Imbauan Pendekar 1 [Lanjutan Renjana Pendekar]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 12 September 2011

Imbauan Pendekar
Karya Gulong/Khulung

Jilid 1________
Sang surya memancarkan cahayanya yang cerlang cemerlang, akan tetapi Li-toh-tin, kota
kecil dengan hotel satu-satunya, Li-keh-can serta bangunan berloteng kecil di seberangnya
telah berubah menjadi tumpukan puing.
Saat itu Ji Pwe-giok dan Cu Lui-ji bersembunyi di dalam tungku Li keh-can yang tidak
terbakar dan asyik mengisahkan pengalaman masing-masing pada masa lampau.
Melalui lubang tungku yang biasanya digunakan untuk menambah kayu bakar itu dapatlah
mereka melihat segala apa yang terjadi di luar.
Tiba-tiba mereka mendengar suara langkah orang. Empat lelaki berbaju hitam tampak masuk
ke Li keh-can yang sudah hancur ini.
Ke empat orang ini semuanya tegap dan kekar, langkahnya cepat, tapi kaki dan tangan
kelihatan kasar dan besar, kulit badannya hitam, sekali pandang saja dapat diketahui mereka
pasti sudah biasa bekerja kasar. Meski tubuh mereka kasar dan kuat, namun soal ilmu silat
pasti tidak tinggi, bisa jadi belum lama mereka ikut berkecimpung di dunia Kangouw.
Untuk memimpin orang-orang semacam ini sudah tentu jauh lebih mudah daripada
memerintah orang Kangouw kawakan.
Seorang yang berjalan paling depan membawa sebuah tombak, di belakangnya seorang
membawa sejenis senjata garpu, dua orang lagi membawa golok dan perisai.
Begitu masuk ke hotel yang sudah berbentuk puing itu, mereka lantas membacok dan
menabas kian kemari di sekeliling tumpukan puing itu, kelakuan mereka seperti ingin tahu
kalau kalau di dalam tumpukan puing itu tersembunyi orang.
2
Lui-ji memandang Pwe-giok sekejap, meski tidak bersuara, namun dalam hati jelas si nona
sangat memuji tindakan Pwe-giok yang teliti dan hati hati.
Apabila mereka bersembunyi di tempat lain, bukan mustahil saat ini sudah dipergoki orang.
Terdengar orang yang membawa tombak tadi tertawa dan berkata, "Tindakan Tongcu terasa
agak berlebihan. Setelah pembakaran ini, mana ada orang yang bersembunyi di sini?"
Orang yang membawa garpu menanggapi dengan tertawa, "Apakah kau kira tindakan Tongcu
ini adalah kehendaknya sendiri?"
"Bukan kehendaknya sendiri, memangnya kehendak siapa?" tanya orang yang membawa
tombak.
Tiba-tiba orang yang membawa garpu itu mendesis, "Akan kuceritakan, tapi kalian tidak
boleh bilang lagi kepada orang lain. Keluarnya Tongcu sekali ini konon hanya karena ingin
membantu orang she Ji yang menjabat Bu-lim-bengcu itu."
"Masa membakar juga atas kehendaknya?" ujar yang membawa tombak.
"Dengan sendirinya juga kehendaknya," kata yang membawa garpu. "Kalau tidak untuk apa
jauh-jauh Tongcu datang ke kota kecil ini untuk membakar?"
Baru sekarang Pwe-giok dan Lui-ji mengetahui ke empat orang ini bukan anak buah Ji Hongho.
Bahwa orang lain yang disuruh membakar oleh Ji Hong-ho, maka selanjutnya tanggung
jawab ini dapat dibebankan kepada orang itu.
Sambil bicara, beberapa orang itu lantas menuju keluar.
Lui-ji menghela napas gegetun, ucapnya dengan suara tertahan, "Ji Hong-ho benar-benar
licik, berbuat apapun selalu mengatur jalan mundur dengan rapi, jika orang lain yang
menanggung dosanya, tentu kedudukan Bu-lim-bengcunya takkan terganggu sedikitpun."
"Ya, memang," tukas Pwe-giok, "perbuatan apapun, baik membunuh atau membakar, dia
selalu mendalangi di belakang layar, apabila terbongkar tentu juga orang lain yang
menanggung dosanya."
"Kalau untuk membunuh dia mencari Lo-cin-jin, lalu siapa yang dia cari untuk membakar?"
kata Lui-ji. "Dan ... siapa pula 'Tongcu' yang disebut-sebut tadi?"
Pwe-giok berpikir, lalu berkata, "Mungkin pemilik 'Pi-lik-tong' dari Kang-lam yang terkenal
sebagai ahli dan pembuat mesiu yang tiada bandingnya di dunia ini, kalau bukan dia yang
membakar, tidak mungkin api menjalar secepat ini."
"Tahukah kau siapa pemilik Pi-lik-tong itu?" tanya Lui-ji.
"Lui Hong," jawab Pwe-giok.
"Pi-lik-tong, Lui Hong ... Pi-lik-tong, Lui Hong ... " Lui-ji berguman mengulangi nama itu
hingga belasan kali seolah-olah kuatir akan lupa lagi.
3
"Akan kau tuntut balas padanya?" ucap Pwe-giok sambil berkerut kening.
"Meski dia bukan biang keladi dalam persoalan ini, tapi apapun juga dia yang turun tangan
membakar rumahku," kata Lui-ji dengan perlahan. "Apabila tidak kubalas bakar ludes
rumahnya, kan kurang adil."
Pwe-giok termenung sejenak, tanpa terasa ia menghela napas panjang.
Perangai anak dara ini ternyata sedemikian keras dan tinggi hati, bilamana orang berbuat
salah padanya, maka akan terukir dalam lubuk hatinya. Usianya sekarang masih kecil, bila dia
mengembara seorang diri, betapapun membuat orang kuatir.
Dalam pada itu, tiba-tiba di kejauhan sana ada seorang bergelak tertawa dan berseru, "Aha,
Lui-cu-sin-hwe (api sakti mutiara geledek) dari Pi-lik-tong memang tidak bernama kosong,
baru hari ini terbuka mataku, sungguh sangat mengagumkan...”.
Jelas itulah suara Lim Soh-koan, dia sengaja bicara dengan suara keras seperti orang
berteriak, seakan-akan kuatir bilamana orang tidak tahu bahwa Lui Hong yang telah
membakar Li-toh-tin ini.
Lalu seorang terbahak-bahak dan menanggapi. "Hanya setitik apa ini saja mungkin sudah
meludeskan bahan berlaksa tahil perak kami"
Suara tertawa ini penuh rasa bangga dan senang, jelas dia inilah Lui Hong, pemilik pabrik
mesiu Pi-lik-tong di Kang-lam yang terkenal.
Lui-ji mendengus, omelnya: "Orang she Lui ini ternyata maha tolol, orang lain memperalat
dan menonjolkan dia kepada musuh, tapi dia malah merasa bangga."
"Sssst," desis Pwe-giok, "mata-telinga orang-orang itu sangat tajam, hendaklah jangan
bersuara"
Sementara itu kelihatan beberapa orang sedang melangkah ke sini sambil bersenda-gurau.
Terlihat Ji Hong-ho berjalan di depan bersama seorang tua yang gagah berjubah merah tua.
Lim Soh-koan dan beberapa orang lagi mengintil di belakang.
Kakek berjubah merah ini melangkah dengan lagak tuan besar, seolah-olah dia yang paling
jempolan di dunia ini.
Hendaklah diketahui bahwa Pi-lik-tong sangat terkenal di dunia persilatan, bukan saja senjata
rahasianya yang berwujud mesiu sangat ditakuti, bahkan juga berusaha menjual bahan
peledak dan sebagainya sehingga mengeduk keuntungan yang tidak sedikit, kekayaan
keluarga Lui yang memiliki pabrik mesiu itu sudah sukar dihitung. Sebab itulah Lui Hong
yang sudah biasa hidup senang dan dihormati itu merasa dirinya sebagai seorang tokoh
jempolan.
Ke empat orang berseragam hitam yang masuk ke Li-keh-can tadi kini berdiri di tepi jalan dan
menyambut kedatangan sang majikan dengan hormat.
4
"Diketemukan orang atau tidak?" tanya Lui Hong sambil mengerling anak buahnya.
"Kecuali perempuan tadi tidak diketemukan orang lain lagi" jawab orang yang memegang
tombak tadi.
"Bagus, mundur saja kalian" kata Lui Hong.
Diam-diam Pwe-giok menghela napas menyesal, perempuan yang dimaksudkan mereka itu
tidak perlu disangsikan lagi pasti Gin-hoa-nio adanya. Meski sejak semula ia sudah tahu Ginhoa-
nio tentu sukar meloloskan diri, kini setelah terbukti benar, hatinya tetap merasa tidak
enak dan rada menyesal. Betapapun juga kedatangan Gin-hoa-nio ini kan bersama dengan
dirinya?
Dilihatnya ke empat lelaki berseragam hitam tadi masih berdiri dengan kepala tertunduk di
tepi jalan, sedangkan rombongan Lui-hong sudah lalu ke sana.
Lim-Soh-koan yang membuntuti paling akhir mendadak tersenyum dan berkata kepada ke
empat orang itu, "kalian tentunya sama lelah"
"Ah, biasa." ucap salah seorang itu dengan hormat.
"Melihat cara kalian yang cekatan, tampaknya kalian tidak cuma sekali dua kali saja
membereskan tempat kebakaran, makanya pengalaman kalian sedemikian banyak," kata Lim-
Soh-koan pula.
"Betul," jawab orang tadi. "Pekerjaan ini bagi kami boleh dikatakan pekerjaan biasa,
pekerjaan rutin."
Mendadak Lim Soh-koan menarik muka, katanya dengan pelahan, "Perbuatan membakar dan
membunuh begini kalian anggap pekerjaan rutin?"
Orang itu jadi melengak, baru air mukanya berubah, "Creng", tahu-tahu Lim Soh-koan sudah
lolos pedangnya dan secepat kilat menusuknya.
Leng-hoa-kiam andalan Lim Soh-koan terkenal cepat luar biasa, mana bisa ke empat orang itu
berkelit, apalagi mimpi pun mereka tidak menyangka akan diserang oleh Lim soh-koan.
Maka terlihatlah sinar pedang berkelebat, "sret-sret-sret-sret" empat kali, susul menyusul
terdengar, empat kali jeritan disertai berhamburnya darah. Ke empat orang itu sudah
menggeletak tak bernyawa dan menjadi setan penasaran karena tidak tahu sebab apa mereka
terbunuh.
Keruan Lui Hong terkejut, ia berpaling dan berteriak, "he, Lim Soh-koan. ap... apa yang kau
lakukan?"
Lim soh-koan mengeluarkan sapu tangan putih dari bajunya dan pelahan mengusap darah
yang mengotori pedangnya, lalu berkata dengan suara bengis, "Di hadapan Bengcu, orangorang
ini berani main bakar rumah rakyat yang tak berdosa, maka dapat dibayangkan betapa
5
sewenang-wenangnya di hari-hari biasa. Kalau tidak dibinasakan mereka, apakah mereka
harus dibiarkan membikin celaka rakyat jelata lebih banyak lagi?!"
"Apa... apa maksudmu ini?" teriak Lui Hong dengan gusar.
"Bengcu, coba... coba dengarkan apa ucapannya itu?"
Dengan tak acuh Ji Hong-ho menjawab. "Ucapannya memang betul, setiap pengganas yang
suka main bunuh dan bakar pantas dibinasakan oleh siapa pun jua"
Lui Hong menyurut mundur dua tindak, serunya dengan wajah pucat, "Tapi... tapi engkau
sendiri yang merencanakan pembakaran Li-toh-tiu ini, kau yang mengupahi Pi-lik-tong kami
dengan lima laksa tahil perak dan menyuruh kami meledakkan tempat ini, mengapa...
mengapa sekarang kau malah menuduh kami yang bersalah?'
Ji Hong-ho tampak berkerut kening dan mendamprat pelahan, "Huh, tindakan orang she Ji
selamanya terang-terangan, mana bisa jauh-jauh mengundang kau ke sini untuk melakukan
hal yang tak terpuji ini, Kau sembarangan menuduh orang, jangan menyesal kalau Bengcumu
ini terpaksa bertindak untuk menumpas kejahatan bagi dunia Kangouw"
Air keringat tampak memenuhi kepala Lui Hong, teriaknya dengan suara parau, "Kau... kau...
manusia munafik, bangsat yang berlagak kesatria, meng... mengapa kau sengaja menjebak
diriku? kau... "
Belum habis ucapannya, sinar pedang sudah bergulung menyambar tiba. Dengan suara bengis
Lim-Soh-koan mendamprat, "Kau berani bicara kotor kepada Bengcu, melulu dosamu ini saja
harus dihukum mati" hanya dua tiga kalimat ia bicara, tapi pedangnya sudah menyerang tujuh
atau delapan kali.
Meski pinggang Lui Hong juga bergantung sebatang golok, namun kesempatan menghunus
golok saja tidak ada, tahu-tahu pundaknya sudah terluka, sembari berkelit ia terus berteriak
teriak, "Kalian semua yang hadir di sini apakah cuma menyaksikan aku dibinasakan secara
begini? Dimana lagi letak keadilan dunia Kangouw?"
Namun orang-orang yang ikut datang bersama meraka itu semuanya berlagak memandang ke
langit seolah-olah tidak melihat dan mendengar apapun.
Sementara itu jubah merah Lui Hong sudah terkoyak-koyak, sebuah kopiah emas pengikat
rambut juga sudah terbatas putus, rambutnya semrawut seperti orang gila.
Meski nama Pi-lik-tong sangat terkenal, tapi bukan unggul dalam hal ilmu silat melainkan
karena mesiunya. Dari orang tua Lui Hong menerima warisan yang sangat besar, sejak kecil
ia sudah hidup senang, hampir tidak pernah berlatih silat dengan sungguh-sungguh,
sebaliknya Lim Soh-koan adalah ahli pedang yang berpengalaman, hakekatnya tidak memberi
kesempatan kepada Lui Hong untuk mencabut goloknya.
Setelah terserang belasan kali lagi, napas Lui Hong sudah megap-megap dan mandi keringat,
mendadak ia tertawa latah dengan suara serak, teriaknya. "Bagus orang she Ji, kau hendak
membunuhku untuk menghilangkan saksi, biarlah kusempurnakan niatmu ini !" - habis
berkata, segera ia menubruk maju menyongsong ujung pedang li, Soh-koan.
6
Rupanya ia tidak tahan serangan lawan dan menjadi nekat, tanpa ampun lagi pedang
menembus dadanya. Waktu Lim Soh-koan menarik pedangnya, seketika darah segar
menyembur seperti air mancur.
Sambil mendekap dadanya Lui Hong lantas terhuyung huyung, matanya yang merah menyapu
pandang sekejap semua orang, teriaknya pula dengan suara pedih, "Bagus, bagus akhirnya
baru kukenal betul kalian yang sok mengaku pendekar berbudi ini !"
Sedemikian seram tertawanya hingga membuat orang merinding.
Tanpa terasa Lui-ji menggenggam tangan Pwe-giok dengan telapak tangan berkeringat dingin.
sebaliknya tangan Pwe-giok juga dingin seperti es.
Dalam pada itu dari jauh tampak berlari datang dua orang, meski kedua orang ini pun
memakai baju hitam ketat, namun air mukanya kaku dingin, sorot matanya lebih lebih dingin
sehingga mirip orang yang memakai topeng. Tampaknya mereka bukan anak buah Pi-lik-tong
melainkan begundal Ji Hong-ho sendiri, tampaknya mereka pun membawa semacam senjata,
sesudah dekat baru diketahui masing-masing membawa sebuah cangkul.
Lim Soh-koan menyimpan kembali pedangnya, lalu berkata, "Beberapa mayat ini tidak perlu
dikubur, bawa saja dan perlihatkan kepada segenap penduduk Li-toh tin, katakan Bengcu kita
telah menjatuhkan hukuman setimpal kepada penjahat yang main bakar. Namun segala
kerugian Li-toh-tin tetap akan diusut oleh Bengcu untuk mendapatkan ganti rugi sepenuhnya."
Kedua orang tadi mengiakan sambil memberi hormat.
Tiba-tiba dari balik tumpukan puing sana ada orang berkeplok tertawa, "Ha ha, bagus, bagus,
bagus sekali! kata 'usut' ini sungguh istilah yang sangat indah!"
Berubah air muka Lim Soh-koan, sambil meraba pedangnya, ia membentak, "Siapa itu?'
"He he , Lim-tayhiap tidak perlu terkejut, aku tidak lebih hanya setengah potong nenek yang
sudah hampir masuk liang kubur," ucap orang itu dengan terkekeh kekeh. "Jika Lim-Tayhiap
juga ingin membunuh diriku sekalian untuk melenyapkan saksi hidup, kukira mudah daripada
memites mati seekor semut."
Dari suaranya tahulah Pwe-giok dan Lui-ji bahwa pembicara itu ialah Oh-lolo.
Lui-ji menggertak gigi hingga gemerutuk, badan pun terasa gemetar.
Pwe-giok tahu anak dara ini membenci nenek keji itu sampai merasuk ke tulang, pelahan ia
menepuk tangan Lui-ji agar anak dara ini bersabar.
Tangan yang kecil ini terasa dingin sekali, tanpa terasa timbul pula rasa kasihan Pwe-giok
sehingga dipegangnya hingga lama.
Lui-ji lantas menunduk malah dan tidak memandangnya, entah mengapa tangan kecil yang
dingin itu mendadak berubah menjadi panas membara.
7
Namun Pwe-giok tidak lagi memperhatikan perubahan ini, sebab waktu itu Oh lolo kelihatan
muncul dengan langkahnya yang reyot, dari mulutnya terdengar suara "krat-krut" seperti lagi
makan kacang goreng.
Sembari berjalan nenek itu pun berkeluh kesah, "Ai, semakin ompong seseorang semakin
suka makan kacang. Sesuatu yang tak dapat dilakukan, semakin menarik pula untuk
dikerjakan. Tampaknya setia orang memang mempunyai bakatnya sendiri-sendiri, betul tidak
menurut kalian?"
Tadinya Lim Soh-koan bermaksud memburu maju, tapi demi melihat pendatang ini benarbenar
seorang nenek yang sudah hampir masuk liang kubur, ia batal mendekatinya dan
menantikan perkembangan selanjutnya dengan tenang.
Betapapun dia seorang Kangouw kawanan, ia tahu semakin aneh seseorang, semakin tidak
boleh diremehkan dan direcoki, terutama sebangsa nenek-nenek dan kakek-kakek.
Air muka Ji Hong-ho tampak berubah juga, tapi sedapatnya ia tersenyum dan menyapa,
"Cianpwe ini apakah..."
Belum selesai ia berucap, berulang Oh-lolo menggoyang tangannya dan berseru, "Wah,
janganlah Ji-Tayhiap menyebut Cianpwe padaku, Nenek konyol macam diriku ini mana ada
rejeki untuk menjadi Cianpwe seorang Bulim-bengcu. Sebutan Cianpwe barusan ini
sedikitnya akan mengurangi umurku sepuluh tahun, bilamana kau panggil sekali lagi, bisa jadi
nenek reyot ini akan menghadap Giam-lo-ong (Raja Akhirat)."
Meski bicaranya sangat pelahan, tapi ia seperti sengaja tidak memberi kesempatan bicara bagi
orang lain. belum habis ucapannya tadi tatapannya sudah beralih lagi ke arah Lim Soh-koan,
lalu menyambung, "Nama besar Leng-hoa-kiam Lim-tayhiap sudah lama kukagumi, tapi yang
keketahui adalah ilmu pedang Lim-tayhiap maha cepat, sama sekali aku tidak tahu bahwa
Lim-tayhiap juga seorang ahli bahasa. Istilah 'usut' tadi sungguh sangat tepat dan sukar dicari
dalam kamus."
Sudah tentu Lim Soh-koan merasakan kata yang bernada menyindir itu, terpaksa ia hanya
menyengir dan menjawab, "Tapi Cayhe tidak merasakan ada keistimewaan pada istilah itu."
"Hanya istilah yang tepat saja baru kelihatan keindahannya meski istilah itu cuma satu kata
yang biasa," ucap Oh-lolo dengan tertawa. Dia tunjuk puing yang masih mengepul itu dengan
menyambung pula, "Di situ tadinya adalah sebuah toko kelontong, meski tidak besar, tapi
persediaan barangnya cukup banyak dan beraneka ragamnya, nilainya paling tidak ada
beberapa ribu tahil perak, betul tidak?"
"Perkiraan Cianpwe tentunya tidak salah," ujar Lim soh-koan dengan mengiring tawa.
"Dan toko yang serupa ini kukira ada belasan buah di Li-toh-tin ini, ada pula beberapa
keluarga hartawan disekitar sini, maka kobaran api sedikitnya telah meludeskan beberapa
puluh laksa tahil perak, betul tidak?"
"Taksiran Cianpwe tentunya benar," kembali Lim Soh-koan mengiakan.
8
"Dan beberapa puluh laksa tahil perak yang ludes terbakar itu seharusnya adalah menjadi
tanggung-jawab paduka tuan Bengcu kita untuk menggantinya, tapi anda tadi cuma
menyatakan akan 'usut' kejadian ini, maka tanggung-jawab memberi ganti rugi ini lantas kau
bebankan kepada orang lain," sampai di sini Oh-lolo tertawa terkekeh-kekeh pula.
"Lantas cara bagaimana akan kau usut? siapa yang harus diusut? Kukira tidak perlu
ditanyakan lagi, dengan sendirinya adalah Pi-lik-tong di Kang-lam sana. Harta kekayaan Pilik-
tong sudah tentu tidak cuma berpuluh laksa tahil perak saja, sepuluh kali lipat kukira juga
lebih, setelah mengganti kerugian Li-toh-tin yang terbakar ini tentu masih tersisa sebagian
besar. Dengan demikian paduka tuan Bengcu kita tidak saja sudah menjadi orang yang maha
bijaksana dan berbudi luhur telah membela penduduk Li-toh-tin yang menjadi korban, beliau
sendiri juga akan mendapat rejeki nomplok. Hehe, jual beli cara begini sungguh nenek reyot
macam diriku ini pun ingin melakukannya."
Air muka Lim Soh-koan dan lain-lain sudah sama berubah, tapi Ji Hong-ho masih tetap tak
acuh, dengan tersenyum ia berkata, "Jika demikian, bolehlah kuserahkan jual-beli ini kepada
Hujin (nyonya)."
"Hujin?" Oh-lolo menegas. "Hehe, mengapa kau sebut Hujin padaku? Padahal selama
hidupku ini belum pernah kawin. tahu tidak bahwa sampai saat ini aku ini masih perawan
tulen. Ya, apa boleh buat, sudah tua begini, ingin menjadi Hujin rasanya juga sudah tidak ada
yang mau lagi."
Ji Hong-ho tersenyum dan berkata pula, "Kalau begitu, ada keperluan apakah kedatangan
nona? Katakan saja terus terang, tentu akan kupenuhi,"
"Nona? Hahahaa! Nona?!" Oh-lolo tertawa terpingkal-pingkal. "Sedikitnya sudah 50 tahun
tidak ada yang memanggil nona padaku. Panggilanmu ini membuat seluruh ruas tulangku
seolah-olah lepas semua. cukup dengan panggilanmu ini maka nenek tak tega lagi mencari
perkara padamu, kau tidak perlu kuatir."
Meski Ji Hong-ho masih tetap tersenyum, namun beberapa begundalnya sudah tidak tahan.
Seorang bernama "Bu-eng-cu" To hui, si tanpa bayangan, segera membentak dengan gusar,
"Kalau Bengcu bersikap baik hati padamu, hendaklah kau pun jangan terlalu latah, biarpun
benar kau mempunyai sejurus dua, kukira Bengcu dan Lim-tayhiap juga tidak pandang
sebelah mata, hendaklah kau tahu diri sedikit."
"Hehe, nenek reyot biasanya cukup tahu diri," ujar Oh-lolo dengan tertawa, "Jangankan di sini
masih berkumpul sekian banyak kesatria dan pahlawan besar, melulu seorang Bu-eng-cu To
Hui saja sudah lebih dari cukup untuk membereskan nenek reyot macam diriku ini."
To Hui hanya mendengus saja.
Oh-lolo menghela napas, katanya pula, "Cuma nenek reyot mungkin sudah bosan hidup,
makanya berani datang ke sini. Ku harap To-toaya sekalian sempurnakan harapanku saja,
berikan sekali bacok padaku."
9
Tanpa terasa To Hui memandang sekejap ke arah Ji hong-ho, seperti ingin tanya apakah sang
Bengcu tahu asal-usul nenek ini. Tapi wajah Ji hong-ho tidak memperlihatkan sesuatu
perasaan pun mulut juga membungkam tanpa komentar.
dalam pada itu si nenek terus berjongkok malah sibuk makan kacangnya, tampaknya tiada
sesuatu yang ditakutinya, seperti juga memang sudah bosan hidup dan menunggu orang
membunuhnya.
To hui berdehem dua kali, lalu tertawa dan berkata, "Jika kau kenal namaku, tentunya kau
tahu orang she to takkan sembarang menyerang kau. Bila ku bunuh seorang nenek macam kau
ini, kalau tersiar, bukankah akan ditertawakan oleh kawan dunia Kangouw?"
Oh-lolo terkekeh-kekeh, katanya, "Hehe, tadinya kukira To-toaya ini seorang tokoh yang
gilang-gemilang, siapa tahu kau tidak lebih hanya seekor beruang yang main gertak saja. Jika
seorang nenek saja tidak berani kau hadapi, bila kelak tersiar, tidakkah kau akan lebih-lebih
ditertawakan?"
Lim Soh-koan dan si berewok she Hiang saling pandang sekejap dan sama tersenyum.
Senyuman mereka inilah yang membikin panas hati To Hui.
Ia menjadi murka sekalipun tahu si nenek pasti bukan orang yang mudah direcoki, biarpun
diketahuinya orang lain ingin menggunakan dia sebagai batu penguji untuk menjajal
kemampuan si nenek.
Tapi ia tidak tahan lagi, mendadak ia meraung terus menerjang si nenek, bentaknya, "Kau
sendiri yang cari mampus, jangan kau sesalkan orang she To!"
Kalau dia berjuluk "Bu-eng-cu" atau si tanpa bayangan, maka Ginkangnya pasti tidak rendah.
Di tengah berkelebatnya bayangan, serentak golok juga sudah di cabutnya, baru lenyap
suaranya, tahu-tahu ia pun sudah berada di depan Oh-lolo, kegesitannya memang cocok
dengan julukannya sebagai "si tanpa bayang".
Orang hanya sempat melihat sinar golok berkilat dan membacok Oh-lolo, tidak juga kelihatan
si nenek berdiri, bahkan tidak nampak dia melakukan sesuatu gerakan. Tapi mendadak suara
raungan To Hui berhenti ditengah jalan, sambil berjumpalitan di udara To Hui lantas
melompat mundur dengan tangan mencengkeram leher sendiri dan mat melotot besar seperti
mata ikan mas. Dada juga naik-turun, napasnya seperti mau putus.
Tiada seorangpun yang tahu mengapa mendadak To hui bisa berubah menjadi demikian,
semua orang saling pandang dengan bingung dan terkejut.
Waktu memandang Oh-lolo, nenek itu masih tetap berjongkok di tempatnya dan asyik makan
kacang, sambil menggeleng kepala ia berkata, "Ai, dasar anak rakus, hanya kuberi persen satu
biji kacang goreng, lalu dia tidak sampai hati membunuhku. Agaknya kacang goreng si nenek
sangat enak sekali rasanya."
Baru sekarang semua orang tahu bahwa pada saat To hui meraung tadi, si nenek telah
menjentik satu biji kacang ke mulutnya. Sampai-sampai tokoh semacam Lim soh-koan juga
tidak melihat cara bagaimana Oh-lolo mengerjai To Hui.
10
Diam-diam Pwe-giok membatin, "Sungguh luar biasa, cara menyambitkan senjata rahasia
begini mungkin Tong Bu-siang pun akan mengaku tidak sanggup."
Berpikir demikian baru sekarang dia ingat kepada Tong Bu-siang gadungan yang ternyata
tidak ikut serta dalam rombongan Ji Hong-ho ini. Apa yang terjadi selama dua hari ini
sungguh terlalu banyak sehingga membuatnya hampir lupa segalanya. Padahal Tong Bu-siang
gadungan itu satu-satunya petunjuk baginya untuk menyelidiki seluk beluk muslihat keji
komplotan jahat yang menghancurkan keluarganya itu. Lantaran ikut campur urusan orang
lain sehingga melupakan urusan penting pribadi.
Lui-ji merasa kedua tangan Pwe-giok mendadak berubah lebih dingin, mukanya juga penuh
keringat yang menghiasi dahinya.
Tapi Pwe-giok masih menatap ke depan sana, seperti tidak merasakan apa yang dilakukan
anak dara itu.
Dalam pada itu butiran keringat yang memenuhi jidat To hui jauh lebih banyak daripada
keringat yang diusap Lui-ji tadi. Sekarang golok pun sudah dibuangnya, kedua tangan
mencekik leher sendiri dan berteriak dengan suara parau, "Kacang ..... ka ....."
"Ai, apakah barang kali kacangku telah membikin To-tayhiap keselak?" tanya Oh-lolo dengan
tertawa. "Kenapa tidak To-tayhiap tumpahkan keluar?"
Tapi mendadak To Hui meraung murka, seperti orang gregetan, tangannya dimasukan ke
dalam mulut, tampaknya seperti hendak mengorek keluar kacang yang menyangkut di
kerongkongannya, tentu saja ia terbatuk-batuk dan muka pun merah padam seperti orang yang
tak dapat bernapas.
Maklum, tangannya terlalu besar, meski ia mengorek sebisanya, tetap sukar mengeluarkan biji
kacang yang sudah tertelan itu, suara batuknya makin kerap dan tambah keras, air muka dari
merah berubah menjadi biru, air matanya dan ingus juga bercucuran. sekonyong-konyong
tubuhnya mengejang, habis itu mendadak ia meraung keras-keras.
"Krek-krek, berbareng dengan suara gemertak di mulutnya ini, ia terus roboh terlentang.
Darah segar muncrat dari mulutnya, kedua tangannya bergerak-gerak seperti orang gila, darah
lantas terpercik dari jarinya seperti hujan gerimis.
Ternyata tangan kanannya tersisa dua buah jari saja, rupanya ketiga jari yang digunakan
mengorek kerongkongan tadi telah dikertaknya hingga putus.
Si berewok she Hiang bermaksud membangunkan rekannya itu, tapi baru dua tindak ia malah
terus menyurut mundur lagi tiga tindak, sebab mendadak ia teringat sesuatu, tanyanya kepada
Lim Soh-koan, "Apakah ..... apakah kacang itu beracun?..."
Lim Soh-koan hanya mengangguk saja tanpa menjawab.
Tiba-tiba terdengar suara krak-kruk orang yang mengunyah sesuatu, rupanya To Hui sedang
mengganyang jarinya sendiri. Mungkin saking tersiksanya sehingga dia tidak sanggup
bertahan lagi.
11
Melihat racun si nenek sedemikian keji dan lihay, semua orang sama berkeringat dingin dan
tiada satu pun berani bicara.
Dengan adem-ayem Oh-lolo lantas berkata dengan tertawa, "Wah, kacang goreng dimakan
bersama jari, rasanya pasti lain daripada yang lain. Bagus juga caramu makan enak ini, selama
hidup nenek justeru tidak pernah makan cara begini."
Melihat muka To Hui penuh berlumuran darah, mendengar pula suaranya mengganyang jari
sendiri, tentu saja semua orang merasa mual, kini Oh-lolo menambahi lagi kata-kata
demikian, si berewok Hiang yang tidak tahan, mendadak ia berlari ke pinggir dana dan
tumpah-tumpah.
Waktu dia berpaling kembali, tangan To hui sudah tidak bisa bergerak lagi, suara mengunyah
juga tidak terdengar, yang masih terdengar hanya suara napasnya yang lemah.
Sejenak kemudian, suara napas itupun lenyap, darah yang mengalir dari ujung mulut dan dari
jari putus to Hui telah berubah juga menjadi warna hitam seperti tinta.
Oh-lolo menghela napas, gumamnya "Tak tersangka seorang jago ternama seperti Bu-eng-cu
To Hui juga tidak tahan keselak satu biji kacang goreng!"
Tiba-tiba Ji Hong-ho menghela napas panjang dan berucap, "Kiranya Oh-lolo yang tiba!"
Mendengar nama "Oh-lolo" disebut, seketika semua orang berteriak kaget.
Sebaliknya Oh-lolo sendiri lantas terkekeh-kekeh, katanya, "Dari ucapanmu ini, agaknya baru
sekarang kau kenal aku ini Oh-lolo?"
"Hendaknya Lolo sudi memaafkan bilamana kami punya mata tapi tak bisa melihat," ucap Ji
Hong-ho.
Oh-lolo menatapnya lekat-lekat, seperti baru pertama kali melihatnya. Wajahnya yang penuh
keriput tapi bersifat licin itu pun menampilkan rasa kejut dan heran.
Meski Ji hong-ho masih tetap tersenyum, tapi jelas juga merasa tidak tenteram karena
dipandang setajam itu oleh si nenek, siapa pun akan merasa tidak enak dipandang oleh mata
yang licik dan licin seperti mata rase tua itu.
Akhirnya Oh-lolo menghela napas, katanya sambil menggeleng, "Sungguh kau seorang yang
hebat, sampai si nenek juga tidak dapat memahami dirimu. Jika tadi kau pinjam tanganku
untuk membunuh To hui, sekarang To hui sudah mati, kenapa kau masih berlagak tidak kenal
padaku?"
Ji Hong-ho tersenyum, jawabnya, "Cayhe memang ........."
"Kau kan kenal diriku," jengek Oh-lolo. "Sudah 20 tahun lamanya kau kenal nenek ini. Setiap
orang yang berjumpa satu kali saja dengan ku, selama hidup pula takkan kulupakan. Apalagi
antara kau dan aku kan juga ada sedikit hubungan, masakah kau lupa."
12
Senyuman yang selalu menghiasi wajah Ji Hong-ho itu seketika beku, perubahan ini mungkin
tidak diperhatikan oleh orang lain, tapi tidak terlepas dari pengamatan Ji Pwe-giok.
Lui-ji merasakan tangan Pwe-giok sedingin es, tapi mendadak berubah panas membara,
bahkan dapat dirasakannya denyut jantung dan gemetar tubuhnya.
Dalam pada itu terdengar Oh-lolo lagi berkata, "Jelas kau kenal padaku, mengapa berlagak
tidak kenal?"
Hampir saja berteriak, "Dia tidak berlagak, tapi dia memang tidak kenal padamu, sebab dia
bukan Ji Hong-ho yang kau temui 20 tahun yang lalu itu, dia ini Ji Hong-ho gadungan."
Terpaksa Pwe-giok menggertak gigi sekuatnya sehingga tidak sampai bersuara. Otot daging
mukanya sampai berkerut-kerut saking menahan derita perasaannya.
Melihat wajah yang demikian ini, Lui-ji ikut merinding, tak tersangka olehnya wajah Pwegiok
dapat berubah sedemikian menakutkan.
Mendadak terdengar Ji Hong-ho bergelak tertawa, serunya. "Kejadian 20 tahun yang lalau
sudah lama kulupakan, untuk apa Lolo mengingatnya?"
"Tapi urusan demikian selamanya takkan kulupakan," jengek Oh-lolo.
Ji Hong-ho bermaksud menutupi kecanggungannya dengan suara tertawanya, tapi demi
mendengar ucapan si nenek yang terakhir ini, seketika suara tertawanya berubah lebih kasar
daripada suara kayu digergaji. Tanyanya kemudian dengan suara serak "Jadi kedatanganmu
ini bermaksud menuntut balas?"
Gemerdep sinar mata Oh-lolo, dipandangnya sejenak pula, lalu menjawab dengan perlahan,
"Betul, tentunya kau tahu cara bagaimana si nenek akan menuntut balas. Barang siapa pernah
bersalah padaku, si nenek pasti akan membalasnya dengan berlipat ganda, kalau ditambah lagi
dengan rente selama 20 tahun, maka ..... hahaha ....."
Dia jejalkan dua biji kacang ke dalam mulut dan dikunyahnya dengan bernapsu seakan-akan
kacang goreng itu adalah Ji hong-ho yang sedang diganyang.
Tiba-tiba Lim Soh-koan berteriak, "Sekalipun Cianpwe adalah orang kosen dunia persilatan,
tapi hendaklah jangan kau lupa akan kedudukan Ji-tayhiap sekarang!"
"Kedudukan apa?" tanya Oh-lolo dengan mendelik.
"Jika Cianpwe melakukan sesuatu tindakan terhadap Bengcu, maka sama halnya Cianpwe
memusuhi segenap orang Bu-lim," ucap Lim Soh-koan dengan bengis.
Oh-lolo tetap tertawa, katanya, "Apakah seluruh orang Bu-lim berada di sini? Eh, kenapa
tidak kulihat. Yang terlihat oleh nenek hanya kalian berlima, kalau cuma kalian berlima saja
rasanya nenek masih sanggup melayani."
13
Lim Soh-koan menggenggam pedangnya erat-erat, butiran keringat sudah merembes di
jidatnya. Si berewok Hiang berdehem sambil menyurut mundur dua tindak, lalu berkata, "Jika
Cianpwe ada permusuhan lama dengan Bengcu, sudah tentu Cayhe takkan ikut campur."
"Nah, tinggal empat orang sekarang," ucap Oh-lolo dengan tenang.
Seorang di sebelah si berewok Hiang berwajah kuning, ia pun berdehem dan berkata, "Orang
she Song biasanya tidak suka ikut campur urusan orang lain, apalagi urusan para Bu-limcianpwe.
cayhe lebih-lebih tidak berani ikut campur."
"Nah, tinggal tiga," tukas Oh-lolo pula.
Seorang lagi berbadan jangkung, segera ia pun berseru, "Selamanya Cayhe maju atau mundur
bersama Song-heng, apa yang menjadi pikiran Song-heng juga menjadi pikiranku."
"Bagus, tinggal dua," kata Oh-lolo dengan tertawa. "Wah, tampaknya sahabat orang she Ji
rata-rata memang kaum pendekar sejati, kalau mereka memang kaum pendekar sejati, kalau
mereka bukan orang semacam ini, tentunya kau takkan mencari mereka, betul tidak ?"
"Creng", Lin Soh-koan meloloskan pedangnya, tapi baru saja terlolos separuh, mendadak Ji
Hong-ho memegang tangannya.
Lim Soh-koan terkesiap, tanyanya dengan suara tertahan, "Apakah Bengcu ingin menunggu
dia turun tangan lebih dulu?"
Ji Hong-ho tersenyum hambar, ucapnya, "Dia takkan turun tangan, jika dia bermaksud
bertindak sesuatu, tentu dia takkan bicara seperti ini."
Lim Soh-koan merasa sangsi, tapi Oh-lolo sudah lantas berkeplok tertawa, katanya, "Betul
juga, tampaknya orang yang bisa menduduki singgasana Bengcu memang lain daripada yang
lain.
Apa yang kukatakan ini hanya sebagai pemberitahuan saja bahwa sekarang kalian sudah
berada dalam genggamanku, makanya kalau nenek bertanya hendaklah kalian menjawab
sejujur-jujurnya."
"Apa yang hendak kau tanyakan" kata Ji hong-ho.
Oh-lolo menuding si berewok bertiga, lalu berkata, "Meski nama ketiga orang ini cukup
terkenal di dunia Kangouw, tapi kalau dijumlahkan rasanya tidak laku satu tahil perak. Tapi
sekarang kau sengaja membohongi Ang-lian-hoa dan lain-lain sehingga mereka telah pergi
dari sini, sebaliknya kau malah membawa orang-orang ini ke sini, sesungguhnya apa maksud
tujuanmu di balik semua perbuatanmu ini ?"
Ji hong-ho berdiam sejenak, jawabnya kemudian, "Apa yang hendak kulakukan masakah Lolo
tidak tahu?"
"Mungkin ku tahu, tapi juga mungkin tidak tahu," uajr Oh-lolo. "Pendek kata ingin kudengar
dari mulutmu sendiri, dengan begitu barulah hati nenek bisa tenteram."
14
Ji Hong-ho berpikir sejenak, katanya kemudian: "Tujuanku adalah ingin mencari sesuatu
barang di sini, nilai barang ini tidak dapat ditaksir oleh siapa pun, tapi nenek sendiri tentunya
sudah tahu."
Mencorong sinar mata Oh-lolo, ucapnya, "Dan kalau barang itu ditemukan, apakah nenek
juga akan mendapat bagian?"
Hong-ho tersenyum, jawabnya , "Setiap orang yang hadir disini akan mendapatkan
bagiannya."
Serentak Oh-lolo melompat bangun, ia melemparkan sebuah cangkul kepada si Hiang
berewok dan berseru, "Jika demikian, kalian menunggu apa lagi?"
*****
Pondasi bangunan berloteng kecil itu ternyata sangat kuat, ketika dicangkul, rasanya seperti
mencangkul papan besi saja, selain menerbitkan suara nyaring memekakkan telinga, bahkan
memercikkan lelatu api.
Lelaki jangkung tadi berpakaian yang terbuat dari bahan sutera, baju yang mentereng itu
sekarang sudah basah kuyup oleh air keringat,. Sembari ayun cangkulnya ia menggerundel,
"Cong-piauthau dari Tin-wan-piaukiok, Thi-kim-kong Han Tay-goan dan tuan muda dari
Ban-bok-ceng Song In-seng, kini telah menjadi kuli penggali tanah, coba, apakah tidak
runyam?"
Kawannya yang bernama Song Ing-seng yang berwajah kuning itu menyengir, katanya, "Ini
kan kita lakukan dengan sukarela, bukan?"
"Betul", kata si jangkung, Han Tay-goan, "kita memang sukarela, demi mendapatkan barang
itu, jangankan cuma menggali tanah, sekalipun aku disuruh menguras kakus juga tidak
menjadi soal. Yang kukuatirkan hanya kalau nanti barang ini sudah ditemukan, lalu mereka
akan melupakan kita."
Sembari bicara ia pun melirik ke sana, dilihatnya Ji Hong-ho, Oh-lolo dan Lim Soh-koan
berdiri cukup jauh, maka beranilah dia bicara tanpa takut.
Song Ing-seng menjawab, "Jika mereka tidak mau memberi bagian pada kita, untuk apa pula
kita didatangkan ke sini?"
"Justeru ku kuatir kita hanya akan dijadikan kuli belaka," ujar Han Tay-goan.
Sambil mengusap keringat song Ing-seng berkata, "Kuyakin Ji Hong-ho bukan manusia
demikian."
"Hm, semula akupun percaya dia bukan orang demikian, tapi sekarang ...." Han Tay-goan
mendengus, "coba kau lihat nasib Lui Hong atau tidak? Bisa jadi nasib kita nanti juga tidak
berbeda banyak dengan mereka."
Mendadak ia berpaling ke sana dan bertanya kepada si Hiang berewok, "He. hiang-lotoa, kau
dengar percakapan kami tidak?"
15
Cambang Hiang berewok juga penuh butiran keringat, dengan suara parau ia menjawab,
"Biarpun dengar lantas mau apa? Memangnya sekarang kita dapat berhenti?"
Tiba-tiba terdengar Lim soh-koan berteriak kepada mereka. "Apakah kalian menemukan
sesuatu?"
"Tidak, tidak menemukan apa-apa," jawab si berewok Hiang.
Oh-lolo lantas menjengek, "Hm, hendaklah kalian kerja segiatnya, kalau tidak menemukan
apa-apa tentu kalian yang akan menerima akibatnya."
"Tapi ..... tapi kalau barang itu tidak berada di sini?" tanya si berewok.
"Kalau barang itu tidak berada di situ, kalian lantas ku pendam hidup-hidup," kata Oh-lolo.
Dalam pada itu Lui-ji tidak tahan lagi, ia membisiki Pwe-giok "sekarang mereka tentu tak
mendengar suara kita."
Pwe-giok mengangguk.
"Sesungguhnya barang apa yang ditanam ibu di situ? Setahuku, kedatangan ibu di sini
bertekad akan menjadi nyonya yang baik, ingin hidup bahagia berumah tangga, maka barang
perhiasan sedikit pun tidak dibawanya ke sini."
"Yang hendak mereka cari sekarang pasti bukan barang sebangsa perhiasan," ujar Pwe-giok.
"Masa?" tanya Lui-ji
"Tapi batu permata yang kau keluarkan itu kan tidak disimpan kembali, setiap orang yang
naik ke loteng sana tentu juga melihatnya," kata Pwe-giok.
"Ya, tapi kan terbungkus rapat dengan kain?"
"Biarpun terbungkus rapat, orang yang berpengalaman seperti mereka itu tentu dapat melihat
apa yang terbungkus di dalamnya. apalagi dalam kegelapan, cahaya batu permata tetap dapat
tembus keluar. Sebab itulah, bilamana yang mereka kehendaki adalah batu permata, tentu
bungkusan benda berharga itu takkan dibiarkan ikut terbakar."
"Habis apa yang mereka cari?" ucap Lui-ji sambil berkerut kening.
Pwe-giok tidak menjawabnya, sebab ia sendiri pun tidak tahu.
Sementara itu lubang galian si Hiang berewok sudah cukup dalam, pondasi loteng kecil itu
sudah berubah menjadi sebuah kubangan beberapa meter persegi.
Ketiga orang itu berada di dalam kubangan, dipandang dari tempat persembunyian Pwe-giok
kepalanya saja tidak kelihatan, hanya terkadang terlihat ada sepotong dua potong batu atau
kayu dilempar ke atas.
16
Kini Oh-lolo, Ji hong-ho dan Lim Soh-koan juga sudah berdiri di tepi kubangan itu, mereka
kelihatan mulai gelisah. Akhirnya suara galian itu berubah menjadi lunak, tiada batu kerikil
lagi yang terlempar ke atas. Nyata batu koral yang digunakan sebagai pondasi pun sudah
tergali keluar semua dan telah menembus ke bagian yang cuma tanah liat melulu.
Sejenak kemudian, Lim Soh-koan berkata, "Mungkin Siau-hun-kiongcu tidak
menyembunyikan barang itu di sini, bisa jadi memang tidak dibawanya kemari."
"Dibawanya kemari, bahkan disembunyikan di sini," ucap Oh-lolo.
"Darimana Cianpwe tahu?" tanya Soh-koan.
"Sudah tentu ku tahu, bilamana kau mau menggunakan otakmu tentu juga kau akan tahu,"
jawab Oh-lolo dengan dingin.
"Ya, tentunya Tonghong Bi-giok mengetahui dengan pasti bahwa barang itu disembunyikan
di sini, makanya dia tidak mau pergi," kata Ji Hong-ho. "Dengan sendirinya pula Tonghongsengcu
menggunakan barang itu sebagai syarat pertukaran, makanya Li-thian-ong dan lainlain
mau diundang ke sini."
Lim Soh-koan menggigit bibir, ucapnya, "Tapi kalau Siau-hun-kiongcu sudah memiliki
barang ini, mengapa dia tidak memanfaatkannya, sebaliknya malah dipendam di bawah
tanah?"
"Hal ini disebabkan dia sudah bertekad akan menjadi seorang nyonya rumah tangga yang
baik, tapi ia pun tidak ingin barang itu jatuh ditangan orang lain, maka....." sampai di sini Ohlolo
mendengus lalu menyambung, "itulah akibatnya kalau seorang perempuan sudah jatuh
cinta, seringkali dia dapat bertindak sesuatu yang aneh dan lucu."
Pada sat itulah, sekonyong-konyong terdengar suara ringkik kuda disusul dengan suara
menggelindingnya roda kereta.
Oh-lolo, Ji Hong-ho dan Lim Soh-koan sama kaget dan cepat berpaling.
Pada kesempatan itulah Lui-ji lantas membisiki Pwe-giok pula, "Tahulah aku barang apa yang
hendak mereka cari!"
"Oo?" Pwe-giok merasa heran.
"Yang ingin mereka temukan pastilah sejilid kitab pusaka ilmu silat yang sangat hebat." bisik
Lui-ji. "Entah darimana ibu mendapatkan kitab pusaka itu, tapi sebelum beliau sempat
berlatih sudah keburu bertemu dengan Tonghong Bi-giok, oleh karena ibu bertekad akan
hidup berumah tangga dengan baik, maka segala macam ilmu silat sudah tidak ada gunanya
lagi baginya. Sebab itulah ibu lantas menyembunyikan kitab pusaka itu. Celakanya, apa yang
dilakukan ibu itu justeru diketahui oleh Tonghong Bi-giok."
Sembari mendengarkan, berulang Pwe-giok mengangguk, sebab penuturan anak dara itu
memang sangat masuk di akal, betapapun Pwe-giok tidak menemukan jawaban lain yang
melebihi cerita Lui-ji itu.
17
Ketika Lui-ji selesai bercerita, tertampak sebuah kereta kuda telah menerobos ke tengah kota
yang sudah berwujud puing itu.
Daripada dikatakan sebuah kereta, akan lebih tepat kalau dikatakan sebuah rumah yang dapat
bergerak. Sebuah rumah yang dipasangi roda kereta dan ditarik oleh enam belas ekor kuda.
Jika tetap dikatakan sebuah kereta kuda, maka di dunia ini mungkin tidak ada kereta kuda
yang lebih besar daripada kereta ini. Mungkin ruang kereta ini cukup untuk memuat ratusan
penumpang.
Ji Hong-ho mengernyitkan kening, tanyanya kepada Lim Soh-koan, "Apakah sudah kau
pasang penjaga di sekitar sini?"
"Sudah," jawab Soh-koan.
"Jika begitu, apakah mereka semuanya tertidur, masa kereta ini dibiarkan menerobos ke sini,
seumpama mereka tidak merintanginya, paling tidak kan mesti memberi tanda bahaya," kata
Ji Hong-ho pula.
Dalam pada itu kereta tadi sudah berhenti di kejauhan, mereka mengira percakapan mereka
pasti tidak didengar oleh lawan.
Tak terduga, baru habis ucapan Ji Hong-ho, mendadak di dalam kereta itu ada orang
menanggapi dengan tertawa, "Hal ini pun tak dapat kau salahkan mereka, sebab mereka
memang sudah siap hendak melepaskan panah api, tapi sayang sebelum sempat berbuat begitu
kepala mereka sudah terpenggal lebih dulu," orang itu tertawa terkikik-kikik, lalu
menyambung, "Tentunya dapat kau bayangkan seorang kalau sudah kehilangan kepala, lalu
apa lagi yang dapat dibuatnya?"
Kata-kata ini sebenarnya berlebihan, tapi orang itu justeru menganggap sebagai lelucon yang
paling lucu dan tertawa terkial-kial, seakan-akan di dunia ini tiada lelucon lain yang lebih
lucu.
Begitulah sembari bicara sambil tertawa, suaranya kecil, tertawanya juga renyah,
kedengarannya seperti suara anak perempuan yang belum akil balik, yang suka merasa geli
terhadap kebanyakan kejadian di dunia ini, misalnya orang kentut saja dapat membuatnya
tertawa terpingkal-pingkal.
Orang semacam ini kebanyakan bersifat periang, ramah tamah, bila dapat bertemu dengan
orang seperti ini kebanyakan orang akan merasa senang. Akan tetapi, sekarang Oh-lolo
justeru tidak merasa senang sedikit pun.
Begitu mendengar suara tertawa orang, segera nenek ini seperti mau mengeluyur pergi, tapi
ketika ia memandang kubangan sana, tampaknya merasa berat pula untuk pergi.
Selagi ragu-ragu, mendadak pintu kereta raksasa itu terbuka, belasan lelaki kekar dengan
setengah badan telanjang, hanya memakai celana satin merah, menggotong keluar sebuah
ranjang besar.
18
Ukuran ranjang ini pun sangat mengejutkan, di atas ranjang penuh tertimbun beraneka macam
barang, ada ayam dan babi panggang yang lezat, ada buah-buahan yang warnanya segar, ada
manisan dan nyamikan, ada pula berbagai minuman botol dan kaleng, pokoknya makanan dan
minuman enak apapun yang kau bayangkan pasti terdapat di tempat tidur itu.
Dan di tengah-tengah barang makanan dan minuman itulah berduduk seorang dengan
setengah berbaring.
Melihat orang ini, sampai Ji Hong-ho juga hampir saja tertawa geli.
Sebab yang berbaring itu daripada dikatakan sebagai manusia, akan lebih tepat kalau
dikatakan cuma seonggok daging. Onggokan daging yang ditumpuk dengan beberapa ratus
kati daging gemuk pilihan.
Badannya hampir tidak memakai kain apapun, ini pun tak dapat menyalahkan dia. Bayangkan
saja, kalau perutnya yang gendut itu sudah melambai sampai dengkul, cara bagaimana pula
dia akan memakai celana? Kalau dua orang menyunggih perutnya dengan kepala, bisa jadi
sekadarnya dapat memberinya pakai sebuah cawat.
Waktu itu si Hiang berewok, Song Ing-seng dan Hay Tay-goan baru saja melompat naik dari
dalam kubangan, ketika mendadak melihat makhluk seaneh itu, mereka terkejut dan juga geli.
Tapi orang gendut itu sudah mendahului tertawa terkikik-kikik, katanya, "Orang suka bilang
An Lok-san (seorang panglima perang di jaman dinasti Tong) gemuk seperti babi, tapi
menurut keyakinanku, dua orang An-Lok-san juga tidak segemuk diriku. Di dunia ini kalau
ada lomba orang gemuk, aku pasti akan ikut dan aku pasti akan keluar sebagai juara. Betul
tidak?"
Makhluk raksasa begini suara bicaranya ternyata lirih rendah seperti anak perempuan kecil,
maka si Hiang berewok dan lain-lain tidak tahan lagi, mereka sama tertawa geli.
Si gendut juga ikut tertawa, bahkan terlebih riang daripada siapa pun juga, sampai-sampai
wajah Lim Soh-koan yang tadinya tampak tegang juga mengendor.
Di antara mereka hanya seorang saja yang sama sekali tidak menampilkan senyuman setitik
pun, orang itu ialah Oh-lolo. Dia berdiri kaku seperti patung.
Pada saat itulah si gendut telah memandangnya, ucapnya dengan tertawa terkikik-kikik, "He,
orang lain sama tertawa, mengapa kau malah tidak tertawa-tawa? Melihat orang gendut
semacam diriku, masa kau tidak merasa geli?"
Muka Oh-lolo yang penuh keriput itu terpaksa menampilkan secercah senyuman, sudah tentu
senyuman yang lebih tepat dikatakan menyengir.
Hal ini membuat si nenek tambah tua, mestinya dia kelihatan berusia 80-an tahun, kini
tampaknya sudah 160 tahun. Dengan menyengir ia berusaha mengumpak, "Gendut? Mana ada
orang gendut? kenapa nenek tidak melihatnya?"
"Kan jelas aku berada di depanmu, masa tidak kau lihat? kata si gendut.
19
"Ah, Cianpwe cuma bertubuh sangat kekar mana bisa dihitung gendut? ujar Oh-lolo sambil
menyengir.
Mendadak si gendut menarik muka, katanya dengan gusar, "Kau kira setiap orang gemuk
pantang dikatai oleh orang lain, makanya kau hendak menjilat pantatku?"
Melihat wajah orang yang menampilkan rasa marah, Oh-lolo berbalik merasa lega, dengan
mengiring tawa ia menjawab, "Tetapi yang kukatakan adalah sesungguhnya."
"Tidak, kau tidak omong sesungguhnya," ujar si gendut. "Mestinya akan ku potong lidahmu."
Mendadak ia menghela napas panjang, lalu menggeleng dan menyambung, "Tapi aku benar
terlalu gemuk, saking gemuknya sehingga bergerak saja malas, untuk itu hendaklah kau suka
bantu aku, sudilah kau potong lidahmu sendiri? Kalau tidak potong lidah, potong hidung juga
bolehlah!"
Dia bicara dengan serius, tentu saja orang lain akan tertawa geli, bahwasanya dia minta
bantuan orang lain, yang diminta justeru agar orang lain suka memotong hidungnya sendiri.
Di dunia ini mungkin tiada sesuatu yang lebih mustahil daripada hal ini.
Siapa tahu, Oh-lolo tidak banyak cingcong lagi, "sret", mendadak ia lolos pedang yang
tergantung di pinggang Lim Soh-koan, kontan dia benar-benar memotong hidung sendiri.
Baru saja hidung yang berlumuran darah itu jatuh, segera Oh-lolo membuang pedang dan
berlari pergi dengan mendekap mukanya.
Keruan Lim Soh-koan dan lain-lain sama melenggong dan tiada satupun yang sanggup
tertawa lagi.
Si gendut lantas berkeplok dan tertawa gembira, teriaknya, "Haha, di dunia ini ternyata ada
orang yang mengiris hidungnya sendiri, masa kalian tidak tertawa?"
Tapi semua orang hanya saling pandang saja betapapun mereka tidak sanggup tertawa.
Si gendut menghela napas, katanya, "Ai, kenapa kalian sama sekali tidak tahu hal-hal yang
menarik, sungguh sangat mengecewakan aku," Mendadak ia tuding Song Ing-seng dan
bertanya, "Eh, siapa namamu."
"Cay ... Cayhe Song ... Song Ing-seng."
"Tadi kulihat kau tertawa dengan riang gembira mengapa sekarang kau tidak tertawa lagi?"
tanya si gendut.
Sebisanya Song Ing-seng ingin tertawa, akan tetapi wajahnya ternyata lebih buruk daripada
menangis.
"Sudahlah, jika kau tidak paham akan kesenangan, apa gunanya kau mempunyai telinga,
kumohon tolong padamu, sudilah kau bantu memotong kupingmu sendiri!" demikian pinta si
gendut.
20
Jika kata-kata ini diucapkan orang lain, mungkin gigi Song Ing-seng akan copot saking
tertawa geli. Tapi sekarang dia tidak lagi merasakan lucu, bahkan ketakutan setengah mati.
Dia pandang perut si gendut yang kedodoran itu, pikirnya, "Oh-lolo saja takut terhadap orang
gemuk ini, tentunya dia memang sangat lihay. Tapi umpama aku tidak sanggup melawannya,
masa aku tak dapat lari saja secepatnya?"
Berpikir demikian, tanpa bersuara lagi segera ia membalik tubuh dan angkat langkah seribu.
Si gendut bergelak tertawa, katanya, "Coba kalian lihat, orang ini telah lari, sebab apakah dia
lari?"
Ilmu silat Song In-seng terhitung kelas tinggi juga di dunia Kangouw, kini dia lari dengan
ketakutan, sudah tentu cepatnya seperti burung terbang, hanya sekejap saja, selagi si gendut
bicara, dia sudah berlari berpuluh tombak jauhnya.
Semua orang merasa yakin si gendut pasti tak mampu mengejarnya.
Tak terduga, pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara "wuut", selarik cahaya
perak terus meluncur ke sana secepat meteor jatuh, hanya sekejap saja sinar perak itu sudah
menyusul Song In-seng, sekali berputar mengelilingi badan Song In-seng, segera cahaya
perak itu melayang kembali ke tangan si gendut.
Waktu semua orang mengawasi, kiranya cuma sebuah piring perak tempat buah-buahan.
Song In-seng kelihatan masih terus berlari ke depan, tapi baru dua-tiga langkah, setengah
badan bagian atas mendadak menekuk patah ke belakang, darah pun menyembur ke udara
seperti air mancur. Kedua kakinya masih sempat berlari lagi tiga langkah ke depan, habis itu
barulah ambruk.
Hiang berewok dan lain-lain tergolong kaum pembunuh kejam, tapi adegan ngeri begini
selama hidup pun belum pernah mereka lihat.
Hanya dengan sebuah piring perak si gendut sanggup menabas badan seorang sebatas
pinggang hingga putus menjadi dua, kungfu sehebat ini sungguh dengar saja mereka belum
pernah dengar.
Sekali ini mereka baru benar-benar melenggong ketakutan.
Tapi si gendut lantas berkeplok tertawa pula, serunya "Coba kalian lihat orang mati masih
dapat berlari, lucu atau tidak? Apakah kalian tidak merasa geli, mengapa tiada seorang pun
yang tertawa?"
Tanpa disuruh lagi, sekali ini Han Tay-goan mengerahkan segenap tenaganya dan bergelak
tertawa sekerasnya.
"Nah, tertawa, ada orang tertawa!" seru si gendut dengan senang, "Eh siapa namau?"
"Cayhe Han .... Han Tay-goan!"
21
"Kau tertawa segembira ini, apakah karena kau merasa aku si gendut ini sangat lucu?"
"Ya, sangat lucu, kau si gendut ini benar-benar sangat lucu dan menggelikan."
"Haha, tampaknya cuma kau saja yang tahu hal-hal yang lucu, kuyakin kau pasti suka
menolong berbuat sesuatu bagi si gendut."
Seketika Han Tay-goan seperti tercekik lehernya, dengan suara parau ia berkata, "Aku sudah
bicara demikian dan kau masih.... masih hendak...."
"Habis kalau bukan kau yang menolong diriku, siapa lagi yang akan menolong?"
Seketika Han Tay-goan melonjak dan meraung murka, "Kau si gendut jahanam, kau babi
mampus, biar ku adu jiwa denganmu!"
Di tengah raungannya, segera ia angkat cangkulnya dan menerjang ke sana.
Si gendut benar-benar seperti tidak mampu bergerak sedikitpun, sama sekali ia tidak mampu
mengelakkan serangan Han Tay-goan, cangkul itu dengan tepat memacul di atas perutnya.
Orang segendut itu, perut sebesar itu, bilamana tercangkul, perut tentu akan robek dan darah
pasti akan mengalir lebih banyak daripada orang biasa.
Siapa tahu, ketika pacul itu mengenai perutnya, badan si gendut sama sekali tidak terluka,
apalagi mengucurkan darah. Sebaliknya cangkul itu seolah-olah terisap oleh gumpalan
daging, meski Han Tay-goan sudah mengerahkan segenap tenaganya tetap tak dapat
menariknya kembali.
Si gendut masih tetap tertawa gembira, ketika sebelah tangannya menampar muka Han Taygoan,
kontan sesosok tubuh mencelat seperti layangan yang putus benangnya, melayang ke
udara dan berjumpalitan beberapa kali, habis itu baru terbanting ke bawah. Namun kepalanya
sudah hancur seperti buah tomat lalu yang pecah.
Hiang berewok terkesima ketakutan, dia berjuluk "Sin-kun-bu-tek" atau pukulan sakti tanpa
tandingan, dengan sendirinya tenaga pukulannya maha dahsyat, tapi tenaga pukulan si gendut
ternyata berpuluh kali lipat lebih kuat daripadanya. Sungguh tak pernah terpikir olehnya
bahwa di dunia ini ada orang bertenaga sebesar ini.
Dalam pada itu sorot mata si gendut sudah beralih ke arahnya dan bertanya dengan tertawa,
"Eh, siapa namamu?"
Kedua kaki si berewok terasa lemas seluruhnya, tanpa disuruh, "brek", ia terus berlutut dan
berkata dengan suara gemetar, "Siaujin (hamba) she Hiang, jika Cianpwe suruh hamba potong
hidung, segera hidung akan kupotong, bila hamba disuruh potong kuping, segera pula hamba
akan potong kuping, pasti takkan lari dan juga pasti takkan melawan."
Si gendut menghela napas, katanya, "Aku sangat tertarik oleh cambangmu yang lebat ini,
sebenarnya aku cuma ingin memotong cambangmu saja, tapi kau sendiri rela memotong
hidung dan mengiris kuping, ya, apa boleh buat?"
22
Seketika Hiang berewok jadi melenggong sendiri, ya takut ya menyesal.
Si gendut berkata pula, "Nah, kalau kau sendiri sudah sukarela, mengapa tidak lekas kau
kerjakan?"
Terpaksa Hiang berewok nekat, golok dicabutnya, ia pikir seorang biarpun kehilangan hidung
dan kuping kan jauh lebih baik daripada kepalanya hancur.
Akibatnya, dia menjerit terus jatuh pingsan.
Lalu si gendut berkata pula dengan tertawa. "Konon di sini ada seorang yang menjabat Bulim-
bengcu segala, siapakah gerangan sebenarnya?"
"Ialah diriku." jawab Ji Hong-ho.
Sampai sekarang dia masih tetap tenang dan sabar, sampai Pwe-giok dan Lui-ji diam-diam
merasa kagum juga.
"Ehm, tampaknya hanya kau yang menyerupai seorang Bu-lim-bengcu." ucap si gendut
dengan tertawa. "Eh, maukah kau menolong diriku?"
Akhirnya tiba juga giliran Ji Hong-ho!
Pwe-giok genggam kencang tangan Lui-ji, entah girang, tegang. Meski dalam hatinya sangat
ingin menyaksikan iblis jahat ini dibinasakan orang, tapi ia pun tidak menghendaki dia mati
sekarang, lebih-lebih tidak ingin dia dibunuh oleh orang lain. Betapapun Pwe-giok bertekad
akan membunuh musuh ini dengan tangan sendiri untuk mencuci bersih nama kotor dan
dendam keluarga Ji.
Akan tetapi, biarpun dia tidak rela, apa daya? Jika kepandaiannya dibandingkan si gendut
ibaratnya capung hendak menggoyangkan cagak.
Tiba-tiba terdengar Ji Hong-ho berkata dengan suara tertahan, "Apabila sang Thian-cia-sing
ada perintah, mana Cayhe berani membangkang?"
Seketika wajah si gendut memperlihatkan rasa kejut, tanyanya, "Kau tahu namaku?"
Ji Hong-ho tersenyum, ia menjawab seperti berpantun, "Thian-cia-sing (bintang pemakan),
liang-cing-cing (terang benderang), semua dimakan habis tanpa tandingan, sepuluh laksa
prajurit dapat mengisi perutnya.... Sudah lama kudengar keperkasaan Cianpwe, selama ini
pula tidak pernah kulupakan."
"Dari siapa kau dengar cerita mengenai diriku?" kembali si gendut atau Thian-cia-sing,
menarik muka pula.
Ji Hong-ho tidak bersuara, tapi memberi isyarat tangan. Cuma sayang, dipandang dari tempat
sembunyi Pwe-giok, gerak tangan Ji Hong-ho itu teraling tubuhnya sehingga tidak kelihatan.
Yang jelas air muka si gendut lantas rada berubah dan bertanya pula, "O, kau kenal dia?"
23
Dengan tersenyum Ji Hong-ho menjawab, "Berkat kebijaksanaan beliau, Cayhe tidak
dipandangnya sebagai orang luar."
Thian-cia-sing tidak bicara lagi, tapi terus menerus mencomot makanan dan dijejalkan ke
dalam mulut, entah makanan itu babi atau ayam panggang, buah-buahan, manisan atau asinan,
semuanya di makan, seperti mesin pabrik, giling terus.
Baru sekarang Pwe-giok melihat makanan yang tertimbun di atas tempat tidur itu sekarang
sudah lebih separuh dimakan oleh si gendut. Nyata julukan "makan habis seluruh dunia tanpa
tandingan" memang tidak bernama kosong.
Selang agak lama, terlihatlah Thian-cia-sing tersenyum pula dan berkata, "Jika kau ada
hubungan dengan si makhluk tua aneh itu, maka aku pun takkan minta tolong lagi padamu.
Tapi ada beberapa soal tidak boleh tidak harus kutanyai kau."
"Apa yang Cayhe ketahui pasti kukatakan, apa yang kukatakan pasti jelas," jawab Ji Hong-ho
"Konon demi membantu Cu Bi, si Hong Sam telah ngendon beberapa tahun di sini, apakah
betul keterangan ini?" tanya Thian-cia-sing.
"Memang betul," jawab Hong-ho.
"Dan di manakah mereka sekarang? Apakah mati terbakar?"
"Waktu api berkobar mereka masih berada di sini, sesudah api padam, ternyata tiada
ditemukan mayatnya."
"Darimana kau tahu tiada terdapat mayatnya?"
Ji Hong-ho menghela napas, ucapnya, "Sebab tidak terlihat sepotong tulang belulang apapun
di sini."
Thian-cia-sing berkerut kening, tiba-tiba ia tertawa dan berkata pula, "Konon entah dari siapa
Cu Bi mendapatkan sesuatu barang, kabarnya barang siapa mendapatkan barang ini akan bisa
malang melintang di dunia ini, entah berita ini betul atau tidak?"
"Sumber berita Cianpwe ternyata sangat tajam, berita ini memang betul" jawab Ji Hong-ho
dengan tertawa.
"Jika demikian, tadi kalian sedang menggali di sini, agaknya kalian sedang mencari barang
tersebut?"
"Memang begitulah." kata Hong-ho.
"Dan sudah kau temukan belum?" tanya Thian-cia-sing.
Jawab Hong-ho sambil menyengir, "Sudah dua tiga tombak dalamnya kami menggali tempat
kediaman Cu Bi ini, makin lama makin basah tanahnya, jelas sudah hampir mencapai mata air
di bawah tanah, tapi secarik kertas saja tidak diketemukan."
24
Thian-cia-sing terkikik-kikik, katanya, "Bekerja harus sampai akhirnya, mana boleh kepalang
tanggung, kenapa tidak kau gali lagi lebih dalam?"
Ji Hong-ho tidak bicara lagi, ia mengedipi Lim Soh-koan, keduanya mengangkat cangkul
terus melompat ke dalam kubangan tadi. Tidak lama kemudian, terlihatlah sumber air muncrat
ke atas dengan kerasnya.
Dengan basah kuyup Ji Hong-ho dan Lim Soh-koan lantas melompat ke atas.
"Tetap tidak ditemukan apa pun." tutur Hong-ho sambil menyengir.
Thian-cia-sing berpikir sejenak, katanya kemudian, "Jika demikian, tampaknya Cu Bi tidak
menyembunyikan barang itu di sini."
"Tampaknya memang demikian." ujar Ji Hong-ho dengan menyesal.
"Sudahlah, barang begini, tidak ketemu akan lebih baik, supaya tidak membikin celaka
orang," ujar Thian-cia-sing dengan tertawa. Makin riang tertawanya sehingga terkial-kial,
bernapas saja kelihatan sesak.
Ji Hong-ho berdehem, lalu berkata, "Jika Cianpwe tidak ada pesan lain, Cayhe ingin mohon
diri saja."
Thian-cia-sing tertawa sambil memberi tanda, "Ya, pergilah, pergi lekas! Makin cepat makin
baik. Selanjutnya sebaiknya juga jangan sampai kulihat kau lagi. Bila melihat kau, segera
kuingat kepada si makhluk tua aneh itu, dan bila teringat kepada si makhluk tua aneh
kepalaku lantas pusing."
Dan Ji Hong-ho dan Lim Soh-koan lantas pergi dengan sangat cepat.
Melihat kedua orang itu dapat lolos dengan selamat, diam-diam Pwe-giok menggeleng dan
menghela napas gegetun.
Seperginya Ji Hong ho dan Lim Soh koan, terdengar Thian cia sing berseru pula dengan
tertawa, "Di dalam sana kan panas dan tak tembus hawa, lebih baik keluar saja lebih
nyaman."
Kecuali anak buahnya yang menggotong ranjang besar itu, kini di sekitar situ tidak ada orang
lain lagi.
Selagi Pwe giok heran dengan siapakah Thian cia sing berbicara, tiba-tiba dilihatnya orang
gendut itu lagi menggapai-gapai ke arahnya.
Baru sekarang Pwe giok tahu tempat sembunyinya telah diketahui Thian cia sing. Keruan ia
terkejut dan keluar keringat dingin.
Lui ji menghela napas, gumamnya, "Lihai amat orang gendut ini."
Habis berkata, segera ia mendahului menerobos keluar. Pwe-giok ingin mencegahnya, tapi
sudah terlambat. Nyata keberanian anak dara ini tidak kalah dari siapapun juga.
25
Agaknya Thian cia sing juga tidak mengira orang yang mengintip di tempat gelap itu adalah
seorang nona cilik cantik dan kelihatan lemah lembut, tanpa terasa ia pun memperlihatkan
rasa heran.
Dalam pada itu Lui ji sudah berhadapan dengan dia, ucapnya sambil berkeplok dan tertawa,
"Wah, makanan enak sebanyak ini kenapa kau makan sendiri, bolehkah bagi sedikit padaku?
Ai, hampir saja aku mengiler!"
Sembari bicara, tanpa permisi lagi ia terus mencomot sebuah apel besar dan digeragori
dengan lahapnya.
Sampai sekian lama Thian cia sing melototi Lui ji, tegurnya kemudian, "Kau tidak takut
padaku?"
"Ai, melihat orang ramah dan baik hati serta lucu seperti kau, hatiku justeru sangat gembira,
kenapa ku takut padamu?" jawab Lui ji dengan tertawa.
"Tidakkah kau lihat caraku membunuh orang tadi?"
"Ah, ksatria besar seperti dirimu itu mana bisa membunuh seorang nona cilik, aku tidak perlu
kuatir."
"Hahahaha, menarik, sungguh menarik!" seru Thian cia sing dengan tertawa, "Tak tersangka
anak dara sekecil ini ternyata bermulut lebih manis dari pada Oh lolo yang licin melebihi rase
tua itu. Bahkan kaupun gemar makan, tampaknya seperti anak perempuanku malah."
"Menjadi anakmu juga boleh, setiap hari bisa makan enak, juga tidak takut dihina orang,
cuma sayang..."
"Cuma sayang, tiada gunanya biarpun kau mengumpak diriku," tukas Thian cia sing dengan
tertawa, "sebab sejak tadi sudah kulihat masih ada orang lain yang sembunyi bersamamu di
sana. Kenapa dia belum lagi keluar, apakah takut?"
"Takut? Kau kira dia takut padamu?" tukas Lui ji dengan tertawa, "Apakah kau tahu siapa
dia?"
Tiba-tiba si gendut tersenyum penuh arti dan memicingkan sebelah matanya, ucapnya,
"Hahahaha, sekecil ini kau sudah punya pacar barangkali?"
Seketika Lui ji mendelik, omelnya, "Jangan kau sembarang omong, meski sicekku orangnya
tampan dan halus, tapi kalau marah, wah, sampai sacek juga rada takut padanya."
"Sacekmu? Siapa dia?" tanya Thian cia sing.
"Kau kenal dia," jawab Lui ji dengan perlahan. "Tadi baru saja kau sebut namanya."
"O, maksudmu Hong Sam?" si gendut jadi melengak.
"Betul, betapa lihaynya sacek tentunya kau tahu dengan jelas," kata Lui ji dengan tertawa.
26
"Aha, sungguh lucu dan menggelikan," seru Thian cia sing sambil berkeplok tertawa,
"Saudaranya Hong Sam ternyata main sembunyi di dalam tungku dan takut dilihat orang, tapi
malah menyuruh seorang nona cilik untuk membual baginya, hahahaha, sungguh perutku bisa
meledak saking gelinya."
Bahwa sampai saat ini Pwe giok masih tetap bersembunyi di sana, diam-diam Lui ji juga
merasa heran. Betapapun Ji Pwe giok pasti bukan seorang penakut, kalau dia tidak mau keluar
tentu ada alasannya.
Tapi Lui ji juga tidak dapat menerka apa alasannya, terpaksa ia melototi Thian cia sing lagi
dan mengomel, "Kenapa kau berani bersikap kasar terhadap sacek dan sicekku?"
Si gendut tertawa terkial-kial, katanya, "Hahaha, apakah kau kira aku takut kepada Hong
Sam?.. Sungguh lelucon besar jika kutakut padanya.."
Lui ji memang belum pernah melihat ada orang tidak gentar terhadap Hong Sam. Selagi dia
melenggong, tiba-tiba didalam tungku sana seorang berteriak dengan tertawa, "Hahaha,
apakah kau kira aku takut kepada Hong Sam?.. Sungguh lelucon besar jika kutakut padanya.."
Suara tertawa itu kecil melengking, serupa suara Thian cia sing, bila didengarnya sepintas lalu
rasanya mirip gema suara Thian cia sing.
Keruan Lui ji sangat terkejut, sebab diketahuinya orang yang bersuara itu pasti bukan Ji Pwe
giok, lalu siapa? padahal di dalam tungku sana jelas-jelas cuma tinggal Pwe giok seorang saja.
Tampaknya Thian cia cing juga terkejut demi mendengar suara tertawa tadi, ia berkata pula,
"Jika kau tidak keluar, mengapa kau menirukan cara bicaraku?"
Kembali orang di dalam tungku juga berkata, "Jika kau tidak berani keluar, mengapa kau
menirukan cara bicaraku?"
"Se.... sungguhnya siapa kau?" tanya Thian cia sing, ia tak dapat tertawa lagi, bahkan
suaranya sudah rada serak.
Tiba-tiba orang di dalam tungku juga mengeluarkan suara serak yang sama dan menirukan,
"Se... sungguhnya siapa kau?"
Sampai sekian lamanya Thian cia sing tertegun, mendadak ia tertawa pula dan berseru, "Aku
keparat, jahanam, sontoloyo, selain menirukan orang bicara, kepandaian lain sama sekali tidak
punya."
Kontan orang di tungku meniru pula, Aku keparat, jahanam, sontoloyo, selain menirukan
orang bicara, kepandaian lain sama sekali tidak punya."
Si gendut berseru pula, "Manusia paling tidak tahu malu, paling rendah di dunia ialah Eng
seng diong (si kutu peniru suara) dari Hwe seng kok (lembah gema suara)!"
Orang itu menirukan, "Manusia paling tidak tahu malu, paling rendah di dunia ialah Eng seng
diong (si kutu peniru suara) dari Hwe seng kok (lembah gema suara)!"
27
Apa pun yang dikatakan Thian cia sing selalu ditirukan orang itu, satu kata saja tidak kurang
bahkan suara tiruannya juga persis.
Lui ji merasa heran, kejut dan juga geli, terbayang olehnya apabila dirinya bicara apapun dan
selalu ditirukan orang, maka betapa rasa dongkol dan gemas sungguh sukar dilukiskan.
Dilihatnya Thian cia sing telah mandi keringat, dengan suara serak ia menjerit, "Jika kau
berani menirukan suaraku lagi, segera kubunuh kau!"
Tapi orang itu pun menirukan lagi dengan suara serak, "Jika kau berani menirukan suaraku
lagi, segera kubunuh kau!"
"Kau.. kau.." Thian cia sing jadi gelagapan sendiri, tubuhnya yang menyerupai gumpalan
daging raksasa itu mendadak melejit ke udara, seperti angin puyuh saja ia terus menyusup ke
dalam kereta raksasa tadi.
Menyusul kereta itu lantas dilarikan dengan cepat, belasan lelaki telanjang dada itupun berlari
kesana dengan menggotong tempat tidur itu, begitu cepat seolah-olah diuber setan.
Lui ji terkesima menyaksikan itu, dari tungku sana juga tiada kumandang suara lagi. Ia
termangu-mangu sejenak, lalu melangkah kembali ke tungku dan memanggil dengan suara
perlahan, 'Sicek, adakah kau berada di dalam?"
Namun tiada jawaban. Pwe giok seperti sudah pergi dari situ.
Keruan Lui ji kaget, cepat ia memburu kesana dan melongok ke depan tungku, dilihatnya Pwe
giok masih berada di situ, dengan mata melotot memandangnya.
Lui ji menghela napas lega, ucapnya dengan tertawa, "Tadi kukira orang lain, kiranya sicek
masih mempunyai kepandaian simpanan, caramu menirukan suaranya telah membuat si
gendut ketakutan dan kabur seperti melihat setan.
Jilid 2________
Tapi Ji Pwe-giok masih saja memandangnya dengan melongo, bahkan mata pun tidak
berkedip.
Kembali Lui ji terkejut, serunya, "He, Sicek ken....kenapa kau tidak bicara?" Waktu ia
merabanya, tangan Pwe-giok ternyata kaku seperti kayu.
Tangan Lui ji sendiripun juga dingin saking kagetnya, cepat ia menyusup ke dalam tungku,
dilihatnya sekujur badan Pwe giok sama kaku, mata melotot, jelas Hiat-to tertutuk orang.
Waktu ia pandang ujung belakang tungku, entah sejak kapan di situ sudah tembus satu lubang
ingin terasa meniup masih dari sana, Lui ji mendapat ajaran ilmu Tiam hoat dari Hong-sam
sianseng maka segala kungfu menutuk dari berbagai aliran dan golongan di dunia persilatan
sedikit banyak di pahaminya.
28
Segera ia menepuk Hiat-to Pwe giok yang tertutuk sehingga terbuka lalu bertanya, "Sicek, apa
kah yang terjadi, masa ada orang datang ke sini?"
Pwe-giok termenung sejenak, lalu mengembus napas panjang, ucapnya kemudian, "Betul, ada
orang datang kemari, tapi aku sendiri tidak tahu jelas yang datang ini sesungguhnya manusia
atau setan."
Kiranya tadi baru saja Pwe giok bermaksud keluar menyusul Lui ji, tiba-tiba sebuah tangan
terjulur dari belakang tanpa suara dan menutuk Hiat-tonya.
"Tangan itu terjulur melalui lubang ini?" seru Lui ji terkejut.
"Betul." jawab Pwe giok.
"Jadi dia membuat lubang tepat di belakang Sicek, tapi sama sekali Sicek tidak mendengar
suatu suara?" Lui ji menegas pula.
"Ya, apapun tidak kudengar, batu yang khusus digunakan membuat tungku ini memang
sangat kuat dan keras, tapi berada di tangan orang ini telah berubah menjadi empuk seperti
tahu," tutur Pwe giok dengan gegetun.
Membayangkan betapa hebat tenaga orang, Lui ji merasa ngeri juga, tanyanya kemudian,
"Lalu bagaimana?"
"Lalu kurasakan ada seseorang menerobos masuk kesini melalui lubang ini.
"Tapi lubang ini hanya sebesar mangkuk, cara bagaimana dia mampu menerobos masuk?"
"Dengan sendirinya ilmu yang digunakannya adalah Siok-kut-kang."
Siok-kut-kang atau ilmu mengerutkan tulang bukan suatu kungfu yang luar biasa, tapi kalau
taraf Siok kutkangnya sudah mampu membuat tubuhnya mengerut sehingga mampu
menerobos lubang kecil ini, maka ilmu mengerutnya boleh dikatakan luar biasa.
Lui-ji termenung sejenak, katanya kemudian, "Dan kemudian dia lantas menirukan cara
bicara Thian-cia-siang tadi"
Pwe-giok mengiakan.
"Bagaimana bentuk orang itu, tentunya Sicek melihatnya?" tanya Lui-ji.
Tapi Pwe-giok menggeleng, jawabnya dengan menyesal, "Tidak, aku tidak melihatnya"
Lui ji terbelalak heran, "Dia berada di sini dan Sicek tidak melihatnya, apakah dia mahir ilmu
menghilang?"
"Hakikatnya aku tidak mampu berpaling untuk memandangnya, aku cuma merasakan dia
menerobos masuk lalu merosot keluar lagi dengan cepat."
29
"Menerobos masuk dan memberosot keluar lagi, memangnya dia seekor ikan?" ujar Lui ji
dengan geli.
"Bicara sejujurnya, biarpun ikan dalam air juga tidak segesit dia," tutur Pwe-giok dengan
gegetun. "Tubuh orang ini hakekatnya seperti segumpal asap belaka, siapa pun jangan harap
dapat merabanya."
Lui-ji berkerut kening, ucapnya, "Dari nada ucapan Thian cia sing tadi, agaknya orang ini
datang dari Hwe-seng-kok, mengapa tidak pernah kudengar nama tempat Hwe-seng-kok. Juga
Sacek tidak pernah bercerita kepadaku. Kalau Thian-cia-sing tidak takut kepada Sacek,
mengapa ketakutan setengah mati terhadap orang ini. Selain itu, tadi Ji Hong-ho telah
memberi isyarat tangan kepada Thian cia sing, apakah tokoh yang dimaksudkan ialah orang
yang suka menirukan bicara orang ini?"
Air muka Pwe-giok tampak berubah, ia tidak mendengar pertanyaan Lui-ji, tapi bergumam
sendiri, "Hwe seng kok....Hwe seng kok....., Sesungguhnya dimanakah letak Hwe sengkok
ini?"
Lui ji tertawa, katanya, "Seumpama ku tahu di mana letak Hwe sengkok itu juga aku tidak
mau kesana, paling baik kalau selama hidupku ini jangan bertemu lagi dengan orang dari Hwe
seng kok itu. Pikir saja, bilamana ada orang siang dan malam selalu mengintil di belakangku,
apapun yang kukatakan selalu ditirukannya, andaikan tidak mati kaku saking gemasnya tentu
juga akan gila."
Sungguh ia tidak berani membayangkan lebih jauh, bila teringat di dunia ini ada orang
demikian, seketika itu merinding seperti lehernya di lilit oleh seekor ular.
Pada saat itulah, mendadak di luar sana berkumandang suara orang merintih.
Sambil menggenggam tangan Pwe giok, Lui ji mengintai keluar. Dilihatnya seorang dengan
muka berlumuran darah sedang berdiri sempoyongan di tengah puing sana.
Tampak tubuhnya mengejang, kedua tangan mendekap muka, apa bila bukan cambangbauknya
yang memenuhi wajahnya, mungkin tiada orang yang mengenal lagi.
Diam-diam Lui ji menghela nafas lega, bisiknya kepada Pwe-giok, "Si Hiang brewok, dia
belum lagi mati."
Selagi Pwe giok bermaksud keluar untuk memeriksa keadaan Hiang brewok itu, tiba-tiba
dilihatnya sinar mata orang gemeredep sambil celingukan kian kemari, sikapnya sangat
misterius seperti kuatir kepergok orang lain.
Tatkala mana tiada bayangan seorang pun disekitar itu, Li toh tin yang tadinya jaya dan
makmur kini telah berubah menjadi kota kuburan.
Mendadak Hiang brewok tertawa terkekeh-kekeh, padahal hidung dan kupingnya sudah
terpotong, tapi ia masih sanggup tertawa. Hal ini sungguh mengejutkan.
30
Mendingan kalau dia tidak tertawa, lantaran tertawa, maka lukanya pecah lagi, darah mengalir
pula, namun sedikitpun dia tidak merasakan sakit, dia merasa terus tertawa tiada hentinya.
Suara tertawanya kedengaran seram, tampangnya lebih mirip setan.
Tambah kencang Lui ji menggenggam tangan Pwe-giok.
Terdengar si brewok lagi terkekeh-kekeh pula dan berseru, "Ji Hong-ho, wahai Ji Hong-ho,
biarpun kau lebih lihay dari pada siapapun juga, tapi kau tetap sia-sia belaka dan yang makan
nangkanya adalah aku si brewok." Sembari bicara ia terus melompat ke dalam kubangan.
Lui ji terkejut dan bergirang, katanya dengan suara tertahan, "He, kiranya barang itu sudah
ditemukan olehnya, cuma dia menyadari, sekalipun barang itu diserahkan juga jiwanya tetap
akan amblas, maka diam-diam ia menyembunyikan barang temuannya. Di dalam kubangan
itu tentu penuh batu dan tanah liat, asalkan ditanam begitu saja pasti tidak terlihat orang."
Mata Pwe giok juga terbeliak. Didengarnya suara tertawa latah si berewok berkumandang dari
kubangan sana. Cepat Pwe giok dan Lui ji menerobos keluar dari tempat sembunyinya dan
merunduk ke tepi kubangan.
Tampak seperti anak kecil saja si berewok berduduk di dalam kubangan yang penuh lumpur
itu, tubuhnya basah kuyup, kedua tangannya merangkul erat-erat sebuah peti besi kecil dan
sedang berteriak gembira tertawa, "Ini milikku, ini punyaku, kini tibalah saatnya si berewok
melintang di dunia ini....."
"Hmm, tidaklah terlalu cepat kau bergirang?!" jengek Lui-ji mendadak.
Serentak Hiang berewok melompat bangun seperti kerbau gila, tapi ketika diketahuinya yang
berdiri di atas adalah pemuda yang pernah mengalahkan Lo-cinjin itu, seketika ia menjadi
lemas dan lesu, peti besi itu dirangkulnya semakin erat, serunya dengan suara gemetar,
"Ka.....kalian mau apa?"
"Kamipun tidak mau apa-apa," kata Lui-ji "hanya ingin meminta kembali peti itu."
Dengan kelabakan si berewok berusaha menyembunyikan peti ke belakang, lalu menjawab
dengan terkekeh "Peti apa maksudmu? Mana ada peti."
Melihat kelakuan orang, Lui-ji merasa geli dan juga kasihan, ia menggeleng, katanya dengan
menyesal, "Tidak ada gunanya biarpun kau sembunyikan juga tiada gunanya."
Kembali si berewok melonjak dan meraung gusar, "Sekalipun peti ini berada padaku, lalu
mau apa? Peti ini milikku, kudapatkan dengan imbalan sebuah hidung dan kedua kupingku.
Barang siapa ingin merampasnya dariku harus penggal dulu kepalaku."
"Apakah kau ingin kepalamu dipenggal? Itukan bukan pekerjaan sulit!" kata Lui ji dengan
tertawa.
Si berewok memandangnya dengan mata mendelik, teriaknya dengan suara parau,
"Kau...kau....." mendadak tubuhnya mengejang pula, belum lanjut ucapannya lantas roboh
terkulai.
31
Lui ji melompat turun dan memeriksa napasnya, katanya kemudian sambil menggeleng,
"Sudah mati, orang ini sudah mati, sungguh tak disangka di dunia ini ada orang yang mati
gemas begini.
"Jika seorang lagi kegirangan, lalu mendadak lenyaplah segala harapan, ku kira siapa pun
takkan tahan oleh pukulan berat ini, apalagi lukanya memang cukup parah," ujar Pwe giok
dengan menyesal.
"Inikan tidak dapat menyalahkan aku," kata Lui-ji. "Betapapun barang ini kan tidak dapat
kuberikan kepadanya."
"Betul, bukan salahmu, tapi dia yang terlalu tamak," ucap Pwe giok.
Meski sudah mati, tapi kedua tangan Hiang berewok masih tetap memeluk peti besi itu
sekuatnya, untuk melepaskannya Lui-ji memerlukan mencongkelnya dengan cangkul.
"Ingin ku lihat sesungguhnya apa isi peti ini, mengapa orang-orang rela mati demi
mendapatkannya," gumam anak dara itu.
*****
Isi peti itu ternyata bukan sesuatu benda mestika segala melainkan cuma sepotong belahan
bambu dan satu buku jurnal, yaitu buku yang biasa terdapat pada dagang.
Belahan bambu hanya sepotong sebesar telapak tangan, diatasnya terukir sebuah karung,
ukirannya sangat jelek, dipandang dari sudut manapun juga tiada dapat tanda berharga
sepotong bambu ini.
Buku jurnal itupun buku dagang yang sangat umum, sama seperti buku jurnal yang biasa
digunakan catatan sesuatu perusahaan dagang, malahan buku ini masih polos, tiada satu huruf
apapun.
Pwe giok dan Lui-ji sama melongo, sungguh tak pernah terpikir oleh mereka bahwa barang
yang diperebutkan orang dengan mati-matian ini tidak lebih cuma dua macam benda yang tak
berharga sama sekali.
Sejenak Lui-ji termenung, katanya kemudian, "Untuk dua macam benda ini Ji Hong-ho tidak
sayang membakar sebuah kota, bahkan tidak sedikit orang yang rela mengorbankan jiwanya,
huh, persetan benar!"
Segera ia buang dua macam barang itu ke tanah, bahkan hendak disepaknya dengan kaki.
Tapi Pwe giok keburu mencegahnya, dipungutnya kedua benda itu, katanya, "Apapun juga
kedua barang ini diperoleh secara tidak mudah, boleh kau simpan saja sebagai tanda kenangkenangan."
"Mengenang siapa? Mengenangkan si berewok ini?" tukas Lui-ji dengan tertawa getir, "Tahu
begini, biarkan saja peti ini dibawa pergi oleh dia."
32
"Menurut pendapatku, ibumu pasti takkan menyembunyikan dua macam benda yang tak
berharga secara prihatin dengan rahasia begini, bisa jadi nilai benda ini sekarang belum kita
ketahui."
"Tapi kalau cuma satu buku catatan yang kosong begini, berapa harganya?"
Terpaksa Pwe giok hanya menyengir saja, sebab ia sendiri tidak dapat menjawabnya.
Dengan tertawa Lui-ji berkata pula, "Bila Sicek merasa sayang untuk membuangnya, bolehlah
kau simpan saja buat dirimu sendiri, Aku tidak ingin menyimpan satu buku rongsokan begitu,
untuk apa anak perempuan menyimpan barang demikian, kan terlalu tolol?"
"Tapi dipandang bagaimana pun kau tidak mirip seorang tolol," ujar Pwe giok dengan
tertawa. Ia benar-benar menyimpan barang tak berharga itu ke dalam bajunya. Lalu mayat
yang bergelimpangan di situ diceburkannya ke dalam kubangan dan diuruk dengan tanah
galian tadi.
Lui ji menghela nafas, ucapnya dengan tersenyum, "Hati Sicek memang sangat baik, entah
anak perempuan mana yang beruntung akan menjadi isteri Sicek."
Pwe-giok ingin tertawa, tapi tak dapat, sebab lantas teringat olehnya akan Lim Tay-ih,
teringat juga kepada Kim-yan-cu. Tanpa terasa ia menghela nafas panjang, ucapnya dengan
rawan, "Kukira siapa pun juga sebaiknya jangan berkumpul bersamaku, sebab baginya hanya
akan mengalami kesialan belaka."
Lui-ji berkedip-kedip, tanyanya kemudian, "Dengan ucapanmu ini apakah Sicek hendak
menyatakan takkan membawa serta diriku."
Tanpa menunggu jawaban Pwe giok, dengan menunduk ia berkata lagi, "Meski aku sudah
sebatangkara dan tiada tempat tujuan, tapi kalau Sicek merasa keberatan membawa serta
diriku, tentu aku pun tidak berani memaksa kehendak Sicek."
Pwe giok menepuk bahu anak dara itu, katanya dengan tertawa, "Ai, nona cilik jangan
berpikir yang bukan-bukan. Umpama betul Sicek tidak ingin membawa serta dirimu, setelah
mendengar ucapanmu ini, mau tak mau Sicek harus berubah pikiran."
Maka tertawalah Lui-ji sambil menengadah, katanya, "Jika demikian, sekarang kita akan pergi
ke mana?
