siapa lagi kalau bukan Sim Long. Kejut, gugup, marah,
dan girang meliputi hati Cu Jit-jit, serunya sambil mengentak kaki, “Engkau setan
alas, kau... kapan kau datang?”
“Begitu Kim-heng mengedip aku lantas datang.” “Kebetulan kau datang, ingin
kutanya, setiap persoalan kenapa selalu kau
sembunyikan kepadaku, apa maksudmu menyuruh dia mengikuti jejak Can Ingsiong
dan lain-lain?” “Amat panjang ceritanya.”
“Panjang juga harus kau jelaskan.”
“Setelah aku bertemu dengan Ong-hujin, setelah berbincang semalaman maka dia
membebaskan Can Ing-siong, Thi Hoat-ho, Pui Jian-li, dan lain-lain, di samping
khawatir Can Ing-siong dan Pui Jian-li masih dendam kepadamu, apalagi janjiku
kepada pihak Jin-gi-ceng juga sudah mendesak, maka kuminta Can, Pui dan segera
menuju ke Jin-gi-ceng, seluk-beluk persoalan ini biar mereka jelaskan kepada pihak
Jin-gi-ceng....”
“Ya, aku maklum, tapi kenapa masih harus kau awasi gerak-gerik mereka?”
“Karena sejak mula aku yakin kejadian ini agak ganjil, ada sesuatu yang belum bisa
kupecahkan.”
“Ya, memang agak ganjil, aku pun tahu.”
“Syukurlah kalau kau tahu, tak perlu kujelaskan.”
Jit-jit melengak, “Tidak, aku justru ingin kau katakan.”
Sim Long tersenyum, “Coba pikir, kalau Ong-hujin punya iktikad baik terhadap Can
Ing-siong dan lain-lain, kenapa perlu menunggu setelah bertemu dengan aku baru dia
membebaskan mereka?”
Berkilat mata Cu Jit-jit, katanya, “Ya, kenapa begitu?”
“Setelah kejadian tentu dapat kau terka.”
“Kau kira aku bodoh, baik, biar kujelaskan, dalam urusan ini dia pasti ada intrik
tertentu, karena rahasianya sudah kau bongkar, terpaksa dia pura-pura baik hati dan
membebaskan orang-orang itu....”
Sim Long mengangguk, pujinya, “Anak pintar, memang betul demikian. Tapi setelah
dia membebaskan Can Ing-siong dan dia bilang ada urusan harus pergi ke Ui-san,
lalu buru-buru dia berangkat.”
“Maka kau khawatir di tengah jalan dia mencegat dan membunuh Can Ing-siong dan
rombongannya, apalagi resminya kau sudah berdiri di pihaknya, kalau Kim...
Kim-heng berada di sana juga kurang leluasa maka diam-diam kau suruh dia pergi.”
“Kau memang tambah pintar,” ucap Sim Long. “Sebenarnya aku tak bermaksud
mengelabui dirimu, tapi di hadapan Ong Ling-hoa, mana mungkin aku
menjelaskan kepadamu.... Ai, syukur kau bertemu dengan Kim-heng di sini, kalau
tidak....”
Bercahaya mata Cu Jit-jit, katanya, “Kalau tidak kenapa?”
“Kalau tidak tentu akan membuatku khawatir,” ujar Sim Long.
Sesaat Jit-jit terkesima, “Kau khawatirkan diriku? Hanya setan percaya....” belum
habis bicara, dekik di pipinya sudah kelihatan, tak tahan dia tertawa senang, rasa
sedih, risau, jengkel, seketika lenyap sama sekali setelah mendengar pernyataan
Sim Long itu.
Mengawasi sikap mesra kedua muda-mudi ini, maka Kim Bu-bong kembali kaku
dingin, ia berdehem, lalu berkata dengan suara tertahan, “Sepanjang jalan
rombongan Can Ing-siong tidak mengalami apa-apa hingga tiba di Jin-gi-ceng,
kusaksikan sendiri mereka masuk ke perkampungan itu baru kembali ke sini.”
“Aneh kalau begitu....” ujar Sim Long sambil termenung, tiba-tiba ia tertawa riang,
katanya, “Terima kasih Kim-heng....”
“Rasanya tak perlu kau bilang terima kasih kepadaku.”
“Betul, terlalu berlebihan.”
“Bahwa Ong-hujin tidak bertindak sesuatu terhadap
rombongannya, lalu bagaimana tindakanmu selanjutnya?”
Can
Ing-siong
dan
Sejenak Sim Long berpikir, lalu balas bertanya, “Bagaimana pula langkah Kim-
heng?”
Kim Bu-bong mendongak sambil menghela napas, katanya, “Perjanjian dengan
Jin-gi-ceng sudah selesai, keselamatan Can Ing-siong dan lain-lain juga tak kurang
sesuatu apa, urusan ini boleh dikatakan sudah selesai, aku... aku akan pulang saja.”
“Pulang?” Sim Long menegas.
“Betul. Meski Ca Giok-koan jahat dan buas, tapi budi kebaikannya terhadapku amat
besar, selama hayat masih dikandung badan aku takkan mengingkari dia....” tiba-tiba
Kim Bu-bong menatap Sim Long, katanya perlahan, “Entah Simheng sudi kiranya
membebaskanku pulang?”
“Orang telah menghargaiku sebagai pahlawan, sebagai pahlawan akan pula kubalas
kebaikan orang... terhadap Ca Giok-koan boleh dikatakan Kim-heng
sudah menunaikan kewajiban dengan baik, kenapa aku harus menjadi manusia
rendah dan merintangi keberangkatanmu?”
Kim Bu-bong menarik napas panjang, gumamnya, “Orang menghargaiku sebagai
pahlawan, sebagai pahlawan aku balas kebaikan orang, tapi....” waktu dia angkat
kepalanya lagi, sekian saat dia menatap Sim Long lekat-lekat, lalu katanya dengan
beringas, “Selanjutnya bila kita bertemu lagi, kau adalah musuhku, saat mana aku tak
peduli lagi siapa kau dan akan kurenggut jiwamu, hari ini kau bebaskan aku, kelak
jangan kau menyesal.”
Sim Long tertawa pedih, katanya, “Setiap orang punya cita-citanya sendiri, siapa pun
tak dapat memaksanya, kelak meski kau adalah musuhku, tapi dapat bergebrak
dengan musuh seperti dirimu, sungguh menyenangkan juga.”
“Baiklah kalau begitu,” perlahan Kim Bu-bong mengangguk. Lama mereka berdiri
berhadapan dan saling pandang. Mendadak keduanya bersuara bersama, “Selamat
berpisah....”
Mereka bersuara bersama dan tutup mulut bersama pula, sama mengulum senyum
getir, sementara itu Jit-jit tak kuat menahan air matanya. Darah seperti bergolak
dalam rongga dadanya, dia mengentak kaki, serunya, “Mau pergi lekas pergi, buat
apa banyak omong. Tak tersangka kaum laki-laki kalian juga suka bertele-tele begini.”
“Betul,” ujar Kim Bu-bong, “sudah saatnya harus berangkat, kehidupan Kangouw
serbabahaya, orang-orang jahat selalu berada di sekelilingmu, hendaknya Sim-
heng....”
“Kim-heng jangan khawatir,” tukas Sim Long, “kubisa menjaga diriku, malah Kim-
heng sendiri....”
Kim Bu-bong mendongak sambil tertawa panjang, “Darah mengalir bagi sahabat
sejati, biar mati juga tidak menjadi soal....” sambil mengulapkan tangan segera dia
melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Dengan berlinang air mata Cu Jit-jit mengawasi bayangan orang semakin jauh dan
hampir menghilang di tengah hamburan bunga salju, mendadak dia berteriak keras,
“Tunggu... berhenti!”
Kim Bu-bong berhenti di kejauhan, tapi tidak menoleh, tanyanya dingin, “Kau mau
omong apa lagi?”
Jit-jit menggigit bibir, katanya sambil memandang Sim Long sekejap, “Aku... aku ingin
ikut kau.”
Kim Bu-bong seperti terpantek di tanah tanpa bergerak, juga tidak menoleh dan tak
bersuara pula, agaknya dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Alis Sim Long terangkat, wajahnya menampilkan rasa kejut dan heran.
Jit-jit tidak memandangnya lagi, teriaknya, “Hanya engkau seorang di dunia ini yang
simpati dan memahami diriku, hanya kaulah satu-satunya lelaki sejati di dunia ini,
kalau aku tidak ikut kau, ikut siapa?”
Kim Bu-bong seperti ingin menoleh, tapi lantas bergelak tawa sambil menengadah,
cepat ia melangkah pula ke depan, sukar meraba makna gelak tertawanya itu.
“Nanti dulu, tunggu aku....” sambil berteriak Cu Jit-jit lantas memburu dengan
kencang.
Sim Long bermaksud menariknya, tapi pikirannya tergerak, dia urungkan niatnya, ia
mengawasi bayangan punggung Cu Jit-jit yang makin menjauh, timbul senyuman
pada ujung mulutnya.
Setelah puluhan langkah Jit-jit coba melirik ke belakang, Sim Long yang kejam dan
tega hati ini ternyata tidak menyusulnya, waktu dia menatap ke depan pula,
bayangan Kim Bu-bong juga sudah tidak kelihatan.
Bunga salju beterbangan menyampuk mukanya, seluas mata memandang yang
terlihat hanya kabut putih, hatinya sedih, dongkol, dan kecewa. Tak tahan dia
menangis lagi. Sambil menangis dia berlari terus ke depan, air mati menghalangi
pandangannya hingga dia tidak bisa membedakan arah namun masih terus lari
seperti dikejar setan.
Hakikatnya dia tidak tahu ke mana dirinya harus pergi, umpama bisa menentukan arah
juga tiada gunanya?
Tetesan air matanya hampir membeku menjadi butiran es. Dengan lengan baju dia
menyeka air mata, gumamnya, “Baiklah, Sim Long, kau tidak menarikku, bila aku
mampus, apakah kau tidak akan menyesal, tapi... kenapa aku tidak mati saja....”
Waktu dia mengusap air mata pula, mendadak dia menubruk seseorang.
Saking keras dia berlari hingga tubuhnya terpental balik dua-tiga langkah baru dapat
berdiri tegak, selagi dia hendak memaki, begitu dia angkat kepala, orang yang berdiri
di depannya ternyata Kim Bu-bong adanya, lelaki yang kaku dingin seperti batu ini.
Dalam keadaan seperti Cu Jit-jit sekarang, mendadak melihat Kim Bu-bong lagi, ia
seperti bertemu dengan sanak kandung yang terdekat, entah duka, entah girang,
segera dia menjerit terus menubruk ke dalam pelukan Kim Bu-bong dan
merangkulnya kencang-kencang.
Kepala dan pundak Kim Bu-bong sudah dilapisi salju, demikian pula kulit
mukanya seperti dilumasi es, namun kedua matanya terasa menyala hangat. Lama
sekali baru Kim Bu-bong menghela napas, katanya, “Kau benar-benar menyusul...
buat apa kau menyusulku?”
Jit-jit membenamkan kepalanya di dada orang, sambil menangis campur tertawa
katanya, “Aku memang ingin ikut kau.... Selanjutnya kau tidak akan kesepian,
apakah... apakah kau tidak senang?”
“Selamanya kau ikut aku?”
“Ehm, ikut kau selamanya dan takkan berpisah, umpama kau mengusirku, aku pun
takkan pergi.... Tapi engkau takkan mengusirku bukan?” Kim Bu-bong tertawa getir,
“Ai, anak yang kasihan....” “Tidak, tidak, tidak kasihan, aku tidak mau dikasihani. Ada
engkau di sampingku,
kenapa aku harus dikasihani? Selanjutnya kularang kau mengatakan kasihan.”
Namun mulut Kim Bu-bong masih bergumam, “Kasihan anak ini....” Jit-jit merengek
sambil membenamkan kepalanya. “Nah, kau bilang lagi, coba
katakan, dalam hal apa aku perlu dikasihani?” “Hanya untuk membuat jengkel Sim
Long kau ikut padaku? Buat apa....” “Bukan karena Sim Long, dengan sukarela
kuikut kau.” “Tapi bila Sim Long menyusulmu dan mengajakmu pulang, bagaimana?”
“Peduli apa dengan dia? Takkan kugubris.” “Apa betul?” “Betul, seribu kali betul!”
Untuk sejenak Kim Bu-bong diam saja, mendadak dia berkata, “Coba lihat, Sim
Long menyusul kemari!”
Tergetar tubuh Cu Jit-jit, teriaknya girang, “Di mana?”
Segera dia melompat mundur membalik badan, salju masih beterbangan, mana ada
bayangan Sim Long, bayangan setan pun tidak ada.
Waktu dia berpaling, dia melihat Kim Bu-bong menampilkan senyum seorang yang
sudah kenyang mengenyam perikehidupan, senyum pengertian, namun juga senyum
yang rada mengejek, kontan merah muka Cu Jit-jit, namun dia berusaha menutupi
rasa malunya, katanya, “Dia datang juga aku tidak peduli, aku...aku....”
Kim Bu-bong geleng kepala, katanya, “Nak, isi hatimu mana bisa mengelabui aku,
lekas kau pulang ke sana saja.”
“Tidak mau, mati pun aku tidak mau pulang.”
“Mana boleh kau ikut aku.”
“Kalau kau melarang aku ikut, biar aku mati di depanmu.”
Kim Bu-bong menyengir, sesaat kemudian baru berkata dengan perlahan, “Ikut aku
juga bolehlah, cepat atau lambat Sim Long pasti juga akan menyusul kemari, bahwa
dia membiarkan Nona Cu ikut aku, mungkin juga untuk memudahkan mengikuti
jejakku.... Meski tidak secara gamblang dia paksa aku untuk membawanya mencari Ca
Giok-koan, hal ini berarti dia sudah baik terhadapku, jika dia menguntitku secara
diam-diam juga pantas, mana boleh aku menyalahkan dia.”
Dia bicara sendiri seperti sedang menganalisis bagi dirinya sendiri, tapi juga seperti
memberi penjelasan bagi Sim Long, padahal suaranya lirih, kecuali dia sendiri tak
terdengar siapa pun.
“Apa katamu?” tanya Cu Jit-jit.
“Aku bilang... kalau kau mau ikut aku, ayolah berangkat!”
Setengah hari itu kedua orang menempuh perjalanan secara cepat, menjelang
tengah hari mereka sudah tiba di Say-kok.
Say-kok adalah sebuah kota kecil di sebelah barat Kota Sin-an, walau kota kecil, tapi
cukup ramai, ke timur menuju Lokyang, ke utara harus menyeberang sungai besar,
tidak sedikit kaum pedagang yang seberang-menyeberang di kota ini, maka
kehidupan penduduk kota kecil ini cukup makmur.
Sepanjang jalan Jit-jit memegangi tangan Kim Bu-bong, masuk kota pun tidak
dilepaskan, dia tidak peduli bagaimana pandangan orang lain terhadapnya.
Dengan sendirinya orang-orang di jalan sama heran, kagum dan pesona akan
kecantikannya, tapi bila mereka melihat wajah Kim Bu-bong, seketika mereka
melengos.
Jit-jit berkata perlahan, “Coba lihat, semua orang takut kepadamu, betapa senang dan
bangga hatiku.”
“Kenapa kau senang dan bangga?” tanya Kim Bu-bong.
“Kuharap orang takut kepadaku, tapi mereka justru tidak takut, kini aku ikut
bersamamu, seperti kucing ikut harimau, akan dapat membonceng supaya orang
sama takut padaku, betapa hatiku tidak senang, cuma... cuma perutku mulai lapar,
ingin berlagak juga tidak bisa.”
Kim Bu-bong tertawa, “Apa sekarang juga kau mau makan?”
“Aku bukan anak perempuan yang suka murung, hanya menghadapi sedikit
persoalan lantas tak nafsu makan minum.... Segala persoalan dengan cepat dapat
kulupakan, maka aku bisa makan seperti biasa. Makanya kakakku kelima pernah
bilang, kelak aku bisa jadi gendut.”
Kembali Kim Bu-bong tertawa, katanya, “Memangnya kenapa kalau gendut? Mari kita
makan sepuasnya.”
Entah kenapa, orang aneh yang biasanya dingin kaku, kini seperti bergairah.
Sepanjang jalan raya mereka tidak menemukan restoran, mendadak Kim Bubong
seperti teringat sesuatu, dia bertanya, “Apakah kakakmu itu yang terkenal dipanggil
Cu-gokongcu di kalangan Kangouw?”
Jit-jit menghela napas, “Betul, engkohku kelima itu memang makhluk aneh, kejayaan
keluargaku seperti tertumplak seluruhnya di atas tubuhnya, ke mana saja dia pergi,
selalu dia mendapat sambutan hangat, dia memang pandai bergaul, aku sendiri heran
kenapa bisa begitu?”
Kim Bu-bong berkata, “Sudah lama kudengar nama Cu-gokongcu yang harum,
semua bilang dia seorang pemuda cakap yang jarang ada bandingannya, sayang
sampai sekarang aku belum pernah melihatnya.”
“Jangankan kau tak bisa bertemu dengan dia, kami beberapa saudara sendiri juga
sukar melihatnya, dua-tiga tahun baru bertemu satu kali. Hidupnya memang seperti
arwah gentayangan. Hah, sudah sampai.”
Yang dimaksudkan sampai adalah mereka sudah berada di depan sebuah warung
nasi. Lima buah meja kecil yang cukup bersih, bau arak dan bau masakan seperti
menyongsong kedatangan mereka, sayang lima meja sudah penuh diduduki orang.
“Ramai betul pengunjung warung makan ini,” kata Kim Bu-bong.
“Rumah makan yang banyak dikunjungi orang, hidangannya tentu lumayan.”
“Sayang tidak ada tempat kosong.”
“Tidak jadi soal, ikut aku saja,” ujar Jit-jit. Kim Bu-bong ditariknya masuk mendekati
sebuah meja di pojok sana, dua orang pedagang sedang makan dengan lahap di
meja ini, mendadak mereka angkat kepala, melihat muka Kim Bu-bong, seketika
mereka bergidik, cepat mereka menunduk kepala, nafsu makan pun segera lenyap.
Jit-jit tetap pegang tangan Kim Bu-bong, berdiri diam tak bergerak, kedua orang itu
memegangi sumpit dengan gemetar, bergegas mereka berbangkit terus membayar
rekening.
Maka Cu Jit-jit dan Kim Bu-bong lantas menduduki meja itu.
Kim Bu-bong geleng kepala, katanya, “Kau memang pandai mencari akal.”
“Ini namanya main gertak.”
Kim Bu-bong bergelak tertawa, namun setengah jalan mendadak dia berhenti
tertawa.
“Kenapa kau berhenti tertawa,” tanya Jit-jit, “aku senang melihat cara tertawamu.”
Kim Bu-bong diam sejenak, lalu katanya, “Setengah hari ini aku sudah tertawa lebih
banyak daripada tertawaku beberapa tahun yang lampau.”
Jit-jit mengawasinya hingga lama dan tak bicara, entah hatinya merasa kecut, manis,
atau getir? Dia tidak tahu. Untung hidangan sudah disuguhkan, maka Jitjit makan
minum dengan lahap.
Kim Bu-bong justru sebaliknya, sukar menelan hidangan di depannya, Jit-jit
menyumpit makanan ke dalam mangkuknya. Orang-orang di sekitarnya tidak berani
menoleh ke arah mereka, tapi tak sedikit yang melirik secara diam-diam.
Maklum kedua orang ini teramat aneh, lelaki jelek, yang perempuan cantik,
kelihatannya mesra, tapi juga seperti tak kenal-mengenal sebelumnya, entah pernah
hubungan apa antara kedua orang ini, sungguh sukar menebaknya.
Jit-jit tidak peduli tingkah laku orang-orang di sekitarnya, katanya tertawa, “Sepotong
daging ini harus kau makan, perut kosong mana boleh minum arak... perutmu bisa
terbakar lho.”
Ia menyumpit sepotong daging dan diangsurkan pula ke mangkuk Kim Bu-bong. Tapi
mendadak tubuhnya bergetar, daging yang tersumpit jatuh kecemplung ke mangkuk
kuah di depannya, ia terbelalak ke arah jendela dengan wajah pucat.
“Ada apa?” tanya Kim Bu-bong kaget. Dengan sumpit Jit-jit menuding jendela di
belakang Kim Bu-bong, katanya,
“Oo....” suaranya bukan saja gemetar, lidahnya juga kelu, sumpit pun beradu karena
tubuhnya menggigil. Berubah air muka Kim Bu-bong, lekas dia berpaling, namun
jendela kosong tak
ada apa-apa, keruan dia heran, tanyanya, “Kau melihat apa?” Sahut Jit-jit gemetar,
“Ada... ada orang di luar jendela.” “Mana ada orang, mungkin pandanganmu kabur?”
“Barusan ada, begitu kau berpaling lantas lenyap.” “Siapa?” “Iblis... iblis laknat itulah,
iblis yang membikin aku lumpuh dan bisu itu.” “Apa kau melihat dengan jelas?” “Aku
melihat dengan jelas sekali, selama hidupku takkan kulupakan wajahnya.” Berubah
kelam air muka Kim Bu-bong, kedua alisnya bertaut, ia tunduk kepala
berpikir tanpa bicara. “Apa kau mau mengejarnya?” “Biar kukejar sekarang juga
takkan tersusul.” “Lalu... lalu bagaimana baiknya? Begitu melihat dia, aku tiada selera
makan lagi,
tidur pun tak bisa nyenyak, seolah-olah dia selalu mengintil di belakangku dan mau
mencelakai aku, bila kupejamkan mata lantas terbayang dia lagi
menyeringai kepadaku....” mendadak dia letakkan sumpit terus mendekap muka dan
hampir menangis.
Kim Bu-bong berpikir sejenak, mendadak dia berbangkit, sepotong uang perak
dilemparkannya di meja, tangan Jit-jit ditariknya sambil mendesis, “Mari ikut aku!”
“Ke... ke mana?” tanya Jit-jit.
Hijau kelam muka Kim Bu-bong, tanpa menjawab dia tarik Cu Jit-jit terus melangkah
keluar, ia celingukan sekejap menentukan arah terus berlari keluar kota menuju ke
tempat yang sepi.
Heran dan takut Jit-jit, nyalinya sudah pecah bila terbayang kepada iblis itu, padahal
biasanya tiada yang ditakutinya di dunia ini, tapi terhadap “iblis” yang satu ini dia
justru ketakutan setengah mati.
Makin jauh Kim Bu-bong melangkah ke tempat yang sepi, padahal saat itu cahaya
mentari sudah menembus gumpalan mega, namun Jit-jit masih menggigil kedinginan.
Tanpa terasa kedua tangannya memeluk pundak Kim Bu-bong dan tubuhnya pun
menggelendot di bahunya. Dipandang dari belakang seolah-olah seorang lelaki kekar
berjalan berpelukan dengan seorang gadis, seperti sepasang kekasih yang lagi
bermesraan, siapa yang melihatnya pasti iri, tapi bila orang mendahului dan
memandang dari depan, yang perempuan cantik bak bidadari, berpelukan dengan
lelaki jelek yang mengerikan, siapa pun akan geleng kepala.
Walau pundaknya diganduli, langkah Kim Bu-bong tetap cepat dan gesit.
Tak tahan Jit-jit bertanya, “Tempat apa di sebelah depan.”
“Aku tidak tahu.”
Gusar Jit-jit, serunya, “Habis untuk apa kau... kau....”
“Apa yang kulakukan segera kau akan tahu,” ujar Kim Bu-bong, mendadak dia
merendahkan suaranya, “Nah, itu dia datang.”
Berdiri bulu kuduk Cu Jit-jit, ia menahan napas dan pasang kuping, memang di
belakang didengarnya ada suara desir pakaian melambai, gerakan orang di belakang
amat cepat, namun Kim Bu-bong tidak menghentikan langkahnya juga tidak menoleh.
Dengan sendirinya Jit-jit juga tidak berani menoleh, namun dalam hati dia
bertanya-tanya, “Siapakah yang datang? Jangan-jangan dia?”
Didengarnya lambaian pakaian orang itu sudah berada di belakang mereka,
gerakannya lantas diperlambat, dalam jarak yang sama terus mengikuti langkah
mereka, tidak menyusul ke depan dan juga tidak ketinggalan.
Rasa seram menjalari punggung Jit-jit, sungguh ia ingin menoleh untuk melihatnya,
tapi dapat ditahan perasaannya ini, rangkulannya bertambah erat.
Bila Kim Bu-bong mempercepat langkahnya, orang di belakang ikut cepat, bila Kim
Bu-bong lambat orang itu pun memperlambat langkahnya.
Kini Jit-jit yakin orang di belakang ini pasti iblis laknat itu, baru sekarang dia sadar
Kim Bu-bong sengaja menuju ke tempat yang sepi, tujuannya juga untuk memancing
dia. Tapi sukar dia menebak kenapa Kim Bu-bong berbuat demikian, apa tujuannya?
Jika ingin membunuhnya, sekarang sudah boleh turun tangan, kalau tidak ingin
melenyapkan dia, pantasnya sekarang sudah bertindak pula.
Makin lama langkah Kim Bu-bong makin cepat, akhirnya hanya berputar kayun di
dataran bersalju ini, orang itu ternyata mengintil terus ikut berputar.
Cu Jit-jit tidak tahan dan ingin mengajukan pertanyaan namun sebelum dia bersuara,
kupingnya lantas menangkap suara Kim Bu-bong yang bicara dengan ilmu
gelombang suara, “Kungfu orang ini tidak lemah, tapi tenaga dalamnya kurang kuat,
sekarang sengaja kukuras tenaganya, bila lwekang sudah lemah dan kehabisan
tenaga baru akan kupancing dia turun tangan, kuyakin dapat mencabut nyawanya.”
Kejut dan girang hati rasanya ingin dia peluk leher Kim Bu-bong serta mencium
pipinya sekali sebagai tanda rasa senang, haru dan kagumnya.
Mendadak Kim Bu-bong mendongak sambil bergelak tertawa, serunya, “Haha,
bagus... bagus!”
Orang itu juga tertawa serak dan berseru, “Haha, bagus... bagus!”
“Kutahu kau pasti datang!” ucap Kim Bu-bong.
“Kutahu kau pasti datang!” orang itu menirukan bicaranya.
“Setelah datang, kenapa kau tidak bicara?” tanya Kim Bu-bong.
Orang itu juga bertanya, “Setelah datang, kenapa kau tidak bicara?”
Kim Bu-bong gusar, dampratnya, “Apa sengaja kau permainkan aku? Meski kita
pernah seperguruan, namun hubungan kita sudah putus, tahukah kau kenapa
kupancing kau ke sini? Sebab akan kucabut nyawamu!”
Orang itu seperti bersuara kaget, tapi segera menirukan pula, “Apa sengaja kau
permainkan aku? Meski....”
“Siapa kau?” mendadak Kim Bu-bong menghardik sambil seret Jit-jit dan membalik
badan.
Orang itu sedang lari, hampir saja ia menubruk mereka, syukur satu kaki di depan
mereka dia berhasil mengerem langkahnya. Wajahnya yang jelek dan kotor itu tepat
berhenti di depan mata Cu Jit-jit, tapi bukan wajah “iblis” yang mereka duga semula,
orang ini ternyata adalah Kim Put-hoan.
Perubahan yang tak terduga ini bukan saja membuat Cu Jit-jit kaget, juga di luar
dugaan Kim Bu-bong. Bukan rase yang mereka pancing ke sini sebaliknya terpancing
serigala.
“Kiranya... kau!” pekik Jit-jit.
“Rupanya kau,” bentak Kim Bu-bong dengan gusar.
“Ya, aku....” Kim Put-hoan tertawa terkekeh. “Agaknya kalian tidak menduga.”
“Kenapa kau buntuti kami sejauh ini? Apa kehendakmu?” seru Jit-jit.
Kim Put-hoan memicingkan matanya, katanya dengan tertawa, “Aku hanya ingin
menyaksikan betapa mesranya kalian berpelukan, untuk apa pergi ke tempat sepi
seperti ini? Di sini kan bukan tempat untuk berpacaran?”
“Tutup mulutmu!” bentak Kim Bu-bong.
“Baik, tutup mulut. Toako suruh aku tutup mulut, segera kututup mulut!” dia
mendongak dan tertawa aneh, “Baru sekarang kutahu, Toako kita ini ternyata cukup
lihai juga dalam hal memikat perempuan, hanya beberapa patah kata dengan mudah
dapat merebut nona ayu ini dari tangan Sim Long.”
Jelalatan mata Kim Bu-bong, wajah diliputi nafsu membunuh.
Jit-jit tidak tahan, ia memaki, “Kau kentut busuk apa?”
Kim Put-hoan menyengir, “Aduh galaknya.... Eh, mau tidak kuberi tahu rahasia
toakoku ini? Dia kelihatan jujur, padahal... hahahaha....”
“Padahal apa?” tanya Jit-jit.
“Padahal toakoku ini laki-laki perayu, seorang hidung belang, sejak umur lima belas,
entah betapa banyak gadis yang dibuatnya sakit rindu, kemudian....”
Kim Bu-bong menatapnya dengan dingin dan mendengarkan ocehannya tanpa
mencegah atau menyetopnya, tapi Kim Put-hoan sengaja berhenti sambil meliriknya.
“Belakangan bagaimana?” tak tahan Jit-jit bertanya pula.
Kim Put-hoan sengaja berdehem, “Aku tak berani mengatakan.”
Kim Put-hoan menyengir, “Banyak nona cantik mengerumuninya hingga toakoku ini
tak sempat berlatih kungfu, saking jengkel toakoku ini lantas merusak wajah sendiri
yang tampan ini.”
“Oo....” Jit-jit menjerit kaget.
“Dia sendiri yang merusak mukanya tapi setelah wajahnya rusak, tabiatnya ikut
berubah, bukan saja dia amat membenci perempuan, terhadap orang laki-laki juga
bersikap dingin dan tak acuh.”
Cu Jit-jit termenung sekian lama, katanya kemudian, “Jadi begitulah kejadiannya...
kiranya tempo hari kau menipuku.”
“Menipumu... kapan aku menipumu....” seru Kim Put-hoan.
“Cuh,” Jit-jit berludah, “siapa bicara dengan kau.”
Kim Put-hoan mengawasinya, lalu melirik Kim Bu-bong, katanya dengan tertawa licik,
“Ah, aku mengerti, aku mengerti.... Agaknya kau bicara dengan dia. Jadi Toako
pernah dustai kau, tanpa sengaja aku membongkar rahasianya.”
Kim Put-hoan tertawa dan berkata pula, “Wah, baru sekarang aku bertemu dengan
istri Toako, tidak diberi hadiah malah dicaci maki.”
“Baik, kuberi hadiah,” damprat Cu Jit-jit. Tangan kanan terayun terus menggampar
muka Kim Put-hoan.
“Plang”, Kim Put-hoan tidak berkelit menghindar, gamparan Jit-jit telak mengenai
pipinya, ternyata dia tidak marah sebaliknya malah tertawa sambil mengelus pipi,
katanya, “Terima kasih, kuterima hadiahmu dengan senang hati. Jari-jemari halus dan
runcing rasanya enak juga bila mengelus pipi. Toako, rezekimu memang tidak kecil.”
Mendadak Kim Bu-bong mendengus, “Sudah habis kau bicara?”
“Ya, sudah habis.”
“Hubungan persaudaraan kita sudah putus, tapi mengingat kau tumbuh dewasa
bersamaku dulu, hari ini kuampuni sekali lagi....” mendadak Kim Bu-bong membentak
bengis, “Nah, ayoh, lekas menggelinding, jangan tunggu aku berubah pikiran.”
Kim Put-hoan tenang-tenang saja, katanya dengan tertawa, “Toako suruh aku enyah,
tentu segera kupergi. Tapi masih ada pertanyaan yang ingin kuajukan kepada
Toako,” tanpa menunggu jawaban Kim Bu-bong dia meneruskan, “Toako tahu tidak di
mana Sim Long sekarang?”
Jit-jit heran, tanyanya, “Untuk apa kau cari Sim Long?”
Kim Put-hoan tertawa lebar, katanya, “Banyak orang ingin mencari Sim Long, bukan
cuma aku.”
Jit-jit makin tertarik, tanyanya lagi, “Siapa pula yang mencarinya?”
“Tiga cianpwe dari Jin-gi-ceng, Toan-hong Totiang, Thian-hoat Taysu, Hiong-say
Kiau Ngo, dan... aku juga, walau aku tidak becus, orang-orang itu bukan tokoh
sembarang tokoh.”
“Untuk apa orang-orang itu mencarinya?” tanya Jit-jit khawatir.
“Tidak apa-apa, hanya ingin menggorok lehernya,” sahut Kim Put-hoan.
Berjingkat Jit-jit, serunya, “Ken... kenapa?”
“Karena dia ingkar janji, karena dia berbuat jahat, lahirnya bajik, padahal kejam,
karena.... Ai, tak perlu kujelaskan lagi, tentunya kau tahu sendiri.”
Melotot mata Cu Jit-jit, serunya tergagap, “Bukankah... bukankah Sim Long sudah
mengantar Can Ing-siong, Pui Jian-li, dan lain-lain pergi ke Jin-gi-ceng, bukankah
mereka bisa memberi penjelasan.”
“Apa benar Sim Long yang mengantar Can Ing-siong dan lain-lain?” tanya Kim
Put-hoan, suaranya bernada menyindir.
Tapi Jit-jit tidak memerhatikan, sahutnya, “Betul, Sim Long sendiri yang mengantar
mereka,” lalu ia menoleh ke arah Kim Bu-bong, katanya pula, “Kau bisa jadi saksi
bukan?”
Terunjuk rasa heran pada wajah Kim Bu-bong, katanya dengan mengangguk, “Betul,
aku melihat sendiri mereka sudah masuk ke Jin-gi-ceng.”
“Memangnya ada kesalahan apa yang terjadi?” tanya Jit-jit.
Kim Put-hoan menyeringai, “Betul, mereka memang sudah masuk ke perkampungan
sana.”
Jit-jit menghela napas, “Nah, kan sudah beres....”
“Tapi setelah masuk kampung, sebelum sempat bicara mereka sudah putus
nyawanya. Hm... mati secara mutlak, tiada satu pun yang ketinggalan.”
Belum Kim Put-hoan selesai bicara, Jit-jit sudah menjerit kaget.
Kim Bu-bong juga terbeliak, katanya, “Cara... cara bagaimana mereka mati?”
“Begitu masuk perkampungan mereka lantas roboh bersama pada saat itu juga dan
jiwa melayang seketika, sekujur badan tidak terluka, mungkin mereka mati karena
racun yang bekerja dalam tubuh mereka. Padahal tidak sedikit tokohtokoh kosen di
dalam Jin-gi-ceng, tapi tiada satu pun yang tahu mereka keracunan apa,” Kata
Put-hoan tertawa riang sambil mendongak, “Membunuh dengan racun tidak perlu
diherankan, anehnya waktu yang diperhitungkan ternyata begitu tepat.... Hehehe...
sungguh cara lihai, kepandaian hebat, sayang teramat keji.”
Kim Bu-bong merinding mendengar perkataan Kim Put-hoan itu, Cu Jit-jit juga
gemetar, katanya, “Aku yakin pasti bukan perbuatan Sim Long.”
“Sim Long yang mengantar mereka, kalau bukan dia siapa lagi yang pandai main
racun?”
“Pasti dia... perempuan itu?” kata Jit-jit.
“Dia siapa? Siapa perempuan itu?” tanya Kim Put-hoan.
“Meski kujelaskan juga percuma,” segera Jit-jit tarik tangan Kim Bu-bong, serunya,
“Ayo kita sampaikan berita ini kepada Sim Long.”
“Kalian tidak perlu susah payah,” ucap Kim Put-hoan sambil menyeringai, “sudah ada
orang mencari dia, toh tidak bakal melarikan diri. Mengenai kalian... ai, sekarang
kalian juga tak bisa pergi.”
“Berani kau rintangiku?” damprat Kim Bu-bong.
Seperti tertawa tapi tidak tertawa, Kim Put-hoan berkata sinis, “Mana aku berani... tapi
mereka....” bola matanya jelalatan ke empat penjuru, Kim Bu-bong dan Cu Jit-jit lantas
mengikuti pandangannya ke sana kemari.
Di tengah dataran salju itu, dari arah timur, selatan, barat, dan utara masingmasing
muncul bayangan seorang, dengan perlahan melangkah ke arah mereka.
Kelihatannya mereka bergerak lamban, namun tahu-tahu sudah dekat. Yang datang
dari timur berjenggot panjang menyentuh dada, pakaiannya melambai tertiup angin
seperti dewa, namun wajahnya yang putih bersih tampak kaku dironai nafsu
membunuh, dia bukan lain adalah Put-pay-sin-kiam Li Tiang-ceng, kepala Jin-gi-ceng.
Orang yang datang dari selatan berperawakan tinggi besar, sedikitnya delapan kaki,
cambang bauk melebati mukanya, sorot matanya juga memancarkan nafsu
membunuh, dia juga salah satu dari Jin-gi-sam-lo yaitu Khi-tun-to-gu Lian Thianhun.
Orang yang datang dari barat berperawakan agak kurus dan lemah, setiap dua
langkah lantas terbatuk-batuk, dia adalah toako dari ketiga Leng bersaudara.
Yang datang dari utara sikapnya kelihatan paling garang, wajahnya beringas kejam,
siapa kalau bukan Thian-hoat Taysu dari Ngo-tay, tokoh silat nomor satu aliran
Buddha yang disegani.
Sebelum keempat orang ini mendekat, Kim Put-hoan mendadak melompat mundur,
lalu serunya lantang, “Apakah kalian sudah mendengar percakapan kami?”
“Sudah mendengar jelas,” seru Lian Thian-hun yang berangasan.
“Aku tidak salah omong bukan, orang-orang itu memang diantar oleh Sim Long,” Kim
Put-hoan membakar kemarahan mereka.
“Memang benar, kau keparat ini bicara dengan betul, Sim Long si anjing itu tak dapat
diampuni,” demikian damprat Lian Thian-hun, meski usianya sudah lanjut, waktu
marah sikapnya menjadi kasar dan tutur katanya juga kotor.
“Perlu juga kalian ketahui, di sini ada seorang yang lebih hebat daripada Sim Long.
Hehehe, kalian memang lagi mujur, tanpa sengaja bertemu dengan dia di sini.”
“Siapa?” bentak Li Tiang-ceng.
Padahal pandangan keempat orang itu sudah menatap Kim Bu-bong. Meski Kim
Bu-bong berdiri tegak tanpa bergerak, diam-diam hatinya menjadi gelisah.
Terdengar Kim Put-hoan berkata lantang, “Harap kalian perhatikan, inilah Kim
Bu-bong, Duta Harta, salah satu duta besar Koay-lok-ong, tentu sudah lama kalian
mendengar kebesaran namanya.”
Belum habis dia bicara, serentak Li Tiang-ceng berempat melompat maju mengepung
Cu Jit-jit dan Kim Bu-bong, setajam golok mereka menatap Kim Bubong.
Perlahan Cu Jit-jit makin merapat di samping Kim Bu-bong. Kalau keempat orang itu
menatap Kim Bu-bong, sebaliknya Kim Bu-bong juga balas menatap mereka, tiada
yang bicara, dalam keadaan seperti ini, bicara memang berlebihan.
Tanpa tanya juga Kim Bu-bong tahu maksud kedatangan keempat orang ini, keempat
orang itu juga tahu jika pihaknya mengajukan pertanyaan, lawan jelas takkan
memberi jawaban, maka lebih baik tidak tanya.
Berhadapan secara diam begini tentu saja menambah tegangnya suasana, sinar
matahari seakan mulai guram, cuaca remang-remang, deru angin seperti pekikan di
medan perang.
Cu Jit-jit tidak tahan lagi, serunya, “Kalian mau apa?”
Keempat orang itu melirik sekejap, hanya sekejap lalu menatap Kim Bu-bong pula,
hakikatnya seperti tak sudi memandangnya, apalagi menjawab pertanyaannya.
“Apa pun persoalannya harus dibicarakan dulu dengan jelas, memangnya apaan
cara begini?” teriak Jit-jit pula.
Kali ini orang-orang itu melirik pun tidak.
Dengan nekat Jit-jit berteriak, “Mereka tidak mau bicara, mari kita pergi.”
Kim Put-hoan yang berdiri di samping mendadak tertawa latah, serunya, “Kalian
dengar, merdu sekali ucapan budak ini.”
Teriak Jit-jit dengan gusar, “Kalian tak mau bicara, ayolah turun tangan, jika tidak
turun tangan, maka kami mau pergi, memangnya harus ikut berdiri seumur hidup di
sini.”
Li Tiang-ceng menghela napas, ujarnya, “Masa kau minta kami turun tangan?”
Meski dia bersuara, tapi ucapannya bukan ditujukan kepada Cu Jit-jit, melainkan
kepada Kim Bu-bong. “Betul,” Kim Put-hoan ikut bersuara. “Apa kau ingin kami turun
tangan? Kalau
kau tahu diri menyerah saja biar kami belenggu, setiap pertanyaan harus kau jawab,
daripada tersiksa.” Kim Bu-bong hanya menyeringai saja tanpa bersuara.
Tapi Jit-jit tambah tidak tahan, makinya, “Kentut, kau....” Mendadak Lian Thian-hun
meraung, “Buat apa banyak cincong, pukul roboh mereka dan ringkus saja, masa
mereka takkan bicara nanti?”
Mendadak Kim Bu-bong menengadah dan terbahak-bahak, “Haha, sungguh gagah,
sungguh gagah, orang she Kim memang lagi menunggu kalian para pahlawan ini,
silakan turun tangan bersama.”
Berputar bola mata Cu Jit-jit, mendadak ia pun tertawa, serunya, “Sungguh kasihan,
sungguh sayang... orang gagah terkenal macam kalian hanya pandai main
keroyok....”
“Budak busuk,” damprat Lian Thian-hun, “tutup bacotmu, boleh kau saksikan apakah
tuan besarmu ini main keroyok atau tidak? Silakan kalian mundur selangkah, biar
kubekuk keparat ini.”
Li Tiang-ceng berkerut kening, namun Lian Thian-hun, lantas melompat maju. Kim
Bu-bong bertanya, “Apa betul kau berani melawanku seorang diri?” “Hanya cucu
kura-kura yang tidak berani,” sahut Lian Thian-hun dengan gusar. “Kukira lebih baik
kau mundur saja, kungfu Khi-tun-to-gu Lian Thian-hun dulu
memang tinggi, tapi sejakkau bergebrak denganku?” Lian sekarang tinggal tiga
bagian saja, mana boleh tragedi di Heng-san kungfunya Thian-hun menjadi gusar,
kedua tinjunya beruntun menggenjot seraya membentak, “Siapa berani
membantuku, Lian Thian-hun akan mengadu jiwa dulu dengan dia.”
Perlahan Kim Bu-bong mendorong Cu Jit-jit ke samping, “Awas!”
Sambil bicara ia menghindari dua kali jotosan Lian Thian-hun.
Li Tiang-ceng seorang tokoh besar, melihat gerak tubuh lawan, segera ia tahu lawan
memiliki kungfu tinggi, segera dia mundur beberapa langkah dan memberi tanda
kedipan mata kepada Leng Toa.
Leng Toa segera melompat ke dekatnya, tanyanya, “Ada apa?”
Li Tiang-ceng berkata dengan suara tertahan, “Betapa tinggi kepandaian orang ini
sukar diukur, dalam empat puluh jurus Samte mungkin takkan kalah, tapi empat puluh
jurus kemudian, bila kehabisan tenaga pasti kalah.”
“Ya, kukira juga demikian.”
“Belakangan ini bagaimana dengan latihan lwekangmu?”
Leng Toa tersenyum, sahutnya, “Lumayan.”
“Tapi batukmu....”
“Supaya tidak batuk juga bisa.”
Berputar mata Li Tiang-ceng, dilihatnya Kim Put-hoan menonton di pinggir sambil
tersenyum, Thian-hoat Taysu kelihatan menggosok-golok kepalan dan getol ikut turun
gelanggang, namun karena peringatan Lian Thian-hun tadi, maka dia bimbang.
Seperti sengaja dan tidak sengaja, kedua orang ini mencegat jalan pergi Cu Jit-jit di
kanan-kiri.
Segera Li Tiang-ceng mendesis lagi, “Biasanya Kim Put-hoan jarang turun tangan,
luka dalam Thian-hoat mungkin belum sembuh, sementara aku, ai, pendek kata,
melihat situasi hari ini hanya kaulah yang bisa diharapkan, apakah kau yakin dapat
mengalahkan dia?”
“Boleh kucoba!”
“Bagus, tapi sekarang kau tak boleh turun tangan, kau tahu watak Losam, maka
harus kau tunggu bila dia melontarkan jurus andalannya itu baru kau terjun....
Sekarang sudah lebih dua puluh jurus, belasan jurus lagi Losam pasti akan
melancarkan jurus itu, paham?”
“Tahu!” sahut Leng Toa, walau bicaranya lebih banyak daripada adiknya, tapi
jawabannya tetap singkat saja.
Pukulan Thian-hun secepat angin, dalam sekejap dia sudah menyerang dua puluhan
jurus bagai gugur gunung dahsyatnya, siapa pun yang menyaksikan
pukulannya akan pecah nyalinya. Di tengah deru angin pukulan, bunga salju
beterbangan.
Bunga salju yang berhamburan bila hinggap di muka orang akan meninggalkan
bercak merah di muka orang, sudah ada tiga-empat bercak merah di muka Cu Jit-jit.
Jilid 14
Menyaksikan pertarungan ini, Jit-jit jadi ngeri dan khawatir, batinnya, “Siapa bilang
kungfu Lian Thian-hun sudah susut? Jika lwekangnya sekarang cuma tiga bagian
daripada kemampuannya dulu, bukankah sekali pukulannya bisa menewaskan
seorang kosen.... Mungkin Kim Bu-bong percaya omongan orang dan salah tafsir,
kalau satu lawan saja tak mampu dikalahkan dia, belum lagi empat orang yang
menunggu giliran.”
Maklum, watak Cu Jit-jit memang agak ekstrem, maka sering dia melakukan
perbuatan tak dapat dilakukan orang lain, apa itu adat istiadat, apa itu peraturan, dia
tidak peduli. Jika dia baik dengan seorang, maka dia harap orang itu akan menang,
tentang benar atau salah, baik atau jahat sama sekali tidak dipikirnya.
Demikian pula sekarang, tentu saja dia harap Kim Bu-bong dapat memukul mampus
Lian Thian-hun, soal Lian Thian-hun orang baik atau jahat, hakikatnya tak terpikir
olehnya.
Tapi Kim Bu-bong justru terdesak di bawah angin, keruan Jit-jit gelisah.
Dia tidak tahu bahwa lwekang Lian Thian-hun sudah jauh berkurang, kekuatannya
sekarang paling-paling hanya tiga bagian saja dari kepandaiannya waktu puncaknya
dulu. Dasar Lian Thian-hun berwatak berangasan, sekali bergebrak, dia keluarkan
seluruh sisa tenaganya itu tanpa pikirkan keselamatan sendiri.
Betapa luas dan pengalaman tempur Kim Bu-bong, sejak mula dia sudah melihat titik
kelemahan lawan, maka dia tidak mau adu jiwa, tujuannya hanya menguras tenaga
lawan.
Beberapa jurus lagi, serangan Lian Thian-hun mulai kendur. Keringat sudah
membasahi jidatnya. Sebaliknya serangan Kim Bu-bong semakin kuat, lambat laun
dia mulai berada di atas angin.
Mendadak kedua kepalan Lian Thian-hun menghantam sekaligus, jurus ini dinamakan
Ciak-boh-thian-king (Batu Pecah Langit Terkejut), dengan dahsyat menghantam dada
Kim Bu-bong.
Pada saat itulah Li Tiang-ceng berkata perlahan, “Inilah jurus ketiga delapan.”
Leng Toa mengangguk, seluruh perhatian tercurah ke tengah kalangan pertempuran.
Tertampak Kim Bu-bong menyurut mundur miring, agaknya dia tidak mau melawan
kekerasan serangan Lian Thian-hun, meski kaki melangkah mundur, tapi dia masih
menyimpan tenaga susulan untuk menanti pukulan Lian Thian-hun selanjutnya.
Tak terduga Lian Thian-hun juga mundur selangkah dan berdiri tegak di tengah,
bentaknya, “Berhenti!”
Bentakan menggelegar ini membuat kuping Cu Jit-jit mendengung, untuk sekian
lama dia tak bisa mendengar suara apa pun.
Kim Bu-bong langsung mengalami akibatnya, terasa seperti ada arus hawa yang
memukul dadanya, tanpa kuasa tubuhnya tergeliat, tapi sedapatnya ia bertahan pada
posisinya dan siap serang lagi.
Pada saat itulah sesosok bayangan kurus meluncur tiba dan menyelinap di tengah
mereka berdua.
Kiranya bentakan Lian Thian-hun tadi adalah salah satu ilmu simpanannya yang
lihai, yaitu Ci-te-tui (Palu Bawah Lidah) yang kuat tapi tak berbentuk.
Lian Thian-hun bergelar Khi-tun-to-gu (Bila Marah Menelan Jagat), ini menunjukkan
khikangnya teramat hebat, waktu kekuatannya masih utuh dulu sekali dia menghardik
dengan Ci-te-tui lawan bisa tergetar putus urat sarafnya dan menjadi linglung.
Sayang sekali khikangnya sekarang tidak sekuat dulu, maka Kim Bu-bong hanya
terkejut tak tidak terpengaruh oleh gertakannya.
Lian Thian-hun juga tahu kekuatan Ci-te-tui sekarang jauh lebih lemah dibanding
dulu, namun wataknya tidak mau kalah, bila terdesak dan keadaan cukup gawat
tanpa sadar dia lantas melancarkan ilmu ini.
Li Tiang-ceng adalah saudara angkatnya sejak muda, sudah diduganya Lian
Thian-hun pasti akan melancarkan ilmunya ini. Maka begitu dia menggertak dengan
Ci-te-tui, segera Leng Toa menyelinap masuk arena.
Lian Thian-hun membentak gusar, “Minggir, siapa suruh kau turut campur?”
Leng Toa tersenyum, katanya, “Sudah kau suruh orang berhenti, tentunya aku boleh
turun tangan.”
Lian Thian-hun melengak, lekas Li Tiang-ceng menyeretnya ke pinggir.
Kim Put-hoan tertawa lebar, katanya, “Haha, lucu, sungguh lucu.”
Thian-hoat Taysu juga berkata, “Biar ku....”
“Kenapa Taysu tergesa-gesa? Keparat itu takkan bisa lolos, kenapa Taysu tidak lihat
dulu bagaimana kungfu Leng-keh-sam-hengte (Tiga Saudara dari Keluarga Leng)
hebat dan yang jarang dipamerkan di depan umum?” demikian bujuk Kim Put-hoan.
Sejenak Thian-hoat Taysu termenung dan urung melangkah maju.
Kiranya kedudukan ketiga saudara keluarga Leng di dunia persilatan agak aneh,
mereka adalah kaum budak di Jin-gi-ceng, namun kungfu mereka termasuk tokoh
kelas tinggi.
Mereka tidak mengejar nama, tidak mencari keuntungan pribadi, juga tak pernah
berkecimpung di Kangouw atau ikut campur urusan orang lain, kecuali ada orang
mengancam Jin-gi-ceng, mereka tidak sembarangan turun tangan.
Tapi bila mereka sudah turun tangan, lawan mereka jarang ada yang bisa pulang
dengan selamat, maka jarang ada kaum persilatan yang tahu asal usul kungfu
mereka.
Riwayat hidup mereka merupakan teka-teki pula, mereka tidak pernah menyinggung
atau membicarakan perihal pribadi mereka dengan orang lain, umpama ada orang
tanya juga mereka tak mau menjawab, kepada siapa pun sukar mencari tahu
seluk-beluk mereka.
Kungfu yang misterius, riwayat hidup yang terahasia, ditambah tabiat mereka yang
aneh sehingga ketiga bersaudara ini dipandang sebagai tokoh aneh dunia Kangouw.
Sekarang sampai Lian Thian-hun juga ingin menyaksikan saudara tertua keluarga
Leng ini memiliki kejutan apa dalam ilmu silatnya.
Sementara Leng Toa sedang terbatuk-batuk tak berhenti-henti, maka Cu Jit-jit lantas
bertanya, “Kau sedang sakit, apa masih sanggup bergebrak?”
Leng Toa angkat kepala dan tertawa padanya, katanya, “Terima kasih atas
perhatianmu.”
Habis bicara dia batuk lagi lebih gencar.
Jit-jit menghela napas, katanya, “Masih banyak orang di sini, kenapa kau yang
disuruh maju? Kim... Kim-toako, biarlah dia mundur saja, gantikan orang lain.”
Kim Bu-bong hanya tertawa dingin tanpa bicara.
Kim Put-hoan justru menanggapinya dengan sinis, “Nona Cu, kau khawatir dia sakit
dan tak sanggup berkelahi? Hehehe, nanti bila dia bikin kau menjadi janda, baru kau
tahu betapa lihainya.”
Beringas muka Jit-jit, hampir dia mengumbar adatnya lagi.
Dasar usil, Kim Put-hoan bermaksud meledek lagi, mendadak Leng Toa membentak
gusar, “Tutup mulutmu.”
Kim Put-hoan melenggong, “Kau suruh aku tutup mulut?”
“Ya, kau harus tutup mulut,” seru Leng Toa.
“Apa... apakah kau tak bisa membedakan siapa musuh dan siapa kawan?”
“Aku lebih senang punya musuh seperti dia daripada punya teman seperti
tampangmu,” jawab Leng Toa. Perkataannya itu berarti “teman yang hina dina jauh
lebih menakutkan daripada musuh yang jujur”.
Mau tak mau Kim Put-hoan merasa malu, dia menoleh ke arah Li Tiang-ceng,
maksudnya seperti ingin bilang, “Kacungmu bersikap kurang ajar padaku, kenapa kau
tidak menegurnya.”
Ternyata Li Tiang-ceng diam saja tanpa memberi reaksi, seakan-akan dia tidak
mendengar atau memang sengaja tidak peduli akan percakapan Kim Put-hoan
dengan Leng Toa.
Waktu Kim Put-hoan berpaling lagi, tampak mata Leng Toa setajam pisau tengah
menatapnya dengan gusar, lekas ia ganti sikap, katanya dengan cengarcengir,
“Agaknya tepukan pantat keliru kutepuk pada paha kuda. Baiklah, aku takkan bicara
lagi, silakan Leng-heng turun tangan.”
Leng Toa mendengus, sikapnya merasa jijik dan menghina, lalu dia berpaling ke
arah Kim Bu-bong, katanya, “Silakan!”
Cu Jit-jit tidak bersuara lagi, dia menduga Leng Toa yang berpenyakitan ini pasti
punya bekal kungfu yang tinggi, kalau tidak Kim Put-hoan yang suka menindas yang
lemah dan takut kepada yang kuat ini tidak nanti bersikap begitu takut
kepadanya. Dengan mata terbelalak dia menunggu pertempuran yang akan
berlangsung.
Tapi Kim Bu-bong dan Leng Toa ternyata belum bergebrak. Kedua orang berdiri
berhadapan, tidak ambil posisi, tidak pasang kuda-kuda, namun keduanya sama tahu
tidak boleh sembarangan menyerang, kalau bergerak secara gegabah mungkin akan
mengalami akibat yang fatal.
Maklum, bagi penyerang yang ingin mendahului pasti menggunakan serangan keji
dan dahsyat, padahal permainan silat di dunia ini bila mengutamakan serangan pasti
ada peluang pada pertahanannya.
Bilamana serangan pertama gagal, lawan pasti balas mengincar titik lemahnya dan
melancarkan serangan balasan maut.
Sebab itulah sejak Leng Toa bilang “silakan” tubuh kedua orang tiada yang bergerak,
mata pun tak berkedip.
Li Tiang-ceng, Kim Put-hoan, Thian-hoat Taysu adalah jago kosen, sudah tentu
mereka tahu kenapa sejauh ini kedua orang diam saja tak mau menyerang lebih dulu.
Suasana tegang mencekam, semua orang menahan napas, tak berani berisik,
khawatir membuyarkan konsentrasi kedua jago yang siap saling labrak itu.
Akhirnya Cu Jit-jit juga merasakan keadaan kedua jago yang berhadapan itu,
mati-hidup mereka hanya bergantung pada sekejap saja, maka dengan tajam dia
mengawasi kedua orang yang tegak seperti patung, suasana tegang ini jauh lebih
menakutkan daripada pertempuran yang pernah disaksikannya.
Angin dingin mengembus kencang, namun mereka tidak merasa dingin lagi.
Entah berapa lama sudah lalu.
Leng Toa merasakan tenaganya seperti sedang terkuras keluar, padahal dia belum
menggerakkan seujung jari pun, tapi energi yang terbuang dalam ketegangan justru
lebih besar dibanding tatkala bertempur sengit.
Keringat terasa mengalir di jidatnya, meleleh dan membasahi pipi, seperti ulatulat
kecil yang merambat di mukanya, gatal dan geli.
Tapi dia bertahan dengan mengertak gigi. Sebab dia tahu pertempuran ini akan
menentukan mati-hidup mereka, juga merupakan ujian tinggi-rendah kungfu mereka,
yang lebih penting lagi juga menguji keteguhan ketahanan mereka berdua. Dia insaf
meski dirinya sekarang menderita, lawan pun pasti dalam keadaan serupa.
Entah berapa lama telah berlalu pula.
Bukan saja Leng Toa dan Kim Bu-bong mengeluh dalam hati, Li Tiang-ceng,
Thian-hoat Taysu yang menonton di pinggir juga kehilangan sabar, keringat juga
membasahi jidat mereka, seolah-olah mereka sendiri baru mengalami pertempuran
sengit.
Diam-diam Kim Put-hoan menarik lengan baju Li Tiang-ceng. Mereka saling pandang
sekejap, lalu mundur jauh ke sana.
Kim Put-hoan berkata dengan berbisik, “Li-heng, menurut pendapatmu, siapa bakal
menang dalam pertempuran ini?”
“Kukira kedua orang ini setanding dan sama kuat,” jawab Li Tiang-ceng setelah
berpikir sejenak.
“Ya, mereka terhitung tokoh top dunia Kangouw, tujuh jago kosen bu-lim seperti kami
ini bila dibandingkan mereka sungguh harus merasa malu.”
“Dalam segalanya Leng Toa tidak lebih asor daripada Kim Bu-bong, tapi ketahanan
fisiknya... penyakit tebesenya terakhir ini semakin parah karena terlalu banyak minum
arak, kalau keadaan tegang begini berlangsung lebih lama, tenaga Leng Toa pasti tak
kuat bertahan, bukan mustahil akibatnya fatal baginya.”
“Wah, lalu bagaimana baiknya,” ujar Kim Put-hoan. “Padahal kutahu betapa tekun
orang ini menggembleng diri, sukar mencari orang kedua yang bisa menandingi dia.
Apalagi biasanya dia tidak suka campur dengan orang perempuan, bicara tentang
ketahanan tenaganya, selama aku berkecimpung di dunia Kangouw belum pernah
kulihat orang yang lebih unggul daripada dia. Dahulu pernah dia bertempur melawan
belasan orang secara bergilir, setelah belasan babak, ternyata wajahnya tetap tak
berubah dan tenaga tak berkurang.”
“Kalau betul demikian, tanpa bertempur pun jelas aku juga bukan tandingannya,
mungkin....”
“Mungkin Thian-hoat Taysu juga bukan tandingannya, begitu?” tanya Kim Puthoan.
Li Tiang-ceng diam saja.
“Jadi kita berlima tiada seorang pun yang kuat melawannya, apakah kita manda saja
dipukul roboh satu per satu olehnya?”
“Sudah tentu tidak, kecuali... kecuali....” Li Tiang-ceng tak berani meneruskan.
“Kecuali bagaimana?” tanya Kim Put-hoan.
“Kecuali kau turun tangan bersamaku.”
Tujuan Kim Put-hoan ajak orang bicara memang ingin memaksa pernyataannya ini,
segera dia bertepuk tangan, serunya, “Ya, memang harus demikian, menghadapi iblis
jahat ini tak perlu kita mematuhi aturan Kangouw segala, daripada kita berkorban,
biarlah kita turun tangan bersama saja.”
Waktu Li Tiang-ceng memandang ke sana, dalam beberapa kejap percakapannya
dengan Kim Put-hoan ini, dilihatnya keadaan Leng Toa semakin payah, jelas dia tidak
kuat bertahan lebih lama, sebaliknya sorot mata Kim Bubong makin mencorong.
“Bagaimana....” Kim Put-hoan mendesak.
Li Tiang-ceng mengertak gigi, katanya dengan suara tertahan, “Baiklah.”
Belum habis dia bicara Kim Put-hoan menyeringai, katanya, “Kalau begitu, Kim
Bu-bong harus menyerahkan jiwanya.”
Di tengah gelak tertawanya, beberapa bintik sinar dingin melesat ke sana langsung
menyerang dada Kim Bu-bong, serangan cepat lagi ganas, jelas dia sudah siapkan
senjata rahasianya sejak tadi.
Kim Bu-bong sedang tumplak seluruh perhatiannya, sedikit pun tidak boleh lena, kini
mendadak diserang, dia dapat berkelit, jelas dia pasti celaka.
Cu Jit-jit menjerit, mau menolong pun terlambat.
Di luar dugaan Kim Bu-bong ternyata mampu menghindar, sekali berjumpalitan,
belasan bintik kemilau itu meluncur lewat di bawah kakinya.
Di tengah udara Kim Bu-bong berputar dan turun di samping Cu Jit-jit, ia membentak
bengis, “Kim Put-hoan, sudah kuduga kau akan membokong diriku, maka sejak tadi
memang sudah kuperhatikan gerak-gerikmu. Hm, kau ingin mencelakai aku,
belajarlah sepuluh tahun lagi.”
Sudah tentu hadirin kaget mendengar pertanyaannya. Kim Put-hoan membentak
gusar, “Ayo maju semua, ganyang saja kedua orang ini!”
Meski suaranya lantang, namun dia tidak berani turun tangan lebih dulu.
Thian-hoat Taysu melirik ke arah Li Tiang-ceng, terlihat Li Tiang-ceng mengangguk,
tanpa bicara lagi dari kiri-kanan lantas menubruk maju, dalam sekejap mereka sudah
menyerang tiga jurus.
Begitu Kim Put-hoan turun tangan, Leng Toa malah mundur beberapa langkah, hanya
Lian Thian-hun masih berdiri di tempatnya sambil menunduk seperti sedang
memikirkan sesuatu.
Sambil menarik Cu Jit-jit, Kim Bu-bong menangkis ke kiri dan menghindar ke kanan,
beruntun dia layani tiga jurus serangan lawan, mendadak dia menjengek, “Li
Tiang-ceng, coba kau lihat keadaan Lian Thian-hun.”
Kim Put-hoan membentak, “Jangan tertipu!”
Sebetulnya Li Tiang-ceng juga berpikir demikian, namun perhatiannya teramat besar
atas keselamatan saudara angkatnya ini, akhirnya dia tak tahan dan menoleh.
Seketika dia kaget dan berubah air mukanya.
Ternyata Lian Thian-hun sedang menunduk dengan memejamkan mata, wajahnya
pucat pasi, mulut mengeluarkan buih, kelihatan amat mengerikan.
Kaget dan gusar Li Tiang-ceng, bentaknya, “Kau... kau apakah dia?”
Kaki tangan Kim Bu-bong tidak berhenti, berbareng juga menjengek, “Waktu
bergebrak denganku tadi dia sudah terkena obat biusku yang beracun, tanpa obat
penawar perguruanku, dalam dua jam racun akan bekerja dan jiwa pun melayang.”
“Bangsat, apa... apa kehendakmu?” bentak Li Tiang-ceng khawatir.
“Dengan jiwanya kuminta ganti jiwa orang lain,” seru Kim Bu-bong.
Kim Put-hoan memaki, “Kau kira kami akan melepaskan kau? Hehe, jangan mimpi!”
Kembali dia serang tiga kali dengan lebih keji, sungguh dia ingin sekali hantam
mampuskan Kim Bu-bong.
Sambil tertawa ejek Kim Bu-bong menghindarkan serangan lawan, jengeknya, “Hm,
kau mimpi?!”
“Dalam sekejap kami dapat membekuk dirimu, memangnya takkan kau serahkan
obat penawarnya?” kata Kim Put-hoan.
“Ya, memang demikian,” seru Li Tiang-ceng, kembali dia terjun ke arena,
serangannya tambah gencar dan ganas, dalam keadaan begini, demi menolong jiwa
Lian Thian-hun, terpaksa Leng Toa ikut mengeroyok.
Diam-diam Cu Jit-jit cemas, pikirnya, “Dengan demikian bisa celaka dia.”
Siapa tahu mendadak Kim Bu-bong bergelak tertawa latah malah.
“Kau tertawa apa? Masih bisa kau tertawa?” damprat Kim Put-hoan.
“Coba kau lihat apakah ini?” seru Kim Bu-bong, mendadak tangan terayun, selarik
bintik hitam menyambar dari tangannya.
Orang banyak menyangka dia balas menyerang dengan am-gi atau senjata rahasia,
ternyata delapan bintik hitam itu bukan menyerang lawan, tapi sebaliknya menyerang
dirinya sendiri.
Tertampak dia membuka mulut dan menyedot, sekaligus delapan bintik hitam itu
tersedot ke dalam mulutnya.
Sudah tentu semua orang terbelalak heran, beramai mereka tanya, “Apakah itu?”
“Inilah obat penawarnya,” sahut Kim Bu-bong, agaknya dia belum telan bintik hitam itu
ke dalam perut melainkan hanya dikumur di mulut saja, maka suara bicaranya tidak
begitu jelas, tapi semua orang tahu dan maklum akan maksudnya.
“Obat penawar,” terkesiap Li Tiang-ceng. “Hendak... hendak kau telan?”
“Kalau kalian menyerang lagi, obat penawar akan segera kutelan, obat penawar ini
tinggal beberapa biji saja di dunia ini, jika kutelan seluruhnya.... Hehehe, umpama
dewa juga jangan harap akan dapat menyelamatkan jiwa Lian Thianhun.”
Belum habis dia bicara, Li Tiang-ceng dan Leng Toa serentak mengendurkan
serangan, lalu berhenti dan mundur. Thian-hoat Taysu ikut berhenti, jika Kim
Put-hoan tidak berhenti, seorang diri mana dia mampu melawan Kim Bu-bong.
Dengan mata jelalatan Kim Put-hoan berkata, “Kim Bu-bong, terus terang kuberi tahu
kepadamu, bila ingin kau tuntut kami membebaskan dirimu, lalu akan kau serahkan
obat penawarnya, jangan harap kami akan menerima tuntutanmu. Tapi kalau kau
tinggalkan obat penawarnya baru kami akan membebaskanmu, namun belum tentu
kau mau, betul tidak? Lalu apa maksudmu sebenarnya? Lekas katakan saja!”
Kim Bu-bong masih pegang lengan Cu Jit-jit, katanya dengan tertawa dingin, “Mau
datang boleh datang, ingin pergi pun tiada yang dapat menahanku, kenapa perlu kau
lepaskanku pergi segala?”
Ucapan Kim Bu-bong ini kembali di luar dugaan.
“Lalu kehendakmu?” tanya Kim Put-hoan.
“Kalian harus membebaskan dia,” kata Kim Bu-bong.
“Dia?... nona ini?” Li Tiang-ceng menegas.
“Ya, bebaskan Nona Cu ini,” kata Kim Bu-bong. “Dia tidak ada sangkut pautnya
dengan urusan ini, asalkan bebaskan dia, sesudah dia pergi jauh, segera kuberikan
obat penawar.”
Diam-diam Li Tiang-ceng menghela napas lega, namun di mulut ia berkata, “Tapi...
tapi cara bagaimana dapat kupercayaimu?”
“Percaya atau tidak terserah padamu,” jengek Kim Bu-bong.
Li Tiang-ceng termenung sejenak, katanya kemudian, “Baiklah.”
Ia pandang Thian-hoat Taysu, padri itu mengangguk perlahan. Sebaliknya Kim
Put-hoan merasa penasaran, namun dilihatnya Leng Toa dan Li Tiang-ceng sama
melotot padanya, biarpun ia menyatakan tidak setuju juga tidak ada gunanya.
Terpaksa ia pun mengangguk, bahkan tertawa dan berseru, “Aha, kiranya
permintaanmu hanya pembebasan Nona Cu, haha, bagus sekali. Padahal tanpa kau
minta juga takkan kami ganggu dia.”
Kim Bu-bong mendengus dan melepaskan pegangannya, katanya kepada Cu Jit-jit,
“Lekas kau pergi saja.”
Merah basah mata Jit-jit, ucapnya dengan menunduk, “Jadi benar kau suruh
kupergi?”
“Jika tidak pergi, engkau berbalik akan menambah bebanku,” kata Kim Bu-bong
dengan dingin, meski sikap dan ucapannya dingin, tapi dadanya berombak, jelas ia
pun dirangsang emosi.
Dalam keadaan demikian, bila gadis lain tentu akan menangis dan banyak tingkah,
namun sekali ini Cu Jit-jit justru bertindak kebalikannya, walaupun hati terharu dan
berterima kasih, tapi ia tahu tiada gunanya bicara lagi.
Segera ia mengentak kaki dan berseru, “Baik, kupergi! Jika engkau hidup tentu akan
kutemukan kau lagi, bila engkau mati akan kutuntut balas bagimu.”
Dengan menahan perasaannya segera ia berlari pergi dengan cepat.
Sampai lama sesudah bayangan punggung si nona menghilang di kejauhan Kim
Bu-bong masih berdiri termangu tanpa bergerak.
Mendadak Kim Put-hoan mengejek, “Ai, kasihan, nona ini ternyata tidak tahu budi
atas kebaikan Kim-lotoa kami, sekali bilang pergi segera pergi tanpa menoleh....”
“Binatang! Cuhh!” semprot Kim Bu-bong, sekaligus delapan bintik hitam menyambar
ke sana.
Kim Put-hoan sedang mengoceh dengan gembira dan tidak berjaga-jaga, keruan
bintik hitam itu semua hinggap di mukanya.
Wajahnya memang buruk serupa siluman, ditambah lagi hiasan bintik-bintik hitam ini,
keruan tampangnya tambah lucu dan menakutkan, juga memuakkan.
Karena muka sakit pedas, Kim Put-hoan menjadi gusar, selagi tangannya hendak
mengusap muka, baru tangan terangkat segera dipegang oleh Leng Toa.
“Hm, yang menempel di mukamu itu adalah obat penawar penyelamat jiwa Lian-
samya, jika berani sembarangan kau usap, segera kubinasakan kau,” jengek Leng
Toa.
Baru sekarang Kim Put-hoan ingat yang disemburkan Kim Bu-bong itu adalah obat
penawar yang terkulum di mulutnya tadi, terpaksa ia berdiri diam saja dan
membiarkan Leng Toa membersihkan obat penawar itu sebiji demi sebiji. Ludah Kim
Bu-bong yang menghiasi muka Kim Put-hoan itu akhirnya kering.
Kim Bu-bong lantas menengadah dan bersuit nyaring, serunya, “Nah, obat penawar
sudah kalian dapatkan, bila mau turun tangan, ayolah mulai!”
Belum lenyap suaranya, serentak dua sosok bayangan lantas menerjang maju.
*****
Dalam pada itu tanpa menoleh Cu Jit-jit terus berlari ke depan, sampai sekian
jauhnya, air mata tak tertahankan lagi dan bercucuran, semakin dipikir makin
berduka, akhirnya ia menangis tergerung-gerung.
Entah menangis berapa lama lagi, tiba-tiba diketahui dirinya berada di bawah
sebatang pohon kering, entah kapan dia berhenti di situ juga tidak dirasakannya.
Hari masih siang, namun cuaca remang-remang seakan-akan petang.
Ia mengusap air matanya dan tidak menangis lagi, ia mengingatkan dirinya sendiri,
“Jangan menangis lagi, Cu Jit-jit! Kim Bu-bong takkan mati, untuk apa kau tangisi?
Mungkin... mungkin saat ini Kim Bu-bong sudah kabur.”
Tapi segera ia mengomeli diri sendiri, “Omong kosong, siapa bilang Kim Bu-bong tak
bisa mati? Siapa bilang Kim Bu-bong akan kabur? Keempat orang itu pasti bukan
tandingannya jika satu lawan satu, tapi... tapi satu lawan empat, betapa pun sulit....
Namun dia dapat lari.... Ah, juga tidak betul, dia terkepung empat orang, umpama
mau lari juga sukar....”
Begitulah sebentar dia menggerundel, sebentar mengomel, lain saat menghibur lagi
diri sendiri, akhirnya ia berbangkit, ia mengertak gigi, setelah membedakan arah,
segera ia berangkat ke depan.
Sembari berjalan ia bergumam pula, “Kepergianku ini bukan untuk mencari Sim
Long, dia bersikap kasar padaku, mati pun aku tidak mau mencari dia, aku akan cari
Thio Sam atau Li Si dan orang lain, siapa pun dapat kumintai bantuan untuk
menolong Kim Bu-bong.”
Padahal ia tahu apa yang dikatakannya itu tidak dapat dipercaya, namun dia tetap
omong begitu. Kebanyakan anak perempuan di dunia ini memang ada satu kelebihan
daripada kaum lelaki, yaitu suka dusta pada dirinya sendiri.
Begitulah sembari berjalan sambil berpikir, tanpa terasa Jit-jit sampai lagi di kota kecil
tempat mereka makan pagi itu, rumah makan kecil itu kelihatan di depan.
Entah mengapa, tanpa terasa ia masuk lagi ke rumah makan itu. Dia memang lelah,
pikiran kusut, ia perlu mencari suatu tempat istirahat untuk menenangkan pikiran.
Pelayan masih mengenali si nona, cepat ia mendekat dan menyapa, “Nona ingin
makan apa, tuan tadi tidak ikut datang lagi? Apakah segera menyusul? Biarkan
hamba menyiapkan dua pasang sumpit, boleh?”
Mendadak Jit-jit menggebrak meja dan membentak, “Jangan cerewet!”
Keruan pelayan itu berjingkat kaget dan melongo.
“Sediakan Ang-sio-hi-sit dan pauhi, ham masak madu, tim tapak beruang dan....”
“Wah, mana... mana ada santapan kelas tinggi itu di tempat kecil ini?” ucap si
pelayan dengan kelabakan.
“Habis apa yang tersedia di sini?” teriak Jit-jit.
“Paling-paling cuma nasi dan mi saja, kalau mi ada beberapa macam, pangsit mi,
ti-te-mi, mi babat, loh-mi, dan....”
“Baikan, bawakan satu porsi pangsit mi,” kata Jit-jit, ditambahkan pula, “Cepat!”
Pelayan mengiakan, diam-diam ia menggerutu, minta ini dan itu, akhirnya pangsit mi
juga mau.
Dengan cepat juga pangsit mi lantas diantarkan. Namun pangsit mi yang mengepul
panas ini akhirnya menjadi dingin dan tetap tidak disentuh oleh sumpit Cu Jit-jit.
Maklum, kalau pikiran lagi kusut, biarpun disediakan hidangan yang paling enak juga
sukar ditelannya.
Pada saat itulah mendadak ada orang berteriak-teriak di luar, “Tolong.... Tolong....”
Segera seorang berlari masuk dengan wajah berlumuran darah, dari dandanan dan
perawakannya jelas bukan sebangsa orang Kangouw.
Jit-jit hanya memandangnya sekejap saja dan malas untuk melihatnya lagi. Tapi
pelayan dan tetamu lain sama terkejut dan beramai-ramai mengerumuni orang itu
sambil bertanya, “He, terjadi apa, Juragan Ong?”
“Siapa yang menganiaya Juragan Ong kita, biar kuadu jiwa dengan dia!” teriak lagi
seorang.
Kiranya yang mengalami pukulan ini adalah pemilik rumah makan ini.
“Tadi aku mengobrol iseng bersama Li gemuk di tempat penjualan daging babi sana,”
demikian tutur Juragan Ong, “kukatakan menjelang tengah hari tadi tempat kita ini
kedatangan dua tetamu aneh, yang perempuan cantik molek, yang lelaki buruk rupa
dan lebih mirip setan, kubilang pasangan itu seperti setangkai bunga menghiasi
seonggok kotoran kerbau. Li gemuk tertawa, aku juga tertawa, siapa tahu pada saat
itu juga mendadak menerjang tiba seorang lelaki liar dan menghajar diriku, aku....”
Belum habis penuturannya, tiba-tiba dilihatnya nona cantik yang dibicarakannya itu
sudah berdiri di depannya dengan wajah bersungut.
Keruan Juragan Ong jadi melongo dan tidak dapat bicara lagi.
Jit-jit lantas mendekati mereka, sekali tangannya menyiah, beberapa orang lantas
tertolak sempoyongan ke kanan dan ke kiri, semuanya terkejut dan melongo.
“Ayo, teruskan!” kata Jit-jit sambil memandang Juragan Ong dengan dingin.
“Ya, aku... aku akan berce... bercerita lagi....” Juragan Ong gelagapan.
“Tadi kau bilang siapa mirip setan?” segera Jit-jit menjambret leher baju orang.
Dengan keringat memenuhi dahinya Juragan Ong menjawab, “O, ku... kubilang diriku
sendiri....”
“Bagaimana bentuk orang yang menghajar dirimu tadi?” tanya Jit-jit pula.
“Alis tebal, mata besar dan....”
Belum habis penuturan Juragan Ong, sekali tolak Jit-jit membuat orang terlempar ke
atas meja sana, lalu dia melayang pergi, tertampak di kedua tepi jalan berkerumun
orang yang ingin melihat keramaian.
Dilihatnya di kejauhan sana sedang berjalan seorang lelaki dengan sebelah tangan
membawa buli-buli arak.
Kejut dan girang Jit-jit, teriaknya, “Hai, Him Miau-ji... Si Kucing!....”
Cepat orang itu berpaling, tertampak jelas alisnya yang tebal dengan matanya yang
besar, dada bajunya terbuka, siapa lagi dia kalau bukan Si Kucing.
Si Kucing juga terkejut dan bergirang dapat bertemu dengan Cu Jit-jit, dengan langkah
lebar ia menyongsong kedatangan nona itu, kedua orang saling mencengkeram bahu
masing-masing serupa dua orang yang sudah berpisah selama berpuluh tahun.
Mereka tidak menghiraukan orang berlalu-lalang. Air mata Jit-jit hampir saja
bercucuran pula, bertemu dengan Him Miau-ji di sini, sungguh serupa bertemu
dengan seorang yang paling berdekatan dengan dia. Ia pegang bahu Si Kucing
dengan erat dan berkata padanya dengan suara rada gemetar, “Sungguh baik
sekali... baik sekali dapat bertemu denganmu di sini.”
“Ya, bagus sekali kita dapat bertemu di sini,” Si Kucing juga memegang pundak si
nona dengan tertawa.
“Tapi... tapi mengapa kau datang ke sini?” tanya Jit-jit.
“Men... mencari dirimu,” jawab Si Kucing. “Dan kau?”
“Aku pun datang ke sini mencarimu,” jawab nona.
Dan kedua orang lantas tertawa bersama, “Ayo, harus kita rayakan dengan minum
arak!”
Tertawa mereka sangat gembira, sambil berpegangan tangan mereka masuk lagi ke
rumah makan tadi. Karena gembiranya, kedua orang sudah melupakan adat istiadat
yang membatasi pergaulan antara lelaki dan perempuan.
Sebaliknya orang lain sama menganggap seperti bertemu dengan malaikat elmaut,
semua orang sama menyingkir jauh, Juragan Ong itu juga entah lari ke mana.
Si Kucing dan Jit-jit juga tidak ambil pusing, mereka duduk di rumah makan itu, tidak
ada yang melayani mereka, segera mereka minum arak yang dibawa Si Kucing.
“Tak tersangka engkau masih memikirkan diriku dan mau datang ke sini mencariku,”
ujar Jit-jit dengan tertawa.
“Kupikirkan dirimu?.... Oya, hampir gila saking cemasku, kucari sepanjang jalan dan
tidak tahu apakah dapat menemukan dirimu atau tidak?”
“Aku pun gelisah dan entah dapat menemukan dirimu atau tidak, kudengar ada orang
dihajar di sini, dari keterangannya segera dapat kuduga yang menghajarnya pasti
kau.”
“Hahaha! Kudengar keparat itu bicara tidak sopan, dapat kuterka yang dibicarakannya
pastilah dirimu, aku tidak tahan, biarpun setan alas juga akan kuberi hajaran setimpal.”
Dan keduanya lantas bergelak tertawa pula, akhirnya suara tertawa mereka mulai
mereda.
Jit-jit tidak tahan, ucapnya, “Entah Si....” ia mengertak gigi, kata “Sim Long”
ditelannya kembali mentah-mentah.
Tapi Him Miau-ji sudah dapat menduga apa yang ingin diucapkan si nona, tanyanya,
“Kau ingin tanya Sim Long bukan?”
“Siapa tanya dia? Setan yang tanya dia,” jawab Jit-jit.
Si Kucing menghela napas, katanya, “Tidak lama kau pergi, Sim Long juga pergi.
Kutahu dia hendak mencari dirimu, siapa tahu meski sudah kutunggu sampai sekian
lama belum juga kelihatan bayangannya.”
“Orang busuk begitu, untuk apa kau tunggu dia,” ujar Jit-jit dengan gemas. “Aku
tidak menunggu dia, tapi menunggumu,” kata Si Kucing. “Betul?!” Jit-jit menegas
sambil berkedip-kedip. “Tentu saja betul,” jawab Si Kucing. “Gelisah kutunggu
sedangkan Ong
kedatanganmu, Ling-hoa tiada hentinya bertanya padaku tentang kungfu Sim Long,
perguruan, dan asal usulnya, dia tanya juga cara bagaimana kukenal Sim Long.”
“Sebal kau kenal dia,” gerutu Jit-jit. “Meski Ong Ling-hoa bertanya macam-macam,
tapi aku malas menggubrisnya,
dia tetap berada di situ, tidak enak bagiku untuk meninggalkan dia, untung pada saat
itulah datang bintang penolong....” “O, apakah Sim... siapa dia?” Si Kucing tampak
menyesal dan berkata pula, “Pendatang itu bukan Sim Long.” “Aku kan tidak tanya
apakah dia, setan yang mau tanya dia.” “Kau tanya dia juga pantas,” ujar Si Kucing
dengan tertawa, “Buat apa....” “Ssst,” perlahan Jit-jit memberi tanda, “selanjutnya
takkan kusinggung dia lagi.
Sungguh! Percayalah padaku, seterusnya aku cuma memerhatikan orang yang
baik padaku.” Si Kucing memegang tangan Jit-jit dan memandangnya dengan
terkesima, sampai lama belum lagi bicara.
Jit-jit mengikik, katanya, “Hei, siapa pendatang itu, lekas ceritakan.” Si Kucing
menenangkan pikiran, lalu bertutur, “Orang itu bermuka buruk, dari
caranya berjalan kelihatan tidak lemah ginkangnya, tapi dia justru berdandan
sebagai seorang saudagar.” “Kau kenal dia?” tanya Jit-jit.
“Sama sekali tidak kukenal dia,” Si Kucing menggeleng. “Begitu datang, dia lantas
kasak-kusuk membisiki Ong Ling-hoa, seketika air muka Ong Ling-hoa berubah dan
buru-buru mohon diri padaku, lalu pergi bersama orang itu dengan tergesa-gesa dan
rada gugup juga.”
“Apa yang dibicarakan orang itu, apakah kau dengar?” tanya Jit-jit.
“Seorang lelaki sejati mana dapat kucuri dengar pembicaraan orang lain,” ujar Si
Kucing. Tiba-tiba ia tertawa dan menyambung pula, “Padahal aku memang ingin
mendengarkan, cuma sayang tidak sepatah kata pun terdengar.”
Jit-jit tertawa, “Ai, di sinilah letak cirimu yang menarik, engkau tidak munafik....”
mendadak ia berkerut kening dan termenung sejenak, lalu menyambung, “kelakuan
Ong Ling-hoa selalu misterius, apa yang diucapkannya juga selalu sukar dipercaya.”
“Orang itu memang misterius,” ujar Si Kucing. “Dahulu tidak begitu kurasakan, tapi
setelah lebih sering berhubungan dengan dia, semakin kurasakan tindak tanduknya
yang sukar diduga.”
“Setiap orang yang suka main kasak-kusuk selalu begitu, bukankah Sim... Sim Long
juga begitu?” mendadak muka Jit-jit menjadi merah, ia menunduk dan menambahkan,
“Aku tidak lagi memikirkan dia, aku cuma menggunakan dia sebagai perumpamaan
saja.”
“Ya, aku... aku setuju,” kata Si Kucing.
“Hubungan kalian dengan Sim Long belum lama dan tidak terasakan apa-apa,” ujar
Jit-jit. “Bagiku, kemisteriusan tindak tanduknya kurasakan lebih aneh daripada Ong
Ling-hoa.”
Si Kucing berpikir sejenak, katanya kemudian dengan gegetun, “Ya, memang betul
juga. Tindak tanduknya sungguh sukar diraba, misalnya sekali ini dia mengadu
kecerdasan dengan Ong Ling-hoa.... Ai, kedua orang memang mempunyai caranya
sendiri, kini kedua orang kelihatannya bersatu padu, kutahu banyak rahasia yang
disembunyikan oleh mereka.”
“Siapa bilang tidak,” tukas Jit-jit. “Semula kusangka Sim Long telah sama sekali
memercayai Ong Ling-hoa, siapa tahu sikapnya itu cuma sengaja diperlihatkan
kepada orang lain saja.”
“Jika begitu, bukankah selain Ong Ling-hoa, kita juga dikelabui olehnya,” ujar Si
Kucing. “Sungguh aku tidak mengerti, sesungguhnya siapa dia, apa pula maksud
tujuan perbuatannya itu?”
“Bukan cuma kau saja yang tidak mengerti, aku pun tidak paham,” ujar Jit-jit. “Segala
sesuatu mengenai orang ini seolah-olah tertutup seluruhnya di dalam sebuah rumah,
pintu rumah ini tidak dibukanya untuk siapa pun.”
“Apakah kau tahu apa sebabnya?” tanya Si Kucing.
“Setan yang tahu,” jawab Jit-jit. Ia berkedip-kedip, lalu menyambung lagi, “Sungguh
aku tidak paham, mengapa di dunia ada manusia seperti dia, seperti tidak percaya
kepada siapa pun. Alangkah baiknya bila manusia di dunia ini suka terus terang dan
terbuka seperti engkau dan aku.”
“Tapi jika serupa engkau dan aku, dunia mungkin juga akan selalu kacau,” ujar Si
Kucing dengan tertawa.
Mendadak ia berhenti tertawa dan berucap dengan murung, “Suka berterus terang
adalah sifat terpuji, tapi ada sementara orang menanggung susah di dalam hati, pada
bahunya terdapat beban yang berat, cara bagaimana akan kau suruh dia bicara terus
terang?”
Jit-jit termenung-menung, katanya kemudian, “Engkau sangat baik, masih bicara
baginya....”
Mendadak ia merasa orang yang berduduk di depannya, lelaki yang berbau liar,
ternyata jauh lebih menyenangkan daripada lelaki mana pun.
Walaupun beberapa saat sebelum ini dia merasa sikap dingin Kim Bu-bong,
keteguhan dan ketenangannya, sifat pendiam dan suka memahami perasaan orang
itu adalah watak yang disukainya. Tapi sekarang dirasakan pula watak Him Miau-ji
yang suka terus terang, simpatik, agak liar dan sukar ditundukkan inilah adalah sifat
khas kaum lelaki.
Dia termangu dan berpikir pula, “Jika ada seorang lagi yang dapat menggantikan
kedudukan Sim Long dalam hatiku, maka orang itu ialah Si Kucing ini. Jika dia
sedemikian mencintaiku, untuk apa kupikirkan lagi Sim Long?”
Waktu ia menengadah, dilihatnya Si Kucing juga sedang melamun, entah apa yang
dipikirnya. Alisnya yang tebal tampak agak terkejut sehingga menambah murung
wajahnya yang cerah itu, serupa anak liar yang lelah bermain telah diseret pulang
oleh sang ibu.
Tiba-tiba timbul semacam perasaan kasih lembut seorang ibu, rasa hangat meliputi
sekujur badannya, perlahan ia tanya, “Apa yang kau pikirkan?”
“Memikirkan dirimu,” jawab Si Kucing.
Jit-jit tertawa manis, perlahan ia membelai rambut Si Kucing dan tangan yang lain
memegang telapak tangannya, ucapnya dengan lembut, “Aku berada di sampingmu,
untuk apa kau pikirkan diriku?”
“Kupikir, apa yang kau lakukan seharian ini? Apakah kesepian?” lalu dia
pandang Jit-jit lekat-lekat, si nona juga menatapnya. “Aku... aku tidak kesepian, kan
ada seorang menemaniku....” belum lanjut ucapannya, mendadak Jit-jit melonjak
bangun dan berseru, “Wah, celaka!”
Dalam keadaan mesra begitu mendadak dia melonjak, tentu saja Si Kucing
terkejut, heran dan juga rada kecewa. “Ada apa?” tanyanya. “Sehari suntuk Kim
Bu-bong terus mendampingiku,” tutur Jit-jit. “Tapi sekarang dia terkepung oleh Kim
Put-hoan dan begundalnya, kita harus lekas pergi menolongnya.”
Namun Si Kucing tetap berduduk tanpa bergerak. “Hei, kau dengar tidak? Lekaslah
berangkat!” omel si nona. “Ah, kiranya dia selalu mendampingimu, pantas kau
pikirkan dia meski berada
bersamaku. Baiklah, anggap aku salah taksir,” kecut suara Si Kucing, bernada
cemburu.
Padahal gadis manakah di dunia ini yang tidak suka lelaki cemburu baginya?
Seketika omelan Jit-jit berubah menjadi tersenyum lembut, ia membelai lagi rambut Si
Kucing dan berucap, “Ai, anak bodoh, justru lantaran kelewat gembira bertemu
denganmu, makanya kulupakan urusan lain. Tapi... tapi dia sedang menghadapi
kesulitan, adalah pantas kalau kita menolongnya.”
“Betul kau gembira melihatku?” tanya Si Kucing. “Betul, tentu saja betul,” sahut Jit-jit.
Mendadak Si Kucing melompat bangun sambil berseru, “Ayo, berangkat!” Segera ia
tertarik Jit-jit dan diajak lari keluar. Jit-jit menggeleng kepala dan tertawa, “Sungguh
seperti anak kecil....” Begitulah dengan bergandengan tangan keduanya terus berlari
cepat ke depan
menurut petunjuk Jit-jit.
Dataran bersalju itu jarang dijelajahi manusia, bekas tapak kaki Cu Jit-jit dan Kim
Bu-bong tadi masih tertinggal di atas tanah bersalju. Bekas kaki Kim Bu-bong lebih
cetek, sedangkan bekas kaki Cu Jit-jit lebih dalam.
Setiba di tempat sepi mendadak bertambah lagi bekas kaki ketiga, itulah bekas kaki
Kim Put-hoan yang mengintil di belakang mereka waktu itu.
Setelah sekian lama berlari mengikuti arah bekas kaki itu, mendadak Si Kucing
berhenti dan berkata, “Ah, tidak betul.”
“Apa yang tidak betul?” tanya Jit-jit.
“Bekas kaki ini jelas cuma berputar-putar di sini, mungkin kalian....”
“Betul, sebab....” dengan ringkas Jit-jit lantas menceritakan pengalamannya tadi.
Tentu saja Him Miau-ji terheran-heran, sembari bicara mereka terus maju ke depan.
Tiba-tiba tertampak bekas kaki di atas tanah salju itu kacau-balau.
“Nah, di sinilah,” kata Jit-jit.
“Di sini kalian dicegat!” tanya Si Kucing.
“Betul, tapi... tapi sekarang mereka sudah pergi, jangan-jangan Kim Bu-bong telah...
telah tertawan oleh mereka....”
Mendadak Si Kucing berseru kaget, “Hei, lihat itu!”
Waktu Jit-jit memandang ke sana, seketika air mukanya berubah, dilihatnya di atas
tanah salju dengan bekas kaki yang semrawut itu terdapat pula darah segar.
Darah sudah meresap ke dalam salju dan buyar sehingga warnanya sudah hambar,
ditambah lagi sudah terinjak-injak, kalau tidak diperiksa dengan teliti memang sulit
ketahuan.
Cepat mereka memburu ke sana, Si Kucing mencomot segumpal salju berdarah dan
diciumnya, seketika alisnya yang tebal bekernyit, ucapnya dengan suara berat, “Betul,
memang darah.”
“Jika... jika demikian, jangan-jangan dia mengalami sesuatu....” suara Jit-jit rada
gembira.
