Renjana Pendekar 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 12 September 2011

Sesungguhnya siapakah Ko-lothau ini dan bagaimana asal-usulnya?
Kemana perginya Ki Go-ceng?....
155
Semua itu tidak diperhatikan oleh Pwe-giok, yang sedang dipikirnya hanya satu soal saja. Dia
memandang sekelilingnya, akhirnya ia bertanya; "Entah darimanakah Cianpwe masuk ke
sini?"
"Kudengar kau sudah mati aku jadi ingin tahu cara bagaimana kau mati? Maka diam-diam
kumasuki kamar Ki hujin, disitulah tanpa sengaja kutemukan jalan rahasia di balik almari itu.
Padahal almari itu selamanya tertutup, entah mengapa sekarang telah terbuka."
Kiranya seperginya Ji Pwe-giok, Ki hujin telah lupa menutup kembali almarinya.
Terbelalak Pwe-giok demi mendengar keterangan ini, serunya: "He, jadi saat ini di kamarnya
tiada orang?"
"Kau ingin keluar melalui sana?" tanya Ko-lothau.
"Jika mereka menyangka aku sudah mati, tentu mereka tidak lagi mengawasi diriku,
kesempatan ini dapat kugunakan untuk kabur," kata Pwe-giok.
"Bila kau sudah mati, mana dapat keluar lagi dengan hidup?" bentak Ko-lothau mendadak
dengan bengis.
"Jadi maksud Cianpwe..." Pwe-giok melengak dan tak dapat melanjutkan.
"Apa maksudku, masa kau tidak paham?" kata Ko-lothau dengan sinar mata gemerdep,"
seperti tanpa sengaja ia melirik sekejap ke arah patung lilin Ki Go-ceng.
Mendadak Pwe giok sadar, serunya: "Aha, betul, jika Ki Go ceng dapat mengelabui orang
dengan pura-pura mati, mengapa aku tidak boleh? Di dunia ini mana ada penyamaran lain
yang lebih mudah menghindari pengejaran serta untuk alat penyelidikan rahasia orang lain
daripada pura-pura mati?"
"Bagus, akhirnya kau paham juga," ujar Ko-lothau dengan tersenyum puas. "Pendek kata, ada
permusuhan apapun juga kau dengan orang lain, asal sudah mati, orang lain takkan mengusut
lebih lanjut. Jika kau hendak menyelidiki rahasia orang lain, setelah kau mati, tentu orang
takkan berjaga-jaga lagi akan dirimu."
Pwe-giok menghela napas, katanya: "Pantas ketika Ki Go-ceng masuk ke rumah mati itu dia
sengaja bilang bahwa kematian seorang akan jauh lebih menggembirakan daripada hidup.
Kiranya di balik ucapannya ini mengandung makna yang sangat dalam, cuma sayang waktu
itu tiada seorangpun yang paham maksudnya."
"Tapi sayang, orang lain sama kenal kau sebagai Ji Pwe-giok," tiba-tiba Leng-hong
menjengek.
"Ya, betul juga," jawab Pwe-giok dengan menyengir. "Meski aku dapat pura-pura mati, tapi
wajahku tak dapat mengelabuhi orang."
Tapi Ko-lothau tidak menanggapi, ucapnya dengan tenang: "Tuhan menciptakan manusia
dengan pintar dan bodoh, cakap dan buruk, tapi tidak pernah menciptakan manusia yang
sempurna. Melulu bicara tentang lahiriah saja, sekalipun lelaki cakap yang sama-sama diakui
156
umum pasti juga terdapat sesuatu ciri, dari jaman dahulu hingga kini, baik lelaki maupun
perempuan tidak pernah ada sebuah wajah yang sempurna."
Ia menatap tajam-tajam muka Pwe-giok, lalu menyambung pula dengan pelahan. "Misalnya
dirimu, kaupun terhitung seorang lelaki cakap, tapi alismu terasa tebal, matamu rada
kekecilan, hidungmu kurang tegak, ujung mulutmu juga terasa kurang serasi."
Pwe-giok tidak tahu mengapa orang tua itu mendadak bicara seperti tukang Kwamia atau
tukang nujum di tepi jalan, terpaksa ia cuma menyengir dan menjawab dengan tergagapgagap:
"Ah, mana Wanpwe dapat dianggap orang cakap?"
"Bilamana batiniah seseorang ada cirinya, maka siapa pun tak berdaya memperbaikinya," kata
Ko-lothau pula. "Tapi kekurangan pada lahiriah, betapapun dapat ditambal. Sudah lama
terkandung niatku akan menciptakan seorang yang paling cakap hanya saja aku ingin mencari
seorang model yang cocok dan inilah yang sulit. Sebab, betapapun kita tidak dapat
menjadikan seorang yang sumbing atau seorang yang juling untuk berubah menjadi lelaki
yang sempurna."
Kembali sorot matanya yang tajam menatap Pwe-giok dan menyambung pula: "Sedangkan
kau baik lahiriah maupun tutur-katamu sudah terhitung mendekati sempurna, ciri pada
wajahmu juga tidak sulit diperbaiki. Sudah sekian tahun kucari, akhirnya. kutemui dirimu."
"Memangnya Cianpwe bermaksud meng... mengubah diriku menjadi lelaki cakap?" tanya
Pwe-giok dengan terkejut.
"Menjadi lelaki cakap akan banyak manfaatnya," ujar Ko-lothau dengan tersenyum. "Bisa
menjadi lelaki cakap yang sempurna terlebih-lebih banyak manfaatnya. Umpamanya, paling
tidak setiap perempuan di dunia ini pasti tidak tega mencelakai dirimu lagi."
"Tapi.... tapi terhadap wajahku sekarang ini Wanpwe sudah cukup puas," seru Pwe-giok.
Ko-lothau tidak menghiraukannya, dengan tersenyum ia berkata pula: "Manfaat lain
sementara tidak perlu kukatakan, manfaat yang paling besar adalah selanjutnya tidak bakal
ada orang yang kenal kau sebagai Ji Pwe-giok lagi."
Pwe-giok melengak bingung, katanya dengan tergagap: "Tapi... tapi dengan wajah yang
begitu cakap kan lebih mudah menarik perhatian orang?"
"Karena terpengaruh oleh kecakapan wajahmu, terhadap setiap tindak-tandukmu orang akan
menjadi kurang memperhatikannya," kata Ko-lothau. "Dengan demikian, andaikan dalam
gerak-gerik atau tutur katamu ada sesuatu yang tidak betul juga tidak perlu kuatir."
Pwe-giok berpikir sejenak, akhirnya ia menghela napas panjang dan menjawab: "Baiklah, jika
demikian, Wanpwe terpaksa menurut saja."
Waktu menengadah, dilihatnya Cia Thian-pi masih memandangi patung lilin itu dengan
termangu-mangu linglung, sedangkan Ki Leng-hong menghadap ke dinding, terhadap apa
yang dipercakapkan Pwe-giok dan Ko-lothau itu dianggapnya seperti tidak melihat dan tidak
mendengar.
157
*****
Lorong di bawah tanah yang kelam itu mendadak terang lagi.
Ko-lothau sudah keluar satu kali, kembalinya telah membawa bahan makanan dan air minum
serta cukup banyak lilin dan dua buah cermin tembaga, tersorot oleh cahaya lampu, cermin
tembaga itu kelihatan bertambah terang.
Pwe-giok berbaring di tempat tidur, Ko-lothau menutupi muka anak muda itu dengan
sepotong kain belacu yang basah, terasa bau obat yang menusuk hidung, seketika Pwe-giok
kehilangan ingatan. Dalam keadaan sadar-tak-sadar sempat didengarnya Ko-lothau lagi
berkata: "Tidurlah sepuasnya, setelah kau mendusin nanti, jadilah kau lelaki cakap yang
paling sempurna dan tiada bandingannya."
*****
Entah sudah berapa lama Pwe-giok tertidur nyenyak, waktu mendusin, mukanya masih
terbalut oleh kain basah, tujuh hari kemudian barulah pembalut itu dibuka.
Ko-lothau memandangi wajahnya dengan seksama, mirip seorang pelukis yang sedang
meneliti buah karyanya dengan sorot mata yang penuh rasa puas dan bangga, gumamnya:
"Dengan wajahmu ini, siapa pula yang sanggup menemukan setitik cirinya? Sudah barang
tentu melulu wajahmu inipun belum cukup, dengan sendirinya masih ada lainnya, sedangkan
kau ......" dia tepuk pundak Pwe-giok dan berkata pula dengan tertawa: "Kebetulan juga sejak
kecil kau telah mendapatkan pendidikan kekeluargaan dan sudah biasa sopan santun dan
lemah lembut, pula dari pengalamanmu yang sudah kenyang menghadapi berbagai macam
bahaya kau lebih terbiasa bersikap tenang dan sewajarnya. Kalau tidak berpengalaman seperti
kau dan menganggap mati dan hidup sebagai kejadian yang sepele, tentu kau takkan
sedemikian sempurna..."
"Betul, dengan gabungan semua itu, kau memang cukup memikat setiap anak gadis di dunia
ini," jengek Ki Leng-hong mendadak. "Sungguh aku pun sangat bangga bisa mempunyai anak
buah semacam kau, tak perlu kuatir lagi usahaku takkan berhasil."
"Siapa kau anggap anak buah?" tanya Ko-lothau dengan tercengang.
"Ji Pwe-giok," jawab Leng-hong pula. "Dengan sendirinya termasuk kau juga."
Ko-lothau memandangi nona itu dengan terkesima, seperti memandang makhluk yang aneh.
Ki Leng-hong menjengek pula: "Hm, jika kalian tidak tunduk kepada perintahku, segera akan
ku bongkar rahasia kalian agar usahamu sia-sia, agar Ji Pwe giok segera mati."
"Jika demikian, lekas kau keluar dan beritahukan kepada orang, silakan!" kata Ko lothau
sambil menghela napas panjang.
Sekali ini Ki Leng hong melenggong sendiri ucapnya: "Kau . . . .kau suruh ku bongkar
rahasiamu kepada orang lain?"
Ko-lothau tersenyum, katanya: "Dan takkan kau lakukan, bukan? Ku tahu betul, meski
lahirnya kau kelihatan bengis, padahal hatimu jauh lebih bajik daripada apa yang kau
158
bayangkan sendiri. Sejak kecil kusaksikan kau meningkat dewasa, masa aku tidak pahami
pribadimu?"
Leng-hong termenung hingga lama, mendadak ia menerjang keluar. Akan tetapi baru
beberapa langkah mendadak ia mendekap di dinding dan menangis tergerung-gerung.
Ko-lothau mendekatinya dan membelai rambutnya pelahan, ucapnya: "Anak yang baik,
agaknya kau pandang segala urusan secara bersahaja. Hendaknya kau tahu, sekalipun kau
ingin menjadi orang jahat juga bukan perbuatan yang mudah. Terkadang, untuk menjadi
orang jahat malahan jauh lebih sulit daripada menjadi orang baik."
Pwe-giok berbangkit dirasakan mukanya rada gatal, baru saja ia hendak menggaruknya,
mendadak Ko-lothau menarik tangannya dan berkata: "Dalam waktu tiga hari belum boleh
kau raba mukamu, sebaiknya juga jangan terkena air."
"Masa aku masih harus menunggu tiga hari di sini?" tanya Pwe-giok.
Jilid 7________
"Tampaknya kau tidak sabar menunggu lagi, boleh kau keluar saja jika mau," kata Ko-lothau.
"Cuma kau harus hati2...., Ya, sesungguhnya akupun tidak sabar ingin kau dilihat orang lain,
agar seluruh umat manusia di dunia ini mengetahui bahwa lelaki paling cakap dan sempurna
di dunia kini telah lahir!"
Ia memutar kasuran yang menutupi lobang keluar itu, maka cahaya lantas menerangi wajah Ji
Pwe giok.
Sekuatnya Ko lothau menepuk pula pundak Ji Pwe giok, katanya dengan tertawa: "Kenapa
tidak lekas kau keluar?"
"Boleh... boleh ku keluar sekarang juga?" tanya Ji Pwe giok dengan ragu2.
"Mengapa tidak?" jawab Ko lothau dengan tertawa. Hendaklah kau tahu, selanjutnya tidak
perlu lagi kau takut bertemu dengan siapapun, seterusnya tiada orang yang mengenal kau lagi.
Pwe giok memandangi Cia Thian pi sekejap, dilihatnya ketua Tiam jong pay itu masih terus
bergumam: "Orang mati bisa berkeringat.... orang mati telah menghilang... "
Pedih juga hati Pwe giok, ia pegang tangan Cia Thian pi, katanya dengan menyesal:
"Cianpwe, engkau...."
"Tak perlu kau pikirkan dia," seru Leng hong mendadak sambil berpaling, "Karena aku yang
mengakibatkan dia gila, dengan sendirinya akan kujaga dia. Di Sat jin ceng ini tiada orang
lain yang akan tahu rahasiaku, juga tidak bakal ada orang yang menemukan dia.
"Jadi nona sendiri masih akan berdiam di Sat jin ceng sini?" tanya Pwe giok.
"Mengapa tidak?" jawab Leng hong ketus.
"Tapi Ki Song hoa... " Pwe giok ragu2 untuk meneruskan.
159
"Hm, jika dia tahu aku belum mati, asal melihat mukaku mungkin akan lari terbirit-birit, mana
ia berani mencari perkara lagi padaku," jengek Ki Leng hong. "Maka jangan kuatir terhadap
dia, tidak nanti dia berani menanyaiku cara bagaimana kita dapat lari keluar."
Mendadak ia memandang Pwe giok dengan sorot mata dingin dan tajam, dia telah kembali
kepada keangkuahannya semula, lalu katanya pula: "Nah, kenapa kau tidak lekas pergi?
apakah perlu tunggu pikiranku berubah lagi?"
Ko lotahu menyela dengan tersenyum: "Ya, tampaknya memang lebih baik lekas kau pergi
saja, pikiran orang perempuan memang sangat mudah berubah."
*****
Tiba di luar rumah kertas itu, cahaya sang surya menyinari baju Pwe giok yang putih bersih
itu, pakaian ini dengan sendirinya juga disediakan oleh Ko lothau.
Dengan baju yang baru, dengan wajah baru, kini Ji Pwe giok berada kembali di tengah Sat jin
ceng. Dunia ini seakan-akan sedang menyambut kemunculannya dengan segala sesuatu yang
serba baru.
Di bawah cahaya sang surya yang cemerlang, sampai-sampai Sat jin ceng yang biasanya
seram menakutkan inipun penuh suasana hangat, tercium bau harum bunga dan kicau burung
yang merdu sama sekali tidak tercium bau darah lagi.
Pwe giok mendekati sebuah sungai kecil, dengan air sungai ia berkaca, dilihatnya bayangan
seorang pemuda tampan seperti lukisan sedang memandangnya.
Pemuda ini kelihatan seperti Ji Pwe giok, tapi seperti bukan Ji Pwe giok, meski mata alis
pemuda ini menyerupai Ji Pwe giok, namun entah berapa kali lebih cakap daripada Ji Pwe
giok.
Jika alis Pwe giok semula agak tebal, sekarang alis pemuda ini sudah dibenahi sedemikian
bagusnya. Jika pemuda sekarang ini diibaratkan sebuah lukisan karya seniman nomor wahid,
maka Ji Pwe giok boleh dikatakan cuma barang tiruan dari pelukis kaki lima.
Sampai terkesima sendiri Pwe giok memandangi bayangan di permukaan air itu, gumamnyal
"Masakan ini diriku?... wahai Ji Pwe giok, perlu kau ingat, wajah ini kau pinjam pakai untuk
sementara waktu saja, jangan sekali-kali kau melupakan dirimu sendiri.
Sekonyong-konyong didengarnya suara tindakan orang banyak.
Pwe giok masih was-was, tanpa terasa ia menyelinap ke balik gunung-gunungan palsu, maka
terlihatlah beberapa orang sedang mendatangi sambil mengobrol.
Terdengar seorang diantaranya berkata dengan tertawa: "Menurut cerita yang tersiar di
kangouw, konon Sat jin ceng ini sedemikian misteriusnya, sangat menyeramkan dan macammacam
lagi, tempat ini dilukiskan seolah-olah istana hantu atau neraka, tapi setelah kita lihat
sendiri, ternyata juga tiada ubahnya dengan tempat lain."
160
"Kedatanganmu bukan untuk membunuh orang, tentunya kaupun takkan dibunuh orang,"
demikian seorang lagi menanggapi. "Kita cuma datang untuk melawat orang mati, dengan
sendirinya Sat jin ceng dalam pandanganmu menjadi tempat yang biasa saja."
Dengan tertawa orang ketiga menyela: "Padahal kedatanganku untuk melawat ini hanya purapura
saja, yang benar aku memang ingin tahu bagaimana bentuknya Sat jin ceng. Jika
kesempatan ini tidak kugunakan untuk masuk ke Sat jin ceng, di hari2 biasa jangan harap
akan dapat keluar dengan hidup"
Begitulah sambil bersenda-gurau beberapa orang itu lantas lalu dari situ.
Pikiran Pwe giok tergerak, diam-diam iapun ikut menuju ke sana.
Belum lagi sampai di ruangan pendopo sana dari jauh sudah kelihatan orang banyak
berkerumun, Pwe giok ikut berjubel di tengah orang banyak sehingga apapun tidak terlihat.
Hanya didengarnya seorang berkata: "Meski kematiannya tidak gemilang, tapi yang melawat
ternyata luar biasa."
"Ini kan berkat nama besar ayahnya," kata orang lain.
Pwe giok coba menepuk pundak orang itu dan bertanya: "Para pelawat ini entah ksatriaksatria
dari mana saja?"
Orang itu menoleh sambil berkerut kening, tampaknya merasa tidak suka ditanya, tapi demi
nampak wajah Pwe giok, seketika terunjuk senyuman pada wajahnya, jawabnya: "Ah
barangkali anda tidak tahu, bahwa yang kita lawat ini adalah Ji Pwe giok, putera Bulim
bengcu sekarang."
"Oo, kiranya dia." ujar Pwe giok sambil menyengir.
Orang mengacungkan jari jempolnya dan berkata pula: "Ji Hong-ho benar2 tak malu sebagai
Bulim bengcu, Anaknya mati, sama sekali ia tidak mengusut bagaimana kematiannya, bahkan
ia berkata: "Jika anak durhaka ini masih hidup, tetap aku akan menumpasnya bagi
kesejahteraan umum. Sekarang dia sudah mati, mengingat hubungan ayah dan anak, terpaksa
harus kulawat ke sini,... coba, betapa bijaksana dan luhur budinya bulim bengcu kita ini.
Sebab itulah, meski waktu hidupnya Ji Pwe-giok tidak dihormati, sesudah mati malah
menerima penghormatan yang besar."
"Eh, tampaknya anda masih asing, bolehkah mengetahui nama anda yang terhormat?" tanya
orang kedua tadi.
Pwe giok tersenyum hambar, jawabnya: "Cayhe Ji Pwe giok adanya"
Orang itu berjingkat kaget, tapi segera ia tertawa dan berkata: "Ah,.. orang kangouw sama she
dan nama tidaklah sedikit. Kalau melihat wajah anda, jelas jauh lebih cakap daripada Ji Pwe
giok yang mati itu."
"Ah, masa?" ujar Pwe giok tersenyum.
161
Tengah bicara, kerumunan orang banyak mendadak tersingkir ke pinggir, seorang perempuan
cantik luar biasa tampak muncul dengan langkah lemah gemulai.
Segera Pwe giok kenal perempuan cantik ini ialah Hay hong hujin yang namanya
mengguncangkan dunia itu.
Sebelah tangan nyonya cantik menggandeng seorang gadis cantik berbaju hitam, muka
dikerudungi sutera tipis, meski tidak kelihatan wajahnya dengan jelas, tapi dapat didengar
suara tangisnya yang tersedu-sedang.
Tanpa melihat wajah gadis berbaju hitam itu dapatlah Pwe giok mengetahui siapa dia.
Tergetar juga hatinya, tanpa terasa ia terkesima.
Seperti sengaja Hay hong hujin meliriknya sekejap dengan mengulum senyum, tapi gadis
berbaju hitam itu tetap menunduk dan menangis pelahan tanpa memandang siapapun juga.
Lirikan Hay hong hujin penuh daya tarik, namun Pwe giok seperti tidak tahu, maklum
baginya saat ini selain gadis baju hitam itu boleh dikatakan tiada seorang lain lagi yang
terlihat olehnya.
Terdengar orang2 sedang membicarakan kedatangan Hay hong hujin dan gadis berbaju hitam
itu.
Seorang berkata: "Nona ini konon adalah bakal istri Ji Pwe giok, waktu bersembahyang di
depan layon tadi sedikitnya tiga kali dia jatuh pingsan, bahkan nekat ia telah memotong
rambutnya."
Seketika hati Pwe giok seperti ditusuk-tusuk, hampir saja ia tidak tahan dan menerjang ke
sana untuk memberitahu siapa dirinya dan meminta nona itu jangan bersedih.
Tapi saat itu Hay hong hujin dan Lim Tay-ih sudah berlalu dan Pwe giok juga menahan
perasaannya sebisanya.
Terdengar ada orang berkata pula dengan menyesal: "Mempunyai ayah dan isteri sebaik ini,
jika Ji Pwe giok itu dapat menjaga diri tentu hidupnya akan bahagia dan mengagumkan orang.
Cuma sayang, dia justeru tidak tahu diri..."
Di tengah ramai orang bicara itu, mendadak seorang berteriak: "Ji Pwe giok adalah sahabatku,
semasa hidupnya berbuat atau jelek janganlah diurus lagi. Tapi sesudah dia mati, bila masih
ada orang suka membicarakan baik-buruknya dan terdengar olehku, maka bolehlah dia
berhadapan denganku."
Segera terlihat seorang melangkah tiba dengan wajah penuh rasa sedih dan penasaran, dengan
bersitegang ia terus pergi menyusur kerumunan orang banyak. Dia tak lain tak bukan ialah
Ang lian hoa yang berbudi luhur dan setia kawan itu.
Perasaan Pwe giok benar-benar disayat-sayat.
Dengan jelas dilihatnya bakal isterinya dan sahabat karibnya lewat di depan matanya, tapi
dirinya tidak berani menegur dan menyapanya. Sungguh tiada kejadian lain yang lebih
162
memilukan daripada sekarang ini. Sekalipun Pwe giok dapat menahan diri, tidak urung
bercucuran juga air matanya.
Untung saat itu siapapun tidak memperhatikan dia, sebab tokoh yang paling menarik di dunia
persilatan saat ini telah muncul, yaitu bulim bengcu Ji Hong ho.
Meski wajahnya juga penuh rasa duka nestapa, serombongan orang yang ikut di belakangnya
juga semua sama menunduk dengan langkah berat, hanya saja air mata mereka tidak sampai
menetes.
Dada Pwe giok serasa mau meledak demi melihat orang ini. Tapi pada saat dan tempat ini
betapapun sedih dan murkanya juga dapat ditahannya.
Kerumunan orang banyak mulai bubar, setiap orang yang lalu di depan Pwe giok tentu
menoleh dan memandangnya sekejap dua seakan-akan semuanya terkejut dan heran mengapa
di dunia ini ada pemuda setampan ini.
Sampai lama Pwe giok berdiri bingung di situ, sekonyong-konyong ia melihat wajah Ki Song
hoa, orang kerdil itu sedang memandangnya dengan tertawa.
Meski wajah ini tampaknya kekanak-kanakan dan sedemikian polosnya, tapi bagi Pwe giok
saat ini terasa lebih seram daripada ular yang paling berbisa.
Selagi ia hendak tinggal pergi, tak terduga Ki Song hoa lantas mendekatinya. Diam-diam Pwe
giok terkesiap, pikirnya: "Jangan-jangan dia telah mengenal diriku"
Langsung Ki Song hoa mendekati Pwe-giok, ia memberi hormat dan menegur: "Cakap benar
saudara ini, sungguh cayhe sangat kagum. Entah sudikah mampir sejenak ke kediamanku
untuk minum dua cawan agar cayhe dapat sekedar memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah."
Ucapannya sangat serius dan jujur dengan tersenyum ramah, undangan yang penuh simpatik
ini sukar bagi siapapun untuk menolaknya. Jika orang lain pasti akan segera ikut pergi tanpa
sangsi.
Tapi bagi Pwe giok sekarang, wajah yang simpatik ini justeru tiada ubahnya seperti topeng
hantu, semakin enak didengar ucapannya semakin sukar untuk diraba muslihat yang
terkandung didalamnya.
Pwe giok merasa ngeri, terpaksa ia menjawab: "Ah, mana cayhe berani mengganggu
ketenangan cengcu."
"Jika anda tidak mau berarti memandang rendah padaku," ucap Ki Song hoa dengan tertawa,
segera ia tarik tangan Ji Pwe giok dan diajaknya menuju ke dalam rumah.
Tangan orang kerdil ini terasa dingin dan lembab sehingga serupa badan ular, Pwe giok
menjadi bingung dan tidak tahu cara bagaimana melepaskan diri.
Syukurlah pada saat itu juga terdengar seorang gadis berseru dengan suara merdu: "Tamu ini
sudah berjanji lebih dulu akan bertemu dengan hujin kami, harap cengcu melepaskan dia."
163
Sebuah tangan yang putih halus segera terjulur tiba, seperti tidak sengaja terus memencet ke
urat nadi tangan Ki Song hoa.
Terpaksa Ki Song hoa harus lepas tangan, dilihatnya seorang gadis berbaju merah tipis sedang
memandangnya dengan matanya yang jeli dan tersenyum nakal.
"Besar amat nyali nona cilik, tahukah kau siapa aku?" tanya Ki Song hoa dengan terkekehkekeh.
Dengan tertawa nona baju merah itu menjawab: "Dan tahukah kau siapa hujin kami?"
"Memang ingin kutanya siapa dia?" jawab Ki Song Hoa.
Nona berkedip-kedip seperti penuh rahasia ia mendesis perlahan: "Kuberitahu padamu dan
jangan kau katakan pada orang lain. Beliau adalah Hay-hong hujin."
Ki Song hoa melengak mendadak ia putar tubuh dan melangkah pergi tanpa menoleh.
Pwe giok menghela napas lega menyaksikan si kerdil tua itu.
Tiba-tiba didengarnya pula si nona baju merah berkata: "Kau pandangi orang kerdil itu,
apakah kau merasa berat di tinggal pergi olehnya dan ingin ikut ke sana?"
Karena dipandang oleh mata si nona yang terbelalak lebar itu, Pwe giok jadi kikuk.
"Kau tahu untuk apa dia mengundangmu ikut ke sana?" tanya si nona.
"Tidak, tidak tahu" jawab Pwe giok.
Nona itu tertawa terkikik-kikik, katanya: "Dia mengajakmu ke sana adalah untuk membunuh
kau. Sebab selama ini dia belum pernah membunuh lelaki setampan kau, maka dia ingin
mencicipi rasanya membunuh seorang pemuda cakap. menurut pikiranku, membunuh pemuda
tampan seperti dirimu ini memang benar jauh lebih merangsang daripada membunuh orangorang
yang buruk rupa itu."
"Apakah kaupun ingin coba2?" tanya Pwe giok dengan tertawa.
Gemerdep biji mata si nona yang jeli itu, jawabnya sambil tertawa genit: "Meski aku memang
ingin mencobanya, tapi masa aku tega turun tangan?"
Sambil tertawa mendadak ia jejalkan sepotong lipatan kertas ke tangan Pwe giok, lalu berlari
pergi dengan terkikik-kikik. tidak beberapa jauh, mendadak ia berpaling dan berseru:" Anak
tolol, untuk apa kau berdiri melongo di situ? lekaslah buka kertas itu dan dibaca, ada rejeki
nomplok masa belum kau rasakan?"
Pwe giok tercengang, tercium bau harum yang memabukkan, bau harum seperti bau harum
yang terbawa Hay hong hujin itu.
164
Segera ia membuka surat itu, dilihatnya di situ tertulis: "Tengah malam nanti di luar Sat jin
ceng, di depan Hoa sin su, tersedia bunga indah dan minuman enak, anda datang atau tidak?"
*****
Malamnya, belum tengah malam Ji Pwe giok sudah berada di depan Hoa sin su atau kelenteng
malaikat bunga.
Dia memenuhi undangan itu bukan karena tertarik kepada bunga yang indah, juga bukan
terpikat oleh minuman enak, tapi karena ingin bertemu dengan si jelita berkerudung sutera
hitam seperti diselimuti oleh kabut tipis itu.
Di bawah sinar bulan di depan Hoa sin su yang sunyi itu entah mulai kapan sudah berwujud
lautan bunga, di tengah onggokan bunga itu setengah berbaring sesosok tubuh yang cantik
dengan baju sutera tipis. Di tengah lautan bunga dan di bawah cahaya bulan yang permai
tertampak kerlingan mata yang menggiurkan dengan tubuh putih mulus membuat orang lupa
daratan.
Namun begitu Pwe giok merasa kecewa juga, biarpun mendapat pelayanan serupa di surga
tetap dirasakannya tidak lebih bahagia daripada kerlingan mata si "dia" yang dirindukannya.
Terdengar suara tertawa nyaring berkumandang dari lautan bunga sana: "Kau sudah datang,
mengapa tidak berani kemari? Apakah kau sudah mabuk sebelum mendekat?"
Dengan langkah lebar Pwe giok mendekati si cantik, jawabnya dengan tersenyum hambar:
"Sebelum mengetahui untuk apa hujin mengundangku ke sini, mana cayhe berani mabuk
lebih dulu."
"Bulan seterang ini, malam seindah ini, jika dapat mengobrol dan minum bersama pemuda
tampan seperti kau, bukankah suatu kesenangan hidup? Apakah alasan ini belum cukup dan
perlu lagi kau tanya padaku untuk apa kuundang kau kemari?"
Pwe giok tersenyum, ia menuju ke depan Hay hong hujin dan berduduk, ia menuang arak dan
diminumnya sendiri, berturut-turut dihabiskannya tiga cawan, ia angkat cawan terhadap bulan
dan berseru tertawa: "Betul, orang hidup berapa lama, kalau dapat minum bersama di bawah
bulan purnama, inilah kesenangan orang hidup yang utama, apa pula yang perlu
kutanyakan..."
Sebenarnya Pwe giok adalah pemuda yang hidup prihatin, tapi seorang kalau sudah
mengalami beberapa kali hidup kembali dari kematian, maka terhadap segala persoalan di
dunia ini akan dipandangnya tawar dan tiada artinya, untuk apa dia mesti mengikat diri
dengan susah payah? Kini sesuatu urusan yang dianggap orang lain sangat gawat, baginya
sudah bukan apa-apa lagi.
Hay hong hujin menatapnya dengan tajam, mendadak dia tertawa dan berkata: "Tahukah
kau?.. makin lama aku semakin tertarik olehmu!"
"Tertarik?" Pwe giok mengulang dengan tertawa.
165
"Ya, segala sesuatu mengenai dirimu, semuanya aku merasa tertarik," jawab Hay hong hujin.
"Misalnya.. Siapa dirimu? darimana asal usulmu dan dari aliran mana ilmu silatmu?"
"Seorang petualang yang suka mengembara ke segenap pelosok dunia ini, mungkin dia
sendiripun tidak tahu cara bagaimana harus menjawab pertanyaanmu ini? Bukankah begitu?"
"Usiamu masih muda, memangnya betapa banyak pengalamanmu? mengapa caramu bicara
seolah-olah sudah kenyang dengan segala macam asam garam kehidupan ini dan seolah-olah
sudah hambar terhadap kehidupan ini?"
"Ada beberapa orang, biarpun baru sebulan menghadapi berbagai persoalan, mungkin sudah
jauh lebih banyak daripada apa yang dialami oleh orang lain.
Mendadak Hay hong hujin tertawa nyaring pula, katanya: "Tepat sekali ucapanmu. Tapi
sedikitnya kan harus kau katakan namamu dulu?"
Pwe giok berpikir sejenak, jawabnya kemudian: "Cayhe Ji Pwe giok."
"Ji Pwe giok?" Hay hong hujin menegas. Suara tertawanya seketika berhenti.
"Apakah hujin merasa namaku ini tidak baik?" tanya Pwe giok.
"Aku cuma merasa lucu pada namamu." jawab Hay hong Hujin dengan tertawa cerah.
"Bahwa Ji Pwe giok sendiri ikut melawat kematian Ji Pwe giok, apakah hal ini tidak kau
rasakan lucu?" - Ia tatap anak muda ini dengan sorot mata tajam dan ingin tahu apa reaksinya.
Pwe giok tetap tenang-tenang saja, ucapnya dengan tersenyum hambar: "Ji Pwe giok ini dan
Ji Pwe giok itu memang ada perbedaannya, meski seorang Ji Pwe giok telah mati, tapi ada
seorang Ji Pwe giok yang lain masih hidup."
"Dapatkah kau meyakinkan bahwa kau sendiri bukan Ji Pwe giok yang mati itu?" kata Hay
hong hujin sekata demi sekata.
Pwe giok terbahak-bahak: "Hahahaha!.. Memangnya hujin menyangka aku ini badan halus?"
Hay hong hujin tersenyum, katanya: "Pertama kali kulihat kau segera kurasakan kau memang
rada-rada berbau setan!"
"Ooh?"
"Sebab kau ini seperti mendadak muncul di dunia ramai dari alam halus sana. Sebelum
kemunculanmu, tidak pernah ada orang yang melihat kau dan juga tiada seorangpun yang
tahu asal usulmu."
"Jangan-jangan hujin sudah menyelidiki seluk beluk diriku?" tanya Pwe giok.
Hay hong hujin tertawa genit, katanya: "Tiada seorang perempuan di dunia ini yang tak
tertarik kepada lelaki semacam kau ini. Dan aku, betapapun aku kan juga perempuan, betul
tidak?"
166
"Hujin bukan saja perempuan, boleh dikata hujin adalah perempuannya perempuan, dewi nya
dewi," ujar Pwe giok dengan tertawa.
"Tapi kau ternyata tidak tertarik kepadaku," kata Hay hong hujin. "Waktu ku lalu di depanmu,
kau bahkan melirik saja tidak, bukankah hal ini rada-rada mengherankan?"
Meski senyumnya sedemikian genit, walaupun suaranya begitu lembut, tapi ucapan2 itu
seakan-akan semacam duri yang dapat menembus segala rahasia orang hidup di dunia ini.
Diam-diam Pwe giok terkejut, sedapatnya ia menenangkan diri, jawabnya dengan tersenyum:
"Menghadapi kecantikan hujin yang semarak, mana cayhe berani memandang secara kurang
sopan?"
"Kukira yang kau pandang hanya orang yang berjalan di sisiku," Ucap Hay hong hujin dengan
lembut. "Tapi dia memakai cadar sutera hitam, hakekatnya kau tidak dapat mengenal
wajahnya. Caramu memandang dia, jangan2 sudah kau kenal dia sebelumnya?"
"Sia.. siapa dia?" tanya Pwe giok.
"Jangan kau harap akan mengelabui diriku," ujar Hay hong hujin dengan tertawa genit.
"Sudah kurasakan kau ialah Ji Pwe giok yang mati itu. Kau tahu, sampai saat ini di dunia ini
belum pernah ada seorangpun yang dapat membohongi aku."
Hay hong hujin yang namanya menggoncang dunia ini benar-benar luar biasa, sorot matanya
seperti mengandung semacam kekuatan gaib yang dapat menjelajahi segala sesuatu.
Sedapatnya Pwe giok bersikap tenang dan menahan guncangan perasaanya, jawabnya dengan
tertawa hambar: "Di dunia ini mungkin tiada seorangpun yang tega membohongi hujin."
"Dan kau?" tanya Hay hong hujin.
"Cayhe kan juga manusia, betul tidak?" jawab Pwe giok.
"Bagus, bagus sekali!" Hay hong hujin tertawa terkikik-kikik. Mendadak ia bertepuk tangan
dari balik semak2 bunga sana lantas muncul satu orang.
DI bawah sinar bulan yang terang, pada matanya yang mendelong itu seakan-akan terhimpun
kedukaan yang sukar diuraikan, mukanya yang pucat membawa semacam rasa sedih yang tak
dapat diutarakan.
Perasaan sedih dan duka yang mendalam itu tak mengurangi kecantikannya, sebaliknya malah
menimbulkan semacam daya tarik yang menggetar sukma sehingga kelihatannya dia bukan
lagi kecantikan manusia, melainkan cantiknya dewa bunga di atas langit, mencakup seluruh
keindahan bunga yang terdapat di dunia ini.
Seketika itu Pwe giok merasa langit seakan-akan berputar dan bumi terbalik, napasnya serasa
mau berhenti.
167
Hay hong hujin menatapnya dengan tajam, setiap perubahan air mukannya tak terlepas dari
pengamatannya. Dia menuding Lim Tay-ih yang muncul dari balik semak-semak bunga itu
dan bertanya: "Coba kau pandang dia lebih teliti, kau kenal dia tidak?"
Pwe giok mengangkat cawan dan ditenggaknya hingga habis, jawabnya: "Tidak kenal."
"Tidak kenal," meski cuma dua kata yang sangat sederhana, tapi entah telah memerlukan
betapa besar tenaga Pwe giok untuk bisa mengucapkannya. Kedua kata itu laksana dua bilah
belati yang menusuk kerongkongannya, seperti dua bola bara yang telah membakar lidahnya
dan menghanguskan hatinya.
Sudah jelas2 orang yang dirindukannya, orang yang paling dicintainya, tapi dia justru
mengeraskan hati dan menjawab "tidak kenal". Coba, adakah sesuatu di dunia ini yang lebih
menyakitkan hati daripada kejadian ini?
Sudah terang dia inilah sisa satu2nya sanak keluarganya, tapi dia justeru harus berlagak tidak
mengenalnya. Coba, adakah sesuatu di dunia ini yang lebih kejam daripada kenyataan ini?
Arak wangi telah masuk tenggorokannya, arak sedap berbau wangi, tapi rasanya seakan-akan
telah berubah menjadi pahit dan sepat. Kehidupan ini memang mirip arak yang getir ini dan
arak getir ini terpaksa harus diminumnya.
Hay hong hujin lantas berpaling kepada Lim Tay ih dan bertanya: "Apakah kau kenal dia
ini?"
Wajah Lim Tay ih yang pucat lesi itu tiada memperlihatkan sesuatu perasaannya, jawabnya
dingin, "Tidak kenal!"
Sudah jelas si nona adalah bakal istrinya tapi di depannya menyatakan tidak kenal padanya,
ucapan itu mirip dua anak panah yang menancap di ulu hati Ji Pwe giok.
Akhirnya Hay hong hujin menghela napas perlahan, katanya: "Jika dia juga tidak kenal kau,
agaknya kau memang bukan Ji Pwe giok yang sudah mati itu, pula,.. jika bakal istrinya sendiri
saja tidak mau mengakuinya lagi, maka orang itu sekalipun hidup juga sama seperti sudah
mati."
Hati Ji Pwe giok memang benar2 sudah mati, dia menengadah dan terbahak-bahak: "Bagus
sekali ucapan hujin ini, perkenankan cayhe menyuguh hujin tiga cawan."
Dia menuang dan diminum sendiri, hanya sekejap saja sudah berpuluh cawan arak masuk
perutnya, sampai2 Lim Tay ih sudah pergi juga tak dipandangnya barang sekejap.
"Kau sudah mabuk," ujar Hay hong hujin dengan tertawa.
"Ya, berapa kalikah orang hidup ini sempat bermabuk-mabukan?" kata Pwe giok sambil
angkat cawan araknya.
"Betul juga, sekali mabuk dapat membuyarkan seribu kesedihan," ucap Hay hong hujin
dengan rawan, "Baiklah, silahkan kau mabuk!"
168
"Cuma sayang, hanya beberapa cawan arak ini belum lagi dapat memabukkan diriku!" kata
Pwe giok, seolah-olah bergumam sendiri.
Ia tahu betapapun kuat takaran minumnya, tapi arak seratus bunga buatan Hay-hong Hujin ini
lain daripada arak biasa. Kini seluruh tubuhnya terasa ringan seakan-akan terbang, rupanya
dia benar-benar sudah mabuk.
Terdengar Hay-hong Hujin lagi berkata dengan suara lembut: "Mabuklah, silahkan
mabuklah...., berkecimpung di tengah Kangouw yang penuh bahaya ini, kalau untuk mabuk
saja tidak bisa, maka hidup manusia inipun terlalu memilukan. Lain kali jika kau masih ingin
mabuk, bolehlah kau kemari mencari diriku."
Ditengah mabuknya Pwe-giok merasa di depan matanya muncul berbagai bayangan orang
yang berbentuk macam-macam, tinggi pendek, gemuk kurus, semua ada. Malah setiap orang
itu sama beringas menakutkan. Lalu dia seperti mendengar suara Hay-hong Hujin berkata: "Ji
Pwe-giok ini hanya seorang pemuda yang baru terjun di dunia Kangouw, kukira kalian akan
percaya padaku."
Dunia Kangouw ternyata sedemikian keji dan berbahaya, terhadap setiap orang asing selalu
harus diselidiki asal-usulnya. Jika tidak ada Hay-hong Hujin, mungkin masih banyak sekali
kesulitan yang harus dihadapi Pwe-giok.
Rasa terima kasih Ji Pwe-giok terhadap Hay-hong Hujin sungguh tak terkatakan, sedapatnya
ia ingin mengucapkan beberapa kata sebagai tanda terima kasihnya, tapi suaranya terasa
samar-samar sehingga ia sendiripun tidak tahu apa yang diucapkannya.
Hanya didengarnya Hay-hong Hujin berkata pula: "Sekali anak muda ini menjadi tamuku,
maka selama hidupnya dia adalah tamu kehormatan Pek-hoa kiong kami. Selanjutnya jika
tiada sesuatu keperluan apa-apa, hendaklah kalian jangan mengganggu dia. Dan sekarang,
biarkan dia tidur saja....."
*****
Pwe-giok benar-benar terus pulas.
Waktu mendusin, bau harum bunga, sinar bulan purnama, semua sudah tidak ada lagi. Yang
ada cuma remang-remang sinar sang surya yang meliputi bumi.
Di kejauhan terdengar suara burung berkicau. Menyusul lantas terlihat sesosok bayangan
orang yang ramping muncul dari balik kabut pagi dan mendekatinya dengan pelahan.
Kedatangannya laksana membawa suasana baru bagi bumi raya ini. Sinar matanya gemerdep
terang, jernih dan murni, berbeda dengan sorot mata Hay hong Hujin yang tajam dan genit itu,
juga tiada sedih dan duka seperti sorot mata Lim Tay-ih. Dunia yang ruwet ini, bagi
pandangannya seakan-akan juga sedemikian sederhana, bersahaja tanpa sesuatu hiasan.
Dia pandang ji Pwe-giok, lalu menegur dengan suara merdu: "Wahai walet yang tersesat,
akhirnya kau sadar juga. Di dunia ini masih banyak air sumber yang jernih dan manis,
mengapa kau sengaja minum arak?"
169
Ji Pwe-giok menghela napas perlahan, gumamnya: "Kesusahan orang hidup, dengan
sendirinya tak dapat dipahami oleh nona kenari."
Gadis itu memang si nona kenari Ki Leng-yan. Mendadak iapun menghela napas, ucapnya
dengan sayu: "Tahukah kau si Kenari yang tadinya tidak tahu apa artinya sedih, kini juga
mulai gundah?"
"Memangnya kenapa nona merasa gundah?" tanya Pwe-giok dengan tersenyum getir.
Tiba-tiba menetes air mata Ki leng-yan, jawabnya: "Sarang si Kenari telah penuh digenangi
darah. Dia tidak dapat berdiam lagi disitu. O, Kenari yang harus dikasihani, kini tiada tempat
lain lagi yang dapat ditujunya." - Mendadak ia pegang tangan Pwe-giok dan menyambung
dengan setengah meratap: "O, kumohon padamu, bawalah serta diriku, ke manapun juga akan
kuturut padamu."
Tergerak hati Pwe-giok, jawabnya dengan suara keras: "Cara bagaimana kau tahu siapa diriku
ini? Mengapa kau ingin ikut bersamaku?"
"Kukenal matamu ini", kata Ki Leng-yan. "Sedemikian bajik, sedemikian bagus matamu ini
dan juga sedemikian perwira, sama seperti burung walet. Matamu yang lain daripada yang
lain ini, mana bisa kulupakan?"
Gadis yang linglung ini ternyata memiliki daya pandang sepeka ini. Barang sesuatu yang
diketahui setiap orang mungkin takkan dipahami olehnya, tapi sesuatu lain yang tak dapat
dipecahkan orang lain justru dapat diketahui olehnya. Mungkin inilah sebabnya dia tidak
paham kata-kata manusia, sebaliknya paham bahasa burung.
Pwe-giok terdiam sejenak, ucapnya kemudian dengan tersenyum: "Kau tahu, tak mungkin kau
dapat ikut pergi bersamaku, sebab tempat yang hendak ku tuju itu dimana-mana penuh
bahaya, setiap orang bisa membikin susah padamu."
"Tidak, aku tidak takut, di bawah perlindungan mu, apapun aku tidak takut," jawab Leng-yan
tegas.
Dia pandang Pwe-giok dengan termangu-mangu, sorot matanya penuh harap juga penuh
kepercayaan terhadap anak muda itu. Menghadapi sorot mata demikian, siapa pula yang tega
menolak permintaannya?
Akhirnya Pwe-giok menghela napas panjang, katanya: "Jika kau ingin ikut padaku, sungguh
akupun tidak dapat menolak permintaanmu. Cuma... aku sendiri tidak tahu apakah dapat
melindungi diriku sendiri atau tidak, cara bagaimana ku tahu akan dapat melindungi dirimu?"
Leng-yan tertawa, katanya: "Ku tahu engkau pasti akan menerima permintaanku..." Begitulah
Pwe-giok berjalan di depan dang Leng-yan ikut di belakang, sama sekali ia tidak perduli ke
manapun pwe-giok akan pergi, padahal Pwe-giok sendiripun tidak tahu dirinya akan pergi ke
mana?
Dia berjalan dengan hati bimbang, selagi merenungkan ke arah mana harus dituju, tiba-tiba
terdengar angin berkesiur, empat orang melayang keluar dari balik pohon sana dan
170
menghadang di depannya. Gerakan ke empat orang ini sedemikian cepat dan gesitnya, jelas
semuanya jago-jago kelas tinggi.
Segera Pwe-giok dapat melihat jelas siapa ke empat orang ini. Kiranya mereka adalah
samaran komplotan jahat itu, yakni Ong uh-lau, Lim Soh-koan, Ong Sin-jiang dan Sebun Bukut.
Ong Uh-lau mendahului maju dan menegur dengan sorot mata tajam: "Ji Pwe-giok bukan?"
"Cayhe memang Ji Pwe-giok adanya," jawab Pwe-giok hambar. "Siapakah anda sekalian dan
ada urusan apa?"
Empat pasang mata yang tajam dan kejam itu sama menatap muka Pwe-giok, mereka ingin
tahu bagaimana perubahan sikap anak muda itu. tapi Pwe-giok hanya tenang-tenang saja.
Maklum, sudah terlalu banyak pengalaman pahit serta kejadian seram yang dialaminya, di
dunia sesungguhnya tiada sesuatu urusan dapat menakutkan dia lagi.
Ong Uh-lau bergelak tertawa, katanya: "Ji-kongcu baru saja terjun di dunia kangouw dan
lantas mendapat perlakuan istimewa dari Hay-hong Hujin, dengan sendirinya Ji-kongcu
mempunyai asal-usul yang lain daripada yang lain pula. Kami tidak berani sembrono, yang
kami inginkan adalah belajar kenal dengan ilmu silat Ji-kongcu."
Pwe-giok terbahak-bahak, jawabnya: "Kiranya keterangan Hay-hong Hujin kemarin belum
meyakinkan kalian sehingga kalian sekarang hendak memaksa kukeluarkan Kungfu
perguruanku, maksud tujuan kalian ingin membuktikan apakah diriku ini Ji Pwe-giok yang
mati kemarin ini atau bukan?"
Dia sengaja membongkar maksud tujuan mereka Tapi air muka Ong Uh-lau ternyata tidak
berubah, dengan tersenyum ia berkata: "Akhir-akhir ini di dunia Kangouw sedang digemari
ilmu tata rias, hal ini kukira cukup diketahui olehmu."
"Apakah Cayhe mengalami tata-rias, masa kalian tidak dapat melihatnya?" ujar Pwe-giok.
"Ilmu tata rias memang beraneka ragamnya, justeru lantaran kami tidak dapat
membedakannya, maka terpaksa harus berlaku lebih hati-hati," ujar Ong Uh-lau dengan
tersenyum. "Oleh karena itulah, asalkan anda memperlihatkan sejurus-dua, segera kami akan
mengundurkan diri."
Gemerdep sorot mata Pwe-giok, katanya: "Sungguh aku tidak mengerti, sebab apa Ji Pwegiok
yang telah mati itu bisa membuat kalian sedemikian kuatir, kan jelas dia sudah mati,
mengapa kalian masih merasa tidak aman?"
Berubah juga air muka Ong Uh-lau, jawabnya dengan bengis: "Silahkan anda memperlihatkan
sejurus-dua dan segera akan kau ketahui sendiri." Sambil bicara, segera pedangnya menusuk
ke depan, serangan cepat dan mantap, inilah jurus "Jong-liong-tay-thau" atau naga tua angkat
kepala, suatu jurus ilmu pedang perguruan Ong Uh-lau sendiri.
Tapi Ji Pwe-giok tidak nanti terpancing dan memperlihatkan ilmu silat perguruannya sendiri.
Ilmu silat Bu-kek-pay memang bergaya khas dan tidak sama dengan Kungfu dari perguruan
lain. Asalkan dia memainkan satu jurus saja segera akan dapat diketahui asal-usulnya.
171
Maka mendadak terdengar suara "trang" yang nyaring dan keras, pedang Ong Uh-lau yang
menusuk lurus ke depan itu terpukul menceng, padahal tenaganya boleh dikatakan jarang ada
bandingannya, tidak urung ia merasakan pergelangan tangannya linu pegal.
Tiba-tiba dilihatnya seorang gadis jelita berbaju seputih salju dengan memegang dua pedang
pendek telah menghadang di depan Ji Pwe-giok, dengan tersenyum berkata: "Dia orang baik,
kalian jangan membikin susah padanya."
Berubah air muka Ong Uh-lau, jawabnya: "Siapa nona? Mengapa kau membelanya?"
"Ayahku sangat gemar membunuh orang, Ciciku juga suka membunuh orang," jawab si nona
yang bukan lain daripada Ki Leng-yan, "meski aku tidak suka membunuh, tapi akupun tidak
suka menyaksikan sahabatku dianiaya orang lain, apalagi dibunuh."
Sembari bicara dia terus putar kedua pedang pendek. Gerak tubuhnya begitu enteng gemulai,
tapi ilmu pedangnya justeru sedemikian aneh, cepat lagi ganas.
Sungguh Pwe-giok sendiripun tidak pernah menyangka nona yang baik itu memiliki ilmu
seganas itu.
Baru saja Ki Leng-yan menyelesaikan ucapannya tadi, sekaligus ia telah melancarkan
serangan 49 kali, begitu gencar serangannya sehingga membuat Lim Soh-koan dan tokohtokoh
yang tergolong jago pedang terkemuka itu sama melongo kaget.
Tapi Ki Leng-yan lantas menghentikan permainan pedangnya, lalu berkata dengan tertawa:
"Orang bilang ilmu pedangku ini sangat keji dan ganas, apakah kalian juga berpendapat
demikian?"
"Hehe, bagus, ilmu pedang bagus!" kata Ong Uh-lau dengan menyengir.
"Meski ilmu pedangku ini dibilang keji dan ganas tapi tidak kugunakan terhadap manusia,"
tutur Ki Leng-yan. "Asalkan tidak digunakan membunuh, betapapun keji dan ganasnva
sesuatu ilmu pedang kan tidak menjadi soal, betul tidak?"
Ong Uh-lau memandangnya sejenak, lalu dipandangnya pula Ji Pwe-giok, tanpa bicara
mendadak ia berpaling terus melangkah pergi dan dengan sendirinya diikuti oleh orang-orang
lain.
Leng-yan menyimpan kembali kedua pedang pendeknya, seperti tidak pernah terjadi apapun
ia pandang Pwe-giok, katanya dengan tertawa linglung; "Marilah kitapun pergi!"
Pwe-giok menghela napas, katanya: "Kau minta perlindungan ku, siapa tahu kau yang
melindungi diriku malah. Selama ini telah kuremehkan dirimu, sungguh tidak terduga ilmu
pedangmu sedemikian hebatnya."
Si nona berkedip-kedip, katanya dengan tertawa: "Jadi kaupun memuji kebagusan ilmu
pedangku, semua burung kawanku juga bilang demikian. Kata mereka, setelah si Kenari
mahir ilmu pedang, selanjutnya tidak perlu lagi kuatir diserang oleh elang. Menurut kau,
orang-orang tadi elang atau bukan?"
172
Begitulah sepanjang jalan si nona jelita terus bicara tentang dia dan burung, tertarik juga Pwegiok
oleh ceritanya sehingga tidak merasa kesepian dalam perjalanan.
Semula Pwe-giok merasa sedih juga bagi jalan keluar dirinya, tapi setelah dipikir pula, dunia
seluas ini, ke manapun boleh pergi, dengan berkelana di dunia ini kan sekaligus dapat
menyelidiki rahasia komplotan jahat itu.
Karena pikiran itu, tekanan batinnya menjadi longgar. Waktu istirahat di suatu rumah makan,
ia minta disediakan dua poci arak seakan-akan hendak merayakan hidup barunya.
Ki Leng-yan ternyata mengiringi dia minum dua cawan. Burung kenari yang cantik ini jadi
tambah lincah dan terus mengoceh ke barat dan timur, berulang-ulang ia pun menuangkan
arak dan mengisi nasi di mangkuk Pwe-giok.
Bila Pwe-giok menolak pelayanan itu, maka si nona lantas kurang senang dan mengomel.
Ribut antara kedua muda mudi ini sebaliknya menimbulkan rasa takjub dan iri orang lalu.
Malamnya, si kenari yang terus menerus berkicau ini akhirnya tertidur. Tapi di kamar sendiri
Pwe giok bergolak-golek tak dapat pulas, diam-diam ia mengenakan baju dan keluar.
Rumah penginapan kecil ini terletak di luar kota. Cahaya bulan menyinari sebuah kolam kecil
di kaki bukit sana, di dalam kolam tampak bintik-bintik bintang gemerlapan, angin malam
meniup silir-silir membawa bunyi serangga dan suara katak.
Sudah sekian lama, untuk pertama kalinya ini Pwe-giok merasa hatinya rada tenang dan untuk
pertama kalinya pula dia dapat menikmati keindahan malam.
Dia terus melangkah ke depan, di bawah keremangan sinar bulan dan bau harum bunga teratai
di kolam.... Sekonyong-konyong, dua larik sinar pedang menyambar ke tenggorokannya.
Sama sekali tak terduga olehnya bahwa di tengah malam yang indah ini tersembunyi juga
hasrat membunuh sekeji ini. Ia terkejut dan cepat menjatuhkan diri ke tanah, syukur sergapan
itu sempat dihindarinya.
Pada saat yang sama empat orang berbaju hitam dan berkedok melompat keluar dari tempat
gelap, tanpa bicara pedang mereka terus menyerang lagi secepat kilat.
Gerakan Pwe-giok juga tidak berhenti, dia menyelinap keluar dari jaringan sinar pedang
musuh. Terdengar dering nyaring sinar pedang, tahu-tahu kain bajunya terkoyak-koyak
menjadi potongan kecil dan bertebaran.
Agaknya kawanan seragam hitam itu tidak ingin sekaligus membinasakan dia melainkan
cuma hendak memaksa dia mengeluarkan Kungfunya.
Sinar pedang masih terus berkelebat dan memburu bagai ular berbisa, bukan saja baju Pwegiok
sudah terkoyak-koyak, bahkan tubuhnya sudah tergores beberapa jalur luka, tapi dia
tetap tidak berani balas menyerang. Semakin dia tidak balas menyerang semakin besar pula
curiga orang-orang berseragam hitam.
173
Tiba-tiba seorang di antaranya mendengus: "Peduli tulen atau palsu, bunuh saja habis
perkara!"
"Betul," jawab seorang lagi. "Lebih baik salah bunuh seribu daripada lolos satu."
Meski tahu siapa kawanan baju hitam ini, tapi Pwe-giok sengaja berteriak: "Jika kalian
menghendaki aku turun tangan, mengapa kalian tidak berani memperlihatkan wajah asli?
Seorang lelaki sejati mana sudi turun tangan terhadap kawanan cecurut macam kalian ini."
"Kau tidak mau turun tangan, maka kau harus mati!" jengek orang pertama tadi.
Habis berkata, mereka tidak kenal ampun lagi, sinar pedang memburu dengan lebih cepat.
Sekali ini kalau Pwe-giok tidak balas menyerang, rasanya jiwanya benar-benar bisa melayang.
Pada saat itulah, tiba-tiba segumpal kabut tipis berwarna kemerah-merahan mengambang tiba
terbawa angin terus terlibat ke tengah jaringan sinar pedang.
Seketika kawanan baju hitam itu merasakan gerak pedang mereka terhalang, ujung pedang
seolah-olah melengket pada gumpalan asap tipis itu. Kesempatan itu segera digunakan Pwegiok
untuk melompat mundur.
Segera terdengar seorang berdendang dengan suara merdu: "Bunga, bukan bunga, kabut
bukan kabut ....."
Baru berjangkit suara nyanyian orang itu, serentak timbul rasa takut pada sorot mata kawanan
baju hitam berkedok ini, tanpa, berjanji ke empat orang itu terus melayang pergi dan
menghilang dalam kegelapan. Perginya jauh lebih cepat daripada datangnya.
"Apakah Hay-hong Hujin yang telah menolong Cayhe?" tanya Pwe-giok dengan
membungkuk tubuh.
Tapi dalam kegelapan sama sekali tiada suara jawaban.
Waktu Pwe-giok menengadah, tahu-tahu di depannya sudah bertambah seorang yang
berwajah pucat dan kening berkerut dengan sorot matanya yang layu.... Yang muncul ternyata
bukan Hay-hong Hujin melainkan Lim Tay-ih.
Hati Pwe-giok seketika mengencang, ucapnya dengan tergagap: "Kira .... kiranya nona, terima
kasih banyak-banyak."
Lim Tay-ih seperti enggan mendengar kata-kata yang bertele-tele itu, jengeknya: "Mengapa
kau pakai nama Ji Pwe-giok?"
Pwe-giok jadi melengak, jawabnya gelagapan: "Ini . . . .ini lantaran ...."
"Sebaiknya kau ganti nama saja," kata Tay-ih. "Nama ini tidak membawa alamat baik. Barang
siapa memakai nama ini tentu akan mendatangkan kemalangan, bahkan mati. Meski aku
diperintahkan Hujin untuk menyelamatkan kau, tapi paling-paling juga cuma kutolong kau
satu kali ini saja!"
174
Setelah terdiam sejenak, dengan tersenyum getir Pwe-giok bertanya: "Kecuali itu, adakah
alasan lain?
"Betul, memang masih ada alasan lain," jawab Tay-ih. Mendadak ia membalik tubuh dan
melangkah beberapa tindak ke sana, lalu menyambung: "Jika dia sudah mati, aku tidak suka
mendengar lagi orang memakai namanya."
"Tapi aku....."
"Kaupun tidak setimpal memakai nama itu!" jengek Tay-ih.
Pwe giok melenggong dan menyaksikan bayangan si nona menghilang dalam kegelapan,
sukar untuk dijelaskan bagaimana perasaannya. Dia seharusnya berduka karena sikap dingin
yang diperlihatkan tunangannya itu. Tapi sikap dingin si nona itu pun menandakan betapa
cintanya terhadap Ji Pwe-giok, untuk ini dia harus bersyukur dan bergembira.
Begitulah gundah gulananya hatinya, sebentar pedih sebentar girang, entah manis entah getir.
*****
Bintang di langit semakin jarang, bulanpun bertambah buram, di ufuk timur sudah mulai
remang-remang. Tapi Pwe-giok masih terus melangkah ke depan dengan hati bimbang.
Entah sudah berapa lama pula, sang surya sudah mulai mengintip di ujung timur. Sekonyongkonyong
muncul seorang dengan langkah terhuyung-huyung.
Perawakan orang ini kurus kecil, jenggot dan rambutnya sudah putih semua, senyum
misterius menghias wajahnya. Pwe-giok merasa sudah pernah kenal pada muka orang ini, tapi
tidak ingat di mana.
Dilihatnya si kakek kecil ini membawa sebuah lukisan, sesudah dekat mendadak ia angkat
lukisannya ke depan Pwe-giok dan menegur: "Coba kau lihat, apa yang kulukis ini?"
Lukisannya itu tampak samar, seperti mega tapi bukan mega, seperti gunung juga bukan
gunung, kalau dipandang lebih cermat, rasanya seperti bekas cat yang tumpah di atas kanvas
lukisan itu.
Pwe-giok menggeleng, jawabnya: "Entah, aku tidak tahu."
"Yang kulukis adalah gunung di depanmu ini, masa tak dapat kau lihat?" kata pula si kakek
kecil.
Mau-tak-mau Pwe-giok memandang gunung yang tertutup oleh kabut pagi di kejauhan itu,
lalu dipandangnya pula lukisan yang dipegang si kakek, sedikit demi sedikit dirasakannya
memang rada-rada mirip. Tanpa terasa ia tertawa dan berkata: "Ya, sekarang dapat kulihat
persamaannya."
Mendadak orang tua itu tergelak seperti orang gila, berjingkrak dan menari, jelas girangnya
tak terperikan, tapi juga memperlihatkan semacam kelatahan yang aneh.
175
"Apa yang kau tertawakan?" tanya Pwe-giok heran.
"Aku berhasil, aku berhasil!" teriak si kakek sambil berkeplok gembira.
"Kau berhasil mengenai apa?" tanya Pwe-giok pula.
"Lukisanku telah berhasil," teriak si kakek. "Akhirnya dapatlah kucapai intisari dalam
lukisanku."
Pwe-giok menggeleng sambil memandangi "cat tumpah" hasil lukisan si kakek, katanya
dengan menyengir: "Lukisan begini masa dapat dianggap telah berhasil mencapai
intisarinya?"
"Coba kau pikir," kata si kakek, "sudah jelas yang kulukis adalah gunung, tapi dapat kubuat
dia tidak menyerupai gunung. Yang kulukis ini jelas-jelas tidak menyerupai gunung, tapi
setelah kau pandang dengan cermat terasa seperti gunung pula. Semua ini disebabkan meski
tidak kulukis bentuk gunungnya, tapi sudah dapat kulukis jiwanya, intisarinya sasaran
lukisanku."
Pwe-giok berpikir sejenak, gumamnya kemudian: "Mungkin sedikit sekali orang yang dapat
memahami jiwa daripada lukisanmu ini."
"Justeru orang lain tak dapat memahaminya," seru si kakek sambil berkeplok. "Tapi asalkan
yang kulukis adalah gunung, maka dalam pandanganku lukisan ini ialah gunung, dalam hatiku
juga gunung. Hanya aku saja yang paham dan orang lain tetap tidak paham. Cara ini
bukankah sangat hebat, sangat bagus?!"
Dia berkeplok sambil bergelak tertawa dan melangkah pergi.
Sebaliknya Pwe-giok berdiri termangu-mangu di situ sambil berpikir: "Jelas-jelas yang
kulukis adalah gunung tapi dapat kulukis hingga tidak menyerupai gunung .... Meski tidak
kulukiskan bentuk gunungnya, tapi sudah dapat kulukis jiwanya, intisarinya..." selain teringat
kepada ucapan si kakek tadi, di tepi telinganya seolah-olah terngiang pula wejangan ayahnya
dahulu mengenai ilmu pedang, bahwa betapapun bagus bentuk permainan sesuatu ilmu
pedang, semua itu bukanlah intisari ilmu pedang perguruannya sendiri. Jiwa ilmu pedang Bukek-
pay terletak pada maksud yang tak berwujud, terlepas daripada wujud yang terbatas dan
masuk ke alam yang tak berwujud (abstrak) dan tak berkutub (Bu-kek), Jika mujijat ini dapat
diselami dengan tuntas, maka berarti ilmu pedang yang kau yakinkan telah berhasil, Pwe-giok
coba merenungkan dan mengulang lagi petuah sang ayah itu, mendadak ia merasa seperti
diguyur air dingin, dalam hati seketika terasa "plong", terasa terang.
Ia mendapatkan setangkai kayu sebagai pedang, dengan pelahan ia menusuk ke depan.
Sepenuh hati dan segenap pikiran hanya dipikirnya satu jenis, "Thian-te-bu-pian" (langit dan
bumi tak bertepian) dari Bu-kek-kiam-hoat, tapi waktu pedangnya menusuk, gayanya tidak
menurut jurus serangan Thian-te-bu-pian yang sebenarnya.
Jurus serangan ini jelas-jelas jurus Thian te-bu-pian, tapi ketika serangan itu dilancarkan jurus
itu justeru tercakup seluruhnya di dalam serangannya, tidak menyerupai jurus Thian-te-bupian,
tapi jiwa dan intisari jurus serangan itu justeru tercakup seluruhnya di dalam serangan
itu.
176
Kalau dua orang bertempur, bila salah satu pihak dapat melihat lubang kelemahan pihak
lawan sehingga dapat mengatasi lebih dulu setiap perubahan gerak lawan, maka dia pasti akan
menang. Tapi suatu serangan yang bermaksud, namun tanpa wujud, cara bagaimana pihak
lawan akan mampu menghindarinya dan cara bagaimana akan sanggup mematahkannya serta
cara bagaimana akan menghindarinya?
Saking kegirangan Pwe-giok lantas tertawa tergelak-gelak dan berteriak: "Sudah dapat
kupahami! Sudah kupahami sekarang!"
Tiba-tiba seorang menanggapi dengan suara nyaring: "Kau memahami apa?"
Segera terdengar pula kicau burung yang ramai di hutan sana, ternyata Ki Leng-yan sejak tadi
sudah berada di situ.
Dengan tertawa Pwe-giok menjawab: "Apa yang sudah kupahami, masa para burung
kawanmu itu tidak memberitahukannya padamu?"
Dengan termenung Leng-yan mendengarkan sejenak, ucapnya kemudian sambil berkedipkedip:
"Mereka tidak tahu apa yang sudah kau pahami, mereka bilang kau seperti rada-rada
sinting."
"Haha, sudah tentu mereka tidak paham," ujar Pwe-giok dengan tertawa. "Tapi bolehlah kau
katakan kepada mereka, bahwa asalkan mereka paham persoalan ini, maka mereka tidak perlu
lagi takut kepada elang, malahan manusia juga tidak perlu ditakuti pula."
"Eh, coba dengarkan," kata Leng-yan perlahan sambil tersenyum, "mereka sama menyatakan
ucapanmu ini memang benar. Kata mereka, elang memang tiada sesuatu yang perlu ditakuti,
yang paling menakutkan di dunia ini adalah manusia!"
Suara tertawa Pwe giok mulai mereda, ia pandang burung yang beterbangan di tengah hutan
di remang-remang fajar sana, tanpa terasa ia menghela napas dan bergumam pula: "Betul
juga, manusia memang sangat menakutkan. Sungguh tak tersangka kalian telah memahami
soal ini. Sebaliknya manusianya sendiri malah tetap belum paham. . .."
"Coba lihatlah burung pipit yang baru terbang dari kota sana," kata Leng-yan dengan rawan.
"Dia bilang, seumpama manusia sudah paham akan soal ini toh tetap tak mau mengakui
kebenarannya."
*****
Akhirnya kedua orang pulang ke hotel kecil itu.
Leng yan sudah kenyang tidur, sebaliknya Pwe-giok mulai merasa ngantuk. Dia mendorong
pintu kamar sendiri, tapi mendadak ia merandek. Ternyata di atas pembaringannya bersimpuh
satu orang.
Sinar sang surya yang baru terbit itu menyorot masuk melalui jendela sana dan terlihat jelas
wajah orang itu. Kelihatan kepalanya botak kelimis, tapi wajahnya merah cerah seperti orang
muda.
177
Segera Pwe-giok mengenali orang ini ialah Tong Bu-siang, ketua perguruan keluarga Tong di
Sujwan yang terkenal sebagai ahli Amgi atau senjata rahasia nomor satu di dunia.
Tong Bu-siang duduk menunduk dengan mata terpejam, tapi di sekelilingnya berbaris
berpuluh macam senjata rahasia yang gemerlapan, jelas itulah Amgi berasal keluarga Tong
yang merontokkan nyali setiap jago persilatan.
Selain Tong Bu-siang, ada lagi dua orang yang berdiri di kanan-kirinya, meski tetap
berpakaian hitam ringkas, tapi kedoknya sudah ditanggalkan, jelas mereka ialah Ong Uh-lau
dan Sebun Bu-kut.
Pwe-giok menghirup napas panjang-panjang, serunya sambil mengalingi Ki Leng-yan di luar
pintu: "Aha, di kamar sempit ini ternyata ada juga tamu agung yang berkunjung, selamat
bertemu!"
Pelahan Tong Bu-siang membuka matanya, seketika sorot matanya berkelebat seperti kilat,
dengan suara berat ia bertanya: "Apakah bocah ini yang kalian maksudkan?"
"Betul," jawab Ong Uh-lau dengan hormat.
"Bagus, akan kucoba dia!" seru Tong Bu-siang. Begitu kata "dia" terucapkan, kontan kelima
jarinya menyelentik, serentak barisan Am-gi yang terletak di depannya itu ada lima buah yang
menyambar ke depan.
Menyusul tangan yang lain juga bekerja, kedua kakinya juga bergerak, sekaligus berpuluh
Amgi melayang ke depan, sisanya tinggal tujuh atau delapan buah, sekali tiup, seluruh Amgi
itupun menyambar ke arah Pwe-giok.
Di seluruh tubuh orang tua ini seolah terpasang pesawat khusus dan setiap tempat dapat
membidikkan senjata rahasia. Puluhan Am-gi yang berbaris di pembaringan itu dalam sekejap
saja telah dihamburkan seluruhnya.
Padahal bentuk Am-gi itu tidak sama, bobotnya juga berbeda, tapi ada yang diselentikkan, ada
yang disampuk dengan tangan, ada yang disapu dengan kaki atau ditiup dengan pernapasan
yang kuat, cara menyerangnya dan kekuatannya juga tidak sama. Ada yang menyambar
dengan cepat dan ada yang lam bat, ada yang menyerang lurus langsung, ada yang melingkar
dan ada juga yang berputar-putar di udara untuk kemudian menyerang Pwe-giok dari
belakang.
Puluhan Am-gi itu seolah-olah bukan senjata rahasia lagi, tapi menyerupai puluhan jago silat
kelas tinggi dengan senjata yang berbeda-beda dan mengerubuti Pwe-giok dari berbagai
jurusan.
Sejak Pwe-giok terjun di dunia Kangouw, tidak sedikit lawan tangguh yang pernah
ditemuinya. Tapi Am-gi selihay ini sungguh belum pernah dilihat atau didengarnya.
Dengan tetap memegang tangkai kayu tadi, dengan segenap minat dan pikiran segera ia
melancarkan jurus serangan "Thian-te-bu-pian", habis itu dengan jurus yang sama ia
178
menyerang pula secara terbalik. Dua serangan dilancarkan secara berlawanan sehingga sukar
diraba.
Orang lain hanya melihat tangkai kayunya berputar dua lingkaran dan tak terlihat cara
bagaimana dia bergerak, tahu-tahu terdengar suara "crat-cret" berulang-ulang, berpuluh
bentuk senjata rahasia itu entah mengapa sama menancap pada tangkai kayunya.
Seketika Ong Uh-lau dan Sebun Bu-kut melenggong.
Tong Bu-siang juga tercengang, mau-tak-mau ia berseru memuji: "Ilmu pedang bagus!" Lalu
dia tepuk bahu Ong Uh-lau dan bertanya: "Dia sudah turun tangan, apakah kalian sudah tahu
asal-usul ilmu pedangnya?"
Dengan lesu Ong Uh-lau menjawab: "Belum ketahuan!"
"Hahaha! Tidak cuma kau saja yang tidak tahu, bahkan berpuluh tahun pengalamanku di
dunia Kangouw juga tidak pernah kulihat ilmu pedang sehebat ini," seru Tong Bu-siang
dengan tertawa.
"Tapi dapat kupastikan bahwa di perguruan Bu kek-bun tidak ada ilmu pedang selihay ini."
"Ya, memang tidak ada!" tukas Ong Uh-lau.
"Sebelumnya memang sudah kuketahui dia pasti bukan Ji Pwe-giok yang mati itu," kata Tong
Bu-siang pula. "Coba pikir jika dia penyamaran Ji Pwe-giok yang pura-pura mati itu,
mengapa dia tidak menggunakan nama lain, tapi sengaja tetap memakai nama Ji Pwe-giok?"
Sambil menyengir terpaksa Ong Uh-lau memberi hormat kepada Pwe-giok dan berkata: "Jika
tindakan kami terasa agak kasar, mohon Ji-kongcu sudi memberi maaf."
Pwe-giok tersenyum, katanya: "Ah, tidak menjadi soal, hanya selanjutnya ....."
Belum habis ucapannya, mendadak Ki Leng-yan menjerit kaget "blang", seorang menerobos
masuk dengan beringas.
Orang ini memakai baju kasar dan topi kulit semangka, jelas orang ini adalah jongos hotel ini.
Tapi jongos yang ramah dan rendah hati ini kini sikapnya telah berubah sama sekali. Kedua
matanya tampak merah membara, mulutnya menyeringai sehingga kelihatan giginya yang
kuning, air mukanya penuh napsu membunuh.
Di tengah jeritan kaget tadi Leng-yan sempat menarik Pwe-giok ke samping, maka jongos
hotel itu lantas menerobos langsung ke dalam. Cepat Sebun Bu-kut mendepak sebuah meja
kecil di sebelahnya sehingga menyeruduk si jongos.
Tak tersangka sekali hantam jongos itu telah membuat meja itu hancur berkeping-keping.
Diam-diam Pwe-giok terkejut. "Orang macam apakah jongos hotel ini, masa memiliki tenaga
sekuat ini?"
179
Dalam pada itu Ong Uh-lau juga tidak tinggal diam, pedangnya lantas menusuk. Tapi jongos
itu sama sekali tidak mengelak, sebaliknya membusungkan dada dan memapak tusukan itu.
"Crat" tanpa ampun lagi pedang itu menembus dadanya. Sekali depak Ong Uh-lau membikin
tubuh si jongos mencelat, darah segera berhamburan dan mengotori tangan Oh Uh-lau.
Sambil berkerut kening Ong Uh-lau berkata: "Keparat ini barangkali sudah gila, masa...."
Belum lanjut ucapannya, mendadak Tong Bu-siang melolos belati yang terselip di
pinggangnya terus menabas, kontan sebelah lengan Ong Uh-lau dipotongnya mentah-mentah.
Ong Uh-lau menjerit kesakitan dan jatuh kelengar.
"Ap. ..... apa maksudmu Cianpwe?" teriak Sebun Bu-kut terkejut.
Wajah Tong Bu-siang yang semula merah cerah itu seketika berubah menjadi pucat, katanya:
"Jongos hotel ini telah terkena racun jahat Thian-cam-kau dari daerah Miau, dia sudah
kehilangan kesadarannya sehingga berubah kuat luar biasa, bahkan darah di seluruh tubuhnya
juga telah berubah menjadi darah berbisa, barang siapa keciprat setitik darahnya dalam
sekejap racun akan terus menjalar ke seluruh tubuh. Bila tidak kubuntungi tangannya ini,
hanya sebentar saja seluruh tubuhnya akan membusuk dan mati."
Keringat dingin merembes di dahi Sebun Bu-kut, ucapnya dengan suara gemetar: "Jadi. ,....
jadi inilah salah-satu ilmu iblis Thian-cam-kau yang disebut Mo-hiat-hu-kut-tay-hoat (ilmu
darah iblis pembusuk tulang) itu? Jangan-jangan ada orang Thian-cam-kau datang kemari?"
Dari suaranya yang gemetar dan ketakutan itu mau-tak-mau Pwe-giok ikut merinding juga,
waktu dia pandang lengan yang putus dan jatuh di lantai itu, ternyata sudah berubah menjadi
genangan darah hitam.
Tanpa terasa Pwe-giok bergidik, hatipun berdebar Tong Bu-siang yang terkenal berhati
bajapun berkeringat dingin.
"Yang datang di luar itu apakah khing-hoa-sam-niocu?" tanyanya dengan suara parau.
Segera terdengar suara tertawa genit di luar sana. Nyaring dan merdu suara tertawanya
laksana kicau burung kenari, siapapun yang mendengar suara tertawa ini pasti akan
terguncang perasaannya dan tergetar kalbunya. Namun kulit muka Tong Bu-siang justeru
berkerut-kerut demi mendengar suara itu.
Terdengar suara merdu itu berucap pula dengan tertawa genit: "Betapapun memang
pandangan Tong-loyacu terlebih tajam, hanya sekilas lihat saja lantas tahu kami kakak
beradik yang datang kemari."
"Untuk apa kalian datang ke Tionggoan sini?" tanya Tong Bu-siang dengan bengis.
"Dengan sendirinya kedatangan kami ini adalah ingin mengunjungi Tong-loyacu," jawab
suara genit tadi. "Lebih dulu kami telah mendatangi kediaman Tong-loyacu, tapi Loyacu telah
berangkat ke Hong-ti. karena itulah kami lantas menyusul kemari. Meski agak terlambat
sehingga tidak keburu ikut menyaksikan keramaian pertemuan besar di Hong-ti, tapi dapat
berjumpa di sini dengan Tong loyacu, betapapun perjalanan kami ini tidaklah sia-sia."
180
Dia bicara sambil tertawa, suaranya enak didengar, sama halnya mengobrol dengan orang tua
di rumah, siapapun tidak menyangka di balik suara merdu dan kata-kata ramah ini
tersembunyi hasrat membunuh yang sukar diraba.
Namun jago tua yang namanya mengguncangkan dunia Kangouw ini ternyata gemetar juga
mendengar ucapan itu, sambil memegang belatinya dia bertanya pula: "Jadi kalian. .... kalian
sudah pergi ke rumahku?"
Suara itu menjawab dengan tertawa: "Loyacu jangan kuatir, meski kami sudah berkunjung ke
sana, tapi mengingat Toa-cihu, sama sekali kami tidak mengganggu apapun di tempatmu,
bahkan seekor semut pun tidak terinjak mati."
Meski merasa lega juga mendengar keterangan itu, tapi mendadak Tong Bu-siang bertanya
pula dengan gusar: "Siapa itu Toa-cihu (kakak ipar, suami kakak) yang kau maksud?"
Suara genit itu menjawab: "Sungguhpun Tong-kongcu pemuda yang cakap dan pintar, tapi
Toaci kami juga nona cantik yang serba mahir. Jadi kedua muda-mudi adalah suatu pasangan
yang setimpal, ini kan jodoh yang ditakdirkan?"
"Omong kosong, kentut busuk!" damprat Tong Bu-siang dengan gusar.
Agaknya orang itu tidak marah, terbukti suaranya masih tetap enak didengar, katanya:
"Apalagi mereka berdua memang sudah cocok satu sama lain, si tampan dan si cantik sudah
sama-sama ikat janji di taman bunga akan sehidup semati, mengapa Tong-loyacu justeru
berusaha hendak membuyarkan pasangan merpati ini?"
"Omong kosong!" teriak Tong Bu-siang. "Anak durhaka itu lantaran tidak tahu asal-usul
perempuan siluman itu, makanya dia terpikat. Sekarang dia sudah sadar dan tidak sudi
beristerikan perempuan siluman itu."
"Ah, kukira belum tentu," ujar suara nyaring merdu itu dengan tertawa. "Tong-kongcu adalah
pemuda yang berperasaan, tidak nanti dia mengingkari janjinya kepada Toaci kami. Apalagi,
gadis secantik Toaci kami itu lelaki mana di dunia ini yang tidak suka padanya? Jika ada,
maka lelaki itu pasti gendeng."
"Tidak bisa, keputusanku sudah bulat, tidak nanti pikiranku berubah, tiada gunanya kalian
banyak bicara lagi," teriak Tong Bu-siang dengan bengis "Mengingat hubungan kalian dengan
anak durhaka itu di masa lampau, lekas kalian pulang saja agar tidak terjadi apa-apa yang
tidak diinginkan."
"Jadi sudah pasti Tong-loyacu tidak setuju?" tanya suara genit tadi.
"Ya, tidak nanti berubah," jawab Tong Bu-siang tegas.
"Dan Loyacu takkan menyesal?" tanya pula suara merdu itu.
"Biarpun segenap keluarga Tong mati semuanya juga takkan bersedia menerima menantu
seperti perempuan siluman itu!" bentak Tong Bu-siang dengan murka.
181
Sejenak suara genit tadi terdiam, lalu dia berucap pula dengan tertawa: "Wah, tampaknya
sukar bagiku untuk membujuk Loyacu, terpaksa aku mesti minta perantara seorang
comblang."
Mendengar sampai di situ, tahulah Pwe-giok bahwa kedatangan Khing-hoa-sam-niocu atau
tiga perempuan bunga ini adalah untuk melamar suami kepada Tong Bu-siang, Agaknya sang
Toaci atau kakak tertua di antara Sam-niocu itu sudah ada ikatan janji dengan Tong-kongcu,
tampaknya cara mereka memaksakan perjodohan ini mendekati pemerasan, tapi tekad Tong
Bu-siang yang berkeras tidak mau terima perjodohan anaknya inipun agak keterlaluan.
Selagi Pwe-giok pikir siapakah comblang yang dimaksudkan itu? Apakah si comblang akan
sanggup membujuk Tong Bu-siang. Tiba terdengar suara daun jendela terbuka, dari luar
lantas melayang masuk satu orang.
Kedua mata orang ini melotot serupa mata ikan emas, air mukanya hitam kebiru-biruan,
kedua pundaknya, dadanya dan punggungnya seluruhnya menancap tujuh bilah belati emas
yang gemerdep, tangkai belati pun terbingkai batu permata yang berkilauan.
Dengan mata yang melotot seperti mata ikan mati itu, pendatang ini terus menatap Tong Busiang,
darah segar tampak meleleh dari ujung matanya, sikapnya sungguh sangat misterius
dan juga menyeramkan.
Leng-yan memegangi tangan Ji Pwe-giok dengan menggigil. Muka Sebun Bu-kut tampak
pucat dan basah seperti kehujanan, rupanya keringat dinginnya bercucuran seperti air hujan.
Serentak Tong Bu-siang melompat bangun sambil berteriak, "Inilah Kim-to-ho-hiat dari
Thian-cam-kau!"
Belum lenyap suaranya, mendadak sinar emas gemerdep, tujuh bilah belati emas itu terus
melayang keluar jendela menjadi satu garis lurus. Kiranya pada gagang belati yang berhias
batu manikam itu terikat pula satu benang emas yang halus.
Ketika ke tujuh belati itu melayang keluar dari lubang luka belati itu lantas menyembur keluar
tujuh pancuran darah segar. Seketika itu terjadi hujan darah memenuhi seluruh kamar.
Sebelumnya Tong Bu-siang telah angkat Ong Uh-lau dan di lemparkan keluar pintu, ia
sendiripun melompat ke atas belandar ruangan. Ji Pwe-giok juga tidak tinggal diam, dengan
angin pukulannya, ia tolak cipratan darah itu.
Hanya Sebun Bu-kut saja yang lebih lamban reaksinya, meski iapun sempat melompat ke atas
belandar, tapi tubuhnya sudah terciprat beberapa titik darah berbisa itu. Tapi ia memang
pemberani, dengan nekat ia menyayat kulit daging sendiri yang terciprat darah itu.
Ketika darah berbisa yang berhamburan seperti hujan itu mengenai dinding, seketika dinding
yang terkapur putih itu berubah menjadi hitam hangus.
Setiap kungfu yang dikeluarkan Khing-hoa-sam-niocu itu ternyata sama membawa suasana
seram dan mengerikan, setiap kungfunya harus minta korban jiwa. Sungguh keji luar biasa.
182
Pwe-giok berkerut kening, mendadak ia melayang keluar jendela, ia ingin tahu bagaimana
macamnya Khing-hoa-sam-niocu yang cantik tapi keji itu.
"Hei, Ji kongcu, hati-hati." seru Tong Bu-siang khawatir.
Tapi Ki Leng-yan lantas menanggapi dengan tertawa linglung, "Jangan kuatir, di dunia ini
pasti tiada perempuan yang tega mencelakai dia!"
*****
Di luar jendela sana ada sebatang pohon besar, pada dahan pohon itu terikat empat atau lima
orang, semuanya dalam keadaan tidak sadar, agaknya terbius oleh sesuatu obat.
Di depan pohon berdiri tiga gadis maha cantik, semuanya memakai mantel panjang warna
hitam, begitu panjang mantel mereka hingga menyentuh tanah dan menutupi tubuh mereka
yang ramping.
Rambut mereka tergelung tinggi di atas kepala, pada bagian atas pelipis sama memakai hiasan
bunga permata, yang satu memakai bunga emas gemerdep, satu lagi bunga perak yang
berkilau dan seorang lagi memakai bunga yang berwarna hitam gelap.
Gadis yang memakai hiasan bunga emas itu beralis lentik agak menegak, matanya yang jeli
itu mengembeng air mata seperti gadis yang lagi dirundung kesedihan.
Jelas gadis bunga emas ini adalah sang Toaci yang sedang kasmaran itu.
Gadis yang berhias bunga perak berwajah bulat, matanya selalu mengerling genit, lirikannya
dapat membuat luluh hati lelaki yang berhati baja sekalipun.
Gadis ketiga yang berbunga hitam gelap paling cantik, lirikan matanya juga paling
menggiurkan, senyumnya yang paling manis, kalau bicara, belum berucap sudah tertawa.
Barang siapa memandangnya sekejap saja pasti akan jatuh hati padanya.
Mungkinkah ketiga gadis maha cantik ini adalah tokoh dari agama jahat yang paling terkenal
dan paling disegani di dunia persilatan sekarang ini, yaitu Khing-hoa-sam-niocu.
Apakah ketiga pasang tangan yang halus dan mulus inipun dapat menggunakan kungfu yang
misterius serta maha keji itu sehingga jiwa manusia dipandang mereka seperti permainan anak
kecil ?
Jika tidak menyaksikan sendiri kelihaian mereka, tentu Pwe-giok juga tidak percaya akan
kekejian mereka.
Tiga pasang mata jeli dengan lirikan memabukkan sama terpusat pada diri Pwe-giok, seakanakan
menembus dada anak muda itu, ingin tahu isi hatinya.
Mendadak Thi-hoa niocu, yaitu si nona bunga besi berkata dengan tertawa genit, "Eeh,
pemuda bagus dari mana ini ? Kedatanganmu ke sini apakah hendak memikat perempuan dari
keluarga baik-baik seperti kami ini ?"
183
Dengan hambar Pwe-giok menjawab; "Kedatanganku ini hanya ingin belajar kenal dengan
kehebatan cara para nona bunuh orang."
Thi-hoa-niocu terhitung paling seksi di antara ketiga Khing hoa-sam-niocu, dengan langkah
gemulai ia mendekati Pwe-giok, katanya pula dengan senyum manis, "Membunuh katamu?
Wah, sungguh menakutkan ucapanmu ini? Membunuh orang hanya akan merusak kecantikan
anak perempuan. Selamanya kami tidak berani membunuh. Apakah anda sering membunuh
orang ?"
Dia bicara dengan suara lembut dan senyum selalu dikulum serta menatap Pwe-giok dengan
pandangan yang tulus sehingga mirip benar seorang nona cilik yang selamanya tidak pernah
membunuh, bahkan tidak tahu apa artinya membunuh.
Meski tahu jelas nona ini tidak saja membunuh, bahkan memandang jiwa manusia tidak lebih
berharga daripada jiwa semut, tapi melihat cara bicaranya, melihat sikapnya sekarang, Pwegiok
menjadi tidak percaya pada pandangannya sendiri. Ia berkerut kening dan bertanya
dengan ragu, Maksudmu, kedua orang tadi bukan di bunuh olehmu ?"
Mata Thi-hoa-niocu terbelalak lebar, seperti terkesiap dan heran, jawabnya, "Kau bilang
kedua orang yang masuk ke rumah itu ?"
Pwe-giok mengiakan.
"Bukan kau yang membunuh kedua orang itu?"
"Aku?! .... " Pwe-giok jadi melengak sendiri.
"Jelas-jelas kedua orang tadi masuk kesana dalam keadaan segar bugar dan telah kalian
bunuh, masa sekarang kalian malah menuduh diriku ?!" kata Thi-hoa-niocu.
Dia berbalik menghantam Pwe-giok cara berucapnya juga tegas, meski penasaran, seketika
Pwe-giok jadi kalah berbantah.
Thi-hoa-niocu menghela nafas, katanya pula, "Ku tahu setelah kau bunuh orang, tentu
perasaanmu tidak enak. Tapi kaupun tidak perlu berduka, asalkan lain kali jangan
sembarangan membunuh. kan beres?!"
Mestinya Pwe-giok yang hendak memberi nasehat padanya, sekarang si nona berbalik
memberi wejangan, keruan anak muda itu serba runyam, rasa gusarnya menjadi sukar di
hamburkan.
Maklum, menghadapi nona cantik, lincah, pintar, dan binal seperti ini, jika digunakan sikap
kasar dengan membentak, memaki atau memukulnya kan tidak pantas.
Kembali Thi-hoa-niocu tersenyum manis, ia mengebaskan sapu tangannya dengan perlahan
dan berkata pula: "Jika hatimu kesal, marilah ikut padaku. Bisa jadi akan ku bikin hatimu
menjadi riang."
Dia terus melangkah beberapa tindak kesana, lalu menoleh, dilihatnya Pwe-giok tetap berdiri
tenang di tempatnya tanpa ikut melangkah dan juga tiada sesuatu perubahan. Keruan hati ThiRenjana
Pendekar > Karya Khulung > Diceritakan oleh : GAN KL > buyankaba.com 184
hoa-niocu terkejut, namun senyum yang menghias wajahnya bertambah manis sehingga rasa
kejutnya tidak kelihatan.
Rupanya pada sapu tangannya itu tersembunyi semacam obat bius yang paling lihay dari
Thian-cam-kau.
Jilid 8________
Apa yang digunakan Thi-hoa-nio ini disebut "Lo-pek-ciau-hun-tay-hoat" atau ilmu sapu
tangan pengisap sukma. Gerak tangannya kelihatan enteng tapi sesungguhnya memerlukan
kecermatan yang luar biasa, baik gerakannya, timingnya, arah angin, semuanya harus
diperhitungkan dengan tepat.
Selain itu, lebih dulu pihak lawan harus dirayu sehingga setengah linglung dan sama sekali
tidak berjaga-jaga, untuk ini sudah tentu diperlukan daya pelet dan kecerdikan, jadi lambaian
sapu tangan yang kelihatannya sepele ini sesungguhnya memerlukan pengetahuan yang luas
dan dalam, sebab itulah ia termasuk satu di antara ke tujuh ilmu iblis berbisa dari Thian-camkau.
Selama ini entah sudah berapa banyak orang kangouw yang terjungkal di bawah "Lo-pekciau-
hun-hoat" ini, mengingat usia Ji Pwe-giok yang masih muda belia, Thi-hoa-nio yakin
pasti dapat merobohkannya.
Siapa tahu, biarpun masih muda usia Pwe-giok sudah kenyang pengalaman, sudah berkali-kali
ia menghadapi momen menentukan mati dan hidup, terhadap siapapun dia senantiasa
waspada, maka begitu melihat gelagat tidak baik, segera ia menahan pernapasannya.
Begitulah Thi hoa nio menjadi terkejut, namun di mulut ia masih bicara dengan manis: "Wah,
besar amat lagakmu, masa diundang dengan hormat saja tidak mau?!"
Terdengar seorang menukas dengan tertawa di kejauhan: "Jika kongcu sudi ikut pergi
bersama kami kakak beradik, kujamin kongcu pasti takkan kecewa!"
Suaranya berat dan rada parau, namun penuh daya pikat yang menggetar sukma, setiap
katanya seolah-olah mengkili-kili hati setiap lelaki.
Di tengah suara tertawa, tertampaklah Gin hoa nio (si bunga perak) telah muncul, begitu riang
wajahnya seakan-akan alisnya lagi tertawa dan matanya juga sedang tertawa. Hampir setiap
bagian sekujur badannya seperti lagi tertawa genit terhadap Pwe-giok.
Belum lagi orangnya mendekat sudah tersiar dulu bau harumnya yang merangsang, sebelah
tangannya yang membelai rambut dengan kerlingan mata yang menggiurkan, katanya pula
dengan tersenyum getir: "Ku tahu kongcu pasti takkan menolak ajakan kami bukan?"
"Bukan," jawab Pwe giok dengan hambar, jawaban yang sederhana.
Tampaknya melengak juga Gin hoa-nio, tapi ia lantas berkata pula dengan lenggokan
pinggang menggiurkan: "Masa kongcu sampai hati?"
185
Setiap gerak-gerik Gin hoa nio seolah-olah ingin memancing kaum lelaki berbuat sesuatu,
setiap kerlingan dan senyumnya cukup menimbulkan gairah kaum lelaki.
Namun Pwe-giok masih tetap memandangnya dengan hambar, mirip orang yang lagi
menonton suatu permainan.
Hakekatnya Pwe giok tidak perlu bicara, sikapnya yang dingin dan menghina ini sudah lebih
tajam daripada kata-kata apapun juga.
Gin hoa-nio menghela napas, ucapnya: "Kau tidak mau ikut, juga tidak pergi, memangnya
untuk apa kau cuma berdiri saja di sini?"
"Aku ingin tahu Khing hoa sam-niocu masih mempunyai kemahiran apalagi?" jawab Pwegiok
dengan tertawa.
Mendadak air muka Gin hoa-nio berubah, ia tertawa terkekeh-kekeh dan berseru: "Baik!"
Begitu kata "baik" terucapkan, serentak ketiga kakak beradik itu lantas berputar dengan cepat,
mantel mereka yang longgar lantas ikut berkibar sehingga kelihatan tubuh mereka.
Seketika Pwe-giok melenggong.
Sungguh tak tersangka bahwa tubuh di dalam mantel itu ternyata telanjang bulat. Di antara
tubuh yang putih mulus itu hanya bagian pinggul saja yang menggunakan sepotong gaun hijau
yang cekak dan kelihatan kedua kakinya yang jenjang. Dadanya padat dengan kulit badan
yang putih bersih.
Mantel hitam mereka mendadak terbang seperti kupu-kupu raksasa, rambut mereka yang
panjang terurai di atas dada yang putih, dada yang kelihatan kenyal dan tergetar-getar.
Gaya tarian mereka tampak halus dengan tangan yang mulus serta kaki yang jenjang
mempesona, semua ini seakan-akan sedang menggapai-gapai Pwe giok.
Lambat laun pipi ketiga nona itu bersemu merah dengan mata setengah terbuka dan mulut
setengah terpentang, dada berombak naik turun dan mengeluarkan suara yang menggetar
sukma. Inilah suara kehausan dan gerakan yang penuh harap.
Semua ini benar-benar bisa membikin gila kaum lelaki.
Namun Pwe-giok masih tetap memandangnya dengan hambar, sorot matanya juga tidak
dialihkan ke jurusan lain.
Kini gaya tari mereka yang semula kelihatan ruwet itu mulai berubah menjadi sederhana dan
bersahaja, mereka seperti masih meronta-ronta ditengah kehausan, bergeliat, berkeluk-keluk,
bergemetar dan memohon...
Mendadak Pwe giok menghela napas, katanya: "Nona Kim hoa, gaya tarian mu ini kalau
dilihat Tong kongcu, lantas bagaimana jadinya?"
186
Tubuh Kim hoa niocu tampak bergemetar mirip kena dicambuk orang. Namun tariannya
masih tetap berlangsung.
Sekonyong-konyong Gin hoa-nio tertawa nyaring, serentak ketiga nona itu berjungkir dengan
kepala di bawah, dengan tangan sebagai kaki mereka menari dengan lebih gila lagi.
Dapat dibayangkan jika perempuan telanjang menjungkir dengan kaki bergerak-gerak di
udara dan rambut terurai di lantai dan... tidak perlu menyaksikan sendiri juga setiap orang
dapat membayangkan betapa gilanya gaya tersebut. Apabila ada lelaki yang tidak berdebardebar
jantungnya dan timbul reaksi badaniah yang spontan demi menyaksikan tari yang gila
ini, maka lelaki itu pasti punya penyakit jika tidak mau dikatakan abnormal.
"Awas, itulah Siau-hun-thian-mo-bu!" tiba-tiba terdengar suara Tong Bu-siang berseru
dengan suara gemetar. "Blang", mendadak daun jendela ditutupnya, ia tidak berani
memandang lagi. Siau-hun-thian-mo-bu, tarian iblis pembetot sukma, siapapun tidak tahan
melihat tarian gila ini.
Rupanya Tong Bu-siang menyadari betapa lihay daya tarik tarian itu, bila dirinya tidak tahan
seketika bisa tertimpa bencana, sungguh ia tidak berani menyerempet bahaya ini.
Suasana sunyi sepi, hanya terdengar suara napas dan keluhan yang menggetar sukma saja,
seperti membawa semacam irama yang aneh yang dapat menghancurkan iman setiap lelaki.
Sejenak kemudian, "blang", daun jendela yang tertutup tadi mendadak berlubang dan dibobol
dari dalam, rupanya Tong Bu-siang tidak tahan oleh suara keluhan yang merangsang itu,
betapapun dia ingin melihatnya.
Wajah orang tua ini kelihatan merah padam, sorot matanya seolah-olah membara, sekujur
badan gemetar, saking tak tahan beberapa kali ia hendak menerjang keluar kamar, namun ia
menggertak gigi dan bertahan sekuatnya, celakanya matanya justru sukar dipejamkan.
Tarian iblis pembetot suka ini benar-benar menimbulkan daya pikat yang sukar dibayangkan.
Di bawah bimbingan orang tua yang kereng, sejak kecil watak dan iman Pwe-giok sudah
terpupuk dengan kuat. Melulu soal iman, di antara tokoh-tokoh Bu-lim sekarang mungkin
tiada seberapa orang yang dapat menandingi dia. Jika tiada keteguhan iman yang melebihi
orang lain ini, mungkin dia sudah gila selama lebih sebulan ini mengalami pukulan yang luar
biasa ini.
Walaupun demikian, tidak urung jantungnya sekarang juga berdebur-debur dan hampir tiada
bertenaga lagi.
Pada saat itu, sinar sang surya menyorot terlebih terang, di depan matanya seolah-olah terlapis
cahaya kelabu yang gemerlapan, waktu ia mengawasi lebih cermat, di sekelilingnya ternyata
sudah terjalin selapis jaring halus.
Jaring halus berwarna putih kelabu telah mengurungnya di tengah, benang perak yang halus
dan hampir tidak kelihatan oleh mata telanjang itu terus terjulur dari ujung jari Khing-hoasam-
niocu.
187
Mendadak Thi-hoa-nio melompat ke atas, lalu berdiri tegak, ucapnya dengan tertawa: "Boleh
juga ketajaman matamu, akhirnya dapat kau lihat juga."
"Cara nona mempertontonkan keindahan tubuhmu ini, apakah tujuan kalian adalah untuk
memasang jaring labah-labah yang tiada artinya ini?" tanya Pwe-giok dengan gegetun.
"Salah jika demikian pikiranmu," jawab Thi-hoa-nio dengan tertawa. "Thian-mo sin bu
sendiri yang kami tarikan ini memang sudah penuh daya pikat, jika kau tidak percaya, boleh
kau lihat Tong loyacu itu, bilamana kami tidak mengingat kepada Tong-kongcu, mungkin...
mungkin ahli Am-gi nomor satu yang termasyhur ini sekarang sudah... sudah... " dia sengaja
tidak melanjutkan dan tertawalah terkial-kial.
Tanpa terasa Pwe-giok berpaling ke sana, dilihatnya Tong Bu siang bersandar diambang
jendela dengan lunglai, tampaknya sedikitpun tiada bertenaga pula.
Nyata apa yang dikatakan Thi-hoa-nio barusan memang bukan bualan, bilamana Thian-mo-bu
ini ditujukan kepada Tong Bu-siang, saat ini mungkin jago Am gi nomor satu ini sudah mati
di bawah kerumunan nona-nona bunga ini. Mau tak mau terkesiap juga Pwe-giok.
Sampai sekian lama Thi-hoa-nio tertawa, habis itu mendadak ia berkata pula dengan
menyesal: "Cuma sayang, kau ini lebih mirip patung, sama sekali tidak tahu menikmati
keindahan orang perempuan, maka terpaksa kami melepaskan Gin-si (benang perak), tapi
inipun bukan benang labah-labah."
"Habis apa kalau bukan benang labah-labah?" tanya Pwe-giok.
"Akan kuberitahukan, supaya tambah pengetahuanmu." ujar Thi-hoa-nio. "Inilah 'Ceng-si'
yang dikeluarkan oleh 'Thian-cam' (ulat sutera sakti), mahluk sakti agama kami."
"Ceng-si (benang cinta)?... Bagus juga nama ini," ujar Pwe-giok dengan tersenyum.
"Apabila sudah terlibat oleh Ceng-si ini, maka sukarlah melepaskan diri, benang cinta ini
akan mengikat dan merasuk tulang, betapa nikmat rasanya yang menggetar kalbu itu,
mimpipun tak dapat kau bayangkan." kata Thi-hoa-nio pula dengan tertawa genit. "Cuma
sayang, terlalu cepat kau melihat benang cinta ini tadi, kalau tidak, tentu sekarang
kenikmatannya sudah kau rasakan."
Pwe-giok tahu Thian-cam ceng-si ini pasti keji luar biasa, tadi apabila dirinya sampai terlibat
oleh benang itu, maka jangan harap akan bisa terlepas lagi, mau tak mau harus pasrah nasib
untuk diperlakukan sesuka mereka, tatkala mana mungkin minta hidup tak dapat, ingin
matipun sukar.
Nyata, dalam waktu singkat tadi meski tampaknya tiada terjadi sesuatu yang berbahaya, tapi
sesungguhnya dia sudah berada di ambang pintu neraka dan untung bisa pulang balik.
Teringat begitu, tanpa terasa Pwe-giok berkeringat dingin, namun lahirnya dia tetap tenangtenang
saja, katanya dengan tersenyum: "Cayhe cukup maklum, semakin indah nama sesuatu
benda, semakin keji pula benda itu. Seperti Siau-hun-san (Puyer pembuyar sukma), To-cengciu
(Arak pelarian cinta) dan sebagainya, kuyakin Ceng-si andalan kalian ini pasti juga
sejenisnya."
188
Mulut Thi-hoa-nio menjengkit, ucapnya: "Ceng-si agama kami ini tidak dapat dibandingi
benda apapun di dunia ini, barang sebangsa Sian-hun-san, To-ceng-ciu dan sebagainya mana
dapat disejajarkan dengan Ceng-si?"
"Jika demikian, tadi waktu para nona menumpahkan Ceng-si dari tangan, mengapa benang itu
tidak kalian libatkan pada tubuhku, sungguh sampai saat ini aku merasa tidak paham."
"Sudah kubilang kau ini orang tolol, nyatanya kau memang bebal." ujar Thi-hoa-nio dengan
tertawa genit. "Tadi jika kami benar benar langsung melibat dirimu dengan Ceng-si, bukankah
segera akan diketahui olehmu? Hanya satu dua utas Ceng-si mana dapat mengikat patung
seperti kau ini?"
"Oo, kiranya demikian." ucap Pwe-giok dengan tersenyum.
Melihat senyuman anak muda itu, segera Th-hoa-nio merasa dirinya telah terpancing dan
terlanjur bicara tentang daya guna Ceng-si. Ia berkedip-kedip, lalu berkata pula dengan
tertawa: "Tapi saat ini kau sudah terkurung rapat oleh Ceng-si kami bertiga dan jangan harap
akan dapat lolos lagi, lebih baik kau berlutut dan menyerah kepada kami, kujamin pasti akan
memuaskan kau."
"Para nona memiliki Ceng-si, aku kan juga punya Hui-kiam (pedang tajam)," kata Pwe-giok.
Habis bicara, sekali tangannya bergetar, Am-gi keluarga Tong yang menancap di ranting kayu
yang masih dipegangnya itu segera ada dua buah melayang kesana.
Meski kedua biji Am-gi ini terpental karena tenaga sentakan ranting kayu itu, namun dari
suara mendesingnya yang keras, jelas jauh lebih kuat daripada ditimpukkan dengan tangan
orang lain.
Tak terduga, Am-gi sekuat itu sama sekali tak berguna, begitu menyentuh jaring cinta itu,
sama seperti laron masuk ke jaring, meronta tak bisa terlepas, menerjang tak dapat tembus.
Pwe-giok jadi teringat pada dirinya sendirinya juga terikat oleh benang cinta Lim Tay-ih,
selama ini pikirannya selalu dirundung rindu dan sukar dilupakan, entah pula bagaimana
nantinya.
Teringat sampai di sini, seketika timbul macam-macam pikirannya, ucapnya dengan
tersenyum getir: "Nama Ceng-si yang nona gunakan ini sungguh nama yang sangat bagus dan
sukar dicari."
"Dan sekarang kau sudah menyerah?" tanya Thi-hoa-nio dengan tertawa.
Pwe-giok termangu-mangu seperti orang linglung, seolah-olah tidak mendengar apa yang
diucapkan si nona.
Thi-hoa-nio berkata pula: "Jika kau tidak segera menjawab, sekali jaring kami tarik, seketika
kau akan menjadi setan bagi cinta."
"Bisa menjadi setan bagi cinta mungkin akan lebih baik daripada selama hidup senantiasa
dirundung rindu," jawab Pwe-giok dengan menghela napas panjang.
189
"Baik jika memang begitulah kehendakmu!" seru Thi-hoa-nio. Dia bertepuk tangan pelahan,
lapisan jaring yang putih kelabu itu lantas mulai ringkas ke tengah, pelahan-lahan mendesak
ke tubuh Ji Pwe-giok, apabila tubuhnya tersentuh Ceng-si, maka sukarlah melepaskan diri.
Benang cinta ini memang tiada ubahnya seperti benang kematian!
Entah apa yang terpikir oleh Ji Pwe-giok, tampaknya ia tidak menyadari malaikat elmaut
selangkah demi selangkah sedang mendekatinya.
Dipandang dari jauh Pwe-giok seperti berdiri di tengah tiga dewi cantik dan sedang bersenda
gurau, siapa yang tidak mengiler melihat adegan yang menggiurkan ini? Siapa pula yang tahu
sesungguhnya anak muda itu sudah terjeblos ke dalam jaringan maut.
Kim-hoa-nio hanya memandangi Pwe-giok dengan termangu-mangu, ucapnya dengan rawan:
"Menjadi setan bagi cinta memang jauh lebih baik daripada hidup dirundung rindu tak
sampai, tampaknya kau sudah berpengalaman cinta, seumpama matipun tidak menjadi soal."
Mendadak Pwe-giok tertawa dan bersenandung: "Ingin tak rindu, membuat orang cepat tua,
setelah berpikir, tetap rindu jua..." ditengah senandungnya pelahan ia ayun ranting kayunya
setengah lingkaran, Am-gi yang menancap pada ranting kayu itu seluruhnya lengket pula pada
jaring cinta itu hingga berwujud suatu lingkaran.
"Hihi, dengan besi rongsokan ini kau kira dapat membobol benang cinta kami ini?" kata Thihoa-
nio dengan tertawa mengikik.
Belum lenyap suaranya, dengan ranting kayu sebagai pedang, Pwe-giok terus menusuk
berpuluh kali, setiap kali tusukannya tepat mengenai Am-gi yang menempel di 'jaring cinta'
itu. Tenaga tusukan yang digunakan sangat kuat.
Thi-hoa-nio merasa pergelangannya tergetar hebat, bukan saja jaring itu sukar ditarik dan
ringkas, sebaliknya malah terasa membentang lebar, tanpa terasa ia berseru: "Sungguh cerdik
caramu ini, rasanya akupun rada-rada kagum padamu."
Hendaklah diketahui bahwa benang ulat sutera alam itu mempunyai daya lengket yang sangat
kuat, benda apapun bila melengket lantas sukar terlepas, karena benang itupun bisa mulur
mengkeret, maka ditolak atau dipentang sekuatnya tetap sukar membobolnya.
Kalau melulu menggunakan 'Pedang' dan langsung menusuk 'jaring cinta' itu, sekali pedang
melengket, sekalipun besar tenaganya dan dapat melubangi jaring itu, tapi orangnya tetap
akan terlilit juga di tengah jaring.
Tapi sekarang Pwe-giok menghamburkan lebih dulu am-gi sebanyak itu dan menempel pada
jaring, lalu 'pedang' menghantam am-gi dengan sendirinya berbagai senjata rahasia itu takkan
melengket benda lain dan Pwe-giok lantas dapat memainkan pedangnya dengan leluasa.
Cara ini tampaknya sangat sederhana, tapi bila tiada mempunyai kecerdasan luar biasa tidak
nanti dapat berpikir sejauh ini. Sekarang ranting kayu ditangan Pwe-giok telah berubah
menjadi sebilah pedang serba guna.
190
Terdengarlah serentetan suara 'trang tring' yang nyaring. Susul menyusul Pwe-giok menusuk
terlebih gencar, tenaga yang dilontarkan juga semakin kuat, padahal jaring itu sedang ditarik
dan diringkaskan oleh ketiga nona bunga itu, sebaliknya Am-gi yang ditusuk pedangnya
menerjang keluar dengan kuat, akhirnya ujung berbagai senjata rahasia itupun tertembus
keluar jaring.
Mendadak Pwe-giok bersiul panjang sambil berputar kencang, pedang menggaris, lingkaran
senjata rahasia yang berjajar itu tertolak lebih keras oleh pedang itu. Senjata rahasia pertama
merenggang satu-dua inci ke samping dan menyampuk senjata rahasia kedua. Maka senjata
rahasia kedua itu dapat merobek jaring cinta itu beberapa inci lagi terus menghantam senjata
rahasia ketiga dan begitu seterusnya....
Hanya dalam sekejap saja "Jaring Cinta" itu hampir terobek seluruhnya, ketika Pwe-giok
menyingkap dengan ujung ranting kayunya, segera orangnya menerobos keluar sambil bersiul
panjang melengking.
Khing-hoa-sam-niocu seakan-akan kesima menyaksikan olah Pwe-giok yang luar biasa itu,
baru sekarang mereka terkejut sadar dan cepat melompat mundur bersama.
"Bagus, bagus sekali" seru Thi-hoa-nio dengan tertawa. "Di kolong langit ini kau orang
pertama yang dapat menerobos keluar dari Ceng-bang (jaring cinta) ini. Kau memang hebat
dan pantas dibanggakan..."
Di tengah suara tertawanya yang seram, mendadak ia mencabut sebilah golok emas yang
menancap di pohon, sekali berkelebat, lengan beberapa orang teringkus di batang pohon itu
ditabasnya mentah-mentah. Darah segar berhamburan, tapi orang-orang itu seperti tidak
merasa sakit, mereka malah tertawa seperti orang gendeng.
Thi hoa-nio lantas melemparkan lengan kutung yang berlumuran darah itu kepada Pwe-giok.
Dengan gusar Pwe-giok membentak; "Sampai sekarang kalian masih membikin celaka
orang?", cepat la melompat mundur, ia tahu darah yang muncrat dari lengan kutung itu pasti
darah berbisa yang bisa membikin celaka orang.
Saking gemasnya melihat kekejian Thi-hoa-nio itu, segera Pwe-giok melayang ke atas dan
hendak menerjang mereka.
Tapi mendadak "blang", suara letusan menggelegar, beberapa lengan kutung itu mendadak
meledak dan berubah menjadi kabut darah yang mengerikan. Kabut berdarah itu tersebar
dengan sangat cepat dan membanjir ke arah Pwe-giok.
Saat itu Pwe-giok masih terapung di atas, ia terkejut, sebisanya ia melejit di udara sehingga
tubuh sendiri terpental lebih cepat ke belakang dan turun kembali ke bawah. Dilihatnya kabut
berdarah itu masih terus menjalar, cuma jaraknya sekarang sudah mulai menjauh.
Didengarnya suara Thi-hoa-nio yang seram berkumandang dari jauh: "Sekali Thian-can (ulat
sutera sakti) menyusup tulang, sebelum mati, takkan berhenti, boleh kau tunggu saja nanti..."
Kabut itupun mulai menipis, tapi bayangan Khing-hoa-samniocu sudah tidak kelihatan lagi,
hanya golok emas yang menancap di pohon itu tampak masih bergoyang-goyang.
191
Kebetulan angin meniup, seketika tercium bau darah yang anyir. Pwe-giok ingin tumpah,
sungguh tidak kepalang kejutnya mengingat apa yang terjadi barusan.
Terdengar Tong Bu-siang lagi berkata dengan menghela napas panjang: "Inilah ilmu andalan
Thian-can-kau yang disebut Kim-to-kay-te, Hiat-sun-tay-hoat (Golok emas membelah tubuh,
ilmu menghilang di balik kabut darah). Sekali ilmu ini dikeluarkan, di dunia ini mungkin tiada
seorangpun yang mampu menangkap mereka."
Ahli senjata rahasia nomor satu yang termasyhur ini tampak bersandar lemas di ambang
jendela dan memandang jauh ke depan, sorot matanya juga menampilkan rasa kejut dan takut
yang tak terhingga, seperti membayangkan bahaya dan petaka yang bakal timbul.
"Agama iblis sekeji dan kejam ini, mengapa tiada orang yang mau menumpas mereka?" kata
Pwe-giok dengan menyesal.
Tong Bu-siang tersenyum getir, katanya: "Memangnya siapa yang sanggup menumpas
mereka? Ilmu silat Thian-can-mo-kau sungguh teramat keji, orang biasa hakekatnya tidak
dapat mendekati mereka, begitu menempel tubuh mereka seketika jiwa melayang"
"Siapakah Kaucu mereka?" tanya Pwe-giok.
"Kaucu Thian-can-kau hakekatnya tidak pernah dilihat oleh siapapun juga, jejaknya sukar
diketahui, pergi datang tanpa bekas serupa hantu, wajah aslinya tidak pernah dikenal orang,
bahkan siapa namanya juga tiada yang tahu."
"Aku tidak percaya bahwa di dunia ini tiada seorangpun yang mampu mengatasi dia?" ujar
Pwe-giok.
"Ilmu silat Thian-can-kau memang sangat keji, tapi juga tidak sembarangan mengganggu
orang, jejaknya juga jarang ditemukan di wilayah Tionggoan, mereka kebanyakan berkeliaran
di pegunungan sunyi dan di daerah terpencil, bilamana mereka tidak mencari orang lain,
hakekatnya orang lainpun sukar menemukan mereka."
"Namun aku tetap yakin pasti ada orang yang akan menumpas mereka," kata Pwe-giok pula
pelahan setelah termenung sejenak.
Terbelalak mata Tong Bu-siang, katanya: "Ya, mungkin kau... kau masih muda dan berani,
tinggi pula ilmu silatmu, apabila kelak ada orang yang mampu menumpas Thian-can-kau,
maka... maka orang itu pastilah kau. Mengenai diriku..." dia menyengir, lalu menyambung
pula: "Pada waktu mudaku hidupku tidak teratur dan suka menuruti bisikan hati, iman tidak
teguh. Jadi ilmu jahat Thian-can-kau kebetulan adalah lawan maut bagiku."
Baru sekarang Pwe-giok tahu apa sebabnya seorang guru besar dunia persilatan terkenal ini
sedemikian jeri terhadap Khing-hoa-sam niocu dan begitu mudah dipengaruhi oleh tarian gila
tadi.