Padahal Pwe-giok sendiri tidak tahu harus pergi kemana, sebab ia sendiripun tidak
mempunyai rumah lagi.
Setelah berpikir sejenak barulah ia berkata seperti bergumam sendiri, "Entah orang Tong-kehceng
sekarang sudah mengetahui lenyapnya Tong Bu-siang atau tidak, dan entah Kim-yan-cu
sekarang apakah masih berada di sana?"
"Apakah Sicek bermaksud pergi ke Tong Keh ceng?" tanya Lui-ji.
"Ya, boleh juga ke sana," kata Pwe giok.
33
"Bagus sekali," Lui-ji berkeplok senang, "memang sudah lama ku dengar Toh-keh-ceng
adalah tempat yang menarik."
Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar suara ribut orang banyak dari kejauhan sana,
terdengar pula suara tangis anak kecil dan orang perempuan. Agaknya Ji Hong-ho sudah
melepas pulang penduduk Li-toh-tin ini.
Cepat Lui-ji menarik tangan Pwe-giok dan diajak berlari pergi dengan jalan memutar.
Setiba di luar kota, hawa terasa nyaman dan segar, tiada berbau anyirnya darah dan
hangusnya puing, hanya suara tangisan penduduk Li-toh-tin sayup-sayup masih terdengar.
"Sicek," tiba-tiba Lui-ji bertanya, "kau kira Ji Hong-ho benar-benar akan mengganti rugi
kepada penduduk Li-toh-tin atau tidak?"
"Orang ini sedang berusaha mencari nama dan menegakkan wibawa, sudah tentu dia tidak
mau kehilangan kepercayaan para pendukungnya," kata Pwe-giok.
"Akan tetapi penderitaan batin mereka apakah dapat diberi ganti rugi?" ujar Lui-ji. "Seseorang
kalau rumahnya sudah terbakar, biarpun diberi ganti sebuah rumah baru juga rasa derita itu
sukar dihilangkan."
"Tapi luka betapa dalamnya tentu akan sembuh, betapa berat penderitaan seseorang, lamalama
tentu juga akan terlupakan, hanya kenangan yang menggembirakan saja yang tetap
hidup abadi, lantaran inilah maka manusia dapat hidup terus."
"Betul juga, seorang kalau tidak dapat melupakan penderitaan di masa lampau, tentu hidupnya
tidak ada artinya lagi."
Sementara itu sang surya sudah terbit, tetumbuhan di musim rontok sudah mulai layu, namun
padi di sawah sepanjang tepi jalan justeru menguning dengan suburnya, bumi raya ini penuh
diliputi gairah hidup.
Memang, bau harum bunga apa di dunia ini yang bisa lebih harum daripada padi yang
menguning di sawah?
Lui ji menarik nafas dalam-dalam, katanya dengan tertawa, "Apa pun juga aku masih tetap
hidup dan akan tetap hidup, aku masih muda, dunia seluas ini, kemanapun aku dapat pergi,
apa yang mesti ku resahkan?"
Dia pentang kedua tangannya dan berlari ke depan menyongsong semilir angin sejuk.
Melihat senyum si nona yang cerah, hati Pwe giok tanpa terasa ikut lapang. Pada saat itulah
tiba-tiba dari tengah sawah sana berkumandang suara orang, merintih seorang mengeluh
dengan terputus-putus, "Ai, orang muda tidak....tidak seharusnya putus asa hanya nenek
semacam...semacam diriku saja....."
Cara bicaranya seperti sangat susah payah, sampai di sini ia terus terbatuk-batuk dengan keras
sehingga tidak sanggup melanjutkan ucapannya.
34
Mendengar suara itu, Pwe giok dan Lui-ji terkejut. Cepat Lui-ji berlari balk dan memegang
tangan Pwe-giok, lalu melotot ke arah suara di tengah sawah tadi sambil menegur, "Apakah
kau Oh-lolo?"
Orang itu memang benar Oh-lolo, dia terbatuk-batuk lagi sejenak, habis itu baru - menjawab
dengan napas megap-megap, "Betul memang diriku O, siauya dan siocia yang berhati baik,
sudilah memberi semangkuk air bagi nenek yang sudah sekarat ini? Berjalan saja aku tidak
sanggup lagi.
Lui-ji mengerling, tiba-tiba ia terbawa dan berseru, "Hah, kau rase tua ini. kau kira kami dapat
kau tipu?"
"O, nona yang baik, sekali ini sungguh-sungguh kumohon.....kumohon dengan sangat," Pinta
Oh-lolo dengan suara gemetar. "Mulutku hampir pecah saking...saking keringnya, ai, terlalu
panas sinar matahari ini."
Segera Lui ji menarik tangan Pwe giok, katanya , "Sicek marilah kita pergi, jangan gubris
nenek setan ini, barang siapa menghiraukan dia tentu akan celaka sendiri."
Mendadak Oh-lolo menongol dari balik padi yang menguning itu lantas dengan wajahnya
yang berlepotan darah, tapi segera ia roboh lagi sambil berseru dengan suara parau, "Jikongcu,
ku tahu engkau orang yang baik hati kumohon sudilah kau beri sedikit air padaku,
matipun aku akan berterima kasih padamu."
Tanpa bicara Pwe giok melepaskan tangan Lui-ji, lalu berlari pergi. Lui-ji menghela napas,
ucapnya, "Dengarkan, nenek celaka, Sicek sudah pergi mengambil air bagimu, sebab dia
memang orang yang baik hati. Tapi kalau kau berdusta padanya, tentu akan kupotong lidahmu
supaya selanjutnya kau tak bisa membohongi orang lagi."
Sembari bicara ia terus melompat ke tengah sawah. Maka terlihatlah Oh-lolo meringkuk di
semak menjadi seperti seekor anjing yang terluka, tubuhnya penuh lumpur, bibirnya memang
tampak kering hingga pecah. Melihat Lui-ji, nenek itu seperti mau tersenyum, tapi baru saja
bibirnya bergerak, seketika ia meringis kesakitan, sambil mendekap kepalanya ia terbatukbatuk
lagi sekian lamanya. lalu berkata dengan suara gemetar, "Nona yang baik, tidakkah kau
lihat nenek sudah hampir mati? Untuk apa ku tipu orang lagi?"
Lui-ji tidak mengira nenek celaka ini akan berubah menjadi begini, ia melongo sejenak,
katanya kemudian sambil menggeleng, "bilamana kau tau akan berakhir dengan begini,
mungkin kau takkan menipu orang."
"Ini memang akibat perbuatanku sendiri, aku pun tidak menyesali orang lain," ucap Oh-lolo
dengan pedih. "Tapi kalau bukan usiaku sudah lanjut, biarpun terluka lebih parah juga takkan
berubah sepayah ini."
Lui-ji tahu keadaan nenek ini bukan cuma akibat luka luar saja, yang gawat adalah karena
hampir sebagian besar tenaga dalamnya telah disedot oleh Hong-sam-sianseng, karena
kehilangan tenaga terlalu banyak, ditambah lagi sekarang banyak mengeluarkan darah,
biarpun usia jauh lebih muda juga tak tahan.
35
Padahal usianya sudah selanjut ini, tampaknya tiada seorang sanak-kadang, apa bila dia mati
di sini mungkin mayatpun tidak terkubur. Tanpa terasa Lui-ji menjadi rada kasihan padanya.
Sampai sekian lama Pwe-giok belum lagi kembali, Lui-ji menjadi kuatir, barulah ia melongok
ke arah sana sambil menggerundel, "Tentu banyak juga orang lain yang berlalu di sini,
seumpama kau hampir mati kehausan, kenapa tidak kau minta bantuan orang lain, tapi justeru
kami yang kau temukan?"
"Hal ini bisa jadi lantaran nenek terlalu berbuat dosa sehingga terhadap siapapun tidak
percaya lagi," kata Oh-lolo dengan gegetun.
"Jika demikian, kenapa kau percaya pada Sicekku?" tanya Lui-ji.
"Di dunia ini memang ada semacam lelaki yang dapat dipercaya oleh setiap perempuan yang
baru sekali melihatnya," ucap Oh lolo. "Dan dia adalah lelaki yang demikian ini. Biarpun
nenek sudah ompong tapi kan masih tetap perempuan?!"
Luiji tertawa cerah, katanya, "Apapun juga pandanganmu dalam hal ini tampaknya memang
tidak salah."
Oh-lolo terengah-engah sejenak, tiba-tiba ia berkata pula, "Dan mengapa kau panggil dia
Sicek? Padahal usianya kan selisih tidak banyak dengan kau?"
Lui-ji tidak menjawab, ia potol sebatang padi dan dibuat mainan.
Oh-lolo meliriknya sekejap, lalu berkata pula. "Jika aku seusia kau dan ketemu lelaki
semacam dia, pasti takkan kulepaskan dia, dengan cara apapun juga akan ku jadi istrinya dan
tidak nanti ku panggil dia Sicek."
"Apakah kau merasa aku sudah boleh menjadi isteri orang?" Lui-ji tertawa pula.
"Kenapa tidak?" jawab Oh-lolo. "Ada orang seusia mu ini malahan sudah menjadi ibu."
Lui-ji menunduk termangu-mangu memandangi padi yang dipegangnya. Sang surya
menyinari wajahnya. gemerdep sinar matanya, mukanya yang kemerah-merahan juga
mencorong, tampaknya dia bukan lagi seorang dara.
Anak yang tumbuh ditengah penderitaan sering kali memang jauh lebih cepat dewasa
daripada anak lain.
Tiba-tiba Lui-ji merasa nenek reyot ini tidak terlalu menjemukan lagi. Dia tidak melihat
bahwa demi mengucapkan kata-kata tadi, bukan saja mulut Oh-lolo yang kering semakin
kering. Darahpun mengucur dari lukanya. Nenek yang sudah tua bangka ini sudah tentu tahu
kata-kata apa yang paling di suka oleh nona cilik yang baru mulai akil baligh, yaitu bilamana
orang bilang dia sudah dewasa, hal ini akan membuatnya sangat senang.
Tapi sebab apakah nenek yang keji ini berusaha membikin senang hati Lui-ji?
*****
36
Akhirnya Ji Pwe-giok muncul kembali dengan membawa sebuah bumbung bambu yang
penuh berisi air. Dahinya kelihatan berkeringat, nyata air ini diperolehnya secara tidak mudah.
Oh-lolo tampak kegirangan, katanya," Terima kasih, terima kasih, sejak mula nenek memang
sudah tahu engkau ini seorang yang berhati mulia."
Pwe-giok tidak berucap apapun, ia hanya menaruh bumbung berisi air itu di depannya. OHlolo
meronta bangun dan bermaksud memegangnya, tapi tangannya tampak gemetar sehingga
tidak kuat mengangkatnya.
"Hati-hati bilamana air itu tumpah, tiada orang yang mau mengambilkan lagi bagimu," kata
Lui-ji.
"Ku tahu.....ku tahu....." kata Oh-lolo dengan menggeh-menggeh.
Belum habis ucapannya, mendadak bumbung itu jatuh dari pegangannya. Untung Lui-ji cukup
cekatan dan sempat meraihnya, kalau tidak air di dalam bumbung pasti tumpah.
"Sudah kukatakan supaya hati-hati, apakah tidak kau dengar?" omel Lui-ji.
"Ai, sungguh tidak tersangka nenek akan berubah setidak becus begini," ucap Oh lolo dengan
suara gemetar, Tampaknya aku memang sudah... sudah akan masuk liang kubur...." bicara
punya bicara, bisa juga dia mengucurkan air mata.
Lui-ji menggeleng dan menghela nafas, ia berjongkok dan menyodorkan ujung bambu ke
mulut Oh-lolo. Seketika sosok itu memegang bumbung seperti bayi yang menetek, air itu
terus diminumnya dengan bernapsu.
Melihat kelakuan orang, Lui-ji tertawa geli dan berketa, "Sicek, coba kau lihat...." belum
habis ucapannya mendadak ia urung tertawa dan melompat mundur, sisa air di dalam
bumbung tertumpah diatas badah Oh-lolo.
"He, kenapa kau?" seru Pwe giok terkejut.
Merah padam air muka Lui-ji saking gemasnya, teriaknya sambil mengentak-entakkan
kakinya, "Tua...tua bangka ini sungguh bukan manusia!"
Sejak mula Pwe giok sudah kuatir kalau Oh-lolo akan main gila, maka senantiasa ia
mengawasi gerak-geriknya. Tapi nenek itu tidak kelihatan berbuat sesuatu, maka Pwe giok
tidak jadi heran dan kejut, bentaknya dengan gusar," Kau main gila apa lagi?"
Oh-lolo dengan lagak seperti menyesal, "Ai, barangkali kuku nenek terlalu panjang tanpa
sengaja telah melukai tangan nona Cu."
Cepat Pwe giok melompat maju dan memeriksa tangan Lui-ji, dilihatnya punggung tangan
anak dara yang putih bersih itu betul ada bekas goresan kuku.
"Kukunya beracun?" tanya Pwe giok dengan kuatir.
"Ehm," Lui-ji mengangguk.
37
"Apakah berbahaya?" tanya Pwe giok pula.
"Kalau kumakan racun ini tentu tidak menjadi soal," tutur Lui-ji. "Tapi sekarang dia melukai
kulit dagingku, racun merembes masuk melalui darah, mungkin....mungkin......"
Pwe giok mengembus napas panjang-panjang ia berpaling menghadapi Oh-lolo dan bertanya
sekata demi sekata, "Sesungguhnya apa kehendakmu?"
Dengan suara gemetar Oh-lolo menjawab, "Sungguh nenek tidak......tidak sengaja, nenek
memang pantas mampus, sungguh aku berdosa kepada kalian, boleh....boleh Kongcu
bunuh....bunuh saja diriku."
"Kau tahu tidak nanti ku bunuh kau." kata Pwe-giok.
Mendadak Oh-lolo tertawa terkekeh-kekeh, nada bicaranya seketika berubah, katanya,
"Dengan sendirinya ku tahu kau tidak berani membunuhku. Toh sebelah kaki nenek sudah
melangkah ke liang kubur, sedangkan hari depan nona cilik ini masih panjang, jika jiwanya
digunakan menukar jiwaku tentu saja tidak klop."
"Cara bagaimana baru kau akan menyerahkan obat penawarnya?" tanya Pwe giok.
"Inilah satu-satunya jalan keselamatan bagi nenek, mana bisa ku simpan obat penawar dalam
bajuku," tutur Oh-lolo dengan adem-ayem. "Jika dalam 72 jam tidak diberi obat penawar,
jiwa si nona cilik yang berharga ini akan amblas."
"Dimana kau simpan obat penawarnya?" tanya Pwe giok sambil mengusap keringat di
jidatnya.
"Bila kau menuruti setiap perkataan nenek, dengan sendirinya akan kuberikan obat
penawarnya," ujar Oh-lolo dengan tertawa.
Mendadak Lui-ji berteriak. "Sicek, jangan mau diperas oleh tua bangka ini, ku....." mendadak
ia melolos sebilah pisau kecil dari pinggangnya terus menebas ke pergelangan tangan sendiri.
Cepat Pwe-giok memegang tangan si nona, serunya kaget, "He, apa yang hendak kau
lakukan?"
"Mumpung racun belum menjalar ke atas, biarlah ku kutungi tanganku ini dan aku pun takkan
mati," kata Lui-ji.
"Ai, anak bodoh," kata Pwe giok. "Jika dia sudah mau memberikan obat penawarnya, buat
apa....buat apa kau...."
Bahwa anak perempuan sekecil ini ternyata biasa berpikir secepat dan berbuat tegas dan
nekat, sungguh hal ini sangat mengharukan hatinya, seketika kerongkongannya seperti
tersumbat dan tidak sanggup bicara lagi.
38
Lui-ji lantas mengucurkan air mata, ucapnya dengan menunduk, "Seumpama dia mau
memberikan obat penawarnya, tapi aku tidak sampai hati membiarkan Sicek di bawah
ancamannya. Biarpun tanganku buntung kan tidak jadi soal?"
Pwe-giok menoleh ke arah lain, katanya dengan tertawa, "Demi membela Sicek kau tidak
sayang membuntungi tangan sendiri, sekalipun Sicek mengalami sedikit kesusahan bagimu
kan juga tidak apa-apa?"
Mendadak Oh-lolo berkeplok dan terkekeh-kekeh, "Hehe, sungguh yang perempuan setia dan
yang lelaki mulia. Tampaknya San-pek dan Eng-tay paling-paling juga cuma begini saja. Ai,
sudah berpuluh tahun nenek tidak pernah lagi menyaksikan adegan mesra yang menarik ini."
Muka Lui-ji menjadi merah, dampratnya sambil menghentakkan kaki, "Kau...kau tidak boleh
sembarangan mencerca Sicek."
"Hahahaha, meski di mulut kau maki diriku, tapi di dalam hati tentu kau sangat senang," seru
Oh-lolo sambil bergelak. "Kalau tadi nenek tidak bilang kalian adalah pasangan yang setimpal
sehingga kau lupa daratan, mana kau setan cilik ini dapat ku tipu."
"Sicek, jangan kau percaya ocehannya," seru Lui-ji sambil menangis dan mendekap dalam
rangkulan Pwe-giok.
Pwe-giok berdehem, tanyanya dengan menarik muka, "Sesungguhnya dimana kau simpan
obat penawarnya?"
"Nenek kan juga punya rumah," jawab Oh-lolo. "Jika dalam waktu tiga hari tiga malam kau
sanggup mengantar pulang nenek, tentu jiwa anak dara ini dapat diselamatkan."
"Dimana letak rumahmu?" tanya Pwe-giok.
"Pendek kata, lekas kau sewa sebuah kereta kuda dan lekas kita berangkat menuju ke timur
siang dan malam tanpa berhenti, dengan demikian mungkin masih keburu. Setiba di tempat
tujuan tentu akan kuberitahukan padamu."
*****
Sesudah berada di dalam kereta yang disediakan, Oh-lolo serupa orang sekarat lagi, matanya
terpejam dan napasnya megap-megap, mulut pun tampak berbusa.
Lui-ji melototinya dengan gemas, katanya, "Rupanya kau sengaja sembunyi di tengah sawah
untuk menjebak kami."
"Sebenarnya tiada maksudku yang demikian." jawab Oh-lolo dengan tertawa, "Tapi kalau ada
daging disodorkan ke mulut, masa nenek tidak mencaploknya?"
Lui-ji melototinya sejenak pula, akhirnya ia tertawa dan berkata, "Karena perlakuanmu
kepadaku ini, pada suatu hari akhirnya kau pasti akan menyesal."
Bilamana dia bicara dengan garang terhadap orang macam Oh-lolo ini, mungkin takkan
berguna sama sekali, sebab ucapan kasar demikian sudah terlalu biasa bagi Oh-lolo, sudah
39
bosan didengarnya dari setiap korbannya. Akan tetapi sekarang Lui-ji berucap dengan tertawa
manis, hal ini berbalik menimbulkan rasa ngeri bagi Oh-lolo, terpaksa ia menjawab.
"Sesungguhnya tidak pantas kau dendam padaku, tapi harus berterima kasih padaku."
"Berterima kasih padamu?" Lui-ji menegas.
"Ya, jika tiada perbuatanku ini, darimana kau tahu dia sedemikian memperhatikan dirimu?"
ujar Oh-lolo dengan tertawa sambil melirik Pwe-giok.
Pwe-giok lantas terbatuk-batuk lagi, tiba-tiba ia menyela, "Apakah kau dan Ji.....Ji Hong-ho
itu memang benar ada permusuhan.?"
Oh-lolo tidak menjawabnya, ia terbelalak, lalu balas bertanya. "Kau sendiri juga she Ji,
logatmu juga seperti orang Kangsoh atau Ciatkang, apakah antara kau dengan dia ada
hubungannya?"
Pedih hati Pwe giok, serunya, "Mana aku bisa mempunyai hubungan dengan dia?"
"Jika demikian bolehlah kuberitahukan padamu, bila Ji Hong-ho ini bukan seorang pelupa,
tentu dia telah berganti orang, bisa jadi Ji Hong-ho yang sekarang ini adalah palsu."
Darah sekujur badan Pwe-giok serasa bergolak. Justeru kata-kata inilah yang setiap saat ingin
diteriakkannya tanpa menghiraukan apa akibatnya. Tak tersangka sekarang kata-kata tersebut
tercetus dari mulut Oh-lolo. Dia mengepal kedua tangannya dengan kencang sehingga kuku
menyocok telapak tangan sendiri, sekuatnya ia menahan emosinya yang bergolak. Katanya
kemudian dengan hambar, "Masa dia memalsu? Mana keteranganmu ini bisa dipercaya?"
"Aku pun tahu ucapanku ini takkan dipercaya orang," ujar Oh-lolo. Tapi apa yang kukatakan
ini adalah sungguh-sungguh, bukan bualan."
"Oo? Apa betul?" Pwe-giok menegas.
"20 tahun yang lalu aku benar-benar pernah bertemu satu kali dengan Ji Hong-ho, tapi dia
tidak berbuat sesuatu yang tidak baik padaku, sebaliknya dia malah telah menyelamatkan
jiwaku."
"Menyela...menyelamatkan jiwamu?"
"Ya, waktu dia menolong aku mungkin dia tidak tahu siapa diriku. Tapi ketika diketahuinya
aku inilah Oh-lolo, tampaknya dia juga tidak menyesal, dia cuma menasehati aku agar
selanjutnya jangan berbuat jahat kepada orang lain," si nenek menggeleng dan menghela
nafas gegetun, sambungnya pula, "Orang baik seperti dia sekarang sudah sangat jarang, apa
bila dia mengungkit kejadian dahulu, betapapun busuk hatiku juga takkan berbuat sesuatu
yang tidak baik kepadanya. Siapa sangka dia seperti sama sekali tidak tahu apa yang pernah
terjadi, sebaliknya malah mengira ada sesuatu permusuhan dengan nenek. Coba pikir,
bukankah sangat aneh?"
Lui ji berkedip-kedip, katanya kemudian, "Jika betul Ji Hong-ho ini palsu. Wah, tentu akan
sangat menarik."
40
Sembari bicara diam-diam ia melirik Ji Pwe giok. Tapi Pwe-giok tidak memperlihatkan
sesuatu perasaan apa pun.
Kembali Lui-ji mengerling, katanya pula. "Jika kau tahu rahasia ini, kenapa tidak kau bongkar
saja?"
Oh-lolo menghela nafas, katanya "Jangan kau kira Ji Hong-ho ini orang yang mudah
dihadapi, biarpun dia barang palsu, tapi menurut pandanganku, kungfunya mungkin jauh lebih
lihay dari pada Ji Hong-ho yang tulen."
"Akan tetapi selama ini dia tidak pernah memperlihatkan kungfunya," kata Lui-ji.
"Justeru lantaran dia tidak pernah turun tangan, makanya menakutkan," ujar Oh-lolo.
"sekalipun dalam keadaan tidak kurang sesuatu apa pun nenek juga tidak berani bergebrak
dengan dia."
"Masa kungfunya bisa lebih tinggi daripada kalian yang tergolong kesepuluh tokoh top?"
tanya Lui-ji dengan tertawa.
"Tentunya kau tahu, setiap orang Kangouw akan merasa takut bila berhadapan dengan para
pemimpin aliran dan golongan ternama betul tidak?"
"Ya," jawab Lui-ji.
"Dan para pemimpin berbagai golongan dan aliran besar itu pun takut bila bertemu dengan
kesepuluh tua bangka macam kami ini, begitu bukan?"
"Ya, seumpama tidak takut juga akan merasa pusing," ujar Lui-ji dengan tertawa.
"Akan tetapi kesepuluh tokoh seperti kami ini sesungguhnya tidak selihai sebagaimana
dibayangkan orang," tutur Oh-lolo dengan gegetun. "Hal ini cocok benar dengan pepatah
yang mengatakan di luar langit masih ada langit, orang pandai masih ada yang lebih pandai.
Justeru nenek tidak pernah meremehkan siapa pun juga, makanya aku dapat hidup sampai
sekarang."
"Bilamana Ji Hong ho itu benar orang kosen mengapa dia sudi bertekuk lutut dan minta
bantuan Lo-cinjin?" ujar Lui-ji.
"Mungkin lantaran dia tidak berani memperlihatkan asal-usulnya, kuatir orang lain akan
mengenali gaya ilmu silatnya," ujar Oh-lolo. "Orang yagn berambisi besar seperti dia ini,
kalau mengalami sedikit penasaran tentu tidak menjadi soal."
"Pantas dia cuma memberi isyarat tangan kepada si gendut itu, lalu si gendut yang maha lihai
itu lantas melepaskan dia begitu saja," kata Lui-ji.
Mendadak Oh-lolo merasa tegang, tanyanya, "isyarat tangan apa yang diberikannya?"
"Sayang aku pun tidak melihatnya," jawab Lui ji sambil menggeleng.
41
Oh-lolo termenung sejenak, gumamnya kemudian. "Jangan-jangan karena pergantian hawa
udara akhir-akhir itu, maka kawanan makhluk tua yang sudah lama mengeram di sarangnya
itu juga ingin mencari udara segar. Tampaknya hari-hari selanjutnya akan lebih sulit
dilewatkan, apa bila sekali ini nenek tidak jadi mati, selanjutnya akan lebih baik menikmati
sisa kehidupan tenteram di hari tua di rumah saja,..." lalu ia memejamkan mata dan tidak
bicara lagi.
Udara cerah di luar. Hawa yang sejuk membuat orang mengantuk. Orang berlalu lalang sangat
sedikit, juga tidak terdengar suara lain kecuali suara cambuk sais kereta yang menggeletar
serta suara detak kaki kuda diselingi suara roda kereta.
Lui ji memandangi cambuk yang berulang-ulang menerbitkan suara nyaring itu, lalu
memandang kaki kuda yagn dilarikan secepat terbang itu pandang punya pandang, akhirnya
air muka Lui-ji mendadak berubah.
Teringat olehnya Li-toh-tin sudah menjadi timbunan puing, biasanya juga tiada terdapat
kendaraan apapun, sekarang darimanakah mendadak Pwe-giok bisa mendapatkan kereta besar
dan mewah ini, sampai jok di dalam kabin kereta ini pun terbuat dari alas yang empuk dilapisi
kain satin.
Kereta semewah ini, andaikan di kota besar juga cuma dimiliki oleh keluarga hartawan atau
orang berpangkat saja, mana bisa kereta ini mengompreng di suatu kota kecil yang sekarang
malah sudah berwujud puing belaka?
Cepat Lui-ji menggoyang tubuh Pwe giok dan berbisik padanya, "He, Sicek, darimana kau
dapatkan kereta ini?"
Dia mengira Pwe giok juga pura-pura tidur tak tersangka Pwe giok benar-benar tertidur
dengan lelapnya, sampai lama ia menggoyangi bahunya barulah Pwe giok membuka mata dan
masih kelihatan rasa mengantuknya.
Lui ji menjadi gelisah, ia menggoyang bahu Pwe giok dengan lebih keras dan bertanya,
"Bangun dulu, Sicek. Coba lihatlah, kereta ini pasti tidak beres!"
"Tidak beres bagaimana?" tanya Pwe giok.
Ia seperti berusaha membuka matanya, tapi kelopak matanya terasa sangat berat, baru selarik
terpentang segera terpejam lagi. Apa yang diucapkan juga tidak begitu jelas.
Waktu Lui-ji pandang Oh-lolo, nenek ini pun tertidur, bahkan terdengar suara
mendengkurnya.
Sekujur badan Lui-ji terasa dingin ia mendorong daun jendela dan berseru keluar, "He, toako
pengemudi kereta, aku tidak enak badan, ingin muntah, maukah kau hentikan keretamu
sebentar?"
Kusir kereta itu menoleh dan tertawa, jawabnya, "Tidur saja, tentu akan terasa segar lagi."
Maka si kusir memang hitam kemerah-merahan, karena tertawa, kulit yang kemerah-merahan
itu di bagian ujung mirip disayat oleh pisau. Habis itu kulit yang kelihatan sehat itu mendadak
42
pula terkelupas sepotong demi sepotong sehingga kelihatan wajahnya yang pucat seperti
mayat.
Keruan Lui-ji terkejut, sekuat ia mendorong pintu kereta, akan tetapi tangannya terasa lemas,
pintu kereta dirasakan seperti terbuat dari pelat besi dan sukar dibuka. Kusir itu terkekehkekeh,
lalu berpaling ke depan lagi dan melarikan keretanya terlebih cepat.
"He, sesungguhnya kalian dari golongan mana dan bermaksud mengapakan kami?" seru Luiji.
Tapi si kusir tidak menggubrisnya lagi, cambuknya berbunyi lebih keras, kuda juga berlari
lebih cepat. Kini Lui-ji sendiri pun merasa kelopak matanya mulai berat dan ingin tidur.
Dia bersandar di jok kereta kuda itu dan menggigit bibir sekuatnya, maksudnya supaya
pikirannya tetap jernih, tapi dipegangnya pula belatinya. Sekarang ia tahu bahwa Ji Pwe-giok
dan Oh-lolo telah terbius oleh semacam asap yang tak berwarna dan tak berbau, sedangkan
dia sendiri lantaran sudah terlatih memakan berbagai macam racun sehingga daya tahannya
lain dari pada yang lain, maka sampai saat ini dia masih dapat mempertahankan kejernihan
pikirannya.
Tapi apa guna pikiran jernih? Jelas dia tidak mampu menolong Pwe-giok, bahkan menolong
dirinya sendiri juga tidak bisa, dari pada sadar tanpa berdaya, kan lebih baik ia pun tertidur
saja.
Ia tidak tahu siapa yang mengirimkan kereta kuda ini, jangan-jangan juga perbuatan Ji Hongho?
Tapi darimana Ji Hong-ho mengetahui mereka masih berada di Li-toh tin?
Sekonyong-konyong dilihat ada asap tipis melayang turun dari sebelah kecil atap kereta
dengan cepat asap tipis itu lantas buyar tertiup angin. Dengan menahan napas Lui-ji berdiri,
dengan belatinya ia lantas mengorek sela-sela atap kereta. Akan tetapi kedua kakinya terasa
lemas, begitu tangan menggunakan tenaga, kaki tidak kuat lagi, "bluk", ia jatuh terduduk pula.
Di luar dugaan, pada saat itu juga papan atap kereta lantas merekah, kiranya pada atap kereta
itu masih ada satu lapis langit-langit rahasia. Dengan menggertak gigi, sekuatnya Lui-ji
merangkak ke atas jok lagi, ia coba melongok ke atas. Dilihatnya di atas situ memang ada satu
lapis serupa bagasi kendaraan masa kini, di situ penuh tertaruh barang. Di samping ada setitik
lelatu yang masih berkelip membara.
Dengan belatinya Lui-ji mencongkelnya, lelatu api itu lantas jatuh ke bawah, ternyata
sepotong lidi dupa yang baru terbakar separuh. Hanya setengah batang lidi dupa itu sudah
mampu membius Oh-lolo dan Ji Pwe giok, betapa bagus buatan dupa bius itu sungguh
berbeda jauh daripada dupa bius yang digunakan kaum Lok-lim (penjahat, bandit, perampok)
umumnya.
Cepat Lui ji memadamkan ujung dupa yang menyala itu, sisa setengah potong itu
disimpannya dalam baju, lalu ia meraba bagasi kereta itu untuk mengetahui barang apa lagi
yang tersimpan di situ.
Ia merasa benda itu empuk, kenyal seperti kapas, juga seperti gumpalan daging. Ia menghela
napas panjang, sekuatnya ia tolak papan bagasi dan "bluk", barang itu jatuh ke bawah,
43
ternyata sosok tubuh manusia hidup. Sama sekali Lui ji tidak menyangka bahwa orang ini
ternyata Gin hoa nio adanya.
Padahal jelas diketahuinya Gin hoa nio telah jatuh dalam cengkeraman Ji Hong-ho, jika
sekarang dia berada dalam kereta ini, maka tidak perlu disangsikan lagi kereta ini tentu milik
Ji Hong-ho.
Tampaknya Ji Hong ho memang bukan seorang tokoh yang mudah direcoki, setiap tindaktanduknya
selalu diluar dugaan.
Lui ji menghela nafas ia ingin tanya mengapa Gin hoa nio bisa dijejalkan di kolong bagasi
kereta itu, akan tetapi Gin hoa nio juga dalam keadaan pingsan terbius, bahkan napasnya
sudah sangat lemah.
Pada saat itulah kereta itu terasa bergoncang hebat, agaknya jalan pegunungan tidak rata yang
dilaluinya. Selang tak lama mendadak kabin kereta gelap gulita.
Waktu Lui ji membuka daun jendela ingin memandang keluar, ternyata apa pun tidak terlihat
lagi. Yang terdengar hanya suara gemuruh roda kereta yang bergema dan memekakkan
telinga. Agaknya kereta itu telah memasuki sebuah gua yang gelap, setelah membelok satu
tikungan, tiba-tiba di depan muncul bintik-bintik cahaya api.
Lui-ji mengerling, lalu ia pun roboh di atas jok.
Pada saat itulah kereta mendadak berhenti, terdengar ramai suara orang berlari mendekat, ada
yang menahan kuda kereta, ada yang memayang turun si kusir, bahkan ada yang menyapa
dengan mengiring tawa, "Wah Toasuheng tentu sudah lelah."
Si kusir ternyata "Toa-suheng" orang-orang ini, apakah dia Ciangbun-tecu, murid ahli waris
Ji-Hong-ho? Tapi setiap orang Kangouw sama tahu bahwa Hong-ho Lojin tidak pernah
mempunyai murid.
Terdengar Toa-suheng itu hanya mendengus saja tanpa berucap apa pun, sikapnya jelas sangat
congkak, tapi mungkin orang-orang ini sudah biasa menghadapi sikap demikian, dengan
mengiring tawa mereka berkata pula, "Apakah Toa-suheng sudah menemukan kembali Ji-nio
(nona kedua)?"
Mendadak terdengar "plak", yang ditanya itu telah dipersen sekali tamparan.
"Apakah ku temukan dia kembali atau tidak perduli apa dengan kau?" demikian sang Toasuheng
menjengek.
Orang yang kena digampar itu masih juga berkata dengan mengiring tawa, "Ya, ya, lain kali
siaute tidak berani banyak mulut lagi."
Kembali Toa-suheng mendengus, lalu berkata, didalam kereta masih ada tiga lagi orang lagi
yang sengaja kubawa pulang untuk dipersembahkan kepada upacara sembahyang Kaucu, Jinio
juga berada di atas kereta, boleh kalian bawa mereka ke atas panggung sembahyangan,
tahu tidak?" Sembari bicara ia terus melangkah pergi.
44
Diam-diam Lui ji membatin, "Aneh, mengapa sang Toa-suheng, demikian ganas terhadap
semua saudara seperguruannya. Dari nada ucapannya, rupanya Gin hoa nio juga sekomplotan
dengan mereka, dan entah siapa lagi Kaucu mereka?
Dia tidak tahu bahwa Gin hoa nio berasal dari Thian-can kau, tapi sekarang ia tahu orangorang
ini tiada sangkut pautnya dengan Ji Hong ho, diam-diam ini jadi tambah kuatir.
Apapun juga tindak tanduk Ji Hong-ho masih pakai pertimbangan, jika jatuh dalam
cengkeraman Ji Hong ho rasanya akan lebih baik dari pada berada dalam genggaman orangorang
ini.
Dalam pada itu pintu kereta sudah terbuka empat-lima orang berjubel di depan pintu kereta,
semuanya memakai baju ringkas warna perak, air mukanya berbeda dari pada orang biasa.
Seorang di matanya tinggi lagi kurus, mukanya yang pucat kehijauan hampir tiada terdapat
secuil daging pun sekilas pandang serupa benar dengan jerangkong hidup.
Biarpun cukup tabah, tidak urung Lui-ji merinding juga melihat orang aneh ini, sekali
pandang cepat ia memejamkan mata.
Terdengar orang-orang itu ramai-ramai berbicara, "He, Ji-nio seperti terluka? Apakah ketiga
orang ini yang melukainya? Siapa dan dari manakah ketiga orang ini?"
"Hah, lihat, nenek ini tidak punya hidung masa mampu mencelakai Ji-nio?"
"Tapi nona cilik ini sangat cantik, cuma sayang, belum cukup umur, kalau dua tahun lagi
tentu...."
Begitulah ditengah gelak tertawa yang memuakkan itu, Lui-ji merasa sebuah tangan yang
dingin mencolek pipinya, saking tak tahan hampir saja ia muntah.
Tiba-tiba seorang berkata, "Ayo lekas menggotong pergi mereka, bila diketahui Toa-suheng
tentu akan dihajar atau didamprat lagi."
Dari suaranya jelas orang inilah yang digampar sang Toa-suheng tadi. Lui-ji coba mengintip
baru diketahuinya bahwa orang ini adalah si jerangkong hidup.
Rupanya orang-orang itu memang sangat takut kepada sang Toa-suheng, begitu si jerangkong
menyinggung nama Toa-suheng, seketika orang-orang itu klakap-klakep, tiada satu pun
berani bersuara lagi. Sementara seorang diantara mereka menyeret Pwe-giok keluar kereta.
Seorang lagi lantas berkata, "Jisuheng, apakah kita juga akan membawa Ji-nio ke atas
panggung sembahyang?"
Dengan suara dingin ia menjawab, "Inikan perintah Toa-suheng." Setelah ragu sejenak, lalu ia
berkata pula, "Biasanya Ji-nio disayang oleh Kaucu, entah mengapa sekali ini dia telah
melanggar peraturan, masa orang seperti dia sampai berbuat sesuatu kesalahan yang tak
terampunkan?"
Lui ji masih mengintip dengan membuka sedikit kelopak matanya, dilihatnya sekeliling gua
itu penuh obor, api obor yang gemerdep menyinari batu gua yang beraneka ragamnya itu.
45
Ditengah-tengah gua terdapat empat gunduk api unggun, di sekeliling api unggun itu adalah
sepotong batu besar, mungkin batu inilah yang dimaksudkan sebagai panggung atau altar
sembahyang.
Di luar sudah buntut musim rontok hawa sudah dingin, tapi di dalam gua ini hanya terasa
hangat seperti di musim semi. Bahkan Lui ji merasa kegerahan dan berkeringat. Ia tidak
paham mengapa orang-orang ini menyalakan obor sebanyak ini apakah mereka takut dingin?
Tapi segera ia melihat di samping setiap api unggun dikitari belasan kotak perak yang terukir
sangat indah, dari dalam kotak itu terus menerus mengeluarkan suara kresek-kresek yang aneh
suara seperti ular makan daun. Waktu mula-mula mendengar suara itu tidak terasa apa-apa,
tetapi lama-lama Lui-ji merasa berdiri bulu romanya badan terasa gatal seolah dirambati oleh
ular kecil yang tak terhitung jumlahnya.
Orang yang berada dalam gua ini tidak banyak, termasuk Ji-suheng si jerangkong itu,
seluruhnya cuma enam orang saja.
Ke enam orang itu menggotong Lui-ji berempat ke atas altar, lalu mengikat mereka dengan
tali berwarna perak, habis itu mereka lantas berdiri khidmat di samping, tiada satu pun berani
berbicara.
Tidak lama kemudian, orang yang dipanggil sebagai Toa suheng itu muncul di balik tonggak
batu yang berwarna-warni sana, kini bajunya sudah berganti menjadi baju panjang berwarna
perak mengkilat. Tangannya malah membawa kipas sempit, di pandang dari jauh tampak
ganteng juga. Tapi sesudah dekat, ketika cahaya obor menyinari mukanya.....Wah, jangankan
manusia, sekalipun setan juga tidak lebih menakutkan daripada wajahnya.
Raut sang Toa-suheng ini sebenarnya tidak kurus, tapi entah sebab apa daging pada mukanya
itu hampir sebagian besar lenyap entah dimakan apa. Setengah bagian sebelah kiri hidungnya
masih utuh, tapi hidung sebagian kanan juga hilang. Pada satu bagian kulit dagingnya masih
baik, tapi diantara dibagian bawah kulitnya terkelupas sehingga kelihatan tulangnya yang
putih kelabu.
Kedua tangannya juga cacat, sepuluh jari kini tersisa empat jari saja, tiga jari ditangan kanan
dan tangan kiri cuma tersisa sebuah jari. Enam jari yang lain entah hilang digerogoti makhluk
apa?
Orang ini tampaknya adalah sisa-sisa dari mangsa segerombolan serigala lapar.
Namun ke enam orang lain ternyata sangat takut padanya, begitu melihat dia muncul, mereka
lantas menunduk, memandang saja tidak berani mereka menyapa dengan mengiring tawa,
"Perintah Toa-suheng tadi sudah kami laksanakan dengan baik."
Sang Toa-suheng hanya mendengus saja, sinar matanya yang serupa mata ular itu memang
sekejap ke arah empat orang yang menggeletak di altar itu, lalu berkata dengan tersenyum
seram, "Kukira orang-orang itupun perlu dibangunkan."
Sembari bicara ia terus pentang kipasnya ia mengipas beberapa kali di atas muka ke empat
orang itu, seketika Lui-ji mengendus semacam bau aneh. Toa-suheng itu menyapu pandang
46
sekejap pula lalu tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Hehe, tak tersangka Oh-lolo yang
termasyhur kini juga jatuh didalam genggaman aku si Siang Ji-long."
Mendengar ucapannya, Pwe-giok dan Oh-lolo yang sudah siuman itu merasa tenang malah.
Sedangkan Lui-ji berlagak terkejut, "He, siapa kau? Mengapa kami dibawa ke sini?"
Siang Ji-long, si Toa-suheng, mendengus, "Hm, jangan sok ceriwis, nona cilik, bila kau
omong lagi segera ku copot satu biji gigimu!"
Dalam keadaan demikian, Lui-ji benar-benar tidak berani mengoceh lagi. Kalau di depan Locinjin,
Kun Hay-hong dan lain-lain ia berani bicara tajam untuk membikin marah mereka,
sebab cukup kenal jalan pikiran mereka yang sok menjaga gengsi, biarpun gemas setengah
mati juga takkan bertindak kepadanya.
Akan tetapi Siang Ji-long ini tidak boleh dibuat permainan, apa yang dikatakannya pasti juga
dapat diperbuatnya, di depan orang demikian tentu saja Lui-ji bisa melihat gelagat dan
membawa diri.
Lalu Siang Ji-long menuding Pwe-giok dengan kipasnya dan bertanya, "Kau inikah Ji Pwegiok?"
"Betul," jawab Pwe giok singkat.
Untuk sekian lamanya Siang Ji-long melototi Pwe-giok, ucapnya sambil menyeringai,
"Ternyata memang betul seorang anak bagus, pantas ketiga Tongcu agama kami sama terpikat
olehmu. Sebentar kalau tidak ku kembalikan mukamu berubah serupa mukaku, maka
anggaplah aku kurang hormat padamu."
"Mungkin Anda berharap muka setiap orang di dunia ini akan berubah seperti mukamu,
begitu bukan?" tanya Pwe-giok.
Terpancar sinar mata buas pada kedua mata Siang Ji-long, mendadak ia gampar muka Pwegiok
sambil membentak dengan suara parau, "Kau kira mukaku memang begini sejak lahir?
Hm, biar ku katakan padamu, sebenarnya aku....aku....." saking terangsang perasaannya
sehingga dia tidak dapat melanjutkan
"O, kasihan anak ini," tiba-tiba Oh-lolo menimbrung dengan menghela napas, "Tentunya kau
pernah dihukum "Thian-can-po-te (badan digerogoti ulat), makanya wajahmu berubah
menjadi begini. Tapi dapat kubayangkan, dahulu kau tentu sangat cakap, betul tidak?"
Napas Siang Ji-long tampak terengah karena emosi, jengeknya, "Betapapun, Oh-lolo memang
berpengetahuan luas, sampai hukuman digeragoti ular dari agama kami juga tahu, kau
memang seorang Cianpwe sejati."
"Apakah hukuman Thian-can-po-te itu? Apakah kulit daging pada mukamu itu digeragoti ulat
sehingga seperti sekarang ini?" seru Lui-ji.
Siang Ji-long tertawa seram, ucapnya, "Kukira kau tidak perlu tanya, sejenak lagi kau sendiri
pun akan mencicipi rasanya digeragoti ulat."
47
Tiba-tiba Oh-lolo berseru, "Bocah she Ji dan budak cilik itu tidak ada sesuatu hubungan
dengan diriku, nenek reyot juga tidak ada permusuhan apapun dengan Thian-can-kau,
bilamana mereka hendak kau bunuh, janganlah nenek juga kau masukkan hitungan bersama
mereka."
Tapi Siang Ji-long hanya mendelik saja, apa pun yang dikatakan Oh-lolo tidak digubrisnya,
dianggapnya tidak mendengar saja.
Oh-lolo menghela napas, katanya kemudian, Ji Pwe-giok, "Ji kongcu, bukankah kau ini
pemuda maha cerdik, kenapa kali ini kau pun kena dikerjai orang dan menumpang kereta
setan serta dibawa ke sini?"
Diam-diam Pwe-giok menyesal juga. Waktu itu, yang terpikir olehnya hanya keselamatan Cu
Lui-ji sehingga keanehan kereta ini tidak diperhatikan olehnya.
Melihat Pwe giok hanya termangu-mangu, Lui-ji menjadi terharu, basah matanya, sambil
menggigit bibir ia berkata, "Ku tahu semua ini dilakukan Sicek demi diriku, jika bukan
lantaran diriku, tidak nanti Sicek terjebak."
"Ah, tidak ada sangkut-pautnya dengan kau." ujar Pwe-giok dengan tertawa sedapatnya,
"yang harus disesalkan adalah tidak pernah ku duga bahwa Thian-can-kau tetap tidak mau
melepaskan Gin ho nio, dia....."
Pada saat itulah mendadak Gin-hoa-nio berteriak. "He, Siang Ji-long, mengapa kau pun
mengikat diriku di sini? Lekas bebaskan aku!"
Sejak kehilangan tenaga dalam, badan Gin hoa nio jadi lebih lemah dari pada seorang yang
tidak mahir ilmu silat. Kalau Pwe-giok bertiga sudah siuman sejak tadi, Gin hoa nio baru
mendusin sekarang.
Siang Ji-long bersikap tak acuh, jengeknya "Ji-kohnio (nona kedua), apakah sekarang kau
bermaksud bersikap garang lagi padaku?"
"Jangan lupa, orang she Siang", damprat Gin hoa nio dengan gusar, "waktu kau sekarat
dahulu siapakah yang telah menyelamatkan dirimu?"
"Betul kau yang menyelamatkan diriku" jawab Siang Ji-long, "tapi kalau kau tidak mengadu
kepada Kaucu bahwa aku telah mengganggu kau mana bisa Kaucu menghukum diriku dengan
Thian-can-po-te?"
Mendadak sorot matanya memancarkan cahaya buas, ucapnya dengan dingin, "Apalagi sekali
ini kau telah mengkhianati Kaucu, siapa pun tidak mampu lagi menolong kau. Tapi kalau kau
pun tidak meniru diriku, sanggup menahan siksaan digerogoti Thian-can, maka mengingat
hubungan baik kita di masa lampau akan kuberi jalan hidup padamu,"
Tampaknya Gin hoa nio menjadi ketakutan sehingga mukanya berkerut-kerut, ucapnya
dengan suara gemetar, "Hendaklah kau tahu, Kaucu adalah ayahku sendiri, mana beliau akan
menghukum diriku sekejam itu."
"Masa tidak?" jengek Siang Ji-long.
48
"Sudah tentu tidak, lekas kau lepaskan diriku," seru Gin hoa nio dengan parau.
"Hm," Siang Ji long mengejek, "apakah kau tahu, sejak kau curi pusaka Siau hun kiong dan
mengelabui Kaucu diam-diam Kaucu sudah menyuruh kukuntit jejakmu. Ketika di tanah
pekuburan di luar Li toh-tin sana, bila kau mau tunduk dan mengaku salah, mungkin dosamu
akan diberi keringanan....." dia merandek sejenak, lalu menyambung pula, tapi kau percaya
kepada kekuatan orang luar dan mengadakan perlawanan terhadap Kaucu, dari sini terbuktilah
sudah lama ada niatmu akan berkhianat, sekarang apa pula yang dapat kau katakan?"
"Hah, jadi di tanah pekuburan dulu itu, kiranya cuma kau saja yang main gila padaku?" seru
Gin hoa nio.
"Memang cuma diriku ini saja, bilamana Kaucu sendiri, mungkinkah kau hidup sampai saat
ini?" kata Siang Ji long.
"Sejak dulu sudah kuketahui kau bukan manusia, nyatanya kau memang binatang." ucap Gin
hoa nio dengan gemas.
"Dan sekarang kau telah jatuh di tangan si binatang," jengek Siang ji long sambil menyeringai
"Kau kira akan dapat lolos dari pengejaran Kaucu kita padahal sudah lama kutunggu kau di
luar Li-toh-tin, baru waktu kau ditangkap oleh anak buah Ji Hong-ho di tengah kebakaran itu,
lalu ku tolong kau, tujuanku justeru ingin membikin kau juga mencicipi bagaimana rasanya
tersiksa seperti apa yang pernah ku alami."
Dia bergelak tertawa, lalu menyambung, "Tapi sama sekali tak kusangka ketiga orang ini
dapat mengantarkan nyawa sendiri padaku. Waktu itu kulihat bocah she Ji ini seperti orang
kebingungan begitu melihat aku lantas seperti ketemu bintang penolong, tak tahunya aku
justeru setan pencabut nyawa baginya."
Lui-ji menghela nafas, katanya, "Baru sekarang ku tahu kiranya demikian adanya, rupanya
nasibmu saja yang lagi mujur."
*****
Hawa dalam gua semakin panas, Lui ji dan lain-lain sama basah kuyup oleh air keringat, tapi
pada wajah Siang Ji-long tiada dapat sebutir keringatpun. Dengan perlahan dia
menggoyangkan kipasnya dan mondar-mandir mengelilingi gundukan api unggun, mendadak
ia mengangkat salah satu kotak perak itu dan diketuknya perlahan beberapa kali.
Mendadak kotak yang berada di tangan itu bergerak-gerak, melonjak-lonjak, mengeluarkan
semacam suara aneh, seperti ada barang apa didalam yang lagi menumbuk kian kemari dan
berusaha menerjang keluar.
Besar kotak perak itu kurang lebih 20 kali 30 senti, tingginya cuma belasan senti, dengan
sendirinya isinya juga tidak mungkin berbentuk besar, akan tetapi tenaga gentakannya
ternyata cukup keras sehingga kotak perak itu ikut melonjak-lonjak. Siang Ji-long tertawa
terkekeh-kekeh, katanya "Tidak perlu tergesa-gesa, sudah ku sediakan satu partai daging
segar dan sebentar lagi kalian pasti boleh berpesta pora."
49
Gin hoa nio tampak ketakutan memandang kotak yang dipegang Siang Ji-long, mukanya
pucat pasi.
"Apakah isi kotak itu Thian-can?" tanya Lui ji.
"Ehm," Gin hoa nio mengangguk.
"Apakah Thian can suka makan manusia?" tanya Lui-ji pula.
Tapi Gin hoa nio tampak gemetar sehingga giginya gemerutuk, bicara saja sukar.
"Jangan-jangan karena Thian can tidak tahan dingin, maka di sini dibuat api unggun sebanyak
ini?" kata Lui-ji.
Mendadak Siang Ji-long mendelik, ucapnya sambil menyeringai, "Kau masih bisa iseng
bertanya macam-macam, sebentar kalau Thian can sudah merayap tubuhmu, mungkin kau
akan menyesal mengapa kau masih hidup di dunia ini."
"Huh, kata-katamu ini tidak dapat menggertak kami," jawab Lui-ji dengan tak acuh. "Betul
tidak Sicek?"
Tapi waktu ia berpaling ke sana, dilihatnya bibir Pwe-giok juga pucat, matanya buram,
tampaknya juga ketakutan sehingga tidak mendengar apa yang ditanyakan itu.
Diam-diam Lui-ji menghela napas, pikirnya "Tak kusangka Sicek sedemikian mementingkan
mati hidup, bisa jadi lantaran selama ini aku tidak kenal betapa bahagianya orang hidup,
makanya aku tidak takut mati."
Dilihatnya Pwe-giok mengangkat kepala dan tanya Oh-lolo dengan melotot, "Racun pada
kukumu itu apakah betul tak tertolong lagi selewat 3 hari?"
Mendengar ini, Lui-ji jadi terharu, hampir saja ia mengucurkan air mata, perasaannya entah
manis entah getir.
Baru sekarang diketahuinya bahwa yang dipikirkan Pwe-giok itu ternyata bukan mati atau
hidupnya sendiri, dalam keadaan demikian yang senantiasa dipikirkannya justeru adalah racun
yang menyerang Cu Lui ji itu dapat ditolong atau tidak.
Seketika Lui-ji termangu-mangu, apa yang diucapkan Oh-lolo tidak lagi didengar dan
diperhatikannya. Apakah racun yang menyerangnya bakal tertolong atau tidak juga tidak
diperdulikannya lagi.
Cukup kata-kata Pwe-giok yang didengarnya tadi, andaikan sekarang dia harus mati juga rela.
Maklumlah, sejak kematian ibunya, dia tak pernah terbayang olehnya bahwa di dunia ini
masih ada orang yang sedemikian memperhatikan dirinya tanpa menghiraukan
keselamatannya sendiri.
Entah sudah lewat beberapa lama lagi, sekonyong-konyong terdengar suara detak kaki
binatang dari kejauhan dan makin mendekat ke arah gua ini.
50
"Sret", mendadak Siang Ji long melipat kipasnya, ia melayang kesana dan berdiri di atas
sebuah tonggak batu yang serupa rebung itu lalu membentak, "Siapa itu yang di luar?"
Tapi tidak ada jawaban apa pun, sebaliknya suara detak kaki binatang tunggangan itu semakin
dekat.
Siang Ji-long memberi tanda, ke enam orang berseragam perak tadi segera bergerak dan
mencari tempat sembunyi masing-masing di balik tonggak.
Melihat gerak tubuh mereka, baru sekarang Lui-ji tahu kungfu mereka memang selisih sangat
jauh dengan Siang Ji-long, pantas mereka sangat takut padanya.
Terlihatlah Siang Ji-long berdiri tegak di ujung rebung batu tanpa bergerak sedikit pun, hanya
kedua matanya tampak gemerdep, bentuknya itu jadi lebih mirip mayat hidup yang baru
keluar dari liang kubur.
Dengan tangan kanan memegang kipas, tangan kiri Siang Ji-long tetap membawa kotak perak
tadi hanya sebelah ujung kakinya saja yang menempel ujung rebung batu, tapi ternyata kukuh
bagai terpaku di situ.
Oh-lolo bergumam dengan gegetun, "Pantas bocah ini sedemikian congkak, tampaknya
memang punya isi, bisa jadi kepandaian Thian can Kaucu sendiri juga selisih tidak banyak
dengan dia."
Belum habis ucapannya, terlihatlah seekor keledai kecil menerobos masuk ke dalam gua.
Hampir sebagian besar bulu keledai ini sudah rontok sehingga mirip seekor anjing buduk
yang menjijikkan.
Di punggung keledai buduk itu menumpang seorang kakek bermuka jelek, mukanya belangbonteng
penuh keriput, dengan mata setengah terpejam kelihatan napasnya terengah-engah,
dipandang sepintas lalu kakek ini dan Oh-lolo dapat dikatakan satu pasangan yang setimpal.
Lui-ji mendesis, "Kakek ini berani menerjang masuk ke sini, jangan-jangan dia juga seorang
kosen? Kau kenal dia tidak, Oh-lolo?"
Si nenek menggeleng, jawabnya, "Kebanyakan tokoh Bu-lim yang punya nama tertentu
pernah ku lihat sekali dua kali, tapi rasanya tidak ada seorang tua semacam dia ini."
Dengan kecewa Lui-ji menghela nafas, dilihatnya setelah keledai kecil itu berlari masuk ke
dalam gua, belum lagi berhenti seakan-akan lantas berubah menjadi buta.
Mata si kakek juga keriap-keriap seperti tidak dapat melihat apa-apa lagi, orang bersama
keledai itu langsung menerjang lurus ke arah Siang Ji-long, tampaknya sama sekali tidak
menyadari bahaya apa yang sedang menantikan mereka.
Diam-diam Lui-ji ikut berkuatir bagi mereka.
Siang Ji-long hanya memandang saja tanpa bersuara, cuma sorot matanya penuh napsu
membunuh, dengan sabar dia menunggu mendekatnya si kakek bersama keledainya.
51
Tampak keledai itu sudah hampir menumbuk tonggak batu itu, Lui-ji dan lain-lain tahu apa
bila Siang Ji-long bergerak, maka orang berikut keledainya pasti akan tamat riwayatnya.
Selagi Lui-ji bermaksud memperingatkan, tak terduga Pwe-giok sudah mendahului berseru,
"Di sini ini bukan tempat yang baik silahkan Lo-sianseng (tuan tua) lekas putar balik ke sana
saja!"
Baru sekarang kakek itu menengadah, dengan mata setengah terpicing ia memandang ke atas.
Maka menyeringai lah Siang Ji-long, katanya "Setibanya di sini, apakah kau ingin putar balik
kesana?"
Kakek itu mengucek-ngucek matanya lalu menjawab, "Mungkin aku kesasar, apakah ini pun
melanggar undang-undang?"
"Ya, anggaplah kau telah melanggar undang-undangku," bentak Siang Ji-long dengan bengis
"Nah, serahkan nyawamu!"
Mendadak tangan kirinya bergerak, seketika enam atau tujuh potong benda kuning yang
mengeluarkan cahaya mengkilat terus melarang ke tubuh si kakek.
Lui-ji tahu itulah Thian can atau ulat langit, ulat yang berpuluh kali lipat lebih jahat daripada
ular berbisa. Tapi tak disangkanya gerakan ulat itu bisa secepat ini, seolah-olah bisa melayang
mengikuti angin.
Ia menjerit keras, disangka kulit daging si kakek dalam sekejap saja bisa akan dimakan habis
oleh kawanan ilat itu dan akan tersisa seonggok tulang belaka.
Sungguh ia tidak sampai hati untuk menyaksikan adegan ngeri itu, baru saja hendak
memejamkan mata, mendadak dilihatnya tangan si kakek menggapai perlahan, tahu-tahu
beberapa potong benda mengkilat itu tergulung seluruhnya ke dalam lengan bajunya.
Hampir saja Lui-ji berkeplok dan bersorak gembira, tampaknya kakek ini memang betul
bintang penolong mereka. Sekali ini jelas Oh-lolo telah salah lihat.
Wajah Siang Ji-long yang memang jelek itu berubah buruk, teriaknya dengan parau, "Siapa
kau sesungguhnya?"
Begitu pertanyaan diucapkan, serentak ia pun melayang ke atas terus menubruk ke bawah,
kipasnya seolah-olah berubah menjadi belasan buah, entah serangan mana yang betul dan
serangan mana yang cuma bayangan, yang jelas sebelum bayangan kipasnya menyambar tiba,
lebih dulu tangan kiri sudah menghamburkan secomot titik-titik perak.
Serangan tidak saja keji dan cepat, bahkan dalam waktu sekejap saja sekaligus melancarkan
berbagai serangan maut.
Betapa kejinya, sampai siapa pihak lawan juga tidak perlu diketahuinya lagi, tujuannya hanya
satu, mematikan lawan, biarpun salah membunuhnya juga tidak terpikir.
52
Diam-diam Pwe giok terkejut, serangan maut yang hebat ini bila ditujukan kepadanya
mungkin ia pun sukar mengelakkannya.
Siapa tahu, pada saat itu juga mendadak terdengar suara "blang" yang keras, tubuh Siang Jilong
mendadak pula melayang balik ke belakang lalu terbanting di tanah dengan terlentang.
Ternyata kipasnya sudah berpindah ke tangan si kakek
"Sret", kakek itu membentang kipas rampasannya dan mengipas perlahan, kedua matanya
sekonyong-konyong memancarkan sinar tajam, ucapnya terhadap Oh-lolo sambil tersenyum,
"Sekarang tentu nya kau tahu, meski kungfu Siang Ji-long memang hebat, tapi kalau
dibandingkan Thian can kaucu jelas masih selisih sangat jauh."
Ucapan ini kembali membuat dingin hati Lui-ji.
Kiranya kakek ini samaran Thian kaucu, bosnya Siang Ji-long sendiri, pantas sekali gebrak
saja serangan maut Siang Ji-long lantas dipatahkan. Kungfu Siang Ji-long memang ajarannya,
dengan sendirinya setiap gerak serangan dapat dibacanya seperti menghitung jarinya sendiri.
Lui-ji hanya menyengir saja. Ternyata Thian can kaucu telah disangkanya sebagai bintang
penolongnya.
Dalam pada itu Siang Ji-long telah merangkak bangun dan menyembah kepada kakek dengan
ketakutan, ucapnya dengan gemetar, "Tecu tidak tahu Kaucu yang datang, sungguh dosa Tecu
pantas dihukum mati."
"Hm kudengar akhir-akhir ini kau sangat temberang, lantaran aku tidak di rumah, kau lantas
bertindak sesukamu, siapa pun tidak kau pandang dengan sebelah mata, semua ini sekarang
benar-benar telah ku saksikan sendiri," demikian si kakek Thian can kaucu menjengek.
Siang Ji-long sangat ketakutan, mengangkat kepala saja tidak berani, dengan tetap
menyembah ia berkata, "Kaucu mahir mengubah diri seribu macam, Tecu bermata tapi buta
dan tidak tahu akan kedatangan Kaucu, Tecu menyangka ada orang asing berani menerobos
ke daerah terlarang Thian-can-kau kita, karena kuatir sehingga terburu napsu melancarkan
serangan maut."
"Hm, sekalipun begitu, pantasnya kau tanya dulu asal-usul pihak lawan, mana boleh tanpa
membedakan hitam atau putih dan segera kau lepaskan Thian can," damprat sang Kaucu
dengan gusar "Apakah lantaran kau sendiri sudah menderita digerogoti Thian-can, maka kau
pun ingin membikin orang lain juga mencicipi rasanya digeragoti Thian-can untuk
menyenangkan hatimu?"
"Tecu tidak berani, Tecu memang pantas mampus," ratap Siang Ji-long.
Dengan suara lantang Thian can kaucu berkata pula, "Setiap orang Kangouw sama tahu
betapa keji kungfu Thian can kau kita dan tiada bandingannya di dunia ini, tapi semua orang
juga tahu peraturan Kau kita yang tegas membedakan antara budi dan benci, apa bila ada
orang berani melanggar kedaulatan Kau kita, apapun juga akibatnya akan kita lawan dan kita
binasakan. Tapi setiap anak murid Thian can kau tidak boleh sembarangan membunuh orang
yang tak berdosa, dengan perbuatanmu ini bukankah kau telah sengaja merusak nama baik
Kau kita?"
53
Berulang Siang Ji-long menyembah lagi hingga jidatnya lecet dan berdarah, ia memohon,
"Tecu menyadari dosanya, mohon Kaucu memberi ampun."
Rasa gusar Thian can kaucu tampak berkurang, katanya dengan tegas, "Mengingat kau pernah
dihukum terlalu berat, maka ku perlakukan kau dengan lebih baik dari pada yang lain, siapa
tahu kau malah tambah mengganas dan berbuat tidak semena-mena, jika selanjutnya sifatmu
ini bisa berubah akan untunglah kau, kalau tidak, mungkin mati pun kau takkan terkubur."
Melihat Thian can kau cu ini, Pwe giok sendiri pun pangling, sebab orang sudah berganti rupa
dari pada apa yang pernah dilihatnya dahulu, yaitu waktu kepergok di istana bawah tanah
tinggalan Siau-hun-kongcu (ibu Cu-Lui-ji, bacalah dalam jilid 9 dan 10 Renjana Pendekar).
Ucapan dan tindakan si kakek tegas dan berwibawa sesuai seorang pemimpin besar suatu
aliran tersendiri, sungguh tidak tersangka kakek jelek ini-lah orang tua yang dilihatnya di
Siau-hun-kiong dahulu, padahal waktu itu si kakek berpakaian serba warna perak. Pantaslah
kalau anak muridnya sendiri juga pangling.
Tertampak Siang Ji-long masih mendekam di atas tanah dan menyembah beberapa kali lagi,
mendadak ia merobek bajunya sendiri. Maka tertampaklah badannya yang penuh bekas luka,
hampir boleh dikatakan tiada satu bagian pun yang utuh, sungguh mengerikan bagi orang
yang memandangnya. Pada pinggangnya terdapat ikat pinggang, di situ terselip tujuh bilah
pisau perak.
Siang Ji-long melepaskan ikat pinggangnya dengan deretan pisaunya, lalu dibentangkan di
depannya serta menyembah pula.
Bahwa Siang Ji-long yang tadi tidak kepalang garangnya kini telah berubah menjadi ahli
menyembah, hal ini tidak saja membuat heran Pwe-giok dan lain, bahkan Thian can kaucu
sendiri juga rada terkesiap, ia bertanya, "Apa yang kau lakukan ini?"
Jilid 3________
"Setelah mendapat petuah Suhu tadi, Tecu merasa dosa sendiri sudah kelewat takaran dan
malu untuk hidup di dunia ini, Tecu rela menerima hukuman badan disayat pisau perak untuk
menebus dosa" demikian ratap Siang Ji-long sambil mendekam di tanah.
Ucapan ini membuat semua orang terkejut dan bertambah heran.
Thian can kaucu juga berkerut kening, katanya, "Tentunya kau tahu hukuman badan disayat
pisau termasuk hukuman mati agama kita?"
"Ya, Tecu tahu," jawab Siang Ji-long.
"Padahal sudah kuampuni kau, kenapa kau minta dihukum?"
Dengan pedih Siang Ji-long menjawab, "Hal ini dilakukan Tecu dengan sukarela, sebab Tecu
merasa berhutang budi kepada Suhu dan tidak dapat membalas, terpaksa menggunakan jiwa
Tecu sebagai teladan bagi para Sute agar mereka bisa lebih prihatin."
54
Sikap Thian can kaucu tambah lunak, ucapnya, "Tak tersangka kau mempunyai rasa
kesadaran demikian, tidak percumalah ajaranku selama ini. Persoalan hari ini mestinya akan
kuberi hukuman setimpal padamu, tapi karena kau sudah menyadari akan kesalahanmu, maka
sudahlah, berdirilah kau."
Diam-diam Cu Lui-ji merasa geli, pikirnya "Kiranya Siang Ji-long menggunakan akal 'Kobak-
keh' (akal menyiksa diri sendiri) untuk menghindarkan hukuman berat....."
Tak terduga, tiba-tiba Siang Ji-long berkata pula dengan menyesal, "Meski Kaucu telah
mengampuni Tecu, tapi Tecu tak dapat mengampuni dirinya sendiri, Tecu mohon sebelum
ajal diperkenankan mengutarakan segenap dosanya supaya Tecu bisa merasa tenteram."
"Kesalahan apa yang telah kau lakukan sudah kuketahui seluruhnya, kukira tidak perlu lagi
kau katakan," ujar Thian can kaucu.
Dengan pedih Siang Ji-long berkata, "Meski pandangan Kaucu maha tajam, tapi ada pula
perbuatan Tecu yang kulakukan di luar tahu Kaucu, sekarang setelah Tecu mengetahui betapa
luhur budi Kaucu terhadap Tecu, bilamana perbuatan Tecu itu tidak kubeberkan di depan
Kaucu, sekalipun hidup Tecu akan merasa tidak aman, mati pun akan merasa tidak tenteram."
Mau tak mau Thian can kaucu terkesiap oleh permintaan Siang Ji-long yang ngotot itu, Cu-lui
ji juga terheran-heran, ia pikir, "Kalau Siang Ji-long ini menggunakan akal Ko-bak-keh, tentu
sekarang sudah cukup baginya, mengapa dia masih terus ngotot begini, apakah dia memang
sudah bosan hidup? Sesungguhnya apa maksud tujuannya?"
Selang sejenak, terdengar Thian can kaucu berkata. "Jika demikian, bolehlah kau uraikan."
"Selama ini Kaucu memandang Tecu seperti anak sendiri," demikian Siang Ji-long mulai
menutur. "Kim-hoa, Gin-hoa dan Thi-hoa bertiga nona juga memandang Tecu sebagai
saudara, akan tetapi Tecu ternyata tidak tahu budi, sebaliknya malah timbul napsu
binatang...." dia melirik sekejap ke arah Gin hoa nio, lalu menyambung, "lima tahun yang
lalu, pada suatu malam di musim panas di bawah sinar bulan purnama, ketika Ji kohnio
sedang mandi di sungai, waktu itu usianya masih kecil sehingga tidak menaruh prasangka apa
pun terhadap Tecu, tapi demi melihat tubuh Ji kohnio yang putih mulus, tubuhnya yang sudah
tumbuh cukup masak itu, mendadak timbul pikiran busuk Tecu dan
hendak...hendak...memperkosanya...."
Cara bicara Siang Ji-long ternyata terang-terangan, bahkan melukiskan kejadian itu dengan
gerakan nyata.
Geli dan juga gemas Lui-ji, ia merasa biarpun ingin mengaku dosa, mestinya juga tidak perlu
bergaya sejelas itu.
Tak tahunya Thian can kaucu ternyata tidak menganggap berlebihan uraian Siang Ji-long itu.
sebaliknya malah memuji akan kejujurannya. katanya dengan perlahan. "Untuk kesalahanmu
itu kau sudah dihukum dengan ulat menggeragoti badan, maka tidak perlu kau merasa
menyesal."
55
"Namun sejak itu, bila Tecu teringat kepada kejadian itu, segera nafsu birahi Tecu akan
terangsang," tutur Siang Ji-long pula. "Dari sini terbuktilah bahwa tecu sesungguhnya bukan
manusia, bahkan lebih kotor daripada hewan."
Bicara sampai di sini, agaknya saking menyesal dan malunya, mendadak ia mencabut pisau
mengkilap itu terus menikam pahanya sendiri.
Thian can kaucu mengernyitkan dahi, tanyanya," Selain itu, ada hal lain apa lagi?"
"Tecu tidak percuma tidak setia terhadap Kaucu, juga tidak berbudi terhadap sesama saudara
seperguruan, demi merebut kedudukan ahli-waris Tecu, Tecu telah menggunakan segala tipu
daya untuk memfitnah Toa-suheng sehingga akhirnya Toa-suheng dihukum mati oleh Suhu."
"Siang Tay-long memang bermaksud jahat, sudah lama ada maksud hendak menghukum dia
menurut penuturan rumah tangga kita, hal ini pun tidak dapat menyalahkan kau," kata Thian
can kaucu.
"Tapi apapun juga jalan pikiran Tecu memang jahat, apa lagi setelah Tecu menggantikan Toasuheng
menjadi Ciangbun suheng (murid pertama ahli-waris), terhadap para Sute tidak pernah
Tecu memperlihatkan kasih sayang, sebaliknya malah, memperlakukan mereka dengan kasar,
mencaci mereka dan memukul mereka dengan cara sadis...."
"Sebagai To-asuheng, kan pantas juga jika kau memberi hajaran terhadap para Sute, ini bukan
sesuatu yang luar biasa," ujar Thian can Kaucu.
Tadinya dia mendamprat Siang Ji long dengan kata-kata keras, tapi sekarang keadaannya
telah berubah. Siang Ji-long seolah-olah sedang mencaci maki dirinya sendiri dan Thian can
kaucu berbalik menjadi pembelanya.
Terdengar Siang Ji-long berkata pula," Suheng memberi hajaran kepada sute memang pantas,
tapi Tecu bertindak kelewat batas, untuk ini silahkan Kaucu tanya kepada Jisute, tentu Kaucu
akan tahu betapa keji tindakan Tecu."
Pandangan Thian can kaucu lantas beralih ke arah si jerangkong hidup, lalu bertanya,
"Apakah betul tindakan Toa-suhengmu agak kelewat batas?"
"Oo....ti.....tidak.....Tecu.....Tecu....." si jerangkong hidup menjadi gelagapan dan sukar untuk
menjawab.
"Coba, sampai sekarang dia masih ketakutan dan tidak berani bicara terus terang, dari sinipun
terbukti betapa dia merasa segan kepada Tecu," kata Siang Ji-long pula. Dia menghela nafas,
lalu menyambung, "Ji-sute, sungguh banyak tindakanku yang tidak pantas terhadapmu,
sekarang aku bertekad untuk menebus dosaku itu, hendaklah kau bicara terus terang, cacimakilah
diriku, makin keras kata-katamu makin tenteram perasaanku."
Si jerangkong hidup memandangnya sekian lama, mendadak ia berseru, "Betul, biasanya Toasuheng
memang tidak menganggap Tecu sebagai manusia, tidak cuma main pukul dan caci
maki saja padaku, bahkan....bahkan Tecu dipaksa melakukan hal-hal yang tidak
berperikemanusiaan. Pernah satu kali tanpa sengaja Tecu telah memukul anjing kesayangan
56
Toa-suheng, tapi Toa-suheng lantas paksa Tecu menyembah dan minta maaf kepada
anjingnya, bahkan Tecu dipaksa makan kotoran anjing dan....."
"Sudahlah, cukup, tidak perlu dilanjutkan lagi," kata Thian can kaucu dengan kereng.
Siang Ji-long menghela nafas, "Apa yang dikatakan Ji-sute memang benar, jika Tecu pikir
sekarang, apa yang kulakukan itu memang....." sampai di sini ia mencabut lagi sebilah pisau
dan menikam pula paha sendiri. Thian can kaucu termenung sejenak, ucapnya kemudian.
"Apa pun yang telah kau lakukan, sekarang kau telah mengaku secara terus terang di
hadapanku, ini membuktikan kau masih sangat setia padaku, asalkan selanjutnya jangan lagi
berbuat kesalahan demikian, maka anggap selesaikan urusan ini."
Mendadak Siang Ji-long mengucurkan air mata, katanya, "semakin baik Kaucu terhadap
Tecu, semakin pedih hati Tecu. Budi kebaikan Kaucu tak dapat kubalas lagi selama hidup ini
terpaksa kutunggu sampai titisan yang akan datang."
Suaranya menjadi tersendat mendadak ia mencabut pula sebilah pisau terus menikam ke ulu
hatinya sendiri.
Akan tetapi gerakan Thian can kaucu terlebih cepat, belum lagi ujung belati mengenai hulu
hatinya, tahu-tahu Thian can kaucu sudah mencengkeram tangannya sambil membentak, "Ku
larang kau mati. maka kau tidak boleh mati, jika tidak berarti kau membangkang perintah
guru."
Sembari bicara ia terus hendak merampas belati Siang Ji-long. Sebaliknya Siang Ji-long
seperti sudah nekat dan masih meronta sekuatnya.
Siapa tahu, pada saat itu juga mendadak dari gagang belati itu terpancar keluar selarik sinar
perak, langsung menyambar ke muka Thian can kaucu.
Betapapun Thian can tidak menyangka akan terjadi perubahan demikian, meski ilmu silatnya
maha tinggi juga sukar mengelak. Ia meraung keras-keras satu kali, tangannya membalik
untuk menghantam Siang Ji-long.
Namun Siang Ji-long sempat menjatuhkan diri dan menggelinding jauh kesana, serunya
dengan tertawa latah, "Siang Bok-kong, sekarang barulah kau tahu akan kelihaianku bukan?"
Apa yagn terjadi ini sungguh terlalu mendadak di luar dugaan siapapun juga, Gin hoa nio
sampai menjerit kaget, bahkan Oh-lolo yang ulung itu pun terkejut.
Terlihat Thian can kaucu menutup mukanya dengan kedua tangan, teriaknya dengan suara
parau, "Binatang, kau..... keji amat kau!”- Sambil memaki tempaknya ia hendak menubruk
maju.
Tapi siang Ji-long lantas berseru dengan menyeringai, "Apa yang tersembunyi di dalam
gagang belatiku tentunya sudah kau ketahui, sekarang tidakkah lebih baik lekas kau duduk
saja di situ, memangnya kau kuatir bekerjanya racun kurang cepat?"
Thian can kaucu Siang Bok kong benar-benar tidak berani bergerak lagi, kini langkahnya juga
sempoyongan, berdiri saja tidak kuat, ia bergeliat sejenak, akhirnya jatuh terkulai.
57
Terdengar Siang Ji-long tertawa latah hingga lama sekali, jelas senangnya tidak kepalang.
Sebaliknya beberapa murid THian can kau yang berseragam hitam tampak ketakutan dengan
muka pucat, bergerak sedikit saja tidak berani.
"Wahai Siang Bok-kong," demikian Siang Ji long berteriak pula dengan tertawa, "apa kau kira
tadi aku memang tidak mengenali dirimu? Haha, bicara terus terang, sejak mula, begitu kau
masuk ke sini segera ku tahu siapa kau, hanya saja aku pura-pura tidak kenal padamu agar aku
dapat turun tangan padamu, dengan demikian seumpama aku gagal membunuhmu kan ada
alasan yang dapat kugunakan untuk membela diri."
Sambil mendekap mukanya, tubuh Thian can kaucu tampak berkejang, jelas sedang menahan
kesakitan yang luar biasa, bahkan ia terus bergulingan di tanah dan tidak sanggup bicara lagi.
Cu Lui-ji merasa penasaran, katanya "Baru sekarang ku tahu kau memang hebat , tapi
mengapa kau berbuat seperti tadi?"
"Setelah ku serang dia tadi baru kuketahui tua bangka ini masih mempunyai ilmu simpanan
yang tidak pernah diajarkan kepadaku, bila bertempur jelas aku bukan tandingannya, terpaksa
ku robohkan dia dengan akal," tutur Siang Ji-long.
Pada umumnya seorang kalau berhasil berbuat sesuatu yang menyenangkan, maka sedapatnya
ia ingin pamer supaya orang lain tahu akan kehebatannya. Kalau tidak maka sama halnya
orang berpakaian perlente berjalan pada malam gelap. kurang mentereng. Siang Ji long juga
demikian.
Begitulah dia berseri-seri dan sangat bangga, dengan tertawa ia lantas menyambung pula,
"Sudah belasan tahun ku tinggal bersama tua bangka ini, setiap ciri kelemahannya sudah
kupahami. Ku tahu dia sok anggap awak paling pintar, urusan apa pun tak dapat mengelabui
dia. Orang yang berbuat salah asalkan mau mengaku terus terang padanya, maka dia akan
gembira mengira orang tidak berani berdusta padanya."
Makin omong makin bangga dia, setelah terbahak-bahak lebih keras, lalu berkata pula,
"Terhadap titik kelemahannya itulah ku turun tangan dan ternyata dapat ku jebak dengan
baik."
"Lantas apa tujuanmu dengan berbuat demikian? Apakah karena kau ingin membalas dendam
lantaran kau dihukum ulat menggeragoti badanmu?" tanya Lui-ji pula.
Siang Ji-long menyeringai, katanya, Budak cilik, terlalu banyak kau bertanya."
Lui-ji tertawa, ucapnya pula dengan tertawa, "Seumpama kemudian kau dapat naik tahta
sebagai Kaucu, mungkin orang lain juga takkan takluk padamu."
Mendadak sorot mata Siang Ji-long yang tajam itu menyapu pandang sekejap ke arah para
sutenya, lalu mendengus. "Kalian takluk padaku tidak!"
Serentak beberapa orang itu menyembah di atas tanah dan menjawab dengan suara gemetar,
"Siaute takluk lahir batin!"
58
"Bagus, kalian ikut padaku, kelak kalian tentu akan mendapat pahala yang pantas," kata Siang
Ji-long dengan tertawa. "Sebelum ini, meski orang Kangouw sama jeri terhadap Thian can
kau kita, tapi diam-diam mereka sama bilang Kau kita adalah agama jahat, tapi selanjutnya
nama Thian can kau pasti akan berdiri sejajar dengan Bu-tong pay dan Siau lim pay, Kau kita
akan menjadi suatu aliran besar yang diagungkan di Bu-lim dan tak ada orang yang berani
memandang hina lagi kepada kita."
"Hm, mungkin kau lagi mimpi," jengek Lui ji tiba-tiba.
"Oo, kau tidak percaya?" tanya Siang Ji-long "Baik, akan ku beri waktu satu jam lebih
banyak, biar kau saksikan apa yang terjadi."
Lui-ji tidak menanggapi lagi, tapi diam-diam bertambah heran, pikirnya, "Dia ingin
kusaksikan kejadian apa? Lewat satu jam lagi berdasarkan apa Thian can kau bisa mendadak
berubah menjadi suatu aliran besar yang diagungkan?"
Dalam pada itu terdengar si Jerangkong hidup juga sedang menyembah dan berkata, "Toasuheng
maha bijaksana dan gagah perkasa, sudah lama juga Siaute bermaksud mendukung
Toa-suheng sebagai Kaucu."
"Oo? Apa betul?" Siang Ji-long menegas.
"Mana Siaute berani berdusta di hadapan Toa-suheng." jawab si jerangkong hidup.
Siang Ji-long mendengus, "Aku ini orang yang kejam dan buas, tidak menganggap kalian
sebagai manusia, mengapa kau masih tetap hendak mendukung aku menjadi Kaucu? Apakah
kau ini sakit ingatan?"
Seketika wajah si jerangkong hidup yang kelabu itu bertambah pucat, tapi setiap cuil kulit
daging mukanya seolah-olah gemetar.
Siang Ji-long tidak memberi kesempatan bicara padanya dengan menyeringai ia menyambung
pula, "Ya, kau pasti mempunyai penyakit tertentu, atau mungkin kau ini sakit jiwa, kukira
benakmu perlu direparasi."
Mendadak si jerangkong hidup membalik tubuh terus menerobos keluar gua.
Akan tetapi Siang Ji-long sudah memperhitungkan kemungkinan ini, begitu si jerangkong
bergerak, segera ia mendahului menghadang di depannya sambil mengejek, "Hm... kau ingin
lari?"
"Tadi.....tadi Siaute sembarangan mengoceh seperti kentut anjing, mohon....mohon Toasuheng......"
demikian si jerangkong menjadi ketakutan. Namun dia masih berusaha mencari
hidup sambil bicara mendadak berpuluh bintik perak terpancar dari kedua tangannya.
Padahal jarak kedua orang sedemikian dekatnya, bintik perak itu terpancar dengan cepat lagi
mendadak, ia yakin Siang Ji-long sukar menghindar.
Siapa tahu antara dia dan Siang Ji-long serupa juga Siang Ji-long menghadapi Thian can
kaucu, serangan mautnya dianggap seperti permainan anak kecil saja, dengan perlahan Siang
59
Ji-long mengebaskan kipasnya, tahu-tahu berpuluh bintik perak itu menyambar ke arah si
jerangkong sendiri.
Kontan dia menjerit dan roboh terjengkang menyusul lantas berguling-guling di tanah sambil
menjerit dengan suara parau, "Toa-suheng, mohon....mohon kau bunuh saja diriku, supaya....
ku mati dengan cepat!"
Jelas pada senjata rahasia itu terdapat racun yang maha lihay, begitu mengenai tubuh manusia
akan menimbulkan rasa sakit yang lebih baik mati daripada hidup, maka dapat dibayangkan
betapa tersiksanya si jerangkong.
Tapi sama sekali Siang Ji-long tidak menghiraukannya, ia berpaling ke arah para Sute yang
lain dan membentak dengan bengis, "selanjutnya barang siapa berani bersikap kurang sopan
padaku, inilah contohnya!"
Di dalam gua itu seketika penuh diliputi suara keluhan dan rintihan yang membuat orang
merinding. Siang Ji-long mengerling sekelilingnya, tiba-tiba pandangannya berhenti pada
wajah Gin-hoa-nio.
Seketika otot daging di wajah Gin hoa nio juga berkejang.
Sambil menggoyangkan kipasnya dengan pelahan. Siang Ji-long mendekati Gin hoa nio,
ucapnya dengan perlahan, "Kejadian lima tahun yang lalu itu tentunya masih kau ingat
dengan baik, bukan?"
Gin hoa nio mengangguk.
"Waktu itu kau tahu aku sedang berlatih di dalam gua di tepi sungai sana, tapi kau sengaja
membuka baju di luar gua, bahkan memperagakan tubuhmu dengan macam-macam gaya
merangsang untuk memikat diriku. Ketika aku tidak tahan dan menerjang keluar untuk
mencarimu, tapi kau lantas menolak malah, bahkan mengadukan diriku di depan si tua
bangka, katanya kuperkosa dirimu, sesungguhnya sebabnya kau sengaja membikin susah
padaku?"
Saking emosi otot daging pada mukanya tampak ikut bergerak-gerak, dengan suara parau ia
berteriak, "Selama beberapa tahun ini senantiasa kupikirkan sebab apakah kau berbuat
demikian padaku, tapi sukar kudapatkan jawabannya, dan baru sekarang ku tahu sebabnya
kau berbuat begitu, hanya ingin membikin orang lain menjadi gila bagimu, menderita
bagimu."
"Bu....bukan begitu maksudku, Toa-suheng." kaa Gin hoa nio.
"Habis apa maksud tujuanmu?" tanya Siang Ji-long.
"Seb.....sebenarnya sudah lama ku jatuh cinta padamu," tutur Gin hoa nio. "Waktu itu
sebenarnya aku pun ingin dipeluk olehmu, tapi caramu terlalu kasar, terlalu buas, padahal
waktu itu aku masih terlalu muda, melihat sikapmu itu aku menjadi takut."
Mendadak suaranya berubah menjadi penuh daya pikat, dada pun naik turun, dada yang
montok itu tampaknya seakan-akan meledakkan bajunya yang singsat itu.
60
Siang Ji-long melototi dada orang, sinar matanya seperti api yang berkobar-kobar, ucapnya
sambil menyeringai "Sekarang kau masih takut atau tidak?"
Gin hoa nio menggigit bibir dan menjawab, "Sekarang aku..." dia tidak melanjutkan, sebab
dia dapat bicara dengan matanya.
Tapi mendadak Siang Ji-long bergelak tertawa, ditengah tertawa latah itu mendadak ia
menubruk maju, ditariknya baju Gin hoa nio hingga hancur seluruhnya dan tertampaklah
badannya yang indah dan bernas.
Beberapa orang berseragam hitam itu sama melotot menyaksikan tubuh yang menggiurkan
itu, meski tidak berani memandang terlalu lama, tidak jarang mereka main lirik lagi,
semuanya bernapas terengah-engah seperti kerbau.
"Selama beberapa tahun ini senantiasa kuharapkan akan dapat melihat tubuhmu dalam
keadaan telanjang bulat, ingin kulihat apakah tubuhmu berubah atau tidak," demikian Siang
Ji-long berteriak sambil tertawa latah.
Gin hoa nio menghela nafas panjang-panjang sehingga dadanya semakin membusung dan
perutnya mengecil, ucapnya dengan lirih, "Kau lihat aku berubah atau tidak?"
"Tidak, kau tidak berubah," gumam Siang Ji-long, sama sekali tidak berubah, tidak
berubah..." satu kalimat itu diulanginya hingga beberapa kali, suaranya berubah rada gemetar
mukanya berkerut-kerut dan butiran keringat menghiasi dahinya.
Melihat wajahnya yang beringas itu, Cu Lui ji merasa kuatir juga, dilihatnya sinar mata Siang
Ji-long itu makin membara, seakan-akan sudah gila benar-benar.
Tapi Gin hoa nio tidak melihat apa pun, sebab sejak tadi dia sudah memejamkan matanya,
ucapnya dengan suara memikat, "Jika benar senantiasa kau pikirkan diriku, kenapa sekarang
tidak kau......
Mendadak Siang Ji-long meraung satu kali, teriaknya dengan suara parau, "Kau tidak berubah
tapi...tapi aku sudah berubah!"
Sekonyong-konyong ia membuang kipasnya dan menubruk maju pula, tubuh Gin hoa nio
dipukulnya, dicubit, digigi, dicakar, dan dijilatnya, napasnya ngos-ngosan, keadaannya mirip
seekor anjing gila,
Lelaki macam apa pun pernah dilihat Gin hoa nio, tapi tidak pernah melihat orang gila begini,
keruan ia ketakutan dan menjerit, "He, apa yang kau lakukan? Apa-apaan kau ini?"
Dengan napas terengah-engah Siang Ji-long berkata, "Tahukah kau seorang lelaki akan
berubah bagaimana setelah diganjar hukuman ulat menggeragoti badan? Ketahuilah, dia akan
berubah menjadi bukan lelaki lagi. Dan karena gara-garamu sehingga aku bukan lagi seorang
lelaki, maka aku pun akan membikin kau bukan lagi perempuan."
Gin hoa nio melenggong, tanyanya dengan terputus-putus, "Masa....masa kau tidak...tidak
dapat....."
61
"Ya, aku tidak dapat, aku tidak ......tidak mampu....tidak mampu lagi." demikian Siang Ji-long
meraung kalap.
Kini sampai-sampai nenek reyot macam Oh-lolo juga tidak tega menyaksikan gerakan tangan
Siang Ji-long itu. Apa yang diperbuatnya sudah bukan lagi seorang lelaki, bahkan boleh
dikatakan bukan perbuatan manusia, sebab kalau dia manusia tidak nanti melakukan
perbuatan sadis semacam itu.
Terdengar Gin hoa nio merintih, "O, kumohon...am..puni diriku, lebih...lebih baik kau bunuh
saja diriku."
Semula dia masih memohon agar diampuni tapi akhirnya dia meminta agar lebih baik Siang
ji-long membunuhnya saja, nyata penderitaannya sudah sukar untuk dibayangkan.
Namun Siang Ji long belum lagi berhenti ucapnya sambil menyeringai, "Hm, kau ingin mati?
Mana boleh semudah ini? Akan kubikin kau...."
Tubuh Gin hoa nio yang tadinya putih mulus itu kini sudah berlumuran darah, akhirnya ia
tidak tahan dan jatuh pingsan.
Sekujur badan Siang Ji-long, mukanya dan tangannya juga berlepotan darah, gerak tangannya
juga mulai lambat dan akhirnya berhenti, napsunya yang terengah-engah lambat laun juga
mereda.
Kedua matanya yang merah membara tadi mendadak berubah menjadi buram seperti ikan
mati. sekujur badan serasa kehabisan tenaga, ia berdiri mematung tanpa bergerak sedikitpun.
Nyata napsu birahinya yang gila tadi akhirnya telah mendapatkan pelampiasan.
Didalam gua itu menjadi sunyi senyap, hening seperti kuburan.
Tiba-tiba di luar gua bergema pula detak kaki binatang tunggangan, tapi sekali ini Siang Jilong
tidak lagi membentak dan bertanya, air mukanya yang menyerupai orang mati itu
berbalik menampilkan rasa girang, agaknya sejak tadi dia sedang menantikan kedatangan
seseorang, dan sekarang, orang yang di tunggu-tunggu itu telah tiba.
Diam-diam Lui-ji membatin, "Jangan-jangan sudah lama dia berkomplot dengan orang luar,
makanya berani bertindak terhadap Thian can kaucu. Tadi dia suruh aku menunggu lagi
barang satu jam, apakah maksudnya akan menunggu kedatangan orang ini?
Tapi siapakah gerangan orang yang datang ini? siapa pula yang bisa berkomplot dengan Siang
Ji-liong yang menyerupai binatang buas dan gila ini?
Mau tak mau Lui-ji menjadi tegang, ia tahu sekarang sudah tiba pula saat yang menentukan
mati dan hidupnya, kalau tidak mencari akal untuk bertindak, bilamana orang ini sudah
datang, maka baginya hanya ada satu jalan saja, yaitu mati.
Akan tetapi berada dalam cengkeraman orang gila semacam ini apa pula yang dapat
dilakukannya? Berada di tempat begini tentunya juga takkan datang orang yang akan
menolong mereka. Lalu, apakah mereka harus pasrah nasib dan mati di tangan orang gila ini?
62
Suara detak kaki kuda di luar semakin dekat, sekonyong-konyong seekor kuda berlari masuk
secepat terbang, pelana kuda ini tampak mengkilat, seekor kuda yang bagus dan gagah.
Penunggangnya seorang lelaki kekar juga berbaju mentereng walaupun wajahnya tidaklah
menarik.
"Apakah kau kenal orang ini?" tanya Lui ji kepada Oh-lolo dengan suara bisik-bisik.
"Tidak," jawab si nenek.
"Tampaknya tokoh Bu-lim kelas tinggi tidak banyak yang kau kenal," ujar Lui-ji.
"Kalau orang inipun tokoh Bulim kelas tinggi biarlah nenek mencungkil mataku sendiri." kata
Oh-lolo.
"Hidungmu sudah hilang, kalau matamu dicungkil lagi, kan tambah buruk?" ujar Lui-ji.
Meski dimulut ia berucap begitu, tapi sesungguhnya ia pun percaya pendatang ini memang
bukan tokoh Bu-lim segala, kepandaiannya menunggang kuda tampaknya lumayan, tapi
matanya tidak bersinar. Dari gerakannya waktu turun dari kudanya juga dapat diukur ilmu
silatnya pasti tidak tinggi.
Namun begitu air muka Siang Ji-long tetap kelihatan bergirang, sama sekali tidak terasa
kecewa akan kedatangan orang.
Apakah memang orang inilah yang ditunggunya? Masa orang ini dapat diandalkan untuk
menjunjung nama Thian can kau sehingga diagungkan di dunia persilatan?
Tapi apapun juga, yang jelas orang yang di tunggu-tunggu Siang Ji-long kini sudah datang,
jiwa Cu Lui-ji bertiga sudah terancam, betapapun mereka harus cepat mencari akal.
Terlihat orang berbaju mentereng itu memberi hormat kepada Siang Ji-long setelah melompat
turun dari kudanya, katanya, "Numpang tanya adakah di sini seorang Siang Ji-long?"
"Aku inilah Siang Ji-long, sudah lama kutunggu kedatanganmu," jawab Ji long.
Orang itu seperti merasa lega karena dapat menemukan orang yang dicari ucapnya pula
dengan tertawa, "Hamba ditugaskan kemari untuk....."
Belum lanjut ucapannya, secepat kilat tangan Siang Ji-long sudah bekerja, seperti pisau saja
ujung jarinya sudah menusuk tenggorokan orang itu.
Lelaki itu cuma sempat menjerit setengah suara, lalu kedua matanya melotot seperti mau
melompat keluar dari kelopak matanya, ia tatap Siang Ji-long dengan rasa kejut dan sangsi,
nyata sampai ajalnya ia belum lagi paham mengapa Siang Ji-long bisa mendadak
menyerangnya dan membinasakan dia. Sampai mati pun dia dapat menjadi penasaran yang
tidak tahu sebab apa dia dibunuh.