Si Kucing tidak bicara lagi, ia berjongkok memeriksa bekas kaki di tanah. Cara
memeriksanya sangat cermat dan teliti, Jit-jit tidak berani mengganggunya, selang
sekian lama, ia tidak tahan dan coba bertanya, “Hai, adakah sesuatu yang kau
temukan?”
“Bekas kaki ini sekilas pandang seperti sama, tapi bila diperiksa dengan cermat,
terlihat banyak perbedaan di antaranya,” kata Si Kucing.
Meski merasa khawatir dan sedih, timbul juga rasa ingin tahu Cu Jit-jit, ia pun
berjongkok dan coba memeriksanya, tapi sampai sekian lama ia pandang tetap tidak
menemukan sesuatu yang aneh.
Semakin tidak menemukan apa-apa, semakin tertarik dia dan ingin tahu
sesungguhnya ada apa, karena tetap tidak melihat sesuatu yang mencurigakan,
akhirnya ia bertanya, “Tampaknya tidak ada perbedaan apa-apa, apakah betul kau
temukan sesuatu yang aneh?”
“Masa tidak kau lihat?” ucap Si Kucing.
“Seperti... seperti....” betapa pun Jit-jit tidak mau mengaku bodoh, ia berharap Si
Kucing akan menjelaskan.
Siapa tahu Si Kucing hanya memandangnya dengan tersenyum tanpa bersuara.
Terpaksa Jit-jit berdiri dan mengentak kaki, “Ya, aku mengaku kalah, aku tidak
menemukan sesuatu.”
“Hendaknya kau periksa lebih teliti, soalnya belum kau kuasai cara memeriksa
sesuatu benda....”
“Ya, ya, kau pintar, kau hebat, lekas katakan saja,” si nona ngambek.
Si Kucing lantas menunjuk sebuah bekas kaki, katanya, “Coba lihat, bekas kaki ini
paling besar, dapat dibayangkan perawakan orang ini pasti sangat tegap, dan di
antara beberapa orang itu yang berperawakan paling tegap ialah....”
“Betul, inilah bekas kaki Lian Thian-hun,” tukas Jit-jit.
Lalu Si Kucing menunjuk bekas kaki yang lain, “Bentuk bekas kaki ini tidak sama
dengan yang lain, sebab sepatu yang dipakai orang ini adalah sepatu anyaman rami
dengan daun telinga banyak, biasanya orang yang bersepatu jenis ini adalah kaum
hwesio....”
“Betul, itulah Thian-hoat Taysu,” seru Jit-jit pula.
Segera ia juga menuding salah sebuah bekas kaki dan berucap, “Ini bekas sepatu
rumput, pada musim dingin pakai sepatu begini, hanya kaum pengemis saja.... Aha,
Kim Put-hoan, inilah bekas kakimu.”
Dengan gemas ia lantas menginjak-injak bekas kaki itu.
Si Kucing tertawa, “Diberi tahu satu lantas paham tiga, selain menarik, kau pun
sangat pintar.”
“Tapi masih ada bekas kaki yang lain yang tidak kuketahui,” ujar Jit-jit.
“Ketiga bekas kaki yang lain ini tampaknya tiada sesuatu yang istimewa dan memang
sukar dibedakan, tapi... coba kau lihat ini, tentu dapat kau bedakan lagi.”
Yang ditunjuk adalah dua buah bekas kaki yang lebih dalam dan jelas, dua pasang
bekas kaki berjarak agak jauh, lekukan yang cukup dalam itu seperti diukir dengan
pisau.
Jit-jit berkeplok dan berseru, “Aha, betul, inilah bekas kaki Kim Bu-bong dan Leng Toa
waktu keduanya bertanding. Waktu itu mereka berdiri saling melotot tanpa bergerak,
kelihatan tegang dan mengerahkan tenaga, dengan sendirinya bekas kaki mereka
sangat dalam.”
“Dan Leng Toa kalah, jelas bekas kaki yang paling dalam ini adalah bekas kakinya.”
“Betul, betul,” seru Jit-jit.
Padahal ia tahu biarpun dapat mengenali bekas kaki setiap orang juga tidak ada
gunanya, tapi dapat memahami sesuatu, betapa pun ia merasa girang.
Dia suka bilang orang lain seperti anak kecil padahal ia sendiri yang benar-benar
serupa anak kecil.
“Ada lagi satu hal,” tutur Si Kucing pula, “sepanjang tahun Leng Toa tidak keluar
rumah, sebab itulah bekas kakinya terdapat garis sol sepatunya, sebaliknya selama
ini Kim Bu-bong berkelana kian-kemari, sol sepatunya tentu sudah halus.”
Gembira dan kagum Jit-jit serunya, “Betul, tepat....”
“Setelah bekas kaki masing-masing sudah dikenali, sisanya jelas adalah bekas kaki
Li Tiang-ceng, sebab bekas kakimu terlebih gampang dikenali.”
“Ai, kau kucing cilik ini tambah lama tambah cerdas,” ujar Jit-jit dengan tertawa dan
perlahan mencubit pipi Si Kucing sekali.
Betapa mesranya ucapan “Si Kucing cilik”, dan betapa membuat sukma Si Kucing
hampir terbang ke awang-awang karena cubitan si nona. Ia tertawa senang dan
berkata pula, “Padahal caraku meneliti sesuatu benda kubelajar dari Sim Long, dia....”
Mendadak Jit-jit melengos dan berseru, “Kembali kau singgung dia? Untuk apa kau
sebut dia? Bila mendengar namanya kepalaku lantas sakit.”
Yang benar bukan kepalanya yang sakit, tapi hatinya. Ia merasa sudah melupakan
Sim Long, bilamana mendengar namanya, hatinya lantas seperti ditusuk jarum.
Melihat si nona menjadi uring-uringan, Si Kucing jadi melenggong, katanya kemudian,
“Baiklah, jika engkau tidak suka mendengar namanya, selanjutnya takkan... takkan
kusebut lagi.”
“Bagus, lalu bagaimana setelah bekas kaki ini semua dapat dibedakan?” tanya Jit-jit.
Si Kucing menunjuk bekas kaki Kim Bu-bong dan berkata, “Coba kau lihat, bekas kaki
ini terhitung paling cetek di antara bekas kaki yang lain, ini menandakan ginkang Kim
Bu-bong paling tinggi di antara beberapa orang ini. Tapi akhirnya, lantaran kehabisan
tenaga, jelas dia telah bertempur mati-matian.”
“Lalu apa lagi?” tanya Jit-jit.
“Di antara bekas kaki yang memperlihatkan waktu mereka berangkat ini ternyata
tidak terdapat bekas kaki Kim Bu-bong....”
“Hah, jangan-jangan dia tertawan dan digotong pergi,” seru Jit-jit.
“Bisa jadi,” ujar Si Kucing dengan sedih.
Jit-jit menjadi gelisah, “Wah, lantas bagaimana baiknya? Bilamana dia tertawan oleh
musuh, sungguh celaka dia.”
Si Kucing termenung sejenak, katanya kemudian, “Dari bekas tapak kaki waktu pergi
ini tertampak lebih dalam daripada waktu datangnya, jelas tenaga mereka juga habis
terkuras, lebih-lebih Lian Thian-hun dan Leng Toa....”
“Tapi biasanya Kim Put-hoan yang licik itu tidak mau membuang tenaga dan
bergebrak dengan orang, mengapa bekas telapak kakinya juga sedalam ini?” ujar
Jit-jit.
“Kukira dia yang memanggul pergi Kim Bu-bong, bobot dua orang tentu akan
meninggalkan bekas kaki yang dalam,” kata Si Kucing.
Seketika Jit-jit berjingkrak dan menginjak-injak bekas kaki Kim Put-hoan sambil
mencaci maki, “Bangsat, binatang! Apabila kalian berani... berani menyiksa dia, pada
suatu hari kelak pasti akan kucincang kalian.”
Him Miau-ji memandangnya dengan berduka, entah berduka bagi si nona atau bagi
dirinya sendiri. Maklum, bila melihat orang yang dicintainya cemas bagi pemuda lain,
betapa perasaannya sukarlah dilukiskan.
Mendadak Jit-jit menarik tangan Si Kucing dan berkata dengan gemetar, “Kumohon
dengan sangat sudilah kau bantuku menolong dia.”
Si Kucing menunduk, “Aku... aku....”
“Satu-satunya sanak keluargaku di dunia ini hanya engkau, masakah engkau sampai
hati....”
Mendadak Si Kucing mengentak kaki dan berteriak, “Baik, berangkat!”
*****
Padahal Si Kucing cukup tahu biarpun dirinya mampu menyusul mereka, untuk
merampas Kim Bu-bong dari tangan Thian-hoat Taysu, Li Tiang-ceng dan lain-lain itu
jelas sangat sukar.
Namun lelaki manakah di dunia yang mampu menolak permohonan gadis yang
dicintainya dengan menangis, apalagi Him Miau-ji adalah pemuda yang simpatik.
Maka ia tidak mau omong lagi, terpaksa harus mengadu jiwa bilamana perlu.
Begitulah mereka terus mengejar mengikuti jejak yang terlihat di atas salju. Karena
perasaan tertekan, sepanjang jalan sama tidak bicara. Tapi ketika tangan Jit-jit
menyentuh tangan Si Kucing, tangan kedua orang lantas saling genggam lagi dengan
erat.
Dari jejak yang mereka ikuti itu arahnya ternyata bukan menuju ke Lokyang
melainkan sampai di kaki sebuah gunung, sebenarnya tidak tinggi gunung ini, tapi
dipandang dari bawah rasanya tetap sangat tinggi.
Berdiri di kaki gunung, Si Kucing seperti termangu-mangu pula.
“Ayolah naik ke atas, untuk apa melamun?” kata Jit-jit.
Meski maksudnya mengomel, namun nadanya tatap mesra dan lembut. Mustahil dia
tidak tahu betapa perasaan Si Kucing kepadanya.
“Aku lagi heran,” demikian tutur Si Kucing dengan perlahan, “sesudah mereka
menawan Kim Bu-bong untuk diperiksa dan ditanyai, seharusnya mereka pulang ke
Jin-gi-ceng, tapi mengapa mereka menuju ke sini?”
“Jangan-jangan mereka hendak... hendak membunuhnya di atas gunung,” kata Jit-jit
dengan khawatir.
“Jika mereka mau membunuhnya, kenapa mesti dibawanya ke atas gunung? Di
mana pun mereka dapat turun tangan. Kukira di balik persoalan ini pasti ada sesuatu
yang tidak beres.”
“Betul, di mana pun mereka dapat membunuh Kim Bu-bong dan tidak perlu
membawanya ke atas gunung.... Ai, sungguh aku tidak mengerti.”
Padahal Him Miau-ji sendiri juga bingung.
Dan karena kedua orang sama-sama tidak paham, terpaksa mereka mendaki gunung
untuk melihat kejadian selanjutnya.
Namun jalan pegunungan berliku-liku, di antara batu padas dan tetumbuhan penuh
ditimbuni salju. Ada juga tanah yang teraling oleh tebing sehingga tidak teruruk bunga
salju, sebab itulah cara mereka mengikuti jejak menjadi tidak semudah tadi.
Begitulah mereka terus mendaki ke atas, sebentar berjalan, sebentar berhenti,
memeriksa sini dan melihat sana. Setiba di suatu tempat datar, di sana ada sebuah
gardu kecil. Gardu yang biasa digunakan istirahat, juga dapat menjadi gardu
pemandangan.
Namun jejak yang mereka ikuti sampai di sini mendadak putus, lenyap tanpa bekas
lagi. Meski mereka coba periksa lagi sekitar situ tetap tidak menemukan bekas kaki
apa pun.
“Aneh... sungguh aneh,” ucap Si Kucing dengan kening bekernyit.
“Ya, memang aneh, masakah setiba di sini orang-orang ini bisa terbang ke langit
secara mendadak?” tukas Jit-jit.
Sejenak kemudian, mendadak ia berkeplok berteriak girang, “Aha, kiranya demikian!”
“Demikian bagaimana?” tanya Si Kucing.
“Keadaan demikian sudah pernah kualami satu kali,” tutur Jit-jit. “Yaitu ketika aku
bersama Sim... bersama Thi Hoat-ho dan lain-lain menyelidiki makam kuno itu, di
sana juga ada sebaris bekas kaki yang menghilang secara mendadak di tengah
jalan. Tatkala itu pun mereka menyatakan rasa heran apakah mungkin orang-orang
itu mendadak terbang ke langit?”
“Akhirnya bagaimana?” tanya Si Kucing.
“Kemudian baru kuketahui, setiba di sana, mereka lantas mundur kembali ke arah
semula dengan menginjak bekas tapak kaki sendiri, dengan demikian orang akan
sukar menemukan jejak mereka, bahkan akan curiga dan terheran-heran.”
“Aha, memang betul akal bagus.” seru Si Kucing, segera ia coba menyurut mundur
mengikuti tapak kaki yang terlihat, tapi baru dua langkah, segera ia berkerut kening
dan berucap pula, “Tapi sekali ini... sekali ini mungkin tidak demikian halnya.”
“Sebab apa? Mengapa sekali ini tidak bisa sama?”
“Urusan makam kuno itu memang tidak terlalu banyak yang kita ketahui, tapi dapat
dibayangkan pasti juga perbuatan yang misterius dan mencurigakan, dengan
sendirinya harus diatur sedemikian rupa sehingga membuat orang sangsi dan takut.
Sebaliknya tokoh-tokoh seperti Thian-hoat Taysu dan lain-lain....”
“Memangnya orang-orang ini pasti orang baik?” ujar Jit-jit dengan tertawa.
“Orang-orang ini baik atau busuk tidak perlu kita urus dulu,” ujar Si Kucing, “yang
jelas mereka adalah tokoh ternama dan dikenal, biarpun main sembunyi tetap takkan
terhindar dari tanggung jawab. Apalagi sama sekali mereka tidak tahu bakal dikuntit
orang, terlebih lagi, dengan kepandaian mereka, biarpun dikuntit orang juga mereka
tidak perlu main sembunyi.”
Jit-jit termenung sejenak, “Ya, uraianmu juga masuk di akal, tapi jika menurut
pendapatmu, lantas apa yang terjadi ini? Memangnya mereka benar-benar bisa
terbang ke langit secara mendadak?”
“Hal ini memang... memang sukar dimengerti,” kata Si Kucing dengan menyesal.
“Jika aku tidak mengerti dan kau pun tidak mengerti, lalu... lalu bagaimana baiknya?
Masa harus kita tunggu di sini sampai mereka jatuh kembali dari atas langit?”
“Kukira... kukira kita tetap mendaki ke atas saja untuk melihatnya, bisa jadi....”
Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri dari atas gunung.
Suara serak seorang berteriak, “Tolong... tolong!....”
Jit-jit dan Si Kucing terkejut, kedua orang saling pandang sekejap, serentak mereka
bergerak dan melayang ke arah datangnya suara itu secepat terbang.
Jeritan minta tolong itu berkumandang dari atas tebing yang curam sana. Setiba di
sana suara itu sudah sangat lemah, orang yang berteriak tolong itu sudah kehabisan
tenaga, namun tanpa berhenti tetap merintih dan berteriak, “Tol... tolong.... Aku akan
terjerumus ke jurang, tolong!”
Waktu mereka memandang ke arah suara sana, betul juga terlihat di tepi jurang ada
dua tangan memegangi tepian, ruas jarinya sampai berubah menjadi hijau, jelas
sudah tidak sanggup bertahan lagi.
Jit-jit menghela napas, ucapnya, “Untung jiwa orang ini belum ditakdirkan mati
sehingga tidak terjerumus, kebetulan juga kita naik ke sini....”
Segera ia berseru, “Jangan khawatir.... Tahan dulu sekuatnya, segera kami akan
menolong dirimu!”
Selagi dia hendak menerjang ke sana, mendadak Him Miau-ji menarik tangannya dan
berkata dengan kening bekernyit, “Nanti dulu, kukira hal ini agak....”
“Jiwa orang sangat penting, menolong orang seperti menolong kebakaran, masa
perlu tunggu apa lagi?” ujar Jit-jit dengan tidak sabar.
Dalam pada itu suara rintih minta tolong orang itu bertambah cemas dan semakin
lemah.
“Kulihat urusan ini rada-rada....”
“Rada-rada apa?” sela Jit-jit. “Apa pun juga orang harus diselamatkan lebih dulu. Jika
menunggu lagi, mungkin orang akan terjerumus ke bawah. Jika begitu, bagaimana
perasaan hati nuranimu?”
Si Kucing mau omong lagi, tapi segera dia didorong oleh Cu Jit-jit. Terpaksa ia
mengangguk dan berkata, “Baik, akan kutolong dia, kau tunggu saja di sini.”
Cepat ia melompat ke tepi tebing dan berjongkok untuk memegang kedua tangan
orang itu.
“Tarik sekuatnya... lekas!....”
Belum lanjut ucapan Jit-jit, mendadak terlihat kedua tangan yang semula bertahan
pada tepi tebing itu meraih ke atas, tahu-tahu pergelangan tangan Him Miau-ji
tercengkeram malah. Nyata yang digunakannya adalah kim-na-jiu-hoat atau ilmu
menangkap dan menawan yang mahalihai.
Karena tidak terduga-duga, Si Kucing tidak mampu mengelak, sekali terpegang pun
sukar terlepas lagi, seketika ia merasa lengan sendiri kaku kesemutan, tenaga pun
lenyap.
Selagi Jit-jit tercengang, terdengarlah Si Kucing menjerit, orangnya terus terlempar ke
dalam jurang.
Perubahan ini sungguh terlalu mendadak, Jit-jit merasa seperti disambar geledek,
seketika ia melongo di tempat.
Terdengar suara jeritan Si Kucing berkumandang menggema angkasa, sebaliknya dari
bawah tebing itu lantas terdengar pula suara orang tertawa terkekeh-kekeh, sesosok
bayangan orang lantas melayang ke atas.
Hari sudah mulai gelap, dalam keadaan remang-remang hanya terlihat orang ini
memakai baju yang longgar, memakai topi dengan pelindung telinga, inilah dandanan
kaum saudagar waktu menempuh perjalanan dalam musim dingin.
Sedapatnya Jit-jit menenangkan diri, bentaknya gusar, “Bangsat kau, bayar kembali
jiwa Si Kucing!”
Sembari membentak ia terus menerjang ke sana.
Orang itu tidak mengelak, juga tidak menghindar, ia sambut serudukan Jit-jit dengan
tertawa, “Anak baik, kau berani bergebrak denganku?”
Suaranya halus dan welas asih. Namun suara lembut ini segera menyerupai cambuk
yang menghajar tubuh Cu Jit-jit, begitu mendengar suara ini, seketika ia merandek
dan berdiri terpaku.
Angin mendesir, hawa terasa dingin. Namun wajah Cu Jit-jit penuh butiran keringat,
tubuhnya tidak bergerak, namun tangan dan kakinya gemetar.
“Hehe, anak baik, mendingan masih kau kenal diriku,” ucap orang itu dengan tertawa.
“Kau... kau....” Jit-jit tidak sanggup bersuara lebih lanjut, kerongkongannya seperti
terkancing, lidah pun kaku.
“Betul, aku inilah bibimu sayang,” kata orang itu. “Hawa sangat dingin, kupakai baju
longgar ini, bisa jadi bentukku banyak berubah.”
“Kau... kau....” Jit-jit tetap gelagapan.
“Ai, bibi selalu baik padamu, memberi baju, menyuapi kau makan, tapi masih juga
kau kabur, sungguh tidak punya perasaan,” omel orang itu dengan suara lembut
sembari mendekati Jit-jit.
“Oo... mohon... mohon jangan....”
“Ai, setelah kau pergi, kau tahu betapa sedihku, betapa kurindukan dirimu. Syukurlah
sekarang dapat bertemu pula, lekas kemari, biar bibi cium sayang....”
Jit-jit berteriak ketakutan, “Kau... kau... enyah....”
“Ai, masa pantas kau suruh bibi enyah,” ujar orang itu dengan tertawa. “Justru bibi
hendak membawamu pergi, akan kuberi lagi baju yang apik, menyuapimu makanan
yang enak....” bicara sampai di sini ia sudah berada di depan Cu Jit-jit.
“Jangan... jangan mendekat lagi, akan kupukul kau....”teriak Jit-jit dengan suara
parau, ia angkat sebelah tangan terus menghantam.
Tapi mungkin saking takutnya sehingga pukulannya itu sama sekali tidak bertenaga,
dengan perlahan orang itu dapat menangkap tangan Jit-jit sambil berkata, “Jangan
bandel, anak baik, turutlah perkataan bibi....”
Hanya sekian kata saja yang dapat didengar Cu Jit-jit, mendadak kepala terasa
pusing, tubuh menjadi lemas dan tidak tahu apa-apa lagi.
Angin pegunungan meniup dengan kencang, tidak lama kemudian Jit-jit siuman
kembali. Begitu dia membuka mata, segera dirasakannya tubuhnya berada dalam
pelukan “iblis” itu, sungguh kagetnya luar biasa, rasanya lebih menakutkan daripada
mati.
Meski teraling oleh dua lapis baju, tapi Jit-jit merasa tubuhnya seperti dililit oleh
badan ular yang dingin dan licin.
“Lepas... lepaskan aku....” teriaknya parau.
“Ai, sayang, masa kutega melepaskan dirimu?” ujar orang itu dengan tertawa.
Jit-jit bermaksud meronta, tapi dirasakan tubuh sendiri lemas lunglai tanpa bisa
berkutik.
Pengalaman yang dulu mestinya sudah dianggapnya sebagai impian buruk dan tidak
berani lagi dibayangkannya. Tapi sekarang dia ternyata terjeblos lagi ke dalam impian
buruk yang sama.
Perasaannya sekarang tidak dapat lagi dilukiskan dengan kata-kata seperti gemetar,
takut dan sebagainya, boleh dikatakan sukar untuk dilukiskan.
Dia tidak dapat melawan, tidak mampu meronta, hanya air mata saja yang
bercucuran.
Terpaksa ia memohon belas kasihan dengan suara gemetar, “Kumohon su... sudilah
engkau membebaskan diriku. Aku tidak ada permusuhan apa pun denganmu,
mengapa engkau membikin susah padaku? Kenapa....”
“Eh, kupelukmu sehangat ini, masakah kau bilang kubikin susah padamu?” kata
orang itu dengan tertawa. “Jika cara begini kau anggap membikin susah, baiklah,
boleh kau peluk saja diriku biar kau yang membikin susah padaku.”
“Jika... jika tidak mau kau lepaskan diri, lebih baik kau bunuh diriku saja, menjadi
setan pun aku akan berterima kasih padamu.”
“Ah, jangan bercanda, bila kubunuhmu, masa kau berterima kasih padaku malah?
Omong kosong!”
“Betul... sungguh....”
Orang itu tidak menanggapi ucapan Cu Jit-jit lagi, ia bawa si nona ke tepi jurang sana
dan memandang ke bawah, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, “Hah, kucingmu yang
jinak itu sungguh hebat juga, sampai sekarang dia masih bertahan pada sesuatu
sehingga tidak sampai terjerumus ke bawah.”
“He, apakah betul dia belum mati?” seru Jit-jit dengan girang.
“Ehm, dia belum mati,” orang itu mengangguk. “Tampaknya dia berusaha hendak
merambat ke atas, cuma sayang, betapa pun dia takkan mencapai atas sini.... Apakah
kau mau melihatnya?”
Sejauh itu Jit-jit tidak berani membuka mata untuk memandang “iblis” ini, sekarang
mendadak dirasakan orang mengangkat tubuhnya ke depan. Dengan
gemetar ia coba membuka mata, tertampak awan mengambang di bawah, jurang itu
sangat dalam dan tidak kelihatan dasarnya, tidak jauh di bawah tebing yang curam itu
benarlah ada sesosok bayangan orang sedang meronta dan bergerak-gerak.
Hanya memandang sekejap saja kepala Jit-jit lantas pusing, cepat ia memejamkan
mata pula dan berseru, “O, mohon sudilah engkau men... menolongnya!”
“Menolongnya? Kenapa harus kutolong dia?” ujar orang itu.
“Tadi dia bermaksud... bermaksud menolongmu, akibatnya dia terjerumus.”
“Hahahaha!” orang itu bergelak tertawa. “Kubuntuti kalian sepanjang jalan sehingga
tiba di sini, lalu kugunakan akal bagus ini untuk menamatkan riwayat hidupnya.
Memangnya kau kira tadi aku benar-benar lagi minta tolong?”
“Ka... kau iblis... binatang....”
“Betul, aku memang iblis,” kata orang itu dengan tertawa. “Mengapa tadi tidak kau
pikirkan, di tempat seperti ini masakah bisa terjadi orang berteriak minta tolong?
Mengapa tadi perlu kau tolong diriku? Bukankah kau sendiri yang membikin celaka
dia?”
Jit-jit jadi teringat pada keadaan tadi, memang berulang Him Miau-ji hendak
menyatakan pendapatnya, tapi dicegahnya, bahkan dipaksanya agar memberi
pertolongan kepada orang ini, akibatnya sekarang Si Kucing sendiri yang terancam
maut. Hati Jit-jit menjadi pedih, teriaknya mendadak, “Him Miau-ji... Si Kucing....
Akulah yang membikin susah padamu... akulah yang membikin celaka dirimu....”
Sekonyong-konyong dari bawah berkumandang suara Si Kucing, “Jit-jit... Cu Jitjit....
Engkau berada di mana? Baik-baikkah engkau?!”
Suara itu penuh rasa cemas dan putus asa, tapi juga penuh rasa perhatian, namun
yang diperhatikan dan dicemaskan bukan Si Kucing sendiri melainkan bagi Cu Jit-jit.
Bahwa seorang sedang bergulat di tepi garis antara mati-hidup bagi diri sendiri, tapi
masih juga memerhatikan keselamatan orang lain, betapa besar jiwa dan betapa
luhur budinya ini sungguh tidak ada bandingannya.
Hati Cu Jit-jit serasa dirobek-robek, hancur luluh. Teriaknya dengan serak, “Aku
berada di sini, Kucing.... Di atas sini....”
Ia meronta mati-matian, tanpa menghiraukan akibatnya ia ingin terjun ke bawah,
dalam benaknya sekarang cuma ada satu pikiran, suatu pikiran yang murni, yaitu
terjun ke bawah dan mati bersama Him Miau-ji.
Dalam keadaan demikian urusan lain tidak terpikir lagi olehnya, sudah terlupakan
seluruhnya.
Namun tangan si iblis serupa tanggam kuatnya merangkulnya, mana Jit-jit mampu
melepaskan diri, apalagi terjun ke bawah.
“Lepas... lepaskan diriku!” teriak Jit-jit.
“Ai, mestikaku sayang, mana boleh kulepaskan, dengan susah payah baru
kudapatkan kembali dirimu, mana boleh membiarkan kau mati begitu saja.
Selanjutnya jangan lagi kau pikirkan soal mati segala.”
“O, Allah, masakah ingin mati pun tidak boleh?” ratap Jit-jit.
“Mati memang soal yang aneh,” kata orang itu. “Ada sementara orang ingin mati, tapi
sangat sulit. Sebaliknya ada lagi setengah orang lain justru teramat mudah bilamana
ingin mati....”
Sampai di sini, mendadak ia mendepak sepotong batu padas sehingga batu itu
mencelat ke bawah jurang.
Dengan membawa suara gemuruh batu itu terguling ke bawah, menyusul lantas
terdengar pula jeritan ngeri seorang berkumandang dari bawah tebing, suara ngeri
menggetar sukma.
Jit-jit juga menjerit kaget, tapi jeritannya lantas terhenti mendadak serupa lehernya
mendadak dicekik orang, sebab jeritan ngeri di bawah jurang juga mendadak terputus.
Keadaan lantas berubah sunyi seperti kuburan, angin pun seolah-olah berhenti
mendesir secara mendadak, suasana kelam.... Jagat raya ini seakan-akan beku di
tengah kesunyian ini, semuanya membeku di tengah adegan yang mengerikan dan
menyesakkan napas.
Namun yang terbayang oleh Cu Jit-jit rasanya seperti adegan yang penuh berlumuran
darah, dia seperti melihat Si Kucing terjatuh oleh batu padas tadi, lalu lelaki yang
penuh gairah hidup dan gagah perkasa itu dalam sekejap itu hancur lebur di bawah
jurang.
Saraf sekujur badan Cu Jit-jit seakan-akan kaku juga dalam sekejap itu. Entah
berselang berapa lama baru dapat dirasakan “iblis” yang memondongnya itu sedang
menggeser ke depan. Soal ke mana tujuannya dan sudah berada di mana hampir
tidak diketahuinya, juga tidak ingin tahu.
Maklum, baginya sudah tidak ada bedanya hendak dibawa ke mana, dia sudah jatuh
dalam cengkeraman iblis, jalan ke mana pun tetap menuju ke neraka.
Akan tetapi neraka yang dituju ini ternyata berada di puncak gunung. Orang itu
membawanya menuju ke atas gunung.
Jalan pegunungan berliku-liku, terkadang hampir sukar dilalui, namun cara berjalan si
iblis ini sedemikian enteng dan santai, tampaknya hafal betul terhadap jalan
pegunungan yang melingkar-lingkar ini.
Memangnya menembus ke manakah jalan ini?
Di atas gunung yang terpencil terdapat hutan cemara yang lebat, dipandang dari
hutan yang ditaburi salju itu samar-samar kelihatan di kejauhan sana ada dinding
dan wuwungan rumah yang tinggi.
“Berhenti!” mendadak Jit-jit berteriak.
“Berhenti? Mau apa?” orang itu menegas dengan heran, disangkanya mungkin si
nona mendadak kebelet kencing.
“Berhenti dulu, ingin kutanya padamu,” kata Jit-jit pula.
Orang itu tambah heran, “Ingin tanya apa?”
Dilihatnya wajah Jit-jit yang pucat itu mendadak bersemu merah bergairah, sorot
matanya yang putus asa itu tiba-tiba juga berubah bersemangat, senang dan berdaya
hidup.
Hal ini serupa seorang yang hampir terbenam di lautan ketika mendadak berhasil
meraih sepotong kayu sehingga menemukan jalan hidup kembali. Tapi apa yang
berhasil diraih Cu Jit-jit? Jangan-jangan teringat sesuatu olehnya?
Terdengar nona itu berteriak pula, “Kusuruh berhenti harus cepat berhenti, bila
kutanya padamu harus lekas kau jawab, tahu?”
“Wah, mestikaku sayang, bilakah engkau jadi galak begini dan main perintah
padaku?” ujar orang itu dengan tertawa geli. “Eh, sesungguhnya pikiran aneh apa
yang timbul dalam benakmu?”
“Huh, memangnya kau sangka aku tidak tahu siapa dirimu?” jengek Jit-jit.
“Mau apa kalau tahu?” tanya orang itu.
“Engkau ini antek Koay-lok-ong, she Suto, tugasmu khusus mencarikan perempuan
cantik bagi Koay-lok-ong, sekarang juga hendak kau bawa diriku kepadanya untuk...
untuk dijadikan... dijadikan selirnya.”
“Betul, lantas bagaimana?” orang itu tertawa.
“Maka bila sekarang tidak kau tunduk kepada perintahku, nanti setelah kujadi
selirnya, tentu akan kucari daya upaya untuk menawan hatinya, bilamana aku telah
menjadi selir kesayangannya, akan ku....”
Kata itu diucapkan dengan menggunakan tenaga yang besar, walaupun begitu
kedengarannya tetap tergegap.
Ia berhenti dan ganti panas, lalu berkata pula dengan lagak sungguh-sungguh, “Nah,
bila kujadi selir kesayangannya nanti apa yang kuminta pasti akan diturutinya, tatkala
mana umpama kuminta dia membunuhmu pasti juga akan dilaksanakannya.”
Orang itu jadi melengak.
Dengan tertawa Jit-jit lantas menyambung, “Sudah tentu kau tahu apa yang
kukatakan ini bukan gertakan belaka. Berani bicara pasti berani kulakukan. Maka
harus kau pikirkan dulu, jika kau takut....”
“Hahaha, memang betul, aku sangat takut!” seru orang itu.
“Jika takut, sekarang harus kau....”
Mendadak orang itu bergelak tertawa. “Hahaha, mestikaku sayang, boleh juga jalan
pikiranmu ini, sungguh engkau seorang nona yang pintar. Mari sayang, akan kucium
dikau....”
Benar juga, mendadak ia menunduk dan Jit-jit di“ngok” dengan bernafsu.
Seketika muka Jit-jit pucat lagi, teriaknya gemetar, “Masa... masa engkau tidak
takut?”
Orang itu tidak bicara lagi melainkan cuma bergelak tertawa dan masuk ke hutan
cemara itu.
Jilid 15
Di depan pintu gerbang yang bercat hitam itu, suasana sunyi senyap, iblis itu
langsung menolak pintu dan masuk begitu saja serupa pulang ke rumahnya sendiri.
Perkampungan di tengah hutan itu ternyata sangat megah, dinding merah menjulang
tinggi, wuwungan rumah berderet-deret diliputi bunga salju sehingga menambah
keangkeran kompleks bangunan ini.
Dalam keadaan putus asa, diam-diam Jit-jit juga terkesiap, pikirnya, “Janganjangan
inilah sarang Koay-lok-ong yang sengaja didirikan di daerah Tionggoan sini?....”
Tengah berpikir, terasa hawa hangat merangsang dan menyelimuti seluruh tubuhnya,
kiranya mereka telah memasuki sebuah kamar indah, di pojok sana ada perapian
penghangat dengan api yang berkobar, namun tiada tampak bayangan orang di
dalam kamar.
Orang itu menurunkan Jit-jit di atas sebuah dipan yang rendah dan lunak. Segera
dirasakan oleh Jit-jit sorot mata orang yang jahat itu sedang mengamati tubuhnya
yang meringkuk di atas pembaringan.
Jantung Jit-jit berdebar, ia pejamkan mata rapat-rapat dan tidak berani beradu
pandang dengan mata orang. Di dalam rumah yang hangat dan tidak ada orang lain
ini, sungguh ia tidak berani membayangkan apa yang bakal terjadi.
Sampai saat ini dia belum lagi dapat memastikan “iblis jahat” ini lelaki atau
perempuan? Tapi dapat dirasakannya sorot mata iblis yang mengandung maksud
jahat dan kotor.
Lebih-lebih sekali ini, dirasakannya sinar matanya yang kotor dan jahat itu jauh lebih
nyata daripada yang dulu. Meski jelas sepasang mata yang sama, namun tidak
sedikit perbedaannya antara mata yang dulu dengan mata yang sekarang. Entah apa
sebabnya? Tentu di dalam hal ini ada sesuatu yang tidak beres. Namun sekarang
Jit-jit tidak sempat memikirkannya.
Dia tetap memejamkan mata dan mulut terkatup rapat untuk menantikan kejadian
yang paling buruk baginya. Dalam keadaan menanti yang kejam ini, dia berharap
raganya tidak lagi menjadi miliknya.
Siapa tahu, selang sekian lamanya, si iblis tetap tidak melakukan sesuatu.
Sedapatnya ia menahan perasaannya, bulu roma serasa berdiri semua, berada di
dalam kamar yang indah dan hangat ini dirasakan lebih dingin daripada berada di gua
es.
Mendadak dirasakannya orang lagi membalik tubuh, melangkah keluar perlahan.
Sungguh Jit-jit tidak percaya, ia coba membuka mata. Benar juga, dilihatnya
bayangan orang menghilang keluar pintu.
Orang itu benar-benar pergi tanpa mengganggunya, hal ini membuat Jit-jit terkejut
malah. Ia heran kenapa orang tidak mengganggunya sama sekali? Apakah karena
ucapannya tadi berhasil menggertaknya?
Tapi lantas dibantah sendiri oleh Jit-jit, mana bisa iblis jahat ini takut kepada
gertakannya, meski sekarang dia pergi, bukan mustahil sebentar lagi akan melakukan
sesuatu yang lebih keji kepadanya.
Dalam sekejap ini perasaan Jit-jit berganti-ganti, sebentar khawatir, lain saat
bergirang, tapi segera sedih lagi.
Mendadak pikirannya tergerak, dirasakannya bayangan punggung orang tadi ada
sesuatu yang tidak benar, seperti berbeda dengan bayangan orang yang sudah
pernah dilihatnya dahulu.
Ia menjadi sangsi jangan-jangan orang ini bukan orang yang dulu itu? Ia coba
memandang keadaan kamar ini, ternyata segala sesuatunya teratur dengan indah.
Diam-diam ia heran pula, tak terduga Koay-lok-ong sendiri belum muncul di daerah
Tionggoan, lantas siapakah yang mengaturkan tempat ini?
Menurut perkiraan Jit-jit, iblis jahat itu tidak mungkin dapat mengatur tempat seindah
ini, ia pikir jangan-jangan Kim Bu-bong yang mengaturnya, tapi bila betul, kenapa
tidak pernah diceritakannya?
Selain itu, Thian-hoat Taysu dan lain-lain menuju ke pegunungan ini, jejak mereka
mendadak menghilang di depan gardu di pinggang gunung tadi, jelas karena dari
gardu sana ada jalan rahasia yang menembus ke tempat ini. Mereka memasuki jalan
rahasia, dengan sendirinya jejak mereka menghilang secara mendadak, jadi mereka
tidak terbang ke langit, tapi masuk ke bumi.
Tapi pikiran ini lantas dibantahnya lagi, dari watak Kim Bu-bong yang sudah
dikenalnya, meski tertawan dan dipaksa juga takkan dibawanya mereka ke sini,
apalagi memberitahukan tempat rahasia ini.
Jangan-jangan Kim Bu-bong sebenarnya tidak tertawan oleh mereka, tapi berbalik
berhasil mengatasi dan menawan mereka, lalu Kim Bu-bong membawa mereka ke
sini. Dan bila Kim Bu-bong berada di sini berarti aku pun akan
tertolong. Tapi... tapi cara bagaimana Kim Bu-bong dapat mengatasi keempat orang
itu? Hal ini pun jelas tidak mungkin terjadi.
Begitulah Jit-jit terus berpikir, tambah dipikir tambah ruwet persoalannya sehingga
akhirnya dia bingung sendiri.
Sekonyong-konyong tertampak bayangan orang berkelebat diri luar. Meski cuma
sekilas pandang saja, namun sudah merasakan bayangan orang sudah pernah
dikenalnya. Ia heran siapakah orang ini, ia coba mengingat-ingat, di tengah
kekusutan pikirannya tiba-tiba ia tahu siapa orang ini, jeritnya di dalam hati, “Ah, dia Li
Tiang-ceng!”
Sekilas tampak bayangan orang yang berperawakan jangkung dan berjenggot
panjang itu, tampaknya memang mirip Li Tiang-ceng, tapi Put-pay-sin-kiam Li
Tiang-ceng mengapa bisa berada di sini.
Jika benar dia berbalik tertawan oleh Kim Bu-bong dan dibawa ke sini, mana mungkin
dia dapat bergerak secara bebas. Sebaliknya jika dia memaksa Kim Bubong
membawanya ke sini, seharusnya sejak tadi dia melabrak si iblis jahat itu, mengapa
sejak tadi tidak terdengar sesuatu suara apa pun? Jangan-jangan dia juga
berkomplot dengan iblis jahat ini?
Tapi dengan nama dan kedudukannya, rasanya hal ini pun tidak mungkin terjadi,
lantas mengapa tindak tanduknya perlu main sembunyi-sembunyi cara begini?
Selagi Jit-jit merasa bingung, dua orang telah mendekatinya. Seorang di depan
bertubuh kurus kecil, baju panjang menyentuh tanah, mukanya memakai kerudung
kain hitam, kedua tangan terselubung di dalam lengan baju. Sukar bagi Jit-jit untuk
melihat wajahnya, bahkan lelaki atau perempuan pun tidak dapat dibedakan.
Orang di belakangnya berperawakan tinggi besar, alis tebal mata bulat, muka hitam
kasar, sekali pandang saja dapat diketahui seorang lelaki dogol yang bertenaga kuat.
Jit-jit tahu maksud kedatangan kedua orang ini pasti tidak baik, tapi kecuali terhadap
si iblis jahat, hakikatnya dia tidak gentar kepada siapa pun, segera ia mendahului
membentak, “Siapa kalian? Mau apa?”
“Jangan urus siapa diriku, kedatanganku cuma ingin tanya sesuatu padamu....” jawab
si baju panjang dengan suara yang melengking nyaring menusuk telinga, suaranya
seperti sengaja dibuat-buat, tapi juga seperti memang begitu pembawaannya.
“Jika tidak kau tanggalkan kerudungmu, jangan harap akan kau dapatkan
jawabanku,” seru Jit-jit, meski tubuhnya lumpuh, tapi suaranya cukup keras. “Benar
begitu?” tanya si baju panjang. “Boleh kau coba,” jawab Jit-jit tegas.
Mendadak si baju panjang mendengus, “Hm, baik. Maju, Tay Hong!” Rupanya lelaki
dogol tinggi besar itu bernama Tay Hong, si Kuning Gede. Sambil menyeringai
sehingga kelihatan giginya yang serupa taring serigala, segera ia melompat ke
depan Cu Jit-jit, sekali raih dada baju si nona dicengkeramnya terus diangkat seperti
elang menyambar anak ayam.
“Kau... kau mau apa?” teriak Jit-jit dengan suara parau, gentar juga dia.
“Apa yang ditanyakannya harus kau jawab, tahu?” kata si gede dengan menyeringai.
“Ti... tidak....” kata Jit-jit. “Tidak?” si gede menegas, ia menarik terlebih keras, dada
baju Jit-jit lantas
robek, bila menarik lagi, buah dada si nona pasti akan menongol. Sungguh gemas
dan juga takut Jit-jit, dalam keadaan demikian ia mati kutu,
terpaksa ia menahan air mata dan mengertak gigi, teriaknya dengan suara
terputus-putus, “Ap... apa yang akan... akan kau tanyakan?” “Hm, kan sudah
kuperingatkan tadi, kenapa cari penyakit sendiri?” jengek si baju
panjang. “Ingin kutanya padamu, apakah kau suka menjadi selir putra Ongya
(pangeran) kami yang ke-27?”
“Kentut busuk!....” damprat Jit-jit dengan gusar. “Kurang ajar!” bentak si lelaki gede,
“bret”, dada baju Jit-jit terobek sehingga dadanya yang putih mulus tertampak jelas.
Dengan suara parau Jit-jit memaki, “Bangsat, anjing, kau....”
Segera lelaki kasar itu menarik baju bagian pundak Jit-jit, apa bila dirobeknya lagi,
seketika Jit-jit bisa telanjang seluruhnya. “Ayo jawab, kau mau tidak!” tanya si baju
panjang.
Sedapatnya Jit-jit berusaha mengelak pandangan lelaki gede itu terhadap dadanya
yang mulus itu, tapi apa daya, dia tak bisa berkutik, ia berucap dengan menangis,
“Tidak, mati pun aku tidak mau. Boleh kalian menganiaya, menyiksa dan menghina
diriku tetap aku tidak sudi, boleh kalian bunuh saja diriku dan jangan harap
menyentuh tubuhku.”
Si baju panjang jadi melenggong juga melihat sikap bandel Cu Jit-jit, dia tidak
memberi perintah, dengan sendirinya si lelaki gede tidak berani bertindak lebih lanjut.
Selang sejenak barulah si baju panjang berkata, “Tay Hong, masukkan dia ke
penjara, biarkan dia pikirkan dengan tenang, nanti kita tanyai dia lagi.”
Penjara di mana pun sama saja, seram, lembap, dan gelap. Penjara di puncak
gunung ini juga tidak terkecuali, bahkan lembap dan seramnya terlebih hebat
daripada penjara di tempat lain.
Lelaki gede itu sama sekali tidak kenal kasihan, dari mulut gua Jit-jit dilemparkan
begitu saja sehingga terbanting dengan berat di gua batu, keruan tulang Jit-jit serasa
mau retak, belum lagi dia menjerit sudah lantas jatuh pingsan.
Entah berapa lamanya, ketika lamat-lamat didengarnya suara seorang yang sudah
dikenalnya dengan baik sedang memanggil di tepi telinganya, “Jit-jit... bangun,
Jit-jit....”
Meski suara ini kedengaran serak dan berat karena cukup lama tersiksa, tapi bagi
pendengaran Jit-jit suara orang tetap sedemikian mesranya. Tergetar hatinya, cepat ia
membuka mata, segera terlihatlah seraut wajah yang cakap dengan hidung yang
mancung, siapa lagi dia kalau bukan Sim Long?
Sekuat tenaga Jit-jit angkat tangannya dan merangkul leher Sim Long, ucapnya
dengan suara gemetar, “O, Sim Long, kiranya kau... apa betul kau?”
“Ya, betul aku, Jit-jit,” kata Sim Long.
Air mata Jit-jit bercucuran. Air mata kegirangan, katanya pula, “Jadi... jadi benar dan
bukan... bukan mimpi?”
Ia merangkul Sim Long dengan erat, seakan-akan khawatir mimpi indah ini bisa
buyar mendadak.
“Memang benar dan bukan mimpi,” jawab Sim Long pula.
“Memang sudah kuduga engkau pasti akan datang menolong diriku, memang sudah
kuduga sebelumnya.... Tidak nanti kau biarkan diriku dianiaya orang jahat, engkau
pasti akan menyelamatkan diriku,” ucap Jit-jit setengah meratap.
Sim Long termenung, katanya kemudian, “Tapi aku tidak menyelamatkan dirimu....”
“Apa katamu, engkau tidak menyelamatkan diriku?” Jit-jit terkejut. “Habis cara
bagaimana kita bisa bertemu di sini? O, jangan-jangan engkau juga... juga terkurung
di penjara ini?”
Pertanyaan ini tidak perlu dijawab Sim Long lagi, sebab sekarang Jit-jit dapat melihat
dinding batu yang mengelilingi mereka. Ternyata Sim Long memang juga
dipenjarakan orang di sini.
Kenyataan ini serupa sebilah pisau yang menikam hulu hati Cu Jit-jit, terasa sakit, tapi
tidak berdarah dan juga tidak mengucurkan air mata, sebab darah dan air mata pun
serasa sudah membeku. Dia terkesima dan tidak dapat bicara lagi.
Senyuman khas Sim Long pun tidak kelihatan menghias ujung mulutnya lagi, dengan
sedih ia berucap, “Sungguh aku tidak becus.... Tentu engkau sangat kecewa atas
diriku.... Ai, tahu begini, lebih baik kumati saja.”
“Tidak, tidak, engkau tidak boleh mati,” seru Jit-jit dengan banjir air mata, “asalkan
dapat kulihat dirimu, puaslah hatiku, masa aku kecewa?”
“Tapi... tapi di sini....”
“Sudahlah, jangan kau bicara lagi, peluklah diriku lebih erat, asalkan kau peluk diriku
erat-erat, aku... aku tidak peduli lagi urusan apa pun,” pinta si nona.
Memang baginya asalkan bisa berada di dalam pelukan Sim Long, maka segala apa
pun tidak ada artinya lagi.
Kelembutan Kim Bu-bong dan simpati Him Miau-ji padanya kini telah dilupakannya
seluruhnya, bahkan dia lupa belum lama dia baru saja mau mati bersama Him Miau-ji.
Jit-jit memang nona yang berdarah panas, simpatik, mudah menyukai seseorang, bila
orang lain baik padanya, tanpa peduli apa pun dia akan balas kebaikan orang itu,
biarpun hal itu dilakukannya hanya karena dorongan emosi yang timbul seketika itu.
Tapi perasaannya terhadap Sim Long justru mirip beratus ribu utas rambut halus yang
telah mengikatnya, merasuk tulang, menyusup ke lubuk hati sehingga sukar terlepas,
dipotong juga takkan putus.
Meski penjara itu seram dan gelap, namun berada di dalam pelukan Sim Long
dirasakan oleh Cu Jit-jit seperti berada di surga.
Dia ingin menceritakan pengalamannya, penderitaannya, rindunya... seakanakan bila
semua itu diceritakannya kepada Sim Long, maka segala apa yang dialaminya itu
akan menjadi impas, terbayar lunas.
Sebaliknya Sim Long terus-menerus hanya menghela napas dan tidak bicara.
Jit-jit memandangnya dalam keremangan penjara yang seram itu, beberapa kali
bibirnya bergerak dan ingin bicara lagi, tapi urung.
Akhirnya ia tidak tahan dan tercetus dari mulutnya, “Cara bagaimana engkau datang
ke sini?”
Dengan rawan Sim Long bertutur, “Terkena obat bius, aku pun tidak menyangka
minuman yang kuminum di warung terpencil itu pun ditaruhi obat bius. Ai, sekali salah
langkah, segalanya lantas runtuh. Waktu aku siuman, tahu-tahu sudah berada di sini.”
“Engkau tentu banyak tersiksa, coba, sampai... sampai suaramu pun serak, entah
betapa engkau telah disiksa oleh kawanan bangsat itu, sungguh ingin ku... ingin ku....”
“Ah, apa gunanya biarpun engkau penasaran di sini?” ujar Sim Long.
“Oo, semua ini gara-gara diriku, engkau jadi ikut menderita begini....” air mata Jitjit
bercucuran pula.
“Jangan menangis Jit-jit, sakit hati ini pasti akan kita balas,” ucap Sim Long dengan
lembut.
Mendadak Jit-jit berhenti menangis dan menengadah, “Engkau mampu....”
“Jangan khawatir, asalkan ada kesempatan....”
Belum lanjut ucapan Sim Long, mendadak ada cahaya terang menyorot dari atas.
Cepat Sim Long mengangkat tubuh Jit-jit dan menyingkir ke kaki dinding.
Kepala si lelaki gede serupa herder itu menongol di lubang gua, letak lubang gua ini
sedikitnya ada lima tombak tingginya, dipandang dari bawah wajah orang ini terlebih
seram dan tidak mirip manusia.
“Bangsat, enyah!” teriak Jit-jit dengan parau. Lelaki gede itu terkekeh-kekeh, “Hehe,
apakah kalian tidak lapar?” “Biarlah lebih baik mati lapar, lekas enyah!” teriak Jit-jit
pula. Orang itu terkekeh-kekeh pula sambil memperlihatkan sesuatu, katanya, “Inilah
bakpao yang biasa kami berikan kepada anjing, mau tidak, terserah padamu.”
“Kau sendiri anjing, bangsat....” damprat Jit-jit dengan gusar. Tapi mendadak
mulutnya didekap Sim Long. Anak muda itu lantas mendongak ke atas dan berseru,
“Silakan Toako
melemparkan bakpao itu.”
“Hehe, tidak makan tambah kelaparan, ternyata kau lebih cerdik daripada anak dara
itu,” ucap lelaki gede itu dengan tertawa latah. Habis berkata, benarlah segera
dilemparkannya beberapa biji bakpao, terdengar
suara “plok” beberapa kali, betapa kerasnya bakpao basi itu dapatlah
dibayangkan. “Krek”, lubang gua itu tertutup lagi, tangan Sim Long yang mendekap
mulut Jit-jit juga lantas dilepaskan.
Gemas dan cemas Jit-jit, ucapnya dengan gusar, “Masa... masa engkau benar mau
makan bakpao busuk begini?” “Umpama tidak dimakan juga ada gunanya,” ujar Sim
Long.
“Apa gunanya?” tanya Jit-jit penasaran. “Bila datang kesempatan baik tentu ada
gunanya,” sahut Sim Long sambil memunguti beberapa biji bakpao kering itu dan
dikumpulkan di dekatnya.
Jit-jit memandangnya dengan termangu, sejenak kemudian ia tanya pula, “Engkau
belum kehilangan tenaga?” “Mendingan tidak,” sahut Sim Long.
Tertampak rasa girang pada sinar mata Jit-jit, “Pantas kau bilang akan menuntut
balas, asalkan engkau tidak kehilangan tenaga, biarpun engkau ditutup di neraka I8
lapis juga tetap dapat melarikan diri.”
“Masa engkau begitu yakin akan kemampuanku?”
“Tentu saja, siapa lagi selain aku?” segera Jit-jit meronta bangun dan menjatuhkan diri
pula ke dalam pangkuan Sim Long.
Selang sejenak, mendadak si nona bertanya lagi, “Ai, betapa linglung aku ini, saking
gembiranya bertemu engkau di sini sehingga melupakan urusan penting yang harus
kuberi tahukan padamu.”
“Urusan penting apa?” tanya Sim Long cepat.
“Tentang rombongan Can Ing-siong yang diantar Kim Bu-bong ke Jin-gi-ceng itu,
setiba di sana, segenap anggota rombongan itu lantas mati keracunan, Li Tiangceng
dan kawan-kawannya menyangka engkau yang mengerjai mereka, maka engkau
dicari oleh mereka.”
“Masa terjadi begitu?” seru Sim Long kaget.
“Hal ini kudengar dari penuturan mereka sendiri, kukira pasti betul,” kata Jit-jit.
“Apakah dapat kau terka mengapa bisa terjadi begitu?”
“Seketika aku pun tidak berani menarik kesimpulan....”
“Tapi dapat kupastikan perbuatan Ong Ling-hoa,” kata Jit-jit pula. “Sungguh aku tidak
mengerti, sudah jelas kau tahu dia orang busuk, mengapa engkau bergaul dengan
dia.”
“Soalnya kekuatan kita dengan musuh berselisih terlalu jauh,” tutur Sim Long dengan
menyengir. “Padahal kita sedang menghadapi musuh besar sebagai Koay-lok-ong itu,
mana boleh kita mengikat permusuhan pula dengan Ong Linghoa, apa pun juga dia
kan bukan orang sehaluan dengan Koay-lok-ong.”
“Tapi menurut pandanganku, dia jauh lebih busuk daripada Koay-lok-ong,” jengek
Jit-jit. “Akan lebih baik untuk sementara ini kesampingkan Koay-lok-ong dan jangan
membiarkan mereka ibu dan anak berbuat sesukanya.”
“Untuk menghadapi ibu dan anak itu kekuatan kita terasa sangat lemah,” ujar Sim
Long setelah termenung sejenak.
“Mengapa kau puji kekuatan orang lain dan menurunkan derajat sendiri?” kata Jit-jit.
“Dalam hal apa engkau lebih asor daripada Ong Ling-hoa? Dalam hal apa pula Ong
Ling-hoa lebih unggul daripadamu?”
“Tidak perlu urusan lain, melulu soal harta benda saja jelas sangat jauh selisih diriku
dibandingkan dia,” jawab Sim Long dengan menyesal. “Ai, baru sekarang kutahu,
untuk bertempur kekuatan dana terkadang juga menjadi faktor penentu. Sayang,
dahulu aku terlalu meremehkan benda-benda yang berbau bacin ini.”
“Apa artinya harta benda, aku kan tidak kekurangan, kau mau berapa dapat
kuberikan,” ujar Jit-jit.
“Masa boleh kuterima uangmu?” jawab Sim Long dengan tidak senang.
“Memangnya kenapa, punyaku sama dengan punyamu, masa....”
“Sudahlah, jangan kau katakan lagi,” potong Sim Long dengan aseran.
Jit-jit termenung sejenak, ucapnya kemudian dengan hampa, “Seumpama engkau tak
mau menerima uangku, tapi aku sendiri mengambil bagian dalam pertempuran ini.
Seperti semboyan umum yang sudah kita kenal, punya uang keluar uang, punya
tenaga bantu tenaga, memangnya aku tidak boleh memberikan sedikit sumbangan
bagi perjuangan ini?”
“Tapi... tapi aku....”
“Sudahlah, tidak perlu ini dan itu, yang jelas, meski ayahku rada pelit terhadap orang
lain, tapi sangat terbuka tangannya terhadapku, sebab semua saudaraku sudah
berdikari, semuanya sudah pandai mencari uang, sebaiknya aku cuma mahir
membuang uang, seorang yang tidak pintar mencari uang dan juga tidak berguna....
Sebab itulah, harga kekayaan ayah yang seharusnya dibagi menjadi tujuh telah
diwariskan seluruhnya kepadaku dan jumlahnya tidaklah sedikit.”
“Pantas orang Kangouw sama bilang Cu-jit-siocia kita adalah miliarder wanita,” ujar
Sim Long.
“Miliarder atau bukan, yang jelas hartaku memang tidak sedikit,” kata Jit-jit. “Sejak
berumur 12 aku sudah biasa menggunakan uang secara bebas. Tapi selama
kekayaan itu dipegang ayah, tetap kurang leluasa bagiku. Sebab itulah aku lantas
merecoki ayah agar memberi kuasa penuh padaku, sebagian besar harta warisan itu
diserahkan padaku, lalu seluruhnya kutitipkan kepada samcihuku.”
Ia berhenti sejenak, lalu menyambung pula dengan tertawa, “Samcihu (kakak ipar
(suami kakak) ketiga) adalah orang Soasay, swipoanya bukan main
lincahnya bilamana disuruh mengurus soal keuangan, tapi dia paling segan padaku.
Maka sebelumnya sudah kuadakan perjanjian dengan dia bahwa simpananku itu tidak
perlu diberi bunga, yang penting setiap saat bilamana aku memerlukan uang, bila
kuminta pada siang hari, tidak boleh dia tunda sampai malam hari, jika kuperlu
sepuluh laksa tahil, tidak boleh dia membayar kurang satu tahil pun. Pokoknya dia
harus memberi servis yang paling cepat padaku.”
“Apakah samcihumu itu terkenal sebagai Liok-siang-to-cu (Si Mahakaya-raya) Hoan
Hun-yang itu?” tanya Sim Long.
“Aneh... kau pun kenal namanya?” ujar Jit-jit.
“Orang Kangouw yang terkenal tidak ada seorang pun yang tidak kukenal,” ujar Sim
Long dengan tertawa. “Apalagi Hoan Hun-yang ini terkenal pintar sekali bergaul,
kipas bajanya juga tidak lemah.”
“Baik, engkau memang hebat,” kata Jit-jit. “Supaya kau tahu, kami sudah ada
perjanjian, asalkan ada tanda pengenalku, setiap saat dapat kuambil uang pada
setiap cabang perusahaannya di berbagai provinsi.”
“Kenapa dia begitu memercayai dirimu?” tanya Sim Long.
“Soalnya, meski sangat banyak uangnya, tapi kekayaanku tidak lebih sedikit daripada
miliknya, kenapa dia tidak percaya padaku?”
“Jika begitu, tanda pengenalmu itu harus kau simpan dengan baik.”
“Bagaimana bentuk tanda pengenalnya, mimpi pun orang lain tak dapat menerkanya,
sepanjang hari benda ini berada pada tubuhku dan tidak akan dicuri orang.”
“Berada pada tubuhmu?” Sim Long menegas dengan heran. Ia tahu Cu Jit-jit pernah
ditelanjangi orang, jika benar dia membawa sesuatu benda berharga, mustahil takkan
diambil orang?
Tapi Jit-jit menjawab dengan sungguh-sungguh, “Betul, kedua biji mutiara anting-
antingku inilah benda tanda pengenalku. Kedua biji mutiara kecil ini tidak mencolok
mata, tapi bila mutiara ditanggalkan, bagian anting-anting yang membingkai mutiara
ini adalah stempel, kedua belah anting-anting sama pakai stempel huruf Cu, cuma
yang satu huruf tebal dan yang lain huruf melekuk. Berdasarkan sepasang
anting-anting ini setiap orang dapat mengambil 70 laksa tahil, bukan perak melainkan
emas. Dengan harta sejumlah ini tentu dapatlah digunakan sebagai dana
pergerakanmu.”
Jumlah sebesar ini memang cukup mengejutkan orang, sampai Sim Long juga
melenggong.
“Padaku terdapat benda bernilai sebesar ini, lucunya orang-orang yang pernah
menawan diriku ternyata tidak ada yang memerhatikannya,” tutur Jit-jit pula dengan
tertawa.
Maklumlah pada zaman itu telinga anak perempuan rata-rata berlubang
anting-anting, karena itulah hal ini tidak menarik perhatian dan tidak mengherankan.
“Nah, sekarang terimalah anting-antingku ini, cuma kau perlu hati-hati, lelaki
membawa anting-anting, tentu akan menarik perhatian orang,” pesan Jit-jit dengan
tertawa.
Mestinya Sim Long ingin menolak, tapi didesak si nona dan akhirnya diterimanya
juga, katanya, “Kau percaya penuh menyerahkan anting-anting ini kepadaku?”
“Tentu saja kupercaya,” jawab Jit-jit lembut, “Jangankan cuma anting-anting ini,
biarpun se... seluruh diriku kuserahkan padamu juga tidak perlu khawatir.”
Ia menggelendot dalam pangkuan Sim Long dengan erat, sungguh ingin dirinya
terlebur menjadi satu dengan tubuh anak muda itu. Dalam keadaan begini, dia
berbalik berterima kasih kepada iblis jahat itu. Kalau bukan perbuatannya, saat ini
mana bisa dia berada dalam pelukan Sim Long.
Sampai sekian lama keduanya tenggelam dalam khusyuk-masyuk, mendadak Sim
Long berteriak dengan suara terputus-putus, “Ai... air... air!”
Jit-jit terkejut, tapi segera dia tahu anak muda itu pasti mempunyai maksud tujuan
tertentu.
Benar juga, sejenak kemudian lantas terlihat lubang gua atas terbuka, lelaki gede
serupa anjing herder itu menongolkan kepalanya sambil membentak gusar, “Keparat,
mau apa kau meraung-raung?”
Orang berani memaki Sim Long, segera Jit-jit hendak mendampratnya, tapi mulutnya
keburu didekap Sim Long, lalu anak muda itu berkata dengan suara yang dibikin
lemah, “Aku... aku sangat haus, mohon... mohon diberi air.”
Untuk sebentar suasana menjadi sunyi, tidak lama kemudian, dari atas terjulur
sebatang galah bambu, pada ujungnya terikat sebuah kaleng, lelaki gede itu tertawa
terkekeh-kekeh dan berucap, “Ini airnya. Jika mau minum, masukkan kepala ke
dalam kaleng, cara beginilah tuanmu memberi minum kepada babi.”
Mendadak Sim Long berbangkit, tangan bergerak, sejalur angin keras lantas
menyambar ke atas, “plak”, kepala si lelaki gede yang menongol itu tepat tertimpuk.
Lelaki itu meraung dan terjungkal ke bawah, senjata rahasia yang mengenai
kepalanya juga jatuh di sebelahnya, kiranya cuma sebiji bakpao kering.
Jit-jit terkejut dan bergirang, dilihatnya Sim Long menutuk beberapa hiat-to orang itu,
lalu galah bambu itu dijemputnya. Pada saat itulah di atas terdengar seorang
membentak, “Ada kejadian apa?”
Tanpa bicara tangan Sim Long bergerak pula, kembali sebiji bakpao kering
menyambar ke atas dan kembali seorang jatuh terjungkal lagi ke bawah dan dibikin
tak berkutik oleh Sim Long.
Cepat Sim Long mengempit Jit-jit dengan tangan kiri, galah bambu di tangan kanan
terus menolak hingga tubuh mengapung ke atas.
Jit-jit merasa angin mendesir, waktu ia membuka mata, tahu-tahu mereka sudah
meloncat ke luar penjara.
Di atas gua penjara, ini adalah sebuah rumah kecil, di atas meja masih ada santapan,
orang yang sedang makan minum tadi kini sudah menggeletak di dalam penjara
malah.
“Engkau sungguh orang yang paling pintar, tidak percuma kusuka padamu,” seru
Jit-jit dengan girang.
“Ssst, jangan bersuara,” desis Sim Long.
Perlahan ia membuka pintu dan mengintip, suasana sepi, segera ia menyelinap ke
luar. Di luar adalah sebuah serambi panjang dan juga tidak kelihatan bayangan
seorang pun.
“Untung orang di sini seperti sudah mampus semua,” bisik Jit-jit.
Sim Long tidak menanggapinya, cepat ia memutar ke kiri, baru saja dia melangkah,
terdengarlah dari ujung serambi sana ada suara langkah orang menuju ke sini.
Terdengar seorang berkata, “Mana boleh kau kurung dia bersama Sim Long di situ.”
Suara orang ini tidak enak didengar, jelas Kim Put-hoan yang “Kian-li-bang-gi” atau
mendapat untung lantas lupa kepada kawan.
Lalu seorang sedang menjawab, “Penjara di sini cuma ada satu tempat, kalau tidak
dikurung bersama akan digusur ke mana?”
Segera Sim Long bermaksud mundur kembali ke dalam rumah, tapi lantas terdengar
seorang lagi berkata, “Coba kita periksa penjara sana.”
Dari suaranya yang kasar dapat dikenali orang ini ialah Lian Thian-hun.
Apabila Sim Long mundur kembali ke tempat semula tentu akan kepergok mereka.
Jadi maju dan mundur serbasusah, mau tak mau Sim Long rada bingung.
“Takut apa, labrak saja mereka,” desis Jit-jit, ia percaya penuh atas kemampuan
pemuda pujaannya.
Sim-Long menjadi nekat juga, ia rangkul erat tubuh Cu Jit-jit dan menerjang ke sana
sekuatnya dan cepat luar biasa. Baru saja rombongan Lian Thian-hun muncul dari
tikungan, sekonyong-konyong sesosok bayangan menyelinap lewat. Karena kaget,
tanpa terasa mereka menyingkir ke samping.
Maka secepat terbang dapatlah Sim Long melayang lewat, tanpa berpaling lagi ia
terus lari ke depan.
Serentak terdengar suara bentakan di belakang.
“Hah, itulah Sim Long,” seru Kim Put-hoan.
“Betul, lekas kejar!” teriak Lian Thian-hun gusar.
Menyusul lantas terdengar suara orang mengejar beramai-ramai.
Dengan sendirinya Sim Long tidak hafal jalanan di tempat orang, apalagi dalam
keadaan dikejar, sukar baginya untuk membedakan arah dan memilih jalan. Baru
beberapa tombak ia lari segera dihadapi jalan buntu.
Untung pada ujung kiri jalan buntu terdapat sebuah pintu. Tanpa pikir Sim Long
mendobrak pintu dan menerjang ke dalam. Tapi segera ia melenggong, sebab kamar
ini pun tidak ada jalan tembus.
Sekilas dilihatnya sebelah kanan ada sebuah jendela dan pada sisi lain ada lagi
sebuah pintu kecil. Karena keadaan mendesak, timbul akal Sim Long, ia sambar
sebuah kursi dan dilemparkan, kontan jendela itu ambrol, pada saat yang sama ia
terus lari masuk ke pintu kecil itu.
Hanya sekejap saja rombongan Kim Put-hoan sudah menyusul tiba, Sim Long
bersembunyi di balik pintu kecil itu dengan menahan napas dan tidak berani
bergerak.
“Lari ke mana dia?” terdengar Lian Thian-hun meraung gusar di luar.
“Jelas membobol jendela dan kabur ke luar,” kata Kim Put-hoan.
“Ayo lekas kejar!” seru Lian Thian-hun.
Menyusul lantas terdengar suara orang melompat keluar jendela, lalu tidak terdengar
sesuatu suara lagi.
Baru sekarang Sim Long merasa lega, desisnya, “Mari kita mundur kembali ke
tempat tadi untuk mencari jalan lolos lain!”
“Sungguh akal menyesatkan musuh yang bagus,” bisik Jit-jit. Dalam keadaan
demikian dia tidak lupa memberi pujian kepada Sim Long.
Tapi baru saja Sim Long membuka pintu, segera terlihat Kim Put-hoan bertiga berdiri
di depan pintu dengan tertawa dingin.
Keruan Sim Long melongo.
“Hehe, kau kira kami dapat dikibuli seperti anak kecil?” jengek Kim Put-hoan.
“Ayolah, mau lari ke mana lagi, lekas serahkan dirimu,” bentak Lian Thian-hun.
Sim Long mengertak gigi, ia tidak jadi menerjang ke luar, sebaliknya menyurut
mundur, pintu terus ditutup kembali dan dipalang. Akan tetapi segera diketahuinya
sekeliling ruangan ini rapat tanpa lubang tembus lain, sebuah jendela pun tidak ada,
keadaan gelap gulita, kecuali perabotnya yang lebih baik, keadaannya tidak berbeda
dengan penjara di bawah tanah itu.
Terdengar Kim Put-hoan bertiga lagi bergelak tertawa di luar dan tidak membobol
pintu untuk mengejarnya. Malahan lantas terdengar suara “krek,” pintu berbalik
digembok dari luar.
“Ruangan ini sekelilingnya terbuat dari dinding baja, jauh lebih kuat daripada penjara
batu itu, boleh kalian tidur saja di situ dan jangan lagi mencari jalan untuk kabur
segala,” terdengar si baju panjang berseru di luar.
“Nanti kalau kalian sudah lemas kelaparan, barulah kami akan datang lagi, biasanya
kami memang sabar menunggu,” demikian Kim Put-hoan menyindir.
Habis itu lantas tidak terdengar sesuatu lagi.
Sim Long berlari ke kaki dinding dan memukulnya, terdengar suara nyaring, tangan
sendiri tergetar sakit, memang betul dinding sekeliling kamar ini terbuat dari baja
seluruhnya.
Seketika Sim Long berdiri terkesima dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
“Mereka hanya bertiga, bilamana tadi kau labrak mereka, bisa jadi mereka dapat kau
kalahkan, tapi sekarang....” Jit-jit menggerundel dengan menyesal.
Sim Long menghela napas, “Bila kulabrak mereka, bagiku tidak menjadi soal, tapi
bagaimana dengan dirimu?”
Jit-jit terkesiap dan tidak bicara lagi. Sejenak kemudian mendadak ia menangis sedih.
“Jangan menangis Jit-jit, memang akulah yang salah,” ujar Sim Long.
“Tidak, engkau tidak salah....” seru Jit-jit dengan suara parau. “Dalam segala hal
selalu kau pikirkan diriku, tapi aku berbalik menyalahkan engkau. Aku... aku memang
pantas mampus!”
Perlahan Sim Long membelai rambutnya yang halus, ucapnya, “Sudahlah, dalam
keadaan demikian, kita senasib setanggungan. Betapa pun menyenangkan juga bila
kita dapat mati bersama di tempat ini.”
“Tidak, tidak, engkau tidak boleh mati, engkau harus berjuang terus....”
“Ai, dalam keadaan begini, apa yang dapat kulakukan?” ujar Sim Long dengan
menyesal.
Jit-jit masih mau bicara lagi, tapi urung, ia menangis perlahan, sebab ia pun
menyadari keadaan cukup gawat. Tiba-tiba ia berkata lagi dengan bersemangat,
“Memang betul juga ucapanmu, betapa bahagia bilamana kita mesti mati bersama di
sini. Tapi... tapi kita masih muda, aku tidak mau mati, kita harus hidup bersama dan
bahagia untuk berpuluh tahun lagi dan....”
Sampai di sini mendadak ia tertegun, sebab tanpa disadari tenaga sendiri ternyata
sudah pulih sebagian, tangannya dapat digunakan untuk memukul tempat tidur
sehingga menerbitkan suara keras.
“Ah, rupanya obat bius yang digunakan si iblis ini tidak sama dengan dulu, pengaruh
obatnya kini mulai lenyap, sekarang aku sudah dapat berdiri....” ia
termenung sejenak, lalu menyambung, “Tapi apa gunanya aku dapat berdiri, keadaan
sudah terlambat, biarpun bisa berlari juga sukar kabur dari sini.”
Dengan pandangan yang sayu ia tatap wajah Sim Long, entah berapa lama, perlahan
ia berkata pula, “Tapi tetap aku berterima kasih kepada Thian yang murah hati yang
telah membuatku dapat bergerak sekarang. Biarpun kita tidak dapat lagi hidup
bersanding, tapi sebelum ajal kita dapat berkumpul di sini untuk beberapa hari,
betapa pun aku... aku merasa bahagia.”
“Kau... kau....”
Belum lanjut ucapan Sim Long, mendadak Jit-jit merangkulnya sehingga keduanya
jatuh ke tempat tidur yang lunak itu.
Jit-jit membenamkan kepalanya di dada Sim Long, bisiknya dengan suara setengah
merintih, “O, masakah engkau belum lagi paham? Ai, orang... orang tolol, orang
dungu... masa tidak kau ketahui, sebelum ajal, kurela menyerahkan segalanya
kepadamu?”
“Kau... kau benar rela....”
Jit-jit tidak bicara lagi, ia peluk anak muda itu terlebih erat, dada beradu dada,
bibirnya yang hangat merayapi belakang telinga Sim Long.
Bagai orang mengigau ia berkeluh perlahan, “O, waktu kita sudah tersisa tidak
banyak lagi, kurela... apa pula yang kau khawatirkan... apa pula yang kau tunggu?....”
Mendadak Sim Long membalik tubuh di atas, dipeluknya tubuh yang hangat dan
mungil yang lagi menyongsongnya dengan rada gemetar itu....
Selagi memuncak api berkobar, selagi banjir hampir membobol tanggul, mendadak
Jit-jit menggigit bibir Sim Long sekerasnya, berbareng terus didorongnya sehingga
anak muda itu tertolak jatuh ke bawah tempat tidur.
Lantaran tidak menyangka, keruan Sim Long kaget dan berseru, “Hei, apakah kau
gila?”
Jit-jit terus menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, teriaknya dengan histeris, “Kau
bukan... bukan Sim Long... kau bukan Sim Long....”
“Kau gila, habis siapa jika aku bukan Sim Long?”
“Kau... kau bangsat, binatang, kau setan iblis, sekarang... sekarang kutahu siapa
dirimu....”
“Memangnya siapa diriku?” tanya Sim Long.
“Ong Ling-hoa!” teriak Jit-jit. “Kau bangsat jahanam, kau... kau bikin celaka diriku...
untung kutahu... dan... dan masih sempat....”
“Hehe, kau bilang aku ini Ong Ling-hoa?”
“Memangnya siapa kalau bukan Ong Ling-hoa,” jawab Jit-jit. “Betapa keji caramu
mengatur akalmu yang busuk ini, bukan saja telah kau tipu uangku, kau pun ingin
menipu tubuhku....”
“Oo, kau anggap kutipu dirimu?”
“Hm, biarpun kepandaianmu merias mukamu sedemikian hebatnya, tapi lantaran aku
sudah terlalu mengenal Sim Long, kau khawatir akan kukenali kepalsuanmu, maka
sengaja kau gunakan tipu licik dan bertemu denganku di tempat yang gelap.”
Jit-jit mengertak gigi sehingga gemertuk, lalu menyambung, “Suara Sim Long tak
dapat kau tirukan dengan persis, maka sengaja berlagak tersiksa di penjara dengan
suara parau agar aku tidak mencurigai dirimu.”
“Lalu?” jengek Sim Long.
“Sesudah wajahmu kau rias, tentu tidak dapat lagi tersenyum, maka sengaja kau
bikin mukamu selalu murung. Padahal, ai, kenapa kulupa bahwa pada keadaan
bagaimanapun senyuman khas Sim Long itu selalu menghiasi bibirnya, hampir setiap
saat dan di mana pun selalu kulihat senyumannya yang khas itu.”
“Apa betul begitu?”
“Selain itu, jika sudah ada akalmu untuk kabur dari penjara itu seharusnya dapat kau
lari sebelumnya, kenapa mesti menunggu setelah kudatang barulah kau bawaku
kabur?.... Waktu orang itu memberi air padamu, mestinya dia dapat menggunakan
cara lain, mengapa pakai galah bambu segala? Jelas semua ini memang sudah diatur
sebelumnya agar galah itu dapat kau gunakan untuk meloncat ke luar.”
“Ada lagi yang lain?” tanya Sim Long dengan tertawa.
“Dasar bangsat, sudah kau tipu uangku, ingin kau tipu pula.... Ya, tentu karena
tempat itu kurang baik, maka sengaja kau bawaku ke sini, kau....”
“Betul, penjara di bawah tanah itu lembap dan kotor, siapa pun tidak bergairah
berbuat hal begituan di situ, sengaja kubawamu ke sini justru supaya engkau sendiri
akan menyodorkan makanan ke mulutku,” kata anak muda itu dengan tertawa.
Baru sekarang ucapannya mengandung nada pengakuan bahwa dia memang bukan
Sim Long melainkan Ong Ling-hoa adanya.
“Bangsat, hewan,” dengan suara parau Jit-jit memaki pula. “Sungguh keji kau, tentu
setelah kau tipu diriku, lalu sengaja kau tinggalkan diriku agar kubenci Sim Long
selama hidup, dengan begitu kau bikin susah kami berdua sekaligus.”
“Betul, ini namanya sekali timpuk dua burung, tahu?” jawab Ong Ling-hoa dengan
cengar-cengir.
“Hm, kecuali bangsat keji semacam ini, siapa lagi yang dapat menggunakan akal
busuk semacam ini. Mungkin tidak ada orang lebih kotor dan rendah daripadamu di
seluruh dunia ini.”
“Namun masih ada sesuatu yang tidak kupahami,” kata Ong Ling-hoa dengan
tertawa.
Tanpa menunggu tanggapan Jit-jit segera ia menyambung, “Setelah sekian lama
akalku dapat mengelabuimu, mengapa mendadak dapat kau ketahui?”
“Sebab... sebab aku....” mendadak Jit-jit berteriak. “Tidak perlu kau tahu cara
bagaimana kuketahui tipu muslihatmu, pokoknya memang dapat kuketahui.”
Hal ini selain membingungkan Ong Ling-hoa, sesungguhnya Jit-jit sendiri juga sukar
menjelaskan, atau bisa jadi dia malu untuk menerangkan.
Kiranya tadi waktu orang bermesraan dengan dia, tiba-tiba Jit-jit merasakan sesuatu
tidak benar, yaitu “gaya” pihak lawan. Ia merasa “gaya kerja” orang sedemikian
hafalnya, serupa benar dengan cara rendah Ong Ling-hoa memperlakukan dia waktu
di ruang bawah tanah dahulu.
Dan pada detik sebelum garis pertahanan terakhir dibobol itulah dapat diketahuinya
tipu muslihat musuh.
Maklumlah, setiap lelaki mempunyai gaya dan gerak irama tertentu pada saat dia
merayu dan main cinta dengan seorang perempuan. Biarpun sasarannya berganti,
cara kerjanya biasanya tidak berubah.
Dan dalam hal ini biasanya di pihak perempuan juga sangat peka merasakan
perbedaannya.
*****
Entah sejak kapan, lampu di dalam kamar sudah dinyalakan oleh Ong Ling-hoa.
Dia berdiri di depan tempat tidur, raut wajahnya memang sangat mirip Sim Long, cuma
matanya, sorot matanya memperlihatkan sifatnya yang kotor dan menjijikkan.
Jit-jit membungkus tubuhnya terlebih rapat, ia tidak berani memandang orang, dari
rasa murka kini berubah menjadi rasa takut.
“Kau sangat pintar, sungguh jauh lebih pintar daripada dugaanku,” kata Ong Ling-hoa
kemudian dengan cengar-cengir, “Tapi apakah sekarang kau kira sudah lengkap
mengetahui segalanya?”
“Memangnya apa yang tidak kuketahui? Aku....” mendadak Jit-jit teringat akan
sesuatu, waktu ia berpaling, dilihatnya Ong Ling-hoa sedang menatapnya dengan
pandangan kotor dan jalang. Seketika hatinya bergetar, teriaknya, “Matamu... matamu
inilah....”
“Mataku kenapa?” tanya Ong Ling-hoa dengan tersenyum.
“Kau... ya, kaulah yang membikin celaka Miau-ji tadi.... Jadi iblis jahat itu pun
samaranmu, betul tidak?”
“Haha, memang betul,” Ong Ling-hoa terbahak. “Menurut pandanganmu, wajah iblis
itu adalah samaran keluarga Suto, aku pun pernah melihatnya sekali, dan mengapa
aku tidak dapat menyamar seperti dia? Betapa pun pandai ilmu rias keluarga Suto
juga tidak banyak lebih mahir daripada diriku tuan muda keluarga Ong ini.”
“Bangsat, kau... kau....”
“Ai, nonaku yang manis, biarpun kau pintar, sebenarnya apa pun tidak kau ketahui,”
sela Ong Ling-hoa dengan gelak tertawa. “Apakah kau mau bila kuceritakan urusan
ini dari awal?”
“Kau... kau....” karena gemetar sehingga suara Jit-jit pun tidak jelas.
“Kau tahu, di hutan sunyi sana sudah kulihat Kim Put-hoan, Li Tiang-ceng dan
lain-lain, meski mereka tidak kenal diriku, tapi kukenal mereka, maka aku lantas
mendekat dan pasang omong dengan mereka.”
“Mereka mau bicara dengan binatang semacam dirimu ini?”
“Soalnya, hanya satu kalimat saja sudah dapat kupikat mereka.”
“Yang... yang kau kemukakan tentu mengenai Sim Long.”
“Betul, kembali dapat kau tebak dengan tepat. Aku berlagak memusuhi Sim Long,
dengan sendirinya mereka ingin bersahabat denganku, maka lantas kuberi jalan
kepada mereka agar menungguku di sini. Jalan yang mereka tempuh adalah jalan
kecil yang dirahasiakan, dengan sendirinya jejak mereka menghilang secara
mendadak sehingga kau dan si kucing rakus itu kebingungan.”
Hal ini sebelumnya memang sudah diduga oleh Jit-jit, cuma ada sesuatu lain yang
belum diketahuinya, maka ia lantas tanya, “Kenapa mereka mau percaya padamu
dan datang ke sini lebih dulu?”
“Sebab mereka memerlukan tenagaku untuk membantu menghadapi Sim Long,” tutur
Ong Ling-hoa dengan tertawa. “Mereka percaya aku adalah seorang kesatria dan
gagah perkasa, sebaliknya Sim Long adalah seorang bangsat keparat.”
“Sialan, sudah buta semua!” omel Jit-jit dengan gemas.
“Dari mulut mereka dapat kuketahui kau pun berada di sekitar sini, maka aku lantas
tinggal di sana, tidak lama kemudian benarlah kulihat kau dan si Kucing itu datang
dengan riang gembira, wah, alangkah mesranya antara kalian berdua, padahal
biasanya kau sok berlagak suci.”
“Kentut!” damprat Jit-jit. “Hubungan kami cukup terbuka, hanya matamu yang kotor ini
sehingga barang bersih juga kau pandang sebagai kotor.”
Ong Ling-hoa tidak menghiraukannya, sambungnya lagi, “Kalian berjalan dengan
tangan bergandeng tangan, aku lantas mengintil di belakang kalian dari jauh, waktu
kalian mendaki gunung, segera timbul pikiranku untuk menyamar sebagai iblis itu,
cepat kuputar jalan terdekat untuk mendahului di depan kalian. Lalu dengan sedikit
akal, tanpa susah payah dapatlah kubikin si Kucing hancur lebur di dalam jurang.
Haha, sudah sekian lama dia bermesraan denganmu, andaikan mati juga dia tidak
perlu penasaran.”
Dari cerita Ong Ling-hoa ini baru diketahui mengapa orang sedemikian hafal terhadap
keadaan di sekitar sini, rupanya tempat ini memang kepunyaan keluarga Ong.
“Setelah kubawa dirimu ke sini dalam keadaan tak sadar, segera kuganti rupa lagi
menjadi Sim Long, kuatur pula tipu sekali timpuk dua burung ini dengan Kim
Put-hoan dan....”
“Hm, bangsat she Kim itu memang jahat, tapi Li Tiang-ceng dan Leng Toa juga
membantu tipu muslihatmu yang kotor ini, sungguh tak kusangka,” ucap Jit-jit dengan
gemas.
“Leng Toa dalam keadaan tidak sadar, Li Tiang-ceng juga terluka parah, kedua orang
ini masih berbaring di sana tanpa bisa berbuat sesuatu. Sedangkan Lian Thian-hun,
hehe, cuma seekor kerbau bodoh, setelah kubujuk Kim Put-hoan, dengan mudah
dapat kubohongi kerbau bodoh itu untuk bekerja bagiku.”
“Banyak berbuat kejahatan pada akhirnya pasti akan menerima ganjarannya,” ujar
Cu Jit-jit. “Biarpun sekarang aku tidak dapat berbuat apa-apa, jadi setan pun akan
kucekik mati dirimu.”
“Haha, kalau setan perempuan tetap kusambut dengan gembira, bila setan lelaki,
huh, waktu hidup saja aku tidak takut padanya, sesudah jadi setan masakah malah
takut?”
“Tunggu saja, pada suatu hari pasti....”
“Masa perlu kutunggu lagi, sekarang juga aku mau....”
“Kau mau apa?” seru Jit-jit khawatir.
“Aku mau apa masakah kau tidak tahu?”
Tentu saja Jit-jit tahu, melihat sorot mata orang saja ia lantas tahu. Ia sembunyi ke
pojok tempat tidur dan berteriak dengan gemetar, “Kau... kau berani?”
“Kenapa aku tidak berani?” sahut Ong Ling-hoa dengan tertawa. “Jika aku tidak
berani, tentu takkan kuberi tahukan rahasiaku kepadamu.”
“Lekas kau bunuh diriku saja,” jerit Jit-jit.
“Ai, kau tahu namaku Ling-hoa, artinya sayang akan bunga (kiasan bagi perempuan),
masakah aku tega membunuh anak perempuan molek seperti dirimu ini?”
Sembari tersenyum ia terus mendekat.
“Enyah, pergi! Mati pun jangan kau harap akan menyentuh diriku!”
Pada saat itulah sayup-sayup di luar ada suara orang membentak dan saling labrak,
tapi dalam keadaan panik Jit-jit tidak mendengarnya. Sedangkan Ong Ling-hoa hanya
berkerut kening saja, lalu mendekati Jit-jit lagi, “O, sayang, betapa mesranya
kepadaku tadi, kenapa sekarang kau....”
“Kau bangsat, jahanam....” sampai parau suara Jit-jit, tapi apa daya, dia hanya dapat
membungkus dirinya terlebih rapat dengan selimut, akhirnya ia memohon, “O,
hendaknya kau ampuni diriku.... Lebih baik kau bunuh diriku saja, perempuan lain
masih banyak. Ken... kenapa kau paksa diriku.”
“Dan lelaki lain sedemikian banyak, kenapa cuma Sim Long saja yang kau pilih?
Kenapa tidak kau anggap diriku sebagai Sim Long saja?”
Habis berkata Ong Ling-hoa terus menubruk ke atas tempat tidur.
Jit-jit menjerit dan meronta serta menghindar, juga memohon, akan tetapi tenaganya
belum pulih seluruhnya, dia mulai lemas lagi dan tak berdaya....
“Jangan meronta, jangan melawan,” bujuk Ong Ling-hoa dengan napas terengah.
“Tidak ada gunanya kau melawan, setelah kau jadi milikku baru kau tahu aku ini tidak
seburuk sebagaimana kau sangka, bahkan bisa jadi engkau tak mau lagi berpisah
denganku.”
Jit-jit merasakan sorot mata orang yang kotor dan jalang itu semakin mendekat, hawa
napasnya yang berbau juga tambah dekat dan akhirnya bibir menempel bibir.
Dia tak mampu meronta lagi, akhirnya dia tak sadarkan diri.
Waktu Jit-jit jatuh pingsan mungkin lama dan mungkin juga singkat, tapi waktu yang
singkat ini pun cukup untuk terjadi macam-macam hal. Namun yang terjadi selama ia
pingsan sama sekali tidak diketahuinya.
Sungguh ia lebih suka tidak siuman untuk selamanya, sebab dia tidak berani
menghadapi kenyataan apa yang terjadi selama dia pingsan. Namun begitu, akhirnya
dia tetap siuman.
Dan begitu dia membuka mata, segera dilihatnya raut wajah itu, raut wajah yang
sama, raut wajah “Sim Long”. Saat itu sedang memandangnya dengan tersenyum.
Sesungguhnya apa yang telah terjadi selama dia pingsan?
Hancur luluh hati Jit-jit, hampir gila dia. Tanpa pikir akibatnya, sekuatnya dia
melompat bangun, kontan ia menampar muka orang. Anehnya orang tidak
mengelak, juga tidak menangkis. Bisa jadi karena dia sudah merasa puas, apa
artinya ditampar dua kali oleh anak gadis yang habis dilalapnya?
“Plak”, menyusul Jit-jit terus menubruk maju menendang dan menjotos lagi seperti
orang gila sambil berteriak, “Jahanam, kau hancurkan hidupku, biar ku....”
Mendadak kedua tangannya dipegang orang. Ia meronta sekuatnya dan tidak
terlepas, segera ia berpaling dan mendamprat pula, “Bangsat, kalian semua....”
Tapi mendadak dilihatnya yang menangkap tangannya terdiri dari dua orang, yang
memegang tangan kirinya ialah Him Miau-ji dan yang memegang tangan kanannya
adalah Kim Bu-bong.
Sungguh kaget Jit-jit tak terkatakan, dia seperti melihat setan. Seketika ia
melenggong, terkilas macam-macam pikirannya, “Ai, kiranya mereka berdua belum
mati? Ken... kenapa mereka tidak mati dan berada pula di sini?.... Ai, jangan-jangan
mereka ini orang Ong Ling-hoa yang menyamar untuk menipu diriku?”
“Siapa kalian?” segera ia membentak.
Him Miau-ji alias si Kucing terbelalak heran, jawabnya, “He, apakah engkau linglung,
masa kami tidak kau kenal lagi?”
“Kalian palsu semua, kutahu... kutahu, jangan harap lagi akan menipu diriku,” teriak
Jit-jit dengan parau sambil meronta sekuatnya, tapi tak terlepas.
“Palsu? Coba lihat lagi lebih jelas, apakah kami tulen atau palsu?” ucap Kim Bu-
bong.
“Mungkin dia memang linglung, kalau tidak masakah Sim-heng dipukulnya?” ujar si
Kucing.
Waktu Jit-jit memerhatikan mereka, di bawah cahaya terang terlihat sinar mata Kim
Bu-bong yang buram, Him Miau-ji juga kelihatan dirangsang emosi, sorot mata dan
sikap demikian mustahil dapat ditirukan orang lain.
Apalagi dari suara mereka, jelas memang asli dan bukan samaran. Tapi cara
bagaimana pula mereka datang ke sini?
Jit-jit pandang lagi mata orang yang mencorong dengan senyumannya yang khas.
Ciri ini terlebih tidak mungkin bisa ditiru. Inilah Sim Long asli.
Sungguh sukar dimengerti, mengapa palsu bisa berubah menjadi asli? Sebenarnya
apa yang telah terjadi?
Jit-jit menjadi girang, kejut, dan juga heran, katanya kemudian, “Ap... apakah aku
sedang mimpi?”
“Siapa bilang kau mimpi?” kata si Kucing.
Dengan bingung Cu Jit-jit berdiri, lalu ia berlutut pula dan menangis, “O, jika aku
bermimpi, lebih baik biarkanlah bermimpi selamanya.... Aku tidak tahan....”
Perlahan Sim Long berbangkit, sorot matanya penuh rasa kasih sayang, meski
mukanya bengep kena tamparan Jit-jit tadi, tapi tetap mengulum senyumannya yang
khas itu, ucapnya dengan gegetun, “Anak baik, jangan menangis, saat ini engkau
tidak bermimpi, tadi engkau memang bermimpi, mimpi yang buruk.”
Suaranya begitu lembut, begitu mesra, juga tidak dibuat-buat serak.
Jit-jit tidak ragu Lagi, sambil menangis ia menubruk ke dalam pelukan Sim Long dan
berseru, “Jadi... jadi engkaulah yang menyelamatkan diriku.”
Perlahan Sim Long menjawab, “Sungguh aku menyesal datang terlambat sehingga
engkau banyak tersiksa.”
“Engkau telah menolong diriku, tapi berbalik kupukulmu.... Ai, aku memang pantas
mampus?” ratap Jit-jit.
“Ini pun tidak dapat menyalahkan dirimu,” ujar Sim Long dengan suara lembut.
“Kenapa engkau tidak menangkis dan mengelak.”
“Sudah banyak kau tersiksa, apa alangannya kubiarkan dipukul dua kali olehmu
sekadar melampiaskan rasa gemasmu?” ujar Sim Long dengan tersenyum.
“O, mengapa engkau selalu begini baik padaku,” seru Jit-jit merangkul anak muda itu.
Dia melupakan segalanya, ia memeluknya erat-erat dan menciuminya, air matanya
membasahi wajah Sim Long dan membuat arak muda itu rada kikuk.
Him Miau-ji dan Kim Bu-bong menyaksikan adegan itu dengan melenggong, entah
bagaimana perasaan mereka.
“Sudahlah, jangan menangis lagi, di samping masih ada Kim-heng dan Himheng,”
ucap Sim Long dengan canggung.
Baru sekarang Jit-jit ingat di situ masih ada orang lain, cepat ia berbangkit dengan
kepala menunduk.
Tiba-tiba sebuah tangan putih halus terjulur ke arahnya dengan secangkir teh,
suara seorang yang halus berkata padanya, “Silakan minum, Siocia.” Waktu Jit-jit
menengadah, terlihatlah seraut wajah yang cantik molek memesona, serunya, “Hei,
kau!”
“Ya, hamba,” sahut si gadis, kiranya Pek Fifi adanya.
“Kau pun datang ke sini? Ke mana pun Sim Long pergi selalu kau ikut?” tanya Jit-jit.