Mendadak Sebun Bu kut melongok keluar dan memandang Pwe-giok dengan tersenyum
misterius, katanya: "Thian-can merasuk tulang, sebelum mati tidak berhenti. Sekali kau
192
terlibat mereka, jarang ada orang yang dapat lepas dengan hidup. Meski sekarang mereka
sudah pergi, tapi Ji-kongcu masih perlu hati-hati."
"Untuk ini tidak perlu anda ikut kuatir," jawab Pwe-giok dengan tersenyum hambar.
"Jika demikian, biarlah Cayhe mohon diri lebih dulu," kata Sebun Bu kut. Tiba-tiba ia
berpaling kepada Tong Bu-siang dan bertanya: "Dan Tong cianpwe? ...."
Tong Bu-siang tampak ragu, katanya, "Ji-kongcu ......"
"Cianpwe silahkan pergi saja dan tidak perlu kuatir bagiku," sela Pwe-giok dengan tertawa,
"Bila aku tak dapat menjaga diriku sendiri, cara bagaimana aku akan berkelana di dunia
Kangouw kelak?"
Tong Bu-siang berpikir sejenak, katanya pula: "Ya, kuyakin kau pasti dapat menjaga dirimu
sendiri. Hanya perlu kau ingat, masa paling lihay dari racun ulat ini hanya tujuh hari, asalkan
kau dapat bertahan tujuh hari pertama, selanjutnya tentu tidak berbahaya lagi."
"Tapi untuk tujuh hari itulah sampai sekarang belum pernah ada orang yang sanggup
menghindarinya" kata Sebun Bu-kut dengan seram. Habis itu, sekuatnya ia memayang Ong
Uh-lau dan diajak pergi.
Menunggu sesudah Tong Bu-siang juga pergi, barulah Ki Leng-yan muncul dengan tertawa,
katanya: "Memang ku tahu di dunia ini tiada seorang perempuan pun yang sampai hati mem...
" belum habis ucapannya, mendadak Pwe-giok jatuh terkapar.
Terlihat wajahnya pucat menghijau, bibirnya bergemetar, sekujur badan menggigil, Leng-yan
coba merabanya, terasa badan pemuda itu panas seperti dibakar.
Rupanya tadi waktu kabut berdarah mulai buyar, tanpa terasa ia telah menghisapnya setitik,
waktu itu ia memang sudah merasakan gelagat tidak enak, tapi baru sekarang racun itu mulai
bekerja.
Leng-yan seperti terkesima saking cemasnya, dipandangnya Pwe-giok dengan termangumangu,
katanya kemudian: "Akhirnya kau terkena juga... terkena juga racun mereka."
Pwe-giok merasa seluruh badan sebentar dingin sebentar panas, ia tahu keracunan tidak
ringan, tapi dia memang berbudi luhur, selalu memikirkan orang lain lebih dulu. Ia kuatir
Leng-yan berkuatir dan berduka baginya, maka sedapatnya ia berlagak tenang. katanya
dengan tertawa: "Sejak tadi ku tahu keracunan, tapi... tapi tak beralangan... "
Ling-yan berpikir sejenak, katanya kemudian: "Jika sejak tadi tahu keracunan, mengapa tidak
kau katakan?"
"Kau tahu Sebun Bu-kut dan komplotannya itu bermaksud jahat padaku," tutur Pwe-giok.
"Jika tadi ku perlihatkan tanda-tanda keracunan, mungkin mereka takkan meninggalkan
diriku. Sebab itulah aku bertahan sekuatnya hingga sekarang."
193
Meski untuk bicara saja rasanya sangat sulit, namun Pwe-giok bertahan dan berusaha
memberi penjelasan kepada Ki Leng-yan, diharapkannya semoga anak perempuan yang masih
polos dan suci bersih ini bisa lebih banyak memahami seluk-beluk orang hidup.
Nona itu menghela napas, katanya: "Ai, kenapa manusia selalu punya macam-macam soal
ruwet begitu, burung tentu tidak ........"
Memandangi wajah si nona yang kekanak-kanakan dan linglung itu, susah juga hati Pwegiok.
Ia tahu ucapan Sebun Bu kut tadi bukan untuk menakutinya, Khing-hoa-sam-niocu pasti
takkan melepaskan dia, selama tujuh hari ini pasti sukar dilewatkan. Apalagi sekarang dirinya
keracunan, untuk berdiri saja tidak kuat.
Bilamana sekarang dia didampingi orang lain, mungkin dapat membantu dia menghindarkan
malapetaka ini, celakanya yang mengiringinya sekarang adalah Ki Leng-yan yang linglung
dan tidak dapat bertindak apapun.
Semakin dipikir semakin gelisah Pwe-giok, apabila Khing-hoa-samniocu datang lagi dan
melihat Ki Leng-yan, mungkin anak dara ini takkan diampuni. Teringat demikian, cepat ia
berseru: "Kawanan burung sedang menantikan dirimu, lekas kau pergi mencari mereka saja!"
"Dan kau?" tanya Leng-yan. "Aku... aku akan istirahat di sini," jawab Pwe-giok. Leng-yan
berpikir sejenak, katanya kemudian dengan tertawa: 'Biarlah kutunggu kau di sini, bila kau
sudah sembuh, kita pergi bersama." - Dengan tersenyum lantas ia berduduk dan sama sekali
tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Pwe-giok dalam keadaan gawat.
Pwe-giok merasa darah dalam tubuhnya bergolak hebat, mulut mendadak terasa kaku dan
mati rasa, ingin bicara, namun bibir tak dapat bergerak lagi. terpaksa ia hanya memandangi Ki
Leng-yan dengan sorot mata yang cemas.
Dilihatnya wajah Ki Leng-yan yang tersenyum simpul itu makin lama makin kabur, makin
jauh, suaranya juga seperti semakin lirih seolah-olah berkumandang dari tempat yang tidak
kelihatan, sayup-sayup terdengar nona itu berkata: " Jangan kuatir, bilamana kawanan burung
sakit, akupun senantiasa menjaga mereka, setiap hari kusuapi obat kepada mereka, obatku
sangat manjur, setelah kau minum tentu akan jauh lebih segar."
Pwe-giok ingin berteriak: "Aku bukan burung, mana boleh minum obat burung!"
Namun satu katapun tak dapat diucapkannya, ia merasa Leng-yang telah menjejalkan sebiji
obat ke mulutnya, pil itu lantas cair dan mengalir ke dalam kerongkongan, malahan terasa
membawa semacam bau harum yang aneh.
Ia merasa pikirannya mulai tenang, badan terasa segar dan enak sekali, selang sejenak pula
mendadak ia terpulas.
*****
Begitulah Pwe-giok tertidur dan mendusin dan tertidur pula. Apabila mendusin, Ki leng-yan
lantas menyuapi ia satu biji obat, sehabis minum obat rasanya menjadi segar, lalu tertidur pula
dengan nyenyaknya.
194
Mula-mula bila dia mendusin dia masih terus mendesak: 'Lekas kau pergi saja, larilah lekas,
setiap saat Khing-hoa-samniocu bisa muncul lagi."
Tapi akhirnya ia merasa badan sedemikian segarnya, terhadap segala urusan penuh keyakinan
biarpun Khing-hoa-samniocu sekarang datang lagi rasanya juga tidak takut pula.
Ia sendiri tidak paham mengapa bisa timbul perasaan begitu, iapun tidak tahu apakah masa
tujuh hari yang konyol itu sudah lewat atau belum.
Entah berapa hari sudah lalu, suatu hari mendadak Pwe-giok sadar kembali, sadar seluruhnya,
ia merasa tubuhnya segar bugar, sedikitpun tiada tanda-tanda lemas sehabis keracunan,
bahkan rasanya penuh semangat, penuh gairah.
Ki leng-yan juga sedang memandangnya dengan tersenyum. "Obatku memang manjur
bukan?" demikian tanya si nona.
Pwe-giok tertawa, jawabnya: "Ya, memang sangat manjur, sungguh obat mujarab yang jarang
ada bandingannya..." Sembari bicara iapun memandang sekelilingnya, baru sekarang dia
mengetahui dirinya masih berada di kamar itu, meski mayat dan darah sudah tersapu bersih,
tapi segera teringat lagi olehnya akan "Khing-hoa-niocu". ia terkesiap, tanyanya: "Sudah
berapa lama aku tertidur?"
"Rasanya seperti sudah delapan atau sembilan hari," jawab Leng-yan.
"Apa? Sembilan hari?....Dan mereka tidak datang?" seru Pwe-giok kaget.
Tujuh hari yang konyol itu ternyata sudah dilaluinya tanpa sadar, ia terkejut dan bergirang
pula, sungguh rada-rada tidak percaya. "Kau merindukan mereka?"
Jawab Pwe-giok dengan menyengir. "Aku cuma... cuma heran mengapa mereka tidak datang
lagi?"
"Dan mengapa kau tidak pergi saja, apakah sengaja menunggu kedatangan mereka?" kata
Leng-yan dengan tenang-tenang.
Mendadak Pwe-giok melonjak bangun, serunya: "He, betul juga. mereka pasti tidak
menyangka aku masih berada di sini, mereka tentu akan mengejar ke tempat jauh sana dan
tidak tahu bahwa aku belum pergi dari sini," Ia pegang tangan leng-yan, katanya dengan
tertawa: "Meski tindakan ini rada-rada menyerempet bahaya, tapi dalam keadaan terpaksa,
kukira akal ini adalah akal paling bagus yang dapat dipikirkan, syukur kau dapat memikirkan
akal ini."
"Akal apa? Aku tidak tahu!" kata Leng-yan dengan tertawa linglung. Pwe-giok melengak,
dipandangnya wajah yang masih polos, bersih dan kekanak-kanakan itu, entah nona ini benarbenar
orang gendeng dan berbuat secara kebetulan saja, atau sebenarnya memiliki kecerdasan
yang luar biasa.
Leng-yan berbangkit, mendadak ia tertawa dan berkata: "Marilah kita pergi, mereka sedang
menunggu kau di luar!"
195
"Apa? mereka menunggu di luar?" Pwe-giok menegas dengan kaget.
"Ya," jawab Leng-yan dengan tertawa, "Waktu kau tertidur, banyak pula kudapatkan kawan
baru di sini, ada kakak gagak, ada adik pipit, sudah kubicarakan dengan mereka, bilamana
sakitmu sudah sembuh, akan kubawa kau berkenalan dengan mereka."
Sementara itu sinar sang surya tampak memancar masuk melalui jendela, waktu masih pagi,
di luar memang benar ramai burung berkicau.
Pwe-giok lantas ikut keluar bersama Ki Leng-yan. Begitu melihat kawanan burung, dengan
tertawa senang nona itu lantas berlari ke sana.
Pwe-giok melihat pohon itu masih tegak berdiri di sana dihembus silir angin pagi, cuma
orang-orang yang semula terikat di pohon itu sudah tak kelihatan lagi.
Tiba-tiba teringat olehnya pondokan yang letaknya meski terpencil ini toh tidak terlalu jauh
dari perkampungan lain, jika di tempat ini mendadak mati orang sebanyak ini, mengapa tiada
orang bertanya atau menyelidiki apa yang terjadi. Sesungguhnya orang-orang yang terikat di
pohon itu orang hidup atau mati?
Selain itu, tempat penginapan ini sekarang juga tiada nampak bayangan seorangpun. Aneh,
apakah semuanya sudah lari dan tiada yang mengurus? Jika tidak ada yang mengurus,
mengapa dirinya dapat tinggal di sini sampai delapan atau sembilan hari?
Pertanyaan-pertanyaan ini cukup membuat pusing kepala. Sekalipun Pwe-giok sudah sadar,
tapi cara bagaimana pula harus diselesaikannya. Ki Leng-yan yang sama sekali tidak paham
seluk-beluk kehidupan manusia ini.
Berpikir sampai di sini, timbul juga rasa curiga Pwe-giok, dipandangnya Leng-yan yang
sedang berkeplok dan berjingkrak gembira di kejauhan itu, pikirnya: "Jangan-jangan nona ini
tidak gendeng sungguh-sungguh, tapi cuma pura-pura bodoh... Mungkinkah selama beberapa
hari ini sudah pernah kedatangan orang lain yang membantu dia menyelesaikan urusan di sini.
Tapi mengapa dia tidak omong padaku?"
Tapi segera terpikir lagi: "Ah, dengan susah payah orang telah menolong diriku, tapi aku
malah mencurigai dia, betapapun tidak pantas. jika dia bermaksud jahat padaku, untuk apa
pula dia menyelamatkan diriku?"
Dilihatnya Ki Leng-yan sedang berlari-lari kemari dengan tertawa riang, serunya sesudah
dekat: "Mereka (maksudnya kawanan burung) memberitahukan padaku bahwa di depan sana
ada sebuah tempat yang baik, maukah kita melihatnya ke sana?"
Di bawah cahaya sang surya, kelihatan pipi si nona bersemu merah laksana buah apel yang
mulai masak, sinar matanya mencorong terang, begitu jernih dan polos seolah-olah tidak tahu
betapa licik dan kejinya kehidupan manusia ini.
"Marilah ikut!" ajak Leng-yan pula sambil menarik tangan Pwe-giok. Pwe-giok merasa tiada
halangan untuk menolak, dia ikut melangkah ke sana.
196
Tidak lama kemudian, tertampak di depan sana ada sebuah perkampungan yang cukup
megah, pintu gerbang perkampungan itu bercat merah mentereng, dapat diduga penghuni
gedung ini pasti bukan sembarang orang.
"Sudah sampai, marilah kita masuk ke sana," kata Leng-yan tiba-tiba sambil menarik tangan
Pwe-giok. "Di dalam sini banyak hal yang menarik, hayo kita melihatnya.'
"Ini rumah siapa? mana boleh sembarangan masuk ke rumah orang lain?" ujar Pwe-giok
dengan tersenyum getir.
"Tidak apa-apa, masuk saja," ajak Leng-yan pula.
Dengan lagak rumah ini aku punya, nona itu lantas menolak pintu dan masuk tanpa permisi.
Terpaksa Pwe-giok ikut terseret masuk ke sana.
Halaman di dalam ternyata sangat luas, ruangan tamu juga terpasang sangat mewah.
Langsung Ki Leng-yan masuk ruangan tamu terus berduduk. Anehnya juga tiada orang yang
merintanginya. Padahal halaman rumah ini terawat rapi dan bersih, jelas ada penghuninya.
"Mumpung tuan rumahnya belum keluar, marilah kita lekas pergi saja," ajak Pwe-giok.
Tapi Leng-yan tidak menghiraukannya, sebaliknya ia malah berkata:
"Hayo ambilkan teh."
Sejenak kemudian, benarlah seorang lelaki berbaju hijau (seragam kaum hamba yang umum)
membawakan dua mangkuk teh dan ditaruh dengan hormat di atas meja, tanpa bersuara terus
tinggal pergi pula dengan kepala tertunduk.
Leng-yan minum seteguk teh yang di suguhkan itu, lalu berseru pula: "Perutku lapar!"
Hanya sebentar saja, segera beberapa orang menghidangkan santapan yang diminta dengan
sikap yang sangat menghormat, bukan saja tidak bersuara sepatah pun kepada mereka, bahkan
memandang saja tidak berani.
Melenggong lah Pwe-giok, ia mengira dirinya sedang bermimpi.
Segera Leng-yan mengangkat sumpit, katanya dengan tertawa: "Hayolah makan, kenapa
sungkan-sungkan?" Dia lantas mendahului menyumpit hidangan dan dimakan dengan
nikmatnya.
Pwe-giok sendiri tiada napsu makan, ia termenung-menung, sejenak kemudian, ia tidak tahan
dan bertanya: "Apakah tuan rumah di sini memang kenalan mu?"
Leng-yan tidak menggubrisnya, ia makan lagi beberapa sumpit, mendadak ia pegang meja
terus didomplangkan, keruan mangkuk piring jatuh berantakan.
"Mana orangnya!" teriak si nona.
197
Beberapa lelaki baju hijau berlari keluar dengan tergopoh-gopoh, semuanya mengunjuk rasa
gugup dan takut, semuanya berdiri di depan Leng-yan dengan kepala tertunduk, sampai
bernapas saja tidak berani keras-keras.
Dengan mata melotot Leng-yan berteriak: "Kenapa begini asin masakan Haysom-ah-ciang
(teripang masak kuah telapak kaki itik), siapa yang menghidangkan nya tadi?"
"Hamba!" cepat salah seorang baju hijau menjawab dengan suara gemetar sambil berlutut.
"Apakah kau sengaja hendak membikin aku mati keasinan?" teriak Leng-yan pula.
Pwe-giok tidak tahan, ia ikut bicara: "Dia kan tidak mencicipi, darimana tahu rasanya asin
atau cemplang, mana boleh kau menyalahkan dia. Apalagi kita makan gratis di tempat orang
lain, masa kau marah-marah malah?"
Leng-yan tertawa, katanya: "O, aku tidak tahu urusan, jangan kau marah padaku."
"Ai, kau....."
Belum lanjut ucapan Pwe-giok, sekonyong-konyong lelaki baju hijau yang berlutut itu
berseru: "Hamba tidak layak menghidangkan makanan yang terlalu asin ini, hamba pantas
mampus, tangan yang membawa hidangan ini lebih-lebih harus mampus...." mendadak ia
melolos sebilah belati dari pinggangnya dan "krek", kontan ia potong tangan sendiri.
Terkejut Pwe-giok, dilihatnya orang itu kesakitan setengah mati, butiran keringat memenuhi
dahinya, tapi tidak berani merintih sedikitpun, tangan kanan memegangi pergelangan tangan
kiri yang buntung itu dengan darah bercucuran, namun tetap berlutut dan tidak berani berdiri.
"Ehm, mendingan begini," kata Leng-yan dengan tertawa manis.
"He, ken..... kenapa kau berubah menjadi sekejam ini?" seru Pwe-giok.
"Mereka kan bukan burung, kenapa harus ku sayang mereka?" jawab si nona.
"Memangnya manusia tidak lebih berharga daripada burung?" kata Pwe-giok.
"Mereka suka dan rela, kenapa kau ribut bagi mereka?" ujar Leng-yan dengan tertawa.
"Di dunia ini mana ada orang yang suka rela membikin cacat anggota tubuh sendiri?" seru
Pwe-giok dengan gusar.
Leng-yan tidak menanggapinya, ia pandang lelaki berbaju hijau dan bertanya dengan tertawa:
"Kalian tunduk kepada perintahku secara sukarela, begitu bukan?"
Tidak saja lelaki baju hijau yang membuntungi tangan sendiri, bahkan semua hamba itu
menjawab serentak: "Ya, secara sukarela."
"Bagus!" kata Leng-yan dengan gembira. "Jika demikian, coba kalian memotong dua jari
masing-masing"
198
Kata-kata ini membikin Pwe-giok terperanjat.
Siapa tahu orang-orang ini benar-benar lantas melolos pisau dan "krak-krek", beramai-ramai
mereka memotong dua jarinya sendiri.
"Kalian berbuat demikian secara suka rela, bukan?" tanya Leng-yan pula.
"Ya, sukarela." jawab orang-orang itu tanpa perduli darah mengucur dari tangan masingmasing.
"Kalian tidak merasa sakit, sebaliknya malah sangat senang, betul tidak?" tanya Leng-yan
pula.
"Betul, hamba gembira sekali," jawab orang-orang itu berbareng.
"Kalau gembira, kenapa tidak tertawa?" kata Leng-yan.
Serentak tertawalah orang-orang itu meski sebenarnya semuanya kesakitan setengah mati,
dengan sendirinya tertawa demikian lebih tepat dikatakan meringis.
Merinding Pwe-giok menyaksikan kejadian luar biasa ini, tanpa terasa iapun berkeringat
dingin.
Sungguh sukar dibayangkan, kaum lelaki yang kekar dan segar ini seakan-akan telah menjadi
boneka semata-mata. Mereka hanya mengiakan apa yang dikatakan Ki Leng-yan dan perintah
nona itu lantas dilakukan. Sungguh kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
betapapun Pwe-giok tidak percaya di dunia ini ada kejadian aneh begini.
Leng-yan berpaling dan tertawa kepadanya, katanya: "Tahukah kau sebab apa mereka tunduk
kepada perkataanku?"
"Mer...mereka..." Pwe-giok gelagapan.
Tapi Leng-yan lantas menukas: "Sebab mereka telah menjual sukmanya kepadaku."
Bulu roma Pwe-giok merasa berdiri seluruhnya, serunya kaget: "Ap...apakah kau sudah
gila...."
Si nona tersenyum tenang, katanya pula: "Bukan saja sudah ku beli sukma mereka, bahkan
sukma mu selekasnya juga akan ku beli, bukan saja mereka tunduk kepada perintahku, nanti
kaupun harus tunduk."
Pwe-giok menjadi gusar, teriaknya: "Kau berani…. ber....."
"Sekarang kedua kakimu sudah lemas, sekujur badanmu tidak bertenaga lagi, berdiri saja
tidak sanggup, cukup satu jari saja dapat ku robohkan kau!" kata Leng-yan dengan tertawa.
Mendadak Pwe-giok berdiri, tapi memang betul, kedua kakinya terasa lemas, "bluk", ia jatuh
terduduk pula.
199
"Selang sebentar lagi sekujur badanmu akan terasa sebentar dingin sebentar panas, habis itu
seluruh badan akan terasa sakit dan gatal, rasanya seperti beribu-ribu semut sedang menyusup
ke dalam kulit daging mu."
Padahal tidak perlu sebentar lagi, sekarang juga Pwe-giok sudah mempunyai perasaan begitu,
dengan suara gemetar ia bertanya: "Kau....kau turun tangan keji padaku?"
"Hehe, selain diriku masa ada orang lain?" jawab Leng-yan dengan tersenyum manis.
Gemerutuk gigi Pwe-giok saking ngerinya, teriaknya parau: "Meng...mengapa tidak kau
bunuh saja diriku?"
"Orang berguna seperti kau ini, kan sayang jika kubunuh?" ujar si nona dengan tertawa.
Keringat dingin memenuhi dahi Pwe-giok, tanyanya dengan parau: "Sesungguhnya apa
kehendakmu?"
"Meski sekarang kau merasa seperti terjeblos di dalam neraka," kata Leng-yan pula "Tapi
asalkan kau mau menjual sukma kepadaku, segera dapat kubawa kau menuju ke surga,
bahkan ke dunia yang jauh lebih gembira daripada surga."
Pwe-giok merasa tidak tahan lagi akan siksaan ini, dengan suara serak ia tanya: "Apa yang
kau inginkan?"
"Sekarang, hendaklah segera kau pergi ke suatu tempat yang disebut kim-khak-ceng, 23
penghuni perkampungan itu, tua-muda, laki-perempuan harus kau bunuh seluruhnya......" kata
leng-yan dengan tertawa. "Lo Cu-liang, pemilik perkampungan itu terkenal kaya-raya,
sekaranglah aku sangat memerlukan harta-bendanya itu."
"Apakah dalam keadaan begini aku sanggup membunuh orang?" tanya Pwe-giok dengan
tersenyum pedih.
Saat ini kau memang tidak sanggup membunuh, tapi setiba di Kim-khak-ceng segera kau akan
berubah menjadi maha kuat, bila tenagamu tidak kau keluarkan akan terasa tersiksa malah,
rasanya seperti mau meledak," kata si nona.
Siksaan yang sukar ditahan ini hampir membuat Pwe-giok lupa segalanya, sekuatnya ia
berdiri dan menerjang keluar pintu, tapi mendadak dia berlari balik dan berteriak dengan
parau: "Tidak, tak dapat kulakukan hal ini."
"Kau harus, harus kau lakukan, apakah kau ingin bertaruh denganku?" kata Leng-yan dengan
tertawa.
Dengan suara gemetar Pwe-giok berkata: "Tadinya kukira kau ini anak perempuan yang tulus
dan bersih, siapa tahu semua ini cuma pura-pura saja, kau berlagak seperti tidak tahu apa-apa
agar orang lain tidak was-was terhadap dirimu, siapa tahu kau terlebih ..... lebih keji daripada
Ki Leng-hong!"
"Hihi," Leng-yan tertawa misterius. "Memangnya kau kira aku ini siapa?"
200
Pwe-giok memandangnya tajam, tiba-tiba dilihatnya sorot mata si nona yang poos dan bersih
itu memancarkan sinar tajam laksana mata elang. Tanpa terasa Pwe-giok bergidik, ucapnya:
"He, kau.... kau inilah Ki Leng-hong!"
Nona itu tertawa terkekeh-kekeh, dia memang bukan Ki Leng-yang melainkan Ki Leng-hong.
Katanya dengan tertawa: "Sudah belasan hari kau menjadi orang tolol, baru sekarang kau tahu
siapa diriku. Hehe, memangnya kau kira aku benar-benar paham bahasa burung? Di dunia ini
mana ada manusia yang benar-benar paham bahasa burung? Biarpun si idiot Leng-yan sendiri
juga belum tentu paham. Apa yang kau pahami adalah hasil penyelidikanku sendiri dengan
segenap daya upaya ku, kalau manusia saja tidak tahu, darimana burung bisa tahu? Huh, kau
sok anggap dirimu pintar, masa hal ini tak dapat kau pahami?"
Gemetar sekujur badan Pwe-giok, katanya: "Pantas, pantas kau berkeras ingin ikut padaku.
Pantas kau memperhitungkan Khing-hoa samniocu, pasti takkan datang lagi, apalagi datang
ke hotel kecil itu..."
"Ya, meski kau terkena racun Khing-hoa-samniocu, tapi tidak terlalu berat, malahan
tampaknya kau pernah minum semacam obat mujarab apa yang memiliki daya tahan sangat
kuat terhadap segala jenis racun."
"Betul, itulah Siau-hoan-tan dari Kun-lun-pay...?"
"Tepat." sela Leng-hong dengan tertawa.
"Cuma Siau-hoan-tan Kun-lun-pay itu meski dapat menawarkan segala macam racun, namun
terhadap Kek-lok-wan (pil maha girang) yang kuberikan padamu ini sedikitpun tak berguna."
"Kek-lok-wan apa?" Pwe-giok menegas dengan kaget.
"Jadi Kek-lok-wan yang kau beri minum padaku ini telah membikin keadaanku menjadi rusak
sedemikian rupa? apakah orang-orang itupun terkena racun Kek-lok-wanmu, maka... maka
sukma merekapun dijual kepadamu?!"
"Jika Kek-lok-wanku kau anggap sebagai racun, maka itu sama seperti kau menghina diriku,"
kata Leng-hong.
"Meski sekarang kau sangat menderita, tapi cukup minum satu biji Kek-lok-wan, seketika
semua rasa derita akan lenyap, bahkan semangatmu akan timbul berlipat ganda dan
membuatmu merasa nikmat tak terhingga."
"Apakah... apakah Kek-lok-wanmu ini bisa membuat orang ketagihan?" tanya Pwe-giok
dengan suara gemetar.
"Barang siapa sudah keracunan maka setiap hari harus meminumnya, kalau tidak tentu akan
merasa tersiksa dan tak tertahankan?"
"Memang benar perkataanmu," kata Leng-hong dengan tertawa.
"Dalam kek-lok-wanku ini mengandung semacam getah tumbuh-tumbuhan yang berasal dari
negeri barat, tumbuhan ini berbunga sangat indah, tapi getah buahnya dapat membuat hidup
201
orang seperti terbang ke awang-awang, tapi juga dapat membikin orang hidup lebih menderita
daripada mati."
Mendadak ia berpaling dan bertanya kepada orang-orang berbaju hijau: "Hidup kalian
sekarang bukankah sangat bahagia?"
"Ya, selamanya hamba tidak pernah sebahagia sekarang ini." sahut orang-orang itu serentak.
"Dan bagaimana kalau tidak kuberi Kek-lok-wan kepada kalian ?" tanya Leng-hong pula.
Seketika wajah orang-orang itu berkerut-kerut, sorot matanya menampilkan rasa kuatir, jelas
rasa takut ini timbul dari lubuk hati yang dalam, semuanya munduk munduk dan memohon
dengan sangat: "Mohon ampun, nona, apapun akan hamba lakukan bagi nona, asalkan setiap
hari nona memberi satu biji Kek-lok-wan."
"Demi memperoleh satu biji Kek-lok-wan, kalian tidak segan-segan menjual ayah-ibu bahkan
istrinya sendiri, begitu bukan?" tanya Leng-hong lagi.
Serentak orang-orang itu mengiakan.
Leng-hong berpaling ke arah Pwe-giok dan tertawa, katanya: "Meski kau tak punya ayah-ibu
dan istri untuk dijual, tapi kau dapat menjual dirimu sendiri, dengan tubuhmu sebagai
imbalannya akan kau dapatkan kebahagiaan sukma mu yang tak terhingga, tidakkah ini cukup
berharga bagimu?"
Keringat bercucuran dari dahi Pwe-giok, serunya dengan tergagap: "Aku... aku..."
Leng-hong berkata dengan suara lembut: "Kau tidak berdaya melawan lagi, selama delapan
hari itu setiap hari telah kutambah kadar Kek-lok-wan yang kuberi minum padamu,
kecanduanmu sekarang sudah jauh lebih dalam daripada mereka, penderitaan yang kau
rasakan hakekatnya tidak mungkin dapat ditahan oleh siapapun juga, kukira lebih baik kau
tunduk dan menurut perintah saja."
Pwe-giok menggertak gigi, saking tersiksanya sampai bicarapun sukar.
"Lebih cepat kau menyatakan tunduk, lebih cepat pula akan berkurang rasa derita mu, kalau
tidak, kau hanya akan tersiksa lebih lama secara sia-sia, sebab akhirnya kau toh pasti akan
menyerah juga," habis berkata Leng-hong lantas mengeluarkan sebuah botol porselen kecil
dan menuang keluar sebiji obat berwarna coklat, seketika tercium bau harum yang aneh.
Dengan sorot mata yang rakus orang-orang berbaju hijau itu sama melototi pil yang dipegang
Leng-hong itu, tampang mereka itu mirip anjing kelaparan yang melihat tulang, bahkan
orang-orang ini tampaknya terlebih rendah daripada anjing.
Leng-hong menyodorkan obat itu ke depan Pwe-giok, katanya dengan tertawa:
"Ku tahu kau tidak tahan lagi, boleh kau minum dulu satu biji ini, lalu mulailah bekerja.
Asalkan kau menyatakan tunduk padaku, akupun pasti percaya padamu."
Pwe-giok meremas-remas tangan sendiri, serunya dengan parau: "Tid... tidak, aku... aku tidak
boleh!..."
202
Dengan suara terlebih halus Leng-hong berkata pula: "Sekarang, asalkan pil ini kau terima,
seketika dari neraka kau akan menuju ke surga. Kebahagiaan yang dapat kau peroleh dengan
cara semudah ini, jika kau tidak mau, kan bodoh kau?"
Orang-orang berbaju hijau itu sama mendekam di lantai, napas mereka ngos-ngosan seperti
anjing di musim birahi.
Pwe-giok melirik sekejap orang-orang itu, tiba-tiba terpikir olehnya bilamana obat itu
diminum, seketika dirinya akan berubah serendah orang-orang ini dan selama hidup akan
mengesot di bawah kaki Leng-hong untuk memohon belas kasihannya agar memberinya satu
biji Kek-lok-wan, selama hidupnya akan menjadi budaknya dan tenggelam di tengah
penderitaan yang kotor dan rendah serta takkan menjelma lagi untuk selamanya.
Berpikir sampai di sini, sekujur badan Pwe-giok sudah penuh keringat dingin, mendadak ia
meraung keras-keras, dua orang berbaju hijau itu didepaknya hingga terjungkal, seperti orang
gila ia terus menerjang keluar.
Anehnya Ki Leng-hong tidak merintanginya, ia cuma berucap dengan dingin: "Kau mau
pergi, boleh pergilah. Cukup kau ingat, bilamana kau tidak tahan derita lagi, setiap saat kau
boleh pulang kembali ke sini, Kek-lok-wan ini senantiasa menantikan kedatanganmu, bila kau
kembali ke sini segera kau akan mendapatkan pembebasan."
Tersembul senyuman keji pada wajahnya, katanya pula dengan pelahan: "Sekalipun kakimu
di rantai juga kau akan kembali ke sini, biarpun kedua kakimu ditebas buntung merangkak
pun kau akan pulang lagi ke sini."
*****
Pwe-giok terus berlari-lari, ia menerjang ke ladang, ia menjatuhkan diri di tanah berpasir,
bergulingan dan meronta, pakaiannya sudah terkoyak-koyak, tubuh pun berdarah, tapi
sedikitpun tidak dirasakannya. Penderitaan lahiriah ini bukan apa-apa, yang sukar ditahan
adalah penderitaan yang timbul dari rohaniahnya.
Jika orang tidak pernah mengalami sendiri, selamanya takkan dapat membayangkan betapa
menakutkan penderitaan yang sukar dilukiskan itu.
Bahkan Pwe-giok membentur-benturkan kepalanya kepada batu padas sehingga berdarah, ia
menggertak gigi kencang-kencang, ujung mulut pun berdarah, ia memukuli dada sendiri dan
menjambak rambut...
Semua itu tetap tiada gunanya, telinganya selalu mengiang ucapan Ki Leng-hong tadi: "Setiap
saat kau boleh pulang kembali ke sini... bila kau kembali ke sini segera kau akan mendapat
pembebasan?"
Pembebasan, saat ini yang dipikirkannya memang cuma mengharapkan pembebasan, apakah
untuk itu harus menjual raga sendiri atau menjual sukma sendiri, ia tidak perduli lagi.
Seperti apa yang sudah diduga Ki Leng-hong, mendadak ia berbangkit dan menerjang
kembali ke arah datangnya tadi.
203
Mendadak seorang tertawa terkekeh-kekeh dan berkata: "Aha, akhirnya kami dapat
menemukan kau."
Tiga sosok bayangan orang segera melayang tiba seperti burung cepatnya dan menghadang di
depan Pwe-giok, tertampak mantel hitam yang gemerlapan tertimpa sinar matahari. Mereka
ternyata "Khing-hoa-samniocu" adanya.
Akan tetapi bagi Pwe-giok sekarang ketiga 'nona bunga' ini tidak menakutkan lagi. Ia
mendelik matanya merah membara, teriaknya parau: "Menyingkir! Biarkan ku lewat!"
Heran dan terkejut juga Khing-hoa samniocu melihat perubahan luar biasa Pwe-giok ini,
ketiga kakak beradik itu saling pandang sekejap, sambil berkerut kening Thi-hoa-nio lantas
berkata: "Pemuda yang cakap dan ganteng mengapa berubah menjadi seperti binatang buas ?"
Belum lenyap suaranya, serentak Pwe-giok menerjang tiba. Saat ini meski tenaganya sengat
kuat, tapi itu cuma tenaga yang timbul secara naluri, ia sudah lupa cara bagaimana
menggunakan tenaga dalam dan kepandaian.
Perlahan Gin-hoa-nio lantas menjulurkan sebelah tangannya untuk menjegal, kontan Pwegiok
jatuh tersungkur. Kaki Gin-hoa-nio lantas menginjak di atas punggung anak muda itu,
katanya dengan tercengang: "Mengapa orang ini berubah menjadi begini, sampai ilmu silat
sendiripun tidak ingat lagi."
"Kumohon, lepaskan diriku!" ratap Pwe-giok sambil meronta dan menggabruki tahan pasir.
"Hm, kau kira kami akan melepaskan kau pergi?" jengek Gin-hoa-nio.
"Jika kalian tidak mau melepaskan diriku, lebih baik kalian bunuh saja diriku!" seru Pwegiok.
"Ai, kenapa kau berubah menjadi begini?" tanya Kim-hoa-nio dengan gegetun: "Apakah kau
terkena sesuatu racun?"
"Kek-lok-wan..... Kek-lok-wan, kumohon beri... berilah satu biji Kek-lok-wan!" teriak Pwegiok
dengan serak.
"Apa itu Kek-lok-wan?" tanya Kim-hoa-nio.
"Kuterima segala permintaanmu, ku tunduk kepada segala perintahmu, ku rela menjadi budak
mu, akan kulakukan apa saja...." agaknya anak muda itu sudah kurang sadar sehingga bicara
tak keruan.
"Lihay amat Kek-lok-wan itu," Kata Kim-hoa-nio, "Mengapa tak pernah kuketahui barang
apakah Kek-lok-wan ini sehingga dapat mengubah watak seorang yang keras kepala begini
rela menjadi budaknya?"
"Perduli barang apa, pokoknya kita bawa saja dia," kata Thi-hoa-nio setelah berpikir sejenak.
204
Ia memberi tanda, segera beberapa gadis jelita bergaun cekak berlari dari lereng bukit sana,
mereka membawa sebuah karung berwarna putih kelabu, Pwe-giok terus dimasukkan ke
dalam karung itu.
Karung itu entah terbuat dari bahan apa, kuat dan ulet luar biasa, sia-sia Pwe-giok meronta,
memukul dan menendang di dalam sambil berteriak-teriak.
Mungkin mimpipun Ki Leng-hong tidak pernah menyangka Ji Pwe-giok akan ditawan orang
dimasukkan ke dalam karung dan dibawa pergi, kalau tidak, pasti seperti apa yang telah
diucapkannya, biarpun merangkak juga Pwe-giok akan balik lagi ke sana.
"Sungguh aneh sekali racun yang diidapnya, entah cara bagaimana menawarkan nya dan
entah siapa di dunia Kangouw ini yang paham cara menawarkan racun semacam ini." kata
Kim-hoa-nio dengan masgul.
"Jika kita saja tidak sanggup menawarkannya, siapa lagi di dunia ini yang sanggup?" ujar Thihoa-
nio.
"Habis, apakah membiarkan dia dalam keadaan demikian?" ucap Kim-hoa-nio sambil
berkerut kening.
"Toaci jangan lupa, dia adalah musuh kita," kata Gin-hoa-nio dengan ketus. "Sekalipun dia
tidak keracunan juga kita akan membunuh dia, sekarang dia keracunan, mengapa kita berbalik
akan menolongnya?"
Kim-hoa-nio menghela napas panjang, jawabnya: "Meski dia musuh kita, tapi melihat
keadaannya aku menjadi tidak tega dan merasa kasihan."
"Toaci sungguh seorang pecinta besar, cuma cintamu rasanya menjadi tidak murni," kata Thihoa-
nio dengan tertawa.
"Memangnya kau kira kasihanku padanya demi diriku sendiri?" kata Kim-hoa-nio dengan
mengulum senyum.
"Bukan demi dirimu, memangnya demi diriku?" ujar Thi-hoa-nio sambil terkikik-kikik.
"Ucapanmu sekali ini memang tepat, apa yang kulakukan ini justeru demi kau," kata Kimhoa-
nio dengan tertawa.
"Aku?" Thi-hoa-nio menegas, mukanya menjadi merah, sambil menggigit bibir ia berkata
pula: "Padahal.... padahal namanya saja aku tidak tahu, masa.... masa Toaci...." - Belum habis
ucapannya mukanya bertambah merah dan mendadak ia berlari menyingkir.
Dalam pada itu sebuah kereta besar dan mewah tampak memapak tiba, segera kawanan gadis
tadi menggotong karung yang berisi Pwe-giok ke dalam kereta. Khing-hoa-samniocu juga
naik kuda masing-masing dan beramai-ramai terus membedal ke depan.
*****
205
Kereta itu terus menuju ke selatan, melalui propinsi Oh-pak, Su-jwan, kemudian ke propinsi
Kui-ciu.
Sepanjang jalan Pwe-giok masih terus meronta-ronta dan meraung-raung, jelas
penderitaannya luar biasa. Tapi Khing-hoa-samniocu tidak memperlakukan dia dengan sadis,
sebaliknya malah merawatnya dengan sangat baik.
Thi-hoa-nio yang galak dan liar itu seakan-akan berubah sama sekali sikapnya terhadap Pwegiok,
bahkan kelihatan merasa sedih.
Kim-hoa-nio tahu meski di mulut saudaranya itu tidak bicara, tapi di dalam hati sesungguhnya
sedang berkuatir bagi Pwe-giok.
Sedangkan Gin-hoa-nio terkadang suka menyindir: "Coba lihat Sam-moay (adik ketiga),
orang hampir membunuhnya, tapi dia malah menyukai dia."
Dengan tertawa Kim-hoa-nio berkata: "Biasanya penilaian Sam-moay sangat tinggi, setiap
lelaki di dunia ini dipandangnya seperti kotoran yang tidak laku sepeserpun. Sebenarnya aku
berkuatir kalau-kalau selama hidupnya takkan mendapat pasangan, tapi sekarang dia bisa
jatuh hati kepada seseorang, kan kita harus bergirang baginya."
"Tapi orang yang ditaksirnya justeru adalah musuh kita," kata Gin-hoa-nio.
"Ah, musuh apa?" ujar Kim-hoa-nio dengan tersenyum. "Padahal ada permusuhan apa antara
dia dengan kita, apalagi kalau dia sudah menjadi suami Sam-moay, dari musuh kan terus
berubah menjadi ipar?"
Gin-hoa-nio melengak, ia tertawa, katanya: "Sungguh aku tidak paham mengapa Sam-moay
bisa penujui dia?"
"He, dia kan lelaki cakap yang jarang ada bandingannya, ilmu silatnya juga tergolong pilihan,
pemuda sebaik ini siapa yang tidak menyukainya? apalagi usia sam-moay sudah waktunya
birahi," kata Kim-hoa-nio.
Gin-hoa-nio menggigit bibir dan tidak bicara lagi, ia terus melarikan kudanya ke depan.
Gerak gerik rombongan ini meski misterius, tapi sangat royal, tidak sayang buang uang,
siapapun menghormati mereka, maka sepanjang jalan tiada terjadi sesuatu halangan.
Sesudah menyeberangi Tiangkang, mereka tidak mencari hotel lagi, sepanjang jalan mereka
disambut dengan hormat oleh keluarga hartawan. Rupanya pengaruh Thian-can-kau diamdiam
telah meluas hingga mencapai daerah Kanglam (selatan sungai Tiangkang), kebanyakan
keluarga hartawan di daerah situ sudah masuk menjadi anggota cabang Thian-can-kau.
Yang menggembirakan Kim-hoa-nio dan Thi-hoa-nio adalah keadaan Pwe-giok sudah
semakin baik, penderitaannya sudah jauh berkurang, terkadang sudah dapat tidur dengan
nyenyak.
Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa bekerjanya racun Kek-lok-wan yang mengandung
morfin itu lambat laun akan berkurang apabila si penderita sanggup bertahan pada masa krisis
206
yang memang sangat menyiksa itu. Tapi bila tiada mendapat pertolongan, satu diantara sejuta
mungkin juga tidak sanggup menahan siksaan batin yang maha hebat itu. Coba kalau Khinghoa-
sam-niocu tidak terus mencari jejak Ji Pwe-giok, saat ini dia mungkin sudah terjerumus
semakin dalam.
Melihat keadaan Pwe-giok yang bertambah sehat, Thi-hoa-nio menjadi girang. Sebaliknya
Gin-hoa-nio tampak semakin dongkol, agaknya dia menaruh dendam kepada Pwe-giok.
Meski perlahan-lahan Pwe-giok sudah sadar kembali, tapi keadaannya sangat lemas, seperti
orang yang baru sembuh dari sakit keras.
Bila teringat dirinya hampir terjerumus ke neraka yang sukar melepaskan diri, tanpa terasa
Pwe-giok berkeringat dingin pula. Baik atau buruk, untung atau celaka, nasib manusia
terkadang hanya bergantung pada sekian detik dan sekian jengkal saja.
Namun perlakuan Khing-hoa-samniocu yang teramat baik padanya membuat hatinya merasa
tidak tenteram, ia tidak tahu apa pula maksud tujuan yang telah dirancang oleh ketiga kakak
beradik yang misterius ini.
Dari propinsi Oh-pak mereka telah masuk ke Su-jwan. Suatu hari sampailah mereka di Songpeng-
pah.
Song-peng-pah ini bukan kota besar, tapi jalan kota cukup rajin dan terpelihara. Kotanya juga
ramai, orang berlalu lalang, banyak yang tertarik kepada ketiga kakak beradik yang cantik
dengan keretanya yang besar itu.
Ketiga nona ini malah sengaja turun dari kuda masing-masing dan berjalan dengan
bergandeng tangan, mereka melirik ke kanan dan tersenyum ke kiri, sungguh tidak kepalang
senang mereka melihat orang lain sama terpesona terhadap mereka.
Mendadak Gin-hoa-nio menepuk pundak seorang di tepi jalan, tanyanya dengan tersenyum
genit: "Apakah toako penduduk Song-peng-pah sini?"
Tanpa sebab ditepuk seorang nona cantik, tulang orang itu serasa lemas seluruhnya, melihat
tangan yang putih halus itu masih semampir di pundaknya, tanpa terasa orang itu lantas
merabanya dan menjawab dengan menyengir: "Ya, betul!"
Gin-hoa-nio seolah-olah tidak tahu tangannya lagi diraba-raba orang, ia tertawa terlebih
manis, katanya pula: "Jika demikian, tentu Toako tahu di mana kediaman Ma Siau-thian?"
Mendengar nama Ma Siau-thian, seketika orang itu merasa seperti kena dicambuk satu kali,
cepat ia menarik tangannya kembali dan menjawab dengan hormat: "O, kiranya nona ini
kenalan Ma toaya, beliau tinggal tidak jauh di depan sana, di jalan seberang sana, belok ke
kiri, gedung yang berpintu cat merah itulah."
Tiba-tiba Gin-hoa-nio memberikan lirikan genit, lalu membisiki orang itu: "Kenapa kau takut
kepada Ma Siau-thian? Asalkan kau berani, malam nanti boleh kau datang mencari diriku...."
lalu ia meniup pelahan ke telinga orang itu dan tertawa.
207
Sukma orang itu seakan-akan terbang ke awang-awang, dengan muka merah ia menjawab:
"O, aku..... aku tidak berani."
"Huh, percuma!" omel Gin-hoa-nio dengan tertawa menggiurkan sambil mencubit pelahan
pipi orang itu.
Dengan melenggong orang itu menyaksikan kepergian rombongan Gin-hoa-nio, sampai lama
ia masih berdiri terkesima seperti habis mimpi, ia meraba pipinya yang rada-rada gatal dan
bergumam: "Keparat, barang baik hampir semuanya di borong olehmu, Ma Siau-thian,
dasar...." mendadak pipinya yang rada gatal itu berubah menjadi rasa sakit, pipi itu sudah
bengkak seperti kepala babi, kupingnya juga sakit seperti ditusuk-tusuk jarum, ia kesakitan
dan ketakutan sambil terguling-guling dan menjerit.
"Ai, untuk apa kau lakukan?" omel Kim-hoa-nio sambil menggeleng ketika mendengar jeritan
ngeri dari jauh itu.
Gin-hoa-nio terkekeh-kekeh, katanya: "Terhadap lelaki yang suka iseng begini, kalau tidak
dihajar adat sedikit tentu tidak kapok. Tampaknya Toaci telah berubah menjadi welas asih,
apakah benar-benar sudah siap untuk menjadi menantu baik hati keluarga Tong?"
Kim-hoa-nio mendongkol, ia tidak bicara lagi, tapi terus melangkah ke depan dengan cepat.
Terlihat dinding tembok tinggi di depan sana, beberapa orang sebangsa cecunguk sedang
main dadu lempar di samping pintu besar sana.
Gin-hoa-nio mendekatinya, sekali depak ia bikin salah seorang lelaki itu terpental, orangorang
lain terkejut dan gusar, beramai-ramai mereka membentak.
Tapi Gin-hoa-nio memandang mereka dengan tertawa manis, katanya: "Numpang tanya para
Toako, apakah di sini tempat kediaman Ma-toaya?"
Melihat wajah yang cantik itu, rasa gusar orang-orang itu seketika terbang ke awang-awang,
mereka terbelalak memandangi Gin-hoa-nio dari segala sudut ke segenap bagian tubuhnya.
Seorang diantaranya berkata sambil cengar-cengir: "Akupun she Ma, akupun Ma toaya, ada
keperluan apa adik sayang mencari diriku?"
"Ah, kulihat mukamu ini masih boleh juga," ucap Gin-hoa-nio dengan tertawa genit sambil
menjulurkan tangannya untuk meraba muka orang.
Serentak orang itupun mendekatkan mukanya dan bermaksud mencium, tak tersangka dia
lantas dipersen dengan sekali gamparan keras oleh Gin-hoa-nio hingga mencelat.
Keruan lelaki yang lain menjadi gusar terus hendak mengerubutinya.
Dengan tertawa Gin-hoa-nio berkata: "Aku kan tidak mau menjadi menantu orang, biarpun
hatiku keji dan tanganku keras sedikit juga tidak menjadi soal."
Dia ternyata sengaja berolok-olok kepada Kim-hoa-nio, beberapa orang itu terus dilabraknya
hingga terkapar di sana-sini dengan kepala pecah dan darah mengucur.
208
Kim-hoa-nio mendongkol, tapi iapun tidak menghiraukan lagi.
Pada saat itulah terdengar seorang meraung: "Keparat, anak kura-kura darimana, berani ributribut
di depan pintu Locu? semuanya berhenti!"
Maka muncul seorang lelaki berjubah sulam dengan wajah merah diiringi beberapa lelaki
kekar.
Segera Gin-hoa-nio menanggapi dengan tertawa: "Ah, kukira siapa, rupanya Ma-toaya sudah
keluar! Wah, alangkah gagahnya, alangkah kerengnya!"
Beberapa pengiring itu segera mendelik dan bermaksud mendamprat, tapi Ma Siau-thian
lantas pucat demi melihat ketiga nona ini, serentak ia bertekuk lutut dan menyembah, katanya
dengan hormat: "Tecu Ma Siau-thian dari cabang Sujwan utara menyampaikan sembah bakti
kepada ketiga Hiangcu, mohon maaf, karena tidak tahu akan kedatangan ketiga Hiangcu,
sehingga tidak dilakukan penyambutan selayaknya."
Gin-hoa-nio menarik muka dan mendengus: "Hm, mendingan Ma-toaya masih kenal kami,
untung juga kau keluar pada waktunya yang tepat, kalau tidak kami mungkin bisa mampus
dihajar oleh beberapa tuan yang gagah perkasa ini."
Ma Siau-thian berkeringat dingin, cepat ia menyembah lagi dan berkata: "Kawanan binatang
ini memang pantas mampus, mereka benar-benar buta melek, masa berani bersikap kasar
kepada ketiga Hiangcu, sebentar Tecu pasti memberi hukuman setimpal kepada mereka."
Dengan hambar Kim-hoa-nio lantas berkata: "Sudahlah, yang penting sekarang barangkali
Ma-toaya dapat menyediakan suatu tempat bagi kami, sedapatnya tempat yang tenang, sebab
kami membawa seorang sakit di dalam kereta."
Berulang-ulang Ma Siau-thian mengiakan dan menyambut ketiga nona itu ke dalam rumah.
Beberapa cecunguk itu sama terkesima melihat Ma-toaya yang biasanya malang-melintang itu
sekarang ternyata munduk-munduk dan ketakutan terhadap ketiga nona cantik ini.
Ketika melangkah masuk ke dalam gedung itu, mendadak Gin-hoa-nio mendengus: "Yang
menyudahi persoalan ini dan mengampuni mereka adalah Toaci, aku sendiri tidak berkata
demikian."
Ma Siau-thian menjadi kebat-kebit, katanya dengan tergagap: "Ya, Tecu.... Tecu paham."
Thi-hoa-nio menarik lengan baju Gin-hoa-nio dan berkata: "Ji-ci, kau tahu perasaan Toaci
akhir-akhir ini kurang baik, kenapa kau suka membikin marah dia."
"Dia kan tidak mencarikan pacar bagiku, untuk apa aku mesti menjilat dia?" jengek Gin-hoanio
sambil mengebaskan lengan bajunya dan melengos
Setelah menyilakan 'Khing-hoa-samniocu' ke ruangan tamu, Ma Siau-thian mendadak
menyingkirkan semua anak buahnya, lalu berkata dengan hormat: "Tecu tahu ketiga Hiangcu
suka kepada ketenangan, maka setiap saat senantiasa menyediakan tempat yang baik bagi para
Hiangcu."
209
"O, dimana tempatnya?" tanya Kim-hoa-nio.
"Di sini," jawab Ma Siau-thian. Dengan tersenyum ia lantas menggulung sebuah lukisan besar
di ruangan tamu itu, tertampaklah di balik lukisan itu ada sebuah pintu rahasia. Pintu dibuka
dan tertampaklah sebuah jalan tembus, dibalik pintu terdapat beberapa kamar indah.
"Kami kan tidak mau berbuat sesuatu yang malu dilihat orang, kenapa mesti main sembunyisembunyi,"
jengek Gin-hoa-nio.
Ma Siau-thian menjadi seperti diguyur air dingin, ucapnya dengan gelagapan: "O, jika..... jika
Hiangcu kurang suka, di taman belakang masih ada tempat lain...."
"Biarlah, di sini saja," sela Kim-hoa-nio dengan menarik muka. Segera ia mendahului
melangkah masuk ke kamar rahasia itu, beberapa gadis mengikuti di belakangnya dengan
menggotong Ji Pwe-giok.
Melihat tempat yang dikunjungi ketiga nona ini makin lama makin misterius, entah
bagaimana nasibnya nanti bila digotong masuk ke situ. Namun apa daya, biarpun tidak suka,
mau tak mau Pwe-giok hanya menurut saja karena badan tak bisa berkutik.
Setelah menaruh Pwe-giok di atas tempat tidur, beberapa gadis cantik itu lantas tinggal pergi
dengan merapatkan pintu.
Sunyi senyap, di dalam kamar rahasia itu, selagi Pwe-giok berbaring memandangi langitlangit
kamar dengan melamun, sekonyong-konyong seorang membuka pintu dan melangkah
masuk. Ternyata Thi-hoa-nio adanya.
Nona ini berduduk diam saja di ujung ranjang dan memandangi Pwe-giok dengan mengulum
senyum, satu kata saja tidak bicara.
Akhirnya Pwe-giok tidak tahan, ucapnya: "Sekali ini berkat pertolongan nona, kalau tidak ....
kalau tidak, Cayhe mungkin .... mungkin ...."
"Kau tidak benci kepada kami lagi?" tanya Thi-hoa-nio dengan tersenyum.
Pwe-giok tidak tahu cara bagaimana harus menjawabnya, ia menghela napas, katanya
kemudian: "Cayhe tidak pernah membenci kalian, asalkan para nona jang.... jangan...."
"Jangan membunuh orang, begitu bukan?" tukas Thi-hoa-nio.
"Nona sendiripun bilang begitu, bila terlalu banyak membunuh orang, wajah cantik bisa
berubah menjadi buruk," kata Pwe-giok sambil tersenyum getir.
Thi-hoa-nio memandangnya pula sejenak dengan diam, mendadak ia tertawa dan bertanya:
"Jadi kau ingin supaya aku bertambah cantik?"
Jilid 9________
210
Pwe-giok gelagapan dan tak dapat menjawab, bilang suka terasa tidak tepat, bilang tidak suka
juga terasa tidak betul. Ia menjadi kelabakan, ia merasa untuk menjawab pertanyaan nona ini
jauh lebih sukar daripada berbuat apapun.
Thi Hoa-nio menatapnya tajam-tajam, katanya pula:
"Kalau suka bilang suka, kalau tidak jawab saja tidak suka, kenapa tidak berani menjawab ?"
"Sudah.....sudah tentu suka," akhirnya tercetus juga jawabannya.
"Dan kau menghendaki aku turut perkataanmu," tanya Thi Hoa-nio pula dengan tersenyum.
Nona yang jahil ini semakin aneh pertanyaannya.
Dengan menyengir Pwe-giok menjawab:
"Memikirkan diri sendiri saja tidak sempat, mana berani kuharapkan nona menurut kepada
perkataanku ?"
"Asalkan kau menghendaki demikian, tentu aku akan menurut," ucap Thia Hoa-nio dengan
suara lembut.
"Tapi...tapi aku...." Pwe-giok tergagap-gagap pula.
"Apakah kau menghendaki aku membunuh orang ?"
"O, aku tidak bermaksud begitu," jawab Pwe-giok.
"Jika begitu, kau cuma ingin ku turut kepada perkataanmu saja ?"
Pwe-giok menghela nafas dan terpaksa mengiakan.
Mendadak Thi Hoa-nio melonjak bangun dan mencium satu kali di pipinya, lalu berlari pergi
dengan tertawa genit.
Menyaksikan menghilangnya bayangan si nona di luar pintu, Pwe-giok berguman sendiri:
"Aneh, mengapa mendadak dia kegirangan begitu ? Apakah dia menyangka aku telah
menyanggupi sesuatu kepadanya ?"
Teringat kepada Tong Kongcu yang digoda mereka, tanpa terasa Pwe-giok jadi ngeri sendiri.
Selama beberapa hari ini, meski keadaannya semakin sehat, tapi tetap dirasakan lemas tak
bertenaga, lesu dan lelah, ia melamun hingga lama dan akhirnya terpulas tanpa terasa.
Entah sudah berapa lama dia tertidur, ketika mendadak dirasakannya sesosok tubuh yang
halus dan lunak menyusup ke dalam selimutnya, pelahan-lahan orang itu menggigit samping
lehernya serta meniup hawa di telinganya.
211
Pwe-giok terjaga bangun, namun lampu sudah padam, apapun tidak kelihatan, hanya
dirasakan gumpalan tubuh yang lunak dalam pelukannya dengan bau yang harum sedap dan
membuat jantung berdetak keras.
"He, sia...siapa kau ?" seru Pwe-giok.
Orang yang berbaring disampingnya tidak menjawab, tapi lantas membuka bajunya serta
merangkulnya, jari-jemari yang halus itu meraba perlahan sekujur badannya.
Pwe-giok tahu orang yang menyerahkan diri ke dalam pelukannya ini pasti Thi Hoa-nio
adanya dan tidak mungkin orang lain. Ia merasa detak jantungnya bertambah keras, dengan
menahan perasaan ia berkata: "Jika kau benar-benar menurut perkataanku, hendaklah lekas
kau keluar !"
Tapi orang di sebelahnya tertawa genit dan menjawab: "Siapa mau turut kepada perkataanmu
? Justru kuharap kau yang turut kepada perkataanku, sayang..." suara yang setengah tertahan
dan rada serak itu penuh daya tarik dan godaan.
"Hei, kau, Gin Hoa-nio !" seru Pwe-giok kaget.
"Ya, makanya kau harus turut kepada perkataanku, pasti takkan ku kecewakan kau," kata Gin
Hoa-nio dengan lembut.
Tenaga Pwe-giok saat ini ternyata lenyap tanpa bekas, ia tertindih di bawah hingga hampir tak
dapat bernapas, jantungnya berdetak-detak keras dan mandi keringat.
"Maukah kau menyalakan lampu ?" kata Pwe-giok mendadak.
"cara begini saja apakah kurang baik ?" tanya Gin Hoa-nio
"Aku ingin melihat dirimu," jawab Pwe-giok.
Gin Hoa-nio tertawa cekikikan, katanya: "Sungguh tidak nyana kau ternyata sudah
berpengalaman dan ahli. Baiklah akan kuturuti kehendakmu."
Dengan kaki telanjang Gin hoa-nio lantas melompat turun dari tempat tidur, digerayanginya
batu api untuk menyalakan lampu. Di bawah cahaya lampu itu tertampak jelas potongan
tubuhnya yang menggiurkan.
"Kau mau lihat, silahkan lihatlah sepuasmu !" katanya dengan tertawa sambil melirik genit
kepada Pwe-giok.
Tapi anak muda itu lantas mendengus: "Hm, memang ingin kulihat betapa bejatmu, betapa
kau tidak kenal malu ? Hm, kau kira kau sangat cantik ? bagiku justru memualkan !"
Selama hidup Pwe-giok belum pernah mengucapkan kata-kata sekeji ini, apalagi terhadap
seorang perempuan. Tapi sekarang ia sengaja hendak memancing kemarahan Gin Hoa-nio,
maka dipilihnya kata-kata yang paling menyakitkan hati dan dilontarkan langsung:
212
Benarlah senyum yang menghiasi wajah Gin Hoa-nio seketika lenyap, mukanya yang
bersemu merah seketika berubah menjadi kelam, lirikan yang menggoda juga memancarkan
sinar buas, teriaknya dengan suara parau: "Kau... kau berani mempermainkan diriku ?!"
Kuatir orang akan menggodanya lagi, Pwe-giok lantas mencaci maki sekalian:
"Sekalipun kau tidak tahu malu, seharusnya kau berkaca dulu agar kau tahu.....", makin
menyakitkan hati makiannya, biarpun perempuan yang sedang dirangsang napsu birahi juga
pasti akan dingin seketika.
Bibir Gin Hoa-nio sampai pucat, teriaknya dengan suara gemetar: "Memangnya kau kira kau
sendiri ini lelaki cakap ? Hmm, justru ingin kulihat berapa lama kecakapanmu ini akan
bertahan ?"
Mendadak ia menyambar sebilah golok yang tergantung di dinding dan menerjang ke depan
tempat tidur, dicekiknya leher Pwe-giok sambil menyeringai: "Sekarang juga akan ku bikin
kau berubah menjadi lelaki yang paling buruk di dunia ini, agar setiap perempuan di dunia ini
akan mual bila melihat tampangmu. Akan kulihat apakah kau masih bisa jual tampang atau
tidak ?"
Segera Pwe-giok merasakan mata golok yang dingin menggores di pipinya, akan tetapi dia
tidak merasakan sakit, sebaliknya merasakan semacam kesadisan yang menyenangkan, ia
malah bergelak tertawa.
Gin Hoa-nio menyaksikan muka yang tiada cacat itu telah robek di bawah mata goloknya,
darah tertampak mengucur dari wajah yang pucat itu. Seketika Gin Hoa-nio merasakan
tangannya gemetar, sayatan kedua sukar dilakukannya lagi.
Maklum, bilamana seorang harus merusak hasil seni yang indah, betapapun memang bukan
pekerjaan mudah.
Tapi Pwe-giok lantas melotot, teriaknya dengan tertawa: "Hayolah, turun tangan lagi ?
Mengapa berhenti ? Muka ini bukan milikku, jika kau rusak justru kurasakan sebagai suatu
pembebasan bagiku, aku malah berterima kasih padamu dan takkan sakit hati."
Kulit daging yang tersayat itu jadi merekah akibat tertawa Pwe-giok itu, darah mengucur
lebih deras, tapi sorot matanya juga mengandung semacam pembebasan yang latah.
Gin Hoa-nio merasa keringat dinginnya telah membasahi gagang goloknya, dengan suara
histeris ia berteriak: "Biarpun kau tidak sakit hati, tapi ada orang lain yang akan merasa sakit.
Jika tak dapat ku peroleh kau, biarlah kuhancurkan kau, ingin kulihat apakah dia tetap suka
kepada orang gila bermuka buruk macam kau ?"
Mendadak iapun bergelak tertawa seperti orang gila, sayatan kedua akhirnya dilakukan pula.
Sekonyong-konyong "Blang", pintu didobrak orang, Thi Hoa-nio menerjang masuk dan
merangkul pinggang Gin Hoa-nio terus diseretnya mundur sambil berteriak-teriak:
"Toaci, lekas kemari, jici sudah gila !"
213
Gin Hoa-nio meronta-ronta dan menyikut Thi Hoa-nio, teriaknya dengan tertawa:
"Aku tidak gila, tapi kekasihmu itulah yang gila. Dia bilang mukanya itu bukan miliknya,
biarlah kuberikan si gila ini padamu, sekarang diberikan secara gratis padaku juga aku tidak
mau."
Selagi Pwe-giok, Gin Hoa-nio dan Thi Hoa-nio berebutan begitu, datanglah Kim Hoa-nio, ia
kaget melihat muka Pwe-giok berdarah, teriaknya: "He.. apa yang kau lakukan?"
Gin-hoa-nio tertawa, teriaknya parau "Akulah yang melakukannya, apakah.. apakah kau pun
merasa sakit..." Belum habis ucapannya, "plok", mukanya telah digampar sekali oleh Kim-
Hoa-nio.
Mendadak suara tertawanya berhenti, suasana yang ribut seketika berubah menjadi hening
pula.
Thi Hoa-nio melepaskan pegangannya dan Gin Hoa-nio mundur selangkah sambil meraba
pipinya, sorot matanya memancarkan sinar yang buas, teriaknya gemetar: "Kau pukul aku!
Kau berani pukul aku?"
"Mengapa kau berbuat demikian?" tanya Kim Hoa-nio.
Gin Hoa-nio berteriak sambil berjingkrak: "Mengapa aku tidak boleh berbuat begitu? Kau
hanya tahu losam ( ketiga, maksudnya Thi Hoa-nio ) suka padanya, tapi apakah kau tahu
bahwa akupun suka pada nya? Kalian sudah mempunyai pilihan sendiri-sendiri, mengapa aku
tidak boleh memilihnya pula?"
"Bu... Bukankah kau benci padanya?" Tanya Kim Hoa-nio dengan melengak.
"Betul, kubenci dia, akupun benci padamu," teriak Gin Hoa-nio dengan parau. "Kau hanya
tahu usia losam sudah besar dan perlu mencari lelaki. Tahukah kau bahwa usiaku lebih tua
daripada dia, apakah aku tidak menginginkan lelaki?"
Sejenak Kim Hoa-nio tertegun, akhirnya ia menghela napas dan berkata: "Sungguh tak
terpikirkan olehku bahwa kau masih memerlukan bantuanku untuk mencarikan lelaki bagimu.
Kan sudah.. sudah banyak lelakimu. Masa masih perlu dicarikan orang?"
Mendadak Gin Hoa-nio meraung dan mendadak menerjang keluar.
Terdengar suaranya yang semakin menjauh. "Kubenci padamu, kubenci kepada kalian..
kubenci semua orang di dunia ini, kubenci ... hendaklah semua orang di dunia ini mampus
seluruhnya!"
Kim Hoa-nio berdiri termangu-mangu, sampai lama ia diam saja.
Thi Hoa-nio lantas mendekati tempat tidur, melihat wajah Pwe-giok yang rusak itu,
menangislah dia.
214
Sebaliknya Pwe-giok malah bersikap tenang, gumamnya: "Di dunia ini tiada sesuatu yang
kekal, tiada sesuatu yang sempurna, anehnya logika ini kenapa tidak dipahami oleh Kolothau?
Saat ini bila dia melihat diriku, entah bagaimana pula perasaannya.."
Mendadak ia merasa geli dan tertawa terbahak-bahak. Akhirnya ia merasa terbebas dari suatu
beban yang berat, hati terasa lega sekali.
Thi Hoa-nio berhenti menangis, ia pandang anak muda itu dengan terkesiap, apa yang dipikir
Pwe-giok dengan sendirinya tak diketahuinya, siapapun tak dapat memahaminya.
*****
Tiga hari kemudian, Pwe-giok merasa sebagian tenaganya sudah pulih, tapi mukanya
sekarang penuh terbalut kain perban, yang kelihatan hanya hidungnya, matanya dan sebagian
mukanya.
Kim Hoa-nio dan Thi Hoa-nio memandangi dia dengan penuh rasa menyesal dan pedih.
Akhirnya Kim Hoa-nio berkata: "Apakah benar kau hendak pergi?"
"Saat kepergianku sudah lama lalu," ujar Pwe-giok dengan tertawa.
Mendadak Thi Hoa-nio menubruk maju dan merangkulnya erat-erat sambil berseru: "Kau
jangan pergi! Bagaimanapun kau berubah, tetap… tetap sama baiknya aku terhadapmu."
"Jika betul kau baik padaku seharusnya kau lepaskan aku pergi," kata Pwe-giok dengan
tertawa. "Seorang kalau tidak dapat bergerak bebas, lalu apa artinya hidup ini baginya?"
"Tapi, sedikitnya, harus kau perlihatkan kepada kami betapa kau telah berubah?" kata Kim
Hoa-nio dengan pedih.
"Betapapun perubahan diriku, aku tetap aku," kata Pew giok.
Pelahan ia mendorong Thi Hoa-nio, lalu berbangkit. Katanya pula mendadak dengan tertawa:
"Tahukah kalian, sepergiku dari sini urusan apa yang akan kulakukan pertama-tama?"
"Jangan-jangan akan mencari Jimoay yang kejam itu?" Kata Kim Hoa-nio.
"Aku memang hendak mencari satu orang, tapi bukan dia yang kucari," jawab Pwe-giok
dengan tertawa.
"Habis siapa yang kau cari?" Tanya Thi Hoa-nio sambil mengusap air matanya.
"Jika kalian mau berduduk saja di sini dan membiarkan ku pergi sendiri, inipun sudah cukup
sebagai tanda terima kasih padaku," kata Pwe-giok. Lalu ia melangkah keluar tanpa menoleh.
Ternyata Kim Hoa-nio dan Thi Hoa-nio juga tidak menguntitnya, air mata mereka sudah
berderai.
215
Hati Pwe-giok terasa lega. Tiada sesuatu yang terpikir dan juga tidak perlu menyesal terhadap
seseorang, jika memang tidak pernah merugikan atau mengingkari orang lain, maka air mata
orang lainpun tak dapat mempengaruhi dia.
Dia membuka pintu ruangan di bawah tanah dan menyingkap lukisan itu, cahaya matahari di
waktu senja menyinari mukanya, meski senja belum tiba, namun sudah dekat magrib.
Agar tidak silau ia angkat sebelah tangannya untuk mengalingi sinar matahari, tangan yang
lain digunakan merapatkan pintu. Sekonyong-konyong kedua tangannya terjulur lemas ke
bawah, kakipun terasa berat untuk melangkah.
Ternyata di ruangan luar ini tergantung sebaris orang di belandar, semuanya sudah mati.
Darah segar masih menetes, agaknya darah mereka belum lagi beku. Leher tiap-tiap orang itu
sama tertembus, lalu lubang yang tembus itu dicocok dengan tali dan digantung mirip ayam
panggang. Orang yang paling depan jelas tuan rumah di sini.
Apa yang terjadi ini jelas baru berlangsung sore tadi, sebab siangnya tuan rumah yang ramah
ini pernah masuk ke ruangan bawah tanah dan mengantar santapan.
Orang sebanyak itu terbunuh sekaligus, tapi di ruangan dalam sedikitpun tidak mendengar,
jelas tindakan si pembunuh sangat gesit, cekatan dan juga keji.
Pwe-giok berdiri termangu sejenak, ia ingin masuk kembali ke ruangan dalam, tapi sekilas
pikir ia berganti haluan, segera melangkah keluar ruangan besar itu.
Sekalipun dalam hatinya rada was-was, tapi orang lain tidak dapat mengetahui perasaannya,
waktu ia lalu di barisan orang mati itu, dia anggap seperti lalu di samping sederetan pohon
saja.
"Siapa itu? Berhenti!" mendadak seorang membentak.
Seketika Pwe-giok berhenti, tak terlihat rasa kagetnya sedikitpun, juga tiada tampak rasa
gugup atau rasa terpaksa, seperti sudah tahu sebelumnya bakal dibentak orang begitu.
"Kemari Kau" bentak orang itu pula.
Segera Pwe-giok berputar dan melangkah ke sana, maka dapatlah dilihatnya orang yang baru
keluar dari pintu sana adalah Kim yan cu, si walet emas.
Meski dirasakannya agak di luar dugaan, tapi sikapnya tidak berubah, sebaliknya Kim Yan cu
tampak penuh rasa kejut dan heran, bentaknya pula dengan bengis: "kau keluar dari mana?
Mengapa tadi tidak kulihat kau?"
"Ku keluar dari jalan keluar tentunya!" Jawab Pwe-giok dengan hambar.
Kim yan cu membentak pula: "Apakah kau bersembunyi bersama Khing hoa sam-niocu?"
"Benar atau tidak ada sangkut pautnya apa dengan kau?" jawab Pwe-giok ketus.
216
Belum habis ucapannya, tahu-tahu ujung pedang Kim yan cu sudah mengancam di
tenggorokannya. Dengan sendirinya dia tidak kenal lagi yang dihadapinya ialah Ji Pwe-giok.
Maklumlah, saat ini bukan saja mula Pwe-giok hampir seluruhnya terbalut, bahkan sikapnya
yang tenang dan sewajarnya juga sama sekali berbeda daripada dahulu. Jangankan cuma
sebilah pedang yang mengancam tenggorokannya, sekalipun ada seribu pedang yang sama
menusuk ke dalam dagingnya juga takkan menimbulkan rasa jerinya.
Seorang kalau sudah menyaksikan sendiri kematian ayahnya secara ngeri, tapi ia sendiri
malah dituduh sebagai orang gila, malahan harus mengakui sebagai ayah orang gila, malahan
harus mengakui musuh sebagai ayah yang jelas-jelas sudah mati, lalu kejadian apa di dunia ini
yang tak dapat ditahannya?
Jika seorang berhadapan dengan orang yang dicintainya, tapi tidak dapat mengakui dan
berbicara, lalu urusan apa di dunia ini yang dapat membuatnya lebih pedih.
Bila seorang sudah mengalami beberapa kali ancaman maut dan tidak sampai mati karena
kejadian-kejadian yang ajaib, lalu soal apa di dunia ini yang dapat membuatnya takut?
Apabila seorang dari yang cakap telah berubah menjadi buruk rupa, lalu hal apalagi di dunia
ini yang dapat membuatnya merasa risau?
Seorang kalau sudah mengalami berbagai kejadian yang sukar dibayangkan orang lain, maka
tidak ada sesuatu yang dapat mengguncangkan perasaannya.
Ketenangan dan kewajaran Pwe-giok ini diperolehnya dengan imbalan yang cukup mahal,
rasanya di dunia ini tiada orang lain yang mampu membayar semahal ini. Di dunia ini
memang tiada orang lain lagi yang dapat dibandingkan dengan dia.
*****
Begitulah tanpa terasa pedang Kim yan cu terjulur ke bawah. Nyata ketenangan orang ini
telah mempengaruhi dia.
Pwe-giok menatapnya tajam-tajam, tanyanya kemudian dengan tertawa: "Dimana Sin to
kongcu ?"
"Kau.....kau kenal padaku ?" seru Kim yan cu dengan melenggong.
"Sekalipun cayhe tidak kenal nona juga tahu bahwa nona dan Sin to kongcu selamanya berada
bersama seperti tubuh dan bayangan yang tak pernah terpisahkan."
Kim yan cu terbelalak, katanya kemudian: "Ya, rasanya aku sudah seperti sudah kenal kau."
"Orang yang terluka dan kepalanya terbalut sudah tentu tidak cuma aku saja," kata Pwe-giok.
"Sesungguhnya siapa kau ?" tanya Kim yan cu
"Ji Pwe-giok !"
217
Wajah Kim yan cu yang cantik itu seketika berkerut-kerut, ucapnya dengan gemetar:
"Ji Pwe-giok kan sudah mati, kau....kau..."
"Tahukah nona di dunia ini ada dua Ji Pwe-giok, yang satunya sudah mati, yang lain masih
hidup, syukur cayhe bukan Ji Pwe-giok yang mati itu, cuma kawannya agaknya memang jauh
lebih banyak dariku."
Kim yan cu menghembus nafas lega, tanyanya mendadak: "Apakah kau yang membunuh
orang-orang ini ?"
"Masa bukan nona yang membunuh orang-orang ini ?" balas Pwe-giok bertanya.
"Kejahatan orang-orang ini sudah kelewat takaran, mati sepuluh kali juga belum cukup untuk
menebus dosa mereka," ucap Kim yan cu dengan gemas.
"Memang sudah lama ingin ku bunuh mereka, cuma sayang kedatanganku sekarang ini agak
terlambat sejenak."
"Jadi nona benar-benar tidak tahu siapa pembunuhnya ?" tanya Pwe-giok
"Aku inilah pembunuhnya !" sekonyong-konyong seorang menanggapi dengan pelahan.
Suaranya begitu datar dan hambar, seolah-olah ucapan demikian sudah sangat biasa baginya,
seperti juga membunuh orang bukan sesuatu yang menakutkan dan mengerikan lagi.
Menyusul ucapan tersebut, seorang mendadak muncul di depan mereka. seorang yang
buntung sebelah tangannya.
Jenggot panjang putih kelabu berjuntai di depan dada orang itu, pinggangnya juga terikat tali
sutera putih kelabu, sepatunya juga berwarna putih kelabu, rambutnya yang juga kelabu
terikat dengan kopiah perak.
Mukanya juga putih kelabu, di bawah alisnya yang sama warna, biji matanya yang juga
kepucat-pucatan itu memancarkan sinar yang tajam.
Sudah lama Kim yan-cu malang melintang di dunia Kangouw, biasanya Ia suka menganggap
dirinya adalah perempuan yang paling berani di dunia ini. Tapi sekarang tidak urung ia
merinding juga melihat orang yang aneh ini, serunya kemudian: "Jadi kau yang membunuh
orang-orang ini?"
Dengan hambar si kakek serba kelabu itu menjawab: "Kau kira dengan sebelah tanganku saja
tak dapat membunuh? Jika aku tidak dapat membunuh, tentu orang jahat di dunia ini sekarang
bertambah banyak daripada dahulu."
"Cianpwe.....entah Cianpwe...."
"Tidak perlu kau tanya namaku," potong si kakek sebelum lanjut ucapan Kim yan-cu. "Kalau
kau memusuhi Thian-can-kau, ini berarti kau sehaluan denganku Kalau tidak, saat ini tentu
kau tidak hidup lagi di dunia ini."
218
Bila orang lain yang bicara demikian pada Kim-yan cu, tentu ujung pedang si walet emas
sudah mengancam di ulu hatinya. Tapi sekarang meski hambar saja ucapan si kakek, namun
bagi pendengaran Kim-yan cu rasanya memang tepat dan pantas. Ia lantas bertanya pula:
"Entah Cianpwe sudah menemukan Khing-hoa-sam niocu atau belum?"
"Kau pun bermusuhan dengan mereka?" tanya si kakek.
"Betapa dalamnya permusuhan ini sukar diceritakan dalam waktu singkat," jawab Kim-yan-cu
dengan menggreget.
"Kau bertekad akan menemukan mereka?" tanya si kakek pula.
"Jika dapat menemukan mereka, tanpa kupikirkan apa imbalannya," jawab Kim-yan cu.
"Baik, bila kau ingin menemukan mereka, ikutlah padaku," kata si kakek sambil melangkah
keluar ruangan besar itu, setelah menyusuri taman dan keluar dari sebuah pintu kecil, jalan
lebar di pinto belakang sunyi senyap tiada nampak bayangan seorangpun.
Kim-yan-cu ikut di belakang si kakek dengan penuh semangat. Pwe-giok juga ikut di
belakang mereka dengan penuh rasa sangsi.
Jelas kakek ini tidak tahu di mana beradanya Khing-hoa-sam niocu mengapa dia bilang
hendak membawa Kim yan-cu pergi mencari mereka. Sekalipun kakek ini dapat membunuh
Ma Siau-thian dan begundalnya, tapi orang yang cuma bertangan satu cara bagaimana
menggantung orang sebanyak itu di belandar? Cukup dengan dua soal ini saja jelas si kakek
telah berdusta. Dan untuk apakah dia berdusta?
Orang yang berdusta kebanyakan bertujuan membikin celaka orang lain. Tapi melihat
kemampuan kakek ini, jika dia mau membunuh Kim-yan-cu boleh dikatakan sangat mudah,
kenapa mesti bersusah payah mencari jalan lain. Sesungguhnya hendak dibawa ke manakah
Kim-yan-cu?
Sejak mula si kakek sama sekali tidak memandang Pwe-giok, seolah-olah tidak merasa ada
seorang Ji Pwe-giok di sekitarnya.
Pwe-giok juga mengikuti mereka dengan diam saja tanpa bersuara.
Si kakek dapat menahan perasaannya, Ji Pwe-giok juga cukup sabar, tapi Kim yan-cu yang
tidak tahan akan gejolak pikirannya.
Sementara itu cuaca sudah makin gelap, jalan yang mereka tempuh juga semakin terpencil, di
bawah sinar bulan, kakek yang misterius ini mirip badan halus berwarna kelabu.
"Sesungguhnya Khing-hoa-sam niocu berada di mana?" saking tak tahan akhirnya Kim yancu
bertanya.
Si kakek menjawab dengan hambar tanpa menoleh; "Orang yang jahat dengan sendirinya
berada di tempat yang jahat."
"Tempat yang jahat?" tukas Kim-yan-cu.
219
"Ya jika kau tidak berani ke sana, sekarang juga boleh kau putar balik," kata si kakek.
Kim-yan-cu menggreget dan tidak bicara lagi.
Diam-diam Pwe-giok membayangkan kata-kata "tempat yang jahat" tadi, ia merasa maksud
tujuan si kakek lebih-lebih sukar dijajaki.
Lengan baju si kakek yang longgar itu melambai di tanah, jalannya tampaknya tidak cepat,
tapi hanya sebentar saja mereka sudah berada di luar kota.
Kim yan-cu belum lama muncul di Kangouw dan namanya sudah cukup terkenal, dia
memakai nama julukan "walet" dengan sendirinya ahli Gin-kang, namun setelah ikut berjalan
sekian lama bersama si kakek, tanpa terasa mulai terengahlah napasnya.
Mendingan Ji Pwe-giok, meski tenaganya belum pulih seluruhnya, tapi dia belum merasakan
lelah, terhadap kepandaian si kakek diam-diam ia bertambah waspada.
Dilihatnya si kakek berputar kian kemari di tengah hutan, mendadak mereka berada di sutu
lereng bukit yang tidak terlalu tinggi, namun batu padas aneh berserakan di sana sini, lereng
bukit tandus kering, tampaknya sangat curam dan bahaya.
Di tengah lereng terdapat sepotong batu padas besar yang mencuat keluar, pada batu padas itu
semula tertatah tiga huruf besar, tapi sekarang penuh dengan bekas bacokan golok, ketiga
huruf itu telah dirusak entah oleh siapa.
"Huruf pada batu padas itu tentu nama gunung ini," demikian Pwe-giok membatin. "Tapi ada
orang sengaja memanjat ke atas dan merusak ketiga huruf itu, apakah maksud tujuannya?
Memangnya nama gunung inipun mengandung sesuatu rahasia sehingga tidak boleh dilihat
orang, masa cuma nama gunung saja mengandung rahasia?
Rupanya setelah beberapa kali menghadapi detik antara mati dan hidup, Pwe-giok bertambah
matang, ia cukup memahami betapa keji dan kejamnya orang hidup ini, maka terhadap segala
sesuatu ia selalu lebih hati-hati. Barang sesuatu yang mungkin dipandang sepele oleh orang
lain, baginya justeru dipandang cukup berharga untuk direnungkan dan dipelajari asalkan ada
sesuatu yang menyangsikan tentu diperhatikannya dengan baik.
Cuma sekarang ia sudah berhasil belajar dari pengalaman, segala sesuatu tentu dipikirnya
lebih mendalam. Sebab itulah rasa sangsinya sekarang juga bertambah besar, namun dia tetap
bersikap tenang dan tidak menyinggungnya.
Setiba di depan batu padas yang mencuat keluar di lereng situ, tanpa kelihatan bergerak, tahutahu
kakek itu telah melayang ke atas padas itu.
Selagi Kim-yan-cu bermaksud ikut melayang ke atas, sekonyong-konyong terdengar suara
keriat-keriut, batu raksasa itu mendadak bergeser pelahan dan tertampaklah sebuah gua yang
gelap di balik gua batu.
Perubahan ini sungguh membuat Pwe-giok terkejut, Kim-yan cu malahan melongo
menyaksikan kejadian itu, dia sudah bergerak mau melompat ke atas, sekarang diurungkan.
220
"Kenapa kalian tidak ikut naik ke sini?" terdengar si kakek berseru.
Kim yan-cu berpaling dan memandang Pwe-giok sekejap, tiba-tiba ia mendesis: "Perjalanan
ini sangat berbahaya, untuk apa kau ikut kemari? Lekas pergi saja!"
Pwe-giok tersenyum, jawabnya: "Sudah ikut sampai di sini, hendak pergipun terasa terlambat
sudah."
"Memangnya kenapa?" ujar Kim-yan-cu sambil berkerut kening.
Pwe-giok tidak menjawabnya, segera ia mendahului melayang ke atas. Ia merasakan si kakek
sedang memandangnya dengan sorot mata yang tajam, se-olah2 ingin tahu betapa tinggi
kemampuannya. Tergerak hati Pwe-giok, cepat ia kurangi kekuatannya, hanya setengah
kemampuannya saja dikeluarkannya.
Meski air muka si kakek tidak berubah, tapi sorot matanya mengunjuk perasaan kurang puas.
Sementara itu Kim-yan-cu sudah melompat ke atas dengan sepenuh tenaga dan si kakek
kelihatan merasa senang.
Kembali Pwe-giok merasa heran, Jika si kakek bermaksud jahat terhadap mereka, bila
kepandaian mereka makin rendah kan makin mudah baginya untuk turun tangan, jadi
seharusnya dia merasa senang.
Tapi dari sikapnya ini tampaknya dia mengharapkan ilmu kedua orang muda ini lebih tinggi
lebih baik. Lantas apa maksudnya? Sesungguhnya apa yang dikehendaki?
Saat itu Kim-yan-cu sudah berada di atas batu padas, dilihatnya gua itu gelap gulita, dalamnya
sukar dijajaki, terasa angin dingin meniup keluar dari dalam gua.
Batu raksasa yang bergeser itu tepat ambles ke samping tebing yang mendekuk, jadi sudah diperhitungkan
dengan tepat. Apalagi batu raksasa yang berpuluh ton ini dapat digeser oleh
seorang saja, jelas pesawat rahasianya dibuat sedemikian dan entah betapa banyak memakan
tenaga dan pikiran untuk menciptakan alat rahasia yang hebat ini.
Dan kalau di dalam gua ini tidak tersembunyi sesuatu rahasia yang maha penting, siapa pula
yang sudi mengorbankan tenaga dan pikiran sebesar ini?
Sampai di sini, mau tak mau timbul juga rasa curiga Kim-yan-cu, ia berguman: "Apakah
mungkin Khing-hoa-samniocu berada di gua ini?"
"Gua ini sebenarnya tempat rahasia Thian can-kau, tempat penyimpanan harta karun, apabila
Khing-hoa-samniocu bukan Tancu (kepala seksi) dalam Thian-can-kau, jangan harap dapat
masuk ke sini", kata si kakek
Mendadak Kim-yan-cu bertanya: "Darimana pula Cianpwe mengetahui rahasia Thian-cankau?"
Si kakek tertawa hambar, jawabnya: "hehe, betapa banyak rahasia di dunia ini yang dapat
mengelabui mataku?"
221
Jika kata2 ini diucapkan orang lain, andaikata Kim-yan-cu tidak menganggapnya membual
tentu akan menganggapnya omong besar. Tapi di mulut kakek ini ucapan tersebut memang
lain bobotnya.
Kim-yan-cu seperti takluk benar2 lahir batin terhadap kakek itu, setelah berpikir sejenak, ia
bergumam: "Aneh, Thian-can-kau jauh berada di daerah Miau, sebaliknya tempat rahasia
penyimpanan harta pusakanya terletak di sini."
"Kau tidak berani masuk ke situ?" tanya si kakek dengan sorot mata tajam.
Kim-yan-cu menghela napas panjang, katanya keras-keras: "Asalkan dapat menemukan
Khing-hoa-sam niocu, ke gunung golok atau masuk lautan api juga bukan soal bagiku."
Seketika sorot mata si kakek berubah halus lagi, ucapnya: "Bagus, bagus sekali, asalkan kau
tabah dan hati-hati, kujamin kau takkan menghadapi apapun. Kalian boleh masuk saja dan
tidak perlu kuatir."
"Tapi Cayhe tiada maksud buat masuk ke situ," kata Pwe-giok mendadak.
Baru sekarang ia membuka suara, mestinya dia hendak bilang: "Ku tahu Khing-hoa-sam
niocu tidak berada di gua ini, kenapa kau berdusta?"
Tapi dia tahu bilamana kata-kata itu diucapkan, maka si kakek pasti takkan mengampuni dia.
Saat ini ia merasa bukan tandingan si kakek, maka dia sengaja memancingnya dulu dengan
ucapan tadi.
Benar juga, segera sorot mata si kakek berubah tajam pula, katanya: "Kau tidak mau masuk
ke sana?"
"Cayhe kan tidak ingin mencari Khing-hoa-sam niocu, untuk apa masuk ke situ?" jawab Pwegiok.
"Ya, persoalan ini hakekatnya tiada sangkut pautnya dengan dia, sesungguhnya akupun tidak
kenal dia," demikian cepat Kim-yan-cu menyela.
"Jika kau tidak mau masuk ke sana ya terserah lah, akupun tidak memaksa," kata si kakek
dengan tak acuh.
Seperti tidak sengaja, mendadak tangannya menepuk pelahan pada dinding tebing itu, tiada
terdengar sesuatu suara, tapi di dinding tebing itu lantas bertambah dekukan cap telapak
tangan seperti pahatan senjata tajam.
Dengan tertawa Pwe-giok lantas berkata: "Sebenarnya cayhe tidak berniat masuk ke situ, tapi
kalau benar harta pusaka Thian-can-kau disimpan di sini, kesempatan ini biarlah kugunakan
untuk mencari rejeki."
Si kakek tidak menghiraukan dia lagi, dia mengeluarkan sebuah pedang bersarung perak,
panjangnya cuma setengah meteran, serta sebuah geretan api, semua itu ia serahkan kepada
Kim-yan-cu sambil berkata: "Pedang ini sangat tajam, memotong besi seperti merajang sayur,
222
Geretan api pun bukan barang sembarangan, boleh kau bawa dan tentu banyak gunanya.
Hendaklah kau jaga dengan baik dan jangan sampai hilang."
"Terima kasih," kata Kim-yan-cu.
Begitu dia dan Pwe-giok melangkah masuk gua batu padas raksasa itu pelahan-lahan lantas
bergerak merapat lagi.
Dengan kaget Kim-yan-cu berteriak: "He, jika Cianpwe menutup batu ini, bukankah kami tak
dapat keluar lagi?"
Segera ia bermaksud melompat keluar, siapa tahu mendadak suatu tenaga maha kuat
menolaknya dari luar gua sehingga dia jatuh terjengkang.
Sempat terdengar si kakek berkata: "Jika nanti kau ingin keluar, gunakan pedang pendek itu
mengetuk dinding batu tujuh kali dan segera ku tahu..." belum habis ucapannya batu raksasa
itu sudah menutup rapat.
Seketika keadaan di dalam gua gelap gulita, jari sendiri saja tidak kelihatan.
Mendadak cahaya perak meletik, Km-yan-cu telah menyalakan api geretan yang diberikan si
kakek tadi. Geretan api ini sangat aneh, lelatu berhamburan seperti bunga api dan cahaya
perak yang tidak begitu terang terus terpancar.
Di bawah cahaya perak itu tertampak wajah Pwe-giok yang terbalut kain perban itu, tapi sorot
matanya gemerdep, nyata dia tidak menjadi gugup atau kuatir.
Kim-yan-cu tidak tahu orang ini bodoh atau gendeng, namun jelas nyalinya sangat besar.
Ucapnya dengan menyesal: "Urusan ini kan tiada sangkut-pautnya dengan kau, untuk apa kau
ikut masuk kemari?"
Diam-diam Pwe-giok merasa gegetun: "Meski watak nona ini suka menang, namun hatinya
sangat bajik. Dalam keadaan demikian dia masih juga berpikir bagi orang lain."
Selama beberapa hari ini perempuan yang pernah ditemui Pwe-giok kalau tidak berhati keji
tentu berwatak aneh dan jahil, sekarang mendadak melihat kebaikan hati Kim yan-cu,
seketika timbul kesan baiknya, dengan tersenyum ia menjawab: "Dua orang berada bersama
kan jauh lebih baik daripada menempuh bahaya sendirian?"
"Kau .... kau datang ke sini demi diriku?!" tanya Kim-yan cu dengan melengak.
"Jika nona adalah sahabat Ji Pwe-giok yang itu, maka engkau sama juga kawanku," kata Pwegiok
dengan tertawa.
Kim-yan-cu memandanginya sekejap, mendadak mukanya bersemu merah, untung cahaya
perak itu sangat aneh, air mukanya merah atau putih sukar dibedakan orang lain.
Dia terus melengos ke sana dan terdiam sejenak, kemudian berkata pula: "Menurut
dugaanmu, sesungguhnya apa maksud tujuan orang tua tadi?"
223
"Menurut nona, bagaimana?" Pwe-giok balas bertanya setelah merenung sejenak.
"Jika dia berniat mencelakai diriku, untuk apa pula dia menyerahkan benda berharga ini
kepadaku," kata Kim-yan cu. "Apalagi kalau melihat tenaga pukulannya tadi, jika dia tidak
bermaksud membunuh kita, kukira bukan sesuatu yang sukar baginya."
"Betul, tenaga pukulan orang ini lunak tapi maha kuat, boleh dikatakan sudah terlatih hingga
puncaknya, tampaknya tidak di bawah "Bian-ciang" (pukulan lunak) Jut tun Totiang dari Butong-
pay."
"Tapi bila dia tidak bermaksud jahat, mengapa dia memaksa kau masuk kemari, lalu
menyumbat pula jalan keluarnya sehingga kita tiada jalan mundur terpaksa kita harus
menerjang ke depan?"
"Jika demikian, marilah kita menerjang ke depan," kata Pwe-giok dengan tertawa.
Akhirnya Kim-yan-cu berpaling memandangnya lagi sekejap, ucapnya: "Berada di
sampingmu, sekalipun aku merasa takut, akhirnya aku menjadi tidak takut lagi."
Di bawah cahaya perak yang remang-remang, tertawa Kim-yan-cu kelihatan sedemikian
cerah, di balik wajah yang cerah ini tampaknya tiada tersembunyi sesuatu rahasia apa pun.
Diam-diam Pwe-giok menghela napas gegetun, pikirnya: "Apabila setiap perempuan di dunia
ini serupa dia, tentu dunia ini akan jauh lebih aman...."
Kemudian Pwe-giok mengambil oper geretan api itu, dia membuka jalan di depan.
Di bawah cahaya perak tiba-tiba dilihatnya kedua sisi dinding gua ini penuh terukir gambargambar
yang halus dan indah, setiap gambar terdiri dari satu lelaki dan satu perempuan.
Hanya sekejap saja Kim yan-cu memandang ukiran dinding itu, seketika mukanya menjadi
merah, teriaknya: "Tempat setan ini benar-benar tempat jahat, menga... mengapa...."
Muka Pwe-giok terasa panas juga, sungguh tak tersangka olehnya di gua yang misterius ini
bisa terukir gambar-gambar tidak senonoh begini.
Kiranya gambar lelaki dan perempuan yang memenuhi dinding gua itu rata-rata adalah dalam
adegan "hot" di luar susila.
Mendadak Kim-yan-cu mendekap mukanya dan berlari ke depan.
Tak tersangka, sekonyong-konyong dari tempat gelap muncul dua orang, dua golok besar
terus membacok secepat kilat. "Awas!" bentak Pwe-giok.
Begitu bersuara segera ia pun menerjang maju, Kim-yan-cu dirangkulnya dan berguling ke
sana sehingga mata golok menyambar lewat di samping mereka.
"Ah, kiranya cuma dua orang batu saja," ujar Pwe-giok sambil menyengir setelah melihat
jelas kedua penyerang itu.
224
"Tapi kalau tiada kau, bisa jadi aku sudah berubah menjadi orang mati," kata Kim yan-cu.
Pwe-giok merasa bau harum memabukkan, waktu ia menunduk, baru disadarinya Kim-yan-cu
masih berada dalam pelukannya, mulut si nona yang kecil mungil cuma beberapa inci di
bawah mulutnya.
Berdetak keras jantungnya. Selagi ia hendak minta maaf, mendadak Kim yan-cu tertawa
terkekeh-kekeh, katanya: "Sin-to Kongcu yang kau katakan itu tentu akan mati kheki bila
melihat keadaan kita sekarang, Sungguh aku berharap dia benar-benar menyaksikan adegan
ini sekarang."
Tadinya Pwe-giok kuatir si nona akan malu dan menjadi gusar, tak tahunya Kim-yan-cu jauh
lebih terbuka pikirannya daripada nya, bahkan juga tidak pura-pura malu dan berlagak rikuh
segala.
Sungguh mujurlah, seorang lelaki dalam keadaan demikian dapat bertemu dengan seorang
nona yang berhati terbuka seperti ini. Mau-tak-mau gembira juga Pwe-giok, katanya dengan
tertawa: "Bahwa sekali ini dia tidak mengikuti kau, sungguh kejadian yang aneh."
Dengan tertawa Kim-yan-cu menjawab: "Sepanjang hari dia terus mengintil di belakangku,
asalkan orang lain memandang sekejap padaku, dia lantas marah. Sungguh aku pun merasa
sebal, maka kucari kesempatan untuk meninggalkan dia..." mendadak sorot matanya menatap
ke belakang Pwe-giok dan berkata pula: "Eh, coba . .. .coba lihat..."
Pwe-giok berpaling, dilihatnya dinding batu di belakangnya seperti berbentuk beberapa daun
pintu, di atas pintu terukir delapan huruf, di bawah cahaya perak itu warnanya kelihatan pucat
kehijau-hijauan.
Ke delapan huruf itu berbunyi: "Siau-hun-bi-kiong, barang siapa masuk mati."
Terbelalak Kim-yan-cu memandangi ukiran itu, katanya sambil berkerut kening: "Tempat
penyimpanan benda pusaka Thian-can-kau mengapa disebut Siau-hun-bi-kiong (istana
penggetar sukma)?"
Tapi dari ukiran cabul yang dilihatnya di dinding gua tadi, lalu melihat lagi nama Siau-hun-bikiong
ini, tahulah Pwe-giok bahwa gua ini tidak saja "jahat", bahkan sangat misterius dan
sangat berbahaya, bisa jadi juga tempat yang sangat mengasyikkan, tempat yang menakutkan
tapi juga menarik seperti dalam dongeng itu.
Mendadak ia menatap Kim-yan-cu dan bertanya: "Kau masih berani masuk ke sana?"
"Apakah dengan kedelapan huruf ini dapat menggertak mundur kita?" jawab Kim-yan-cu
dengan tertawa.
Pwe-giok melengak, katanya kemudian; "Tapi kalau Khing-hoa-sam niocu tidak berada di
dalam sana?"
Kim-yan-cu juga melengak, katanya: "Mengapa mereka tidak berada di dalam? Masa kakek
itu membohongi aku?"
225
"Setahuku, Khing-hoa-sam niocu tidak berada di dalam," tutur Pwe-giok. "Mengenai sebab
apa si kakek membohongi kau, inipun aku tidak habis mengerti,"
Kim-yan-cu berpikir sejenak, katanya kemudian pelahan: "Coba, menurut kau, sesudah
begini, apakah kita masih dapat keluar lagi?"
Dia membetulkan rambutnya yang agak kusut, Ia lalu menyambung pula: "Sekarang biarpun
kita mengetuk tiga ratus kali di dinding batu itu juga si kakek takkan melepaskan kita keluar.
Jika dia telah menipu kita masuk ke sini, betapapun pasti ada maksud tujuannya."
"Setiap langkah di sini ada kemungkinan akan menghadapi bahaya," kata Pwe-giok
kemudian.
"Kukira lebih baik kau tunggu di sini saja, biarlah ku masuk lebih jauh untuk memeriksanya."
"Kau sendiri bilang, dua orang berada bersama jauh lebih baik daripada sendirian," ucap Kimyan-
cu dengan tersenyum manis.
Dalam keadaan begini, biasanya watak asli setiap orang akan tertampak, orang yang
menggemaskan bisa bertambah menggemaskan, orang yang menyenangkan bisa pula
bertambah menyenangkan.
Tanpa terasa Pwe-giok menarik tangan Kim-yan-cu, katanya dengan tertawa: "Marilah kita
maju lagi ke sana, asalkan hati-hati kukira takkan..."
Belum habis ucapannya mendadak kaki terasa menginjak tempat kosong, lantai batu di
bawahnya mendadak merekah menjadi sebuah lubang, kontan tubuh kedua orang terjeblos ke
bawah.
Kim-yan cu menjerit kaget, tapi segera dirasakan tangan Pwe-giok yang menggandeng
tangannya itu menolaknya dengan kuat, oleh tenaga dorongan yang kuat itu tubuh Kim-yan cu
dapat ditolak ke atas. Sebaliknya Pwe-giok sendiri tetap terjerumus ke bawah.
Berkat tenaga dorongan Pwe-giok itu, Kim-yan-cu berjumpalitan sekali di udara dan
menancapkan kakinya di tepi lubang itu, teriaknya: "He, kau . . . . kau bagaimana?"
Lubang di bawah tanah itu ternyata sangat dalam, cahaya perak geretan api yang dipegang
Pwe-giok kelihatan gemerdep jauh di bawah, tapi tidak jelas apakah anak muda itu masih
hidup atau sudah mati.
Saking cemasnya Kim-yan-cu mengucurkan air mata, teriaknya parau: "Ja... jawablah, kenapa
kau diam saja?"
Tapi tetap tiada suara jawaban dari bawah.
Kim-yan-cu menjadi nekat, ia pejamkan mata dan hendak ikut terjun ke bawah.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong seorang telah meraihnya dengan erat. Cepat Kim-yan-cu
membuka mata, cahaya perak kelihatan masih gemerdep di bawah lubang sana, ia terkejut dan
226
heran siapakah yang menariknya. Waktu ia mengawasi lebih cermat, siapa lagi orang yang
berdiri di sebelahnya dengan tersenyum simpul jika bukan Ji Pwe-giok adanya?
Kejut dan girang bercampur aduk, Kim-yan-cu menjerit tertahan terus menubruk ke dalam
pelukan Pwe-giok, serunya: "Ai, kau bikin aku mati kaget, ken .... kenapa tadi kau tidak
bersuara?"
Dengan tersenyum Pwe-giok menjawab: "Dengan menahan napas tadi ku sempat panjat
dinding gua, bila membuka mulut, tentu akan kehilangan tenaga dan bisa jadi benar-benar
terjerumus ke bawah."
"Kulihat gemerdep nya api geretan di bawah sana, kukira .... kukira kau sudah tamat, siapa
tahu geretan api itu cuma terjatuh saja ke bawah dan kau.... kau masih hinggap di dinding gua
dan dapat naik ke atas."
Pwe-giok memandangnya lekat-lekat, ia menghela napas dan berucap: "Dan untuk apa kau
bertindak demikian?"
Yang dimaksudkannya ialah tindakan Kim-yan-cu yang hendak ikut terjun ke bawah tadi.
Kim-yan-cu menunduk, jawabnya pelahan: "Bilamana kau mati lantaran menyelamatkan
diriku, lalu apakah aku dapat hidup sendirian?"
Mendadak ia menengadah dan tertawa cerah, katanya: "Tidak cuma kau saja, siapapun kalau
mati demi menyelamatkan diriku, kukira aku pasti tak dapat hidup lagi sendirian."
"Apa yang kau katakan terakhir ini sungguh bisa mengecewakan harapanku," Pwe-giok
sengaja menggoda dengan mata berkedip-kedip.
"Ku tahu, orang semacam kau ini pasti sudah lama mempunyai kekasih," ucap Kim-yan-cu
dengan tersenyum. "Sebab itulah bilamana kukatakan akan mati demi dirimu, bukankah akan
membuat kau serba salah?"
Tanpa terasa Pwe-giok memegang pula tangan si nona, katanya dengan tertawa: "Haha,
sungguh kau ini anak perempuan satu-satunya yang tidak membikin kesal daripada semua
anak perempuan yang pernah kukenal."
Ia merasa sangat gembira bisa berada dengan anak perempuan seperti Kim-yan-cu, orangnya
lugu, terus terang, tidak sok, tidak pura-pura dan tidak menonjolkan diri, juga tidak suka
membikin kesal orang. Anak perempuan demikian sungguh terlalu sedikit di dunia ini.
Namun geretan api tadi sudah jatuh ke bawah, sambil memandangi api geretan yang masih
gemerdep itu, kedua orang menjadi sedih.
Sekilas mendadak Pwe-giok melihat pedang pendek bersarung perak itu. Segera ia melolos
pedang itu, sinar pedang kemilauan, ia menusuk pelahan dan hampir seluruh pedang itu
amblas ka dalam batu. Sekali pedang diputar, batu itu lantas berlubang.
"Tajam amat pedang ini," seru Pwe-giok girang. "Untuk menjemput kembali geretan api itu
terpaksa harus kita andalkan pedang ini."
227
Lebih dulu ia mengerek Kim-yan-cu ke bawah, dengan pedang pendek itu Kim-yan-cu
membuat sebaris lubang di dinding, kemudian Pwe-giok merambat ke bawah dengan lubanglubang
di dinding itu sebagai tangga dan geretan api itu berhasil di jemput kembali.
Dilihatnya di dasar gua itu banyak terpasang pisau tajam, ujung pisau penuh berserakan kain
baju dan tulang kering, melihat kain baju yang sudah lapuk itu sedikitnya korban-korban itu
sudah jatuh 20 tahun yang lalu, hanya satu di antaranya, yaitu mayat perempuan berbaju hijau
kelihatan pakaiannya masih baru, mayatnya juga belum membusuk.
Diam-diam Pwe-giok membatin: "Melihat tengkorak-tengkorak ini dan kematian perempuan
berbaju hijau ini jaraknya sedikitnya ada 20 tahun lamanya. Jangan-jangan Siau-hun-bi-kiong
ini sudah 20 tahun tak dikunjungi orang. Jadi rahasia di sini sudah terpendam antara 20 tahun
dan baru akhir-akhir ini ditemukan orang. Dengan sendirinya tempat ini bukan gudang
penyimpan harta pusaka Thian-can-kau segala."
Kim-yan-cu menggosok-gosok sepatunya di lantai untuk menghilangkan lumut dan
kotorannya, maka tertampaklah lantai batu yang rajin dan licin. Ia berkerut kening dan
berkata: "Sepanjang jalan ini mungkin penuh dengan jebakan, cara bagaimana kita harus maju
lebih lanjut?"
"Kau ikut di belakangku, jangan terlalu dekat, dengan demikian, andaikan aku terjeblos kan
masih ada yang bisa menolong," kata Pwe-giok setelah berpikir sejenak.
Mendadak Kim-yan-cu berteriak: "Sebenarnya ini kan urusanku, mestinya aku yang berjalan
di depan, tidak perlu kau anggap aku orang perempuan dan segala sesuatu baru mengalah
padaku!"
Pwe-giok tertawa, katanya: "Meski aku tidak ingin menganggap kau sebagai perempuan, tapi
nyatanya kau memang perempuan. Di depan orang perempuan kaum lelaki sok berlagak
sebagai pahlawan, kenapa kau tidak mau mengalah padaku?"
Kim-yan-cu memandangnya tajam-tajam, ucapnya kemudian dengan tertawa: "Sungguh kau
ini satu-satunya lelaki yang tidak menjemukan yang pernah kulihat."
Pwe-giok terus berjalan ke depan dengan lebih hati-hati, sebelum langkahnya terasa mantap,
tentu dia mencoba-cobanya dulu apakah tiada sesuatu jebakan. Sudah tentu reaksinya juga
jauh lebih peka daripada orang lain.
Sepanjang jalan ternyata tiada perangkap lagi, sesudah beberapa tombak jauhnya, sekonyongkonyong
terlihat dua patung batu wanita telanjang yang saling rangkul dengan mesra, bukan
saja perawakan patung itu terukir dengan indah dengan garis-garis tubuhnya yang menyolok,
bahkan wajahnya juga terukir dengan mimik yang "hot" dan penuh daya merangsang. Meski
patung telanjang ini sudah penuh debu, tapi siapapun juga pasti akan berdetak jantungnya bila
melihatnya.
Kedua patung batu ini lebih besar sedikit daripada orang hidup dan tepat menghadang di
tengah jalan.
228
Selagi Pwe-giok hendak mencari tombol rahasia untuk menyingkirkan patung itu, dengan
muka merah mendadak Kim-yan-cu merampas geretan api yang dipegang Pwe-giok sambil
mendengus: "Hm, di tempat ini penuh barang begini melulu, sungguh memuakkan."
Sembari berkata mendadak ia mendepak.
Pwe-giok bermaksud mencegahnya, namun sudah terlambat.
Kontan dari pusar salah satu patung perempuan telanjang itu menyemburkan kabut bubuk
putih, cukup keras semburan itu dan langsung menyemprot muka Kim-yan-cu.
Cepat Pwe-giok menariknya ke samping, tanyanya dengan kuatir: "Sudahkah kau cium
baunya?"
Karena gugupnya ia sendiripun lupa menahan napas sehingga hidungnya juga sempat
menghisap sedikit bau harum bedak.
Baru saja Kim-yan-cu menggeleng, dilihatnya Pwe-giok telah duduk bersila dan sedang
mengatur pernapasan.
"Kau . . . . kau ..." tanya Kim-yan-cu dengan suara gemetar, ia tahu dirinya yang telah
membikin gara-gara lagi.
Berulang-ulang Pwe-giok mengedipi si nona agar jangan bicara. Meski Kim-yan-cu sudah
tutup mulut, tapi hatinya tambah gelisah. Selang sejenak, dilihatnya Pwe-giok menghela
napas panjang dan berkata: "Untung jarak waktunya sudah terlalu lama sehingga khasiat obat
ini sudah kurang manjur, kalau tidak . . . . "
"Meski khasiat obat sudah kurang manjur, tapi kalau sampai mukaku kesemprot, jiwa tetap
bisa melayang, betul tidak?"
"Bisa jadi!" ucap Pwe-giok. "Kembali kau telah menyelamatkan diriku," kata Kim-yan-cu
dengan menghela napas.
Dengan cahaya geretan Pwe-giok menyinari patung perempuan telanjang itu dan
dipandangnya dengan cermat, sejenak kemudian, mendadak ia berkata; "Coba, pejamkan
matamu?"
"Kenapa aku tidak boleh melihatnya?" tanya Kim-yan-cu dengan tertawa.
"Letak kunci rahasianya di tempat yang kurang sopan," tutur Pwe-giok dengan menyengir.
Belum habis ucapannya, cepat Kim-yan-cu memejamkan matanya. Entah di bagian mana
Pwe-giok telah meraba dan memutarnya, lalu terdengarlah suara "Kreek", kedua patung yang
saling rangkul itu mendadak terpisah sehingga bagian tengah terluang jalan lewat selebar
setengah meteran, segera Kim-yan cu lewat ke sana melalui pangkuan kedua patung telanjang
itu.
229
Ia menghela napas, katanya dengan gegetun; "Tak tersangka kau pun mahir berbagai macam
permainan setan begini. Tanpa kau, mungkin selama hidupku jangan harap akan dapat lewat
kesini."
"Menurut pendapatku, daripada masuk ke situ akan lebih baik tidak masuk saja ke sana," kata
Pwe-giok pelahan.
"Sebab apa?" tanya Kim-yan-cu dengan tertawa. "Setiap tempat di sini, seumpama tiada
persoalan Khing-hoa-sam niocu juga aku ingin masuk ke sana untuk melihatnya."
"Tempat yang semakin besar rahasianya, bahaya yang akan timbul juga semakin besar..."
"Ada kau, apa yang kutakuti?"
Terpaksa Pwe-giok menyengir pula. Segera ia membuka jalan di depan. Selewatnya rintangan
patung telanjang itu, debu di lantai juga lebih sedikit, di bawah cahaya perak yang gemerdep
samar-samar kelihatan juga penuh gambar dan corat-coret.
Ternyata corat-coret dan gambar di lantai juga melukiskan adegan mesra antara lelaki dan
perempuan.
Pwe-giok mengamatinya sejenak katanya kemudian: "Hendaklah kau ingat di mana kakiku
menginjak dan ke situ pula kau ikut melangkah, jangan sampai salah."
Dan di mana kakinya menginjak pertama ternyata adalah bagian tubuh yang paling tidak
sopan yang terlukis di lantai itu.
Sambil ikut melangkah, berulang-ulang Kim-yan-cu mengomel: "Benar-benar tempat setan
dan tidak boleh didatangi orang baik?"
"Sebabnya tuan rumah sengaja mengatur begini tempatnya, mungkin tujuannya justeru
hendak mencegah datangnya orang baik-baik. Sekalipun orang tahu rahasianya, tapi sungkan
juga datang ke sini. Kalau tidak, mana bisa dia terlepas dari tuntutan hukum."
"Bagaimana dengan kau? Kau orang baik-baik bukan?" tanya Kim-yan-cu dengan tertawa.
"Terkadang baik, terkadang juga tidak," jawab Pwe-giok tertawa.
Kim-yan-cu tertawa genit, katanya: "Kau ternyata tidak menjemukan bahkan rada
menyenangkan..."
Belum habis ucapannya, mendadak suara tertawanya terhenti. Dilihatnya seorang gadis
berbaju merah tergantung terbalik dengan muka yang menyeringai seram.
"He, tampaknya barang siapa masuk mati, kata-kata ini bukan cuma gertak sambel belaka,"
seru si walet emas dengan ketakutan.
Mayat gadis berbaju merah ini masih utuh, paling-paling baru dua-hari dia mati.
230
"Tempat yang sudah terpendam selama puluhan tahun, bilamana diketemukan orang, seketika
akan berbondong-bondong didatangi orang banyak, apakah rahasia yang terdapat di tempat ini
memang betul-betul sedemikian menarik sehingga matipun tak terpikir oleh orang-orang?"
demikian gumam Pwe-giok.
Baru dua-tiga langkah, dilihatnya pula mayat seorang perempuan berbaju ungu, mati
terpantek di dinding oleh sebatang paku raksasa berbentuk aneh. Kedua tangannya tampak
erat memegangi pangkal paku, jelas sebelum mati dia berusaha mencabut paku itu, tapi tidak
mampu mencabutnya sehingga dia mati terpantek hidup-hidup.
Hanya sekejap saja Kim yan-cu memandangnya, ia merasa mual dan hampir saja tumpahtumpah.
Selanjutnya setiap beberapa langkah lagi ke depan pasti ditemukan sesosok mayat perempuan,
ada yang mati terbacok golok, ada yang mukanya hancur, ada yang mati terhimpit di tengah
celah-celah batu.
"Jalan ini benar-benar maut menunggu pada setiap langkah, jika aku tidak mengikuti kau,
mungkin sekarang sudah... sudah mengalami nasib serupa anak-anak perempuan ini," kata
Kim yan-cu dengan suara gemetar.
"Tapi mereka dapat sampai di sini, suatu tanda di antara mereka pasti ada orang yang pintar,"
ujar Pwe-giok.
"Darimana kau tahu mereka datang bersama?" tanya Kim-yan-cu.
"Kuyakin mereka pasti satu rombongan," jawab Pwe-giok.
"Pada masa hidupnya anak-anak perempuan ini pasti muda dan cantik, tapi untuk apakah
mereka datang ke tempat setan ini dan mengantarkan nyawa," ujar Kim-yan-cu.
"Hanya ada satu alasan," ujar Pwe-giok, "meski tempat ini bukan gudang penyimpan pusaka
Thian-can-kau, tapi pasti terpendam satu partai harta karun yang tak ternilai jumlahnya."
Mendadak Kim-yan-cu berhenti melangkah dan berkata: "Menurut kau, kakek itu sengaja
menipu kita masuk ke sini, mungkinkah kita hanya dijadikan perintis jalan baginya?"
"Kukira memang demikian, makanya dia berharap lebih tinggi ilmu silat kita akan lebih baik
pula, tidak sayang meminjamkan pedang wasiat kepadamu."
"Wah, kalau begitu, apabila kita bisa masuk ke sana, hal ini sama saja seperti membuka jalan
baginya," seru Kim-yan-cu dengan terkesiap.
"Dan umpama kita menemukan benda mestika terpaksa juga harus diserahkan kepadanya.
Dan kalau kita mati, dia sendiri tidak rugi. Hati orang tua ini sungguh keji, padahal kita tidak
pernah kenal dia, namun dia tega menggunakan jiwa kita sebagai taruhan bagi
kepentingannya."