Cu Lui-ji dan lain lain juga terkejut. Mereka pun tidak mengerti sebab apa Siang Ji-long
membunuh orang itu.
63
Kalau yang di tunggu Siang Ji-long adalah orang ini, mengapa mendadak dibunuhnya pula ?
seumpama orang ini hanya pengantar saja dan Sian Ji-long harus membunuhnya untuk
ditanyai dahulu keterangan yang diperlukan, mengapa sebelum orang itu habis bicara terus
dibinasakannya?
Sekalipun Oh lolo adalah rase tua yang paling licin juga merasa bingung melihat kejadian itu.
Diam-diam Lui-ji membatin, "Jangan-jangan Siang Ji-long tahu orang itu membawa sesuatu
dokumen yang sangat penting dan harus dirahasiakan, maka lebih dulu membunuhnya untuk
menghilangkan saksi hidup."
Hanya demikianlah kesimpulannya, sebab selain ini hakekatnya tidak ada alasan lain.
Tak terduga, mendadak Siang Ji-long mendepak sehingga mayat lelaki itu terpental jauh ke
sana, tanpa memandangnya lagi Siang Ji-long terus melompat ke sana dan memegang tali
kendali kuda tunggangan orang tadi. pelahan ia mengelus bulu suri kuda itu, katanya dengan
tertawa, "Ha ha, apakah kalian kira orang itu yang kutunggu? Ha ha, kalian salah sangka
semua, yang kutunggu justeru adalah kuda ini."
Lui-ji dan lain-lain sama melenggong.
Bahwa yang di tunggu-tunggu Siang Ji-long adalah seekor kuda! apa apaan ini? sudah gilakah
dia ?
Lui-ji menghela napas, ucapnya sambil menyengir, "Tampaknya hanya kuda saja yang dapat
bergaul dengan anjing gila semacam kau ini." Siapa tahu, belum lenyap suaranya, mendadak
tangan Siang Ji-long begitu keras seolah-olah terbuat dari baja.
Kuda itu meringkik kaget, kontan kepalanya pecah berantakan dan roboh.
Bukan cuma penunggang kuda saja yang dibinasakan, kudanya juga telah dibunuh Siang-Jilong.
Sampai di sini semua orang tahu Siang Ji-long benar-benar telah gila, sebab selain orang gila,
siapa lagi yang dapat melakukan hal hal yang aneh dan membingungkan ini?"
Sungguh Cu Lui-ji tak berani membayangkan tindakan keji apa pula yang akan dilaksanakan
si gila ini terhadap dirinya.
Didengarnya Ji Pwe-giok lagi menghela napas, ucapnya dengan rawan, "Maaf, bukan saja aku
tidak dapat menjaga dirimu, sebaliknya... sebaliknya kau..."
"Mana boleh sicek yang disalahkan?" ujar Lui-ji dengan pedih, "Justeru salahku sendiri yang
telah membikin susah Sicek."
Pwe-giok menggeleng dan tidak tahu apa yang harus diucapkan lagi.
Oh-lolo lantas mengejek, "Kalau kau sendiri toh selekasnya akan mati, untuk apa kau
bersedih bagi orang lain?"
64
"Jalan pikiran orang seperti sicek, selama hidupmu tak mungkin dapat memahaminya." kata
Lui-ji. "Sebab orang semacam kau, yang selalu kau perhatikan hanya dirimu sendiri,
sedangkan sicekku, dia... dia selalu memperhatikan kepentingan orang lain.." "Hm, dia selalu
memikirkan kepentingan orang lain?" jengek Oh-lolo. "Mengapa dia tidak memperhatikan
kepentinganmu?"
Lui-ji tidak menanggapinya lagi, tapi di dalam hati terasa manis dan bahagia.
Sekarang meski diketahui dirinya pasti akan mati, namun dia tidak takut, sebab ia tahu di
dunia ini sedikitnya ada seorang yang dapat memperhatikan keselamatannya.
Pwe-giok sama sekali tidak paham perasaan anak gadis semacam ini, sudah tentu, seumpama
dia paham, dalam keadaan demikian dan pada saat begini, tentu pula dia tidak tega melukai
perasaannya.
Dalam pada itu Siang Ji-long telah menyeret kuda mati itu ke tengah dan mulai menyembelih
perutnya. Isi perut kuda itu dibetotnya keluar semua.
Hampir tumpah Lui-ji, Tadinya ia mengira makhluk yang paling berbisa di dunia ini adalah
ular dan yang paling keji adalah serigala, tapi sekarang ia baru tahu bilamana seorang sudah
gila, terkadang manusia jauh lebih menakutkan daripada ular berbisa dan serigala kelaparan.
Pwe-giok dapat merasakan tubuh anak dara itu lagi gemetar, dengan suara lembut ia
menghiburnya, "terhadap orang gila begini, asalkan kau tutup mata dan tidak memandangnya,
tentu kau takkan merasa takut."
"Aku tidak takut, aku cuma merasa sedih." Kata Lui-ji dengan menghela napas pelahan, lalu
menyambung pula sambil menunduk, "Mestinya ada kesempatan lari bagiku, tapi sayang, kini
kesempatan itu sudah ku bikin runyam."
Seketika Oh-lolo melotot, hampir saja ia berteriak, "Apa katamu?"
"Tadi waktu kalian terbius dalam kereta, aku sendiri masih sadar, dari atap kereta dapat
kutemukan sepotong dupa bius, sisa setengah potong lidi dupa itu telah kusembunyikan."
Mencorong terasa sinar mata Oh-lolo, ia menegas dengan suara tertahan, "Dan setengah
potong lidi dupa itu kini berada padamu? Alangkah bagusnya jika dapat kita lemparkan lidi
dupa itu ke gundukan api unggun, orang-orang itu sedang gila tentu takkan memperhatikan
hal ini,:
"aku pun sudah memikirkan hal ini," kata Lui-ji. "Kupikir, sekalipun kau dan... dan Sicek juga
roboh terbius bersama mereka, tentu aku pun dapat meloloskan diri, sebab pada waktu mereka
meringkus tanganku dengan tali, aku pura-pura tak sadar, tapi diam-diam kugunakan tenaga
sehingga tanganku tidak terikat dengan erat."
Dia berhenti sejenak dan menghela napas, lalu menyambung pula, "Tapi sekarang, semua itu
tak ada gunanya lagi."
65
"Sebab apa?" desis Oh-lolo dengan suara parau. "Sebab pada waktu si gila bicara dengan
Thian-can-kaucu tadi, di luar tahu mereka telah kulemparkan setengah potong lidi itu ke sana,
kukira akan dapat mencapai gundukan api unggun itu, siapa tahu..."
"Masa lemparanmu tidak mencapai tempat tujuan? Oh-lolo menegas dengan suara serak.
"Betul, sebab waktu itu aku terlalu tegang, ketika melempar, tanganku terasa kejang dan..."
"Lalu terlempar kemana setengah potong lidi dupa itu?" tanya Oh-lolo.
"Dapatkah kau lihat sepotong benda yang serupa tusuk kundai di depan kepala Thian-cankaucu
itu? Nah, itulah dupa bius tersebut." jawab Lui-ji.
Waktu itu Thian-can-kaucu Siang Bok-kong telah terkulai di tanah seperti orang mati, persis
di depan kepalanya memang betul ada setengah potong dupa warna perak, kira-kira satu meter
jauhnya dari gundukan api unggun.
Dengan gemas Oh-lolo mengomel, "Kau budak mampus, kalau kau sendiri tidak becus,
mengapa kau sok pintar sendiri, tapi tanganmu ternyata lebih goblok daripada kaki keledai,
lebih baik kau potong saja tanganmu."
Sekali ini Lui-ji diam saja manda dimaki. Tapi Pwe-giok lantas berkata dengan lembut.
"Padahal kalau kau serahkan lidi dupa bisu itu kepadaku, mungkin satu jengkal saja tidak kuat
kulemparkan."
Lui-ji menunduk, katanya, "Omelan Oh-lolo memang tidak salah, sesungguhnya aku memang
sok pintar, sebab maksudku ingin membikin ... dan girang Sicek, agar Sicek tahu aku juga
mampu berbuat sesuatu, siapa tahu... "
"Siapa tahu kau ini seorang tolol, gadis goblok." Oh-lolo mencaci maki pula, "kau tidak cuma
membikin celaka orang lain, juga membikin susah dirinya sendiri. Yang kau pikirkan hanya
ingin pamer di depan Ji Pwe-giok, kau kira dia akan suka padamu? Huh, kau cuma
dianggapnya seperti anak kecil saja, apalagi kekasihnya yang jauh lebih cantik tak terhitung
banyaknya, mana dia bisa menyukai budak cilik ingusan macam kau ini."
Seketika Lui-ji menggigil pula, ucapnya dengan suara terputus, "Kau... kau tua... tua bang..."
Belum lanjut umpatannya, mendadak seorang menjerit ngeri, "Aduh tanganku... tanganku...
tanganku..."
Sejak Ji-suhengnya, yaitu si jerangkong hidup dirobohkan Siang Ji-long, ke enam murid
Thian-can-kau yang lain sama berdiri mematung di pojok sana, tidak berani bergerak, bahkan
bernapas pun tidak berani keras-keras. Tapi sekarang salah seorang di antaranya dengan
mengangkat kedua tangannya ke atas, di bawah cahaya api kedua tangannya kelihatan hitam
dam bengkak.
Siang Ji-long tidak menggubrisnya, seperti orang gila dia masih terus mengaduk isi perut
kuda mati itu.
66
Pwe-giok memandang Lui-ji sekejap. "Kembali kau lagi?"
Lui-ji menggigit bibir, katanya, "Habis siapa suruh dia sembarangan menggerayangi tubuhku,
dia yang mencari mampus sendiri."
Kembali mencorong mata Oh-lolo, tanyanya, "Jadi orang itu hanya meraba sekali di tubuhmu
lalu tangannya berubah begitu?" Lui-ji mengiakan.
Wajah Oh-lolo tampak berseri-seri dan gembira ria, katanya, "Ai, nona yang baik, bilamana
kau pun dapat memancing Siang Ji-long merabai tubuhmu, maka dapatlah kita tertolong."
Seketika Lui-ji menarik muka dan tidak menanggapinya.
Dengan suara tertahan Pwe-giok lantas berkata, "Mati atau hidup sudah suratan nasib,
sekalipun kita harus mati juga si gila itu tidak boleh menyentuh seujung jarinya."
Lui-ji menunduk dengan penuh rasa terima kasih.
Oh-lolo melirik ke arah Siang Ji-long, ucapnya dengan tertawa terkekeh, "Tapi kalau dia
berkeras akan merabanya, apa daya kita?"
"Jika dia berani berbuat, tentu akan kuberitahukan bahwa di tubuh Lui-ji terdapat racun," kata
Pwe-giok.
"Jadi kau lebih suka mati?" tanya Oh-lolo dengan melengak.
"Daripada hidup terhina, kan lebih baik mati, pantang menyerah," jawab Pwe-giok hambar.
Oh-lolo melenggong sejenak, katanya kemudian sambil menyengir, "Siang Ji-long orang gila,
tapi Ji Pwe-giok orang maha goblok, sungguh sial tujuh turunan dapat kutemui dua orang
macam begini."
Pada saat itulah mendadak terdengar Siang Ji-long bersorak gembira, teriaknya, "Aha, ini dia,
di sini, sudah kutemukan!"
Semua orang jadi terheran-heran, entah si gila itu menemukan apa didalam perut kuda. Hanya
Pwe-giok saja yang segera melihat tangan Siang Ji-long memegang satu biji mutiara yang
mengkilat.
Dalam pada itu murid berseragam hitam yang tangannya hitam bengkak tadi lantas
menyembah kepada Siang Ji-long sambil berteriak, "Tangan ... tanganku, Toa-suheng, mohon
.... mohon belas kasihan Toa-suheng, tolong .... tolonglah ...."
Gemerdep sinar mata Siang Ji-long, tanyanya, "Tanganmu keracunan?"
Orang itu menyembah pula berulang-ulang, ratapnya. "Selamanya Siaute taat dan setia
terhadap Toa-suheng, mohon .... mohon Toa-suheng suka ...."
"Apakah kau kira aku yang meracuni kau?" bentak Siang Ji-long dengan gusar.
67
"Siaute pantas mampus, mohon belas kasihan Toa-suheng," demikian orang itu masih terus
meratap dan memohon.
Siang Ji-long menyeringai, ucapnya, "Kau sendiri keracunan, tapi tidak tahu siapa yang
meracuni kau, untuk apa orang macam begini dibiarkan hidup, hanya bikin malu Thian-cankau
saja ..."
Wajah murid itu menjadi pucat, serunya dengan gemetar, Toasuheng, engkau ....."
Belum habis ucapannya, mendadak Siang Ji-long menyayat perutnya dengan pisau yang
dibuatnya menjagal kuda tadi. Seketika darah segar terpancur keluar dan membasahi tubuh
Siang Ji-long.
Tanpa berkedip dan juga tidak mengusap darah yang membasahi wajahnya, dengan tertawa
siang Ji-long berkata pula, "Sekarang tahukah kau untuk apa kusuruh kau menunggu lagi satu
jam?"
Ucapannya ini jelas ditujukan kepada Cu Lui-ji.
Mau-tak-mau Lui-ji berkata, "Memangnya apa yang kau temukan di dalam perut kuda?"
"Ini!" seru Siang Ji-long sambil membuka telapak tangannya, maka dapatlah Lui-ji melihat
satu biji benda kecil terbuat dari perak, mirip sebuah bola kecil.
"Mainan apakah itu ?" tanya Lui-ji sambil berkerut kuning.
"Lihat!" kata Siang Ji-long sambil mengekeh tertawa, dengan dua jarinya dia putar bola kecil
itu, mendadak bola perak itu terbelah dua dan menggelinding keluar sebutir Lakwan (bola
malam) ketika Lakwan itu dipecah, terdapat secarik sutera putih didalamnya.
Pada kain putih itu tertulis huruf kecil, kiranya sepucuk surat.
"Sekarang kau paham tidak?" tanya Siang Ji-long sambil tertawa.
"Demi sepucuk surat, begini besar tenaga yang dikeluarkan, kukira agak kurang setimpal,"
uajr Lui-ji dengan tak acuh. Meski begitu ucapannya, namun di dalam hati sebenarnya sangat
heran dan terkesiap.
Jelas pengirim surat itu kuatir si pengantar surat akan membocorkan rahasia isi surat itu, maka
surat itu sengaja disembunyikan di dalam perut kuda, kecuali si penerima surat, siapa pun
takkan menyangka di dalam perut kuda ada surat penting dan sukar ditemukan oleh siapa pun
juga.
Jadi pengirim surat itu sengaja mengorbankan seekor kuda sebagai alat pengirim surat,
bahkan sebelumnya jelas sudah ada janji dengan Siang Ji-long agar nanti membunuh orang
yang datang dengan menggunakan kuda ini.
Demi keamanan sepucuk surat, orang itu tidak sayang mengorbankan nyawa satu orang dan
seekor kuda, betapa hati-hati tindak-tanduknya dan betapa keji caranya, sungguh jarang ada
bandingannya di dunia ini.
68
Begitulah Lui-ji memandang kain surat itu dengan cermat, sedapatnya ia ingin menemukan
sesuatu rahasia pada benda itu, ingin diketahuinya sesungguhnya gerangan siapakah pengirim
surat itu?
Berbeda dengan Oh-lolo, nenek itu sejak tadi terus menerus mengawasi setengah potong lidi
dupa, dia hanya berharap hendaknya setengah potong lidi dupa itu bisa mendadak bergeser ke
tengah gundukan api unggun sana.
Cuma sayang, tiada terdapat embusan angin di dalam gua ini sehingga lidi dupa itu tidak
mungkin berjalan sendiri. Oh-lolo pun tahu harapannya itu hanya mimpi belaka.
Siang Ji-long sedang membolak-balik membaca surat itu, tampaknya dia sangat gembira,
setiap kali habis membaca tentu dia tertawa.
Tidak kepalang gemas Cu Lu-ji, kalau bisa ingin dirampasnya surat itu.
Tiba-tiba didengarnya Siang Ji-long berkata: "Apakah kau ingin membaca surat ini?".
Lui-ji terkesiap dan juga bergirang, tapi ia sengaja menjawab dengan hambar, "Ah, untuk apa
kubaca surat yang tiada menyangkut kepentinganku?"
"Akan kuperlihatkan surat ini padamu," kata Siang Ji-long dengan menyeringai. "Sebab ku
tahu kau pasti akan menjaga rahasia bagiku. Di dunia ini hanya orang mati saja yang dapat
menjaga rahasia".
Lalu dia membentang kain surat itu di depan mata Cu Lui-ji.
Surat itu tertulis:
Siang-kaucu yang mulia.
Apabila surat ini anda terima, tentu pula tepat pada saat Anda naik tahta. Mengingat bakat
dan kepandaian Anda yang tiada taranya kejayaan Kau kalian jelas akan berkembang dalam
waktu singkat ini. Untuk itu kami tidak saja ikut merasa bahagia bagi kejayaan Kau kalian,
tapi juga merasa bersyukur bagi sesama umat persilatan.
Adapun urusan yang pernah kita rundingkan sudah tidak menjadi persoalan lagi, kujamin
sepenuh tenaga bahwa pada pertemuan besar Hong-ti yang akan datang pasti akan
kuserahkan kedudukanku ini kepada pihak yang lebih berwenang, kami pasti akan
mendukung Kau sekalian sebagai pejabat Bengcu.
Setelah Anda memegang pucuk pimpinan, maka baik Bu-tong maupun Siau-lim harus tunduk
juga di bawah pimpinan Anda. Hanya saja urusan ini masih perlu dirundingkan lagi dengan
lebih terperinci, untuk ini diharapkan dalam waktu 10 hari Anda dapat berkunjung kemari.
Demikian hendaknya Anda maklum dan kami menantikan kedatangan Anda.
Di bawah surat ini tidak ada nama terang si pengirim surat, hanya ada tanda tangan saja.
69
Siang Ji-long menengadah dan bergelak tertawa, katanya kemudian: "Nah, sudah kau baca?
Selanjutnya Thian-can-kau kami tidak akan bersaing dengan Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay,
bahkan mereka harus tunduk di bawah pimpinanku"
Sekujur badan Pwe-giok terasa gemetar sehabis membaca surat itu, dengan suara serak ia
bertanya: "Siapakah yang menulis surat ini?"
"Siapa lagi yang berhak menulis surat ini kecuali Bu-lim-bengcu saat ini, Ji Hong-ho, Jitayhiap!"
seru Siang Ji-long.
Pwe-giok menghela napas panjang-panjang dan tidak bicara lagi.
Gemerdep sinar mata Lui-ji, ucapnya: "Pantas kau kegirangan setengah mati sehabis
membaca surat ini, kiranya Ji Hong-ho berjanji akan mendukung kau ke singgasana Bu-limbengcu!"
"Ya, selain dia, siapa lagi yang mempunyai kemampuan demikian?" ujar Siang Ji-long
dengan riang gembira.
"Betul, kecuali dia, sekalipun orang lain bicara demikian juga takkan kau percayai" tukas Luiji.
"Memang begitulah" sambung siang Ji-long
"Kalau dia sudah menyebut kau sebagai Kaucu, agaknya sebelum ini kalian sudah bersepakat
asalkan mampu membunuh Siang Bok-kong maka dia akan mengangkat kau sebagai Bu-limbengcu
pada pertemuan Hongti yang akan datang. Sebaliknya jika kau tidak mampu
membunuh Siang Bok-kong, tapi malahan terbunuh, maka Siang Bok-kong juga takkan tahu
ada surat tersembunyi di dalam perut kuda, rahasia ini selamanya juga takkan diketahui oleh
siapapun"
"Betul, justeru di sinilah kecermatan cara bekerja Ji-tayhiap" ujar Siang Ji-long.
"Dan karena sebelumnya antara kalian sudah ada perjanjian rahasia, maka dia membiarkan
kau mengintai gerak-gerik Gin-hoa-nio di Li-toh-tin, sebab itu pula tanpa susah payah dapat
kau bawa pulang Gin-hoa-nio ke sini" kata Lui-ji pula.
"Betul, kau memang pintar, sekarang segalanya tentu sudah jelas bagimu" ujar Siang Ji-long
dengan gelak tertawa.
"Tapi apakah benar-benar kau percaya kepada janji Ji Hong-ho?" jengek Lui-ji. "Berdasarkan
apa dia mau mendukung kau menjadi Bu-lim-bengcu?"
Siang Ji-long menyeringai, ucapnya: "Ini adalah urusanku, kau tidak perlu ikut campur. Aku
cuma ingin tanya padamu, kau suka mati digeragoti Thian-can atau lebih suka badan disayatsayat
oleh pisau?"
"Aku lebih suka digigit mati oleh anjing gila," jawab Lui-ji tiba-tiba dengan tertawa.
70
"Cara mati demikian cukup menarik juga, cuma sayang di sini tak ada anjing gila," kata Siang
Ji-long dengan tertawa, ia tidak sadar bahwa yang dimaksudkan anjing gila oleh Cu Lui-ji
justeru adalah dia sendiri.
Maka Lui-ji lantas berkata, "Siapa bilang di sini tidak ada anjing gila? Bukankah di depanku
sekarang ada seekor?"
Saking gusarnya muka Siang Ji-long berubah pucat, segera ia tertawa latah pula, katanya,
"Bagus, bagus sekali caci-makimu, bilamana nanti kalian tidak kusuguhi rasanya 10 macam
hukum siksa agama kami, anggaplah aku tidak menghormati kau!"
Sambil tertawa seperti orang kalap, ia membalik ke sana untuk mengambil kotak perak berisi
ulat buas tadi.
Meski merasa merinding, tapi dalam keadaan demikian Cu Lui-ji sama sekali tidak berdaya.
Selagi ia hendak mencaci-maki pula sepuasnya dari pada cuma mati konyol, pada saat itulah
tiba-tiba Oh-lolo mendesis padanya, "Ssst, tahan napas dan jangan buka mulut!"
Lui-ji melengak, waktu ia pandang setengah potong lidi dupa tadi, ternyata sudah hilang.
Ia terkejut dan bergirang, sungguh tak dapat dibayangkan cara bagaimana sisa lidi dupa bius
itu dapat lari ke gundukan api unggun. Segera ia ingin bertanya, tapi Oh-lolo sudah
mendahului memberi keterangan, "Siang Bok-kong belum mati, dia masih dapat bernapas."
Dilihatnya Siang Ji-long telah berpaling lagi ke sini, cepat nenek itu tutup mulut. Tapi
sekarang Lui-ji sudah tahu Siang Bok-kong yang meniup sisa lidi dupa itu ke gundukan api
unggun.
Saat itu dupa bius itu tentu sudah mulai terbakar, saking senangnya Lui-ji merasa jari sendiri
sama kaku, cepat ia menahan napas dan juga memejamkan mata, ia berlagak seperti orang
yang pasrah nasib dan menanti ajal.
Di dengarnya Siang Ji-long lagi berkata, "Apakah kau ingin melihat bagaimana bentuk Thiancan?
Inilah makhluk yang paling cantik di dunia ini, beruntunglah kalian dapat melihatnya."
Sekuatnya Lui-ji mengigit bibir, seperti menahan perasaannya agar tidak bicara.
Siang Ji-long terkekeh-kekeh, katanya pula, "Biarpun kau memejamkan mata juga tiada
gunanya, sebentar bila Thian-can sudah merayapi tubuhmu, ingin memejamkan mata saja
mungkin tidak bisa."
Meski yakin dirinya bakal selamat, tapi bila membayangkan makhluk kecil yang lemas dan
berkelogat-keloget merayap di atas tubuhnya, seketika bulu roma Lui-ji sama berdiri.
Melihat anak dara itu mengkirik, Siang Ji-long bertambah senang.
Tiba-tiba Pwe-giok menjengek, "Hm, banyak juga orang gila yang pernah kulihat, tapi orang
gila semacam kau sungguh jarang ada."
"Apa katamu?" teriak Siang Ji-long, dengan murka.
71
Pwe-giok menyambung pula. "Di dunia ini ada dua macam orang gila. Yang semacam adalah
lelaki gila dan yang lain perempuan gila. Tapi kau ini orang gila yang bukan lelaki dan juga
bukan perempuan, orang gila semacam kau mungkin di dunia ini hanya kau seorang saja."
Saking gusarnya sehingga gigi Siang Ji-long gemerutuk.
Memakinya dengan kata-kata "bukan lelaki dan bukan perempuan" rasanya jauh lebih sakit
daripada menyabetnya dengan cemeti.
Pwe-giok lantas menjengek pula, "Dan lantaran kau sendiri merasa tidak mampu berbuat
terhadap perempuan, maka sedapatnya kau berusaha menyiksa mereka, sampai-sampai anak
dara ini pun tak kau lewatkan, mengapa kau tidak berani mencari diriku saja?"
Orang berhati mulia seperti Pwe-giok juga dapat mengucapkan kata-kata yang menyakitkan
seperti ini, heran juga Cu Lui-ji. Tapi setelah berpikir segera ia tahu maksud tujuan Pwe-giok.
Jelas dia kuatir sebelum dupa bius itu mulai bekerja dan Siang Ji-long lantas menganiaya
terhadap Lui-ji, maka dia sengaja memancing rasa marah Siang Ji-long agar orang bertindak
lebih dulu kepadanya.
Terharu Lui-ji, entah bergirang, entah berterima kasih atau sakit? Tanpa terasa air matanya
berlinang.
Terdengar Siang Ji-long berkata dengan menggreget." Baik, mestinya akan ku kerjai dulu
nona cilik ini, karena ucapanmu ini, boleh juga kuladeni kau lebih dulu. Bila dalam sepuluh
hari ku bikin kau putus napas, biarlah aku tidak she Siang."
"He, nanti dulu!" mendadak Oh-lolo berteriak.
"Nanti apa?" bentak Siang Ji-long dengan gusar.
"Jika sedikitnya akan kau siksa dia sepuluh hari, tentunya kau pun tidak perlu terburu-buru,
marilah dengarkan dulu suatu ceritaku yang sangat menarik."
Maksud Oh-lolo bukanlah ingin menolong Pwe-giok, sebab ia tahu apabila dia tidak berusaha
mencegahnya, tentu tanpa menghiraukan akibatnya Cu Lui-ji akan bicara juga, terpaksa ia
mendahului anak dara itu.
Siapa tahu Siang Ji-long cuma menyeringai saja dan berkata, "Kukira akan lebih asyik dan
menarik bilamana sambil mendengarkan ceritamu kita juga mendengarkan rintihannya."
"Tunggu sebentar," kata Oh-lolo, "jika dia ribut di sebelah, cara bagaimana kau dapat
mengikuti ceritaku dengan jelas. Padahal ceritaku ini sangat erat hubungannya dengan
pertemuan besar Hongti itu"
Dia mengira kata "pertemuan Hongti" pasti akan menarik perhatian Siang Ji-long, siapa tahu
orang justru tidak menggubrisnya sama sekali, apa pun yang diucapkannya tiada yang
menarik hati baginya. bahkan siang Ji-long lantas menaruh dua kotak perak berisi ulat buas di
atas tubuh Pwe-giok, sebelah tangannya sudah mulai membuka tutup kotak.
72
Entah bagaimana perasaan Pwe-giok memandangi tangan yg cacat dan berlumuran darah,
kurus seperti cakar setan itu, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa dirinya akan mati di
bawah tangan semacam ini.
Dia yang sudah kenyang menghadapi detik-detik yang gawat, soal mati dan hidup baginya
tidak lagi merupakan sesuatu yang penting, akan tetapi setiap kali bila menghadapi kematian
mau-tak-mau timbul juga rasa takutnya.
Tapi sekarang tangan yang menyerupai cakar setan ini rada menimbulkan rasa mualnya.
Tiba-tiba ia melihat "cakar setan" ini rada gemetar, pandangan sendiri mulai samar-samar
sampai rasa mualnya juga tidak dapat dirasakan lagi .....
Waktu ia siuman kembali, dilihatnya Cu Lui-ji berdiri di depannya dengan wajah berseri-seri
gembira, malahan anak dara itu memegang kipas lempit milik Siang Ji-long.
Pwe-giok tahu di dalam kipas itulah tersimpan obat penawarnya, ia pun tahu segala mara
bahaya sudah dilampauinya, ia menghela napas panjang dan bertanya, "Kau .... kau tidak apaapa,
bukan?"
"Mestinya akulah yang bertanya demikian padamu," ucap Lui-ji dengan tersenyum. Ia
memayang bangun Pwe-giok, lalu berkata pula, "Akupun tidak menyangka dupa bius itu
dapat bekerja secepat itu, selagi gelisah, tahu-tahu Siang Ji-long menguap terus roboh
terkapar."
"Hanya ujung dupa saja yang menyala sudah mempunyai daya bius yang sangat kuat, apalagi
seluruh lidi dupa dibakar, tentu saja bekerjanya jauh lebih cepat," ucap Pwe-giok dengan
tersenyum.
Mendadak ia melihat pergelangan tangan Cu Lui-ji terluka, "He, tanganmu ....."
Lui-ji tertawa, tuturnya, "Tidak apa-apa, karena tali pengikat tanganku tadi terlalu kuat dan
sukar dibuka, terpaksa ku geser ke gundukan api unggun sana dan membakarnya dengan api."
Dia pandang Pwe-giok lekat-lekat, lalu bertanya dengan menggigit bibir. "Kau ... kau benarbenar
tidak apa-apa?"
"Hanya kaki dan tangan terasa agak lemas, tak dapat mengeluarkan tenaga," jawab Pwe-giok.
"O, tidak menjadi soal kalau begitu, selang sebentar lagi tentu akan pulih kembali," kata Lui-ji
dengan wajah cerah. "Masih untung dupa bisa semacam ini, ada dupa bius jenis lain, biarpun
mendapatkan obat penawarnya, sedikitnya perlu rebah beberapa hari lagi baru dapat
bergerak."
Lalu ia mendekati Oh-lolo untuk menolongnya, melihat keadaan Gin-hoa-nio yang
mengenaskan itu, tanpa terasa ia menghela napas, katanya sambil menoleh kepada Pwe-giok,
"Meski dia tidak tergolong orang baik, tapi nasibnya harus dikasihani juga, biarlah kita
membawanya pergi saja"
73
"Ya, boleh," kata Pwe-giok. Lalu ia meronta dan bergeser kesana, ia goyangkan tubuh Ohlolo
dengan keras sambil berteriak, "Sesungguhnya dimana kau simpan obat penawarmu,
kalau diambil sekarang keburu tidak?"
Oh-lolo membuka matanya, ucapnya dengan tertawa, "Busyet, rupanya kau belum lupa ......"
"Mana bisa lupa," kata Pwe-giok dengan gusar. "Pendek kata, bila kau tak dapat menawarkan
racun Lui-ji, segera ku ....."
"Kalau tidak keburu lagi waktunya, biar kau bunuh diriku juga tidak ada gunanya," ucap Ohlolo
dengan adem-ayem. "Tapi kau pun tidak perlu gelisah, kalau sekarang juga kita
berangkat, ku jamin dia masih dapat tertolong."
Pwe-giok menghela napas lega, katanya, "Jika demikian, ayolah lekas berangkat!"
"Dan bagaimana dengan Thian-can-kaucu ini?" tanya Lui-ji tiba-tiba.
Pwe-giok berpikir sejenak, katanya kemudian, "Betapapun orang ini adalah seorang
pemimpin suatu aliran besar, sepantasnya kita menolong dia. Cuma sayang, racun yang biasa
digunakan Thian-can-kau mereka tidak dapat kita punahkan."
"Kalau begitu, sekalian kita tambahi saja sekali bacok," usul Oh-lolo sambil berkerut kening.
"Melihat orang tertimpa bahaya tanpa menolong sudah mengingkari jiwa kaum pendekar,
mana boleh kita mencelakai orang yang tidak mampu melawan." kata Pwe-giok.
"Sekarang tidak kau bunuh dia, bisa jadi kelak kau yang akan mati di tangannya," ujar Ohlolo.
"Apa yang akan terjadi kelak adalah urusan kelak," jawab Pwe-giok.
"Inikah yang kau anggap perbuatan kaum pendekar?" jengek Oh-lolo. "Hun, ini tidak lebih
adalah jalan pikiran kaum perempuan."
"Jalan pikiran kaum perempuan yang bajik lebih baik daripada jalan pikiran yang tidak
berbudi dan busuk," jawab Pwe-giok acuh.
Oh-lolo menghela naps, gumamnya, "Tahukah kau orang seperti dirimu ini makin sedikit di
dunia ini, sebab orang semacam dirimu ini tentu takkan berumur panjang."
Mendadak Cu Lui-ji menjemput sebilah belati terus mendekati Siang Ji-long.
"He, mau apa kau?" tanya Pwe-giok.
"Apa pun yang dikatakan Sicek pasti kuturuti," ucap Lui-ji dengan menunduk, "tapi orang ini
tidak boleh tidak harus kubunuh, sebab kelak kuingat dia ini masih ada seorang macam dia
ini, mungkin tidur saja tidak dapat nyenyak."
74
Sekonyong-konyong suara seorang menanggapi dengan perlahan, "Kukira lebih baik orang ini
diserahkan saja kepadaku dan akan kubereskan dia, tidak perlu nona ikut membuang tenaga
dan pikiran baginya."
Suara ini perlahan dan seperti timbul dari samping mereka.
Padahal di dalam gua ini sekarang hanya terdapat Ji Pwe-giok, Cu Lui-ji dan Oh-lolo bertiga,
orang lain sudah lama menggeletak tak berkutik.
Lalu suara siapakah dan terucap darimana ?
Di bawah cahaya api yang gemerdep, tonggak-tonggak batu itu seolah-olah akan terbang ke
atas, Lui-ji merasa sekujur badan menggigil, ia menyurut mundur dan memegang tangan Pwegiok
erat-erat, tanyanya dengan lirih, "Siapa kau? Dimana kau?"
Dengan tertawa suara itu menjawab," Aku ada di depan nona, masakah nona tidak
melihatnya?"
Di tengah suara gelak tertawa, seorang berbangkit perlahan dari atas tanah. Nyata dia adalah
Thian-can kaucu Siang Bok-kong yang sudah sekarat tadi.
Cahaya api unggun seketika guram dan mengepulkan asap hijau sehingga suasana bertambah
seram, ditengah kepulan asap itu wajah Siang Bok-kong kelihatan sudah membusuk, sampai
mata hidungnya juga sukar dibedakan lagi, mukanya sekarang lebih mirip buah tomat yang
membusuk.
Namun kedua matanya masih tetap bersinar gemerdep seperti cahaya kilat.
"Aha, kukira siapa, tak tahunya kau!" seru Lui-ji dengan tertawa. Meski dia lagi bicara dan
tertawa, tapi kedua tangannya sudah mulai bergerak.
Pwe-giok tahu anak dara itu bermaksud menubruk maju selagi Siang Bok-kong tidak berjagajaga,
ia tidak mampu mencegah lagi, sebab dalam keadaan demikian terpaksa ia harus
membiarkan Lui-ji mempertaruhkan segalanya.
Tak terduga Siang Bok-kong lantas menjengek, "Kau masih kecil nona, tapi kau sudah boleh
dikatakan pintar dan tangkas, namun semua ini tetap tiada gunanya, biarpun sepuluh tahun
lagi kau masih tetap bukan tandinganku. Kalau ditambah Ji-kongcu dan Oh-lolo ini mungkin
kalian dapat menandingi diriku, cuma sayang untuk kedua kalinya mereka telah terkena Cubong-
hiang (dupa wangi mimpi), dalam waktu tiga jam jangankan hendak bertempur
denganku, bahkan mengangkat pedang saja tidak kuat."
Dia bicara dengan sangat lambat, bicara sampai di sini, keringat dingin sudah membasahi baju
Cu Lui-ji, sebab ia tahu apa yang dikatakan Siang Bok-kong itu memang bukan bualan
belaka.
Terdengar Siang Bok-kong mengekek tawa, lalu berkata pula, "Apalagi sudah kuselamatkan
jiwa kalian, pantasnya kalian berusaha membalas budi, kenapa malah hendak menyerang
diriku?"
75
"Kau ... kau menyelamatkan jiwa kami?" Lui-ji menegas dengan melengak.
"Memangnya nona mengira setengah potong lidi dupa itu dapat melompat sendiri ke dalam
gundukan api unggun?" jawab Siang Bok-kong.
"Masa engkau yang ....." Lui-ji melengak.
"Kalau tidak kutiup dengan hawa murniku, mana bisa dupa wangi itu bekerja secepat ini?"
tukas Siang Bok-kong.
Berputar biji mata Lui-ji, serunya, "Sekalipun benar kau yang meniup lidi dupa itu ke dalam
api, kukira kami pun tidak perlu berterima kasih padamu, sebaliknya kau yang harus
berterima kasih kepada kami."
"Sebab apa?" Siang Bok-kong juga melengak.
"Sebab kalau aku tidak melemparkan setengah potong lidi dupa itu ke depanmu, maka
riwayatmu pasti tamat."
Mendadak Siang Bok-kong menengadah dan terbahak-bahak, katanya, "Hahahaha! Betapapun
nona memang masih anak kecil."
Lui-ji menarik muka, omelnya, "Huh, tidak perlu berlagak tua, kalau bukan ....."
Suara tertawa Siang Bok-kong memutus ucapan anak dara itu, katanya, "Haha, apakah kau
kira aku benar-benar telah terjebak oleh murid murtad ini?"
Kembali Lui-ji melenggong, tanyanya, "Masa dalam hal inipun kau juga main sandiwara?"
"Betul," tutur Siang Bok-kong. "Sebab sebelumnya ku tahu murid murtad ini akan berbuat
sesuatu khianat, tapi aku pun tahu dia pasti tidak berani begitu apabila tidak ada yang
mendalanginya secara diam-diam."
"Oo, maka kau ingin menyelidiki sesungguhnya siapa dalang di belakang layar, begitukah?"
tanya Lui-ji.
"Betul," jawab siang bok-kong.
Rupanya kau tahu biarpun d siksa juga Siang Ji-long takkan mengaku, maka kau sengaja
pura-pura mati untuk menunggu munculnya orang itu, betul atau tidak?"
"Ya, tapi aku juga tidak menyangka bahwa orang di belakang layar itu ialah Hong-ho Lojin
yang termasyhur sebagai seorang yang berbudi luhur." ujar Siang Bok-kong dengan gegetun.
Tubuh Pwe-giok tergetar, teriaknya mendadak, "jang ......" karena mendadak mendengar nama
ayahnya dinista orang, dengan sendirinya ia berduka dan marah, ingin dia membantahnya,
namun urusan ini terlalu pelik, terlalu majemuk dan teramat aneh, seumpama diuraikannya
juga Siang Bok-kong takkan percaya, bahkan mungkin akan membikin urusan tambah
runyam.
76
Untung Siang Bok-kong tidak memperhatikan perubahan sikap dan air mukanya itu, ia
berkata pula, "Murid murtad itu memang berhati keji, di dalam gagang belatinya tersimpan
Thian-can-seng-cui (air suci ulat langit) yang sangat berbisa, satu tetes saja mengenai tubuh,
ketika seluruh badan akan membusuk, tidak sampai setengah jam tulang pun akan rapuk dan
hancur menjadi onggokan daging cacah."
Lui-ji menarik napas dingin, katanya, "Jelas kulihat air berbisa itu menyemprot ke mukamu,
kenapa kau tidak mati?"
"Murid durhaka ini pun tahu akan kelihaian air ini, maka dia yakin aku pasti mati, dia menjadi
gembira dan lupa daratan, lalai sesuatu hal."
"Hal apa? tanya Lui-ji.
Siang Bok-kong tidak menjawabnya, tapi tangannya terus mengusap muka sendiri, wajahnya
yang semula tampak membusuk itu seketika berubah secara ajaib.
Baru sekarang Pwe-giok dapat melihat wajah asli Thian-can-kaucu Siang Bok-kong.
Terlihat wajahnya yang putih bersih, cerah dan simpatik, pada waktu mudanya dia pasti
pemuda yang cakap. Tapi sekarang tiada tampak sifat aneh "si kakek cahaya perak" seperti
apa yang dilihatnya di istana bawah tanah tinggalan Siau-hun kiongcu dahulu, juga tidak
kurus kering dan jompo seperti waktu datang tadi. Sungguh Pwe-giok tak mengerti mengapa
orang ini suka menyamar dalam bentuk yang aneh-aneh, sampai muridnya sendiri juga tidak
kenal wajah aslinya.
Cu Lui-ji melenggong sejenak, ucapnya kemudian dengan gegetun, "Kiranya dia tidak tahu
kau memakai topeng."
Siang Bok-kong tertawa, katanya, "Topeng ini adalah hasil buatanku sendiri secara cermat,
kedap air dan tidak mempan dibakar. Sebab itulah, meski air berbisa ini sangat lihay juga
tidak dapat meresap ke balik topeng ini dan merusak wajahku."
Tiba-tiba Lui-ji tertawa dan bertanya, "Wajahmu sebenarnya sangat bagus, mengapa kau
memakai topeng bermuka buruk begitu?"
"Sebab setiap orang yang melihat wajah asliku, dia harus mati!" jengek Thian-can-kaucu
Siang bok-kong.
Kalau kata-kata ini tercetus dari mulut orang lain mungkin tidak begitu menakutkan, tapi
dalam keadaan dan suasana seperti sekarang ini, mau-tak-mau ucapan orang tua itu membuat
Lui-ji bergidik, tanyanya dengan gemetar, "Masa kau ......."
"Tapi kau jangan kuatir, ini pun bukan wajahku yang asli," tukas Siang Bok-kong dengan
tertawa.
Keruan Lui-ji bertambah heran, mestinya ia ingin tanya sesungguhnya bagaimana wajah
aslinya, tapi pertanyaan itu urung diucapkan. Ia cuma bertanya, "Lalu cara bagaimana akan
kau perlakukan kami?"
77
Gemerdep sinar mata Siang Bok-kong, katanya perlahan, "Aku bukan orang yang berhati
welas asih, terlalu banyak pula rahasia yang kalian ketahui, apapun juga tidak boleh
kulepaskan kalian."
Cara bicaranya memang tidak cepat, sekarang kata-katanya itu semakin lambat, hal ini makin
menambah rasa tegang Lui-ji, jantungnya serasa mau melompat keluar.
Bicara sampai di sini, mendadak Siang Bok-kong melototi Pwe-giok sekejap, lalu berucap
pula dengan perlahan. "Namun kau tidak mau mencelakai diriku tatkala aku sedang sekarat,
maka sekarang aku pun takkan mencelakaimu pada waktu kalian tak berdaya. Mulai sekarang
perhitungan kita sudah lunas, tidak ada utang piutang lagi, entahlah kelak bila bertemu lagi,
entah kawan entah lawan, sukar kukatakan!"
Oh-lolo bergirang, timbrungnya, "Siang Kaucu memang tidak malu disebut sebagai seorang
lelaki sejati yang tegas membedakan budi dan benci."
Mendadak Siang Bok-kong mendelik dan menyemprotnya, "Lebih baik kau tutup mulut saja,
kalau tidak mengingat bocah she Ji ini, umpama tidak kubunuh kau, sedikitnya akan kupotong
kedua tanganmu."
Seketika Oh-lolo kep-klakep dan tidak berani bersuara lagi.
Dilihatnya Ji Pwe-giok seperti mau omong apa-apa lagi, kuatir anak muda itu bicara lagi halhal
yang tidak perlu dan mendadak Siang Bok-kong berubah pikiran, cepat Oh-lolo berkata,
"Marilah kita lekas berangkat, bila terlambat tak berani ku jamin akan keselamatan nona cilik
ini."
*****
Kereta yang membawa mereka ke sini itu masih berada di luar gua, kuda-kuda itu sudah
terlatih meski lari terkejut, tetapi tidak jauh larinya, maka dengan mudah dapatlah kawanan
kuda itu dikumpulkan kembali.
Meski belum pernah mengendarai kereta, tapi setelah dicoba sebentar, dapatlah Pwe-giok
sekedar menjadi kusir pocokan, ia ayun cambuk dan mempercepat lari kuda, rasa sedih
bertumpuk-tumpuk di dalam hati.
Mendadak didengarnya Lui-ji menegurnya, "Sicek, ap .... apa yang kau pikirkan?"
Rupanya dari kabin kereta itu ada sebuah jendela kecil yang menembus ke bagian tempat
duduk kusir di depan, maka jendela itu lantas digunakannya untuk berbicara dengan Pwegiok.
"Aku sedang berpikir ... " tutur Pwe-giok sambil menghela naps. "Thian-can-kaucu ternyata
seorang yang demikian, hal ini sungguh sangat di luar dugaanku. Tampaknya selanjutnya dia
pasti takkan melepaskan orang ..... orang she Ji itu."
"Perbuatan orang she Ji itu pun terlampau keji," kata Lui-ji "kukira Siang Bok-kong juga tak
dapat berbuat apa-apa terhadapnya, sebab surat itu tidak diberi nama terang pengirimnya, bisa
78
jadi bukan ditulis oleh orang she Ji itu, sekalipun Siang Bok-kong memperlihatkan bukti surat
itu kan dapat disangkalnya dengan tegas, betul tidak ?
"Biarpun begitu, kalau Siang Bok-kong sudah bertekad akan memusuhi dia, tentu dia akan
banyak menghadapi kesulitan," ujar Pwe-giok.
"Orang she Ji itu menghendaki Siang Ji-long mengunjunginya dalam sepuluh hari, sekarang
Siang Ji-long jelas tak dapat memenuhi undangan itu, apakah kau pikir siang Bok-kong akan
menggunakan kesempatan itu untuk mencari perkara padanya?"
"Bukan mustahil," jawab Pwe-giok.
"Kupikir dia pasti akan pergi ke sana," kata Lui-ji. "Meski dalam surat itu tidak disebutkan
nama tempatnya, kalau siang Ji-long tahu, pasti Siang Bok-kong dapat memaksanya
mengaku."
"Ya, memang betul." kata Pwe-giok.
Mendadak Lui-ji menghela napas, katanya, "Sicek, seharusnya kau tanya lagi beberapa hal
kepada Siang Bok-kong, tentang urusan ... urusanku, biarpun lewat lagi satu-dua jam juga
tidak menjadi soal"
"Ya, memang betul," kata Pwe-giok.
Pwe-giok tertawa hambar, ucapnya, "Sebenarnya tiada persoalan yang perlu kutanyai dia."
Gemerdep sinar mata Lui-ji, katanya, "Masa Sicek tidak ingin tanya tempat pertemuan yang
dijanjikan Ji hong-ho dengan Siang Ji-long itu ?"
Pwe-giok berpikir agak lama, lalu menjawab sekata demi sekata, "Tidak, aku tidak ingin
tanya."
"Sebab apa?" Lui-ji menegas.
Tapi sama sekali Pwe-giok tidak menjawabnya.
"Biarpun Sicek tidak menjawab juga ku tahu sebabnya," Lui-ji dengan rawan, "sebab Sicek
kuatir bilamana tempat pertemuan diketahui, tentu Sicek akan pergi ke sana, padahal Sicek
perlu menolong diriku, terpaksa menyampingkan urusan lain."
Tiba-tiba Pwe-giok tertawa, katanya, "Maukah kau berbuat sesuatu bagiku?"
"Tentu saja mau," seru Lui-ji dengan terbelalak.
"Jika begitu, hendaknya lekas kau tidur saja." kata Pwe-giok.
*****
Kereta itu dilarikan terlebih cepat, berulang Oh-lolo memberi petunjuk arahnya dari kabin
kereta, tapi sejauh itu tidak mau menjelaskan nama tempat tujuan mereka. Rupanya ia kuatir
79
bilamana tempat tujuan sudah diketahui Pwe-giok, bisa jadi dia akan ditinggal di tengah jalan.
Terhadap nenek yang licin dan licik dan juga banyak curiga ini, Pwe-giok benar-benar tidak
berdaya.
Hari sudah gelap, tapi kereta itu masih terus dilarikan sepanjang malam, entah sudah berapa
jauhnya perjalanan itu, tanpa kenal lelah Pwe-giok terus mengendarai kereta kuda itu, sebab ia
tahu sisa waktunya sudah tidak banyak lagi.
Sampai esok paginya sudah genap tiga hari sedangkan jalan yang harus ditempuhnya entah
masih berapa jauhnya. Meski sangat lelah, terpaksa Pwe-giok bertahan sekuatnya.
Mereka hanya membeli makanan sekadarnya ketika lalu di suatu kota kecil, Lui-ji membeli
satu keranjang jeruk, sepanjang jalan ia mengupas jeruk dan diberikan kepada Pwe-giok.
Anak dara itu kelihatan tidak tentram, dia tidak sedih karena keselamatannya sendiri, tapi
seperti ada sesuatu rahasia yang tersimpan dalam lubuk hatinya, beberapa kali tampaknya ia
hendak bicara, tapi ditahan sebisanya.
Sesungguhnya rahasia apa yang tersembunyi di dalam hati nona cilik itu?
Terhadap anak dara yang pintar dan juga pengasih itu, Pwe-giok benar-benar tak berdaya apa
pun.
Petangnya, sampailah mereka di suatu kota yang tidak terlalu kecil.
Penduduk kota ini tentunya bukan orang udik, tapi ketika melihat munculnya sebuah kereta
kuda yang dilarikan secepat ini, mau-tak-mau semua orang sama berpaling.
Orang berlalu lalang di jalan raya cukup ramai, terpaksa lari kereta dilambatkan.
Di kedua tepi jalan terdapat beraneka macam toko, tapi secara keseluruhan, rumah minum dan
restoran terhitung paling banyak. Rupanya penduduk kota ini pun serupa penduduk di tempat
lain, terhadap urusan lain boleh dikesampingkan, tapi terhadap perut sendiri harus
diperlakukan dengan istimewa.
Saat itu belum waktunya orang makan malam, tapi di rumah makan sudah ramai terdengar
bendo mencacah daging, bau arak dan bau sedap masakan menimbulkan selera makan.
"He, berhenti, berhenti!" seru Oh-lolo mendadak.
Pwe-giok terkejut dan cepat menarik tali kendali, sebab tidak tahu apa yang terjadi, ia
menoleh dan bertanya, "Ada apa?"
"Sudah dua-tiga hari yang dimakan hanya jajanan belaka, mumpung sekarang ada santapan
lezat, kita harus makan minum sepuasnya untuk memuaskan selera yang kutahan sekian
lama," kata Oh-lolo.
"Kau ingin masuk restoran?" Pwe-giok menegas.
80
"Betul," jawab Oh-lolo dengan tertawa. "Baru saja ku cium bau sate kambing, tampaknya
restoran masakan khas utara yang bernama Ti-bi-lau itu lumayan juga."
Pwe-giok hampir tidak percaya kepada telinga sendiri. Demi menempuh perjalanan dan
memburu waktu, sudah dua-tiga hari dia tidak bisa tidur dan tidak istirahat, tapi sekarang
nenek celaka ini justeru ingin masuk restoran untuk makan enak dan minum arak.
Kalau orang lain, bukan mustahil nenek itu akan diberi suatu gamparan keras, paling sedikit
juga akan berjingkrak dan mencaci-maki.
Akan tetapi Pwe-giok memang pemuda yang sabar, ia cuma diam sejenak, lalu berucap
dengan tak acuh, "Baiklah, mari kita ke sana."
Lui-ji melenggong, serunya. "He, kau terima permintaannya?"
Pwe-giok mengiakan.
Oh-lolo tertawa, katanya, "Jangan kau kira bocah ini hanya menurut saja setiap kehendakku,
padahal ia cukup maklum persoalannya, ia tahu biarpun berbantah denganku juga tiada
gunanya, toh akhirnya tetap harus memenuhi permintaanku."
*****
Masakan restoran Ti-bi-lau memang harus dipuji. Selain daging kambing panggang atau sate
kambing, bebek panggangnya juga empuk dan lezat. Lui-ji merasa heran ketika melihat Ohlolo
melalap sepotong kulit bebek panggang, dimakan dengan saus manis dan acar, ia tanya,
"Kenapa kau tidak makan dagingnya?"
Hampir saja makanan di dalam mulut Oh-lolo tersembur keluar, ia tertawa dan menjawab,
"Budak bodoh, makan bebek panggang harus makan kulitnya, hanya orang tolol yang berebut
makan dagingnya."
"Masa?" kata Lui-ji dengan ragu.
"Ya, masa belum pernah kau makan bebek panggang?" tanya Oh-lolo.
Lui-ji terdiam sejenak, ucapnya kemudian dengan hambar, "Apanya yang aneh kalau tidak
pernah makan bebek panggang? Bubur asin masakanku juga belum pernah kau rasakan!"
Oh-lolo terpingkal-pingkal saking gelinya. Sedangkan Pwe-giok merasa terharu. Anak dara
yang bersifat keras ini ternyata tidak pernah makan bebek panggang yang sangat umum ini,
padahal di dunia ini masih banyak santapan enak lain yang tentu saja belum pernah dilihatnya.
Nyata dia belum lagi merasakan kesenangan orang hidup, tapi kesengsaraan orang hidup
sudah terlalu banyak dirasakannya.
Karena rasa haru dan duka itu sehingga Pwe-giok tidak melihat ada seorang yang baru saja
naik ke loteng restoran itu, tapi mendadak mundur lagi ke bawah, hanya setengah kepalanya
saja menongol di ujung tangga untuk mengintip.
Setelah memandang sejenak, lalu orang itu berlari pergi secepat terbang.
81
Tidak lama kemudian, di tengah remang senja itu mendadak ada selarik sinar api hijau
menjulang tinggi ke udara.
*****
Malamnya, udara ternyata jauh lebih terang daripada waktu senja, sebab kini bulan sudah
menghias di tengah cakrawala. Sinar bulan di musim rontok biasanya memang lebih
cemerlang. Jalan raya yang rata membentang panjang itu seperti berlapiskan perak.
Pada waktu mereka makan, Pwe-giok telah minta pegawai restoran agar berusaha mencarikan
ganti dua ekor kuda.
Kuda baru sudah tentu tidak segagah kuda semula, tapi kuda yang gagah bagaimana pun kalau
sudah berlari terus menerus dua tiga hari tentu juga hampir roboh terkulai. Sebaliknya kuda
baru dengan tenaga baru tentu masih dapat berjalan cepat.
Begitulah Pwe-giok terus mengendarai keretanya dan dilarikan lebih cepat, ia pikir waktu
makan yang terbuang itu harus dikejar kembali.
Sementara itu sudah larut malam, jalan raya tidak nampak orang maupun kereta berlalu
lalang.
Oh-lolo meraba perutnya yang terisi penuh itu, katanya dengan tertawa, "Jangan gelisah,
jangan tergesa-gesa, kalau kubilang masih keburu tentunya tidak perlu kau kuatir."
"Apakah tempat tinggalmu sudah dekat?" tanya Lui-ji.
"Ya, tidak jauh lagi" jawab Oh-lolo.
"Masih ada siapa lagi di rumahmu?" tanya Lui-ji pula.
"Sudah tentu masih ada sanak keluargaku, tidak banyak, juga tidak sedikit...." tapi nenek itu
tidak menjelaskan lagi.
Lui-ji ingin bertanya pula, tapi segera terpikir olehnya umpama mau bicara tentu juga jangan
harap akan dapat memancing keterangan dari rase tua yang licin ini.
Mendadak terdengar suara "serrrr" bergema di udara. Dari tempat kegelapan di tepi jalan
kembali ada selarik sinar api biru menjulang tinggi ke angkasa.
Oh-lolo tidak dapat melihat, tapi dapat didengarnya, sambil berkerut kening ia bertanya:
"Suara apakah itu?"
"Tidak ada apa-apa" jawab Pwe-giok, walaupun demikian ucapnya, di dalam hati iapun rada
curiga.
Panah berapi yang biasanya digunakan sebagai tanda bahaya itu tentunya takkan dilepaskan
tanpa sebab musabab. Sekarang panah berapi itu dilepaskan ketika kereta mereka lewat, jelas
yang dituju adalah mereka.
82
Lantas siapakah gerangannya? Apakah Ji Hong-ho telah dapat mengetahui pula jejak mereka?
Makin cepat Pwe-giok melarikan kudanya, tangan yang memegang tali kendalipun
berkeringat dingin.
Pada saat itulah, mendadak ada bayangan orang berkelebat di depan, seperti mau menghadang
jalan mereka.
Pwe-giok menggreget, dengan nekat ia cambuk kudanya dan menerjang terus ke depan.
Orang-orang itu tidak bersuara menyuruh berhenti, tapi berbaris di tengah jalan sehingga
kereta itu tampak akan menubruk mereka.
Tubrukan keras begitu sungguh luar biasa, sekalipun orang-orang itu adalah jago silat kelas
tinggi, betapapun badan mereka juga terdiri dari darah daging, mana sanggup tahan diterjang
sedahsyat itu oleh kereta yang dilarikan sedemikian cepatnya.
"Minggir! Kalau tidak..." bentak Pwe-giok sambil ayun cambuknya.
Tapi belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong dari tepi jalan melayang tiba dua batang
tombak dan tepat menyelonong masuk ke tengah ruji roda kereta, maka terdengarlah
serentetan suara "krek-krek" yang keras, ruji kereta sama patah, tapi roda juga lantas terkunci
oleh batang tombak sehingga tidak dapat menggelinding lagi. Namun lari kuda tadi terlalu
cepat sehingga kereta masih terseret maju cukup jauh.
Suara roda kereta yang menggosok tanah itu menimbulkan suara gemericit laksana jeritan
binatang buas yang sedang sekarat.
Dahi Pwe-giok penuh air keringat dan sebagian sudah membasahi matanya, tapi dia masih
terus berusaha melarikan kudanya, namun karena roda kereta sudah terkunci sehingga seperti
direm tentu saja kereta tak dapat bergerak lagi.
Segera terdengar seorang membentak dengan bengis, "Hm, ikan di dalam jaring masa ingin
lari lagi?"
Di tengah suara bentakan itu, seorang lelaki berbaju hitam lantas tampil ke muka dan tepat
menghadang di depan kereta, tatkala mana lari kuda sudah berkurang karena roda kereta tak
dapat berputar, tapi kalau sampai tertumbuk, sedikitnya akan mencelat dan menggeletak.
Namun lelaki itu tak gentar sedikitpun, kedua matanya mencorong terang dan melototi kepala
kuda dengan gusar, mendadak kedua kepalan menghantam sekaligus, terdengar suara "prakprek"
dua kali kereta pun tergetar.
Belum sempat kedua ekor kuda itu meringkik, tahu-tahu sudah roboh terkulai, kepala kuda
hancur memar terkena hantaman lelaki itu.
Pwe-giok sendiri bertenaga raksasa pembawaan, tapi tak terpikir olehnya bahwa di dunia ini
benar-benar ada orang yang mampu membinasakan kuda yang sedang lari. Seketika ia
tercengang.
83
Di dalam kereta Oh-lolo dan Cu Lui-ji tidak tahu apa yang terjadi di luar, mereka cuma
merasa kereta itu bergetar keras, lalu berhenti sama sekali.
"Ji-kongcu ini sungguh banyak aral rintangannya, tidak sedikit orang yang selalu mencari
perkara padanya," ujar Oh-lolo dengan menghela nafas.
Lui-ji menggigit bibir, ia membuka pintu kereta dan melompat keluar, tanpa memandang
orang yang menghadang di depan sana, ia menengadah dan tanya Pwe-giok yang nongkrong
di atas "Sicek, apakah kau kenal orang-orang ini?"
"Tidak." jawab Pwe-giok.
Lui-ji berkedip-kedip, katanya pula "Apakah mereka bukan anak buah orang itu (maksudnya
Ji Hong-ho)?"
"Tampaknya bukan," ujar Pwe-giok.
Lui-ji juga rada tercengang, katanya pula, "Kalau begitu, jangan-jangan mereka adalah kaum
bandit?"
"Juga bukan," jawab Pwe-giok.
Baru sekarang Lui-ji berpaling, memandang orang berbaju hitam itu.
Di bawah sinar bulan, terlihatlah perawakannya yang ramping, tinggi semampai, berwajah
hitam mengkilat, kedua matanya yang besar jeli itu juga sedang memandangi Lui-ji dengan
rada terkesiap juga, agaknya orang itupun tidak menduga bahwa dari dalam kereta akan
keluar seorang nona cilik secantik ini.
Segera Lui-ji menjengek, "Hm, tampaknya kau masih muda, kenapa tidak belajar yang baik,
masih banyak pekerjaan halal, kenapa sengaja menjadi bandit yang membegal dan
merampok?"
Pemuda baju hitam itu berkerut kening, ia tidak menanggapi teguran Lui-ji, tapi berpaling dan
tanya orang-orangnya, "Apakah kalian tidak keliru?"
Salah seorang berseragam hitam dibelakangnya cepat menjawab, "Tidak, tidak mungkin
keliru, kulihat dengan mata kepalaku sendiri."
Sinar mata pemuda baju hitam yang mencorong itu segera beralih pula kearah Lui-ji,
tanyanya dengan bengis, "Kau she Oh?"
"Kau sendiri she Oh, namamu Oh-soat-pat-to (ngaco-belo)," jawab Lui-ji.
Kembali pemuda baju hitam mengernyitkan kening, ia berpaling dan tanya Pwe-giok, "Kau
lebih tua, kenapa kau tidak bicara?"
84
Pwe-giok tertawa hambar, jawabnya, "Tengah malam buta begini kalian merintangi
perjalanan orang lain, membinasakan kuda orang, tidak tanya dulu juga tidak menjelaskan
alasanmu, lalu apa yang perlu kubicarakan?"
"Betul," tukas Lui-ji, "jangan kaukira karena tenagamu besar, lalu kau akan berlagak kereng
didepan Sicekku. Orang semacam kau ini, sekali hantam saja Sicek akan membikin kau
mencelat lima tombak jauhnya."
Sekonyong-konyong pemuda baju hitam menengadah dan bergelak tertawa, katanya, "Nona
cilik, besar amat nyalimu, dikolong langit ini, kecuali kau mungkin tiada orang kedua yang
berani bicara padaku seperti ini."
"Oo, jika demikian, agaknya kau ini bukan sembarangan orang," ujar Lui-ji.
"Boleh kau tanya Oh-lolo yang sembunyi didalam kereta itu, saat ini dia pasti sudah tahu
siapa diriku," kata pemuda baju hitam.
"Apakah kedatangan kalian ditujukan kepada Oh-lolo?" tanya Pwe-giok.
Pemuda baju hitam berhenti tertawa mendadak dan menjawab dengan kereng, "Betul, dan ada
hubungan apa antara kau dan dia?"
Pwe-giok menghela napas, katanya, "Cayhe tidak ada hubungan apa apa dengan Oh-lolo,
kalian hendak mencari dia, sebenarnya Cayhe tidak boleh ikut campur, tapi sekarang ....."
"Dan sekarang kau pasti akan ikut campur, begitu?" pemuda baju hitam menegas dengan
bengis.
Pwe-giok tidak menjawab, ia termenung sejenak, lalu bertanya pula, "Entah kalian ada
permusuhan apa dengan dia?"
Tiba-tiba pemuda baju hitam bergelak tertawa pula, serunya, "Kau tanya ada permusuhan apa
antara kami dengan dia? Haha, bagus!" - Mendadak ia berpaling ke belakang dan bertanya,
"Ong-jiko, coba katakan, ada permusuhan apa antara kau dengan Oh-lolo?"
Dengan suara parau seorang berseragam hitam yang berdiri di ujung sana berkata, "Segenap
keluargaku yang terdiri dari 19 jiwa, seluruhnya mati di tangannya, istriku berlutut di
depannya dan memohon dengan sangat agar dia suka mengampuni ibuku yang sudah berusia
lebih 70 tahun itu, tapi dia ... dia tidak .... " sampai di sini ia tidak sanggup meneruskan lagi
karena air mata telah bercucuran.
"Dan kau, Tio-toako, ada permusuhan apa antara kau dan Oh-lolo?" kembali pemuda baju
hitam berseru.
Dengan suara gemetar Tio-toako yang disebut itu lantas menutur "Meski bukan ibuku tapi ....
tapi kelima anakku, yang paling ... paling kecil baru berumur satu tahun, hanya disebabkan
mendiang ayahku pernah berbuat salah padanya, lalu dia ....dia membunuh anak-istriku tanpa
sisa seorang pun."
"Dan kau bagaimana, Sun-heng?" tanya pula si pemuda baju hitam.
85
Orang she Sun itu tidak segera menjawab, tapi dengan sisa sebelah tangannya dia menarik
baju sendiri hingga robek, tertampaklah sekujur badannya hitam hangus, kulit daging sukar
dibedakan lagi.
Dengan suara kereng pemuda baju hitam tadi lantas berteriak, "Nah, sudah kau lihat bukan?
Sun-heng ini dahulu pernah bersalah kepada seorang anggota keluarganya, lalu dia mengikat
Sun-heng pada sebuah pilar dan memanggangnya selama tiga jam"
Pwe-giok tidak tega lagi melihat dan mendengar, ia menghela napas panjang, katanya,
"Sudahlah kalian tidak perlu omong lagi, Cayhe sudah paham."
"Untuk menuntut balas padanya, orang-orang ini telah mengorbankan jiwa enam orang dan
akhirnya dapat menemukan sarangnya, mereka bersembunyi disekitar daerah ini, sudah lebih
setahun mereka menunggu, dan baru sekarang orangnya diketemukan," tutur pemuda itu.
"Nah, coba kau pikir, apakah lantaran kau akan ikut campur urusan ini, lalu orang-orang ini
akan mundur dan melepaskan nenek celaka itu?"
Pwe-giok jadi melenggong dan tidak sanggup bicara lagi.
Bicara sejujurnya, betapapun dia tidak pantas ikut campur urusan ini. Apalagi saat ini
tenaganya juga belum pulih, umpama ingin ikut campur juga bukan tandingan pemuda baju
hitam ini. Tapi kalau dia membiarkan orang-orang ini menuntut balas dan membunuh Ohlolo,
akibatnya Lui-ji akan ikut menjadi korban, sebab obat penawar racunnya tentu sukar
diperoleh lagi. Ia menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Didengarnya pemuda baju hitam berkata pula, "Ku bicara sebanyak ini padamu, bukan
disebabkan ku takut kau akan ikut campur urusan ini, soalnya kulihat kalian adalah orang
yang baik-baik dan tentunya bukan manusia yang tidak tahu aturan".
"Tapi kalau Cayhe pasti akan ikut campur, lalu bagaimana?" jawab Pwe-giok kemudian
sambil menghela napas menyesal.
Dengan angkuh pemuda baju hitam menjawab "Asalkan kau mampu mengalahkan aku
dengan sekali pukul atau setengah tendangan, akan kulepaskan dia!"
"Baik, aku setuju!" jawab Pwe-giok, serentak ia terus bergerak hendak menubruk maju.
"Nanti dulu" tiba-tiba Lui-ji berteriak. "Ingin ku bicara dulu dengan Sicek!"
"Ku tahu apa yang hendak kau katakan," ujar Pwe-giok dengan rawan. "Kukira tidak.....tidak
perlu kau omong lagi!"
Tapi Lui-ji lantas menarik tangannya dan berkata, "Tidak, harus ku bicara padamu, Sicek,
maukah kau kemari sebentar!"
Pwe-giok memandang Lui-ji dan pemuda baju hitam sekejap, katanya, "Kau......"
"Jangan kuatir," jengek pemuda itu, "Jika sudah kusanggupi kau, sebelum diketahui kalah
atau menang antara kita, tidak nanti kuganggu seujung jari Oh-lolo."
86
Lui-ji lantas menarik Pwe-giok ke samping, katanya, "Sicek, untuk apa kau meng....mengadu
jiwa bagi Oh-lolo?"
Pwe-giok diam saja tanpa menjawab.
"Ku tahu tindakan Sicek ini adalah demi diriku," kata Lui-ji pula. "Tapi orang ini jelas bukan
orang yang ngawur, kenapa Sicek tidak bicara baik-baik dengan dia dan suruh dia menunggu
satu hari."
Pwe-giok menghela napas, katanya, "Apabila Oh-lolo tahu sehari lagi dia tetap akan mati,
mana dia mau melepaskan dirimu. Apalagi orang-orang itupun belum tentu mau percaya
kepada keterangan kita, mana mereka mau melepaskan harimau kembali ke gunung
membiarkan Oh-lolo pulang dulu ke rumah?"
Lui-ji melenggong, ucapnya kemudian sambil menunduk. "Cara berpikir Sicek kukira terlalu
jelimet, tapi aku....."
"Sudahlah, jangan kau bicara lagi, sekali ku kehendaki Oh-lolo menolong kau, maka dia harus
ku tolong lebih dulu, diantara kedua hal ini tiada pilihan lain, tiada gunanya kau omong lagi."
"Akan tetapi Sicek sendiri....."
"Tidak perlu kau kuatir diriku," kata Pwe-giok dengan tertawa, "betapapun kuat kepalan
pemuda baju hitam itu juga belum tentu mampu mengalahkan aku, sekarang kurasakan
tenagaku sudah pulih sebagian besar."
Pelahan ia lantas melepaskan pegangan Lui-ji dan menuju ke sana dengan langkah lebar.
Memandangi bayangan punggung Pwe-giok, majemuk benar perasaan Lui-ji, ya girang, ya
sedih, ya terharu, ya sesal, ya gelisah, ya kuatir.
Ia tahu bilamana Ji Pwe-giok sudah bertekad akan bertindak sesuatu, maka siapapun tidak
mampu menghalanginya. Kini dia hanya berharap semoga Pwe-giok akan menangkan
pertandingan itu.
Tapi pemuda baju hitam yang angkuh itu tampaknya juga yakin pasti akan menang, jelas dia
memiliki kungfu maha tinggi dan asal usul yang mengejutkan orang. Dapatkah Pwe-giok
mengalahkan dia?
Lui-ji menunduk sedih, tanpa terasa air matanya bercucuran pula.
Sejak tadi pemuda baju hitam selalu menatap Pwe-giok, mengawasi sikapnya waktu bicara,
mengamati gerak-geriknya. Ketika Pwe-giok mendekatinya, segera ia tanya: "Kau akan
mulai?"
"Ya boleh kita mulai sekarang" jawab Pwe-giok tegas.
87
Jilid 4________
Melihat tekad Ji Pwe-giok, pemuda baju hitam itupun menghela napas, ucapnya: "Sayang,
sungguh sayang!"
Sejak tadi Pwe-giok juga memperhatikannya, dilihatnya usia orang ini masih muda, tapi
berdirinya setegak gunung Thay yang kukuh, tampaknya bahkan lebih mantap daripada Lo
cinjin.
Dia hanya berdiri begitu saja, tanpa pasang kuda-kuda, namun seluruh badannya seolah-olah
terjaga rapat, sedikitpun tiada peluang yang dapat diserang musuh.
Diam-diam Pwe-giok mengerahkan tenaga, ia merasa jalan darahnya sudah lancar, tidak ada
lagi rasa kaku, ia tahu khasiat obat bius sudah punah.
Akan tetapi setelah bekerja keras tiga hari tiga malam tanpa istirahat dan tidur, betapapun
badan terasa pegal dan linu.
Dalam keadaan demikian sebenarnya bukan waktunya untuk berkelahi dengan orang, tapi
musuh sudah berada di depan, terpaksa Pwe-giok membangkitkan semangat, ucapnya sambil
memberi hormat, "Silahkan!"
"Awas, sekali turun tangan biasanya aku tidak kenal ampun, kau harus hati-hati," kata
pemuda baju hitam dengan suara kereng.
Di tengah bentakan, langkah kedua orang saling bergeser, dalam sekejap keduanya samasama
menyerang tiga kali.
Begitu menyerang segera keduanya sama menarik kembali serangannya, nyata mereka sama
hendak menguji kekuatan lawan. Memang beginilah sikap prihatin pada waktu bertempur
antara tokoh terkemuka.
Baru sekarang Pwe-giok tahu pemuda angkuh ini tidaklah meremehkan dia.
Meski sejak mula Pwe-giok sudah merasakan orang pasti bukan lawan empuk, akan tetapi ia
sendiri pun cukup bergaya dan berwibawa, kukuh laksana gunung.
Meski kedua orang ini sama-sama masih muda, tapi sekali bergebrak jelas kelihatan luar
biasa, lamat-lamat sudah menyerupai gaya seorang pemimpin besar suatu aliran.
Dalam pada itu di sekeliling kereta tadi kecuali beberapa orang berseragam hitam, mendadak
dari tempat gelap melompat keluar pula belasan orang sehingga mereka terkepung di tengah.
Sorot mata orang-orang ini menampilkan rasa cemas dan benci, namun sikap mereka tidak
tegang, jelas mereka cukup yakin akan kemampuan si pemuda baju hitam. Semuanya percaya
betapa hebat lawannya akhirnya si pemuda baju hitam pasti akan menang.
Hanya sekejap saja kedua orang sudah saling labrak belasan jurus, namun tiada sesuatu jurus
serangan yang istimewa. Lebih-lebih si pemuda baju hitam, meski tenaganya kuat dan
serangannya mantap, tapi jurus serangannya sangat umum.
88
Namun jurus-jurus serangannya yang umum itu justeru tidak sama dengan ilmu silat golongan
manapun di dunia ini.
Biasanya ilmu silat dari suatu aliran tersendiri tentu ada jurus serangan istimewa yang
diandalkannya, akan tetapi kungfu pemuda ini justeru begitu-begitu saja, tidak sedahsyat ilmu
pukulan Siau-lim-pay, juga tidak selincah kungfu Bu-tong-pay. Jadi tidak ada sesuatu yang
aneh, malahan sepintas pandang seperti tidak ada gunanya sama sekali.
Diam-diam Lui-ji juga heran, belum pernah dilihatnya seorang yang bertenaga dalam sehebat
ini justeru menggunakan jurus serangan tak becus begini. Tanpa terasa ia bergembira.
Ia pikir kalau pemuda ini bukan belajar kepada guru yang bodoh seperti kerbau, tentunya dia
berlatih sendiri secara ngawur, maka hasilnya juga kungfu kampungan seperti cakar kucing.
Ia pun heran mengapa Ji Pwe-giok tidak mengeluarkan Kungfu lihai seperti apa yang
digunakan untuk menghadapi Lo-cinjin itu. Padahal bertarung dengan lawan bodoh seperti
pemuda baju hitam ini cukup dua-tiga jurus saja tentu Pwe-giok dapat merobohkannya, adalah
kejadian aneh bila lawan dapat menangkis atau menghindar.
Saking tidak sabar, hampir saja Lui-ji berteriak, "Orang sudah menyatakan tak kenal ampun
padamu, mengapa Sicek sungkan padanya, memangnya kau hanya main-main saja dengan
dia?"
Ia tidak tahu bahwa saat itu sama sekali Pwe-giok tidak bermaksud main-main, bahkan serba
susah, malahan hampir saja dia menyerah kalah.
Kungfu pemuda baju hitam itu tampaknya bergaya kampungan, bodoh seperti kerbau, tapi
bagi pandangan Pwe-giok, kungfu lawan justeru tiada tandingannya di dunia ini. Hanya dia
saja yang tahu betapa lihainya jurus serangan lawan.
Hal ini seperti halnya orang main catur, setiap langkah seorang master catur mungkin
dianggap jamak oleh orang awam, tapi setelah pihak lain bergilir melangkah barulah
dirasakan langkah lawan itu ternyata sangat hebat, hanya satu langkah itu saja telah membikin
buntu semua jalannya sehingga sukar berkutik.
Pwe-giok sendiri tidak menyangka jurus serangan lawan yang kelihatan biasa itu bisa
menimbulkan daya tekanan sekuat itu. Melawan jurus serangan demikian, segala jurus
serangan aliran dan golongan lain di dunia ini menjadi tidak ada nilainya lagi. Sungguh ia
tidak tahu apakah di dunia ini ada orang lain yang mampu mematahkan jurus serangan
pemuda baju hitam ini?
Dalam pertempuran, bilamana setiap gerakannya telah tertutup buntu oleh lawan, maka
baginya tidak ada jalan lain kecuali mandah disembelih orang saja. Pantas pemuda baju hitam
itu yakin pasti menang, sebab dia memang tidak mungkin terkalahkan.
Tiba-tiba pemuda baju hitam itu berkata, "Apabila kau mendapat petunjuk guru pandai, kau
memang bibit pilihan yang dapat dipupuk, cuma sayang guru yang kau temukan kebanyakan
cuma tukang gegares belaka!"
89
Hati Pwe-giok menjadi panas, serunya dengan mendongkol, "Kukira belum tentu tukang
gegares semuanya!"
"Memangnya kau masih mempunyai jurus simpanan yang belum pernah kau keluarkan?" ejek
pemuda baju hitam.
Darah Pwe-giok menjadi mendidih, ejekan lawan telah mendorongnya mengeluarkan segenap
tenaga yang masih tersisa padanya.
Sebenarnya dia merasa lemas, kepala juga terasa pening, hakekatnya tidak tahu jurus serangan
bagus apa yang harus digunakannya, malahan ia pun malas untuk memikirkannya.
Tapi kata-kata pemuda baju hitam itu telah menyinggung perasaannya, timbul sifatnya yang
tidak mau tunduk biarpun mati sekalipun, bergolak darah keangkuhannya dan membangkitkan
semangatnya yang gagah berani, maju terus pantang mundur.
Kini darah yang bergolak telah menyadarkan benaknya yang pening tadi, mendadak ia
setengah berputar, kedua tangan menyerang bergantian.
Serangan berantai ini sambung menyambung, sekilas pandang kedua tangan seperti lagi
membuat lingkaran demi lingkaran, tanpa putus dan tanpa berhenti.
Agaknya pemuda baju hitam itu pun menyangka perubahan serangan Pwe-giok itu, cepat ia
menyurut mundur, ia tidak balas menyerang lagi, melainkan terbelalak mengikuti setiap jurus
serangan Pwe-giok.
Bahwa pemuda baju hitam itu tidak menyerang lagi, sekarang Lui-ji malah dapat melihat
kelihayannya. Tangannya tidak bergerak, bahunya tidak bergoyang, tidak menangkis dan juga
tidak balas menyerang. Tapi betapa Pwe-giok berganti jurus serangan tetap tak dapat
menyenggol seujung bajunya.
Jurus serangan Pwe-giok masih terus memburu laksana air raksa tertumpah, setiap lubang
dimasukinya. Tapi pemuda baju hitam itu tetap tenang-tenang saja, dia hanya menggeser
dengan enteng saja dan entah cara bagaimana, tahu-tahu ia sudah meluncur ke bagian luang
serangan Pwe-giok itu.
Jelas-jelas Lui-ji menyaksikan serangan Pwe-giok kacek beberapa senti saja pasti dapat
mengenai sasarannya, tapi entah mengapa, tenaga Pwe-giok seolah-olah hanya sampai di situ
saja dan sukar ditambah lagi sehingga sukar bergerak lebih jauh.
Setelah mengikuti sejenak pula pertarungan mereka itu, akhirnya tangan Lui-ji berkeringat
dingin, diam-diam ia terkejut, "Tak tersangka orang yang kelihatannya bodoh dalam gerakan
dan lambat serangan ini, kakinya selincah ini?"
Ia tidak tahu bahwa pondasi ilmu silat justeru terletak pada kedua kaki, betapa lihaynya
sesuatu serangan, bilamana tidak disertai langkah kaki yang kuat dan tepat, maka percumalah
serangannya bahkan untuk bertahan juga memerlukan langkah kaki yang kuat.
Dan langkah kaki pemuda baju hitam ini justeru tiada bandingannya, langkah kaki yang khas.
90
Dalam sekejap saja Pwe-giok sudah menyerang belasan jurus. Mendadak terdengar pemuda
baju hitam itu membentak, "Berhenti!"
Begitu terdengar suaranya, mendadak tubuhnya melayang ke atas, sekali loncat setinggi
empat tombak. Dalam keadaan demikian, sekalipun Pwe-giok tidak mau berhenti terpaksa
juga harus berhenti.
Dari bawah memandang ke atas, tubuh pemuda baju hitam itu seolah-olah berhenti
mengapung di udara dan tak bergerak lagi. Ginkang sehebat ini, sungguh belum pernah dilihat
Lui-ji selama ini.
Terdengar pemuda itu bertanya dengan suara kereng, "Apakah kau anggota keluarga Hong
dari Kanglam?"
Sebelum Pwe-giok bersuara, cepat Lui-ji mendahului, "Apakah kau kenal sacekku?"
Belum habis ucapannya si pemuda baju hitam sudah hinggap di depannya, matanya yang
terbelalak itu menampilkan rasa kejut dan heran, tanyanya, "Apakah Hong sam adalah
Sacekmu?"
"Hm, jika kau tahu nama beliau, kenapa bicaramu sekasar ini?" dengus Lui-ji.
Pemuda baju hitam memandang Pwe-giok sekejap, lalu berkata, "Kau panggil dia sicek,
jangan-jangan dia ....."
"Sicek dengan sendirinya adalah saudara sacek," tukas Lui-ji.
"Masa kau ini adiknya Hong sam?" seru si pemuda baju hitam.
Ucapan ini ditujukan kepada Pwe-giok, tapi Lui-ji telah mendahului menjawab, "Ya, dengan
sendirinya."
Sejenak pemuda itu melototi Pwe-giok, lalu menghela napas gegetun dan berkata, "Adik
Hong sam ternyata mau menjual nyawa bagi Oh-lolo, pantas anggota keluarga Hong makin
hari makin merosot." Lui-ji tidak tahan, serunya, "Sebabnya Sicek bergebrak denganmu
bukan lantaran membela Oh-lolo, tapi demi diriku."
"Demi dirimu?" pemuda baju hitam itu menegas dengan melengak.
"Tentunya kau tahu betapa kemahiran menggunakan racun Oh-lolo yang tiada bandingannya,"
kata Lui-ji.
"Huh, kepandaian rendahan begitu apa artinya bagiku?" jengek pemuda baju hitam.
"Bilamana kau sendiri terkena racunnya baru kau tahu rasa dan tidak dapat omong lagi," Luiji
balas mengejek.
"Hah, untuk bisa meracuni diriku, mungkin dia harus bertambah lagi sepuluh buah kepala."
seru pemuda baju hitam dengan tertawa pongah. Mendadak ia pandang Lui-ji dengan
bertanya, "Jangan-jangan kau terkena racunnya?"
91
"Betul, saat ini kami sedang menggiring dia pulang ke rumah untuk mengambil obat penawar.
Orang mati tentunya tak dapat mengambil obat penawar, makanya kami merintangi
maksudmu akan membunuhnya."
"Jika demikian, mengapa tidak sejak tadi kau katakan?" kata si pemuda dengan berkerut
kening.
"Bilamana kami katakan tadi apakah kau percaya?" tanya Lui-ji.
Pemuda itu termenung sejenak, jawabnya kemudian, "Ya, tentu aku tidak percaya. Bila kalian
katakan tadi, tentu kukira kalian adalah sanak keluarga Oh-lolo dan hendak membelanya,
mana bisa ku lepas kalian pergi."
"Jujur juga kau ini," ujar Lui-ji.
"Apalagi, seumpama kau percaya keteranganmu dan memberi kesempatan kepada kalian
untuk mengambil obat penawar, habis itu baru ku turun tangan, tapi kukira kalian pun takkan
mendapatkan obat penawarnya, sebab kalau Oh-lolo tahu akhirnya dia tetap akan mati, tidak
nanti dia rela menyerahkan obat penawarnya kepada kalian."
"Betul, makanya sicekku terpaksa harus bergebrak denganmu," kata Lui-ji, "sebab Sicek
sudah memperhitungkan dengan baik, bila ingin Oh-lolo menyelamatkan diriku, lebih dulu
Oh-lolo harus diselamatkan."
Sorot mata si pemuda baju hitam pelahan bergeser ke arah Ji Pwe-giok, katanya, "Telah
bersusah payah juga kau demi untuk menolong dia."
Pwe-giok tersenyum hambar, ucapnya, "Jika kau jadi diriku, kau pun akan berbuat demikian."
Mendadak pemuda baju hitam berkata dengan suara bengis, "Tapi apakah kau tahu berapa
banyak orang yang telah menjadi korban keganasan Oh-lolo, tahukah kau bila dia tidak mati,
selanjutnya entah berapa lagi orang yang akan terbunuh olehnya. Hanya demi menyelamatkan
jiwa nona ini, jiwa orang lain lantas tak terpikir olehmu?"
"Hal ini sudah kupikirkan," jawab Pwe-giok sambil menghela napas.
Gemerdep sinar mata pemuda baju hitam, katanya, "Apakah maksudmu setalah Oh-lolo
menyerahkan obat penawarnya, lalu akan kau serahkan dia kepada kami?"
Pwe-giok membungkam tanpa menjawab.
Memang begitulah maksudnya, tapi hal ini tidak boleh diutarakannya, sebab kalau sampai
Oh-lolo tahu jalan pikirannya, tentu dia takkan menolong Cu Lui-ji.
"Tapi seumpama begitulah jalan pikiranmu, sekarang kau tetap akan menggempur mundur
kami, begitu bukan?" tanya pula si pemuda baju hitam.
Pwe-giok tetap tutup mulut tanpa menjawab. Diam sama dengan mengiakannya.
92
"Jadi, apapun juga kau bertekad akan duel denganku?" pemuda baju hitam itu menegas pula.
Pwe-giok menghela napas panjang, jawabnya "Ya, memang begitulah!"
"Tapi sekarang tentunya kau tahu, paling sedikit pada saat ini kau masih bukan tandinganku,
jika kau ingin menggempur mundur kami, bisa jadi kau yang akan kubunuh lebih dulu."
"Sekalipun begitu, tetap akan kulakukan dan tiada pilihan lain," jawab Pwe-giok.
"Kau pandang jiwa orang lain sedemikian pentingnya, mengapa memandang enteng jiwanya
sendiri?" tanya pemuda baju hitam.
"Bagiku, ada yang tidak perlu kulakukan, tapi ada pula yang harus kulakukan, terhadap mati
an hidup tidak terlalu kuperhatikan." jawab Pwe-giok hambar.
Mendadak pemuda baju hitam bergelak tertawa, serunya, "Bagus, bagus! Sudah lama kata
'ada yang tak perlu kulakukan dan ada pula yang harus kulakukan' tidak pernah kudengar,
sekarang dapat ku dengar lagi, sungguh terasa menyegarkan."
Di tengah suara tertawanya ia terus mendekati kereta dengan langkah lebar.
Cepat Pwe-giok menghadang di depan orang, ucapnya dengan suara berat, "Bila saat ini
hendak kau bunuh dia, terpaksa harus kau bunuh diriku lebih dulu."
"Aku hanya ingin minta obat penawar padanya," kata pemuda baju hitam dengan tertawa.
Pwe-giok melengak, ucapnya, "Mana dia mau memberikan obat penawarnya kepadamu?!"
Kembali pemuda baju hitam tersenyum, katanya, "Orang lain tak dapat menyuruh dia
menyerahkan obat penawar, aku mempunyai caraku sendiri."
"Kau sanggup?" tanya Pwe-giok ragu.
"Kau tidak percaya?"
Belum lagi Pwe-giok menanggapi, pemuda it telah menyambung, "Bila aku tidak dapat
menyuruh dia menyerahkan obat penawarnya, biarlah kepalaku ini kuberikan padamu."
Dengan suatu gerakan enteng, tahu-tahu ia telah menyelinap lewat disamping Pwe-giok.
Keadaan di dalam kereta sunyi senyap, agaknya, Oh-lolo ketakutan setengah mati sehingga
bernapas saja tidak berani keras-keras. Sesungguhnya siapakah gerangan pemuda baju hitam
ini sehingga membuat Oh-lolo ketakutan setengah mati?
Apakah dia benar-benar sanggup menyuruh Oh-lolo menyerahkan obat penawarnya?
Dalam pada itu kelihatan pintu kereta telah ditarik oleh pemuda baju hitam sambil berkata,
"Kau ....." hanya satu kata saja terucapkan, seketika ia melenggong dan tidak dapat bersuara
pula.
93
Cahaya sang surya menembus ke dalam kabin kereta melalui pintu yang sudah terpentang itu
sehingga kelihatan gemerlapan jok yang berlapiskan kain sutera emas itu.
Terlihat Oh-lolo berduduk setengah berbaring di atas jok yang bergemerlapan itu, dari lubang
hidung, mata, mulut dan telinga mengalirkan darah hitam sehingga wajahnya yang sudah
buruk itu bertambah menakutkan.
Akan tetapi pada ujung mulut nenek itu masih menampilkan secercah senyuman keji,
senyuman mengejek seakan-akan berkata. "Obat penawar takkan kau peroleh, siapapun tak
mampu menyuruhku serahkan obat penawar. Aku mati, terpaksa Cu Lui-ji harus mengiringi
kematianku!"
Darah dalam tubuh Pwe-giok serasa membeku, butiran keringat merembes keluar di dahinya.
Keji amat nenek ini, mati pun dia tetap membikin celaka orang lain.
Tiba-tiba si pemuda baju hitam berpaling dan bertanya kepada Lui-ji, "Racun yang mengenai
dirimu ini apakah benar tak dapat dipunahkan dengan cara lain kecuali obat penawarnya?"
Air mata Lui-ji berlinang-linang, ia seperti tidak mendengar apa yang dikatakannya.
Pwe-giok juga sangat berduka, ucapnya, "Sekalipun masih dapat dipunahkan dengan obat
penawar lain juga waktunya mungkin tidak keburu lagi."
"Sebab apa?" tanya si pemuda baju hitam.
"Bilamana fajar menyingsing, tentu racun akan bekerja," tutur Pwe-giok.
"Sampai fajar menyingsing nanti masih ada berapa jam lagi," tanya pemuda baju hitam
dengan suara parau.
Pwe-giok tidak menjawab, tapi diantara orang yang berseragam hitam ada yang berseru, "Saat
ini baru lewat tengah malam, sampai fajar menyingsing nanti masih ada tiga-empat jam lagi."
"Tiga-empat jam!" pemuda baju hitam bergumam sambil termangu-mangu.
Mendadak Pwe-giok membalik tubuh dan berteriak dengan suara serak, "Sekarang sakit hati
kalian sudah terbalas, bilamana kalian merasa belum cukup, boleh silahkan kalian mencacah
mayatnya pula, dengan demikian barulah akan terbukti kalian adalah laki-laki sejati yang
tidak lalai menuntut balas."
Karena emosi, cara bicaranya menjadi beringas, seakan-akan rasa duka dan marah yang
memenuhi rongga dadanya itu hendak ditumpahkan seluruhnya.
Orang-orang berseragam hitam itu sama menunduk. Pada dasarnya mereka adalah orang baikbaik,
demi menuntut balas mereka bisa berubah sangat buas, tapi sekarang dalam hati mereka
menjadi tidak tenteram bagi Pwe-giok, belasan orang itu memberi hormat kepada si pemuda
baju hitam, lalu sama mengundurkan diri dan menghilang dalam kegelapan.
Tanpa terasa Pwe-giok juga menunduk, air mata pun bercucuran.
94
Mendadak Lui-ji menubruk ke dalam pangkuan Pwe-giok sambil menangis keras-keras,
ratapnya, "O, Sicek, aku... aku bersalah padamu...."
"Dalam hal apa kau bersalah padaku?" ujar Pwe-giok dengan pedih. "Hanya akulah yang
ber... bersalah padamu."
"Sicek, kau.... kau tidak tahu akan diriku," kata Lui-ji dengan tersedu-sedan.
Tiba-tiba Pwe-giok berkata, "Kau tidak perlu panggil Sicek lagi padaku."
Tergetar tubuh Lui-ji, "Seb... sebab apa?"
Pwe-giok tersenyum pedih, katanya, "Sesungguhnya tidak seberapa banyak aku lebih tua dari
padamu, pantasnya kau panggil kakak padaku, bukankah sejak mula kau tidak ingin menjadi
keponakanku melainkan berharap akan menjadi adik perempuanku?"
Lui-ji menengadah dan memandang Pwe-giok dengan termangu-mangu, entah kejut, entah
girang? Meski di tengah air mata yang berlinang itu sekilas terunjuk rasa girangnya, tapi
dalam sekejap ia menjadi berduka pula.
Memandangi wajah yang cantik bak bunga yang sedang mekar, memandangi kerlingan mata
si nona yang menggetar sukma itu, dalam hati Pwe-giok juga berduka dan menyesal tak
terkatakan.
Diam-diam ia memaki dirinya sendiri: "Sudah jelas kutahu isi hatinya, mengapa baru
sekarang kuterima permintaannya? Dan sekarang jiwanya tinggal tiga empat jam lagi,
kehidupannya yang singkat ini boleh dikatakan tidak pernah merasakan bahagia, mengapa
tidak sejak dulu-dulu kuterima kehendaknya agar dia mendapat kesempatan lebih banyak
untuk bergembira?"
Si pemuda baju hitam seperti menghela napas panjang dan berkata, "Sayang!" lalu berpaling
lagi ke sana, pandangannya tertuju lagi ke dalam kabin kereta, baru sekarang dilihatnya di
dinding kabin ada beberapa baris huruf.
Jelas huruf itu digores dengan kuku jari Oh-lolo yang mirip cakar burung itu, dengan
sendirinya tulisannya tidak begitu jelas, namun masih dapat terbaca, begini bunyinya :
Di belakang ada Thian-sip. di depan ada Thian-long. Dunia seluas ini, tapi tiada tempat untuk
bersembunyi; Dengan kematian terbebaslah segalanya, hendaklah kalian jangan cemas;
Pulangkan jenazahku, akan kuhadiahi....
Segera Lui-ji dapat melihat tulisan tersebut, ia membacanya beberapa kali, tiba-tiba ia
bergumam "Thian-long (serigala langit)? Siapakah Thian-long?"
"Aku inilah Thian-long." kata si pemuda baju hitam.
Lui-ji memandangnya sekejap, lalu berkata, "Orang baik-baik, kenapa mesti memakai nama
buas begitu?"
95
"Nama ini tidak buas, tapi melambangkan sebuah bintang besar," tutur si pemuda berbaju
hitam.
"Bintang besar?" Lui-ji menegas.