Fifi menunduk dan tidak berani menjawab, mukanya yang putih bersemu merah
sehingga kelihatan kasihan. “Ayolah bicara, kenapa diam saja,” desak Jit-jit. “Nona,
hamba....” Fifi tetap menunduk, meski sedapatnya menahan air mata,
tidak urung tersendat juga suaranya.
“Fifi, boleh kau jaga di luar saja, bila mereka berani bergerak hendaknya segera kau
bersuara memanggil,” kata Sim Long. Fifi mengiakan. Anak perempuan ini sungguh
sejinak domba dan menyenangkan serupa burung
sriti, sampai sekarang ia pun tidak lupa memberi hormat kepada Jit-jit, lalu
melangkah ke luar dengan menunduk. Memandangi bayangannya yang ramping itu,
Jit-jit menjengek, “Fifi... hm, alangkah mesranya panggilanmu.”
“Ai, dia seorang anak perempuan yang patut dikasihani, kenapa kau bersikap ketus
padanya? Dia sebatang kara, tidak punya sanak kadang, masa dapat kutinggalkan
dia begitu saja?” kata Sim Long.
“Dia patut dikasihani, memangnya aku tidak perlu dikasihani?” ujar Jit-jit. “Dia
sebatang kara dan tidak punya sanak kadang, memangnya banyak sanak saudaraku
di sini? Dan mengapa selalu kau tinggalkan diriku?”
“Betapa pun engkau lebih... lebih....”
“Lebih apa? Selalu kau bela dia, selalu kau pikirkan dia, dan ken... kenapa kau
datang menolongku? Lebih baik aku tidak berjumpa lagi denganmu selamanya.”
“Baik, baik, anggap aku yang salah, aku....”
Tapi mendadak Jit-jit menubruk lagi ke dalam rangkulannya dan meratap, “O, tidak,
engkau tidak salah, akulah yang salah, aku... aku cemburu, namun apa... apa
dayaku....”
Si Kucing terkesima menyaksikan hal-hal demikian ini, ia bergumam, “Kau cemburu,
apakah kau tahu orang lain juga bisa cemburu?”
“Apa katamu?” mendadak Jit-jit menoleh.
“O, tidak, kubilang senantiasa Sim-heng terkenang padamu, kalau tidak masakah dia
menempuh bahaya untuk menyelamatkan dirimu,” sahut si Kucing dengan gelagapan.
“Apa betul?” dari menangis Jit-jit berubah tertawa.
“Tentu saja betul,” kata si Kucing dengan menunduk.
Jit-jit melompat ke depannya dan berseru, “Ai, engkau sangat baik....” lalu ia berpaling
ke arah Kim Bu-bong. “Dan kau... kalian berdua adalah orang yang paling baik
padaku, jika kalian tidak ada, entah betapa berduka hatiku. Ah, kulupa tanya cara
bagaimana kalian terlepas dari bencana?”
Air muka Kim Bu-bong tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, memang inilah
kemahirannya, dia dapat menahan setiap perasaannya tanpa kelihatan.
Perlahan ia menjawab, “Sesudah kau pergi, aku tidak mampu melawan mereka
berempat, untung Sim-heng muncul dan menyelamatkan diriku. Keempat orang itu
tidak mampu mengejar kami, bahkan siapa penolongku saja tidak dilihat mereka.”
“Lalu?” tanya Jit-jit. “Apa lagi?”
“Habis,” jawab Kim Bu-bong.
“Meski uraian Kim-heng sangat singkat, tapi juga sangat penting, hal-hal kecil yang
tidak penting tak mungkin diceritakan oleh Kim-heng,” tukas Sim Long dengan
tertawa.
“Tidak diceritakannya juga dapat kubayangkan keadaan waktu itu,” ucap Jit-jit, lalu ia
memejamkan mata dan berkata pula dengan perlahan, “Tatkala mana pertarungan
kalian pasti sangat sengit, keparat Kim Put-hoan itu tentu mengejek terus-menerus
dan Kim-toako keki setengah mati, selagi engkau mandi keringat dan tampaknya bisa
kalah, mendadak Sim Long melayang tiba secepat terbang,
sekali tarik Kim-toako dibawa lari di tengah bayangan orang banyak. Kim Puthoan
dan begundalnya tentu terkejut, tapi mana bisa mereka menyusul dirimu.”
Ia membuka mata, lalu menegas dengan tertawa, “Betul tidak dugaanku?”
“Ya, seperti menyaksikan sendiri saja,” sahut Sim Long dengan tertawa.
“Tapi kemudian bagaimana tidak dapat kubayangkan lagi,” kata Jit-jit.
“Semula aku pun tidak tahu seluk-beluk urusan ini, sebab itulah meski kuselamatkan
Kim-heng, tapi tidak kuperlihatkan siapa diriku, juga tidak bentrok dengan mereka.
Kemudian baru kuketahui kedatangan mereka adalah untuk mencari diriku, juga
diketahui Can Ing-siong dan lain-lain sama mati keracunan, segera kami putar balik
hendak mencari mereka, siapa tahu mereka sudah pergi, untung di atas salju terdapat
jejak mereka, bersama Kim-heng segera kami melacaknya ke sini.”
“Apakah kau pun melihat jejakku bersama si Kucing?” tanya Jit-jit.
“Sudah tentu kulihat, malahan kami heran dan menduga-duga akan dirimu sehingga
kami bertambah cemas,” jawab Sim Long. “Ketika sampai di pinggang gunung, kami
kehilangan jejak mereka, hanya tersisa jejakmu dan Him-heng, tapi setiba di tepi
jurang jejak Him-heng lantas menghilang juga, sedangkan bekas kakimu mengitar
tidak jauh di situ dan lenyap pula, sebagai gantinya adalah bekas tapak kaki seorang
lain.”
“Waktu itulah aku tertipu dan diculik oleh bangsat itu,” tutur Jit-jit dengan cemas.
“Aku pun dapat menduga keadaanmu agak gawat, tepi tidak habis mengerti mengapa
jejak Him-heng bisa hilang secara mendadak,” tutur Sim Long pula. “Setelah
kutimbang, akhirnya kuputuskan untuk turun ke bawah untuk mencari tahu apa yang
terjadi.”
“Hah, kau turun ke bawah jurang, wah, kan sangat... sangat berbahaya,” seru Jitjit.
“Bagaimana dapat kau temukan si Kucing di bawah?”
“Waktu itu kudengar juga teriakanmu,” tutur Him Miau-ji, “sungguh aku gelisah, tapi
tak mampu berbuat apa-apa, ketika batu besar digusur ke bawah oleh bangsat itu,
untung teraling oleh batu karang yang mencuat di atas sehingga aku bebas dari
bencana. Sekuatnya kupegangi akar-akaran yang tumbuh di dinding tebing dan
menunggu kematian di situ, sebab keadaanku juga sudah lemas dan tidak sanggup
mengerahkan tenaga lagi. Semula aku masih bertahan sekuatnya, sampai akhirnya
tanganku terasa sakit, sekujur badan linu pegal, pandanganku juga kabur, dalam
keadaan setengah sadar hampir saja kulepas tangan dan
membiarkan diriku jatuh ke bawah, tapi aku tidak boleh mati, sebab... sebab aku....”
“Ai, semua itu gara-garaku,” ucap Jit-jit dengan air mata berlinang. “Sungguh waktu
itu aku pun ingin terjun ke bawah dan mati bersamamu, akulah yang membikin susah
padamu....”
Mendadak Him Miau-ji melengos agar air mukanya tidak terlihat orang, tapi tubuhnya
yang rada gemetar itu memperlihatkan guncangan perasaannya waktu itu.
“Dengan bantuan Fifi kuikat pinggangku dengan tali dan melorot ke bawah, dapatlah
kutemukan Him-heng di situ.” demikian tutur Sim Long. “Ternyata Himheng sudah
dalam keadaan hampir tak sadar, cepat kuangkat dia ke atas. Kau tahu ucapannya
yang pertama padaku adalah minta kuselamatkan dirimu.”
Lemas tubuh Jit-jit dan jatuh terduduk.
“Segera kami bertiga memburu ke atas gunung, setiba di sini lantas memergoki Kim
Put-hoan dan Lian Thian-hun di luar, dengan cepat dapat kami mengatasi mereka. Ai,
untung Fifi ikut serta, dia yang menemukan pintu yang tergembok ini, setelah pintu
kami dobrak baru menemukan dirimu.”
“Dan bagaimana dengan iblis jahat Ong Ling-hoa itu?....”
“Masakah dia mampu kabur?” jengek Kim Bu-bong.
“Haha, keparat ini juga cukup tahu diri,” mendadak si Kucing ikut menimbrung dengan
tertawa. “Begitu melihat Sim-heng dia lantas menyerah, dia bilang setelah Sim Long
asli muncul, terpaksa Sim Long gadungan harus pasrah nasib. Nyata ia menyadari
bukan tandingan Sim-heng dan manda diringkus.”
Dalam sekejap ini, pemuda yang simpati telah pulih kembali kepada sifatnya yang
riang dan lincah, semua kejadian yang sudah lalu seakan-akan sudah terlupakan
olehnya.
Jit-jit merasa gembira dan juga terharu, dengan termangu ia memandangnya, entah
bagaimana perasaannya.
“Melihat sikap Ong Ling-hoa itu, aku menjadi tidak enak untuk memperlakukan dia
dengan kasar,” tutur Sim Long kemudian. “Kuminta dia duduk bersama Kim Put-hoan
dan Lain-lain, setiap pertanyaanku juga pasti dijawabnya dengan jelas.”
“Jadi... jadi semua pengalamanku sudah kau ketahui?” tanya Jit-jit.
“Ya, tahu,” kata Sim Long.
“Oo, aku....” Jit-jit berseru kaget, seketika teringat keadaannya sebelum jatuh
pingsan, ia coba memeriksa keadaan sendiri sekarang, ternyata tidak kurang sesuatu
apa pun, baju pun rapi. Dengan ragu ia memandang ketiga lelaki di depannya ini.
“Semua ini juga berkat kecekatan bekerja Fifi,” tutur Sim Long pula dengan tertawa.
Tampaknya dia dapat meraba isi hati Cu Jit-jit.
Wajah Jit-jit menjadi merah, katanya dengan gemas, “Terkutuk bangsat itu, apakah...
apakah kau ringkus atau tutuk dia?”
“Melihat sikapnya yang sopan santun, mana aku tega bertindak kasar padanya,
apalagi terdapat pula kaum cianpwe sebagai Li Tiang-ceng, Thian-hoat Taysu dan
lain-lain, aku cuma pinjam pakai sedikit obat bius khas buatan Kim-heng, kuberi
mereka masing-masing setitik dan kuyakin mereka takkan mampu kabur.”
Obat bius “malaikat dewata mabuk sehari” yang disebut itu pernah dirasakan sendiri
oleh Cu Jit-jit, dengan sendirinya dia tahu betapa khasiat obat itu, maka dia tidak
merasa khawatir lagi, gumamnya, “Wahai Ong Ling-hoa, tampaknya sudah waktunya
kau terima ganjaranmu yang setimpal.”
Mendadak ia mendahului berlari ke sana. Terpaksa semua orang mengikutinya.
Siapa tahu baru saja Cu Jit-jit sampai di ruangan sana, segera ia menjerit, ketika
semua orang menyusul tiba, mereka pun tertegun.
Tertampak Li Tiang-ceng, Thian-hoat Taysu, Kim Put-hoan dan Leng Toa masih
duduk lemas di tempatnya, tapi Ong Ling-hoa sudah berbangkit dan hampir kabur ke
luar, Pek Fifi tercengkeram olehnya dengan penuh rasa takut.
“Hehe, rupanya kalian sudah selesai berbicara, bagus, bagus!” seru Ong Linghoa
dengan tertawa terkekeh.
“Keparat, kau....” bentak si Kucing.
“Hehe, perkembangan urusan ini tentu di luar dugaan kalian bukan?” jengek Ong
Ling-hoa. “Tapi apa pun juga hendaknya kalian jangan sembarang bertindak, kalau
tidak, nona molek indah yang bakal celaka.”
Sim Long tampak tenang-tenang saja, ucapnya dengan tersenyum, “Lepaskan dia!”
“Lepaskan dia?” tergelak Ong Ling-hoa. “Haha, gampang saja Sim-heng berbicara.
Betapa manjur nona molek ini menjadi jimat perlindunganku, mana boleh kulepaskan
dia begitu saja?”
“Lepaskan dia, dan kau pun boleh pergi, takkan kami kejar dirimu,” kata Sim Long.
“Betul?” Ong Ling-hoa menegas.
“Betul atau tidak, boleh kau putuskan sendiri.”
“Haha, baik,” seru Ong Ling-hoa dengan tertawa. “Jika orang lain mungkin aku tidak
percaya, sebab pembawaanku memang suka curiga, tapi ucapan Sim-heng tentu
saja lain bobotnya.”
Dia pandang Pek Fifi lalu menyambung dan tertawa, “Bicara sejujurnya, sungguh
terasa berat bagiku untuk membebaskan kau, tapi biarlah, toh cepat atau lambat kita
akan bertemu pula.”
Mendadak Fifi diciumnya sekali, lalu nona itu dilepaskan, ia lantas melangkah pergi
dengan terbahak.
Fifi jatuh ke tanah dan menangis. Semua orang sama mengertak gigi saking
gemasnya melihat kepergian Ong Ling-hoa itu.
“Kenapa kau bebaskan dia, kubenci....” seru Jit-jit sambil mengentak kaki.
“Jangan khawatir, jika dapat kutawan dia satu kali, tentu juga dapat kutawan dia
untuk kedua kalinya.”
“Semoga begitu....” Mendadak Jit-jit menjerit,
mengembalikan anting-antingku kepadamu?”
“Wah,
celaka,
apakah
dia
“Anting-anting apa?” tanya Sim Long.
“Anting-anting mutiaraku itu adalah tanda pengenalku untuk mengambil harta
bendaku, kini telah dibawanya lari, dengan anting-anting itu dapat dia menarik
berpuluh ribu tahil emas, sekali ini kejahatannya pasti akan tambah hebat seperti
harimau tumbuh sayap.”
Habis berkata segera ia hendak mengejar ke sana. Tapi Sim Long lantas
mencegahnya.
“Kenapa kau tahan diriku, masa benar kau bebaskan dia begitu saja?” teriak si nona.
“Masa hendak kau suruh kami menjadi manusia yang tidak dapat dipercaya dan suka
menjilat ludahnya sendiri?” kata Sim Long.
Jit-jit melengak dan menghela napas, mendadak ia tuding Pek Fifi dan mengomel,
“Kau, semuanya gara-garamu sehingga jahanam itu dibebaskan. Sim Long, sungguh
aku tidak mengerti mengapa kau bebaskan penjahat yang tak terampunkan itu.”
“Apakah kita dapat menyaksikan Fifi menjadi korban kejahatannya?” ujar Sim Long,
untuk pertama kalinya senyumannya yang khas itu lenyap dari wajahnya.
Terpaksa Jit-jit hanya menggigit bibir dengan menahan rasa dongkol, ia tidak berani
bicara lagi.
Kim Bu-bong berkata, “Sungguh aku tidak mengerti, Sin-sian-it-jit-cui adalah obat
bius yang sangat mujarab, entah kenapa keparat itu sanggup menawarkannya dan
melarikan diri.”
“Hal ini adalah salah... salahku,” tutur Fifi dengan menangis.
“Salahmu?” Kim Bu-bong menegas.
“Tadi dia duduk tenang di tempatnya, mendadak ia merintih, seperti sangat tersiksa,”
tutur Fifi. “Aku tidak sampai hati, kutanya dia sebab apa, dia bilang... bilang....”
“Bilang apa?” tanya Kim Bu-bong.
“Dia bilang sejak kecil mengidap penyakit aneh, bila kumat lantas kesakitan setengah
mati,” tutur Fifi dengan air mata berlinang. “Kutanya dia adakah obat yang dapat
mengurangi rasa sakitnya, dia lantas minta kuambilkan obat yang tersimpan di dalam
sebuah kotak kecil di laci meja....”
“Dan kau lakukan permintaannya?” seru Jit-jit khawatir.
“Aku tidak tega melihat dia tersiksa rasa sakit, maka kulakukan apa yang dimintanya,
siapa tahu... siapa tahu sejenak setelah dia minum obat, sekonyongkonyong ia
melompat bangun.”
“Memang seharusnya kupikirkan kemungkinan ini,” kata Kim Bu-bong dengan
menyesal. “Jika keparat itu mempunyai obat penawar bagi obat bius buatan keluarga
Suto yang istimewa itu, tentu juga dia mampu menawarkan obat biusku.”
“Tapi aku... aku tidak tahu, aku cuma kasihan padanya, maka....” “Hm, baik benar
hatimu,” jengek Jit-jit. “Hal ini tak dapat menyalahkan dia,” ujar Sim Long. “Wataknya
memang lembut
dan berhati welas asih, dia tidak tega melihat orang lain sengsara....” “Tidak dapat
menyalahkan dia, apakah mesti menyalahkan aku?” teriak Jit-jit
penasaran. “Kau tahu betapa aku dibikin susah oleh Ong Ling-hoa.... Hm, apakah
pernah kau pikirkan diriku....” Mendadak ia pun menjatuhkan diri ke tanah dan
menangis. Semua orang jadi serbasalah menyaksikan kedua anak perempuan yang
menangis itu. Pada saat itulah sekonyong-konyong angin meniup kencang,
mendadak
gumpalan asap menerjang masuk terbawa angin, terbawa pula hawa panas
menyengat badan. “Celaka, kebakaran!” seru si Kucing. “Cepat terjang keluar!” kata
Sim Long. “Jangan kalian tinggalkan kami di sini!....” teriak Kim Put-hoan dengan
khawatir. “Pengecut!” damprat Kim Bu-bong, “plak”, ia gampar orang satu kali, tapi
akhirnya diangkatnya juga tubuh orang, juga Lian Thian-hun dikempitnya.
“Lepaskan, mati pun aku tidak sudi kau tolong,” teriak Lian Thian-hun. “Justru
akan kuselamatkan dirimu, kau bisa apa?” jengek Kim Bu-bong. Dengan
sendirinya Lian Thian-hun tidak bisa apa-apa, terpaksa ia tutup mulut. Sambung
jilid 16
Pendekar Baja
Karya Gu Long Judul asli: Wu Lin Wai Shi Judul Bahasa
Inggris: A Fanciful Tale of the Fighting World Saduran: Gan
KL Tahun: 1979
Jilid 16
Dalam pada itu Sim Long lantas mengangkat Leng Toa, Li Tiang-ceng dan
Thian-hoat Taysu bertiga, serunya, “Him-heng, hendaknya kau ....” “Kutahu! ̈ jawab si
Kucing dengan menyengir, terpaksa ia yang mengangkat Pek Fifi dan Cu Jit-jit. Tapi
Jit-jit lantas meronta dan melepaskan diri, katanya, ”Aku dapat berjalan sendiri,
jangan khawatir, tidak nanti kumati terbakar.” Api berkobar dengan sangat cepat,
dalam sekejap saja sekeliling ruangan itu sudah terkurung oleh api. Semua orang
sama sesak napas karena asap tebal memenuhi ruangan itu. ”Tahan, ikut padaku!”
seru Sim Long. Cepat ia mendepak, daun jendela di pojok sana didobrak, segera ia
mendahului menerobos ke luar. Meski api menjilat dengan cepat, namun Sim Long,
Kim Bu-bong dan Him Miau-ji adalah jago kelas tinggi, dengan sendirinya kobaran
api itu tidak dapat merintangi mereka. Cu Jit-jit ikut di belakang mereka dan tentu
saja banyak hemat tenaga.
Sesudah menerjang ke luar, mereka berada di halaman belakang yang tidak terlalu
luas, meski di situ juga ada api, tapi barang-barang yang mudah terbakar tidak
banyak, api yang menjalar ke sini sangat kecil dan lambat.
Sekaligus mereka berlari ke kaki pagar dinding sana, waktu mereka berhenti dan
memandang ke belakang, api tampak berkobar terlebih hebat. ”Sungguh Ong
Ling-hoa yang keji,” ucap si Kucing dengan gegetun. ”Begitu cepat dan hebat
berkobarnya api, entah dibakar dengan bahan apa,” kata Sim Long. ”Ai, kelicikan,
kekejian, dan kecerdikan orang ini sungguh jarang ada tandingannya.”
Sekonyong-konyong terdengar jeritan ngeri di tengah lautan api, meski suara itu
kedengaran sangat jauh dan lemah, tapi menggambarkan betapa cemas, putus asa
dan ngerinya sehingga membuat orang yang mendengarnya merinding.
”Siapakah kiranya yang terkurung di tengah lautan api?” kata si Kucing. ”Siapa
lagi, tentu saja begundal keparat she Ong itu” ujar Jit-jit dengan gemas.
Lalu secara ringkas ia ceritakan cara bagaimana Ong Ling-hoa menggunakan tipu
muslihat licik mengurung lelaki gede serupa anjing herder itu di gua penjara, lalu
dengan gegetun ia berkata pula, ¡Terhadap anteknya sendiri saja begitu keji caranya,
sungguh dia bukan manusia.¡ ̈
”Kalian tunggu sebentar, akan kuselamatkan dia” kata Sim Long mendadak. ”Untuk
apa kau tolong dia, bukankah dia juga ....” Belum lanjut ucapan Jit-jit segera Sim
Long memotong, ”Tak peduli siapa dia, yang jelas dia juga manusia, asalkan
manusia, tidak boleh kita menyaksikan dia terbakar hidup-hidup.” Dia bicara dengan
tegas tanpa ragu. Dalam pada itu ia telah menanggalkan baju luarnya dan dibikin
basah dengan air salju. Salju di sekitar lautan api sudah cair, maka dengan cepat
dapat Sim Long membasahi bajunya itu, dengan baju basah yang setengah ia
gunakan untuk membungkus kepalanya, separuh lagi dipuntir menjadi gada. Dan
sebelum orang lain bersuara lagi dia lantas menerjang ke lautan api. ”Sungguh gila
orang ini,” omel Jit-jit sambil mengentak kaki, air mata pun berlinang. ”Tanpa
menghiraukan keselamatan sendiri dia berusaha menolong seorang antek Ong
Ling-hoa yang kejam itu, sungguh dia ....”
”Sungguh dia lelaki sejati yang pernah kukenal selama hidup ini,” tukas Kim Bubong.
”Aku Kim Bu-bong dapat berkawan dengan kesatria seperti ini, biarpun mati pun tidak
menyesal lagi.” ”Aku si Kucing baru sekarang benar-benar takluk padanya lahir batin”
seru Him Miau-ji. Mau tak mau Li Tiang-ceng dan lain-lain juga sama kagum. ”Tak
tersangka sedemikian luhur budi Sim Long, inilah perbuatan seorang pendekar
sejati”, ujar Li Tiangceng dengan gegetun. ”Huh, apanya yang hebat?” jengek
Kim-Put-hoan mendadak. ”Bocah she Sim itu paling pintar berlagak, dia sengaja
berbuat begitu supaya kalian ....” ”Kentut makmu busuk!” damprat Lian Thian-hun.
”Dia bertindak tanpa menghiraukan keselamatan sendiri, masakah cara begitu dapat
dilakukan dengan berpura-pura?” ”Hm, dia ....” Belum lanjut ucapan Kim Put-hoan,
mendadak Jit-jit membentaknya, ”Keparat, berani kau omong lagi satu kata segera
kubinasakan kau!” Ancaman Jit-jit ternyata berhasil, seketika Kim Put-hoan tidak
berani buka mulut lagi. Dengan menghela napas Li Tiang-ceng berucap, ”Semoga
Thian memberkahi Sim-heng agar tidak ....” ”Hanya kobaran api begini saja mana
dapat membakar mati Sim Long,” bentak si Kucing mendadak. Walaupun begitu
ucapannya, namun dalam hati sebenarnya ia pun berkhawatir bagi Sim Long.
Dalam pada itu api semakin dahsyat, dan sejauh itu belum lagi kelihatan Sim Long
muncul kembali, sampai suaranya juga tidak terdengar lagi. ”Wah, jangan-jangan dia
....” Jit-jit berkeluh. ”Jangan khawatir, segera dia akan keluar,” ucap si Kucing. Tapi
sampai sekian lama Sim Long tetap belum kelihatan. Sedangkan api berkobar
semakin hebat. ”Kau kira dia ... apakah dia takkan ....” Jit-jit tambah kelabakan.
”Orang semacam dia masakah bisa mengalami sesuatu?” ujar si Kucing. ”Ya, benar,
pasti tidak ....” Jit-jit berusaha menghibur dirinya sendiri. Ketika angin meniup, hawa
panas menyengat tubuh mereka dan membuat mereka terpaksa menyingkir terlebih
jauh. ”Hebat amat api ini, kita pun tidak ... tidak tahan, apakah dia ....” ”Meski kita
tidak tahan, tapi dia harus dikecualikan, dengan kemampuannya, biarpun menerjang
ke neraka juga sanggup keluar lagi. Hahaha, betapa pun aku tidak khawatir dan
percaya penuh padanya.” Di tengah suara gaduh api yang menyambar ke sana
kemari itu si Kucing lantas bergelak tertawa malah. Namun suara tertawanya tiada
sedikit pun bernada gembira, suaranya terlebih mirip orang meratap. ”Betul, orang
semacam dia, biarpun setan juga gentar padanya ....” Jit-jit juga tertawa sebisanya,
namun tidak urung air mata pun bercucuran. Sejauh mata memandang hanya asap
dan api belaka, apa pun tidak tertampak lagi .... Langit pun seakan-akan membara
oleh kobaran api yang menjulang tinggi itu. ”Dia ... dia ....” Jit-jit tidak sanggup bicara
lagi, ia coba memandang si Kucing, anak muda itu kelihatan berwajah murung.
Sedangkan Kim Bu-bong tampak menggereget dan mengepal tinjunya erat-erat,
jelas lagi menahan perasaan sekuatnya.
Jit-jit memandang sana dan melihat sini akhirnya ia tidak tahan dan menangis
tergerung-gerung. Sejak tadi Pek Fifi pun sudah menangis. Api sebesar ini, siapa pun
tidak percaya Sim Long sanggup keluar lagi dengan hidup, betapa pun dia bukan
malaikat dewata. Tapi api yang dahsyat biasanya tidak tahan lama. Perkampungan
ini berdiri di puncak yang terisolasi, berjarak cukup jauh dengan hutan sana, di
belakangnya juga lereng tebing, sebab itulah api tidak menjalar. ”Ah, api mulai
mengecil,” terdengar Li Tiang-ceng berkata mendadak. Waktu Jit-jit memandang ke
sana, serentak ia berteriak parau, ”Betul api mulai padam .... Dapatlah dia keluar!”
Padahal orang terkurung sekian lama di tengah lautan api, jelas tidak ada harapan
untuk hidup lagi, namun begitu dia tidak mau mengucapkan kata-kata putus asa. Api
yang berkobar akhirnya padam juga. Semua orang terbelalak dan terdiam. Mana Sim
Long? Ke mana dia? Tidak tampak bayangannya sama sekali. Semua orang sama
putus harapan, tidak ada yang yakin Sim Long dapat muncul lagi dengan hidup,
cuma tiada seorang pun berani mengatakannya.
Mendadak Kim Bu-bong berteriak, ”Seorang lelaki sejati sesuatu yang tidak boleh
diperbuatnya, biarpun mati juga takkan berbuat. Bagi sesuatu yang harus
diperbuatnya, biarpun mati juga tidak gentar. Sim Long, engkau benar-benar seorang
pendekar sejati, terimalah hormatku ini!”
Wajahnya yang selalu dingin itu ternyata sudah dibasahi oleh air mata, dia
benar-benar berlutut dan menyembah. Orang yang selalu kaku dan dingin ini
ternyata juga bisa mengalirkan air mata dan mau menyembah kepada orang lain,
sungguh dia sendiri pun tidak percaya.
”Untuk apa kau omong begini, kan belum tentu dia ....¡” belum lanjut ucapannya si
Kucing pun berlutut dengan air mata bercucuran. Anak muda yang pantang
meneteskan air mata biarpun menghadapi ancaman maut sekarang menangis
benar-benar, menangis dengan keras, betapa sedih tangisnya, betapa hormat dan
cintanya kepada orang yang ditangisinya.
”Wahai Sim Long, bahwa ada orang semacam ini mencucurkan air mata bagimu,
biarpun mati pun engkau dapat berbangga, kematianmu pun cukup berharga,”
gumam Li Tiang-ceng. Dengan air mata berlinang Lian Thian-hun berteriak, ”Wahai
Sim Long, bila sebelumnya orang she Lian tahu engkau ini kesatria berbudi luhur
semacam ini, biarpun kepalaku dipecahkan juga ingin berkawan denganmu, sungguh
menyesal, sebelum ini orang she Lian telah salah menilai dirimu.”
Hanya Leng Toa saja yang tetap bungkam tanpa bicara, namun dari ujung mulut
tampak merembes air berdarah, jelas ia mengertak gigi dengan menahan
perasaannya. ”O, Sim ....” jerit Pek Fifi mendadak, ”semuanya ini salahku, aku ... aku
tidak mau hidup lagi!” Mendadak ia merangkak bangun terus berlari ke arah api yang
belum padam sama sekali itu. Tapi baru saja dia berlari beberapa langkah, sempat
Kim Bubong dan Him Miau-ji meraihnya sehingga tidak sanggup bergerak lagi.
”Bagus, kau tidak mau hidup ... memangnya aku ingin hidup? ....” gumam Jit-jit,
mendadak ia pun berlari secepatnya ke arah lautan api. Larinya jauh lebih cepat
daripada Fifi, Kim Bu-bong dan si Kucing lagi menahan Fifi, dengan sendirinya tidak
keburu mencegah Jit-jit. Baru saja mereka memburu maju, Jit-jit sudah terjun ke
lautan api.
Walaupun api sudah mulai padam, tapi masih lebih daripada cukup untuk
menghanguskan seorang nona semacam Cu Jit-jit. ”Kembali Jit-jit!” teriak Kim
Bu-bong. Wajah si Kucing juga pucat, teriaknya, ”Jit-jit, jangan, engkau tidak boleh
mati!”
Namun betapa nyaring teriakan mereka tetap tak dapat mencegah orang yang sudah
bertekad ingin mati. Sama sekali Cu Jit-jit tidak berpaling dan terjun ke lautan api.
Tampaknya segera dia akan terbakar .... ”Jit-jit ....” baru saja si Kucing berteriak lagi,
sekonyong-konyong sesosok bayangan melayang keluar dari lautan api sana dan
tepat mengadang di depan Cu Jit-jit sehingga nona itu menerjang ke pangkuannya.
Siapa lagi orang ini kalau bukan Sim Long! Tertampak dia memanggul seorang lelaki
besar yang basah kuyup, seperti baru saja dikeluarkan dari dalam air. Muka Sim
Long sendiri juga penuh butiran air. Lautan api yang berkobar dengan hebatnya tadi
ternyata benar tidak dapat mematikan Sim Long. Sungguh tidak kepalang kejut dan
girang semua orang. Serentak Sim Long menyeret mundur Cu Jit-jit dan semua
orang pun lantas memburu maju. Jit-jit menengadah, mengucek-ngucek matanya
sampai beberapa kali, ia tidak percaya kepada penglihatan sendiri. Tapi akhirnya ia
menubruk ke dalam pelukan Sim Long dan menangis tergerung. ”Sim ...
Sim-siangkong, engkau ....” Pek Fifi menyapa dengan menangis dan juga tertawa.
Sim Long tersenyum, ”Tentu kalian menyangka aku sudah terkubur di tengah lautan
api.” ”Aneh, sungguh suatu keajaiban,” ucap si Kucing. Jit-jit memukuli dada Sim
Long, dengan air mata masih meleleh ucapnya dengan tertawa, ”Engkau tidak ...
tidak mati .... Benar-benar tidak mati ....” ”Aku memang tidak mati terbakar, tapi bisa
mati kau pukul,” ujar Sim Long. ”Masih kau bicara demikian, kau tahu betapa orang
cemas jika kau mati, aku pun tidak ... tidak ....” air mata Jit-jit lantas bercucuran lagi.
Mau tak mau Sim Long jadi terharu, ”Ya, untung kumuncul tepat pada waktunya.”
Kim Put-hoan yang licik itu mendadak berseru, ”Sim-siangkong, hendaknya kau tahu
orang yang mau mati bagimu tidak cuma Cu Jit-jit seorang saja, nona Pek itu juga
telah ....” Sekilas lirik melihat sorot mata Kim Bu-bong yang dingin itu, ia tidak berani
omong lagi lebih lanjut. ”Api berkobar sedahsyat itu, entah cara bagaimana engkau
menyelamatkan diri, sungguh sukar untuk dibayangkan,” tanya Kim Bu-bong
kemudian. Sim Long tertawa, tuturnya, ”Dari gua penjara itu dapat kuselamatkan
orang ini, sementara itu api telah berkobar dengan hebat dan sukar bagiku untuk
menerobos keluar lagi. Tiba-tiba teringat olehku kamar penyelamat itu.”
”Masa ada kamar penyelamat apa segala?” tanya Jit-jit dengan heran. ”Yaitu kamar
yang mengurung dirimu itu, sudah kulihat sekeliling kamar itu dibuat secara khusus
dan tak tembus api, segera kubawa orang ini bersembunyi di sana. Walaupun begitu,
panasnya juga minta ampun.” ”Mendingan engkau tidak terpanggang hidup-hidup,”
ujar Jit-jit dengan tertawa. Dalam pada itu lelaki besar yang dipanggul keluar oleh
Sim Long tadi sudah siuman dari pingsannya dan sedang memandang Sim Long
dengan terkesima.
“Bagaimana?” tanya Sim Long tersenyum. “Aku lagi menunggu,” jawab lelaki itu.
“Menunggu apa?” tanya Sim Long pula. ”Menunggu apa yang akan kau lakukan atas
diriku,” kata orang itu dengan gusar. ”Biarpun kau selamatkan jiwaku tapi aku tidak
berterima kasih padamu. Jika ada yang kau harapkan dariku, tentu kau hanya mimpi
belaka.”
Jit-jit menjadi gusar dan mendamprat. Tapi orang itu berkata pula, ”Aku tidak peduli
kalian akan marah atau membunuhku juga boleh, pokoknya aku tidak mengharapkan
sesuatu dari kalian.” ”Boleh kau pergi saja,” kata Sim Long tiba-tiba sambil memberi
tanda. ”Pergi?” orang itu melengak. ”Kau lepaskanku pergi?” ”Betul,” jawab Sim
Long. Orang itu tampak ragu dan heran, ”Buk ... bukankah hendak kau paksa
sesuatu pengakuanku?” ”Untuk apa harus kupaksa dirimu?” ”Habis untuk apa
engkau menolong diriku?” ”Tidak untuk apa-apa, hanya demi perikemanusiaan.”
”Masa ... masa begitu sederhana?” orang itu tambah heran dan ragu, ia berbangkit
dan melangkah dua-tiga tindak, benar juga tidak ada yang merintangi kepergiannya.
Tapi dia lantas berhenti malah dan tidak bergerak lagi.
”Mengapa tidak lekas pergi?” tanya Sim Long. ”Menolong orang tidak mengharapkan
balas budi, hal seperti ini memang sering kudengar, tapi tanpa sebab menolong
orang dengan menyerempet bahaya, bahkan orang yang ditolongnya adalah musuh,
sungguh hal ini belum pernah kudengar.”
”Tapi sekarang justru dapat kau saksikan sendiri hal yang kau anggap aneh itu,” sela
Jit-jit dengan tertawa. ”Ketahuilah, masih banyak tindak tanduk Simsiangkong ini
yang serba aneh.” ”Ya, aku memang rada heran,” kata lelaki itu. ”Maka ... maka aku
tidak jadi pergilah ....” Mendadak ia terus berlutut dan menyembah kepada Sim Long.
”Lekas bangun!” seru Sim Long. ”Air mengalir ke tempat yang rendah, manusia
selalu menanjak ke arah yang tinggi, burung bernaung di hutan gelap, manusia
memilih junjungan yang terang, meski aku Nyo Tay-lik seorang kasar, tapi beberapa
pepatah itu cukup kupahami.”
Ia menghela napas, lalu menyambung pula, ”Aku Nyo Tay-lik hidup selama berpuluh
tahun seperti orang buta, baru sekarang mataku melek setelah bertemu dengan
Sim-siangkong. Selama ikut Ong Ling-hoa, bagiku di dunia ini hanya ada
manusia makan manusia, tipu-menipu, baru sekarang kutahu di dunia ini masih ada
kesatria berbudi luhur dan selalu bertindak sesuatu yang terpuji.”
”Begini banyak engkau mengoceh, sebenarnya apa kehendakmu?” tanya Jit-jit
dengan tertawa. ”Aku cuma berharap Sim-siangkong suka menerima diriku,
seterusnya aku adalah budak Sim-siangkong, tapi selanjutnya aku pun dapat
menjadi manusia dengan membusungkan dada,” ujar Nyo Tay-lik. “Wah ... ini ....”
Sim Long melengak. “Apa pun ucapan Sim-kongcu, yang pasti aku tetap ikut
engkau,” kata Nyo Taylik tegas. “Kukira boleh kau terima kehendaknya,” bujuk Jit-jit
kepada Sim Long. ”Kenapa jadi ... jadi begini ....” Sim Long merasa terharu. ”Baiklah,
silakan bangun saja!” ”Terima kasih, Kongcu,” seru Nyo Tay-lik dengan girang.
Perlahan ia berbangkit, lalu berucap pula dengan tertawa, ”Kemarin hamba adalah
budak Ong Ling-hoa dan kesetiaanku hanya kepadanya. Sekarang hamba sudah
menjadi budak Simsiangkong, apa yang engkau perintahkan atau tanyakan pasti
akan kulaksanakan.”
”Jika kutanya padamu, jadinya kan ....” Sim Long menjadi ragu.
”Biarpun Siangkong tidak tanya juga akan hamba katakan,” ujar Nyo Tay-lik. Setelah
berpikir sejenak, lalu ia mulai menutur, ”Ibu Ong Ling-hoa adalah adik mendiang
Hun-bong-siancu, siapa ayahnya sebaliknya tidak ada yang tahu. Segenap
kepandaian Ong Ling-hoa itu diperoleh dari ibunya, tapi dari mana ibunya belajar
kungfu setinggi itu juga tidak ada yang tahu. Hamba cuma tahu, banyak kungfu sakti
dunia persilatan yang sudah lama menghilang kini telah dikuasai oleh mereka ibu
dan anak.”
”Ah, betul juga,” seru Jit-jit seperti menyadari sesuatu. ”Jik-sat-jiu, beberapa orang
yang terbunuh oleh Jiksat-jiu di makam kuno itu pasti juga hasil kerja Ong Ling-hoa.”
Nyo Tay-lik tidak menghiraukan apa yang diucapkan si nona, ia menyambung pula,
”Tempat ini hanya merupakan salah satu sarang rahasia mereka ibu dan anak,
setahuku, sedikitnya ada lima-enam puluh tempat rahasia seperti ini milik mereka
yang tersebar di utara maupun selatan sungai besar.”
”Sekian puluh jumlah tempat seperti ini? Wah, betapa besar ambisi orang ini,” ujar si
Kucing dengan melenggong. ”Sesungguhnya apa tujuan ambisi mereka ibu dan anak
tidak kuketahui,” tutur Nyo Tay-lik pula. ”Yang jelas memang tidak sedikit jago-jago
ternama yang telah mereka kumpulkan sebagai anak buah.” Ia pandang Jit-jit
sekejap, lalu menambahkan, ”Tadi orang berkerudung kain yang bersamaku
memeriksa nona itu juga seorang tokoh terkenal.”
“Oo, siapa dia?” tanya Jit-jit. “Dia seperti berjuluk Kim-hi apa ....” “Apakah
Bu-lin-kim-hi (ikan emas tanpa sisik) Song Sam?” Jit-jit menegas. “Betul, itulah dia,”
seru Nyo Tay-lik. “Konon orang ini selalu bergaul dengan orang kaya agar mendapat
pelayanan yang enak, hidupnya serupa ikan emas saja yang dipiara orang kaya.
Adapun sebutan Bu-lin (tak bersisik) itu mungkin untuk menggambarkan betapa
licinnya serupa ikan tanpa sisik, sukar dipegang dan sukar diraba. Umpama kejadian
hari ini, bukankah dia dapat lolos dengan licin.”
”Kurang ajar!” omel Jit-jit. ”Pantas Ong Ling-hoa mengincar diriku, pantas juga dia
tidak berani menghadapiku dengan wajah aslinya.” ”Apakah kau kenal dia?” tanya si
Kucing. ”Dia juga salah seorang yang hidup nebeng di tempat ayahku sana, maka
dia sangat hafal akan segala seluk-beluk keluargaku,” tutur Jit-jit. ”Padahal setiap
keluarga hartawan di daerah Kanglam hampir semua dikenalnya dengan baik.
Sebabnya Ong Ling-hoa merangkul dia mungkin ingin memperalat dia untuk
mengerjai kaum hartawan itu.”
”Sungguh licin perencanaan orang ini,” ujar si Kucing. Kim Bu-bong menatap Li
Tiang-ceng dengan dingin, katanya tiba-tiba, ”Nah, sudah kau dengar sendiri semua
percakapannya, bukan?” ”Biarpun tidak kudengar penuturannya, setelah
menyaksikan tindakan Simsiangkong yang luhur budi tadi juga sudah cukup
membuatku kagum padanya, sebelum ini kami memang telah salah menilainya,”
jawab Li Tiang-ceng.
”Yang sudah lalu janganlah diungkat pula, yang penting selanjutnya dapatlah kita
saling mengerti dan bekerja sama dengan lebih erat,” ujar Sim Long. ”Setelah Can
Ing-siong dan lain-lain mati secara mendadak dan sukar dimengerti, kini Leng Sam
menunggui mayat mereka di sana, entah Sim-heng sudi pergi ke sana untuk
memeriksanya?” tanya Li Tiang-ceng. ”Periksa apa lagi, jelas perbuatan
Ong-Ling-hoa,” seru Lian Thian-hun dengan gusar. ”Meskipun begitu, masa ... di
dunia ada racun sejahat itu, sungguh aku tidak percaya, kuyakin di dalam persoalan
ini pasti ada sesuatu rahasia lain yang belum terungkap,” kata Li Tiang-ceng pula.
”Ucapan Cianpwe memang betul,” ujar Sim Long, ”aku pun yakin di dalam persoalan
ini masih ada rahasia lain, untuk membongkar rahasia ini masih harus dicari jalan
yang jitu.” ”Entah dengan cara bagaimana Sim-heng akan membongkarnya?” tanya
Li Tiang-ceng. ”Terus terang, saat ini aku pun tidak tahu apa yang harus kulakukan,
terpaksa bertindak menurut perkembangan selanjutnya, sebab itulah perjalanan ke
Jin-giceng terpaksa tidak dapat kuikut,” jawab Sim Long.
”Kekacauan Kangouw jelas sudah hampir berjangkit, menurut pandanganku, orang
yang dapat memikul kewajiban untuk mengamankannya kecuali tokoh muda
semacam Sim-heng rasanya tidak ada pilihan lain lagi. Semoga kepergian Sim-heng
ini akan berhasil dengan baik, akan kutunggu kabar baikmu di Jingiceng.”
Ia pandang Kim Bu-bong sekejap, meski tidak bicara lagi, tapi maksudnya jelas minta
supaya orang menawarkan obat bius yang masih memengaruhi tubuhnya itu. Tentu
Kim Bu-bong juga tahu, tapi obat bius itu hanya dapat digunakannya dan tidak
mampu ditawarkannya, sebab itulah terpaksa dia berlagak tidak tahu kehendak Li
Tiang-ceng. Akhirnya Li Tiang-ceng berkata pula, ”Baiklah, sekarang juga kami
mohon diri ....” ”Maaf jika kami tidak dapat membantu, terpaksa Sin-sian-it-jit-cui itu
harus dibiarkan punah sendiri setelah lewat satu hari,” kata Sim Long dengan rikuh.
Li Tiang-ceng melengak, katanya dengan ragu, ”Wah, lantas ....” Tiba-tiba si Kucing
berseru, ”Karena tidak ada pekerjaan lagi, biarlah kuantar kedua Cianpwe pulang ke
Jingi-ceng agar tidak tertunda lebih lama lagi.” ”Bagus sekali jika begitu,” seru Sim
Long. ”Tay-lik, boleh bantu membawa Thianhoat Taysu dan Leng-heng turun
gunung, kemudian tunggu saja di tempat Thianhoat Taysu, dengan begitu juga dapat
sekadar minta petunjuk kepada Taysu.”
Meski dalam hati Nyo Tay-lik sangat ingin ikut Sim Long, tapi di mulut ia tidak berani
membantah dan terpaksa mengiakan. Sejak tadi Thian-hoat hanya diam saja,
sekarang ia pun bicara, ”Sim Long, kuhormati jiwamu yang luhur dan kungfu yang
hebat, biarlah persoalan kita yang sudah-sudah kuhapuskan sama sekali. Namun
urusanku dengan Hoa Lui-sian hendaknya engkau jangan ikut campur.”
Sim Long memberi hormat dan mengiakan. ”Tapi kau pun jangan khawatir, betapa
pun tidak nanti kuserang orang yang tak bisa berkutik,” kata Thianhoat pula.
”Sebelum tenaga Hoa Lui-sian pulih, tidak nanti kuganggu seujung jarinya.” ”Terima
kasih atas kebaikan Taysu,” kata Sim Long. ”Dan bagaimana dengan diriku? Siapa
yang mengantarku?” tiba-tiba Kim Puthoan bersuara. ”Aku,” kata Kim Bu-bong
dengan dingin. Tanpa terasa Kim Put-hoan bergidik, ”Eng ... engkau .... Ah,
Li-cianpwe, tidak boleh kau tinggalkan diriku, kalian ....” Mendadak terhenti
ucapannya, sebab tangan Kim Bu-bong telah meraba dagunya. Li Tiang-ceng
memandangnya sekejap, lalu menggeleng dan menghela napas tanpa bersuara.
Segera Him Miau-ji memayang Li Tiang-ceng dan Lian Thian-hun, Nyo Tay-lik juga
lantas mengangkat Thian-hoat dan Leng Toa. Mendadak Jit-jit memburu ke depan si
Kucing dan bertanya, ”Masa ... masa engkau akan pergi begitu saja?” Si Kucing
melengos, ia tidak berani menatapnya, tapi di mulut menjawab dengan tertawa, ”Ya,
aku akan ... akan pergi.” ”Kau ... kau ....” Jit-jit menunduk dan tidak meneruskan.
”Hari ini berpisah, kelak bertemu pula,” seru Him Miau-ji alias si Kucing dengan
tergelak. ”Budi pertolongan jiwaku tak perlu kuucapkan terima kasih kepada Sim-
heng, kelak ....” Di tengah gelak tertawanya ia memayang Li Tiang-ceng berdua dan
melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Memandangi bayangan punggung orang,
diam-diam Jit-jit menghela napas. ”Kucing ini ternyata seorang jantan juga,” kata Kim
Bu-bong. ”Orang yang dapat kau puji pasti tidak perlu disangsikan lagi,” ujar Sim
Long. Mendadak Jit-jit mengentak kaki dan berseru, ”Ayolah, kenapa kita tidak cepat
pergi, apa pula yang perlu kita harapkan lagi di sini?” ”Aku akan tinggal di sini,” kata
Sim Long. ”Sebab hendak kucari lagi di tengah puing, mungkin akan kutemukan
sesuatu. Selain ini Kim-heng juga dapat membereskan Kim Put-hoan di sini.” ”Cara
bagaimana membereskan dia?” tanya Jit-jit. ”Bagaimana caranya terserah kepada
Kim-heng,” ujar Sim Long. Dengan gemas Kim Bu-bong berucap, ”Sungguh ingin
kucincang keparat ini.” Habis berkata, segera ia cengkeram Kim Put-hoan terus
dibawa lari ke belakang tebing sana. Awan putih mulai jarang-jarang, sang surya
sudah menongol, namun angin masih mendesir dingin. Pek Fifi menggigil dingin dan
memainkan ujung bajunya sambil melirik ke arah Sim Long yang sedang sibuk
mencari di tengah puing. Cu Jit-jit menengadah, memandang langit dengan
terkesima, setiap kali Fifi melirik Sim Long pasti menimbulkan rasa dongkolnya.
Mendadak tertampak Kim Bu-bong muncul kembali dengan wajah kelam. ”Hei, di
mana Kim Put-hoan, kau apakan dia? Sudah kau bunuh dia?” tanya Jitjit. Sejenak
Kim Bu-bong terdiam, jawabnya kemudian, ”Sudah kubebaskan dia.” ”Hah, kau
bebaskan dia?” Jit-jit melengak. ”Begitu keji dia terhadapmu dan kau lepaskan dia?
Orang jahat begini dibiarkan hidup di dunia ini, entah betapa banyak orang baik akan
menjadi korbannya lagi ....” Tiba-tiba terdengar Sim Long menukas, ”Memang sudah
kuketahui Kim-heng pasti akan melepaskan dia.” Entah sejak kapan Sim Long sudah
melompat tiba, katanya pula dengan tertawa, ”Betapa pun Kim Put-hoan tidak
berbudi terhadap Kim-heng tidak nanti Kim-heng memperlakukan tidak setia
kepadanya. Jika aku menjadi Kim-heng juga akan kubebaskan dia.”
”Terima kasih ....” ucap Kim Bu-bong dengan pedih. Banyak kebaikan Sim Long
kepadanya dan belum pernah dia mengucapkan terima kasih, baru sekarang
perasaannya itu dicetuskannya, hal ini disebabkan dia merasa Sim Long telah
benar-benar memahami pribadinya.
Untuk memahami kepribadian seorang terkadang jauh lebih sulit daripada
menyelamatkan jiwanya, seorang yang berwatak kaku dan menyendiri ternyata
dapat dipahami oleh orang lain, betapa rasa terima kasihnya, sungguh sukar
dilukiskan.
Jit-jit memandang Kim Bu-bong, lalu memandang Sim Long pula, katanya kemudian,
”Ai, persoalan kaum lelaki kalian terkadang membingungkan orang.” ”Persoalan
kaum lelaki akan lebih baik tidak dipahami orang perempuan,” ujar Sim Long dengan
tertawa. Selang sejenak, tiba-tiba Kim Bu-bong bertanya, ”Adakah Sim-heng
menemukan sesuatu petunjuk di tengah puing?”
”Memang ada dua macam benda kutemukan, apakah berguna belum lagi
kuketahui,” jawab Sim Long. Setelah merandek, lalu sambungnya lagi, ”Selanjutnya
apa yang akan dikerjakan Kim-heng boleh terserah padamu.”
”Apa yang harus kukerjakan?” Kim Bu-bong bergumam, mendadak ia berseru tegas,
”Sim Long, jiwaku yang tersisa ini sudah menjadi milikmu, apa pula yang perlu kau
tanyakan padaku?” ”Tapi ....” Sim Long melengak. ”Hm, memangnya Kim Bu-bong
lebih rendah daripada Nyo Tay-lik?” ”Ah, apabila bisa mendapat bantuan Kim-heng,
urusan apa yang tidak dapat kucapai dengan baik?” seru Sim Long girang.
”Kim-heng, aku berjanji pasti takkan mengecewakan keputusanmu yang tegas ini ....”
Kedua orang lantas berjabatan tangan dengan erat, apa pun tidak perlu dibicarakan
lagi. Jit-jit terharu, katanya kemudian, ”Dan apa yang akan kau kerjakan selanjutnya,
Sim Long?” ”Cari Samcihumu lebih dulu,” jawab Sim Long. ”Betapa pun harta
kekayaanmu yang besar itu tidak boleh terjatuh ke tangan Ong Ling-hoa.” ”Aha,
betul, kau ... kau ....” Jit-jit terkejut dan bergirang, mendadak ia rangkul Sim Long dan
berseru pula, ”Kiranya engkau belum lagi lupa pada urusanku itu.” Suaranya
bergema jauh di lembah pegunungan, awan sudah buyar, cuaca cerah. Namun angin
badai berikutnya mungkin akan timbul pula. Pek Fifi masih menggigil di sebelah
sana, bibirnya yang mungil kelihatan pucat kedinginan. Namun dia kelihatan
mengertak gigi dan bertahan tanpa mengeluh. Di dalam tubuhnya yang lemah itu
ternyata ada sebuah hati yang keras sebagai baja.
Kim Bu-bong memandangnya, lalu memandang pula Cu Jit-jit yang lagi berseru
kegirangan itu. Sorot matanya yang dingin tanpa terasa timbul semacam perasaan
kasih sayang. Rasa kasih sayang itu timbul karena Pek Fifi, atau bisa juga demi Cu
Jit-jit. Mungkin cuma dia saja yang tahu, di balik watak yang keras, suka menang dan
manja itu, hati Cu Jit-jit sebenarnya sedemikian lunak dan lemah.
Dua anak perempuan yang sama sekali berbeda watak, keduanya sama-sama ada
segi baiknya yang khas dan menarik, nasib mereka kelak juga pasti akan berbeda
sesuai dengan watak masing-masing. Sejauh itu Fifi hanya menunduk saja, entah
karena tidak suka melihat sikap Cu Jit-jit yang berjingkrak kegirangan itu atau karena
tak berani terlalu banyak memandang Sim Long. Ia cukup mengerti kedudukannya
sendiri, ia tahu dirinya harus menuruti segala perintah orang dan tidak berhak minta
diperhatikan orang. Meski dia kedinginan, lapar, lelah, dan menggigil, terpaksa ia
menunduk dan bertahan sekuatnya, bahkan ia tak berani memperlihatkan
penderitaannya itu kepada orang lain. ”Marilah kita pergi,” terdengar Kim Bu-bong
mengajak. ”Betul, ayolah berangkat,” seru Jit-jit. Pada waktu bergirang, apa pun dia
mau menuruti kehendak orang lain, segera ia hendak menarik Sim Long, tak tahunya
anak muda itu lantas mendekati Fifi. Tangan dan kaki Pek Fifi hampir beku dan lagi
bingung cara bagaimana akan meninggalkan pegunungan ini, tiba-tiba terlihat tangan
Sim Long terjulur ke depannya. Ia terharu dan bergirang, sesungguhnya juga inilah
yang dinanti-nantinya, ia melirik sekejap ke arah Jit-jit, ia tidak berani menerima
uluran tangan itu, ia menunduk dan mencucurkan air mata, katanya, ”Aku ... aku
dapat berjalan sendiri.”
”Apa betul dapat berjalan sendiri,” ucap Sim Long dengan tersenyum. ”Anak bodoh,
jangan bandel, masa kau dapat bergerak?” Segera ia meraih pinggang Fifi yang
ramping, pinggang itu sedang gemetar. Air muka Jit-jit berubah pula, hatinya tertekan
memandangi Sim Long merangkul pinggang Pek Fifi dan berjalan ke depan.
”Ayolah, berangkat!” tiba-tiba Sim Long berpaling dan berseru padanya. ”Aku ... aku
tidak sanggup berjalan,” sahut Jit-jit dengan mengertak gigi. ”Ah, masa tidak
sanggup berjalan, kau ....” ”Sudah jelas orang bilang dapat berjalan sendiri, engkau
justru memapahnya, jelas kukatakan tidak sanggup berjalan, engkau berbalik tidak
percaya, kau ... kau ....” Mendadak ia duduk terkulai dan menangis tersedu-sedan.
Sim Long melenggong dan menggeleng kepala.
Dengan suara gemetar Fifi berkata, “Boleh engkau mem ... memapah nona Cu saja,
aku ... aku sanggup berjalan sendiri, benar!” Ia meronta sekuatnya melepaskan diri
dari pegangan Sim Long dan terus melangkah ke depan. Sim Long menghela napas,
katanya kepada Kim Bu-bong, ”Kim-heng, harap engkau ....” ”Kutahu, akan kujaga
dia,” sahut Bu-bong. Perlahan Sim Long mendekati Jit-jit dan mengulurkan
tangannya, ”Baiklah, mari kita berangkat!” Tapi tangis Jit-jit bertambah sedih. “Segala
permintaanmu telah kuturuti, apa pula yang kau tangisi?” “Kutahu, sesungguhnya
engkau tidak sudi memapahku, kau mau adalah karena ... karena terpaksa, betul
tidak?” Sim Long berkerut kening dan tidak bicara lagi. ”Kutahu semakin kurengek
begini semakin kau jemu padaku,” tangis Jit-jit tambah keras. ”Tapi aku tidak
berdaya, bila melihat engkau bermesraan dengan gadis lain, hatiku lantas hancur
dan ... dan tidak peduli segalanya lagi, aku tidak ... tidak sanggup mengekang
perasaan sendiri.”
Melihat keterusterangan si nona, Sim Long jadi terharu dan kasihan, akhirnya ia
berjongkok dan menarik bangun Jit-jit, ucapnya lembut, ”Sudahlah, jangan mengesot
di tanah, seperti anak kecil saja.” Jit-jit terus merangkulnya, ratapnya, ”O, Sim Long,
kumohon dengan sangat janganlah engkau jemu padaku, jangan kau tinggalkan
diriku .... Asalkan engkau baik padaku, biarpun ... biarpun mati bagimu pun aku rela.”
***** Habis makan, api tungku berkobar dengan keras. Meski sebuah losmen
sederhana di sebuah perkampungan kecil, alat perabotnya juga sangat sederhana,
tapi bagi Cu Jit-jit setelah mengalami berbagai bahaya tempat ini dirasakan seperti
surga. Ia meringkuk di atas kursi di depan perapian, pandangannya tidak pernah
meninggalkan wajah Sim Long, hatinya penuh rasa bahagia, persoalannya dengan
Sim Long tadi kini sudah beres. Tadi waktu turun gunung Sim Long telah berkata
kepadanya bahwa Fifi adalah anak perempuan sebatang kara yang harus dikasihani,
kita harus bersikap lebih baik kepadanya. Ucapan ini sama dengan pernyataan
kepada Jit-jit bahwa perasaannya terhadap Pek Fifi tidak lain hanya karena merasa
kasihan saja dan bukan lantaran jatuh hati padanya. Sebab itulah hati Jit-jit lantas
lapang, pikirannya terbuka lagi, ia pun berjanji selanjutnya akan bersikap lebih baik
kepada Fifi.
Sekarang Fifi duduk di pojok kejauhan sana, meski dia takut dingin, tapi tidak berani
duduk terlalu dekat dengan perapian, sebab Sim Long berada di situ.
Jit-jit teringat kepada pesan Sim Long, timbul juga rasa kasihannya kepada Fifi,
selagi dia hendak menyuruh anak perempuan yang perlu dikasihani itu berduduk
lebih dekat dengan perapian, tiba-tiba terdengar Sim Long bersuara. ”Fifi, jika
kedinginan, duduklah lebih dekat sini.”
”Kedinginan apa? Jika kedinginan kan lebih baik pergi tidur, di kolong selimut kan
bisa lebih hangat,” ucap Jit-jit tanpa pikir. Setelah bicara segera ia merasa menyesal.
Sim Long memandangnya sekejap sambil menggeleng kepala. Fifi lantas berbangkit,
katanya dengan menunduk, ”Ya, memang harus kupergi tidur saja ....” segera ia
masuk ke kamarnya. Jit-jit memandang Sim Long, lalu memandang Kim Bu-bong
pula, mendadak ia pun berdiri dan berkata, ”Kusuruh dia pergi tidur, apakah ini pun
salah?” ”Aku kan tidak bilang ....” ”Meski tidak kau katakan, tentu hatimu berpikir
demikian,” seru Jit-jit. ”Apa yang kupikirkan masakah kau pun tahu?” kata Sim Long.
”Tahu, pasti tahu, dalam hatimu tentu kau anggap aku ini perempuan jahat. Baik, aku
memang jahat, biar ....” Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong terdengar
suara pintu digedor. ”Siapa?” tanya Sim Long. ”Hamba, ada keperluan,” jawab orang
di luar. Dengan mendongkol Jit-jit membukakan pintu sambil mengomel. Waktu pintu
dibuka, pelayan melangkah masuk dengan membawa poci air minum dan sepucuk
surat. Ia menjadi tercengang melihat sikap Jit-jit yang garang itu.
”Ada apa, surat?” tanya Sim Long. ”Betul, ada surat, ada orang menyuruh hamba
menyampaikan surat ini kepada Sim-siangkong,” tutur si pelayan dengan gugup.
”Bagaimana bentuk orang yang menyerahkan surat ini?” tanya Sim Long. ”Hamba
tidak tahu ....” ”Kau terima suratnya, masa tidak tahu bagaimana bentuk orang itu,
apakah kau buta?” belum lanjut ucapan orang segera Jit-jit mendamprat. Si pelayan
tampak takut-takut, tukasnya pula, ”Surat ini dibawa oleh Lau Toa yang menjual
bakmi di pengkolan jalan sana, katanya berasal dari seorang pembeli bakmi, hamba
juga sudah tanya dia bagaimana bentuk pengirim surat itu. Lau Toa bilang tidak tahu.
Dia memang seorang buta.”
Jit-jit jadi melengak, mendongkol dan juga geli. Si pelayan tidak berani bicara lagi,
cepat ia mengeluyur pergi. Terdengar Sim Long lagi membaca surat itu, ”Ada urusan
penting, mohon tunggu sampai tengah malam nanti, jangan lupa.”
”Urusan penting? Lalu apa lagi?” tanya Jit-jit. ”Tidak ada lagi, hanya beberapa kata
ini saja, tidak ada tanda tangan, gaya tulisannya juga tidak kukenal,” jawab Sim
Long.
”Aneh juga ... siapakah dia?” gumam si nona. Dasar gadis polos, cepat marah, cepat
juga lupa segalanya, segera ia menggelendot di bahu Sim Long untuk ikut membaca
surat itu. Sampul dan kertas surat itu tampak sangat kasar, tulisannya juga seperti
cakar ayam. Jit-jit lantas menggerutu, ”Tulisan berengsek, tentu penulisnya juga
brengsek.” ”Coba kau teliti lagi, adakah sesuatu yang aneh pada tulisan ini?” ujar Sim
Long. ”Apanya yang aneh?” gumam Jit-jit. ”Tulisan seperti cakar ayam .... He, betul,
tampaknya setiap goresan tulisan ini dimulai dari sebelah kanan, jadi berlawanan
seperti orang biasa.” ”Betul, ini menandakan surat ini ditulis dengan tangan kiri,
makanya tulisannya kurang rajin.” Jit-jit termenung sejenak, katanya kemudian, ”Dia
menulis dengan tangan kiri agar gaya tulisannya tidak dapat dikenali, dia menyuruh
orang buta pula untuk menyampaikan surat ini agar kita tidak tahu siapa dia ....
Kuyakin dia pasti orang yang sudah kita kenal dengan baik.”
”Ya, rasanya memang begitu,” ucap Sim Long. ”Anehnya kenapa dia minta bertemu
dengan kita di tengah malam buta, permainan apa yang tersembunyi di balik
maksudnya ini?”
”Sudah tentu ada sebabnya ... misalnya orang ini lagi menghindari penguntitan
musuh, sebelum tengah malam buta dan sunyi tidak berani muncul ... atau mungkin
juga tangan kanannya cedera, maka menulis dengan tangan kiri.”
”Hah, engkau memang cerdas, hal-hal yang sukar dibayangkan justru dapat kau
pikirkan.” ”Tapi bisa jadi sebelum tengah malam ini dia hendak bertindak sesuatu,
makanya sengaja menggunakan surat ini untuk menahan kita di sini .... Mengenai
apa tujuannya sukarlah untuk diterka.” ”Kita tunggu saja, tengah malam kan hampir
tiba,” ujar Jit-jit. Malam tambah larut, namun terasa sangat lambat datangnya tengah
malam. Sejak tadi Kim Bu-bong hanya memandang ke arah jendela tanpa bergerak.
Diam-diam Jit-jit kagum akan ketekunan orang, ia sendiri sudah tidak tahan berduduk
sekian lama. Mendadak terdengar suara ”pluk” sekali, menyusul jendela terus
terbakar. Api lantas berkobar dengan hebatnya, di balik kegelapan di luar jendela
sana seperti ada bayangan orang. Kedua tangan Sim Long bekerja sekaligus, daun
jendela yang terbakar itu tergetar mencelat. Kim Bu-bong juga lantas meraih selimut
dan menerobos keluar, segera api dapat dipadamkannya. Perubahan ini terjadi
sangat mendadak, namun kedua orang ini tidak gelisah dan bingung, tanpa bersuara
mereka sudah membereskan urusannya.
”Jit-jit, kau jaga Fifi di sini, aku dan Kim-heng akan menyelidiki jejak musuh,” seru
Sim Long dengan suara tertahan, habis itu ia terus melayang pergi dan menghilang
dalam kegelapan. ”Kembali Fifi, segala apa tidak lupa pada Fifi,” gerutu Jit-jit. ”Dia
sudah sebesar ini dan masih perlu dijaga. Memangnya siapa yang menjaga diriku?”
Dalam pada itu terdengar suara kentungan di kejauhan, tepat tengah malam. Ketika
Kim Bu-bong dan Sim Long melompat keluar jendela, bayangan orang yang semula
berada di balik api sana lantas menghilang dengan sekali berkelebat. ”Cepat amat
gerak tubuh orang ini,” kata Sim Long. ”Kejar!” seru Kim Bu-bong. Selain cepat gerak
tubuh orang itu, agaknya sebelumnya juga sudah merencanakan jalan mundurnya,
betapa pun Sim Long mengejar dengan cepat tetap tidak tampak lagi bayangannya.
Mendadak Sim Long menarik Kim Bu-bong dan berseru, ”Berhenti dulu. Awas tipu
memancing harimau meninggalkan gunung.” Gemerdep sinar mata Kim Bu-bong,
”Betul, mari cepat kita putar balik!” Lalu dia menahan suaranya dan mendesis, ”Aku
kembali ke sana, kau kejar terus!” Sim Long mengangguk, cepat ia menyelinap ke
belakang sebatang pohon. Sedang Kim Bu-bong terus memutar kembali ke arah
semula dan sengaja bersuara menggerutu. Angin dingin menyayat, malam sunyi
senyap. Dengan sabar Sim Long bersembunyi di balik pohon tanpa bergerak.
Menurut perhitungannya gerak tubuh orang itu pasti tidak secepat itu, pasti
bersembunyi di suatu tempat yang sudah disiapkan. Keadaan ini sama dengan
musuh di tempat gelap dan awak sendiri di tempat yang terang, bukan mustahil
setiap saat bisa disergap musuh. Jika sekarang Sim Long mendahului bersembunyi,
kalau musuh tidak sabar menunggu lagi akhirnya pasti akan muncul.
Siapa tahu, walaupun Sim Long cukup cerdik, orang itu ternyata juga tidak bodoh, ia
tidak mau terperangkap Sim Long, ia tetap bersembunyi dan tidak muncul lagi.
Sampai sekian lama Sim Long menunggu tetap tiada sesuatu gerakgerik apa pun.
Dalam pada itu Kim Bu-bong sudah sampai di rumah pondokan, suasana rumah
penginapan itu gelap dan sunyi, hanya halaman depan remang-remang diterangi
cahaya lampu yang menembus keluar dari jendela kamar. Cu Jit-jit tampak berada di
halaman dan sedang membuat orang-orangan salju.
Biasanya orang-orangan salju dibikin gendut, tapi orang-orangan salju buatan Cu
Jit-jit ini ternyata tinggi dan kurus. Wajah si nona tampak kemerahan karena
hawa dingin, namun tangannya sibuk memoles wajah orang salju dan menepuk
pipinya sambil menggerutu.
Meski Kim Bu-bong sudah berada di sampingnya belum lagi diketahuinya, dia masih
terus menggerutu, memukul dan juga mencibir pada orang-orangan salju yang
dibuatnya ini, rupanya orang salju itu dianggapnya sebagai Sim Long, maka sebentar
ia mengomelnya dan lain saat mencibirnya. Semua ini mengungkapkan perasaannya
kepada Sim Long, ya cinta, ya gemas.
Mendadak Kim Bu-bong berdehem. Jit-jit terkejut dan berpaling, ”Hah, kau bikin
kaget diriku. He, bilakah kau kembali? Mana dia?” ”Masih terus mencari ke sana,”
jawab Bu-bong. ”Salah, sejak tadi dia sudah berada di sini,” kata Jit-jit sambil
menuding orang salju yang dibuatnya dengan tertawa, ”Bukankah dia berdiri di sini
dan telah kenyang kupukul tanpa melawan.” ”Adakah terjadi sesuatu di sini?” tanya
Kim Bu-bong. ”Sudah sekian lama kumain di sini dan tidak melihat sesuatu apa pun,”
jawab si nona. Sejenak Kim Bu-bong termenung, mendadak ia berseru, ”Wah,
celaka!” Segera ia berlari ke dalam rumah. Cepat Jit-jit mengintilnya dengan bingung,
tanyanya, ”Ada apa?” Bu-bong menerobos ke dalam kamar Pek Fifi, tertampak
tempat tidurnya moratmarit, namun Fifi sudah tidak kelihatan lagi. ”He, ke mana dia?”
seru Jit-jit kaget. ”Seharusnya pertanyaan ini ditujukan kepadamu sendiri,” kata
Bu-bong dengan dingin. ”Ke mana setan cilik itu mengeluyur? Kalau mau keluar
seharusnya dia bilang padaku .... Hei, Fifi ... Pek Fifi ....” teriak Jit-jit. ”Tidak perlu
memanggilnya lagi, tidak ada gunanya,” ujar Bu-bong. ”Seharusnya kau tahu,
keadaan kamarnya kacau begini, mungkinkah dia keluar sendiri?” Jit-jit melengak, ia
duduk di tepi tempat tidur dan bergumam, ”Wah, tentu dia ... dia dibawa lari orang ....
Siapakah yang menculik dia?” Tanpa terasa ia mencucurkan air mata dan berkata
pula, ”O, kasihan dia, siapakah yang sampai hati membikin susah anak perempuan
yang lemah seperti dia ....” ”Jika kau tahu kasihan, kenapa sehari-hari tidak kau
perlakukan dia dengan lebih lembut?” ujar Bu-bong. ”Aku ... aku sendiri tidak tahu
apa sebabnya, biasanya aku jadi keki bila melihat dia,” kata Jit-jit. Pada saat itulah
mendadak Kim Bu-bong memburu ke tempat tidur dan memungut sesuatu. ”Apa itu?”
tanya Jit-jit.
Kim Bu-bong tidak menjawabnya, diperiksanya barang itu dengan teliti, mendadak air
mukanya berubah kelam, bentaknya dengan beringas, ”Kurang ajar! Kiranya dia!”
”Dia? Dia siapa?” tanya Jit-jit. ”Kim Put-hoan!” tercetus dari mulut Kim Bu-bong
sekata demi sekata. ”Hah, dia, apakah betul dia?” Jit-jit melonjak kaget. Bu-bong
memperlihatkan barang yang dipegangnya itu, ternyata sepotong cabikan kain
berwarna cokelat. ”Ya, betul, kembali bangsat itu lagi, memang inilah warna bajunya,
tentu terobek waktu Fifi melawannya,” seru Jit-jit. Bu-bong memandang keluar
jendela dengan melotot, giginya gemertuk saking gemasnya. Mestinya Jit-jit mau
tanya lagi, tapi urung ketika melihat sikap Kim Bu-bong yang beringas itu. ”Salahku,
semua ini salahku, kalau jiwanya tidak kuampuni, tentu takkan terjadi begini,” gumam
Bu-bong dengan murka. ”Jangan gelisah, tunggu setelah Sim Long datang baru kita
rundingkan tindakan apa yang akan kita lakukan,” kata Jit-jit. ”Ini adalah tanggung
jawabku, kenapa mesti menunggu Sim Long,” kata Bu-bong bengis. ”Hendaknya kau
sampaikan padanya, dalam waktu tiga hari bila tidak kubekuk bangsat itu, aku
bersumpah tidak menjadi manusia.”
Belum lenyap suaranya ia terus melayang keluar. Jit-jit menjadi bingung sendiri
setelah Kim Bu-bong pergi, serunya, ”He, tunggu sebentar ... kembali!” Ia memburu
keluar, namun bayangan Kim Bu-bong sudah menghilang. Ia tertegun sejenak,
akhirnya ia menyusul ke arah perginya Sim Long tadi sambil berteriak sepanjang
jalan, ”Sim Long ... Sim Long ....” Waktu itu Sim Long masih bersembunyi di balik
pohon, namun sudah sekian lamanya tetap tidak kelihatan sesuatu gerak-gerik, dia
tetap menunggu dengan sabar, ia yakin pada akhirnya yang tidak tahan pastilah
bukan dia.
Tapi pada saat itulah didengarnya suara teriakan Jit-jit di kejauhan. Sim Long
mengentak kaki dan berkata ke depan yang gelap sana, ”Baik, sahabat, hari ini
anggaplah engkau lebih mujur, sungguh kukagum akan kesabaranmu.”
Suara teriakan Jit-jit semakin mendekat. Segera Sim Long menyongsongnya. Tidak
mudah Jit-jit mencari Sim Long, sebaliknya amat gampang bagi Sim Long untuk
menemukan Jit-jit. Begitu bertemu segera si nona menubruk ke pelukan Sim Long
dan berseru, ”Oo, syukurlah engkau tidak mengalami apa-apa ....” ”Memangnya
terjadi apa?” tanya Sim Long. ”Kim ... Kim Put-hoan, dia ... dia menculik Fifi ....” ”Apa
katamu? Fifi diculik Kim Put-hoan? Dan di mana Kim Bu-bong? Dia tidak berusaha
membelanya?”
“Waktu itu dia belum pulang,” tutur Jit-jit dengan tersendat. “Aku sendiri lagi bermain
orang salju di luar ....” Sim Long mengentak kaki, tanpa bicara lagi ia berlari kembali
ke rumah penginapan sana. Setiba di tempat, Sim Long memeriksa seluruh kamar,
lalu bertanya, “Apakah Kim Bu-bong mengejarnya?” Jit-jit membenarkan. ”Adakah
dia meninggalkan pesan?” ”Dia bilang dalam tiga hari pasti ... pasti akan membekuk
kembali Kim Put-hoan, kalau ... kalau tidak ....” ”Tiga hari? Masakah dapat menunggu
sampai tiga hari,” seru Sim Long, meski cukup diketahuinya kepandaian Kim
Bu-bong jauh di atas Kim Put-hoan, tapi kalau bicara tentang kelicikan jelas Bu-bong
sukar menandinginya, sekarang dia mengejar sendirian, sungguh mengkhawatirkan.
Selagi Jit-jit hendak bicara pula, mendadak Sim Long mendesis, ”Ssst, ada orang
datang!” Ia heran siapakah pendatang ini, selain Ginkangnya tergolong kelas tinggi,
agaknya juga sudah mengetahui tempat tinggal Sim Long, maka dia langsung
menuju ke tempat ini. Sesudah dekat baru terlihat orang ini adalah seorang
pengemis. Kelihatan rambutnya semrawut, bajunya penuh tambalan, tangan
memegang pentungan, punggung menyandang beberapa karung goni, cuma
wajahnya tidak terlihat jelas.
Semula Jit-jit menyangka Kim Put-hoan datang lagi, ternyata bukan, dari karung
goninya sudah jelas orang ini anak murid Kay-pang asli. Sesudah berada di depan
jendela, orang itu berhenti dan menyapa, ”Sim-heng dan nona Cu, baik-baik kalian!”
Sim Long balas memberi salam, ia heran dari mana orang mengenalnya, padahal
biasanya tidak ada sesuatu hubungan dengan orang Kay-pang.
Melihat sikap ragu Sim Long, orang itu melangkah lebih dekat, katanya pula dengan
tersenyum, ”Mungkin Sim-heng berdua pangling padaku, akhir-akhir ini aku memang
sudah banyak berubah.” Baru sekarang Sim Long dan Jit-jit dapat melihat jelas
wajahnya yang agak kurus dan kotor itu, namun sinar matanya tetap mencorong
terang seperti dahulu. ”Ah, kiranya kau,” seru Jit-jit bertanya. Sim Long juga
menyapa, ”Kiranya Ji-heng!” ”Betul, memang akulah Ji Yok-gi,” sahut orang itu
dengan tertawa. Sungguh tak tersangka bahwa pengemis ini adalah Ji Yok-gi yang
berjuluk si Pedang Sakti Mahacakap, kini ternyata sudah menjadi anggota Kay-pang.
Setelah disilakan masuk ke dalam rumah, di bawah cahaya lampu Ji Yok-gi kelihatan
mengenaskan, tangan kiri memegang pentungan, tangan kanan terbalut dengan kain
putih dan berlepotan darah, jelas terluka. ”Apakah surat yang kami terima ini berasal
darimu?” segera Jit-jit bertanya.
Ji Yok-gi membenarkan. Jit-jit memandang Sim Long dengan senyum memuji,
ternyata apa yang terjadi ini cocok dengan dugaan anak muda itu. Sim Long
berlagak tidak tahu, ia tanya pada Ji Yok-gi, ”Berpisah belum lama, mengapa
Ji-heng telah masuk menjadi anggota sindikat terbesar dunia Kangouw?” Khawatir
menyinggung perasaan orang, maka Sim Long tidak menyebut Kay-pang melainkan
dengan sebutan lain. ”Urusan ini agak panjang juga untuk diceritakan,” sahut Ji
Yok-gi dengan tersenyum. ”Dan memang kedatanganku ini ingin merundingkan
sesuatu persoalan penting dengan Sim-heng, hal ini pun ada sangkut pautnya
dengan Kay-pang.”
”Silakan bicara,” kata Sim Long. ”Setelah berpisah dengan Sim-heng, terasa olehku
tindak tandukku pada masa lampau sesungguhnya memalukan, hari depanku terasa
remang-remang dan entah cara bagaimana supaya dapat mencuci dosaku,”
demikian tutur Ji Yok-gi dengan menyesal. ”Tatkala mana sungguh hatiku bimbang
dan putus asa, aku berkelana kian kemari tanpa arah tujuan dan tidak merawat diri,
dalam waktu kurang dari sebulan keadaanku sudah kelihatan tak keruan tiada
ubahnya seperti kaum pengemis.”
”Kenapa Ji-heng mesti menyiksa diri cara begitu?” ujar Sim Long. ”Maklumlah, waktu
itu aku sungguh tersiksa lahir batin, rasanya cuma dengan begitu saja baru dapat
meringankan beban pikiranku.” Dengan tertawa Sim Long berkata, ”Kay-pang
memang betul organisasi terbesar dunia persilatan, anak muridnya tersebar di
segenap pelosok, pengaruhnya memang tak ada bandingannya. Tapi bila karena
ingin menderita sehingga Jiheng perlu masuk ke Kay-pang, kukira engkau telah
salah tindak.”
”Semula tiada maksudku hendak masuk ke Kay-pang,” tutur Ji Yok-gi lebih lanjut.
”Cuma lantaran patah semangat, maka segala apa pun tidak menarik bagiku.
Sampai akhirnya karena melihat keadaanku yang kasihan, orang mau membantu
dan tanpa malu aku pun menerimanya.” Ia tersenyum getir, lalu menyambung,
”Berita Kay-pang sungguh sangat cepat dan tajam, mereka dapat mengenali
asal-usulku, maka, dikirimlah tiga orang sesepuhnya untuk berunding denganku.”
”Memangnya berunding apa?” tanya Jit-jit heran. ”Mereka anggap kelakuanku sudah
menyerupai pengemis, maka harus menjadi anggota Kay-pang, kalau tidak berarti
melanggar peraturan mereka dan setiap anak murid Kay-pang akan memandangku
sebagai musuh.”
”Masa ada peraturan begitu .... Dan engkau lantas terima kehendak mereka?” tanya
Jit-jit.
”Betul,” jawab Ji Yok-gi. ”Waktu itu aku sama sekali tidak memikirkan apa akibatnya,
mungkin jika ada orang menyuruhku menjadi Hwesio juga akan kulakukan.” ”Tujuan
Kay-pang itu tidak lain hanya untuk menambah kekuatan saja,” ujar Sim Long
dengan tertawa. ”Bilamana mereka tidak bermaksud memperalat nama dan
kepandaian Ji-heng, tentu karung yang disandang Ji-heng takkan sebanyak ini.”
Sekilas pandang saja Sim Long dapat melihat karung goni yang dipanggul Ji Yok-gi
itu sedikitnya ada tujuh buah. Biasanya karung goni yang dibawa anggota Kay-pang
melambangkan kedudukannya dalam Kay-pang, semakin banyak karung yang
disandangnya semakin tinggi kedudukannya. Untuk menanjak dari murid berkarung
satu hingga berkarung tujuh, ini memerlukan suatu proses perjuangan yang panjang.
Sekarang Ji Yok-gi baru masuk Kay-pang dan lantas diangkat menjadi murid
berkarung tujuh, hal ini benarbenar promosi luar biasa dalam sejarah Kay-pang.
Tapi Ji Yok-gi lantas menghela napas, katanya pula, ”Waktu itu jika aku tidak putus
asa, mana bisa masuk Kay-pang? Dan bila sudah kuserahkan diriku ke dalam
Kay-pang, mana kupikirkan soal berapa buah karung ini ....”
Tiba-tiba ia menengadah dan tertawa, lalu menyambung, ”Jika bukan karena ketujuh
buah karung ini, betapa pun sukar bagiku untuk mendengar rahasia itu.” ”Apakah
kedatangan Ji-heng ini adalah karena rahasia yang kau maksudkan itu?” tanya Sim
Long. ”Betul,” jawab Ji Yok-gi. ”Sesungguhnya rahasia apakah, lekas ceritakan!” seru
Jit-jit. Asalkan si nona bicara, Ji Yok-gi lantas menunduk, tuturnya, ”Sesudah
kumasuk Kay-pang, tiada sesuatu tugas tertentu yang mereka serahkan padaku.
Kedudukan Pangcu memang sudah lama lowong, maka semua urusan penting
organisasi selalu dirunding dan diputuskan oleh ketiga Tianglo (tertua, sesepuh).”
Jit-jit berkedip heran, ”Kenapa mesti begitu? Jika satu antara mereka bertiga
ditetapkan sebagai Pangcu, kan semua urusan menjadi lebih mudah untuk
diselesaikan.” ”Soalnya di antara ketiga Tianglo itu, baik kedudukan, kungfu, dan
nama baik, semuanya seimbang, sebab itulah ketiganya saling mengalah dan tidak
mau diangkat sebagai Pangcu,” sela Sim Long dengan tertawa. ”Masa mereka saling
mengalah .... Sungguh aku tidak percaya di dunia Kangouw ada orang baik hati
begitu,” ujar Jit-jit dengan tertawa. ”Jika dikatakan di antara mereka saling ngotot dan
tidak mau mengalah, tapi karena satu sama lain tidak lebih unggul sehingga
ketiganya sama-sama tidak dapat menjabat Pangcu, alasan ini malahan dapat
kupercaya.”
”Heh, pintar juga kau,” ujar Sim Long. Lalu dia berpaling kepada Ji Yok-gi dan
bertanya, ”Kemudian bagaimana?” ”Justru dalam keadaan tanpa tugas dan iseng
itulah dapat kulihat sesuatu yang ganjil,” tutur Yok-gi. ”Sejak kumasuk menjadi
anggota, ketiga Tianglo lantas selalu mengikuti jejakku. Semula aku heran dan juga
curiga, tapi kemudian dapat kuketahui bahwa di antara mereka sama-sama tidak ingin
aku berbicara sendirian dengan salah seorang di antara mereka.”
”Sungguh aneh, engkau kan bukan orang perempuan, masakah mereka bisa
cemburu?” ujar Jit-jit dengan geli. Mendadak ia berkeplok dan berseru pula, ”Aha,
tahulah aku. Jelas di antara mereka diam-diam berebut kedudukan Pangcu, namun
siapa pun sukar mengungguli yang lain, maka mereka berusaha memikat dirimu untuk
membantunya, dengan begitu dapatlah kedua orang lain diatasi. Dalam keadaan
berebut pengaruh begitu, dengan sendirinya mereka khawatir bila salah seorang
berbicara sendirian denganmu akan merugikan kedua orang yang lain. Memang
sudah kuduga apa pun dapat diperbuat orang-orang itu bilamana urusannya
menyangkut kedudukan dan keuntungan.”
”Sudah lama kudengar tentang ketiga sesepuh Kay-pang itu, kecuali watak Tan Kiong
yang ekstrem, tindakannya terkadang suka menuruti kehendak sendiri. Sedangkan
Auyang Lun hanya gemar makan minum, namun juga pendekar yang berjiwa besar.
Lebih-lebih Co Kong-liong, dia terkenal berbudi luhur dan mahaadil, ketiganya
sama-sama pendekar ternama, mana bisa mereka ....”
”Kenal orang dan tahu mukanya tapi tidak tahu hatinya,” tukas Ji Yok-gi dengan
gegetun, ”apabila aku tidak bergaul rapat dengan mereka, sungguh mimpi pun tidak
menyangka satu di antara mereka adalah setan iblis yang mahajahat. Apabila tidak
secara kebetulan dapat kuketahui muslihat kejinya, sekian ribu anggota Kay-pang
pasti akan menjadi korbannya.”
”Masa bisa begitu? ....” terkejut juga Sim Long. ”Kedatanganku ini adalah karena
persoalan ini, sedikit banyak juga bersangkutan dengan Sim-heng, selain itu ingin
kumohon Sim-heng sukalah mengingat sesama orang Kangouw dan berdaya
menyelamatkan Kaypang dari malapetaka perpecahan ini.”
”Kan sudah kukatakan, Kay-pang adalah organisasi terbesar dunia Kangouw,” ucap
Sim Long dengan serius. ”Jika benar Kay-pang dikuasai oleh kaum durjana, dunia
Kangouw pasti juga akan kacau. Silakan Ji-heng bicara saja, bila mampu pasti akan
kubantu sekuatnya.”
”Urusan ini harus diceritakan sejak empat hari yang lalu,” tutur Ji Yok-gi. ”Waktu itu
aku dan ketiga orang ini bermalam di suatu rumah berhala di tempat terpencil,
mereka sudah mendengkur, sebaliknya aku bergulang-guling tak bisa pulas.”
“Bisa jadi mereka cuma pura-pura tidur saja,” sela Jit-jit. “Hari itu hujan salju, hawa
dingin, di dalam rumah berhala dinyalakan api unggun, kami tidur mengelilingi api
unggun,” tutur Yok-gi pula. “Di bawah kakiku adalah Auyang Lun, dia tidur dengan
mengadu kepala dengan Co Kong-liong, sedangkan kaki Co Kong-liong beradu kaki
dengan Tan Kiong dan dengan sendirinya kepala Tan Kiong berada di belakang
kepalaku.”
“Cara tidur kalian berempat masakah ada sangkut pautnya dengan rahasia yang
akan kau ceritakan,” tanya Jit-jit tidak sabar. “Tentu saja besar sangkut pautnya,” ujar
Yok-gi. “Tengah malam, api unggun sudah mulai guram, selagi aku bermaksud
bangun untuk menambahi kayu, siapa tahu pada saat itulah mendadak kurasakan
tangan Tan Kiong diulurkan ke arahku dan menggores beberapa huruf di atas
keningku.”
”Dia ternyata tidak tidur,” kata Jit-jit. ”Huruf apa yang ditulisnya?” ”Huruf yang
ditulisnya berbunyi: ”Kita bekerja sama menumpas Co.” ”Tan Kiong ternyata benar
bukan manusia baik-baik. Di antara ketiga tokoh sesepuh Kay-pang, semua orang
tahu Co Kong-liong adalah yang terbaik, jangan kau percaya kepada hasutan Tan
Kiong.”
”Waktu itu dapat kupahami tulisannya itu, tapi aku berlagak tidak tahu, maka Tan
Kiong menulis pula dan mengatakan Co Kong-liong tidak dapat dipercaya lagi, maka
malam ini juga harus bertindak, kalau tidak .... Sampai di sini goresan tangannya
tambah berat, jelas hatinya tegang. Benarlah, mendadak Co Kongliong ....”
Bercerita sampai di sini, sekonyong-konyong di luar terdengar desir angin kain baju
yang berkibar, jelas ada orang datang dengan sangat cepat, Ginkangnya sungguh
sangat tinggi. Air muka Ji Yok-gi menjadi pucat, ”Wah, celaka ....” Segera Sim Long
memadamkan lampu dan bertanya, ”Apakah kau tahu siapa yang datang ini?” “Co
Kong-liong ....” jawab Ji Yok-gi. Selagi Sim Long merasa heran, terdengarlah seorang
bersuara di luar, “Inilah Kay-pang-sam-lo (tiga sesepuh Kay-pang, kedatangan kami
adalah untuk mengadakan pembersihan perguruan sendiri dan menangkap anggota
khianat, diharap sahabat Kangouw jangan ikut campur.”
Suaranya lantang dan bertenaga, jelas Lwekang orang ini sangat tinggi. Dengan
suara tertahan Sim Long bertanya, ”Pembicara ini apakah Co Kongliong adanya?”
”Betul dia,” jawab Ji Yok-gi. Sim Long tidak bicara lagi, hanya dalam hati ia
membatin, ”Jika bicara soal ilmu silat, nama Kay-pang-sam-lo pasti tidak lebih
menonjol daripada ketujuh tokoh
besar dunia persilatan, mengapa tenaga dalam Co Kongliong ini kedengarannya
jauh lebih kuat daripada Thian-hoat Taysu, Kiau Ngo dan lain-lain, mungkinkah
selama ini dia menyembunyikan kepandaiannya atau akhir-akhir ini dia mendapat
penemuan mukjizat?”
Terdengar orang di luar lagi berseru pula, ”Ji Yok-gi, kenapa tidak lekas keluar?
Sudah jelas kau sembunyi di sini, sekeliling tempat ini sudah terkepung, jangan kau
harap akan dapat lari.” ”Bukankah kau bilang mereka bermaksud merangkul dirimu,
mengapa sekarang dia bilang hendak menangkapmu?” tanya Jit-jit. Ji Yok-gi
menghela napas, ”Soalnya dia tahu rahasianya telah kuketahui, maka ingin
membunuhku untuk menghilangkan saksi.” ”Jangan khawatir, Sim Long berada di
sini, siapa pun tak bisa membunuhmu,” ujar si nona. ”Mati-hidupku tidak menjadi
soal, aku cuma menyesal belum sempat kuceritakan rahasia itu ....” Belum lanjut
ucapannya, ”serr”, mendadak jalur api menyambar masuk menerobos jendela dan
menancap di dinding. Kiranya sebatang panah berapi. Sekali pukul dari jauh Sim
Long memadamkan api itu. Segera terdengar lagi suara orang di luar, ”Ji Yok-gi,
sudah selesai kubicara, tidak lekas kau keluar ....” ”Keluar juga boleh, kenapa takut?”
bentak Jit-jit dan segera hendak mendahului menerjang keluar. Tapi mendadak ia
ditarik orang dan jatuh di tempat tidur. Sedangkan Sim Long lantas melompat keluar.
Di bawah pantulan cahaya salju dalam kekelaman malam tertampak di pelataran
berdiri sekian banyak bayangan orang, sedikitnya ada beberapa puluh jumlahnya.
Sekilas pandang saja Sim Long menduga rahasia yang hendak dibongkar Ji Yok-gi
pasti bukan urusan sepele, kalau tidak pihak Kay-pang takkan mengerahkan anak
buah sebanyak ini. Baru saja Sim Long melompat keluar, segera di tengah
gerombolan orang itu menyala dua batang obor. Di bawah cahaya obor tertampak
orang-orang ini memang berambut semrawut dan berbaju rombeng serta kaki
telanjang, masingmasing juga menyandang karung goni, jelas kebanyakan adalah
murid Kay-pang tingkat tinggi.
Di depan berdiri seorang pengemis tua berwajah merah, rambut pada kedua
pelipisnya sudah memutih, jenggotnya juga putih dan bergoyang tertiup angin.
Jilid 17
Dandanan pengemis tua ini tiada ubahnya seperti pengemis yang lain,
perawakannya juga tidak lebih tinggi besar, namun berdiri di tengah kawanan
pengemis dia kelihatan seperti bangau di tengah gerombolan ayam.
Sekali pandang saja Sim Long lantas tahu siapa dia. Pengemis tua itu juga sedang
menatap Sim Long dengan tajam. ”Anda ini Co Kong-liong? ̈ tanya Sim Long. ”Betul,
ada hubungan apa antara Ji Yok-gi denganmu? ̈ tanya pengemis tua itu. ”Cayhe
Sim Long, sahabat Ji-heng, ̈ jawab Sim Long. Alis Co Kong-liong terangkat, ”Sim
Long? Ehm, sudah kudengar akhir-akhir ini dunia Kangouw telah muncul seorang
pendekar muda, dalam sebulan saja namanya sudah tersiar ke mana-mana, tak
tersangka dapat bertemu di sini. ̈
Cara bicara sesepuh Kay-pang ini tampak kereng dan lugas, sedikit pun tidak ada
tanda-tanda sesat atau jahat. Sebaliknya tindak-tanduk Ji Yok-gi biasanya sering
tercela, bila orang lain pasti akan menaruh curiga terhadap keterangan Ji Yok-gi tadi.