"Di dalam hal ini masih ada kejadian lain yang aneh," kata Pwe-giok setelah berpikir sejenak.
231
"Hal .... hal apa?" tanya Kim-yan-cu.
"Coba kau lihat, jenazah ini semuanya adalah perempuan, di dasar lubang tadi, kulihat
kerangka tulangnya juga seluruhnya tulang perempuan, apakah orang yang datang ke sini dan
mengincar harta pusaka ini tiada seorang lelaki pun?"
"Hal ini ada dua alasan, apakah kalian ingin tahu?" mendadak seorang menanggapi dengan
tak acuh.
Mendengar suara yang datar dan hambar ini, air muka Kim yan-cu seketika berubah, ia tarik
tangan Pwe-giok dan berkata: "Hahh, dia .... dia ikut masuk ke sini."
"Jika kugunakan kalian sebagai perintis jalan dengan sendirinya aku mesti ikut masuk
kemari," kata si kakek.
"Setelah kalian menghancurkan semua perangkap yang terpasang di sini, maka aku pun tidak
perlu bersusah payah lagi."
Di tengah gemerdepnya cahaya perak, tahu-tahu orang tua itu sudah muncul seperti badan
halus.
Dongkol dan gusar pula Kim-yan-cu, omelnya: "Kuhormati kau sebagai orang tua, tapi kau
bertindak kejam kepada kami malahan tanpa malu-malu kau mengakui perbuatanmu."
"Meski kalian telah menderita bagiku, tapi juga tidak bekerja percuma, kalianpun akan
menarik keuntungannya," kata si kakek bercahaya perak.
"Apalagi kalian diberi kesempatan pesiar ke sini, andaikan matipun tidak perlu penasaran."
"Sesungguhnya tempat apakah ini?" tanya Kim-yan cu.
"Kenapa kalian tidak melihatnya sendiri, itulah dia!" kata si kakek.
Waktu Kim-yan-cu memandang ke arah yang ditunjuk, terlihat di samping mayat seorang
perempuan berbaju hijau, di atas dinding terukir 16 huruf besar yang berbunyi: "Un-yu-cibiang,
bing-lok-ci-kiong" atau surga yang hangat, istana yang gembira. Lalu di bawahnya:
"Siau-hun-si-kut, jik-tok-ji-hiong" atau sukma tergetar tulang terhapus, selain keji juga ganas.
"Empat puluh tahun yang lalu, tempat inilah surga yang di impi-impikan oleh setiap pendekar
muda di seluruh dunia ini," demikian tutur si kakek. "Barang siapa dapat berkunjung ke sini,
sekalipun tulang terhapus dan sukma tergetar juga rela."
"Apa sebabnya?" tanya Kim-yan-cu dengan terkesiap.
"Sebab kalau sudah berada di sini barulah diketahui sesungguhnya apa kegembiraan kaum
lelaki? Hahaha, cuma sayang, setelah menikmati kebahagiaan ini, lalu orang itupun harus
mati."
Sampai di sini, si kakek bergelak tertawa beberapa kali, namun suaranya tetap hambar, tiada
tinggi-rendahnya nada, juga tiada terdengar rasa suka atau duka.
232
Kim-yan-cu menarik napas dingin, ucapnya kemudian: "Jika demikian, mengapa di sini tidak
terlihat mayat lelaki seorangpun?"
"Soalnya waktu itu setiap lelaki harus menunggu setelah masuk istana dan dinilai dulu oleh
Siau-hun Kiongcu (puteri penggetar sukma), habis itu barulah dia akan mati," tutur Si kakek.
"Jika sudah tahu tempat setan yang jahat ini mengapa anak perempuan juga sengaja kemari?"
tanya Kim-yan-cu.
"Untuk ini memang banyak alasannya," tutur pula si kakek. "Ada sementara orang perempuan
yang iri kepada kecantikan Siau-hun-kiongcu dan bertekad akan membunuhnya. Ada lagi
yang dendam karena suami atau kekasih sendiri menjadi korban pikatan sang Kiongcu dan
sengaja datang kemari untuk menuntut balas..."
"Tapi kalau Siau-hun-kiongcu itu masih hidup sampai sekarang, tentunya dia sudah berwujud
siluman tua, mengapa masih tetap ada anak perempuan sebanyak ini yang mengantar nyawa
ke sini?"
"Meski Siau-hun-kiongcu sudah mati, tapi harta pusakanya dan kitab wasiat tinggalannya
masih berada di sini," kata si kakek. "Harta pusakanya tidak perlu dipersoalkan, melulu kitab
wasiat pelajaran ilmu silatnya saja selama berpuluh tahun ini selalu diincar oleh setiap
perempuan di dunia ini, tak perduli siapapun, asalkan bisa memperoleh Bikang (ilmu
memikat) Siau hun-kiongcu, maka setiap lelaki di dunia ini pasti akan bertekuk lutut di bawah
kakinya."
Kim-yan cu memandang Pwe-giok sekejap, tanpa terasa air mukanya menjadi merah pula,
katanya: "Barang kotor begitu, melihat saja aku tidak sudi."
Si kakek tertawa terkekeh-kekeh, katanya: "Tapi sekali sudah kau lihat mungkin kau akan
merasa berat untuk melepaskannya."
Sekonyong-konyong sorot matanya beralih ke arah Pwe-giok, katanya pula; "Meski ilmu
silatmu kurang memadai, tapi pengetahuanmu dalam hal-hal lain ternyata cukup luas, orang
seperti kau ini rasanya sayang jika kubunuh."
Pwe-giok tersenyum, katanya: "Saat ini kita belum masuk ke istana, dengan sendirinya kau
takkan membunuhku."
Mencorong sinar mata si kakek, ucapnya: "Jika kau dapat membawaku masuk ke istana ini,
bukan saja tidak kubunuh kau, bahkan akan ku bagi sama rata harta pusaka yang kita temukan
nanti."
"Dan kalau aku tidak mau?" tanya Pwe-giok.
"Jika kau tidak mau, sekarangpun jangan kau harap akan bisa hidup lagi," kata si kakek
dengan hambar.
"Tempat ini sudah didatangi orang, bisa jadi harta pusaka yang terpendam di sini sudah
diambil orang," kata Pwe-giok dengan tertawa.
233
"Sampai saat ini belum pernah ada seorangpun yang dapat keluar dari sini dengan hidup!"
ucap si kakek dengan dingin.
Pwe-giok tertawa, katanya: "Sering kudengar kata-kata seperti ini. Padahal tempat yang tak
dapat keluar dengan hidup justeru selalu ada orang yang keluar dengan hidup, hanya
keluarnya tidak diketahui orang lain."
Si kakek terbahak-bahak, katanya; "Dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan ke sembilan
perempuan ini masuk ke sini dan aku sendiri yang menyumbat jalan keluarnya, dua hari pula
ku jaga di luar. Bilamana ada orang keluar di luar tahuku, kedua biji mataku ini rela kukorek
keluar."
Dengan sorot mata gemerdep Pwe-giok berkata pula dengan pelahan. "Kau membunuh
segenap keluarga Ma Siau-thian, apakah lantaran kau mencurigai dia membocorkan rahasia
tempat ini kepada ke sembilan perempuan ini."
"Hm, kau sudah bertanya terlalu banyak," jawab si kakek dengan sorot mata tajam.
"Hanya karena mencurigai seorang, lalu kau bunuh segenap keluarganya, tidakkah caramu ini
terlalu keji dan kejam?" seru Kim-yan-cu.
"Jangan lupa, yang kubunuh adalah anggota Thian-Can-kau," jawab si kakek dengan tak acuh.
"Lantaran mereka membocorkan rahasiamu kepada orang lain, makanya kau bunuh mereka,
begitu?" Kim-yan-cu menegas.
"Hm!" si kakek cuma mendengus saja.
"Tapi dari mana pula orang Thian-can-kau mengetahui rahasiamu?" teriak Kim-yan-cu.
"Jangan-jangan kau pun sekomplotan dengan mereka?"
Mendadak si kakek membalik tubuh dan "plok", tangannya menepuk dinding batu, lalu
menjawab dengan pelahan: "Kaupun sudah terlalu banyak bertanya."
Melihat dekukan cap tangan di dinding, Kim-yan-cu mencibir dan tidak bersuara pula.
*****
Cukup lama Pwe-giok meraba dan mencari dan berulang-ulang bergumam: "Jangan-jangan
pintu masuk istananya tidak terletak di sini?"
"Di depan sudah buntu, kalau pintunya tidak di sini, lalu di mana?" ujar si kakek.
Pwe-giok berpikir sejenak, ia menggeser sesosok mayat perempuan berbaju hijau, tiada
dilihatnya sesuatu luka pada mayat ini, tapi kedua tangannya tampak matang biru.
Ia berjongkok, dengan sarung pedang ia mencungkil jari-jemari mayat itu, dilihatnya jari
telunjuk kanan-kiri masing-masing ada setitik darah kering. Seperti luka yang habis digigit
234
nyamuk atau seperti bekas dicocok jarum bilamana orang hendak diperiksa darahnya pada
jaman ini. Namun begitu sudah mengakibatkan kematian perempuan ini.
Pwe-giok berdiri dan menghela napas panjang, gumamnya pula: "Kiranya rahasia untuk
masuk ke dalam istana ini terletak pada kedua titik di huruf "ci" ini."
Huruf yang terukir di dinding batu itu pun, penuh debu, hanya kedua titik pada huruf "Ci" saja
yang kelihatan licin dan bersih, seolah-olah sering digosok.
Dengan girang Kim-yan-cu berseru: "Aha, betul, aku pun tahu sekarang. Asalkan kedua titik
pada huruf Ci ini ditekan, seketika akan muncul pintunya, begitu bukan?"
Sambil berkata segera ia hendak menekan kedua titik itu.
Cepat Pwe-giok mencegahnya dan berkata: "Apakah kau pun akan meniru perempuan baju
hijau ini? Jika setiap kali hendak membuka pintu istana harus mengorbankan satu nyawa,
harga ini kukira terlalu mahal."
Mendadak sinar perak gemerdep, si kakek telah merampas pedang pendek dan memotong
kedua jari telunjuk mayat itu, lalu digunakan menekan kedua titik huruf Ci itu.
Seketika dinding yang tadinya rapat dan rata itu berbunyi keriat-keriut, pelahan-lahan dinding
itu bergeser dan muncul selapis tirai bermutiara yang melambai hingga menyapu lantai.
Cahaya mutiara gemerlapan menyilaukan mata, di atas juga muncul enam belas huruf yang
berbunyi: "Kegembiraan yang bahagia, dinikmati bersama anda. Masuk ke dalam pintu ini,
sekaligus naik ke surga."
Air muka si kakek yang tadinya dingin dan hambar itu seketika memperlihatkan rasa gembira
dan bersemangat, sinar matanya mencorong terang, mendadak ia menengadah dan tertawa
terbahak-bahak; "Hahaha! Rahasia Siau-hun-niocu akhirnya terjatuh juga di tanganku
sekarang!"
Di tengah gelak tertawanya itu ia lantas menyingkap tirai dan melangkah masuk.
Kim-yan-cu coba memeriksa kedua potong jari kutung yang di buang ke lantai itu, ternyata
pada ujung jari yang sudah hitam kering itu bertambah lagi dua lubang kecil. Ia pandang Pwegiok
sekejap, katanya dengan penuh rasa terima kasih: "Kembali kan telah menyelamatkan
diriku. Sungguh tak tersangka pada kedua titik kecil inipun terpasang perangkap yang dapat
membunuh orang."
Kiranya pada kedua titik itu masing-masing ada sebuah jarum berbisa yang sangat lembut dan
hampir sukar terlihat oleh mata telanjang Bilamana jari itu tercocok jarum, hanya terasa gatal
sedikit dan bilamana mulai merasa sakit, maka tak tertolong lagi orangnya.
Pwe-giok sedang memandangi tirai bertabur mutiara itu, seperti sedang menimbang apakah
harus ikut masuk atau tidak. Sekonyong-konyong sebuah tangan yang pucat terjulur keluar
dari balik tirai dan menarik Kim-yan-cu ke dalam.
235
Terdengar si kakek berkata: "Harta pusaka ini ada separuhnya adalah milikmu, kenapa kau
tidak ikut masuk kemari?"
Belum habis ucapannya Kim yan-cu sudah terseret masuk ke sana.
Diam-diam Pwe-giok merenungkan apa yang bakal terjadi nanti, pikirnya; "Setelah maksud
tujuannya tercapai, orang tua ini pasti takkan melepaskan diriku..."
Sementara itu didengarnya suara sorak gembira Kim-yan-cu, akhirnya Pwe-giok ikut
melangkah masuk ke sana.
Di balik tirai itu memang betul terdapat suatu dunia lain. Seketika Pwe-giok merasa silau oleh
gemerlapnya cahaya emas dan sinar perak sehingga tidak jelas keadaan di dalam.
Tiba-tiba Kim-yan-cu mendekatinya dengan membawa sebuah cangkir kumala, di dalam
cangkir penuh terisi ratna mutu manikam yang kemilauan sehingga wajah si nona yang
berseri-seri itu semakin menarik.
"Lihatlah, betapa indah benda-benda ini?" seru si nona dengan berjingkrak gembira.
"Kau suka?" tanya Pwe-giok.
"Anak perempuan mana yang tidak suka kepada intan permata? Kalau lelaki suka kepada
intan permata adalah karena nilainya yang tinggi, sedangkan perempuan suka kepada intan
permata adalah karena keindahannya. Coba lihat, yang ini bagus atau tidak?"
Dia lantas angkat seuntai kalung mutiara dan digantung di depan lehernya, cahaya mutiara
yang kemilauan menyinari kerlingan matanya yang redup seperti agak mabuk.
Pwe-giok menjawab dengan gegetun: "Betapa pun indahnya mutiara ini, mana bisa lebih
indah daripada kerlingan matamu?"
Kim-yan-cu menunduk dan tertawa, mukanya menjadi merah.
Tapi si kakek bercahaya perak tadi sama sekali tidak memandang mereka, terhadap ratna
mutu manikam yang memenuhi ruangan itu seolah-olah juga tidak tertarik, ia masih terus
mencari dan menggeledah di segenap pelosok.
Mutiara, jamrud, kumala, mirah, safir . . .. satu persatu dibuangnya di lantai seperti
membuang sampah. Sungguh aneh, apakah barang yang dicarinya bisa lebih berharga
daripada benda-benda mestika ini?
"Menurut kau, apakah dia sedang mencari Siau-hun-pit-kip (kitab pusaka penggetar sukma)
tinggalan Siau-hun-kiongcu itu?" tanya Kim-yan cu dengan suara tertahan.
"Kukira begitulah," jawab Pwe-giok.
Kim-yan-cu tertawa cekikik, katanya: "Dia kan bukan perempuan, seumpama berhasil
meyakinkan ilmu memikat tinggalan Siau-hun-kiongcu itu, lalu apa gunanya?"
236
Pwe-giok berpikir sejenak, katanya kemudian: "Bisa jadi Kungfu yang diyakinkan nya
sehaluan dengan ilmu Siau-hun kiongcu ini. Jika keduanya bergabung dan saling menambal
kekurangan masing-masing, dengan sendirinya lantas besar manfaatnya. Atau mungkin juga
dia mempunyai anak perempuan..."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong terdengar si kakek bergelak tertawa seperti
orang gila. Terlihat tangannya yang pucat itu memegangi beberapa jilid buku tipis warna
jambon, rasa gembiranya itu jauh melebihi Kim-yan-cu ketika menemukan batu permata tadi.
Tanpa terasa Pwe-giok menghela napas panjang.
"Cita-citaku telah terkabul, kau harus ikut bergembira bagiku, kenapa kau menghela napas?"
omel si kakek dengan tertawa.
"Soalnya Cayhe lantas teringat kepada pepatah "Niau-cin-kiong-cong" (burung habis gendewa
disimpan, kiasan bahwa setelah burung terbidik, gendewa tidak diperlukan lagi), maka aku
menjadi sedih."
"Kan sudah kukatakan takkan kubunuh kau, masa aku ingkar janji," ujar si kakek dengan
tergelak. Lalu ia menggunakan tangan kiri dan memberi tanda garis tengah ruangan itu dan
berkata pula: "Bukan saja jiwamu takkan kuganggu, bahkan aku tetap pegang janji dan akan
ku bagi separoh harta pusaka ini kepadamu. Di sinilah batasnya, yang sebelah sana semuanya
adalah milikmu, boleh kau ambil saja sesukamu."
"Anda dapat pegang janji, tidak sia-sia ku sebut engkau sebagai Cianpwe," ujar Kim-yan-cu
dengan tertawa.
Tapi Pwe-giok menanggapi dengan tak acuh: "Biarpun Cianpwe memberikan kepadaku
seluruh harta pusaka ini, kalau tidak dapat kubawa keluar kan juga percuma dan tiada
gunanya,"
Sembari bicara, seperti tidak sengaja, ia tetap menghadang di depan pintu tanpa bergeser.
Si kakek tertawa, katanya: "Meski ilmu silatmu kurang tinggi, kukira tenagamu cukup kuat,
boleh kau bungkus saja harta pusaka ini sekantong demi sekantong, kan akhirnya dapat kau
bawa pergi seluruhnya?"
"Sekalipun Cianpwe tidak mengganggu jiwaku, tapi bila Cayhe sedang meringkasi bendabenda
berharga ini, mungkin Cianpwe terus melayang keluar dan menyumbat pintu keluar,
lalu apa gunanya biarpun Cianpwe memberikan seluruh harta karun ini kepadaku?"
Tak tersangka oleh si kakek bahwa pemuda yang tampaknya lugu dan tulus itu dapat menerka
isi hatinya. Sejenak ia melenggong, dari malu ia menjadi gusar, segera ia membentak: "Kau
menghadang di depan pintu, apakah kau kira aku tidak mampu keluar?"
Di tengah bentakannya kelima jarinya laksana kaitan terus mencengkeram urat nadi
pergelangan tangan Pwe-giok.
237
Mendadak Pwe-giok memutar tangannya dan berbalik memotong urat nadi lawan, gerakan
cepat dan balas menyerang secara licin ini membuat si kakek terkejut, cepat telapak
tangannya yang lain juga memukul.
Jilid 10________
Pwe-giok tidak mengelak juga tidak menghindar atas serangan si kakek, ia malah sambut
pukulan lawan dengan sebelah tangannya, "plak" kedua tangan beradu, kedua orang samasama
tergetar mundur dua-tiga tindak.
Si kakek sama sekali tidak menyangka Kungfu anak muda ini bisa sedemikian lihai, ia
terkejut dan gusar, katanya dengan menyeringai: "Tak terduga boleh juga kau, akulah yang
salah pandang!"
Belum habis ucapannya, sekaligus ia sudah menyerang beberapa jurus lagi. Di tengah
serangannya yang aneh itu membawa gerakan keji.
Namun Pwe-giok dapat mematahkan setiap jurus serangan lawan, cuma dia baru sembuh dari
keracunan, setelah belasan gebrakan, tenaga mulai terasa lemah. Mendadak ia membentak
pada Kim-yan cu: "Kenapa kau tidak lekas terjang keluar?"
Kim yan-cu memang lagi kesima menyaksikan pertarungan mereka, ia terkesiap oleh
bentakan Pwe-giok itu, tapi ia lantas menjawab dengan tertawa: "Dua lawan satu kan lebih
baik daripada sendirian biarlah akupun maju..."
Cepat Pwe-giok memotong: "Dengan kepandaianmu, biarpun ikut maju juga tiada gunanya.
Terjang keluar saja dan jangan hiraukan diriku!"
Karena bicara dan sedikit lengah, kembali dia terdesak mundur dua tiga langkah.
Melihat pertarungan kedua orang sedemikian rapatnya sehingga dirinya tidak mungkin ikut
campur, terpaksa Kim-yan cu menghela napas, mendadak ia melompat lewat samping si
kakek.
Tak terduga punggung si kakek seakan-akan juga tumbuh mata, sebelah tangannya
menghantam ke belakang. Kim-yan-cu tidak sanggup menangkis, dada terasa sesak, ia
terpental dan jatuh terguling ke belakang.
Pada kesempatan itulah Pwe-giok juga melancarkan serangan sehingga dapat mendesak maju
ke tempat semula. "Apakah kau terluka?" tanyanya kepada Kim-yan-cu.
Tubuh Kim-yan cu terasa pegal seluruhnya tapi dia menjawab dengan tersenyum: "Tidak apaapa
jangan kau pikirkan diriku!"
Melihat senyuman si nona yang setengah meringis itu, Pwe-giok tahu dalam waktu singkat
mungkin Kim-yan-cu tidak sanggup berbangkit. Pikirannya menjadi kusut, kembali dia
terdesak mundur lagi oleh hantaman si kakek.
238
Dengan menggertak gigi Pwe-giok menyambut pula tiga kali pukulan kakek itu. Kedua orang
berdiri di luar dan di dalam tirai, sesudah bergebrak beberapa jurus lagi, tirai itu pun robek,
mutiara dan batu permatanya berserakan di lantai.
"Mengapa kau tidak bersuara, apakah kau terluka?" tanya Kim-yau-cu dengan parau.
Terpaksa Pwe-giok berteriak; "Kau jangan kuatir, aku...." karena bersuara, bawa murni dalam
tubuh tambah lemah, kembali dia terdesak mundur dua langkah, kini ia sudah terdesak ke luar
pintu.
Si kakek terus mendesak keluar, serunya dengan tertawa: "Kalian berdua boleh dikatakan dua
sejoli yang sehidup semati, sungguh aku menjadi iri."
Pada waktu si kakek bicara, segera Pwe-giok bermaksud menyerang dan mendesak kembali
ke tempat semula, tapi sayang, tenaga tidak mau menuruti kehendaknya lagi. Kain putih yang
membalut kepalanya juga sudah basah kuyup oleh air keringat. Dalam keadaan demikian
kalau dia mau kabur sendiri mungkin masih ada harapan, tapi mana dia tega meninggalkan
Kim-yan-cu begitu saja?
Agaknya si kakek dapat meraba jalan pikirannya dengan menyeringai ia berkata pula: "Jika
kau tidak keluar sekarang, segera akan kututup pintu ini, akan kukurung dia di dalam, dengan
demikian jangan harap lagi kalian akan berkumpul kembali."
Pwe-giok menghela napas, katanya: "Jika demikian, hendaklah kau memberi jalan, biar aku
lewat ke sana."
Si kakek terbahak-bahak, benar juga ia lantas menyingkir ke samping.
Dengan sedih Pwe giok melangkah ke sana. Tapi baru saja sampai ambang pintu, Cepat Pwe
giok berteriak: "Sudah kutahan dia, lekas kau lari!"
Dengan terhuyung-huyung Kim yan cu berlari keluar, katanya dengan suara gemetar: "Dan. . .
.dan kau?"
Tidak kepalang gemas Pwe giok, sungguh dia ingin mencekik leher si nona dan
menghardiknya: "Kenapa kau tidak lari keluar lebih dulu dan nanti berusaha lagi menolong
diriku?"
Tapi ia sendiri sedang terdesak oleh serangan si kakek sehingga tidak sempat bersuara sama
sekali.
Si kakek sinar perak tertawa terkekeh-kekeh katanya; "Demi keselamatan dirimu, dia rela
mengorbankan dirinya di sini, apakah kau tega pergi sendirian?"
"Sudah tentu tidak mungkin ku pergi sendiri," jawab Kim-yan-cu tegas.
"Mau mati biarlah kami mati bersama saja."
"Bagus," ujar si kakek dengan tertawa. "Dengan demikian barulah dapat dikatakan punya
perasaan, sungguh aku sangat kagum."
239
Cemas dan gemas Pwe-giok sungguh kalau bisa ingin ditendangnya keluar Kim-yan-cu.
Karena gusarnya itu, sedikit meleng, dada terasa panas, rupanya telah kena getaran pukulan si
kakek. Sekali ini dia tidak mampu balas menghantam lagi.
"Haha, apakah nona tidak ingin masuk lagi ke sana?" seru si kakek dengan tertawa.
"Sudah tentu aku akan masuk ke sana, tidak perlu kau kuatir," teriak Kim-yan cu dengan
suara serak.
Pwe giok hendak membentak untuk mencegahnya, tapi belum lagi bersuara, tahu-tahu Kimyan-
cu sudah lari masuk lagi dengan langkah sempoyongan dan menubruk ke dalam
pelukannya.
Terdengar si kakek tertawa latah, katanya: "Sudah kukatakan takkan kubunuh kau, tentu ku
pegang teguh janjiku ini. Tapi kalau kalian mati sesak di sini kan bukan salahku."
Habis berkata, "krek" pintu batu itu telah tertutup.
Seketika di dalam gua itu berubah menjadi sunyi senyap, sampai suara tertawa si kakek pun
tidak terdengar lagi.
Kim-yan-cu termangu-mangu sejenak, akhirnya air mata bercucuran, ucapnya dengan
tersendat-sendat: "Semuanya gara-garaku sehingga kau pun ikut susah. Mengapa... mengapa
kau tidak melarikan diri sendiri tadi?"
"Dan kau sendiri mengapa tidak mau lari?" jawab Pwe giok dengan menyesal. "Setelah kau
keluar, kau kan dapat berusaha menolong diriku? Dengan begitu kan lebih baik daripada duaduanya
terkurung mati di sini?"
Kim yan-cu melenggong sejenak, mendadak ia mengikik tawa.
"Apa yang kau tertawakan?" tanya Pwe giok dengan berkerut kening. "Apakah salah
ucapanku?"
"Jika kau kira ucapanmu itu masuk diakal, kenapa kau sendiri tidak lari keluar lebih dulu baru
kemudian berusaha menolong diriku lagi?" jawab Kim-yan-cu.
Sekali ini Pwe giok juga melenggong, sejenak kemudian barulah ia berkata dengan tersenyum
kecut: "Ya, betul juga. Tadinya kukira kau ini nona bodoh, tak tahunya akulah yang jauh lebih
bodoh daripadamu."
"Kau sama sekali tidak bodoh," ujar Kim-yan-cu dengan suara lernbut, "hanya karena terlalu
memikirkan diriku, maka kau lupa akan dirinya sendiri."
Tanpa terasa Pwe-giok membelai rambut si nona, katanya dengan gegetun: "Dan kau sendiri
bagaimana? Bukankah kau pun begitu, demi diriku kau pun lupa pada dirimu sendiri?"
Kim yan-cu bersuara tertahan terus menjatuhkan diri ke pangkuan anak muda itu.
240
Sejak kecil Pwe-giok sudah kehilangan ibu, di bawah didikan sang ayah yang keras, meski
sejak dulu sudah mengikat jodoh, namun jari sang tunangan saja tidak pernah disentuhnya,
bilakah dia pernah merasakan kemesraan muda-mudi begini?
Seketika pikirannya menjadi bingung, entah mesti gembira atau harus sedih. Entah suka entah
duka?
Umumnya, orang yang sama-sama berada dalam kesusahan memang lebih mudah
menumbuhkan benih perasaan dengan cepat, kecepatan yang sukar dibayangkan dan juga
sukar dicegah.
Entah selang berapa lama, mendadak Kim-yan-cu melompat bangun, dengan muka merah ia
berkata: "Coba lihat, kita telah berubah menjadi tolol semua sehingga tidak terpikir kalau
pintu ini dapat di buka dari luar, dengan sendirinya dapat pula dibuka dari dalam. Kalau tidak,
waktu Siau-hun-kiongcu masih hidup, apakah dia juga harus dibukakan pintu dari luar
bilamana dia ingin keluar?"
Merasa jalan pikirannya ini sangat masuk diakal, tanpa terasa ia menjadi sangat gembira.
Sebaliknya Pwe-giok lantas menghela napas panjang, ucapnya: "Kakek itu sudah tahu dimana
letak kunci pintu keluar masuk tempat ini, dia membawa pula pedang wasiat setajam itu,
cukup sekali bergerak saja semua alat rahasia dapat dirusaknya. Pintu batu ini seberat ribuan
kati, jika pegasnya rusak, siapa lagi yang sanggup menggesernya? jika ia sudah berniat
mengurung kita di sini, tentu juga sudah dipikirkannya segala kemungkinannya."
Kim yan-cu melengak, senyumnya tadi lenyap seketika, katanya dengan ragu-ragu: "Tapi
harta... harta benda yang terdapat di sini, apakah tidak... tidak dikehendakinya lagi?"
"Bila kita mati terkurung di sini, tentu harta karun inipun takkan lari, lambat atau cepat tetap
akan jadi miliknya, untuk apa dia terburu-buru mengambilnya? apalagi tujuannya sebenarnya
bukan terletak pada harta karun ini."
Dengan lemas Kim-yan cu berduduk lagi, ia termangu-mangu sejenak, mendadak ia tertawa
cerah pula dan berkata: "Sebelum pagi hari ini, sungguh mimpipun tak terpikir olehku akan
mati bersamamu di sini. Yang aneh adalah sekarang aku tidak merasa takut sedikitpun. baru
sekarang ku tahu, mati ternyata bukan sesuatu yang menakutkan seperti apa yang pernah
kubayangkan. apalagi kalau dapat mati bersamamu, jelas aku lebih beruntung daripada ke
delapan anak perempuan yang telah mati itu."
Mendadak Pwe-giok terbelalak, serunya: "Kau bilang ke delapan anak perempuan itu?"
Kim-yan cu bingung karena tidak tahu apa sebenarnya anak muda itu berteriak, jawabnya
dengan tergagap: "Be... betul"
Pwe-giok memegang tangan si nona dan menegas: "Apakah sudah kau lihat jelas? Betul-betul
delapan dan bukan sembilan?"
Kim-yan cu berpikir sejenak, lalu menjawab tegas: "Ya, tidak kurang tidak lebih, persis
delapan" ia merandek, kemudian berkata pula: "Tapi delapan atau sembilan, memangnya ada
sangkut paut apa dengan kita?"
241
"Tentu saja ada sangkut pautnya, bahkan sangat besar sangkut pautnya!" seru Pwe-giok.
Melihat anak muda itu mendadak kegirangan, Kim-yan cu menjadi heran, tanyanya: "Ada
sangkut paut apa? Bukankah anak-anak perempuan itu sudah mati semua?"
Pwe-giok menggenggam tangannya erat-erat dan berkata: "Menurut orang tua tadi, katanya
dengan mata kepala sendiri dia menyaksikan sembilan anak perempuan masuk ke sini dan
tiada seorangpun yang pernah keluar. Berdasar ketajaman matanya kupercaya dia pasti tidak
salah hitung, sebaliknya kau cuma melihat delapan sosok mayat dan juga tidak keliru lihat."
Dia menghela napas panjang dan menatap Kim-yan cu tajam-tajam, lalu menyambung pula
sekata demi sekata: "Maka sekarang ingin kutanya padamu, ke mana perginya anak
perempuan yang ke sembilan itu?"
Kim-yan cu melongo bingung seperti paham dan seperti tidak, gumamnya: "Ya, betul,
kemana perginya anak perempuan ke sembilan itu? Kenapa bisa menghilang?"
"Orang sebesar itu masa bisa hilang?" ujar Pwe-giok.
"Betul, orang sebesar itu mustahil bisa hilang?" tukas Kim-yan cu.
Mendadak Pwe-giok berseru: "Masa kau tidak paham, sebabnya anak perempuan ke sembilan
itu bisa menghilang mendadak tentu karena di sini ada jalan keluar lain, kalau tidak,
memangnya dia dapat menyusup masuk ke dalam bumi?"
Akhirnya Kim-yan cu paham duduknya perkara, ia melonjak bangun dan merangkul Ji Pwegiok
serunya dengan tertawa: "Ai, kau memang benar-benar bukan orang bodoh, sebaliknya
aku inilah budak tolol."
Pada saat sudah putus asa tiba-tiba mendapatkan setitik sinar harapan, sudah tentu mereka
kegirangan, Tapi lantaran kelewat bergirang, mereka menjadi lupa bahwa bilamana anak
perempuan ke sembilan itu datang demi mencari harta karun, kalau betul dia sudah keluar
melalui suatu jalan rahasia lain, mengapa harta karun ini tidak dibawa pergi sekalian? Setelah
mencapai tempat penyimpanan harta karun ini apakah mungkin dia keluar lagi dengan tangan
hampa?
Si kakek tadi menemukan kitab pusaka Siau-hun-pit-kip pada sebuah almari batu yang
berbentuk aneh, sekarang pintu almari batu itu masih terpentang. Didepan almari batu ada
sebuah kasuran berwarna hijau-kelabu, waktu diperiksa lebih teliti, kasuran ini juga ukiran
dari batu, saking pandainya mengukir sehingga tampaknya seperti kasuran asli.
Bahwa ditengah ruangan hanya tertaruh sebuah kasuran begini, jelas tampaknya agak janggal,
tidak sesuai dan tidak serasi dengan keadaan di ruangan ini, apalagi kasuran ini ukirannya dari
batu hijau, lebih-lebih menurut ingatan Ji Pwe-giok, di bawah kasuran begini biasanya
tersembunyi sesuatu rahasia. Maka begitu melihat kasuran ini, dia lantas tertarik, segera ia
mendekatinya.
Namun kasuran ini seperti berakar di tanah, didorong maupun ditarik tidak bergeming
sedikitpun, diputar kesana ke sini juga tidak mau bergetar.
242
Pwe-giok menghela napas kecewa. waktu menengadah, mendadak dilihatnya di dinding
almari batu itupun terukir gambar laki perempuan yang tidak senonoh. Anehnya setiap
pasangan manusia ukiran ini secara indah terangkat menjadi satu huruf sehingga seluruhnya
berbunyi: "Barang siapa mendapat kitab pusaka ku, masuklah ke perguruanku. Terimalah
ilmu tinggalan ku dan menyembah kepada arwahku. Baik buruk atau untung malang, semua
itu mesti tunduk kepada perintahku. Yang melanggar pesan tinggalanku ini akan tertimpa
bencana dan mati."
Disamping kedua baris tulisan yang menyerupai ramalan ini terdapat pula beberapa baris
huruf kecil dan berbunyi: "Barang siapa menemukan harta dan kitab pusakaku, dia harus
masuk ke perguruanku, hendaklah segera berlutut di atas kasuran dan menghadap ke dinding
ini, dengan hati tulus dan bersujud menyembah sembilan kali sembilan sana dengan 81 kali
sebagai penghormatan mengangkat guru, dengan demikian akan mendapatkan rejeki. Tapi
kalau membangkang atas perintahku ini, setelah mendapatkan harta pusaka ini terus pergi,
arwahku pasti akan mengejar dirimu dan mencabut nyawamu. Camkanlah peringatan ini."
Jelas si kakek cahaya perak tidak pernah memperhatikan pesan Siau-hun-kongcu ini, dengan
sendirinya dia tidak percaya orang yang sudah mati masih mampu mencabut nyawanya.
Akan tetapi setelah berpikir sejenak, Pwe-giok benar-benar berlutut di atas kasuran itu dan
mulai menyembah.
Kim-yan cu melenggong, katanya dengan tertawa: "Masa kau benar-benar ingin mengangkat
guru kepada orang mati?"
Sembari menyembah Pwe-giok menjawab: "Pada masa hidupnya, tindak-tanduk Siau-hunkongcu
ini sudah sukar diraba orang. Ketika mendekati ajalnya, tentu dia memeras otak dan
mencari akal yang aneh-aneh untuk mengatur segala sesuatu." "Ya, orang seperti dia itu,
kalau mati tentu juga tidak rela barang tinggalannya dikuras orang dengan begitu saja." ujar
Kim-yan cu.
"Sebab itulah, kupikir pesan yang diukir di sini ini pasti juga ada tujuan tertentu, mungkin
disinilah letak rahasianya yang paling besar," kata Pwe-giok.
Kim-yan cu berkerut kening katanya: "Tapi orang sudah mati apa yang dapat diperbuat lagi?
..."
Tiba-tiba terpikir sesuatu olehnya, air mukanya berubah pucat, dengan suara gemetar ia
berkata pula: "Jangan-jangan... jangan-jangan dia belum lagi mati?"
Selesai Kim-yan cu bicara, Pwe-giok juga sudah habis menyembah 81 kali.
Sekonyong-konyong dinding batu yang penuh terukir huruf itu terbelah menjadi dua dan
bergeser ke samping. Dibalik dinding tampak cahaya terang gemerlapan menyilaukan mata.
Pada saat itu yang hampir sama, mendadak kasuran batu itu terus meluncur ke arah lemari
batu itu secepat kilat. Pwe-giok sendiri waktu itu merasa dengkulnya kaku kesemutan setelah
berlutut dan menyembah sekian lama, belum lagi dia sempat berbangkit, tahu-tahu kasuran
tempat dia berlutut itu terus meluncur ke balik dinding yang terbelah itu.
243
Tanpa kuasa Pwe-giok terhanyut oleh kasuran batu itu, seketika ia merasa silau dan tidak
melihat apa-apa. Pada saat itu mendadak kasuran batu itu berganti arah terus meluncur balik
ke belakang.
Karena dibawa meluncur ke depan dan mendadak membalik lagi ke belakang, tanpa kuasa
Pwe-giok terjungkal ke depan dan jatuh di lantai. "bluk", seperti ada sesuatu barang tertindih
oleh tubuhnya. Menyusul asap tebal lantas muncrat berhamburan.
Kasuran batu tadi telah meluncur keluar dinding dan dinding itu lantas merapat kembali,
semuanya itu berlangsung dengan cepat, hampir seperti terjadi dalam waktu yang sama.
Apa yang terjadi ini sungguh terlalu cepat dan terlalu banyak sehingga Pwe-giok tak sempat
bertindak apapun, hidungnya sempat menghisap bau harum bedak. Meski harum baunya, tapi
terasa gelagat tidak menguntungkan.
Sama sekali tak tersangka oleh Pwe-giok bahwa setelah dia menuruti pesan Siau hun-kiongcu
tadi, sebagai imbalan adalah kejadian yang luar biasa ini dan rejeki nomplok. Segera pula dia
hendak menahan napas, namun bau harum tadi sudah sempat diisapnya sedikit.
Kim yan cu juga mendadak merasakan cahaya yang menyilaukan tadi sehingga matanya sukar
terbuka.
Samar-samar ia sempat melihat kasuran tadi meluncur ke dalam lemari batu dengan
membawa Ji pwe giok, waktu dia dapat membuka mata dan melihat lebih jelas, tahu-tahu batu
itu sudah meluncur balik ke tempat semula. Waktu dia pandang almari batu itu, keadaannya
masih utuh seperti tadi, sedikitpun tiada perubahan apapun namun Ji Pwe giok tidak kelihatan
lagi, entah menghilang kemana?
Kim yan cu jadi melongo kesima, sungguh ia tidak percaya kepada pemandangannya sendiri,
apakah yang terjadi sesungguhnya? Mengapa bisa begini?
Hampir saja ia berteriak-teriak, tapi dalam keadaan demikian, sekalipun sampai pecah
kerongkongannya juga tiada seorangpun yang mendengar suaranya.
Kim yan cu sudah cukup berpengalaman berkelana di dunia kangouw, sudah sering juga dia
menghadapi saat-saat antara mati dan hidup, betapapun dia bukan anak perempuan biasa,
walaupun dia kelihatan begitu lemah lembut ketika berada disamping Ji we giok.
Tapi anak perempuan mana di dunia yang tidak kelihatan lemah lembut bila berada bersama
seorang lelaki? Bila berada bersama seorang lelaki, bisa jadi untuk melangkahi selokan yang
setengah meter lebarnya perlu juga dibantu oleh si lelaki Tapi kalau berada sendirian tanpa
didampingi lelaki mungkin sungai yang lebarnya tiga meter akan dapat dilompatinya.
Kalau berada bersama lelaki, setiap anak perempuan pasti akan ketakutan setengah mati
bilamana kebetulan ada seekor tikus menerobos, disamping kakinya, tapi kalau berada
sendirian, biarpun tiga puluh ekor tikus muncul sekaligus juga akan dibinasakan semuanya.
244
Bila tiada orang yang lain yang dapat diandalkan, setiap anak perempuan bisa mendadak
berubah kuat dan tangkas, apalagi pada dasarnya Kim yan cu memang bukan anak perempuan
lemah.
Ia coba membaca tulisan yang terukir di dinding almari itu dan direnungkan berulang ulang,
mendadak ia berseru : "Aha, paham lah aku!..."
Kiranya di bawah kasuran batu itu memang ada pesawat rahasianya. Kasuran baru itu tidak
dapat terbuka juga tidak dapat berputar, tapi harus ditindihi oleh bobot tubuh orang, ditambah
lagi orang itu berlutut diatasnya harus menyembah segala, gerakan itu akan menimbulkan
daya tekanan pula, bilamana sudah menyembah hingga 81 kali, daya tekanan itu sudah cukup
untuk membuka pesawat rahasia yang terpasang di bawah kasuran batu sehingga
menggerakan dinding almari, begitu dinding bergerak dan terpentang, segera segala alat
rahasia yang lain akan ikut tertarik dan kasuran batu itupun terbawa meluncur ke depan,
ketika daya kerja pegas itu sampai pada titik akhirnya, segera kasuran batu itu terpantul balik
ke tempat semula dan dindingpun rapat kembali.
Kalau sudah dijelaskan, apa yang terjadi ini menjadi kelihatan sederhana, cuma Siau Kun
Kiongcu memang sengaja mengaturnya sedemikian rupa sehingga kelihatan lebih misterius
dan menyeramkan.
Kim yan cu tidak ragu lagi, segera iapun berlutut di atas kasuran batu itu dan mulai
menyembah. Tapi ketika menyembah 52 kali, mendadak ia melompat turun, ia memandang
sekitarnya dan menemukan sebuah peti besi sebesar satu meteran, tutup peti besi itu
diambilnya, lalu ditaruh di punggung sendiri, habis itu dia berlutut dan mulai menyembah
lagi.
Tak tahunya, sudah 81 kali menyembah, kasuran itu tetap tidak bergerak. Ia menjadi sangsi,
jangan-jangan pesawat rahasia ini hanya bergerak satu kali saja, lalu tidak mau bekerja lagi?
Tapi dia tidak putus asa, ia ingin mencobanya satu kali lagi, sekali ini dia baru menyembah
lima enam kali dan mendadak kasuran itu meluncur keluar sana secepat panah.
Rupanya disebabkan perawakan Kim yan cu yang ramping, bobotnya tidak cukup, mesti
ditambah lagi sebuah tutup peti besi, namun cara menyembahnya menjadi kurang
membungkuk ke bawah sehingga daya tekanannya menjadi berkurang pula. Maka dia perlu
menyembah hingga 86-87 kali barulah daya tekanannya cukup kuat untuk menggerakan
pesawat rahasianya.
Ketika merasa orangnya ikut dibawa meluncur masuk ke balik almari batu, sesudah masuk
dan kasuran batu itu terpantul balik lagi kesana. Namun diam-diam Kim yan cu sudah
mempunyai perhitungan, begitu ia terjerembab ke depan, berbareng itu iapun membuang
tutup besi tadi keluar.
Kepandaian menggunakan Am-gi atau senjata rahasia Kim yan cu terkenal lihai juga di dunia
kangouw, dengan sendirinya cara menyambitkan tutup besi itupun cukup jitu, tutup peti itu
dengan cepat dilemparkan ke tengah-tengah belahan dinding, maka waktu kedua belah
dinding itu akan merapat kembali lantas terhalang oleh tutup peti itu, meski tutup peti itu
tergencet hingga mengeluarkan suara keriat-keriut, namun dinding itupun tidak dapat rapat
sama sekali.
245
Sementara itu mata Kim yan cu sudah terbiasa oleh cahaya silau, akhirnya ia dapat melihat
jelas rahasia di dalam gua misterius ini. Kiranya ruangan batu ini berbentuk segi delapan,
dinding sekelilingnya penuh terhias batu permata dan mutiara sebesar gundu, di belakang
mutiara ini semuanya dilapisi sepotong kaca kecil. karena itulah cahaya mutiara lantas
memantulkan sinar yang kemilauan sehingga kamar inipun gemerlapan dan seperti bintangbintang
yang bertaburan di langit telah dipindahkan oleh Siau hun kiongcu ke kamar ini.
Ditengah-tengah kamar batu ini ada sebuah peti mati batu raksasa, selain peti mati ini sudah
tentu masih ada pula barang lain, tapi Kim yan cu tidak menaruh perhatian lagi, yang
dipikirkannya cuma Pwe giok saja.
Dilihatnya anak muda itu duduk bersila di sana, sekujur badan tampak menggigil, kain putih
yang membalut kepalanya itu sudah basah kuyup seperti habis disiram air. "He, ken.....
kenapa kau? jerit Kim yan cu. Pwe giok menggertak gigi dan tidak menjawab, bahkan
matapun tetap terpejam.
Kim yan cu terkejut dan kuatir, baru saja ia bermaksud memegang tangan Pwe giok,
mendadak tangan Pwe giok malah menghantamnya sehingga Kim yan cu terguling. "He, apaapaan
kau?" jerit Kim yan cu "Jangan ..... jangan kau urus diriku," teriak Pwe giok.
"Biarkan ku istirahat sebentar dan semuanya akan baik lagi" Setiap kata yang diucapkan anak
muda itu seakan akan sangat memakan tenaga, maka Kim yan cu tidak berani bertanya lagi.
Dilihatnya disamping Pwe Giok ada secomot benda yang gemerlapan, benda sebangsa
pecahan kaca berwarna merah muda, entah barang apa.
Waktu ia memandang lagi ke belakang peti mati, di sana juga ada sebuah almari batu, pintu
almari sudah terbuka. Di dalam almari terdapat berpuluh botol kecil berwarna merah muda
dan bercahaya, tampaknya serupa dengan barang pecah yang terdapat di samping Ji Pwe giok
itu.
Disamping berpuluh botol kecil itu ada pula beberapa jilid buku berwarna merah, buku ini
serupa kitab yang dibawa pergi si kakek bercahaya perak itu, halaman buku ini tampak
tersingkap, agaknya pernah dibalik-balik orang.
Kim yan cu mengira Pwe giok yang membalik-balik halaman buku itu, ia jadi tertarik juga
dan mendekatinya untuk melihat, tapi baru dua halaman buku itu dibacanya, seketika
mukanya menjadi merah, jantungnya berdetak keras.
Pada halaman pertama buku itu tertulis: "Siau hun pit kip, yang mendapatkannya mencapai
kenikmatan. Siau hun pi yok, yang mendapatkannya naik surga."
Disamping kedua belas huruf besar itu tertulis pula: "Inilah kitab asli Siau hun pit kip, hanya
perempuan yang punya rejeki besar yang akan mendapatkannya. Setelah belajar satu tahun,
cukup untuk membuat setiap lelaki di dunia ini tergiur dan jatuh hati. Bila belajar tiga tahun,
dapatlah mematahkan iman siapapun di dunia ini. Kitab yang beredar di luar adalah kitab
tiruan dan sekali-kali tidak boleh sembarangan dipelajari, kalau tidak menurut, akibatnya akan
terjeblos sendiri ke laut penderitaan dan sukar tertolong, berbagai macam penyakit akan
timbul dan tersiksa hingga mati. Inilah pesan perguruan yang harus diperhatikan. Karena kau
sudah datang ke sini dan mendapatkan kitab pusaka ini, maka bahagialah selama hidupmu.
246
Waktu ia baca pula halaman kedua, seketika muka Kim yan cu menjadi panas, sungguh
mimpipun tak pernah terpikirkan olehnya di dunia ini ada kejadian begini dan juga ada cara
begini. Kiranya yang diajarkan dalam kitab ini adalah teknik bercinta yang hampir sukar
dibayangkan siapapun juga.
Hampir saja Kim yan cu merobek kitab itu, tapi entah mengapa, rasanya berat juga untuk
menghancurkan kitab demikian. Selagi ragu-ragu, tiba-tiba tergerak pikirannya, pikirnya:
"Jangan-jangan dia terkena racun yang terisi di botol yang pecah itu? mungkin di dalam kitab
ini ada petunjuk cara menawarkannya..."
Sudah tentu inilah alasan yang paling baik baginya untuk membaca lagi kitab ajaib itu.
Setelah membaca beberapa halaman pula, ditemuinya di dalam kitab benar-benar ada tulisan
yang berbunyi: "Isi botol ini semuanya adalah obat perangsang cinta, ada yang berbentuk pil,
ada yang berwujud bubuk. Lelaki yang meminum obat di dalam botol ini, bila tidak
mendapatkan pelampiasan tubuh perempuan, akibatnya akan mati dengan tujuh lubang (mata,
telinga, hidung dan mulut) berdarah."
Membaca sampai di sini, tanpa terasa Kim-yan-cu bersuara kaget. Jantungnya serasa mau
melompat keluar dari rongga dadanya, ya takut ya kuatir, sungguh tidak keruan rasanya.
Didengarnya Pwe-giok sedang menggertak gigi hingga berbunyi gemertakan, katanya dengan
terputus-putus: "Lekas, ....lekas kau pergi .... lekas pergi saja ..."
Tapi Kim-yan-cu masih tetap berdiri melenggong di tempatnya. Lantaran membela dirinya
sehingga anak muda itu tersiksa begini, mana dia tega tinggal pergi dan membiarkan orang
mati dengan tujuh lubang berdarah?
Mendadak Kim-yan-cu tertawa manis sambil mendekati Pwe-giok. Jantungnya berdebar,
tubuhpun terasa lemas, ia sendiri tidak tahu apakah kuatir, takut, malu atau gembira?
Pwe-giok menatapnya dengan mendelik, teriaknya dengan gemetar: "Jangan kau
mendekatiku, jangan, kumohon dengan sangat, jangan kau mendekat kemari!"
Tapi Kim-yan-cu malah pejamkan mata terus menjatuhkan dirinya ke dalam pangkuan Ji
Pwe-giok.
Dia sudah bertekad akan korbankan dirinya sendiri. Akan tetapi anak perempuan manapun
juga tidak nanti mau berkorban bagi lelaki yang tidak disukanya.
Dengan memejamkan mata kim-yan-cu sudah merelakan segalanya, dia sudah siap
mempersembahkan miliknya, dan bersedia menerimanya....
Tak terduga, pada saat itu juga mendadak ia merasakan pinggangnya kaku, ia telah tertutuk
oleh Pwe-giok. menyusul tubuhnya terus dilemparkan keluar oleh anak muda itu. lalu tutup
peti besi tadipun ditendang mencelat dan dinding batu lantas rapat kembali.
Kim-yan-cu terkejut dan melenggong dan juga berterima kasih. Tapi entah mengapa, rasanya
juga rada kecewa, berbagai macam perasaan itu bercampur aduk.
247
Ia tahu Pwe-giok masih punya perasaan, belum hilang akal sehatnya, maka tidak tega
membikin susah padanya.
Ia tahu sebabnya anak muda itu menutuk hiat-tonya adalah karena kuatir dirinya akan masuk
lagi ke sana. Sebabnya dia menutup dinding itu adalah untuk menjaga agar Pwe-giok sendiri
tidak sampai menerjang keluar bilamana tidak tahan oleh rangsangan obat kuat yang
diminumnya.
Dan jelas pintu dinding itu tidak mungkin dibuka dari dalam. Sekarang tertinggal Pwe-giok
saja yang terkurung di situ untuk menanti kematian.
Air mata Kim-yan-cu bercucuran, teriaknya dengan suara parau: "Meng.... mengapa kau
begitu bodoh? Memangnya kau kira demi menolong dirimu maka kulakukan seperti tadi itu?
Sesungguhnya aku sendirilah yang rela berbuat begitu, apakah... apakah kau tidak tahu aku
memang suka padamu?..."
Di luar dugaan, suara Kim-yan-cu itu ternyata bisa tersalur ke dalam kamar batu sana, apa
yang diucapkan Kim-yan-cu itu dapat didengar jelas oleh Pwe-giok. Tapi sekarang biarpun
dia ingin memasukkan lagi si nona ke sana juga tidak dapat lagi, semuanya sudah terlanjur.
Pwe-giok memukul-mukul dinding dan berteriak dengan suara gemetar: "Kau tahu, aku tidak
boleh berbuat begitu, aku tidak boleh merusak dirimu?!"
Kim-yan-cu juga dapat mendengar suaranya, iapun berteriak: "Tapi kalau kau tidak berbuat
begitu, terpaksa kau harus mati!"
"O.., kumohon..... maafkan..."
"Kubenci padamu, kubenci...." teriak Kim-yan-cu. "Selamanya takkan kumaafkan kau. Kau
hanya tahu tidak tega mencelakai diriku, tapi tahukah kau dengan penolakanmu ini kau telah
menyakitkan hatiku?"
Sungguh ia tidak tahu mengapa dirinya bisa mengucapkan kata-kata begitu. Bisa jadi ia
sengaja hendak mendorong semangat Pwe-giok agar berusaha keluar.
Sekujur badan Pwe-giok serasa mau meledak, ia berteriak-teriak: "Ya, aku salah. Memang
aku salah besar! Sebenarnya akupun suka padamu!"
"Dan mengapa kau tidak keluar? Apakah sekarang kau tidak dapat keluar?!" teriak Kim-yancu,
betapapun dia masih menaruh harapan.
"Sudah terlambat, sudah terlambat!"
"Tahukah kau, hanya ada kematian jika kau tidak keluar?"
"Biarpun mati akupun berterima kasih kepadamu!" teriak Pwe-giok dengan gemetar.
Tubuhnya merasa panas seperti dibakar, keadaannya sungguh payah dan tak tahan lagi.
248
Ia tidak tahu bahwa pada saat itu juga peti mati batu itupun terbuka, seorang perempuan yang
lebih cantik daripada bidadari, tapi dingin melebihi hantu telah melangkah keluar dari peti
mati itu.
Sungguh aneh, masakan mayat perempuan cantik di dalam peti mati itu benar-benar telah
hidup kembali? Baju perempuan itu berwarna putih laksana salju, tapi air mukanya terlebih
putih daripada bajunya.
Dia menyaksikan Ji-Pwe-giok yang lagi berkelojotan di lantai, mendadak ia menjengek: "Hm,
kalian memang benar dua sejoli yang sehidup semati, setelah kalian mati nanti pasti akan ku
kubur kalian bersama."
Suaranya ternyata juga sedingin es, sedikitpun tanpa emosi. Melihat gelagatnya, seumpama
dia memang bukan orang mati, tapi hatinya jelas sudah lama mati, sudah lama beku.
Mendengar suara orang, Pwe-giok terkejut dan cepat berpaling, segera dilihatnya wajah yang
cantik ini, wajah ini membuatnya jauh lebih terkejut daripada melihat setan.
Perempuan yang dingin seperti badan halus ini ternyata Lim-Tay-ih adanya!
Jadi ke delapan anak perempuan yang mati dilorong tadi kiranya anak murid Pek-hoa-bun dan
Lim-Tay-ih adalah anak perempuan yang menghilang secara misterius itu.
Saking terkejutnya Pwe-gok berteriak: "Lim-Tay-ih, ken.... kenapa kau berada di sini?"
Air muka Lim-Tay-ih berubah hebat, jawabnya dengan terkesiap: "Siapa kau? Darimana kau
tahu namaku?"
"Aku inilah Ji-Pwe-giok!" teriak Pwe-giok. Lim-Tay-ih melengak, segera ia menjengek: "Hm,
kiranya kau Ji-Pwe-giok itu, kau ternyata belum mau ganti nama!"
"Aku memang Ji-Pwe-giok, kenapa mesti ganti nama?" jerit Pwe-giok.
"Hm, apakah kau mau ganti nama atau tidak, sekarang bukan soal lagi," dengus Lim-Tay-ih:
"Sebab kau toh bakal mati, setelah kau tahu rahasia tempat ini, bagimu hanya ada mati!"
Sekuatnya Pwe-giok meronta bangun, mendadak dilihatnya di dalam peti mati batu itu masih
ada sesosok mayat perempuan yang sangat cantik dan seperti masih hidup. tanpa terasa ia
menjerit pula: "Se...sesungguhnya bagaimana persoalannya ini?"
"Apakah kau terkejut?" tanya Lim-Tay-ih
"Supaya kau tahu, yang membujur di dalam peti mati inilah jenazah asli Siau-hun-niocu. pada
waktu masih hidup setiap lelaki pasti tergiur padanya, sesudah mati iapun sayang pada
wajahnya dan tidak membiarkannya membusuk."
"Dan...dan kau? Mengapa ... mengapa kau berada di situ?" tanya Pwe-giok.
249
"Ketika kudengar ada orang masuk kemari cepat ku bersembunyi di dalam peti mati itu. Ku
tahu ilmu silatmu tidak lemah, untuk apa ku buang tenaga percuma untuk bergebrak dengan
kau?"
"O, jadi obat bius itupun kau yang mengaturnya di sana?"
"Akupun dibawa masuk ke sini oleh luncuran kasuran batu itu, jadi ku tahu bilamana kasuran
batu itu terpantul balik ke sana, orang yang berada di atasnya pasti akan terjerembab ke
depan, maka lebih dulu ku taruh obat bius itu di sana. Untuk mematikan kau, buat apa aku
mesti turun tangan sendiri?"
Baru sekarang Pwe-giok paham duduk persoalannya, ucapannya dengan terputus-putus:
"Sejak kapan kau berubah menjadi... menjadi sekeji ini?"
"Orang keji di dunia ini terlalu banyak," jawab Lim-Tay-ih. "Jika aku tidak keji, tentu aku
yang akan dibinasakan orang."
"Tapi aku ini bakal suamimu, mana boleh kau...."
"Plok", belum habis ucapan Pwe-giok, kontan Lim-Tay-ih menamparnya sambil membentak:
"Persetan kau! Bakal suamiku sudah lama mati, tapi kau berani kurang ajar padaku?"
Tamparan ini cukup keji dan keras, tapi Pwe-giok seperti tidak merasakan apa-apa, ia cuma
menatap si nona dengan matanya yang merah dan bergumam: "Kau tunanganku, kau....kau
bakal istriku!"
Lim-Tay-ih menjadi takut sendiri melihat sorot mata Pwe-giok yang beringas itu, katanya:
"Ap.... apa kehendakmu?"
Tersembul senyuman aneh pada ujung mulut Pwe-giok, dia masih terus bergumam: "Kau
bakal istriku! Kau inilah...." mendadak ia menubruk ke arah Tay-ih.
Tadinya ia gunakan tenaga dalamnya untuk mengekang bekerjanya obat perangsang, sebab
itulah dia masih dapat mempertahankan kejernihan pikirannya, tapi sekarang, obat perangsang
itu akhirnya meledak dan tidak tahan lagi.
Apalagi perempuan cantik di depannya ini adalah bakal isterinya, ia merasa tiada salahnya
kalau...
Keruan Lim tay-ih terkejut dan gusar pula tangannya kembali menggampar muka Pwe-giok
sambil membentak: "Kau gila! kau berani!"
Tapi Pwe-giok sama sekali tidak mengelak dan tetap membiarkan mukanya dihantam seperti
tanpa terasa, sebaliknya matanya semakin merah dan menakutkan dan terus menubruk maju.
Baru sekarang Lim Tay-ih ingat muka anak muda itu masih terbalut kain, segera ia ganti
menampar dengan satu pukulan tertuju ke dada Pwe-giok. Tak tersangka hantaman inipun
tetap tak dapat mencegah tindakan buas anak muda itu.
250
Kini obat perangsang itu sudah menyebar, seluruh tubuh Pwe-giok serasa mau meledak,
betapapun keras pukulan Lim Tay-ih bagi Pwe-giok rasanya seperti dipijat malah.
Keruan Tay-ih ketakutan, mendadak ia membalik tubuh terus lari.
Seperti orang gila Pwe-giok lantas mengejar.
Pemuda yang semula ramah tamah dan sopan santun ini sekarang sudah berubah seperti
seekor binatang buas.
Kim-yan-cu yang berada di luar juga terkesiap oleh apa yang terjadi di dalam itu, meski sia
tidak dapat melihat keadaan di dalam kamar batu itu, tapi dari suaranya ia dapat berteriak:
"He, Ji Pwe-giok, apa yang kau lakukan?"
Tapi di dalam hanya terdengar suara dua orang berlari, kejar mengejar, suara napas terengah
engah dan tiada jawaban.
Entah sebab apa, hati Kim-yan-cu serasa dibakar dan seakan akan meledak, mendadak ia
berteriak: "Ji Pwe-giok, mengapa kau tidak menghendaki diriku dan menginginkan dia?"
Terdengar Pwe-giok menjawab dengan napas tersengal-sengal: "Sebab di... dia adalah.."
"Kau sendiri sudah menyatakan suka padaku, betul tidak?" teriak Kim-yan-cu dengan suara
parau.
"Aku... aku memang... aku tidak..."
Lim-Tay-ih menjadi murka dan benci, teriaknya: "Kau orang gila, jika kau suka padanya,
mengapa tidak kau cari dia saja?"
"Tidak, aku suka padamu, kau... kau adalah isteriku!" seru Pwe-giok
"Kentut! Memangnya siapa isterimu?" damprat Lim-Tay-ih dengan gusar.
Dalam pada itu Kim-yan-cu telah menanti di luar.
Keadaan ini sangat ruwet, siapapun tidak dapat membayangkannya, siapapun sukar
menjelaskannya. Hubungan antara ketiga orang ini memang luar biasa, cinta dan benci
memangnya sukar dijernihkan, tapi pada saat dan keadaan yang paling serba sulit inilah ketiga
orang ini telah berkumpul di suatu tempat.
Apabila dipikir, sungguh di dunia ini tiada kejadian lain yang lebih gila, lebih aneh, lebih
mustahil dan tidak masuk diakal. Dan semua ini justeru ditimbulkan oleh seorang yang mati.
Jenazah cantik Siau-hun-niocu didalam peti mati tampaknya lagi tersenyum puas.
Kim-yan-cu sedang menangis, ia sendiri tidak tahu mengapa dirinya menangis, daripada
dikatakan dia berduka, kecewa, akan lebih baik kalau dikatakan dia merasa penasaran.
251
Sekonyong-konyong terdengar suara jeritan kaget Lim Tay-ih, jeritan ini laksana sebatang
jarum yang menusuk ulu hati Kim-yan-cu. Ia tahu akhirnya Lim Tay-ih telah berhasil
ditangkap oleh Ji Pwe-giok.
Habis itu lantas terdengar suara rontaan, suara caci maki, suara keluhan, suara napas yang
ngos-ngosan serta suara punggung dipukul, mendadak terdengar pula suara "bles" , habis itu
lantas tidak terdengar apa-apa lagi.
Keheningan ini membikin Kim-yan-cu jauh lebih tersiksa daripada suara apapun, ia ingin
menangis terlebih keras, tapi ingin menangispun tidak sanggup lagi.
Entah berapa lama ia termenung-menung di situ, mendadak terdengar suara kumandangnya
orang berjalan. Kim-yan-cu bergirang, pikirnya: "Nah, jangan-jangan Pwe-giok datang
menolong diriku?" Pada dasarnya Kim-yan-cu bukan perempuan yang berjiwa sempit, tapi
rasa benci itu tidak sampai berlarut-larut.
Tak terduga, suara orang berjalan itu ternyata bukan datang dari dalam melainkan
berkumandang dari luar gua.
Agaknya pada masa hidupnya Siau-hun-kiongcu sengaja ingin tahu setiap suara yang timbul
dari luar maupun dalam gua, maka dia telah mengatur alat penyalur suara sedemikian pekanya
sehingga suara yang lirihpun dapat terdengar.
"Giau-jiu-sam-long, kau memang tidak bernama kosong." demikian terdengar suara seorang
perempuan berseru dengan tertawa genit. "Bilamana tidak ku ajak kau ke sini, mungkin
selama hidupku jangan harap akan dapat masuk ke sini."
Suara perempuan ini terasa agak serak-serak bagus, tapi kedengaran manis dan memikat,
perempuan yang bicara ini seolah-olah setiap detik, senantiasa bergaya genit dan bersikap
manja.
Lalu suara seorang lelaki menanggapi dengan tertawa: "Dan tentunya kau tahu bukan aku
sengaja membual bahwa kecuali kedua saudaraku, mungkin terlalu sulit bagi orang lain untuk
masuk ke sini."
"Hihi, lelaki pintar seperti kau ini pasti sangat disukai oleh anak perempuan," demikian
perempuan tadi berkata pula dengan tertawa genit. "Anehnya mengapa sampai sekarang kau
belum lagi beristeri dan berumah-tangga."
Lelaki yang disebut Giau-jiu-sam-long itu terbahak-bahak dan menjawab: "Masa perlu tanya
lagi, aku kan sedang menunggu jawabanmu?"
Begitulah sembari bersenda gurau kedua orang itu lantas main cubit dan colek segala.
Apabila Pwe-giok berada di sini, tentu segera dapat dikenali suara itu adalah suara Gin-hoanio
yang kabur dengan gusar meninggalkan Kim-hoa-nio dan Thi-hoa-nio.
Tapi Kim-yan-cu tidak tahu siapa kedua orang ini, dia cuma merasa mereka memuakkan,
celakanya dirinya sendiri justeru tak dapat berkutik, ingin menghindarpun tak bisa. Tentu saja
252
Kim-yan-cu sekilas dan kuatir, ia berharap semoga pintu batu di luar telah dirusak oleh si
kakek bercahaya perak, dengan demikian kedua orang ini tidak dapat masuk ke situ.
Didengarnya lelaki yang disebut Giau-jiu-sam-long itu mendadak bersuara kaget dan suara
tertawanya lantas berhenti, katanya: "He, dinding ini mengapa berlubang, juga alat rahasianya
hanya tertutup oleh pelat besi, apakah karena kuatir ada orang menerobos keluar dari dalam?"
Terdengar Gin-hoa-nio menanggapi dengan terkesiap: "Ya, mengapa di dalam bisa ada orang,
padahal rahasia tempat ini oleh ayahku hanya diberitahukan kepada kami bertiga kakak
beradik dan orang lain tidak ada yang tahu."
"Tentu rahasia tempat ini sudah bocor." ujar Giau-jiu-sam-long. "Tempat ini pasti sudah
pernah didatangi orang. Dan orang yang mampu datang ke sini pasti bukan kaum lemah,
kukira lebih baik kita..."
Dengan tertawa genit Gin-honio lantas memotong: "Biarpun yang datang ke sini bukan kaum
lemah, tapi sam-siauya kita dari Ji-ih tong masa takut padanya?"
"Mana ku takut padanya?" ujar Giau-jiu-sam-long dengan tertawa. "Siapapun tidak kutakuti,
aku cuma takut padamu, Apabila beberapa jurus kungfu tinggalan siau-hun-niocu itu berhasil
kau yakinkan, wah, aku bisa keok."
Gin-hoa-nio tertawa cekakak-cekikik, jawabnya: "Bila Kungfu siau-hun-niocu berhasil
kuyakinkan, tujuanku kan juga untuk memuaskan kau?"
Ditengah suara tertawa kedua orang itu, "krek", pintu sudah terbuka.
Seorang pemuda berbaju hijau pupus dan membawa cundrik terus melompat masuk,
gerakannya ternyata sangat gesit, tapi mukanya kelihatan pucat, hidungnya besar membetet,
pipinya kempot, bokongnya tepos, jelas potongan orang yang terlalu bekerja keras di waktu
malam.
Namun begitu, sorot matanya ternyata tajam ia memandang sekeliling ruangan, lalu terbelalak
ke arah Kim-yan-cu.
Kim-yan-cu juga melotot padanya, tapi tidak bersuara.
Mendadak Giau-jiu-sam-long tertawa, serunya: "He, lihatlah, di sini memang benar ada
orang, bahkan seorang nona jelita, tapi entah Hiat tonya ditutuk siapa ?"
Dengan bersorak gembira Gin-hoa-nio memburu maju, pakaiannya ternyata cukup sopan, tapi
kedua matanya sama sekali tidak kenal sopan, dia melirik genit dan berkata: "Ya, orang yang
menutuk Hiat tonya mengapa tidak kelihatan?" Giau-jiu-sam-long mendekati Kim-yan-cu,
dengan ujung kakinya dia menggelitik pinggang Kim-yan-cu dengan laku bangor. Keruan
Kim-yan-cu gemas setengah mati. Tapi apa daya, sama sekali ia tak dapat bergerak.
Dengan cengar cengir, Giau-jiu-sam-long lantas berkata: "Nona cilik, siapakah yang menutuk
Hiat-tomu? ai, orang ini keterlaluan, masa tidak kenal kasih sayang kepada nona jelita seperti
kau ini, Eh, katakan saja kepadaku dimana dia nanti kuhajar dia untuk melampiaskan
dendammu"
253
Gin-hoa-nio tertawa cekikikan, katanya: "adik yang baik, lekaslah kau beritahukan padanya,
Sam-siauya (tuan muda ke tiga) kita ini maha pencinta, terutama terhadap anak perempuan
yang cantik, bilamana ada anak perempuan cantik teraniaya, dia terlebih penasaran daripada
siapapun juga"
"Eh, ucapanmu ini kok terasa berbau cuka (maksudnya cemburu)?" seru Giam-jiu-sam-long
dengan tergelak. Gin-hoa-nio terus merangkul lehernya dan berkata: "Kalau aku tidak suka
padamu apakah mungkin bisa cemburu?"
Hampir saja Giam-jiu-sam-long jatuh kelenger oleh rayuan itu, ucapnya dengan tertawa:
"Sudah memiliki kau, masa ku perlu lagi mencari yang lain? Kedua pahamu...." Belum habis
ucapannya, sekonyong-konyong ia jatuh terkulai, sampai menjerit saja tidak sempat dan tahu
sudah putus napasnya, malahan wajahnya masih tersenyum simpul, cara bagaimana matinya
mungkin ia sendiripun tidak tahu.
Sebaliknya Gin-hoa-nio sama sekali tidak berkedip, ia pandang Kim-yan-cu, katanya dengan
tertawa: "Lelaki macam begini, bila melihat perempuan matanya lantas hijau, biarpun
matipun tidak perlu disayang. Tapi kalau bukan lantaran dirimu, sesungguhnya aku rada
merasa berat untuk membunuhnya."
"Lantaran diriku?" Kim-yan-cu menegaskan dengan terbelalak.
"Ai, Cici yang baik, meski kau tidak kenal diriku, tapi sekali kulihat bajumu ini segera
kukenali kau," ucap Gin-hoa-nio dengan suara lembut. "Bukankah kau ini pendekar wanita
Kim-yan-cu yang termasyhur di dunia Kangouw itu?"
"Dan siapa kau?" tanya Kim-yan-cu.
Gin-hoa-nio menghela napas, jawabnya dengan rawan: "Aku adalah seorang anak perempuan
yatim piatu yang sengsara..."
Kim-yan-cu bergelak tertawa dan menyela: "Kudengar kau bilang mempunyai saudara dan
berayah, mengapa sekarang kau katakan yatim piatu dan sengsara?"
Biji mata Gin-hoa-nio berputar, tampaknya air matanya akan menetes, katanya: "Meskipun
aku mempunyai ayah bunda dan saudara, tapi mereka... mereka sama benci padaku, akupun
sendiri tidak mampu membuat mereka suka padaku, akupun tidak berani bertindak keji dan
ganas seperti mereka,"
Hati Gin-hoa-nio rada lunak demi melihat mimik Kim-yan-cu yang memelas itu, namun dia
tetap berteriak: "Dan kau sendiri, caramu membunuh orang barusan ini apakah tidak terhitung
keji dan ganas?"
"O, tahukah betapa aku tersiksa olehnya hanya karena kuminta dia membawaku ke sini?"
tutur Gin hoa-nio dengan suara gemetar. "Apabila tidak kubunuh dia, selama hidupku pasti
akan selalu dianiaya olehnya." Mendadak ia menjatuhkan diri ke pangkuan Kim-yan-cu dan
menangis, katanya dengan tersendat: "O, Cici yang baik, coba katakan, apakah ini salahku?"
254
Hati Kim-yan-cu tambah lunak lagi, ia menghela napas gegetun, katanya: "Ya, betul, kau
memang tidak dapat disalahkan. Ada sementara lelaki di dunia ini memang pantas kalau
dibunuh."
Sesungguhnya Kim-yan-cu memang tidak dapat menemukan alasan berdusta si nona jelita ini,
sebab kalau orang bermaksud jahat padanya, bukankah sejak tadi sekali tabas saja sudah dapat
membinasakan dia?
Nyata ia tidak tahu betapa jelimetnya jalan pikiran Gin-hoa-nio, hakekatnya seumur hidupnya
jangan harap akan dapat menerkanya.
Walaupun sudah cukup pengalaman berkelana di dunia Kangouw, tapi kalau dibandingkan
Gin-hoa-nio, hakekatnya Kim-yan-cu seperti anak kecil berbanding orang tua.
Sekalipun Gin-hoa-nio telah menjualnya mungkin dia belum lagi mengetahui apa yang
terjadi.
Sementara itu Gin-hoa-nio telah membuka Hiat-to Kim-yan-cu, katanya dengan tertawa
manis: "Tak kuduga Cici akan memaklumi diriku secepat ini, sungguh aku tidak tahu cara
bagaimana harus berterima kasih padamu."
"Kau telah menyelamatkan diriku, akulah yang harus berterima kasih padamu," kata Kimyan-
cu.
Gin-hoa-nio menunduk, mendadak ia berkata pula: "Ada sesuatu pikiranku, entah mesti
kukatakan atau tidak?"
"Mengapa tidak kau katakan saja?"
"Aku hidup sengsara sendirian, entah, ... entah Cici sudi menerima diriku sebagai adik atau
tidak?" ucap Gin-hoa-nio dengan rawan.
Kim-yan-cu melengak, serunya; "Kita.. kan baru saja kenal?"
Belum habis ucapannya, bercucuranlah air mata Gin-hoa-nio, katanya: "Kakak kandungku
saja tidak sudi mengakui diriku, orang lain lebih lagi, ai, sungguh aku ini terlalu bodoh, aku. .
.aku ...." sampai di sini, menangislah dia dengan sedihnya.
Tanpa terasa Kim-yan-cu merangkulnya, ucapnya dengan suara lembut: "O, adik yang baik,
siapa bilang aku tidak sudi mengakui kau sebagai adik? Cuma. . . . cuma kau harus
memberitahukan lebih dulu siapa namamu?"
"Ai, aku ini memang pikun.,." seru Gin hoa-nio dengan tertawa cerah. "Cici yang baik,
terimalah hormat adikmu, Hoa Gin hong"
Habis berkata ia benar-benar memberi sembah hormat kepada Kim yan cu.
Cepat Kim yan cu membangunkannya, katanya dengan tertawa: "Aku Kim yan cu (walet
emas) dan kau Gin hong hong (burung Hong perak), tampaknya kita menjadi seperti kakak
adik sekandung."
255
Padahal ia sendiri juga sebatang-kara, tidak punya sanak tidak punya kadang. Sekarang
mendadak mendapatkan seorang adik secantik ini, dengan sendirinya iapun sangat gembira.
Ia tidak tahu bahwa adik perempuannya ini sesungguhnya bukanlah burung Hong segala,
tetapi lebih tepat dikatakan "serigala betina" dan setiap saat dia bisa dicaploknya bulat-bulat.
Lantas untuk apakah sesungguhnya Gin hoa nio memikat Kim yan cu? mengapa dia sengaja
mengangkat saudara dengan Kim yan cu? apa maksud tujuannya?
Semua pertanyaan ini, kecuali Gin hoa nio sendiri mungkin tiada seorangpun yang dapat
menjawab.
*****
Gin hoa nio lantas mondar-mandir longak-longok di dalam ruangan ini, tampaknya sangat
gembira, sama sekali ia tidak tanya cara bagaimana Kim yan cu datang ke sini dan siapa yang
menutuknya.
Sebaliknya Kim yan cu sendiri tidak tahan, ia buka suara lebih dulu: "Meski benda mestika
berada di sini tidaklah sedikit, tapi harta pusaka Siau hun niocu yang sebenarnya justru
tersimpan di dalam sana."
"Oooh di dalam sana masih ada kamar lain? " tanya Gin hoa nio dengan mata terbelalak.
Padahal sejak tadi dia sudah memperhitungkan di dalam sana pasti masih ada ruangan lain,
kalau tidak, kemana perginya orang yang menutuk hiat-to Kim yan cu itu?
Dengan suara tertahan Kim yan cu lantas berkat: "Boleh kau ikut padaku, tapi harus hati-hati,
tak perduli bertemu dengan siapa dan mengalami kejadian apa, hendaklah kau jangan
bersuara, dapatkah kau turut kepada perkataanku?"
"Kalau adik tidak turut kepada perkataan kakak, habis mesti turut perkataan siapa?" jawab
Gin hoa nio dengan tertawa.
Kim yan cu tertawa, di panggulnya lagi tutup peti besi itu, dia mulai menyembah lagi.
Maklum ia merasa tidak mempunyai akal kecuali mengulangi resep semula.
Gin-hoa-nio hanya memandangi saja dengan diam, meski dalam hati merasa heran, tapi dia
tidak banyak omong. Dalam keadaan bagaimana harus bicara dan dalam keadaan bagaimana
kudu diam, baginya jauh lebih paham daripada orang lain.
Benar juga, kasuran batu itu meluncur masuk lagi ke balik dinding sana, sampai Gin-hoa-nio
juga terkejut menyaksikan kejadian tak terduga itu. Didengarnya Kim-yan-cu lagi menjerit
kaget berada di dalam sana.
Kiranya Ji Pwe-giok dan Lim Tay-ih sudah menghilang.
Pada detik sebelum dinding itu merapat kembali, secepat kilat Gin-hoa-nio ikut menyelinap
masuk ke sana, melihat harta pusaka yang berserakan di situ, kejut dan girang pula Gin-hoaRenjana
Pendekar > Karya Khulung > Diceritakan oleh : GAN KL > buyankaba.com 256
nio. Sebaliknya Kim-yan-cu berdiri ter-mangu2 dan ber-ulang2 bergumam, "Kemana
perginya mereka? Mengapa bisa menghilang?"
"Siapa yang hilang?" tanya Gin-hoa-nio.
Kim-yan-cu tidak menjawabnya, ia mengitari peti mati raksasa itu, mendadak dilihatnya lantai
di belakang peti itu bertambah sebuah lubang, dua botol obat di dalam almari batu juga
tertindih hancur lagi.
Meski dia tergolong anak perempuan yang polos dan masih ke-kanak2an, tidak paham liku2
dan kelicikan orang hidup, tapi hal ini ia tidak berarti dia orang bodoh. Setelah berpikir
sejenak, segera ia dapat menerka apa yang telah terjadi, yakni tentunya Ji Pwe-giok berhasil
menangkap Lim Tay-ih, keduanya terus bergumul dan Lim Tay-ih menindih pecah lagi dua
botol obat sehingga dia sendiri juga sempat menghisap obat perangsang cinta itu, lantaran
itulah dia tidak meronta dan tidak melawan lagi kehendak Ji Pwe-giok. Tapi ketika kedua
orang itu bergumul, tanpa sengaja telah menyentuh tombol pesawat rahasia sehingga timbul
sebuah lubang di bawah tanah, dalam keadaan pikiran me-layang2, tanpa sadar kedua orang
lantas terjeblos ke bawah.
Lubang di bawah tanah itu ternyata gelap gulita, entah berapa dalamnya dan entah tempat apa
di bawah sana.
Kim-yan-cu menjadi kuatir dan gelisah, mendadak ia berkata, "Kau tunggu di sini, biar ku
turun ke bawah untuk melihatnya."
Gin-hoa-nio melirik sekejap botol obat dan kitab yang berada di dalam almari batu itu, lalu
berkata, "Hendaklah kau hati2, dengan susah payah aku mendapatkan seorang Cici, jangan
sampai..."
"Jangan kuatir," potong Kim-yan-cu, "Cici takkan mati."
Ia mencoba merangkak ke dalam lubang, diketahuinya lubang ini tidak lurus ke bawah
melainkan miring seperti tangga luncur. Tanpa pikir ia terus pejamkan mata dan membiarkan
tubuhnya meluncur ke bawah.
Ternyata di bawah lubang inilah benar2 'istana bahagia' yang dimaksudkan dalam pesan Siauhun-
kiongcu itu.
Inilah sebuah gua batu yang luas, tampaknya gua alam dan tidak mengalami perubahan oleh
tangan manusia. Mutiara dan batu permata berserakan dan memancarkan cahaya sehingga
kelihatan dinding batu yang berbentuk aneh melebihi ukiran.
Di pojok sana ada sebuah tempat tidur yang indah dan di samping tempat tidur ada sebuah
meja kecil yang berbentuk aneh dan di atas meja ada sebuah piala emas dan bokor kemala.
Tempat dimana Kim-yan-cu jatuh itu adalah sebuah kolam yang besar, cuma sekarang kolam
itu kering tanpa air sehingga kelihatan berbagai ukiran di tepi kolam, ukiran yang
menggambarkan adegan main cinta yang merangsang.
257
Kini di gua ini sunyi senyap, tapi dapat dibayangkan dahulu tempat ini pasti selalu dalam
suasana gembira ria. Kini meski di tempat tidur itu tiada terdapat seorang pun, tapi dapat
diduga dahulu selalu berbaring sepasang muda-mudi yang gagah dan cantik. Isi bokor itu
pasti santapan yang paling lezat di dunia ini dan isi piala emas itu pasti juga arak yang paling
sedap.
Seorang kalau meluncur dari atas ke bawah dan terperosot ke kolam mandi itu serta melihat
"pemandangan indah" di sekitarnya, bukankah sama halnya terjatuh ke surga yang hangat dan
bahagia.
Akan tetapi disinipun Kim-yan-cu tetap tidak melihat Ji Pwe-giok dan Lim Tay-ih.
Ia coba mengitari ruangan gua ini, akhirnya ditemukan di balik batu dinding yang menonjol
sana samar2 seperti ada cahaya yang menembus masuk dari luar. Kiranya di sinilah jalan
keluarnya. Jelas Ji Pwe-giok dan Lim Tay-ih telah pergi.
Padahal Ji Pwe-giok sendiri yang menutuknya dan jelas dia masih terkurung di ruangan sana,
tapi sekarang pemuda itu tinggal pergi begitu saja tanpa menghiraukan dia. Seketika Kimyan-
cu berdiri terkesima dengan air mata bercucuran.
"Cici, kau baik2 bukan?" terdengar Gin-hoa-nio berseru di atas.
Dengan menahan kesedihannya, Kim-yan-cu berseru, "Semuanya baik2, boleh kau turun saja
kemari!"
Dia mengusap air matanya, ia bertekad melupakan apa yang terjadi di sini, apa yang
dialaminya ini biarkan seperti mimpi buruk saja dan takkan dipikir lagi, iapun tidak ingin
memikirkan Ji Pwe-giok pula.
Cuma sama sekali tak terpikir olehnya bahwa Lim Tay-ih pasti membenci Ji Pwe-giok sampai
merasuk tulang, mana bisa nona itu pergi bersama Ji Pwe-giok, cinta dan benci di antara
mereka yang sukar dijernihkan itu mana bisa terselesaikan semudah itu?
*****
Di luar gua sang surya yang baru terbit sedang memancarkan cahayanya yang gemilang,
bunga hutan yang tak diketahui namanya sedang mekar mewangi diembus oleh silir angin
pagi.
Gin-hoa-nio lagi sibuk mengusungi harta karun di dalam gua itu, satu peti demi satu peti
diangkutnya keluar.
Kim-yan-cu menghela nafas rawan, katanya, "Lihatlah butiran embun di kelopak bunga itu,
mana ada mutiara di dunia ini yang lebih indah dari-padanya?"
"Tapi mutiara dapat membuat hidup manusia merasa bahagia dan mendatangkan hormat dan
tunduknya orang lain, sedangkan butiran embun mana ada daya tarik sebesar itu?" ujar Ginhoa-
nio.
258
Kim-yan-cu menatap jauh ke langit, memandangi gumpalan awan, katanya pula, "Tapi kau
pun jangan lupa, di dunia inipun ada barang yang tak dapat ditukar dengan mutiara."
Gin-hoa-nio tertawa, katanya, "Cici, jangan2 engkau menanggung sesuatu kedukaan?"
Kim-yan-cu menghela nafas dan tidak bicara lagi.
"Cici, kau tunggu sebentar di sini, segera ku balik lagi," seru Gin-hoa-nio sambil berlari pergi.
Kim-yan-cu benar2 menunggunya dengan melamun di situ. Tidak sampai satu jam, Gin-hoanio
kelihatan kembali dengan membawa tiga buah kereta sewaan ditambah dua ekor kuda.
Ketiga sais kereta itu melotot heran membantu Gin-hoa-nio mengusung semua peti2 itu ke
atas kereta, tapi tiada satupun yang berani tanya. Asalkan lelaki, tentu Gin-hoa-nio punya akal
untuk membuatnya menurut.
Sebuah sungai mengalir ke bawah melingkari lereng bukit.
Kim-yan-cu menunggang kuda mengikuti laju kereta menyusur jalan di tepi sungai. Tidak
jauh tiba2 dilihatnya di permukaan sungai ada sepotong kain putih yang tersangkut di batu,
masih kelihatan bekas darahnya ketika Kim-yan-cu mengangkat kain itu dengan sepotong
kayu. Jelas itulah kain pembalut kepala Ji Pwe-giok.
Nyata anak muda itu pernah berhenti di tepi sungai ini untuk membuka kain pembalut dan
mencuci muka. Bisa jadi iapun bercermin pada air sungai untuk melihat wajah sendiri. Setelah
mengetahui muka sendiri yang sudah rusak itu, entah bagaimana perasaannya?
Lalu dimanakah saat itu Lim Tay-ih? Apakah dia hanya memandanginya di samping? Apakah
dia tidak benci lagi kepada anak muda itu dan telah mengakui dia adalah bakal suaminya?
Apakah Ji Pwe-giok ini sama orangnya dengan Ji Pwe-giok yang sudah mati itu?
Tapi Ji Pwe-giok yang itu bukankah jelas2 sudah mati? Banyak orang yang menyaksikan
jenazahnya, masa bisa palsu?
Dengan gemas Kim-yan-cu membuang kain putih itu dan melompat lagi ke atas kudanya,
diam2 ia menggerutu, "Aku sudah bertekad tidak mau memikirkannya lagi, kenapa sekarang
kupikirkan dia pula?"
Gin-hoa-nio seperti tidak melihat apapun, iapun tidak tanya Kim-yan-cu. Sebaliknya Kimyan-
cu juga tidak tanya dia kemana iringan kereta ini akan menuju?
Yang pasti iringan kereta itu dilarikan ke arah barat daya, agaknya menuju ke provinsi
Sujwan.
Banyak juga kawan orang Kangouw di sepanjang jalan ini, ada yang dari jauh sudah melihat
pakaian Kim-yan-cu yang kuning keemasan dan gemilapan, lalu cepat2 menghindar dengan
membelok ke jalan lain, kalau kepergok paling2 juga cuma menyapa dari jauh. Seharian
sedikitnya ada 40 orang yang kenal Kim-yan-cu, tapi tiada seorangpun yang berani mendekat
untuk mengajaknya bicara.
259
Terkadang Kim-yan-cu ingin bertanya kepada mereka apakah melihat seorang pemuda yang
mukanya terluka bersama seorang anak perempuan cantik. Tapi niat itu selalu urung
dikemukakan.
Dengan tertawa Gin-hoa-nio berkata, "Menempuh perjalanan bersama Cici sungguh sangat
senang, siapapun tak berani mengganggu kita. Coba kalau dua anak perempuan biasa
menempuh perjalanan sejauh ini bersama tiga buah kereta besar, mustahil kalau di tengah
jalan tidak banyak mendapat rintangan."
Belum habis ucapannya, tiba2 dari belakang seorang penunggang kuda memburu datang
dengan cepat. Penunggang kudanya tampak berwajah cakap dan gagah dengan baju perlente,
sebilah golok pendek dengan gagang golok penuh berhias mutiara terselip di tali
pinggangnya. Ternyata Sin to Kongcu adanya.
Hanya memandangnya sekejap Kim-yan-cu lantas melengos ke arah lain seperti tidak kenal
saja. Sebaliknya Sin-to Kongcu tampak sangat senang melihat si nona, segera ia berucap
setengah mengomel, "Adik Yan, mengapa kau pergi tanpa pamit, susah payah kucari dirimu."
"Siapa suruh kau cari diriku?" jawab Kim-yan-cu dengan muka bersungut.
Sin-to Kongcu melengak, katanya dengan tergagap. "Habis cari... cari siapa kalau aku tidak
mencari kau?"
"Peduli siapa yang akan kau cari," jengek Kim-yan-cu. "Setiap orang di dunia ini boleh kau
cari, kenapa kau mencari diriku?" "Plak", ia tepuk perut kudanya dan dilarikan jauh ke depan.
Sama sekali Sin-to Kongcu tidak menyangka sikap Kim-yan-cu padanya akan berubah 180
derajad, semula ia kegirangan setengah mati karena dapat menemukan kembali si nona, siapa
tahu kepalanya seperti diguyur air dingin, seketika ia menjadi melenggong.
Gin-hoa-nio mengerling genit dan mendekati Sin-to Kongcu, desisnya, "Hati Ciciku selama
dua hari ini lagi kesal, ada urusan apa boleh kau bicarakan nanti saja."
"Cicimu?" Sin-to Kongcu menegas dengan terbelalak.
"Memangnya kenapa? Kau tidak suka mempunyai adik perempuan seperti diriku?" ucap Ginhoa-
nio dengan tertawa.
Baru sekarang Sin-to Kongcu memandangnya lebih seksama dan melihat jelas senyum
genitnya yang menggiurkan, melihat kerlingan matanya yang membetot sukma. Mendadak ia
terkesima dan tidak dapat bicara lagi.
Perlahan Gin-hoa-nio mencubit pinggang Sin-to Kongcu, katanya dengan tertawa genit, "Jika
kau ingin menjadi Cihuku (kakak iparku), maka perlu kau menyanjung diriku dan turut
kepada perkataanku." Habis berkata ia terus membedal kudanya ke depan, mendadak ia
menoleh dan memicingkan matanya dan berseru: "Hayolah, mengapa tidak kau ikut kemari?"
Benar Sin to Kongcu lantas ikut ke sana dengan sangat penurut, rasa gusarnya tadi seketika
lenyap tanpa bekas.
260
Menjelang lohor sampailah mereka di Gak keh tin, suatu kota kecil, di sini mereka istirahat
dan makan siang.
Gin hoa nio memesan santapan dan arah, ditariknya Kim yan cu dan Sin to kongcu agar
berduduk bersama, diam-diam ia bisik-bisik ke sini dan kasak-kusuk kesana sambil tertawa
cekakak-cekikik.
Sin to kongcu yang pecinta itu seakan-akan melupakan Kim yan cu, kalau Gin hoa nio tertawa
iapun ikut tertawa, bila Gin hoa nio mengerling, sayuran yang disumpitnya hampir kesasar
masuk hidungnya.
Mendadak Gin hoa nio mencabut golok pendek di pinggang Sin to Kongcu, katanya dengan
tertawa: "Wah, memang engkau tidak malu bernama Sin to Kongcu, golokmu memang golok
pusaka."
Sin to Kongcu menjadi senang, serunya dengan tertawa: "Kau tahu, berapa banyak golok dan
pedang kaum ahli kangouw yang patah oleh golok pusakaku ini?"
Seperti tidak sengaja Gin hoa nio memegang tangan Sin to Kongcu, ucapnya dengan lagak
manja: "Ai, kenapa tidak lekas kau katakan, ada berapa banyak seluruhnya?"
Gin hoa nio menatapnya lekat-lekat seperti tidak kepalang kagumnya dan sangat memujanya,
genggamannya tambah erat seolah-olah tidak mau melepaskannya, katanya dengan tersenyum
menggiurkan: "Didampingi orang seperti kau, sungguh apapun tidak perlu kutakuti lagi."
Jantung Sin to Kongcu berdetak keras seakan-akan melompat keluar dari rongga dadanya,
sungguh ia menjadi bingung dan entah apa pula yang harus diucapkannya.
Meski Kim yan cu tidak mengacuhkan Sin to Kongcu, tapi melihat sikapnya yang linglung
dan lupa daratan itu, seketika ia naik darah. Maklumlah di dunia ini tiada anak perempuan
yang tidak cemburu bila melihat pemuda yang pernah tergila-gila padanya mendadak
menaruh perhatian kepada anak perempuan lain.
Soal dia sendiri suka atau tidak terhadap anak muda ini adalah urusan lain, tapi dia tidak tahan
bila lelaki ini membuat malu padanya. Akhirnya Kim-yan-cu berbangkit dan tinggal pergi
dengan gemas.
Mau tak mau Sin-to kongcu merasakan gelagat tidak baik, cepat ia meng-ada2, katanya
dengan tertawa, "eh, apakah kau masih ingat kepada Ji Pwe-giok itu ?"
Nama "Ji Pwe Giok" seolah-olah sebuah kaitan yang dapat seketika menyantol kaki Kim-yancu
dan membuatnya sukar melangkah lagi. Dia berhenti di ambang pintu, setelah detak
jantungnya agak mereda barulah dia berkata dengan dingin, "Bukankah Ji Pwe-giok itu sudah
mati ?"
"Sudah mati satu, sekarang muncul satu lagi!" kata Sin-to Kongcu.
Gemetar Kim-yan-cu, ia pegang cagak pintu dan sedapatnya berlagak tak acuh, namun
betapapun air mukanya sukar menutupi perasaannya. Ia pun tidak berani berpaling, iapun
261
tidak melihat betapa lebih hebat perubahan air muka Gin-hoa-nio ketika mendengar nama Ji
Pwe-giok.
Kim-yan-cu tidak bersuara, tapi Gin-hoa-nio lantas berteriak, "Jadi kau kenal kedua Ji Pwe
Giok itu ?"
"Kedua orang ini memang seluruhnya pernah kulihat, Hmmm, masa kukenal orang macam
begitu ?" jengek Sin-to Kongcu.
Gin-hoa-nio mengerling genit, ucapnya dengan tertawa, "Konon Ji Pwe-giok yang mati itu
adalah putera Bu-lim-bengcu sekarang, bukan saja mukanya tampan, perangainya juga halus,
entah Ji Pwe-giok yang hidup ini apakah bisa menandingi dia?!"
Muka Sin-to Kongcu menjadi merah padam saking genasnya, jengeknya "Hmm, kalau bicara
tentang rupa, memang tampang Ji Pwe-giok yang sudah mati itu tidak secakap yang masih
hidup ini. Tapi soal kehalusan perangai, kukira keduanya tidak banyak berbeda."
Dia sengaja merendahkan Ji Pwe-giok yang sudah mati itu seolah-olah tidak laku sepeserpun.
Ia tidak tahu bahwa saat ini hati Kim-yan-cu seluruhnya sudah beralih kepada Ji Pwe-giok
yang hidup ini, lebih-lebih mimpipun tak terpikir olehnya bahwa kedua Ji Pwe-giok itu
sebenarnya adalah satu orang yang sama.
Gin Hoa-nio tertawa terkikik-kikik, katanya, "O, apakah Ji Pwe-giok yang ini juga pemuda
tampan ?"
Sin-to Kongcu melototi bayangan punggung Kim-yan-cu dan berteriak, "Ji Pwe-giok yang ini
memang tidak perlu malu diberi julukan pemuda tampan. meski entah oleh siapa mukanya
telah disayat, tapi toh masih tetap jauh lebih cakap daripada yang sudah mati itu."
Ucapan Sin-to kongcu ini sebenarnya dimaksudkan untuk membikin dongkol Kim-yan-cu, tak
tersangka Gin-hoa-nio yang menjadi gregetan, saking khekinya sampai ia tidak dapat bersuara
dan tidak dapat tertawa pula.
Diam-diam Kim-yan-cu terkesiap dan juga senang, gumamnya: "Kiranya Ji Pwe-giok yang ini
bukan orang yang sama dengan Ji Pwe-giok yang itu, iapun bukan bakal suami Lim Tay-ih,
kiranya luka di mukanya tidak parah dan tidak menjadi buruk rupa."
Sin-to Kongcu sangat mendongkol, teriaknya: "Kau bilang apa?"
Dengan tak acuh Kim-yan-cu menjawab: "Sebenarnya ada beberapa persoalan yang sukar
kupahami, terima kasih atas keteranganmu."
"Aku...aku tidak paham maksudmu!?" kata Sin-to Kongcu.
"Lebih baik kau tidak paham," ujar Kim-yan-cu.
"Eh, dimana kau melihat dia? sungguh kamipun ingin menemuinya," tiba-tiba Gin-hoa-nio
bertanya dengan tertawa.
262
Sin-to kongcu menarik napas, jawabnya: "Kemarin malam kulihat dia satu kali, waktu itu aku
tidak tahu iapun bernama Ji Pwe-giok, aku tidak memperhatikan dia, tapi kukenal anak
perempuan yang bersama dia itu."
Mata Gin-hoa-nio terbelalak, ia menegas: "Hanya seorang anak perempuan yang bersama
dia?"
"Memangnya satu tidak cukup?" jengek Sin-to Kongcu.
"Budak hina, sampai kakak sendiri juga disingkirkan dan mengangkanginya sendiri," ucap
Gin-hoa-nio dengan gemas. Sudah tentu menurut keyakinannya anak perempuan yang
mendampingi Ji Pwe-giok itu pasti Thi-hoa-nio adanya.
Tak terduga Sin-to Kongcu lantas berkata pula dengan tertawa: "Sungguh lucu kalau
kuceritakan, perempuan itu sebenarnya adalah bakal isteri Ji Pwe-giok yang sudah mati itu,
setelah Ji Pwe-giok mati, baru sebentar saja ia sudah kecantol oleh Ji Pwe-giok yang baru
ini..."
"Siapakah perempuan yang kau maksudkan itu?" sela Gin-hoa-nio dengan melengak.
"Dengan sendirinya puteri Leng-hoa kiam yang bernama Lim Tay-ih itu, memangnya kau kira
siapa?" jawab Sin-to Kongcu.
Mendadak Gin-hoa-nio bergelak tertawa, serunya: "Ha..ha..ha..., bagus, bagus! Kiranya dia
telah berganti pacar dan juga she Lim. Wah, agaknya orang ini memang seorang maha
pecinta, di mana-mana ada pacar!"
Teringat Thi-hoa-nio juga telah didepak oleh Ji Pwe-giok, gembira sekali tertawanya.
Jilid 11________
Sudah tentu Sin-to Kongcu tidak tahu sebab apa Gin-hoa-nio bergembira dan merasa geli,
yang dirasakan cuma gaya tertawa Gin-hoa-nio yang menggiurkan itu, ia memandangnya
dengan kesima, sampai sekian lamanya barulah ia berkata pula:
"Waktu itu, demi melihat Lim Tay-ih tidak berkabung, sebaliknya malah sudah bergaul
dengan lelaki lain, sungguh hatiku sangat gemas. Kupikir perempuan ini ternyata seorang
munafik, lahirnya kelihatan dingin dan kereng, se-olah2 puteri suci yang tak boleh diganggu,
nyatanya cuma seorang perempuan yang tidak teguh imannya dan berharga murah."
Gin-hoa-nio tertawa ter-kikik2, katanya kemudian, "Berada bersama seorang lelaki kan tidak
berarti perempuan itu suka jual murah. Saat ini bukankah akupun berada bersamamu?"
Hampir semaput Sin-to Kongcu oleh lirikan Gin-hoa-nio yang memikat itu, segera ia
bermaksud lagi meraba tangannya, ucapnya dengan menyengir, "Sudah tentu aku dan kau
bukan…"
"Kemudian bagaimana?" mendadak Kim-yan-cu berteriak. "Mengapa tidak kau sambung?"
263
Sin-to Kongcu berdehem perlahan dan menegakkan tubuhnya, tuturnya, "Kemudian kami
mondok di suatu hotel, kulihat mereka tinggal bersama di satu kamar."
"Hm, jadi kau selalu membuntuti mereka?" jengek Kim-yan-cu.
"Apa maksudmu selalu membuntuti orang?" tanya Gin-hoa-nio dengan ter-kekeh2.
"Barangkali kau ingin mengintip... mengintip... atau kau sendiri juga ingin ambil bagian?"
Muka Sin-to menjadi merah, serunya, "Masa aku ini orang macam begitu? Soalnya di sana
hanya ada sebuah hotel, terpaksa akupun masuk hotel itu supaya tidak tidur di jalanan."
Gin-hoa-nio tertawa, katanya, "Jangan kau marah. Padahal lelaki mana yang tidak mata
keranjang. Bilamana lelaki melihat seorang perempuan yang jual murah, kalau dia tidak ikut
mencicipi, maka akan dirasakan rugi besar. Kukira lelaki umumnya sama saja, siapa tahu
kau... kau ternyata lain daripada lelaki lain."
Andaikata Sin-to Kongcu memang rada dongkol, setelah mendengar kata2 ini, lenyap juga
rasa marahnya.
Biji mata Gin-hoa-nio berputar, dengan tertawa genit ia berkata pula, "Eh, tapi pada
malamnya kau mengintip juga bukan?"
Cepat Sin-to Kongcu menjawab, "Hah, masa ku intip orang macam begitu? Soalnya kamarku
berada di sebelah mereka, sampai tengah malam kudengar mereka ribut mulut di kamarnya."
Baru sekarang Kim-yan-cu tidak tahan dan bertanya, "Sebab apa mereka bertengkar?"
"Waktu kulihat mereka tampaknya Lim Tay-ih sedang sakit, sampai berjalan saja tidak kuat,"
tutur Sin-to Kongcu. "Ji Pwe-giok itu memayangnya dengan penuh kasih mesra, jika aku jadi
dia tentu kikuk dilihat orang banyak. Bila aku tidak tahu seluk beluk mereka, mungkin akan
menyangka mereka itu suami isteri. Ketika kudengar suara pertengkaran mereka, aku menjadi
terheran-heran."
"Hihi... makanya kau tidak tahan dan ingin melihatnya," tukas Gin-hoa-nio dengan tertawa
ngikik.
"Tapi aku tidak mengintip," ujar Sin-to Kongcu. "Baru saja ku keluar kamar dan sampai di
halaman, mendadak Lim Tay-ih itu membuka pintu dan menerjang keluar dengan pedang
terhunus."
"Wah, aneh juga nona Lim itu," ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Baru sembuh sakitnya
lantas mau membunuh orang. Apakah Ji-kongcu yang telah merawatnya itu dianggap salah?"
"Menurut pengamatanku, tentu Ji Pwe-giok itu telah menggagahi orang pada waktu orang
sedang sakit, makanya begitu menerjang keluar segera Lim Tay-ih itu berteriak, "Hayo
keluar, Ji Pwe-giok, hari ini kalau bukan kau yang mampus, biarlah aku yang mati!" Pada saat
itulah baru ku tahu bocah itu bernama Ji Pwe-giok."
Gin-hoa-nio melirik Kim-yan-cu sekejap, katanya dengan tertawa, "Jika demikian, Lim Tayih
itu se-olah2 benar-benar telah dimakan oleh Ji Pwe-giok itu, makanya dia menjadi dendam
264
dan ingin mengadu jiwa dengan dia. Bagaimana Cici, menurut kau apakah memang begitu
kepribadian Ji-kongcu?"
Sudah tentu Kim-yan-cu tahu apa alasan Lim Tay-ih ingin membunuh Ji Pwe-giok, tapi hal
ini mana boleh diceritakan nya kepada orang lain. Bila teringat kepada apa yang terjadi di
tempat Siau-hun-kongcu itu, Kim-yan-cu sendiri merasakan pahit, getir, manis dan kecut
bercampur aduk dan sukar menyatakan bagaimana rasanya.
Terpaksa ia menjawab dengan dingin, "Dengarkan saja ceritanya, kenapa kau tanya padaku?"
Gin-hoa-nio melelet lidah dan tidak bersuara pula.
Sin-to Kongcu lantas menyambung ceritanya, "Mungkin Ji Pwe-giok itu merasa malu, dia
sembunyi di dalam kamar dan tak berani keluar. Sampai lama Lim Tay-ih mencaci maki di
luar, mendadak ia menerjang masuk lagi ke kamar."
"Masa Ji Pwe-giok belum lagi pergi?" tanya Kim-yan-cu.
"Ji Pwe-giok seolah-olah terkesima, ia duduk di kursinya dengan termangu-mangu," tutur Sinto
Kongcu. "Sementara itu tamu hotel menjadi kaget dan be-ramai-ramai merubung datang
untuk menonton, ada yang menyangka suami isteri sedang bertengkar dan ingin melerai, tapi
baru masuk segera orang itu di depak keluar oleh Lim Tay-ih, keruan yang lain-lain menjadi
ketakutan dan tidak berani mendekat."
"Galak benar nona Lim itu," ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa.
"Setelah menerjang ke dalam kamar, Ji Pwe-giok didamperatnya habis-habisan," tutur Sin-to
Kongcu lebih lanjut. "Hakikatnya Ji Pwe-giok dimaki se-olah2 manusia yang paling tidak
kenal malu di dunia ini. Tapi Ji Pwe-giok masih tetap duduk mematung dan tidak
menanggapi."
"Kata peribahasa, bertepuk sebelah tangan takkan berbunyi, kalau orang tidak menjawabnya,
betapapun galaknya nona Lim itu terpaksa tak dapat berbuat apa-apa lagi," ujar Gin-hoa-nio.
"Ya, tadinya akupun anggap begitu," kata Sin-to Kongcu. "Siapa tahu Lim Tay-ih itu seperti
sudah gila, mendadak pedangnya menusuk..."
"Dan dia tidak membalas?" betapapun Kim-yan-cu menjadi kuatir dan bertanya.
Sin-to Kongcu melototinya sekejap, lalu menjawab dengan perlahan, "Bukan saja dia tidak
membalas, bahkan berkelit saja tidak. Ketika pedang Lim Tay-ih mengenai badannya,
hakekatnya dia tidak bergerak sama sekali."
"Parah tidak lukanya?" tanya Kim-yan-cu.
"Tampaknya Lim Tay-ih tidak ingin sekali tusuk membinasakan dia," jawab Sin-to Kongcu
dengan dingin, "sebab itulah tusukannya itu diarahkan ke bahunya, tusukan yang kedua juga
cuma melukai dadanya..."
"Dia tega menusuk lagi?!" seru Kim-yan-cu.
265
"Tidak cuma menusuk lagi, bahkan sembari memaki dan menangis, pedangnya juga tidak
pernah berhenti," jengek Sin-to Kongcu.
Hampir menangis Kim-yan-cu, katanya dengan tersendat, "Masa tidak ada orang yang
mencegahnya?"
"Tadi kan sudah ada yang di depak keluar, siapa lagi yang berani melerainya?" ujar Sin-to
Kongcu.
"Dan kau? Kenapa tidak kau cegah dia? Apakah kaupun takut kepada ilmu silatnya?" tanya
Kim-yan-cu.
Sin-to Kongcu menunduk, katanya, "Sebenarnya akupun ingin menariknya, tapi begitu
mendengar orang itupun bernama Ji Pwe-giok, entah mengapa, aku menjadi... menjadi marah
bila mendengar nama Ji Pwe-giok."
"Jadi... jadi kau saksikan dia dibunuh orang di depanmu?" tanya Kim-yan-cu pula dengan
suara gemetar.
"O, kaupun kenal dia?" tanya Sin-to Kongcu dengan terbelalak. "Mengapa begini besar
perhatianmu kepadanya?"
"Kukenal dia atau tidak, kuperhatikan dia atau tidak, semua ini ada sangkut paut apa
denganmu?" teriak Kim-yan-cu.
Mata Sin-to Kongcu menjadi merah, ia angkat cawan arak, tapi tangannya terasa gemetar
hingga arak berceceran membasahi bajunya. "Tapi Ji Pwe-giok itu apakah betul telah dibunuh
oleh Lim Tay-ih?" timbrung Gin-hoa-nio dengan tertawa genit.
"Sudah tentu, masakah perlu dijelaskan lagi," kata Sin-to Kongcu dengan dingin sambil tetap
menatap Kim-yan-cu.
Se-konyong2 Kim-yan-cu berbangkit, teriaknya dengan parau, "Dan kau... kau ti..."
Sin-to Kongcu juga berdiri dan meraung, "Ji Pwe-giok sendiri tidak menghiraukan dirinya
diserang, jelas ia sendiri rela mati di tangan Lim Tay-ih. Kalau dia sendiri sukarela, mengapa
aku mesti ikut campur urusannya?!"
Dengan sinar mata buram Kim-yan-cu menatap Sin-to Kongcu, selangkah demi selangkah ia
menyurut mundur ke pintu, akhirnya air mata menetes, mendadak ia membalik tubuh terus
berlari pergi dengan mendekap mukanya.
Lama juga Gin-hoa-nio melenggong, lalu ia tertawa ter-kekeh2, katanya, "Hehe, akhirnya Ji
Pwe-giok mati juga, bahkan mati di tangan orang perempuan... jika Losam (si ketiga,
maksudnya Thi-hoa-nio) mendengar berita ini, kuyakin air mukanya pasti sangat lucu."
Waktu ia berpaling, dilihatnya Sin-to Kongcu berdiri kaku seperti patung, air mukanya
sebentar hijau sebentar putih, mendadak "prak", cawan arak yang dipegangnya telah hancur
diremasnya.
266
*****
Kim-yan-cu berlari kembali ke kamarnya dan menjatuhkan diri di ranjang, kepala ditutupnya
dengan selimut lalu menangis ter-gerung2. Ia sendiripun tidak menduga dirinya bisa begini
berduka.
Entah sudah berapa lama ia menangis, ia merasa sebuah tangan meraba bahunya dengan
perlahan, ia membuka selimut, dilihatnya Gin-hoa-nio berduduk di tepi ranjang dan lagi
berkata dengan suara lembut, "Orang mati tak dapat hidup kembali, untuk apa Toaci
sedemikian berduka?"
Melihat dia Kim-yan-cu merasa seperti bertemu dengan orang yang paling karib di dunia ini,
ia menubruk ke pangkuan Gin-hoa-nio dan menangis lagi sekian lamanya, habis itu barulah ia
berkata dengan tersendat, "Akupun tidak tahu mengapa aku begini berduka, padahal aku cuma
berada bersama dia satu hari saja, bahkan bagaimana bentuknya sesungguhnya akupun tidak
jelas."
"Hah? Kau hanya berkumpul satu hari dengan dia? Hanya satu hari?" Gin-hoa-nio menegas
dengan tercengang.
"Ya, meski cuma satu hari, tapi apa yang terjadi selama sehari itu sudah cukup kukenangkan
untuk selama hidup," kata Kim-yan-cu.
Gemerdep sinar mata Gin-hoa-nio, tanyanya pula dengan perlahan, "Dia sangat baik
padamu?!"
"Ya".
"Tapi Sin-to Kongcu itu kan juga sangat baik padamu?"
"Itu tidak sama," ujar Kim-yan-cu. "Dia baik padaku lantaran ia ingin memiliki diriku, tapi
Ji... Ji Kongcu itu, dia selalu memikirkan kepentinganku, bahkan tidak sayang mengorbankan
dirinya sendiri demi diriku."
"Kukira dia bukan manusia sebaik itu..."
"Kau tahu," mendadak Kim-yan-cu mengangkat kepalanya dan berkata dengan suara agak
gemetar, "Sebenarnya dia dapat mendapatkan segalanya dari diriku, aku... aku sudah rela
menyerahkan segalanya kepadanya, tapi dia... dia tidak mau membikin susah padaku..."
Tergetar tubuh Gin-hoa-nio, serunya, "Jadi dia telah menolak dirimu, bisa jadi lantaran dia
memandang rendah dirimu!"
"Tidak, sama sekali bukan begitu," kata Kim-yan-cu. "Kau tidak tahu..."
"Mengapa aku tidak tahu," jengek Gin-hoa-nio. "Sudah lama ku tahu dia bukan manusia yang
tahu kebajikan, sepantasnya kau benci padanya, mengapa kau malah berduka baginya?"
267
Kim-yan-cu menghela nafas, jawabnya, "Sebenarnya akupun rada benci padanya, tapi
sekarang... sekarang aku dapat memahami maksudnya, rupanya dia kuatir kebahagiaan
hidupku menjadi korban, maka dia lebih suka membikin kubenci padanya dan tidak mau
membikin susah padaku. Tiada lain melulu ini saja selama... selama hidupku takkan
kulupakan dia."
Gin-hoa-nio melengak, tapi dia lantas mendengus pula, "Tapi kalau aku sudah ditolak oleh
seorang lelaki, maka aku akan membencinya selama hidup."
Mendadak pintu berkeriut dan terbuka, dengan kaku Sin-to Kongcu berdiri di depan pintu,
wajahnya kelihatan pucat seperti mayat.
Kim-yan-cu menjadi gusar, dampratnya, "Siapa suruh kau kemari? Keluar, lekas keluar!"
Sin-to Kongcu tetap berdiri kesima di situ, mendadak ia menghela nafas panjang, katanya,
"Janganlah kau berduka, Ji Pwe-giok itu tidaklah mati!"
Tercengang Kim-yan-cu, tanyanya, "Habis tadi mengapa... mengapa kau..."
Sin-to Kongcu menunduk, jawabnya, "Tadi aku sengaja membikin marah padamu, tapi... tapi
sekarang, setelah melihat kau sedemikian berduka, aku... aku tidak sampai hati berdusta lebih
jauh."
Kim-yan-cu menatapnya dengan terkesima, seketika ia menjadi tak sanggup bicara.
"Jika tiada orang menolongnya, bisa jadi Lim Tay-ih benar2 akan membunuhnya," tutur Sinto
Kongcu lebih lanjut. "Pada saat itulah mendadak seorang melayang masuk dan
menghadang di depan Lim Tay-ih."
"Siapa dia?" tanya Kim-yan-cu cepat.
"Ang-lian hoa!" jawab Sin-to Kongcu.
"Ji Pwe-giok itupun kenal Ang-lian hoa?" seru Kim-yan-cu.
"Meski Ang-lian hoa telah menyelamatkan dia, tapi Ang-lian hoa juga tidak kenal dia,
tampaknya malahan rada jemu terhadap orang she Ji itu, cuma dia merasa kesalahan orang
tidak perlu dihukum mati, maka dia merintangi Lim Tay-ih."
"Darimana kau tahu?" tanya Kim-yan-cu.
"Tatkala mana sekujur badan Ji Pwe-giok sudah mandi darah, siapapun dapat melihat lukanya
cukup parah, tapi Ang-lian hoa sama sekali tidak memandangnya, sebaliknya malah
membujuk dan menghibur Lim Tay-ih, seolah-olah yang terluka bukanlah Ji Pwe-giok
melainkan Lim Tay-ih. Ji Pwe-giok itupun memandangi mereka dengan termangu-mangu
tanpa bicara."
"Kemudian?" tanya Kim-yan-cu.
268
"Kemudian Ang-lian hoa lantas membawa pergi Lim Tay-ih tanpa memperdulikan orang she
Ji itu," tutur Sin-to Kongcu. "Coba pikir, jika dia sahabat Ji Pwe-giok itu atau dia bersimpatik
padanya, paling tidak ia pasti akan memeriksa lukanya."
Sampai di sini barulah Gin-hoa-nio menghela nafas, katanya, "Jika begitu, untuk apa pula
Ang-lian hoa menolongnya. Ang-lian hoa benar2 tidak malu sebagai seorang yang sok ikut
campur urusan tetek bengek. Tapi tidak lambat tidak cepat, justeru pada saat itulah dia
muncul. Jangan-jangan iapun senantiasa menguntit dan mengawasi gerak-gerik mereka?"
"Tapi baru saja Ang-lian hoa dan Lim Tay-ih berangkat, segera ada seorang perempuan
melayang masuk lagi dan memandangi Ji Pwe-giok dengan tertawa," tutur Sin-to Kongcu
pula. "Perempuan itu lantas berkata: "Sebelumnya memang ku tahu ada orang akan menolong
kau, maka sebegitu jauh aku tidak turun tangan..." Coba pikir, kalau dia tidak menguntit
mereka, mana bisa dia bicara begitu?"
"Hm, tampaknya banyak juga pacar Ji Pwe-giok, yang satu menemani dia tidur di hotel, ada
lagi yang diam2 menunggu kesempatan baik untuk menolongnya," jengek Gin-hoa-nio.