"Ya," jawab si pemuda baju hitam dengan angkuh. "Menurut catatan kuno, di sebelah timur
ada bintang besar mirip serigala. Bintang ini sukar terlihat dengan mata telanjang, sebab
bintang ini selalu muncul dan menghilang bersama matahari."
"Kecuali itu apakah kau tidak mempunyai nama lain?" tanya Lui-ji sambil mengernyitkan
kening.
"Ada, namaku yang lain ialah Hay Tong-jing," tutur pemuda itu.
"Hay Tong-jing?" Lui-ji mengulang nama tersebut.
Pemuda berbaju hitam alias Hay Tong-jing itu tersenyum. Ia berpaling memandang Pwe-giok
yang lagi dirundung kesedihan itu. Katanya kemudian, "Kulihat kau ini seorang pemuda yang
berbudi. Tapi kalian tidak perlu murung, kuyakin obat penawar yang dikatakan nenek celaka
ini masih ada harapan untuk diperoleh, terutama bila melihat tulisan yang ditinggalkannya ini,
di sini jelas dia menyatakan, asalkan jenazahnya dipulangkan ke rumahnya, maka dia akan
menghadiahkan.... Hadiah apa tidak sempat ditulisnya, tapi kukira yang dimaksudkan adalah
obat penawarnya."
"Walaupun begitu, kemana lagi harus kita kembalikan jenazahnya?" ujar Lui-ji
"Kutahu, tempat tinggalnya tidak terlampau jauh dari sini, tentu masih keburu, tanggung
beres," kata Hay Tong-jing. "Marilah kalian ikut padaku."
Segera ia angkat mayat Oh-lolo dan melompat ke atas kudanya, ia memberi tanda agar Pwegiok
dan Lui-ji mengikutinya.
Tanpa ragu lagi Pwe-giok dan Lui-ji mengeluarkan Ginkang mereka mengintil di belakang
kuda Hay Tong-jing.
Kira-kira dua-tiga jam mereka menempuh perjalanan, diam-diam Pwe-giok dan Lui-ji merasa
gelisah mengingat waktu bekerjanya racun sudah sangat dekat.
"Apakah masih jauh?" tanya Lui-ji sambil berlari.
"Sudah dekat, itu, di dinding benteng sana," jawab Hay Tong-jing.
Waktu mereka memandang ke muka, terlihatlah tembok benteng membentang megah di
depan sana, dari tembok bentengnya yang tinggi besar itu dapat dibayangkan kota ini pasti
sangat ramai dan makmur. Cuma sekarang sudah jauh malam, bahkan dekat pagi, suasana
sunyi senyap, pintu gerbang benteng tampak tertutup rapat.
"Apakah Oh-lolo tinggal di kota ini?" tanya Pwe-giok.
"Ya, tak tersangka olehmu bukan?" ujar Hay Tong-jing.
96
Pwe-giok menghela napas. Katanya, "Melihat tindak-tanduknya, selama hidup ini tentu tidak
sedikit dia bermusuhan dengan orang, tadinya kukira tempat tinggalnya pasti di suatu tempat
yang sangat terpencil dan dirahasiakan, tak tersangka dia justeru berdiam di dalam kota yang
ramai."
"Tempat tinggalnya justeru sengaja diatur sehingga sukar diduga orang." tutur Hay Tong-jing.
"Bagaimana, sanggupkah kalian melintasi tembok kota ini?"
"Jangan kuatir," kata Lui-ji, "Biarpun lebih tinggi lagi tembok ini juga kami sanggup
melintasinya, hanya kawanmu yang berkaki empat ini mungkin...."
"Kau pun tidak perlu kuatir baginya, ia pun sanggup manjat ke atas," jengek Hay Tong-jing.
"Baik, kau sendiri yang bicara demikian, justeru kami ingin menyaksikan cara bagaimana dia
akan naik ke atas tembok, memangnya mendadak dia akan tumbuh sayap?" jengek Lui-ji.
Sambil bicara diam-diam ia menghimpun tenaga, tapi mendadak ia berkata kepada Pwe-giok,
"Wah, kepalaku terasa agak pening, bagaimana kalau kau pegang diriku?"
Meski demikian ucapnya, sesungguhnya dia kuatir Pwe-giok kekurangan tenaga, maka diamdiam
ingin membantunya.
Pwe-giok menepuk tangan si nona, ucapnya dengan suara lembut, "Orang lain menganggap
kau ini nakal dan jahil, padahal kau adalah nona yang halus budi, anak perempuan yang lemah
lembut."
Muka Lui-ji menjadi merah, tapi hangat pula perasaannya, ia tidak tahu bahwa apa yang
diucapkan Pwe-giok itu bukan ditujukan kepadanya.
Tiba-tiba terdengar suara kesiur angin seperti anak panah terlepas dari busurnya, tahu-tahu
Hay Tong-jing sudah melayang ke atas tembok benteng, kedua tangannya terangkat lurus ke
atas dengan menyanggah mayat Oh-lolo.
Lui-ji mencibir, jengeknya, "Coba kau lihat lagaknya yang sombong itu, dimana dan
kapanpun ia selalu ingin pamer kepandaiannya, mirip seorang yang kaya mendadak,
sedapatnya ingin orang lain mengetahui akan kekayaannya."
Pwe-giok tersenyum, katanya, "Orang muda yang sudah menguasai kungfu setinggi itu,
seumpama agak sombong kan juga pantas, apalagi, orang sombong biasanya tentu dapat
dipercaya, sebab dia pasti tidak sudi berbuat sesuatu yang memalukan." "Tapi usiamu sendiri
juga belum tua, kungfumu juga hebat, mengapa kau tidak sombong sedikitpun?"
"Sebab... sebab aku memang tidap dapat dibandingkan dia" "Siapa bilang kau tidak dapat
dibandingkan dia ?" ujar Lui-ji dengan suara lembut. "Dalam pandanganku, biarpun sepuluh
orang lihay Tong-jing juga tak dapat membandingi kau seorang."
Dia tidak memberi kesempatan bicara kepada Pwe-giok, segera ia menariknya dan melompat
bersama ke atas tembok benteng.
97
Tatkala itu suasana aman sentosa, penjaga benteng sudah tertidur, sejauh mata memandang
didalam benteng hanya berkelipnya lampu yang jarang, seluruh kuta sudah tenggelam di
dalam tidur.
Lui-ji memandang Hay Tong-jing sekejap, ia bertanya, "Mengapa cuma kau saja yang naik ke
sini, kenapa kawanmu itu tidak kau ajak?"
"Bilakah pernah kulihat kuda yang main ginkang?" jawab Hay Tong-jing dengan tertawa.
"Tapi baru saja kau bilang kudamu dapat naik ke sini ?" kata Lui-ji dengan melengak.
"Kata kataku tadi hanya untuk mengapusi anak kecil saja." ujar Hay Tong-jing dengan tak
acuh.
Sungguh tidak kepalang gemas Cu Lui-ji, tapi tidak mampu balas mendebat, sebab kalau dia
mendebat, sama halnya dia mengakui dirinya adalah anak kecil.
Untuk pertama kalinya Cu Lui-ji benar-benar ketanggor alias ketemu batunya.
*****
Di bawah sinar bulan, wuwungan rumah yang berderet deret itu laksana perak yang
berserakan. Dari kejauhan terkadang "berkumandang suara kentongan peronda sehingga bumi
raya ini terasa semakin hening.
Setelah meraka melintasi beberapa jalan raya, samar-samar terdengar suara orang yang ramai.
Suara orang yang sedang memanggil kereta, ada yang sedang mengantar tamu dan ada yang
sedang membual seperti orang mabuk.
Terdengar suara nyaring seorang gadis sedang berkata dengan tertawa, "Ci-siauya dan Thiosiauya,
besok malam hendaknya kalian datang agak siangan, akan ku turun ke dapur dan
mengolah sendiri beberapa macam masakan lezat untuk dahar kalian."
Suara seorang lelaki menjawab dengan bergelak tertawa, "Haha, bagus, bagus, bagus, asalkan
si macan betina di rumah si Ci ini tidak meraung, tentu kami akan datang sedininya."
Lalu suara seorang nenek menukas dengan tertawa, "Sebaiknya Tan-siauya juga kalian ajak
sekalian, katakan kepadanya Bun-bun sudah sangat rindu padanya."
Seorang lelaki lain terkekeh kekeh dan berkata, "Hehe, yang dirindukan Bun-bun kalian
mungkin bukan orangnya melainkan fulusnya!"
"Ai, Ci-siauya, janganlah kau sembarangan menuduh," kata nenek itu. "Nona kami mungkin
tidak bersungguh sungguh kepada orang lain, tapi terhadap kalian bertiga, sungguh kalau bisa
para nona kami ingin memperlihatkan isi hatinya kepada kalian."
"Hiang-hiang, apakah benar kaupandang diriku tidak sama dengan orang lain?" tanya Tiosiauya
kepada gadis langganannya.
98
"Sungguh mati, tentu saja lain," jawab si nona yang bernama Hiang-hiang. "Memangnya perlu
ku korek keluar hatiku untuk membuktikan kesungguhanku ?"
Maka bergelak tertawalah Thio-siauya dan Ci-siauya, lalu berangkatlah keretanya.
Sejenak kemudian terdengar suara si nenek mengomel. "Sialan dasar pelit, kedua bocah ini
paling-paling cuma habis satu cawan saja, tapi selalu ngendon hingga lewat tengah malam,
hanya mengganggu langganan lain saja."
Si Hiang-hiang juga mengomel, "memang, kalau datang lagi besok, bila gelang emas yang dia
janjikan tidak terbukti, tentu akan kukerjai dia!"
*****
Lui-ji melenggong setelah mengikuti percakapan meraka itu, tanyanya, "Wah, apa pekerjaan
orang-orang ini ?" "Masa kau tidak tahu?" kata Hay Tong-jing. "Kecuali kaum bandit, di
dunia ini hanya pekerjaan inilah yang tidak memakai modal."
Lui-ji ingin bertanya pula, tapi mendadak ia paham apa arti ucapan Hay Tong-jing itu, dengan
muka merah iapun mengomel, "He. ken... kenapa kau bawa kami ke tempat setan ini ?"
"Kalau tidak kubawa kalian ke sini habis kubawa kemana?" jawab Hay Tong-jing.
Pwe-giok terkejut, katanya, "Masa di sinilah ru... rumah Oh-lolo ?"
"Ya, tak tersangka bukan?" kata Hay Tong-jing.
Pwe-giok tertegun, ucapnya kemudian, "Memang betul juga, tempat tinggalnya ini justru
sengaja membikin orang tidak pernah menyangkanya, sebab siapa pun yang akan mencari dia
untuk menuntut balas, tentu tiada seorang pun yang berpikir dia adalah germo rumah
pelacuran ini."
"Bahkan, siapa saja yang masuk rumah pelacuran, tentu akan lupa daratan, apalagi kalau akar
sudah masuk perut dan berhadapan dengan si cantik, maka sukarlah untuk menjaga rahasia,
sebab itulah segala apa yang terjadi di dunia Kangouw, hampir semuanya diketahui oleh Ohlolo,"
demikian tutur Hay Tong-jing.
Tiba tiba Lui-ji menjengek, "Hm, tampaknya banyak sekali pengetahuanmu mengenai tempat
beginian, tentunya pengalamanmu juga sangat luas"
"Betul, pengalamanku memang sangat banyak," Jawab Hay Tong-jing tak acuh, "melulu
'Bong-hoa lau' ini saja, sedikitnya ada tujuh orang nona cantik langgananku, salah satu
diantaranya adalah Hiang-hiang (si harum) yang disebut sebut tadi."
Lui-ji mencibir. Baru saja ia hendak berkata pula, cepat Pwe-giok menyeletuk, "Bila Hayheng
tidak apal dengan tempat ini, mana tahu bahwa Bong-hoa-lau inilah serangnya Oh-lolo."
Sembari bicara mereka sudah belok ke jalan raya di depan sana, tertampaklah sebuah rumah
dengan pintu bercat merah, di depan pintu tergantung sebuah lampu merah berkerudung, ada
papan nama yang bertuliskan "Bong-hoa-lau" (Rumah memandang bunga).
99
Saat itu ada dua lelaki berbaju cekak sedang berbenah di luar pintu, tampaknya sebentar lagi
rumah hiburan ini akan tutup pintu. Terlihat ada seorang berjubah panjang warna hijau berdiri
diambang pintu dan sedang mengamat-amati lampu berkerudung itu sambil memberi pesan
kepada kedua pekerja tadi agar kerudung lampu yang sudah hangus itu besok diganti yang
baru.
Agaknya ia pun merasakan ada orang mendekatinya, mendadak ia berpaling.
Di bawah cahaya lampu terlihatlah usia orang ini antara 40-an, tapi masih kelihatan gagah,
rambut tersisir licin, jenggot juga terpelihara, bajunya juga perlente, tampaknya seorang yang
biasa hidup senang-senang dan ongkang-ongkang, tapi juga mirip seorang ahli pelesir. Orang
macam begini ternyata berdiri diambang pintu rumah pelacuran, bahkan berlagak seperti
germonya, hal ini sungguh sangat aneh.
Baru saja Hay Tong-jing mendekati, kedua lelaki berbaju cekak tadi lantas menyongsong
kedatangannya sambil memberi hormat serta menyapa, "Ah, kiranya Hay-siauya! Sudah lebih
dua bulan anda tidak pernah berkunjung kemari, hari ini entah angin apa yang meniup anda ke
sini ? Tapi mengapa Hay-siauya datang begini malam ?"
"untung nona Hiang-hiang belum lagi tidur, dia seolah-olah mengetahui akan kedatangan
Hay-siauya, maka sejak petang tadi dia sudah duduk menunggu di kamarnya dan tidak mau
terima tamu manapun juga," demikian tukas seorang lagi.
Hay Tong-jing tidak menghiraukan mereka, dia hanya terbelalak menatap orang berbaju hijau
tadi.
Terpaksa orang itu memberi hormat, katanya dengan mengiring tawa, "Sudah jauh malam,
rumah hiburan ini baru saja akan kami tutup, tapi lantaran anda adalah langganan, maka... "
"Kau inikah tuan rumahnya ?" potong Hay Tong-jing sebelum lanjut ucapan orang.
Orang itu mengiakan dengan tertawa. "Kenapa tidak pernah kulihat kau sebelum ini?" kata
Hay tong-jing pula.
"Cajhe orang awam, bilamana sering muncul di depan umum, bukankah akan mengganggu
kesenangan para tuan tamu ?" jawab orang itu dengan tertawa.
"Betul juga," dengus Hay Tong-jing. "Orang yang datang ke sini bertujuan mencari
perempuan, bila mana dihadapi adalah lelaki, tentu seleranya akan berkurang. Tapi kukira
sebabnya kau bersembunyi mungkin bukan lantaran kau kuatir akan menghilangkan selera
langgananmu, betul tidak?"
Wajah lelaki perlente itu tadinya berseri seri, makin bicara makin terasa tidak klop. maka
senyum simpulnya perlahan lantas berubah menjadi menyengir dan akhirnya dia hendak
angkat langkah seribu.
Akan tetapi sudah terlambat, mendadak Hay Tong-jing membentak. "Berhenti!"
Orang itu menyengir dan berkata, "Cayhe akan memanggil Hiang hiang untuk... "
100
"Tidak perlu kau panggil Hiang-hiang, yang kucari ialah dirimu," kata Hay Tong-jing.
"Diriku?" orang itu menegas.
"Ya, meski kau tidak kenal aku, namun kukenal kau," ujar Hay Tong-jing.
Air muka orang itu berubah pucat, jawabnya sambil menyengir, "Wah, jangan-jangan nona di
sini telah berbuat kesalahan apa-apa sehingga membikin marah tuan tamu."
"Memang betul ada orang di sini yang bersalah padaku," kata Hay Tong-jing.
"O, siapa dia? Apakah Hiang-hiang?" cepat orang itu bertanya.
"Bukan!" jawab Hay Tong jing.
"Apakah....apakah Siau-siau(si kecil)?"
"Bukan Siau-siau, tapi Lolo (situa)!"
Kembali air muka orang itu berubah, ia terkekeh dan berkata, "Ai tuan sungguh suka
bergurau."
Dalam pada itu Lui-ji juga sudah mendekat, ucapnya dengan tidak sabar, "Untuk apa banyak
omong dengan orang macam begini? Suruh dia memanggil lakinya Oh-lolo keluar saja!"
"Tahukah kau siapa orang ini?" tanya Hay Tong-jing tiba-tiba.
Luiji terkejut, serunya, "Apakah.....apakah dia inilah lakinya Oh-lolo?"
*****
Bahwa nenek jompo itu ternyata bersuamikan seorang lelaki necis begini, sungguh mimpi pun
tak pernah terbayang oleh Cu Lui-ji.
Didengarnya Hay Tong-jing berkata pula, "Apakah kau tahu sebabnya dia senantiasa
bersembunyi dan tidak berani menemui orang luar?"
"Tidak tahu," jawab Lui-ji.
"Sebabnya di masa lampau ia pun seorang tokoh yang cukup ternama di dunia Kangouw. tapi
sekarang dia telah menjadi germo, bilamana hal ini diketahui oleh sahabatnya, bukankah
pamor nenek moyangnya akan runtuh habis-habisan?"
Lui ji berkedip-kedip, tanyanya kemudian, "Apakah dia cukup terkenal di dunia Kangouw?"
"Ya, lumayan," jawab Hay Tong-jing.
"Siapa namanya?" tanya Lui ji.
101
"Dia inilah tuan muda Bau-bok-sam-ceng dari Hong-san, di dunia Kangouw terkenal dengan
julukan 'Ji-hoa-kiam-khek' (pendekar pedang laksana bunga), namanya Ji Yak ih."
"Ji-hoa-kiam-khek? Hah, boleh juga julukan ini," ujar Lui ji dengan tertawa. "Cuma sayang,
hasratnya sekuntum bunga ditancapkan pada satu onggok kotoran sapi, orang ganteng begini
ternyata beristerikan seorang nenek jompo sejelek siluman."
"Masakah kau tidak pernah melihat seorang nona cilik belasan tahun diperistri oleh seorang
kakek jompo?" tanya Hay Tong-jing.
"Itu tidak dapat dipersamakan..."
"Kenapa tidak sama?" tukas Hay Tong-jing. "Nona cilik menjadi isteri kakek jompo,
tujuannya tentu ingin mendapat warisan si kakek. Tapi orang ini mengawini Oh-lolo bukan
kemaruk kepada harta, melainkan mengincar ilmu silat Oh-lolo."
Wajah Ji Yak-ih sebentar merah sebenar pucat, Lui-ji menduga bilamana orang tidak kalap
dan menyerang, tentu juga akan gemas setengah mati.
Siapa tahu, sampai sekian lamanya dia tetap diam saja, bahkan air mukanya berseri-seri pula,
katanya, "Jika kalian hendak mencari diriku, kenapa tidak berduduk di dalam saja!"
"Hm, seumpama tidak kau undang juga kami akan masuk sendiri ke situ," jengek Hay Tongjing.
Kedua lelaki berbaju cekak yang sedang membersihkan lantai tadi sampai terkesima
mengikuti percakapan mereka, mendadak mereka hendak mengeluyur pergi, tapi mendadak
Hay Tong-jing membalik tubuh dan menyerahkan barang yang dijinjingnya kepada mereka
sambil berkata, "Gotong masuk ke dalam sana!"
Kedua orang itu takut-takut untuk menerimanya, tapi juga tidak berani menolak. Mereka
merasa tangan agak lemas, baru saja barang yang disodorkan itu mereka angkat, hampir saja
terjatuh ke tanah.
Syukur Hay Tong-jing keburu menyanggah dengan tangannya, lalu berkata dengan bengis,
"Apakah kau tahu barang apa ini?"
"Ti… tidak tahu," jawab lelaki perlente tadi.
Belum Hay Tong-jing berkata pula, tiba-tiba Lui-ji menyela dengan tertawa, "Barang ini tak
ternilai harganya, jika terbanting rusak, tentu celakalah kalian!"
Lelaki perlente tadi berkedip-kedip, tanyanya, "Apakah hadiahnya Hay-siauya untuk nona
Hiang-hiang (si harum)?"
"Betul, memang hadiah yang sengaja kami antar kemari," tukas Lui-ji. "Tapi bukan untuk si
nona harum, melainkan untuk si bau."
Orang itu melengak, dengan menyengir ia berkata, "Ah, nona ini suka bergurau, di sini mana
ada nona yang bernama si bau?"
102
"Sekuntum bunga ditancapkan di atas kotoran sapi, masakah tidak berbau?" ujar Lui-ji sambil
mengikik tawa.
Kedua orang berbaju cekak tadi tidak berani bersuara lagi, mereka angkat lonjoran barang
antaran itu dan digotong ke dalam. Butiran keringat tampak menghiasi muka mereka.
Lelaki perlente alias Ji Yak-ih itu masih tersenyum simpul dan menyambut tamunya dengan
ramah, namun biji matanya terus berputar, tiada sesuatu gerak-gerik orang yang dapat lolos
dari pengawasannya.
*****
Mereka dibawa menyusuri dua halaman rumah, namun belum lagi kelihatan Bong-hoa-lau ini
ada bedanya dengan rumah pelacuran lain. Kedua halaman rumah ini jelas hanya untuk
menyambut tetamu biasa saja.
Tapi setiba di taman bunga belakang barulah mereka tahu tempat ini memang surga dunia
yang lain daripada yang lain. Meski sekarang sudah buntut musim rontok, tapi di dalam taman
beraneka warna bunga masih mekar semerbak.
Harum bunga yang memabukkan itu bercampur dengan bau pupur orang perempuan, di
sekitar pertamanan itu ada belasan paviliun indah.
Waktu itu semua pavilliun itu sudah tutup pintu, cahaya lampu juga sudah guram, tapi
terkadang masih terdengar suara tertawa dan keluhan yang menggetar sukma.
Lui-ji memandang Hay Tong-jing sekejap, katanya, "Yang tinggal di rumah-rumah itu
mungkin adalah kenalanmu bukan?"
"Ehmm!" Hay Tong-jing bersuara singkat.
"Sekarang mereka sedang sakit, kenapa tidak kau jenguk mereka?" kata Lui-ji pula.
"Sakit?" Hay Tong-jing jadi melengak.
"Kalau tidak sakit, mengapa mengeluh begitu?" kata Lui-ji.
Hay Tong-jing tidak tahan rasa gelinya, ia mengakak tawa.
"Kau tertawa apa? Apanya yang menggelikan?" semprot Lui-ji dengan mendelik.
Sekejap Hay Tong-jing memandang si nona, entah mengapa ia tidak dapat tertawa lagi.
Anak perempuan yang pintar dan cantik ini walaupun dibesarkan di tengah siksa derita, tapi
hatinya masih suci bersih, mulus seperti sehelai kertas putih, masih kekanak-kanakan.
Apa yang diketahuinya terkadang memang jauh lebih banyak daripada orang tua yang sudah
kenyang asam garam, tapi terkadang juga tidak lebih paham daripada anak yang sebaya
dengan dia.
103
Diam-diam Pwe-giok menggeleng sambil menghela nafas gegetun.
Melihat sikap mereka, Lui-ji merasa apa yang diucapkannya tadi tentu ada yang keliru, tapi ia
tidak berani bertanya, terpaksa ditahan di dalam hati dengan mendongkol.
Mendadak Ji Yak-ih tersenyum, katanya, "Di sini memang ada beberapa orang lagi sakit,
sebentar tentu akan kusampaikan maksud baik nona kepada mereka."
"Akupun tidak bermaksud baik apa-apa, kau pun tidak perlu sok menjadi orang baik hati,
memangnya kau kira aku tidak tahu bahwa mereka tidak sakit?" seru Lui-ji. Walaupun
demikian, dalam hati ia merasa berterima kasih kepada Ji Yak-ih yang berusaha
menghilangkan rasa canggungnya itu.
Di ujung taman sana ada sebuah pintu berbentuk bulan sabit, setelah melalui pintu itu,
sampailah mereka di sebuah taman kecil yang lebih indah, di tengah taman itu juga ada
sebuah paviliun berloteng, di atas loteng cahaya lampu masih terang benderang, jelas di
sinilah tempat tinggal tuan rumahnya.
Setiba di sini, segera kedua orang tadi menaruh barang yang mereka gotong itu, tapi baru saja
mereka mulai berjongkok, segera Hay Tong-jing membentak, "Kenapa tidak kalian gotong ke
dalam rumah?"
"Tapi... tapi disinilah tempat kediaman Thay-hujin (nyonya besar), hamba tidak berani masuk
ke situ," kata salah seorang itu dengan tergagap.
Ji Yak-ih menepuk bahu mereka dan berkata, "Gotong masuk saja, tidak apa-apa."
Kedua orang itu mengusap keringatnya, terpaksa mereka menurut dan menggotong lonjoran
barang itu ke dalam rumah.
Tiba-tiba Pwe-giok menghela nafas, ucapnya, "Keji amat tangan Anda!"
Ji Yak-ih terkesiap, ucapnya sambil menyengir, "Tajam amat pandangan Anda!"
Pwe-giok tidak menanggapinya, tapi ia lantas tanya kedua lelaki berbaju cekak itu, "Di rumah
kalian masing-masing masih ada anggota keluarga siapa lagi?"
Salah seorang itu menjawab setelah menaruh barang yang digotong itu ke atas meja, "Khu
Sam masih bujangan, hanya hamba saja yang sudah beristri."
"Jika begitu, lekas kau pulang untuk menyampaikan pesan terakhir padanya, kalau tertunda
mungkin tidak keburu lagi," ujar Pwe-giok.
Orang itu terperanjat, serunya, "Pes... pesan terakhir apa? Hamba... hamba belum lagi mati."
"Setelah kau tahu rahasianya, apakah kau pikir dapat hidup lebih lama lagi?" ujar Pwe-giok
dengan menyesal.
Orang itu memandang Ji Yak-ih sekejap, serunya kuatir, "Hah, ap... apa artinya ini?"
104
"Buka bajumu dan periksalah tempat yang ditepuknya tadi, lalu kau akan tahu apa artinya,"
kata Pwe-giok pula sambil menghela nafas.
Belum habis ucapannya, kedua orang itu cepat menarik bajunya sehingga telanjanglah tubuh
bagian atas. Ternyata bahu mereka yang ditepuk perlahan oleh Ji Yak-ih tadi telah
meninggalkan bekas telapak tangan yang biru, malahan di bagian tengah bekas telapak tangan
itu ada sebuah lubang kecil seperti bekas ditusuk jarum. Dari lubang kecil itu tadinya ada
darah segar yang merembes keluar, tapi sekarang warna darah sudah berubah hitam dan dari
jauh dapat tercium bau amis busuk seperti bau ikan mati.
Kedua orang itu saling pandang sekejap dengan muka pucat seperti mayat.
"Begitu dia menepuk bahu kalian, kulihat pada jarinya terjepit jarum, tapi kalian sama sekali
tidak merasa sakit meski tertusuk jarumnya, nyata pada jarumnya itu pasti terdapat racun yang
jahat," tutur Pwe-giok.
Diam-diam Hay Tong-jing memuji akan kesabaran dan ketelitian Pwe-giok, betapapun ia
harus mengakui dirinya tidak secermat anak muda itu.
Serentak kedua orang itu berlutut dan memohon ampun dengan meratap.
Tapi Ji Yak-ih lantas tersenyum terhadap Pwe-giok, katanya, "Ketajaman pandangan saudara
ini sungguh sangat mengagumkan, cuman sayang Anda telah salah omong sesuatu."
"Oo? Sesuatu apa?" tanya Pwe-giok.
"Biarpun kulepaskan mereka pulang sekarang, tetap mereka tak mampu melangkah keluar
halaman ini," tutur Ji Yak-ih dengan tenang.
Kedua orang tadi lantas berteriak-teriak sambil merangkak bangun, mereka berlari dan
terjatuh, merangkak bangun pula dan berlari lagi, tapi kembali jatuh dan setiba di luar pintu
lalu tiada sesuatu suara apa pun.
"Pergilah kalian dengan tenang, tentu akan kubereskan segala urusan kalian," gumam Ji Yakih,
sekalian ia lantas menutup pintu, lalu berpaling dan berkata dengan tertawa, "Eh, silahkan
duduk, silahkan duduk!"
Meski ucapannya itu adalah basa-basi yang sangat umum, tapi tercetus dari mulut seorang
yang baru saja mencabut nyawa dua orang, betapapun membikin orang mengkirik.
Sejak tadi Lui-ji melototi Ji Yak-ih, baru sekarang ia menghela nafas, lalu berkata, "Kini baru
ku tahu bahwa kau dan Oh-lolo memang suatu pasangan yang sangat setimpal."
Ji Yak-ih tersenyum, jawabnya, "Sudah sekian tahun kami menjadi suami-isteri, sedikit
banyak kepandaiannya tentu sudah kupelajari."
Lui-ji hampir tidak percaya bahwa kata-kata itu keluar dari mulutnya, kembali ia menghela
nafas gegetun, ucapnya, "Tapi kalau bicara tentang tebalnya kulit muka, kukira dia harus
belajar kepadamu."
105
"Ah, nona terlalu memuji," jawab Ji Yak-ih tanpa malu.
"Tapi kalau benar tujuanmu hendak menutup mulut mereka, hanya mereka yang dibunuh saja
masih belum cukup, kau masih harus pula membunuh kami bertiga," kata Lui-ji.
Sekali ini Ji Yak-ih tidak omong apa-apa lagi. Tapi Hay Tong-jing lantas mendengus, "Bila
dia sudah menyilakan kita masuk ke sini, apakah kau kira dia akan membiarkan kita keluar
lagi dengan hidup?"
"Oo… kiranya dia memang berniat membunuh kita?" Lui-ji terbelalak.
"Ya, cuman sayang dia belum lagi mampu," jengek Hay Tong-jing.
Ji Yak-ih tersenyum tanpa menanggapi.
Mendadak Hay Tong-jing berpaling dan mendelik padanya, tanyanya, "Apakah kau tahu
barang apa yang kami antarkan kepadamu ini?"
"Jika tidak salah ku terka, mungkin mayat isteriku yang baik itu," jawab Ji Yak-ih dengan
tersenyum.
Kata-kata ini ternyata keluar dari mulutnya dan air mukanya tidak berubah sedikitpun, bahkan
mata pun tidak berkedip, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Lui-ji jadi terkejut malah, serunya, "Kau sama sekali tidak merasa heran?"
"Kalau terlalu sering naik gunung, akhirnya pasti ketemu harimau. Selama hidup isteriku
terlalu banyak mengikat permusuhan dengan orang, sudah ku perhitungkan cepat atau lambat
dia pasti akan mengalami nasib seperti sekarang ini."
"Dan... dan kau tidak berduka?" tanya Lui-ji pula.
Kembali Ji Yak-ih tersenyum, jawabnya, "Jika kalian sudah tahu tujuanku menikah dengan
dia adalah ingin mendapatkan kungfunya. Bila sekarang kuperlihatkan rasa berduka,
bukankah akan ditertawakan kalian malah?"
"Jika demikian, kami jadi seperti telah membantu kehendakmu malah," kata Lui-ji.
Ji Yak-ih hanya tersenyum saja tanpa menjawab, seperti membenarkan secara diam.
"Demi belajar kungfunya, maka kau mengawini dia, hal ini dapatlah dimengerti, dan bila
sudah cukup, bolehlah kau angkat kaki meninggalkan dia, tapi... tapi mengapa kau justeru
berharap dia lekas mati?" bicara sampai di sini, suara Lui-ji menjadi parau, begitu habis
ucapannya itu, mendadak ia menerjang maju, sekaligus ia menyerang tiga kali, semuanya
serangan maut.
Kaget juga Ji Yak-ih, cepat ia melompat ke samping, serunya dengan heran, "He, mengapa
nona malah membelanya?"
106
"Manusia tidak setia dan tidak berbudi macam kau ini setiap orang boleh membinasakan
kau!" bentak Lui-ji dengan gusar, berbareng ia hendak menerjang maju pula, tapi Pwe-giok
keburu menarik tangannya.
Hay Tong-jing tidak tahu bahwa Lui-ji teringat kepada nasib malang ibunya yang dikhianati
suaminya sendiri, maka anak dara ini membenci setiap lelaki yang tidak setia di dunia ini.
Melihat Lui-ji masih berusaha melepaskan diri dari pegangan Pwe-giok, Hay Tong-jing juga
mencegahnya, katanya dengan mengernyitkan dahi, "Obat penawar, jangan lupa!"
"Aku lebih suka mati keracunan dan tetap akan kubinasakan dia!" teriak Lui-ji dengan
histeris.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara papan loteng berdetak, suara seorang sedang
mengomel, "Siapa lagi yang terkena racun gendukku yang celaka itu, lekas bawa kemari biar
kuperiksa dia!"
Oh-lolo yang sudah tua renta itu di mulut orang ini telah berubah menjadi 'genduk', maka
siapapun dapat menerka orang ini pasti ibu Oh-lolo meski belum kelihatan orangnya.
Terdengarlah suara 'dak-duk-dak-duk', seorang nenek yang bertubuh sehat dan berdandan
anggun dipapah turun oleh dua orang pelayan muda, tangan kiri nenek membawa tasbih dan
tangan kanan memegang tongkat, meski rambutnya ubanan seluruhnya, tapi giginya masih
rajin, tampaknya masih jauh lebih muda daripada Oh-lolo yang keriput itu. Malahan kelihatan
anggun seperti nyonya keluarga pembesar, mana ada tanda-tanda mirip ibu orang macam Ohlolo
yang jahat itu.
Sampai Lui-ji juga melenggong melihat orang tua ini.
Ji Yak-ih menyongsong kedatangan si nenek dengan hormat, lalu bisik-bisik entah omong
apa. Maka bergemetarlah tangan si nenek, ucapnya dengan terputus-putus, "Yang di ... di atas
meja itu?"
"Ya," jawab Ji Yak-ih.
"Pantas mati, pantas mampus!" seru Oh-lohujin atau nyonya besar Oh, "entah sudah berapa
kali kukatakan padanya agar jangan membikin celaka orang, ku tahu pada suatu hari dia pasti
akan telan hasil perbuatannya sendiri, dan sekarang... sekarang hal itu benar-benar terjadi..."
sambil berkata air mata pun meleleh, ia menghentakkan tongkatnya dan berseru pula, "Lekas
gotong keluar sana dan tanam saja di tempat sejauh-jauhnya, anggaplah aku tidak... tidak
pernah mempunyai anak seperti dia, selanjutnya kalian jangan menyebut dia lagi di depanku."
Pwe-giok tidak menduga bahwa ibu Oh-lolo adalah seorang nenek yang bijaksana demikian,
meski bencinya terhadap Oh-lolo merasuk tulang, tapi sekarang ia menjadi ikut sedih bagi si
nenek.
Dilihatnya nenek itu memejamkan matanya sambil terengah-engah sejenak, lalu berkata
dengan perlahan, "Siapa yang keracunan?"
"Nona cilik itu," kata Ji Yak-ih.
107
Oh-lohujin membuka matanya sedikit dan memandang Lui-ji sekejap, ucapnya dengan
menyesal, "O, kasihan nona cilik secantik ini masa dia tega meracuninya... Anak Ih, lekas kau
periksa racun apa yang mengenai dia?"
Baru saja Ji Yak-ih hendak mendekat, Lui-ji lantas berseru, "Tidak perlu kau periksa segala,
racun yang mengenai diriku berasal dari kukunya."
"O, masa kulit badanmu tergores luka oleh kukunya?" tanya Oh-lohujin.
Lui-ji mengiakan.
"Di bagian mana lukamu itu?" tanya si nenek.
"Tangan," jawab Lui-ji.
Oh-lohujin berkerut kening, ucapnya kemudian, "Bilakah dia melukai kau?"
"Bilamana fajar menyingsing, maka genaplah tiga hari," tutur Lui-ji.
Nenek itu memandang cuaca di luar jendela, lalu menghela nafas panjang, katanya, "Syukur
Thian memberkati kau, kedatanganmu ini ternyata belum terlambat!"
"Saat ini masih dapat ditolong?" cepat Pwe-giok bertanya.
"Nona cilik secantik ini, Thian juga tidak nanti mencabut nyawanya, kau tidak perlu kuatir,"
kata Oh-lolo dengan suara halus.
Baru sekarang Pwe-giok dapat menghela nafas lega, penderitaan lahir batin selama beberapa
hari ini baru sekarang mendapatkan imbalannya, tapi kelelahannya selama beberapa hari ini
sekarang pun rasanya seakan-akan membanjir seluruhnya.
Ia merasa sekujur badan lemas lunglai dan hampir saja roboh, namun sedapatnya ia berkata,
"Meski Thayhujin sedemikian bijaksana, namun masih ada sesuatu persoalan terpaksa harus
kukatakan."
"Soal apa?" tanya Oh-thayhujin.
"Kematian Oh-lolo bukan karena dibunuh orang lain, tapi dia membunuh diri karena putus
asa, di dinding kabin kereta terukir tulisan tinggalannya, di situ juga disinggung tentang obat
penawarnya," tutur Pwe-giok.
Oh-thayhujin menghela nafas panjang, ucapnya dengan muram, "Jika bukan begini, apakah
kau kira aku sampai hati tidak menolong nona cilik ini?"
Pwe-giok juga menghela nafas, katanya, "Apapun juga, budi pertolongan Thay hujin tentu
takkan kami lupakan."
"Tampaknya kalian sama lelah sekali, silahkan duduk dan istirahat sejenak, sekarang juga
kuambil obat penawarnya," kata si nenek.
108
Sambil bicara, dengan terhuyung-huyung ia pun melangkah keluar. Kedua pelayan yang
memapahnya tadi sudah pergi dengan menggotong mayat Oh-lolo. Maka Ji Yak-ih lantas
memburu maju untuk memayang ibu mertuanya itu.
Pwe-giok seperti ingin bicara apa-apa, tapi ia tidak tahan lagi, ia jatuh terkulai di atas
kursinya.
"Jangan kuatir, sebentar saja tentu dia akan membawakan obat penawarnya," ujar Hay Tongjing.
"Tapi kalau dia sengaja tidak mau memberikan obat penawarnya?" kata Lui-ji dengan
mencibir.
Hay Tong-jing menjengek, "Dia cukup maklum bagaimana akibatnya apabila obat penawar
tidak diserahkan... mungkin dia tidak seberani itu."
"Hm, dia kan tidak tahu siapa kau? Kenapa musti takut padamu?" kembali Lui-ji membantah.
"Begitu dia membaca tulisan di kabin kereta itu, segera dia tahu siapa diriku," kata Hay Tongjing
dengan angkuh.
Pada saat itu juga, mendadak terdengar suara 'cret' satu kali, menyusul lantas berbunyi pula
'trang' yang nyaring. Semua pintu dan jendela telah terkurung oleh sebuah papan besi.
Pwe-giok terkejut hingga melonjak bangun, serunya, "Wah, celaka! Akhirnya kita tetap
terjebak!"
Air muka Hay Tong-jing juga berubah, ucapnya dengan melotot. "Tidak tersangka nenek ini
jauh lebih keji dan licin daripada anak perempuannya.
"Ya, nyalinya juga sangat besar, sampai-sampai Thiang long-sing juga tidak ditakutinya,"
jengek Lui-ji.
Wajah Hay Tong-jing yang hitam itu jadi kehijau-hijauan saking gusarnya, mendadak ia
meraung, ia menerjang ke depan pintu dan menghantam sekuatnya, kuda saja binasa oleh
sekali pukulannya, maka betapa dahsyat pukulannya dapatlah dibayangkan.
Terdengar suara getaran keras, botol dan cangkir di atas meja terguling ke lantai dan hancur
berantakan. Lukisan yang digantung di dinding juga tergetar hingga jatuh, akan tetapi pelat
besi yang membuntu pintu itu tidak bergeming sedikitpun.
Waktu diperiksa, kiranya kusen pintu dan jendela semuanya terbuat dari besi, lantaran diberi
cat maka sukar diketahui.
Hay Tong-jing berdiri kesima, wajahnya juga pucat.
Lui-ji lantas menubruk ke dalam pelukan Pwe-giok, ratapnya dengan parau, "Semuanya garagara
diriku, aku... aku..."
109
Belum habis ucapannya, menangislah dia tergerung-gerung, dia seperti ingin bicara apa-apa,
tapi setiap kali sebelum kata-katanya terucap, setiap kali keburu menangis lebih dulu sehingga
sukar bicara.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara mendesis, di atas dinding mendadak tersembur asap.
Cepat Pwe-giok menyurut mundur sambil berseru, "Awas, gas racun, tutup nafas!"
Padahal tanpa diberitahu juga Hay Tong-jing dan Cu Lui-ji sudah menahan nafas, tapi berapa
lama mereka sanggup bertahan? Betapapun batas waktu tahan nafas seseorang kan terbatas.
Gas racun itu terus menguap dari kanan kiri dinding kamar itu, sekalipun mereka dapat tahan
nafas lebih lama daripada orang biasa juga takkan lebih dari setengah jam.
Hay Tong-jing mengertak gigi, dengan nekat ia menghantam dinding, tenaga pukulannya
maha dahsyat, semua meja kursi yang mepet dinding sama bergetar roboh. Tapi dinding tetap
tak bergerak, retak sedikit saja tidak ada.
Sejenak kemudian, seluruh ruangan berubah seperti sebuah anglo, panas dan menyesakkan
nafas. Luka Lui-ji belum sembuh, dahinya penuh butiran keringat.
Baru saja Pwe-giok hendak mengusapkan keringat si nona, tiba-tiba dilihatnya lengan baju
sendiri penuh kapur putih, padahal dia berdiri di dalam ruangan itu, darimana datangnya
kapur itu?
Waktu ia menengadah, terlihat atap rumah merekah satu garis. Pwe-giok terkejut dan
bergirang, mendadak ia melompat ke atas, sepenuh tenaga ia menumbuk atap kamar.
"Blang", kapur dinding berhamburan seperti hujan gerimis, garis retakan atap rumah juga
bertambah lebar. Kalau sekeliling ruangan ini terkurung dengan dinding besi, hanya atap
rumah saja yang bukan.
Tanpa disuruh, sebelum tubuh Pwe-giok anjlok ke bawah, serentak Hay Tong-jing juga
menumbuk ke atas.
Getaran sekali ini terlebih keras, bubuk kapur beterbangan, di tengah kabut asap tebal itu
bayangan Hay Tong-jing sudah menghilang, di atap rumah juga bertambah sebuah lubang
besar.
Segera Cu Lui-ji dan Ji Pwe-giok ikut menerobos keluar melalui lubang atap itu.
Tertampaklah di atas juga sebuah ruangan yang indah. Terdapat tempat tidur dengan kelambu
terurai, agaknya disitulah kamar tidur Oh-lolo.
Kamar itu tidak ada orangnya, Hay Tong-jing sudah melompat keluar, di atas loteng ini
seluruhnya ada enam kamar, tapi tiada satupun berpenghuni.
Setiap kamar yang mungkin dibuat sembunyi sudah mereka cari dan geledah, tapi tidak
diketemukan seorangpun, baik di atas loteng maupun di bawah.
"Apakah orang she Ji dan nenek celaka itu sudah tahu kita bakal menerjang keluar, maka
mereka telah kabur lebih dulu?" ujar Lui-ji sambil berkerut kening.
110
"Mereka takkan kabur, tempat ini adalah hasil jerih payah mereka. Mana bisa mereka
tinggalkan begitu saja," jengek Hay Tong-jing sambil bicara secepat terbang ia terus
melayang keluar.
Memandangi bayangan punggung orang, Lui-ji juga mengejek, "Hm, cara bicara bocah hitam
ini seolah-olah segalanya serba tahu, padahal segala apa sebenarnya dia tidak tahu."
"Tapi kau pun jangan lupa akan kebaikannya," ujar Pwe-giok dengan suara lembut, "Sekali
ini, kalau tidak ada dia, mungkin kita akan terkurung dan mati sesak nafas di ruangan ini."
Lui-ji tidak dapat menerima alasan Pwe-giok itu, katanya, "Jelas kau yang menolong dia,
mengapa kau bilang dia yang menolong kita? Jika kau tidak menemukan retakan atap kamar
ini, jiwanya kan sudah amblas sejak tadi?"
Pwe-giok tertawa, perlahan dia menghapus kapur yang mengotori rambut si nona, ucapnya,
"Kau tunggu di sini, akan coba kucari ke atas sana."
"Cari apa?" tanya Lui-ji.
Pwe-giok tidak menjawab, sebab ia kuatir bilamana menjawab 'obat penawar', hal ini tentu
akan menimbulkan rasa cemas dan duka anak dara itu. Tapi biarpun dia dapat berpikir dengan
cermat dan bertindak halus, meski dia sama sekali tidak menyebut lagi hal yang menyangkut
racun di tubuh Lui-ji, tapi tidak berarti Lui-ji tidak tahu apa yang hendak dicarinya.
Setelah menghela nafas lalu Lui-ji berkata, "Kukira tidak perlu dicari lagi, mereka sudah
kabur, mana bisa meninggalkan obat penawar di sini. Apalagi, hakekatnya kita pun tidak tahu
macam apakah obat penawar yang dimaksud."
Pwe-giok termenung sejenak, katanya kemudian, "Kupikir bilamana mereka sudah berhasil
mengurung kita, tentunya mereka takkan lari. Mereka pasti baru lari setelah mengetahui kita
berhasil menerjang keluar."
"Ya, akupun berpikir demikian," kata Lui-ji.
"Sebab itulah mereka pasti belum kabur jauh, bisa jadi masih bersembunyi di salah satu
tempat rahasia di atas loteng, tidak ada ruginya jika kucoba mencari lagi," kata Pwe-giok.
Tapi Lui-ji lantas menarik tangannya dan berkata, "Tidak, jangan kau pergi!"
Pwe-giok melengak, tanyanya dengan suara lembut, "Sebab apa?"
Lui-ji tidak menjawab, ia memandang jauh ke luar sana sambil termangu-mangu.
Pwe-giok juga ikut memandang menurut arah pandangan si nona, hanya sekejap saja ia
memandang dan tanpa terasa tangannya berkeringat dingin, selangkah pun tidak sanggup
bergeser lagi.
Ternyata di ufuk timur nun jauh di sana, lamat-lamat sudah muncul cahaya terang.
111
Fajar sudah menyingsing.
Pada saat yang sama inilah tiga hari yang lalu Lui-ji keracunan, jadi sekarang sudah genap
tiga hari persis, racun dapat mendadak bekerja setiap saat.
Dan setiap detik pula si nona dapat roboh binasa.
Dengan sedih Lui-ji berkata, "Sekarang tentunya kau tahu sebab apa kularang kau pergi
meninggalkan diriku. Sisa waktuku sudah tidak banyak lagi, masakah kau tega meninggalkan
aku?"
"Ti.. tidak, aku takkan... takkan pergi," kata Pwe-giok dengan tersendat, tenggorokannya
seakan-akan tersumbat, matanya sudah basah, yang diharapkannya kalau-kalau bisa terjadi
keajaiban, umpamanya kalau Hay Tong-jing berhasil membawa kembali Ji Yak-ih dan nenek
itu.
"Selamanya aku tidak... tidak pernah minum arak, sekarang aku ingin minum sepuas-puasnya,
maukah kau mengiringi aku minum?" kata Lui-ji.
"Arak...?" Pwe-giok merasa bingung. "Mana ada arak?"
"Di tempat begini masakah tidak ada arak?" ujar Lui-ji dengan tersenyum, ia tarik tangan
Pwe-giok dan mengajaknya keluar dari taman mini itu. Taman di luar penuh dengan bunga
yang mekar semerbak dengan warna-warni yang cemerlang. Akan tetapi jiwa Cu Lui-ji sudah
mendekati layu.
Terdengar suara jeritan kaget, suara bentakan serta suara orang ditempeleng di berbagai
paviliun sana. Menyusul dari setiap rumah itu lantas berlari keluar seorang lelaki dalam
keadaan kedodoran, rambut kusut, muka bengap, lari ketakutan seperti anjing digebuk dengan
menjinjing celana yang tidak keburu dipakai.
"Lagi kerja apa si setan hitam tadi?" tanya Lui-ji heran.
Meski merasa geli juga, dengan sendirinya Pwe-giok tidak dapat tertawa.
Lui-ji berkata pula, "Jangan-jangan dia sedang mencari nenek tadi? Jika nenek itu mau
bersembunyi di sini, kan sama bodohnya seperti dia. Caranya mengobrak-abrik tempat ini
tentu sudah membikin orang yang hendak dicarinya kabur sejak tadi-tadi.
Tiba-tiba bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Hay Tong-jing sudah berdiri di depan Lui-ji,
mukanya yang hitam itu penuh keringat dan juga berlepotan kapur sehingga kelihatan lucu.
"Eh, apakah kau lagi main sebagai badut?" tegur Lui-ji dengan tertawa.
Sekali ini Hay Tong-jing hanya memandangnya sekejap dan tidak omong apa pun. Siapa lagi
yang sampai hati bicara kasar terhadap seorang nona jelita yang sudah dekat ajalnya?
Melihat sikap Hay Tong-jing itu, Pwe-giok tahu sudah tidak ada harapan lagi, namun ia tetap
juga bertanya, "Tidak kau temukan?"
112
"Mereka tak dapat lari, akan kucari lagi, kalian jangan meninggalkan tempat ini," kata Hay
Tong-jing.
Sudah begini, cara bicaranya masih penuh kepercayaan kepada kemampuan sendiri, bahkan
hakekatnya tidak perlu mendengar pendapat orang lain, begitu habis omong, segera ia
melayang pergi.
"He, tunggu!" seru Lui-ji.
Tubuh Hay Tong-jing yang sudah mengapung ke atas itu hinggap di dahan pohon dan
bertanya, "Ada apa?"
"Nona Hiang-hiang itu tinggal di loteng mana, akan kujenguk dia," kata Lui-ji.
Hay Tong-jing berkerut kening, tapi ia tidak menolak, ia menuding ke salah sebuah paviliun
itu lalu melayang pula lebih tinggi, sekali berkelebat menghilanglah bayangannya.
Lui-ji tarik Pwe-giok ke depan sana, katanya dengan tertawa, "Marilah, kita ke sana untuk
minum arak. Arak di tempat si Harum tentu juga harum."
*****
Di serambi bawah paviliun berloteng itu tergantung sebuah kurungan burung, ada seekor beo
besar dengan paruhnya yang merah kekuning-kuningan, begitu melihat orang datang seketika
burung itu berkaok-kaong, "Hiang-hiang! Hiang-hiang! Lekas keluar menyambut tamu, kalau
tidak awas, ku pukul pantatmu!"
Lalu suara seorang perempuan mengomel sambil tertawa di balik ruangan yang berkerai sana,
"Beo sialan!” Lalu keluarlah si nona Harum.
Nona ini memang cantik, raut muka potongan daun sirih, belum bersuara sudah tertawa.
Rambutnya digelung tinggi, langkahnya lemah gemulai, gayanya menggiurkan.
Semalam waktu mengantar pulang tamunya, perempuan ini sudah dilihat oleh Pwe-giok dan
Lui-ji, waktu itu dia bersolek berlebih-lebihan, tapi sekarang dia sudah berubah sama sekali,
tidak lagi kelihatan dandanan sebagaimana perempuan nakal umumnya. Sebaliknya sikapnya
kelihatan anggun, gerak-geriknya sopan, tiada sedikitpun tanda genit. Terhadap apa yang
terjadi di dalam taman ini seolah-olah tidak tahu sama sekali.
Dengan lembut nona Harum itu memberi hormat dan menyambut kedatangan Lui-ji berdua,
sikapnya yang simpatik ini jauh melebihi siapa pun yang menyambut kedatangan kawan karib
sendiri.
Tiba-tiba Lui-ji bertanya, "Apa yang terjadi di sini tadi, masakah kau tidak dengar sama
sekali?"
"Seperti mendengar suara apa-apa," jawab Hiang-hiang atau si Harum dengan biji mata
berputar.
"Tahukah kau apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Lui-ji pula.
113
"Ya, seperti tahu sedikit," jawab Hiang-hiang dengan tertawa.
"Kau tidak kaget? Dan juga tidak takut?"
Hiang-hiang menghela nafas perlahan, ucapnya dengan tak acuh, "Orang seperti kami ini,
biarpun kaget dan takut di dalam hati, tapi kalau kedatangan tamu, lebih dulu kami harus
melaksanakan tugas menyambut tamu, kalau sudah berada sendirian barulah boleh kaget dan
takut."
"Tapi tentunya kau tahu bahwa kami bukanlah tamumu dan juga tidak akan memberi gelang
emas segala," ujar Lui-ji.
Hiang-hiang tersenyum, jawabnya, "Bagiku, siapa saja yang berkunjung ke sini adalah tamu
agungku..."
"Tamu seperti diriku juga kau terima?" tanya Lui-ji.
"Nona cantik seperti engkau, mengundang saja sukar, masa tidak ku sambut dengan senang
hati?" ujar Hiang-hiang dengan tertawa.
Lui-ji memandangnya sejenak, tiba-tiba iapun tertawa, katanya, "Sebenarnya hendak kucari
perkara padamu, tapi setelah mendengar katamu yang manis ini, biarpun dada hampir
meledak juga akan lenyap rasa gusarku. Pantas kaum lelaki suka datang ke sini, orang cantik
seperti kau, aku saja suka, umpama aku disuruh memberi seratus pasang gelang emas padamu
juga ku rela."
"Apabila nona suka sering-sering kemari, biarpun lelaki seluruh dunia ku tutup di luar pintu
juga tidak menjadi soal bagiku," kata Hiang-hiang dengan tertawa.
"Jika demikian, hendaklah kau sediakan arak bagiku."
"Kedatangan nona sungguh sangat kebetulan, di sini memang tersedia sebotol Li-ji-hong
(nama arak), cuma sayang tidak ada santapan enak, biarlah kubuatkan sendiri ayam rebus
untuk teman arak nona," kata Hiang-hiang.
Kepandaian perempuan hiburan demikian memang luar biasa, cukup beberapa patah kata saja,
Lui-ji sudah terbujuk hingga tunduk dan menurut. Padahal dia cuma seorang anak perempuan,
apalagi kalau seorang anak muda, kalau masuk ke tempat beginian, mustahil kalau tidak terus
terjerumus.
Waktu santapan dan arak sudah disediakan, Lui-ji berbalik ingin menyuruh Hiang-hiang lekas
pergi, cuma ia merasa serba susah untuk berkata.
Tapi tanpa Lui-ji bicara, Hiang-hiang cukup memandang sinar matanya saja sudah tahu apa
kehendaknya, dengan tertawa ia berkata, "Nona tumben kemari, seharusnya kuiringi minum
satu dua cawan di sini, tapi... tapi tanpa kehadiranku tentu nona akan minum terlebih gembira,
begitu bukan?"
114
Tanpa menunggu jawaban Lui-ji ia terus melangkah keluar dengan tertawa, bahkan pintu
lantas dirapatkan dengan perlahan.
"Kita datang bersama, kukira yang akan dilayaninya tentu hanya kau saja, dan aku takkan
dihiraukannya. Siapa tahu dia seperti tidak melihat kehadiranku, bahkan satu kata saja tidak
mengajak bicara padamu," kata Lui-ji dengan tersenyum.
Pwe-giok hanya tertawa saja tanpa menanggapi.
Dengan tertawa Lui-ji berkata pula, "Bisa jadi dia dapat menduga aku ini tidak boleh direcoki,
bila aku tidak dihiraukan, tentu akan kucari perkara padanya. Sebaliknya kalau tidak
menghiraukan kau, tentu aku akan senang dan juga takkan marah."
Ia tidak tahu bahwa perempuan dari kalangan hiburan seperti Hiang-hiang ini, sekalipun ada
200 tamu datang sekaligus, cukup sekali pandang saja dia dapat mengetahui siapa diantaranya
yang berkantong tebal dan kepada siapa dia harus merayu. Dan kalau lelaki itu mengira si
Harum telah jatuh cinta padanya, maka dia harus siap untuk menjual rumah, menjual tanah,
bahkan bisa jadi bercerai dengan isterinya.
*****
Arak Li-ji-hong memang harum dan sedap, cuman sayang dalam keadaan demikian, biarpun
arak enak juga terasa hambar diminum Pwe-giok.
Setelah minum dua-tiga cawan, muka Lui-ji sudah merah, ucapnya sambil tertawa mengikik,
"Tak tersangka arak adalah minuman sebaik ini, waktu kuminum cegukan pertama, kurasakan
tidak lebih enak daripada air jeruk, tapi setelah minum secawan barulah kurasakan arak
memang minuman paling bagus di dunia ini. Apabila ada orang bilang air jeruk lebih enak
daripada arak, maka orang itu pasti maha tolol."
"Ya, mi... minumlah beberapa cawan lagi," kata Pwe-giok.
Mestinya dia bermaksud mencegahnya agar jangan minum terlalu banyak, tapi setelah dipikir
lagi, ia merasa keadaan Lui-ji sekarang memang perlu minum arak lebih banyak, kalau tidak
minum arak, urusan apa lagi yang dapat dikerjakannya?
Dengan tertawa Lui-ji menjawab, "Baik, dan kau harus ikut minum."
"Berapa banyak kau minum tentu akan kuiringi," kata Pwe-giok dengan tertawa.
Lui-ji menatapnya lekat-lekat, sampai sekian lamanya barulah ia dapat berkata pula dengan
kepala tertunduk, "Kau tidak suka mengiringi aku minum?"
"Masa aku tidak suka mengiringi kau minum?" ujar Pwe-giok.
"Jika begitu... mengapa kau murung?"
"Aku..." sungguh Pwe-giok tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Dalam keadaan demikian
dan pada saat begini, mana dia dapat bergembira?
115
"Ku tahu engkau lagi sedih bagiku," ucap Lui-ji dengan muram. "Padahal, kaupun tidak perlu
berduka. Aku hanya anak perempuan yang tidak ada artinya, mestinya tidak perlu kau
pikirkan diriku."
"Meng... mengapa kau bicara demikian, kau..." suara Pwe-giok menjadi serak.
"Habis, apa yang harus kukatakan? Sedangkan aku tidak tahu apakah engkau benar-benar
baik padaku atau tidak?"
"Sudah tentu benar-benar aku baik padamu."
Lui-ji menunduk dan memainkan ujung bajunya, katanya, "Sebab apa kau baik terhadapku?"
Pwe-giok jadi melenggong, jawabnya tergagap, "Sebab... sebab..."
"Memang sudah kuketahui tak dapat kau jawab," tukas Lui-ji, "sebab hakekatnya kau
memang tidak suka padaku."
Belum habis ucapannya, air mata sudah bercucuran.
Pwe-giok tidak tega, ia mendekati si nona dan membelai dengan perlahan, ucapnya, "Siapa
bilang aku tidak suka padamu?"
Mendadak Lui-ji mendongak, air mata yang mengembeng di kelopak matanya mencorong
terang.
"Kau... benar-benar kau suka padaku?" ia menegas dengan pandangan lekat-lekat.
"Sudah tentu benar," jawab Pwe-giok.
"Jika begitu, apakah kau sudi... sudi memperisterikan diriku?"
Kembali Pwe-giok melenggong, benar-benar melenggong.
Dengan suara halus Lui-ji berucap pula, "Meskipun aku sudah hampir mati, tapi asalkan aku
masih hidup sejenak di dunia ini, dengan sepenuh hati aku akan menjadi istrimu. Sesudah ku
mati, biarpun seketika kau kawin lagi dengan perempuan lain juga aku takkan menyalahkan
kau."
Tak terkatakan rasa pilu hati Pwe-giok, setiap kata si nona seolah-olah jarum yang menusuk
hulu hatinya.
Lui-ji memandangnya dengan air mata berderai pula, ucapnya sambil menunduk, "Jika kau
tidak... tidak menerima, akupun tidak menyesalimu, aku toh..." ia tidak meneruskan
ucapannya.
Tapi mendadak Pwe-giok berseru, "Kuterima permintaanmu."
Kejut dan girang Lui-ji, sekujur badannya bergemetaran, katanya, "Dengan se... setulus
hatimu atau karena terpaksa?"
116
"Mana bisa terpaksa," ujar Pwe-giok dengan suara lembut. "Lelaki manapun juga, kalau dapat
mempersunting isteri seperti kau, maka beruntung dan bahagialah dia."
Dengan termangu-mangu Lui-ji memandangi Pwe-giok, mendadak ia merangkulnya erat-erat
sambil berteriak, "Oo, alangkah gembiranya aku! Ku ingin agar setiap orang di dunia ini
mengetahui betapa gembira hatiku! Ingin kusuruh setiap orang di dunia ini ikut merasakan
kegembiraanku!"
Lalu ia berlari keluar, sambil mementang kedua tangannya ia berteriak, "Hiang-hiang! Hianghiang!...
maukah kau undang semua kawanmu ke sini? Akan ku jamu mereka makan minum,
perjamuan hari bahagiaku..."
*****
Harapan Lui-ji benar-benar telah dipenuhi oleh Hiang-hiang, ia telah mengumpulkan segenap
nona yang menghuni Bong-hoa-lau ini.
Mungkin di dunia ini jarang ada tamu sebaik kawanan nona penghuni Bong-hoa-lau ini.
Betapa tidak, makan mereka tidak banyak, tapi sanjung puji mereka tidak sedikit, semuanya
pintar omong yang baik dan mahir berdoa bagi yang empunya hajat. Bahkan setiap orang
membawa kado, biarpun cuma sekotak pupur, setangkai bunga mutiara goyang, atau sepotong
sapu tangan bersulam.
Semua kado itu tidak tinggi nilainya, tapi dalam pandangan Lui-ji terasa sedemikian berharga
dan menyenangkan, padahal barang-barang itu hampir dimiliki oleh setiap anak perempuan.
Tapi bagi Lui-ji yang malang ini, selama hidupnya belum pernah mendapatkan benda
semacam itu.
Di ruangan tamu yang sempit itu pun sudah dipajang dengan semarak, dinyalakan pula
sepasang lilin merah tanda bahagia.
Tidak kepalang gembira Lui-ji, dia seperti seekor burung kecil, mengoceh dan berkitaran di
antara tetamunya, terkadang ia pun mendekati Pwe-giok dan bisik-bisik dengan asyik dan
masyuk.
Setiap orang sama kagum padanya, bahkan ada yang iri. Hanya Pwe-giok saja yang penuh
rasa duka dan pedih. Sorot matanya sedetikpun tidak pernah meninggalkan Lui-ji, ia kuatir
setiap saat anak dara itu akan roboh mendadak.
Dilihatnya Lui-ji sedang menarik Hiang-hiang ke samping sana dan entah apa yang
dibisikkannya.
Dengan tertawa Hiang-hiang lantas berkata, "Baik, akan kubawa kau ke sana."
Lui-ji memandang sekejap ke arah Pwe-giok, ucapnya dengan tersenyum, "Tunggu sebentar,
segera ku kembali!"
"Hendak kemana kau?" tanya Pwe-giok.
117
Muka Lui-ji tampak merah, jawabnya, "Urusan anak perempuan, jangan tanya!"
"Tapi sekarang dia sudah boleh mulai belajar bukan?" ujar Hiang-hiang.
Sambil mengikik tawa Lui-ji lantas mendorong keluar Hiang-hiang.
Kusut pikiran Pwe-giok memandangi kepergian Lui-ji.
Terdengar seorang nona bermuka bulat seperti apel berkata dengan tertawa, "Ini namanya
cinta sejati, satu detik saja merasa berat untuk berpisah. Sungguh entah betapa bahagianya
nona Cu ini mendapatkan jodoh sebaik ini."
Meski Pwe-giok juga ingin berkelakar dengan mereka, tapi hatinya penuh rasa duka, apalagi
ia memang sangat lelah, setelah minum arak tubuh bertambah lemas, benaknya juga terasa
gelap, rasanya ingin tidur sekenyangnya.
Entah berapa lama pula, hati Pwe-giok tambah gelisah karena Lui-ji belum nampak kembali.
Syukurlah pada saat itu juga di luar terdengar suara langkah orang, ia merasa lega.
Siapa tahu yang muncul hanya Hiang-hiang saja seorang.
Seketika berubah air muka Pwe-giok, serunya, "Dimana dia?"
"Kongcu jangan kuatir," jawab Hiang-hiang dengan tertawa, "tidak nanti pengantin
perempuannya lari."
Meskipun agak rikuh, kembali Pwe-giok bertanya pula, "Mengapa dia tidak ikut kembali?"
"Dia berada di loteng," tutur Hiang-hiang dengan tertawa. "Ada kerjaan di loteng, ia kuatir
terlalu lama kau menunggu, maka aku disuruh menyampaikan sepucuk surat."
Para nona kembali tertawa cekakak dan cekikik lagi.
Si muka apel berkata pula dengan tertawa, "Orang bilang sehari tidak bertemu laksana
berpisah tiga tahun. Tapi mereka baru berpisah sejenak sudah lantas main surat-suratan. Kalau
sehari tidak bertemu, wah, entah bagaimana jadinya?"
Waktu Lui-ji masih berada di sini, memandang Pwe-giok sekejap saja mereka tidak berani.
Tapi setelah Lui-ji pergi, beramai-ramai mereka lantas berkerumun di sekitar Pwe-giok.
Dengan sendirinya Pwe-giok tak dapat mengusir mereka, juga malu untuk membaca surat di
depan mereka. Ia menjadi gelisah dan serba salah.
Akhirnya dia tidak tahan, ia membuka surat itu. Dilihatnya surat itu berbunyi,
Kakak Giok sayang, Ada suatu hal sudah lama ingin kukatakan padamu, tapi sebegitu jauh
sukar terucapkan olehku, sebab ku kuatir akan didamprat olehmu. Sesungguhnya aku tidak
keracunan. Hanya sedikit racun pada kuku Oh-lolo itu mana mampu mencelakai diriku?
Sebabnya aku pura-pura keracunan, tujuanku hanya ingin menguji hatimu, ingin ku tahu
apakah kau akan cemas bagiku, apakah kau benar-benar memperhatikan diriku. Sungguh tak
118
terpikir olehku bahwa urusan ini akan mengakibatkan kau menderita sehebat ini, sampai jiwa
pun hampir melayang.
Sudah berapa kali hendak kukatakan padamu bahwa aku tidak keracunan, tapi demi melihat
penderitaanmu bertambah hebat, semakin tak berani kukatakan terus terang. Ku tahu sekarang
kau pasti sangat benci padaku, tapi terserahlah padamu. Sebab akhirnya aku toh sudah
menjadi istrimu. Inilah cita-citaku yang paling utama selama hidupku, setelah cita-cita ini
tercapai, urusan lain pun tidak kupikirkan lagi.
Kupikir, agar kegembiraan dan kebahagiaan hari ini dapat dipertahankan selama-lamanya
jalannya hanya ada satu, yaitu mati. Hanya dengan kematianlah dapat kubalas kebaikanmu,
dan barulah hatiku dapat tenteram.....
Tulisan dalam surat itu makin lama makin tak keruan dan sukar dibaca, pandangan Pwe-giok
juga tambah lama tambah kabur.
Nyata air matanya sudah berlinang linang dan sukar ditahan lagi.
Ketika membaca sampai dengan huruf "mati", serentak ia menerjang keluar, melompat ke atas
loteng sambil berteriak, "Lui-ji! Tunggu dulu! Harus kau tunggu dulu ...."
Tapi Lui-ji tidak mendengar lagi suaranya.
Sesudah Pwe-giok mendobrak pintu, Lui-ji sudah rebah di lantai, tangannya yang pucat itu
memegang pisau, baju dibagian dadanya berlepotan darah.
Apabila Pwe-giok tak dapat menguasai emosinya, saat ini tentu dia akan menubruk ke atas
tubuh Lui-ji dan menangis sekeras-kerasnya, dengan demikian sedikit banyak akan
mengurangi rasa dukanya.
Tapi sekarang dia hanya berdiri kaku di situ, hatinya telah mati rasa oleh duka nestapanya,
meski sudah banyak ia belajar menahan rasa duka, tapi sekarang seluruh badannya serasa
runtuh habis-habisan.
Mendadak terdengar Hiang-hiang mendengus, "Dia sudah mati, apakah kau hanya
memandangnya begini saja? Kau tahu, meski bukan tanganmu sendiri yang membunuhnya,
tapi dia tiada ubahnya seperti mati di tanganmu."
"Kutahu," jawab Pwe-giok dengan hati remuk redam.
"Kalau sudah tahu, mengapa kau dapat hidup lagi?....." kata Hiang-hiang. "Bila dia dapat
membalas kebaikanmu dengan mati, mengapa tidak dapat kau balas cintanya dengan
kematian pula?"
Pwe-giok masih berdiri seperti patung, sampai lama sekali tetap tidak bersuara.
"Hm, baru sekarang ku tahu apa sebabnya dia ingin mati," jengek Hiang-hiang pula. "Sebab
dia tahu lantaran dia sudah dekat ajalnya, maka kau mau menikahi dia. Kalau dia tidak mati,
mungkin kaupun takkan mengakui dia sebagai istrimu. Betul tidak!"
119
Pwe-giok tambah bingung dan tidak tahu apa yang harus diucapkannya.
Tiba-tiba suara Hiang-hiang berubah beringas, katanya, "Mengapa kau diam saja? Tidakkah
diam berarti mengakui? Hm, lelaki tidak berbudi dan tidak setia semacam kau, sungguh ingin
ku....ingin kuhajar kau!"
Sambil bicara, tangannya terus menggampar ke muka Pwe-giok.
Sama sekali Pwe-giok tidak mengelak, ia masih memandangnya dengan termangu-mangu.
Maklumlah, setiap orang tentu berpendapat bahwa derita badaniah akan dapat meringankan
siksaan rohaniah. Dan beginilah jalan pikiran Pwe-giok.
Di luar dugaan, tangan Hiang-hiang yang putih dan lemas seperti tak bertulang itu, ketika
mengenai badan Pwe-giok mendadak berubah menjadi keras seperti baja, bahkan tepat
menghantam pada Hiat-tonya.
Seketika Pwe-giok merasa badan kaku kesemutan, kontan ia roboh terkulai, dengan terbelalak
ia pandang Hiang-hiang, sorot matanya jelas menunjukkan rasa kaget dan tidak percaya.
Pelahan Hiang-hiang meraba muka Pwe-giok, ucapnya dengan terkikik, "Dia sudah mati, ku
tahu kau pasti tidak mau hidup sendiri, maka biarlah kupenuhi kehendakmu......"
*****
Waktu Hay Tong-jing datang lagi, ia merasa tempat Hiang-hiang itu terang benderang dengan
cahaya lilin, sisa makanan dan minuman masih berserakan, muka setiap nona merah,
tampaknya kebanyakan sudah hampir mabuk disertai suasana gembira.
Tapi Pwe-giok dan Lui-ji tidak berada di sini lagi, baru saja Hay Tong-jin hendak bertanya,
dilihatnya Hiang-hiang telah menyongsongnya. Dengan riang gembira setengah mengomel
Hiang-hiang tarik lengan baju Hay Tong-jing, "O, sayang, sudah lebih sebulan tidak
berjumpa, tampaknya kau sudah banyak berubah. Tadi para Taci sama ketakutan karena
tindakanmu, sekarang kaupun sedingin ini padaku."
Ia tertawa genit sambil menggigit bibir, lalu berkata pula, "Dan sesudah kau geledah, tentunya
kau percaya bahwa di tempatku ini tidak menyembunyikan lelaki lain, bukan?"
Hay Tong-jing memandangnya dengan dingin, mendadak ia mengipatkan tangan Hiang-hiang
yang memegangnya, lalu menuding lilin dan bertanya, "Apa-apaan ini? Kau main gila apa
lagi?"
Dengan muka merah dan mata basah Hiang-hiang menjawab dengan menunduk: "Orang hina
semacam kami ini dengan sendirinya tidak perlu kenal lilin merah dan perjamuan segala... Ku
tahu kau pandang rendah diriku ini, tapi kan tidak perlu melukai perasaan orang dengan
ucapan yang kejam ini?"
"Melukai perasaanmu? Jika kaupun punya perasaan, wah, boleh juga" dengus Hay Tong-jing.
120
Mendadak ia menelikung tangan Hiang-hiang dan berkata dengan suara bengis: "Hendaknya
kau tahu, kedatanganku ini bukan untuk pelesir, kaupun tidak perlu merayu diriku. Tentunya
kau kenal diriku, aku ini bukan orang yang kenal kasihan kepada siapapun"
Agaknya Hiang-hiang kesakitan sekali sehingga mengeluarkan air mata, jawabnya dengan
suara gemetar: "Ya,ku...ku tahu"
"Baik, sekarang harus kau jawab sejujurnya semua pertanyaanku, jangan coba-coba main gila,
paham?"
"Ya, pah...paham"
"Nah, katakan, sesungguhnya apa yang terjadi di sini?"
"Ada orang kawin"
"Siapa yang kawin?"
"Siapa lagi, tentunya kedua kawanan itu, Ji-kongcu dan Cu-kohnio (nona Cu)"
Melengak juga Hay Tong-jing, serunya: "Mereka kawin di sini? Kau kira aku percaya?"
Berbareng ia memencet sekerasnya sehingga Hiang-hiang menjerit kesakitan, serunya:
"Untuk apa ku bohong? Kuharap kau lepaskan tanganku! Jika tidak percaya, bolehlah kau
tanya mereka saja!"
Pelahan Hay Tong-jing melepaskan genggamannya dengan hati bimbang.
Jilid 5________
Hiang-hiang memijit pergelangan tangannya yang kesakitan sambil memandang Hay Tongjing.
"Apa katamu?" tanya Hay Tong-jing.
"Kulihat kau pasti juga menyukai nona Cu itu, cuma sayang dia sudah...."
"Plak", belum habis ucapan Hian-hiang, tahu-tahu Hay Tong-jing telah menggamparnya
sehingga dia mencelat jauh ke sana dan terbanting cukup keras.
Keruan nona yang lain menjadi ketakutan dan tiada yang berani bergerak.
Hiang-hiang menangis sambil mendekap mukanya, ratapnya: "Kejam amat kau, jika mau,
bunuh saja diriku sekalian!"
Dengan suara bengis Hay Tong-jing membentak: "Supaya kau tahu, jangan kau main gila di
depanku, jika kau berani menangis lagi, bisa kubinasakan kau dahulu"
121
Hiang-hiang benar-benar tidak berani menangis lagi, "Orang galak hanya takut pada orang
yang lebih galak", agaknya pepatah ini memang beralasan. Perempuan macam Hiang-hiang,
bilamana kau sungkan padanya, maka yang celaka adalah dirimu sendiri.
Hay Tong jing lantas berkata pula, "Baik, sekarang berdirilah kau, tunjukkan padaku dimana
mereka."
Sambil menangis Hiang-hiang menjawab, "Tidak perlu cari lagi, mereka... mereka sudah
pergi sejak tadi."
"Hm, memang sudah kuketahui tiada sepatah katapun ucapanmu dapat dipercaya." jengek
Hay Tong-jing. Mendadak ia menyeret bangun Hiang-hiang, lalu membentak pula, "Coba
katakan, kemana mereka pergi? ...."
"Nona ... nona Cu itu seperti mengidap penyakit berat apa, rupanya dia menyadari umurnya
tidak panjang lagi, maka Ji-kongcu didesak agar menikahi dia, bahkan kami dipaksa
mengadakan perayaan bagi perkawinannya," tutur Hiang-hiang.
Cerita ini mau tak mau harus dipercaya oleh Hay Tong-jing, diam-diam ia seperti menghela
napas, tanyanya kemudian, "Lalu bagaimana?"
"Lalu merekapun masuk kamar pengantin, malahan aku diminta menjadi pengapitnya, dengan
sendirinya akupun ikut bahagia bagi mereka, siapa tahu begitu masuk kamar pengantin,
mendadak ... mendadak nona Cu itu ...."
"Mendadak kenapa?" Hay Tong-hiang menegas dengan terkesiap.
"Baru saja mereka masuk kamar, seketika nona Cu roboh, tujuh lubang inderanya
mengeluarkan darah, keadaannya sungguh sangat mengerikan. Aku menjadi kaget dan
ketakutan, hampir saja ku jatuh pingsan. Kulihat Ji-kongcu itu menatap mayat nona Cu
dengan terkesima seperti orang linglung, mendadak ia memondong mayat nona Cu terus
dibawa keluar...." Hiang-hiang menghela napas panjang, lalu melanjutkan dengan rawan,
"Ketika kususul keluar, ternyata mereka sudah menghilang entah kemana, sungguh cepat
sekali lari Ji-kongcu itu seperti bisa terbang saja, betapapun tak dapat kususul dia."
"Mengapa kejadian ini tidak kau ceritakan sejak tadi?" bentak Hay Tong-jing.
"Karena...karena para saudara di sini tidak ada yang tahu kejadian ini, maka sengaja ku tutup
rahasia ini," jawab Hiang-hiang dengan menunduk.
"Mengapa kau tutup rahasia ini bagi mereka?" Dengan muka merah Hiang-hiang menjawab:
"Ku kuatir bilamana diketahui di kamarku ada orang mati, kalau cerita ini tersiar dan
diketahui para tamu langgananku, bisa jadi semua langgananku akan meninggalkan diriku."
Cerita ini memang cukup beralasan dan masuk akal, sedikitpun tidak ada titik kelemahannya.
Apalagi Hay Tong-jing juga mengetahui Cu Lui-ji memang keracunan dan racun akan bekerja
hari ini, bilamana si nona mati keracunan, ia tahu Ji Pwe-giok pasti juga akan sangat berduka.
122
Dan seorang kalau terluka berduka, dengan sendirinya tindak-tanduknya akan luar biasa dan
tidak mengherankan jika mendadak ia lari pergi dengan membawa mayat Cu Lui-ji.
Apalagi, para nona di rumah hiburan demikian pada umumnya tentu bersaing berebut
langganan, jik orang lain mengetahui ada tamu mati di kamarnya Hiang-hiang, tentu mereka
akan senang dan bersyukur malah.
Dan para tamu yang biasa berkunjung ke situ tentu juga tidak mau lagi datang lagi bila
mengetahui kamar Hiang-hiang pernah ada kematian tamu. Jadi hal ini tentu saja akan
ditutupi oleh Hiang-hiang dan takkan diceritakannya kepada siapapun juga bilamana tidak
terpaksa.
Mestinya Hay Tong-jing bukan orang yang gampang ditipu, tapi sekarang dia memang tidak
menemukan sesuatu yang mencurigakan pada keterangan Hiang-hiang itu, mau tak mau ia
harus percaya.
Ia termangu-mangu sejenak, katanya kemudian sambil melototi Hiang-hiang, "Untuk
sementara ini biarlah kupercaya keteranganmu ini, tapi kelak bila diketahui kau dusta padaku
sekata saja...Hmk!"
"Jika kelak diketahui ku dusta padamu, boleh kau bunuh saja diriku dan takkan kusesali
dirimu," jawab Hiang-hiang dengan menangis.
Hay Tong-jing tidak memandangnya lagi, dengan langkah lebar ia terus tinggal pergi.
Tapi mendadak Hiang-hiang memburu maju dan menarik lengan bajunya sambil berseru,"
Apa...apa betul kau akan pergi begini saja?"
"Sudah tentu pergi begini saja, ada apa lagi?" jawab Hay Tong-jing.
"Dengan setulus hati ku cinta padamu, mengapa kau berbalik tidak setia dan tidak berbudi
padaku?" kata Hiang-hiang.
Hay Tong-jing mendengus. "Hm, terhadap orang macam kau ini juga bicara tentang setia dan
budi, hah, mungkin kau ini seorang sinting."
Dengan keras ia kipatkan tangan Hiang-hiang dan melangkah pergi tanpa menoleh.
Hiang-hiang tidak mencegahnya pula, setelah Hay Tong-jing sudah pergi jauh barulah ia
meludah ke lantai sambil mencibir, "Cis memangnya kau kira dirimu sangat cerdik? Huh,
masih jauh! Biarpun kau pintar seperti setan juga dapat ku kerjai."
Baru sekarang si nona bermuka apel tadi mendekati Hiang-hiang, katanya, "Bocah ini sudah
buas lagi kejam, kenapa tidak mencari akal untuk membinasakan dia, tapi malah kau biarkan
dia pergi?"
Hiang-hiang menghela napas, katanya, "Meski bocah ini sok pintar. Namun kungfunya
memang tidak boleh diremehkan. Untuk membunuhnya mungkin tidak terlalu mudah, sebab
itulah hanya ku enyahkan dia dengan membohonginya.
123
"Dan kalau dia datang, lalu bagaimana?" tanya si muka apel.
"Seumpama dia datang lagi ke sini tentu juga dapat kuhadapi dia dengan akal lain. Apalagi
jejak kita sudah ketahuan, betapapun kita tidak bisa mengendon lebih lama lagi di sini."
"Habis mau ke mana jika tinggal di sini?" tanya si muka apel.
"Orang semacam kita, kemanapun jadi," ujar Hiang-hiang. "Burung gagak di dunia ini sama
hitamnya, lelaki di dunia ini sama busuknya, rata-rata pasti gila perempuan. Maka ke mana
pun tidak menjadi soal bagi kita."
Si muka apel tertawa terkikik-kikik, tiba-tiba ia bertanya pula, "Lantas kemanakah pengantin
baru lelaki kita yang cakap dan menyenangkan itu? Apakah telah kau antar dia pulang ke
rumah moyangnya?"
"O, belum," jawab Hiang-hiang.
"Untuk apa menahannya lebih lama?" ujar si muka apel.
"Soalnya, bocah she Ji ini seperti orang yang hendak dicari oleh atasan kita. makanya Ji-lotoa
berulang memberi pesan agar menangkapnya hidup-hidup dan tidak boleh dibunuh."
Si muka apel tertawa senang, katanya, "Jika atasan menghendaki mereka, mustahil dia dapat
hidup lagi?"
*****
Ji Pwe-giok tidak sadar sama sekali, entah sudah berapa lamanya, ketika ia mendusin, di
dalam rumah sudah dinyalakan lampu, Ji Yak-ih sedang duduk sambil minim arak di
depannya.
Seketika rasa duka membanjir pula, hanya sekejap saja rasa duka itu telah menguasai seluruh
jiwa-raganya sehingga membuatnya lupa terkejut dan juga tidak tahut apapun.
Ji Yak-ih tersenyum, katanya. "Tampaknya tidur Ji-heng cukup lelap, sudah cukup lama
kutunggu di sini dan tidak berani mengganggu tidur Ji-heng yang nyenyak."
Pwe-giok malas menggubrisnya, dilihatnya orang mengangkat guci arak Li ji-hong yang
belum habis terminum itu dituangnya ke dalam poci, lalu isi guci arak lain jua dituangnya
sebagian ke dalam poci terus diaduknya dengan sumpit, kemudian dia menuang arak dalam
poci itu ke cawannya serta diminumnya seceguk.
"Apakah Ji-heng tahu, untuk minum Li-ji-hong ini harus dicampur sebagian dengan arak baru
supaya rasanya sedap," kata Ji Yak-ih dengan tertawa. "Kalau tidak dicampur, betapapun
kuatnya seorang juga pasti akan tidur nyenyak seperti Ji-heng tadi."
Ia terbahak-bahak, lalu menyambung pula "Melihat kegagahan Ji-heng, tadinya kukira Ji-heng
adalah seorang Kongcu keluarga bangsawan yang gemar minum arak dan suka pelesir. Siapa
tahu Ji-heng ternyata tidak paham cara bagaimana harus minum arak."
124
Supaya maklum, arak yang diberi nama "Li-ji-hong" atau si merah anak perempuan, pada
umumnya arak ini adalah sulingan sendiri keluarga hartawan di daerah Kanglam, yaitu dibuat
pada waktu genap sebulan melahirkan anak perempuan, lalu arak baru itu ditanam di bawah
tanah, arak itu baru dikeluarkan lagi bila anak perempuan itu sudah akil balig dan akan
menikah. Pada waktu itu arak simpanan tersebut sudah mengental dan tinggal setengah guci
saja. Sari arak ini tidak boleh diminum kalau tidak dicampur dengan arak sulingan baru.
Ji Pwe-giok sendiri meski berasal dari keluarga terpelajar dan juga kuat minum arak, tapi
lantaran peraturan rumah tangganya sangat keras, mengenai hal-hal yang mengutamakan
kesenangan ini boleh dikatakan sama sekali asing baginya.
Dan baru sekarang ia tahu sebabnya dia merasa pening dan ingin tidur tadi adalah karena
pengaruh minum arak Li-ji-hong.
Didengarnya Ji Yak-ih lagi berkata pula dengan tertawa, "Untung juga lantaran Ji-heng tidak
paham cara minum arak sehingga sempat selamatkan jiwa seorang."
"Menolong jiwa siapa?" tanya Pwe-giok.
"Boleh Ji-heng melihatnya sendiri...." jawab Ji Yak-ih dengan tersenyum.
Tengah bicara, datanglah Hiang-hiang dengan memapah satu orang.
Orang ini memakai baju baru, walaupun tidak begitu cocok dengan ukuran badannya, tapi
tetap tak dapat menutupi garis tubuhnya yang ramping, dia menunduk, rambutnya yang
panjang terurai menutupi mukanya.
Siapa lagi kalau bukan Cu Lui-ji.
"He...Kau...kau tidak meninggal?" seru Pwe-giok terkejut dan girang.
Semakin rendah Lui-ji menunduk, tidak berani menengadah dan juga tidak berani bersuara.
Dengan tertawa genit Hiang-hiang berkata, "Dia sebenarnya ingin mati, cuma sayang terlanjur
mabuk, tangannya menjadi lemas, matanya menjadi kabur, pisau yang hendak digunakannya
untuk menggorok leher itu salah tempat sehingga menyayat dadanya sendiri. Meski sekujur
badan kelihatan berlumuran darah, padahal hanya terluka ringan saja dan tidak berbahaya."
Segera Pwe-giok hendak memburu maju, tapi segera diketahuinya bahwa kaki dan tangan
sama sekali tak bisa bergerak meski pikirannya sudah sadar, agaknya Hiat-to kelumpuhannya
tertutuk.
Didengarnya Cu Lui-ji sedang berkata dengan suara terputus-putus, "Hiang... Hiang-hiang,
kumohon sudilah kau bunuh saja ... bunuh saja diriku, sungguh aku... aku malu untuk bertemu
lagi dengan dia."
Dengan suara halus Pwe-giok lantas berkata "Lui-ji, janganlah kau bicara demikian, sama
sekali tidak kusalahkan kau, asalkan kau masih hidup, sungguh aku sangat gembira."
125
"Tapi, meski tidak kau salahkan diriku, padahal aku telah membikin susah padamu, mana...
mana hatiku bisa... bisa tenteram dan tidak berduka?" ujar Lui-ji dengan air mata berderai.
Mendadak Ji Yak-ih bergelak tertawa, katanya, "Haha. sungguh adegan sandiwara yang
mengharukan, sampai-sampai air mataku pun hampir bercucuran. Cuma sayang, sekarang
bukan waktu main roman bagi kalian."
Dengan suara parau Lui-ji berseru, "Kumohon sudilah kau bebaskan dia, sejauh ini dia sangat
baik terhadap Oh-lolo, seumpama kau hendak membalas dendam, bagi Oh-lolo, jelas
sasaranmu bukanlah dia."
"Sebenarnya aku sangat ingin membebaskan dia, cuma sayang aku tidak berkuasa." ujar Ji
Yak-ih dengan tersenyum.
"Jika demikian, kuharap dapat bertemu dengan bunda Oh-lolo, akan ku bicara langsung
dengan dia." kata Lui-ji.
"Akupun ingin mencarinya, cuma sayang, saat ini iapun tidak sanggup lagi mendengarkan
uraianmu."
"Sebab apa?" tanya Lui-ji.
"Sebab dia sudah mati," tutur Yak-ih dengan tak acuh.
"Hah, dia sudah mati?" tukas Lui-ji dengan melenggong. "Apakah Hay Tong-jing yang
membunuhnya?"
"Kukira Hay Tong-jing juga tidak mempunyai kemampuan sebesar itu untuk membunuhnya,"
ujar Ji Yak-ih dengan tersenyum, "Tadi waktu kulihat dia mengejar keluar untuk mencari
diriku, sungguh perutku hampir meledak saking gelinya."
"Waktu itu kau sembunyi dimana?" tanya Lui-ji.
"Ketika kalian menjebol langit-langit kamar dan lolos keluar, saat itulah kubuka pintu dari
bawah loteng dan sembunyi pula ke dalam kamar itu," jawab Yak-ih. "Kalian hampir
membongkar segenap pelosok rumah ini, hanya kamar yang telah kalian bobol itulah yang
kalian lewatkan."
Diam-diam Pwe-giok menghela napas gegetun, mau tak mau ia harus mengakui langkah Ji
Yak-ih yang cerdik itu. Meski rada besar resikonya, tapi langkah itu memang benar tak
terpikir oleh siapapun.
"jika begitu, siapa pula yang membunuh ibunda Oh-lolo?" tanya Lui-ji.
"Siapa lagi, ialah diriku ini," kata Yak-ih.
Sekali ini Lui-ji benar-benar terkejut, serunya "kau yang membunuh dia? Bilakah kau bunuh
dia?"
"Pada waktu kalian datang kemari, mungkin mayatnya sudah membusuk," tutur Yak-ih.
126
Kembali Lui-ji melengak, ucapnya, "Habis, siapa pula nenek yang kami lihat itu?"
Hiang-hiang tertawa, mendadak ia bicara dengan suara yang sudah berubah, ucapnya dengan
terputus-putus, "Biar... biarkan mati dia, entah sudah... sudah berapa kali kusuruh budak itu
jangan... jangan mencelakai orang lain, tapi dia tidak... tidak mau menurut."
Seketika Lui-ji melongo, serunya, "He, kiranya... kiranya nenek yang kami lihat itu ialah
dirimu ini."
"Betul, memang aku inilah yang menyamarnya," jawab Hiang-hiang dengan tersenyum.
"O, rupanya sesudah gagal mencelakai kami, segera kau kembali ke kamarmu sendiri dan
cepat-cepat berdandan untuk memulihkan wajahmu yang asli, begitu bukan?....Pantas Hay
Tong-jing tidak dapat menemukan dirimu."
"Ya, memang begitulah," jawab Hiang-hiang.
"Jelas kalian berdua sudah berniat mengkhianati Oh-lolo, maka pada waktu dia keluar rumah,
lalu kau sendiri menyamar sebagai orang tua itu, supaya penghuni rumah hiburan ini tidak
curiga. Apalagi orang tua ini juga jarang-jarang muncul di depan umum dan orang luar pun
tidak menaruh perhatian."
"Betul, cocok seperti apa yang kalian katakan, lantaran mengincar kungfunya, maka kukawin
dengan Oh-lolo," ujar Ji Yak-ih dengan tersenyum. "Sekarang sudah hampir seluruh
kepandaiannya telah kukuasai, dengan sendirinya aku tidak memerlukan dia lagi, malahan
muak rasanya bila kulihat cecongornya itu, maka sudah lama ingin kubunuh dia, cuma sayang
belum ada kesempatan baik."
"Dan pada waktu dia keluar rumah inilah lebih dulu kami membunuh ibunya," sambung
Hiang-hiang. "Kami sedang menunggu pulangnya untuk membereskan dia sekalian, siapa
tahu kalian sudah mendahului memberi bantuan kepada kami."
Lui-ji berdiam sejenak sambil berkedip-kedip ucapnya kemudian, "Jika kami sudah
membantu kehendak kalian, mengapa kalian masih juga ingin mencelakai kami?"
"Kan sudah kukatakan sejak tadi, semua ini adalah perintah atasan, kami sendiri tidak
berkuasa," ujar Ji Yak-ih.
"Perintah atasan apa? Masakan kalian juga mempunyai cukong?" Lui-ji menegas dengan
terkejut.
"Betul," sahut Yak-ih.
"Siapa dia?" tanya LUI-ji.
"Bila kalian bertemu dengan beliau tentu kalian akan paham," ujar Hiang-hiang dengan
tertawa.
Lui-ji tercengang sejenak, ucapnya kemudian "Maksudmu, kami kenal dia?"
127
"Mungkin kenal,: kata Hiang-hiang.
Lui-ji tidak bertanya lebih lanjut, sebab ia memang tidak perlu tanya lagi. Diam-diam ia
melirik Pwe-giok sekejap, dalam hati mereka sudah tahu sama tahu, jelas orang yang
mendalangi Ji Yak-ih itu pasti Ji Hong-ho adanya.
Lebih dahulu Ji Yak-ih dan Hiang-hiang dibeli dan mereka memperalat Oh-lolo, setelah Ohlolo
tiada gunanya lagi, mereka lantas diperintahkan membunuhnya.
Inilah cara yang biasa digunakan oleh Ji Hong-ho, dengan cara yang sama pula ia hendak
menumpas Thian can-kaucu, bahkan besar kemungkinan setiap tokoh Bu-lim terkemuka
jaman ini juga telah menjadi incarannya. Betapa luas dan rapi rencananya sungguh sukar
untuk dibayangkan.
"Kiranya dia juga yang menyuruh kau mengerjai kami, jadi kalian bukan bertujuan menuntut
balas bagi Oh-lolo," kata Lui-ji.
Hiang-hiang menguap ngantuk, sambil mengucek matanya yang sepat ia berkata :
"Bilamana kami hendak membalaskan sakit hati Oh lolo, yang akan kami kerjai lebih dulu
tentu adalah orang she Hay itu."
"Dan kalian tidak mengapa-apakan dia ?" Pwe-giok ikut bertanya.
"Dia toh bukan sasaran yang dikehendaki juragan kami, untuk apa kami bersusah payah
mengeluarkan tenaga percuma ?" jawab Hiang-hiang.
Entah sebab apa, Hiang-hiang yang semula kelihatan lincah dan penuh gairah itu, sekarang
kelihatan lesu, sebentar-sebentar menguap seperti ingin tidur, sedikitpun tidak bersemangat
lagi.
Waktu Pwe-giok memandang Ji Yak-ih, orang inipun berulang menguap, sampai-sampai air
mata dan ingus juga menetes, mukanya juga lesu seperti mendadak tambah tua belasan tahun.
Melihat keadaannya sekarang, siapa pun tidak percaya dia adalah lelaki cakap dan gagah tadi.
Pwe-giok tidak dapat mengorek keterangan lagi dari mereka, sebab tidak cuma malas bicara,
bahkan mereka pun malas mendengarkan, keadaan mereka lebih mirip mayat hidup belaka.