Tapi setelah termenung sejenak, Sim Long lantas berkata, ”Kay-pang-sam-lo
biasanya selalu berada bersama, entah sekarang Tan-tianglo dan Auyangtianglo
berada di mana? ̈ ”Mereka berada di mana sekarang, apa sangkut pautnya
denganmu? ̈ jawab Co Kong-liong. Sim Long tersenyum, ”Cayhe cuma ingin
bertanya kepada kedua beliau itu sesungguhnya kesalahan apa Ji Yok-gi sehingga
harus dihukum menurut peraturan perguruan Kay-pang. ̈ ”Cukup dengan
keteranganku saja, untuk apa mesti tanya orang lain lagi? ̈ jawab Co Kong-liong
dengan bengis. ”Jika begitu ingin kumohon petunjuk .... ̈ ”Urusan intern Kay-pang
orang luar tidak perlu ikut campur, ̈ bentak Co Kongliong. Mendadak Sim Long
tertawa, ”Jika begitu, tidak leluasa bagiku untuk ikut campur urusan ini. ̈ Tiba-tiba ia
berpaling dan berseru, ”Marilah nona Cu, kita pergi saja. ̈ Ucapan Sim Long ini
membikin Ji Yok-gi di dalam rumah terkejut, Jit-jit juga melengak, cepat ia melompat
keluar dan menegas, ”Pergi? Masa ... masa akan kau tinggalkan Ji Yok-gi di sini? ̈
”Meski kita adalah sahabatnya, tapi dia telah melanggar peraturan perguruan, adalah
pantas dia mendapat hukuman rumah tangga sendiri, ini adalah peraturan umum
dunia persilatan, mana boleh kita ikut campur? ̈ jawab Sim Long.
Tanpa menunggu reaksi si nona, ia lantas memberi hormat kepada Co Kongliong
dan berkata, ”Maaf, sekarang juga kumohon diri. ̈ Siapa tahu mendadak Co
Kong-liong lantas membentak, ”Tidak, kau pun tidak boleh pergi. ̈
Sim Long sengaja berlagak heran, ”Anda minta jangan kuikut campur urusan
Kay-pang, jika kupergi kan berarti mematuhi pesanmu. Entah mengapa Anda
merintangi kepergianku? ̈ Co Kong-liong tampak melenggong sejenak, lalu
mendengus, ”Apa yang akan kulakukan engkau tidak berhak tanya. ̈ ”Tapi persoalan
yang menyangkut kepentinganku masalah tidak boleh kutanya, ̈ jawab Sim Long.
”Baik akan kuberi tahukan padamu, ̈ teriak Co Kong-liong dengan bengis. ”Soalnya
karena kau ini manusia licin, perbuatan tidak senonoh yang dilakukan Ji Yok-gi itu
pasti ada sangkut pautnya denganmu. ̈ ”Jika demikian, jadi Anda bermaksud
memberi hukuman padaku bersama Ji Yokgi? ̈ tanya Sim Long. ”Betul! ̈ bentak Co
Kong-liong. Mendadak Sim Long menengadah dan bergelak tertawa, sungguh
gembira tertawanya. Sampai Cu Jit-jit dan Ji Yok-gi juga tercengang. ”Apa yang kau
tertawai? ̈ teriak Co Kong-liong dengan gusar. ”Kutertawai si rase itu akhirnya
kelihatan juga ekornya, ̈ kata Sim Long dengan tetap tertawa. ”Sebenarnya siapa
yang kau maksudkan? ̈ ”Semula kukira engkau ini seorang jujur, mestinya tidak
percaya dirimu ini sebenarnya manusia yang berhati binatang, kusangka ucapan
Ji-heng yang tidak beres, maka sengaja kucoba dirimu, ̈ Sim Long tertawa, lalu
menyambung, ”Ternyata sekali kucoba segera terlihat belangmu. Tapi cara
bagaimana belangmu sampai kelihatan, mungkin kau sendiri belum lagi mengerti.
Apakah kau mau kujelaskan? ̈
Dengan gusar Co Kong-liong membentak, ”Sebentar lagi kau pasti akan mampus,
mau omong apa boleh lekas katakan saja. ̈ ”Jelas kau datang sendirian, tapi sengaja
kau kemukakan nama Sam-lo (ketiga orang tua), jelas hatimu rada jeri, jika engkau
tidak berdosa, kenapa mesti takut? ̈ ”Hm, apa lagi? ̈ jengek Co Kong-liong.
”Berulang-ulang kau minta aku jangan ikut campur urusan orang lain, pada waktu
aku mau pergi sebaliknya kau rintangi, jelas karena kau khawatir Ji Yok-gi akan
menceritakan padaku segala kemunafikanmu, makanya ingin kau bunuh diriku untuk
menutup mulutku. Hah, jika perbuatanmu cukup gilang-gemilang, mengapa takut
diketahui orang lain? ̈
Mau tak mau berubah juga air muka Co Kong-liong, teriaknya, ”Kau .... ̈ Belum lanjut
ucapannya Cu Jit-jit lantas berkeplok dan berseru, ”Haha, Sim Long memang tidak
malu sebagai Sim Long, dengan sedikit kelicikanmu ini hendak kau tipu Sim Long,
huh, mimpi! ̈ Baru sekarang Ji Yok-gi melompat keluar, serunya dengan kejut dan
girang, ”Sim-heng ternyata tahu akan jiwaku, sungguh mati pun aku tidak menyesal
lagi! ̈
Dengan tertawa Sim Long berkata, ”Ucapan Ji-heng tadi memang tidak salah, tahu
orangnya, tahu mukanya, tidak tahu hatinya. Memangnya siapa pula yang menduga
bahwa Co Kong-liong yang termasyhur berbudi luhur ternyata adalah .... ̈
”Adalah malaikat maut bagimu! ̈ tukas Co Kong-liong sambil membentak. Berbareng
ia memberi tanda, serentak anak murid Kay-pang yang berdiri di sampingnya sama
berputar cepat seperti roda angin. Seketika cahaya senjata berkelebat, Ji Yok-gi, Cu
Jit-jit dan Sim Long terkurung di tengah, dipandang dari gemerdep senjata itu
kelihatan ada belasan orang pula yang berdiri di luar garis sana.
Belasan orang ini sama membawa kantong senjata rahasia yang tergantung di
pinggang, ada yang membawa busur dengan anak panah, jelas asalkan Sim Long
dan lain-lain melompat ke atas, seketika hujan senjata rahasia akan terjadi.
Jika di tanah datar, jangankan Sim Long, sekalipun Cu Jit-jit juga pandang sebelah
mata akan serangan senjata rahasia lawan. Tapi dalam keadaan terapung keadaan
akan menjadi lain. Dengan Ginkangnya, sebenarnya untuk lolos dari kepungan ini
tidaklah sulit bagi Sim Long dan kawannya. Tapi dengan senjata rahasia yang
disiapkan, Sim Long harus berpikir dua kali sebelum menggunakan Ginkang untuk
kabur.
Muka Cu Jit-jit rada pucat, meski banyak juga pengalaman tempurnya, tapi cara keji
musuh dan kepungan yang ketat begini jarang dihadapinya. Begitulah serangan
musuh bertambah gencar, kepungan bertambah rapat dan makin menyempit, mau tak
mau Jit-jit rada gelisah. Wajah Ji Yok-gi juga mulai berkeringat. Sekonyong-konyong
tiga bilah golok musuh membacok tiba secepat kilat. Rasa tegang Jit-jit dan Ji Yok-gi
jadi buyar oleh serangan ini, segera keduanya siap menangkis. Tapi sebelum mereka
bergerak, mendadak Sim Long menubruk maju, sekaligus ia rampas golok salah
seorang penyerang, berbareng sikutnya menyodok dan tepat lawan sebelah kiri
disikut hingga mencelat. Musuh sebelah kanan terkejut, baru saja hendak melompat
mundur, golok rampasan Sim Long telah bekerja, punggung golok membalik
membacok kuduk orang itu, kontan orang itu menjerit tertahan dan roboh terkapar,
meski tidak binasa sudah cukup membuatnya sekarat.
Hanya sekali turun tangan saja Sim Long lantas membereskan tiga orang, sampai
Jit-jit belum sempat melihat jelas apa yang terjadi, keruan ia tercengang.
Dengan golok rampasannya Sim Long serupa harimau tumbuh sayap, terdengar
suara gemerencing beradunya senjata, cahaya golok di sekitar mereka dapat
dihalau oleh Sim Long, sama sekali Jit-jit dan Ji Yok-gi tidak perlu turun tangan lagi.
Ji Yok-gi terkesima, kejut dan kagum. Sebaliknya Jit-jit lantas tertawa, ucapnya
dengan tertawa manis kepada Ji Yokgi, ”Coba kau lihat, kan sudah kukatakan tidak
perlu takut, asalkan Sim Long hadir di sini, siapa pun tidak perlu ditakuti. ̈ Ji Yok-gi
menghela napas perlahan, ”Ya, kungfu Sim-heng memang .... ̈ Belum habis
ucapannya mendadak terlihat kain baju dan rambut si nona beterbangan, ia sendiri
pun merasakan angin tajam menyambar dekat di sekitarnya. Suara gemerencing pun
terus berbunyi tiada hentinya. Bayangan Sim Long juga terus berputar kian kemari.
Tapi cahaya senjata juga bertambah menyilaukan mata dan makin kuat, jelas
lingkaran kepungan barisan golok musuh juga semakin sempit. Mau tak mau Jit-jit
menjadi khawatir juga dan tidak dapat tertawa lagi, katanya, ”Wah, apakah Sim Long
dapat .... ̈ ”Walaupun Sim-heng sangat perkasa, tapi dua tangan tetap sukar
melawan empat kepalan, ̈ kata Ji Yok-gi. ”Apalagi pihak lawan tidak cuma berjumlah
beberapa orang saja, barisan kepungan mereka pun sangat ketat, bisa jadi .... ̈
”Jika begitu, buat apa engkau mengoceh melulu? ̈ omel Jit-jit sambil mengentak kaki.
”Ayolah lekas bantu dia, tunggu apa lagi?! ̈ Walaupun begitu bicaranya, namun dia
tetap berdiri di tempatnya. Maklumlah, saat itu barisan kepungan musuh telah
bergerak cepat, cahaya senjata kemilauan, Jit-jit sendiri tidak tahu harus menerjang
dari mana. Dengan sendirinya Ji Yok-gi juga terkesima dan tidak dapat ikut turun
tangan.
”Sabar sebentar, Sim Long, segera akan kami bantu engkau! ̈ teriak Jit-jit untuk
memberi semangat kepada Sim Long. Tapi anak muda itu tidak menjawab, seperti
tidak mendengarnya. Sebaliknya terdengar Co Kong-liong lagi menjengek, ”Saat ini
Sim Long sudah berada dalam serbasusah, mana dia sempat bicara denganmu. Tapi
kau pun tidak perlu gelisah, setelah Sim Long dibereskan, segera akan datang
giliranmu. ̈
Tidak kepalang gemas Jit-jit, kontan ia memaki, ”Keparat, kere mampus! Kalau
berani ayolah maju sendiri, omong melulu, terhitung orang gagah macam apa? ̈
”Yang hidup ialah orang gagah, yang mati bukan lagi orang gagah, kalian bertiga
sekarang sudah tidak ada bedanya orang mati .... ̈ demikian Co Kong-liong
berolok-olok dengan tertawa. ”Pengemis busuk, kau sendiri yang akan mampus! ̈
damprat Jit-jit dengan gusar, ia pandang Ji Yok-gi sekejap, seketika berhenti
ucapannya. Dilihatnya wajah Ji Yok-gi pucat lesi, kain pembalut pada tangan
kanannya tampak kotor, darah segar masih terus merembes keluar. Jelas luka itu
baru
terjadi dan banyak keluar darah, melihat gelagatnya, andaikan dia ikut bertempur
pasti juga takkan tahan lama.
Dengan terharu si nona memanggilnya perlahan, ”Ji-siangkong! ̈ Ji Yok-gi jadi
melenggong oleh panggilan si nona yang berbeda daripada biasanya ini, cepat ia
menjawab, ”Ada apa, nona? ̈
Dengan menunduk Jit-jit berkata, ”Sekarang kutahu engkau adalah seorang baik,
bilamana sebelum ini sikapku kurang hormat padamu, hendaknya suka dimaafkan.
Keadaan sekarang agak gawat, tampaknya bila Sim Long mau menerjang keluar
sendirian tidaklah sulit, tapi ... tapi kalau .... ̈
Belum habis ucapan Jit-jit, dapatlah Ji Yok-gi memahami maksudnya, bahwa
mendadak nona bersikap ramah padanya, rupanya nona itu merasa dia pasti akan
binasa di sini. Bicara terhadap seorang yang bakal mati dengan sendirinya akan jauh
lebih halus daripada biasanya.
”Orang macam apakah Sim Long, tentu juga sudah dikenal Ji-siangkong, ̈ kata Jit-jit
pula. ”Apabila dia tidak mengetahui rahasiamu, tidak nanti dia mau menerjang pergi,
engkau .... ̈ ”Tidak perlu nona bicara lagi, sudah kuketahui maksud nona, ̈ ujar Ji
Yok-gi dengan tersenyum pedih. ”Kematianku tidak ada artinya, namun rahasia itu
memang harus kubeberkan kepadanya .... Dengarkan Sim-heng, pada malam itu, di
rumah berhala .... ̈
Belum lanjut ucapannya, mendadak Sim Long berteriak, ”Wah, celaka! ̈ Menyusul
lantas terdengar Co Kong-liong bergelak tertawa dan membentak, ”Haha, baru
sekarang kau mau bicara, sudah terlambat .... ̈ mendadak ia bersuit panjang
melengking. Di tengah suara suitannya, barisan penyerang serentak berubah posisi,
lingkaran cahaya senjata yang terbentuk tadi mendadak menyerbu ke tengah antara
Sim Long dan Ji Yok-gi bagaikan air bah yang tak terbendung.
Sim Long mengentak kaki, segera ia melompat ke atas, agaknya ingin bergabung
dengan Ji Yok-gi, tapi baru saja ia bergerak, segera terdengar busur berbunyi, anak
panah lantas berhamburan bagaikan hujan. Jit-jit menjerit khawatir. Dilihatnya Sim
Long memutar goloknya secepat kitiran, hujan anak panah itu sama rontok, tapi
tubuhnya juga terpaksa turun kembali ke bawah. Pada saat itulah barisan golok
musuh telah terbagi menjadi dua, belasan orang kini mengepung Ji Yok-gi di tengah.
”Wah, bagai ... bagaimana .... ̈Jit-jit menerjang ke dekat Sim Long. ”Masih bicara
lagi? Semua gara-garamu! ̈ omel Sim Long. Jit-jit melengak, ucapnya dengan
bingung, ”Aku? ... memangnya aku berbuat salah apa lagi? ̈
Sim Long tidak menghiraukannya, ia putar goloknya dan hendak menerjang musuh
pula. Tapi meski barisan golok musuh kini sudah terbagi menjadi dua, sisanya yang
mengepung Sim Long tidak menyerang lagi melainkan ganti siasat dengan bertahan
melulu. Nyata sasaran serangan mereka sekarang telah beralih kepada Ji Yok-gi.
Dengan sendirinya si pedang sakti yang sudah terluka dan tak bersenjata itu segera
terancam maut di bawah kerubutan belasan golok musuh. Sim Long sangat gelisah,
tapi apa daya, pertahanan barisan musuh sangat kuat, setiap kali dia hendak
melompat ke atas segera disambut dengan hujan anak panah. Sekonyong-konyong
terdengar Ji Yok-gi menjerit ngeri. ”Ji-heng .... ̈ seru Sim Long khawatir. ”Sim-heng,
aku tidak .... ̈ belum lanjut Ji Yok-gi berkata, kembali ia menjerit, lalu tidak ada suara
lagi. Menyusul lantas terdengar gelak tertawa Co Kong-liong, lalu dia berseru,
”Bagaimana, sudah beres? ̈ ”Beres, lima belas bacokan, tercincang menjadi
perkedel! ̈ teriak anak buahnya. ”Baik, murid murtad sudah tertumpas, pergi! ̈ bentak
Co Kong-liong. Sinar golok berkelebat dan menyurut mundur, sebagai gantinya
sebaris anak panah lantas dibidikkan. Waktu Sim Long memutar goloknya untuk
menghalau hujan anak panah itu rombongan musuh sudah menghilang di kegelapan.
Di atas tanah bersalju menggeletak Ji Yok-gi bermandikan darah. Cepat Sim Long
dan Jit-jit mendekatinya, Sim Long angkat bahu Ji Yok-gi yang penuh berlumuran
darah itu. Dirasakannya orang masih bernapas meski sangat lemah. Dengan girang
Sim Long berseru, ”Ji-heng, tahan, tahan sekuatnya! ̈ Tubuh Ji Yok-gi berkejang,
tiba-tiba matanya terbuka sedikit, kelihatan sorot matanya yang buram, biji matanya
berputar, seperti ingin mengenali siapa di depannya ini. ”Aku, Ji-heng ... aku Sim
Long! ̈ Akhirnya timbul setitik sinar mata Ji Yok-gi, namun sinar ini tiada ubahnya
seperti sumbu pelita yang kehabisan minyak, setiap saat bisa sirap. Bibir Ji Yok-gi
bergerak-gerak, tercetus suara yang sangat lemah dan lirih seperti bunyi nyamuk,
”Ak ... aku ... tidak ... tidak sanggup ....¡ ̈ ”Tahan, Ji-heng, engkau pasti sanggup, ̈
seru Sim Long. Namun keadaan Ji Yok-gi memang sangat parah, ingin bicara pun
tidak sanggup lagi. ”Selain dirimu, siapa pula yang tahu rahasia yang kau
maksudkan? ̈ tanya Jit-jit. Sampai lama sekali baru terdengar suara Ji Yok-gi yang
sangat lemah, ¡Ada sur ... surat untuk ... untuk Liu .... ̈
Sampai di sini, berbunyilah kerongkongannya seperti tersumbat, lalu kepalanya
terkulai dan tidak bergerak lagi, nyata ia telah mengembuskan napasnya yang
terakhir. Dengan pedih Sim Long menggeleng kepala, gumamnya, ”Baiklah, Ji-heng,
berangkatlah engkau, suratnya pasti akan kusampaikan kepada nona Liu Giok-ji,
akan kuminta keterangan padanya, betapa pun akan kugagalkan intrik mereka. ̈
***** Subuh sudah tiba, fajar telah menyingsing. Cahaya fajar yang remang menyinari
muka Ji Yok-gi. Air mata Jit-jit berlinang memandang wajah yang sudah kaku ini.
”Kasihan dia, seharusnya dia tidak perlu mati .... ̈ ”Betul, seharusnya dia tidak perlu
mati, tapi dia justru mati gara-garamu, ̈ tegas Sim Long mendadak. ”Aku? ̈ Jit-jit
menegas. ”Betul, kau .... ̈ Mata Jit-jit menjadi merah lagi, ”Kembali kau, segala apa
kau salahkan aku, memangnya apa kesalahanku? Jelas dia sendiri takut mati dan
akhirnya terbunuh, kenapa aku yang disalahkan? ̈ ”Tadi kalau tidak kau paksa dia
bicara, tentu Co Kong-liong tak tahu bahwa dia belum membeberkan rahasianya,
tentu juga mereka takkan menjadikan dia sebagai sasaran serangan dan dia juga
takkan
terbunuh. Tujuan Co Kong-liong semula adalah hendak membinasakan diriku lebih
dulu. ̈
”Tapi ... tapi waktu itu engkau sendiri dikerubut hingga kalang kabut, jika ... jika
engkau tidak tahan, kan dia juga tetap tidak dapat kabur? ̈ ”Dari mana kau tahu aku
dikerubut hingga kalang kabut? ̈ tanya Sim Long mendongkol. ”Justru sengaja
kupancing barisan golok musuh agar terpusat di suatu sudut, dengan susah payah
kucari titik lemah barisan mereka, tampaknya sudah hampir berhasil, siapa tahu kau
.... ̈
Mendadak Jit-jit berteriak parau, ”Ya, aku salah ... aku salah .... Tapi apa yang
kulakukan itu adalah demi dirimu, dari mana kutahu siasatmu akan menumpas
musuh .... ̈ Sambil bicara akhirnya ia menangis tergerung-gerung. Sejenak Sim Long
memandangi nona yang lugas ini, ia menghela napas, lalu berkata, ”Sudahlah, tidak
perlu menangis lagi, hari sudah terang, Kim Bu-bong tidak ada kabarnya, apa pun
juga kita harus menemukan dia lebih dulu. ̈
*****
Kim Bu-bong sedang berlarian di bawah deru angin yang dingin, rambutnya kusut
bertebaran tertiup angin, di bawah hujan salju yang membeku, sekujur badannya
justru membara oleh api kemarahan. Dia sebenarnya seorang tokoh misterius yang
penuh teka-teki, asal usulnya sukar diterka. Ia tidak suka menceritakan kisah
hidupnya masa lampau, bahkan ia sendiri tidak mau memikirkannya kembali. Ia
cuma ingat sejak kecil hingga besar dirinya tidak pernah memerhatikan mati-hidup
orang lain, juga tidak pernah meneteskan setitik air mata bagi orang lain. Selamanya
tak pernah terpikir olehnya apa artinya kebajikan dan kejahatan, juga tidak pernah
memikirkan siapa salah dan siapa benar. Apa yang dia suka, itulah yang
dilakukannya. Asalkan dia tidak suka kepada seorang, segera orang itu dibunuhnya.
Ia sendiri tidak tahu selama ini sudah berapa orang yang mati di bawah tangannya.
Selama ini dia tidak kenal kasihan bagi korbannya, ”yang lemah memang pantas
mati ̈, baginya hukum rimba ini memang adil dan wajar.
Akan tetapi sekarang ia telah berubah. Ia menjadi marah karena kebusukan dan
kejahatan Kim Put-hoan. Demi seorang anak perempuan lemah dia rela menempuh
perjalanan di bawah hujan salju dan deru angin yang dingin.
Perubahan ini sama sekali tak terduga, mimpi pun tak tersangka olehnya. Salju
meliputi bumi raya ini, suasana gelap. Ke mana larinya Kim Put-hoan? Cara
bagaimana akan menemukannya? Semua ini tidak diketahui oleh Kim Bu-bong.
Hanya berdasarkan semacam naluri asli makhluk hidup, semacam naluri binatang
liar, juga naluri jago silat yang selama hidup bertualang seperti dirinya, ia terus
mengejar dan mencari ke depan.
Mungkin ada yang merasa aneh di antara jago Kangouw bisa mempunyai naluri
serupa binatang liar. Tapi kalau dipikirkan dengan cermat, segera akan diketahui di
antara keduanya memang banyak terdapat segi persamaannya.
Mereka harus menghindari pengejaran orang lain, dalam buron itu mereka juga perlu
memburu mangsanya untuk menyambung hidup mereka. Jadi mereka adalah
pemburu, tapi setiap saat juga diburu. Jiwa mereka selalu berada di tepi garis antara
mati dan hidup. Di tengah hujan salju yang bertaburan ini, untuk pertama kalinya Kim
Bu-bong merasakan hidupnya serupa benar dengan hidup binatang liar. Tanpa
terasa tersembul senyuman kecut pada ujung mulutnya.
Namun kepekaan mencari yang timbul dari nalarnya itu ternyata tidak keliru. Di atas
tanah salju di depan sana ada sesuatu benda yang kelihatan gemerlapan. Sorot
mata Kim Bu-bong yang tajam serupa mata binatang liar itu tentu saja tidak
mengabaikannya.
Itulah sebentuk tusuk kundai, jelas itulah tusuk kundai yang dipakai Pek Fifi.
Betapa cerdiknya anak perempuan itu, meski berada di bawah ancaman maut dia
tidak kehilangan daya pikir dan keberaniannya, diam-diam ia jatuhkan tusuk
kundainya untuk menunjukkan ke arah mana larinya Kim Put-hoan.
Setelah menemukan tusuk kundai ini, yakinlah Kim Bu-bong bahwa arah yang
dilacaknya ini tidak keliru. Segera ia percepat langkahnya, sorot matanya juga
tambah jelalatan untuk mencari. Tidak jauh, kembali ditemukan anting-anting yang
ditinggalkan Pek Fifi, beberapa puluh tombak lagi kembali ada sebelah anting-anting
yang lain, kemudian sepotong saputangan lalu sepotong ikat pinggang. Sampai
akhirnya sepatu Pek Fifi pun ditanggalkan dan dibuang di tengah jalan, sepatu yang
kecil mungil bersulam bunga merah sehingga sangat mencolok di atas tanah
bersalju.
Berdasarkan barang-barang petunjuk itu, cara pencarian Kim Bu-bong menjadi
terlebih mudah dan terarah. Waktu sepatu terakhir ditemukan, hidung Kim Bubong
mencium bau harum yang sedap, bau sedap daging yang menusuk hidung.
Siapakah yang sedang memanggang daging di tengah malam dingin dan sunyi
begini? Tanpa pikir Kim Bu-bong terus melacak ke arah bau sedap daging panggang
itu. Tidak jauh, dilihatnya bayangan rumah di depan sana. Samar-samar kelihatan
pula kerlip cahaya api unggun. Itulah sebuah ”Suteng ̈, rumah berhala keluarga.
Rumah berhala keluarga demikian banyak didirikan pada zaman itu sebagai lambang
kejayaan keluarga yang bersangkutan, tapi bilamana keluarga tersebut mengalami
keruntuhan, maka rumah berhala demikian lantas telantar dan akhirnya menjadi
bobrok, lalu jadilah tempat meneduh bagi kaum gelandangan atau kaum jembel.
Sekarang cahaya api itu kelihatan menyinari tanah salju di luar rumah berhala itu, di
atas tanah bersalju terlihat ada sebaris bekas tapak kaki baru. Bekas tapak kaki lama
jelas sudah terbenam oleh hujan salju tadi.
Meski kungfu Kim Put-hoan tidak lemah, tapi dia menggandeng Pek Fifi, dengan
sendirinya bekas kaki yang ditinggalkan cukup jelas. Setelah mengamati bekas kaki
itu, yakinlah Kim Bu-bong akan sasarannya memang berada di sini. Segera ia
melayang masuk ke rumah berhala itu. Di ruang dalam memang ada api unggun
yang menyala dan ada orang memanggang anjing.
Akan tetapi di manakah Kim Put-hoan? Ternyata tidak terlihat bayangannya? Rumah
berhala ini kecil lagi jelek, tidak ada jendela, pintu adalah satu-satunya jalan tembus,
tapi tanah bersalju di luar pintu hanya terlihat ada bekas kaki yang masuk dan tidak
ada bekas kaki yang keluar. Apalagi api unggun kelihatan masih menyala, ada dua
potong kayu yang belum habis terbakar, jelas sejenak sebelum ini di rumah berhala
ini masih ada orang.
Cahaya api yang menyala menyinar wajah Kim Bu-bong yang kelam. Air mukanya
tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, ia berdiri menghadap api unggun di dekat
pintu. Ia yakin Kim Put-hoan pasti masih berada di dalam rumah berhala ini dan pasti
tak bisa kabur.
”Ayo keluar saja, memangnya perlu kucari lagi? ̈ jengek Kim Bu-bong sekata demi
sekata. Di tengah malam sunyi, suaranya yang dingin seram menggema seluruh
ruangan rumah berhala ini. Namun tidak terdapat suara jawaban, keadaan tetap
sunyi senyap. Di pojok sana penuh debu dan sawang menghiasi altar patung
pemujaan, tabir meja sembahyang sudah luntur warnanya, kebetulan angin meniup
sehingga tabir meja tersingkap, tertampaklah sebelah kaki menongol di kolong meja.
Secepat terbang Kim Bu-bong memburu ke sana, sekali depak meja sembahyang
ditendang hingga terbalik. Di kolong meja memang betul menggeletak dua orang,
tapi bukan Kim Put-hoan dan Pek Fifi melainkan dua orang pengemis tua dengan
wajahnya yang kusut dan mata mendelik .... Dua wajah yang beringas menyeramkan
sedang melotot kepada Kim Bu-bong. Terkejut juga Kim Bu-bong, tanpa terasa ia
menyurut mundur dua langkah sambil membentak, ”Siapa?! ̈ Kedua wajah itu tidak
bergerak, biji mata yang mendelik itu penuh rasa kaget, sedih dan benci, jelas wajah
ini bukan wajah orang hidup. Segera Kim Bu-bong tahu sedang berhadapan dengan
dua sosok mayat, sedikitnya sudah mati tiga hari, cuma di bawah suhu yang dingin
mayat belum lagi membusuk. Diam-diam dia menghela napas lega, di bawah cahaya
api unggun dilihatnya usia kedua pengemis ini sekitar setengah abad, di belakang
pundak mayat yang telentang kelihatan ada setumpuk karung. Setelah
menenangkan diri dan mengamati lagi wajah kedua pengemis ini, mendadak Kim
Bu-bong berseru, ”Hei, Tan Kiong dan Auyang Lun .... Kenapa kedua tokoh
Kay-pang ini bisa mati di sini? Siapa yang membunuh mereka? .... Ke mana pula
perginya Co Kong-liong? ̈ ”Kay-pang-sam-lo¡ ̈ atau tiga sesepuh persekutuan
pengemis bukanlah tokoh kelas top dunia persilatan, tapi namanya dan luas
pergaulannya pasti tidak di bawah jago silat golongan mana pun.
Sebagai jago Kangouw kawakan dengan sendirinya Kim Bu-bong kenal kedua orang
ini. Namun tidak tersangka olehnya bahwa Kay-pang-sam-lo yang termasyhur
mengapa dua di antaranya bisa mati di sini secara mendadak?
Angin mendesir menambah seramnya rumah berhala ini, perlahan Kim Bu-bong
menyurut mundur, mengitari api unggun hingga di ambang pintu, sekilas melirik,
seketika aliran darah sekujur badan serasa beku.
Kiranya dalam sekejap itu anjing panggang di atas api unggun telah hilang begitu
saja. Siapakah yang mengambilnya, siapakah yang mampu berbuat sesuatu di
belakang Kim Bu-bong tanpa diketahuinya. Sungguh Ginkang yang hebat dan
mengejutkan. Kecuali setan iblis, siapa yang memiliki Ginkang setinggi ini? Selagi
Kim Bu-bong merasa ngeri, sekonyong-konyong di belakang ada orang mengekek
tawa dan menegur, ”Kim Bu-bong .... ̈ ”Siapa?! ̈ bentak Bu-bong sambil membalik
tubuh. Terlihatlah dari luar melangkah tiba dengan perlahan seorang, perawakannya
yang kurus kering tampak bergoyang tertiup angin malam yang dingin. Setiap
setindak orang itu lantas mengeluarkan suara tertawa seram, tapi mukanya sengaja
dialingi kedua tangannya yang hitam kurus serupa tangan hantu. Di bawah
gemerdep cahaya api unggun kelihatan bajunya yang rombeng dan rambutnya yang
kusut, kiranya pendatang ini juga seorang pengemis. Dilihat dari perawakan dan
bentuknya jelas bukan Kim Puthoan.
Betapa pun Kim Bu-bong bukan anak kemarin, dalam keadaan demikian ia tetap
bersabar dan tenang, dipandangnya orang itu dengan tajam. Akhirnya orang itu
melangkah masuk dengan enteng, sapanya dengan tertawa, ”Kim-heng, sekian
tahun berpisah, tak tersangka kita dapat bertemu di alam baka. ̈ ”Hm, orang she Kim
masih hidup segar bugar di dunia, apakah gunanya kau gertak orang dengan
berlagak sebagai setan? Memangnya kau kira Kim Bubong dapat ditakut-takuti? ̈
”Haha, kau bilang masih hidup di dunia? Huh, sungguh lucu, jelas-jelas tadi kau
sudah mati, masakah kau sendiri tidak tahu? ̈ kata orang itu. ”Jika orang she Kim
mati, tentu aku sendiri tahu dan tidak perlu dirisaukan olehmu. Tapi bila kau tetap
main setan segala, bukan mustahil orang she Kim akan membuat kau jadi setan
sungguhan. ̈ ”Hahaha, setan sungguhan? Memangnya saat ini aku setan palsu? ̈
Meski dia bergelak tertawa, namun tertawa seram dan menakutkan. ”Sesungguhnya
siapa kau? ̈ bentak Kim Bu-bong. ”Apakah kau ingin melihat wajahku? ̈ ”Ya, lepaskan
tanganmu! ̈ ”Hehe, boleh juga kau lihat siapakah diriku, ̈ orang itu terkekeh. ”Jika kau
belum mati, mana dapat kau bicara denganku? Orang hidup tidak nanti dapat bicara
dengan orang mati tahu? ̈
Sambil bicara perlahan ia menurunkan kedua tangannya sehingga kelihatan
mukanya. Tertampak mukanya yang pucat kelabu dan biji matanya yang mendelik
....
Hah, dia ternyata Tan Kiong adanya, salah seorang Kay-pang-sam-lo atau tiga
sesepuh Kay-pang. Mayat di kolong meja, anjing panggang lenyap mendadak,
semua ini sudah membikin hati Kim Bu-bong ngeri, sekarang terlihat pula mayat
yang baru saja menggeletak di kolong meja itu ternyata berdiri di depannya, biarpun
nyali Kim Bu-bong cukup besar tidak urung mukanya berubah pucat, ucapnya
dengan suara gemetar, ”Tan ... Tan Kiong, kau ... kau .... ̈
Tan Kiong tertawa terkekeh. ”Betul, aku inilah Tan Kiong, kutahu kau kenal diriku,
tadi waktu masih hidup telah kau lihat diriku, tapi mungkin tak kau sangka sejenak
sesudah mati akan kau lihat diriku lagi. ̈ Kini betapa pun tenangnya Kim Bu-bong
juga sangsi kepada apa yang dilihatnya. Tanpa terasa ia berpaling untuk
memandang lagi kedua sosok mayat di kolong meja tadi. Tapi baru saja ia menoleh,
cakar setan Tan Kiong lantas terjulur, secepat kilat menutuk Hiat-to kelumpuhannya,
dalam kejut dan kagetnya, Kim Bu-bong tidak sempat mengelak. Kontan ia roboh.
Namun pada saat roboh itulah, sekilas sempat dilihatnya kedua sosok mayat di
kolong meja, termasuk mayat Tan Kiong itu, masih menggeletak kaku di sana. Kalau
Tan Kiong mati menggeletak di sana, mengapa ada Tan Kiong hidup di sini?
Sesungguhnya apa yang terjadi? Pikiran Kim Bu-bong berputar dengan cepat,
mendadak ia membentak, ”Keparat, kiranya kau, Ong Linghoa! ̈ Meski sudah roboh,
namun suaranya tetap garang. Terlihat Tan Kiong yang hidup itu menengadah dan
bergelak tertawa, ”Haha, Kim Bu-bong, memang hebat kau! Cuma, meski sekarang
dapat kau terka siapa diriku terasa sudah agak terlambat juga. ̈ Di tengah gelak
tertawa ia terus berpaling ke sana. Waktu ia menoleh kembali menghadapi Kim
Bu-bong, ternyata mukanya yang pucat kelabu, muka mayat dan mata yang mendelik
itu telah berubah menjadi muka yang tampan, wajah putih bersih dengan bibir merah
indah.
Siapa lagi dia kalau bukan Ong Ling-hoa? ”Hm, sejak mula memang sudah kuduga
akan dirimu, ̈ ucap Kim Bu-bong dengan gemas. ”Ini pun tidak dapat menyalahkan
dirimu, ̈ ujar Ong Ling-hoa dengan tertawa, ”dalam keadaan seperti tadi, siapa pun
akan ketakutan setengah mati dan mungkin bisa jatuh pingsan. ̈ Belum lenyap
suaranya, sekonyong-konyong berkumandang suara tertawa orang yang menusuk
telinga dari atas rumah.
”Hehehe, sungguh lucu, sungguh menggelikan, ̈ terdengar seorang berseru dengan
terkekeh. ”Kim Bu-bong yang biasanya suka menakut-nakuti orang sekarang juga
kena digertak orang dengan ketakutan setengah mati! ̈
Di tengah suara tertawa itu, sesosok bayangan hitam perlahan gemelantung turun
dari atas. Ternyata anjing panggang yang hilang tadi. Kiranya pada anjing panggang
itu terikat seutas tali kecil, waktu Kim Bu-bong masuk ke rumah berhala ini, dia cuma
memerhatikan siapa yang berada di sini dan tidak memerhatikan pada anjing
panggang itu masih terikat seutas tali. Meski ada cahaya api, tapi tidak terlalu terang,
ketika Kim Bu-bong terkejut melihat kedua sosok mayat, orang yang bersembunyi di
atas rumah lantas mengerek anjing panggang ke atas.
Diam-diam Kim Bu-bong menyesali sendiri yang kurang cermat, segera ia
menjengek, ”Hm, jadi sudah kalian perhitungkan akan kedatanganku? ̈ ”Betul,
memang sudah kami perhitungkan kedatanganmu, kalau tidak untuk apa kami
mengatur permainan ini di sini? ̈ ujar Ong Ling-hoa dengan tertawa. Orang yang
berada di atas rumah juga tertawa dan berkata, ”Haha, ini namanya ada jalan ke
surga tak kau pergi, neraka tanpa pintu sengaja kau datangi .... ̈ berbareng dengan
ucapan itu, sesosok bayangan melompat turun, siapa lagi kalau bukan Kim Put-hoan.
Dengan senang dia berkata pula, ”Hehe, dunia berputar terus, Kim Bu-bong,
tentunya tidak tersangka sekarang kau pun akan jatuh di tanganku. ̈ ”Memangnya
kenapa? ̈ sahut Kim Bu-bong tak acuh. Kim Put-hoan menyangka dalam keadaan
begini Kim Bu-bong pasti akan cemas, khawatir, dan menyesal, siapa tahu orang
tetap bersikap kaku dan dingin, sedikitnya tidak resah. Hal ini membuat kecewa Kim
Put-hoan malah, ia ingin menghina dan menyiksa lahir batin Kim Bu-bong, maka ia
berkata pula dengan tertawa, ¡”Kau dapat menguntit sampai di sini, dalam hati tentu
sangat senang dan mengira kepandaianmu melacak musuh sangat hebat, tapi
apakah kau tahu berdasarkan apa dapat kau susul ke sini?¡ ̈
Kim Bu-bong menggeleng. ”Tentu saja engkau tidak tahu. Biarlah kukatakan
padamu, tusuk kundai, anting-anting, ikat pinggang, sepatu dan sebagainya itu
bukanlah ditinggalkan oleh Pek Fifi melainkan adalah perbuatanku sendiri. ̈ ”Hm,
bagus, ̈ jengek Bu-bong. Biarpun tetap bersikap dingin, tidak urung hatinya tergetar
juga. ”Sebenarnya hal ini dapat kau pikirkan, ̈ kata Kim Put-hoan pula. ”Jika Pek Fifi
sudah tertawan olehku, masakah diam-diam ia dapat membuang tusuk kundai dan
menanggalkan sepatunya, memangnya aku orang mampus? ̈
”Saat ini seharusnya kau telah menjadi orang mampus, ̈ jengek Bu-bong.
”Betul engkau yang melepaskan diriku tempo hari, tapi sama sekali aku tidak
menerima kebaikanmu bahwa kau lepaskan diriku, semua itu pun berkat
kepandaianku sendiri. ̈ ”Hm, bagus, ̈ dengus Bu-bong. ”Tempo hari kau lepaskan
diriku, sekarang aku justru akan mencabut nyawamu. Apakah hatimu tidak sedih?
Tidak menyesal? Meski wajahmu tetap dingin dan tenang, mungkin hatimu menyesal
sekali? ̈ ”Hm, bilakah aku pernah menyesal terhadap apa yang telah kulakukan? ̈
sahut Bu-bong. ”Biasanya engkau memang tidak pernah menyesal, tapi hari ini kau
pasti menyesal, biasanya engkau tidak kenal menyerah, hari ini mau tak mau kau
harus menyerah. Kau anggap tindak tandukmu lain daripada yang lain, tapi setiap
gerak-gerikmu selalu berada dalam perhitungan kami. ̈
”Apa betul? ̈ ”Kenapa tidak? Coba kau pikirkan, jika kami sengaja memancing
kedatanganmu, tentu sudah kami ketahui engkau cuma sendirian dan tidak mungkin
diikuti oleh Sim Long .... ̈ ”Kalau Sim Long ikut kemari, mustahil muslihatmu bisa
berhasil? ̈ jengek Bubong. ”Memang betul, justru kami yakin Sim Long tidak mungkin
ikut kemari, makanya telah kami atur perangkap bagus di sini. Tapi cara bagaimana
pula dapat kami ketahui keparat Sim Long itu tidak ikut datang bersamamu? ̈
Hal ini memang merupakan tanda tanya bagi Kim Bu-bong dan sangat ingin
diketahuinya, tapi ia tetap berlagak tak acuh, katanya, ”Cara bagaimana kau dapat,
peduli apa denganku? ̈ Kim Put-hoan jadi melengak, ”Masakah engkau tidak ingin
tahu? ̈ Bu-bong sengaja memejamkan mata dan tak menghiraukannya. ”Biarpun
engkau tidak ingin tahu, aku justru mau memberitahukan padamu, ̈ kata Put-hoan, ia
sengaja hendak memancing kemarahan Kim Bu-bong. Semakin dingin, semakin tak
acuh sikap Bu-bong itu, semakin membuatnya gemas, sampai akhirnya ia sendiri jadi
terpancing marah lebih dulu oleh sikap Kim Bubong.
Mendadak ia jambret leher baju Bu-bong dan berteriak, ”Supaya kau tahu, sebab
sebelumnya kami sudah tahu Sim Long terlibat dalam pertempuran dengan orang
Kay-pang, andaikan tidak mati malam ini juga pasti sukar meloloskan diri, sebab
organisasi kaum jembel terbesar di dunia Kangouw kini sudah kami .... ̈
Sejak tadi Ong Ling-hoa hanya memandangi mereka berdua dengan tersenyum,
sekarang mendadak ia berdehem dan berucap, ”Sudah, cukup! ̈ Seketika Kim
Put-hoan berhenti bicara dan mengembus napas panjang. ”Bukankah Kim-heng
sudah bicara terlalu banyak? ̈ ujar Ong Ling-hoa dengan tersenyum.
Cepat Put-hoan menjawab dengan menyengir, ”Ya, ya, sudah terlalu banyak
kubicara. ̈ Ia dorong Kim Bu-bong sehingga terbanting ke lantai, lalu katanya pula,
”Tapi dia kan orang yang bakal mampus, apa yang didengarnya tentu takkan
dikatakan lagi kepada siapa pun, biarpun dia tahu lebih banyak juga tidak menjadi
alangan. ̈
”Tentu ada alangannya, ̈ ujar Ong Ling-hoa. ”Ya, ya, Siaute tidak bicara lagi, ̈ jawab
Put-hoan. Dari pembicaraan dan sikap kedua orang itu, tanpa pikir juga Kim Bu-bong
tahu Kim Put-hoan telah dapat dibeli oleh Ong Ling-hoa dan kini telah mengekor dan
menjadi anteknya. Kim Put-hoan memang manusia tamak, asalkan ada untung, apa
pun dapat dilakukannya. Jadi hal ini tidak mengherankan Kim Bu-bong, yang
diherankan dan membuatnya terkejut adalah Kay-pang ternyata juga sudah berada
dalam genggaman Ong Ling-hoa. Memangnya Kay-pang juga telah dibeli olehnya?
Apakah kematian Tan Kiong dan Auyang Lun juga disebabkan karena kedua
sesepuh Kay-pang itu tidak mau tunduk kepada Ong Ling-hoa? Apa pula maksud
tujuan pihak Kay-pang merecoki Sim Long? Meski wajah Kim Bu-bong tetap dingin
dan kaku, hatinya berdebar-debar dan timbul macam-macam dugaan. Terlihat Ong
Ling-hoa lagi bersandar di depan pintu, agaknya sedang menunggu sesuatu. Selang
sejenak, terdengar derap kaki kuda yang berlari cepat dari kejauhan, sesudah
berhenti di depan rumah, lalu suara seorang berkata di luar dengan suara tertahan,
”Kongcu, hamba datang melaporkan hasil tugas. ̈
”Sudah kau laksanakan tugasmu dengan baik? ̈ terdengar Ong Ling-hoa bertanya.
”Hamba sudah mengatur tempat bagi nona Pek sesuai perintah Kongcu, saat ini
nona Pek mungkin sudah tertidur, ̈ tutur orang itu.
”Bagus, beberapa hari ini tugasmu cukup berat, tentu kau pun lelah, boleh kau
datang pada kasir dan minta 50 tahil perak, pergilah istirahat dan berlibur, setengah
bulan lagi boleh datang untuk tugas yang lain. ̈ ¡ Terima kasih, Kongcu, ̈ sahut orang
itu dengan gembira. ”Ingat, meski boleh kau gembira sesukamu di luar sana, tapi
jangan sekali-kali berbuat onar, terutama jangan sampai seluk-belukmu sampai
diketahui orang Kangouw. ̈ ”Hamba tidak berani, ̈ kata orang itu. ”Asal tahu saja,
biarpun perguruan kita selalu memperlakukan anak buah dengan baik, tapi bila
terjadi pelanggaran tata tertib, maka hukumannya tentu sudah kau tahu sendiri. ̈
”Hamba tahu, ̈ dengan hormat dan takut orang itu menjawab pula. ”Baiklah, lekas
pergi, ̈ kata Ong Ling-hoa.
Tapi sejenak kemudian mendadak dia berseru pula, ”Kenapa tidak lekas kau pergi?
Menunggu apa lagi? ̈ ”Ham ... hamba ingin melapor lagi sesuatu .... ̈ ”Apa? ̈ bentak
Ong Ling-hoa. ”Tio Beng juga datang bersama hamba setelah menyelesaikan
tugasnya ke Kunciu. ̈ ”Jika sudah menunaikan tugasnya, kenapa dia tinggal di luar
sana? ̈ ”Tio Beng bilang tidak ... tidak berani menemui Kongcu. ̈ ”Tidak berani
menemuiku? Jangan-jangan dia berbuat sesuatu kesalahan? ̈ ”Pekerjaan Tio Beng
ke Kunciu berjalan dengan lancar, hasilnya sudah diangkut pulang. Cuma ada
sesuatu urusan yang menyangkut pribadinya, dia mohon kumintakan ampun lebih
dulu kepada Kongcu. ̈ ”Urusan apa, lekas katakan, ̈ bentak Ong Ling-hoa pula. ”Tio
Beng dan ... dan gadis gembala bawahan Thayhujin (nyonya besar) yang bernama
Peng-ji ada hubungan erat, keduanya sudah suka sama suka, maka ... maka ...
sekarang Peng-ji telah mengandung dan .... ̈
”Hm, tidak perlu bicara lagi, aku sudah tahu, ̈ jengek Ong Ling-hoa. Sejenak
kemudian ia menambahkan dengan tersenyum, ”Sebenarnya hal ini adalah urusan
yang menyenangkan kenapa dia tidak berani menemuiku? Lekas panggil dia
kemari. ̈
Ucapan Ong Ling-hoa ini agaknya di luar dugaan orang itu, sesudah terdiam
sejenak, lalu terdengar seorang muda bersuara di luar, ”Hamba Tio Beng
menyampaikan sembah hormat kepada Kongcu. ̈ Ong Ling-hoa tersenyum, katanya,
”Sudah kuketahui urusanmu. Tak tersangka orang yang kelihatan lugas seperti
dirimu juga romantis, orang muda sok iseng, adalah lumrah dan wajar. ̈ Seketika Tio
Beng tidak tahu arti ucapan sang majikan, terpaksa ia cuma mohon ampun berulang.
Dengan tertawa Ong Ling-hoa berkata pula, ”Sehari-hari Peng-ji itu kelihatan alim
dan dingin, tak tersangka dapat jatuh hati padamu, tampaknya tidak kecil
kepandaianmu dan harus kunilai dirimu secara lain. ̈ Karena girangnya, Tio Beng
menjawab, ”Kata pepatah, di bawah panglima tangguh tidak ada prajurit lemah.
Hamba mempunyai majikan sebagai Kongcu, dengan sendirinya .... ̈ ”Hah, bagus
sekali pepatah yang kau kemukakan, kiranya perbuatanmu adalah meniruku .... ̈
belum habis ucapannya sekonyong-konyong Ong Ling-hoa melompat keluar dengan
cepat, terdengar ucapannya yang terakhir berubah menjadi dingin dan ketus, ”Hm,
berdasarkan apa kau berani meniruku .... ̈
Sampai di sini lantas terdengar kumandang jeritan Tio Beng di luar, lalu Ong
Ling-hoa sudah kembali bersandar di samping pintu seperti tadi seolah-olah tidak
pernah terjadi sesuatu. Suasana kembali sunyi senyap.
Setelah menghela napas, lalu Ong Ling-hoa memberi perintah, ”Bawa pergi mayat
Tio Beng dan dikubur sebagaimana mestinya. Ambil juga 200 tahil perak pada kasir,
kirimkan kepada Peng-ji, katakan Tio Beng gugur dalam tugasnya di Kunciu. ̈
Dengan suara gemetar orang tadi mengiakan. Menyaksikan kejadian ini, mau tak
mau pikiran Kim Bu-bong bergolak. Baru diketahuinya sekarang sindikat pimpinan
Ong Ling-hoa itu sedemikian besarnya dan juga sedemikian rapinya, betapa keras
disiplinnya sungguh mengejutkan orang.
Namun anak muda sebagai Ong Ling-hoa ternyata juga dapat bertindak tegas dan
bijaksana, hukum dan pahala dapat dibedakan dengan jelas, sungguh perbawa
seorang pemimpin yang besar. Baru sekarang Kim Bu-bong merasa selama ini telah
menilai rendah pribadi Ong Ling-hoa, tak tersangka sedemikian besar ambisi anak
muda itu. Tidak perlu diragukan lagi anak muda ini kelak akan merupakan bibit
bencana dunia Kangouw, jika tidak ditumpas sekarang, selanjutnya pasti akan terjadi
gelombang besar. Tiba-tiba angin meniup.
Dengan tertawa Ong Ling-hoa berkata, ”Bagus, kau pun sudah pulang! ̈ Belum
lenyap suaranya, bayangan orang berkelebat, tahu-tahu di ruang rumah berhala ini
sudah bertambah dengan seorang lelaki kekar berbaju hitam. Diam-diam Kim
Bu-bong terkejut pula, tak tersangka anak buah Ong Ling-hoa ada yang memiliki
Ginkang setinggi ini, entah siapa pula orang ini? Perawakan orang ini kelihatan kurus
kecil, tapi sekujur badan terbungkus rapat oleh baju hitam, sampai kepala juga
memakai kerudung kain hitam, hanya kedua matanya kelihatan gemerdep. Dengan
tajam orang itu memandang Kim Bu-bong sekejap, lalu berseru dengan tertawa,
”Aha, bagus! Tak tersangka kau tiba lebih dulu daripadaku. ̈ ”Kiranya kau pun kenal
dia? ̈ tanya Ong Ling-hoa. ”Tadi kugunakan akal untuk meloloskan diri, keparat ini
dan Sim Long juga bermaksud menipuku dengan akal bulusnya, untung aku tidak
terjebak olehnya, ̈ tutur si baju hitam dengan tertawa bangga. ”Wah, jika kau tertipu,
bisa repot, ̈ ujar Ong Ling-hoa. Sekarang juga Kim Bu-bong baru tahu si baju hitam
ini adalah orang yang hendak dikejar Sim Long tadi. ”Dan mengapa baru sekarang
kau pulang ke sini? ̈ tanya Ong Ling-hoa. ”Keparat ini memang benar telah pergi, tapi
bocah she Sim itu justru tetap berjaga di sana, dia sangat sabar, selama aku
bersembunyi tanpa bergerak, dia juga tetap berdiam tanpa bergerak. ̈ ”Betul, bocah
she Sim itu memang sabar sekali, ̈ ujar Ling-hoa dengan tertawa. Si baju hitam
tersenyum, ”Tapi nona Cu itu justru tidak tahan, sepanjang jalan ia berkaok-kaok
memanggil orang she Sim, karena merasa tidak dapat
bersembunyi lagi, terpaksa dia juga angkat kaki. ̈ ”Jika demikian, harus kau terima
kasih kepada nona Cu itu, ̈ ucap Ong Ling-hoa dengan tertawa. ”Betul, kalau tidak
ada dia, mungkin sampai saat ini aku belum dapat melepaskan diri dari sana, ̈ ujar si
baju hitam. Ong Ling-hoa memandang cuaca di luar, lalu berkata pula, ”Menurut
waktunya, saat ini orang Kay-pang pasti sudah saling gebrak dengan bocah she Sim.
̈ ”Dan entah bagaimana hasilnya? ̈ tukas Kim Put-hoan. ”Kalau cuma kekuatan
kawanan jembel itu saja mungkin sukar menghadapi Sim Long, aku memang tidak
menaruh harapan muluk-muluk dalam hal ini, namun nasib Ji Yok-gi jelas sudah
dapat dipastikan tamat. ̈ ”Dan jika ... jika Sim Long tahu .... ̈ ”Mau apa biarpun tahu? ̈
ujar Ong Ling-hoa dengan tertawa. ”Malahan dapat kuperalat dia untuk saling labrak
dengan pihak Kay-pang, yang kepala pusing adalah orang Kay-pang, sama sekali
tidak ada sangkut pautnya dengan kita. ̈
Kim Put-hoan menghela napas, ”Perhitungan Kongcu yang jitu sungguh sangat
mengagumkan. ̈ Begitulah mereka terus bicara sendiri seakan-akan tidak terdapat
seorang Kim Bu-bong yang hadir di situ. Diam-diam Bu-bong menghela napas, ia
tahu nasib dirinya pasti akan ditamatkan oleh mereka. Api unggun telah ditambahi
kayu sehingga berkobar dengan keras. Dari luar justru ada cahaya terang yang
menyorot ke dalam, nyata fajar sudah tiba. Ong Ling-hoa mondar-mandir di dekat
pintu dan berulang bergumam, ”Seharusnya sudah pulang ... seharusnya sudah
pulang. ̈ Selang tidak lama, di tengah tiupan angin dingin benar juga berkumandang
suara langkah orang berlari. Serentak si baju hitam melompat bangun dan berseru,
”Betul, sudah pulang dia! ̈ Tidak lama kemudian suara langkah orang itu semakin
dekat. Lalu masuklah tiga orang pengemis. Yang di depan berambut ubanan,
mukanya merah bercahaya, pada punggungnya menyandang delapan atau sembilan
buah karung goni. Segera Kim Bu-bong mengenali pengemis tua ini sebagai Co
Kong-liong, salah seorang di antara Kay-pangsam-lo, sungguh tak terduga olehnya
Co Kong-liong yang biasanya terkenal berbudi luhur dan suka membela kaum
tertindas itu sekarang berkomplot dengan Ong Ling-hoa.
Tampaknya Ong Ling-hoa cukup menghormati Co Kong-liong, dengan tersenyum ia
memberi salam, ”Pangcu tentu sudah lelah. ̈ Co Kong-liong bergelak tertawa, ”Ah,
janganlah Kongcu menyebut demikian padaku, apakah aku dapat menjabat Pangcu
atau tidak belum dapat dipastikan. Sebutan Kongcu ini terasa membikin kikuk
padaku. ̈ ”Meski saat ini Co-heng belum naik singgasana terhormat, namun kedua
penyakit itu sudah tertumpas, apalagi diam-diam dibantu oleh Ong-kongcu,
bukankah kedudukan Pangcu itu pasti sudah menjadi isi kantong Co-heng? ̈
demikian Kim Put-hoan ikut menyanjung.
”Ah, terima kasih, ̈ kata Co Kong-liong dengan tertawa. ”Kelak bila benar kujadi
Kay-pang Pangcu, salah satu kursi sesepuhnya pasti akan kuberikan kepada
Kim-heng. ̈ ”Memangnya berapa besar gaji seorang sesepuh? ̈ tanya Kim Put-hoan
dengan tertawa. ”Wah, jangan Kim-heng bergurau, ̈ ujar Co Kong-liong. ”Memangnya
berapa yang Kim-heng minta takkan kupenuhi? ̈
”Hahaha, jika begitu terima kasihlah sebelumnya, ̈ Kim Put-hoan terbahakbahak.
”Dan entah bagaimana hasil perjalanan Pangcu sekali ini? ̈ tanya Ling-hoa. ”Meski
tidak sempurna, tapi juga cukup memuaskan, ̈ sahut Co Kong-liong, lalu ia
menuturkan apa yang terjadi. ”Jika Ji Yok-gi sudah tercincang lima belas kali
bacokan, biarpun malaikat dewata juga sukar menyelamatkan jiwanya, ̈ ujar
Ling-hoa. ”Dan bagaimana dengan Sim Long? ̈ cepat Put-hoan ikut bertanya. ”Sim
Long belum lagi mampus, ̈ kata Co Kong-liong dengan menyesal. ”Sungguh tak
tersangka keparat ini bisa panjang umur, ̈ seru Kim Put-hoan dengan gemas. Selama
hidupnya orang yang paling ditakutinya ialah Sim Long, meski biasanya dia suka
membikin orang pusing kepala tapi bila berhadapan dengan Sim Long, yang pasti
kepala pusing ialah dia sendiri.
Sebab itulah siang dan malam dia berharap Sim Long lekas mati, siapa tahu
sebegitu jauh Sim Long justru tidak mati. Padahal yang mengharapkan kematian Sim
Long juga tidak cuma dia seorang saja. Mendadak Ong Ling-hoa berkata dengan
tertawa, ”Kukira Kim-heng tidak perlu kecewa, hari ini tahun depan kukira adalah
ulang tahun kematian Sim Long. ̈ ”Betul? ̈ Put-hoan menegas. ”Bilakah aku pernah
sembarangan omong? ̈ ”Wah, entah akal bagus apalagi yang telah Kongcu atur? ̈
”Dalam waktu satu jam Sim Long pasti juga akan datang kemari. ̈ ”Bagaimana
Kongcu yakin pasti akan terjadi? ̈ tanya Co Kong-liong. ”Apa pun juga dia kan ingin
mencari jejak Kim Bu-bong dan Pek Fifi, betul tidak? ̈ ”Betul, ̈ sahut Kim Put-hoan.
”Tapi di manakah Kim Bu-bong dan Pek Fifi saat ini, sama sekali dia tidak
mempunyai sesuatu petunjuk, untuk ini tentu dia akan berusaha dengan segala
macam jalan. Coba, jika Kim-heng menjadi dia, jalan mana yang akan kau tempuh? ̈
”Ini ... ini .... ̈ Kim Put-hoan tidak dapat menjawab. ”Jika aku, tentu akan kuikuti jejak
kawanan pengemis, umpama tidak dapat menemukan Kim Bu-bong, sedikitnya akan
kuketahui apa-apa yang dikerjakan kawanan pengemis itu. ̈
”Betul, dengan demikian akhirnya dia akan sampai di sini, lantas bagaimana? ̈
”Tinggi ilmu silat orang ini sungguh sukar dijajaki, sebab itulah kita harus
menghadapi dia dengan akal dan tidak boleh melawan dia dengan tenaga, betapa
pun harus kita bikin dia dapat datang dan tak bisa pergi, ̈ tutur Ong Linghoa.
”Namun keparat itu juga cukup cerdik, ̈ ujar Kim Put-hoan dengan kening bekernyit.
”Bagaimana dengan kecerdikan Kim Bu-bong? Bukankah saat ini dia juga
meringkuk di bawah kakiku? ̈ ujar Ong Ling-hoa dengan tertawa. ”Kalau Kim Bubong
dapat kita jebak, apakah Sim Long tidak dapat kita tipu? ̈
Mendadak Kim Bu-bong mendengus, ”Hm, betapa cerdik Sim Long sedikitnya
ratusan kali di atasku, hanya sedikit permainan kalian ini ingin menipu dia? Huh,
jangan mimpi! ̈ ”Umpama akal ini gagal kan masih ada lagi akal kedua, ̈ kata Ong
Ling-hoa sambil menatap Kim Bu-bong, sorot matanya menampilkan sinar
kebencian, sambungnya, ”Bilamana akalku yang kedua kugunakan rasanya perlu
juga kupinjam sesuatu barang dari tubuhmu. ̈
Dengan murka Kim Bu-bong berteriak, ”Setelah jatuh di tanganmu, orang she Kim
sudah tidak pikirkan akan hidup lagi, tapi ... tapi jika kalian ingin menghina diriku,
betapa pun aku .... ̈ ”Ah, Kim-tayhiap mahacerdik dan merupakan orang berbakat
yang sukar dicari, mana aku berani berlaku kurang hormat padamu, ̈ ujar Ong
Ling-hoa dengan tertawa. ”Cuma, perlu juga diingat, kini Kim-tayhiap sudah jatuh di
tanganku, bilamana ingin kuhina dirimu, memangnya apa yang dapat kau lakukan? ̈
”Haha, tepat sekali, ̈ sela Kim Put-hoan dengan berkeplok. ”Kim Bu-bong, tentu
sekarang kau tahu telah ketemu batunya! Kau dapat menggertak diriku, memangnya
dapat kau gertak Ong-kongcu kita. Meski Sim Long adalah sahabatmu, tapi dalam
pandangan Ong-kongcu boleh dikatakan Sim Long tidak ada harganya, meski kau
pun satu di antara keempat duta Koay-lok-ong, tapi Koay-lok-ong dalam pandangan
Ong-kongcu juga .... ̈
”Sudah, cukup, ̈ potong Ong Ling-hoa mendadak, ia tersenyum, lalu menyambung
pula, ”Bicara tentang Koay-lok-ong, aku jadi teringat ada sesuatu hal belum kuberi
tahukan padamu. Yaitu tentang kawanmu Tauhiang-sucia, meski dia juga pernah
kutawan, tapi sudah kubebaskan dia lagi. Hal ini bukan karena mendadak timbul rasa
kasihanku kepadanya, tapi karena ... karena apa, dapatkah Kim-tayhiap
menerkanya? ̈
Kim Bu-bong mengertak gigi, dan tidak bersuara.
Ong Ling-hoa bergelak tertawa, ”Hahaha, sebabnya kulepaskan dia kembali ke sana
agar supaya dia dapat melapor kepada Koay-lok-ong bahwa engkau telah berkhianat
padanya .... Cara bagaimana Koay-lok-ong memperlakukan anak buahnya yang
berkhianat tentu kau sendiri jauh lebih jelas daripadaku. ̈
Kim Put-hoan terkekeh, tukasnya, ”Makanya sekarang kau jatuh di tangan Ong-
kongcu boleh dikatakan mujur. ̈ Angin mendesir, mendadak Ong Ling-hoa berpaling
dan memandang ke luar, gumamnya, ”Wahai Sim Long, mengapa engkau belum lagi
datang? Sungguh aku jadi agak rindu padamu .... ̈ ***** Dalam pada itu Cu Jit-jit dan
Sim Long sedang menghadapi kesulitan mencari jejak Kim Bu-bong. Sim Long
sedang menatap ke kejauhan sana, sampai lama masih termangu. ”Hei, bicaralah,
bagaimana menurut pendapatmu? ̈ seru Jit-jit. Perlahan Sim Long berkata,
”Tampaknya kawanan pengemis itu juga kabur ke arah sana hal ini terbukti bekas
tapak kaki yang masih baru di atas salju. ̈ ”He, aneh juga, bukankah kau bilang paling
penting mencari Kim-toako, memangnya ada sangkut paut apa soal bekas tapak kaki
kawanan pengemis itu dengan Kim-toako? ̈ tanya si nona. ”Kim Bu-bong menghilang
tanpa ketahuan ke mana perginya, jelas arah yang ditempuh kawanan pengemis
satu arah dengan dia, ̈ tutur Sim Long. ”Maka, jika kita mengejar ke sana menurut
jejak kawanan pengemis itu, bisa jadi secara kebetulan akan dapat kita temukan Kim
Bu-bong. ̈ ”Aha, tepat, engkau memang pintar, ̈ seru Jit-jit sambil berkeplok. ”Jika kita
mengejar ke sana mengikuti jejak ini, umpama tidak berhasil menemukan Kimtoako
kan dapat menyusul kawanan pengemis itu untuk ditanyai rahasia itu. ̈
”Betul, ̈ kata Sim Long. Walaupun demikian katanya, namun dia tetap tidak bergerak.
Jit-jit menjadi gelisah, ”Sudah bilang betul, mengapa kita tidak lekas berangkat saja? ̈
”Tapi berangkat begini saja juga kurang aman, ̈ ujar Sim Long. ”Apanya yang kurang
aman? ̈ tanya Jit-jit. ”Pek Fifi diculik orang, bisa jadi ada sangkut pautnya dengan
kedatangan kawanan pengemis tadi, pemberontakan di dalam Kay-pang serta
rahasia yang dimaksudkan Ji Yok-gi, mungkin juga menyangkut diri Kim Put-hoan ....
Berbagai hal ini tampaknya tiada sangkut paut satu sama lain, padahal sangat
mungkin dikemudikan oleh satu orang yang sama, dan orang ini bisa jadi ialah .... ̈
”Bisa jadi siapa? Koay-lok-ong ... atau Ong Ling-hoa? ̈ tanya Jit-jit. ”Betul, pasti Ong
Ling-hoa adanya. ̈ ”Umpama betul Ong Ling-hoa, lantas bagaimana? ̈ ”Jika betul
semua ini dikemudikan oleh Ong Ling-hoa, pengejaran kita ke sana menurut jejak
kawanan pengemis ini pasti akan berakibat jatuh ke dalam
perangkapnya. Bocah she Ong ini sangat licik dan licin, pintar dan cerdik, apabila
gerak-gerik kita sampai terduga olehnya, sepanjang jalan kita pasti pusing kepala
menghadapi berbagai perangkap berbahaya, sebab itulah setiap langkah kita harus
dilakukan dengan prihatin dan hati-hati. ̈
Habis berkata, segera ia melangkah ke depan diikuti si nona.
Walaupun jalan tertimbun salju hingga sebatas betis, angin meniup dingin, tapi
perjalanan ini tidak dirasakan sulit bagi Sim Long dan Jit-jit. Sampai akhirnya di
tengah desir angin dingin itu tercium bau sedap daging.
Terbeliak mata si nona, ucapnya tertawa, ”Aha, di sini ada juga seekor kucing rakus,
hari belum terang sudah masak daging. ̈ ”Di tempat terpencil begini dan di bawah
hujan salju dan dingin ternyata ada bau sedap daging rebus, apakah hal ini tidak kau
rasakan aneh? ̈ ujar Sim Long. ”Apanya yang aneh? Orang yang rakus setiap saat
ingin makan dan di mana pun terdapat orang rakus begini, ̈ kata Jit-jit. Sim Long
memandangnya sekejap sambil tersenyum dan menggeleng tanpa bicara lagi. Pada
saat itulah sebuah Suteng atau rumah berhala bobrok sudah tertampak di kejauhan.
Jejak kawanan pengemis itu pun lenyap di depan Suteng. Memangnya mereka sama
masuk ke rumah berhala ini? Jit-jit tidak bisa tertawa lagi, ucapnya dengan kening
bekernyit, ”Aneh, memang aneh! ̈ ”O, kau pun bisa merasa heran? ̈ ujar Sim Long.
”Bau sedap daging tersiar dari rumah berhala ini, siapa yang masak daging ini?
Mungkinkah anak murid Kaypang? Jika benar, mengapa mereka bisa hidup senang
dan adem ayem begini tanpa menghiraukan gejolak perkumpulan mereka? ̈
”Sesuatu yang berbahaya, dipandang dari luar biasanya kelihatan adem ayem, apa
yang kau lihat sebagai ketenangan ini bukan mustahil adalah perangkap maut yang
sedang menunggu mangsanya. ̈ ”Tapi cuma daging rebus saja masakah terhitung
perangkap? Jangan-jangan ada racun di dalam daging, umpama beracun, asalkan
kita tidak makan, dia bisa apa? ̈
”Hah, terkadang kau pun sangat pintar .... ̈ ”Dan sering juga sangat bodoh, begitu
bukan maksudmu? ̈ omel Jit-jit. ”Tepat juga terkaanmu sekali ini, ̈ Sim Long tertawa.
”Di dunia ini cuma ada seorang pintar, yaitu dirimu, tentu saja orang lain sama
bodoh. ̈ gerundel Jit-jit dengan mendongkol. Meski mengomel di mulut, tapi di dalam
hati dia tidak marah. Selama sehari ini terus-menerus Sim Long mengomeli dia,
untuk pertama kali ini dilihatnya Sim Long tertawa. Asalkan anak muda itu tidak
marah lagi padanya, biarpun dia dimaki sebagai gadis goblok juga dia rela.
Biarpun dalam hati merasa senang, di luar dia tetap berlagak marah, maklumlah hati
anak perempuan. Ketika ia melirik lagi anak muda itu, dilihatnya Sim Long sedang
memandang rumah berhala itu dengan termangu dan tanpa bergerak. ”He, ada
apa? ̈ tanya Jit-jit. ”Masakah kita harus berdiri melulu di sini, umpama di dalam ada
perangkap juga harus kita periksa, kenapa takut? ̈ Sim Long memandang si nona,
lalu memandang pula rumah berhala itu, katanya kemudian dengan perlahan, ”Aku
akan coba masuk ke sana, kau tunggu saja di sini. ̈ Jit-jit melotot, mestinya dia tidak
mau, tapi demi melihat kesungguhan Sim Long, ia menghela napas, seperti
penasaran ia berkata, ”Baiklah, terserah padamu. ̈ Sim Long tersenyum, ”Inilah baru
anak perempuan penurut .... Kalau terjadi sesuatu di dalam nanti akan segera kuberi
tahukan padamu ..... ̈ Ia tidak melakukan gerak cepat, tapi melangkah ke sana
dengan perlahan. Baru saja anak muda itu melangkah beberapa tindak, mendadak
Jit-jit memanggilnya, ”Hei, tunggu! ̈ Sim Long menoleh dengan kening bekernyit.
”Jangan ... jangan terlalu lama harus kutunggu di sini, ̈ kata Jit-jit. Sim Long
menggeleng-geleng kepala. Akhirnya dia masuk juga ke rumah berhala itu. Meski dia
tidak tahu di rumah berhala inilah Kim Bu-bong terjebak dan tertawan dan meski
tidak diketahuinya bahwa Ong Ling-hoa masih hendak menjebaknya seperti apa
yang terjadi atas diri Kim Bubong, tapi agaknya Sim Long sudah mempunyai firasat
tidak enak, ia tahu Suteng atau rumah berhala ini adalah tempat tidak baik, maka ia
melangkah dengan sangat perlahan. Tapi apa pun juga akhirnya ia masuk ke situ.
Jit-jit menyaksikan Sim Long masuk ke rumah berhala itu, semula ia penasaran
karena ditinggalkan, tapi begitu bayangan Sim Long menghilang di balik pintu,
seketika jantungnya berdebar. Semakin dipikir semakin dirasakan di dalam rumah
berhala itu pasti ada perangkap, perangkap maut. Kalau tidak, fajar baru
menyingsing, mengapa sudah ada orang merebus daging di sini, cuma perangkap
apa, sukar diterkanya.
Ia pikir jangan-jangan ada orang bersembunyi di dalam dan hendak membius Sim
Long, dengan daging rebus ini sebagai umpan agar tidak dirasakan oleh anak muda
itu. Ya, pasti demikian, harus cepat kucegah dia, kalau tidak, bukan mustahil segera
dia akan terjebak. Berpikir demikian segera ia hendak berlari ke dalam rumah
berhala itu, tapi baru sebelah kaki bergerak, segera ia berhenti lagi. Dirasakan jalan
pikirannya itu pun tidak betul. Dengan hidung Sim Long yang tajam mustahil tidak
dapat membedakan bau obat bius segala, mana bisa Ong Ling-hoa menggunakan
cara sederhana begini untuk menjebak Sim Long?
Ong Ling-hoa cukup kenal kemampuan Sim Long, muslihat yang akan digunakannya
untuk menjebak Sim Long pasti akal yang mahalicin, akal jahat yang tak
terbayangkan oleh siapa pun. Lantas akal jahat apakah? Mungkinkah begitu Sim
Long masuk ke situ lantas dihujani anak panah sehingga anak muda itu kelabakan
dan tidak mampu mengelak? Ah, tidak, hal ini juga terlalu naif, mustahil bisa
menjebak Sim Long. Begitulah macam-macam kekhawatiran berkecamuk dalam
benaknya, makin dipikir makin kusut. Ia pandang rumah berhala itu dengan gelisah
dan menantikan entah apa yang akan terjadi. Tapi sudah sekian lamanya Sim Long
masuk ke situ dan ternyata tidak terdengar sesuatu suara apa pun. Jangankan suara
teriakan dan bentakan, sampai suara orang berdehem juga tidak terdengar, sama
sekali tidak ada sesuatu suara. Kesunyian demikian terlebih menyeramkan dan
menakutkan orang.
Angin lagi meniup, hawa dingin. Cu Jit-jit menggigit bibir dan menggosok-gosok
tangan, hampir gila saking gelisahnya. Selang sekian lama pula, tetap tidak ada
sesuatu suara, suara kentut pun tidak terdengar. Tambah cemas Jit-jit, betapa
kejinya Ong Ling-hoa sudah diketahuinya, kalau Sim Long terjebak, seharusnya dia
bersuara seperti janjinya tadi. Namun suasana tetap sunyi, sungguh Jit-jit tidak tahan
lagi, ia menjadi nekat, secepat terbang ia menerjang ke dalam rumah berhala itu.
Remang fajar sudah berubah menjadi terang benderang, keadaan dalam rumah
berhala ini kelihatan misterius, seram dan beralamat tidak enak. Api unggun belum
lagi padam, cuma apinya sudah sangat kecil. Di atas api masih ada daging, lantaran
api sudah kecil sehingga daging panggang tidak menjadi hangus. Tabir meja
sembahyang yang sudah luntur itu telah terobek, entah ditarik siapa, lagi bergerak
tertiup angin di lantai. Meja sembahyang sudah roboh terdepak dan juga entah
didepak siapa, antara api unggun dan meja terguling itu ada genangan air hitam.
Hah, bukan air, tapi darah, darah segar.
Rumah berhala yang memang bobrok kelihatan tambah seram. Sim Long yang tadi
jelas-jelas masuk ke situ tidak kelihatan lagi bayangannya. Tidak ada seorang pun,
bayangan setan juga tidak ada. Lantas ke mana Sim Long? Apakah sudah masuk
perangkap musuh dan terbunuh?
Jilid 18
Saking cemasnya Jit-jit lantas berteriak, “Sim Long .... ̈
Jeritan melengking tajam ini memecah kesunyian angkasa, tapi hanya sekejap saja
lantas berhenti sebab kerongkongan Jit-jit serasa seperti tercekik. Soalnya
mendadak dari kolong meja sembahyang yang terguling itu menongol keluar sebuah
kepala. Kepala Sim Long. Begitu kepala Sim Long menongol keluar, seketika
mengkeret lagi. Secepat terbang Jit-jit memburu maju, dirangkulnya leher Sim Long,
di samping terkejut tentu saja ia pun kegirangan, dengan napas terengah ia
menggerundel, ¡O, engkau berada di sini, syukurlah tidak terjadi apaapa. Kenapa
engkau tidak bersuara, sungguh aku khawatir setengah mati.¡ ̈
Tubuh Sim Long tidak bergerak, dengan dingin ia membentak, “Menyingkir! ̈ Jit-jit
melengak dan melepaskan rangkulannya. Betapa pun Sim Long marah padanya
tidak pernah anak muda itu menghardiknya seperti sekarang ini. Setelah melepaskan
tangannya, matanya menjadi merah pula, sedemikian dia berkhawatir bagi Sim Long,
tapi apa yang diperolehnya adalah hardikan. Remuk redam hatinya, ia menyurut
mundur dengan menggigit bibir, air mata pun bercucuran.
Sebaliknya Sim Long sama sekali tidak memandangnya melainkan menatap ke
depan sana. Apa yang dipandang Sim Long, Jit-jit sendiri tidak tahu. Yang terlihat
oleh si nona sekarang hanya Sim Long melulu, sambil mengusap air mata ia
membatin, ”Baiklah, Sim Long, begini keras engkau terhadapku, biarlah ... biarlah
seterusnya aku takkan menemuimu lagi. ̈
Walaupun begitu pandangannya tetap tidak pernah berpisah dengan anak muda itu.
Jika mau dikatakan Sim Long pemuda yang baik, di mana kebaikannya juga tak
dapat dijelaskan olehnya. Bicara tentang keterusterangan dia tidak melebihi Him
Miau-ji, bicara tentang pendiam, dia juga tak dapat menandingi Kim Bu-bong, soal
ketampanan dan pengertiannya terhadap anak perempuan, jelas dia juga kalah
daripada Ong Ling-hoa. Tapi entah mengapa, dalam pandangan Jit-jit cuma ada Sim
Long seorang, melihat dia, hatinya lantas senang, kalau tidak melihatnya, sepanjang
hari dia akan murung.
Sungguh ia tidak berani membayangkan bilamana selanjutnya tidak bertemu dengan
Sim Long akan bagaimana jadinya dia? Seketika bergolaklah pertentangan batinnya,
saking kesalnya ia menangis dan berteriak, ”Sim Long kubenci padamu, kubenci .... ̈
Namun Sim Long tidak mau memandangnya, tetap menatap ke depan sana. Hancur
hati Jit-jit, dengan suara serak ia berteriak, ”Kau orang mampus, ayolah bicara, kau
... kau .... ̈
Didorong emosi, tanpa pikir tangannya melayang, ”plak ̈, muka Sim Long
digamparnya sekali. Tapi anak muda itu seperti tidak merasakan apa pun, tetap tidak
bergerak, wajah yang menyenangkan dan juga dibencinya itu telah bertambah
sebuah cap tangan yang merah. Pedih hati Jit-jit, cemas dan juga menyesal, kembali
ia menangis dengan sedih. Namun Sim Long tetap tidak menghiraukannya. Entah
menangis berapa lama lagi, lambat laun suara tangis Jit-jit menjadi lirih. Tiba-tiba
terdengar Sim Long berucap dengan suara halus, ”Sudah ... sudah baikkah engkau? ̈
Jit-jit menjadi girang, ia pikir betapa pun Sim Long tetap memerhatikan diriku. Tapi
lantas terdengar anak muda itu menyambung lagi, ”Kim-heng, hendaknya kau tahan
sekuatnya. ̈ Nyata sasaran bicara Sim Long bukan dirinya. Kembali Jit-jit kecewa dan
juga heran, waktu ia angkat kepala, barulah diketahuinya di sebelah Sim Long masih
berbaring satu orang. Jelas Kim Bu-bong adanya. Kim Bu-bong berbaring telentang
di tengah genangan darah, kedua matanya terpejam rapat, mukanya pucat seperti
kertas, napasnya sangat lemah, nyata dia dalam keadaan sekarat.
Mengapa keadaan rumah berhala ini bisa berubah menjadi begini? Apa yang terjadi
atas diri Kim Bu-bong? Ke mana perginya Ong Ling-hoa dan Kim Puthoan? Bahkan
ada yang lebih mengejutkan Jit-jit ketika dilihatnya lengan kanan Kim Bu-bong telah
buntung. Sekujur badannya berlumuran darah. Tak tahan lagi Jitjit menjerit kaget.
Pantas Sim Long tidak menghiraukan dia, kiranya saat ini Sim Long sedang
berusaha menyelamatkan Kim Bu-bong dengan menyalurkan hawa murninya.
Sekujur badan Jit-jit menjadi gemetar, serunya, ”Oo, Kim-toako, meng ... mengapa
engkau jadi begini? Siapa ... siapa yang mencelakaimu? ̈ Ia meratap, tapi rasanya
sudah lelah, terpaksa ia cuma menggigit bibir, air mata lantas bercucuran lagi. Sekali
ini dia mencucurkan air mata bagi Kim Bu-bong. Diam-diam ia berdoa di dalam hati
semoga jiwanya selamat. Sampai sekian lamanya, akhirnya terdengar suara rintihan
Kim Bu-bong yang sangat lemah. Baru sekarang Sim Long merasa lega, mukanya
penuh keringat, tersembul senyuman pada ujung mulutnya, ia menghela napas,
nyata besar harapan Kim Bu-bong dapat ditolongnya.
Tanpa terasa fajar sudah menyingsing. Lambat laun napas Kim Bu-bong juga mulai
lancar. Jit-jit menggenggam kedua tangannya dengan erat, dia seakan-akan ikut
berjuang bersama Kim Bu-bong melepaskan diri dari maut. Akhirnya Kim Bu-bong
membuka matanya. Namun sorot matanya kelihatan buram, ia memandang hampa
sekitarnya, kemudian hinggap pada wajah Sim Long, sekuatnya ia bersuara, ”Sim ...
Sim-heng .... ̈
”Jangan bicara, Kim-heng, ̈ ujar Sim Long. ¡Istirahat dulu, bereslah segala urusan,
tidak berbahaya lagi.¡ ̈ Kim Bu-bong tidak bersuara lagi. Namun pandangannya
cukup menampilkan rasa pedih, duka, penasaran dan juga terima kasih dan
gembiranya. Dia telah diseret kembali dari renggutan elmaut, sahabat karibnya
menunggu di sampingnya. Pertarungan sengit tadi sungguh rasanya seperti habis
mimpi buruk saja. Tapi juga dirasakan pertarungan sengit tadi dan darah yang
dicucurkannya cukup berharga. Kalau tidak ada pertempuran sengit tadi, mungkin
sekali saat ini Sim Long sudah terjebak oleh tipu muslihat Ong Ling-hoa. Perlahan
Jit-jit mendekatkan kepalanya ke telinga Kim Bu-bong dan memanggil, ”Kim-toako
..... ̈ ”Menyingkir dulu, jangan mengganggunya, ̈ kata Sim Long. Jit-jit mendongkol,
katanya, ”Aku tidak mengganggunya, aku ingin memberi obat padanya. ̈ Segera ia
meraba bajunya dan mengeluarkan sebungkus obat bubuk. « Obat apa itu? ̈ tanya
Sim Long. ”Obat luka, ̈ tutur Jit-jit. ”Konon obat ini cuma ada di istana raja, obat
simpanan ayahku, waktu kuberangkat telah kucuri satu bungkus .... ̈ ”Bawa sini, ̈ kata
Sim Long. Jit-jit menyerahkan obatnya dan berkata, ”Separuh diminum, separuh lagi
dibubuhkan pada lukanya. ̈ Obat itu memang mujarab, hanya sebentar setelah
minum obat, air muka Kim Bu-bong lantas berubah agak merah. Jit-jit sibuk
menambahkan kayu sehingga api unggun berkobar lagi. Kim Bu-bong tampak
membentangkan matanya lagi dan memandang Sim Long dengan rasa terima kasih
yang tak terhingga, namun di mulut tidak berucap terima kasih melainkan cuma
bilang, ”Bagus, akhirnya engkau datang. ̈
Sim Long juga tertawa, ”Ya, aku sudah datang .... Hendaknya engkau jangan bicara,
istirahat dan kumpulkan tenaga dulu. ̈ ”Jangan khawatir, aku takkan mati. ̈ ujar
Bu-bong. Waktu melihat Jit-jit, ia tertawa, habis itu sorot matanya menjadi beringas
lagi dan berseru dengan parau, ”Ong Ling-hoa, di mana bangsat itu? ̈ ”Tidak kulihat
dia, ̈ kata Sim Long. ”Bangsat itu .... ̈ ucap Bu-bong dengan gemas. ”Biarpun dia
melukaiku, tapi dia sendiri juga merasakan kelihaianku. ̈ ”Jangan banyak bicara dulu,
Kim-heng, ̈ kata Sim Long pula. Tapi Bu-bong menggeleng perlahan, ”Tidak, bila
tidak kuceritakan kejadian ini, hatiku akan terasa tidak enak. Setelah kukejar sampai
di sini, kucium bau sedap daging panggang, segera kumasuk ke rumah berhala ini,
siapa tahu mereka telah memasang perangkap di sini, begitu masuk kemari segera
aku terjebak. ̈
”Segala apa tidak dapat mengelabui Sim Long, begitu mencium bau daging segera
itu tahu .... ̈ ”Jangan menimbrung, ̈ potong Sim Long sebelum lanjut ucapan Jit-jit.
Mestinya si nona ingin memuji Sim Long, hasilnya malah diomeli, keruan ia
mendongkol, dengan mulut yang menjengkit ia melengos. Didengarkan Kim
Bu-bong lagi bercerita, ”Waktu itu Hiat-toku tertutuk dan tak bisa berkutik, kawanan
bangsat itu memandang diriku sebagai ikan di dalam jaring dan pasti akan menjadi
mangsa mereka, sebab itulah mereka bicara segala apa pun di hadapanku tanpa
khawatir akibatnya. Ketika itulah dapat kuketahui betapa licin bangsat she Ong itu
dan betapa luas pengaruhnya yang sama sekali di luar dugaan. ̈
”Orang ini memang sangat cerdas dan pintar, cuma sayang justru tersesat oleh
kepintarannya sendiri, ̈ ujar Sim Long dengan menyesal. ”Kemudian datanglah Co
Kong-liong, salah seorang sesepuh Kay-pang, ̈ sambung Bu-bong. ”Sehari-hari
keparat ini berlagak berbudi luhur, siapa tahu dia juga telah dibeli oleh Ong Ling-hoa,
tujuannya tiada lain hanya karena kemaruk pada kedudukan Pangcu saja. ̈
”Aha, rahasia Ji Yok-gi ternyata ada sangkut pautnya dengan Ong Ling-hoa, ̈ kata
Sim Long. ”Ji Yok-gi? ̈ Bu-bong menegas. ”Dia mempunyai rahasia apa? ̈ ”Rahasia
yang dimaksudkannya agaknya mengenai pengkhianatan sesepuh Kay-pang itu .... ̈
lalu Sim Long menceritakan apa yang terjadi atas diri Ji Yok-gi. Bu-bong termenung
sejenak, katanya kemudian, ”Tempo hari dia dan Kay-pangsam-lo tentu setiap
malam berkumpul di Suteng ini, pada tengah malam baru Ong Ling-hoa datang
kemari. ̈ ”Dengan sendirinya Ji Yok-gi tidak tahu aku sudah kenal Ong Ling-hoa, ̈
kata Sim Long dengan tertawa, ”maka ketika diketahuinya intrik Ong Ling-hoa, buru-
buru dia ingin memberitahukannya kepadaku. ̈ ”Tapi dari mana dia tahu engkau
berada di mana? ̈ tanya Bu-bong. ”Semula tentu Co Kong-liong memandangnya
sebagai orang kepercayaannya, dengan sendirinya Ong Linghoa yang bicara tentang
jejakku dan dapat didengar olehnya. ̈ ”Betapa tajam pandangan Ong Ling-hoa, jika Ji
Yok-gi akan bertindak sesuatu pasti akan diketahuinya, ̈ ujar Bu-bong. ”Memang
betul, sebab itulah gerak-geriknya pasti sudah diawasi oleh Ong Linghoa, maka
sebelum menemukan diriku dia sudah terluka lebih dulu, cuma tidak diketahui cara
bagaimana dia lolos dari penguntitan musuh .... Cuma sayang, dengan mati-matian
ia berusaha memberitahukan padaku tentang rahasia Ong Ling-hoa, tak diketahuinya
rahasia Ong Ling-hoa sudah kuketahui lebih dulu. Jadi dia boleh dikatakan mati
sia-sia. ̈
”Orang hidup, ada sementara urusan biarpun mati juga harus dikerjakannya, ̈ ujar
Bu-bong dengan tegas. ”Soal apakah urusan yang dikerjakannya ini berguna atau
tidak adalah soal lain. Meski Ji Yok-gi melakukan pekerjaan sia-sia ini dengan
mempertaruhkan nyawanya, tapi dia mati demi kepentingan orang banyak, demi
kesejahteraan umum, hidupnya boleh dikatakan cukup berharga,
kematiannya tidak boleh dianggap penasaran. Padahal, pandangan terhadap mati
dan hidup seseorang masih harus kubelajar kepada Simheng. ̈
”Seorang yang tidak takut mati semakin takkan mati .... ̈ ”Haha, inilah kata-kata
emas, kata-kata yang tepat dan harus didengarkan oleh orang sejagat, ̈ seru
Bubong dengan tertawa. ”Coba tadi, kalau aku takut mati, mungkin takkan hidup
sampai saat ini. ̈ Wajah Kim Bu-bong tampak bersemangat, segera ia meneruskan
ceritanya, ”Waktu itu kawanan bangsat itu memandang diriku pasti akan mampus,
aku dihina habis-habisan, bahkan di depanku mereka merencanakan muslihat keji
cara bagaimana akan membikin celaka padamu. Pada lahirnya aku berlagak tidak
dapat berbuat apa-apa, namun sebenarnya dengan menahan gusar diamdiam
sudah ada perhitunganku sendiri. ̈
”Betapa kejam dan tajam mata Ong Ling-hoa tentu juga tidak dapat menyelami
perasaanmu, ̈ ujar Sim Long dengan tertawa. ”Betapa pun dia dapat menyelami
perasaanku tentu juga tidak tahu apa yang kuperlihatkan waktu itu cuma pura-pura
saja, bahkan tentang tubuhku yang tidak dapat bergerak juga ada setengahnya
pura-pura belaka. ̈
”Katamu engkau tertutuk olehnya? ̈ timbrung Jit-jit. ”Dia menyerang di luar tahuku,
aku tidak sempat mengelak, tapi diam-diam aku menghimpun tenaga dalam untuk
menahan tutukannya sehingga Hiat-to yang tertutuk tidak tembus seluruhnya, ̈ tutur
Bu-bong. ”Selama ini, kalau bicara tentang kekuatan Khikang, memang diakui Ca
Giokkoan adalah ahli yang paling menonjol, sesudah pertemuan Wi-san dahulu tentu
kemajuannya tambah memuncak, cuma tak kusangka Kim-heng juga telah
memperoleh ajarannya sedemikian hebat. ̈
Bicara tentang gurunya itu, wajah Kim Bu-bong menampilkan rasa pedih, ucapnya,
”Soal baik atau jahat pribadi Ca Giok-koan tidak perlu dibicarakan, namun
kebijaksanaannya terhadap anak muridnya harus dipuji, selamanya dia perlakukan
mereka secara adil tanpa menyembunyikan sesuatu. ̈
”Meski aku pun benci terhadap tindak tanduknya, tapi terhadap kecerdasan dan
kebijaksanaannya yang kau sebut tadi harus kukagumi, ̈ ujar Sim Long. Bu-bong
diam saja, jelas dia tidak ingin membicarakan lagi gembong iblis yang membuat
orang benci dan juga mengagumkan itu. Kemudian ia menyambung lagi ceritanya,
”Waktu itu meski kutahan dengan tenaga dalam, tapi tenaga jari Ong Ling-hoa juga
tidak boleh diremehkan, kurasakan setengah badanku kaku kesemutan, bilamana
kuturun tangan waktu itu rasanya juga sukar menahan tutukannya itu. ̈ ”Hm, Ong
Ling-hoa kan juga gembong iblis zaman ini? ̈ ujar Sim Long dengan gegetun.
”Terpaksa aku berlagak tak bisa berkutik agar diam-diam dapat kupulihkan tenagaku
dan sekalian mendengarkan rahasia mereka, ketika mereka yakin engkau pasti akan
menyusul tiba, tentu saja aku pun senang dan akan turun tangan bilamana engkau
sudah datang. ̈
”Masa Ong Ling-hoa dapat memperhitungkan kedatangan Sim Long? ̈ tanya Jitjit
dengan terbelalak. ”Kecerdasan Ong Ling-hoa memang luar biasa, dia
memperhitungkan kalian pasti akan datang mengikuti jejak yang ditinggalkan
kawanan pengemis itu, maka dia lantas mengatur tipu keji untuk menantikan kalian,
untuk ini, sebelum kalian tiba mereka hendak menggusur diriku ke tempat lain,
dalam keadaan kepepet, biarpun tahu sendirian tidak dapat melawan orang banyak,
terpaksa aku turun tangan juga.” ̈
”Wah, pertarungan itu pasti sangat sengit, ̈ ujar Sim Long sambil memandang
keadaan ruang Suteng yang morat-marit itu. Bu-bong tersenyum getir dan juga
merasa bangga, tuturnya, ”Dengan sendirinya aku bukan tandingan Ong Ling-hoa,
Kim Put-hoan dan Co Kong-liong, tapi dasar pengecut, melihat aku dapat bergerak,
lebih dulu Kim Put-hoan sudah jeri. Co Kong-liong juga gentar menghadapi
perlawananku yang nekat, hanya Ong Linghoa saja, ai, dia benar-benar serigalanya
manusia. ̈
”Apakah kungfunya juga sama kejinya dengan tipu akalnya? ̈ tanya Sim Long.