"Tapi demi melihat perempuan itu, Ji Pwe-giok seperti melihat setan saja, tanpa
menghiraukan lukanya yang cukup parah itu, dia melompat bangun terus kabur," tutur Sin-to
Kongcu. "Hebat juga ginkangnya, biarpun dalam keadaan terluka, perempuan itu belum tentu
dapat menyusulnya."
Gin-hoa-nio berkerut kening, tanyanya, "Siapa pula perempuan itu? Bagaimana bentuknya?"
"Perempuan itu berbaju putih mulus, tampaknya juga tergolong perempuan cantik, ilmu
silatnya juga tergolong kelas tinggi, tapi aku tidak tahu di Kangouw ada seorang tokoh
semacam dia, bisa jadi baru saja muncul," tutur Sin-to Kongcu pula dengan wajah pucat dan
agak linglung, orang bertanya diapun menjawab, sampai di sini mendadak ia menatap lagi
Kim-yan-cu, katanya dengan perlahan, "Sekarang apa yang kulihat sudah kuceritakan
seluruhnya, meski di balik urusan ini pasti masih ada hal2 lain yang ter-belit2, tapi aku tidak
tahu lagi, akupun tidak tahu kemana perginya Ji Pwe-giok itu."
Dengan nada yang agak terangsang kemudian dia menyambung pula, "Tapi kelak bila kulihat
dia pasti akan kusuruh dia mencari dirimu, ku tahu isi hatimu, apapun sikapmu terhadapku
tidak menjadi soal, paling tidak aku sendiri tidak... tidak berbuat salah padamu!"
Habis berkata segera ia membalik badan dan melangkah pergi. Padahal biasanya dia se-akan2
lengket terhadap Kim-yan-cu, tapi kepergiannya ini ternyata cukup ikhlas.
"Orang ini meski terkadang terasa menjemukan, tak tersangka cukup keras juga kepalanya,"
ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa.
Kim-yan-cu ter-mangu2 sejenak, katanya kemudian dengan menyesal, "Dia memang tidak
bersalah padaku, tapi aku merasa tidak enak padanya."
"Tadi aku cuma berpikir bicara dengan Cici dan tidak menyangka dia akan mencuri dengar di
luar pintu," kata Gin-hoa-nio. "Jika dia tidak mendengar perkataan Cici tadi, tentu dia takkan
pergi seperti sekarang ini."
269
"Sebabnya dia selalu melengket pada diriku adalah karena dia mengira aku pasti jauh lebih
dingin terhadap orang lain daripada sikap dinginku terhadap dia. Sekarang setelah dia tahu
hatiku sudah terisi orang lain, barulah dia ikhlas melepaskan diriku. Dengan demikian akupun
tidak perlu repot lagi menghadapi dia."
"Tapi mengapa Toaci membikin dia putus asa? Jika dia selalu masih berharap akan memiliki
Toaci, tentu dia akan senantiasa mengintil di belakang kita, jika kau suruh dia ke timur, tidak
nanti dia berani ke barat. Dengan demikian bukankah akan sangat menyenangkan. Apalagi
anak perempuan seperti kita yang suka berkelana di Kangouw justeru memerlukan pesuruh
semacam dia."
Sama sekali Kim-yan-cu tidak pernah membayangkan jalan pikiran yang bukan2 seperti apa
yang dikatakan Gin-hoa-nio ini, karena pikiran sendiri sedang kusut, maka iapun tidak
menanggapinya. Ia cuma menghela nafas dan berkata, "Aku sangat lelah dan ingin istirahat,
harap kau keluar saja."
Namun Gin-hoa-nio masih tetap duduk saja, ia malah berkata lagi dengan mata terbelalak,
"Toaci, menurut kau, sebab apakah nona Lim itu ingin membunuh Ji-kongcu?"
Kim-yan-cu membalik tubuh, memejamkan mata dan tidak menggubrisnya lagi.
"Menurut pendapatku, belum tentu nona Lim itu hendak membunuh Ji-kongcu," kata Ginhoa-
nio pula. "Dalam hal ini ada dua titik yang mencurigakan, masa Toaci tidak dapat
membayangkannya?"
Mesti tidak mau menggubrisnya, tak tahan juga Kim-yan-cu mendengar ucapan tersebut,
segera ia bertanya, "Hal apa yang mencurigakan?"
Gin-hoa-nio tertawa, katanya, "Melihat sikap Ji-kongcu terhadap nona Lim itu, pasti dia tidak
berprasangka jelek apapun terhadap nona itu, bahkan tidak cuma satu hari saja mereka berada
bersama."
"Ini kan juga tidak perlu diherankan"
"Jika begitu, kesempatan bagi nona Lim untuk membunuh Ji-kongcu tentunya sangat banyak,
mengapa dia sengaja menunggu sampai malam itu, di tempat yang banyak orang dan sengaja
ribut2 sehingga ditonton orang?"
"Bisa jadi dia tidak sengaja mengagetkan orang, mungkin dia tidak sabar lagi dan akhirnya
ribut," ujar Kim-yan-cu setelah berpikir sejenak.
"Seorang perempuan kalau sudah benci kepada seorang lelaki, bahkan ingin membunuhnya,
maka dia pasti takkan ribut dengan dia secara terbuka, jika sampai ribut2 begitu, tentu dia
tidak bermaksud membunuhnya... Toaci, engkau juga perempuan, kau bilang uraianku ini
masuk di akal atau tidak?"
Setelah termenung sejenak, akhirnya Kim-yan-cu mengangguk, "Ya, betul juga."
"Selain itu, jika benar nona Lim itu ingin membunuh Ji-Kongcu, di depan orang banyak
kenapa tidak sekali tusuk dibinasakannya?"
270
"Mungkin dia ingin menyiksanya secara perlahan."
"Menurut pendapatku, hati nona Lim itu pasti tidak sekeji itu, apalagi seumpama benar ia
maksud menyiksanya secara perlahan, tentu serangannya juga tidak seringan itu."
"Darimana kau tahu serangannya ringan atau berat?"
"Jika serangannya cukup berat, masakah kemudian Ji-kongcu mampu kabur dengan
menggunakan ginkangnya?"
Kim-yan-cu termenung, tanyanya kemudian, "Habis kalau menurut kau, sesungguhnya
permainan apakah itu?"
"Menurut pendapatku, apa yang dilakukan nona Lim itu hanya sekedar dilihat orang lain
saja."
"Mengapa dia berbuat begitu agar dilihat orang lain?"
"Apa sebabnya akupun tidak tahu, bisa jadi Toaci tahu..."
"Aku cuma tahu dia memang sangat benci kepada Ji Pwe-giok dan memang ada alasannya
untuk membunuhnya. Di dunia ini jika ada seorang yang benar2 ingin membunuh Ji Pwegiok,
maka orang itu ialah Lim Tay-ih."
Walaupun di mulut dia bicara penuh keyakinan, tapi dalam hati lamat2 juga merasakan di
balik urusan ini pasti masih ada persoalan lain yang tersembunyi. Tapi tak terpikir olehnya
bahwa urusan ini sesungguhnya memang sangat ruwet, sangat pelik, berpuluh kali lebih ruwet
dan pelik daripada apa yang pernah dibayangkannya.
*****
Kereta mereka beristirahat sehari penuh di kota kecil ini, esok paginya, belum lagi terang
tanah Gin-hoa-nio sudah bangun untuk mendesak kusir kereta agar mengatur segala sesuatu
yang perlu untuk segera berangkat.
Kim-yan-cu semalaman tak dapat tidur, baru saja ia terpulas sudah dikejutkan lagi oleh suara2
di halaman, terpaksa ia bangun dan membuka pintu kamar, tanyanya kepada Gin-hoa-nio
dengan dahi berkerut, "Pagi2 begini sudah mau berangkat?"
Gin-hoa-nio menyongsongnya, katanya dengan mengiring tawa, "Sudah ku pesan mereka agar
jangan mengejutkan Toaci hingga terjaga, dasar orang kasar, sukar diatur."
"Sekalipun mereka tidak mengejutkan tidurku, toh kau juga akan membangunkan aku," ujar
Kim-yan-cu hambar.
Karena isi hatinya tepat dibongkar, muka Gin-hoa-nio menjadi merah, baru sekarang ia tahu
meski Kim-yan-cu tampaknya serba gampangan, tapi juga tidak sederhana seperti apa yang
disangkanya.
271
Kim-yan-cu balik ke dalam kamar, katanya pula, "Kau ter-gesa2 hendak berangkat, kukira
kau pasti sudah mempunyai tempat tujuan. Sesungguhnya hendak kemana? Mengapa tidak
kau katakan padaku?"
Gin-hoa-nio tertawa dan menjawab, "Sejauh ini Toaci tidak tanya, maka..."
"Kan sudah kutanyakan sekarang?"
"Soalnya begini," tutur Gin-hoa-nio, "begini banyak harta benda yang kita bawa, rasanya agak
kurang leluasa bila kita menempuh perjalanan jauh, maka kupikir barang2 ini harus kita
titipkan pada suatu tempat yang dapat dipercaya."
"Ingin kau titipkan dimana?"
"Adik baru saja berkecimpung di Kangouw dan belum banyak kenalanku, untuk ini dengan
sendirinya mesti minta petunjukmu."
Setelah kejadian kemarin, meski lamat2 Kim-yan-cu juga merasakan adik angkat yang baru
ini tidak sederhana, tapi iapun tidak menyangka orang ada intrik apa2 terhadap dirinya.
Setelah berpikir, kemudian ia berkata, "Harta benda sebanyak itu memang tidak leluasa
biarpun dititipkan dimana saja. Sekalipun kita percaya penuh kepada orang yang kita titipi,
orang lain belum tentu sanggup menerima resiko sebesar ini."
"Betul juga ucapan Toaci," kata Gin-hoa-nio. "Makanya orang yang akan kita titipi selain
harus dapat dipercaya juga harus berani bertanggung jawab, kalau tidak, titipan harta benda
ini jangan2 malah bisa membikin celaka dia."
Kim-yan-cu berpikir sejenak, katanya kemudian, "Orang yang kau maksudkan kuingat
memang ada satu di dekat sini."
"Ha, siapa?" seru Gin-hoa-nio cepat dan girang.
"Keluarga Tong di Sujwan..."
Belum habis ucapan Kim-yan-cu, serentak Gin-hoa-nio berkeplok dan berseru, "Aha, nama
besar keluarga Tong di Sujwan memang sudah lama kudengar. Jika peti2 ini dapat dititipkan
di sana, sudah tentu tidak perlu dikuatirkan lagi. Selain itu, dengan nama baik ayah beranak
keluarga Tong itu, tentu orangpun tak berani menyatroni mereka dan mengincar harta benda
ini."
Tiba2 ia berkerut kening dan menyambung pula, "Cuma orang2 keluarga Tong itu biasanya
berwatak aneh, suka menyendiri dan jarang bergaul. Jika Toaci tidak kenal mereka, kukira
merekapun tak mau menerima titipan ini."
Kim-yan-cu tersenyum, katanya, "Jika kau tahu seluk beluk dunia Kangouw, mengapa kau
tidak tahu aku dan Tong-bun-su-siu (empat cantik dari Keluarga Tong) juga bersaudara
angkat?"
Meski ia merasa rasa girang Gin-hoa-nio itu rada kelewatan, tapi ia sangka mungkin karena
adik angkat ini terlalu memikirkan keselamatan harta benda itu. Ia tidak tahu sebabnya GinRenjana
Pendekar > Karya Khulung > Diceritakan oleh : GAN KL > buyankaba.com 272
hoa-nio memikat dan bersaudara dengan dia justeru lantaran sebelumnya sudah diketahui dia
adalah saudara angkat dari para nona keluarga Tong. Kalau tidak tentu sudah lama dia
dibunuhnya.
Begitulah terlihat Gin-hoa-nio sangat gembira dan tertawa terus menerus, katanya, "Toaci dan
Tong-bun-su-siu adalah saudara angkat, wah, kalau begitu adik kan juga ikut2an menjadi
saudara mereka? Biasanya aku sebatang kara dan hidup ter-lunta2, kini mendadak
mendapatkan kakak2 sebanyak ini dan rata2 orang termasyhur, aku sangat girang."
Melihat kegembiraan orang Kim-yan-cu juga tertawa, katanya, "Disiplin keluarga Tong
biasanya sangat keras, para nona dan menantunya jarang keluar rumah, mereka selalu merasa
kekurangan teman, bilamana mendapat seorang adik cilik yang menyenangkan seperti kau,
mereka pasti juga akan kegirangan."
Teringat kepada nasib Gin-hoa-nio yang sebatang kara dan hidup sengsara, sekalipun
pandangannya terhadap harta benda sedemikian penting, hal inipun dianggapnya lumrah.
Karena pikiran ini, rasa was-wasnya terhadap Gin-hoa-nio kemarin lantas tersingkirkan
semua, ia malah menyesal pagi tadi tidak pantas bersikap dingin padanya. Karena itulah
sepanjang jalan kembali ia mengajaknya bersenda gurau lagi.
Perjalanan ke Sujwan cukup sulit ditempuh sebab pada umumnya jalan daerah Sujwan adalah
lereng2 bukit. Tapi saat ini mereka berada di dataran Sujwan tengah yang jarang lereng
bukitnya, bahkan Sujwan tengah sejak jaman dahulu terkenal sebagai daerah yang subur dan
makmur, sepanjang jalan cukup ramai orang berlalu lalang sehingga tidak terasakan kesepian.
Setelah melintasi In-yang-to dan menyusur lembah Tiangkang, jalanan semakin lapang, tapi
sepanjang jalan mulai banyak tertampak kawanan pengemis, kebanyakan berkelompok dalam
jumlah tiga atau lima orang. Kawanan jembel inipun menempuh perjalanan ke depan dengan
teratur, melihat kaum saudagar dan orang lalu, mereka suka memberi jalan dengan sikap
hormat, tapi tidak minta2 seperti biasanya. Bahkan di antara kaum jembel itu ada yang
kelihatan angkuh, se-olah2 memandang rendah kaum awam ini.
Agaknya Gin-hoa-nio tertarik, ia membisiki Kim-yan-cu, "Tampaknya kawanan pengemis ini
sama mahir ilmu silat dan bukan tukang minta2 biasa... jangan2 mereka inilah anak murid
Kay-pang?"
Suara Gin-hoa-nio sangat lirih, tapi seorang pengemis yang berjalan sendirian beberapa
tombak di depan mendadak menoleh dan tersenyum padanya dan berkata, "Nona cantik
hendaklah menempuh perjalanannya sendiri dan tidak perlu ikut campur urusan orang lain."
Pakaian pengemis ini juga compang-camping dan berlepotan debu kotoran, tapi wajahnya
yang agak kurus itu tampak tercuci bersih, sorot matanya juga gemerdep tajam. Gin-hoa-nio
melelet lidah dan tertawa genit, katanya, "Wah, tajam benar telinga Cianpwe, Anda tentu
Tianglo di dalam Kay pang?"
Mendadak pengemis setengah umur itu menarik muka, mata alisnya memperlihatkan rasa
marah, tapi setelah memandang sekejap Kim-yan-cu yang berada di sebelah Gin-hoa-nio,
dengan dingin dia berkata, "Aku bukan Cianpwe segala, juga bukan Tianglo apa, mungkin
nona yang salah lihat."
273
Gin-hoa-nio ingin bicara lagi, tapi pengemis setengah umur itu sudah melangkah ke sana, ia
menuju ke bawah pohon di tepi jalan, dikeluarkannya sebuah buli2 kayu, isi buli2 tentunya
arak, maka ditenggaklah araknya.
Dalam sekejap saja kereta sudah lalu di samping pengemis itu, Gin-hoa-nio menggeleng dan
bergumam, sungguh aneh tabiat orang ini, aku tidak bersalah padanya, mengapa dia merasa
marah padaku?"
Kim-yan-cu tidak menjawabnya, selang tak lama, mendadak ia berkata, "Di depan adalah kota
Li-toh-tin, hendaklah kau tunggu diriku di hotel Li-keh-can sana, sebelum ku datang jangan
pergi dulu."
"Toaci hendak ke mana?" tanya Gin-hoa-nio dengan tercengang.
"Tiba2 teringat sesuatu olehku..."
"Bolehkah adik mengiringi kepergian Toaci?"
Kim-yan-cu seperti tidak sabar, katanya sambil berkerut kening, "Biar kau tunggu saja di Litoh-
tin, tidak sampai tiga hari tentu ku datang mencari kau, masa kau takut ku kabur?"
Cepat Gin-hoa-nio menjawab, "Baiklah, adik menurut saja."
Melihat Gin-hoa-nio sudah jauh membawa kedua keretanya, mendadak Kim-yan-cu memutar
balik kudanya dan dilarikan ke tempat tadi. Dilihatnya si pengemis setengah baya itu sudah
tertidur di tepi jalan di bawah pohon.
Kalau pengemis yang lain, banyak atau sedikit, tentu membawa beberapa karung goni sebagai
tanda tingkatannya, makin banyak karung goni yang dibawanya, makin tinggi kedudukannya.
Jika tidak membawa karung berarti murid yang belum resmi masuk perkumpulan.
Sikap pengemis setengah baya ini sangat angkuh, langkahnya cepat enteng, jelas sangat tinggi
ilmu silatnya, tidak mungkin dia murid Kay-pang yang belum resmi, tapi buktinya dia tidak
membawa sebuah karungpun.
Pakaian pengemis yang lain juga compang camping, tapi kebanyakan tercuci bersih, hanya
wajah masing2 jelas kelihatan sudah kenyang menderita gemblengan kehidupan sebagai
tukang minta2. Sebaliknya meski pakaian pengemis setengah baya ini penuh kotoran, namun
mukanya justeru putih bersih, kulit badannya juga halus, bahkan tiada tampak garis keriput
sama sekali.
Bila pengemis lain sama berkelompok dan saling menyapa, tapi pengemis aneh ini justeru
menempuh perjalanan sendirian dengan langkah angkuh se-akan2 tidak sudi bergaul dengan
orang lain.
Tujuan Kim-yan-cu sebenarnya hendak mencari Ang-lian hoa untuk ditanyai apa yang terjadi
tempo hari, untuk ini mestinya ia dapat minta keterangan kepada pengemis yang lain. Tapi dia
merasa heran terhadap pengemis setengah umur ini, timbul rasa ingin tahunya. Dari kejauhan
ia sudah turun dari kudanya, lalu mendekati pohon itu dan berduduk di situ.
274
Pengemis2 yang lain sama heran melihat seorang nona jelita berduduk di samping pengemis
setengah umur yang sedang tidur itu. Ketika lalu di depan mereka, langkah mereka lantas
dibikin perlahan, tampaknya kuatir mengganggu tidur pengemis setengah umur yang nyenyak
itu.
Kim-yan-cu juga bersabar sebisanya dan tidak membangunkan orang.
Terdengar suara dengkuran perlahan pengemis aneh itu, tidurnya sangat lelap, malahan
samar-samar terdengar ia sedang mengigau.
Kim-yan-cu coba pasang kuping dengan cermat, didengarnya orang sedang berkata, "Begitu
banyak benda berharga yang termuat di kereta itu, kenapa tidak cepat melanjutkan perjalanan,
untuk apa kau cari si tukang minta2 ini? Apakah hendak memberi sedekah?"
Terkejut Kim-yan-cu, diam-diam ia mengakui ketajaman pandangan orang.
Kalau barang muatan kereta itu adalah sebangsa emas-perak yang berat bobotnya, debu yang
mengepul yang ditimbulkan oleh roda kereta itu pasti berbeda, orang Kangouw kawakan
sekali pandang akan segera tahu hal ikhwalnya.
Tapi sekarang barang yang dimuat kedua kereta itu hanya benda2 berharga yang ringan
bobotnya sebangsa ratna mutu manikam, sungguh luar biasa pengemis aneh inipun dapat
mengetahuinya.
Begitulah semakin kejut dan heran, semakin bersabar pula Kim-yan-cu, betapapun lama si
pengemis aneh ini akan pura2 tidur tetap akan ditunggunya.
Selang sejenak, mendadak pengemis aneh bergelak tertawa dan berbangkit, katanya, "Hahaha,
Kang-lam-lihiap Kim-yan-cu yang termasyhur ternyata menunggui tidur seorang tukang
minta2, apakah tidak kuatir dijadikan bahan tertawa orang!"
Kim-yan-cu terkesiap, "Kiranya Cianpwe kenal Tecu."
"Bukan cuma kau si walet ini yang kukenal, bahkan kukenal pula si elang," ucap pengemis itu
dengan tertawa.
Supaya diketahui, guru Kim-yan-cu bernama In Tiat-ih, berjuluk "Sin-eng" atau elang sakti,
seorang pendekar termasyhur pada 30 tahun yang lalu.
Selama hidup In Tiat-ih melaksanakan tugas mulianya dengan sendirian, musuhnya tersebar
di mana2, sampai tua dia cuma menerima Kim-yan-cu sebagai murid satu2nya. Tapi ketika
Kim-yan-cu tamat belajar dan terjun di dunia Kangouw, tatkala mana In Tiat-ih sendiri jatuh
sakit berat. Ia tahu musuhnya terlalu banyak dan mungkin akan menimbulkan kesukaran bagi
Kim-yan-cu, maka wanti2 dia pesan Kim-yan-cu agar tidak mengatakan asal-usul
perguruannya dan selama ini di dunia Kangouw memang tiada yang tahu siapa gurunya.
Bahkan Ang-lian hoa yang terkenal serba tahu itupun tidak tahu.
Tapi sekarang pengemis setengah umur ini kontan dapat membongkar rahasia perguruannya,
tentu saja Kim-yan-cu terkejut dan cepat berdiri, tapi perlahan2 dia lantas duduk lagi, katanya
275
dengan tersenyum ewa, "Entah siapa nama Cianpwe yang mulia, darimana Anda tahu nama
mendiang guruku."
Pengemis aneh itu ayun tangan memotong ucapannya, katanya dengan berkerut kening, "Jika
ingin orang lain tidak tahu, kecuali diri sendiri tidak berbuat. Masa kau lupa akan peribahasa
ini? Mengenai namaku, biar kukatakan juga kau tidak kenal."
Kim-yan-cu menjadi bingung karena tidak tahu sebab apa orang menjadi marah, maka ia tidak
berani bertanya pula.
Pengemis aneh itu melototinya sejenak, tapi mendadak wajahnya cerah lagi da berkata, "Kau
cari padaku, sesungguhnya ada urusan apa? Apakah sangat penting?"
"Tecu ingin mencari Ang-lian-pangcu dari Pang kalian," jawab Kim-yan-cu. "Sebab itu
mohon Cianpwe sudi membawa..."
"Jadi maksudmu mencariku hanya minta aku menjadi penunjuk jalan bagimu?" teriak
pengemis itu dengan gusar.
Waktu bicara biji mata orang itu se-akan2 memancarkan dua jalur sinar tajam dan membuat
orang tidak berani memandangnya. Tapi dalam sekejap lantas tertawa pula dan membuat
orang seperti ditiup angin sejuk.
Selama hidup Kim-yan-cu tidak pernah melihat orang marah dan tertawa dapat berubah
secepat ini, selagi ter-heran2, tiba2 pengemis aneh itu menengadah dan bergelak tertawa,
katanya, "Jika aku yang kau minta untuk mencari Ang-lian hoa, baiklah akan kubawa kau ke
sana. Nah, lekas naik kudamu dan ikut berangkat."
Kim-yan-cu tidak tahu mengapa orang marah2 tadi dan juga heran apa sebabnya orang
tertawa te-bahak2 pula dan begitu aneh cara tertawanya, seketika ia menjadi terkesima
bingung.
Sementara itu pengemis itu sudah berbangkit, ia melangkah dua tiga tindak, tiba2 ia menoleh
dan membentak, "Suruh kau ikut berangkat, mengapa kau malah diam saja?"
Kim-yan-cu menyengir dan terpaksa berbangkit, ia kuatir membikin marah pengemis yang
aneh ini, ia menuntun kudanya dan mengikuti di belakang orang, ia tidak berani menunggang
kudanya.
Dalam pada itu hari sudah remang2, orang berlalu lalang sudah mulai jarang2, hanya ada
kawanan pengemis yang ber-kelompok2 masih menempuh perjalanan dengan ter-gesa2.
Ketika melihat pengemis aneh itu mereka lantas memberi jalan, sikap mereka seperti agak
segan dan takut2 tapi tiada seorangpun yang menyapanya.
Pengemis setengah baya itupun tidak menghiraukan kawanan pengemis itu, tampaknya dia
seperti bukan orang Kay-pang, tapi kalau bukan orang Kay-pang mengapa dia berdandan
sebagai pengemis? Bahkan menempuh perjalanan searah dengan kawanan pengemis itu?
Begitulah Kim-yan-cu semakin heran, diam2 iapun menyesal. Ia merasa salah alamat bertanya
keterangan kepada pengemis aneh itu. Pikirnya, "Tingkah laku orang aneh ini kelihatan
276
misterius, jangan2 dia musuh Kay-pang? Yang hendak kucari adalah Ang-lian-pangcu, untuk
apa mesti ku ikuti dia?"
Dilihatnya pengemis aneh itu makin cepat jalannya dan makin jauh tanpa menoleh. Mendadak
Kim-yan-cu mencemplak ke atas kudanya terus dilarikan dengan cepat, dalam sekejap saja
pengemis setengah umur itu sudah tertinggal jauh di belakang, bahkan bayangan anggota
Kay-pang yang lain juga tidak kelihatan lagi.
Kim-yan-cu menghela nafas lega, gumamnya, "Sekarang, barulah..." belum habis ucapannya,
tahu-tahu di bawah pohon di tepi jalan sana seorang mendengus, "Hm, katanya kau ingin
mencari Ang-lian hoa, jelas kau telah kesasar!"
Siapa lagi orang itu kalau bukan si pengemis setengah umur yang misterius itu? Sungguh
kejut Kim-yan-cu tak terkatakan, tanpa bersuara ia memutar kudanya, tanpa membedakan
arah ia larikan kudanya seperti kesetanan.
Setelah membedal kudanya sekian lama, baru saja ia hendak berhenti, tahu2 pengemis aneh
itu sudah berdiri lagi di depan sana sedang menantikan kedatangannya dan mengejeknya,
"Kau kesasar lagi!"
Gerak-gerik orang ini secepat hantu, meski biasanya Kim-yan-cu juga bukan orang penakut,
tapi memang aneh, pada pertama kali dia bertemu dengan pengemis ini rasanya dia sudah
terpengaruh oleh daya gaibnya, sebab itulah secara aneh dia tidak mencari orang lain tapi
justeru mencari dia dan secara tidak sadar menunggui dia tidur, kemudian secara
membingungkan ia membedal kudanya berlari tak keruan.
Sekarang ia merasakan kaki dan tangan lemas semua, ingin melarikan kudanya juga tak bisa
bergerak lagi, dengan suara rada gemetar ia bertanya, "Apa... apa kehendakmu?"
Pengemis itu memandangnya sekejap dengan tertawa, jawabnya kemudian, "Kan kau sendiri
yang minta kubawa kau pergi mencari Ang-lian hoa, sekarang aku kan cuma memenuhi
permintaanmu dan membawa kau kesana?"
"Sek...sekarang aku tidak... tidak ingin pergi," jawab Kim-yan-cu.
Seketika pengemis aneh itu menarik muka, katanya dengan ketus, "Sekali kau minta kubawa
kau pergi, maka tetap kau harus pergi."
Bila orang lain yang bicara begini kepadanya, mustahil kalau Kim-yan-cu tidak melabraknya,
tapi aneh, di depan pengemis misterius ini sama sekali dia tidak mempunyai keberanian untuk
melawan.
Seketika pengemis itu membalik tubuh dan berjalan lagi ke depan, sama sekali Kim-yan-cu
tidak berani kabur, ia mengikuti di belakangnya dengan baik2, sampai ia sendiri tidak tahu
mengapa dia menjadi penurut begini.
Didengarnya pengemis itu berkata dengan perlahan, "Saat ini tentunya kau menyesal karena
kau justeru mencari diriku."
Kim-yan-cu menggreget dan diam saja.
277
"Tapi kaupun tidak perlu menyesal, sebenarnya bukan kau yang mencari diriku melainkan
aku yang mencari dirimu."
Kembali Kim-yan-cu terkejut, serunya, "Kau yang mencari diriku?"
"Betul, aku yang mencari kau," mendadak pengemis itu membalik tubuh. "Cuma kau sendiri
tidak tahu."
Memandangi mata orang yang bercahaya itu, tiba2 Kim-yan-cu ingat sejak dia melihat mata
orang secara aneh dan tanpa terasa lantas timbul keinginannya untuk kembali ke sana untuk
mencarinya sampai Gin-hoa-nio yang mengajak bicara sejenak itupun dirasakan mengganggu,
hatinya terasa gelisah dan tidak tenteram. Tatkala mana ia tidak tahu apa sebabnya, tapi
sekarang ia tahu bahwa segala perubahan yang aneh ini adalah disebabkan oleh sinar mata
orang yang penuh daya tarik aneh dan berpengaruh ini.
Berpikir demikian, tanpa terasa Kim-yan-cu berkeringat dingin, tanyanya dengan suara
gemetar, "Sebab apa... sebab apa kau cari diriku?"
"Ada tiga sebab," jawab pengemis itu.
"Tiga sebab?" Kim-yan-cu melenggong.
"Ya, ada tiga sebab," tukas pengemis itu dengan perlahan. "Pertama karena kau murid In Tiatih..."
"Sesungguhnya ada hubungan apa antara kau dengan mendiang guruku?"
Pengemis itu tidak menjawabnya dengan kalem ia menyambung, "Sebab kedua adalah karena
kau ingin mencari Ang-lian hoa!"
"Jangan2 kaupun ada permusuhan dengan Ang-lian-pangcu?"
Tetap pengemis itu tidak menjawab, sebaliknya ia tersenyum dan melanjutkan, "Sebab ketiga
adalah karena kau seorang perempuan, bahkan perempuan yang sangat cantik."
Karena tertawa, wajahnya yang kurus itu mendadak kelihatan sangat jahat, sinar matanya
menimbulkan rasa yang memuakkan. Dipandang oleh mata orang, Kim-yan-cu merasa dirinya
se-olah2 sudah telanjang bulat, ia merasa malu, kalau ada lubang ingin segera diselusupinya.
"Tapi kaupun jangan takut, aku takkan membikin susah padamu," dengan tersenyum
pengemis itu berkata pula.
"Habis... apa kehendakmu?" tanya Kim-yan-cu gemetar. Sungguh kalau bisa dia ingin punya
sayap dan segera melarikan diri. Tapi sinar mata orang se-akan2 memancarkan semacam daya
tarik yang aneh, bukan saja dia tidak dapat lari, hakekatnya mata ingin berkedip saja tidak
bisa.
278
Dengan kalem pengemis itu berkata pula, "Sebabnya kuinginkan kau cari padaku adalah
karena... karena aku hendak melindungi kau... melindungi kau...," suaranya semakin perlahan,
semakin lirih, juga semakin halus.
Kim-yan-cu merasa pikirannya mulai kabur, seperti tertidur, tapi juga merasa seperti jauh
lebih sadar daripada biasanya, tanpa terasa ia ikut berkata, "Ya, betul, kau akan melindungi
diriku..."
"Dan sekarang tentunya kau tahu bahwa di dunia ini hanya aku inilah satu2nya orang yang
paling akrab dengan kau," kata pula pengemis.
"Ya, betul, engkaulah orang yang paling karib dengan diriku."
"Makanya apapun yang kutanya harus kau jawab dengan sejujurnya."
"Ya, apapun pertanyaanmu pasti akan kujawab dengan sejujurnya."
Pengemis itu tertawa dan berkata pula, "Lebih dulu ingin kutanya padamu, sebelum
meninggal In Tiat-ih pernah menemukan sejilid Bu-kang-pi-kip (kitab pusaka ilmu silat),
apakah kitab itu diberikannya kepadamu?"
"Tidak," jawab Kim-yan-cu.
"Mengapa tidak?" tanya pengemis itu.
"Menurut keterangan suhu, kitab pusaka itu hanya dapat dipahami oleh seorang yang
memiliki kecerdasan paling tinggi, sebab itulah, biarpun beliau menurunkan kitab pusaka itu
kepadaku juga tiada gunanya, sebaliknya mungkin akan membikin celaka padaku malah."
"Dan setelah dia mati, kemana perginya kitab pusaka itu?"
"Menurut beliau, bila kitab pusaka itu tersiar di dunia ini, akibatnya pasti akan menimbulkan
perebutan berdarah, namun beliau juga merasa berat untuk memusnahkan kitab itu, maka
kitab itu telah disembunyikannya di suatu tempat yang sangat rahasia, kecuali beliau sendiri
tiada seorangpun yang tahu tempat itu."
"Kaupun tidak tahu?"
"Ya, akupun tidak tahu. Meski suhu tidak pernah merahasiakan apa2 kepadaku, hanya urusan
inilah betapapun juga beliau tidak mau memberitahukannya kepadaku, sebab beliau
menganggap tiada seorang perempuan di dunia ini yang dapat menjaga rahasia."
Dengan gemas pengemis setengah baya itu berucap, "Sudah sekian tahun kucari dia dan
akhirnya kutemukan kau sebagai muridnya, tak tersangka terhadap murid satu2nya juga tidak
diberitahukannya. Padahal setan tua itu sudah mati, mengapa dia bertindak demikian?"
"Kata suhu, barang siapa berhasil meyakinkan ilmu silat yang tercantum dalam kitab itu,
maka dia akan malang melintang di dunia ini tanpa tandingan. Beliau kuatir apabila kita itu
jatuh di tangan orang jahat, maka akibatnya sukar dibayangkan. Suhu tahu sudah ada
sementara tokoh Kangouw yang telah mencium bau tentang kitab pusaka yang ditemukan
279
Suhu itu, orang2 itu sudah mulai mencari jejaknya. Sebab itulah aku dilarang mengatakan
asal-usul perguruanku agar tidak menimbulkan kesulitan bagiku."
Pengemis itu berkerut kening dan termenung sejenak, tanyanya kemudian, "Dan untuk apa
pula kau ingin mencari Ang-lian hoa?"
"Ingin kutanya sesuatu padanya."
"Urusan apa?"
"Urusan yang menyangkut Ji Pwe-giok dan Lim Tay-ih."
"Mengapa kau sedemikian memperhatikan urusan orang lain?"
"Sebab kucinta Ji Pwe-giok."
Ujung mulut pengemis aneh itu tersembul secercah senyuman yang jahat, ucapnya, "Tidak,
yang kau cintai bukan Ji Pwe-giok, kau cinta padaku, tahu tidak?"
Se-konyong2 Kim-yan-cu berteriak, "Tidak, yang kucintai ialah Ji Pwe-giok dan bukan kau,
bukan kau!"
Orang itu tidak menyangka sedemikian kuat pikiran Kim-yan-cu sehingga dapat melepaskan
diri dari pengaruh ilmu gaibnya. Tapi segera ia mengeluarkan seuntai rantai emas yang sangat
lembut, pada rantai emas itu terikat sebentuk mutiara hitam yang aneh, rantai emas itu
digoyangkan sehingga mutiara hitam itupun ber-putar2 di depan Kim-yan-cu...
Benarlah, pikiran Kim-yan-cu yang terangsang tadi lambat laun tenang kembali.
Dengan suara keras pengemis itu berkata pula, "Tak perduli siapa yang kau cintai, yang jelas
aku inilah orang yang paling karib denganmu, begitu bukan?"
"Ya," jawab Kim-yan-cu dengan mata setengah terpejam.
"Dan sekarang kuminta kau menanggalkan pakaianmu."
Tanpa pikir Kim-yan-cu menuruti permintaan itu, perlahan ia membuka bajunya sehingga
kelihatan dadanya yang putih mulus, buah dadanya yang montok menegak diusap silir angin
malam.
Pengemis aneh itu tersenyum puas, katanya pula, "Bagus, dan sekarang bukalah gaunmu!"
Perlahan Kim-yan-cu membuka kancing pinggang gaunnya dan...
Pada saat itulah tiba2 terdengar suara berderak, suara bambu di-pukul2kan yang
berkumandang dari kejauhan.
Pengemis aneh itu menghela nafas, katanya, "Sayang waktunya tidak keburu lagi, bolehlah
kau pakai lagi bajumu."
280
Waktu Kim-yan-cu selesai mengenakan kembali pakaiannya, pengemis setengah baya itu
berkata pula, "Dan sekarang bolehlah kau sadar per-lahan2, hendaklah kau lupakan segala apa
yang kutanyakan padamu barusan, cukup kau ingat bahwa aku adalah orang yang paling karib
denganmu, aku adalah kawanmu, suamimu, akupun ayahmu, gurumu."
Habis berkata ia lantas menyimpan kembali mutiaranya dan menepuk tangan perlahan.
Serentak Kim-yan-cu membuka matanya, dengan linglung seperti orang kehilangan semangat
ia pandang orang sekejap, lalu bergumam, "Ya, engkau adalah sahabatku, suamiku, kaupun
ayahku, guruku. Tapi siapakah engkau? Sesungguhnya siapa kau?..."
Pengemis itu tersenyum, jawabnya, "Jika kau ingin tahu namaku, tiada halangannya
kukatakan padamu. Aku inilah manusia yang serba tahu dan serba bisa, namaku Kwe Piansian,
aku inilah kegaibannya manusia, tiada orang lain lagi di dunia ini yang bisa
dibandingkan dengan diriku."
"Kwe Pian-sian?!..." Kim-yan-cu mengulangi nama itu, agaknya dia tergetar.
Kwe Pian-sian tertawa pongah, katanya, "Ya, aku pernah menjabat Tianglo Kay-pang,
Houhoat Bu-tong-pay, aku inilah juragan peternakan yang paling besar di daerah barat laut
sana, hartawan yang paling kaya raya di dunia ini, akupun pernah menjadi suami Kun Hayhong
atau Hay Hong Hujin."
Sampai di sini ia bergelak tertawa, lalu menyambung pula, "Semua itu hanya beberapa saja di
antara berpuluh macam jabatanku, betapa banyak jabatanku sampai aku sendiri terkadangpun
tidak ingat. Pengalaman hidupku ini jauh lebih kenyang dibandingkan berpuluh orang lain."
Kim-yan-cu menghela nafas linglung, gumamnya, "Kwe Pian sian... kegaibannya manusia...
suamiku."
*****
Tengah malam di pegunungan yang sunyi kelihatan cahaya lampu terang benderang, di suatu
tempat tanah mangkuk, di sekeliling dinding tebing penuh tertancap obor yang menyala, di
bawah cahaya obor be-ribu2 anggota Kay-pang berduduk tersebar mengelilingi tanah lapang
itu.
Ang-lian hoa berduduk di atas sepotong batu besar, air mukanya sangat prihatin, siapapun
dapat melihat bahwa Ang-lian hoa yang termasyhur ini sekarang pasti lagi menghadapi suatu
urusan yang maha sulit untuk diselesaikan.
Dengan sendirinya Bwe Su-bong, si pengemis yang berjuluk "sibuk selalu tanpa pekerjaan",
juga berduduk di sebelahnya, wajahnya juga kelihatan sedih.
Orang sebanyak itu berkumpul di tanah mangkuk ini, namun suasana tetap sunyi senyap,
hanya suara api obor yang terbakar ditiup angin sehingga mirip lolong kawanan serigala yang
serak.
Sampai lama sekali, akhirnya Ang-lian hoa tidak tahan, ia membuka suara, "Menurut
perkiraanmu, apakah dia betul2 akan datang?"
281
Dengan suara berat Bwe Su-bong menjawab, "Menurut anggota kita yang datang dari utara,
sepanjang jalan banyak yang melihat seorang yang mirip dia, dari bentuknya semua orang
sama bilang tidak banyak berbeda daripada orang yang dilukiskan Pangcu itu, sebab itulah
mereka sama mematuhi perintah Pangcu, mereka sama menghindari dia bilamana melihatnya
dari kejauhan."
Ang-lian hoa menghela nafas, katanya, "Sudah hampir 15 tahun orang ini menghilang tanpa
kabar beritanya, sekarang mendadak muncul lagi, sesungguhnya apa maksud tujuannya,
sungguh sukar untuk diterka."
Terdengar Bwe Su-bong lagi berkata, "Apakah Pangcu memang tidak dapat menerka maksud
tujuan kedatangannya ini?"
Ang-lian hoa terdiam sejenak, katanya dengan tersenyum pahit, "Jangan2 dia menghendaki
kuserahkan kedudukan Pangcu ini kepadanya? Tapi melihat tindak tanduknya, agaknya
kedudukan Pangcu ini juga tidak terpandang olehnya. Kupikir mungkin masih ada intrik lain
yang lebih besar."
Air muka Bwe Su-bong tampak prihatin, ia memandang kejauhan yang gelap sana, ucapnya
dengan rawan, "Tak perduli intrik apa yang diaturnya, yang pasti yang dibawanya kemari
hanya malapetaka belaka!" Mendadak ia menahan suaranya dan menyambung pula, "Tapi
betapapun tinggi ilmu silatnya, berdasarkan kekuatan kita sekarang kukira masih dapat
menumpasnya."
Air muka Ang-lian hoa agak berubah, katanya dengan parau, "Namun apapun juga dia kan
tetap Tianglo Kaypang kita?"
Setahuku, ia juga masih menjabat Hou-hoat (pembela agama) Bu-tong-pay," kata Bwe Subong.
"Seorang merangkap dua jabatan dari dua aliran yang berbeda, jelas ini telah melanggar
peraturan Pang kita, berdasarkan alasan ini boleh Pangcu menghukum dia menurut aturan."
"Tapi siapa yang dapat membuktikan bahwa dia juga merangkap menjadi Houhoat Bu-tongpay?"
ujar Ang-lian hoa dengan tersenyum getir.
"Ini..." Bwe Su-bong melengak dan tak dapat menjawab.
"Sekalipun kejahatan orang ini sudah kelewat takaran, tapi di dunia ini tiada seorangpun yang
dapat membuktikan kejahatannya, kalau tidak, tidak perlu menunggu orang lain, Lo-pangcu
(ketua lama) sendiri pasti tidak mengampuni dia dan tidak mungkin dia hidup sampai
sekarang," demikian tutur Ang-lian hoa dengan menyesal.
"Habis bagaimana menurut pikiran Pangcu?"
"Begitu menerima suratnya, mulailah kurenungkan daya upaya untuk menghadapi dia. Tapi
sampai saat ini tetap belum kutemukan akal yang baik, bisa jadi..."
Belum habis ucapannya, se-konyong2 dari kejauhan berkumandang suara bambu di-ketok2.
"Itu dia sudah datang!" seru Bwe Su-bong.
282
Suara gemeretak bambu dipukulkan semakin gencar dan makin keras.
Kiranya bila kaum jembel ini berkumpul, di sekeliling tempat rapat pasti dipasang pos
pengawas, bilamana melihat kedatangan orang tak dikenal, segera tongkat bambu di-ketok2
sebagai tanda waspada.
"Cepat amat datangnya!" ucap Bwe Su-bong.
Namun para anggota Kay-pang yang berduduk memenuhi lapangan itu tetap tenang saja
meski kelihatan agak tegang juga.
Sekejap kemudian, terlihatlah seorang pengemis setengah umur berperawakan jangkung dan
bermuka kurus muncul dengan langkah lebar, di antara sorot matanya yang tajam dan takabur
itu jelas kelihatan lagak angkuhnya se-akan2 dunia ini aku kuasa.
Selain pengemis ini, di belakangnya mengikuti pula seorang nona cantik berbaju kuning
keemasan.
Seketika air muka Ang-lian hoa berubah, desisnya, "Aneh, mengapa Kim-yan-cu ikut datang
bersama dia?"
"Jangan2 Kim-lihiap telah jatuh di dalam cengkeramannya?" kata Bwe Su-bong.
Belum selesai ucapannya, dengan langkah lebar Kwe Pian-sian sudah maju ke depan mereka,
sorot matanya yang tajam memandang Ang-lian hoa dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke
atas, tiba-tiba ia berkata dengan tertawa, "Sekian tahun tidak bertemu, anak yang berpotongan
poni dahulu sekarang sudah tumbuh menjadi pemuda yang ganteng, bahkan namanya sudah
termasyhur, sungguh mengagumkan dan harus diberi selamat."
"Terima kasih," ucap Ang-lian hoa sambil merangkap kedua tangannya.
"Dan entah kau masih kenal padaku atau tidak?" tanya Kwe Pian-sian.
"Meski sudah lama tak berjumpa, tapi wajah Kwe-tianglo senantiasa terkenang oleh Tecu,"
jawab Ang-lian hoa.
Mendadak Kwe Pian-sian menarik muka dan berkata dengan bengis, "Jika kau belum lupa
bahwa aku ini Tianglo Pang kita, mengapa kau tidak berlutut di depanku?"
Ang-lian hoa melengak, jawabnya tergagap, "Ini..."
Segera Bwe Su-bong memprotes dari samping, "Pangcu adalah yang maha agung di dalam
Pang kita, sekalipun Tianglo adalah tokoh angkatan tua, juga Pangcu tidak wajib berlutut dan
menyembah padamu."
Kwe Pian-sian menengadah dan bergelak tertawa, "Haha, bagus, bagus! Kiranya kau telah
menjadi Pangcu, selamat, selamat!"
283
Suara tertawanya berkumandang sehingga menimbulkan suara yang nyaring, anak telinga
anak murid Kay-pang serasa mau pecah, jantung ber-debar2 dan wajah pucat.
Mendadak Kwe Pian-sian berhenti tertawa, ia tatap Ang-lian hoa dan bertanya dengan bengis,
"Siapa yang menunjuk kau sebagai Pangcu? Siapa?"
"Itu berdasarkan pesan wasiat Lo-pangcu," seru Bwe Su-bong.
"Pesan wasiat? Dimana, coba kulihat!"
"Pesan lisan Lo-pangcu sebelum menghembuskan nafas terakhir, dengan sendirinya tiada
sesuatu bukti."
"Pesan lisan Lo-pangcu, memangnya siapa yang ikut dengar?" tanya Kwe Pian-sian.
"Kecuali Pangcu sendiri, tecu juga ikut mendengarkan," jawab Bwe Su-bong.
"Hm, hanya berdasarkan pengakuanmu lantas dia didukung ke atas singgasana Pangcu? Hah,
apakah tidak terlalu naif?"
"Apakah Tianglo menganggap ucapan Tecu tidak benar?"
"Kurang ajar! Berdasarkan apa kau berani bicara demikian padaku?"
"Tecu bicara menurut kebenaran!"
"Menurut kebenaran? Hm, kau sesuai?" bentak Kwe Pian-sian, berbareng itu sebelah
tangannya terus menyambar ke depan.
Belum lagi Bwe Su-bong menyadari apa yang terjadi, tahu2 mukanya sudah kena digampar
dua kali. Menyusul tubuhnya lantas terlempar jauh ke sana.
Bwe Su-bong berjuluk "Bo-su-bang" atau tidak ada pekerjaan tapi sibuk selalu, dengan
sendirinya lantaran pribadinya yang simpatik dan suka membantu. Karena itulah dalam
pergaulan dia sangat disenangi kawan2nya.
Meski anak buah Kay-pang merasa jeri terhadap ilmu silat dan perbawa Kwe Pian-sian, tapi
melihat Bwe Su-bong dianiaya, seketika terjadi kegaduhan.
Sorot mata Kwe Pian-sian menyapu sekeliling hadirin, lalu katanya dengan bengis, "Lahirnya
pangcu kita selama ini hanya melalui dua jalan, pertama berdasarkan tinggi rendahnya
kedudukan. Kedua, berdasarkan tinggi rendahnya ilmu silat. Sekarang selaku Tianglo ku
datang untuk mengusut perkara ini, apa yang kalian ributkan?"
Meski bengis dan keras suaranya dan berkumandang jauh di tengah kegaduhan itu, namun
anak murid Kay-pang masih tetap ber-teriak2 dan tidak mau tunduk.
Dengan gusar Kwe Pian-sian lantas berkata, "Ang-lian hoa, kau ini Pangcu macam apa?
Mengapa anak murid Pang kita makin lama makin tidak tahu aturan?"
284
Sejak tadi Ang-lian hoa seperti tidak ikut campur, baru sekarang dia tersenyum, perlahan ia
angkat kedua tangannya dan memberi tanda agar semua orang diam, serunya dengan suara
lantang, "Tenanglah saudara2, ada urusan apa biarlah kita bicarakan dengan perlahan-lahan."
Meski suaranya tidak senyaring Kwe Pian-sian, tapi baru selesai ucapannya, kegaduhan di
tengah2 anak murid Kay-pang itu seketika berhenti, suasana menjadi sunyi kembali dan
perhatian setiap orang tertuju pula ke arah Ang-lian hoa.
Dengan tersenyum Ang-lian hoa memandang Kwe Pian-sian, katanya, "Anak murid Pang kita
masih cukup patuh kepada setiap peraturan dan tata tertib, rupanya mereka sudah agak
pangling terhadap Kwe-tianglo, 15 tahun, kukira bukan waktu yang pendek bagi siapapun
juga."
Air muka Kwe Pian-sian berubah, katanya, "Memangnya mereka sudah lupa padaku?"
"Bukannya lupa, mereka cuma mengira Houhoat-tianglo kita di masa dahulu itu sudah
mengundurkan diri pada 15 tahun yang lalu," jawab Ang-lian hoa dengan tenang.
"Siapa yang omong begitu?" teriak Kwe Pian-sian dengan gusar.
"Mendiang Lo-pangcu sudah mengumumkan urusan ini pada 15 tahun yang lalu dan setiap
anak murid Pang kita sama mendengar dengan jelas, kuyakin Kwe-tianglo pasti tidak akan
menganggap ucapan Wanpwe ini tidak betul."
Kwe Pian-sian melengong sejenak, segera ia mendengus, "Hm, dia tidak menyatakan aku
telah dipecat, tapi hanya mengatakan aku mengundurkan diri dari Pang kita, betapapun dia
masih cukup baik padaku."
"Lo-pangcu memang sudah lama mengetahui cita2 Kwe-tianglo terletak di empat penjuru dan
tidak nanti memikirkan sedikit kedudukan Pang kita yang tidak berarti ini, kalau tidak,
berdasar tingkatan maupun ilmu silat, setelah Lo-pangcu wafat adalah pantas jika Kwetianglo
yang mewarisi pimpinan beliau."
"Haha, pantas orang Kangouw sama bilang Ang-lian-pangcu bukan saja serba pandai dalam
segala hal, bahkan mulutnya juga tajam dan sukar ada bandingannya," seru Kwe Pian-sian
dengan tertawa. "Dan setelah bertemu sekarang, semua itu ternyata terbukti memang betul."
Tiba2 Ang-lian hoa mendekati Kim-yan-cu dan menyapa dengan tersenyum, "Kim lihiap
berkunjung kemari, entah adakah sesuatu petunjuk bagiku?"
"Ku datang ikut dia," jawab Kim-yan-cu.
"Kukira belum terlalu lama bukan Kim-lihiap kenal Kwe-tianglo?" Ang-lian hoa coba
memancing.
"Dia adalah orang yang paling karib dengan diriku," jawab Kim-yan-cu.
"Oh... sungguh tak tersangka..." sebenarnya Ang-lian hoa ingin memancing sesuatu
pengakuan Kim-yan-cu mengenai kejahatan Kwe Pian-sian, sekarang ia menjadi kecewa,
285
namun lahirnya dia tidak memperlihatkan sesuatu tanda apapun. Ia menyadari untuk melayani
Kwe Pian-sian, bilamana salah langkah sedikit tentu urusan bisa runyam.
Dengan tertawa Kwe Pian-sian berkata pula, "Tadinya ku kuatir usiamu terlalu muda dan
tidak dapat memikul beban tanggung jawab Pang kita yang besar ini, tapi sekarang setelah
kusaksikan anak murid kita sedemikian hormat dan memuja dirimu, maka akupun tidak perlu
kuatir lagi."
Sedemikian cepat perubahan nada ucapannya membuat orang ter-heran2, mestinya Ang-lian
hoa juga sangsi, tapi segera terpikir lagi olehnya, "Mungkin karena dukungan para anggota
kepadaku sepenuh hati, ia merasa tiada gunanya andaikan berhasil merebut kedudukan
Pangcu dariku, maka segera ia putar haluan menurut arah angin."
Berpikir demikian, legalah hati Ang-lian hoa, rasa waspadanya menjadi banyak berkurang,
dengan tertawa ia berkata, "Kwe-tianglo sudah lama berada di luar Pang dan ternyata masih
begini memperhatikan kepentingan Pang kita, sungguh Tecu merasa sangat berterima kasih."
Ketika ia menyebut "memperhatikan" tadi, tiba-tiba ia merasa kedua mata Kwe Pian-sian
memancarkan sinar tajam dan aneh, sorot mata sendiri seketika tertarik. Segera ia bermaksud
mengalihkan pandangannya ke arah lain, namun sudah terlambat.
Dengan sinar mata tajam Kwe Pian-sian menatapnya dengan tersenyum, katanya, "Satu cagak
tidak kuat menahan sebuah gedung, tenaga satu orang betapapun terbatas, apakah kau
bermaksud minta diriku kembali kepada Pang kita untuk menjadi Houhoat-tianglo?"
"Ya, begitulah," tanpa terasa Ang-lian hoa menjawab.
Kwe Pian-sian tersenyum puas, katanya pula, "Dan kelak bilamana kau merasa tidak sanggup
memikul beban sebagai Pangcu, akan kau serahkan kedudukanmu padaku?"
Kembali Ang-lian hoa mengiakan.
Para anggota Kay-pang sama melengak melihat Ang-lian hoa hanya mengiakan melulu setiap
perkataan Kwe Pian-sian itu. Tapi tata tertib Kay-pang biasanya sangat keras, maka tiada
seorangpun berani ikut bicara.
Hanya Bwe Su-bong saja, dari ucapan Kwe Pian-sian itu dia sudah tahu tipu muslihat orang,
apalagi sang Pangcu kelihatan linglung dan tidak seperti biasanya, ia tahu pasti ada sesuatu
yang tidak beres, cepat dia berseru, "Pangcu, setiap persoalan yang menyangkut kepentingan
Pang kita hendaklah engkau pertimbangkan dengan baik2 dan jangan mudah dipengaruhi
orang lain."
Kwe Pian-sian menjadi gusar, dengan suara bengis ia membentak, "Orang ini tidak
menghormati orang tua dan berani terhadap pimpinan, menurut tata tertib harus dihukum
mati."
Ang-lian hoa terbelalak dan menjawab, "Ya, setiap pelanggaran memang harus dihukum."
286
Bwe Su-bong berlari maju dan menyembah, ucapnya, "Sekalipun Tecu akan dihukum mati
juga Tecu tetap ingin bicara. Kematian Tecu bukan soal, tapi bila kekuasaan Pang kita jatuh di
tangan orang ini, akibatnya pasti sukar dibayangkan."
Air muka Ang-lian hoa tampak serba susah dan tidak bicara.
Kwe Pian-sian mengeluarkan pula jimatnya, yaitu mutiara hitam berantai emas itu,
digoyangkannya mutiara hitam itu dengan perlahan dan berkata, "Dosa orang ini harus
dihukum mati, kenapa tidak lekas kau beri perintah?"
Wajah setiap anggota Kay-pang sama pucat, dengan berdebar mereka menantikan sang
Pangcu membuka mulut.
Bwe Su-bong terus menyembah, kepalanya mem-bentur2 tanah hingga berdarah, ber-ulang2
ia berseru, "Kematian Tecu tidak perlu disayangkan, tapi Pangcu hendaklah berpikir dan
menimbangnya se-baik2nya..."
Dengan suara bengis Kwe Pian-sian berkata pula, "Orang ini bukan saja berani terhadap orang
tua, bahkan ikut campur kekuasaan Pangcu, dia telah melanggar Undang2 Pang kita nomor
satu dan nomor tujuh, dosanya harus dihukum mati, betul tidak?"
"Ya," tiba2 Kim-yan-cu bersuara. Kiranya sorot matanya juga tertarik oleh mutiara hitam
yang ber-goyang2 itu, apapun yang dikatakan Kwe Pian-sian selalu dijawabnya "ya".
Terdengar Ang-lian hoa juga menjawab, "Ya, harus dihukum mati."
Bwe Su-bong menjerit saking cemas dan gemasnya, seketika ia jatuh pingsan.
Para anggota Kay-pang juga sama terkesiap dan ketakutan, mereka terkesima dan tidak berani
bersuara. Siapapun tidak menyangka sang Pangcu sampai hati menghukum mati Bwe Subong.
Hendaklah diketahui bahwa asal-usul anggota Kay-pang terdiri dari berbagai macam unsur
yang campur aduk, sebab itulah Pangcu memegang kekuasaan tertinggi untuk mengendalikan
ber-juta2 anggotanya yang tersebar di seluruh dunia. Andaikan ada kesalahan perintah sang
Pangcu tetap setiap anggota harus tunduk dan menurut, sama sekali tidak boleh membantah
dan melawan, kalau berani membangkang, maka hukuman berat yang akan diterimanya.
Sebab itulah meski keanggotaan Kay-pang sangat ruwet, namun sedikit sekali yang berani
melanggar peraturan.
Lantaran itulah Bwe Su-bong jatuh pingsan demi mendengar perintah hukuman mati Ang-lian
hoa tadi. Sedangkan Kwe Pian-sian tersenyum puas, segera ia berseru, "Pangcu sudah
memberi perintah, petugas pelaksana hukum kenapa tidak lekas maju?"
Serentak terdengar beberapa orang mengiakan. Empat orang telah berbangkit dan tampil ke
depan dengan kepala tertunduk. Kebanyakan anggota Kay-pang sama mengucurkan air mata
dan tidak tega menyaksikan Bwe Su-bong dihukum mati.
Mutiara yang dipegang Kwe Pian-sian masih terus ber-putar2 menimbulkan perasaan yang
aneh dan tidak enak.
287
Dengan tersenyum manis Kwe Pian-sian berkata, "Ang-lian hoa, sekarang bolehlah kau..."
Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara "crit", angin tajam terus menyambar ke
depan dari jari Ang-lian hoa, mutiara hitam itu seketika pecah.
Kwe Pian-sian menyurut mundur beberapa langkah, serunya tertahan, "Kau..."
Ang-lian hoa terbahak-bahak memutus ucapan orang, serunya, "Hahahaha! Jika kau kira
semudah itu dapat kau pengaruhi diriku dengan ilmu gaib Lian-sim-sut (ilmu pengisap hati,
sebangsa ilmu hipnotis), maka salah besarlah kau."
Pucat wajah Kwe Pian-sian, teriaknya dengan gemas, "Bagus Ang-lian hoa, mirip benar
caramu ber-pura2."
"Jika tidak mirip caraku ber-pura2, mana bisa ku pancing semua tipu muslihatmu," ujar Anglian
hoa dengan tertawa. "Dan kalau tidak dapat kubongkar kedokmu di depan beribu anggota
Pang kita, lalu kutumpas dirimu, kan bisa jadi orang lain akan mengira aku lagi berebut
kedudukan dengan kau?"
Melihat perubahan itu, anak murid Kay-pang terkejut dan bergirang pula.
Sementara itu Bwe Su-bong juga sudah siuman, iapun kegirangan sehingga mengucurkan air
mata, ia menengadah dan berseru, "Thian maha adil! Apa yang dahulu tidak berhasil
dilaksanakan Lo-pangcu, kini dapatlah dibereskan oleh Pangcu muda. Tipu muslihat Kwe
Pian-sian akhirnya terbongkar, arwah Lo-pangcu di alam baka bolehlah merasa tenteram."
Muka Kwe Pian-sian kelihatan pucat hijau, mendadak ia pun tertawa latah dan berteriak,
"Hahahaha..! Tipu muslihat apa maksud kalian? Lian sim-sut apa katamu? Sungguh aku tidak
paham!"
"Hm, urusan sudah berlanjut begini dan kau belum lagi mau mengakui kesalahanmu?" bentak
Ang-lian hoa dengan bengis.
"Aku harus mengaku salah apa?" jengek Kwe Pian-sian. "Jadi kau sendiri yang hendak
menghukum Bwe Su-bong, sekarang kau sendiri pula yang mengingkari segala tindakanmu
itu, semua itu ada sangkut paut apa denganku?"
Dalam keadaan begini dia masih tetap tenang dan bicara menurut keadaan, nyata dia ingin
mengelakkan tanggung jawab apa yang terjad tadi.
Meski Ang-lian hoa, Bwe Su-bong dan lain2 tahu jelas orang terlalu licik dan ingin membela
diri, tapi seketika mereka memang tak dapat membantah ucapannya itu.
Kwe Pian-sian menyapu pandang para hadirin, lalu berteriak pula, "Saudara2 sekalian, dia
menuduh aku menggunakan ilmu gaib Liap-siam-sut segala, coba kalian tanya dia, mana
buktinya? Jika dia tak dapat memberi bukti nyata, maka berarti dia memfitnah orang.
Ketahuilah, fitnah lebih jahat daripada membunuh."
Seketika para anggota Kay-pang hanya saling pandang saja dan tiada yang membuka suara.
288
Melihat Ang-lian hoa juga diam saja dan tak dapat membuktikan dia menggunakan ilmu gaib,
segera ia mendengus, "Ang-lian hoa, bilamana ada yang bisa membuktikan aku menggunakan
Liap-sim-sut segala, segera ku tunduk dan mengaku dosa. Sebaliknya kalau tak dapat kau
buktikan, maka berarti kau sengaja memfitnah orang tua. Selaku Houhoat Tianglo Pang kita,
aku tidak dapat tinggal diam dan terpaksa aku harus bertindak untuk membersihkan rumah
tangga Pang kita dari unsur2 jahat."
Orang ini memang licik dan licin serta jahat jauh di luar perkiraan Ang-lian hoa, meski nyata2
kedoknya sudah terbongkar, tapi dengan segala jalan ia tetap berusaha membela diri, bahkan
memutar balik tuduhannya.
Tanpa terasa Ang-lian hoa menjadi gelisah, pikirnya, "Selama puluhan tahun Lo-pangcu
berusaha membongkar tipu muslihatnya dan tidak berhasil, jelas tidak mudah bagiku untuk
membuka kedoknya dalam waktu sesingkat ini, tampaknya urusan memang sukar
diselesaikan."
Pada saat itulah se-konyong2 seorang berteriak, "He, tempat apakah ini?... mengapa aku
berada... berada di sini?..."
Ang-lian hoa berpaling, yang berteriak itu kiranya Kim-yan-cu adanya. "Ia menjadi girang,
cepat ia berseru, "Kwe Pian-sian, apakah kaukira di dunia ini benar2 tiada seorangpun yang
dapat membuktikan Liap-sim-sut yang kau gunakan?"
Rupanya setelah mutiara hitam tadi dihancurkan Ang-lian hoa, segera Kim-yan-cu merasa
otaknya tergetar se-olah2 dipalu orang dengan keras, kontan dia ter-huyung2 dan hampir
roboh.
Akan tetapi kemplangan yang keras itu justeru telah menghancurkan daya gaib yang
mempengaruhi pikirannya. Kiranya mutiara hitam itu adalah lambang penguasa jiwanya,
begitu mutiara hitam itu hancur, segera jiwanya bebas dari pengaruh apapun.
Walaupun begitu, dia masih harus pingsan sejenak untuk kemudian baru dapat berteriak.
Dilihatnya Ang-lian hoa melompat ke depannya dan berseru, "Nona Kim, apakah kau benar2
tidak tahu cara bagaimana kau datang ke sini?"
Jilid 12________
Kim-yan-cu tidak lantas menjawab, ia memandang seputarnya, melihat Kwe Pian-sian
seketika ia berteriak: "Dia, ya dia inilah si iblis jahat, dengan ilmu siluman dia memikat
diriku, dia menyuruh aku menjadi kekasihnya, menjadi muridnya, menjadi istri dan menjadi
anaknya"
Sampai di sini barulah meledak raungan murka anak murid Kay-pang.
"Orang she Kwe" teriak Bwe Su-bong dengan gusar, "sekarang apa yang dapat kau sangkal
lagi?"
289
Biji mata Kwe Pian-sian berputar, benaknya bekerja cepat. Dilihatnya anak murid Kaypang
telah mendesak maju dan sukar dibendung, setiap orang memperlihatkan rasa murka dan
benci padanya.
Mendadak Kwe Pian-sian membentak: "Berhenti! apa yang hendak kalian lakukan?"
"Menghukum pengkhianat, membersihkan rumah tangga perguruan!" teriak Bwe Su-bong.
"Hm, kau tidak sesuai untuk melakukan hal itu," jengek Kwe Pian-sian. Mendadak ia
mengeluarkan sesuatu benda dan diangkat tinggi ke atas sambil membentak: "Coba kau lihat,
apakah ini?"
Yang dipegangnya itu adalah sepotong kain kuning yang sudah tua dan lusuh, pada kain itu
tertulis delapan huruf besar yang berbunyi: "Di mana Houhat tiba, sama seperti ku datang
sendiri".
Apa yang diperlihatkan Kwe Pian-sian ini adalah panji tanda pengenal yang berkuasa penuh
atas nama sang Pangcu.
Air muka Bwe Su-bong seketika berubah pucat, ucapnya dengan gemetar: "Dari....darimana
kau peroleh panji ini?"
Kwe Pian-sian tidak menghiraukan dia, ia melototi Ang Lian-hoa dan membentak: "Ini tulisan
tangan siapa tentunya kau tahu bukan?"
Ang Lian-hoa menunduk, jawabnya: "Ku tahu, inilah panji gulung para tetua Pang kita sejak
tiga ratus tahun yang lampau...."
"Jika tahu, kenapa tidak lekas berlutut dan menyembah?" bentak Kwe Pian-sian.
Ang Lian-hoa menghela napas sedih, pelahan-lahan ia berlutut.
Kalau sang Pangcu sudah berlutut, anak murid Kay-pang yang lain siapa pula yang berani
berdiri? Dalam sekejap saja beribu murid Kay-pang sama bertekuk lutut. Dalam sekejap saja
beribu murid Kay-pang sama bertekuk lutut.
Kwe Pian-sian menengadah dan tertawa latah, katanya: "Sekalipun aku bersalah umpamanya,
kecuali pada tetua angkatan lalu yang sudah mati itu dapat hidup kembali, siapa pula yang
berhak menghukum akan kesalahanku?"
Tapi mendadak suara tertawanya berhenti, air mukanya juga berubah hebat.
Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak: "Aku bukan murid Kay-pang, akupun tidak perduli
panji gulung yang kau pegang apa segala!"
Rupanya dengan belatinya Kim-yan-cu telah menyergap Kwe Pian-sian dari belakang. Setelah
belatinya bersarang di tubuh sasarannya barulah ia berteriak. Lantaran sedang latah dan lupa
daratan, Kwe Pian-sian menjadi lengah, ketika ia merasa apa yang terjadi, namun sudah
terlambat, belati Kim-yan-cu sudah ambles di tulang punggungnya.
290
Para anggota Kay-pang sama terkejut dan juga bergirang, terlihat Kwe Pian-sian hendak
roboh, serunya dengan tersenyum pedih: "Bagus, tak tersangka orang she Kwe kena disergap
oleh seorang anak perempuan....." mendadak tangannya membalik dan menghantam secepat
kilat.
Pukulan ini berlangsung dengan segenap sisa kekuatannya. Kim-yan-cu tidak mampu
menghindar, tubuhnya mencelat dan jatuh beberapa tombak jauhnya, menjerit saja tidak
sempat, tahu-tahu ia sudah pingsan. Namun belatinya tetap menancap di tubuh Kwe Pian-sian.
Dengan sempoyongan Kwe Pian-sian menyurut mundur ke belakang dengan tangan masih
memegangi panji gulung tadi, serunya dengan menyeringai: "Panji kebesaran ini masih ku
pegang, siapa di antara kalian yang berani mendekati aku?"
Walaupun tahu dirinya dapat membekuk pengkhianat itu dengan mudah, tapi terpaksa Ang
Lian-hoa tidak dapat turun tangan, terpaksa dengan mata terbelalak ia saksikan orang mundur
ke tengah-tengah kerumunan orang banyak.
Syukurlah sebelum Kwe Pian-sian menghilang, sekonyong-konyong bayangan orang
berkelebat, berturut-turut muncul dua orang menghadang jalan pergi Kwe Pian-sian. Orang
yang mendahului adalah seorang To-koh (pendeta perempuan agama To), berambut hitam dan
berjubah kuning, meski usianya sudah setengah baya, tapi masih kelihatan cantik. Pedang
melintang di belakang punggungnya dengan untaian benang sutera kuning menghiasi gagang
pedangnya.
Dia inilah ketua Hoa-san-pay, Hu-yong-siancu Ji Siok-cin, si dewi cantik.
Seorang lagi di belakangnya adalah gadis jelita berperawakan jangkung, namanya Ciong
Cing, murid tertua Hoa-san-pay angkatan terakhir.
Melihat munculnya kedua orang ini, legalah hati Ang Lian-hoa.
Terdengar Ji Siok-cin mendengus: "Hm, karena dosamu sudah kelewat takaran sehingga sukar
bagimu untuk lolos dari jaringan malaikat. Kwe Pian-sian, akhirnya kutemukan juga kau di
sini!"
Kwe Pian-sian meraung keras-keras, segera ia membalik tubuh dan bermaksud menerjang
pergi.
Namun Ji Siok-cin tidak memberi kesempatan lari baginya, kesepuluh jarinya bekerja cepat,
sekaligus ia totok beberapa Hiat-to penting Kwe Pian-sian. Betapapun Kwe Pian-sian
memang sudah terluka parah sehingga sama sekali ia tidak sanggup melawan.
"Apakah Siancu juga ada permusuhan dengan orang ini?" tanya Ang Lian-hoa dengan kejut
bercampur girang.
"Seusai pertemuan Hong-ti, seterusnya aku lantas membuntuti dia," tutur Ji Siok-cin.
"Permusuhan Hoa-san-pay kami dengan orang ini boleh dikatakan tidak mungkin hidup
bersama."
291
Lalu ia memberi tanda, Ciong Cing lantas mengangsurkan panji gulung yang dirampasnya
dari Kwe Pian-sian kepada Ang-lian-hoa.
Menyusul Ji Siok-cin berkata pula: "Panji sudah kami persembahkan kembali, bagaimana
kalau Pangcu menyerahkan orang ini kepada Hoa-san-pay kami?"
Dengan hormat Ang-lian-hoa menerima penyerahan panji itu, setelah berpikir sejenak, lalu
berkata: "Jika Siancu tidak kebetulan menyusul tiba, akhirnya orang ini akan kabur juga."
Ji siok-cin tersenyum dan menyambung: "Apalagi, pada belasan tahun yang lalu mendiang
pangcu kalian yang dulu sudah mengusirnya keluar dari Pang kalian, jika sekarang kubawa
pergi dia tentunya tidak merugikan nama Pang kalian."
"Betul," jawab Ang Lian-hoa.
"Terima kasih, pangcu" ucap Ji Siok-cin sambil memberi hormat. Dari jauh ia pandang
sekejap kepada Kim-yan-cu, tiba-tiba ia berkata pula dengan tertawa: "Bila tidak ada orang
ini, kukira tidaklah mudah untuk menangkap Kwe Pian-sian. Mohon pangcu sampaikan
kepada nona ini, kelak bila dia ada sesuatu urusan, pasti Hoa-san-pay akan memberi balas jasa
kepadanya."
"Sungguh beruntung nona Kim itu bisa mendapat perhatian khusus dari Siancu" ujar Ang
Lian-hoa dengan mengulum senyum.
Ia menyaksikan Ji Siok-cin membawa pergi Kwe Pian-sian dan baru sekarang perasaannya
rada lega, selagi ia hendak mendekati Kim-yan-cu untuk memeriksa keadaan lukanya,
mendadak sesosok bayangan orang melayang tiba dengan cepat.
Ginkang orang ini tidak terlalu tinggi tapi gayanya indah, bajunya yang merah tipis berkibarkibar
tertiup angin laksana gumpalan awan yang meluncur tiba.
"Yang datang apakah Pek-hoa-sucia (dua seratus bunga)?" tegur Ang Lian-hoa dengan dahi
berkerut.
Seorang gadis cantik dengan baju sutera merah tipis sudah berada di depan Ang-Lian-hoa dan
menyembah padanya, jawabnya: "Tecu Hoa Sin menyampaikan sembah hormat kepada
pangcu"
"Terima kasih" kata Ang-lian-hoa dengan tersenyum. "Kedatangan nona ini adakah membawa
pesan Hay-hong Hujin?"
Gadis jelita ini memang betul anggota Pek-hoa-pang (klik seratus bunga) pimpinan Hay-hong
Hujin yang cantik itu. Dengan hormat ia lantas menjawab: "Betul, Tecu diperintahkan kemari
oleh Hujin, pertama untuk menyampaikan terima kasih pangcu yang telah mengantar pulang
Lim suci, kedua: hamba disuruh memohon sesuatu kepada pangcu."
"Urusan Hay-hong hujin pasti akan kubantu sekuat tenaga." ujar Ang Lian-hoa dengan
tertawa.
292
Hoa Sin berkedip-kedip kemudian menutur dengan tertawa: "Kwe Hou-hoat dari pang kalian
di masa lampau yang sudah menghilang dari Kangouw selama 15 tahun, konon sekarang telah
muncul lagi. Menurut laporan Toa-suci Hoa Bwe dari perbatasan Siamsay, katanya
kemunculan Kwe Houhoat telah dilihatnya di sana. Hujin pikir, kalau pangcu sedang
mengadakan pertemuan anggota di sini tentu ada hubungannya dengan kemunculan Kwe-
Houhoat, sebab itulah hamba disuruh kemari untuk memohon kepada pangcu...."
"Apakah Hujin ada persoalan dengan dia?" sela Ang-lian-hoa.
Hoa Sin menghela napas, jawabnya: "Ya, begitulah, sebab itulah Hujin mohon bantuan
Pangcu agar bila Kwe-houhoat datang kemari hendaklah segera Pangcu memberi kabar
kepada Hujin dengan bunga api khas kalian, apabila Hujin berada di sekitar sini tentu beliau
dapat segera memburu kemari.
Ang Lian-hoa terdiam sejenak, katanya kemudian dengan tersenyum pahit: "Pesan Hujin
sudah tentu akan kuperhatikan, cuma sayang, kedatangan nona ini agak terlambat satu
langkah."
"Apakah Kwe-Houhoat telah dihukum mati oleh Pangcu?" seru Hoa Sin kaget.
"Hendaklah nona sampaikan kepada Hujin, katakan bahwa Kwe Pian-sian sudah lama dipecat
oleh Pang kami." kata Ang-lian-hoa dengan gegetun. "Saat ini dia.... dia sudah dibawa pergi
oleh Ji-siancu, ketua Hoa-san-pay".
*****
Cukup lama kemudian barulah Kim-yan-cu siuman.
Ang-lian-hoa seperti tidak sabar menunggunya, begitu melihat nona itu sadar segera ia
memberi hormat dan berkata: "Berkat bantuan nona sehingga Pang kami terhindar dari
kesukaran, sebaliknya karena itulah nona terluka, sungguh segenap anggota pang kami tidak
tahu cara bagaimana menyampaikan terima kasih kepada nona."
Kim-yan-cu tertawa hambar: "Ah, terlalu berat ucapan Pangcu ini bagiku...." dengan cepat
tertawanya berganti menjadi cemas pula, tanyanya: "Dan iblis itu apakah.... apakah sudah
mati?"
"Dia terluka parah dan telah dibawa pergi oleh Ji-siancu dari Hoa-san" tutur Ang Lian-hoa.
"Hoa-san-pay juga bermusuhan dengan dia, apalagi Ji-siancu terkenal paling benci kepada
kejahatan, kukira iblis itu pasti tak bisa hidup lama lagi."
Kim-yan-cu terdiam sejenak, katanya kemudian dengan menyesal: "Terus terang, kalau aku
tidak menyaksikan mayatnya, betapapun aku tetap kuatir."
"Musuh orang ini terdapat di mana-mana, sekalipun Ji-siancu tidak membunuhnya, tentu Hayhong
Hujin juga takkan ampuni dia" ujar Ang Lian-hoa dengan tertawa.
"Hay-hong katamu?" Kim-yan-cu menegas dengan berkerut kening.
293
"Ya, Hay-hong hujin, baru saja ia mengirim utusan untuk mencari berita tentang iblis itu"
tutur Ang-lian-hoa.
"Dan sudah kau beritahukan?" tanya Kim-yan-cu dengan muka pucat.
"Dengan sendirinya kuberitahukan padanya, mengapa nona merasa cemas?"
"Jika pangcu memberitahukan apa yang terjadi barusan, maka selanjutnya Hoa-san-pay dan
Pek-hoa-pang pasti akan banyak timbul persoalan."
"Mengapa begitu?" tanya Ang-lian-hioa dengan terkesiap.
"Apakah Pangcu tahu ada hubungan apa antara Kwe Pian-sian dengan Hay-hong hujin?"
"Tidak tahu" jawab Ang-lian-hoa.
"Apakah orang kangouw tidak ada yang tahu bahwa antara dia dan Hay-hong Hujin adalah
suami-istri?"
"Apa katamu? Suami-istri?" Ang Lian-hoa menegas dengan terperanjat.
"Ya, makanya seumpama Hay-hong Hujin mempunyai dendam apa-apa terhadap bekas
suaminya itu, betapapun dia tidak akan membiarkan dia mati di tangan orang lain. Dengan
demikian dia dan Ji-siancu dari Hoa-san tentu akan bermusuhan."
Ang Lian-hoa termangu-mangu sejenak, dengan menyesal ia berkata: "Pantas, begitu nona
Hoa Sin itu mendengar keteranganku, buru-buru ia lantas permisi pulang lapor kepada Hayhong
hujin.... Ai, kedua orang ini boleh dikatakan perempuan yang paling sukar direcoki di
dunia Kangouw saat ini, bilamana keduanya saling gempur, maka akibatnya sukar
dibayangkan"
"Urusan sudah terlanjur begini, berkuatir juga tiada gunanya" ujar Kim-yan-cu sambil
meronta bangun berduduk. Tiba-tiba ia menambahkan pula: "Kedatanganku ini sebenarnya
ingin minta sesuatu keterangan kepada Pangcu."
"Asalkan ku tahu, segala apapun pasti akan kuberitahukan," jawab Ang-lian-hoa dengan
tertawa.
Kim-yan-cu menunduk, katanya dengan perlahan: "Malam itu, apa yang terjadi antara nona
Lim Tay-ih dan Ji-kongcu di kamar hotel sana, dapatkah pangcu menceritakan kepadaku
dengan jelas?"
Rada berubah air muka Ang Lian-hoa, ia termenung agak lama, akhirnya ia menghela napas
dan berkata: "Dan entah ada sangkut-paut apa antara nona dengan persoalan ini?"
"Bila Pangcu sudi memberitahu, untuk apa pula mesti tanya hubunganku dengan mereka?"
ujar Kim-yan-cu tersenyum kecut.
Kembali Ang Lian-hoa terpekur sejenak, akhirnya ia menutur dengan gegetun: "Hari itu
kebetulan akupun singgah di kota kecil itu, kebetulan kulihat mereka juga masuk ke kota itu,
294
aku dan nona Lim memang .... memang sudah kenal baik, meski tidak kukenal pemuda yang
mendampingi dia itu, tapi kudekati juga dan menyapanya."
"Pangcu dan Ji Pwe-giok yang sudah mati itu memang sahabat baik, bila melihat nona Lim
berada bersama lelaki lain, mungkin timbul rasa kurang senang di hati Pangcu"
Ang Lian-hoa melengak, mendadak ia tertawa dan berkata: "Ha.ha.ha..ha.! Jika nona anggap
demikian sifat pribadiku, maka salah besar nona. Watakku cukup terbuka, tidak suka
memikirkan adat kolot yang terlalu mengikat itu, jangankan nona Lim memang belum
menikah secara resmi dengan Ji Pwe-giok, sekalipun mereka sudah menikah juga tiada alasan
bagiku untuk memaksa Lim Tay-ih harus menjanda selama hidup. Bila dia mendapatkan
teman lelaki baru, aku justru bersyukur dan bergembira baginya."
Meski dia tertawa dengan lantang, namun lamat-lamat mengandung perasaan sedih.
Dengan sendirinya Kim-yan-cu tidak dapat merasakan isi hati ketua Kaypang yang gagah dan
muda itu, dengan tertawa cerah ia berkata: "Pangcu memang berpribadi lain daripada yang
lain, bilamana ucapanku tadi salah, hendaklah pangcu jangan marah."
Ang Lian-hoa tertawa, tapi ia lantas berkerut kening dan berkata pula: "Namun ketika ku sapa
mereka, pemuda itu tampaknya sangat simpatik, sebaliknya nona Lim tidak mau menggubris
diriku, seakan-akan tidak kenal padaku. Padahal persahabatanku dengan dia bukan cuma
sehari dua hari saja, tidak pantas ia bersikap demikian".
"Bisa jadi.... bisa jadi dia sedang murung atau ada persoalan lain" ujar Kim-yan-cu.
"Ucapanmu memang beralasan, tapi mendadak kuingat bulan yang lalu pernah juga satu kali
dia tidak menggubris padaku ketika kami bertemu, kemudian baru ku tahu bahwa waktu itu
dia terancam bahaya, ada kesukaran yang tak dapat dikatakannya padaku"
"Makanya sekarang Pangcu juga curiga jangan-jangan nona Lim ada kesukaran lain yang tak
dapat diberitahukan kepadamu?" tukas Kim-yan-cu.
"Ya, begitulah" kata Ang Lian-hoa.
"Lantaran itulah Pangcu jadi ketarik untuk menyelidiki seluk-beluknya, meski sebenarnya
urusan orang lain. Dan apa yang Pangcu lihat pada malam itu?"
Mendengar ucapan Kim-yan-cu ini, Bwe Su-bong yang sejak tadi hanya berdiri menunggu di
samping mendadak menyeletuk: "Apa yang dikatakan nona sebenarnya tidak salah. Jika orang
lain melihat sesuatu yang mencurigakan pada siangnya, malamnya tentu akan menyelidiki hal
yang menarik perhatiannya itu, sekalipun tempat yang harus didatangi adalah kamar perawan
juga takkan dihiraukannya...." dia pandang Kim-yan-cu dengan tersenyum, lalu menyambung
pula: "Tapi nona jangan lupa, seorang kalau sudah menjabat Pangcu Kay-pang, maka
kedudukannya akan banyak berbeda daripada orang lain, setiap tindak tanduknya tidak boleh
lagi gegabah."
Muka Kim-yan-cu menjadi merah, cepat ia berkata: "Ya, maaf… jika ucapanku tidak pantas
tapi.... tapi apakah Pangcu memang sama sekali tidak tertarik untuk menyelidikinya?"
295
"Setiap langkah Pangcu kami selalu hati-hati dan prihatin, meski beliau tidak sudi melakukan
sesuatu yang merosotkan derajatnya, tapi urusan yang menyangkut keselamatan teman pasti
juga takkan dibiarkannya begitu saja" kata Bwe Su-bong.
"Kecermatan bertindak Ang-lian Pangcu dan keluhuran budinya terhadap teman-teman sudah
cukup dikenal orang, termasuk pula diriku, kukira tidak perlu dijelaskan lagi oleh Cianpwe!"
kata Kim-yan-cu.
Sekali ini muka Bwe Siu-bong yang agak merah, cepat ia berdehem dan berkata pula: "Demi
menyelidiki apa yang terjadi, Pangcu hanya menyuruh seorang anggota Pang kami menyamar
sebagai pelayan hotel untuk mengawasi setiap gerak-gerik yang terjadi di kamar nona Lim"
"Oo, bilakah hal itu terjadi?" tanya Kim-yan-cu.
Bwe Su-bong memandang Ang-lian-hoa sekejap, sang Pangcu mengangguk, habis itu baru
Bwe Su-bong menyambung lebih lanjut. "Tatkala itu sudah magrib...."
Mendadak Kim-yan-cu memotong dengan tertawa: "Jika suka, mohon Pangcu sendiri saja
yang bercerita. Kalau tidak, setiap kalimat Bwe cianpwe harus minta izin satu kali kan repot?"
Bwe Su-bong bergelak tertawa, katanya; "Pendekar perempuan si walet emas benar-benar
tidak boleh direcoki. Hanya karena kata-kataku tadi agak menyinggung, tampaknya nona
menjadi sakit hati dan tidak dapat mengampuniku."
Sembari tertawa iapun memberi hormat dan mengundurkan diri.
Kim-yan-cu berkata dengan gegetun: "Pangcu mempunyai pembantu setia begini, sungguh
sangat mengagumkan orang."
Tanpa menunggu tanggapan Ang-lian-hoa, segera ia bicara tentang soal pokok pula: "Setelah
anggota Pang kalian menyamar dan masuk ke kamar nona Lim, adakah hal-hal mencurigakan
yang dilihatnya?"
"Keadaan yang dilihatnya memang agak mencurigakan, dilihatnya nona Lim selalu murung,
sejak awal hingga akhir sama sekali tidak menggubrisnya," tutur Ang-lian-hoa.
Tentu saja, mana mungkin nona Lim menggubris seorang pelayan, kenapa mesti diherankan?"
ujar Kim-yan-cu.
"Soalnya nona Lim seharusnya kenal anggota kami itu," kata Ang lian hoa.
"Oo . . .. " Kim-yan-cu melengak.
"Sebelum ini, kira-kira sebulan yang lalu di sekitar Siang-ciu, waktu itu nona Lim juga
terancam bahaya, tapi dia mencari peluang untuk secara diam-diam mengirimkan berita
kepadaku. Tapi sekali ini dia jejak awal hingga akhir tidak menggubris penghubung kami itu,
bukankah sangat aneh?" "Maka Pangcu lantas..."
296
"Makanya aku lantas menduga keadaan nona Lim sekali ini jauh lebih berbahaya daripada
pengalaman yang dulu sehingga sama sekali tiada peluang baginya untuk mengadakan kontak
denganku.
Kim-yan-cu berpikir sejenak, katanya kemudian: "Apakah Pangcu tidak berpikir ada
kemungkinan nona Lim memang tiada terancam bahaya apa-apa sehingga dia memang tidak
perlu mengirim sesuatu berita kepadamu?"
"Sudah tentu kemungkinan ini pun bisa terjadi cuma . .. . kalau nona Lim tidak terancam
bahaya, sedikitnya dia kan mesti bertegur sapa padaku?"
"Bisa jadi mendadak dia tidak suka bertegur sapa dengan Pangcu."
"ini jelas tidak mungkin."
"Masa Pangcu begitu yakin?" tanya Kim-yan cu dengan tatapan tajam.
"Ya," jawab Ang-lian-hoa pasti.
Tiba-tiba Kim-yan-cu tertawa, katanya: "Jika demikian, hubungan Pangcu dengan nona Lim
pasti lain daripada yang lain, pantaslah Pangcu sedemikian memperhatikan urusan nona Lim."
Air muka Ang-lian-hoa rada berubah, tapi ia lantas berkata dengan tertawa: Nona juga sangat
memperhatikan utusan ini, bahkan selalu berbicara mengenai Ji kongcu itu. Agaknya nona
juga mempunyai hubungan istimewa dengan Ji-kongcu?"
Kim-yan cu melengak, segera ia tertawa, katanya: "Ang-lian-pangcu memang betul-betul
tidak boleh direcoki oleh siapapun juga."
Kedua orang saling pandang dengan tertawa, namun tertawa yang menyerupai menyengir,
meski mereka berdua sama-sama cukup bijaksana terhadap sesuatu, tapi sekarang tertekan
juga perasaan mereka.
Selang sejenak barulah Ang-lian-hoa berkata lagi: "Anak buah kami yang bernama Seng-losu
itu beberapa kali pura-pura mengantar teh ke kamar nona Lim, dilihatnya nona itu sedang
menangis, waktu dia masuk kamar, nona Lim lantas menutup kepalanya dengan selimut dan
Ji-kongcu itupun melengos ke arah dinding, agaknya tidak ingin muka mereka dilihat orang.
"Dan Pangcu bertambah heran tentunya," kata Kim yan-cu.
"Ya, waktu Song-losu menyampaikan laporan kepadaku, sementara itu hari sudah jauh
malam, tatkala mana meski aku tambah curiga, tapi masih juga ragu-ragu apakah aku harus
langsung menyelidiki ke sana ataukah tidak."
"Entah kemudian mengapa Pangcu bertekad turun tangan sendiri?"
"Pada saat itulah kulihat beberapa Ya heng-jin (orang berpakaian piranti malam) yang tinggi
sekali Ginkangnya telah melayang ke arah hotel sana, maka aku tidak ragu lagi dan segera
menyusul ke sana."
297
"Aha, yang mengikuti gerak-gerik mereka kiranya masih ada lagi kelompok lain. Siapakah
mereka itu, apakah Pangcu melihatnya?" seru Kim yan-cu.
"Gerak-gerik orang-orang itu rada misterius, mereka sama memakai kedok kain hitam,
hakekatnya aku tidak tahu siapa mereka. Tapi setiba di hotel itu dari jauh kulihat salah
seorang di antaranya terus menyusup masuk ke cerobong hawa di atap rumah. Padahal
cerobong hawa itu sangat sempit, orang biasa jelas sukar masuk ke situ, kecuali orang yang
memiliki Nui-kang (ilmu kelemasan, badan plastik) yang hebat. Tentunya nona tahu jarang
sekali orang Kangouw yang terkenal mahir Nuikang."
"Jangan-jangan Pangcu mengira orang itu adalah Sebun Bu Kut?" ucap Kim yan cu.
"Ya, kukira bukan orang lain."
"Untuk apakah Sebun Bu kut senantiasa mengawasi mereka?"
"Persoalan ini agak panjang untuk diceritakan. Yang dapat kuberitahukan kepadamu adalah
karena nona Lim itu adalah bakal istri Ji-hiante yang telah mati itu, sedangkan segala sesuatu
urusan yang menyangkut Ji-hiante tidak pernah terlepas dari pengawasan mereka."
Kim yan-cu termangu-mangu sejenak, katanya kemudian dengan berkerut kening: "Wah,
urusan ini makin lama makin ruwet tampaknya."
"Ya, dalam persoalan ini memang terkandung banyak rahasia, kalau kami tidak utang budi
kepada nona, tidak nanti kuceritakan padamu."
"Tapi Pangcu juga tidak perlu kuatir, asalkan urusan yang menyangkut Ji Pwe-giok, baik Ji
Pwe-giok yang hidup ataupun Ji Pwe-giok yang sudah mati, aku berjanji akan menjaga
rahasia baginya."
Ang lian hoa tertawa, ia menyambung pula: "Malam itu gelap gulita, tiada rembulan dan
tanpa bintang, tamu hotel sudah tidur seluruhnya, suasana di halaman hotel itu sunyi dan
gelap. Kelima Ya heng-jin itu, kecuali Sebun Bu-kut yang sembunyi di dalam cerobong hawa
itu, empat lainnya telah mengepung rapat kamar nona itu."
"Bukankah mereka hanya mengintai gerak-gerik nona Lim secara diam-diam, mengapa
mereka mengepung tempat tinggal nona Lim, apakah mereka ada maksud jahat lain?"
"Betul, memang ada maksud jahat lain."
"Mereka.... apa yang hendak dilakukan mereka?"
Ang lian hoa menatapnya dengan terbelalak, sampai lama tidak menjawab.
Dengan suara keras Kim yan cu berkata pula : "Urusan apapun juga, demi Ji Pwe-giok itu,
aku rela mati daripada membocorkan sepatah kata rahasianya."
Ang lian hoa menghela napas lega, katanya pula dengan pelahan: "Jelas mereka hendak
meringkus nona Lim dan dibawa pulang, kalau tidak dapat meringkusnya dengan hidup,
membunuhnya bukan soal lagi."
298
"Sebab apa?" seru Kim yan cu.
"Hal ini kukira tiada sangkut pautnya lagi dengan persoalan yang ingin diketahui nona, betul
tidak?" tanya Ang lian hoa.
Kim yan cu berpikir sejenak, akhirnya ia tanya pula: "Sebun bu-kut adalah sahabat baik Lenghoa
kiam Lim Soh koan, sedangkan Lim Tay-ih adalah puteri tunggal Lim Soh koan,
mengapa Sebun Bu-kut hendak membunuhnya, apakah dia tidak takut dituntut balas oleh Lim
Soh koan?"
"Di dunia ini memang banyak persoalan yang sukar dimengerti orang," tutur Ang lian hoa
dengan gegetun. "Hanya dapat kukatakan padamu, jauh sebelum itu mereka sudah bermaksud
membekuk Lim Tay-ih, tapi waktu itu nona Lim telah dibawa pergi oleh Hay-hong Hujin,
meski mereka tidak berani merecoki Hay-hong Hujin, tapi demi melihat Lim Tay-ih berada
sendirian, tentu saja mereka tidak mau melepaskan dia."
"Lalu mengapa mereka tidak.... tidak cepat turun tangan?"
"Bisa jadi lantaran mereka pun rada-rada jeri terhadap Ji kongcu ini, mungkin pula mereka
ingin tahu ada hubungan apa antara Lim Tay-ih dan Ji Pwe-giok yang satu ini."
Setelah menghela napas, lalu ia sambung pula: "Tampaknya mereka rada jeri terhadap Jihiante
dan masih sangsi kalau-kalau dia belum mati. Sebab itulah ketika dilihatnya nona Lim
berada pula dengan Ji Pwe-giok baru, mereka menjadi curiga kalau-kalau Ji Pwe-giok yang
baru ini adalah samaran Ji Pwe-giok yang lama, kalau tidak, menurut sifat Lim Tay-ih yang
angkuh itu tidak nanti mau tinggal bersama satu kamar dengan pemuda yang tidak
dikenalnya."
"Mungkin hal ini pula yang menimbulkan curiga Pangcu?" kata Kim yan cu.
"Tapi ku tahu pasti Ji-hiante benar-benar sudah mati, apabila Ji-kongcu yang ini adalah
samaran Ji-hianteku itu, mustahil dia tidak menyapa diriku ketika berjumpa."
Kim yan cu terdiam sejenak, katanya kemudian dengan perlahan: "Ucapan Pangcu memang
tidak salah, Ji Pwe-giok yang mana pun tidak nanti bersikap dingin begitu."
"Kukenal kelihaian kelima orang ini, seluruhnya tergolong jago kelas satu, dengan sendirinya
aku sangat kuatir bagi nona Lim. Tapi sebelum mereka bertindak, terpaksa akupun tidak dapat
turun tangan, akupun tak dapat mendekat hingga mengejutkan mereka terpaksa aku hanya
sembunyi di balik atap rumah seberang, dari jauh ku intai gerak-gerik mereka."
"Dalam pada itu di dalam kamar nona Lim apakah tiada sesuatu suara?" tanya Kim yan cu.
"Waktu itu di kamarnya sama sekali tiada sesuatu suara, namun lampunya menyala, kusangka
mereka sudah tidur, siapa tahu pada saat itu juga mendadak nona Lim mendepak pintu kamar,
sambil berteriak-teriak ia terus menerjang keluar."
"Aha, pahamlah aku!" seru Kim yan cu mendadak sambil berkeplok tangan.
299
"Nona paham apa?" tanya Ang lian hoa dengan melengak.
"Mungkin nona Lim tahu ada orang sedang mengintainya, secara diam-diam maka dia sengaja
menerjang keluar, apabila di sekitarnya terdapat banyak orang, dengan sendirinya Sebun Bukut
dan begundalnya itu tidak bebas turun tangan."
Ang lian hoa berpikir sejenak, katanya: "Nona Lim memang cerdik dan pintar, dari tindaktanduknya
di masa memang bisa jadi dia sengaja berbuat begitu. Tapi umpama
pertengkarannya dengan Ji-kongcu itu hanya pura-pura saja, beberapa tusukan pedangnya itu
jelas-jelas bukan pura-pura."
"Tapi dia kan tidak melukai Ji-kongcu itu dengan parah?"
"Biarpun tidak parah, tapi juga tidak ringan. Apalagi.... seumpama terkaan nona betul, kan
salah juga perbuatan Lim Tay-ih itu?"
"Salah!? Salah bagaimana?"
"Kau tahu, sebabnya Sebun Bu-kut tidak segera turun tangan jelas karena dia rada jeri
terhadap Ji Pwe-giok itu, maka Sebun Bu-kut tidak perlu kuatir lagi."
"Tapi di halaman hotel kan banyak orang?"
"Orang-orang di hotel itu mana dipandang sebelah mata oleh mereka? Maka waktu Lim Tayih
menusuk Ji Pwe-giok untuk kedua kalinya, serentak Ya heng-jin yang siap di atas rumah
juga lantas berdiri dan hendak bertindak."
"Sebab itulah Pangcu lantas mendahului menerjang ke sana!?"
"Waktu itu akupun tahu tidak boleh ayal lagi, harus turun tangan lebih dulu secara mendadak,
Tay-ih harus diselamatkan agar mereka kaget dan kelabakan."
"Tatkala mana orang lain mungkin menyangka orang yang ditolong Pangcu ialah Ji-kongcu,
tak tahunya yang ditolong adalah nona Lim. Dari sini terbuktilah bahwa sesuatu yang
disaksikan sendiri terkadang juga belum pasti betul," Kim Yan cu menghela napas, lalu
berkata pula: "Bukankah apa yang kupikirkan tadipun salah?"
"Salah? Hal apa?" tanya Ang lian hoa.
"Yaitu, nona Lim benar-benar ingin membunuh Ji-kongcu dan bukan cuma pura-pura saja,
sebab kalau dia benar-benar tahu ada orang sedang mengincarnya, dengan sendirinya dia
memerlukan bantuan Ji-kongcu untuk menghadapi musuh, mana bisa dia bertengkar sendiri
dengan Ji-kongcu?"
"Kukira belum tentu," kata Ang lian hoa setelah termenung.
"Oo!..."
"Bisa jadi sebelumnya dia telah melihat diriku, tahu diam-diam aku pasti akan mencari
kesempatan untuk menolong dia."
300
"Jika demikian, apa gunanya dia berlagak begitu?"
"Mungkin disebabkan dia kuatir Sebun Bu-kut dan begundalnya itu akan salah sangka Jikongcu
itu sebagai Ji-hianteku yang sudah meninggal itu, setelah dia melukai Ji-kongcu itu
tentu orang lain takkan menaruh curiga lagi...." sampai di sini, ujung mulut Ang lian hoa
seperti rada gemetar.
Kim yan cu jadi terharu, katanya: "Jika demikian, apa yang dilakukan nona Lim itu bukan
cuma untuk kepentingan sendiri, tapi juga demi keselamatan Ji-kongcu. Dia menyerang
kepada Ji-kongcu bukan sengaja hendak mencelakainya, tapi sebaliknya ingin
menyelamatkannya."
"Itu pun hanya dugaanku saja," ujar Ang lian hoa dengan menghela napas.
"Setelah kau selamatkan nona Lim, apakah tidak kau tanya kepadanya?"
Ang lian hoa memandang jauh ke depan sana, jawabnya kemudian dengan perlahan: "Dengan
hak apa kutanyai isi hatinya?"
Kim yan cu menatapnya lekat-lekat, tiba-tiba dia tertawa dan berkata: "Jangan kau kuatir, dia
pasti tidak benar-benar jauh cinta terhadap Ji-kongcu itu, dia justeru benar-benar sangat benci
padanya, bisa jadi dia benar-benar ingin membunuhnya."
Ang lian hoa melengak, katanya kemudian dengan tersenyum hambar: "Jangan kuatir?
Memangnya apa yang kukuatirkan?"
"Tidak perlu kau dusta padaku," ucap Kim Yan cu dengan rawan, "ku tahu isi hatimu, hanya
saja..... hanya saja nona Lim tidak tahu, kuharap semoga dia akan tahu."
Tiba-tiba sorot mata Ang lian hoa menampilkan perasaan menderita, tapi di mulut ia tergelak
tertawa, katanya: "Apapun yang kau pikir atas diriku pasti keliru seluruhnya, ketahuilah
hubungan Ji Pwe-giok dan aku adalah seperti saudara sekandung."
"Tapi Ji Pwe-giok sudah mati bukan?"
"Meski dia sudah mati, tapi di dalam hatiku dia tetap hidup selamanya."
"Apakah demi dia, kau rela mengorbankan perasaanmu? Jika dia benar-benar sahabatmu yang
sejati, di alam baka juga dia berharap kau yang akan menggantikan dia untuk menghibur nona
Lim."
"Nona Lim tidak perlu dihibur siapapun!" seru Ang lian hoa.
"Kau salah!" ucap Kim yan cu. "Ku tahu saat ini nona Lim sangat menderita, orang yang
dapat menghiburnya saat ini mungkin cuma kau saja, hanya Ang lian hoa seorang."
Ang lian hoa memandangnya tanpa berkedip, sampai lama barulah ia mendengus: "Hm, kau
berharap aku akan menghibur nona Lim, apakah lantaran kau takut dia akan merampas kau
301
punya Ji-kongcu? Kau berharap dia membenci Ji-kongcu, bahkan membunuhnya daripada
mereka terikat menjadi satu?"
Gemetar tubuh Kim yan cu, ia menunduk perlahan, ucapnya dengan tersendat: "Be... betul,
ucapanmu memang tidak salah, aku.... aku manusia yang egois.... aku hanya memikirkan
kepentinganku sendiri....." belum habis ucapannya, berderailah air matanya.
Sinar mata Ang lian hoa memancarkan cahaya penuh penyesalan, katanya dengan suara halus:
"Demi cinta, siapakah di dunia ini yang tidak egois? Cinta artinya monopoli, tidak mungkin
dibagi."
"Hanya kau!" kata Kim yan cu sambil menengadah. "Cintamu berarti pengorbanan, meski
mengorbankan dirinya sendiri toh kau berusaha tidak diketahui orang lain. Dan untuk itu
mengapa aku tidak boleh meniru kau? Mengapa tidak boleh...."
Ang lian hoa tidak ingin si walet emas meneruskan ucapannya itu, maklumlah, kata-kata itu
laksana jarum yang menyakitkan hatinya, ia coba mengalihkan pokok pembicaraan, katanya
dengan tersenyum: Setelah nona bertanya padaku, sekarang akupun ingin tanya beberapa hal
kepadamu."
"Ta....tanya saja," jawab Kim-yan-cu.
"Dari mana nona mengetahui urusan ini?"
Kim-yan-cu mengusap air matanya, jawabnya: "Malam itu, kau lihat Suma Bun tidak?"
"Sin-to Kongcu Suma Bun, maksudmu? Malam itupun ia hadir di sana?"
"Dia sendiri yang memberitahukan peristiwa itu kepadaku, tadinya kukira urusan ini sangat
sederhana, setelah mendengar cerita Pangcu barulah kurasakan persoalan ini sesungguhnya
sangat ruwet dan di luar dugaanku. Meski Pangcu telah menceritakan kejadian itu secara
terperinci dan jelas, tapi sesungguhnya bagaimana latar belakang persoalan ini tetap tidak
jelas bagiku"
"Bukan saja nona tidak jelas, memangnya aku tahu jelas?" ujar Ang Lian-hoa. "Padahal
malam itu akupun banyak melalaikan hal-hal lain, aku cuma memperhatikan tindak-tanduk
Sebun Bu-kut dan begundalnya, sampai Sin-to Kongcu berada di sana juga tidak
kuperhatikan. Kalau diam-diam ada orang lain lagi tentu aku lebih tidak tahu."
"Ya, secara diam-diam memang masih ada lagi satu orang!" kata Kim-yan-cu.
"Siapa?" tanya Ang Lian-hoa cepat.
"Seorang gadis yang cantik dan misterius" tutur Kim-yan-cu dengan pelahan. "Konon setelah
melihat dia, seketika Ji-kongcu ketakutan seperti melihat setan dan segera melarikan diri"
"Siapa pula nona cantik itu? Mengapa Ji-kongcu sedemikian takut padanya?"
"Rahasia ini kukira selain Ji Pwe-giok sendiri tiada orang lain lagi yang tahu."
302
"Ji Pwe-giok, Ji Pwe-giok!....." Ang Lian-hoa menarik napas panjang sambil menengadah.
"Nama Ji Pwe-giok mengapa selalu menyangkut rahasia sebanyak ini?"
"Mengapa tidak.... tidak kau tanyakan padaku tentang rahasia apa di balik hubungan nona
Lim dengan Ji-kongcu itu? Bukan mustahil akulah orang yang tahu rahasia mereka."
Ang Lian-hoa tersenyum pedih, ucapnya: "Makin banyak rahasia yang diketahui seseorang,
semakin menderita pula dia. Sudah cukup banyak rahasia yang kuketahui, lebih baik aku tidak
menambah penderitaan lagi".
*****
Meski Kim-yan-cu dapat berbicara panjang lebar, tapi lukanya tidak ringan, untung obat luka
Kay-pang sangat mujarab, sekalipun begitu dia tetap sukar melangkah, masih belum boleh
bergerak.
Ang-lian-hoa menyarankan agar dia merawat lukanya, setelah sembuh baru berangkat, tapi
Kim-yan-cu tidak sabar lagi, kalau disuruh berbaring di tempat tidur betapapun dia tidak
betah.
Terpaksa Ang-lian-hoa menyuruh Bwe Su-bong mengantar nona itu, bahkan melanggar
kebiasaan, Kim-yan-cu disewakan sebuah kereta. Maklumlah, kaum pengemis terkenal
sebagai kaki besi, selamanya berjalan dan tidak pernah menggunakan kendaraan.
Kebetulan Bwe-su-bong juga seorang yang tidak sabaran, tanpa didesak Kim-yan-cu ia terus
membedal kereta kudanya dan sekaligus sampai di Li toh-tin. Setiba di kota kecil ini bahkan
masih tengah malam hari kedua.
Bwe-su-bong menghentikan kereta, ia berpaling dan bertanya: "Apakah adik perempuanmu
menunggu nona di suatu tempat di kota ini?"
"Ya, dahulu pernah kutinggal semalam di kota ini, tempatku bermalam itu bernama Li-kehcan,
di hotel itulah kusuruh dia menunggu kedatanganku" tutur Kim-yan-cu.
"Baru pertama kali ku datang ke kota ini, entah Li-keh-can itu terletak di jalan mana?"
Kim-yan-cu melongok keluar dan memberi tahu dengan tertawa: "Di kota ini hanya ada
sebuah jalan raya ini, hotel itu terletak di....."
Belum habis ucapannya, tiba-tiba di dalam kegelapan di sebelah timur sana bergema suara
raungan yang seram, mirip suara raungan macan tutul sebelum keluar rimba.
Menyusul di sebelah selatan juga bergema dua kali suara aneh, suara seperti tambur dipukul,
di sebelah barat juga berkumandang suara auman seperti bende berbunyi, lalu dari sebelah
utara juga bergema suara siulan nyaring.
Di tengah malam gelap mendadak timbul suara aneh itu, sampai Kim-yan-cu juga gemetar
dan berkerut kening, katanya: "Suara apakah itu, jelas seperti suara tambur, bende dan
sebagainya, tapi rasanya seperti raungan binatang buas"
303
Air muka Bwe Su-bong berubah hebat, ucapnya dengan suara tertahan: "Lekas sembunyi di
dalam kereta dan jangan bersuara". Segera ia melayang turun ke bawah kereta.
Kuda penarik kereta juga ketakutan oleh suara seram itu hingga kaki lemas dan tak sanggup
berjalan, mulut kuda tampak berbuih, sekuatnya Bwe Su-bong menyeretnya ke bawah pohon.
Pada saat itulah terdengar suara kain baju berkibar tertiup angin, beberapa sosok bayangan
melayang tiba secepat terbang, dalam kegelapan tidak jelas kelihatan wajah mereka. Tapi
jelas semuanya memakai baju ketat dengan gerakan lincah dan gesit.
Meski diliputi perasaan heran, tapi demi mendengar suara misterius tadi serta melihat kuda
yang lemas ketakutan, diam-diam tangan Kim-yan-cu berkeringat dingin, ia mendekap di
dalam kereta dan tidak berani bersuara.
Bwe Su-bong berlagak memegang tali kendali dan berdiri di bawah bayang-bayang pohon
tanpa bergerak seolah-olah kuatir dilihat oleh kawanan Ya-heng-ji itu, tapi orang-orang itu toh
melihatnya juga.
Salah seorang di antaranya tampak merandek dan mengomel: "Kereta ini sangat menyolok
mata, hancurkan saja!"
"Sudahlah, bos telah mendesak, untuk apa kita cari gara-gara" kata seorang lagi.
Orang pertama tadi menjengek: "Jika begitu, untunglah kakek ini."
Baru habis ucapannya beberapa orang itu sudah melayang lewat beberapa tombak jauhnya.
Kim-yan-cu melongok keluar lagi dan bertanya kepada Bwe Su-bong: "Malam ini mengapa
Cianpwe menjadi takut perkara?"
Bwe Su-bong menghela napas, ucapnya sambil menyengir: "Mereka tidak mengganggu kita,
buat apa kita mengganggu mereka?"
"Apakah orang-orang ini sukar direcoki?" tanya Kim-yan-cu.
"Masa nona tidak tahu siapakah mereka?"
"Memangnya siapa?"
"Apakah nona tidak pernah mendengar "Su-ok-siu" (empat binatang buas) yang malang
melintang di wilayah propinsi Sujwan, Kamsiok, Siamsay dan Ohpak?"
"Jadi mereka itulah Su-ok-siu?"
"Ya, lengkap empat, semuanya datang"
"Konon Su-ok-siu ini meski sama terkenalnya, tapi masing-masing berkuasa di wilayahnya
sendiri-sendiri, biasanya jarang berhubungan satu sama lain, mengapa sekarang mereka
berkumpul di sini?"
304
"Ya, hal ini memang rada mengherankan, kalau tiada transaksi besar, tidak nanti Su-ok-siu
turun tangan sekaligus bersama, tapi di kota kecil seperti Li-toh-tin ini masa ada transaksi
besar?"
Tiba-tiba air muka Kim-yan-cu berubah, ia pandang jauh ke depan sana, terlihat jalan raya
sepi nyenyak, kawanan Ya-heng-jin tadi sudah menghilang. Ia menghela napas, katanya:
"Apakah kau memang melihat kemana perginya mereka?"
"Seperti menghilang di gedung ujung jalan sana" jawab Bwe Su-bong.
"Hah, celaka, disitulah letak Li-keh-can," seru Kim-yan-cu.
Berubah juga air muka Bwe Su-bong, tanyanya: "Apakah adik perempuanmu membawa
sesuatu benda mestika yang berharga?"
"Bukan saja membawa benda mestika, bahkan tidak sedikit jumlahnya," jawab Kim-yan-cu,
sembari bicara ia terus berusaha melompat keluar.
Tapi Bwe Su-bong keburu mencegahnya, desisnya: "Jangan bergerak, nona, lukamu belum
lagi sembuh."
Kim yan-cu menjadi gelisah, katanya: "Su-ok-siu ini sedemikian terkenal, tentu ilmu silat
merekapun tidak lemah, adik perempuanku cuma sendirian dan pasti bukan tandingan mereka.
Apakah aku harus berdiam diri menyaksikan dia dicelakai orang?"
Bwe Su-bong tampak prihatin, katanya pelahan: "Tapi biarpun sekarang nona ikut turun
tangan juga tiada gunanya, malahan cuma mengantar nyawa belaka."
"Habis.... habis bagaimana baiknya?" Kim yan-cu menjadi kelabakan.
"Jangan kuatir nona" ujar Bwe Su-bong dengan tertawa, "asalkan ku hadir di sini, tidak boleh
mereka berbuat sesukanya"
Meski begitu ucapannya, sesungguhnya iapun tidak yakin akan jaminannya itu.
"Kalau begitu lekaslah kau mencari akal, kalau terlambat mungkin urusan bisa runyam" pinta
Kim-yan-cu.
"Cara turun tangan mereka takkan terlalu cepat" tutur Bwe Su-bong setelah berpikir sejenak.
"Sebelum turun tangan biasanya Su-ok-siu selalu berhati-hati, makanya selama ini mereka
jarang gagal"
Sembari bicara ia terus mengamat-amati sekeliling sana, dilihatnya di belakang hotel Li-kehcan
itu terdapat sebuah rumah kecil berloteng sehingga lebih tinggi daripada atap rumah di
sekitarnya.
Tiba-tiba Bwe Su-bong tertawa dan berkata: "Aku sudah kakek-kakek hampir 70 tahun, kalau
nona tidak merasa tubuhku kotor, marilah ku gendong saja, kita sembunyi dulu di atas loteng
sana untuk mengawasi gerak-gerik mereka"
305
"Ya, selain jalan ini kukira tak berdaya lagi" ujar Kim-yan-cu dengan gegetun.
Begitulah Bwe-Su-bong lantas menggendong Kim-yan-cu dan memutar ke samping rumah
kecil berloteng itu, ia mengeluarkan seutas tali panjang, digantolkan pada emper loteng, lalu
merambat ke atas dengan hati-hati.
Meski gelisah dan wataknya tidak sabaran, namun jelek-jelek dia tokoh Kangouw yang sudah
ulung, dengan sendirinya dia bisa lebih hati-hati dari pada biasanya, apalagi dia menggendong
seorang, gerak-geriknya kurang leluasa, bila melompat tentu menimbulkan suara, maka dia
tidak berani main loncat ke atas loteng.
Dari atas loteng itu dapat memandang jelas, keadaan sekitarnya, terutama Li-keh-can di
depannya, kecuali kedua lampu kerudung yang tergantung di depan pintu hotel itu serta
samar-samar ada cahaya lampu di kamar pengurus, suasana sekelilingnya gelap gulita dan
sunyi senyap, hanya keresekan daun pohon yang terkadang tertiup angin memecah kesunyian
malam yang seram.
Di bawah pohon, di ujung tembok, di balik atap rumah, setiap tempat yang gelap lamat-lamat
ada bayangan orang, namun tidak terdengar sesuatu suara yang mencurigakan.
Kim-yan-cu menjadi kuatir, gumamnya dengan suara tertahan: "Mengapa tidur Ji-moay
seperti babi mampus, kawanan bandit sudah di depan pintu dan dia belum lagi tahu."
Di tempat gelap terdengar ada orang menjentik sebagai tanda, empat lelaki serentak melolos
golok dan merunduk ke rumah di depan sana. Dua orang di antaranya menuju ke pintu dan
dua lagi mendekati jendela. Tapi belum lagi dekat, mendadak di dalam rumah cahaya lampu
terang benderang.
Ke empat orang itu terkejut dan berhenti dengan golok terhunus dan siap tempur. Tak
tersangka di dalam rumah lantas berkumandang suara tertawa orang perempuan yang genit,
berbareng itu pintu lantas terbuka.
Tertampaklah seorang nona jelita dengan membawa sebuah lampu minyak muncul di ambang
pintu. Dia memakai baju tidur warna ungu tipis, perawakannya yang ramping dan garis
tubuhnya yang samar-samar kelihatan di bawah cahaya lampu.
Terkejut juga Bwe Su-bong memandangnya dari jauh, pikirnya: "Adik perempuan Kim-yancu
mengapa secantik ini?"
Ke empat lelaki tadipun terkesima berhadapan dengan perempuan cantik itu sampai bernapas
saja setengah ditahan, bahkan orang-orang yang masih bersembunyi di tempat gelap juga
sama melotot.
Perempuan cantik itu memang betul Gin-hoa-nio adanya, dia mengerling genit, katanya
dengan tersenyum menggiurkan: "Kedatangan para Toako ini apakah hendak mencari
diriku?"
"Iya...." mestinya ke empat lelaki itu hendak mengucapkan kata-kata yang bengis, tapi aneh,
mulut terasa kering dan jantung berdetak keras, bukan saja tidak dapat memperlihatkan sikap
buas, bahkan kata-kata kasar juga sukar terucapkan.