Sama sekali Lui-ji tidak paham sebab apakah mereka bisa mendadak berubah menjadi
begini ?. Kedua orang yang tadinya masih segar bugar, dalam waktu singkat bisa berubah
menjadi layu.
Selang sejenak, sambil menguap Hiang-hiang tanya Ji Yak-ih, "Apakah kaupun kehabisan
rangsum ?"
"Ehm," Yak-ih mengangguk.
"Huh, ku tahu kau pasti ada simpanan, kalau tidak bagi sedikit, lihat saja nanti kalau tidak ku
ganyang kau." jengek Hiang-hiang mendadak.
128
Keadaan Yak-ih tambah lesu, sampai matapun malas membentangkannya, jawabnya:
"Jika aku menyembunyikan setitik saja, anggaplah aku ini piaraanmu."
Cara bicara mereka tadi selalu sopan santun, tapi kata-kata mereka sekarang telah berubah
kasar seperti umpatan kuli dermaga atau bicokok ditempat judi.
malahan dari percakapan mereka itu jelas diantara mereka berdua tiada tanda ada hubungan
intim, semua ini sungguh di luar dugaan dan sangat mengherankan.
Apalagi, dirumah hiburan ini setiap saat dapat disediakan santapan lezat, mengapa mereka
bilang kehabisan "rangsum" segala ?
Selagi Pwe-giok merasa curiga, mendadak di luar jendela sana ada orang mendesis: "Ssst!
Juragan datang !"
Menyusul lantas terdengar suara kresek-kresek orang berjalan melintasi halaman luar sana.
Yang datang agaknya ada tujuh atau delapan orang.
Seketika semangat Ji Yak-ih dan Hiang-hiang terbangkit, mereka memburu ke dekat pintu dan
berdiri dengan tangan lurus ke bawah, kelihatannya tegang, tapi seperti juga bergembira.
Mungkin saking senangnya, dengan mengikik tawa Hiang-hiang lantas berkata, "Syukur
kepada Thian yang Maha Pemurah, akhirnya juragan datang juga, kalau tidak..."
"Tutup mulutmu !" bentak Yak-ih mendadak dengan suara tertahan.
Sembari bicara ia terus menyingkap kerai, dan masuklah berturut-turut delapan atau sembilan
orang, semuanya memakai mantel hitam panjang menyentuh tanah, memakai topi lebar
sehingga hampir menutupi seluruh wajah mereka. Ke sembilan orang ini seperti berasal dari
satu mesin cetak, serupa, tak terlihat ada suatu perbedaan.
Mendadak Lui-ji menjengek: "Hm, tak tersangka seorang Bu-lim-bengcu yang terhormat juga
suka bertindak secara sembunyi-sembunyi begini. Tapi biarpun kau terbakar menjadi abu juga
tetap dapat kukenali kau."
Tiba-tiba satu diantara ke sembilan orang itu tertawa dan berkata: "Kau kenal diriku ?
memangnya siapa aku ini ?"
Suaranya ternyata halus merdu, jelas suara kaum wanita.
Lui-ji jadi tercengang, ucapnya: "Dengan sendirinya bukan kau yang kumaksud, tapi ialah..."
"Ialah siapa ?" orang itu menegas pula.
Sinar mata Lui-ji lantas menyapu kian kemari diantara ke sembilan orang itu, tak terduga
delapan diantara sembilan orang itu lantas menanggalkan topinya dan membuka mantelnya.
129
Ternyata semuanya adalah anak gadis yang masih sangat muda dan sangat cantik, semuanya
berpakaian yang sangat serasi dengan garis tubuhnya, garis tubuh yang pasti mendebarkan
jantung lelaki manapun juga. Biarpun orang buta sekarang juga dapat melihat bahwa mereka
bukanlah samaran lelaki.
Kembali Lui-ji melengak, sorot matanya lantas hinggap pada tubuh orang terakhir.
Perawakan orang ini seperti lebih tinggi sedikit daripada ke delapan orang yang lain, sikapnya
juga lebih mantap dan anggun.
Lui-ji mencibir, jengeknya,
"Sekarang tidak kau perlihatkan wajahmu, Ji Hong-ho ?"
Mendadak orang itu tertawa, ucapnya dengan pelahan:
"Ji Hong-ho ? kau kira aku ini Ji Hong-ho ?"
Segera ia menanggalkan topinya, segera ke delapan orang tadi berebut bantu membuka
mantelnya.
Kini wajahnya dapat terlihat dengan jelas. Mana bisa dia ini Ji Hong-ho ? Dia juga seorang
perempuan muda, bahkan terlebih cantik, lebih mempesona.
Baru sekarang Lui-ji benar-benar melenggong dan tak dapat bicara lagi.
Tapi Ji Pwe-giok justru sepuluh kali lebih terkejut daripada Lui-ji, sungguh tak terpikir
olehnya bahwa "juragan" yang disebut-sebut oleh Ji Yak-ih dang Hiang-hiang ternyata bukan
lain daripada Ki Leng-Hong dari Sat-jin-ceng.
Kini masih siang hari, cahaya didalam rumah cukup terang, Pwe-giok dapat melihat jelas
keadaan Ki Leng-hong. Nyata nona ini sudah jauh lebih masak daripada dahulu, juga tambah
cantik. Namun sinar matanya terlebih tajam daripada dulu, sikapnya juga lebih dingin, bahkan
bertambah semacam wibawa yang membikin orang tunduk bila berhadapan dengan dia.
Ki Leng-hong juga sedang mengamat-amati Pwe-giok, ucapnya dengan tertawa hambar:
"Tampaknya kau sangat terkejut, masa tak terpikir olehmu akan diriku ?"
Pwe-giok menghela nafas, jawabnya: "Ya, seharusnya sejak tadi-tadi harus kuingat padamu."
Dia pandang Ji Yak-ih dan Hiang-hiang sekejap, lalu menyambung pula, "Setelah melihat
perubahan mereka tadi seharusnya kuingat akan dirimu."
"Oo ?" Ki Leng-hong bersuara heran.
"Sebab hanya orang yang terkena racunmu itulah dapat berubah secepat itu, berubah
sedemikian memelas, sebab aku sendiripun pernah merasakan penderitaan semacam itu," kata
Pwe-giok dengan menghela nafas.
130
Ki Leng-hong juga menghela nafas, katanya: "Cuma sayang, belum sempat kau rasakan
nikmatnya, kalau tidak tentu akan kau ketahui bahwa barang siapa sudah merasakan
kenikmatan semacam itu, maka penderitaan apapun juga akan terasa setimpal."
Mendadak ia berpaling dan tanya Ji Yak-ih: "Betul tidak?"
Cepat Ji Yak-ih dan Hiang-hiang bertekuk lutut dan mengiakan.
Ki Leng-hong menuding mereka berdua dan berkata pula: "Coba kau lihat mereka ini, yang
lelaki tentu gemar main perempuan, yang perempuan juga bergairah dan memerlukan lelaki.
Kedua orang ini tinggal bersama dan boleh di ibaratkan kayu kering dan api yang mudah
menyala dan terbakar. Akan tetapi aku berani menjamin bahwa diantara mereka berdua pasti
tidak ada hubungan pribadi. Nah, apakah kau tahu sebab apa mereka tidak berhasrat untuk
mengadakan hubungan intim ?"
Pwe-giok tidak menjawab, tapi Lui-ji segera bertanya: "Sebab apa ?"
"Sebab pada hakekatnya mereka sudah tidak bergairah untuk berbuat begituan," tutur Ki
Leng-hong.
"Padahal berbuat begituan adalah hal yang paling menyenangkan di dunia ini, setiap lelaki
maupun perempuan tentu berhasrat ingin melakukannya. Tapi bagi mereka hal begitu
sedikitpun tidak ada artinya. Apakah kau tahu sebabnya ?"
Sekali ini Lui-ji juga tidak bersuara lagi.
Maka dengan pelahan Ki Leng-hong menjawabnya sendiri, "Sebabnya adalah karena
kenikmatan yang kuberikan kepada mereka berpuluh kali lebih menyenangkan daripada
berbuat begituan. Setiap orang yang sudah merasakan nikmatnya "Kek-lok-wan" (obat maha
nikmat) yang kuberikan, terhadap urusan lain akan dirasakan hambar dan tidak ada rasanya
lagi."
"Kek-lok-wan apa yang kau maksudkan ?" akhirnya Lui-ji tidak tahan dan bertanya juga.
Ki Leng-hong tersenyum, jawabnya: "Yaitu semacam obat dewa yang paling ajaib di dunia
ini. Kau ingin mencicipi atau tidak ?"
Lui-ji berkedip-kedip, ucapnya: "Mencicipi juga boleh. Bagiku, semakin keras racun sesuatu
benda, semakin ingin kucicipi."
"Kaupun ingin mencicipi ?" Mendadak Pwe-giok berteriak. "Masakah tidak kau lihat keadaan
kedua orang ini ? memangnya kau kira mereka ini orang lemah seperti ini ? Apakah kau tahu
lantaran Kek-Lok-wan yang disebut itulah maka mereka tidak sayang menjual dirinya sendiri,
tidak sayang dihina dan dianiaya orang, bahkan rela melacurkan diri dan menjadi bandit."
Sudah cukup lama Lui-ji berkumpul dengan anak muda itu dan tidak pernah melihat cara
bicaranya yang beringas seperti sekarang ini. Nyata dia sedemikian benci terhadap Kek-lokwan
tersebut.
131
Waktu ia pandang Ji Yak-ih dan Hiang-hiang, kedua orang sama menunduk malu karena
cercaan Pwe-giok itu.
Dengan melotot Pwe-giok berteriak pula: "Tapi kecanduan Kek-Lok-wan ini juga bukan tidak
dipunahkan, aku justru pernah mengalami sendiri, asalkan kalian mempunyai hati yang teguh,
punya keberanian, sanggup menahan siksaan untuk sementara waktu, maka kalian pasti dapat
membebaskan diri dari pengaruhnya. Dengan demikian kalian akan dapat bangkit kembali
menjadi manusia baru. Kalau tidak, kalian akan semakin tenggelam dan akan selamanya
diperbudak olehnya."
Air muka Ji Yak-ih dan Hiang-hiang tampak terangsang, tapi Ki Leng-hong lantas
mengeluarkan sebuah kotak kecil dan menuang satu biji pil berwarna coklat tua, ucapnya
dengan pelahan: "Satu kotak Kek-Lok-wan ini mestinya ku sediakan untuk kalian, tapi
sekarang kalian tidak ingin menikmatinya lagi, biarlah kuberikan saja kepada orang lain."
Demi mengendus bau khas obat itu, seketika rasa malu dan emosi yang bergejolak pada wajah
Ji Yak-ih dan Hiang-hiang tadi sirna seluruhnya. Seketika kedua orang berubah lagi menjadi
beringas, seperti anjing lapar yang melihat tulang, dengan pandangan rakus mereka melototi
kotak yang dipegang Ki Leng-hong itu.
Sekonyong-konyong kedua orang berlutut dan menyembah, dengan suara gemetar mereka
meratap: "O, sama sekali tiada maksud kami akan begitu, kata-kata tadi seluruhnya diucapkan
oleh dia."
Ki Leng-hong memandang mereka dengan dingin, dengusnya: "Jika demikian, jadi tiada
maksud kalian hendak melepaskan diri dari Kek-lok-wan ?"
"Ya, ti...tidak !" jawab Ji Yak-ih dan Hiang-hiang berbareng.
"Masa kalian rela diperbudak olehnya selama hidup ?" tanya Ki leng-hong.
"Ya...ya..." Hiang-hiang dan Ji Yak-ih berebut menjawab lebih dulu.
"Huh, manusia tak berguna," omel Ki leng-hong: "Ini, ambil !"
Mendadak ia hamburkan isi kotak kecil yang dipegangnya sehingga pil kecil-kecil itu
bergelindingan memenuhi lantai, serentak Ji Yak-ih dan Hiang-hiang merangkak dan berebut
memungutnya.
Pwe-giok menghela nafas, sungguh ia tidak tega menyaksikan tingkah laku mereka.
"Nah, sekarang tentunya kau tahu betapa besar kekuatan Kek-Lok-wan ini," kata Ki Lenghong.
"Tentunya tidak setiap orang dapat membebaskan diri dari kekuasaannya seperti kau."
Tiba-tiba ia tertawa, lalu menyambung pula dengan pelahan: "Terhadap tekad dan
keberanianmu, sungguh akupun sangat kagum."
Pwe-giok tidak menghiraukan ocehannya.
132
Tapi Ki Leng-hong lantas berkata pula, "Mengapa kau tidak menggubris diriku ? Apapun juga
kita kan sahabat lama. Apalagi akupun pernah banyak membantu kesukaranmu, mengapa
begitu melihat diriku lantas ingin mengelak seperti takut kepada ular berbisa."
Pwe-giok diam sejenak, akhirnya menghela nafas dan berkata: "Betul, memang banyak kau
bantu kesukaranku, akupun tahu harus membalas kebaikanmu, tapi...tapi..."
"Jangan kuatir, saat ini belum tiba waktunya kuminta balas jasamu," kata Ki Leng-hong
dengan tertawa.
"Jika demikian, apakah kau...kau ingin..."
"Aku hanya ingin mengadakan suatu transaksi denganmu."
"Transaksi ?" Pwe-giok menegas.
"Ya, transaksi, persetujuan jual beli, bisnis kata orang !" Leng-hong mengitari Pwe-giok, lalu
menyambung, "Tahukah kau bahwa sesungguhnya kau ini seorang yang sangat aneh. sejak
pertama kali kulihat kau lantas kulihat pada dirimu terdapat banyak hal-hal yang aneh."
"Hal-hal yang aneh bagaimana ?" tanya Pwe-giok. "Di...dimana letak keanehanku ?"
Mendadak Ki Leng-hong berpaling, Ji Yak-ih dan Hiang-hiang diusirnya keluar, pintu kamar
ditutupnya rapat-rapat, lalu berkata dengan pelahan,
"Pertama, mestinya kau ini putera tunggal Ji Hong-ho, tapi malah...."
Belum habis ucapannya, berteriaklah Lui-ji dengan kaget:
"Apa katamu ? Dia putera Ji Hong-ho ?"
Ki Leng-hong tersenyum, jawabnya : "Masa kau tidak tahu ? ya, dia memang putera Ji Hongho,
dengan sendirinya kau tidak tahu. Rahasia ini selain aku dan Ko-lauthau memang tidak
ada orang ketiga lagi yang tahu."
Lui-ji melototi Pwe-giok dengan melongo, saking kejutnya hingga tidak sanggup bersuara
pula.
"Dapat menjadi putera Bu-lim-bengcu jaman inikan sesuatu yang membanggakan dan
terhormat. Tapi dia tidak sudi dan pura-pura mati agar orang mengira dia adalah seorang Ji
Pwe-giok yang lain."
"Se...sebab apakah dia begitu ?" tanya Lui-ji.
"Bukan saja dia tidak mau mengakui Ji Hong-ho sebagai ayahnya, tidak mau mengaku Lim
Tay-ih sebagai bakal istrinya, bahkan membiarkan Lim Tay-ih salah paham padanya dan lebih
suka dibunuh oleh nona Lim itu."
133
Dia tertawa, lalu melanjutkan: "Hari itu kusaksikan sendiri pedang Lim Tay-ih menusuk
tubuhnya, aku menjadi rada sedih baginya."
"Apa yang terjadi itu mungkin disebabkan persoalan mereka terlalu membuatnya berduka,
hanya aku saja yang dapat memahami perasaannya sebab aku..akupun..." sampai di sini dia
tidak meneruskan lagi.
"Masa ayahmu juga berbuat hal-hal yang membikin kau kecewa dan berduka, maka kaupun
tidak sudi mengakui dia sebagai ayahmu ?" tanya Ki Leng-hong.
Lui-ji menggigit bibir dan tidak menjawabnya.
"Tapi keadaannya jelas berbeda dengan keadaanmu," kata Leng-hong pula.
"Memangnya dia kenapa ?" tanya juga Lui-ji.
"Bukannya dia tidak sudi mengakui Ji Hong-ho sebagai ayahnya, dia hanya menganggap Ji
Hong-ho yang sekarang ini adalah Ji Hong-ho palsu," tutur Ki Leng-hong.
Keterangan ini membuat Lui-ji terkejut, bahkan air muka Pwe-giok sendiri juga berubah.
Leng-hong memandangnya dengan tersenyum, katanya pula, "Di dunia ini banyak orang yang
mengira rahasianya sendiri pasti takkan diketahui orang lain, padahal sejak purbakala hingga
kini tiada sesuatu rahasia yang mutlak dapat mengelabui orang lain. Betul tidak ?"
Ia tahu tidak nanti Pwe-giok menjawab pertanyaannya itu, maka ia lantas menyambung pula,
"Bahkan di dunia ini banyak peristiwa yang sudah terjadi diluar dugaan orang. seperti
kejadian sekarang, kau kira sudah dapat menghindarkan diriku, tapi di sini justru kupergoki
kau lagi."
"Maksudmu..."
"Maksudmu kejadian tempo hari," sela Leng-hong sebelum lanjut ucapannya Pwe-giok:
"Yaitu waktu berada di kota kecil yang sepi itu, di sana kau kira takkan bertemu dengan
siapapun, tak kau duga orang yang melihat dirimu di sana waktu itu sesungguhnya jauh lebih
banyak daripada sangkaanmu."
Pwe-giok menghela nafas, gumannya: "Ya, memang jauh lebih banyak daripada perkiraanku."
"Kau tahu, akupun terkejut ketika melihat kau dan Lim Tay-ih masuk ke hotel itu..."
"Tapi sampai sekarang aku tetap tidak paham, mengapa kau bisa berada di kota kecil itu ?"
sela Pwe-giok.
"Aku berada di sana karena menguntit jejak Sebun Bu-kut," tutur Leng-hong.
"Sebab sejak ku pergoki dia, terhadap tindak tanduk orang semacam itu aku lantas menaruh
curiga, selalu kurasakan mereka itu bukan manusia baik-baik."
134
Pwe-giok tersenyum getir, ucapnya. "Kami tidak mengira karena menguntit jejak mereka
sehingga kalian memergoki diriku di sana."
"Akupun tidak menduga bahwa mereka sebenarnya sedang menguntit dirimu," kata Lenghong.
"Lebih-lebih tak kuduga Ang-lian-hoa juga akan muncul di kota kecil itu. Kemudian baru
diketahui bahwa hal itu disebabkan Kay-Pang akan mengadakan suatu pertemuan di daerah
Sujwan, maka Ang-Lian-hoa kebetulan lalu di sana."
"Ai, di dunia ini memang terlalu banyak kejadian kebetulan," ujar Pwe-giok dengan gegetun.
"Ketika Ang-lian-hoa melihat kalian, mungkin dia jauh lebih terkejut daripadaku," tutur Lenghong
pula.
"Sebab sama sekali tak terduga olehnya bahwa nona Lim yang dingin seperti es itu bisa
masuk hotel bersama seorang lelaki yang baru dikenalnya, bahkan tinggal didalam suatu
kamar yang sama."
Lui-ji seperti mau bicara apa-apa, tapi urung setelah memandang Pwe-giok sekejap.
"Dengan sendirinya Ang-lian-hoa ingin menyelidiki duduk perkaranya," kata Leng-hong pula.
"Tapi dia harus menjaga gengsi, tidak nanti dia mengintip urusan pribadi orang lain secara
diam-diam, sebab itulah dia memerintahkan seorang anak buahnya yang bernama Song-losu
agar menyamar sebagai pelayan hotel."
"Hm, memang sudah kuketahui gerak-gerik pelayan itu rada-rada tidak beres," jengek Pwegiok.
"Begitu masuk kamarku dia lantas...lantas memandang tubuh nona Lim, pelayan umumnya
mana ada yang berani begitu ?"
"Masa sudah kau ketahui dia adalah anak buah Ang-lian-hoa ?" tanya Leng-hong.
"Meski tidak dapat kupastikan, tapi ku tahu umumnya orang-orang yang bekerja sebagai
pelayan dan sejenisnya itu kalau tidak ada kontak dengan Kay-pang tentu sukar
mempertahankan profesinya itu."
Leng-hong tertawa, ucapnya: "Dan mungkin tidak pernah kau duga bahwa Song-losu itu
diam-diam juga termasuk anak buahku."
"Hah, masa...masakah dia juga sudah kecanduan Kek-lok-wan ?" seru Pwe-giok terkejut.
"Ya, begitulah," jawab Leng-hong.
"Makanya sebelum dia menyampaikan laporan kepada Ang-lian-hoa, lebih dulu setiap gerakgerikmu
telah dilaporkannya kepadaku. Menurut laporannya, katanya sikap kalian berdua
sangat aneh. Malahan waktu untuk kedua kalinya dia masuk kamarmu, dilihatnya nona Lim
135
sedang menangis dengan kepala tertutup selimut, sebaliknya kau berdiri termangu
menghadapi dinding seperti mau bertemu dengan orang lain."
"Apalagi yang dilaporkannya ?" tanya Pwe-giok.
"Dia bilang, sebenarnya dia kenal nona Lim, sebab dahulu waktu nona Lim mengalami
kesulitan, dia juga menyamar sebagai pelayan dan diam-diam meneruskan berita yang
diselundupkan nona Lim. Tapi sekali ini nona Lim seperti tidak kenal dia lagi."
Pwe-giok lantas teringat kepada kejadian itu, sebab Ang-lian-hoa pernah bercerita padanya
bahwa berita yang diselundupkan Lim Tay-ih itu adalah pesan si nona agar Ang-lian-hoa
mempercayai si Ji pwe-giok.
Semua ini adalah kejadian beberapa bulan yang lalu, tapi kalau terpikir sekarang rasanya
seperti sudah lama sekali, seolah-olah kejadian di jelmaan hidup yang lalu.
Ki Leg Hong bercerita lebih lanjut, "Setelah menerima laporan Song-losu itu, aku juga merasa
heran, timbul keinginanku untuk pergi kesana, siapa tahu Sebun Bu-kut dan begundalnya
sudah berada di sana lebih dulu, bahkan Ang-lian-hoa juga ikut kesana."
"Ya, akupun tahu hotel itu telah kedatangan tamu yang tidak sedikit," ujar Pwe-giok.
"Kemudian lantas kulihat nona Lim mendadak menerjang keluar dari kamar sambil berkaokkaok,
menyusul kau lantas ditusuknya dengan pedang, tampaknya tubuhmu hendak
dilubanginya dengan sekali tusuk," Leng-hong memandang Pwe-giok dengan terbelalak, lalu
bertanya, "Sebab apakah dia bertindak begitu?"
Pwe-giok termenung sekian lamanya, jawabnya kemudian sambil menghela napas, "Seperti
katamu tadi, aku tidak memberitahukan padanya bahwa aku inilah.... Ji Pwe-giok yang bakal
suaminya itu. Dia.....dia menganggap aku berbuat sesuatu yang tidak baik padanya, maka dia
ingin membunuhku."
Ki Leng-hong tersenyum hambar, katanya, "Melihat kejadian itu, Ang-lian-hoa, Sebun Bukut
dan begundalnya tentu juga mempunyai pikiran begitu, merekapun yakin kau telah berbuat
tidak senonoh kepada nona Lim, keteranganmu ini pasti akan dipercaya oleh mereka, tapi
aku..."
"Masa kau tidak percaya?" tanya Pwe-giok.
"Ya, satu kata pun aku tidak percaya," jawab Leng-hong.
"Memangnya kau kira apa yang telah terjadi?" tanya Pwe-giok pula.
"Pertama, kuyakin dia sudah tahu kau inilah Ji-Pwe-giok yang dahulu itu, kalau tidak, mana
mungkin dia masuk hotel bersamamu dan tinggal di dalam satu kamar....."
"Tapi mungkin....mungkin dia sengaja mencari kesempatan untuk membunuhku," kata Pwegiok.
136
Leng-hong tertawa, katanya, "Jika dia ingin membunuhmu, dimana-mana kan terbuka
kesempatan baginya, mengapa mesti menunggu sampai berada dihotel? Sebabnya dia
bertindak setelah masuk hotel, tujuannya hanya untuk main sandiwara saja, kalau
penontonnya sudah hadir semua barulah dia mulai main."
Air muka Pwe-giok semakin pucat, desisnya "Untuk apa dia main sandiwara?"
"Untuk para penontonnya," kata Leng-hong dengan tertawa. "Sebab kalian sudah melihat
kedatangan Sebun Bu-kut dan begundalnya, bahkan tahu diam-diam mereka sedang mengintai
gerak-gerik kalian, maka si nona berlagak bertengkar dengan kau dan seperti ingin
membunuhmu, dengan demikian orang-orang itu tentu takkan curiga bahwa kau adalah Ji
Pwe-giok yang dahulu itu."
Dia tertawa dan berhenti sejenak, lalu menyambung dengan perlahan, "Justeru lantaran
kutahu rahasiamu, makanya dapat ku terka semua ini, kalau aku sudah dapat menerkanya,
untuk apa lagi kau bohongi aku, kan tiada gunanya?"
Kembali Pwe-giok termenung pula hingga lama, katanya kemudian, "Seumpama betul
terkaanmu, lalu kau mau apa?"
"Tidak mau apa-apa," jawab Leng-hong. "Aku cuma kagum dan iri padamu yang mempunyai
bakal isteri sedemikian pintar dan bijaksana...."
Mendengar kata "bakal isteri" itu, tiba-tiba muka Lui-ji berubah merah padam, lalu mendadak
berubah pucat pula, sungguh ia ingin mendekap telinganya, tidak sudi mendengarkannya.
Sementara itu Ki Leng-hong telah menyambung, "Berbareng itu akupun sangat berkuatir
bagimu, sebab orang semacam Ji Hong-ho, sekalipun untuk sementara dapat kau tipu, lambat
laun rahasiamu tetap akan diketahui olehnya. Waktu itu ada maksudku hendak
memperingatkan dirimu, siapa tahu, begitu melihat diriku kau lantas ketakutan seperti melihat
setan dan lari terbirit-birit."
Sekali ini Pwe-giok termenung hingga agak lama, katanya kemudian, "Lalu apa pula transaksi
yang kau sebut tadi?"
"Semua rahasiamu sudah kuketahui," jawab Leng-hong." bilamana kubeberkan rahasiamu ini,
seketika akan mendatangkan malapetaka bagimu. Tapi kau tidak perlu kuatir, bukan saja akan
ku tutupi rapat rahasiamu ini, bahkan akan kubantu kau pula."
"Membantuku bagaimana?" tanya Pwe-giok.
"Dapat kubantu kau menghancurkan Ji-Hong-ho gadungan itu, sebab aku sendiri pun ingin
menghancurkan dia," jawab Leng-hong sekata demi sekata.
Pwe-giok menghela nafas panjang, katanya, "Betul, ku tahu ambisimu yang ingin menjadi
Bu-lim-bengcu, untuk itu kau harus menghancurkan dia lebih dahulu, dan untuk
menghancurkan dia, lebih dulu harus pula kau bongkar rahasianya, sebab itulah kau lantas
ingat kepadaku, daripada kau bilang akan membantu diriku, kan lebih tepat jika dikatakan kau
bantu dirimu sendiri."
137
Ki Leng-hong tertawa, katanya, "Saat ini kita berdua mempunyai musuh yang sama, jadi
bukan soal lagi tentang siapa membantu siapa, kukira sama saja apakah kau bantu aku atau ku
bantu kau."
"Dan kalau aku tidak sudi bekerja sama dengan orang macam kau ini!"
"Kan sederhana saja...sekarang juga akan kubunuh kau..."
Pwe-giok menghela nafas, katanya, "Ai, tampaknya aku sudah tidak mempunyai pilihan lain,
begitu bukan?"
"Ya, memang begitulah." jawab Ki Leng-hong. Ia tertawa cerah, lalu menyambung, "Tapi bila
kau mau bekerja sama denganku, tahu akan kubantu kau dengan sepenuh tenaga, mungkin
tidak kau ketahui betapa kekuatanku, untuk itu dapat kuberitahukan padamu bahwa di sekitar
utara dan selatan sungai panjang (Tiangkang atau Yang tze kiang), di sepanjang lembah
Sungai Kuning, dari Saypak (barat laut) sampai Saylam (barat daya), pada setiap kota besar
yang penting rata-rata terdapat anak buahku, asalkan kuberi perintah, tentu mereka akan
menjual nyawa bagimu."
"Jika benar sebesar ini kekuasaanmu, mengapa kau masih ingin menjadi Bu-lim-bengcu, lalu
apa manfaatnya bagimu?"
Ki Leng hong tertawa, katanya, "Setiap orang mempunyai hobinya sendiri, ada orang gemar
minum arak, ada yang kemaruk harta, ada pula yang suka main perempuan, dan hobiku adalah
kekuasaan."
"Kekuasaan?" Pwe-giok menegas dengan melengak.
"Ya, kekuasaan," jawab Ki Leng-hong. "Orang yang tidak pernah berkuasa, selamanya tidak
akan tahu bagaimana rasanya kekuasaan, dan cita-citaku yang terbesar selama hidupku ini
adalah ingin melihat para ksatria Bu-lim di seluruh dunia ini sama berlutut dan tunduk di
hadapanku, tapi sekarang,.... sekarang aku hanya dapat beraksi secara rahasia saja, apa bila
gagal, maka selamanya akupun takkan melihat matahari lagi."
"Ada sementara orang bilang arak dapat mengacaukan watak dan perempuan bisa merugikan
kesehatan, tapi menurut pendapatku, yang paling celaka di dunia ini mungkin adalah
"kekuasaan" yang kau inginkan itulah," kata Pwe-giok dengan menyesal.
Sorot mata Ki Leng-hong mendadak berubah menjadi merah membara, ucapnya sekata demi
sekata, "Tapi kalau ada sesuatu yang paling menarik di dunia ini, maka hal itu adalah
kekuasaan. Betul tidak?"
"Tapi hendaklah kau renungkan lagi, meski sekarang Ji Hong-ho jadi Bu-lim-bengcu, tapi kau
kan tidak pernah tunduk dan menyembah padanya, bila kau jadi Bengcu, darimana pula kau
tahu tiada orang lain yang secara diam-diam mengkhianat dan membangkang padamu ?"
"Hal itu adalah lumrah," ujar Ki Leng-hong:
138
"Sekalipun menjadi raja juga pasti ada bawahan yang mengkhianat dan memberontak. Yang
penting asalkan setiap orang menghormat dan tunduk di hadapanku, biarpun ada yang secara
diam-diam membangkang juga tidak menjadi soal."
"Namun kedudukan Bu-lim-bengcu macam begitu akan dapat bertahan berapa lama ?" tanya
Pwe-giok
"Asalkan dapat berkuasa satu hari...biarpun cuma satu hari juga sudah puas bagiku," kata
Leng-hong.
Pwe-giok menghela nafas pula, gumannya:
"Ai, kekuasaan, kekuasaan! Tak tersangka kata-kata ini mempunyai daya tarik sebesar ini ?"
"Kau tidak perlu banyak mempelajari urusan ini, cukup bagimu asalkan kau paham bahwa
untuk menuntut balas, jika ingin membongkar rahasia Ji Hong-ho itu, maka kau perlu bekerja
sama denganku, kalau tidak, jalan lain bagimu hanya ada satu, yaitu mati !"
"Tapi akupun ada suatu syarat, kalau tidak kau terima aku lebih suka mati saja," kata Pwegiok.
"Syarat apa ?" tanya Ki Leng-hong.
"Aku tidak ingin kau sebut-sebut Kek-Lok-wan di hadapanku, bukan saja tidak ingin
meminumnya, akupun tidak sudi mendengarnya."
"Memangnya kau kira barang ini tidak berharga ?" ujar Leng-hong dengan tertawa,
"Supaya kau tahu bahwa barang ini terkadang jauh lebih bernilai daripada emas. Apalagi
kalau kau sudah terima kehendakku, untuk apa ku buang-buang percuma ransum yang sukar
dicari ini."
"Asal kuterima permintaanmu dan kau lantas percaya ?" Pwe-giok menegas.
"Di dunia ini kalau masih ada orang yang dapat kupercaya, maka orang itu adalah kau !
Apalagi..."
Ia tertawa, lalu menyambung: "Masih cukup banyak rahasiamu yang tergenggam di tanganku,
aku tidak perlu kuatir kau akan ingkar janji, lebih-lebih persekutuan kita inikan saling
menguntungkan, mustahil takkan kulaksanakan dengan baik."
"Wah, tampaknya bila ingin ku bongkar rahasia mereka, terpaksa aku harus bekerja sama
dengan orang-orang seperti kalian ini."
"Betul," kata Leng-hong, "Sebab orang yang sok anggap dirinya kaum pendekar budiman,
pahlawan setia, semua itu sudah berdiri dipihak Ji Hong-ho, jelas tiada seorang pun yang mau
membantumu, sebab Ji Hong-ho kan Bu-Lim-bengcu sekarang ?"
Di dunia ini memang banyak hal-hal aneh dan ajaib.
139
Yang dilakukan Pwe-giok sebenarnya pekerjaan yang luhur dan suci, tapi terpaksa harus
dilakukan secara sembunyi-sembunyi, terpaksa harus berkumpul dengan manusia yang tidak
luhur dan juga tidak suci.
Demi hidup, terpaksa ia harus mati lebih dulu.
Hal ini kedengarannya sangat lucu dan sukar dipercaya, tapi faktanya memang demikian dan
masuk diakal. Memang, ada sementara urusan yang tampaknya benar dan masuk diakal,
padahal sebenarnya justru sangat janggal.
Betapapun Lui-ji tidak menyangka kisah hidup Pwe-giok masih sedemikian banyak
rahasianya yang liku-liku. Baru sekarang ia tahu betapa malang nasib Pwe-giok dan ternyata
jauh lebih nelangsa daripadanya.
Kalau kemalangan Lui-ji sendiri masih dapat diceritakan kepada orang lain, tapi kemalangan
Pwe-giok justru harus serba tertutup, sama sekali tidak boleh diceritakan kepada orang lain.
Pula kemalangannya masih dapat memperoleh simpatik dari orang lain, sedangkan
kemalangan Pwe-giok siapa yang tahu ?
Dia pandang Pwe-giok dengan termangu-mangu, tanpa terasa air mata meleleh pula.
Tiba-tiba Ki Leng-hong berkata dengan tertawa, "Cu Lui-ji...Cu Lui-ji...Nama ini memang
sangat tepat bagimu, sesungguhnya kau memang seorang "lui-ji" (anak suka menangis),
mungkin cairan yang mengalir dalam pembuluh darahmu juga terdiri dari air mata."
"Dan tahukah kau cairan apa yang mengalir dalam pembuluh darahmu ?" jawab Lui-ji dengan
gusar. "Jika kau tidak tahu, biarlah kuberitahukan padamu, yang mengalir dalam pembuluh
darahmu itu adalah air busuk, air got, air pecomberan. Nah, tahu ?"
Ki Leng-hong tidak marah, ia tersenyum dan berkata pula, "Umumnya orang berduka tidak
dapat marah-marah, tapi sambil mencucurkan air mata kau masih dapat memaki orang,
sungguh aneh."
"Kenapa mesti heran," ujar Lui-ji. "Ada sementara orang sambil tersenyum malahan dapat
membunuh orang sekaligus, inilah yang lebih aneh."
"Tersenyum sambil membunuh orang, kukira untuk kepandaian ini tiada orang yang mampu
menandingi Siau-hun-kiongcu ?"
Lui-ji terkejut, "Hah, kau tahu asal-usulku ?"
"Coba kau pikir, apabila tidak kuketahui asal-usulmu, mana bisa kubeberkan rahasia besar ini
di hadapanmu ? masa aku tidak kuatir rahasia ini akan kau siarkan?"
"Darimana kau tahu ?" tanya Lui-ji dengan beringas.
"Jika sedikit urusan ini saja tidak mampu kuketahui, masa aku berani berebut kuasa dengan Ji
Hong-ho ?" jawab Ki Leng-hong.
140
"Ingin ku beritahu, sekalipun aku masih jauh berpuluh li di sana, apa yang terjadi di sini pasti
kuketahui."
Tiba-tiba ia tertawa terhadap Pwe-giok dan berkata pula: "Ah, aku lupa mengucapkan selamat
kepadamu. Kau dapat mempersunting istri sepintar dan secantik ini, sungguh mengagumkan
dan menggirangkan."
Pwe-giok tidak berucap apapun, tanpa terasa ia memandang Lui-ji sekejap, dilihatnya wajah
Lui-ji pucat lesi, air mata hampir bercucuran pula.
"Ti...tidak perlu kau berolok-olok padaku dengan...dengan kata-kata demikian," ucap Lui-ji
dengan tersendat.
"Olok-olok ? Masa kau anggap aku berolok-olok ?" kata Leng-hong.
Sambil menggigit bibir Lui-ji menjawab dengan parau: "Sudah jelas-jelas kau tahu apa yang
terjadi itu cuma...cuma gurauan saja."
Sehabis mengucapkan "gurauan" itu sekujur badannya serasa kehabisan tenaga, akhirnya air
mata pun berderai tak tertahankan lagi.
"Gurauan ? Masa urusan perkawinan boleh dibuat bergurau ?"
"Tapi...tapi aku...."
"Jangan kuatir," ujar Leng-hong dengan suara lembut, "Jika kau kira dia akan menyangkal
pernikahan ini, maka salahlah kau. Ji Pwe-giok pasti bukan manusia rendah demikian. Tidak
nanti dia mengingkari janji dan tidak mengakui kau sebagai istrinya lantaran kau tidak jadi
mati."
Tubuh Lui-ji bergemetar, sorot matanya beralih pelahan ke arah Pwe-giok.
Mendadak Ki Leng-hong berkata pula dengan tertawa: "Tidak perlu kau tanya dia. Malahan
dapat kuajari suatu akal padamu, apabila dia tidak sudi mengakui Cu Lui-ji sebagai istrinya,
maka boleh kau mati dihadapannya."
Diam-diam Pwe-giok menghela nafas, dilihatnya Lui-ji masih memandangnya dengan
termangu-mangu.
Belum lagi tahu apa yang harus diucapkannya, tiba-tiba Lui-ji berkata dengan sayu, "Jangan
kau kuatir, betapapun tidak nanti kulakukan hal begitu, aku..."
"Mengapa tidak kau lakukan ? Apa jeleknya tindakan begitu ?" sela Leng-hong mendadak.
"Seorang lelaki kalau menyukai seorang perempuan segala jalan akan ditempuhnya untuk
mendapatkan si dia, dan orang takkan memaki dia, malahan orang akan memuji
kepintarannya cara mendapatkan perempuan itu. Sebaliknya kalau seorang perempuan
menyukai seorang lelaki, mengapa si perempuan tidak boleh main akal ?"
"Akan...akan tetapi....perempuan kan tidak sama dengan lelaki," kata Lui-ji.
141
"Apanya yang tidak sama ? lelaki adalah manusia, perempuan juga manusia bukan ? Selama
beribu-ribu tahun perempuan selalu tertindas oleh kaum lelaki, sebabnya si perempuan sendiri
yang memandang dirinya lebih rendah daripada lelaki. Sebab itulah aku harus berjuang bagi
kaum wanita."
Dia melototi Lui-ji, lalu berkata pula, "Coba, ingin kutanya padamu, dalam hal apa kau lebih
rendah daripada lelaki ? mengapa kau justru memandang rendah dirimu sendiri ?"
Lui-ji menggigit bibir dan tidak bersuara lagi, tapi air mata yang meleleh di pipi sudah mulai
mengering, wajahnya yang pucat juga mulai cerah, tidak putus asa lagi.
Leng-hong mendekatinya dan memegang tangannya, ucapnya dengan suara lembut: "Adik
cilik, kita sama-sama orang perempuan, sebab itulah kita juga harus bersatu padu dan
berjuang bagi kaum wanita yang tertindas selama beribu tahun ini, supaya lelaki di dunia ini
tidak berani menindas kita lagi, kita harus berbuat sesuatu agar kaum lelaki tahu bahwa
perempuan bukan dilahirkan sebagai barang permainan lelaki."
Melihat air muka Lui-ji tahulah Pwe-giok bahwa propaganda Ki Leng-hong itu bukan saja
telah menggelitik lubuk hati Lui-ji, hakekatnya dapat dikatakan Lui-ji telah terpikat olehnya.
Maklumlah apa yang diuraikan Ki Leng-hong itu tentu cocok bagi telinga setiap perempuan di
dunia ini. Ia tahu sekarang Lui-ji pasti tidak lagi menganggap Leng-hong sebagai orang jahat.
Didengarnya Leng-hong lagi pidato pula: "Pernikahan diantara lelaki dan perempuan memang
serupa orang mengail, yang memegang alat pancing biasanya adalah si lelaki, boleh juga
sekali tempo perempuan juga memegang alat pancingnya, toh yang mau terpancing hanya
orang yang suka saja. Tapi pada saat kau berhasil mengail seekor ikan, bisa jadi ikan itupun
menyangka kau yang terpancing olehnya."
Dalam pada itu ia sudah membuka Hiat-to Lui-ji dan Pwe-giok yang ditutuknya tadi, lalu ia
jejalkan tangan Lui-ji pada tangan Pwe-giok, seperti benar seperti pura-pura, seperti
berkelakar tapi juga seperti bersungguh-sungguh ia berkata. "Sekarang kuserahkan dia
padamu, jika kau berani membikin susah dia. awas, pasti akan kubikin perhitungan
denganmu."
Tiba-tiba Pwe-giok tertawa dan berkata, "Terima kasih!"
"Apa? Kaupun terima kasih padaku?" Leng hong melenggong.
"Ya, tadinya ku kuatir dia sukar diberi penjelasan, sekarang barulah merasa lega hatiku," kata
Pwe-giok.
"Ah, meski dimulut kau bicara demikian, didalam hati mungkin kau caci-maki padaku karena
aku telah memberi kuliah pada binimu tadi,"
"Mana bisa ku caci-maki padamu?" ujar Pwe-giok dengan tak acuh. "Aku cuma merasa rada
heran saja."
"Oo! Heran bagaimana?" tanya Leng-hong.
"Ku heran, apa yang terjadi di sini cara bagaimana dapat kau ketahui di kejauhan sana?"
142
Leng-hong tersenyum misterius, ucapnya, "Masakah kau lupa pada dongeng tentang Kongsun
Tiang yang mahir bahasa burung itu?"
"O, maksudmu kau terima berita melalui burungmu?" tanya Pwe-giok dengan rada geli.
"Apakah kau kira sekarang aku masih percaya tentang bahasa burung yang kau kuasai itu?"
"Jika aku tidak paham bahasa burung, waktu kau terjebak di kamar sumur hantu itu, siapakah
yang dapat menolong kau?"
"Yang.....yang menolongku itu kan nona....nona Ki Leng-yan?" jawab Pwe-giok dengan ragu.
"Hahahahaha!" mendadak Leng-hong tertawa.
"Cara bagaimana kau tahu itu perbuatan Ki Leng-yan? Apakah dapat kau bedakan? Berapa
banyak pula kau memahami diri kami?"
Pwe-giok jadi melengak, malahan terasa merinding.
Sebenarnya ia percaya penuh nona yang berdiri di depannya ini Ki Leng-hong adanya,
sebenarnya ia percaya penuh Ki Leng-yan pasti tidak nanti berbuat demikian. Tapi sekarang,
ia benar-benar bingung.
Maklumlah, terhadap dua kakak beradik itu memang tidak banyak yang diketahuinya. Meski
Ki Leng-hong kelihatan sangat pintar dan cekatan, tapi siapa pula yang tahu bahwa
kelinglungan Ki Leng-yan itu bukan pura-pura belaka?
Ki Leng-hong melototinya dan berucap pula sekata demi sekata, "Sekarang dapatkah kau
membedakan siapa aku ini?"
Pwe-giok menghela nafas, jawabnya sambil menyengir, "Mestinya dapat kubedakan, tapi
tambah lama tambah sukar bagiku untuk membedakannya."
Leng-hong bergelak tertawa, katanya. "Dan sekarang tentunya kau tahu bahwa seorang yang
menganggap benar-benar menguasai sesuatu urusan terkadang justeru sangat sedikit yang
dikuasainya. Sebab bila dia merasa menguasai betul-betul, biasanya ia lantas tidak mau
memikirkannya lebih mendalam lagi."
Diam-diam Pwe-giok berusaha mencerna makna yang terkandung dalam kata-kata Ki Lenghong
ini, tanpa terasa ia jadi terkesima.
Pada saat itulah tiba-tiba ada orang mengetuk pintu perlahan, terdengar suara orang, katanya
ingin melapor sesuatu.
Waktu Pwe-giok menengadah, barulah diketahuinya cuaca sudah kelam, hari sudah petang.
Yang mengetuk pintu dan masuk itu ialah Hiang-hiang, kini sudah bergairah lagi. Tentu
berkat Kek-lok-wan pemberian Ki Leng-hong tadi.
"Ada urusan apa?" tanya Leng-hong.
143
"Di luar kedatangan tiga orang....."
"Kau tahu bila malam tiba, di sini akan banjir tamu," sela Leng hong dengan dahi berkerut.
"Tapi hari ini..... kau tahu beberapa daripada hari-hari biasa, mengapa tidak kau tolak mereka
dan katakan tidak terima tamu."
"Sejak magrib entah sudah berapa banyak tamu yang ditolak," turu Hiang-hiang, "tapi ketiga
orang ini tidak mau pergi meski sudah kukatakan hari ini Bong-hoa lau tidak menerima tamu,
mereka berkeras masuk."
Leng-hong menarik muka katanya, "Oo.....Sudahkah kau periksa ketiga orang itu?"
"Siau Hong tidak berani bertindak sendiri dan melapor padaku, maka ku keluar melihat
mereka, kulihat ketiga orang itu berdiri seperti patung didepan pintu dan tidak menerjang
masuk secara paksa," demikian tutur Hiang-hiang.
"Bagaimana bentuk mereka?" tanya Leng-hong setelah termenung sejenak.
"Karena di depan pintu malam ini tidak diberi lampu gantung, maka samar-samar hanya
kelihatan usia ketiga orang seperti tidak muda lagi, kuda tunggangan mereka kelihatan jenis
kuda terkenal dari Kwan-gwa, mulut kuda malahan masih berbusa, jelas baru saja menempuh
perjalanan jauh dan berlari cepat."
"Maka mereka tidak terlihat?" tanya Leng-hong.
"Mereka sama memakai topi pandan yang lebar dan buatan khas sehingga wajah mereka tidak
jelas kelihatan, hanya satu diantaranya seperti ada cirinya, yaitu lengan baju kanan seperti
kosong melompong, jelas seorang yang buntung tangannya."
Gemerdep sinar mata Ki Leng-hong, ucapnya, "Jika demikian, ketiga orang ini jelas datang
dari tempat jauh, bahkan tidak suka wajah mereka dilihat orang."
"Ya, begitulah," kata Hiang-hiang.
Leng-hong termenung sejenak, jengeknya kemudian, "Apakah diriku inilah sasaran mereka?
Justeru akan kulihat orang macam apakah mereka itu dan untuk apa mereka datang ke sini?
Apapun juga takkan ku kecewakan mereka."
Sebenarnya sikap Lui-ji sudah kembali biasa, tapi begitu Ki Leng-hong keluar dan tertinggal
dia dan Pwe-giok saja, ia menjadi kikuk dan tidak tahu kemana tangannya harus ditaruh?
Iapun tidak tahu waktu itu hati Pwe-giok sedang senang atau marah, juga tak dapat menerka
apa yang sedang dipikirnya, sebab anak muda itu selalu kelihatan tenang dan halus.
Ia tidak tahu bahwa hati Pwe-giok saat itu juga tidak kurang kalutnya dan tidak tahu cara
bagaimana harus bersikap terhadap si nona serta apa pula yang harus dibicarakannya.
Pwe-giok hanya tahu dirinya tidak boleh lagi menyinggung perasaan si nona. Sebab ia tahu,
apapun juga, seorang anak perempuan seusia Lui-ji tentu penuh dengan khayalan yang mulukImbauan
Pendekar > karya Gulong/Khulung > diceritakan oleh Gan K.L. > buyankaba.com 144
muluk, mudah tersinggung dan juga gampang berduka, tapi juga paling kuat akan harga diri
sendiri.
Masa inilah masa paling berbahaya bagi anak gadis, anak masa demikian inilah sering terjadi
pergolakan batin dan tidak mantap pendiriannya, cukup sesuatu urusan kecil saja dapat
menimbulkan petaka bagi mereka.
Namun Pwe-giok sesungguhnya juga tidak dapat mengakui Lui-ji adalah isterinya, seumpama
usia mereka tidak selisih sebanyak itu, seumpama Lui-ji memang gadis yang sudah tumbuh
cukup masa, sekalipun Pwe-giok benar-benar suka padanya, rasanya juga tidak nanti dia
mengakui si nona sebagai isterinya.
Sebab, apapun juga tidak boleh Pwe-giok meninggalkan Lim Tay-ih.
Sungguh ia tidak tahu cara bagaimana dirinya harus menyelesaikan urusan ini, sebab itulah
dia tidak berani salah omong lagi, sebab itu pula mereka hanya duduk berhadapan saja dan
tiada yang dapat dibicarakan.
Selagi keadaan terasa canggung, untunglah Ki Leng-hong telah kembali.
Serentak Pwe-giok dan Lui-ji bangkit dan menyongsong kedatangan Ki Leng-hong, tapi baru
satu-dua langkah, keduanya lantas berhenti pula serentak, Lui-ji melirik Pwe-giok sekejap,
sebaliknya Pwe-giok juga sedang memandangnya.
Lui-ji berharap Pwe-giok tidak jelas melihat air mukanya, siapa tahu Ki Leng-hong justeru
menyalakan lampu didalam ruangan.
Keruan muka Lui-ji menjadi merah, ia menunduk dengan senyuman kikuk, cepat ia mundur
dan duduk kembali.
Setelah mengerling sekejap. Leng-hong mengikik tawa, katanya, "Baru ku tahu sekarang
bahwa semua pengantin di dunia ini ternyata sama, betapapun tabahnya seseorang, apabila
menjadi pengantin baru tentu juga akan merasa malu."
Makin rendah kepala Lui-ji tertunduk, sampai dia sendiri tidak tahu mengapa mukanya bisa
semerah itu.
Pwe-giok berdehem untuk menghilangkan rasa canggung, lalu bertanya, "Sesungguhnya
siapakah yang datang itu?"
"Entah, aku tidak tahu siapa mereka?" jawab Leng-hong.
"Bukankah baru saja kau keluar melihat mereka?" tanya Pwe-giok.
"Tidak, hakekatnya aku tidak keluar."
"Sebab apa?" tanya Pwe giok pula.
"Sebab tanpa melihat mereka pun ku tahu apa maksud tujuan kedatangan mereka," tanpa
menunggu pertanyaan Pwe-giok lagi, segera Leng-hong menyambung, "Rupanya mereka
145
telah berjanji dengan orang untuk bertemu di sini, makanya mereka buru-buru datang kemari.
Orang Kangouw mengadakan pertemuan dirumah pelacuran kan sesuatu kejadian yang
jamak."
"Jika demikian, mengapa gerak gerik mereka sedemikian misterius seakan-akan kuatir dilihat
orang?" kata Pwe-giok.
"Bisa jadi mereka bersepakat akan berbuat sesuatu yang tidak boleh dilihat orang," ujar Lenghong.
"Kan banyak perbuatan yang tidak boleh dilihat orang di dunia "Kangouw, asalkan
tidak ada sangkut pautnya dengan kita, untuk apa kita ikut campur."
Pwe-giok termenung sejenak, katanya kemudian, "Aku menjadi tertarik untuk melihat
bagaimana bentuk ketiga orang itu."
Lenghong tertawa katanya, "Tak tersangka kau ini juga suka ikut campur urusan orang lain,
padahal kau sendiri sedang dirundung macam kesulitan."
"Justeru lantaran cukup banyak kesulitanku, maka biarpun ditambah lagi beberapa macam
urusan lagi juga tidak menjadi soal bagiku," jawab Pwe-giok dengan menyengir. "Apalagi,
bila kulihat seseorang yang suka main sembunyi-sembunyi dan gerak-geriknya menimbulkan
curiga, selalu kurasakan dia pasti ada sangkut pautnya dengan diriku."
Mencorong sinar mata Ki Leng hong, katanya, "Cukup leluasa jika kau ingin melihat mereka,
cuma sekarang Hiang-hiang sedang meladeni mereka, kuberani menjamin, darimana asal-usul
mereka pasti sukar lolos dasri pengamatan Hiang-hiang."
"Ah, kukira belum tentu," mendadak Lui-ji menyeletuk.
Leng-hong tersenyum, katanya, "Tampaknya kau belum paham urusan-urusan beginian.
Seorang anak perempuan yang sudah berkecimpung selama 3 tahun di rumah hiburan begini,
maka matanya akan berubah jauh lebih tajam daripada pisau. Misalnya terhadap seorang
tamu, betapa bobotnya, tebal atau tipis isi sakunya, begitu melangkah masuk rumah ini segera
akan dapat dilihat mereka. Di depan mereka, jangankan orang miskin sok berlagak cukong,
biarpun cukong sengaja pura-pura miskin juga akhirnya saku mereka akan dikuras habis
habisan oleh mereka."
Lui-ji tertawa, katanya, "Berlagak cukong memang jauh lebih gampang daripada pura-pura
miskin."
Pada saat itulah mendadak seorang menanggapi dengan mengikik tawa, "Hihihi, betul, orang
yang berlagak cukong memang tidak kutakuti, orang demikian biasanya berani buang uang
tanpa banyak yang mereka bawa. Sebaliknya orang miskin kebanyakan sukar dilayani, apa
bila tidak kau beri rasa enak dulu kepadanya, biarpun saat itu saku mereka penuh duit juga
jangan harap akan kau gaet sepeser pun."
Jelas Hiang-hiang telah datang lagi.
"Bagaimana dengan ketiga orang itu?" tanya Leng-hong.
"Berada di pavilyun sana," lapor Hiang-hiang.
146
"Mengapa tidak kau temani mereka?"
"Ketiga orang itu mirip patung belaka, ku tertawa pada mereka, sama sekali mereka tidak
menggubris, ku bicara pada mereka juga tidak mereka dengarkan, hakekatnya aku ini tidak
dianggap sebagai perempuan. ingin kulihat apakah diriku ini mendadak telah berubah tua atau
buruk rupa, masa tiada orang yang tertarik lagi padaku."
Lui-ji berkedip-kedip mendengarkan cerita Hiang-hiang itu, tiba-tiba ia berkata, "bisa jadi
mereka orang tuli."
Hiang-hiang bergelak tertawa, "Mereka tidak tuli, sebaliknya pendengaran mereka sangat
tajam, lebih-lebih kakek itu, setiap kali ada orang berlalu diluar, segera ia melompat ke
jendela dan melongok keluar."
"Kakek?" gumam Pwe-giok sambil berkerut kening. "Kakek macam apakah dia?"
"Tampaknya sudah 60 atau 70 tahun, jenggotnya sudah putih semua, gayanya juga bukan
sembarang orang, tidak saja kelihatan berduit, bahkan juga seperti cukup berpengaruh",
Hiang-hiang tertawa, lalu menyambung pula, "Tua bangka yang masih suka pelesir demikian
sebenarnya sudah cukup banyak kulihat, namun kakek yang satu ini rada lain daripada yang
lain."
"Apanya yang lain?" tanya Pwe-giok.
"Orang yang datang kesini, semakin tua usianya semakin gila perempuan, dan juga makin
suka main gerayang, tapi kakek ini senantiasa bersungut, seperti setiap saat siap berkelahi
dengan orang."
"Dia bicara dengan logat daerah mana?" tanya Pwe-giok.
"Hakikatnya dia tidak berucap satu katapun. hanya si buntung itu ketika menyeruhku
menyediakan makanan telah berucap beberapa kata padaku, logatnya seperti orang dari
daerah Kanglam."
"Bagaimana bentuk orang ini?" tanya Pwe-giok tertarik.
Sikap Hiang-hiang seperti muak dan ingin tumpah, tuturnya dengan rasa jiji, "Usia orang ini
pun tidak muda lagi, bukan saja sebelah tangannya buntung, bahkan mukanya penuh bekas
luka yang merah menakutkan sehingga lebih mirip orang sakit lepra."
Rada berubah air muka Pwe-giok, ia termenung sejenak, tanyanya kemudian, "Lalu
bagaimana bentuk orang ketiga?"
Hiang-hiang tertawa cerah, tuturnya, "Orang ini masih muda, antara tiga orang hanya dia saja
yang paling mirip manusia. Cuma tampaknya dia sudah beberapa hari tidak makan nasi,
kurusnya tidak kepalang, tinggal kulit membungkus tulang, sampai membuka mata saja
rasanya tidak sanggup."
147
Kembali Pwe-giok termenung sejenak, ia berpaling dan berkata kepada Ki Leng hong. "Tadi
kau bilang cukup leluasa apa bila ingin melihat mereka."
"Betul," jawab Leng-hong dengan tertawa, "di seluruh dunia, rumah pelacuran manapun, baik
besar maupun kecil, sedikit banyak tentu ada sesuatu yang aneh, apa lagi rumah pelacuran ini
adalah milik Oh-lolo."
"Sesuatu yang aneh? Apa maksudmu?" tanya Lui-ji saking ingin tahu.
Leng-hong tidak menjawabnya, tapi bertanya malah, "Menurut perasaanmu, adakah sesuatu
perbedaan antara cahaya lampu di sini dengan cahaya lampu di tempat lain?"
Lui-ji jadi melengak, ia menggeleng dan menjawab, "Apa perbedaannya?"
"Tidakkah kau rasakan cahaya lampu di sini lebih terang dan juga lebih lembut."
"Oooo...." Lui-ji melongo.
"Tahukah kau apa sebabnya?"
"Sebab...sebab di ruangan ini tidak cuma dua buah lampu saja yang terletak di meja. Pada
dinding juga tergantung dua lampu lagi," jawab Lui-ji.
"Dan tahukah kau sebab apa kedua lampu itu ditaruh dekat dinding?
Kembali Lui-ji melengak, jawabnya, "Sebab apa? Sudah tentu untuk penerangan."
"Haha, salah kau!" seru Leng-hong dengan tertawa. "Untuk mengintiplah maka kedua lampu
itu dipasang di dinding."
"Untuk mengintip?" Lui-ji menegas.
"Ya, apa bila ada orang mengintip di lubang kunci atau celah-celah jendela, bisa jadi akan
dilihat olehmu, tapi kalau orang mengintip dari balik lampu sana, tentu takkan kau ketahui."
Terbeliak mata Lui-ji, katanya,
"Betul juga, sebab pasti tidak ada orang yang akan memandang ke arah cahaya lampu,
seumpama memandang kesana juga takkan jelas terlihat, sebab matanya pasti akan silau."
"Betapapun kau memang pintar," ujar Leng-hong dengan tertawa.
"Pantas Oh-lolo sedemikian banyak mengetahui segala seluk beluk kejadian di dunia
kangow." guman Lui-ji dengan gegetun.
"Tapi tujuan mengintip bukanlah karena ingin tahu rahasia orang lain," kata Hiang-hiang tibatiba.
"Habis apa tujuannya ?" tanya Lui-ji
148
Dengan gemas Hiang-hiang menjawab,
"Dia tahu adat orang lelaki, bila seorang lelaki masuk rumah pelacuran, maka segala tingkah
lakunya yang paling kotor dan rendah akan dikeluarkannya tanpa restan. Maka dia lantas
sembunyi dibalik dinding untuk mengintip semua tingkah olah kaum lelaki ini, menyaksikan
kami dipermainkan kaum lelaki, semakin senang hatinya. Terkadang dia malah menyeret
lakinya untuk menonton bersama. Sebab hanya dengan cara inilah dia akan...akan mendapat
kepuasan, sebab nenek jompo ini memang sudah terlalu reyot dan tidak.. tidak bergairah
untuk berbuat sendiri, terpaksa ia harus main intip supaya...supaya dapat..."
"Cukup," sela Leng-hong sambil berkerut kening.
"Memangnya perlu kau ceritakan lebih jelas lagi ?"
Terbelalak mata Lui-ji, ucapnya, "Ceritanya memang belum begitu jelas, sebab aku memang
belum begitu jelas, sebab aku memang belum begitu paham,"
Leng-hong tertawa geli, katanya, "Urusan beginian, akan lebih baik jika kau jangan terlalu
paham."
Dengan gemas Hiang-hiang bertutur pula, "Pendek kata, tujuan nenek itu membuka rumah
pelacuran ini sebagian besar juga untuk memenuhi kepuasannya itu. Ya, nenek jompo ini
bukan saja seorang perempuan yang keji dan kejam, bahkan juga orang gila yang kotor dan
cabul."
Pwe-giok menghela nafas, katanya, "Tapi sekarang dia sudah mati. setiap orang mati adalah
orang bajik, sebab dia takkan berbuat sesuatu lagi yang merugikan orang lain. Lalu, untuk apa
kau mencaci-maki dia ?"
Akhirnya Ki Leng-hong membawa Pwe-giok ke suatu ruang rahasia yang berdinding rangkap.
Sudah tentu, didalam ruang sempit berdinding rangkap demikian hawa sangat panas, hanya
mengintip sebentar saja mereka sudah sama berkeringat. Hanya Pwe-giok saja yang
berkeringat dingin.
Sebab akhirnya diketahuinya bahwa si kakek yang berlagak tuan besar itu adalah Tong Busiang,
sedangkan orang buntung yang bermuka buruk itu adalah Ong Uh-lau.
Seperti diketahui. buntungnya tangan dan rusaknya muka Ong Uh-lau itu adalah akibat
terkena racun Khing-hoa-samniocu di hotel kecil itu dahulu. Sejauh ini baru sekarang Ong
Uh-lau muncul lagi di depan umum.
Dengan sendirinya muka Ong Uh-lau sekarang sudah berubah sama sekali. Dipandang dari
balik gelas lampu yang tembus cahaya, wajah Ong Uh-lau tampak beringas menakutkan,
seolah-olah benci dan memusuhi setiap manusia di dunia ini.
Tong Bu-siang kelihatan berduduk tenang, lagaknya memang kereng sesuai seorang
pemimpin suatu perguruan ternama, hanya sikapnya saja kelihatan rada tegang, kedua
tangannya tiada hentinya mengutak-atik sebuah cawan teh di atas meja.
149
Masih ada seorang lagi yang duduk membelakangi Pwe-giok. Dengan sendirinya Pwe-giok
tak dapat melihat wajahnya, hanya kelihatan bahunya sangat lebar, pinggang kecil.
Dengan menempelkan telinganya ke dinding dapatlah Pwe-giok mendengar suara didalam
ruangan itu. Saat itu kedengaran ada langkah orang di luar.
Segera Tong Bu-siang melompat bangun, "Trang", cawan sampai terjatuh ke lantai hingga
pecah berantakan.
Dengan mendongkol Ong Uh-lau melototinya sekejap, meski tidak omong apa-apa, tapi Pwegiok
sudah dapat memastikan bahwa Tong Bu-siang ini pasti gadungan. Sebab, ahli senjata
rahasia seperti Tong Bu-siang, kedua tangannya pasti sudah sangat terlatih, kalau memegang
sebuah cangkir saja tidak mantab, lalu cara bagaimana akan sanggup menyambitkan senjata
rahasia keluarga Tong yang terkenal lihay itu ?
Wajah dan sikap orang ini memang persis Tong Bu-siang yang asli, boleh dikatakan "barang
tiruan" yang sangat sempurna, kecuali kedua tangannya itu. Maklumlah, tangan Tong Busiang
yang menjadi andalannya itu memang tidak dapat dipalsukan oleh siapapun juga.
Terbeliak mata Pwe-giok, seperti mendadak melihat setitik sinar dalam kegelapan, sebab
sekarang diketahuinya bahwa intrik busuk komplotan jahat itu toh tidak seluruhnya sempurna,
masih ada titik-titik kelemahan yang dapat digempur.
Ternyata yang masuk kemudian tidak lain adalah Hiang-hiang dan beberapa genduk yang
membawakan beberapa nampan makanan. Tong Bu-siang itu menghela nafas panjang, lalu
berduduk pula.
Di bawah cahaya lampu, senyuman Hiang-hiang sungguh amat menggiurkan, setiap lelaki
yang dilirik dengan senyuman maut Hiang-hiang itu mustahil kalau tidak segera mengajaknya
ke dalam kamar.
Sekalipun senyuman maut Gin-hoa-nio rasanya juga tidak sebesar ini daya tariknya, sebab,
apapun juga Gin-hoa-nio kan cuma "amatir" saja, sedangkan Hiang-hiang adalah
"professional", memang itulah pekerjaannya.
Cuma sayang, dia ketanggor, Ong Uh-lau dan Tong Bu-siang itu bahkan sama sekali tidak
melirik padanya, apalagi tertarik.
Sesudah para pelayan menyiapkan makanan dan minuman, dengan goyang pinggul Hianghiang
lantas mendekati tamunya, ia angkat poci arak dan sengaja mempertontonkan
tangannya yang putih mulus itu ke depan mata orang.
Gelang kemala hijau yang dipakainya sama berdentingan, suaranya juga halus merdu, biar
tanpa arak juga suara tertawanya cukup memabukkan tamunya. Tapi sayang, Ong Uh-lau dan
Tong Bu-siang tetap tidak menggubrisnya, seperti tidak melihatnya sama sekali.
Namun Hiang-hiang belum putus asa, dengan suara nyaring seperti bunyi keleningan ia
berkata, "Silahkan tuan-tuan mencicipi arak simpananku ini, biasanya arak ini tidak
sembarangan kusuguhkan kepada tamuku, hanya sekarang harus dikecualikan sebab hanya
ketiga ksatria ternama seperti kalian inilah yang..."
150
Belum habis ucapannya mendadak Tong Bu-siang mendelik dan memotong ucapannya,
Darimana kau tahu kami ini ksatria ternama ? siapa yang beritahukan padamu ?"
Hiang-hiang mengerling genit, katanya dengan senyuman menggiurkan, "Masa perlu
diberitahu ? Sekali melihat sikap kalian yang berwibawa ini, kalau bukan ksatria ternama
mana bisa sekereng ini ?"
Tong Bu-siang mendengus, katanya, "Kami ini orang dagang, kekayaan kami memang boleh
diandalkan..."
"Creng", mendadak Ong Uh-lau melemparkan sepotong emas murni diatas meja, katanya,
"Kau ingin memiliki emas ini atau tidak ?"
Meski Bong-hoa-lau ini rumah hiburan yang biasanya penuh tamu berduit, tapi emas seberat
ini tidaklah mudah diperoleh apabila tiada hubungan intim antara tamu dan langganannya.
Hiang-hiang pura-pura menunduk, ucapnya dengan menggigit bibir, "Apakah tuan
ingin...ingin..."
"Ku ingin kau keluar dari sini !" tukas Ong Uh-lau, "Keluar dengan membawa emas ini, kalau
tidak dipanggil sebaiknya jangan masuk kemari."
Lui-ji mengira sekali ini Hiang-hiang pasti tidak dapat tertawa lagi. Siapa tahu, sambil
mengerling Hiang-hiang berkata pula dengan tertawa genit, "Ai, jika demikian, biarlah
kuucapkan terima-kasih saja."
Habis berucap segera ia comot emas itu dan benar-benar melangkah pergi.
Mendadak orang yang duduk membelakangi Pwe-giok itu berseru, "Nanti dulu !"
Hiang-hiang menoleh dan tersenyum genit, tanyanya: "Ada apa lagi ?"
Tangan orang itu terjulur ke depan, tahu-tahu setangkai bunga goyang berhias mutiara besar
tersunggih di tangannya.
Bunga goyang bermutiara ini jelas jauh lebih berharga daripada sepotong emas tadi, seketika
perhatian semua orang tertarik oleh perhiasan ini, hanya Pwe-giok saja yang tetap
memperhatikan tangan orang itu.
Tangan itu tidak kasar, bahkan jarinya halus dan lentik, tercuci sangat bersih, meski baru saja
memegang tali kendali kuda dan menempuh perjalanan jauh, tapi tangannya tetap tidak
sekotor sedikitpun.
Tangan ini tampaknya tidak terlalu kuat, tapi sangat mantap, dengan menyunggih bunga
mutiara dan terjulur begitu tetap kelihatan mantap tidak bergoyang sedikitpun.
Dada Hiang-hiang tampak naik turun, dengan terengah ia berkata: "Selama hidup tidak pernah
kulihat mutiara seindah ini, bolehkah aku memegangnya ?"
151
"Untuk apa hanya memegang saja ? Jika kau suka, boleh kuberikan padamu," kata orang itu.
Suaranya ternyata suara orang muda, bahkan kedengarannya rada kemalas-malasan.
Hiang-hiang menjawab dengan tersenyum senang: "Jelas kau tahu tiada seorang perempuan
yang dapat menolak pemberian perhiasan sebagus ini. kenapa kau perlu tanya lagi padaku."
"Tapi kalau kau suka pada perhiasan ini, kau harus tinggal di sini dan mengiringiku minum
arak," kata orang itu.
Seketika timbul rasa kejut dan heran pada wajah Hiang-hiang, tanpa terasa ia pandang Tong
Bu-siang dan Ong uh-lau, dilihatnya air muka kedua orang itu bersungut menahan rasa marah,
tapi tidak berani menyatakan keberatannya.
Dengan sendirinya Pwe-giok jauh lebih terkejut dan heran daripada Hiang-hiang.
Siapakah gerangan pemuda itu ? mengapa dia sengaja memusuhi Ong Uh-lau ? terangterangan
Ong Uh-lau mengusir Hiang-hiang, tapi dia minta Hiang-hiang menemaninya
minum arak ?
Tampaknya Ong Uh-lau hanya berani marah tapi tidak berani bicara, masa orang she Ong ini
jeri terhadap pemuda itu ?
Bahwa mereka adalah satu rombongan dan datang bersama, jelas merekapun sedang
melakukan sesuatu yang penuh rahasia, agaknya pemuda itupun anak buah Ji Hong-ho.
Jika begitu, mengapa dia memusuhi Ong Uh-lau dan mengapa Ong Uh-lau jeri padanya.
Setahu Pwe-giok, kedudukan Ong Uh-lau dalam komplotan Ji Hong-ho gadungan itu tidaklah
rendah, juga bukan seorang penakut, tapi mengapa mengalah kepada pemuda ini.
Tiba-tiba Pwe-giok merasakan pemuda inilah betul-betul seorang tokoh yang misterius.....
Dengan sendirinya Hiang-hiang menurut dan berduduk lagi di situ.
Malahan ia sengaja berduduk di pangkuan pemuda itu, sekujur badannya terbenam dalam
pelukan orang itu.
Ong Uh lau dan Tong Bu-siang saling pandang sekejap, mereka berpaling ke arah lain dan
tidak mau memandang lagi rekannya.
"Huh, munafik, hipokrit," ejek pemuda itu dengan bergelak tertawa. "Sebabnya dunia ini
kacau balau begini adalah karena terlalu banyak manusia munafik." Dia rangkul pinggang
Hiang-hiang yang ramping, lalu menyambung pula dengan tertawa, "Tapi antara kau dan aku
tiada bedanya, sama-sama siaujin (manusia kecil, rendah) tulen, makanya kita berdua jauh
lebih gembira daripada orang lain, betul tidak ?"
Hiang-hiang terkikik-kikik di tepi telinga pemuda itu, ucapnya: "Ya, bukan saja jauh lebih
gembira daripada orang lain, bahkan juga jauh lebih menarik daripada orang lain."
152
"Haha, ucapan bagus, ucapan tepat ! Harus kuhormati kau tiga cawan !" seru pemuda itu
sambil bergelak.
Dia benar-benar menuang tiga cawan arak berturut-turut, sambil mengetuk poci arak iapun
berdendang: "Manusia hidup jarang ketemu waktu gembira, mumpung ada kesempatan
janganlah dilewatkan. Malam sejuk dan indah begini, mana boleh tanpa minum arak. Marilah
mari, akupun menyuguh kalian tiga cawan arak !"
Sekali ini Ong Uh-lau dan Tong Bu-siang ternyata sangat penurut, mereka benar-benar angkat
cawan dan menenggaknya hingga habis meski dengan ogah-ogahan dan berkerut kening, cara
minum arak mereka ini mengingatkan orang pada anak kecil yang dipaksa minum obat.
Tapi pemuda itu masih terus menenggak araknya secawan demi secawan, berbareng ia terus
lalap santapan yang tersedia, malahan seperti santapan itu kurang lezat, berulang ia menggigit
hidung Hiang-hiang pula.
Hiang-hiang tertawa cekakak dan cekikik, mendadak ia menjerit.
"Sakit ?" tanya pemuda itu.
Hiang-hiang membenamkan kepalanya di dada orang sambil menjawab: "O, tidak !"
"Hahahaha !" Pemuda itu tertawa.
"Sudah kuberikan bunga mutiara yang bernilai ribuan tahil emas tadi, maka akupun berhak
menggigit kau dan terpaksa kaupun menjawab tidak sakit, Inilah manusia, setiap manusia ada
harganya, ada tarifnya sendiri-sendiri, bedanya cuma tinggi atau rendah tarif saja."
"Dan engkau sendiri apakah pasang tarif ?" tanya Hiang-hiang dengan aleman.
"He, kau ingin membeli diriku ?"
"Ehmm, akan ku beli kau dan kubawa pulang dan kusembunyikan didalam kamar."
Pemuda itu tertawa keras, ucapnya: "Cuma sayang, harga diriku terlalu tinggi, jika kau cari
duit mati-matian seperti sekarang ini, setiap tamu kau terima dan seluruh hasil pendapatanmu
kau kumpulkan, setelah menabung 30 atau 50 tahun, mungkin masih ada harapan."
"Wah, sementara itu bukankah aku sudah menjadi nenek-nenek ?" ujar Hiang-hiang sambil
mengikik tawa.
"Asal ada duit, biarpun nenek-nenek juga tidak menjadi soal."
Mendengar sampai di sini, dibalik ruangan rahasia Lui-ji tidak tahan dan mendesis: "Busyet,
tampaknya orang ini cocok menjadi saudara angkat Ji Yak-ih."
Ki Leng-hong menghela nafas pelahan, katanya: "Orang ini mungkin sepuluh kali lebih pintar
daripada Ji Yak-ih dan juga berpuluh kali lebih menakutkan."
153
"Tapi juga orang semacam dia inilah yang pantas disebut sebagai siaujin tulen." tukas Pwegiok.
Dilihatnya pemuda itu berturut-turut menghabiskan lagi tiga cawan arak, lalu memukul meja
dan berseru dengan tertawa: "Meski sekarang kau tidak mampu membeli diriku, tapi aku
mampu membeli dirimu. Kau beli diriku atau aku yang membeli dirimu, akhirnya kan juga
sama saja?"
Mendadak ia berbangkit, Hiang-hiang diseretnya sambil berguman: "Wah, rasanya aku sudah
mabuk dan ingin bobok, marilah kita...."
Dengan sempoyongan ia terus tarik Hiang-hiang ke kamar sebelah sana, terdengar suara
tertawa Hiang-hiang dan pintu kamar pun tertutup.
Selang sejenak, terdengar pemuda tadi berdendang pula, dendangnya orang mabuk, suaranya
semakin lirih dan akhirnya tak terdengar lagi.
Mendadak seluruh rumah hiburan itu berubah menjadi sunyi senyap, Lui-ji dan lain-lain yang
mengintip dibalik ruang rahasia sana juga tidak berani bersuara lagi.
Selang sejenak pula, Tong Bu-siang menggeleng kepala dan berucap dengan menyesal:
"Sungguh aku tidak mengerti, mengapa Bengcu menyuruh orang macam begini ikut ke sini
bersama kita."
Ong Uh-lau terpekur sejenak, sahutnya: "Perintah Bengcu, sudah tentu cukup beralasan."
"Tapi orang sialan ini sebenarnya orang macam apa, kau tahu ?" tanya Tong Bu-siang.
"Akupun tidak tahu." jawab Ong Uh-lau.
"Yang jelas Bengcu menaruh kepercayaan penuh kepadanya, sebab itulah beliau memberi
pesan wanti-wanti padaku agar kita tunduk kepada perintahnya, apapun juga kehendaknya
harus kita turuti."
Tong Bu-siang menghela nafas, katanya, "Tapi dalam keadaan demikian orang ini hanya tahu
makan minum dan berfoya-foya, urusan lain tidak ambil pusing, malahan terus pergi tidur
segala. Orang macam begini masa dapat dipercaya?"
Ong Uh-lau termenung sejenak, akhirnya tetap mengemukakan kata-kata yang sama, yaitu:
"Atas pesan Bengcu, tentu ada alasannya."
Baru sekarang Pwe-giok tahu sampai Ong Uh-lau dan Tong Bu-siang juga tidak tahu asal-usul
si pemuda yang misterius ini.
Sejak awal hingga akhir pemuda itu tetap berduduk membelakangi Pwe-giok sehingga yang
kelihatan hanya bayangan samping saja, malahan hanya pandangan sekilas saja. Diketahuinya
wajah pemuda itu sangat cakap, tapi juga seperti pemalas, membuka mata saja rasanya
enggan.
154
Sampai saat ini Pwe-giok dapat memastikan sesuatu, yakni bukan saja ia tidak kenal pemuda
ini, bahkan tidak pernah melihatnya sebelum ini.
Dalam pada itu, Tong Bu-siang dan Ong Uh-lau masih tetap duduk diam sana, arak setetespun
tidak minum, makanan setitik juga tidak disentuh. Malahan keduanya kelihatan rada tegang
dan mulai gelisah.
Selang sekian lama lagi, tiba-tiba Tong Bu-siang tertawa dan berkata: "Kuharap orang itu bisa
lekas datang, biarlah kita menyelesaikan urusan kita di luar dan biarkan dia menikmati
menjadi pengantin baru, coba nanti cara bagaimana dia akan bertanggung jawab terhadap
Bengcu"
Ong Uh-lau melotot lagi padanya sambil menjengek: "Hm, caramu bicara ini apakah takkan
ketahuan belangmu?"
"Ketahuan belangku apa?" jawab Tong Bu-siang dengan mendelik.
"Ingat, sekarang kau ini dalam kedudukan apa?"
"Sudah tentu ku tahu."
"Jika kau dalam kedudukan sebagai seorang Ciangbunjin suatu perguruan ternama, caramu
bicara hendaknya juga berbau sebagai seorang berpengaruh. Tapi caramu bicara yang
inginkan orang lain tertimpa malang dan mengharapkan kekacauan dunia ini hanya
memperlihatkan kau ini berasal dari kaum rendahan"
Jilid 6________
Seketika Tong Bu-siang melenggong, mukanya sebentar pucat sebentar merah, mendadak ia
menggebrak meja dan berteriak: "Ku tahu kalian memandang hina padaku, sebab dahulu aku
cuma seorang perawat kuda saja. Tapi kau sendiri, kau ini kutu macam apa pula? Memangnya
kau kira kau ini benar-benar Kanglam-tayhiap Ong Uh-lau segala?"
"Tutup bacotmu!" bentak Ong Uh-lau dengan gusar.
"Aku justru ingin omong lagi" sahut Tong Bu-siang dengan muka merah padam. "Ya, ingin
omong terus, apa yang dapat kau lakukan terhadapku? memangnya dapat kau bunuh diriku?"
"Biar kubunuh kau, memangnya takut apa?" kata Ong Uh-lau dengan beringas.
"Huh, masa kupercaya kau berani? Jangan lupa, saat ini aku adalah ketua keluarga Tong yang
disegani, bilamana kau bunuh diriku, ke mana lagi akan kau cari seorang Tong Bu-siang yang
lain?"
Ong Uh-lau melotot sekian lama, tiba-tiba ia tertawa, katanya, "Ai, sudahlah, apa yang
kukatakan, semuanya adalah demi kebaikanmu, sebab kalau sampai rahasiamu terbongkar,
bagimu maupun bagiku sama-sama tidak ada faedahnya."
Maka tertawalah Tong Bu-siang, ucapnya, "Jangan kuatir, latihanku selama dua tahun ini
masa percuma?"
155
Mendengar sampai di sini, tangan Pwe-giok sudah berkeringat dingin.
Nyata "Tong Bu-siang" ini tadinya cuma seorang perawat kuda saja, bisa jadi lantaran
mukanya serupa Tong Bu-siang asli, maka dia terpilih untuk dijadikan Tong Bu-siang imitasi.
Jika demikian, lalu siapa pula orang yang menyaru sebagai Ong Uh-lau ini? Dan siapa lagi
yang menyamar sebagai Lim Soh-koan, Ong Tay-oh, Sebun Bu-kut dan lain-lain, berasal dari
orang macam apakah mereka itu?
Sudah tentu, bisa jadi mereka semula cuma seorang kusir, seorang koki, seorang tukang sayur,
seorang penambal sepatu, bahkan bukan mustahil seorang germo.
Lalu, orang macam apa pula "Ji Hong-ho" itu?
Mungkinkah tingkatannya lebih terhormat daripada orang-orang ini?...
Bisa jadi karena dia lebih berbakat dan lebih giat berlatih, maka selain wajah dan gerakgeriknya
dapat menirukan Hong-ho Lojin dengan persis, bahkan juga berhasil mempelajari
kungfu Bu-kek-bun dengan baik. Namun apa pun juga, asalnya pasti seorang Siaujin yang
rendah.
Berpikir sampai di sini, seluruh badan Pwe-giok rasanya seperti mau meledak.
Dalam pada itu Ong Uh-lau dan Tong bu-siang tampak semakin gelisah. Tong Bu-siang lantas
berbangkit dan mondar-mandir di dalam ruangan sambil bergumam, "Aneh, kenapa belum
datang....Kenapa belum datang?"
"Jika dia tidak datang, biarpun gelisah juga tiada gunanya," ujar ONg Uh-lau. "Lebih baik
berduduk dan menunggu saja."
Tong Bu-siang gosok-gosok jenggotnya dan berkata, "Kau tidak gelisah, akulah yang gelisah,
jika dia tidak datang, bagaimana?"
"Urusan ini juga menyangkut kepentingannya, mana bisa dia tidak datang," ujar Ong Uh-lau.
"Semoga tidak terjadi apa-apa atas dirinya," kata Tong Bu-siang sambil menghela napas.
Sesungguhnya siapakah gerangan yang mereka tunggu itu?
Mengapa mereka begitu tegang dan juga misterius tampaknya?
Saking tak tahan hampir saja Lui-ji bertanya. Tapi pada saat itulah mendadak di luar jendela
terdengar suara "kok-kok" dua kali, seperti suara burung kokok beluk.
Seketika semangat Tong Bu-siang terbangkit, ia melompat ke depan jendela dan menjawab
dengan suara "cuat-cuit" dua kali, dari luar ada suara mencicit pula, lalu Tong Bu-siang
membuka daun jendela, dan dari luar segera melayang masuk seorang lelaki berbaju hijau.
156
Dandanan orang ini mirip seorang petani yang baru saja habis pulang mencangkul dari sawah,
kain bajunya kasar, berlepotan lempung lagi.
Ikat kepalanya yang juga terbuat dari kain hijau kini pun sudah basah kuyup, jelas dia
menempuh perjalanan dengan cepat dan tergesa-gesa.
Maka orang ini hitam hangus seperti pantat kuali, bila diperhatikan baru ketahuan mukanya di
poles dengan hangus berminyak agar wajah aslinya tidak dikenal orang.
Serentak Ong Uh-lau berbangkit dan menyambut kedatangan orang, tegurnya dengan suara
tertahan, "Angin apakah yang meniup sahabat ke sini?"
Orang itu celingukan sejenak, lalu iapun menjawab dengan suara tertahan, "Angin tenggara
yang meniup dari barat laut."
Adakah sahabat melihat sesuatu di tengah perjalanan?" tanya Ong Uh-lau pula.
"Kulihat si kakek lagi makan permen dan si cucu lagi minum arak," sahut orang itu.
Tanya jawab ini sangat lucu dan mengada-ada saja, jelas hanya untuk mencocokkan kode
rahasia masing-masing.
Air muka On Uh-lau kelihatan merasa lega, ia lantas memberi hormat dan berkata pula,
"Silahkan duduk, sudah lama kami menunggu di sini,"
"Mengapa tamu Bong hoa lau ini hanya terdiri atas kalian saja?" tanya orang itu.
"Sebab para nona penghuni rumah hiburan ini sama pergi menghibur, tidak menerima tamu,"
tutur Ong Uh-lau.
"Masa rumah hiburan begini pakai libur segala?" kata orang itu rada tercengang.
"Maklumlah, bilamana para nona penghuni rumah hiburan macam begini sedang datang
bulan, "palang merah" menurut istilah mereka, maka tamu apapun akan ditolak."
Baru sekarang orang itu menghela nafas lega, pandangannya segera tertarik pada arak dan
santapan di atas meja...
"Apakah saudara belum lagi bersantap?" tanya Ong Uh-lau.
"Ya, terus terang, sudah dua hari Cayhe tidak makan satu butir nasi apapun," jawab orang itu
sambil menyengir dan menelan air liur.
Aneh! Orang macam apakah dia ini, mengapa jejaknya demikian misterius dan juga
sedemikian konyol, sampai mesti menempuh perjalanan selama dua hari dengan puasa?
Jangan-jangan dia lagi menghindari pengejaran seseorang, karena itulah dia tidak sempat
makan dan juga tidak berani muncul di depan umum?
157
Lalu jauh-jauh Ong Uh-lau dan Tong Bu-siang datang ke sini untuk menunggu orang ini, apa
pula maksud tujuan mereka?...
Dalam pada itu orang berbaju hitam itu sudah berduduk dan mulai makan. Walaupun sudah
kelaparan, namun cara makannya tidak rakus, tampaknya cukup sopan dan terpelajar.
Dalam tingkah laku sopan demikian, bisa jadi tidak dapat berpura-pura. Sebab itulah seorang
hartawan yang kaya mendadak akan tetap kelihatan kedodoran, seorang pengemis biarpun
diberi pakaian mahkota juga tetap tidak memper seorang raja.
Untuk hal demikian ini, sekali pandang saja Pwe giok lantas tahu bahwa orang berbaju hijau
ini pasti berasal dari keluarga terhormat.
Selang sejenak pula barulah orang itu menaruh sumpitnya, tiba-tiba ia melototi Tong Bu-siang
dan berkata, "Coba, silahkan Anda lepas baju dan celana dan perlihatkan padaku."
Bahwa seorang yang kelihatan berasal dari keluarga terhormat dan terpelajar mendadak
menyuruh orang lain "membuka celana untuk diperlihatkan kepadanya", sungguh kejadian
yang sukar dipercaya.
Yang lebih aneh lagi ialah Tong Bu-siang ternyata menuruti permintaan itu, ia benar-benar
membuka baju dan mencopot celana.
Perlahan Lui ji mengomel, ia berpaling dan malu untuk memandangnya, tapi tidak urung
hatinya ingin tahu apa yang akan dilakukan orang berbaju hijau itu setelah menyuruh Tong
Bu-siang membuka pakaian.
Ia coba melirik lagi ke sana, dilihatnya Tong Bu-siang tidak membuka pakaian hingga
telanjang bulat, saat itu setelah kakinya yang penuh bulu lebat tampak selonjor di atas kursi.
Sambil menunjuk satu jalur panjang bekas luka pada kaki Tong Bu-siang itu, Ong Uh-lau
berkata dengan tersenyum, "Bekas luka ini kukerjakan menurut contoh bekas luka pada Busiang
Lojin, baik panjangnya maupun lebar dan dalamnya kujamin persis seperti bekas luka
pada Bu-siang Lojin itu."
"Hehe, caranya bekerja seperti halnya hendak mengukir stempel di pahaku ini," tukas tong
Bu-siang dengan menyengir, "Sampai tiga hari lamanya dia mengukir dan hasilnya memang
memuaskan, akan tetapi yang runyam adalah diriku, meski belasan kati arak Hoa-tiau
kuhabiskan, sakitnya tetap tidak kepalang."
Orang berbaju hijau itu manggut-manggut, katanya, "Bagus, tapi tahukah kau siapa yang
membuat bekas luka ini?"
"Ini kan Bu-siang Lojin ...."
"Ingat!" sela orang itu, "Sekarang kau sendiri ialah Bu-siang Lojin."
Tong Bu-siang tertawa, ucapnya, "Ya, betul. Tentang .... tentang bekas luka ini, terjadinya
pada waktu aku masih muda, lantaran kepincuk kepada seorang gadis suku Pai, jauh-jauh ku
pergi ke lembah sungai Nu di perbatasan Yunan sana, sendirian ku terjang delapan benteng
158
Kimsah, sebab Kimsah cecu (kepala benteng Kimsah) telah merampas berlaksa tahil pasir
emas suku bangsa Pai si gadis, meski ke delapan Cecu yang menjadi biang keladinya telah
kubunuh dengan senjata rahasiaku, tapi pahaku juga terkena bacokan golok mereka, kalau
saja aku tidak selalu membawa obat luka "Yunan-peh-uo", bisa jadi pahaku ini harus
kupotong."
"Kemudian bagaimana?" tanya si baju hijau.
"Kemudian baru kuketahui gadis Pai itu sengaja memperalat diriku untuk merampas kembali
pasir emas milik bangsanya itu, padahal dia sendiri sudah mempunyai kekasih pilihannya
sendiri, pada saat ku rawat lukaku di pembaringan, diam-diam gadis itu kabur bersama
kekasihnya."
Si baju hijau menghela napas panjang, tukasnya, "Ya, begitulah, maka sejak itu kau anggap
gadis suku Pai rata-rata tidak setia, semuanya suka menipu, lantaran itu pula kau berkeras
melarang anakmu menikah dengan Kim-hoa-nio yang juga berasal dari suku bangsa minoritas
itu."
Baru sekarang Pwe-giok paham sebab musabab Tong Bu-siang benci kepada Kim-hoa-nio,
rupanya bukan disebabkan Kim-hoa-nio adalah anggota dan puteri ketua Thian-can-kaucu,
tapi lantaran nona itu berasal dari suku bangsa Pai.
Tak tersangka olehnya bahwa Tong Bu-siang yang kelihatan kaku dan prihatin itu, pada masa
mudanya juga seorang pemuda pecinta, sebab kalau bukan pemuda yang sok romantis tentu
dia takkan tertipu oleh perempuan.
Sementara itu Ong Uh-lau telah memutar badan Tong Bu-siang, ia tuding codet pada
punggungnya dan berkata pula, "Bekas luka inipun cukup baik bukan?"
"Ya, bagus, sama seperti aslinya." ujar si baju hijau.
"Dan bekas luka itu terjadi pada waktu aku berumur 26, demi untuk menuntut balas bagi
saudara misanku, aku berduel dengan tokoh golok sakti Ban-sing-to, hasilnya adalah codet
ini. Tapi meski punggungku terbacok oleh goloknya, pedangku juga sempat menembus
tenggorokannya."
"Tepat," ujar si baju hijau. "Lantas di tubuhmu seluruhnya ada berapa banyak bekas luka?"
"Seluruhnya ada sembilan tempat," sahut Tong Bu-siang, "kecuali kedua codet yang paling
besar ini masih ada lagi empat tempat bekas luka pedang dan dua tempat bekas luka golok,
serta satu tempat luka terbakar akibat senjata api si Pat-pi-thian-ong."
Ia berhenti sejenak, lalu menyambung pula, "Dua di antara empat bekas luka itu adalah akibat
tusukan Gin-leng-kiam-khek, hal itu terjadi lantaran dia menista nama baik perguruan kami,
waktu itu umurku 28, selama setahun kucari dia tiga kali untuk berduel, kedua kali pertama
hampir saja ku mati di bawah pedangnya, pada ketiga kalinya barulah kubinasakan dia."
"Setelah ke sembilan tempat bekas luka ini, apakah di tubuhmu tiada bekas luka lain lagi?"
tanya si baju hijau.
159
"Seperti tidak .... tidak ada lagi," jawab Tong bu-siang setelah berpikir sejenak.
"Masa tidak ada lagi, umpamanya gigimu ....."
"Oya, betul, gigiku kurang tiga biji, sebab pada waktu mudaku aku tidak kenal artinya takut,
hampir setiap jago ternama ku tantang untuk mengukur kungfu masing-masing. Satu kali ku
tantang jago silat nomor satu di lereng Tiang-pek-san, hasilnya daguku kena ditonjoknya
sehingga tiga biji gigiku bagian atas rompal, bahkan mulutku bengkak hingga lima hari tak
dapat makan dan bicara."
"Hendaknya kau jangan lupa bahwa peristiwa itu adalah salah satu kebanggaanmu selama
hidup." kata si baju hijau. "Sebab jago Tiang-pek-san itu terkenal berwatak keras dan tidak
kenal ampun, barang siapa berani mencari perkara padanya, biarpun orang berkepala besi juga
akan dihancurkan olehnya, tapi dia cuma merontokkan tiga biji gigimu, sebab itulah biarpun
kau kalah bertanding, namun kekalahanmu cukup gemilang, lantaran itu pula seringkali kau
membuka mulut untuk memperlihatkan mulutmu yang ompong akibat gigi rontok ditonjok
lawan itu."
"Ya, aku tidak pernah lupa." sahut Tong Bu-siang.
Sampai di sini, diam-diam Pwe-giok merasa terharu dan sedih bagi nasib Tong Bu-siang.
Padahal tokoh-tokoh yang disebutnya itu terkenal sangat lihay pada masa beberapa puluh
tahun yang lalu, tapi tong Bu-siang berani mendatangi jago-jago itu dan menantang duel
padanya, ini menandakan masa muda tong Bu-siang pasti seorang yang tidak takut pada langit
dan tidak gentar pada bumi, benar-benar seorang ksatria yang gagah berani.
Sungguh tak tersangka olehnya bahwa setelah tua, Tong Bu-siang bisa berubah menjadi
pengecut, penakut seperti tikus.
Meski dia sudah mengkhianati Pwe-giok, tapi Pwe-giok tidak dendam padanya, sebaliknya
malah merasa orang tua itu harus dikasihani. Dan sekarang duplikatnya sudah tersedia, maka
nasibnya selanjutnya pasti lebih mengenaskan.
Terdengar si baju hijau sedang menghela napas dan berkata, "Ada sementara urusan yang
mesti takkan menarik perhatian orang lain, tapi sedapatnya kita harus tetap waspada. Sebab
sedikit rahasia kita diketahui orang, akibatnya semua urusan bisa runyam, bahkan jiwamu
mungkin juga akan amblas."