”Betapa luas kungfu yang dikuasainya dan betapa keji jurus serangannya, sungguh
sukar diceritakan, ̈ tutur Bu-bong. ”Yang paling hebat adalah kecerdasannya dalam
hal menerka jurus serangan lawan sebelum dilontarkan, sedetik sebelum serangan
tiba, lebih dulu dia sudah mengatur pertahanan untuk mengatasi seranganmu. ̈
”Bagaimana kungfunya jika dibandingkan Thian-hoat Taysu? ̈ tanya Sim Long.
”Thian-hoat pasti tidak mampu menahan 20 jurus serangannya, ̈ tutur Bu-bong.
”Masa begitu lihai? ̈ seru Sim Long. ”Tentunya Sim-heng sangsi, jika dia begitu lihai,
mengapa dapat kulukai dia, ̈ kata Bu-bong. ¡Memang, bicara kungfu sejati tidak
nanti dapat kulukai dia, tapi ketahuilah, pada waktu bertempur, kungfu yang paling
lihai adalah nekat. ̈
”Seorang yang nekat sukar dilawan oleh seribu orang ̈, pemeo ini cukup diketahui
Sim Long. Dengan tersenyum pedih Bu-bong bercerita pula, ”Dengan
mengorbankan lengan kanan ini barulah dapat kupukul dia satu kali. Cuma sayang,
waktu itu juga aku lantas jatuh pingsan, bagaimana lukanya aku sendiri tidak tahu. ̈
”Pukulanmu mana dapat ditahan oleh tubuh manusia, ̈ ujar Sim Long. ”Kalau dia
tidak terluka parah, masa engkau dapat bicara denganku seperti sekarang. ̈
”Ya, mungkin lukanya juga parah sehingga tidak sempat membunuhku lagi, ̈ kata
Bu-bong dengan tersenyum pedih. Sim Long menatapnya sekian lama, akhirnya
menghela napas dan berkata, ”Sebenarnya ... sebenarnya Kimheng juga tidak perlu
bertindak demikian. ̈ ”Bertindak apa? Memangnya aku salah berbuat? ̈ ”Sungguh
hatiku tidak tenteram oleh tindakan Kim-heng kepadaku ini. ̈ ”Aku bertindak apa
padamu? ̈ ”Waktu itu mestinya engkau tidak perlu bergebrak dengan mereka, cukup
kau angkat kaki saja, masa mereka mampu merintangimu? Walaupun tahu bukan
tandingan mereka, tapi engkau tetap melabrak mereka, hanya karena engkau ingin
membela diriku saja. ̈
”Omong kosong! ̈ jengek Bu-bong. ”Selama hidupku hanya tahu membela
kepentingan sendiri, untuk apa kupikirkan kepentingan orang lain. Bilakah pernah
kubela dirimu, apakah engkau lagi mimpi? ̈ ”Meski lahirnya engkau kelihatan dingin,
tapi sebenarnya hatimu panas membara, tindakanmu itu sungguh membuat hatiku
tidak enak .... ̈ ”Kenapa hatimu tidak enak? ̈ teriak Bu-bong. ”Apakah karena kasihan
melihat aku cacat? .... Hm, meski Kim Bu-bong kini cuma bertangan satu juga jauh
lebih kuat daripada mereka yang punya dua tangan, kau percaya tidak? ̈
“Aku ... aku .... ̈ Sim Long tergegap. ”Ai, kenapa kau jadi serupa anak kecil?
Beberapa kali kau selamatkan jiwaku dan tidak pernah kuucapkan banyak terima
kasih, masakah sekarang kau .... ̈ “Betul! ̈ mendadak Sim Long berseru dan tertawa.
”Bagi seorang lelaki sejati, apa artinya buntung sebelah tangan? Kim Bu-bong yang
bertangan satu pasti jauh lebih kuat daripada Ong Ling-hoa yang bertangan dua. ̈
Kedua orang muda ini, yang satu masih berbaring di tengah genangan darah, terluka
parah dan sukar berbangkit, yang lain masih harus menghadapi masa depan yang
penuh rintangan dan ujian, namun sekarang mereka sama bergelak tertawa.
Meski Jit-jit berdiri di samping, namun semua ucapan mereka dapat didengarnya
dengan jelas dan terukir dalam benaknya, seketika ia pun mencucurkan air mata
terharu. Begitulah kedua orang sama tertawa, Kim Bu-bong merasa tenaga sendiri
semakin kuat, secara ajaib lukanya bisa sembuh dengan cepat, tentu saja ia
gembira. Tapi sebaliknya dirasakan suara tertawa Sim Long makin lama makin
lemah.
Malahan segera dirasakan lagi tangan Sim Long yang tak pernah berpisah dengan
tubuhnya itu masih terus menyalurkan hawa murni kepadanya, pantas lukanya yang
parah bisa cepat sembuh dan sanggup bicara terus-menerus.
Bagi orang yang berlatih kungfu, tenaga murni sama dengan jiwanya, namun
sekarang tenaga murni Sim Long telah disalurkan kepada Kim Bu-bong tanpa
pikirkan akibatnya, dengan sendirinya tenaga Kim Bu-bong pulih dengan cepat,
sebaiknya Sim Long sendiri menjadi lemah.
Seketika Kim Bu-bong berhenti tertawa dan berteriak, ”Singkirkan tanganmu! ̈ Sim
Long tertawa, sungguh ia tidak tahan lagi, tanpa terasa ia bersandar di kaki meja.
Semua ini tentu saja dapat dilihat Cu Jit-jit, betapa pun ia terharu dan berkata kepada
dirinya sendiri, ”Lelaki sejati ini tidak boleh kulepaskan, jika kutinggalkan dia,
selamanya takkan kudapatkan kesatria sejati seperti dia, betapa pun dia
memperlakukan diriku dengan kasar tetap aku harus mengalah, apa alangannya
mengalah sedikit? ̈
Segera ia mengambilkan daging panggang dan mendekati Sim Long. Daging
panggang itu sudah agak hangus bagian kulitnya, namun baunya bertambah sedap.
Dengan suara lembut Jit-jit berkata, ”Engkau sudah lelah, makanlah sedikit! ̈ Tak
terduga Sim Long tidak menghiraukannya, sebaliknya malah mendengus,
”Singkirkan! ̈ Tapi Jit-jit berkata pula, ”Sudah kucoba dengan tusuk kundai perak,
daging ini dapat dimakan. ̈ “Menyingkir! ̈ bentak Sim Long malah. Sedapatnya Jit-jit
bersabar, ucapnya, “Jika engkau tidak suka daging panggang ini, di sekitar sini tentu
ada kampung yang menjual makanan, maukah kubelikan .... Tentu Kim-toako juga
ingin makan. ̈ ”Tidak perlu, ̈ seru Sim Long. ”Aku ... aku cuma ingin bekerja sesuatu
bagimu, urusan apa pun akan kulakukan, ̈ kata Jit-jit. ”Baik, menyingkirlah sejauhnya,
makin jauh makin baik, untuk itu aku akan berterima kasih malah, ̈ kata Sim Long
dengan ketus. Jit-jit jadi melengak, kembali air matanya bercucuran. Dipandangnya
Kim Bubong, meski ada orang lain di sini, tapi dia tidak peduli lagi, ia sudah bertekad
akan berkorban asalkan demi Sim Long, dengan menggereget ia bertanya, ”Se ...
sesungguhnya aku berbuat salah apa sehingga membuatmu marah? Katakan saja,
bila betul aku salah, selanjutnya pasti akan kuperbaiki, pasti! ̈
Biasanya tidak nanti dia berucap begini, tapi sekarang telah dikatakannya. Habis
bicara ia lantas menangis tersedu-sedan, tapi cepat ditahannya pula. Tangisan tanpa
suara, kepedihan dengan bersenyum, sungguh mengandung berbagai macam
perasaan yang sukar diuraikan. Akhirnya Sim Long berpaling dan memandang wajah
si nona. Wajah yang mirip apel kehujanan itu. Namun sorot matanya tetap dingin,
jengeknya, ”Hm setelah berbuat salah, kau sendiri tidak mengetahuinya? Kalau
bukan gara-garamu, mana Pek Fifi bisa
diculik orang, kalau bukan gara-garamu, mana Kim-toako bisa berubah menjadi
begini? ̈
”Sem ... semua ini salahku? .... ̈ ”Bukan salahmu, habis salah siapa? ̈ bentak Sim
Long. ”Jika kau mau sedikit berpikir bagi orang lain, jika ada sedikit rasa simpatimu
terhadap orang lain, semua ini pasti takkan terjadi. ̈ Air mata Jit-jit bercucuran
bagaikan hujan, ucapnya dengan gemetar, ”Tapi aku ... aku .... ̈ ”Kau tidak lain cuma
seorang perempuan jahat yang egois, congkak, suka menang dan juga iri, asalkan
kau sendiri senang, urusan orang lain tidak kau pikirkan lagi. Asalkan kau sendiri
gembira, biarpun hati orang lain hancur luluh juga tidak kau peduli. ̈
Setiap kata Sim Long itu seolah-olah cemeti yang menyabat tubuh Cu Jit-jit,
membuat telinganya serasa mendengung dan akhirnya jatuh terkulai. Sejak kecil
sampai sebesar ini belum pernah dia dimaki orang secara begini, sekarang Sim Long
telah mencaci maki dia habis-habisan dan membuatnya tercengang, diam-diam ia
bertanya kepada diri sendiri, ”Apakah betul aku sebusuk itu? Apa betul aku sejahat
itu? .... ̈
Seketika itu seakan-akan terbayang wajah Him Miau-ji, Pek Fifi, Pui Jian-li, Can
Ing-siong dan lain-lain .... Orang-orang itu sama pernah dibikin susah olehnya, ada
yang dibikin malu olehnya, ada yang dikecewakan dan ada juga yang dibuat berduka
olehnya.
”Tapi semua itu kulakukan tanpa sengaja, sama sekali tidak ada niatku untuk
membikin susah siapa pun, ̈ serunya kemudian dengan penasaran. ”Betul, tidak ada
niatmu membikin susah orang lain, tapi orang yang menderita oleh karena
ketidaksengajaanmu itu justru lebih susah daripada perbuatanmu yang sengaja.
Engkau menganggap dirimu paling terhormat, paling agung, orang lain harus
menurut, harus tunduk kepada kehendakmu, orang lain harus kau injak-injak di
bawah kakimu, seakan-akan semua perbuatanmu itu adalah selayaknya begitu. ̈ ”Ti
... tidak, sama sekali aku tidak ... tidak berpikir begitu, ̈ ratap Jit-jit. ”Aku tidak
berpengalaman, aku tidak tahu apa-apa, masa ... masa engkau tidak dapat
memaafkan diriku? ̈
“Tidak, ̈ jengek Sim Long ketus. Sambil memukuli tanah Jit-jit meratap pula, “Banyak
orang yang berbuat salah lebih besar daripadaku dan mereka dapat ... dapat kau
maafkan, sebaliknya engkau tidak ... tidak dapat memaafkan kesalahanku? ̈ “Maafku
kepadamu sudah terlalu banyak, ̈ ujar Sim Long. Jit-jit mengertak gigi dan
merangkak bangun untuk berdiri di depan Sim Long, teriaknya, “Baik, engkau tidak
dapat memaafkanku, aku pun tidak perlu minta diampuni olehmu, lebih baik kau
bunuh saja diriku. ̈
“Membunuhmu? Tidak perlu, ̈ jengek Sim Long. “Oo ... betapa kejam hatimu, ̈ ratap
Jit-jit. ”Aku tidak minta apa-apa, masa engkau tidak sudi membunuhku? ̈ Sim Long
diam saja tanpa menghiraukannya. Kembali Jit-jit jatuh terkulai, ratapnya, ”O, Tuhan,
mengapa engkau perlakukan diriku secara tidak adil. Orang yang paling jahat
sekalipun boleh mati di tangan Sim Long, sebaliknya aku ... aku tidak ingin hidup lagi
dan kesempatan untuk mati di tangannya saja ditolak. ̈
Sim Long memejamkan mata tanpa menghiraukan si nona. Sejak tadi Kim Bubong
juga telah memejamkan mata. Sukar untuk melukiskan perasaan Jit-jit sekarang. Ia
benci, benci kepada diri sendiri, juga benci kepada Sim Long. Tapi biarpun benci,
tetap tidak dapat berbuat sesuatu apa. Mendadak ia melompat bangun, serupa orang
gila ia jemput benda apa pun yang dapat diraihnya terus dilemparkan ke arah Sim
Long sambil berteriak histeris, “Kubenci ... kubenci padamu ... kubenci padamu
selamanya .... ̈ Lalu dia berlari pergi seperti kesetanan.
Perlahan Sim Long membuka matanya, tapi tetap tidak bergerak, serupa seorang
padri yang sedang bersemadi. Kim Bu-bong juga membuka matanya dan
memandang Sim Long dengan heran. Sampai sekian lamanya, akhirnya Sim Long
tertawa. ”Apakah hatimu terbuat dari baja? ̈ tanya Bu-bong kemudian. Tertawa Sim
Long rada mengandung rasa pedih juga, gumamnya, ”Hatiku ... siapa yang tahu
akan hatiku? .... ̈ ”Mengapa kau tega perlakukan dia cara begini? ̈ tanya Bu-bong
pula. ”Seharusnya kuperlakukan dia bagaimana? ̈ Bu-bong terdiam, sejenak
kemudian baru berkata pula, ”Apakah betul dia tidak dapat dimaafkan? ̈ ”Masakah
dia dapat dimaafkan? ̈ ”Seumpama tidak dapat dimaafkan, engkau harus memaafkan
dia. ̈ ”Sebab apa? ̈ tanya Sim Long. Bu-bong menatap langit-langit rumah yang
guram, katanya perlahan, ”Nanti bila usiamu meningkat seperti diriku sekarang tentu
akan kau ketahui. Biarpun banyak perempuan cantik di dunia ini, tapi untuk mencari
seorang yang benar-benar mencintaimu sedalam ini kukira tidak ... tidak mudah. ̈
Mendadak ia berpaling dan menatap Sim Long lekat-lekat, ”Tentunya kau akui
bahwa dia memang cinta padamu. Betapa pun harus kau akui, apa yang
dilakukannya tidak berniat jahat. Terhadap orang lain engkau sangat bijaksana,
terhadapnya mengapa engkau seketus itu? ̈
Sim Long termenung sejenak, sahutnya kemudian, ”Aku dapat mengampuni orang
lain, tapi tidak dapat mengampuni dia .... ̈
Sampai sekian lama Kim Bu-bong melenggong, akhirnya ia mengangguk perlahan
dan berucap, ”Ya betul, engkau dapat mengampuni orang lain, tapi tidak kepadanya. ̈
Keduanya tidak bicara lagi, semuanya terhanyut dalam lamunan masing-masing. Apa
yang mereka pikirkan, apakah memikirkan betapa rumitnya hubungan antara
manusia dan manusia? Kemudian Sim Long berkata, ”Orang lain tentu juga dapat
mengampuni dia, tapi aku tidak. ̈ Sekali ini tanpa pikir Bu-bong lantas mengangguk
setuju, ”Betul, orang lain dapat memaafkan dia, tapi engkau tidak .... Tanggung
jawab orang lain hanya terhadap dirinya sendiri, asalkan memenuhi kewajiban
terhadap diri sendiri dan selesailah, tapi tugas ... tugas yang kau pikul teramat berat. ̈
”Ternyata cuma Kim-heng saja yang tahu akan pribadiku, apa pula yang perlu
kusesalkan lagi hidupku ini? ̈ Api unggun berkobar dengan keras, ruang Suteng
terasa hangat, entah hangat karena api unggun atau hangat karena persahabatan.
Selang agak lama tiba-tiba Sim Long berkata, ”Apa pun juga semoga dia .... ̈ Pada
saat yang sama Kim Bu-bong juga berucap, ”Apa pun juga semoga dia .... ̈ Kedua
orang bicara bersama dan tutup mulut serentak pula, sebab mereka sama tahu apa
yang hendak diucapkan ternyata sama. “Apa pun juga semoga dia hidup selamat
dan bahagia! ̈ Namun doa yang tulus ikhlas itu sudah tidak didengar lagi oleh Cu
Jit-jit. Saat itu entah sudah berapa jauhnya dia berlari. Mukanya mulai perih karena
tersayat tiupan angin, kemudian terasa kaku, lalu terasa sakit seperti digigit semut.
Air matanya sudah kering, kakinya terasa berat. Untunglah di depan kelihatan ada
bangunan rumah. Ia percepat langkahnya dan berlari ke sana. Kini dia sudah
melupakan rasa duka, yang terpikir hanya semangkuk kuah hangat dan sebuah
dipan. Tapi di depan tidak ada rumah, juga tidak ada kuah panas maupun dipan.
Bayangan bangunan rumah itu sesungguhnya cuma tempat pemakaman. Nyata
kuburan ini milik keluarga hartawan sehingga dibangun dengan sangat megah.
Dengan lemas Jit-jit duduk meringkuk di balik batu nisan, hanya tempat ini dapat
digunakan untuk mengalingi tiupan angin. Ia menanggalkan sepatu dan memijat kaki
sendiri yang pegal. ”Mengapa dia sangat baik terhadap orang lain, terhadapku justru
tidak kenal kasihan? ̈ demikian ia teringat lagi kepada Sim Long, timbul rasa
bencinya. ”Mengapa orang lain sangat baik padaku justru kubalas dengan dingin,
sebaliknya Sim Long memperlakukan diriku dengan kasar justru tidak dapat
kulupakan? ̈
Pikir punya pikir ia menjadi benci pula kepada dirinya sendiri. Selagi kusut
pikirannya, sekonyong-konyong terdengar sesuatu suara yang berjangkit dari tempat
yang sangat dekat. Itulah suara manusia suara orang lagi bicara.
Waktu ia dengarkan lebih cermat, ternyata suara itu timbul dari dalam kuburan. Ya,
tidak salah lagi, jelas timbul dari dalam kuburan. Masa kuburan dapat bersuara?
Mungkinkah orang mati bisa bicara? Walaupun kaget, namun sebagai gadis yang
sudah sekian lama berkelana di dunia Kangouw, segera terpikir olehnya, ”Ah,
jangan-jangan kuburan ini juga sebuah tempat rahasia yang dijadikan sarang
sesuatu sindikat gelap? ̈
Segera ia memandang sekelilingnya, terdengar suara orang melangkah di bawah
batu nisan. Agaknya ada orang hendak keluar dari dalam kuburan. Tidak jauh di
sebelah sana ada patung Totekong atau Toapekong, patung malaikat penjaga tanah
yang biasanya pasti disertakan pada setiap makam. Patung itu sebesar manusia.
Jit-jit berpindah dan sembunyi di belakang patung, lalu mengintip. Tertampaklah batu
nisan tadi mulai bergerak dan muncul sebuah lubang, kemudian dari dalam lubang
menongol sebuah kepala ... dan sebuah lagi, dua orang menyusup keluar dari bawah
tanah. Kedua lelaki kekar ini sama memakai jaket kulit, meski hawa dingin, namun
mereka tetap membusungkan dada dengan lagak kereng. Orang yang keluar lebih
dulu memandang sekeliling makam. Dengan sendirinya tak terpikir olehnya di sini
ada orang asing. Orang yang keluar belakangan sama sekali tidak memandang
keadaan di luar, segera ia mendorong batu nisan itu. ”Krek ̈, batu nisan itu merapat
kembali seperti semula. Kedua orang lantas melangkah ke bawah undak-undakan
makam besar itu sambil menggerundel. Seorang di antaranya berkata, ”Hm, barang
macam apakah si cacat itu, tampaknya bukan sembarangan orang. Cuaca begini kita
disuruh membeli obat baginya ke tempat yang berpuluh li jauhnya, bukankah sengaja
hendak menyiksa orang? ̈
Kawannya menanggapi, ”Sudahlah, Ong-lotoa, tidak perlu mengomel, peduli siapa
dia pendek kata dia adalah kawan bos kita. Kalau tidak, untuk apa bos
membawanya ke sini. ̈ ”Hm, kalau tidak mengingat hal ini, memangnya aku mau
bekerja baginya? ̈ jengek orang pertama yang dipanggil sebagai Ong-lotoa itu. ”Tapi
juga lumayan, sepanjang hari kita selalu bersembunyi di dalam, meski tersedia arak
dan perempuan, rasanya juga sudah bosan, mumpung ada kesempatan keluar,
biarlah kita pelesir sepuasnya, ̈ ujar orang kedua tadi.
”Betul, ̈ seru Ong-lotoa dengan tertawa. ”Kesempatan kita gunakan untuk pelesir
setengah hari, toh si cacat itu tampaknya takkan mampus meski tidak segera minum
obat. ̈ Begitulah kedua orang itu terus bicara sambil tertawa dan semakin jauh.
Sesudah bayangan kedua orang itu menghilang di kejauhan barulah Jit-jit keluar dari
tempat sembunyinya. Ia coba mendekati batu nisan dan menariknya. Mendingan
kalau dia tidak menarik batu nisan itu, sekali menarik, nasib kehidupannya juga
berubah lagi. Begitu batu nisan bergerak, seketika hatinya juga tergerak, pikirnya,
”Sesungguhnya sarang rahasia apakah ini? Siapa pula si cacat yang dimaksudkan
kedua orang tadi? Siapa pula bos mereka? Yang pasti, membuat sarang rahasia di
dalam kuburan, besar kemungkinan bukan manusia baik-baik, perlu kuperiksa apa
yang terdapat di dalam kuburan ini. ̈
Dasar watak Jit-jit memang usilan, usil mulut, usil perbuatan. Tidak ada urusan saja
ingin cari pekerjaan, apalagi sekarang terlihat sesuatu yang sangat aneh dan
misterius. Kata pepatah: ”Dunia ini mudah berganti penguasa, watak asli sukar
berubah ̈, menghadapi kejadian menarik ini, jelas wataknya yang usilan jadi kumat.
Maka begitu lubang gua di balik batu nisan terbuka, segera ia hendak menyusup ke
dalam. Tapi segera terpikir olehnya, ”Ah, nanti dulu. Sarang rahasia siapakah ini?
Orang baik atau orang jahat? Ada sangkut paut apakah denganku? Kenapa aku
mencari urusan? Pantas Sim Long bilang aku .... ̈ Mestinya dia akan mengurungkan
niatnya masuk ke situ, tapi demi teringat kepada Sim Long, segera pikirannya
berubah. “Sim Long, lagi-lagi Sim Long! Mengapa harus kuturut perkataannya, toh
aku tak ingin hidup lagi, biarpun menemui bahaya di dalam sana juga tidak menjadi
soal. ̈ Sambil mengentak kaki, dengan nekat akhirnya dia masuk ke situ. ***** Pada
umumnya segala macam sarang rahasia atau lorong di bawah tanah, kebanyakan
mempunyai ciri yang sama, yaitu seram, gelap dan berbau apak yang memusingkan
kepala orang. Lorong di bawah tanah ini ternyata ada keistimewaan, yaitu tidak ada
penjaga juga tidak ada pesawat jebakan, bisa jadi lantaran tempat ini terlalu rahasia
sehingga pada hakikatnya tidak mungkin ditemukan orang, sebab itulah tak
diperlukan penjaga. Atau mungkin juga majikan makam ini sangat tinggi hati, pada
hakikatnya dia memandang sebelah mata terhadap orang lain.
Jit-jit juga tidak peduli sebab apa tidak ada penjaga, setelah merapatkan kembali
batu nisan, segera ia melangkah maju. Ada belasan undak-undakan batu yang
dilaluinya menuju ke bawah. Kemudian ia sampai di sebuah ruangan kecil, sebuah
ruang tamu yang terpajang indah serupa rumah keluarga hartawan umumnya.
Ia coba melongok ke dalam, tiada seorang pun di situ. Segera ia masuk begitu saja.
Sama sekali ia tidak khawatir dipergoki orang, kini ada semacam pikiran menyiksa
diri padanya, kalau kepergok orang, dianggapnya lebih baik malah.
Di sebelah sana ada sebuah pintu, langsung Jit-jit menuju ke sana. Pada saat itulah
di dalam sana berkumandang suara orang tertawa dan berkata, ”Sungguh cara
berpikir Kongcu sangat lengkap, khawatir anak buahmu hidup kesepian di sini, maka
sengaja kau cari dua nona untuk menemani mereka di sini. Haha, sungguh sangat
menarik. ̈
Tubuh Jit-jit tergetar, serentak ia berhenti di tempat, sebab dikenalnya suara orang
itu sebagai suara Kim Put-hoan. Ia heran mengapa bangsat itu bisa berada di sini.
Terdengar lagi seorang lain berucap, ”Masa Kim-heng lupa, justru Kongcu selalu
berpikir panjang sehingga usahanya tambah maju. Jika di sini tidak ada kenikmatan,
siapa yang mau ngendon kesepian di sini? ̈ Suara ini juga sangat hafal bagi Jit-jit,
setelah berpikir segera teringat olehnya, ”Ah, Co Kong-liong. ̈ Didengarnya Kim
Put-hoan lagi berkata dengan tertawa, ”Betul, bilamana tidak kerasan, diam-diam
orang yang bertugas di sini pasti akan bolos keluar. Tapi kalau segalanya sudah
tersedia lengkap, biarpun diusir juga mereka tak mau pergi. ̈ ”Dan sekarang jadinya
engkau yang senang, haha, ̈ tukas seorang lagi dengan tertawa. ”Ayo, tuangkan
arak, Siau Ling. ̈
Ternyata suara orang ketiga ini ialah Ong Ling-hoa. Anehnya suara Ong Ling-hoa
sekarang kedengaran sangat lemah, habis bicara lantas terengah dan terbatuk lagi.
Jantung Jit-jit hampir saja melompat ke luar dari rongga dadanya. Dia berdiri
mematung di situ, mundur salah, maju pun keliru. Pintu itu tertutup, tapi di bawah ada
celah-celah dan cahaya lampu menembus keluar dari situ. Setelah berpikir sejenak,
akhirnya ia nekat, ia mendekati pintu, ia berjongkok dan coba mengintip ke dalam
melalui celah-celah pintu. Tertampak sebuah perapian terletak di tengah ruangan, di
samping perapian ada sebuah meja penuh hidangan, di samping meja Kim Put-hoan
dan Co Kong-liong berduduk. Seorang perempuan berbaju merah dan rambut agak
kusut, berdandan berlebihan serupa ronggeng asyik menambahi kayu perapian. Ada
lagi seorang perempuan lain berbaju biru berduduk di dalam pangkuan Kim
Put-hoan, mukanya merah dan tersenyum, namun sinar matanya memancarkan rasa
jemu dan muak. Setelah memandang lagi ke sebelah lain baru terlihat Ong Ling-hoa
berbaring di atas dipan berlapiskan kulit harimau, wajahnya yang tampan itu
sekarang pucat pasi seperti mayat.
Keterangan Kim Bu-bong memang tidak salah, nyata gembong iblis ini memang
terluka parah. Bahkan Kim Put-hoan dan Co Kong-liong tampaknya juga terluka.
Lengan kanan Co Kong-liong tampak terbalut dan tergantung dengan kain pada
lehernya, jelas lukanya juga tidak ringan. Yang tidak berat lukanya jelas cuma Kim
Put-hoan, dia lagi makan minum, terkadang tidak lupa mencolek pipi anak
perempuan yang berduduk di pangkuannya. Aneh juga, mengapa dia sengaja
menyuruh kedua orang tadi membelikan obat baginya, agaknya makian ¡si cacat ̈
yang dilontarkan kedua lelaki berjaket kulit tadi ditujukan kepadanya. Sungguh tak
terpikir oleh Cu Jit-jit bahwa secara tidak sengaja kembali dia kesasar lagi ke sarang
rahasia Ong Ling-hoa. Entah mengapa pertemuan manusia di dunia ini sering terjadi
secara kebetulan dan aneh begini?
Di antara orang-orang yang berada di situ yang paling lesu ialah Ong Ling-hoa, yang
paling gembira jelas ialah Kim Put-hoan. Terus-menerus Kim Put-hoan berkaok-kaok
senang, sebaliknya tenaga untuk bicara saja tidak dipunyai Ong Ling-hoa,
tampaknya dia sangat letih, ingin tidur, tapi Kim Put-hoan justru tidak memberi
kesempatan tidur baginya.
Malahan Kim Put-hoan terus menarik si nona baju merah, jadinya sekarang dia
rangkul kanan dan peluk kiri, kedua anak perempuan itu tertawa cekakak dan
cekikik meski di dalam hati tiada habis-habisnya menggerutu.
Tentu saja Jit-jit agak gemas melihat tingkah laku manusia bejat itu, sampaisampai
Co Kong-liong juga merasa mendongkol, ucapnya setengah menyindir, ”Wah,
senang amat Kim-heng. ̈ ”Tentu saja senang, ̈ sahut Kim Put-hoan dengan tertawa.
”Didampingi dua nona secantik ini, kenapa tidak senang? Eh, sini, Siau Ling, cium
satu kali. ̈ ”Setelah mengalami pertarungan tadi, sekarang Kim-heng masih bisa
gembira seperti ini, sungguh luar biasa, ̈ jengek Co Kong-liong pula. ”Kejadian tadi ...
hehe, kan sudah beres? Keparat Kim Bu-bong itu jelas akan mampus, kenapa kita
tidak boleh gembira? ̈
”Waktu itu kalau Kim-heng tambahi lagi sekali tusuk, dia pasti sudah mampus. Cuma
sayang ... ketika itu Kim-heng terburu-buru angkat kaki. ̈ ”Aku terburu-buru angkat
kaki, apakah Co-heng sendiri tidak tergesa-gesa lari? Karena waktu itu Ongkongcu
terluka parah sehingga aku tidak berani lagi tinggal di sana, memangnya Co-heng
sendiri bukan begitu? ̈
Muka Co-Kong-liong sebentar merah sebentar pucat dan tidak sanggup bicara lagi.
Sebaliknya Kim Put-hoan lantas bergelak tertawa, katanya pula, ”Urusan sudah lalu,
sepantasnya sekarang Co-heng ikut bergembira .... Eh, Siau Hong, lekas menyanyi
untuk menghibur Co-toaya. ̈ Si nona baju hijau menunduk dan menjawab, ”Aku tidak
dapat menyanyi. ̈ ”Sialan, orang bekerja seperti ini tidak bisa menyanyi? ̈ omel Kim
Put-hoan. ”Sudahlah, Kongcu harus istirahat, kukira Kim-heng perlu mengaso, ̈ ujar
Co Kong-liong. ”Hehehe, kau bilang Ong-kongcu harus istirahat? ̈ kata Kim Put-hoan
sambil menyeringai. ”Ya, dia memang perlu istirahat panjang, mumpung masih
bernapas, apa jeleknya senang-senang dulu menyaksikan tari dan nyanyi? ̈
Ucapan Kim Put-hoan ini membikin enam orang yang berada di luar dan dalam
ruangan sama terkejut. Dengan air muka berubah Co Kong-liong menegas, ”Ah,
jangan ... jangan Kimheng bergurau. ̈ ”Selamanya aku tidak suka bergurau, ̈ sahut
Put-hoan. Tiba-tiba Ong Ling-hoa bertanya dengan tertawa, ”Dari mana Kim-heng
mendapat tahu jika harus istirahat panjang alias mati? ̈ Walaupun dia berlagak tidak
terjadi sesuatu, sebenarnya air mukanya juga rada berubah. ”Tentu saja kutahu. ̈
jawab Put-hoan. ”Meski Kongcu terkena sekali pukulan Kim Bu-bong, tapi tenaga
pukulan keparat itu mana mampu membunuh Kongcu, dalam beberapa hari
kesehatan Kongcu pasti akan pulih kembali, ̈ ujar Co Kong-liong. ”Tapi kubilang dia
takkan hidup melewati hari ini, ̈ tukas Put-hoan. ”Apa ... apa katamu? Apakah kau
gila? ̈ teriak Co Kong-liong. ”Kubilang dia takkan hidup melampaui hari ini, apakah
kau berani bertaruh denganku? ̈ tantang Put-hoan. Tiba-tiba Ong Ling-hoa tertawa
terkekeh-kekeh, ”Tak tersangka waktu kematianku ternyata diketahui Kimheng
sejelas ini, cuma sayang, di tempat ini tersedia segala apa pun, hanya peti mati saja
yang tidak tersedia. ̈
”Tidak menjadi soal, ̈ kata Put-hoan. ”Setelah kau mati, mayatmu diantar ke Jin-
gi-ceng, orang-orang di sana pasti akan menyediakan peti mati bagimu. ̈ Dia bicara
dengan adem ayem seakan-akan apa yang diucapkan itu adalah kejadian yang
lumrah. Tapi bagi pendengaran Co Kong-liong cukup membuatnya pucat, dengan
tergegap ia bertanya, ”Kim-heng, sesungguhnya apa maksudmu? ̈
”Apa maksudku masakah belum kau ketahui? ̈ Di bawah cahaya lampu, wajah Kim
Put-hoan yang menyeringai itu tampak seram. Dengan bergidik Co Kong-liong
menjawab, ”Aku ... aku tidak tahu. ̈
Sebenarnya bukan Co Kong-liong jeri terhadap kungfu Kim Put-hoan yang
diketahuinya tidak lebih tinggi daripada dirinya itu, dia cuma ngeri terhadap kekejian
orang saja. Dilihatnya Kim Put-hoan telah berbangkit dan mendekati Ong Ling-hoa
dengan perlahan sambil memegang secawan arak. Muka Ong Ling-hoa bertambah
pucat, sedapatnya ia tenangkan diri dan bertanya, ”Kau mau apa? ̈ ”Co Kong-liong
tidak tahu aku mau apa, masakah engkau juga tidak tahu? ̈ jengek Put-hoan. ”Meski
tahu, tapi ada sedikit lagi yang tidak kumengerti, ̈ kata Ling-hoa. ”Apa yang kau tidak
mengerti? ̈ ”Hendak kau bunuh diriku bukan? ̈ ”Hehe, memang anak pintar. ̈ ”Tapi
kita kan bersekutu, mengapa hendak kau bunuh diriku? ̈ Mendadak Kim Put-hoan
meludah, jawabnya sambil menyeringai, ”Sekutu? Huh, berapa harganya sekutu,
satu kati berapa duit? Yang memberi susu dialah ibu. Selama hidup orang she Kim
tidak pernah bersahabat, apalagi bersekutu dengan siapa pun. Barang siapa
menganggap orang she Kim sebagai sekutu, dia yang buta matanya. ̈
”Tapi tempo hari .... ̈ ”Tempo hari lantaran kulihat masih dapat kuraih keuntungan
darimu, makanya kusepakat bersahabatan denganmu, tapi sekarang engkau sudah
mirip bangkai anjing, siapa pula yang mau bersekutu denganmu? ̈ ”Meski saat ini aku
terluka parah, tapi luka ini pasti akan sembuh dalam waktu singkat. Kekuatanku
tersebar luas di 13 provinsi, anak buah kami sedikitnya beberapa ribu orang. Asalkan
kau mau bersahabat denganku, setelah kusembuh nanti tentu akan banyak memberi
keuntungan padamu. Kau orang pintar, masakah hal ini tidak kau pikirkan? ̈
Melihat Ong Ling-hoa masih sanggup bicara dengan tenang pada detik menghadapi
elmaut itu, mau tak mau Cu Jit-jit yang sembunyi di luar pintu itu merasa kagum juga.
Terdengar Kim Put-hoan lagi berkata, ”Betul, setelah kau sembuh memang dapat
kudapatkan keuntungan, tapi aku tidak sabar menunggu lagi, apalagi bila
kubunuhmu sekarang akan jauh lebih menguntungkan bagiku. ̈
Dia tertawa terkekeh, lalu menyambung, ”Setiap pekerjaanku yang utama adalah
keuntungan, asalkan besar keuntungannya, biarpun aku disuruh mencuci pantat
orang juga tidak menjadi soal. ̈ ”Memangnya apa keuntunganmu bila kau bunuhku
sekarang? ̈ ”Tentu saja banyak keuntungannya, apakah kau mau tahu? ̈ ”Coba
ceritakan, ̈ pinta Ong Ling-hoa.
”Pertama, bila kubunuhmu sekarang, tentu dapat kusita barang yang kau tipu dari Cu
Jit-jit itu. Tidak lama lagi tumpukan emas yang menyilaukan mata itu akan menjadi
milikku. ̈ ”Wah, kiranya kau pun tahu hal ini, ̈ ucap Ong Ling-hoa dengan gegetun.
”Kedua, saat ini engkau sudah ada harga tertentu, setelah kubunuhmu, selain dapat
kuterima hadiah dari Jin-gi-ceng, juga pasti akan kudapatkan pujian mereka sebagai
seorang pahlawan. Nah, pekerjaan yang bakal mendatangkan keuntungan nama dan
harta ini kenapa tidak kulakukan? .... Haha, umpama Sim Long, yang paling
dibencinya ialah dirimu dan bukan diriku, bila kubunuhmu tentu dia juga akan
tepuk-tepuk bahuku dan memujiku sebagai sahabat sejati .... Jangan lupa, Kim
Bu-bong juga terbunuh olehmu. ̈
”Bagus ... bagus! ̈ ucap Ong Ling-hoa dengan tertawa getir. ”Tentu saja bagus,
sekarang kau pun kagum padaku, bukan? ̈ ”Tapi kau pun jangan lupa, anak buahku
tersebar di mana-mana, ibuku bahkan tokoh nomor satu di dunia persilatan ini, jika
kau bunuh diriku, masakah mereka akan mengampunimu? ̈ ”Bila kubunuhmu
sekarang, memangnya siapa lagi yang tahu? ̈ ”Tapi kan akan kau pergi ke
Jin-gi-ceng dan .... ̈ ”Untuk ini tidak perlu kau ikut khawatir, ̈ ujar Put-hoan. ”Setiap
orang yang terima hadiah Jin-gi-ceng selamanya dijamin rahasia pribadinya, kalau
tidak, siapa yang mau mencari penyakit hanya untuk menerima sedikit hadiah itu? ̈
”Tapi kan masih ada lagi Co-pangcu .... ̈ Ong Ling-hoa sengaja melirik ke arah Co
Kong-liong. Sebutan ”Pangcu ̈ sengaja diucapkan dengan tarikan suara yang
panjang dan lantang, Co Kong-liong yang lagi bersandar di kursi tanpa bergerak itu
seketika tergetar. Ia pikir kalau Ong Ling-hoa mati, siapa pula yang akan
mendukungnya naik ke singgasana Pangcu?
Sebutan ”Pangcu ̈ serupa percikan api yang segera membakar lagi hatinya yang
angkara murka dan membuatnya nekat. Mendadak ia melompat bangun sambil
membentak, ”Betul, barang siapa ingin mengganggu Ong-kongcu, tidak nanti
kutinggal diam. ̈ Meski keras suaranya, namun Kim Put-hoan tidak
menghiraukannya, sebaliknya ia mendengus, ”Hm, jika Co Kong-liong ingin hidup
lebih lama, sebaiknya dia tetap duduk di tempatnya, kalau ingin cepat mampus,
boleh dia uji diriku dengan tangannya yang masih tersisa itu. ̈
Muka Co Kong-liong menjadi pucat, ia pandang tangannya sendiri yang cedera,
”bluk” ̈, ia duduk kembali di kursinya. Kim Put-hoan terbahak-bahak, isi cawan
ditenggaknya hingga habis, ”prak ̈, cawan kemala itu dibantingnya hingga hancur.
Siau Ling dan Siau Hong semula meringkuk ketakutan di pojok sana, kini mendadak
Siau Ling berbangkit sambil menarik Siau Hong, omelnya dengan
tertawa genit, ”Semuanya gara-garamu sehingga Kim-toako marah, ayolah lekas
minta maaf kepada Kim-toaya. ̈
Siau Ling adalah perempuan penghibur yang berpengalaman, ia tahu kalau Ong
Ling-hoa mati, jelas mereka pun tak bisa hidup. Kedua perempuan itu lantas
mendekati Kim Put-hoan, Siau Ling mendorong Siau Hong ke pangkuan Kim
Put-hoan, ia sendiri juga lantas merangkul dan berkata padanya dengan manja,
”Sudahlah, jangan Kimtoaya marah-marah pula, biarlah kami meladeni Kim-toaya,
tanggung .... ̈ lalu ia membisikkan sesuatu ke telinga Kim Put-hoan.
Kim Put-hoan menjadi sibuk, tangan yang satu meraba dada Siau Ling, tangan yang
lain meremas pantat Siau Hong, omelnya dengan tertawa, ”Wah, padat juga, rasanya
tuanmu ingin caplok kalian sekaligus. ̈ Kerlingan Siau Ling bisa bikin orang semaput,
ucapnya manja, ”Kalau mau caplok bolehlah sekarang juga, rasanya aku pun tidak
tahan lagi. Di belakang sana masih ada kamar dan .... ̈
”Baik .... ̈ ucap Kim Put-hoan sambil menyeringai, mendadak kedua tangannya
menampar, ”plak-plok ̈, kedua perempuan itu terpental jatuh ke sana. ”Sundal, ̈ maki
Kim Put-hoan, ”memangnya kau kira tuanmu ini orang macam apa dan dapat kau
tipu? Hm, perempuan jalang macam kalian ini sedikitnya ribuan sudah pernah kulihat
.... ̈ Mendadak Siau Ling balas memaki, ”Kau manusia bejat, matamu buta, masih
berlagak, memangnya kau kira nyonya besar penujuimu, biarpun kau jadi kacung
pencuci .... ̈ Begitulah, dalam keadaan nekat, segala kata kotor dilontarkan
seluruhnya. Siapa tahu Kim Put-hoan berbalik tertawa malah, ”Haha, bagus, makian
bagus! Makin kotor makianmu, makin senang aku, pada waktu bekerja memang
kusuka dimaki orang. ̈ Sungguh Jit-jit merasa muak oleh kata-kata kotor mereka itu.
Tapi Ong Ling-hoa lantas berkata, ”Orang semacam dirimu jarang terlihat juga di
dunia ini, bahwa orang she Ong hari ini bisa terjungkal di tanganmu rasanya juga
tidak terlalu penasaran. ̈ ”Hm, kiranya kau pun bisa membedakan kualitas orang, ̈
kata Kim Put-hoan. ”Tapi kukira saat ini kau pasti juga merasa menyesal mengapa
tadi tidak membawa anak buah Kay-pang ke sini, juga menyesal mengapa menyuruh
kedua anak buahmu pergi membeli obat bagiku. ̈
Ong Ling-hoa menghela napas, katanya, ”Ya, selain menyesal, aku pun merasa
sayang. ̈ ”Merasa sayang apa? ̈ tanya Put-hoan. ”Sayang orang berbakat seperti
dirimu ini juga takkan hidup lama lagi. ̈ Kim Put-hoan jadi melengak, tapi lantas
tertawa, ”Haha, apakah engkau sudah linglung? Yang akan mampus bukanlah diriku
melainkan kau! ̈
Ong Ling-hoa tersenyum, ”Betul, aku akan mati, dan kau pun tidak banyak berbeda. ̈
”Kentut! ̈ damprat Put-hoan. Dengan suara lembut Ong Ling-hoa berkata, ”Kim-heng,
engkau memang manusia yang paling rendah, kotor, keji, licik, dan tidak tahu malu.
Tapi bilamana dibandingkanmu, rasanya aku pun tidak lebih baik daripadamu. ̈
”Tapi engkau toh terjebak juga olehku, ̈ ujar Put-hoan dengan menyeringai, namun
tidak urung matanya yang tinggal satu itu berkedip-kedip menampilkan rasa sangsi
dan takut. ”Meski aku terjebak olehmu, tapi Kim-heng juga tertipu olehku. Arak yang
kau minum barusan lebih dulu sudah kucampur dengan racun perantas usus. ̈
Seketika tubuh Kim Put-hoan tergetar, rasanya seperti disambar geledek, ia
melenggong dengan mandi keringat. ”Kau ... kau dusta .... Haha, omong kosong! ̈
katanya dengan gemetar. ”Jika benar di dalam arak ada racun, ken ... kenapa
sampai saat ini tidak kurasakan sesuatu? ̈ Lalu dia tertawa, namun tertawa yang
menyerupai orang menangis. ”Racun itu baru akan bekerja tujuh hari kemudian, ̈
tutur Ong Ling-hoa. ”Di dunia ini hanya aku seorang saja yang dapat menolongmu,
bila sekarang kau bunuh diriku, tujuh hari kemudian mungkin .... ̈ Kim Put-hoan
melonjak murka dan meraung, ”Kau dusta ... jangan kau kira aku dapat ditipu. Saat
ini juga akan kubinasakan kau. ̈
”Baik, jika Kim-heng tidak percaya, silakan turun tangan, ̈ tentang Ong Ling-hoa
malah. Kim Put-hoan memburu maju sambil mengangkat sebelah tangannya. Tapi
tangan yang siap menghantam itu tidak lagi diteruskan. ”Kenapa Kim-heng tidak
turun tangan? ̈ tanya Ling-hoa dengan tertawa. Mendadak Kim Put-hoan menampar
mukanya sendiri beberapa kali sambil memaki, ”Semua gara-gara mulut ini, kenapa
rakus makan dan minum, mampus kau, mampus! ̈ ”Eh, jangan terlalu keras, kenapa
Kim-heng menyakiti dirinya sendiri? ̈ ujar Ong Ling-hoa dengan tertawa. ”Bluk, ̈
mendadak Kim Put-hoan berlutut di lantai dan memohon dengan suara gemetar, ”O,
Ong-kongcu, orang besar takkan menyesali perbuatan orang kecil, hendaknya kau
ampuni diriku, tadi aku cuma ... cuma main-main saja. Harap Ong-kongcu
menawarkan racunku dan takkan habis terima kasihku selama hidup. ̈
”Baik, jika kau minta kutolong dirimu, boleh tunggu lagi tujuh hari, ̈ kata Ling-hoa
dengan tertawa. ”Tapi ... tapi tujuh hari kemudian lukamu akan sembuh, ̈ seru
Put-hoan dengan parau. ”Memang betul, ̈ Ling-hoa tersenyum senang.
”Dan ... dan bila kau sembuh, mana ... mana dapat kau ampuniku? ̈ saking
cemasnya Kim Put-hoan mengusap keringat yang memenuhi dahinya. ”Akan
kuampunimu, tapi mau percaya atau tidak terserah padamu. ̈ ”Tujuh hari lagi,
rasanya aku tidak sabar menunggu lagi, mohon Ong-kongcu sekarang juga .... ̈ ”Jika
kutolong dirimu sekarang, aku sendiri yang tidak bisa hidup lagi, ̈ kata Linghoa
dengan tertawa. Mendadak Kim Put-hoan berubah beringas dan membentak pula,
”Keparat, kumohon dengan baik-baik, kenapa kau tolak. Padahal saat ini engkau
tergenggam di tanganku, hendaknya kau turut perintahku untuk menawarkan
racunku, kalau tidak .... ̈
”Kalau tidak bagaimana? ̈ sahut Ling-hoa dengan tersenyum. ”Jika kutolong dirimu
sekarang aku pasti akan mati, kalau tidak kutolongmu masih ada harapan untuk
hidup. Coba jawab, jika kau jadi diriku, apa pilihanmu? ̈
Seketika Kim Put-hoan melenggong dan serbasalah, untuk membunuh Ong Ling-hoa
sekarang juga dia tidak berani, diharuskan menunggu tujuh hari rasanya juga
enggan. Dengan berbagai jalan, ya membujuk, ya mengancam, namun apa daya,
Ong Ling-hoa tetap tahan harga. Kalau tadi lagak Kim Put-hoan serupa harimau
yang hendak mencaplok mangsanya, sekarang dia mirip tikus berhadapan dengan
kucing.
Semua itu dapat disaksikan Cu Jit-jit dengan jelas, sungguh membuatnya heran,
kejut, geli dan juga muak. Ia pikir betapa keji hati keparat Kim Put-hoan dan betapa
tebal kulit mukanya, sungguh tidak ada bandingannya di dunia.
Tiba-tiba terpikir lagi olehnya, ”Saat ini Ong Ling-hoa berbaring tidak bisa berkutik,
Kim Put-hoan dan Co Kong-liong juga terluka, jika kesempatan ini tidak kugunakan
untuk membekuknya kan terlalu tolol aku ini? ̈ Berpikir demikian, tanpa ragu lagi
segera ia mendobrak pintu, ”blang ̈, langsung ia menerjang ke dalam. Keruan semua
orang terperanjat, cepat Kim Put-hoan membalik tubuh dan berteriak, ”Hei kau Cu
Jit-jit! ̈ ”Huh, masakah kau dapat kabur sekali ini. Sim Long ... cepat kemari, mereka
berada di sini! ̈ sembari berseru Jit-jit terus menyerang beberapa kali.
Melihat munculnya Jit-jit, meski terkejut, segera Kim Put-hoan menjadi girang, ia
merasa kebetulan domba disodorkan ke mulut harimau, segera ia bermaksud
menangkap si nona. Tapi begitu mendengar Jit-jit berteriak memanggil Sim Long,
seketika kaki dan tangannya menjadi lemas.
”Betul, kalau Cu Jit-jit muncul, tentu juga Sim Long segera menyusul tiba, ̈ demikian
pikir Put-hoan. Maka sambil menghindarkan serangan Jit-jit, segera ia
menerobos ke arah pintu bagian belakang, ia yakin di situ pasti juga ada jalan
tembus keluar.
Segera Jit-jit berteriak, ”Jangan ikut lari! ̈ Diam-diam Co Kong-liong membatin,
”Hanya orang tolol yang tidak ikut lari. ̈ Berpikir demikian, seketika ia pun angkat
langkah seribu, bahkan lebih cepat larinya daripada Kim Put-hoan. ”Jangan lari! ̈
teriak Jit-jit pula. ”Itu dia, Sim Long, lekas kejar, mereka lari ke sana! ̈ Semula Ong
Ling-hoa pucat melihat kemunculan Cu Jit-jit serta seruannya memanggil Sim Long.
Tapi setelah melihat lagak si nona, mendadak tersembul senyuman geli pada ujung
mulutnya. Tiba-tiba ia pun berseru, ”Tapi Ong Ling-hoa tidak sempat lari, tidak perlu
juga kejar mereka! ̈ Jit-jit melengak, tapi lantas diketahuinya ucapan Ong Ling-hoa itu
menirukan suara Sim Long, agaknya supaya Kim Put-hoan dan Co Kong-liong yang
lari belum jauh itu dapat mendengarnya dan tidak berani kembali lagi.
Habis itu barulah Ong Ling-hoa berkata pula, ”Terima kasih atas pertolongan nona. ̈
”Tutup mulutmu! ̈ bentak Jit-jit sambil membalik tubuh. ”Kenapa Sim-siangkong
belum lagi datang? ̈ tanya Ling-hoa. ”Dari mana kau tahu dia belum datang, dia
berada di luar, ̈ kata Jit-jit. ”Jika berada di luar, tentunya nona takkan sengaja
menggertak lari mereka dan aku pun tidak perlu membantumu menakut-nakuti
mereka. ̈ ”Hm, tampaknya kau serbatahu, ̈ jengek Jit-jit. ”Biarpun Sim Long tidak ikut
datang, melulu aku juga sanggup menghadapimu. ̈ ”Saat ini aku sama sekali tidak
bertenaga, dengan sendirinya nona .... ̈ ”Jika tahu begitu, apa yang membuatmu
gembira? Kau kira kudatang untuk menolongmu? Hm, aku cuma tidak suka kau jatuh
dalam cengkeraman orang lain. ̈ ”Ya, ya, kutahu, ̈ kata Ling-hoa dengan tertawa.
”Hm, tadi Kim Put-hoan dapat kau gertak sehingga tidak berani turun tangan
padamu, tapi sekarang kau jatuh dalam cengkeramanku celakalah nasibmu. ̈
”Umpama sekarang juga nona membunuhku, tetap aku bergembira. Bisa mati di
tangan nona secantik bidadari seperti dirimu kan jauh lebih menyenangkan daripada
mati di tangan si buta itu .... ̈ ”Huh, salah besar jika kau sangka jatuh dalam
cengkeramanku akan lebih enak. Bagi Kim Put-hoan palingpaling cuma
membunuhmu saja, tapi aku ... justru akan kusiksa dulu dirimu. ̈ Teringat kepada
macam-macam perbuatan Ong Ling-hoa yang menggemaskan, sungguh Jit-jit tidak
tahan, segera ia melompat maju dan sekaligus memberi beberapa kali tamparan.
”Dapat dipukul oleh tangan halus seperti tangan nona ini boleh dikatakan mujur
juga, ̈ kata Ong Ling-hoa sambil cengar-cengir. ”Jika tangan nona tidak kesakitan,
silakan pukul lagi beberapa kali. ̈
”Baik! ̈ teriak Jit-jit dan kembali ia menggampar lima-enam kali. ”Bagus, pukulan
bagus! ̈ ”Kalau bagus biar kutambah lagi! ̈ Dan begitulah, belasan kali tamparan Jit-jit
membikin muka Ong Ling-hoa yang putih itu berubah menjadi merah bengap dan
bertambah gemuk. Siau Ling dan Siau Hong sama melongo, mereka tidak
menyangka nona cantik manis begitu tega turun tangan sekeji itu. ”Hm, coba omong
lagi, segera kupukul lebih banyak, ̈ jengek Jit-jit. ”Jangan kau kira aku ini Cu Jit-jit
yang dulu, supaya kau tahu, aku sudah berubah sekarang. Jika berani lagi
sembarangan mengoceh, bisa kupotong sebelah kupingmu, kau percaya tidak? Cu
Jit-jit sekarang bukan lagi Cu Jit-jit yang boleh sembarangan dihina. ̈
”Ya, ya, ̈ terpaksa Ong Ling-hoa melihat gelagat. ”Apakah masih ingat tempo hari aku
telah kau tipu dengan tersiksa? ̈ tanya Jit-jit. ”Ingat ... tidak ingat, ̈ jawab Ling-hoa
dengan gelagapan. ”Ai, kejadian sudah lalu, untuk apa nona mengungkatnya? ̈
”Tidak mengungkatnya? Hm, selama hidup takkan kulupakan kejadian itu, ̈ jengek
Jit-jit. ”Thian Maha adil, sekarang kau pun jatuh dalam cengkeramanku. Nah, apa ...
apa yang dapat kau katakan lagi? ̈ ”Aku tidak dapat berkata apa-apa, ̈ sahut
Ling-hoa. ”Apa kehendak nona, tentu akan kuturuti. ̈ ”Baik, kembalikan dulu! ̈ kata
Jit-jit sambil menyodorkan sebelah tangan. ”Kem... kembalikan apa? ̈ ”Masa berlagak
pilon pula? Barangku yang kau tipu itu lekas kembalikan padaku, ̈ bentak Jit-jit
dengan gusar. ”O, ya, ya, menurut, ̈ sahut Ling-hoa dengan tersenyum getir. Lukanya
memang tidak ringan, dengan susah payah akhirnya baru sepasang anting-anting
dapat dikeluarkannya. Jit-jit terus menyambarnya dan menjengek, ”Oi, Ong Ling-hoa,
tak tersangka akan terjadi juga seperti sekarang ini. ̈ ”Nona mau apa lagi? ̈ tanya
Ling-hoa. Jit-jit tidak menjawab, sambil membetulkan rambutnya ia mondar-mandir di
dalam kamar. Pandangan Ong Ling-hoa juga mengikuti si nona yang kian kemari itu
seperti ingin mengetahui apa yang dipikirnya. Tiba-tiba Siau Ling mengambilkan kursi
dan berkata kepada Jit-jit, ”Silakan nona duduk dulu dan jangan marah, umpama
Ong-kongcu tidak setia padamu kan dapat .... ̈ ”Kentut, dia tidak setia apa? ̈ bentak
Jit-jit dengan gusar. ”Jangan kau ikut urusan dan takkan kubikin susah padamu,
kalau usil mulut, hmk! ̈ ”Ya, ya, hamba tidak berani, ̈ cepat Siau Ling menjawab
dengan takut. Ia sendiri orang perempuan, ia tahu bilamana hati perempuan sudah
kejam, biasanya akan jauh lebih kejam daripada lelaki.
Mendadak Ong Ling-hoa berkata, ”Lelaki yang tidak setia memang menggemaskan.
Jika nona ingin mencari pembantu untuk menghadapi lelaki yang tidak setia padamu,
aku inilah pilihan yang paling tepat. ̈ ”Tutup mulutmu! ̈ bentak Jit-jit. Meski dia
berlagak garang, tidak urung matanya menjadi merah dan basah. Nyata ucapan Ong
Ling-hoa itu telah menyentuh perasaannya. Diam-diam Ling-hoa bergirang, ia tahu
sementara ini Cu Jit-jit pasti takkan membikin celaka padanya. Asalkan tidak turun
tangan keji padanya sekarang, selanjutnya dia pasti punya akal untuk meloloskan
diri. Cu Jit-jit mondar-mandir lagi beberapa kali, mendadak ia menutuk dua tempat
Hiat-to kelumpuhan Ong Ling-hoa, lalu dibungkusnya dengan selimut, dipanggulnya
dan dibawa pergi. ”Ke ... ke mana nona akan membawa Ong-kongcu? ̈ tanya Siau
Ling dengan takut. ”Sebentar bila ada orang datang dan tanya padamu, katakan Ong
Ling-hoa telah digondol pergi nona Cu Jitjit, jika ada orang bermaksud menolong dia,
lebih dulu akan kucabut nyawanya. ̈ Siau Ling mengangguk. Sesudah Jit-jit pergi,
dengan tertawa ia bergumam, ”Kalau ada orang datang, jelas kami pun sudah angkat
kaki. Untung uang mereka masih tertinggal di sini .... ̈
Jilid 19
Salju kembali turun lagi.
Meski tidak rendah Ginkang Cu Jit-jit, tapi dia memanggul seorang lelaki, betapa pun
gerak-geriknya tidak leluasa. Dengan sendirinya Ong Ling-hoa yang dibungkus
dengan selimut dan dipanggul itu juga tidak enak rasanya.
”Nona hendak membawaku ke mana? ̈ tanya Ong Ling-hoa akhirnya. ”Orang yang
berhak bicara dan memberi perintah di sini ialah diriku, tahu? ̈ jawab Jit-jit. ”Maka ke
mana pun akan kubawa dirimu bagimu lebih baik tutup mulut saja. ̈
”Menurut, ̈ sahut Ling-hoa sambil menyengir. Jit-jit memandang sekitarnya, suasana
sunyi tiada tertampak apa pun. Diamdiam ia rada gelisah, berkeliaran kian kemari
dengan memanggul seorang lelaki betapa pun bukan pekerjaan yang enak.
Akhirnya sampailah di suatu tempat, dilihatnya bekas roda kereta bersimpangsiur,
agaknya dia sudah sampai di jalan raya. Hendaklah maklum, jalan raya sudah
tertutup oleh salju sehingga sukar untuk mengenali jalan bila tidak ada bekas roda
kereta.
Jit-jit mendapatkan sepotong batu di bawah pohon yang sudah layu, di situ ia duduk
mengaso, Ong Ling-hoa dilemparkan di tepi jalan. Ong Ling-hoa memang tahan uji,
dia diam saja diperlakukan bagaimanapun oleh Cu Jit-jit, sebaliknya ia tetap
tersenyum simpul biarpun mukanya serasa beku kedinginan, dengan sendirinya
senyumnya lebih tepat dikatakan menyengir.
Selang tidak lama, tertampak sebuah kereta besar datang dari kejauhan. Mendadak
Jit-jit membentak sehingga perlahan kereta yang sudah mendekat itu dihentikan.
Belum lagi kusirnya bicara, sebuah kepala menongol keluar dari kabin kereta dan
menegur, ¡He, ada apa berhenti? Lekas jalan, kereta ini sudah kuborong, tidak
terima penumpang lagi.¡ ̈
Tapi Jit-jit tidak banyak cincong lagi, ia terus membuka pintu kereta seperti
keretanya sendiri. Tertampaklah tiga orang lelaki berdandan kaum pedagang duduk
di dalam, seorang di antaranya terasa sudah kenal, tapi Jit-jit tidak
memerhatikannya, ia membentak, ”Turun semuanya, lekas! ̈
Salah seorang lelaki yang bermuka bundar bertanya dengan terkejut, ”Turun? Ada
apa turun? ̈ ”Kalian bertemu dengan bandit, tahu? ̈ bentak Jit-jit pula. ”Ban ... bandit?
Di mana? ̈ orang itu bertanya pula dengan khawatir. ”Aku inilah banditnya? ̈ kata
Jit-jit sambil menuding hidungnya sendiri.
Melihat pada pinggang orang tergantung sebilah golok, ”cring ̈, segera Jit-jit
menariknya, golok itu ditekuk ke atas dengkul dan ”krek” ̈ kontan golok itu patah
menjadi dua.
Muka ketiga lelaki itu menjadi pucat, mereka tidak berani bicara lagi, buru-buru
mereka memberosot keluar kereta. Segera Jit-jit meraih Ong Ling-hoa dan
dilemparkan ke dalam kereta, lalu berseru, ”Lekas larikan keretamu, kusir! ̈ Agaknya
si kusir menjadi bingung juga karena ketakutan, ”Ya ... ya, nona ... tidak, Tay-ong
(raja, sebutan kepada kaum bandit), ke ... ke mana? ̈
”Langsung saja ke depan, bila perlu akan kuberi tahukan nanti, ̈ bentak Jit-jit.
Segera kereta itu dilarikan dengan cepat, ketiga lelaki tadi ditinggalkan begitu saja di
bawah hujan salju.
”Hehe, Tay-ong .... ̈ gumam Ong Ling-hoa dengan tertawa. ”Tak tersangka nona
manis telah berubah menjadi Tay-ong. ̈ Jit-jit menarik muka dan tidak
menggubrisnya.
Padahal ia pun merasa geli sendiri bila teringat kepada apa yang diperbuatnya tadi,
sebelum ini mimpi pun tak terpikir olehnya akan terjadi begini.
Setengah hari sebelum ini Sim Long masih berada di sisinya. Teringat kepada Sim
Long, bila anak muda itu tahu apa yang dilakukannya ini entah bagaimana
perasaannya, mungkin juga dia akan tertawa geli.
Tapi di manakah Sim Long saat ini? Mana dia dapat melihat apa yang
dilakukannya? Begitulah perasaan Cu Jit-jit kembali bergolak, sebentar sedih, lain
saat gembira.
”Apa pun juga saat ini Ong Ling-hoa telah jatuh dalam tanganku, dia pasti akan
tunduk kepadaku bila tidak ingin kusiksa, dia orang pintar, tentu dapat kulakukan
macam-macam urusan yang mengejutkan Sim Long, kelak dia pasti akan tahu juga
kelihaianku, ̈ demikian Jitjit berpikir.
Sampai di sini, ia jadi bersemangat, segera ia berteriak pula, ”Hai, kusir, percepat lari
kudamu supaya lekas sampai di kota, sebentar boleh cari hotel terbesar untuk
mengaso, banyak bekerja sedikit bicara, tentu akan kuberi persen lebih banyak. ̈
Akhirnya kereta benar berhenti di depan sebuah hotel besar. Dari saku Ong Ling-hoa
dapatlah Jit-jit melolos keluar segebung uang kertas, nilai nominal yang paling kecil
adalah lima ratus tahil perak. Begitu saja dia beri selembar kepada kusir.
Tentu saja hal ini membuat si kusir melongo kaget dan kegirangan. ”Tutup mulut
yang rapat, tahu? Kalau tidak, jiwamu bisa melayang! ̈ kata Jit-jit dengan suara
tertahan. Si kusir merasa seperti baru bermimpi, mimpi pertama terasa buruk, tapi
kemudian jadi mimpi mujur. Dengan begini, sampai tua dia tidak perlu menjadi kusir
lagi.
Sesudah masuk hotel, Jit-jit berikan sehelai cek yang bernominal seribu tahil perak
sebagai deposito di tempat kasir, pesannya, ”Taruh dulu di sini, pakai berapa nanti,
sisanya baru kembali, potong dulu 20 tahil sebagai tip untuk semua pegawai di sini,
berikan dua kamar kelas satu, usung orang sakit di dalam kereta ke dalam kamar. ̈
Seribu tahil perak itu serupa sebuah cambuk, seluruh pekerja hotel itu, dari kasir
sampai pelayan, semuanya telah dibuat tunduk habishabisan. Dalam sekejap saja
segala apa yang diperlukan telah siap seluruhnya.
Lalu Jit-jit memberi perintah pula kepada pelayan agar membelikan beberapa pasang
baju lelaki dan perempuan, lalu menyewakan sebuah kereta agar setiap saat
menunggu untuk dipakai.
Uang memang serbaguna, dalam waktu singkat saja pesannya sudah dipenuhi.
”Wah, nona sungguh royal sekali, ̈ ucap Ong Ling-hoa dengan tertawa. ”Kan
uangmu, tentunya hatimu sakit, bukan? ̈ jawab Jit-jit. ”Tidak, tidak sakit, aku sendiri
tidak mampu berkutik, kenapa merasa sakit? Jangankan nona cuma memakai
uangku, dagingku kau potong juga boleh. ̈
”Hm, cukup tahu diri juga, ̈ jengek Jit-jit. ”Sekarang hendak kutanya padamu, jika
kusuruh kau kerjakan sesuatu, kau tunduk atau tidak? Asalkan kau mau menurut,
jiwamu ada harapan akan kuampuni. ̈
”Perintah apa pun dari nona pasti akan kukerjakan, ̈ jawab Ong Ling-hoa. ”Baik,
pertama kali, lekas kau ganti rupamu sendiri, ̈ kata Jit-jit. ”Jangan bekernyit kening,
kutahu kotak rias selalu kau bawa, hal ini tentu dapat kau kerjakan. ̈
”Memangnya nona menghendaki kuganti rupa bagaimana? ̈ tanya Ling-hoa. Biji
mata Jit-jit berputar, katanya kemudian, ”Ganti rupa sebagai perempuan. ̈ Ong
Ling-hoa melengak, ”Perem ... perempuan? ̈ ”Ya. Memangnya kenapa, engkau tidak
mau? ̈ ”Aku ... aku khawatir tidak bisa mirip, ̈ sahut Ong Ling-hoa dengan muka
bersungut. ”Pasti mirip, ̈ ujar Jit-jit. ”Memangnya engkau rada mirip anak
perempuan. Nah, lekas keluarkan kotak rias, akan kubuka Hiat-to kelumpuhanmu
supaya dapat bergerak setengah badan, hendaknya lekas kau bekerja. ̈
”Nona minta kuganti rupa anak perempuan yang bagaimana? ̈ ”Umpamanya
bermuka ... bermuka putih beralis lentik, tapi dalam keadaan lesu seperti ... seperti
sakit tebese, dan ... dan tentu saja rambutnya harus kusut. ̈ Muka Ong Ling-hoa
memang rada mirip anak perempuan dan agak kepucatpucatan sehingga serupa
orang yang berpenyakitan setelah berias. Jit-jit memandangnya dengan tersenyum,
sebaliknya Ong Ling-hoa jadi menyengir.
Jit-jit lantas memilih seperangkat baju, katanya dengan tertawa, ”Baju ini disangka
pelayan akan kupakai, tak tahunya engkau yang memakainya. ̈
”Lantas apa pula perintah nona? ̈ tanya Ling-hoa dengan menahan rasa dongkol.
”Kau pun harus merias diriku. ̈ “Nona ingin ganti rupa apa? ̈ ”Berubah menjadi
lelaki. ̈ Ong Ling-hoa melengak, ”Le ... lelaki bagaimana? ̈
”Lelaki muda yang cakap, supaya tergila-gila tiap gadis yang melihatku. Tapi tidak
berbau perempuan agar tidak diketahui orang. Kan cara bicara dan gerakgerikku
juga rada mirip anak lelaki? ̈
”Wah, alangkah baiknya jika aku tidak paham ilmu rias, ̈ ujar Ong Ling-hoa dengan
menyesal. ”Hm, jika engkau tidak paham rias, sudah lama kubinasakan kau, ̈ jengek
Jit-jit. ***** Setelah menyamar, Jit-jit memang mirip anak muda yang tampan. Ia geli
sendiri ketika bercermin, gumamnya, ”Wahai Sim Long, bila sekarang kita berebut
seorang gadis, tentu engkau tak bisa mengalahkan diriku .... ̈
Teringat kepada Sim Long, dari geli ia jadi menyesal lagi. Hari sudah gelap. Tapi
suasana masih ramai, suara roda kereta dan ringkik kuda masih terus berkumandang
dari luar.
Mendadak Jit-jit membuka pintu dan memanggil pelayan. Dengan hormat pelayan
mendekati si nona. Waktu diketahui yang berhadapan dengan dia adalah seorang
Kongcu, ia jadi melengak, katanya dengan menyengir, “O, ki ... kiranya Kongcu
sudah sembuh. He, nona itu berbalik jatuh sakit? ̈
Jit-jit tahu orang menyangka dirinya adalah Ong Ling-hoa yang terbungkus selimut
tadi, ia merasa kebetulan, dengan tertawa ia menjawab, “Ya, dia sakit. Eh, ingin
kutanya padamu, mengapa hotelmu seramai ini? ̈
“Hotel kami biasanya memang cukup ramai, tapi juga jarang seramai sekarang ini,
entah mengapa selama dua hari ini tamu yang datang jauh lebih banyak daripada
biasanya. Kedua kamar untuk Kongcu ini pun khusus dikosongkan untukmu, ̈
demikian tutur si pelayan.
“Rombongan tamu macam apakah? ̈ tanya Jit-jit pula. ”Tampaknya
kebanyakan adalah pengawal barang, ̈ tutur pelayan.
”Ai, mereka bukan orang berkedudukan seperti Kongcu sehingga kurang tertib,
untuk ini diharap Kongcu suka memakluminya. ̈
”Baiklah, sudah jelas, pergilah, ̈ kata si nona. Pelayan lantas mengundurkan diri,
diam-diam ia heran mengapa yang lelaki sembuh secepat itu dan yang perempuan
mendadak jatuh sakit, caranya membuang uang seperti khawatir uang tidak laku lagi,
sebaliknya baju saja tidak bawa sendiri dan harus membeli. Tapi, peduli amat, yang
penting persennya gede, biar aku berlagak bisu dan buta saja.
Sesudah tutup pintu kembali, Jit-jit lantas tanya Ong Ling-hoa, ”Hai, di kota ini
mendadak berkumpul orang Kangouw sebanyak ini, tentu akan terjadi apa-apa lagi.
Sesungguhnya ada peristiwa apa, coba ceritakan. ̈
”Dari mana kutahu, ̈ jawab Ong Ling-hoa. ”Masa engkau tidak tahu? ̈ ”Dunia seluas
ini dan setiap hari bisa terjadi apa pun, masa semuanya dapat kuketahui? ̈ Jit-jit
mendengus. Tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, tanyanya pula, ”Coba jelaskan,
sebab apa rombongan Can Ing-siong begitu tiba di Jin-gi-ceng lantas mati semua? ̈
”Oo, ini ... ini pun aku tidak tahu, ̈ sahut Ong Ling-hoa. ”Bukan permainanmu? ̈
bentak Jit-jit. ”Ai, saat ini aku berada dalam cengkeramanmu, mati-hidupku
bergantung di tangan nona, apa yang nona minta kukerjakan masakah berani
kutolak, apa yang nona tanya tentu juga kujawab. Tapi bila yang kau tanya memang
tidak kuketahui, lalu apa yang harus kukatakan, biar mati pun tidak dapat
kujelaskan. ̈
”Hm, pada suatu hari pasti dapat kubikin kau bicara segalanya, sekarang belum tiba
saatnya, ̈ jengek Jit-jit. Setelah berpikir sejenak, mendadak ia membuka pintu pula
dan memanggil pelayan.
Kedatangan pelayan sekali ini terlebih cepat dan bertanya, ”Kongcu ada perintah
apa? ̈ ”Coba carikan sebuah joli dan dua orang bibi pengusung joli, aku mau
membawa keponakan perempuanku berkeliling kota, supaya dia mendapat hawa
segar dan melihat pemandangan. Nah, lekas! ̈
Cepat pelayan mengiakan dan berlari pergi. Sesudah pelayan pergi, Ong Linghoa
berseloroh, ”Keponakan perempuan? Ai, apakah keponakan serupa diriku tidak
terlalu besar bagimu? Kenapa tidak kau katakan Tacimu atau adikmu? Apalagi kalau
kau bilang istrimu, tentu orang akan lebih percaya. ̈
”Apakah mukamu sudah gatal dan minta digampar lagi? ̈ ancam Jitjit. ”Aku ... aku
hanya khawatir orang lain tidak percaya .... ̈ ”Jika tidak kukatakan engkau ini cucu
perempuanku kan sudah baik bagimu? ̈ jengek Jit-jit. ”Nah, sebentar akan kubawa
pesiar dirimu, akan kututuk Hiat-to kelumpuhan dan bisumu agar engkau tidak
banyak bertingkah. ̈
”Silakan berbuat saja sesukamu, masakah perlu kau katakan padaku? ̈ ujar Linghoa
sambil menyengir. *****
Joli yang disewa terbuat dengan kecil mungil dan cukup empuk, tanpa susah payah
dua orang bibi kekar itu dapat mengusungnya. Ong Ling-hoa ditutup dengan selimut,
hanya kepala saja yang menongol di luar, duduk di dalam joli tanpa bisa berkutik.
Jit-jit memandangnya dua-tiga kejap, diam-diam ia merasa geli juga, pikirnya, ”Oi,
Ong Ling-hoa, biasanya kau suka siksa orang, sekarang kau pun rasakan bagaimana
enaknya tersiksa. ̈
Ong Ling-hoa memang tersiksa, tapi bagaimana perasaannya tidak ada yang tahu.
Joli berjalan di depan, Jit-jit ikut di belakang, mereka terus putar kayun menyusuri
jalan raya dengan perlahan. Kota ini memang cukup ramai, pasar malam baru mulai,
yang berlalu-lalang di jalan raya memang tidak sedikit jago dunia persilatan, tapi tiada
seorang pun dikenal Cu Jit-jit. Dilihatnya wajah para jago persilatan itu sama
berseri-seri, hal ini menandakan umpama terjadi sesuatu di kota ini tentu juga bukan
peristiwa buruk.
Sekonyong-konyong dari jalan simpang sana muncul dua orang. Seorang lelaki
bermuka merah ungu, hidung besar serupa hidung singa, alis tebal dan mata besar,
perawakan kekar dan berjubah sutra ungu, kelihatan gagah perkasa.
Seorang lagi perempuan. Bentuk perempuan ini sungguh tidak serasi berdampingan
dengan si lelaki. Dia jauh lebih pendek, perawakannya boleh dikatakan seperti
segumpal daging, malahan pada pipinya memang tumbuh segumpal daging kecil atau
sejenis uci-uci.
Kedua orang yang tidak serasi ini berjalan bersama, tentu saja sangat mencolok dan
membuat orang heran dan geli. Tapi setiap orang persilatan yang melihat kedua
orang ini sama sekali tidak berani memperlihatkan rasa geli mereka, malahan bila
bertemu lantas memberi hormat.
Kedua orang ini juga dikenal oleh Cu Jit-jit, ia heran, ”Mengapa si Singa jantan Kiau
Ngo dan si Khong Bing betina Hoa Si-koh juga berada di sini? ̈
Dilihatnya Kiau Ngo dan Hoa Si-koh tidak menghiraukan orang-orang yang sama
menyapa dan memberi hormat kepada mereka. Terlebih Hoa Si-koh, perhatiannya
hanya tercurah kepada Kiau Ngo seorang saja.
Meski bentuk perempuan ini sangat jelek tapi dandanannya tampak lebih bersih dan
rajin daripada dahulu, mukanya juga kelihatan cemerlang.
Hanya memandang sekejap saja Cu Jit-jit lantas tahu itulah kecemerlangan cinta,
sebab ia sendiri pun pernah mengalami rasa bahagia demikian, walaupun sekarang
hal itu dirasakan hambar, bahkan pahit. Meski heran, diam-diam Jit-jit juga bergirang
bagi mereka. Biarpun Hoa Si-koh bukan wanita cantik, tapi dia terkenal sebagai
perempuan cendekia, dan hanya perempuan cendekia saja yang pantas berjodohkan
pahlawan.
Mereka bersimpang jalan dengan Cu Jit-jit, sesudah berhadapan, mereka hanya
memandang sekejap saja kepada Jit-jit dan tidak lebih. Nyata ilmu rias Ong Linghoa
memang sangat hebat dan dapat mengelabui siapa pun.
Sesudah lewat, masih juga Jit-jit menoleh, dilihatnya Kiau Ngo berdua telah masuk
ke sebuah restoran, namanya Wat-pin-lau. Dalam pada itu didengarnya orang berlalu
banyak yang kasak-kusuk membicarakan Kiau Ngo berdua, ada yang
memberitahukan kepada kawan yang tidak tahu bahwa Kiau Ngo dan Hoa Si-koh
adalah dua di antara ketujuh tokoh terkemuka dunia persilatan saat ini.
Diam-diam Jit-jit membatin, ”Nama ketujuh tokoh besar dunia persilatan memang
cukup gemilang, cuma sayang di antaranya terdapat juga manusia kotor serupa Kim
Put-hoan. ̈
Tiba-tiba timbul pikiran Jit-jit, katanya kepada kedua bibi pengusung joli, ”Kita juga
masuk ke restoran itu, bawalah nona ke atas. ̈ Dalam pada itu sorot mata Ong
Ling-hoa juga berubah seperti melihat seseorang tokoh yang aneh. Cuma dia
tertutuk Hiat-to bisunya sehingga tidak mampu bersuara.
Restoran Wat-pin-lau memang sangat luas, ratusan tamu ternyata belum lagi
memenuhi ruangannya. Kiau Ngo dan Hoa Si-koh berduduk di meja dekat jendela,
inilah tempat pilihan, jelas ada orang sengaja mengalah kepada mereka. Waktu Jit-jit
naik ke atas loteng restoran, terasa pandangan kedua orang yang tajam itu
meliriknya sekejap, habis itu keduanya lantas berbisik entah apa yang dibicarakan.
Jit-jit anggap tidak tahu, ia memilih sebuah meja di kejauhan sana, kedua bibi
pengusung mengangkat Ong Ling-hoa dan didudukkan di samping si nona.
Dandanan mereka tidak mirip orang Kangouw sehingga tidak menarik perhatian
orang lain. Tiba-tiba terdengar orang di meja samping mereka sedang bicara, ”Tak
tersangka urusan ini telah banyak mengejutkan orang, sampai kedua tokoh itu pun
muncul di sini. ̈
Yang bicara ini dirasakan Jit-jit seperti sudah pernah dilihatnya, cuma lupa entah di
mana. Orang ini bermuka putih, bibir merah dan gigi rajin, bajunya juga bersih, boleh
dikatakan cukup tampan.
Lalu seorang lagi menanggapi, ”Urusan ini memang tidak boleh diremehkan, menurut
pendapatku, kecuali mereka berdua tentu akan datang lagi tokoh-tokoh lain, boleh
kau lihat saja nanti. ̈
Jit-jit lagi memilih santapan, diam-diam ia heran urusan apakah yang dimaksudkan
mereka dan mengapa sampai mengagetkan para tokoh Kangouw?
”Ya, setiap orang Bu-lim yang berkunjung ke kota ini tentu akan masuk ke Wat-
pin-lau ini, biarpun hidangan di sini mahal dan tidak enak juga bukan soal, betapa
pun harus menghormati pemiliknya, ̈ ujar pemuda pertama tadi.
Kembali Jit-jit merasa heran, siapakah pemilik restoran ini, apakah juga kesatria yang
ternama? Ia coba menyapu pandang para tamu, dilihatnya sebagian besar tamunya
memang terdiri dari orang Kangouw. Dari pakaian mereka tidak sulit untuk
mengetahui siapa mereka.
Di antara berbagai bentuk tetamu itu, Jit-jit merasa tidak ada seorang pun yang
menonjol. Tapi mendadak dilihatnya satu orang, seketika ia tertarik. Bentuk orang ini
juga tidak luar biasa, bahkan di antara para tamu bentuknya boleh dikatakan sangat
umum. Tapi entah mengapa, di tengah kewajaran orang ini seakan-akan ada
sesuatu yang luar biasa dan tidak umum.
Dalam hal apa dirasakan luar biasa, Jit-jit sendiri tidak dapat menjelaskan. Usia
orang ini kira-kira setengah abad, mukanya kuning, alisnya halus dan matanya kecil,
berjenggot jarang-jarang seperti bandot atau kambing tua, memakai baju kulit yang
sudah agak lusuh.
Tampaknya orang ini cuma seorang pedagang biasa, atau mungkin seorang
pensiunan pegawai negeri, karena hawa dingin, maka minum arak sekadar
menghangatkan badan.
Takaran minum arak orang ini sungguh hebat. Jika dibilang ada sesuatu yang luar
biasa dan aneh pada orang ini, maka di sinilah letak keanehan itu.
Di depan mejanya tertaruh dua macam hidangan, tapi poci arak yang tersedia
adalah tujuh atau delapan buah, cawan arak juga sama banyaknya.
Caranya minum arak sungguh asyik dan lain daripada yang lain, dengan sebelah
tangan membelai jenggotnya, tangan yang lain memegang cawan arak, mata
setengah terpicing seperti lagi menikmati betapa rasanya arak ini, lalu tersenyum dan
manggutmanggut, terkadang juga berkerut kening dan menggeleng kepala.
Nyata isi beberapa poci arak itu berbeda-beda, jadi dia sedang menikmati rasa arak
yang berlainan itu. Dia khawatir rasa arak terbaur, maka menggunakan beberapa
cawan untuk mengisi setiap jenis arak yang diminumnya.
Tampaknya dia cuma seorang kakek yang gemar minum arak tapi juga ahli minum,
orang lain takkan berbuat jahat padanya, dia juga tidak memperlakukan jahat kepada
orang lain. Tapi entah mengapa, setelah memandangnya beberapa kejap, mendadak
timbul semacam rasa muak, jemu dan juga jeri dalam hati Jit-jit, dia sendiri tidak tahu
mengapa bisa timbul perasaan demikian. Ia merasa tidak ingin memandangnya lagi,
rasanya kalau memandangnya lagi mungkin akan mendatangkan sesuatu
malapetaka baginya.
Perasaan aneh Cu Jit-jit ini entah juga dirasakan orang lain atau tidak, yang jelas si
kakek seperti sudah tenggelam dalam isi cawannya, sama sekali ia tidak peduli
bagaimana perasaan orang lain terhadapnya.
Ternyata Ong Ling-hoa pun sedang menatap orang tua itu dengan sorot mata yang
aneh juga. Dengan suara tertahan Jit-jit bertanya, ”Apakah kau kenal orang itu? ̈
Ling-hoa menggeleng. Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar serentetan
gelak tertawa di bawah loteng.
Seorang lagi berkata, ”Mengapa sekian lama Toako tidak kelihatan, sungguh kami
sangat merindukan Toako. Bilamana Toako telah hidup bahagia, seharusnya berita
ini disampaikan kepada kami. ̈
”Bahagia kentut, ̈ demikian seorang lagi menanggapi dengan tertawa. ”Selama dua
hari ini aku berlari kian kemari, kalau tidak bertemu dengan Nio Ji mungkin takkan
tahu kalian berada di sini. ̈
Belum lagi Jit-jit melihat orang yang bicara itu, cukup dari suara tertawanya yang
riang itu sudah diketahuinya siapa dia. Seketika hatinya terasa hangat, serupa habis
minum sepoci arak.
Ong Ling-hoa juga tahu siapa orang itu, diam-diam ia berkerut kening. Kiranya orang
ini ialah Him Miau-ji alias si Kucing. Di tengah gelak tertawa, beberapa lelaki
berkopiah miring dan berjaket yang sengaja diterbalikkan muncul ke atas loteng
mengiringi Him Miau-ji yang berwajah cerah.
Pelayan restoran juga berkerut kening. Wat-pin-lau ini bukan sembarangan restoran,
meski mereka tidak menolak kunjungan kaum kesatria Kangouw, tapi kawanan bajul
begini mengapa sekarang juga berani masuk ke restoran ini?
Beberapa pelayan saling memberi isyarat, dua orang lantas memapak kedatangan
mereka, seorang lagi berlari ke dalam untuk melapor.
Segera hati Cu Jit-jit bergembira. Ia tahu bakal melihat tontonan menarik lagi. Dada
baju Him Miau-ji tampak setengah terbuka, sebuah buli-buli arak tergantung di
pinggangnya, matanya yang besar dan terang itu sedang memandang kian kemari.
Sesudah berhadapan, dengan senyum yang dibuat-buat si pelayan berkata, ”Maaf,
sudah penuh semua tempat duduk, silakan berkunjung ke tempat lain saja. ̈
Alis si Kucing yang tebal itu menegak, katanya, ”Bukankah di sana masih ada tempat
kosong? ̈ ”Tempat itu sudah dipesan orang, ̈ sahut pelayan dengan dingin. Seorang
lelaki tegap di samping si Kucing menjadi marah, teriaknya, ”Siapa yang pesan?
Dasar mata anjing suka menilai rendah orang kecil, tuan besar juga punya uang
perak, kenapa kau tolak kami? ̈
”Jika punya uang boleh silakan digunakan di tempat lain saja, seumpama masih ada
tempat kosong juga takkan kuberikan padamu, memangnya kau mau apa? ̈ Lelaki itu
meraung murka dan menubruk maju terus menjotos. Ternyata si pelayan juga bisa
dua-tiga jurus, dengan gesit ia sempat mengelak.
Serentak pelayan yang lain membanjir tiba, kawanan lelaki kekar itu pun
menyingsing baju dan mendelik, sambil mencaci maki kedua pihak lantas saling
labrak.
Tapi baru saja saling genjot beberapa kali, beberapa pelayan mendadak mencelat
satu per satu, semuanya terlempar ke luar loteng.
Diam-diam Jit-jit berkeplok gembira, ”Aha, si Kucing telah turun tangan! ̈ Semula
para tamu tidak memerhatikan perkelahian itu, tapi sekarang mereka sama
melengak, perhatian mereka lantas terpusat ke arah si Kucing.
Si Kucing masih tertawa haha-hihi seperti tidak terjadi sesuatu, katanya, ”Haha, mari
kita mencari tempat duduk sendiri, kalau tidak ada pelayan, biarlah kita makan
minum melayani diri sendiri, yang
pasti hari ini kita akan makan di restoran Wat-pin-lau ini. ̈
”Betul, mari kita makan minum melayani diri sendiri, ̈ seru orang banyak. Tiba-tiba
pemuda tampan di meja sebelah Jit-jit berkata dengan tertawa, ”Sungguh lelaki yang
gagah dengan kungfu yang hebat. ̈ Tapi kawannya lantas menanggapi, ”Meski gagah
dan hebat, bisa jadi sebentar lagi dia akan menghadapi kesulitan. ̈ Dalam pada itu
semua orang sudah melihat dari belakang telah muncul beberapa orang. Him Miau-ji
juga melihatnya, seketika ia berhenti di tempat.
Suasana gaduh di atas restoran segera berubah sunyi. Mestinya Jit-jit ingin bertaruh
dengan orang di meja sebelah bawah Him Miau-ji pasti takkan menghadapi sesuatu
kesulitan. Tapi demi melihat kemunculan beberapa orang dari ruang dalam itu,
seketika bergetar juga hatinya, mestinya dia mau bicara, tapi urung.
Didengarnya pemuda cakap di meja sebelah lagi mendesis, ”Aneh, mengapa dia
juga berada di sini. ̈ ”Ya, memang rada aneh, ̈ sahut temannya. ”Meski dia pemilik
restoran ini, tapi sepanjang tahun hampir tidak pernah berkunjung kemari. Sungguh
tak terduga hari ini dia juga datang kemari. ̈
”Jika dia di sini, pemuda sembrono itu mungkin benar akan menghadapi kesulitan, ̈
ujar pemuda tampan itu. ”Dia ̈ yang dimaksudkan mereka jelas adalah seorang yang
muncul paling depan dari ruangan dalam restoran. Pengikut yang lain ada enam atau
tujuh orang.
Perawakan orang yang dimaksud ini tidak terlalu kekar, namun perbawanya sungguh
luar biasa. Dia memakai baju panjang biru, meski tidak mewah, namun potongannya
sangat pas dengan tubuhnya sehingga sangat enak dipandang.
Usianya jelas tidak muda lagi, tapi juga belum terlalu tua, mukanya tidak terlalu putih
dan juga tidak hitam. Matanya tidak tergolong besar, namun sinar matanya membuat
orang sungkan memandangnya.
Di atas bibirnya ada kumis tipis dan terawat rajin, karena kumis inilah membuat
wajahnya yang kereng itu kelihatan agak menarik. Pada tubuhnya tidak terdapat
sesuatu benda yang berharga, tapi setiap orang asalkan memandangnya sekejap
pasti dapat melihat dia berasal dari keluarga kaya raya.
Dalam keadaan dan di tempat begini mendadak muncul seorang tokoh seperti ini,
tentu saja sangat menarik perhatian orang. Baik kenal maupun tidak,
semuanya sama memperkirakan si pemuda sembrono alias si Kucing pasti akan
rasakan akibatnya.
Tapi Him Miau-ji tetap berseri, matanya yang besar tetap menatap orang tanpa
berkedip, betapa tajam pandangan orang juga tidak membuatnya gentar.
Tapi pandangan si baju biru tidak cuma menatap Him Miau-ji saja, ia menyapu
pandang seluruh ruangan restoran dan menegur sapa kepada setiap orang yang
dikenalnya, katanya dengan tertawa, ”Ai, para sahabat sudi berkunjung, sepantasnya
kusambut sejak tadi, cuma .... ̈
”Haha, kau khawatir sahabatmu minta dijamu olehmu, dengan sendirinya kau main
sembunyi dan pura-pura tidak tahu, ̈ mendadak si Kucing menyela dengan tertawa.
Si baju biru berlagak tidak mendengarnya, sambungnya, ”Jika ada pelayanan yang
kurang lengkap, mohon sudi dimaafkan .... ̈ ”Pelayanan di sini memang tidak
lengkap, juga tidak dapat dimaafkan, ̈ tukas si Kucing lagi. ”Silakan saudara makan
minum dengan tenang .... ̈
Belum lanjut ucapan si baju biru, segera si Kucing memotong lagi, ”Jika di sini ada
orang berkelahi, cara bagaimana bisa makan minum dengan tenang? ̈
Meski setiap kali bicara selalu dipotong oleh si Kucing, namun si baju biru sama
sekali tidak memperlihatkan rasa gusar, hanya sorot matanya mulai beralih ke arah
Him Miau-ji.
”Lihat apa? Apa tidak kenal? ̈ tanya si Kucing. ”Ya, memang terasa asing, ̈ kata si
baju biru. ”Haha, tidak kenal lebih baik, kalau kenal tentu tidak jadi berkelahi, ̈ seru si
Kucing dengan tertawa. ”Jika Anda ingin berbuat lain mungkin ada kesukaran, kalau
mau berkelahi, hal ini sangat gampang. Cuma di sini penuh tetamu, marilah kita
turun .... ̈
”Apa artinya berkelahi tanpa penonton? ̈ Air muka si baju biru rada berubah, ”O, jadi
kedatanganmu ini memang sengaja mencari perkara padaku. ̈ ”Kau ganggu pihakku,
dengan sendirinya kucari perkara padamu. ̈ ”Hahaha, bagus! Aku .... ̈ ”Tak perlu kau
sebut namamu yang besar, ̈ sela si Kucing. ”Jika sengaja hendak kucari perkara
padamu, peduli siapa kau toh pasti akan kulabrak juga. Apa gunanya kau sebutkan
namamu segala? ̈
”Hm, alangkah pongahnya anak muda ini! ̈ teriak si baju biru dengan gusar.
”Orang tidak mengganggu diriku, aku pun takkan merecoki orang, jika orang berbuat
salah padaku, maka kutanggung takkan pernah ada kompromi. ̈
Dua lelaki kekar yang berdiri di samping si baju biru tidak tahan lagi, sambil meraung
mereka menubruk maju, empat kepalan besar terus memburu ke atas kepala si
Kucing sambil membentak, ”Turun! ̈
Baru lenyap suaranya, benar juga segera ada orang turun. Tapi bukan Him Miau-ji
melainkan kedua lelaki itu yang terguling ke bawah loteng.
Rupanya waktu pukulan kedua orang itu menyambar tiba, sekali tangan si Kucing
menangkis, seketika tangan kedua orang itu serasa membentur tiang besi, sekujur
badan lantas kaku, kesempatan itu digunakan oleh si Kucing untuk mencengkeram
pergelangan tangan mereka, sekali tarik terus didorong lagi, kontan tubuh kedua
orang yang besar itu mencelat dan terguling ke bawah. Tentu saja kejadian ini
sangat menggemparkan para penonton, sampai Kiau Ngo dan Hoa Si-koh juga
berdiri, ingin melihat lebih jelas bagaimana bentuk anak muda yang perkasa ini.