306
"Jika kalian ingin mencari diriku, hayolah silahkan masuk dan minum dulu, mengapa berdiri
saja di luar, kalau masuk angin kan bisa berabe....." demikian ucap Gin-hoa-nio dengan suara
lembut sambil menggeliatkan pinggangnya yang ramping, senyumnya juga tambah genit.
Dia seperti nyonya rumah yang simpatik terhadap kunjungan tamunya dari jauh, seperti sama
sekali tidak tahu kedatangan orang-orang ini bermaksud membunuhnya.
Ke empat lelaki tadi menjadi melenggong bingung. Sesungguhnya mereka sudah cukup
berpengalaman, tapi terhadap nona jelita tanpa senjata ini mereka tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya.
Mendadak salah seorang di antara ke empat lelaki itu berkata dengan tertawa aneh: "Nyonya
rumah secantik ini mengundang kita minum, mana boleh kita kecewakan kehendaknya.
Biarlah aku "Oh-pa" (harimau tutul hitam) Cin Piao mencicipi dulu suguhannya"
Di tengah suara tertawa seram, seorang di antaranya yang berbaju hitam, berbadan tinggi
dengan gerak-gerik gesit segera melangkah maju. Langkahnya kelihatan sangat mantap,
namun tidak terdengar suara sedikitpun.
Dipandang dari jauh, orang itu seperti sangat gagah, tapi ketika mukanya tersorot cahaya
lampu, seketika orang terperanjat, orang tidur saja mungkin akan terjaga bangun.
Ternyata muka orang gagah itu hitam pekat, tulang pipinya menonjol, mukanya penuh codet,
bekas sayatan pisau, ketika tertawa mulutnya yang lebar tampak merah menganga seakanakan
sekali caplok lawan bisa diganyangnya mentah-mentah.
Gin-hoa-nio memandangnya tanpa gentar, ia malah tersenyum genit dan berkata: "Wah,
pahlawan gagah perkasa begini mana boleh minum teh saja, syukur di sini tersedia beberapa
botol arak simpanan, pahlawan dengan arak, begini barulah setimpal."
Cin Piao si macan tutul hitam terbahak-bahak.
Belum lagi dia bicara, seorang lagi sudah berteriak: "Keparat, perempuan ini memang
menarik, betapapun aku juga mau minum satu cawan"
Di tengah gelak tertawa masuk lagi tiga orang. Orang pertama tinggi besar dan gemuk,
mukanya penuh daging lebih. Orang kedua tinggi kurus, mukanya pucat seperti mayat,
hidungnya tinggal separuh, telinganya juga hilang satu.
Orang ketiga tampaknya tidak begitu buruk rupa, tapi jalannya yang abnormal, terincat-incut,
kedua tangannya juga terus gemetar, orang bisa muak melihat dia.
Kim-yan-cu saja hampir tumpah demi melihatnya dari jauh.
Bentuk ketiga orang itu dari kepala sampai ke kaki hakekatnya sukar dikatakan mirip
manusia. Namun Gin-hoa-nio tidak memperlihatkan rasa kurang senang, ia tetap tertawa
manis menyambut kedatangan ketiga orang itu, bahkan ia memberikan lirikan yang
menggiurkan kepada setiap orangnya sehingga membikin setiap orang itu berpikir seolah-olah
lirikan si cantik hanya ditujukan kepadanya saja.
307
Lelaki baju merah yang tinggi besar dengan muka penuh daging lebih itu terbahak-bahak,
teriaknya: "Busyet, sudah lama ku malang melintang kian kemari, tapi belum pernah aku
"Ang-hou" (harimau merah) Tio Kang melihat perempuan sexy begini, sungguh ingin sekali
ku caplok kau mentah-mentah"
Orang berbaju putih yang berjalan paling belakang terkekeh-kekeh, katanya: "Nona jangan
kaget, Hou-loji (si harimau kedua) memang suka omong kasar, tapi hatinya sangat baik....."
sembari bicara, tubuhnya terus menggigil tiada hentinya.
Ang-hou Tio Kang berkata dengan tertawa: "Betul, mukaku sih tidak setampan Pek-coalongkun
(si bagus ular putih), tapi hatiku lebih baik dari pada dia, bila kau digauli sekali
olehnya, sedikitnya tiga hari kau tak bisa bangun...."
Begitulah sambil bersenda-gurau beberapa orang itu terus melangkah masuk kamar seperti
masuk ke rumah sendiri, hakekatnya tidak gentar kalau-kalau si cantik menggunakan akal
licik terhadap mereka.
Hanya si baju kelabu yang hidungnya tinggal separuh itu tetap bersikap acuh tak acuh,
memandang sekejap saja tidak terhadap Gin-hoa-nio, seolah-olah sama sekali tidak berminat
terhadap perempuan.
Tapi ketika dia lalu di samping Gin-hoa-nio, sekonyong-konyong ia remas pantat Gin-hoa-nio
sehingga nona itu menjerit kesakitan. Tapi segera Gin-hoa-nio tertawa genit dan
membisikinya: "Tadinya kukira kau ini lelaki suci bersih, tak tahunya juga sama bangornya.
Anjing yang suka menggigit orang biasanya memang tidak menggonggong"
Tanpa menoleh, si baju kelabu berucap dengan ketus, "Serigala yang makan manusia biasanya
juga tidak menyalak."
"0ooo, kau serigala ?" tanya Gin-hoa-nio dengan tertawa.
"Ya, serigala kelabu." jawab orang itu.
Sesudah ke empat orang itu berada di dalam kamar, si Harimau merah Tio Kang lantas
menjatuhkan diri di tempat tidur, ia tarik selimut dan diendusnya lalu tertawa dan berkata,
"Haha, harum amat tubuh perempuan ini, sampai selimutnya juga ketularan wangi, sungguh
aku tidak tahan, ingin ku tindih mampus dia."
"Wah tampaknya Loji sudah lupa tujuan kedatangan kita ini !" omel si baju kelabu.
Gin-hoa-nio tertawa, katanya, "Apapun maksud tujuan kedatangan kalian ini, pokoknya
minum arak saja dahulu, kan tidak menjadi soal bukan ?" Segera ia menuang empat cawan
arak dan diaturkan kepada tetamunya.
Pek-coa-longkun terkekeh-kekeh, katanya, "Ai, tangan nona putih mulus begini, entah arak
yang kau suguhkan ini beracun atau tidak?"
308
Ang-hoa melompat bangun, ia tarik tangan Gin-hoa-nio dan di rabanya, katanya dengan
tertawa, "Arak suguhan dari tangan putih halus begini, sekalipun beracun juga akan
kuminum."
Benar juga, tanpa pikir ia angkat salah satu cawan arak itu terus ditenggaknya hingga habis.
Ob-pah melototi sang kawan, ia cukup licin, ia tunggu sebentar lagi dan melihat Ang-huo
sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan, bahkan si harimau merah itu bertambah
gembira. Maka tertawalah Oh-pah alias Macan Tutul hitam katanya, "Masa ada orang main
racun di depan kita ? ..... Hehe, kukira nona ini bukan orang bodoh!" Sambil bicara iapun
angkat satu cawan dan di minum habis.
Pada saat itulah, Bwe Su-bong yang mengintai di rumah seberang sana sedang tanya Kimyan-
cu dengan suara tertahan, "Kau kira arak itu beracun atau tidak ?"
"Mungkin tidak," jawab Kim-yan-cu, "Ai, seharusnya di berinya racun."
"Jika demikian pikiran nona, kukira kau keliru besar," ujar Bwe Su-bong dengan tersenyum.
"Menaruh racun di dalam arak terlalu mudah di ketahui lawan, tentu saja sangat berbahaya,
jelas adik perempuanmu tidak mau bertindak sebodoh itu."
"Memangnya dia mempunyai cara lain?" ujar Kim-yan-cu dengan gregetan.
"Menurut pandanganku, tindakan adikmu mungkin jauh lebih pintar dari pada nona sendiri
dan jauh lebih tinggi daripadaku." kata Bwe Su-bong. "Tampaknya urusan ini tidak perlu lagi
kita ikut campur."
Dalam pada itu terlihat Gin-hoa-nio sedang menyuguhkan arak ke depan Pek-coa-long-kun,
katanya, "Apakah kongcu tidak sudi minum arak suguhanku?"
Pek-coa-long-kun tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Tapi melulu minum arak saja kan kurang
menyenangkan, nona harus memberikan barang pengiring arak sekalian."
Gin-hoa-nio melirik genit, tanyanya, "Kongcu menghendaki barang pengiring arak apa ?"
"Sepanjang jalan kami mengikuti nona ke sini apa tujuan kami masakah nona tidak tahu ?"
kata Pek-coa -longkun dengan tertawa misterius.
"O, barang yang tidak manis juga tidak asin begitu masa dapat digunakan pengiring arak ?"
ucap Gin-hoa-nio dengan menggigit bibir.
"Meski barang-barang itu tidak manis, juga tidak asin tapi, asalkan ku lihatnya sekejap,
sedikitnya ku sanggup minum tiga cawan arak," ujar Pek-coa-long-kun. "Tapi entah nona sudi
memperlihatkan tidak kepada kami barang tersebut ?"
"Jika Kongcu menghendaki demikian, mana aku berani menolak," kata GIn-hoa-nio dengan
tertawa genit, Mendadak dia menyingkap kain sprei tempat tidur yang terletak di pojok kamar
sana.
309
Seketika pandangan semua orang terasa silau, sinar-sinar lampu seolah-olah menjadi suram
oleh cahaya gemerlapnya ratna mutu manikam. Seketika ke empat orang itu mendelik, tubuh
Pek-coa-longkun menggigil semakin keras.
Segera Ang-hou melompat maju, diraupnya segenggam batu permata itu, teriaknya dengan
gembira, "Sungguh tak kusangka begini gemuk kambing kita ini, setelah transaksi ini,
mungkin selanjutnya kita tidak perlu susah payah lagi dan dapat hidup tenteram sampai tua."
Pek-coa-longkun terkekeh-kekeh, katanya, "Cuma sayang, barang-barang ini kan milik nona
jelita ini, apakah orang sudi menyerahkannya kepada kita kan masih menjadi soal."
"Kita angkut saja dan habis perkara, perduli dia mau memberi atau tidak?! teriak Ang-hou.
"Kita kan orang sopan, segala sesuatu harus permisi dulu kepada yang empunya," ujar Pekcoa-
longkun dengan terkekeh-kekeh.
"Baik, biar kutanya dia, " teriak Ang-hou. "Eh, mestika ratu, boleh tidak ? Hahahaha, kita
bertanya padanya boleh atau tidak, Hahaha..."
Makin keras tertawanya dan makin geli rasanya, sampai-sampai ia memegangi perut dan
menungging.
Gin hoa nio tidak memberi reaksi-apa-apa, dengan tersenyum ia berkata: "Sebelumnya hamba
sudah tahu kalian akan kemari, maka sudah kusiapkan semua barang yang kalian inginkan
ini."
"Hahaha, memang sudah kukatakan kau ini perempuan cerdik," seru Ang hou sambil
bergelak.
"Bukan cuma batu permata ini saja akan kupersembahkan kepada kalian, bahkan masih ada
barang berharga lain juga akan kuserahkan kepadamu, entah kalian sudi menerima atau
tidak?"
Ang-hou mendelik, teriaknya: "Masih ada barang berharga lain lagi? Di mana? Lekas
perlihatkan kepadaku!"
Gin hoa nio mengerling genit, ucapnya dengan tersenyum: "Barang itu sudah berada di sini.
Coba kalian pikir, benda paling berharga apa yang terdapat pada diriku? Masa kalian tidak
dapat menerkanya?"
Ang-hou garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal dan berteriak-teriak: "Tak dapat kuterka,
aku tidak tahu, benda apa maksudmu?"
"Andaikan kalian tak dapat menerkanya, biarlah ku perlihatkan saja!" ujar Gin hoa nio dengan
lirikan mautnya.
Perlahan ia menarik baju tidurnya yang tipis itu sehingga merosot ke lantai, maka
tertampaklah dadanya yang menegak hanya tertutup oleh selapis kutang yang tipis remangremang,
tubuhnya yang montok dan pahanya yang mulus dengan warna kulit yang putih
bersih.....
310
Biji mata Su ok siu melotot seperti mata ikan emas yang akan melompat keluar dari rongga
matanya, napas mereka pun makin kasar dan akhirnya megap-megap, kalau semula ada tiga
bagian mereka masih menyerupai manusia, tapi sekarang hampir seluruhnya berubah menjadi
binatang yang buas dan kelaparan.
Biji leher Ang hou tampak naik turun, berulang kali ia menelan air liur, gumamnya kemudian:
"O, mestika ratuku, sungguh ini benar-benar mestika ratu nomor satu di dunia ini, jika ada
anak kura-kura yang bilang ini bukan mestika ratu, maka matanya pasti buta dan akan
kuhancurkan mulutnya."
Pek coa longkun juga tambah gemetar sehingga pinggangnya hampir patah, gumamnya
dengan tergagap-gagap: "Nona.... nona benar-benar .... benar-benar hendak memberikan
barangmu yang berharga ini kepada kami?"
Gin hoa nio bersuara aleman, ucapnya sambil tersenyum manis. "Pemuda mana yang tidak
birahi, gadis mana yang tidak gairah. Perempuan kalau sudah dewasa yang dikehendakinya
bukan lagi batu permata melainkan lelaki."
Tangannya yang menutupi dada itu perlahan-lahan mulai merosot ke bawah, lalu ucapnya
pula dengan suara yang menggetar sukma: "Tentunya para Kongcu dapat melihat sendiri, aku
tidak lagi anak kecil bukan?"
Ang hou tertawa dengan setengah menjerit, teriaknya: "Bilamana ada anak kura-kura yang
bilang kau masih anak kecil, seketika akan ku masukkan lagi dia ke perut biangnya."
Mendadak Oh pah Cin Piau berkata dengan bengis: "Perempuan cantik dan genit macam kau
ini kalau ingin cari lelaki, sekaligus satu keranjang juga dapat kau dapatkan, sebab apa kau
sengaja menghendaki kami? Sesungguhnya akal bulus apa yang telah kau atur?"
Gin hoa nio tertawa ngikik, katanya: "Meski kalian berempat tidak terhitung cakap, tapi
kalian adalah lelaki sejati, jantan cemerlang, hanya anak perempuan yang masih hijau saja
yang suka kepada lelaki sebangsa enak dipandang tak berguna dipakai. Aku justeru....." ia
lantas menunduk dan malu-malu kucing seperti gadis pingitan, lalu sambungnya dengan
tertawa genit: "Yang kusukai adalah lelaki jantan, jantannya lelaki."
"Plok", Ang hou berkeplok sambil berteriak: "Keparat, ucapanmu memang tepat, nyata
pandanganmu memang tajam, anak muda yang bermuka putih seperti pupuran itu mana becus
bekerja? Hahaha, cukup kau jepit dengan pahamu saja mungkin seketika keluar kuning
telurnya."
"Tapi.... tapi hamba pun mempunyai sesuatu kesukaran," tiba-tiba Gin hoa nio menghela
napas.
Ang hou jadi mendelik, tanyanya cepat: "Apa kesukaranmu?"
Gin hoa nio tidak lantas menjawab, ia mengerling mesra sekeliling kepada keempat orang itu,
lalu berkata dengan menyesal: "Soalnya begini, meski batu permata ini dapat dibagi menjadi
empat, tapi diriku hanya seorang saja...."
311
"Di antara kami berempat hanya aku saja yang belum berbini, sudah tentu kau mestika ratu ini
adalah milikku," teriak Ang hou.
Dengan menunduk Gin hoa nio berkata: "Tio-kongcu gagah perkasa, sudah tentu terhitung
lelaki tulen, bilamana kudapatkan suami seperti dirimu, apa pula yang kuharapkan lagi, hanya
saja...." sembari bicara, matanya diam-diam melirik Cin Piau, si macan tutul.
Benar saja, belum habis ucapannya, serentak Cin Piau berteriak: "Tio-loji, barang lain boleh
kuberikan padamu, tapi mestika ratu jelita ini adalah milikku Cin-lotoa."
"Lotoa (si tua)? Hehe, jika aku tidak mengalah, bisakah kau menjadi Lotoa?" jengek Tio
Kang alias Ang hou atau di harimau merah.
Cin Piau menjadi gusar, bentaknya: "Jadi kau tidak terima?"
"Terima? Berdasarkan apa aku mesti mengalah padamu?"
Gemerdep sinar mata Gin hoa nio, jelas dalam hati sangat senang, tapi di mulut ia berkata: "Eeh,
janganlah kalian bertengkar, apabila kalian bersaudara bertengkar lantaran diriku, wah,
entah bagaimana hamba harus menebus dosaku ini."
Pek coa longkun terkekeh-kekeh, katanya: "Ucapan nona ini memang tidak salah, jika kita
bersaudara bertengkar mengenai seorang perempuan, bukankah akan dibuat buah tertawaan
orang? Menurut pendapatku, mestika ratu ini akan menjadi milik siapa boleh ditanyakan
langsung kepada dia sendiri."
Si ular putih ini menganggap dirinya paling cakap dan menarik di antara mereka berempat,
jika sang "mestika ratu" disuruh memilih, jelas dirinya yang akan terpilih.
Tapi harimau merah, serigala kelabu dan macan tutul hitam juga mengira dirinya masingmasing
yang dipenujui Gin hoa nio, kalau tidak masakah lirikan si cantik yang membetot suka
itu selalu tertuju ke arahnya?
Baru habis ucapan si ular putih, serentak ketiga rekannya menyatakan setuju: "Ya cara ini
memang paling bagus dan adil!"
Ang hou lantas menyambung pula dengan tertawa: "Mestika sayang, jadilah kau Ong Po sun
dan Aku Sih Peng kui (Nama-nama peran dalam cerita roman kuno), pilihlah aku!?"
Gin hoa nio menunduk sambil menggigit bibir, seperti malu dan juga seperti serba salah.
Kerlingannya yang mesra justru mengusap kian kemari secara bergilir di antara ke empat
orang itu.
Oh pah Cin Piau bertepuk-tepuk dada dan berkata: "Siapa yang kau sukai, katakan saja terus
terang, tidak perlu takut!"
"Betul, jangan takut," tukas Ang hou. "Bila aku yang kau pilih, katakan saja, kalau ada anak
kura-kura yang berani mengganggu seujung rambutmu, lihat saja kalau tidak kugetok
kepalanya hingga gepeng."
312
Sembari bicara sebelah tangannya bertolak pinggang dan tangan yang lain memperlihatkan
ototnya yang kuat.
Begitulah ke empat orang itu sama yakin pasti dirinya yang akan dipilih Gin hoa nio.
Sungguh luar biasa. Memang tidak mudah bagi seorang perempuan untuk membuat setiap
lelaki sama merasa mabuk baginya, dalam hal ini Gin hoa nio harus diberi piala.
Menyaksikan kejadian itu dari kejauhan, berulang-ulang Bwe Su-bong juga mengurut dada,
sungguh mimpi pun dia tidak menyangka Kim yan cu mempunyai adik perempuan sehebat
itu, diam-diam ia pun membatin: "Untung usiaku sudah hampir 70, kalau tidak, bisa jadi
akupun akan terjun ke sana dan ikut ambil bagian....."
*****
Dalam pada itu, Gin hoa nio tampaknya masih ragu-ragu, biji matanya berputar-putar dan
tetap tak dapat mengambil keputusan, lama sekali barulah ia menghela napas dan berkata:
"Kalian semuanya adalah lelaki sejati dan ksatria terpuji, sungguh aku menjadi bingung, entah
siapa yang harus ku pilih. Setelah kupikir pergi-datang, kukira hanya ada satu cara untuk
menentukannya."
Cara bagaimana?" tanya ke empat orang itu serentak.
"Begini," tutur Gin hoa nio dengan senyum genit dan lirikan mautnya, "kalian kan tahu,
perempuan adalah kaum lemah, setiap perempuan tentu berharap akan mendapatkan suami
yang berilmu silat tinggi dan bertenaga kuat......"
Air muka si serigala kelabu yang licin dan licik itu seketika berubah, tapi Gin hoa nio tidak
memberi peluang baginya untuk bicara, cepat ia menyambung: "Tapi kalau kalian berempat
benar-benar saling berhantam sehingga ada yang cedera, tentu hatiku akan sedih."
Mendengar ini, air muka si serigala kelabu berubah menjadi tenang kembali.
Sebaliknya si harimau merah berkerut kening dan berkata: "Tapi kalau tidak saling gebrak,
cara bagaimana membedakan Kungfu siapa yang lebih unggul? Keparat, aku menjadi bingung
apa kehendakmu sesungguhnya."
Gin hoa nio tertawa manis, ucapnya pula: "Maka hamba cuma ingin kalian memperlihatkan
sejurus Kungfu masing-masing saja, aku yang melihat dan aku yang menilai, sebaliknya
takkan merusak persaudaraan kalian sekaligus juga ketahuan Kungfu siapa yang lebih
unggul."
"Aha, bagus," teriak Ang hou dengan tertawa. "Tak terduga, kepalamu yang kecil ini berisi
akal sebanyak ini."
Pada saat itulah Kim-yan-cu mengintip di seberang sana berkata pula kepada Bwe Su-bong:
"Entah akal apa yang sedang diaturnya sekarang?"
"Sudah tentu akal untuk memancing agar ke empat orang itu saling membunuh sendiri." ujar
Bwe Su-bong.
313
"Jika demikian, mengapa dia tidak berdaya agar mereka lekas saling bergebrak?" kata Kimyan-
cu.
"Di sinilah letak kecerdikan adikmu" ujar Bwe-Su-bong dengan tertawa. "Serigala kelabu itu
sudah mencurigai adikmu sedang main gila, jika saat ini juga adikmu menyuruh mereka
saling baku hantam, mungkin serigala kelabu itu akan segera berontak."
"Tapi kalau ke empat orang itu tidak saling gebrak, cara bagaimana pula bisa terjadi bunuh
membunuh?"
"Agaknya adikmu sudah tahu, meski ke empat orang itu bersaudara, tapi satu sama lain tidak
mau mengalah, tiada satupun mengakui kungfunya di bawah yang lain, maka akhirnya
mereka pasti akan saling hantam sendiri. Biarkan mereka baku hantam sendiri kan jauh lebih
baik daripada adikmu yang menyuruhnya?"
Kim-yam-cu menghela napas dan tidak bicara lagi.
Dalam pada itu terlihat si harimau merah sedang mengulet badan dengan kemalas-malasan
sehingga seluruh ruas tulang badannya sama berbunyi keriat-keriut, habis itu mendadak ia
meraung, sebelah tangannya terus menghantam sebuah bangku batu bulat disampingnya.
Bangku itu berbentuk bulat tengahnya kosong, tapi biarpun begitu, umpama orang biasa
memukulnya dengan palu besar juga tidak mungkin dapat menghancurkannya dengan sekali
hantam. Sekarang si harimau merah sekali hantam telah dapat membuat bangku batu itu
menjadi berkeping-keping.
Gin-hoa-nio berseru dengan tersenyum genit:
"Wah, hebat sekali kungfu Tio-kongcu, sungguh mimpipun tak terpikir olehku tenaga seorang
bisa begini besar dengan kepalan yang begitu keras"
Ang-hoa tertawa latah sambil melirik hina kesana dan ke sini, teriaknya:
Setelah kuperlihatkan kungfuku ini, kukira orang lain tidak perlu coba-coba lagi"
"Ya, kungfumu ini memang sukar dibandingi siapapun," ujar Gin-hoa-nio dengan senyuman
menggiurkan, namun matanya senantiasa melirik ke arah si macan tutul.
Cin-piau, si macan tutul hitam mendengus:
"Hm, tangan To-loji memang kuat untuk membelah kayu, tapi kalau digunakan untuk
bertempur jelas tiada gunanya.
Muka Ang-hou menjadi merah, teriaknya gemas: "Bedebah, tiada gunanya katamu?
Memangnya kau lebih kuat daripadaku?"
Oh-pah atau si macan tutul hitam mendengus, pelahan ia berduduk di bangku batu yang lain,
ia duduk dengan diam, sampai sekian lama tetap tidak bergerak.
314
"Hehe, kungfu macam apa yang kau perlihatkan? kungfu pantat barangkali? ejek si harimau
merah dengan tertawa.
Oh-pah tetap berduduk tanpa bergerak, jengeknya kemudian: "Seumpama otakmu bebal,
apakah matamu juga buta?"
Baru sekarang Ang-hoa mengamati-amati rekannya dan seketika ia tidak sanggup tertawa
lagi. Tiba-tiba dilihatnya bangku batu yang diduduki Oh-pah itu makin lama makin pendek,
bangku batu yang berat itu ada sebagian ambles ke dalam tanah.
Nyata, meski kelihatannya Oh-pah hanya berduduk tanpa bergerak, tapi sesungguhnya dia
sudah memperlihatkan Lwekangnya yang hebat.
Dengan tertawa genit Gi-hoa-nio berseru: "hih, Cin-lotoa memang tidak malu sebagai orang
pertama, jika bangku ini berujung lancip masih dapat dimengerti, tapi bangku ini berujung
rata, sekarang ada setengahnya tertanam ke dalam tanah, sungguh hebat tenaga dalamnya
betul tidak Kongcu-kongcu yang lain?"
Pek-coa-longkun tertawa terkekeh kekeh, ucapnya: "Betul, betul! beberapa bulan tidak
bertemu, tak tersangka kungfu Cin-lotoa sudah maju sepesat ini."
Oh-pah tertawa bangga, katanya: "Jika kungfuku tiada kemajuan, kan bisa di..." mendadak ia
berhenti tertawa, air mukanya juga berubah pucat.
Rupanya entah sejak kapan si serigala kelabu telah merunduk ke belakang Oh-pah dan
menyarangkan belatinya di punggung rekannya.
Keringat dingin tampak menghiasi dahi Oh-pah dengan suara gemetar ia berkata: "Losam,
ke... keji amat kau!"
Wajah si serigala tiada memperlihatkan sesuatu perasaan, ucapnya dengan dingin:
"Aku cuma ingin memberitahukan padamu bahwa Kungfu Tio-loji hanya cocok untuk dipakai
memotong kayu, sebaliknya kungfumu juga belum tentu ada gunanya.
Manusia adalah makhluk hidup, mungkinkah dia akan kau duduki sesukamu seperti bangku
yang kau tanamkan ke dalam tanah ini?"
Dengan pandangan yang licik ia melototi Gin-hoa-nio dan berkata pula dengan menyeringai:
"Kungfu yang paling berguna di dunia ini adalah kungfu yang dapat digunakan membunuh
orang betul tidak nona?"
Oh-pah meraung kalap, segera ia membalik tubuh dan bermaksud mencekik leher si serigala.
Namun si serigala sempat melompat mundur, belati juga dicabutnya sehingga darah lantas
mancur dari tubuh Oh-pah, belum lagi macam tutul hitam itu berdiri seketika ia jatuh
terguling ke lantai dan tidak mampu bangun pula.
Ang-hou meraung gusar: "Sekalipun Cin-lotoa bukan orang baik, jelek-jelek dia kan saudara
kita, mengapa kau membunuhnya?"
315
"Setelah ku bunuh dia, bukankah kau yang menjadi Lotoa?" jawab si serigala.
Ang-hoa mengelak, ia mendengus dan tidak bicara lagi.
Pek-coa-longkun terkekeh kekeh katanya: "Ucapan ... memang betul, kungfu apa segala,
semuanya palsu, hanya kungfu yang dapat membunuh orang adalah kungfu sejati. Kungfuku
membunuh orang tentunya juga tidak kurang hebat daripada kungfu si Lo-sam?"
Sambil bicara terus ia terus mengitar ke belakang Ang-hou, mendadak ia melolos belati terus
menikam. Kecepatan dan kegesitan serta kelihaiannya memang tidak di bawah Hwe-long atau
si serigala kelabu.
Tak tersangka, meski si harimau merah itu tampaknya gede dan bodoh, sesungguhnya dia
malah cukup cerdik. Baru saja si ular putih turun tangan, secepat itu pula dia membalik tubuh
dan balas menghantam.
Cuma sayang, badannya terlalu gede, meski tikaman si ular tidak mengenai tempat yang fatal
namun tetap mengenai bahunya, begitu keras tikaman itu sehingga belati itu ambles
seluruhnya ke dalam dagingnya. Begitu kuat tikaman itu sampai si ular sendiripun tak sempat
menahan diri.
Di tengah raungan keras Ang-hou terus pentang sebelah tangannya, seketika si ular kena
didekapnya di bawah ketiak, Anghou menyeringai: "He he, coba kemana lagi kau akan lari?"
Si ular ketakutan dan berteriak: "He, Tio-loji, lepaskan, ampuni aku!"
"Hatiku sih mau mengampuni kau, tapi sayang tanganku tidak boleh." jawab Ang-hou sambil
tertawa. ia perkeras dekapannya, terdengarlah suara "Krak-krek" beberapa kali tulang badan si
ular tergencet remuk, jeritan ngeri berubah menjadi rintihan. Sampai akhirnya suara
rintihanpun tidak terdengar lagi, barulah Ang-hou mengangkat tangannya dan Pek-coalongkun
terus jatuh terkapar seperti bangkai ular.
Diam-diam si serigala kelabu merasa ngeri, ucapnya kemudian dengan terkekeh: "Wih, hebat
benar tenaga Tio-loji." Ang-hou mencabut belati yang menancap di belakang bahunya, darah
segar kontan menyembur seperti air mancur, namun dia sama sekali tidak merasa sakit,
katanya terhadap Hwe-long sambil menyeringai: "Sekarang tinggal kau, apa kehendakmu?"
Jilid 13________
Gin-hoa-nio telah menyingkir ke samping, ia hanya menonton tanpa ikut bicara. Ia tahu api
sudah menyala dan tidak perlu diberi minyak lagi.
Dilihatnya Ang-hoa dan Hwe-long lagi saling melotot, sampai lama sekali keduanya tetap
diam saja.
Tiba-tiba Hwe-long mendekati meja, kursi ditariknya lalu duduk, katanya dengan tersenyum:
"Tio loji, mengapa tidak duduk saja dan marilah kita berbincang-bincang."
"Duduk ya duduk, orang lain takut kepada tipu muslihatmu, masa akupun takut kepadamu?"
kata Ang-hoa, segera iapun menarik kursi dan duduk.
316
Dengan tersenyum Hwe long berkata pula: "Sebuah meja boleh berpasangan dengan dua kursi
bukan?"
Ang-hoa tidak tahu untuk apakah lawannya bertanya tentang tetek bengek begitu, ia cuma
mengangguk dan menjawab singkat: "Betul!"
Hwe-long mengangkat poci dan menuang dua cangkir the, katanya pula dengan tertawa: "Dan
satu poci juga boleh berpasangan dengan dua cangkir, betul tidak?"
"Huh, omong kosong!" omel Ang-hou dengan gusar.
Dengan tertawa Hwe-long menyodorkan secangkir teh yang dituangnya itu dan berkata: "Jika
kita sama-sama dapat minum teh, untuk apa mesti berkelahi mati-matian?"
Lamat-lamat Gin-hoa-nio sudah dapat merasakan maksud tujuan ucapan si serigala kelabu,
diam-diam ia berkerut kening.
Didengarnya Ang-hou menjawab dengan aseran: "Sesungguhnya apa arti ucapanmu, aku
tidak paham!"
"Tentunya kau pernah membaca, dahulu ada dua ratu bersama mengawini seorang suami dan
kisah itu dijadikan cerita yang menarik. Sekarang kita berdua adalah saudara, mengapa kita
tidak boleh berkongsi mengawini seorang isteri?"
"Urusan lain boleh berkongsi, hanya isteri yang tidak boleh berkongsi," jawab Ang-hou
dengan gusar.
"Sabar, pertimbangkan dulu," kata Hwe-long." Musuh kita tidaklah sedikit, umpama aku kau
bunuh dan tersisa kau sendiri, apakah kau takkan kesepian dan kehilangan kawan? Apalagi
bila kita bergebrak sungguh-sungguh, siapa yang akan terbunuh kan juga masih suatu tanda
tanya, betul tidak?"
Lama juga Ang-hou melototi si serigala, tiba-tiba ia tertawa, katanya: "Betul juga, setengah
potong bini rasanya lebih baik daripada sama sekali tidak punya bini. Apalagi melihat
gairahnya yang menyala, sendirian belum tentu ku sanggup melayani dia." Ia angkat cangkir
dan berkata pula: "Saudaraku yang baik, usulmu sangat bagus, terimalah hormat satu cangkir
ini."
Gin-hoa-nio tertawa terkikit-kikik, ucapnya: "Usulnya memang bagus, setelah kau minum teh
ini, tentu kau akan tahu betapa bagus usulnya ini."
Berputar biji mata Ang-hou, cangkir teh yang sudah diangkatnya ditaruhnya lagi. Meski
sebodoh kerbau orang ini, betapapun sudah puluhan tahun dia berkecimpung di dunia
Kangouw, perbuatan baik mungkin dia tidak paham, tapi perbuatan busuk tidak sedikit yang
diketahuinya. Sambil masih memegangi cangkir teh itu, ia melototi Hwe-long dan berkata:
"Apakah di dalam air teh ini kau hendak main gila padaku?"
"Lo-ji, jangan kau sembarangan menuduh, kita adalah saudara sendiri, jangan mau diadu
domba orang," teriak Hwe-long.
317
Gin-hoa-nio tertawa dan berkata: "Jika demikian, boleh coba kau minum teh itu." Dengan
berlenggak-lenggok dia mendekati Ang-hou dan mengambil cangkir teh itu terus disodorkan
ke depan Hwe-long. Di luar tahu orang, ujung kukunya yang bercat merah itu seperti dicelup
perlahan ke dalam teh. Lalu ucapnya dengan tertawa genit: "Kau bilang air teh ini beracun,
jika kau tidak mau minum juga takkan kusalahkan kau."
"Kalau kau tidak berani minum teh itu, segera kugencet pecah kepalamu!" teriak Ang-hou
dengan gusar.
Air muka Hwe-long bertambah pucat, serunya: "Teh ini semula tidak beracun, tapi sekarang
telah kau racuni."
"Kau... kau bilang aku yang menaruh racun?" tanya Gin-hoa-nio dengan terbelalak.
"Ya, kau perempuan busuk ini !" teriak Hwe-long, berbareng ia lantas menjotos.
Namun Gin-hoa-nio keburu menyingkir dan bersembunyi di belakang Ang-hou.
Serentak Ang-hou juga melompat bangun sambil meraung: "Bangsat! Jelas-jelas kau yang
menaruh racunnya dan sekarang menuduh orang lain? Kau kira Locu ini babi goblok?"
Berbareng itu ia terus menubruk ke sana. Terdengar suara "blak-bluk " dua kali, kedua
kepalan Hwe-long dengan tepat menghantam tubuh ang-hou, tapi pukulan itu seperti
mengenai karung pasir, sama sekali si harimau merah tidak bergeming.
Keruan Hwe-long terkejut, segera ia hendak mencabut belati lagi, namun Ang-hou tidak
memberi kesempatan padanya, kontan ia balas menonjok perut Hwe-long.
Serigala kelabu yang kerempeng itu tidak tahan, ia menungging kesakitan. Menyusul Anghou
lantas menambahi sekali hantam di kepalanya, seketika kepala pecah dan otak
berantakan.
Kedua pukulan Ang-hou itu tidak pakai jurus silat segala, tapi pukulan umum, namun cukup
berguna. Barang siapa kalau bertangan kosong sebaiknya jangan berkelahi dengan orang gede
semacam Ang-hou ini, sebab dipukul dia tidak bergeming, sebaliknya kalau dia balas
memukul, maka celakalah kau.
Gin-hoa-nio kegirangan menyaksikan hasil pertarungan itu, ia berkeplok dan tertawa.
Ang-hou terus meludahi mayat Hwe-long dan mendamprat: "Huh, belum belajar tahan pukul
sudah ingin memukul orang, kan cari mampus sendiri!"
Gin-hoa-nio tertawa senang, katanya: "Betul kepandaian Tio-kongcu memukul orang
tergolong hebat. Kungfumu tahan pukul terlebih tiada bandingannya. Tapi... tapi barusan
apakah keparat ini benar-benar tidak melukaimu?"
Dengan membusungkan dada Ang-hou berkata dengan tertawa: "Kedua cakarnya seperti
menggaruk gatal badanku, tidak percaya boleh kau periksa sendiri."
318
Benar-benar Gin-hoa-nio mendekati Ang-hou, ucapnya dengan suara lembut: "Tapi bahumu
masih mengucurkan darah...." Dengan kuku jarinya yang merah ia menggelitik perlahan di
bahu Ang-hou yang dilukai si ular putih tadi dan bertanya perlahan: "Sakit tidak?"
"Tidak," jawab Ang-hou dengan tertawa, "tapi rasanya menjadi geli karena digelitik kau."
Sambil bergelak tertawa sehingga tubuhnya yang penuh daging lebih itu berguncang-guncang,
berbareng ia terus merangkul pinggang Gin-hoa-nio.
Tapi Gin-hoa-nio lantas menyelinap ke samping dengan tertawa genit, ucapnya sambil
tertawa terkikik-kikik. "Bila kau dapat menangkap diriku barulah aku menyerah padamu!"
Begitulah ia lantas lari di depan dan dikejar Ang-hou dengan napas terengah-engah. Gerakan
Gin-hoa-nio sangat enteng dan gesit, jangankan menangkapnya, meraih ujung bajunya saja
tidak mampu dilakukan Ang-hou.
Sampai akhirnya Ang-hou sendiri tidak tahan, ia megap-megap sambil memegang tepi meja,
namun begitu ia masih cengar-cengir dan berseru: "O, mestikaku, kemarilah biar kupeluk
cium kau."
Gin-hoa-nio memandangnya dengan tertawa, tiba-tiba ia menggeleng dan menghela napas
gegetun, katanya: "Ai, kau ini... jelas kau ini seekor babi goblok, mengapa kau tidak mau
mengaku?"
Ang-hou melengak, tanyanya kemudian dengan melotot: "Ap.... Apa maksudmu?"
"Baru saja ku taruh racun pada lukamu, racun yang membinasakan bila masuk ke darah.
Kadar racun yang ku taruh itu cukup untuk membunuh sepuluh ekor babi gemuk," tutur Ginhoa-
nio dengan suara halus. "Jika kau tidak bergerak mungkin akan hidup lebih lama
beberapa jam, sekarang kau telah berlari-lari, racun sudah mengalir masuk darahmu dan
menyebar di seluruh tubuhmu, bila kau gunakan tenaga sedikit seketika jiwamu bisa
melayang."
Mendadak Ang hou meraung murka, dengan segenap sisa tenaganya, ia menubruk maju,
terdengarlah suara gemuruh, meja ditumbuknya hingga hancur berantakan dan tertindih oleh
tubuhnya yang gede.
Gin hoa nio menghela napas, katanya: "Dengan maksud baik sudah ku peringatkan, mengapa
kau tidak mau percaya padaku?"
Lalu ia mengitari meja dan menuju ke ambang pintu, sambil bersandar di depan pintu ia
berseru dan tersenyum menggiurkan: "Di dalam rumah ada empat orang mati, maukah para
Toako membantuku menggotongnya keluar?"
Sejak tadi anak buah Su ok siu menunggu di luar dengan gelisah, namun disiplin Su ok siu
sangat keras, tanpa diperintah, siapa pun tidak berani meninggalkan tempatnya. Mereka cuma
mendengar suara kacau di dalam rumah dan tidak tahu apa yang terjadi, setelah mereka
dipanggil Gin hoa nio barulah mereka berkerumun maju, mereka jadi melongo kaget setelah
melihat keadaan di dalam rumah.
319
Dengan suara halus Gin hoa nio berkata kepada mereka: "Ku tahu perasaan kalian. Melihat
majikan kalian dibunuh orang, takkan kusalahkan kalian bila kalian ingin menuntut balas bagi
mereka."
Melihat Gin hoa nio bersikap tenang dan tertawa riang, bajunya sedikit pun tidak terkoyak
apalagi robek, sebaliknya majikan yang mereka puja seperti malaikat dewata itu semuanya
terkapar seperti anjing mampus, jelas perempuan ini tidak cuma sangat cantik, tapi pasti juga
sangat lihai. Belasan orang ini mana berani lagi bicara tentang menuntut balas, serentak
mereka membalik tubuh dan lari terbirit-birit, hanya sekejap saja sudah hilang tanpa bekas.
"Ai, jaman ini tampaknya kaum penjahat juga kecil hatinya," gumam Gin hoa nio dengan
menghela napas.
*****
Apa yang terjadi, semua itu dapat diikuti Kim yan cu dan Bwe Su-bong dengan jelas, mereka
sama melenggong.
Dengan tersenyum getir Bwe Su bong berkata: "Betapa lihai adik perempuanmu, hakekatnya
dapat disejajarkan dengan kelihaiannya Hay hong hujin di masa dahulu. Memang sudah
kuduga orang lain tidak perlu turun tangan, adikmu sendiri pasti sanggup membereskan
mereka."
Kim yan cu tidak menanggapi, diam-diam ia pun merasa getir.
"Sekarang bolehlah nona turun ke sana dan aku pun akan pulang," kata Bwe Su bong.
"Kau.... kau tidak turun dan berduduk dulu?" tanya Kim yan cu.
"Biarpun aku sudah kakek-kakek, tapi tetap lelaki, maka lebih baik tidak berjumpa dengan
adikmu..." belum habis ucapannya dia sudah melayang jauh ke sana.
Kim yan cu menghela napas panjang, dilihatnya Gin hoa nio sedang bersandar pula di pintu
dan berkata sambil menengadah ke arahnya: "Tak tersangka di atas loteng juga ada tamu,
maaf jika sambutanku kurang baik."
Tidak tahan lagi Kim Yan cu, mendadak ia melayang turun ke depan Gin hoa nio.
Baru saja Gin hoa nio melengak setelah tahu siapa gerangannya, tahu-tahu mukanya sudah
tertampar dua kali. Cukup keras gamparan itu sehingga Gin hoa nio jatuh ke dalam rumah
sambil berteriak: "He, Toaci.... kau...."
Kim yan cu merasa pukulannya tidak cukup keras, dengan gemas ia mendengus: "Hm, tidak
perlu lagi kau panggil Toaci padaku, mana ku berharga menjadi Toacimu? Jiwa manusia
bagimu tidak lebih seperti semut, bilamana kau mau, bisa jadi aku pun akan kau bunuh."
Gin hoa nio merabai mukanya yang digampar itu, mendadak ia menangis.
"Dengan mudah sekali kau bunuh empat orang ini, seharusnya kau bergembira, apa yang kau
tangisi?" damprat Kim yan cu dengan gusar.
320
"Apakah Toaci mengira aku sangat senang setelah membunuh orang?" seru Gin hoa nio
dengan menangis sedih. "Toaci, jika kau menyaksikan tingkah laku mereka tadi, tentu kau
akan paham bagaimana jadinya jika aku tidak berdaya membinasakan mereka."
Dengan menangis ia menubruk ke bawah kaki Kim yan cu dan berkata pula: "Toaci, kau mau
memukul aku, mau memaki, semua ini bukan soal bagiku, tapi kalau kau tidak mengakui adik
lagi padaku, biarlah sekarang juga ku mati di depanmu."
Setelah memukul dan mendamprat, rasa gusar Kim yan cu sudah hilang sebagian besar,
sekarang mendengar ucapan Gin hoa nio yang mengibakan hati ini, akhirnya ia pun
mengucurkan air mata dan mengomel pula: "Biarpun kau terpaksa, seharusnya tidak boleh
sekeji itu!"
"Ya, Toaci, ku tahu kesalahanku," jawab Gin hoa nio dengan suara gemetar. "Soalnya sejak
kecil aku sudah kenyang dianiaya orang, yang kulihat setiap hari adalah orang-orang yang
kejam, aku.... aku menjadi takut, maka caraku turun tangan menjadi agak kejam." Sembari
menangis ia terus merangkul kaki Kim yan cu dan meratap pula: "O, Toaci, jika kau datang
lebih cepat tentu mereka tidak berani mengganggu diriku dan aku pun takkan bertindak
demikian."
Hati Kim yan cu terharu pula, ia menghela napas dan berkata: "Betul juga, aku pun salah,
seharusnya sejak tadi-tadi ku datang kemari."
Dasar hatinya memang polos, ia merasa kejadian ini tidak dapat menyalahkan orang lain, tapi
dirinya ikut bertanggung jawab. Bicara punya bicara, akhirnya ia merangkul Gin hoa nio dan
menangislah keduanya.
Meski lahirnya Gin hoa nio menangis tergerung-gerung, tapi di dalam hati sebenarnya lagi
tertawa.
*****
Sekarang ia telah menemukan suatu kenyataan yakni asalkan sifat seseorang dapat kau raba
dengan jitu, bukan saja lelaki mudah dihadapi, bahkan perempuan juga tidak sulit dilayani,
lebih-lebih perangai anak perempuan seperti Kim yan cu ini.
Dunia Kangouw memang kejam dan berbahaya, tapi juga adil, asalkan manusia yang punya
kemahiran tentu akan menanjak ke atas dan kehidupannya seketika juga akan berubah gilang
gemilang. Cuma saja, ada kehidupan sementara orang yang meski gilang gemilang, tapi
terlalu singkat, seperti meteor saja, hanya sekelebat, lalu lenyap.
Selama beratus tahun sejarah Kangouw entah sudah berapa banyak pahlawan yang baik
bintangnya untuk kemudian lantas tenggelam pula. Tapi di antaranya bukan tiada yang tetap
berdiri tegak tanpa jatuh.
Ada sementara orang, meski orangnya sudah mati, tapi keturunannya, anak cucunya, masih
dapat mempertahankan suatu kekuatan yang tidak pernah runtuh di dunia kangouw, dengan
demikian selamanya juga lantas tetap berjaya dan abadi.
321
Selama 300 tahun ini, kekuatan yang tetap berdiri tegak tanpa ambruk itu, selain Siau-lim pay,
Bu tong pay, dan aliran-aliran besar yang mempunyai sejarah gilang gemilang ini, masih ada
juga keluarga persilatan ternama dan berpengaruh. Keluarga persilatan ini ada sebagian yang
tetap berjaya karena pengorbanan leluhurnya bagi kepentingan dunia persilatan di masa lalu
sehingga mendapat penghormatan dari kaum pahlawan dunia Kangouw, tapi kebanyakan
adalah karena mereka memang mempunyai Kungfu yang istimewa dan sukar ditandingi,
sebab itulah sejarah mereka bisa tetap hidup abadi sepanjang masa.
Di antara keluarga persilatan itu misalnya terdapat keluarga "Thio Kan-cay" di kota-raja yang
terkenal dengan ilmu pertabibannya. Ada keluarga "Pi-lik-tong" di Kanglam yang termasyhur
karena ahli membuat senjata api. Ada keluarga Lam-kiong dengan ilmu pukulannya yang
hebat, ada keluarga "Thian-hi-tong" yang disegani karena kemahirannya menyelam di dalam
air, ada pula keluarga Pang di Holam yang merajai dunia persilatan di wilayahnya karena
permainan Toan bun to yang lihay.
Dan di antara keluarga-keluarga persilatan yang turun temurun itu, yang paling berkesan dan
diketahui setiap orang persilatan kiranya harus ditonjolkan keluarga Tong dari Sujwan yang
termasyhur karena Am-gi atau senjata rahasia yang tiada bandingannya selama ini.
Tong keh ceng atau perkampungan keluarga Tong itu terletak di kaki gunung di luar kota
Cung king, propinsi Sujwan.
Setelah mengalami perbaikan dan perluasan di sana-sini selama berabad-abad, dari
perumahan sederhana dua deret kini telah meluas menjadi sebuah perkampungan yang megah
dan sudah menyerupai sebuah kota kecil.
Ini terbukti bilamana orang masuk pintu gerbang yang tiap tahun dicat satu kali itu, maka
segala keperluan, dari sandang, pangan sampai tempat tinggal dan sarana lain, sekolahan,
hiburan, sampai urusan nikah dan kematian, setiap barang keperluan dapat diperoleh di sini
dan tidak perlu berbelanja ke luar.
Hakekatnya, restoran Sujwan yang paling terkemuka, toko cita yang paling mentereng, toko
barang kosmetik yang mutakhir, semuanya terdapat di perkampungan ini.
Dengan sendirinya anak murid keluarga Tong masing-masing juga mempunyai kepandaian
sendiri-sendiri, mereka dapat mencari nafkah menurut kemahirannya sendiri-sendiri, lalu
dibelanjakan pula kepada toko-toko itu sehingga terjadilah sirkulasi perekonomian yang
makmur di perkampungan ini. Bila mereka ingin menikmati kehidupan yang tinggi, cukup
asalkan mereka berusaha mencari laba segiatnya, dengan dana dan tenaga yang hanya beredar
di lingkungan perkampungan mereka saja, dengan sendirinya makin lama Tong keh ceng
bertambah besar dan kuat.
Sampai Gin hoa nio sendiri, begitu memasuki pintu gerbang perkampungan Tong ini seketika
ia terkesima dan hampir tidak percaya kepada apa yang dilihatnya.
Dia pernah datang ke Tong keh ceng ini, tapi hanya memandangnya dari luar, sama sekali
tidak terbayangkan olehnya bahwa antara luar dan dalam Tong keh ceng terdapat perbedaan
sebanyak ini.
322
Kalau dipandang dari luar, pintu gerbangnya bercat hitam dengan pagar balok kayu sebesar
dahan pohon, panji terkerek tinggi di tiangnya, keadaan demikian tiada bedanya dengan
perkampungan persilatan lain, hanya formatnya saja yang lebih besaran.
Tapi setibanya di dalam pintu gerbang perkampungan, tiba-tiba ia melihat di dalam
perkampungan ini ada sebuah jalan raya, sebuah jalan balok batu yang rajin dan lurus, di
kedua tepi jalan terdapat aneka macam toko, cukup ramai toko-toko itu dikunjungi pembeli,
cuma saja toko-toko itu tidak pasang merek dagang.
Sungguh mimpipun tak terpikir olehnya bahwa keadaan yang demikian ini akan dilihatnya di
dalam suatu "perkampungan", yang lebih mengherankan lagi adalah di dalam perkampungan
keluarga persilatan yang termasyhur ini sama sekali tiada terdapat penjagaan dan tanda-tanda
siap siaga. Sungguh aneh.
Ketika kuda mereka sampai di depan pintu gerbang, Kim yan cu hanya memberitahukan
sekedarnya namanya, lalu mereka disilahkan masuk. Sedangkan penjaga pintu gerbang itu
pun cuma dua kakek reyot.
Gin hoa nio menghela napas panjang, saking tak tahan ia coba bertanya dengan suara
tertahan: "Apakah benar inilah satu-satunya Tong keh ceng yang termasyhur itu?"
"Memangnya kau tidak percaya?" tanya Kim yan cu dengan tertawa.
"Bukannya aku tidak percaya, aku cuma merasa bingung," kata Gin hoa nio dengan gegetun.
Di jalan raya itu banyak juga orang berlalu lalang, sudah barang tentu kedatangan Kim yan cu
dan Gin hoa nio menarik perhatian mereka, tapi mereka pun cuma memandang sekejap saja
dan tiada seorang pun yang mendekat dan menegur mereka.
Kembali Gin hoa nio bertanya: "Orang Kangouw suka bilang Siau lim si, Bu tong san dan
Tong keh ceng adalah tempat-tempat terlarang di dunia persilatan dan jangan harap akan
dapat memasukinya, andaikan dapat masuk, maka jangan mengharapkan akan dapat keluar
dengan hidup. Tapi melihat gelagatnya sekarang, tampaknya seperti setiap orang boleh masuk
dan keluar lagi dengan bebas."
Kim yan cu tersenyum tak acuh, katanya: "Soalnya lantaran kau datang bersamaku."
"O, jika aku datang sendiri pasti tidak dapat menerobos masuk?" tanya Gin hoa nio.
"Masuk sih tidak sulit, tapi keluar lagi tubuhmu akan membujur," jawab Kim yan cu dengan
tertawa. Lalu ia menyambung pula: "Coba kau lihat orang-orang yang berlalu, semuanya
kelihatan ramah tamah bukan? Tapi salahlah jika kau pikir demikian. Sebab sedikit kau
perlihatkan sesuatu yang tidak beres, dari lengan baju setiap orang itu bisa melayang keluar
sesuatu benda untuk mencabut nyawamu."
Diam-diam Gin hoa nio merasa ngeri, tapi di mulut ia menanggapi dengan tertawa: "Tapi kita
sudah masuk ke sini, mengapa tiada seorang pun yang melaporkan dan memberi petunjuk
jalan?"
323
"Darimana kau tahu mereka tiada yang melaporkan kedatangan kita?" tanya Kim yan cu.
"Hanya caranya mereka melapor itu saja tidak diketahui orang luar. Jika tidak percaya, boleh
kau lihat sebentar lagi, segera ada orang keluar menyambut."
"Cujin (majikan, pemilik) perkampungan ini...."
"Maksudmu Bu Siang Lojin? Beliau berdiam di gedung belakang perkampungan sana, tinggal
bersama anak-anaknya. Mungkin kau mengira setiap orang juga dapat menerobos masuk dari
pintu gerbang hingga ke tempat tinggalnya, orang itu sedikitnya harus punya sayap dan
mempunyai beberapa kepala."
Gin hoa nio menghela napas, gumamnya: "Jika dia terus menerus berdiam di tempat aman
begini, pantaslah kalau nyalinya makin lama makin kecil."
"Darimana kau tahu nyali beliau makin lama makin kecil?" tanya Kim yan cu sambil berkerut
kening.
Gin hoa nio melengak, cepat ia menjawab: "Ah, aku cuma mendengar orang bercerita
demikian."
Mestinya Kim yan cu ingin tanya pula, tapi dari ujung jalan sana sudah muncul beberapa
perempuan menyongsong kedatangan mereka. Perempuan itu semuanya memakai gaun
berwiru banyak, jalannya berlenggang, mungkin itulah gaya berjalan "macan luwah" atau
harimau lapar.
Salah seorang perempuan itu, seorang nyonya berbaju putih dan berperawakan semampai,
dari jauh lantas berseru kepada Kim yan cu: "Sam-ya thaucu (budak ketiga), kenapa baru
sekarang kau kemari, sungguh Cici telah lama merindukan kau."
*****
Tidak lama kemudian Gin hoa nio lantas tahu bahwa perempuan semampai dan bernas ini
dengan wajah bulat telur dan sedikit berjerawat ini bernama Tong Ki, puteri tertua, anak
kedua Tong Bu-siang. Dia inilah yang memegang kekuasaan rumah tangga di perkampungan
Tong ini.
Kemudian dari Kim yan cu juga diketahui Gin hoa nio bahwa Tong ji-kohnaynay (bibi kedua
keluarga Tong) ini memang bernasib malang, meski mukanya tidak jelek, pintar mengurus
rumah tangga pula, tapi sudah dua kali bertunangan, belum lagi menikah, dua kali pula bakal
suaminya meninggal dunia.
Sebab itulah, di belakangnya orang suka bilang mungkin lantaran Tong ji-kohnaynay terlalu
pintar mengurus rumah tangga, tapi membawa sial bagi suami.
Mungkin Tong ji-kohnaynay mendengar desas-desus ini, saking gusarnya ia lantas bersumpah
di depan abu leluhur bahwa selama hidup dia tidak mau menikah.
Dan sekarang Tong ji-kohnaynay inilah menyambut kedatangan Kim yan cu dengan gembira,
ia pun banyak memberi pujian kepada kecantikan "adik baru" Kim yan cu.
324
Mungkin sudah menjadi sifatnya yang khas, tangan Tong jikohnaynay selalu membawa
sepotong handuk kecil, sepanjang jalan bila melihat ada gulungan kertas tercecer atau kulit
buah terbuang, segera dijemputnya dan dibungkus dengan handuknya.
Melihat itu baru Gin hoa nio tahu apa sebabnya Tong keh ceng sedemikian rapi dan bersih.
Diam-diam ia pun mentertawai Tong jikohnaynay kita ini, untung nona ini tidak menikah,
kalau tidak, bisa jadi suaminya akan repot mempunyai isteri begini.
Di antara perempuan-perempuan yang mendampingi Tong Ki, tapi hanya tersenyum dan tidak
bersuara, ialah menantu perempuan tertua Tong Bu-siang, isteri Tong Jan, namanya Li Pweling.
Nyonya menantu ini bermuka bundar, matanya juga bundar, pergelangan tangannya juga bulat
seperti lontong. Potongan nyonya menantu inilah model menantu bijaksana dan membawa
rejeki.
Sedangkan adik Tong Ki, namanya Tong Lin, adalah gadis yang lemah tidak tahan angin.
Matanya yang besar kelam itu seolah-olah orang yang selalu menanggung susah.
Gin hoa nio tahu ketiga perempuan inilah orang penting di Tong keh ceng, selebihnya tidak
perlu diperhatikannya.
Setelah melintasi jalan raya dan melalui sebuah jalan berkerikil, tiba-tiba membentang
sebidang hutan di depan sana, di balik pepohonan terdapat pagar tembok bercat merah dengan
genteng warna hijau, disitulah tempat Bu-siang Lojin menikmati kehidupan bahagia di hari
tuanya.
Sementara itu, Tong jikohnaynay telah membuang handuk kecil yang penuh membungkus
sampah jemputannya tadi dan dibuang ke keranjang sampah, lalu mencuci tangan pada sungai
kecil yang melingkari pagar tembok, kemudian ia berkata dengan tertawa: "Loyacu (tuan tua)
sedang tidur siang, kukira kalian tidak perlu menjumpai beliau, boleh langsung ke tempat
Toa-so (kakak ipar, isteri kakak) saja, ku tahu di tempatnya ada dua botol Bi kwi lo (arak
mawar), biarlah kita gasak saja."
"Wah, dasar tukang gasak, orang menyimpan dua botol arak saja selalu kau incar," demikian
Li Pwe-ling berseloroh.
Tong Ki, Tong jikohnaynay tertawa, ucapnya: "Terus terang, memang sudah lama ku incar
kedua botol araknya, sekarang mumpung ada tamu, harus kugunakan kesempatan ini untuk
menyikatnya, kalau tidak, bila Toako pulang nanti, mungkin berikut botolnya akan dia lalap
sama sekali."
Kim yan cu tertawa terpingkal-pingkal, Gin hoa nio juga ikut tertawa.
Diam-diam ia pun heran mengapa nona-nona keluarga Tong di Sujwan ini mahir bicara
dengan logat Pakkhia, tapi kemudian diketahuinya bahwa isteri Tong Bu-siang justeru adalah
puteri keluarga ternama dari kota raja.
Pendek kata, sejak masuk pintu gerbang perkampungan Tong, segenap panca indera Gin hoa
nio tidak pernah menganggur, mata telinga dan mulut terus bekerja. Matanya tidak
325
menyampingkan sesuatu benda yang dilihatnya, telinga juga tidak pernah lalai terhadap
sesuatu berita yang dapat didengarnya, malahan mulutnya terus menerus memuji dan
menyanjung.
Meski semuanya itu tujuannya cuma satu, yakni ingin mencari kabar, akan tetapi betapa pun
dia berusaha, kabar yang ingin didengarnya tetap sukar didapat. Yakni mengenai diri Jikongcu
atau putera kedua keluarga Tong, kekasih Kim hoa nio, Tong Giok, kemana perginya?
Bahwa dia berusaha mati-matian memikat Kim yan cu dan rela diakui sebagai adiknya,
harapannya justeru ingin dibawa Kim yan cu ke Tong keh ceng untuk mencari tahu
bagaimana keadaan Tong Giok.
Hanya dua hari saja Gin hoa nio sudah dapat bergaul dengan erat bersama beberapa nona
keluarga Tong. Dari peti benda mestika dikeluarkannya beberapa bentuk permata yang paling
bagus untuk diberikan kepada Tong Ki, Tong Lin dan Li Pwe-ling, dipilihnya pula beberapa
perhiasan lain yang tidak begitu indah, namun juga cukup berharga dan dibagi-bagikannya
kepada setiap nona, setiap menantu keluarga Tong yang ditemuinya.
Sebab itulah, setiap orang yang pernah bertemu dengan dia, di depan maupun di belakang,
semuanya sama memuji betapa baik hati "adik baru" Kim yan cu yang cantik ini.
Dalam pada itu ia pun sudah bertemu dengan Tong Bu-siang, ia tahu orang tua ini belum tentu
dapat mengenalnya.
Maklumlah, kebanyakan orang yang sudah pernah melihat "Khing hoa samniocu", kalau tidak
melenggong kaget tentu juga terkesima oleh dandanan mereka yang aneh-aneh atau bisa juga
melongo lupa daratan melihat tari bugil mereka, jarang ada yang teringat lagi kepada wajah
mereka.
Begitulah, hampir setiap anggota keluarga Tong telah dilihatnya di perkampungan ini, hanya
Tong Giok saja yang tidak ditemuinya. Bahkan di Tong keh ceng ini hakekatnya tiada orang
lagi berbicara mengenai Ji kongcu yang romantis itu.
Sudah hampir setiap pelosok Tong keh ceng telah didatanginya terkecuali sebuah gua yang
terletak di lereng bukit belakang perkampungan, setiap kali dia berpura-pura menyelonong ke
sana secara tidak sengaja, setiap kali pula dia dihadang orang dari jauh.
Akhirnya diketahuinya bahwa gua itulah rupanya tempat pembuatan Am-gi atau senjata
rahasia keluarga Tong yang termasyhur itu, tempat itu terlarang dikunjungi orang yang tidak
berkepentingan.
Malam ini, Tong toaso bergilir pula menjadi nyonya rumah, dengan sendirinya kedua botol Bi
kwi lo yang diincar Tong Ki dahulu itu sudah habis terminum, tapi arak enak yang masih
tersedia juga lumayan. Sebenarnya arak bukan minuman yang cocok bagi kaum wanita, tapi
sifat para nona keluarga Tong ini ternyata tidak kalah daripada lelaki, meski makan sayur
sedikit-sedikit, tapi minum arak justeru banyak-banyak.
Cahaya bulan malam ini sangat terang, terendus pula bau harum bunga Kwi di halaman sana,
setelah menenggak arak, ucapan Tong Ki semakin banyak, bahkan Li Pwe-ling yang biasanya
326
jarang bicara kini juga banyak omongnya. Pertemuan di antara kenalan lama, mereka dan Kim
yan cu seakan-akan tidak pernah kehabisan bahan bicara.
Hanya Gin hoa nio saja yang tidak banyak minum arak, pertama dia merasa tiada artinya
minum arak bersama kaum perempuan. Kedua, ia pikir dirinya harus tetap dalam keadaan
sadar. Kedatangannya ini bukan untuk minum arak saja.
Tong Lin juga tidak banyak minum arak, matanya yang besar dan kelam itu seolah-olah
menanggung kesedihan yang semakin berat, tampaknya dia selalu bermalas-malasan, berbuat
apa pun kurang semangat.
Aneh juga, nona cilik yang belum pernah ke luar rumah ini sebenarnya menanggung pikiran
apa.
Tiba-tiba Tong Ki melototi Kim yan cu dan bertanya: "He, Sam-ya-thau, tahun ini berapa
umurmu?"
Kim yan cu tertawa, jawabnya: "Untuk apa kau tanya urusan ini? Memangnya ingin pacaran
denganku? Cuma sayang kau bukan lelaki, kalau tidak aku ingin menjadi istrimu."
Tong Ki menenggak araknya, lalu berkata pula: "Kau tahu, kau lahir bulan tiga, tahun ini
sudah lebih 20, betul tidak?"
"Ehmm..," Kim yan cu bersuara samar-samar.
"Nona berumur likuran belum lagi kawin, kukira ini rada berbahaya," kata Tong Ki.
Muka Kim yan cu menjadi merah, omelnya: "Kau tidak gelisah bagi dirimu sendiri, mengapa
malah kuatir bagi diriku?"
Kembali Tong Ki minum araknya, ucapnya dengan menghela napas: "Selama hidupku ini
jelas tidak akan menikah, tapi kau.... kau tidak boleh, perempuan harus menikah, bila kau
berumur sebaya diriku baru kau akan tahu betapa susahnya kesepian."
Tanpa terasa pandangan Kim yan cu menjadi suram, tapi ia berucap dengan tersenyum: "Eh,
koh-naynay kita hari ini bisa juga bicara setulusnya."
Sambil memegang cawan araknya Tong Ki berkata pula dengan rawan: "Untuk apa ku purapura
di depan kalian? memangnya aku dilahirkan untuk tidak menikah? Tapi sekarang.... kau
kira aku mesti menikah dengan siapa...? Yang tinggi tidak sudi padaku, yang rendah aku
emoh..." dia angkat cawan araknya dan menenggaknya pula.
"Bicara sesungguhnya, Sam-moay, sampai sekarang apakah kau belum punya pacar?" tanya
Li Pwe-ling dengan tertawa. "Bukankah Sinto Kongcu itu....."
"Jangan kau sebut dia lagi, bila menyebut namanya, arak saja tak dapat kuminum," seru Kim
yan cu.
"Aneh, mengapa mendadak kau benci padanya, jangan-jangan kau sudah punya yang lain?"
kata Li Pwe-ling.
327
Muka Kim yan cu menjadi merah, jawabnya dengan tertawa: "Huh, mana ada?"
"Aha, tahulah aku," seru Tong Ki mendadak. "Caramu bicara ini mana bisa menipu orang?
Hayolah, siapa, lekas katakan. Lekas mengaku terus terang, kalau tidak pasti tidak kuampuni
kau."
Habis berkata segera dia hendak menggelitik pinggang Kim yan cu. Dengan tertawa Kim yan
cu mengelak dan sembunyi di belakang Tong Lin, ucapnya dengan tertawa: "Usia Simoay
juga tidak kecil lagi, mengapa kalian tidak tanya dia apakah sudah punya pacar atau belum?"
Mendadak Tong Lin berdiri, ucapnya dengan hambar: "Aku tidak ada urusan dengan mereka,
jangan kalian ikut campurkan diriku."
Sembari bicara ia terus melangkah keluar tanpa berpaling.
Kim yan cu jadi melengak: "He, Simoay marah!" serunya.
"Jangan urus dia," kata Tong Ki. "Akhir-akhir ini tampaknya budak ini seperti kesurupan
setan, selalu kurang semangat, entah menanggung pikiran apa?"
Li Pwe-ling tertawa lembut, ucapnya: "Anak perempuan se-usia dia, mana yang tidak
menanggung pikiran? Biar ku keluar melihatnya."
Biji mata Gin hoa nio berputar, mendadak ia mendahului berdiri dan berseru: "Toa-so jangan
repot, biar aku saja yang keluar melihatnya."
"Boleh juga," ujar Li Pwe-ling. "Kalian dapat bicara dengan cocok, cuma selekasnya
hendaklah kembali, sudah ku sediakan ayam goreng untuk makan malam nanti."
Setiba di luar, bau harum bunga terasa semakin semerbak.
Tong Lin kelihatan berdiri di bawah pohon Kwi, bayang-bayang pohon menutupi wajahnya,
nona itu berdiri diam saja tanpa bergerak laksana badan halus di malam sunyi.
Gin hoa nio tidak lantas mendekati nona yang kesepian itu, ia pun mondar-mandir di bawah
cahaya bulan, tiba-tiba ia menghela napas panjang dan bergumam perlahan: "O, kehidupan
manusia sungguh mengecewakan, sinar bulan yang terang, bau harum bunga Kwi, semua ini
paling-paling hanya menambah rasa kesunyian orang hidup saja."
Dia memperhitungkan dengan baik pada waktu murung begini Tong Lin pasti malas untuk
bicara, maka dia sengaja menguraikan kesepian orang hidup, kekecewaan dan sebagainya,
semua ini ternyata tepat mengena di hati Tong Lin.
Ia jadi tertarik dan menoleh, dipandangnya Gin hoa nio hingga sekian lama, akhirnya ia
berucap dengan hampa: "Orang semacam kau, ke mana pun kau dapat pergi, kenapa kau pun
merasakan kesepian? Rasa kesepian hanya diketahui dengan jelas oleh burung yang terkurung
di dalam sangkar."
328
Gin hoa nio menghela napas dan berkata: "Adik yang baik, usiamu masih belia, kau belum
tahu persis sesungguhnya apa kesepian itu. Ada sementara orang meskipun setiap hari dapat
pesiar dan bergurau dengan orang lain, tapi hatinya jauh lebih kesepian daripada siapa pun
juga. Ada lagi setengah orang meski setiap hari hanya berduduk sendirian, tapi asalkan
pikirannya melayang ke tempat yang jauh, di sana pun ada seorang sedang memikirkan dia,
maka apa pun juga ia takkan merasa kesepian."
Tong Lin termenung sejenak, ia mengangguk perlahan dan berkata: "Betul, orang yang belum
pernah merasakan kesepian tak nanti dapat mengucapkan kata-kata demikian... Tapi waktu
pikiranmu melayang ke tempat jauh sana, darimana kau tahu dia juga sedang memikirkan
dirimu?"
"Sudah tentu aku tidak tahu, siapa pun tidak tahu soal ini dan inilah penderitaan orang hidup."
"Betul, inilah penderitaan orang hidup," tukas Tong Lin dengan rawan dan menunduk.
"Sudah lama sekali," tutur Gin hoa nio, "ada kukenal seorang pemuda, namanya The Giok
long, hanya satu kulihat dia, tapi siang dan malam aku merindukan dia, mungkin.... mungkin
namaku saja dia tidak tahu...."
Gin hoa nio tahu kelemahan anak perempuan umumnya, bilamana kau ingin seorang anak
perempuan membeberkan rahasia isi hatinya, maka jalan yang paling baik adalah
menceritakan dulu rahasia di hatinya sendiri.
Sebab itulah dia lantas membuat suatu nama dan mengarang satu cerita.
Benarlah, tubuh Tong Lin kelihatan rada gemetar, selang sejenak, ia coba bertanya lagi:
"Sudah banyak tempat yang kau jelajahi?"
"Ehmm," Gin hoa nio mengangguk.
"Ya, banyak sekali," jawab Gin hoa nio dengan tersenyum getir.
Tong Lin menunduk, jelas hatinya sedang meronta dan bergolak, ia terdiam lagi sebentar
barulah mengambil keputusan, mendadak ia mengangkat kepala dan menatap Gin hoa nio,
ucapnya sekata demi sekata: "Tahukah kau seorang na... namanya Ji Pwe giok?"
Ji Pwe giok! Kembali Ji Pwe giok!
Jantung Gin hoa nio hampir melompat keluar dari rongga dadanya. Namun air mukanya tidak
memperlihatkan sesuatu tanda sedikit pun, dengan tersenyum ia bertanya: "Kakimu tidak
pernah melangkah keluar Tong keh ceng ini, cara bagaimana kau kenal Ji Pwe giok?"
"Beberapa hari yang lalu dia pernah kemari," tutur Tong Lin perlahan.
"Berkunjung kemari? Beberapa hari yang lalu?" tukas Gin hoa nio tanpa terasa.
Tong Lin menggigit bibir, ucapnya pula: "Dia datang mencari ayahku. Hari itu, kebetulan
Toako dan Toa-so keluar mengantar keberangkatan Toako, hanya aku saja yang di rumah.
329
Cukup lama dia bicara dengan ayah, tiba-tiba ayah menyatakan mau keluar, seperti akan
mencarikan seseorang baginya, maka.... maka aku lantas dipanggil untuk menemani dia..."
Cahaya bulan menembus celah-celah dedaunan yang menyinari wajahnya, menyinari
matanya, wajahnya kemerah-merahan, matanya bersinar laksana kerlip bintang di langit.
Dengan tenang Gin hoa-nio mendengarkan dan tidak memutus ceritanya.
Sampai lama Tong Lin termangu-mangu, kemudian disambungnya dengan perlahan:
"Sebenarnya aku tidak suka bicara dengan orang yang baru kukenal, tapi di depannya aku
merasakan tiada sesuatu kekangan, setiap gerak geriknya kurasakan begitu halus, apa yang
diucapkannya terasa penuh rasa simpatik dan pengertian. Tatkala mana dia seperti baru
terluka parah, tapi dia tidak memperlihatkan rasa menderita sedikitpun, jelas karena dia tidak
ingin ku ikut susah, nyata, setiap urusan apa pun selalu dia pikirkan dulu bagi orang lain."
Dia bercerita dengan perlahan seperti orang yang mengigau dalam mimpi.
"Kemudian bagaimana?" tanya Gin hoa nio tak tahan.
"Kemudian ayahku pulang dan terpaksa ku kembali ke kamarku, kukira esoknya dapat kulihat
dia lagi, siapa tahu, pada.... pada malam itu juga dia telah berangkat, ayah pun tidak mau
memberitahukan kemana perginya, hanya menyampaikan terima kasihnya atas
pembicaraanku dengan dia waktu dia ku ajak ngobrol. Ai, aku.... kukira selama hidup ini
takkan melihat dia lagi." Dia menunduk dengan air mata bercucuran.
"Kau kan baru melihat dia satu kali, masa dia begitu penting bagimu?" ucap Gin hoa nio
dengan perlahan.
"Dan kau sendiri bukankah... bukankah juga baru bertemu satu kali dengan The Giok Long
yang kau sebut tadi?"
Baru Gin hoa nio ingat pada bualannya tadi, katanya pula: "Jika benar-benar kau tak dapat
melihat dia lagi, lalu bagaimana?"
"Ya, apa boleh buat!?" jawab Tong Lin dengan suara agak gemetar. "Tapi selama... selama
hidupku ini mungkin akan selalu.... merana."
Gin hoa jio memandangnya tajam-tajam, tanyanya kemudian: "Bagaimana kalau ada orang
yang dapat membuat kau bertemu dengan dia?"
Mendadak Tong Lin memegang tangan Gin hoa nio erat-erat, serunya dengan gemetar: "Jika
ada orang dapat mempertemukanku dengan dia, aku bersedia melakukan apapun juga
baginya.... Ya, apapun juga akan kulakukannya, selama hidupku ini tidak pernah gila bagi
urusan apa pun, tapi sekarang, rasanya aku benar-benar hampir gila."
Gin hoa nio menghela napas, katanya dengan tertawa: "Pikiran anak gadis, ya, inilah pikiran
anak gadis."
Sekujur badan Tong Lin gemetar pula, pegangannya bertambah erat, ia menegas:
"Dapatkah.... dapatkah kau memper...."
330
Gin hoa nio menarik tangannya, ia tidak lantas menjawab, ia sengaja jual mahal, sejenak
kemudian barulah ia menjawab secara licin: "Aku pun ingin melihat sesuatu, entah kau dapat
membantu atau tidak?"
"Urusan apa? katakan saja, katakan!" desak Tong Lin.
"Kudengar cerita orang, konon tempat keluargamu menggembleng am-gi adalah tempat yang
paling misterius dan tempat yang paling menarik, mimpi pun aku ingin masuk ke sana untuk
melihatnya," jawab Gin hoa nio.
Seketika air muka Tong Lin berubah, katanya: "Ah, tempat itu tiada sesuatu yang menarik."
"Tak apalah jika kau tak dapat membantu keinginanku ini," ucap Gin hoa nio tak acuh.
Sejenak kemudian tiba-tiba ia berkata: "O, sebentar, aku akan minum dulu."
Tapi sebelum Gin hoa nio melangkah pergi, cepat Tong Lin menariknya dan berkata: "Jika
kubantu keinginanmu ini, apakah kau...."
"Aku pun akan membantu terpenuhi keinginanmu," tukas Gin hoa nio dengan tertawa.
Tong Lin berpikir sejenak, akhirnya ia menjawab dengan menggreget: "Baik, akan kubawa
kau ke sana. Tapi berhasil atau tidak tak berani kujamin. Selain itu, kau mesti berjanji juga
padaku, setelah masuk ke sana, tidak boleh kau menyentuh sesuatu barang apa pun."
Dengan girang Gin hoa jio menjawab: "Asalkan melihatnya saja hatiku sudah puas, pasti
takkan ku sentuh."
"Baik, sekarang juga kita pergi kesana," kata Tong Lin.
Tapi Gin hoa nio menariknya pula dan berkata: "Biarlah kita kembali dulu ke dalam, agar
mereka tidak curiga. Ku tahu di sana ada sebuah gardu kecil, nanti kalau mereka sudah mabuk
dan tertidur kita bertemu kembali di gardu itu."
Tong Lin mengangguk setuju, tiba-tiba air matanya bercucuran, ratapnya di dalam hati: "Ji
Pwe giok, wahai Joi Pwe giok, sejauh ini kulakukan bagimu, tapi apakah kau tahu....?"
*****
Tengah malam Gin hoa nio sudah datang ke gardu kecil itu, sebelumnya Tong Lin sudah
menunggunya dengan tak sabar, begitu melihat Gin hoa nio muncul dari kejauhan segera ia
menggapai dengan tangannya.
Jarak gardu kecil ini dengan gua itu masih cukup jauh, tapi gerak-gerik Tong Lin tampak
sangat hati-hati. Gin hoa nio juga tahu di tempat ini tidak boleh sembrono.
Kelihatan dua lelaki baju hitam mondar-mandir di depan gua sana, di dalam gua tampak ada
cahaya lampu, selain itu tiada kelihatan bayangan orang lain.
331
Di kejauhan ada suara air gemercik, Gin hoa nio, tahu itulah sebuah sumber air hangat di
tebing bukit sana. Konon sebabnya racun senjata rahasia keluarga Tong tidak dapat ditiru
orang lain adalah karena dicampur dengan sumber air yang istimewa ini. Tapi sesungguhnya
masih ada sebab lain atau tidak sukar dipastikan.
Gin hoa nio lantas mendesis: "Apakah sekarang kita dapat masuk ke sana?"
Muka Tong Lin tampak lebih pucat daripada kertas, katanya sambil menggeleng: "Tidak, saat
ini yang dinas jaga gua ini adalah Si-suhengku, Tong Siu-hong, dia berwatak keras dan kaku,
bila kita ingin masuk ke sana sekarang, hakekatnya setitik harapan saja tidak ada."
"Jika demikian, hayolah kita pulang saja!" ucap Gin hoa nio dengan kurang senang.
Tapi Tong Lin lantas mendesis: "Sabar dulu, ketahuilah orang yang dinas jaga di sini akan
berganti pada tengah malam tepat, maka boleh kita tunggu lagi sejenak, bila yang dinas jaga
nanti adalah Toa suheng atau Jit-suheng, maka bereslah, sebab kedua orang ini paling mudah
diajak bicara."
Gin hoa nio tersenyum cerah dan tidak bersuara lagi.
Tidak lama kemudian, Tong Lin tak tahunya ia bertanya: "Apakah kau pun kenal... kenal Ji
kongcu?"
Gin hoa nia mengiakan.
Tong Lin menggigit bibir. "Cara bagaimana kau kenal dia?" tanyanya kemudian.
"Jangan kuatir," ujar Gin hoa nio dengan tertawa. "Aku dan dia cuma kawan biasa saja, aku
sendiri sudah punya pacar."
Muka Tong Lin yang pucat itu seketika merah semarak, ia menunduk dan tidak bicara lagi.
Lewat sejenak pula, Gin hoa nio juga tidak tahan, ia bertanya: "Konon tidak lama mukanya
telah dilukai orang, entah betul atau tidak?"
"Betul," jawab Tong Lin dengan menyesal, "Mukanya memang ada bekas luka, dia bilang
padaku, seorang perempuan paling keji dan paling licin di dunia ini yang melukainya."
Tentu saja Gin hoa nio merasa gregetan tapi di mulut ia berkata dengan tertawa: "Jika bukan
perempuan yang keji, siapa yang sampai hati melukai dia?"
Tiba-tiba Ton Lin tertawa, katanya: "Bila perempuan ini bermaksud merusak wajahnya, maka
dia pasti akan kecewa."
"Oo!? Sebabnya?" tanya Gin hoa nio.
"Sebab setelah mukanya bertambah bekas luka itu, dia bukannya menjadi buruk rupa, tapi
malah menambah perbawa kelelakiannya," tutur Tong Lin. "Kupikir pada sebelum terluka
begitu tentu wajahnya berbau pupur, pasti tidak sebaik sekarang."
332
Hampir meledak dada Gin hoa nio saking gemasnya, dia hanya menggreget secara diam-diam
saja, tapi menanggapi dengan tertawa: "Kukira itulah yang dinamakan di mata pacar timbul
bidadari, biarpun seperti siluman juga tampaknya maha cakap."
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara langkah orang ramai, menyusul dari jalan kecil sana
lantas muncul dua baris bayangan orang, jumlahnya ada 20-30 orang, empat orang yang di
depan dan di belakang sama memegang lampu kerudung kertas.
Seorang pendek gemuk berjalan paling depan, dia tidak membawa senjata, tapi pinggangnya
menonjol, jelas banyak am-gi atau senjata rahasia yang dibawanya.
"Wah, mujur kita, yang ganti dinas jaga memang betul Jit-suko," ucap Tong Lin dengan
senang.
"Si gemuk kecil inikah Jit-sukomu?" tanya Gin hoa nio.
"Meski Jit-suko kami ini tampaknya ramah tamah, tapi ilmu silatnya tergolong kelas satu,
orang Kangouw memberi julukan "Jian jiu mi to" (Buddha gemuk bertangan seribu) padanya.
Di Tong keh ceng sini, kecuali Toako dan Toa-suheng kami, mungkin nama Jitsuko yang
paling gemilang."
"Sungguh tidak dinyana, padahal kelihatannya dia seperti kasir di restoran yang berperut
buncit," Gin hoa nio berseloroh.
Tong Lin juga tertawa geli, katanya: "Pada waktu tidak dinas jaga, pekerjaannya memang
kasir restoran. Setiap orang yang berkunjung ke perkampungan ini seluruhnya dilayani oleh
dia, yang bermaksud mengacau ke sini juga harus melalui rintangannya dulu."
Gadis yang baru pertama kali jatuh cinta ini sejak merasa ada harapan akan bertemu lagi
dengan orang yang dicintainya, hati yang tadinya murung kini mulai cerah dan bergairah
hingga kata-katanya juga bertambah banyak. Dalam pada itu Jian jiu mi to Tong Siu jing
sudah berhenti di depan gua sana, dari bajunya ia mengeluarkan sebuah pelat hitam dan
diserahkan kepada lelaki yang berjaga di luar gua tadi.
Lelaki itu memberi hormat, lalu berlari masuk ke dalam gua. Tidak lama kemudian dia keluar
lagi bersama seorang lelaki kekar bermuka lebar dan berjenggot hitam.
"Si-suheng tentu sudah capai!" sapa Tong Siu jing sambil menyongsong ke depan.
Yang baru keluar itu memang Tong Siu hong, ia memandang kedua barisan tadi, lalu berkata
dengan kurang senang: "Mengapa yang datang cuma 29 orang?"
Dengan mengiring tawa Tong Siu jing memberi penjelasan: "Isteri Siau hou cu melahirkan,
kuberi dia cuti satu hari."
Dengan muka bersungut Tong Siu hong berkata: "Punya anak juga bukan sesuatu yang luar
biasa, di Tong keh ceng ini hampir setiap hari ada anak lahir. Waktu susomu (kakak iparmu)
melahirkan, bukankah akupun tetap berdinas jaga?"
Tong Siu jing menunduk, jawabnya tetap dengan mengiring tawa: "Ya, inilah kesalahanku..."
333
"Sekali ini tidak jadi soal, bulan depan dia harus tambah dinas sehari," ucap Tong Siu hong
tegas. "Tapi tenaga hari ini tetap tidak boleh berkurang satu."
"Sudah belasan tahun tempat ini selalu aman tenteram, hanya kurang satu orang masa menjadi
soal?" ujar Siu jing dengan tertawa.
"Lojit, salah besar ucapanmu ini," kata Siu hong dengan bengis. "Biarpun seribu tahun tidak
pernah terjadi apa-apa, tetap penjagaan kita tidak boleh teledor. Sebabnya orang luar tidak
berani menerobos masuk ke sini justeru karena ketatnya penjagaan di sini."
Terpaksa Tong Siu jing menunduk dan mengiakan.
Pandangan Siu hong beralih kepada seorang lelaki penjaga tadi dan berkata: "Kemarin waktu
istirahat makan, diam-diam kau minum dua ceguk arak, mestinya akan kuhukum kau setelah
pulang nanti, tapi sekarang Siu hou cu tidak masuk kerja, bolehlah kau wakilkan dia dinas
satu hari lagi."
Lelaki itu tidak berani membantah dan mengiakan dengan hormat.
Habis ini barulah Tong Siu hong memberi tanda, segera Tong Siu jing membawa kedua
barisan tadi masuk ke dalam gua.
Menyusul di dalam gua lantas bergema suara bentakan disertai suara nyaring pintu pagar besi
dibuka dan ditutup lagi, lalu ada pula 29 orang berjalan keluar dalam dua barisan.
Tong Siu hong memeriksa pula dengan teliti ke 29 orang ini, air mukanya yang keren barulah
rada cerah, lalu ia berpaling dan berkata kepada Siu jing: "Besok sesudah pulang dari dinas,
datanglah ke rumah Siko, Si-suso kemarin baru saja masak Ang sio tite, dia tahu
kegemaranmu dan disediakan bagimu."
"Baik, Si-sute akan datang dengan membawa arak," jawab Siu jing dengan tertawa.
Kemudian Siu hong memberi tanda lagi dan membawa pergi kedua barisan tadi. Beberapa
langkah kemudian ia berpaling pula dan berseru: "Jangan terlalu banyak arak yang kau bawa
nanti agar tidak sampai mabuk, bisa terlantar pekerjaan kita."
Siu jing tertawa dan mengiakan.
*****
Tempat yang selalu aman tenteram selama belasan tahun ini sampai sekarang masih tetap
dijaga seketat ini, mau tak mau hati Gin hoa nio terkesiap dan kagum juga menyaksikan
semua ini.
Baru sekarang ia tahu sebabnya nama Tong keh ceng di Sujwan tetap jaya, sebab memang tak
mudah memasukinya. Untung ia tidak sembarangan bertindak, kalau tidak, bisa jadi saat ini
dia sudah digotong keluar dalam keadaan tak bernyawa.
334
Sesudah Tong Siu hong dan kedua barisannya lenyap dari pandangan barulah Tong Lin
menghela napas lega, ia tarik lengan baju Gin hoa nio dan berkata: "Hayolah, sekarang kita
boleh coba-coba mengadu untung."
Segera ia mengajak Gin hoa nio menuju ke gua sana. Baru sampai di luar gua, segera penjaga
membentak: "Siapa itu?"
"Aku, masa tidak kenal?" sahut Tong Lin.
"O, kiranya nona Lin," cepat lelaki itu memberi hormat.
"Ada urusan yang ingin kutemui Jitsuko..." sambil bicara Tong Lin terus hendak menerobos
ke dalam.
Siapa tahu lelaki itu lantas menghadang di depan, katanya dengan tertawa: "Maaf nona, tanpa
perintah tuan besar, bila hamba membiarkan nona masuk, besok hamba pasti akan mendapat
hukuman berat."
Terpaksa Tong Lin berhenti dan berkata: "Jika demikian, kukira boleh kau panggilkan Jitsuko
saja."
Orang itu tampak ragu sejenak, tapi kemudian mengiakan.
Namun Tong Siu jing tidak perlu dipanggil lagi, dengan tertawa ia sudah memapak keluar. Ia
memandang Gin hoa nio sekejap, lalu berkata: "Simoay, mengapa kau bawa tamu ke tempat
ini, cara bagaimana harus kuladeni kalian?"
Gin hoa nio tersenyum dan memberikan lirikan genit, lalu menunduk malu-malu.
Tong Lin menjawab dengan tertawa: "Kau tahu dia ini tamu, jadi kau sudah tahu siapa dia?"
"Sudah dua hari kudengar nona Kim datang dengan membawa seorang adik perempuan,
kudengar juga dua botol bi kwi lo simpanan Toaso telah terminum habis, padahal kedua arak
itupun sudah lama ku incar, tapi Jikohnaynay tidak mengundang diriku, tentu saja aku tidak
berani nyelonong ke perjamuannya."
"Pantas Jici (kakak kedua) selalu bilang Jit-suko bertelinga panjang, nyatanya segala urusan
besar kecil di perkampungan ini tiada satupun dapat mengelabui mata telingamu," ujar Tong
Lin dengan tertawa.
"Ah, tidak perlu kau mengumpak diriku, tentu ada yang kau harapkan dariku," kata Tong Siu
jing.
"Coba jawab saja, ada tamu, cara bagaimana kau memberi pelayanan?" kata Tong Lin.
"Ai, kan sudah kukatakan, di sini tiada sesuatu yang cocok untuk melayani tamu. Tapi lusa
siang pasti akan kusiapkan satu meja perjamuan besar, semoga para nona sudi hadir."
"Huh, perjamuan apa, paling-paling juga cuma Hay hong hi sit (sup sirip ikan dan telur
kepiting), Yan oh keh yong (sarang burung masak ayam) dan sebagainya, sudah bosan!" seru
335
Tong Lin. Mendadak ia menarik lengan baju Tong Siu jing dan berkata pula dengan
tersenyum manis: "Dia hanya ingin meninjau sejenak saja ke dalam, harap Jitsuko memberi
izin. Kan tempo hari Jici juga membawa tamunya kemari dan kaupun membiarkan mereka
masuk? Jika Jici kau beri kesempatan, supaya adil akupun mesti diberi kesempatan. Kalau
tidak, lain kali takkan kuhiraukan kau lagi, jika ku masak wikeh kuah juga takkan kuberikan
padamu."
Tong Siu jing menghela napas, katanya: "Begitu melihat kedatanganmu segera ku tahu
maksudmu, kalau tidak, kenapa tidak cepat tidak lambat, begitu aku dinas jaga segera kau
muncul?"
Gin hoa nio sengaja mengikik tawa dan berbisik-bisik pada Tong Lin: "Betul tidak, kan sudah
kukatakan dia tak dapat dikelabui, kukira lebih baik panggil Jici saja kemari."
Dia seperti bicara terhadap Tong Lin, padahal sengaja diperdengarkan kepada Tong Siu jing,
maka meski suaranya kedengarannya lirih, tapi cukup untuk didengar Tong Siu jing.
"Ai, kutakut pada Ji-siocia, memangnya Si-siocia kutakuti?" ujar Tong Siu Jing dengan
menyesal.
"Padahal Si-siocia jauh lebih sulit untuk dilayani."
Dia membungkuk tubuh sebagai tanda menyilakan dan berkata pula: "Baiklah, kedua nona
silahkan masuk saja, lekas! Cuma kalian harus mengikuti petunjukku, tidak boleh
sembarangan bergerak, tidak boleh sembarangan pegang dan aku akan berterima kasih jika
semua itu kalian patuhi."
*****
Dipandang dari jauh hakekatnya gua itu tiada terlihat pintunya, tapi setiba di mulut gua segera
akan tertampak tiga lapis pagar besi yang tertanam di dinding batu. Melulu ketiga pagar besi
ini saja sukar diterobos oleh segala orang, maklum terali besinya yang sebesar lengan bayi itu
jelas tidak mudah digeser orang.
Akan tetapi Tong Siu jing hanya menekan perlahan pada suatu tempat di dinding batu dan
pagar besi itu lantas menghilang ke dalam dinding tanpa mengeluarkan suara.
Di balik pintu besi itu sudah kelihatan keadaan gua yang curam dan berbahaya, pada setiap
batu yang mencuat keluar pasti ada seorang lelaki berseragam hitam berjaga di situ.
Setelah melintasi ketiga lapis pagar besi itu, hati setiap orang lantas mulai tegang, rasanya
seperti masuk ke sebuah biara kuno yang seram, seperti juga masuk ke sebuah hutan purba,
secara aneh dirinya sendiri terasa berubah sedemikian kelunya, di segenap penjuru seolaholah
penuh terpendam bahaya yang sukar diraba.
Gin hoa nio menghela napas, desisnya: "Padahal tanpa dipesan, di tempat begini, siapakah
yang berani sembarangan bergerak?"
Tong Lin mencibir, katanya: "Jika tidak menemani kau, tidak nanti ku datang ke tempat setan
ini."
336
Meski di mulut dia bilang "tempat setan", tapi aneh, sukar menutupi rasa senangnya. Soalnya
tempat ini tidak cuma dipandang sebagai "tanah suci" oleh anak murid Tong, bahkan juga
dianggap tempat suci oleh orang Kangouw, justeru inilah yang selalu dibanggakan oleh setiap
anggota keluarga Tong.
Gua ini cukup dalam dan berliku-liku, tempat demikian seharusnya terasa gelap dan seram,
tapi justeru semakin ke dalam rasanya semakin hangat, menyusul lantas terdengar
gemerciknya air mengalir.
Setelah membelok lagi satu tikungan, pandangan Gin hoa nio mendadak terbeliak.
Gua yang semula berliku-liku itu, sampai di sini mendadak terbuka, perut gunung ini ternyata
kosong, berwujud sebuah terowongan raksasa, atapnya yang bulat melengkung berpuluh
tombak tingginya, luasnya entah berapa ratus tombak, seorang berteriak dari ujung sini
umpamanya, waktu dia tutup mulut, barulah suaranya dapat berkumandang sampai di ujung
sana.
Anehnya meski tempat ini termasuk di dalam perut gunung, tapi di sini dialiri sebuah sungai
kecil. Air sungai berwarna kuning bahkan mengepulkan asap dan berhawa panas.
Di tepi sepanjang sungai kecil itu terdapat berpuluh tungku tembaga antik yang beraneka
ragam bentuknya, di antara tungku satu dan tungku lain teraling oleh pintu angin batu
setengah alam dan setengah buatan tenaga manusia.
Pada saat ini, di samping setiap tungku terdapat dua lelaki kekar dengan telanjang badan
bagian atas, kedua orang sedang memukul dan menggembleng di atas talenan besi, palu yang
digunakan mereka tidak terlalu besar, jelas barang yang mereka gembleng itu sangat kecil,
tapi air muka mereka sama prihatin, seolah-olah menanggung beban beribu kati, segenap
tenaga dan perhatian mereka tidak berani lena sedikit pun.
Setelah orang-orang pada tungku pertama selesai membuat benda itu lalu dilempar ke dalam
keranjang bambu yang terikat dan terendam di dalam air sungai, setelah digerujuk dan dicuci
oleh air sungai yang mengalir tanpa henti itu, lalu orang-orang yang menunggui tungku kedua
akan menggantol keranjang bambu itu, terus digembleng dan ditempa pula.
Begitulah setelah mengalami lima kali gemblengan, hasil produksi itu direndam lagi di dalam
air sungai sampai sekian lamanya, akhirnya akan dikumpulkan oleh seorang lelaki berseragam
hitam dan diantar ke dalam rumah batu yang terdapat berderet di dinding tebing sana.
Di depan pintu rumah batu terpasang kerai, di dalam terkadang juga bergema suara
gemblengan, untuk bisa melihat keadaan di dalam rumah harus menyingkap kerai.
Cara bekerja orang-orang itu sangat tekun dengan sikap prihatin pula, terhadap segala urusan
dari luar seolah-olah tidak dilihat dan tidak didengarnya. Dunia mereka, kehidupan mereka
seolah-olah sudah tercurahkan pada benda kecil yang mereka pegang, padahal benda-benda
kecil itu tidak lebih hanya sepotong besi atau sepotong kawat.
337
Amgi atau senjata rahasia keluarga Tong dari propinsi Sujwan yang termasyhur selama
beratus tahun rupanya berasal dari potongan besi atau kawat kecil melalui proses produksi
orang-orang ini.
Sampai kesima Gin hoa nio menyaksikan semua ini. Tidak pernah terbayang olehnya bahwa
pembuatan sepotong senjata rahasia sekecil itu mengalami proses produksi seruwet ini.
Melihat Gin hoa nio kesemsem, Tong Lin tertawa, katanya: "Sudah cukup kau lihat?"
Gin hoa nio memegang tangannya dan berkata: "Adik yang baik, jangan kau tertawakan
diriku, aku benar-benar seperti katak baru keluar dari tempurung, aku merasa bingung dan
tidak tahu apa yang harus kukatakan."
"Mana bisa kutertawai kau," kata Tong Lin. "Setiap orang yang berkunjung ke sini semuanya
berubah seperti dirimu. Sebab tiada seorang pun yang membayangkan bahwa untuk membuat
satu biji senjata rahasia sekecil itu ternyata sedemikian ruwetnya."
"Ya, memang betul, aku benar-benar bingung," kata Gin hoa nio.
Setelah berpikir sejenak, Tong Lin mengeluarkan sepotong amgi yang berwarna hitam, amgi
ini kalau dipandang mirip setangkai bunga, kalau diamati lagi barulah kelihatan bukan bunga.
"Kau tahu barang apakah ini?" tanya Tong Lin.
"Entah, aku... aku tidak tahu," jawab Gin hoa nio dengan mata terbelalak.
"Inilah Thi cit le (besi berduri) yang disegani orang Kangouw," tutur Tong Lin. "Sebenarnya
Thi cit le bukan senjata rahasia yang lebih lihay dari pada amgi lain, hanya thi cit le buatan
keluarga Tong memang lain daripada yang lain dan lebih lihay, sebab proses pembuatannya
berbeda jauh daripada Thi cit le biasa."
"Ah, tidak kulihat ada sesuatu perbedaannya," Gin hoa nio sengaja membantah.
"Cara membuat Thi cit le, biasanya orang lain harus membuat cetakan modelnya, lalu
menuangkan cairan bajanya ke dalam cetakan, sesudah cairan baja dingin barulah selesai
pembuatannya."
"Dan bagaimana cara keluargamu membuatnya?" tanya Gin hoa nio.
Thi cit le keluarga kami dimulai dengan membuat daun-daunnya yang kecil-kecil, habis itu
sepotong demi sepotong dibentuk menjadi satu, apabila Thi cit le ini disambitkan dan masuk
tubuh manusia, segera daun-daunnya akan mekar, bila senjata rahasia ini hendak dikeluarkan,
sedikitnya sebagian kulit daging akan terkoyak."
"Wah, sakitnya pasti setengah mati!" seru Gin hoa nio dengan lagak terperanjat.
"Kalau jiwa dapat tertolong, rasa sakit sih tidak menjadi soal," ujar Tong Lin dengan
tersenyum.
"Cuma sayang, ketika senjata rahasia ini dapat dikeluarkan, jiwanya juga tak tertolong lagi"
338
"Memangnya sebab apa?" tanya Gin-hoa-nio pura-pura bingung.
Sebab Am-gi ini dibentuk dengan 13 sayap, bukan saja setiap sayapnya sudah direndam
racun, bahkan jenis racunnya tidak sama, ke-13 macam racun sama lihaynya, asal masuk
darah lantas meluas, biarpun malaikat dewata juga tidak mampu menyelamatkan jiwanya"
Diam-diam Gin-hoa-nio merasa ngeri juga setelah mengetahui betapa lihay senjata rahasia
keluarga Tong ini. Katanya kemudian: "Pantas orang Kangouw sama bilang, lebih baik
ketemu setan daripada ketemu am-gi keluarga Tong"
Tapi Tong Lin lantas bercerita lebih lanjut: "Di antara ke tujuh macam Am-gi keluarga Tong
yang paling lihay, Thi-cit-le ini tergolong yang paling umum dan paling sederhana. Thi-cit-le
hanya dibentuk dari 13 kepingan besi, masih ada Am-gi lain yang dibentuk dari berpuluhpuluh
potong onderdil. Misalnya Kiu-thian-sin-ciam, jarum sakti ini harus disemburkan
dengan sebuah bumbung. Untuk merakit bumbung ini sampai saat ini masih merupakan
rahasia besar bagi orang Kangouw"
Gemerdep sinar mata Gin-hoa-nio, katanya: "Makanya kalian sengaja memisahkan orangorang
yang membuat am-gi ini, tujuannya adalah untuk menjaga rahasia ini agar tidak
dibocorkan oleh mereka, betul tidak?"
"Betul, orang yang dipekerjakan di sini, meski semuanya jujur dan setia, tapi bukan mustahil
ada juga yang tidak tahan pancingan dan paksaan orang lain", kata Tong Lin. "Dan leluhur
keluarga Tong sudah memikirkan hal-hal demikian, sebab itulah hakekatnya tiada seorangpun
di antara mereka yang mengetahui rahasia seluruhnya dari proses pembuatan Am-gi ini, jadi,
seumpama mereka ingin membocorkannya juga sukar membocorkannya secara lengkap dan
jelas."
Dia tuding salah seorang pekerja itu, lalu menyambung pula: "Umpama orang ini, tugasnya
hanya membuat salah satu daun Thi-cit-le, maka selama hidupnya juga melulu bekerja
menggembleng sayap Thi-cit-le ini, pekerjaan lain tidak pernah tahu, sampai-sampai
bagaimana bentuk sayap Thi-cit-le yang lain juga tidak diketahuinya."
"Selama hidup hanya itu-itu saja yang mereka kerjakan, sampai akhirnya dengan sendirinya
hasil pekerjaannya semakin sempurna, pantas Am-gi keluarga Tong selamanya tak dapat
ditiru orang," ujar Gin hoa nio dengan gegetun.
"Cara demikian juga masih ada kebaikan lain yaitu di luar pekerjaan ini mereka dapat hidup
seperti orang biasa, tidak perlu kuatir ada orang luar akan membawa lari mereka dan kita pun
tidak perlu mengawasinya."
Gin hoa nio memandang ke deretan rumah batu sana dan bertanya: "Lalu, bagaimana dengan
orang-orang di dalam sana?"
"Ya, hanya orang-orang di dalam itulah yang mengetahui rahasia pembuatan amgi, sebab
setelah onderdilnya selesai dibuat, semuanya dikumpulkan dan diantar ke tempat mereka
untuk dirakit."
"Apakah mereka takkan membocorkan rahasianya?" tanya Gi hoa nio.
339
"Orang-orang di dalam rumah itu adalah kakek yang telah pensiun, kebanyakan di antaranya
juga sebatangkara, maka sukarela bekerja di situ. Sebab, setelah memangku pekerjaan ini,
selama hidup tak boleh lagi keluar dari gua ini."
Gin hoa nio menghela napas, katanya: "Pantas mereka bekerja dengan sepenuh tenaga,
kiranya mereka sudah mempersembahkan jiwa raga mereka buat amgi ini, asalkan dapat
membuat sebuah amgi yang baik dan sempurna agar sejarah keluarga Tong tetap gemilang,
maka itu pun merupakan kebahagiaan mereka."
"Ucapan nona memang tepat," tukas Tong Siu jing mendadak dengan tertawa. Meski
kehidupan kakek-kakek itu kesepian, tapi tekad mereka adalah menegakkan dan
mempertahankan nama baik keluarga Tong tetap jaya abadi. Setiap anggota keluarga Tong
memang sanggup menderita apa pun."
"Eh, silahkan kalian omong-omong dulu, ku pergi ke sana untuk menjenguk seseorang," tibatiba
Tong Lin berkata.
"He, Simoay, jangan lupa kau...." tapi belum sempat Tong Siu jing mencegah lebih jauh, tahutahu
Tong Lin sudah melompati sungai kecil itu dan berlari ke sana.
Dengan lagak malu-malu dan menunduk Gin hoa nio melayani pembicaraan Tong Siu jing,
tapi perhatiannya sebenarnya selalu mengikuti gerak-gerik Tong Lin.
Dilihatnya nona itu berlari secepat terbang ke dalam deretan rumah batu sana dan langsung
masuk ke rumah ketiga dari sebelah kiri. Begitu cepat gerak tubuh nona itu, kerai baru
tersingkap segera tertutup kembali lagi.
Akan tetapi cukup sekejap itu lamat-lamat Gin-hoa-nio sudah dapat melihat ada orang berada
di dalam rumah. Orang itu duduk membelakangi pintu dan tanpa bergerak, tapi tidak
menyerupai orang yang lagi asyik bekerja melainkan lebih mirip orang yang lagi duduk
melamun. Dengan sendirinya mukanya tidak kelihatan, hanya tertampak rambutnya hitam
gelap, bahkan Gin-hoa-nio yakin matanya sendiri pasti tidak keliru lihat, usia orang itu pasti
sangat muda.
Kalau menurut cerita Tong Lin tadi, bahwa yang bekerja di dalam rumah-rumah batu itu
adalah kakek-kakek yang sudah pensiun, mengapa sekarang ada seorang muda di sana? Untuk
apa pula Tong Lin sengaja menjenguknya?
Mendadak jantung Gin-hoa-nio berdetak: "Ha..Tong Giok! Orang itu pasti Tong Giok adanya.
Kiranya Tong Bu-sian menyembunyikan puteranya yang kedua ini di sini, pantas dicari sekian
lamanya tidak bisa ditemukan"
Saking girangnya hampir saja Gin-hoa-nio berjingkrak, tapi ia tetap tidak lupa melayani
bicara Tong Siu-jing. Mata Tong Siu-jing memandangnya semakin mencorong dan semakin
lengket.
Tentu saja Gin-hoa-nio berlagak semakin malu kucing, mengangkat kepala saja tidak berani.
340
Tong Siu-jing berkata: "Sudikah nona dan nona Kim makan siang di rumah makanku besok
pagi?”. Gin-hoa-nio menjadi merah mukanya: "Kalau cici Kim bersedia aku bersedia juga".
Dia berjalan ke arah sungai kecil dan berkata: "Dapatkah aku mencuci tangan di sini?"
Tong Siu-jing menjawab: "Tentu saja"
Gin-hoa-nio mencelupkan dan mencuci tangannya ke dalam air. Tong Siu-jing terpesona
melihat tangannya yang anggun dan indah.
Tong Lin kembali dan kelihatan sedikit jengkel, dia berkata: "Dia jadi sangat aneh, dia bahkan
tidak mau memandangku"
Tong Siu-jing berkata: "Belakangan ini perasaannya tidak enak, jangan perdulikan dia"
Gin-hoa-nio yakin bahwa orang yang dimaksud adalah Tong Giok, diam-diam dia jatuhkan
sapu tangan ungunya ke dalam air. Dia berdiri dan berkata: "Adik ke empat, aku rasa aku
sudah cukup melihat semuanya"
Tong Siu-jing berkata: "Kakak ke empat...."
Tong Lin menyela: "Adik ke tujuh, tidak usah kuatir. Kita belum merepotkanmu"
Tong Siu-jing berkata: "Lain kali....."
Tiba-tiba Tong Siu-jing melihat air sungai bergolak dan mengeluarkan asap ungu. Asap itu
segera berubah menjadi kabut tebal. Dalam waktu singkat kabut itu menjadi semakin tebal,
bahkan orang-orang tidak bisa melihat siapa yang berdiri disampingnya.
Dengan terkejut Tong Siu-jing membentak: "Setiap orang tetap berjaga di tempat masingmasing.
Jangan sembarang bergerak!"
"Aku bagaimana?..." seru Tong Lin.
"Kau awasi kawanmu, juga jangan pergi dulu!" bentak Tong Siu-jing dengan bengis.
Ditengah suara bentakannya ia sudah membuat obor, di tengah kabut tebal itu api obor
ternyata tiada artinya, hanya remang-remang seperti kunang-kunang.
Tong Lin bermaksud meraih Gin-hoa-nio, tapi ternyata meraih tempat kosong, keruan ia
terkejut dan berseru: "He, Hoa-cici, Hoa-cici, di mana kau?"
Meski cukup keras teriakannya, namun sayang selamanya tiada jawaban lagi.
*****
Kiranya sejak tadi Gin-hoa-nio telah mengincar baik-baik arah rumah batu tadi, begitu kabut
ditebarkan, secepat anak panah terlepas dari busurnya ia terus melayang ke sana, langsung ia
menerobos ke dalam rumah itu sambil berseru tertahan: "Tong Giok, Tong-kongcu, di mana
kau?"
341
Terdengar seorang menjawab dengan suara serak: "Siapa kau? Untuk apa mencari diriku?"
Belum habis ucapannya, tahu-tahu Gin-hoa-nio telah menarik tangannya terus diseret
menerjang ke luar, tidak lupa ia menjawab: "Masa kau tidak kenal suaraku lagi?"
"Hah, kau?!" seru Tong Giok.
"Betul, siapa lagi?" jawab Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Hampir gila Toaci memikirkan
dirimu, tanpa menghiraukan bahaya ku datang mencari kau, hayolah lekas lari!"
"Tapi....tapi ayah...." tampaknya anak muda itu masih ragu-ragu, namun tubuhnya sudah tidak
berkuasa lagi, ia terseret keluar.
"Ai, kau tidak punya liangsim, masakah kau tidak ingin menemui toaci?" kata Gin-hoa-nio.
Sembari menyeret Tong Giok dengan tangan kiri dan menerobos keluar rumah batu itu, lalu
tangan kanan terangkat, kontan sejalur sinar perak terpancar ke depan, seperti meteor yang
melintas angkasa gua itu, hanya sekelebat saja sinar perak itu lantas lenyap.
Jilid 14________
Sekilas itu Gin-hoa-nio sudah dapat membedakan arah mulut gua, segera ia melayang ke sana
secepat terbang, baru sekarang ia merasakan bobot tubuh Tong Giok sangat berat, hakekatnya
anak muda itu seperti tidak mau ikut pergi kalau tidak diseret.
Dalam pada itu terdengar suara Tong Siu-jing lagi membentak: "Jaga rapat mulut gua,
siapapun dilarang meninggalkan tempatnya!"
Gin-hoa-nio menjadi gelisah, katanya: "Tong Giok, bila kau tidak mau ikut pergi, kalau aku
kepepet, tentu takkan menguntungkan kita masing-masing."
Entah takut digertak atau mendadak berubah pikiran, segera Tong Giok juga bergerak cepat
ke depan, kedua orang menerjang keluar bersama. Dari lengan baju Gin-hoa-nio mendadak
terpancar pula selarik sinar perak.
Sekali ini sinar perak itu menyambar ke luar gua, waktu itu para penjaga mulut gua sedang
menggeser pintu besi dan ada yang hendak menghadang mereka dengan golok terhunus, tapi
senjata rahasia Gin-hoa-nio lantas dihamburkan menyusul dengan terpancarnya sinar perak
tadi.
Terdengar serentetan jeritan ngeri, Gin-hoa-nio dan Tong Giok sudah menerjang keluar gua.
Di luar bintang-bintang masih berkelip bertaburan di langit, malam masih sunyi senyap,
Kekacauan yang terjadi di dalam gua belum lagi tersiar keluar, hanya seorang penjaga segera
memapak mereka dan membacok dengan goloknya, tapi sekali Gin-hoa-nio angkat tangannya,
setitik sinar perak menyambar ke depan, kontan orang itu roboh terkapar.
Pada saat itulah di dalam gua baru terdengar suara tanda bahaya, suara bende bertalu-talu,
serentak terdengar pula suara bende dimana-mana, perkampungan yang tadinya tenggelam
342
dalam kesunyian malam itu seketika terjaga bangun, hanya sekejap saja dari berbagai penjuru
lantas muncul bala bantuan.
Akan tetapi selama beberapa hari ini Gin-hoa-nio sudah mempelajari keadaan perkampungan
ini, setiap jalan keluar sudah diperhitungkannya, tanpa pikir ia terus meluncur ke arah
tenggara.
Tong Giok sudah berubah seperti boneka saja dan membiarkan dirinya ditarik lari oleh Ginhoa-
nio, ke timur ia ikut ke timur, ke selatan ia turut ke selatan, hanya mulutnya masih
melawan: "Penjagaan di sini sangat ketat, tidak nanti kau dapat kabur."
"Mungkin orang lain memandangnya seperti tembok tembaga dan dinding besi, tapi bagiku
tiada ubahnya seperti jalan rata, mau datang atau ingin pergi dapat sesukaku," kata Gin-hoanio
dengan tertawa.
Sementara itu pagar tembok perkampungan Tong sudah kelihatan di depan, memang dengan
leluasa ia dapat keluar tanpa halangan. Tapi ucapan Gin-hoa-nio itu agaknya terlalu pagi,
sebab mendadak di atas pagar tembok muncul belasan lelaki kekar berseragam hitam, tangan
kanan memegang golok dan tangan kiri membawa busur. Yang memimpin barisan ini ternyata
Tong Siu-hong adanya.
Terkejut Gin-hoa-nio melihat munculnya Tong Siu-hong secara mendadak ini. Lebih-lebih
tangan kirinya kelihatan memakai sarung tangan kulit, entah berapa banyak jiwa orang pernah
melayang di bawah hamburan senjata rahasianya.
"Berhenti! Kalau tidak, senjata rahasia kami tidak kenal ampun lagi!" bentak Tong Siu-hong
dengan bengis.
"Memangnya senjata rahasia hanya monopoli kalian dan aku tidak mempunyai senjata
rahasia?" jengek Gin-hoa-nio dengan tertawa genit. "Kalau perlu, boleh kita coba-coba senjata
rahasia siapa yang lebih lihay."
Tangan Tong Siu-hong yang sudah terangkat itu lantas diturunkan. Begitu juga, mestinya
Gin-hoa-nio hendak menyerang, tapi telah dicegah Tong Giok.
Mendadak Tong Giok mengacungkan sepotong pelat besi dan berteriak: "Siapa yang berani
merintangi diriku?"
Melihat pelat besi itu, Tong Siu-hong tampak tunduk benar-benar, sambil mengiakan ia lantas
memberi tanda. Serentak belasan orang berseragam hitam itu menghilang dengan cepat dan
mendadak seperti munculnya tadi.
Di tengah tertawa Gin-hoa-nio bersama Tong Giok mereka lantas melayang keluar pagar
tembok.
Di luar sana adalah lereng bukit, suasana malam tetap sunyi. Namun langkah Gin-hoa-nio
tidak pernah berhenti, ia melintasi lereng bukit, di kaki gunung ada sebuah kelenteng Toapekong
tanpa penghuni. Ke situlah ia menuju, agaknya sebelumnya tempat ini sudah
dipilihnya.
343
Orang yang cerdik takkan menjadi maling jika tidak lebih dulu mengatur jalan larinya.
Setiba di kelenteng itu barulah Gin-hoa-nio menghela napas lega, ucapnya dengan tersenyum:
"Betapapun kau masih punya liangsim dan mau membantuku lari keluar, tidak percuma kami
kakak beradik sayang padamu...."
Sambil bicara ia terus membuat api dan menyalakan lampu minyak di atas meja sembahyang.
Tiba-tiba ia melenggong setelah lampu menyala.
Di bawah cahaya lampu kelihatan muka Tong Giok coreng-moreng tak keruan seperti muka
setan. Setelah dipandang lebih cermat baru diketahui dia memakai kedok tipis yang aneh dan
buruk.
Gin-hoa-nio tertawa, katanya: "Mau pakai topeng kan seharusnya pilih topeng yang sedap
dipandang, mengapa kau pakai topeng setan begini? Kaget aku, kukira Cihuku yang cakap itu
mukanya telah dirusak orang."
"Justeru lantaran ayahku kuatir ku lari dan bertemu dengan orang luar, maka aku diberinya
topeng ini," ucap Tong Giok dengan menyesal.
Gin-hoa-nio menjulur lidah, katanya dengan tertawa: "Wah, ketat amat pengawasan bapakmu,
tapi sekarang topeng setan ini dapat kau tanggalkan bukan?"
"Topeng ini dipasang dengan lem buatan khusus ayahku, jika ditanggalkan sebelum
waktunya, mungkin kulit mukaku bisa ikut terbeset," jawab Tong Giok. Kembali Gin-hoa-nio
melenggong, ucapnya kemudian: "Wah, langkah ini ternyata tepat juga, dengan memakai
topeng setan ini memang tak dapat dikenali siapapun juga, tapi aku.... tetap kuingat
bagaimana bentukmu, biar kau memakai topeng apapun tetap tidak menjadi soal bagiku."
"Masa benar-benar kau masih ingat akan diriku?" tanya Tong Giok.
Gin-hoa-nio menunduk, jawabnya perlahan: "Meski Toaci selalu menyembunyikan dirimu,
walaupun cuma satu kali kulihat kau dan hanya beberapa kalimat saja percakapan kita, tapi....
tapi selamanya takkan kulupakan suaramu!"
Tong Giok termenung sejenak, ia menghela napas panjang dan berkata: "Apakah baik-baik
saja Toacimu?"