"Betul," kata Tong Bu-siang, "jika ingin bekerja besar harus lebih berhati-hati, ku paham
peraturan ini."
Si baju hijau termenung sejenak, katanya kemudian, "Kebiasaanmu sehari-hari juga tidak
boleh teledor sedikitpun. Misalnya, sekarang kau sudah mengundurkan diri dari dunia
persilatan, tapi tiap urusan penting dalam perkampunganmu masih harus diselesaikan atau
diputuskan olehmu. Sebab itulah anak muridmu setiap hari masih tetap datang menyambangi
kau pada waktu tertentu serta untuk meminta petunjukmu."
"Ya, ku tahu, semua itu dilakukan pada waktu aku sarapan pagi," kata Tong Bu-siang.
"Dan apakah kau tahu apa-apa saja yang kau makan setiap hari?" tanya pula si baju hijau.
160
"Ku tahu orang Sujwan tidak biasa makan bubur, sebab itulah setiap pagi ku sarapan satu
piring nasi goreng dengan telur dadar, terkadang juga sarapan nasi goreng babat pedas, makin
pedas makin baik, sebab orang Sujwan memang terkenal doyan cabai."
"Apakah semua itu dapat kau biasakan?"
"Pada waktu permulaan memang tidak biasa, bila makan pedas keringat lantas bercucuran,
tapi setelah berlangsung dua tahun, semua itupun menjadi biasa bagiku."
"Dan tahukah kau biasanya berapa hari kau mandi satu kali?" tanya pula si baju hijau, lalu
iapun tanya berbagai urusan, baik yang penting maupun yang sepele, dan semuanya itu
dijawab oleh "Tong Bu-siang" dengan lancar, sampai-sampai setiap hari Tong Bu-siang yang
asli berak berapa kali juga diketahuinya dengan jelas.
Dari sini dapatlah diketahui bahwa komplotan mereka ini telah menguasai benar-benar lahirbatin
Tong Bu-siang, setiap gerak-geriknya dan setiap kebiasaannya sudah dipelajarinya
dengan tuntas tanpa kekurangan apapun juga.
Ki Leng-hong menghela napas, ucapnya, "Untuk pekerjaan ini, entah betapa banyak Ji hongho
itu telah memeras pikiran dan tenaga."
"Tentunya perbuatannya ini ada imbalannya," ujar Pwe-giok dengan mengertak gigi.
"Betul, dengan demikian, maka segala sesuatu, harta benda maupun kekuasaan tong-keh-ceng
di Sujwan yang bersejarah ratusan tahun itu akan berpindah seluruhnya ke tangannya, jadi
tenaga dan pikiran serta biaya berapa banyak yang dikeluarkannya tetap berharga, tidak rugi,"
demikian kata Leng-hong.
"Mereka menunggu kedatangan orang berbaju hijau ini, kiranya mereka sengaja hendak
menguji Tong Bu-siang gadungan ini, apakah sudah memenuhi syarat atau tidak untuk tampil
ke pentas," tukas Lui-ji. "Akan tetapi, orang macam apa pula orang serba hijau ini? Mengapa
dia menguasai sejelas ini seluk-beluk kehidupan Tong Bu-siang? Seolah-olah bagaimana bau
kentut Tong Bu-siang juga diketahuinya."
"Kukira orang ini pasti anak murid keluarga tong," kata Pwe-giok setelah berpikir sejenak.
"Ya, dia bukan saja anak murid keluarga Tong, bahkan pasti orang yang sangat berdekatan
dengan Tong Bu-siang." kata Ki Leng-hong.
"Dan sekarang dia telah mengkhianati Tong Bu-siang dan menjualnya," kata Pwe-giok pula.
"Apabila Tong Bu-siang mengetahui dirinya bakal dikhianati anak murid sendiri, mungkin dia
takkan mengkhianati orang."
Dalam pada itu si baju hijau sudah mengecek semua persoalan terhadap Tong Bu-siang
gadungan, dia sedang berduduk dan memandangi mereka dengan diam saja.
Sejenak kemudian, Ong Uh-lau menyengir, katanya, "Apakah saudara merasa ada hal-hal lain
yang kurang memuaskan?"
161
Si baju hijau tidak menjawab, tapi menuang tiga cawan arak, lalu berkata perlahan, "Ilmu
bersolek atau menyamar meski sudah tersebar luas selama ratusan tahun di dunia kangouw,
tapi orang yang berganti rupa secara demikian masih belum juga berani bergaul di depan
umum secara terang-terangan, sebab seorang yang sudah berganti rupa dengan menyamar,
betapapun pandai caranya berhias, bila ketemu seorang ahli, sekali pandang saja akan
diketahuinya.
Menurut cerita yang terjadi di Kangouw, meski banyak orang yang berganti rupa dan
menyamar sebagai orang lain, lalu menyusup ke dalam sesuatu organisasi rahasia lain
sehingga segenap anggota organisasi itu dapat dikelabuinya, akan tetapi itu hanya dongeng
saja di dunia Kangouw, menurut pandanganku sekarang, semua cerita itu hanya dongeng yang
sengaja dibumbui dan dibesar-besarkan, kukira sama sekali tak dapat dipercaya."
Bahwa mendadak si baju hijau bicara hal-hal ini, tentu saja Ong Un-lau dan Tong Bu-siang
gadungan itu merasa bingung karena tidak tahu apa maksudnya, terpaksa mereka diam saja
tanpa komentar, mereka menunggu ceritanya lebih lanjut.
Benar juga, si baju hijau lantas menyambung pula, "Tapi ilmu menyamar demikian setelah
jatuh di tangan Bu-lim-bengcu sekarang, seketika ilmu ini berkembang dengan lebih ajaib,
sebab beliau sanggup melebur antara ilmu pengobatan dan ilmu menyamar ini beliau harus
dipuji dan tiada bandingannya dari dulu kala hingga sekarang."
Mendengar sampai di sini barulah Ong Uh-lau dan Tong Bu-siang menghela napas lega serta
tertawa cerah.
Si baju hijau menatap lekat-lekat ke arah Tong Bu-siang gadungan, katanya kemudian dengan
suara tertahan, "Bahwa beliau mampu menciptakan seorang tokoh semacam Anda ini,
sungguh aku merasa kagum dan takluk benar-benar lahir batin. Sekarang jangankan orang lain
tak dapat membedakan asli atau palsunya anda, bahkan akupun tidak dapat membedakannya."
Tong Bu-siang gadungan itu kelihatan bergirang." ucapnya, "Jika demikian, jadi aku sudah
boleh muncul di depan umum?"
Akhirnya di baju hijau juga tertawa cerah, katanya, "Ya, kemunculan anda sekarang kuyakin
tidak perlu dikuatirkan lagi, tidak mungkin gagal."
Segera ia mengangkat cawan dan menyambung pula, "Marilah kuberi selamat dulu kepada
kalian, semoga segala sesuatu berjalan lancar dan sukses!"
Belum lenyap suaranya, mendadak terdengar seorang bergelak tertawa menanggapi, "Hahaha,
jika benar kau ingin menyuguh arak, kan jumlahnya masih kurang satu cawan!"
Suara itu berkumandang dari kamar sebelah sana, yaitu kamar si pemuda kurus masuk
bersama Hiang-hiang tadi.
Air muka si baju hijau berubah, segera tangannya meraba kantung yang tergantung di
pinggangnya, bentaknya. "Siapa itu?"
Maka terlihatlah seorang pemuda cakap melangkah keluar dari kamar dengan kemalasmalasan,
badan hampir seluruhnya telanjang, hanya memakai cawat saja.
162
"Eh, tangan anda itu jangan dikeluarkan," kata pemuda itu dengan tertawa. "Terus terang, Am
gi (senjata rahasia) keluarga Tong tak sanggup kumakan."
Si baju hijau menyurut mundur dua tindak ucapnya sambil melototi Ong Uh-lau, "Didalam
rumah ini ternyata masih ada orang lain, masakah kalian tidak tahu?"
Ong Uh-lau menyengir, jawabnya, "Sudah tentu kami tahu, sebab saudara ini bukanlah orang
luar."
"Oo!" si baju hijau melengak.
Pemuda cakap tadi lantas berkata dengan tertawa hambar, "Hendaklah Anda jangan terlalu
tegang, aku ini bukan saja kawan kalian, bahkan juga sahabat baik Ji Hong-ho."
Secara blak-blakan ia menyebut nama "Ji Hong-ho" di depan Ong Lau-thau, keruan si baju
hijau tercengang, sejenak ia melongo, lalu bertanya, "Siapakah nama Anda yang terhormat?"
Pemuda itu menghela napas, jawabnya, "Sebenarnya akupun ingin menyebutkan namaku agar
membuat kaget padamu, cuma sayang, aku tidak lebih hanya seorang Bu-beng-siau-cut
(prajurit tak bernama, keroco) saja."
Ong Uh-lau berdehem, lalu menyela, "Inilah Yang-kongcu, Yang cu-kang, sahabat karib
turun temurun Bengcu."
Mendadak pemuda itu mengulap tangannya, serunya dengan tertawa. "Ah, tak perlu kau
bohongi dia dan juga tidak perlu menyanjung diriku. Jangankan Ji Hong-ho tidak kenal ayahbundaku,
sampai-sampai aku sendiripun tidak tahu siapa ayah-ibuku? Masa berani ku bicara
tentang persahabatan turun-temurun segala dengan sang Bengcu?"
Air muka Ong Uh-lau menjadi merah, lalu berubah pucat. Sedangkan si baju hijau juga
melengak.
Sebaliknya pemuda yang bernama Yang Cu-kang lantas berkata pula sambil menuding
hidungnya sendiri, "Tahukah kau sebab apakah aku bernama Yang Cu-kang?"
Si baju hijau ingin tertawa, tapi urung, jawabnya dengan rada gelagapan, "Oo, maaf, aku tidak
tahu."
Maka Yang cu-kang lantas menyambung dengan bergelak tertawa, "Hahaha, sudah tentu kau
tidak tahu, sebab urusan inipun tiada sangkut-paut sedikitpun dengan kau, untuk apa kau
minta maaf?"
Dia angkat cawan dan menenggak arak, lalu berkata pula, "Supaya kau tahu, bolehlah
kuberitahukan padamu, yaitu lantaran aku diselamatkan orang dari banjir Yangcukang
(Yangtzekiang, Tiangkang), makanya aku diberi nama Yang Cu-kang. Mungkin begitu aku
lahir lantas dibenci orang, sampai-sampai ayah-bundaku juga tidak sudi memiara diriku dan
dihanyutkan ke sungai. Agaknya mereka memang orang cerdik, seperti sebelumnya sudah
tahu setelah dewasa aku akan semakin dibenci orang."
163
Ong Uh-lau, Tong Bu-siang gadungan dan si baju hijau sama melenggong dan tidak
menanggapi, namun dalam hati masing-masing sama berpikir bahwa pemuda ini ternyata
cukup tahu diri bahwa dirinya dibenci orang.
Yang Cu-kang lantas berduduk, dengan tertawa ia berkata pula, "Untunglah kita tiada maksud
bersahabat, sebab itulah tidak menjadi soal meski kalian merasa muak padaku. Ketahuilah,
biarpun kalian benci padaku, rasanya juga belum tentu ku suka kepada kalian. Jika bukan atas
permintaan Ji Hong-ho, biarpun kalian sediakan tandu bagiku juga ku malas datang ke sini."
Si baju hijau seperti tidak tahan, katanya dengan dingin, "Sebab apa Bengcu menyuruh anda
ke sini, sungguh Cayhe rada-rada tidak paham."
"Apakah kau betul-betul tidak paham?" Yang Cu-kang menegas dengan tertawa. "Padahal
alasannya sangat sederhana, yaitu kuatir jiwa kalian akan disambar orang, makanya aku
diminta agar datang kemari untuk melindungi kalian."
"Hm, sekalipun benar ada orang mengincar jiwa kami, rasanya kami sendiri sanggup
melayaninya, tidak perlu Anda ikut berkuatir," jengek si baju hijau.
"Oo? apa betul kau mampu melayaninya sendiri?" tanya Yang Cu-kang.
"Hmk!" si baju hijau mendengus.
"Wah, jika demikian, tentunya kau anggap kungfumu sendiri cukup hebat, begitu?" tanya
Yang Cu-kang dengan bergelak.
"Kalau bicara tentang kungfu, rasanya Cayhe cukup percaya kepada diri sendiri," kata si baju
hijau.
"Hehe, mungkin kau anggap kungfumu sendiri cukup hebat, tapi bagi pandanganku jelas tidak
seberapa," kata Yang Cu-kang dengan terkekeh. "Kalau ku incar jiwamu umpamanya, rasanya
terlebih mudah daripada makan nasi."
Seketika si baju hijau menggebrak meja dan berbangkit.
Ong Uh-lau dan Tong Bu-siang gadungan saling pandang sekejap, sedikitpun tidak ada tandatanda
akan melerai, sebab mereka juga ingin tahu sampai dimana lihaynya kungfu Yang Cukang
ini.
Maka terdengar Yang Cu-kang lagi menghela napas, ucapnya, "Eh, apakah kau bermaksud
bertanding denganku?"
"Ya, memang," jawab si baju hijau dengan gusar.
"Baik!" kata Yang Cu-kang.
Baru saja kata "baik" itu terucap, sinar lampu berkedip, tahu-tahu Yang Cu-kang sudah
lenyap.
164
Jelas si baju hijau sangat terkejut, baru saja ia hendak membalik tubuh, tapi belum lagi
tubuhnya berputar, tiba-tiba terasa ada orang meniup hawa di kuduknya.
"Coba, jika benar ku incar jiwamu, tentu kepalamu sudah berpindah rumah, bukan?" demikian
terdengar Yang Cu-kang berucap perlahan di belakangnya.
Mendadak di baju hijau berteriak, sebelah tangannya terus berayun ke belakang, serentak
sinar perak berhamburan. Tak tahunya di belakang ternyata tiada bayangan seorang pun,
Yang Cu-kang sudah menghilang.
Belasan titik sinar perak itu semuanya menancap di dinding dan menimbulkan bunyi nyaring
perlahan. Waktu ia berpaling lagi, dilihatnya Yang Cu-kang sudah berduduk kembali di
tempat semula, seperti sejak tadi tidak pernah bergeser dari kursinya.
Gerakan pemuda ini sungguh aneh dan cepat seperti hantu, bukan saja Ong Uh-lau dan lainlain
sama melengak, sampai Ji Pwe-giok yang mengintai di balik dinding sana juga terkesiap.
Kalau bicara tentang ginkang, Pwe-giok merasa dirinya tidak mampu membandingi pemuda
she Yang itu, bahkan Hay tong-jing yang sombong itupun sukar menandinginya.
Si baju hijau tampak melongo dengan keringat bercucuran, hangus yang terpoles di mukanya
juga luntur terguyur oleh air keringatnya sehingga mukanya kelihatan belang-bonteng.
"Nah, bagaimana? Sekarang kau takluk tidak?" tanya Yang Cu-kang dengan tak acuh.
Si baju hijau mengepal kedua tangannya dan tidak mampu menjawab.
Dengan tertawa Yang Cu-kang berkata pula, "Sebenarnya kaupun tidak perlu sedih,
sebaliknya kau harus bergembira, sebab kalian mendapat pelindung seperti diriku ini, siapa
lagi yang berani ganggu seujung rambut kalian?"
Ong Uh-lau tertawa terkekeh, ucapnya, "Betapa hebat Ginkang saudara, sungguh baru
sekarang mataku terbuka benar-benar."
Tong Bu-siang juga menyanjung, "Kuyakin di seluruh dunia sekarang, tiada seorang pun yang
memiliki Ginkang melebihi Yang-heng."
Walaupun mereka menyanjung, tapi sesungguhnya mereka memang terpengaruh juga oleh
kehebatan Ginkang Yang Cu-kang.
Tak terduga, biarpun disanjung, sebaliknya Yang Cu-kang malah menarik muka dan
menjengek. "Hm, kata-kata kalian ini tidak beralangan bila diucapkan di dalam kamar ini, tapi
kalau kalian siarkan, bisa jadi kepala orang she Yang akan amblas oleh karena propaganda
kalian."
"Ah, janganlah Yang-heng bergurau," ujar Tong Bu-siang, "Melulu Ginkang Yang-heng ini
saja masa perlu takut kepada orang lain?"
165
Yang Cu-kang mendengus, "Hm, dalam pandangan kalian ginkangku tentu saja luar biasa, hal
ini lantaran kalian tidak pernah melihat orang yang benar-benar menguasai kungfu sejati,
mungkin mendengar saja kalian tidak pernah."
Tong Bu-siang merasa penasaran, katanya, "Biarpun pengetahuan kami sangat cetek dan
kurang berpengalaman, tapi tokoh-tokoh Kangouw yang terkenal karena Ginkangnya rasanya
ada beberapa orang yang kuketahui."
"O, siapa-siapa saja yang kau ketahui?" tanya Yang Cu-kang.
"Misalnya, Hu-yong-siancu dari Hoa-san-pay, Hay-hong Hujin dari Pek-hoa-bun, An-lianpancu
dari Kay-pang, lalu .... lalu tokoh-tokoh yang terkenal sebagai Bu-lim-jit-kim (tujuh
unggas dunia persilatan) dan Kanglam-su-yang (empat burung seriti dari Kanglam) serta ....."
"Huh, orang-orang begitu juga kau sebut sebagai ahli ginkang?" jengek Yang Cu-kang.
"Meski Ginkang mereka belum dapat menandingi Yang-heng, tapi mereka sudah tergolong
jago kelas satu dunia Kangouw."
"Kelas satu?" Yang Cu-kang menegas. "Huh, mungkin kelas enam saja belum bisa."
Yang cu-kang menenggak araknya lagi beberapa cawan, kemudian berkata pula dengan
pelahan, "Tentunya kalian sudah cukup lama berkecimpung di dunia Kangouw, tapi apakah
kalian pernah mendengar suatu tempat yang bernama "Hwe-sing-kok" (lembah gema suara)
?"
Ong Uh-lau dan Tong Bu-siang saling pandang sekejap, lalu menjawab sambil menggeleng,
"Tidak ..... tidak pernah mendengar."
"Akupun tahu kalian pasti tidak pernah mendengar tempat itu," ujar Yang Cu-kang, "Sebab
kalau kalian pernah mendengar, tentu saat ini kalian takkan duduk dan minum arak
bersamaku di sini."
Air muka Ong Uh-lau berubah, ia tidak tahan, akhirnya ia bertanya, "Apakah di Hwe-singkok
itu juga terdapat seorang tokoh dengan Ginkangnya yang maha tinggi?"
Yang Cu-kang menghela napas juga, ucapnya, "Tokoh di Hwe-sing-kok itu masa cuma
Ginkangnya saja yang maha tinggi, bahkan sudah tergolong Ginkang yang maha ajaib dan
mungkin tidak pernah kau bayangkan."
Ia minum secawan arak pula, lalu menyambung lagi, "Kau tahu sebab apakah tempat itu
bernama Hwe-sing-kok? Sebab orang yang tinggal di sana mirip gema suara lembah
pegunungan, meski kalian dapat mendengar suaranya, tapi selamanya takkan melihat
bayangan mereka. Jika kau bersalah kepada mereka, mereka takkan membunuhmu atau
memukul dirimu, tapi begitu kau membuka suara segera kau akan mendengar gema suara
mereka yang sama dengan ucapanmu. Jika kau ketakutan dan tiga hari tidak bicara, maka tiga
hari itu juga tidak akan terjadi apa-apa, tapi begitu kau bicara, di sampingmu segera akan
timbul pula gema suara mereka."
166
Pucat muka Ong Uh-lau, katanya dengan menyengir, "Tapi ... tapi kalau mereka cuma
menirukan caraku bicara kan juga tiada yang perlu ditakuti?"
"Kalau mereka cuma menirukan caraku bicarakan juga tiada yang perlu ditakuti?" kata Yang
Cu-kang.
Ong Uh-lau melengak karena ucapan Yang Cu-kang itu jelas ulangan kata-katanya tadi,
kembali ia menyengir dan berucap, "Ah, kenapa saudara berkelakar denganku."
"Ah, kenapa saudara berkelakar denganku!" Yang Cu-kang menirukan pula.
"Ai, saud ....saudara ini ...."
"Ai, saud ....saudara ini ...."
Butiran keringat sudah memenuhi jidat Ong Uh-lau, seketika ia tutup mulut dan tidak berani
bersuara lagi.
Yang Cu-kang tertawa, katanya, "Nah coba, aku cuma menirukan tiga kalimat ucapanmu, kau
pun dapat melihat siapa yang menirukan suaramu, dan kau sudah merasa kesal dan risih,
maka boleh kau bayangkan, apabila ada seorang yang tak kelihatan yang senantiasa, setiap
saat setiap detik, selalu menirukan caramu bicara, kemanapun kau lari asalkan kau buka
mulut, maka suaramu itu seakan-akan lantas bergema di sampingmu. Tapi dengan cara
apapun juga, dengan usaha bagaimanapun tetap takkan kau lihat bayangannya."
Dia berhenti sambil melototi Ong Uh-lau, "Coba jawab, apakah kau dapat hidup tenteram
dengan cara demikian?"
Ong Uh-lau sudah mandi keringat, ia terdiam cukup lama, akhirnya menghela napas dan
menjawab dengan menyengir, "Hidup dalam keadaan begitu mungkin akhirnya aku bisa jadi
gila."
"Hm, dia justeru ingin membuatmu gila." jengek Yang Cu-kang. "Jika kau menyalahi dia,
meski dia tidak membunuhmu, tapi dia akan memaksa kau bunuh diri. Setahu kami, orang
yang pernah digoda oleh mereka, tiada seorangpun yang sanggup bertahan lebih dari tiga
bulan."
Tanpa terasa Tong Bu-siang juga mengusap keringat di dahinya, tanyanya dengan suara
parau:
"Masa di dunia ini benar-benar ada orang yang menakutkan dengan ginkang sehebat ini?"
"Betapa menakutkan Ginkang mereka mana dapat kulukiskan seluruhnya," kata Yang Cukang,
"kalau kau sendiri tidak pernah mengalami, selamanya juga sukar membayangkannya."
"Jika demikian, kita perlu hati-hati dan jangan sampai berbuat salah kepada mereka," ujar
Tong Bu-siang sambil menyengir.
167
"Hal ini memang kalian tidak perlu kuatir, mereka tidak nanti mencari setori kepada kalian,
jika kalian ingin dicari oleh mereka, sedikitnya kalian harus pulang dan giat berlatih kungfu
selama 20 atau 30 tahun lagi."
Meski mendongkol di dalam hati karena merasa terhina, tapi Tong Bu-siang dan Ong Uh-lau
tidak berani lagi membuka mulut.
Dengan tenang Yang Cu-kang menyambung pula, "Kalau bicara tentang Ginkang, tokohtokoh
dari Hwe-sing-kok itulah yang dapat diibaratkan rajawali diangkasa, orang-orang yang
menamakan dirinya Bu-lim-jit-kim atau Kanglam-su-yang apa segala, kalau dibandingkan
mereka, paling-paling hanya dapat dianggap sebagai cacing saja."
"Lantas saudara sendiri bagaimana?" tanya Ong Uh-lau tak tahan.
"Aku? Paling-paling hanya dapat dianggap sebagai seekor burung pipit, begitulah," sahut
Yang Cu-kang dengan tertawa.
"Jika demikian, kan kepala Anda sendiripun setiap saat bisa amblas diprotol orang, cara
bagaimana pula engkau akan melindungi orang lain?" tiba-tiba si baju hijau tadi mengejek.
"Untuk ini tidak perlu kalian kuatir." kata Yang Cu-kang dengan tak acuh, "sebab orang yang
mengincar nyawa kalian itu melulu diriku saja sudah cukup kulayani, sedangkan orang yang
mampu memprotoli kepalaku itu ..... Haha, seumpama kau potong kepalamu sendiri dan
diantar kehadapan mereka, mungkin memandang sekejap saja mereka tidak sudi, sebab jiwa
kalian dalam pandangan mereka tidak laku sepeser pun."
Si baju hijau terkesima sejenak, tanpa bersuara mendadak ia melangkah pergi. Meski Ong Uhlau
dan Tong Bu-siang gadungan itu hendak mencegahnya juga tidak keburu lagi.
"Biarkan dia pergi." jengek Yang Cu-kang.
"Orang ini meski tidak bernilai sepeser pun, kalau dia pergi dengan penasaran, bisa jadi akan
menimbulkan hal-hal yang tidak baik," ujar Ong Uh-lau.
"Kau kuatir dia akan membocorkan rahasia?" tanya Yang Cu-kang.
"Ya, meski Bengcu sudah berunding dan sepakat dengan dia, tapi orang macam begini kalau
sampai hati mengkhianati sanak keluarga sendiri, mustahil tidak tega mengkhianati kita."
"Kalau begitu, mengapa tidak kau kejar ke sana dan bunuh dia", ujar Yang Cu-kang.
Ong Uh-lau seperti melengak dan termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata dengan tertawa,
"Jangan-jangan Anda sengaja membikin dongkol dia supaya angkat kaki dari sini?"
Yang Cu-kang menuang lagi araknya, sahutnya tak acuh, "Betul, berada di tempat begini
paling asyik untuk mengobrol dan menghibur diri, jika mesti putar golok dan main pedang,
kan tidak cocok dengan keadaan tempat ini. Untuk membunuh orang tidak menjadi soal
bagiku, tapi mengacaukan kesenangan, inilah yang tidak dapat kulakukan."
168
Kembali Ong Uh-lau termenung sejenak, katanya kemudian. "Masih dua-tiga jam lagi fajar
akan menyingsing, kukira dua-tiga jam kan cukup?"
Yang Cu-kang hanya menatap arak dalam cawan, katanya dengan dingin, "Bila urusan ini
tidak dapat kau selesaikan sebelum fajar tiba, maka sebaiknya kaupun mencari akal untuk
kabur dan menyelamatkan nyawa saja."
Air muka Ong Uh-lau berubah pucat, tanpa bicara ia terus berbangkit dan menerjang keluar.
Yang Cu-kang masih terus menatap araknya, seperti ingin minum arak dengan matanya, ingin
mengguyur rasa sedih dalam matanya dengan arak.
Tong Bu-siang tidak mengerti mengapa pemuda yang dingin dan pongah itu mendadak
menjadi sedih, terpaksa iapun tutup mulut dan tidak berani tanya.
Sampai sekian lama barulah Yang Cu-kang berkata pula dengan perlahan, "Tahukah kau
sebab apa kusuruh dia membunuh orang, tapi aku sendiri berduduk di sini ?" - Ia angkat
cawan dan menenggak lagi araknya.
Diam-diam Tong Bu-siang berpikir kalau dalam berduduk dan minum arak di sini, untuk apa
susah payah membunuh orang? Walaupun demikian ia membatin, dengan sendirinya ia tidak
berani menyatakan perasaannya itu, dia menjawab dengan tertawa. "En... entah, aku tidak
tahu."
"Sebabnya, selama ini akupun tidak pernah membunuh orang" tutur yang Cu-kang dengan
suara berat. "Jadi aku tidak ingin melanggar pantangan membunuh demi orang itu."
Tong Bu-siang melengak, tanyanya: "Haah, Anda benar-benar tidak pernah membunuh
orang?"
"Kau tidak percaya?" yang Cu-kang tertawa, tertawa yang hampa, pelahan ia menyambung
pula. "Sebenarnya akupun ingin mencicipi bagaimana rasanya membunuh orang, Cuma
sayang, sejak kemunculanku belum pernah menemukan seorang yang berharga untuk
kubunuh."
"Orang macam apakah yang sekiranya berharga untuk kau bunuh?" tanya Tong Bu-siang
gadungan.
Mendadak Yang Cu-kang menatapnya tajam-tajam dan menjawab: "Akan kukatakan padamu
bilamana sudah kutemukan orangnya!"
Tong Bu-siang merasa sinar mata orang tiba-tiba berubah menjadi buram, seperti mata ikan
mati, menyeramkan, ia hanya memandang sekejap saja dan merinding.
Untung Yang Cu-kang lantas berdiri, gumannya: "Di dalam kamar masih ada yang
menunggu, tempo adalah uang, maaf, tak kutemani kau."
"Apakah nona itu sudah tidur?" tanya Tong Bu-siang dengan was-was.
169
"Jangan kuatir" jengek Yang Cu-kang. "Tidak nanti dia mendengar rahasia kita ini, hanya saja
sampai saat ini tidak tega kucabut nyawanya… sedikitnya sampai besok malam…"
"Jika demikian, silahkan anda tidur saja sepuasnya…"
"Kau tidak ingin pergi dari sini?"
"Pergi?" Tong Bu-siang melengak. "Pergi ke mana?"
"Tong Bu-siang dengan sendirinya harus pulang ke Tong keh-ceng."
Kembali Tong Bu-siang melengak, katanya kemudian dengan tergagap: "Masa sendirian
kupergi ke sana?"
"Memangnya kau anak kecil dan perlu diantar?"
"Akan… akan tetapi…"
Yang Cu-kang menarik muka, katanya: "Masa kau lupa siapa dirimu saat ini?"
Tong Bu-siang menunduk, jawabnya: "Baiklah, sekarang juga ku berangkat."
Yang Cu-kang tertawa cerah, katanya: "Berangkatlah lekas, mungkin puteri kesayanganmu itu
sedang mengharapkan kedatanganmu!"
Dan baru saja Tong Bu-siang melangkah, tiba-tiba Yang Cu-kang bertanya pula, "Setibanya
di rumah, apa yang harus kau kerjakan, apakah kau masih ingat?"
"Mana berani kulupakan?" jawab Tong Bu-siang.
"Bagus, berangkatlah kau," kata Yang Cu-kang, "besok malam mungkin kau sudah sampai di
Tong-keh-ceng, sebaiknya malam itu juga kau selesaikan beberapa urusanmu itu, dalam tiga
hari bilamana tidak kau selesaikan, sebaiknya kaupun mencari akal untuk menyelamatkan diri
saja."
Dia tertawa, lalu mendelik dan menyambung dengan sekata demi sekata, "Pada waktu bicara
hendaknya kau hati-hati, bukan mustahil aku selalu ikut mendengarkan di belakangmu."
*****
Begitu Tong Bu-siang berangkat, berbareng Pwe-giok, Lui-ji dan Ki Leng-hong lantas ikut
keluar juga, cuma mereka tidak berangkat menuju ke arah yang ditempuh tong bu-siang
gadungan itu.
Ki Leng-hong berkata, "Untuk membongkar tipu muslihat Ji Hong-ho gadungan itu, kunci
utamanya kan terletak pada diri tong bu-siang tiruan itu, mengapa tidak kau kuntit jejaknya ?"
"Untuk membongkar rahasia Tong Bu-siang palsu itu, kunci utamanya terletak pada si baju
hijau, maka kita tidak mau kubiarkan di dibunuh oleh Ong Uh-lau sehingga hilanglah saksi
hidup," ujar Pwe-giok.
170
"Menurut kau, sebenarnya siapa dia?"
"Saat ini tidak ada waktu bagiku untuk memikirkannya, sebab pikiranku lagi kusut."
Ki Leng-hong termenung sejenak, katanya pula. "Tapi beberapa urusan yang akan
diselesaikan Tong Bu-siang setibanya di rumah itu tentu sangat besar pula sngkut pautnya
dengan urusanmu."
"Betul," Lui-ji ikut bicara, "sepulangnya tentu segera ia perintahkan anak muridnya
membunuh orang, siapapun yang akan mereka bunuh, orang lain tidak dapat mencegahnya."
"Selain itu," tukas Ki Leng-hong, "bilamana resep pembuatan senjata rahasia berbisa keluarga
Tong itu sampai diserahkan kepada Ji Hong-ho, hal ini pun bukan suatu urusan kecil, sebab
itulah kita harus berusaha untuk merintanginya."
"Meski urusan ini sangat penting, tapi yang lebih penting kukira tetap si baju hijau yang
misterius itu," ujar Pwe-giok. "Asalkan dapat menemukan dia, maka urusan lain pasti akan
terpecahkan dengan sendirinya."
Mendadak Ki Leng-hong berhentikan langkahnya, katanya, "Baik, boleh kalian mencari si
baju hijau, biar ku kembali kesana untuk mengawasi tingkah laku orang she Yang itu, toh
dengan kekuatan kalian berdua rasanya sudah lebih daripada cukup untuk melayani Ong Uhlau
dan sibaju hijau."
"Begini juga baik," kata Pwe-giok.
Leng-hong tertawa, katanya, "Hendaknya kau pun jangan lupa janji kita, kalau bicara
sebaiknya juga berhati-hati, sebab bukan mustahil senantiasa akupun mengintil dan
mendengarkan di belakangmu."
*****
Malam yang sejuk, suasana sunyi senyap.
Embun yang menghiasi jalan raya terbuat dari balok batu itu gemerdep laksana kerlip bintang
di langit. Kecuali suara kentongan yang terkadang berkumandang dari kejauhan hampir boleh
dikatakan tidak terdengar lagi suara lain.
Di jagat raya yang luas ini seolah-olah tertinggal Cu Lui-ji dan Ji Pwe-giok berdua saja.
Tadi Lui-ji hanya mendengarkan, melihat dan terheran-heran serta tiada hentinya menerka
dan menduga, urusan lain sudah terlupakan seluruhnya.
Tapi sekarang, setelah dihembus angin malam yang sejuk, disorot oleh cahaya bintang yang
redup, tiba-tiba teringat olehnya apa yang dilakukannya terhadap Pwe-giok itu ....
Seketika hatinya seperti dipuntir-puntir, tanpa terasa air matanya akan menetes lagi.
171
Pwe-giok berjalan dengan cepat, air mukanya juga suram, meski sorot matanya jelalatan dan
selalu mengamati segala sesuatu di sekitarnya, tapi sama sekali tidak memandang Lui-ji
barang sekejap pun.
"Apakah dia menganggap aku lagi mengganggunya?" demikian pikir si nona.
Mendadak ia berhenti dan berkata, "Aku ... akupun akan pergi."
"Pergi?" Pwe-giok menegas dan melengak sambil berpaling. "Hendak ke mana kau?"
Lui-ji menggigit bibir dan tertawa, katanya, "Banyak sekali tempat yang dapat ku datangi,
kukira tidak perlu kau kuatir."
Kecuali orang buta, siapapun dapat melihat tertawanya yang hampa dan pedih itu. Sungguh
Pwe-giok berharap dirinya bisa mendadak berubah menjadi orang buta saja. Sungguh ia
berharap hatinya bisa berubah menjadi keras dan berkata kepada si nona, "Baiklah jika kau
mau pergi silahkan pergi saja, meski menguatirkan kau berkelana sendirian, tapi bila kau ikut
bersamaku mungkin akan lebih banyak bahayanya, sebab aku memang tidak sanggup
melindungi dirimu, keadaan tidak mengijinkan kubawa serta kau. Jika kau ikut padaku bisa
jadi akan lebih membuatmu berduka, sebab tidak mungkin dapat kutemani kau untuk
selamanya."
Apa daya, ia tidak tahu cara bagaimana supaya dia dapat mengucapkan kata-kata itu.
Maka ia tidak bicara apa-apa, hanya pelahan ia pegang tangan Lui-ji, walaupun disadarinya
dengan cara demikian tentu akan menambah runyamnya persoalan. Tapi dia tidak mempunyai
cara lain. Hari segelap itu, angin sedemikian dingin, mana dia tega membiarkan anak dara
sebatangkara ini pergi mengembara seorang diri.
Air mata Lui-ji akhirnya juga bercucuran....
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara gemeretak roda kereta dan ringkik kuda
dari kejauhan dan makin lama semakin mendekat.
Sudah jauh malam begini, mengapa ada kereta kuda dilarikan secepat ini ?
Kebetulan di tepi jalan sana ada sebuah bak air minum kuda, cepat Pwe-giok menarik Lui-ji
dan melompat kesana. Baru saja mereka berjongkok, cepat sekali kereta kuda itu sudah
muncul dari tikungan jalan terus dilarikan ke arah sini.
Bagi pandangan orang lain kereta ini hanya sebuah kereta berkabin yang sangat umum, tapi
Pwe-giok yakin bila kereta ini kereta berkabin biasa tentu takkan menempuh perjalanan pada
tengah malam buta begini.
Tak terduga, setelah memasuki jalan raya ini, lari kereta kuda lantas diperlambat, lalu berhenti
dan dari dari dalam kabin kereta mendadak menongol sebuah kepala orang perempuan.
Ketika Pwe-giok mengintip dari balik bak air, dilihatnya rambut perempuan itu hitam
gompiok dan digelang dengan hiasan sebuah tusuk kundai kemala hijau, cuma mukanya tidak
sempat terlihat.
172
Terdengar si kusir lagi berkata: "Di depan sana adalah gapura janda Ong, apakah perlu
meneruskan perjalanan kesana ?"
Perempuan tadi berpikir sejenak, jawabnya kemudian: "Sudahlah, tunggu saja di sini."
Sebentar lagi ia bertanya pula: "Saat ini kira-kira sudah pukul berapa ?"
Si kusir mengusap keringat dengan sebuah handuk kecil sambil menjawab, "Sudah lewat
kentongan ke empat, hampir kentongan kelima."
"Waktu yang dijanjikan adalah kentongan ketiga (antara pukul 1 tengah malam), jadi
kedatangan kita sudah terlambat, mengapa dia malah belum sampai ?"
Suaranya penuh rasa gelisah, mirip seorang gadis yang baru saja minggat dari rumah, tapi
setiba ditempat yang dijanjikan ternyata tidak bertemu sang kekasih.
Tak terduga, di dalam kabin kereta ada lagi suara seorang perempuan dan bertanya, "Bisa jadi
dia tidak sabar menunggu dan mencari kita ke tempat lain."
Perempuan pertama seperti tambah gelisah, ucapnya, "Padahal dia tahu kita pasti datang,
mengapa tidak menunggu dulu ?"
"Jangan kuatir, dia pasti datang," kata perempuan yang lain.
Belum habis ucapnya, mendadak sesosok bayangan melayang turun dari wuwungan rumah
seberang sana, di bawah remang cuaca malam, wajahnya kelihatan kelam dan sukar diketahui
bagaimana mukanya.
Akan tetapi Pwe-giok sudah dapat melihatnya, jelas orang ini adalah si baju hijau yang
misterius itu. Kiranya dia juga sudah berjaga-jaga sebelumnya dan telah menyiapkan orang
menunggunya di sini.
Terlihat si baju hijau juga sangat gugup dan gelisah, begitu melayang turun ia lantas
menggerundel: "Tahukah kau sudah pukul berapa sekarang ?"
"Justru lantaran kami memburu waktu, ditengah jalan as kereta patah sehingga datang
terlambat..." Demikian perempuan pertama tadi memberi penjelasan.
"Dan bagaimana dengan kau ? mengapa kau tidak menunggu ?"
"Soalnya aku merasa di belakangku seperti ada orang menguntit, maka aku sengaja berputar
dulu ke tempat lain," Tutur si baju hijau dengan suara parau, sembari bicara ia terus
menyusup ke dalam kereta.
Kepala perempuan yang menongol tadi juga mengkeret ke dalam, terdengar dia bertanya,
"Bagaimana, urusannya sudah beres ?"
"Wah, ceritanya sangat panjang, lekas berangkat saja !" sahut si baju hijau.
173
Segera si kusir bersuara menghalau kudanya dan kereta itu dilarikan lagi ke depan dengan
cepat...
Biarpun Ong Uh-lau sudah cacat, betapapun dia adalah seorang tokoh Kangouw kawakan,
tapi si baju hijau ini ternyata mampu meloloskan diri dari penguntitannya, jelas orang inipun
cukup cerdik dan cekatan.
Perempuan yang berada di dalam kereta itu tampaknya juga sangat prihatin, pula perempuan
umumnya juga jauh lebih cermat dan hati-hati daripada kaum lelaki, bilamana sekarang
hendak menguntit jejak mereka tanpa diketahui, rasanya pasti bukan suatu pekerjaan yang
mudah.
Apalagi lari kereta itu sangat cepat, dengan tenaga Pwe-giok dan Lui-ji sekarang mungkin
sukar mengintil secara ketat di belakang mereka.
Selagi Pwe-giok ragu-ragu, mendadak Lui-ji melompat keluar dari balik bak air, tubuh si nona
yang kecil mungil dan gesit laksana kucing, sekaligus ia melompat ke belakang kereta terus
menyusup ke bawah.
Pwe-giok ingin mencegah, tapi sudah terlambat, dilihatnya Lui-ji sudah menempel di bawah
kereta, tangannya yang kecil tampak menggapai pelahan padanya, lalu menghilang dalam
kegelapan bersama kereta itu.
Nona cilik itu sungguh pemberani, meski merasa kuatir, terpaksa Pwe-giok mengikutinya dari
kejauhan. Dalam keadaan demikian ia lebih-lebih harus berusaha agar tidak diketahui lawan,
sebelum jelas meraba seluk beluk dan asal usul lawan ia lebih-lebih tidak boleh sembarang
bertindak.
Untunglah di tengah malam buta yang sunyi senyap, meski kereta itu sudah dilarikan sangat
jauh toh suara gemertak rodanya masih terdengar, dan Pwe-giok lantas menyusul ke sana
menuruti arah suara roda kereta.
Kota ini masih asing bagi Pwe-giok, hakekatnya ia tidak dapat membedakan jalan, ia cuma
tahu jalan yang dilalui kereta itu semuanya jalan batu yang rajin.
Baru sekarang ia mengetahui kota ini ternyata sangat besar, sudah cukup lama dia menguntit
kereta itu dan belum lagi keluar kota.
Kini bajunya sudah basah kuyup oleh keringat, tenaga pun mulai tidak tahan, sebab meski dia
baru tidur nyenyak cukup lama, tapi sesudah bangun belum lagi makan sebutir nasipun.
Manusia adalah besi, nasi adalah baja, betapa kuatnya seseorang juga tidak mampu melawan
rasa lapar. Dia boleh tiga hari tiga malam tidak tidur dan dapat bertahan sekuatnya, tapi satu
hari tidak makan nasi saja rasanya sudah lemas, kedua kaki terasa lunglai, sekujur badan
terasa kosong.
Untunglah pada saat itu laju kereta mulai lambat, suara detak kaki kuda yang semula sangat
kerap kini sudah mulai jarang-jarang.
174
Pwe-giok menghela nafas lega, baru saja ia bermaksud berhenti untuk mengusap keringat,
begitu dia mengangkat kepala memandang kesana, seketika ia tercengang, air mukanya juga
berubah pucat.
Dilihatnya balok batu jalan raya yang licin dan gemerlap dengan butiran embun, dikejauhan
sana ada bayangan gapura besar, di tepi jalan juga ada bak air tempat minum kuda...
Hah, tempat ini bukankah tempat yang sudah dilaluinya tadi ?
Busyet! Jadi kereta ini hanya berputar kayun kian kemari didalam kota. Apakah si baju hijau
terlalu iseng habis makan kenyang, maka tengah malam buta pesiar menumpang kereta.
Diam-diam Pwe-giok sudah merasakan gelagat tidak enak, segera ia memburu kesana
sekuatnya, dilihatnya kereta kuda itu masih berjalan pelahan ke depan. Jelas kelihatan kuda
kelabu berceplok hitam, kereta berkabin yang cukup indah serta si kusir yang kepalanya
berikat handuk putih....
Semuanya itu dapat dilihat jelas oleh Pwe-giok, jelas-jelas pula kereta ini adalah kereta yang
di kuntitnya tadi.
Tapi mengapa kereta ini hanya berputar-putar saja didalam kota, bahkan berputar balik ke
tempat semula. Sesungguhnya apa kehendak si baju hijau yang misterius itu ? sungguh Pwegiok
merasa bingung dan sukar mencari jawabannya.
Ia menjadi serba runyam. Coba bayangkan, dia mengejar setengah malam, letihnya setengah
mati, hasilnya dia kembali ke tempat semula. Jika tahu begini sebelumnya, lebih baik dia
menunggu saja di sini.
Sementara itu kentongan kelima (antara pukul 4-5) sudah lewat, fajar belum lagi menyingsing
dijalan raya masih jarang ada orang lalu, hanya di ujung jalan sana ada sebuah warung yang
sudah menyalakan lampu.
Kiranya warung ini menjual tahu, angin malam yang sejuk kini sudah membawa bau sedap
bunga tahu serta wedang kacang hijau,
Dalam keadaan dan saat demikian, bau sedap ini bagi Pwe-giok mungkin tergolong daya tarik
yang paling besar di dunia ini, hampir saja dia tidak tahan dan ingin menyerbu ke dalam
warung itu untuk makan sekenyangnya.
Akan tetapi ia tetap bertahan, ia tidak boleh meninggalkan kereta itu.
Siapa tahu kereta itu lantas berhenti juga di depan warung itu. Cepat Pwe-giok melompat ke
emper rumah yang gelap di tepi jalan, ia sembunyi di balik sebuah tong sampah.
Dilihatnya si kusir turun dari keretanya dengan kemalas-malasan, ia minta satu mangkuk
wedang kacang, sambil berjongkok di depan warung ia minum wedang kacang itu dengan
nikmatnya. Sembari minum, terkadang ia pun berhenti dulu untuk menghela nafas, rasanya
seperti sangat puas dengan wedang kacang yang sedap itu.
175
Anehnya si baju hijau dan kedua perempuan tadi tidak kelihatan ikut turun, didalam kereta
juga tiada sesuatu suara apapun, padahal jejak mereka tadi kelihatan sangat misterius dan
dilakukan dengan tergesa-gesa, mengapa sekarang mereka cukup sabar berduduk didalam
kereta untuk menunggu si kusir minum wedang kacang dengan pelahan ?
Makin dipikir makin dirasakan oleh Pwe-giok ada sesuatu yang tidak beres, waktu ia
mengintai ke bawah kereta, keadaan gelap gulita dan tidak terlihat apapun, entah Lui-ji masih
menempel di situ atau tidak.
Mau tak mau Pwe-giok merasa cemas dan gelisah.
Dalam pada itu si kusir sudah habis minum wedang kacangnya, dia berdiri dan mengulet,
dilemparkannya beberapa mata uang ke dalam mangkuk, tampaknya dia hendak berangkat
lagi.
Betapapun sabarnya Pwe-giok kini juga tidak tahan lagi, mendadak ia keluar dari tempat
sembunyinya, ia menggapai dan memanggil,
"Hei, kusir, kereta itu menerima penumpang tidak ?"
Kusir itu mengusap mukanya dengan handuknya yang sudah kumal, jawabnya dengan
tertawa: "Jika kereta kosong tidak terima penumpang, apakah kusirnya tidak makan angin
belaka ?"
Kereta kosong ?!
Seketika tangan Pwe-giok berkeringat dingin, dengan langkah lebar ia lantas mendekati
kereta, mendadak ia menyingkap kerai pintu kereta dan melongok ke dalam....Benar juga,
kabin kereta kosong melompong, tiada seorang pun. Waktu ia melongok ke bawah kereta, Cu
Lui-ji juga tidak kelihatan lagi.
Keruan kejut Pwe-giok tak terkatakan, ia tidak pantang apa-apa lagi, mendadak ia menubruk
maju, baju kuduk kusir itu dicengkeramnya, bentaknya dengan bengis,
"Kemana perginya para tamu penumpangmu tadi ?"
Ya, kemana perginya para penumpangnya tadi ?
Dan kemana pula perginya Lui-ji ?
Kereta tadi dilarikan dengan sangat cepat, Lui-ji sembunyi di bawah kereta, tulang sekujur
badan seakan-akan retak karena diguncangkan oleh kereta itu. Debu yang ditimbulkan oleh
kaki kuda dan roda kereta seolah-olah sengaja memusuhi dia, selalu menerobos ke dalam
hidungnya. Sungguh ia merasa hidungnya itu hampir berubah menjadi cerobong asap.
Penderitaan itu sungguh sukar ditahan, tapi Lui-ji terpaksa menggertak gigi dan bertahan
sedapatnya. Dia bukan saja harus menahan nafas, bahkan juga harus tutup mulut, malahan
harus memegangi as roda sekuatnya supaya dia tidak terjatuh dan mungkin digilas oleh roda
kereta.
176
Untunglah pada saat itu dari dalam kabin terdengar suara orang berbicara, hal ini sedikit
banyak telah memencarkan perhatiannya dan juga memencarkan rasa deritanya, maka ia
lantas pasang telinga dan mendengarkan dengan cermat....
Didengarnya si perempuan pertama tadi sedang berkata, "Ai, selama ini, sungguh aku hampir
mati rindu padamu. Bagaimana dengan kau? Rindu padaku tidak ?"
Terdengar si baju hijau lagi terbatuk-batuk.
Maka perempuan itu berkata pula: "Apakah kau tidak merindukan diriku ?...Mengapa kau
tidak bicara ?"
Lalu suara perempuan yang lain mengikik tawa dan berkata, "Tidak perlu kau pantang, ada
apa boleh kau katakan saja, anggaplah aku sudah tidur, bukan saja aku tidak mendengarkan
percakapan kalian, akupun pasti tidak akan mengintip."
Karena itu si baju hijau barulah menghela nafas, ucapnya, "Jika aku tidak memikirkan dirimu,
mana.. mana bisa kulakukan hal-hal demikian ini !"
"Apakah kau menyesal ?" tanya si perempuan.
"Tidak, sama sekali aku tidak menyesal," Jawab si baju hijau dengan suara lembut tapi tegas.
"Demi kau, apapun juga dapat kulakukan dan pasti takkan menyesal."
Perempuan tadi kedengaran bersuara tertahan seperti mendadak dipeluk oleh si lelaki, habis
itu lantas tidak terdengar suara apa-apa lagi.
Meski Lui-ji tidak paham apa yang terjadi, tapi diketahuinya juga bahwa dalam keadaan
begitu rasanya berdiam akan lebih baik daripada bersuara.
Ia cuma heran apakah si baju hijau rela menjual keluarga Tong hanya demi membela
kekasihnya itu ? lantas siapakah gerangan perempuan itu ? ada hubungan apa pula antara dia
dengan keluarga Tong di Sujwan.
Selang agak lama baru terdengar si perempuan menghela nafas lega, nafas kepuasan. Lalu
sambil tertawa dan setengah mengomel ia menghardik, "Kau budak mampus, katamu tidak
akan mengintip, mengapa sekarang mengintip ?"
Perempuan yang lain tertawa ngikik, jawabnya, "Habis, siapa yang tahan melihat kedua
kakimu menyepak kian kemari, malahan kusangka kau mengidap penyakit ayan."
"Sialan !" omel si perempuan pertama.
"Setan cilik ini mungkin lagi birahi dan ingin punya lelaki, makanya bicara seperti orang gila
begini,"
Perempuan lain menimpali dengan tertawa, "Ai, entah siapa yang lagi birahi dan ingin dipeluk
lelaki, sampai satu detik saja tidak tahan, masa di dalam kereta lantas hendak...hendak
main..."
177
Cepat si baju hijau batuk-batuk lagi, selanya: "Eh, apakah kalian sudah mengatur tempat
tujuan kita ?"
"Jangan kuatir," kata perempuan yang lain,
"Begitu toaci menerima beritamu, segera semua urusan telah dibereskannya. Lantaran kuatir
siang hari tidak leluasa menempuh perjalanan cepat, dia malah sudah lebih dulu menyuruh
orang mengatur suatu tempat tinggal di luar kota, dan sekarang juga kita akan menuju kesana
untuk istirahat dan besok malam baru kita berangkat lagi."
Dia mengikik tawa, lalu menyambung: "Padahal Toaci bukan kuatir tidak leluasa menempuh
perjalanan di siang hari segala, dia hanya ingin anu dulu denganmu...."
"Hus, setan cilik, apa kau minta kurobek mulutmu ?!" bentak perempuan yang pertama.
Tampaknya kedua taci beradik itu bersenda-gurau dengan gembira, sedangkan si baju hijau
agaknya menanggung sesuatu pikiran, dia berkata dengan suara tertahan, "Siapakah yang kau
suruh mengatur tempat tinggal itu ?"
"Dengan sendirinya orang yang dapat dipercaya," jawab Si perempuan.
"Ai, orang yang dapat dipercaya di dunia ini sesungguhnya tidak banyak," kata si baju hijau,
"Untuk itu kau..."
"Aku cuma menyuruh dia mengatur pondokan dan tidak kukatakan untuk keperluan apa, dia
juga tidak kenal kau..." demikian kata si toaci.
"Tapi kalau kau masih berkuatir, setiba di sana biarlah nanti kubunuh dia."
Sampai di sini, Lui-ji terkejut pula.
Sungguh tak terpikir olehnya kedua taci beradik yang menarik ini ternyata berhati sekeji itu,
membunuh orang dianggapnya seperti makan nasi sehari-hari saja.
Selang sejenak, si baju hijau berkata pula: "Tempat yang telah diatur untuk kalian itu apakah
sudah diketahui terletak dimana ?"
"Begitu keluar kota segera kita dapat menghubungi dia." ujar si Toaci.
Si baju hijau termenung sejenak, katanya lagi, "Jika demikian, boleh kau suruh kusir
mengendarai keretanya berputar kayun saja didalam kota."
"Berputar kayun di dalam kota ? untuk apa ?" si Toaci menegas dengan melengak.
"Setiba di depan sana kita lantas melompat keluar, kita keluar kota sendiri dengan berjalan
kaki, biarkan kereta ini tetap berputar di dalam kota, dengan demikian, andaikan ada orang
menguntit kereta ini juga takkan menjadi soal lagi."
178
Perempuan yang lain tertawa, ucapnya, "Sungguh tidak nyana nyalimu berubah menjadi
sekecil ini, kuingat dahulu kau bukan seorang penakut begini."
"He, jangan.. jangan-jangan telah terjadi sesuatu ?" tanya sang Toaci.
"O, tidak, semua syaratku sudah diterima mereka seluruhnya," kata si baju hijau.
"Kalau begini, urusannya kan sudah berhasil apalagi yang kau takutkan ?" ujar si Toaci.
Si baju hijau menghela nafas, katanya, "Justru lantaran urusan sudah jadi, maka aku harus
lebih berhati-hati."
"Aneh, kenapa bisa begitu ?" tanya sang toaci.
"Sebab selalu kurasakan ada sesuatu yang tidak enak, bisa jadi mereka akan membunuhku
untuk menutup mulutku !"
"Siapa saja yang bertemu denganmu tadi ?" tanya si perempuan kedua tadi.
"Yaitu begundal Ji Hong-ho yang paling dipercaya, Ong Uh-lau dan .... dan Tong Bu-siang
palsu itu."
Perempuan kedua itu menjengek, "Hm, jika menguntit, jangan harap lagi mereka dapat pulang
dengan hidup."
"Kedua orang ini tidak menguatirkan, tapi masih ada seorang lagi yang sangat menakutkan,"
tutur si baju hijau.
"Siapa dia?"
"Dia mengaku bernama Yang Cu-kang, entah nama asli atau samaran."
"Apakah ilmu silat orang ini sangat tinggi?"
Si baju hijau menghela napas, katanya, "Selama hidupku ini sungguh belum pernah melihat
jago silat yang lebih hebat dari dia, di depannya kungfuku yang kulatih selama berpuluh tahun
ini sama seperti permainan anak kecil yang tiada artinya."
Agaknya kedua taci beradik itupun rada terkejut, seketika keadaan menjadi hening.
Lalu si baju hijau berkata pula, "Apapun juga tidak ada jeleknya jika kita berhati-hati sedikit,
lebih-lebih .... " dia menghela napas panjang, lalu menyambung pula, "Segala sesuatu
urusanku kan lebih ruwet daripada kalian ...."
Dengan tertawa perempuan muda itu memutus ucapannya, "Sudahlah, jangan mengeluh lagi,
jika kau mengeluh, sebentar Toaci bisa menangis. Biarlah kuturuti semua kehendakmu."
Selang sebentar, terdengar dia berkata kepada si kusir, "Lau Wong, kami akan turun di depan
sana, tapi kereta jangan berhenti, boleh kau larikan dengan cepat dan berputar kayun di dalam
kota, sedikitnya satu jam baru boleh kau hentikan."
179
Terdengar si kusir mengiakan.
Lalu perempuan itu berkata pula, "Awas, jika kau bocorkan jejak kami satu kata saja atau kau
malas dan tidak menjalankan keretamu sebelum satu jam, maka hukuman apa yang akan kau
terima tentunya kau sudah tahu sendiri."
"Ya, ham ... hamba tidak berani," jawab si kusir.
"Akupun tahu kau pasti tidak berani," ujar perempuan itu dengan tertawa, "Apalagi ke mana
kami akan menuju hakekatnya juga tidak kau ketahui."
*****
Mendengar mereka akan melompat keluar dari kereta, mulailah Lui-ji merasa gelisah. Sebab
kalau dia meneruskan penguntitannya terhadap ketiga orang ini, maka dia pasti akan
kehilangan kontak dengan Ji Pwe-giok.
Sebaliknya kalau dia tertinggal di situ untuk memberi kabar kepada Pwe-giok, maka dia akan
kehilangan jejak selanjutnya ketiga orang itu.
Padahal hanya diketahuinya pondokan yang dituju mereka terletak di luar kota, tapi rumah di
luar kota entah beberapa ratus jumlahnya, darimana dia tahu rumah mana yang akan menjadi
pondokan mereka?
Selagi gelisah, tiba-tiba Lui-ji ingat sekotak Yanci (pupur merah, gincu) yang dibawanya,
Yanci ini adalah kado pemberian nona penghuni Bong-hoa-lau pada waktu di "menikah"
semalam.
Yanci ini sangat bagus warnanya, bahkan dusnya juga sangat indah buatannya, konon
produksi termasyhur pabrik kosmetik "Thian-hiang-cay" di Peking.
Lui-ji sangat senang pada Yanci itu, maka sekotak lantas disimpannya dalam baju. Tatkala
mana tak terpikirkan olehnya bahwa yanci ini akan berguna baginya.
Tapi sekarang terpikirlah olehnya, dengan sebelah tangannya ia mengeluarkan kotak kecil
yanci itu, ia remas pecah dusnya, dengan yanci itu ia menulis beberapa huruf di bawah kereta,
bunyinya: "Aku menguntit keluar kota ...."
"Meski cuma beberapa huruf saja ditulisnya, tapi tangan sudah terasa pegal, selagi ia mengaso
dan hendak menulis lagi, tiba-tiba ada suara dalam kabin kereta, terdengar si baju hijau
berkata, "Di sini kelihatan sepi, ayo kita keluar!"
Habis itu lantas kelihatan tiga orang melompat keluar kereta, sekali kaki mereka menempel
tanah, serentak mereka melejit lebih jauh lagi ke sana. Gerakan kedua Taci beradik itu
ternyata jauh lebih cepat dan gesit daripada si baju hijau.
Segera Lui-ji juga kendurkan pegangannya, "bluk", ia terbanting di tanah dan hampir-hampir
kelenger, tapi ia tidak menghiraukan rasa sakit lagi, cepat ia melompat bangun terus mengejar
ke sana.
180
Ia merasa Ginkang sendiri jauh lebih tinggi satu tingkat ketimbang ketiga orang itu, maka
sedikitpun ia tidak kuatir jejaknya akan diketahui lawan.
Sementara itu si kusir sudah melarikan kereta ke arah lain dan juga tidak mengetahui ada
seorang jatuh dari bawah keretanya.
Diam-diam Lui-ji bersyukur dan bergirang akan hasil kerja dirinya ini, ia merasa
penguntitannya sekali ini boleh dikatakan "tabah dan hati-hati, gesit dan bersih", biarpun
tokoh Kangouw kawakan juga belum tentu dapat bekerja sebagus ini.
Dia lupa bahwa umumnya orang yang semakin berpengalaman di dunia Kangouw nyalinya
justeru bertambah ciut. Orang yang bernyali besar seperti dia tidak nanti tahan 20 atau 30
tahun berkecimpung di dunia Kangouw. Sebab orang demikian biasanya pasti tidak berumur
panjang.
Dilihatnya ketiga orang di depan itu makin menuju ke tempat yang sepi dan terpencil, karena
itu langkah mereka pun tidak lagi berhati-hati seperti semula, tiada seorang pun yang menoleh
ke belakang.
Tentu saja Lui-ji bertambah berani, diam-diam iapun tambah senang, pikirnya, "Kalian
mengira sudah dapat melepaskan diri dari orang yang menguntit, tentunya kalian tidak tahu
masih ada diriku!"
Kini dia sudah dapat melihat jelas perawakan kedua taci beradik itu, mereka berbaju yang
sangat serasi dengan garis tubuh masing-masing, potongan badan mereka sangat menggiurkan
orang, biarpun sedang berlari dengan Ginkang juga kelihatan pinggang mereka yang ramping
dengan gaya yang menarik. Cuma sayang Lui-ji tetap belum sempat melihat wajah mereka.
Setelah berjalan sekian jauhnya, kedua kakak beradik kembali bersenda gurau lagi.
Karena tidak berani terlalu dekat, maka Lui-ji tidak dapat mengikuti apa yang sedang
dipercakapkan mereka.
Dalam pada itu di ufuk timur sana sudah remang-remang, fajar sudah mulai menyingsing.
Tertampak sawah membentang di depan sana, padi menguning melambai-lambai terusap
angin laksana gelombang ombak.
Di tepi sawah sana ada tiga atau lima buah gubuk, di ujung rumah meringkuk seekor anjing
penjaga, ketika mencium bau orang asing, mendadak anjing itu melompat bangun dan
menggonggong.
Di belakang rumah sana ada sebuah kolam ikan, ada kebun kecil di samping kolam dengan
tanaman sayur yang tampak menghijau segar, kebun itu dikitari pagar bambu yang dirambati
akar-akaran yang berbunga kuning kecil yang sedang mekar dengan indahnya.
Itulah gambaran sebuah rumah petani yang aman tenteram dan adem-ayem. Akan tetapi Lui-ji
justeru merasa seperti kekurangan sesuatu. Dia memang dibesarkan di suatu kota kecil,
terhadap pemandangan dan suasana pedusunan sudah tidak asing lagi. Di sini juga ada sawah
181
dan padi, ada kebun dan sayur, ada rumah gubuk, ada kolam ikan, bahkan juga ada anjing
penjaga rumah. Lantas apa yang dirasakannya masih kurang?
Mendadak ketiga orang di depan itu berhenti, lalu celingukan kian kemari, habis itu mereka
lantas langsung menuju ke rumah petani itu. Perempuan yang berbadan lebih padat itu
malahan berkata dengan tertawa, "Tentu inilah tempatnya, pasti tidak salah lagi."
Dia berbicara dengan suara cukup keras, sampai Lui-ji juga dapat mendengar dengan jelas.
Si baju hijau juga berkata, seperti lagi bertanya, "Darimana kau tahu pasti tidak salah?"
Lalu perempuan tadi menjawab, "Sebab di sini tidak ada ayam berkotek, pernahkah kau
melihat orang kampung tidak piara ayam?"
Perempuan yang lain menyela dengan tertawa, "Orang tani piara ayam atau tidak, Toa-siauya
(tuan muda) yang hidup senang di gedung megah seperti dia mana bisa tahu."
Si baju hijau seperti benar-benar tidak paham, kembali ia bertanya, cuma suaranya sangat
rendah sehingga tidak terdengar oleh Lui-ji.
Maka perempuan muda satunya berkata pula dengan tertawa, "Keluarga petani tidak ada yang
tidak piara ayam, tapi ayam jantan adalah makhluk yang paling dipantang oleh kami. Bahwa
rumah ini tidak ada ayam, tentu karena semua ayam di sini sudah di bunuh oleh orang suruhan
kita itu."
Mendengar sampai di sini barulah teringat Lui-ji bahwa sesuatu yang dirasakan kurang tadi
kiranya adalah ayam yang dibicarakan mereka itu. Sebab ia pun tahu pada umumnya kaum
petani pasti piara ayam.
Tapi mengapa kedua perempuan ini bilang pantang pada ayam jago atau jantan?
Hal ini biarpun direnungkan orang selama tiga hari tiga malam mungkin juga belum dapat
memahami alasannya. Tapi hanya berpikir sejenak saja Lui-ji lantas mendapatkan
jawabannya, tahulah dia apa sebabnya.
Tanpa terasa ia tertawa geli sendiri dan bergumam. "Wah, kiranya mereka adalah sekaum
dengan diriku, menarik juga jika demikian."
Ia tahu ayam jantan adalah musuh dari segala makhluk berbisa, terutama sebangsa
kalajengking, kelabang dan sebagainya. Sebab itulah golongan dan aliran Kangouw yang
mengandalkan keahlian mereka dalam hal penggunaan racun, semuanya memandang ayam
jago sebagai makhluk yang tidak mendatangkan berkah, semuanya pantang melihatnya,
apalagi memelihara.
Usia Lui-ji masih muda, tentunya tidak banyak mengetahui seluk beluk orang Kangouw, tapi
dia adalah seorang ahli racun, ahli yang tiada taranya, dengan sendirinya alasan orang-orang
itu pantang melihat ayam jago dengan segera dapat dipahaminya.
Sementara itu orang di dalam rumah gubuk itu sudah terjaga bangun oleh suara gonggong
anjing tadi.
182
Seorang lelaki berbaju hijau tampak melongok keluar, ketika melihat kedua perempuan muda
itu, seketika ia berdiri dengan hormat sehingga urung menguap kantuk, dengan membungkuk
tubuh ia menyapa,
"Baru sekarang Tongcu tiba ? maaf hamba tidak sempat menyambut kedatanganmu."
Kedua perempuan muda itu hanya mengulapkan tangannya, lalu masuk ke rumah gubuk itu.
Anjing tadi masih terus menyalak, tapi setelah didepak satu kali oleh lelaki tadi, sambil
mengaing anjing itu lari terbirit-birit dengan mencawat ekor.
Pintu rumah gubuk itu kemudian tertutup, menyusul cahaya lampu lantas kelihatan terang di
balik jendela.
Pelahan Lui-ji merunduk kesana, ia sembunyi di belakang rumah gubuk lain yang dijadikan
lumbung padi, meski melihat kedatangan orang asing lagi, namun anjing itu rupanya sudah
kapok dan tidak berani menggonggong pula, hanya lidahnya tampak terjulur dengan nafas
terengah-engah.
Kertas perekat jendela tampaknya masih baru, masih putih bersih, Lui-ji sangat ingin
mendekat jendela untuk mengintip, tapi setelah dipikir lagi kini pondokan ketiga orang ini
sudah diketahui, seharusnya dia cepat putar balik kek kota untuk mencari Pwe-giok, sebab ia
dapat membayangkan saat ini anak muda itu pasti sangat gelisah karena tidak menemukan
dia.
Selagi ia merasa ragu, entah mesti maju atau harus mundur, tak terduga, pada saat itu juga di
sampingnya mendadak ada orang mengikik tawa, suara tertawa nyaring seperti bunyi
keleningan. Keruan Lui-ji terkejut, cepat ia berpaling, dilihatnya dua orang muncul dari depan
lumbung, siapa lagi kalau bukan kedua perempuan misterius tadi.
Akhirnya dapatlah dia melihat muka mereka.
Nyata, mereka tidak cuma cantik, bahkan membawa semacam daya tarik yang sukar
dilukiskan, daya tarik genit ini seolah-olah timbul dari tulangnya sehingga tidak dapat ditiru
oleh siapapun.
Meski pakaian mereka hanya terbuat dari kain kasar, namun para nona penghibur di Bonghoa-
lau sana satu jari saja tak dapat membandingi mereka, bahkan menjadi babunya saja tidak
setimpal.
Perempuan yang bertubuh lebih padat agaknya bermata lebih besar sedikit, tapi adik
perempuannya tampaknya lebih kuat daya tariknya, tertawanya juga lebih menggiurkan.
Sambil tertawa si adik memandang Lui-ji, ucapnya dengan lembut: "Eh, nona cilik, angin pagi
sedingin ini, apakah kau tidak takut masuk angin?"
Mata Lui-ji yang jeli itu berkedip-kedip, iapun tertawa dan menjawab: "Justru lantaran merasa
kegerahan di rumah, maka ku keluar untuk mencari angin."
"Ooo, kau tinggal di sekitar sini?" tanya perempuan muda tadi.
183
Lui-ji mengiakan.
"Jika demikian, kita kan tetangga"
"Memangnya, siapa bilang bukan?" ujar Lui-ji dengan tertawa.
Perempuan muda itu tertawa, katanya: "Jika kita bertetangga, marilah duduk di dalam,
kebetulan ada bakso yang baru ku bikin, masih panas-panas, segar menghangatkan badan."
Dengan tertawa Lui-ji menjawab: "Baiklah, sejak tadi memang ada maksudku hendak belajar
kenal dengan kalian, apalagi sekarang akan disuguh bakso"
Sejak tadi si Taci hanya berdiri dengan tertawa, sekarang iapun menyatakan setuju dengan
berkeplok: "Kami baru saja pindah ke sini dan lagi merasa kesepian karena tidak ada kenalan,
siapa tahu di pedusunan ini ada nona sepintar dan secantik kau ini."
Begitulah mereka terus membawa Lui-ji ke dalam rumah, bahkan berulang-ulang memuji
Lui-ji, katanya: "cantik dan lincah" dan bermacam-macam lagi, tampaknya seperti benarbenar
sangat gembira.
Padahal dengan sendirinya sejak tadi-tadi mereka sudah mengetahui jejak mereka diikuti Luiji,
mereka memang sengaja berlagak lengah, maksudnya justru hendak memancing Lui-ji ke
sini.
Kini setelah diketahui Lui-ji cuma seorang nona cilik, dengan sendirinya pula tidak begitu
dirisaukan oleh mereka. Tak tahunya bahwa Lui-ji sendiri juga tidak memandang berat
mereka.
Lui-ji bukan anak bodoh, dengan sendirinya iapun tahu maksud tujuan mereka, tapi bila
teringat kemahiran andalan kedua kakak beradik itu adalah menaruh racun, maka diam-diam
Lui-ji tertawa geli.
Ia membatin, "Huh, memangnya kalian mengira aku ini dapat dikerjai sesuka hati kalian?
Huh, ketanggor diriku, kalian yang bakal celaka."
Begitulah diam-diam ia merasa kedua kakak beradik tidak tahu diri dan berani main racun
dengan seorang ahli.
Tak terduga olehnya bahwa di dalam rumah gubuk itu ternyata dipajang cukup resik dan apik,
semuanya serba bersih, setiap benda seolah-olah sudah digosok dan dicuci berpuluh kali.
Tapi si baju hijau tidak kelihatan di dalam rumah, lelaki yang menyambut kedatangan mereka
tadi juga sudah hilang. Diam-diam Lui-ji heran, pikirnya, "Jangan-jangan mereka sudah
membunuhnya."
Si adik lantas memegang tangan Lui-ji dan bertanya ini dan itu, "Eh, adik cilik, kau she apa?
Tinggal dimana? Berapa umurmu? Ada siapa-siapa lagi di rumahmu?"
184
Dan Lui-ji juga menjawab sekenanya, sampai dia sendiri merasa geli. Baru sekarang ia
merasakan bahwa dirinya ternyata juga berbakat untuk berdusta.
Ia tidak tahu bahwa berdusta adalah bakat pembawaan setiap perempuan, sebaliknya lelaki
harus mengalami latihan cukup lama baru mahir berdusta.
Selang sejenak, sang Taci muncul dari dapur dengan membawakan tiga pasang sumpit, tiga
sendok, satu piring "intip" goreng dan tiga mangkuk baso.
"Intip", yaitu lapisan nasi yang menempel di bagian dasar kuali, adalah makanan yang biasa
di rumah petani. Bakso yang dibawakan itu memang masih mengepulkan asap, jelas memang
sarapan yang disediakan oleh lelaki yang mendepak anjing tadi.
"Eh, adik cilik, bakso harus dimakan selagi panas, kalau sudah dingin tidak enak," kata si Taci
dengan tertawa. "Ayolah makan mumpung panas."
Lui-ji berkedip-kedip, tiba-tiba ia berkata, "Ah, tidak, aku tidak berani makan."
Si taci seperti terkesiap, tanyanya, "Sebab apa tidak berani makan?"
"Maklumlah kami orang udik, kecuali tahun baru atau hari raya, hampir tidak pernah makan
daging. Kalau sekarang harus kumakan semangkuk besar bakso ini ku kuatir perutku bisa
mules."
"Hihi," kata si Taci tertawa riang, "jangan kuatir, meski bakso ini memakai macam-macam
bumbu, tapi gemuknya tidak banyak, tak nanti membikin perut mules."
"Apakah benar takkan mematikan orang?" tanya Lui-ji dengan tertawa.
Air muka si Taci seperti berubah sedikit, ia pandang adiknya.
Si adik lantas mengikik tawa, katanya, "Ai, adik cilik ini memang suka bergurau, masa bakso
bisa membunuh orang?"
Lui-ji mengerling, katanya dengan tertawa, "Baiklah, kalau begitu, akupun tidak sungkansungkan
lagi." Dan benar-benar ia lantas berduduk dan makan bakso dengan nikmatnya.
Kedua kakak beradik itupun mengiringinya makan, diam-diam kedua orang saling berkedip.
Dengan kedipan matanya si adik lagi tanya sang Taci, "Kau taruhi "bumbu istimewa" tidak ke
dalam bakso ini?"
Dan sang taci seperti menjawab, "Tidak nanti ku lupa!"
Tak terduga mendadak Lui-ji berkata dengan tertawa, "Wah, lezat benar bakso ini, cuma
sayang aku rada tidak bisa menikmati bumbu istimewa yang kalian gunakan ini."
Kembali kedua kakak beradik itu tercengang, dengan tertawa genit si adik berkata, "Di dalam
bakso ini mana ada bumbu istimewa segala ?"
185
"Masa tidak ada?" ujar Lui-ji. "Tapi mengapa lidahku terasa kesemutan."
"O, mungkin terlalu banyak garam." kata si Taci.
Lui-ji menghela napas, gumamnya, "Terlalu banyak menaruh garam terkadang juga bisa bikin
orang mati keasinan." Tengah bicara orangnya terus memberosot ke bawah kursi.
Kedua kakak beradik itu seperti terkejut dan berseru, "he, adik cilik, kenapa kau?"
Tapi lewat sejenak pula Lui-ji masih tetap terkapar di bawah meja tanpa bergerak sedikitpun,
dari ujung mulutnya merembes keluar busa putih. Sampai di sini barulah kedua kakak beradik
itu menghela napas lega.
Si adik tepuk-tepuk ulu hatinya sendiri dan berkata, "Tadi aku benar-benar dibuat kaget, dari
ucapannya itu kusangka dia ini seorang ahli."
"Jika benar dia seorang ahli tentu dia takkan makan bakso suguhan kita ini," ujar sang Taci.
"Cukup tidak kadar obat yang kau gunakan?" tanya si adik.
"Pas, tanggung tidak kurang dan tidak lebih," jawab sang Taci. "Sekalipun ahli racun seperti
Oh-lolo, setelah minum kuah bakso ini pasti juga akan menggeletak tak berkutik."
"Siuut", mendadak si baju hijau melompat ke belakang sana, ia berjongkok dan memandang
Lui-ji sekejap, lalu berkata sambil berkerut kening. "Mana boleh kau racun mati dia."
Si Taci menarik muka, tanyanya: "Mengapa tidak boleh? Jangan-jangan kau kenal dia?"
Belum lagi si baju hijau menanggapi, si adik telah menyeletuk dengan tertawa: "Wah, cara
bicaramu kudu hati-hati, Cici sudah minum cuka (maksudnya cemburu)"
Si baju hijau menghela napas, katanya kemudian sambil menyengir: "Ai, justru karena aku
tidak kenal dia, maka perlu dia dibiarkan hidup"
Tapi sang Taci masih bersungut, tanyanya: "Untuk apa? Memangnya kau ingin berkawan
dengan dia?"
Dengan gugup si baju hijau menjawab: "Kita kan perlu tanya dia siapa yang menyuruhnya
mengikuti jejak kita dan masih adakah orang lain yang datang bersama dia?”. Ia berhenti
sejenak, lalu menghela napas dan menyambung pula: "Ai, dalam keadaan demikian masa kau
cemburu padaku dan tetap tidak percaya padaku?"
Si Taci tertawa cerah, dari belakang ia rangkul pinggang si baju hijau, ucapnya dengan suara
lembut: "O, masa aku tidak percaya padamu? Aku....aku cuma main-main saja denganmu"
Segera si adik berseloroh: "Baiklah, jangan kau marah. Jika cici tidak suka padamu, untuk apa
dia cemburu. Bagiku, bilamana ada orang mau cemburu padaku, bukannya marah sebaliknya
aku akan gembira malah"
Si baju hijau lantas tertawa, katanya: "Aku kan tidak benar-benar marah, hanya saja...."
186
"Jangan kuatir, kadar racun yang kuberikan itu tidak terlalu keras, untuk sementara ini dia
tidak akan mati" tukas si Taci. "Jika kau ingin menanyai dia, segera dapat ku sadarkan dia"
Di luar dugaannya, belum habis ucapannya, sekonyong-konyong Lui-ji menanggapinya
dengan tertawa. "Kukira kau tidak perlu repot-repot, asalkan kalian menghendaki aku hidup
lagi, aku sendiri segera dapat hidup kembali"
Sembari bicara, secepat kilat iapun turun tangan, saat itu si baju hijau bermaksud memeriksa
denyut nadinya, maka pergelangan tangannya seketika kena dicengkeram oleh Lui-ji.
Sungguh tak terpikir oleh si baju hijau bahwa si nona cilik yang sudah mati keracunan ini
dapat hidup kembali secara mendadak, lebih-lebih tidak menyangka kungfunya sedemikian
tinggi, seketika sekujur badannya terasa kesemutan dan tidak bisa berkutik lagi.
Kedua kakak beradik itupun melenggong terkejut, si adik melototi sang Taci, agaknya ingin
bertanya: "Apa-apaan ini? Jangan-jangan memang benar garam kau gunakan sebagai racun?"
Tapi sang Taci juga tidak kurang kaget dan bingungnya, sungguh ia tidak paham mengapa
bisa jadi begini?
Dengan tangan sendiri ia taruh racun di dalam kuah bakso, hal ini tidak mungkin keliru, apa
lagi kadar racun yang ditaruhnya itu cukup keras, seekor kudapun akan menggeletak.
Akan tetapi racun sekeras itu bagi nona cilik ini ternyata tidak manjur sama sekali.
Lui-ji tertawa ngikik sambil memandangi mereka yang melongo itu.
Biji mata si adik berputar, tiba-tiba iapun tertawa dan berkata: "Adik cilik, apakah kau kira
kami benar-benar hendak meracuni kau? Tadi kami hanya menakut-nakuti kau saja. Coba kau
pikir, bila benar di dalam bakso ada racunnya, apakah kau tahan?"
Lui-ji mengangguk, jawabnya: "Benar, jika dalam bakso benar ada racunnya, kan aku sudah
mati sejak tadi."
"Makanya, yang kami taruh di dalam kuah bakso itu hanya bumbu saja sebangsa garam dan
merica" ujar si adik dengan tertawa genit. "Malahan bumbu masak itu adalah oleh-oleh
seorang paman kami yang baru pulang dari luar negeri"
"Ooo?" Lui-ji bersuara seperti heran.
Mendadak si adik berlari ke dapur dan keluar lagi dengan membawa satu botol kecil, serunya
dengan tertawa: "Coba lihat, adik cilik, bumbu masak semacam inilah, barang impor, sukar
dicari, masakah kau kira racun segala?"
"Apakah benar-benar bukan racun? Bolehkah kucicipi sedikit?" kata Lui-ji.
Kehendak Lui-ji ini seperti di luar dugaan kedua kakak adik itu dan tentu saja membuat
mereka kegirangan, sebab mereka sedang mencari alasan agar Lui-ji mau mencicipi "bumbu
masak" itu, siapa tahu Lui-ji sudah mau mencicipi sendiri sebelum diminta.
187
Segera si adik berkata, "Silahkan saja mencicipinya, rasanya gurih, bila beracun, boleh
kuganti nyawamu."
"Jika beracun, bukankah aku akan mati seketika, cara bagaimana dapat ku tuntut ganti nyawa
padamu?" ujar Lui-ji.
Si adik melengak pula, sahutnya dengan tergagap, "Oo, ta... tapi"
Selagi bingung karena tidak tahu cara bagaimana harus menjawab, tiba-tiba Lui-ji berkata
pula dengan tertawa, "Coba lemparkan botolmu itu, bumbu masak segurih ini betapapun harus
kucicipi sedikit."
Sehabis menerima botol kecil itu, ia gigit sumbat botol dan dibukanya, maklum, sebelah
tangannya masih repot mencengkeram pergelangan tangan si baju hijau.
Kedua kakak beradik itu benar-benar dibuat bingung oleh nona cilik yang angin-anginan ini,
sungguh mereka tidak tahu Lui-ji ini nona pandai atau orang sinting?
Tapi ketika Lui-ji menuang bubuk di dalam botol ke mulutnya, tanpa terasa wajah kedua
kakak beradik itu menampilkan rasa girang. Sebab mereka tahu obat di dalam botol itu bukan
saja racun, bahkan racun yang sangat lihai, sekarang mereka menyaksikan sendiri nona cilik
itu menuang bubuk racun di atas lidahnya, jelas sekali ini tidak salah lagi, diam-diam mereka
tertawa gembira dan membatin, "Budak cilik ini ternyata seorang tolol."
Terlihat mulut lui-ji sedang berkecek-kecek, seperti orang makan coklat yang sedap, bahkan
nona cilik itu lagi berkata dengan tertawa, "Wah, memang benar sangat enak. Dapat mencicipi
barang selezat ini, biarpun mati keracunan juga rela."
Sembari bicara ia terus menuang seluruh isi botol ke dalam mulut.
Jilid 7________
Meski kedua kakak beradik itu merasa gembira, tapi diam-diam juga merasa sayang, karena
sebotol penuh bubuk racun yang sukar dibuat itu telah dihabiskan begitu saja oleh Lui-ji.
Padahal bubuk racun itu lebih berharga daripada emas, sebotol kecil itu cukup untuk meracun
mati berpuluh lelaki kekar, tapi sendirian budak cilik ini telah melalapnya sekaligus.
Seketika kedua kakak beradik itu melongo, ya gegetun ya menyesal, mereka merasa cara Luiji
makan racun itu sebagai suatu pemborosan.
Sambil menghela napas, tiba-tiba si adik berhitung, "Satu... dua... tiga...."
Ia yakin, apabila hitungan "tiga" terucapkan, maka budak cilik itu pasti akan roboh, sebab
sebanyak itu bubuk racun yang dilalapnya, biarpun manusia baja juga akan meleleh.
Siapa tahu, meski sudah sekian detik dia mengucapkan hitungan "tiga" dan Lui-ji masih tetap
tenang-tenang saja tanpa kurang suatu apa pun, malahan nona cilik itu lantas menggantikan
dia menyambung hitungannya, "Empat... lima... enam... tujuh...."
188
Baru sekarang kedua kakak beradik itu melonjak kaget.
Lui-ji tertawa dan berkata, "Bumbu masak ini memang sangat gurih, cuma sayang, terlalu
sedikit. Bagiku, sedikitnya harus makan sepuluh atau dua puluh botol baru cukup kenyang."
Dia melemparkan botol kosong ke lantai, lalu tertawa ngikik, katanya pula, "Jika kalian ingin
menyuguh makanan enak kepada tamu, seharusnya kalian jangan terlalu pelit, ayolah
keluarkan lagi beberapa botol."
Mana bisa bicara lagi kedua kakak beradik itu.
Sesungguhnya merekapun bukan anak kemarin yang baru mengembara di dunia Kangouw,
mereka sudah cukup berpengalaman, sudah banyak juga tokoh Kangouw kelas tinggi yang
pernah mereka temui, tapi selama ini jarang ada yang terpandang oleh mereka.
Dan sekarang, hanya seorang nona cilik ini telah membuat mereka mati kutu dan tak dapat
bersuara.
Si baju hijau sejak tadi hanya menunggu kesempatan, sekarang ia menyadari tiada
kesempatan lagi, ia menghela napas panjang dan berkata, "Kami bermata tapi buta, tidak tahu
bahwa nona ternyata seorang kosen."
"Ah, akupun bukan orang kosen apa segala, hanya perutku lebih istimewa daripada orang
lain," ujar Lui-ji dengan tertawa.
Si kakak melotot, ucapnya dengan suara parau, "Baiklah, kami mengaku terjungkal,
sesungguhnya akan.... akan kau apakan dia?"
"Akupun tidak ingin apa-apa....." mendadak ucapan Lui-ji terhenti, sebab diketahuinya di
dalam rumah mendadak telah bertambah satu orang.
Siapapun tidak tahu orang ini datang darimana? Orang ini seperti mendadak jatuh dari langit
saja, seperti muncul dari bawah bumi dan tahu-tahu sudah berada di situ.
Meski di dalam rumah lampu masih menyala, tapi di luar hari sudah terang benderang, cahaya
matahari menyorot masuk ke dalam rumah melalui lubang jendela dan menyinari tubuh orang
ini.
Entah sejak kapan dia sudah duduk di kursi sebelah dan terus menerus menguap kantuk
seperti orang sudah tiga malam tidak tidur.
Tapi orang ini bukan kakek-kakek, malahan sangat muda, bahkan tergolong cakap, hanya saja
kelopak matanya yang kelihatan selalu sukar terpentang, seperti orang yang tidak pernah tidur
cukup.
Sudah tentu kedua kakak beradik itupun terkejut ketika mengetahui di dalam rumah mereka
tiba-tiba telah bertambah satu orang, Tapi betapapun kaget mereka tetap tidak sekaget si baju
hijau dan Cu Lui-ji.
189
Sebabnya, Lui-ji kenal orang ini, si baju hijau lebih-lebih kenal, melihat datangnya orang ini,
disamping terkejut iapun rada-rada bergirang. Maklum, ia berharap orang ini akan turun
tangan menolongnya.
Siapa tahu, setelah belasan kali orang ini menguap, lalu dia hanya memandangi si baju hijau
dengan cengar-cengir, seluruh badannya terkulai di atas kursi seperti orang yang tidak
bertulang atau kehabisan tenaga.
"Yang-heng, apakah kau kenal nona cilik ini?" sapa si baju hijau dengan mengiring tawa.
Pemuda itu memang Yang Cu-kang adanya. Dengan tertawa ia menjawab, "Melihat caranya
memegangi tanganmu sedemikian mesranya, tentu dia ini sahabat baikmu. Dan kalau aku
kenal sahabat baikmu, bukankah nanti kau akan cemburu lagi dan bisa jadi aku akan kau
labrak."
Biji mata Lui-ji berputar, segera ia berkata dengan tertawa, "Betul, kami memang sahabat
baik, masa kau perlu tanya lagi?"
Berbareng ia perkeras cengkeramannya sehingga si baju hijau kesakitan dan berkeringat
dingin, mana dia berani membantah sekata pun.
Yang Cu-kang menghela napas, katanya, "Pantas kau tidak sudi minum arak di Bong-hoa-lau
sana, kiranya kau sudah mempunyai tempat sebaik ini serta diladeni nona cantik sebanyak
ini." - Dia berhenti dan mendadak menggebrak meja, lalu menyambung, "Dan diam-diam kau
datang ke sini sendirian di luar tahu kami, hm, sungguh terlalu dan bukan perbuatan seorang
sahabat sejati."
Kedua nona kakak beradik tadi sama memperlihatkan rasa kurang senang atas sikap Yang Cukang
itu. Cepat si baju hijau berkata pula, "Meski ku datang sendiri ke sini, tapi berulangulang
sudah kutanyai beberapa nona ini, siapakah ksatria muda nomor satu di dunia sekarang
ini. Beliau tak lain tak bukan ialah Yang Cu-kang, Yang-tayhiap."
Mendadak Yang Cu-kang menengadah dan bergelak tertawa, katanya, "Haha, apakah benar
aku Yang Cu-kang ini seorang ksatria muda? Wah, sampai aku sendiri tidak tahu."
Gemerdep sinar mata Lui-ji, tiba-tiba iapun berkata dengan tertawa, "Ah, Yang-tayhiap ini
baru datang, tentu perutnya sudah lapar, bukankah kalian masih sedia bakso, kenapa tidak
kalian suguhi beliau satu mangkuk?"
Kedua kakak beradik itu ragu-ragu sejenak, si Toaci memandang tangan Lui-ji dan
memandang pula keringat yang menghiasi dahi si baju hijau, terpaksa ia menjawab dengan
menyengir, "Ya, segera kuambilkan!"
"Ah, tidak perlu," kata Yang Cu-kang. "Aku bukan puteri Siau-hun-kiongcu dan juga bukan
murid Hong Sam, bakso spesial buatan nona ini sekali-sekali aku tidak berani makan."
Ucapan ini kembali membuat semua orang terkejut.
190
Lui-ji tidak menyangka pemuda yang misterius ini ternyata tahu asal-usulnya. Lebih-lebih
kedua nona kakak beradik itu, merekapun tidak pernah menyangka Cu Lui-ji adalah puteri
Siau-hun-kiongcu.
Tanpa terasa mereka sama memandang Lui-ji. Sedangkan mata Lui-ji justeru lagi melototi
Yang Cu-kang, ucapnya, "Cara bagaimana kau kenal diriku?"
Yang Cu-kang tertawa, jawabnya, "Nona, sekarang kau bukan lagi orang yang tak bernama.
Sejak kudengar kejadian yang kau lakukan di Li-toh-tin sana, sudah lama ingin kutemui nona,
sebab serupa diriku, nona juga telur busuk yang tiada taranya."
Lui-ji menjadi gusar, dampratnya, "Siapa yang serupa kau? Setan yang serupa denganmu."
"Setahuku, setan penasaran di Li-toh-tin sekarang sedikitnya ada ratusan," kata Yang Cu-kang
dengan tertawa. "Memangnya orang-orang itu bukan mati di tangan nona?"
Dia bergelak tertawa, lalu menyambung pula, "Masih sekecil ini usia nona, tapi sudah
mempunyai karya sebesar ini, hari depanmu sungguh gilang gemilang dan sukar diukur.
Sedangkan kekejianku juga pasti tidak di bawah nona, sebab itulah nona dan aku adalah satu
pasangan yang setimpal."
Hampir saja perut Lui-ji meledak saking gusar, ia merasa kulit muka orang she Yang ini
benar-benar tebal dan jarang ada bandingannya. Sudah banyak orang busuk yang dilihatnya,
tapi belum pernah ada orang yang mau mengakui dirinya sendiri adalah telur busuk. Tapi
sekarang pemuda ini tidak cuma mengaku sebagai telur busuk, bahkan kelihatannya sangat
bangga malah.
Mendadak si adik tadi tertawa genit, suaranya nyaring merdu seperti bunyi keleningan,
serunya, "Kau bilang nona cilik itu telur busuk? Aku ini kan juga bukan orang baik?!"
"Ya, betul," kata Yang Cu-kang sambil berkeplok, "Setiap orang di dalam rumah ini memang
tiada satupun orang baik."
Si adik mengerling sambil tertawa menggiurkan, ucapnya pula, "Jika demikian, bukankah aku
dan kau adalah pasangan yang paling setimpal."
Yang Cu-kang tidak menanggapi, ia hanya memandangi si adik dari kepala sampai ke kaki,
lalu dari kaki kembali ke atas kepala, tampaknya dia begitu terpesona sehingga matanya
menyipit, serupa orang menikmati penari perut yang telanjang bulat.
Meski dalam hati gemasnya tidak kepalang, kalau bisa ia ingin mengorek mata pemuda yang
serupa mata maling itu, namun lahirnya si adik justeru tertawa semakin manis, sambil
menggigit bibir ia berkata, "Sudah cukup kau pandang? Bagaimana, cocok tidak?"
Dengan mata terpicing Yang Cu-kang tertawa dan menjawab, "Bagus, bagus! Boleh kau jadi
Ji-ngeh (bini kedua) ku, aku ini biasanya tidak suka menolak kehendak orang, makin banyak
makin baik."
Si adik terkikik-kikik, katanya, "Wah, sungguh setan cilik yang rakus, melulu diriku saja
takkan habis kau ganyang, memangnya kau ingin berapa orang lagi?"
191
Sembari bicara sebelah tangannya yang memegang sepotong sapu tangan terus mengebas ke
arah Yang Cu-kang dengan tertawa manis.
Meski tertawanya manis, tapi sorot matanya justeru sedingin es, ia melototi Yang Cu-kang
dan menunggu robohnya pemuda itu, sebab entah sudah berapa banyak pemuda bangor yang
pernah roboh di bawah lambaian sapu tangannya itu.
Tak terduga, bukannya roboh, sebaliknya Yang Cu-kang malah bergelak tertawa dan berkata,
"Haha, apakah kau kira hatiku dapat kau pikat hanya dengan lambaian sapu tanganmu yang
kecil itu? Haha, percuma, jangan membuang tenaga percuma, sebab hatiku ini sudah lama ku
buang ke Yang-cu-kang untuk umpan ikan."
Seketika ujung hidung kedua kakak beradik itu keluar butiran keringat, diam-diam sang kakak
menggreget, ia menjadi nekat, sekonyong-konyong ia berputar, serentak tujuh titik sinar emas
menyambar secepat kilat ke arah Yang Cu-kang.
Di luar dugaan, tangan Yang Cu-kang hanya bergerak pelahan dan ke tujuh titik emas itu
kontan menyambar balik ke sana, bahkan daya luncurnya jauh lebih cepat. Maka terdengarlah
suara "crat-cret" beberapa kali, tujuh pisau emas sama menancap di dinding, bahkan salah
sebuah pisau emas itu membawa secomot rambut sang kakak yang terkupas.
Sekarang, mau tak mau air muka Lui-ji juga berubah pucat, sungguh ia tidak tahu cara
bagaimana pemuda she Yang ini melatih kungfunya. Apalagi kedua kakak beradik itu, wajah
mereka lebih-lebih pucat seperti mayat.
Yang Cu-kang tetap adem-ayem saja, malahan kedua kakinya terus diangkat dan
diselonjorkan di atas meja, ucapnya dengan tertawa, "Kungfuku ini tentunya tidak pernah
kalian lihat, bukan? Apabila kalian ingin melihat pertunjukan kungfuku yang lain, silahkan
kalian mengeluarkan semua besi tua dan baja karatan yang kalian bawa."
Si adik menghela napas, ucapnya, "Kukira tidak perlu lagi, kami sudah menyerah padamu."