Serentak anak buah Him Miau-ji bersorak gembira. Hanya si kakek yang di
depannya tertaruh beberapa poci arak itu masih tetap adem ayem dan asyik
menikmati araknya sendiri. ”Bagaimana, apakah giliranmu sekarang? ̈ tanya si
Kucing terhadap si baju biru. Tanpa bicara, perlahan si baju biru menanggalkan
bajunya, dilipatnya dengan hati-hati, lalu diserahkan kepada seorang pengikutnya,
habis itu baru berkata, ”Silakan! ̈
Menghadapi pertarungan maut, si baju biru masih tetap tenang saja, seperti yakin
dirinya pasti akan menang. Kalau tidak masakah dia dapat bertindak sesabar ini?
Si Kucing tertawa, ”Haha, mau berkelahi boleh turun tangan saja, pakai silakan apa
segala? Dalam hatimu tentu ingin sekali jotos membikin hidungku peyot, tapi di mulut
kau bicara seramah ini, kita kan tidak ingin berbesanan? ̈
”Apakah sudah pasti engkau tak mau turun tangan lebih dulu? ̈ tanya si baju biru.
”Setiap kali berkelahi, aku memang tidak pernah menyerang lebih dulu, ̈ sahut si
Kucing dengan tertawa. ”Apa betul? ̈ si baju biru menegas.
”Kalau kukatakan begitu, tentu saja betul, ̈ kata si Kucing. ”Nah, aku berdiri di sini,
sekujur badanku terbuka, silakan kau pilih, mana suka bagian yang hendak kau
pukul. ̈
Si baju biru tidak memukul seperti apa yang diminta si Kucing, sebaliknya ia
mengawasinya dari kepala sampai ke kaki, lalu dari kaki ke kepala, kemudian ia
membalik tubuh, diambilnya kembali bajunya dari pengiringnya tadi, baju dikebut,
perlahan lantas dipakai kembali.
Keruan si Kucing berbalik heran, ”Hei, apa-apaan kau ini? ̈ Dengan kalem si baju biru
menjawab, ”Jika berkelahi, selamanya aku pun tidak pernah menyerang lebih dulu.
Jika engkau juga tidak mau menyerang dulu dan aku pun sama lalu cara bagaimana
perkelahian ini dapat berlangsung? ̈
Dia lantas mengangkat kedua tangan ke atas dan memberi hormat kepada para
tamu, serunya dengan tertawa, ”Silakan hadirin duduk kembali dan makan minum
sepuasnya, semua rekening biar dihitung atas bebanku. ̈
Habis berkata ia lantas masuk kembali ke ruangan dalam. Tindakan ini sungguh
sangat di luar dugaan siapa pun, bukan saja Him Miau-ji berdiri melongo, semua
orang juga melenggong bingung.
Semula semua orang berharap akan menyaksikan pertandingan yang menarik, siapa
tahu urusan berakhir cara demikian, hanya suara guntur saja berbunyi, tapi hujan
tidak pernah turun.
Di antara orang-orang itu hanya Cu Jit-jit saja yang sejak mula tidak menghendaki
kedua orang itu jadi berkelahi, sebab dia akan serbasusah siapa pun yang akan
keluar sebagai pemenang di antara kedua orang itu.
Kini urusan telah selesai begitu saja, keruan girangnya tidak terkatakan, diamdiam ia
juga merasa geli, ”Perangainya ternyata tidak berubah, pertarungan yang tidak yakin
akan menang tidak mau dilakukannya. ̈
Sebelum ini keadaan sunyi senyap, tapi sekarang telah berubah ramai lagi. Semua
orang sama membicarakan kejadian tadi, ada yang menggerutu, ada yang kecewa,
dan ada juga yang bersyukur. Tapi apa pun juga, kalau dapat makan minum dengan
gratis tentu juga menyenangkan.
Maka Him Miau-ji dan rombongannya lantas mencari meja kosong dan berduduk,
tanpa diminta segera santapan dan arak diantarkan tanpa putus.
Biji mata Cu Jit-jit berputar, mendadak ia berdiri dan menyapa pemuda cakap di meja
sebelah, ”Maaf! ̈ Pemuda itu tercengang, terpaksa ia pun berbangkit dan menjawab,
“O, ada apa? ̈ Melihat orang merasa bingung, Jit-jit merasa geli, cepat ia bicara lagi,
”Bila tidak keberatan, bagaimana kalau saudara makan bersama satu meja dengan
kami? ̈
”O, ini ... ini agak repot, kan saudara membawa anggota keluarga, mana berani
kuganggu, ̈ ujar pemuda itu. ”Ah, tidak menjadi soal, ̈ kata Jit-jit. ”Dia bukan anak
gadis atau bakal menantu segala, pada hakikatnya dia bukan perempuan .... ̈
Pemuda tampan itu melenggong lagi, jelas dandanan Ong Ling-hoa adalah
perempuan, mengapa dikatakan bukan orang perempuan? Memangnya orang gila?
Diam-diam Jit-jit tertawa geli, sedapatnya ia menahan perasaannya dan berkata,
”Kumaksudkan keponakan perempuanku yang kurang enak badan ini sifatnya
sehari-hari tiada ubahnya seperti anak lakilaki, maka Anda tidak perlu pantang,
silakan pindah ke sini saja. ̈
“O, kiranya begitu, ̈ pemuda itu merasa lega. ”Jika ... jika begitu biarlah kuganggu
sebentar. ̈ Setelah dia pindah ke meja Cu Jit-jit dan minum arak secawan. Jit-jit terus-
menerus memandangi pemuda ini, keruan orang menjadi kikuk, katanya dengan
menunduk, ”Sesungguhnya ada ... ada petunjuk apa yang hendak Anda bicarakan? ̈
”Soalnya kurasakan wajahmu seperti sudah pernah kulihat, tapi tidak ingat di mana
kita pernah berjumpa, ̈ ujar Jit-jit dengan tertawa. Pemuda itu termenung sejenak,
tanyanya kemudian, ”Apakah boleh kutanya nama Anda yang terhormat? ̈ “Aku Sim
Long, ̈ jawab Jit-jit. ”Hah, jadi Anda ini Sim Long? ̈ seru pemuda itu kaget. Karena
suara orang cukup keras, Jit-jit jadi kaget juga dan khawatir didengar oleh Kiau Ngo.
Untung suasana di atas loteng sangat ramai sehingga tidak ada orang lain yang
memerhatikan mereka.
Legalah hati Jit-jit, katanya kemudian, ”Masa ... masa kau kenal aku? ̈ ”Meski
Sim-heng tidak kukenal, namun nama kebesaranmu sudah lama kudengar. ̈ ”Oo,
masa ... masakah namaku begitu terkenal? ̈ tanya Jit-jit. Dengan sungguh-sungguh
si pemuda menjawab, ”Mungkin Sim-heng sendiri sungkan menyiarkan nama
kebesaran sendiri, tapi ada beberapa kawanku semuanya sama memuji Sim-heng
adalah tokoh nomor satu dunia Kangouw zaman ini, tak tersangka hari ini dapat
kujumpai di sini. ̈
Aneh juga, meski sekarang Jit-jit sangat benci kepada Sim Long, tapi demi
mendengar orang memujinya, hatinya ikut gembira juga, dengan tertawa ia
menjawab, ”Ah, mana .... Anda terlampau memuji. Numpang tanya siapakah nama
Anda yang mulia? ̈
”Cayhe Sing Hian, ̈ jawab pemuda itu. ”Sing Hian? Jangan-jangan Sing-kongcu dari
Sing-keh-po (benteng keluarga Sing)? ̈
”Terima kasih, memang betul. ̈ ”Aha, pantas aku merasa sudah pernah kenal dirimu,
kiranya engkau ini adik Sing Ing. Wajahmu memang rada mirip dengan kakakmu. ̈
”O, kiranya Sim-siangkong kenal kakak? ̈ ”Ya, kenal .... ̈ ”Kedatanganku ini justru
ingin mencari kakak, ̈ tutur Sing Hian dengan girang. ”Sim-siangkong telah
menjelajahi seluruh wilayah Kanglam, tentu engkau mengetahui di mana beradanya
kakak. ̈
Hati Jit-jit tergetar, tiba-tiba terpikir olehnya bisa jadi Sing Ing juga mengalami nasib
nahas serupa Can Ing-siong dan lain-lain yang ikut pergi ke Jin-gi-ceng dan terbunuh
di sana.
Untung Jit-jit dalam keadaan menyamar sehingga perubahan air mukanya tidak
terlihat, cepat ia berkata pula, ”Bulan yang lalu memang pernah kulihat kakakmu satu
kali, tapi ke mana perginya lagi tidak diketahui. ̈
Sing Hian menghela napas, ”Sudah lebih setengah tahun kakak meninggalkan
rumah dan tidak ada kabar beritanya lagi, kedua orang tua di rumah sama
mengkhawatirkan dia, sebab itulah Siaute disuruh keluar mencarinya. ̈
Cepat Jit-jit membelokkan pokok persoalan, ”Tampaknya banyak kaum orang gagah
berkumpul di sini, kuyakin pasti ada peristiwa besar, dan entah ... entah ada urusan
apa, mungkin Sing-heng tahu? ̈
”Peristiwa ini memang benar urusan penting, ̈ tutur Sing Hian. ”Soalnya kedudukan
ketua Kay-pang sudah lama lowong, sebab itulah para anak murid Kay-pang
mengundang kehadiran para kesatria ke sini untuk menyaksikan pemilihan Pangcu
mereka. ̈ “O, kiranya urusan ini, ̈ ucap Jit-jit.
Dengan sendirinya urusan ini ada sangkut pautnya dengan Ong Ling-hoa, tanpa
terasa ia melirik Ong Ling-hoa sekejap, dilihatnya sinar mata Sing Hian juga lagi
melirik anak muda itu.
Sudah cukup banyak Sing Hian bicara, setiap kali dia omong sesuatu, selalu ia
melirik ke arah Ong Ling-hoa. Maklumlah, Ong Ling-hoa memang seorang pemuda
tampan, kini dirias menjadi wanita, di bawah cahaya lampu dengan sendirinya
kelihatan cantik dan memesona. Lebih-lebih kedua matanya yang jalang itu, sungguh
menggetar sukma. Apalagi dalam keadaan tak bisa berkutik sekarang, sorot matanya
yang
sayu menampilkan rasa menyesal, susah dan cemas, sungguh membuat orang
merasa kasihan padanya.
Seketika Sing Hian sampai terkesima. Sebaliknya hampir mulas perut Jit-jit saking
gelinya, biji matanya berputar, tibatiba ia berkata pula, ”Eh, Sing-heng, bagaimana
menurut pendapatmu atas diri keponakan perempuanku ini? ̈
Muka Sing Hian menjadi merah, sahutnya dengan menunduk rikuh, ”O, ini .... ̈ Ia
tidak dapat menjawab, terpaksa cuma berdehem saja. Dengan menahan rasa geli
Jit-jit berkata pula, ”Ai, usia keponakanku ini pun tidak kecil lagi, cuma penilaiannya
terlalu tinggi, siapa pun tidak terpandang olehnya, maka sampai saat ini belum lagi
mendapat jodoh. Apabila ada pemuda yang setimpal, harap Singheng suka
memperkenalkannya. ̈
Dengan muka merah akhirnya Sing Hian memberanikan diri untuk bertanya, ”Entah
... entah orang macam apa yang memenuhi syarat? ̈ “Pertama, harus muda dan
tampan. Kedua, harus keturunan keluarga terhormat. Ketiga, harus ... ah, pendek
kata, asalkan orang semacam Sing-heng sudah pasti memenuhi syarat. ̈
Sing Hian terkesiap dan bergirang, juga malu, tanpa terasa ia melirik Ong Linghoa
lagi sekejap, lalu cepat menunduk. Sebaliknya tidak kepalang gemas Ong Ling-hoa
dan serba runyam, sungguh lidah Cu Jit-jit ingin dipotongnya, biji mata Sing Hian
juga ingin dicungkilnya.
Cu Jit-jit merasa geli, ia terpingkal-pingkal hingga air mata pun hampir tercucur, tapi
juga tidak berani mengeluarkan suara tertawa sehingga terpaksa ditahan sekuatnya.
Pada saat itulah mendadak seorang berteriak, ”Hei, Sim ... Sim Long, Simkongcu! ̈
Jit-jit terkejut, cepat ia memandang ke sana. Dilihatnya Kiau Ngo telah membuka
jendela dan berseru ke luar, ”Sim Long .... ̈ Segera Him Miau-ji juga melompat ke
luar secepat anak panah. Sing Hian juga heran, gumamnya, ”Sim-siangkong berada
di sini, mengapa mereka berseru ke luar? ̈ Jit-jit tertegun, sahutnya dengan
gelagapan, ”Mana ... mana kutahu. ̈ ”Ah, barangkali ada orang yang bernama
sama, ̈ ujar Sing Hian. ”Ya, benar, memang banyak sekali di dunia ini orang yang
bernama sama, ̈ cepat Jit-jit menukas. Ia tahu sekali Him Miau-ji melompat turun,
segera Sim Long akan diseretnya ke atas loteng.
Maka tanpa berkedip ia memandang ke arah ujung tangga dengan hati berdebar.
Entah girang, kejut, gemas atau benci.
Dan akhirnya benarlah Him Miau-ji telah menyeret Sim Long ke atas, belum lagi
mereka muncul, suara tertawa mereka sudah bergema.
”Haha, mata kucing sungguh tajam luar biasa, ̈ demikian terdengar Sim Long
berseloroh. ”Tapi bukan aku yang memergokimu, ̈ ujar si Kucing. Dengan
menggereget Jit-jit memandang ujung tangga. Akhirnya tertampak kepala anak muda
yang dicintai dan juga dibenci ini, lalu terlihat alisnya yang kereng dan matanya yang
bersinar dan kemudian wajahnya yang selalu menampilkan semacam senyuman
aneh itu.
Meski tangan Jit-jit terkepal, tidak urung rada gemetar juga, sungguh ia ingin tonjok
mulut Sim Long supaya dia tidak dapat tersenyum lagi.
Hanya terlihat Sim Long dan Him Miau-ji saja, Kim Bu-bong tidak ikut serta, hal ini
juga tidak diperhatikan Jit-jit, asalkan melihat Sim Long, urusan lain tidak terpikir lagi
olehnya.
Kini pandangan semua orang juga sama tertuju ke arah Sim Long, sampai si kakek
peminum juga berubah aneh mendadak. Dengan langkah lebar Kiau Ngo lantas
menyongsongnya sambil menyapa, ”Aha, apakah Sim-kongcu masih ingat kepada
orang she Kiau? ̈
Segera Sim Long berseru, ”Ah, kiranya Kiau-tayhiap, selamat bertemu. ̈ ”Nah, yang
melihatmu ialah dia, ̈ ujar Him Miau-ji dengan tertawa. ”Sebab itulah Sim-kongcu
harus berduduk di mejaku sana, ̈ kata Kiau Ngo. ”Wah, caramu menarik tamu
ternyata boleh juga, ̈ kata si Kucing. ”Selain dia kutarik, juga kutarik dirimu, ̈ ujar
Kiau Ngo dengan tertawa. ”Bahwa engkau adalah sahabat Sim-kongcu juga,
sungguh sangat beruntung bagiku. ̈
Dengan tertawa lepas si Kucing berkata, ”Haha, bagus sekali, biarlah kita duduk
bersama satu meja, toh sama-sama tidak bayar, ke sana atau ke sini juga sama saja.
Cuma sudah sekian lama Sim-heng menghilang, ingin kuhormati dulu satu cawan. ̈
”Hah, cuma satu cawan, arak tanpa bayar, masa begitu pelit kau? ̈ seru Kiau Ngo
dengan tergelak. ”Hah, betul, sedikitnya harus sepuluh cawan, ̈ sahut si Kucing
dengan tertawa. Dan begitulah Sim Long lantas disongsong ke meja sana. Dengan
demikian suasana restoran bertambah ramai, beberapa orang berebut menuangkan
arak bagi Sim Long, suara tertawa dan teriakan hiruk-pikuk memekak telinga.
Mendadak Jit-jit menggebrak meja dan berteriak, ”Ayo, angkat nona dan pergi! ̈ ”Eh,
kenapa saudara tergesa-gesa? ̈ tanya Sing Hian bingung. ”Aku tidak biasa melihat
orang macam begitu, ̈ jengek Jit-jit. Bilang tidak biasa melihatnya, tidak urung ia
melirik lagi ke sana, lalu dengan menggereget ia berbangkit dan mendesak kedua
bibi lekas mengusung pergi Ong Ling-hoa.
Sing Hian tertegun sejenak, mendadak ia memburu maju dan bertanya, ”Eh, di
manakah Sim-heng bermalam? ̈ Jit-jit tidak sabar lagi bicara dengan dia, dengan tak
acuh ia menjawab, ”Di hotel yang paling besar sana. ̈ Segera ia turun ke bawah
dengan langkah yang dientak-entakkan. Sing Hian memandangi kepergiannya
dengan termenung, gumamnya, ”Mengapa sifat Simsiangkong ini sedemikian aneh?
.... ̈
Tiba-tiba teringat olehnya meski Sim-siangkong yang ini sudah pergi, kan masih ada
Sim-siangkong yang lain di sana, tanpa terasa ia berpaling ....
Ternyata Sim-siangkong yang sana sudah menghabiskan belasan cawan arak.
Biarpun paling sedikit sudah 17 cawan arak diminumnya, namun air muka Sim Long
tidak berubah sama sekali, tidak ada tanda-tanda pengaruh alkohol, sinar matanya
masih tajam, masih jernih.
Banyak orang memandangnya dengan heran kagum dan memuji, tapi juga ada yang
merasa iri dan benci. Namun Sim Long tidak menghiraukan pandangan orang lain
dan bagaimana perasaan mereka terhadapnya, yang penting baginya dia tetap
mempertahankan kesadarannya, dalam pandangan orang lain hal ini mungkin
mengagumkan, tapi bagi Sim Long sendiri hal ini adalah suatu penderitaan. Orang
yang selalu sadar, penderitaan yang dirasakan tentu akan jauh lebih banyak
daripada orang lain.
Manusia, terkadang akan lebih enak dalam keadaan tidak sadar. Memandangi Him
Miau-ji yang lagi bergelak tertawa itu, Sim Long justru kagum kepadanya. Si Kucing
lebih suka melepaskan segalanya dan juga melupakan segalanya. Pada waktu
bergembira, si Kucing benar-benar gembira.
Sebaliknya meski saat ini Sim Long juga gembira, tapi tetap tidak dapat melupakan
segala macam penderitaan. Yang terlihat olehnya sekarang adalah orang-orang
yang gembira, tapi dalam hati senantiasa terbayang orang yang lagi menderita.
Mereka, Cu Jit-jit, Pek Fifi, Kim Bu-bong .... Jit-jit sudah pergi, tidak diketahuinya
nona itu berada di mana? Meski dia yang mengusir kepergian nona itu, tapi mau tak
mau dia berkhawatir juga baginya.
Kekerasannya terhadap kepadanya. Cinta yang sudah tebal akan berubah menjadi
tipis. Tapi semua ini mana dapat dimengerti oleh Cu Jit-jit. Cu Jit-jit juga kebesaran
cintanya
Dan di manakah Pek Fifi? Anak perempuan yang sebatang kara ini sekarang berada
dalam cengkeraman kaum iblis. Meski tidak ada sesuatu hubungan antara si nona
dan dirinya, tapi selalu dirasakannya wajib mengatur seperlunya bagi nasib anak
perempuan itu, bagi masa depannya.
Tapi sekarang, jika terjadi sesuatu atas nona itu, sungguh dia merasa berdosa. Ia
ingin menolongnya, tapi ke mana dapat ditemukannya?
Lalu mengenai Kim Bu-bong, dia juga sudah pergi. Kim Bu-bong sendiri yang
berkeras mau pergi. Lelaki seperti Kim Bubong, bilamana dia bertekad ingin pergi,
siapa pula yang mampu mencegahnya?
Sim Long dapat mengerti tekad Kim Bu-bong itu, dengan sendirinya ia tidak dapat
memaksanya, ia cuma bertanya ke mana dia akan pergi dan bagaimana rencananya
di kemudian hari?
Namun Kim Bu-bong tidak menjawab. Padahal dia memang tidak perlu menjawab,
betapa isi hatinya cukup diketahui Sim Long. Dia tidak mau menjadi beban Sim Long
karena tubuhnya telah invalid. Sim Long bukan orang biasa, urusan yang harus
dikerjakannya sangat banyak, tugasnya masih sangat berat.
Sebaliknya sakit hati dirinya harus dibalas, harus dibalasnya sendiri. Meski dia
sudah cacat, tapi tidak patah semangat, yang cacat hanya lahiriahnya dengan tidak
rohaniahnya. Ia masih mau berjuang, berbuat sesuatu yang mengguncangkan
dunia.
Sim Long tidak dapat merintangi tekad Kim Bu-bong itu, juga tidak dapat
menahannya, terpaksa ia menyaksikan kepergiannya .... Begitulah derita batin yang
ditanggung Sim Long sekarang dan di luar tahu orang lain. Dengan tertawa Him
Miau-ji berkata, ”Bagus, Sim Long, arak sudah minum cukup, sekarang ingin kutanya
padamu, di mana nona Cu dan Kim-heng sekarang? ̈
Sim Long termenung sejenak, mendadak ia menenggak lagi secawan arak, lalu
berkata, ”Hal ini kelak akan kau ketahui sendiri. ̈
Si Kucing tidak tanya lagi, sebab dapat dilihatnya dalam urusan ini pasti ada sesuatu
yang sukar dijelaskan oleh Sim Long. Ia suka kepada Sim Long, maka dia tidak mau
menyakiti hatinya.
Si Singa Jantan Kiau Ngo lantas bertanya, ”Kedatangan Simsiangkong ini apakah
juga lantaran menerima undangan Kay-pang? ̈ Sim Long tersenyum, ”Ah, tidak,
kedatanganku ini hanya secara
kebetulan saja, baru semalam kutahu urusan Kay-pang, maka kugunakan
kesempatan ini dengan baik. Sebab itulah tanpa kartu undangan juga akan kujadi
tamu yang tidak diundang. ̈
”Tamu tidak diundang apa, ̈ ujar Kiau Ngo dengan tertawa. ”Kunjungan tokoh seperti
Sim-siangkong adalah suatu kehormatan besar bagi Kay-pang. Betul tidak,
Si-moay? ̈
Hoa Si-koh tertawa, ”Ya, kedatangan Sim-siangkong ini kukira paling
menggembirakan Kiau-goko. Sejak berpisah di Jin-gi-ceng tempo hari, selalu Goko
terkenang kepadamu. ̈
Sim Long memandang Kiau Ngo, lalu memandang Hoa Si-koh pula, dapat dilihatnya
betapa erat dan mesranya antara kedua orang itu, segera ia angkat cawan arak dan
berkata dengan tertawa, ”Terimalah selamatku, mari minum secawan! ̈
Muka Hoa Si-koh menjadi merah. Sebaliknya Kiau Ngo tertawa, ”Baik, marilah kita
minum secawan! ̈ Habis minum, Sim Long berkata pula, ”Haha, sekarang baru
kuketahui Kiau-goko adalah lelaki paling beruntung di dunia ini, lelaki yang paling
pintar. ̈
”Aku pintar dalam hal apa? ̈ tanya Kiau Ngo. ”Dia bilang kau pintar lantaran engkau
tidak mencari anak perempuan cantik lain, tapi malah mencari diriku, ̈ ujar Hoa
Si-koh dengan tertawa. ”Padahal kau dapatkan perempuan muka jelek seperti diriku
ini justru perbuatan yang paling bodoh. ̈
Kiau Ngo memandangnya dengan lembut, ucapnya, ”Jika perbuatanku yang paling
pintar selama hidup ini adalah berkenalan denganmu. Hanya orang pintar saja yang
dapat melihat kecantikanmu dan mengetahui engkau berpuluh kali lebih cantik
daripada anak perempuan mana pun. Sim-siangkong juga orang
pintar, maka kuyakin ucapannya adalah pujian setulus hati padamu. ̈
Hoa Si-koh tersenyum kikuk, ”Terima kasih atas kepintaran kalian berdua. ̈ Semula
Him Miau-ji merasa heran Kiau Ngo yang gagah perkasa itu mengapa menyukai
anak perempuan bermuka buruk seperti Hoa Sikoh ini, baru sekarang ia tahu sebab
musababnya.
Nyata Hoa Si-koh ini cuma lahirnya saja kurang cantik, tapi setiap gerakgeriknya,
tutur katanya, senyum tawanya, semuanya lembut dan lugas, tidak ada sesuatu yang
sengaja dibuat-buat, polos, apa adanya. Sebaliknya umpama Cu Jit-jit, dia serupa
ombak samudra, ombak samudra yang selalu bergolak. Tatkala engkau mabuk
dibuai ombak, mendadak ombak itu mendampar dan membuat badanmu hancur
lebur.
Dengan lembut Hoa Si-koh memandang Sim Long, katanya kemudian dengan
tersenyum, ”Mendadak Sim-siangkong bicara halhal ini, apakah disebabkan nonamu
yang cantik itu telah banyak menimbulkan pikiranmu? ̈
”Ah, mana ada pikiran apa segala? ̈ sahut Sim Long dengan tertawa. ”Kutahu lelaki
semacam dirimu ini, biarpun menanggung sesuatu pikiran juga takkan kau katakan, ̈
ujar Hoa Si-koh dengan tersenyum. ”Tapi di depan kawan sendiri, ada urusan apa
seharusnya kau katakan terus terang. ̈
Inilah orang pertama yang dapat melihat isi hati Sim Long, meski tidak mengaku,
diam-diam Sim Long merasa kagum atas ketajaman perasaan Hoa Si-koh, sungguh
perempuan luar biasa.
Segera ia angkat cawan dan berseru, ”Marilah kita minum lagi tiga cawan! ̈
Mendadak di kejauhan sana seorang menyela, ”Wah, Kongcu yang di sana sungguh
kuat takaran minumnya, bila tidak menolak, bolehkah orang tua mengiringi Kongcu
minum beberapa cawan? ̈
Suaranya tidak keras, tidak lantang, tapi bagi pendengaran setiap orang katakata
orang seperti disiarkan ke tepi telinga dan terdengar dengan jelas di tengah gelak
tertawa orang banyak.
Ternyata yang bicara itu adalah si kakek kecil aneh yang asyik minum arak tadi.
Ketika naik ke atas loteng tadi Sim Long lantas melihat kakek yang lagi minum arak
sendiri itu, waktu itu diam-diam ia sudah heran terhadap kakek yang kelihatan biasa,
tapi rasanya membawa semacam gaya yang misterius. Dengan sendirinya ia tidak
menyia-nyiakan kesempatan untuk berkenalan dengan tokoh misterius demikian,
cepat ia berbangkit dan memberi hormat dari jauh, serunya, ”Bilamana Lotiang sudi,
mana Wanpwe berani menolak? ̈
Namun si kakek tetap duduk saja di tempatnya, katanya dengan tersenyum, ”Jika
begitu, silakan pindah saja ke sini. ̈
”Menurut, ̈ kata Sim Long. Dengan mendongkol si Kucing menggerutu, ”Kurang ajar!
Besar amat lagaknya! .... Sim-heng, biar kuikut ke sana. ̈ Begitulah mereka lantas
mendekati meja si kakek. Tapi pandangan si kakek hanya tertuju kepada Sim Long
saja seorang, katanya, ”Maafkan jika orang tua tidak dapat berdiri untuk menyambut
.... ̈ mendadak air mukanya berubah aneh, sambungnya pula, ”Ya, sebab orang tua
memang mempunyai alasan agar Kongcu dapat memaafkan hal ini. ̈
”Apa alasanmu? ̈ tanya si Kucing dengan mendongkol. Si kakek tidak menjawab, ia
cuma sedikit menyingkap baju bagian bawah. Kiranya si kakek tidak punya kaki. Kaki
celananya ternyata kosong melompong tanpa isi. Dengan sorot mata tajam si kakek
lantas menatap si Kucing, ”Apa alasanku tentu tidak perlu lagi kujelaskan, bukan? ̈ Si
Kucing jadi menyesal, katanya dengan gelagapan, ”O, ini ... ini .... ̈ ”Nah, engkau
puas sekarang? ̈ jengek si kakek. ”Maka hendaknya engkau menyingkir saja agak
jauh, aku tidak mengundang dirimu, jika engkau ikut duduk di sini tentu juga merasa
tidak enak. ̈ Tentu saja si Kucing melenggong. Tapi ia lantas tertawa, ”Haha,
sungguh tak tersangka aku bisa diusir orang, bahkan tidak dapat berbuat apa-apa,
sungguh baru pertama kali ini kualami kejadian demikian selama hidup. Tapi jika aku
tidak ikut duduk melainkan cuma berdiri saja di samping, kan boleh? ̈
”Bila Anda tidak tahu diri, ya terserah, ̈ ucap si kakek. Lalu ia tidak menggubrisnya
lagi, kembali ia tersenyum terhadap Sim Long dan berkata, ”Silakan duduk. ̈
”Terima kasih, ̈ kata Sim Long. Si Kucing menjadi kikuk dan serbasalah, tapi dia
benar-benar berdiri di samping situ dan tidak pergi. Si kakek lantas memanggil
pelayan membawakan lagi tujuh buah cawan arak dan ditaruh di depan Sim Long,
dengan tertawa gembira ia berkata, ”Sebagai seorang ahli minum, tentu Kongcu juga
kenal setiap jenis arak. ̈
”Sulit mencari sahabat di dunia ini, apa salahnya mencarinya di dalam cawan, ̈ ujar
Sim Long dengan tertawa. ”Ah, bagus, bagus sekali, ̈ seru si kakek sambil
berkeplok. Lalu ia angkat poci arak pertama dan menuangkan pada cawan di depan
Sim Long, hanya setengah cawan saja arak yang dituangnya, arak berwarna hijau
muda rada pucat, serupa air muka si kakek.
”Sebagai seorang ahli, silakan Anda cicipi arak ini, ̈ kata si kakek. Tanpa ragu Sim
Long angkat cawan itu dan ditenggaknya hingga habis, serunya dengan tertawa,
”Ehm, arak bagus. ̈
”Arak apakah ini, dapatkah Anda membedakannya? ̈ tanya si kakek. Dengan
tersenyum Sim Long menjawab, ”Rasa arak ini ada halusnya dan ada kerasnya,
rasanya seperti campuran Tay-mi-ciu dan Tikyap-jing. ̈
”Haha, sungguh hebat, Kongcu ternyata benar seorang ahli, ̈ seru si kakek. ”Tik-
yap-jing dan Tay-mi-ciu mempunyai rasa yang berbeda sama sekali, tapi kalau
dicampur, rasanya menjadi lain daripada yang lain. ̈
”Ya, kalau tidak dicampur oleh tangan ajaib Lotiang, mana bisa sebagus ini rasa arak
campuran ini? ̈ ujar Sim Long. Si kakek menghela napas gegetun, ”Terus terang,
selama hidupku ini memang banyak membuang waktu dalam hal campurmencampur
arak. Baru sekarang dapatlah bertemu dengan seorang ahli yang sepaham seperti
Kongcu ini.” ̈
Dengan mendongkol tiba-tiba si Kucing berteriak, ”Huh, hanya mencampur dua
macam arak saja, anak kecil umur tiga juga bisa, kenapa mesti dibuat membual
segala? ̈
Si kakek tetap tenang saja, bahkan tidak menggubrisnya, ia cuma berkata dengan
perlahan, ”Ada sementara bocah ingusan yang mengira sangat gampang
mencampur arak, tak diketahuinya bahwa
betapa banyak jenis arak di dunia ini serupa bintang di langit yang sukar dihitung.
Dengan cara bagaimana untuk mencampur arak dan mencampurnya dengan jenis
arak apa agar dapat menghasilkan arak campuran yang mempunyai cita rasa yang
paling enak, kepandaian demikian masakah dapat dipahami begitu saja oleh anak
ingusan yang tidak tahu apa-apa itu? ̈
Tentu saja si Kucing tambah mendongkol, tapi dia memang bukan ahli minum,
terpaksa tidak bisa bicara lagi. Dengan tersenyum Sim Long meliriknya sekejap, lalu
berkata, ”Kata pepatah: Mengarang adalah bakat pembawaan, keahlian hanya timbul
secara kebetulan. Kukira kepandaian Lotiang mencampur arak juga bakat
pembawaan ditambah dengan keringanan tanganmu yang hebat. ̈ ”Tepat,
perumpamaanmu memang tepat, ̈ seru si kakek. ”Tulisan harus dirangkai oleh
tangan penulis yang ahli supaya dapat terbentuk sebuah karangan yang baik. Arak
juga memerlukan tangan kaum ahli untuk mencampurnya baru dapat menghasilkan
arak paling enak. ̈
”Jika begitu, biarlah kucicipi lagi arak yang lain, ̈ pinta Sim Long dengan tertawa.
Segera si kakek mengangkat poci kedua dan menuangkan pula setengah cawan
pada cawan kedua di depan Sim Long, warna arak ini kemerah-merahan, tapi
bersemu semacam warna hijau yang aneh.
Warna ini serupa juga dengan sorot mata si kakek. Tanpa sungkan Sim Long angkat
cawan dan menghabiskan lagi isinya, lalu berkata pula dengan gegetun, ”Ehmm,
sungguh arak bagus? Bukankah arak ini terdiri dari Li-ji-hong (arak merah putri) dan
ditambah arak Mau-tay dan Tik-yapjing, lalu diberi lagi beberapa tetes arak
Ho-yok-ciu? ̈
”Haha, memang betul, ̈ sahut si kakek dengan tertawa. ”Untuk mencampur arak ini,
banyak juga memeras pikiranku .... ̈ Begitulah tambah lama kedua orang merasa
semakin cocok satu sama lain. Waktu si kakek menuangkan lagi arak ketiga, Him
Miau-ji tidak tahan lagi berdiri di situ, terpaksa ia mencari kesempatan untuk
mengeluyur kembali ke tempatnya semula.
”Saudara jadi kembali juga, ̈ kata Kiau Ngo dengan tertawa. Si kucing mengangkat
pundak, sahutnya dengan tertawa, ”Minum arak adalah untuk mencari kesenangan,
masa perlu repot campur mencampur begitu, bagiku lebih baik tidak minum daripada
mencampur arak dengan susah payah. ̈ ”Betul, kau lebih enak minum seadanya saja
semangkuk demi semangkuk, ̈ ujar Kiau Ngo dengan tertawa. ”Tampaknya
Kiau-heng adalah teman sepahamku¡ ̈ kata si Kucing. ”Mari kita minum! ̈
Kedua orang lantas menghabiskan tiga cawan sambil selalu melirik ke arah sana.
”Kukira kalian tentu juga ingin minum arak campuran kakek itu, ̈ tiba-tiba Hoa Sikoh
menggoda dengan tertawa. ”Siapa bilang aku ingin minum, ̈ Kiau Ngo mendelik.
Dengan tertawa Him Miau-ji menanggapi, ”Rezeki Sim Long selalu jauh lebih besar
daripada orang lain. Selain rezeki terhadap anak perempuan, juga rezeki makan
jauh lebih besar daripada orang lain. ̈
”Tapi jangan kau kira beberapa cawan arak itu dapat diminumnya dengan mudah? ̈
ujar Hoa Si-koh. Si Kucing berkedip-kedip, ”Apa arti ucapanmu ini? Orang
menuangkan arak baginya, sekali tenggak isi cawan pun habis, kenapa diminumnya
dengan tidak mudah katamu? ̈
”Justru lantaran orang menuangkan arak, makanya tidak mudah baginya meminum
arak itu, ̈ Si-koh. ”Wah, makin omong aku jadi makin bingung, ̈ kata si Kucing sambil
menyengir. ”Bukan cuma kau saja yang bingung, aku pun tidak mengerti, ̈ tukas Kiau
Ngo. ”Coba kalian lihat ke sana dengan lebih cermat, ̈ kata Si-koh. Waktu Him Miau-ji
dan Kiau Ngo memandang ke sana, terlihat Sim Long sudah habis minum cawan
kelima dan sedang angkat cawan keenam.
”Nah, lihat yang betul, sekarang Sim-siangkong lagi angkat cawan araknya, bukan? ̈
tanya Si-koh. ”Betul, ̈ kata si Kucing. ”Dan si kakek lagi memegang poci dan ... dan
menuang, bukan? ̈ ”Ya, mulut poci sudah menyentuh cawan Sim Long. ̈ ”Betul, dan
dia sudah mulai menuang araknya, ̈ sambung Kiau Ngo. ”Masa belum kau lihat
sesuatu yang aneh? ̈ kata Si-koh. ”Apa ... apanya yang aneh? .... ̈ Kiau Ngo merasa
bingung. ”Aha, betul, ̈ seru si Kucing dengan suara tertahan. ”Gerakan kakek itu
sangat lambat, caranya menuang arak juga perlahan, kita telah bicara sekian lama,
tapi secawan arak saja belum penuh dituangnya. ̈
”Ya, dan sekarang tentu dapat kau lihat apa sebabnya kelambanan gerakgeriknya,
bukan? ̈ ”Sungguh tidak nyata kakek ini mempunyai tenaga dalam sehebat ini
sehingga dapat menandingi Sim Long dengan sama kuatnya, sungguh luar biasa, ̈
kata si Kucing.
Kiranya dilihatnya cara menuang arak si kakek yang lambat itu, lengan bajunya juga
bergetar seolah-olah tangannya lagi gemetar. Sebaliknya Sim Long kelihatan tetap
tersenyum, cuma senyumnya juga rada kaku, bahkan lengan bajunya juga rada
bergetar.
Yang hebat adalah cawan arak yang dipegangnya mendadak kelihatan gumpil
sedikit, tertindih oleh mulut poci arak si kakek dan mulut poci terbuat dari timbel itu
pun mulai melengkung. Nyata kedua orang telah mulai mengadu tenaga dalam
secara diamdiam.
”Menurut pandanganku, Sim-kongcu tetap lebih unggul, ̈ gumam Kiau Ngo. ”Dengan
sendirinya Sim Long lebih unggul, tapi di dunia Kangouw zaman ini ada berapa
orang yang dapat memaksa Sim Long mengeluarkan tenaga sebesar ini? ̈ kata si
Kucing.
”Betul juga, ̈ ujar Kiau Ngo. ”Sebab itulah semakin kurasakan keanehan kakek ini,
begini tinggi kungfunya, mengapa kedua kakinya buntung? Tingkah lakunya juga
seaneh ini? Entah bagaimana asal usulnya? ̈
”Tampaknya dia dan Sim-siangkong pasti ada sesuatu persoalan, kalau tidak
masakah begitu berkenalan lantas mengadu tenaga dalam dengan matimatian? ̈
ujar Kiau Ngo.
Selagi mereka sama merasa bingung, tiba-tiba terlihat cawan arak dan poci arak
sudah terpisah, rupanya arak sudah cukup tertuang.
Sim Long lantas menenggak habis lagi isi cawannya dan tetap berseru dengan
tertawa, ”Ehm, arak sedap! ̈ ”Bruk ̈, si kakek menaruh poci di atas meja tapi mulut
poci lantas putus sebatas leher dan jatuh, namun si kakek anggap tidak terjadi
sesuatu, ucapnya dengan tertawa, ”Arak ini tentu saja sedap, arak yang kucampur,
makin banyak kau minum, selalu muncul lagi yang lebih enak. ̈
”Jika demikian, cawan ketujuh ini pasti terlebih sedap, ̈ kata Sim Long dengan
tertawa. ”Sedap atau tidak, setelah dicoba tentu akan tahu, ̈ ujar si kakek. Perlahan
ia angkat poci ketujuh dan disodorkan ke depan. Dengan mengulum senyum Sim
Long juga pegang cawan ketujuh untuk menyambut poci orang.
”Kakek ini sungguh bandel, ̈ kata si Kucing dengan kening bekernyit. ”Sudah jelas
tahu tenaga dalamnya tidak lebih unggul, mengapa masih juga .... ̈
Jilid 20
Belum habis ucapannya mendadak terlihat tangan Sim Long membalikkan guci
cawan arak pada telapak tangannya dengan jari kelingking, lalu dengan jari telunjuk,
jari tengah, dan ibu jari ia pencet mulut poci si kakek serta dirampasnya dengan
enteng.
Si kakek tetap tenang saja, katanya dengan tertawa, “Apakah Kongcu ingin
menuang sendiri? ̈ Sim Long hanya tertawa saja tanpa menjawab, sebaliknya ia
mendorong daun jendela dan melongok ke luar, lalu poci arak dijulurkan, seluruh isi
poci dituangnya ke luar jendela.
Akhirnya berubah juga air muka si kakek, “Mengapa Kongcu berbuat demikian? ̈
“Betapa pun arak cawan ketujuh suguhan Lotiang ini tidak berani kuterima, ̈ sahut
Sim Long. “Bila enam cawan sudah kau minum, sepantasnya kau minum juga
cawan ketujuh, jika sekarang engkau bersikap kurang sopan padaku, seharusnya
keenam cawan arak tadi tidak kau minum, ̈ damprat si kakek.
“Soalnya keenam cawan arak yang lebih dulu memang boleh diminum dan cawan
ketujuh ini tidak boleh kuminum, ̈ ujar Sim Long dengan tersenyum. “Kau .... ̈
Belum lanjut ucapan si kakek, mendadak Sim Long turun tangan secepat kilat, sekali
tangannya meraih saku baju si kakek, belum lagi orang sempat berbuat sesuatu,
cepat Sim Long menarik kembali tangannya, dan pada tangannya sudah bertambah
sebuah kotak kecil mungil buatan kemala hijau berukir.
Di atas loteng restoran sekarang selain Hoa Si-koh, Kiau Ngo dan Him Miau-ji
bertiga, masih banyak juga berpasang mata yang menyaksikan tontonan menarik ini.
Mereka sama terkejut melihat Sim Long mendadak bertindak demikian. Si kakek
juga kaget, tapi sedapatnya ia berlagak tenang dan membentak, ”Dengan maksud
baik kuajak minum arak padamu, mengapa engkau bertindak kasar begini? ....
Kembalikan! ̈
”Tentu saja akan kukembalikan, cuma .... ̈ dengan tertawa Sim Long membuka
kotak kemala itu, dengan kuku jari kelingking ia mencukit setitik bubuk merah dan
disentilkan ke dalam cawan arak, dipandangnya dengan cermat, lalu berucap
dengan menyesal, ”Ternyata benar racun yang tidak ada bandingannya. ̈
”Apa katamu? ̈ teriak si kakek bengis. ”Jika Lotiang tidak menjentikkan racun ini ke
dalam arak secara diam-diam, tentu sejak tadi arak cawan ketujuh sudah kuminum, ̈
kata Sim Long.
”Kentut! ̈ damprat si kakek dengan gusar. ”Kau .... ̈ Dengan tertawa Sim Long
memotong, ”Tadi Lotiang telah beradu tenaga dalam denganku, tujuanmu hanya
ingin memencarkan perhatianku saja. Jika aku anak kemarin, tanpa curiga tentu akan
kuminum arak cawan ketujuh dan .... ̈ ia menengadah dan tergelak, lalu
menyambung, ”Haha, mungkin saat ini aku tidak dapat minum arak lagi! ̈ Wajah si
kakek tampak pucat, namun dia masih juga menjengek, ”Hm, antara kita tidak ada
permusuhan, bahkan belum pernah kenal, untuk apa kubikin celaka padamu? ̈
Sim Long tersenyum, ”Kukira Lotiang sudah kenal diriku, mengenai dirimu ...
sekarang dapat juga kukenal Lotiang. ̈ ”Kau kenal padaku? ̈ tanya si kakek dengan
melengak. ”Duta Arak, datang dari Kwan-gwa .... ̈ Belum lanjut ucapan Sim Long,
serentak si kakek meraung murka, rambut dan jenggotnya seakan-akan menegak ....
Percakapan di sebelah sini dapat diikuti Him Miau-ji dan lain-lain dengan jelas. Rada
berubah juga air muka Kiau Ngo, katanya, ”Tak tersangka kakek ini adalah satu di
antara keempat duta andalan Koay-lokong. ̈
”Ya, tindak tanduknya serapi ini akhirnya juga terbongkar oleh Simsiangkong, ̈ tukas
Hoa Si-koh.
Saat itu sinar mata si Duta Arak telah berubah serupa pisau yang tajam sedang
menatap Sim Long, sungguh anak muda itu ingin diganyangnya mentah-mentah.
Tapi setelah dia pandang Sim Long sekian lama, akhirnya sinar matanya berubah
menjadi halus, rambut dan jenggotnya yang seolah-olah menegak itu sama lurus
kembali, api kemarahannya telah padam.
”Tidak salah bukan terkaanku? ̈ kata Sim Long dengan tersenyum. Tiba-tiba
tersembul juga senyuman si kakek, ”Ya, sungguh lihai ... memang betul .... ̈ ”Jika
begitu, dapatkah kutahu nama Lotiang yang terhormat? ̈ ”Aku Han Ling, ̈ sahut si
kakek. ”Bagus, ̈ seru Sim Long. ”Dahulu ada seorang tokoh Lau Ling terkenal
sebagai dewa arak, sekarang ada Han Ling yang Duta Arak, sungguh beruntung
sekali hari ini aku dapat berjumpa dengan Ciusay (Duta Arak). ̈
Han Ling juga berkeplok tertawa dan berkata, ”Cuma sayang, semangatku minum
arak sambil bekerja tak dapat menandingi Lau Ling. ̈
Begitulah kedua orang lantas bergelak tertawa bersama, tampaknya sangat gembira.
Semua orang saling pandang dengan bingung. ”Sim-siangkong sungguh berjiwa
besar, si kakek bermaksud membikin celaka padanya, sama sekali dia tidak
menyinggung soal ini, sebaliknya masih bicara dan tertawa bersama dia, ̈ ucap Kiau
Ngo dengan gegetun. ”Di balik tertawanya sinar mata si kakek tampak gemerdep,
entah rencana keji apa pula yang diaturnya, kukira Sim-siangkong harus
berhati-hati. ̈
”Jangan khawatir, tidak nanti Sim Long terperangkap, ̈ ujar si Kucing. ”Wah, celaka
.... ̈ tiba-tiba Hoa Si-koh berseru tertahan. ”Ada apa? ̈ tanya Kiau Ngo. ”Lihatlah
kedua kaki orang tua itu! ̈ ”Mana dia punya kaki? ̈ ujar si Kucing dengan heran.
Belum lenyap suaranya, mendadak terdengar Sim Long tertawa panjang, meja di
depannya lantas mencelat, segera cahaya kebiruan berkelebat di kolong meja. Si
Kucing dapat melihat cahaya itu terpancar dari kaki celana si kakek yang bernama
Han Ling itu.
Ternyata di dalam kaki celana kedua kaki yang buntung itu tersembunyi dua bilah
pedang. Dua bilah pedang beracun. Rupanya sambil bicara dan tertawa, mendadak
kedua kaki pedang di kolong meja terus menendang, asalkan Sim Long tersentuh
saja, seketika bisa binasa keracunan.
Siapa tahu Sim Long seperti dapat melihat di kolong meja, begitu kaki Han Ling
bergerak, seketika dia lantas menggeser mundur.
Sekali serang tidak kena sasarannya, menyusul meja lantas didomplangkan oleh
Han Ling, meja menabrak ke arah Sim Long, sedangkan Han Ling sendiri lantas
melompat maju, kedua kaki pedang menendang susul-menyusul.
Agaknya sehari-hari dia berjalan dengan pedang sebagai kaki, latihan selama 20
tahun ini membikin kedua bilah pedang yang direndam dengan racun telah tumbuh
serupa kaki asli.
Tendangan kaki pedangnya sungguh lihai sekali, gesit dan tajam.
Semua orang sama menjerit kaget. Bahkan Him Miau-ji dan Kiau Ngo terus
memburu maju sambil membentak.
Pada saat itulah mendadak tertampak Sim Long berputar kian kemari di tengah sinar
pedang, beruntun Han Ling menendang tujuh kali dan semuanya mengenai tempat
kosong. Habis ini mendadak ia menghantam jendela hingga hancur lalu secepat
terbang ia menerobos keluar.
Waktu Si Kucing dan Kiau Ngo memburu ke depan jendela, tahutahu si kakek yang
keji itu sudah lenyap. Suasana di dalam restoran itu menjadi gempar.
Si Kucing mengentak kaki dan mengomel, ”Sim-heng, mengapa engkau tidak balas
menyerang dan juga tidak mengejarnya? ̈ Sim Long termenung sejenak, katanya
kemudian, ”Mengingat Kim Bu-bong, biarlah kuampuni dia sekali ini. ̈
Him Miau-ji juga termenung sejenak, katanya kemudian, ”Ya, memang pantas
lepaskan dia. ̈ ”Tapi melepaskan harimau lebih mudah daripada menawannya, ̈ ujar
Kiau Ngo. ”Ada Singa Jantan di sini, kenapa takut kepada harimau? ̈ Sim Long
berseloroh. ”Haha, jika Cayhe benar Singa, maka Anda adalah Naga Sakti, ̈ seru
Kiau Ngo dengan bergelak. ”Bagus, kalian yang satu singa dan yang lain naga, tapi
ada lagi seekor kucing di sini, ̈ tukas Miau-ji. Di tengah gelak tertawa, ketiga kesatria
gagah ini seolah-olah sudah melupakan pertarungan maut yang hampir membikin
jiwa melayang tadi.
Pada saat itulah mendadak seorang pemuda tampan mendekati Sim Long, lalu
mengamat-amatinya dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.
”Saudara ini .... ̈ Sim Long merasa heran. ”O, Cayhe Sing Hian, ̈ kata
pemuda tampan itu. ”Mukanya kan tidak berbunga, apa yang kau
pandang? ̈ tanya Miauji.
Sing Hian tidak menghiraukannya, dipandangnya lagi beberapa kejap lalu
mengangguk dan berucap, ”Betul, engkaulah Sim Long yang sebenarnya. ̈ ”Sim
Long yang sebenarnya? .... Memangnya ada Sim Long palsu? ̈ ujar Sim Long
dengan tertawa.
”Ada satu, ̈ kata Sing Hian dengan menyesal. ”Sim Long palsu? ̈ teriak Miau-ji. ”Di
mana? Pernah kau lihat? ̈ ”Tentu saja telah kulihat, baru saja berada di sini, ̈ tutur
Sing Hian. ”Sekarang di mana? ̈ desak si Kucing. ”Sekarang dia .... ̈ mendadak
terbayang wajah yang menggiurkan itu, seketika Sing Hian berhenti bicara. ”Ayolah
katakan, kenapa diam? ̈ desak si Kucing. Sing Hian tersenyum, ”Bisa jadi orang itu
cuma sama nama dengan Simsiangkong. ̈ ”Coba jelaskan, biar kita tanyai dia, ̈ ujar
Miau-ji. ”Wah, ini .... ̈ Mendadak si Kucing memegang pundaknya dan membentak,
”Mau bicara atau tidak. ̈ ”Hm, mestinya ingin kukatakan, sekarang aku jadi tidak
mau, ̈ jawab Sing Hian ketus. Miau-ji mendelik, tapi mendadak ia bergelak tertawa,
”Aha, bagus, tak tersangka engkau juga seorang jantan, selama hidup si Kucing
paling suka kepada lelaki keras kepala seperti dirimu ini. Mari, urusan lain kita tunda
dulu, biarlah kita minum dulu tiga cawan. ̈
Habis bicara benar-benar Sing Hian lantas diseretnya ke sana untuk minum arak.
Kiau Ngo menggeleng kepala, ”Kucing ini sungguh lucu. ̈ ”Ya, bila tidak kenal si
Kucing, sungguh akan menyesal, ̈ tukas Sim Long dengan tertawa.
Terlihat Sing Hian telah kembali setelah dicekoki tiga cawan arak, dia memang
sudah minum cukup banyak, ditambah lagi tiga cawan ini, langkahnya mulai
sempoyongan.
Sim Long memayangnya dan berkata, ”Lain kali jangan adu minum cepat dengan si
Kucing, minumlah secara lambat, dia pasti takkan melebihi dirimu. ̈
”Sing-heng bukan anak perempuan, mana dia mau minum seceguk demi seceguk, ̈
ujar si Kucing dengan tertawa. ”Seorang lelaki, kalau mabuk biarlah mabuk, kalau
tidak tahan ya menggeletak, cara beginilah baru tingkah seorang lelaki sejati. ̈
”Betul, betul, kalau mabuk biar mabuk, kalau tidak tahan biar menggeletak, apa
salahnya? .... Tapi aku belum lagi mabuk. Betul tidak, Sim-heng, aku kan belum
mabuk? ̈ seru Sing Hian dengan muka merah.
”Ya, tidak mabuk, ̈ jawab Sim Long. ”Bagus, Sim-heng memang adil. ̈ kata Sing Hian
pula. ”Eh, Sim-heng, jangan khawatir, bilamana kau ingin menemui Sim Long yang
satu lagi, tunggulah sampai besok. ̈ ”Besok? ̈ Sim Long menegas. ”Ya, besok ...
besok adalah pertemuan kaum jembel, dia pasti akan ikut hadir! ̈ Sim Long
melengak, katanya kemudian, ”Baiklah, dalam sidang kaum jembel besok kukira
macam-macam orang dapat kulihat, tentu juga dapat kutemui berbagai orang yang
ingin kujumpai. ̈
Pada saat itulah tiba-tiba datang seorang pelayan, dia tidak berani lagi memandang
Him Miau-ji, agaknya sudah kapok, ia berhenti di kejauhan dan bicara dengan
kepala menunduk, ”Adakah Simsiangkong di sini? ̈
”Ya, aku inilah, ̈ sahut Sim Long. ”Juragan kami telah menyiapkan sekadar
perjamuan di belakang, mohon Simsiangkong sudi berkunjung ke dalam, ̈ kata si
pelayan sambil memberi hormat.
Selagi Sim Long merasa ragu, dengan tertawa si Kucing menyela, ”Hah, kembali ada
orang hendak menjamu dirimu, ramai juga bisnismu. ̈
”Ya, kenapa tidak ada orang mengundang makan padaku? ̈ tukas Sing Hian. Sim
Long lantas menjawab, ”Sampaikan saja kepada juraganmu, katakan Sim Long
sudah kenyang dan mabuk, tidak berani mengganggunya lagi. ̈
Cepat si pelayan bicara pula, ”Tapi juragan memberi pesan dengan sangat Sim-
siangkong harus diminta sudi berkunjung, sebab ... sebab juragan ingin berunding
mengenai ... mengenai seorang nona Cu. ̈
”O, jika ... jika begitu, baiklah, ̈ sahut Sim Long cepat. Begitulah si pelayan lantas
membawa Sim Long ke dalam. ”Nona Cu yang dimaksudkan itu apakah putri
keluarga Cu yang kaya raya itu? ̈ tanya Kiau Ngo setelah Sim Long pergi. ”Ya,
jangan-jangan dia juga datang atau ... atau mungkin dia membikin onar lagi .... Tapi
ada hubungan apa pula antara dia dengan juragan restoran ini? ̈ gumam si Kucing.
***** Sementara itu Cu Jit-jit sudah tiba kembali di hotelnya, begitu dia suruh kedua
bibi pengusung ke luar, segera ia gabrukkan pintu kamar dengan keras.
Ong Ling-hoa berduduk tak bisa berkutik menyaksikan si nona yang uringuringan
sendiri itu. Dilihatnya Jit-jit mondar-mandir di dalam kamar, lalu minum teh seceguk,
habis itu mendadak cangkir teh dibantingnya hingga hancur.
Ong Ling-hoa tetap memandangnya dengan geli. Mendadak Jit-jit mendekati
Ling-hoa dan membuka Hiat-to bisunya, lalu membalik ke sana, tiba-tiba dia
kesandung bangku yang mengadang di depan, dengan gemas ia tendang bangku
itu hingga mencelat.
Tapi tendangannya itu membuat sakit tulang kakinya, tanpa terasa ia berjongkok
untuk menggosok-gosok bagian yang sakit itu. Keruan Ong Ling-hoa tertawa geli.
Seketika Jit-jit mendelik, ”Kau tertawa apa? ̈ ”Aku ... haha .... O, tidak .... ̈ ”Ayo
tertawa, berani tertawa lagi bisa kukawinkan dirimu dengan bocah she Sing itu, ̈ omel
Jit-jit. Baru habis berkata demikian, ia sendiri jadi tertawa geli. Namun tertawa ini
sangat singkat, sebab dengan segera dia teringat kepada Sim Long sehingga tidak
mampu tertawa lagi. ”Ai, kenapa ... kenapa menendang bangku hingga kaki sendiri
kesakitan, apalagi ... apalagi sengaja mencari satu orang untuk ... untuk ... untuk
menyakiti hatinya sendiri, kan cari penyakit sendiri? ̈ ”Apa kau bilang? ̈ bentak Jit-jit.
”Aku lagi tanya pada diriku sendiri, apa lelaki di dunia ini sudah mati seluruhnya dan
cuma bersisa seorang Sim Long saja, padahal setahuku kebanyakan orang jauh
lebih baik daripada orang she Sim itu. ̈
Jit-jit memburu ke depannya dengan tangan terangkat. Tapi dia tidak jadi
menggamparnya. Diam-diam ia pun bertanya kepada diri sendiri, ”Ya, apakah lelaki
di dunia ini sudah mati semua? Ken ... kenapa aku tetap terkenang kepada Sim
Long seorang dan tidak dapat melupakannya? ̈
Mendadak ia mengentak kaki dan berteriak, ”Aku harus membalas ... harus
menuntut balas. ̈ Perlahan Ong Ling-hoa berkata, ”Melulu tenagamu sendiri,
mungkin tidak gampang jika ingin balas dendam kepada Sim Long .... ̈ ”Memangnya
kenapa, aku tidak mampu katamu? ̈ bentak Jit-jit dengan mendongkol. ”Dengan
sendirinya mampu, cuma ... cuma perlu mengikutsertakan
diriku. Aku yang akan mencarikan akal bagimu. Dengan bantuanku, mustahil Sim
Long takkan bertekuk lutut di depanmu. ̈
Jit-jit memandangnya lekat-lekat sampai lama, mendadak ia membalik ke sana
dengan badan agak gemetar, nyata sedang terjadi pertentangan batinnya dengan
hebat.
Dengan tersenyum Ong Ling-hoa berkata, ”Padahal, menurut pendapatku, hanya
sedikit tersinggung saja mestinya tidak perlu dipersoalkan lagi. Orang she Sim itu
memang sukar dihadapi, buat apa .... ̈
”Siapa bilang sukar menghadapi dia, aku justru akan menghadapi dia, ̈ teriak Jitjit
dengan gusar sambil berpaling pula. ”Jika begitu, apakah engkau sudah ada
rencana? ̈ tanya Ling-hoa. ”Aku ... aku ....¡ ̈ mendadak timbul suatu pikiran Jit-jit,
teriaknya, ”akan kubikin setiap orang sama benci padanya dan memusuhi dia. ̈
”Ya, ini memang gagasan bagus, ̈ ujar Ling-hoa sambil manggutmanggut. ”Tapi cara
bagaimana akan kau bikin semua orang memusuhi dia? .... Tentunya kau saksikan
sendiri tadi, sekarang dia adalah tokoh kesayangan orang banyak. ̈
”Hm, tentu ada rencanaku, ̈ ujar si nona. Kembali ia mondar-mandir lagi di dalam
kamar, kemudian ia berhenti di depan Ong Ling-hoa dan berkata,¡”Sesungguhnya
bagaimana dengan rapat besar orang Kay-pang itu, tentunya kau tahu urusan ini? ̈
”Memang tidak ada orang lain yang lebih tahu daripadaku mengenai urusan ini, ̈ ujar
Ling-hoa dengan tertawa. ”Coba ceritakan, ̈ pinta Jit-jit. ”Soalnya Co Kong-liong ingin
menjadi Pangcu, telah kusanggupi
akan membantu dia, sebab itulah dia mengumpulkan segenap anak murid Kay-pang
ke sini. ̈
”Tapi sekarang Co Kong-liong telah kabur hingga tak tahu di mana jejaknya, engkau
juga ... hehe, juga tidak tahu bagaimana nasibnya sendiri selanjutnya. ̈
”Perubahan semua ini kan tidak diketahui oleh orang Kay-pang, yang jelas setelah
mereka menerima panggilan ketiga sesepuh mereka, dengan sendirinya mereka
lantas berkumpul dari berbagai penjuru. ̈
”Dan para kesatria yang datang sebagai peninjau itu diundang oleh siapa? ̈ ”Dengan
sendirinya juga Co Kong-liong, ̈ tutur Ling-hoa. ”Kalau dapat naik singgasana
sebagai Kay-pang Pangcu, hal ini adalah peristiwa menggembirakan baginya, tentu
saja dia ingin para kesatria sejagat sama berkumpul untuk menyaksikan dia naik
takhta. ̈
”Itu dia, ̈ mendadak Jit-jit bertepuk tangan.
”Wah, tampaknya engkau ada akal bagus? ̈
Sorot mata Jit-jit penuh rasa senang dan bangga, katanya dengan tertawa, ”Ong
Ling-hoa, supaya kau tahu, aku ini juga bukan orang baik hati. Mendingan kalau tidak
ada maksudku hendak membikin susah orang lain, bilamana ingin kubikin celaka
orang kukira tindakanku pasti tidak kalah kejamnya daripadamu. ̈
”Sesungguhnya ada akal bagus apa, coba ceritakan? ̈ tanya Ong Ling-hoa dengan
tertawa. ”Begini, ̈ gemerdep sinar mata Jit-jit, ”setelah anak murid Kay-pang
menerima panggilan Co Kong-liong, segera mereka berkumpul ke sini. Hal ini
menunjukkan Co Kong-liong dalam pandangan anak murid Kay-pang masih
dianggap sebagai pucuk pimpinan. ̈
”Memang, ̈ kata Ling-hoa.
”Dan bila para kesatria Bu-lim, termasuk ketujuh tokoh top saat ini juga ikut hadir dari
jauh, ini pun menandakan nama Co Kong-liong di dunia persilatan cukup dihormati. ̈
”Di dunia Kangouw memang Co Kong-liong terkenal sebagai orang baik hati, ̈ ujar
Ong Ling-hoa dengan tertawa. ”Kalau bicara tentang nama baik, mendiang Pangcu
yang dulu juga tidak lebih unggul daripada dia. ̈
”Dari sini terlihat bahwa sampai sekarang orang Kangouw umumnya belum lagi kenal
wajah asli Co Kong-liong, semuanya masih sayang dan mendukung dia. ̈ ”Ya,
asalkan aku dan engkau tidak bicara pasti orang lain tidak tahu. ̈
Mendadak Jit-jit menarik muka, katanya pula, ”Maka, bila sekarang ada berita yang
menyatakan Co Kong-liong telah dibunuh oleh Sim Long, tentu tidak sedikit orang
yang akan menuntut balas bagi Co Kong-liong. ̈
Meski sedapatnya ia berlagak memperlihatkan wajahnya yang beringas dan kejam,
tapi lagaknya justru tidak mirip. Diam-diam Ong Ling-hoa merasa geli, tapi di mulut
dia terus memuji kebagusan akal si nona.
”Tidak cuma kita siarkan Sim Long membunuh Co Kong-liong, kita juga bilang Tan
Kiong dan Auyang Lun terbunuh semua oleh Sim Long, dengan demikian orang
yang akan mencari perkara kepadanya pasti akan tambah banyak. ̈
”Bagus, bagus sekali .... ̈ seru Ling-hoa dengan tertawa. Tapi mendadak ia berkerut
kening, ”Ah, cuma ada sedikit yang kurang bagus. ̈
”Apa yang tidak bagus? ̈ tanya Jit-jit. ”Kan Co Kong-liong belum mati, jika dia muncul
.... ̈ ”Katanya engkau ini orang pintar, nyatanya begini goblok, ̈ omel Jitjit dengan
tertawa. ”Munculnya Co Kong-liong kan lebih baik, bukankah dia juga benci
sekali terhadap Sim Long, bila dia muncul, tentu kita dapat menyuruh dia mengaku
memang habis lolos dari cengkeraman Sim Long, hanya Tan Kiong dan Auyang Lun
yang benar-benar telah mati terbunuh. ̈
Ia berhenti sejenak, lalu menyambung sambil berkeplok, ”Jika Co Kong-liong sendiri
yang memberi keterangan demikian, siapa pula yang tidak percaya? ̈ ”Aha, betul,
sungguh sangat bagus! ̈ seru Ling-hoa. Mendadak ia berkerut kening dan
menyambung, ”Tapi ... tapi apa yang kita katakan ini apakah dapat di ... dipercaya
orang lain? ̈
”Makanya kita juga perlu lagi seorang peran pembantu, berita ini tidak perlu kita
siarkan sendiri, tapi melalui mulut pembantu inilah berita ini disebarkan. ̈
”Wah, bagus, akal bagus! ̈ ”Supaya orang lain percaya kepada berita yang disiarkan
pembantu ini, maka pembantu yang kita pilih juga harus seorang tokoh yang
berwibawa, apa yang diucapkannya harus berbobot. ̈
”Orang semacam ini mungkin ... mungkin sukar dicari, ̈ ujar Linghoa. ”Kenapa kau
lupa, bukankah sekarang juga ada satu orang berada di sini. ̈ ”Siapa? ̈ tanya
Ling-hoa dengan heran. ”Oo ... apakah kau maksudkan bocah itu? ̈ ”Ya, bocah she
Sing itu. ̈ ”Tapi dia ... dia .... ̈ Ling-hoa tampak ragu. ”Meski dia cuma seorang
pemuda ingusan, belum menonjol di dunia persilatan, tapi keluarganya, Sing-keh-po,
kan keluarga yang terkenal di dunia Kangouw. Masakah putra keluarga ternama itu
tak dipercaya orang? ̈
”Betul, soalnya terletak pada ... apakah dia mau? ̈ ”Untuk ini tentu saja masih perlu
pakai akal, ̈ ujar Jit-jit. ”Akal apa yang akan kita gunakan terhadapnya? ̈ ”Akal
Hoan-kan-keh (akal memecah belah, mengadu domba), ̈ Jit-jit mengerling Ong
Ling-hoa sekejap, lalu menambahkan dengan tertawa, ”Dengan sendirinya juga
Bi-jin-keh (akal memperalat perempuan cantik). ̈
Ong Ling-hoa melengak, ”Bi-jin-keh? .... Wah, masakah hendak ... hendak kau
gunakan diriku .... ̈ ”Betul, hendak kuperalat nona cantik dirimu ini, ̈ kata Jit-jit sambil
mengikik tawa. ”Bahwa ada orang terpikat kepadamu, kan seharusnya kau senang,
kenapa malah sedih? ̈
Habis berkata, ia tertawa terpingkal-pingkal hingga menungging. Keruan
Ling-hoa mendongkol dan gelisah, serunya, ”Tapi ... tapi ini .... ̈
”Tidak perlu ini-itu, ̈ ujar Jit-jit dengan memegang perut yang mulas. ”Ini kan
beruntung bagimu, telah kucarikan jodoh bagus bagimu, mestinya engkau berterima
kasih kepadaku. ̈
Dengan bersungut Ong Ling-hoa berkata, ”Tapi ... tapi kalau dia benar hendak ...
hendak anu .... ̈
Kembali Jit-jit terpingkal-pingkal hingga hampir tidak dapat bernapas, ucapnya
kemudian, ”Itu kan urusanmu, aku ... aku tidak tahu .... ̈
Mendadak ia membuka pintu dan memanggil pelayan. Panggilan tuan muda yang
padat sakunya tentu saja ditaati si pelayan secepat terbang. ”Ada sesuatu urusan
kuminta kau kerjakan, entah dapat tidak? ̈ kata Jit-jit. ”Silakan Kongcu bicara, ̈ jawab
si pelayan dengan munduk-munduk. ”Ada seorang kawanku, she Sing, namanya
Hian, dia juga berada di kota ini, cuma tidak diketahui tinggal di hotel mana,
dapatkah kau carikan bagiku? ̈
”Ah, pekerjaan gampang, segera hamba carikan, ̈ sahut si pelayan. ”Baik, lekas
kerjakan, bila berhasil kuberi persen. ̈ Tidak kepalang girang si pelayan, sambil
mengiakan segera ia berlari pergi. ”Setan pun doyan duit, apalagi seorang pelayan, ̈
gumam Jit-jit kemudian. ”Eh, Ong Ling-hoa, kau .... ̈ Belum lanjut ucapannya,
sekonyong-konyong terdengar seorang berteriak di luar, ”Hai, pelayan, adakah
seorang Kongcu muda bersama seorang nona jelita tinggal di sini? ̈
Suara orang ini lantang serupa bunyi genta terdengar jelas berkumandang dari jauh.
Air muka Jit-jit berubah seketika, ”Wah, celaka, itu dia si Kucing. Kenapa dia juga
datang kemari? ̈ Lalu terdengar suara seorang berkata pula, ”Tuan muda itu she Sim
.... ̈ ”Ah, itu dia Sing Hian, ̈ desis Jit-jit. ”Kenapa dia bisa berada bersama si Kucing?
Untuk apa pula datang mencariku? Wah, janganjangan .... ̈
Segera terdengar pelayan lagi menjawab, ”Maaf, Kongcu she apa? ̈ Jelas suara
pelayan tadi, rupanya baru saja dia sampai di pintu lantas tercegat oleh kedatangan
Miau-ji dan Sing Hian. ”Aku she Sing .... ̈ ”Aha, kiranya Sing-kongcu, sungguh
kebetulan, ̈ demikian seru si pelayan. ”Memangnya Sim-kongcu menyuruh hamba
mencari Singkongcu .... ̈
Di tengah gelak tertawa terdengarlah suara langkah orang ramai menuju ke sini.
Tentu saja Jit-jit kelabakan, ”Wah, celaka, datang semua, lantas bagaimana baiknya
.... ̈
Dengan tertawa Ong Ling-hoa berkata, ”Jangan khawatir, dari suaranya agaknya
kedua bocah itu dalam keadaan mabuk, pasti tak dapat mengenali dirimu. Apalagi
dengan kepandaian riasku, biarpun kucing itu tidak mabuk juga tidak dapat
membedakan dirimu. ̈
”Tapi ... lekas kau tidur di atas ranjang, ̈ seru Jit-jit, segera ia memburu maju dan
mengangkat Ong Ling-hoa, ”blang ̈, anak muda itu dilemparkan ke tempat tidur,
selimut lantas ditarik untuk menutupi tubuhnya.
Pada saat itulah Sing Hian telah berseru di luar, ”Sim-heng, Simkongcu, Siaute Sing
Hian, sengaja berkunjung kemari! ̈ Him Miau-ji alias si Kucing dan Sing Hian
memang benar dalam keadaan mabuk.
Sesudah Sim Long diundang pergi, kembali si Kucing menarik Sing Hian untuk
minum beberapa cawan arak lagi, Kiau Ngo bilang si Kucing terlalu, segera
ditantangnya minum sembilan cawan pula.
Setelah minum sembilan cawan, Miau-ji sendiri pun mulai sinting, seorang kalau
sudah setengah mabuk, biasanya akan minum terlebih banyak pula. Maka dia angkat
poci dan menantang minum setiap orang. Akhirnya dia mabuk benarbenar.
Maka begitu Jit-jit membuka pintu, seketika tercium bau arak yang menusuk hidung.
Belum lagi ia bersuara, Him Miau-ji lantas menarik Sing Hian dan melangkah masuk
dengan sempoyongan. Melihat orang benar-benar mabuk, diam-diam Jit-jit
bergirang, segera ia menegur, ”Eh, siapakah nama saudara yang mulia? Ada
keperluan apa? ̈
Karena mabuk, lidah Sing Hian menjadi agak kaku, ucapnya dengan rada tergegap,
”O, dia ... dia adalah Him Miau-ji yang termasyhur. ̈ ”Betul, aku inilah Him Miau-ji, si
Kucing ... meong-meong, seekor kucing besar, hahahaha! ̈ seru Miau-ji dengan
tertawa. ”Ai, kiranya Miau-heng, kagum, kagum, ̈ ucap Jit-jit dengan menahan rasa
geli. ”Kedatanganku si kucing ini adalah untuk ... untuk melamar bagi Sing-heng, ̈
seru Miau-ji pula, ”plok ̈, ia tepuk pundak Sing Hian, lalu menyambung, ”Ayolah,
bicara, sudah berada di sini, malu apa lagi? ̈
Sing Hian menunduk malu, ucapnya dengan gelagapan, ¡Aku ... aku ingin ... hehe
.... ̈
”Dia tidak dapat bicara, biar kubicara baginya, ̈ seru Miau-ji dengan tertawa,
”Soalnya, sejak dia melihat keponakan perempuanmu, dia lantas mabuk kepayang,
tidur tidak nyenyak, makan tidak enak, maka dia minta kudatang kemari untuk
melamar baginya .... Haha, aku inilah comblangnya, comblang istimewa! ̈
”Tidak, bukan ... bukan aku, tapi dia ... dia bertepuk dada akan menjadi comblang
bagiku, maka aku diseretnya kemari, ̈ cepat Sing Hian membela diri.
Miau-ji berlagak marah, ”Baik, baik, kiranya aku yang menyeretmu ke sini dan bukan
kehendakmu, jika begitu, buat apa aku ikut campur .... ̈ habis bicara ia lantas
membalik tubuh dan seperti mau melangkah pergi.
Tapi baru saja kakinya bergerak, mendadak Sing Hian menariknya. ”Eh, aneh?
Kenapa kau tarik diriku? ̈ tanya Miau-ji. ”Him-heng, hehe, jang ... jangan .... ̈ Sing
Hian tertawa kikuk. ”Sesungguhnya Sing-heng yang menyeret aku atau aku yang
menyeretmu? ̈ ”Ya, ya, aku ... aku .... ̈ sahut Sing Hian dengan peringas-peringis.
”Hahaha, akhirnya kau bicara terus terang juga, ̈ seru si Kucing dengan terbahak.
”Jika demikian, bolehlah kumaafkan sekali ini. Oya, bagaimana dengan comblang
seperti diriku ini? ̈
Sambil meraba dagu Jit-jit pura-pura ragu, sahutnya, ”Wah, ini .... ̈ Sing Hian
menjadi gelisah tampaknya, cepat ia berseru, ”Jelek-jelek aku ini berasal keluarga
ternama, aku tidak pintar, namun juga tidak bodoh, cukup tampan, bahkan alim,
tidak pernah berbuat hal-hal yang kurang sopan .... ̈
”Hai, kata demikian mestinya comblang yang bicara bagimu, mengapa kau jadi
menyanjung dirinya sendiri? ̈ seru si Kucing dengan tertawa.
”Tapi ... tapi semua ini memang benar, ̈ ujar Sing Hian dengan kikuk. ”Ai, kan
kuminta bantuanmu, mengapa kau jegal diriku malah? .... ̈
Sampai sakit perut Jit-jit saking gelinya. Pikirnya, ”Comblang semacam ini sungguh
jarang ada. Calon menantu dengan cara melamarnya ini juga tidak pernah terlihat.
Andaikan benar aku mempunyai keponakan perempuan juga pasti takkan kuberikan
kepada pelamar demikian. ̈
Dalam pada itu Him Miau-ji telah berteriak, ”Baik, baik, tidak perlu ribut lagi,
dengarkan ucapanku .... ̈ lalu ia menepuk dada dan menyambung, ”Aku she Him,
bernama Miau-ji, alias si Kucing, kalau berkelahi tidak pernah kalah, bila minum arak
tidak pernah menggeletak. Tidak pernah berbuat jelek, cukup terpelajar. Lelaki
semacam diriku ini ke mana lagi akan kau cari? ̈ ”Hei, se ... sesungguhnya engkau
lagi melamar bagiku atau bagimu sendiri? ̈ cepat Sing Hian menegur.
”Tentu saja bagimu. ̈ jawab si Kucing. ”Jika bagiku, kenapa engkau membual
bagimu sendiri? .... Ai, sungguh sial mendapat comblang semacam dirimu. ̈
Dengan sungguh-sungguh Miau-ji menjawab, ”Tampaknya engkau tidak mengerti.
Bahwa aku menjadi comblang, kan perlu kuperkenalkan dulu siapa diriku, jika
seorang comblang berasal dari kaum rendahan, apakah engkau yang melamar ini
akan dihargai? ̈
”Oo ... ya, benar juga, ̈ kata Sing Hian dengan tergegap. ”Jika benar, maka
dengarkan saja dan jangan ribut .... ̈ Mendadak Jit-jit berucap, ”Baiklah .... ̈ ”Jadi
Anda menerima lamaranku? ̈ seru Miau-ji dengan tertawa. ”Ya, kuterima, keponakan
perempuanku kuberikan padamu, ̈ kata Jit-jit. Miau-ji jadi melenggong, ”Be ... berikan
padaku? ̈ Sing Hian juga terkejut, cepat ia menegas, ”Berikan padanya? Lantas ...
lantas bagaimana dengan diriku? ̈ Jit-jit sengaja menarik muka, katanya, ”Jika dia ini
lelaki yang sukar dicari, akan kujodohkan kepada siapa keponakanku itu kalau bukan
kepadanya? ̈
”Tapi ini ... ini .... ̈ Miau-ji garuk-garuk kepala sendiri dengan menyengir. Sing Hian
lantas mengentak kaki ucapnya dengan menyesal, ”Wah, lantas ... lantas
bagaimana? Him Miau-ji, kau .... ̈ Jit-jit tidak tahan lagi akan rasa gelinya, ia tertawa
terpingkalpingkal.
”Baik, aku memang membual, betapa pun baiknya si Kucing tetap sukar menandingi
jejaka keluarga Sing, ̈ seru Miau-ji. ¡”Maka lebih baik keponakan perempuanmu kau
jodohkan saja kepadanya.¡ ̈
Jit-jit sengaja berlagak sangsi sejenak, katanya kemudian, ”Baiklah, kuterima
lamarannya. ̈ Baru habis ucapannya, seketika Him Miau-ji berjingkrak kegirangan.
Sebaliknya Sing Hian berdiri mematung, saking senangnya dia jadi linglung.
”Plak ̈, si Kucing menepuk pundaknya dengan keras sambil berseru, ¡”Hei, masa
engkau tidak gembira?¡ ̈ ”Gembira ... gembira .... ̈ teriak Sing Hian, mendadak ia
melonjak dan berjumpalitan satu kali terus menerjang ke luar, hanya sebentar saja
dia sudah berlari kembali dengan gelak tertawa, pada tangannya sudah bertambah
sebotol arak.
”Aha, bagus, rupanya arak untuk menyuguh kepada comblang yang berjasa, ̈ seru si
Kucing dengan senang.
”Betul, harus menyuguh arak kepada comblang, ̈ seru Jit-jit sambil mengambilkan
dua mangkuk, katanya pula, ”Mari, biar kusuguh comblang dulu. ̈
”Aku dulu, ̈ kata Sing Hian.
Seketika Jit-jit mendelik, ”Hm, apakah kau lupa siapa diriku? ̈ ”Engkau ... engkau .... ̈
Sing Hian jadi melengak. Si Kucing lantas berkeplok tertawa, ”Aha, betul, masa kau
lupa dia adalah bakal pamanmu, mana boleh kau rebut dulu dengan dia? ̈ Kontan
Sing Hian menggampar muka sendiri dan berkata, ”Betul, aku salah, silakan paman
menyuguhnya dulu. ̈
”Begini baru pantas, ̈ ujar Jit-jit. Segera ia menuangkan semangkuk penuh bagi Him
Miau-ji, ia sendiri cuma menuang setengah mangkuk saja, katanya pula, ”Silakan ̈
Pandangan Him Miau-ji sudah kabur, arak yang dituangkan itu banyak atau sedikit
tak terlihat lagi olehnya, begitu pegang mangkuk, seketika seluruh isinya
ditenggaknya hingga habis.
Dalam keadaan demikian, biarpun isi mangkuk itu adalah air kencing juga akan
diminumnya. Dan begitulah seterusnya Jit-jit menuangkan pula semangkuk demi
semangkuk, setiap mangkuk diminumnya hingga habis. Lima-enam mangkuk arak
telah dihabiskan si Kucing, mendadak ia berteriak, ”Ha, siapa kalian? .... Di mana
Sim Long? .... Siapa ... siapa bilang Sim Long lebih unggul daripadaku? .... Him
Miau-ji tetap nomor satu di dunia, minum arak nomor satu ... berkelahi juga nomor
satu .... ̈
Sampai di sini, ”bluk ̈, mendadak ia terguling ke lantai dan tidak bergerak lagi. Jit-jit
coba memanggilnya, ”Miau-heng .... Miau-ji .... ̈ Tapi Si Kucing tidak bergerak sama
sekali. Jit-jit coba mendorongnya, lalu menggoyang-goyangkan tangan di depan
matanya, namun mata si kucing tetap tidak terpentang.
”Hihi, kucing ini mabuk benar-benar, ̈ kata Jit-jit dengan tertawa. Waktu ia berpaling,
dilihatnya Sing Hian juga sudah mendekap di atas meja dan tertidur. Mendadak Jit-jit
angkat satu poci teh terus dituang ke leher Sing Hian. Semula Sing Hian
meraba-raba leher, lalu mengangkat kepala dan hidungnya berkerutkerut, akhirnya ia
melonjak bangun sambil berteriak.
Mestinya dia mau marah, tapi ketika diketahuinya yang menuangi air adalah ”bakal
paman mertua, ̈ seketika ia melongo dan tidak jadi memukul orang, sebaliknya
lantas memberi hormat dan minta maaf, ”O, sungguh kurang sopan, tanpa terasa
Siaute (adik) tertidur .... ̈
”Siaute? ̈ seketika Jit-jit menarik muka. ”O, bukan Siaute, tapi Siautit (keponakan), ̈
cepat Sing Hian mengoreksi dengan menyengir.
”Ini baru betul, ̈ ucap Jit-jit dengan tertawa. ”Tampaknya Hiantit sekarang sudah
mendusin.” ”Siautit sebenarnya tidak mabuk .... ̈ ”Andaikan mabuk, sepoci teh segar
itu pun dapat membuat sadar padamu. ̈ Sing Hian menjadi kikuk, ia meraba lagi leher
sendiri, mabuknya sekarang memang benar telah hilang, ia menunduk dan berkata,
”Ah, rasanya Siautit tidak ... tidak boleh mengganggu lebih lama lagi .... ̈
”Kau mau pergi? ̈ tanya Jit-jit. ”Ya, Siautit mohon diri dulu, besok ... besok kami akan
berkunjung lagi kemari, ̈ Sing Hian ragu sejenak, akhirnya ia berkata pula, ”Mengenai
cara bagaimana mengatur emas kawin dan upacara tukar cincin, Siautit menurut saja
atas kehendak paman. ̈
Mendadak Jit-jit mendengus, ”Hm, tukar cincin, masakah begitu gampang? ̈ Keruan
Sing Hian melengak, ”Bu ... bukankah lamaran Siautit sudah diterima? ̈ ”Terima
memang sudah diterima, cuma setiap calon menantu keluarga kami harus kerja
bakti dulu bagi keluarga kami, ̈ ujar Jit-jit. ”Kecuali itu juga harus berbuat amal dulu
kepada sesama orang Kangouw, bilamana kulihat caramu bekerja memang lumayan
barulah dapat kuserahkan keponakan perempuanku kepadamu. ̈
”Jika ... jika begitu, mohon diberi petunjuk apa yang harus Siautit lakukan? ̈ tanya
Sing Hian. ”Bilakah mulai rapat besar orang Kay-pang, tentu kau tahu? ̈ tanya Jit-jit.
”Pada waktu magrib, sebelum makan malam besok, ̈ jawab Sing Hian. ”Ehm, apabila
sebelum tengah hari besok dapat kau siarkan sesuatu berita mahapenting sehingga
diketahui oleh segenap peserta rapat ini, maka caramu bekerja akan terhitung
lumayan. ̈
”Ini kan pekerjaan mudah, ̈ ujar Sing Hian. ”Dan entah ... entah berita apa yang harus
kusiarkan? ̈ ”Tadi mendadak kutinggalkan restoran, apakah kau tahu apa
sebabnya? ̈ ”O, mungkin ... mungkin disebabkan ada Sim .... ̈ ”Betul, sebab Sim Long
yang satu itu adalah seorang mahajahat, ̈ tukas Jit-jit. ”Kay-pang-sam-lo terbunuh
seluruhnya olehnya, perbuatan jahat begini kan harus kita beri tahukan kepada orang
banyak. ̈
Sing Hian kaget, ”Ap ... apa betul? ̈ ”Masa tidak kau percayai keteranganku? ̈ Jit-jit
berlagak marah. ”Bukan ... bukan maksudku tidak percaya, soalnya ... soalnya
urusan ini terlalu besar dan mengejutkan, sebelum ... sebelum jelas bukti dan
saksinya tak berani sembarangan kusiarkan. ̈
”Ha, tak tersangka engkau malah bicara baginya, ̈ jengek Jit-jit. ”Apakah kau tahu
cara bagaimana Sing Ing, kakakmu itu menghilang? Apakah kau tahu siapa yang
membikin celaka dia? ̈
”Kakak telah ... telah dicelakai siapa? Apakah juga ... juga perbuatan Sim .... ̈ ”Ya,
memang dia, ̈ sela Jit-jit. Sing Hian jatuh terduduk lemas di kursi, ”Ahh, urusan ...
urusan ini pun tidak boleh dipercaya begitu saja. ̈ ”Baik, karena kau sangsi, biar
kuceritakan padamu mulai awal, ̈ kata Jit-jit. ”Kakakmu dan Sun To sampai di
Tiongciu, kemudian mereka .... ̈
Begitulah ia lantas bercerita cara bagaimana Sing Ing masuk ke makam kuno yang
misterius itu dan terjebak, lalu ditolong orang dan kemudian sampai di Lokyang, di
sana Sim Long berhasil membebaskan mereka dari cengkeraman Ong-hujin dan
menyuruh mereka pergi ke Jin-gi-ceng, tapi begitu sampai di Jingi-ceng semuanya
lantas mati keracunan.
Dasar Jit-jit memang pintar bercerita, apa yang terjadi itu memang juga sungguh,
tentu saja caranya menutur jadi sangat menarik. Sing Hian tampak gemetar,
mabuknya benar-benar hilang sama sekali. ”Nah, engkau bukan orang bodoh, tentu
dapat kau bedakan apa yang kuceritakan ini sungguh terjadi atau cuma karangan
belaka. ̈ ”Ya, aku ... sungguh aku sangat benci .... ̈ seru Sing Hian dengan gemetar.
”Dan sekarang masih kau bicara bagi Sim Long? ̈ tanya Jit-jit. Mendadak Sing Hian
melompat bangun seperti orang gila terus hendak menerjang keluar.
Cepat Jit-jit menarik bajunya dan berseru, ¡Hei, kau mau apa? ̈ ”Menuntut balas,
membalas dendam! ̈ seru Sing Hian. ¡Akan kucari Sim Long untuk .... ̈ ”Untuk
mengantar kematianmu? ̈ tukas Jit-jit dengan dingin. Dengan suara parau Sing Hian
berteriak, ”Sakit hati ayah dan kakak sedalam lautan, betapa pun aku harus ... harus
mencari dia untuk mengadu jiwa. ̈
”Tolol, ̈ omel Jit-jit sambil menggeleng. ”Cuma sedikit kepandaianmu ini, tidak lebih
tiga jurus saja jiwamu bisa melayang di tangan Sim Long, kepergianmu ini bukankah
cuma mengantar kematian saja secara penasaran? ̈
”Tapi ... apa pun juga harus kucari dia, ̈ teriak Sing Hian kalap. Jit-jit berkedip-kedip,
”Seluruhnya engkau bersaudara berapa orang? ̈ ”Cuma kami berdua saja, sebab
itulah aku harus .... ̈ ”Hm, kakakmu sudah mati di tangannya, sekarang kau mau
antar kematian lagi, selanjutnya keluarga Sing akan putus keturunan, lalu siapa lagi
yang akan menuntut balas bagimu? ̈
Sing Hian jadi melengak, kembali ia duduk lemas.
”Banyak cara untuk menuntut balas, hanya orang yang paling bodoh yang mau
mengadu jiwa secara ngawur, ̈ ujar Jit-jit. ”Asalkan kau mau turut kepada
gagasanku, kutanggung engkau akan dapat membalas dendam dengan baik. ̈
Sing Hian menunduk dan termenung sekian lama, gumamnya kemudian, ”Aku ... aku
merasa bingung, kuturut saja saranmu .... ̈ ”Baik, jika begitu, harus segera kau beri
tahukan kepada anak murid Kay-pang tentang segala kejahatan yang telah dilakukan
Sim Long itu, juga setiap kesatria dunia persilatan perlu mengetahui urusan ini,
bilamana orang tahu kemalanganmu, dengan sendirinya banyak orang yang akan
membantumu. ̈
”Baiklah, segera kukerjakan .... ̈ tanpa pikir Sing Hian terus berlari pergi. Sekali ini
Jit-jit tidak menariknya lagi melainkan memandangi kepergian orang dengan
tersenyum puas. Kemudian ia menyingkap selimut dan terlihatlah Ong Ling-hoa
masih meringkuk di situ tanpa bisa berkutik, cuma sorot matanya juga menampilkan
senyuman puas serupa Cu Jit-jit, bahkan dia terlebih senang daripada si nona.
”Nah, sudah kau dengar, bagaimana? ̈ tanya Jit-jit. ”Ya, bagus, sungguh bagus
sekali! ̈ jawab Ong Ling-hoa. ”Tentunya sekarang kau tahu aku bukan orang yang
mudah direcoki? ̈ ”Ya, aku pun tahu sedikit urusan lain. ̈ ”Kau tahu urusan lain apa? ̈
tanya Jit-jit. ”Baru sekarang kutahu anak muda keluarga ternama kebanyakan adalah
orang bodoh, untuk menipu mereka sungguh jauh lebih gampang daripada menipu
anak kecil, ̈ Ong Ling-hoa menghela napas, lalu menyambung, ”Sebelum ini
kuanggap dirimu masih sangat hijau dan mudah tertipu, siapa tahu masih ada orang
lain yang juga dapat kau tipu. ̈
”Hm, memangnya siapa yang bisa menipuku? ̈ jengek Jit-jit dengan pongahnya. ”Dan
apa lagi yang kau ketahui? ̈ ”Aku pun tahu, seorang anak perempuan yang
senantiasa menyaru sebagai lelaki, betapa pun dia berlagak tetap membawa sedikit
gerak-gerik orang perempuan. ̈
”Masa gerak-gerikku juga kelihatan? ̈ Jit-jit mendelik. ”Terkadang memang kelihatan,
umpama kau suka meraba rambut sendiri, itu khas gerakan orang perempuan, juga
tadi, waktu kau tarik anak she Sing itu, bukan kau tarik lengannya, tapi menarik
bajunya. ̈
”Hm, dasar mata setan, apa pun dapat kau lihat, ̈ omel Jit-jit. ”Coba, apa lagi yang
kau ketahui? ̈ ”Sekarang aku juga tahu, bilamana dicintai seorang anak perempuan,
wah, sungguh sangat menakutkan, ̈ ucap Ling-hoa. ”Dicintai orang adalah kejadian
baik, apa yang menakutkan? ̈
”Seorang lelaki disukai oleh seorang perempuan, sudah tentu hal yang
menyenangkan dan membanggakan, tapi bila cinta perempuan itu berubah menjadi
dendam, itu berarti maut baginya. ̈
Jit-jit seperti mau bicara, tapi urung.
Ong Ling-hoa lantas menyambung pula, ”Kata peribahasa, cinta yang mendalam
juga dapat menimbulkan benci yang luar biasa. Cinta yang dalam, sungguh kalau
bisa keduanya ingin terlebur menjadi satu. Pada waktu benci juga ingin
menghancurkannya dan membakarnya menjadi abu! ̈
Akhirnya Jit-jit menghela napas, ”Memang, seorang perempuan kalau sudah benci
kepada seorang, hal itu memang sangat menakutkan. Tapi ... jika kau minta cuma
dicintai tanpa dibenci, apanya yang menakutkan? ̈
”Betul juga ucapanmu, namun jarak antara cinta dan benci seorang perempuan
biasanya hampir tidak kelihatan, apalagi ... bilamana seorang dibenci perempuan,
sungguh dia ingin mencincang tubuhmu dan makan dagingmu. Pada saat dia cinta
padamu, dia juga geregetan dan ingin menggiling dirimu, mengurung dirimu dan
makan dagingmu. Keduanya sama-sama tidak enak. Bila dapat membikin orang
perempuan tidak benci padamu dan juga tidak cinta padamu, itu barulah orang lelaki
yang pintar. ̈
Habis berkata, Ong Ling-hoa bergelak tertawa hingga terbatukbatuk. ”Huh, tidak
perlu kau senang, ̈ jengek Jit-jit. ”Meski Sim Long tidak baik, engkau juga tidak lebih
baik, betapa pun selamanya tidak mungkin kusuka padamu, yang jelas benciku
padamu juga kelewat takaran dan ingin kucincang tubuhmu. ̈
Sembari mencaci maki ia terus berbangkit, mendadak ia kesandung sesuatu, waktu
ia melihat ke bawah, kiranya Him Miau-ji yang masih menggeletak di situ seperti
orang mampus.