Mendadak Gin-hoa-nio mengangkat kepalanya, matanya tampak basah, ucapnya dengan suara
rada gemetar: "Dengan susah payah ku tolong kau dari penjara maut itu, kau.... kau sama
sekali tidak mengucapkan terima kasih padaku, tapi buru-buru tanya tentang Toaci?"
Dengan suara halus Tong Giok berkata: "Aku memang harus berterima kasih padamu.
Sungguh tidak mudah kau dapat menemukan diriku."
Gin-hoa-nio menunduk dan memainkan ujung bajunya sambil menggigit bibir, ucapnya malumalu:
"Asal kau tahu saja."
"Sungguh aku tidak tahu dengan cara bagaimana kau dapat menemukan diriku?" tanya Tong
Giok.
344
Gin-hoa-nio tertawa cerah, katanya: "Kau kenal Kim-yan-cu?"
"Sep.... seperti pernah kudengar nama ini," jawab Tong Giok.
"Tidak perlu kau dusta," omel Gin-hoa-nio, "Aku takkan cemburu, masa kau tidak kenal dia,
bukankah dia saudara angkat kakak ipar dan kakak perempuanmu?"
"Ya, aku memang kenal dia," kata Tong Giok dengan tertawa.
"Sebelumnya memang sudah kuketahui hubungannya yang erat dengan keluarga Tong, demi
menemukan dirimu, maka akupun telah mengangkat saudara dengan dia."
"Kau.... kaupun mengangkat saudara dengan dia?" Tong Giok menegas.
"Tidak perlu kau terkejut," ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Dengan sendirinya dia tidak
tahu sesungguhnya siapa aku ini. Dia cuma tahu aku ini anak perempuan yang sebatang kara
dan memerlukan seorang sahabat atau kakak yang dapat melindunginya."
"Ai, dia ternyata sangat mudah ditipu orang," ujar Tong Giok dengan gegetun.
"Jangan kau remehkan dia," kata Gin-hoa-nio. "Waktu kuminta dia membawaku ke Tongkeh-
ceng ini perlu ku bujuk dengan susah payah."
"Oo!" melenggong Tong Giok.
"Semula dia ogah-ogahan, untung aku baru menemukan beberapa peti batu permata, maka
sengaja kukatakan hendak mencari suatu tempat penitipan yang dapat dipercaya, benarlah dia
lantas mengusulkan titip saja di Tong-keh-ceng ini."
"Dan sekarang kau rela meninggalkan barang-barang berharga itu di Tong-keh-ceng?" tanya
Tong Giok.
"Haha, memangnya kau kira aku begitu murah hati dan meninggalkan barang-barang berharga
itu bagi orang lain?" kata Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Kau tahu, sepanjang perjalanan
hampir sembilan bagian isi peti itu sudah kukeluarkan dan kuganti dengan barang palsu,
hanya bagian atas saja ada beberapa potong permata tulen yang memang hendak kuberikan
kepada kakak-kakakmu. Selebihnya tidak berharga sama sekali. Mengenai permata yang tulen
itu ...."
Dia mengerling genit, lalu menyambung: "Permata yang tulen itu memang tidak sedikit
jumlahnya, cara bagaimanapun akan kau gunakan atau dihamburkan, selama hidup juga
takkan habis."
"Dan mengapa Tong Lin mau membawa kau ke gua itu?" tanya Tong Giok pula.
"Adik perempuanmu itu sedang birahi," tutur Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Beberapa hari
yang lalu konon dia baru kenal seorang lelaki, sekali bertemu dia lantas tergila-gila padanya.
Kukatakan dapat kutemukan lelaki itu baginya, maka segala apapun akan dikerjakannya
untukku."
345
Tong Giok termenung-menung sejenak, akhirnya ia menghela napas dan berkata:
"Tampaknya kau telah banyak memeras tenaga bagiku, bilamana diketahui Toacimu, dia pasti
sangat berterima kasih padamu."
Tiba-tiba wajah Gin-hoa-nio yang berseri-seri berubah menjadi murung, matanya basah lagi,
ucapnya dengan tersendat: "Kembali Toaci dan Toaci lagi, kau.... kau hanya tahu Toaci saja,
tapi tahukah kau betapa susah payah usahaku mencari kau, waktu itu dia lagi bekerja apa?"
"Darimana ku tahu?" jawab Tong Giok.
"Dia.... dia.... " belum lanjut ucapannya air matanya lantas berderai.
"Apakah.... apakah terjadi sesuatu atas dirinya?" tanya Tong Giok.
"Tiada terjadi apa-apa atas dirinya," jawab Gin-hoa-nio sambil mendekap mukanya.
"Habis mengapa kau menangis?"
"Tolol, aku tidak menangis baginya, tapi bagimu!" omel Gin-hoa-nio sambil membanting
kaki.
"Bagiku? Sebab apa?"
"Sebab.... sebab aku kasihan padamu, sungguh aku tidak tahan dan berduka bagimu."
"Berduka bagiku? Memangnya kenapa?"
Mendadak Gin-hoa-nio mendongak dan berseru dengan parau: "Biarlah kukatakan terus
terang padamu, pada.... pada waktu kau menderita baginya, dia sendiri justeru......"
"Dia kenapa?" Tong Giok menegas
"Dia.... dia justeru berada dalam rangkulan lelaki lain," seru Gin-hoa-nio sambil mendekap
mukanya.
Tong Giok seperti melenggong, hingga lama ia tidak bersuara.
"Sebenarnya tidak pantas kukatakan padamu, tapi..... tapi akupun tidak tega membohongimu,
sungguh aku..... aku ikut sedih," sambil menangis mendadak Gin-hoa-nio menjatuhkan
dirinya ke pangkuan Tong Giok.
Sama sekali Tong Giok tidak bergerak, ucapnya sekata demi sekata: "Siapa lelaki itu?"
"Tak dapat kukatakan lagi...." jawab Gin-hoa-nio sambil menangis. "Aku.... aku sudah
bersalah kepada Toaci."
"Kan lebih baik jika lebih cepat kau katakan padaku, kalau tidak...."
346
"Baik, biar kukatakan padamu," kata Gin-hoa-nio dengan parau: "Lelaki itu bernama Ji Pwegiok!"
"Ji Pwe-giok!?" Tong Giok menegas.
"Betul. Kau kenal dia?"
"Baru sekarang kudengar namanya," jawab Tong Giok perlahan.
"Untung kau tidak kenal dia, kalau tidak, tentu kaupun akan tertipu."
"Oo!?" Tong Giok melongo
"Orang ini sangat culas dan keji, tapi justeru mempunyai seraut wajah yang menyenangkan,
wajah yang putih dan cakap, iapun mahir membujuk rayu terhadap perempuan, sebab itulah
Toaci ter.... tertipu olehnya."
Kembali Tong Giok termenung agak lama, katanya kemudian dengan muka masam: "Jika hati
Toacimu sudah berubah, untuk apa pula kau cari diriku?"
"Masa.... masa kau tidak paham?" kata Gin-hoa-nio sambil membenamkan kepalanya ke
rangkulan anak muda itu.
"Aku tidak paham," jawab Tong Giok perlahan
"Ai, kau memang....tolol!" omel Gin-hoa-nio
"Aku memang tolol, kalau tidak masa......"
"Cukup, tidak perlu kau katakan lagi," sela Gin-hoa-nio. "Meski Toaciku membuat salah
padamu, tapi aku...." ia bergeliat dalam pangkuan Tong Giok, ia ingin menggunakan tingkahlakunya
sebagai ganti ucapannya.
Perlahan-lahan akhirnya tangan Tong Giok terangkat dan merangkul pinggang si nona.
"Ooo sayang, padamkan dulu lampunya," ucap Gin-hoa-nio sambil berkeluh.
"Jangan dipadamkan, sebab ingin kupandang kau sejelasnya," kata Tong Giok.
"Ai, bu.... busuk amat kau!" omel Gin-hoa-nio.
"Ingin kupandang sejelasnya mengapa di dunia ini ada perempuan sekotor, sekeji dan tidak
tahu malu seperti kau ini...."
Tidak kepalang kejut Gin-hoa-nio seperti melihat setan, teriaknya: "Apa katamu?"
Segera ia bermaksud melepaskan diri dari rangkulan Tong Giok, namun sudah terlambat,
tangan Tong Giok telah bekerja, sekaligus beberapa Hiat-to di punggungnya sudah tertutuk.
347
Seketika Gin-hoa-nio menggeletak di lantai dan tak dapat berkutik, serunya kuatir: "He, apaapaan
kau ini?"
Tong Giok menjengek: "Apakah betul suara Tong Giok selama hidup tak terlupakan
olehmu?"
Sekujur badan Gin-hoa-nio terasa lemas dan dingin, serunya: "He, masa kau bu...... bukan
dia....."
Sungguh mimpipun tak terpikir olehnya bahwa orang yang dibawanya lari keluar dari tempat
yang terjaga ketat dan hampir tidak mungkin dimasuki orang luar itu, ternyata bukan Tong
Giok, bahkan sampai detik inipun dia tidak pernah meragukannya.
Lantas siapakah orang ini kalau bukan Tong Giok? Mengapa dia sedemikian jelas mengetahui
urusan Tong Giok dan Kim-hoa-nio?
"Se...... sesungguhnya siapa kau?" tanya Gin-hoa-nio sambil memandangi orang dengan
cemas.
Dengan perlahan "Tong Giok" berkata pula: "Sekalipun kau ini perempuan paling licin di
dunia juga tak dapat menerka siapakah diriku ini." - Perlahan ia lantas membuka kedoknya
yang berwujud buruk itu dan tertampaklah wajah aslinya.
Sungguh sebuah wajah yang sukar dibayangkan, Wajah yang sukar ditemukan setitik ciripun.
Meski pada wajah ini terdapat bekas luka sayatan pisau yang cukup panjang, tapi bekas luka
ini tidak membuat orang merasa muak, sebaliknya malah menambah daya tarik kelelakiannya.
Seperti orang gila Gin-hoa-nio menjerit: "Ji Pwe-giok! Kau.... mengapa bisa kau?" - Seketika
hatinya terasa seperti tenggelam ke dalam kegelapan yang tidak ketahuan dasarnya.
Tersembul senyuman mengejek pada ujung mulut Ji Pwe-giok, ucapnya dengan tak acuh.
"Tentu tak kau sangka bukan? Salah mu sendiri, nasibmu yang jelek, masa membuat desasdesus
Ji Pwe-giok di depan Ji Pwe-giok. Kalau tidak, cara bagaimana kau memaki Ji Pwegiok
di depan orang pasti akan dipercaya penuh oleh siapa saja yang mendengar."
Gin-hoa-nio seperti terkesima saking kagetnya dan tidak mendengarkan ucapan anak muda
itu, Ia memandangnya dengan linglung dan berulang-ulang bergumam: "Mengapa bisa kau....
mengapa bisa kau...."
"Masa tidak pernah kau dengar dari Tong Lin bahwa pernah ku datang ke Tong-keh-ceng
sini?" tanya Pwe-giok.
"Ya, tahulah aku," seru Gin-hoa-nio, "Karena kau sudah kepepet dan menghadapi jalan buntu,
akhirnya kau minta bantuan Tong Bu-siang agar menyembunyikan kau.... Ai, mengapa
sebelum ini tidak pernah kupikirkan hal ini."
Ji Pwe-giok menghela napas, katanya: "Ucapanmu memang tepat, sesungguhnya aku sudah
kepepet dan sudah buntu, pula terluka. Tapi Tong Bu-siang tidak menghina diriku, ia malah
melanggar kebiasaannya dan menyembunyikan diriku di tempatnya yang paling rahasia."
348
Kini Gin-hoa-nio sudah mulai tenang kembali, ia lantas menjengek: "Tua bangka itu memang
tidak jelek terhadapmu, sampai anak perempuannya juga dikelabuinya dan mengira kau ini
Tong Giok yang tulen, bahkan menyesali kau tidak mengajak bicara padanya."
Pwe-giok tersenyum, ucapnya: "Soalnya dia benar-benar tak dapat melupakan suara Tong
Giok."
"O, jika memang demikian, jadi Tong Giok tadinya memang betul-betul disembunyikan di
rumah batu itu?"
"Ya, bukan saja memang berada di rumah batu itu, bahkan mukanya juga diberi topeng ini.
Tong Bu-siang membawa aku ke sana, lalu memindahkan topeng yang dipakai Tong Giok ke
mukaku serta menukarkan pakaian kami. Semua anak murid keluarga Tong yang berdinas di
sana juga cuma tahu Tong Bu-siang datang dengan membawa seorang pengiring, hanya
sebentar saja mereka lantas pergi lagi. Maka tiada seorangpun yang tahu apa yang terjadi
sesungguhnya."
"Apakah Tong Giok yang asli dibawa pergi Tong Bu-siang?"
"Ya, masa perlu ditanya pula?"
"Dibawa kemana?" tanya Gin-hoa-nio.
"Akupun tidak tahu," jawab Pwe-giok dengan tersenyum tak acuh. "Seumpama tahu,
seandainya kuberitahukan kepadamu, mungkin kaupun tak dapat mencarinya lagi untuk
selamanya."
Pucat air muka Gin-hoa-nio, tanyanya dengan takut: "Akan.... akan kau apakan diriku?"
Pwe-giok memandangnya tanpa menjawab.
"Aku yang melukai wajahmu, ku tahu kau pasti sangat benci padaku...." tanpa memberi
kesempatan bagi Pwe-giok untuk bicara, segera ia berteriak dengan suara parau: "Tapi hanya
kusayat mukamu satu kali, sebaliknya orang lain telah menusuk dan menabas kau berkali-kali,
mengapa kau tidak benci padanya dan cuma dendam padaku."
Orang lain yang dimaksudkannya jelas Lim Tay-ih adanya.
Dengan pedih Pwe-giok menghela napas panjang, lalu memejamkan matanya.
Melihat sikap anak muda itu, seketika mata Gin-hoa-nio mencorong terang, serunya pula:
"Apalagi, seumpama kulukai dan memaki kau, semua ini hanya karena ku cinta padamu,
saking cintanya baru timbul benci. Apakah.... apakah tidak kau pikirkan sampai di sini?"
Akhirnya Pwe-giok bersuara perlahan: "Jangan kuatir, pasti tidak kubunuh kau." - Dia
tersenyum pedih, lalu menyambung pula: "Ucapanmu tidak salah, sesungguhnya memang
terlalu banyak orang yang pernah mencelakai dan memaki diriku, mengapa aku hanya
dendam padamu seorang? Mengapa aku cuma membalas kepadamu saja?"
"Kau tidak benci padaku?" semakin mencorong sinar mata Gin-hoa-nio.
349
"Tidak, aku tidak benci padamu, akupun tidak bermaksud mengganggu seujung
rambutmupun," jawab Pwe-giok. "Aku...... aku hanya akan mengantar kau pulang ke Tongkeh-
ceng."
Seketika air muka Gin-hoa-nio berubah pucat lagi, serunya dengan suara serak: "Jika..... jika
kau tidak dendam padaku, mengapa kau perlakukan diriku cara begini! Tentunya kau tahu
bilamana berada di Tong-keh-ceng, bagiku hanya ada kematian belaka."
"Kan sudah kukatakan, biar kau dusta padaku, memaki padaku, bahkan membunuhku juga
tidak menjadi soal dan takkan kupikirkan, tapi tak dapat kubiarkan kau menipu dan
mencelakai orang lain lagi."
Baru sekarang Gin-hoa-nio kelabakan, teriaknya dengan suara serak: "Kau binatang, kau
pendusta, bicaramu muluk, tapi hatimu terlebih keji dari siapapun. Kau ingin membunuhku,
tapi sengaja meminjam tangan orang lain." - Mendadak ia berteriak lebih keras: "Orang she Ji,
bila benar kau lelaki sejati, kalau berani, hayolah turun tangan sendiri dan bunuhlah diriku,
untuk itu aku akan kagum padamu. Tapi kalau kau bawa diriku ke Tong-keh-ceng, maka kau
adalah hewan, hewan yang lebih kotor daripada babi dan anjing."
Pwe-giok memandangnya dengan tenang, ia tidak marah juga tidak bicara, menghadapi lelaki
demikianlah Gin-hoa-nio benar-benar mati kutu.
Saking gemas dan cemasnya Gin-hoa-nio benar-benar menangis.
Pwe-giok menghela napas, katanya: "Jika sebelum ini kau tahu menghargai orang dan tidak
menganggap orang lain semuanya orang tolol, tentu nasibmu takkan seperti sekarang...."
Mendadak terdengar suara derapan kuda lari, ditengah malam sunyi di angkasa pegunungan,
suara derapan kaki kuda terdengar lebih jelas.
Sebelum suara derap kaki kuda mendekat, lebih dulu Pwe-giok telah memadamkan api lampu,
Ia tutuk Hiat-to bisu Gin-hoa-nio, iapun sudah meneliti keadaan ruangan kelenteng kecil ini.
Apa yang dilakukan ini bukan lantaran nyalinya kecil, tapi disebabkan dia sudah kenyang
pahit-getirnya pengalaman, maka tindakannya sekarang jauh lebih hati-hati daripada orang
lain.
Suara derapan kaki kuda tadi sangat cepat dan ramai, sedikitnya ada tiga penunggang kuda
yang datang. Jauh malam begini mengapa mereka menempuh perjalanan tergesa-gesa begini?
Apalagi menuju ke tempat terpencil ini?
Memangnya Pwe-giok sudah sangsi, apalagi kemudian didengarnya suara kuda lari itu
menuju ke kelenteng ini, cepat ia angkat tubuh Gin-hoa-nio, terus melompat ke atas belandar.
Jika orang lain, tempat yang dibuat sembunyi kalau tidak panggung pemujaan tentu adalah
kolong meja. Namun tempat-tempat itu diketahui oleh Pwe-giok dalam keadaan bersih, tidak
banyak debunya, hal ini menandakan tempat-tempat itu sering digunakan orang.
350
Hal-hal ini pasti takkan ditemukan orang lain, andaikata diketahui juga takkan diperhatikan,
namun Pwe-giok sudah kenyang mengalami mara bahaya sehingga setiap tindak tanduknya
sekarang berpuluh kali lebih hati-hati dan lebih cepat daripada orang lain.
Benarlah, beberapa penumpang kuda itu akhirnya berhenti di luar kelenteng kecil ini.
Terdengar seorang diantaranya bertanya: "Apakah di sini?"
"Ya, di sini," jawab seorang lagi. "Silahkan kalian masuk."
Dalam kegelapan Pwe-giok melihat berturut-turut masuk tiga orang, wajah mereka tidak
terlihat jelas, hanya perawakan orang pertama kelihatan jangkung, tampaknya sangat hapal
terhadap keadaan kelenteng ini.
Selagi heran, orang itu sudah menyalakan lampu minyak di atas meja. Di bawah cahaya
lampu dapatlah Pwe-giok melihat jelas muka ketiga orang itu. Betapa kagetnya hampir saja ia
jatuh terjungkal dari tempat sembunyinya.
Orang yang berperawakan jangkung itu adalah seorang pemuda berpakaian perlente,
pinggangnya bergantung sebuah kantung kulit beraneka warna, itulah tanda pengenal khas
anggota keluarga Tong.
Dua orang yang ikut masuk itu, yang satu berjubah sulam dan berkopiah tinggi, pedang
bergantung di pinggang, rambutnya sudah mulai ubanan, tapi sikapnya tetap gagah, tiada
sedikitpun tanda-tanda ketuaannya.
Seorang lagi berwajah kereng, langkahnya mantap, perbawanya besar.
Kedua orang ini ternyata Leng hoa-kiam Lim Soh-koan dan Ong Kim-liong dari Thay-oh.
Kedua tokoh yang rapat hubungannya dengan Ji Hong-ho ini datang bersama anak murid
keluarga Tong, bahkan tidak menuju ke Tong-keh-ceng sebaliknya datang ke tempat terpencil
seperti ini, lalu apakah yang hendak mereka lakukan?
Kejut dan heran Pwe-giok, bahkan juga kesal.
Yang membuatnya kesal ialah Lim Soh-koan dan Ong Kim-liong ini, baik gerak-gerik
maupun wajahnya sungguh mirip dengan yang asli, tampaknya intrik mereka ini benar-benar
sukar untuk dibongkar.
Dilihatnya mata Ong Kim-liong mencorong seperti sinar kilat, ucapnya sambil mengusap
jenggot: "Mengapa Bu-siang Lojin mengundang kami ke tempat terpencil dan kotor ini untuk
bertemu? Coba kalau Tong-kongcu tidak datang sendiri, tentu kami akan merasa curiga
kesungguhan hati Bu-siang Lojin."
Pemuda baju perlente itu menjawab dengan tersenyum: "Demi keamanan agar tidak dilihat
orang dengan sendirinya ayahku bertindak sehati-hatinya. Kecuali Wanpwe sendiri, anak
murid perguruan kami tiada satupun yang tahu. Bukankah kedua Cianpwe juga menghendaki
agar urusan ini jangan terlalu banyak diketahui orang."
351
"Hahahaha, betul, memang inilah transaksi perdagangan kita sendiri dan tidak perlu diketahui
orang lain." ujar Ong Kim-liong dengan bergelak tertawa.
Pwe-giok tambah terkejut. Ia yakin pemuda perlente itu tentu Tong Jan, putera sulung Tong
Bu-siang. Sedangkan kedatangan Lim Soh-koan dan Ong Kim-liong ini adalah untuk
memenuhi janji pertemuan dengan Tong Bu-siang. Sesungguhnya transaksi perdagangan apa
yang hendak mereka lakukan? Dan mengapa transaksi ini harus dirahasiakan?
Sejenak kemudian, terdengar Ong Kim-liong berkata pula: "Waktu yang dijanjikan ayahmu
apakah betul pada malam ini juga?"
"Betul, urusan sepenting ini masa Wanpwe bisa salah ingat?" jawab Tong Jan dengan tertawa.
Tiba-tiba Lim Soh-koan menyeletuk: "Konon keparat itu sangat tinggi ilmu silatnya, bahkan
sangat licin, apakah ayahmu yakin benar-benar dapat menangkapnya?"
Tong Jan tersenyum, "Biarpun keparat ini sangat licin, tapi terhadap ayahku dia percaya
penuh dan tidak sangsi sedikitpun. Apalagi ayah sudah menjebloskan dia ke tempat yang
terjaga sangat ketat dan dilarang didatangi siapapun juga, sekalipun dia tidak terluka juga
jangan harap akan dapat kabur."
Lim Soh-koan tersenyum, ucapnya: "Jahe memang pedas yang tua, cara kerja Bu-siang Lojin
sungguh sangat mengagumkan kami."
Ong Kim-liong lantas berkata pula: "Tapi Kongcu perlu tahu, terhadap keparat itu, Bengcu
juga tiada maksud jahat, yang dikuatirkan adalah kemungkinan keparat itu akan memperalat
nama mendiang putera Bengcu untuk bertindak sewenang-wenang di luaran, sebab itulah
Bengcu ingin menemukan dia...."
"Ya, Wanpwe paham," tukas Tong Jan dengan tertawa.
Ong Kim-liong juga tertawa, katanya: "Setelah ayahmu menyelesaikan urusan ini bagi
Bengcu, dengan sendirinya Bengcu takkan melupakan kebaikannya. Tapi saat ini Bengcu
mengemban tugas pengamanan dunia persilatan, setiap tindakannya tentu akan menarik
perhatian orang, beliau kuatir ada anasir-anasir tak bertanggung jawab akan menggunakan
kesempatan ini untuk menyiarkan desas-desus, sebab itulah urusan ini perlu dirahasiakan."
"Cianpwe jangan kuatir, Wanpwe pasti takkan membocorkan sedikitpun urusan ini," kata
Tong Jan.
Mendengar sampai di sini, kaki dan tangan Pwe-giok terasa dingin seluruhnya.
"Keparat" yang disinggung Lim Soh-koan dan begundalnya itu tidak perlu disangsikan lagi
pastilah dirinya. Nyata, iblis yang menyaru sebagai ayahnya, yaitu Ji Hong-ho, masih juga
tidak mau mengabaikan dia.
Lalu Tong Bu-siang yang mau melanggar peraturannya dan menerima dia itu ternyata juga
jahanam yang bermuka manusia tapi berhati binatang, setelah dia disembunyikan di Tongkeh-
ceng, diam-diam ia telah dijualnya.
352
Untung secara tidak sengaja Gin-hoa-nio telah menyerobotnya keluar, kalau tidak, saat ini
mungkin dirinya sudah terjeblos di dalam cengkeraman kawanan iblis ini dan nasibnya sukar
untuk dibayangkan.
Berpikir sampai di sini, seketika Pwe-giok bermandi keringat dingin.
Didengarnya Tong Jan berkata pula: "Setelah urusan ini selesai, diharap cianpwe juga jangan
lupa kepada urusan yang telah dijanjikan."
"Ucapan Bengcu laksana gunung kukuhnya, masa ingkar janji?" ujar Lim Soh-koan dengan
serius.
Ong Kim-liong tertawa dan berkata: "Asalkan ayahmu dapat dipercaya ucapannya, kami
menjamin akan menumpas Khing-hoa-samniocu. Bengcu memerintah seluruh dunia
persilatan, kekuasaannya tak terbatas, masa cuma Thian-jan-kau yang tiada artinya itu tak
dapat membereskannya?"
"Bila Bengcu sudi menumpaskan bibit bencana bagi ayahku, selanjutnya apapun perintah
Bengcu, segenap anggota keluarga Tong yang berjumlah beberapa ratus jiwa pasti siap
melaksanakannya," kata Tong Jan.
Kiranya Tong Bu-siang takut diganggu oleh "Khing-hoa-samniocu", demi menghilangkan
penyakit ini dia rela mengkhianati Ji Pwe-giok.
Dan rupanya inilah transaksi dagang mereka.
Mendengar semua percakapan itu, sungguh Pwe-giok sangat sedih, ingin menangispun tidak
keluar air matanya. Tak tersangka olehnya seorang tokoh suatu perguruan besar yang disegani
sebagai Tong Bu-siang bisa berubah menjadi pengecut dan rendah begini.
"Krek", mendadak terdengar bunyi sesuatu, tempat patung pemujaan mendadak bergeser,
menyusul Tong Bu-siang muncul dari meja sembahyang.
Di bawah meja sembahyang itu ternyata ada sebuah jalan tembus di bawah tanah, kiranya
patung Toa-pekong itulah pusat pengendali jalan rahasia ini. Untung sebelumnya Ji Pwe-giok
bertindak sangat hati-hati, kalau dia sembarangan mencari tempat sembunyi, saat ini dia tentu
sudah kepergok.
Di bawah cahaya lampu kelihatan Tong Bu-siang bermuka pucat dan lesu, ia berusaha
menenangkan diri dan memberi hormat serta menyapa: "Anda berdua sungguh orang yang
bisa pegang janji, kedatanganku agak terlambat, harap maaf."
Gemerdep sinar mata Ong Kim-liong, ia membalas hormat dan berkata: "Ah, tidak apa-apa.
Tentunya Tong-tayhiap telah membawa kemari Ji Pwe-giok itu?"
Tong Bu-siang berdehem beberapa kali, lalu menjawab: "Sebenarnya urusan ini tidak menjadi
soal, siapa tahu.... siapa tahu...."
Seketika Ong Kim-liong menarik muka dan berkata: "Adakah sesuatu perubahan mendadak?"
353
Tong Bu-siang menghela napas panjang, jawabnya kemudian dengan menyengir: "Urusan ini
memang betul ada perubahan, sebab Ji Pwe-giok telah.... telah kabur."
"Apa katamu?" Ong Kim-liong menegas dengan melengak.
"Perubahan yang tak terduga ini, sungguh membuatku merasa malu, sekali lagi kuminta
maaf," ucap Tong Bu-siang dengan menyesal.
"Perubahan tak terduga bagaimana? Hm, jangan-jangan kau sengaja hendak mempermainkan
kami?" tanya Ong Kim-liong dengan gusar.
"Biarlah langit dan bumi menjadi saksi, apa yang kukatakan adalah sejujurnya," jawab Tong
Bu-siang sambil menyengir.
"Seumpama betul keteranganmu, masa Tong-keh-ceng yang gilang gemilang dapat dibuat
terobosan orang sesukanya?" jengek Lim Soh-koan.
"Anda mungkin tidak tahu bahwa demi membuat tenteram hati Ji Pwe-giok itu, maka waktu
ku ajak dia masuk ke gua rahasia kami, secara tidak sengaja telah kuserahkan sebuah Lengpay
(pelat besi tanda perintah) yang biasanya dapat digunakan untuk keluar masuk tanpa
rintangan," demikian tutur Tong Bu-siang.
"Tanpa sengaja apa?" damperat Ong Kim-liong dengan gusar. "Kukira kau mempunyai tipu
muslihat lain?!"
"Ah, sama sekali tiada maksud demikian!" jawab Tong Bu-siang.
"Jika kau tiada mempunyai tipu muslihat lain, maka pastilah kau ini sudah tua dan pikun...."
jengek Lim Soh-koan.
Sejak tadi Tong Jan sudah menahan gusar, sekarang mendadak ia menggebrak meja dan
membentak: "Kalian ini menganggap dirimu ini apa? Berani bicara sekasar ini kepada
ayahku?"
Kalau Tong Bu-siang tambah tua tambah penakut, tidak perkasa lagi seperti waktu mudanya,
sedangkan putranya justeru menginjak masa keras dan berani, maka bentakannya tadi
membuat Lim Soh-koan dan Ong Kim-liong terkejut.
Dengan bengis Tong Jan berteriak pula: "Hendaklah kalian jangan lupa tempat apakah sini.
cukup orang she Tong memberi aba-aba, mungkin tidaklah mudah bagi kalian untuk pergi
dengan selamat!"
Mendadak Ong Kim-liong bergelak tertawa, katanya: "Kenapa Tong-kongcu marah-marah
begini? Yang kami sayangkan hanya karena urusan penting ini telah gagal, sekalipun ada
ucapan kami yang kurang pantas, masakah kami berani berlaku kasar terhadap Tongkongcu?"
Mendengar nada orang berubah lunak, Tong Bu-siang lantas membusungkan dada, ucapnya
dengan tersenyum sambil mengusap jenggotnya: "Meski urusan kita telah gagal, tapi biarpun
Bengcu datang sendiri juga takkan menyalahkan diriku."
354
"Apakah betul?" ujar Ong Kim-liong dengan tersenyum aneh.
Sekonyong-konyong terdengar suara langkah orang yang ramai, delapan orang berseragam
hitam ringkas dan bercaping dengan golok terhunus menerobos masuk.
Tong Bu-siang terkejut, serunya: "He, ada.... ada apa ini?"
Belum lenyap suaranya, seorang kakek berbaju hijau dengan wajah putih bersih melangkah
masuk dengan pelahan, siapa lagi dia kalau bukan Bulim-bengcu sekarang, Ji Hong-ho
adanya.
Keringat dingin membasahi tangan Ji Pwe-giok. Dahi Tong Bu-siang juga berkeringat.
Terpaksa ia menyapa sambil memberi hormat: "Maaf, hamba tidak tahu Bengcu akan
berkunjung kemari sehingga tidak dilakukan penyambutan selayaknya, mohon Bengcu
memberi ampun."
"Ah, ucapan Tong-heng terlalu sungkan," jawab Ji Hong-ho dengan tak acuh. Ia memandang
sekejap ke arah Tong Jan yang masih bersikap marah itu dan menambahkan: "Yang ini
tentunya putera Anda bukan?"
"Betul, dia anak sulungku, Tong Jan," jawab Bu-siang dengan mengiring tawa.
Ji Hing-ho mengangguk dan tersenyum, katanya: "Bagus, bagus, benar-benar ksatria muda
perkasa, tidak malu sebagai putera dari ayah ternama.... Eh, entah sudah berapa usianya tahun
ini?"
"Wanpwe berusia 26 tahun," jawab Tong Jan sambil membungkuk tubuh.
"Wah, orang pemberang begini dapat hidup selama 26 tahun, sungguh tidak mudah," ujar Ji
Hong-ho dengan acuh tak acuh.
Setelah Tong Jan melengak, mukanya menjadi pucat.
Pelahan Ji Hong-ho berkata pula: "Di hadapan orang tua bisa jadi orang muda akan bersikap
kurang hormat, ini dapat dimengerti, tapi kalau sampai menggebrak meja segala, kukira cara
demikian agak keterlaluan."
Tong Jan tidak tahan, ia membantah: "Tapi sikap Tecu itu bukannya mengacau tanpa
beralasan."
"Oo, jadi Tong-kongcu tidak terima ucapanku ini? Memangnya tadi orang she Ji yang
mengacau tanpa alasan?" kata Ji Hong-ho dengan tersenyum.
Belum Tong Jan menjawab, cepat Tong Bu-siang membentaknya, dengan mengiring tawa ia
berkata kepada sang Bengcu: "Maaf, jika anak ini ada kesalahan, biarlah kumohonkan ampun
baginya."
Tiba-tiba Ji Hong-ho menarik muka dan berkata: "Yang kutanya ialah putramu, sebaiknya
Tong-heng jangan ikut bicara."
355
Dan Tong Bu-siang benar-benar tidak berani ikut bicara lagi.
Tong Jan menarik napas dalam-dalam, ucapnya kemudian dengan suara berat: "Biarpun
Wanpwe orang bodoh, pernah juga kubaca kitab ajaran Nabi, mana berani ku lawan orang tua.
Tapi kalau orang lain menghina ayahku, betapapun Wanpwe tidak dapat tinggal diam!!"
"Lalu mau apa kalau tidak dapat tinggal diam?" tanya Ji Hong-ho.
Saking tak tahan Tong Jan berteriak: "Barang siapa menghina ayahku, biarpun mengadu jiwa
juga akan ku labrak dia."
Ji Hong-ho tersenyum, katanya: "Oo, apa betul? Sungguh terpuji......" belum lanjut
ucapannya, mendadak tangannya menampar ke samping.
Entah karena keder terhadap perbawa sang Bengcu atau memang tak dapat menghindar
serangan kilat itu, tahu-tahu "plok", muka Tong Bu-siang tergampar dengan telak.
Lalu Ji Hong-ho berpaling pula kepada Tong Jan dan bertanya dengan tersenyum: "Nah,
bagaimana?"
Air muka Tong Jan sebentar pucat sebentar hijau, meski mengepal, tapi tangan terasa
gemetar.
Sambil mendekap mukanya yang bengap, dengan suara serak Tong Bu-siang membentak:
"Kau binatang yang durhaka, masa kau berani kurang ajar terhadap Bengcu?"
"Sudah tentu ia tidak berani," tukas Ji Hong-ho dengan tersenyum tak acuh, "plak", mendadak
sebuah tangannya menyampuk pula dan tepat mengenai muka Tong Bu-siang.
Tong Jan tidak tahan lagi, air matanya bercucuran dan menangis sedih, teriaknya: "Ayah,
anak tidak berbakti dan tidak..... tidak dapat...." di tengah jerit pilu dan murkanya serentak ia
menubruk ke arah Ji Hong-ho.
"Jangan, anak Jan!" Tong Bu-siang menjerit kaget.
Akan tetapi sudah terlambat, pukulan Tong Jan tepat mengenai bahu Ji Hong-ho, "krek",
tahu-tahu pergelangan tangan Tong Jan sendiri tergetar patah, tubuhnya juga terpental dan
mencelat.
Sebaliknya Ji Hong-ho masih tenang-tenang saja sambil memangku tangan, ucapnya dengan
tertawa, "Tong-heng, nyali putramu memang teramat besar."
Tong Bu-siang lantas berjongkok di tanah dengan air mata bercucuran, katanya dengan
terputus-putus: "Anak kecil tidak tahu aturan, mohon.... mohon Bengcu memberi ampun
padanya...."
356
Ji Hong-ho menghela napas, katanya: "Sudah tentu tidak kupikirkan perbuatannya, hanya
saja..... kaupun peserta pertemuan Hong-ti, masa kau tidak tahu hukuman apa bagi orang yang
berani menghina dan menyerang Bengcu?"
Tong Bu-siang menyembah dan berkata pula: "Mohon Bengcu sudi mengampuni jiwanya,
biar kupotong sendiri kedua tangannya untuk minta maaf kepada Bengcu."
Ji Hong-ho tidak menjawab, ia berpaling ke arah Ong Kim-liong dan bertanya:
"Bagaimana?!"
Dengan suara bengis Ong Kim-liong lantas berseru: "Undang-undang yang ditetapkan dalam
pertemuan Hongti mendapat perhatian sepenuhnya di seluruh dunia, apabila undang-undang
itu dilanggar, lalu siapa pula yang akan menghargai Bengcu, siapa pula yang menghargai
pertemuan Hongti?"
Ji Hong-ho lantas berpaling pula ke arah Tong Bu-siang dan berkata: "Dan bagaimana dengan
pendapatmu? Terikat oleh undang-undang, terpaksa aku tak dapat berbuat apa-apa."
Dalam pada itu Ong Kim-liong sudah menggusur Tong Jan keluar, menyusul lantas terdengar
jeritan ngeri di luar. Dengan sempoyongan Tong Bu-siang berdiri, hampir saja jatuh terkulai
lagi di lantai.
Di tempat sembunyinya Ji Pwe-giok dapat mengikuti adegan dramatis itu, tanpa terasa air
matanya berlinang-linang. Kalau saja dia harus bertahan hidup demi perjuangannya yang
belum selesai, tentu dia sudah melompat turun untuk mengadu jiwa.
Dilihatnya Ji Hong-ho sedang menatap Tong Bu-siang dengan tajam, lama dan lama sekali,
tiba-tiba ia berkata pula: "Kau berduka atas kematian anakmu, tentunya Tong-heng
bermaksud menuntut balas bukan?"
Dengan napas terengah-engah Tong Bu-siang menjawab dengan menunduk: "Apa yang
terjadi adalah akibat perbuatan anak itu sendiri, mana berani kusalahkan orang lain."
Ji Hong-ho tertawa cerah, katanya: "Bagus, Tong-heng memang orang yang bijaksana."
Makin rendah Tong Bu-siang menunduk, begitu rendah sampai Ji Pwe-giok ikut malu
baginya.
Terdengar Ji Hong-ho berkata pula: "Dari jauh ku datang ke sini, tahukah Tong-heng apa
tujuanku?"
"Dengan sendirinya untuk Ji Pwe-giok itu," jawab Bu-siang dengan ragu.
"Hahaha, salah kau!" seru Ji Hong-ho dengan tertawa.
"Salah?" Tong Bu-siang melengak.
"Ketahuilah, tujuanku mencari Ji Pwe-giok itu adalah karena ingin kuselidiki asal-usulnya,
sebab ku kuatir dia adalah putraku yang durhaka itu, tapi sekarang sudah jelas diketahui
357
bahwa dia memang orang lain. Sebab itulah, selanjutnya tentang orang ini, apakah dia masih
hidup atau sudah mampus tidak ku perduli lagi."
Urusan ini sebenarnya suatu rahasia, kini Ji Hong-ho menguraikannya secara blak-blakan,
tentu saja Ji Pwe-giok terkesiap, lebih-lebih Tong Bu-siang, ia terkejut dan sangsi pula,
tanyanya dengan tergagap-gagap: "Jika demikian, untuk.... untuk keperluan apakah
kedatangan Bengcu ini?"
"Kedatanganku ini adalah ingin memperkenalkan beberapa sahabat kepadamu," jawab Ji
Hong-ho.
Tong Bu-siang tambah heran, ia berkedip-kedip tanyanya: "Sahabat? Entah siapa-siapa saja?"
"Memang aneh kalau diceritakan," ujar Ji Hong-ho dengan tertawa. "Terhadap orang ini jelas
Tong-heng sudah sangat kenal, sebaliknya orang ini selamanya tidak pernah melihat Tongheng."
Seketika Bu-siang melongo, sama sekali tak dapat dirabanya siapakah gerangan yang
dimaksudkan, iapun tidak tahu untuk maksud apakah Ji Hong-ho hendak memperkenalkannya
kepada "sahabat" yang disebut itu.
Tiba-tiba ia merasa wajah Ong Kim-liong dan Lim Soh-koan menampilkan semacam
senyuman yang misterius, seketika timbul rasa ngerinya dari kaki ke ulu hati.
Diam-diam Pwe-giok juga merasa heran. Untuk apakah Ji Hong-ho sengaja membawa
seorang "sahabat" untuk dipertemukan kepada Tong Bu-siang, bahkan sebelumnya dengan
suatu dan lain alasan dibunuhnya lebih dulu anak lelaki Tong Bu-siang.
Apakah karena orang ini tidak boleh dilihat oleh Tong Jan?
Siapakah orang ini sesungguhnya? Mengapa begini misteriusnya?
Intrik apa yang tersembunyi di balik semua kejadian ini?
Pwe-giok merasa tangan dan kakinya rada dingin, dahinya juga berkeringat dingin.
Dalam pada itu Ji Hong-ho telah memberi tanda, beberapa lelaki berseragam hitam tadi lantas
melangkah keluar, menyusul dari kegelapan di luar lantas menyelinap masuk seorang.
Orang ini memakai kopiah dan berjubah hijau. Waktu Pwe-giok mengintai dari atas, tentu saja
muka orang ini tidak kelihatan. Tapi Tong Bu-siang dapat melihat dengan jelas wajah orang
yang baru masuk ini.
Tiba-tiba Pwe-giok melihat, setelah berhadapan dengan orang yang baru masuk ini, seketika
wajah Tong Bu-siang merinding seperti melihat setan, air mukanya penuh rasa takut,
tubuhnya berkejang dan mulut melongo....
Pwe-giok terperanjat, ia tidak tahu sesungguhnya terdapat keanehan apa pada wajah orang
yang baru datang ini sehingga dapat membuat Tong Bu-siang ketakutan setengah mati.
358
Dengan tersenyum Ji Hong-ho lantas berkata: "Bagaimana, Tong-heng. Tidak keliru bukan
perkataanku, bukankah kau sudah kenal dia?"
"Aku...... aku..... dia....." Tong Bu-siang gelagapan dengan suara parau, kerongkongannya
seperti tersumbat dan tak dapat bicara lancar.
"Sudah lama dia ingin bertemu dengan Tong-heng, cuma waktunya yang tepat belum tiba,
juga aku tidak menghendaki Tong-heng bertemu dengan dia..... Apakah Tong-heng sudah
tahu apa sebabnya?"
"Ti...... tidak tahu." jawab Bu-siang.
"Sebab tidak kuhendaki Tong-heng mati terlalu cepat," ujar Ji Hong-ho dengan tersenyum.
Dahi Tong Bu-siang penuh keringat, baru diusap keringat sudah merembes keluar lagi,
dengan suara parau ia tanya: "Ap.... apa maksudnya?"
"Sebab pada waktu kalian bertemu, pada saat itu pula ajalmu tiba," jawab Ji Hong-ho dengan
tertawa.
Terbelalak lebar mata Tong Bu-siang, ia menatap orang yang misterius itu, butiran keringat
berketes-ketes di mukanya dan merembes ke matanya, tapi dia sama sekali tidak berkedip.
"Apakah kau ingin memandangnya dengan lebih jelas? .... Baik!" mendadak Ji Hong-ho
menyingkap topi orang itu yang berpinggir lebar dan....
Ternyata wajah orang inipun wajah "Tong Bu-siang", mukanya, alisnya, matanya, hidungnya,
semuanya mirip, persis seperti berasal dari satu cetakan.
Baru sekarang Pwe-giok dapat melihatnya dengan jelas, tidak kepalang tegangnya sehingga
sekujur badan sama gemetar.
Akhirnya dengan mata kepala sendiri ia dapat menyaksikan rahasia kawanan iblis ini!,
Didengarnya Ji Hong-ho lagi berkata dengan tertawa: "Nah, sekarang Tong-heng sudah
melihat jelas bukan? Bukankah ini suatu karya seni yang belum pernah ada sejak dahulu
hingga kini. Biarpun seniman paling tersohor dari jaman dulu hingga sekarang banyak yang
dapat melukis dengan sedemikian indahnya, tapi semuanya itu adalah benda mati. Dan buah
karya kami sekarang, bukan saja terdiri dari darah daging, bahkan juga berjiwa."
Tong Bu-siang sudah mirip sebuah patung yang tak berjiwa dan tidak bergerak.
"Dengan susah payah kami berusaha, dengan pembantu-pembantu mengawasi gerak-gerikmu,
akhirnya dapatlah kami ciptakan Tong Bu-siang yang kedua. Untuk ini, Tong-heng, kukira
kau harus merasa bangga."
"Tapi..... tapi sesungguhnya apa sebabnya?" tanya Bu-siang.
"Masa sampai sekarang Tong-heng belum lagi paham?" tanya Ji Hong-ho sambil bergelak
tertawa.
359
"Aku benar-benar tidak paham," kata Bu-siang sambil menjilat bibirnya yang kering.
Serentak Ji Hong-ho berhenti tertawa, lalu berucap sekata demi sekata: "Sebab Tong Bu-siang
yang pertama sudah hidup cukup lama, sekarang dia boleh istirahat dengan baik-baik dan
biarkan Tong Bu-siang yang kedua menggantikan kehidupannya."
Sekonyong-konyong Tong Bu-siang bergelak tertawa, tertawa latah.
Ji Hong-ho memandangnya dengan dingin, sejenak kemudian baru ia berucap pula: "Pada saat
demikian Tong-heng masih sanggup tertawa, sungguh peristiwa aneh juga."
"Mengapa aku tidak dapat tertawa, aku justeru tertawa geli," teriak Tong Bu-siang sambil
terbahak-bahak. "Hahaha, dengan boneka ciptaan kalian ini akan kalian gunakan untuk
menggantikan diriku?"
"Kenapa kau heran? Sudah beberapa kali kami berhasil!" jawab Ji Hong-ho dengan dingin.
"Sekarang percayalah aku kepada perkataan Ji Pwe-giok itu, dengan sendirinya akupun tahu
kalian sudah berhasil beberapa kali," kata Tong Bu-siang. "Tapi aku Tong Bu-siang tidaklah
sama dengan kau Ji Hong-ho, juga tidak sama dengan orang-orang seperti Cia Thian-pi, Ong
Ih-lau, Sebun Bu-kut dan sebagainya."
"Di mana perbedaannya?" tanya Ji Hong-ho dengan sinar mata gemerdep.
"Orang-orang ini andaikan tidak berdiri sendirian, orang yang berdekatan dengan mereka juga
tidak banyak, kalian dapat menghancurkan Ji Pwe-giok, dapat memaksa minggat Lim Tay-ih,
tapi dapatkah kalian membunuh habis anak murid keluarga Tong? Meski kalian dapat
membinasakan anakku, Tong Jan, tapi aku masih banyak anak murid yang lain, pada satu hari
rahasia kalian pasti akan terbongkar."
"Begitukah?" ucap Ji Hong-ho dengan tak acuh dan tetap tenang.
"Sekalipun kalian dapat menciptakan orang ini sehingga serupa diriku, bahkan cara bicara dan
gerak-geriknya juga serupa, tapi apakah kalian tahu siapa nama kecil putera puteriku dan
muridku? Tahukah kalian bilakah hari lahir mereka? Tahukah kalian sifat dan perangai
mereka masing-masing?......" Tong Bu-siang terbahak-bahak, lalu menyambung pula: "Suatu
keluarga besar seperti keluarga Tong ini tentu terdapat banyak hal yang tidak diketahui orang
luar, untuk bisa menjadi kepala keluarga sebesar ini, memangnya semudah perkiraan kalian?"
Ji Hong-ho terdiam sejenak, katanya kemudian: "Betul juga ucapanmu, memang ada
sementara hal-hal yang tidak kami ketahui, tapi dengan cepat pasti akan kami ketahui."
"Kukira belum tentu mampu," jengek Bu-siang.
"Tapi aku yakin sanggup, kupercaya kau pasti akan membeberkan segala rahasiamu kepada
kami," kata Ji Hong-ho dengan tertawa.
"Tidak, siapapun jangan harap akan dapat memaksa diriku," bentak Bu-siang.
360
"Orang lain mungkin tidak dapat, tapi kami mempunyai cara tersendiri, mempunyai cara yang
aneh, bolehlah Tong-heng mencobanya...."
Belum habis ucapan Ji Hong-ho, mendadak di luar ada suara suitan. Cepat Ong Kim-liong
memburu keluar dan cepat pula berlari kembali, dengan suara tertahan ia memberi lapor:
"Ada tanda bahaya, seperti kedatangan orang."
"Mundur cepat!" kata Ji Hong-ho. "Segenap penjagaan terang maupun gelap, seluruhnya
meninggalkan pegunungan ini."
"Dan orang ini?" tanya Ong Kim-liong sambil memandang Tong Bu-siang.
"Kerudungi kepalanya dan bawa dia!" kata Ji Hong-ho.
Mendadak Tong Bu-siang melompat ke atas, kedua tangannya bekerja sekaligus, terdengar
suara mendesing ramai, dalam sekejap saja berpuluh biji senjata rahasia telah berhamburan.
"Semuanya jangan bergerak, biar kubereskan dia!" bentak Ji Hong-ho. Berbareng itu ia telah
menanggalkan topinya dan diputar satu lingkaran, seketika senjata rahasia yang bertebaran itu
seperti laron menubruk pelita, semuanya hinggap ke dalam topinya. Akan tetapi dengan kalap
Tong Bu-siang lantas menerjangnya.
Senjata rahasia keluarga Tong tiada bandingannya di dunia ini, Kungfu lain juga tidak lemah.
Rambut dan jenggot putih si kakek ini beterbangan, kedua telapak tangannya serentak
menghantam dengan gencar.
Tapi Ji Hong-ho juga bergerak dengan gesit, bentaknya: "Kau berani melawan?"
"Hm, mau apa kalau melawan?" Tong Bu-siang menyeringai. "Memangnya kau berani
membunuh aku? Kukira kau masih perlu keterangan-keterangan dariku!"
Dalam sekejap mata sudah belasan pukulan dilontarkan, setiap pukulannya cukup keras dan
ganas, bila perlu dia bersedia gugur bersama lawan.
Pertarungan nekat begini benar-benar memusingkan kepala, betapapun tinggi ilmu silat
seseorang, bila ketemu serangan kalap demikian pasti akan kewalahan dan terpaksa harus
menghindar sedapatnya.
Tong Bu-siang hanya ingin mengulur waktu saja, ia pikir asalkan Ji Hong-ho tidak berani
mengadu pukulan, maka dia dapat mengulur tempo sebanyak-banyaknya, dan bila ada yang
datang berarti akan tertolonglah dirinya.
Ji Hong-ho memang tidak berani menyambut serangannya dengan keras lawan keras, sudah
dua-tiga puluh jurus dan tetap tidak balas menyerang. Lim Soh-koan dan Ong Kim-liong juga
tidak membantu, bahkan memandang saja tidak.
Nyata mereka yakin benar-benar Tong Bu-siang pasti tak tahan sekali hantam oleh Bengcu
mereka.
361
Pwe-giok ikut berdebar-debar menyaksikan pertarungan seru itu, sesungguhnya ia ingin tahu
gaya asli ilmu silat "Ji Hong-ho" ini, siapa tahu yang dimainkan "Ji Hong-ho" ini memang
gerakan asli "Bu-kek-bun", yakni perguruan Pwe-giok sendiri, bahkan gerakannya sangat
gesit dan indah, tiada setitik ciri apapun dapat ditemukan.
Padahal di seluruh jagat ini selain Hong-ho Lojin, ayah Pwe-giok sendiri, siapa lagi yang
mampu memainkan Kungfu asli Bu-kek-bun ini?
Seketika Pwe-giok berkeringat dingin dan kebingungan.
Dalam pada itu terdengar Ji Hong-ho sedang berseru dengan tersenyum: "Tong-heng,
seranganmu yang nekat ini akhirnya tetap tiada gunanya.... Pergilah kau!" - Disertai bentakan
perlahan, sebelah tangannya secepat kilat menghantam.
Pukulan Ji Hong-ho ini tampaknya sukar menembus serangan Tong Bu-siang yang gencar itu,
siapa tahu justeru dapat menerobos pada bagian yang sama sekali sukar dipercaya orang.
Begitu terpukul, kontan Tong Bu-siang roboh.
Ji Hong-ho tidak lagi memandangnya, begitu pukulannya dilontarkan, segera ia melompat
mundur sambil berseru: "Bawa dia, lekas ikut mundur!"
Hanya sekejap saja sinar lampu di kelenteng kecil ini sudah padam, semua orang juga sudah
pergi, hanya tertinggal Ji Pwe-giok saja yang masih termangu-mangu di tempat gelap dengan
mandi keringat dingin.
Dimulai sejak munculnya Ong Kim-liong dan Lim Soh-koan sampai dengan kepergian
mereka, jarak waktu itu tidaklah lama, tapi bagi Pwe-giok rasanya seperti sudah selang
setahun lamanya.
Dalam jarak waktu ini Ji Pwe-giok benar-benar bernapas diantara mati dan hidup, seperti telur
di ujung tanduk. Asalkan tempat sembunyinya diketahui orang, maka tamatlah riwayatnya.
Bila orang lain, bisa jadi akan ketakutan setengah mati dan sedikit badannya bergemetar atau
napasnya sedikit keras, bila setitik debu di atas belandar terjatuh, maka selamanya jangan
harap lagi akan meninggalkan kelenteng ini dengan hidup.
Untung Gin-hoa-nio dalam keadaan tertutuk Hiat-to seluruh tubuhnya sehingga tak dapat
bergerak dan bersuara, Pwe-giok sendiri sejak kecil sudah biasa berlatih duduk bersemedi dan
menahan perasaan, sekalipun di bawah panas terik matahari atau di gua es juga dia sanggup
bertahan tanpa bergerak sedikitpun. Sebab itulah dia tidak sampai diketahui musuh.
Tapi sekarang, setelah bebas dari ketegangan yang hebat tadi, ia merasa ingin mencari suatu
tempat untuk berbaring dan istirahat.
Namun iapun tahu kesempatan yang sukar dicari ini tidak boleh disia-siakan. Asalkan dia
dapat mengikuti jejak orang-orang ini secara diam-diam dan berhasil menemukan tempat
penyimpanan Tong Bu-siang asli dan palsu itu, maka besar harapannya akan dapat
membongkar rahasia mereka.
362
Namun iapun menyadari, untuk menguntit tokoh-tokoh kelas satu itu sama halnya berjudi
dengan jiwanya sendiri, meski kesempatan untuk menang tidaklah banyak, namun resiko ini
cukup berharga untuk dihadapi.
Padahal kesempatan ini segera akan lenyap dalam sekejap saja, sungguh peluang untuk
bernapas saja terasa tidak ada.
Dilihatnya Gin-hoa-nio sedang menatapnya dengan terbelalak lebar, meski dia tak dapat
bergerak dan bersuara, namun dia dapat mendengar segala apa yang terjadi.
Pwe-giok tidak sempat banyak berpikir lagi, segera ia membisiki nona itu: "Sebenarnya
hendak ku antar kau ke Tong-keh-ceng agar mereka membuat perhitungan dengan kau, tapi
sekarang..... Ai, biarlah suka-duka kita selanjutnya kuhapus seluruhnya, Hiat-to yang kututuk
dalam waktu tak lama lagi akan punah dengan sendirinya dan kau dapat bergerak kembali.
Semoga selanjutnya jangan kau cari diriku lagi dan akupun takkan mengusik dirimu."
Sesudah memberi pesan ini, segera ia hendak melompat turun dan tinggal pergi.
Siapa tahu, pada saat itu juga dari luar ada suara langkah orang pula disertai berkelebatnya
cahaya lampu, ternyata Ong Kim-liong telah masuk pula dengan membawa dua orang
berseragam hitam.
Heran dan gelisah Pwe-giok, sudah jelas Ji Hong-ho telah pergi bersama anak buahnya,
mengapa Ong Kim-liong dan dua begundalnya kembali lagi ke sini?
Didengarnya Ong Kim-liong lagi berkata: "Lekas kembalikan patung itu dan meja
sembahyang pada tempatnya semula, lalu lantai dibersihkan pula, jangan sampai
meninggalkan sesuatu tanda agar anak murid keluarga Tong tidak dapat memperkirakan ke
mana perginya Tong Bu-siang."
Nyata setiap tindak-tanduk komplotan jahat ini dilakukan dengan sangat cermat dan teliti
tanpa meninggalkan sesuatu apapun.
Pwe-giok menjadi kelabakan. Sudah tentu sekarang ia dapat melompat turun dan
membinasakan ketiga orang itu. Dengan ilmu silatnya jelas ketiga orang itu bukan
tandingannya. Tapi dia kuatir tindakannya ini akan mengejutkan Ji Hong-ho yang pergi belum
jauh itu. Sebaliknya bila ditunggu lagi sampai pekerjaan ketiga orang itu selesai, tentu Ji
Hong-ho juga sudah pergi jauh dan sukar untuk menyusulnya.
Konyolnya, cara kerja kedua orang berseragam itu justeru adem-ayem saja, alon-alon asal
kelakon, sesuatunya dikerjakan dengan sangat cermat. Sudah tentu semuanya ini memakan
waktu lebih lama. Keruan Pwe-giok tambah gelisah, tapi apa daya?
Kini dia hanya berharap semoga ketiga orang ini nanti habis bekerja juga akan menyusul
kepergian Ji Hong-ho, dengan demikian asalkan dia membuntuti ketiga orang, maka jadinya
akan mencapai tujuannya, bahkan penguntitannya nanti akan lebih mudah daripada menguntit
Ji Hong-ho.
Karena inilah satu-satunya harapan yang masih ada, maka ia tidak dapat menyerang ketiga
orang ini.
363
Siapa tahu, justeru pada saat itu juga, sekonyong-konyong terdengar suara mendenging
nyaring tiga kali, suara sambaran senjata rahasia dari luar. Kontan kedua lelaki berseragam
hitam tadi menjerit dan roboh terjungkal.
Dengan sendirinya reaksi Ong Kim-liong lebih cepat dan gesit, dia sempat melompat ke atas,
agaknya berhasil dia menghindari serangan senjata rahasia itu, lalu membentak dengan suara
bengis: "Siapa itu, berani menyerang petugas Bengcu di sini, apakah sudah bosan hidup
kau?!"
Di tengah bentakannya, serentak senjata ruyungnya Kim-liong-pian lantas dilolosnya dan
diputar dengan kencang, dia terus menerjang keluar. Dalam kegelapan di luar pintu seperti
ada orang tertawa seram dan misterius.
Pwe-giok terkejut dan juga gelisah. Ia tidak tahu siapakah gerangan orang yang menyergap
Ong Kim-liong bertiga itu dan apa tujuannya?
Melihat serangan yang keji dan tanpa kenal ampun ini, jelas penyerang ini pasti juga bukan
manusia baik-baik. Jangan-jangan anak murid keluarga Tong telah memburu tiba? Meski
kedatangan mereka sangat kebetulan, tapi setitik harapan terakhir Pwe-giok menjadi ikut
buyar.
Lampu di meja sembahyang tadi sudah dinyalakan, di bawah gemerdepnya cahaya lampu,
tiba-tiba terlihat Ong Kim-liong masuk lagi dengan mundur.
Kim-liong-pian atau ruyung naga mas yang dipegangnya tampak terseret di lantai, wajahnya
penuh rasa kejut dan takut, keringat dingin memenuhi dahinya, tapi tiada kelihatan mengalami
sesuatu luka. Matanya tampak melotot penuh rasa takut, entah apa yang membuatnya setakut
ini? Sesungguhnya apa yang dilihatnya?
Terdengar seorang berkata di luar: "Siapa sahabat ini? Kau datang dari mana?"
Suaranya sangat aneh, halus, rendah, tapi membawa semacam nada yang membikin
merinding pendengarannya.
Mendengar suara orang itu, seketika Pwe-giok merasa tidak enak. Ia tidak mengerti mengapa
suara seorang bisa begitu lembut dan halus, tapi juga begitu aneh dan menyeramkan. Sungguh
ia ingin tahu bagaimana macamnya orang yang bicara itu.
Di luar pintu memang kelihatan ada sesosok bayangan manusia. Kelihatan sepasang matanya
yang kelam, sama kelamnya seperti kegelapan malam. Akan tetapi sinar matanya yang
mencorong justeru menampilkan perasaan hampa, semacam kesuraman yang sukar diraba.
Meski sinar mata itu tidak memandang ke arah Ji Pwe-giok, tapi tanpa terasa Pwe-giok
bergidik sendiri.
Terdengar Ong Kim-liong lagi menjawab dengan suara rada gemetar: "Aku she Ong, Ong
Kim-liong, dari Thay-oh."
"O, kiranya kau si raja naga dari Thay-oh," ucap suara yang indah tapi aneh itu. "Untuk apa
kau datang ke sini?"
364
"Ku datang ikut Bu-lim-bengcu," jawab Ong Kim-liong.
"Bu-lim-bengcu? Maksudmu Ji Hong-ho?"
"Betul," jawab Ong Kim-liong pula.
"Mau apa dia datang ke sini?"
"Ada janji dengan Tong Bu-siang untuk bertemu di sini."
Begitulah tiap kali suara itu bertanya segera ia menjawabnya dengan sejujurnya. Ong Kimliong
seolah-olah sudah kehilangan pikiran sehatnya, seperti sama sekali sudah tunduk di
bawah pengaruh sinar mata yang aneh itu. Tanpa terasa Pwe-giok berkeringat dingin
menyaksikan kejadian ini.
Suara aneh itu bertanya pula sesudah termenung sejenak: "Ji Hong-ho bertemu dengan Tong
Bu-siang, mengapa di sini tempatnya? Yang dirundingkan mereka apakah sesuatu rahasia
yang tidak boleh diketahui orang lain?"
"Didalam urusan ini memang betul ada sesuatu rahasia, sebab Bengcu....."
Pwe-giok merasa terkesiap dan bergirang juga karena akan mengetahui rahasia pertemuan
Tong Bu-siang dan "Ji Hong-ho" itu, tak terduga, bicara sampai di sini, mendadak sekujur
badan Ong Kim-liong menggigil dan tutup mulut rapat-rapat.
Sorot mata orang di luar itu semakin mencorong, dengan suara bengis ia mendesak: "Rahasia
apa, kenapa tidak kau ceritakan?"
Ong Kim-liong tetap tutup mulut, keringat dingin tampak berketes-ketes memenuhi dahinya.
Suara itu kembali berubah lunak dan halus sekali, katanya pelahan: "Bicaralah, tidak menjadi
soal! Sesudah kau ceritakan, pasti tiada orang menyalahkan kau."
Tubuh Ong Kim-liong tambah gemetar, mukanya berkerut-kerut, tampaknya sangat
menderita, jelas sedang bergulat dengan batin sendiri yang bertentangan. Akhirnya tercetus
juga ucapannya yang gemetar: "Ti..... tidak, tidak dapat kukatakan."
"Mengapa tidak dapat kau katakan?" ucap suara itu. "Jangan lupa, saat ini tubuhmu, jiwamu,
sukmamu, semuanya sudah menjadi milikku, masa kau berani membangkang?"
Sekonyong-konyong Ong Kim-liong berteriak seperti orang gila: "Tidak, segala apa yang ada
pada diriku ini milik Bengcu, tidak boleh kukhianati dia, kalau tidak, bagiku hanya..... hanya
ada kematian...." mendadak ia angkat ruyungnya terus menghantam kepala sendiri.
Agaknya orang yang berada di luar itu tidak menduga akan tindakan Ong Kim-liong ini, ia
berseru kaget, namun Ong Kim-liong sudah terkapar bermandi darah.
Bercucuran keringat dingin Pwe-giok, apa yang terjadi ini sungguh sukar untuk dimengerti, ia
hampir-hampir tidak percaya pada matanya sendiri.
365
Dalam pada itu dari luar lantas masuk satu orang. Langkahnya enteng, pelahan tanpa suara,
seperti badan halus saja.
Di bawah cahaya lampu kelihatan orang ini memakai baju kain kasar sebangsa kain belacu
yang biasa dipakai kaum petani. Tangan membawa sebuah caping yang sudah rusak,
perawakannya tinggi kurus, wajahnya putih cakap dan agak kurus.
Tampaknya usianya antara 30-an, tapi seperti juga sudah lebih 50. Begitu melangkah masuk,
sorot matanya yang kelam kehijau-hijauan itu seketika lenyap, tiada sesuatu yang menyolok,
hanya tangannya yang panjang dan kurus itu kelihatan putih indah berkilau.
Sama sekali tak terpikir oleh Pwe-giok bahwa mata yang aneh itu bisa tumbuh pada seorang
yang sangat umum ini, lebih-lebih tak terpikir sinar matanya bisa berubah begitu cepat.
Lamat-lamat ia merasa orang ini seperti seekor bunglon yang setiap saat dapat berganti warna
badan untuk mengelabui musuh demi keselamatan sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan muda menghela napas dan bergumam: "Ah,
sudah mati semua!"
Pandangan Pwe-giok ternyata tertarik sepenuhnya oleh manusia yang aneh ini, baru sekarang
ia tahu di belakang orang ini masih ikut seorang perempuan muda bergaun dan baju kain
kasar, perawakan gadis ini padat dan indah, kepalanya juga memakai caping bambu yang
ditarik rendah ke depan, agaknya tidak suka wajah aslinya dilihat orang. Sungguh aneh,
memangnya siapa yang hendak dihindarinya?
Entah mengapa, Pwe-giok merasa perawakan dan suara gadis itu seperti sudah dikenalnya,
tapi seketika tidak ingat di mana pernah bertemu.
Sementara itu si baju belacu tadi telah mengitari ruangan itu satu kali, lalu ia berpaling
memandang si gadis, dari wajahnya yang bersih itu tiba-tiba menampilkan senyuman yang
sangat menarik, ucapnya dengan pelahan: "Pandanganmu memang jitu, orang-orang ini
memang betul sudah mati semua."
Si gadis menggigit bibir, katanya kemudian: "Mereka kan tidak mengganggu kita, mengapa
engkau membunuh mereka?"
"Ucapanmu memang betul, sesungguhnya tidak perlu kubunuh mereka," ujar si baju belacu
dengan tersenyum.
"Jika tidak perlu, mengapa kau bunuh mereka?" kata si gadis.
Orang itu tidak menjawab, ia cuma mengulum senyum dan memandangnya lekat-lekat, tibatiba
ia menghela napas dan berkata: "Cantik, sungguh cantik, kerlingan matamu tertampak
lebih cantik di bawah sinar lampu ini. cukup kau pandang diriku sekejap dan aku rela mati
sepuluh kali bagimu."
366
Tampaknya dia sangat memanjakan nona itu dan sangat sayang padanya, setiap ucapannya
penuh sanjung puji, tapi siapapun dapat mendengar kata-katanya hanya seperti orang tua
membikin senang hati anak kecil saja.
Anehnya, gadis itu sedikitpun tidak merasa dimanjakan atau dibujuk, sebaliknya mukanya
menjadi merah dan terkesima, kemudian menghela napas dan berkata dengan rawan: "Yang
kuharap asalkan selanjutnya jangan kau bunuh orang lagi, asalkan kita dapat meloloskan diri
sekali ini, bolehlah kita mencari suatu tempat yang terpencil jauh di sana dan hidup tenteram
selama hidup."
"Tepat sekali ucapanmu," kata orang itu dengan tersenyum, "kita akan mencari suatu tempat
yang indah, ada gunung ada air, setiap hari akan kuiringi kau pesiar, setiap hari dapat
kudengar suara tertawamu yang lebih merdu daripada burung berkicau."
Pikiran nona itu seakan-akan melayang jauh membayangkan adegan bahagia itu, ia
memejamkan mata dan bergumam: "O, alangkah bahagianya bilamana tiba pada hari
demikian itu, rasanya segala apa yang telah kulakukan tidaklah sia-sia, asalkan datang hari
bahagia itu, andaikan matipun aku rela."
Akhirnya Pwe-giok dapat melihat mukanya, seraut muka yang cantik, muka yang polos dan
murni penuh membayangkan kebahagiaan yang akan datang, dari matanya terembes butir air
mata kegembiraan.
Tiba-tiba Pwe-giok ingat siapa nona ini. Ya, betul, dia inilah Ciong Cing, murid Hoa-san-pay
yang menyambut kedatangannya pada waktu Pwe-giok menghadiri pertemuan Hong-ti tempo
hari.
Sungguh aneh, murid dari perguruan ternama itu mengapa sekarang bisa berada bersama
seorang yang aneh dan misterius ini? Apa saja yang telah diperbuatnya demi orang ini seperti
ucapannya tadi?
Seketika Pwe-giok tercengang, sangsi dan juga menyesal.
Si baju belacu tidak memandang lagi si nona, tapi sedang mengamat-amati mayat Ong Kimliong
yang digenangi darah itu, tampaknya dia sedang merenungkan sesuatu sambil
bergumam: "Sesungguhnya rahasia apa yang tersembunyi di dalam hati orang ini? Mengapa
dengan tenaga gaibku tidak mampu menyuruhnya mengaku? Dengan kekuatan gaib apa pula
Ji Hong-ho itu dapat membuat anak buahnya lebih rela mati daripada mengkhianatinya?"
Kembali ia mondar-mandir lagi di ruangan itu dan sorot matanya berubah lebih tajam
daripada mata elang, setelah menyapu pandang kian kemari, tiba-tiba ia berseru perlahan:
"He, lihat, di sini ada sebuah jalan rahasia!"
Ia tepuk patung Toa-pekong dan diputar, segera jalan di bawah tanah itu kelihatan dengan
jelas.
Ciong Cing juga berseru: "He, menembus kemanakah jalan di bawah tanah ini?"
Orang itu memejamkan mata dan berpikir sejenak, katanya kemudian dengan tersenyum
cerah: "Ehm, di sini kan bukit di belakang Tong-keh-ceng?"
367
"Ya, betul, jalan ini pasti menembus ke Tong-keh-ceng," seru Ciong Cing.
"Tepat," kata orang itu dengan tertawa. "Kau benar-benar anak perempuan yang cantik dan
cerdik."
Muka Ciong Cing menjadi merah pula, ia menunduk dan memainkan ujung bajunya, sejenak
kemudian baru berkata: "Jika tempat ini mengandung rahasia orang lain, lebih baik kita pergi
saja."
"Pergi? Mengapa?" ujar orang itu. "Selama hidupku kesenanganku justeru membongkar
rahasia orang lain." - Dia mengusap perlahan muka Ciong Cing, lalu berkata pula: "Ji Hongho
dan Tong Bu-siang main sembunyi-sembunyi, tentu bukan pekerjaan baik yang mereka
lakukan, aku akan memeriksanya melalui jalan rahasia ini, hendaklah kau tunggu saja di sini,
mau?"
Ciong Cing lantas memegang tangan orang itu dan menjawab dengan cemas: "Tidak, jangan
kau pergi!"
Seketika sorot mata orang itu berubah sedingin es, ucapnya: "Kenapa? Kau kuatir ku pergi
dan tak kembali lagi?"
Hakekatnya Ciong Cing tidak memperhatikan perubahan sikap orang itu, dengan suara lembut
ia berkata: "Tiada lain, yang kukuatirkan adalah keselamatanmu. Lukamu belum sembuh
benar-benar, sedangkan Tong Bu-siang dan Ji Hong-ho itu adalah tokoh-tokoh yang lihay...."
Pandangan orang yang dingin itu mulai cair lagi, ucapnya dengan tersenyum: "O, kau kuatir
mereka mencelakai diriku?"
Mata Ciong Cing tampak merah dan basah, katanya dengan tersendat: "Jika.... jika terjadi apaapa
atas dirimu, lalu.... lalu aku bagaimana?"
Orang itu tertawa, katanya: "Jangan kuatir, masih jauh jika orang semacam Tong Bu-siang
dan Ji Hong-ho itu hendak mencelakai diriku." - Dengan lembut ia membelai rambut si nona,
lalu menyambung pula: "Kau tunggu saja di sini, sayang, secepatnya aku akan kembali. Ku
berjanji padamu, pasti tiada seorangpun dapat mengusik seujung rambutku."
Habis berkata, sekali berkelebat, tahu-tahu ia sudah menghilang ke jalan di bawah tanah itu.
Dengan termangu-mangu Ciong Cing menyaksikan kepergian orang itu, ia mendekap
mukanya dan menghela napas panjang, gumamnya: "O, apa yang kulakukan ini apakah betul?
atau salah? ...."
"Salah!" tiba-tiba seorang menanggapi dengan suara tertahan.
"Hahh, siapa?" Ciong Cing menjerit kaget sambil melonjak ke atas.
Dilihatnya seorang pemuda dengan tersenyum entah sejak kapan telah berdiri di
belakangnya." Cayhe Ji Pwe-giok!" ucap pemuda itu.
368
"Ji Pwe-giok?" seru Ciong Cing dengan terbelalak.
Ia tahu "Ji Pwe-giok" sudah mati, di kelenteng kecil yang terpencil di pegunungan sunyi ini
mendadak mendengar nama orang yang sudah mati, seketika ia merinding.
Akan tetapi anak muda ini kelihatan sedemikian ramah tamah, ganteng, cakap, sorot matanya
yang mengandung senyuman hangat itu sungguh bisa membuat cair gunung es di bumi ini.
Tidak mungkin ada perempuan bisa takut kepada lelaki muda demikian ini.
Ciong Cing tidak lagi gugup, dengan suara keras ia menjawab: "Betul, aku memang kenal
seorang Ji Pwe-giok, tapi jelas bukan kau. Aku tidak kenal kau!"
"Tapi kukenal nona" kata Pwe-giok.
"Kau kenal aku?" Ciong Cing melengak.
"Ya, nona kan murid Hoa-san dan bernama Ciong Cing?"
Seketika Ciong Cing tegang lagi, dengan suara bengis ia bertanya: "Jadi kedatanganmu ini
adalah untuk menangkap kami?"
Dalam hati Pwe-giok jadi terheran-heran, namun lahirnya dia tenang-tenang saja, katanya
pelahan: "Memangnya apa kesalahan nona? Kenapa takut akan ditangkap orang?"
Jilid 15________
Ciong Cing memandangnya sejenak, ia mulai tenang, jawabnya dengan tersenyum ewa:
"Sudah tentu aku tidak berbuat salah apa-apa, aku cuma mencoba dirimu saja."
Pwe-giok menghela napas, katanya dengan suara halus:
"Kedatanganku ini bukan hendak menangkap nona, juga tidak untuk menyelidiki rahasiamu,
aku hanya ingin memberi nasehat padamu, lebih baik kau pulang saja."
"Pulang? Pulang kemana?" kembali Ciong Cing terkesiap.
"Pulang ke samping gurumu, beliau pasti akan melindungi dirimu agar tidak sampai ditipu
orang lain."
"Memangnya aku tertipu oleh siapa? Berdasarkan apa kau campur urusanku?" kata Ciong
Cing dengan tidak senang.
Pwe-giok menyengir, ucapnya: "Memikirkan diriku sendiri saja repot, sesungguhnya aku
memang tidak pantas ikut campur urusan orang lain. Tapi kata-kata ini seperti duri di
tenggorokan, kalau tidak kukeluarkan terasa tidak lega. Soal kau mau menurut atau tidak
memang terserah kepada keputusan nona sendiri."
Ia memandang mayat yang menggeletak di lantai itu, lalu menghela napas panjang.
369
Kalau setitik harapannya tadi kinipun sudah buyar, untuk apa pula dia tinggal lagi di sini?
Mengenai Giu-hoa-nio yang masih ditinggalkan di atas belandar itu tidak perlu
dikuatirkannya, ia tahu si nona pasti dapat menjaga dirinya sendiri.
Melihat Pwe-giok hendak pergi, Ciong Cing jadi melenggong, seperti mau mencegah, tapi
akhirnya urung.
Tapi sebelum Pwe-giok melangkah keluar pintu, tahu-tahu sesosok bayangan orang seperti
badan halus saja telah melayang dari belakang dan menghadang jalan keluarnya.
"He, begitu cepat kau sudah kembali?" seru Ciong Cing, kejut dan girang.
"Ya, apakah aku kembali terlalu cepat?" jawab orang itu dengan tersenyum.
Ciong Cing tidak merasakan di dalam kata orang itu berduri, ia bertanya pula: "Sudah kau
lihat Ji Hong-ho dan Tong Bu-siang?"
"Tidak, Ji Hong-ho tidak ada, Tong Bu-siang juga menghilang," jawab orang itu. Baru
sekarang sorot matanya yang tajam beralih ke arah Ji Pwe-giok, katanya pula dengan
tersenyum: "Urusan ini memang sangat aneh, betul tidak?"
Meski jalan keluar Pwe-giok terhalang, tapi sedapatnya ia bersabar, ia mengamat-amati orang
aneh itu, tapi betapapun dia mengawasinya dengan cermat tetap tak dapat diketahui orang ini
baik atau jahat, lebih-lebih tak dapat diketahui bagaimana asal usulnya. Hanya dirasakannya
seolah-olah setiap saat timbul semacam tenaga gaib yang berpengaruh dari orang yang
dihadapinya ini.
Pada waktu sorot mata orang ini beralih ke arahnya, seketika jantungnya berdetak.
Orang itu mengulangi lagi pertanyaannya: "Urusan ini memang sangat aneh, bukan?"
"Ya, memang sangat aneh," Pwe-giok hanya tersenyum saja.
"Sesuatu yang aneh, mengapa Anda tidak heran?" kata pula orang itu.
Pwe-giok tahu, menghadapi orang demikian tidak boleh omong sepatahpun. Selagi dia
menimbang cara bagaimana menjawabnya, tiba-tiba orang itu tertawa dan berkata pula
dengan perlahan: "Jika kau tidak suka menjawab, bolehlah kukatakan bagimu... Sebabnya kau
tidak heran atas urusan ini adalah karena sebelumnya rahasia persoalan ini sudah kau
ketahui."
Pwe-giok hanya tersenyum sebagai jawabannya.
Tiba-tiba ia merasa mata orang ini meski sangat menakutkan, tapi senyumannya membawa
semacam daya tarik yang sukar dilukiskan, semacam daya gaib yang kuat, jangankan anak
gadis seperti Ciong Cing sekalipun Pwe-giok sendiripun tanpa terasa terpikat oleh daya tarik
yang gaib itu dan sukar memindahkan pandangannya ke arah lain.
370
Orang itupun terus menatapnya lekat-lekat, tiba-tiba menghela napas dan berkata: "Lelaki
yang maha cakap, ya, Anda boleh disebut lelaki cakap yang tiada bandingannya. Jangankan
perempuan, sampai akupun merasa mabuk melihat senyuman Anda."
Dia bicara dengan lambat, suaranya rendah dan juga mengandung daya pikat yang sukar
disebutkan.
Sebenarnya bukan Pwe-giok tidak suka, hanya saja setelah mendengarkan dan mendengarkan
lagi, akhirnya kata-kata yang ingin diucapkannya jadinya malah lupa dikatakannya.
Dengan tersenyum orang itu berkata pula: "Orang yang mempunyai muka seperti Anda ini,
bilamana tidak tahu menggunakannya dengan baik-baik sungguh harus disayangkan. Tapi
Anda tidak perlu kuatir, sekalipun Anda tidak tahu cara bagaimana harus mendaya-gunakan
ketampanan sendiri, dengan suka hati akan kubantu berusaha bagimu agar Anda tidak sia-sia
dilahirkan dengan wajah tampan ini."
Apabila kata-kata ini diucapkan orang lain, andaikan Pwe-giok tidak gusar, sedikitnya juga
akan mendongkol. Tapi kata-kata yang keluar dari mulut orang ini ternyata tidak membuat
Pwe-giok naik pitam.
Orang itu tersenyum dan berkata pula dengan suara terlebih halus: "Baiklah, sekarang
bolehlah kau lupakan semuanya. Coba beritahukan padaku sesungguhnya rahasia apakah yang
kau lihat tadi? Sesungguhnya apa yang dirundingkan Ji Hong-ho dan Tong Bu-siang?"
"Kukira lebih baik tidak kukatakan," jawab Pwe-giok hambar.
"Kusuruh kau bicara, maka kau harus bicara, tahu?" ucap orang itu dengan suara tegas, meski
wajahnya masih mengulum senyum, tapi sorot matanya yang aneh itu tampak mendesak,
menatap Pwe-giok tajam-tajam.
Siapa tahu Pwe-giok tetap menjawab dengan hambar: "Memangnya kenapa harus
kukatakan?"
Orang itu lantas mengeluarkan seuntai rantai mutiara dan diayun-ayunkannya di depan Pwegiok,
lalu berkata pula dengan perlahan: "Sebab kau sudah menjadi budakku, setiap
perkataanku harus kau taati, sedikitpun tidak boleh melawan."
Ciong Cing tampak lemas dan kuatir, ia tahu kekuatan gaib orang ini, ia tidak ingin dia
membikin susah orang lain lagi, tapi iapun tidak berani mencegahnya.
Siapa tahu Pwe-giok tetap tenang-tenang saja, sebaliknya ia malah tertawa dan menjawab:
"Selamanya aku adalah orang yang bebas dan merdeka, mengapa tanpa sebab aku harus
menjadi budakmu?"
Air muka orang itu berbalik berubah pucat malah, butiran keringatpun menghiasi jidatnya.
Maklumlah, Liam-sim-tay-hoat yang digunakannya sangat keji, tapi kalau tidak dapat
menguasai pihak lawan, ia sendiri yang akan celaka. Sekarang ia sudah mengerahkan segenap
tenaganya, tapi lawan yang masih muda ini ternyata tiada terpengaruh sedikitpun. Padahal
371
sasaran Liam-sim-tay-hoat ini adalah melunakkan pikiran lawan, peluang itu lantas diselulupi
kekuatan gaibnya dan terpengaruhlah orangnya.
Namun sejak kecil Pwe-giok sudah berlatih semedi dan memusatkan pikiran, akhir-akhir ini
dia malah tergembleng dengan lebih teguh lagi imannya, hatinya kini boleh dikatakan sekeras
baja, semurni emas.
Karena itulah, perasaan orang itu berbalik terguncang dan hampir-hampir saja sukar dikuasai.
Pwe-giok sama sekali tidak tahu mengapa pihak lawan menjadi begitu tegang, dengan tertawa
ia malah bertanya: "Barangkali anda hanya bergurau saja denganku, begitu?"
Tanpa terasa orang itu menjawab: "Ya!"
"Siapakah nama Anda?" Pwe-giok coba bertanya.
"Kwe Pian-sian," jawab orang itu, butiran keringat tampak berketes-ketes seperti hujan. Ia
merasa sinar mata Pwe-giok makin mencorong, ia sendiri berbalik terpengaruh, setiap
pertanyaan Pwe-giok mau-tak-mau harus dijawabnya.
Pwe-giok termenung sejenak, lalu bergumam: "Kwe Pian-sian, nama ini asing bagiku.
Apakah ini nama asli anda?"
Dengan suara gemetar orang itu mengiakan.
Dia memang betul Kwe Pian-sian adanya. Sekarang dia tidak dapat menghindari lagi tatapan
Pwe-giok, apabila Pwe-giok bertanya lebih lanjut, mungkin segala rahasianya akan
dibeberkannya.
Pwe-giok jadi heran sendiri, tak tersangka olehnya setiap pertanyaannya akan dijawab secara
jujur oleh lawan. Tiba-tiba terpikir sesuatu olehnya, ia coba bertanya pula: "Apakah nona
Ciong ini melarikan diri bersama anda?"
Kembali Kwe Pian-sian mengiakan.
"Siapakah yang anda hindari?" Tanya Pwe-giok.
Sedapatnya Kwe Pian-sian menggigit bibir agar tidak bersuara, tapi mau tak mau ia berucap
juga: "Ji Siok-cin!"
"Ji Siok-cin? Ji lihiap ketua Hoa san-pay?" Pwe-giok menegas.
Kwe Pian-sian mengiakan lagi.
Pwe-giok berpikir sejenak, katanya kemudian: "Memangnya kau sudah ditawan Ji-lihiap, tapi
nona Ciong jatuh hati padamu dan diam-diam melepaskan kau serta minggat bersamamu?"
"Ya, be....begitulah," jawab Kwe Pian-sian dengan suara terputus-putus.
372
Sekarang ia benar-benar ketakutan setengah mati, namun apa daya ia tidak dapat menguasai
dirinya sendiri lagi.
Melihat keadaan Kwe Pian-sian, Ciong-cing juga melenggong.
Pwe-giok menghela napas, ia memandang Ciong-cing, katanya dengan tersenyum getir: "Tak
tersangka nona sampai hati mengkhianati guru sendiri, tentunya karena cintamu....." belum
habis ucapannya, mendadak berpuluh-puluh bintik sinar perak menyambar ke arahnya.
Kiranya begitu pandangan Pwe-giok beralih, seketika Kwe Pian-sian mendapat kesempatan
untuk melepaskan diri dari pengaruh sinar mata lawan, tanpa ayal kalung mutiara terus
ditebarkan.
Sama sekali tak terpikir oleh Ji Pwe-giok bahwa orang yang sudah ketakutan dan menjawab
setiap pertanyaannya secara jujur ini mendadak bisa melancarkan serangan gelap. Karena
kepalanya sudah berpaling ke kiri, sekarang tubuhnya lantas ikut berputar ke arah kiri, kedua
tangannya juga mengebas, seperti penari ia terus berputar satu lingkaran. Tahu-tahu berpuluhpuluh
bintik sinar perak itu seperti ikan yang terisap ke tengah pusaran air dan ikut berputar
mengikuti gerakan Pwe-giok.
Dipandang dari jauh, satu lingkaran sinar perak mengitari seorang penari yang sedang
berputar dengan gaya yang indah.
Tanpa terasa Ciong-cing terkesima menyaksikan kejadian itu, terdengar suara gemerincing,
seperti dering logam digosok, laksana bunyi kecapi, tahu-tahu berpuluh-pulih bintik sinar
perak sudah berserakan di tanah.
Tadi kalau Pwe-giok sengaja menghindar, dalam keadaan kepepet belum tentu dia sanggup
menyelamatkan diri oleh hamburan berpuluh-puluh bintik perak yang terpancar dari jarak
dekat itu. Tapi tanpa sengaja ia berputar, gerakan ini justeru sangat efektif dan ternyata
mendatangkan hasil yang tak terduga.
"Kungfu hebat!" puji Ciong Cing setelah terkesima sejenak.
Dalam pada itu Kwe Pian-sian sudah melancarkan beberapa kali pukulan maut. Walaupun
serangannya ganas, gayanya indah, tapi setiap pukulan belum menggunakan tenaga
sepenuhnya, ia masih menyimpan tenaga untuk menjaga segala kemungkinan.
Maklum, setelah menyaksikan kelihayan Pwe-giok, betapapun ia tidak berani
mempertaruhkan seluruh modalnya. Akan tetapi lebih dulu ia perkuat pertahanannya sehingga
tak terkalahkan, habis ini barulah dia melancarkan serangan.
Meski dengan santai Pwe-giok dapat mengelakkan serangan lawan, namun di dalam hati dia
tidak merasa santai. Sebab segera diketahuinya serangan lawan ternyata sangat teratur, licin,
licik dan cekatan, sungguh kepandaian yang belum pernah dilihatnya selama hidup. Ia
menyadari, tidaklah mudah bagi siapapun yang ingin merobohkan orang she Kwe ini.
Dalam pada itu, Kwe Pian-sian sudah melancarkan lagi empat kali pukulan lain, gerakan
serangan ini mendadak berubah, dari ringan berubah menjadi berat, dari lunak berubah
373
menjadi keras. Namun daya pukulannya tetap terbatas, belum menggunakan sepenuh
tenaganya, masih ada tenaga cadangan.
"Apakah anda bertekad akan membinasakan diriku?" tanya Pwe-giok dengan menyesal.
Selesai ucapannya ini, dengan santai empat kali pukulan musuh sudah dihindarinya.
"Betul," jawab Kwe Pian-sian, kembali empat kali pukulan dilontarkan dengan lebih cepat,
selesai ucapannya yang cuma satu kata itu, selesai pula empat kali pukulan.
"Sebab apa?" tanya Pwe-giok pula, begitu cepat serangan lawan, secepat itu pula ia
menghindar.
Kwe Pian-sian menjawab: "Sebab kalau anda hidup di dunia ini, maka makan dan tidurku
pasti tidak akan tenteram."
Sekali ini pukulannya berubah menjadi lambat, bicara sepanjang ini juga cuma melancarkan
empat kali pukulan, akan tetapi pukulan yang berat dan mantap.
Jelas inilah Thay kek kun asli, padahal Thay kek kun dan Bu kek bun ada hubungan yang erat.
Cepat Pwe giok melompat mundur dan berseru: "Jangan-jangan Anda ini kaum Cianpwe dari
Thay kek bun?"
Dengan tenaga dalam Kwe Pian sian yang tinggi ini, bilamana betul dia adalah orang Thay
kek bun, maka kedudukannya pasti sangat tinggi, maka Pwe giok menghormatinya dengan
sebutan "Cianpwe".
Siapa tahu Kwe Pian sian malah tertawa dan menjawab: "Apa artinya Thay kek bun bagiku?"
Mendadak pukulan telapak tangannya berubah menjadi kepalan terus menghantam, jurus
pertama adalah "Lo han hok hou" atau Buddha menaklukkan harimau, inilah jurus pembukaan
Lo han kun dari Siau lim Pay.
Pwe giok dibuat terkejut pula. Dalam pada itu pukulan kedua Kwe Pian sian telah berubah
menjadi Tay Hong kun, sampai di tengah jalan, mendadak berubah lagi, sekali ini kedua
kepalannya menghantam berbareng.
Gaya pukulan ini sangat aneh dan belum pernah dilihat Pwe giok, jelas-jelas yang diincar
adalah pipi kanan dan dagu kiri, siapa tahu ketika kepalan sudah dekat, mendadak berubah
lurus menghantam dada.
Kwe Pian sian kelihatan sangat bangga, katanya dengan tertawa: "Dan tahukah kau pukulan
ini dari aliran mana...?"
Sebenarnya kata-kata Kwe Pian sian ini belum habis terucap, sebab baru saja dia
mengucapkan kata "dari", Pwe giok terpaksa balas menyerang, bahkan dia papak kepalan
lawan yang sedang menghantam itu.
Waktu Kwe Pian sian mengucapkan kata "mana" segera dirasakannya tenaga pukulan Pwe
giok maha dahsyat, cepat ia bermaksud menarik kembali tangannya, sekalipun dia masih
374
menyimpan tenaga cadangan dan keburu menarik pukulannya, namun kepalannya tetap
tersampuk oleh pukulan Pwe giok, seketika ia merasakan ditolak oleh suatu arus tenaga yang
maha kuat seolah-olah gugur gunung dahsyatnya, tubuhnya terus mencelat hingga jauh.
Tenaga sakti pembawaan Pwe giok memang maha hebat, biarpun dia mengerahkan segenap
tenaganya juga belum tentu sanggup bertahan, apalagi dia masih menyisakan sebagian
tenaganya.
"Jangan melukai orang?" seru Ciong Cing kuatir.
Pwe giok tersenyum, katanya: "Tiada maksudku hendak mencelakai orang, jika kalian mau
pergi, akupun takkan merintangi!"
Dia sudah kenyang merasakan betapa sengsaranya dibikin celaka orang, maka kalau tidak
terpaksa, betapa pun ia tidak mau membikin susah orang lain.
Kwe Pian sian memang tidak terluka apapun, dia berdiri tegak di sana dan menghela napas.
Ciong Cing memburu ke sana dan memegang tangannya serta memohon: "Marilah kita pergi,
untuk apa kau bergebrak mati-matian dengan dia?"
Sambil menyengir Kwe Pian sian berkata kepada Pwe giok: "Ilmu silat Anda belum nampak
terlalu hebat, tapi tenagamu yang maha sakti ini belum pernah kulihat selama ini, tampaknya
aku pun tak dapat menjatuhkan kau."
"Jika demikian, mengapa kau tidak lepas pergi?" ujar Pwe giok dengan tersenyum.
"Tampaknya aku memang lebih baik pergi saja," kata Kwe Pian sian dengan gegetun. Dia
merangkap kedua tangannya seperti memberi salam dan hendak pergi benar-benar, siapa tahu,
pada saat itu juga tangannya bergerak pula, dari lengan bajunya kembali menyambar keluar
berpuluh bintik hitam.
"He, kau....." Ciong Cing menjerit kaget.
Tapi belum lanjut ucapannya, tahu-tahu tubuhnya sudah diangkat oleh Kwe Pian sian terus
dilemparkan ke arah Pwe giok. Kwe Pian sian sendiri terus menyelinap ke belakang Pwe giok
untuk menyerang pula, langkah ini sungguh teramat keji dan jarang ada di dunia ini.
Untuk menghindarkan hujan senjata rahasia itu saja tidak mudah bagi Ji Pwe giok, apalagi
seumpama dia sempat mengelakkan senjata rahasia, tahu-tahu tubuh Ciong Cing juga sudah
menubruk tiba. Karena nona itu dilemparkan orang, dengan sendirinya kaki dan tangannya
meronta-ronta, apabila Pwe giok tidak menghiraukan tubuh si nona dan hanya melayani Kwe
Pian sian, bukan mustahil Pwe giok akan terluka oleh rontakan si nona yang ingin cari hidup
itu.
Sebaliknya kalau Pwe giok menangkap tubuh si nona, sementara itu Kwe Pian sian sudah
menyelinap ke belakangnya, peluang itu pasti akan digunakan orang keji itu untuk menghabisi
dia.
375
Perubahan kejadian ini berlangsung dalam sekejap saja, belum lagi Pwe-giok tahu jelas
duduknya perkara, tahu-tahu Am-gi atau senjata rahasia sudah menyambar tiba, bayangan
orang yang meronta-ronta juga melayang tiba sekaligus.
Mestinya Pwe-giok bermaksud menyampuk balik senjata rahasia musuh, tapi ketika tiba-tiba
diketahuinya bahwa bayangan orang yang ikut melayang tiba itu ialah Ciong Cing, bila
senjata rahasia disampuk balik niscaya akan membinasakan nona itu.
Jadi serba susah bagi Pwe-giok, kalau tidak berkelit, jiwa sendiri bisa celaka. Kalau bertindak,
jiwa Ciong Cing mungkin melayang. Dan Kwe Pian-sian tampaknya sudah memperhitungkan
dia pasti tidak tega membikin celaka Ciong Cing.
Tak terduga, pada detik terakhir tangan Pwe-giok tetap bergerak ke depan secepat kilat, cuma
tenaga yang digunakan kedua tangannya sama sekali berlainan, tenaga tangan kiri lunak,
tenaga tangan kanan keras, tangan kiri bergerak lebih dulu, dengan tenaga lunak ia
mendorong sekaligus tubuh Ciong Cing sehingga meluncur lebih jauh ke sana, sedangkan
tenaga tangan kanan yang dahsyat itu digunakan memapak hujan senjata rahasia musuh. Dan
pada saat itu pula kedua telapak tangan Kwe Pian-sian juga telah menghantam punggungnya.
Karena segenap tenaga sudah dikerahkan, Pwe-giok tidak mempunyai sisa tenaga untuk
menghindar, apalagi sisa tenaga untuk menangkis. Dalam keadaan demikian, siapapun juga
pasti akan binasa di bawah pukulan Kwe Pian-sian.
Akan tetapi di sinilah terlihat ketangkasan Ji Pwe-giok yang lain daripada yang lain,
mendadak tenaga tangan kanannya yang dahsyat tadi berubah menjadi lunak, telapak
tangannya berputar terus ditarik ke belakang, segerombolan senjata rahasia yang tergulung
oleh tenaga pukulannya itu ikut berkisar di udara terus menyamber lewat di samping Pwegiok
dan langsung menyerang Kwe Pian-sian yang berada di belakangnya.
Mimpipun Kwe Pian-sian tidak menyangka Am-gi yang dihamburkannya sendiri kini berbalik
akan makan tuannya malah. Jika pukulannya diteruskan dan dapat melukai Ji Pwe-giok, tapi
tubuh sendiri pasti juga berubah seperti sarang tawon.
Ia menjerit kaget sambil menarik tangan dan mendoyong ke belakang, sekalian ia terus
berjumpalitan ke belakang, sekalipun dia selalu menyiapkan jalan mundur, tidak urung sekali
ini bajunya terserempet robek oleh senjata rahasia sendiri.
Dalam pada itu tubuh Ciong Cing juga telah menumbuk dinding, tapi tenaga dorongan Pwegiok
juga pas sampai di situ saja, maka tumbukan pada dinding itu hampir tidak ada artinya,
tubuhnya memberosot ke bawah dengan air muka pucat, tapi tidak terluka sedikit pun.
Dengan sendirinya Pwe-giok juga tidak cedera, namun gusarnya bukan alang kepalang
terhadap manusia keji ini.
Orang ini ternyata tidak segan-segan mengorbankan gadis yang telah menolongnya, bahkan
mencintainya dengan sepenuh hati, hati orang ini tidakkah berpuluh kali lebih keji dan lebih
ganas daripada binatang buas?
Sambil meraung gusar, Pwe-giok terus menubruk ke arah Kwe Pian-sian.
376
Saking gemasnya, sekali ini dia tidak sungkan-sungkan lagi, dari bertahan ia mulai
menyerang. Tenaga pukulannya bergulung-gulung, tampaknya lunak, namun mendampar
dengan dahsyatnya sehingga patung Toa-pekong ikut bergoncang.
Sekali ini Kwe Pian-sian terpaksa harus menandingi pula dengan sepenuh tenaga.
Meski tenaga dalam Kwe Pian-sian sangat kuat, tapi kelihatan sukar bertahan lama.
Maklumlah, ia tidak biasa bertempur mati-matian dengan lawan, biasanya musuh sukar
menemukan dia, umpama bertemu, dengan tipu akalnya yang licik sudah cukup baginya
untuk menghadapinya, hakekatnya dia jarang mengeluarkan tenaga.
Apalagi akhir-akhir ini dia dilukai pula oleh Kim-yan-cu. Tikaman itu hampir mengirimnya
ke akhirat. Coba kalau dia tidak selalu membawa obat luka mujarab, tidak nanti dia dapat
sembuh dengan cepat, apalagi hendak bertempur dengan Ji Pwe-giok sekarang.
Dengan kekuatannya ini jelas dia bukan tandingan Ji Pwe-giok, tapi jurus serangannya justeru
sedemikian aneh, sedemikian cepat, gerakannya berubah-ubah tidak menentu, pukulan
pertama digunakannya dengan keras, pukulan berikutnya mendadak berubah lunak. Macammacam
gaya dan ragam jurus serangannya, hampir setiap aliran dan perguruan di daerah
Tionggoan dan di luar perbatasan dikuasainya dengan baik.
Diam-diam Pwe-giok terkesiap, beberapa kali ini hampir termakan oleh serangan lawan yang
aneh, mau-tak-mau ia harus bertempur dengan penuh kewaspadaan. Setelah beberapa puluh
jurus, tanpa terasa Pwe-giok sendiri sudah mandi keringat.
Tiba-tiba terdengar Kwe Pian-sian berseru: "Apakah anda bertekad akan membunuhku?"
Pertanyaan ini sebenarnya adalah pertanyaan Pwe-giok, tapi sekarang malah dipertanyakan
olehnya Pwe-giok jadi melengak, jawabnya dengan suara berat: "Betul!"
"Sebab apa?" tanya Kwe Pian-sian pula.
"Sebab kalau anda hidup di dunia ini, makan dan tidurku juga takkan tenteram," kata Pwegiok.
Dilihatnya waktu bicara napas Kwe Pian-sian sudah rada terengah-engah, jelas keadaannya
sudah payah, seperti busur yang sudah terpentang penuh dan sukar ditarik lagi Pwe-giok tidak
ayal, serangannya tambah gencar, ia benar-benar hendak membinasakan orang ini untuk
menyelamatkan masyarakat.
Butiran keringat tampak memenuhi dahi Kwe Pian-sian, gerak serangannya sudah lemah,
semangat ada tenaga kurang, kini serangannya lebih banyak pura-pura belaka, lambat-laun ia
sudah terdesak ke pojok ruangan.
Ciong Cing memandanginya dengan termenung, air mata tampak meleleh di pipinya.
"Baik, lebih baik mati saja," ucap Kwe Pian-sian dengan menyesal. "Memangnya apa artinya
hidup bagiku jika orang yang paling dekat denganku juga tidak sudi lagi membantuku."
377
Wajah Ciong Cing tidak nampak sesuatu perasaan, katanya dengan suara parau: "Jika kau
mati akan kutemani kau!"
"Untuk apa kau temani diriku, temani dia saja!" ucap orang she Kwe itu.
Pwe-giok menjadi gusar, sepenuh tenaga ia menghantam.
Mendadak dilihatnya kedua tangan Kwe Pian-sian menekuk ke kanan dan menikung ke kiri,
seperti lemas tanpa tenaga sedikitpun, akan tetapi gaya pukulannya serupa seratus bunga yang
baru mekar serentak. Pukulan Pwe-giok itu ternyata terbendung, betapapun sukar menembus
pertahanan lawan.
Nyata itulah kungfu istimewa Pek-hoa-bun!
Hendaklah maklum bahwa Kwe Pian-sian sangat merahasiakan asal-usulnya, ia paling tidak
suka ada orang mengetahui hubungannya dengan Hay-hong Hujin. Sebab itulah bila tidak
kepepet, tidak nanti dia mengeluarkan ilmu silat Pek-hoa bun atau perguruan seratus bunga,
lebih-lebih tidak mau memainkan ilmu pukulan Kay-pang.
Hampir seluruh ilmu silat di dunia ini yang dikuasainya dimainkannya, hanya kedua macam
kungfu yang paling menjadi kemahirannya disisakan dan baru dikeluarkan pada waktu
kepepet.
Pwe-giok terkesiap melihat Kwe Pian-sian tidak berganti ilmu silat aliran lain lagi. Ia menjadi
heran, pikirnya: "Jangan-jangan ilmu silat Pek hoa-bun adalah kungfu perguruannya yang
sebenarnya?"
Setelah bergebrak lagi beberapa kali, akhirnya Pwe-giok melompat mundur dan berseru:
"Apakah kau murid Pek-hoa-bun?"
Gemerdep sinar mata Kwe Pian-sian, jawabnya perlahan: "Tiada lelaki dalam perguruan Pekhoa-
bun, masa kata-kata ini tidak pernah kau dengar?"
"Jika demikian, mengapa kau sedemikian apal ilmu silat Pek-hoa-bun?"
"Memangnya kungfu aliran lain aku tidak paham?" jawab Kwe Pian-sian dengan angkuh.
Pwe-giok menatapnya pula sejenak, katanya kemudian: "Jadi matipun tidak mau kau katakan
hubunganmu dengan Pek-hoa-bun?"
Kwe Pian-sian menengadah dan bergelak tertawa, ucapnya: "Biarpun lukaku belum sembuh
dan tenaga kurang, kukira kaupun belum tentu dapat membunuh diriku. Memangnya kau kira
orang she Kwe ini akan minta ampun padamu?!"
Pwe-giok jadi melengak, tadinya ia mengira orang ini bukan saja keji, bahkan juga takut mati.
Tak tersangka orang justeru berwatak angkuh begini. Setelah terdiam sejenak, lalu katanya
dengan gegetun: "Jika begini tinggi hati watakmu, mengapa caramu bekerja serendah dan
sekotor ini?"
378
"Hm, selama hidupku, setiap tindak-tandukku hanya ku pertanggung-jawabkan kepada diriku
sendiri, untuk apa harus kupikirkan bagi orang lain? Jika kau bermaksud memeras diriku
dengan kematianku, jalan pikiranmu ini kan teramat mentertawakan?"
Kembali Pwe-giok melengak, kekejian orang ini di luar dugaannya, keangkuhan orang bahkan
lebih-lebih di luar dugaan. Nyata, sejak mula ia sudah salah menilai orang ini.
Tiba-tiba Kwe Pian-sian bertanya: "Kau terus menerus bertanya mengenai hubunganku
dengan Pek-hoa-bun, sesungguhnya ada urusan apa?"
"Soalnya aku tidak bergebrak dengan anak murid Pek-hoa-bun," jawab Pwe-giok.
Berubah air muka Kwe Pian-sian, katanya dengan bengis: "Apa sebabnya? Memangnya apa
hubunganmu dengan Kun Hay-hong?"
Selagi Pwe-giok merasa heran oleh perubahan sikap Kwe Pian-sian itu, mendadak Ciong Cing
melompat maju dan berseru dengan suara terputus-putus: "Kau...kau sudah berjanji padaku
bahwa selanjutnya kau tidak akan menyebut namanya lagi, mengapa... sekarang kau tanyakan
hubungan orang dengan dia? Apakah... kau tetap tak dapat melupakan dia?"
Kwe Pian-sian melototi nona itu, sorot matanya mencorong gusar.
Seketika Ciong Cing menggigil, ucapnya dengan suara parau: "Mengapa kau ikut campur
urusan orang lain dengan dia? Apakah...apakah kau masih cemburu?"
Dengan gusar Kwe Pian-sian mendelik, lama dan lama barulah sorot matanya berubah tenang
kembali, katanya dengan menyesal: "Yang cemburu sekarang bukanlah diriku melainkan
kau."
Dengan suara serak Ciong Cing berseru: "Caramu perlakukan diriku tadi membuktikan
sikapmu padaku hanya tipuan belaka. Apabila dia, tentu takkan kau perlakukan dia seperti
caramu tadi. Sekarang kau sangat benci padaku dan lebih suka bila aku mati, begitu bukan?"
Kwe Pian-sian termenung sejenak, jawabnya kemudian dengan perlahan: "Jika aku mati, kau
akan mengiringi aku. Bila kau mati, memangnya harus kuiringi kau?"
Ciong Cing mendekap tubuh sendiri erat-erat, sesaat ini, ia merasa hanyutlah harapannya,
runtuhlah segalanya, air matanya berderai bagai hujan, akhirnya ia menjatuhkan diri ke atas
tanah dan menangis tergerung-gerung.
Pwe-giok jadi melenggong.
Dengan perlahan Kwe Pian-sian berkata pula: "Sekarang tanpa kujelaskan tentu kau tahu apa
hubunganku dengan Pek-hoa-bun bukan?"
"Betul," jawab Pwe-giok sambil menarik napas dalam-dalam.
Perlahan Kwe Pian-sian membelai rambut Ciong Cing, lalu berkata: "Sungguh tak kusangka
anak perempuan selembut ini bisa mempunyai rasa cemburu sebesar ini."
379
Melihat tangan Kwe Pian-sian terletak di atas kepala Ciong Cing, Pwe-giok menjadi kuatir
dan berseru: "Kau...kau hendak membunuhnya?"
"Untuk apa kubunuh dia?" ujar Kwe Pian-sian. "Meski dia telah membocorkan rahasia
pribadiku, semua ini adalah karena cemburunya yang besar. Kalau dia tidak menyukai diriku
dengan sungguh hati masa dia dapat cemburu atas diriku?"
Mendadak ia bergelak tertawa dan menyambung pula: "Hahahaha! Aku dapat membunuh
orang dengan seribu alasan, tapi tidak nanti membunuh dia lantaran cemburu atas diriku!"
"Orang...orang macam kau ini juga memperhatikan urusan begini?" ucap Pwe-giok dengan
sangsi.
Perlahan Kwe Pian-sian menghentikan tertawanya, di antara mata-alisnya terlihat
menampilkan semacam rasa kesepian, katanya kemudian: "Kau tahu, meski selama hidupku
mempunyai kekasih yang tak terhitung banyaknya, tapi tiada satu pun yang cemburu atas
diriku seperti dia ini."
Pwe-giok termangu-mangu, akhirnya ia berkata: "Semua ini adalah rahasia lubuk hatimu,
mengapa kau katakan padaku?"
Kwe Pian-sian tersenyum hambar, ucapnya: "Jika seorang tak dapat kubunuh, maka aku harus
menganggap dia sebagai sahabatku. Dengan demikian hatiku akan terasa tenteram, cuma
saja..." Dengan sungguh-sungguh ia menyambung:"... dapat kuberi jaminan padamu, sampai
saat ini, sahabatku belum ada tiga orang."
Dengan tajam Pwe-giok menatapnya, ia merasa watak orang ini benar-benar sangat ruwet dan
sukar dipercaya, dia seolah gabungan dari tiga empat orang yang berwatak paling ekstrim.
Dia mungkin seorang yang takut mati, kalau kau hendak membunuh dia, bisa jadi dia akan
lari atau menipu kau, bahkan menggunakan berbagai tipu muslihat yang sukar kau duga, tapi
pasti tidak akan mohon belas kasihan dan minta ampun padamu, Jika kau bertekad akan
membunuhnya, untuk itu kau harus mengadu jiwa dengan dia.
Kwe Pian-sian juga sedang memandang Pwe-giok dengan lekat-lekat dan berucap dengan
tersenyum: "Dan sekarang, kau inilah sahabatku yang ketiga."
"Tapi darimana kau tahu aku akan mau menjadi sahabatmu?" jawab Pwe-giok, ia pun tertawa.
Dengan angkuh Kwe Pian-sian berkata: "Diriku ini boleh dikatakan salah seorang tokoh yang
paling berkuasa dan berpengaruh di bu-lim, bahkan juga tokoh yang paling kaya raya di dunia
ini. Barang siapa dapat bersahabat denganku, maka berbahagialah dia selama hidup."
"Bagimu, alasan yang kau katakan memang cukup kuat," ujar Pwe-giok dengan tersenyum tak
acuh. "Tapi bagiku, jika kuterima kehendakmu, bukankah aku seakan-akan menjadi Siaujin
(orang kecil, pengecut) yang suka mengumpak ke atas dan menjilat penguasa?"
Sambil bicara, ia terus membalik tubuh dan melangkah pergi.
"Jangan pergi dulu, sahabat!" bentak Kwe Pian-sian.
380
Meski tidak berpaling, tapi langkah Pwe-giok lantas berhenti, ucapnya perlahan: "Setelah
anda gagal mendapatkan sahabat seperti diriku ini, apakah kau ingin coba-coba lagi
membunuhku?"
"Dapatkah aku membunuh seseorang, cukup ku tahu sendiri dan tak perlu pakai coba-coba,"
kata Kwe Pian-sian. "Hanya saja... Anda sendiri kan belum coba-coba, mengapa kau menolak
tawaranku?"
Pwe-giok menghela napas panjang, katanya: "Perlu diketahui, hanya karena hubungan erat
Anda dengan Pek-hoa-bun, maka sekarang ku pergi dengan hormat, soal bersahabat... orang
macam Anda ini, betapapun aku tidak berani menaksir."
"Soalnya karena kau anggap aku ini orang yang berhati keji dan bertangan ganas, begitu?"
"Memangnya Anda tidak mengaku?"
Kwe Pian-sian tersenyum, katanya pula: "Racun meski dapat membunuh orang, kalau
digunakan dengan tepat, terkadang juga dapat menolong, betul tidak? Ada semboyan yang
menyatakan "menyerang racun dengan racun", tanpa kujelaskan tentu kau pun tahu akan
khasiatnya."
Pwe-giok terdiam sejenak, gumamnya kemudian: "Menyerang racun dengan racun..."
Mencorong sinar mata Kwe Pian-sian, ucapnya pula dengan suara mantap: "Orang seperti
anda ini, apabila dapat bekerja sama denganku, kuberani menjamin, tidak sampai tiga tahun
kita pasti dapat menjagoi bu-lim dan merajai dunia."
Pwe-giok tetap belum lagi berpaling, ucapnya dengan tak acuh: "Tidaklah anda terlalu
membesar-besarkan ambisimu?!"
"Memangnya terhitung ambisi macam apa ini?" seru Kwe Pian-sian. "Seorang lelaki sejati,
hidup di jaman begini, kan seharusnya berbuat sesuatu yang mengguncangkan bumi dan
mengejutkan langit. Kalau Ji Hong-ho itu boleh menjadi bengcu dunia persilatan, kenapa kita
tidak boleh? Orang she Ji itu, hm, tampangnya saja kelihatan halus dan baik budi, padahal
kusangsikan kejujurannya, tindak-tanduknya kelihatan main sembunyi-sembunyi, jelas dia
seorang munafik, asalkan kita dapat membongkar kedoknya..."
Belum habis ucapannya, serentak Ji Pwe-giok membalik tubuh, mukanya yang semula agak
pucat tampak bersemu merah penuh semangat, ia memburu ke depan Kwe Pian-sian dan
berseru: "Baik, cukup satu kata saja persetujuan kita. Selanjutnya kita bersatu-padu untuk
menghadapi manusia yang berhati binatang itu! Supaya mereka pun kenal bagaimana pribadi
Ji Pwe-giok ini!"
Seorang yang biasanya tenang dan lembut, kini mendadak bersemangat dan sangat emosi, hal
ini rada-rada di luar dugaan Kwe Pian-sian, tapi setelah sinar matanya gemerdep, segera ia
menjulurkan tangannya dan berkata dengan tertawa: "Baik, satu kata ini sebagai persetujuan
dan tidak boleh menyesal!"
381
Pwe-giok menengadah dan tergelak, katanya: "Apakah kau lihat aku ini mirip orang yang
suka ingkar janji?"
Mendadak di atas ruangan terdengar seorang tertawa dan berseru: "Haha, hanya kalian berdua
saja ingin malang melintang di dunia ini? Kukira masih selisih sekian jauhnya!"
Orang ini ternyata Gin-hoa-nio adanya.
Tadi Pwe-giok tidak menutuknya dengan tenaga berat, maka sekarang Hiat-to yang tertutuk
itu sudah terbuka dengan sendirinya, maka segera ia tahu siapa orang yang bicara ini.
Sudah tentu yang terkejut ialah Kwe Pian-sian, namun orang ini pun cukup tabah dan tenang,
bahkan mengangkat kepala saja tidak, ia malah menanggapi dengan tertawa seram: "Hm,
selisih apa menurut pendapatmu?!"
"Selisih diriku!" kata Gin-hoa-nio dengan tertawa genit.
Dia sudah melemaskan otot tulangnya di atas belandar, lalu membersihkan debu kotoran yang
menempel bajunya, dikeluarkannya sapu tangan untuk mengusap muka, kemudian baru
melompat turun dengan enteng.
Pribadi Gin-hoa-nio dapat digambarkan sebagai berikut: Kalah kau suruh dia membuka baju
dan menari telanjang di depan lima ratus pasang mata lelaki, maka dia pasti akan
melakukannya dengan muka berseri-seri tanpa malu sedikit pun. Tapi jika menghendaki dia
muncul di depan umum dalam keadaan urat nadinya belum lancar, mukanya belum bersih dan
bajunya kotor, maka mati pun dia tidak mau, sebab hal ini baginya adalah jauh lebih
memalukan daripada perbuatan apa pun.
Kwe Pian-sian hanya memandangnya sekejap, seketika mencorong sinar matanya.
"Hihihi, bagaimana, lumayan bukan aku ini?" ucap Gin-hoa-nio dengan kerlingan yang bisa
bikin lelaki jatuh kelengar.
"Ya, lumayan bahkan lebih dari lumayan," jawab Kwe Pian-sian dengan rada gelagapan.
Gin hoa nio menghela napas, ucapnya pula dengan menunduk:" Sayang diatas sana tidak ada
cermin, kalau ada, tentu aku akan jauh lebih enak dipandang."
"Begini saja sudah cukup," ujar Kwe Pian-sian dengan tertawa.
Mendadak Ciong Cing memburu maju dan membentak dengan mata melotot: "Kau ini siapa?
Mengapa kau mencuri dengar rahasia orang di sini? Apakah kau tidak ingin hidup lagi?"
"Eh, adik cilik," jawab Gin-hoa-nio dengan tertawa nyaring," jangan kau menakuti diriku,
nyaliku biasanya sangat kecil."
"Jika begitu, lekas enyah kau!" bentaknya dengan gusar.
Gin-hoa-nio tertawa ngikik, ucapnya:" Adik cilik yang baik, tidak perlu kau usir diriku, ku
tahu kau ini gentong cuka (maksudnya pencemburu), tapi jangan kau salah sangka,
382
perempuan macamku ini, kalau ingin lelaki, cukup jariku bergerak saja dan lelakipun akan
datang sendiri, masa perlu kurebut lakimu?"