Mendadak si baju hijau berteriak dengan beringas, "Kedatanganmu ini jika ingin membunuh
diriku, silahkan lekas turun tangan dan jangan membikin susah mereka."
Yang Cu-kang menghela napas, ucapnya, "Ai, kau ini benar-benar seorang pecinta sejati,
pantas nona ini sudi mengikuti dirimu dengan sepenuh hati. Cuma, darimana kau tahu
kedatanganku ini hendak membunuh kau? Bukan mustahil kedatanganku ini justeru hendak
menyelamatkan kau!"
Lui-ji menjengek, "Hm, tak tersangka Yang Cu-kang yang terhormat juga mahir berdusta."
"Untuk apa kudustai dia?" jawab Yang Cu-kang dengan tertawa kemalas-malasan. "Bagiku,
mudah sekali jika ingin kubunuh dia, tapi juga tiada kesukaran apapun jika hendak
kuselamatkan dia."
"Kalau begitu, sesungguhnya hendak kau selamatkan dia atau akan kau bunuh dia?" tanya si
adik dengan suara lembut.
192
"Apakah kau minta ku bicara sebenarnya?" tanya Yang Cu-kang dengan tersenyum.
"Ya." jawab si adik.
"Baik, biar kukatakan padamu, lebih dulu akan kuselamatkan dia dari cengkeraman nona cilik
itu, kemudian...."
"Kemudian bagaimana?" tukas sang kakak tidak tahan.
"Kemudian baru kubunuh dia," Jawab Yang Cu-kang dengan tak acuh, "lalu aku akan
bergembira bersama kalian bertiga nona cantik ini, bilamana aku sudah bosan memainkan
kalian, akan ku ringkus kalian bertiga dan kujual seluruhnya ke Bong-hoa-lau."
Semua itu diucapkannya dengan tersenyum, diuraikannya secara ringan, seperti hal hal
demikian ini adalah kejadian yang biasa dan tidak perlu diherankan atau dikejutkan.
Keruan tidak kepalang kejut dan juga gusar Cu Lui-ji, si baju hijau dan kedua nona kakak
beradik itu, hampir saja dada mereka meledak. Saking gemasnya hingga seketika mereka
tidak dapat bersuara malah.
Mereka merasa betapa keji hati pemuda she Yang ini, betapa tebal kulit mukanya sungguh
sukar ada bandingannya.
Dengan tertawa Yang Cu-kang berkata pula, "Mungkin kalian mengira potonganku gagah dan
terpelajar, tentu takkan berbuat hal-hal demikian? Jika begitu pikiran kalian, maka salahlah
kalian. Caraku bicara justeru sangat jujur dan terus terang. Apa yang kukatakan pasti
kulaksanakan, tidak akan berubah sedikitpun."
Pelahan ia lantas berbangkit, ia pandang Lui-ji dengan tersenyum dan berkata, "Nah, sekarang
juga akan ku mulai menyelamatkan dia dari cengkeramanmu! hendaknya kau waspada!"
Tak tersangka mendadak Lui-ji melepaskan cengkeramannya dan berseru dengan suara
tertahan. "Lekas lari, biar kuhadapi dia!"
Walaupun ucapan Lui-ji itu dapat didengarnya, tapi Yang Cu-kang masih tetap berdiri di
tempatnya dengan tersenyum tanpa bergerak sedikitpun. Si baju hijau tertegun sejenak,
mendadak ia melompat bangun terus hendak kabur keluar pintu.
Berbareng itu Cu Lui-ji juga lantas menerjang ke arah Yang Cu-kang.
Siapa tahu, baru saja tubuh Lui-ji bergerak, tahu-tahu Yang Cu-kang sudah menghilang.
Terdengar suara "blang" yang keras, si baju hijau telah terbanting di lantai dari udara.
Waktu semua orang memandang ke sana, Yang Cu-kang sudah berada di seberang meja dan
masih berduduk di kursinya dengan kemalas-malasan, malahan kedua kakinya diselonjorkan
tinggi-tinggi ke atas meja.
"Nah, kalian sudah lihat, aku tidak membual bukan?" demikian Yang Cu-kang berkata dengan
tertawa, "Hakekatnya aku tidak menggerakkan tanganku, aku cuma berucap satu kalimat dan
dia lantas kuselamatkan dari cengkeraman nona cilik itu."
193
Si kakak berkata dengan suara gemetar, "Dan sekarang kau... kau..."
"Sekarang akan kubunuh dia," tukas Yang Cu-kang dengan tak acuh, "kalian tidak perlu
kuatir, ku tanggung dia takkan kesakitan."
Lalu dengan kemalas-malasan ia berbangkit dan mendekati si baju hijau.
Agaknya si baju hijau yang menggeletak di lantai itu sudah tidak mampu berkutik sama
sekali.
Kedua kakak beradik mendadak menggentak kaki, agaknya mereka menjadi nekat, tiba-tiba
mereka menarik baju sendiri sehingga kelihatan kutang masing-masing yang berwarna
jambon, tertampak pula kulit badan mereka yang putih mulus.
Tubuh kedua kakak beradik itu sungguh sangat memikat, tapi air muka mereka telah berubah
menjadi beringas menakutkan, mereka melototi Yang Cu-kang dan berkata dengan suara
serak, "Asalkan kau melangkah maju lagi satu tindak, segera kami mengadu jiwa dengan
kau!"
Yang Cu-kang menghela napas, ucapnya, "Masa kalian bermaksud gugur bersamaku?"
"Betul," jawab kedua nona kakak beradik itu berbareng, tahu-tahu tangan mereka sudah
memegang sebilah pisau emas sepanjang satu kaki lebih, tapi pisau emas itu tidak ditunjukkan
ke arah musuh melainkan mengancam di atas dada sendiri.
Yang Cu-kang berkerut kening, ucapnya, "Apakah ini kungfu kalian yang disebut "Hoa-hiathun-
sin, Si-kay-tay-hoat" (ilmu menghancurkan tubuh dan bedah mayat)?"
Dengan bengis si kakak membentak, "Jika kau tahu kualitas barang, tentu pula kau kenal
lihaynya?"
Yang Cu-kang tersenyum, ucapnya, "Apapun yang kalian keluarkan tetap tidak ada gunanya,
sebab kalau aku tidak menghendaki kematian kalian, biarpun kalian ingin mati juga tidak
dapat." - Habis berkata, mendadak ia melayang ke depan.
Dengan menggreget segera kedua kakak beradik itu nekat hendak membedah dadanya sendiri
dengan pisau emas yang mereka pegang itu.
Lui-ji sampai kesima memandangi kedua perempuan cantik yang menggiurkan itu dengan
segera akan bermandi darah. Dan bila mana setitik air darah itu menciprat di tubuh Yang Cukang
maka Yang Cu-kang pun jangan harap akan hidup lagi.
Siapa tahu, pada saat itu juga mendadak terdengar suara "trang-trang" dua kali, kedua bilah
pisau emas itu jatuh di lantai, tahu-tahu kedua kakak beradik sudah berada dalam rangkulan
Yang Cu-kang.
Dengan setiap tangan merangkul seorang nona itu, mata yang Cu-kang justeru melototi Cu
Lui-ji, ucapnya dengan tertawa, "Sungguh menyesal, aku hanya punya dua tangan dan
semuanya terpakai, terpaksa kau harus menunggu."
194
Gemerdep sinar mata Lui-ji, tiba-tiba ia berkata, "Jika tanganmu tidak sempat kau gunakan,
boleh kuwakilkan kau membunuhnya saja!"
Ia tahu si baju hijau sangat enteng bagi Ji Pwe-giok, kalau orang ini mati, bisa jadi selamanya
Pwe-giok takkan mampu membuktikan tulen atau palsunya Tong Bu-siang itu.
Sembari bicara serentak iapun melayang maju kedua tangan menghantam sekaligus, kedua
kaki juga menendang beruntun ke arah Yang Cu-kang.
Dia mengira biarpun Yang Cu-kang mempunyai kepandaian setinggi langit, kalau sekarang
kedua tangannya merangkul dua nona, mana dia dapat menghindari serangannya yang
serentak ini.
Siapa tahu mendadak tubuh Yang cu-kang berputar cepat, kedua nona dalam rangkulannya itu
mendadak disodorkan ke depan untuk memapak serangannya.
Lui-ji menjadi kaget, tampaknya hantaman dan tendangannya pasti akan mengenai badan
kedua nona yang setengah telanjang itu, baru saja ia bermaksud menarik kembali
serangannya, tak tahunya pada saat itulah terasa ada orang mengembus hawa di bagian
gitoknya.
Didengarnya Yang Cu-kang lagi berucap dengan tertawa di tepi telinganya, "Biarpun kau
belajar lagi 30 tahun dengan Hong sam juga tiada gunanya. Akan lebih baik jika kau temani
aku main-main beberapa hari, bila hatiku senang, bisa jadi akan kuajarkan beberapa jurus
padamu dan selama hidupmu akan merasakan betapa besar manfaatnya."
Lui-ji merasa telinganya seperti dikili-kili, bahkan terasa geli. Sungguh gemasnya tidak
kepalang, ingin sekali tendang orang itu dibunuhnya, tapi sayang, badan sendiripun tak bisa
berkutik lagi.
Yang Cu-kang lantas menjajarkan tiga kursi menjadi satu baris, Lui-ji didudukkannya pada
kursi tengah, sedangkan kedua kakak beradik itu didudukkan pada kedua kursi kanan dan kiri.
Cahaya mata hari yang menembus masuk melalui jendela itu dapat menyinari tubuh kedua
nona kakak beradik itu dengan jelas, sampai-sampai pori-pori di badan merekapun dapat
terlihat jelas.
Meski sesama wanita, melihat tubuh mereka yang mulus itu, berdetak juga jantung Lui-ji, dia
ingin bergerak, tapi tak dapat, ingin memaki, sukar membuka mulut.
Rupanya Yang Cu-kang tidak cuma menutuk Hiat-to kelumpuhannya, bahkan juga menutuk
Hiat-to bisunya, supaya mereka tak dapat bicara satu sama lain.
Muka kedua kakak beradik itu tampak merah padam, mata mereka seolah-olah memancarkan
sinar tembus, mereka lantas menangis demi melihat si baju hijau yang menggeletak tak bisa
berkutik itu.
Yang Cu-kang membetulkan bajunya, lalu berkata dengan serius, "Hari ini adalah hari besar
selama hidupku, sebab itulah ku undang nona bertiga untuk menjadi peninjau, untuk ikut
195
menyaksikan upacara aku membunuh orang. Apabila caraku membunuh orang tidak baik,
diharap para nona suka memberi petunjuk seperlunya."
Dia terus membungkuk tubuh sebagai tanda hormat, lalu menyambung pula, "Soalnya selama
hidupku ini tidak pernah membunuh orang, baru sekarang untuk pertama kalinya kubuka
pantanganku membunuh, sebenarnya aku tidak ingin menggunakan orang begini sebagai
pembukaan, tapi tiada orang lain yang kutemukan, terpaksa seadanya."
Air mata kedua kakak beradik itu bercucuran bibir pun tergigit hingga berdarah.
Yang Cu-kang menjemput pisau emas yang terjatuh di lantai itu, di usapnya pisau itu dengan
mengkilap dengan baju yang ditanggalkan kakak beradik itu, perlahan ia mendekati si baju
hijau, tiba-tiba ia menoleh dan berkata pula, "Eh, apa barangkali ketiga nona masih ada
kedatangan sahabat lain? Jika masih ada, bagiku menjadi lebih baik, sebab upacara yang
khidmat ini rasanya terlalu sedikit jika cuma disaksikan oleh tiga tamu undangan saja."
Sebenarnya Lui-ji berharap mudah-mudahan Ji Pwe-giok akan menyusul tiba, tapi sekarang ia
berbalik berharap semoga anak muda itu jangan datang, sebab ilmu silat orang she Yan ini
sungguh terlalu menakutkan.
Yang Cu-kang sedang menghela nafas, gumamnya, "Orang lain sama bilang membunuh
orang adalah suatu yang merangsang, mengapa sekarang tidak kurasakan rangsangan
sedikitpun?"
Dengan kemalas-malasan pula ia berkata dengan tertawa, "Sebentar kalau kau rasakan sakit
boleh kau berkedip-kedip dan akan ku bikin kau mati lebih cepat, sebab aku tidak suka
melihat orang meringis kesakitan."
Tampaknya pisau emas segera akan menghujani hulu hati si baju hijau, air mata kedua nona
kakak beradik pun berderai, siapa tahu, pada saat itulah mendadak seorang berucap di jendela,
"Aku tidak suka melihat orang meringis kesakitan.
Seketika air muka Yang Cu-kang berubah, ia melompat ke depan jendela, tapi mendadak
menyurut mundur pula dan membentak, "Siapa itu?"
Mendadak orang itu pun membentak "Siapa itu?"
Tambah pucat wajah Yang Cu-kang, teriaknya, "Apa...apakah benar kau..." belum habis
ucapannya, "blang", ia terjang jendela yang lain hingga terpentang dan menerobos keluar
secepat anak panah, di luar dia membentak pula, "Hwe sing-diong (kutu gema suara), selama
ini aku tidak bermusuhan dengan kau, jangan kalian coba-coba mengganggu diriku,
ketahuilah akupun bukan orang yang mudah direcoki."
Bicara sampai kata terakhir itu, suaranya sudah berada berpuluh tombak jauhnya, lalu tidak
terdengar apa-apa lagi.
Kedua kakak beradik itu sama melengak, Lui-ji terkejut dan juga bergirang, sungguh tak
tersangka olehnya Hwe-sing-diong bisa datang menolong untuk menolong mereka dan dapat
membuat pemuda yang misterius itu kabur ketakutan. Dengan penuh rasa kagum dan ingin
196
tahu ia pandang keluar jendela dengan terbelalak, diam-diam ia berharap orang maha sakti itu
sudi memperlihatkan wajahnya.
"Blang", mendadak daun jendela yang sebelah sini juga di dobrak orang, seorang benar-benar
menerjang ke dalam rumah.
Ke empat orang yang berada di dalam sama terkejut setelah tahu siapa orang yang menerjang
tiba ini, sebab orang ini bukan lain daripada Ji Pwe-giok adanya.
Melihat kedua nona kakak beradik itu, wajah Pwe-giok juga memperlihatkan kejut dan heran,
cepat ia membuka Hiat-to Lui ji yang tertutuk, lalu berkata dengan suara tertahan, "Lekas
buka Hiat-to mereka, lalu ikut pergi bersamaku."
Lui-ji tidak bicara lain, tapi bertanya lebih dulu, "Kau kenal mereka?"
Dalam pada itu Pwe-giok sudah angkat si baju hijau dan menerjang keluar rumah.
Sambil menggigit bibir Lui-ji jadi termenung memandangi kedua nona kakak beradik itu.
Didengarnya Pwe-giok lagi mendesak di luar "Lekas, cepat! Bisa jadi sebentar Yang Cu-kang
akan kembali ke sini, akan kutunggu kalian di lumbung padi sana!"
Biji mata Lui-ji mengerling, lebih dulu ia jemput baju yang terlempar di lantai dan ditaruh di
atas tubuh kedua kakak beradik itu, lalu ia membuka Hiat-to bisu mereka, seperti tertawa tapi
bukan tertawa ia melototi mereka, katanya, "Setelah kalian berpakaian dengan rapi baru boleh
keluar, aku tidak suka suamiku melihat perempuan telanjang, tahu?"
Kedua kakak beradik itu seperti melenggong si taci tidak bicara, tapi si adik lantas bertanya
"Suamimu?"
Lui-ji meliriknya sekejap, katanya, "Memangnya kalian kenal suamiku?"
Sang Taci mengangguk, sedangkan si adik berkata pula, "Kami memang kenal Ji-kongcu, tapi
tidak tahu dia adalah suamimu?"
Mata Lui-ji melotot lebih besar, ucapnya, "Ji-kongcu ialah suamiku, suamiku ialah Ji-kongcu.
masa kalian belum lagi paham?"
"Oo, apa betul?" jengek si adik. "Wah, jika begitu harus kuucapkan selamat padamu. Tadinya
kukira kau adalah puterinya."
Sampai hijau muka Lui-ji saking gusarnya, ucapnya, "Hm, sekali pandang saja segera ku tahu
kau bermaksud tidak baik padanya. Tapi ingin ku peringatkan padamu, jika kau coba
menggoda suamiku, tentu akan kucabut nyawamu!"
*****
Lumbung padi itu tidak lembab, tapi sangat suram, sekeliling penuh tertimbun padi, hanya
pada suatu sudut gudang itu saja tempat luang, waktu Pwe-giok membawa si baju hijau ke
situ, Hiat-to orang itu juga telah dibukanya.
197
Sambil melototi Pwe-giok si baju hijau berucap, "Dengan menyerempet bahaya besar Anda
menyusul kemari untuk menolong kami, tentunya hubunganmu dengan mereka kakak beradik
cukup akrab bukan?"
Pwe-giok termenung sejenak, ucapnya kemudian dengan perlahan, "Meski hubunganku
dengan mereka cukup baik, tapi tidak sampai mesti menjual ayah-bunda sendiri demi
membela mereka."
Tubuh si baju hijau bergetar hebat, ia menyurut mundur dua-tiga tindak, ucapnya dengan
parau, "Ap...apa katamu? Aku tidak paham!"
Pwe-giok menghela nafas, katanya, "Tong Giok, Tong-ji-kongcu, sudah begini, apakah kau
masih ingin mengelabuhi diriku?"
Si baju hijau mengepal tinjunya kencang-kencang sekujur badan bergemetaran.
Pwe-giok berucap pula dengan gegetun, "Semula sukar bagiku untuk menerka siapa dirimu,
sebab apapun juga tak terpikir olehku bahwa Tong-jikongcu dapat mengkhianati ayahnya
sendiri, menjual keluarga sendiri, Tapi setelah melihat kedua kakak beradik Kim-hoa-hio
barulah ku paham duduk perkaranya, Lantaran ayahmu tidak menyetujui perkawinanmu
dengan Kim-hoa-nio, maka kau tidak sayang melakukan perbuatan kotor ini."
Mendadak suaranya berubah bengis, sambungnya, "Rupanya syaratmu bagi perbuatanmu
yang terkutuk ini adalah setelah Tong Bu-siang gadungan itu pulang ke Tong-keh-ceng, lalu
mengumumkan persetujuannya akan perkawinanmu. Tapi apakah pernah kau pikirkan bahwa
perbuatanmu ini bukan saja berdosa pada ayahmu bahkan juga berdosa kepada leluhur
keluarga Tong kalian yang telah bersejarah ratusan tahun?"
Tong Giok menyurut mundur selangkah demi selangkah, sampai di kaki dinding, ia mendadak
berteriak dengan suara parau, "Ayahku toh sudah mati, aku tidak membunuhnya. Perbuatanku
ini kan sama seperti membuat beliau yang sudah mati itu hidup kembali, dan semua saudaraku
tidak perlu lagi berduka, sebab itulah aku merasa tidak berbuat salah dan tidak berdosa."
Dengan gusar Pwe-giok berkata. "Apakah benar-benar kau suka seorang yang tidak kau kenal
menjadi ayahmu, menjadi ayah saudara-saudaramu? Benarkah kau suka saudara-saudaramu
diperbudak orang yang semestinya tiada sangkut-pautnya dengan keluarga Tong kalian?
Apakah tidak kau sadari setelah dia menjadi ketua keluarga Tong kalian, lalu nama baik
keluarga Tong yang termasyhur selama beratus tahun itu akan hancur dengan begitu saja?"
Tubuh si baju hijau alias Tong Giok tampaknya mulai lunglai, dia mendekap mukanya dan
berkata dengan suara gemetar, "Tapi tahukah kau, apabila aku tidak bertemu dia (maksudnya
Kim-hoa-nio), betapa tersiksa batinku? Biarpun aku harus masuk neraka dan takkan menitis
selamanya akupun ingin bersama dia."
Ia berhenti sejenak, mendadak ia melototi Pwe-giok dan menyambung pula, "Apakah kau
tahu betapa besar dan betapa kuatnya "cinta"? Tahukah kau tidak sedikit orang yang berada di
dunia ini hanya hidup demi cinta dan berapa banyak pula orang mati akibat cinta?"
198
Setelah tersenyum pedih, lalu lanjutnya lagi, "Dengan sendirinya kau tidak tahu, sebab pada
hakekatnya kau tidak pernah jatuh cinta benar-benar kepada seseorang, hakekatnya kau belum
tahu bagaimana rasanya cinta!"
Wajah Pwe-giok tanpa terasa menampilkan perasaan berduka, ucapnya sambil menyengir,
"Kau kira aku tidak pernah mencintai seseorang? Kau kira aku tidak paham artinya cinta?"
"Jika kau paham, tentu kau tidak....tidak mencela perbuatanku ini." kata Tong Giok.
"Kesulitanmu mungkin aku lebih paham dari siapapun juga," ujar Pwe-giok dengan gegetun.
"Sebab itulah, sekalipun kau minggat bersama Kim-hoa-nio pasti takkan kusalahkan dirimu,
tapi perbuatan inilah yang tidak pantas kau lakukan, perbuatan mengkhianati ayah sendiri dan
keluarga sendiri, perbuatan yang terkutuk."
Tong Giok tersenyum pedih, tukasnya, "Minggat? Kau kira minggat adalah perbuatan yang
sangat mudah?"
"Apabila benar cinta kalian sedemikian mendalam, mengapa kalian tidak dapat meninggalkan
kehidupan ramai ini dan mengasingkan diri ke satu tempat yang jauh dan sunyi sana agar
dapat hidup dengan tenteram selamanya. Apakah kalian masih kemaruk kepada dunia fana
ini, masih sayang meninggalkan kenikmatan hidup mewah ini? Jika sedikit pengorbanan ini
saja tidak sanggup kalian lakukan, hakekatnya kalian tidak sesuai untuk bicara tentang cinta
segala."
"Jika orang lain, dengan sendirinya boleh berbuat seperti uraianmu itu, tapi kami...."
"Kalian kenapa?" Pwe-giok menegas.
"Tahukan kau hukuman apa yang akan dijatuhkan terhadap putera-puteri keluarga Tong yang
minggat bersama kekasihnya? Sekalipun kami kabur ke ujung langit juga mereka akan dapat
menemukan kami dan menawan kami kembali, apalagi betapa kejinya Thian can kaucu juga
sudah lama diketahui."
"Setahuku, Thian can kaucu tidak pernah anti perkawinan kalian," kata Pwe-giok.
"Dia tidak anti, sebab dia tahu perjodohan kami pasti akan gagal," tutur Tong Giok, "sebab
itulah syarat yang dikemukakannya adalah aku harus melamar secara resmi dan kawin dengan
sah. Kalau tidak, dia melarang Kim-hoa-nio bertemu denganku."
"Tapi kalian kan tetap dapat minggat?" ujar Pwe-giok.
"Betul, kami dapat minggat, mungkin juga kami dapat lolos dari pengejaran keluarga Tong,
tapi jangan harap akan dapat lolos dari kekejian Thian-can-kau," kata Tong Giok, lalu ia
menyambung dengan sekata demi sekata, "Sebab kalau Kim-hoa mengkhianati Thian-cankau,
dalam waktu tujuh bulan seluruh tubuhnya akan membusuk dan mati."
"Sebab apa bisa begitu?" tanya Pwe-giok.
"Sebab dia sudah diberi racun ulat langit oleh Thian-can-kaucu yang tidak mungkin tertolong
lagi," tutur Tong Giok.
199
Mau tak mau Pwe-giok menghela napas menyesal, katanya pelahan, "Lantaran itulah, demi
kepentinganmu sendiri tidak sayang kau korbankan orang lain...."
"Sama sekali aku bukan manusia yang berhati binatang begitu," kata Tong Giok. "Apa yang
kulakukan juga sudah kuperhitungkan dengan baik."
"Apa perhitunganmu?" tanya Pwe-giok.
"Aku dapat membantu usaha mereka hingga berhasil, tapi akupun dapat menghancurkan
usaha mereka," ujar Tong Giok. "Hanya aku saja yang dapat membongkar intrik mereka, pada
suatu hari tentu dapat kubongkar tipu muslihat mereka itu."
"Pada suatu hari? Memangnya akan kautunggu sampai kapan?" tanya Pwe-giok.
"Dengan sendirinya menunggu sampai perkawinan kami sudah terlaksana."
"Tapi pernahkah kau pikirkan, sebelum intrik mereka kaubongkar, apa yang dapat
dilakukannya?"
"Hal ini....ini..." Tong Giok menjadi gelagapan.
"Banyak yang dapat dilakukannya," sambung Pwe-giok. "Bukan saja dia dapat membongkar
seluruh rahasia pembuatan am-gi (senjata gelap atau rahasia) keluarga Tong kalian, bahkan
dia dapat memperalat setiap anak murid keluarga Tong untuk berbuat apa saja baginya, dapat
disuruhnya membunuh banyak orang yang akan mati secara mengerikan, bahkan termasuk
saudaramu dan sanak keluargamu, jadi sebelum kau sempat membongkar rahasianya, lebih
dahulu dia sudah menghancurkan segenap keluargamu."
Lalu sekata demi sekata Pwe-giok menegaskan lagi, "Apalagi pada hakekatnya kaupun takkan
sempat hidup sedemikian lama."
Tong Giok berdiri terpaku, tiba-tiba air matanya berderai, ia bergumam, "Jadi salahkah aku
ini? Apakah aku benar-benar salah?"
"Sampai sekarang, apakah kau belum lagi mau mengaku salah?" tanya Pwe-giok.
"Tempo hari, ayahku menyuruh kita bertukar pakaian, bahkan menyuruh kau memakai
topengku, meski resminya untuk mengelabui mata-telinga para pekerja bengkel senjata
rahasia itu, padahal diam-diam ayahku menyuruh aku dan toako secara terpencar pergi
mencari pimpinan kalian, yaitu Bu-lim-bengcu Ji Hong-ho..."
"Urusan ini sudah kuketahui," kata Pwe-giok.
Tugas demikian dengan sendirinya beliau tidak dapat mempercayai orang lain, betapapun aku
adalah putranya, selamanya juga sangat penurut, tapi sebelum ku berangkat beliau wantiwanti
memperingatkan diriku agar segera pulang ke rumah bila tugas sudah selesai, aku
dilarang bertemu dengan Kim-hoa, kalau melanggar, aku akan dihukum menurut tata tertib
rumah tangga."
200
"Dan kau tidak menurut pada perintahnya, bukan?" kata Pwe-giok.
"Jika aku tidak dipikat orang lain, betapapun aku tidak berani membangkang," jawab Tong
Giok dengan muram. "Tapi ketika kutemui Ji Hong-ho, dia malah memberitahukan padaku
bahwa ayah dan Toakoku telah meninggal semua. Katanya, bila berita ini tersiar, bukan saja
Tong-keh-ceng akan segera kacau balau, bahkan dunia persilatan juga akan mengalami
pergolakan hebat, demi kepentingan umum, terpaksa dia akan mencari satu orang untuk
menyamar sebagai ayahku, lebih dulu menjaga ketenangan dan perkara lain boleh diatur
belakangan?"
"Sebab itulah kau lantas percaya pada ucapnya, begitu?"
"Meski apa yang dikatakannya itu kurasakan agak janggal, tapi dia menegaskan lagi bahwa
tindakannya itu lebih banyak untungnya dan tiada ruginya, terutama terhadap diriku akan
besar manfaatnya."
"Ya, tampaknya dia tidak hanya menyetujui perkawinanmu dengan Kim-hoa-nio, mungkin
dia juga menyanggupi akan mengangkat kau sebagai pimpinan Tong-keh-ceng."
Tong Giok menunduk, katanya dengan menyesal, "Lantaran salah pikir, seketika itu kuterima
semua kehendaknya. Tapi kemudian dapat juga kupikirkan, bilamana rahasianya ketahuan,
mungkin akupun akan dibunuhnya untuk membungkam mulutku."
"Terkadang kau ternyata juga seorang yang sangat prihatin dan hati-hati," ujar Pwe-giok
dengan gegetun. "Tapi lebih sering kau terlalu ceroboh. Mungkin inilah yang disebut...."
mendadak ia berhenti, kata "keblinger" urung diucapkannya, sebab tiba-tiba iapun merasakan
anak muda ini juga pantas dikasihani, ia tidak tega lagi melukai hatinya.
Tong Giok lantas bercerita pula, "Selama ini aku dan Kim-hoa ada hubungan secara rahasia,
sebab itulah setelah janji pertemuanku dengan Ji Hong-ho yang diadakan di Bong-hoa-lau itu
selesai diam-diam kuminta agar Kim-hoa datang kemari untuk memapak dan membantuku
bila perlu."
"Langkahmu ini ternyata tidak keliru?" kata Pwe-giok.
"Tapi aku sudah salah berbuat langkah yang paling penting," ujar Tong Giok dengan muram,
"Kata orang, kehidupan manusia ini laksana main catur. Hidupku ini sudah melakukan suatu
kesalahan yang tidak dapat ditarik kembali lagi, aku merasa malu untuk...."
Belum habis ucapannya, mendadak Kim-hoa menerjang masuk dan mendekap di atas
tubuhnya, serunya sambil menangis, "Kau tidak salah, yang salah ialah diriku, akulah...akulah
yang membikin susah padamu!"
Pwe-giok memandangi mereka, memandangi dua sejoli yang saling cinta dengan teguh, meski
dalam lingkungan seburuk ini, namun cinta mereka tidak tergoyahkan sedikitpun.
Seketika Pwe-giok juga tidak tahu bagaimana perasaannya, ia tidak tahu apabila dirinya yang
menghadapi keadaan seperti mereka itu, apakah dia juga akan dapat tahan uji seperti mereka?
201
Meski ia merasa apa yang diperbuat mereka itu pantas disesali, tapi nasib mereka juga pantas
mendapat simpati, bahkan keteguhan cinta mereka pantas dikagumi.
Perlahan Lui-ji juga sudah mendekati Pwe-giok, tanyanya dengan pelan, "Tulisanku di bawah
kereta itu dapat kau baca?"
Pwe-giok mengiakan. Sebenarnya ia bermaksud menegur si nona agar selanjutnya tidak boleh
sembrono dan bertindak gegabah, tapi kini setelah berhadapan, satu kata saja sukar untuk
diucapkan.
Dilihatnya Lui-ji menunduk sambil memainkan ujung bajunya, seperti sedang menunggu
dampratan dan seperti juga sedang menanti dipuji.
Terpaksa Pwe-giok berkata dengan suara halus, "Kalau tidak membaca tulisanmu itu, mana
bisa kususul ke sini?"
Lui-ji tersenyum, katanya, "Kira-kira kapan kau sampai di sini? Apakah kau melihat Hwesing-
diong yang suka menirukan perkataan orang itu?"
Pwe-giok tertawa, jawabnya, "Siapa Hwe-sing-diong itu, sama sekali tidak kulihat
seorangpun."
Berputar biji mata Lui-ji, tiba-tiba ia mendesis pelan, "Jangan-jangan memang tidak ada Hwesing-
diong segala, tapi kau yang telah menggertak lari Yang Cu-kang?"
Dengan tersenyum Pwe-giok mengangguk, lalu mendesis pula, "Makanya ku kuatir Yang Cukang
akan segera kembali lagi ke sini."
"Jangan kuatir," ujar Lui-ji dengan tertawa, "dia mengira Hwe-sing-diong diam-diam telah
mengintil di belakangnya, tentu dia tak berani lagi bersuara. Apabila nanti dia tahu tertipu dan
memburu kembali ke sini, tentu kitapun sudah pergi jauh."
Si adik dari kedua nona itu ialah Thi-hoa-nio, dia berdiri jauh di sebelah sana dan sedang
melirik Lui-ji, melihat nona cilik ini bicara bisik-bisik dengan Pwe-giok dan tertawa ringan,
betapapun hati Thi-hoa-nio merasa panas, sambil menggigit bibir ia melengos ke sana.
Tiba-tiba ia merasa kehadirannya di situ hanya berlebihan, tidak ada orang memperhatikannya
dan juga tidak ada orang menggubrisnya.
Walaupun suara tangisan Kim-hoa-nio dan Tong Giok cukup membuatnya berduka, tapi suara
tertawa Lui-ji dan Pwe-giok membuat hatinya lebih pedih dan ia ingin segera mati saja dan
bereslah segalanya.
Di luar dugaan, mendadak terdengar Pwe-giok menyapanya, "Nona Thi-hoa, beberapa bulan
ini tidak bertemu, tampaknya kau agak kurus sedikit."
Mendingan tidak ditegur, kata Pwe-giok ini malah menambah pedih hatinya, tak tertahan lagi
air mata Thi-hoa-nio berlinang-linang. Pikirnya dengan mendongkol, "Jika kau tahu aku
tambah kurus ini lantaran siapa. Bila kau masih juga memperhatikan diriku, mengapa kau
menikah dengan orang lain?"
202
Sungguh ia ingin menubruk ke dalam pangkuan Pwe-giok dan menangis sepuas-puasnya,
ingin pula ia menggigit muka Pwe-giok, ingin dicicipinya darah anak muda itu sesungguhnya
dingin atau panas? Seketika tidak keruan perasaannya dan entah apa yang harus
diucapkannya, siapa tahu Pwe-giok tidak menunggu jawabannya, juga tidak mendekatinya,
sebaliknya malah melangkah ke sebelah Tong Giok sana, perkataannya tadi seolah-olah hanya
tegur sapa dengan kenalan di tengah jalan saja.
Seketika darah Thi-hoa-nio terasa dingin sampai di bawah derajat nol. Buah hatinya rasanya
juga seperti hilang dirogoh orang, urusan apapun tak dirasakan lagi.
Pwe-giok seperti tidak paham betapa besar perubahan perasaan seorang gadis pada waktu
sekejap itu, hakekatnya ia tidak memperhatikan Thi-hoa-nio, ia lantas membuka Hiat-to Tong
Gok dan berkata dengan menyesal, "Akupun tidak menyalahkan engkau, hanya saja kau harus
mempunyai perhitungan sendiri."
Tong Giok terdiam sejenak, mendadak ia seperti mengambil sesuatu keputusan yang pasti, ia
berbangkit dan berdiri tegak, ucapnya, "Aku pergi bersamamu!"
"Pergi ke mana?" tanya Pwe-giok.
"Puang ke Tong-keh-ceng dan membongkar rahasia mereka," ucap Tong Giok tegas.
"Tepat, beginilah baru perbuatan seorang lelaki sejati," puji Pwe-giok dengan tersenyum
cerah. "Asalkan ada tekadmu, di dunia ini tidak ada urusan sulit yang tidak dapat diatasi,
lebih-lebih tidak ada urusan yang tidak dapat diselesaikan."
Lui-ji juga bergembira, pemberontakan perjuangan Ji Pwe-giok tampaknya sampai di sini
baru mulai kelihatan ada hasilnya, baru sekarang mendung gelap mulai kelihatan setitik sinar
terang. Kecuali Thi-hoa-nio, semangat setiap orang sama terbangkit.
Tong Giok membersihkan hangus yang mengotori mukanya, dia seperti sudah bertekad
takkan main menyamar dan memalsu secara sembunyi-sembunyi lagi, dia ingin menjadi
manusia tulen menurut wajah aslinya.
Termangu-mangu Kim-hoa-nio memandangi kekasihnya itu dengan butiran air mata masih
berada di kelopak matanya, namun juga kelihatan juga rasa puasnya, perasaan terhibur.
Maklumlah, tidak ada seorang perempuan yang tidak mengharapkan kekasihnya sendiri
adalah seorang lelaki sejati.
"Waktu kita yang terbuang sudah cukup lama, marilah kita lekas berangkat saja," kata Lui-ji
dengan tertawa.
"Betul, ada persoalan apa boleh kita bicarakan lagi dalam perjalanan," tukas Pwe-giok.
Tak terduga, mendadak di lumbung padi itu seorang lantas menirukan suaranya, "Betul, ada
persoalan apa boleh kita bicarakan lagi dalam perjalanan."
Seketika semua orang sama berubah pucat.
203
Meski merekapun tahu pembicara itu pasti bukan Hwe-sing-diong yang tulen, tapi dalam
pandangan mereka Yang Cu-kang dan Hwe-sing-diong sama menakutkannya.
Dengan muka pucat lui-ji lantas berteriak, "Yang Cu-kang, tidak perlu kau main sembunyi
dan berlagak seperti setan iblis, ku tahu kau telah kembali."
Kim-hoa-nio menggenggam Tong Giok erat-erat, iapun menjengek, "Hm, tadi kau telah lari
terbirit-birit seperti anjing mencawat ekor, masa kau masih punya muka untuk kembali ke
sini?"
Pwe-giok juga lantas berteriak, "Yang Cu-kang, jika kau sudah kembali lagi ke sini, masuklah
kemari!"
Kalau Lui-ji bicara dengan Pwe-giok, di luar tidak ada gema suara sedikitpun, tapi baru habis
ucapan Pwe-giok itu, seketika di luar ada gema suara yang serupa, "Yang cu-kang, jika kau
sudah kembali ke sini, masuklah kemari!"
Dengan gregetan lui-ji berteriak pula, "Yang Cu-kang, orang lain takut padamu, namun Ji
Pwe-giok tidak pernah jeri padamu, kalau berani ayolah masuk ke sini!"
Dengan sinar mata gemerdep kim-hoa-nio menambahkan, "Dan kalau kau tidak berani masuk
kemari berarti kau bukan manusia!"
Biar orang lain berteriak dan mencaci maki apapun juga, orang di luar itu tetap tidak memberi
sesuatu reaksi, tapi bila Pwe-giok membuka mulut, segera menggema suara yang sama di
luar.
mereka saling memberi isyarat, lalu serentak mereka menerjang keluar.
Di luar, cahaya sang surya gilang gemilang menerangi bumi raya ini, anjing itu masih
meringkuk kantuk di pojok rumah, langit cerah kebiruan, hanya segumpal awan mengapung
jauh di udara sana, tapi sekeliling situ tiada kelihatan bayangan seorangpun.
Dengan suara bengis Pwe-giok lantas berteriak, "Jika kau merasa telah ku permainkan,
mengapa sekarang tidak berhadapan denganku untuk bertempur?"
Kontan gema suara itupun berbunyi: "Jika kau merasa telah ku permainkan, mengapa tidak
berhadapan denganku untuk bertempur?"
Sekali ini gema suara itu berkumandang dari lumbung padi sana tapi ketika mereka menerjang
ke dalam lumbung, tetap tiada bayangan apapun yang ditemukan.
Lui-ji mendapat akal, ia mendesis kepada Pwe-giok. "Kau tinggal saja di sini, biar kami
berempat berjaga di luar."
Pwe-giok mengangguk. Setelah mereka keluar semua, segera ia berteriak, "yang Cu-kang,
ayolah perlihatkan dirimu?"
Benarlah, suara itu bergema pula di luar lumbung, "Yang Cu-kang, ayolah perlihatkan
dirimu!"
204
Gema suara itu kedengaran berkumandang dari sebelah timur lumbung, segera Pwe-giok
melayang keluar sana, dilihatnya Lui-ji, Tong Giok dan Kim-hoa-nio kakak beradik berjalan
di empat penjuru. Yang berjaga di sebelah timur ialah Tong Giok, saat itu dia kelihatan
bingung dan cemas.
Segera Lui-ji dan lain-lain ikut berkerumun ke sebelah sini.
"Kau dengar gema suara itu berkumandang dari sebelah sini?" tanya Lui-ji.
Pwe-giok mengangguk.
Segera Kim-hoa-nio memegang lagi tangan Tong Giok dan tanya padanya, "Apakah tidak ada
yang kau lihat?"
Dengan muka pucat dan suara parau Tong Giok menjawab, "Kudengar suara itu timbul dari
belakang, ketika ku putar tubuh, suara itu tetap bergema di belakangku, seperti kitiran aku
berputar beberapa kali, suara itu lantas lenyap, tapi orangnya lantas menghilang juga."
"Sekali ini kita berdiri dengan mengadu punggung, coba cara bagaimana dia akan mengelabui
kita," ujar Kim-hoa-nio.
"Kalau kalian berdiri di sini, masa dia tak dapat pergi ke sebelah sana?" kata Lui-ji.
Semua orang saling pandang dengan melongo.
Selang sejenak, tiba-tiba Lui-ji berkata pula, "Kukira orang ini mungkin bukan Yang Cukang."
"Apa dasarnya?" tanya Tong Giok.
"Kalau Yang Cu-kang sudah tahu kau akan membongkar rahasia mereka, tentu kau takkan
diberi kesempatan pulang dengan hidup, tapi orang tadi kan tidak bertindak apa-apa terhadap
dirimu."
Tong giok menarik napas dingin, ucapnya, "Habis siapa dia kalau bukan Yang Cu-kang?"
"Kalau bukan Yang Cu-kang, dengan sendirinya ialah Hwe-sing-diong tulen ..." ucapannya
ini tidak saja membuat orang lain terkesiap, malahan Lui-ji sendiri juga terkejut dan tanpa
terasa menyurut mundur ke samping Pwe-giok.
Sudah cukup lama Pwe-giok membungkam, kini mendadak ia berkata, "Apapun juga, rencana
kita tetap tidak berubah. Tak perduli siapa dia, karena dia tidak berani berhadapan denganku,
maka akupun tidak perlu takut padanya. Biarkan dia menirukan suaraku, hakekatnya tidak
kupikirkan hal ini."
Meski demikian ucapan Pwe-giok, tapi dalam batin seolah-olah tertindih oleh sepotong batu
raksasa. Meski dia tidak buka suara dan semuanya akan berlangsung dengan tenang tanpa
terjadi apa-apa. tapi setiap orang tahu ada seorang yang misterius dan maha sakti serta
205
menakutkan senantiasa mengikuti jejak mereka secara diam-diam, dimana dan kapan saja,
asalkan Pwe-giok bersuara, segera gema suara itu akan berkumandang pula.
Beban moril atau tekanan batin ini sungguh sangat berat dan dapat membikin orang menjadi
gila.
Petangnya, sampailah mereka di suatu kota yang cukup ramai, mereka mondok pada satu
hotel yang banyak tamunya, makan di restoran pada saat ramai dikunjungi tamu lain.
Pwe-giok memandang sekelilingnya, terlihat semua meja sudah penuh tamu, dengan
sendirinya ia tidak menemukan Yang cu-kang. Tapi bagaimana dengan Hwe-sing-diong?
Jangan-jangan Hwe-sing-diong itu termasuk di antara tetamu ini.
Mendadak Pwe-giok berteriak, "Wahai, dengarkan! Sekarang aku bicara lagi, ayolah silahkan
kaupun bersuara!"
Suaranya keras dan lantang, keruan membikin kaget setiap tamu yang sedang makan itu,
semuanya sama menoleh dan memandangnya dengan melongo heran, malahan ada yang
menyangka dia sebagai orang sinting.
Tapi Pwe-giok dan lain-lain juga memandangi setiap orang dengan melotot, sebab mereka
juga ingin tahu sekarang gema suara itu akan berkumandang dari mana?
Tak tahunya, sampai sekian lama, tetap tiada sesuatu gema apapun. Semua tamu masih
memandangi mereka dengan heran dan mengira mereka rombongan orang gila.
Sesungguhnya sikap dan gerak-gerik Pwe-giok dan kawan-kawannya memang serupa orang
sinting, mereka diliputi rasa heran, cemas, tapi akhirnya menjadi girang dan sama bergelak
tertawa.
Dengan sendirinya tetamu lain tak dapat menerka hal apa yang membuat mereka tertawa
gembira begitu.
Saking senangnya, hampir-hampir saja Lui-ji berjingkrak dan berteriak-teriak. Sebisanya ia
tahan suaranya dan berkata, "Hwe-sing-diong sudah pergi, kalian dengar tidak?"
"Ya, betul, kami dengar," jawab Kim-hoa-nio dan Tong giok serentak.
Tetamu lain tentu saja bertambah heran, sudah jelas mereka tidak mendengar apa-apa,
mengapa justeru bilang dengar? Apa namanya kalau bukan orang gila?
"Jika demikian, agaknya memang betul Hwe-sing-diong yang tulen." ujar Lui-ji dengan
tertawa. "Sebab kalau dia Yang Cu-kang, tentu dia takkan pergi."
Agaknya Pwe-giok masih was-was, ia coba berkata pula, "Jika dia sudah merecoki diriku,
kenapa mendadak pergi?"
Meski dia sengaja bicara dengan suara keras, namun tetap tiada gema suara apapun.
206
Lui-ji juga sengaja menunggu sejenak, setelah keadaan tetap tenang, dengan tertawa barulah
ia berkata, "Bisa jadi dia tidak ingin mencari perkara padamu, cuma lantaran kau pernah
memalsukan suaranya untuk menggertak Yang Cu-kang, maka dia sengaja menggoda dirimu
supaya kau kapok."
"Betul," tukas Kim-hoa-nio dengan tertawa cerah, "mungkin sekarang dia merasa sudah
cukup menggoda dirimu, maka malas bermain-main lagi denganmu."
Dengan sendirinya makan malam mereka ini berlangsung dengan sangat meriah. Tapi Pwegiok
tetap jarang bicara, hal ini bukannya dia kuatir akan direcoki Hwe-sing-diong lagi, tapi
lantaran terlalu sedikit kesempatan bicara baginya.
Bayangkan, kalau tiga perempuan bersama satu meja, mana ada kesempatan bicara bagi kaum
lelaki.
Yang paling pendiam diantara ketiga perempuan itu ialah Thi-hoa-nio, terus menerus dia
memandang Lui-ji dan Pwe-giok, seakan-akan ingin tahu apakah mereka benar-benar telah
kawin.
Dan ketika mereka habis makan, dapatlah Thi-hoa-nio menarik kesimpulan tentang hal
tersebut.
Pwe-giok ternyata minta disediakan lima buah kamar, dia berkata, "Hari ini kita harus
istirahat sebaik-baiknya supaya besok kita dapat menempuh perjalanan dengan bersemangat,
begitu juga supaya dapat bekerja dengan penuh bergairah.
Tiba-tiba ia tertawa terhadap Kim-hoa-nio dan Tong giok, lalu berkata pula, "Hanya kamar
kalian saja yang berdempetan, malahan ada pintu tembusnya. Meski lima buah kamar yang ku
pesan, tapi aku cukup tahu akan kebutuhan keadaan."
Kim-hoa-nio melirik Tong Giok sekejap wajah kedua orang menjadi merah. Betapapun
mereka belum menikah secara resmi. Maka Kim-hoa-nio lantas berkata, "Malam ini kita harus
istirahat sebaik-baiknya, pintu tembus itu pasti takkan terpakai."
Mendingan dia tidak bicara, begitu dia omong maka serentak tertawalah semua orang,
sampai-sampai Tong Giok juga tidak tahan dan ikut tertawa.
Keruan muka Kim-hoa-nio tambah merah, omelnya, "Jangan kau senang, sebentar akan ku
kunci pintu tembus itu, coba kau akan senang lagi atau tidak?"
Sehabis bicara, ia sendiripun tertawa dan berlari masuk ke kamarnya sendiri. Meski sekarang
mereka masih dalam kesulitan, tapi pada saat yang paling kritis, paling berbahaya kini sudah
terlalui, maka hati semua orang dapat bergembira.
Yang paling gembira sekarang tampaknya ialah Thi-hoa-nio.
Tiba-tiba ia tertawa terhadap Lui-ji dan berkata, "Taciku dan Cihuku (suami taci) belum
menikah, makanya mereka masih harus tidur terpisah. Tapi kalian kan sudah menikah,
mengapa kalian tidak tinggal bersama di dalam satu kamar?"
207
Setelah melihat Pwe-giok masuk ke kamarnya dan pintu lantas ditutup, hati Lui-ji memang
lagi tidak enak, sekarang ditanya Thi-hoa-nio, seketika ia bersungut dan menjawab dengan
marah, "Urusan kami suami-isteri, perlu apa kau ikut pikirkan?"
Habis berkata ia terus berlari ke kamarnya sendiri dan menutup pintu.
Thi-hoa-nio memandang pintu kamar Pwe-giok, lalu memandang pula cahaya bulan di langit,
tiba-tiba ia menghela napas panjang dan berucap dengan hampa, "Malam ini sungguh masih
sangat panjang, mungkin agak terlalu panjang ..."
*****
Kamar Kim-hoa-nio memang benar ada dua pintu, sebuah pintu keluar yang menembus ke
serambi, pintu yang lain dengan sendirinya pintu tembus ke kamarnya Tong Giok.
Tanpa membuka sepatu Kim-hoa-nio terus melemparkan tubuhnya ke tempat tidur, dia
berguling kian kemari, seperti ingin cepat-cepat tidur, tapi kedua matanya justru terpentang
lebar-lebar dan memandangi pintu tembus itu.
Sungguh sangat mengecewakan, dibalik pintu itu ternyata tiada setitik suara apapun.
Apakah Tong Giok sudah tidur? Apakah dia dapat pulas?
Dengan menggigit bibir, tiba-tiba Kim-hoa-nio merangkak bangun, dengan berjinjit-jinjit ia
mendekati pintu tembus itu, ia melangkah dengan berjengket-jengket, persis seperti maling
takut kepergok.
Padahal di dalam kamar kecuali dia sendiri seekor lalat saja tidak ada.
Kim-hoa-nio pun merasa geli sendiri. Ia termangu-mangu sejenak sambil menggigit bibir, lalu
menjulurkan tangan dan bermaksud mengetuk pintu, tapi tangan yang baru terjulur itu segera
ditarik kembali.
Sejauh itu di balik pintu sana masih tetap tiada terdengar gerak-gerik apapun.
Diam-diam Kim-hoa-nio merasa mendongkol, pikirnya: "Sialan! Kau tidak mau kemari,
memangnya aku yang harus ke situ? Aku justru tidak mau mencarimu lebih dulu, ingin
kulihat apa abamu?"
Sembari menggerundel, segera ia mendekat tempat tidur dan menjatuhkan dirinya lagi ke atas
kasur.
Sekali ini dia bukan cuma membuka sepatu, bahkan juga melepaskan kaos kaki.
Dipandangnya kaki sendiri yang putih halus itu, entah mengapa, tanpa terasa mukanya
menjadi merah.
Pantas juga hotel ini selalu penuh tetamu, servis mereka sangat memuaskan, setiap kamar
teratur dengan resik dan apik, setiap hari seprai dan selimut selalu diganti, malahan seluruh
kamar berbau harum.
208
Di dalam kamar yang berbau harum, di atas tempat tidur yang empuk, terdengar pula suara
nyanyian merdu sayup-sayup dari kejauhan, lagu yang berirama sendu yang mengenang
kekasih.
Busyet! Dalam suasana demikian mana dia dapat pulas?
Perlahan Kim-hoa-nio meraba kakinya yang mulus itu, sebenarnya kakinya sudah pegal
karena berjalan sejauh ini, tapi ketika ia meraba kulit kaki yang halus itu, rasanya seperti...
seperti mau....
Ia pun tidak dapat menjelaskan apa yang dirasakannya itu, yang pasti mukanya bertambah
merah.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar pintu berbunyi perlahan, seperti ada orang
mengetuk pintu.
Tanpa disuruh lagi Kim-hoa-nio terus melompat turun, sampai sepatu juga tidak sempat
dipakainya, dengan kaki telanjang ia mendekat kesana dan hendak membuka pintu. Tapi
tangan yang baru terjulur segera mengkeret lagi.
Dengan menggigit bibir ia berkata dengan tertawa ngikik, "Ku tahu kau pasti tidak tahan.
Padahal hari-hari selanjutnya masih sangat panjang, untuk apa kita mesti terburu-buru begini?
Masa barang resmi kita jadikan barang gelap?"
Tapi di balik pintu sana tiada suara apa-apa lagi. Apakah Tong Giok menjadi marah dan tidak
menggubrisnya?
Dengan suara halus Kim-hoa-nio berkata pula: "Bukan maksudku melarang kau ke sini, tapi
telinga mereka sangat tajam, bila terdengar mereka, bukankah akan dijadikan buah
tertawaan?"
Padahal sebenarnya ia sendiripun tidak sabar lagi dan ingin cepat-cepat membuka pintu,
hanya tadi Tong Giok telah membikin dia menunggu sekian lama, maka sekarang ia juga
ingin membiarkan Tong Giok merasakan betapa gelisahnya orang menunggu.
Baginya, cukup Tong Giok memohon satu kali saja dan minta dia buka pintu, bahkan tidak
perlu memohon, cukup bersuara saja, atau cukup mengetuk pintu lagi satu kali, maka segera
daun pintu akan dibukanya.
Akan tetapi sampai sekian lama, dibalik pintu sana tetap tidak ada suara apapun.
Kim-hoa-nio tidak tahan, ia berkata pula, "He, apakah kau marah?"
Tidak ada jawaban, ia tidak tahan dan berkata lagi "He, orang mampus! Mengapa kau tidak
bicara?"
Makin keras suara Kim-hoa-nio, tapi keadaan di balik pintu sana semakin sunyi.
Mendadak ia merasakan gelagat tidak enak, tanpa pikir lagi segera ia membuka pintu dan
menerjang ke dalam kamar Tong Giok...
209
*****
Di kamar lain Thi-hoa-nio juga sedang berbaring di tempat tidurnya dengan mengulum
senyum.
Kini rasa kesal, rasa sedihnya sudah lenyap seluruhnya, sebab dilihatnya Ji Pwe-giok tidak
tidur sekamar dengan Cu Lui-Ji.
Meski Pwe-giok juga takkan tidur sekamar dengan dia, tapi asalkan anak muda itu tidak tidur
dengan orang lain, maka cukup puas baginya, cukup menyenangkan dia.
Ia sendiripun merasakan jalan pikirannya ini sangat aneh, bahkan rada-rada lucu. Ia tidak tahu
bahwa jalan pikiran kebanyakan perempuan memang sering aneh dan lucu.
Gerundelan Kim-Hoa-nio di dalam kamarnya itu dapat didengarnya. Maklumlah, hotel ini
bukan hotel kelas wahid, segala sesuatunya tentu masih ada kekurangannya, termasuk
dindingnya yang tidak terlalu tebal itu.
Didengarnya Kim-hoa-nio lagi berkata, " .... untuk apa terburu-buru....nanti dijadikan buah
tertawaan....."
Diam-diam Thi-hoa-nio tertawa geli, pikirnya "Tabiat taci memang aneh, jelas-jelas dia
mengharap kedatangan orang, tapi justru pura-pura tidak mau dan membikin orang gelisah"
Ketika didengarnya Kim-hoa-nio lagi berkata, "Eh apakah kau marah ?,,,He, kenapa kau tidak
bicara ?"
Maka Thi-hoa-nio bertambah gel, diam-diam membatin, "Tak tersangka Tong Giok juga
pintar main sandiwara, dengan lagak emoh begini tentu toaci berbalik tidak tahan dan ingin
menyeberang ke sana.
Kemudian lantas didengarnya suara pintu dibuka.
Ia tahu sang taci akhirnya tidak tahan dan mendahului masuk ke kamar Tong Giok. Meski dia
tertawa geli, tapi muka sendiri juga mulai merah sebab terbayang olehnya ....
Nyata terlalu banyak dan terlalu jauh yang dibayangkannya, maka mukanya menjadi merah.
Tapi tak tersangka olehnya bahwa pada saat itu juga mendadak terdengar jeritan Kim-hoa-nio.
Jeritan ngeri dan menakutkan, membuat bulu roma orang berdiri.
Jelas itu bukan jeritan orang bersenda gurau atau teriakan orang asyik masyuk, juga bukan
suara "keluhan" yang dibayangkan Thi-hoa-nio tadi. Ia tidak tahan lagi dan segera melonjak
bangun dan menerjang ke sana.
*****
Di sebelah sana Cu Lu-ji juga berbaring di tempat tidurnya, tapi dia lagi meneteskan air mata.
210
Dia memang sangat sedih, hal ini bukan disebabkan Pwe-giok tidak mengajaknya sama satu
kamar, tapi lantaran dia memaksa Ji-pwe-giok telah membiarkan dia diolok-olok oleh Thihoa-
nio.
Bukannya dia ingin benar-benar tidur sekamar dengan Ji-Pwe-giok, cukup asalkan Pwe-giok
membolehkan dia masuk ke kamarnya, sekalipun nanti dia harus tidur di lantai yang dingin
juga tidak menjadi soal.
Bahkan dia bersedia merangkak keluar lagi melalui jenjela apabila sudah masuk ke kamar,
pokoknya asalkan Thi-hoa-nio menyaksikan dia dan Pwe-giok masuk bersama ke kamar,
maka puaslah dia.
Dia tidak mendengar suara gerundelan Kim-hoa-nio, tapi suara jeritan Kim-hoa-nio dapat
didengarnya. Iapun merasa jeritan itu sangat aneh dan sangat menakutkan, dengan terkejut
iapun melompat turun dari tempat tidurnya dan berlari keluar.
Setiba di luar, dilihatnya pintu kamar Ji Pwe-giok, Kim-hoa-nio dan Thi-hoa-nio sama
terbuka segera pula didengarnya suara Pwe-giok dan Thi-hoa-nio berkumandang keluar dari
kamar Tong-Giok. Menyusul lantas didengarnya suara tangisan Kim-Hoa-nio yang serak dan
sangat memilukan.
Apakah yang terjadi di kamar Tong Giok?
Berpikir saja tidak sempat segera Lui-ji menerjang masuk ke sana. Dilihatnya tubuh Tong
Giok setengah bersandar di tepi tempat tidur, wajahnya yang tadinya sangat cakap itu kini
telah berubah menjadi seram, menyeringai dengan kulit muka berkerut, tapi tidak terdapat
noda darah pada tubuhnya, juga tidak ada bekas luka. Hanya kedua tangannya mengepal
kencang, otot hijau tampak menonjol di punggung tangannya.
Terlihat pula Kim-hoa-nio terkulai di lantai sambil menangis sesambatan. Thi-hoa-nio
berjongkok disampingnya dan perlahan membelai rambut sang taci sembari menghiburnya
dengan lirih, namun air mata Thi-hoa-nio sendiri juga bercucuran.
Muka Pwe-giok tampak pucat lesi, kelihatan berduka dan terkejut tapi juga murka. Tangannya
juga terkepal kencang sehingga ruas jarinya sampai putih saking kerasnya menggenggam.
Baru saja Lui-ji menerjang ke dalam kamar seketika ia seperti terpaku di situ dan tidak dapat
bergerak lagi.
Di halaman hotel juga mulai ada suara orang nyata ada tamu lain yang ikut terjaga bangun
dan semuanya ingin tahu apa yang telah terjadi. Akan tetapi tidak ada orang yang benar-benar
berani menjenguknya ke sini, sebab pada umumnya orang yang berpergian biasanya
berpedoman mementingkan diri sendiri daripada campur urusan orang lain yang mungkin
malah akan mendatangkan berbagai kesulitan.
Dalam pada itu Pwe-giok sudah menutup pintu kamar Tong Giok, tangannya tampak gemetar
sehingga hampir saja tidak kuat memalang pintu.
211
Lui-ji mendekati anak muda itu, tanyanya dengan suara tertahan, "Cara bagaimana dia bisa
mati?"
Pwe-giok hanya menggeleng saja tanpa menjawab, diangkatnya pelahan mayat Tong giok dan
dibaringkan di atas tempat tidur. Nyata, luka lecet saja tidak terdapat di tubuh Tong Giok.
Lalu cara bagaimana kematiannya? Mengapa dia mati?
Pwe-giok termenung sejenak, ia berbalik tanya Lui-ji, "Apakah dia kena racun? Racun apa?"
Lui-ji juga tidak menjawab, ia angkat cangkir teh di atas meja dan menghirupnya seceguk,
lalu mengeleng-geleng, cangkir teh dijilatnya pula, lalu menggeleng lagi.
"Tidak beracun?" tanya Pwe-giok.
"Tidak!" jawab Lui-ji.
Gemerdep sinar mata Pwe-giok, tiba-tiba ia bermaksud membuka tangan Tong Giok yang
mengepal itu, tapi cepat Lui-ji mencegahnya sambil berkata dengan suara tertahan. "Biarkan
aku yang membukanya."
Begitu erat genggaman Tong Giok, baru saja satu jarinya dipentang oleh Lui-ji, segera darah
mengucur keluar, malahan darah ini bersemu hitam.
Lui-ji mementang lagi dua jari Tong Giok, tertampaklah dalam genggamannya terdapat satu
biji bunga duri terbuat dari besi, duri yang tajam itu menancap di tengah telapak tangannya.
Lui-ji menghela napas panjang, ucapnya, "Amgi apa ini? Sungguh lihay, akupun rasanya
tidak tahan."
Air muka Pwe-giok bertambah kelam dan prihatin, katanya dengan perlahan dan tegas, "Inilah
Tok-cit-le (duri berbisa) keluarga Tong, kena darah lantas menyumbat tenggorokan, hanya
sekejap saja jiwa orang akan melayang."
Lui-ji tercengang, ucapnya, "Jadi ini Tok-cit-le keluarga Tong yang termasyhur itu? Masa ...
masa dia bunuh diri?"
"Tiga bulan yang lalu mungkin dia bisa bunuh diri, tapi sekarang ....."
Pwe-giok tidak melanjutkan ucapannya, hanya memandangi Kim-hoa-nio dengan rawan.
Tong Giok sekarang memang tidak perlu bunuh diri.
"Dia! Pasti dia!" seru Lui-ji mendadak.
*****
Fajar sudah menyingsing, lambat laun Kim-hoa-nio sudah bisa ditenangkan, bahkan tidak
kelihatan lagi ada tanda-tanda berduka. Hanya dikeluarkannya sejumlah uang perak dan
212
menyuruh pegawai hotel agar menguruskan tanah kuburan, membeli peti mati, harga tidak
ditawar, yang penting cepat.
Setiap urusan yang kecil-kecil juga diperiksa dan diawasi langsung oleh Kim-hoa-nio, dengan
tangan sendiri pula ia mengganti baju bagi Tong Giok, betapapun orang lain menganjurkan
dia mengaso dulu tetap tak digubrisnya, orang ingin membantu juga ditolaknya.
Terpaksa Pwe-giok dan lain-lain duduk mengelilinginya dan menyaksikan Kim-hoa-nio
mondar-mandir.
"Biarkan saja dia bekerja," ucap Lui-ji dengan perlahan, "seorang kalau sibuk tentu dapat
melupakan duka."
"Tapi kedukaannya ini mungkin tidak mudah dilupakannya," ujar Pwe-giok dengan muram.
Sejak tadi Thi-hoa-nio hanya duduk menunduk saja, kini mendadak iapun ikut bicara, "Kau
kira perbuatan Yang Cu-kang?"
"Siapa lagi selain dia?" jawab Lui-ji.
Thi-hoa-nio menggigit bibir, katanya pula, "Waktu berada di luar lumbung padi kenapa dia
tidak turun tangan?"
Pwe-giok menjawab dengan menyengir, "Bisa jadi dia menganggap kita toh tak mampu lolos
dari cengkeramannya, maka dia sengaja menyiksa kita beberapa hari lagi, apalagi dia telah ku
tipu, tentu dia ingin menagih utang padaku, pokok berikut rentenya."
Thi-hoa-nio termenung sejenak, gumamnya kemudian, "Memang orang beginilah dia, hanya
dia saja yang dapat berbuat demikian." Ia menengadah dan memandang Pwe-giok lekat-lekat,
kemudian menambahkan dengan sekata demi sekata, bisa jadi secara diam-diam dia masih
membuntuti kita dan tidak pergi."
"Ya, memang," jawab Pwe-giok.
Sorot mata Thi-hoa-nio berpindah dari wajah Pwe-giok dan memandangi pohon Yang satusatunya
di halaman sana dengan perasaan hampa, pohon sebatangkara itu tampaknya harus
dikasihani.
Setelah termangu-mangu sekian lama, katanya pula dengan perlahan, "Ku tahu dia takkan
puas hanya membunuh satu orang saja, dia masih akan membunuh pula, membunuh dengan
pelahan satu persatu sehingga kita terbunuh semuanya."
Baru saja sorot mata Lui-ji ikut beralih ke pohon Yang itu, demi mendengar ucapan tersebut
tanpa terasa ia bergidik, serupa pohon yang sebatangkara itu, iapun merasakan dinginnya
angin barat yang menyayat dan sunyinya bumi raya ini.
Selang agak lama barulah Pwe-giok tertawa dan berkata, "Rasanya tidaklah mudah jika dia
ingin membunuh kita semua."
Ketika mereka teringat kepada Kim-hoa-nio, nona itu ternyata sudah tidak berada di situ lagi.
213
Angin barat meniup semakin kencang, sorot mata Yang Cu-kang yang dingin itu seolah-olah
telah bergabung bersama angin barat itu dan sedang mengintai setiap gerak-gerik mereka di
mana dan kapan pun juga.
Lui-ji merapikan leher bajunya, lalu tanya Thi-hoa-nio, dengan suara tertahan, "Kemana
perginya Tacimu? Kau kira dia akan ...."
Belum habis ucapannya, mendadak Thi-hoa-nio berlari keluar.
Lui-ji menghela napas, ucapnya dengan sedih, "Setelah Tong Giok mati, sungguh kukuatir
Kim-hoa-nio juga akan ....."
Pwe-giok seperti tidak suka mendengar ucapan "bunuh diri", cepat ia memotong, "Tampaknya
dia sangat teguh imannya, kedua kakak beradik itu bukan orang yang lemah dan mudah putus
asa."
"Jika dia berduka, aku malah tidak perlu kuatir," kata Lui-ji. "Tapi dia mendadak berubah
menjadi tenang dan dingin, kedukaan seorang perempuan tidak nanti hilang secepat ini."
Pwe-giok termenung, tiba-tiba ia merasa selama dua hari ini, Lui-ji seolah-olah telah
bertambah dewasa, mendadak berubah jauh lebih masak dan banyak hal yang dipahaminya.
Lui-ji mengerling, ia seperti dapat menerka isi hati anak muda itu, katanya dengan menunduk,
"Pada umumnya seorang anak lelaki perlu waktu sangat lama untuk bisa jadi dewasa, berbeda
dengan seorang anak perempuan. Pada umumnya anak perempuan memang lebih cepat
dewasa daripada seorang anak lelaki, terkadang dalam semalam saja sudah menjadi dewasa."
Pwe-giok tetap termenung dan tidak menanggapi, sebab ia tidak tahu apa yang harus
diucapkannya, Dari ucapan Lui-ji itu, tiba-tiba ia mengingat kepada orang yang pernah bilang,
"Seorang anak perempuan, betapa banyak umurnya, asalkan sudah menikah, maka dalam
semalam saja dapat berubah menjadi dewasa."
Ia tidak tahu beginikah maksud Cu Lui-ji itu? Namun ia tidak berani tanya.
Sesungguhnya dia memang tidak berani merundingkan urusan ini dengan nona itu.
Untunglah pada saat itu juga Thi-hoa-nio telah kembali, Kim-hoa-nio juga tampak ikut
masuk. Kini dia sudah tukar pakaian, bukan saja baju baru bahkan warnanya sangat
menyolok, malahan bersulam bunga yang semarak.
Betapapun juga baju demikian bukan waktunya untuk dipakai sekarang, Pwe-giok jadi heran,
mengapa Kim-hoa-nio sengaja berganti pakaian begini, tanpa terasa ia memandang
pakaiannya dengan terbelalak.
Meski mata Kim-hoa-nio masih kelihatan merah karena habis menangis, namun mukanya
sudah berbedak tipis, dia duduk di depan Pwe-giok, malahan tertawa terhadap Pwe-giok dan
berkata, "Menurut kau, baju ini indah tidak?"
214
Siapa pun tidak menyangka dia akan bertanya demikian dalam keadaan begini. Keruan Pwegiok
juga melengak, terpaksa ia menyengir dan menjawab, "Ya, sangat bagus!"
Kim-hoa-nio tersenyum, katanya, "Ibu pernah memberitahukan padaku, seorang kalau merasa
letih dan merasa kotor, sebaiknya bergantilah baju baru dan akan merasa lebih segar."
Pwe-giok menghela napas, katanya, "Dan sekarang benarkah kau rasakan lebih segar?"
Tapi Kim-hoa-nio seperti tidak mendengar pertanyaan ini, dia hanya meraba perlahan
sulaman bunga yang halus pada bajunya itu, tiba-tiba ia tertawa dan berkata pula terhadap
Pwe-giok, "Aku sendirilah yang menyulam bunga ini, Tong Giok pun belum pernah melihat
kupakai baju ini, engkaulah orang.... orang pertama, maksudku lelaki pertama yang melihat
kupakai baju ini."
Meski dia bicara dengan perlahan dan lembut, Lui-ji jadi melengak mendengar ucapannya itu,
pikirnya, "Mengapa dia omong hal-hal demikian kepada Pwe-giok, masa Tong Giok baru
mati dan segera ia ingin menggoda lelaki lain?"
Segera Lui-ji melotot, meski ia tahu kemungkinan demikian tidaklah besar, namun dia toh
berpikir demikian dan tanpa terasa menjadi marah juga.
Didengarnya Kim-hoa-nio lagi berkata pula, "Konon koki di sini paling mahir membuat ayam
goreng ham, itik panggang, Ang-sio-hi-bin dan Ko-lok-bak, maka sudah ku pesan agar
disediakan santapan lezat ini, kita sudah capai sehari suntuk, kita harus makan enak dan
minum barang dua-tiga cawan."
Dia baru saja kematian calon suami, tapi sekarang sudah ingin minum arak.
Lui-ji tidak tahan, dengan suara keras ia bertanya, "Masa ada seleramu untuk makan minum?"
Kim-hoa-nio tertawa, jawabnya, "Orang mati tidak dapat hidup kembali, mengapa kita harus
berduka. Tang mati sudahlah, yang hidup justeru harus menjaga kesehatan sendiri dengan
lebih baik, kalau tidak, yang mati tentu tidak akan tenteram di alam baka."
Kata-kata demikian seyogyanya diucapkan orang lain untuk menghiburnya, tapi sekarang dia
sendiri yang berucap untuk menghibur orang lain. Keruan Lui-ji jadi melongo kesima.
Sementara itu santapan yang dipesan sudah diantar dan penuh satu meja, Kim-hoa-nio sendiri
lantas menuangkan arak dan mendahului angkat cawannya serta berseru, "Marilah, kita
habiskan satu cawan dahulu!"
Pwe-giok menjadi sangsi, dia seperti sudah melihat sesuatu, seperti juga ingin bicara sesuatu.
Pada waktu menuang arak, senantiasa Pwe-giok memperhatikan tangan Kim-hoa-nio.
Sebaliknya Lui-ji justeru selalu mengawasi Pwe-giok, ia kira anak muda ini takkan minum
arak, tapi mendadak Pwe-giok angkat cawan terus menenggaknya hingga habis.
Karena itu, kata-kata yang akan diucapkan anak muda itupun ikut terminum ke dalam perut
lagi bersama arak.
215
Melihat Lui-ji tidak ikut minum, Kim-hoa-nio berkata, "Nona Cu, kau ......"
"Kau berniat minum, aku tidak ingin minum." seru Lui-ji.
"Apapun juga, aku harus minum arak ini, nona Cu ...."
"Apapun juga aku takkan minum arak ini." tukas Lui-ji dengan ketus.
Kim-hoa-nio tersenyum, tetap dengan lemah-lembut, ia pandang cawan arak yang
dipegangnya dan warna arak yang merah, di bawah cahaya sang surya warna arak itu seperti
darah.
Senyuman Kim-hoa-nio mulai menampilkan perasaan pedih, dia bergumam pula pelahan
menghapalkan dua bait syair kuno, syair berduka cita mengenang pacar yang telah meninggal,
arak yang dipandangnya lekat-lekat itu sekali ini dengan cepat ditenggaknya .....
"He, Taci, kau ...." Thi-hoa-nio kuatir melihat kelakuan kakaknya itu, cawan arak sendiri
tanpa terasa terlepas dan pecah berantakan.
Dengan suara lembut Kim-hoa-nio berucap, "Aku sangat baik, aku sangat gembira, selama ini
tidak pernah ku gembira seperti sekarang, sebab ku tahu selanjutnya aku akan selalu berada
bersama dia dan tiada seorang pun yang dapat lagi memisahkan kami."
Baru sekarang Lui-ji terkejut, ia rampas cawan arak orang, Pwe-giok juga berdiri dengan
kuatir.
Kim-hoa-nio memegang tangan Lui-ji dengan lembut, ucapnya, "Tidak perlu kau cicipi, arak
ini tidak beracun."
"Tapi kau ... kau ...." Lui-ji tidak sanggup meneruskan lagi.
"Racunnya sudah sejak tadi berada dalam perutku, pada saat pertama setelah ku tahu Giok
cilik mati dan akupun ..."
Dia tidak dapat menyelesaikan ucapannya itu.
Sedikitnya, kematiannya tidaklah menderita, kalau hidup justeru akan lebih menderita.
*****
Sudah dekat magrib pula.
Angin barat menderu-deru pula. Airpun gemercik mengalir di kejauhan.
Lui-ji memandangi gundukan kuburan yang baru itu, mendadak ia menangis keras, akhirnya
ia berkata berulang-ulang, "Mengapa aku tidak minum arak itu, mengapa ..... mengapa tidak
kuminum arak itu?"
216
Gumpalan awan mengalingi sang surya yang susah hampir terbenam, seakan-akan sengaja
menyembunyikan cahayanya yang terakhir dan tidak memperbolehkan manusia memandangi
kegemilangannya sebelum kegelapan tiba.
Meski tidak hujan, namun cuaca terasa lebih kelam daripada waktu hujan.
Lui-ji berkata ambil mengucurkan air mata. "Kiranya dia sudah bertekad akan mati, mengapa
sebelumnya tidak kulihat maksudnya ini, mengapa? Mengapa aku masih juga menyalahkan
dia ...."
Pwe-giok hanya memandangi gundukan tanah kuning kemerah-merahan itu, terbayang
olehnya kedua muda-mudi yang saling mencintai itu. Mengapa akhir daripada muda-mudi
yang saling cinta itu selalu adalah segundukan tanah belaka?
Diam-diam ia mengusap matanya yang basah dan berkata, "Marilah pergi!"
Lui-ji mengangkat kepalanya dan berkata dengan suara parau, "Pergi! Apakah cuma kata ini
saja yang dapat kau ucapkan?"
Pwe-giok terdiam sejenak, katanya kemudian dengan muram, "Habis, apalagi yang dapat
kukatakan?"
Tiba-tiba Thi-hoa-nio berkata, "Sedikitnya kita tidak perlu tinggal di sini dan menangis
melulu."
"Mengapa?" tanya Lui-ji. "Mengapa? ...."
Thi-hoa-nio memandang sekelilingnya, seperti ingin mencari angin barat yang bersembunyi
dalam kegelapan senja itu. Kemudian sekata demi sekata ia menjawab, "Sebab jika dia
melihat kita sedang menangis sedih, tentu dia akan sangat gembira? Mengapa air mata kita ini
tidak kita cucurkan di tempat lain saja?"
Setiap orang tentu dapat menerka siapa yang dimaksudkannya itu.
Tanpa terasa Lui-ji juga memandang sekelilingnya, apakah betul di balik kegelapan senja itu
ada sepasang mata yang dingin sedang memandang dengan mengejek mereka yang lagi
menangis?
Pwe-giok berkata pula, "Ayolah pergi saja!"
Serentak Lui-ji berbangkit dan menjawab. "Ya, mari pergi!"
*****
Bintang belum lagi ada yang menghiasi angkasa, tatkala mana adalah saat yang paling guram
di tengah cakrawala ini, mereka menyusuri lembah sungai dengan airnya yang mengalir tak
pernah berhenti itu.
217
Langkah Pwe-giok paling cepat, bahkan sangat berat langkahnya seakan-akan tanah pasir di
bawah kakinya itu akan diinjaknya hingga hancur lebur, hendak menghancur-luluhkannya
bumi raya ini.
Apa daya sekarang, Akhirnya Tong Giok mati juga!
Satu-satunya harapannya kembali putus. Rencana hatinya selama ini lagi-lagi mengalami
kegagalan, kepada siapa pula selanjutnya dia harus mengimbau?
Kini dia hampir-hampir putus asa sama sekali, hampir melepaskan segala usahanya, sebab
apapun perjuangannya dan betapa dia bekerja keras, pihak lawan cukup melambaikan tangan
pelahan saja dan dapat menghancurkan semua tumpuan harapannya.
Lereng gunung di bawah gumpalan awan tampaknya sedemikian besar, sedemikian misterius,
sedemikian kukuh tak tergoyahkan. Dan lawannya ternyata jauh lebih kukuh, lebih kuat
daripada gunung raksasa itu, juga serupa gumpalan awan yang tinggi di angkasa itu, tidak
dapat diraba, tak dapat diraih.
Menghadapi lawan demikian, siapa pun akan menyerah dan mengaku kalah.
Lui-ji menyusul ke samping Pwe-giok, tapi ia tidak berani bersuara, tidak berani mengajaknya
bicara, sebab ia sangat paham betapa perasaan Pwe-giok saat ini, ia sendiri pun tidak tahu
harus bicara apa?
Entah sudah berapa lama lagi, mendadak Pwe-giok berseru, "Mengapa hendak kulepaskan
perjuanganku? Biarpun sekali ini ku gagal, lain kali kan masih ada kesempatan, umpama lain
kali pun gagal kan masih ada lain kali lagi?"
Meski kata-kata itu diucapkannya terhadap dirinya sendiri, namun Lui-ji toh memandangnya
dengan sorot mata yang lembut dan penuh perasaan memuji, katanya dengan suara halus,
"Betul, asalkan kita tidak roboh, pada suatu hari kita pasti mampu menjatuhkan mereka."
Menyongsong tiupan angin, Pwe-giok membusungkan dada dan berkata, "Ya, pasti akan
datang suatu hari demikian itu." Sejenak kemudian ia menyambung pula, "Kini Tong Giok
sudah mati, tapi kita tetap akan pergi ke Tong-keh-ceng, tidak boleh kita membiarkan si
"perawat kuda" itu malang melintang di sana."
Menyinggung si "perawat kuda", tanpa terasa Lui-ji tertawa cerah, katanya, "Betul, kita harus
membikin dia pulang kandang dan memberi makan lagi pada kudanya. Bukankah harus begitu
nona Thi? .."
Ia menoleh hendak menyapa Thi-hoa-nio tapi ucapannya seketika terputus seolah-olah sebuah
tangan yang dingin mencekik lehernya.
Thi-hoa-nio ternyata tidak berada di belakang mereka!
Thi-hoa-nio telah hilang secara mendadak!
Padahal mereka masih ingat benar ketika menyusuri tepi sungai, selalu Thi-hoa-nio mengikuti
di belakang mereka, nona itu seperti tidak ingin terselip di tengah-tengah Pwe-giok dan Lui-ji,
218
dia juga seperti kuatir menimbulkan antipati Cu Lui-ji, maka sejak semula dia selalu
mempertahankan satu jarak tertentu di belakang mereka, namun jaraknya tidak terlalu jauh.
Tapi sekarang, sejauh mata memandang lui-ji tidak melihat bayangan seorangpun, yang
tertampak hanya berkerlipnya api phosphor membentang hingga jauh.
Kaki dan tangan Lui-ji menjadi dingin, teriaknya, "Nona Thi, di mana kau?"
Sayup-sayup terdengar suara yang terbawa angin dari kejauhan, "Di mana kau?...Di mana
kau..."
Tapi suara ini adalah gema suara Lui-ji sendiri.
Air muka Pwe -giok berubah juga, dengan cepat pula ia melayang balik dan menarik tangan
Lui-ji terus diajak melayang pula ke arah datangnya tadi menuruti lembah sungai.
Langit yang kelam tadi entah sejak kapan sudah mulai ada cahaya bintang dan sinar bulan, air
yang mengalir berkilauan tertimpa sinar bintang dan bulan, tepi sungai kecil itu tampaknya
seperti jauh lebih terang daripada tempat lain.
Akan tetapi bayangan Thi-hoa-nio tetap tidak mereka lihat.
Tangan Lui-ji menjadi dingin seperti es, tapi dia merasa tangan Pwe-giok jauh lebih dingin
daripada tangannya, bahkan terasa membeku. ia pegang jari tangan anak muda itu dengan
kencang, katanya, "Kau pikir apakah... apakah dia sengaja pergi tanpa pamit?"
"Mengapa dia pergi tanpa pamit?" jawab Pwe-giok.
Lui-ji menggigit bibir, katanya pula, "Habis, apakah,...apakah dia telah di... digondol Yang
Cu-kang?..."
Mendadak Pwe-giok berjongkok dan menjemput sebuah sepatu bersulam bunga, segera lui-ji
mengenali sepatu ini milik Thi-hoa-nio, seketika tenggorokannya seperti tersumbat dan tidak
dapat melanjutkan ucapannya.
Waktu Thi-hoa-nio berada di tengah mereka, Lui-ji berharap Thio-hoa-nio pergi saja, makin
jauh makin baik, sebab, asalkan Thi-hoa-nio memandang Pwe-giok sekejap saja, hati Lui-ji
menjadi tidak enak.
Dan sekarang Thi-hoa-nio "benar" telah pergi bahkan takkan kembali lagi untuk selamanya,
hal ini membuat Lui-ji jadi berduka malah, dipandanginya sepatu bersulam itu dengan
termangu-mangu dan air matapun bercucuran.
Dia menggali sebuah liang kecil di tepi sungai dan menanam sepatu itu, katanya tiba-tiba,
"Mungkin dia sengaja pergi sendiri dan tidak diganggu oleh Yang Cu-kang."
"Ya, mungkin begitu," sahut Pwe-giok dengan menghela napas panjang.
219
"Jika dia benar dicelakai oleh Yang Cu-kang, mengapa kita tidak mendengar sesuatu suara
apapun?" ujar Lui-ji. "Sekalipun dia tidak mampu melawan, sedikitnya dia kan bisa bersuara
dan berteriak."
"Ya, betul," Pwe-giok mengangguk dengan berat.
"Apalagi, orang mati kan harus meninggalkan mayatnya, sedangkan kita tidak menemukan
jenazahnya, bahkan tidak melihat sesuatu tanda yang mencurigakan, apakah mungkin
mendadak iapun ....." sampai di sini Lui-ji lantas mendekap mukanya dan menangis lagi,
ucapnya dengan parau. "Untuk apa aku harus menipu diriku sendiri, sudah jelas dia telah
dicelakai oleh Yang Cu-kang, apa gunanya kubohongi diriku sendiri? sejak mula sudah
kuketahui Yang Cu-kang takkan melepaskan dia, ku tahu dia juga pasti takkan membiarkan
kita hidup sampai di Tong-keh-ceng, dia sudah bertekad akan membunuh kita satu persatu."
Sampai lama sekali Pwe-giok termenung, akhirnya ia berucap, "Marilah berangkat!"
Serentak Lui-ji melompat bangun, serunya, "Betul, ayo berangkat, kita harus mencari dia!"
"Kita tidak perlu mencari dia," kata Pwe-giok. "Sebab apa?" tanya Lui-ji.
"Kita tunggu saja, biarkan dia yang mencari kita."
Lui-ji menggigit bibirnya, katanya dengan gegetun, "Ya, betul, kalau dia sudah pasti mencari
kita, untuk apa kita bersusah payah mencari dia, akan tetapi...." ia menengadah dan
memandangi Pwe-giok, lalu bertanya, "Apakah kita akan menunggunya di sekitar sini?"
"Tidak," jawab Pwe-giok. "Kita tetap pergi ke Tong-keh-ceng, apapun juga kita harus pergi
ke sana."
Sikapnya tegas an kokoh, siapa saja yang melihat kebulatan tekadnya itu pasti percaya tiada
satupun urusan di dunia ini yang dapat menggoyahkan pendirian dan tekadnya.
Lui-ji juga terharu oleh tekad anak muda itu, seketika iapun berubah menjadi jauh lebih kuat,
serunya: "Betul! Kita harus tetap menuju ke Tong-keh-ceng, kita akan pergi ke sana dengan
hidup, andaikan mati dan menjadi setan juga tetap akan pergi ke Tong-keh-ceng"
Dia sengaja berteriak, seakan-akan kuatir ucapannya tidak didengar oleh badan halus yang
selalu mengintai mereka secara sembunyi itu, seperti juga sengaja mengumumkannya kepada
semua orang di dunia ini agar mengetahui kebulatan tekad mereka.
Pwe-giok menepuk bahu anak dara itu sebagai tanda memuji, ia pegang tangan Lui-ji dan
tidak mau melepaskannya lagi, ia kuatir bilamana tangan kecil itu dilepaskan, bisa jadi anak
dara itupun akan mendadak menghilang dari muka bumi ini seperti halnya Thi-hoa-nio,
sekalipun ia tahu dengan kekuatan mereka berdua juga belum tentu dapat melawan musuh
yang menakutkan itu.
*****
Perjalanan selanjutnya jelas akan bertambah sulit dan banyak rintangan.
220
Mereka tidak berani lengah sedikitpun, sebaliknya mereka menyadari, kelengahan terkecilpun
mungkin akan menimbulkan akibat yang fatal.
Setiap saat, Yang Cu-kang bisa melayang keluar dari kegelapan dan menyerang mereka
dengan kungfunya yang sukar dibayangkan.
Akan tetapi fajar sudah hampir menyingsing dan sebegitu jauh Yang Cu-kang belum lagi
muncul.
Siangnya mereka beristirahat di suatu pedusunan, setelah isi perut sekedarnya mereka
melanjutkan perjalanan pula, sampai seja tiba Yang Cu-kang tetap tidak kelihatan.
Sekarang, jaraknya dengan Tong Keh-ceng sudah sangat dekat.
Petangnya, mereka sampai di suatu kota kecil, tiba-tiba Pwe-giok berkata: "Biarlah malam ini
kita menginap di sini, besok pagi-pagi baru kita menuju ke Tong-keh-ceng"
Jilid 8________
Dengan lembut Lui-ji memandangnya, ucapnya dengan menghela napas pelahan, "Engkau
memang harus tidur sebaik-baiknya, kalau tidak, mana ada semangat untuk bekerja lagi
besok?"
Hotel di kota kecil itu tidak banyak tamunya, dengan sanjung puji jongos hotel menyediakan
bagi mereka dua kamar besar. Tapi setelah memandang Lui-ji sekejap, Pwe-giok berkata,
"Kami hanya perlu satu kamar saja."
Berdetak jantung Lui-ji. Sedangkan jongos hotel kelihatan rada kecewa dan heran. Dari sudut
manapun dia memandang, kedua orang ini tidak mirip suami-isteri, mengapa mereka hanya
minta satu kamar saja?
Sesudah berada dalam kamar dan pintu ditutup, jantung lui-ji berdebur semakin keras, duduk
tidak tenang, berdiripun salah, sungguh ia tidak tahu dirinya harus ditaruh di mana?
Dengan hati-hati Pwe-giok memalang pintu lalu menutup jendela pula, kemudian berkatalah
dia dengan tersenyum lembut, "Tidurlah kau!"
Lui-ji menunduk, dengan menabahkan hati ia bertanya, "Dan kau?"
"Dua kursi ini kujajarkan menjadi sebuah tempat tidur yang cukup enak," ujar Pwe-giok
dengan tertawa.
"Boleh kau tidur di ranjang saja, kau perlu tidur nyenyak daripadaku," kata Lui-ji sambil
menggigit bibir.
Memandangi tubuh yang agak kekurus-kurusan dengan rambut yang rada kusut serta mata
yang besar dengan sedikit garis merah itu, tanpa terasa timbul rasa kasih sayang Pwe-giok,
pikirnya, "Bisa jadi Yang Cu-kang akan segera muncul. Dalam keadaan dan saat demikian,
untuk apalagi ku taat adat kolot segala, untuk apa membuat susah dia dan tidak membiarkan
221
dia tidur sebaik-baiknya, apakah kalau malam ini ku tidur seranjang dengan dia, lalu aku Ji
Pwe-giok bukan lagi seorang Kuncu sejati?"
Dalam pada itu Lui-ji telah mengambil selimut yang agak tipis dari tempat tidur dan
dibentang di atas kursi, ucapnya dengan menunduk, "Tidur di sini juga boleh, waktu ku rawat
Sacek dahulu, biarpun berdiri juga aku dapat tidur, jadi soal tidur sudah terbiasa bagiku dalam
keadaan bagaimanapun, hendaknya kau sendiri tidurlah yang baik."
Tiba-tiba Pwe-giok berucap dengan lembut, "Ranjang ini sangat besar, kita juga bukan orang
gendut, mengapa tidak tidur satu tempat tidur saja."
Bantal yang baru dipegang Lui-ji jatuh lagi ke bawah, ia ingin memandang Pwe-giok sekejap,
tapi tidak ada keberanian itu. Ia menunduk dan berkata, "Kau... kau tidak... tidak takut...."
"Takut apa?" sela Pwe-giok, "Dalam keadaan tidur memangnya kaupun dapat memukul
orang?"
Tertawalah Lui-ji dengan muka bersemu merah, katanya, "Memukul sih tidak, tapi suka
menyepak, awas bila ku depak kau ke bawah tempat tidur."
*****
Sesungguhnya tempat tidur itu tidaklah besar. Di dunia ini tidak ada sebuah hotel yang
sengaja menyediakan tempat tidur yang sangat besar bagi tamunya.
Sebab pada umumnya tetamu juga tidak memerlukan tempat tidur yang besar. Apabila ada
dua orang tetamu lelaki-perempuan perlu tidur satu ranjang, yang mereka harapkan bukanlah
tempat tidurnya yang besar, sebaliknya cukup tempat tidur yang kecil saja, makin kecil makin
baik, makin sempit makin memuaskan.
Pwe-giok memang sudah terlampau lelah, maka dengan cepat ia lantas terpulas.
Waktu Lui-ji naik tempat tidur, ketegangannya sungguh sukar dilukiskan, jantungnya
berdebur keras, dia tidak berani memandang sekejap pun kepada Pwe-giok, bahkan
menyentuh selimutnya saja tidak berani.
Padahal kemarin malam rencana hatinya mengharapkan dapat tidur bersama Pwe-giok, tapi
sekarang, pada malam ini, mereka benar-benar sudah tidur bersama satu ranjang, tapi dia
berbalik sangat ketakutan, takut setengah mati, takut kehilangan apa-apa. Dia membungkus
tubuhnya kencang-kencang dengan selimut dan meringkuk di pojok tempat tidur, kepalanya
dibenamkan pada bantalnya, tubuh tidak berani bergerak sedikitpun, bernapas juga tidak
berani keras-keras, dalam keadaan hening demikian, yang terdengar hanya detak jantungnya
yang memukul keras.
Ia membayangkan, apabila mendadak tangan Pwe-giok menggerayang ke sini, lalu
bagaimana?
Sungguh ia tidak berani memikirkannya, seketika tubuhnya terasa panas, panas sekali.
Sesungguhnya ia tidak tahan terbungkus dalam selimut, tapi tidak berani membukanya.
222
Untunglah Pwe-giok sudah tidur, dengan alon-alon, dengan perlahan sekali Lui-ji
menjulurkan kakinya keluar selimut untuk mencari angin, tapi bila Pwe-giok membalik tubuh,
dengan ketakutan cepat-cepat ia tarik kembali kakinya.
Namun apapun juga Ji Pwe-giok sudah berada di sampingnya, betapapun ia penuh rasa
bahagia, tersembul senyuman manis, senyuman bahagia pada wajahnya, senyuman yang
timbul dari lubuk hatinya yang dalam, sungguh ia ingin melompat bangun dan berteriak
sekerasnya agar manusia di seluruh jagat ini mengetahui betapa bahagianya malam ini.
Akan tetapi bila saat ini benar-benar ada orang datang, seketika dia akan malu dan mungkin
akan sembunyi di kolong ranjang.
Dan begitulah perangai seorang gadis, pikiran seorang perawan.
Menjadi seorang anak gadis sesungguhnya memang bahagia.
*****
Sebenarnya Pwe-giok cuma pura-pura tidur saja. Sampai sekian lamanya, didengarnya suara
pernapasan Lui-ji sudah mulai tenang, mulai teratur dan rata, jelas si nona sudah tidur benarbenar,
barulah dia membuka mata.
Betul juga, Lui-ji memang sudah pulas, bahkan sangat nyenyak tidurnya.
Ia pikir, sesungguhnya Lui-ji memang masih anak-anak, dan biasanya anak-anak memang
lebih mudah tertidur daripada orang tua.
Bila membayangkan gerak-gerik Lui-ji yang lucu waktu mau naik ke atas tempat tidur tadi,
tanpa terasa Pwe-giok tersenyum geli.
Sesungguhnya Lui-ji memang anak dara yang menyenangkan, sangat menyenangkan.
Tidur satu ranjang bersama anak dara yang sedemikian menyenangkan, kalau dibilang Pwegiok
sama sekali tidak mempunyai perasaan apapun, maka hakekatnya dia bukan manusia.
Apalagi iapun tahu anak dara itu sedemikian cinta padanya, ia tahu, asalkan dirinya "mau",
tidak nanti anak dara itu menolaknya.
*****
Malam nan sunyi, cahaya bintang yang redup menyinari kertas jendela dengan lembutnya.
Di tengah malam yang hening dan lembut itu, akhirnya Pwe-giok tidak tahan, ia menjulurkan
tangannya dan membelai rambut Lui-ji yang halus itu yang terurai di atas bantal, tiba-tiba
iapun merasa sangat panas.
Teringat olehnya ketika beberapa malam dia berada bersama Lim Tay-ih tempo hari juga
dirasakan sangat panas, begitu panas sehingga urusan apapun tak terpikir untuk
dikerjakannya, tapi rasa panas itupun mendorongnya mengerjakan urusan apapun.
223
Terbayang olehnya tubuh Lim Tay-ih yang agak menggigil itu, bibirnya yang gemetar...
gemetar yang menggetar sukma, yang sukar untuk dilupakan seumur hidup.
Kelembutan Lim Tay-ih, kejudasannya waktu itu, semua itu membuatnya sukar untuk
melupakannya.
Waktu itu dia tidak menceritakan rahasia penyamarannya, tapi jelas Lim Tay-ih telah
mengetahui siapa dia.
Perempuan umumnya memang ada semacam indera yang misterius, lebih-lebih terhadap
orang yang paling dekat dengan dia.
Misalnya sang ibu terhadap anaknya, isteri terhadap suaminya, daya perasa mereka yang
tajam dan peka itu sungguh sukar untuk dijelaskan oleh siapapun.
Sebab itulah, kemudian ketika Lim Tay-ih merasa ada orang menguntit jejak mereka, maka
dia lantas bertindak kasar terhadap Pwe-giok, supaya orang lain takkan mencurigai dia lagi
sebagai Ji Pwe-giok yang sudah "mati" itu.
Ketika Lim Tay-ih menyerangnya, setiap tusukan pedangnya yang mengenai tubuh Pwe-giok
hanya menimbulkan rasa bahagia, sebab ia tahu ketika pedang si nona mengenai tubuhnya,
hati si nona jauh lebih sakit daripada dia sendiri.
Dan sekarang, di mana Lim Tay-ih?
Di manapun nona itu berada pasti juga sedang memikirkan dia.
Hati Pwe-giok seakan-akan sakit tertusuk pedang, serentak ia menarik kembali tangannya
yang sedang membelai rambut Lui-ji itu.
*****
Malam yang serba ruwet itu akhirnya berlalu juga dan Yang Cu-kang tetap tidak muncul.
Waktu Lui-ji mendusin, dilihatnya Pwe-giok belum lagi bangun, teringat dirinya telah tidur
semalaman bersama seorang lelaki, timbul semacam perasaan aneh dalam hati Lui-ji, entah
kejut entah girang.
Meski Pwe-giok tidak berbuat apa-apa terhadapnya, tapi Lui-ji merasakan dirinya sekarang
sudah lain daripada Lui-ji kemarin. Ia merasa dirinya bukan lagi anak-anak, tapi sudah
seorang perempuan benar-benar, seorang perempuan dewasa.
Tanpa terasa tersembul juga senyuman bahagia pada wajahnya.
*****
Sang surya sudah terbit tinggi di langit, Lui-ji memandangi wajah Pwe-giok yang masih lelap
itu, gaya tidur Pwe-giok seperti seorang anak kecil saja, tanpa terasa Lui-ji mengangkat
tangannya dari dalam selimut dan meraba pelahan hidung Pwe-giok, ucapnya dengan suara
224
lembut, "Alangkah baiknya jika di sini adalah rumah kita, tentu akan kubuatkan sarapan pagi
yang enak bagimu, bubur buatanku paling disukai Sacek, kukira kaupun suka, sedikitnya kau
akan menghabiskan lima mangkuk besar."
Mendadak Pwe-giok tertawa dan berkata, "Lima mangkuk saja belum banyak, takaranku
adalah sepuluh mangkuk!"
Keruan Lui-ji kaget dan cepat menarik kembali tangannya serta menutupi mukanya dengan
selimut, omelnya, "Oi, kukira kau ini orang baik, kiranya kaupun telur busuk! Sudah
mendusin, tapi pura-pura tidur, bikin... bikin ...."
"Bikin" apa, tak dapat diucapkannya.
Pwe-giok memandangi rambut si nona yang terurai di luar selimut itu, tanpa terasa ia
terkesima pula, iapun tidak tahu sesungguhnya dirinya ini bahagia atau celaka?
Ia tidak berani lama-lama lagi tinggal di tempat tidur, cepat ia melompat bangun dan
membuka jendela, hawa udara di luar terasa segar dan sejuk, ia menarik napas dalam-dalam,
lalu bergumam, "Aneh, Yang Cu-kang belum juga muncul."
Teringat kepada Yang Cu-kang, seketika rasa hangat dalam hati Lui-ji menjadi dingin
kembali, cepat iapun melompat turun dan berseru, "Bisa jadi dia tidak berani datang lagi."
Pwe-giok tidak menanggapinya.
"Jika dia berani datang kemari, mengapa tidak kelihatan?" kata Lui-ji pula.
Sejenak Pwe-giok termenung, katanya kemudian dengan gegetun, "Akupun tidak tahu apa
sebabnya? tapi kuyakin pasti bukan lantaran dia tidak berani."
Lui-ji tersenyum manis, katanya, "Bisa jadi lantaran mendadak dia mati, atau mendadak
matanya buta dicakar burung, atau mendadak sakit lepra. Kalau dia tidak datang, untuk apa
kita memikirkannya?"
Pwe-giok juga tertawa geli, katanya, "Yang kupikir sekarang hanya ingin makan bubur
ayam."
Lui-ji berkeplok dan berkata, "Pikiran bagus, bubur ayam dan Yucakue, nikmat!"
Karena urusan yang dipikirnya tidak sebanyak Pwe-giok, dengan sendirinya dia jauh lebih
gembira daripada anak muda itu, lebih-lebih hari ini, dia merasa sinar sang surya jauh lebih
cemerlang daripada biasanya, sampai bumi raya inipun terasa halus dan empuk, berjalan di
atasnya juga terasa enteng dan seperti mengambang.
Menjelang lohor, sampailah mereka di wilayah yang dekat dengan Tong-keh-ceng.
"Masih perlu berapa lama lagi untuk bisa sampai di tempat tujuan?" tanya Lui-ji
"Tidak lama lagi, paling-paling setengah jam lagi," kata Pwe-giok.
225
Lui-ji menghela napas lega, ucapnya, "Syukur alhamdulillah! Akhirnya sampai juga."
"Tapi Tong Bu-siang gadungan itu sedikitnya sudah dua hari sampai di sini lebih dulu, dalam
waktu dua hari tentu banyak pekerjaan yang dapat dilakukannya," kata Pwe-giok dengan
menyesal.
"Kau tidak perlu cemas," ujar Lui-ji, "biarpun dia sampai lebih dulu dua hari, setiba di rumah
kan banyak urusan yang perlu diselesaikan dan tidak nanti datang terus membikin celaka
orang."
"Ya, semoga demikian hendaknya, aku hanya kuatir...."
"Kuatir apa?" tanya Lui-ji.
Dengan cemas Pwe-giok menjawab, "Ku kuatir orang Tong-keh-ceng tidak percaya kepada
keteranganku. Coba pikir, jika kau menjadi anak murid Tong Bu-siang dan tiba-tiba kau
diberitahu bahwa ayahmu sekarang itu palsu, apakah kau percaya?"
Persoalan yang terbesar baginya sebelum ini adalah kekuatirannya sukar datang ke Tong-kehceng
sini, tapi sekarang setiba di Tong-keh-ceng barulah teringat olehnya masih ada banyak
persoalan penting yang lain, bahkan persoalan yang satu lebih sulit daripada persoalan yang
lain. Sungguh ia sendiri tidak tahu dengan cara bagaimana dia harus memberi keterangan
supaya dapat dipercaya oleh anak murid keluarga Tong.
Lui-ji berkerut kening juga setelah mendengar alasan Pwe-giok itu, katanya kemudian, "Kau
kenal baik dengan anggota keluarga Tong?"
"Kenal baik apa? Hakekatnya tidak kenal," jawab Pwe-giok sambil menyengir
"Tidak kenal seorangpun?" Lui-ji menegas.
"Hanya kenal seorang nona yang bernama Tong Lin," sahut Pwe-giok.
Mata Lui-ji berkedip-kedip, dipandangnya anak muda itu seperti tertawa dan tidak tertawa,
katanya kemudian, "Tong Lin, ehm, indah sekali nama ini, tentu orangnya juga sangat
cantik."
Baru sekarang Pwe-giok merasa dirinya terlalu banyak bicara, terpaksa ia hanya menjawab
singkat, "Ehm!"
"Kau kenal akrab dengan dia?" tanya Lui-ji pula.
"Hanya pernah berjumpa satu kali saja."
Lui-ji mencibir, "Cuma berjumpa satu kali saja lantas senantiasa ingat pada namanya, boleh
juga kau ini."
Di dampingi oleh seorang anak perempuan yang aneh, banyak olah dan sok cemburu, jalan
paling baik baginya adalah tutup mulut dan jangan banyak bicara.
226
Pada tepi jalan, di bawah pohon yang rindang sana berteduh seorang penjual bakmi pikulan,
penjual bakmi ini adalah seorang tua, orang Oh-pak asli, selain bakmi juga menjual penganan
lain sebangsa wajik dan sebagainya.
Pwe-giok tidak berhenti untuk makan bakmi, tapi hanya beli beberapa biji penganan dan jajan
sekadarnya.
Sebenarnya cukup enak penganan itu, terutama bila orang sedang lapar. Tapi Lui-ji hanya
menggigit satu kali saja dan rasanya seperti sukar menelannya.
Pwe-giok tertawa dan berkata, "Apakah kau masih marah?"
Dengan bersungut Lui-ji menjawab, "Masa aku secemburu Ciong Cing?"
Habis bicara, ia merasa rada kikuk, ia menunduk dengan muka merah, kesempatan itu
digunakannya untuk menelan makanan dalam mulutnya itu, lalu berkata pula, "Aku tiba-tiba
ingat sesuatu."
"Oo? Apa?" tanya Pwe-giok.
"Kupikir, mungkin sekali Yang Cu-kang sudah tiba lebih dulu di Tong-keh-ceng."
"Ya, bisa jadi," sahut pwe-giok samar-samar.
"Dia tahu kita pasti akan datang ke Tong-keh-ceng, maka lebih dulu dia akan menunggu kita
di sana."
"Mungkin." kata Pwe-giok pula.
"Bisa jadi sebelumnya dia sudah berunding dengan Tong Bu-siang gadungan, asalkan kita
masuk ke Tong-keh-ceng, serentak mereka akan memperdayai kita, mungkin kesempatan
bicara bagi kita saja tidak ada, lalu bagaimana kita akan mampu membongkar tipu muslihat di
Tong-keh-ceng sana?"
Pwe-giok tidak bicara lagi, air mukanya tambah kelam.
Sebenarnya bukannya dia tidak berpikir sejauh itu, iapun tidak tahu bahwa kecil sekali
harapan untuk berhasil pada perjalanannya ini, sebaliknya sangat besar bahayanya.
Akan tetapi ketika dilihatnya kegembiraan Lui-ji tadi, mana dia sampai hati mengutarakan
rasa sedihnya kepada anak dara itu dan membuatnya ikut kuatir, bila ada kegembiraan, dia
sangat suka menikmatinya bersama orang lain.
Tapi kesedihan dan penderitaan, dia lebih suka memikulnya sendiri.
"Jika kita pergi ke Tong-keh-ceng cara begini saja, hakekatnya sama saja seperti mengantar
kematian," kata Lui-ji. "Hampir setiap orang di Tong-keh-ceng adalah jagoan, bila Tong Busiang
gadungan itu memberi perintah, seketika kita bisa berubah menjadi pusat sasaran senjata
rahasia mereka yang berbisa itu."
227
"Apa mau dikatakan lagi!" ujar Pwe-giok sambil menghela napas panjang, "Dalam keadaan
terpaksa, segala bahaya tak terpikir lagi."
"Akan tetapi engkau...." mendadak ucapan Lui-ji itu terputus setengah jalan, sebab pada saat
itu juga dari kejauhan berkumandang suara roda kereta dan ringkik kuda disertai debu
mengepul tinggi, tampaknya tidak sedikit jumlah orang yang datang ini.
"Mungkinkah orang-orang ini datang dari Tong-keh-ceng?" bisik Lui-ji.
"Ehm, bisa jadi," sahut Pwe-giok.
"Bolehkah kita cari keterangan tentang Tong-keh-ceng kepada mereka?"
"Tidak boleh," jawab Pwe-giok. "Bukan saja tidak boleh, bahkan sedapatnya jangan kita
memperlihatkan gerak-gerik yang dapat menarik perhatian dan menimbulkan curiga mereka."
"Ya, ku paham," ujar Lui-ji.
Sementara itu kereta sudah semakin dekat, mereka menyingkir ke tepi jalan dan menunduk.
Namun Lui-ji tidak tahan, ia coba melirik ke sana.
Dilihatnya ada iringan belasan kereta barang kawalan, seorang pengiring mondar mandir
mengawasi jalannya konvoi itu. Dua ekor kuda yang tinggi besar di bagian depan
berpenunggang dua orang lelaki kekar.
Kereta barang itu memakai tanda pengenal panji kecil segi tiga, namun panjinya tergulung.
Kedua lelaki kekar berbaju perlente itupun adem ayem dan lagi mengobrol iseng.
Belum jauh konvoi kereta barang itu lewat, Lui-ji tidak tahan dan segera bertanya kepada
Pwe-giok, "Inikah rombongan Popiau (pengawal barang)?"
"Ehm," Pwe-giok mengangguk.
"Selamanya tidak pernah kulihat konvoi kereta barang kawalan begini, tampaknya menarik
juga," kata Lui-ji dengan tertawa. "Jika aku menjadi lelaki, bisa jadi akupun ingin mencicipi
rasanya menjadi jago pengawal barang."
"Tampaknya memang menarik, tapi kalau kepergok sahabat kaum Lok-lim (rimba hijau,
artinya kawanan bandit yang keluar masuk hutan) akan menjadi kurang menarik," ujar Pwegiok.
"Konon waktu iring-iringan kereta Piaukiok (perusahaan ekspedisi) berjalan, seorang
pengiringnya harus berteriak-teriak di depan, harus bersikap garang, bahkan harus
menonjolkan nama perusahaannya. Akan tetapi sekarang kawanan pengiring kereta itu tidak
berteriak-teriak minta jalan, bahkan panji pengenalnya juga di gulung, sebab apakah bisa
begitu?"
"Sebab daerah sini sudah termasuk wilayah kekuasaan Tong-keh-ceng, tindakan mereka ini
adalah sebagai tanda menghormati Tong-keh-ceng. Kau lihat kedua jago pengawal yang
adem-ayem tadi, mereka dapat bersenda gurau tanpa kuatir apapun, justeru lantaran mereka
228
yakin di daerah pengaruh Tong-keh-ceng tidak bakalan diganggu oleh kawanan bandit yang
buta."
Lui-ji mencibir, ucapnya, "Huh, hanya Tong-keh-ceng sekecil itu apanya yang hebat? jika
bukan lagi banyak urusan, pasti akan kuganggu mereka."
Pwe-giok hanya tertawa saja.
Memang, puteri Siau-hun-kiongcu, keponakan Hong Sam, dengan sendirinya tidak pandang
sebelah mata terhadap Tong-keh-ceng.
Akan tetapi di dunia Kangouw ini seluruhnya terdapat berapa orang Siau-hun-kiongcu dan
berapa orang Hong-samsiansing?
Tampaknya Lui-ji ingin omong apa-apa lagi tapi mendadak muncul dua penunggang kuda
berbaju hitam, kuda dilarikan secepat terbang, kedua penunggangnya yang kekar itu mahir
sekali mengendalikan kudanya, dari jauh mereka lantas berteriak-teriak sambil menggapai,
"Ong-toapiauthau! Ci-toapiauthau, tunggu, berhenti dulu!"
Pengiring yang berada di belakang konvoi kereta barang tadi melihat datangnya kedua orang
ini, segera iapun berseru, "Itu dia ksatria dari Tong-keh-ceng telah menyusul kemari, harap
kedua Piauthau suka berhenti dulu, mereka memanggil kalian!"
Cukup lantang suara pengiring kereta itu dan dapat didengar oleh kedua Piausu yang berjalan
di depan. Segera mereka memutar kudanya dan memburu ke belakang sini sambil bertanya,
"Ada urusan apa?...."
Mendengar kedua penunggang kuda berseragam hitam yang menyusul dari belakang itu
adalah orang Tong-keh-ceng, mau tak mau Pwe-giok dan Lui-ji menaruh perhatian terhadap
mereka. Pwe-giok pura-pura berjongkok untuk membetulkan sepatunya.
Kelihatan kedua orang itu sangat tergesa-gesa dengan wajah prihatin, masih jauh mereka
sudah melompat turun dari kuda masing-masing. Kedua Piausu tadi juga turun dari kuda
mereka dan menyongsongnya.
Piausu yang disebut she Ci itu tampaknya gesit dan cekatan, suaranya lantang, ia memberi
hormat dan menyapa, "Karena hari masih terlalu pagi, ketika rombongan kami lalu di daerah
sini, maka kami tidak berani mengganggu. Namun kartu kehormatan dan beberapa macam
oleh-oleh itu adalah siaute dan Ong Tek yang mengantar sendiri ke tempat kalian."
Rupanya dia kuatir didamperat oleh pihak Tong-keh-ceng, maka sedapatnya ingin memberi
penjelasan.
Pwe-giok saling pandang sekejap dengan Lui-ji, diam-diam mereka terkejut, pikirnya,
"Jangan-jangan Tong Bu-siang gadungan itu bermaksud menimbulkan malapetaka dan banjir
darah di daerah Sujwan ini, maka kedua orangnya dikirim ke sini untuk melakukan
keganasan?"
229
Pwe-giok menjadi ragu apakah dirinya harus ikut campur kejadian ini atau tidak? Dia tidak
sampai hati menyaksikan kedua piausu itu mengalami nasib jelek, tapi juga tidak suka
"memukul rumput mengejutkan ular."
Siapa tahu kedua orang dari Tong-keh-ceng itu tidak bertindak apa-apa, sebaliknya salah
seorang di antaranya malah tertawa dan berkata, "Justeru setelah membaca kartu nama kalian
baru kami tahu ada Toapiauthau dari Wi-wan-piaukiok lalu di sini, apabila kami tidak sempat
memberi sambutan apa-apa, diharap suka memberi maaf."
"Ah, tidak berani," jawab Ong Tek sambil memberi hormat.
Ci-toapiauthau itu bernama Ci Kian, katanya, "Kedua Suhu memburu kemari secara tergesagesa,
entah ada petunjuk apa kiranya?"
Anak murid keluarga Tong itu tampak prihatin, ucapnya, "Soalnya ditempat kami...."
Mendadak ia tekan suaranya sehingga sangat lirih, satu kata saja tak dapat didengar lagi oleh
Pwe-giok dan Lui-ji. Untuk mendekati mereka jelas tidak mungkin, maka diam-diam Lui-ji
sangat mendongkol.
Setelah bisik-bisik, air muka Ong Tek dan Ci Kian mendadak berubah, serunya, "He, bisa
terjadi begitu?"
Anak murid keluarga Tong itu mengangguk dengan prihatin.
Lalu Ong Tek dan Ci Kian tidak bicara lagi, dengan pelahan mereka memberi perintah kepada
pengiring kereta tadi, habis itu mereka lantas mencemplak ke atas kuda dan pergi bersama
kedua orang dari Tong-keh-ceng itu.
Sesudah jauh mereka pergi barulah Lui-ji berkata sambil berkerut kening, "Sesungguhnya apa
yang terjadi di Tong-keh-ceng, mengapa kedua orang itu kelihatan cemas dan gugup?"
Belum lagi Pwe-giok menanggapi Lui-ji sudah mendahului menjawabnya sendiri, "Mungkin
semua ini adalah tipu muslihat yang sengaja diatur oleh Tong Bu-siang gadungan itu, mereka
sengaja menipu kedua orang ini ke Tong-keh-ceng, padahal di sana tidak terjadi apa-apa."
Makin omong makin dirasakan betapa cepat jalan pikirannya sendiri, maka segera ia
menyambung lagi, "Kita tidak boleh sembarangan menerjang ke Tong-keh-ceng, kita harus
mencari keterangan lebih dulu, kita tunggu...."
Sudah sekian lama Pwe-giok berdiam, kini mendadak bersuara, "Dapatkah kau terima suatu
permintaanku?"
Lui-ji melengak, jawabnya, "Maukah kau katakan lebih dulu mengenai urusan apa?"
"Katakan dulu, mau terima atau tidak?"
"Ai, tak tersangka kaupun serupa anak kecil," ujar Lui-ji dengan tertawa. "Aku tidak tahu
urusan apa yang kau minta, mana dapat kukatakan menerima atau tidak. Apabila kau suruh
aku makan kotoran umpamanya...." ia tertawa geli sehingga muka sendiri menjadi merah.
230
"Belum pernah kuminta apa-apa padamu, tapi urusan ini, betapapun kuharap harus kau
terima," kata Pwe-giok.
"Baiklah," jawab Lui-ji akhirnya sambil menggigit bibir. "Urusan apakah pasti akan
kusanggupi."
Dengan suara tertahan Pwe-giok lantas bertutur, "Begitu masuk Tong-keh-ceng, di sebelah
kiri ada sebuah Ciu-lau (restoran berloteng), itulah tempat penyambutan tamu Tong-keh-ceng.
Kalau sudah berada di situ, biarpun mereka tahu kedatanganmu adalah untuk mencari perkara,
mereka tidak bakalan mengganggu dirimu, sebab hal ini sudah menjadi peraturan rumah
tangga Tong turun temurun."
"Hah, barangkali hendak kau suruh kumakan enak di restoran itu? Apa keistimewaan
masakan restoran itu, adakah bebek panggang?" tanya Lui-ji dengan tertawa. "Jika ada, sekali
ini pasti akan kusikat lebih dulu kulitnya."
Setelah makan bebek panggang dahulu dan diolok-olok oleh Kwe Pian-sian, sampai saat ini ia
belum lagi lupa tentang kulit bebek panggang.
Hati Pwe-giok menjadi terharu, ucapnya dengan lembut, "Yang ingin kuminta padamu adalah
supaya kau berjanji setiba di Tong-keh-ceng, langsung kau naik ke loteng restoran itu, apapun
yang terjadi atas diriku, tidak boleh kau turun dari sana.
Sampai lama Lui-ji termenung, katanya kemudian sambil tersenyum pedih, "Jika terjadi apaapa
atas dirimu, apakah kau kira aku dapat duduk tenteram dan makan bebek panggang di
restoran itu?"
Ia merasa tangan Pwe-giok mendadak menjadi dingin, lebih dingin daripada es, Ia dapat
memahami perasaan Pwe-giok saat itu, terpaksa ia tertawa dan berkata pula, "Ya, apapun juga
tetap kuterima permintaanmu, aku berjanji takkan meninggalkan restoran itu."
*****
Ketika mereka berada di jalan raya menuju ke Tong-keh-ceng, mendadak orang yang berlalu
lalang di situ bertambah banyak.
Pwe-giok melihat orang-orang itu kebanyakan adalah sahabat Kangouw yang berilmu silat
tinggi, ada yang mencorong sinar matanya, tampaknya sangat tinggi ilmu silatnya.
Mereka pun berpaling mengamat-amati Pwe-giok dan Lui-ji, ada pemuda cakap dan gadis
cantik berjalan bersama dengan bergandengan tangan, siapapun pasti akan melemparkan
pandang sekejap dua kejap kepada mereka.
Ini belum lagi aneh, yang aneh ialah air muka orang-orang ini semuanya kelihatan prihatin,
seperti menanggung beban pikiran apa-apa. Beberapa orang di antaranya ketika melihat Ji
Pwe-giok lantas menampilkan rasa terkejut, seperti kenal padanya, tapi kebanyakan orang
hanya memandangnya sekejap saja, lalu menunduk dengan muram.
231
Dalam pada itu pintu gerbang perkampungan Tong-keh-ceng sudah kelihatan dari jauh,
orang-orang yang melalui jalan ini pasti akan menuju ke Tong-keh-ceng, tapi mengapa ada
orang sebanyak ini yang berkunjung ke Tong-keh-ceng secara beramai-ramai begini?
Apakah terjadi sesuatu peristiwa besar di Tong-keh-ceng?
Lui-ji menggenggam tangan Pwe-giok erat-erat, tiba-tiba ia mendesis, "Kau kira orang-orang
ini apakah tertipu oleh Tong Bu-siang gadungan itu sehingga mereka berbondong-bondong
datang ke sini? Tentunya dia sengaja mengumpulkan mereka, lalu membunuh mereka
sekaligus dengan senjata rahasianya yang berbisa itu."
Bila teringat kepada keganasan Ji Hong-ho gadungan, Yang Cu-kang dan lain-lain, tanpa
terasa Lui-ji merinding, ucapnya pula dengan parau, "Dengan demikian, maka segenap jago
persilatan di daerah Sujwan ini akan sekaligus terjaring seluruhnya."
"Mungkin nyalinya belum sebesar itu," ujar Pwe-giok dengan tertawa.
"Toh orang lain akan memasukkan kejadian itu dalam perhitungan dengan keluarga Tong,"
kata Lui-ji. "Dia kan berusaha mengacau dunia, tujuannya justeru ingin mengaduk dunia
Kangouw ini hingga kacau balau, apapun dapat dilakukannya."
Pwe-giok termenung, ucapnya kemudian, "Umpama dia berani berbuat demikian, di antara
anak murid keluarga Tong tentu juga ada yang cerdik dan pandai, belum tentu mereka mau
menurut secara membabi buta."
Meski di mulut dia berkata demikian, dalam hati sebenarnya jauh lebih kuatir daripada Lui-ji,
sebab dia tahu betapa keras tata tertib rumah tangga Tong, perintah sang ketua harus dipatuhi
dan tidak mungkin berubah, sekalipun anak murid keluarga Tong ada yang tidak setuju juga
tidak berani membangkang secara terang-terangan.
Maklumlah anggota keluarga Tong terdiri dari anak cucu keluarga Tong sendiri tanpa unsurunsur
dari luar, tata tertib rumah tangga lebih keras daripada tata tertib perguruan,
Ciangbunjin adalah pimpinan tertinggi, maka kekuasaan kepala keluarga Tong jauh lebih
besar daripada ketua perguruan lain, meski Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay sekalipun.
Lui-ji seperti ingin bicara apa-apa lagi, tapi pada saat itu juga tiba-tiba diketahui orang-orang
yang berjalan di depan begitu sampai di depan pintu gerbang Tong-keh-ceng, serentak orangorang
itu sama bertekuk lutut. Bahkan di tengah kerumunan orang banyak itu sayup-sayup
terdengar suara orang menangis.
Lui-ji saling pandang sekejap dengan Pwe-giok, keduanya sama-sama heran.
Dalam pada itu sekeliling tanah lapang di depan pintu gerbang Tong-keh-ceng telah berjubal
penuh orang berlutut, di dalam pintu gerbang juga ada belasan orang yang berlutut dan
membalas hormat kepada orang-orang di luar.
Belasan orang di dalam pintu itu tampak berpakaian berkabung dengan wajah yang berduka
cita, beberapa diantaranya bahkan merah bendul matanya. Pwe-giok kenal seorang
diantaranya yang bermuka bundar dan rada gendut, yaitu murid ke tujuh dalam keluarga
Tong, terkenal di dunia Kangouw dengan julukan "Jian-jiu-mi-to" atau si Budha gendut seribu
232
tangan, namanya Tong Siu-jing, dia inilah yang menjabat sebagai juragan restoran yang
merangkap sebagai penyambut tamu.
Seorang lagi juga dikenal Pwe-giok, yaitu yang bermuka lebar, ialah Tong Siu-hong yang
berjuluk "Thi-bin-giam-lo" atau si raja akhirat berwajah besi, artinya selalu bertindak tegas
tanpa kenal ampun dan tidak pandang bulu.
Kedua orang ini bukan saja terhitung anak murid keluarga Tong pilihan, bahkan di dunia
Kangouw juga sudah lama termasyhur namanya. Tapi kini kedua orang inipun memakai baju
berkabung, menyambut tamu dalam kedudukannya sebagai Haulam atau putera orang yang
wafat. Jelaslah sekarang bahwa dalam keluarga Tong telah kematian orang, bahkan orang
yang mati ini berkedudukan sangat tinggi dan terhormat.
Sungguh Pwe-giok tidak dapat menerkanya siapakah yang meninggal dunia itu?
Lui-ji tampaknya juga tercengang, bisiknya kepada Pwe-giok, "Kita terlambat tiba di sini,
entah sudah berapa banyak anggota keluarga Tong yang menjadi korban kekejiannya. Dia
tidak mencelakai orang luar, tapi membunuh dulu anggota keluarganya sendiri, hal inipun
sangat aneh."
Meski dia bicara dengan pelahan, tapi ada sebagian orang yang telah berpaling dan
memandangnya. Orang lain sama bertekuk lutut, hanya mereka berdua saja yang berdiri
ditengah-tengah orang banyak, dengan sendirinya sangat menarik perhatian orang lain.
Pwe-giok berkerut kening, cepat ia tarik Lui-ji dan ikut berlutut. Meski tidak rela, tapi mau
tak mau anak dara itu menurut juga.
Terdengarlah seorang berseru dengan menangis, "Sungguh langit dan awan yang tak dapat
diramal, dan manusia setiap saat dapat dirundung malang atau tertimpa rejeki. Orang yang
bijaksana seperti Tong-loyacu kita harapkan sedikitnya akan berumur panjang hingga seratus
tahun, siapa tahu sekarang beliau telah wafat."
Lalu seorang tadi menyambung, "Tapi orang meninggal tak dapat hidup kembali, hendaklah
saudara jangan terlalu berduka. Kepergian Tong-loyacu merupakan suatu kehilangan besar
bagi dunia Kangouw umumnya dan Bu-lim daerah Sujwan khususnya, maka untuk
selanjutnya diperlukan kepemimpinan saudara sekalian."
Orang yang bicara ini sudah ubanan, tampaknya seorang tokoh angkatan tua dunia persilatan
daerah Sujwan, sebab itulah dia hanya membahasakan pihak tuan rumah sebagai saudara
karena dia anggap dirinya sendiri lebih tua.
Sebaliknya para anak murid keluarga Tong hanya mengangguk rendah-rendah dan tidak ada
yang menanggapi, semuanya tampak menangis sedih.
Yang mati ternyata "Tong Bu-siang" adanya.
Sungguh Pwe-giok tidak berani percaya, tapi mau tak mau harus percaya.
Cu Lui-ji juga melenggong, sampai sekian lama tak dapat bicara. Setelah orang yang berlutut
itu beramai-ramai sudah bangkit, barulah dia berkata kepada Pwe-giok dengan suara tertahan,
233
"Tong Bu-siang gadungan tidak nanti mati, sampai Tong Giok yang merupakan orang
kepercayaan keluarga Tong juga mengakui Tong Bu-siang palsu itu sukar dibedakan cirinya,
tidak nanti anggota keluarga Tong yang lain dapat mengetahui kepalsuannya hanya dalam
waktu sesingkat ini."
Setelah mengerling kembali ia berkata, "Maka kukira, bisa jadi dengan jalan ini dia sengaja
hendak memancing kedatangan orang banyak..."
Tapi Pwe-giok lantas menggeleng, katanya, "Jika dia ingin memancing orang-orang ini ke sini
cara lain masih cukup banyak, kukira tidak perlu pura-pura mati. Apalagi duka cita yang
diperlihatkan anak murid keluarga Tong tampaknya juga tidak pura-pura."
"Jika begitu, jadi kau anggap anak murid keluarga Tong telah mengetahui kepalsuannya, lalu
membunuhnya?" tanya Lui-ji.
"Juga tidak bisa terjadi begitu," kata Pwe-giok. "Kalau anak murid keluarga Tong mengetahui
kepalsuannya dan membunuhnya, tentu mereka takkan sedemikian berdukanya dan
mengadakan upacara pemakaman sebesar ini."
"Habis bagaimana, apakah dia mati karena sakit keras mendadak?" kata Lui-ji pula.
"Juga tidak mungkin," ujar Pwe-giok. "Ji.... orang she Ji itu cukup licin dan dapat berpikir
panjang, kalau dia sudah berani mengirimnya ke sini tentu kesehatan orang ini dapat
diandalkan, tidak nanti dia mati sakit. Mana mereka mau bersusah payah membuang pikiran
dan tenaga serta daya atas diri yang tak dapat diandalkan."
"Betul juga," kata Lui-ji. "Jika mereka berani mengirimnya ke sini, dengan sendirinya mereka
yakin Tong Bu-siang gadungan itu takkan ketahuan belangnya dan juga tidak mungkin mati
sakit mendadak. Tong Bu-siang gadungan sendiri juga tidak mungkin pura-pura mati, lantas
mengapa dia mati?"
Pwe-giok tak dapat menjawabnya.
Kejadian itu memang di luar dugaan dan sukar untuk dibayangkan.
*****
Orang yang melayat itu kemudian membanjir masuk ke dalam Tong-keh-ceng.
Terpaksa Pwe-giok dan Lui-ji ikut arus manusia masuk ke sana. Urusan sudah kadung begini,
mereka hanya dapat maju dan tidak dapat mundur lagi.
Terlihat setiap rumah di kedua sisi jalan raya di dalam Tong-keh-ceng sama tutup pintu,
semuanya ikut berkabung, wajah setiap orang tampak muram durja. Maka Pwe-giok tambah
yakin apa yang terjadi ini pasti bukan cuma pura-pura belaka.
Pada ujung jalan raya sana ada sebuah ruang pendopo yang sangat luas, di situlah biasanya
anak murid keluarga Tong mengadakan rapat, tapi sekarang pendopo ini digunakan sebagai
tempat semayam peti mati Tong Bu-siang.
234
Terdengar suara tangisan ramai di ruang besar itu, para pelayat satu persatu bergiliran masuk
ke sana menyampaikan penghormatan terakhir.
Pwe-giok dan Lui-ji juga ikut di belakang dan masuk ke ruangan pendopo itu. Wajah setiap
orang tampak berduka cita, sekalipun orang yang biasanya tidak ada hubungan dengan Tong
Bu-siang, kini mau tak mau juga ikut sedih oleh suasana yang memilukan ini.
Di tengah pendopo terletak peti mati Tong Bu-siang dan meja sembahyang, di belakang peti
mati terpasang tabir yang panjang, suara tangisan di belakang tabir terdengar lebih berduka
daripada yang lain, sebab famili perempuan keluarga Tong sama berada di situ.
Jika suara tertawa orang perempuan umumnya lebih lirih daripada suara tertawa orang lelaki,
maka suara tangis orang perempuan jauh lebih keras daripada lelaki.
Di kedua sisi pendopo terdapat dua - tiga puluh meja bundar besar, hampir semua meja sudah
penuh dikelilingi tetamu, agaknya para pelayat sedang menunggu akan mencicipi perjamuan
berduka cita keluarga Tong.
Diam-diam Pwe-giok merasa gegetun. Para pelayat ini entah datang untuk makan atau benarbenar
hendak berbela sungkawa terhadap orang mati?
Pelayat yang datang belakangan banyak yang melongok ke sini dan memandang ke sana,
kuatir tidak mendapatkan tempat di meja perjamuan. Tapi segera ada anak murid keluarga
Tong yang bertugas sebagai penyambut tamu membawa mereka keluar. Kiranya di tanah
lapang di depan pendopo juga sudah penuh terpasang berpuluh meja perjamuan.
Maka senanglah para pelayat itu, semuanya berduduk lalu perjamuan lantas dimulai, santapan
lezat pun disajikan berturut-turut.
Terpaksa Pwe-giok dan Lui-ji ikut berduduk di tengah para pelayat itu. Karena menanggung
macam-macam pikiran, tidak ada napsu makan mereka, sebaliknya para pelayat yang tadi
kelihatan berduka cita kini sedang makan dengan lahapnya.
Diam-diam Lui-ji menarik ujung baju Pwe-giok dan bertanya, "Apakah kita hanya duduk
makan di sini, habis makan lantas angkat kaki, begitu?"
Pwe-giok hanya menyengir saja tanpa menjawab
Sambil menggigit bibir Lui-ji berkata pula, "Mengapa tidak kau cari nona yang bernama Tong
Lin itu untuk mencari keterangan tentang apa yang terjadi sebenarnya?"
Nyata nadanya masih berbau cuka alias cemburu.
Selagi Pwe-giok merasa serba salah, tiba-tiba datang seorang genduk cilik yang mendekat ke
sini, yang dicari juga bukan orang lain, tapi justeru Pwe-giok.
Setiba di depan Pwe-giok, babu cilik itu memberi hormat dan bertanya dengan suara pelahan,
"Tuan ini Ji Pwe-giok, Ji-kongcu bukan?"
235
Tak tersangka oleh Pwe-giok bahwa babu cilik itu mengenalinya, lebih-lebih tak diketahuinya
ada urusan apa mendadak dirinya ditanyakan? Terpaksa ia menjawab. "Betul, aku memang Ji
Pwe-giok."
Dengan suara bisik-bisik seperti sangat rahasia babu cilik itu berkata pula, "Orang yang
terhormat sebagai Ji-kongcu mana boleh berduduk di sini? Di dalam ada tempat bagi tamu
agung, silakan Ji-kongcu berpindah ke dalam saja."
Pwe-giok menjadi bingung, mengapa dirinya bisa mendadak berubah menjadi tamu agung, ia
menjawab dengan ramah, "Di sini sudah cukup baik, nona tidak perlu repot."
"Tapi nona kami memberi pesan wanti-wanti kepada hamba agar jangan kekurangan
pelayanan terhadap Ji-kongcu, jika Ji-kongcu tidak sudi pindah ke dalam, tentu hamba akan
dimarahi nona."
Mendengar "nona" yang disebut-sebut itu, seketika air muka Lui-ji berubah kecut, segera ia
berdiri dan berkata, "Jika demikian, marilah kita pindah ke dalam saja."
Genduk cilik itu memandangi Lui-ji dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, lalu berkata
pula, "Tapi di dalam juga sudah.... sudah penuh, tinggal satu tempat saja, maka.... maka
nona...."
Namun Lui-ji tidak menghiraukannya, ia tarik Pwe-giok dan diajak masuk ke dalam.
Tampaknya genduk itu menjadi serba susah, ingin merintangi juga tidak berani, terpaksa ia
berkata, "Harap nona tinggal di sini saja...."
Tiba-tiba Lui-ji menoleh dan tertawa, katanya, "Bukan nona, tapi nyonya!"
"Nyonya?" genduk itu menegas dengan mulut melongo.
"Ya, nyonya Ji, Ji-hujin," kata Lui-ji
Genduk itu tambah tercengang, "Ji... Ji-hujin?" kembali ia menegas.
"Betul, Ji-hujin," Lui-ji tersenyum. "Kalau Ji-kongcu diundang ke dalam, masakah Ji-hujin
mesti duduk sendirian di luar sini?"
Seketika genduk cilik itu terbelalak, sampai sekian lamanya barulah ia menunduk dan berkata,
"Baiklah, silahkan Tuan dan Nyonya."
Kembali Pwe-giok dibuat serba salah oleh olah Lui-ji itu, ia tahu pasti Tong Lin yang berada
di belakang tabir itu melihatnya, maka pelayan pribadi ini disuruh mengundangnya ke dalam.
Lui-ji memandangnya dengan tertawa tak tertawa dan mendesis, "Sudah kuduga, biarpun
tidak kau cari dia, tentu dia yang akan mencari dirimu."
Setiba di meja perjamuan ruangan dalam, Pwe-giok melihat yang hadir di sini kalau bukan
orang tua yang sudah ubanan tentu juga tokoh Bu-lim yang terhormat.
236
Iapun sungkan berbicara dengan orang, dia hanya memberi hormat sekedarnya kepada hadirin
yang lain, lalu berduduk dan angkat sumpit terus mencomot santapan. Sesungguhnya bukan
lantaran mereka rakus, tujuannya asalkan mulut terisi, maka bebaslah daripada macammacam
kerewelan.
Sebaliknya orang-orang itu sama mendeliki mereka, agaknya heran mengapa keluarga Tong
membawa dua orang "anak kecil" ke tempat duduk kaum "Tokoh besar" sini.
Untuk menandakan mereka tidak suka akan kehadiran Pwe-giok berdua, mereka hanya saling
angkat cawan arak diantara mereka sendiri dan sengaja tidak menghiraukan Pwe-giok. Tak
tahunya sikap mereka ini justeru kebetulan malah bagi Pwe-giok.
Waktu itu di balik tabir sana ada sepasang mata yang merah bendul terlalu banyak menangis
sedang mengintip, setelah memandang Pwe-giok sekejap, lalu melotot ke arah Lui-ji. Sorot
matanya penuh rasa duka dan hampa, juga penuh rasa dendam dan benci.
Untung tiada seorang pun yang memperhatikan sepasang mata itu, sebab pada saat itu juga
dari meja perjamuan di pojok sana tiba-tiba maju seorang lelaki jangkung.
Orang ini berwajah hitam dan berpinggang kasar, bergodek, tampangnya sangat menyolok.
Dengan langkah lebar ia mendekati layon Tong Bu-siang, lebih dulu ia memberi hormat
kepada para hadirin, lalu berseru. "Tong-loyacu mempunyai nama besar dan terhormat, beliau
adalah tokoh utama dunia persilatan wilayah Sujwan sini, sekali ini beliau mendadak wafat,
tidak ada seorangpun di dunia persilatan Sujwan sini yang tidak merasa kehilangan dan
berduka cita."
Kata-kata demikian entah sudah berapa kali diucapkan orang, tapi orang ini masih sok aksi
dan mencerocos panjang lebar, tentu saja membosankan hadirin yang lain, semua orang saling
pandang dan mengira orang ini mungkin kurang waras.
Tapi lelaki hitam itu seperti tidak perduli dengan orang lain, ia menyambung lagi, "Yang
paling harus disesalkan adalah akhir-akhir ini Tong-loyacu selalu berdiam di dalam rumah
dan jarang keluar. Biasanya orang-orang luar memang kurang beruntung dapat berjumpa
dengan beliau, sekarang beliau berpulang ke alam baka, selanjutnya kita akan terpisah untuk
selamanya dan tidak dapat menemui beliau lagi. Sebab itulah sekarang ada usulku, kita harus
memberi penghormatan yang terakhir kali di hadapan wajah beliau sekedar kenangkenangan."
Haulam, yaitu putera yang ditinggal mati, atau diwakilkan muridnya, memberi hormat dan
menjawab, "Tapi peti mendiang guru kami sudah tertutup, maksud baik anda ini kami terima
dengan terima kasih di dalam hati saja, di alam baka arwah guru kami pun akan merasa
terhibur."
Jawaban ini sebenarnya cukup sopan dan beralasan, tapi lelaki muka hitam itu tetap ngotot
pada pendiriannya, dia malah mendekati peti mati dan berteriak, "Kalau untuk memandang
terakhir kali saja tidak dapat, bukankah kita akan menyesal selama hidup?"
Haulam tadi menjawab pula, "Peti mati yang sudah di tutup tidak boleh diganggu lagi, diharap
anda maklum, untuk maksud baik anda kami mengucapkan terima kasih."
237
Meski jawaban mereka kelihatan tetap ramah tamah, tapi air muka mereka sudah kelihatan
kurang senang, nadanya juga sudah berubah agak kasar.
Tak tahunya lelaki muka hitam itu tetap tidak tahu diri, masih terus ngotot ingin melihat
wajah Tong Bu-siang yang terakhir, ia berteriak pula, "Ku datang dari tempat beribu Li
jauhnya, tentunya tidak boleh pulang dengan kecewa. Sudah lama ku kagum pada nama
kebesaran Tong-loyacu, masa untuk melihatnya satu kali saja tidak dapat?"
Sambil gembar-gembor ia terus berlari mendekati peti mati.
Keruan para hadirin sama gempar, banyak yang mengira orang ini sudah gila, tapi Pwe-giok
dapat melihat orang ini pasti mempunyai maksud tujuan tertentu dan sukar diraba.
Bagi Lui-ji, dia justeru berharap orang itu dapat membongkar peti mati selekasnya, ingin
diketahuinya di dalam peti mati itu apakah betul Tong Bu-siang atau bukan? Ingin dilihatnya
cara bagaimana kematian Tong Bu-siang?
Para Haulam yang berlutut di depan layon menjadi panik juga, serentak mereka berdiri.
Jika dalam keadaan biasa, orang ini berani main gila di Tong-keh-ceng, tentu sejak tadi orang
ini telah dibereskan. Tapi sekarang kedudukan mereka adalah keluarga yang sedang berdukacita,
mana boleh pakai kekerasan di depan layon orang tua sendiri.
Terpaksa mereka hanya menghadang saja di depan lelaki muka hitam itu dan menegur dengan
menahan rasa gusar, "Mungkin anda ini mabuk!"
"Siapa yang mabuk?" kata orang itu. "Satu tetes saja aku tidak minum. Tujuanku hanya ingin
melihat Tong-loyacu untuk penghabisan kalinya, masa perbuatan itu melanggar undangundang?"
Seorang lelaki kekar yang duduk dekat Pwe-giok mendadak menggebrak meja dan berdiri,
bentaknya, "Hendaknya kau tahu diri, sobat! Meski saudara dari keluarga Tong tidak leluasa
turun tangan, tapi bila kau berani sembarangan main gila, aku Nyo Eng-tay yang pertamatama
akan memberi hajaran padamu."
Nyo Eng-tay ini berjuluk "Kay-pi-jiu", si tangan pembelah pilar, namanya cukup gemilang di
dunia persilatan daerah Sujwan. Ucapannya ini juga cukup gagah perkasa dan beralasan,
segera ada orang bersorak mendukungnya.
Tak terduga mendadak dari luar ada orang menjengek, "Hm, Nyo Eng-tay, sebaiknya kau pun
tahu diri sedikit dan lekas tutup mulut! Kalau tidak, sebentar orang pun akan membongkar
perbuatanmu di Soa-peng-pah dahulu itu!"
Suara orang itu kedengaran seperti suara banci, para hadirin sama melongok ke arah suaranya,
tapi tiada kelihatan bayangan seorangpun.
Namun begitu wajah Nyo Eng-tay sudah lantas merah padam, sekujur badan kelihatan
gemetar, benarlah, dengan ketakutan ia lantas duduk kembali dan tidak berani bersuara pula.
238
Pada saat itu ada seorang tua yang mungkin cukup berkedudukan seperti ingin bicara, tapi
seorang tua lain cepat menariknya dan membisikinya, "Untuk apa Oh-heng mencari susah
sendiri? Urusan keluarga Tong biar diselesaikan mereka sendiri, masa orang luar perlu ikut
campur?"
Benar juga, orang itupun duduk kembali dan tutup mulut.
Pwe-giok tambah curiga, kini dapat diketahuinya bahwa maksud tujuan lelaki muka hitam itu
jelas sengaja cari perkara, bahkan di belakangnya pasti ada yang mendalanginya. Orang yang
bersuara di luar tadi bisa jadi juga begundal "Ji Hong-ho" itu.
Jika demikian, kematian "Tong Bu-siang" pasti juga mengandung rahasia sangat besar.
Tampaknya anak murid keluarga Tong juga merasakan gelagat tidak enak, diam-diam dari
luar sudah masuk beberapa orang dan telah menjaga rapat semua jalan keluar, agaknya lelaki
muka hitam itu takkan dibiarkan pergi begitu saja.
Tapi lelaki muka hitam ini hakekatnya tidak ada maksud pergi, dengan suara garang ia malah
berkata pula, "Mengapa kalian tidak mengijinkan orang luar melihat wajah Tong-loyacu yang
terakhir, apakah karena kematian Tong-loyacu ada sesuatu yang tidak beres? Jika demikian,
kami justeru harus melihat wajahnya."
Ucapan ini kembali membikin gempar para pelayat. Ada sebagian hadirin diam-diam
merasakan apa yang dikatakan orang ini juga cukup beralasan.
Tentu saja anak murid keluarga Tong bertambah gusar, segera ada yang membentak,
"Sahabat, kalau bicara hendaknya yang jelas dan tahu aturan."
"Masa ucapanku kurang jelas dan melanggar aturan?" jawab si muka hitam, "Jika kalian
sendiri tidak berbuat salah, mengapa...."
"Tutup mulut!" bentak seorang mendadak.
Suaranya tidak keras, tapi membawa semacam wibawa yang menundukkan orang. Tanpa
terasa lelaki bermuka hitam menyurut mundur dan tak berani bersuara lagi. Tertampaklah dari
balik tabir sana muncul beberapa orang perempuan berbaju putih berkabung.
Perempuan yang paling depan bertubuh ramping, baju berkabung yang putih mulus bersih
sekali, raut wajahnya yang agak lonjong kelihatan penuh rasa berduka, namun tidak
mengurangi wibawanya yang kereng dan disegani.
Inilah Tong Ki, nona pertama keluarga Tong yang memegang kekuasaan rumah tangga
tertinggi.
Perempuan kedua bermuka bundar, matanya juga bundar besar, kelihatan lembut dan subur,
inilah model isteri bijak dan ibu yang baik, menantu teladan. Dia inilah isteri Tongtoakongcu,
namanya Li Be-ling.
Orang ketiga bertubuh lemah kurus, matanya yang hitam rada cekung, biasanya selalu
berwajah sayu, kini kelihatan lebih berduka.
239
Dia seperti sengaja melirik sekejap ke arah Pwe-giok, lalu menunduk, sorot matanya
memancarkan setitik perasaan benci, seakan-akan menyatakan tidak ingin lagi melihat anak
muda itu.
Inilah nona kedua keluarga Tong, yakni Tong Lin.
Begitu muncul dari balik tabir, ketiganya lantas memberi hormat kepada para hadirin.
Serentak para tamu membalas hormat mereka.
Sambil menyembah di lantai Tong Ki berkata, "Atas wafatnya ayah kami dan berkat
kehadiran kalian yang sudi melayat kemari, lebih dulu atas nama keluarga kuucapkan terima
kasih."
Beramai-ramai para tamu menyatakan bela sungkawanya.
Lalu Tong Ki berucap pula, "Sebenarnya tidak pantas kami keluar menemui para hadirin, tapi
lantaran ini...." pelahan dia angkat kepalanya dan menatap tajam lelaki muka hitam, lalu iapun
berdiri dan bertanya, "Bolehkah kiranya mengetahui nama anda yang mulia?"
Lelaki muka hitam berdehem dua-tiga kali, lalu berkata, "Cayhe Gui Som-lim, tidak lebih
hanya Bu-beng-siau-cut (perajurit kecil tidak bernama) dunia Kangouw, hanya saja...."
Mendadak Tong Ki menarik muka, tukasnya dengan suara bengis, "Bagus, Gui Som-lim, coba
jawab, siapa yang menyuruh kau kemari?"
Diam-diam Pwe-giok memuji, "Nona besar keluarga Tong ini memang benar pahlawan kaum
wanita, pintar dan cerdik, sama sekali dia tidak menegur kelakuan Gui Som-lim yang
berteriak-teriak tadi, tapi langsung bertanya siapa yang menyuruh dia ke sini. Hanya satu
pertanyaan saja sudah mengalihkan perhatian semua orang. Dengan sendirinya Gui Som-lim
takkan mengaku diperintah orang lain, tapi bila dia tidak dapat memberi keterangan, tentu
takkan ada orang lain lagi yang menyangsikan sebab musabab kematian Tong Bu-siang."
Tadi Gui Som-lim masih berseri-seri dan gembar-gembor, tapi sekarang air mukanya berubah
pucat, ia menjawab dengan agak gelagapan, "Cayhe datang melayat dan tidak.... tidak disuruh
oleh siapa-siapa."
Tong Ki menjengek, "Ruangan layon ini bukanlah tempat untuk membunuh, tapi kalau kau
tidak bicara sejujurnya...."
Mendadak ia berhenti dan memberi tanda lambaian tangan. Seketika di luar ada bunyi
gembereng satu kali.
Lalu Tong Ki menyambung ucapannya, "Nah kau dengar suara gembereng itu, bukan?"
"Ya, deng... dengar." jawab Gui Som-lim.
"Bila gembereng sudah berbunyi tiga kali dan belum lagi kau bicara terus terang, segera
darahmu akan berhamburan di sini," ancam Tong Ki.
240
Dia bicara dengan tenang saja, namun nadanya berwibawa dan membikin orang mau tak mau
percaya akan kebenaran ancamannya itu.
Wajah Gui Som-lim tampak pucat pasi, dengan suara terputus-putus ia menjawab. "Apa yang
kukatakan tadi adalah.... adalah sejujurnya."
Tong Ki tidak menanggapi lagi, ia berdiri dengan berlipat tangan seolah-olah tidak mendengar
ucapan orang.
Menyusul di luar ruangan gembereng berbunyi pula satu kali.
Mendadak Gui Som-lim membalik tubuh terus berlari pergi secepat terbang. Nyata ia
bermaksud kabur.
Akan tetapi saat itu juga Tong Siu-jing dan Tong Siu-hong segera muncul dari luar, keduanya
tepat menghadang jalan pergi Gui Som-lim.
Thi-bin-giam-lo, si raja akhirat bermuka besi, sesuai julukannya, Tong Siu-hong memang
tegas dan tidak kenal ampun terhadap siapapun yang bersalah. Kini matanya tampak merah
membara, napsu membunuhnya berkobar.
Gui Som-lim bergidik dan tanpa terasa menyurut mundur selangkah demi selangkah.
Mendadak gembereng berbunyi pula.
Pada saat itulah di tengah para pelayat itu mendadak terdengar suara jeritan ngeri!
Sebarisan orang yang berdiri di depan layon sana sama menampilkan perasaan takut luar
biasa. Tanpa terasa Tong Ki juga berpaling ke sana ....
Dan sekali pandang, seketika iapun terperanjat.
Kiranya peti mati Tong Bu-siang entah sejak kapan telah dibuka orang, mayat Tong Bu-siang
telah berdiri tegak bersama peti matinya, di bawah cahaya yang remang-remang kelihatan
mukanya yang pucat kuning, mata terpejam, meski tidak begitu menakutkan mukanya, tapi
keseraman orang mati cukup membikin orang merinding.
"Di belakang peti pasti ada orang, tangkap!" teriak Tong Ki bengis.
Serentak Tong Siu-jing dan Tong Siu-hong menubruk maju ke sana.
Pada saat itu pula mayat Tong Bu-siang mendadak melayang keluar dengan kaku dari peti
matinya.
Pwe-giok juga sudah dapat melihat di belakang peti mati pasti ada orang membikin mayat
Tong Bu-siang terpental dengan Lwekang yang kuat, tapi mendadak berhadapan dengan
kejadian aneh luar biasa ini, tanpa terasa tangan Pwe-giok juga berkeringat dingin.
241
Dilihatnya mayat Tong Bu-siang yang kaku itu langsung menerjang ke arah Tong Siu-hong
dan Tong Siu-jing yang lagi menubruk ke depan. Mestinya mereka tidak berani menggunakan
tangan untuk menangkap mayat itu, tapi mau tak mau mereka harus menangkapnya.
Suara aneh yang berbunyi di luar jendela kembali bergema pula dari balik peti mati, ucapnya
dengan seram, "Tong Bu-siang sudah muncul, kenapa kalian tidak lekas menyembah
padanya?"
Belum lenyap suaranya, serentak empat atau lima orang anak murid keluarga Tong telah
menubruk ke sana. Meski sedang berkabung, namun dalam baju mereka selalu membawa
Am-gi atau senjata rahasia khas keluarga Tong yang termasyhur.
"Roboh, sahabat!" bentak salah seorang.
Berbareng dengan suara bentakan itu, senjata rahasia merekapun berhamburan, berpuluh
bintik hitam menyambar ke belakang peti mati bagai hujan gerimis.
Am-gi keluarga Tong tiada bandingannya di dunia ini, bukan saja buatannya cermat dan
bagus, cara menyambitkannya juga bergaya khas. Berpuluh bintik hitam itu menyambar ke
depan dengan kecepatan yang berbeda, ada yang lambat, ada yang cepat, yang cepat belum
tentu sampai lebih dulu, yang lambat bisa mendadak menyambar tiba dengan kuat. Jadi sukar
diraba dan susah dijaga.
Semua orang mengira orang yang berada di belakang peti mati itu sekali ini pasti sukar
terlolos dari kematian. Siapa tahu mendadak terdengar suara tertawa panjang, berpuluh bintik
senjata rahasia itu mendadak berputar haluan di udara, semuanya terbang balik dan
menyambar ke arah anak murid keluarga Tong sendiri.
Sambaran membalik ini jelas lebih keras daripada sambaran ke sana tadi, tampaknya dengan
segera senjata akan makan tuannya.
Keruan anak murid keluarga Tong itu terkejut, cepat mereka menutupi muka sendiri dengan
tangan kanan, tangan kiri melintang di depan dada, lalu melompat ke atas dan berjumpalitan
sekali, ketika jatuh ke lantai, serentak mereka menggelinding jauh ke sana.
Cara menghindar mereka sudah cepat, tapi sambaran Am-gi jauh lebih cepat. Tanpa ampun
pundak dan lengan ke empat orang masing-masing terkena beberapa bintik senjata rahasia
tersebut, belum lagi mereka melompat bangun, lebih dulu mereka merogoh saku dan
mengeluarkan botol kecil, obat penawar racun dalam botol terus ditelan, lalu berbaring di
lantai dan tidak berani bergerak sedikitpun.
Maklumlah, senjata rahasia keluarga Tong terkenal maha lihay racunnya, sampai di mana
kekejiannya tentu mereka sendiri yang paling tahu. Jika urat nadi yang berdekatan dengan
jantung terkena senjata rahasia itu, dengan cepat racun akan menyerang jantung, sekalipun
ada obat penawar buatan khusus juga belum tentu dapat menyelamatkan jiwa mereka.
Bila mata yang terkena senjata rahasia itu, sekalipun dapat ditolong, namun penderitaan
mengorek mata dan membedah kulit daging tentu juga dapat dibayangkan.
242
Sebab itulah lebih dulu mereka melindungi bagian-bagian yang fatal dengan tangan sendiri,
sekarang setelah makan obat penawar toh mereka tetap kuatir racun akan menjalar, maka
mereka harus berbaring diam, setelah obat penawar sudah berjalan barulah mereka berani
berdiri.
Di sebelah sini ke empat orang terluka dan roboh, di sebelah sana Tong Siu-hong dan Tong
Siu-jing juga sudah menurunkan mayat yang mereka pegang, lalu mereka menerjang musuh
pula dari kanan dan kiri.
Pengalaman tempur dan kungfu kedua orang ini dengan sendirinya jauh lebih tinggi daripada
sesama saudara seperguruannya, bahkan gerakan merekapun jauh lebih cermat.
Tak terduga, pada saat itulah, "blang", mendadak peti mati itu pecah menjadi dua, terbelah
bagian tengah, lalu menghantam ke kanan dan ke kiri, memapak serbuan Tong Siu-jing dan
Tong Siu-hong.
Peti mati itu terbuat dari kayu pilihan, biarpun tertanam di bawah tanah berpuluh tahun juga
tetap utuh tanpa keropos, maka dapat dibayangkan betapa kuat dan kerasnya.
Tapi sekarang sekali tabas dengan telapak tangannya orang itu sanggup membelahnya
menjadi dua, keruan semua orang terkejut.
Seketika Tong Siu-jing dan Tong Siu-hong merasa pecahan peti mati itu menindih tiba bagai
gugur gunung dahsyatnya, masih berjarak cukup jauh sudah terasa daya tindihnya yang hebat
sehingga napaspun terasa sesak.
Dalam kejutnya kedua orang itu cepat menjatuhkan diri dan menggelinding ke samping, maka
terdengarlah suara gemuruh, kedua potong peti mati yang pecah itu menghantam lantai dan
mencelat pula ke sana dan menumbuk dinding, seketika batu pasir bertebaran.
Sial bagi yang terciprat batu, banyak yang menjerit kesakitan. Yang tidak tertimba batu juga
cepat-cepat berlari menyingkir, malahan ada yang sembunyi di kolong meja sehingga meja
kursi berjungkir balik dan mangkuk piring pecah berantakan.
Setelah kekacauan agak mereda, barulah semua orang melihat di samping mayat Tong Busiang
telah berdiri seorang berbaju hijau dengan tersenyum simpul.
Anak murid keluarga Tong serentak mengepungnya dan mengawasi musuh dengan siap
serbu. Namun orang ini tetap menghadapi mereka dengan tertawa pongah seperti tiada sesuatu
yang ditakutinya.
Orang ini bukan saja sangat muda, tampaknya juga sopan santun, juga sangat cakap, hanya
sikapnya kelihatan kemalas-malasan, mirip orang yang selalu kurang tidur.
Tidak ada seorang Kangouw yang hadir ini kenal pemuda ini, siapapun tidak menyangka
orang semuda ini memiliki tenaga dalam sedemikian hebat.
Hanya Pwe-giok dan Lui-ji saja yang kenal orang ini, tapi mereka jauh lebih terkejut daripada
orang lain, sebab mereka tidak pernah menyangka pembuat gara-gara ini ialah Yang Cu-kang.
243
*****
Akhirnya Yang Cu-kang datang juga!
Anak murid keluarga Tong sama melolos senjata dan mengepungnya di tengah, setiap saat
mereka siap turun tangan.
Tapi mendadak Tong Ki membentak dengan suara tertahan, "Mundur semua!"
Tampaknya nona besar keluarga Tong ini sekarang sudah bertindak selaku Ciangbunjin,
begitu dia memberi perintah, serentak anak murid keluarga Tong terpencar, sampai Tong Siuhong
juga meluruskan tangan dan tunduk kepada perintahnya.
Di tengah kekalutan juga cuma Tong Ki saja yang tetap dapat mempertahankan
ketenangannya, sorot matanya seperti kilat berkelebat mengusap wajah Yang Cu-kang. Lalu
jengeknya, "Usia anda masih muda, tapi kungfumu sudah setinggi ini, tentu anda anak murid
orang kosen. Tapi mengacau di ruang layon orang lain, membikin anggota keluarganya yang
hidup tambah susah dan membuat yang mati merasa terhina, apakah cara inipun termasuk
ajaran perguruan anda?"
Asalkan nona besar keluarga Tong sudah buka suara, setiap katanya pasti mempunyai bobot.
Kini dia tidak bertanya siapa nama dan asal usul orang, sebaliknya semua perbuatannya itu
ditumplekkan atas perhitungan perguruannya, hal ini membuat lawan menjadi serba susah
untuk menjawab.
Yang Cu-kang mengamat-amati Tong Ki beberapa kejap, dari atas dipandangnya ke bawah
dan dari bawah diulang lagi ke atas, lalu berkata dengan tertawa, "Pantas orang Kangouw
sama bilang nona besar keluarga Tong kita lihay dan galak, seekor harimau betina, setelah
berhadapan sekarang ternyata memang tidak bernama kosong, benar-benar tidak bernama
kosong...."
Dia menengadah dan terbahak-bahak, mendadak ia berhenti tertawa, dengan sorot mata yang
tajam dia tatap para hadirin yang memenuhi ruangan luar dan dalam itu, lalu berseru dengan
lantang, "Cayhe Yang Cu-kang adanya, meski bukan anak murid perguruan ternama segala,
juga bukan keturunan keluarga terhormat, tapi juga tidak nanti melakukan hal-hal yang
melanggar tata susila begini. Apa yang kulakukan sekarang ini tidak bermaksud mengganggu
arwah Tong-locianpwe, sebaliknya ingin kutuntut kebenaran baginya, sebab itulah diharapkan
para hadirin suka memberi keadilan."
Ia kuatir perbuatannya mengganggu mayat dan merusak peti mati itu akan menimbulkan
amarah umum. Tapi setelah uraiannya ini, pandangan semua orang lantas berubah lagi. Semua
orang telah tertarik oleh kata "menuntut kebenaran" tadi, semuanya lantas berpikir, "Apakah
barangkali kematian Tong-locengcu ini ada sesuatu yang tidak beres?"
Tong Ki tidak sabar lagi, segera ia menjengek, "Kiranya orang she Gui itu adalah suruhanmu,
kau suruh dia mengacau di depan layon untuk memancing perhatian orang banyak, kau
sendiri lantas mengacau di belakang peti, begitu bukan?"
Yang Cu-kang menjawab dengan tak acuh, "Demi menuntut kebenaran bagi Tong-locianpwe
segala apapun dapat kulakukan."
244
"Jangankan ayahku wafat secara wajar, sekalipun pada masa hidup beliau ada permusuhan
dengan siapa-siapa, segala persoalannya masih dapat diselesaikan oleh putera-puterinya,
kukira tidak perlu kau ikut campur," seru Tong Ki dengan bengis.
"Oo? Apakah betul kalian dapat menyelesaikannya?" tanya Yang Cu-kang.
"Tentu, kenapa tidak?" jawab Tong Ki.
"Bagus," ucap Yang Cu-kang. "Jika demikian, marilah kita melihat dulu siapakah kiranya
yang turun tangan keji terhadap Tong-locengcu, lalu...." sembari bicara iapun menarik mayat
Tong Bu-siang.
Dengan gusar Tong Ki lantas membentak, "Jahanam, berani lagi kau ganggu jenazah ayahku?
Biarlah ku adu jiwa dengan kau!"
Dia sudah tahu kungfu Yang Cu-kang maha tinggi dan sangat mengejutkan, sebab itulah sejak
tadi ia menahan rasa gusarnya dan belum turun tangan, tapi sekarang semua itu seperti tidak
terpikir lagi olehnya, sekali berkelebat, tahu-tahu ia menubruk maju, kesepuluh jarinya yang
lancip segera mencengkeram mata dan tenggorokan Yang Cu-kang. Tipu serangan yang cepat
dan ganas, sekali turun tangan segera mengincar bagian yang mematikan.
Tapi Pwe-giok tahu kalau melulu kepandaian Tong Ki saja masih selisih sangat jauh untuk
dapat menandingi Yang Cu-kang.
Diam-diam Lui-ji juga berkuatir bagi Tong Ki. Betapapun perempuan tetap berharap sesama
perempuan akan mengalahkan kaum lelaki, akan tetapi Lui-ji juga berharap Yang Cu-kang
akan membongkar rahasia kematian Tong Bu-siang.
Meski perempuan bersimpati kepada sesama perempuan, tapi perempuan juga lebih suka
mencari tahu rahasia orang lain.
Dalam pada itu Tong Siu-hong dan Tong Siu-jing juga sudah menubruk maju, bersama Tong
Ki mereka mengerubuti Yang Cu-kang dari tiga jurusan.
"Apakah cuma sekian saja ilmu silat keluarga Tong?" ejek Yang Cu-kang dengan tertawa.
Selesai dia berucap demikian, tahu-tahu jenazah Tong Bu-siang sudah diangkat olehnya.
Serangan Tong Ki bertiga juga mengenai tempat kosong seluruhnya.
Yang Cu-kang terus berputar cepat seperti gasingan, mayat Tong Bu-siang digunakan sebagai
perisai di depan tubuh. Apabila Tong Ki bertiga menyerang secara ganas, yang akan kena
lebih dulu tentulah mayat Tong Bu-siang.
Dengan sendirinya mereka menjadi ragu untuk menyerang lagi.
"Lepaskan jenazah guruku dan jiwamu akan kami ampuni!" teriak Tong Siu-hong dengan
murka.
245
"Haha, aku memang tidak bisa mati, tidak perlu minta ampun padamu!" jawab Yang Cu-kang
dengan tertawa.
Makin cepat dia berputar sembari membuka baju mayat yang dikenakan Tong Bu-siang itu.
Air muka Tong Ki berubah pucat, ia berjingkrak dan mendamprat, "Keparat, betapa rendah
caramu merusak jenazah, harus kubinasakan kau dulu!"
Tampaknya ia menjadi nekat, tanpa menghiraukan apapun dia terus menerjang.
Tiba-tiba Yang Cu-kang berteriak, "Wahai para hadirin, lihatlah kalian, dia yang sengaja
hendak merusak jenazah Tong-locianpwe atau aku? Dia lebih suka menghancurkan tubuh
ayahnya yang sudah mati ini dan tidak memperbolehkan kuselidiki sebab-musabab
kematiannya, coba jawab, mengapa?"
Semua orang menjadi sangsi oleh uraian Yang Cu-kang ini, sampai Tong Siu-jing dan Tong
Siu-hong juga mulai ragu dan tidak main kerubut lagi bersama Tong Ki. Malahan ada orang
yang tidak tahan dan segera berteriak, "Nona Tong, kenapa tidak dibiarkan dia memeriksa
sebab musabab kematian Tong-locengcu?"
Serangan Tong Ki sangat cepat, hanya sekejap saja dia sudah menyerang dua-tiga puluh kali,
tapi setiap serangannya hanya menyerempet lewat saja di samping tubuh musuh, ujung
bajunya saja sukar menyenggolnya.
Kini Tong Ki baru merasakan betapa tinggi ilmu silat pemuda aneh ini. Mendadak ia berhenti
menyerang dan melompat mundur, ia menggentak-gentakkan kaki sambil mengucurkan air
mata, jeritnya dengan parau, "Para hadirin sudah bicara demikian, apabila aku tidak menurut,
akan kelihatan seperti ada sesuatu kesalahanku. Akan tetapi nama baik mendiang ayahku kini
harus menjadi korban perbuatan jahanam ini...." sampai di sini kerongkongannya terasa
seperti tersumbat dan air mata berderai.
Tong Lin dan Li Be-ling memburu maju dan memapah Tong Ki.
Dengan suara bengis Tong Siu-hong lantas berteriak, "Sahabat, jika kau ingin melihatnya
boleh silahkan, tapi kalau tiada menemukan sesuatu, lima ratus anak murid keluarga Tong
lebih suka mati seluruhnya sekarang juga daripada membiarkan kau lolos keluar dengan
hidup."
"Apabila tidak kutemukan sesuatu, tanpa kalian turun tangan, aku sendiri akan mati lebih dulu
di sini," kata Yang Cu-kang dengan tertawa. Mendadak ia menarik muka, lalu menyambung
pula dengan sekata demi sekata, "Sebab sudah kuketahui, kematian Tong-locianpwe justeru
adalah korban perbuatan anak muridnya sendiri."
Ucapan ini seketika membikin gempar setiap orang. Lebih-lebih anak murid keluarga Tong,
semuanya jadi murka, beramai-ramai mereka membentak, "Kau berani sembarangan
memfitnah orang? kau ada bukti?"
"Kalian ingin bukti?" tanya Yang Cu-kang, "Baik!"
Mendadak ia angkat mayat Tong Bu-siang tinggi-tinggi, lalu berteriak, "Inilah buktinya!"
246
Serentak anak murid keluarga Tong membanjir maju, yang di luar ruangan juga menerjang ke
dalam. Seketika ruangan pendopo yang besar itu menjadi berjubal-jubal. Tapi sekali lompat
Yang Cu-kang telah melayang ke atas.
Meski membawa sesosok mayat, tapi gerak tubuh Yang Cu-kang masih sangat gesit, sekali
lompat saja ia sudah hinggap di atas belandar pendopo, lalu berteriak dengan suara bengis,
"Tong-locianpwe mati terkena Am-gi perguruannya sendiri, bahkan mati di Tong-keh-ceng,
lalu siapa pembunuhnya kalau bukan anak murid keluarga Tong sendiri?"
Kejut dan gusar semua anak murid keluarga Tong, ada yang berteriak, ada yang mencaci
maki, ada yang menyiapkan senjata rahasia, tapi kuatir pula mengenai jenazah Tong Bu-siang
sehingga mereka hanya bergerak saja, tapi urung menyerang.
Ada beberapa orang di antaranya ikut melayang ke atas, tapi baru saja tubuh mereka
mengapung, kontan dia tergetar ke bawah lagi oleh angin pukulan yang dahsyat. Malahan ada
seorang yang jatuh menindih tubuh kawannya.
Dengan suara bengis Yang Cu-kang berteriak pula, "Apabila kalian ingin melihat bukti,
silahkan kalian memilih beberapa orang yang sekiranya terhormat untuk menjadi saksi dan
orang lain dipersilahkan mundur lebih dulu."
Kini Tong Ki berbalik jauh lebih tenang daripada tadi, sinar matanya gemerdep, tiba-tiba ia
berkata, "Baik, jika demikian, diharapkan Siok-san-sin-wan (si kera sakti dari Siok-san) Wanloyacu,
Kim-to Oh-toasiok, Khay-pi-jiu Nyo-toasiok dan Ji Pwe-giok, Ji-kongcu berempat
untuk menjadi wasit."
Sungguh tidak pernah terpikir oleh Pwe-giok bahwa Tong Ki mendadak akan menyebut
namanya, seketika ia melenggong.
Tapi Lui-ji lantas menarik ujung bajunya dan berseloroh, "Masa kau tidak tahu bahwa dirimu
adalah seorang tokoh ternama di dunia Kangouw? Ayolah lekas tampil ke depan!"
Si orang tua yang berolok-olok di dekat Pwe-giok tadi cepat mendekati anak muda itu dan
berkata sambil memberi hormat, "Tak tersangka anda inilah Ji Pwe-giok, Ji-kongcu yang
baru-baru ini menggemparkan dunia Kangouw, sampai tokoh sakti Lo-cinjin juga sangat
memuji dirimu. Bilamana sikap kami tadi kurang menghormat, mohon sudi dimaafkan."
Berita dunia Kangouw ternyata sangat cepat tersebar, kejadian pada setengah bulan yang lalu
kini sudah diketahui orang sebanyak ini, sampai Nyo Eng-tay, Kim-to Oh Gi dan lain-lain
yang tadi meremehkan dia sekarang juga memandangi Pwe-giok dengan terbelalak, air muka
mereka penuh rasa kejut dan heran, seperti tidak percaya seorang pemuda tampan dapat
menggemparkan Kangouw hanya dalam waktu setengah tahun ini.
Pwe-giok sendiri tidak pernah membayangkan dirinya ternyata bisa menonjol dan terkenal
secepat ini. Terpaksa ia membalas hormat orang dan mengucapkan kata rendah hati.
Orang tua tadi berucap pula, : "Cayhe Wan Kong-beng dari Siok-san, selanjutnya diharapkan
Ji-kongcu suka sering-sering memberi petunjuk."
247
Pwe-giok membalas hormat dan tetap rendah hati.
Dalam pada itu kerumunan orang banyak sudah mulai mundur, sehingga tempat layon tadi
terluang cukup luas.
"Dengan ke empat saksi ini, apakah cukup?" Tanya Tong Ki.
"Yang lain belum tentu bisa dipercaya, tapi Ji Pwe-giok ini sudah lama kudengar dia adalah
Kuncu sejati, kuyakin ia takkan berdusta." kata Yang Cu-kang sambil menunduk ke bawah
dan tertawa kepada Pwe-giok, lalu ia melayang turun.
Pwe-giok tidak tahu mengapa orang mendadak bersikap ramah padanya, diam-diam ia
mempertinggi kewaspadaan.
Dilihatnya sambil mengangkat jenazah Tong Bu-siang, dengan suara lantang Yang Cu-kang
berkata, "Sekarang silahkan kalian memeriksanya, sesungguhnya bagaimana bekas luka
Tong-locianpwe yang mengakibatkan kematiannya."
Pada waktu akan dimasukkan ke peti mati, mayat Tong Bu-siang sudah didandani, mukanya
sudah dipoles bedak berminyak yang tebal sehingga sukar lagi melihat air mukanya yang asli.
Maklum, wajah orang mati pada umumnya hampir serupa. Tapi sekarang setelah Yang Cukang
membuka baju mayat, barulah semua orang melihat bagian dadanya hitam hangus, itulah
tandanya terkena racun jahat.
Luka yang mematikannya terletak di bawah dada kiri, ada tiga lubang kecil sebesar mata
jarum, di atas lubang kecil itu ada noda darah beku yang sudah hampir berubah menjadi hitam
seluruhnya.
Yang Cu-kang lantas membuka telapak tangannya dan berkata pula, "Sekarang hendaknya
kalian melihat apa yang terdapat pada tanganku ini?"
Terlihatlah satu biji Am-gi yang terbuat dengan indah di atas telapak tangannya, itulah Tokcit-
le , duri besi berbisa, senjata rahasia khas keluarga Tong, juga boleh dikatakan senjata
rahasia yang bersejarah paling tua di dunia ini.
Setiap tokoh yang hadir ini sama kenal senjata rahasia itu, tapi merekapun tahu betapa
gawatnya urusan sekarang, maka mulut setiap orang seolah-olah sudah disegel dan tiada
seorangpun berani ikut bicara.
Hanya Tong Siu-hong saja yang segera membentak, "Inilah Tok-cit-le dari keluarga Tong
kami, darimana kau memperolehnya?"
Yang Cu-kang tertawa, jawabnya," Am-gi inilah yang tadi hendak kalian gunakan untuk
membunuh diriku, seluruhnya mereka menghamburkan 28 biji, telah kubayar kembali 27 biji,
yang kuterima hanya satu biji ini. Jika kau tidak percaya boleh kau hitung dulu barangnya."
Dengan muka masam tong Siu-hong tidak bersuara lagi.
248
Yang Cu-kang lantas pegang Tok-cit-le itu dan perlahan dipasang di atas luka Tong Bu-siang,
tiga ujung duri Tok-cit-le itu persis masuk pada tiga titik bekas luka di dada Tong Bu-siang
itu.
"Nah, luka yang mematikan Tong-locianpwe ini terdiri dari senjata rahasia apa, tentunya
sekarang kalian sudah dapat melihatnya bukan?" kata Yang Cu-kang.
Padahal sejak tadi semua orang juga sudah melihat racun yang mengenai tong Bu-siang itu
serupa dengan racun senjata rahasia keluarga Tong.
Sebab racun yang berbeda, tanda-tanda bekerjanya racun juga berlainan. Racun senjata
rahasia keluarga Tong kalau menjalar, seluruh tubuh korbannya akan berubah menjadi hitam
hangus seperti halnya Tong Bu-siang sekarang.
Maka Yang Cu-kang lantas mendengus, "Jika Tong-locianpwe mati di Tong-keh-ceng, yang
mematikannya juga Tok-cit-le keluarga Tong sendiri, lantas siapa pembunuhnya kalau bukan
anak murid keluarga Tong sendiri ? "
Ia berhenti sejenak, lalu melototi Wan Kong-beng dan bertanya, "Coba bagaimana menurut
pendapatmu?"
Muka kakek she Wan itu tampak prihatin dan tidak berani menjawab.
"Hm, sejak mula sudah kuketahui kau ini ular tua yang licin, tidak bisa menjadi penengah
yang jujur," jengek Yang Cu-kang. Lalu ia tatap Oh Gi dan bertanya," Dan bagaimana dengan
kau? Konon biasanya kau sok menjadi juru damai, apakah sekarang kaupun tidak berani
bicara?"
Muka Oh Gi tampak merah padam, jawabnya dengan tergagap, "Ini... ini mungkin orang lain
yang mencuri senjata rahasia keluarga Tong, lalu digunakan menyerang Tong-locianpwe
secara gelap."
"Hm, bila Tong-locianpwe benar mati di tangan orang lain, mengapa anggota keluarga Tong
merahasiakannya dan tidak diumumkan secara terbuka?" jengek Yang Cu-kang pula. "Dan
mengapa menyatakan Tong-locianpwe mati secara wajar karena sakit tua?"
Seketika Oh Gi tak dapat menjawab lagi.
Kini setiap orang sama setuju dengan keterangan Yang Cu-kang itu, semua menganggap Tong
Bu-siang pasti mati di tangan anak muridnya sendiri. Tapi terpengaruh oleh wibawa keluarga
Tong, tidak seorangpun berani bicara, namun air muka mereka jelas sama memperlihatkan
rasa gusar.
Sebagian besar anak murid keluarga Tong tampaknya juga tidak tahu seluk-beluk persoalan
ini. Ada di antaranya juga memperlihatkan rasa sedih dan gusar, ada juga yang cuma
melenggong dan ada lagi yang menangis.
Sinar mata Yang Cu-kang hanya berhenti sejenak pada wajah Pwe-giok, mendadak beralih ke
muka Tong Siu-hong dan berkata, "Biasanya anda terkenal adil dan tidak pandang bulu serta
tidak kenal ampun, entah tindakan apa yang akan kau lakukan sekarang?"
249
Tong Siu-hong tampak menggreget-greget sehingga ujung mulutnya merembeskan darah,
tampaknya dia juga menahan sesuatu yang sukar diuraikan, sebab itulah ia hanya mengertak
gigi dan tidak mau bicara.
Mendadak Tong Siu-jing terkekeh dua kali, lalu berkata dengan suara parau, "Keluarga Tong
tidak beruntung sehingga terjadi peristiwa malang ini, atas keterangan anda yang sudi
membeberkan kejadian ini sungguh segenap keluarga Tong merasa sangat berterima kasih.
Hanya saja, apa yang dialami mendiang guru kami ini mengapa dapat diketahui sejelas ini
oleh anda?"
Cara bicara orang ini ternyata tidak kalah lihaynya daripada Tong Ki.
Tampaknya dia bertanya dengan sopan, padahal cukup keji. Di balik ucapannya itu seakanakan
hendak mengatakan," Kalau Tong Bu-siang bukan mati sewajarnya, sedangkan orang
lain tidak ada yang tahu, lalu dari mana kau mendapat keterangannya? Jangan-jangan kau
sendirilah yang melakukannya?"
Biarpun kata-kata demikian tidak terang-terangan diucapkan, namun semua hadirin bukanlah
orang bodoh, mustahil mereka tak dapat meraba apa maksudnya. Karena itu, mau tak mau
semua orang lantas merasa curiga juga terhadap Yang Cu-kang.
Tapi Yang Cu-kang hanya tersenyum tak acuh, katanya, "Jika ingin orang lain tidak tahu,
kecuali diri sendiri tidak berbuat. Soalnya Cayhe baru saja berpisah dengan Tong-locianpwe
pada tiga hari yang lalu, kini mendadak mendengar berita kematiannya, dengan sendirinya
timbul curigaku. Seorang yang sehat walafiat, tidak terluka apa-apa, mengapa baru pulang
lantas tutup usia dan meninggal untuk selamanya."
Kata 'tutup usia dan meninggal selamanya' sengaja diucapkannya dengan suara tajam,
berbareng sorot matanya menyapu pandang para hadirin, melihat air muka semua orang
kembali berubah, barulah ia menyambung lagi, "Meski Cayhe adalah kenalan baru Tonglocianpwe,
tapi sekali bersahabat tetap bersahabat, betapapun aku tidak rela dia mati secara
penasaran. Sebab itulah sengaja ku datang kemari untuk melihat keadaan yang sebenarnya.
Apabila anda menjadi diriku, apakah anda takkan bertindak seperti ini?"
Jilid 9________
Ucapan ini memang benar dan masuk akal sehingga sukar dibantah.
Tong Siu-jing menghela napas panjang, lalu berkata dengan muram, "Pandangan anda sangat
tajam, kami tidak cuma berterima kasih, juga sangat kagum. Hanya saja anak murid keluarga
Tong yang dewasa sedikitnya ada 500 orang lebih, yang mahir menggunakan Tok-cit-le ini
juga ada ratusan orang. Dalam waktu singkat mungkin sangat sukar menemukan siapa
pembunuhnya. Sebab itulah diharap anda suka menyerahkan persoalan ini kepada kami untuk
membereskannya. Kelak kami pasti akan memberi pertanggung jawaban kepada anda."
"Hm, orang luar semacam diriku ini memang tidak pantas ikut campur urusan dalam rumah
tangga keluarga Tong," jengek Yang Cu-kang. "Hanya saja apa yang kau katakan barusan ini
sukar dipercaya orang."
250
"Yang kukatakan adalah sejujurnya…"
"Sejujurnya?" Yang Cu-kang menegas, "Kalau begitu coba jawab, apakah Tong-locianpwe
meninggal di kamar pribadinya yang terahasia?"
"Ini… ini…." Tong Siu-jing gelagapan.
"Kalau dia tidak mati di kamar rahasia pribadinya, maka setelah dia terkena senjata rahasia
berbisa, tentu akan segera diketahui oleh kalian, mengapa mesti menunggu sampai ikut
campurnya orang luar seperti sekarang ini?"
Karena tidak ada alas an lain, terpaksa Tong Siu-jing mengaku, katanya, "Betul, beliau
memang wafat di kamar tidur pribadinya."
"Jika demikian, ingin kutanya pula, di antara ratusan anggota keluarga Tong yang mahir
menggunakan Tok-cit-le, ada berapa orang di antaranya yang boleh masuk ke kamar pribadi
Tong-locianpwe?"
Biarpun Tong Siu-jing juga pandai bicara, sekarang ia menjadi mati kutu dan tak dapat
menjawab pertanyaan Yang Cu-kang yang tajam itu.
Baru sekarang Pwe-giok mengetahui ketajaman mulut Yang Cu-kang ternyata tidak di bawah
ilmu silatnya.
Para anak murid keluarga tong, sama menunduk, tiada seorangpun berani memandang Tong
Ki.
Tapi semakin mereka tidak berani memandangnya, justru sama dengan memberitahukan
kepada orang lain, bahwa yang dapat memasuki kamar pribadi Tong Bu-siang itu setiap saat,
hanya terdiri dari beberapa nona keluarga Tong saja. Hanya saja mereka merasa borok rumah
tangga sendiri tidaklah baik disiarkan keluar, maka tidak ada yang mau bicara.
Maka selain anak murid keluarga Tong, pandangan semua orang sama tertuju kea rah Tong
Ki. Sorot mata mereka jauh lebih merikuhkan daripada ucapan apapun.
Wajah Tong Ki tampak pucat. Nona besar keluarga Tong yang sehari-hari terkenal pintar
bicara dan cekatan dalam bertindak ini, kini harus menghadapi tuduhan membunuh orang tua
sendiri. Sekujur badannya kelihatan gemetar, ia berdiri kaku di situ dan tak dapat bicara
sekatapun.
Mendadak salah seorang hadirin berseru, "Masakah anak perempuannya juga bisa
membunuhnya?"
Ucapan ini kedengarannya seperti ingin membela Tong Ki, padahal sama saja melontarkan
tuduhan resmi terhadap Tong Ki. Waktu semua orang menoleh, tidak kelihatan siapa yang
bersuara itu.
Terdengar yang Cu-kang menjengek," Seorang kalau sudah kemaruk kepada kekuasaan dan
kedudukan, segala apapun dapat diperbuatnya."
251
Tiba-tiba seseorang berseru pula di tengah orang banyak, "Masakah maksudmu demi
menjabat Ciangbunjin, nona besar Tong tidak sayang membunuh ayahnya sendiri,
memangnya siapa yang mau percaya kepada ocehanmu ini?"
Ucapan ini tambah menyudutkan Tong Ki, meski dia bilang siapapun tidak mau percaya, yang
benar mungkin sedikit sekali orang yang tidak percaya kepada ucapan ini.
Yang Cu-kang mendengus," Apabila hati Tong-toakohnio tidak menyembunyikan sesuatu,
mengapa dia melarang orang lain memeriksa sebab musabab kematian Tong-locianpwe? Pada
waktu jenazah Tong-locianpwe dibersihkan, masa dia tidak melihat tanda-tanda luka beracun
pada tubuhnya?"
Seketika para pelawat menjadi heboh, semuanya yakin si pembunuhnya pastilah Tong Ki,
sampai-sampai Ji Pwe-giok dan Cu Lui-ji mau-tak-mau juga percaya.
Diam-diam Pwe-giok menghela napas, ia sendiripun sedih, pikirnya," Jika benar Tong Ki
membunuh ayahnya lantaran ingin kedudukan dan berkuasa, maka apa yang terjadi ini boleh
dikatakan hukum karma, sebab "Tong Busiang" yang dibunuhnya ini justru adalah musuhnya
yang membunuh ayahnya yang sesungguhnya."
Sorot mata Yang Cu-kang yang tajam itu menatap wajah Tong Ki, katanya dengan bengis,
"Tong-toakohnio, sekarang apa yang dapat kaukatakan lagi?"
Tong Ki balas melototinya dan menjawab sekata demi sekata, "Benar kau minta aku
menceritakan duduk perkara yang sebenarnya?"
"Hm, masa kau berani bercerita?" jengek Yang Cu-kang.
"Baik, kau sendiri yang memaksa ku bicara," jawab Tong Ki dengan suara bengis, lalu ia
menarik napas panjang-panjang.
Tapi sebelum ia bicara lagi, mendadak Tong Lin berseru, "Kejadian ini seharusnya akulah
yang menjelaskannya."
Gadis yang selalu murung ini biasanya jarang bicara, sejak tadi iapun bungkam belaka, siapa
tahu pada detik yang genting ini mendadak ia buka suara. Apa yang diucapkannya bahkan
sangat mengejutkan, sampai Pwe-giok juga terkesiap dan tak dapat menerka apa yang hendak
diceritakan.
Tong Ki memandangnya dengan penuh rasa heran dan sangsi, tanyanya, "Kau....."
Dengan air muka kelam Tong Lin berkata pula, "Pada saat terakhir sebelum ayah meninggal,
hanya aku saja yang berjaga di sampingnya, sebab itulah cuma aku saja yang mengetahui
dengan jelas sebab musabab kematian beliau."
"O, hanya kau yang tahu?" Yang Cu-kang menegas dengan terheran-heran.
"Ya, hanya aku," jawab Tong Lin.
252
Yang Cu-kang berkerut kening, katanya, "Apakah kau sendiri yang membunuh Tonglocianpwe?"
Betapapun ia merasa sangat heran, sebab sesungguhnya Tong Lin tidak ada alasan untuk
membunuh ayahnya sendiri.
Li Be-ling menarik tangan Tong Lin dan bertanya dengan suara lembut," Mungkin kau terlalu
berduka, sehingga pikiranmu menjadi kurang sadar?"
"Pikiranku cukup terang dan sadar," jawab Tong Lin, "sebenarnya tidak ingin kukatakan
kejadian ini, akan tetapi keadaan sudah mendesak, jika tidak kubeberkan, tentu fitnah
terhadap Toaci sukar lagi dicuci bersih."
Tong Ki memandang adiknya itu dengan bingung, entah kaget entah terima kasih.
"Malam itu," demikian Tong Lin mulai berkisah," Toaci dan Toaso sudah sama tidur. Tibatiba
teringat sesuatu urusan dan harus kubicarakan dengan ayah. Maka aku lantas mencari
beliau untuk berunding, meski sudah larut malam."
"Kau teringat kepada urusan apa?" tanya Yang Cu-kang.
"Urusan rumah tangga kami apakah kaupun ingin ikut campur?" jengek Tong Lin.
Yang Cu-kang menyengir dan tidak bicara lagi.
"Siapa tahu, belum lagi ku masuk ke kamar ayah, segera kudengar ada suara orang bicara di
situ," demikian Tong Lin melanjutkan ceritanya. "Tentu saja aku sangat heran, sudah larut
malam begini mengapa di kamar ayah masih ada tamu? Padahal sehari-hari ayah hidup
teratur, jarang tidur jauh malam, bahkan bila kedatangan tamu tentu kamipun diberitahu,
kecuali tamunya tidak melalui pintu gerbang , melainkan masuk secara sembunyi-sembunyi."
"Hm, penjagaan Tong-keh-ceng sedemikian keras dan ketat, sekalipun ada orang hendak
menyelundup ke sini secara sembunyi-sembunyi kukira juga bukan pekerjaan mudah," jengek
Yang Cu-kang.
"Bukan saja tidak mudah, bahkan tidak mungkin terjadi," tukas Tong Lin.
"Jika demikian, cara bagaimana pula tamu itu masuk ke kamar ayahmu?" Tanya Yang Cukang.
"Di kamar ayah ada sebuah jalan rahasia yang langsung menembus ke luar perkampungan,"
tutur Tong Lin, "mungkin orang itu sudah ada janji dengan ayah, sebab itulah ayah sendiri
yang membawanya masuk melalui jalan rahasia di bawah tanah itu."
Bahwa kejadian rahasia inipun diceritakannya, meski belum diketahui bagaimana lanjutannya,
tapi sedikit banyak orang sudah mulai percaya kepada penuturannya.
"Sebenarnya aku tidak sengaja hendak mengintip rahasia ayah, tapi aku sudah terlanjur datang
ke situ, selagi aku berdiri di situ dengan ragu, mendadak kudengar ayah sedang berkata, "Kita
253
adalah kenalan lama, tapi persoalan ini cukup penting, betapapun aku harus hati-hati. Kau
tahu, senjata rahasia Tong-keh-ceng selamanya tidak pernah dipinjamkan kepada orang luar."
"O, orang itu datang untuk meminjam senjata rahasia kepada Tong-locianpwe," tanya Yang
Cu-kang.
"Tatkala mana, akupun merasa orang itu terlalu tidak tahu diri dan ingin memaksakan
kehendaknya kepada orang lain. Kudengar dia bicara banyak dengan ayah dan tampaknya
tetap minta ayah meminjamkan senjata rahasia kepadanya."
"Apalagi yang dikatakannya?" tanya Yang Cu-kang.
"Dia bilang urusan yang akan dilaksanakannya sangat penting, jika berhasil, ayah juga akan
mendapatkan manfaatnya. Dia bilang jika ayah tidak mau tampil sendiri, sedikitnya harus
meminjamkan senjata rahasia kepadanya."
"Lalu Tong-locianpwe menerima permintaannya?" tanya Yang Cu-kang lagi.
"Tidak, meski ayah adalah kepala keluarga, tapi peraturan leluhur betapapun tidak berani
dilanggar oleh beliau."
"Dan kalau senjata rahasia tidak dipinjamkan kepada orang itu, maka orang yang
menewaskan Tong-locianpwe juga bukan dia." ujar Yang Cu-kang.
"Kudengar orang itu masih terus membujuk," demikian Tong Lin menyambung, "ku kuatir
ayah akan terbujuk akhirnya, maka cepat ku masuk ke situ. Sebab kuyakin bilamana ada
orang ketiga ikut hadir, tentu orang itu tidak leluasa untuk bicara lagi."
"Dan dia juga melihat kedatanganmu?" tanya Yang Cu-kang.
"Dia bukan orang buta, masa tidak melihat kedatanganku?" jawab Tong Lin. "Meski
kedatanganku membuatnya agak terkejut, tapi dia ternyata tidak mengurungkan maksud
tujuannya."
"O, dia kenal kau?" tanya Yang Cu-kang.
Tong Lin mengangguk, jawabnya dengan muram, "Justru lantaran kukenal dia, makanya aku
tidak mencurigai dia. Siapa tahu pada saat aku lengah, sebiji Tok-cit-le yang kubawa telah
dicuri olehnya."
Gemerdep sinar mata Yang Cu-kang, tiba-tiba ia mendengus, "Hm, rupanya orang itupun
seorang copet sakti."
"Gerak tangannya sungguh halus dan cepat, bukan saja aku tidak tahu sama sekali, bahkan
ayah juga tidak mengetahuinya, "sambung Tong Lin dengan menyesal.
"Kau datang ke kamar ayahmu, untuk apa kau bawa senjata rahasia?" tanya Yang Cu-kang
dengan melotot.
254
Anda sedang membaca artikel tentang Imbauan Pendekar 1 [Lanjutan Renjana Pendekar] dan anda bisa menemukan artikel Imbauan Pendekar 1 [Lanjutan Renjana Pendekar] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/imbauan-pendekar-1-lanjutan-renjana.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Imbauan Pendekar 1 [Lanjutan Renjana Pendekar] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Imbauan Pendekar 1 [Lanjutan Renjana Pendekar] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Imbauan Pendekar 1 [Lanjutan Renjana Pendekar] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/imbauan-pendekar-1-lanjutan-renjana.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...