”Hendak kau apakan kucing ini? ̈ tanya Ling-hoa tiba-tiba. ”Bilamana dia sadar
besok, tentu akan teringat olehnya kedatangannya bersama Sing Hian, bukan
mustahil Sing Hian sudah memberitahukan tentang namamu juga Sim Long, tentu
dia dapat menerka engkaulah orang yang hendak membikin celaka Sim Long yang
asli dan .... ̈
”Dan apa? ̈ Jit-jit mendelik pula. ”Demi keselamatanmu di kemudian hari, seharusnya
kau bikin dia takkan sadar untuk selamanya, ̈ ucap Ling-hoa perlahan. ”Kentut
busuk! ̈ bentak Jit-jit. ”Dasar bangsat, hendak kau gunakan tanganku untuk
membunuh setiap orang yang memusuhimu. Huh, jangan ... jangan kau mimpi. ̈
”Tidak kau bunuh dia, kelak engkau sendiri akan menyesal, ̈ ujar Ling-hoa. ”Waktu
datang tadi dia sudah mabuk, jika sekarang kubawa dia pergi dan ditaruh di setiap
tempat, besok kalau dia mendusin pasti juga tidak ingat lagi apa yang terjadi tadi. ̈
”Jika hendak kau lakukan cara begini, apa mau kukatakan lagi? ̈ ujar Ong Linghoa
dengan tersenyum getir. ”Tentu saja tak dapat kau bilang apa-apa, ̈ jengek Jit-jit,
segera ia mengangkat tubuh Him Miau-ji, tapi segera si Kucing memberosot lagi ke
lantai.
”Kucing mampus, kucing sialan! ̈ omel Jit-jit dengan mendongkol. Sembari mengomel
ia mengeluarkan juga saputangan untuk mengusap air liur yang mengalir dari ujung
mulut Him Miau-ji, habis itu sekuatnya ia mengangkat si Kucing dan dibawa keluar.
Tapi baru dua-tiga langkah, mendadak ia putar balik, Ong Ling-hoa ditutuknya lagi
supaya tidak dapat berkutik. Orang yang berlalu-lalang di jalan raya sudah
jarang-jarang, cahaya lampu juga guram, namun di sana-sini masih ada gerombolan
pemabuk yang berjalan sempoyongan sambil mengoceh tak keruan, ada juga yang
menyanyi asal nyanyi.
Melihat kawanan pemabuk di sana-sini dan memandang pula pemabuk yang
dipondongnya, diam-diam Jit-jit merasa gegetun, ”Orang lelaki sungguh aneh,
mengapa suka mencekoki dirinya sendiri sehingga mabuk seperti babi mampus, kan
mencari penyakit sendiri? ̈
Jit-jit sengaja berjalan di bawah emper rumah yang agak gelap agar tidak mencolok
mata orang lain, meski dia ingin membuang si Kucing di sembarang tempat, tapi
khawatir juga anak muda itu akan mengalami sesuatu.
Sekonyong-konyong dari ujung jalan sana muncul tiga penunggang kuda. Semula
Jit-jit tidak menaruh perhatian, tapi di malam sunyi kuda dilarikan secepat ini, apa
pun juga agak luar biasa, mau tak mau ia berpaling memandangnya.
Mendingan tidak dipandangnya, sekali pandang ia jadi melengak. Kiranya
penunggang kuda pertama tampak gagah dengan potongan baju yang sangat pas
dengan tubuhnya, bibirnya berkumis pendek, jelas dia inilah pemilik restoran
Wat-pin-lau itu. Dan penunggang kuda yang kedua ternyata Sim Long adanya.
Jit-jit melenggong sampai sekian lama, meski ketiga penunggang kuda sudah lalu
dan menghilang dalam kegelapan sana, dia masih tetap tidak bergerak.
Tampaknya ketiga penunggang kuda itu ada urusan penting, semuanya kelihatan
prihatin dan menempuh perjalanan dengan terburu-buru sehingga tiada seorang pun
memerhatikan Jit-jit.
Setelah termangu pula sejenak, Jit-jit bergumam, ”Aneh, mengapa dia juga kenal Sim
Long dan berkumpul bersama dia. ̈ Lantas terpikir pula olehnya, ”Ah, tentu dia
mendengar orang bilang di restorannya datang seorang Sim Long, sedangkan
pergaulanku dengan Sim Long juga sudah banyak diketahui orang, maka dia
sengaja mencari Sim Long untuk menanyai kabar mengenai diriku. ̈
Apa yang dipikirnya itu memang betul. ”Tapi sesungguhnya apa yang
dibicarakannya dengan Sim Long? Mengapa kedua orang menempuh perjalanan
dengan tergesa? Hendak ke manakah mereka? ̈
Hal-hal inilah yang tidak diketahui oleh Jit-jit. Diam-diam ia mengomel, ”Setan ini
mengapa mengajak pergi Sim Long? Bila dalam rapat besar Kay-pang besok Sim
Long tidak sempat hadir, bukankah segala jerih payahku akan tersia-sia belaka? ̈
Berpikir sampai di sini, tak dihiraukan lagi apa yang akan dialami Him Miau-ji, si
Kucing ditaruhkan di bawah emper rumah, katanya, ”Maaf, salahmu sendiri, suka ikut
campur tetek bengek dan juga suka mabuk-mabukan. ̈
Lalu dia tinggal pergi. Tapi baru dua langkah, segera ia putar balik, ia membuka baju
luar sendiri dan ditutupkan pada tubuh si Kucing. Habis itu cepat ia pulang ke
hotelnya.
Hanya sebentar saja seperginya Cu Jit-jit, mendadak muncul empat lelaki kekar
berbaju hitam dari balik kegelapan sana, dua orang ikut ke arah hotel si nona, dua
orang lagi menuju ke tempat Him Miau-ji.
Kedua orang ini kelihatan gagah, kekar, langkahnya gesit dan cekatan. Setiba di
depan Miau-ji dan memandangnya dua kejap, seorang di antaranya mendepak
sekali, Him Miau-ji bersuara mengeluh dan membalik tubuh, lalu tidak bergerak lagi.
”Hm, menghadapi kucing mabuk ini kan tidak perlu banyak mengeluarkan tenaga, ̈
jengek seorang. ”Menurut pesan bos, ̈ demikian seorang lagi berkata. ”Setiap orang
yang berada bersama domba itu harus kita awasi secara khusus. Apa yang dipesan
bos kita tentu ada alasannya. ̈
”Biarlah kita lemparkan dia ke sungai saja untuk umpan ikan, ̈ kata orang pertama.
”Tidak boleh, kan menurut pesan bos, semuanya harus tetap hidup. ̈ ”Baiklah, mari
kita gotong dia pulang. ̈ Begitulah kedua lelaki itu lantas mengangkat Him Miau-ji dan
dilarikan ke ujung jalan sana. Pada saat itulah kebetulan ada beberapa pemabuk
muncul dari situ, ada yang lagi menyanyi, ”Siapakah pendekar Kangouw nomor satu
zaman ini .... Ialah Toako kita Him Miau-ji .... ̈ Ketika kedua pihak berpapasan,
mendadak orang itu berhenti bernyanyi dan berseru dengan tertawa, ”Lihatlah, di situ
ada yang mabuknya lebih hebat daripada kita, sampai perlu digotong segala. ̈
”Haha, sebentar juga engkau akan sama seperti itu, ̈ ujar kawannya. Agaknya kedua
lelaki yang menggotong Him Miau-ji itu tidak suka menimbulkan perkara, mereka
sengaja menghindar ke tepi jalan dan kedua pihak dengan cepat bersimpang jalan.
Mendadak salah seorang pemabuk itu berseru, ”Hai, tidak betul ... tidak betul .... ̈
”Tidak betul apa? ̈ tanya seorang lagi. ”Tampaknya orang ... orang yang digotong itu
rada mirip Toako kita?! ̈ ”Ah, tentu matamu sudah kabur! ̈ ”Ehm, rasanya
pandanganku memang rada kabur. ̈ ”Tapi apa pun juga harus kita memeriksanya
dengan jelas, ̈ tiba-tiba seorang mengusul.
Dalam keadaan mabuk, bilamana seorang mengusulkan sesuatu, biasanya yang lain
lantas mendukungnya, maka serentak mereka berteriak, ”Betul, harus kita periksa
dia. ̈
Maka rombongan pemabuk ini lantas berputar balik ke sana. Melihat kawanan
pemabuk itu mengejarnya, meski tidak diketahui mau apa, tidak urung kedua lelaki
tadi rada gugup, cepat mereka berlari dengan lebih kencang.
Karena mereka lari, kawanan pemabuk itu lantas mengejar, seorang malah berteriak,
”Berhenti ... jangan lari! ̈ Makin dibentak, makin cepat lari kedua orang itu. Tapi
mereka menggotong Him Miau-ji, dengan sendirinya kecepatannya terbatas. Belum
sampai ujung jalan mereka sudah tersusul dan terkepung di tengah.
”Ada apa, sahabat? ̈ kedua orang itu berlagak tabah dan menegur.
Dalam pada itu kawanan pemabuk itu sudah mengenali Him Miau-ji, beramai
mereka berseru, ¡Aha, ternyata benar Toako adanya. ̈ ”Hai, hendak kau bawa Toako
kami ke mana? ̈ ”Lekas lepaskan Toako kami! ̈ Di tengah teriakan orang banyak,
beramai-ramai kawanan pemabuk itu lantas mengerubuti kedua lelaki itu. Karena
menggotong orang, dengan sendirinya kedua lelaki itu tidak mampu menangkis dan
balas menyerang, ketika mereka lepaskan Him Miau-ji, tubuh mereka sudah kena
belasan kali genjotan.
Biarpun kawanan pemabuk itu tidak menguasai kungfu yang tinggi, tapi jotosan
mereka tidak ringan, asal kena juga cukup membuatnya meringis kesakitan.
Kedua lelaki itu juga tidak tinggi ilmu silatnya, setelah digenjot belasan kali, ruas
tulang mereka hampir retak, mana mereka mampu membalas, maka cepat mereka
melarikan diri.
Sambil membentak-bentak kawanan pemabuk itu bermaksud mengejar. Tak terduga
Him Miau-ji lantas melompat bangun. Keruan kawanan pemabuk itu terkejut dan
bergirang, beramai mereka mengerumuninya sambil menyapa, ”Aha, kiranya Toako
tidak mabuk. ̈ Tanpa bicara, ”plak-plok ̈, kontan Miau-ji menggampar kawanan
pemabuk itu, setiap orang beberapa kali.
Tentu saja kawanan pemabuk itu melongo, sambil memegang muka masingmasing
mereka berseru, ”O, ampun, Toako .... Mengapa Toako menghajar kami malah? ̈
”Hm, rasanya harus kutambahi lagi beberapa gamparan kepada kalian! ̈ damprat si
Kucing. ”Kami berbuat salah apa, Toako?! ̈ salah seorang pemabuk itu coba tanya.
”Apakah kalian tahu sebab apa aku berlagak mabuk? ̈ kata si Kucing. ”Tidak tahu. ̈
sahut para pemabuk itu dengan menggeleng. ”Aku pura-pura mabuk sebab aku
justru ingin tahu kedua keparat itu orang macam apa, di mana sarang mereka? Siapa
tahu usahaku ini telah digagalkan oleh kalian. ̈
Seketika kawanan pemabuk menunduk dan tidak berani bicara lagi. ”Nah, apakah
hajaranku kepada kalian membuat penasaran? ̈ tanya si Kucing. ”O, tidak, tidak,
hajaran Toako memang pantas! ̈ sahut mereka. ”Bagus, ̈ ucap si Kucing, lalu
tangannya bergerak lagi, tapi bukan menghajar mereka lagi melainkan setiap orang
diberikan sepotong uang perak.
”He, untuk ... untuk apakah ini? ̈ tanya para pemabuk.
”Meski kalian pantas dihajar, tapi ketika kalian melihat aku ada kesulitan, kalian
segera menolong tanpa menghiraukan bahaya sendiri, kalian tetap saudaraku yang
baik, maka harus kutraktir kalian minum arak. ̈ ”Aha, Toako tetap Toako, tetap sebaik
ini, jangankan cuma digampar dua-tiga kali, dibacok dan tubuh dilubangi juga kami
rela, ̈ seru kawanan pemabuk itu.
Mendadak si Kucing terkulai ke tanah dengan lemas. Keruan kawanan pemabuk itu
terkejut, ”Hei, apakah Toako terluka? ̈ ”Omong kosong, siapa yang mampu
melukaiku? ̈ sahut si Kucing. ¡Aku cuma ... ai, tubuhku rasanya mabuk benar, kaki
dan tangan terasa lemas. ̈
Kembali kawanan pemabuk itu bersorak gembira dan bernyanyi, ¡Aha, tampaknya
biarpun Toako kita sangat tangkas, tapi araknya justru lebih .... ̈
”Sudahlah, jangan kalian ngacau lagi, ̈ sela si Kucing. ”Ingin kutanya kepada kalian,
apakah kalian melihat Sim-siangkong, Sim Long, ̈ seru si Kucing.
”Oo, baru saja Sim-siangkong lagi mencari Toako, ̈ sahut seorang. ”Dan sekarang? ̈
”Sekarang telah diajak pergi oleh juragan restoran besar itu dengan menumpang
kuda. ̈ ”Hah, pergi dengan naik kuda? ̈ seru si Kucing khawatir. ”Wah, celaka, bisa
celaka! Apakah kalian tahu untuk apa mereka pergi dan ke mana? ̈ Kawanan
pemabuk itu saling pandang dengan bingung. Akhirnya seorang bicara, ”Seperti
pergi mencari orang. ̈ ”Mencari siapa? ̈ desak si Kucing. ”Wah, mencari siapa, mana
hamba tahu? ̈ sahut orang itu. ”Cuma jelas kulihat mereka menuju ke sana, keluar
kota. ̈
”Buset, jadi suara kuda lari tadi pastilah mereka .... ̈ gumam si Kucing. Maklumlah,
meski waktu itu dia mendengar derapan kaki kuda lari, tapi Jit-jit juga sedang
bergumam. Dengan sendirinya waktu itu dia memang setengah mabuk, hanya
mabuknya tidak separah dugaan Cu Jit-jit.
”Betul, belum lama mereka melarikan kuda ke sana, ̈ kata orang tadi. ”Jika kususul
sekarang mungkin masih keburu, ̈ kata si Kucing. ”Baiklah, saudara, lekas
mencarikan seekor kuda bagiku. Lekas, boleh kalian merampas atau mencuri, aku
tidak peduli! ̈
*****
Sementara itu Jit-jit sudah masuk ke hotelnya. Selama beberapa hari ini pintu hotel
itu selalu terbuka siang dan malam. Pelayan menyapa kedatangannya,
namun Jit-jit tidak menghiraukannya, langsung ia masuk ke dalam dengan hati
bimbang.
Pada saat itulah mendadak seorang berseru di belakang, ”Tunggu dulu, Siangkong
di depan itu! ̈ Waktu Jit-jit berpaling dengan terkejut, terlihatlah dua lelaki kekar
berbaju hitam berlari masuk, wajah keduanya mengulum senyum, tampaknya tidak
bermaksud jahat.
Tapi Jit-jit lantas melotot dan menegur, ”Aku tidak kenal kalian, untuk apa kalian
memanggil diriku? ̈ Salah seorang berbaju hitam itu menjawab dengan tertawa,
”Meski hamba tidak kenal, tapi majikan kami kenal Kongcu. Ada ... ada sesuatu
urusan beliau ingin menemuimu. ̈ ”Oo, ada urusan apa? ̈ tanya Jit-jit.
”Ti ... tidak ada apa-apa, beliau cuma mengundang Kongcu ke sana untuk ... untuk
minum barang dua-tiga cawan, ̈ tutur lelaki itu dengan agak gelagapan.
Jit-jit berkerut kening, ”Minum arak? Tengah malam buta begini mengundangku
minum arak? Hm, kukira majikan kalian pasti .... ̈ Mendadak teringat dirinya dalam
keadaan menyamar, siapa pun tidak dapat mengenalnya lagi, segera ia berganti
suara dan membentak, ”Siapa majikan kalian? ̈
”Majikan kami ialah Auyang .... ̈ ”Aku tidak kenal orang she Auyang, ̈ bentak
Jit-jit. ”Tapi ... tapi majikan bilang kenal Li-kongcu, maka hamba disuruh .... ̈
”Kalian sudah buta barangkali? ̈ damprat Jit-jit. ”Memangnya siapa she Li? ̈
Orang itu mengamat-amati si nona beberapa kejap, lalu saling pandang dengan
kawannya, kemudian berucap dengan ragu, ”Jangan-jangan kita salah lihat? ̈
”Keparat .... ” Jit-jit mendamprat pula. ”Selanjutnya hendaknya lihat lebih jelas bila
mencari orang, tahu? ̈ Kedua orang itu mengiakan dengan takut-takut. Meski
mendongkol, Jit-jit hanya mendengus saja dan tinggal masuk lagi ke dalam sambil
menggerutu. Setiba di serambi samping, terlihat beberapa orang perempuan yang
rambut kusut menggotong sebuah amben sambil menangis, amben itu tertutup
sehelai kain putih, agaknya orang mati. Beberapa perempuan itu menangis dengan
sangat sedih. ”Sungguh sial, ketemu orang mati lagi, ̈ gerutu Jit-jit di dalam hati.
Terpaksa ia menepi memberi jalan kepada mereka.
Sambil menangis, kawanan perempuan itu juga membuang ingus, ketika lalu di
samping Jit-jit, seorang perempuan tua membuang ingusnya dan tepat hinggap di
tubuh Jit-jit.
Keruan si nona keki setengah mati, tapi orang lain lagi berduka, terpaksa ia
menahan rasa marahnya, ia percepat langkahnya dan menerjang ke dalam kamar
sendiri.
Untung keadaan kamar tidak terjadi sesuatu, Ong Ling-hoa masih berbaring di
tempatnya. Karena tertutuk Hiat-to tidurnya, saat itu Ong Ling-hoa masih tidur
dengan nyenyak. Segera Jit-jit menepuk Hiat-to untuk menyadarkan Ong Ling-hoa,
karena hatinya lagi keki, tepukannya menjadi agak keras. Kontan Ong Ling-hoa
menjerit dan terjaga bangun.
”Hm, enak saja kau tidur, aku justru mengalami berbagai kesialan di luar, ̈ omel Jit-jit.
”Eh, apakah kau tahu baru saja Sim Long telah pergi. ̈
”Dari ... dari mana kutahu? ̈ jawab Ling-hoa. ”Kukhawatir bila besok dia tidak pulang,
kan usahaku akan sia-sia belaka? ̈ ”Kukira tidak menjadi soal, mana dia mau
mengabaikan pertemuan besar besok yang jarang terjadi itu? ̈ Setelah berpikir, Jit-jit
berkata, ”Benar juga .... Selama hidup ini, hanya ucapanmu ini yang paling
mencocoki seleraku. Baiklah, tampaknya matamu masih sepat, akan kubiarkan kau
tidur lagi. ̈ ”Terima kasih, ̈ kata Ling-hoa, lalu ia menghela napas, ”Ai, sampai tidur
juga perlu memohon berkah orang lain, sungguh kasihan .... ̈
Jit-jit jadi tertawa geli juga dan tidak menyiksanya lagi. Ia lantas berbaring di dipan
pojok sana, tanpa terasa dia terpulas. Nona itu memang sudah lelah, sungguh lelap
sekali tidurnya. Waktu dia mendusin, Ong Ling-hoa ternyata masih tidur. Ia berkerut
kening, lalu tertawa juga. Dengan kemalasan dia berbangkit dan mengulet, lalu
membuka pintu.
Sekonyong-konyong seorang menerjang masuk. Keruan Jit-jit terkejut. Waktu
diawasi, kiranya orang ini ialah Sing Hian yang dicemoohkan Ong Linghoa itu. Cepat
Sing Hian berdiri tegak, matanya tampak merah wajah pucat lesu, jelas kurang tidur.
Jit-jit tahu semalam pasti cukup membuat anak muda itu kapiran. Maklum, putra
keluarga ternama bilakah pernah menderita seperti ini?
”Apakah kau tidur di luar pintu? ̈ tanya Jit-jit.
Dengan muka merah Sing Hian menjawab, ”Pagi-pagi aku sudah datang, kudengar
suara orang mendengkur di dalam, kuyakin kalian masih tidur dan tidak berani
kuganggu .... ̈
Ia melirik sekejap Ong Ling-hoa di sebelah sana, lalu menyambung dengan
tergegap, ”Sebab itulah aku lantas ... lantas menunggu di luar pintu. Siapa ... siapa
tahu aku jadi tertidur juga bersandar pintu .... ̈
Sampai di sini ia pandang Ong Ling-hoa beberapa kejap, lalu memandang Jit-jit pula
dengan sorot mata menunjukkan rasa keheranan. Dengan tertawa cepat Jit-jit
menjelaskan, ”Keponakan perempuanku ini lagi sakit, tengah malam perlu dijaga.
Orang dalam perjalanan juga tidak membawa pelayan, terpaksa kutidur di sini untuk
menjaga dia. ̈
Rupanya isi hati Sing Hian terungkap oleh ucapan Jit-jit ini, mukanya menjadi
merah, cepat ia mengiakan. ”Eh, apa yang kusuruh kau kerjakan apakah sudah
dilaksanakan? ̈ tanya Jit-jit. ”Sudah, ̈ jawab Sing Hian. ”Hanya dalam semalam saja
sudah kuberi tahukan perbuatan jahat Sim Long itu kepada 57 orang dan ... Sim
Long sendiri pasti tidak tahu. ̈
”Baik, lantas bagaimana reaksi orang-orang itu setelah mendengar kabar darimu? ̈
”Anak murid Kay-pang tentu saja murka, ada di antaranya menangis sedih, ada yang
hendak mencari Sim Long itu untuk menuntut balas, terpaksa kubujuk mereka agar
bersabar sampai besok. ̈
”Lantas bagaimana lagi yang lain? ̈
sambung jilid 21
Pendekar Baja
Karya Gu Long Judul asli: Wu Lin Wai Shi Judul Bahasa
Inggris: A Fanciful Tale of the Fighting World Saduran: Gan
KL Tahun: 1979
Jilid 21
”Yang lain juga gusar, ̈ tutur Sing Hian. ”Pendek kata, bilamana Sim Long hadir
dalam rapat Kay-pang petang nanti, dia pasti takkan pergi lagi dengan selamat. ̈
”Hm, bagus, bagus sekali, ̈ ucap Jit-jit dengan gemas. ”Justru akan kulihat
bagaimana bentuknya waktu itu. Sungguh aku tidak sabar menunggu lagi. Sekarang
sudah waktu apa? ̈
”O, masih sangat pagi .... ̈ Belum lanjut jawaban Sing Hian, mendadak seorang
pelayan melongok ke dalam dan bertanya, ”Apakah Tuan tamu ingin makan? ̈
”Makan pagi atau makan siang? ̈ tanya Jit-jit. ”Makan siang sudah hampir lewat,
sudah beberapa kali hamba datang kemari, namun tidak berani membikin kaget, ̈
tutur si pelayan.
”Ai, kiranya sudah hampir lewat tengah hari, hampir, sudah hampir waktunya! ̈ seru
Jit-jit. Teringat kepada bencana yang hampir menimpa Sim Long, hampir saja si nona
tertawa. Tapi entah mengapa, sukar untuk tertawa. Akhirnya dia berseru, ”Baiklah,
lekas atur makan siang! ̈ Sesudah pelayan pergi, kembali ia bergumam, ”Sesudah
makan siang, kita harus keluar, Sing Hian, kau perlu makan agak banyak, bila
kenyang baru bertenaga, baru dapat membunuh orang. ̈
”Cuma sayang, mungkin sebelum kuturun tangan, bisa jadi Sim Long sudah
dicincang orang, ̈ ujar Sing Hian dengan menyesal. Hidangan telah disiapkan, kedua
bibi juga ikut datang, tujuannya untuk meladeni Ong Ling-hoa. Sambil makan Ong
Ling-hoa terus berkeluh-kesah, hampir sukar menelan nasi.
Dengan susah payah akhirnya selesai juga makan siang ini. Sing Hian menghela
napas dan mengusap keringat. Jit-jit mulai lagi mondar-mandir di dalam rumah,
kelihatan sangat gelisah. Tentu saja Sing Hian tidak berani mengganggunya, dia
duduk diam saja di kejauhan.
Ong Ling-hoa lantas tidur malah, tidur dengan menutupi kepalanya, nyata dia tidak
ingin dipandang oleh Sing Hian, betapa pun merasa rikuh seorang lelaki dipandang
semesra itu oleh lelaki lain.
Sang waktu terasa lalu dengan sangat lambat, jangankan Jit-jit, Sing Hian juga
merasa gelisah. Entah sudah berapa kali Jit-jit membuka jendela dan menutupnya
lagi. Ketika untuk ke-13 kalinya dia membuka jendela, akhirnya dia tidak tahan dan
bertanya, ¡”Sudah tiba waktunya?¡ ̈
”Hampir, ̈ jawab Sing Hian. ”Di mana tempatnya, apakah kau tahu? ̈ ”Semalam
sudah pernah kudatang ke sana. ̈ ”Baik, suruh bibi itu ke sini dan kita lantas
berangkat, ̈ kata si nona. Sing Hian tercengang, dipandangnya Ong Ling-hoa yang
meringkuk di tempat tidur, katanya, ”Dia ... dia boleh pergi? ̈ ”Mengapa tidak? ̈ ujar
Jit-jit. ”Di sana terlalu banyak orang, juga terlalu ramai, bila dia tercedera .... ̈ ”Hm,
dia belum lagi menjadi istrimu, dia masih anggota keluargaku, aku sendiri tidak
khawatir, mengapa kau khawatir malah? .... Ada aku, siapa yang mampu
mencederai dia? ̈
Muka Sing Hian menjadi merah, dengan tersipu-sipu dia lari keluar untuk memanggil
kedua bibi itu. Jalan raya terlebih ramai daripada semalam. Hampir setiap belasan
langkah pasti terdapat seorang lelaki berdandan serupa pengemis berdiri di emper
rumah, kebanyakan menyandang tiga empat buah kantong, jelas mereka ini anak
murid Kay-pang.
Mereka ada yang bersandar di samping pintu rumah orang, ada juga yang
berjongkok di ujung jalan, orang lain tidak mengajak bicara mereka, mereka juga
tidak bicara dengan orang lain. Inilah peraturan Kay-pang.
Meski mereka datang ke sini untuk menerima tamu, yaitu para kawan Bu-lim, tapi di
tengah jalan raya, kecuali minta-minta sebagai tugas rutin, biasanya mereka dilarang
bicara dengan orang lain.
Dengan sendirinya ada juga orang Bu-lim yang mencari keterangan
kepada mereka atau tanya arah jalan, maka mereka lantas menuding ke timur.
Nyata pertemuan besar Kay-pang itu diadakan di luar kota timur.
Jit-jit minta Sing Hian sebagai penunjuk jalan, maka Sing Hian berjalan di depan, di
tengahnya kedua bibi menggotong tandu yang ditumpangi Ong Ling-hoa dan Cu
Jit-jit sendiri mengintil di belakang tandu.
Orang yang berlalu-lalang kebanyakan memandang lebih banyak beberapa kejap
kepada mereka. Tapi ketika melihat mata Jit-jit yang melotot, kelihatan garang,
semua orang cepat menoleh dan tidak berani memandang lagi. Setelah
meninggalkan pusat kota, anak murid Kay-pang tampak bertambah banyak.
Pada waktu itu anak murid Kay-pang juga telah melihat Sing Hian, banyak di
antaranya menegur sapa padanya dengan tersenyum. Namun senyum anak murid
Kay-pang itu kelihatan kaku, sorot mata mereka pun menampilkan rasa duka,
senyuman yang memperlihatkan tidak dapat menutupi perasaan mereka yang berat.
Dari perasaan anak murid Kay-pang, Jit-jit menarik kesimpulan Co Kong-liong pasti
belum muncul. Tiba-tiba ia memburu ke depan dan membisiki Sing Hian, ”Sebentar
bila tiba di sana, sebaiknya jangan kau duduk bersama kami. ̈
”Seb ... sebab apa? ̈ tanya Sing Hian. ”Sebab aku menghendaki demikian, ̈ jawab
Jit-jit dengan mendelik. Terpaksa Sing Hian mengiakan dan tidak berani tanya lagi.
”Tapi tempat dudukmu juga jangan terlalu jauh .... ̈ sampai di sini, mendadak Jitjit
berseru, ”Hei, Him Miau-ji berada di sana! ̈ Sing Hian juga sempat melihat bayangan
orang berkelebat di kejauhan sana, cepat ia berkata, ¡”Baik, akan kupanggil dia.¡ ̈
”Untuk apa panggil setan arak itu? ̈ bentak Jit-jit. Terpaksa Sing Hian mengiakan lagi
dengan menunduk. Tertampak dua anggota Kay-pang datang dari kejauhan, yang
sebelah kanan bermuka jelek, penuh burik, tapi punggungnya menyandang enam
buah karung.
Pengemis sebelah kiri berusia belum tua, berperawakan gemuk pendek, mukanya
bulat dan selalu tertawa, kelihatan rada ketololtololan, tapi karung yang
disandangnya juga ada enam buah. Anak murid Kay-pang yang berkarung enam
jumlahnya tidak banyak.
Jit-jit mendesis, ”Apakah kau kenal kedua orang ini? ̈ ”Kenal, ̈ jawab Sing Hian.
”Kedua orang ini adalah anak buah langsung Himpangcu almarhum, konon nama
mereka cukup menonjol di dalam Kay-pang, kedudukan mereka cuma berada di
bawah Kay-pang-sam-lo. ̈
”Siapa nama mereka? ̈ tanya Jit-jit.
”Yang sebelah kiri bernama Ci Kong-tay berjuluk Pian-te-say-kim-ci (menyebar mata
uang di mana-mana) dan yang sebelah kanan bernama Ko Siau-diong berjuluk
Siau-bian-siau-hok-sin (si malaikat rezeki selalu tertawa). ̈
”Siau-diong (ulat kecil)? Sungguh aneh namanya, ̈ ujar Jit-jit dengan tertawa. Dalam
pada itu kedua orang itu sudah mendekat. Segera Ci Kong-tay memberi hormat,
”Banyak terima kasih atas berita yang disampaikan Sing-kongcu semalam .... ̈ ketika
melihat Cu Jit-jit, cepat ia ganti ucapannya, ”Oh, ini .... ̈
”Aku, pamannya, ̈ cepat Jit-jit mendahului sebelum Sing Hian menjawab. ”Oo, ̈ Ci
Kong-tay bersuara heran sambil mengamat-amati Cu Jit-jit. ”Kau kira usiaku terlalu
muda dan tidak mirip menjadi pamannya? ̈ tanya si nona. ”Ah, mana, ̈ cepat Ci
Kong-tay menjawab dengan menyengir. ”Apakah kalian datang untuk menjadi
petunjuk jalan bagi kami? ̈ tanya Jit-jit. ”O ... ya, ̈ jawab Ci Kong-tay. ”Baiklah jika
begitu, mari berangkat, ̈ kata Jit-jit. Terpaksa Ci Kong-tay berdua menurut. Padahal
kedatangan mereka adalah untuk mencari Sing Hian, namun Sing Hian sama sekali
tidak bicara melainkan cuma tersenyum getir saja.
Tempat rapat kawanan jembel itu tampaknya serupa bekas sawah, kini musim
dingin, panen sudah lama lalu, di tengah sawah hanya tersisa merang kering dan
timbunan salju saja.
Di pedusunan daerah utara banyak tumbuh pohon bambu, maka anak murid
Kay-pang telah membangun barak yang panjang di sekeliling sawah ini. Agaknya
tergesa-gesa sehingga barak yang dibangun sangat sederhana dan kurang rajin,
yang tersedia di dalam barak juga cuma bangku dan meja kasar.
Namun yang berduduk di dalam barak sekarang kebanyakan adalah orang yang
berbaju perlente dan bersikap gagah sehingga keadaannya tidak serasi.
Di luar barak adalah anak murid Kay-pang, ada yang mondar-mandir tanpa tujuan,
ada yang berduduk dengan mata terpejam dan sedang berjemur, ada yang lagi
mencari kutu.
Meski orang-orang Kay-pang ini kelihatan iseng dan tenang, namun air muka setiap
orang sama prihatin, dua ratusan orang berjubel di situ dan sedikit sekali yang bicara.
Mestinya Ci Kong-tay tidak bermaksud menjadi petunjuk jalan, karena beberapa
patah kata Cu Jit-jit tadi terpaksa menjadi petunjuk jalan. Sedangkan pengemis
yang bernama Ko Siau-diong itu tidak bicara apa-apa melainkan cuma tertawa
ketololan saja.
Ci Kong-tay membawa rombongan Jit-jit ke barak sebelah utara dan berduduk di situ,
barat utara adalah tempat terhormat, yang hadir di situ belum terlalu banyak. Jit-jit
tidak menghiraukan orang lain, dengan lagak tuan besar ia duduk saja di situ.
Cepat Ci Kong-tay memberi hormat dan berucap, ”Silakan kalian duduk dan minum
di sini, Cayhe masih perlu meladeni tetamu lain. ̈ Rupanya ia pun merasakan sang
”paman ̈ ini kurang simpatik, maka ingin lekaslekas melepaskan diri. ”Eh, nanti dulu, ̈
mendadak Jit-jit berkata. ”Anda ada keperluan apa lagi? ̈ tanya Kong-tay. ”Jika kalian
mengundang tamu pada saat makan, kenapa kalian cuma menyuguh tamu minum
teh saja? ̈ kata si nona. Ci Kong-tay menyengir, ucapnya, ”Ah, ada juga, cuma
makanan kasar dan arak hambar, untuk ini mohon dimaafkan. ̈ ”Baiklah, asal ada
saja, ̈ ujar Jit-jit. ”Jika Ci-heng ada urusan, silakan pergi saja, ̈ cepat Sing Hian
menambahkan. Ko Siau-diong yang sejak tadi cuma tertawa itu mendadak berkata,
”Aku tidak ada pekerjaan, biar kutemani kalian di sini. ̈ Ci Kong-tay memandangnya
sekejap dengan tersenyum getir, lalu tinggal pergi dengan tergesa-gesa. ”Baik, jika
engkau yang akan mengiringi harap ambilkan teh dulu, ̈ kata Jit-jit. Dengan tertawa
Ko Siau-diong benar-benar menuangkan tiga mangkuk teh dan menyilakan
tetamunya minum. Di barak sebelah utara ini sudah berduduk likuran orang,
pandangan semua orang sejak tadi sudah beralih kepada rombongan Cu Jit-jit ini,
ada yang sedang kasak-kusuk, jelas diam-diam sedang menduga dan menerka
sesungguhnya siapakah orang-orang ini.
Mata Jit-jit juga tidak sungkan-sungkan, ia pandang orang-orang itu satu per satu,
dilihatnya kebanyakan sudah berusia setengah baya, berpakaian mentereng,
tampaknya orang mampu semua dan jelas tokoh berkedudukan penting di dunia
Kangouw. Akan tetapi tiada seorang pun dikenalnya.
Him Miau-ji telah berputar beberapa kali mengelilingi barak, ketika melihat
rombongan Cu Jit-jit, pandangannya terbeliak, tapi diamdiam ia menyingkir dan
membatin, ”Bagus, bocah ini telah datang ... dan di manakah Sim Long sekarang?
.... ̈
Rupanya semalam dia mencari Sim Long dan tidak diketemukan.
Dalam pada itu tamu yang datang semakin banyak.
Setelah mengeliling sekali lagi barak itu, tiba-tiba si Kucing merasa dirinya terlalu
bodoh, apa gunanya menunggu di sini, kan lebih baik cegat dia saja di jalan raya
sana?
Berpikir demikian, serentak ia balik ke sana, sepanjang jalan memandang ke sini dan
melihat ke sana, namun bayangan Sim Long tetap tidak kelihatan.
Waktu dia putar balik ke jalan kota, orang berlalu-lalang sudah sedikit, kebanyakan
sudah pergi ke tempat rapat, hanya tersisa anak murid Kay-pang saja yang berada di
bawah emper sana-sini.
Si Kucing berhenti di pengkolan jalan, ia pikir kalau Sim Long pulang pasti akan lalu di
sini. Maka ia pun bersedekap dan bersandar di samping pintu rumah orang.
Setelah menunggu sekian lamanya, tiba-tiba seorang memberinya sepuluh mata
uang tanpa diminta. Tentu saja Miau-ji heran, katanya, ”Ini ... ini .... ̈ ”Harap Toako
berdiri saja di tempat lain supaya tidak mengganggu tamu toko kami, ̈ kata orang itu
dengan tertawa.
Semula Miau-ji melenggong, tapi merasa geli, pikirnya, ”Ah, kiranya dia menyangka
diriku sebagai pengemis. ̈ Ia pandang dandanan sendiri yang memang tidak banyak
berbeda dengan anggota Kay-pang, tanpa terasa ia tertawa geli, ia terima uang
pemberian orang dan mengucapkan terima kasih. Lalu ia menuju ke sebuah warung
arak di seberang dan berkata kepada penjual, ¡”Berikan arak sepuluh duit!¡ ̈
Orang yang memberi sedekah tadi menggeleng kepala dan menggerutu, ”Ai, dasar
pengemis, punya duit sedikit lantas minum arak. ̈
Biarpun sudah di seberang jalan, dengan ketajaman telinga Him Miau-ji dapat
didengarnya gerutu orang itu, diam-diam ia merasa geli. Begitu arak yang diminta
disodorkan, sekali tenggak ia minum habis, mendadak ia keluarkan sepotong uang
perak dan dilemparkan kepada penjual arak, katanya, ”Berikan lagi tiga mangkuk
besar! ̈
Pemberi sedekah itu melongo, sampai sekian lama tercengang, lalu menggeleng dan
masuk ke tokonya dengan menggerundel, ”Zaman
ini orang aneh dan kejadian aneh memang semakin banyak. ̈
Setelah Him Miau-ji habis minum empat mangkuk arak, jalan raya tambah sepi.
Tiba-tiba dilihatnya seorang murid Kay-pang datang dari depan sana, ia tepuk tangan
beberapa kali, para anggota Kay-pang yang berdiri di ujung jalan dan di bawah
emper itu lantas ikut dia menuju ke luar kota. Namun Sim Long masih tetap tidak
kelihatan.
Keruan si Kucing menjadi gelisah, gumamnya, ”Masakah dia tidak kembali ke sini?
.... Ah, tidak mungkin, rapat besar Kay-pang ini mana boleh diabaikannya? Tapi
mengapa dia pergi malah? Memangnya ada urusan lain yang lebih penting? ̈
Sekarang suasana tambah sepi, kembali Miau-ji minum lagi semangkuk, dada
bajunya tersingkap, gumamnya, ”Wah, lantas bagaimana jika dia tidak kembali ke
sini? ̈
***** Karena tidak kenal orang lain, maka pandangan Cu Jit-jit hanya menatap ke
arah Ko Siau-diong melulu. Jika orang lain tentu akan merasa risi oleh pandangan
Cu Jit-jit itu, tapi Ko Siaudiong ini tetap tertawa ketololan seperti tidak merasakan apa
pun.
”Sepanjang hari engkau tertawa terus-menerus, apakah hatimu selalu gembira? ̈
tanya Jit-jit tak tahan. ”Ya, ̈ jawab Ko Siau-diong. ”Urusan apa yang membuatmu
gembira? ̈ ”Banyak, ̈ jawab Ko Siau-diong. ”Coba lihat, sinar sang surya sedemikian
hangat, tanah bersalju seindah ini, tamu pun datang sekian banyak .... Bukankah
semua ini sangat menggembirakan? ̈
”Pernah juga engkau tidak gembira? ̈ ”Tidak, di mana-mana aku selalu gembira. ̈
”Engkau sungguh manusia aneh, ̈ ucap Jit-jit kemudian. Ia pikir orang aneh yang
dilihatnya selama ini sungguh tidak sedikit. Sim Long, Him Miau-ji, Kim Bu-bong,
bahkan Sing Hian, semua ini orang aneh. Untung juga, setiap orang aneh itu terasa
sangat menyenangkan.
Pada saat itulah mendadak ada orang berdiri dan berseru, ¡”Itu dia Kiau-tayhiap
datang!¡ ̈ Waktu Jit-jit berpaling, benarlah dilihatnya Kiau Ngo dan Hoa Si-koh telah
muncul.
Kiau Ngo memberi salam kepada para hadirin, tamu yang datang lebih dulu juga
balas menyapa padanya. Diam-diam Jit-jit merasa heran, ucapnya, ¡”Aneh, orang
yang angkuh begini juga banyak kenalannya.¡ ̈
”Asalkan tidak berbuat jahat, asalkan baik hati nuraninya, setiap tindak tanduknya
selalu di pihak yang benar, biarpun agak angkuh tetap disukai orang, ̈ kata Ko
Siau-diong dengan tertawa.
”Wah, banyak juga pengetahuanmu, ̈ kata Jit-jit. ”Ah, lumayan, ̈ ujar Ko Siau-diong.
Mendadak terdengar suara ¡”tok-tok-tok¡ ̈ tiga kali, suara ketukan kentungan.
”Suheng memerintahkan berkumpul, terpaksa kumohon diri, ̈ kata Ko Siau-diong
dengan tertawa.
Waktu Jit-jit memandang ke sana, benarlah para anggota Kay-pang yang tadinya
tersebar itu kini telah berkumpul dan berbaris dengan rajin. Yang menjadi komandan
barisan ternyata Ci Kong-tay dan Ko Siau-diong, barisan masuk ke pelataran kosong
di tengah barak, serentak lebih dua ratus anggota Kay-pang memberi hormat kepada
hadirin dan mengucapkan terima kasih. Lalu mereka berduduk di atas jerami kering
bertimbun salju itu.
Jit-jit menjadi gelisah, gumamnya, ”Rapat segera akan dimulai, mengapa Sim Long
belum lagi muncul? ̈ Him Miau-ji telah minum sebelas mangkuk arak, kalau tidak
terdengar derapan kaki kuda mungkin dia akan minum lagi sepuluh mangkuk. Demi
mendengar suara kaki kuda, segera ia taruh mangkuk arak dan berlari ke sana. Tiga
ekor kuda muncul, benarlah Sim Long dan si pemilik restoran serta seorang lelaki
kekar yang pernah digenjot sekali oleh Him Miau-ji itu.
Di belakang ketiga ekor kuda ikut sebuah kereta besar. Miau-ji pentang tangan dan
menyongsong ke sana sambil berteriak, ”O, Simheng, jika engkau tidak lagi datang,
sungguh aku bisa gila. ̈ Sim Long menahan kudanya dan bertanya kepada kedua
kawannya, ”Apakah kalian kenal dia? ̈ Lelaki kekar itu bersungut dan diam saja.
Sedangkan si pemilik restoran lantas tertawa dan berkata, ”Kalau aku tidak dapat
melihat gelagat, tentu semalam juga sudah merasakan bogem mentah saudara ini. ̈
Si Kucing tertawa, ”Untuk itu kuminta maaf. Sekarang ingin kupinjam sebentar
Sim-heng untuk bicara. ̈ Segera ia menarik Sim Long ke samping sana. ”Ada urusan
rahasia apa? ̈ tanya Sim Long dengan tertawa. ”Setelah
kau minum arak, siapa yang mampu menemukan dirimu si Kucing ini? ̈
Tapi dengan serius Miau-ji lantas berkata, ”Namun semalam telah kudengar sesuatu
yang mengejutkan. ̈
Belum pernah Sim Long melihat si Kucing bicara sungguh-sungguh begini, cepat ia
tanya, ”Urusan apa? ̈ ”Bocah she Sing itu mabuk dan menarikku untuk menjadi
comblang baginya, terpaksa kuikut pergi ke Peng-an-khek-tiam sana .... ̈ begitulah
Miau-ji lantas bercerita apa yang dilihat dan didengarnya semalam.
”Apa betul pembicaraan mereka itu? ̈ Sim Long terperanjat juga. ”Mereka
menyangka aku mabuk, maka cara bicara mereka sama sekali tidak khawatir
didengar olehku, ̈ tutur Miau-ji. ”Mereka tidak tahu biarpun mabuk orangnya, otakku
selalu jernih. Justru setelah mendengar percakapan mereka aku lantas sengaja
berlagak mabuk. ̈
”Jadi orang itulah Sim Long palsu seperti apa yang diceritakan Sing Hian itu, ̈
gumam Sim Long. ”Betul, ̈ kata Miau-ji. ”Menurut pendapatmu, siapakah orang ini? ̈
tanya Sim Long. ”Dari suara orang ini, kukira ... ai .... ̈ Miau-ji menghela napas dan
tidak melanjutkan. Kedua orang lantas saling pandang sekejap dan sama menghela
napas, keduanya sama-sama tahu siapa yang dipikirkan masingmasing.
”Ai, mengapa dia berbuat demikian? ̈ berulang-ulang Sim Long menggerutu.
”Apakah kau pikir dia benar-benar Cu Jit-jit? ̈ tanya si Kucing. ”Besar kemungkinan
dia, orang lain takkan bicara demikian. ̈ ”Tapi ... tapi meski suaranya sama,
wujudnya sama sekali tidak sama. ̈ ”Waktu itu kau pun mabuk, mana dapat
melihatnya dengan jelas. ̈ Miau-ji menggeleng, ¡Tidak, waktu kumasuk ke sana
belum terlalu terlambat, orang itu memang tidak mirip Cu Jit-jit .... Anehnya,
kedengarannya dia justru nona Cu, ai, sungguh runyam. ̈
”Dia pasti sudah mengalami penyamaran, ̈ ujar Sim Long setelah berpikir. ”Tapi dia
tidak paham ilmu merias, kecuali .... ̈ ”Kecuali Ong Ling-hoa, begitu bukan
maksudmu? ̈ ”Kau pikir Ong Ling-hoa akan ... akan merias muka nona Cu? ̈ tanya
Miau-ji dengan khawatir. ”Kukira yang perempuan itu ialah Ong Ling-hoa, ̈ ucap Sim
Long sekata demi sekata. Miau-ji melonjak kaget, ”Ah, mana bisa ... tidak mungkin
.... ̈ tapi cepat ia menyambung pula, ”Sungguh setan alas, memang betul dia .... Jadi
dia merias nona Cu menjadi lelaki, ia sendiri berbalik menyamar sebagai perempuan.
Tapi ... apa maksudnya berbuat demikian? ̈
”Tentu karena dipaksa oleh Jit-jit, ̈ ujar Sim Long. ”Masakah nona Cu
mampu memaksa dia? ̈ melengak juga si Kucing.
”Mungkin Jit-jit mendapatkan suatu kesempatan yang luar biasa dan berhasil
membekuk Ong Ling-hoa. Karena dia sudah kenyang dikerjai bocah she Ong itu,
maka sekarang ia pun balas mengerjai orang dengan cara yang sama. ̈
”Ya, betul, memang betul,¡ ̈ seru si Kucing. ¡”Setelah nona Cu membekuk Ong
Ling-hoa, lalu memaksa dia merias mukanya. Karena dia merasa ... merasa gemas
padamu, maka ingin membalas. ̈
”Ya, memang begitulah, biasanya Jit-jit memang suka menuruti wataknya, bila di
dunia ini ada orang yang berani berbuat apa pun maka orang ini ialah Cu Jit-jit. ̈
”Wah, lantas ... lantas bagaimana? ̈ si Kucing merasa tidak sabar. ”Kukira lebih baik
cari dulu Co Kong-liong, lalu memaksa dia membereskan segala selukbeluk urusan
ini. Hm, ada caraku dapat membuat dia bicara sejujurnya. ̈ Sim Long tidak
menanggapi, setelah termenung sejenak, katanya kemudian, ”Kau tahu semalam
kupergi ke mana? ̈
”Thian yang tahu, ̈ jawab si Kucing dengan tertawa. ”Kupergi menemui Co
Kong-liong, ̈ ucap Sim Long sekata demi sekata. ”Hah, apa betul? ̈ si Kucing
melonjak kaget. Sim Long melirik sekejap ke arah si pemilik restoran, lalu berkata
pula, ”Dia yang membawaku ke sana. ̈ ”Dan sudah bertemu? ̈ tanya Miau-ji dengan
kejut dan girang. ”Sudah, ̈ jawab Sim Long. ”Aha, di mana dia sekarang, ̈ Miau-ji
berjingkrak gembira. Sim Long termenung lagi sejenak lalu berkata, ”Mari ikut
padaku. ̈ Segera ia menuju ke arah kereta yang masih berhenti di sana itu. ”Ah,
urusan ini menjadi lebih sederhana, kiranya dia di dalam kereta, ̈ gumam si Kucing.
Perlahan Sim Long telah membuka pintu kereta. Benar juga terlihat Co Kongliong
berada di dalam. Sang surya sudah hampir terbenam, hari sudah mulai
remangremang. Namun jelas kelihatan wajah Co Kong-liong yang pucat dan kisut,
dadanya tertancap sebilah belati.
Tergetar tubuh si Kucing, ia menyurut mundur dan berkata, ”Hah, sudah mati, dia ...
dia sudah mati! ̈ ”Betul, perjalananku semalam hanya menemukan mayatnya, ̈ tutur
Sim Long dengan menyesal. ”Dia ... dia dibunuh siapa? ̈ ”Baik sekali bilamana
kutahu. ̈ ”Apakah tiada sesuatu tanda pengenal pada belati itu? ̈
”Belati ini milik Co Kong-liong sendiri .... ̈ tutur Sim Long. ”Orang yang
membunuhnya mampu mencabut belatinya dan menubles ke dalam dadanya tanpa
ada perlawanan dari Co Kong-liong sendiri, semua ini menandakan dia .... ̈
”Dia pasti kenalan baik Co Kong-liong, ̈ tukas si Kucing. ”Bahkan turun tangan pada
saat tidak terduga-duga oleh Co Kong-liong .... Tapi siapakah dia? ̈
Sim Long diam saja tanpa menjawab. ”Setelah Co Kong-liong mati, urusan menjadi
lebih ruwet, ̈ ujar Miau-ji dengan mengentak kaki. ”Anak murid Kay-pang sudah
menaruh prasangka bila melihat dirimu, bisa jadi mereka akan melabrakmu
mati-matian, maka kukira lebih baik sementara ini jangan kau pergi ke sana, nanti .... ̈
”Jika sekarang aku tidak ke sana, nanti tambah sukar menjelaskan duduknya
perkara, ̈ ujar Sim Long dengan tertawa. Miau-ji menggeleng kepala, ”Sungguh aneh,
engkau masih dapat tertawa .... ̈ ***** Musim dingin dan salju menimbuni jerami,
orang biasa mana tahan berduduk di atas jerami bersalju itu. Tapi anak murid
Kay-pang terasa enak saja berduduk di situ.
Sudah dekat magrib, hari belum gelap, tapi belasan anggota Kaypang berkarung
satu telah membawakan obor dan diikat di sekeliling tiang barak. Jit-jit berkerut
kening dan menggerundel, ”Mengapa mereka cuma duduk tepekur tanpa bicara .... ̈
Belum selesai ucapannya, sekonyong-konyong Ci Kong-tay telah berbangkit.
Mukanya yang burik tampak prihatin, di bawah cahaya obor lekuk-lekuk kecil pada
mukanya itu memang serupa mata uang sesuai julukannya, namun justru
menambah keangkerannya.
Dia menjura sekeliling kepada hadirin, lalu berseru dengan suara lantang, ¡”Lebih
dulu atas nama segenap anggota Pang kami mengucapkan banyak terima kasih
atas kehadiran saudara-saudara, oleh karena para sesepuh Pang kami sama tidak
di tempat, terpaksa Tecu mewakili Pang kami menyampaikan sepatah kata.¡ ̈
Sampai di sini, kembali ia memberi hormat lagi.
Serentak terdengar suara hadirin yang ramai, ada yang bertanya sebab apa Kay-
pang-sam-lo tidak hadir? Maka dengan sedih Ci Kong-tay menyambung lagi
sambutannya, ”Adapun undangan Pang kami kepada hadirin sekalian, kecuali untuk
menyaksikan pemilihan Pangcu, mestinya sekaligus dapat sekadar bergembira ria
bersama hadirin, namun sekarang ... sekarang .... ̈ ia menengadah dan menghela
napas panjang, lalu menyambung,
¡”Sekarang terpaksa harus kupermaklumkan sesuatu berita duka.¡ ̈
”Hah, berita duka apa? ̈ seru hadirin dengan gempar. ”Bahwa ketiga Tianglo kami
telah mengalami musibah seluruhnya, ̈ sambung Ci Kong-tay dengan suara
tersendat. Keterangan ini benar-benar sangat mengejutkan semua orang, serentak
geger di seluruh barak, sebagian besar hadirin sama berteriak, ”Apa betul berita ini? ̈
Dengan sedih Ci Kong-tay menjawab, ”Tecu pun berharap berita ini tidak betul, tapi
setahuku, hal ini memang benar terjadi. ̈ Seketika suasana diliputi dukacita yang tak
terhingga. ”Karena ketiga sesepuh kami sudah meninggal, sementara ini Pang kami
menjadi krisis pimpinan, ̈ sambung Ci Kong-tay dengan sedih. ”Namun begitu, biar
bagaimanapun kami harap hadirin suka tinggal sementara di sini, kalian harus
menyaksikan juga segenap anggota Pang kami menuntut balas terhadap musuh
yang membunuh ketiga sesepuh kami itu. ̈
”Hah, siapa dia? ̈ beberapa orang lantas berteriak. Dengan suara bengis Ci Kong-tay
berkata, ”Setahuku, orang ini juga akan hadir ke sini, dia .... ̈ Mendadak seorang
menukas dengan mendengus dari luar barak sana, ”Hm, orang itu bukan orang tolol,
masakah dia mau mengantarkan kematian ke sini? ̈
”Siapa?! ̈ bentak Ci Kong-tay. Tertampaklah seorang muncul dari luar barak sebelah
timur sana. Di bawah cahaya obor kelihatan orang ini bertubuh bungkuk, berbaju
rombeng, mukanya jelek, jalannya tertatih-tatih.
Cepat Jit-jit mendekap mulut sendiri, sebab hampir saja dia menjerit, ”Hah, Kim
Put-hoan .... ̈
Langsung Kim Put-hoan mendekati Ci Kong-tay, dengan cengarcengir katanya,
”Kian-gi-yong-wi Kim Put-hoan ialah diriku, kukira hadirin tentu sudah pernah
mendengar. ̈
Sebagian hadirin memang kenal dia, ada juga yang tidak kenal. Ketika mendengar
orang cacat ini adalah satu di antara ketujuh tokoh terkemuka dunia persilatan
zaman ini yang tidak kenal menjadi gempar seketika.
Di sebelah sana Kiau Ngo lagi berkerut kening, ”Hm, untuk apa sampah ini datang
ke sini? ̈ ”Kita lihat saja nanti, ̈ ujar Hoa Si-koh dengan tersenyum. Dalam pada itu
diamdiam di luar barak sana juga sudah merunduk datang tiga sosok bayangan
orang.
Ci Kong-tay sendiri kenal Kim Put-hoan, diam-diam keningnya bekernyit, namun ia
coba menegur, ”Kim-tayhiap .... ̈ ”Kim-tayhiap apa, ̈ semprot Kim Put-hoan. ”Orang
lain menyebut Kim-tayhiap padaku, mengapa kau pun menyebut demikian padaku?
Tampaknya angkatan muda Kay-pang makin lama makin tidak tahu urusan. ̈
Terpaksa Ci Kong-tay ganti sebutan dengan menahan rasa dongkol, ”O, ada
keperluan apakah Cianpwe datang kemari? ̈ ”Kubilang kau ini tidak paham urusan,
tampaknya memang betul .... ̈ jengek Kim Put-hoan. ”Telah timbul peristiwa besar di
dalam Kay-pang, masakah aku orang tua tidak ikut hadir? Pertanyaanmu ini
bukankah berlebihan? ̈
”Tapi ... tapi Cianpwe bukan .... ̈ ”Apa katamu? Maksudmu aku orang tua bukan
anggota Kay-pang, begitu? ̈ potong Kim Put-hoan dengan gusar. ”Hehe, kau tahu,
mungkin kau sendiri belum lagi lahir ketika aku masuk menjadi anggota Kay-pang. ̈
Di barak utara sana diam-diam Hoa Si-koh tanya kepada Kiau Ngo, ”Apakah benar
dia anggota Kay-pang? ̈ ”Ada benarnya juga, ̈ jawab Kiau Ngo. ”Dahulu dia memang
pernah masuk Kay-pang, tapi setelah dia terkenal, dia sungkan menyebut lagi dirinya
orang Kay-pang. Kecuali bajunya yang tetap rombeng seperti kaum pengemis,
sesungguhnya dia sudah meninggalkan Kaypang. ̈
”Tapi sekarang dia muncul lagi selaku orang Kay-pang, entah permainan apa yang
akan dibawakannya? ̈ ujar Hoa Si-koh dengan gegetun. ”Hm, kita pun hadir di sini,
jangan harap permainannya yang busuk dapat terlaksana, ̈ jengek Kiau Ngo.
Dilihatnya Ci Kong-tay tidak berani membantah lagi, dengan hormat ia mengiakan.
Rupanya ada orang yang memberi kesaksian atas identitas Kim Puthoan.
”Eh, lantas untuk apakah kedatangan engkau orang tua sekarang? ̈ dengan
cengar-cengir tiba-tiba Ko Siau-diong yang ketolol-tololan itu bertanya.
”Aku orang tua ingin memberitahukan kepada kalian bahwa ular tanpa kepala tak
bisa jalan, ̈ sahut Kim Put-hoan. ”Pang kita yang beranggotakan beribu orang mana
boleh selalu tanpa pimpinan. Sebabnya kekuatan Pang kita kian menurun akhir-akhir
ini justru lantaran krisis pimpinan. Apalagi suatu organisasi besar
seperti Pang kita ini, kalau tanpa pimpinan, tentu anggotanya akan menjadi kurang
disiplin. ̈
”Oo, jangan-jangan engkau orang tua bermaksud menjadi Pangcu? ̈ kata Siaudiong
mendadak.
”Tutup mulut, binatang! ̈ damprat Kim Put-hoan, ”memangnya kau kira kedudukan
Pangcu boleh sembarangan diduduki begitu oleh setiap orang. Bahwa sekarang
ketiga sesepuh sudah meninggal, adalah pantas kalau lowongan Pangcu harus kita
isi, untuk ini marilah kita memilih .... ̈
”Cara bagaimana memilihnya? ̈ potong Ko Siau-diong dengan tertawanya yang khas.
”Sudah tentu ada syaratnya, ̈ ucap Kim Put-hoan. ”Perguruan atau aliran mana pun,
kalau memilih ketua, tentu harus menimbangnya dari nama tingkat asal usul dan
tinggi rendahnya kungfu yang dikuasainya. Masakah hal-hal begini tidak kau
pahami? ̈
”Jika begitu, kukira tak perlu memilih lagi, ̈ ujar Ko Siau-diong dengan tertawa. ”Apa
katamu? ̈ bentak Kim Put-hoan. ”Sebab kalau bicara tentang syaratnya jelas engkau
orang tua paling terhormat, apalagi bicara tentang kungfu, siapa pula kaum muda
kami dapat menandingi engkau orang tua? .... ̈
Diam-diam Cu Jit-jit merasa geli. ”Ko Siau-diong ini tampaknya ketololan, yang benar
dia sama sekali tidak tolol. Betapa pun tebal kulit muka Kim Put-hoan, mustahil
mukanya takkan merah setelah mendengar ucapan ini. ̈
Siapa tahu bukan saja muka Kim Put-hoan tidak merah, sebaliknya ia malah tertawa
dan berkata, ”Aha, anak baik, bicaramu memang beralasan. Apabila orang lain tidak
mempunyai pendapat yang berbeda, rasanya tidak enak jika kutolak saranmu ini. ̈
Segera matanya yang cuma satu itu mendelik dan menatap para hadirin sambil
berteriak, ”Nah, siapa yang sekiranya tidak setuju? ̈ Para anak murid Kay-pang sama
memandang Ci Kong-tay dengan bingung, Ci Kong-tay sendiri tampak berdiri
melenggong, sedangkan Ko Siau-diong tetap tertawa. Maka segenap hadirin menjadi
gempar pula.
Kim Put-hoan bergelak tertawa, ”Hahahaha! Jika demikian aku jadi .... ̈
Mendadak seorang membentak, ”Siapa pun boleh menjabat Pangcu kaum jembel,
hanya kau Kim Put-hoan yang tidak boleh. ̈ ”Siapa yang bicara ini? ̈ teriak Kim
Put-hoan dengan gusar.
”Aku, Kiau Ngo! ̈ Baru terdengar suaranya, serentak tubuh Kiau Ngo yang tinggi
besar itu sudah melayang keluar dari barak dan hinggap di tengah pelataran, di
depan Kim Puthoan.
Air muka Kim Put-hoan berubah seketika, ”Kiranya kau pun hadir? ̈ ”Hm, anggap sial
bagimu, kembali kepergok olehku, ̈ jengek Kiau Ngo.
”Memangnya ada ... ada persoalan apa antara kita sehingga selalu ... selalu kau
memusuhi diriku? ̈ tanya Kim Put-hoan. ”Setiap orang jahat di dunia ini seluruhnya
adalah lawan orang she Kiau, ̈ teriak Kiau Ngo dengan bengis. ”Bilamana manusia
rendah dan kotor semacam dirimu menjadi ketua Kay-pang, mustahil dunia persilatan
bisa aman. ̈
”Urusan Kay-pang kami sendiri peduli apa denganmu? ̈ jawab Kim Put-hoan. ”Aku
justru ingin ikut campur, kau mau apa? ̈ bentak Kiau Ngo. Gemertuk Kim Put-hoan
mengertak gigi, tapi juga tidak dapat bicara lagi. Waktu itu Ci Kong-tay telah menarik
Ko Siau-diong ke pinggir dan mengomelnya, ”Ai, kenapa tadi kau bicara begitu? ̈
”Memang sudah kuduga orang lain pasti takkan membiarkan dia naik
ke singgasana Pangcu, jika kita tidak dapat merobohkan dia, biarkan saja orang luar
yang tampil untuk menghadapi dia, ̈ ujar Ko Siaudiong dengan tertawa.
”Ehm, benar juga, ̈ ujar Ci Kong-tay. Sementara itu terdengar Kiau Ngo lagi berteriak
pula, ”Kim Put-hoan, orang she Kiau juga takkan bertindak semena-mena, pokoknya
asalkan anak murid Kay-pang sama tunduk dan menerima dirimu, aku pun pasti tidak
ikut campur. Tapi bila hendak kau gunakan kekerasan untuk menindas yang lebih
lemah, main gertak dan ancam, betapa pun orang she Kiau takkan tinggal diam. ̈
Cepat Kim Put-hoan berkata, ”Dengan sendirinya anak murid Pang kami sama
setuju .... ̈ Mendadak Ko Siau-diong memotong pula dengan tertawa, ”Kalau bicara
kungfumu lebih tinggi dan nama pun lebih terkenal, memang kami tidak dapat
menyangkal .... Tapi bila kau bilang kami sama setuju mengangkat engkau sebagai
Pangcu, hehe, jelas itu salah besar. ̈
”Memangnya kau berani ... berani membangkang? ̈ damprat Kim Put-hoan dengan
gusar. ”Kim Put-hoan, ̈ bentak Kiau Ngo, ”tidak perlu banyak bicara, hanya ada dua
pilihan bagimu, lekas menyingsingkan lengan baju dan bertempur denganku atau
lekas angkat kaki dari sini. ̈
Kim Put-hoan benar-benar menggulung lengan baju dan berteriak, ”Orang she Kiau,
memangnya kau kira aku takut padamu? ̈ Pada saat itulah mendadak dari barak
sebelah timur berkumandang suara tertawa dingin seorang, ”Hm, memangnya kau
takut apa Kim Put-hoan, urusan intern Kay-pang orang luar memang tidak perlu ikut
campur. ̈
Suara orang ini sangat lambat, rasanya seperti orang yang kempaskempis, orang
yang sudah hampir putus nyawa. Namun suara ini
berkumandang dari barak sana dan dapat didengar oleh setiap orang dengan jelas.
Malahan suara tertawa dinginnya terasa seram dan membuat orang mengirik.
Tanpa terasa semua orang sama berpaling ke sana. Tertampaklah di atap barak
yang remang sana entah sejak kapan sudah duduk bersila seorang, yang bermata
tajam segera dapat melihatnya orang ini seorang kakek.
”Hah, kiranya dia .... ̈ ucap Jit-jit dengan terperanjat. ”Dia inilah si kakek kecil yang
minum arak sendirian di restoran besar tempo hari. ̈
Sing Hian juga mendesis, ”Ya, orang ini she Han bernama Ling, kabarnya .... ̈ Dalam
pada itu terdengar Kiau Ngo lagi membentak, ”Hm, kiranya kau, untuk apa kau ikut
campur? ̈
”Dan kau sendiri buat apa kau ikut campur? ̈ jawab si kakek kecil dengan ketus.
”Haha, betul, tepat! ̈ seru Kim Put-hoan dengan girang. ”Hm, rupanya kau dan Kim
Put-hoan .... ̈ ”Orang tua tidak kenal dia, ̈ jengek si kakek alias Han Ling. ”Aku cuma
ingin menegakkan keadilan saja. ̈ ”Betul, beliau orang tua memang tidak kenal
padaku, dia cuma penasaran melihat perbuatanmu yang sok ikut campur urusan
orang lain, maka ingin membela keadilan, ̈ seru Put-hoan dengan tertawa.
Watak Kiau Ngo sangat keras, bila gusar, segala urusan tak dipikir panjang lagi,
sambil meraung segera ia melompat ke atas barak. ”Bagus, ternyata ada orang mau
mengantarkan kematian, ̈ seru Han Ling dengan tertawa. ”Awas Goko, pedang pada
kakinya berbisa keji, hati-hati! ̈ seru Sikoh. Kim Put-hoan berkeplok gembira. Hadirin
juga gempar. Di tengah suara ramai Kiau Ngo sudah melayang ke atas dan
menubruk ke arah Han Ling. Cocok dengan julukannya sebagai Singa Jantan, gaya
tubruknya itu memang sangat hebat serupa singa menerkam mangsanya.
Namun Han Ling tetap duduk bersila di tempatnya. Kepalan baja Kiau Ngo segera
menghantam bagai gugur gunung dahsyatnya. Pada saat itulah terdengar Han Ling
tertawa mengekek, mendadak tubuhnya melejit ke atas, di mana kain bajunya
berkibar, tahu-tahu sinar hijau berkelebat menyambar tenggorokan Kiau Ngo.
Padahal saat itu Kiau Ngo lagi terapung di udara, jelas sukar baginya untuk
mengelak. Keruan Hoa Si-koh menjerit khawatir. Namun Kiau Ngo yang kelihatan
kasar itu tidak berarti tidak punya taktik, pada detik berbahaya itu mendadak ia
anjlok ke bawah, barak bambu seketika berlubang, tubuh Kiau Ngo kejeblos ke
bawah dan serangan kaki berpedang Han Ling lantas mengenai tempat kosong.
Meski cara menghindar Kiau Ngo ini di luar teori silat mana pun, namun merupakan
gerakan penyelamat yang jitu. Dari jerit khawatir segera Hoa Si-koh berteriak
gembira pula. Han Ling sendiri juga tidak menyangka serangan maut sendiri bisa
mengenai tempat kosong, sedikit tercengang, tanpa tertahan tubuhnya juga anjlok
ke bawah menerobos lubang yang dibobol Kiau Ngo itu.
Hadirin yang duduk di dalam barak sama lari menghindar. Begitu hinggap di tanah,
Kiau Ngo terus berjumpalitan ke samping. Sedangkan Han Ling hinggap di atas
sebuah meja dengan posisi tetap duduk bersila.
Kedua orang saling tatap. Han Ling menyeringai dan berkata, ”Hm, tak terduga barak
yang dibangun orang Kay-pang ini telah menyelamatkan jiwamu. ̈ ”Ya, bila
bertanding secara resmi, memang orang she Kiau harus mengaku kalah, tapi
sekarang .... ̈ mendadak tangan Kiau Ngo terangkat, kedua tangannya sudah
memegang semacam senjata kemilauan sepanjang tangan manusia. Senjata aneh
itu serupa garpu tanpa tangkai serupa pula cakar. Inilah Jing-sayjiau atau cakar
singa hijau, senjata andalan si Singa Jantan.
Bahwa Kiau Ngo sampai mengeluarkan senjata, seketika menimbulkan hasrat para
hadirin untuk menonton pertarungan yang pasti akan berlangsung sengit.
Dalam pada itu Kiau Ngo lantas menubruk maju sambil meraung, berbareng sinar
hijau juga menyambar. Terdengar suara dering nyaring berulang-ulang, kedua orang
sudah saling gebrak empatlima jurus. Tapi tidak ada yang tahu cara bagaimana
beberapa jurus serangan itu berlangsung.
Tubuh Han Ling selalu melejit dan menyerang dengan kaki berpedang. Sampai
empat-lima jurus tubuhnya masih belum anjlok ke bawah, malahan jurus serangan
selanjutnya terus dilancarkan lagi.
Karena pedang pada kakinya saling bentur dengan cakar singa Kiau Ngo, daya
bentur itu membuat tubuhnya melenting lagi ke atas sehingga dia dapat bertahan
lama mengapung di udara.
”Hm, cuma begini saja, ̈ jengek Han Ling, ketika pedang kaki beradu lagi dengan
cakar singa lawan, mendadak tubuhnya mengapung ke atas dan menerobos keluar
lubang atap yang jebol tadi.
Pandangan Kiau Ngo terasa kabur dan tahu-tahu Han Ling sudah hilang. Terdengar
suara Han Ling mengejek di atas barak, ”Kalau berani ayolah naik ke sini! ̈
”Jangan naik, ̈ cepat Hoa Si-koh berseru kepada Kiau Ngo. ”Dia pasti mengintai di
samping lubang .... ̈ Belum habis ucapannya Kiau Ngo sudah meloncat ke atas.
Cuma dia tidak menerobos keluar melalui lubang tadi melainkan dengan cakar singa
ia bobol lubang baru, dengan daya raih cakarnya itu ia lantas melayang ke atas.
Beramai-ramai hadirin berlari ke pelataran lagi dan menengadah untuk menonton
pertempuran di atas barak.
Cahaya hijau di atas barak tampak menyambar kian kemari di sekeliling Kiau Ngo.
Namun Kiau Ngo juga tidak kurang tangkasnya, cakar singa juga berputar dengan
macam-macam gaya serangan, ya mencakar, merobek, memuntir dan juga
menangkis, semuanya gerak serangan yang jarang terlihat.
Namun kaki berpedang Han Ling memang luar biasa, merupakan kungfu yang khas,
setiap serangannya ganas tanpa kenal ampun. Yang lihai adalah serangan yang
susul-menyusul dan betapa cepat gerak perubahannya, sungguh sukar dibayangkan
dan hampir tidak memberi kesempatan bernapas kepada lawan.
Setelah belasan jurus berlangsung, keadaan Kiau Ngo mulai payah. Pada waktu itu
di kejauhan sana ada tiga sosok bayangan orang mendekam di tempat gelap.
”Sungguh ilmu pedang yang aneh, ̈ demikian ucap orang pertama. ”Ya, meski sudah
kuperas otak tetap tidak tahu cara bagaimana mematahkan kaki berpedang itu, ̈ ujar
orang kedua. Orang ketiga tersenyum, ”Di dunia ini mana ada ilmu silat yang tak
dapat dipatahkan. ̈ ”Tapi, coba, cara bagaimana akan kau patahkan ilmu pedangnya
yang istimewa itu? ̈ ujar orang pertama.
”Berlagak mundur untuk menyerang, pura-pura menyerang, tapi mendadak
menyerang sungguhan, ̈ kata orang ketiga. Orang pertama termenung sejenak,
katanya kemudian, ”Ah, betul, dengan siasat ini, setiap serangan Han Ling pasti akan
mengenai tempat kosong sehingga sukar mendapatkan tempat berpijak dan dia
terpaksa akan anjlok ke bawah. ̈ ”Dan begitu anjlok ke bawah, biarpun dapat
meloncat lagi ke atas, tentu juga akan terlambat selangkah, sebab daya serangnya
mengutamakan kecepatan sehingga lawan tidak diberi kesempatan bernapas, tapi
bila dia sendiri terlambat satu langkah, daya serangnya akan teralang juga, ̈ demikian
ucap orang kedua.
”Ya, cuma sayang Kiau Ngo tidak dapat memikirkan jalan mematahkan ilmu pedang
musuh ini .... ̈ ujar orang pertama dengan gegetun.
”Tapi itu pun bukan satu-satunya jalan untuk mematahkan ilmu pedang musuh, ̈ kata
orang ketiga dengan tertawa. ”Oo, masih ada cara apa lagi? ̈ tanya orang kedua.
”Dia masih mempunyai lawan mematikan terbesar, ̈ kata orang ketiga. ”Siapa
lawannya yang mematikan dia? Jangan-jangan Sim-heng sendiri? ̈ tanya orang
kedua. ”Bukan aku, tapi engkau, ̈ sahut orang ketiga dengan tertawa. Orang kedua
terdiam sejenak, mendadak ia pun tertawa dan berkata, ”Ya, betul, senjataku
memang merupakan maut baginya. ̈ ”Sebab itulah sebentar lagi engkau harus .... ̈
lalu orang ketiga berbisik-bisik. ”Baik, kutahu, ̈ jawab orang kedua. Orang pertama
berkeplok tertawa dan berseru, ”Haha, akal bagus ... tapi cara bagaimana pula
Sim-heng dapat memastikan Co Kong-liong terbunuh oleh Kim Put-hoan? ̈
”Jika bukan dia yang membunuh Co Kong-liong, mengapa dia berani memastikan
Co Kong-liong sudah mati? Bila dia tidak dapat memastikan Co Kong-liong sudah
mati, mengapa dia berani ikut berebut kedudukan Pangcu? ̈ kata orang ketiga. *****
Dalam pada itu Kiau Ngo sudah mandi keringat, namun dasar wataknya keras,
biarpun sudah kepayahan dia tetap pantang memperlihatkan kelemahan, dia masih
terus menyerang mati-matian dengan cakar singanya. Sedangkan Han Ling terus
main mundur hingga barak selatan.
Hoa Si-koh sendiri tidak melihat ada tanda Kiau Ngo akan kalah, tentu saja orang
lain juga tidak sehingga mereka masih bersorak memberi semangat kepadanya,
malahan ada yang menyenggak, ”Lelaki hebat, singa jantan sejati, coba lihat, dari
awal hingga sekarang dia terus mendesak maju .... ̈
Tak diketahuinya bahwa serangan yang mendesak ini justru merupakan kesalahan
fatal Kiau Ngo sendiri. Mendadak terdengar Han Ling tertawa mengekek, ejeknya,
”Dalam tiga jurus lagi harus serahkan nyawamu! ̈ Di tengah tertawanya kedua kaki
berpedang terus menendang secara berantai.
Dengan sendirinya Kiau Ngo sambut serangan itu dengan cakar singanya.
Terdengar suara gemerencing, pedang dan cakar baja saling beradu dan
memercikkan lelatu api.
Pada saat itulah tiba-tiba tangan kanan Han Ling meraba pinggang, sekali terangkat,
tahu-tahu tangannya sudah bertambah sebatang pedang lemas, kontan ia menusuk.
Sungguh mimpi pun Kiau Ngo tidak menduga pada pinggang lawan terbelit
sebatang pedang lemas. Tusukan pedang ketiga ini sungguh serangan maut.
Kedua cakar singa Kiau Ngo sedang digunakan memapak kedua pedang kaki Han
Ling, maka sukar baginya untuk mengelak atau menangkis tusukan pedang ketiga
ini. Penonton sama menjerit kaget ....
Syukurlah pada detik terakhir itu mendadak dari kejauhan seorang membentak,
”Serang! ̈ Terdengar suara mendenging memecah udara, langsung menyambar ke
punggung Han Ling. Jarang orang mendengar denging tajam dan secepat ini,
sungguh tak tersangka di dunia ada senjata rahasia selihai dan sekuat ini. Tentu saja
Han Ling juga terkejut, mana dia sempat melukai lawan lagi, dari suara mendenging
tajam itu dirasakan senjata rahasia orang sudah dekat punggungnya, terpaksa
sekuatnya ia putar pedang ke belakang ....
”Tring ̈, kembali lelatu tepercik. Tangan Han Ling sampai kesemutan tergetar oleh
senjata rahasia lawan yang kecil itu. Dalam kejut dan gusarnya Han Ling
membentak, ”Keluar sini pengecut yang suka main menyergap! ̈ Di tengah kegelapan
sana seorang tertawa keras, serunya, ”Ini dia datang! ̈ Baru lenyap suaranya,
tahu-tahu seorang sudah melayang ke atas barak, betapa cepat gerak tubuhnya
sungguh sangat mengejutkan. Han Ling sudah duduk bersila lagi, dipandang dalam
kegelapan sukar melihat jelas wajah pendatang ini, tapi dapat dilihatnya dada
bajunya yang terbuka dan rambutnya yang kusut, matanya yang besar dan
mencorong terang seperti kerlip bintang di langit.
”Itu dia si Kucing, ̈ seru Jit-jit tanpa terasa.
Sing Hian juga bergumam, ”Tak tersangka dia memiliki Ginkang setinggi ini. ̈
Terdengar Him Miau-ji lagi berkata dengan tertawa, ”Silakan Kiaugoya mengaso
dulu, biarkan aku si setan arak cilik melayani setan arak tua ini. ̈
Kiau Ngo termangu sejenak akhirnya ia mengentak kaki dan berkata, ”Baiklah. ̈ Dia
terus melompat turun ke pelataran, di mana Hoa Si-koh sedang menunggunya.
Dalam kegelapan mata Han Ling seakan-akan memercikkan lelatu. Dengan tertawa
si Kucing lantas menegur, ”Kembali datang seorang yang suka ikut campur tetek
bengek, kenapa kau duduk melulu, ayolah berkelahi! ̈
Han Ling hanya melotot saja tanpa bicara, juga tidak bergerak. ”Jika sengaja kau
tunggu kuturun tangan lebih dulu, kukira engkau bisa konyol,¡ ̈ ujar si Kucing dengan
tertawa. ¡”Ketika di restoran itu tempo hari kan sudah kau ketahui selamanya aku
tidak turun tangan lebih dulu. ̈
Api yang seakan-akan menyala pada mata Han Ling sudah padam dan mendadak
berubah dingin. Tiba-tiba Ko Siau-diong di bawah berkata dengan tertawa, ”Orang ini
pasti menang. ̈ Yang dimaksudkan adalah si Kucing. ”Cara bagaimana dapat kau
pastikan? ̈ tanya Ci Kong-tay. ”Dari caranya yang sabar dan tidak mau turun tangan
lebih dulu segera kutahu dia pasti akan menang. ̈ ”Ah, masa .... ̈ belum lanjut ucapan
Ci Kong-tay mendadak secepat kilat Han Ling melayang maju, cahaya hijau
berkelebat, kembali kakinya yang berpedang menusuk tenggorokan Him Miau-ji. Si
Kucing bergelak tertawa dan menyurut mundur.
Sekali berputar di udara, kembali pedang kaki lain Han Ling menyerang lagi. Dan si
Kucing tetap menyurut mundur, sebelah tangan lantas meraih buli-buli arak yang
tergantung di pinggang.
Dua kali menendang tidak kena sasaran, Han Ling hinggap ke belakang, tapi begitu
ujung pedang menutul atap barak, serentak tubuhnya melejit lagi ke atas dan sinar
hijau menyambar pula.
Sekali ini dia menyerang dengan tendangan berantai, kedua kaki berpedang
menyambar susul-menyusul. ”Bagus! ̈ teriak si Kucing. Sekali ini dia tidak mundur
lagi melainkan memapak maju malah dengan buli-buli arak terpegang di tangan,
kontan ia sambut ujung pedang lawan dengan buli-buli.
”Tring-tring ̈, kedua pedang sama mengenai buli-buli. Selagi Han Ling hendak ganti
gerakan, siapa tahu kedua kaki pedang telah melengket pada lawan. Hal ini serupa
kedua kakinya terpegang oleh orang.
Bila orang lain, kalau senjata tercengkeram lawan tentu dapat lepas tangan dan
habis perkara, tapi senjata Han Ling ini lain daripada yang lain, kedua pedangnya
sama dengan kedua kakinya dan tidak mungkin dilepaskan.
Keruan kejut Han Ling tak terkatakan, saking kagetnya, pedang yang dipegang
tangan kanan terus menebas, tak terduga kembali terdengar ¡”tring¡ ̈, begitu pedang
mengenai buli-buli, lagi-lagi pedang melengket dan sukar terlepas lagi.
”Haha, turunlah! ̈ seru si Kucing dengan tertawa. Ketika si Kucing menarik
buli-bulinya, jelas sekujur badan Han Ling akan ikut terseret ke bawah. Dalam
keadaan terapung terang dia tidak mampu melawan. Serentak terdengar sorak
gembira anggota Kay-pang.
Siapa tahu pada saat itulah tangan kiri Han Ling mendadak bertambah lagi dengan
sebatang pedang pandak. Sinar tajam berkelebat, belati itu terus menikam, bukan
Him Miau-ji yang diserang melainkan menebas kedua kaki sendiri, kedua pedang
hijau berkilau itu.
Terdengarlah suara ”tring-tring ̈ dua kali, tahu-tahu kedua pedang yang digunakan
sebagai kaki itu tertebas patah. Nyata belatinya adalah senjata mestika yang dapat
memotong besi serupa merajang sayur.
Begitu pedang kaki patah, seketika Han Ling terbebas dari lengketan buli-buli, cepat
ia berjumpalitan dan melompat sejauh beberapa meter ke sana, sekali berkelebat
bayangannya segera lenyap dalam kegelapan. Para penonton sama melenggong,
Miau-ji juga terkesima.
Sampai sekian lama barulah si Kucing menggeleng kepala dan berkata, ”Ai, tak
tersangka keparat ini masih memegang pedang keempat. ̈
Nyata pedang keempat itu adalah pedang penyelamat jiwa. Kim Put-hoan merasa
sudah kehilangan segalanya, segera ia bermaksud mengeluyur pergi. Tapi baru saja
dia bergerak, tahu-tahu Miau-ji sudah mengadang di depannya dengan tertawa.
”Hehe, hebat benar kungfu Him-heng, ̈ ucap Kim Put-hoan dengan menyengir. ”Ah,
mana, ̈ sahut si Kucing dengan tertawa. ”Antara diriku dengan Him-heng rasanya
tidak terjadi sengketa apa pun, ̈ ucap Kim Put-hoan pula.
”Hahahaha! ̈ mendadak si Kucing menengadah. ”Wahai Kim Puthoan, apa gunanya
engkau mengoceh dan menjilat diriku? Jika kulepaskan dirimu hari ini, tentu Sim
Long yang akan menanggung dosa bagimu. ̈
Mendadak ia berhenti tertawa dan membentak, ”Dengarkan kawankawan Kay-pang,
kematian Co Kong-liong, Co-tianglo adalah karena dibunuh oleh orang she Kim ini. ̈
Tentu saja terjadi heboh di antara anggota Kay-pang itu, juga para tamu sama
gempar. Dengan air muka berubah Kim Put-hoan berseru, ”Selama ini tidak ada ...
tidak ada permusuhan apa pun antara kita, mengapa ... mengapa engkau memfitnah
diriku? ̈
”Apa yang kukatakan sudah barang tentu ada bukti dan saksi, ̈ kata si Kucing.
Mendadak sikap Kim Put-hoan berubah tenang lagi, jengeknya, ”Bukti dan saksi? ....
Hm, coba buktikan! ̈ ”Huh, mungkin kau kira perbuatanmu itu pasti tidak diketahui
oleh siapa pun, apalagi bukti segala. Wahai Kim Put-hoan, apakah kau
tahu bahwa jaring yang dipasang Thian cukup ketat, setiap kejahatan tidak nanti
lolos dari pengawasan Thian yang mahaadil. Kau kira perbuatanmu cukup rahasia,
siapa tahu justru ada orang .... ̈
”Hm, jika cuma perlu seorang saksi saja apa sukarnya? ̈ jengek Kim Put-hoan. ”Saksi
juga harus dapat memberi bukti, orang yang kuajukan justru dapat memberi
kesaksian sekaligus juga memberi bukti. ̈ ”Memangnya siapa dia? Aku jadi ingin
tahu, ̈ ujar Kim Put-hoan. ”Orang itu tak-lain-tak-bukan ialah Co Kong-liong sendiri, ̈
jawab Miau-ji. ”Hahh, apa katamu? ̈ Kim Put-hoan menegas dengan bingung.
Dengan suara bengis si Kucing menjawab, ”Ketahuilah, bacokanmu itu ternyata tidak
menewaskan dia. ̈ Sampai di sini mendadak ia menuding ke atas dan berteriak,
”Coba kau lihat, siapa dia?! ̈ Tanpa terasa semua orang sama memandang ke arah
yang ditunjuk, begitu pula Kim Put-hoan. Tertampaklah di atas barak selatan sana
perlahan muncul sesosok bayangan orang, meski dalam kegelapan tidak terlihat
jelas wajahnya, tapi samar-samar dapat dikenali ialah Co Kong-liong.
Keruan hadirin sama gempar, terutama anak murid Kay-pang, serentak mereka
berteriak, ”Co-tianglo .... ̈
Kepala Kim Put-hoan terasa seperti disambar geledek, sampai sekian lama ia
tercengang, lalu berteriak dengan suara parau, ”Tidak, bukan, palsu, dia palsu,
jelas-jelas golokku telah menghabisi dia .... ̈
Mendadak disadarinya telah telanjur omong, segera dia bermaksud lari seperti orang
gila. Tapi keadaan sekarang tidak mengizinkan dia kabur lagi. Serentak anak murid
Kay-pang menerjangnya dengan kalap. Sambil membentak Kim Put-hoan meloncat
ke atas barak, di situ Co Kong-liong berdiri. Tak terduga mendadak Co Kong-liong
terus ambruk ke belakang, sebagai gantinya lantas melayang keluar seorang dan
mengadang di depan Kim Puthoan.
Orang ini bukan lain daripada Sim Long adanya. Belum lagi Sim Long turun tangan
tubuh Kim Put-hoan sendiri sudah lemas, sukma seolah-olah terbang meninggalkan
raganya.
Ketika tangan Sim Long bergerak perlahan, kontan Kim Put-hoan terjungkal ke
bawah barak. Melihat munculnya Sim Long tubuh Cu Jit-jit juga lemas, gumamnya,
”Wah, habis ... tamat! .... ̈ Segala daya upayanya, setiap tipu akalnya bila kebentur
Sim Long menjadi sama sekali tidak ada artinya. Sing Hian juga melenggong di
tempatnya sambil bergumam, ”O, Sim Long ... lihai amat .... ̈
”Dia ... dia memang bukan manusia, tapi setan! ̈ kata Jit-jit dengan mendongkol.
”Mengapa di dunia ini tidak ada seorang pun yang mampu merobohkan dia. Cara
bagaimanapun orang hendak membikin celaka dia, rasanya selalu diketahui olehnya
sebelum terjadi. ̈
Di luar sana terjadi kekacauan, Kim Put-hoan sudah kena diringkus oleh anak murid
Kay-pang.
Semua orang asyik membicarakan kejadian ini, tapi setiap percakapan selalu
membawa nama seorang, dengan sendirinya ialah nama Sim Long.
Sungguh saking dongkolnya Cu Jit-jit ingin mendekap di atas meja dan menangis.
Air matanya berlinang-linang, ia menunduk dan diamdiam mengusapnya.
Waktu ia menengadah, pandangan pertama yang terlihat ialah Sim Long. Anak
muda yang gagah santai dengan senyumnya yang khas itu. Him Miau-ji juga
sudah berada di depannya dan juga lagi tersenyum padanya.
Cu Jit-jit merasa jantungnya mau melompat keluar dari rongga dadanya, sedapatnya
ia menenangkan diri dan berlagak tidak mengenal mereka.
Tapi Sim Long lantas menegurnya dengan tersenyum, ”Baik-baikkah engkau? ̈ ”Sia
... siapa kau? Aku tidak kenal dirimu, ̈ jawab Jit-jit. ”Apa benar engkau tidak kenal
kami? ̈ si Kucing ikut bertanya dengan tertawa. ”Aneh, mengapa ... mengapa aku
harus kenal kalian? ̈ jawab Jit-jit ketus. Betapa pun ia berlagak, tidak urung suaranya
rada gemetar. ”Sudahlah, untuk apa lagi berpura-pura, ̈ ujar si Kucing dengan
tertawa. ”Umpama orang lain dapat kau kelabui, tidak mungkin aku dan Sim Long
dapat kau tipu. Bilakah pernah kau lihat ada sesuatu urusan dapat mengelabui Sim
Long? ̈
”Apa ... apa yang kau bicarakan, sungguh aku tidak paham? ̈ kata Jit-jit. ”Apa benar
kau minta kubongkar urusan ini? ̈ tanya Miau-ji dengan tertawa. Mendadak Jit-jit
melengos dan berucap, ”Orang semacam ini sungguh membingungkan, Sing Hian
.... ̈ Akhirnya Sing Hian mendekat dan mengadang di depan Miau-ji, katanya, ”Him-
heng, sudahlah jika dia tidak mau kenal .... ̈ ”Haha, rupanya hendak kau bantu bicara
bagi bakal paman mertuamu? ̈ Miau-ji berolok-olok dengan tergelak. Muka Sing Hian
menjadi merah, ”Ah, aku ... aku .... ̈ ”Haha, bilamana kau jadi menikahi keponakan
perempuannya, itulah baru lelucon besar, ̈ seru Miau-ji. Mending jika dia bicara
urusan lain, demi menyinggung ”si dia ̈, Sing Hian menjadi marah, segera ia
menjengek, ”Hm, lelucon apa? Maksudmu aku tidak setimpal mendapatkan dia? ̈
”Kau memang tidak setimpal, ̈ kata Miau-ji. ”Mungkin engkau yang setimpal? ̈ jengek
Sing Hian pula dengan gusar. ”Aku lebih-lebih tidak setimpal, ̈ Miau-ji terbahak.
”Mana si Kucing macam diriku punya rezeki sebesar itu untuk mendapatkan si cantik
.... ̈
”Di depan nona caramu bicara hendaknya tahu aturan sedikit! ̈ bentak Sing Hian
mendadak. ”E-eh, apakah kau ingin berkelahi membela dia? ̈ tanya Miau-ji.
”Berkelahi juga berani, ̈ sahut Sing Hian. ”O, kasihan, ditipu orang belum juga sadar, ̈
ujar si Kucing dengan gegetun. Sampai pucat muka Sing Hian karena gusarnya,
”Kau sendiri yang perlu dikasihani, kaulah yang tertipu. ̈ ”Tapi sedikitnya aku tidak
sampai mengambil seorang lelaki sebagai bini, ̈ kata Miau-ji. Sing Hian jadi
melengak, mendadak ia tertawa keras, ”Hahaahh! Orang ini sudah gila barangkali,
masakah nona ini dibilang lelaki. ̈
Melihat bentuk samaran Ong Ling-hoa yang cantik molek itu, semua orang juga
merasa ucapan Him Miau-ji agak janggal, mungkin kurang waras, malahan lantas
ada yang menertawainya. Namun tertawa Him Miau-ji sendiri lebih lantang daripada
orang lain, serunya, ”Haha, kau bilang aku gila, memangnya kau minta kuberi bukti
padamu? ̈
”Jika dapat kau buktikan, akan kuberi kepalaku, ̈ kata Sing Hian. ”Aku tidak mau
kepalamu, cukup bayar beberapa botol arak saja .... ̈ sembari bicara, mendadak
Miau-ji melompat ke sana, mendekati ”Ong Ling-hoa yang cantik¡ ̈ itu, ditariknya
dada baju si dia sambil berteriak, ¡”Nah, boleh kau lihat dia lelaki atau perempuan?! ̈
”Brett¡ ̈, seketika dada baju ¡”Ong Ling-hoa ̈ terobek sehingga dada terbuka.
Mendadak senyum khas Sim Long lenyap dari wajahnya. Him Miau-ji juga melongo.
Ternyata dada yang terpampang di depan mata itu adalah dada orang perempuan,
hal ini terbukti jelas dua ”onde-onde, ̈ yang menghiasi dadanya yang cukup
merangsang itu.
Dalam sekejap itu tidak cuma Sim Long dan Him Miau-ji saja yang kaget dan
bingung, bahkan Cu Jit-jit jauh lebih terperanjat daripada mereka.
Jelas-jelas orang itu adalah samaran Ong Ling-hoa, mengapa bisa malah menjadi
seorang perempuan. Dengan mata kepala sendiri langsung ia menyaksikan Ong
Ling-hoa merias sendiri menjadi perempuan, hal ini tidak mungkin salah dan keliru,
mengapa sekarang bisa terjadi kekeliruan begini?
Apakah mungkin Ong Ling-hoa sendiri aslinya memang seorang perempuan? Ah,
tidak bisa, tidak mungkin. Senyumnya dan pandangannya yang jalang, jelas bukan
perempuan. Apalagi secara langsung Cu Jit-jit pernah mengalami dipeluk dan diraba
oleh Ong Ling-hoa, semua itu takkan dilupakannya selama hidup dan tidak mungkin
salah, sebab perbuatan begitu tak mungkin dapat dilakukan oleh seorang anak
perempuan.
Tapi sekarang Ong Ling-hoa justru malah menjadi perempuan. Keruan keadaan
menjadi heboh, Jit-jit berseru kaget, Sim Long dan Miau-ji melongo, Sing Hian
menjadi gusar karena merasa dikibuli. Di antara orang banyak ada yang heran dan
geli, ada yang gusar, ada yang tidak berani memandang dada yang telanjang itu, tapi
lebih banyak yang melotot, malahan ada yang mendesak maju agar dapat melihat
lebih jelas.
Suasana menjadi kacau, sebaliknya si ”Ong Ling-hoa ̈, perempuan itu lantas
menangis dan berteriak, ”O, kalian lelaki sebanyak ini sengaja menganiaya seorang
perempuan lemah, menganiaya perempuan sakit seperti diriku ini .... ̈
Sing Hian terus menubruk maju dan mencengkeram leher baju Him Miau-ji sambil
berteriak dengan suara parau, ”Katakan .... ̈ ”Aku ... aku .... ̈ si Kucing juga
gelagapan. Yang seorang marah, yang lain gugup, keduanya sama-sama tidak
sanggup bicara. Sukar bicara, tangan Sing Hian tidak tinggal diam. Sekaligus ia
genjot tubuh si Kucing beberapa kali. Terpaksa Miau-ji manda dipukuli. Biarpun Sing
Hian tidak mengeluarkan tenaga dan tubuh Miau-ji juga cukup kekar, tapi beberapa
kali genjotan itu pun cukup membuatnya meringis.
”Pukulan bagus, hajaran baik! ̈ banyak penonton ikut berkeplok. Dengan sendirinya
Miau-ji tidak dapat membalas, terpaksa ia minta tolong, ”Sim Long ken ... kenapa kau
tinggal diam saja? ̈ Mendadak Sim Long melompat ke depan Jit-jit dan berkata,
”Masa kau biarkan si Kucing dipukuli begitu saja? Jangan lupa, dia pernah
menyelamatkan jiwamu dan .... ̈
Terpaksa Jit-jit berteriak, ”Lepaskan dia, Sing Hian .... ̈
Jilid 22
Dalam keadaan begini, satu-satunya orang yang dapat memerintahkan Sing Hian
melepaskan si Kucing memang cuma Cu Jit-jit saja.
Sing Hian lantas lepas tangan, meski sudah memukul sekian kali, rasa gusarnya
belum lagi reda, dengan suara bengis ia berkata, ”Kucing busuk, jangan kau harap
akan kusudahi urusan ini .... ̈ lalu ia berpaling kepada Cu Jit-jit dari bertanya, ”Cara
bagaimana akan menyelesaikan keparat ini? ̈
”Lepaskan dia saja, ̈ ujar Cu Jit-jit dengan menghela napas. Sing Hian jadi melengak,
”Ap ... apa? Lepaskan dia? ̈ Semua orang juga merasa agak di luar dugaan, segera
ada orang membentak, ”Tidak, tidak boleh bebaskan dia! ̈ ”Sekali kubilang lepaskan
dia, maka harus lepaskan dia, ̈ kata Jit-jit. ”Sebab apa? ̈ tanya Sing Hian. ”Sebab ...
sebab .... ̈ Jit-jit berpaling, terlihat sorot mata Sim Long yang tajam dan wajah Him
Miau-ji yang murung serta sikap gusar orang banyak ingin bertindak terhadap si
Kucing.
Mendadak ia mengentak kaki dan berteriak, ”Ini, boleh kalian lihat ini! ̈
Lalu ia menanggalkan topi, membuka ikat rambut, mencopot baju luar, semua itu
dibuang ke lantai. Di tengah rasa tercengang orang banyak, tertampaklah rambut
Jit-jit yang panjang terurai dengan pakaiannya yang singsat sehingga terlihat garis
tubuhnya yang bernas.
Meski mukanya belum lagi berubah, tapi sekarang kecuali orang buta, siapa pun
pasti dapat melihat dia adalah seorang perempuan. Kembali terjadi kegemparan, ada
orang berteriak, ”Hah, perempuan! Kiranya lelaki ini juga samaran seorang
perempuan! ̈ Lebih-lebih Sing Hian, ia jadi melongo dan terbelalak, ucapnya dengan
gelagapan, ”He, ken ... kenapa engkau seorang perempuan? ̈
”Mengapa aku bukan perempuan? ̈ jawab Jit-jit. Sing Hian memandang ”Ong
Ling-hoa betina¡ ̈ itu, ¡”Habis dia .... ̈ ”Aku perempuan, dengan sendirinya dia lelaki, ̈
tukas Jit-jit. Semua orang tertawa, ada yang berteriak, ”Haha, engkau perempuan
kan tidak lantas membuktikan dia harus lelaki? ̈ ”Aku justru bilang dia lelaki, ̈ teriak
Jit-jit. ”Jelas-jelas dia perempuan, apa gunanya biarpun seratus kali kau bilang dia
lelaki? ̈ kata orang banyak. Jit-jit menggigit bibir, cemas dan gugup. ”Jelas dia ... dia
.... ̈ ”Jika dia jelas ialah Ong Ling-hoa, mengapa bisa berubah menjadi perempuan? ̈
mendadak Sim Long ikut bicara dengan menyesal. ”Bila dia telah ditukar orang, kan
seharusnya diketahui olehmu. Masakah engkau sama sekali tidak tahu? ̈ ”Aku ... aku
justru tidak tahu .... ̈ Jit-jit mengentak kaki pula. Mendadak ia cengkeram perempuan
¡”Ong Ling-hoa¡ ̈ itu dan membentak, ”Katakan, mengapa kau bisa berubah menjadi
perempuan? ̈
”Aku memang orang perempuan, ̈ jawab perempuan itu. ”Apakah ada orang menukar
dia dengan dirimu? ̈ tanya Jit-jit pula. ”Engkau selalu mendampingi diriku, mana bisa
aku ditukar orang? ̈ ”Masih belum mau mengaku terus terang? ̈ bentak Jit-jit sambil
memuntir tangan perempuan itu. ¡Ayo mengaku, cara bagaimana Ong Ling-hoa
ditukar dengan dirimu? Tidak lekas mengaku segera kupatahkan tanganmu. ̈
Perempuan itu menjerit kesakitan seperti babi hendak disembelih. Sembilan di antara
sepuluh orang perempuan pasti takut sakit. Saking tak tahan, akhirnya perempuan
itu berkata dengan menangis, ”Baik ... baik, akan kukatakan .... Semalam .... ̈
Belum lanjut ucapannya, terdengar suara desing angin dari kerumunan orang
banyak, tahu-tahu lima buah jarum berbisa bersarang di pinggang perempuan itu.
Dia cuma sempat menjerit, lalu mata mendelik dan binasa. Sungguh keji sekali
senjata rahasia ini. Kejut dan gusar Jit-jit, bentaknya, ”Siapa itu? Siapa yang turun
tangan sekeji ini? ̈ Him Miau-ji juga sudah bergerak, segera ia menerjang ke sana.
Tapi untuk mencari si pembunuh yang tidak kelihatan di tengah orang banyak tentu
saja sangat sulit, pada hakikatnya tidak ada yang tahu dari arah mana jarum itu
dihamburkan.
Seketika suasana menjadi kacau. Jit-jit berjingkrak gusar, hanya Ko Siau-diong saja
yang tetap tertawa, sedikit pun tidak menghiraukan apa yang terjadi, sebaliknya ia
malah berucap dengan tertawa, ”Nona juga tidak perlu cemas, toh akhirnya urusan
ini pasti akan menjadi terang, umpama sekarang nona mati kelabakan juga tidak ada
gunanya. ̈
”Ucapan saudara ini memang betul .... ̈ Belum lanjut perkataan Sim Long, Jit-jit
lantas berteriak, ”Kentut busuk, biarpun aku mati kelabakan juga tidak ada sangkut
pautnya dengan kalian. ̈
”Tapi ada sangkut pautnya denganku, ̈ tiba-tiba seorang menukas dengan tertawa.
Waktu Jit-jit menoleh ke sana, dilihatnya yang bicara itu ialah si pemilik restoran.
Semula ia melengak, tapi segera menubruk ke dalam pelukan orang sambil berteriak
dan menangis, ”O, Cihu (kakak ipar, suami kakak), mereka sama menghina diriku .... ̈
Kiranya pemilik restoran ini ialah Samcihu (kakak ipar ketiga) Cu Jitjit, tokoh dunia
persilatan daerah Tionggoan yang kaya raya dan terkenal sebagai Lioksian-to-cu (si
Mahahartawan di Daratan) Hoan Hun-yang.
Perusahaannya tersebar di segenap pelosok daerah utara dan selatan sungai besar,
kepada Hoan Hun-yang, Cu Jit-jit telah menitipkan harta warisan ayahnya dan dapat
diambil depositonya itu dengan tanda pengenal anting-anting yang telah diceritakan
di depan itu.
Begitulah Jit-jit menangis manja di dalam rangkulan sang Cihu, inilah sanak keluarga
terdekat yang pernah dijumpainya selama sekian bulan ini, sungguh dia ingin
menumpahkan segenap unek-uneknya kepada kakak iparnya itu.
”Ya, ya, kutahu, mereka menghinamu, akan kubela dirimu, ̈ kata Hoan Hun-yang
suara lembut. ”Sim Long, dia ... dia .... ̈ Jit-jit tidak sanggup melanjutkan. ”Ya, Sim
Long adalah telur mahabusuk, jangan kita hiraukan dia, ̈ tukas Hoan Hun-yang
sembari diam-diam mengedipi Sim Long, lalu menuding Jit-jit dan
menuding diri sendiri pula, maksudnya hendak menyatakan agar nona ini boleh
diserahkan saja padaku.
Dengan tersenyum Sim Long mengangguk, ucapnya, ”Urusan di sini akan
kuselesaikan. ̈ Hoan Hun-yang lantas merangkul pundak Jit-jit dan diajak pergi,
katanya, ”Orang-orang ini memang suka menghina orang, buat apa kita tinggal lagi di
sini, ayolah kita pergi saja. ̈
Begitulah seperti membujuk anak kecil, dapatlah Hoan Hun-yang membawa pergi Cu
Jit-jit. Di tengah kekacauan orang lain tidak ada yang memerhatikan mereka. Tapi
ada seorang anggota Kay-pang lantas menyusulnya dan bertanya, ”Pang kami
menyediakan kereta di sini, apakah Hoantayhiap perlu pakai? ̈
”Ah, kau kenal padaku .... Baiklah, terpaksa bikin repot padamu, ̈ jawab Hoan
Hun-yang dengan tertawa. Anggota Kay-pang itu lantas bersuit, hanya sebentar saja
dua anggota Kay-pang yang lain telah datang dengan membawa sebuah kereta dan
seekor kuda.
Dengan tertawa Hoan Hun-yang lantas berkata, ”Jit-jit, boleh kau naik kereta, aku
sendiri menunggang kuda saja agar sepanjang jalan dapat menjaga dirimu dengan
lebih jelas. ̈
Padahal maksudnya cuma untuk menghindari menumpang bersama dalam satu
kereta saja. Maklumlah, antara suami kakak dan ipar perempuan cantik memang
perlu menghindari prasangka.
***** Dengan sendirinya si Kucing tidak dapat menemukan si pembunuh tadi. Dengan
lesu dia kembali ke barak bambu sambil mencaci maki, ”Keparat, pengecut yang
cuma berani berbuat dengan main sembunyi, bila kepergok olehku baru ... hmk .... ̈
”Jangan khawatir, pada suatu hari pasti akan kepergok olehmu, ̈ kata Sim Long
dengan tertawa. ”Tapi sama sekali aku tidak tahu siapa dia? ̈ ujar si Kucing. ”Masa
tidak tahu? ̈ ”Eh, jangan-jangan engkau sudah tahu? ̈ ”Kecuali antek Ong Ling-hoa
yang sengaja membunuh orang untuk menutup mulutnya, siapa lagi? ̈ ”Hah,
masakah di tengah orang banyak ini juga terdapat antek Ong Ling-hoa? ̈ ”Kan sudah
kukatakan jangan meremehkan Ong Ling-hoa, bukan mustahil di mana-mana
sekarang sudah diselusupi oleh begundalnya, ̈ ujar Sim Long dengan gegetun.
Si Kucing bicara dengan geregetan, ”Pada suatu hari pasti akan kubekuk kawanan
tikus itu satu per satu, dan orang pertama yang akan kusikat sekarang ialah Kim
Put-hoan. ̈
Segera ia seret Kim Put-hoan ke depan, katanya dengan kagum, ”Dalam sekejap tadi
ternyata Sim-heng telah menutuk lima tempat Hiat-tonya. ̈
”Keparat ini sangat licik dan licin, bukan mustahil dia akan kabur lagi bila kita tidak
bertindak lebih hati-hati, ̈ ujar Sim Long. ”Entah cara bagaimana kalian akan
membereskan keparat ini? ̈ mendadak Ci Kong-tay ikut bicara. ”Jahanam ini
sungguh mahabusuk, ̈ kata Miau-ji, ”bukan cuma kami saja yang benci padanya,
juga tokoh seperti Kiau-tayhiap .... He, ke mana perginya Kiau Ngo dan Hoa
Si-koh? ̈
”Karena gegabah sehingga mengalami kekalahan, dengan perangainya yang keras
itu tentu saja dia malu untuk tinggal di sini, maka pada waktu kacau tadi diam-diam
ia sudah pergi, ̈ tutur Sim Long.
Tiba-tiba Ci Kong-tay berkata pula, ”Sim-tayhiap, Co-tianglo kami menjadi korban
kejahatan orang she Kim ini, segenap anggota Kaypang kami sama berharap akan
menuntut balas, apakah sekiranya Sim-tayhiap tidak keberatan menyerahkan keparat
ini kepada kami untuk diadili menurut peraturan Pang kami? ̈
”Ya, seharusnya demikian, cuma .... ̈ ”Apakah ada keberatan Sim-tayhiap? ̈
”Keberatan sih tidak ada, aku cuma ingin tanya dia dulu beberapa hal. ̈ ”Jika begitu,
supaya Sim-tayhiap dapat bertindak leluasa, biarkan kami menyingkir lebih dulu, ̈ ujar
Ci Kong-tay.
”Tidak perlu .... ̈ kata Sim Long, mendadak ia menepuk Hiat-to Kim Put-hoan dan
segera bertanya, ”Telah kau bawa ke mana nona she Pek itu? ̈
Dengan suara keras Kim Put-hoan menjawab, ”Sim Long, ketahuilah, meski Kim
Put-hoan ini bukan manusia baik-baik, tapi juga bukan lelaki mata keranjang
sehingga mengincar seorang anak dara .... ̈
”Jika begitu, kenapa kau .... ̈ ”Yang minta menculik nona Pek ialah Ong Ling-hoa, ke
mana Ong Ling-hoa membawa nona itu aku pun tidak tahu. Yang jelas keparat Ong
Ling-hoa itu pasti tidak bermaksud baik terhadapnya. ̈ ”Hm, jika Ong Ling-hoa berada
di sini, berani engkau memaki dia? ̈ jengek si Kucing.
”Kenapa aku tidak berani, aku justru ingin menyembelih dia, cuma sayang dia keburu
ditolong oleh Cu Jit-jit. ̈ ”Apa katamu? Jit-jit menolong dia? ̈ si Kucing menegas.
”Wahai Sim Long, kalau dibicarakan seharusnya engkau berterima kasih padaku, ̈
lalu Kim Put-hoan bercerita cara bagaimana Ong Ling-hoa terluka dan dia
bermaksud membunuhnya, tapi kebetulan Cu Jit-jit muncul.
Dengan sendirinya sama sekali dia tidak menceritakan keserakahannya, tapi
melukiskan dirinya sendiri sebagai orang yang berbudi dan tentu juga Cu Jit-jit dicaci
makinya habis-habisan.
Sim Long termenung sejenak, katanya kemudian, ”Jika demikian, jadi benar Ong
Ling-hoa telah jatuh dalam cengkeraman Cu Jit-jit .... Tapi mengapa mendadak dia
berubah lagi menjadi seorang perempuan, sungguh aku tidak mengerti. ̈
”Ya, Cu Jit-jit selalu menjaganya tanpa meninggalkan dia barang sejengkal pun,
sampai tidur pun mereka berdiam di dalam satu kamar, ̈ tutur si Kucing. Tapi
mendadak ia berteriak, ”Ah, betul! ̈
”Ada apa? ̈ tanya Sim Long. ”Semalam Cu Jit-jit mengantarku ke jalan raya, hanya
Ong Ling-hoa saja yang ditinggalkan di sini, ̈ tutur Miau-ji. ”Tapi waktu itu juga kulihat
sendiri Jit-jit menutuk beberapa tempat Hiat-to kelumpuhannya, kecuali ada orang
lain yang menolong dia .... ̈
”Padahal tidak ada orang lain yang tahu Ong Ling-hoa berada dalam cengkeraman
Jit-jit, ̈ ujar Sim Long. ”Kecuali Kim Put-hoan, ̈ kata Miau-ji. Cepat Kim Put-hoan
menyanggah, ”Kalau bisa saat ini juga ingin kubeset kulit keparat she Ong itu, mana
bisa kubantu dia. ̈
”Siapa yang mau percaya kepada ocehanmu, harus kutanya Cu Jit-jit .... Ah, kiranya
nona Cu juga sudah pergi. Eh, Sim Long, mengapa kau biarkan dia pergi? ̈
”Telah kuserahkan kepada Cihunya, ̈ sahut Sim Long. ”Jika terjadi apa-apa lagi,
lantas bagaimana? ̈ ujar Miau-ji. ”Pribadi Hoan Hun-yang masakah kau ragukan? ̈
kata Sim Long dengan tersenyum. ”Tindak tanduk orang ini paling cermat dan
hatihati, boleh dikatakan setitik air saja takkan bocor. ̈
”Haha, betul, ̈ seru Miau-ji dengan tertawa. ”Hari itu meski aku sangat mendongkol
padanya, tapi sebelum meraba jelas mengenai diriku, dia tidak mau bergebrak
denganku. Orang macam begini pantas bisa kaya raya dan menjadi pengusaha
besar. ̈
”Dan bila Cu Jit-jit kuserahkan padanya dengan sendirinya tidak perlu khawatir lagi, ̈
kata Sim Long. ”Orang semacam dia cara berjalannya pasti juga tidak cepat, jika kita
susul dia mungkin masih keburu, ̈ kata Miau-ji.
Belum lagi Sim Long menanggapi, mendadak di tengah orang banyak ada seorang
memberi tahu, ”Mereka sudah berangkat dengan menumpang kereta, sukar disusul
lagi. ̈
Miau-ji tertawa, ”Hoan Hun-yang itu memang selalu menjaga gengsi sebagai orang
kaya, biarpun datang bersama kita, kereta selalu tersedia menunggunya. ̈
Sim Long menggeleng, ”Tidak, bukan keretanya, dia bersamaku langsung menuju ke
sini .... Mungkin pihak Kay-pang yang menyiapkan kereta baginya. ̈ Mendadak Ci
Kong-tay menyela, ”Menurut peraturan Pang kami turun-temurun, selamanya kami
tidak menyediakan kereta atau kuda bagi siapa pun. ̈
Sim Long termenung sejenak, mendadak serunya, ”Wah, celaka! ̈ Jarang Miau-ji
melihat perubahan sikap Sim Long seperti ini, ia pun terkejut dan cepat bertanya,
”Ada apa? ̈ ”Di balik kejadian ini tentu ada sesuatu yang tidak beres, ̈ kata Sim Long.
”Bisa jadi Ong Ling-hoa lagi .... ̈ ”Kembali Ong Ling-hoa? ̈ Miau-ji mengentak kaki.
”Apa pun juga harus lekas kita susul mereka, ̈ seru Sim Long. Segera Miau-ji
mendorong Kim Put-hoan ke depan Ci Kong-tay katanya, ”Kuserahkan keparat ini
kepadamu, harus kau jaga dengan hati-hati agar jangan sampai kabur .... ̈
Belum habis ucapannya segera ia berlari pergi bersama Sim Long.
*****
Saat itu Cu Jit-jit duduk di dalam kereta dengan pikiran kusut, ia tidak habis mengerti
mengapa Ong Ling-hoa bisa berubah menjadi seorang perempuan, diam-diam ia
pun gemas kepada Sim Long ....
Dengan menunggang kuda Hoan Hun-yang mengiring di samping kereta, tubuhnya
yang tegak dan gayanya yang menarik menambah kegagahannya.
”Samci sungguh besar rezekinya, ̈ demikian Jit-jit membatin, ”sebaliknya aku ini
memang gadis yang bernasib buruk, juga nona yang linglung. Jelas Ong Linghoa
sudah kubekuk, akhirnya dia kabur lagi. ̈ Didengarnya Hoan Hun-yang lagi berkata
dengan tertawa, ”Sekali ini harus kau jenguk Samcimu. Waktu dia dengar kau
tinggalkan rumah, sedikitnya tiga hari dia tidak makan memikirkan dirimu. ̈
”Dia kan sudah tambah gemuk, kalau cuma puasa tiga hari saja kan tidak menjadi
soal, sebaliknya bisa bikin badannya agak langsing, ̈ ucap Jit-jit dengan tertawa.
”Betul juga, tapi jangan sampai ucapanmu ini didengar olehnya, ̈ kata Hoan Hunyang
dengan tertawa. ”Saat ini dia paling pantang mendengar kata si gemuk¡, bila ada
orang bilang dia gemuk, mungkin orang itu bisa dilabraknya. ̈
Tiba-tiba ia menghela napas dan berkata pula, ”Ai, sayang Pat-te (adik
kedelapan)... ̈ ”Kau pun tahu Pat-te? ̈ tanya Jit-jit. ”Sim Long yang memberitahukan
padaku, ̈ tutur Hoan Hun-yang. ”Ai, anak sepintar itu justru .... Ai, semoga dia tidak
mengalami nasib buruk dan masih hidup sehat walafiat. ̈
Menyinggung adiknya si anak merah, seketika Jit-jit merasa sedih, air mata lantas
bercucuran .... Anak yang menyenangkan itu sesungguhnya berada di mana?
”Apakah ayah sudah mengetahui urusan ini??¡ ̈ tanyanya dengan sedih. ”Masakah
ada yang mau memberitahukan kepada beliau dan membuatnya berduka? ̈ ujar
Hoan Hun-yang. ”Ya, betul, memang jangan sampai beliau mengetahuinya, ̈ kata
Jitjit dengan menunduk. ”Pada suatu hari, aku bersumpah pada suatu hari tentu
akan kutemukan Lopat (si kedelapan) kembali. ̈
Hoan Hun-yang termenung sejenak, mendadak ia tertawa, ”Aha, ingin kuberi tahukan
kabar baik padamu, akhir-akhir ini nama Goko (kakak kelima) jadi semakin
menanjak, belum lama berselang ia berjudi dengan orang di Tay-tonghu, sekali
menang berjumlah 50 laksa tahil perak, semua orang di Tay-tong-hu menjadi geger,
katanya kekayaan Tay-tong-hu telah digondol seluruhnya oleh Cugokongcu. Lucunya
Li-lotoa yang konyol dari Thay-hing-san itu justru berani mengincar Goko di tengah
jalan, tapi hasilnya dia berbalik dihajar habis-habisan, bahkan kedua daun telinganya
dipotong oleh Goko, malahan dua ribu tahil emas simpanan Li-lotoa di Thay-hing-san
ikut dirampas oleh Goko. Dan beberapa hari yang lalu ketika Samcimu berulang
tahun, dia telah memberi kado sepasang patung Kim-siu-sing (patung orang tua
tanda panjang umur), tentu saja Samci kegirangan. Waktu kedua patung emas itu
ditimbang, ternyata persis dua ribu tahil. ̈
”Ah, aku sendiri sampai melupakan hari ulang tahun Samci, ̈ kata Jit-jit dengan
menyesal. Dengan bersemangat Hoan Hun-yang bercerita pula, ”Lalu Toakomu .... ̈
Mendadak Jit-jit mendekap kuping dan berseru, ”Sudahlah, jangan kau bicara
tentang dia lagi, dia selalu mujur, kalian semua bernasib baik, hanya aku ... hanya
aku saja yang selalu sial. ̈
”Kau salah, ̈ kata Hoan Hun-yang dengan tertawa, ”nama Cujitsiocia kita akhirakhir
ini cukup terkenal di dunia Kangouw. Sebelum kulihat dirimu sudah banyak kudengar
mengenai dirimu. ̈
”Makanya lantas kau cari Sim Long untuk minta keterangan, begitu? ̈ ”Aku cuma .... ̈
”Hm, urusanku tidak ada sangkut pautnya dengan dia, selanjutnya jangan kau tanya
dia mengenai diriku. Dia ... dia ... pada hakikatnya aku tidak kenal dia. ̈
Hoan Hun-yang mengangkat pundak, ”Baik, jika begitu .... ̈ Belum lanjut
perkataannya, sekonyong-konyong kuda tunggangannya berjingkrak seperti
kesetanan.
Keruan Hoan Hun-yang kaget, cepat ia pererat impitan kedua kakinya. Tapi kuda itu
lantas membedal seperti kesurupan setan sambil berjingkrak dan meringkik, biarpun
kepandaian menunggang kuda Hoan Hun-yang sangat tinggi juga sukar
mengatasinya.
Jit-jit juga terkejut, serunya, ”He, Cihu ... Cihu .... ̈ Siapa tahu, baru saja dia berteriak,
mendadak kereta ini juga dilarikan secepat terbang ke depan. Kejut dan gusar Jit-jit,
bentaknya, ”Hei, kusir ... kau .... ̈ Kusir yang berdandan pengemis itu melongok dari
lubang jendela kecil di depan, tanyanya dengan tertawa, ”Ada apa, nona? ̈ ”Apakah
kau buta? Tunggu dulu, Cihuku .... ̈ Mendadak kusir itu berkata, ”Cihumu salah
makan obat, kuda ini pun sama, orang gila dan kuda gila berada bersama, untuk apa
menunggu dia? ̈
Keruan Jit-jit terkejut, ”Apa katamu? ̈ Si kusir tertawa, ”Haha, masa tidak kau kenal
diriku lagi? ̈ ”Sia ... siapa kau? ̈ tanya Jit-jit. ”Silakan kau lihat sendiri siapa aku, ̈
seru si kusir dengan tertawa. Begitu dia mengusap wajahnya, sehelai kedok tipis
tertanggal, siapa lagi dia kalau bukan Ong Ling-hoa. Kembali Ong Ling-hoa.
Jit-jit kaget dan takut, teriaknya, ”Hah, setan alas, kembali kau setan iblis ini! ̈
”Apakah kau kaget, nona Cu? ̈ tanya Ong Ling-hoa dengan cengarcengir. Waktu
Jit-jit melongok ke luar, bayangan Hoan Hun-yang dan kudanya sudah tak tertampak
lagi. Ia ingin membuka pintu kereta, tapi meski ditarik-tarik tetap tak mau terbuka.
Ong Ling-hoa terbahak-bahak, ”Haha, nona Cu, hendaknya tenang sedikit, kereta ini
dibuat secara khusus, tidak nanti dapat kau lari. ̈ ”Setan jahat, biar kuadu jiwa
denganmu! ̈ teriak Jit-jit nekat, segera ia menghantam jendela kecil itu. Tapi Ong
Ling-hoa lantas menarik kepalanya sehingga pukulan Jit-jit mengenai tempat kosong.
Dan karena tangannya terjulur keluar jendela, segera Ong Ling-hoa mencengkeram
pergelangan tangannya. Segera kedua kaki Jit-jit mendepak, namun kereta ini
memang buatan khusus, dinding kereta berlapis baja sehingga kaki Jit-jit kesakitan
sendiri.
Di luar Ong Ling-hoa lantas cengar-cengir dan berkata, ”Nona manis, jangan
bergerak, lukaku belum lagi sembuh, jangan menarik terlalu keras. ̈
”Kenapa kau tidak mati saja, paling baik kalau mati! ̈ teriak Jit-jit. ”Eh, masakah tidak
kau dengar pemeo yang mengatakan orang baik panjang umur, manusia jahat hidup
seribu tahun. Orang busuk seperti diriku mana bisa mati begitu saja? ̈
Sekuatnya Jit-jit meronta, namun urat nadi pergelangan tangan terpencet, lambat
laun tubuh menjadi lemas. Dirasakan Ong Ling-hoa terus menciumi tangannya malah
sembari berkata dengan tertawa, ”Ehmm, alangkah putih tanganmu sungguh halus
dan harum .... ̈
Tidak kepalang gusar Jit-jit, ”Bangsat ... kau .... ̈ mendadak kepalanya ditumbukkan
ke dinding kereta, seketika ia jatuh pingsan .... Sementara itu Sim Long dan Him
Miau-ji sedang mengejar secepat terbang.
Mendadak mereka mendengar suara ringkik kuda yang seram di dalam hutan gelap
sana. Kedua orang saling pandang sekejap, serentak mereka membelok ke sana.
Sesudah dekat, tertampak Hoan Hun-yang berdiri di sana dengan napas terengah,
di sampingnya rebah seekor kuda mati.
”Apakah yang terjadi, Hoan-heng? ̈ tanya Sim Long cepat. ”Wah,
celaka! ̈ sahut Hun-yang. ”Celaka bagaimana, lekas ceritakan, ̈ seru
Miau-ji tak sabar. ”Apakah kalian melihat Jit-jit? ̈ tanya Hoan Hun-yang
malah. ”Aneh, bukankah dia bersamamu? ̈ seru Miau-ji khawatir. Hoan
Hun-yang tidak bicara lagi, segera ia berlari ke arah tadi. Miau-ji saling
pandang sekejap dengan Sim Long, mereka tahu telah
terjadi sesuatu yang tidak enak lagi. Cepat mereka menyusul ke sana, Miau-ji terus
bertanya, ”Sesungguhnya apa yang terjadi, di mana nona Jit-jit? ̈
Hun-yang tetap tidak bicara melainkan berlari terlebih cepat. Terpaksa Sim Long
berdua mengintil dengan sama cepatnya. Ketiga orang sama berwajah kelam, lari
mereka sama cepatnya, namun di tengah malam dengan cahaya remang bintang di
langit, sepanjang jalan tidak ditemukan sesosok bayangan pun.
Tiba di suatu tempat, sekonyong-konyong terlihat sebuah kereta terbalik di tepi jalan
tanpa kuda penarik kereta. Cepat Hun-yang memburu ke sana dan membuka pintu
kereta. Dengan sendirinya tiada sesuatu yang ditemukannya.
”Apakah kereta ini yang ditumpangi nona Cu? ̈ tanya Miau-ji. Hun-yang hanya
mengentak kaki dan menghela napas, ”Ai, aku berdosa kepada ayahnya dan kepada
Samcinya, juga ... juga bersalah kepada kalian. ̈
”Kiranya benar terjadi sesuatu? ̈ Miau-ji menjadi kelabakan. ”He, lihat apa ini? ̈ seru
Sim Long mendadak. Ternyata di jok belakang kereta secarik kertas ditindih dengan
batu. Si Kucing menjemput kertas itu dan dibaca bersama, itulah tulisan Ong
Ling-hoa yang mengolok-olok Sim Long dan menyatakan si nona cantik telah
digondol olehnya.
”Kurang ajar! Kembali Ong Ling-hoa! ̈ teriak Miau-ji dengan gemas. Hoan Hun-yang
juga geregetan, ucapnya, ”Bangsat, sungguh hebat, sampai aku pun tertipu. ̈ ”Ayo
kita kejar! ̈ ajak Miau-ji.
Tapi Sim Long lantas berkata, ”Dia membuang kereta dan pergi dengan naik kuda,
tujuannya supaya jejaknya sukar ditemukan. Padahal orang ini banyak tipu akalnya,
sarangnya terdapat di manamana, ke mana kita dapat menemukan dia? ̈
”Jika begitu, apakah kita harus tinggal diam saja? ̈ kata Miau-ji dengan mendongkol.
”Coba tunggu sebentar, biar kupikirkan, mungkin ada jalan yang baik, ̈ kata Sim
Long, dirabanya dinding kereta itu, sampai lama belum lagi bicara .... Waktu Jit-jit
siuman kembali, dirasakan kepala kedinginan. Ia coba merabanya, kiranya
kepalanya dikompres dengan sekantong air dingin. Cepat ia lemparkan kantong itu
dan melompat bangun.
Tapi baru saja setengah badan terangkat, terpaksa ia harus rebah kembali. Kiranya
dirasakan dirinya tidur di dalam selimut dengan telanjang bulat, sekujur badan tiada
sehelai benang pun. Sebaliknya tertampak Ong Ling-hoa berdiri di
samping sana dan sedang memandangnya dengan kedua matanya yang jalang itu.
Terpaksa Jit-jit menyusup lagi ke dalam selimut dan mencaci maki, ”Setan alas,
anjing buduk .... Mana bajuku? ̈ Ong Ling-hoa terbahak-bahak, ”Hahahaha! Ada
orang bilang padaku, cara terbaik menghadapi perempuan adalah melepaskan
bajunya hingga telanjang bulat. Hahaha, ternyata cara ini memang sangat bagus. ̈
Dengan muka merah Jit-jit memaki, ”Bangsat, pada suatu hari pasti akan .... ̈
”Pasti akan kau beset kulitku begitu bukan? ̈ tukas Ling-hoa dengan tertawa. ”Haha,
ucapan begini sudah terlalu banyak kudengar darimu. Sungguh aku pun ingin
merasakan bagaimana rasanya kulit dibeset olehmu, cuma sayang hari yang kau
janjikan itu tidak pernah kunjung tiba. ̈
”Kau ... kau .... ̈ saking gemas Jit-jit terus menangis tergerunggerung sambil
membalik tubuh dan mendekap di atas bantal terus memukuli dipan.
Apa daya, kecuali menangis apa yang dapat diperbuatnya lagi? Dengan
cengar-cengir Ong Ling-hoa malah berseloroh, ”Eh, jangan terlalu tinggi mengangkat
tanganmu, itu dia kelihatan! ̈ Jit-jit benar-benar tidak berani lagi mengangkat
tangannya, khawatir dadanya terbuka, cepat ia tarik selimut terlebih rapat.
”Ai, anak kasihan, untuk apa berbuat begitu? ̈ ujar Ling-hoa. ”Jika kau kasihan
padaku hendaknya lekas kau bunuh diriku, ̈ teriak Jit-jit parau. ”Mana aku tega
membunuhmu, ̈ kata Ling-hoa, ”sedemikian baik kuperlakukan dirimu .... ̈ ”O, Tuhan,
kau baik padaku? ̈ jerit Jit-jit. ”Masa kurang baik? ̈ ujar Ling-hoa dengan tertawa.
”Coba kau ingat kembali, sejak kukenal dirimu sampai sekarang, dalam hal apa aku
kurang baik padamu? Engkau selalu ingin memukul, bahkan membunuhku,
sebaliknya aku cuma ingin merabamu dengan perlahan .... ̈
Sembari bicara ia terus mendekat ke sana. Serentak Jit-jit bangun dan membungkus
tubuhnya erat-erat dengan selimut serta meringkuk ke pojok tempat tidur, dilihatnya
sorot mata Ong Ling-hoa yang jalang itu, ia menjadi ketakutan sehingga lupa
menangis lagi.
”Apa ... apa yang kau hendaki? ̈ serunya parau. ”Apa yang kuhendaki? Haha, sudah
tahu pura-pura tanya, ̈ sahut Ling-hoa dengan cengar-cengir. ”Berhenti! ̈ teriak Jit-jit.
”Satu-satunya jalan bagimu untuk membuatku berhenti hanya jika kau bangun dan
merangkul diriku, kecuali jalan ini mungkin tidak ada cara lain yang dapat
membuatku berhenti, ̈ kata Ling-hoa dengan tertawa. Dalam pada itu Sim Long
sedang menyelidiki keadaan kereta yang terbalik itu, setelah meraba-raba dinding
kereta, mendadak ia berseru, ”Aha, ada jalannya. ̈
”Apa akalmu? ̈ tanya Miau-ji cepat. ”Jika ingin kita temukan jejak Ong Ling-hoa kukira
cuma ada satu cara, ̈ kata Sim Long. ”Cara bagaimana? ̈ tanya Miau-ji. ”Yakni
tunggu di sini, ̈ jawab Sim Long. Miau-ji jadi melengak, ”Tunggu di sini? Masakah dia
akan jatuh dari langit. Memangnya Ong Ling-hoa begitu goblok dan mau antarkan diri
sendiri kepada kita? ̈
Sim Long tersenyum, ”Coba kau raba kereta ini. ̈ Tanpa terasa Miau-ji dan Hun-yang
terus meraba-raba dinding kereta. ”Adakah sesuatu keanehan yang dapat kau raba? ̈
tanya Sim Long. Hun-yang termenung sejenak, katanya kemudian, ”Dinding kereta
ini terasa sedemikian keras dan berat, agaknya berlapis baja. ̈ ”Betul, kereta ini
memang buatan khusus, ̈ kata Sim Long. ”Kalau buatan khusus lantas bagaimana? ̈
tanya Miau-ji. ”Untuk membuat sebuah kereta khusus begini tentu bukan pekerjaan
gampang, tidak nanti Ong Ling-hoa membuangnya begini saja. ̈
”O, maksudmu dia pasti akan balik lagi ke sini untuk membawa pulang kereta ini? ̈
tanya Miau-ji. ”Ya, begitulah, ̈ kata Sim Long. Miau-ji menggeleng. ”Sekalipun kereta
ini dibuat dengan emas juga belum pasti Ong Ling-hoa mau menyerempet bahaya
demi sebuah kereta saja. Sekali ini kukira dugaanmu bisa meleset. ̈
”Justru dia tidak merasa balik ke sini akan menyerempet bahaya maka dia pasti akan
balik ke sini .... ̈ ”Betul, ̈ seru Hun-yang tiba-tiba, ”menurut perhitungannya, tentu dia
mengira kita terus pergi mencarinya ke tempat lain setelah membaca tulisan yang
ditinggalkannya ini, dia pasti tidak menyangka kita akan menunggunya di sini. ̈
Miau-ji lantas berkeplok juga, ”Aha, memang betul! Cuma kukira dia takkan datang
lagi sendiri. ̈ ”Tidak perlu dia sendiri, asalkan ada suruhannya yang datang untuk
membawa pulang keretanya ini, tentu kita dapat menemukan jejaknya. Cara ini kan
jauh lebih baik daripada kita mencarinya secara ngawur? ̈ ujar Sim Long.
*****
Dalam pada itu Ong Ling-hoa sudah berada di depan tempat tidur. ”Keparat, jika ...
jika kau berani naik ke sini, segera kubunuh diri dengan menggigit lidah sendiri, ̈
ancam Jit-jit dengan gemetar. ”Engkau lebih suka mati daripada .... ̈ ”Ya, aku lebih
suka mati daripada terjamah oleh jarimu. ̈ ”Masa begitu kau benci padaku? ̈ ”Aku
benci padamu, muak padamu. ̈ ”Jika benar kau benci padaku, untuk itu harus kau
jadi istriku. ̈ ”Kentut busuk, masakah benci padamu justru harus menjadi istrimu,
omong kosong! ̈
”Hahahaha! ̈ Ling-hoa tertawa. ”Rupanya kau belum paham. Bagimu, satusatunya
jalan untuk mengatasi diriku tiada lain hanya menjadi istriku. Setelah kau jadi istriku,
selama hidup dapat kau siksa diriku, dapat kau minta kuberi uang
sebanyak-banyaknya supaya dapat kau gunakan sesukamu, dapat kau perbudak
diriku, salah sedikit saja dapat kau marah padaku, macam-macam jalan untuk
melampiaskan bencimu padaku. Coba, betul tidak, kecuali menjadi istriku,
memangnya ada cara lain supaya dapat kau siksa diriku? ̈
Sungguh logika ajaib, sampai Cu Jit-jit juga melenggong, gemas dan dongkol serta
serbasalah pula. ”Nah, tampaknya kau setuju bukan? Mari .... ̈ segera sebelah kaki
Ong Ling-hoa melangkah ke atas dipan. ”Turun! ̈ bentak Jit-jit. ”Jangan kau paksa
diriku untuk mengadu jiwa denganmu, jangan lupa, lukamu sendiri belum sembuh .... ̈
”Bisa mati di bawah bunga peoni, menjadi setan juga puas .... ̈ kata Ling-hoa dengan
tertawa.
Jit-jit menyurut lagi ke belakang. Meski diketahuinya luka Ong Linghoa belum
sembuh, tapi entah mengapa, ia menjadi takut bila melihat anak muda itu dan tidak
berani main kekerasan padanya.
Pandangan Ong Ling-hoa yang jalang itu seperti memancarkan semacam daya pikat
yang membuat hati setiap anak perempuan merasa takut dan menyerah.
Tangan Ong Ling-hoa sudah mulai meraih selimut. Pada saat inilah mendadak Cu
Jit-jit bergelak tertawa malah. Dalam keadaan demikian dia bisa tertawa, hal ini
membuat Ong Ling-hoa jadi terkejut, tanpa terasa ia berhenti menarik selimut.
Tertawa Cu Jit-jit sangat manis, juga agak misterius. Tanpa terasa Ong Ling-hoa
bertanya, ”Apa yang kau tertawakan? ̈ ”Kutertawai dirimu ini sungguh seorang tolol, ̈
kata Jit-jit. ”Aku ini orang tolol? ̈ Ong Ling-hoa menegas. ”Haha, selama hidupku
entah berapa banyak dimaki orang, segala kata kotor dan keji pernah orang memaki
padaku, tapi belum pernah ada orang memaki diriku sebagai orang tolol. ̈
”Tapi engkau memang benar seorang tolol, ̈ kata Jit-jit pula. ”Di mana ketololanku?
Coba jelaskan. ̈ ”Hihi, percuma engkau mengaku sebagai pemuda romantis,
nyatanya sama sekali tidak dapat memahami perasaan anak perempuan. ̈
”Oo?! ̈ Ong Ling-hoa jadi melengak. ”Masa tidak kau ketahui yang paling dibenci
anak perempuan adalah diperlakukan kasar oleh orang lelaki. Yang tidak disukainya
adalah
lelaki yang tidak tahu kehendak anak perempuan. Jika engkau bukan orang tolol,
mengapa engkau sengaja bertindak hal-hal yang dibenci oleh anak perempuan
seperti ini? ̈
”Oo ... ai .... ̈ Ong Ling-hoa merasa serbabingung. ”Jika kau perlakukan diriku
dengan halus dan lembut, bukan mustahil sudah ... sudah lama aku .... ̈ Jit-jit
tersenyum dan menunduk malu-malu.
Suaranya lembut, senyumnya manis dengan malu-malu membawa semacam daya
pikat yang sukar dilawan. Nyata, dalam keadaan kepepet dapat juga Jit-jit
mengeluarkan senjata orang perempuan yang paling lihai, yaitu merayu. Ong
Ling-hoa termenung sejenak, mendadak ia menampar muka sendiri satu kali sambil
berseru, ”Ya, betul dan salah! ̈
”Betul dan salah apa? ̈ tanya Jit-jit dengan tertawa. ”Memang betul perkataanmu,
akulah yang salah, ̈ ujar Ling-hoa dengan menyesal. ”Jika begitu hendaknya kau
duduk baik-baik di situ dan menemani aku mengobrol, ̈ kata Jit-jit dengan tersenyum
manis. ”Baik, mengobrol apa? ̈ tanya Ling-hoa. Jit-jit mengerling genit, ”Begini, cara
bagaimana dapat kau lolos dari cengkeramanku, coba ceritakan, sampai saat ini aku
tidak habis mengerti hal ini. ̈
”Jika tidak kuceritakan, selamanya jangan harap kau mengerti, ̈ ujar Ling-hoa dengan
tertawa. ”Makanya kutanya. Eh, apakah anak buahmu yang membantu
membebaskan dirimu? ̈ ”Aku kan tertutuk sehingga tak bisa berkutik, juga dalam
keadaan terluka, jika tidak dibantu orang cara bagaimana dapat kukabur? ̈ ”Tapi
wajahmu sudah terias, aku pun tersamar, cara bagaimana mereka mengenali dirimu.
Kan tidak ada seorang pun yang tahu bahwa engkau tertangkap olehku? ̈
Ong Ling-hoa tertawa, ”Kau tahu, meski wajahku tersamar, tapi selalu kuberi setitik
tanda khusus pada wajahku. Dengan sendirinya hal ini sudah kuberi tahukan
kepada anak buahku, kalau tidak, dari mana mereka dapat mengenali aku inilah bos
mereka dalam keadaan menyamar? ̈
Diam-diam Jit-jit geregetan, tapi di mulut ia berucap dengan tertawa, ”Ah, engkau
sungguh pintar dan cerdik, sama sekali tidak kupikirkan hal itu. ̈ ”Mungkin waktu itu
kau kira orang lain tidak dapat mengenali diriku, padahal begitu kita berada di jalan
raya, segera anak buahku tahu siapa diriku. Di jalan raya itu sedikitnya ada belasan
anak buahku. ̈
Tambah gemas Jit-jit, tapi tertawanya justru tambah genit, ”Jika mereka sudah
mengenalimu, mengapa mereka tidak langsung turun tangan menolongmu? ̈
”Waktu itu keselamatanku masih berada dalam cengkeramanmu, dengan sendirinya
mereka tidak berani sembarangan bertindak. Tapi sejak itu diam-diam lantas ada
orang mengawasi gerak-gerikmu dan menunggu kesempatan untuk berusaha
membebaskan diriku. ̈
”Tak tersangka anak buahmu juga cukup lihai. ̈ ”Di bawah panglima yang kuat
dengan sendirinya tidak ada prajurit yang lemah. ̈ ”Kesabaran mereka sungguh
hebat sehingga sanggup menunggu begitu lama. ̈
”Mereka hanya menunggu ketika kau antar si Kucing keluar segera mereka masuk ke
sana. Agar tidak menarik perhatian dan demi lancarnya pekerjaan, yang datang
menolong diriku itu terdiri dari orang perempuan seluruhnya, maka aku lantas
memilih satu di antaranya untuk menjadi tumbalku, setelah dapat bergerak, segera
kudandani dia sehingga serupa diriku. ̈
”Untuk itu kan diperlukan waktu yang cukup? ̈ ”Ya, mereka juga khawatir kepergok
olehmu, maka sebelumnya sudah mengadakan persiapan di luar, mereka sengaja
merintangimu, sengaja mengulur waktu .... ̈
”Aah, ingat aku. Kedua lelaki yang berlagak salah mengenal diriku pasti anak
buahmu, mereka pura-pura salah mengenali orang karena ingin mengulur waktu agar
aku tidak cepat masuk ke kamar. Kemudian di serambi aku pun bertemu dengan
beberapa orang perempuan yang mengangkut orang mati, tentu mereka itulah yang
masuk ke kamar untuk menolongmu. Sungguh kurang ajar, seorang di antaranya
malahan membuang ingusnya di bajuku. ̈
”Dan mayat di bawah kain putih itu ialah diriku, ̈ sambung Ling-hoa dengan tertawa.
Jit-jit menghela napas, ”Ai, cara kerja kalian sungguh sangat rapi. ̈ ”Terima kasih, ̈
sahut Ling-hoa.
”Tapi aku tetap tidak mengerti, setelah kau bebas, mengapa kalian tidak turun
tangan kepadaku? Mengapa sengaja meninggalkan seorang tumbal di sana,
tidakkah hal ini terlalu berlebihan? ̈
”Waktu itu untuk apa kuturun tangan padamu? Kan tidak mendatangkan manfaat
bagiku? ̈ ”Tapi perbuatan kalian sekarang ini ada manfaat apa? ̈ ”Jika kami
mengganggu dirimu waktu itu, tentu berarti menghentikan rencanamu mengerjai Sim
Long, hal ini boleh dikatakan ada rugi dan tiada untungnya bagiku. Sebab itulah cara
yang paling baik adalah mengelabui dirimu. ̈
”Sungguh lihai kau, ̈ kata Jit-jit. ”Dan anak perempuan yang beruntung ialah menjadi
istri seorang lelaki lihai, dengan demikian selama hidupnya dia pasti takkan dihina
dan dianiaya orang, ̈ ucap Ling-hoa dengan tertawa.
Jit-jit berkedip-kedip, ”Ehm, betul juga ucapanmu. Cuma ... cuma masih ada sesuatu
aku merasa tidak paham. ̈ ”Sesuatu apa? Coba katakan. ̈ ”Setelah menyamar, tanda
apa yang kau tinggalkan pada wajahmu. ̈ Ong Linghoa berpikir sejenak, lalu berkata
dengan tertawa, ”Coba kau lihat apakah ada sesuatu ciri khas pada wajahku? ̈
”Tampaknya ti ... tidak ada, ̈ kata Jit-jit. ”Coba periksa lebih teliti, ̈ Ling-hoa
mendekatkan mukanya. ”Hidungmu mancung, matamu besar ... mulutmu .... Ah,
betul, dapat kulihat di sini. Apakah maksudmu tahi lalat di ujung mulutmu ini? ̈ ”Betul,
betapa aku merias mukaku pasti terdapat tahi lalat ini, ̈ kata Ling-hoa. ”Tapi banyak
orang di dunia ini mempunyai tahi lalat semacam ini, cara bagaimana anak buahmu
akan mengenali dirimu? ̈ ”Dengan sendirinya karena mereka sudah lama terlatih,
mereka ingat jelas letak dan besar tahi lalat ini, jika kutambahi lagi dengan isyarat
mata, kan terlalu goblok bilamana tetap tidak mengenali diriku. ̈
Jit-jit menatap tajam tahi lalat orang, katanya kemudian, ”Sungguh tak tersangka
engkau mau memberitahukan rahasia ini kepadaku. ̈ ”Memangnya kau gembira?
Kukira jangan keburu gembira dulu, seharusnya engkau merasa susah. ̈ ”Merasa
susah? Sebab apa? ̈ Jit-jit terbelalak. ”Bilamana ada kesempatan kabur bagimu,
apakah mungkin kuberi tahukan rahasia ini kepadamu? ̈ ”Jika engkau sedemikian
lembut padaku, sekalipun kau suruh kupergi juga aku tidak mau, apa lagi kabur? ̈
Sedapatnya Jit-jit tertawa manis, namun toh tetap kelihatan tertawa yang dibuatbuat.
”Apakah benar ucapanmu? ̈ dengan tertawa Ling-hoa menegas. ”Tentu saja benar.
Aku ... aku sudah kecewa terhadap Sim Long, hatiku sudah luka, padahal di dunia ini
selain Sim Long saja, lelaki mana lagi yang dapat membandingi dirimu. ̈
”Jika demikian, mari, biar kucium dulu, ̈ sembari tertawa Ong Linghoa lantas
menubruk ke atas. Seketika air muka Jit-jit berubah lagi, tapi sedapatnya ia berlagak
tenang dan berseru, ”Eh, coba, kenapa engkau jadi terburu-buru begini, kan asyik
lagi mengobrol .... ̈
Ong Ling-hoa menengadah dan tergelak, ”Haha, nona manis, jangan main
sandiwara lagi, kan tolol bilamana tidak dapat kuraba isi hatimu .... ̈
”Aku ... aku sungguh .... ̈ ”Jika kau sungguh hati, saat ini juga ingin kubuktikan, ̈
sambil bicara ia terus menubruk maju dan merangkul Cu Jit-jit dengan
terkekehkekeh. ”Sudah kupahami sekarang, terhadap anak perempuan seperti dirimu
hanya cara inilah yang paling tepat .... ̈
*****
Dalam pada itu Sim Long, Him Miau-ji dan Hoan Hun-yang bertiga sedang
bersembunyi di tempat gelap di sekitar kereta yang terbalik itu.
Malam sudah larut, meski hujan sudah berhenti, hawa terasa semakin dingin.
Berulang Miau-ji mengangkat buli-buli dan menenggak araknya, Hoan Hun-yang juga
merasa tidak sabar lagi sambil memandangi cuaca malam yang kelam. Hanya Sim
Long saja yang tetap tenang.
Akhirnya Miau-ji tidak tahan dan berkata, ”Menurut dugaanku, mereka belum tentu
datang kemari. ̈ ”Datang, pasti datang, ̈ kata Sim Long. ”Sungguh aku sangat kagum
kepada pendirianmu yang teguh, bilamana engkau sudah memastikan sesuatu,
rasanya tidak ada urusan lain yang dapat menggoyahkan keyakinanmu .... Tapi
bilamana aku menjadi Ong Ling-hoa, tentu aku takkan kembali ke sini untuk
mengambil kereta ini .... ̈
Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara orang berkumandang dari jauh.
”Aha, itu dia datang, ̈ seru Miau-ji. Waktu Sim Long dan Hoan Hun-yang pasang
kuping, diketahuilah pendatang pasti tidak cuma dua-tiga orang saja, malahan
terselip juga derap kaki kuda. Di tengah malam sunyi suara mereka kedengaran
cukup menusuk telinga.
Miau-ji mulai menggosok kepalan dengan penuh semangat, ucapnya dengan
tertawa, ”Sim Long memang tidak malu sebagai Sim Long, setiap perhitungannya
tidak pernah meleset. ̈
Namun wajah Sim Long kelihatan prihatin, gumamnya, ”Cepat amat kedatangan
mereka, sungguh tidak nyana .... ̈ ”Jelas sebelumnya telah kau perhitungkan
kedatangan mereka, mengapa kau bilang tidak nyana? ̈ ”Aku cuma heran mereka
datang secepat ini, ̈ kata Sim Long. ”Memangnya kenapa? ̈ tanya Miau-ji. ”Rapat
besar Kay-pang belum bubar, di sini adalah jalan yang harus dilalui oleh para
pengikut rapat itu, jika mereka harus datang ke sini tentu dilakukan setelah rapat
bubar .... Umpama datang lebih dini juga tidak perlu ribut begitu seperti tidak takut
diketahui orang. ̈
Miau-ji melenggong, tapi segera berkata dengan tertawa, ”Ah, tentu kawanan anjing
itu merasa mempunyai majikan yang kuat, dengan sendirinya mereka tidak takut
terhadap orang lain. Betul tidak, Hoanheng? ̈
”Kukira .... ̈ Belum sempat Hoan Hun-yang menanggapi, rombongan orang itu sudah
mendekat, mereka terdiri dari dua orang dan dua ekor kuda. Beramai-ramai lantas
menegakkan kereta yang roboh itu, kuda dipasang pada sabuk penarik, lalu
memeriksa keadaan kereta.
Seorang di antaranya berkata dengan tertawa, ”Bos memang tidak malu sebagai
bos, beliau benar-benar sangat hebat. Setiap perhitungan beliau selalu terbukti
seperti dilihatnya sendiri saja. ̈
”Memang, setiap perhitungan bos kita melebihi siasat perang panglima mana pun,
selalu tepat dan jitu, ̈ sahut kawannya. ”Malahan beliau tidak perlu pusing dan
banyak bekerja, cukup tinggal di rumah dan bermain dengan anak dara itu dan
segala sesuatu telah berlangsung dengan beres tanpa meleset sedikit pun. ̈
Begitulah kelima orang itu bekerja dengan riang gembira, lalu kereta itu dihalau
pergi, sama sekali tidak memerhatikan keadaan di sekitar situ.
”Lekas kita kejar mereka, ̈ segera Miau-ji hendak bergerak. Tapi Sim Long lantas
menariknya dan mendesis, ”Tidak, kita tidak mengejar mereka. ̈ Miau-ji menjadi
heran, ”Kita menunggu dengan susah payah, memangnya untuk apa? Setelah
mereka muncul, kenapa kita tidak jadi menguntitnya? Se ... sebenarnya apa
kehendakmu? ̈
”Urusan menguntit dan menyelidiki musuh boleh serahkan saja kepada Hoanheng, ̈
kata Sim Long. ”Dan engkau dan aku? ̈ tanya Miau-ji dengan terbelalak. ”Kita harus
mendatangi tempat rapat Kay-pang lebih dulu, bilamana tidak salah dugaanku, di
sana mungkin telah terjadi sesuatu yang mengejutkan, ̈ tutur Sim Long.
”Masa ... masa betul begitu? .... ̈ ”Hendaknya Hoan-heng menguntit kereta tadi,
setiba di tempat janganlah sembarang bertindak, sebaiknya putar balik ke sini, nanti
kita berkumpul lagi untuk berunding lebih lanjut, ̈ kata Sim Long dengan suara
tertahan.
”Kutahu, Sim-heng tidak perlu khawatir, ̈ jawab Hun-yang. ***** Di tengah malam
musim dingin, bau harum arak tersiar terlebih jauh daripada bau harum apa pun.
Sebelum tiba di tempat rapat Kaypang, hidung Sim Long dan Miau-ji sudah
mengendus bau arak yang menusuk hidung.
Tanpa terasa Miau-ji meraba buli-buli araknya, ucapnya, ”Kawanan jembel ini
biasanya kelihatan hidup miskin dan serbahemat, tapi pada waktu menjamu tamu
ternyata cukup royal. ̈
”Mencium bau arak, kau jadi mengiler bukan? ̈ kata Sim Long dengan tertawa. ”Tapi
menurut pendapatku, arak dalam pesta sana sebaiknya kita jangan ikut minum. ̈
”Tidak ikut minum, memangnya kenapa? ̈ tanya si Kucing. Sim Long menghela
napas dan tidak bicara lagi tapi dia berlari terlebih cepat. Hanya sebentar saja
tertampaklah barak bambu yang sederhana itu dengan cahaya obor yang terang,
bayangan orang tampak berjubel di dalam barak, agaknya sama berduduk dengan
tenang.
”Lihat itu, mana ada sesuatu, bukankah semuanya asyik duduk minum arak? ̈ ujar
Miau-ji dengan tertawa. ”Apa betul? ̈ kata Sim Long. ”Jika terjadi apa-apa kan
seharusnya mereka .... ̈ belum lanjut ucapan si Kucing, ia jadi melenggong sendiri,
sebab dari jauh kini dilihatnya keadaan agak tidak beres.
Meski orang-orang itu tampak duduk tenang di dalam barak, tapi suasana terlalu
sunyi dan menimbulkan rasa seram. Beratus orang duduk di situ tanpa
mengeluarkan suara, orang yang tidak minum arak saja tidak mungkin berdiam
begitu, apalagi orang yang telah menenggak arak.
Kesunyian yang aneh ini telah memberi alamat yang tidak enak.
Miau-ji tidak tahan, dengan cepat ia melompat ke sana dan menerjang ke dalam
barak, apa yang terlihat membuatnya terkesima.
Ribuan orang yang berada di barak yang mengelilingi tanah lapang di tengah ini
tampaknya benar telah berubah menjadi orang mati. Ada yang menggeletak dengan
mulut berbuih, ada yang mendekap di meja dan tidak sadar, hidangan di atas meja
belum banyak yang termakan, tapi cawan dan botol arak tampak berserakan.
Orang-orang ini apakah mabuk seluruhnya? Setelah tercengang sejenak, Miau-ji
lantas mengangkat tubuh seorang dan memeriksa napasnya, air muka si Kucing
berubah, serunya, ”Hah, keracunan! ̈
”Ternyata cocok dengan dugaanku, ada racun dalam arak, ̈ kata Sim Long. ”Setiap
orang yang hadir di sini adalah kawakan Kangouw, mereka juga terperangkap? ̈ ujar
Miau-ji dengan gegetun. ”Dalam keadaan gembira ria tadi, siapa yang tidak ingin
minum duatiga cawan untuk menambah semarak pesta ini, siapa lagi yang curiga
dan perlu memeriksa arak di dalam botol? ̈ ujar Sim Long. Di bawah cahaya obor
yang bergoyang tertiup angin itu terlihat wajah orang-orang yang sudah tak
bernyawa ini sama pucat pasi dengan kulit muka berkerut, keadaannya sangat
menyedihkan dan juga mengerikan.
”He, lihat, baju orang-orang ini sama terbuka, ̈ mendadak Miau-ji berteriak. Tanpa
bicara Sim Long mendekati beberapa orang itu dan meraba badan mereka, saku
mereka ternyata sudah kosong tanpa isi serupa habis dirampok orang
habis-habisan.
”Sudah membunuh orang, merampas juga harta bendanya, keji amat! ̈ gerutu Miau-ji
dengan gemas. ”Makan orang tanpa menumpahkan tulangnya, inilah kebiasaan
perbuatan Ong Ling-hoa, ̈ kata Sim Long. ”Kau kira orang-orang ini dapat ... dapat
diselamatkan tidak? ̈ tanya si Kucing.
”Jika ada obat penawar yang jitu, dengan sendirinya mereka dapat tertolong, tapi apa
mau dikatakan lagi, kita sama sekali tidak tahu racun apa yang diminum mereka. ̈
Kedua orang menjadi serbasusah berdiri di tengah ribuan orang yang keracunan
dengan wajah yang mengerikan ini. Sekonyong-konyong mereka merasakan di
tengah orang-orang yang mendelik menanti ajal ini masih ada sepasang mata yang
terpentang lebar seperti lagi menatap mereka.
Serentak kedua orang sama memburu ke sana. Itulah mata yang melotot penuh rasa
dendam, biji matanya seperti mau melompat keluar dari kelopak matanya.
”He, Ci Kong-tay! ̈ seru Miau-ji. Ternyata Ci Kong-tay tidak keracunan melainkan
Hiat-to tertutuk sehingga tubuh tidak bisa berkutik, mukanya yang burik tampak
berkilau.
Mulutnya tidak berbau arak, jelas setetes arak pun tidak diminumnya. Jika demikian
apa yang terjadi di sini pasti telah disaksikan seluruhnya.
”Rupanya tidak minum arak juga ada faedahnya, ̈ ucap Miau-ji dengan gegetun.
”Sesungguhnya apa yang terjadi di sini, tanya dia tentu segalanya akan menjadi
jelas. ̈
Dalam pada itu Sim Long telah membuka Hiat-to Ci Kong-tay yang tertutuk. Cepat Ci
Kong-tay merangkak bangun dan melemaskan otot tulang tangan dan kakinya.
”Bagaimana .... ̈ ”Cayhe baik-baik saja, terima kasih atas perhatian kalian .... ̈
begitulah Ci Kongtay telah menyambut ucapan Sim Long, berbareng itu mendadak
berpuluh bintik tajam menyambar dari tangannya ke arah Sim Long, menyusul ia pun
menubruk maju seperti orang kalap.
Ci Kong-tay berjuluk ”mata uang berhamburan memenuhi bumi ̈,
selain menggambarkan mukanya yang burikan juga melukiskan kemahirannya
menghamburkan senjata rahasia serupa hujan memenuhi bumi.
Sekarang berpuluh biji mata uang dihamburkan dengan cepat dan jitu serta di luar
dugaan pula, bila orang lain mustahil mampu menghindar.
Namun Sim Long tetap Sim Long. Di tengah jerit kaget Miau-ji, serentak Sim Long
meloncat ke atas, betapa cepat sambaran senjata rahasia musuh tetap tidak secepat
gerak tubuhnya. Hujan Kim-ci-piau (senjata rahasia mata uang) itu tiada satu pun
menyentuh tubuhnya. Secepat kilat Him Miau-ji juga menyelinap ke belakang Ci
Kong-tay, sekaligus ia pegang kedua tangan tokoh Kay-pang itu dan ditelikung ke
belakang.
Seketika Ci Kong-tay tak bisa berkutik lagi, tapi ia lantas mencaci maki, ”Keparat she
Sim, kuanggap dirimu ini seorang kesatria sejati, siapa tahu sebenarnya engkau ini
manusia berhati binatang .... ̈
”Kau sendiri binatang, ̈ bentak Miau-ji dengan gusar. ”Sim Long telah menolong
jiwamu, sebaliknya kau balas air susu dengan tuba dan bermaksud menyergapnya
secara keji, apakah perbuatanmu ini tidak lebih rendah daripada binatang? ̈
Ci Kong-tay meraung, ”Sim Long bintang kau pun binatang! Boleh kalian bunuh saja
diriku, aku memang tidak ingin hidup lagi, masa aku takut kalian membunuhku untuk
membungkam mulut saksi hidup. ̈
”Orang ini sudah gila barangkali, sembarang mengaco-belo, ̈ teriak Miau-ji dengan
gusar.
Dengan tenang Sim Long bertanya, ”Ci Kong-tay, coba katakan kenapa engkau
menuduh kami hendak membunuhmu untuk membungkam mulut saksi hidup? ̈
”Kay-pang kami memandang dirimu sebagai kawan, siapa tahu kau taruh racun di
dalam arak sehingga beribu kawan yang hadir di sini kau celakai, malahan secara
keji kalian merampok harta benda mereka, ̈ teriak Ci Kong-tay dengan suara parau.
Muka Miau-ji merah padam saking gusarnya, ”Kentut busuk! Siapa bilang kami
menaruh racun, siapa bilang kami merampok? .... ̈ ”Kau dan Sim Long yang turun
tangan secara terang-terangan, memangnya hendak kau kelabui mataku? ̈ bentak
Ci Kong-tay. Saking gemas sebelah tangan Miau-ji lantas menggampar. Tapi Sim
Long keburu mencegahnya. Dengan tetap sabar Sim Long berkata pula, ”Kenapa
tidak kau pikirkan, jika benar kami yang turun tangan keji, untuk apa kami kembali
lagi ke sini? ̈
”Hm, kutahu kalian kembali ke sini hanya ingin tahu apakah orangorang ini sudah
mati seluruhnya atau belum, ̈ jengek Ci Kong-tay. ”Kalau tidak, bila perbuatanmu
yang rendah ini sampai tersiar, apakah selanjutnya kalian dapat tancap kaki lagi di
dunia Kangouw? ̈
Sim Long saling pandang sekejap dengan Him Miau-ji, keduanya sama-sama
merasa ngeri akan kekejian tipu muslihat Ong Ling-hoa. Jelas ia sendiri yang berbuat
jahat, tapi sengaja menyuruh orang menyamar sebagai Sim Long dan Him Miau-ji
agar orang salah sangka terhadap Sim Long berdua.
Dalam keadaan demikian, biarpun Sim Long dan si Kucing punya seratus buah mulut
juga sukar membela diri, apalagi kini ada saksi hidup yang melihat perbuatan mereka
itu. Untuk menghilangkan salah sangka itu jalan paling baik bagi Sim Long adalah
membunuh Ci Kong-tay. Tapi bila Ci Kong-tay dibunuh, rasanya tiada untung dan
malah ada ruginya.
Apalagi mereka juga tidak mungkin bertindak sekeji ini. Begitulah kedua, orang
saling pandang dengan bingung. Dengan suara serak Ci Kong-tay lantas berteriak
pula, ”Nah, apa yang kalian tunggu lagi, lekas bunuhlah diriku. ̈ ”Kau maha dungu,
aku memang ingin membinasakanmu dan habis perkara, ̈ ucap Miau-ji dengan
gemas. ”Jika begitu, mengapa tidak lekas turun tangan, ̈ tantang Ci Kongtay sambil
menyeringai. ”Aku ... aku .... ̈ Miau-ji menjadi gelagapan saking dongkolnya,
mendadak ia mengentak kaki dan memaki, ”Dasar bangsat Ong Ling-hoa itu. ̈ Sim
Long juga cuma menggeleng kepala saja dan tidak tahu apa yang mesti
diperbuatnya.
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar derap kaki kuda yang ramai, tiga
penunggang kuda datang dengan cepat, hanya sekejap saja sudah sampai di depan
barak, serentak melompat turun tiga lelaki berbaju hitam, semuanya membawa poci
tembaga ukuran besar.
”Siapa itu? ̈ bentak Miau-ji. Ketiga lelaki itu memandang Sim Long sekejap, lalu
memandang Miau-ji pula, tanpa memperlihatkan sesuatu perasaan mereka berkata,
”Kongcu kami mengetahui di sini ada orang keracunan, kami disuruh datang
memberi pertolongan. ̈
”Kongcu kalian? Apakah Ong Ling-hoa? ̈ seru Miau-ji. ”Betul, ̈ jawab salah seorang
dengan tak acuh. ”Bangsat, masih juga berani datang kemari! ̈ teriak Miau-ji dan
segera hendak melabrak ketiga orang itu. Tapi lagi-lagi Sim Long menahannya dan
berkata, ”Nanti dulu! ̈ Melihat orang yang menggeletak keracunan sedemikian
banyaknya, bila dia main kekerasan, lalu siapa yang akan menolong mereka?
Terpaksa Miau-ji mengertak gigi dan menahan diri.
Dengan sorot mata tajam Sim Long lantas tanya ketiga orang itu, ”Dari mana Kongcu
kalian mengetahui di sini ada orang keracunan? ̈ ”Kongcu kami memang sudah
mengkhawatirkan ada manusia berhati binatang diam-diam main gila dan turun
tangan keji di sini, maka sebelumnya kami sudah disuruh mengawasi keadaan
tempat ini, ̈ jawab salah seorang itu.
”Kentut busuk! Kau ... kau .... ̈ Miau-ji meraung murka. ”Menolong orang harus cepat,
kalian sengaja merintangi dan mengulur waktu, jangan-jangan kalian ingin
menyaksikan kematian kesatria sebanyak ini? ̈ kata orang pertama tadi.
Ci Kong-tay juga lantas berteriak, ”O, Sim Long dan Him Miau-ji, kumohon sukalah
kalian mengampuni orang-orang ini. Mereka sama berkeluarga dan punya anak istri,
apakah kalian tidak kasihan .... ̈
Miau-ji sangat gelisah, ia tahu bilamana orang-orang ini ditolong dan siuman, tentu
mereka akan membenci Sim Long dan dirinya, urusan tentu juga sukar dijelaskan
lagi. Ia tahu Ong Ling-hoa sengaja hendak menista mereka dengan memperalat
mulut orang-orang ini untuk menyebarkan nama busuk mereka.
Sebaliknya ia juga tidak dapat merintangi ketiga orang ini menolong ribuan orang
yang keracunan ini. Sungguh tindakan Ong Ling-hoa ini jauh lebih lihai daripada
membunuh semua orang ini.
Didengarnya Sim Long lagi berkata, ”Baiklah, boleh lekas kalian menolong mereka. ̈
”Dan kita? .... ̈ teriak Miau-ji dengan parau. ”Kita terpaksa harus angkat kaki, ̈ ucap
Sim Long. ”Angkat kaki? ̈ Miau-ji menegas. Sim Long tersenyum pedih, katanya,
”Jika saat ini kita tidak angkat kaki, sebentar bila orang banyak siuman, tentu akan
timbul kesulitan. Tatkala mana mungkin sukar lagi bagi kita untuk angkat kaki. ̈
Ketiga lelaki kekar itu tampak senang, segera mereka mencekoki air di dalam poci
kepada orang-orang yang keracunan itu satu per satu. Pada saat itu juga diam-diam
Sim Long dan Miau-ji lantas mengeluyur pergi. Terdengar suara caci maki Ci
Kong-tay masih bergema di belakang mereka. Dengan sedih Miau-ji berkata, ”Kita
pergi begini saja, bukankah seterusnya kita harus menanggung tuduhan jahat ini
dan sukar dicuci bersih lagi. Aku ... aku lebih suka mati daripada .... ̈
”Mati tidak menjadi soal bagi kita, tapi dapatkah kau biarkan orangorang itu pun mati
tanpa tertolong? ̈ ujar Sim Long. Gemertuk gigi Miau-ji saking gemasnya. ”Bangsat
Ong Ling-hoa, dia tahu Kay-pang tidak dapat lagi diperalat olehnya, maka
digunakannya lagi akal keji ini. Dia telah merampas segala milik mereka, tapi sengaja
menyelamatkan jiwa mereka, tujuannya supaya mereka menuntut balas pada kita
berdua. Nyata siapa saja dan setiap kesempatan yang dapat diperalat olehnya selalu
tak disiasiakannya. ̈
”Kalau bicara tentang kekejaman, orang ini sungguh diakui tidak ada bandingannya
di dunia, ̈ ujar Sim Long dengan tertawa. ”Tampaknya biarpun Koay-lok-ong juga
belum pasti dapat melebihi dia. ̈
Miau-ji kurang senang. ”Ai, keadaan sudah runyam begini, ternyata engkau masih
bisa tertawa. ̈
”Jangan khawatir, biarpun kita sudah kalah selangkah, tapi ada juga urusan lain dia
kalah selangkah daripada kita. Dan langkah ini justru langkah kematiannya. ̈
”Langkah apa? ̈ tanya Miau-ji bingung. ”Apa pun juga seharusnya dia tidak boleh
memperlihatkan ekornya. ̈ ”Ekor apa? ̈ ”Kereta itu adalah ekornya. Dengan
memegangi ekornya tentu dapat kita temukan dia, bila kita dapat menemukan dia,
tentu dapat kita merenggut nyawanya. Biarpun dia menang seribu kali daripada kita
juga sukar menambal kekalahannya yang satu kali ini. ̈ ”Wah, jika begitu ayolah
lekas kita menyusul Hoan Hun-yang untuk memegang ekornya itu, ̈ seru Miau-ji.
”Ekor itu tidak perlu lagi kita pegang, ̈ ujar Sim Long dengan tersenyum. ”Kenapa? ̈
Miau-ji merasa bingung lagi. ”Sebab Ong Ling-hoa masih mempunyai ekor lain di
sini. ̈ ”Di sini? Di mana? ̈ tanya Miau-ji. ”Mari ikut padaku. ̈ Segera Sim Long
mendahului mengitar ke belakang barak, mendekati tempat tambatan kuda. ”Apakah
maksudmu hendak menunggu kembalinya ketiga orang itu dan diamdiam kita
mengintilnya? ̈ tanya Miau-ji dengan suara tertahan.
”Ketiga orang itu pasti akan tinggal lama di sini, jika kita menunggu mereka kan lebih
cepat bila kita mencari Hoan Hun-yang saja. Apalagi ketiga orang ini tentu juga
curiga kemungkinan akan penguntitan kita. ̈
”Jika begitu, lantas ... lantas di mana ekor yang kau maksudkan? ̈ ”Di sini, lihat saja, ̈
ucap Sim Long sambil mengayun sebelah tangannya. Terdengar suara mendesing,
dua biji batu kecil telah disambitkan.
Batu pertama tepat mengenai tali kendali salah seekor kuda, batu kedua mengenai
pantat kuda dengan jitu. Kuda itu kaget dan meringkik kesakitan, lalu membedal ke
sana.
Ketiga lelaki di dalam barak mencaci maki, disangkanya kudanya yang nakal.
Mereka tidak menduga kuda itu telah dikerjai Sim Long, maka cuma mencaci maki
dan sibuk menolong orang, tiada seorang pun yang mengejar kuda.
”Kuda inilah ekor Ong Ling-hoa, ayo kita kejar? ̈ desis Sim Long. Miau-ji masih juga
heran, sedangkan Sim Long lantas melayang ke arah kuda secepat terbang.
Terpaksa Miau-ji ikut lari ke sana. Sesudah berada di belakang kuda lepas tadi
barulah ia menyadari duduknya perkara, ”Ah, betul, sifat kuda
hafal jalan. Kuda lepas ini pasti akan lari pulang ke kandangnya, asalkan kita
mengikuti kuda ini, akhirnya akan sampai juga di sarang Ong Ling-hoa. ̈
Sim Long tersenyum, ”Menguntit kuda kan lebih mudah daripada menguntit
manusia. ̈ ”Sim Long, engkau sungguh hebat! ̈ kembali Miau-ji berseru memuji. Meski
lari kuda itu cukup cepat, namun gerak tubuh Sim Long berdua tidak kalah cepatnya.
Dada baju Him Miau-ji masih juga terbuka menyongsong angin dingin yang
menyayat, tapi dadanya serupa gemblengan baja tanpa merasakan sesuatu. Dia
justru bersemangat mengingat sebentar lagi si bangsat Ong Ling-hoa akan
dibekuknya.
Tidak lama kemudian, terlihat sebidang hutan di depan sana. Di samping hutan ada
beberapa rumah gubuk dan setitik cahaya api. Itulah rumah petani penunggu hutan
lai itu. Tapi kuda ini ternyata langsung menuju ke hutan sana.
”Masakah di sini tempatnya? ̈ Miau-ji berkerut kening. ”Pasti tidak keliru, ̈ kata Sim
Long. Setiba di depan rumah gubuk, benar juga kuda itu lantas berhenti sambil
meringkik perlahan. Segera dari dalam gubuk menyelinap keluar dua sosok
bayangan orang, gerakgeriknya cukup gesit, jelas bukan kaum petani biasa.
Agaknya kedua orang itu merasa heran melihat kuda kembali sendirian tanpa
penunggangnya. Kedua orang kasak-kusuk berunding sebentar, seorang lantas
masuk lagi ke dalam gubuk, yang lain menuntun kuda ke belakang rumah.
”Ya, memang betul di sini tempatnya, ̈ ucap Miau-ji. ”Tunggu setelah orang yang
menuntun kuda itu muncul kembali, segera kita menerjang ke dalam, ̈ kata Sim
Long. ”Menerjang ke dalam? Tidak perlu kita selidiki dulu? ̈
Jilid 23
”Menghadapi orang semacam Ong Ling-hoa harus dilakukan gerak cepat secara di
luar dugaan, ̈ kata Sim Long. ”Aha, cocok dengan seleraku, ̈ desis Miau-ji. Selagi
bicara, orang yang membawa kuda ke belakang itu sudah muncul kembali, perlahan
ia menolak pintu sehingga kelihatan cahaya lampu di dalam, lalu dia hendak
menyelinap ke dalam.
Pada saat itulah secepat kilat Sim Long dan Miau-ji menerjang ke sana. Begitu
melayang tiba kontan Sim Long menutuk Giok-cim-hiat di belakang tengkuk orang
itu. Sebelum orang itu sempat bersuara, tahu-tahu lantas roboh.
Miau-ji terus mendepak pintu hingga terpentang, segera pula ia menghantam orang
yang membuka pintu. Dengan terkejut orang itu hendak menangkis, ”krek-krek ̈,
tahu-tahu kedua tangannya dipukul patah oleh si Kucing, kontan orang itu menjerit
dan terjungkal. Cepat Miau-ji meraih sehingga dagu orang mengsol dan tidak dapat
bersuara lagi.
Di dalam rumah terkecuali orang yang membuka pintu itu masih ada lagi lima lelaki
kekar lain, mereka lagi asyik minum arak. Karena kejadian mendadak ini, mereka
terkejut dan sama melompat bangun.
Kelima orang itu serentak pun bergerak, yang satu meraih kursi, orang kedua melolos
golok, orang ketiga menjungkirkan meja, orang keempat berlari ke pojok sana untuk
mengambil tombak, orang kelima memburu maju dan menghantam.
Tapi sekali Miau-ji mencengkeram, kontan kepalan orang itu kena ditangkapnya,
tangan yang lain terus menahan belakang kepala orang, kepalan orang ini dijejalkan
ke mulutnya sendiri.
Tanpa bisa bersuara segera tubuh orang ini terangkat oleh si Kucing. Waktu itu meja
lagi diangkat seorang lagi, belum lagi terjungkir sudah dilihatnya sesosok tubuh
melayang tiba, dua kepala saling bentur, ¡”prak¡ ̈, keduanya lantas ambruk bersama
dengan kepala remuk.
Orang yang melolos golok itu belum lagi sempat mengangkat senjatanya, tahutahu
iga terasa kesemutan, tenggorokan juga terasa kaku, mata lantas gelap, ia pun roboh
terjungkal. Sama sekali ia belum sempat melihat siapa lawannya, apakah lelaki atau
perempuan, mati pun menjadi setan penasaran.
Di sebelah lain Sim Long juga sudah bertindak, sekaligus ia tutuk Hiat-to orang yang
melolos golok, kaki terus menendang orang yang meraih kursi sehingga orang itu
ditendang mencelat.
Orang yang mengambil tombak di pojok sana segera menusuk dengan tombaknya
tanpa berpaling. Tapi belum lagi bergerak tahutahu tombak sudah hilang, di belakang
juga tidak ada serangan. Dengan sendirinya ia menoleh untuk melihat keadaan,
segera tertampak sepasang mata kucing lagi menatapnya dengan tersenyum simpul.
Dalam kagetnya kedua kepalannya lantas menghantam, ”blangbluk ̈, beberapa kali
pukulannya tepat mengenai orang.
Tapi orang yang kena pukul itu tetap tertawa saja, sebaliknya kedua tangan
pemukulnya terasa kesakitan seperti mau patah. Ia menjadi nekat, sebelah kaki
lantas menendang.
Tapi baru saja kakinya menendang, segera matanya terasa gelap, seperti
mendadak tercekik oleh tanggam baja, apakah tendangannya mengenai sasarannya
atau tidak takkan diketahuinya lagi untuk selamanya.
Hanya dalam sekejap saja ketujuh orang di luar dan dalam rumah telah dibereskan
semua. ”Haha, sungguh menyenangkan, ̈ seru Miau-ji dengan tertawa. Sim Long
lantas menyelinap masuk dengan cepat, Miau-ji juga menerjang ke dalam dan
dilihatnya orang-orang di dalam rumah sudah tidak ada yang hidup lagi. Sementara
itu Sim Long sudah menerjang ke dapur.
”Sisakan satu untukku, Sim Long, ̈ seru Miau-ji. Selagi ia hendak menyusul ke dapur,
dilihatnya Sim Long telah melompat keluar kembali. ”Tidak ada orang lagi di dapur, ̈
kata Sim Long. ”Dan di mana Ong Ling-hoa? ̈ seru Miau-ji. ”Di sini pasti ada ruang
rahasia tempat sembunyi Ong Ling-hoa, lekas kita cari, ̈ kata Sim Long. ”Betul,
jangan sampai keparat itu kabur lagi, ̈ seru Miau-ji. Dilihatnya Sim Long lagi mengitari
rumah ini, lalu memeriksa lagi ke rumah yang lain.
Miau-ji ikut berkeliling dan ternyata tidak menemukan seorang pun. ”Wah,
bagaimana, jangan-jangan dia tidak berada di sini. ̈ Sim Long termenung sejenak,
mendadak ia menerjang lagi ke dapur tadi disusul oleh Miau-ji. Sim Long berhenti di
depan tungku dan memandangnya dengan tersenyum, ”Ini dia, di sini. ̈
Miau-ji berseru girang, ”Ya, pasti di sini. ̈ Kiranya tungku itu model tungku yang
umum digunakan kaum petani di daerah utara, di atas tungku ada dua buah wajan
besi besar, wajan yang satu kelihatan penuh hangus, wajan yang lain dalam
keadaan bersih.
Sim Long pegang wajan yang bersih itu dan diputar, habis itu lantas diangkat dan
benarlah di bawah wajan terdapat sebuah jalan bawah tanah.
”Hah, sungguh tempat sembunyi yang sangat hebat, ̈ seru Miau-ji kejut dan girang.
Teringat kepada iblis Ong Ling-hoa itu berada di lorong bawah tanah ini, seketika
darah Him Miau-ji bergolak, tapi juga agak kebat-kebit. Dalam pada itu Sim Long
sudah lantas melompat ke dalam lorong itu.
Tanpa pikir Miau-ji ikut melompat ke situ dan masuk ke sebuah kamar rahasia
dengan perabotan yang indah. Terdapat sebuah ranjang besar dengan selimut
bantal bersulam serupa kamar tidur anak gadis.
Tapi di manakah Ong Ling-hoa, sama sekali tidak tertampak bayangannya. Kelambu
tempat tidur kelihatan tercantol dengan baik, selimut juga terlipat rapi, jelas tempat
tidur ini sudah sekian lama tidak pernah dipakai.
Miau-ji dan Sim Long berdiri di depan tempat tidur dengan saling pandang, keduanya
sama merasa kecewa dan kesal. Sim Long menggeleng dengan menyesal, ”Salah,
aku salah duga. Tak tersangka sarang Ong Ling-hoa sekecil ini tidak cuma tersedia
sebuah tempat sembunyi saja. ̈
”Salah sangka satu kali juga tidak menjadi soal, cepat atau lambat toh bocah she
Ong itu takkan terlepas dari cengkeramanmu, ̈ ujar Miau-ji.
”Tapi bila hari ini sampai dia lolos lagi, selanjutnya mungkin .... ̈ Sim Long
menggeleng dan tidak meneruskan. Miau-ji tidak tahu cara bagaimana harus
menghibur orang, ia sendiri juga merasa kecewa, ia coba memeriksa kamar rahasia
ini, pajangan kamar ini memang mewah, tempat tidurnya juga berbau harum.
”Keparat Ong Ling-hoa itu sungguh setan iblis, di mana pun sarangnya tidak lupa
tersedia tempat tidur .... ̈ ucap Miau-ji dengan
gemas, mendadak ia berteriak, ”Biar kuhancurkan dulu tempat tidurnya untuk
melampiaskan rasa dongkolku. ̈
Segera ia melompat maju dan menarik kelambu. Siapa tahu, baru saja kelambu
terpegang, mendadak terdengar suara ”keriang-keriut ̈ berkumandang dari bawah
tempat tidur. Seketika dia berhenti bergerak dan mendengarkan dengan cermat.
Sim Long juga bergirang dan pasang telinga. Terdengar suara itu semakin dekat dan
makin keras. ”Hah, jangan-jangan itu dia, ̈ desis Miau-ji. ”Ya, mungkin betul .... ̈ sahut
Sim Long dengan suara tertahan. Terdengar pula suara ”krek ̈ lagi, ranjang seperti
mulai bergerak. Sim Long memandang sekeliling kamar ini dan dapat dipastikannya
kamar ini tidak mengalami sesuatu perubahan, segera ia menarik Miau-ji dan
bersembunyi di belakang kelambu yang terbuat dari kain satin tebal dan rapat.
Selagi Miau-ji hendak bersuara pula, mendadak ranjang besar itu menjeplak dan dua
orang menerobos ke luar. Terdengar seorang berkata, ”Hendaknya kendurkan
peganganmu supaya aku dapat bernapas lebih longgar. ̈ Tangan Miau-ji terasa
gemetar, itulah suara Cu Jit-jit. Seorang lagi lantas menanggapi dengan tertawa,
”Memondong nona cantik semacam dirimu rasanya sangat berat untuk
melepaskanmu. ̈ Suara tertawa jalang itu membikin telinga Miau-ji menjadi merah
dan dada hampir meledak saking gusarnya. Nyata itulah suara Ong Linghoa, keparat
ini benar-benar telah muncul.
Terdengar Ong Ling-hoa menghela napas panjang, katanya dengan tertawa,
”Sungguh kurang ajar, keparat itu justru muncul pada saat
yang paling genting, sehingga menggagalkan urusan kita. ̈
Jit-jit juga menghela napas dan menjawab, ”Hm, kusangka cuma Sim Long saja yang
kau takuti, rupanya kau pun takut kepada Hoan Hun-yang sehingga larimu secepat
ini, masa engkau tidak merasa malu padaku? ̈
Miau-ji saling pandang sekejap dengan Sim Long, diam-diam ia membatin dengan
menyesal, ”Bila tahu tempat yang dituju Hoan Hun-yang itu akan menemukan Ong
Ling-hoa di sana, tentu kami ikut pergi bersama dia ke sana. ̈
Dalam pada itu Ong Ling-hoa lagi berkata pula dengan tertawa, ”Memangnya kau
kira aku takut kepada Hoan Hun-yang? Hm, aku cuma khawatir di belakang Hoan
Hun-yang akan menyusul datang Sim Long dan si kucing rakus itu. ̈
”O, kiranya engkau toh takut kepada mereka, mau juga engkau mengaku terus
terang. ̈ ”Juga bukan lantaran kutakut kepada mereka, ̈ ujar Ong Ling-hoa dengan
tertawa. ”Di sana kan ada orang yang siap melayani mereka, kita sendiri mencari
suatu tempat tenang untuk .... ̈
”Auhh, tanganmu .... ̈ mendadak Jit-jit berteriak. ”Tanganku kan sangat pintar, selalu
mengarah ke tempat yang menyenangkan, ̈ ujar Ong Ling-hoa dengan tertawa.
”Jang ... jangan, singkirkan tanganmu, ̈ terdengar Jit-jit berkeluh. ”Eh, kenapa kau
rewel, bukanlah sudah kau sanggupi akan kawin denganku? ̈ ”Tapi ... tapi,
hendaknya kau buka dulu Hiat-toku, ̈ mendadak Jit-jit bersuara genit. ”Begini kan
tidak ... tidak baik, masakah kau takut aku akan lari? ̈
”Aku memang khawatir, ̈ sahut Ling-hoa. ”Kan sudah
kuterima keinginanmu, masa perlu kulari? ̈
”Sekarang engkau belum terhitung orangku, sebentar lagi kalau ... kalau sudah
beres barulah akan kuturuti segala permintaanmu. ̈ ”Tapi ... tapi engkau .... Oo,
jangan .... ̈ Jit-jit berkeluh pula dengan terengah. Tangan Sim Long menjadi gemetar
mendengar percakapan mereka. Si Kucing juga tidak tahan, mendadak ia meraung,
ia tarik kelambu sekuatnya sehingga robek. Ong Ling-hoa berteriak kaget sambil
melompat bangun. Ternyata dia cuma memakai baju dalam saja, air muka tampak
pucat, setelah melompat turun dari tempat tidur segera ia meraih sebuah kursi terus
dilemparkan ke arah Him Miau-ji.
Mata Miau-ji merah membara, sama sekali ia tidak berkelit dan menghindar. Tepat
kursi menimpa tubuhnya dan tergetar hancur, sebaliknya ia tetap menubruk ke arah
Ong Ling-hoa sambil berteriak murka, ”Ong Ling-hoa, serahkan nyawamu! ̈
Secepat kilat Ong Ling-hoa menyerang, sekaligus ia menghantam empat kali.
Terdengar suara ”plak-plok ̈ berulang, empat kali pukulan itu sama mengenai tubuh
Him Miau-ji, sebaliknya Miau-ji juga berhasil mencengkeram dada Ong Ling-hoa.
Jika pada waktu biasa sedikitnya Miau-ji akan terluka parah andaikan tidak binasa
terkena pukulan-pukulan Ong Ling-hoa itu, tapi sekarang luka Ong Linghoa sendiri
belum lagi sembuh, tenaganya banyak berkurang sehingga Miau-ji sanggup
menahan pukulannya.
”Him-heng, kau .... ̈ seru Ong Ling-hoa dengan muka pucat. ”Memangnya kau ingin
hidup lagi? ̈ jengek Miau-ji dengan murka, berbareng ia hantam kepala orang.
Bilamana pukulan ini tepat mengenai sasarannya, mustahil kepala Ong Ling-hoa
takkan hancur lebur. Untung baginya mendadak sebuah tangan menangkis baginya
sehingga pukulan Miau-ji itu terpatahkan.
”Mengapa engkau merintangi pukulanku, Sim Long? ̈ teriak Miau-ji gusar. ”Biarkan
dia hidup sementara ini, masih banyak urusan yang harus kutanyai dia, ̈ kata Sim
Long. ”Saat ini dia sudah berada dalam cengkeraman kita, memangnya kau takut dia
kabur lagi? ̈
Dengan gemas Miau-ji berkata, ”Sungguh ingin kucincang dia saat ini juga. ̈ Dia
lantas melepaskan Ong Ling-hoa dan melengos. Dilihatnya rambut Cu Jit-jit kusut
dan tangan memegang selimut yang membungkus tubuhnya dengan rapat, nona itu
sedang memandangnya dengan terkesima.
”Kau ... kau .... ̈ Miau-ji menjadi gelagapan. Mendadak ia berpaling pula dan tidak
memandang si nona lagi, ia mengepal tinjunya dengan erat.
Sim Long telah menutuk beberapa Hiat-to Ong Ling-hoa, lalu pandangannya juga
beralih kepada Cu Jit-jit dengan senyum tak senyum, akhirnya ia menyapa, ”Engkau
baik? ̈
”Aku ... aku .... ̈ bibir Jit-jit bergerak, tapi sukar untuk bicara. Sekian lama Sim Long
termenung, katanya kemudian dengan menyesal, ”Sungguh aku tidak mengerti
mengapa engkau .... ̈ Mendadak Jit-jit menangis tergerung-gerung, ucapan Sim Long
itu serasa pisau menghunjam hulu hatinya, ratapnya, ”O, Sim Long, engkau pasti
paham, engkau harus mengerti. ̈
Anda sedang membaca artikel tentang Pendekar Baja 2 [Serial Pisau Terbang Seri Pertama] dan anda bisa menemukan artikel Pendekar Baja 2 [Serial Pisau Terbang Seri Pertama] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/pendekar-baja-2-serial-pisau-terbang.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Pendekar Baja 2 [Serial Pisau Terbang Seri Pertama] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Pendekar Baja 2 [Serial Pisau Terbang Seri Pertama] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Pendekar Baja 2 [Serial Pisau Terbang Seri Pertama] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/pendekar-baja-2-serial-pisau-terbang.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...