Sampai pucat muka Ciong Cing saking dongkolnya, tapi tak tahu cara bagaimana melayani
orang.
Pwe-giok lantas menyela: "Jika kau ingin merecoki anak perempuan, hendaklah kau cari
sasaran yang lain."
Terkial-kial Gin-hoa-nio tertawa, katanya:" Ku tahu Ji-kongcu pasti akan membela keadilan
lagi, tapi ......ai, mohon janganlah engkau marah, aku tidak takut terhadap siapa-siapa, hanya
takut padamu!"
Dia memandang Kwe Pian-sian sekejap, lalu berkata pula dengan tertawa kenes: "Aku dan dia
boleh dikatakan senasib, sama-sama pernah keok di bawah tangan Ji-kongcu. Sekarang kalau
Ji-kongcu menyuruh kami berduduk, tidak nanti kami berani berdiri."
Berulang-ulang dia menyebut "senasib" dan "kami" seolah-olah dia dan Kwe Pian-sian sudah
menjadi sepasang merpati yang sehidup dan semati tak terpisahkan.
Pwe-giok tahu Gin-hoa-nio mulai lagi main gila, hanya dengan beberapa patah-kata saja Kwe
Pian-san sudah digaet ke pihaknya.
"Sesungguhnya apa kehendakmu, boleh cepat kau katakan saja!" ucapnya dengan menghela
napas.
Gin-hoa-nio mengerling genit, jawabnya: "Bukankah tadi sudah kukatakan?"
"Tapi aku tidak paham apa maksudmu?" kata Pwe-giok.
"Kan sudah kukatakan, bila kalian ingin merajai dunia, kukira masih selisih sekian jauhnya,
tapi kalau diriku ditambahkan...." dia tertawa manis, lalu menyambung: "Dengan tenaga
gabungan kita bertiga barulah benar-benar tiada tandingannya lagi di dunia ini."
"Hahahaha!" Kwe Pian-sian terbahak-bahak." Kiranya kaupun ingin bersekutu dengan kami."
"Betul, ingin ku jadi sahabatmu yang ke empat," jawab Gin-hoa-nio dengan main mata.
Kwe Pian-sian memandangnya dari atas ke bawah dan kembali dari bawah ke atas, ucapnya
kemudian dengan tersenyum:" Perempuan cantik semacam kau, untuk menjadi selir raja saja
melampaui syarat, tapi belum cukup kalau ingin menjadi sahabatku."
Sambil menggerakkan pinggulnya Gin-hoa-nio bertanya dengan tersenyum genit:" Masa aku
kalah dibandingkan para kekasihmu itu?"
"Kekasih dan sahabat tidaklah sama," ujar Kwe Pian-sian. "Kekasihku memang jumlahnya
sukar dihitung, tapi sahabatku hanya tiga. Malahan yang dua sudah lama mati."
Gin hoa-nio menggigit bibir, katanya kemudian:" Jika demikian, cara bagaimanakah baru
dapat ku jadi sahabatmu?"
383
"Coba katakan dulu syarat apa saja yang kau miliki," kata Kwe Pian-sian.
Dengan kerlingan mautnya, Gin-hoa-nio menjawab dengan tertawa:" Sekalipun aku bukan
perempuan tercantik di dunia ini, tapi ku tahu cara bagaimana membikin senang lelaki. Jika
kau tidak percaya, selanjutnya lambat laun kau pasti akan tahu."
"Ya, kupercaya selekasnya aku pasti akan tahu," kata Kwe Pian-sian dengan memicingkan
mata.
"Tapi ini saja belum cukup."
"Akupun terhitung wanita yang paling berpengaruh di dunia ini, cukup dengan sepatah kataku
saja segera dapat kukerahkan beberapa ribu orang di lima propinsi sekitar sini."
Apa yang ditambahkan Gin-hoa-nio ini memang bukan bualan, sebab kekuasaan Thian-cankau
di wilayah propinsi-propinsi yang dimaksud memang sudah tersebar sampai setiap
pelosok.
Tapi Kwe Pian-sian tetap menanggapi dengan tertawa hambar:" Kebaikan satu-satunya bila
jumlah orang banyak hanya lebih banyak nasi yang harus disediakan."
Gin hoa nio mengerling, katanya pula: "Dan aku pun wanita yang paling kaya di dunia ini,
kekayaan ku mungkin setan pun dapat ku beli. Jika kau tidak percaya, sebentar lagi dapat
kubuktikan."
Terbeliaklah mata Kwe Pian sian, ucapnya dengan tertawa: "Wah, kalau begitu, rasanya
sudah mendekati."
"Tapi ini pun belum cukup," tiba-tiba Pwe giok menimbrung.
Gin hoa nio memelototi anak muda itu sekejap, lalu berkata pula dengan perlahan: "Kekejian
hatiku, keganasan caraku, kuyakin tidak di bawah siapa pun juga. Jika kau ingin "menyerang
racun dengan racun", maka tiada yang lebih cocok lagi daripada mencari diriku, apalagi ...."
dengan tersenyum ia meneruskan: "Aku pun seorang perempuan, ada sementara urusan akan
jauh lebih leluasa dilakukan oleh perempuan seperti diriku ini daripada lelaki."
Pwe giok berpikir sejenak, kemudian berkata dengan tertawa: "Baik, kukira sudah cukup
sekarang."
"Dan kau?" tanya Gin hoa nio sambil menatap Kwe Pian sian.
"Kau adalah sahabatku yang ke empat," jawab orang she Kwe itu dengan tertawa.
Gin hoa-nio berkeplok tertawa, katanya: "Bagus, sekarang kalau ada orang yang berani
merecoki kita, maka celakalah dia!"
*****
384
Pada setengah hari sebelumnya, mimpi pun Pwe giok tidak menyangka dirinya dapat
bersekutu dengan seorang lelaki seerti Kwe Pian sian dan seorang perempuan seperti Gin hoa
nio. Tapi sekarang jalan pikirannya sudah berubah sama sekali.
Pertemuan Hong ti tempo hari boleh dikatakan sudah menjaring seluruh pahlawan dan ksatria
golongan Pek to (golongan baik), setiap orang yang mengaku sebagai pendekar pembela
kebenaran dan keadilan, kini sudah tunduk dan menurut kepada "Ji Hong ho", seorang diri
cara bagaimana Ji Pwe giok mampu melawannya? Dan siapa pula yang mau percaya kepada
apa yang dikatakan anak muda ini?
Karena itulah, terpaksa Pwe giok mencari jalan yang lain, satu-satunya jalan yang dapat
ditempuhnya, yaitu: "Menyerang raun dengan racun".
Kini ia sudah tahu jelas wajah asli orang-orang yang menamakan dirinya sebagai pendekar
dan ksatria itu. Misalnya Tong Bu siang, itu ketua keluarga Tong yang termasyhur, berapa
lebih banyak kebaikannya dibandingkan Gin hoa nio?
Maka kawan yang dicarinya sekarang adalah orang-orang yang biasanya dipandang jahat
seperti ular atau kelabang, hanya dengan cara demikian ia dapat menyingkap wajah asli
orang-orang yang mengaku sebagai ksatria dan pendekar itu.
Falsafah yang dianut Pwe giok sekarang adalah berdasarkan hati nuraninya sendiri, asalkan
dirinya merasa benar, maka cukuplah, perduli pendapat orang lain?
*****
Di sini adalah sebuah tanah pekuburan yang sepi dan dingin.
Sudah jauh malam, bulan guram bintang suram. Alang-alang tinggi mengelilingi gundukan
kuburan yang tak terawat, barangkali tiada tempat lain di dunia yang lebih hening dan rawan
dari pada tempat ini.
Yang tertanam di sini rata-rata adalah kaum miskin yang hidup sengsara dan direndahkan,
waktu hidup mereka nelangsa, sesudah mati mereka pun kesepian dan kapiran.
Ciong Cing memegangi tangan Kwe Pian sian erat-erat, tapi matanya memelototi Gin hoa nio,
katanya dengan mendongkol: "Untuk apa kau bawa kami ke sini? Apa maksudmu?
Gin hoa nio tertawa, jawabnya: "Apakah kau takut, adik yang baik? Sesungguhnya tempat ini
tidak menakutkan, bahkan boleh dikatakan sangat menarik."
Terbelalak lebar mata Ciong Cing, teriaknya: "Menarik? Kau bilang tempat begini ini
menarik?"
"Pada malam bulan purnama, arwah setan kuburan ini akan bangun dari kuburan masingmasing
dan menari di bawah sinar bulan yang terang. Coba lihat, bisa jadi sekarang juga
mereka sudah muncul," dengan tertawa Gin hoa nio berkata.
Kebetulan angin meniup dan api setan (posfor) beterbangan, pepohonan sama bergemerisik
sehingga mirip bisikan setan.
385
Ciong Cing merinding dan menggigil, tapi ia berlagak tabah dan mendengus: "Huh, jika benar
mereka muncul dan menari di sini, aku akan ikut menari bersama mereka."
Gin hoa nio tertawa terkekeh-kekeh, katanya: "Bagus, melihat anak perempuan cantik seperti
kau, tentu saja mereka akan berebut menari dengan kau, bahkan pasti tidak mau melepaskan
kau lagi."
Bergidik Ciong Cing, tanpa terasa ia menubruk ke rangkulan Kwe Pian-sian. Maka tertawalah
Gin-hoa-nio hingga terpingkal-pingkal.
Dengan tersenyum Kwe Pian-sian lantas berkata: "Boleh juga kau, hanya kau yang dapat
menyembunyikan harta pusaka di tempat begini."
Gin-hoa-nio mengerling genit, ucapnya: "Apa yang kulakukan ternyata tak dapat mengelabui
kau. Isi hatiku juga cuma kau saja yang tahu, apakah kita berdua memang berasal dari
sejenis?"
Pwe-giok menghela napas, katanya dengan gegetun: "Moga-moga orang sejenis kalian ini
tidak terlalu banyak di dunia ini."
"Orang sejenis kami ini pasti tidak banyak, cukup kami berdua saja," jawab Gin-hoa-nio
dengan tertawa, lalu ia melirik Kwe Pian-sian dan menambahkan: "Betul tidak?"
Baru saja Kwe Pian-sian tertawa dan belum bicara, serentak Ciong Cing melonjak dan
menjengek: "Hm, seumpama kau ingin memikat lelaki, kan tidak perlu di tempat begini?"
"Wah, lihatlah, gentong cuka kita pecah lagi," seru Gin-hoa-nio dengan tertawa.
Pwe-giok berkerut kening, katanya: "Apakah benar kau sembunyikan harta bendamu itu di
dalam kuburan?"
"Betul," jawab Gin-hoa-nio. "Kutemukan dua orang gelandangan, kuberi minum arak mereka,
ketika mereka sudah lebih dari setengah mabuk, kubawa mereka ke sini untuk menggali
sebuah kuburan baru, orang mati di dalam peti kubongkar, lalu kuganti dengan harta pusakaku
dan peti mati kututup kembali."
Dia tertawa terkikik-kikik, lalu menyambung pula: "Coba, bagus tidak akalku ini? Di sini
adalah kuburan setan rudin, maling penggali kuburan juga takkan menaksirnya. Bila kutanam
harta karunku di sini, kecuali setan, siapa yang tahu?"
Kwe Pian-sian tersenyum, katanya: "Dan kedua orang yang kau suruh menggali itu?"
"Kutahu caraku menyelesaikan mereka tentu tak dapat mengelabui kau," ujar Gin-hoa-nio
dengan tertawa. "Setelah mereka membantuku, dengan sendirinya harus kubalas jerih payah
mereka, maka kusediakan satu poci arak yang paling enak, kuiringi mereka menghabiskan
arak sepoci penuh itu..." dia menghela napas, lalu menyambung lagi dengan tersenyum:
"Cuma sayang, dasar orang melarat, diberi arak enak juga tak sanggup menikmatinya, belum
habis arak diminum mereka sudah mabuk dan tak pernah bangun lagi."
386
Perbuatan rendah dan keji ini, andaikan orang lain berani melakukannya, tentu juga tidak
berani membicarakannya kepada orang lain. Tapi cara Gin-hoa-nio bicara bukan saja bangga
seolah-olah harus diberi piala, bahkan ia berkisah seperti perbuatannya ini harus dicatat dalam
sejarah.
Kwe Pian-sian memandang Pwe-giok sekejap lalu berkata: "Jika kedua orang itu mau
menggali kuburan bagimu, dengan sendirinya mereka pun bukan manusia baik-baik. Orang
semacam mereka itu biarpun sehari mati sepuluh atau seratus juga tidak perlu disayangkan.
Betul tidak, Ji-heng?"
Sebenarnya Pwe-giok hendak bicara sesuatu, tapi sekarang dia hanya menghela napas saja.
Begitulah mereka berempat terus berputar kian kemari mengelilingi tanah pekuburan itu,
sampai sekian lamanya, mendadak Gin-hoa-nio berhenti dan berkata: "Ini dia, di sini.
Dihitung dari sebelah timur, inilah kuburan ke-27. Pohon kecil di atas kuburan ini malah aku
sendirilah yang menandurnya.
"Tidak perlu kau jelaskan lagi, kupercaya tidak nanti kau lupakan pekerjaanmu ini," kata
Pwe-giok.
"Kuburan ini sudah tidak ada orang matinya melainkan cuma terdiri dari gundukan tanah
belaka," kata Gin-hoa-nio pula. "Ku tahu Ji-kongcu kita pasti tidak sudi menggali kuburan,
kalau mencangkul tanah tentunya tidak menjadi soal bukan?"
Padahal sebenarnya dia tidak perlu lagi memancing-mancing Ji Pwe-giok, keadaan anak muda
ini sekarang sudah jauh lebih terbuka daripada dahulu, segala apa dirasakannya sebagai
kejadian biasa saja, mana dia mempersoalkan gali kuburan segala.
Setelah gundukan tanah dibongkar, tertampaknya sebuah peti mati dari kualitas rendah.
"Ini dia, memang peti mati inilah," kata Gin-hoa-nio. "Di atas peti malah sudah kuberi tanda.
Isi peti mati ini sebenarnya seorang perempuan muda, konon mati kaku saking gemasnya
karena suaminya punya istri muda." Mendadak ia berpaling dan tertawa terhadap Ciong Cing,
katanya: "Coba bandingkan, bukankah rasa cemburunya jauh lebih gede daripadamu?"
Muka Ciong Cing tampak pucat pasi, ia menggigit bibir dan tidak menjawab.
Gin-hoa-nio terkikik-kikik, katanya pula: "Konon seorang kalau sudah mati, biarpun
mayatnya sudah digotong pergi, tapi kalau malam tiba, arwah setannya tetap akan pulang dan
tidur di peti matinya. Karena kalian adalah perempuan sejenis, bila kubuka peti mati ini, dia
pasti takkan mencari orang lain, orang pertama yang akan dicarinya pastilah kau. Maka lebih
baik lekas kau menyingkir sejauh-jauhnya."
Meski sedapatnya Ciong Cing bikin tabah hatinya, tapi tanpa terasa langkahnya malah
menyurut mundur. Ketika angin malam meniup, ia merasa punggungnya dingin, rupanya
keringat dingin telah membasahi bajunya.
"Kriuut", tutup peti mati telah dibuka. Gin-hoa-nio sendiri yang bermaksud menakuti orang
mendadak menjerit kaget malah.
387
Suaranya yang parau kedengarannya seperti lengking setan di malam sunyi.
Kwe Pian-sian dan Ji Pwe-giok juga saling pandang belaka, mereka seolah-olah juga
melenggong kaget.
Di dalam peti mati ternyata tiada harta karun segala, yang ada hanya sesosok mayat yang
mengerikan. Wajahnya yang abu-abu dan setengah menyeringai itu seakan-akan hendak
berkata kepada Gin-hoa-nio: "Bukan saja arwah setanku sudah pulang ke sini, bahkan
mayatku juga pulang lagi!"
Angin meniup pula dan alang-alang gemerisik, api setan bertaburan di udara.
Saking kejutnya Gin-hoa-nio berteriak: "Jelas-jelas mayatnya telah ku bongkar keluar dan
jelas-jelas ku taruh harta pusakaku di dalam peti, mengapa...mengapa sekarang..." ia merasa
kedua kakinya lemas, belum habis ucapannya ia lantas jatuh terduduk.
Di bawah cahaya bintang yang remang-remang, tangan orang mati itu tampaknya memegang
secarik kertas. Kwe Pian-sian mendapatkan satu ranting kayu dan mencungkit kertas itu,
ternyata di situ tertulis: "Waktu hidupku keluargaku berantakan akibat seorang perempuan
hina, sesudah mati sekarang kau pun akan merampas lagi rumahku ini?"
Kedua baris huruf itu tertulis dengan tak teratur, kertas itupun terasa seram, Kwe Pian-sian
merasa jari sendiripun rada gemetar dan kertas itu pun terjatuh. Betapapun tabahnya, tidak
urung merinding juga dia.
Hanya Ji Pwe-giok saja, peristiwa aneh dan sukar dibayangkan ini sudah banyak dialaminya,
maka ia tidak kaget juga tidak takut, dengan hambar ia tanya Gin-hoa-nio: "Waktu kau tanam
harta karunmu itu, apakah benar tidak dilihat orang lain?"
Gin-hoa-nio sudah berbangkit, tapi tubuh masih gemetar, jawabnya dengan terputus-putus:
"Ti...tidak ada!"
"Anehlah kalau begitu," kata Pwe-giok sambil berkerut kening.
"Jika demikian, kecuali kedua orang itu hidup kembali, kalau tidak masa..."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong di kejauhan berkumandang suara orang tertawa
terkekeh-kekeh sambil berseru:
"Wah, lezat, nikmat, arak enak, arak bagus, tambah satu poci lagi!"
Di tengah suara tertawa aneh itu, sebuah lampu berkerudung warna merah seperti api setan
melayang-layang tiba dalam kegelapan. Sesudah dekat baru kelihatan di balik lampu masih
ada dua sosok bayangan orang.
Gin-hoa-nio ketakutan dan berteriak: "Itu...itu dia...kedua orang inilah!"
Kwe Pian-sian mencengkeram tangannya dan bertanya dengan suara tertahan: "Racunmu
manjur atau tidak?"
388
"Kenapa tidak?" jawab Gin-hoa-nio dengan suara parau. "Racun Thian-can, tiada obatnya di
dunia!"
Tiba-tiba orang yang membawa lampu merah itu terkekeh-kekeh pula dan berkata: "Hehehe,
kau kira setelah kami mati kau racuni lantas segala urusan akan beres?!"
Seorang lagi menanggapi dengan suara serak: "Sudah mati kami hidup kembali dan sengaja
hendak menagih nyawa padamu!"
Di bawah cahaya lampu yang merah itu, wajah kedua orang samar-samar kelihatan berlepotan
darah, mata, telinga, hidung, mulut, semuanya penuh darah yang bertetes-tetes.
Mendadak Kwe Pian-sian membentak: "Orang mati mana bisa hidup kembali? Biarlah kalian
mati sekali lagi!" Berbareng itu berpuluh bintik sinar perak terus menyambar ke depan bagai
hujan.
Kedua orang itu menjerit satu kali terus roboh terjungkal, lampu merah itu lantas menyala, di
tengah gemerdep cahaya api tubuh kedua orang itu tampak berkelojot, lalu tidak bergerak
lagi.
"Haha, kiranya setan juga tidak perlu ditakuti, hanya secomot senjata rahasia saja tidak
tahan!" seru Kwe Pian-sian sambil tertawa.
"Tapi...tapi mereka jelas-jelas sudah pernah mati... masa seorang bisa mati dua kali?" seru
Gin-hoa-nio dengan gemetar.
Mencorong sinar mata Pwe-giok, tanyanya dengan suara tertahan: "Apakah betul racun
Thian-can tidak dapat diobati, sampai perguruanmu sendiri juga tidak mempunyai obat
penawarnya?"
Tergetar tubuh Gin-hoa-nio, cepat ia melompat ke depan kedua sosok mayat itu, di bawah
cahaya api yang belum padam itu ia memeriksa sejenak, tiba-tiba dia bergelak tertawa pula.
"Apa yang kau tertawakan? Masa cairan yang mengalir di muka mereka itu bukan darah?"
tanya Kwe Pian sian.
Gin hoa nio tidak menjawabnya, tapi terus tertawa dan berseru: "Ayah, jika Anda sudah
datang, mengapa tidak keluar saja kemari?"
Dalam kegelapan sunyi senyap, mana ada jawaban orang?
Segera Gin hoa nio berkata pula: "Kiranya ayah selalu mengikuti jejakku, harta karun yang
kutanam di sini telah engkau gali. Kuracun mati kedua orang ini, engkau pun menghidupkan
mereka. Engkau tahu aku pasti akan kembali lagi ke sini, maka engkau lantas menggunakan
mereka untuk menakuti diriku?"
Dia tertawa terkekeh-kekeh, lalu menyambung pula: "Sekarang anak benar-benar hampir mati
ketakutan, sekali pun ayah hendak menghukum anak, tapi rasanya anak kan sudah cukup
dihukum dan mestinya engkau tidak keberatan untuk keluar dan bertemu dengan anak?"
389
Di tempat gelap di kejauhan sana akhirnya bergema suara seorang: "Pusaka perguruan kita
ternyata akan kau caplok sendiri, dosamu ini sebenarnya pantas dihukum mati, mayat hidup
tadi hanya sekedar hukuman kecil saja, bila tidak mengingat kau adalah anakku sendiri, tentu
kuhukum kau menurut peraturan perguruan."
Suara itu mengambang terbawa angin, kedengarannya sudah berpuluh tombak jauhnya.
Gin hoa nio menghela napas lega, gumamnya: "Keji amat, satu biji mutiara saja tidak
disisakan bagiku."
Kwe Pian sian termenung agak lama, tiba-tiba ia tertawa dan berkata: "Sang ayah ternyata
tega menyamar sebagai setan untuk menakuti anak perempuan sendiri, kejadian ini sungguh
jarang ada di dunia."
"Apakah kau kira dia benar-benar cuma hendak menakuti aku saja?" tanya Gin hoa nio.
"Masa bukan begitu?" kata Kwe Pian Sian.
"Tadinya dia mengira aku pasti akan datang sendirian, bila aku ketakutan dan jatuh pingsan
maka tamatlah riwayatku. Dengan demikian aku akan mati secara konyol, jadi setan pun tidak
tahu siapa yang membunuh diriku. Beginilah biasanya cara Thian can kau kami membunuh
orang."
"Tapi jangan lupa, betapapun dia kan ayahmu?" ujar Pwe giok sambil berkerut dahi.
"Ayah? Memangnya kenapa kalau ayah?" tukas Gin hoa nio dengan hambar. "Thian can kau
hanya kenal peraturan perguruan dan tidak kenal kasih sayang sanak keluarga. Kali ini aku
tidak dibunuhnya hanya karena dia merasa tidak sanggup merecoki kalian berdua."
Tiba-tiba ia tertawa terkial-kial lalu menyambung pula: "Coba kalian pikir, bilamana dia
seorang yang berperasaan, pantaskah menjadi Thian can kaucu?"
Kwe Pian sian menghela napas panjang, katanya: "Sungguh Thian can kaucu yang tidak
bernama kosong! Kekejian hatinya dan keganasan tindakannya sungguh aku pun rada-rada
kagum padanya."
"Dan ada ayah demikian barulah ada anak seperti aku ini," tukas Gin hoa nio. "Meski dia
ingin membunuhku, tapi aku tidak menyalahkan dia, malahan aku merasa bangga mempunyai
ayah seperti dia ini."
"Hm, sekarang kau sepeser saja tidak punya apa yang kau banggakan?" jengek Kwe Pian sian.
Gin hoa nio memandangnya termangu-mangu sejenak, tiba-tiba dia tertawa terkikik-kikik
pula, katanya: "Hihihi, kau memang tidak malu sebagai sejenis denganku. Orang kaya
memandang hina orang miskin, ini kan lumrah. Aku sendiri pun suka menghina orang rudin.
Tapi kalau orang seperti diriku ini sepeser saja tidak punya, bukankah setiap orang di dunia
ini akan mati melarat seluruhnya?"
"Memangnya kau...."
390
Belum lanjut ucapan Kwe Pian sian dengan tertawa Gin hoa nio memotong: "Walaupun aku
tidak tahu diam-diam dibuntuti dia, tapi sebelumnya akupun sudah berjaga-jaga akan
kemungkinan ini. Sebagian harta pusakaku sudah kusembunyikan di tempat lain."
"Oo, di mana kau sembunyikan?" Kwe Pian Sian jadi tertarik.
"Sudah tentu di tempat yang selamanya takkan kalian temukan," ujar Gin hoa nio dengan
tertawa penuh rahasia.
*****
Bahwa ada orang yang menyimpan harta karun di suatu tanah pekuburan yang sunyi, di dalam
peti mati seorang perempuan miskin dari rakyat biasa ini saja tidak pernah dibayangkan
orang. Tapi sekarang Gin hoa nio bilang sebagian harta karunnya tersimpan di suatu tempat
yang tak mungkin ditemukan orang lain. Lalu tempat ini bukankah lebih-lebih sukar untuk
dibayangkan?"
Siapa tahu Gin hoa nio bukannya membawa mereka ke suatu tempat yang terlebih sepi dan
lebih seram daripada kuburan, tapi berbalik membawa mereka ke suatu tempat yang ramai, ke
suatu kota kecil yang tidak jauh dari tanah pekuburan itu.
Meski suasana kota sudah sunyi, namun kelihatan bangunan kota kecil ini cukup menarik.
Melihat orang-orang itu sama heran dan sangsi, Gin hoa nio lantas berkata dengan tertawa:
"Tentunya semula kalian menyangka tempat yang akan kutunjukkan pasti suatu tempat
terlebih terpencil dan lebih rahasia, siapa tahu aku malah membawa kalian masuk ke kota
yang ramai ini, jadi kalian terheran-heran, begitu bukan?"
"Ya," jawab Pwe giok.
Gin hoa nio menunjuk deretan rumah di dalam kota dan berkata pula: "Kota kecil ini bernama
Li toh tin, rumah yang agak tinggi di ujung sana itu adalah sebuah rumah penginapan yang
bernama Li keh can. Kira-kira setengah bulan yang lalu pernah kutinggal beberapa hari di
hotel itu dengan membawa harta karunku itu."
"Memangnya sebagian harta itu kau sembunyikan di Li keh can itu?" dengus Ciong Cing.
"Betul, tampaknya kau sudah mulai pintar," kata Gin hoa nio dengan tertawa. Lalu ia
menyambung: "Lebih dulu kubungkus sebagian batu pertama dengan sepotong kain hitam dan
kutaruh bungkusan ini di antara rusuk atap rumah, kemudian ku masukkan sisa harta yang lain
ke dalam peti dan kusembunyikan di peti mati itu.
Ciong Cing mencibir, jengeknya: :Huh, kukira kau sembunyikan barangmu di tempat yang
luar biasa, tak tahunya cuma kau taruh di atap rumah, anak kecil saja dapat menemukan
tempat begini."
"Adik yang baik, meski kau tidak bodoh, bahkan tampaknya mulai pintar, tapi apa yang kau
lihat sesungguhnya terlalu sedikit, banyak urusan yang tidak kau pahami," kata Gin hoa nio
dengan tertawa. "Meski tempat yang kugunakan ini tampaknya sangat sederhana, tapi
391
sebenarnya tempat yang paling aman, bila kau tidak percaya boleh kau tanya dia... Dia pasti
jauh lebih paham daripadamu...." ia melirik ke arah Kwe Pian sian dan bertanya: "Betul
tidak?"
"Betul," jawab Kwe Pian sian. "Tempat yang paling mudah diketemukan orang terkadang
malah tidak diperhatikan dan takkan dicari ke situ, sebab siapa pun tidak percaya bahwa
barang-barang yang begitu berharga akan kau sembunyikan di tempat begitu."
"Apalagi," tukas Gin hoa nio, "dengan tindakanku itu, sekalipun ada orang diam-diam
menguntil diriku, ketika melihat kusembunyikan peti harta karun ke dalam peti mati, tentu dia
takkan menyangka sebagian dari harta pusaka itu sudah kusembunyikan dulu di atas rumah."
Dia melirik sekejap ke arah Ciong Cing, lalu bertanya dengan tertawa: "Nah, adik cilik,
sekarang tentunya kau paham bukan?"
"Hm, aku tidak mempunyai kebiasaan main sembunyi-sembunyi begitu, urusan begini
hakekatnya tidak perlu kupahami," jengek Ciong Cing.
"Memang, cukup bagimu asalkan kau paham minum cuka saja," kata Gin hoa nio dengan
tertawa genit.
Saking dongkolnya sampai jari Ciong Cing gemetar, tapi tidak sanggup bersuara lagi.
Gin hoa nio berucap pula: "Ku tahu di depan hotel itu ada sebuah rumah kecil berloteng, dari
atas loteng dapat melihat jelas setiap gerak-gerik di sekitarnya. Boleh kita ke loteng itu dulu
baru nanti memutuskan cara bagaimana kita harus bertindak."
"Tak tersangka caramu bekerja juga secermat ini," ujar Kwe Pian sian dengan tersenyum.
"Orang yang bekerja cermat tentu akan hidup lebih lama sedikit.... Bukankah kita bertiga
sama-sama orang yang suka bekerja cermat?" kata Gin hoa nio dengan tertawa.
Di atas loteng kecil itu memang dapat memandang sekelilingnya, bahkan hampir seluruh kota
kecil itu dapat terlihat dengan jelas, di atas loteng inilah Kim yan cu menyaksikan Gin hoa nio
mengerjai "su ok siu" atau tempat binatang buas itu.
Sekarang Gin hoa nio juga mengajak mereka ke atas loteng ini untuk mengintip orang lain.
Mereka mengitar ke belakang rumah, lalu meloncat ke atas loteng.
Baru saja mereka berjongkok dan mengintai ke sana, seketika mereka berempat sama
melenggong.
Sudah jauh malam begini, rumah penginapan di depan itu ternyata masih terang benderang,
jendela juga masih terbentang, entah sejak kapan di sekeliling rumah itu sudah ditambah
beberapa bangku tinggi, di atas bangku tersulut lilin raksasa sebesar lengan sehingga rumah
yang paling besar di Li toh tin ini terang benderang seperti di siang hari.
Sebuah meja besar tampak tertaruh di tengah ruangan, dua orang duduk berhadapan sedang
main catur. Di samping mereka berdiri beberapa orang dengan berpangku tangan, asyik
menonton pertandingan catur itu.
392
Main catur sampai jauh malam, hal ini jarang terlihat, bahkan yang menonton juga berminat
mengikutinya sampai laut malam begini, sungguh kecanduan catur mereka ini jarang terdapat.
Yang paling aneh bukanlah permainan catur dan penontonnya melainkan kedua pemain catur,
yakni yang mengejutkan Ji Pwe giok dan lain-lain, karena kedua pemain catur itu adalah Tong
Bu siang dan Ji Hong ho.
Yang menonton di samping selain Lim Soh koan yang dikenal Pwe giok itu, yang lain-lain
kebanyakan gagah perkasa, jelas semuanya jago silat pilihan.
Ciong Cing juga terkejut, sebab mendadak dilihatnya tokoh Kangouw sebanyak itu, ia
menjadi kuatir kalau di antaranya ada yang kenal dia sehingga jejaknya akan ketahuan
gurunya itu.
Sedangkan terkejutnya Kwe Pian sian adalah karena semula dia menyangka Tong Bu siang
dan Ji Hong ho sedang berbuat sesuatu yang kotor yang tidak boleh diketahui orang lain. Tak
tersangka kedua orang ini justeru menuju ke Li toh tin sini untuk main catur.
Ji Pwe giok juga terkejut, ia pun tidak menyangka kedua orang itu bisa main catur di sini,
lebih-lebih tidak tahu "Tong Bu siang" yang sedang main catur ini Tong Bu siang tulen atau
palsu.
Yang paling terkejut di antara mereka berempat ialah Gin hoa nio. Sampai lama ia
melenggong, akhirnya ia menghela napas perlahan dan berkata: "Thian benar-benar tidak mau
membantu, orang-orang ini tidak mau ke timur atau ke barat, tapi justeru main catur di sini.
Dengan beradanya mereka di situ, untuk mengambil barang, terpaksa kita harus menunggu."
"Marilah pergi saja!" ajak Kwe Pian sian sambil berkerut kening.
"Pergi?" Gin hoa nio menegas.
Kwe Pian sian membisikinya: "Habis kita tidak tahu sampai kapan baru permainan catur
mereka akan berakhir. Bahkan habis main catur mereka pun belum tentu akan segera pergi,
kan percuma kalau kita hanya menunggu saja di sini."
"Tidak, kita tidak boleh pergi," tiba-tiba Pwe giok menyela. "Betapapun, baik tulen atau palsu
"Tong Bu siang" ini, dia harus tetap membayanginya hingga jelas."
Segera Gin hoa nio menyatakan setuju. "Betul, betapa pun kita harus tetap berjaga di sini."
"Tapi fajar sudah hampir menyingsing, apakah kita dapat tinggal lama-lama di sini?" kata
Kwe Pian sian.
Gin hoa nio tertawa, katanya: "Di atas sini tentu tidak dapat, tapi di dalam rumah kan boleh?"
Segera ia mengitar ke bagian belakang dan melongok ke bawah, ia coba mendorong daun
jendela tingkat bawah, jendela ternyata tidak tertutup, dengan mudah ia membuka daun
jendela dan melayang turun ke sana.
393
Meski Pwe giok tidak suka sembarangan terobosan di rumah orang, tapi dalam keadaan
mendesak ia pikir memang tidak jalan lain, terpaksa ia pun ikut melayang masuk ke sana.
Di dalam rumah itu tiada lampu, jendela yang lain juga tertutup rapat, suasana dalam rumah
menjadi gelap gulita, sampai jari sendiri pun tidak kelihatan. Gin hoa nio lantas mengeluarkan
ketikan dan membuat api.
Tadinya ia menyangka di dalam rumah pasti tidak ada orang, andaikan ada tentu juga sudah
tidur seperti babi mampus. Siapa tahu, begitu api menyala, tiba-tiba diketahuinya ada dua
pasang mata sedang memandangnya dengan diam-diam.
Kedua pasang mata itu terbelalak lebar, sama sekali tidak berkedip.
Keruan Gin hoa nio terkejut pula, hampir saja obornya jatuh.
Terlihat sekarang, di dalam rumah yang terpajang cukup indah dan resik ini ada sebuah
tempat tidur yang sangat besar, di situ berbaring satu orang dengan rambut kusut, mukanya
pucat dan kurus kering, hampir tidak menyerupai bentuk manusia lagi.
Saat ini belum musim dingin, tapi orang ini memakai beberapa lapis selimut tebal, sekujur
badannya terbungkus rapat di dalam selimut, hanya kepalanya saja yang menongol di luar. Di
sampingnya berduduk seorang anak perempuan yang tampaknya baru berusia 11 atau 12,
anak ini kelihatan ketakutan sehingga tubuhnya meringkuk menjadi satu, hanya kedua
matanya yang besar itu sedang memandang pendatang-pendatang yang tidak diundang ini.
Setelah mengetahui siapa-siapa yang menghuni kamar ini, Gin hoa nio tidak banyak pikir lagi,
dengan tertawa manis ia menyapa: "Sudah jauh malam begini, apakah kalian belum tidur?"
Nona cilik itu mengiakan sambil manggut-manggut.
"Jika tidak tidur, mengapa tidak menyalakan lampu, seperti kucing saja bersembunyi dalam
kegelapan," kata Gin hoa nio pula.
Kembali nona cilik itu hanya terbelalak dan menggeleng.
Orang yang tampaknya sakit sudah sangat parah itu tiba-tiba tersenyum rawan, ucapnya: "Di
sini tidak ada lampu."
"Tidak ada lampu?" Gin hoa nio menegas dengan berkerut kening.
Si sakit menghela napas, ucapnya: "Jiwaku sudah tinggal menunggu ajal saja, apa gunanya
cahaya lampu? Menanti datangnya ajal dalam kegelapan akan mengurangi rasa takut dan
gelisah."
Dia bicara dengan suara lemah, ada hawa tidak ada tenaga, seolah-olah napasnya setiap saat
bisa berhenti.
Gin hoa nio memandanginya sejenak, katanya kemudian: "Orang sebanyak ini mendadak
menerobos masuk kamarmu, apakah kau tidak takut?"
394
"Orang yang sudah hampir mati, rasanya tidak ada sesuatu lagi di dunia ini yang perlu
ditakuti," ujar si sakit dengan hambar.
"Betul," tukas Gin hoa nio dengan tertawa, "seorang yang sudah hampir mati memang juga
ada faedahnya. Misalnya.... mestinya akan kubunuh kau, tapi sekarang aku menjadi tidak
tega."
Tiba-tiba ia meraba kepala anak perempuan itu dan bertanya dengan suara halus: "Dan kau....
apakah kau pun tidak takut?"
Anak perempuan itu berpikir sejenak, jawabnya kemudian dengan perlahan: "Sacek (paman
ketiga) toh sudah hampir meninggal, maka aku pun tidak ingin hidup lagi."
"Makanya kau tidak takut?" Gin hoa nio menegas.
"Y, tidak takut," jawab anak perempuan itu dengan mata terbelalak lebar.
"Jika kau tidak takut, dengan sendirinya kau tidak akan berseru dan berteriak bukan?" tanya
Gin hoa nio.
"Sacek suka ketenangan, selamanya aku tidak pernah bicara dengan suara keras," jawab anak
itu.
"Ehm, bagus, jika demikian hidupmu akan bertahan lebih lama," ujar Gin hoa nio dengan
tertawa. Ia tidak menghiraukan lagi kedua orang ini, dia mendorong jendela yang di depan itu,
hanya sedikit saja daun jendela itu terbuka, lalu ia mengintai ke bawah. Ternyata setiap gerakgerik
di rumah seberang sana dapat terlihat dengan jelas.
Sementara itu obor yang dipegang Gin-hoa-nio sudah padam, keadaan gelap gulita pula,
suasana juga sunyi senyap, hanya terkadang terdengar suara "kletak", suara jatuhnya biji catur
di luar sana, suaranya nyaring menyentak pendengaran.
Jilid 16________
Si Sakit telah memejamkan matanya, tapi mata si nona cilik justeru gemerdep di dalam
kegelapan. Diam-diam Pwe-giok mendekatinya dan bertanya dengan suara halus:
"Adik cilik, siapa namamu?"
"Ah, pertemuan secara kebetulan, untuk apa anda tahu namaku." jawab anak perempuan itu
dengan sayu.
Anak perempuan sekecil ini dapat mengucapkan kata-kata seperti orang tua, Pwe-giok jadi
melengak malah.
Siapa tahu anak dara itu bahkan menatap Pwe-giok sekian lama, tiba-tiba ia berkata pula:
"Tapi lantaran kau sudah tanya, boleh juga kukatakan padamu. Namaku Cu Liu-ji, Liu artinya
air mata, sebab sejak kecil aku memang anak yang suka mengucurkan air mata."
"Dan sekarang kau..."
395
"Sekarang tidak mengucurkan air mata lagi, mungkin sumber air mataku sudah kering."
Pwe-giok termangu-mangu sejenak, katanya kemudian dengan gegetun:
"Apakah Sacekmu sudah lama sakit ?"
"Ya, sudah empat-lima tahun."
"Kau yang merawat dia selama ini ?"
"Ehmm," Cu Lui ji mengangguk.
"Masa tiada ditemani orang lain ?"
"Sacek tidak mempunyai sanak keluarga lain, hanya diriku." tutur Cu Lui-ji dengan pelahan.
Pwe giok menghela nafas panjang, terbayang olehnya empat-lima tahun yang lalu, tatkala
mana anak perempuan ini hanya berumur tujuh atau delapan tahun. Itulah usia anak yang lagi
nakal dan paling suka bermain, tapi nona cilik ini justru harus menemani seorang sakit yang
sudah kempas-kempis dan telah hidup selama empat-lima tahun di loteng kecil yang sunyi
dan rawan ini, malahan dimalam haripun tanpa lampu.
Setelah menghela nafas panjang, Pwe giok tidak tahu pula apa yang harus diucapkannya.
Suasana di dalam rumah sunyi senyap seperti kuburan, ditengah keheningan yang mencekam
inilah fajar menyingsing dan pelahan-lahan tampak remang-remang menembus kertas jendela,
dikejauhan mulai ramai terdengar ayam berkokok.
Ciong Cing sudah tertidur dengan mendekap di atas tubuh Kwe Pian-sian. Sorot mata Kwe
Pian sian masih terus menatap lekat-lekat kepada orang sakit yang hampir mati itu dan entah
apa pula yang sedang dipikirnya.
Tiba-tiba Gin Hoa nio menguap ngantuk, ucapnya dengan menghela nafas pelahan :
"Setengah malam kedua orang itu main catur, biji catur yang bergeser hanya tiga kali,
tampaknya pertandingan mereka ini biarpun sampai lima tahun depan juga belum berakhir...."
Tiba-tiba pula ia mendekati si anak perempuan dan berkata dengan tersenyum : "Ku tahu kau
ini anak perempuan yang pintar, maukah kau turun ke bawah sana, buatkan nasi yang agak
lembek serta beberapa macam sayur untuk sarapan para paman dan bibi ini ?"
Cu Lui ji sama sekali tidak bergeser, jawabnya dengan tak acuh: "Tidak, aku tidak mau pergi,
tidak boleh kutinggalkan sacek."
"Pergilah sayang, anak kecil mana boleh membantah kehendak orang tua ?" ujar Gin hoa-nio
dengan tertawa.
Cu Lui ji sama sekali tidak memandangnya, jawabnya pula: "Tidak, aku tidak mau !"
396
Tertawa Gin hoa-nio tambah lembut, ucapnya dengan suara halus: "Ku tahu sama sekali kau
tidak takut padaku, makanya tidak menurut kepada perkataanku, begitu bukan ?"
Di mulut ia bicara lembut, tapi tangannya telah menampar satu kali di muka Cu Lui ji. Muka
nona cilik yang putih pucat itu seketika merah bengkak, namun dia tetap tidak bergerak,
bahkan matapun tidak berkedip, seperti tidak mempunyai daya rasa apapun, hanya tetap
terbelalak memandang Gin Hoa-nio.
Gin Hoa nio berkerut kening, tanyanya dengan tersenyum: "Apa yang kau lihat, kau anggap
tamparanku kurang keras, begitu ?"
Segera ia hendak memukul pula, tapi tangannya keburu dipegang Pwe-giok.
"Ai. ku tahu kau akan ikut campur lagi," kata Gin hoa nio dengan gegetun.
Pwe-giok berkata dengan dingin: "Jika kau masih ingin berada bersamaku, selanjutnya
hendaknya....."
Belum lanjut ucapannya, mendadak Cu Lui ji mendekap mukanya dan berseru dengan suara
gemetar:
"O, sakit...sakit sekali kau pukul diriku !"
Gin Hoa nio jadi melengak, tanyanya: "Kupukul kau tadi dan baru sekarang kau rasakan
sakit ?"
"Oo, sakit...sakit sekali...mati aku!" teriak Cu Lui-ji pula.
Melenggong Gin hoa-nio memandangi anak dara yang aneh itu, seketika ia tidak sanggup
bicara pula.
Sungguh tak terpikir olehnya bahwa di dunia ini ada manusia yang berdaya rasa selambat ini,
orang telah memukulnya sejak tadi, sekian lama kemudian baru dia merasakan sakit.
Terlongong Gin Hoa nio memandangi nona cilik itu sehingga urusan makan nasi jadi
terlupakan.
Pada saat itulah, si sakit yang seakan-akan sudah tidur itu tiba-tiba menghela nafas dan
berkata : "Jika kau takut sakit, kenapa tidak kau turuti perkataan orang, pergilah ke bawah dan
menanak nasi."
Mendadak Cu Lui ji mendelik, katanya sambil melototi Gin Hoa-nio: "Sacek yang suruh aku
maka kuturuti, jika orang lain, biarpun aku mati dipukul juga takkan kukerjakan."
Dengan pelahan ia turun dari tempat tidur dan alon-alon ia turun ke bawah loteng.
Melihat perawakan si nona yang kurus dan lemah dengan wajah yang pucat, diam-diam Pwe
giok menghela nafas menyesal.
Baru sekarang Gin Hoa-nio tertawa cerah, katanya: "Tak tersangka watak anak ini sedemikian
keras, tampaknya serupa aku waktu kecil..." mendadak ia berhenti bicara, biji matanya
397
tampak berputar, mungkin teringat sesuatu olehnya, segera ia menyambung pula dengan
tertawa : "Tapi kalau anak ini serupa diriku waktu kecil, setelah kita makan nasinya, maka
jangan harap lagi akan dapat pergi dari sini dengan hidup. Rasanya aku harus turun ke bawah
untuk mengawasi dia."
"Anak sekecil itu, masa kau takut diracuni olehnya ?" ucap Pwe-giok dengan dahi berkernyit.
"Ketika aku lebih kecil daripada dia, orang yang mati kuracuni sudah lebih dari 80 orang,"
kata Gin hoa nio sambil menoleh dan tertawa genit.
"O, jadi dia tidak takut padamu, sekarang kau malah takut padanya ?" ujar Pwe-giok dengan
tertawa hambar.
Gin hoa-nio melenggong, sungguh ia sendiripun tidak tahu mengapa bisa timbul semacam
perasaan jeri yang sukar dilukiskan terhadap anak perempuan yang kurus kecil itu. Padahal
menghadapi sorot mata Kwe Pian-sian yang begitu lihai saja tidak merasa takut sedikitpun,
tapi ketika anak perempuan itu menatapnya, dalam hati terasa rada ngeri.
Sampai sekian lama ia melenggong, katanya kemudian dengan tersenyum: "Betapapun kan
tiada buruknya jika hati-hati, masa pesan orang tua ini kau lupakan ?"
Pwe-giok menghela nafas, katanya: "Daripada kau yang turun ke bawah, lebih baik aku saja
turun."
Di bawah loteng juga cuma terdiri dari satu ruangan, hampir setengah ruangan tertimbun kayu
bakar dan sebagainya, hanya tersisa suatu sudut yang sempit, di situ ada gentong air, rak
mangkuk dan tungku.
Cu Lui-ji tampak berjongkok disamping gentong dan sedang mencuci beras, sudah sekian kali
ia membilas berasnya, satu biji gabah saja diambilnya dari beras cuciannya dan
dikumpulkannya disamping.
Setelah beras masuk kuali, lalu gabah yang dikumpulkannya tadi dibungkusnya dengan
secarik kertas, kemudian ia membersihkan lantai sebersih-bersihnya.
Pwe giok melihat ruangan seluas ini terawat dengan sangat resik, bahkan tungku yang setiap
hari digunakan juga tiada bekas-bekas minyak setitikpun. Dapur ini ternyata jauh lebih bersih
daripada ruangan tamu orang lain.
Tangan yang kurus dan putih kecil itu setiap hari harus melakukan pekerjaan sebanyak dan
seberat ini tubuh yang kurus kecil ini masa mampu melaksanakan tugas sebanyak ini ?
Tanpa terasa Pwe-giok menghela nafas pula, katanya kemudian: "Apakah setiap hari kau
bersihkan ruangan ini sebersih ini ?"
"Aku sudah terbiasa hidup serba bersih," ucap Cu Lui-ji dengan tak acuh. "Karena itulah bila
kulihat sesuatu yang kotor, aku lantas mual. Sesungguhnya, kalau tidak terpaksa, memangnya
siapa yang mau berkumpul dengan orang-orang yang tidak bersih ?!" Mendadak ia berpaling
dan menatap Pwe-giok serta bertanya: "Betul tidak ?"
398
Tergerak hati Pwe-giok, jawabnya sambil menyengir: "Betul, siapapun tidak nanti suka
berada bersama orang yang tidak bersih."
Mencorong sinar mata anak dara itu, ucapnya pula dengan pelahan: "Jika begitu… mengapa
kau berada bersama orang yang tidak bersih?"
Seketika Pwe-giok jadi melenggong, sungguh ia tidak tahu cara bagaimana harus
menjawabnya.
Sungguh aneh anak perempuan ini, terkadang dia kelihatan begitu lemah dan harus
dikasihani, tapi ada kalanya dia berubah seperti orang dewasa yang sudah kenyang merasakan
asam garamnya orang hidup.
Dalam pada itu Cu Lui ji telah menggeser kesana, dia berduduk di satu bangku kecil dan
mulai mengipasi api tungku sambil berbicara: "Meski aku sangat jarang keluar, tapi di atas
loteng kecil ini banyak sekali yang dapat kulihat. Bilamana kulihat hal-hal yang menarik
lantas kuceritakan kepada Sacek, kalau tidak entah betapa dia akan kesepian."
"Di... di atas loteng ini sering kau lihat hal-hal yang menarik ?" tanya Pwe-giok dengan
keheranan.
"Ya, sering…!" jawab Cu Lui ji.
Sejenak kemudian, tiba-tiba ia berpaling pula dan berkata: "Satu hari, pernah kulihat seorang
perempuan yang sangat cantik, dengan caranya yang sangat aneh dia telah membunuh sekian
banyak orang. Coba apakah kau tahu siapa dia ?"
"Ya, ku tahu ialah orang yang memukul kau tadi," jawab Pwe-giok.
"Siapa yang memukul ku tadi ? Aku sudah lupa," kata Cu Lui ji dengan tersenyum hambar.
Tiba-tiba Pwe giok melihat muka si nona yang merah bengkak terpukul tadi kini sudah halus
putih lagi, sama sekali tiada meninggalkan bekas setitikpun.
Didengarnya Cu Lui ji berkata pula: "Bila orang memukulmu, kalau kau tidak mampu
membalas, maka jalan paling baik adalah melupakan saja kejadian itu agar hatimu tidak
sedih"
"Tapi.... tapi setelah kau dipukul orang, apakah betul harus selang sekian lama barulah kau
rasakan sakit?" tanya Pwe-giok.
Cu Lui-ji mencibir dan tertawa, katanya: "Kalau sudah kena pukul kan mesti merasakan sakit,
perihal cepat merasakan sakit atau terlambat merasakan sakit tidaklah menjadi soal. Sebab,
makin cepat kau rasakan sakit, makin senang orang yang memukul kau itu. Jika selang sekian
lama baru kau rasakan sakitnya, maka orang lainpun tidak dapat bergembira lagi." Ia
merandek sebentar, lalu menyambung pula: "Kalau aku sudah dipukul, kenapa aku mesti
membikin orang bergembira pula?"
399
Kembali Pwe-giok melenggong. Anak sekecil ini ternyata penuh dengan pikiran-pikiran yang
serba aneh, macam-macam jalan pikirannya yang aneh, sungguh sukar untuk diraba orang
lain.
Pada saat itulah sekonyong-konyong di luar terdengar suara roda kereta dan ringkik kuda,
menyusul lantas ramai dengan suara orang, jelas suara-suara itu berkumandang dari rumah di
seberang.
*****
Halaman Li-keh-ceng memang sudah berjubel-jubel dengan orang, bahkan makin datang
makin banyak. Meski Pwe-giok tidak dapat melihat jelas-jelas siapa mereka, tapi dia dapat
memastikan mereka pasti tokoh-tokoh Kangouw.
"Untuk apa orang-orang ini datang ke sini? Apa mau melihat setan?" demikian Gin-hoa-nio
menggerundel.
"Jika Bulim-bengcu sekarang sedang main catur dengan ketua keluarga Tong dari Sujwan
yang termasyhur, siapa orang Kangouw yang tidak ingin menontonnya?" kata Kwe Pian-sian
dengan tenang. "Cukup tiga hari saja berita ini tersiar, maka halaman hotel Li itu pasti akan
jebol dibanjiri pengunjung."
"Entah keparat siapa yang menyiarkan berita ini?" kata Gin-hoa-nio dengan gemas.
Sudah tentu tiada yang menjawab pertanyaannya, tapi Pwe-giok lantas paham persoalannya.
Dengan sendirinya berita itu sengaja disiarkan oleh Ji Hong-ho sendiri.
Sang "Bulim-bengcu" sengaja menyiarkan berita hangat ini agar orang dunia persilatan
menyaksikan dia lagi main catur dengan Tong Bu-siang. Maka anak murid keluarga Tong
takkan curiga lagi akan hilangnya Tong Bu-siang secara mendadak.
Sedangkan orang lain menyaksikan Bu-lim-bengcu yang terhormat itu lagi main catur dengan
"Tong Bu-siang" maka biarpun Tong Bu siang ini palsu, dengan sendirinya lantas berubah
menjadi tulen.
Begitulah saat itu di halaman hotel sana sedang ramai orang memperbincangkan kejadian itu.
Ada yang berkata. "Inikah Ji Hong ho yang baru saja diangkat menjadi Bu-lim bengcu? Nyata
memang hebat, pantas tokoh semacam Ang lian pangcu juga menyerah padanya."
"Entah dapat tidak kita minta Bengcu keluar untuk berbicara sebentar!" kata seorang lagi.
Maka tampaklah Lim Soh koan muncul keluar, serunya dengan lantang: "Diharap para
pengunjung suka tenang dan sabar, babak permainan catur ini tampaknya masih harus
berlangsung tiga atau lima hari lagi, kukira lebih baik kalian mencari pondokan dulu, nanti
kalau Bengcu sudah menyelesaikan permainan catur ini barulah beliau dapat leluasa berbicara
dengan kalian, bila kalian ada kesulitan apa-apa boleh juga dikemukakan nanti agar Bengcu
dapat membereskan urusan kalian."
400
Seketika bergemalah sorak sorai orang banyak. Nyata ketua "Bu-kek-pay" yang menjadi Bulim-
bengcu ini sangat dihormati dan disegani orang Kangouw. Tapi hal ini membuat perasaan
Pwe giok bertambah tertekan.
Terlihat Lim Soh koan masuk ke dalam rumah, di halaman hotel lantas ramai lagi orang
berbicara. "Apakah dia ini Leng hoa kiam Lim Soh-koan yang tersohor di utara dan selatan
Tiangkang? Konon dia mempunyai seorang puteri kesayangan dan terkenal sebagai wanita
tercantik di dunia Kang ouw."
"Ya, tapi sayang sejak dahulu kala hingga kini orang cantik kebanyakan pendek umur dan
bernasib buruk. Nona Lim ini mestinya sudah bertunangan dengan putera Bengcu kita, siapa
tahu, belum lagi pernikahan berlangsung, lebih dulu Ji kongcu sudah tewas di Su jin ceng."
"Siapa yang membunuhnya, masa Bengcu tidak menuntut balas bagi kematian anaknya?"
"Khabarnya Ji kongcu ini rada-rada tidak beres otaknya sudah lama Bengcu putus asa
terhadap putera satu-satunya itu. Sekalipun nona Lim jadi menikah dengan dia juga harus
disayangkan."
Begitulah berisik orang ramai itu membicarakan hal ikhwal Lim Tay-ih dan Ji Pwe-giok.
Seketika Pwe giok sendiri jadi terkesima. Butiran keringat tampak menghias dahinya.
Mendadak Gin hoa nio menutup daun jendela, katanya dengan menyesal: "Coba, kau dengar
tidak, jelas mereka masih akan tinggal di sini dan entah berapa lama lagi kita harus
menunggu."
"Kau tidak perlu tunggu lagi" mendadak Pwe giok berbangkit.
Gin ho nio berkejut: "Kau....kau akan....."
"Ada sementara urusan, semakin kau hindari semakin main sembunyi-sembunyi, orangpun
semakin mencurigai kau. Akan lebih baik apa bila kita hadapi saja secara terangterangan.....
Lambat laun hal ini sudah mulai kupahami."
Ucapan Pwe giok ini entah ditujukan kepada orang lain atau bicara kepada dirinya sendiri.
Tapi Gin hoa nio lantas tertawa, katanya:" Apa yang kau maksudkan, sungguh aku tidak
mengerti?"
Namun sebelum habis perkataan Gin hoa nio, Pwe giok terus turun ke bawah, ia membuka
pintu dan keluar.
Cepat Gin hoa-nio menyingkap daun jendela lagi sedikit, selang sejenak kemudian, benarlah
di lihatnya Pwe giok telah masuk ke halaman rumah sana, dia menyisihkan orang-orang yang
berkerumun itu dan langsung masuk ke dalam.
"Dia mempunyai sahabat seperti diriku, dengan sendirinya nyalinya berubah besar," kata Kwe
Pian sian dengan tersenyum.
401
Gin hoa nio menghela napas, ucapnya dengan perlahan: "Sebelum dia bersahabat dengan kau,
dia pun bernyali besar, lahiriah orang ini kelihatan lemah lembut seperti kucing, padahal dia
terlebih menakutkan dari pada harimau."
Ketika Pwe giok masuk ke halaman rumah sana, serentak berpuluh pasang mata
memandangnya dengan terpesona. Maklum, jejaka setampan ini, biarpun lelaki juga ingin
memandangnya beberapa kejap.
Namun pandangan Pwe giok tidak terarah kepada siapapun, dengan tersenyum ia
menyisihkan kerumunan orang banyak dan langsung masuk ke ruangan dalam.
Serentak para penonton pertandingan catur sama menoleh dengan melengak, Lim Soh-koan
berkerut kening dan menegur: "Siapakah Anda? Bengcu sedang....."
"Cahye Ji Pwe-giok!" jawab Pwe giok sebelum lanjut ucapan orang.
Mendengar nama "Ji Pwe giok" seketika wajah Lim soh-koan berubah pucat pasi. Di luar
sayup-sayup juga terjadi kegemparan.
Semula "Ji Hong ho" dan Tong Bu siang sedang memusatkan perhatian pada papan catur, kini
tanpa terasa merekapun berpaling dengan terkejut, Pwe giok hanya dipandangnya sekejap
saja. Tapi hal inipun sudah cukup bagi Pwe giok untuk memastikan bahwa Ji Hong ho ini
tidak mengenal wajah aslinya, "Tong Bu-siang" itu juga pasti tidak mengenalnya, berdasarkan
ini dia yakin Tong Bu-siang ini pasti palsu.
Sinar mata "Ji Hong ho" tampak gemerdep, dengan tersenyum ia berucap: "Namamu Ji Pwe
giok? Sungguh tidak nyana nama Anda sama dengan nama puteraku yang almarhum, sungguh
sangat kebetulan."
Berhadapan dengan orang ini, sungguh hati Pwe giok seolah-olah tertusuk-tusuk dan
berdarah. Namun lahirnya dia tetap tenang-tenang saja, dia malah tersenyum dan menjawab:
"Aha, sungguh beruntung dan bahagia bahwa aku dapat bernama dengan putera Anda."
"Entah ada keperluan apakah kedatangan Anda ini?" Tanya Ji Hong ho dengan mengulum
senyum.
"Aku ingin kembali ke sini untuk mengambil sesuatu barang," jawab Pwe giok.
"Oo, masa di sini terdapat barangmu?" ujar Ji Hong-ho dengan tertawa.
"Ya. Sebab beberapa hari yang lalu pernah ku mondok di sini, tanpa sengaja sedikit barangku
ketinggalan di sini," kata Pwe giok pula.
Tampaknya Ji Hong ho sangat tertarik oleh cerita Pwe giok itu, dengan tertawa ia berkata: "Di
dalam hotel sudah tentu banyak tamu yang pergi datang, semoga barang Anda masih terdapat
di sini."
Pwe giok memandangnya dengan tenang, sejenak kemudian barulah ia berkata: "Barangku
yang ketinggalan ini terletak ditempat yang tidak menyolok, asalkan Bengcu mengizinkan,
segera ku......"
402
"Asalkan barangnya masih ada, silahkan Anda mengambilnya" jawab Ji Hong ho dengan
tertawa.
"Jika demikian, maafkan kalau ku berlaku sembrono," ujar Pwe giok.
Mendadak tubuhnya mengapung lurus ke atas, ia melayang ke atas belandar seluruh tubuh
kaki maupun tangan, sama sekali tidak memperlihatkan bergerak, bahkan dengkul juga tidak
nampak tertekuk sedikitpun, tapi tahu-tahu tubuhnya terapung ke atas.
Inilah "Kan-te-poat-jong" atau membedol bawang di tanah tandus, semacam Gingkang yang
paling sukar dilatih.
Hendaklah maklum, di dunia persilatan terdapat macam-macam perguruan, cara berlatih
Gingkang setiap perguruan itupun berbeda-beda dan mempunyai cara-cara khas sendiri. Tapi
bila mencapai gaya semacam "Kan-te-poat-jong" ini, maka dapat dikatakan Gingkangnya
sudah mencapai puncaknya yang paling sempurna.
Anak murid Bu tong pay misalnya, bila sudah mencapai tingkatan "Kan-te-poat-jong" ini,
maka gerak dan gayanya akan sama seperti ini, begitu pula aliran lain, biarpun Siau-lim pay
Go bi pay atau Tiam jong pai, kalau sudah menguasai Gin-kang hingga tarap Kan-te-poat
jong, maka gayanya juga sama, tiada beda sedikitpun.
Sebabnya Pwe giok menggunakan gaya Gin-kang tertinggi ini, maksud tujuannya agar orang
lain tidak dapat mengenali asal-usul ilmu silatnya. Malahan supaya orang lain menganggap
dia sengaja hendak pamer Gingkangnya yang hebat.
Ji Hong ho lantas berkeplok dan tertawa, katanya: "Wah, Ginkang yang jempol!"
Kalau sang Bengcu sudah berkata demikian dengan sendirinya orang yang berkerumun di
halaman hotel itu sama bersorak memuji. Hanya Gin hoa-nio saja yang berada di loteng kecil
itu tidak memperhatikan gerakan apa yang dilakukan Pwe-giok. Sebab yang buru-buru ingin
diketahuinya hanya harta karunnya yang disembunyikan itu apakah dapat ditemukan kembali
atau tidak.
Waktu dilihatnya Pwe giok melompat turun dan tangannya benar-benar sudah memegang
sebuah bungkusan kain hitam yang besar dan berat, maka bergiranglah Gin hoa nio, hampir
saja ia bersorak gembira.
"Masih ada barangnya?" dengan tersenyum Kwe Pian sian bertanya
"Tentu saja ada" ucap Gin hoa nio dengan tertawa bangga. "Kan sudah kukatakan, barang
simpananku tidak nanti dapat ditemukan orang lain."
Kwe Pian sian tertawa, katanya: "Hebat sekali Ji Pwe giok, bukan saja tabah, bahkan jua
punya otak. Dia berani mengambil bungkusanmu itu secara terang-terangan disaksikan orang
sebanyak itu. Dalam keadaan demikian, andaikan Ji Hong ho mengincar barangmu juga tidak
leluasa untuk turun tangan."
403
"Aha, sekarang dia sudah hampir keluar...Wah, celaka...." sudah tertawa girang mendadak
Gin hoa nio mengeluh pula, air mukanya yang bergembira itupun seketika lenyap.
Sambil berkerut kening Kwe Pian sian bertanya: "Ada apa? Masa Ji Hong ho tidak mau
melepaskan dia pergi?"
Mata Gin hoa nio tampak melotot, ucapnya dengan suara parau: "Sialan! Tampaknya rase tua
itu (maksudnya Ji Hong-ho yang licin) tidak enak untuk main kekerasan, dia hanya
menyatakan ingin bersahabat dengan Ji Pwe giok dan berkeras minta Ji Pwe giok tinggal saja
di situ."
"Dan bagaimana sikap Ji Pwe giok?" tanya Kwe Pian sian.
"Tampaknya dia dapat menahan perasaannya. Dia malah tertawa.....Nah, sekarang dia sedang
bicara, katanya sehabis Ji Hong ho selesai main catur tentu dia akan datang lagi untuk mohon
petunjuk"
"Kau dengar apa yang dibicarakannya?" tanya Kwe Pian sian.
"Berisik sekali di halaman sana, mana bisa ku dengar ucapannya? Hanya dari gerak bibirnya
dapat ku terka sebagian besar apa yang diucapkannya"
Kwe Pian sian tertawa, katanya: "Wah, banyak juga kepandaianmu..."
Mendadak Gin hoa nio berseru tertahan: "Wah, celaka! Rase tua itu mendadak mengaduk biji
caturnya, ia malah menyatakan kalau bisa berada bersama dan mengobrol dengan ksatria
muda seperti Ji Pwe giok, biarpun tidak main catur juga tidak menjadi soal baginya."
"Wah, jika begitu, kalau Ji Pwe giok tidak ngotot dan main kekerasan, tampaknya tidak
mudah baginya untuk keluar," kata Kwe Pian sian sambil berkerut kening.
Gin hoa nio tampak cemas juga, katanya: "Dalam keadaan demikian, mana bisa dia bersikap
keras tampaknya dia juga rada gugup...."
Baru bicara sampai di sini, mendadak terdengar seorang berseru lantang di halaman sana
dengan tertawa: "Haha, permainan catur yang menarik ini sukar dicari bandingannya, kalau
Bengcu tinggalkan setengah jalan bukankah para penggemar catur seperti kami ini akan
sangat kecewa?"
"He, siapa orang itu?" seru Kwe Pian sian.
Wajah Gin hoa nio menampilkan rasa girang, katanya "Ah, orang ini ternyata dapat
mengembalikan biji catur pada papannya seperti keadaan sebelum diaduk, bahkan satu biji
saya tidak keliru... Wah, nampaknya dia memang hebat..."
Belum habis ucapannya, serentak Kwe Pian sian melompat mendekatnya dan ikut mengintai!.
Terlihat di seberang sana, di dalam ruangan sudah bertambah dengan seorang pengemis muda
berbaju berwarna merah tua, kelihatan baru, tapi penuh tambalan. Kiranya dia inilah Ang lian
pangcu yang termasyhur.
404
Terlihat Ji Hong ho sedang tertawa dan berkata: "Tak tersangka Ang lian pangcu juga
penggemar catur, tampaknya terpaksa harus kulanjutkan permainan ini"
Kwe Pian sian hanya memandang sekejap saja kesana dan segera menutup rapat-rapat daun
jendela, keringat dinginpun berketes-ketes.
Gin hoa nio memandangnya sekejap, katanya dengan tertawa genit:" He, kenapa kau sangat
takut padanya?"
Kwe Pian sian mundur kembali ke tempat duduknya tadi, mana dia mampu bersuara lagi.
Gin hoa nio bergumam: "Sungguh aneh, apakah Ang lian hoa sengaja datang untuk membantu
Ji Pwe giok? Jika benar kawan baik Ji Pwe giok, kenapa dia diam saja ketika melihat Ji Pwe
giok dilukai oleh Lm Tay ih...."
Dalam pada itu terdengarlah suara terbukanya pintu di bawah, serentak Kwe Pian sian
melonjak bangun. Ia menghela napas lega ketika dilihatnya yang naik ke atas adalah Ji Pwe
giok. Cepat ia bertanya dengan suara parau:" Apakah Ang lian hoa melihat kau masuk ke
sini?"
"Untuk apa dia memperhatikan diriku?" jawab Pwe giok dengan perlahan.
"Masa dia tidak kenal kau?" tanya Kwe Pian sian
"Tidak kenal" jawab Pwe giok sambil menghela napas menyesal.
Tentu saja ia sangat menyesal. Baru saja ia berhadapan dengan sahabat baiknya, tapi tidak
berani menegur sapa, bahkan harus mengeluyur pergi secara diam-diam. Saat ini hatinya
justru terasa sangat pedih.
Meski dia kembali dengan menyesal, tapi kepergiannya tadi bukannya sama sekali tidak
membawa hasil. Betapapun dia dapat mengetahui bahwa "Tong Bu-siang" yang senang main
catur itu adalah palsu. Maka diharapkannya semoga Tong Bu siang yang asli itu belum lagi
terbunuh.
Sementara itu Gin hoa nio sudah lantas mengambil bungkusan hitam yang dibawa pulang Pwe
giok itu dan berkata: "Tempat ini tidak boleh ditinggali lama-lama, setelah barang sudah
ditemukan, hayo lekas kita berangkat"
"Sebelum Ang lian hoa pergi, betapapun kita juga tak dapat pergi" kata Kwe Pian sian sambil
menarik muka.
Gin hoa nio tertawa genit, katanya: "Kau takut dipergoki dia, aku kan tidak perlu takut, kalau
aku berkeras harus pergi, lalu bagaimana?"
"Kau takkan pergi" ucap Kwe Pian sian sekata demi sekata.
Gin hoa nio mengerling, tertawa tambah manis, katanya: "Betul, tentu saja aku takkan pergi.
Kalau kau masih tinggal di sini, mana dapat ku tinggal pergi?"
405
Dia masih memegangi bungkusan hitam yang dibawa pulang Pwe giok tadi, ia memandang ke
sana dan ke sini mirip orang udik yang kuatir kecopetan, sungguh kalau bisa ia ingin telan
bulat-bulat bungkusan itu, dengan demikian barulah aman rasanya.
Sambil memandangi bungkusan yang dipegang Gin hoa nio itu, mendadak Kwe Pian sian
mendengus: "Hmm, padahal boleh juga kalau kau ingin pergi, bahkan bungkusan itu boleh
kau bawa sekalian!"
Gin hoa nio melengak." Betul?" katanya dengan curiga.
Dengan dingin Kwee Pian sian menjawab: "Kenapa tidak kau periksa dulu isi bungkusanmu
itu?"
"Apa isi bungkusan ini?" tukas Gin hoa nio dengan tertawa. "Haha, tanpa melihatnya ku tahu
apa isinya."
Tapi iapun merasakan ucapan Kwe Pian sian itu ada sesuatu maksud tertentu, meski begitu
ucapannya dimulut, bungkusan yang dipegangnya itu lantas ditimang-timang dan diraba-raba,
mendadak ia melonjak kaget dan berteriak:" Wah, celaka!."
Waktu bungkusan itu dibuka, mana ada batu permata atau harta pusaka apa segala, isinya
hanya pecahan genteng melulu.
Begitu bungkusan itu terbuka, seketika Gin hoa nio mirip kena dibacok orang satu kali,
hampir saja ia jatuh kelenger.
Ji Pwe giok dan Ciong Cing juga terkesiap.
Hanya Kwe Pian sian saja yang tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, ia malah mengejek:
"Nah bagaimana? apa isinya, tidak perlu dibuka kan sudah kau ketahui?"
Dengan suara terputus-putus Gin hoa nio berkata: "Dan dari...darimana kau tahu..."
Kwe Pian sian tersenyum hambar, katanya: "Jika isi bungkusan ini adalah batu permata yang
berharga tentu suara langkahnya waktu naik ke atas loteng ini berbobot lain....Memangnya
kau kira mata dan telingaku sama tidak bergunanya seperti dirimu?"
Mendelik Gin hoa nio, ucapnya dengan menggigit bibir: "Tapi....tapi siapa pula yang
mempermainkan diriku, siapa yang menukar barangku ini? Padahal waktu kusimpan barangku
ini telah kulakukan dengan sangat teliti, bukan cuma jendela dan pintu saja kututup rapat,
bahkan lampu juga kupadamkan, siapa yang dapat mengetahui rahasiaku?"
Dia mengitari ruangan kamar sambil bergumam pula: "Jangan-jangan Ji Hong-ho...ya, betul
hanya rase tua ini yang paling mencurigakan, dia datang ke sini dan menempati kamar yang
pernah kutinggali, bisa jadi segenap pelosok kamar itu telah diperiksanya seluruhnya."
"Jika benar harta pusaka itu telah ditemukan dia, mungkin selama hidup ini jangan kau harap
akan kau dapatkan kembali." kata Pwe giok.
406
Kwe Pian sian juga diam saja, ia hanya memandangi si sakit dengan termangu, orang sakit itu
sejak tadi tidak pernah bergerak sedikitpun.
Tanpa terasa pandangan Gin hoa nio ikut menjurus ke sana. Tiba-tiba melihat si sakit yang
tampaknya kurus kering tinggal kulit membalut tulang itu. ditempat tidurnya yang tertutup
selimut itu tampak menonjol tinggi ke atas, di dalam selimut seperti tersembunyi apa-apa.
Saat itu cahaya matahari menyorot miring masuk dan menyinari selimut itu, kelihatan di
dalam selimut itu ada sesuatu yang bergerak-gerak.
Gemeredep sinar mata Gin hoa nio, tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh, katanya: "Tak
tersangka aku telah berubah menjadi orang buta melek. sampai apa yang terdapat di depan
mata tidak kulihat."
Sembari menyeringai segera ia mendekati tempat tidur orang sakit itu.
"He, kau mau apa?" seru Pwe giok dengan dahi berkerut.
Gin hoa nio tertawa terkikik-kikik, katanya: "Di dalam selimut seperti ada permainan yang
menarik, ingin kusingkapnya agar kita dapat melihatnya."
Sementara itu ia sudah berada di depan tempat tidur, segera tangannya terjulur.
Siapa tahu orang sakit itu mendadak membuka matanya dan berkata sambil mendelik: "Asal
sedikit saja kau singkap selimut ini, mungkin kau akan segera mati tanpa terkubur."
Si sakit yang tampaknya sudah senin-kemis itu mendadak bisa mengucapkan kata-kata begitu,
matanya yang semula tampaknya sayu dan guram itu kinipun mendadak memancarkan sinar
yang tajam.
Entah mengapa, hati Gin hoa nio merasa ngeri, tangan yang teratur itu tidak jadi meraih
selimut, sebaliknya ia malah menyurut mundur.
Perlahan si sakit pejamkan matanya pula, mukanya tersorot cahaya sang surya, tampaknya
tidak banyak berbeda dengan mayat. Tidak mungkin sakitnya ini cuma paru-paru belaka.
Setelah tenangkan diri, dengan tertawa. Gin hoa nio berkata pula: "Apakah betul selimut ini
tidak boleh disingkap?"
"Ya," jawab si sakit.
"Tapi pembawaanku tidak percaya kepada hal-hal yang mustahil, semakin tidak boleh dilihat,
semakin ingin kulihatnya," kata Gin hoa nio
Si sakit menghela napas, katanya kemudian "Jika begitu, Lui ji, boleh kau perlihatkan
kepadanya."
Waktu dia bicara begitu jelas." Cu Lui ji masih berada di bawah loteng, tapi baru selesai
ucapannya, tahu-tahu Cu Lui ji sudah naik ke atas, katanya sambil melototi Gin hoa nio:
"Benar-benar kau ingin melihatnya? Kau tidak akan menyesal?"
407
"Menyesal apa? Memangnya di dalam selimut ini ada makhluk aneh?" ujar Gin hoa nio
dengan tertawa, walaupun begitu, di dalam hati sebenarnya sudah rada ngeri.....
Padahal kedua orang ini, yang satu anak kecil kurus pucat, yang lain sakit keras, jelas tidak
mungkin dapat menyerang orang. Gin hoa nio sendiri tidak tahu sesungguhnya apa yang
menakutkan dirinya?
Dilihatnya Cu Lui ji lantas turun ke bawah waktu naik lagi ia membawa sebuah mangkuk
besar penuh berisi air jernih. Ia keluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam, dengan kuku
jari dicukitnya setitik bubuk hitam yang disentilkan ke dalam air, air semangkuk penuh itu
seketika berubah menjadi hitam seperti tinta.
Gin hoa nio memandangnya dengan kesima, iapun tidak dapat menerka permainan apa yang
sedang dilakukan nona cilik itu.
Lalu Cu Lui ji menaruh mangkok besar itu di sudut kamar. ia pandang Gin hoa-nio dengan,
katanya: "Tunggu sebentar lagi hal-hal yang menarik segera akan muncul."
Senyuman, nona itu seakan-akan mengandung sesuatu yang misterius, sampai Ji Pwe giok
juga rada tegang. Mata Gin hoa nio juga terbelalak lebar.
Tertampaklah selimut yang menutupi badan si sakit itu mulai bergerak dengan keras, bergolak
seperti ombak samudera. Loteng kecil ini meski terang benderang oleh sinar matahari, akan
tetapi mendadak seperti berubah dingin menyeramkan.
Saking ketakutan Ciong Cing sudah berjongkok dan meringkuk menjadi satu, kaki dan tangan
sudah dingin seluruhnya.
Gin hoa nio tak tahan, katanya:" Apapun yang ter.....terdapat didalam selimut, aku.....aku
tidak ingin... tidak lagi ingin melihatnya..."
"Baru sekarang kau tidak ingin melihatnya sudah terlambat" kata Cu Lui ji.
Pada saat itulah dari dalam selimut mulai menongol sesuatu kiranya seekor kelabang.
Kelabang ini tidak besar, bahkan jauh lebih kecil daripada kelabang umumnya, tapi seluruh
badannya merah terang mirip mainan buatan dari batu jade. Di belakang kelabang ini
mengikat pula dua-tiga puluh ekor kelabang lain yang beraneka warnanya dan besar kecil
tidak sama.
Satu persatu seperti berbaris merayap keluar secara teratur. Jelas setiap ekor kelabang ini
beracun sangat jahat.
Gin hoa nio tertawa mengikik: "Hihi kukira barang apa yang bisa menakuti orang, kiranya
cuma kawanan kelabang saja. Pada waktu berumur tiga tahun sudah biasa ku tangkap dan
main-main dengan kelabang yang lebih besar."
Apa yang dikatakannya memang tidak bergurau. Orang Thian-can-kau masa takut pada
kelabang? Cuma kawanan kelabang ini bisa merayap keluar dari dalam selimut orang ini
betapapun juga satu kejadian yang aneh.
408
Meskipun Gin hoa nio masih tertawa tapi tertawanya sudah mulai berubah menjadi
menyengir.
Di belakang barisan kelabang tadi ternyata mengikuti pula barisan tokek, lalu muncul lagi
sejumlah ular berbisa, katak buduk, kalajengking dan macam-macam lagi serangga berbisa
yang belum pernah dilihat Gin hoa nio, akan tetapi semuanya seperti mendapat perintah, satu
persatu merayap keluar secara teratur.
Akhirnya Gin hoa nio tak bisa tertawa lagi.
Ciong Cing menjerit dan jatuh kelengar.
Sungguh sukar untuk dibayangkan, orang sakit yang sudah hampir mati itu bisa tidur bersama
makhluk-makhluk berbisa sebanyak itu di satu tempat tidur dan di dalam satu selimut.
Malahan kelihatannya dia dapat tidur dengan aman dan tenang.
Mau tak mau merinding juga Gin hoa nio, meski sejak kecil ia hidup di tengah-tengah
gerombolan makhluk berbisa, tapi kalau dia disuruh tidur di sini seperti si sakit ini biarpun
dibunuh juga dia tidak berani.
Sementara itu barisan makhluk-makhluk berbisa itu satu persatu mulai merambat turun ke
bawah tempat tidur, menuju ke sudut ruangan tempat mangkuk berisi air tadi.
Cu Lui ji lantas memasang dua tangkai sumpit di kanan kiri tepi mangkuk, dengan sumpit
sebagai jembatan, kawanan makhluk berbisa itu lantas merayap ke dalam mangkuk besar itu
sesudah mandi dalam air, merayap turun melalui jembatan sumpit di sebelahnya. Makhluk
berbisa yang tadinya tampak bercahaya dan gesit, sehabis mandi lantas kelihatan lesu dan
lemas.
Begitulah beratus ekor binatang berbisa itu bergantian mandi di air mangkuk besar itu, lalu
satu persatu menyusup kembali ke dalam selimut.
Sementara itu air mangkuk yang tadinya hitam seperti tinta lambat laun mulai berubah
menjadi putih. Ketika beberapa ekor ular berbisa yang tak diketahui namanya habis mandi di
air mangkuk, lalu air mangkuk mulai berbuih, malahan terus mengepulkan hawa panas, mirip
air yang baru di masak dan mendidih.
Butiran keringat di muka Kwe Pian sian juga mulai berketes-ketes.
Air mangkuk dari hitam kini telah berubah menjadi putih, dari putih lantas jernih dan kembali
seperti asalnya. Bedanya air semangkuk penuh itu sekarang seperti air mendidih yang habis di
masak.
Sementara itu kawanan makhluk berbisa tadi seluruhnya sudah menyusup kembali ke dalam
selimut. Di ruangan loteng kecil ini kembali sunyi senyap seperti tidak pernah terjadi apapun.
Yang terdengar hanya suara pernapasan yang berat di sana sini, siapapun tidak ada yang
bicara.
409
Cu Liu ji lantas mengangkat mangkuk besar tadi, dengan tertawa disodorkannya kepada Gin
hoa nio, katanya: "Nasi belum selesai di masak, kalau nona lapar, silahkan minum dulu air
mukjizat ini. Setelah ditambahi bumbu sebanyak ini, rasa air ini pasti jauh lebih segar
daripada kuah ayam."
Kontan Gin hoa nio menyurut mundur sambil menggoyang tangan, katanya sambil
menyengir: "O, jang...jangan sungkan, silahkan... nona minum sendiri saja."
Betapa dia memang berasal dari keluarga ahli racun, pengetahuannya banyak dan
pengalamannya luas, Sekarang sudah dilihatnya bubuk hitam yang dicampurkan ke dalam air
oleh Cu Lui-ji tadi sesungguhnya adalah semacam obat mujarab, dengan obat itulah kawanan
makhluk berbisa tadi dipancing keluar agar menuangkan racunnya ke dalam mangkuk.
Kini racun beratus ekor binatang berbisa itu telah tertuang ke dalam air mangkuk, jangankan
di minum, tersentuh saja mungkin bisa celaka, tubuh orang biasa kalau kena satu tetes air itu,
bisa jadi seluruh badan akan membusuk.
Siapa tahu Cu Lui ji malah tersenyum dan berkata: "Kuah segar dan lezat ini, kalau para tamu
tidak sudi minum, terpaksa harus kuminum sendiri saja." Sambil bicara ia terus angkat
mangkuknya dan benar-benar diminum seluruhnya, habis itu mulutnya malah berkecap-kecap
seperti orang habis merasakan makanan yang paling lezat.
Pwe-giok tidak memperlihatkan perasaan apa-apa menyaksikan perbuatan nona cilik itu, tapi
air muka Kwe Pian sian dan Gin hoa nio lantas berubah seketika, sebab mereka tahu betapa
hebat kadar racun di dalam air itu, sungguh mimpipun tak terbayangkan oleh mereka ada yang
sanggup meminumnya setetes atau dua tetes, tapi sekarang nona cilik ini justeru minum
semangkuk penuh, bahkan tidak terlihat terjadi sesuatu. Apakah mungkin isi perut nona ini
gemblengan dari baja?
Dengan tenang-tenang Cu Lui ji berkata lagi: "Penyakit Sacek sudah sangat parah hingga
merasuk tulang, berkat hawa dingin kawanan makhluk berbisa inilah jiwa sacek dapat
dipertahankan hingga kini. Maka kalau kami kiranya bersikap kurang sopan, hendaklah para
tamu sudi memberi maaf."
"Penyakit apakah yang menghinggapi Sacekmu?" tanya Gin hoa nio dengan mengiring tawa.
Lui ji menghela nafas, jawabnya dengan rawan; "Penyakit ini tidak diketahui namanya, tapi
kalau kalian ingin tahu....."
Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba di bawah ada orang mengetuk pintu, habis itu lantas
terdengar suara seorang tua berseru: " Ji Pwe-giok, Ji-kongcu apakah berada di atas? Ang lian
pangcu kami sengaja berkunjung kemari dan mohon bertemu!"
Itulah suara Bwe Su bong. Kejut dan girang Pwe giok ia tidak tahu untuk apakah Ang lian
pangcu mencarinya.
Dalam pada itu air muka Kwe Pian sian menjadi pucat, katanya dengan parau: "Lekas kau
turun ke sana dan men...mencegah mereka... aku pergi dulu..."
410
Pada saat itulah kembali pintu diketuk lagi lebih gencar, suara seorang perempuan muda
sedang berteriak: "Buka pintu, Ji-kongcu! Kun hujin kami juga berkunjung padamu!"
Bahwa selain Ang lian hoa, Hay hong Hujin juga datang, keruan wajah Kwe Pian sian
bertambah pucat. Cepat ia melompat ke jendela, perlahan ia membuka daun jendela dan
mengintip keluar. Ternyata loteng kecil ini sudah penuh dikepung orang, atap rumah disekitar
loteng ini dan setiap tempat yang dapat dibuat berdiri sudah penuh dengan orang.
Terdengar orang berteriak lagi ke bawah:" Kun-Hujin dan Ang lian pangcu berkunjung
kemari kenapa Ji kongcu tidak lekas membuka pintu?"
Cepat Kwe Pian sian menarik Pwe giok, katanya: "Apakah mereka tahu aku berada di sini?"
"Cara bagaimana ku tahu," jawab Pwe giok.
"Untuk apa mereka mencari kau?" tanya Kwe Pian sian pula.
"Akupun tidak tahu," ujar Pwe giok sambil mengangkat bahu.
"Mereka telah mengepung rapat tempat ini, tampaknya mereka hendak memusuhi kita,
menghadapi musuh bersama, jangan...jangan kau buka pintu," kata Kwe Pian sian.
"Pintu tidak ku buka, memangnya mereka tidak dapat mendobrak dan masuk dengan paksa?"
ujar Pwe giok sambil menghela nafas.
Dalam pada itu suara perempuan muda tadi sedang berteriak pula: "Ji kongcu, kami sudah
minta dibuka pintu dengan sopan, kalau pintu tetap tidak dibuka, terpaksa kami menerjang
masuk!"
Biji mata Gin hoa nio berputar, tiba-tiba ia tertawa genit dan berseru: "Ji Kongcu lagi sibuk di
kakus, bila sekarang kalian menerobos masuk, tentu akan kebagian bau sedap. Tunggu saja
sebentar, bilamana dia habis kuras gudang, pintu tentu akan dibuka, masa kalian terburuburu?"
Di bawah terdiam sejenak, lalu perempuan muda itupun tertawa ngikik dan berkata: "Baiklah
akan kami tunggu sebentar, asalkan dia tidak kecemplung ke dalam jamban, masa pintu
takkan dibuka."
Pwe giok berkerut kening memandang Kwe Pian sian, katanya: "Masa kaupun tidak berani
bertemu dengan Hay hong Hujin? Sesungguhnya ada hubungan apa antara kau dengan dia?"
Kwe Pian sian hanya batuk-batuk saja dan tidak menjawab. Dalam pada itu Ciong cing sudah
siuman, pelahan ia mengurut punggungnya dengan rasa cemas.
Pwe giok menghela napas, katanya pula dengan perlahan:" Apapun juga akhirnya mereka toh
akan naik ke sini, rasanya pintu harus kubuka, sebaiknya kau cari akal saja."
Orang sakit yang sudah kempas-kempis itu mendadak membuka matanya dan berkata: "Aku
ada akal! Coba dekatkan telingamu ke sini, akan ku bisiku kau," kata orang itu.
411
Dengan girang Kwe Pian sian mendekatinya, tapi baru dua tiga langkah mendadak ia berhenti
teringat olehnya hal-hal yang misterius pada diri si sakit ini, tanpa terasa ia menyurut mundur
lagi.
Rupanya Ciong Cing jauh lebih gelisah daripada Kwe Pian sian, tanpa pikir ia mendekati
orang sakit itu dan berkata: "Apabila Cianpwe ada akal yang dapat menolong dia, silahkan
beritahukan kepadaku, sungguh Tecu akan sangat berterima kasih."
Orang itu berkerut kening, tanyanya kemudian: "Siapa kau? Anak murid perguruan mana?"
Ciong Cing ragu-ragu sejenak, akhirnya ia berkata juga: "Tecu Ciong Cing dari Hoasan."
"Anak murid Hoa-san, terhitung juga golongan murni...." orang itu bergumam, lalu
menambahkan:" Baik, coba kemari, akan kuberitahu."
Butiran keringat memenuhi muka Ciong Cing, teringat olehnya makhluk-makhluk berbisa
yang memenuhi kolong selimut itu, ia merinding dan kakipun terasa lemas. Tapi demi orang
yang dicintainya, betapapun ia tabahkan hati dan mendekat kesana.
Tiba-tiba orang sakit itu bertanya pula: "Sudah berapa lama kau latih Kungfu?"
Meski tidak tahu untuk apa orang bertanya urusan ini, namun Ciong Cing menjawab juga:
"Sudah sebelas tahun."
Wajah orang sakit yang kurus dan kuning itu menampilkan secercah senyuman, katanya:
"Bagus, bagus....." mendadak sebelah tangannya terjulur, pergelangan tangan Ciong Cing
terpegang. Tampaknya ia sudah kempas kempis dan setiap saat bisa menghembuskan napas
penghabisan, tapi begitu bergerak ternyata cepatnya luar biasa.
Sampai-sampai orang macam Kwe Pian sian dan Ji Pwe giok juga tidak jelas cara bagaimana
orang sakit itu menjulurkan tangannya, Ciong Cing sendiri bahkan menjerit saja tidak sempat
dan tahu-tahu sudah diseret lebih dekat sana.
"Apakah yang hendak Anda lakukan?" tanya Pwe giok dengan was-was.
Setelah orang sakit itu memegang pergelangan tangan Ciong Cing, lalu ia tidak melakukan
gerakan lain lagi. Sebaliknya ia lantas memejamkan mata.
Meski merasakan tangan orang sangat dingin, Ciong Cing mulai tenang juga karena orang
tidak bertindak lain lagi. Ia lantas bertanya: "Sesungguhnya Cianpwe mempunyai akal apa?
Tecu siap mendengarkan."
Sambil tetap memejamkan mata orang itu berkata dengan perlahan: "Kalian tetap tunggu saja
di sini dan tidak perlu buka pintu."
"Hanya....hanya begini saja masa terhitung akal?" seru Ciong Cing dengan mendongkol.
Dengan tak acuh orang sakit itu berkata: "Asalkan kalian tidak membuka pintu, di seluruh
kolong langit ini tiada seorangpun berani naik ke atas loteng ini."
412
Meski merasa bualan orang agak terlalu besar, tapi mengingat tindak-tanduk orang ini sangat
misterius, mau tak mau iapun percaya separoh-separoh, ia tidak merasakan air muka sendiri
kini telah mulai pucat dan makin pucat. Sebaliknya air muka si sakit yang tadinya kuning
mayat kini mulai bersemu hawa orang hidup.
Dalam pada itu suara teriakan di bawah loteng bergema pula, maka orang lainpun tidak
memperhatikan perubahan air muka mereka berdua. Suara teriakan orang di bawah semakin
ramai dan kasar, tapi benar juga, tiada seorangpun berani mendobrak pintu.
Terdengar Bwe Su-bong berteriak pula: "Ji kongcu, Bengcu dan Bu siang Lojin juga
berkunjung padamu, masa kau tetap tidak mau turun?"
Semula Pwe giok bermaksud turun, tapi sekarang ia menjadi ragu-ragu. Untuk apakah orangorang
itu terburu-buru ingin bertemu dengan dirinya?
Perempuan muda tadipun berteriak lagi: "Ji kongcu, jika kau tidak menghendaki kami naik ke
atas, boleh kau turun dan bicara sepatah kata saja dengan kami.....Ji-kongcu, sebanyak ini
orang yang ingin bertemu denganmu, mengapa engkau menolak maksud baik orang banyak?"
Orang-orang itu ternyata tidak bermaksud naik ke atas, ini menandakan sasaran mereka bukan
terhadap Kwe Pian sian. Tapi mereka menghendaki Pwe giok turun ke bawah, apakah
memang ada intrik tertentu?
Semakin didesak, semakin ragu Pwe giok. Saat itulah mendadak Ciong Cing menjerit, orang
sakit itu telah melepaskan tangannya, kontan Ciong Cing roboh terkulai.
Cepat Kwe Pian sian memayangnya bangun, tapi tubuh Ciong Cin terasa lunak seperti kapas,
tanganpun sukar terangkat, waktu Kwe Pian sian memeriksa napasnya, ternyata juga sangat
lemah.
"He, kenapa kau?" teriak Kwe Pian sian kaget.
Air muka Ciong Cing tampak ketakutan setengah mati, serunya dengan suara lemah dan
gemetar: "Ib...iblis ini bu...bukan manusia dia...." dengan kaku ia memandang ke tempat jauh
dan berulang-ulang mengucapkan kata-kata yang sama, dia seperti tidak waras lagi saking
takutnya, ditanya juga tidak dapat menjawab lagi.
Kwe Pian sian memandangi si sakit air mukanya tampak mulai bersemu merah, nyata tenaga
dalam latihan belasan tahun Ciong Cing tanpa terasa telah dihisap oleh orang itu.
Mendadak Kwe Pian sian berbangkit dengan sorot mata yang sangat ketakutan. Sebaliknya si
sakit tampaknya sudah terpulas, Cu Lui ji sedang merapikan selimutnya.
Diam-diam Gin hoa nio menarik Kwe Pian sian dan Ji Pwe giok ke samping sana, katanya
dengan suara tertahan: "Sesungguhnya apa yang terjadi ini?"
Keringat nampak memenuhi dahi Kwe Pian sian, dengan suara parau ia mendesis:
"Menghisap sari tenaga orang lain untuk menambah kekuatan sendiri, tak tersangka di dunia
ini benar-benar ada Kungfu selihai ini. Kalau sekarang kita tidak menggunakan kesempatan
ini untuk menumpas dia mungkin kitapun akan mati tak terkubur."
413
Gin hoa nio menghela nafas, katanya kemudian: "Jika kau berani turun tangan lebih dulu,
pasti akan kubantu kau."
Kwe Pian sian jadi melengak dan tak dapat menjawab.
Sunyi seperti kuburan di loteng kecil ini, Pwe giok seperti ingin bertindak sesuatu, tapi pada
saat ini juga di bawah telah berkumandang suara Ji Hong-ho: "Kalau dia tidak mau turun,
tentu dia sudah ikut berkomplotan dengan mereka. Kini kita sudah berkumpul, bila tidak
segera turun tangan mungkin akan terjadi perubahan....."
Tiba-tiba terdengar Hay hong Hujin menyeletuk: "Apakah Bengcu sudah menyelidikinya
dengan jelas?"
"Bukti dan saksi sudah lengkap di sini. Ang lian pangcu juga melihat sendiri," kata Ji Hong
ho.
Tiada terdengar suara Ang lian hoa, mungkin secara diam-diam ia membenarkan.
Selagi Pwe-giok menerka urusan apa sebenarnya yang dimaksudkan mereka, tiba-tiba
terdengar suara deru angin yang keras, beberapa bola hitam sebesar semangka telah
menerobos jendela dengan membawa api yang berkobar.
Hakekatnya Pwe giok dan lain-lain tidak tahu benda apakah ini seketika mereka menjadi
bingung tidak tahu bagaimana harus menghadapi bola berapi itu, terpaksa mereka menyingkir
saja menghindari.
Si orang sakit yang tampaknya tertidur itu mendadak menjulurkan kedua tangannya yang
tadinya tertutup selimut, kesepuluh jarinya menyelentik susul menyusul. Terdengar suara
"crat-crit" berulang-ulang seperti desing anak panah di udara, belasan bola hitam tadi kontan
terjentik kembali keluar.
Kiranya selentikan jari si sakit itu membawa semacam tenaga yang tak berwujud, tapi keras
dan tajam seperti senjata.
Apa lagi ia menyelentik susul menyusul sehingga tenaga jari yang tak kelihatan ini terpancar
lebih kuat, sekalipun ilmu tenaga jari sakti "Sian-ci-sin-thong" yan terkenal di dunia persilatan
juga tidak selihai ini. Keruan semua orang sama terkesiap.
Setelah bola-bola hitam tadi terjentik keluar, lalu terdengarlah suara "blang-blung" yang keras
disertai lelatu api yang berhamburan. Suara ledakan menggelegar tiada hentinya. Suasana
menjadi kacau, terdengar jeritan di sana sini serta suara orang yang berlari ketakutan. Loteng
kecil itupun tergetar seakan-akan ambruk.
"Apakah ini senjata api buatan Pi-lik-tong (nama pabrik mesiu jaman kuno) yang terkenal di
daerah Kanglam itu?" kata Gin hoa nio dengan terkejut.
"Betul," jawab Kwe Pian sian dengan gegetun. "Kalau saja bola api tadi meledak di sini,
andaikan tubuh kita tidak hancur lebur, sedikitnya akan babak-belur dan mungkin pula cacat
selama hidup."
414
"Makanya tentunya sekarang kalianpun tahu," sela Cu Lui-ji sambil menoleh tertawa. "Meski
Sacek telah meminjam pakai kekuatan belasan tahun latihan nona ini, tapi Sacek juga telah
menyelamatkan jiwa kalian berempat. Jual beli ini kan tidak merugikan kalian?"
Daun jendela sudah jebol diterjang oleh bola-bola hitam tadi, sembari bicara Cu Lui ji lantas
merapatkan tabir jendela agaknya tidak suka kalau keadaan didalam ruangan ini terlihat orang
luar.
Kedua tangan si sakit telah disembunyikan kembali ke dalam selimut, air mukanya mulai
pucat lagi. Sungguh, kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, siapapun tidak
percaya orang yang sudah sekarat ini mempunyai kungfu selihai tadi.
Pwe-giok tidak tahan, ia coba bertanya: "sesungguhnya Ji Hong ho itu ada permusuhan apa
dengan Anda?"
"Bermusuhan denganku? Hm, dia belum sesuai!" jengek orang sakit itu.
"Jika demikian, untuk apa dia bertindak sekeji ini terhadap Anda?" tanya Pwe giok pula.
"Darimana kau tahu yang dia tuju adalah diriku dan bukan kalian?" ujar orang itu.
"Tapi Ji Hong ho tidak bermain catur ditempat lain, justru datang ke kota kecil yang terpencil
dan sepi ini, tadinya aku sangat heran baru sekarang ku tahu tujuan kedatangannya ialah
Anda." kata Pwe-giok pula dengan gegetun.
Tapi orang sakit itu tidak menanggapi, ia memejamkan mata pula.
Pwe giok berkata lagi: "Ada lagi, Anda tidak tetirah ditempat lain, tapi justeru datang ke kota
kecil ini, inipun kejadian yang maha aneh. Sungguh tidak habis ku terka sesungguhnya
dimana terletak daya tarik kota kecil ini?"
Tapi orang sakit itu tetap tidak menggubrisnya, maka Pwe giok tidak dapat bicara lagi.
Selang sejenak, tiba-tiba Cu Lui-ji berkata: "Yang mereka tuju bukanlah Sacek melainkan
diriku!"
"Dirimu?" Pwe giok menegas dengan melenggong. "Usiamu sekecil ini, untuk apa mereka
mencari kau?"
"Apakah usiaku terhitung masih kecil?" ujar Lui-ji sambil tertawa.
"Biarpun orang she Ji itu manusia berhati binatang, tapi dalam kedudukannya selaku Bu-limbengcu,
mana bisa dia mengerahkan tenaga sebanyak itu untuk menghadapi seorang anak
kecil seperti dirimu ini?" kata Pwe giok pula.
"Bu-lim-bengcu? Huh!" jengek Cu Lui-ji. "Memangnya berapa harganya satu kati Bu-limbengcu
begitu? Tidak perlu Sacek, aku saja tidak memandang sebelah mata padanya."
415
Padahal Hong ti-tayhwe atau pertemuan besar Hong ti adalah suatu sidang paripurna dunia
persilatan yang mengikat, Bengcu atau ketua perserikatan yang diangkat didalam sidang itu
dihormati dan disegani setiap ksatria dan pendekar di dunia ini. Tapi anak perempuan kecil ini
menyatakan tidak pandang sebelah mata terhadap sang Bengcu.
Tentu saja hal ini sangat luar biasa. Memangnya kedudukan anak perempuan ini jauh lebih
terhormat dan lebih agung daripada Bu-Lim-bengcu?
Pwe giok jadi semakin heran.
Selagi ia hendak bertanya pula, mendadak Gin hoa-nio bersorak gembira, serunya: "Aha,
orang-orang itu sudah pergi semua, bersih tanpa seorang-pun yang ketinggalan!"
Cepat Kwe Pian-sian menyingkap tabir jendela, memang betul, di luar sana tiada nampak
bayangan seorangpun.
"Kenapa mesti heran," dengan hambar Cu Lui-ji berkata pula, "setelah orang-orang itu
mengetahui kungfu Sacek sudah pulih, memangnya mereka berani tinggal lebih lama lagi di
sini untuk menunggu kematian?"
Bahwa orang-orang seperti Ji Hong-ho, Kun Hay-hong dan lain-lain seakan-akan juga sangat
jeri terhadap orang yang sakit ini, maka dapat diperkirakan orang sakit ini pasti luar biasa
asal-usulnya. Sesungguhnya siapakah dia?
Tentu juga Pwe-giok sangat heran, terkejut dan juga tertarik, namun saat itu juga Kwe Piansian
sudah memondong Ciong Cing dan berkata:" Hayolah kita berangkat sekarang!"
"Betul, tidak berangkat sekarang mau tunggu kapan lagi?" tukas Cu Lui ji dengan dingin.
Pwe-giok lantas berkata: "Kalau mereka mendadak kembali lagi, apakah kalian...."
"Urusan Sacek tidak perlu kau ikut campur" ucap Lui ji dengan angkuh. "Mengenai
diriku.....apakah aku akan hidup atau mati lebih-lebih tidak perlu diresahkan orang lain."
Dengan suara gemetar mendadak Ciong Cing berteriak: "Jika demikian, mengapa.....mengapa
kalian men.....mencuri tenagaku?"
"Kan kalian yang datang sendiri ke sini. Kami tidak mencari kau, kenapa kau salahkan orang
lain?!", jawab Cu Lui-ji dengan ketus.
Ciong cing melengak, mendadak ia menangis tergerung-gerung.
Tiba-tiba si sakit buka suara dengan perlahan: "Mengingat kedatangan mereka ini tidaklah
sia-sia barang itu boleh kau berikan saja kepada mereka."
"Tapi barang-barang ini memang milikku, kenapa harus kuberikan kepada mereka?" ujar Cu
Lui-ji.
"Hanya sedikit batu permata begitu apa artinya? Kenapa kau berubah menjadi sebodoh ini?"
ujar si sakit sambil berkerut kening.
416
Lui-ji mengiakan dengan menunduk. Tanpa bicara lagi ia mengeluarkan sebuah bungkusan
dari almari dinding sana terus dilemparkan ke depan Gin-hoa-nio.
Ketika ujung bungkusan itu terlepas sedikit. Tertampaklah cahaya gemerlapan, nyata itulah
harta benda Gin-hoa-nio yang hilang itu.
Meski didalam hati penuh tanda tanya, tapi Gin-hoa-nio tidak berani lagi banyak bicara,
setelah tertegun sejenak, mendadak ia angkat bungkusan itu terus lari ke bawah loteng secepat
terbang.
*****
Sesungguhnya siapakah gerangan si sakit itu? Mengapa Ji Hong-ho dan lain-lain sedemikian
takut kepadanya?
Siapa pula sebenarnya Cu Lui-ji dan darimana asal-usulnya? Mengapa sebanyak itu tokohtokoh
Bu-Lim berkumpul di kota kecil ini hanya untuk menghadapi seorang anak kecil
begitu? Bahkan diantara tokoh-tokoh Bu-Lim itu termasuk pula Ang-lian-hoa? Masa Angliang-
hoa seorang yang suka merecoki seorang anak kecil?
Sesungguhnya penyakit apa yang menghinggapi orang sakit itu? Mengapa dia merawat
sakitnya di kota kecil terpencil ini? Jelas tenaganya belum pulih seluruhnya. Sedangkan Ji
Hong-ho dan lain-lain pasti tidak pergi begitu saja, seharusnya dia menahan ji Pwe-giok dan
lain-lain di situ, mengapa dia melepaskan mereka pergi?
Begitulah didalam benak Pwe-giok penuh tanda tanya yang sukar dipecahkan.
Gin hoa nio juga bergumam terus menerus." Aneh, si tebese itu mengapa mengembalikan
harta benda ini kepadaku? Mengapa begini saja dia membebaskan kita pergi? Masa dia benarbenar
tidak mengharapkan sesuatu dari kita?"
Sembari menggerundel ia terus berlari ke depan. Kota kecil itu bermandi cahaya sang surya,
namun setiap pintu rumah penduduk tampak tertutup rapat, satu bayangan manusia saja tidak
kelihatan.
Baru sekian langkah Kwe Pian-sian berlari mendadak ia menghadang di depan Gin-hoa-nio.
Cepat Gin-hoa-nio menyembunyikan bungkusan ke belakang punggungnya, tanyanya dengan
was-was: "Kau mau apa?"
"Ai, dasar perempuan," ujar Kwe Pian-sian dengan gegetun. "Sampai perempuan seperti ini
juga berpikiran sempit, dalam keadaan demikian masa dapat ku incar harta bendamu ini?"
Gin hoa nio mengerling genit, katanya dengan tersenyum: "Jika kau tahu perempuan berjiwa
sempit mengapa kau sengaja merintangi jalan orang? Apakah kau tidak ingin cepat-cepat
pergi dan hendak menunggu kedatangan Ang-lian-hoa?"
"Sudah tentu aku ingin lekas-lekas pergi, tapi aku tidak ingin pergi dengan digotong orang,"
kata Kwe Pian-sian dengan dingin.
417
Gin hoa nio memandang Ciong Cing sekejap, ucapnya dengan tertawa: "Kamipun ingin pergi
dipondong olehmu, tapi sayang, tanganmu tidak ada peluang lagi."
"Kalau kau terus berlari ke depan, masa tidak bakalan ada orang akan menggotong kau?" kata
Kwe Pian-sian.
"Maksudmu.....maksudmu kita tidak pergi sekarang?"
"Saat ini, kau dan aku jangan harap akan dapat meninggalkan kota kecil ini selangkahpun!"
"Hihi, memangnya kau sangka aku ini kegirangan karena mendapatkan kembali hartabendaku
sehingga pikiranku sudah keblinger?" kata Gin hoa nio dengan tertawa." Sudah tentu
ku tahu Ji Hong-ho dan rombongannya takkan pergi jauh, besar kemungkinan mereka sudah
mengepung rapat kota kecil ini, maka bayangan setanpun tidak kelihatan di sini"
"Tapi menurut perhitunganmu, karena kau tidak bermusuhan apapun dengan mereka, tentu
kau akan diberi jalan, maka kau sendiri lantas mau kabur begitu saja tanpa memperdulikan
orang lain, begitu bukan?"
"Ai. Aku ini kan perempuan yang berjiwa sempit dan tidak bisa apa-apa, memangnya hendak
kau suruh aku bertindak bagaimana? Kalian kan lelaki gagah perkasa, masa memerlukan
perlindunganku malah?"
"Hahahaha! Teman baik, sahabat karib.....!!" Kwe Pian-sian bergelak tertawa. "Sungguh tidak
nyana kau dapat menutupi perbuatannya yang cuma mementingkan diri sendiri ini sebagai
tindakan yang menarik, untung kau bukan lelaki, kalau tidak mustahil kalau tidak sejak taditadi
kau disembelih orang."
Gin hoa nio tertawa terkekeh, katanya: "Tapi ku tahu kau pasti takkan membunuhku,
seumpama kau bermaksud menahanku di sini, Ji kongcu kita yang luhur budi dan bijaksana
ini pasti juga tidak tinggal diam dan tentu akan membelaku."
"Jika kau ingin pergi, tidak nanti ku rintangi kau." kata Kwe Pian sian.
"Oya?! Tak tersangka kau juga seorang yang luhur budi dan bijaksana....."
"Tapi dengan membawa satu bungkus mestika begini, apakah orang lain mau membebaskan
kau pergi begitu saja?" jengek Kwe Pian sian.
Seketika Gin hoa nio merasa seperti kena depak orang satu kali, sekujur badan terasa lemas
lunglai.
Dengan tenang Kwe Pian sian menyambung pula: "Makanya, jika kau ingin pergi, mau tak
mau bungkusan ini harus kau tinggalkan di sini dan ini berarti..... seolah-olah menghendaki
jiwamu."
Mendadak Gin hoa nio melonjak dan berjingkrak, katanya: "Ah, tahulah aku sekarang,
sebabnya si tebese itu mengembalikan harta pusakaku ini, maksudnya justru hendak
418
mengganduli diriku supaya aku tidak pergi. Ai, orang sudah hampir mampus begitu masih
juga banyak akal-bulusnya."
Mendadak Pwe giok ikut bicara: "Jika kau sangka dia sengaja hendak membikin susah
padamu, mengapa tidak kau kembalikan harta benda ini kepadanya?"
Gin hoa nio mendepakkan kakinya ke tanah dan berkata: "Sudah tentu iapun
memperhitungkan aku tidak rela...." Tapi mendadak ia tertawa dan mengerling genit
sambungnya: "Apalagi, seumpama tidak ada bungkusan batu permata ini, masa ku-sampai
hati meninggalkan kalian di sini? Apa yang ku katakan barusan kan cuma bersenda-gurau
saja."
"Hehe, lucu ya guraumu?" jengek Kwe Pian sian. Gin hoa nio memandangnya dengan
menengadah, tubuhnya seakan-akan hendak jatuh ke pangkuan orang, dengan suara halus ia
berkata: "Eh, coba katakan, apakah sekarang juga kita harus mundur kembali ke sana?"
"Adalah maha beruntung kalau kita dapat keluar dengan selamat, mana boleh balik lagi ke
sana" ujar Kwe Pian sian. Nyatanya, ia lebih suka menghadapi Ang lian hoa dari pada
bermusuhan dengan si sakit yang misterius itu.
"Maju tidak mau, mundur juga emoh, lalu bagaimana baiknya?" Tanya Gin hoa nio. "Apakah
kita perlu mencari lagi sebuah rumah lain untuk sembunyi? Tapi kalau kepergok si tebese
lagi, kan bisa celaka."
"Tempat yang kucari sekali ini pasti takkan terdapat orang lain..."
"Dimana?" Tanya Gin hoa nio sebelum ucapan Kwe Pian sian dilanjutkan.
"Di sana, hotel itu!"
"Haha, kau memang pintar" puji Gin hoa nio dengan tertawa genit. "Orang-orang tadi baru
saja meninggalkan hotel itu, besar kemungkinan mereka takkan kembali kesana. Hotel itu
memang tempat yang paling aman di kota ini, cuma....." dia pandang Pwe giok sekejap,
sambil menggigit bibir ia menyambung pula: "Ji-kongcu kita yang terhormat ini apakah kau
mau bersembunyi bersama kita?"
"Dia pasti ikut," kata Kwe Pian sian.
"Oo… pasti?" Gin hoa nio merasa sangsi.
"Ya," kata Kwe Pian sian. "setelah sekian lama Ji hong-ho dan rombongannya tidak melihat
suatu gerak-gerik di sini, tentu mereka akan balik lagi ke sini. Dan kalau kita sembunyi di
hotel itu, kebetulan dapat menjadi penonton tanpa bayar."
Dia tersenyum bangga, lalu menyambung pula: "Saat ini Ji-heng tentu juga penuh diliputi
tanda tanya, kalau urusan ini tidak ikut terpecahkan hingga jelas, betapapun Ji-heng pasti
tidak rela tinggal pergi. betul tidak Ji-heng?"
Pwe giok tersenyum hambar, jawabnya: "Apa lagi saat ini aku memang tidak ada tempat
tujuan untuk pergi."
419
Di hotel itu memang benar sunyi senyap tiada bayangan seorangpun, sampai-sampai
pengurusnya dan pelayannya juga sudah kabur entah kemana, seakan-akan merekapun sudah
tahu di sini bakal tertimpa bencana, maka cepat-cepat cari selamat lebih dulu.
Sebagai pemuda perkasa, Kwe Pian sian berjalan di depan, dia tidak mencari kamar tamu
biasa, juga tidak menuju ruangan tempat tinggal Ji Hong ho tadi, tapi langsung menuju ke
dapur.
Api tungku di dapur hampir padam tapi belum padam, satu wajan nasi tanak sudah hampir
hangus. Di atas meja sayur terdapat segebung sayur asin yang sudah dirajang sebagian, di
suatu mangkuk juga ada telur ayam yang sudah diaduk, agaknya si koki tadi sedang siap-siap
mengolah sayur asin goreng telur, tapi belum selesai dibuat.
Gin hoa nio celingukan kian kemari, dengan tertawa ia berkata: "Penghuni hotel ini mungkin
kabur dengan tergesa-gesa sehingga tidak sempat sarapan pagi. Apa lagi mereka diusir oleh Ji
Hong ho dan begundalnya?"
"Ji Hong ho tidak perlu mengusir mereka, setelah mengalami kekacauan tadi, masa mereka
masih berani tinggal ditempat yang penuh penyakit ini?" kata Kwe Pian sian.
"Mungkin lagi sial juga pemilik hotel ini, akhir-akhir ini penghuni hotel ini kebanyakan orang
mati melulu....." sembari bicara Gin hoa nio terus menyembunyikannya ke bawah onggokan
kayu bakar. Lalu ia mengambil mangkuk dan mengisi nasi terus dimakannya dengan lauk
sayur asin.
Kwe Pian sian juga mengisi satu mangkuk nasi dan disodorkan kepada Ciong Cing, katanya
dengan tertawa: "Ini, kaupun makanlah sedikit, meski nasi ini rada sangit, tapi pasti tidak
beracun."
Gin ho nio tertawa, katanya: "Selama hidupku sungguh tidak pernah dahar nasi seharum dan
sesedap ini, kau...."
Belum habis ucapannya, mendadak mangkuk yang dipegang Kwe Pian sian telah disampuk
jatuh Ciong Cing. Nona itu menangis tergerung-gerung sambil meratap: "Aku sudah orang
setengah mati, ku tahu nanti pasti kau tinggalkan diriku. Untuk apa pula ku makan nasi
segala......Biarlah ku mati kelaparan saja, lebih cepat mati lebih baik!"
Kwe Pian-sian tidak menjadi marah, ucapnya dengan suara halus: "Ku tahu pikiranmu lagi
risau tapi kan tidak apalah kalau cuma kehilangan Kungfu saja. Aku toh tidak bakalan minta
perlindunganmu, kau mahir ilmu silat atau tidak kan tidak menjadi soal bagiku?"
"Kau.....kau tidak perlu pura-pura di depanku," kata Ciong Cing dengan suara terputus-putus.
"Coba jawab sudah tegas-tegas kau katakan padaku bahwa kau sudah putus segala hubungan
dengan Kun Hay-hong, sekarang mengapa kau tidak berani bertemu dengan dia, apa yang kau
takuti?"
Air muka Kwe Pian-sian tampak berubah.
420
Pada saat itulah mendadak ada suara orang batuk satu kali, seketika ke empat orang lantas
bungkam.
Ditengah keheningan itu sayup-sayup terdengar di luar ada suara langkah orang yang sangat
perlahan. Di samping tungku dapur ini terletak pintu belakang hotel, maka suara langkah itu
terdengar seperti menuju ke pintu belakang.
Dari celah-celah pintu Kwe Pian sian dapat mengintip keluar, dilihatnya dua orang sedang
menuju ke sini, seorang mendekap mulut, jelas orang yang baru saja batuk.
Orang ini tinggi kurus, bermuka putih, sedang melintang tersandang di punggung, untaian
benang sutra merah penghias garan pedang berpadu dengan bajunya yang hijau pupus
sehingga kelihatan sangat menyolok.
Seorang lagi juga tinggi kurus, sinar matanya tajam. Sekali pandang saja Kwe Pian sian lantas
tahu Ginkang kedua orang ini pasti tidak lemah.
Kedua orang ini berjalan dari kanan dan kikir terpisah beberapa kaki jauhnya, langkah mereka
sangat hati-hati, agaknya ingin menyelidiki keadaan di sini dan kuatir mengejutkan si sakit
yang menakutkan di atas loteng kecil itu.
Gemerdep sinar mata dari Kwe Pian sian, mendadak ia membuka pintu dan tertawa kepada
mereka. Tentu saja kedua orang itu melengak. Segera pula Kwe Pian sian menyurut mundur.
Dengan sendirinya pintu masih terbuka dan mengeluarkan suara" keriat-keriut" karena tertiup
angin.
"Mengapa kalian tidak lekas masuk ke sini?" kata Kwe Pian sian dengan suara tertahan.
Gin hoa nio tahu maksud Kwe Pian sian hendak memancing kedua orang itu masuk ke sini
untuk ditanyai gerak-gerik di pihak Ji Hong ho sana. Padahal maksud tujuan kedatangan
kedua orang ini adalah untuk menyelidiki keadaan di sini, sekarang mereka malah menjadi
sasaran perangkap orang, diam-diam Gin hoa nio tertawa geli.
Rupanya Kwe Pian sian sudah memperhitungkan dengan baik bahwa mengetahui di dapur
hotel ini ada orang, biarpun harus menyerempet bahaya juga kedua orang itu akan masuk ke
sini untuk melihat apa yang terdapat di tempat ini.
Siapa tahu, meski sudah di tunggu sekian lama orang di luar masih juga tidak masuk kemari,
bahkan tiada terdengar suara sedikitpun.
Kembali Gin hoa nio merasa heran, segera ia mendesis: "Sstt, mengapa kedua orang itu
sedemikian penakut?"
"Kukenal satu diantaranya, namanya Ko Tiong, anak murid Tiam jong pay, orang ini cukup
terkenal di daerah Hunlam dan Kuiciu, tidak nanti dia takut urusan..."
Belum habis ucapannya, "kriuut", daun pintu terpentang tertiup angin ternyata bayangan
kedua orang tadi sudah tidak kelihatan lagi.
421
"Hah, tampaklah kedua orang itu memang berhati kecil melebihi tikus," Gin hoa nio berolokolok.
Kwe Pian sian berkerut kening, ia coba melongok lagi keluar, dilihatnya Cu Lui ji entah sejak
kapan telah turun dari lotengnya dan sedang memetik bunga di halaman sana.
Rupanya ada setangkai bunga mawar yang menongol keluar pagar halaman sana, seharum
semerbak tampaknya bunga mawar itu.
Cu Lui ji sedang menengadah ke atas sambil berjinjit tangannya yang kecil itu meraih tangkai
bunga mawar itu, mendadak lengan bajunya merosot ke bawah sehingga kelihatan tangannya
yang putih bersih.
Orang yang dikenal bernama Ko Tiong dan lelaki berbaju hijau tadi tampak melangkah ke
sana dan berdiri tidak bergerak di belakang Cu Lui-ji, mereka memandangi anak dara itu
dengan termangu-mangu.
Jilid 17________
Setelah memetik bunga mawar itu, tanpa berpaling lagi Cu Lui-ji lantas kembali ke loteng
sana.
Ko Tiong dan lelaki baju hijau itu terpesona, wajah mereka tampak linglung seperti tergilagila
kepada anak dara itu sehingga lupa daratan.
Kwe Pian-sian jadi terheran-heran, ia tidak mengerti apa sebab apakah kedua orang ini
berubah seperti orang kehilangan ingatan.
Padahal, sekalipun Cu Lui-ji memang seorang dara yang cantik, betapapun usianya baru 11-
12 tahun, masa dua laki-laki setengah umur begini juga tergila-gila kepadanya?
Tertampak langkah Cu Lui-ji yang lemah gemulai, bajunya yang tipis bergerak terembus
angin, tubuhnya yang lemah itu seolah-olah juga melayang ke sana tertiup angin. Mendadak
anak dar itu menoleh dan tersenyum, sorot matanya yang bening itu seperti tidak sengaja
melirik sekejap ke arah Kwe Pian-sian.
Seketika Kwe Pian-sian merasa dirinya hampir melupakan usia anak dara yang masih kecil
itu, yang tampak olehnya hanya liuk pinggang si nona yang menggiurkan, selebihnya ia tak
tahu lagi. Hampir-hampir saja iapun mengintil ke sana.
Tapi apapun juga dia memang lebih kuat dan dapat mempertahankan diri, hatinya hanya
terguncang sekejap saja setelah itu tenang kembali. Sementara itu Cu lui juga berjalan
kembali ke ujung rumah sana, Ko Tiong dan temannya mengikutinya kemudian juga ikut
lenyap di balik pintu sana.
Sejak tadi Gin-hoa-nio juga mengikuti kejadian tersebut dan baru sekarang ia menghela napas
dan berkata: "Siluman, budak cilik ini benar-benar siluman, sekecil itu sudah mampu memikat
dua lelaki sebesar itu. Pada waktu aku berusia sebaya dia, akulah yang ikut kian kemari di
belakang lelaki".
422
Setelah berhenti sejenak, mendadak ia tertawa dan berkata pula: "Hihi, untung iman tuan Kwe
kita cukup teguh, kalau tidak, hampir saja tuan Kwe kita juga ikut terperangkap olehnya"
"Bukan karena lwekang ku tinggi, melainkan pengalamanku terhadap perempuan jauh lebih
banyak daripada kedua orang itu," kata Kwe Pian-sian dengan tertawa.
"Sungguh aku tidak paham, untuk apakah budak cilik itu memikat kedua lelaki itu?" ucap
Gin-hoa-nio dengan tertawa. Mendadak sinar matanya mencorong terang, ia berseru pula:
"Ah, tahulah aku, budak cilik itu sedang memancing ikan, bilamana kedua orang tolol itu
terpancing ke atas loteng sana, maka segenap kungfu mereka pasti akan terhisap ludes oleh si
sakit tbc itu"
"Ya, memang begitu" kata Kwe Pian-sian
"Sungguh tak tersangka, sekecil itu dia sudah mahir memancing ikan dengan "Bi-jin-keh"
(akal dengan memperalat perempuan cantik)”, ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Tanpa
disadari kedua orang tolol tadi, tahu-tahu telah terjebak."
"Tampaknya, sebabnya Ang-lian-hoa dan lain-lain datang ke sini untuk mencarinya memang
juga cukup beralasan" kata Kwe Pian-sian sambil memandang Ji Pwe-giok.
"Memangnya tidak cuma sekali ini saja perbuatan nona cilik itu?" tanya Pwe-giok.
Melihat caranya bertindak tidak canggung-canggung itu, jelas sudah tidak sedikit korban yang
terjebak di tangannya, makanya Ji Hong-ho mengerahkan orang sebanyak ini untuk melayani
dia" ujar Kwe Pian-sian.
"Ya, kukira begitu," kata Pwe-giok. "Kalau tidak, tokoh macam Ang lian hoa tidak nanti sudi
diperintah oleh Ji Hong ho."
Hal ini mungkin tidak diketahui orang lain tapi cukup diketahuinya dengan jelas, sebab Ang
lian hoa juga sudah menaruh curiga terhadap "Ji Hong ho" itu.
"Hah, sungguh menarik juga," kata Kwe Pian sian dengan tertawa, "seorang anak perempuan
berumur belasan ternyata begini besar kesaktiannya. Orang macam begini jelas bukan orang
sembarangan, mungkin tidaklah mudah bagi Ang lian hoa untuk melayaninya."
Gin hoa nio tertawa ngikik, katanya:" Betapapun hebat dia toh sudah pernah juga merasakan
tamparanku."
Sembari bicara ia angkat tangannya hendak memberi contoh agar dia menampar Cu Lui-ji,
tapi mendadak.....ia merasa dirinya juga seperti kena gampar orang satu kali, seketika ia tak
dapat tertawa dan tak dapat berbicara lagi.
Pwe giok dan Kwe Pian sian memandangnya , wajah Gin hoa nio yang biasanya selalu
tersenyum manis itu kini mendadak berubah pucat seperti mayat, matanya yang jeli kini juga
menampilkan rasa kejut dan cemas yang tidak terhingga sambil memandangi tangannya
sendiri. Malahan sekujur badannya lantas menggigil.
423
Tanpa terasa Pwe giok dan Kwe Pian sian ikut memandang tangan Gin hoa nio, hanya sekejap
saja mereka memandang, seketika air muka merekapun berubah, sorot mata merekapun
menampilkan rasa kejut yang tak terhingga.
Tangan Gin ho nio yang putih bersih dan halus mulus itu kini telah berubah menjadi hitam
kemerah-merahan mirip cakar setan.
"He, kenapa bisa begini?" seru Pwe giok terkesiap.
Dengan suara gemetar Gin hoa nio berkata: "Ak....akupun tidak tahu mengapa bisa jadi... jadi
begini, sedikitpun tidak kurasakan apa-apa dan tangan ini tahu-tahu sudah.... sudah berubah
menjadi begini."
"Bisa bergerak tidak tanganmu ini?" tanya Kwe Pian sian.
"Seperti masih.....masih bisa bergerak, cu...cuma....."
Belum habis ucapan Gin hoa nio, mendadak Kwe Pian sian mengangkat sepotong kayu terus
menghantam punggung tangan Gin hoa nio "plok", kayu bakar itu cukup besar, cara
menghantamnya juga cukup keras, tangan siapapun kalau terpukul pasti juga akan menjerit
kesakitan, siapa tahu Gin hoa nio sama sekali tidak berteriak sakit, bahkan tidak merasakan
apapun meski tangan terpukul sekeras itu.
"Sakit tidak?" tanya Kwe Pian sian.
"Ti...tidak." jawab Gin hoa nio.
Dipukul tanpa merasa sakit, sepantasnya dia bergembira. tapi setelah menjawab begitu,
seketika air mata Gin hoa nio berlinang-linang. Ia merasa tangan sendiri kini sudah berubah
menjadi kayu belaka, kaku dan mati rasa seperti bukan tangannya sendiri lagi. Dia
menyaksikan Kwe Pian sian memukulkan kayu tadi, tapi yang dipukul seolah-olah tangan
orang lain.
Kwe Pian sian berkerut kening pula, dilihatnya di meja sana ada bendo yang biasa di buat
potong sayur, mendadak bendo itu disambarnya terus dibacokkan ke punggung tangan Gin
hoa nio.
Meski bendo itu terlalu tajam, tapi kalau digunakan memenggal tangan seseorang rasanya
mudah terlaksana. Siapa tahu, begitu bendo itu mengenai sasarannya, tangan Gin hoa nio
yang terbacok itu hanya bertambah satu luka kecil saja, bahkan tiada tetes darah yang
mengucur keluar.
Nyata tangan Gin hoa nio telah berubah lebih keras daripada kayu.
Bahwa tangannya tidak mempan dipenggal orang, seharusnya Gin hoa nio bergembira tapi
mukanya justeru bertambah pucat dan ketakutan setengah mati.
"Trang", Kwe Pian sian melemparkan bendo tadi, katanya sambil menggeleng kepala: "Wah,
nonaku yang baik, tamparanmu tadi mungkin telah menimbulkan kesulitan."
424
"Tapi.....tapi waktu ku pukul dia, sedikitpun tidak.....tidak merasa apapun," kata Gin hoa nio.
"Justeru racun yang tidak menimbulkan perasaan apa-apa inilah yang lihai" ujar Kwe Pian
sian. "Tanpa terasa tahu-tahu racun telah merembes ke dalam darahmu, merasuk ke dalam
tulangmu. Bila pada saat kejadian kau rasakan apa-apa tentu kau akan tertolong."
"Dan sek.....sekarang apakah tidak tertolong lagi?" tanya Gin hoa nio dengan suara gemetar.
Padahal ia sendiri juga ahli racun, sudah tentu iapun tahu betapa hebat racun telah masuk
tubuhnya. Hanya dalam keadaan cemas ia masih menaruh setitik harapan atas pertolongan
orang lain.
"Mungkin tak tertolong lagi," jawab Kwe Pian sian sambil menggeleng.
Gin hoa nio menubruk maju sambil berteriak. "Ku tahu kau pasti mampu menolong diriku,
kaupun ahli racun, kau.....kau....."
Seperti menghindari makhluk berbisa saja, dengan cepat Kwe Pian sian melompat mundur
sambil berkata: "Betul, akupun tergolong kakeknya ahli racun, tapi racun selihay ini
selamanya belum pernah kulihat.....Nona yang baik, kau sendiri terkena racun, sebaiknya
jangan kau bikin susah lagi kepada orang lain, lekas kau cari satu tempat yang baik untuk
menantikan ajalmu saja."
Seketika Gin hoa nio menjadi lemas dan roboh terkulai.
Pwe giok juga tercengang menyaksikan racun yang meresap di tubuh Gin hoa nio itu,
mendadak ia mendorong pintu dan berkata: "Mari ikut padaku!"
"Akan.....akan kau bawa kemana diriku?" tanya Gin hoa-nio.
"Orang lain tidak mampu menolong kau, orang yang meracuni kau pasti dapat," kata Pwe
giok.
Seketika Gin hoa nio melonjak bangun, serunya: "Ya, betul, dia pasti dapat menolong diriku.
Meski telah ku pukul dia, namun antara dia dan aku sebenarnya tiada permusuhan apa-apa,
bila kuminta maaf dan memohon dengan sangat, mungkin dia masih mau menolong jiwaku."
Padahal iapun menyadari urusan ini tidak sedemikian sederhana. Tapi maklum juga, seorang
yang sudah mendekati ajalnya layaknya kalau berusaha menghibur dirinya sendiri.
Tiba-tiba Kwe Pian sian berseru: "Ji-heng, masa betul hendak kau bawa dia kembali ke atas
loteng itu?"
"Ya," jawab Pwe giok
"Kedua orang yang berada di sana itu jelas bukan manusia baik-baik, untung kau dapat
meninggalkan tempat itu, jika kau pergi lagi kesana, mungkin kau sendiri juga takkan kembali
lagi," seru Kwe Pian sian.
425
Pwe giok tersenyum hambar, katanya: "Jika aku harus mati, entah sudah berapa kali aku telah
mati."
"Perempuan begini masa ada harganya bagimu untuk membelanya dengan taruhan nyawamu,
Ji-heng?"
"Sekalipun orang semacam Kwe heng bila terancam bahaya juga akan ku tolong tanpa
pamrih." kata Pwe giok sembari bicara ia lantas melangkah pergi bersama Gin hoa nio.
Kwe Pian sian menggeleng sambil bergumam: "Orang macam begini sungguh jarang terlihat,
aku tidak mengerti untuk apakah dia....."
Pada saat itulah mendadak terdengar Gin hoa nio berteriak-teriak di kejauhan sana: "Ang lian
hoa, Kun Hay-hong, lekas kalian kemari, Kwe Pian sian bersembunyi di dapur hotel sana....."
Air muka Kwe Pian sian berubah pucat, dengan gemas ia menggerutu: "Keji amat hati
perempuan ini."
Ia lantas memondong Ciong Cing, lalu diambil lagi bungkusan yang disimpan di bawah
onggokan kayu bakar tadi.
Ciong Cing mendongak memandangnya, tiba-tiba ia mengucurkan air mata pula, katanya
dengan suara terputus-putus: "Aku......aku sudah begini. tapi.....tapi kau tidak melupakan
diriku, padahal sudah.....sudah banyak perempuan yang kau kenal, mengapa.....mengapa kau
masih begini baik padaku?"
"Jika kau tutup mulut, mungkin akan lebih baik lagi padamu" jengek Kwe Pian sian.
*****
Sembari berteriak-teriak, setiba di bawah rumah berloteng tadi Gin hoa nio sudah terengahengah,
dilihatnya Pwe giok sedang memandangnya, ia menyengir dan menjelaskan: "Betapa
takkan kubiarkan dia kabur begitu saja, dia bertindak kejam lebih dulu padaku betul tidak?"
Pwe giok menghela napas, katanya: "Jangan kau kira aku akan menyalahkan kau, sekarang
aku sudah tahu di dunia ini masih banyak orang yang terlebih busuk darimu. Kau baru
mencelakai orang lain apa bila orang bersalah padamu, tapi ada sementara orang....."
mendadak tidak dilanjutkan ucapannya, ia membalik badan dan hendak mengetuk pintu.
Tak terduga didalam rumah lantas ada orang berseru:" Pintu tidak terkunci, masuklah
sendiri!"
Gin hoa nio menggigit bibir, desisnya: "Kiranya dia sudah memperhitungkan kepergian kita
tadi pasti akan datang kembali, makanya kita dibiarkan pergi begitu saja."
Meski ucapannya sangat lirih, siapa tahu tetap terdengar juga oleh orang di dalam rumah.
Terdengar Cu Lui ji berucap dengan tak acuh: "Kan sudah kukatakan, kami tidak pernah
memohon sesuatu kepada orang lain, kami hanya menunggu orang lain akan datang memohon
kepada kami."
426
Gin hoa nio mengira Cu Lui ji berada di balik pintu, tak tahunya setelah pintu didorong, di
ruangan bawah situ ternyata tiada bayangan seorang pun.
Tapi suara Cu Lui ji lantas berkumandang dari atas loteng, katanya: Sesudah masuk pintu,
jangan kalian palang, bisa jadi sebentar lagi ada orang lain akan datang juga!"
Gin hoa nio menggertak gigi dengan mendongkol, pikirnya: Tajam benar telinga budak ini."
Sudah tentu ia tak berani bersuara lagi. Ia ikut Pwe giok naik ke atas loteng dengan perlahan,
tirai jendela tertutup rapat, suasana terasa seram.
Cu Lui ji kelihatan duduk di kursi kecil di samping tempat tidur, melirik saja tidak kepada
kedatangan mereka, dengan mata terbelalak nona cilik itu mengawasi Sacek atau paman ke
tiganya yang berbaring di tempat tidur.
Kedua orang yang terpancing masuk tadi juga kelihatan berlutut di kanan kiri tempat tidur,
sikap mereka kelihatan sangat ketakutan, seperti ingin kabur kalau bisa, tapi sayang, tenaga
untuk kabur ternyata tidak ada.
Si sakit tetap berbaring dengan memejamkan mata, air mukanya tampak mulai bersemu merah
pula, selang sejenak, mendadak uap mengepul di atas kepalanya.
Gigi Ko Tiong kedengaran bergemerutuk, tiba-tiba ia berseru dengan suara parau dan lemah:
"Am.....ampun Cianpwe, ampun....." makin lama makin lirih suaranya, sampai akhirnya
bahkan suaranya tak terdengar sama sekali.
Sebaliknya Cu Lui ji lantas berkata "Sacek hanya pinjam pakai tenaga kalian dan tidak ingin
mencabut nyawa kalian, bila setitik Kungfu kalian ini dapat diberikan kepada Sacek, ini kan
rejeki dan kebanggaan kalian."
Belum habis ucapannya mendadak tangan si sakit dikendorkan, kontan Ko Tiong berdua jatuh
terjengkang dengan napas ngos-ngosan seperti kerbau.
Cu Lui ji lantas mengusap keringat sang paman dengan sapu tangannya dan bertanya dengan
perlahan "Bagaimana Kungfu kedua orang ini?"
Si sakit menghela napas gumamnya "Ada nama tanpa isi.....ada nama tanpa isi.....Mengapa
dunia Kangouw sekarang penuh manusia-manusia yang bernama kosong belaka."
Sambil berkerut kening Cu Lui ji berkata: "Sudah selanjut ini usia kalian, mengapa kalian
tidak berlatih sebaik-baiknya, bilamana latihan dipergiat sedikit, tentu sekarang kalian akan
jauh lebih berjaya."
Ternyata dia menghendaki orang lain berlatih Kungfu sebaik-baiknya agar dapat
"dipinjamkan" kepada pamannya, ucapan yang mau menang sendiri ini sungguh keterlaluan,
sampai Pwe giok juga geleng-geleng kepala.
Tapi bagi Cu Lui ji, ucapannya itu ternyata sangat beralasan, bahkan makin omong makin
jengkel, mendadak sebelah kakinya mendepak, entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu kedua
427
orang yang menggeletak di lantai itu terus mencelat keluar jendela, selang sejenak baru
terdengar suara gemuruh genteng pecah, mungkin keduanya jatuh di atap rumah sebelah.
Bahwa dua orang itu berani menaksir gadis orang, apa yang mereka alami adalah akibat
salahnya sendiri. Tapi melihat cara anak dara itu turn tangan sekeji itu, mau tak mau Pwe giok
geleng-geleng kepala pula dan menghela napas gegetun.
Gin hoa nio lantas melangkah maju memberi hormat kepada Lui-ji, katanya dengan mengiring
tawa: "Nona Cu, tadi mataku buta dan berani berbuat sembrono terhadapmu. Kuharap engkau
jangan marah lagi dan sudi memaafkan diriku."
"Aku memang sudah biasa digampar orang, mana berani ku marah padamu," jawab Lui ji
dengan dingin.
Gin hoa nio tahu rasa gusar orang sebelum lagi hilang, mendadak tergerak pikirannya, ia terus
berlutut di depan si sakit, air matapun berderai, ratapnya: "Sejak kecil aku sudah yatim piatu,
bilamana Cianpwe sudi menolong jiwaku, selanjutnya sekalipun dijadikan kuda atau kerbau,
selama hidup akan kuladeni Cianpwe di sini."
Dia tidak langsung memohon pertolongan kepada Cu Lui ji, tapi malah memohon kepada si
sakit, inilah kecerdikan Gin ho nio. Ia tahu banyak lelaki berhati lemah terhadap perempuan,
lebih-lebih bila melihat ari mata perempuan. Sebaliknya perempuan terhadap perempuan
biasanya tidak kenal ampun. Kalau sakit ini sudah menyanggupi akan menolong tentu Cu Lui
ji tidak berani membantah.
Betul juga si sakit lantas membuka matanya dan memandangnya sejenak tiba-tiba ia bertanya:
"Apakah kau murid siau hun kiongcu?"
Pertanyaan mendadak ini membuat Pwe giok ikut terperanjat.
Dengan terkejut Gin hoa nio menjawab: "Dari mana....darimana Cianpwe....."
Mestinya dia hendak bilang "Darimana Cianpwe tahu" sebab dia sudah masuk ke siau hun
kiong, yaitu istana di bawah tanah tempat kediaman siau hun kiongcu, iapun sudah
menyembah kepada amanat tinggalan siau hun kiongcu yang terukir di dinding, jadi sudah
terhitung murid siau hun kiongcu.
Tapi tiba-tiba teringat olehnya jaman hidupnya Siau hun kiongcu hampir dimusuhi oleh setiap
tokoh dunia persilatan, jika dirinya mengaku sebagai murid Siau hun kongcu, lalu siapa pula
yang mau menolongnya?
Karena pikiran inilah dia menelan kembali sebagian ucapannya.
Si sakit lantas bertanya pula: "Apakah kau murid Siau hun kongcu?"
"Bukan!" jawab Gin hoa nio.
Sejenak si sakit memandangnya, lalu menghela napas panjang, katanya: "Sayang… sayang!"
"Sayang?" Gin hoa nio menegas dengan bingung.
428
Si sakit lantas memejamkan matanya dan tidak menghiraukannya lagi.
Beberapa kali Gin hoa nio sudah pantang mulut, tapi tidak berani bertanya, ia menjadi gelisah
dan mulut terasa kering.
Selang sejenak, tiba-tiba terdengar Cu Lui ji berucap: "Sudah belajar ilmu silat Siau hun
kiong, itu berarti sudah menjadi murid Siau hun kiongcu, dan kalau sudah menjadi murid Siau
hun kiong kenapa tidak berani mengaku? Orang yang lupa pada perguruan dan berkhianat
begini siapa pula yang sudi menolong kau?"
Keringat Gin ho nio berketes-ketes, ucapnya dengan suara gemetar: "No....nona bilang apa?"
Tapi Cu Lui ji juga lantas memejamkan mata dan tidak menggubris kepadanya.
Seketika keadaan menjadi hening dan menyesakkan napas. Gin hoa nio memandang si sakit
memandang pula Cu Lui ji, gigi mulai gemerutuk.
"Sayang, sungguh sayang!" tiba-tiba seorang berseru dengan menghela napas panjang.
Ternyata Kwe Pian sian adanya, entah sejak kapan dia sudah ikut naik ke atas dan berduduk
di ujung tangga sana.
Gin hoa nio tidak tahan lagi, dengan suara parau ia bertanya: "Sayang katamu? Sesungguhnya
apanya yang harus disayangkan?"
"Bilamana tadi kau mengaku sebagai murid Siau hun kiongcu, bukan mustahil nona Cu ini
akan menolong kau," kata Kwe Pian sian.
"Sebab apa?" tanya Gin hoa nio.
Kwe Pian sian tertawa, katanya: "Masa sampai sekarang kau tidak dapat menerka siapakah
nona Cu ini?"
"Memangnya siapa.....siapa dia?" tanya Gin hoa nio.
Mendadak Kwe Pian sian berdiri dan memberi hormat kepada Cu Lui ji, katanya: "Dengan
sendirinya nona Cu inilah puteri kesayangan Cu nio-nio dari Siau hun kiong."
Ucapan ini membikin Pwe giok ikut terkejut serentak Gin hoa nio lantas berdiri, tapi cepat ia
berlutut pula kebawah tanyanya dengan terbelalak terhadap Cu Lui ji: "Apakah....apakah
benar engkau puteri siau hung kiongcu?"
Namun Cu Lui ji sama sekali tidak menjawab, wajahnya tetap kaku dingin tanpa emosi. Anak
umur belasan tahun seolah-olah berubah menjadi nyonya setengah baya yang kenyang asam
garamnya kehidupan.
Sekujur badan Gin hoa nio terasa dingin, mendadak ia berteriak dengan suara parau: "Tidak,
tidak mungkin! Siau hun kiongcu sudah meninggal 30 atau 40 tahun, tidak mungkin
mempunyai anak perempuan sekecil ini!"
429
Kwe Pian sian menghela napas, katanya: "Dunia persilatan memang penuh rahasia dan
banyak teka-teki yang tak terpecahkan, perempuan muda belia seperti kau bisa tahu apa?"
"Apa.....apakah kau tahu?" tanya Gin hoa nio.
"Meski aku tahu sedikit, tapi tidak berani ku katakan" ujar Kwe Pian sian.
Mendadak si sakit menukas: "Kalau tahu, mengapa tidak berani dikatakan?"
Kwe Pian sian berbangkit dan memberi hormat katanya: "Jika demikian kehendak Cianpwe,
tentu saja Cayhe menurut." Lalu dengan perlahan ia bertutur: "Menurut cerita yang sudah
turun temurun, satu diantara rahasia besar dunia persilatan adalah mengenai teka-teki
kematian Siau hun kiongcu..."
"Tapi dengan mata kepalaku sendiri kulihat jenazahnya," kata Pwe giok.
"Konon itu bukan Siau hun kiongcu yang tulen" ujar Kwe Pian sian, "jenazah itu hanya
seorang pelayannya saja. Karena dia hendak menghindari pencarian musuh, maka
menggunakan akal begitu."
Meski dia sedang menjawab pertanyaan Ji Pwe giok, tapi matanya terus memandang si sakit.
Dilihatnya si sakit tetap berbaring tanpa bergerak, seperti sudah tertidur dan entah dengar
tidak ucapannya.
Kwe Pian-sian berdehem, lalu menyambung: "Meski tindak-tanduk Siau-hun-kiongcu sangat
dirahasiakan, tapi entah mengapa, akhirnya jejaknya diketahui orang, orang pertama yang
mengetahui rahasianya konon ialah Tonghong-sengcu..."
"Tonghong-sengcu?" Pwe-giok menegas. "Apa yang kau maksudkan adalah Tonghong Taybeng
dari Put-ya-seng (kota tanpa malam) di pulau Jit-goat-to yang merajai 72 pulau lautan
selatan itu?"
Kwe Pian-sian tersenyum, katanya: "Betul, tidak menjadi soal sekarang kau sebut namanya,
konon di masa jayanya, bilamana ada orang berani langsung menyebut namanya, maka orang
itu mungkin sukar hidup satu jam lebih lama lagi."
Mendadak si sakit membuka mata dan menatap Pwe-giok, tanyanya dengan bengis:
"Darimana kau tahu nama Tonghong Tay-beng?"
Pwe-giok merasa mata orang yang tadinya guram itu mendadak mencorong terang dan
menggetar sukma, meski diam2 terkejut, tapi dia tetap tenang saja dan menjawab: "Ayahku
pernah bercerita padaku bahwa Tonghong-sengcu ini adalah satu di antara ke sepuluh tokoh
terkemuka dunia persilatan. Cuma dia jauh bertempat tinggal di lautan selatan, kebanyakan
orang Kangouw tidak kenal kelihaiannya. Ayahku juga mengatakan bahwa kesepuluh tokoh
yang memang hebat itu kebanyakan jarang bergerak di dunia Kangouw, padahal ilmu silat
mereka rata2 di atas pimpinan ke-13 aliran dan perguruan yang paling ternama sekarang ini."
"Siapa2 saja ke sepuluh tokoh yang dimaksudkan?" tanya si sakit.
430
"Cayhe tidak ingat lagi seluruhnya, cuma masih ingat diantaranya kecuali Tonghong-sengcu
ini, ada lagi Nikoh sakti Eng-hoa Taysu dari Eng-hoa-kok. It-gun, si unta terbang dari gurun
utara, Lo cinjin dari Jing-sia-san, Sin-liong-kiam-khek, yang jejaknya sukar diraba itu, lalu
ada lagi Li Thian-eng dari Sin-hong-nia ...."
Belum habis ucapannya, si sakit seperti tidak sabar lagi mendengarkan, ia berkerut kening dan
mendengus: "Hm, jadi mereka itu yang dimaksudkan ke sepuluh tokoh tertinggi? Hm, mereka
sesuai?" Lalu dia memejamkan mata dan memberi tanda kepada Kwe Pian-sian: "Lanjutkan!"
Kwe Pian-sian berdehem pula, lalu menyambung: "Konon permusuhan Tonghong-sengcu dan
Siau-hun-kiongcu sangat dalam, setelah mendapat kabar di mana beradanya Siau-hunkiongcu,
segera ia mengumpulkan belasan Tocu dari ke-72 pulau laut selatan, diundang pula
Li-thian-ong, Oh-lolo dan lain2, dicarinya Siau-hun-kiongcu untuk menuntut balas."
"Ah, ingatlah aku," seru Pwe-giok mendadak. "Oh-lolo itupun termasuk satu di antara
kesepuluh tokoh tersebut, konon ilmu silatnya tidak terlalu tinggi, tapi kemahirannya
menggunakan racun konon jarang ada bandingannya di dunia ini."
"Tujuan Tonghong-sengcu mengundang Oh-lolo agar ikut menghadapi Siau-hun-kiongcu
justeru supaya meng.....Hk, hk...." mestinya Kwe Pian-sian hendak omong "menggunakan
racun untuk menyerang racun", tapi demi melihat wajah Cu Lui-ji yang masam itu, seketika ia
telan kembali ucapannya itu dengan batuk2.
"Apakah orang2 itu sudah mengetahui tempat sembunyi Siau-hun-kiongcu?" tanya Pwe-giok.
"Dengan sendirinya tahu," jawab Kwe Pian-sian.
"Dan dapatkah mereka menemukan Siau-hun-kiongcu?" tanya Pwe-giok pula.
"Mungkin ketemu," kata Kwe Pian-sian.
"Wah, pertarungan sengit itu pasti luar biasa dan jarang terjadi di dunia ini," ujar Pwe-giok.
"Lalu bagaimana kesudahannya?"
"Itulah akupun tidak tahu," kata Pian-sian.
"Kaupun tidak tahu?" Pwe-giok menegas.
"Ya, bukan cuma aku saja tidak tahu, mungkin di dunia ini juga tiada orang lain lagi yang
tahu," kata Pian-sian sambil menyengir.
"Memangnya sebab apa?" tanya Pwe-giok heran.
"Tindak-tanduk Tonghong Tay-beng dan rombongannya sudah tentu juga sangat
dirahasiakan, tapi pada waktu mereka hendak mulai bergerak, konon lebih dulu mereka
mengadakan pesta pora di Gak-yang-lau (nama restoran terkenal di tepi danau Tongting),
kebetulan di dekat Gak-yang-lau juga ada orang yang sedang pesiar dengan perahu di bawah
bulan purnama, tanpa sengaja mereka mendengar pembicaraan rombongan Tonghong-sengcu
431
itu, maka diketahuilah berkumpulnya tokoh2 top dunia persilatan itu adalah hendak
menghadapi Siau-hun-kiongcu."
"Dengan begitu beritanya lantas tersiar?" tanya Pwe-giok.
"Orang yang mendengar pembicaraan rombongan Tonghong-sengcu itu bukan orang yang
suka usil mulut, sebab itulah berita itu tidak tersiar dengan luas, namun orang Kangouw
umumnya memang sukar menjaga rahasia, akhirnya urusan itu tetap juga didengar orang,
diam-diam ada orang menyelidiki kejadian itu, betapapun mereka ingin tahu bagaimana
kesudahan pertarungan sengit antara tokoh-tokoh top itu."
"Apakah kejadian itu tetap tak dapat diselidiki mereka?" tanya Pwe giok pula.
"Ya, tidak ada yang berhasil menyelidikinya," jawab Kwe Pian sian.
"Sebab apa?" tanya Pwe giok.
Kwe Pian sian menghela nafas gegetun, katanya: "Sebab tokoh-tokoh top macam Tonghongsengcu,
Oh-lolo dan lain-lain itu untuk selanjutnya lantas lenyap tanpa bekas, seolah-olah
mereka mendadak hilang dari permukaan bumi ini, siapapun tak dapat menemukan mereka."
Terperanjat Pwe-giok, tanyanya: "Masa orang-orang itu sama.....sama disikat Siau hun
kiongcu..." dia pandang Cu Lui ji sekejap dan tidak melanjutkan ucapannya.
Kwe Pian sian menjawab: "Meski Siau hun kiongcu adalah tokoh ajaib di dunia persilatan,
tapi menurut perkiraan umum, rasanya tidak mungkin sekaligus dia dapat menyikat tokohtokoh
top sebanyak itu..." mendadak iapun pandang Cu Lui ji sekejap dan tidak bicara lebih
lanjut.
Mendadak terdengar si sakit bersuara: "Apakah kalian ingin tahu duduk perkara yang
sebenarnya dari peristiwa itu?"
"Sudah tentu sangat kuharapkan asalkan ada yang sudi memberitahu." ujar Kwe Pian sian
dengan tertawa.
"Baik, akan kukatakan kepada kalian," tutur si sakit. "Tonghong Tay-beng, Li thian ong, Ohlolo
beserta 19 Tocu ke 72 pulau di lautan selatan itu, seluruhnya telah kubunuh, satupun
tidak tersisa!"
Dia bicara dengan acuh tak acuh, seolah-olah kejadian itu hanya sesuatu yang biasa, tapi Kwe
Pian sian dan Ji Pwe giok jadi melongo.
Meski mereka tidak pernah menyaksikan sendiri betapa lihay Tonghong Tay-beng, Oh-lolo
dan lain-lain, tapi kalau Kungfu mereka diketahui jauh lebih tinggi daripada pimpinan 13
perguruan ternama jaman kini, maka dapatlah dibayangkan sampai dimana kelihaian mereka,
sedangkan para Tocu dari laut selatan itu konon juga bukan jago lemah, ada diantaranya yang
mampu menandingi Hui-hi-kiam-khek sehingga tiga hari tiga malam dan tetap belum
terkalahkan.
432
Tokoh lihay semacam begitu, satu saja sukar dilawan, apalagi sekaligus berkumpul sampai 20
orang, sebaliknya si sakit yang sudah kempas kempis ini menyatakan telah membunuh tokohtokoh
top itu tanpa tersisa satupun. Keruan Pwe giok dan Kwe Pian sian melongo kaget dan
tidak sanggup bersuara pula.
Dengan perlahan si sakit berkata lagi: "Selain itu, harus kuberitahukan bahwa ibu Lui-ji, Cu
Bi yang kalian kenal sebagai Siau hun kiongcu, dia meninggalkan istananya bukan lantaran
takut terhadap pencarian musuh, kepergiannya itu hanya karena sudah bosan dengan
kehidupan yang kesepian, tiba-tiba ia jatuh cinta kepada seorang dengan setulus hati, sebab
itulah dia tidak sayang mengorbankan segalanya dan pergi bersama orang yang dicintainya itu
untuk meneruskan sisa hidupnya sebagai suami istri seperti khalayak umumnya."
Pwe giok dan Kwe Pian sian memandangnya dengan terkesima, diam-diam mereka berpikir:
"Jangan-jangan orang yang dimaksudkan ialah kau sendiri? Jangan-jangan kau inilah ayah Cu
Lui ji?" Dengan sendirinya pikiran mereka ini tidak berani dikemukakan nya.
Si sakit itu tiba-tiba bertanya: "Apakah kalian ingin tahu siapakah yang berhasil merebut hati
Cu Bi itu?"
"Kalau Cianpwe keberatan untuk menjelaskan juga tidak menjadi soal," ujar Kwe Pian sian
dengan mengiring tawa.
Tapi si sakit lantas menjelaskan: "Orang itu adalah putera Tonghong Tay-beng, Tonghong Bi
giok."
Kwe Pian sian dan Pwe giok sama menghela nafas panjang, dalam hati mereka seperti agak
kecewa.
Dalam pada saat itu Cu Lui ji telah maju ke sana mendekap disamping si sakit.
"Pemuda itu bernama Bi-giok (kemala indah), dari namanya dapat dibayangkan dia pasti
seorang pemuda cakap," sambung si sakit. "Sebab itulah, meski Cu Bi sudah cukup
berpengalaman, dia jatuh hati juga terhadap bocah yang usianya hampir cuma separuh
umurnya itu. Tentunya kalian dapat memaklumi, perempuan seperti Cu Bi, apabila sudah
jatuh cinta benar-benar, maka tidak tanggung-tanggung lagi dan sukar dicegah."
Selagi Pwe giok dan Kwe Pian sian tidak tahu cara bagaimana harus menanggapi, tiba-tiba
Gin hoa nio menghela nafas dan berkata: "Ya, memang betul!"
"Tapi Tonghong Bi-giok itu selain cakap, ternyata jiwanya justeru sangat kotor dan rendah,"
kata pula si sakit.
Di depan Cu Lui ji dia mencaci-maki ayahnya, tapi anak dara itu ternyata tidak
menghiraukan, seolah-oleh dia memang pantas dicaci-maki. Diam-diam Pwe giok dan Kwe
Pian sian menjadi heran.
Terdengar si sakit menyambung lagi: "Sesudah Cu Bi menjadi isterinya, dia meninggalkan
segala kebiasaannya yang hidup mewah dan suka memerintah, dia menjadi isteri yang baik
seperti perempuan umumnya. Setiap hari dia mengurus rumah tangga dan meladeni sang
433
suami, sebab ia ingin melupakan segala apa yang telah lalu ditengah kehidupan yang masa ini,
betapa mendalam cintanya terhadap Tonghong Bi-giok tentu pula dapat kalian bayangkan."
Pwe-giok menghela nafas, katanya didalam hati: "Seorang lelaki bila mendapatkan isteri
sebaik ini, apa pula yang diharapkannya?"
Diam-diam Gin hoa nio juga membatin: "Kelak bilamana akupun jatuh cinta kepada
seseorang, entah aku akan bertindak begitu atau tidak?.....Tapi, aihh, jiwaku saja sukar
dipertahankan, untuk apa kupikirkan hal ini?"
Juga Kwe Pian sian diam-diam berpikir: "Siau-hun-kiongcu itu sudah kenyang merasakan
asam garamnya kehidupan manusia ia merasa hanya dengan memperlihatkan tindak nyata
itulah baru dapat membuktikan cintanya yang tulus, Tapi Tonghong Bi giok adalah pemuda
yang masih hijau, mungkin dia malah merasa kehidupan yang begitu itu terlalu kaku dan
bersahaja dan tidak menarik."
Begitulah tiga orang tiga macam pikiran, sudah tentu tiada seorangpun yang berani, memberi
komentar.
Si sakit lantas menyambung lagi: "Meski Cu Bi telah mencurahkan, cintanya dengan segenap
jiwa raganya, siapa tahu Tonghong Bi giok justeru bosan terhadap kehidupan mereka itu,
berulang-ulang ia membujuk agar Cu Bi mau kembali ke Siau hun kiong."
Kwe Pian sian tersenyum puas, ia bangga karena merasa dugaannya tadi cocok dengan
kejadian yang sebenarnya. Sedangkan Pwe giok diam-diam menggeleng kepala.
Gin hoa nio yang lantas bertanya: "Dan dia.....dia jadi pulang ke Siau hun kiong atau tidak?"
"Dengan sendirinya Cu Bi tidak mau" tutur si sakit. "Waktu itu usianya tidak tergolong muda
lagi, namun dia mahir bersolek sehingga tampaknya masih tetap cantik seperti bidadari, sebab
itulah Tonghong Bi giok juga masih berat untuk meninggalkan dia....."
Kwe Pian sian memandang sekejap ke arah Cu Lui ji, pikirnya: "Dalam usia sekecil dia ini
sudah dapat memikat kaum lelaki, maka tidak perlu ditanyakan lagi betapa cantik ibunya.
Sayang, aku sendiri sok mengaku kenyang main perempuan macam apapun, tapi ternyata
tidak dapat bertemu dengan perempuan seperti Siau hun kiongcu."
Gin hoa nio juga sedang membatin: "Biarpun Cu Bi sudah meninggalkan kehidupannya yang
mewah, tapi dalam hal-hal tertentu dia pasti dapat membuat Tonghong Bi giok lupa daratan.
Kelak entah aku dapat menandingi dia atau tidak?"
Ia pandang Pwe giok, anak muda itu tampak sedang menghela nafas gegetun.
Terdengar si sakit bertutur pula: "Umumnya perempuan yang suka berdandan paling pantang
melahirkan, dengan sendirinya Cu Bi juga tahu hal ini, sebab itulah selama hidup bersama dua
tahun iapun tidak mengandung. Tapi lambat laun usia Cu Bi juga makin bertambah, citacitanya
akan menjadi ibu juga bertambah keras, akhirnya ia tidak menghiraukan soal
kecantikan lagi dan lahirlah seorang puterinya."
Dia pandang Cu Lui ji sekejap, anak dara itu menunduk dengan air mata berlinang.
434
Gin hoa nio tidak tahan, ia bertanya: "Sesudah melahirkan anak, apakah dia betul-betul
berubah menjadi tua?"
Kalau orang lain sama asyik mendengarkan cerita yang misterius ini, hanya Gin hoa nio saja
yang justeru memperhatikan soal kecantikan Siau hun kiongcu.
Si sakit menghela nafas, berkata" "Ya, tidak sampai setengah tahun setelah melahirkan anak
ini perempuan yang maha cantik itu lantas berubah keriput dan ubanan, seketika seperti
bertambah berpuluh tahun lebih tua."
Gin hoa nio menghela nafas, ia tidak bicara lagi, tapi diam-diam membatin: "Jika demikian,
biarpun kepalaku harus dipenggal juga aku tidak mau melahirkan anak."
Tak terduga Pwe giok juga menghela nafas dan berkata: "Bila Tonghong Bi giok itu sudah
mulai timbul rasa.....rasa bosannya terhadap Cu kiongcu, maka selanjutnya...selanjutnya
mungkin...." dia memandang Cu Lui ji sekejap dan menelan kembali kata-kata yang belum
terucap itu.
Tapi si sakit lantas berkata: "Cu Bi sangat cerdik, masa dia tidak tahu Tonghong Bi giok
mulai berubah pikiran terhadapnya. Ia cuma tidak berpikir bahwa setelah melahirkan anak dia
bisa berubah tua secepat itu. Satu hari ia berkaca dan melihat rambut sendiripun sudah mulai
rontok, segera terpikir olehnya bahwa sekali ini pasti sukar merebut kembali hati Tonghong
Bi giok yang memang sudah goyah itu.
Diam-diam Gin hoa nio membatin: "Jika aku menjadi dia, akan lebih baik kubunuh saja
Tonghong Bi giok, dengan demikian, biarpun aku tidak mendapatkan dia lagi, orang lainpun
jangan harap akan memiliki dia."
Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia melirik ke arah Pwe giok, dilihatnya bekas luka di
muka anak muda itu, seketika ia menunduk dan tidak berani mendongak lagi.
Didengarnya si sakit sedang menyambung pula ceritanya: "Malam itu diam-diam ia menangis
sambil menimang anaknya, semalam suntuk dia menangis, esoknya sebelum lagi terang tanah
dia lantas membangunkan Tonghong Bi-giok."
Gin hoa nio tidak tahan dan menyela pula: "Apakah.....apakah mereka tidak tidur bersama di
dalam satu kamar?"
"Sejak anak ini lahir. Tonghong Bi-giok lantas tidur di suatu kamar tersendiri," jawab si sakit.
"Katanya dengan demikian supaya Cu Bi dapat momong anaknya dengan lebih baik,
padahal.....Hmk."
Diam-diam Kwe Pian sian membatin: "Hal inipun tidak dapat menyalahkan dia, bilamana
aku, tentu aku pun tidak sudi tidur bersama seorang nenek-nenek...." mendadak ia merasa
sorot mata si sakit tertuju kepadanya, cepat ia berkata dengan mengiring tawa: "Entah untuk
apakah Cu-kiongcu membangunkan dia?"
Orang sakit itu menghela nafas, katanya kemudian: "Mungkin kalianpun tak dapat menerka
apa maksudnya."
435
Seketika semua orang terdiam, siapapun tidak berani buka mulut. Selang sejenak barulah si
sakit menyambung lagi: "Tujuannya membangunkan dia adalah mohon diri kepadanya."
"Mohon diri?!" serentak Ji Pwe-giok, Kwe Pian sian dan Gin hoa nio sama melenggong.
"Betul," kata si sakit. "Dia tahu keadaannya tidak mungkin disukai lagi oleh Tonghong Bigiok,
ia menyatakan tak mau lagi membebani Tonghong Bi-giok, setelah berpisah bolehlah
Tonghong Bi giok mencari gadis lain yang sembabat dan berumah tangga lagi yang bahagia.
Cu Bi sendiri tak mau lagi bertemu dengan dia, yang diharapkannya adalah Tonghong Bi-giok
dapat hidup bahagia asalkan dapat membesarkan anak mereka, maka puaslah dia."
Bilamana membayangkan betapa pedih waktu Cu Bi mengucapkan katanya itu, tanpa terasa
hati semua orang ikut remuk redam.
Sampai-sampai Kwe Pian sian juga merasa terharu, pikirnya: "Tak tersangka Cu Bi benarbenar
mencintai Tonghong Bi-giok dengan suci murni, seorang lelaki bila mendapatkan cinta
setulus itu dari seorang perempuan, maka tidak penasaranlah hidupnya ini."
Pwe giok juga terharu, ia berkata: "Sesudah mendengar ucapan itu, apakah Tonghong Bi-giok
tega tinggal pergi begitu saja?"
Si sakit menjawab: "Tidak, dia tidak pergi, sebaliknya setelah mendengar kata-kata Cu Bi itu
lantas bersumpah segala, katanya cintanya terhadap Cu Bi takkan berubah sampai dunia
kiamat. Biarpun Cu Bi berubah tua dan betapa jelek juga dia tidak mungkin
meninggalkannya."
Pwe giok menghela nafas panjang, katanya: "Jika demikian, Tong hong Bi giok ini bukanlah
manusia yang tidak setia."
"Betul, dia memang bukan manusia yang tidak setia, sebab hakekatnya dia memang bukan
manusia," tukas si sakit mendadak. Sampai di sini wajahnya yang semula tenang-tenang itu
seketika berubah menjadi emosi, sorot matanya berapi, butiran keringatpun merembes keluar
di dahinya.
Perlahan Cu Lui ji mengusap keringat sang paman, air mata anak dara itupun berderai.
Semua orang sama ternganga menyaksikan kejadian itu, tiada yang berani buka suara.
Seketika suasana menjadi sunyi, hanya terdengar suara sedu-sedan Cu Lui-ji yang berduka
itu.
Selang sejenak, akhirnya ia si sakit menghela nafas, katanya: "Setelah mendengar sumpah
setia Tonghong Bi-giok itu, hati Cu Bi menjadi terharu dan berterima kasih, memangnya dia
juga merasa berat untuk berpisah, ia hanya rela berkorban baginya. Sekarang Tonghong Bi
giok tegas-tegas menyatakan setianya, dengan sendirinya Cu Bi juga tidak menyinggung lagi
soal berpisah."
"Jangan-jangan Tonghong Bi giok itu ada.....ada rencana tentu?" kata Pwe giok.
Si sakit tidak menjawab, ia melanjutkan ceritanya: "Sejak itulah Cu Bi mencurahkan segenap
tenaganya untuk menjaga anak dan merawat Tonghong Bi giok dengan lebih rajin. Lewat dua
436
tahun lagi, tiba-tiba ayah Tonghong Bi-giok, yaitu Tonghong Tay-beng itu bahkan membawa
serta 20 tokoh Bu-lim terkemuka."
Si sakit memandang sekejap Pwe giok bertiga, lalu menyambung: "Padahal tempat tinggal Cu
Bi itu sangat dirahasiakan, maklum dia sendiri musuhnya terlalu banyak. Lalu cara bagaimana
Tonghong Taybeng berhasil menemukan tempat kediamannya? Dapatkah kalian
membayangkan hal ini?"
"Ya Wanpwe juga sedang heran." kata Kwe Pian sian.
"Bukan cuma kau saja yang heran, waktu itu Cu Bi juga sangat heran," ujar si sakit. "Dia baru
paham duduknya perkara setelah dilihatnya tindakan Tonghong Bi-giok, ia tidak terkejut,
bahkan.... bahkan dia terus berlari menggabungkan diri dengan mereka..." seru si sakit dengan
suara parau, "brak, mendadak sebuah meja kecil di ujung tempat tidur dihantamnya hingga
hancur.
Tergerak hati Pwe giok, Kwe Pian sian dan Gin hoa nio, lamat-lamat mereka dapat menerka
bahwa kedatangan Tonghong Taybeng dan rombongannya itu bukan mustahil justru
Tonghong Bi-giok sendiri yang membocorkan tempat tinggalnya ini, namun mereka tidak
sampai hati untuk memberi komentar. Mereka mendengar nafas si sakit terengah-engah, jelas
gusarnya tidak kepalang.
Dengan menahan tangis Cu Lui-ji berkata: "Sacek, tenaga...tenagamu belum pulih,
untuk...untuk apa kau....."
"Di seluruh kolong langit ini belum ada orang lain yang tahu akan rahasia ini," seru si sakit
dengan suara bengis. "Sekalipun aku harus mati sehabis bercerita juga akan kubeberkan, tak
dapat kubiarkan ibumu menanggung nama busuk meski sudah mati."
Cu Lui-ji tak tahan lagi, ia mendekap di tempat tidur dan menangis sedih.
Dengan suara serak si sakit bercerita pula: "Kiranya binatang Tonghong Bi-giok itu diamdiam
telah berkhianat, pada tahun berikutnya setelah Cu Bi melahirkan, pada waktu
kecantikan Cu Bi sudah luntur, diam-diam binatang itu menyewa seorang saudagar yang biasa
berlayar keluar lautan, dengan upah besar dia minta orang itu menyampaikan suratnya ke Jitgoat-
to, ke Put-ya-seng, kepada ayahnya. Tentu saja dengan janji muluk-muluk dan upah
besar agar saudagar itu mau melaksanakan tugasnya. Cuma Jit goat to itu sangat sukar
ditemukan, sebab itulah baru beberapa tahun kemudian surat itu sampai di tangan Tonghong
Tay-beng..."
Meski sejak tadi semua sudah menduga akan kemungkinan kejadian ini, namun mereka belum
lagi berani percaya Tonghong Bi-giok itu ternyata sedemikian kejinya. Sekarang hal ini
diceritakan sendiri oleh si sakit, tanpa terasa semua orang ikut gemas juga, sampai-sampai
Kwe Pian sian dan Gin hoa nio juga merasa tindakan Tonghong Bi giok itu terlalu kejam.
Mendadak dengan sinar mata yang tajam si sakit melototi Kwe Pian-sian, katanya: "Ku tahu
kau inipun orang yang tak berbudi, tapi bila kau yang menjadi Tonghong Bi-giok, apakah kau
tega berbuat begitu.....? Coba jawab dengan sejujurnya!"
Kwe Pian sian jadi gelagapan: "O, Cayhe...Wanpwe..."
437
Ia merasa sinar mata si sakit setajam sembilu yang hendak membedah dadanya sehingga
untuk berdusta saja ia tidak berani. Ia menghela nafas, lalu menyambung dengan menyengir:
"Jika....jika Wanpwe, paling-paling ku tinggal pergi begitu saja dan habis perkara."
"Betul, bila orang lain, betapa keji orang itu, paling-paling cuma tinggal pergi saja dan habis
perkara." kata si sakit. "Tapi Tonghong Bi-giok si binatang itu benar-benar lain daripada yang
lain, ia tahu betapa tinggi Kungfu Cu Bi dan betapa keji caranya turun tangan, ia takut bila
melarikan diri mungkin Cu Bi akan menemukan kembali, ia kuatir jiwanya tetap tak bisa lolos
dari tangan Cu Bi."
"Tapi....tapi Cu-kiongcu kan sudah rela mau berpisah dengan dia, mengapa dia bertindak pula
sekeji itu?" tanya Pwe giok dengan gemas.
Jawab si sakit: "Meski Cu Bi hendak berpisah setulus hati dengan dia, tapi dia khawatir
tindakan Cu Bi itu hanya pura-pura saja dan hendak mengujinya. Apalagi waktu itu dia juga
sudah mengirim surat kepada ayahnya, demi kepentingan sendiri dan agar tidak menimbulkan
bahaya di kemudian hari dengan sendirinya ia harus menyaksikan kematian Cu Bi barulah dia
merasa aman. Jadi apa yang dikatakannya kepada Cu Bi itu hanya sekedar untuk
menghiburnya agar Cu Bi tetap tinggal di situ."
Mendengar sampai di sini, tanpa terasa Kwe Pian-sian ikut bicara: "keji amat hati orang ini,
sungguh sangat kejam." "Kemudian apakah... apakah Cu-kiongcu benar-benar mati di tangan
mereka?" tanya Pwe-giok.
Muka si sakit tampak masam dan tidak lantas menjawab, selang sejenak barulah ia berkata:
"Kukira kalian lupa bertanya sesuatu padaku."
"Dalam hal apa?" tanya Pwe-giok. "Kalian lupa tanya padaku dari mana ku tahu semua
kejadian ini." kata si sakit.
Mendingan dia tidak omong, begitu dia katakan, mau tak mau semua orang menjadi heran.
Memang betul juga, kalau peristiwa itu sedemikian dirahasiakan, darimana pula si sakit
mendapat tahu? bahkan sedemikian jelas seperti di menyaksikan dengan mata kepala sendiri
di tempat kejadian.
Pelahan-lahan orang sakit itu memejamkan mata lagi sambil berkata: "Selama hidupku paling
suka menyendiri, sejak mengalami sesuatu kejadian, aku lantas merasa di dunia ini tiada
seorangpun yang cocok bagiku, siapapun yang kutemui kalau bisa ingin ku mampuskan dia
dengan sekali bacok"
Belum habis dia bercerita kisah kehidupan Siau-hun kiongcu, tiba-tiba ia bicara tentang
wataknya sendiri. Tentu saja semua orang merasa heran, tapi mereka tetap diam saja dan
mendengarkan dengan cermat, tiada seorangpun berani menyeletuk.
Terdengar si sakit menyambung pula dengan pelahan: "Tapi tidak mungkin kubunuh habis
manusia di dunia ini, terpaksa akulah yang menjauhi mereka. Tatkala itu lagi musim semi,
disekitar pantai Hokciu di propinsi Hokkian banyak kapal dagang yang hilir mudik ke
kepulauan timur, ku pilih sebuah kapal layar yang kuat dan gesit, ku lompat ke atas kapal itu
dan mengusir seluruh anak buahnya, aku berlayar sendirian.
438
"Sudah tentu perbekalan di atas kapal itu cukup lengkap dan banyak sehingga aku tidak perlu
akan kelaparan dan kehausan, kurasakan jagat raya yang luas ini benar-benar bebas merdeka
dan tiada seorangpun yang akan mengganggu diriku lagi. Kurasakan hidup yang tenang dan
sunyi, rasa kesal yang terpendam sekian lama akhirnya terasa buyar."
Mendengar sampai di sini, samar-samar orang dapat merasakan cerita orang ini pasti ada
sangkut pautnya dengan kisah hidup Siau-hun-kiongcu itu, sangkut pautnya justeru terletak
pada kapal layar ini.
Terdengar si sakit menyambung pula ceritanya: "Entah sudah berapa lama aku berlayar, suatu
hari aku berduduk di buritan kapal dan menikmati matahari terbenam yang indah, tiba-tiba
kulihat sesosok tubuh manusia terombang-ambing di lautan yang luas itu, sekujur badan orang
itu berlumuran darah, dengan mati-matian berpegangan erat-erat pada sepotong kayu, keadaan
sangat payah dan tampaknya lebih banyak mampusnya daripada hidup."
Diam-diam Kwe Pian-sian membatin: "Bilamana orang ini masih bisa hidup, mungkin kau
takkan menolong dia. Tapi lantaran orang itu pasti akan mati, kaupun lagi iseng karena
kesepian, bisa jadi akan kau tolong dia malah."
Dalam pada itu si sakit telah berkata pula: "Waktu itu aku sudah terlalu benci kepada setiap
manusia di dunia ini, mestinya tiada niatku akan menolong dia, tapi melihat lukanya begitu
parah, aku menjadi tidak tega dan kutanya dia apa yang terjadi, siapa yang melukai dia
separah itu? Kupikir bilamana di sekitar situ ada bajak laut, kebetulan bagiku akan dapat ku
sikat mereka untuk melampiaskan rasa gemasku."
Mendengar uraian si sakit yang penuh emosi itu, diam-diam Pwe-giok membatin: "Meski
orang ini penuh dendam kepada sesamanya, tapi apapun juga dia tidak mau sembarangan
membunuh, malahan bajak laut yang ingin di tumpasnya, dari sini terbukti hati nuraninya
belum lagi gelap sama sekali, tindak tanduknya tetap bersifat seorang pendekar sejati."
Berpikir demikian, tanpa terasa timbul juga rasa hormatnya kepada si sakit ini.
Tapi mendadak si sakit melotot padanya dan bertanya: "Sekarang apakah kau tahu siapa orang
yang ku tolong itu?"
Pwe-giok melengak, benaknya bekerja cepat, serunya: "Jangan-jangan orang yang dititipi
surat oleh Tonghong Bi-giok itu"
Untuk pertama kalinya sorot mata si sakit yang dingin itu menampilkan secercah senyuman,
katanya: "Tepat sekali tebakanmu." Dengan cepat senyumnya itu lantas lenyap, dengan ketus
dia menyambung lagi: "Dan tahukah kau siapa yang turun tangan keji kepadanya?"
Belum lagi Pwe-giok bersuara, mendadak Kwe Pian-sian menyela: "Tonghong Tay-beng!"
"Betul," kata si sakit. "Rupanya setelah dia berhasil mencapai Put-ya-sia di Jit-goat-to, setelah
dia menyerahkan surat kepada Tonghong Tay-beng, selagi dia menunggu hadiah besar dari
penerima surat itu, siapa duga Tonghong Tay-beng malah mengerahkan anak buahnya,
segenap rombongan pengantar surat yang berjumlah 37 jiwa itu telah dibunuhnya sama sekali
tanpa sisa satupun. Untung pengantar surat itu hanya terluka parah dan belum tewas,
439
sekuatnya ia berusaha lari, tujuannya hanya ingin membeberkan rahasia yang diketahuinya
mengenai Tonghong Bi-giok."
"Mungkin dia memang ditakdirkan harus membeberkan rahasia yang diketahuinya, maka
Thian mengantarkan dia untuk bertemu dengan Cianpwe." sela Pwe-giok pula.
Tapi Kwe Pian-sian berkata dengan menyesal: "Jika aku menjadi dia, hakekatnya aku tidak
mau mengantarkan surat itu. Masa urusan sepenting itu harus dirahasiakan boleh diserahkan
begitu saja kepada orang yang baru dikenal, mana mungkin Tonghong Tay-beng membiarkan
dia pergi lagi dengan hidup setelah menerima surat itu."
"Tapi pada umumnya orang yang sudah biasa berlayar kian kemari rata-rata adalah orang
licin, dengan sendirinya segala kemungkinan juga sudah dipikirnya." kata si sakit. "Setelah
dia menerima upah dari Tonghong Bi-giok, cukup baginya surat itu dibakar saja dan segala
urusan beres, ke mana Tonghong Bi-giok akan mencarinya lagi. Tapi sayangnya dia telah
berbuat suatu kesalahan, timbul rasa ingin tahunya akan surat antarannya itu, ia pikir isi surat
itu pasti sangat penting, kalau tidak tentunya tidak perlu di suruh mengantar dengan upah
yang besar. Maka secara diam-diam ia telah mencuri baca isi surat itu."
Gin-hoa-nio menghela napas, katanya: "Jika aku menjadi dia, rasanya akupun ingin tahu apa
isi surat itu."
"Makanya orang macam begitu tidak perlu penasaran kalau mampus." jengek si sakit.
Gin-hoa-nio menunduk dan tidak berani bersuara lagi.
"Sesungguhnya apa isi surat itu? tanya Pwe-giok tiba-tiba.
"Binatang Tonghong Bi-giok itu telah menyatakan di dalam surat bahwa dia yang terpelet
oleh Cu Bi dan berada dalam bahaya, maka diharapkan pertolongan Tonghong Tay-beng.
Didalam surat itupun dinyatakan dengan tegas agar setelah terima surat itu, supaya Tonghong
Tay-beng memberikan upah kepada si pengantar surat satu jumlah harta yang tak habis
terpakai selama hidup.
"Mungkin pengantar surat itu telah terpancing oleh pesan Tonghong Bi-giok itu, maka
sedapatnya dia berusaha menyampaikan surat itu ke Put-ya-sia.
Padahal kalau dia mau berpikir secara cermat, di dunia ini mana ada kekayaan yang tak habis
terpakai selama hidup? Betapapun besar jumlahnya harta kekayaan juga ada kalanya akan
habis dan ludes, kecuali orang itu mati seketika, dengan begitulah baru benar-benar tidak
habis terpakai selama hidup."
"Betul, dengan pesan itu Tonghong Bi-giok justeru menghendaki ayahnya membinasakan si
pengantar surat apabila surat sudah diterimanya." sela Kwe- Pian-sian. "Cuma sayang, bocah
itu mungkin sudah keblinger oleh janji upah yang besar itu sehingga dia tidak memperhatikan
arti yang terkandung di dalam pesan itu."
"Bukan cuma begitu saja, justeru Tonghong Bi-giok sudah memperhitungkan di tengah jalan
pengantar surat itu pasti akan mencuri baca suratnya, maka di dalam suratnya dia sengaja
menulis pesan yang bermakna ganda itu untuk memancingnya," kata si sakit. "Manusia mati
440
karena harta, burung mati karena pangan, jadi orang itu memang pantas mampus. Namun apa
yang terjadi itupun dapat menggambarkan betapa kejinya Tonghong Bi-giok."
"Jangan-jangan lantaran Cianpwe merasa perbuatan orang ini terlalu keji, maka Cianpwe
ingin membunuhnya demi kesejahteraan umum, maka Cianpwe terus putar balik dari
pelayaranmu itu?" tanya Pwegiok.
"Kalau melulu soal ini mungkin aku takkan kembali lagi ke daratan sini." tutur si sakit dengan
pelahan. "Justeru sebelum mati orang itu telah bercerita pula apa yang dialaminya, saking
gusarnya barulah aku ingin bertindak."
"Apalagi yang diceritakan orang itu?" tanya Pwe-giok.
"Bahwa Tonghong Bi-giok mau menyerahkan surat sepenting itu kepadanya, tentunya orang
itupun mempunyai hubungan cukup erat dengan dia, betul tidak?" tanya si sakit.
"Ya, tapi Tonghong Bi-giok kan sudah hidup menyepi... "
"Tahukah kau bahwa untuk menyepi yang paling baik adalah di tempat yang ramai?" tanya si
sakit tiba-tiba.
Seketika Kwe Pian-sian berkeplok dan membenarkan, katanya: "Betul, untuk menyepi,
artinya bersembunyi menghindari pencarian orang, tempat yang baik memang tidak harus di
pegunungan atau tempat terpencil. Bila kau sembunyi di tempat begitu, terkadang malah lebih
mudah ditemukan orang. Tapi orang semacam Cu-kiongcu, bila bersembunyi di suatu kota
kecil biasa dan hidup tenteram seperti orang lain, tentu jejaknya akan sukar ditemukan orang."
Tergerak pikiran Pwe-giok, serunya: "He, jangan-jangan di kota kecil inilah dahulu Cukiongcu
bertirakat?"
Si sakit menghela nafas, tuturnya: "Kota ini dibilang kecil juga tidak kecil, dikatakan besar
juga tidak besar, tapi kehidupan di sini aman tenteram, penduduknya hidup rukun dan damai,
tak nanti sengaja mencari tahu rahasia pribadi orang lain. Sekalipun terkadang ada orang
Kangouw lalu di sini juga takkan menaruh perhatian keadaan di sini, jadi memang suatu
tempat tirakat yang baik. Sungguh cerdik Cu Bi dapat memilih tempat sebaik ini. Kalau saja
Tonghong Bi-giok tidak berubah pikirannya, sekalipun dia tinggal seratus tahun di sini juga
orang lain takkan menyangka nyonya rumah yang biasa di kota kecil ini sebenarnya adalah
Siau-hun-kiongcu dan dikabarkan sudah mati itu."
"Ya, memang benar tak terduga oleh siapapun juga," kata Pwe giok.
"Pelaut yang dititipi surat oleh Tonghong Bi-giok itu bernama Li Bo-tong, aslinya juga
penduduk kota kecil ini, cuma sejak muda dia sudah mengembara ke mana-mana sehingga
hampir dilupakan oleh penduduk setempat. Kebetulan tahun itu dia pulang kampung halaman,
kebetulan pula tempat tinggalnya sebelah menyebelah dengan rumah Cu Bi. Pada waktu
Tonghong Bi-giok mengetahui orang she Li ini tidak lama akan berlayar lagi, pada saat itulah
dia lantas bersahabat dengan dia."
"Cu-kiongcu adalah orang yang cerdik, masa sedikitpun dia tidak menaruh curiga?" tanya
Kwe Pian sian.
441
Si sakit menjawab: "Waktu itu Cu Bi mencurahkan segenap perhatiannya untuk merawat
anaknya, apalagi pergaulan antara tetangga kan juga jamak," kata si sakit.
"Betul, dia sudah bertempat tinggal di situ, kalau tidak bergaul dengan tetangga tentu akan
menimbulkan curiga orang lain malah," ujar Pwe giok. "Apalagi orang biasa seperti Li Bongtong
itu tentu juga takkan tahu-menahu rahasia persembunyiannya."
"Tapi penduduk di sekitar sana tahu Cu Bi adalah isteri yang baik dan Ibu Rumah Tangga
yang teladan rajin dan hemat, bahkan sangat pintar meladeni sang suami," kata orang sakit itu.
"Sepulangnya Li Bong tong di rumah tentu iapun mendengar cerita tetangga itu," ujar Kwe
Pian sian.
"Betul, makanya setelah membaca surat Tonghong Bi-giok itu, ia sangat terkejut," tutur si
sakit. "Sungguh ia tidak percaya seorang isteri teladan dan ibu rumah tangga yang terpuji itu
asalnya adalah seorang iblis yang ditakuti. Tapi iapun menganggap Tonghong Bi-giok tidak
pantas berbuat khianat terhadap istrinya sendiri. Namun waktu itu ia sudah keblinger oleh
janji upah besar, yang terpikir olehnya hanya harta benda yang takkan habis digunakan
selama hidup. Ketika mendekat ajalnya barulah timbul hati nuraninya, baru dia menceritakan
seluk beluk urusan itu padaku."
Habis bicara, kembali tangannya hendak menggabruk meja lagi. Karena sepanjang tahun dia
berbaring di situ, dalam anggapannya di sebelahnya adalah meja kecil, tak teringat olehnya
bahwa meja itu tadi sudah digebrak hingga hancur.
Dengan sendirinya gebrakan ini mengenai tempat kosong dan mungkin akan mengenai
pinggir tempat tidur dan bisa jadi tempat tidur itupun akan hancur. Untunglah mendadak Cu
Lui ji menjulurkan tangannya. dengan enteng tangan sang paman dipegangnya sambil berkata
dengan suara halus: "Sacek, maukah kau jangan marah-marah lagi?"
Tindakan Cu Lui ji itu mungkin takkan mengherankan orang lain, tapi bagi pandangan Pwegiok
dan Kwe Pian sian yang sudah tergolong jago silat kelas satu, melihat itu hati mereka
jadi terkesiap.
Maklumlah, betapa cepat dan betapa kuat pula gebrakan tangan si sakit, tapi dengan ringan
saja Cu Lui-ji dapat menangkapnya.
Diam-diam Kwe Pian-sian membatin: "Budak cilik ini selain mahir memikat lelaki,
Kungfunya ternyata juga tidak rendah dan tampaknya tidak di bawahku."
Padahal si sakit sudah dalam keadaan senin-kemis, tapi masih mampu mendidik seorang nona
cilik dengan Kungfu setinggi itu, mau tak mau Kwe Pian sian merasa ngeri.
Dilihatnya tangan Cu Lui ji yang kecil itu sedang mengelus tangan si sakit yang kurus seperti
cakar itu, lambat laun rasa gusar si sakit pun mereda, ia menghela nafas dan berkata:
"Sesudah mendengar penuturan Li Bong-tong waktu itu, aku tidak tahan akan rasa gusarku,
sungguh tak pernah terpikir olehnya di dunia ini ada manusia tak berbudi semacam Tonghong
Bi-giok itu. Segera kuminta Li Bong-tong melukiskan letak pulau kediaman Tonghong
442
Taybeng. Habis memberi keterangan Li Bong tong lantas menghembuskan nafas
penghabisan."
"Dan Cianpwe lantas memburu ke Put-ya-sin di Jit-goat-to untuk mencari Tongheng Taybeng?"
tanya Pwe giok.
"Betul," jawab si sakit. "Cuma sayang, waktu itu Tonghong Tay-beng sudah meninggalkan
pulau nya. Dalam gusarku, ku obrak-abrik seluruh pulau itu hingga morat-marit. Ku pikir
kepergian Tong hong Tay-beng itu tentu akan mengundang bala bantuan lagi, untuk itu tentu
akan makan waktu, jika segera menyusul ke Li-toh-tin, bisa jadi jiwa Cu-Bi dapat
kuselamatkan. Maka aku lantas berlayar pulang ke daratan sini, siapa tahu.....kedatanganku
masih tetap terlambat satu langkah."
Sampai di sini, bagi Kwe Pian sian dan Gin hoa nio kisah Siau hun kiongcu itu sudah jelas
sebagian besar, tapi diam-diam merekapun heran atas diri si sakit, pikir mereka: "Jika orang
ini sudah sedemikian benci terhadap sesamanya, saking bencinya seakan-akan baru puas
bilamana setiap manusia di dunia ini sudah mau terbunuh habis, lalu untuk apa dia terburuburu
pulang ke sini hanya untuk menolong Cu Bi?"
Hanya Ji Pwe giok saja yang berbeda pendapat, meski masih muda, tapi dia sudah kenyang
dengan macam-macam pengalaman, iapun seorang yang berperasaan halus dan pecinta yang
luhur, lamat-lamat ia dapat menerka isi hati si sakit itu, diam-diam ia berpikir: "Dari nada
ceritanya, sebabnya dia berubah menjadi ekstrim dan ingin membunuh setiap manusia di
dunia ini, jangan-jangan lantaran dia sendiri juga mengalami persoalan yang menyakitkan
hati, misalnya": dikhianati kekasihnya, maka dia dendam kepada setiap orang yang berhati
palsu dan suka mengkhianati. Bahwa dia memburu ke Li-toh-tin katanya hendak menolong
Cu Bi, siapa pula yang tahu bahwa tujuannya justeru hendak membunuh Tonghong Bi-giok
yang tidak setia terhadap anak istrinya itu."
Dihatinya si sakit telah memejamkan mata pula dengan nafas terengah-engah.
Orang bicara tampaknya tidak perlu tenaga tapi lantaran dia terkenang kepada kejadian
dahulu, karena emosi, jantungnya lantas berdetak keras.
Mestinya Pwe giok ingin bertanya kisah lanjutan Siau-hun-kiongcu, cara bagaimana dia mati
dan bagaimana pula akhirnya dengan nasib Tonghong Bi-giok, juga tentang Tonghong Taybeng
yang katanya juga telah dibunuh semuanya olehmu, mengapa pula kau sendiri bisa
terkena racun separah ini?
Namun pertanyaan itu hanya berputar saja dalam benak Pwe giok, ia tidak tega berucap
melihat keadaan si sakit yang payah itu.
Didengarnya Cu Lui-ji berkata: "Tentu kalian sudah lapar, nasi sudah kusiapkan, biarlah
kuambilkan untuk kalian,"
Cepat Kwe Pian sian berbangkit dan berkata "Ah, mana berani kami merepotkan nona?!"
Tapi Cu Lui ji tidak menanggapinya, ia mengusap air matanya, lalu turun ke bawah loteng.
443
Gin hoa nio tidak tahan lagi, cepat ia berseru dengan suara gemetar: "Nona, kumohon sudilah
engkau menolong jiwaku, jika terlambat, mungkin....."
Tanpa menoleh Cu Lui ji mendengus, ucapnya: "Barang siapa mendapatkan kitab pusakaku,
berarti dia telah masuk perguruanku. Selamat atau celaka, untung atau malang, apapun yang
akan terjadi tetap harus tunduk kepada perintahku. Barang siapa tidak taat kepada perintahku
dia pasti akan binasa...."
Apa yang diucapkannya itu adalah amanat Siau-hun-kiongcu yang terukir di dinding istana di
bawah tanah itu. Tempo hari, setelah Pwe giok dan Kim-yan-cu mendapatkan kitab pusaka
Siau hun pi-kip, lalu timbul bermacam-macam kejadian. Karena itulah kitab pusaka itu
mereka buang di sembarang tempat. Kemudian terjadi lagi hal-hal lain dan merekapun tidak
memperhatikan kitab pusaka itu sehingga dapat ditemukan Gin hoa nio.
Tentu saja Gin hoa nio kegirangan seperti mendapat rejeki nomplok. Dapat kitab pusaka itu,
setiap ada tempo senggang ia lantas berlatih menurut petunjuk di dalam kitab. Dasar
wataknya memang berdekatan dengan isi pelajaran kitab itu, dengan sendirinya hasilnya juga
memuaskan dan maju pesat.
Sebab itulah begitu melihatnya tadi si sakit lantas mengetahui pada tubuh Gin hoa nio
terdapat ilmu memikat ajaran Siau hun kiongcu, karena itulah ia menegurnya apakah dia
murid siau hun kiongcu.
Tapi lantaran kitab pusaka itu diperolehnya dengan tidak halal, ia tidak berani mengaku.
Orang yang tidak mengakui perguruannya sendiri dalam dunia persilatan dianggap khianat
dan dosanya tak terampunkan. Sekarang di dengarnya ucapan Cu Lui-ji yang cocok amat
dengan amanat tinggalan Siau-hun-kiongcu itu, seketika hati Gin-hoa-nio tergetar, tubuh
menjadi lemah dan jatuh terkulai.
Mendadak bayangan Cu Lui-ji berkelebat ke atas loteng lagi. Gin-hoa-nio ketakutan dengan
mandi keringat. Tak terduga yang di tuju Cu Lui-ji bukanlah dia melainkan Kwe Pian-sian,
dengan mata melotot, ia bertanya, "Nona di bawah itu apamu?"
"O, dia ... dia kawanku," jawab Kwe Pian-sian dengan tergagap.
"Hmm, kukira tidak cuma kawan saja?!" jengek Lui-ji.
"Pandangan nona memang tajam," terpaksa Kwe Pian-sian mengakui dengan menyengir.
"Jika begitu, mengapa kau tinggalkan dia di bawah tanpa menghiraukannya ?" damprat Lui-ji.
Diam-diam Kwe Pian-sian mendongkol, ia pikir justeru kalian yang mencelakai dia, masa
sekarang kau malah membela dia dan menyalahkan aku ?
Walaupun begitu pikirnya, sudah tentu tidak berani di utarakannya, dengan menyengir, ia
menjawab, "Kukira tidak .... tidak leluasa ku bawa dia naik turun, maka kubiarkan dia
menunggu saja di bawah."
"Hmm," Cu Lui-ji menjengek, "kiranya kaupun seorang yang tak berperasaan."
444
Karena dituduh "tidak berperasaan", seketika Kwe Pian-sian berkeringat dingin. Ia tidak
berani bersuara lagi, cepat dia berlari ke bawah dan membawa Ciong Cing ke atas.
Selang tidak lama, Cu Lui-ji naik lagi ke atas dengan membawa satu bakul nasi yang masih
mengepul. Cuma sekarang hati setiap orang sama merasa tertekan, siapapun tidak bernapsu
makan lagi.
Selagi Pwe-giok termenung sambil memegangi mangkuk nasinya, dalam benaknya bergolak
bermacam-macam persoalan. Pada saat itu tiba-tiba si sakit mendesis, "Sssst, ada orang
datang!"
Suasana saat itu sunyi sepi, sampai suara anginpun tidak terdengar, mana ada suara orang
segala.
Diam-diam Pwe-giok mengira si sakit ini sudah terlalu lama menggeletak di tempat tidurnya
sehingga telinganya mungkin juga rada tuli.
Tapi selang sejenak mendadak di bawah ada suara pintu di ketuk suaranya rada aneh, seperti
sesuatu alat tajam yang di gunakan untuk mengetuk pintu.
Lalu suara seorang berseru dengan lantang, "Sepada! Adakah orang di atas ? Wanpwe Dian
Ce-hun datang mengantarkan surat!"
"Surat ? Mengantar surat apa ?" gumam Cu Lui-ji sambil berkerut kening, "Siapa pula Dian
Ce-hun ini ?"
Sembari bergumam, ia terus turun ke bawah.
Tiba-tiba si sakit memberi pesan, "Ginkang dan Lwekang orang ini tidak lemah, bahkan
seperti pernah berlatih kungfu sebangsa Eng-jiau-kang (tenaga cakar elang), jika kau tidak
mampu merintangi dia, biarkan saja dia naik ke sini!"
"Ku tahu," jawab Lui-ji. Walaupun begitu ucapnya, namun di dalam hati merasa penasaran.
Pwe-giok tahu dari suara ketukan pintu itulah si sakit menilai kungfu pendatang yang
mengaku bernama Dian Ce-hun itu dan dari suaranya dapat diukur pula tenaga dalamnya.
Selain itu, kedatangannya itu ternyata tidak di dengar oleh orang-orang yang berada di atas
loteng, dari sini dapat diketahui Ginkangnya pasti sangat tinggi.
Setelah berpikir, Pwe-giok lantas berkata, "Wanpwe juga ingin turun untuk melihatnya."
Setiba di bawah, Pwe-giok melihat pintu sudah dibuka oleh Cu Lui-ji. Di bawah cahaya sang
surya yang terang benderang, di luar pintu tampak tegak seorang pemuda jangkung dan
berwajah cakap serta berbaju ungu.
"Kau yang mengantar surat kemari?" tegur Lui-ji. "Dimana suratnya?"
Orang yang mengaku bernama Dian Ce-hun itu memandang sekejap kepada Lui-ji, jawabnya
dengan tersenyum. "Surat ini tidak boleh kuserahkan kepada anak kecil, bolehkah aku masuk
ke situ ?"
445
Dia bicara dengan tersenyum, namun sikapnya angkuh.
Lui-ji tersenyum, jawabnya, "Hanya pengantar surat saja mana boleh sembarangan terobosan
di tempat orang ? Jika suratmu tidak mau di serahkan padaku, silahkan kau bawa pulang
saja."
"Tajam amat mulut nona cilik," kata Dian Ce-hun dengan tertawa, "Tapi apakah nona
sanggup menerima surat ku ini ?"
Dia benar-benar mengeluarkan sepucuk surat dari dalam baju dan disodorkan lurus ke depan
dengan di pegang kedua tangan. Surat itu disodorkan tepat ke Cu Lui-ji, tampaknya sopan dan
sangat menghormat.
Namun Pwe-giok dapat melihat kedua tangan orang sedikit melengkung, jelas mengandung
tenaga dalam yang sukar di jajaki, tampaknya saja tenang-tenang, tapi diam-diam siap siaga.
Apabila Lui-ji benar-benar menjulurkan tangan untuk menerima surat itu, bisa jadi nona cilik
itu akan kecundang.
Selagi Pwe-giok hendak memburu maju, tiba-tiba Lui-ji berkata dengan ketus, "Boleh kau
taruh suratmu di lantai saja!"
Gemerdep sinar mata Dian Ce-hun, ucapnya dengan tersenyum, "Masa nona cilik tidak berani
menerima suratku ini ?"
"Hmmm, percuma kau ini kelihatan seperti orang terpelajar, masa persoalan lelaki dan
perempuan tidak boleh bersentuhan juga tidak tahu?" jengek Lui-ji.
Dian Ce-hun tertawa, katanya, "Haha, lihay amat nona cilik, pantas sekian banyak orang
terjungkal di tanganmu."
Di tengah suara tertawanya, kedua tangannya terus mendorong ke depan bersama sampul
surat yang di pegangnya. Tampaknya sampul surat itu hanya benda yang tipis, tapi terpegang
di tangannya tiada ubahnya seperti baja tipis yang tajam.
Belum lenyap suaranya, angin berkesiur, tahu-tahu Dian Ce-hun sudah menyelinap lewat di
samping Lui-ji tanpa menyenggol ujung bajunya.
Betapapun, Lui-ji tidak sempat lagi untuk mencegatnya.
Terdengar Dian Ce-hun berkata dengan tertawa, "Lelaki dan perempuan tidak boleh
bersentuhan, biarlah ku antar surat ini langsung ke atas saja."
Tapi mendadak seorang menanggapi dengan tegas, "Tidak perlu, serahkan padaku di sini kan
sama saja."
Suara Dian Ce-hun terhenti seketika, dilihatnya seorang pemuda maha cakap dan sopan
santun sudah berdiri di ujung tangga dengan mengulum senyum, tempat berdiri pemuda cakap
itu tepat merintangi jalan lewatnya.
446
Biasanya Dian Ce-hun sangat angkuh, menganggap dirinya maha cakap dan tiada
bandingannya. Tapi demi melihat pemuda di depan ini, mau tak mau ia terkesiap dan merasa
kalah. Segera ia bertanya dengan tertawa, "Apakah Anda tuan rumah di sini?"
Pemuda cakap itu adalah Pwe-giok, ia menjawab, "Tuan rumah sedang tidur siang, hendaklah
anda...."
Tapi Dian Ce-hun lantas memotong dengan tertawa, "Jika Anda bukan tuan rumahnya, mana
boleh kau terima surat ini ?"
Segera ia mendorong ke depan pula sampul surat itu dengan kedua tangannya. Ternyata Pwegiok
tidak mengelak dan juga tidak menghindar, sebaliknya kedua tangannya lantas memapak
tangan lawan, gerak tangannya cepat luar biasa.
Alis Dian Ce-hun berjengkit, dampratnya pelahan: "Apakah kau benar-benar ingin menerima
surat ini? Kau mampu?”. Mendadak jarinya menjentik, sampul surat diselentik masuk ke
dalam lengan baju sendiri, sedangkan tangannya terus menindih ke bawah.
"Plak", seketika empat tangan beradu dan kedua orang sama-sama terkejut.
Maklumlah, pembawaan tenaga sakti Ji Pwe-giok jarang ada bandingannya, tapi pemuda she
Dian ini ternyata mampu menindih tangannya hingga tertekan beberapa inci ke bawah, hampir
saja Pwe-giok tidak sanggup menahannya.
Jilid 18________
Sebaliknya Dian Ce-hun juga tidak menyangka pemuda cakap yang tampaknya lemah lembut
ini, ternyata memiliki tenaga sakti sekuat ini. Dia menahan dari atas, jadi posisinya lebih
menguntungkan, tapi ternyata kedua tangan lawan ternyata tetap keras bagai baja, betapapun
dia mengerahkan tenaga lagi tetap tak mampu menekannya ke bawah.
Karena adu tenaga, hanya sekejap saja kedua orang sudah sama-sama berkeringat. Diam-diam
Dian Ce-hun menyesal, tidak seharusnya dia beradu tenaga dalam dengan lawan.
Dalam pada itu, diam-diam Cu Lui-ji telah memutar ke samping Dian Ce-hun, katanya:
"Silahkan kalian mengukur tenaga di sini, suratnya serahkan saja kepadaku."
Sebelah tangannya segera terjulur dari belakang untuk meraba sampul surat yang tersimpan di
dalam baju Dian Ce-hun.
Dalam keadaan begini, bilamana Dian Ce-hun menghindar, tentu bagian depannya akan tak
terjaga dan peluang itu akan memberi kesempatan kepada Ji Pwe-giok untuk menyerangnya.
Apalagi ketika tangan kiri Cu Lui-ji meraba suratnya, tangannya yang lain juga sudah siap
untuk menyerang.
Diam-diam Pwe-giok berkerut kening, menyaksikan tindakan Cu Lui-ji itu, ia merasa tidak
pantas nona itu mengancam orang selagi lawan kepepet. Tapi keadaan sudah terlanjur begitu,
jika dia menarik diri, mungkin lawan yang terus mendesak dan dirinya yang bakal celaka.
447
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara orang tertawa panjang. Bayangan tubuh
Dian Ce-hun mendadak melayang ke atas.
Pwe-giok berdiri di ujung tangga, jarak papan loteng dengan kepalanya tidak lebih dari
setengah meteran, siapa tahu tubuh Dian Ce-hun yang melayang ke atas itu dapat memberosot
ke atas loteng menempel papan loteng selicin ikan.
Ginkang yang diperlihatkan ini benar-benar sangat mengejutkan dan sukar dibayangkan.
Baik Pwe-giok maupun Cu Lui-ji sama terkejut.
Terdengar Dian Ce-hun bersuara di atas loteng, "Wanpwe Dian Ce-hun ingin menyampaikan
surat, mohon cianpwe sudi menerima."
Padahal saat itu dia sudah melihat jelas orang berbaring di tempat tidur, andaikan si sakit
tidak mau menerimanya, juga sukar mengelakkan diri.
Orang sakit itu hanya memandang Dian Ce-hun sekejap dengan tak acuh, lalu bertanya,
"Kedatanganmu ini atas suruhan siapa ?"
"Inilah suratnya, setelah cianpwe membacanya tentu akan tahun sendiri," jawab Dian Ce-hun.
Kedua tangannya lantas menjulur ke depan, perlahan ia mengangsurkan sampul surat yang
dibawanya, tanpa berkedip ia pandang si sakit.
Sementara itu Cu Lui-ji sudah memburu ke atas dan berseru, "Awas tangannya, sacek .... "
Belum lenyap suaranya, mendadak tangan si sakit menggapai perlahan, entah dengan cara
bagaimana tahu-tahu sampul surat yang dipegang erat-erat oleh kedua tangan Dian Ce-hun
telah berpindah ke tangan orang lain.
Air muka Dian Ce-hun rada berubah dan menyurut mundur dua-tiga langkah, katanya sambil
membungkuk, "Tugas Wanpwe sudah selesai, sekarang juga kumohon diri." Sambil bicara ia
melangkah mundur dua tiga tindak sehingga menyurut sampai di ujung tangga, tapi sebelum
melangkah ke bawah loteng, mendadak ia turun tangan secepat kilat, tahu-tahu pergelangan
tangan Cu Lui-ji dicengkeramnya. Lui-ji tidak pernah menduga akan disergap begitu, keruan
badannya lantas lemas dan tak berdaya, ia sempat berteriak, "Sacek ... ."
Dian Ce-hun lantas berkata dengan suara tertahan, "Bilamana kalian memikirkan keselamatan
nona ini, hendaklah kalian jangan sembarangan bergerak, Cayhe hanya ingin membawanya
pergi menemui seseorang, habis itu pasti akan ku antar dia pulang ke sini dengan selamat."
Sambil bicara, selangkah demi selangkah ia terus mundur ke bawah loteng, semua orang
hanya menyaksikan kepergiannya dengan mata terbelalak tanpa bisa bertindak apa-apa.
Si Sakit sedikitpun tidak kelihatan cemas, dia malah bertanya lagi dengan perlahan, "Hendak
kau bawa dia untuk menemui siapa ?"
"Guruku ... " jawab Dian Ce-hun.
448
Mendadak si sakit mendengus, "Hmm, jika dia ingin menemuinya, suruh dia sendiri datang ke
sini."
Sambil bicara mendadak tubuhnya melayang melintang dari tempat tidurnya.
Ketika berbaring tampaknya dia sudah kempas-kempis dan tak dapat bergerak, tapi sekarang
begitu melayang ke atas, gerak tubuhnya itu tampak begitu gesit dan tangkas.
Wajah Dian Ce-hun menjadi pucat, bentaknya, "Apakah Cianpwe tidak memikirkan dia lagi
..." belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong si sakit sudah menubruk ke arahnya segera
lehernya hendak mencengkeramnya.
Ketika Dian Ce-hun merasa angin keras menyambar tiba, begitu kuat sehingga napaspun
terasa sesak. Mana dia sempat mencelakai Cu Lui-ji lagi, ingin lari saja tidak sempat.
Terpaksa ia mengerahkan segenap tenaga, kedua tangannya menangkis ke atas.
Tak terduga si sakit yang mengapung di atas udara itu ternyata dapat melakukan perubahan
dengan gesit, sekali putar badan, secepat kilat urat nadi pergelangan tangan Dian Ce-hun telah
di kena di cengkeramannya.
Sekejap itu, semua orang sama melenggong menyaksikan apa yang terjadi itu. Semua orang
tahu si sakit ini pasti bukan tokoh sembarangan, tapi tiada yang menduga kungfunya
sedemikian mengejutkan. Kungfu dari perguruan dan aliran manapun di dunia ini kalau
dibandingkan gerakan si sakit barusan. Hakekatnya, boleh dikatakan seperti permainan anak
kecil belaka.
Diam-diam Kwe Pian-sian terkejut, pikirnya, "Bocah she Dian ini benar-benar cari penyakit
sendiri. Sekarang tangannya sudah dicengkeram orang, mungkin segenap kungfunya akan
dipinjam pakai juga oleh orang.
Bara saja terlintas pikiran demikian, tiba-tiba terdengar si sakit mendamprat perlahan, "Inilah
sedikit hajar adat padamu agar selanjutnya kau tahu diri. Nah, enyahlah kau!"
Di tengah bentakannya itu, tubuh Dian Ce-hun telah diangkatnya ke atas terus
dilemparkannya ke luar jendela seperti anak kecil lempar bola. Sampai lama sekali baru
terdengar suara "bluk" di luar sana.
Habis itu, si sakit melayang kembali ke tempat tidurnya dan berbaring pula seperti semula,
hanya napasnya tampak terengah-engah.
Selang sejenak, tiba-tiba terdengar suara Dian Ce-hun berkumandang dari luar jendela sana,
"Kungfu Cianpwe sungguh hebat luar biasa kelak Wanpwe masih ingin minta petunjuk lagi."
Bicara sampai kata terakhir itu suaranya kedengarannya sudah berada di tempat beratus
tombak jauhnya. Nyata anak muda ini tidak cuma kepala batu, dan tidak kenal apa artinya
kapok, bahkan nyalinya juga besar dan tidak takut apapun.
Diam-diam timbul rasa suka dan sayang dalam hati Pwe-giok terhadap pemuda she Dian itu,
pikirnya dengan gegetun, "Sungguh lelaki yang hebat, entah dia anak murid siapa?"
449
Di dengarnya si sakit sedang berkata dengan megap-megap, "Melulu Ji Hong-ho dan
begundalnya itu tidak nanti berhasil mendidik anak murid seperti ini."
"Betul," tukas Pwe-giok. "Dia tidak mungkin murid salah satu ke-13 perguruan terkemuka
jaman ini. Sebab itulah Wanpwe merasa heran entah dia berasal dari mana?"
Orang sakit itu memejamkan mata, ia cuma menggeleng dan tidak bicara lagi.
Tiba-tiba Cu Lui-ji bertanya, "Sacek, mengapa kau lepaskan dia ?"
"Perang antara dua negara tidak boleh membunuh utusan musuh," kata si sakit dengan dingin.
"Apalagi biarpun dia kurang sopan, masa akupun bertindak ngawur seperti dia?"
"Tapi kulihat kedatangannya itu tidak melulu untuk mengantar surat saja, tentu dia ingin tahu
keadaan di sini, setelah dia tahu penyakit Sacek belum sembuh, sepulangnya ini mungkin
akan datang lagi dengan membawa orang lain."
"Biarpun membawa orang lain lantas mau apa?" kata si sakit dengan gusar. "Sekalipun kita
harus mati juga tak boleh bertindak sesuatu yang memalukan, tahu tidak?"
Cu Lui-ji mengiakan dengan menunduk. Iapun tidak berani bicara lagi.
Diam-diam Pwe-giok bertambah kagum terhadap kepribadian si sakit.
Kwe Pian-sian sejak tadi diam saja, kini iapun tidak tahan, katanya: "Sekalipun Cianpwe
harus membebaskan dia, mengapa tidak kau pinjam pakai dulu Kungfunya itu?"
Si sakit meliriknya sekejap dengan sorot mata dingin dan penuh rasa menghina, iapun tidak
menjawabnya.
Cu Lui-ji lantas mendengus: "Sekalipun Sacek suka pinjam pakai Kungfu orang lain, kalau
bukan orang itu sukarela tentulah akibat perbuatan orang itu sendiri. Kalau tidak, Kungfumu
kan juga tidak lemah, mengapa Sacek tidak pinjam pakai?"
Kwe Pian-sian jadi ngeri sendiri dan tidak berani bicara lagi. Tapi biasanya dia juga angkuh
dan tinggi hati, tentu saja dia tetap penasaran karena merasa dihina. selang sejenak, ia tidak
tahan dan berkata pula: "Mungkin nona hanya bergurau saja. Di seluruh dunia ini mana ada
orang yang sukarela meminjamkan Kungfunya yang dilatihnya dengan susah payah selama
hidup kepada orang lain?"
Tiba-tiba Cu Lui-ji melirik Gin-hoa-nio sekejap, lalu mendengus: "Mungkin ada, siapa
tahu?!"
Gin-hoa-nio merasa bingung mengapa anak dara itu meliriknya, seketika ia merinding sendiri.
Selagi ia hendak mencari alasan untuk bertanya, tiba-tiba Pwe-giok sudah bertanya lebih dulu:
"Entah apa yang tertulis di dalam surat itu?"
Setelah bertanya, hati Pwe-giok menjadi menyesal, ia menyangka si sakit pasti tidak akan
memberitahukannya dan hal ini berarti dirinya mendapat malu sendiri.
450
Siapa tahu si sakit lantas menyerahkan surat tadi kepada Lui-ji dan berkata: "Coba, kau
bacakan bagi mereka."
Lui-ji lantas merobek sampul surat itu, diloloskannya secarik surat, lebih dulu dilihatnya satu
kali, habis itu baru dibacanya dengan perlahan:"... Locianpwe yang terhormat, sudah lama
kami kagum atas pribadimu, tak tersangka sekarang Cianpwe bertirakat di sini. Nama
Cianpwe termasyhur bijaksana, tentunya Cianpwe takkan membela puteri .... Pada tengah
malam nanti kami akan berkunjung kemari, diharapkan Cianpwe takkan menolak kedatangan
kami. Hormat Ji Hong-ho dan kawan-kawan berjumlah 12 orang."
Isi surat itu ditulis secara tergesa-gesa sehingga kalimatnya tidak diperbaiki lagi, namun
cekak-aos, singkat dan jelas.
Namun waktu membacanya, Cu Lui-ji sengaja melompati beberapa nama yang tidak
dibacanya.
Diam-diam Pwe-giok membatin: "Nama pada bagian depan surat itu tentulah nama orang
sakit ini dan nama bagian lain yang menyebutkan nama orang tua nona Cu ini, dengan
sendirinya juga tidak dibacakannya."
Mendadak si sakit mendengus: "Hm, Ji Hong-ho dan kawan-kawannya berjumlah 12 orang
..... huh, hanya mereka itu saja berani menemui aku dengan menjanjikan waktu berkunjung
segala?"
Dengan suara tertahan Cu Lui-ji berkata: "Jika cuma mereka saja tentu saja tidak berani
menulis surat ini, tapi sekarang kukira mereka tentu sudah mempunyai beking yang kuat,
makanya nyali mereka tambah besar."
Pwe-giok saling pandang sekejap dengan Kwe Pian-sian, diam-diam mengagumi kecepatan
berpikir nona cilik ini, mereka memang juga sudah memperkirakan Ji Hong-ho pasti
mendapatkan bala bantuan yang tangguh.
Diam-diam Pwe-giok membatin: "Rasanya tokoh andalan mereka pasti bukan Dian Ce-hun
yang mengantar surat ini, tapi pasti lebih lihay daripada Dian Ce-hun, jangan-jangan orang
yang dimaksud adalah guru pemuda she Dian itu?"
Berpikir demikian, diam-diam ia berkuatir bagi si sakit. Dilihatnya orang sakit itu telah
memejamkan mata pula, setelah termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata dengan perlahan:
"Jika mereka telah mengirim surat secara sopan padaku rasanya kitapun harus membalasnya
dengan cara yang sama ....... Lui-ji, boleh kau pergi kesana, katakan kepada mereka bahwa
aku tetap menantikan kedatangan mereka di sini."
"Tidak, aku tidak mau kesana," di luar dugaan Lui-ji menjawab dengan menggeleng.
"Kau tidak mau pergi?" si sakit menegas dengan berkerut kening.
Lui-ji menyapu pandang sekejap ke arah Kwe Pian-sian dan Gin-hoa-nio, katanya kemudian
dengan menunduk: "Aku akan mengiringi Sacek di sini, aku tidak mau pergi kemana-mana."
451
Pwe-giok tahu sebabnya nona cilik itu tidak mau pergi adalah karena kuatir terhadap Kwe
Pian-sian dan Gin-hoa-nio, ia harus tetap tinggal di sini untuk mengawasi gerak-gerik kedua
orang itu. Dari sini terbuktilah bahwa saat ini si sakit berada dalam keadaan gawat, sisa
tenaganya sudah tidak cukup untuk melayani gin-hoa-nio dan Kwe Pian-sian berdua. apalagi
untuk menghadapi Dia Ce-hun dan gurunya yang pasti jauh lebih lihay.
Berpikir demikian, tanpa terasa Pwe-giok terus berseru: "Jika nona Cu harus meladeni
Cianpwe di sini, biarlah aku saja yang mewakili Cianpwe pergi ke sana."
Sekonyong-konyong si sakit membuka mata dan bertanya: "Kau ingin pergi?"
Pwe-giok tertawa, jawabnya: "Ya, jika sekiranya Cianpwe tidak merasa keberatan."
Sorot mata si sakit yang tajam itu menatapnya sejenak, tiba-tiba ia berkata: "Coba kemari
kau!"
Sejak tadi Ciong Cing berduduk melongo disamping sana, kini timbul rasa kuatirnya ketika
dilihatnya Ji Pwe-giok disuruh mendekati orang sakit itu, hampir saja ia berteriak: "He,
jangan kau mendekati dia. Kungfumu akan dipinjam pakai juga olehnya."
Namun tanpa prasangka apapun Pwe-giok tetap mendekati si sakit dengan tenang, katanya:
"Cianpwe hendak memberi pesan apalagi?"
Si sakit memberi tanda, Pwe-giok terus mendekatkan telinganya ke mulut orang itu. Dengan
mata terbelalak Ciong cing menyaksikan si sakit berbisik-bisik sekian lamanya di tepi telinga
Pwe-giok.
Suaranya sangat lirih sehingga tiada seorangpun yang tahu apa yang dikatakannya. Hanya
terlihat air muka Pwe-giok lambat-laun memperlihatkan rasa girang, mendadak ia memberi
hormat dan berucap: "Terima kasih, Cianpwe".
"Kau sudah paham?" tanya si sakit.
Pwe-giok memejamkan matanya dan berpikir sejenak, tiba-tiba kedua tangannya bergerak
beberapa kali di udara, seperti menggores beberapa lingkaran yang besar-kecilnya tidak sama.
Orang lain tidaklah merasakan apa-apa atas perbuatan Pwe-giok itu, tapi Kwe Pian-sian
menjadi terkejut. Nyata dia merasakan pad setiap lingkaran yang dibuat oleh Ji Pwe-giok itu
mengandung satu jurus serangan mematikan yang amat lihay.
Makin lama makin cepat lingkaran yang dibuat Ji Pwe-giok itu, tapi dari cepat mendadak
berubah lambat, habis itu lantas berhenti, dia menarik napas panjang-panjang, air mukanya
bersemu merah, lalu ia memberi hormat kepada si sakit dan bertanya: "Apakah begini
caranya?"
Sorot mata si sakit menampilkan rasa girang, katanya sambil mengangguk: "Bagus sekali,
bolehlah kau berangkat!"
Pwe-giok memberi hormat pula, tanpa bicara lagi ia terus bertindak pergi dengan langkah
lebar.
452
Kini Kwe Pian-sian dapat menerka bahwa mungkin si sakit kuatir Pwe-giok akan dianiaya
atau dihina waktu mengantar surat ke sana, maka si sakit sengaja mengajarkan sejurus Kungfu
maha lihay kepadanya.
Diam-diam Kwe Pian-sian menyesal, "Tahu begitu. tentu tadi ku dahului mencalonkan diri
sebagai pengantar surat."
Tapi setelah menyesal ia menjadi heran pula: "Orang sakit ini hanya berbisik-bisik sejenak
kepada Ji Pwe-giok ini dan anak muda itu lantas dapat menguasai jurus serangan maha lihay
itu, mengapa dia dapat belajar secepat ini?"
Ia tidak tahu bahwa pandangan si sakit sangat tajam, dari gerak-gerik Ji Pwe-giok sejak tadi
sudah dapat dirabanya asal-usul ilmu silatnya. Apa yang diajarkannya barusan adalah Kungfu
yang berdekatan dengan kepandaian yang telah dikuasai Pwe-giok, apalagi anak muda itu
memang sangat cerdas, diberitahu satu segera paham tiga, diberi petunjuk sebelah sini
serentak tahu pula apa yang di sebelah sana, setelah diberitahu kunci-kuncinya oleh orang
kosen, dengan sendirinya segera dapat dikuasainya dengan cepat.
Dalam pada itu kedengaran si sakit telah mendengkur, agaknya sudah tertidur pulas pula.
Sebaliknya wajah Cu Lui-ji sekarang tampak agak pucat, dia bergumam: "Tengah malam
nanti ..... waktunya tinggal lima-enam jam lagi ...." tiba-tiba pandangannya beralih ke arah
gin-hoa-nio dan berkata dengan dingin: "Sesudah lima enam jam lagi mungkin kau akan .......
"
Gin-hoa-nio menjadi ketakutan setengah mati, sebelum habis ucapan anak dara itu segera ia
berlutut dan menyembah, mohonnya dengan suara gemetar: "Mohon belas kasihan nona,
sudilah mengingat sesama perguruan dan tolonglah diriku."
"Jadi sekarang kau mau mengaku sebagai orang perguruan kita?" tanya Cu Lui-ji.
Gin-hoa-nio menunduk, jawabnya dengan terputus-putus: "Aku .... aku .... "
"Hm, apakah tidak terlalu terlambat pengakuanmu sekarang?" jengek Lui-ji
Gin-hoa-nio merasa sekujur badan lemas seluruhnya dan hampir jatuh terkulai. Meski dia
biasa mempermainkan setiap lelaki, tapi di depan anak perempuan ini dia benar-benar mati
kutu dan tidak sanggup bertingkah sama sekali.
Tak terduga, lewat sejenak, tiba-tiba Lui-ji berkata pula: "Jika kau ingin hidup, kukira masih
ada jalannya."
"Apa jalannya?" tanya Gin-hoa-nio cepat,
"Masa kau sendiri tidak dapat menerkanya?" ucap Lui-ji dengan hambar.
Diam-diam Gin-hoa-nio menggreget, pikirnya dengan gemas: "Budak sialan, budak mampus,
jika aku dapat memikirkan jalan baik, masa perlu kuminta pertolongan kepada budak hina
macam kau?"
453
Sudah tentu dia tidak berani memperlihatkan rasa penasarannya itu, sebaliknya ia menjawab
dengan mengiring tawa: "Ah, aku ini terlalu bodoh sehingga perlu minta petunjuk kepada
nona, mana sanggup kucari jalan yang lebih baik. Hendaklah nona saja sudi menolong, budi
kebaikanmu tentu takkan kulupakan selama hidup ini."
Tapi Cu Lui-ji lantas melengos ke sana seperti tidak mendengar ucapannya itu.
Keruan Gin-hoa-nio tambah gelisah, saking gregetan hampir saja ia mencaci-maki.
Tak terduga Kwe Pian-sian lantas menimbrung dengan perlahan: "Jalan keluarnya mungkin
dapat ku terka."
Gin-hoa-nio melengak, tanyanya : "Kau tahu?"
"Ehmm," Kwe Pian-sian mengangguk.
"Meng .... mengapa tidak lekas kau katakan?" seru Gin-hoa-nio.
"Untuk apa harus kukatakan?" jawab Kwe Pian-sian dengan ketus.
Gin-hoa-nio jadi tertegun, mukanya sebentar pucat sebentar hijau, diam-diam ia menggertak
gigi saking gemasnya, namun wajahnya segera menampilkan senyuman menggiurkan,
katanya: "Kumohon dengan sangat, sudilah kau katakan padaku, selama hidupku ......"
"Ah, justru aku tidak berharap agar selama hidupmu akan selalu teringat padaku." tukas Kwe
Pian-sian.
"Tapi bukan saja aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu, bahkan apapun kehendakmu
atas diriku pasti akan kuberikan," sambung gin-hoa-nio pula.
Kwe Pian-sian melirik sekejap ke arah bungkusan benda mestika sana, katanya: "Barang
apapun juga, katamu?"
"Ya." jawab Gin-hoa-nio dengan menunduk.
Terdengar suara keriat-keriut di sebelah sana, kiranya saking gregetan Cion Cing telah
menggertak giginya. Maklumlah, makna kata "barang apapun yang kau kehendaki" terlalu
luas dan meliputi macam-macam hal.
Kwe Pian-sian tertawa cerah, katanya: "Tentang jalan keluarnya, tadi kudengar nona Cu
bilang ada sementara orang yang sukarela akan meminjamkan Kungfunya kepada Cianpwe
ini, tatkala mana aku merasa bingung, tapi sekarang aku telah paham arti ucapannya itu."
Teringat waktu bicara tadi Cu Lui-ji pernah melirik ke arahnya, tiba-tiba Gin-hoa-nio juga
paham apa yang dimaksudkan, seketika keringat dingin membasahi tubuhnya.
Terdengar Kwe Pian-sian menyambung pula: "Dan jika kau mau meminjamkan Kungfumu
kepada Cianpwe ini, racun yang mengeram di tubuhmu dengan sendirinya juga akan terhisap
bersih oleh Cianpwe ini dan jiwamu juga tidak akan menjadi soal lagi."
454
Gemetar Gin-hoa-nio, katanya: "Tapi ..... tapi kalau terjadi begini, bukankah be .... beliau
sendiripun akan keracunan?"
Meski ucapannya ini ditujukan kepada Kwe Pian-sian, iapun tahu Kwe Pian-sian pasti tidak
mampu menjawab, yang sanggup menjawab pertanyaannya ini hanya Cu Lui-ji saja.
Benarlah, dengan tenang Cu Lui-ji lantas berkata: "Sedikit racun di tubuhmu itu memang
cukup berat bagimu, tapi bila berada di tubuh Sacek, racun itu sama sekali tidak ada artinya."
Gin-hoa-nio melenggong pula dengan berkeringat dingin, sebentar-bentar ia pandang si sakit
dan sebentar-bentar lagi memandang tangannya sendiri. Mendadak ia berteriak dengan suara
parau: "Baiklah! Akan ...... akan kupinjamkan kepadamu!"
"Hm, kau mau, masih perlu dipertimbangkan lagi apakah kami mau terima?" jawab Cu Lui-ji
dengan tertawa dingin.
Kembali Gin-hoa-nio melengak, ucapnya pula dengan terputus-putus: "Habis sesungguhnya
apa .. apa kehendakmu?"
Lui-ji hanya tertawa dingin saja tanpa bersuara. Tapi Kwe Pian-sian lantas menyeletuk: "Jika
orang tidak mau menerima, apakah kau tidak dapat memohon lagi?"
Gin-hoa-nio terkesima lagi sekian lamanya, akhirnya ia menghela napas panjang dan berkata
dengan air mata bercucuran: "Ya, kumohon .... kumohon dengan sangat sudilah ..... sudilah
nona ..."
Sesungguhnya dia sangat penasaran dan menahan dendam, suaranya menjadi tersendat dan
hampir-hampir sukar diucapkan.
Sebaliknya diam-diam Cion Cing merasa senang, pikirnya: "Tak tersangka orang semacam
kau sekarang juga mendapat ganjaran yang setimpal."
Sejenak kemudian barulah Cu Lui-ji tersenyum hambar, katanya: "Baiklah, cuma kau harus
ingat kau sendiri yang memohon padaku, aku tidak pernah memaksa kau, betul tidak?"
Gin-hoa-nio tidak tahan lagi, ia menjatuhkan diri di lantai dan menangis sedih ....
*****
Saat itu baru saja lewat lohor, sang surya sedang memancarkan sinarnya yang cerlang
cemerlang, tapi suasana di kota kecil ini terasa seram dan suram.
Di pojok dinding sana meringkuk seekor anjing tua, mungkin binatang itu sudah terbiasa oleh
keramaian, kini juga merasakan suasana yang luar biasa ini sehingga ketakutan dan tidak
berani sembarangan bergerak.
Walaupun kecil, tapi Li-toh-tin semula adalah sebuah kota kecil yang cukup ramai, tapi
sekarang keadaan kota ini sunyi senyap, suara kokok ayam dan gonggong anjingpun tak
terdengar, karena itulah terasa seram laksana sebuah kota hantu.
455
Pwe-giok berjalan sendirian di jalan raya satu-satunya ini, dilihatnya pintu toko di kedua
samping jalan sama tertutup rapat, hanya papan merek toko saja yang bergoyang-goyang
tertiup angin, mau-tak-mau timbul juga rasa seramnya.
Setelah berjalan lagi sekian lamanya ke depan, mendadak terlihat di hutan di depan sana ada
bayangan manusia. Pwe-giok mengira orang-orang yang hendak dicarinya itu bersembunyi di
hutan sana, segera ia mendekatinya dengan langkah lebar.
Siapa tahu, setelah dekat, dilihatnya ditengah hutan itu penuh berjubel orang-orang, ada yang
duduk di atas batu, ada yang berkerumun di bawah pohon, lelaki dan perempuan, tua dan
muda, entah berapa jumlahnya. Rupanya Ji Hong-ho telah menggiring segenap penduduk Litoh-
tin ke hutan ini.
Wajah orang-orang itu sama mengunjuk rasa takut dan cemas, begitu banyak orang yang
berkerumun di situ, tapi tiada seorangpun yang berani bersuara, sampai bayi-bayi dalam
pangkuan sang bunda juga dibungkus rapat-rapat dengan selimut sehingga suara tangisannya
tidak tersiar. Semua orang merasa seakan-akan ditimpa oleh malapetaka.
Pwe-giok menghela napas, pikirnya: "Orang she Ji itu sengaja mengiring penduduk Li-toh-tin
ke sini, tentu saja dengan alasan demi keselamatan penduduk itu sendiri agar tidak
menimbulkan korban orang yang tak berdosa, padahal penduduk di sini adalah rakyat jelata
yang hidup tertib, mana pernah mengalami kejadian seperti ini ..."
Kedatangan Pwe-giok disambut orang-orang di tengah hutan itu dengan pandangan yang
curiga dan benci, mereka seakan-akan hendak berkata: "Sesungguhnya kau ini manusia
macam apa ? Mengapa kalian mengganggu ketenangan kami?"
Pwe-giok tidak berani memandang mereka dengan kepala tertunduk ia lalu ke sana.
Mendadak dua lelaki berpakaian ketat melompat keluar dari balik pohon sana dan
menghadang di depan Pwe-giok.
"Kawan ini datang darimana dan ada keperluan apa?" segera seorang menegur.
Kedua orang itu tadi tidak ikut ke Li-keh-can, maka mereka tidak kenal Pwe-giok. Sebaliknya
dari dandanan mereka Pwe-giok dapat menerka mereka pasti anak buah langsung orang she Ji
itu. Ia menjadi gusar. Tapi sedapatnya ia menahan perasaannya, jawabnya dengan ketus: "Ku
datang mengantar surat, dapatkah kalian memberi petunjuk jalannya?"
Orang itu tertawa lebar, katanya: "Bengcu sudah tahu pasti ada orang yang akan datang
dengan membawa surat, makanya kami berdua ditugaskan menunggu di sini. Perhitungan
Bengcu yang maha jitu ini sungguh luar biasa, kawan merasa kagum tidak?"
Pwe-giok hanya mendengus saja tanpa menjawab.
Orang itu melototinya sekejap, seketika iapun menarik muka dan berkata: "Jika kau ingin
menyampaikan surat, marilah ikut padaku. Kalau saja tiada pesan Bengcu ....... Hm!"
Melihat lagak orang, Pwe-giok berbalik tidak marah, pikirnya: "Jika anak buah orang she Ji
itu melulu terdiri dari orang-orang tolol begini, jadinya lebih baik malah."
456
Setelah menyusuri hutan itu tampaklah di depan sana ada sebuah biara.
Hampir seluruh penduduk Li-toh-tin itu she Li, patung yang dipuja di biara ini ialah Thaysiang-
lo-kun yang aslinya juga she Li. Rupanya penduduk Li-toh-tin ini menganggap mereka
adalah keturunan Thay-siang-lo-kun, sebab itulah biara ini dibangun dan dirawat dengan
sangat megah dan bagus, bahkan besarnya tidak kalah dengan biara ternama di kota-kota
besar. Tapi sekarang suasana biara itupun senyap, kedua sayap daun pintu bercat hitam hanya
terbuka sedikit, pohon di depan biara adalah pohon tua yang berumur ribuan tahun.
Setiba di depan pintu, kedua pengantar itu menoleh dan berkata: "Tunggu dulu di sini, biar
kami laporkan bagimu, jangan sembarangan bergerak, tahu ?"
Jika orang lain diperlakukan kasar begini, bisa jadi kedua orang itu akan kontan dipersen
dengan dua kali gamparan. Tapi Pwe-giok memang pemuda sabar, ia hanya tersenyum
hambar dan menjawab: "Baiklah, terima kasih".
Kedua orang itu melotot lagi sekejap, lalu melangkah ke dalam biara sambil mendengus.
Sejenak kemudian dibalik pintu sana berkumandanglah suara mereka: "Bengcu melukiskan
pihak lawan sedemikian lihaynya, tapi kulihat pengantar surat ini mirip seorang penari belaka,
cuma sayang mukanya ada bekas luka".
Pwe-giok tidak menjadi marah oleh olok-olok itu, sebaliknya malah ia tertawa senang.
Kebanyakan anak muda berdarah panas dan lekas marah, tinggi hati, tidak mau kalah. Apalagi
dihina orang. Dengan sendirinya Pwe-giok juga begitu.
Tapi kini setelah mengalami berbagai macam gemblengan, sudah kenyang dengan
pengalaman pahit, ia justru takut bila orang lain memperhatikan dan menghargainya, semakin
orang memandang rendah padanya, semakin meremehkan dia, dalam hatinya justru semakin
girang. Sebab ia tahu hanya orang demikian inilah takkan dibenci dan dicemburui orang lain
dan juga takkan dicelakai orang. Meski usianya masih muda, tapi pengetahuannya kini sudah
terlalu banyak.
Anda sedang membaca artikel tentang Renjana Pendekar 2 dan anda bisa menemukan artikel Renjana Pendekar 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/renjana-pendekar-2.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Renjana Pendekar 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Renjana Pendekar 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Renjana Pendekar 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/renjana-pendekar-2.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar