Karya Gu Long Judul asli: Wu Lin Wai Shi Judul Bahasa
Inggris: A Fanciful Tale of the Fighting World Saduran: Gan
KL Tahun: 1979
Jilid 1
Cuaca buruk, salju bertebaran, bumi seakan akan dilapisi permadani putih, selepas
mata memandang, ribuan li terbentang, hanya putih melulu tanpa warna lain setitik
pun.
Jauh di luar kota Kay-hong, di bawah hujan salju yang lebat, tertampak dua ekor kuda
dibedal kencang, penunggang kuda di depan mengenakan mantel berbulu tebal,
kedua tangannya tersembunyi di dalam lengan baju. Kudanya gagah tapi
penunggangnya kelihatan lesu dan ogah-ogahan, kepalanya mengenakan topi kulit
rase yang sudah butut, topinya ditarik rendah hingga tidak jelas raut mukanya.
Kuda yang mengintil di belakangnya juga ditunggangi satu orang, tapi orang ini
mendekam melintang di punggung kuda, kiranya sesosok mayat yang telah kaku.
Karena hawa dingin, maka wajahnya masih segar dan kelihatan seperti masih hidup,
pakaiannya perlente, warna dan coraknya segar dan baru, sekujur tubuhnya tidak
kelihatan ada bekas luka, wajahnya masih mengulum senyum, agaknya dia mati
dengan tenteram seolah-olah mati dengan enak.
Entah dari mana datangnya kedua penunggang kuda ini, tapi arah tujuannya adalah
sebuah perkampungan besar yang terkenal di luar kota Kay-hong. Kini penunggang
kuda di depan sudah dapat melihat perkampungan besar dan megah yang ditujunya.
Perkampungan ini terletak di sebelah barat parit pelindung kota, ada ratusan
wuwungan yang memenuhi tanah seluas beberapa puluh hektare, perkampungan
seluas ini ditandai dengan pintu gerbang yang tidak pernah tertutup sepanjang tahun.
Salju di depan pintu gerbang tampak penuh bekas tapal kuda, tapi tidak kelihatan
bayangan seseorang pun, lewat pintu gerbang itu masuk ke halaman rumah, di bawah
emper kiri terdapat sebuah papan yang penuh bertempelan maklumat besar-kecil
dengan gaya tulisan yang berbeda, kertasnya ada yang sudah kuning dan tulisan pun
luntur karena dimakan waktu.
Memasuki pintu kecil di sebelah kanan orang akan berada dalam pekarangan yang
menghadap ruang kecil, ruangan yang kosong tanpa pajangan dan perabot kecuali
deretan peti-peti mati, ada belasan peti mati, semuanya masih baru dan belum
dipelitur, seakan-akan di sini memang tersedia peti mati entah untuk dijual atau
persediaan untuk penduduk kampung. Padahal hawa amat dingin, tapi tidak kelihatan
ada api di dalam ruangan, dua orang lelaki berpakaian hitam tampak nongkrong di
atas peti mati di deretan paling depan, kedua orang ini duduk berhadapan sambil
minum arak.
Tiga guci arak sudah menggeletak di lantai, tapi kedua orang ini tidak kelihatan
mabuk, padahal perawakan mereka kurus kering, berwajah kaku dingin, selintas
pandang tak ubahnya wajah patung, tampang kedua orang hampir mirip satu dengan
yang lain, mereka terus minum seperti berlomba saja dan tanpa bicara. Orang di
sebelah kiri buntung lengan kanannya sebatas siku, tangan yang buntung itu
dipasangi sebuah gancu besar warna hitam legam, beratnya belasan kati, setiap kali
gancunya bergerak seperti hendak menggantol bolong peti mati, tapi yang digantol
hanyalah sebutir kacang yang kecil terus dilontarkan ke dalam mulut, lepek wadah
kacang sedikit pun tidak tersentuh.
Laki-laki satunya lagi bertubuh utuh, tapi setiap kali habis meneguk secangkir arak
tubuhnya lantas terbungkuk-bungkuk dan batuk, namun tetap tidak kapok, secangkir
demi secangkir arak dituang lagi ke dalam perut, agaknya biar batuk sampai mampus
juga tidak akan berhenti minum. Rupanya dia lebih rela mati daripada pantang minum
arak.
Lewat serambi di sebelah kiri akan sampai ke ruang pendopo, api unggun tampak
berkobar di dalam pendopo, di situ berderet delapan meja penuh hidangan,
semuanya hidangan kelas satu, ada delapan meja, tapi hanya untuk tujuh orang.
Tujuh orang masing-masing menduduki sebuah meja, maklum, rupanya ketujuh
orang ini tidak mau duduk di sebelah bawah yang lain, maka tidak ada yang duduk
bersama satu meja.
Usia ketujuh orang ini paling-paling baru tiga puluhan, tapi sikap dan tingkah mereka
kelihatan angkuh, seperti orang gede layaknya. Ketujuh orang ini ada lelaki dan juga
ada perempuan, ada padri, ada preman, ada yang menyandang pedang, ada yang
membawa kantong kulit, yang sama adalah sorot mata mereka berkilat tajam, jelas
Lwekang mereka cukup tinggi, jelas mereka adalah jago-jago muda dunia persilatan.
Kelihatannya ketujuh orang ini satu sama lain tidak saling kenal, tapi juga seperti
sudah kenal, mereka pasti bukan datang dari satu tempat, tapi kini serentak berada di
tempat ini, entah untuk apa mereka kemari?
Di belakang pendopo, melewati sebuah serambi pula dan belok ke kanan terdapat
sebuah bangunan lain, suasana sepi, ruangan di sebelah kiri tertutup rapat namun
tercium bau obat.
Sesaat kemudian tertampak seorang anak dengan rambut digelung kundai membuka
pintu keluar dengan membawa kaleng obat. Kini daun pintu terbentang lebar,
tertampak dalam ruang itu ada tiga orang tua beruban. Seorang bermuka kurus
kuning, duduk di atas ranjang sambil memeluk selimut tebal, agaknya sudah lama dia
rebah di tempat tidur karena mengidap sakit. Seorang lagi berperawakan tinggi besar,
gagah dan tampan, alisnya tegak, matanya besar bercahaya, kedua tangannya putih
bersih laksana batu kemala, walau usianya sudah lanjut, namun masih terbayang
bekas ketampanan masa mudanya dulu.
Orang ketiga bertubuh kekar, pundaknya lebar, dadanya bidang berotot, jenggotnya
kaku, matanya bundar laksana mata singa, hawa sedingin ini, tapi dia hanya
mengenakan baju tipis, baju di depan dadanya terbuka lebar lagi. Kalau rambut dan
jenggotnya tidak beruban, siapa percaya usianya sudah tua?
Tiga orang ini duduk di depan ranjang, di ujung ranjang sana ada sebuah meja
pendek bertumpuk buku-buku catatan, di sampingnya adalah belasan ikat pinggang
dari berbagai jenis kain dan warna yang berbeda. Waktu itu si kakek berjenggot
pendek kaku itu sedang membuka ikat pinggang itu satu per satu, setiap ikat
pinggang ditempeli kertas.
Sementara kakek bertubuh tinggi itu memegang pensil dan kertas, ia mencatat apa
yang tertera di atas kertas tempelan itu, tiada yang tahu apa ini tulisan itu, namun
kelihatan muka ketiga orang ini sangat prihatin dengan dahi berkerut.
Selang sekian lamanya, terdengar kakek tinggi itu menghela napas, katanya.
"Bertahun-tahun berjerih payah, mengeluarkan biaya yang tidak terhitung banyaknya,
namun yang berhasil kita kumpulkan juga cuma ini saja, semoga ...." tiba-tiba dia
batuk perlahan dan menghentikan kata-katanya, jelas hatinya tertekan, entah apa
yang dikhawatirkannya.
Tapi orang tua yang sakit malah tertawa, ujarnya, "Hasil yang kita peroleh ini tidak
terhitung kecil, yang jelas kita sudah berusaha sekuat tenaga, kuyakin pada suatu
hari usaha kita akan berhasil."
"Plak", tiba-tiba kakek berjenggot kaku berkeplok sekali, katanya lantang, "Ucapan
Toako memang benar, bagaimanapun keparat itu hanya seorang saja, memangnya
dia mampu mencaplok kita bertiga?"
Kakek tinggi tersenyum, ucapnya, "Sepuluh tahun terakhir ini, ketujuh jago paling top
di Bu-lim kini sudah menunggu di ruang depan. Bila Kungfu ketujuh orang ini
benar sama hebat seperti nama besar mereka, dengan gabungan kekuatan mereka
bertujuh, kuyakin usaha kita ada harapan, yang kukhawatirkan adalah mereka masih
berusia muda, masing-masing suka membawa kemauannya sendiri, satu sama lain
tidak mau mengalah, jadi sukar bekerja sama."
Sementara itu, kedua kuda sudah tiba di depan perkampungan, laki-laki bermantel
tebal itu melompat turun dari kudanya lalu menghampiri kuda yang lain, memanggul
mayat itu terus masuk ke halaman.
Langkahnya perlahan malas seperti tidak bertenaga, tapi tangan yang mengempit
mayat itu seperti tidak mengeluarkan tenaga, dia mirip kaum gelandangan yang hidup
miskin, tapi kedua ekor kuda yang jempolan itu ditinggalkan begitu saja, biar kuda itu
dicuri orang juga tidak jadi soal.
Langsung dia mendekati dinding penahan angin, dengan kemalas-malasan dia
mendorong topi bulunya hingga kelihatan raut mukanya, kiranya dia seorang pemuda
tampan, mulutnya mengulum senyum walau sikapnya tidak acuh, seperti tidak peduli
akan segala sesuatu di sekitarnya, tapi siapa pun bila melihat tampangnya pasti
tertarik dan bersimpati kepadanya.
Hanya pedang panjang yang tergantung di pinggangnya dengan sarung pedangnya
yang kelihatan kotor dan dekil, sehingga timbul kesan orang meski pedang itu senjata
yang dapat membunuh orang, tapi berada di pemuda ini rasanya tidak perlu ditakuti
lagi.
Kertas-kertas yang ditempel di dinding itu ternyata semuanya maklumat tentang
orang-orang atau penjahat yang sedang dicari atau diuber, di mana tercantum nama,
umur dan asal usulnya, kejahatan yang pernah dilakukan, dan berapa besar upah
yang dapat diterima bagi siapa pun yang dapat membekuknya hidup atau mati,
semua penjahat yang dicari adalah gembong-gembong yang kelewat batas
kejahatannya.
Dari maklumat itu dapatlah disimpulkan bahwa akhir-akhir ini tidak sedikit jumlah
penjahat yang mengganas di kalangan Kangouw, maklumat itu bukan ditandatangani
oleh pihak penguasa yang berwenang, tapi adalah pemberitahuan dari pemilik atau
majikan perkampungan besar ini, Jin-gi-ceng.
Ternyata Cengcu dari Jin-gi-ceng ini berani memberi upah besar bagi siapa saja yang
berhasil menangkap penjahat yang tercantum dalam maklumat ini, ini memang sesuai
dengan nama besar perkampungan itu, Jin-gi-ceng atau perkampungan yang
mengutamakan keadilan dan cinta kasih.
Pemuda miskin ini langsung mendekati maklumat yang sudah luntur dan paling lama
ditempel di situ, di mana tertulis:
Lay Jiu-hong, 37 tahun, dari aliran Kong-tong, bersenjata ruyung, tujuh puluh tiga
Siang-bun-ting (paku pencabut nyawa) dalam kantong kulitnya adalah salah satu dari
sembilan belas jenis senjata rahasia paling ganas di Bu-lim. Orang ini bukan saja licik
dan licin, banyak akal muslihatnya, keji, jahat, merampok dan membunuh korban yang
diperkosanya, segala macam kejahatan dilakukannya. Selama tujuh tahun, setiap
bulan sedikitnya satu kali melakukan kejahatan besar, siapa saja bila dapat
membekuknya mati atau hidup, akan mendapat upah lima ratus tahil perak, janji pasti
ditepati.
Tertanda Jin-gi Cengcu
Pemuda miskin itu menyobek maklumat itu terus masuk ke pekarangan di sebelah
kanan. Agaknya sudah sering dia kemari, maka hafal jalannya, kedua laki-laki kurus
berbaju hitam yang bermuka kaku seperti patung itu menoleh waktu pemuda ini
melangkah masuk, mereka saling pandang terus berdiri bersama.
Perlahan si pemuda turunkan mayat itu di atas lantai, lalu menggeliat, telapak tangan
terulur, dia minta upah.
Laki-laki berbaju hitam yang bertangan buntung menggantol mayat itu serta
mengamati mukanya sejenak, sorot matanya yang semula dingin tampak bercahaya,
dia kempit mayat itu dan melangkah keluar dengan setengah berlari, laki-laki berbaju
hitam yang lain menuang secangkir arak dan disodorkan. Tanpa bicara pemuda itu
menerimanya dan ditenggak habis, sejak bertemu ketiga orang ini tidak pernah bicara,
seolah-olah orang bisu.
Laki-laki lengan buntung membawa mayat itu ke belakang, baru dia tiba di
pekarangan, kakek tinggi tegap di dalam kamar telah membuka pintu, melihat dia
datang, tanyanya dengan tertawa, "Siapa pula orang ini?"
Laki-laki buntung melemparkan mayat itu ke tanah bersalju, lalu jari telunjuknya
menuding.
Kakek itu memburu maju dan memeriksanya sejenak, segera dia berseru girang,
"Hah, Lay Jiu-hong!"
Kakek berjenggot pendek berlari keluar, ia pun bersorak senang, "Apa? Sam-jiulong
(serigala tiga tangan) akhirnya terbunuh juga? Thian memang Mahaadil, siapa yang
membunuhnya?"
"Manusia," sahut lelaki buntung berbaju hitam.
Kakek berewok tertawa, makinya, "Keparat, memangnya bapakmu tidak tahu manusia
yang membunuhnya? Kau kira tikus celurut mampu merenggut jiwanya? Dasar, bicara
saja tidak becus ...."
Belum habis ucapannya, tiba-tiba gancu di tangan kanan lelaki baju hitam terayun,
angin menderu, belum serangan tiba, hawa dingin sudah menyambar. Dengan
terkejut kakek berewok melompat mundur, walau perawakannya besar dan kekar, tapi
gerak-geriknya juga tangkas, meski dia sudah berkelit dengan cepat, tak urung baju di
depan dadanya tersambar oleh gancu orang.
Hanya menyerang sekali dan si baju hitam tidak melanjutkan serangan lagi.
Keruan kakek berewok naik pitam, makinya gusar, "Dirodok, main serang, kalau
bapakmu sedikit lambat berkelit, apakah dadaku tidak sobek? Kau anjing ...."
"Samte, tutup mulut," tiba-tiba kakek sakit membentak, "bukankah kau tahu watak
Leng Sam, kau justru memaki dia, kan cari penyakit?"
Kakek berewok tergelak, katanya, "Aku hanya berkelakar, memangnya dia mampu
memukul aku. Leng Sam, bila kau mampu memukulku, anggaplah kau memang lihai."
Wajah dan sikap Leng Sam tetap kaku dan dingin, dia tidak menghiraukan ocehan si
berewok, langsung dia mendekati pembaringan, katanya, "Lima ratus tahil perak!"
Berbareng mendadak tangannya terayun balik memukul pundak si berewok, kali ini
dia gunakan telapak tangan dan tidak memakai gancu, sebab serangan dengan
telapak tangan tidak mengeluarkan suara.
Kontan si berewok kena dipukul terpental dan menumbuk dinding. Tapi sigap sekali si
berewok berdiri lagi dengan bertolak pinggang, bukan dia yang menggelelok, tapi
tembok itu yang retak, dengan mendelik dia memaki pula, "Bedebah, mau berkelahi
ya?" sembari bicara dia terus menyingsing lengan baju.
Kakek tinggi cepat memburu ke tengah, katanya bengis, "Samte, adatmu kembali
seperti anak kecil lagi?"
"Aku kan hanya tanya ...." omel si berewok.
"Tak perlu tanya lagi," ujar kakek tinggi, "dari keadaan kematian Lay Jiu-hong, kan
dapat kau duga dia pasti terbunuh oleh pemuda aneh itu?"
"Siapa dia?" tanya orang tua yang rebah di pembaringan.
"Tiada yang tahu siap she dan namanya," ujar si kakek tinggi, "juga tiada yang tahu
asal usul Kungfunya. Tapi dalam setahun ini dia sudah menyerahkan tujuh mayat
orang yang sudah lama kita uber. Tujuh gembong penjahat yang sekian tahun tak
bisa dibekuk dan upahnya pun tinggi, bukan saja kejahatan mereka kelewat batas,
buas, licik dan berkepandaian tinggi pula, entah dengan cara bagaimana pemuda itu
dapat membunuh mereka."
Orang tua sakit berkerut kening, katanya, "Sudah tujuh kali dia kemari, ternyata
kalian masih belum kenal siapa dia?"
"Setiap kali datang, tak pernah dia mengucap lebih dari sepuluh patah kata, kutanya
siapa namanya, dia hanya tertawa dan menggeleng tanpa menjawab," tutur si kakek
jangkung.
Tiba-tiba kakek berewok tertawa geli, katanya, "Watak kerbaunya ternyata mirip Leng
Sam, tapi mendingan dia, masih mau tertawa dan geleng kepala, kalau Leng Sam
sungguh menyebalkan, mukanya kaku dingin seperti mayat saja."
Melotot Leng Sam, cepat si berewok melompat mundur dengan tertawa, orang tua
yang sakit ikut tertawa geli, katanya kemudian, "Hari ini dari mana kau tahu pemuda
itu pula yang datang?"
Kakek tinggi memberi penjelasan, "Setiap korban yang dibunuhnya wajahnya pasti
mengulum senyuman aneh. Setiap kali pasti kuperiksa dengan saksama, aku tidak
habis mengerti dengan cara apa dia bunuh para korbannya."
Orang tua sakit termenung, si berewok dan si jangkung berdiri diam dan tak berani
bersuara pula.
Kembali Leng Sam ulurkan tangannya dan berkata, "Lima ratus tahil!"
Si berewok tertawa, katanya, "Kan bukan kau yang mau terima uang, kenapa
buru-buru?"
Kedua orang ini perang mulut lagi, tapi orang tua sakit tetap tenggelam dalam
lamunannya seperti tidak mendengar apa-apa, sesaat baru dia angkat kepala, katanya
perlahan, "Kurasa pemuda ini pasti punya asal usul luar biasa. Kebetulan dia telah
datang, tiada salahnya kita mengundangnya untuk membantu usaha kita ... Leng Sam,
pergilah dan undang dia makan minum di pendopo ...."
"Lima ratus tahil!" kembali Leng Sam berucap singkat.
Orang tua sakit tertawa, "Di sinilah kebaikan Leng Sam, tak peduli persoalan apa
yang kau suruh kerjakan, tak peduli siapa kau, jangan harap akan minta
kelonggarannya. Setiap patah katanya takkan berubah, aku sendiri pun jangan harap
akan menggoyahkan keyakinan ... Jite, lekas ambil uang, tapi setelah Leng Sam
menyerahkan uang, anak muda itu jangan dibiarkan pergi."
Setelah menerima uang, tanpa bicara Leng Sam putar badan terus keluar.
Si berewok tertawa pula, katanya, "Budak lebih galak dari majikannya, sungguh
jarang ada di dunia ini."
Orang tua sakit menarik muka, katanya dengan sungguh-sungguh, "Dengan Kungfu
mereka berdua, jika tidak mengingat hubungan orang tuanya dengan aku pada masa
dulu, mana mereka sudi menetap di sini dengan merendahkan derajat mereka?
Samte, kenapa kau menganggapnya sebagai budak?"
"Ah, aku hanya bergurau saja," ujar si berewok, "hanya anak kura-kura yang
menganggapnya budak."
Kakek tinggi tersenyum sambil mengawasi orang tua sakit, katanya, "Jika kau ingin
Samte bicara dengan halus, kukira jauh lebih sukar daripada suruh Leng Sam
berbicara."
Selama itu pemuda miskin tadi dan lelaki berbaju hitam tetap tidak berbicara, namun
mereka sudah duduk berhadapan, secangkir demi secangkir mereka seperti berlomba
minum, setiap menghabiskan secangkir arak lelaki baju hitam lantas terbatuk-batuk,
akhirnya pemuda rudin ini minum makin cepat dan banyak, dengan cepat guci kosong
di lantai telah bertambah dua.
Sambil mengempit bungkusan uang di sebelah kanan, gancu Leng Sam menyeret
mayat dengan langkah lebar datang kembali, langsung dia lemparkan buntalan uang
ke atas peti mati, lalu menghampiri peti yang lain serta membuka tutupnya, sekali
ayun gancunya, mayat itu dilemparkan ke dalam peti mati, lalu dia duduk di lantai
yang dingin dan menenggak arak lagi.
Kembali si pemuda miskin menghabiskan tiga cangkir arak, lalu meraih buntalan
uang, sambil tertawa dia memberi hormat terus berdiri. Tapi mendadak Leng Sam
berkelebat mengadang di depannya. Keruan pemuda itu berkerut kening, sinar
matanya seperti ingin bertanya, "Ada apa?"
Terpaksa Leng Sam buka suara, "Cengcu mengundangmu makan di pendopo."
"Ah, mana aku berani," ujar si pemuda.
Beruntun Leng Sam mengucapkan beberapa patah kata dan rasanya sudah terlalu
banyak bicara maka dia tidak mau omong lagi, waktu pemuda itu menggeser ke kiri,
segera ia pun mengadang ke kiri, bila pemuda itu menyingkir
ke kanan, dia juga mengadang ke kanan.
Akhirnya si pemuda tersenyum lebar, entah cara bagaimana dia bergerak, sekali
berkelebat, tahu-tahu ia sudah berada di belakangnya Leng Sam, ketika Leng Sam
membalik tubuh hendak mengejar, pemuda itu sudah berada di kaki tembok luar
sana, ia mengulap tangan kepada Leng Sam sambil tertawa.
Merasa tidak sanggup menyusul orang, tiba-tiba Leng Sam ayun gancu terus
mengepruk ke batok kepala sendiri. Sudah tentu pemuda itu kaget, cepat ia melompat
balik, belum tiba di tempat, angin pukulannya telah mendampar lebih dulu, kontan
gancu Leng Sam tergetar miring, namun kulit kepalanya tetap tergores luka dan
mengeluarkan darah, cukup parah juga goresan ujung gancunya itu, tulang kepalanya
sampai kelihatan.
Kaget dan heran pula si pemuda, tanyanya, "Kenapa kau berbuat demikian?"
Darah mencucur membasahi pundak Leng Sam, sama sekali ia tidak mengerutkan
kening, seperti tidak merasakan apa-apa dia berkata pendek, "Kau pergi, aku mati!"
Si pemuda melenggong, akhirnya menggeleng dan menghela napas, katanya, "Aku
tidak pergi dan kau tidak mati!"
"Ikut aku!" kata Leng Sam, lalu dia mendahului putar badan dan masuk ke dalam. Dia
bawa si pemuda ke pendopo.
"Duduk!" katanya, tanpa melirik kepada orang-orang yang sudah berada dalam
pendopo, lalu tinggal pergi.
Si pemuda memandang orang menghilang di luar pintu, sesaat dia masih
melenggong, akhirnya ia tertawa getir sendiri, sekenanya dia tarik sebuah kursi, lalu
duduk di bagian samping. Dilihatnya di bagian atas duduk seorang Hwesio berusia
tiga puluhan, mengenakan jubah warna hijau, tampangnya kereng, sikapnya serius,
duduk dengan tegak dan membusungkan dada, kedua tangan ditaruh di atas paha,
sejak mula tidak buka suara, matanya menatap jauh ke depan, ada orang duduk di
sampingnya juga seperti tidak dilihatnya sama sekali.
Si pemuda tertawa padanya dan melihat orang tidak mengacuhkannya, dia juga tidak
peduli, ia angkat poci dan menuang secangkir arak hendak diminumnya sendiri.
Tiba-tiba padri jubah hijau itu membentak dengan suara tertahan, "Jika mau minum
arak, jangan duduk semeja denganku."
Si pemuda melenggong, lalu tersenyum, katanya, "Baiklah."
Ia batal minum arak, dan berpindah ke meja lain.
Yang duduk di meja kedua adalah seorang pemuda tampan berpakaian mewah,
sebelum pemuda rudin ini duduk di depannya, segera dia berkata dengan ketus,
"Aku pun tidak suka melihat orang minum arak!"
"O," pemuda rudin itu pun tanpa banyak bicara dan langsung menuju ke meja ketiga.
Meja ketiga berduduk seorang gadis jelita berpakaian serbaputih, dengan tajam
dingin dia awasi kedatangan si pemuda, ia berkerut kening dan cemberut, ternyata
pemuda rudin ini cukup tahu diri, segera dia menuju meja keempat.
Seorang Tojin kurus kering mendadak berdiri, "Cuh, cuh ...." tiba-tiba dia meludahi
setiap hidangan yang berada di depan mejanya, lalu dia duduk kembali dengan
tenangnya.
Dengan tersenyum si pemuda mengawasi Tojin kurus ini, ia menuju meja kelima.
Yang duduk di meja kelima ini adalah seorang pemuda bertampang jelek, badan
gembrot, dua uci-uci besar menonjol di kedua pipinya, rambutnya semrawut seperti
rumput kering, seperti tidak ada orang lain di sekitarnya dia tengah melahap seluruh
hidangan yang tersedia, sayur di atas meja hampir habis disikatnya seorang diri.
Kini si pemuda rudin yang berkerut kening, tengah ragu, tiba-tiba dari meja sebelah
seorang tertawa dan berkata, "Saudara yang gemar minum arak, silakan duduk di
sini!"
Si pemuda menoleh, dilihatnya yang bicara adalah seorang pengemis bermata satu,
mukanya burik, pakaiannya penuh tambalan dan dekil, dengan tertawa lagi
melambaikan tangan kepadanya, jarak masih jauh, tapi hidung si pemuda sudah
mengendus bau apak dan kecut dari badan si pengemis, mungkin tidak pernah mandi
dan ganti pakaian, tapi tanpa berkerut kening langsung pemuda itu duduk di kursi
yang ditunjuk, katanya dengan tertawa, "Banyak terima kasih."
Pengemis mata satu berkata, "Ada hasratku mengajak Anda minum sepuasnya,
sayang arak dalam poci sudah kosong. Mari silakan lahap saja hidangan ini."
Lalu dia angkat sumpit, giginya yang kuning tampak menjijikkan, lebih dulu dia kecup
ujung sumpit, lalu dia jepit sepotong daging dan diangsurkan ke piring di depan si
pemuda, tanpa periksa si pemuda makan daging itu.
Begitu lahap dia mengunyah daging itu, jangankan daging itu disumpit oleh si
pengemis, umpama daging itu direbut dari mulut anjing juga akan dilahapnya.
Di sebelah lagi meja ketujuh, berduduk seorang laki-laki bermuka merah, lagi
mengawasi si pemuda yang serbatak-acuh terhadap segala sesuatu itu, agaknya dia
sangat tertarik sehingga duduk melongo dan lupa minum arak.
Seorang kacung cilik berbaju hijau tiba-tiba berlari masuk membawakan dua poci
arak langsung mendekati meja si pengemis, katanya dengan tertawa, "Maaf,
terlambat mengantar arak!"
Lalu dia isi penuh cangkir kedua orang yang duduk berhadapan ini.
Si pemuda tersenyum, "Terima kasih!" dia merogoh saku dan mengeluarkan seikat
uang bernilai seratus tahil terus diangsurkan ke tangan si kacung cilik.
Kacung itu melongo, katanya tergagap, "Ini ... apa ini?"
Si pemuda tertawa, katanya, "Uang ini kuberi untuk beli sepatu."
Mengawasi uang perak di tangannya, kacung itu terkesima sekian lamanya, katanya
kemudian, "Tapi ... tapi ...." mendadak dia putar badan terus berlari pergi.
Tidak sedikit dia melihat pemuda hartawan yang royal, tapi belum ada yang sekali
memberi persen sebanyak ini.
Pengemis bermata satu angkat cangkirnya, katanya, "Saudara memang royal, mari
minum secangkir ini!"
Keduanya angkat cangkir dan menghabiskan arak masing-masing. Mendadak
pengemis mata satu menahan suara, katanya, "Dalam beberapa hari ini Cayhe juga
ada keperluan mendesak, entah saudara ...."
Belum habis orang bicara, si pemuda sudah merogoh keluar empat ikat uang perak
dan ditaruh di atas meja, katanya sambil mendorongnya ke depan orang, "Jumlah
sekadarnya ini silakan saudara terima dengan senang hati."
Lima ratus tahil perak itu diperolehnya dengan tidak gampang, tapi semudah itu dia
berikan uang jerih payahnya kepada orang yang baru dikenalnya.
Lekas pengemis mata satu meraih uang perak itu terus disimpan dalam baju, katanya
sambil menghela napas, "Mestinya Cayhe perlu enam ratus tahil, masa saudara
sekikir ini, hanya memberi empat ratus tahil?"
Si pemuda tersenyum, segera dia membuka mantel kulit berbulu, katanya, "Mantelku
ini mesti sudah tua, kukira nilainya cukup dua ratus tahil, boleh saudara
mengambilnya pula."
Setelah menerima mantel itu, si pengemis mengelus-elusnya lalu meniup bulunya,
katanya kemudian, "Bulunya masih baik, sayang sudah terlalu tua ...." lalu
dibolak-balik beberapa kali mantel itu, "paling banyak dapat digadaikan untuk seratus
lima puluh tahil, harus dipotong lagi rentenya lima belas tahil .... Ai, apa boleh buat!"
Padahal orang belum pernah kenal padanya, namun sudi memberi uang dan barang,
tapi pengemis ini masih kurang puas, mengucap terima kasih pun tidak.
Ternyata si pemuda juga tidak peduli, kini hanya baju tipis saja yang melekat di
badannya, ternyata dia seperti tidak merasa dingin, dengan tertawa dia minum arak
pula.
Laki-laki bermuka merah di meja samping mendadak menggebrak meja, makinya
dengan suara keras, "Bangsat yang tidak tahu malu. Kalau tidak berada di Jin-gi-ceng,
orang she Kiau pasti menghajar adat padamu!"
Mendelik mata tunggal si pengemis, bentaknya, "Anak busuk, siapa yang kau maki?"
Sambil angkat cangkirnya laki-laki muka merah berdiri, serunya gusar, "Memaki kau,
mau apa?"
Tampang si pengemis kelihatan garang dan bengis, tapi melihat orang lebih galak
daripada dirinya, tiba-tiba dia malah tertawa, ujarnya, "O, kiranya memaki aku. Baik,
aku memang pantas dimaki ...."
Keruan pemuda miskin tadi melenggong, juga merasa geli.
Laki-laki muka merah segera menghampirinya dan menepuk pundaknya, lalu
menuding pengemis mata satu dan berkata, "Saudara, orang ini suka menindas yang
lemah tapi takut pada yang kuat, di mana dan kapan saja dia suka merugikan orang
lain, tanpa sebab kau memberi uang kepadanya, dia justru memaki kau kikir, manusia
macam dia bukankah lebih rendah dari binatang?"
Pengemis mata satu anggap tidak mendengar dan melihat, dia angkat cangkir dan
habiskan araknya sendiri, gumamnya, "Arak bagus, arak enak! Arak tanpa bayar,
siapa yang tak mau minum sampai puas, kan tolol dia!"
Laki-laki muka merah naik pitam, dia melototi si pengemis.
Mendadak perempuan gembrot bertampang jelek tertawa, katanya dari tempat
duduknya, "Kiau-ngoko, orang ini memang terlalu, tapi sudah kau maki dia habis-
habisan, sungguh kasihan, boleh kau ampuni saja."
Wajahnya jelek dan tubuhnya buntak, tapi suaranya ternyata merdu menggetar
sukma.
Laki-laki bermuka merah, Kiau Ngo, mendengus, katanya, "Baik, mengingat Hoa-
sikoh, hmm ... sudahlah."
Dengan penasaran dia kembali ke tempatnya dan duduk kembali di kursinya.
Hoa-sikoh tertawa, katanya, "Kiau-ngoko memang serbaadil, melihat orang dirugikan,
dia lebih marah daripada orang yang tertipu ...."
Tojin kurus tiba-tiba menyela, "Yang bersangkutan diam saja, orang lain malah
mencak-mencak. Haha, buat apa."
Melihat tabiat orang-orang yang hadir ini serbaaneh, si pemuda jadi ketarik, wajahnya
tetap mengulum senyum, dia tetap tidak banyak komentar.
Mendadak gelak tertawa ramai berkumandang di belakangnya, kata seseorang,
"Maaf bikin kalian menunggu agak lama!" di tengah gelak tertawanya, kakek tinggi
tegap keluar dengan langkah lebar.
Pengemis mata satu mendahului berdiri menyambut, katanya dengan tertawa, "Kalau
menunggu orang lain, siapa mau. Tapi menunggu Cianpwe, umpama Cayhe harus
menunggu setahun juga tidak menjadi soal."
Kakek tinggi tergelak, Katanya, "Aha, Kim-tayhiap terlalu rendah hati."
Ia memandang para hadirin, lalu menambahkan, "Hari ini dapat mengundang
Thian-hoat Taysu dari Thian-liong-si di Ngo-tay-san, Toan-hong Totiang pimpinan
Hian-toh-koan dari Cengsia, Hoa-san-giok-li nona Liu Giok-ji, Giok-binyau-khim Ji
Yok-gi, Ji-tayhiap, Hiong-say (singa jantan) dari Tiang-pek-san, Kiaungohiap,
Kiau-jiu-lan-sim Hoa-sikoh, Kian-gi-yong-wi dari Kay-pang, Kim Puthoan, Kim-tayhiap
bertujuh, sungguh Cayhe amat berbahagia dan bersyukur, apalagi masih ada saudara
...."sorot matanya tertuju kepada si pemuda miskin, lalu sambungnya dengan tertawa,
"Saudara yang masih muda dan gagah perkasa ini, bolehkah memberi tahu she dan
namamu?"
Toan-hong-cu, si Tojin kurus kering menjengek, "Hm, kaum keroco mana setimpal
disejajarkan dengan kami?"
"Betul," si pemuda segera menimpali dengan tertawa. "Cayhe memang kaum
keroco."
Kakek tinggi tertawa, katanya, "Kalau Anda tidak mau memperkenalkan diri, aku
tidak memaksa, terus terang aku amat kagum pada Kungfumu."
Mendengar tokoh Bu-lim kenamaan ini memuji Kungfu pemuda lusuh ini, para hadirin
sama melirik kepadanya, namun mereka agak curiga dan tidak percaya. Walau si
pemuda tidak unjuk rasa bangga atau senang, tapi di hadapan tujuh jago top dunia
persilatan masa kini, sedikit pun dia tidak unjuk kerendahan dirinya, dia hanya
tersenyum tak acuh, lalu tutup mulut lagi.
Tiba-tiba Hoa-san-giok-li Liu Giok-ji berkata, "Cianpwe mengundang kami kemari,
entah ada petunjuk apa?"
Pakaiannya serbaputih laksana salju, lehernya dibalut selendang bulu rase warna
putih juga sehingga kelihatan lebih anggun dan molek, membikin orang mabuk
melihatnya.
"Pertanyaan nona Liu memang tepat," ujarnya si kakek tinggi, "memang ada suatu
urusan, maka kuundang kalian kemari, akan kuminta bantuan kalian untuk ikut
menanggulanginya."
Bola mata Liu Giok-ji mengerling tajam, katanya dengan tersenyum manis, "Kami
tidak berani menerima permohonanmu, ada soal apa silakan Li-locianpwe jelaskan
saja."
"Asal mula persoalannya, kukira kalian juga sudah tahu," demikian ucap si kakek
tinggi. "Tapi supaya kalian maklum, terpaksa kujelaskan lagi ...." ia merandek sejenak,
"Seolah-olah sudah menjadi tradisi sejak dulu, setiap tiga belas tahun pasti terjadi
sekali huru-hara di dunia persilatan! Sembilan tahun yang lalu pernah terjadi pula
huru-hara yang menggemparkan, dalam jangka waktu empat bulan ada enam belas
perguruan silat baru muncul di kalangan Kangouw, dihitung rata-rata setiap bulan ada
terjadi sembilan puluh empat pertandingan atau duel maut, seratus delapan puluh
pertikaian berdarah dan rata-rata ada sebelas orang yang menjadi korban, entah
berapa banyak pula yang gugur tanpa diketahui ...." sampai di sini dia menghela
napas panjang, "Padahal kekacauan yang terjadi di Bu-lim itu satu dengan yang lain
mempunyai alasan yang serupa, tapi sejak musim dingin tahun itu, kejadian justru
tambah kacau, semakin porak-poranda."
Karena membayangkan peristiwa masa lalu yang mengenaskan itu, sorot mata kakek
tinggi ini tampak rawan dan guram, agak lama dia termangu lalu menyambung,
"Karena sejak hari raya Tiongciu tahun itu, dalam Bu-lim mendadak tersiar berita yang
amat mengejutkan, katanya Bu-te-po-kam, kitab
yang berisi tujuh puluh dua pelajaran Kungfu luar dalam ciptaan Bu-te Hwesio yang
pernah menggetarkan Bu-lim pada seratus tahun yang lalu, ternyata disembunyikan di
puncak Hui-gan-hong di Heng-san."
Dia minum arak seceguk untuk membasahi tenggorokannya, lalu menyambung,
"Entah dari mana asal mula berita itu, namun Bu-te-po-kam memang teramat menarik
setiap insan persilatan, maka kaum persilatan sama percaya akan kebenaran berita
itu, siapa pun ingin memilikinya. Begitu berita itu tersiar, berbondong-bondong kaum
persilatan datang ke Heng-san, menurut kabar yang tersiar di Kangouw, sepanjang
jalan menuju Heng-san kuda yang mati di tengah perjalanan karena kelelahan ada
ratusan ekor banyaknya. Demikian pula jago Bu-lim yang berhati tamak, bila bertemu
dengan orang yang juga hendak pergi ke Heng-san lantas saling labrak, sebab mati
seorang kan berarti kurang satu saingan dan bertambah kesempatan baginya untuk
merebut Bu-te-po-kam itu. Dan yang paling mengenaskan adalah para pelancong
atau peziarah yang tidak tahu apa-apa, banyak yang ikut menjadi korban teror
orang-orang yang tidak bertanggung jawab."
Sampai di sini ceritanya, wajah Kiau Ngo dan Hoa-sikoh tampak sedih dan haru,
sebaliknya sikap Kim Put-hoan dan Toan-hong-cu tetap tenang saja.
Dengan sedih si kakek tinggi menghela napas, katanya pula, "Akhir bulan sebelas,
salju sudah bertebaran di angkasa, setiap orang berlomba supaya setindak lebih cepat
sampai di Heng-san, meski di tengah jalan melihat mayat saudara, istri atau bapaknya
sekalipun juga tidak dihiraukan, mayat bergelimpangan dibiarkan ditelan salju atau
dibuat pesta pora kawanan serigala. Belakangan baru kutahu jago kosen Bu-lim yang
mati dalam perjalanan ke Hengsan ada seratus delapan puluh lebih, tiga di antaranya
adalah cikal bakal sesuatu aliran. Peristiwa itu telah membuat nama seorang jadi
terkenal, sebab orang ini rela mengorbankan tenaga dan waktunya, sepanjang jalan ia
mengumpulkan mayat serta menguburkannya."
Mendadak Ji Yok-gi menyela, "Apakah orang itu yang dijuluki Ban-keh-seng-hud Ca
Giok-koan?"
"Betul," sahut si kakek jangkung, "pengetahuan Ji-siauhiap ternyata cukup luas ...."
Ji Yok-gi merasa bangga, katanya, "Pernah kudengar cerita guruku, katanya tindak
tanduk Ca-tayhiap sangat jujur dan berbudi luhur, kaum persilatan sama menghormat
dan mengaguminya, sayang sekali ia pun menemui ajalnya dalam peristiwa Heng-san
itu,
malah
kematiannya
amat
mengenaskan,
mukanya
hancur
oleh
Thian-hun-ngo-bian, senjata rahasia paling jahat dan beracun, kepalanya menjadi
sebesar ember .... Ai, agaknya Thian tidak mau melindungi mereka yang baik hati,
sungguh sayang."
Karena dipuji berpengetahuan luas, Ji Yok-gi tambah mencerocos dan apa yang
diketahuinya segera dibeberkan seluruhnya, dia yakin si kakek tinggi akan memberi
pujian pula kepadanya.
Tak tersangka si kakek hanya diam saja, entah berduka atau marah, sesaat
kemudian dia baru berkata perlahan, "Bagi kaum persilatan yang punya sedikit
pengetahuan, waktu itu tentu akan berpikir melulu kekuatan sendiri jelas tak mungkin
bisa merebut Bu-te-po-kam itu, maka tidak sedikit yang berkomplot dan membentuk
kelompok dan mendirikan serikat, orang-orang yang berhati culas dan licik lantas
menghasut dan mengadu domba.
Sebetulnya banyak yang kurang berminat pada nama dan kedudukan, akhirnya
terseret juga oleh kawan atau saudara seperguruan untuk membantu dan terpaksa
terjun dalam pertikaian itu. Maklumlah ada golongan penjahat berhasrat merebut
Bu-te-po-kam itu supaya dapat malang melintang di Kangouw. Demikian pula para
pendekar menjadi khawatir, bila pusaka itu jatuh ke tangan orang jahat, dunia tentu
tidak akan aman, maka mereka saling berlomba untuk merebut pusaka itu dengan
cara masing-masing. Dalam jangka tiga hari, ada dua ratusan jago top dunia
persilatan yang berkumpul di Hui-gan-hong, yang berkepandaian rendah sudah
menemui ajal di bawah puncak, maka yang berhasil mencapai puncak itu jelas adalah
pesilat kelas tinggi."
Agaknya si kakek jangkung memang pandai pidato, rangkaian ceritanya pun menarik,
suaranya mantap bertenaga, terdengar dia melanjutkan, "Jago top persilatan itu
datang dari berbagai penjuru, di antara mereka termasuk Ciangbunjin tujuh aliran
besar, gembong-gembong iblis yang sudah lama mengasingkan diri pun tidak sedikit
jumlahnya. Dua ratusan orang yang terbagi dalam dua puluh tujuh kelompok itu
mengadakan pertempuran atau duel sengit secara bergilir ...."
Sampai di sini dia menghela napas, "Dalam sembilan belas hari itu, puncak Hui-
gan-hong diliputi hawa pedang melulu, tiada burung terbang ke sana atau binatang
berkeliaran, siapa pun dia, betapa tinggi Kungfunya, asal sudah berada di
Hui-gan-hong, maka jangan harap bisa tenteram sekejap pun, sebab setiap gerak
langkah bisa jadi mengundang maut, umpamanya Tiong-ciu-kiam-kek mati pada saat
dia makan, disergap orang. Ban-seng-to Ji-lopiauthau terpenggal kepalanya pada
waktu tidur, maka siapa takkan kebat-kebit menjaga keselamatan sendiri dalam
suasana yang menegangkan itu, sampai makan dan tidur pun menjadi persoalan bagi
mereka.
Pertempuran sengit yang berlangsung beberapa hari, ditambah ketegangan yang
mencekam, banyak menimbulkan tekanan jiwa bagi mereka, orang yang biasanya
berjiwa luhur bukan mustahil bertindak keji dan buas, Giok-hian-cu, Ciangbunjin atau
ketua Heng-san-pay selama lima hari lima malam tidak makan
dan minum, setelah merobohkan enam lawan tangguh, tiba-tiba jadi gila, Ciok-ki
Totiang yang menjadi sahabat kentalnya juga tiba-tiba dibunuhnya, lalu dia terjun ke
dalam jurang mengakhiri hayatnya."
"Prang", tiba-tiba ada cangkir arak jatuh dan pecah, kiranya saking tegang
mendengarkan, tangan Hoa-sikoh jadi gemetar dan cangkir yang dipegangnya
terlepas. Hadirin juga terkesima mendengar cerita itu, suara cangkir pecah yang
mendadak ini pun membikin kaget mereka.
Perlahan si kakek jangkung merapatkan pelupuk matanya, "Setelah bertempur
mati-matian selama sembilan belas hari, dua ratus jago kosen di Hui-gan-hong
tinggal sebelas orang saja yang masih hidup, nama sebelas orang ini pun terluka
parah, Lwekang dan Kungfu mereka tidak lagi bertahan seperti semula. Jago inti
seluruh Bu-lim boleh dikatakan telah gugur dalam peristiwa itu.
Selama lima ratusan tahun, tidak jarang terjadi pertempuran besar-kecil di kalangan
Kangouw, tapi korban yang jatuh paling besar terjadi pada peristiwa Heng-san itu."
Sampai di sini ceritanya, matanya yang terpejam tampak cucurkan dua baris air
mata.
Perlu diketahui bahwa kakek tinggi ini dulu bergelar Put-pay-sin-kiam (pedang sakti
tak terkalahkan) Li Tiang-ceng, sementara orang tua sakit itu adalah Thianki-te-ling
(bumi sakti rahasia alam), Jin-tiong-ci-kiat (manusia genius di antara sesama) Ki Ti,
dan si berewok Khi-tun-to-gu (kalau marah menelan kerbau) Lian Thian-hun, ketiga
orang tua ini mengangkat saudara.
Mereka adalah tiga orang di antara kesebelas orang yang masih hidup dalam
peristiwa Heng-san itu. Betapa seram dan mengerikan kejadian masa itu, sampai
sekarang masih mengirik bila mengenang dan membicarakannya.
Agak lama keadaan pendopo itu menjadi sunyi, akhirnya Li Tiang-ceng bersuara pula,
"Yang paling menyakiti hati adalah kejadian itu sendiri hakikatnya hanyalah suatu tipu
muslihat belaka. Aku bersama Ki-toako, Lian-samte, Hong-hoat Taysu dari Siau-lim,
Thian-hian Totiang dari Bu-tong, dan pendekar besar sakti Kiu-ciuong Sim Thian-kun
akhirnya tiba di gua tempat penyimpanan pusaka itu. Kala itu kami berenam sudah
kehabisan tenaga, dengan kekuatan kami baru berhasil menggeser batu besar yang
menyumbat mulut gua, ternyata gua itu kosong melompong, di atas dinding tertulis
huruf besar warna merah darah yang berbunyi: 'KALIAN TERTIPU' ...."
Kejadian sudah beberapa tahun berselang, tatkala mengucap kedua patah kata itu,
masih terasa betapa penasaran hatinya, suara pun gemetar.
Sambil mendongak dia menghela napas panjang, lalu meneruskan, "Melihat tulisan
besar itu, kecuali Ki-toako, kami jatuh pingsan saking gusar dan penasaran. Waktu
aku siuman kembali, kudapati Sim-tayhiap dan Hong-hoat Taysu ternyata sudah ...
sudah mati di dalam gua .... Ternyata kedua pendekar besar ini amat malu dan
kecewa, mengingat korban yang jatuh sebanyak itu, mereka sedih bukan main,
akhirnya menumbukkan kepala ke dinding dan mati seketika dengan kepala pecah,
luka Thian-hian Totiang paling parah, sekuat tenaga dia meronta meninggalkan
tempat itu kembali ke Bu-tong-san, sayang lukanya tak bisa disembuhkan akhirnya ia
pun meninggal. Tinggal kami tiga bersaudara ... kami masih tamak hidup sampai
sekarang ...." suaranya tersendat tak mampu meneruskan ceritanya pula.
Dari berita yang tersiar di kalangan Kangouw, para hadirin sudah tahu akan kejadian
itu, kini mendengar ulang cerita itu dari mulut orang yang langsung bersangkutan
dengan peristiwa itu, tak urung mereka sama terbeliak, pemuda rudin itu pun
tertunduk lesu sambil memejamkan mata.
Mendadak si Singa Jantan Kiau Ngo menggebrak meja, serunya, "Mati-hidup adalah
suratan takdir, namun ada perbedaan enteng dan beratnya. Bahwa Lilocianpwe
masih hidup, namun harus menanggung tugas kewajiban seberat gunung, mana
boleh diartikan sebagai tamak hidup. Bila Li-locianpwe juga gugur dalam peristiwa
Heng-san itu, sekarang Jin-gi-ceng mana bisa berdiri untuk membela dan
menegakkan keadilan di dunia Kangouw."
Li Tiang-ceng menghela napas, ujarnya, "Dalam tragedi di Heng-san itu, meski
golongan putih dan aliran hitam banyak yang gugur namun jago-jago kelas dua dari
aliran putih, sembilan di antara sepuluh juga ikut gugur, orang-orang golongan hitam
kebanyakan licin dan licik, melihat situasi tidak menguntungkan, tidak sedikit yang
mengundurkan diri dari pertarungan sengit itu, maka pihak mereka sedikit yang jatuh
korban, hingga yang jahat lebih kuat dari kaum pendekar, bila situasi dunia persilatan
berubah jadi begini, bukankah dosa kami bertiga akan bertambah besar? Karena itu,
bersama Ki-toako kami gunakan upah besar untuk menghukum dan membekuk
durjana-durjana besar itu, kuyakin usaha kami tadi bukan saja akan membakar
semangat kaum pendekar, bagi kalangan hitam mereka, demi memperoleh upah
besar itu, tentu mereka juga akan saling bunuh sendiri."
Hoa-sikoh menghela napas, katanya, "Ki-locianpwe memang tidak malu dipandang
sebagai orang pintar nomor satu dalam dunia persilatan."
"Akan tetapi untuk menunjang usaha besar ini kami memerlukan dana yang besar,
kami bertiga telah mondar-mandir ke sana kemari untuk mencari dana dan donatur,
delapan belas keluarga besar yang kaya raya bersedia merogoh kantongnya, namun
jumlahnya masih terbatas. Syukurlah keturunan Kiu-ciu-ong Sim-tayhiap suruh orang
menjual seluruh harga peninggalan pendekar besar itu
dan diantar kemari. Sim-tayhiap berasal dari keluarga bangsawan, punya kedudukan
tinggi di kalangan pemerintahan, dapatlah dibayangkan betapa besar harta
peninggalan keluarganya, kurasa sejak zaman dulu belum pernah ada orang yang
berhati sosial sebesar ini kepada kepentingan kaum Bu-lim."
Singa Jantan Kiau Ngo berkeplok sambil memuji, "Nama besar Sim-tayhiap tersohor
di seluruh jagat, tak nyana anak didiknya ternyata juga berjiwa besar, di mana
sekarang orang itu? Orang she Kiau ingin sekali bersahabat dengan dia."
Li Tiang-ceng menghela napas, ucapnya, "Kami bertiga juga sudah tanya kepada
pengantar harta keluarga Sim itu tentang jejak Sim-kongcu, supaya kami bisa
langsung menyatakan terima kasih kepadanya, tapi orang itu bilang setelah
Sim-kongcu menjual harta benda dan membubarkan keluarga, seorang diri lantas
merantau entah ke mana. Dan yang patut dipuji adalah Sim-kongcu itu masih bocah
berusia belasan tahun, namun sudah punya kesadaran dan berjiwa besar, siapa
takkan kagum dan menaruh hormat kepadanya."
Hoa-san-giok-li Liu Giok-ji menghela napas, katanya, "Entah gadis siapa dapat
menikah dengan pemuda seperti dia, tidak sia-sialah hidupnya ...."
Giok-bin-yau-khim Sin-kiam-jiu Ji Yok-gi menceletuk dengan nada dingin, "Pemuda
gagah perkasa yang dermawan seperti ini, tidak cuma Sim-kongcu saja."
Liu-Giok-ji melirik hina, jengeknya, "Apa kau pun termasuk di antaranya?"
Pemuda rudin tertawa dan menceletuk, "Sudah tentu Ji-heng ini termasuk satu di
antaranya."
Ji Yok-gi mendelik gusar, semprotnya, "Memangnya kau setimpal memanggilku
Ji-heng?"
"Ya, ya, tidak setimpal, maaf, maaf ...." pemuda miskin itu tertawa geli.
Liu Giok-ji melirik si pemuda, jengeknya, "Lelaki tak berguna, sungguh memalukan
kaum lelaki saja."
Tapi pemuda itu anggap tidak mendengar. Sebaliknya alis Singa Jantan Kiau Ngo
berkerut, agaknya dia ingin membela. Demikian pula Hoa-sikoh mengerling tajam ke
arah si pemuda, sorot matanya tampak kagum dan memuji.
Sebelum orang lain bicara pula, Li Tiang-ceng berdehem sekali, lalu berkata, "Sudah
sembilan tahun kami tiga bersaudara menguasai Jin-gi-ceng. Selama sembilan tahun
ini, musuh yang menyerbu kemari ada ratusan kali, sembilan dari sepuluh bagian
Kungfu kami bersaudara telah lenyap, kalau tidak dibantu oleh
para sahabat dan pembantu setia terutama Leng-keh-heng-te (saudara keluarga
Leng), Jin-gi-ceng mungkin sejak lama sudah bubar. Upah yang telah dikeluarkan oleh
Jin-gi-ceng ada puluhan laksa tahil, tapi modal utama yang berhasil kami kumpulkan
sejak mula belum pernah berkurang sepeser pun, semua ini berkat usaha Leng-jite
yang pandai mengatur dan berdagang, setahun penuh dia mondar-mandir keluar,
keuntungan sudah cukup untuk biaya pengeluaran sehari-hari.
Ketiga saudara ini bekerja keras, bukan saja mereka tidak mengejar nama dan
pangkat, juga tidak memikirkan keuntungan pribadi, bahwa Jin-gi-ceng dapat tegak
berdiri seperti sekarang juga berkat tunjangan mereka. Kami bertiga justru hanya
membonceng keberhasilan mereka saja, kalau dibicarakan sungguh memalukan dan
harus disesalkan."
"Li-locianpwe terlalu merendah ...."ujar Liu Giok-ji. "Engkau malam ini mengundang
Wanpwe kemari, entah ada petunjuk apa?"
"Bahwa pusaka terpendam di Heng-san dulu hanya merupakan muslihat, tapi setelah
peristiwa Heng-san itu memang diketahui harta peninggalan yang tak ternilai
banyaknya."
Kim Put-hoan terbeliak, serunya, "Harta apa?"
"Dua ratus jago kosen yang mampu naik ke Hui-gan-hong semua adalah orang-orang
ternama, Kungfu mereka berbeda, orang-orang itu tahu setelah mencapai tempat
tujuan, harapan hidup kemungkinan sangat tipis, khawatir Kungfu sendiri putus
turunan, maka tidak sedikit yang telah meninggalkan buku catatan tentang pelajaran
silat dan harta benda yang mereka miliki, padahal di antara mereka banyak yang tidak
punya murid atau keturunan, bila punya keturunan juga sudah gugur di tengah
perjalanan, maka menjadi masalah bagi mereka kepada siapa harus menyerahkan
warisannya itu, akhirnya mereka menyembunyikan peninggalan itu di suatu tempat
rahasia, jika diri sendiri kelak tidak bisa mengambilnya, biarlah ditemukan oleh siapa
saja yang berjodoh ....
Waktu itu nama Ban-keh-seng-hud Ca Giok-koan sedang tenar-tenarnya, kaum
persilatan sama memuji tindakannya yang gagah dan bajik, apalagi biasanya Ca
Giok-koan memang suka bersahabat dan tidak kikir mengeluarkan duit, para kesatria
ternama di kalangan Kangouw tidak sedikit yang bersahabat dengan dia, maka pada
waktu menyembunyikan barang peninggalan mereka, siapa pun tiada yang
merahasiakan hal ini di hadapannya, malah banyak yang sengaja menunjukkan
tempat penyimpanan peninggalan itu kepadanya, jika mereka mati mereka titip
supaya peninggalannya itu diatur semestinya."
Li Tiang-ceng menghela napas pula, lalu menyambung, "Setelah tragedi Hengsan itu,
di antara sebelas orang yang masih hidup juga ada tujuh orang yang
pasrahkan peninggalan mereka kepada Ca Giok-koan. Bahwa akhirnya mereka
masih hidup sudah tentu akan mengambil pulang barang peninggalan mereka itu, tak
nyana setiba mereka di tempat penyimpanan, barang mereka itu sudah hilang. Di
tempat penyimpanan itu mereka hanya menemukan secarik kertas kecil dan tertulis
dua huruf 'kalian tertipu'."
Rentetan peristiwa akibat tragedi di Heng-san itu ternyata merupakan rahasia yang
belum diketahui orang banyak, maka hadirin sama tersirap darahnya, seru Ji Yok-gi
dengan tergagap, "Tapi ... bukankah Ca-cianpwe sudah mati keracunan ...."
"Tiada orang yang menyaksikan bahwa Ca Giok-koan benar-benar sudah mati, bukan
mustahil dia sengaja mencopot baju sendiri dan dipakaikan pada mayat orang lain,
apalagi, setelah Ki-toako memerhatikan gaya tulisannya, huruf 'kalian tertipu' itu
ternyata mirip dengan tulisan tangan Ca Giok-koan, lalu kami menyelidiki lebih cermat
tentang berita adanya pusaka terpendam di Hui-ganhong di Heng-san itu, enam orang
di antara sepuluh orang mendengar berita itu dari mulut Ca Giok-koan. Para jago
kosen Bu-lim itu percaya kepada Ca Giokkoan, maka di luar sadar mereka berita itu
tersiar semakin luas dan santer di luaran, makin luas juga makin terasa benar."
Terunjuk rasa gemas pada wajahnya, katanya pula, "Agaknya dia sudah lama
merencanakan siasat licik ini, bahwa dia berbuat demikian, bukan saja bisa
menghancurkan kekuatan Bu-lim hingga dia dapat merajai dunia persilatan, sekaligus
menjadikan berbagai ilmu silat kelas tinggi yang waktu itu menjagoi dunia persilatan
selanjutnya putus turunan, sebaliknya dia yang memperoleh peninggalan ilmu silat
dan harta tokoh-tokoh besar itu, mendapat rezeki nomplok dan malang melintang di
jagat ini dan tiada yang mampu menandingi dia. Selama beberapa tahun ini, dia tidak
pernah muncul, tentunya sedang memperdalam dan mempelajari berbagai Kungfu
aliran-aliran besar itu. Kuyakin dalam waktu dekat ini bila latihannya sudah sempurna,
pasti dia akan keluar kandang."
Mencelus perasaan semua orang, siapa pun tak berani buka suara.
Akhirnya Thian-hoat Taysu dari Ngo-tay-san angkat bicara, "Kalau betul demikian
kejadiannya, maka Ca Giok-koan sungguh terhitung manusia durjana dan laknat di
kalangan Bu-lim. Namun semua ini tanpa bukti, jelas tidak mungkin menuduh biang
keladi dari tragedi itu adalah Ca Giok-koan, entah Li-locianpwe sependapat tidak
dengan pendapatku ini?" suaranya kalem tapi lantang, pendapatnya adil dan jujur,
sejak Hong-hoat Taysu dari Siau-lim gugur, memang tidak malu dia dianggap sebagai
padri agung nomor satu di Bu-lim masa kini, nama besarnya sekarang sudah lebih
unggul daripada Ciangbunjin Siau-lim-pay Jin-sim Taysu.
"Bagus sekali uraian Taysu, bagus sekali. Itulah salah satu sebab kenapa kami
mengundang kalian berkumpul di sini .... Tiga tahun kemudian kami mengetahui
munculnya seorang aneh di luar perbatasan Giok-bun-koan, jejak orang ini tidak
tentu, jahat atau baik tidak pasti. Yang menarik perhatian adalah orang ini membekal
inti ilmu silat dari berbagai aliran terkemuka, setiap kali turun tangan selalu berbeda
jurus serangannya, pernah orang menyaksikan, sekaligus dia melancarkan ilmu silat
ajaran Bu-tong, Siau-lim, Go-bi, Kong-tong dan Kun-lun, lima aliran besar yang tidak
pernah diwariskan kepada sembarangan orang, padahal Ciangbunjin kelima aliran
besar sendiri juga belum pernah mempelajari ilmu yang dia mainkan itu."
Hadirin saling pandang, perasaan tertekan, darah tersirap.
"Dan lagi sepak terjangnya teramat luar biasa, hidupnya mewah, suka berfoyafoya,
setiap perjalanannya selalu diikuti ratusan pembantu, biaya yang dikeluarkan dengan
sendirinya sangat besar, setiap hari mendekati sepuluh ribu tahil perak. Sejak muncul
tiada orang tahu nama dan asal usulnya, jarang orang tahu di mana tempat tinggalnya
yang pasti, hanya jelas bahwa dia datang dari luar perbatasan, di sana dia
mengumpulkan manusia jahat sebagai komplotannya, sekarang kekuatannya makin
melebar, kabarnya sudah merembes ke daerah Tionggoan, agaknya berambisi
mencaplok dunia ini."
"Mungkinkah orang itu Ca Giok-koan adanya?" tanya Ji Yok-gi.
"Begitu orang muncul, Ki-toako sudah curiga bahwa orang itu mungkin Giokkoan,
orang segera kami sebarkan untuk menyelidiki jejaknya dan mencari tahu asal
usulnya, tidak sedikit bahan yang kami terima tentang riwayat hidup Ca Giok-koan,
semakin banyak bahan yang berhasil dikumpulkan, semakin besar keyakinan kami
bahwa orang itu memang patut dicurigai, tapi juga menakutkan."
"Betul," ucap Thian-hoat Taysu setelah merenung sejenak, "orang-orang di seluruh
jagat sama tahu jiwa pendekar Ban-keh-seng-hud Ca Giok-koan, tapi bagaimana
sejarah riwayat hidupnya sebelum dia ternama, jarang ada yang tahu."
"Mungkinkah ketenaran namanya itu juga merupakan muslihat keji?" cetus Ji Yok-gi
pula.
Kata Li Tiang-ceng, "Kami telah menghabiskan lima puluh laksa tahil perak,
mengerahkan ribuan orang, akhirnya berhasil juga membentuk suatu ikhtisar riwayat
hidupnya. Baru saja kami selesai menurut catatan hasil penyelidikan kami itu, boleh
silakan kalian memeriksanya dulu, lalu dirundingkan lagi bersama."
Dia lantas menggantung segulung kertas di atas dinding dan membeberkan ke
bawah, habis itu dia berpaling keluar jendela, agaknya dia berjaga-jaga bila ada
orang yang tidak berkepentingan mendadak menerjang masuk.
Saat itu si kacung kecil berbaju hijau berjalan masuk membawa pensil dan kertas
serta dibagikan kepada kedelapan tamu.
Gulungan kertas itu terdiri dari dua lembar, lebarnya lebih setombak, bentuknya mirip
lukisan, pigura keluarga bangsawan yang sering menghiasi ruang tamu. Di atas
kertas penuh tertulis huruf kecil. Yang sebelah kiri begini bunyinya:
Nama: Sebelum berumur dua puluh bernama Ca Liang, dua puluh sampai dua puluh
enam bernama Ca Ing-bing, dua puluh enam sampai tiga puluh tujuh bernama Ca
Lip, setelah tiga puluh tujuh bernama Ca Giok-koan.
Asal usul: Ayah bernama Ca It-ping, hartawan besar di Ok-tiong, ibunya bernama Li
Siau-jui, gundik ketujuh Ca It-ping, punya enam belas saudara, Ca Giok-koan adalah
yang termuda. Sejak kecil sudah kelihatan cerdas, suka menirukan suara orang maka
dia fasih berbahasa banyak daerah, sejak ternama mengaku sebagai orang asal
Tiongciu dan semua orang percaya. Waktu Ca Giok-koan berusia empat belas, tiga
puluh orang anggota keluarganya mati secara misterius dalam sehari, Ca Giok-koan
mewarisi harta kekayaan orang tuanya, maka dia bebas bergaul dan bersahabat
dengan komplotan Wan-yang Oh-tiap-pay, komplotan penjahat yang sering
merampok, membunuh dan memerkosa, tiga tahun kemudian warisan keluarganya
ludes untuk foya-foya, sejak itu Ca Giok-koan mencukur rambut menjadi Hwesio.
Perguruan: Usia tujuh belas masuk biara Siau-lim menjadi padri pencari kayu bakar
dan dipekerjakan di dapur, karena mencuri belajar Kungfu akhirnya diusir dari
perguruan. Usia dua puluh karena kemahiran bicaranya dia mendapat kepercayaan
Thian-lam-it-kiam Su Siong-siu, Pangcu dari Cap-ji-lian-hoan-oh (dua belas
pelabuhan) dan diterima sebagai murid, selama enam tahun belajar, Ca Giok-koan
mengadakan hubungan gelap dengan gundik gurunya, suatu ketika menyikat harta
simpanan Su Siong-siu dan minggat bersama gundik gurunya. Saking gusar Su
Siong-siu mengerahkan seluruh anggotanya untuk mengejar jejaknya, karena
terdesak, terpaksa Ca Giok-koan lari keluar perbatasan, gundik gurunya, Kim-yan,
diserahkan kepada Sek-mo (iblis cabul) Jit-sim-ang sebagai upeti untuk dapat diterima
dalam perguruan baru ini, dalam waktu sepuluh tahun ternyata dia berhasil
meyakinkan Kungfu Jit-sim-pay dengan sempurna. Waktu itu Jit-sim-ang juga mati
mendadak, maka Ca Giokkoan kembali ke Tionggoan, kini dia muncul sebagai
pendekar berbudi luhur yang rela berkorban demi membantu orang lain, pertama dia
merangkul orang-orang gagah di daerah kedua sungai besar, Cap-ji-lian-hoan-oh
berhasil disikatnya habis, Thian-lam-it-kiam terbunuh hingga namanya terkenal."
Wajah: Mukanya putih bersih seperti batu giok (jade, kemala) ujung alisnya agak
melambai ke bawah, hidungnya seperti paruh elang, bibir tebal, nafsu berahinya
besar, dua ujung bibir terdapat tahi lalat kecil, tepat di tengah alisnya terdapat uci-uci,
pandai berdandan, suka mengenakan pakaian mutakhir dengan potongan badan yang
atletis, suka warna ungu. Kedua tangannya mulus terpelihara baik seperti tangan
orang perempuan, jari tengah mengenakan cincin emas bermata zamrud, setiap
bicara suka menggerakkan tangan untuk memamerkan kebersihan dan keindahan
tangannya.
Hobi: suka minum arak, makan bakmi dengan iringan arak Mo-tay, Ko-liang dan
Tik-yap-ceng yang keras. Hidangan yang digemari adalah panggang keong sawah,
tiram goreng atau daging ular, daging babi pantang makan. Mahir menunggang kuda,
sering seorang diri mencongklang kuda sekencang angin hingga kuda mati di bawah
cambukan, suka berjudi, taruhannya besar. Suka berburu, terutama memburu wanita
cantik, nafsunya terlalu besar, setiap malam takkan puas sebelum tidur dengan dua
orang perempuan.
Ciri-ciri: Mahir bicara dan pidato, pandai menyelami perasaan orang, tokoh ternama
akan merasa rugi bila tidak bersahabat dengan dia, bila bicara selalu tersenyum,
habis membunuh orang pasti mencuci bersih kedua tangannya, senjata yang
digunakan bisa ternoda darah terus dibuang, mahir menggambar dan ahli
tulis-menulis.
Dalam gulungan kertas ini memuat riwayat singkat Ca Giok-koan, hidupnya memang
banyak gaya ragamnya, para hadirin sama berubah air mukanya demi membaca
riwayat hidupnya ini.
Sementara tulisan pada sebelah kanan berbunyi:
Nama: Penduduk di luar perbatasan Giok-bun-koan biasa memanggilnya "Hoan-
hi-ong" (raja gembira), nama aslinya tidak jelas.
Asal usul: Tidak jelas.
Perguruan: Tidak jelas, namun mahir Kungfu berbagai aliran yang biasanya
dirahasiakan.
Wajah: Alisnya melambai ke bawah, memelihara jenggot, hidungnya bengkok, suka
berdandan, setiap hari ada juru rawat yang menyisir rambut dan jenggotnya,
perawakan tinggi, pakaiannya pilihan, hidupnya mewah, kalau bicara suka mengelus
jenggot-jenggotnya, mulus tangannya indah, jari tengah tangan kiri mengenakan tiga
cincin emas bermata zamrud, cincin itu merupakan senjata kemahirannya.
Hobi: Ukuran minumnya cukup mengejutkan, suka hidangan yang aneh-aneh,
pantang daging babi, setiap perjalanan selalu dikerumuni perempuan cantik. Sering
berjudi dengan hartawan besar atau buaya darat yang berkuasa dengan taruhan
besar.
Ciri-ciri: Pandai bicara, suka tertawa, royal dan suka menjamu tamu, biaya hidupnya
sepuluhan ribu tahil setiap hari, suka menjaga kebersihan, tidak peduli siapa pun
tamunya bila kelihatan kotor kontan diusirnya. Pengikutnya ada tiga puluh enam
pasukan kilat, semua adalah pemuda-pemuda kekar yang mahir menunggang kuda,
bersenjata pedang, jurus ilmu pedangnya hanya tiga belas permainan, tapi gerak
tipunya teramat keji dan lihai, meski jago Bu-lim yang paling kosen juga jarang yang
mampu melawan ketiga belas jurus ilmu pedangnya.
Di samping itu terdapat pula empat duta besar yang merupakan orang kepercayaan
Hoan-hi-ong yang disebut duta arak, duta warna, duta harta, dan duta hawa. Mereka
adalah anak buah Hoan-hi-ong yang paling dipercaya, jarang berada di sampingnya
karena keempat duta ini masing-masing mengemban tugas istimewa.
Duta arak bertugas mencari arak bagus, arak mahal, arak yang jarang ada di dunia
ini. Duta warna bertugas mengumpulkan perempuan cantik. Duta harta mengurus
kekayaan dan mencari dana untuk biaya hidup sehari-hari. Hanya duta hawa saja
yang selalu berada di kiri-kanan Hoan-hi-ong, bila orang berani kurang ajar di
hadapan Hoan-hi-ong, duta hawa akan segera memenggal kepalanya. Keempat duta
punya tabiat yang berlainan dan aneh, memiliki Kungfu tinggi yang tidak terukur
lihainya.
Habis membaca data-data yang tercantum di atas kertas itu, para hadirin sama duduk
terlongong, sampai sekian lama mereka mulai mencatat di atas kertas yang diterima
masing-masing.
Akhirnya Li Tiang-ceng berkata pula dengan suara berat, "Apakah kalian sudah
melihat titik terang persamaan antara kedua orang ini?"
Ji Yok-gi suka jual lagak, dia mendahului bicara, "Ada tiga belas titik persamaan dari
kedua orang ini. Wajah putih, alis melambai, hidung bengkok, perawakan tinggi,
tangan bagus, pakaian mewah, suka minum arak, gemar paras ayu, suka judi,
senang hidangan aneh-aneh, pantang daging babi, jari tangan mengenakan cincin
berbatu, bila bicara disertai gerakan tangan ... mengelus jenggot juga termasuk gerak
tangan bukan?" sekaligus dia sebutkan ketiga belas persamaan itu, maka wajahnya
menampilkan rasa bangga.
Tak tersangka Hoa-san-giok-li Liu Giok-ji tiba-tiba menceletuk dengan dingin, "Masih
ada dua hal yang belum kau sebut."
"Dua hal apa?" tanya Ji Yok-gi sambil berkerut kening.
"Bibir Ca Giok-koan tebal dan ada tahi lalat di ujung bibirnya, Hoan-hi-ong justru
memelihara jenggot. Di tengah alis Ca Giok-koan ada uci-uci, di tengah alis
Hoan-hi-ong ternyata terdapat bekas luka. Kedua tanda ini kelihatannya tidak ada
persamaannya, tapi bila mau diperhatikan orang akan tahu persamaannya. Dan lagi
kedua orang sama-sama suka bicara dan tertawa, suka bersahabat dan bergaul,
maka
gampang
sekali
menemukan
titik
persamaannya,
aku
segan
membicarakannya," demikian tutur Liu Giok-ji.
Merah muka Ji Yok-gi, katanya, "O, apa betul begitu?" segera dia berpaling sambil
angkat cangkirnya dan menenggak habis isinya, melirik pun dia tidak sudi kepada Liu
Giok-ji.
"Apa yang dibeberkan Ji-siauhiap memang benar, nona Liu juga sangat cermat. Tapi
kecuali semua itu, masih banyak persoalan lain yang perlu diperhatikan," ujar Li
Tiang-ceng.
Wajah Liu Giok-ji jadi merah, "O ... apa iya?"
"Kalian boleh periksa, semua orang yang ada hubungan dekat dengan Ca Giokkoan,
baik ayah bunda atau saudara kandung juga tidak terkecuali, kematian mereka selalu
terjadi secara misterius, kuyakin pasti ada sangkut pautnya dengan perbuatan Ca
Giok-koan, dari sini dapat kita menilai bahwa dia berjiwa kejam dan keji. Sejak
terjadinya tragedi di Heng-san, tidak sedikit pelajaran silat dan harta benda yang
diperoleh Ca Giok-koan, Hoan-hi-ong kaya raya dan mahir berbagai cabang ilmu silat.
Bahwa Ca Giok-koan berani meracun mati orang tua dan sanak saudaranya sendiri,
mengkhianati perguruan dan mendurhakai guru, sampai teman tidur juga dia rebut
dari tangan orang lain, lalu diberikan pula kepada orang lain lagi, menjual teman
adalah soal sepele baginya," nada bicara Li Tiang-ceng masih keras, sorot matanya
beringas, "dari berbagai persamaan yang meyakinkan ini, masuk di akal kalau kita
berkesimpulan bahwa Ca Giokkoan adalah Hoan-hi-ong dan Hoan-hi-ong adalah Ca
Giok-koan."
Setelah para hadirin ikut menganalisis data-data itu, mereka pun sependapat,
akhirnya Thian-hoat Taysu mengangguk, katanya sambil merangkap kedua tangan,
"Orang ini suka foya-foya, nafsunya besar, kelak pasti akan mati terbakar oleh
perbuatan sendiri."
"Taysu memang betul," ucap Li Tiang-ceng, "justru karena orang ini mengidap nafsu
yang luar biasa, maka tidak segan-segan dia melakukan kejahatan yang mendirikan
bulu roma. Kalau kita menunggu dan membiarkan dia mampus karena ganjaran
perbuatannya sendiri, rasanya terlalu lama dan akan terlambat, entah berapa banyak
jiwa manusia akan menjadi korban kekejamannya lagi."
Thian-hoat Taysu manggut-manggut, ia menghela napas dan tidak bersuara lagi.
"Bahwa kami mengundang kalian kemari adalah karena ingin mohon bantuan kalian
untuk membongkar rahasia orang itu. Orang itu memang terlampau jahat, kejam dan
berbahaya, tapi kalian adalah jago top dunia persilatan, kalau kalian sudi bekerja sama
dan bantu-membantu, kurasa tidak sukar melenyapkan bisul bencana di kemudian
hari." Setelah Li Tiang-ceng mengutarakan maksudnya, suasana pendopo tetap sunyi,
wajah mereka kelihatan suram dan perasaan tertekan, ada yang tertunduk, ada yang
menengadah, merenung atau terlongong, ada pula yang berkerut alis sambil
ketuk-ketuk meja dengan jari tangannya.
Sesaat kemudian Kim Put-hoan buka suara, "Umpama kita berhasil menyikat
Hoan-hi-ong, lalu harta kekayaannya itu akan jatuh ke tangan siapa?"
Sekilas Li Tiang-ceng meliriknya, katanya tersenyum, "Harta miliknya itu kebanyakan
hasil tidak halal, setelah dia mati berarti tiada pemiliknya, adalah pantas kalau
dibagikan kepada kalian sama rata."
"Hanya itu saja? Tidak ada yang lain?" tanya Kim Put-hoan.
"Kecuali itu Jin-gi-ceng juga menyiapkan upah sebesar sepuluh laksa tahil perak."
Kim Put-hoan tertawa, katanya sambil menggosok telapak tangan, "Kalau begini
urusan ini dapat dipertimbangkan."
Segera dia habiskan arak serta menelan sepotong daging.
Kiau Ngo menjengek hina, katanya, "Kiranya manusia tamak yang merah matanya
bila melihat uang, mungkin setelah mampus juga masih minta uang."
Kim Put-hoan tertawa lebar, mulutnya berkecap-kecap, serunya, "Ah, terima kasih
atas pujianmu."
Giok-bin-yau-khim Ji Yok-gi sejak tadi melamun dengan menengadah, pembicaraan
orang seperti tidak diperhatikannya, tiba-tiba dia bergumam, "Soal ini memang
serbasulit, tapi inilah kesempatan baik untuk angkat nama ...." mendadak dia gebrak
meja dan berteriak, "Baiklah, siapa berhasil membunuh Hoan-hi-ong, sepantasnya
dianugerahi gelar jago nomor satu."
"Umpama benar demikian, gelar jago nomor satu juga tidak bakal kau rebut,"
demikian ejek Liu Giok-ji.
"Apa iya? .... Hehehe!" Ji Yok-gi menyeringai, akhirnya dia termenung pula.
Suasana dalam pendopo kembali hening, akhirnya Toan-hong-cu, pimpinan
Hian-toh-koan dari Cengsia bergelak tertawa sambil mendongak, "Lucu, lucu,
menggelikan, sungguh menggelikan!"
Dia bergelak tertawa, tapi mukanya tetap kaku dingin, suara tertawanya juga bernada
menggoda.
"Entah adakah hal yang kurang benar sehingga Totiang tertawa?" tanya Li
Tiang-ceng.
"Apakah Anda menghendaki orang-orang ini bekerja sama dan bersatu padu?" tanya
Toan-hong-cu.
"Begitulah maksud kami," sahut Li Tiang-ceng.
Toan-hong-cu menyeringai, katanya, "Coba lihat para orang gagah ini, kalau bukan
kemaruk harta tentu gila pangkat, adakah di antaranya pernah memikirkan
kepentingan umum? Jika menginginkan orang-orang ini bekerja sama, hehehe,
kurasa jauh lebih sukar daripada mencampur minyak dengan air."
Li Tiang-ceng menghela napas sambil mengerut alis, lama dia bungkam.
Akhirnya Kiau-jiu-lan-sim Hoa-sikoh yang banyak akalnya buka suara dengan
tersenyum, "Apa yang dikatakan Toan-hong Totiang memang beralasan, tapi kalau
dikatakan di sini tiada orang yang memikirkan kepentingan umum, kurasa
pendapatnya kurang objektif, jangankan orang lain, umpamanya Kiau-ngoko kita ini,
biasanya suka membantu orang kecil dan menegakkan kebenaran, kapan dia pernah
bekerja untuk kepentingan sendiri?"
"Hm, hmk ...." Toan-hong-cu hanya mendengus beberapa kali dengan mata mendelik.
"Apalagi ...." Hoa-sikoh meneruskan pidatonya, "umpama betul setiap orang hanya
memikirkan kepentingan pribadinya, tapi bila urusan menyangkut untungruginya,
bukan mustahil akan tiba saatnya mereka akan bersatu padu."
"Pendapat Hoa-sikoh memang lain daripada yang lain," puji Li Tiang-ceng.
Mendadak dilihatnya Thian-hoat Taysu berdiri, serunya bengis, "Manusia sejenis Ca
Giok-koan memang pantas dibunuh, aku sendiri tidak akan mundur setapak pun
dalam usaha mulia ini, tapi jika aku harus bekerja sama dengan orang-orang ini, tak
usah saja. Maaf, kumohon diri!" sambil mengebas lengan baju dia siap tinggal pergi.
Pada saat itulah terdengar derap kaki kuda yang ramai dengan suara keleningan
kuda, cepat sekali tiba di luar perkampungan, tapi tidak berhenti, agaknya kuda dan
penunggangnya terus menerobos ke dalam pintu gerbang.
Serta-merta Thian-hoat Taysu menghentikan langkahnya, air muka para hadirin pun
berubah, serempak mereka bergerak, seperti berlomba lari saja mereka berlari ke
depan pintu.
Ilmu silat Li Tiang-ceng sudah surut karena luka-lukanya dulu, ternyata gerakannya
masih cukup gesit dan tidak mau kalah dari yang lain, sambil mendorong pintu
selangkah dia lebih cepat menerobos keluar. Serunya dengan suara kereng, "Orang
dari mana yang berkunjung ke perkampungan kami?"
Belum habis dia bicara, tertampak delapan ekor kuda menerobos masuk ke
pekarangan dalam, kedelapan ekor kuda semua tinggi dan gagah, berwarna cokelat
gilap, mesti hawa amat dingin, kelihatannya kuda-kuda itu bergerak dengan tangkas,
penunggangnya berseragam hitam ketat, mengenakan topi bambu dan berikat
pinggang sutera kuning, mengenakan mantel berbulu warna hijau, kaki dibalut lapisan
kulit, bersepatu kain. Alis tebal, kulit muka merah, meski turun salju, tapi sikap mereka
kelihatan gagah dan membusung dada, sedikit pun tidak jeri terhadap apa pun.
Kesembilan orang yang keluar dari pendopo dapat menilai orang, selintas pandang
mereka tahu bahwa kedelapan laki-laki penunggang kuda ini memiliki Kungfu yang
tidak rendah, tentu tidak sembarangan asal usulnya.
Sebelum Li Tiang-ceng memperoleh jawabnya, tiba-tiba angin berkesiur, tahutahu
Leng Sam telah mengadang di depan kuda. Perawakannya tidak besar, tapi dia
mengadang di depan delapan kuda seolah-olah pandang sebelah mata kepada pihak
lawan, dengan dingin dia membentak, "Tidak mau turun, enyah dari sini!"
Suaranya tegas, sikapnya garang, kalau kaget sepantasnya kedelapan orang menjadi
gusar, tak nyana kedelapan orang itu tetap bercokol di atas kudanya tanpa bergerak,
bukan saja tidak mengunjuk rasa kaget atau marah, mereka tetap duduk tegak seperti
patung dengan pandangan lurus ke depan.
Ternyata Leng Sam juga tidak terkejut atau heran, wajahnya tetap kaku, tanpa bicara
lagi, mendadak lengan kirinya terayun, gancunya dengan telak menggantol paha kuda
paling depan. Meski kudanya terlatih baik, mana kuat menahan tarikan gancu, sambil
meringkik kuda itu roboh ke samping, Leng Sam tidak berhenti, kontan kakinya
menendang, tendangannya tampaknya sukar mengenai penunggang kuda itu, tapi
entah bagaimana orang itu toh tertendang mencelat jauh, kuda roboh orangnya pun
jatuh.
Kejadian ini terlalu mendadak, betapa cepat gerakan serangan yang dilancarkan
Leng Sam, sungguh secepat kilat.
Jilid 2
Tapi ketujuh kuda dan penunggang yang lain tetap diam bergeming, seperti tidak
mendengar atau melihat kejadian yang dialami rekannya. Sikap diam mereka
sungguh mengejutkan, jika bukan orang yang terlatih baik dan selalu mematuhi
disiplin, mana mereka bisa bersikap setenang ini?
Orang banyak terbeliak kaget. Habis menjatuhkan seekor kuda, Leng Sam bergerak
pula hendak menyikat kuda kedua. Tubuhnya seperti robot saja, tidak punya rasa
kasihan sama sekali, asal dia sudah menangani sesuatu pekerjaan, sebelum beres
tugasnya tidak mau berhenti, peduli apa pun yang akan dihadapinya, tak pernah dia
mundur.
"Tahan!" mendadak Li Tiang-ceng berseru.
Gancu Leng Sam yang terayun seketika berhenti di udara, segera ia mundur tiga
tindak. Sebat sekali Li Tiang-ceng melompat ke depan, katanya dengan suara bengis,
"Saudara datang dari mana? Ada keperluan apa datang ke perkampungan kami?"
Kim Put-hoan segera menceletuk dengan suara dingin, "Setiba di Jin-gi-ceng juga
berani main terjang, tidak turun dari kuda, memangnya kalian mengandalkan pamor
siapa berani kurang ajar di sini?"
Ketujuh laki-laki itu tetap tidak bersuara, tapi dari luar segera berkumandang suara
seorang yang berkata dengan sepatah demi sepatah, "Apa yang kuingin berbuat,
orang lain tidak berhak ikut campur!"
Sombong sekali nadanya, namun suaranya nyaring merdu, semerdu kicau burung
kenari.
Kun Put-hoan segera memicingkan mata, ujarnya, "Aduh merdunya, agaknya
seorang cewek manis!"
Lalu dia berpaling ke arah Ji Yok-gi, katanya dengan tertawa, "Ji-heng, inilah
kesempatan baik bagimu!"
Ji Yok-gi menarik muka, katanya ketus, "Ah, jangan bergurau!"
Tidak urung dia membetulkan topi dan menarik pakaian, sikapnya dibuat segagah
mungkin.
Sementara itu sebuah kereta yang hanya terlihat dalam lukisan masuk ditarik empat
ekor kuda putih, dua lelaki kekar berseragam hitam pegang tali kendali, dua lagi
berpakaian sutera berjalan di sisi kereta.
Li Tiang-ceng berkerut alis, ia diam saja mengawasi kereta itu berhenti di depan
undakan pendopo, akhirnya dia menegur, "Tindakan demikian apa tidak terlalu
lancang?!"
"Peduli apa denganmu?" orang dalam kereta menanggapi dengan ketus.
Meski sabar dan biasanya bisa menekan emosi tak urung kali ini Li Tiang-ceng naik
pitam, serunya gusar, "Apa nona tahu siapa majikan perkampungan ini?"
Ternyata orang di dalam kereta tambah marah, teriaknya keras, "Buka pintu, buka
pintu ... biar aku turun bicara dengan dia."
Dua laki-laki berpakaian sutera hijau yang berdiri di sisi kereta cepat lari ke belakang
dan mengambil sapu dengan gagang bambu panjang, sebelum membuka pintu
kereta mereka menyapu bersih tanah di depan kereta yang menuju ke undakan, lalu
dari dalam kereta keluar dua pelayan cilik berambut dikepang dua dengan
menggotong permadani merah terus digelar di bawah kereta.
Kim Put-hoan berpangku tangan, mata tunggalnya jelalatan, sikapnya seperti orang
ingin menonton keramaian. Sebaliknya Ji Yok-gi melotot, wajah Liu Giok-ji
menampilkan sikap mengejek, ia membatin, "Gadis dari mana berani bertingkah
sekasar ini, berani kurang ajar di Jin-gi-ceng, tentu punya asal usul yang luar biasa,
bagaimana sih tampangnya?"
Soal lain tidak dipedulikan Liu Giok-ji, tapi gadis itu cantik atau tidak akan menjadi
perhatiannya, maka dia pentang lebar matanya mengawasi pintu kereta.
Dalam kereta tiba-tiba berkumandang tertawa keras, seorang bocah cilik setinggi tiga
kaki dengan pakaian serbamerah mendadak melompat keluar sambil tertawa lebar,
tampang dan dandanannya mirip anak perempuan, namun gelak tertawanya jelas
bukan suara perempuan. Bocah ini pendek kecil gemuk buntak, kedua tangannya
putih halus, rambutnya dikucir menjadi puluhan banyaknya, semuanya tegak
memenuhi kepala, bukan pakaiannya saja yang berwarna merah, sepatu, kaus kaki,
dan sapu tangan, semuanya berwarna merah, tapi mukanya ditutup sebuah topeng
setan, hanya kelihatan kedua bola matanya yang bundar, sekilas pandang orang akan
menyangka dia itu bola api.
Liu Giok-ji betul-betul kaget, "Tadi ... apakah tadi kau?" tanyanya tak tahan.
Bocah merah itu cekikikan, katanya, "Hihi, Jitkohnio belum lagi keluar, tunggu
sebentar, beliau jauh lebih cantik daripadamu!"
Tidak pernah terbayang oleh Liu Giok-ji bahwa bocah ini masih kecil tapi punya
pikiran dewasa, karena isi hatinya kena dikatai orang, keruan dia jengah, semprotnya,
"Setan cilik, siapa peduli dia cantik atau jelek?"
Belum habis dia bicara, mendadak pandangannya terasa silau, sesosok bayangan
putih tahu-tahu sudah berdiri di atas permadani, cukup melihat tubuhnya yang ramping
dengan gaun panjang putih yang membelit tubuhnya, perpaduan baju putih dengan
permadani merah sungguh kontras dan memesona, belum lagi wajahnya yang cantik
molek sungguh sukar dilukiskan, kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri, siapa
mau percaya bahwa di dunia ini ada gadis secantik bidadari.
Biasanya Liu Giok-ji suka bangga bahwa kecantikannya tiada bandingannya, tapi di
hadapan nona ini, dia merasa dirinya seperti bintang berbanding rembulan.
Maka jengeknya, "Betul, memang cantik, tapi biarpun secantik bidadari juga tidak
boleh kurang ajar terhadap Jin-gi-cengcu? Nona berdasar apa berani bertingkah di
sini? Ingin kudengar alasanmu?"
"Berdasar apa pula kau ingin tahu?" jawab gadis berbaju putih tidak kalah galaknya.
"Coba jelaskan dulu alasanmu."
"Pertanyaan nona Liu memang benar, aku pun ingin mengajukan pertanyaan
serupa." tukas Li Tiang-ceng.
"Memangnya kau marah?" tanya si gadis baju putih.
Wajah Li Tiang-ceng sedingin es, ia tidak menjawab. Mendadak gadis itu tertawa
terpingkal-pingkal, semula dingin, begitu tertawa ternyata semanis madu, lelaki
berhati baja pun akan luluh dan takkan tega bertindak keras kepadanya.
Setelah puas tertawa, tiba-tiba dia angkat jari telunjuk dan menggores pipi, katanya,
"Idih, malu ah, setua ini, masih marah-marah kepada anak kecil, memalukan!"
Sikapnya jenaka, gerak-geriknya nakal, perawakan dan bentuk badannya kelihatan
sudah berusia dua puluhan, tapi tingkah lakunya sekarang mirip bocah belasan tahun.
Melihat perubahan yang mendadak ini, semua orang sama terpesona, Li Tiangceng
melenggong, katanya bingung, "Kau ... kau ...."
Biasanya dia bersikap tegas, sekarang entah kenapa jadi gelagapan.
"Li-jisiok," kata si gadis baju putih, "masa engkau tidak mengenalku lagi?"
"Aku ... sungguh sudah pangling padamu," ucap Li Tiang-ceng.
"Sembilan tahun yang lalu ... coba kau ingat-ingat kembali ...."
"Aku tidak ingat lagi ...." ujar Li Tiang-ceng sambil mengerut kening.
"Kukira engkau orang tua memang sudah linglung. Pada suatu hari hujan sembilan
tahun yang lalu, engkau kehujanan hingga basah kuyup dan mampir ke rumahku ...."
"He, Cu ... jadi kau ini putri tunggal keluarga Cu itu?" tukas Li Tiang-ceng.
"Betul," seru gadis baju putih sambil berkeplok, "akulah gadis cilik yang menangis
berguling-guling di lantai karena tidak diberi gula-gula itu ...." sembari bicara dia maju
menghampiri Li Tiang-ceng, jari-jarinya terulur untuk meraba jenggot orang, lalu
berkata pula dengan senyum menggiurkan, "Kalau engkau orang tua masih marah
juga, bolehlah kau lampiaskan kepadaku saja, mau maki atau hendak pukul boleh
terserah, toh aku ini keponakan nakal yang jelas takkan melawan."
Selama malang melintang di dunia Kangouw dulu, entah berapa kali Li Tiangceng
mengalami gelombang besar dan kecil, tidak jarang berhadapan dengan musuh lihai,
tapi menghadapi gadis belia ini dia jadi kehilangan akal, rasa marahnya jadi entah
tersapu ke mana, dengan tertawa getir dia berkata, "Eh, tak terasa waktu telah lalu
dengan cepat, tahu-tahu Titli (keponakan) sudah sebesar ini, apakah ayahmu
baik-baik saja?"
"Belakangan ini orang yang minta uang kepada beliau semakin banyak, mau tidak
mau beliau harus merogoh kantong, hingga rambut kepalanya sekarang hampir
botak."
Li Tiang-ceng tahu sifat ayahnya, mendengar banyolan anak dara itu, dia tertawa
geli, katanya, "Sembilan tahun yang lalu, demi berdirinya Jin-gi-ceng pernah kami
minta bantuan kepada ayahmu, akhirnya meski ayahmu rela menyumbang dua laksa
tahil emas, tapi kulihat mukanya seperti merasa sangat sakit ...."
"Memangnya, setelah kalian pulang, ayah menyesal sampai tiga hari tiga malam,
makan pun tidak punya selera lagi, arak pun terasa sayang diminum. Maka dia
selalu hidup sederhana untuk menambal kerugian kedua-laksa tahil emas itu, yang
celaka adalah anggota keluarganya, bila ingin makan enak harus main sembunyi di
dapur ...."
Li Tiang-ceng tertawa geli, sambil menggandeng tangan si nona diajaknya ke
pendopo, orang banyak sama terpesona oleh gaya manis gadis belia ini, tanpa
merasa semua ikut kembali ke dalam, sampai Thian-hoat Taysu yang sudah mau
pergi juga urung, padahal biasanya dia tidak suka bergurau, sekarang ia pun
tersenyum-senyum.
Kim Put-hoan berada paling belakang, diam-diam dia menarik lengan baju Ji Yok-gi,
katanya setengah berbisik, "Kelihatannya gadis itu anak hartawan, yaitu putri tunggal
Cu-lothau (kakek Cu) yang kaya raya itu."
"Ya, pasti tidak salah lagi," sahut Ji Yok-gi.
"Tampaknya kesempatan kita bekerja sama sudah tiba saatnya."
"Kerja sama apa?"
"Ji-heng bertampang begini cakap, bila kuatur sedikit tipu daya, mustahil dara cantik
itu takkan terpelet olehmu. Tatkala mana bukan saja Ji-heng dapat untung harta dan
bini rupawan, hingga kaum persilatan pasti sama iri terhadapmu, dan aku pun akan
memperoleh sedikit keuntungan di belakangmu."
Tampak senang wajah Ji Yok-gi, tapi tiba-tiba dia mengerut alis, katanya, "Kurasa
agak sukar ...."
Gemerdep sinar mata Kim Put-hoan, melihat sikap orang agak ragu, cepat dia
menukas, "Apanya yang sukar? Jangan-jangan Ji-heng merasa dirimu tidak setimpal
mempersunting dia, maka kau tidak berani bertindak?"
Dengan membusungkan dada Ji Yok-gi berkata, "Siapa bilang aku tidak berani?"
"Pukul besi mumpung panas, kalau mau beraksi harus segera dilakukan," demikian
bujuk Kim Put-hoan.
Mendadak seorang berteriak di belakang, "Binatang, dua ekor binatang!"
Ji Yok-gi dan Kim Put-hoan kaget, serentak mereka membalik tubuh, tampak anak
buntak berbaju merah tadi berdiri dengan bertolak pinggang, dan mata melototi
mereka.
"Binatang, apa katamu?" Bentak Kim Put-hoan.
"Kubilang kau ini binatang!" maki anak merah itu. Mendadak dia melompat sambil
mengayun tangan, betapa cepat gerakannya, belum lagi terlihat jelas, "plak", pipi kiri
Kim Put-hoan tahu-tahu kena gampar.
Sebagai tokoh yang sudah terkenal di Kangouw, ternyata mukanya kena digampar
seorang bocah cilik, sungguh sukar dipercaya bila tidak menyaksikan sendiri.
Kim Put-hoan gusar dan kaget, makinya, "Binatang cilik!"
Jari tangannya serupa cakar burung segera mencengkeram, tak tahunya bayangan
merah tiba-tiba berkelebat, anak merah itu sudah menyelinap masuk pendopo.
"Celaka!" seru Ji Yok-gi khawatir, "pembicaraan kita telah didengar setan cilik itu."
Segera dia putar tubuh dan hendak ngacir.
Lekas Kim Put-hoan menariknya, katanya, "Takut apa? Rencana sudah jadi, betapa
pun harus dilaksanakan."
Apa boleh buat, Ji Yok-gi diam saja diseret masuk ke pendopo. Sementara itu bocah
merah itu sudah berdiri di samping si gadis berbaju putih, melihat mereka masuk,
segera dia bertepuk sambil berteriak, "Nah, dua ekor binatang itu masuk."
"Hei, anak kecil tidak boleh sembarangan omong!" tegur Li Tiang-ceng.
Anak merah itu berkata, "Kedua orang ini berkomplot dan berunding cara bagaimana
hendak menipu Jitkohnio, supaya dapat bini dan harta, engkau orang tua harus
memberi keadilan, bukankah kedua orang ini adalah binatang?"
Li Tiang-ceng batuk-batuk beberapa kali, mulut tidak bicara, tapi matanya menatap
tajam mereka.
Ji Yok-gi merah jengah, sedangkan Kim Put-hoan bermuka tebal, sikapnya tetap tak
acuh seperti tidak terjadi apa-apa, kelihatannya malah bangga.
"Siapakah kedua orang ini?" tanya Jitkohnio (nona ketujuh) dengan muka cemberut.
Berputar mata Liu Giok-ji, segera dia mendahului bersuara, "Biarlah kuperkenalkan,
orang ini bergelar Kian-gi-yong-wi (berani bertindak demi keadilan) Kim Put-hoan,
kecuali itu dia masih punya dua gelar lain, yaitu Kian-ci-
gan-kay (melihat uang mata terbuka) dan Kian-li-bang-gi (mendapat untung lupa
kebenaran), kedua gelar yang belakangan ini jauh lebih tersohor di kalangan
Kangouw."
"Ya, juga lebih cocok daripada julukan yang pertama," tukas Jitkohnio.
Lekas Kim Put-hoan merangkap kedua tangan, katanya sambil menjura, "Ah, nona
terlalu memuji."
Liu Giok-ji cekikik geli, katanya, "Tebal muka Kim-tayhiap ini memang tiada
bandingannya di kolong langit, dibacok pedang atau golok juga tidak mempan."
"Cis, lalu siapa lagi yang satu?" tanya Jitkohnio.
"Yang satu ini jauh lebih tersohor. Gelarannya panjang, Giok-bin-yau-khim Sinkiam-jiu
(wajah kemala memetik harpa, si pedang sakti) Ji Yok-gi. Maksudnya, meski
kelihatan tolol (Yok-gi), padahal otaknya encer dan cerdik, malah lebih pandai
dibandingkan orang lain."
Jitkohnio mengawasi orang, mendadak dia terpingkal-pingkal, katanya sambil
menuding Ji Yok-gi, "Jadi kedua orang ini kepingin makan daging angsa? Lucu,
sungguh menggelikan, manusia begini juga setimpal disebut tujuh jago kosen dari
Bu-lim, apakah orang lain mau mengakui mereka?"
Wajah Ji Yok-gi yang pucat seketika merah padam.
"Sampah persilatan," Kiau Ngo mencaci maki. "Tidak tahu malu."
"Cuh," tiba-tiba Toan-hong Totiang membuang ludah.
Muka Thian-hoat Taysu bertambah kelam.
Liu Giok-ji menghela napas, "Bila tahu di antara ketujuh jago kosen ada manusia
sebejat ini, aku sih lebih suka namaku dicoret saja dari deretan tujuh jago kosen."
Belum habis dia bicara, Ji Yok-gi sudah putar tubuh dan berlari pergi.
Kim Put-hoan biasanya hanya garang di depan yang lemah dan kuncup nyalinya di
depan orang yang kuat, kini mau tidak mau hatinya terbakar juga, batinnya, "Biarpun
anak dara ini banyak duit, apakah ilmu silatnya bisa lebih tinggi daripadaku? Biar tuan
besarmu menghajar adat padamu."
Biasanya dia tidak mau bertindak bila keadaan tidak meyakinkan dirinya pasti akan
menang. Maka setelah berpikir lagi, cepat dia menyusul Ji Yok-gi serta menariknya
ke belakang pintu.
Ji Yok-gi mengentak kaki, omelnya, "Kau ... kau bikin aku malu saja, mau apa lagi
kau tarik aku kemari?"
Jawab Kim Put-hoan dengan dingin, "Apa urusan selesai begini saja?"
Ji Yok-gi mendesis, "Memangnya mau apa kalau tidak selesai?"
Kim Put-hoan menatapnya, katanya kalem, "Jika aku jadi dirimu, menghadapi cewek
yang begitu menggiurkan, umpama kepalaku bocor juga akan kukejar terus sampai
kena, kalau putus asa dan menarik diri di tengah jalan, bukankah memalukan
malah?"
"Memalukan?" Ji Yok-gi melenggong, akhirnya menghela napas panjang, "Ai,
ditertawakan orang juga pantas. Si dia tidak tertarik padaku, buat apa ...."
"Tolol," omel Kim Put-hoan sambil menghela napas, "siapa bilang dia tidak tertarik
padamu?"
JI Yok-gi melengak, katanya dengan tergagap, "Tapi ... kalau dia tertarik padaku ...
mana bisa ... mana bisa menghinaku. Ai, sudahlah, sudahlah ...." kembali dia hendak
putar tubuh.
Kim Put-hoan menghela napas, katanya, "Agaknya kau masih hijau terhadap
perempuan, masa tidak bisa kau tangkap perasaan seorang perempuan?"
Tanpa ditarik lagi, tiba-tiba Ji Yok-gi menghentikan langkah, maka Kim Put-hoan
melanjutkan, "Umpama orang menaksir padamu, memangnya di depan orang banyak
berani dia bicara blak-blakan?"
Berkedip mata Ji Yok-gi, "Ya, beralasan juga ...."
"Ketahuilah, isi hati orang perempuan sukar dijajaki, semakin dia naksir padamu, dia
justru sengaja hendak menyiksamu, ingin menguji kemurnian cintamu, jika kalau
mundur di medan laga, bukankah kau sia-siakan maksud baiknya?"
Ji Yok-gi terbujuk, katanya riang, "Ya betul! Lalu menurut pendapat saudara,
bagaimana aku harus bertindak?"
"Dengan cara lunak kita gagal, boleh gunakan kekerasan!"
"Kekerasan ... mana boleh pakai kekerasan?"
"Memangnya kau tidak tahu bahwa pada umumnya perempuan pengagum orang
gagah. Kesatria setampan kau, mustahil orang tidak akan kagum padamu?"
Ji Yok-gi berkeplok, serunya senang, "Betul, tanpa petunjuk Kim-heng, hampir saja
Siaute mengabaikan kesempatan baik. Tapi ... pakai kekerasan bagaimana, tolong
Kim-heng menjelaskan."
"Asal kau tidak mundur di medan laga, tapi mempertahankan garis depan denganku,
urusan lain boleh kau bertindak menurut petunjukku nanti," segera dia mendahului
melangkah masuk pula.
Terbakar semangat Ji Yok-gi, segera dia betulkan pakaiannya, dengan langkah lebar,
dengan membusungkan dada dan menegakkan kepala, dia melangkah balik lagi ke
pendopo.
Sementara itu Li Tiang-ceng tengah berkelakar dengan Jitkohnio.
Terhadap Li Tiang-ceng, Jitkohnio memang bersikap ramah, manja, dan jenaka, tapi
terhadap orang lain ternyata dia bersikap tak acuh. Thian-hoat Taysu pun tidak dia
hiraukan.
Semula orang banyak merasa suka padanya, kini setelah melihat sikap angkuhnya,
mereka jadi mendongkol. Thian-hoat Taysu berdiri dan siap tinggal pergi. Demikian
pula orang lain juga ingin tinggal pergi saja.
Sementara itu Li Tiang-ceng sedang berkata, "Kedatanganmu ini secara sengaja
atau kebetulan mampir saja?"
Jitkohnio cekikikan, katanya, "Sepantasnya kubilang sengaja kemari untuk
menyampaikan salam kepada engkau orang tua, tapi aku tak dapat berdusta, harap
engkau tidak marah padaku."
"Baiklah, jadi kau hanya kebetulan mampir ke sini?"
"Juga bukan mampir saja. Aku datang mencari orang."
"Siapa? Apa dia berada di sini?" tanya Li Tiang-ceng.
"Ya, di pendopo ini," sahut si nona.
Mendengar pembicaraan ini, hadirin batal pergi. Maklum, dalam pendopo hanya ada
beberapa orang saja, bahwa nona jelita anak hartawan ini jauh-jauh datang kemari
untuk mencari orang, sudah tentu mereka tertarik, ingin tahu siapa yang sedang
dicarinya.
Thian-hoat Taysu membatalkan niatnya pergi, timbul juga rasa ingin tahunya, dia
membatin, "Mungkin sejak lama dia mengagumi nama besarku, maka kedatangannya
hendak minta petunjuk kepadaku?"
Waktu dia angkat kepala, dilihatnya hadirin yang lain juga bersikap aneh, agaknya
punya maksud yang sama seperti dirinya.
Bercahaya mata Li Tiang-ceng, katanya dengan tersenyum, "Jago-jago kosen
sedunia sekarang berada di pendopo ini, entah siapa yang Hiantitli cari?"
Tanpa berpaling, jari si gadis yang runcing tiba-tiba menuding ke sana, "Dia itulah!"
Tanpa terasa para hadirin menoleh mengikuti arah yang dituding, jari telunjuknya
yang putih halus dengan kukunya yang panjang bercat merah ternyata menuding ke
arah si pemuda rudin yang sejak tadi duduk di pojok sana.
Padahal sejak masuk ke pendopo ini pada hakikatnya Jitkohnio tidak melirik ke sana,
seperti tidak tahu akan kehadiran seseorang di sana, tapi tudingan telunjuknya
ternyata tepat, ini menandakan walaupun dia tidak pernah memandang ke sana, tapi
diam-diam dia sudah memerhatikannya sejak tadi.
Keruan hadirin sama kecewa, "Ternyata bukan aku yang dia cari." — "Tak nyana
pemuda gelandangan ini dapat menarik perhatian gadis secantik ini hingga
menyusulnya sampai di sini."
Sudah tentu hadirin makin tertarik, entah karena apa nona jelita ini jauh-jauh mencari
pemuda miskin ini.
Tak tersangka tiba-tiba pemuda rudin ini berdehem, lalu berdiri, katanya sambil
menjura, "Wanpwe mohon diri."
Belum habis bicara segera dia melangkah keluar.
Mendadak bayangan merah berkelebat, tahu-tahu anak merah tadi sudah mengadang
di depannya, serunya, "Tidak boleh pergi, memangnya kau tidak tahu betapa susah
Jitkohnio mencarimu?"
Jitkohnio gigit bibir dan mengentak kaki, serunya, "Bagus, kau ... pergilah, pergi ...
bila kau pergi, aku ... aku akan ... akan ...." tiba-tiba matanya berkaca dan
mewek-mewek, sukar meneruskan lagi.
Pemuda itu tertawa getir, katanya sambil menghela napas, "Ai, buat apa nona
berbuat demikian, Cayhe ...."
Anak merah itu bertolak pinggang, teriaknya, "Bagus sekali, kau pemuda yang tidak
berperasaan, berani kau bicara demikian, masa kau lupa bagaimana Jitkohnio
terhadapmu ...."
Pemuda itu menghela napas pula. Sementara Jitkohnio mengentak kaki dan
menyeka air mata. Hadirin jadi heran, mereka tidak tahu apa latar belakang kejadian
ini, namun sama maklum juga bahwa Jitkohnio yang tinggi hati ini menaksir pemuda
rudin ini, sebaliknya si pemuda bersikap tak acuh dan selalu cari alasan untuk
menyingkir.
Liu Giok-ji melirik sambil berkerut kening, batinnya, "Aneh, laki-laki di dunia ini kan
belum mampus seluruhnya, kenapa Jitkohnio justru menyukai pemuda kotor ini?"
Dengan mengelus jenggot, Li Tiang-ceng mengawasi pemuda itu, terasa olehnya
bahwa pemuda ini memang bukan pemuda sembarangan, demikian pula Hoasikoh
menatapnya lekat-lekat, dia punya pendapat yang sama dengan Li Tiangceng.
Sebelum hadirin dalam pendopo tahu duduk persoalannya, tertampak Kim Puthoan
menyeret Ji Yok-gi putar balik pula. Melihat muka mereka setebal ini, sudah pergi
kembali lagi, keruan hadirin sama berkerut alis dan merasa muak.
Kiau Ngo segera memberi reaksi, "Kalian balik lagi untuk membikin malu?"
Kim Put-hoan tidak menghiraukannya, langsung dia menuju ke depan Jitkohnio,
dengan tertawa dia menjura, katanya, "Selamat bertemu!"
Di sampingnya tersipu-sipu Ji Yok-gi juga ikut menjura dan menyapa, "Selamat
bertemu!"
Memangnya Jitkohnio sedang jengkel dan penasaran tak terlampias, kontan matanya
melotot, makinya sambil mengentak kaki, "Enyah! Enyah dari sini!"
Ji Yok-gi berjingkat kaget. Tapi Kim Put-hoan tenang-tenang saja. Katanya dengan
cengar-cengir, "Cayhe memang ingin enyah, tapi dengan cara bagaimana nona
hendak mengenyahkan kami? Cayhe ingin membuktikannya."
Sembari bicara, sebelah tangannya memberi tanda di belakang pantat kepada Ji
Yok-gi.
Ji Yok-gi lantas berdehem, katanya dengan membusungkan dada, "Siapa tidak tahu
Kim-heng ini menjagoi Bu-lim, berani kau kasar terhadapnya, bukankah berarti kau
meremehkan orang-orang gagah sedunia?"
Orang ini mudah dihasut, tidak punya pendirian, suka anggap dirinya paling pintar,
tapi bicaranya memang patut dipuji, sikapnya kelihatan gagah juga.
Jitkohnio mengerling ke kanan kiri, bergantian dia mengamati kedua orang ini,
dengan dingin ia mendengarkan ocehan mereka, mendadak dia tertawa lebar,
katanya, "Bagus, memang mirip orang gagah ...."
Ji Yok-gi bersorak dalam hati, "Akal Kim-heng memang tepat."
Segera ia berkata, "Jika sudah tahu, selanjutnya jangan kau rendahkan orang lain ...."
dadanya makin dibusungkan, namun nada bicaranya menjadi agak lunak.
Jitkohnio tertawa, katanya, "Baiklah, selanjutnya aku tidak berani memandang rendah
kalian berdua."
Kontan terunjuk rasa senang pada wajah Ji Yok-gi, katanya dengan tertawa lebar,
"Nah, seyogianya begitu."
Jitkohnio tertawa riang, katanya, "Kalian pikir aku ini perempuan lemah, membawa
anak kecil, mana kuat melawan kalian. Maka setelah gagal dengan cara lunak
sekarang hendak menggunakan kekerasan, mau mengajar adat kepadaku. Orang
gagah yang pandai melihat gelagat memang jarang ada di dunia persilatan, mana
berani kuremehkan kalian?"
Makin manis menggiurkan wajah si nona, muka Ji Yok-gi jadi makin merah, akhirnya
dia berdiri melenggong, rasa senang tadi entah kabur ke mana.
Kim Put-hoan lantas menjengek, "Seorang perempuan, bicara secongkak ini, aku jadi
heran, cara bagaimana orang tuamu mendidikmu sejak kecil."
"O, jadi kau hendak memberi ajaran padaku?" tanya Jitkohnio.
"Betul," jawab Kim Put-hoan, "Kau kira Ji-heng ini masih muda, ramah tamah, lantas
boleh dihina? Hm, sikap Ji-heng memang ramah terhadap orang, tapi terhadap orang
sekasar kau, dia merasa sebal. Ji-heng, betul tidak?"
"Ehm ... ya, ya ...." Ji Yok-gi mengiakan saja sambil manggut-manggut.
Dengan gaya gemulai Jitkohnio membetulkan sanggulnya, katanya dengan tersenyum
manis, "Kalau demikian, silakan turun tangan saja."
Sebelah tangan anak merah tadi menarik ujung baju si pemuda miskin, serunya
lantang, "Keparat yang sudah merasakan gamparanku tadi, marilah lawan aku saja,
tak perlu nona turun tangan sendiri!"
Kim Put-hoan berkata, "Kalian maju bersama juga boleh, yang terang ...."
Toan-hong-cu yang sejak tadi bersikap dingin mendadak menceletuk, "Kim Puthoan,
apa kau perlu minta petunjuk padaku?"
Kim Put-hoan menyeringai, katanya, "Syukur jika kau sudi memberi petunjuk."
Toan-hong-cu berkata, "Hoat-cay-sin (malaikat harta hidup) mempunyai kekayaan
berlimpah-limpah dan tiada bandingannya di kolong langit ini, tapi gembong penjahat
dari golongan hitam mana pun tak pernah mengusik sepeser pun uangnya. Kenapa
demikian, apa kau tahu sebabnya?"
Kim Put-hoan tertawa, katanya, "Mungkinkah gembong-gembong penjahat itu anggap
uang perak atau emas miliknya itu sudah bulukan atau berbau!" dia merasa lucu akan
banyolannya sendiri, maka dia tergelak, tapi ketika matanya melirik ke sana dan
melihat wajah Toan-hong-cu yang kereng bengis, seketika kuncup gelak tawanya.
Toan-hong-cu menarik muka, katanya, "Jadi kau tidak mau mendengar? Hm, tidak
apa, tetap akan kubicarakan hal ini. Sebab sudah lama kaum persilatan baik yang
berkepandaian tinggi atau rendah, ada yang karena menghindari pengejaran musuh,
ada yang menyelamatkan diri dari bahaya yang mengancamnya, semua lari ke rumah
Hoat-cay-sin. Memang Hoat-cay-sin sayang pada uangnya dan amat pelit, namun
terhadap orang-orang Kangouw itu, kalau ada yang minta pasti dia merogoh kantong.
Selama puluhan tahun, rumah Hoat-cay-sin sudah merupakan sarang naga dan gua
harimau, penuh dengan orang kosen, jangankan orang lain, sebagai contoh saja,
saudara cilik yang ikut nona Cu ini, dia bukan tokoh sembarang tokoh yang boleh
dibuat permainan, kau ingin memberi hajaran padanya, salah-salah kau sendiri yang
bakal dihajar olehnya."
"Maksud Totiang anak merah ini?" tanya Kim Put-hoan sambil menuding bocah
merah itu.
"Kecuali dia, siapa lagi dalam ruangan ini yang patut disebut saudara cilik?"
Tak tertahan Kim Put-hoan bergelak tertawa, katanya, "Jadi maksud Totiang bocah
ini? Apa tidak terlalu kau agulkan dia dan meremehkan kawan sendiri? Umpama
makhluk aneh kecil ini sejak di kandungan ibunya sudah berlatih silat, memangnya
kepandaiannya mampu menandingi jago kosen dari ketujuh pentolan Bu-lim?"
"Kalau tidak percaya, boleh kau coba," jengek Toan-hong-cu.
"Sudah tentu akan kucoba," ucap Kim Put-hoan sambil menyingsing lengan baju.
Mendadak Singa Jantan Kiau Ngo juga menyingsing lengan baju, tapi dia ditahan oleh
Hoa-sikoh, katanya lirih, "Apa yang hendak kau lakukan Kiaungoko?"
"Keparat ini hendak berkelahi dengan seorang anak kecil. Hm, biar orang lain tidak
mau ambil peduli, aku Kiau Ngo justru akan membelanya."
Hoa-sikoh tertawa, katanya, "Orang lain tidak peduli karena Jitkohnio terlalu
temberang, maka mereka ingin lihat tontonan saja untuk mengetahui betapa tinggi
Kungfunya. Tapi kalau Li-locianpwe sendiri juga berpeluk tangan saja, apa kau tahu
apa sebabnya? Memangnya kau kira beliau juga ingin menonton saja?"
"Iya," ujar Kiau Ngo sambil berkerut kening. "Aku juga heran ...."
Hoa-sikoh berbisik pula, "Soalnya Li-locianpwe sudah menaruh curiga kepada bocah
cilik berbaju merah itu, maka dia tinggal diam saja membiarkan keributan terjadi."
Kiau Ngo heran, katanya, "Usianya masih sekecil itu, apanya yang perlu dicurigai?"
"Aku sendiri juga tidak tahu, pendek kata bocah cilik itu pasti ada sesuatu yang patut
dicurigai, bukan mustahil .... Ai, kau tunggu dan lihat saja."
Kiau Ngo makin heran, gumamnya, "Kalau begitu, baiklah kutunggu ...."
Tampak Kim Put-hoan sedang menyingsing lengan baju kanan kiri, belum juga mau
turun tangan, tiba-tiba dia tarik Ji Yok-gi ke pinggir serta berbisik entah apa yang
dibicarakan. Sementara Li Tiang-ceng, Toan-hong-cu, Thian-hoat Taysu sama
menatap tajam kepada bocah merah itu dengan sorot mata yang aneh.
Kiau Ngo melirik juga dua kali ke arah bocah merah gemuk itu, diam-diam timbul juga
rasa curiganya, pikirnya, "Kenapa bocah ini mengenakan topeng seaneh itu? Kenapa
dia tidak mau menanggalkan topeng supaya orang banyak melihat muka aslinya?
Usianya paling-paling baru dua belasan tahun, kenapa suara bicara dan tindak
tanduknya mirip orang tua?"
Sementara itu bocah merah tetap memegangi ujung baju si pemuda rudin, sedangkan
si pemuda bersungut sambil berkerut alis. Sekilas Jitkohnio melirik
Kim Put-hoan, lalu sorot matanya beralih ke arah pemuda rudin dan tidak
berkisar lagi. "Sudah tiba kesempatannya," bisik Kim Put-hoan dengan gemas
setelah menarik Ji Yok-gi ke samping.
"Kesempatan apa?" tanya Ji Yok-gi. "Kesempatan untuk gigi dan angkat nama,
memangnya kau belum juga
mengerti. Lekas kau robohkan makhluk aneh cilik itu dalam dua-tiga gebrak, supaya
budak yang tidak tahu diri itu kapok dan tahu kelihaianmu." "Tapi ... tapi dia hanya
seorang bocah, bagaimana aku tega turun tangan?" "Memangnya kenapa kalau
bocah? Tidakkah kau dengar Tojin setan itu bilang
dia lihai, jika dapat kau robohkan dia, bukankah namamu akan tersohor?"
Sesaat Ji Yok-gi berpikir, tiba-tiba ia tertawa, katanya sambil menggeleng, "Kim-
heng, kali ini Siaute takkan tertipu lagi olehmu." "He, kenapa kau bilang demikian?"
"Kalau aku melabrak bocah itu, menang kan sudah jamak, sebaliknya bila aku
kalah, ke mana aku harus menaruh mukaku? Karena itulah kau sendiri tidak mau
turun tangan, tapi malah menyuruh aku."
"Kau betul tidak mau turun tangan?" jengek Kim Put-hoan. "Biarlah kesempatan
memperoleh nama ini kuberikan kepada Kim-heng saja," ujar Ji Yok-gi.
Kim Put-hoan memandangnya lekat-lekat, ia tanya pula, "Kau tidak menyesal?"
"Pasti tidak akan menyesal." Kim Put-hoan menghela napas, "Ai, maksud baikku kau
salah artikan, sungguh
sayang ...." perlahan dia memutar tubuh terus hendak maju ke arena. Ji Yok-gi
melongo mengawasi punggungnya, senyumnya sirna seketika, ia
mengerling pula ke arah Jitkohnio, betapa pun dia memang kesengsem kepada nona
jelita ini, mendadak dia memanggil perlahan, "Kim-heng, tunggu sebentar!" Kim
Put-hoan tidak berpaling. "Ada apa?" tanyanya. "Biar ... biarlah aku saja ... aku saja
yang turun tangan!"
"Tidak, katamu takkan menyesal?"
Ji Yok-gi menyengir, "Ah, bila ... bila Kim-heng memberi kesempatan ini kepadaku,
kelak Siaute pasti memberi kado besar kepadamu."
Kim Put-hoan seperti menimbang agak lama, kemudian dia membalik badan dan
berkata, "Baiklah, maju!"
Ji Yok-gi kegirangan, "Terima kasih Kim-heng!" segera dia melompat ke depan.
Mengawasi punggung orang, Kim Put-hoan menyeringai, dengusnya perlahan, "Huh,
kelihatannya gagah dan tampan, tak tahunya berotak udang."
Begitu melompat ke tengah pendopo, Ji Yok-gi segera berseru lantang, "Demi
menghormati ketiga Cianpwe pemilik Jin-gi-ceng, maka harpa dan pedang tidak
kubawa kemari, tapi siapa pun bila ingin memberi pelajaran kepada orang she Ji,
akan kulayani dengan bertangan kosong saja."
Baru sekarang Jitkohnio menarik pandangannya atas diri si pemuda, katanya dengan
tertawa dan menggeleng, "Bocah she Ji ini agaknya kena dihasut lagi oleh orang she
Kim itu ...."
Anak merah menarik si pemuda rudin ke depan Jitkohnio, katanya, "Nona, kau jaga
dia, jangan sampai terlepas, biar kuberi hajaran kepada bocah yang tidak tahu diri
itu."
Jitkohnio mencibir, katanya, "Siapa sudi menjaga dia? Biarkan saja dia pergi," tapi
sembari bicara diam-diam dia sudah ulur jarinya menggantol lengan baju si pemuda.
Pemuda itu menghela napas, ujarnya, "Buat apa selalu kau cari gara-gara?"
"Memangnya aku harus meniru tabiatmu?" omel Jitkohnio, "orang menampar pipi
kirimu, malah kau berikan pipi kanan pula. Aku justru tidak mau dihina."
"Ya, kau memang lihai," ujar si pemuda dengan tertawa getir. "Tapi setelah kau bikin
ribut, jangan suruh orang lain membereskan persoalannya. Kalau bisa kau
selesaikan urusanmu sendiri, baru benar kau memang lihai."
"Jangan khawatir, mati pun aku tidak perlu minta bantuanmu," lalu si nona melengos
dan tidak peduli lagi, tapi kedua jarinya yang menggantol lengan baju orang tetap
tidak dilepaskan.
Dengan langkah bergoyang sampan seperti bebek berjalan, anak merah tadi maju ke
depan Ji Yok-gi, sekejap dia amat-amati orang dari atas kepala sampai kaki, lalu
berputar ke belakang, dan balik ke depan lagi, akhirnya dia tertawa cekikikan,
katanya, "Nah, boleh pukul, tunggu apa lagi?"
"Sebetulnya orang she Ji tidak sudi bergebrak denganmu, tapi ...."
"Mau berkelahi ayo mulai, kenapa mengoceh saja," omel si bocah merah. Mendadak
dia melompat ke atas terus menampar muka Ji Yok-gi.
Geraknya biasa dan terang-terangan, tapi kecepatan serangannya sukar dilukiskan.
Untung Kim Put-hoan yang sudah kena tampar tadi sudah menjadi contoh bagi Ji
Yok-gi, maka dia berlaku hati-hati, begitu orang bergerak, sigap sekali dia berputar
menyingkir, namun begitu hampir saja mukanya kena gampar.
Bocah merah cekikikan, katanya, "Ternyata betul sedikit berisi."
Sambil bicara tangan juga tidak menganggur, di mana bayangan merah berkelebat,
tangannya segera menghantam.
Serangannya ternyata tidak mengutamakan tipu atau permainan ilmu silat umumnya,
tapi lebih mirip anak kecil yang berkelahi main cakar dan tampar, namun serangannya
justru cepat dan ketat, gerakannya enteng dan sigap, sehingga lawan tidak diberi
kesempatan bernapas.
Seketika Ji Yok-gi terdesak oleh serangan gencar si bocah, tapi gerak langkahnya
ternyata cukup tangkas, gayanya kalem dan gagah sehingga penonton
manggut-manggut.
Dengan suara perlahan Hoa-sikoh bertanya kepada Kiau Ngo, "Coba lihat, bukankah
bocah itu agak aneh?"
Kiau Ngo mengerut alis, katanya, "Berkelahi cara demikian memang jarang kulihat."
"Justru ia sengaja berbuat demikian agar orang lain sukar menjajaki asal usul ilmu
silatnya."
Kiau Ngo heran, tanyanya, "Apakah bocah ini juga punya asal usul?"
"Kalau tidak punya asal usul, mampukah dia mendesak Ji Yok-gi sedemikian rupa?"
Kerut alis Kiau Ngo makin rapat. Sesaat kemudian Hoa-sikoh berkata pula dengan
menghela napas, "Meski bocah itu tidak menggunakan ilmu silat andalannya, kalau
demikian cara bertempur Ji Yok-gi, akhirnya dia pasti kalah juga."
Kiau Ngo manggut-manggut, "Betul, jika Ji Yok-gi tidak banyak bertingkah, taraf
Kungfunya tentu bisa maju lebih tinggi."
Ji Yok-gi memang suka mengagulkan diri sebagai pemuda ganteng yang romantis,
sampai pun waktu berkelahi dengan orang juga memakai gerak-gerik yang terhormat
dan gaya yang indah supaya menimbulkan kesan baik orang lain, gerakan yang buruk
mati pun tidak sudi digunakan.
Waktu si bocah merah menyerang ketiga kalinya, bagian kiri bawah ketiaknya
sebetulnya kosong, Hoa-sikoh dan Kiau Ngo menyaksikan kekosongan ini, mereka
tahu bila Ji Yok-gi mau melancarkan jurus serangan Thi-gu-keng-te (lembu besi
meluku sawah), umpama tidak berhasil menjatuhkan si bocah, paling tidak dapat
memperbaiki posisinya yang terdesak.
Sayang Ji Yok-gi anggap jurus serangan itu kurang indah, maka dia abaikan
kesempatan baik itu, malah melancarkan jurus Hong-jui-siu-liu (angin mengembus
dahan Liu) yang tak bermanfaat sedikit pun.
Kim Put-hoan geleng-geleng kepala, katanya dingin, "Mati pun dia memilih gaya yang
indah ...." tapi hatinya juga lega, karena dia tahu meski Ji Yok-gi tak mungkin
menang, agaknya juga tidak gampang dikalahkan.
Hoa-sikoh bergumam sendiri, "Entah Li-locianpwe sudah dapat membongkar asal
usulnya atau tidak?"
Waktu dia berpaling, dilihatnya Leng Sam sedang memapah si orang tua sakit, entah
sejak kapan sudah berdiri di samping Li Tiang-ceng, pandangan mereka pun tertuju si
bocah merah, diam-diam kedua orang tua itu pun saling memandang.
Akhirnya Li Tiang-ceng bertanya, "Toako, sudah kau lihat sesuatu?"
Si orang sakit, Ki Ti, berkata setelah termenung sejenak, "Kukira tujuh bagian tepat."
Singa Jantan merasa bingung mendengar pembicaraan mereka, ia tanya, "Sebetulnya
ada apa sih?"
Hoa-sikoh menghela napas, ujarnya, "Coba lihat cara berkelahi bocah itu tanpa
menggunakan norma-norma ilmu silat, tapi gerak-geriknya tidak menunjukkan
suatu kelemahan, kalau tidak mempunyai dasar latihan puluhan tahun, mana mampu
dia berbuat demikian?"
"Tapi ... paling banyak dia baru berusia belasan tahun ...."
"Bocah berusia belasan tahun mana mungkin punya dasar latihan puluhan tahun,
kecuali ... usianya memang tidak muda lagi, hanya perawakannya saja yang memang
katai alias cebol, juga dia mengenakan kedok hingga orang sukar menduga berapa
umurnya."
Kiau Ngo bergumam sendiri, "Latihan dasar puluhan tahun ... perawakannya cebol
...." mendadak tergerak hatinya, dia teringat pada seseorang, serunya kaget, "Hah,
dia!"
"Ya, delapan bagian pasti dia," ujar Hoa-sikoh.
Kiau Ngo berkata pula, "Pantas sudah lama orang ini tak pernah unjuk diri, tak
tahunya bersembunyi di rumah Hoat-cay-sin." Dia pandang Thian-hoat Taysu sekejap
lalu katanya dengan suara tertahan, "Apakah Thian-hoat Taysu sudah tahu asal
usulnya? Jika ia pun sudah tahu, mungkin ...."
"Bukan Thian-hoat Taysu saja, Liu Giok-ji, Toan-hong-cu pun tahu asal usulnya,
mungkin mereka juga ...."
Tertampak Thian-hoat Taysu yang berperawakan kekar itu tiba-tiba mulai bergerak,
wajahnya kelihatan serius, kulit mukanya bersemu ungu, selangkah demi selangkah
perlahan mendekati bocah merah yang sedang melabrak Ji Yokgi itu.
Jelalatan mata Jitkohnio, mendadak dia membentak, "Lekas!"
Kontan anak merah melejit ke atas, belum lenyap suara Jitkohnio mendadak dia
pentang kedua tangan terus menukik dan menubruk ke arah Ji Yok-gi.
Melihat gerakan si bocah, Li Tiang-ceng terkejut, teriaknya, "Hui-liong-sik!"
Di tengah teriakan kaget Li Tiang-ceng, terdengar Ji Yok-gi juga menjerit kaget dan
menjatuhkan diri ke lantai. Bukan kebetulan dia terkenal di dunia Kangouw,
gerak-geriknya memang tangkas, meski terdesak ia tidak menjadi gugup, dengan
gerakan Yan-ceng-cap-pwe-hoan (delapan belas kali jumpalitan gaya Yang Ceng),
begitu badan menyentuh lantai langsung menggelinding ke sana lalu melompat
berdiri, ia tidak terluka, namun melongo juga dia mengawasi bocah merah itu.
"Ayo pergi!" terdengar Jitkohnio membentak, segera dia tarik si pemuda rudin dan
tangan lain menggandeng anak merah itu terus hendak melayang pergi.
Mendadak suara sabda Buddha berdengung dalam ruang itu, suaranya sangat keras,
memekak telinga, perawakan Thian-hoat Taysu yang tinggi besar tahutahu sudah
mengadang di depan mereka.
Jitkohnio tidak banyak bicara, dia putar haluan hendak melompat ke jendela. Tapi
bayangan orang tampak berkelebat, Leng Sam, Toan-hong-cu, Liu Giok-ji, Ji Yok-gi
dan Kim Put-hoan serempak bergerak mencegat mereka dengan wajah gusar.
Si pemuda rudin menghela napas, katanya geregetan, "Nyalimu memang teramat
besar. Jelas orang akan tahu asal usulnya, kau justru membawanya kemari."
Dengan geram Jitkohnio melotot padanya, katanya dongkol, "Semua ini juga lantaran
kau, karena mencari kau, penderitaan apa saja kurasakan dan apa pun berani
kulakukan."
Dalam pada itu Thian-hoat Taysu, Leng Sam dan lain-lain sudah mengurung mereka
bertiga. Tiba-tiba Jitkohnio berubah sikap, tanyanya dengan tertawa genit, "Eh, apa
yang kalian lakukan ini?"
Dengan kereng Thian-hoat Taysu menjawab, "Nona sudah tahu, kenapa sengaja
tanya pula?"
Jitkohnio berpaling, serunya, "Li-jisiok, bagaimana ini? Tamumu ini melarang aku
pergi, berani mereka menghinaku di rumahmu, apa engkau orang tua tidak ikut
malu?"
Li Tiang-ceng menoleh kepada Ki Ti, dia tidak berani membuka suara.
Mata Ki Ti gemerdep, sesaat lamanya dia diam saja, agaknya dirasakannya urusan
cukup gawat.
Hadirin menahan napas, semua menunggu jawaban si cerdik nomor satu di
Kangouw. Maklum, setiap patah kata orang tua ini laksana emas, sekali berucap,
selamanya takkan berubah.
Agaknya lama juga baru Ki Ti berkata dengan suara berat, "Perkampungan ini berdiri
juga berkat bantuan dana ayahmu yang cukup besar, nona Cu mau pergi atau
datang, siapa pun dilarang merintanginya."
Legalah hati Jitkohnio, sebaliknya Thian-hoat Taysu dan lain-lain berubah air
mukanya. Tapi hanya berhenti sejenak Ki Ti lantas menambahkan dengan suara
perlahan, "Tapi orang yang kemari bersama nona, apa pun dia harus tetap tinggal di
sini, siapa pun dilarang membawanya keluar."
Jitkohnio berkedip, sengaja dia menuding si pemuda rudin, katanya dengan tertawa,
"Apa dia yang engkau maksudkan? Apakah dia pernah berbuat salah kepada orang
lain?"
"Bukan," sahut Ki Ti.
"Kalau bukan dia, pasti bocah ini, dia ini pembantu pribadiku, engkau orang tua
hendak menahannya di sini untuk meladeni siapa?"
Ki Ti menarik muka, katanya, "Urusan sudah sejauh ini, kenapa nona masih berlagak
bodoh?"
"Apa maksud ucapanmu, sungguh aku tidak mengerti?!" sahut si nona.
"Tidak tahu?" jengek Ki Ti. "Leng Sam, ambil maklumat itu dan berikan kepadanya
supaya dibacanya."
Serentak Leng Sam melesat keluar.
Tangan Jitkohnio yang mengandeng si pemuda sudah mulai gemetar, tapi wajahnya
masih mengulum senyum, sikapnya seperti tidak acuh.
Cepat sekali Leng Sam sudah balik sambil membawa selembar kertas, warna kertas
dan tulisannya sudah agak luntur. Ki Ti menerima kertas itu, sambil mendongak dia
tertawa getir, katanya, "Sudah tujuh tahun maklumat ini ditempel di dinding depan, tak
nyana hari ini baru bisa ditanggalkan dari tempatnya."
"Kertas apakah itu?" tanya Jitkohnio sambil berkedip-kedip.
"Peduli kau tahu atau benar-benar tidak tahu, boleh kau ambil dan melihatnya
sendiri," segera Ki Ti melempar lembaran kertas itu di depan kaki Jitkohnio.
Jitkohnio mengerling kiri-kanannya, lalu menjemput kertas itu, katanya, "Marilah
kalian pun ikut membacanya."
Lalu dia mendahului berjongkok, pemuda itu pun ditariknya berjongkok sehingga
sama tinggi dengan anak merah itu agar lebih leluasa mereka membaca bersama.
Maklumat itu tertulis demikian:
"Hoa Lui-sian, berjuluk Siang-thian-jip-to (naik ke langit menyusup ke bumi), salah
satu dari Cap-sah-thian-mo (tiga belas iblis besar) yang dulu pernah menjagoi
Kangouw, sejak tragedi Heng-san hanya orang-orang ini dari Cap-sahthian-mo yang
masih hidup. Sebab jauh sebelum tragedi Heng-san itu, orang ini sudah menghilang,
kaum persilatan tiada yang tahu ke mana perginya.
Orang ini berusia lima puluh empat tahun, namun perawakannya pendek seperti anak
kecil, gemar berpakaian serbamerah, asal usul Kungfunya tidak jelas, namun dia
pernah mewarisi ajaran majikan Ngo-toa-mo-kiong yang pernah menggetarkan Bu-lim
pada enam puluh tahun yang lampau.
Selama hidup tidak pernah pakai senjata, juga tidak menggunakan senjata rahasia,
tapi Ginkangnya tinggi, tenaga pukulannya jahat dan beracun, termasuk dalam urutan
tokoh keenam dalam Bu-lim. Giok-long Taysu dari Ngo-tay, Liu Hwi-sian dari
Hoa-san, Kanglam-tayhiap Tian Thi-ciang dan jago-jago kosen yang lain, semuanya
gugur di tangannya.
Belasan tahun yang lalu pernah tersiar berita bahwa orang ini sudah mati di muara
Huang-ho. Akan tetapi dalam setahun itu, orang-orang yang pernah bermusuhan
dengan dia, semuanya batok kepalanya terpenggal di tengah malam, seluruh
keluarganya juga dibantai habis, luka mereka lantaran pukulan beracun orang itu.
Sampai sekarang sudah jatuh korban sebanyak seratus empat puluhan jiwa.
Karena setiap sakit hatinya pasti dituntut, peduli pertikaian besar atau perselisihan
kecil, musuhnya tiada yang diberi ampun, sekalipun lari ke langit atau ambles ke bumi
juga akan diubernya. Semula Jin-gi-cengcu tidak tahu bahwa dialah pembunuhnya,
tapi setelah beliau memeriksa langsung luka-luka para korbannya, yakinlah atas
perbuatannya.
Konon pada kecilnya orang ini pernah disiksa secara keji dan disekap di dalam
kurungan yang sempit selama delapan tahun, karena itulah bentuk badannya tidak
bisa berkembang sebagaimana mestinya, lantaran itulah tabiatnya amat jelek, setiap
manusia di dunia ini dibencinya, terutama sering menganiaya anak kecil, kedua
tangannya sudah berlumuran darah orang banyak, kejahatannya cukup mendirikan
bulu roma, barang siapa berhasil membekuknya, baik mati atau hidup, akan
mendapat upah sebesar lima ribu tahil perak, janji pasti ditepati.
Tertanda Jin-gi-cengcu.
Tangan Jitkohnio membeber maklumat itu, tapi matanya tidak pernah membaca apa
yang tertulis di atas kertas itu, diam-diam ia mengerling kian kemari memerhatikan
keadaan di sekelilingnya, tertampak kedelapan penunggang kuda di luar pintu sudah
turun dari kudanya dan berdiri tegak menunggu perintah
sambil memegang tali kendali. Thian-hoat Taysu dan lain-lain kelihatan emosi,
agaknya ingin segera turun tangan, namun tanpa persetujuan Jin-gi-cengcu mereka
tidak berani bertindak.
Setelah melirik sekian lamanya, tiba-tiba Jitkohnio berbisik kepada si pemuda, "Hari
ini aku dan dia bisa tidak keluar dari sini, tergantung kepadamu seorang."
Pandangan si pemuda tertuju ke arah maklumat, katanya perlahan, "Ya, urusan
sudah telanjur sejauh ini, apa yang dapat kuperbuat?" suaranya keluar dari
tenggorokan tapi bibirnya tidak bergerak.
Jitkohnio berang, desisnya, "Mau atau tidak kau harus turut campur, jangan kau lupa
siapa yang telah menolong jiwamu? Memangnya kau lupa bagaimana orang
memperlakukan dirimu?"
Pemuda itu menghela napas, mulutnya terkancing.
Setelah menarik napas panjang Jitkohnio berdiri perlahan, katanya, "perbuatan
Ciang-tiong-thian-mo ini memang keterlaluan, kejam dan keji."
"Syukurlah kalau nona tahu," ucap Ki Ti dengan suara kereng. "Dan kenapa kau
masih membela dia?"
Jitkohnio melirik si bocah merah, katanya sambil menghela napas, "Agaknya mereka
anggap kau inilah Hoa Lui-sian itu."
Bocah merah berkata, "Hah, sungguh lelucon besar!"
Seperti tertawa dan tidak tertawa Jitkohnio pandang si pemuda, katanya perlahan,
"Peduli lelucon atau bukan, kutahu jelas selama tujuh tahun ini belum pernah dia
meninggalkan setapak pun dari sampingku, kalau dia sempat keluar membunuh
orang, boleh kau penggal kepalaku saja."
Meski ucapannya di tujukan kepada orang banyak, tapi matanya menatap si pemuda
rudin. Tapi pemuda ini berdehem dan menunduk.
Thian-hoat Taysu segera berkata dengan bengis, "Apakah pembunuhan yang terjadi
selama tujuh tahun ini perbuatan Hoa Lui-sian atau bukan, tapi kematian Giok-liong
Susiok hari ini harus kutuntut balas."
"Betul, juga bibiku ... bibiku ...." Liu Giok-ji ikut menimbrung, tapi baru beberapa patah
kata matanya lantas merah, lidahnya seperti kaku, akhirnya mengentak kaki dan
meneruskan, "Siapa berani merintangi aku menuntut balas, aku ... biar aku adu jiwa
dengan dia."
Kedengarannya dia bicara kepada orang banyak, tapi sorot matanya tertuju ke arah
Jitkohnio.
Diam-diam Kim Put-hoan memberi kedipan mata kepada Ji Yok-gi.
Segera Ji Yok-gi berseru lantang, "Orang she Ji tidak bermusuhan dengan Hoa
Lui-sian, tapi terhadap manusia jahat dan kejam, siapa pun wajib menumpasnya."
Anak merah menyeringai, "Jago yang sudah keok juga berani kentut."
Merah muka Ji Yok-gi, cepat Kim Put-hoan angkat bicara, "Ji-heng terlalu
memandang rendah lawannya sehingga kalah setengah jurus, kekalahan yang tidak
berarti."
"Betul," seru Ji Yok-gi, "mengingat dia hanya bocah cilik, mana orang she Ji tega
turun tangan sungguhan."
Jitkohnio menjengek, "Kalau dia betul Ciang-tiong-thian-mo, masa sekarang kau
masih bernyawa? Cis, sok omong besar, tidak tahu malu, dasar muka tebal."
Merah pula muka Ji Yok-gi.
Kim Put-hoan balas mengejek, "Kungfu Hoa Lui-sian memang hebat, tapi demi
menumpas kejahatan tidak perlu kami melawannya satu per satu. Yang punya
dendam boleh menuntut, yang sakit hati boleh membalas, ayolah maju bersama, biar
dia buktikan apakah dia benar-benar mampu naik ke langit atau ambles ke bumi?"
Li Tiang-ceng menghela napas, katanya, "Dengarlah nasihatku, lebih baik Hoahujin
menyerah saja, nona Cu tidak perlu menjadi juru bicaranya lagi."
Jelalatan mata Jitkohnio, katanya sambil mengentak hati, "Jadi engkau orang tua
juga mengira dia ini betul-betul Hoa Lui-sian?"
"Ai, untuk apa kau masih berdebat dan membela dia?" kata Li Tiang-ceng.
"Kalau bukan dia, lalu bagaimana?" tanya Jitkohnio.
"Tanggalkan topengnya biar kami lihat," seru Kim Put-hoan. "Kalau betul dia seorang
bocah, biar Li-locianpwe minta maaf kepadanya," sengaja dia mendahului bicara,
kalau pekerjaannya betul, berarti dia yang mendapat jasa, bila sebaliknya, toh orang
lain yang akan minta maaf, pekerjaan yang merugikan bagi Kim Put-hoan yang
"melihat uang mata terbuka" jelas tidak akan dilakukannya.
"Baik," akhirnya Jitkohnio mengentak kaki pula, "buka ya buka, biar mereka melihat
wajahmu."
Bocah merah segera berteriak, "Lihatlah!"
Belum lenyap suaranya, mendadak dia meraih topeng merah di mukanya.
Seketika mata hadirin terbeliak kaget, di balik topeng merah itu memang terdapat
sebentuk wajah bocah yang tembam dan halus, tidak berkeriput, jelas wajah seorang
anak-anak, jadi bukan muka seorang nenek yang sudah berusia lanjut.
Jitkohnio tertawa, katanya, "Nah, kalian sudah melihat jelas bukan? Soalnya kulit
muka bocah ini kurang baik, bila kena angin lantas gatal-gatal, makanya dia selalu
memakai topeng. Kedatangannya ternyata telah membuat lelucon yang tidak
menggelikan di sini."
Di tengah tertawanya, dengan tangan kanan-kiri dia gandeng si pemuda dan si bocah
merah terus berlenggang keluar pendopo.
Hadirin sama melongo, tiada lagi yang merintangi mereka. Tertampak baju Jitkohnio
bergetar, entah tertiup angin atau karena gemetar, tapi begitu keluar pintu langkahnya
segera di percepat.
"Tunggu sebentar ...." mendadak Ki Ti membentak. "Jangan lepaskan dia!"
Sementara itu Jitkohnio sudah lantas melayang jauh ke depan, jarinya sempat
mencubit pergelangan tangan si pemuda. Ketika Ki Ti berteriak, "Jangan lepaskan
dia!" Jitkohnio dan bocah merah itu sudah mencemplak ke atas kuda dan berseru,
"Orang tak berperasaan, jiwa kami berdua kuserahkan kepada tanggung jawabmu."
Dalam pada itu tertampak Thian-hoat Taysu dan Liu Giok-ji sudah mengejar keluar,
bentakan Ki Ti tadi telah menyadarkan mereka adanya keganjilan dalam persoalan
ini, maka sigap sekali mereka mendahului bertindak.
Mesti Jitkohnio sudah berada di atas kuda, tapi kuda itu belum lagi angkat kakinya,
gerak kuda mana bisa menandingi kecepatan tokoh silat macam Thianhoat Taysu,
jelas sukar bagi mereka untuk lolos keluar pintu gerbang.
Pemuda rudin berdiri terlongong di tempatnya, didengarnya suara angin berkesiur di
belakang, dia tahu Thian-hoat Taysu dan Liu Giok-ji mengejar tiba.
Pada detik yang genting ini, si pemuda menghela napas, kedua tangannya mendadak
terayun ke belakang, telapak tangan kanan laksana golok, telapak
tangan kiri tersembunyi di dalam lengan baju, meski tidak menoleh ke belakang, tapi
pukulan telapak tangan dan kebutan lengan bajunya ini justru menyerang ke tempat
yang mematikan dan harus dihindari dulu oleh Thian-hoat Taysu dan Liu Giok-ji.
Sudah tentu Thian-hoat Taysu dan Liu Giok-ji mengutamakan menyelamatkan diri
daripada mengejar orang. Tenaga sudah mereka himpun, seperti busur yang sudah
ditarik, secara refleks mereka menangkis, maka dapat dibayangkan betapa dahsyat
kekuatan mereka.
Liu Giok-ji menjengek, "Kau cari mampus!"
Kedua tangannya menyongsong kebutan lengan baju si pemuda.
Wajah Thian-hoat Taysu kelihatan prihatin, ia pun menangkis dengan telapak
tangannya yang merah darah, "plak", hadirin melihat jelas bentrokan dahsyat ini,
digencet dua jago kosen, mereka mengira si pemuda pasti akan hancur lebur.
Siapa tahu, mendadak Liu Giok-ji menjerit kaget, tubuhnya mencelat ke udara.
Sementara Thian-hoat Taysu terentak mundur sempoyongan beberapa langkah,
setiap langkah kakinya meninggalkan tapak kaki yang satu lebih dalam daripada yang
lain, hal ini membuktikan Thian-hoat Taysu sudah mengerahkan seluruh kekuatannya
sehingga dia tidak terjungkal jatuh.
Waktu hadirin perhatikan si pemuda, digencet oleh dua tenaga dahsyat itu, tubuhnya
tiba-tiba meluncur pergi dengan lengan baju melambai membawa deru angin
kencang, tampaknya sekejap lagi akan melayang keluar pintu gerbang.
Sementara itu Jitkohnio sudah membedal kudanya keluar, mendadak dia menghardik
sekali, lengan kanan terayun, tubuh bocah merah terangkat ke udara dengan tangan
kiri bergandeng tangan Jitkohnio, sementara tangan kanan meraih, dengan tepat dia
pegang lengan baju si pemuda, sementara kuda masih terus membedal kencang,
maka bocah merah dan si pemuda ikut terseret mabur ke depan, seolah-olah
Jitkohnio mengerek dua helai bendera yang berkibar tertiup angin.
Meski hati gusar dan kaget, demi melihat demonstrasi Ginkang sehebat itu, hadirin
sama melongo kagum, seketika mereka jadi lupa mengudak.
Sementara itu Liu Giok-ji jumpalitan dua kali terus melayang turun dengan napas
tersengal-sengal.
Thian-hoat Taysu juga berdiri tegak lagi, wajahnya pucat, darah tampak meleleh di
ujung bibirnya. Kalau tadi dia langsung menjatuhkan diri, mungkin dirinya tidak akan
terluka, namun dasar wataknya keras, tinggi hati, makanya sekuatnya dia
bertahan, darah yang hampir menyembur ditelan kembali, luka dalamnya tidaklah
ringan.
Dalam pada itu kedelapan laki-laki berseragam hitam pun mencemplak ke punggung
kuda masing-masing, perlahan mereka keluar, kelihatannya mereka tidak
tergesa-gesa, kedua baris kuda mereka sengaja digunakan merintangi para pengejar,
sebab mereka maklum orang-orang gagah ini tidak akan turun tangan keji kepada
mereka.
Ki Ti mencengkeram pundak Li Tiang-ceng sambil berteriak, "Kejar, kejar! Lekas
kejar, jangan terlambat."
Sekilas dia menatap Toan-hong-cu.
Namun Toan-hong-cu hanya batuk-batuk saja sambil melengos dan pura-pura tidak
melihat.
Kembali Ki Ti menoleh ke arah Ji Yok-gi, tapi Ji Yok-gi malah melirik Kim Puthoan,
dan Kim Put-hoan hanya menyengir, ujarnya, "Kami berdua tidak ada permusuhan
dengan dia, untuk apa mengejarnya?"
Mereka sudah menyaksikan kehebatan Kungfu si pemuda. Kalau Thian-hoat Taysu
dan Liu Giok-ji saja kecundang, yang lain mana berani mengejar.
Ki Ti menghela napas sambil membanting kaki, katanya geregetan, "Tujuh jago
kosen kalau mau bersatu padu mungkin bisa malang melintang di kolong langit ini,
sayang ... sayang keadaan seperti pasir yang berserakan ... sungguh sayang ...."
Menegak alis si Singa Jantan Kiau Ngo, katanya, "Orang itu sudah membuka
topengnya, jelas dia seorang bocah cilik, kenapa Cianpwe masih juga ingin
mengudaknya?"
Ki Ti menghela napas, "Kalau dia bisa pakai topeng, apakah di balik topengnya tidak
bisa mengenakan kedok pula? Kepandaian merias muka Cam-sap-mo kan terkenal
tiada bandingan di dunia ini."
Kiau Ngo melongo, akhirnya dia sadar, "Kiranya begitu ...."
Tahu musuh sudah pergi jauh barulah Kim Put-hoan pura-pura mengentak kaki,
katanya, "Ai, kenapa Cianpwe tidak katakan sejak tadi .... Ji-heng, mari kita kejar!" —
Ia tarik Ji Yok-gi dan ayunkan langkah seperti hendak mengejar.
Hoa-sikoh geleng-geleng kepala, katanya dengan tertawa, "Ji Yok-gi sudah terlibat
dengan manusia bejat itu, nasibnya selanjutnya tentu celaka."
"Biar kupergi melihatnya," kata Kiau Ngo terus melompat pergi.
"Ngo-ko, kau pun akan tertipu ...." seru Hoa-sikoh, tapi Kiau Ngo sudah lari jauh.
Sambil mengentak kaki Hoa-sikoh berkata pula dengan membungkuk badan, "Urusan
yang Cianpwe katakan tadi pasti akan kuperhatikan ...." agaknya dia khawatirkan
keselamatan Kiau Ngo, tanpa menunggu jawaban segera dia berlari keluar.
Angin berembus kencang, bunga salju beterbangan pula di angkasa.
Liu Giok-ji termangu-mangu entah apa yang sedang dipikirkan, mendadak dia
menghampiri Thian-hoat Taysu, katanya, "Bagaimana luka Taysu?"
"Siapa terluka?" sahut Thian-hoat Taysu dengan gusar, "bocah itulah yang terluka."
"Ya ... musuh Ngo-tay dan Hoa-san kita telah dibawa lari orang, bila Taysu mau
bekerja sama denganku, kuyakin pasti ada harapan untuk menuntut balas, entah
bagaimana pendapat Taysu?"
"Selamanya tidak pernah kukerja sama dengan orang," jawab Thian-hoat Taysu
bengis, lengan jubahnya mengebas terus melangkah pergi, tapi baru beberapa
langkah tiba-tiba dia sempoyongan.
Liu Giok-ji tersenyum, cepat dia memburu maju memapahnya, katanya lembut,
"Hujan salju dan angin kencang lagi, maukah Taysu kuantarkan?"
Thian-hoat Taysu terlongong sejenak, akhirnya dia menghela napas panjang dan
tidak bicara lagi.
Hujan salju makin lebat, angin menderu kencang, tujuh jago kosen dalam sekejap
sudah bubar. Tiba-tiba Ki Ti merasakan menggigil kedinginan, lekas dia merapatkan
pakaian dan berkata dengan muram, "Beginilah persoalan kaum Bulim ... ai ...."
tangan kiri berpegang di pundak Leng Sam, tangan kanan dibimbing Li Tiang-ceng,
perlahan dia kembali ke dalam pendopo.
"Beginilah kerja ketujuh jago kosen, tapi kecuali ketujuh orang ini, apakah tiada orang
gagah lain lagi di kalangan Kangouw?" ujar Li Tiang-ceng.
"Ehm ... memang benar .... Ai, hujan semakin lebat, lekaslah tutup pintu ...." kata Ki
Ti.
Perlahan Li Tiang-ceng putar balik dan menutup pintu, didengarnya sayup-sayup
suara senandung Leng Sam yang sedang minum arak dengan nada yang memilukan
itu.
Dalam pada itu, Kim Put-hoan menarik Ji Yok-gi dan diajak lari ke arah selatan.
Ji Yok-gi menoleh ke kanan, tiba-tiba berhenti, katanya, "Hei, Kim-heng, mereka lari
ke utara, kenapa kita mengejar ke selatan?"
Kim Put-hoan tertawa lebar, "Goblok, untuk apa mengejar mereka? Kita hanya cari
alasan untuk membebaskan diri saja, kalau lama-lama di sana kan malu."
Tanpa kuasa Ji Yok-gi diseret lari lagi ke depan, tapi mulutnya masih juga berkata,
"Sudah bilang mengejar, betapa pun kita harus mengejarnya."
Kim Put-hoan menjengek, "Apa Ji-heng tidak melihat Kungfu pemuda tadi, umpama
kita berhasil mengudaknya, memangnya kau mampu mengalahkan dia?"
Ji Yok-gi menghela napas, katanya, "Pemuda itu memang pandai menyembunyikan
diri, tak nyana Kungfunya begitu mengejutkan, pantas Jitkohnio tergila-gila padanya."
Kim Put-hoan memicingkan mata, katanya dengan tertawa, "Kedengarannya suara
Ji-heng rada kecut?"
Merah muka Ji Yok-gi, katanya menyangkal, "Aku ... aku hanya heran akan asal
usulnya."
Kim Put-hoan berkata, "Peduli betapa tinggi Kungfunya, peduli bagaimana asal
usulnya, yang jelas hari ini dia telah menimbulkan kemarahan umum, Jin-gi-samlo,
Thian-hoat Taysu dan lain-lain pasti tidak akan berpeluk tangan ...."
Belum habis dia bicara, di bawah bunga salju yang bertaburan, dari selatan tampak
datang puluhan kuda yang dilarikan dengan kencang, penunggangnya semua
mengenakan mantel kulit yang melambai tertiup angin.
Seketika terbeliak mata Kim Put-hoan, katanya tertawa, "Puluhan penunggang kuda
ini gagah dan tangkas menempuh perjalanan di bawah hujan salju, pasti mereka ada
urusan penting, agaknya aku bakal mendapat rezeki."
Dalam pada itu puluhan kuda itu sudah dibedal tiba, yang paling depan adalah seekor
kuda hitam yang ditunggangi lelaki hitam kekar berewok, sambil mengayun cambuk
dia membentak, "Ingin mampus yah? Lekas minggir!"
Kim Put-hoan berdiri di tengah jalan sambil bertolak pinggang, katanya dengan
tertawa, "Aku Kim Put-hoan memang ingin mampus, boleh kau terjang dan injakinjak
aku sampai mati!"
"Tarr!" cambuk panjang laki-laki berewok itu menggelegar di udara, puluhan kuda di
belakangnya segera berhenti. Laki-laki berewok itu melompat turun, katanya sambil
tertawa lebar, "Kiranya engkau Kim-tayhiap, orang she Can terburu-buru menempuh
perjalanan sehingga tidak melihat jelas Anda menunggu di sini, maaf, maaf akan
kekasaran tadi." — Lalu dia memberi hormat.
Kim Put-hoan sengaja mengawasinya dari atas ke bawah, katanya dengan tertawa,
"Kukira siapa, rupanya Can Ing-siong, Congpiauthau dari Wi-bupiaukiok.
Congpiauthau buru-buru menempuh perjalanan, memangnya sedang menguber
rampok?"
Can Ing-siong menghela napas, katanya, "Yang kami kejar meski bukan rampok, tapi
lebih jahat daripada rampok. Terus terang saja, Kim-tayhiap, Wi-bu-piaukiok memang
belum jaya, tapi berkat bantuan para sahabat Kangouw, selama beberapa tahun
belum pernah usaha kami mengalami kegagalan. Tak nyana semalam tanpa sebab
budak liar itu berani mencabut panji perusahaan kami, meski orang she Can tahu
bukan tandingannya, betapa pun akan kususul dia, kalau tidak, apakah
Wi-bu-piaukiok masih bisa berkecimpung di kalangan Kangouw?"
Bola mata Kim Put-hoan berputar, biji matanya yang buta itu pun seakan-akan
bersinar, katanya dengan tersenyum, "Yang dimaksudkan Congpiauthau apakah si
nona berpakaian putih dengan seorang budak kecil berpakaian serbamerah?"
Can Ing-siong terbeliak kaget, serunya girang, "Betul, apa Kim-tayhiap tahu di mana
mereka sekarang?"
Kim Put-hoan tidak menghiraukan pertanyaan orang, matanya mengawasi mantel
kulit rase hitam berbulu panjang yang membungkus tubuh Can Ing-siong, katanya
sambil menghela napas, "Mantel kulit Congpiauthau ini entah beli di mana, kalau
dipakai kelihatan gagah dan kereng, besok kalau pengemis rudin macamku ini
memperoleh rezeki besar meski harus menahan kelaparan juga akan kuusahakan
untuk beli satu."
Can Ing-siong melengak, segera dia membuka mantelnya, dengan kedua tangan
diangsurkan kepada Kim Put-hoan, katanya, "Bila Kim-tayhiap tidak anggap barang
lama, silakan ambil saja ...."
"Ah, mana boleh? Mana berani kuterima?" di mulut menolak tapi tangan Kim Put-
hoan sudah terulur untuk menerima mantel itu.
Lalu Can Ing-siong berdehem, katanya, "Barang yang tak berharga. Asal Kimtayhiap
sudi memberi imbalan yang pantas ...."
Kim Put-hoan langsung mengenakan mantel itu, katanya sambil menuding ke utara,
"Nona gede dan budak cilik itu lari ke sana, kalau mau mengejar, lekas susul ke
sana!"
"Terima kasih!" ucap Can Ing-siong sambil mencemplak ke atas kudanya, di tengah
aba-abanya puluhan kuda itu segera dibedal lagi ke utara.
Ji Yok-gi menyaksikan sambil berkerut kening, katanya sambil geleng kepala,
"Kim-heng sudah punya mantel bulu si pemuda, kini ditambah lagi dengan mantel ini,
apa tidak kebanyakan ...."
"Kebanyakan apa?" tukas Kim Put-hoan dengan gelak tertawa, "apa pun yang
diinginkan Kim Put-hoan selalu terasa kurang dan tidak pernah kebanyakan .... Eh,
aneh, ada orang datang lagi."
Ji Yok-gi memandang ke sana, betul juga, dari jauh datang pula serombongan
penunggang kuda. Dandanan rombongan bermacam regam, ada yang berjubah kulit,
ada yang berpakaian ketat, sikap mereka kelihatan lebih gagah dan kereng daripada
puluhan penunggang kuda tadi.
Tiba-tiba orang yang paling depan berteriak, "Yang berdiri di tengah jalan bukankah
Kian-gi-yong-wi Kim-tayhiap?"
Baru beberapa patah kata itu diucapkan, rombongan penunggang kuda itu pun sudah
dekat.
Diam-diam Ji Yok-gi kaget dan membatin, "Tajam benar pandangan orang ini."
Dilihatnya orang yang bersuara ini berperawakan pendek, rambut dan jenggotnya
sudah putih, mengenakan jubah bersulam yang panjang, tampangnya jelek, sikapnya
mirip guru sekolah di kampung, namun matanya mencorong tajam bagai mata kucing
di tengah kegelapan.
Kim Put-hoan tertawa, katanya, "Belasan tombak jauhnya dan kuda masih berlari
kencang, tapi dapat melihat jelas bentukku, dalam kalangan Bu-lim, kecuali Sin-
gan-eng (elang mata sakti) Pui Jian-li, masa ada orang lain lagi?"
Orang tua pendek itu sudah melompat turun, katanya dengan tertawa sambil
mengelus jenggot, "Beberapa tahun tidak bertemu, sekali bertemu Kim-heng sudah
memujiku setinggi langit, kalau jatuh bisa gepeng aku ini."
Kim Put-hoan menyapu pandangan sekejap, katanya, "Wah kebetulan, kecuali
Pui-heng ternyata masih ada Pok-thian-tiau Li Ting, Li-tayhiap, Joan-hun-yan Ih
Ji-hong, Ih-tayhiap juga datang."
Yang berada di atas kuda sebelah kiri adalah seorang tua beruban, tubuhnya masih
kelihatan kuat, yang di sebelah kanan mengenakan jubah sutera seorang tua yang
memelihara lima jalur jenggot berperawakan tinggi.
Berbareng kedua orang ini melompat turun dari atas kuda, keduanya lantas menjura
sambil menyapa, "Selamat bertemu Kim-heng!"
"Menurut berita, sejak peristiwa Heng-san dulu, Hong-lin-sam-niau (tiga burung dari
hutan angin) katanya sudah hidup tenteram di rumah, hari ini sekaligus kalian keluar
kandang, memangnya hendak menikmati sedapnya hujan salju?"
Laki-laki tua pendek Pui Jian-li menghela napas, katanya, "Kami tiga bersaudara
memang ditakdirkan bernasib jelek, sekadar istirahat juga tidak boleh, hidup setua ini,
kalau kantong kempis, mana bisa makan. Terpaksa kami membuka pintu dan
membuat lapangan menerima beberapa murid sekadar untuk ongkos hidup. Eh,
tanpa terasa beberapa tahun telah berlalu, murid tertua juga sudah lulus dan bantu
mengajar, kami bertiga tua bangka ini jadi malas turun tangan, perguruan kami
serahkan kepada mereka. Tak nyana, se ... semalam entah dari mana datangnya
budak gila itu, tidak ada permusuhan tiada dendam, tanpa sebab tahu-tahu tempat
kami diubrak-abrik, katanya Jitkohnio sebal melihat permainan kami yang menipu
orang melulu."
Kim Put-hoan dan Ji Yok-gi saling pandang, dalam hati mereka maklum dan merasa
geli pula, batinnya, "Ternyata Jitkohnio itu memang gadis binal yang suka membuat
onar di mana-mana."
Setelah menghela napas, Pui Jian-li berkata pula, "Beberapa muridku itu memang
tidak becus, dalam sekejap mereka dihajar hingga babak belur dan pontang-panting,
mereka lari melapor kepada kami. Kami tiga tua bangka yang tak berguna ini telah
mendidik murid yang tidak becus, betapa pun harus membela mereka, apa boleh buat
terpaksa kami keluar kandang, meski jiwa lapuk harus kami pertaruhkan juga, budak
gila itu akan kami bekuk, ingin kutanya kepadanya berdasarkan apa dia hendak
menggulingkan periuk nasi kami."
Sebelum Kim Put-hoan buka mulut, Ji Yok-gi mendahului menuding ke utara,
"Mereka lari ke sana, lekas kalian mengejarnya!"
Pui Jian-li melirik sekejap, katanya, "Saudara ini ...."
Kim Put-hoan tertawa dingin, katanya, "Biar kuperkenalkan, inilah Tang-jin-cayloh
(mencegat rezeki orang lain) Ji Yok-gi, apakah Pui-heng belum pernah melihatnya?"
Pui Jian-li melongo, katanya dengan tertawa, "Ji Yok-gi? Bukankah Giok-bin-yaukhim
Sin-kiam-jiu Ji-tayhiap? ...." ia menjura dan berkata pula, "Banyak terima kasih atas
petunjuk Ji-heng, biar kami bersaudara segera mohon diri."
Tanpa bicara lagi langsung ia mencemplak ke atas kuda terus dibedal ke utara.
Kim Put-hoan melirik ke arah Ji Yok-gi sambil tertawa dingin. Ji Yok-gi menyengir,
katanya rikuh, "Bukan sengaja kuhendak mencegat rezekimu, soalnya kulihat mereka
berpakaian sederhana, tidak pakai mantel, kantongnya tentu juga kosong, lebih baik
suruh mereka lekas pergi saja."
Mata satu Kim Put-hoan berkedip-kedip, mendadak dia tertawa, katanya, "Siapa
berani mencegat berarti dia musuh besarku, tapi Ji-heng ... hahaha, sesama saudara
sendiri, kenapa harus ribut-ribut?"
Jilid 3
Di tengah gelak tertawanya dia tarik Ji Yok-gi dan diajak lari ke utara.
Ji Yok-gi heran, tanyanya, "Kenapa Kim-heng hendak mengejar ke sana?"
"Di depan sudah ada Can Ing-siong dan Hong-lin-sam-niau, setelah ada pelopornya,
kenapa kita takut? Biar kita kuntit mereka untuk menonton keramaian saja?"
Tiba-tiba di belakang pohon di tepi jalan ada seorang berkata dengan tertawa,
"Mungkin juga masih dapat menggagap ikan di air keruh, bila ada kesempatan dapat
pula menarik keuntungan, benar tidak?"
Lalu tampak Kiau-jin-lan-sim Li-cu-kat Hoa-sikoh melangkah keluar, Singa Jantan
Kiau Ngo berada di belakangnya dengan mata mendelik menatap Kim Put-hoan.
Berubah air muka Kim Put-hoan, tapi dia lantas tergelak, katanya, "Siapa nyana
Singa Jantan hari ini berubah jadi musang, makanya langkahnya ringan tidak
kedengaran datangnya, Siaute sampai kaget setengah mati." Jelas dia menyindir
tindak tanduk Kiau Ngo yang main sembunyi, secara tidak langsung ia memaki tanpa
menggunakan kata-kata kotor.
Kontan merah muka Kiau Ngo, serunya gusar, "Kau ... kau ...." saking gusar, dia tak
mampu bicara malah.
Kim Put-hoan makin senang, katanya tertawa, "Ada apa kalian menyusul kemari?"
Hoa-sikoh tersenyum, katanya, "Kami ingin memberi pesan kepada Ji-siauhiap ini
agar jangan sampai terjebak oleh manusia yang rendah budi."
Kim Put-hoan pura-pura tidak tahu bahwa dirinya yang dimaki, dia malah tertawa,
katanya, "Hoa-sikoh sungguh baik hati, pantas dipuji ...." sekilas dia melirik Ji Yok-gi
lalu menyambung, "Tapi Ji-heng sudah berpengalaman di dunia Kangouw, sejak
kapan dia perlu diperhatikan dan diberi pesan segala, Siaute heran dan tidak
mengerti."
Merah jengah muka Ji Yok-gi, katanya, "Orang she Ji bisa menjaga diri dan bertindak
hati-hati, tak perlu kalian memerlukan datang memberi tahu kepadaku."
Hoa-sikoh geleng-geleng kepala sambil menghela napas, tapi dia tidak bicara lagi.
Kim Put-hoan berkata pula, "Ji-heng memang punya tujuan sendiri, buat apa kalian
membuat keruh air jernih?"
Tangan Kiau Ngo sudah terkepal, namun diam-diam Hoa-sikoh menariknya.
Kim Put-hoan tertawa, katanya, "Sejak kapan kalian menjadi begini mesra, sungguh
harus diberi selamat, kelak bila tiba saatnya mengadakan pesta, jangan lupa
mengundangku untuk minum arak!" — Di tengah gelak tertawanya, dia tarik Ji Yok-gi
terus pergi.
Kiau Ngo menggerung gusar dan hendak melabraknya, tapi Hoa-sikoh mencegahnya
lagi, terdengar di kejauhan Ji Yok-gi berkata lantang, "Pasangan mereka memang
setimpal ...."
"Keparat, sembarang mengoceh, Sikoh, jangan ambil pusing," kata Kiau Ngo sambil
menyengir.
Hoa-sikoh tersenyum, "Mana aku pikirkan mereka?"
Kiau Ngo menghela napas, katanya sembari menengadah, "Pendekar ternama di
Bu-lim ternyata berjiwa rendah begitu ...."
Angin mengembus, dari kejauhan terdengar pula derap kuda mendatangi.
Hoa-sikoh menghela napas, gumamnya, "Siapa lagi yang akan mencari perkara
kepada Jitkohnio itu ...."
*****
Saat itu Jitkohnio sedang membedal kudanya sekencang angin, sementara bocah
merah tetap menarik si pemuda, mati pun tidak mau melepaskannya, maka seekor
kuda tiga penunggang terus melanjutkan perjalanan, sebentar saja mereka sudah
mencapai beberapa li.
Kejap lain tujuh orang anak buahnya juga sudah menyusul tiba, Jitkohnio
memperlambat lari kudanya, katanya tertawa, "Setelah mendemonstrasikan
kepandaianmu tadi, kuyakin mereka tak berani lagi mengejar kemari."
Si pemuda menggeleng kepala, akhirnya menghela napas, katanya, "Cu Jit-jit, kau
bikin susah saja padaku."
Dengan lembut Cu Jit-jit menjawab, "Hari ini kau tolong dia, pasti takkan dia lupakan
dirimu. Eh, coba katakan, apakah bisa kau lupakan Sim Long?"
"Tak bisa kulupakan," bocah merah tadi tertawa. "Pasti takkan kulupakan."
Lebar tertawa Cu Jit-jit, "Bukan saja dia tidak bisa lupa, aku pun takkan lupa."
Pemuda itu bernama Sim Long, katanya, "Sebaliknya akulah yang berharap kalian
melupakan diriku, jika kalian tidak melupakan diriku, sungguh aku bisa celaka."
"Nonaku justru sangat suka padamu, mana mungkin mencelakai kau?" ucap si anak
merah dengan cekikikan.
"Sudah, sudahlah," kata Sim Long. "Ampunilah aku."
Mendadak dia menarik muka dan berkata pula, "Coba jawab pertanyaanku, jelas kau
bukan Hoa Lui-sian, kenapa kau sengaja membiarkan mereka menyangka dirimu
Hoa Lui-sian?"
Berkedip mata Cu Jit-jit, katanya, "Siapa bilang dia bukan Hoa Lui-sian?"
Sim Long tertawa, "Kalau dia betul Ciang-tiong-thian-mo, apakah Ji Yok-gi masih
bernyawa sekarang? Bila dia betul Sian-thian-jin-te, waktu lari apakah perlu aku
menangkis pukulan mereka? Jitkohnio, sudah cukup banyak kau tipu orang, tapi
akulah yang sudah tanpa sebab kau jadikan kambing hitam, Thian-hoat Taysu pasti
membenciku setengah mati."
Anak merah tadi cekikikan, katanya, "Sebelum kemari sudah kudengar Jitkohnio
memujimu setinggi langit, kini setelah kubuktikan kenyataan Kongcu memang sangat
hebat. Kakek yang dijuluki si cerdik nomor satu di dunia itu kalau dijadikan budak
Sim-kongcu saja tidak setimpal."
Sembari bicara dia lantas menanggalkan topengnya hingga kelihatan wajah yang
mungil itu memang benar masih memakai kedok tipis pula.
Sekali raih si bocah kembali melepaskan kedok mukanya, sekarang terbukti memang
benar adalah seraut wajah anak kecil, tapi sekali-kali bukan kedok kulit lagi, wajahnya
putih bersemu merah, mirip buah apel yang mulai matang, siapa pun bila melihat
pipinya, rasanya ingin mengeremuskan bulat-bulat, bola matanya bundar berputar,
bila tertawa tertampak dekik pada kedua pipinya.
Dia menjura kepada Sim Long, katanya dengan tertawa, "Siaute Cu Pat, ayah
memanggilku Hi-ji, Cici memanggilku si binal, tapi orang lain memanggilku Hwehay-ji
(anak bara). Sim-toako, terserah padamu mau panggil apa padaku, yang terang sejak
kini Cu Pat tunduk lahir batin kepadamu."
Padahal Sim Long sudah menduga akan rahasia ini, tidak urung sekarang dia
melongo juga, sesaat lamanya baru dia menarik napas panjang, katanya, "Jadi kau
ini pun anak murid keluarga Cu."
Cu Jit-jit tertawa geli, katanya, "Adik mestikaku ini memang nakal, Go-ko (kakak
kelima) sendiri merasa pusing terhadapnya, sekarang dia mau tunduk padamu,
sungguh luar biasa."
Sim Long menghela napas, katanya, "Apakah ini juga kau anggap kenakalan saja?
Lebih benar kalau dikatakan akal muslihat keji. Hoa Lui-sian entah sudah pergi ke
mana, kenapa adikmu ini disuruh membikin onar agar orang beranggapan dia ini Hoa
Lui-sian? .... Ai, jurus Thian-mo-hwi-liong-sik yang dilancarkannya tadi memang
bagus, Ki Ti yang berpengalaman pun kena dikelabui."
Anak merah alias Cu Pat tertawa, katanya, "Di antara Thian-mo-cap-sa-sik hanya
jurus itu yang pernah kupelajari, serangan serabutan tak keruan tadi justru adalah
pelajaran asli yang kuyakinkan."
"Justru serangan tak keruan itulah yang telah bikin celaka orang, kalau bukan karena
serangan serabutan tadi, masa Ki Ti bisa kau tipu .... Tapi aku ingin tanya padamu,
dalam tipu pemalsuan kali ini, sebetulnya apa latar belakangnya? Di
mana Hoa Lui-sian? Bahwa aku sudah kalian seret ke dalam persoalan ini, sedikit
banyak aku harus tahu seluk-beluknya."
"Soal ini tidak bisa kujelaskan, tanya saja kepada kakak Jit," ujar si anak merah.
Cu Jit-jit menghela napas, katanya, "Betul, ini memang akal muslihat agar orang lain
menyangka Cu Pat adalah Hoa Lui-sian, maka apa yang akan dilakukan Hoa Lui-sian
di tempat lain tidak akan diduga oleh orang lain .... Tapi tidak perlu khawatir, apa
yang dilakukan Hoa Lui-sian kali ini tanggung bukan urusan yang bakal merugikan
orang lain, dia hanya mau mempermainkan Lian Thian-hun sekadar melampiaskan
kedongkolannya masa lampau saja."
Sim Long berkerut kening, katanya, "Lian Thian-hun berbudi luhur, suka membantu
yang lemah, berjiwa kesatria. Di antara Jin-gi-sam-lo dia terhitung yang paling perkasa
dan berjiwa pendekar, jika Hoa Lui-sian dendam kepadanya, aku yakin pasti Hoa
Lui-sian sendiri adalah pihak yang salah."
"Kali ini justru kau yang keliru," ujar Cu Jit-jit.
"Agaknya kau bangga membela Hoa Lui-sian, tadi kau bilang sudah puluhan tahun
tangannya tak pernah berlepotan darah, sampai aku pun percaya pada obrolanmu,
siapa tahu, tujuh tahun yang lalu masih ada juga seratus empat puluh jiwa yang
melayang di tangannya."
"Kedua hal itu justru merupakan satu perkara."
"Bisa kau jelaskan?"
"Sudah sebelas tahun Hoa Lui-sian tidak pernah meninggalkan rumah, adik Pat juga
sudah berusia sebelas, kalau tidak percaya, boleh kau tanya dia, apakah aku dusta
padamu."
"Setiap hari aku minta digendong olehnya, mana dia bisa pergi?" tukas si anak
merah.
Sim Long berkerut alis, "Kalau betul selama itu dia tidak pernah meninggalkan
Cu-keh-po (Benteng Keluarga Cu), lalu siapa yang membunuh seratus empat puluh
jiwa pada tujuh tahun yang lalu?"
"Itulah yang kuherankan. Lebih seratus orang itu semuanya memang musuh Hoa
Lui-sian, cara membunuh mereka juga mirip ilmu pukulan yang dulu sering digunakan
Hoa Lui-sian, sejak kematian seluruh anggota keluarga Kim Cin-ih dari Jiang-ciu
dalam semalam, Lian Thian-hun dan Leng Sam segera datang memeriksa di tempat
kejadian dan memastikan pembunuhnya adalah Hoa Luisian. Apa yang mereka
ucapkan, kaum persilatan percaya sepenuhnya. Padahal
pada malam kejadian itu, Hoa Lui-sian berada di rumah, bermain gundu dengan kami
bertiga, jika dia bisa menyulap dirinya menjadi dua dan membunuh orang ke
Jiang-ciu yang jauh sana, itu berarti kami telah bergaul dengan setan."
"Kalau begitu, sepantasnya kalian berusaha mencuci bersih nama baiknya."
"Nama Hoa Lui-sian sudah kadung busuk, terkenal jahat dan kejam, kalau aku yang
bicara, bobotnya jelas tidak sama dengan Lian Thian-hun, kalau aku membela dia,
apa orang mau percaya akan penjelasanku?"
"Alasanmu memang benar."
"Padahal Lian Thian-hun tidak menyaksikan sendiri, tanpa bukti lagi, dia memastikan
begitu saja perbuatan jahat seseorang. Bukan saja Hoa Lui-sian amat penasaran,
kami kakak beradik juga ikut keki, sudah lama kami ingin memberi hajaran kepada
Lian Thian-hun itu, sayang sejauh ini kami tidak mampu berbuat apa-apa, hingga kali
ini ...."
Dia tertawa manis, katanya pula, "Baru ini kami mendapat akal, Hoa Lui-sian kusuruh
memancing Lian Thian-hun di belakang, dengan Thian-mo-ih-ciong-sut,
mempermainkan dia sampai puas, bahkan sengaja menampilkan diri sekejap supaya
Lian Thian-hun mengenalinya. Bila Lian Thian-hun pulang dalam keadaan runyam,
pasti dia akan menceritakan pengalamannya itu. Padahal Ki Ti dan Li Tiang-ceng
menyaksikan dengan mata kepala sendiri di ruang pendopo, di mana Hoa Lui-sian
telah membuat onar, sudah pasti mereka takkan percaya apa yang diceritakan oleh
Lian Thian-hun? Biasanya Lian Thian-hun sangat tinggi hati, setiap patah
perkataannya cukup berbobot, apa pun yang dikatakannya pasti dipercaya orang,
bahwa kali ini saudara sendiri juga tidak mau percaya padanya, coba pikir apakah
dada Lian Thian-hun tidak akan meledak?"
Kuda masih dilarikan, meski lambat tapi mereka terus menempuh perjalanan di
tengah hujan salju yang makin lebat. Tak terasa dua li telah mereka tempuh pula.
Di atas pohon sebelah kiri jalan mendadak seorang tertawa cekikikan, katanya,
"Bukan saja dadanya meledak saking dongkol, orangnya pun hampir mampus karena
sesak napas."
Waktu Sim Long angkat kepala, dilihatnya salju menyelimuti seluruh pohon gundul itu
di pinggir jalan, mana ada bayangan orang, tapi setelah dia perhatikan, didapatinya di
atas pohon ada tumpukan salju yang mulai bergerakgerak dan berguguran ke bawah,
lalu muncul seorang berpakaian merah, memakai topeng dengan dandanan dan
bentuk tubuh yang sama dengan Cu Pat. Namun anak merah yang satu ini memakai
mantel berbulu warna putih,
maka waktu dia meringkal di atas pohon dan menutup tubuhnya dengan mantel
orang sukar melihat jejaknya, umpama Lian Thian-hun lewat di bawah pohon juga
takkan menemukan tempat sembunyinya.
Sim Long menghela napas, ujarnya, "Kukira itulah Ngo-sek-hou-sin-hoat (pancawarna
pelindung badan) dari Thian-mo-ih-ciong-sut. Sudah lama kudengar, syukur hari ini
dapat menyaksikan sendiri."
Si baju merah Hoa Lui-sian tertawa, "Kepandaian yang tak berarti, Sim-kongcu
sudi memujinya, nenek jadi rikuh malah." Cu Jit-jit tertawa, katanya, "Tak terduga
engkau sudah menunggu kami di sini, bagaimana, berhasil tidak?"
"Lian Thian-hun sudah kupermainkan sampai payah, maka nenek ...."
Mendadak embusan angin lalu membawa suara derap kuda yang dilarikan dengan
kencang ke arah sini. Cu Jit-jit berkerut kening, katanya, "Siapa yang mengejar
kemari?" Hoa Lui-sian berkata, "Kalau bukan Can Ing-siong, pasti Pui Jian-li." Sim
Long heran, katanya, "Can Ing-siong atau Pui Jian-li, kenapa mereka
mengejarmu?"
Hoa Lui-sian cekikikan, katanya, "Semua ini gara-gara Jitkohnio kita, tidak hujan
tanpa angin, dia bilang bendera Piaukiok itu amat jelek, lebih baik dicabut saja." Cu
Jit-jit tertawa geli, katanya, "Tapi kan bukan aku yang mencabutnya?" Melotot mata si
anak merah, serunya, "Memangnya kenapa kalau aku yang
mencabutnya, bila tua bangka itu mengudak ke sini, lihat saja kalau Cu Pat tidak
melabrak mereka habis-habisan." "Sudah, sudah," kata Hoa Lui-sian, "semula cuma
ada satu siluman pembuat huru-hara, sekarang bertambah dua kakak beradik yang
suka membuat onar, Sim-siangkong, bagaimana pendapatmu?"
Sim Long menjura, katanya, "Kalian siap bertempur, biar kumohon diri saja."
Dia terus memberosot ke belakang dan melompat ke pinggir jalan. "Jangan
pergi Sim-toako," teriak si anak merah.
Merah mata Cu Jit-jit, katanya dengan sedih, "Biarkan dia pergi, walau kita pernah
menolong jiwanya, memangnya kita harus menuntut imbalan kepadanya?"
Kontan Sim Long menghentikan langkahnya, sekali melejit ia melayang balik, katanya
sambil menghela napas, "Memangnya apa kehendakmu atas diriku, nona manis?"
Pecah tawa Cu Jit-jit, katanya perlahan, "Aku ingin ... kau harus ...." bola matanya
mengerling tajam, tiba-tiba dia gigit bibir dan melengos dengan malu.
Hujan salju makin lebat, angin juga tambah ribut, derap kaki kuda di kejauhan makin
mendekat, tapi dia seperti tidak peduli. Hoa Lui-sian menjadi gelisah, teriaknya, "Nona
manis, sekarang bukan saatnya manja, mau lari atau perang tanding, lekas ambil
keputusan!"
"Kenapa takut, hadapi mereka," seru si anak merah. "Sim-toako juga akan membantu
kita."
Sim Long melangkah perlahan, gumamnya, "Mau berkelahi? ...." setiba di samping
bocah merah, mendadak tangannya bergerak secepat kilat, Jian-kinhiat orang
dikebutnya sekali.
Kontan anak merah itu merasa kaku. Sim Long lantas mengempitnya, sekali lompat
dia cemplak ke atas kuda yang ditunggangi Cu Jit-jit, sebelah tangan menepuk pantat
kuda, segera kuda itu berjingkrak sambil meringkik terus membedal ke depan.
Terpaksa Hoa Lui-sian lari di belakang mereka, demikian pula kedelapan pengawal
berseragam hitam itu hanya mengikuti langkah Cu Jit-jit saja. Tanpa diperintah
serempak mereka pun membedal kudanya.
Mendadak Hoa Lui-sian melambung ke atas terus hinggap di atas pantat salah
seekor kuda, laki-laki penunggang kuda siap memberikan kudanya, tapi Hoa Luisian
berkata, "Pegang kendalimu, tak perlu urus diriku."
Dia berdiri di atas kuda dan kuda itu lari pesat seperti tidak membawa manusia
tambahan, Hoa Lui-sian bertengger dengan enteng, sudah tentu kawanan pengawal
itu amat kagum.
Karena dikempit di bawah ketiak Sim Long, anak merah itu berkaok-kaok, "Turunkan
aku, turunkan aku! Kalau tidak turunkan aku segera akan mencaci maki."
Sim Long tertawa, katanya, "Kalau kau berani membuat onar lagi, biar kucukur gundul
rambutmu, akan kuantarmu ke Ngo-tay-san dan kuserahkan kepada Thian-hoat
Taysu untuk dijadikan Hwesio cilik."
Melotot mata si anak merah, teriaknya, "Kau berani ... kau berani?" "Kenapa tidak
berani? Kalau tidak percaya boleh kau coba." Mengirik anak merah itu, dia kapok dan
tidak berani bersuara lagi. Cu Jit-jit tertawa geli, katanya, "Orang galak akhirnya
ketemu batunya, sekali ini
Pat-te benar-benar mati kutunya." Bocah merah itu berkata, "Dia kan bakal Cihu
(suami kakak), jadi bukan orang
luar, umpama aku takut kepadanya, memangnya perlu diperdebatkan. Betul tidak,
Cihu?" Sim Long menyengir. "Cis," Cu Jit-jit mendelik, "setan cilik, berani sembarang
mengoceh lagi, awas
kupotong lidahmu."
Bocah merah itu mencibir, "Di mulut saja Cici memaki aku, padahal dalam hati
alangkah senangnya." Cu Jit-jit tertawa dan mendadak membalik tubuh hendak
memukul, tapi begitu
dia membalik kebetulan dia menubruk ke dalam pelukan Sim Long malah.
Anak merah itu tertawa lebar, serunya, "Coba lihat, Cici cari kesempatan bermain."
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara seorang berteriak, "Tapak kuda ini masih
baru, budak itu pasti belum lari jauh. Ayo kejar!" Maklum angin mengembus kencang
dari selatan, maka suara derap kuda di belakang terbawa angin, dan dapat didengar
dengan jelas, tapi para pengejar itu
tidak mendengar percakapan mereka. Sim Long keprak kudanya supaya lari terlebih
kencang. Cu Jit-jit berkata, "Sebetulnya mereka bukan tandingan kita, kenapa kita
harus
lari?" "Bukankah kau pun bukan tandinganku, kenapa aku tidak
melayanimu?" "Huh, aku tanya betul-betul, kau menggoda malah."
"Memangnya aku bergurau? Ketahuilah, umpama kepandaianmu sepuluh lebih tinggi
daripada mereka, betapa pun jangan kau layani mereka."
"Kenapa jangan melayani mereka?"
"Kan pihakmu yang salah, kalau sampai berkelahi benar, bukankah bakal
ditertawakan orang. Apalagi Can Ing-siong dan Pui Jian-li bukan orang yang boleh
dibuat permainan, bila sampai bermusuhan dengan mereka, kelak ayahmu yang akan
menemui kesulitan."
Tertawa Cu Jit-jit, katanya, "Kalau demikian, kau toh memikirkan diriku."
Sim Long menghela napas, katanya, "Budi pertolonganmu masa tidak kubalas."
Cu Jit-jit menghela napas, sekalian dia rapatkan tubuhnya ke pangkuan Sim Long,
katanya, "Baiklah, lari juga boleh, terserah padamu mau lari sampai kapan."
"Aduh, asyiknya! ...." tiba-tiba si anak merah menggoda.
*****
Mereka lari menyusur pinggir sungai terus menuju ke barat, setiba di kota Liongseng,
mereka menyeberang sungai terus menuju ke Pit-yang. Syukur para pengejar itu jauh
tertinggal di belakang dan tak mungkin menyusul lagi. Namun kuda dan
penunggangnya juga sudah payah, sukar melangkah lagi. Waktu itu sudah hari kedua
menjelang tengah hari, hujan salju masih terus turun tak berhenti. Sebelum masuk
kota Pit-yang, Cu Jit-jit mengeluh, "Tak tahan lagi, aku tak tahan lagi! Kalau tidak
lekas mencari rumah penginapan yang bersih, aku bisa mampus di tengah jalan."
"Sekarang belum tiba saatnya istirahat, apalagi di sini, celaka kalau pengejar itu
menyusul tiba," kata Sim Long.
"Pengejar menyusul tiba? Dalam keadaan seperti ini peduli apa dengan para
pengejar itu, umpama mereka mengejar tiba dan membunuhku juga aku tetap ingin
tidur."
Sim Long kewalahan, katanya sambil geleng kepala, "Dasar gadis pingitan, rewel
dan manja ...."
"Apa katamu?" omel Cu Jit-jit.
"Ya, ya, aku bilang memang perlu istirahat."
Anak merah mencibir pula, katanya, "Bukan begitu katanya, dia bilang kau ini gadis
pingitan yang manja ...." mendadak dia berhenti bicara dan memandang terkesima ke
depan.
Waktu itu mereka mulai memasuki kota, deretan rumah penduduk di pinggir jalan
sudah kelihatan, jalan raya dilapisi balok batu besar, dari pengkolan sana tibatiba
muncul sebarisan orang. Setelah agak dekat baru terlihat jelas, puluhan orang
berbaju kasar dengan dada terbuka sedang menggotong belasan buah peti mati,
arahnya ke luar kota.
Para penggotong peti mati berlepotan debu dan hangus, namun peti yang mereka
gotong semuanya masih baru, belum dipelitur lagi, agaknya dibuat secara
tergesa-gesa karena perlu segera dipakai. Melihat gelagatnya, dalam kota Pit-yang
tiba-tiba berjatuhan banyak korban yang mati sehingga persediaan peti mati tidak
mencukupi.
Pejalan kaki semua minggir, namun tiada yang berani memerhatikan rombongan
pemikul peti mati ini. Ada yang tunduk kepala, ada yang melengos ke arah lain, ada
pula yang sengaja sembunyi ke dalam toko di sepanjang jalan, agaknya bila mereka
berani mengawasi rombongan peti mati itu, bencana bakal menimpa mereka.
Tapi bocah merah memandangnya dengan mata melotot, heran dan kaget, sesaat
kemudian baru dia menghela napas, katanya, "Banyak benar peti mati."
"Memang tidak sedikit," ucapnya Cu Jit-jit.
"Tidak sedikit apa, hakikatnya amat banyak. Peti mati sebanyak itu akan dikubur
bersama, sebesar ini belum pernah kulihat atau mendengar. Hehe, kuyakin kau pun
belum pernah melihat."
"Orang sebanyak itu mati sekaligus memang jarang terjadi. Lihatlah orang-orang di
tepi jalan seperti ingin menyingkir, mungkin di sini berjangkit penyakit menular."
"Kalau berjangkit penyakit menular, mayat mereka tentu sudah dibakar."
"Kalau bukan penyakit menular, pasti terjadi pertempuran kaum persilatan, maka
jatuh korban sebanyak itu, tapi pemikul peti itu tiada satu pun yang mirip kaum
persilatan."
"Karena itulah kejadian ini dikatakan aneh."
Hoa Lui-sian sudah menyusul tiba, dia mengenakan topeng, orang lain anggap dia
bocah cilik yang suka bermain dengan topengnya, maka tidak menarik perhatian
orang.
Cu Jit-jit berpaling dan tanya kepadanya, "Tahukah kau apa yang telah terjadi?"
"Peduli apa yang terjadi, kota Pit-Yang ini pasti tidak aman, lebih baik kita ...."
"Memangnya kenapa kalau tidak aman?" tukas Cu Jit-jit dengan melotot.
"Tidak apa-apa," Hoa Lui-sian menghela napas, lalu bergumam, "Sudah tidak aman,
kedatangan pula dua orang tukang mencari gara-gara .... Ai, mungkin akan ada
tontonan yang lebih menarik lagi."
Cu Jit-jit anggap tidak mendengar, asal Sim Long tidak bersuara, legalah hatinya.
Setelah rombongan pemikul peti mati lewat, segera dia melompat ke tengah jalan
raya. Tampak jalan raya yang panjang ini ternyata sunyi sepi, setiap pejalan kaki
sama bungkam sambil lalu dengan menunduk kepala, padahal rombongan peti mati
itu sudah tak kelihatan lagi, namun suara berbisik pun tidak terdengar. Jelas hal ini
amat janggal, tapi Cu Jit-jit tetap tidak peduli, setelah mendapatkan hotel segera dia
masuk kamar dan istirahat.
Hotel ini amat besar, mungkin hotel satu-satunya yang terbesar di kota Pit-yang ini.
Tapi hotel sebesar ini juga sepi-sepi saja, ruang makan di bagian depan juga tidak
terdengar percakapan orang. Para pedagang, pelancong yang tiba di Pityang
agaknya juga sudah pergi semua, yang belum datang agaknya juga putar haluan ke
tempat lain. Kota Pit-yang seolah-olah sudah menjadi kota teror.
*****
Menjelang magrib baru Cu Jit-jit bangun tidur, meski sudah tidur setengah hari, dia
masih belum puas juga. Maklum tidurnya tidak nyenyak, layap-layap dia seperti
mendengar suara kuda lari mondar-mandir di jalan raya. Setelah mandi dan
berdandan, dia keluar dan mengetuk jendela kamar sebelah, "Lo-pat, Lo ...."
Belum dia mengulangi seruannya, daun jendela terbuka, si anak merah tetap
berpakaian serbamerah, cuma potongan bajunya yang berbeda, dia berdiri di atas
ranjang yang letaknya dekat jendela, katanya dengan tertawa, "Sudah kuduga kau
pasti sudah bangun."
"Mana dia?" tanya Jit-jit dengan suara mendesis.
Si anak merah berkerut hidung, katanya, "Kau bisa dia pergi. Tengoklah sendiri,
bukankah dia masih mendengkur seperti babi mati."
"Jangan memaki orang," desis Jit-jit, dilihatnya di ranjang seberang sana seorang
rebah dalam selimut yang tebal, bantal guling pun terselubung di dalam. Cu Jit-jit
tertawa riang, katanya, "Jangan biarkan dia tidur melulu, lekas bangunkan dia!"
"Baiklah," ujar si bocah merah, mendadak ia jumpalitan ke belakang, turun di depan
ranjang yang lain, serunya, "Hei, bangun, bangun! Ratu iblis datang, masa kau masih
tidur juga?"
Seperti sudah mampus saja tidur Sim Long sungguh lelap, sedikit pun tidak bergerak.
Si anak merah bergumam, "Dia bukan lagi babi, tapi lebih mirip sapi ...." mendadak
dia menarik selimut. Di dalam selimut hanya terbungkus seprai dan bantal guling,
namun Sim Long entah ke mana perginya.
Cu Jit-jit menjerit kaget, segera dia menerobos masuk lewat jendela, selimut, bantal
guling dia ubrak-abrik ke lantai, serunya sambil membanting kaki, "Kau bilang dia
babi, justru kau sendiri babi. Kau bilang tidak tidur, memangnya dia menjadi lalat dan
bisa terbang tanpa kau ketahui? Tolong ... tolong ...."
Hoa Lui-sian dan para pengawal berseragam hitam itu langsung berlari datang. Cu
Jit-jit lantas berseru, "Dia ... dia sudah kabur..." belum habis bicaranya air mata lantas
bercucuran.
Karena dimaki, anak merah penasaran dan memonyongkan mulutnya, sambil
menyingkir dia mengomel, "Tidak malu, sudah sebesar ini, sedikit-sedikit menangis.
Huh, apa-apaan ...."
"Apa katamu?" kontan Cu Jit-jit berjingkrak gusar.
"Aku bilang ... maksudku, kalau orang sudah pergi, ya mau apa lagi, kan masih bisa
dicari."
"Lekas, ayo lekas cari, kalau tidak ketemu, awas kepalamu .... Lekas kalian cari,
kenapa hanya melongo saja? Mungkin ... mungkin kali ini sukar menemukan dia
lagi."
Mendadak dia menjatuhkan diri ke atas ranjang terus menangis tergerunggerung.
"Ayolah cari ...." seru si anak merah kesal.
Tiba-tiba bayangan orang berkelebat masuk dari luar jendela, tahu-tahu Sim Long
muncul kembali.
Kaget dan girang si anak merah, segera dia menubruk serta memegang lengannya,
teriaknya, "Bagus, sejak kapan kau kabur? Celakalah aku dimakimaki Cici."
Sim Long tersenyum geli, katanya, "Waktu kau mencaci Kim Put-hoan dalam
impianmu, diam-diam aku pergi ...."
*****
Melihat orang-orang berada di ruang makan sama berbisik-bisik tengah
membicarakan Cu Jit-jit, si anak merah naik pitam, katanya sambil mendelik, "Jitci,
coba lihat kawanan orang iseng itu, apakah perlu kuhajar mereka?"
"Kenapa kau marah?"
"Mereka membicarakan dirimu, masa kau tidak marah?"
Cu Jit-jit tertawa manis, katanya, "Cicimu kan cantik, maka orang mau
memperbincangkannya, jika kakak jelek seperti babi, kau beri upah pun mereka tak
mau membicarakannya, syukurlah bahwa orang-orang itu masih tahu membedakan
cantik dan jelek, tidak seperti ...." matanya mengerling Sim Long, lalu menyambung,
"tidak seperti laki-laki yang punya mata tapi seperti orang buta, ceweknya cantik atau
jelek juga tidak tahu."
Sim Long anggap tidak mendengar, Jit-jit kewalahan, saking jengkel dia angkat kaki
dan injak kaki Sim Long sekeras-kerasnya, Sim Long hanya tersenyum saja, tidak
memberi komentar, juga seperti tidak merasa sakit.
Anak merah itu geleng kepala, katanya gegetun, "Taci memang terhitung makhluk
aneh, yang pantas marah tidak naik pitam, yang tidak perlu naik pitam, dia justru
marah-marah."
"Setan cilik, peduli kau, jangan turut campur!" omel Jit-jit.
Anak merah alias Cu Pat tertawa, "Ya, baik, aku memang jeri padamu. Kalau kau
marah jangan kau tujukan kepadaku."
Didengarnya pembicaraan orang-orang itu makin keras dan berani, gelak tawa
mereka pun semakin ingar-bingar, tak segan-segan mereka menoleh kemari, malah
main tuding lagi. Anak merah berkerut kening, mendadak dia lari keluar memanggil
kedelapan pengawal itu masuk, seperti malaikat saja mereka disuruh berbaris di
belakang Cu Jit-jit, wajah mereka kereng dan mendelik gusar, bila ada orang yang
berani rewel rasanya mereka siap mengganyangnya, di mana ada suara ramai ke
sana mereka melotot. Lambat laun suara percakapan dan kelakar orang-orang itu
menjadi sirap, satu per satu mengeluyur pergi.
Tinggal seorang lagi yang duduk di pojok kiri sana, duduk tegak di atas kursi, sejak
tadi diam saja tidak bergerak, juga tidak ganti posisi, kedua matanya menatap tanpa
berkedip, seperti sedang menunggu seseorang, sorot matanya jalang memancarkan
rasa dendam yang tak terlampias.
Dia memakai baju biru panjang, warnanya sudah luntur karena sering dicuci, wajahnya
yang pucat seperti tidak berdarah, janggutnya kelimis, tidak memelihara kumis,
usianya sekitar 25-26 tahun.
Pada saat itulah dari luar masuk seorang lagi, perawakan dan tampangnya mirip
laki-laki berbaju biru itu, cuma pakaiannya jauh lebih perlente, kainnya dari bahan
mahal, usianya juga lebih muda, wajahnya berseri tawa, jadi jauh berbeda dengan
pemuda jubah biru yang merengut dingin. Beberapa kali sorot matanya mengerling ke
arah Cu Jit-jit, tak lupa ia pun melirik Sim Long, lalu langsung dia mendekati pemuda
berbaju biru itu, sapanya, "Toako, kau sudah datang lebih dulu?"
Sejak tadi sorot mata pemuda jubah biru tidak pernah berpindah dari pintu, pemuda
perlente agaknya sudah tahu bahwa pertanyaannya tidak akan mendapat jawaban,
setelah duduk dia lantas makan minum tanpa bicara, tapi sorot matanya juga selalu
ditujukan keluar.
Di sampingnya lagi terdapat sebuah meja bundar, beberapa orang laki-laki duduk
mengitari meja ini, diam-diam mereka sering melirik ke arah kedua pemuda ini, satu di
antaranya kelihatan bersikap garang, kalau memandang orang selalu mendelik,
sikapnya mengejek seperti meremehkan orang lain,
dengan suara tertahan dia sedang berkata, "Apakah kedua orang ini adalah
Ting-keh-hengte yang beberapa hari lalu pamer kepandaian itu?"
Seorang di sebelahnya juga berpakaian mewah tapi mukanya lancip dan matanya
sipit, kepalanya panjang, dari tampangnya sudah dapat diraba orang ini jahat dan
licik, dengan tertawa dia menjawab, "Pandangan Thi-toako memang tajam, sekali
pandang lantas mengenalnya."
Laki-laki temberang ini mengerutkan alisnya yang tebal, katanya, "Tak terduga kedua
orang ini juga datang kemari. Konon kedua saudara ini pun cukup tangguh, kalau
persoalan ini sampai mereka ikut campur, tentu urusan sukar diselesaikan."
Laki-laki bermata sipit itu tertawa perlahan, sahutnya, "Ting bersaudara ini memang
lawan tangguh, tapi di pihak kita ada si Tombak Sakti Thi Seng-liong, Thi-toako, soal
apa yang tidak dapat dibereskan?"
Thi Seng-liong di sebelahnya tertawa, tapi begitu dia menoleh, seketika berhenti
gelak tawanya, dia terlongong ke arah pintu, katanya kemudian dengan suara
tertahan, "Itu dia, lawan yang benar-benar tangguh telah tiba."
Hampir semua hadirin sama memandang ke luar pintu, tampak seorang lelaki dan
seorang perempuan, menggandeng seorang anak perempuan lagi datang dengan
langkah lebar. Kedua orang ini seperti suami-istri, yang lelaki berpundak lebar seperti
beruang, pinggang kekar laksana orang hutan, otot tubuhnya kelihatan merongkol,
kelihatannya memiliki tenaga yang luar biasa, tulang pipinya menonjol, mulutnya lebar
hampir menjangkau kuping, tampangnya kereng menakutkan.
Yang perempuan justru bertubuh ramping dan berdada montok, rambutnya digelung
tinggi, dipandang dari samping kelihatannya cantik molek laksana bidadari, sayang
bila berhadapan dengan dia, maka tampak pada wajahnya yang molek itu ada jalur
merah bekas bacokan senjata tajam sepanjang tujuh dim, dari pelipis miring ke bawah
lewat tengah alis terus sampai ke ujung mulut. Mending kalau mukanya jelek, justru
wajahnya secantik kembang mekar, tapi dihiasi bekas bacokan sehingga kelihatan
seram dan membuat orang mengirik.
Kalau suami-istri bertampang mengejutkan, anak perempuan yang digandeng mereka
itu ternyata mungil jenaka, mukanya bulat dengan pipi yang bersemu merah, montok
dan bola matanya bundar berputar kian kemari, begitu melihat si anak merah segera
dia melelet lidah membuat muka badut, lalu mencibir.
Anak merah berkerut kening, katanya, "Setan cilik ini nakal sekali."
Cu Jit-jit tertawa, katanya, "Kau juga setan cilik, memangnya kau tidak lebih nakal?"
Seluruh hadirin sama memerhatikan kedua suami-istri ini, kedua suami-istri ini
ternyata tenang-tenang saja, sedikit pun tidak peduli akan perhatian orang banyak
atas diri mereka.
Mereka asyik momong putrinya, tanya mau makan apa dan mau minum apa.
Seolah-oleh hanya putri mereka saja yang paling penting di seluruh jagat ini.
"Hah, sungguh menarik," ucap Cu Jit-jit, "orang aneh semakin banyak, siapa nyana
kota Pit-yang ini ternyata begini ramai."
Tiba-tiba Sim Long mendesis, "Apakah kau tahu siapa kedua suami-istri ini?"
"Apakah mereka tahu aku ini siapa?" Jit-jit balas bertanya.
"Siocia, nama besar kedua orang ini kurasa sepuluh kali lebih tenar daripadamu."
Cu Jit-jit tertawa, sahutnya, "Tujuh jago kosen Bu-lim masa kini juga cuma begitu
saja, memangnya mereka terhitung apa?"
"Tahukah di kalangan Kangouw tidak sedikit 'harimau mendekam dan naga sembunyi',
meski tokoh-tokoh lihai sangat jarang tapi para pendekar besar yang mengasingkan
diri entah masih betapa banyak. Tujuh jago kosen itu hanya kebetulan saja pernah
muncul dalam percaturan Kangouw dan belum terkalahkan, jadi hanya kebetulan saja,
sehingga terciptalah kebesaran nama mereka. Memangnya kau yakin tiada jago lain
yang lebih lihai daripada mereka?"
"Baiklah, aku memang selalu kalah berdebat denganmu, lantas siapa kedua orang
ini?"
"Aku juga tidak tahu."
Keruan Jit-jit mendongkol, dia berbisik, "Kalau di sini tiada orang sebanyak ini, ingin
kugigit telingamu."
Sekonyong-konyong terdengar seorang bergelak tertawa, suara tertawa latah itu
berkumandang dari luar pintu, gelak tawa yang keras memekak telinga,
kedengarannya seperti ada belasan orang tertawa bersama. Keruan hadirin berjingkat
kaget, semua menoleh ke sana.
Tertampaklah delapan laki-laki sedang mengiring seorang Hwesio gede gemuk
masuk ke restoran. Ketujuh laki-laki pengiring itu semua berpakaian bagus,
langkahnya tegap, matanya tajam, jelas mereka pun orang persilatan, tapi sikapnya
kepada si Hwesio ternyata munduk-munduk.
Sebaliknya tingkah laku Hwesio gede itu menyebalkan, walau cuaca buruk dan hawa
dingin, dia hanya memakai jubah pendek di atas lutut dengan celana pendek pula,
baju bagian dadanya tersingkap lebar, sehingga daging dadanya yang gembur
kelihatan bergetar setiap kakinya melangkah. Kontan Cu Jit-jit mengerut kening.
"Jit-ci," bisik si anak merah, "coba lihat, Hwesio itu mirip apa?"
Jit-jit cekikik geli, omelnya, "Setan cilik, ada orang sedang makan, jangan kau omong
kotor, awas kalau sampai lenyap selera makanku."
Anak merah itu berkata pula, "Kalau Hwesio gede ini juga pandai Kungfu, tentunya
amat aneh. Padahal berjalan pun napasnya ngos-ngosan, mampukah dia berkelahi
dengan orang?"
Tujuh-delapan lelaki yang mengiringi kedatangan Hwesio gede itu ternyata punya
pergaulan luas, begitu mereka masuk seluruh hadirin segera berdiri dan menyapa
dengan hormat. Hanya kedua suami-istri tadi seperti tidak peduli kehadiran orang,
sementara kedua saudara Ting juga tetap menunduk saja, mereka sibuk
makan-minum sendiri, tidak menoleh ke kanan-kiri.
Thi Seng-liong segera tarik lengan baju laki-laki bermata sipit, tanyanya perlahan,
"Siapakah Hwesio gemuk ini, apa kau tahu?"
Lelaki sipit juga berkerut kening, katanya, "Setiap jago lihai yang punya sedikit nama
di dunia Kangouw, boleh dikatakan aku Ban-su-thong (segala urusan tahu) pasti
kenal, tapi Hwesio yang satu ini aku tidak tahu siapa dia."
"Kalau demikian, dia pasti seorang keroco yang tidak punya nama dalam Bulim?"
ucap Thi Seng-liong.
"Ya, ku ... kukira demikian ...." sahut Ban-su-thong ragu-ragu.
"Kentutmu busuk," tiba-tiba Thi Seng-liong menghardik gusar, "kalau dia seorang
keroco, memangnya Cin-piauthau, Ong-piauthau, Song-cengcu dan lain-lain sudi
bersikap hormat kepadanya. Ban-su-thong apa, sekali ini matamu agaknya lamur!"
Ruang itu sudah penuh sesak. Banyak orang berjubel tidak kebagian tempat duduk,
maka tidak sedikit yang berdiri di pinggir sehingga delapan kacung restoran sibuk dan
kerepotan. Dalam ruang makan besar dan dihadiri orang
sebanyak ini, yang terdengar hanya gelak tertawa si Hwesio gede saja, percakapan
orang lain seperti ditelan oleh gelak tertawanya.
Anak merah itu jadi uring-uringan, omelnya, "Huh, menyebalkan!"
"Memang sebal, lebih baik kita ...."
"Kau mau cari setori lagi?" cegah Sim Long.
"Memangnya kau tidak muak melihat tampang orang seperti itu?"
"Coba kau lihat, berapa orang di sini yang membencinya, dua orang bersaudara di
pojok itu, setiap kali memandangnya terlihat sorot matanya penuh kebencian.
Beberapa kali sang kakak mau berdiri, tapi selalu dicegah oleh adiknya. Demikian
pula suami-istri itu, walau tidak pernah melirik sekalipun ke sana, tapi sikap mereka
kelihatan rada ganjil. Apalagi laki-laki kekar seperti menara itu pun rasanya sudah
gatal dan mau melabraknya, namun mereka toh segan dan ragu .... Cepat atau
lambat orang-orang itu pasti akan turun tangan, toh bakal ada tontonan, buat apa kau
sendiri harus turun tangan?"
"Baiklah, aku selalu kalah berdebat denganmu," omel Jit-jit.
Tiba-tiba terdengar si Hwesio gede itu berseru, "Nah, itu dia sudah datang!"
Waktu hadirin menoleh, tertampak dua laki-laki berbaju hitam mengempit dua lelaki
lain dengan topi miring beranjak masuk, sekali pandang orang akan tahu bahwa
kedua tawanan itu adalah pencoleng kampungan, tampak mukanya pucat, kedua
laki-laki berbaju hitam langsung menggusurnya ke depan Hwesio gede, sambil
membungkuk badan mereka memberi laporan, "Bajingan ini she Wi, berjuluk Wi Be
(kuda kuning), dia paling jelas tentang urusan itu, dalam kota Pit-yang ini, mungkin
hanya dia yang paling jelas persoalannya."
"Bagus, bagus," puji si Hwesio gede, "boleh persen dia dulu seratus tahil perak,
supaya hatinya senang dan tenteram."
Salah seorang pengiringnya segera melemparkan sekeping perak ke depan kaki Wi
Be.
Seketika melotot bola mata Wi Be.
Si Hwesio gede tertawa, katanya, "Kalau keteranganmu baik, nanti kupersen lagi."
Wi Be menghela napas lega, katanya, "Hamba Wi Be, sudah belasan tahun
berkecimpung dalam kota Pit-yang ...."
"Singkat saja, bicara yang penting," tukas si Hwesio gede, matanya menyapu
pandang sekelilingnya, lalu tertawa lebar, "suaramu juga harus keras, supaya seluruh
hadirin mendengar dengan jelas."
Wi Be berdehem beberapa kali, katanya lantang, "Di sebelah utara Pit-yang
menghasilkan batu bara, tapi penduduk Pit-yang tiada yang berani menggali batu bara
itu. Kira-kira setengah bulan yang lalu mendadak datang belasan pedagang, seluruh
areal tanah di utara kota Pit-yang dibelinya semua, mereka menyewa ratusan orang
untuk menggali batu bara. Mereka mulai bekerja pertengahan bulan yang lalu, tapi
setelah bekerja susah payah selama setengah bulan, hasilnya nihil, tiada batu bara
yang berhasil mereka gali."
Orang ini bercerita tentang gali-menggali tambang batu bara, tapi Cu Jit-jit dan Sim
Long melihat hadirin sama mengunjuk sikap yang serius, maka mereka menduga hal
ini pasti ada sangkut pautnya dengan kejadian yang mengejutkan di sekitar kota
Pit-yang, maka mereka pun mendengarkan dengan penuh perhatian.
Perlahan Wi Be ulur kakinya dan menginjak uang perak tadi, ujung mulutnya
mengunjuk senyuman puas, lalu melanjutkan, "Tapi pada tanggal satu bulan ini, jadi
empat hari yang lalu, batu bara tidak berhasil mereka keduk, sebaliknya di kaki bukit
di luar dugaan tergali sebuah pilar batu, di atas pilar itu terukir beberapa huruf ...
delapan huruf ...."
Sampai di sini seri tawanya tiba-tiba sirna, mimik wajahnya berubah takut dan ngeri,
suaranya pun gemetar, "Delapan huruf itu berbunyi: 'ketemu batu maju terus, takdir
tak terhindarkan'."
Diam-diam hadirin saling pandang, sikap mereka kelihatan makin prihatin, Hwesio
gede itu juga tidak tertawa lagi, katanya, "Kecuali kedelapan huruf itu, adakah ukiran
atau gambar lain di atas pilar itu?"
Wi Be berpikir sejenak, sahutnya, "Tiada lagi. Konon setiap goresan huruf itu
berbentuk panah, seluruhnya ada tujuh puluh goresan sehingga terciptalah delapan
huruf itu."
"Panah!?" tanpa sadar hadirin sama berseru kaget dan heran, mereka tidak paham
'panah' itu melambangkan apa.
Wi Be menghela napas, lalu menyambung, "Di antara kuli penggali batu bara itu ada
juga yang melek huruf, melihat tulisan pada pilar itu, mereka mundur tak berani
menggali lagi. Sebaliknya setelah melihat pilar batu itu, kawanan pedagang itu justru
berjingkrak kegirangan, mereka mau membayar tiga kali lipat bagi siapa yang tetap
mau bekerja. Malam itu juga ditemukan sebuah pintu batu
di belakang pilar, di atas pintu batu ini juga terukir huruf yang berbunyi: 'masuk pintu
selangkah, jiwa melayang seketika'. Warna hurufnya merah, kelihatan amat
mengerikan."
Ruang makan itu jadi sunyi, hanya terdengar dengus napas orang banyak. Maka Wi
Be melanjutkan, "Penggali itu juga melihat huruf itu, mereka tidak mau menggali lagi.
Agaknya kawanan pedagang itu juga sudah menduga akan hal ini, siang-siang
mereka sudah mempersiapkan hidangan, sayur-mayur dengan arak, tanpa basa-basi,
semua hidangan diberikan kepada penggali itu, sudah tentu mereka melalap habis
hidangan dan puluhan guci arak yang sengaja disediakan. Keruan orang-orang itu
mabuk, maka kawanan pedagang itu lantas menyerukan bekerja pula, tanpa sadar
para penggali itu mengambil pacul dan sekop dan mulai menggali lagi, mereka sudah
mabuk, maka tidak peduli apa arti tulisan yang tertera di atas pintu, dengan cepat
sekali pintu batu itu lantas terbuka dan semuanya masuk ke sana. Tapi hari kedua ...."
"Hari kedua kenapa?" bentak si Hwesio gede.
Jidat Wi Be basah oleh keringat dingin, suaranya gemetar, "Orang yang masuk itu
sampai hari kedua tiada yang keluar, sampai tengah hari, ayah bunda dan anak bini
mereka berbondong-bondong datang ke sana, mengharukan jerit tangis mereka,
sampai terdengar mereka yang tinggal di dalam kota, sungguh mengenaskan, amat
memilukan. Hamba ikut terharu dan mencucurkan air mata, hingga hari hampir sore,
tetap tiada reaksi apa-apa dari lubang galian."
Ia mengusap keringat di atas jidatnya, kelihatan jari-jari tangannya gemetar, setelah
ganti napas lalu melanjutkan, "Kemudian ada beberapa orang yang bernyali besar
memberanikan diri untuk masuk gua tambang itu secara berombongan. Akhirnya
ditemukan orang-orang itu ternyata sudah mati di dalam sebuah kamar batu, tiada
luka pada tubuh mereka, namun kematian mereka amat mengerikan, bola matanya
melotot, terbayang betapa takut, ngeri dan seram mereka sebelum ajal. Sudah tentu
orang-orang yang masuk itu tak berani melihat lagi, serempak mereka menjerit terus
berlari keluar. Saking sedih keluarga para korban akhirnya menjadi nekat, mereka
berlomba hendak menerjang masuk, untung orang banyak berhasil menahan dan
membujuk mereka, akhirnya dipilih beberapa pemuda yang bertenaga besar untuk
menggotong keluar mayat-mayat itu, langsung dikebumikan. Siapa tahu, orang-orang
yang menggotong keluar mayat-mayat itu, pada hari ketiga juga mati secara
mendadak dan aneh."
Wi Be ternyata pandai bicara, cerita yang mengerikan dapat diuraikan secara hidup
dan menarik sehingga hadirin seperti menyaksikan atau mengalami sendiri kejadian
itu, namun tidak sedikit hadirin yang merasa kaki dan tangan menjadi dingin, jantung
berdetak, sembilan di antara sepuluh orang tanpa sadar sama menenggak araknya.
Yang duduk di samping Hwesio gede adalah seorang laki-laki tua kurus kering,
matanya bersinar tajam, setelah menghabiskan araknya, dia termenung sejenak,
katanya kemudian, "Apakah kau tahu bagaimana kematian orang-orang yang
menggotong keluar mayat itu setelah hari ketiga?"
Wi Be membuka mulut, tapi tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Akhirnya
dengan suara serak dia berkata, "Hari ketiga lewat tengah hari, di antara mereka ada
yang sedang makan, ada yang sedang sembahyang, ada yang sedang menimba air,
ada pula yang sedang menulis. Tapi setelah tengah hari, orang-orang itu seperti
kesurupan setan saja, mendadak mereka melompatlompat, mulutnya terbuka tapi
tidak dapat mengeluarkan suara, lalu terbanting jatuh kelejatan, hanya sekejap jiwa
mereka lantas melayang."
Bergetar tubuh si kakek kurus, "trang", cangkir yang dipegangnya jatuh di atas meja,
matanya nanar mengawasi belandar, mulutnya bergumam, "Belum lewat tengah hari
... sungguh lihai ... sungguh lihai ...." sorot matanya menampilkan rasa kaget dan
ngeri, "prak", tahu-tahu cangkir teremas hancur.
Diam-diam Cu Jit-jit menggenggam kencang tangan Sim Long yang di atas meja,
wajahnya juga berubah pucat, hanya si anak merah yang terbelalak matanya,
katanya, "Mungkinkah orang-orang itu mati keracunan?"
"Betul," desis si kakek kurus kering. "Racun ... racun ... setiap tempat di balik pintu
batu itu pasti terdapat racun, siapa saja bila menyentuh pintu, dinding, atau
menyentuh mayat-mayat yang mati keracunan, mereka pun tidak bisa hidup dalam
dua belas jam lagi .... Racun seganas itu sudah dua puluh tahun lebih tidak pernah
kulihat."
Si Hwesio gede berkata, "Apakah racun itu lebih lihai daripada Cu-bu-cui-hun (lewat
tengah hari merenggut nyawa) milik dirimu yang ahli racun ini?"
Bahwa orang tua kurus kering ini ada pemilik Cu-bu-cui-hun-sah, orang ketiga dari
sembilan belas jenis senjata rahasia beracun di Bu-lim dan bernama Bok Hi, keruan
seluruh hadirin sama melengak dan pucat mukanya.
Bok Hi tertawa pedih, katanya, "Racun yang pernah kugunakan, kalau dibandingkan
orang hanya seperti permainan anak kecil belaka."
Si Hwesio gede berkerut alis, mendadak dia tergelak, katanya, "Bila mau ikut padaku,
tanggung tidak akan mati, racun yang paling jahat bagiku tak ubahnya seperti gula
pasir belaka," lenyap tertawanya mendadak dia berseru bengis, "Apakah mulut gua
itu sekarang sudah tersumbat?"
Cepat Wi Be menjawab, "Gua iblis itu dalam sehari telah membunuh dua ratus jiwa,
jangankan menyumbatnya, pergi ke sana pun tidak berani kecuali orang gila."
Hwesio gede tertawa sambil mendongak, "Kalau begitu, semua orang yang ada di sini
mungkin akan melihat ke sana, memangnya mereka juga orang gila semua?"
Wi Be melongo, seketika pucat air mukanya, cepat dia menyembah, ratapnya,
"Siaujin (hamba) tidak berani, tidak ... bukan begitu maksud hamba."
"Lekas enyah!" bentak si Hwesio gede.
Seperti mendapat pengampunan, setelah menyembah beberapa kali dia merangkak
mundur terus lari pergi, uang perak yang tadi diinjaknya pun lupa diambilnya.
Mendadak si anak merah melompat ke depan dan berjumpalitan dua kali, sekali raih
dia ambil uang perak itu terus dilemparkan pula. "Tring", uang itu jatuh di luar pintu,
tepat di depan Wi Be, waktu Wi Be memungut uang itu, si anak merah juga sudah
duduk kembali di kursinya, katanya dengan tertawa, "Uang hasil jerih payah, jangan
lupa membawanya."
Melihat usianya masih sekecil itu tapi sudah mendemonstrasikan Ginkang selihai itu,
keruan hadirin sama terbeliak kaget. Si Hwesio gede bergelak tertawa sambil keplok,
"Anak bagus! Ginkang hebat, dari siapa kau belajar?"
Berputar bola mata si anak merah, sahutnya, "Belajar sama Taci."
"Bagus, anak bagus! Siapa namamu?" tanya pula si Hwesio gede.
"Aku bernama Cu Pat-ya, Hwesio gede, siapa namamu?"
"Cu Pat-ya, hahaha, bagus Cu Pat-ya, aku bergelar It-siau-hud (Buddha tertawa
sekali), apa pernah kau dengar namaku?" di tengah gelak tertawanya mendadak,
tubuhnya bergerak perlahan menghampiri si anak merah, daging gempal di tubuhnya
bergetar turun naik, kelihatan lucu.
Tapi Cu Jit-jit dan Sim Long sedikit pun tidak merasa lucu, sebelum It-siau-hud maju
mendekat mereka sudah siap siaga, telapak tangan kanan Sim Long diamdiam sudah
memegang punggung si anak merah. Mendadak tubuh besar It-siauhud berkelebat,
melesat ke pinggir, bukan menubruk si anak merah, tapi menerjang ke arah
Ting-keh-hengte yang duduk di pojok sana.
Aksinya memang di luar dugaan hadirin, terjangan It-siau-hud sungguh secepat kilat,
tapi reaksi Ting-keh-hengte juga tidak kalah cepatnya.
Pemuda jubah biru Ting Lui menarik tubuh sedikit, kontan meja ditendangnya
mencelat, berbareng tangannya mencabut pedang lemas terus diayun ke depan.
Sementara pemuda perlente Ting Hi tergelak latah, serunya, "Bagus, Hwesio keparat,
kami bersaudara belum lagi mencari perkara kepadamu, tapi kau sudah mencari
gara-gara lebih dulu."
Cepat sekali kedua saudara Ting ini bergerak, tahu-tahu mereka sudah menyingkir
beberapa kaki ke kanan dan kiri.
Waktu itu tubuh It-siau-hud yang besar sedang terapung di udara, melihat meja
meluncur menumbuk dirinya, dia tidak berkelit atau menyingkir, dengan kepalanya dia
tumbuk meja itu hingga pecah berantakan. Seketika pecahan kayu, mangkuk piring
dan cangkir arak muncrat kocar-kacir, malah It-siau-hud masih sempat menyambar
dua kaki meja, di tengah gerungan murkanya, kedua tangannya menyapu kakak
beradik She Ting itu.
Perawakannya memang besar, kedua lengannya panjang lagi ditambah kedua kaki
meja, bila dibentang panjangnya ada satu tombak.
Segera angin menderu, api lilin besar di dalam ruang makan sama bergoyang mau
padam, sungguh dahsyat sekali serangan si Hwesio.
Tampaknya kedua Ting bersaudara sudah terkurung di bawah serangan dahsyat dan
tak bisa lolos. Hadirin sama terbelalak kaget, ada yang menjerit ada yang bersorak
memuji, tidak sedikit pula yang mengkhawatirkan keselamatan kedua saudara Ting
itu.
Tahu-tahu kedua Ting menyelinap lewat selicin belut dari bawah lengan baju si
Hwesio, padahal kalau mereka melompat mundur, umpama luput dari serangan ini,
pasti takkan bisa lolos dari serangan susulan selanjutnya.
Tapi pengalaman tempur kedua saudara ini ternyata amat luas, ketepatan tindakan
mereka pada saat terdesak juga setingkat lebih unggul daripada orang lain.
Dalam detik-detik yang gawat itu, mereka melakukan keputusan yang tidak mungkin
berani dilakukan oleh orang lain. Bukan berkelit atau menyingkir, mereka justru
memapak maju dan menyelinap lewat di bawah It-siau-hud, maklum tenaga orang
sukar dikerahkan ke bawah, jadi merupakan titik lemah dari gempuran yang dahsyat
ini.
Tahu-tahu It-siau-hud merasa pandangannya kabur, bayangan kedua saudara Ting
sudah lenyap. Segera terasa pula datangnya pukulan keras dari belakang, kiranya
tanpa berpaling kedua saudara Ting itu mengayun balik tangannya balas menyerang.
Padahal saat itu It-siau-hud tengah melancarkan serangan ke depan, untuk berputar
dan menangkis jelas sangat sulit.
Tapi Kungfu Hwesio latah ini memang juga mengejutkan, sambil menarik sikut kiri,
tangan kanan terayun ke kiri, lutut kiri setengah ditekuk dan kaki kanan menendang
miring ke kiri atas, tubuhnya yang besar secepat kitiran berputar di tengah udara, kaki
meja di tangan kiri tepat menangkis pedang Ting Lui yang menyambar tiba,
sementara kaki kanan menendang pundak Ting Hi.
Serangan tadi sangat dahsyat, tapi serangan kali ini sekaligus bertahan sambil
menendang dan menangkis, jarang ada tokoh silat yang mampu bertindak setangkas
ini, sasarannya jitu, temponya cepat, gerakannya tangkas, siapa pun tidak
menyangka tubuh yang besar itu mampu melakukan gerakan selincah ini.
Kedua Ting bersaudara menjengek, tanpa berpaling mereka terus melayang ke
depan, ketika It-siau-hud turun ke bawah, kedua saudara itu sudah jauh berada di
luar pintu. Terdengar Ting Lui mengejek, "Jika mau berkelahi, silakan keluar."
Ting Hi juga mendengus, "Kalau dia sudah berani kemari, memangnya dia takut
keluar?"
Serangan It-siau-hud itu dilancarkan dalam sekejap, gebrakan kedua pihak
sama-sama di luar dugaan orang banyak, terjadinya secepat kilat, semuanya
merupakan perpaduan antara pengalaman, Kungfu sejati dan kecerdikan, hadirin
menyaksikan dengan melongo kagum, setelah suara kedua saudara Ting
berkumandang di luar pintu baru hadirin serempak bersorak riuh rendah. Tertampak
wajah It-siau-hud berubah merah padam, tapi dia tidak mengejar keluar.
Di tengah duduknya Cu-bu-cui-hun Bok Hi mendengus, "Lui-hi-siang-liong-kiam,
masih muda dan gagah perkasa, di bawah ketenaran nama mereka tiada orang
lemah, selanjutnya Taysu harus bertindak lebih hati-hati."
It-siau-hud tertawa latah, katanya, "Kalau cuma kedua bocah ingusan ini masih
belum kupandang sebelah mata, jika tidak ada urusan penting yang harus kita
selesaikan, memangnya mampu mereka lolos dari genggamanku?"
Mendadak dia menarik muda dan menyapu pandang hadirin, katanya keras,
"Tentunya kalian sudah mendengar jelas bila di antara kalian ada yang tidak ingin
mengambil bagian, boleh silakan pergi dari sini. Asalkan punya tujuan yang sama,
boleh tetap tinggal di sini, nanti berunding pula denganku."
Tiba-tiba Cu Jit-jit menjengek, "Berdasarkan apa kau mengusir orang pergi dari sini?"
It-siau-hud menatap tajam ke arah Jit-jit, ia tertawa, "Nona berani bilang demikian,
tentu kedatanganmu bukan untuk urusan ini?!"
Cu Jit-jit membatin, "Orang ini kelihatan kasar, tapi juga bisa menggunakan otak,
ternyata seorang lihai."
Walau dalam hati tahu Hwesio ini lawan lihai, tapi sedikit pun dia tidak takut,
jengeknya, "Kau keliru, nonamu justru kemari karena soal itu."
Pada akhir katanya sengaja dia melirik Sim Long, pandangan It-siau-hud juga beralih
ke arah Sim Long. Dilihatnya Sim Long duduk bermalas-malasan sambil minum arak,
padahal keributan sudah terjadi dalam ruang makan ini, dia sedikit pun seperti tidak
tahu-menahu.
Selama hidup belum pernah It-siau-hud melihat orang setenang ini, dia melenggong,
mendadak ia tertawa, serunya, "Bagus ... bagus ...." dia terus berputar ke meja
sebelah sana dan bertanya, "Dan bagaimana kalian?"
Meja itu dikitari lima laki-laki, serempak mereka berdiri, semua berubah air mukanya,
satu di antaranya tertawa menyeringai dan menjawab, "Taysu bertanya, entah ada ...."
Belum habis dia bicara It-siau-hud sudah mencengkeramnya, orang itu dapat melihat
tangan It-siau-hud mencengkeram dadanya, tapi dia tidak mampu berkelit, tahu-tahu
tubuhnya sudah terangkat ke atas terus dibanding di atas meja. Meja hancur,
mangkuk piring pun berantakan. Keempat temannya berjingkrak gusar, mereka
membentak bersama, "Kau ...."
Belum lanjut ucapannya, terdengar serentetan suara "plak-plok", ternyata keempat
laki-laki itu telah dipersen beberapa kali tamparan, kontan muka mereka merah
bengap.
"Budak yang tidak berguna ...." bentak It-siau-hud, "makin banyak orang ikut
mengurus soal ini makin baik, tapi kalau orang-orang tak berguna seperti kalian ikut
campur, bukan saja hasilnya tidak memuaskan, salah-salah urusan bisa gagal total
.... Huh, lekas enyah!"
Cepat keempat orang itu menggotong temannya dan saling pandang, ada yang
mendekap pipi, ada yang menghela napas, dengan menunduk lesu mereka berlari
pergi.
Dalam pada itu It-siau-hud sudah berada di meja lain, meja ini diduduki empat orang,
sejak tadi mata mereka sudah melotot padanya, tangan terkepal dan siap menghadapi
segala kemungkinan yang akan menimpa mereka. Melihat Hwesio gede itu
menghampiri, serempak keempat laki-laki itu menggembor terus menubruk maju,
delapan kepalan besar serentak menggenjot tubuh It-siau-hud.
It-siau-hud bertolak pinggang sambil bergelak, mendadak tangan kirinya
mencengkeram dada seorang, berbareng tangan kanan terayun, seorang lain
dipukulnya berputar dua kali baru terguling. Lalu lututnya menyodok, seorang lagi
menungging sambil memegang perut. Laki-laki terakhir kena ditendangnya mencelat,
tepat melayang ke meja di mana Cu Jit-jit dan Sim Long berduduk.
Tanpa berpaling tangan Sim Long menyampuk, hanya dengan gerakan enteng,
laki-laki itu kena disengkelitnya hingga berdiri tegak jauh di sana tanpa kurang suatu
apa. Keruan di samping kaget, ngeri, ia pun takut, sesaat dia awasi Sim Long dengan
melongo, Sim Long tetap sibuk dengan araknya, segala sesuatu yang terjadi di
sekitarnya seperti tidak dihiraukannya.
It-siau-hud berkerut alis, sekali menghardik laki-laki yang dicengkeram oleh tangan
kirinya dia lempar, deru angin menyebabkan penerangan dalam ruang makan itu
menjadi guram, api lilin padam. Sekonyong-konyong seorang membentak di meja
sebelah, begitu berdiri dia ulur kedua tangannya, laki-laki itu kena ditangkapnya.
Laki-laki ini bukan lain adalah si Tombak Sakti Thi Sengliong.
Ban-su-thong berkeplok dan bersorak, It-siau-hud tertawa lebar, katanya, "Orang
bilang Thi Seng-liong adalah orang gagah nomor wahid di Hopak, kelihatannya
memang tidak bernama kosong."
Bercahaya wajah Thi Seng-liong, sikapnya tampak bangga, katanya sambil menjura,
"Tak nyana Taysu juga tahu namaku, sungguh orang she Thi merasa malu."
It-siau-hud berkata, "Tokoh seperti Thi-heng justru sangat kuperlukan, tapi yang lain
...." matanya lantas menyapu pandang seluruh hadirin, karena kepandaiannya
memang cukup menggetar nyali orang, maka tujuh di antara sepuluh orang diam-diam
berdiri terus mengeluyur pergi.
Ban-su-thong tertawa, katanya dengan berbisik, "Dua orang lagi yang duduk di meja
sebelah sana yang berpakaian ungu adalah Wi Hoat-hou bergelar Thongciu-it-pa,
yang berjubah kain kembang adalah putra angkatnya Siau-pa-ong Lo Kong, ke
sebelah sana adalah Poat-swat-siang-to-ciang Beng Lip-jin, Tin-sanciang Hongbu
Siong, Hin-te-bu-hoan Li Pa, Yu-hoa-hong Siau Mo-in, yang mengisap pipa cangklong
itu adalah Ong-jimoacu, ahli tutuk kenamaan di sekitar sungai besar."
Satu per satu dia menyebut nama tokoh-tokoh Kangouw yang terkenal itu seperti
menyebut nama-nama saudara sendiri, ternyata tiada satu pun yang tidak dia kenal.
"Bagus," puji It-siau-hud. "Masih ada?"
Ban-su-thong menghela napas lega, sambungnya, "Dua orang di meja itu adalah Sun
Thong, Sun-tayhiap dan Seng Ing, Seng-toakoanjin. Cayhe Ban Si-tong, orang salah
baca jadi Ban-su-thong (segala urusan tahu). Sedangkan nona yang duduk di meja
sana, kalau bukan putri Hoat-cay-sin keluarga Cu, pasti putri keluarga Hay di
Kanglam, hanya ... sepasang suami-istri itu, hamba tidak mengenalnya."
It-siau-hud tertawa, katanya, "Itu sudah cukup, memang tidak malu kau dijuluki
Ban-su-thong, kelak bila usahaku berhasil, tenaga macam dirimu ini memang sangat
kuperlukan."
Ban-su-thong kegirangan, katanya berseri, "Terima kasih."
"Seng-toakoanjin, silakan minum arak," mendadak It-siau-hud menepuk meja, cangkir
arak di atas meja itu tiba-tiba mencelat dan terbang ke depan Seng Ing.
Seng Ing tersenyum kalem, katanya, "Terima kasih atas pemberianmu."
Begitu tangan terulur, cangkir arak itu diterimanya terus ditenggak habis, arak dalam
cangkir sedikit pun tidak tercecer.
Orang ini masih muda, berwajah putih halus dan cakap, sopan santun lagi,
kelihatannya memang mirip pemuda bangsawan, tapi Kungfunya ternyata cukup
tinggi, dari cara dia menyambut arak tadi terbukti bahwa dia memiliki Lwekang yang
tinggi.
It-siau-hud tertawa lebar, serunya, "Bagus, bagus .... Sun-tayhiap, mari kusuguh kau
secangkir juga."
Kembali telapak tangannya menepuk meja, sebuah cangkir meluncur pula ke arah
Sun Thong di depan sana.
Ternyata Sun Thong juga seorang pemuda ganteng, cuma mata alisnya kelihatan
agak angkuh, melihat cangkir meluncur tiba, dia tidak ulur tangan untuk menyambut,
tiba-tiba mulut terbuka dan gigi menggigit, cangkir kena dia gigit, kepala Sun Thong
terus mendongak dan menenggak habis arak di dalamnya, tapi lantas terdengar,
"krak" lirih, ternyata cangkir itu kena digigitnya pecah, jelas
meski reaksinya cukup cekatan, pandangannya tajam, tapi latihan Lwekangnya
belum sempurna.
Keruan merah padam muka Sun Thong. Untung It-siau-hud lantas tertawa dan
berkata, "Pepatah bilang, belibis elok tidak mau terbang bersama burung jelek, empat
orang yang duduk bersama di meja ini memang boleh ditonjolkan sebagai Enghiong
(kesatria)."
Sun Thong kira orang tidak melihat kegagalannya, diam-diam dia bersyukur dalam
hati, tak terduga It-siau-hud tiba-tiba merendahkan suaranya dan berkata padanya,
"Kalau bibirmu pecah lekas kumur dengan arak, supaya tidak terlihat orang lain."
Sun Thong menyengir, katanya dengan menunduk, "Terima kasih atas petunjukmu."
Kembali It-siau-hud bergelak tertawa beberapa kali, tubuhnya yang gemuk itu
mendadak membalik ke belakang, dua jalur angin kencang memecah udara. Entah
kapan dia sudah meraih sepasang sumpit, dengan cara menyambitkan panah,
dengan jurus Ji-liong-jiang-cu, kedua sumpit itu mengincar kedua kaki Siau-pa-ong Lu
Kong.
Kelihatannya Lu Kong agak gugup, tak sempat melompat ke atas, kedua sumpit
sudah hampir mengenai mata kakinya. Mendadak kedua kaki Lu Kong terangkat dan
menendang bergantian, sepasang sumpit itu kena ditendangnya mencelat ke atas,
sekali meraih, Lu Kong menangkap sepasang sumpit itu, dengan enteng dia
melayang turun, langsung dia menyumpit daging ayam di atas meja terus dijejalkan
ke dalam mulut, sambil mengunyah dia tertawa, katanya, "Terima kasih, sepasang
sumpit ini kuterima."
Mukanya tidak merah, napas tidak memburu, dia mendemonstrasikan Ginkangnya
yang hebat, sekaligus juga memperlihatkan ketajaman matanya, tenaga pinggang dan
kekuatan kaki.
Hadirin yang menyaksikan memuji di dalam hati. Thong-ciu-it-pa WI Hoat-hou
tampak prihatin, dia tumplak seluruh perhatian, siap menunggu It-siau-hud menguji
dirinya.
Tak nyana It-siau-hud hanya tertawa lebar saja, katanya, "Kalau anak sudah selihai
ini, kuyakin bapaknya pasti boleh juga."
Dengan langkah lebar dia berlalu, maka legalah hati Wi Hoat-hou, diam-diam dia
menyeka keringat.
It-siau-hud menghampiri Beng Lip-jin yang bergelar Poay-swat-siang-to-cing (si Golok
Menyibak Salju), dia awasi orang dari atas sampai ke kaki, mendadak ia berkata
dengan suara tertahan, "Lik-pi-hoa-san (tangan membelah gunung Hoa)."
Sesaat Beng Lip-jin duduk melongo, kemudian baru sadar maksud orang, ternyata
It-siau-hud menguji dia dengan teori ilmu golok. Sudah puluhan tahun dia mendalami
ilmu golok, seperti murid yang diuji gurunya secara lisan, dengan tertawa lebar Beng
Lip-jin berkata, "Kiri menghantam dengan Hong-hong-siangca-ji, kanan memukul
dengan Swat-hoa-kay-ting-bun."
Sejurus dua gerakan, di samping menyerang sekaligus juga mempertahankan diri,
memang tidak malu dia dipuji sebagai ahli golok.
"Bagus, sekarang aku menyerang dengan Hoan-te-seng-hoa."
Beng Lip-jin melongo, lama dia berpikir, baru saja dia menemukan cara mematahkan
serangan itu, ternyata It-siau-hud telah memberondong pula dengan jurus-jurus
serangan lain, tiga jurus kemudian Beng Lip-jin sudah mandi keringat dan gelagapan.
It-siau-hud berkata pula, "Baiklah, aku memukul dengan Lik-pi-hoa-san, tadi kau
sudah telanjur menggunakan jurus Ko-jiu-ban-kin (akar membelit pohon kuno), jelas
tidak sempat lagi menggunakan jurus Swat-hoa-kay-ting itu."
Beng Lip-jin berkerut kening mengelus jenggot, otaknya bekerja keras, akhirnya dia
menghela napas lega, katanya, "Kiri memukul dengan jurus Tio-thiah-it-suciang
(sebatang dupa sembahyang kepada Thian), kanan menyerang dengan
Kui-bun-sam-tiap-long (tiga gelombang menggempur pintu), semuanya menyerang
tempat yang harus kau lindungi."
It-siau-hud manggut-manggut,
mencekik leher)."
"Bagus
....
Hwi-jiu-hong-au
(membalik
tangan
Beng Lip-jin menyeka keringat, katanya dengan tertawa, "Kalau aku menyerang
lambung bawahmu, kau pasti akan mundur ke belakang, mana mungkin bisa
melancarkan jurus Hwi-jiu-hong-au lagi?"
"Orang lain tidak bisa, tapi aku mampu .... Coba lihat," mendadak It-siau-hud ulur
tangan, golok panjang yang tergantung miring di pinggang Beng Lip-jin dilolosnya,
lalu dia bergaya melancarkan jurus Lik-pi-hoa-san, tapi sebelum gerakan penuh
mendadak dia mengkeret mundur, pundak tidak bergerak, kaki tidak tergeser, tapi
bagian bawah tubuhnya dapat meliuk mundur satu kaki, golok di tangan It-siau-hud
berputar balik, dia betul-betul melancarkan Hwi-jiu-hong-au,
sinar golok menyambar menebas leher Beng Lip-jin, tapi begitu golok hampir
menyentuh kulit orang, tahu-tahu golok pun berhenti.
"Bagaimana?" tanya It-siau-hud dengan tertawa.
Basah kuyup keringat Beng Lip-jin, suaranya gemetar, "Jika Taysu benar-benar
melancarkan jurus itu, maka batok kepalaku sudah terpenggal."
"Tapi tak perlu kau merasa sedih, bekal ilmu golokmu sudah termasuk kelas wahid,
jika orang lain, waktu aku melancarkan jurus Hoan-te-seng-hoa tadi, jiwanya pasti
sudah melayang."
"Trek", tahu-tahu golok sudah dia masukkan ke sarungnya, tanpa pedulikan Beng
Lip-jin, It-siau-hud berputar ke arah Hongbu Siong.
Beng Lip-jin menghela napas lega, namun kedua lutut gemetar tak bertenaga, badan
pun dingin, pakaian dalam basah oleh keringat dan lengket dengan tubuhnya, begitu
angin mengembus, seketika dia bergidik kedinginan.
Maklum, sejak Poat-swat-siang-to angkat nama, entah sudah berapa ratus kali dia
perang tanding, tapi dia yakin, adu kepandaian secara teori ilmu silat yang baru saja
berlangsung terlebih tegang.
Tin-sang-ciang (Pukulan Menggetar Gunung) Hongbu Siong, Hin-te-bu-hoan (Tanah
Gersang Tiada Akar) Li Pa dan Yu-hoa-hong (Kumbang Pengeliling) Siau Mo, ia
bertiga agaknya sudah ada kata sepakat. Sebelum It-siau-hud menghampiri mereka,
mendadak Li Pa putar badan dan lari keluar, sebuah baju hijau besar persegi di
tengah pelataran diangkatnya, baju hijau ini sebesar meja, beratnya paling sedikit ada
lima ratus kati, jika tidak punya tenaga raksasa, jangan harap bisa mengangkatnya.
Tapi Li Pa mampu mengangkatnya tinggi di atas kepala, lalu perlahan masuk pula,
tampak otot dagingnya merongkol, kedua lengannya tampak sangat kuat, gayanya
mirip raksasa yang menyanggah langit.
Tin-san-ciang Hongbu Siong berseru memuji, "Tenaga hebat!"
Tiba-tiba ia melompat bangun, berbareng telapak tangan kanan terayun, "blang",
seperti palu membentur batu, baju hijau besar itu kena dipukulnya pecah sebagian, di
bawah taburan debu pasir, batu besar itu mencelat dengan deru angin keras
melayang ke pekarangan.
Yu-hoa-hong Siau Mo-in sedikit mendak, tiba-tiba dia melesat keluar. Batu besar itu
sedang melayang keluar, tapi luncuran tubuhnya ternyata lebih cepat lagi, sebelum
batu itu jatuh sudah kena dia sanggah, sementara kakinya tidak
berhenti, beberapa kali lompatan, batu besar itu, dilemparnya keluar pagar tembok,
sesaat kemudian baru terdengar suara "blang", lalu tertampak Siau Moin melayang
balik pula, muka tidak merah napas tidak memburu, katanya dengan menjura, "Batu
itu mengganggu pemandangan di dalam pekarangan, dengan meminjam tenaga
pukulan Hongbu-toako tadi, aku membuangnya di tempat sampah di luar sana."
Tempat sampah yang dimaksud jauhnya ada ratusan tombak,
Mo-in sekaligus telah membawanya lari dan membuangnya
meminjam tenaga luncuran batu, tapi gerak tubuhnya memang
pandai memanfaatkan kesempatan, jelas kemampuannya tidak
lain.
Yu-hoa-hong Siau
ke sana. Walau
enteng dan cepat,
dapat ditiru orang
It-siau-hud tersenyum, katanya, "Kungfu kalian memang berbeda, tapi satu dengan
yang lain sama bagusnya, masing-masing punya kelebihannya, Li-heng keluar tenaga
lebih banyak, demikian pula gerakan Siau-heng lebih cepat, tapi kalau dipergunakan
untuk berhantam di medan tempur, Kungfu Hongbu-heng kurasa jauh lebih berguna."
Merah muka Li Pa, dia melengos ke sana, agaknya dia kurang terima. Siau Moin
menepuk pundak Hongbu Siong, seperti hendak mengatakan apa-apa, tapi tidak jadi.
Tiba-tiba Ong-jimoacu, ahli Tiam-hiat yang menggunakan pipa cangklong, bergelak
tertawa, katanya, "Analisis Taysu memang tepat, tapi menurut pendapatku, bila
bertempur dengan orang, pukulan Hongbu Siong juga belum tentu berguna."
"Dari segi aman kau berani bilang demikian?" tanya It-siau-hud.
"Pukulannya keras dan kuat, tapi tidak murni, pukulannya tadi mengakibatkan batu
muncrat dan debu berhamburan, pecahan batu-batu itu besar kecil tidak rata. Batu
yang dipukulnya pun melayang berputar, ini membuktikan bahwa landasan tenaganya
masih kurang kukuh, dari sini dapat dinilai bahwa latihan pukulannya paling-paling
baru mencapai enam bagian saja."
Berubah air muka Hongbu Siong, diam-diam dia terkejut akan analisis Ongjimoacu
yang tepat, ini membuktikan bahwa pandangannya tajam dan pengalamannya luas.
Jilid 4
It-siau-hud tertawa lebar, katanya, “Kalau demikian, pukulan Ong-heng tentu dapat
membuat batu hancur dan melayang kencang laksana panah?”
Tiba-tiba Hongbu Siong berdiri, serunya sengit, “Baiklah, ingin kumohon pengajaran
padamu.”
Ong-jimoacu menepuk jubah pendeknya yang berwarna kuning, lalu mengetuk pipa
cangklongnya di pinggir meja, perlahan ia berdiri. Tertampak mukanya kuning,
matanya sipit berbentuk segitiga, jenggot pendek menyerupai kambing, berdiri pun
rasanya payah, langkahnya sempoyongan, dia mendekati Hongbu Siong, katanya
dengan tersenyum, “Boleh kau coba memukulku sekali!”
Hongbu Siong berkata, “Pukulanku tidak murni, bila kurang hati-hati melukai Anda,
mana aku berani menanggungnya?”
Ong-jimoacu mengelus jenggot, katanya dengan tertawa, “Jika aku terpukul mampus,
memang akulah yang sial, takkan kusalahkan orang lain, apalagi aku ini sebatang
kara, ingin mencari bini juga serbasusah, maka jangan khawatir ada orang akan
menuntut balas kepadamu.”
Hongbu Siong menoleh ke kiri-kanan, katanya kemudian dengan bengis, “Kau sendiri
yang menghendaki, kuharap kawan-kawan yang hadir menjadi saksi .... Haait!” di
tengah bentakannya, jenggot panjang kelihatan bergetar, telapak tangannya
mendadak memukul dada Ong-jimoacu, pukulannya memang keras dan dahsyat.
“Serangan bagus!” puji Ong-jimoacu, berbareng telapak tangannya terus ditolak ke
depan, dia sambut pukulan lawan.
“Blang”, begitu kedua telapak tangan beradu, Hongbu Siong tertolak mundur
beberapa langkah, dadanya kembang-kempis, dengan mendelik ia menatap
Ong-jimoacu sekian lama, mendadak mulutnya menyemburkan darah segar.
Terkejut Siau Mo-in, teriaknya, “Hongbu-heng, kau ....” segera ia memburu maju
hendak mamapahnya, tapi Hongbu Siong mengipratkan tangannya dan mengentak
kaki dengan gemas, mendadak dia lari keluar.
Siau Mo-in hendak mengejar, tapi urung, ia tertawa getir sambil geleng-geleng
kepala.
It-siau-hud tertawa, katanya, “Boleh juga kau, Ong-heng, hari ini kau membuat
mataku terbuka.”
Sekali genjot Ong-jimoacu memukul mundur musuh, sikapnya tetap wajar, katanya
sambil mengelus jenggot, “Terima kasih, Taysu terlalu memuji.”
Tatkala itu ruang makan menjadi kacau, pecahan mangkuk piring berceceran di
lantai, tinggal meja Cu Jit-jit dan kedua suami-istri tadi yang tidak terganggu.
Sim Long tetap asyik dengan araknya, sikapnya santai, seperti tak acuh terhadap apa
yang terjadi di sekitarnya. Cu Jit-jit tetap mengawasinya dengan kesima. Sementara
suami-istri itu dengan tersenyum mengawasi anak mereka, tapi putri mereka, si gadis
cilik berpakaian hijau pupus itu berulang berpaling dan menggoda si anak merah, tapi
anak merah itu pura-pura tidak melihat, namun terkadang juga mengerut alis,
menghela napas, lagaknya mirip orang tua. Keenam orang ini seperti tenggelam
dalam pikirannya sendiri dan tidak menghiraukan orang lain.
It-siau-hud melangkah ke sana, tapi suami istri itu tetap diam, seperti tidak melihat
dan mendengar.
Cu Jit-jit mendesis, “Kalau Hwesio gede ini mencari perkara terhadap mereka berarti
dia cari susah sendiri.”
Seluruh hadirin menumplakkan perhatian ke arah It-siau-hud dan kedua suamiistri itu
dan ingin menyaksikan bagaimana It-siau-hud hendak menguji kedua orang ini.
Tak tahunya, belum It-siau-hud membuka suara, sekonyong-konyong di kejauhan
terdengar jeritan ngeri susul-menyusul, ada yang jauh, ada yang dekat, ada yang di
sebelah kanan, ada yang di sebelah kiri, ada pula yang seperti terjadi di dalam
lingkungan hotel ini.
Jeritan itu sangat menusuk telinga, membuat bulu roma berdiri.
Semua orang berubah air mukanya, It-siau-hud mendahului melesat ke arah jendela,
sekali pukul dia dobrak daun jendela, angin dingin kontan mengembus masuk
membawa bunga salju, lilin dalam ruang makan seketika tertiup padam.
Di tengah kegelapan tiba-tiba berkumandang seorang bernyanyi, “Bulan purnama
menerangi pusara, hati tamak jangan berbuat jahat, bila masuk kota Pit-yang, harus
mampus di kota ini ....”
Suaranya memilukan, sayup bergema di angkasa, di tengah kegelapan yang tak
berujung seperti ada setan iblis yang menyeringai dan hendak mencabut nyawa.
Serasa beku darah seluruh hadirin, entah lewat berapa lama kemudian, tiba-tiba
It-siau-hud membentak bengis, “Kejar!”
Segera berjangkit kesiur angin, tiba-tiba bayangan orang sama berlompatan keluar
jendela. It-siau-hud melayang paling depan, sekuat tenaga dia mengayun
langkah, “ser, ser”, terasa olehnya ada beberapa orang melesat mendahului dirinya.
Malam gelap angin kencang, bunga salju bertaburan.
It-siau-hud tidak melihat jelas bayangan mereka, tapi dilihatnya setelah berlompatan
beberapa kali, beberapa bayangan itu mendadak berhenti, semua menunduk
memandang ke bawah seperti menemukan apa-apa. Setelah dekat Baru It-siau-hud
melihat jelas tiga bayangan itu adalah Sim Long dan kedua suami-istri itu, di atas
tanah bersalju di depan mereka menggeletak delapan mayat. Mereka adalah
orang-orang gagah yang berkumpul dalam ruang makan tadi. Mereka mati meringkuk,
agaknya mendadak disergap, sebelum melawan, jiwa sudah melayang.
“Siapa yang turun tangan?” tanya It-siau-hud dengan terkesiap, “cepat amat
gerakannya!”
Laki-laki itu menggendong putrinya, mendadak dia tepuk paha dan berteriak girang,
“Ada seorang belum mati.”
Sim Long memburu maju dan membangunkan orang itu, tangan kiri menahan
punggungnya dan menyalurkan hawa murni ke tubuh orang.
Keadaan orang itu sudah kempas-kempis, kini mendadak seperti ada setitik harapan
hidup, setelah menarik napas panjang, dengan jari tangan yang gemetar ia menuding
ulu hati sendiri, katanya, “Panah ... panah ....”
“Panah apa? Di mana?” tanya Sim Long.
“Di ....” mendadak tubuh orang itu mengejang dan tak mampu bicara lagi, waktu Sim
Long memegangnya, napasnya sudah putus, tubuhnya terasa dingin, umpama ada
obat dewa juga tak bisa menolongnya lagi.
Umumnya orang yang baru mati, betapa pun mayatnya takkan dingin seketika, tapi
begitu orang ini mati, sekujur tubuhnya lantas kaku, sungguh kejadian yang tidak
biasa.
Sim Long berkerut alis, sesaat dia termenung, katanya kemudian, “Siapa bawa
geretan api?”
Saat mana rombongan orang banyak telah menyusul tiba, seorang segera mengetik
api menyalakan obor. Api yang ditiup angin tampak guram, namun cukup terang
menyinari sekitarnya, tampak muka orang mati itu menunjuk mimik ketakutan, kedua
matanya melotot, mukanya berubah hitam, malah juga membengkak, keadaannya
sangat seram. Keruan semua orang sama merinding,
terdengar Cu-bu-cui-hun Mo Si berkata, “Racun, sungguh senjata rahasia beracun
yang lihai ....”
It-siau-hud berjongkok, ia coba menyingkap pakaian orang, tertampak sekujur
badannya juga membengkak hitam, tepat di tengah dadanya terdapat sebuah luka
bekas tusukan panah, darah hitam masih meleleh keluar, tapi senjata rahasia apa
yang melukai tidak ditemukan.
Setelah diperiksa lagi mayat-mayat yang lain pun serupa keadaannya, semua mati
lantaran terkena senjata rahasia beracun, tapi senjata rahasianya tidak kelihatan.
Orang banyak saling pandang, tiada seorang yang mampu bicara.
Di tengah embusan angin dingin, terdengar suara keriang-keriut, suara gigi yang
gemertuk, orang jadi ikut mengirik.
It-siau-hud sendiri juga merinding, katanya dengan suara tertahan, “Apakah kalian
tahu senjata rahasia macam apakah yang mematikan mereka?”
Sim Long berkata, “Dari bentuk lukanya jelas bidikan panah.”
Mo Si mendesis, “Panah? Lantas di manakah panahnya?”
Setelah berpikir, It-siau-hud berkata, “Jika pembunuh itu membidikkan panah, setelah
mereka terbunuh lalu memunguti pula panah-panah itu, kurasa hal ini agak janggal
dan tidak masuk akal, tapi kalau tidak demikian kejadiannya, lalu ke mana
panah-panah itu?”
Mendadak suara nyanyian memilukan tadi terdengar pula terbawa angin, arahnya
tidak jauh di sebelah selatan.
“Kejar!” It-siau-hud mendahului bergerak.
Tapi suara nyanyian itu seperti mengambang di udara, kadang-kadang di depan,
tahu-tahu di belakang, di kiri atau di kanan tidak menentu, siapa pun sukar
menentukan arahnya yang tepat, lalu ke mana mereka harus mengejar? Akhirnya
It-siau-hud berdiri melenggong.
Mendadak gadis cilik putri kedua suami-istri itu menangis tergerung-gerung,
tangannya menuding kejauhan sambil menjerit, “Setan ... ada setan di sana, sekali
berkelebat lantas hilang!”
Laki-laki itu menepuk punggung putrinya dan membujuknya, “Ting-ting, jangan takut,
tiada setan di dunia ini?”
Tapi tanpa terasa sorot matanya juga memandang ke arah yang ditunjuk putrinya,
namun malam gelap dan salju berhamburan, mana ada bayangan setan segala?
Orang banyak juga tiada melihat apa-apa, tapi mereka tambah mengirik seperti
malaikat elmaut yang tidak kelihatan hendak mencabut nyawa mereka dan diamdiam
akan membidikkan panah maut.
Mendadak It-siau-hud tertawa latah, katanya, “Keparat itu main setan-setanan,
paling-paling hanya untuk menakuti anak kecil. Aku justru tidak percaya pada setan,
ayolah siapa di antara kalian yang berani ikut aku, kita aduk sarangnya, kita buktikan
dia jelmaan apa sebetulnya?”
Ong-jimoacu berkata juga, “Siapa yang tidak berani ikut silakan menemani adik cilik
ini kembali ke penginapan, supaya tidak menangis ketakutan.”
Sindirannya cukup tajam, tapi orang lain anggap tidak mendengar, sebelum habis
bicaranya, beberapa orang sudah berlari pergi.
Laki-laki itu serahkan putrinya kepada sang istri, katanya, “Kau bawa dia kembali, biar
aku mengejar.”
“Kau saja bawa dia pulang, biar aku yang mengejar,” sahut si istri.
Laki-laki itu mengentak kaki, serunya, “Ai, kenapa kau ....”
Ting-ting, gadis cilik itu, menangis pula, serunya, “Aku mau papa dan mama
menemani Ting-ting ....”
Laki-laki itu menghela napas, ia coba membujuk dan menghibur, tapi Ting-ting tetap
pada pendiriannya. Biasanya laki-laki itu berwatak keras dan kasar, tapi terhadap
putri tunggalnya ini, ternyata dia kewalahan.
Sim Long berkata, “Kalian suami-istri boleh kembali saja, mengejar pembunuh adalah
urusan kecil, bila adik cilik ini kaget dan jatuh sakit, bukankah urusan bisa susah?”
Suami-istri itu pandang Sim Long dengan rasa terima kasih dan simpati. Tingting
memang pintar, segera katanya, “Benar, paman ini memang baik hati ....”
Perempuan itu menukas, “Kalau demikian, marilah kita pulang saja ....” tapi tibatiba
dia melotot kepada Ong-jimoacu, jengeknya, “Kalau ada yang mengira kami takut ...
hm, rasakan nanti!”
Entah cara bagaimana dia bergerak, tahu-tahu pipa cangklong Ong-jimoacu telah
direbutnya, kontan dia patahkan menjadi dua terus dibuang, tanpa bicara lagi dia
gandeng tangan sang suami dan melangkah pergi, melirik pun tidak lagi kepada
Ong-jimoacu.
Sudah puluhan tahun Ong-jimoacu malang melintang di utara dan selatan sungai
besar, mimpi pun tidak pernah terbayang olehnya bahwa pipa cangklong yang
dipegangnya secara aneh tahu-tahu direbut orang, dipatahkan dan dibuang lagi,
keruan dia terbelalak diam tak bergerak mengawasi kepergian suami-istri itu.
Orang banyak juga terbeliak kaget, segera It-siau-hud berkata, “Cepat, sungguh
cepat! Selama empat puluh tahun baru dua kali ini kulihat gerakan secepat ini!”
Baru sekarang Ong-jimoacu sadar, ia berdehem dan menyengir, katanya,
“Paling-paling hanya kaki tangannya dapat bergerak cepat, jika tidak mengingat dia
seorang perempuan, tentu sudah ... sudah ....” mati pun dia ingin jaga gengsi, tapi
perkataan ‘sudah kuhajar dia’ tetap malu untuk diucapkannya.
Sim Long tersenyum, katanya, “Apa benar hanya kecepatan gerak kaki dan
tangannya saja? Kukira tidak!”
Karena lagi penasaran dan tidak terlampiaskan, kontan Ong-jimoacu mendelik, kulit
mukanya yang burik seperti menyala, bentaknya, “Kalau bukan kecepatan gerak kaki
dan tangan, memangnya kenapa?”
Sim Long juga tidak marah, dengan tertawa dia menuding tanah, “Coba kau lihat!”
Orang banyak sama menunduk, tertampak kedua kutungan pipa cangklong itu ambles
masuk ke dalam tanah dan hanya kelihatan dua titik hitam saja, padahal hujan salju
sudah berlangsung beberapa hari, kecuali tanah salju, bagian bawahnya sudah
mengeras seperti besi, tapi seenaknya perempuan itu membuang kutungan pipa,
seperti tidak menggunakan tenaga sedikit pun, tapi kutungan pipa sepanjang dua kaki
itu ternyata ambles seluruhnya ditelan bumi, tenaga lemparan yang mengejutkan ini
sungguh sukar dipercaya jika orang tidak menyaksikan sendiri.
“Ini ... ini ....” Ong-jimoacu menyeka keringat, lalu tertawa dingin, “Ya, memang
hebat.”
It-siau-hud menghela napas, katanya, “Suami-istri itu memang aneh ... tapi kita tak
perlu urus dia, ayo lekas kejar!”
Mumpung ada kesempatan, segera Ong-jimoacu mendahului, “Betul, lekas kejar!”
It-siau-hud menoleh kepada Sim Long, tanyanya, “Entah saudara ini ikut mengejar
tidak?”
Sim Long memandang sekelilingnya, dilihatnya Cu Jit-jit dan adiknya tidak ikut
datang, sesaat dia berkerut alis, lalu katanya dengan tersenyum, “Baiklah, kejar!”
Orang-orang ini sebelumnya tidak saling kenal, di antaranya malah ada yang tidak
sehaluan, tapi sekarang mereka punya tujuan sama, maka kelihatan akrab, meski
mereka tidak berunding lebih dulu, tapi serentak mereka sama menuju ke utara kota
Pit-yang, ke “sarang hantu” itu, dalam beberapa kejap ini, terlihatlah perbedaan
Ginkang masing-masing.
It-siau-hud berlari paling depan, Cu-bu-cui-hun Mo Si ketat ikut di belakangnya, Sim
Long pun tak jauh dari mereka. Ong-jimoacu, Yu-hoa-hong Siau Mo-in berdua
kira-kira berendeng dengan Sim Long, Thi Seng-liong masih mampu menyusul dan
tidak tertinggal jauh.
Say-un-ho Sun Thong dan Gin-hoa-piau Seng Ing walau agak ketinggalan di
belakang, tapi sambil berlari mereka berbincang-bincang dengan asyiknya, langkah
mereka tampak enteng, agaknya tidak menggunakan sepenuh tenaga,
Poat-swat-siang-to-ciang Beng Lip-jin juga segera menyusul tiba, katanya dengan
tertawa, “Wi Hoat-hou ayah beranak kelihatan gagah, tak tahunya mengekor
Ban-su-thong dan diam-diam mengeluyur pergi. Menilai manusia memang tidak boleh
melihat tampangnya.”
Seng Ing hanya tertawa dan tidak memberi tanggapan.
Sun Tong malah berkata, “Apa di belakang tiada orang lain lagi?”
Beng Lip-jin menjawab, “Masih ada Hin-te-bu-hoan Li Pa, tapi jauh tertinggal di
belakang. Kungfu orang ini tidak lemah, sayang Ginkangnya ....” belum habis dia
bicara, mendadak terdengar suara jeritan ngeri di belakang.
Beng Lip-jin terkejut, “Wah, Li Pa ....”
Orang banyak juga kaget dan serentak berhenti, tanpa bicara mereka berlomba putar
balik ke arah datangnya jeritan itu.
It-siau-hud segera memperingatkan, “Yang bawa senjata cepat keluarkan, yang bawa
senjata rahasia juga disiapkan, setiap orang tak dikenal boleh diberondong saja.”
Dalam jarak beberapa patah kata itu saja orang banyak lantas melihat salju di depan
sana rebah sesosok bayangan hitam. Tapi di sekitarnya tidak terlihat ada jejak
manusia.
Sun Thong, Seng Ing siap memburu maju, tiba-tiba didengarnya It-siau-hud berseru,
“Berhenti! Nyalakan api, periksa dulu tapak kaki di atas salju.”
Sun Thong dan Seng Ing saling pandang sekejap, dalam hati membatin, “Hwesio
gede ini kelihatannya goblok, ternyata seorang kawakan Kangouw yang cermat.”
Diam-diam mereka kagum, maka rasa benci tadi sirna tanpa terasa.
Beng Lip-jin, Mo Si dan Siau Mo-in bertiga sudah menyalakan api. Perlu diketahui
Yu-hoa-hong Siau Mo-in adalah begal yang biasa beroperasi sendiri pada malam hari,
obor bikinannya dibuat secara khas dan sangat bagus, nyala api bisa dibikin besar
dan kecil sesuka hati, bila nyala besar bisa menyinari beberapa tombak di
sekelilingnya. Tampak bayangan yang tiarap di atas salju itu memang benar adalah
Hin-te-bu-hoan Li Pa, di belakang dan depan mayatnya ada sebaris tapak kaki, tapi
salju di kanan-kirinya rata dan rapi tiada bekas apa pun.
It-siau-hud segera berkata, “Kalian maju dengan hati-hati, coba kenali tapak kaki
masing-masing.”
Seng Ing menemukan jejak kakinya lebih dulu, “Ini tapak kakiku.”
Lalu dengan ujung jari dia memberi tanda silang. Maklum besar-kecil tapak kaki
setiap orang tidak sama, Ginkang mereka pun berbeda, sepatu juga berlainan,
bahwa setiap orang harus mengenali tapak kaki orang lain memang sukar, tapi untuk
mengenali tapak kaki sendiri tentu gampang.
Sun Thong juga sudah menemukan tapak kakinya, ia pun memberi tanda silang.
Cepat sekali Ong-jimoacu Siau Mo-in, Thi Seng-liong, Beng Lip-jin juga telah
menemukan tapak kaki masing-masing, didapati Beng Lip-jin tapak kakinya ternyata
paling dalam, diam-diam merah mukanya.
Orang banyak tahu urusan ini cukup gawat, maka mereka sangat hati-hati dan teliti
meski tahu tapak kaki sendiri lebih dalam daripada orang lain juga tidak akan
diperbandingkan.
Kini tinggal dua tapak kaki yang belum ditemukan pemiliknya, jelas kelihatan di
bawah sinar api kedua tapak kaki ini amat cetek, juga kelihatan alas sepatu orang
terdiri dari serat yang kasar.
Tanpa terasa mereka sama mengawasi sepatu rami yang dipakai It-siau-hud. It-
siau-hud berkata, “Tapak yang satu ini memang betul punyaku ... tapi saudara ini ....”
Sekarang orang baru teringat masih kurang sepasang tapak kaki, tanpa terasa
mereka menoleh ke arah Sim Long.
Sim Long tersenyum, katanya, “Mungkin tubuhku terlalu kurus sehingga tapak kakiku
tidak kelihatan.”
Bicaranya ramah dan rendah hati pula, tapi orang banyak sama terbeliak kagum. Baru
sekarang mereka tahu pemuda yang kelihatan lemah lembut dan tidak ternama ini
ternyata memiliki Ginkang Tah-swat-bu-heng (menginjak salju tidak meninggalkan
bekas) yang tinggi, bukan saja kagum, mereka pun curiga bagaimana mungkin bocah
semuda ini mampu meyakinkan kungfu setinggi itu, curiga pula akan asal usulnya,
tapi tiada satu pun di antara mereka yang berani bertanya.
It-siau-hud tergelak katanya, “Orang pandai memang tidak suka mengagulkan diri,
Siangkong (tuan) ini memang berisi,” lalu ucapnya lagi dengan prihatin, “Tiada tapak
kaki lain lagi di sekitar sini, tak ada tanda-tanda perkelahian, jelas Li Pa terbunuh juga
oleh senjata rahasia. Marilah kita periksa pula senjata rahasia apa yang
membunuhnya?”
Lalu dia membalik mayat Li Pa, sekujur tubuhnya tampak membengkak hitam, waktu
baju dadanya disingkap, dada kiri sebelah atas dekat pundak ada luka, darah hitam
masih meleleh.
Tapi di tempat luka ini tidak kelihatan ada senjata rahasia. Kembali orang banyak
saling pandang, kembali suara gemertuk gigi terdengar di antara mereka, jantung pun
berdebar keras. Akhirnya Mo Si berkata dengan gemetar, “Senjata ... senjata rahasia
itu mungkin memang tiada wujudnya? Kalau tidak kenapa bisa mencair ke dalam
darah?”
Maklum, mayat ini jatuh tengkurap dan tiada tanda pernah disentuh atau bergerak, di
sekitarnya juga tiada jejak orang lain, maka dapat dipastikan senjata rahasia yang
mengenai Li Pa tidak diambil orang. Padahal begitu dada tersambit senjata rahasia Li
Pa terus jatuh tersungkur, siapa pun meski memiliki kepandaian setinggi langit, untuk
mengambil senjata rahasia di bawah dadanya juga harus menyentuh tubuhnya,
apalagi tiada tapak kaki di sekitar mayat.
Meski orang banyak sama memeras otak, tetap juga mereka tidak habis mengerti dan
menemukan jawabannya. Yang terang bulu kuduk sama berdiri, Beng Lip-jin berkata
dengan gemetar, “Mungkinkah serangan Bu-heng-kiam-khi? (hawa pedang tak
berbentuk)?”
It-siau-hud menyeringai, “Apa kau sedang mimpi?”
Agaknya Beng Lip-jin masih ingin membantah, tapi begitu angkat kepala, seketika ciut
nyalinya dan tak mampu bersuara lagi, dilihatnya wajah It-siau-hud diliputi nafsu
membunuh, sorot matanya beringas, seperti binatang liar yang kalap, mendadak dia
tanggalkan jubah, dengan telanjang dada, bunga salju berjatuhan di atas tubuhnya,
bukan saja tidak merasakan dingin, bunga salju yang hinggap di atas tubuhnya
seketika cair dan mengeluarkan uap putih.
Di bawah tatapan orang banyak yang keheranan, It-siau-hud robek jubahnya itu
menjadi tali-tali panjang selebar tiga-empat senti untuk membalut lengan, paha dan
dadanya, daging gempur di tubuhnya terikat kencang, lalu It-siau-hud melompat dan
menggerakkan kaki dan tangan, kelihatan gerak-geriknya jauh lebih enteng dan gesit,
ia menyapu pandang orang banyak, lalu berkata, “Nah, yang ingin hidup lekas
pulang, yang mau ikut harus siap kehilangan nyawa!”
“Ikut ... ikut ke utara?” tanya Beng Lip-jin.
“Kecuali ‘sarang hantu’, ke mana lagi?” seru It-siau-hud, tiba-tiba dia mencomot
segumpal salju terus dijejalkan ke dalam mulut, setelah mengunyah beberapa kali dia
membentak, “Ayo kita ubrak-abrik sarang hantu itu, siapa pemberani boleh ikut
padaku.”
Segera dia mendahului berlari ke depan.
Seng Ing, Sun Thong, Mo Si, Ong-jimoacu, Thi Seng-liong dan Siau Mo-in merasa
darah bergolak, mereka sudah tidak pikirkan mati-hidup lagi, berbondong-bondong
mereka ikuti langkah It-siau-hud.
Melihat Sim Long tetap berdiri di tempatnya, Beng Lip-jin menegur dengan
menunduk, “Silakan Siangkong, hubunganku dengan Li Pa cukup erat, tak tega
kubiarkan jenazahnya tak terkubur di tengah jalan .... Ai, setelah mengebumikan
jenazahnya segera kususul ke sana.”
Sim Long hanya tersenyum, begitu Beng Lip-jin angkat kepalanya pula, bayangan Sim
Long sudah menghilang, yang kelihatan hanya setitik hitam saja di kejauhan. Melihat
orang sudah pergi, legalah hati Beng Lip-jin, tanpa hiraukan mayat Li Pa dia berlari
pulang ke hotel.
Hanya sekejap Sim Long sudah menyusul Seng Ing dan lain-lain, tapi dia tidak
melampaui mereka, hanya mengintil di belakang dalam jarak tertentu, kini dia yang
berada paling belakang, bila ada panah gelap menyerang pula tentu akan dibidikkan
padanya. Dengan tersenyum-senyum, bukan saja tidak acuh, dia
seperti mengharap elmaut menyambar ke arahnya, supaya dia bisa tahu bagaimana
bentuk panah gelap itu sebetulnya.
Ternyata sepanjang jalan tidak terjadi apa-apa, sementara itu sudah jauh mereka
meninggalkan kota, sebentar lagi tentu akan tiba di sarang hantu.
Tengah Sim Long menghela napas kecewa, tiba-tiba didengarnya It-siau-hud yang
berada paling depan membentak keras. Mo Si juga menjerit kaget dan suara ribut
orang banyak, lalu It-siau-hud mencaci maki, “Keparat, kalau berani ayo keluar
tandingi bapakmu ini, main seperti sembunyi setan, terhitung binatang macam apa
kau?”
Sambil berkerut kening Sim Long mempercepat langkahnya, laksana panah dia
meluncur ke depan, dilihatnya orang banyak sudah berhenti, tampak muka Itsiau-hud
merah padam, tangannya memegang secarik kain sambil mencaci maki, sekelilingnya
tiada bayangan orang lain dan tidak mendapatkan reaksi.
Sim Long bertanya perlahan, “Ada apa?”
“Kau lihat ini!” sahut It-siau-hud, kain putih itu dia lemparkan, Sim Long
menyambutnya, di bawah pantulan cahaya salju dilihatnya kain putih itu ada tulisan
besar dengan tinta darah yang berbunyi: “Kuperingatkan kalian, lekas kembali, jangan
maju ke depan, bila menyesal sudah kasip.”
“Dari mana datangnya?” tanya Sim Long.
“Aku sedang lari tadi ....” tutur It-siau-hud.
Kiranya It-siau-hud memimpin lari paling depan, tanah salju di depannya terbentang
luas dan lapang, dari depan sana tiba-tiba bertaburan bunga salju itu, pasir dan tanah,
laksana badai menerpa mukanya. It-siau-hud merasakan pandangannya kabur,
sempat dirasakan olehnya di tengah taburan bunga salju itu ada bayangan putih
berkelebat menyeruduk dirinya, tapi sebelum dia sempat menyerangnya, “wut”,
bayangan putih itu melesat ke atas lewat kepalanya, dan tahu-tahu kain putih ini
sudah berada di tangan It-siau-hud.
Sim Long berkerut kening mendengar penjelasannya, katanya kemudian, “Ke mana
orang itu? Kenapa kalian tidak mengejarnya?”
“Dikatakan bayangan orang tidak mirip bayangan orang, panjangnya hanya tiga kaki,
mirip seekor rase, tadi sebelum dia bertindak sempat juga kulihat dia mendekam di
atas salju, tapi begitu aku membuka mata pula, tiada orang lain di sekelilingku,” tutur
It-siau-hud pula.
Tergerak pikiran Sim Long, batinnya, “Gerakan itu agak mirip Ngo-sek-hou-sin-
ciang-gan-hoat dari Thian-mo-mi-cong-sut, dari penjelasannya, bayangan orang itu
mirip Hoa Lui-sian, tapi Hoa Lui-sian tiada sangkut pautnya dengan ‘sarang hantu’,
mana mungkin dia mencampuri urusan ini.”
Didengarnya It-siau-hud berkata pula, “Siangkong tidak perlu berpikir pula, peduli
permainan apa pun, tidak nanti kutakut dan takkan mundur, asal Siangkong mau
membuka jalan bersamaku, sementara Mo-heng dan Seng ... Seng apa?”
“Seng Ing,” sahut Seng Ing tertawa.
“Betul. Seng Ing dan Mo Si berjaga di belakang dan kita yang akan menerjang ke
depan.”
Sim Long berpikir sejenak. “Terjang!” katanya kemudian.
“Bagus, terjang!” sambut Seng Ing.
“Terjang! Terjang!” orang banyak sahut-menyahut, tapi suara mereka jelas rada
gemetar.
Keadaan sudah sejauh ini, mereka hanya boleh maju dan tak boleh mundur, terpaksa
mereka mengeraskan kepala dan memberanikan diri.
Maka orang banyak berlarian pula ke depan, terlihat bentuk bayangan gunung, makin
dekat jantung mereka makin berdebar, betapa pun mereka memikirkan keselamatan
sendiri, entah apa yang bakal mereka temui di dalam sarang hantu. Tujuan mereka
memang yakin bahwa di dalam sarang hantu itu ada harta karun yang tak ternilai
harganya, maka jauh-jauh mereka meluruk kemari, namun setelah menghadapi
serentetan peristiwa yang menyeramkan tadi, sifat tamak sudah lenyap sebagian dari
hati mereka.
Sim Long berpikir, “Untung nona binal itu tidak ikut kemari, kalau tidak ....”
Tiba-tiba didengarnya di sebelah depan seorang tertawa merdu dan menegur, “Baru
sekarang kalian tiba?”
*****
Sementara itu tanpa berhenti, seperti dikejar setan Beng Lip-jin lari pulang ke hotel,
keadaan hotel juga kacau-balau, kelihatan masih ada orang yang sibuk
menggotong mayat keluar, didengarnya ada yang berkata, “Lagi-lagi puluhan jiwa
manusia ....”
Jangankan melihat, mendengarkan saja tak berani lagi, Beng Lip-jin langsung lari ke
kamarnya, dan pintu langsung didobraknya terbuka, dia menerobos masuk dan
cepat-cepat merapatkan daun pintu serta berdiri menggelendot di belakang pintu,
baru sekarang dia sempat menghela napas lega, gumamnya, “Syukurlah jiwaku
kupungut kembali. Pulang sajalah, peduli amat harta karun apa di dalam kuburan itu,
aku tidak ....”
Tiba-tiba ia merasa ganjil, entah kapan tahu-tahu pelita di kamarnya sudah menyala.
Begitu dia pandang ke sana, seketika ia melongo kelu, darah dalam tubuhnya seperti
membeku, kedua lututnya pun gemetar.
Dilihatnya tepat di tengah kamar berduduk seorang berjubah kelabu, duduk
membelakangi pintu, maka Beng Lip-jin tidak dapat melihat wajahnya. Namun jubah
kelabu yang panjang dan rambut panjang yang terurai kelihatan bergerakgerak di
bawah sinar pelita yang guram, bentuknya lebih mirip mayat yang baru keluar dari
kuburan.
Dengan suara gemetar Beng Lip-jin menegur, “Sah ... sahabat siapa?”
Orang berjubah kelabu tertawa mengekeh, sepatah demi sepatah berkata, “Bulan
menerangi kuburan ....”
Gemetar kedua lutut Beng Lip-jin, tubuhnya merosot lunglai dan “bluk”, jatuh
terduduk.
“Apa kau takut mati? Kau ingin pulang?” tanya orang berjubah kelabu itu.
“Aku ... aku ingin ....”
Si jubah kelabu menyeringai, “Setelah masuk kota Pit-yang, pasti mampus dalam
kota ini ....”
Mendadak Beng Lip-jin mengertak gigi, dengan nekat mendadak dia menubruk maju,
tangannya terayun, ia hantam batok kepala orang berbaju kelabu, sudah puluhan
tahun dia ternama, serangan ini bukan main lihainya.
Si baju kelabu tetap tidak menoleh, mendadak lengan bajunya yang panjang
mengebas ke belakang, kontan Beng Lip-jin merasa segulung tenaga lunak dingin
tapi sangat kuat menumbuk dadanya, kontan dia merasa seperti dipukul palu raksasa,
tubuhnya tertolak balik dan “blang”, menumbuk pintu dan “blak”, jatuh ke lantai
bersandar pintu, mulut terbuka dan darah menyembur keluar.
Si baju kelabu menjengek, “Begini saja kemampuanmu berani bertepuk dada
mengaku sebagai orang gagah?”
Terbelalak mengawasi darahnya sendiri, tubuh Beng Lip-jin menggigil hingga daun
pintu bergetar seperti didobrak orang.
“Kau mau mati atau ingin hidup?” tanya si baju kelabu.
Mulut sudah terkuak lebar, tapi Beng Lip-jin tak kuasa mengeluarkan suara.
“Lekas bicara,” bentak si baju kelabu.
“Ing ... ingin ... hidup ....” setelah menghabiskan tenaga baru dia mampu bersuara,
namun badan juga sudah basah kuyup.
“Kalau ingin hidup, kau harus tunduk pada perintahku,” desis si baju kelabu.
*****
“Baru sekarang kalian tiba?” demikian kata-kata yang biasa tadi, tapi dirasakan orang
banyak seperti mendengar suara hantu di tengah malam, semua bergetar kaget. Thi
Seng-liong menyurut mundur. Siau Mo-in juga hampir jatuh.
It-siau-hud mengepal tinju, bentaknya dengan suara serak, “Si ... siapa? Keluar!”
Dari tempat gelap segera melayang keluar sesosok bayangan putih, tubuhnya kaku
lurus, lutut tidak tertekuk, tubuh tidak bergerak, tidak kelihatan dia menggerakkan kaki,
tapi melayang keluar dengan tegak lurus Dari kepala sampai kaki berwarna putih
melulu, muka tertutup oleh lengan baju yang terangkat, agaknya sengaja menutupi
mukanya yang buruk.
Merinding dan ketakutan orang banyak, kalau bayangan putih ini manusia, mana ada
manusia berjalan cara begitu?
Biasanya nyali It-siau-hud cukup besar, tapi menghadapi bayangan putih ini ia pun
tertegun sekian lamanya, mendadak ia membentak, “Umpama betul kau ini setan
juga akan kupotong!”
Segera ia menerjang, deru pukulannya menerpa ke dada bayangan putih itu.
Baju bayangan putih berkibar oleh angin pukulan, di tengah jengekan tubuhnya tetap
berdiri lurus sambil menggeser dua kaki.
Tentu saja It-siau-hud amat kaget, selagi dia siap menubruk pula, tiba-tiba dirasakan
angin berkesiur di sampingnya, tahu-tahu Sim Long sudah melompat maju seraya
membentak, “Cu Jit-jit, belum puas kau menggoda orang?”
Tiba-tiba bayangan putih itu cekikikan dan menurunkan lengan bajunya, remang-
remang tampak tubuh nan ramping gemulai, wajah secantik bunga mekar, siapa lagi
dia kalau bukan Cu Jit-jit, si gadis binal.
Dari bawah kakinya terdengar pula seorang tertawa, katanya, “Sim-toako memang
lihai!”
Tahu-tahu si anak merah menerobos keluar. Ternyata anak merah itu merangkul
kedua kaki Cu Jit-jit dari belakang, dengan sendirinya tanpa menekuk lutut Cu Jit-jit
bisa maju-mundur sesuka hati. Padahal yang hadir ini semua kawakan Kangouw, tapi
di depan “sarang hantu”, di tengah malam hujan salju lagi, setelah mengalami
beberapa kejadian yang menegangkan tadi, orang banyak jadi pecah nyalinya
sehingga tiada seorang pun perhatikan permainan anak nakal ini.
Kaget dan dongkol hati It-siau-hud, namun dia hanya mengentak kaki dan mengomel,
“Nona, berkelakar boleh saja, tapi harus lihat waktu dan tempat.”
Anak merah tertawa, katanya, “Tapi Hwesio gede memang pemberani, setan juga
tidak bisa mengejutkan kau!”
It-siau-hud terbahak-bahak, katanya sambil mendongak, “Hwesio besar memang
tidak pandai membekuk iblis, tapi tidak sulit untuk menundukkan setan.”
Lalu dia berkata kepada Sim Long, “Kakak beradik ini memang nakal dan jenaka, dia
hanya menggoda kita, Siangkong jangan marah.”
Cu Jit-jit melirik Sim Long, katanya, “Hm, dia berani marah? Dia telah membongkar
permainanku, aku tidak marah kepadanya sudah untung baginya!”
It-siau-hud tertawa, katanya, “Bagus, bagus, Siangkong memang tidak marah ... bila
ada yang mampu membuat Siangkong ini marah, orang itu tentu lihai.”
Cu Jit-jit tertawa cekikikan, katanya, “Memangnya dia, dia ....” diam-diam ia mendekat
dan mencubit lengan Sim Long, katanya, “Apa kau ini patung? Kenapa tidak bicara?”
“Baik, aku akan bicara,” kata Sim Long. “Jawab pertanyaanku, cara bagaimana kau
bisa kemari? Kapan tiba? Apakah kau sudah masuk dan melihat Hoa ... Hoa-hujin?”
“Eeh, kau ini, diajak bicara tidak mau, kalau mau bicara terus mencerocos seperti
mitraliur .... Baiklah kujelaskan. Waktu kalian memeriksa mayat tadi, diam-diam aku
sudah tiba sini dan langsung menerjang ke dalam, maksudku semula ingin memeriksa
keadaan, tapi di dalam teramat gelap, kami tidak membawa api, walau aku tidak takut,
Lo-pat ternyata gemetar, khawatir dia jatuh sakit, terpaksa aku putar balik.”
“Hah, tidak tahu malu, memangnya kau tidak takut, kalau tidak takut kenapa
menarikku sekencang itu? Terasa jari-jari tanganmu sedingin es dan juga gemetar ....”
Cu Jit-jit membentak, “Setan cilik, berani omong!”
Anak merah itu tertawa, “Kalau kau tidak mengolok diriku, tentu aku tidak banyak
omong tentang dirimu.”
Tiba-tiba dari depan berkumandang jeritan ngeri seorang, dari jauh makin mendekat
meski suaranya perlahan, tapi seram menakutkan, tampak bayangan orang dengan
langkah sempoyongan berlari datang.
Melihat orang banyak ini, orang itu tertegun sekejap, jarinya menuding, sebelum
bicara tubuhnya lantas terjungkal.
Setelah mengalami berbagai kejadian ngeri, perasaan semua orang seperti sudah
beku, hanya Sim Long yang masih bertindak cekatan, dia memburu maju dan
membangunkannya, diam-diam dia kerahkan Lwekangnya sambil memanggil,
“Saudara, bangunlah.”
Mendapat bantuan saluran tenaga murni Sim Long, perlahan orang itu membuka
mata dan mengerling ke kanan-kiri, tiba-tiba ia memanggil dengan tersendat, “Thi ...
Thi-heng ....”
Cepat Thi Seng-liong memburu maju, seketika dia menjerit kaget, “Ah, kau Kimheng,
kenapa ... kenapa jadi begini?”
“Ka ... kami ber ... berlima kini tinggal ... aku saja ....”
“Jadi An-yang-ngo-gi sudah ... sudah gugur semua di sini? Wah ... siapakah yang
turun tangan sekeji ini?”
Orang itu tersenyum kaku, gumamnya, “Di dalam sana ada ... ada setan, jangan ...
jangan masuk ke sana ... jangan masuk ... ke sana,” tiba-tiba dia meralat dengan
suara lebih keras, “Buk ... bukan setan, tapi ....”
“Tapi apa?” tanya Sim Long. “Saudara ... bangunlah ....” Terpejam mata orang itu,
jiwanya melayang. Sim Long menghela napas panjang, perlahan dia berdiri dengan
masygul dan
semua orang sama geleng kepala.
It-siau-hud bertanya, “Apa benar orang ini salah satu dari An-yang-ngo-gi (lima
saudara angkat dari An-yang)?” “Orang ini bernama Kim Lin, saudara tertua dari
An-yang-ngo-gi, mungkin
mereka juga mendengar kabar adanya harta karun di dalam kuburan, maka
mendahului kemari, tak nyana ....” Thi Seng-liong menghela napas. lalu dia membuka
pakaian luarnya untuk menutupi jenazah Kim Lin.
“Buka bajumu,” tiba-tiba It-siau-hud berseru. Thi Seng-liong melenggong bingung.
It-siau-hud berkata pula, “Coba periksa bagaimana kematiannya?” “Luka penyebab
kematiannya tidak sama dengan Li Pa dan lain-lain ....” tukas
Mo Si. It-siau-hud menyobek baju Kim Lin, di depan dada tiada tanda terluka, tapi di
punggung ada bekas telapak tangan warna hitam, bekas lima jari yang melesek ke
dalam daging. Mo Si bergidik melihat tapak tangan ini, desisnya, “Pukulan lihai.”
Lama It-siau-hud awasi bekas telapak tangan itu tanpa berkedip, sekian lama
baru dia angkat kepala, katanya sambil memandang Sim Long, “Apakah Siangkong
sudah melihatnya?” “Ya sudah kuketahui,” ujar Sim Long. Cu Jit-jit mengentak kaki,
tanyanya, “Kau tahu apa, lekas terangkan!” “Jik-sat-jiu!” sahut Sim Long. Tergetar
tubuh Cu Jit-jit, serunya, “Jik-sat-jiu (telapak ungu), apa benar?”
“Pasti tidak salah,” kata It-siau-hud tegas, “selama lima puluh tahun belakangan ini,
orang yang memiliki kungfu sejenis ini dalam Bu-lim hanya Say-siang-sinliong,
Tok-jiu-siu-hun dan Yau-bing-sin-kay bertiga saja, kecuali itu tiada jago silat lain yang
mempelajari ilmu pukulan ini.”
Mo Si ragu-ragu, katanya, “Tapi ... bukankah ketiga orang itu sudah mati?”
“Betul,” sahut It-siau-hud, “ketiga orang ini memang sudah mati.”
Orang banyak saling pandang, tanpa terasa mereka merubung maju.
Cu Jit-jit tertawa, “Aduh, percakapan kalian sungguh membuat takut saja. Kalau
orang lain tiada yang mahir menggunakan Jik-sat-jiu, mungkinkah ketiga orang itu
telah bangkit dari liang kuburnya dan membunuh Kim Lin?”
Tapi tertawanya makin lirih karena melihat wajah hadirin sama masam, tanpa terasa
dia sendiri ikut ngeri dan tak bicara lagi.
Mendengar Tacinya bicara orang mati, hati si anak merah ikut takut, diam-diam dia
mendekati Sim Long, katanya perlahan, “Tempat ini bukan tempat bermain dan
dingin pula, mari pulang saja.”
“Kalian berdua memang harus pulang,” ucap Sim-Long.
“Dan kau?” tanya anak merah.
“Selama hidupku belum pernah melihat setan, kalau hari ini aku bisa melihatnya,
menyenangkan juga ....” ujar Sim Long setengah berkelakar, “tapi yang boleh melihat
setan hanya beberapa orang saja, supaya setannya tidak lari ketakutan.”
Biasanya dia pendiam, kini setelah orang banyak ketakutan dan sukar bicara, dia
justru berkelakar seenaknya.
It-siau-hud tertawa, katanya, “Keadaanku sekarang kurasa tak jauh bedanya dengan
setan, peduli setan lelaki atau setan perempuan, bila melihatku pasti mengira aku
kawan sejenisnya dan takkan lari ketakutan.”
Sim Long tertawa, “Bagus jika Taysu mau pergi ....” seperti tidak sengaja ia melirik ke
arah Cu-bu-cui-hun Mo Si dan Gin-hoa-piau Seng Ing.
Seng Ing segera maju ke depan, katanya tersenyum, “Cayhe akan tetap berada di
samping saudara.”
Mo Si tertawa, katanya, “Orang-orang Kangouw sama memanggilku ‘setan perenggut
sukma’, hari ini biar setan tiruan ini menghadapi setan tulen.”
“Bagus,” ucap Sim Long, “ada empat orang sudah cukup ....”
“Dan aku?” tanya Cu Jit-jit.
“Kau pulang saja,” sahut Sim Long.
“Tidak, berdasar apa kau berani memerintah diriku? Aku justru tidak mau pulang.
Lo-pat, angkat kepalamu, besarkan nyalimu, kalau setan membuat kita mati,
bukankah kita masih dapat menjadi setan, kenapa takut? Mari kita masuk dulu, coba
siapa berani merintangi kita?”
“Aku ... aku ....” semula si anak merah bimbang, bola matanya berputar, lalu
menambahkan dengan tertawa, “Aku tidak mau, kukira kau pun tidak perlu ikut.”
Dongkol Cu Jit-jit, semprotnya, “Kau takut setan?”
“Aku tidak takut setan, tapi aku takut pada Sim-toako. Nasihatnya tidak berani
kutentang,” ujar si anak merah sambil menarik baju Cu Jit-jit, lalu berbisik pula, “Kalau
kau selalu menguntit dia, mana dia mau akrab terhadapmu. Jika ada orang selalu
menentangmu, apakah kau menyukainya?”
Berputar bola mata Cu Jit-jit, katanya sambil menghela napas, “Setan cilik, tahu
begini, tidak kubawa kau kemari. Setelah kau ikut, mau tak mau harus kulindungimu.
Baiklah, pulang ya pulang.”
“Nah, kan begitu,” ujar si anak merah riang.
Agaknya orang banyak belum pergi, Sim Long berkata, “Di hotel mungkin juga terjadi
apa-apa, tenaga kalian amat diperlukan di sana.”
Ong-jimoacu berkata, “Betul, meski di sini berbahaya, tugas di sana juga tidak ringan,
baiklah kita selesaikan tugas masing-masing, jadi siapa pun tiada yang menganggur.”
“Ya, memang harus demikian,” ujar Sim Long tersenyum, lalu ia putar tubuh dan
melangkah dulu ke arah “sarang setan”.
Mendadak Cu Jit-jit berseru, “Sim Long, kau ....”
“Kenapa?” Sim Long menoleh.
Cu Jit-jit menggigit bibir, katanya, “Kau ... jangan-jangan kau digondol setan nanti.”
“Sim-toako, Ciciku amat mengkhawatirkan keselamatanmu. Tapi engkau
berkepandaian tinggi, setan mana pun pasti takkan mampu membekukmu, aku tidak
khawatir ....” lalu anak ini menoleh ke arah Ong-jimoacu, Siau Mo-in, dan lain-lain dan
tertawa, katanya, “Kalian memang mau pergi, ayolah berangkat, tunggu apa lagi? Kita
berangkat bersama.”
*****
Akhirnya Sim Long, It-siau-hud, Mo Si, dan Seng Ing memasuki “sarang hantu” yang
entah telah merenggut nyawa beberapa orang, setelah bayangan mereka berempat
lenyap ditelan kegelapan, barulah Ong-jimoacu dan lain-lain pergi. Cu Jit-jit
mengawasi dengan kesima mirip orang linglung, tiba-tiba air matanya meleleh.
“Apa yang kau tangisi, dia kan bakal kembali,” omel si anak merah.
Cu Jit-jit menunduk, katanya, “Entah mengapa, aku ... aku takut. Lo-pat, kalau dia ...
tidak ... tidak kembali ....”
Tiba-tiba anak merah juga bergidik, mengawasi bayangan gunung yang seram itu,
mukanya yang merah seketika pucat, sampai lama tidak mampu bicara. Mendadak
dilihatnya Cu Jit-jit mengayun langkah berlari kencang ke depan.
“Cici ....” teriak si anak merah kaget.
Cu Jit-jit tidak berpaling, juga tidak berhenti, katanya, “Kau pulang saja, carilah
Hoa-po (nenek Hoa, maksudnya Hoa Lui-sian), aku ... aku akan mendampingi dia ....”
sekali bayangan putih berkelebat segera lenyap di dalam “gua hantu”.
Anak merah celingukan, dilihatnya pepohonan di sekitarnya tandus kering, angin
mengembus kencang, seperti bayangan setan berkelebat di antara taburan bunga
salju, baru sekarang anak merah itu merasa takut selama hidup, tak tahan segera dia
berteriak, “Cici, tunggu aku ... tunggu ....”
Segera ia pun menyusul ke dalam gua.
*****
Di kaki bukit, mulut gua yang gelap gulita menganga seperti mulut raksasa yang siap
mencaplok mangsanya, batu besar yang berserakan di sekitar mulut gua juga
diselimuti salju, mulut gua serupa dilapisi permadani putih sehingga menambah
suasana makin seram dan tidak kelihatan betapa dalam gua ini.
Cu Jit-jit tidak peduli, sekali lompat langsung dia menerjang masuk, apakah nanti dia
bakal mati atau hidup tidak dipikir lagi, karena dia tahu umpama mati juga lebih
mending daripada menunggu Sim Long di luar gua.
Tiba-tiba didengarnya si anak marah berteriak di belakang, “Cici ... tunggu ....”
Setelah memanggil dua kali, mungkin karena jatuh, suaranya tiba-tiba putus, tapi
segera merangkak bangun dan mengejar pula seraya berteriak, “Tunggu, Cici ....”
Terasa betapa takut dan panik dari suaranya yang serak. Maklum, betapa besar
nyalinya, dia masih seorang bocah.
Cu Jit-jit enggan menunggu, tapi juga tak tega, akhirnya dia berhenti, serunya
dongkol, “Setan cilik, kusuruh kau pulang tidak mau .... Hati-hati, jangan jatuh lagi ....”
Di tengah kegelapan tampak bayangan si anak merah menyusul datang dengan
sempoyongan, lekas Cu Jit-jit maju memapahnya, katanya, “Sakit tidak?”
“Tidak sakit,” sahut si anak merah, padahal suaranya sudah berubah, tangan kecil
yang mengenakan sarung tangan kulit menjangan memegang kencang tangan Cu
Jit-jit, mati pun tak mau dilepas lagi.
Cu Jit-jit menghela napas, gumamnya, “Aku jadi heran kenapa ayah tega membiarkan
kau keluar .... Ai, gua ini sangat gelap, kau harus hati-hati.”
Kakak beradik bergandeng tangan, selangkah demi selangkah masuk terlebih dalam,
keadaan gua juga makin gelap, lima jari sendiri saja tidak kelihatan.
Sim Long berempat sudah tidak kelihatan lagi bayangannya, semula deru angin di
luar masih kedengaran, lama-lama suara itu pun lenyap, sekeliling sunyi senyap
seperti tiada makhluk hidup di dunia ini, bau apak dan lembap terus merangsang
hidung.
Sekonyong-konyong sebuah benda dingin lengket menerjang tiba, Cu Jit-jit berteriak
kaget, sekuat tenaga dia sampuk dengan tangannya, benda itu mengeluarkan suara
mencicit terus melayang pergi.
Jit-jit berseru, “Lo-pat, jangan ... jangan takut, itu cuma seekor ... kelelawar.”
Dia suruh adiknya jangan takut, padahal suara sendiri rada gemetar.
Tiba-tiba dilihatnya ada bayangan berkelebat di depan dan melayang tiba, dengan
suara gemetar Jit-jit menegur, “Sia ... siapa?”
“Apakah Jit-jit?” tanya bayangan itu. “Aku Sim Long.”
Cu Jit-jit berpekik girang, dia menubruk maju dan memeluk Sim Long dengan
kencang, mukanya yang dingin terbenam dalam pangkuan Sim Long, sekujur badan
masih gemetar, lutut pun terasa lemas.
Tak tahan Sim Long mengelus rambutnya, katanya sambil menghela napas, “Aku
sudah bilang jangan ikut, kau tetap kemari, coba ketakutan begini .... Ai, buat apa cari
penyakit?”
Mendadak Jit-jit mendorongnya dengan mendongkol, serunya, “Memang aku pantas
mampus, siapa suruh aku menolong kau yang hampir mampus dulu, jika kubiarkan
kau mati, sekarang mana ... mana aku bisa menderita begini?”
Tiba-tiba di kejauhan tampak sinar api bergerak, hingga air mata di pelupuk matanya
berkilau, lekas Cu Jit-jit melengos ke arah lain, nona yang berhati keras ini, meski
menangis lantaran Sim Long, tapi sedapatnya dia berusaha supaya Sim Long tidak
melihat dia menangis.
Namun Sim Long sudah melihatnya, sesaat dia melenggong, lalu berkata lembut,
“Coba lihat, Lo-pat malah tahu diri, anak kecil bersikap dewasa, kau sebaliknya
seperti anak kecil saja.”
“Memangnya kau tidak mirip anak kecil? ....” sambil melototi Sim Long tiba-tiba Jit-jit
tertawa cekikik, tertawa yang mesra dan penuh kasih sayang, seorang yang berhati
baja pun akan luluh hatinya, tapi Sim Long justru berpaling ke sana.
Tertampak It-siau-hud muncul membawa obor, katanya dengan tertawa, “Apakah
nona Cu? Kutahu kau pasti menyusul kemari .... Di depan sana adalah pintu batu,
lekas kalian berdua kemari.”
Gelak tawanya yang keras menimbulkan gema yang keras pula di dalam “sarang
hantu” ini hingga tempat yang sunyi gelap ini seketika berubah agak hangat dan ada
hawa kehidupan.
Terbangkit semangat Cu Jit-jit, lekas dia seka air mata, katanya, “Kami tidak berdua,
tapi bertiga.”
Sambil menggandeng tangan Sim Long dan Cu Pat, dia maju ke depan dengan
langkah lebar.
Sorot mata seperti bercahaya, dilihatnya si anak merah telah mengenakan topeng
setannya yang berwarna merah darah, ia tertawa, katanya, “Bagus, anak bagus, bila
kau pakai topeng itu, setan pun akan ketakutan melihatmu.”
Sim Long ambil obor dari tangan Seng Ing, diangkat tinggi di atas kepala terus
mendahului jalan ke depan.
Cahaya obor yang bergerak menerangi dinding sekeliling gua hingga kelihatan
seram, di tengah embusan angin dingin, sebuah pintu batu mengadang di depan.
Pintu batu polos tanpa hiasan apa-apa, tinggi dan besar, mereka berhenti di depan
pintu, meski mendongak juga tidak terlihat betapa tingginya pintu.
Seketika timbul perasaan sedemikian kecil diri mereka ini, hingga rasa takut terhadap
gua hantu ini bertambah besar.
Kedua daun pintu besar ini tertutup rapat, di tengahnya terdapat garis celah, tampak
bekas bacokan di atas pintu, tapi daun pintu yang tebal dan berat ini jelas tak bisa
dibuka dengan kekerasan.
Sim Long berpikir sebentar, lalu katanya, “Rombongan kuli tambang yang
menemukan tempat ini entah cara bagaimana bisa masuk kemari? Entah Wi Be ada
penjelasan atau tidak?”
Alis It-siau-hud bertaut, katanya, “Menurut cerita Wi Be pintu ini berhasil dijebol oleh
para kuli itu tatkala mereka mabuk.”
Sim Long menarik napas, “Tapi pintu ini jelas bukan terbuka karena kekerasan,
agaknya cerita Wi Be ada yang tidak sesuai dengan keadaan di sini.”
“Mungkin badan halus tempat ini yang membuka pintu ini?” ucap Jit-jit dengan
sangsi.
“Tapi ... tapi ....” si anak merah menimbrung, mungkin karena ketakutan, suaranya jadi
tergegap, setelah batuk dua kali baru dia meneruskan, “Tapi kalau setan penghuni
kuburan ini melarang orang masuk kemari, mana mungkin dia membuka pintu, bisa
jadi dia ... dia merasa kesepian dalam gua ini, maka sengaja menipu beberapa orang
untuk mengantar kematian, supaya tambah setan baru untuk menemani mereka?”
Ucapan si anak merah seperti minyak menyiram api, Cu Jit-jit mengomel, “Setan ...
setan cilik, omong ... kosong.” — Suaranya pun menggigil.
Saking ketakutan Cu-bu-cui-hun Mo Si tak kuat berdiri lagi, katanya,” Apakah ... tidak
lebih baik menunggu siang hari baru ... baru kita masuk kemari lagi?”
It-siau-hud tertawa dingin, “Sudah puluhan tahun Cu-bu-cui-hun malang melintang di
dunia Kangouw, kau terhitung seorang tokoh yang disegani, kenapa sekarang
berucap demikian?”
“Tapi ... tapi ....” luluh semangat Mo Si, akhirnya dia menunduk tanpa bicara lagi.
Sim Long menghela napas perlahan, katanya, “Memang aneh kejadian dalam gua
hantu ini, kalau Mo-heng tidak mau masuk lebih lanjut, janganlah dipaksa.”
It-siau-hud menjadi gusar. “Sudah sampai di sini, siapa lagi yang tak mau masuk?”
“Bukan demikian halnya,” kata Sim Long. “Sekarang siapa pun bila melangkah ke
dalam pintu, mati-hidup selanjutnya sukar diramalkan, umpama kau bisa memaksa
orang lain berbuat seperti dirimu, tapi tak boleh memaksa orang lain untuk mengantar
jiwa secara sia-sia.”
It-siau-hud melongo, segera Sim Long menambahkan, “Kalau Mo-heng tidak mau
masuk boleh silakan kembali saja ....”
Mendadak It-siau-hud tertawa, katanya, “Keluar seorang diri, kukira jangan harap
bisa meninggalkan tempat ini dengan hidup.”
Bergetar tubuh Mo Si, mendadak dia mengertak gigi, dengan kalap dia membentak,
“Masuk juga boleh!”
Segera dia mendahului menerjang masuk seraya berteriak, “Ayo, kawanan setan
dalam kuburan ini, kalau berani keluar bertempur melawanku .... Keluar, keluar ...
hahaha, kenapa tidak berani? Kalian tidak berani? Hahaha ....” gelak tertawa yang
mengerikan bergema di dalam gua hantu hingga debu rontok berhamburan.
Cu Jit-jit bergumam, “Mungkin orang itu sudah gila.”
Sim Long berkerut alis, sekali berkelebat menyusul ke dalam, dilihatnya Mo Si
sedang menggerakkan kaki dan tangan, menari mirip orang gila, secepat kilat Sim
Long memegang urat nadinya, katanya dengan suara tertahan, “Mo-heng, kenapa
jadi nekat begini, memangnya kau tidak ingin hidup lagi?”
Bergetar tubuh Mo Si, sesaat dia berdiri melongo. Sementara itu orang banyak telah
menyusul tiba, tampak di balik pintu merupakan sebuah ruang besar berbentuk bulat,
ada sembilan pintu yang tersebar di berbagai penjuru, langitlangit pun bulat berbentuk
kubah dan kelihatan ada lukisan, cuma terlalu tinggi, tak tercapai oleh cahaya api,
maka tidak bisa terlihat lukisan apa.
Ruang sebesar ini kosong melompong, hanya sebuah meja bundar di tengah
ruangan, benda lain tidak ada. Cu Jit-jit merinding berada di tempat serbabulat ini,
gumamnya, “Sebetulnya kuburan siapakah ini?”
Seng Ing menimpali, “Kemungkinan kuburan seorang raja zaman dahulu.”
Tiba-tiba ia seperti menemukan apa-apa, dia memburu ke meja bundar sambil
mengulurkan tangannya.
“Berhenti!” tiba-tiba Sim Long membentak.
Seng Ing menoleh, serunya, “Di atas meja ada ....”
“Apa pun yang berada di dalam ruang ini, siapa pun dilarang menyentuhnya,” Sim
Long memperingatkan. “Seng-heng harus ingat ....”
“Kenapa?” tanya Cu Jit-jit.
Sim Long menghela napas, katanya, “Jangan lupa bagaimana kematian para kuli
tambang itu, setiap sudut tempat ini, mungkin dilumuri racun, bila menyentuhnya
jangan harap ....”
Mendadak si anak merah menjerit, “Itu dia setannya datang!”
Serentak semua orang berpaling, tertampak pintu kiri di sebelah anak merah ada
cahaya api berkelebat, sinarnya berkelap-kelip laksana kunang-kunang, jelas api
setan.
“Kejar!” It-siau-hud memberi aba-aba.
“Nanti dulu,” kembali Sim Long mencegah, “dalam kuburan ini pasti banyak lorong
yang simpang-siur. Jika Taysu kurang hati-hati dan tersesat di dalamnya, mungkin
takkan bisa keluar lagi, maka kalian tidak boleh sembarang bertindak.”
Seng Ing menghela napas, katanya, “Pendapat saudara memang benar, menurut apa
yang kuketahui, dalam kuburan kuno memang banyak jalan rahasia yang
menyesatkan, kecuali bisa mendapatkan peta mengenai seluk-beluk kuburan ini,
kalau tidak, jangan harap bisa pergi datang seenaknya sendiri ....”
Tanpa sengaja dia menoleh, air mukanya mendadak pucat, tangannya menuding ke
meja, jarinya gemetar, mulutnya menganga, tapi tak mampu mengeluarkan sepatah
kata pun.
It-siau-hud juga kaget, tanyanya, “Ada apa, kenapa mendadak berubah setegang
ini?”
Seng Ing menenangkan diri, katanya kemudian, “Barusan kulihat di atas meja bundar
ini ada sekeping lencana besi hitam gelap, tapi dalam sekejap saja lantas lenyap.”
Mo Si ketakutan, tanyanya gemetar, “Apakah kau ... melihatnya jelas?”
“Sejak umur tujuh tahun kutumbuh dewasa di kamar gelap, di bawah penerangan api
dupa juga aku bisa melihat sesuatu benda, sudah lima belas tahun aku melatih diri,
kuyakin pandanganku cukup tajam, dalam jarak tiga tombak, nyamuk terbang pun
takkan bisa mengelabui pandanganku .... Barusan ... barusan kulihat dengan jelas,
pasti tidak salah.”
Maklum, Gin-hoa-piau Seng Ing adalah salah seorang jago muda yang cukup
menonjol dalam kalangan Bu-lim di Tionggoan, setiap anak murid Seng-keh-po yang
ahli senjata rahasia sangat terkenal, betapa tajam mata murid didik keluarga Seng,
kejituan serangannya sudah diakui oleh kaum persilatan, bahwa sekarang Seng Ing
bicara seyakin ini, jelas urusannya tidak perlu disangsikan lagi.
Berkeringat jidat Mo Si, katanya gemetar, “Soal ini tidak boleh dibuat permainan,
siapa yang mengambil lencana besi itu, silakan mengaku, supaya kita tidak perlu
berkhawatir.”
Orang banyak saling pandang dengan wajah serius, tapi tiada seorang pun yang
bicara, kembali Mo Si membentak, “Kalau tiada yang mengambil, memangnya
lencana itu punya sayap dan bisa terbang sendiri?”
Gema suaranya seperti bunyi genta yang bertalu-talu, jelas gua ini sangat luas dan
dalam, sampai gema suara itu sirna, orang banyak masih tiada yang bicara.
Sambil mengawani Mo Si diam-diam Cu Jit-jit membatin, “Keparat ini sok bertingkah,
bukan mustahil dia sendiri yang main gila.”
Sementara itu Mo Si juga mengawasi Seng Ing dan membatin, “Mungkin pada
hakikatnya dia tidak melihat apa-apa, namun sengaja bilang melihat sesuatu supaya
orang banyak berkhawatir dan curiga, lalu diam-diam dia akan menarik keuntungan?”
Sedangkan Seng Ing memandang It-siau-hud, pikirnya, “Hwesio ini memiliki kungfu
tinggi, tapi jarang namanya disebut orang di kalangan Kangouw, bukan mustahil dia
salah seorang dari anggota penghuni gua hantu ini, sengaja dia memancing orang
banyak antar kematian kemari? Kalau dugaan ini benar, jelas lencana tadi diambil
olehnya.”
Beberapa kali It-siau-hud hendak bicara, tapi urung, dia menatap Sim Long, pikirnya,
“Hm, asal usul bocah ini patut dicurigai, masih semuda ini tapi membekal kungfu
setinggi itu, semua peristiwa yang mengejutkan bukan mustahil adalah
permainannya?”
Jadi satu sama lain saling curiga, tanpa terasa mereka lantas saling memerhatikan
apakah orang yang dicurigai menunjukkan sesuatu gerak-gerik dan memerhatikan
tangan orang apakah memegang sesuatu yang mencurigakan?
Hanya Sim Long yang bersikap wajar dan tenang, sedikit pun tidak gugup atau
gelisah.
Tiba-tiba terdengar si anak merah berkata, “Di luar pintu ada setan, lencana besi tadi
pasti dibawa setan tadi, tempat ini memang menyeramkan, ayolah putar balik saja!”
Belum habis dia bicara mendadak Mo Si menjerit ngeri dan tersungkur.
Orang banyak berjingkat kaget, It-siau-hud dan Seng Ing bergerak hendak
memapahnya, tapi hanya maju tiga langkah, tanpa berjanji keduanya lantas berhenti.
Lekas Sim Long memapah Mo Si, tertampak mukanya pucat, sorot matanya
memancarkan rasa takut dan ngeri, bola matanya melotot, dadanya juga naikturun.
Melihat orang belum mati, lega hati Sim Long, tanyanya, “Mo-heng, tidak apa-apa
bukan?”
“Ada ...ada ....” Mo Si tergegap.
“Ada apa?” tanya Sim Long.
“Ba ... barusan ada ... ada orang memukulku dari belakang.”
Cu Jit-jit tertawa dingin, jengeknya, “Mana ada orang di belakangmu, apa kau
mimpi?”
“Benar, ada orang memukul punggungku,” suara Mo Si serak dan panik,
“punggungku sekarang masih sakit, aku ... jika aku membual, biarlah aku mati tak
terkubur.”
Kembali orang banyak saling pandang, tidak ada yang bicara, bernapas pun tak
berani keras-keras.
Kembali Seng Ing membatin, “Kapan ada orang memukulnya, kurasa dia sengaja
berbuat demikian supaya orang takut dan curiga, diam-diam dia akan memungut
keuntungan.”
Jit-jit juga membatin, “Siapakah di antara orang-orang ini yang jadi biang keladi?
Mungkin Hwesio gede ini?”
Tapi It-siau-hud tampak menyeringai, otaknya juga bekerja, “Bukan saja bocah ini
patut dicurigai, gadis ini mungkin juga punya maksud tertentu, aku harus lebih
hati-hati, jangan sampai tertipu oleh mereka.”
Makin besar saling curiga mereka, saling berjaga dan saling mengawasi, di bawah api
obor yang bergerak-gerak, tampak air muka mereka tegang dan kaku.
Di tengah keheningan itu terdengar Mo Si bergumam, “Siapa yang memukulku?
Siapa?”
Mendadak dia membentak dan menerjang ke depan Seng Ing, katanya dengan
beringas, “Tadi kau berdiri paling dekat denganku, mungkinkah kau yang main gila?”
Seng Ing gusar, dampratnya, “Kau sendiri yang berpura-pura dan sengaja menuduh
orang malah.”
“Kentut busuk ....” maki Mo Si, kontan ia menjotos.
Sigap sekali Seng Ing berkelit, tangannya merogoh kantong. Mo Si sudah telanjur
kalap, bentaknya, “Senjata rahasia keluarga Seng memang lihai, tapi apakah
Cu-bu-cui-hun takut padamu? Ayolah maju, orang she Mo ingin membuktikan apakah
Gin-hoa-piau lebih lihai, atau Cui-hun-ciam (jarum mengejar sukma) milikku lebih
ampuh?”
Kedua orang ini sudah siap saling labrak, padahal senjata rahasia kedua orang ini
sama lihai dan terkenal, bila bentrokan terjadi, maka urusan pasti sukar dibereskan.
Dalam keadaan seperti ini orang lain tidak dapat lagi berpeluk tangan, cepat It-
siau-hud menarik Mo Si dan Sim Long membujuk Seng Ing, katanya, “Dalam
keadaan seperti ini, mana boleh kalian saling bunuh malah, kalau ditonton musuh di
tempat gelap kan ....”
“Mana ada orang di tempat gelap?” seru Mo Si gemetar.
“Kalau tiada orang, lalu siapa yang memukulmu?” tanya Sim Long.
Si anak merah mendadak berteriak, “Setan! Setan ... pasti ada setan ....”
Mendadak obor yang dipegang It-siau-hud padam, keadaan menjadi guram, perasaan
semua orang tambah tertekan.
Serak suara It-siau-hud, “Bagus, bagus! Ayolah saling genjot, kalian boleh berhantam.
Kita memang tidak ingin keluar lagi dengan hidup, baiklah aku menonton kalian
berhantam lebih dulu.”
Tangan Mo Si yang dipegangnya lantas dilepaskan, tapi tubuh Mo Si jadi gemetar,
mana dia berani turun tangan?
Seng Ing berkata, “Kita harus maju atau mundur lekas diputuskan, kalau berani ayo
terjang ke dalam, mendingan mati daripada menunggu di sini.”
Belum habis dia bicara, tiba-tiba Sim Long juga meniup padam obor di tangannya,
keadaan seketika gelap gulita, lima jari sendiri pun tidak kelihatan. Keruan semua
orang berteriak kaget, It-siau-hud berkata, “Siangkong, apa yang kau lakukan?”
“Dalam keadaan seperti sekarang, alat semacam ini teramat penting artinya, kita
akan maju atau mundur tetap memerlukan obor ini, mana boleh dinyalakan terus
dengan percuma, setelah ada putusan, bila tiada obor untuk penyuluh jalan, lalu apa
yang bisa kita lakukan?”
Seng Ing menghela napas, katanya, “Memang Siangkong lebih cermat berpikir, jika
obor tak bisa menyala, kita akan mati kutu, maju tak bisa, mundur juga sulit, mungkin
kita semua bisa mati kelaparan terkurung di sini ....”
Dalam kegelapan mendadak terdengar suara anak merah membentak dan
mengomel, “Jit-ci, kenapa kau cubit aku?”
“Aku ... mana aku mencubit kau?” sahut Cu Jit-jit.
“Bukan kau, lalu ... siapa?”
Sim Long, Seng Ing, Mo Si dan It-siau-hud serempak berkata, “Juga bukan aku.”
Seketika mereka merinding, terbayang entah siapa dalam kegelapan ini akan
menyentuh atau mencubitnya, mereka jadi ngeri, keringat dingin membasahi sekujur
badan.
Si anak merah gemetar, serunya, “Ayolah kembali ... kalau terlambat ....”
Tiba-tiba perkataannya terputus karena di luar terdengar suara langkah berat
mendatangi, setiap langkah orang seperti berdetak menggetar sanubari mereka.
Tanpa berjanji serempak semua orang bersiaga dan membentak, “Sia ... siapa?”
Terdengar seorang menjawab di luar, “Siapa kau?”
It-siau-hud dan Cu Jit-jit melintangkan kedua tangan di depan dada, Mo Si, Seng Ing
diam-diam menggenggam senjata rahasia, tampak secercah cahaya menyorot masuk
dari luar, suara langkah itu pun berhenti di ambang pintu.
Sebat sekali It-siau-hud menyelinap ke belakang pintu, ia memberi tanda kepada
Seng Ing. Segera Seng Ing berdehem dan berkata, “Saudara di luar itu silakan
masuk!”
Hening sejenak, tiba-tiba sebuah tangan terulur masuk dari balik pintu, sekali pukul
daun pintu, “blang”, di tengah getaran suara yang keras, daun pintu besar dan berat
itu digempur terbuka, maka It-siau-hud tak bisa bersembunyi lagi di belakang pintu,
cepat dia melompat mundur, pintu itu pun terpentang lebar.
Bayangan orang tampak berkelebat di luar pintu, tanpa memberi peringatan kontan
Mo Si ayun tangannya menebarkan segenggam jarum beracun. Maka terdengarlah
suara gemeresik, jarum beracun semua mengenai daun pintu.
Siapa tahu Cu-bu-cui-hun, ahli senjata rahasia yang terkenal, karena gemetar, kaki
tangan jadi lemas dan sambitan senjatanya pun lemah hingga jauh dari sasaran.
Di bawah kelebat cahaya api seorang besar berdiri di ambang pintu sambil
mengacung obor di atas kepala. Perawakannya yang tinggi kekar, tegak lurus,
dengan kegelapan di belakangnya sehingga kelihatan angker.
Kini semua orang baru melihat jelas, laki-laki ini bukan lain adalah suami yang
mengantar istri dan putrinya balik ke hotel tadi, kini seorang diri dia menyusul tiba.
“O, kiranya kau,” lega hati Mo Si.
Lelaki besar itu mendengus, “Tanpa membedakan lawan atau kawan saudara terus
main serang secara keji, apa tidak sembrono?”
“Soalnya ....” Mo Si hanya bisa menyengir saja.
Mendadak It-siau-hud membentak, “Dalam keadaan seperti sekarang, semua
menghadapi bahaya dan ketakutan, dapat dimengerti jika ingin turun tangan lebih
dulu, umpama salah tangan juga lebih baik daripada jiwa sendiri melayang di tangan
orang lain. Saudara juga belum memperkenalkan diri, kita sukar membedakan kawan
atau lawan, maka bukan salah kami kalau keliru bertindak.”
Laki-laki itu juga gusar, katanya, “Memangnya kau kira aku ini setan gentayangan dari
gua hantu ini?”
“Siapa tahu?” jengek It-siau-hud.
Laki-laki itu bergelak sambil mendongak, katanya, “Kalau kau ingin tahu asalusulku
juga boleh, tapi aku ingin tanya padamu, tahukah apa yang diucapkan Tay-pi Siangjin
sebelum ajalnya dulu?”
It-siau-hud berpikir sejenak, air mukanya berubah, katanya dengan suara berat,
“Maksudmu keempat kalimat yang berbunyi: ‘Pada hari munculnya mega putih,
tatkala Jit-sat muncul kembali, dunia persilatan yang kotor ini, kekacauan akan
segera mulai’.”
“Betul,” seru laki-laki itu. “Sepuluh tahun yang lalu padri agung itu telah meramalkan
huru-hara yang bakal terjadi, maka sebelum ajal dia telah mengucapkan ramalannya
itu, maksudnya tidak lain bila Jik-sat-jiu muncul pula di dunia Kangouw, kekacauan
besar akan mulai berlangsung dalam Bu-lim.”
“Apa hubungan soal ini dengan dirimu?” bentak It-siau-hud.
Laki-laki itu makin keras tertawa, serunya, “Coba kau lihat, apa ini?”
Perlahan dia ulurkan tangannya, di bawah penerangan obor tampak kelima jari
tangannya ternyata sama panjang dan pendek, bagian tengah telapak tangannya
berwarna ungu gelap dan memancarkan semacam sinar yang aneh.
Kontan semua orang banyak berteriak kaget, “Jik-sat-jiu.”
“Betul,” tandas suara laki-laki kekar itu, “Loan-si-sin-liong Jik-sat-jiu ....”
“Bangsat,” Mo Si berjingkrak gusar, “jadi An-yang-ngo-gi mati di tanganmu.”
Kontan dia timpukkan pula senjata rahasianya.
Loan-si-sin-liong Jik-sat-jiu menghardik bengis, sekali ayun sebelah tangannya,
taburan senjata rahasia itu berhasil dipukul rontok, bentaknya marah, “Apakah kau
gila? Sembarang mengoceh!”
Gemertuk gigi Mo Si saking dendam, bentaknya, “Sudah jelas An-yang-ngo-gi mati di
bawah Jik-sat-jiu, kecuali kau, siapa pula yang mampu menggunakan Jiksat-jiu? Kau
... bayar kembali jiwa mereka berlima.”
Dengan nekat tiba-tiba dia menerjang maju dan menghantam dada orang, tapi
sebelum tangannya mengenai sasaran, tahu-tahu sikutnya terpegang dan ditelikung
oleh Sim Long.
“Kau ... apa kerjamu?” teriak Mo Si kalap.
“Mo-heng, harap tenang dan gunakan pikiran. Waktu An-yang-ngo-gi terbunuh,
saudara itu masih berada bersama kita, mana mungkin dia membunuh orang di
dalam kuburan ini?”
Mo Si melengak, tangannya terjulur lemas.
Laki-laki itu masih gusar, serunya, “Sesungguhnya apa yang terjadi? Setiba di sini,
apakah keparat ini menjadi gila karena ketakutan?”
Sim Long menjura, katanya dengan tertawa, “Mohon tanya, konon Say-siang-sinliong
Liu-tayhiap dahulu mempunyai seorang putri tunggal, sejak kecil hidup di padang
pasir jauh di luar perbatasan sana, entah ada hubungan apa dengan Anda ....”
“Ya, dia istriku,” sahut laki-laki itu.
“Siapa nyana Anda ini menantu Liu-tayhiap. Maaf, bila kurang hormat,” setelah
memberi hormat Sim Long menyambung pula, “Kaum persilatan tahu bahwa Jiksat-jiu
mengutamakan tenaga keras dan tiada bandingannya di dunia ini, tapi ilmu ini harus
dilatih oleh perjaka murni baru akan bisa mencapai puncaknya, padahal dahulu
Tok-jiu-siu-hun guru dan muridnya mengalami musibah sekaligus, Yau-bing-sin-kay
bertabiat aneh dan lebih suka hidup menyendiri, jelas mereka tidak punya keturunan,
Say-siang-sin-liong Liu-tayhiap juga hanya punya seorang putri, maka kaum persilatan
sama menyangka Jik-sat-jiu kini sudah putus turunan, siapa tahu meski putri tunggal
Liu-tayhiap sendiri tidak meyakinkan ilmu pukulan itu, namun pukulan hebat itu telah
diwariskan kepada saudara. Bahwa ilmu sakti yang tiada taranya ini ternyata masih
ada juga ahli warisnya, sungguh berita gembira dan patut diberi selamat.”
Terunjuk senyum tipis di ujung mulut laki-laki itu, katanya kalem, “Saudara gagah dan
masih muda, tapi sudah paham sejarah dunia persilatan, tentunya kau pun dari
keluarga besar persilatan yang kenamaan.”
“Cayhe Sim Long, kaum keroco, dan siapa nama saudara yang mulia?
“Thi Hoat-ho,” sahut laki-laki itu.
Sim Long berkeplok, katanya, “Naga sakti muncul tatkala dunia kacau, orang sakti
berdarmabakti, orang terkenal memang patut punya nama bagus.”
Thi Hoat-ho tergelak, katanya, “Saudara ternyata pandai bicara!”
Rasa gusarnya tadi tersapu bersih setelah percakapan berlangsung.
Sim Lang berkata pula, “Dalam dunia persilatan sekarang, kecuali Thi-heng, pasti
masih ada seorang yang juga mahir menggunakan Jik-sat-jiu, cuma saudara sendiri
tidak tahu.”
“Mana mungkin?” ujar Thi Hoat-ho sambil berkerut kening.
Maka Sim Long lantas menerangkan kematian Kim Lin, tertua An-yang-ngo-gi, akibat
pukulan Jik-sat-jiu.
Berubah air muka Thi Hoat-ho, katanya dengan mendelik, “Tak tersangka gua hantu
ini mengandung banyak keanehan, perguruan Tok-jiu-siu-hun jelas sudah putus
turunan, Yau-bing-sin-kay juga tidak punya ahli waris, dari mana orang itu
mempelajari Jik-sat-jiu? Apa pun hari ini orang she Thi harus menyelidikinya sampai
terang.”
Sambil angkat tinggi obornya ia terus melangkah ke dalam gua.
Jilid 5
“Betul,” sambut It-siau-hud, “syukurlah saudara Thi bernyali besar, kalau tidak masuk
sarang harimau, mana bisa mendapat anak harimau?” Bersama Thi Hoat-ho segera
mereka memasuki pintu pertama di sebelah kanan,
sempat It-siau-hud menoleh, “Mo Si, Seng Ing, kalian berani ikut?”
Mo Si dan Seng Ing saling pandang, terpaksa mereka mengeraskan kepala dan
buru-buru ikut masuk ke sana. Cu Jit-jit mengawasi Sim Long, tanyanya, “Bagaimana
kita?”
Sim Long mengawasi Thi Hoat-ho berempat lenyap di balik pintu, cahaya api makin
jauh, tiba-tiba mulutnya menyungging senyum aneh, katanya sambil mengawasi si
anak merah, “Bagaimana pendapatmu?”
Dengan gemetar si anak merah menjawab, “Kita pulang saja, di sini pasti ada ....”
sebelum mengucapkan “setan”, mendadak Sim Long bergerak secepat kilat
mencengkeram tangan dan menutuk Hiat-to lengan si anak merah.
Keruan Cu Jit-jit kaget, teriaknya, “Apa yang kau lakukan?”
“Kau kira dia ini adikmu?” Sim Long menyerahkan obor kepada Jit-jit, lalu
membentak, “Coba lihat siapa dia.”
Sekali raih dia copot kedok muka si anak merah, maka tertampaklah seraut wajah
yang penuh keriput.
Ternyata waktu si anak merah berlari masuk ke dalam gua tadi, sebetulnya dia sudah
berubah jadi Hoa Lui-sian.
Keruan tambah kaget Cu Jit-jit serunya, “Mana Pat-te? Kau ... kau apakan dia?”
Karena Hiat-to tertutuk dan tertawan, Hoa Lui-sian tampak gugup dan takut, sahutnya
dengan menunduk, “Lo-pat kena kututuk dan kubungkus dengan kantong kulit serta
kusembunyikan, dalam waktu dekat jelas tidak akan apa-apa.”
Baru sekarang Jit-jit ingat waktu berlari masuk gua tadi, untuk sesaat lamanya baru si
anak merah menyusul masuk, di luar gua dia menjerit sekali, tentu saat itulah dia
ditutuk dan dibelenggu oleh Hoa Lui-sian, setiba di dalam gua meski dia merasakan
suara adiknya agak berubah, tapi dia kira adiknya ketakutan hingga suaranya
sumbang, maka ia pun tidak memerhatikan lebih lanjut.
Kini baru dia sadar bahwa Hoa Lui-sian telah menipu dirinya, ia menjadi gemas,
serunya dengan mengentak kaki, “Kau ... kenapa kau sekeji ini terhadapnya?”
Makin rendah Hoa Lui-sian menundukkan kepala, Cu Jit-jit tambah beringas, “Ayo
bicara, katakan ... aku ingin tahu, sebab apa kau sampai hati melakukan semua ini
terhadapku.”
Sim Long berkata, “Bukan kau saja yang dipermainkan, tadi sinar api berkelebat di
luar pintu juga permainannya, ketika pandangan orang banyak tertuju ke sana,
secepat kilat dia sambar lencana besi di atas meja itu dan disembunyikan, diamdiam
dia pukul pula punggung Mo Si, orang lain anggap dia anak kecil, sudah tentu takkan
curiga padanya, tentang jeritannya tadi ia bilang ada orang mencubitnya, sudah tentu
karena disengaja ....”
Berhenti sejenak, lalu Sim Long menambahkan dengan tertawa, “Karena yang
terakhir itulah, maka dapat kuketahui permainannya, coba kau pikir, dia memakai
topeng, lalu siapa bisa mencubit mukanya?”
Dengan melongo Cu Jit-jit mendengarkan penjelasan Sim Long, kini baru dia menghela
napas lega, katanya, “Ternyata betul dia, semua adalah perbuatannya, hampir saja aku
mati ketakutan.”
“Yang hampir mati ketakutan bukan kau seorang saja,” ujar Sim Long dengan
tersenyum.
“Kita sekeluarga baik-baik padanya, menganggapnya sebagai orang sendiri, kenapa
dia tega melakukan semua ini untuk menakuti kami dan membekuk adik Pat lagi ....”
makin bicara makan gusar Jit-jit, mendadak dia menampar muka Hoa Lui-sian,
“Katakan, kenapa, kenapa?”
Mendadak Hoa Lui-sian angkat kepala, dia awasi Cu Jit-jit, sorot matanya
memancarkan rasa benci, tapi mulutnya tetap terkancing, satu kata pun tak mau
bicara. Sudah sekian tahun Cu Jit-jit berkumpul dengan dia, belum pernah dia
dipandang sebengis dan sebuas ini, ia merasa ngeri.
Mendadak Hoa Lui-sian berteriak kalap, sekuat tenaga kedua kaki menendang
selangkangan Sim Long.
Dengan sedikit mengegos, dengan enteng Sim Long menghindarkan diri. Agaknya
karena tamparan Cu Jit-jit hingga sifat buas Hoa Lui-sian kumat, seperti binatang liar
kelaparan, kaki tangannya bekerja, menyerang serabutan dengan kalap, namun urat
nadinya terpegang, ujung baju Sim Long saja tak mampu disentuhnya.
Tiba-tiba Hoa Lui-sian menyeringai hingga giginya yang putih tertampak, mendadak
dia menunduk terus menggigit punggung tangan Sim Long, tapi sekali tarik dan
angkat tangannya, Sim Long berbalik menelikung tangan Hoa Lui-sian.
Dalam keadaan ditelikung, meski Hoa Lui-sian punya kepandaian setinggi langit juga
mati kutu dan tak mampu melawan lagi, tapi rasa gusar yang terbayang di mukanya
sungguh membuat orang ngeri.
Sim Long berkata lembut, “Kutahu kau sengaja melakukan berbagai adegan
menakutkan itu supaya kami mengundurkan diri dari kuburan kuno ini, tapi apa
maksud tujuanmu? Mungkinkah dalam kuburan ini ada rahasianya? Kau tidak suka
kami tahu rahasia itu? Atau mungkin pribadimu sendiri ada sangkut pautnya dengan
kuburan ini? Asal kau mau bicara secara blakblakan, aku pasti tidak akan menyakiti
kau.”
“Lepaskan tanganmu, nanti aku bicara,” serak suara Hoa Lui-sian.
Sim Long tersenyum, katanya, “Kalau aku membebaskan kau, sukar lagi
menangkapmu.”
Hoa Lui-sian menggerung geram, tiba-tiba ia jumpalitan ke belakang, kedua kakinya
terus menendang, sasarannya adalah dada Sim Long. Tapi sekali mengentak
tangannya, Sim Long sampuk kedua kaki orang.
Hoa Lui-sian mengertak gigi, desisnya, “Baik, kau menyiksa diriku, nanti akan kubikin
kau mati tanpa terkubur, lidahmu akan kupotong, biji matamu kukorek, gigimu
kupreteli satu per satu, rambutmu kucabuti sebatang demi sebatang ....”
Cu Jit-jit mengirik, katanya dengan suara gemetar, “Tutup mulut ... jangan kau
katakan lagi.”
Hoa Lui-sian menyeringai, “Baru kujelaskan dan kau sudah ketakutan, bila
kupraktikkan, apa pula yang bakal terjadi atas dirimu? Lekas suruh dia lepaskan aku,
kalau tidak ....”
Cu Jit-jit membanting kaki, katanya, “Kau terluka parah dan hampir mati, keluargaku
menolongmu dan merawat dan memberikan segala keperluanmu, kau difitnah orang,
aku berusaha membantumu, dulu perbuatan kejammu memang kelewat batas, tengah
malam kau sering mengigau, sering aku tidur mendampingimu, siapa tahu ... siapa
tahu beginilah imbalan yang kuterima darimu ....” sampai di sini, saking sedih tak
tertahan lagi bercucuran air matanya.
Hoa Lui-sian tertegun, perlahan dia menunduk, air mukanya yang masih beringas
menampilkan rasa menyesal juga, mulut terbuka hendak bicara, tapi urung.
Sim Long berkata pula, “Kenapa kau berbuat demikian? Kenapa sejauh ini kau masih
tetap bungkam? Mungkinkah ada orang di dalam kuburan kuno ini yang harus kau
lindungi, mungkinkah orang itu sanak saudaramu ....”
Hoa Lui-sian membentak dengan beringas, “Dari mana kau bisa tahu?” cepat sekali
dia menyadari telah kelepasan omong, dampratnya gusar, “Binatang cilik, kau ...
jangan harap kau bisa memancing sepatah kata pun dari mulutku.”
Berubah air muka Sim Long, tapi tetap tenang dan sabar, katanya perlahan, “Siapa
nyana Hoa-hujin masih punya sanak kadang yang masih hidup di dunia ini, demi
mereka kau perlu bicara terus terang, setelah kau jelaskan kesulitanmu, mungkin
kami dapat berusaha membantumu, kalau tidak, umpama kami berhasil kau kelabui,
tapi rahasia kuburan kuno ini juga akan tersiar luas, cepat atau
lambat seluk-beluk di sini pasti ketahuan orang banyak, bila urusan sudah telanjur
begitu, menyesal pun sudah terlambat.”
Tiba-tiba tampak Hoa Lui-sian melelehkan air mata, ucapnya dengan suara gemetar,
“Kalau kuterangkan, apa benar akan kau bantu aku?”
“Kalau aku tidak mau membantu, kenapa tidak kubongkar saja rahasiamu di depan
mereka, kau orang pandai, masa hal demikian tidak bisa kau pikirkan?”
“Baiklah,” akhirnya Hoa Lui-sian mengertak gigi. “Dua puluh tahun yang lalu, kami
sudah tahu di tempat ini terdapat kuburan kuno yang menyimpan harta karun, waktu
itu meski Cap-sa-thian-mo sedang jaya-jayanya dan malang melintang di Bu-lim, tapi
setiap saat kami harus hati-hati menghadapi musuh yang selalu akan menyergap,
maka tak sempat kami kemari mengeduk harta karun ini. Kemudian setelah tragedi di
Heng-san, Cap-sa-thian-mo gugur seluruhnya, terpaksa rahasia kuburan kuno ini
kusimpan dalam hati, tak tersangka rahasia ini akhirnya terbongkar juga.”
“Jadi demi mempertahankan rahasia kuburan kuno ini, supaya harta itu tidak dikeruk
orang lain, maka sengaja kau lakukan semua ini?”
Muka Hoa Lui-sian tampak berkerut-kerut. “Bukan,” sahutnya singkat.
Cu Jit-jit melengak, “Lalu karena apa?”
“Karena ... karena orang yang jadi korban di dalam kuburan ini, semua terkena
Lip-te-siu-hun-san (bubuk beracun). Padahal Lip-te-siu-hun-san adalah resep
terahasia keluarga Hoa kami, di kolong langit ini kecuali Toakoku, Siau-hunthian-mo
Hoa Kin-sian, siapa pun tak mampu meraciknya.”
Sim Long dan Jit-jit sama berubah air mukanya, kata Jit-jit, “Siau-hun-thian-mo Hoa
Kin-sian, bukankah dia sudah mati dalam tragedi Heng-san dulu?”
“Lima hari setelah tragedi Heng-san itu, dunia persilatan kacau-balau, banyak tersiar
kabar angin yang bersimpang-siur, tapi siapa pun tiada yang tahu duduk perkara yang
sebenarnya. Kala itu hati setiap orang bingung dan gelisah, banyak pula yang hampir
gila, Cap-sa-thian-mo waktu itu dipecah menjadi dua rombongan dan naik ke atas
gunung, akhirnya semua tercerai-berai, aku hanya mendengar bahwa Toako Hoa
Kin-sian mati di parit Loan-hun-kian, tapi tak kutemukan mayatnya.”
“Jadi kabar kematian Engkohmu itu harus diragukan?”
“Kukira demikian.”
“Jika demikian ... bukan mustahil Toakomu itu sekarang berada di dalam kuburan ini?”
“Kukira begitu,” kata Hoa Lui-sian, “bahwa Lip-te-siu-hun-san muncul dalam kuburan
ini, kuyakin Siau-hun-thian-mo pasti berada di sini juga.”
Tiba-tiba Sim Long tersenyum, katanya, “Lip-te-siu-hun-san itu kemungkinan diracik
oleh sukma Toakomu di dalam kuburan kuno ini.”
Hoa Lui-sian tergetar, tapi segera dia menyeringai, katanya, “Umpama benar yang
menghuni kuburan ini adalah sukma Toakoku, aku pun akan membantunya, orang luar
dilarang mengganggu tempat ini.”
Mendadak dengan tangan kiri dia merogoh keluar lencana basi dari kantongnya,
katanya pula, “Kau tahu apa ini?”
Di bawah sinar obor yang dipegang Cu Jit-jit, Sim Long mengawasinya dengan tajam,
tampak di dalam lencana yang legam itu, seperti ada bayangan yang bergerak,
lencana besi sekecil ini ternyata mengandung sesuatu kekuatan yang gaib.
Mau tak mau berubah air muka Sim Long, katanya, “Bukankah ini Thian-hun-ling milik
Hun-bong-siancu, senjata rahasia beracun nomor satu pada masa lampau?”
“Pandanganmu memang tajam,” puji Hoa Lui-sian.
Cu Jit-jit terkesiap, serunya, “Thian-hun-ling yang pernah menggetarkan dunia kini
muncul kembali, jadi Hun-bong-siancu, si perempuan iblis itu juga belum mati?”
“Mati-hidup orang lain tidak berani kupastikan, tapi dulu waktu Hun-bong-siancu mati
di bawah ilmu jari Kian-kun-te-it-ci yang dilancarkan Kiu-ciu-ong Sim Thiankun, aku
menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri.”
Berubah air muka Cu Jit-jit, katanya, “Barang milik orang mati, bagaimana bisa ...
bisa berada di sini?”
Hoa Lui-sian tertawa dingin, “Jik-sat-jiu-sin-kang, Lip-te-siu-hun-san, Thian-hunling,
semua ini milik orang yang sudah mati, tapi kenyataan sekarang muncul bersama di
dalam kuburan kuno ini, hal ini menandakan sukma yang menghuni kuburan ini tidak
hanya satu. Waktu hidup mereka aku adalah saudaranya, sesudah mereka mati aku
tetap menjadi sahabat setannya, tempat suci mereka ini siapa pun dilarang
mengganggunya, maka kuanjurkan lekas kalian keluar
saja, kalau tetap bandel, kalian akan menerima nasib seperti It-siau-hud, Thi Hoat-ho
dan lain-lain.”
“Bagaimana nasib mereka?” tanya Sim Long. Tiba-tiba didapatinya pintu ke mana tadi
It-siau-hud, Thi Hoat-ho berempat pergi kini telah tertutup tanpa mengeluarkan suara.
Sim Long memusatkan perhatiannya kepada Hoa Lui-sian, maka tidak tahu kapan
pintu itu tertutup.
“Hah ... pintu ... pintu itu ....” Jit-jit terbeliak.
Hoa Lui-sian tertawa terkial-kial, katanya, “Baru sekarang kalian sadar? .... Dalam
kuburan ini akan bertambah beberapa setan baru lagi, kalau aku tinggal di sini juga
tidak akan kesepian. Mengingat hubungan masa lalu, baiklah kuanjurkan kalian lekas
pergi saja ....”
Sim Long melirik ke sana, dia yakin delapan pintu ini dibangun dengan perhitungan
Pat-kwa, katanya sambil berkerut alis, “Mereka pergi lewat pintu hidup, mana mungkin
mengalami nasib jelek?”
Sambil menarik Hoa Lui-sian dia melompat ke sana, dengan sepenuh tenaga dia
memukul pintu, “blang”, pintu itu kukuh kuat bergeming, jelas daun pintunya berat dan
tebal, kekuatan tangan siapa pun takkan mampu menjebolnya.
Getaran keras berpadu dengan suara gelak tertawa sehingga menimbulkan gema
yang lebih keras.
Mendadak belasan lelaki yang membawa obor berbondong masuk, karena gema
pukulan dan suara tertawa tadi hingga langkah orang banyak ini tidak terdengar.
Setelah mereka tiba di ambang pintu baru Sim Long menoleh, tampak yang berdiri
paling depan adalah Beng Lip-jin dan Ban-su-thong.
Sim Long segera menyapa, “Beng-heng juga datang, sungguh aku ....”
Belum habis bicara, beberapa orang di belakang Beng Lip-jin tiba-tiba meraung,
“Budak jalang, ternyata kau berada di sini, kami susah payah mencarimu ke
mana-mana.”
Mereka ternyata adalah Joan-hun-yan Ih Ji-hong, Pok-thian-tiau Li Ting, Sin-ganeng
Pui Jian-li dan Congpiauthau Can Ing-siong dari Wi-bu-piaukiok.
Beberapa orang ini telah mengejar sampai Pit-yang, meski tidak menemukan Cu
Jit-jit, tapi bersua dengan Beng Lip-jin. Karena Beng Lip-jin memang kenalan
lama mereka, dalam omong-omong dia menuturkan rahasia kuburan kuno ini, malah
mendesak mereka untuk ikut ke sini.
Pui Jian-li dan Can Ing-siong memang manusia tamak, setelah dibujuk oleh Beng
Lip-jin dan Ban-su-thong, akhirnya mereka ikut kemari.
Cu Jit-jit melirik sekejap, bisiknya, “Wah, celaka, beberapa musuh ini datang ....”
tiba-tiba dia melejit ke sana dan menyelinap masuk pintu lain, sengaja dia berhenti
dan menoleh, “Di dalam banyak setan pencabut nyawa, apa kalian berani masuk
kemari?”
Ia melirik ke arah Sim Long, apa boleh buat sambil menyeret Hoa Lui-sian Sim Long
ikut masuk ke sana.
Bayangan putih berkelebat, tahu-tahu Cu Jit-jit sudah lenyap di tengah kegelapan. Sim
Long menyusulnya, katanya, “Besar amat nyalimu, berani sembarangan main
terobos.”
“Bekerja jangan kepalang tanggung, makin menakutkan cerita Hoa Lui-sian, makin
kuingin tahu, toh dia ikut pula, peduli Engkohnya masih hidup atau sudah mati, sedikit
banyak pasti akan memberi kelonggaran kepada kita. Apalagi daripada aku dikerubuti
oleh Pui Jian-li dan begundalnya, lebih baik aku mati diterkam setan.”
Sim Long menghela napas, katanya, “Setan juga pasti pusing menghadapi
kebinalanmu.”
“Blang”, tiba-tiba daun pintu di belakang tertutup sendiri, maka cahaya api dan
orang-orang di luar terputus hubungan. Padahal obor di tangan Cu Jit-jit sudah
padam, keadaan menjadi gelap gulita.
*****
Sementara itu Pok-thian-tiau Li Thing sedang marah-marah kepada Pui Jian-li,
“Toako, kenapa kau larang aku mengejar, kenapa membiarkan musuh melarikan
diri?”
Pui Jian-li menyeringai, katanya, “Mereka masuk lewat Si-bun (pintu mati), jelas
mereka tidak bisa hidup lagi, buat apa kita susah-susah mengejarnya?”
Betul juga, daun pintu dimaksud tiba-tiba anjlok dan menutup lorong itu.
Li Ting mengelus dada, katanya, “Sungguh berbahaya, syukur Toako paham
Kim-bun-pat-kwa, kalau tidak mungkin Siaute ikut terkurung di sana.”
Pui Jian-li mendelik, katanya, “Tapi sebaliknya, bila yang sembunyi di dalam kuburan
ini orang hidup, Kim-bun-pat-kwa dengan sendiri berguna, jika dihuni oleh hantu ...
hehehe meski Khong Beng menjelma kembali juga takkan lolos dari kematian.”
Joan-hun-yan Ih Ji-hong berkata, “Budak itu kepepet dan masuk ke jalan buntu,
anggaplah penasaran sudah terlampias, kini lebih baik kita keluar saja, supaya tidak
mengalami kesulitan.”
Can Ing-siong dan lain-lain diam saja, agaknya mereka terbujuk, maklum meski
mereka punya nyali besar, setelah masuk ke sarang hantu ini ciut juga nyali mereka.
Diam-diam Ban-su-thong memberi kedipan mata kepada Beng Lip-jin, orang yang
belakangan ini segera berseru lantang, “Harta karun yang terpendam di dalam
kuburan kuno ini mungkin tiada bandingan di kolong langit, setelah berada di sini,
kenapa pulang dengan tangan kosong? Peduli ada setan atau hantu, kita sebanyak
ini masa takut?”
“Jika kalian takut, silakan mundur saja,” demikian kata Ban-su-thong, “Cuma aku dan
Beng-heng ... hehe, betapa pun harus masuk ke sana.”
Can Ing-siong berkata dengan gusar, “Siapa yang takut? Wi-bu-piaukiok tiada orang
yang pernah mundur di medan laga. Ayo kita terjang masuk bersama.”
Serentak mereka terus menerobos masuk ke sana.
Sin-gan-eng Pui Jian-li mendengus, “Kami Hong-lin-sam-ciau juga bukan orang yang
takut urusan, tapi juga bukan orang bodoh yang ceroboh dan sok berani, umpama
kita ingin terjang juga harus dirundingkan bersama, Can-congpiauthau, coba katakan,
apakah kau ada pendapat?”
Can Ing-siong balas bertanya, “Lalu bagaimana menurut pendapat saudara Pui?”
Pui Jian-li berkata, “Jumlah kita kebetulan dapat dibagi menjadi dua rombongan
untuk mencari jalan dan rombongan lain tetap tinggal di sini, kita ikat dengan tali
panjang supaya yang masuk tidak kesasar dan bisa kembali.”
Beng Lip-jin berkeplok, katanya, “Pui-heng memang teliti, lalu siapa yang akan
mencari jalan?”
“Biar kubicarakan dulu dengan Can-congpiauthau untuk menentukan siapa yang
akan bertanggung jawab,” kata Pui Jian-li.
Can Ing-siong juga setuju menggunakan cara yang diusulkan Pui Jian-li.
Pui Jian-li lantas sembunyikan sebelah tangannya ke belakang punggung, katanya,
“Congpiauthau boleh tebak jariku ganjil atau genap?”
Can Ing-siong termenung sejenak, lalu berkata, “Ganjil.”
Pui Jian-li tersenyum dan acungkan dua jarinya, katanya, “Genap!”
Can Ing-siong berteriak, “Baik, kami akan membuka jalan, semua anak murid Wibu
ikut aku.”
Diam-diam Beng Lip-jin membatin, “Pui Jian-li memang licin, jari tangan sendiri
disembunyikan di punggung, kalau Can Ing-siong menebak ganjil dia ulurkan dua jari,
sebaliknya kalau Can Ing-siong menebak genap, dia lantas acungkan tiga jari, undian
cara begini biarpun sampai dunia kiamat juga Can Ing-siong jangan harap bisa
menang .... Namun semua orang sudah berada dalam kuburan kuno ini, siapa pun
jangan harap bisa lolos sendirian, apa pula bedanya kalah atau menang?”
Maka dia lantas berseru, “Mari, kutemani Can-heng membuka jalan.”
Pui Jian-li segera mengeluarkan tali panjang, ujung tali yang lain dia serahkan kepada
Can Ing-siong, katanya, “Congpiauthau, ikat ujung tali ini pada pinggangmu, bila tali ini
habis rentang, di mana pun kau berada harus segera kembali, sepanjang jalan harus
meninggalkan tanda. Bila di tengah jalan mengalami sesuatu, cukup kau tarik tali ini
dan kami akan segera memberi pertolongan.”
“Ya, kutahu,” ujar Can Ing-siong. Lalu dia ikat ujung tali di pinggangnya, lalu berseru,
“Ikut aku!”
Ia angkat obor ke atas dan melangkah lebih dulu memasuki pintu tebal itu, di antara
Piauthau yang mengintil di belakangnya seorang berkata dengan gemetar, “Kalau
pintu ini jatuh, bukankah kita akan tertutup di dalam?”
“Jangan khawatir,” ujar Li Thing, “kalau pintu ini anjlok ke bawah, aku bersama
Ih-samte masih kuat menyangganya beberapa saat, bila Can-toako menarik tambang,
kalian masih sempat lari balik.”
Can Ing-siong bergelak tertawa, katanya, “Orang bilang Pok-thian-tiau selain
Ginkangnya tinggi juga memiliki tenaga raksasa, agaknya memang bukan julukan
kosong. Baiklah, kami mohon bantuan dan perhatian Li-heng saja.”
Habis bicara bersama Beng Lip-jin dan sembilan orang lain beruntun mereka berjalan
masuk, sembilan obor cukup menerangi lorong panjang di balik pintu besar itu.
Setelah kesembilan orang itu pergi jauh, Li Thing berteriak, “Can Ing-siong memang
seorang lelaki sejati, gagah dan berani.”
“Sayangnya terlalu bodoh,” jengek Pui Jian-li.
*****
Can Ing-siong jalan paling depan, langkahnya tegap dan mantap. Lorong rahasia ini
tingginya antara dua tombak, berliku-liku, panjang seperti tidak berujung. Banyak
pintunya pada kedua sisi, semua tertutup, didorong juga tak terbuka.
Beng Lip-jin berjalan paling belakang, membawa golok dengan wajah mengulum
senyum, sikapnya tenang dan seolah-olah percaya umpama kedelapan orang lain
mati semua juga dirinya takkan mengalami bahaya apa pun.
Setelah menempuh perjalanan beberapa kejap, mendadak Beng Lip-jin
menggunakan goloknya memotong tali panjang itu, orang yang berjalan di depan
sudah tentu tiada yang tahu, cepat Beng Lip-jin menyusul ke depan dan berkata,
“Can-heng, sudah ada yang kau temukan?”
Can Ing-siong menggeleng, katanya sambil menghela napas, “Kuburan kuno ini
ternyata sangat besar ....”
Tiba-tiba dilihatnya daun pintu di depan seperti setengah terbuka, di balik pintu
kelihatan ada sinar api yang bergerak, tersirap darah Can Ing-siong, katanya
gemetar, “Mungkinkah di sini dihuni orang?”
Cepat dia melompat maju seraya melongok ke dalam.
Tampak di balik pintu adalah sebuah kamar batu segienam, setiap sudut ditaruh
sebuah peti mati, paling tengah terdapat sebuah lampu tembaga yang memancarkan
sinar yang redup, tiada bayangan manusia, entah siapa yang
menyalakan dan menaruh lampu tembaga itu di situ, suasana terasa dingin
mencekam, mendirikan bulu roma.
Can Ing-siong menarik napas, katanya, “Masuk tidak?”
Beng Lip-jin berkata setelah berpikir sejenak, “Lebih baik kita tarik tali, supaya
Pui-heng dan lain-lain menyusul kemari baru kita bicarakan bersama.”
“Baik,” kata Can Ing-siong, segera dia hendak menarik tali, makin tarik makin cepat
dan terasa enteng, tiba-tiba air muka Can Ing-siong berubah, tarikannya dipercepat,
mendadak dilihatnya tambang itu putus seperti bekas ditebas senjata tajam, seorang
lantas menjerit, “Lekas kita mundur.”
Beng Lip-jin membanting kaki, katanya gemas, “Ini ... siapa yang melakukan? Urusan
sudah telanjur, mundur juga sudah terlambat, lebih baik kita terjang saja ke depan,
apa pun kita harus lihat apa yang berada di depan.”
Can Ing-siong bimbang sekian lamanya, katanya kemudian, “Mati-hidup ditentukan
takdir, bila Can Ing-siong hari ini mati di sini ... ai, biarlah, ayo terjang.”
Segera dia menyelinap masuk ke dalam kamar batu lebih dulu.
Beng Lip-jin berkata, “Biar aku jaga pintu, lekas kalian masuk!”
Wajah orang banyak kelihatan pucat, langkah pun merandek bimbang.
Beng Lip-jin melirik dan berkata pula, “Peti mati tembaga itu bukan mustahil berisi
harta karun ....”
Belum habis ucapannya, orang banyak lantas berdesakan berebut masuk. Ujung
mulut Beng Lip-jin mengulum senyum sinis, ia malah menyurut mundur dan
mendorong pintu, pintu ini pakai pegas, “blang”, daun pintu lantas tertutup rapat.
Waktu orang-orang di dalam menoleh, daun pintu sudah tertutup, maka terdengarlah
teriakan kaget dan panik orang-orang di dalam.
Pada saat itu satu bayangan kelabu berkelebat di ujung lorong, gerak-geriknya tidak
menimbulkan suara, Lip-jin tidak menyadari akan kedatangan orang ini, dengan
menyeringai dia bergumam, “Can Ing-siong, jangan kau salahkan aku, soalnya ....”
Tiba-tiba ada suara dingin menukas perkataannya, “Kau telah menjalankan tugas
dengan baik, sekarang lekas kau putar balik dan tarik tambang itu dan
memancing Pui Jian-li dan lainnya masuk kemari untuk mengantar kematian mereka.”
Beng Lip-jin tahu suara ini diucapkan orang berjubah kelabu itu, saking ketakutan
lututnya sampai gemetar, namun sekuatnya dia melangkah ke depan, didengarnya
suara seperti hantu itu berkata, “Jalan terus, jangan berpaling, perhatikan
keselamatan jiwamu sendiri, bila menoleh nasibmu akan serupa mereka.”
*****
Di sebelah luar, perhatian Pui Jian-li tertuju pada tambang. Li Thing dan Ih Jihong
berdiri di kanan-kiri pintu di mana tadi Can Ing-siong dan rombongannya masuk.
Setelah tambang tertarik makin kencang, mendadak tidak ada gerakan apa-apa lagi.
Pui Jian-li tidak tahu kalau tambang sudah putus, maka dia berkerut kening, katanya,
“Kenapa Can Ing-siong tidak maju lebih jauh, mungkin sudah menemukan sesuatu
....”
Mereka menunggu dalam keheningan, menunggu reaksi, terasa sang waktu berjalan
teramat lambat, kaki-tangan terasa dingin, deru napas mereka pun bertambah berat,
entah berapa lama kemudian mendadak tambang ditarik dan disendal tiga kali, Li
Thing segera berteriak, “Agaknya terjadi sesuatu di dalam, lekas kita beri bantuan!”
Pui Jian-li tertawa dingin, katanya, “Apa betul kau mau memberi bantuan, atau mau
mengantar kematian?”
Li Thing melenggong, katanya tergegap, “He, ini ....”
Berputar biji mata Ban-su-thong, katanya mendadak, “Bukan mustahil Can Ingsiong
telah menemukan harta karun, kalau kalian tidak mau masuk, biar aku pergi dahulu.”
Segera dia menyelinap masuk lebih dulu.
Berubah air muka Pui Jian-li, ia diam sebentar, mendadak dia berkata, “Dengan
orang she Can kita tidak ada hubungan, tapi peraturan Kangouw patut dijunjung
tinggi, marilah kita masuk membantu mereka.”
Lalu dia pimpin orang banyak berbondong masuk ke dalam, Li Thing dan Ih Jihong
berada paling belakang.
Diam-diam Ban-su-thong membatin, “Rase tua ini banyak muslihatnya, mulutnya
manis hatinya jahat, jelas dia mengincar harta karun, namun mulutnya bicara gagah,
kali ini biar kau tahu rasa.”
Baru beberapa langkah orang banyak masuk, daun pintu tiba-tiba menutup sendiri.
Ih Ji-hong tahu lebih dulu, teriaknya panik, “Celaka, kita masuk perangkap.”
Pui Jian-li juga tersirap kaget, waktu dia berlari balik memeriksa, meski dengan
gabungan seluruh kekuatan mereka juga jangan harap bisa membuka daun pintu
berat ini, baru sekarang dia berkata dengan ngeri, “Kita terpaksa maju, ayolah terjang
saja.”
Tapi beberapa langkah kemudian baru dia sadar bahwa tambang panjang itu ternyata
putus.
Orang banyak sama pucat, suara Li Thing gemetar, “Can Ing-siong dan ... dan yang
lain entah ke mana? Mungkin sudah celaka?”
Dingin muka Pui Jian-li, bibirnya tertutup rapat, matanya menatap tajam ke depan,
langkahnya perlahan, walau hati orang banyak sama kebat-kebit, tapi urusan sudah
telanjur sejauh ini, terpaksa orang banyak mengintil di belakangnya.
Mendadak ditemukan sebuah obor yang telah padam di depan sebuah pintu yang
tertutup, walau apinya padam, rasanya masih hangat, jelas obor ini padam belum
lama ini. Lekas Pui Jian-li jemput obor itu, katanya perlahan, “Obor ini memang milik
mereka, agaknya ....” mendadak ia tutup mulut terus melangkah ke depan.
Walau dia tidak melanjutkan perkataannya, semua orang maklum ke arah mana
maksud perkataannya, yaitu Can Ing-siong dan lain-lain mungkin sudah mengalami
nasib jelek. Kecuali diliputi rasa takut dan ngeri, orang-orang itu pun merasa sedih.
Tapi dalam keadaan seperti ini mereka segan bicara, sambil mengeraskan kepala
terpaksa maju ke depan.
Di depan mendadak ditemukan simpang jalan tiga. Di simpang tiga ini mereka
menemukan lengan manusia yang berlepotan darah yang belum kering, jari tangan
mengepal kencang, hanya jari telunjuk yang menuding ke depan, menuding jalan
sebelah kiri.
Sejauh cahaya obor menerangi jalan tembus ke kanan, tulang tengkorak manusia
tampak berserakan, ada yang masih utuh, ada yang sudah kocar-kacir,
ada yang memegang tombak, golok atau pedang yang setengah berkarat, tapi masih
memancarkan cahaya gemerdep ditimpa cahaya obor, suasana hening seram.
Li Thing bergidik, katanya gemetar, “Apakah perlu ... maju terus?”
“Kalau tidak, mau ke mana?” jengek Pui Jian-li.
“Tapi di depan ... akhirnya juga ... juga mati,” kata Li Thing khawatir.
“Memangnya kenapa kalau mati?” jengek Pui Jian-li pula.
Serak suara Li Thing, “Apakah penghuni kuburan kuno ini hendak membunuh kita
semua?”
“Orang yang terpancing masuk kuburan ini asal usulnya berbeda dan tiada sangkut
pautnya satu dengan yang lain, tapi penghuni kuburan ini justru menghendaki
kematian mereka, ini jelas bukan lantaran dendam atau sakit hati ....”
“Memangnya lantaran apa?” sela Ih Ji-hong.
“Menurut hematku,” kata Pui Jian-li, “kuburan kuno besar ini pasti menyembunyikan
suatu muslihat keji yang akan menimbulkan kegemparan dan keributan di kalangan
Bu-lim, kita akan menjadi tumbal muslihatnya.”
Ban-su-thong bertanya, “Jadi Pui-heng yakin penghuni kuburan ini manusia dan
bukan setan?”
Pui Jian-li menyeringai, katanya, “Di dunia mana ada setan, kecuali ....” mendadak di
belakangnya terdengar suara orang menjengek, seketika bulu kuduk Pui Jian-li
berdiri, serempak orang banyak berpaling.
Tapi di belakang kosong melompong, jangankan manusia, bayangan pun tidak
kelihatan, ketika mereka menoleh lagi ke arah tudingan tangan kutung tadi, tudingan
itu sudah berubah arah, kini menuding ke jalan yang tengah.
Semua orang sama merasa ngeri, entah siapa berkata dengan gigi gemertuk, “Ini ...
ini ... apa lagi kalau bukan setan?”
Pui Jian-li menendang tangan kutung itu, bentaknya, “Umpama setan juga aku akan
melabraknya.”
Segera ia mendahului menerobos ke jalan tengah.
Wajah Ban-su-thong menampilkan senyuman misterius, diam-diam dia berjongkok
mengusap noda darah pada ujung kakinya, noda darah waktu dia mendepak dan
mengubah arah lengan buntung itu. Cepat Hong-lin-sam-ciau membawa
murid-muridnya menerobos ke jalan yang tengah.
Baru saja Ban-su-thong melangkah mendadak sebuah tangan menarik lengan
bajunya, seorang berpakaian kelabu mendadak keluar dari balik dinding dan berdiri di
belakangnya, katanya sambil menyeringai, “Apa kau juga ingin ikut mati bersama
mereka?”
Bergetar sekujur badan Ban-su-thong, sahutnya gelagapan, “O, ham ... hamba ....”
Orang itu berkata, “Kau masih berguna, tidak kubiarkan kau mati. Ingat, arahkan
langkahmu ke lorong yang penuh tengkorak itu, temanmu Beng Lip-jin akan
menyambut kedatanganmu di ujung sana.”
“Baik ... kutahu ....” sahut Ban-su-thong.
Mendadak didengarnya suara jeritan Hong-lin-sam-ciau yang menerobos ke lorong
tengah itu, segera jeritan mereka terputus seperti leher mereka mendadak tercekik.
Cukup lama tubuh Ban-su-thong menggigil, setelah agak tenang, suasana hening
lelap, di bawah penerangan obor tampak tulang belulang yang mengerikan, sekilas
Ban-su-thong melirik ke belakang, orang kelabu ternyata sudah lenyap. Munculnya
laksana setan gentayangan, perginya tanpa meninggalkan bekas.
*****
Tadi Hong-lin-sam-ciau bersama muridnya menerobos ke depan, tiba di ujung sebuah
kamar batu yang pintunya terbuka, cahaya gemerdep tampak menyilaukan mata di
dalam.
Pui Jian-li berteriak girang, “Agaknya arah yang kita tempuh tidak salah.”
Segera dia mendahului menerobos masuk. Dalam kamar batu ini berjajar empat peti
mati, tutup peti tersingkap ke pinggir, di dalam peti penuh berisi berbagai batu
menikam yang tak ternilai.
Hong-lin-sam-ciau termasuk keluarga persilatan yang kaya raya, namun selama
hidup kapan pernah menyaksikan harta pusaka sebanyak ini. Apalagi murid-
muridnya, semua terbeliak kaget, cukup lama mereka berdiri terpesona, entah siapa
yang mendahului berteriak, segera mereka memburu maju sambil ulur tangan untuk
meraup mutiara, zamrud, mata kucing dan permata lainnya.
Siapa tahu begitu tersentuh tangan, batu permata itu sama pecah dan
menyemprotkan air yang berwarna-warni dan muncrat mengenai muka, kepala,
lengan, dan badan murid-murid Hong-lin-sam-ciau.
Terasa batu permata itu dingin, tapi begitu pecah dan air berwarna-warni itu muncrat
mengenai badan, rasanya ternyata panas membakar, kontan mulut mereka meraung
kesakitan, satu per satu jatuh bergulingan saling tindih.
Tampak di mana air berwarna-warni itu mengenai badan, tidak terkecuali apa kain
baju, rambut atau kulit badan seketika hancur dan membusuk hingga kelihatan
tulangnya. Makin meronta dan kelejatan makin hebat rasa sakit, dan bagian yang
membusuk itu pun makin melebar dengan cepat, dalam sekejap mereka yang
menjerit-jerit itu makin lemah dan akhirnya melayang jiwanya.
Beberapa lelaki segar dengan perawakan gagah dan kuat, dalam beberapa kejap
telah berubah menjadi seonggok tulang.
Sungguh kaget Pui Jian-li menyaksikan kejadian mengerikan ini, katanya dengan
serak, “Racun ... sungguh keji ....” mendadak terdengar suara keresekan perlahan,
serempak mereka berpaling, daun pintu di belakang mereka tahu-tahu sudah
menutup sendiri.
*****
Sementara itu di tempat lain, sejak daun pintu anjlok ke bawah, Sim Long, Cu Jitjit,
dan Hoa Lui-sian berada dalam kegelapan, dari dekat saja sukar melihat wajah
masing-masing.
Cu Jit-jit lalu menjinjit hingga muka beradu muka, perlahan dia menggosok pipi
sendiri dengan pipi Sim Long, ucapnya setengah berbisik, “Sungguh baik ....”
“Sudah hampir mati, apanya yang baik?” jengek Hoa Lui-sian tiba-tiba.
“Dalam kegelapan yang memabukkan seperti impian ini, bila aku dapat berpelukan
mesra begini, meski harus segera mati juga rela aku,” demikian kata Cu Jit-jit, lalu dia
jewer kuping Sim Long, katanya, “Aku tak mau ada orang ketiga berada di sini, boleh
kau lepaskan dia pergi.”
“Walau kau ingin mati, Siociaku, aku sebaliknya belum hidup cukup. Apa pun tidak
akan kulepaskan dia,” demikian jawab Sim Long tegas.
Kontan Cu Jit-jit menggigitnya dengan gemas katanya, “Kau lelaki patung yang tidak
kenal budi kebaikan, aku benci padamu, aku ... aku ingin menggigitmu sampai mati.”
“Lekas gigit, lekas,” Hoa Lui-sian bersorak, “lebih cepat lebih baik!”
Sim Long melepaskan pegangan Cu Jit-jit, katanya, “Serahkan.”
“Serahkan apa?” tanya Jit-jit.
“Ketikan api.”
“Tidak ada.”
“Aku tahu kau membungkusnya dengan sapu tangan putih dan kau simpan di
kantong sebelah kiri, betul tidak?”
Jit-jit membanting kaki, “Setan alas, setan mampus ... ini, ambil!” langsung dia
lemparkan ketikan api yang dimaksud.
Walau dalam kegelapan sekali meraih Sim Long dapat menangkap ketikan api itu,
segera dia menyalakan sebatang obor. Dilihatnya pipi Cu Jit-jit bersemu merah, sorot
matanya berkilau entah merasa benci, haus cinta atau entah apa lagi ....
Sim Long tersenyum, katanya, “Ada sinar api jadi lebih mudah terjang ke depan,
ayolah!”
“Huh, siapa yang ingin ikut kau?” jengek Cu Jit-jit sambil melengos ke arah lain,
sesaat kemudian tak urung dia melirik juga, dilihatnya Sim Long telah melangkah
pergi sambil menggandeng Hoa Lui-sian.
Jit-jit menggereget, serunya, “Baik, kau tidak urus diriku, boleh kau pergi, biar ... biar
aku mampus di sini, coba kau mau apa!”
Tanpa berpaling Sim Long malah tertawa, katanya, “Coba lihat siapa di belakangmu?
Jangan sampai kau ....”
Belum habis dia bicara, Cu Jit-jit lantas menjerit sambil memburu maju dan memukul
pundak Sim Long belasan kali, mulut juga menggerutu, “Setan, biar kupukul kau
sampai mampus.”
Tapi tenaga pukulannya ternyata ringan saja, tidak urung dia lantas ikut pergi.
Sesaat lamanya mereka menyusuri lorong panjang, akhirnya tiba di depan sebuah
pintu setengah terbuka, di balik pintu ada peti, di atas peti ada lentera. Cu Jit-jit
berkata, “Mungkin di sini ada orang, coba aku masuk melihatnya.”
“Jangan masuk,” mendadak Sim Long membentak dengan suara tertahan.
“Kenapa?” Jit-jit membandel, “aku justru mau masuk.”
Sim Long menghela napas, katanya, “Nona manis, masa kau tidak tahu di sana
dipasang perangkap? Bila kau masuk daun pintu akan segera tertutup.”
Berputar bola mata Cu Jit-jit, mendadak dia tertawa cekikikan, katanya, “Ya, memang
kau lebih pintar.”
Bertiga mereka maju lebih lanjut, mendadak jalan simpang tiga mengadang di depan,
pada jalan yang belok ke kiri menggeletak sebuah lengan kutung berlumuran darah
dengan jari telunjuk menuding ke depan sana. Sementara jalan ke arah kanan tampak
tumpukan tulang manusia.
Cu Jit-jit berkedip, katanya, “Mari kita tempuh jalan tengah ini.”
Sim Long berkata setelah termenung sejenak, “Pepatah bilang, dalam isi ada kosong,
yang kosong ada isi. Jalan ke kanan ini kelihatannya berbahaya, tapi jalan tengah
yang kelihatannya menuju ke pusat kuburan ini merupakan kunci dari seluruh rahasia
di sini, maka jalan tengah ini tidak boleh ditempuh.”
“Kenapa di luar terdapat delapan pintu?” tanya Cu Jit-jit.
“Kini baru kusadari, kedelapan pintu di luar tadi hanyalah pancingan belaka supaya
orang menaruh curiga, bukan saja kedelapan jalan itu sama, pasti juga menembus ke
satu tujuan, tapi pada setiap lorong pasti ada perangkap, asal kita dapat
menghindarkan diri dari jebakan itu dan menuju ke arah yang tepat, akhirnya pasti
dapat menemukan rahasia utama yang menyelubungi tempat yang menakutkan ini.”
Sembari bicara mereka sudah sampai di ujung jalan kanan.
Tiba-tiba Hoa Lui-sian menjengek, “Hoa Kin-sian biasanya bekerja teliti dan hatihati,
sekali-kali kalian takkan bisa meraba rahasianya, kuanjurkan lekas kembali saja,
kenapa harus mengantar kematian?”
Bukan saja tidak menghiraukan ocehannya, Sim Long juga tidak meliriknya,
mendadak didengarnya Cu Jit-jit melonjak girang, “Betul, betul, arah yang kita tempuh
ini pasti betul.”
Dia menuding ke sebuah kamar, di sana cahaya gemerlapan menyilaukan mata,
sebuah kamar yang penuh bertaburan batu permata dan harta benda beraneka
ragam.
Berubah hebat air muka Hoa Lui-sian. Cu Jit-jit dilahirkan dalam keluarga kaya raya,
perhiasan atau permata apa yang tidak pernah dilihatnya, tapi sudah bagi sifat
seorang gadis remaja, melihat permata sebanyak itu, betapa rasa ketariknya dan
menimbulkan rasa ingin memilikinya, tanpa sadar dia ulur tangan, ingin memegang
dan mengelus, tak tahunya baru tangannya terulur, mendadak Sim Long menariknya
mundur.
“Kenapa kau tarik aku?” Jit-jit muring-muring.
“Kau hidup dalam keluarga kaya, memangnya tidak pernah melihat permata yang
cemerlang? Terutama cahaya gemerdep dalam ruang yang terasa ganjil ini, kalau kau
ingin memecahkan rahasia di sini, maka jangan kau menyentuhnya.”
“Baik, aku menurut petunjukmu sekali lagi,” ucap Cu Jit-jit dengan menggigit bibir.
Hoa Lui-sian tertawa dingin, “Anggap kau pintar, ini memang permainan Hoa
Kin-sian, bagian luar permata ini memang khusus dia ciptakan secara istimewa, di
dalamnya mengandung cairan racun jahat, siapa pun bila menyentuhnya pasti
mampus .... Hehehe, tapi kau pun jangan bangga, biasanya Hoa Kin-sian sangat
cerdik merancang, umpama sekarang kau dapat memecahkan perangkapnya, tapi
masih banyak perangkap lain yang menunggumu. Maka kuanjurkan lebih baik kau
lepaskan diriku, karena ada aku, mungkin kalian akan diampuni dia.”
Panjang lebar dia mengoceh, hakikatnya Sim Long tidak memerhatikan, maju lagi
beberapa kejap, lorong tidak lurus lagi, kiri putar kanan, sekonyong-konyong
bayangan seorang tampak berkelebat dari kiri dan lenyap ke arah kanan. Hanya
dalam gerakan sekelebat itu, tangannya sudah terayun menimpukkan tiga larik sinar
yang mengincar Sim Long, Cu Jit-jit, dan Hoa Lui-sian.
Jarak kedua pihak sangat dekat, serangan mendadak dan tidak terduga lagi, lorong
panjang dan remang-remang. Tiga larik senjata rahasia itu jelas tak bisa dilawan oleh
sembarang orang. Siapa tahu mendadak Sim Long memutar lengan bajunya, seperti
mengandung daya sedot yang kuat, semua senjata rahasia itu tersedot ke dalam
lengan baju Sim Long.
Kaget, girang, dan kagum sekali Cu Jit-jit, sekilas dia melirik, dilihatnya ketiga senjata
rahasia itu adalah tiga batang anak panah pendek yang dibuat secara aneh. Cu Jit-jit
bersuara gemetar, “Panah ... panah ini mungkin dibidikkan oleh malaikat elmaut?”
Sim Long menyobek lengan baju, dengan hati-hati dia cabut ketiga batang panah itu,
walau teraling selembar kain, tapi Sim Long rasakan tangan yang memegang panah
kecil itu dingin luar biasa.
Diam-diam dia kaget dan heran, di bawah sinar obor dia perhatikan panah itu sesaat
lamanya, alisnya berkerut, lalu tertawa, ujarnya, “O, kiranya begitu.”
Wajah Cu Jit-jit juga kelihatan senang, katanya sambil berkeplok, “Kiranya demikian ...
panah setan yang dibidikkan malaikat elmaut itu kelihatannya memang menakutkan,
ternyata juga hanya begini saja.”
Tiba-tiba di antara lorong gelap yang berliku-liku tak berujung itu sayup-sayup
terdengar nyanyian sedih yang menggetar sukma. Di dalam kuburan luas ini
mendadak terdengar nyanyian sedih, sungguh menambah rasa ngeri dan seram. Tapi
Sim Long malah bergelak tertawa, katanya, “Panah setan apa, tidak lebih hanya
beberapa panah es belaka.”
Rahasia yang sukar ditebak dan membingungkan orang ini ternyata hanya sepele
saja setelah terbongkar. Panah setan yang dibidikkan malaikat kematian itu ternyata
tidak lebih adalah gumpalan salju yang mengeras dan dikikis berbentuk panah,
dengan dilandasi Lwekang yang kuat, maka panah es itu dapat menembus kulit
manusia dan menamatkan jiwanya, begitu terkena badan manusia yang bersuhu
panas, es itu akan mencair menjadi air, oleh karena itu bila orang mencarinya tentu
saja sudah lenyap.
Sambil menghela napas, Cu Jit-jit berkata dengan tertawa, “Hihi, ada-ada saja akal
setan yang dipikirkannya, kalau akal bulusnya tidak terbongkar, orang sungguh bisa
dibikin kaget setengah mati, tapi kalau bukan musim salju sedingin ini, akal liciknya ini
juga tidak akan terlaksana.”
Sim Long berkata, “Tapi kau pun jangan meremehkan urusan sepele ini, air yang
membeku jadi es dan dibikin panah ini pasti mengandung racun jahat, sehingga begitu
es mencair racun pun bekerja di dalam badan sehingga jiwa direnggutnya.”
Sembari bicara sekenanya dia membuang “panah setan” yang terbuat dari es itu.
Cu Jit-jit mencibir, katanya, “Betapa pun kita telah berhasil membongkar muslihat keji
dalam kuburan kuno ini. Aku jadi ingin melihat masih ada rencana apa pula mereka
....”
Belum habis dia bicara, sebuah dinding di belakangnya mendadak bergerak hingga
terbuka sedikit celah-celah, segulung asap tebal segera menyembur. Sebelum Cu
Jit-jit sempat tahan napas, kepala sudah terasa pusing, kontan dia jatuh tak sadarkan
diri.
Setelah Cu Jit-jit siuman, kepala masih terasa pening, seperti orang mabuk yang baru
sadar, tapi dapat memandang jelas, dirinya berada di pojok sebuah kamar batu yang
lembap dan berbau apak, kaki dan tangan tidak terbelenggu, tapi sekujur badan
terasa lemas lunglai.
Waktu ia mengerling, dilihatnya Sim Long, Hoa Lui-sian juga rebah di sampingnya,
badan mereka pun tidak mampu bergerak, kaget Cu Jit-jit, teriaknya, “Sim Long, ken
... kenapa kau pun begini.”
Dia tidak perhatikan nasibnya sendiri, tapi melihat Sim Long juga tak berdaya,
sungguh rasa sedihnya seperti disayat-sayat.
Sim Long hanya tersenyum, menggeleng tanpa bersuara, kelihatan tenang dan
wajar.
Hoa Lui-sian sebaliknya mengunjuk rasa puas, katanya perlahan, “Asap bius itu juga
buatan khusus Hoa Kin-sian, aku sendiri pun belum pernah tahu, tapi namanya
Sin-sian-it-jit-cui (malaikat dewata mabuk sehari), biarpun dewa bila mencium asap itu
juga akan mabuk sehari semalam lamanya, sesudah sadar juga kaki dan tangan akan
lemas lunglai, sekarang bila kalian mau berjanji tidak akan membocorkan rahasia di
sini kepada orang lain, nanti bila bertemu dengan Hoa Kin-sian akan kubantu bicara
bagi kalian supaya jiwa kalian diampuni.”
Dengan sekuat tenaga Jit-jit berteriak, “Kentut, kau nenek peyot yang tidak tahu budi,
sungguh berengsek kau, pantas setiap insan persilatan ingin mengganyang kau.”
“Budak liar yang galak,” damprat Hoa Lui-sian, “dalam keadaan sekarang kau masih
berani memaki orang ....”
Mendadak dilihatnya daun pintu batu tebal itu terbuka sedikit, selarik sinar lampu
menyeret masuk dari luar. Hoa Lui-sian lantas berteriak, “Nah, itu dia, Toakoku sudah
datang. Coba tunjukkan lagi kebinalanmu!”
Sorot lampu bergerak langsung menyinari muka Sim Long, Hoa Lui-sian, dan Cu Jit-jit,
sinar yang menyilaukan mata entah dipancarkan dari lampu apa, cahayanya
benderang dan keras, sekian lama Sim Long bertiga tidak mampu membuka mata
karena silau sehingga tak tahu apa yang terjadi di depan mata.
Tapi terasa sebuah bayangan kelabu telah menyelinap masuk terus berduduk di
belakang lampu, lalu katanya perlahan, “Dari jauh kalian datang kemari, Cayhe tidak
menyambut semestinya, harap dimaafkan.”
Bicaranya sungkan, tapi nadanya kaku dingin, seperti bukan diucapkan dari mulut
manusia.
Hoa Lui-sian memicingkan mata, lapat-lapat dapat dilihatnya bayangan orang di
belakang lampu, tadinya dia kira yang datang adalah Toakonya, baru saja ia
bergirang, namun demi mendengar suara orang, seketika berubah pula air mukanya,
tanyanya gemetar, “Siapa kau? Apakah kau murid Toakoku Hoa Kinsian? Ayo lekas
berikan obat penawarnya kepadaku?”
Si baju kelabu seperti tidak mendengar perkataannya, jengeknya pula, “Kalian
menempuh perjalanan jauh, setiba di sini selayaknya istirahat dengan tenang. Bila
kalian memerlukan apa-apa silakan katakan saja, akan kusuruh orang mengantar
kemari.”
Merah padam muka Cu Jit-jit, ia tak tahan lagi dan menjerit, “Siapa kau sebetulnya?
Apa tujuanmu menipu kami kemari? Kau sebetulnya apa keinginanmu?”
Suara orang itu berkumandang dari belakang lampu, “Kabarnya putri kesayangan
juragan Cu di Kanglam tanpa menghiraukan harga diri sudi berkunjung di tempat ini,
tentulah kau nona yang dimaksud itu. Selamat bertemu nona!”
“Kalau benar kau mau apa?” jengek Jit-jit gusar.
“Banyak Enghiong ternama dalam Bu-lim yang berhasil kuundang kemari, apa
maksud tujuanku, sebetulnya akan kujelaskan setelah kalian cukup beristirahat, tapi
nona Cu keburu bertanya, aku jadi rikuh kalau tidak menjelaskan. Apalagi hari-hari
mendatang tidak sedikit tenaga nona Cu perlu kuminta bantuannya ....”
“Lekas katakan, jangan mengoceh meluku,” teriak Jit-jit tidak sabar.
Kalau sekarang dia mampu bergerak, tak peduli siapa orang ini, tentu akan
dilabraknya mati-matian. Tapi orang berbaju kelabu itu tetap tenang saja, katanya
dingin, “Tiada maksud jahatku mengundang kalian kemari, jika kalian ingin pulang
sembarang waktu boleh berangkat, tidak akan kuhalangi, malah akan kusiapkan pesta
untuk menjamu kalian.”
Jit-jit bingung, pikirnya, “Aneh juga ....”
Si baju kelabu melanjutkan pula, “Tapi sebelum kalian pulang, aku mohon kalian sudi
menulis sepucuk surat pendek.”
“Surat pendek apa?” tanya Jit-jit.
“Surat selamat yang ditujukan kepada keluarga kalian masing-masing, katakan bahwa
kalian sekarang dalam keadaan segar bugar dan selamat. Untuk menjaga
keselamatan kalian tentunya harus ada sekadar imbalan, oleh karena itu bila kalian
tahu berterima kasih, maka dalam surat kepada keluarga itu tolong dimintakan
kepada ayah bunda, kakak atau adik di rumah untuk mengantar biaya yang
diperlukan sebagai imbalanku untuk menjaga keselamatan kalian.”
Gemetar suara Jit-jit, katanya, “Jadi kau ... kau memeras?”
Orang itu tertawa aneh, seperti suara raung serigala. Tapi sikapnya tetap tenang,
“Bagi seorang ahli, orang seperti nona sudah tentu tidak boleh dipandang sebagai
barang yang tak berharga. Aku adalah pengumpul emas perak, tidak pantas nona
menggunakan istilah ‘pemeras’ kepadaku.”
“Pengumpul emas perak? Kentut busuk,” damprat Cu Jit-jit.
Ternyata si baju kelabu juga tidak marah, suaranya tetap kalem, “Telah kuatur tipu
daya dan memeras keringat baru berhasil memancing kalian kemari, lalu menaruh
kalian di tempat aman di sini. Kuyakin tuntutanku untuk penggantian jerih payahku
dengan harta yang tak berarti itu, sudah merendahkan derajatku, kalau kalian masih
juga kikir apakah hatiku tidak akan sedih?”
Tiba-tiba Sim Long tersenyum, katanya, “Ucapanmu memang benar, entah berapa
yang kau tuntut?”
“Setiap benda ada harganya, bergantung baik buruk barang-itu dan penilaian orang
tepat atau tidak. Harga badan kalian jelas tak dapat dinilai dengan harga biasa.
Dibandingkan Pui Jian-li, Can Ing-siong dan lain-lain, jelas harga kalian berlipat
ganda, jika aku menaikkan tarif bagi mereka, berarti aku meninggikan harga mereka
malah, betapa pun hal ini takkan kulakukan.”
Jelas dia hendak mengeduk uang orang, tapi cara bicaranya justru memutar balik
kenyataan sehingga orang akan mengira dia telah memberi kelonggaran kepada
tawanannya malah. Jit-jit merasa keki dan geli, tanyanya, “Berapa sih yang kau
inginkan?”
Orang itu berkata, “Kepada Can Ing-siong aku hanya menuntut lima belas laksa tahil,
tapi terhadap nona, seratus lima puluh laksa tahil ....”
“Hah, seratus lima puluh laksa tahil?” pekik Jit-jit kaget.
“Betul, nona secantik ini, pintar lagi, tentu nona tidak sudi bila kunilai dirimu terlalu
rendah, betul tidak?”
Cu Jit-jit melenggong sekian saat, akhirnya dengan mendelik dia berkata, “Betul
kentut! Kau ... kau gila, binatang keji ....”
Kini perhatian orang berbaju kelabu tertuju kepada Sim Long, ocehan Cu Jit-jit
dianggap tidak mendengar, katanya, “Tentang Kongcu yang gagah perkasa ini, cakap
dan ganteng, cerdik pandai lagi, kalau kunilai seratus lima puluh laksa tahil perak
kurasa juga tidak terlalu rendah ....”
Sim Long tertawa, katanya, “Banyak terima kasih, tak kusangka Anda sudi menilaiku
setinggi itu, sungguh aku merasa gembira dan bangga, nilai seratus lima puluh laksa
tahil perak kurasa belum apa-apa.”
Melengking tawa orang berbaju kelabu, katanya, “Kongcu ternyata orang bijaksana
dan bisa menyelami perasaan orang, tentang Hoa ....”
“Hoa apa?” bentak Hoa Lui-sian, “memangnya kau juga mau menuntut uangku?”
Orang itu berkata, “Bentukmu seperti labu, kecil buntak dan jelek, tapi jelek-jelek juga
malah ada harganya ....”
“Kentut, binatang, kau ... kau ....” saking marah suara Hoa Lui-sian sampai gemetar.
Tapi si baja kelabu tetap kalem, “Kau terlalu merendahkan diri sendiri, tapi aku justru
tidak memandang rendah kau, paling sedikit aku akan menuntut dua atau tiga puluh
laksa tahil kepadamu sebagai tanda penghormatanku.”
Walau hati merasa gusar, demi mendengar omongan orang ini, geli dan keki juga Cu
Jit-jit, sementara otot hijau di jidat Hoa Lui-sian tampak merongkol, bentaknya,
“Binatang, bila sebentar Toakoku tiba, rasakan nanti betapa nikmatnya bila kubetot
ototmu, mengiris kulitmu serta mencacah tubuhmu.”
“Toakomu? Siapa itu Toakomu?” tanya orang itu.
“Hoa Kin-sian!” sahut Hoa Lui-sian dengan suara keras. “Masa kau tidak tahu? Atau
pura-pura bodoh?”
“Hoa Kin-sian?” orang itu mengulangnya dengan tawar. “Ya, orang ini memang
memiliki sedikit kepandaian, sayang sekali jiwanya sudah tamat sejak peristiwa di
Heng-san dulu, aku takut terhadap apa pun, terhadap setan aku tidak pernah takut.”
Hoa Lui-sian tambah gusar, serunya, “Hoa Kin-sian, Toakoku itu adalah pemilik
kuburan kuno ini, berani kau ....”
“Yang berkuasa dan mengatur segala muslihat di kuburan ini adalah diriku,” tukas
orang itu. Meski suaranya tenang dan perlahan, tapi betapa keras suara bicara orang
lain pasti lenyap tenggelam oleh suaranya yang perlahan itu.
Gemetar badan Hoa Lui-sian, makinya, “Kentut, kau binatang ini mengira dapat
menipuku, jika Hoa Kin-sian sudah mati, permata palsu, Sin-sian-it-jit-cui dan lain-lain
itu dari mana munculnya.”
“Semua itu adalah buah karyaku, hasil kerajinan kedua tanganku sendiri,” tandas dan
tegas jawaban orang itu.
Berubah air muka Hoa Lui-sian, katanya serak, “Kau dusta, kau bohong ... kecuali
Toakoku, tiada orang lain di dunia ini yang tahu resep racun itu ... Hoa Kin-sian,
Toako di mana kau?! ....”
Mendadak ada angin keras menyambar Hiat-to bisu di lehernya, kontan suaranya
terputus dan tak mampu bicara lagi. Tutukan Hiat-to jarak jauh si baju kelabu ternyata
sangat lihai, tepat dan keji, jelas bukan sembarang jago silat dunia Kangouw.
Si baju kelabu berkata pula, “Bukan aku sengaja kurang ajar, soalnya Hoa-hujin ini
terlalu sok, terpaksa kubantu dia supaya istirahat saja.”
Cu Jit-jit menjengek, “Baik juga hatimu.”
“Aku bertanggung jawab sebagai pelindung keselamatan kalian, maka tindak tanduk
kalian harus selalu kuperhatikan.”
Saking gemas Cu Jit-jit hampir gila rasanya, tiba-tiba dia tertawa keras malah.
Sejak tadi Sim Long memejamkan mata seperti sedang menghimpun tenaga,
sekarang baru dia buka suara, “Tuan ternyata anak buah Giok-koan Koay-lokong,
dilihat dari kungfu dan sepak terjang perbuatanmu ini, kuyakin kau pasti salah satu
duta kepercayaannya, yaitu Duta Harta dari keempat Duta Arak, Duta Warna, Duta
Harta dan Duta Hawa.”
Ucapan Sim Long yang tidak terduga ini entah bagaimana reaksi si baju kelabu, tapi
Cu Jit-jit jadi kaget setengah mati, teriaknya, “Dari mana kau tahu?”
Sim Long tertawa, katanya, “Resep rahasia milik Hoa Kin-sian jelas tidak mungkin
dimiliki orang lain di dunia ini, tapi tuan ini telah membuktikan kemampuannya, jelas
hanya ada satu dalih saja.”
“Tapi setengah dalih saja aku tidak mengerti,” ujar Jit-jit.
“Urusan cukup gamblang, sebelum ajal Hoa Kin-sian, tentunya dia menitipkan
resepnya kepada Giok-koan Siansing, kalau tuan ini mengaku ahli mengumpulkan
harta, maka jelas dia salah satu dari Duta Harta Giok-koan Koaylok-ong.”
Cu Jit-jit melongo hingga tak mampu bicara lagi.
Dengan kalem Sim Long berkata pula, “Selain itu, Hoa Kin-sian memang sudah tahu
akan rahasia kuburan ini, maka dia juga meninggalkan rahasia kuburan ini beserta
rahasianya resep itu. Sekarang Giok-koan Siansing mengutus Duta Hartanya ini ke
sini untuk mengeduk harta karun. Siapa tahu berita tentang harta karun dalam
kuburan hanyalah muslihat belaka, padahal kuburan kuno ini kosong melompong.
Dasar cerdik, Duta Harta ini lantas mengatur tipu daya, yaitu sasaran dia alihkan
kepada kaum persilatan umumnya, kuburan kuno ini dia gunakan untuk merancang
muslihat dan menjebak orang yang datang ke sini.”
“Tapi ... jika benar dia sengaja memancing orang kemari, kenapa pula dia membuat
adegan yang mengerikan dan menakuti orang agar tidak berani masuk ke sini?” tanya
Jit-jit.
Sim Long tersenyum, katanya, “Manusia memang aneh, makin dilarang makin besar
hasratnya. Justru karena Duta Harta yang pintar ini dapat memanfaatkan kelemahan
manusia ini, semakin mengerikan semakin misterius tempat ini makin banyak pula
gembong-gembong persilatan yang akan datang kemari. Bila tempat ini tidak
menakutkan, yang datang tentu juga cuma kaum keroco. Dari orang-orang rendahan
itu dia tidak akan mengeduk keuntungan, lalu cara bagaimana Duta Harta ini akan
memberikan pertanggungjawaban kepada majikannya?”
Jit-jit manggut-manggut dan menghela napas, “Betul, betul .... Ai, kenapa kau selalu
dapat memecahkan persoalan, sebaliknya aku justru tidak tahu?”
Lama si baju kelabu terdiam, akhirnya dia bersuara perlahan, “Apakah namamu Sim
Long? Eh ya ... Sim-heng kau memang seorang cerdik, kepintaranmu sungguh jauh di
luar dugaanku.”
Sim Long tertawa, katanya, “Jadi uraianku tadi tidak meleset bukan?”
“Orang kuno bilang diberi tahu satu dipahami tiga, tapi Sim-heng diberi tahu satu
lantas tahu tujuh, kau hanya mendengar beberapa patah kata Hoa Lui-sian lantas
dapat membongkar seluruh rahasia serta menganalisisnya satu per satu. Kecuali
nama julukanku Duta Harta Kim Bu-bong dan muridku A To yang belum Sim-heng
tebak, semua urusan kira-kira sudah kau sebut dengan tepat, seperti kau sendiri
yang merancang urusan ini.”
Ternyata di belakangnya masih berdiri seorang anak kecil.
“Kim-heng ternyata juga suka berterus terang,” ujar Sim Long.
Duta Harta Kim Bu-bong berkata, “Di hadapan orang sepintar Sim-heng, mana
kuberani membual, tapi apakah Sim-heng tidak pernah mendengar orang bilang,
orang pintar sering mengalami nasib jelek, seorang genius sering pendek usia.”
Sim Long tersenyum, katanya, “Tapi aku tidak merasa khawatir apa pun, bila
Kim-heng sudah memberi tarif, kukira jiwaku tidak perlu dikhawatirkan lagi.”
“Tapi aku pun tidak suka ada manusia pintar yang berani memusuhiku, terutama
lawan seperti Sim-heng,” demikian jengek Kim Bu-bong.
Gemetar suara Cu Jit-jit, katanya, “Kau ... apa yang akan kau lakukan terhadapnya?”
Kim Bu-bong menyeringai hingga kelihatan giginya seperti taring binatang buas,
katanya, “Umpama tidak kurenggut jiwanya, sedikitnya juga akan kupotong sebelah
kaki atau tangannya, bila musuh setangguh Sim-heng kurang satu lagi di dunia ini,
dapatlah aku makan dan tidur dengan tenteram.”
Kalau Cu Jit-jit ketakutan, sebaliknya Sim Long masih tetap tersenyum, katanya,
“Masa Kim-heng setega ini?”
“Memangnya Sim-heng kira aku ini orang yang suka menaruh belas kasihan terhadap
orang lain?”
“Tapi biarpun Kim-heng hendak mengambil seujung rambut orang she Sim mungkin
juga tidak mudah.”
Kim Bu-bong tertawa dingin, “Baik, aku akan mencobanya.”
Perlahan dia berdiri dan maju selangkah.
Mendadak Sim Long tergelak sambil menengadah, katanya, “Kukira Kim-heng
seorang cerdik pandai, kenyataannya Kim-heng bukanlah orang pintar yang kuduga.”
Tiba-tiba sirna gelak tertawanya, matanya menatap Kim Bu-bong dengan tajam, lalu
sambungnya, “Kim-heng kira aku telah terbius oleh Sin-sian-it-jit-cui?”
Kim Bu-bong tersentak kaget dan menarik kakinya.
Sim Long berkata pula, “Begitu asap tebal menyembur masuk, segera aku menahan
napas, meski Sin-sian-it-jit-cui amat keras daya kerjanya, namun sedikit pun aku tidak
menyerap.”
Sesaat Kim Bu-bong berdiri diam, ia menyeringai pula, katanya, “Dalam hal ini
Sim-heng mungkin bisa menipu orang lain, tapi jangan harap bisa menipu diriku.
Kalau Sim-heng tidak terpengaruh oleh asap bius itu, kenapa kau rela menjadi
tawanan Kim Bu-bong?”
“Ah, masa soal sepele ini Kim-heng juga tidak paham?” ujar Sim Long, senyum pada
wajahnya makin cerah. “Coba pikir, kuburan ini penuh lorong yang menyesatkan, tiga
hari juga belum tentu dapat menemukan rahasianya. Dengan pura-pura terbius, aku
dapat istirahat di kamar ini, adakah cara lain yang lebih enak daripada cara ini?”
Berubah air muka Kim Bu-bong, katanya sambil menyeringai, “Sim-heng ternyata
juga pandai putar lidah, tapi ....”
“Tapi apa, Kim-heng?” tukas Sim Long, mendadak dia berbangkit.
Wajah Kim Bu-bong yang semula pucat kini kelihatan lebih mengerikan lagi,
tenggorokannya berbunyi, tanpa terasa kaki pun menyurut mundur.
Mencorong sinar mata Sim Long menatap wajah orang, katanya kelam, “Hari ini dapat
perang tanding dengan Kim-heng, sungguh merupakan peristiwa besar yang
menggembirakan, siapa yang bakal mampus di sini, tentu tidak usah dikubur lagi.”
Kim Bu-bong diam saja, sorot matanya dingin mantap Sim Long, keduanya beradu
pandang, tiada yang berkedip, sorot mata Sim Long begitu dingin, tenang dan
mantap.
Cu Jit-jit juga mengunjuk rasa senang, katanya, “Sim Long, boleh kau beri tiga jurus
padanya, kalau tidak mana dia berani melawan kau?”
Sim Long tersenyum, katanya, “Kalau hanya tiga jurus kan sama seperti tidak
memberi?”
“Jika begitu boleh kau beri tujuh jurus.”
“Begini baru pantas, baiklah aku mengalah tujuh jurus, silakan Kim-heng!” kata Sim
Long.
Wajah Kim Bu-bong sebentar hijau sebentar putih, agaknya sekuatnya dia
mengendalikan emosi menghadapi cemooh Sim Long dan Cu Jit-jit.
“Lho, bagaimana, dia mengalah tujuh jurus, kenapa kau malah tidak berani?”
Mendadak Kim Bu-bong melompat mundur, “blang”, pintu kamar tertutup rapat, cepat
sekali Kim Bu-bong lenyap di balik pintu.
Jit-jit menghela napas, katanya dengan geregetan, “Wah, dia melarikan diri.”
Sim Long tersenyum, katanya, “Lebih baik dia melarikan diri ....” mendadak dia
terkulai lemas.
Jit-jit terkesiap, pekiknya, “He, ken ... kenapa kau?”
Sim Long tertawa getir, katanya, “Betapa lihai Sin-sian-it-jit-cui, mana bisa aku tidak
terbius, tadi aku mengerahkan sisa tenagaku yang masih ada dan berdiri sekuatnya
sehingga berhasil menggertaknya lari.”
Sekian lama Jit-jit melenggong, katanya dengan gemetar, “Untung tadi dia tidak
terpancing, kalau ... kalau ....”
Sim Long menghela napas, “Tapi aku tahu, manusia seperti Kim Bu-bong
bagaimanapun tidak mudah terpancing ....”
Belum habis dia bicara, mendadak berkumandang gelak tertawa orang, perlahan
pintu batu terbentang, Kim Bu-bong muncul kembali.
Pucat muka Cu Jit-jit, didengarnya Kim Bu-bong berkata, “Sim-heng memang pandai,
tapi sepintar tupai melompat akhirnya terjatuh juga. Mungkin Sim-heng tidak mengira
bahwa kamar batu ini dibuat sedemikian rupa hingga segala gerak-gerikmu dapat
kuikuti dari luar,” mendadak dia menghardik beringas, “Urusan sudah begini, apa pula
yang ingin kau katakan?”
Sim Long menghela napas panjang, ia memejamkan mata dan tidak bersuara.
Selangkah demi selangkah Kim Bu-bong menghampiri, katanya dengan menyeringai,
“Bermusuhan dengan orang seperti Sim-heng sungguh hati selalu kebat-kebit saja,
terpaksa kupotong dulu sebelah lengan Sim-heng baru hatiku bisa tenteram.”
Segera dia mendekati Sim Long, dia angkat tangannya ....
Jit-jit menjerit khawatir sekerasnya. Tak terduga belum lenyap suaranya, keajaiban
mendadak timbul, pada saat Kim Bu-bong angkat tangan itulah, mendadak tangan
Sim Long meraih ke atas dan tepat mencengkeram urat nadi Kim Bu-bong.
Perubahan ini sungguh di luar dugaan siapa pun, dalam sekejap ini perasaan Cu
Jit-jit berubah beberapa kali, kejut, khawatir, takut, dan senang, sekarang dia
terbeliak dan melongo.
Perlahan Sim Long berdiri, tangan kanannya tetap memegang urat nadi pergelangan
tangan Kim Bu-bong, tangan kiri mengebut baju dan membersihkan debu, katanya
dengan tersenyum, “Kim-heng tidak menduga akan kejadian ini bukan?”
Butir keringat tampak menghias jidat Kim Bu-bong.
Baru sekarang Jit-jit dapat menenangkan hatinya, serunya dengan tertawa, “He,
sebetulnya apa ... apa yang terjadi?”
“Sebetulnya aku tidak pernah terbius,” tutur Sim Long dengan tertawa, “sekarang
tentu Kim-heng sudah tahu akan hal ini.”
“Kalau tidak terbius, kenapa tadi ....” Jit-jit merasa bingung.
“Kalau tadi aku bergebrak dengan Kim-heng, terus terang aku tidak yakin dapat
menang, umpama dapat mengalahkan Kim-heng juga belum tentu dapat
membekukmu. Tapi setelah sekadar main sandiwara tadi, Kim-heng pasti tidak
menaruh curiga kepadaku, secara tidak terduga aku lantas menyergapmu, maka
Kim-heng tak bila lolos lagi.”
“Setan mampus,” omel Jit-jit kegirangan, “kau ... kau selain menipu dia, aku pun
kaget setengah mati tadi, nanti akan kubikin perhitungan denganmu.”
Kim Bu-bong melenggong lalu menengadah dan menarik napas, katanya, “Bahwa hari
ini Kim Bu-bong terjungkal di tangan lawan setangguh Sim-heng, kurasa juga bukan
hal yang memalukan. Apa kehendakmu sekarang, lekas katakan.”
Sim Long tertawa, “Kalau begitu, tolong Kim-heng bawa kami keluar dari kamar ini,
demikian pula kawan-kawan Kangouw lainnya yang kau tipu ke sini, hendaknya
dibebaskan semua, untuk kerelaan mana lebih dulu kuucapkan terima kasih.”
Kim Bu-bong menarik napas panjang, katanya, “Baiklah, ikut padaku!”
Sim Long menggendong Jit-jit, tangan lain memegang Kim Bu-bong, setelah keluar
dari kamar batu dan berbelok beberapa kali, tiba di depan kamar batu yang lain,
sekujur badan Jit-jit masih lemas, tapi kedua tangannya merangkul leher Sim Long
dengan erat, dia berteriak, “Siapa yang terkurung di dalam kamar ini?”
Tampak aneh sinar mata Kim Bu-bong, katanya, “Sin-gan-eng Pui Jian-li, Pok-
thian-tiau Li Thing, Joan-hun-yan Ih Ji-hong dan Congpiauthau Wi-bu-piaukiok Can
Ing-siong berempat.”
Jit-jit melengak, katanya, “Masa hanya empat orang saja ....”
“Betul, apa mereka harus dibebaskan?” tanya Kim Bu-bong.
“Tunggu dulu,” mendadak Jit-jit berteriak, “jangan dilepaskan.”
Sim Long berkerut kening, katanya, “Kenapa tidak dilepaskan saja?”
Jit-jit menghela napas, katanya, “Keempat orang ini semua musuhku, begitu mereka
keluar bukan saja tidak akan berterima kasih kepada kalian, malah mungkin akan
mengadu jiwa denganku, mana boleh mereka dilepaskan?”
Dingin sorot mata Kim Bu-bong, katanya kepada Sim Long, “Dilepaskan atau tidak
terserah Sim-heng ....”
Jit-jit berteriak gusar, “Memangnya aku tidak boleh memutuskannya? Sekarang
tubuhku lemas lunglai, jika mereka dilepaskan, bukankah mereka akan merenggut
jiwaku ... bila mereka main mengeroyok, Sim Long juga belum tentu mampu
menghadapi mereka.”
Kim Bu-bong tetap menatap Sim Long, katanya mendesak, “Dilepaskan tidak?”
Sim Long menarik napas, katanya, “Lepaskan ... atau tidak .... Wah, membuatku
serbasusah ... apakah mereka berempat tidak terbius oleh Sin-sian-it-jit-cui?”
Kim Bu-bong menjawab, “Meski bukan obat mujarab, tapi kalau hanya Pui Jian-li dan
Can Ing-siong saja rasanya belum setimpal bagiku untuk menggunakan obat bius
itu.”
“Cara bagaimana membuka pintu ini?” tanya Sim Long.
“Pintu ini dikendalikan dengan alat rahasia, tombolnya berada di benjolan batu ini,
putar ke kiri tiga kali lalu ke kanan dan didorong ke atas, pintu akan terbuka sendiri.”
Sim Long mengangguk, tanpa bicara dia melangkah ke depan.
Jit-jit merasa senang, kontan dia persen dua kali cium di belakang kuping Sim Long,
katanya dengan tertawa, “Kau sangat baik ....”
Sebaliknya Bu-bong lantas mendengus, “Kukira Sim-siangkong seorang yang arif
bijaksana, seorang Enghiong yang suka menolong kesengsaraan orang lain, siapa
tahu ... hehe ... hahahehe.”
Dia menengadah dan tertawa ejek.
A To, muridnya yang masih kecil ternyata berpikir tidak kecil, sekilas bola matanya
berputar, mendadak dia menanggapi ucapan gurunya, “Pepatah mengatakan,
Enghiong (kesatria) besar pun bertekuk lutut di bawah kaki si cantik, si ayu, teman
sendiri pun akan dikesampingkan, Sim-siangkong memang tidak boleh disalahkan.”
Sim Long anggap tidak mendengar, tapi Cu Jit-jit lantas mencaci maki. Sim Long
tetap menyeret Kim Bu-bong ke depan sana, setelah membelok mendadak ia
berhenti di tempat gelap, katanya dengan suara tertahan, “Dari mana Kim-heng tahu
rahasia kuburan ini?”
“Siapa ayahku almarhum, apa kau tahu?” tanya Kim Bu-bong malah.
Tentu saja Sim Long tidak tahu.
Kim Bu-bong lantas menambahkan, “Ayahku almarhum berjuluk Kim-so-ong (raja
kunci emas).”
Sim Long tertawa, katanya, “Betul kalau begitu. Menurut berita dunia Kangouw,
bahwa kepandaian membuat peralatan rahasia Kim-so-ong tiada bandingannya di
dunia, Kim-heng adalah keturunannya, pantas alat rahasia kuburan ini tidak
menyulitkan dirimu, memang tepat Koay-lok-ong mengutusmu kemari.”
Merandek sejenak, lalu ia berkata pula, “Kim-heng bilang tiada orang lain lagi yang
mondar-mandir dalam kuburan ini, kuyakin ucapanmu pasti tidak salah.”
Sambuung jilid 6
Pendekar Baja
Karya Gu Long Judul asli: Wu Lin Wai Shi Judul Bahasa
Inggris: A Fanciful Tale of the Fighting World Saduran: Gan
KL Tahun: 1979
Jilid 6
“Salah atau tidak dapat kau nilai sendiri,” jengek Kim Bu-bong.
“Bagus,” ucap Sim Long, mendadak ujung jarinya bergetar, sekaligus dia tutuk tiga
Hiat-to tidur Kim Bu-bong, cepat sekali tangannya membalik menutuk tiga Hiat-to di
tubuh A To pula. Gerakannya cepat dan ketepatan tutukannya sungguh
menakjubkan, kontan Kim Bu-bong dan A To jatuh terkulai bersama.
Jit-jit heran, katanya, “Apa yang kau lakukan?”
Sim Long menurunkan nona itu, katanya lembut, “Kau tunggu saja di sini, dalam
kuburan ini tiada musuh lain, tidak perlu kau khawatir.”
Terbelalak mata Cu Jit-jit, katanya, “Kau ... kau mau lepaskan ....”
“Betul, akan kubebaskan dulu mereka berempat dan suruh mereka segera keluar.
Kurasa tidak memakan waktu banyak, sebentar juga aku kembali.”
Semula Jit-jit kelihatan takut, tapi akhirnya dia menghela napas, katanya, “Aku tahu
akan kau bebaskan mereka, seperti dicocoki jarum, sedetik saja hatimu tak bisa
tenteram bila mereka tidak dilepaskan.”
Sim Long tertawa dan melangkah ke sana, katanya, “Aku akan segera kembali.”
“Tunggu sebentar,” seru Cu Jit-jit.
“Ada apa lagi?”
“Kau ... kau ....” sorot mata Jit-jit menampilkan rasa takut dan minta belas kasihan,
suaranya gemetar, “Entah kenapa, aku ... aku takut, seperti ... seperti ada setan
mengintip di tempat gelap dan akan ... akan mencelakai aku.”
Sim Long tersenyum, katanya lembut, “Anak bodoh, Kim Bu-bong dan A To sudah
kututuk Hiat-tonya, apa lagi yang kau takutkan .... Sudahlah, jangan manja, tunggu
saja, segera kukembali.”
Setelah mengulapkan tangan bergegas dia pergi.
Jit-jit mengawasi bayangan punggungnya lenyap ditelan kegelapan, entah kenapa,
tiba-tiba timbul rasa takutnya, tanpa terasa dia duduk menggigil.
*****
Tombol pada pintu batu itu setelah diputar ke kiri tiga kali, ke kanan satu kali terus
didorong ke atas oleh Sim Long, betul juga pintu lantas terbuka, di dalam terdapat
sebuah lentera yang masih menyala tapi minyaknya sudah hampir habis, lidah api
dan asap tipis bergoyang lembut seperti tarian hantu di udara.
Keadaan sepi, kamar kosong, mana ada bayangan Pui Jian-li dan lain-lain.
Sim Long melongo kaget, dengan cermat dia perhatikan sekelilingnya, debu di lantai
memang ada bekas tapak kaki, jelas tadi ada orang berjalan dan duduk di sini, tapi
sekarang entah ke mana? Mungkinkah mereka meloloskan diri? Atau ditolong orang?
Lalu siapa yang menolong mereka? Sekarang berada di mana?
Semua ini berkelebat dalam benak Sim Long, hatinya terasa dingin, cepat dia lari ke
arah datangnya tadi, dalam hati ia berteriak, “Cu Jit-jit, semoga kau tidak kurang
suatu apa pun ....” tiba di belokan, dia berhenti, darah juga seperti membeku seketika,
Cu Jit-jit yang duduk membelakangi dinding tadi, demikian pula Kim Bu-bong dan A
To, ternyata telah lenyap, semua hilang dalam sekejap ini.
Lama Sim Long melenggong di tempatnya, keringat dingin memenuhi jidatnya,
mendadak ada suara serak berkumandang di belakangnya, “Lama tak bertemu,
Sim-siangkong.”
Begitu mendengar suara itu, seketika timbul rasa muak dan bencinya, sedapatnya Sim
Long tahan perasaannya, katanya kemudian dengan tertawa, “Dua hari tidak bertemu,
kenapa Kim-heng sudah merasa lama, apa betul Kimheng begitu rindu kepadaku?”
Suara serak itu berkata dengan tertawa, “Aku memang rindu, kenapa Simsiangkong
tidak membalik badan, supaya dapat kulihat selama dua hari ini, apakah engkau lebih
kurus atau tambah gemuk.”
“Terima kasih akan perhatianmu ....” mendadak Sim Long putar tubuh, gerakannya
cepat tahu-tahu sudah menubruk ke arah suara itu, sekilas tampak bayangan hitam
berkelebat, segera ia mencengkeram ke sana, dengan tepat bayangan itu tertangkap
olehnya.
Segera terdengar gelak tertawa dari tempat gelap, kejap lain menyala sebatang obor,
tertampak Kian-gi-yong-wi Kim Put-hoan berdiri bersandar dinding dengan santai,
tangan kiri memegang obor yang baru saja disulut, tangan kanan memegang tongkat
pendek, pada ujung tongkat tergantung sehelai mantel kulit, dan yang terpegang oleh
tangan Sim Long adalah mantel kulit itu.
Tampak bangga dan senang Kim Put-hoan, katanya dengan tertawa lebar, “Mantel
kulit ini pemberian Siangkong kepadaku tempo hari, apakah sekarang hendak kau
minta kembali ....”
Tadi Sim Long mengira aksinya berhasil, baru sekarang dia menyadari Kim Puthoan
adalah manusia licik dan licin, agaknya dia memang sudah mengatur rencananya
dengan baik, segera Sim Long berkata dengan tertawa, “Semula kukira Kim-heng,
maka kutubruk kemari untuk bermesraan sekejap, tak kira hanyalah mantel kulit saja.”
Lalu dia mengelus mantel kulit kesayangannya dulu, katanya pula dengan tertawa,
“Syukur tidak rusak bulu kulitmu, silakan Kim-heng ambil kembali, selanjutnya jangan
sampai direbut orang lain.”
“Sim-siangkong memang pandai bicara,” kata Kim Put-hoan dengan tertawa, “mana
ada bulu pada kulitku, kulit rase ini justru berasal dari badanmu malah.”
Lalu dia sampirkan mantel itu di atas badan sendiri dan menambahkan, “Namun kulit
rase Sim-siangkong ini memang bisa menghangatkan badan.”
Sim Long mengumpat dalam hati, “Keparat ini tidak mau kalah adu mulut.”
Ia tetap tertawa, katanya, “Pepatah bilang, pedang pusaka dihadiahkan kepada
pendekar, pupur wangi diberikan kepada perempuan jelita. Dan kulit rase ini memang
setimpal diberikan kepada Kim-heng.”
Gayung bersambut, kata berjawab, kedua saling sindir secara tajam dengan sikap
ramah dan tertawa. Namun Sim Long tidak menyinggung hilangnya Cu Jitjit, Kim
Put-hoan menjadi kelabakan sendiri, akhirnya dia tidak tahan, katanya, “Nona Cu
mendadak lenyap, apakah Sim-siangkong tidak merasa heran?”
Sim Long tersenyum, katanya, “Bila nona Cu sudah dijaga oleh Ji Yok-gi, Jisiauhiap,
kenapa aku harus gelisah ....”
Kim Put-hoan tergelak, “Sim-siangkong memang cerdik, ternyata sudah kau duga
Ji-lote juga ikut datang. Ji-lote memang pemuda romantis, dia suka kepada nona Cu,
maka keselamatannya tak perlu dikhawatirkan, sekarang keduanya sedang ....”
perkataannya diputus oleh gelak tertawanya, diam-diam ia memerhatikan reaksi Sim
Long apakah berhasil memancing kemarahannya.
Ternyata Sim Long tetap tersenyum saja, katanya, “Entah bagaimana Kim-heng juga
datang kemari, bagaimana dia kenal segala peralatan rahasia dalam kuburan ini?
Sungguh aku amat heran.”
Biji mati Kim Put-hoan berputar, katanya dengan tertawa, “Sim-siangkong boleh ikut
padaku ....”
Segera ia berjalan di depan dan Sim Long mengikut di belakangnya, cahaya obor
menyinari mantel kulit di tubuh Kim Put-hoan.
Sim Long menghela napas, batinnya, “Keparat ini memakai mantelku, uang dalam
kantongnya juga milikku, tapi masih berusaha mencelakai aku dengan berbagai akal
keji, sungguh jarang ada orang seperti ini.”
Akhirnya mereka masuk ke sebuah kamar batu, pintu memang terbuka, cahaya
lampu terang benderang di dalam kamar, Cu Jit-jit, Hoa Lui-sian, Ji Yok-gi, Kim
Bu-bong dan A To semua berada di situ.
Hiat-to Kim Bu-bong belum terbuka, Cu Jit-jit sedang mencaci maki, saking malu Ji
Yok-gi menyingkir jauh ke samping sana, begitu melihat kedatangan Sim Long cepat
dia memburu ke samping Cu Jit-jit, pedang di tangannya lantas mengancam
tenggorokan Cu Jit-jit.
Melihat Sim Long, Cu Jit-jit tak berani memaki lagi, wajahnya tampak memelas,
sekian lama dia memonyongkan mulut, katanya kemudian, “Aku ... kusuruh jangan
pergi, sekarang ... sekarang ....” segera bercucuran air matanya.
Ji Yok-gi berpaling, agaknya tidak tega melihat si nona menangis.
Kim Put-hoan berdiri di tengah antara Cu Jit-jit dengan Sim Long, katanya sambil
menuding sebuah kursi batu di pojok kamar, “Silakan duduk!”
Dengan tersenyum Sim Long melangkah ke sana dan berduduk dengan tenang.
Kim Put-hoan menepuk pundak Ji Yok-gi, katanya, “Saudaraku, bila Simsiangkong
bergerak, kau pun boleh menggerakkan pedangmu, jangan pikir kasihan terhadap
paras ayu, kelak masih banyak waktu bagimu untuk bersuka ria ....”
“Aku tahu bagaimana harus bertindak,” ucap Ji Yok-gi.
“Ada beberapa persoalan yang tidak dimengerti oleh Sim-siangkong, kita perlu
memberi penjelasan kepadanya, maklum, hatinya lagi penasaran .... Simsiangkong,
biar kumain sandiwara di hadapanmu, perhatikan ya?”
Mendadak dia membuka Hiat-to penidur di tubuh Kim Bu-bong, lalu menutuk pula
bagian pinggangnya.
Sim Long tidak tahu apa yang hendak dilakukan Kim Put-hoan, dilihatnya Kim
Bu-bong batuk sekali lalu melompat bangun, sorot matanya menyapu pandang
sekitarnya.
Lalu ia melototi Sim Long, ketika melihat Kim Put-hoan, seketika wajahnya
memperlihatkan rasa kaget, segera dia membentak dan hendak menubruk, tapi lantas
roboh terjungkal.
Ternyata tutukan Kim Put-hoan tadi menutup Ciang-bun-hiat, Hiat-to besar bagian
pinggang. Ciang-bun-hiat merupakan penyalur darah ke seluruh badan. Bila Hiat-to ini
tertutuk, badan bagian bawah akan mati rasa dan tidak mampu bergerak, sakitnya
bagai digigiti ribuan semut. Meski Kim Bu-bong adalah lakilaki tabah, begitu dia
bergerak seketika dia rasakan kesakitan yang luar biasa sehingga air mata pun
meleleh.
Sim Long menyaksikan keadaan Kim Bu-bong, dia membatin, “Kelihatannya kedua
orang ini musuh bebuyutan, bahwa Kim Put-hoan menggunakan cara sekeji ini
menyiksa lawannya, sungguh tindakan jahat.”
Dari kejauhan Kim Put-hoan gunakan tongkat pendek untuk mengangkat tubuh Kim
Bu-bong, katanya tertawa, “Toako bertemu dengan Siaute di sini, apakah kau tidak
merasa heran?”
Panggilan ‘Toako’ sungguh membuat Sim Long kaget, sungguh tak terpikir olehnya
bahwa kedua orang ini ternyata adalah saudara, pikirnya, “Tindakan Kim Put-hoan
menyiksa musuh sudah cukup keji, dengan cara ini dia siksa saudaranya, sungguh
lebih rendah daripada binatang.”
Dengan tertawa Kim Put-hoan berkata, “Toakoku ini mengira rahasia jebakan dalam
kuburan ini tiada orang mampu memecahkannya kecuali dia sendiri, dia lupa masih
punya seorang saudara seperti diriku yang juga ahli dalam bidang ini.”
Kim Bu-bong menggereget, desisnya, “Binatang ... binatang, kenapa kau belum
mampus?”
“Orang sebaik Siaute, mana tega Thian merenggut jiwaku. Tapi baru berhadapan
Toako lantas mengutuk Siaute, bukankah terlalu?”
Kim Bu-bong berkata dengan mendelik, “Ayah menerima kau sebagai anak pungut,
diasuh, dididik dan dibesarkan, memberi ajaran kungfu lagi, tak nyana
hanya karena ingin merebut warisan ayah sampai hati kau mengatur muslihat
mencelakaiku hingga aku tidak punya tempat berpijak dan terpaksa lari ke luar
perbatasan, di sana aku pun hampir mati ....” suaranya makin serak dan lirih, saking
gemas dia kehabisan tenaga dan tak sanggup melanjutkan perkataannya.
Kim Put-hoan tersenyum, katanya, “Tahukah kau sekarang aku sudah menjadi
pendekar besar yang arif bijaksana, dijuluki Kian-gi-yong-wi segala, kau sebaliknya
hanya antek Koay-lok-ong yang bangsat itu, demi mengeruk harta, kau sengaja
menyiarkan kabar buruk tentang diriku, memangnya siapa yang mau percaya pada
obrolanmu? Umpama aku membinasakan kau, orang Kangouw juga pasti memujiku
demi menegakkan keadilan tidak pandang bulu, meski saudara sendiri juga tidak
segan dihukum .... Hahaha, waktu itu nama julukan Kim Put-hoan tentu akan tambah
cemerlang.”
Makin bicara makin senang, akhirnya ia tertawa latah sambil mendongak.
Kim Bu-bong mencaci maki kalang kabut, ternyata Cu Jit-jit juga ikut memaki.
Tiba-tiba Sim Long berkata, “Pui Jian-li, Can Ing-siong dan lain-lain apakah telah
Kim-heng bebaskan?”
“Betul, bagaimana Sim-heng bisa tahu?” tanya Kim Put-hoan.
Sim Long tersenyum, katanya, “Setelah membebaskan mereka Kim-heng suruh
mereka lekas keluar, bukan saja mereka berterima kasih kepada pertolongan
Kim-heng, mereka pun akan pandang Kim-heng sebagai kesatria besar zaman ini,
selanjutnya di mana mereka berada pasti akan menyiarkan kebesaran nama
Kim-heng, kelak bila Kim-heng mencari mereka, mau uang ada uang, mau pelesir
boleh sesuka hati, bukankah caramu ini lebih baik daripada memeras uang mereka
.... Ai sayang sekali saudara Kim yang satu ini justru bekerja sebagai pembantu
Koay-lok-ong, meski ia juga mengerti akan hal ini, tapi tak mampu berbuat apa-apa,
celakanya dia malah diperalat olehmu.”
Kim Put-hoan tertawa, serunya, “Ayah bunda melahirkan aku, dan Sim-heng saja
yang dapat menyelami jiwaku.”
Sim Long berkeplok, katanya, “Sungguh hebat peran yang kau mainkan dalam
sandiwara ini, kutahu, tidak boleh menonton gratis sandiwara ini, apa kehendak
Kim-heng, boleh katakan saja.”
“Sim-siangkong memang pintar, cuma ....” Kim Put-hoan tertawa, lalu meneruskan,
“agak terlalu pintar sedikit, maka begitu berhadapan dengan Simheng, Cayhe lantas
memperingatkan diriku sendiri, ‘Kalau Kim Put-hoan dilahirkan kenapa lahir pula
seorang Sim-siangkong? Bila di kalangan Kangouw
ada tokoh macam Sim-siangkong, apakah Kim Put-hoan bisa hidup aman dan
tenteram?’”
“Banyak terima kasih akan pujianmu.”
“Meski Cayhe bukan orang jahat, tapi demi kehidupan selanjutnya, mau tidak mau
timbul pikiran untuk mencelakai jiwa Sim-siangkong, namun dengan kepandaianku
sekarang jelas tak mampu mencelakai Sim-siangkong.”
“Kim-heng memang suka bicara blakblakan, sungguh harus dipuji,” kata Sim Long.
“Dan hari ini, kesempatan baik ternyata berada di tanganku,” ujar Kim Put-hoan,
mendadak dia melejit ke samping Cu Jit-jit, katanya dengan tersenyum, “Silakan
Sim-heng perhatikan, nona Cu ini dari keluarga kaya raya, cantik dan menggiurkan,
dia kesengsem padamu, sungguh mujur sekali Sim-siangkong, jika sekarang nona Cu
mengalami apa-apa, bukankah patut disayangkan.”
Sengaja Sim Long tertawa, katanya, “Nona Cu baik-baik saja duduk di situ, di bawah
perlindungan Ji-siauhiap yang gagah perkasa, masa bisa terjadi sesuatu, apakah
Kim-heng bukan lagi berkelakar?”
“Betul, aku memang cuma bergurau,” Kim Put-hoan. Mendadak dia menjatuhkan diri
dan menumbuk badan Cu Jit-jit, jidat Cu Jit-jit membentur pedang Ji Yok-gi, kulit
badannya yang putih seketika tergores luka dan mengeluarkan darah, Jit-jit
mengertak gigi tanpa bersuara, Ji Yok-gi juga kaget.
Kim Put-hoan malah tertawa, katanya, “Jelas aku tidak lagi bergurau, tentu sudah kau
saksikan? Cuaca sukar diramal, nasib manusia sulit diduga, bila jatuhku lebih keras,
nona Cu secantik bidadari ini mungkin sudah berubah bentuk.”
“Ya, sungguh berbahaya, untung ....”
Mendadak Kim Put-hoan menyeringai, “Urusan sudah begini, kau tidak perlu
berlagak-pilon lagi, jika ingin Cu Jit-jit selamat, kau harus menerima tiga syaratku.”
Sim Long tetap kalem, katanya dengan tertawa, “Baru saja Kim-heng bersikap ramah
dan sopan terhadapku, kenapa mendadak berubah kasar dan beringas begini,
sungguh sedih hatiku.”
Kim Put-hoan tertawa dingin, ia tidak mengacuh lagi, mendadak tangannya melayang
ke belakang, “plak”, kontan dia tampar muka Cu Jit-jit.
Berubah air muka Sim Long, tapi segera dia berkata dengan tertawa, “Sebetulnya apa
kehendak Kim-heng, tanpa kehadiran nona Cu sekarang juga pasti kuturut saja,
kenapa Kim-heng harus bertindak sekasar ini terhadap nona cilik yang lemah ini.”
“Baiklah, dengarkan, pertama, kau harus bersumpah tidak menyiarkan apa yang kau
lihat dan dengar di sini.”
“Itu gampang, aku memang bukan perempuan bawel yang panjang lidah.”
“Kedua, selama hidupmu ini kularang mencari perkara kepadaku ... apa kau terima?”
“Baiklah.”
Timbul senyuman misterius dan licik pada wajah Kim Put-hoan, katanya pula,
“Kurasa terlalu mudah kau terima syaratku ini, sekarang aku jadi sangsi, orang she
Kim biasa hidup prihatin, sesuatu yang tidak aman tidak nanti kukerjakan.”
“Cara bagaimana baru Kim-heng merasa aman?”
Mendadak Kim Put-hoan mengeluarkan sebilah badik dan dilempar ke hadapan Sim
Long, katanya dingin, “Jika kau mati, tentu aku merasa aman, tapi kau tidak pernah
bermusuhan denganku mana tega aku menghabisi jiwamu, biarlah hari ini aku
berlaku bijaksana, aku hanya menuntut sebelah tanganmu yang biasa memegang
pedang, bila kau tebas putus tanganmu sebatas sikut, Cu Jit-jit tanpa kurang suatu
apa akan kukembalikan dan segera kuantar kalian keluar dari kuburan kuno ini.”
Darah berlepotan di muka Cu Jit-jit, pipinya juga sembap, namun dia tetap melotot,
kini pun berteriak, “Kau ... jangan kau terima syaratnya ....”
Belum habis dia bicara, “plak”, kembali Kim Put-hoan menggamparnya.
Jit-jit berteriak serak, “Pukul ... biarkan aku dipukul mampus ... jangan kau pedulikan
diriku, lekas ... lekas kau pergi saja, kawanan binatang ini takkan kuasa mengalangi
dirimu.”
Kulit muka Sim Long berkerut menahan emosi, namun tetap berkata dengan kalem,
“Anggota badan ini pemberian ayah bunda, mana boleh sembarang kurusak sendiri,
apalagi bila lengan kananku ini buntung, bukankah dengan mudah Kim-heng akan
menamatkan jiwaku? Kukira aku masih harus ....” mendadak dia melompat bangun.
Tapi baru tubuhnya bergerak, tangan Kim Put-hoan lantas menjambak rambut Cu
Jit-jit, tangan kanan mengeluarkan lagi sebilah badik dan mengancam tenggorokan
Jit-jit, desisnya, “Ji-lote mungkin seorang penyayang si cantik, tapi aku ini laki-laki
kasar, berani kau bergerak, nona cantik ini segera akan menjadi mayat.”
Terkepal tinju Sim Long, tapi tidak berani bertindak maju.
Dilihatnya Jit-jit telah diseret jatuh, dadanya naik turun, air mata berlinang di pelupuk
matanya, tapi mulutnya berpekik serak, “Jangan hiraukan diriku ... lekas ... lekas pergi
....”
Seperti ditusuk jarum pedih hati Sim Long, tanpa kuasa dia menyurut balik dan duduk
kembali di kursinya dengan lesu.
“Kalau tidak kau terima syaratku, apa boleh buat, terpaksa biar kau duduk di situ dan
saksikan permainan sandiwara babak selanjutnya ....” di mana badik di tangannya
bergerak, kain baju depan dada Jit-jit seketika sobek dan terbuka, maka tertampaklah
dada yang montok tepat di sela buah dada tergores sejalur garis merah, darah
mengalir turun ke perut.
Cu Jit-jit menjerit kalap, suaranya berubah rintihan.
Ujung badik Kim Put-hoan masih bergerak turun, jengeknya, “Setuju tidak ....”
Di tengah rintihan Cu Jit-jit berteriak pula, “Kau ... jangan kau terima ... jika lenganmu
buntung ... mereka pasti membunuhmu ... lekas pergi ....”
Kim Put-hoan menyeringai, katanya, “Kau tega melihat penolong jiwamu dahulu dan
juga kekasihmu ini tersiksa? ....” kembali badiknya diturunkan lebih ke bawah hingga
mencapai pusar, darah sudah membasahi badannya yang putih halus dan
menimbulkan perpaduan warna yang kontras, lukisan yang keji dan siksa yang
keterlaluan.
Mendadak Sim Long mengertak gigi, dia jemput badik tadi seraya berseru, “Baik,
kuterima!”
“Akhirnya kau menyerah juga,” seru Kim Put-hoan bergelak tertawa.
“Jangan ... jangan ... jiwamu ....” Jit-jit menjerit-jerit.
Sampai Kim Bu-bong juga memejamkan mata karena tidak tega menyaksikannya.
Begitu memegang badik, kelima jari Sim Long sampai memutih, ototnya merongkol,
tangan gemetar, keringat memenuhi dahi.
Mendadak sinar putih berkelebat, “trang”, Jit-jit menjerit ... di tengah jeritan itulah
badik di tangan Kim Put-hoan ternyata terpukul jatuh oleh pedang panjang Ji Yok-gi.
Keruan Kim Put-hoan berjingkrak gusar, “Kau ... gila!”
Kelam wajah Ji Yok-gi, dampratnya bengis, “Semula kukira kau ini manusia, tak
tahunya lebih rendah daripada babi dan anjing. Ji Yok-gi adalah laki-laki sejati, mana
sudi berbuat sejahat ini.”
Mulut bicara, sinar pedang pun berkelebat, dalam sekejap Ji Yok-gi menyerang tujuh
kali.
Kejut dan girang sekali Sim Long, dilihatnya Kim Put-hoan dikurung sinar pedang dan
mundur kerepotan, lekas ia melompat ke samping Jit-jit dan merapatkan pakaiannya.
Rasa takut dan panik Jit-jit belum hilang, berada dalam pelukan sang kekasih, tak
tertahan lagi dia melepaskan tangisnya.
Gusar Kim Put-hoan makinya, “Binatang, makan dalam bela luar. Memangnya kau
lupa betapa besar rencana kita bila berhasil, masa kau lupa bila Sim Long mampus,
Cu Jit-jit bakal jatuh ke tanganmu? .... Berhenti, lekas berhenti!”
Ji Yok-gi mengertak gigi tanpa bicara, bukan berhenti, serangannya malah tambah
gencar, dia berjuluk Sin-kiam-jiu (si Pedang Sakti), ilmu pedangnya memang hebat,
dibakar marah lagi, maka dia mainkan jurus Siu-hun-toh-bingkiam (pedang perampas
nyawa) yang jarang dia keluarkan, sesuai namanya ilmu pedangnya memang ganas
dan keras.
Jiwa Kim Put-hoan memang jahat, tapi kungfunya juga tidak rendah, walau dalam
keadaan tidak siaga dan dicecar lebih dulu, setelah agak tenang, segera dia
kembangkan Khong-jiu-jip-pek-to dan Cip-pwe-loh-te-jiat-jiu (berkelahi dengan tangan
kosong) dari Kay-pang, dengan tangkas dia bergerak di tengah sambaran sinar
pedang Ji Yok-gi, dan ternyata masih mampu balas menyerang juga.
Jit-jit menahan tangisnya, katanya, “Jang ... jangan kau urus diriku, lekas bekuk
bangsat Kim Put-hoan itu, akan ... akan kubeset kulitnya baru terlampias dendamku.”
Sim Long menyahut lembut, “Baik, kau tunggu ....” baru dia berdiri, dilihatnya Kim
Put-hoan balas menyerang tiga kali lalu menyurut mundur tiga langkah, bentaknya,
“Berhenti, dengarkan perkataanku.”
“Kau sekarang ibarat ikan dalam jaring atau kura dalam kuali, apa pula yang ingin kau
katakan?” jengek Ji Yok-gi.
Kim Put-hoan tertawa, katanya, “Perlu kuberi tahu padamu, akan datang satu hari kau
akan menyesal ....” mendadak badannya menempel dinding di belakangnya terdengar
“krak” sekali, dinding batu di belakangnya mendadak terbuka, kontan Kim Put-hoan
menyelinap ke belakang.
Waktu Ji Yok-gi memburu maju dengan tebasan pedang, dinding batu itu segera
merapat hingga pedangnya mengenai dinding.
Sim Long mengentak kaki, katanya dengan gegetun, “Celaka, kenapa aku melupakan
hal ini.”
“Kita kejar ....” teriak Ji Yok-gi.
Tiba-tiba Kim Bu-bong berkata, “Jalan rahasia dalam kuburan ini banyak ragamnya,
mana bisa kalian mengejarnya?”
Ji Yok-gi gusar, semprotnya, “Kau tahu hal ini, kenapa tidak sejak tadi kau katakan?”
Dingin suara Kim Bu-bong, “Yang menjadi saudaraku dia atau kau?”
Sim Long tertawa getir, ujarnya, “Betul, dalam hal ini Ji-heng tidak boleh menyalahkan
dia ....”
Ji Yok-gi menghela napas, “trang”, pedang panjang mengetuk lantai.
Jit-jit mengomel, “Kaulah yang salah, jika kau tidak urus diriku, mana dia mampu
melarikan diri?”
Sambil tertawa getir, Sim Long memeluk pundaknya, katanya lembut, “Jangan
khawatir, suatu hari aku pasti dapat membekuk orang ini, akan kutaruh dia di bawah
kakimu, terserah bagaimana akan kau hukum dia, supaya rasa dendam dan
penasaranmu terlampias.”
Jit-jit mendekap dalam pelukannya, katanya tiba-tiba, “Sekarang aku malah tidak lagi
membencinya .... Bukan saja tidak benci, malah aku harus berterima kasih
kepadanya.”
Sim Long heran, katanya, “Lho, kenapa begitu, sungguh aku tidak mengerti.”
“Kalau dia tidak berbuat sekeji itu padaku, mana kutahu betapa baiknya kau
terhadapku? Biasanya kau dingin dan kaku, tapi hari ini kau rela mati demi diriku ....
Setelah tahu hal ini, meski lebih menderita lagi juga tidak menjadi soal.”
Perlahan dia memejamkan mata, bulu matanya yang panjang masih dibasahi air
mata, pipinya yang sembap bersemu merah dengan senyuman manis.
Menyaksikan si nona menderita tadi, keadaannya mengenaskan, tapi sekarang
semua itu telah dilupakannya, dari sini terbukti betapa besar cintanya kepada Sim
Long, asal Sim Long baik terhadapnya, maka dia puas melebihi apa pun. Tentang
bagaimana sikap orang lain terhadapnya, baik atau jahat, hakikatnya tidak dipikir lagi.
Hal ini mau tak mau membuat patah semangat Ji Yok-gi, dengan wajah guram dia
mendekati Sim Long, katanya sambil menghela napas, “Karena pikiran sesat, Siaute
telah diperalat oleh manusia jahat, sungguh aku sangat menyesal.”
Sim Long tertawa lantang, katanya, “Ji-heng tahu salah dan segera bertobat,
keberanianmu ini patut dipuji, selanjutnya hendaknya kau pandai menempatkan diri,
kelak pasti menjadi pendekar ternama, aku bersyukur hari ini dapat berkenalan
dengan Ji-heng.”
“Jika demikian, aku ....” mendadak dia melirik ke arah Cu Jit-jit, mulutnya lantas
terkancing, lekas dia putar badan dan melangkah keluar.
“Ji-heng, tunggu sebentar ....” teriak Sim Long.
“Gunung tinggi air mengalir, kelak masih sempat bertemu, semoga Sim-heng hidup
rukun sampai tua dengan nona Cu ....” belum habis ucapannya bayangannya sudah
tidak kelihatan.
Cu Jit-jit tertawa manis, katanya, “Sebetulnya dia juga orang baik, kelak kita harus
membuatnya ....”
Sim Long tertawa getir, katanya, “Sudah untung bila kita tidak minta bantuan orang.”
Mendadak Kim Bu-bong menimbrung dengan suara dingin, “Orang lain sudah pergi,
sekarang apa yang akan kau perlakukan kepadaku, boleh lekas turun tangan saja ....”
Sim Long tersenyum, ia lantas membuka Hiat-to orang malah.
Keruan Kim Bu-bong melenggong.
Sim Long tertawa, katanya, “Selamanya aku tidak mau kurang adat kepada kaum
pendekar di jagat ini, Kim-heng adalah seorang Enghiong, sepatutnya aku
menghormati dirimu.”
Terbayang rasa terima kasih di mata Kim Bu-bong, namun sikapnya tetap dingin,
katanya, “Aku sudah menjadi tawananmu, terhitung Enghiong macam apa?”
Sim Long tersenyum tanpa bicara, tangan orang juga dilepaskan.
Jit-jit kaget, serunya, “Hah, kau tidak khawatir dia lari?”
Tapi Kim Bu-bong tetap berdiri dan tiada maksud melarikan diri, air mukanya tampak
berubah hijau, akhirnya berkata, “Aku tahu sikapmu terhadapku ini pasti mengandung
maksud tertentu, tapi secara jantan kau perlakukan diriku, memangnya aku harus
memperlakukan dirimu sebagai manusia rendah? Apa kehendakmu, silakan bicara
saja.”
Sim Long tersenyum, katanya, “Tolong tunjukkan jalan keluar kuburan kuno ini.”
Kim Bu-bong juga tidak bicara lagi, dia membuka Hiat-to A To, mengambil lentera dari
dinding terus melangkah keluar.
Sim Long menggendong Jit-jit, akhirnya Cu Jit-jit tak tahan dan berbisik di pinggir
telinganya, “Kau tidak khawatir dia lari?”
“Dalam keadaan seperti ini, dia pasti tidak lari,” ujar Sim Long.
Jit-jit menghela napas, katanya, “Perbuatan kaum lelaki memang membingungkan, aku
pun menjadi rada ... rada pusing.”
“Memangnya berapa banyak pula lelaki di dunia ini yang dapat menyelami hati
perempuan?!” sahut Sim Long.
“Satu pun tidak ada, termasuk kau, tapi ... hatiku terhadapmu, masa kau tidak tahu
atau pura-pura tidak tahu?”
Sim Long seperti tidak mendengar, Jit-jit buka mulut hendak menggigit kupingnya, tapi
begitu bibirnya menyentuh kuping orang, dia malah menciumnya, katanya mesra,
“Lekas jalan.”
“Masih ada seorang di sini, masa kau lupa?”
Melotot mata Cu Jit-jit mengawasi Hoa Lui-sian yang pingsan karena ditutuk Kim
Bu-bong tadi, katanya benci, “Manusia tidak kenal budi, biarkan mati di sini ....”
Sim Long tidak lantas bergerak, segera Jit-jit mendorongnya, “Kenapa melamun,
lekas bawa dia?”
Sim Long tertawa geli, katanya, “Katamu tidak, kenapa menolongnya pula.
Adakalanya mencintainya setengah mati, mendadak membencinya pula supaya dia
lekas mampus ... itulah hati perempuan yang sukar diraba?”
Segera dia kempit Hoa Lui-sian dan melangkah pergi. Dengan memegang lentera
Kim Bu-bong menunggunya di luar pintu.
Jit-jit tidak melihat A To, dia berkerut kening dan bertanya, “Mana setan cilik itu?”
“Setan cilik ada di sini!” seorang segera menjawab dengan tertawa di belakang.
Tampak A To berlari keluar dari pojok sana dengan membawa bungkusan besar kain
hijau yang berat, memanggul sebuah gendewa berbentuk aneh, panjang gendewa
lebih tinggi daripada perawakannya, demikian pula buntelan berat itu lebih besar
daripada perutnya, tapi gerak-gerik A To tetap enteng dan cekatan, jelas Ginkangnya
sudah punya dasar yang kuat.
Jit-jit membatin, “Anak ini pintar dan lincah, Lo-pat tentu senang padanya ....”
Teringat kepada adiknya, ia menjadi khawatir dan marah, katanya, “Bila Lo-pat
mengalami sesuatu, coba saja kalau aku tidak membeset kulit Hoa Lui-sian.”
Setiap timbul kemarahannya selalu dia menyumpah ruah mau menguliti orang,
padahal bila ada orang dikuliti, mungkin dia akan lari lebih dulu daripada orang lain.
Dengan membawa lentera Kim Bu-bong jalan di depan, agaknya dia amat hafal
segenap pelosok kuburan kuno ini, di bawah cahaya lampu baru sekarang Sim Long
sempat memerhatikan bangunan ini ternyata teramat megah dan tidak kalah
dibandingkan makam raja di zaman dahulu, alat rahasia yang dipasang di sini justru
lebih lihai dan rumit. Mengagumi betapa besar proyek kuburan ini, Sim Long berkata
dengan gegetun, “Entah karya raja dinasti manakah kuburan sebesar ini?”
“Dari mana kau tahu ini kuburan raja?” tanya Jit-jit.
“Untuk membangun proyek sebesar ini, bukan saja memerlukan tenaga dan
keuangan yang besar, jiwa manusia pasti juga tidak sedikit dikorbankan di sini, coba
lihat saka dan pilar ini, demikian pula lampu minyak itu, setiap karya di sini adalah
hasil seni yang luar biasa, kecuali keluarga raja, siapa pula yang mampu
mengerahkan tenaga manusia dan mengeluarkan biaya sebesar ini ....”
“Kau keliru,” tiba-tiba Kim Bu-bong menukas.
Sim Long melengak, “Masa bukan kuburan raja?”
“Bukan kuburan raja tapi kuburan Bu-lim-ci-cun ....” sejenak dia merandek, lalu
menyambung dengan lebih kereng, “Apakah kau pernah dengar nama kebesaran
Kiu-ciu-ong Sim Thian-kun?”
“Per ... pernah dengar,” Sim Long tergegap.
“Kaum persilatan hanya tahu keluarga Sim adalah keluarga besar paling tua dalam
sejarah dunia persilatan. Anak murid keluarga Sim selama dua ratusan tahun pernah
mengalami tujuh kali petaka besar, tapi tujuh kali pula dapat menanggulangi bencana
yang menimpanya, cerita ini cukup diketahui umum. Di luar tahu orang banyak bahwa
di kalangan Kangouw juga terdapat sebuah keluarga turun-temurun, bukan saja
wibawa, kekayaan dan kungfunya tidak lebih asor daripada keluarga Sim, malah
sejarah keluarga besar ini dimulai dari dinasti Han atau Tong.”
“Maksudmu apakah keluarga besar Ko dari Tionggoan?” tanya Sim Long.
“Betul, kuburan raksasa ini memang betul dibangun oleh keturunan terakhir keluarga
besar Ko untuk tempat semayam jenazahnya.”
“Keturunan terakhir? .... Apakah Ko San-ceng?”
“Memang dia, orang ini berbakat besar, kungfunya menggetar dunia, pada waktu
keluarga Ko berada di zamannya, kebesaran nama keluarga mereka menjulang
tinggi, tak nyana pada masa tuanya, entah kenapa sifatnya berubah suka menyendiri
dan nyentrik, percaya kepada takhayul, menyembah setan dan jin, hingga lupa makan
dan tidur, seluruh harta bendanya dipergunakan untuk membangun kuburan ini,
malah anak keturunannya pun tiada yang tahu akan letak kuburan misterius ini.”
Jit-jit menimbrung, “Kenapa begitu? Memangnya dia tidak ingin keturunannya
menyembah dan berbakti kepadanya?”
“Soalnya dia terlalu takhayul, dia percaya manusia mati jika harta benda juga dibawa
ke liang kubur, kelak bila menitis kembali dia tetap akan dapat memanfaatkan harta
peninggalannya itu, maka dia tidak ingin keturunannya tahu tempat penyimpanan
hartanya, dia khawatir anak cucunya mencuri harta yang dibawanya ke liang kubur
ini.”
Jit-jit tertarik, tanyanya pula, “Tapi orang yang menguburnya tentu juga tahu ....”
“Sebelum dia mati, seluruh harta kekayaan dan pelajaran ilmu silat warisan
keluarganya telah dipindah ke dalam kuburan ini, lalu dia tutup kuburan dari dalam, di
sini dia menunggu ajalnya sendiri ....”
“Gila,” seru Jit-jit, “orang itu benar-benar orang gila.”
Kim Bu-bong menghela napas, katanya, “Benar, keluarga besar yang turuntemurun
selama ratusan tahun tetap jaya tiada bandingan, akhirnya habis di tangan si gila ini,
untuk mencari kuburan besar ini, keturunan keluarga Ko entah keluarkan berapa besar
tenaga dan pikiran, ilmu silat warisan keluarga mereka pun diabaikan, di antara dua
generasi mereka ada sebelas orang menjadi gila, waktu cucu Ko San-ceng masih
hidup, keluarga besar Ko sudah merosot pamornya, tempat tinggal terakhir milik
mereka pun sudah dijual untuk membayar utang, keluarga besar yang semula jaya
dan kaya telah ludes benar, tidak sedikit keturunannya yang menjadi pengemis,
kebesaran nama keluarga mereka sebagai kaum persilatan ternama juga putus
turunan.”
Sampai di sini cerita Kim Bu-bong, waktu Cu Jit-jit angkat kepala, cahaya terang di
mulut kuburan sudah kelihatan, dia menarik napas panjang, hatinya tidak merasa
lega, tapi malah merasa kesal.
“Keturunan keluarga Ko sendiri harus disalahkan, mereka tidak berusaha membangun
kembali kejayaan keluarga, malah rela menjalani kemiskinan.”
“Kalau aku jadi keturunannya, bila tahu kakek moyang menyimpan harta kekayaan
sebesar itu, tentu apa pun aku tidak mau bekerja, ini sudah menjadi sifat manusia,
mana boleh kau salahkan mereka,” demikian debat Jit-jit.
Sim Long menghela napas sambil menggeleng kepala, dua langkah berjalan
mendadak dia berhenti, katanya, “Selama seratus tahun ini, kan tiada orang masuk
kuburan ini?”
“Waktu kusuruh orang membuka kuburan ini, secara cermat telah kuselidiki, kuyakin
kuburan ini tidak pernah diinjak manusia. Peti jenazah Ko San-ceng tidak tertutup
rapat, ini membuktikan sebelum sempat dia tutup rapat peti mati sendiri, napas sudah
putus lebih dulu. Jenazah Ko San-ceng tinggal tulang belulangnya saja, di pinggir peti
kutemukan sebuah cangkir batu kemala yang pecah karena jatuh waktu jiwanya
melayang. Lebih penting lagi alat rahasia di sini tiada tanda-tanda pernah digerakkan
.... Dari berbagai bukti ini berani kupastikan bahwa selama ratusan tahun kuburan ini
belum pernah dijelajahi manusia.”
“Kalau begitu, lalu di mana harta kekayaan dan Bu-kang-pit-kip (kitab ilmu silat) itu?
Pasti masih tersimpan dalam kuburan ini, cuma Kim-heng belum menemukannya,”
demikian kata Sim Long dengan berkerut kening.
Kim Bu-bong tertawa dingin, katanya, “Untuk ini tidak perlu khawatir, kalau benar
dalam kuburan ini menyimpan harta karun, aku pasti dapat menemukan, jika
sekarang aku tak menemukan apa-apa, ini membuktikan kuburan ini memang kosong
melompong.”
Lama Sim Long termenung, katanya kemudian, “Kalau orang lain bilang demikian
tentu aku tidak percaya. Tapi apa yang Kim-heng katakan kuyakin tidak salah, cuma,
lantas di mana harta karun itu? Mungkin tidak dibawa masuk kuburan? Atau harta
kekayaannya habis untuk membangun kuburan ini?”
Mendadak dia menghela napas, lalu berkata pula, “Ai, harta benda orang lain buat
apa aku memikirkannya?”
Mengikuti langkah Kim Bu-bong, dia melompat keluar kuburan kuno itu.
Hujan salju sudah berhenti, mentari memancarkan cahayanya yang benderang.
Jit-jit tertawa senang, katanya, “Sifatmu inilah yang menarik hatiku, persoalan apa
pun dapat kau angkat dan rela meletakkan pula, urusan yang mungkin dipikir orang
hingga belasan tahun, tapi dalam sekejap dapat kau lepaskan begitu saja ....” sampai
di sini suaranya berubah khawatir, “Tapi jangan kau lupakan Lo-pat, adikku. Lekas,
lekas buka Hiat-to Hoa Lui-sian, tanya padanya, di mana dia menyembunyikan
Lo-pat?”
Setelah Hiat-to terbuka, keadaan Hoa Lui-sian masih lemah, berdiri pun tidak tegak.
Jit-jit lantas membentak, “Di mana Lo-pat, lekas katakan!”
Hujan salju meski sudah berhenti, namun hawa tetap amat dingin, walau kedinginan,
tapi Jit-jit tidak pikir lagi, dia khawatirkan keselamatan Hwe-hay-ji, si anak merah.
Dia sangat gelisah, Hoa Lui-sian justru malas-malasan, katanya dingin, “Kepalaku
pening, mana bisa ingat di mana kusembunyikan dia?”
“Kau ... kau ... biar kubunuh kau,” desis Jit-jit.
“Apa gunanya kau bunuh aku? Nanti bila pengaruh obat bius hilang, otakku jadi
terang, kalau tidak ....”
Sim Long menukas, “Katakan di mana kau sembunyikan Lo-pat, sebelum pengaruh
obat bius hilang, aku bertanggung jawab atas keselamatanmu.”
Dia tahu Hoa Lui-sian licik dan banyak perhitungan, tentu dia khawatir setelah
menyerahkan Hwe-hay-ji, umpama Jit-jit tidak mencelakainya, pada saat tenaga
belum pulih, bisa celaka juga bila kebentur musuh. Sebaliknya bila Hwe-hay-ji masih
berada di tangannya, betapa pun Cu Jit-jit dan Sim Long pasti akan melindungi dia.
Rupanya ucapan Sim Long telah membongkar isi hatinya, mau tak mau berubah juga
air mukanya, bola matanya berputar, sesaat dia berpikir, akhirnya berkata,
“Bagaimana pula bila Lwekangku pulih?”
Jit-jit berkata, “Setelah Lwekangmu pulih, aku menuju ke arahku dan kau boleh pergi
sesukamu, buat apa aku menahanmu?”
Hoa Lui-sian berpikir pula sejenak, katanya kemudian, “Baiklah, mari ikut padaku!”
Setelah setengah hari, pengaruh obat bius mulai lemah, walau sekarang dia belum
bebas bergerak, tapi untuk berjalan sendiri sudah mampu. Demikian pula Cu Jit-jit,
sebetulnya sudah bisa jalan, tapi dia justru masih ngendon di punggung Sim Long
dan tidak mau turun, tangannya malah memeluk leher orang dengan lebih kencang.
Kim Bu-bong ikut di belakang mereka, air mukanya kaku, tampaknya tidak berniat lari,
A To juga mengintil di belakangnya, berulang ia menggerundel, “Kalau aku tentu
sudah tinggal pergi, untuk apa ikut orang? Memangnya menunggu digorok lehernya?”
Kim Bu-bong diam saja, anggap tidak mendengar ocehannya.
Hoa Lui-sian menyusuri lereng gunung menuju ke bawah tebing yang tingginya
puluhan tombak, setiba di depan sebuah batu besar persegi baru berhenti, katanya,
“Pindahkan batu ini, di bawahnya ada lubang, adik mestikamu itu berada di dalam ....
Hm, lucunya, aku membungkus tubuhnya dengan mantel kulit itu, sekarang aku
sendiri kedinginan, bukankah penasaran?”
Melihat lubang di bawah batu masih utuh dan rapat, lega hati Cu Jit-jit, jengeknya,
“Hm, penasaran apa? Jangan lupa siapa yang memberi mantel itu .... Sim Long, ayo
geser batu itu.”
Sim Long menoleh ke arah Kim Bu-bong dengan tertawa, sebelum dia bicara, Kim
Bu-bong sudah menghampirinya, sekenanya tangannya menepuk batu besar itu,
kelihatannya dia tidak mengeluarkan tenaga, tapi batu seberat tiga ratusan kati itu
tertolak dan menggelinding ke samping.
Sim Long berseru memuji, “Pukulan hebat ....”
Belum lenyap suaranya mendadak Jit-jit menjerit, Hoa Lui-sian terbeliak kaget,
berubah air mukanya. Lubang itu ternyata kosong, Hwe-hay-ji entah hilang ke mana?
“Nenek setan, nenek bejat, kau ... kau berani menipuku!” damprat Jit-jit. Hoa Lui-sian
juga kebingungan, katanya, “Aku ... jelas kusembunyikan dia ....” “Sembunyikan
apa?” damprat Cu Jit-jit, “buktinya adikku tidak terdapat di sini ....
Di mana kau sembunyikan Lo-pat? Lekas ... lekas cari! Lekas kembalikan dia!” Hoa
Lui-sian jadi gugup, katanya, “Buat apa kudusta, memangnya aku tidak ingin
hidup ... mungkin dia membuka Hiat-to sendiri dan ... dan mendorong batu besar ini
terus melarikan diri.” Kim Bu-bong menjengek, “Kalau dia mampu lari sendiri, buat
apa menutup pula
batu ini?”
“Betul, apalagi usianya sekecil itu, mana mampu membebaskan Hiat-to sendiri, Sim
Long, bunuh dia, lekas bunuh nenek setan ini!” Sim Long menghela napas, katanya,
“Sekarang biar dibunuh juga percuma.
Menurut hematku, Hoa Lui-sian tidak berbohong, adikmu mungkin ... mungkin jatuh
ke tangan orang lain.” Hoa Lui-sian menghela napas lega, katanya, “Sim-siangkong
memang adil.” “Lalu bagaimana ... lekas cari akal!” seru Jit-jit gelisah.
“Tergesa-gesa juga tidak berguna, carilah akal perlahan ....” “Cari akal masa harus
perlahan? Jiwa Lo-pat mungkin tidak tertolong lagi .... Kau tega ... tega berkata
demikian ....” akhirnya pecah tangis Jit-jit.
Kim Bu-bong berkerut kening, katanya, “Biarkan dia tidur saja!” “Ya, itulah cara
terbaik,” ujar Sim Long. Kim Bu-bong segera mengebaskan lengan bajunya menutuk
Jit-jit, tangis CuCu akhirnya berhenti, kelopak mata pun terpejam, sekejap saja
Hiat-to penidur Jit-jit
sudah pulas dalam gendongan. Air matanya yang tersisa menetes di pundak Sim
Long dan beku menjadi butiran es.
Kim Bu-bong mengawasi Hoa Lui-sian, katanya perlahan, “Cara bagaimana Sim-
heng akan bereskan dia?”
Melihat sorot mata orang yang tajam dingin tanpa terasa Hoa Lui-sian menggigil, di
bawah cahaya matahari baru dia melihat jelas tampang Kim Bu-bong ternyata aneh,
ganjil dan menakutkan.
Jika kuping, hidung, mata dan mulutnya dipandang satu per satu, kelihatannya
memang tiada beda dengan indra orang lain. Tapi kenyataan kedua daun kupingnya
besar-kecil, demikian pula biji matanya satu besar mendelik dan yang lain kecil sipit,
hidungnya menonjol besar seperti terung, bibirnya justru tipis seperti pisau, letak
kedua mata pun kalau diukur ada sebesar telapak tangan jauhnya, bola mata kiri
bundar mendelik seperti kelintingan, sementara mata kanan sipit segitiga. Mungkin
tatkala Thian mencipta umatnya yang satu ini, karena kurang hati-hati hingga
pancaindra lima-enam orang yang berbeda keliru diterapkan padanya, perempuan
siapa saja atau anak kecil bila melihat wajahnya di tengah malam gelap pasti akan
menjerit ketakutan seperti melihat setan.
Makin tidak ingin melihat wajah orang, Hoa Lui-sian jadi makin tertarik untuk
memandangnya, makin mengirik, semula dia siap melontarkan caci makinya kepada
Kim Bu-bong yang mencampuri urusan orang lain, tapi entah kenapa tiba-tiba terasa
kelu, sepatah kata pun tak mampu diucapkan.
A To juga menatap majikan atau gurunya ini dengan terbelalak kaget, seperti heran
kenapa Kim-loya (juragan Kim) yang biasanya tinggi hati, tidak pernah tunduk kepada
orang lain sekarang sedemikian penurut pada Sim Long.
Sim Long tersenyum, katanya, “Kalau Kim-heng menjadi diriku entah cara bagaimana
akan kau bereskan dia?”
“Bunuh saja habis perkara daripada menjadi beban, atau tinggalkan saja di sini,”
sahut Kim Bu-bong.
Keruan Hoa Lui-sian ketakutan, teriaknya, “Dar ... daripada aku ditinggalkan di sini,
lebih baik kau bunuh aku saja?”
Maklum, sekarang tubuhnya lemas lunglai, berbaju tipis, umpama tiada ditemukan
musuh, ia pun tak kuat menahan hawa dingin dan bakal mati kedinginan tertimbun
salju.
Kim Bu-bong menjengek, “Huh, Ciang-tiong-thian-mo ternyata juga takut mati ...
sambutlah!”
Dia lepaskan ikat pinggang, seperti cambuk saja dia lempar ke sana, cepat Hoa
Lui-sian menyambutnya, tapi tidak tahu apa maksud orang.
Sim Long tertawa, katanya, “Kim-heng sudah mengampuni jiwamu, lekas ikat tali
pinggang itu di tanganmu, tentu Kim-heng akan membantumu.”
Kim Bu-bong berkata, “Kalau Sim-heng tidak bermaksud membunuhnya, terpaksa aku
membawanya saja.”
Sim Long tertawa, katanya, “Siapa nyana Kim-heng dapat menyelami perasaanku,
sungguh seorang sahabat baik.”
Apa boleh buat terpaksa Hoa Lui-sian mengikat tali pinggang itu pada tangannya,
selama hidupnya tak terhitung jiwa manusia direnggut atau dilukainya, dia anggap
selama ini dirinya tak takut mati, sekarang menghadapi saat mati hidup baru dia sadar
“tidak takut mati” hanya omong kosong belaka.
Kim Bu-bong berkata pula, “Sejak dahulu manusia mana yang tidak mati, kalau Hoa
Lui-sian takut mati, memangnya aku tidak takut? Sim-heng telah membebaskan
jiwaku, mana boleh kulupakan budimu, ke mana Sim-heng hendak pergi akan kuturut
untuk mengabdi.”
Sim Long tertawa, katanya, “Kalau aku tidak percaya Kim-heng adalah seorang lelaki
yang tegas membedakan budi dan dendam, mana aku bersikap sebebas ini terhadap
Kim-heng? .... Marilah kita tinggalkan dulu tempat ini.”
Segera ia berjalan cepat, Kim Bu-bong menarik Hoa Lui-sian ikut di belakang.
Alam sekitarnya sunyi, tapi tanah bersalju penuh tapak kaki yang semrawut, jelas Pui
Jian-li, Can Ing-siong dan lain-lain pergi dalam keadaan runyam.
Selepas mata memandang Sim Long mendapatkan perbedaan tapak kaki yang
mencolok antara yang datang dan pergi, waktu datang tapak kaki tampak ringan dan
bekasnya cetek, jarak kaki yang satu dengan yang lain kira-kira ada limaenam kaki,
tapi tapak kaki waktu pergi ternyata ambles lebih dalam, jarak satu dengan yang lain
juga lebih pendek, ini menandakan tapak kaki Pui Jian-li dan lain-lain waktu
pulangnya sudah terluka sehingga langkah kakinya tampak berat.
Sedikit merenung, Sim Long tertawa sambil menoleh, katanya, “Hebat benar
tindakanmu, Kim-heng.”
Kim Bu-bong melengak, katanya, “Apakah maksud perkataan Sim-heng?”
“Semula kukhawatir Pui Jian-li akan putar balik mencari perkara kepada nona Cu, kini
setelah mereka terluka oleh Kim-heng, maka legalah hatiku.”
“Cayhe tidak pernah turun tangan, apalagi melukai mereka?” jawab Kim Bubong.
Sim Long terperanjat, pikirnya, “Kalau dia bilang tidak, kupercaya bukan dia yang
melukai Pui Jian-li dan lain-lain, lalu siapa yang melukai mereka? Kim Put-hoan jelas
tidak mampu melukai orang sebanyak itu?” — merasa aneh, tanpa terasa dia
mengendurkan langkah.
Selama itu mereka sudah menempuh perjalanan cukup jauh. Mendadak tampak
sesosok bayangan meluncur datang. Semula hanya kelihatan setitik kecil dan
samar-samar, tapi cepat sekali bayangan itu sudah tiba di depan mata, ternyata putri
Loan-si-sin-liong, atau istri Thi Hoat-ho, nyonya cantik yang mukanya ada bekas luka,
dia menggendong putrinya, Ting-ting, wajahnya kelihatan gelisah dan bingung,
melihat Sim Long seperti melihat sanak kadang, segera ia berhenti dan tanya dengan
napas memburu, “Siangkong, apa kau lihat suamiku?”
Berubah air muka Sim Long, katanya, “Apakah Thi-heng belum pulang?”
Nyonya itu tampak lebih gelisah, sahutnya, “Sampai sekarang belum ada kabar
beritanya.”
“Pui Jian-li, Seng Ing dan It-siau-hud ....”
“Bukankah mereka ikut Siangkong menyelidiki rahasia kuburan kuno.”
Terkejut Sim Long, “Jadi orang-orang ini juga belum pulang.”
Dia tahu betapa besar kasih sayang Thi Hoat-ho terhadap istri dan putrinya, bila
sudah bebas keluar kuburan, pasti selekasnya dia pulang berkumpul dengan anak
bininya, kalau sekarang belum pulang pasti terjadi perubahan, apa lagi jejak Pui
Jian-li dan lain-lain juga belum jelas, kalau tidak pulang ke kota, lalu ke mana?
Melihat sikap bimbang Sim Long, nyonya cantik itu makin gugup, tanpa sadar dia
tarik lengan baju Sim Long, tanyanya dengan suara gemetar, “Hoat-ho ... apakah dia
....”
Sim Long berkata lembut, “Hujin jangan khawatir, soal ini ....”
Sekilas ia memandang ke sana, seketika juga ia berhenti berucap.
Mendadak diketahuinya bekas telapak kaki kiri hanya tersisa yang menuju ke kuburan
kuno saja, sedangkan tapak kaki yang meninggalkan kuburan itu ternyata telah putus
sampai di sini.
Diam-diam Sim Long mengeluh. Tak sempat ia memberi penjelasan kepada si
nyonya segera dia putar balik ke sana. Wajah Kim Bu-bong tampak prihatin,
sementara air mata tampak berlinang di pelupuk mata si nyonya, Ting-ting, putrinya
menyikap kencang lehernya dan menangis.
Mereka ikut lagi di belakang Sim Long, kira-kira sepemanah jaraknya, mendadak Sim
Long berseru, “Nah, di sini.”
Kim Bu-bong memandang ke sana, tapak kaki orang banyak yang menuju ke kota
ternyata putus sampai di sini, belasan orang tua-muda itu mendadak lenyap setelah
sampai di sini.
Gemetar suara nyonya cantik, “Ini ... apa yang terjadi?”
Berat suara Sim Long, “Thi-heng, Pui Jian-li, It-siau-hud dan lain-lain telah lolos dari
bahaya di dalam kuburan, rombongan mereka buru-buru ingin pulang ke kota, tapi
sampai di sini ... sampai di sini ....”
Mana mungkin setiba di sini rombongan orang itu mendadak lenyap? Sebetulnya
terjadi apa yang menakutkan? Sim Long sendiri bingung dan tidak mengerti, dia
hanya geleng kepala sambil menghela napas.
Betapa pun nyonya cantik ini bukan nyonya rumah umumnya, walau dalam keadaan
gugup dan khawatir, dia masih cukup tabah menghadapi kenyataan, ia pun
perhatikan bekas kaki di permukaan salju, tiada yang putar balik atau membelok,
lenyap seperti mendadak terbang ke langit.
Meski hatinya cukup tabah, tapi semakin dipandang semakin aneh dan makin
mencemaskan, tanpa terasa kaki dan tangan menjadi gemetar, saking bingung
sepatah kata pun tak terucapkan lagi dari mulutnya.
Sekilas Sim Long adu pandang dengan Kim Bu-bong, kedua orang ini biasanya cukup
tajam penglihatan dan otaknya dalam menghadapi sesuatu peristiwa, namun meski
sekarang sudah memeras otak tetap tidak mengerti apa sebetulnya terjadi.
Kalau mereka takhayul pasti mengira orang sebanyak itu telah ditelan setan, bila
kedua orang ini bodoh dan kurang pengalaman, paling-paling mereka akan menarik
kesimpulan, pasti ada sesuatu yang aneh, cuma seketika tidak bisa merabanya.
Tapi kedua orang ini justru berotak dingin, tabah, dan cermat, dalam sekejap ini
mereka sudah memikirkan berbagai kemungkinan, namun tiada satu pun dari
kemungkinan yang terpikir oleh mereka sesuai untuk memberi jawaban secara
meyakinkan. Bahwa mereka tidak percaya takhayul, mereka yakin kalau peristiwa ini
tak dapat dipercaya mereka, orang lain jelas lebih tak bisa
memecahkan persoalan ini, maka semakin dipikir terasa peristiwa ini amat ganjil dan
misterius.
Tak tertahan lagi si nyonya cantik meneteskan air mata, katanya dengan menunduk,
“Aku bingung setengah mati, bagaimana peristiwa ini harus diselidiki, seluruhnya
kuserahkan kepada Siangkong.”
Sim Long tertawa, katanya, “Dalam persoalan ini pasti tersembunyi suatu muslihat
yang mengejutkan, dalam waktu singkat ini belum dapat kutentukan langkah apa yang
harus kita lakukan, semoga Hujin tidak terlalu bersedih, marilah kita ....”
Mendadak seorang bersuara serak berteriak, “Thi-toaso, jangan percaya obrolan
orang ini, orang di sebelahnya itu adalah anak buah Koay-lok-ong yaitu biang keladi
yang merencanakan jebakan dalam kuburan kuno itu, ia bersekongkol dengan orang
she Sim. Thi-toako, Pui-tayhiap dan belasan tokoh Bu-lim yang lain sudah terbunuh
oleh mereka, aku Kian-gi-yong-wi Kim Put-hoan berani dijadikan saksi.”
Suara serak itu memang diucapkan Kim Put-hoan, dia sembunyi di belakang pohon di
pinggir jalan sana. Di sampingnya ada empat orang lagi, yaitu Put-paysin-kiam Li
Tiang-ceng, Khi-tun-to-gu Lian Thian-hun dan kedua saudara Leng yang jarang
bicara itu.
Ternyata Li Tiang-ceng juga mendengar keributan yang terjadi di kota Pok-yang,
maka malam itu juga mereka menyusul kemari, kebetulan bersua dengan Kim
Put-hoan yang lagi ingin cari perkara.
Kalau Li Tiang-ceng masih tetap tenang, tapi Lian Thian-hun menjadi gusar,
bentaknya, “Pantas kami tidak tahu asal usul orang she Sim, kiranya dia antek
Koay-lok-ong. Nah, Leng Toa dan Leng Sam, sekali ini jangan kalian lepaskan dia!”
Nyonya cantik itu merasa sangsi apakah tuduhan Kim Put-hoan dapat dipercaya,
setelah mendengar salah satu majikan Jin-gi-ceng juga bilang demikian, ia tidak ragu
lagi, sambil mengertak gigi sebelah tangannya mendadak menepuk ke dada Sim
Long, gerakannya aneh, pukulannya keras, jauh lebih hebat dibandingkan
Thi-sah-ciang yang pernah didemonstrasikan Hongbu Siong.
Walau menggendong satu orang, tapi sekali berkelebat, dengan mudah Sim Long
dapat berkelit, dia tahu dalam keadaan seperti sekarang ini tak berguna memberi
penjelasan.
Kim Put-hoan tambah senang, makinya, “Nah, bukankah keparat itu diam-diam
sudah mengaku. Thi-toaso, seranganmu tak perlu kenal kasihan ... Lianlocianpwe,
kau pun lekas turun tangan!”
Lian Thian-hun berteriak murka, “Memangnya aku tukang main keroyok.”
Kim Put-hoan menjengek, “Menghadapi orang seperti dia, kenapa harus bicara aturan
Bu-lim segala? Coba Lian-locianpwe lihat, siapa yang duduk di tanah bersalju sana
itu?”
Begitu melihat Hoa Lui-sian, bola mata Lian Thian-hun seketika merah membara,
sambil menggerung segera dia menubruk ke sana, mendadak dilihatnya seorang
berjubah kelabu bertampang sadis mengadang di depannya. Lian Thian-hun
membentak gusar, “Siapa kau, berani merintangiku?”
Kim Bu-bong mengawasinya dengan dingin dan tidak bersuara.
Kontan Lian Thian-hun menggenjotnya. Kim Bu-bong sempat mematahkan
jotosannya. Beruntun Lian Thian-hun memukul lima kali, kedua tangan Kim Bubong
bekerja cepat memotong urat nadi tangan lawan, kakinya tidak bergeser sedikit pun,
keruan Lian Thian-hun semakin murka, bentaknya, “Ada hubungan apa kau dengan
Hoa Lui-sian?”
Dingin suara Kim Bu-bong, “Hoa Lui-sian bukan sanak kadangku, tapi Simsiangkong
sudah menyerahkan dia kepadaku, siapa pun dilarang melukainya.”
Hoa-Lui-sian yang duduk di sana tampak mengunjuk rasa haru dan terima kasih
meski dirinya tadi diseret dan kesakitan setengah mati. Dilihatnya jenggot rambut Lian
Thian-hun seakan-akan menegak, dalam sekejap dia telah menyerang sembilan kali
pula.
Khi-tun-to-gu Lian Thian-hun meski kungfunya tinggal separuh sejak peristiwa
Heng-san dulu, tapi pukulannya tetap dahsyat.
Namun Kim Bu-bong tetap berdiri sekukuh gunung tanpa bergeser selangkah pun.
Li Tiang-ceng menonton dengan heran, kaget dan kagum atas kungfu Kim Bubong
yang hebat, namun ia pun kagum dan takjub menyaksikan kegesitan Sim Long,
betapa tinggi Ginkangnya, meski menggendong satu orang, ternyata gerak-geriknya
masih begitu enteng, kakinya tidak meninggalkan bekas sedikit pun di tanah bersalju,
serangan si nyonya cantik cukup gencar, tapi tak dapat menyentuh ujung bajunya
sekali pun.
Kim Put-hoan tampak sangat senang, semakin seru orang berkelahi semakin gembira
hatinya, tak tahan dia mengoceh lagi, “Leng Toa, Leng Sam, sudah saatnya kalian
pun turun tangan, apakah ....”
Belum habis bicara, angin keras mendadak menerjang mukanya, ternyata tangan
Leng Sam yang dipasangi kaitan besi mengilap itu sudah menyambar tiba.
Saking kagetnya Kim Put-hoan melompat ke belakang, teriaknya gusar, “Apa yang
kau lakukan?”
Leng Sam menjengek, “Tampangmu setimpal memerintah diriku?”
Hanya bicara empat patah kata, rasanya sudah terlalu banyak, lalu dia berludah ke
tanah.
Gusar Kim Put-hoan, ia mendelik, tapi apa boleh buat.
Sementara itu kedua orang yang bertempur di tanah bersalju sudah berlangsung
belasan jurus. Sim Long dan Kim Bu-bong tetap mengelakkan serangan lawan.
Walau dibebani satu orang, nyonya itu juga membawa putrinya, maka gerakgeriknya
juga terhalang.
Sebaliknya Kim Bu-bong yang harus melayani Lian Thian-hun kelihatan kerepotan,
karena hanya bertahan dan tidak balas menyerang, keadaannya cukup gawat,
sebentar lagi mungkin dia bakal dikalahkan.
Li Tiang-ceng berpengetahuan luas, dengan prihatin ia bergumam, “Nyonya ini pasti
putri tunggal Say-gwa-sin-liong, Liu Poan-hong, kungfunya ternyata tidak lebih rendah
dibandingkan Hoa-san-giok-li. Suaminya Thi Hoat-ho pasti juga memiliki kungfu yang
lebih tinggi, dari sini dapat disimpulkan dalam dunia Kangouw masih banyak lagi
Enghiong yang tidak ternama .... Jika suami-istri ini keturunan tokoh kosen ternama,
lalu siapa pula pemuda ini? Sungguh sukar diraba.”
Maklum, sejauh ini Sim Long belum memainkan sejurus pukulan pun, orang lain
sudah tentu sukar meraba asal usul ilmu silatnya.
Li Tiang-ceng memerhatikan pula Kim Bu-bong, kerut alisnya tambah rapat.
Mendadak dilihatnya Liu Poan-hong, yaitu si nyonya cantik mundur beberapa langkah
dengan mandi keringat, napas pun tersengal-sengal, bertempur sekian lama dia tetap
tidak mampu menyentuh ujung baju Sim Long, dia menuding sambil membentak,
“Kau ... kenapa kau tidak balas menyerang?”
“Cayhe tidak bermusuhan dengan Hujin, kenapa harus balas menyerang?” ujar Sim
Long.
“Omong kosong, kalau bukan kau lalu ke mana orang-orang itu, bila tidak kau
jelaskan ....”
“Cayhe sendiri juga heran dan tidak mengerti menghadapi persoalan ini, bagaimana
aku bisa memberi penjelasan?”
“Baik,” seru Liu Poan-hong sambil mengentak kaki. “Kau ... kau ....”
Mendadak dia turunkan putrinya, Ting-ting, yang ketakutan hingga tak berani
menangis lagi, tapi begitu kaki menyentuh tanah seketika dia menangis pula. Liu
Poan-hong berdiri bingung mengawasi putrinya, lalu mendelik kepada Sim Long,
matanya berkaca-kaca, mendadak dia memeluk putrinya dan menangis tersedu
sedan.
Sim Long menghela napas, ujarnya, “Duduk perkara sebetulnya belum diketahui,
siapa salah dan siapa yang menjadi biang keladi sukar ditentukan, kalau Hujin sudi
memberi tempo setengah bulan aku pasti dapat menemukan jejak Thitayhiap.”
Liu Poan-hong mendadak mendongak dan menatapnya lekat-lekat.
Kim Put-hoan mau bicara lagi, tapi sorot mata dingin Leng Toa dan Leng Sam telah
menghentikan kata-katanya yang hampir terlontar dari mulutnya.
Pandangan Liu Poan-hong makin sayu, mendadak ia berkata, “Baik, aku menunggu
beritamu di Pok-yang.”
Sim Long berpaling ke arah Li Tiang-ceng, katanya, “Bagaimana pendapat Cianpwe?”
Li Tiang-ceng masih bimbang, katanya dengan tersenyum, “Kurasa Leng bersaudara
bersimpati kepadamu, tentu mereka juga tidak ingin melabrakmu, cuma Samteku ini
.... Ai, kecuali kau mau menyerahkan Hoa Lui-sian.”
“Cayhe berani tanggung dia pasti tiada sangkut paut dengan pembunuhan segenap
keluarga Kim Tin-ih,” kata Sim Long.
Walau sedang bertempur, tapi kuping Lian Thian-hun tidak menganggur, serunya
gusar, “Kentut, kulihat dengan mata kepalaku sendiri ....”
“Apakah Cianpwe tahu, sekarang bermunculan berbagai kungfu yang sudah lama
putus turunan di dunia Kangouw? Apakah Cianpwe tahu bahwa kematian
An-yang-ngo-gi dikarenakan pukulan Jik-sat-jiu? Padahal Thi Hoat-ho tidak pernah
turun tangan, boleh kuserahkan Hoa Lui-sian kepada kalian, tapi sebelum duduk
persoalannya diselidiki dengan terang, Cianpwe harus bertanggung jawab akan
keselamatannya.”
Li Tiang-ceng berpikir sambil mengelus jenggot, katanya kemudian, “Baik, kuberi
waktu setengah bulan, setelah setengah bulan, datanglah ke Jin-gi-ceng, Thihujin
juga boleh menunggu di perkampungan kami.”
Liu Poan-hong mengusap air mata sambil mengangguk.
Li Tiang-ceng lantas membentak, “Samte, lekas berhenti!”
Beruntun Lian Thian-hun menjotos pula tiga kali baru melompat mundur, sorot
matanya menatap Kim Bu-bong dengan gemas.
Kim Bu-bong menengadah mengawasi langit tanpa menggubrisnya lagi.
Segera Kim Put-hoan berseru, “Sim Long boleh pergi, tapi keparat ini anak buah
Koay-lok-ong, betapa pun tidak boleh dilepaskan pergi.”
“Kau mampu menahan dia?” tanya Sim Long.
Kim Put-hoan melengak, katanya, “Aku ... aku ....”
Lalu berkata pula Sim Long, “Apakah betul dia anak buah Koay-lok-ong atau bukan,
kalau kalian sudah membebaskan dia, maka siapa pun tidak boleh mencari perkara
lagi padanya, tanpa bantuannya terus terang aku pun sukar menyelidiki persoalan
ini.”
Li Tiang-ceng menghela napas, katanya, “Kalau saudara ini mau pergi, memang tiada
orang yang dapat merintanginya ....” mendadak dia mengebas lengan baju, katanya
pula dengan tegas, “Keputusan sudah diambil, siapa pun tak boleh banyak bicara
lagi, harap Thi-hujin suka bantu memapah Hoa-hujin pulang bersama kita.”
Sim Long tersenyum dan menjura kepada kedua Leng bersaudara. Wajah Leng Toa
dan Leng Sam yang kaku sekilas seperti tersembul senyuman tipis, tapi waktu sorot
mata mereka beralih ke arah Kim Put-hoan, senyum mereka seketika sirna.
Kim Put-hoan berdehem dan menyingkir cukup jauh dan tidak berani lagi beradu
pandang dengan orang lain.
Sekilas Li Tiang-ceng melirik ke arahnya, lalu menggeleng kepala dan menghela
napas.
Setelah rombongan orang banyak pergi baru A To mengacungkan ibu jari dan memuji
dengan tertawa, “Sim-siangkong memang seorang kawan sejati, meski dalam
keadaan bahaya tetap tidak melupakan keselamatan Suhuku, pantas Suhu rela
menjual jiwanya kepada Sim-siangkong.”
Sim Long tersenyum, katanya, “Anak baik, ingat, hanya dalam kesulitan baru
kelihatan sahabat sejati.”
A To berkata, “Tapi tetap tidak kumengerti kenapa Siangkong melepas ... melepaskan
orang she Kim itu?”
Sim Long menghela napas katanya, “Umpama aku bertindak kepadanya, Lijihiap
tentu melindunginya.”
A To manggut-manggut.
Mendadak Sim Long berkata pula, “Ada satu hal ingin kutanyakan kepada Kimheng,
entah ....”
Sebelum lanjut ucapan orang segera Kim Bu-bong berkata, “Di antara empat duta
Koay-lok-ong hanya diriku yang diutus lebih dulu ke Tionggoan, tapi tidak pernah
kugunakan nama Hoa Lui-sian untuk mencelakai orang, siapa yang membunuh Kim
Tin-ih, terus terang aku tidak tahu.”
Bahwa dia dapat meraba pertanyaan apa yang akan diajukan, Sim Long tidak merasa
heran, tapi apa yang dikatakan itu benar-benar membuatnya terkejut, sesaat dia
melenggong, gumamnya, “Kalau begitu, lalu siapa yang membunuh keluarga Kim
Tin-ih? Kecuali anak buah Koay-lok-ong, adakah aliran lain dalam dunia Kangouw
yang juga meyakinkan kungfu andalan perguruan orang lain?”
“Kurasa demikian,” ujar Kim Bu-bong, “dan lagi ... Jik-sat-jiu adalah kungfu andalan
Say-gwa-sin-liong yang tidak diajarkan kepada pihak luar, kecuali seorang murid
Koay-lok-ong tiada lain yang pernah meyakinkannya, padahal orang ini sekarang jauh
berada di luar perbatasan sana, bila An-yang-ngo-gi mati karena Jik-sat-jiu, sungguh
aku pun tidak habis mengerti.”
Sim Long kaget, katanya, “Kuyakin biasanya dugaanku jarang meleset, siapa nyana
hari ini segala rekaanku tiada satu pun yang tepat, tapi ... tapi An-yangngo-gi jelas
keluar dari kuburan kuno itu dalam keadaan terluka, jika bukan Kimheng yang turun
tangan, apakah dalam kuburan itu ada orang lain? Lalu siapa dia? Dari mana pula dia
bisa mempelajari kungfu andalan orang lain?”
Kim Bu-bong menghela napas, katanya, “Keadaan semakin ruwet, agaknya geger
dunia persilatan sudah di depan mata ....”
Guram air muka Sim Long, katanya dengan prihatin, “Hwe-hay-ji tidak jelas parannya,
Thi Hoat-ho dan belasan jago lain lenyap secara misterius? Pembunuh keluarga Kim
Tin-ih sukar ditemukan, kecuali anak murid Koay-lokong ternyata masih ada orang lain
dalam dunia Kangouw yang mahir kungfu maut itu? Di balik persoalan ini pasti ada
muslihat keji, peristiwa ini masih terselubung, tiada titik terang untuk bahan
penyelidikan, tapi dalam jangka waktu setengah bulan harus kupecahkan
persoalannya.”
Kalau orang lain menghadapi persoalan serumit ini mungkin akan putus asa dan
menangis, tapi setelah menghela napas, alis Sim Long lantas terbuka lebar, katanya
dengan tertawa, “Padahal waktu masih ada lima belas hari, tapi aku sekarang gelisah
setengah mati, tentu bikin Kim-heng geli.”
Di tengah gelak tertawa dia lantas berjalan cepat beberapa langkah, melihat Kim
Bu-bong masih berdiri terlongong, mendadak dia berhenti, katanya, “Kenapa
Kim-heng ....” belum habis dia bicara, mendadak suatu ilham terkilas dalam
benaknya, cepat dia mundur pula beberapa langkah dan mengawasi Kim Bubong.
Mereka saling pandang, wajah mereka seketika mengunjuk rasa girang, tanpa bicara
lagi langsung mereka melangkah ke kuburan kuno, A To kaget dan heran, tak tahan
dia bertanya, “Apa yang hendak kalian lakukan?”
Sim Long berkata, “Jika orang itu tidak ambles ke dalam bumi atau terbang ke langit,
tapi tapak kaki mereka justru terputus di tengah jalan, kecuali orang-orang itu
menyurut mundur pula, jawaban apa lagi yang bisa kita dapatkan?”
A To memang cerdik, katanya, “Betul, bila mereka mundur kembali dengan menginjak
tapak kakinya sendiri, orang lain dengan sendirinya tidak akan tahu .... Pantas semua
tapak kaki itu kelihatan berat dan ambles dalam serta agak kacau, ternyata setiap
tapak kaki itu diinjak dua kali.”
Maklum, tapak kaki siapa pun bila diinjak dua kali pasti akan lebih dalam dan kacau
keadaannya.
Kim Bu-bong berkata, “Sekarang masih ada satu hal yang belum kumengerti. Tujuan
mereka berbuat demikian jelas untuk mengelabui orang lain, lalu siapa yang ingin
mereka tipu?”
“Yang hendak ditipu jelas kau dan aku, yang tidak kupahami adalah kenapa Thi
Hoat-ho tidak mau menemui anak bininya, kecuali ....”
Gemerdep sinar mata Kim Bu-bong, tukasnya, “Kecuali orang-orang itu sudah
menjadi tawanan, dan di bawah pengaruhnya, demi menculik belasan tokoh itu, maka
mereka dipaksa berbuat demikian untuk mengelabui mata orang sehingga sukar
menemukan jejak mereka. Tapi ... tapi orang sebanyak itu, bukan saja tunduk pada
perintahnya dan pergi bersamanya dengan menyurut mundur ke sana, bukankah hal
ini terlalu luar biasa?”
“Kalau orang lain tidak perlu dibuat heran, bahwa Thi Hoat-ho juga rela meninggalkan
anak bininya, itulah yang luar biasa, kecuali ... kecuali dia kehilangan kesadarannya
atau terpengaruh oleh kekuatan gaib.”
“Ya, pasti demikian,” seru Kim Bu-bong, “kalau tidak, biarpun orang itu memiliki
kungfu setinggi langit dan mampu menguasai mati-hidup orang, tapi jago-jago Bu-lim
yang gagah dan keras hati itu belum tentu mau tunduk pada perintahnya.”
Sembari bicara mereka terus menyusuri bekas tapak kaki hingga sampai di depan
kuburan kuno, mereka saling pandang sekali, lalu berhenti. Tampak salju di sebelah
kiri semrawut dengan tapak kaki acak-acakan, lebih ke depan lagi bekas tapak kaki
kelihatan lebih cetek dan lebih rata.
Kim Bu-bong berkata, “Orang-orang itu pasti mundur sampai di sini, lalu naik kereta di
tepi jalan, di belakang kereta menyeret ranting pohon sehingga bila kereta berjalan
bekas roda pun tersapu bersih.”
Bahwa persoalan ruwet yang tak terpecahkan akhirnya bisa dibikin jelas, sungguh
lega perasaan mereka, tapi hanya sekejap Kim Bu-bong lantas berkerut kening pula,
katanya, “Cara kerja orang itu begini teliti, dia dapat memikat puluhan orang hingga
rela mengekor dia, sungguh aku tidak habis pikir tokoh macam apa ini?”
Sim Long termenung, katanya kemudian, “Tahukah Kim-heng dalam dunia ini siapa
yang mahir menggunakan Bi-hun-sip-sim-tay-hoat (semacam ilmu sihir)?”
Tanpa pikir Kim Bu-bong menjawab, “Hun-bong-siancu!”
“Betul, Hun-bong-siancu dulu pernah menggunakan Am-gi (senjata rahasia) paling
jahat Thian-hun-ngo-han-bian (kapas pancawarna) dan Bi-hun-sip-simtay-hoat hingga
namanya menggetarkan Bu-lim. Jago silat kelas wahid sekalipun bila berhadapan
dengan Hun-bong-siancu juga bertekuk lutut.”
“Tapi ... bukankah Hun-bong-siancu sudah mati sekian tahun lamanya ....”
“Kalau Ca Giok-koan bisa pura-pura mati, padahal masih hidup, kenapa Hun-
bong-siancu tidak bisa berbuat demikian pula?” sembari bicara Sim Long
mengeluarkan sebuah pelat besi, katanya, “Apakah Kim-heng tahu besi apa ini?”
Kim Bu-bong hanya melirik saja, air mukanya seketika berubah, serunya, “Thian-
hun-ling.”
“Betul, inilah Thian-hun-ling yang digunakan Hun-bong-siancu untuk memerintah
kawanan iblis.”
“Dari mana Sim-heng memperoleh pelat ini?”
“Di atas meja batu yang terletak di mulut gua kuburan kuno itu, semula kukira pelat ini
milik Kim-heng, kini dapatlah kutarik kesimpulan bahwa yang menaruh pelat ini di
atas meja pasti orang yang membunuh An-yang-ngo-gi dengan Jiksat-jiu, yang
membawa Pui Jian-li dan lain-lain pasti perbuatannya pula.”
Pucat muka Kim Bu-bong, “Orang ini berada dalam kuburan, aku ternyata tidak tahu,
malah segala gerak-gerikku di bawah pengawasannya .... Siapa dia, betulkah
Hun-bong-siancu sendiri?”
Membayangkan musuh yang tidak kelihatan selalu mengintip gerak-geriknya di dalam
kuburan kuno itu, Kim Bu-bong jadi bergidik sendiri.
“Apakah betul dia Hun-bong-siancu? Apa betul Hun-bong-siancu muncul dalam
percaturan Kangouw pula? Muslihat apa pula yang dirancangnya dengan menculik Thi
Hoat-ho dan lain-lain? Ke mana pula Thi Hoat-ho dan belasan orang itu dibawa pergi?
Pembunuhan keluarga Kim Tin-ih apakah juga perbuatannya? .... Ai, dalam setengah
bulan aku harus memecahkan semua persoalan ini, entah sudikah Kim-heng
membantuku?”
“Semua persoalan ini ada sangkut pautnya dengan diriku, bila persoalan itu tidak
terpecahkan, sehari pun aku tidak bisa tenang,” ujar Kim Bu-bong.
Jilid 7
“Kalau begitu, silakan Kim-heng ikut padaku, apa pun yang akan terjadi tetap harus
kuselidiki. Soal kelak engkau akan menjadi kawan atau lawanku tidak perlu dipikirkan
sekarang.”
Jawab Kim Bu-bong, “Ya, memang demikian seharusnya.”
Maka mereka terus mengikuti bekas salju yang tersapu, sepanjang jalan memang
tidak sedikit penemuan mereka, Kim Bu-bong melepas pandang ke empat penjuru,
katanya dengan menghela napas, “Melihat gelagatnya, mereka seperti menuju ke
barat.”
Sim Long berkerut kening, katanya, “Kalau mereka menuju ke tempat yang ramai
tentu akan menarik perhatian orang, tapi ke arah barat adalah Thay-hang-san, jalan
yang jelas sangat sepi.”
“Dengan orang sebanyak itu, tentu tak bisa berjalan cepat. Bila kita percepat mungkin
dapat menyusul mereka.”
Tapi meski mereka mengejar hingga mentari sudah doyong ke barat tetap tidak
menemukan kereta yang patut dicurigai, bila ketemu orang lewat, Kim Bu-bong lantas
menyingkir dan Sim Long cari keterangan, soalnya tampang Kim Bu-bong yang aneh
dan jelek itu mungkin menakutkan orang dan pasti tak mau memberi keterangan.
Namun sepanjang jalan usaha Sim Long juga selalu nihil, ada yang menjawab tidak
melihat apa-apa, ada yang bilang pernah melihat kereta, ditegaskan kereta macam
apa dan ada berapa? Bagaimana pula tampang kusir keretanya? Orang-orang itu
hanya melongo saja dan tidak mampu memberi keterangan lagi.
Menjelang magrib hujan salju turun pula, terpaksa mereka mampir di sebuah
pondokan di luar Lokyang, pengaruh bius di tubuh Cu Jit-jit sudah lenyap, maka dia
rewel lagi kepada Sim Long, setelah Sim Long memberi keterangan betapa ruwet
persoalannya, Jit-jit jadi melongo dan ngeri.
Penginapan di dusun kecil ini amat sederhana, setelah Kim Bu-bong menyodorkan
sekeping uang perak, pemilik rumah baru mau memberikan dipan batu yang di
bawahnya diberi perapian setiap orang menghabiskan beberapa mangkuk bubur
daging sapi, Sim Long berbaring terus tidur, A To juga meringkuk di pojokan, tapi Jit-jit
duduk di atas dipan yang keras itu, mengawasi selimut kapas yang kasar dan apak,
terbayang yang dibakar di bawah dipan adalah tumpukan tahi kuda, nona cantik
bertubuh montok dari keluarga hartawan ini mana dapat memejamkan mata.
Tapi kalau dia tidak tidur, tampang Kim Bu-bong sejelek setan itu selalu terbayang di
depan matanya.
Melihat Sim Long dapat tidur nyenyak dan mendengkur, sungguh dongkol sekali
Jit-jit, diam-diam dia membatin, “Orang yang tidak punya perasaan, masa tidur sendiri
seperti ini?”
Saking dongkol dia buang selimut terus turun dan mendorong pintu, ia berjalan
keluar, meski badan terasa dingin sampai menggigil, tapi melihat taburan bunga salju
di udara sungguh pemandangan yang memesona.
Di kejauhan terdengar kentungan peronda, waktu sudah lewat tengah malam.
Mendadak terdengar suara ringkik kuda dan kereta sayup-sayup terbawa angin dari
kejauhan.
Terbangkit semangat Jit-jit, batinnya, “Mungkinkah mereka telah tiba, biar aku
membangunkan Sim Long.”
Tapi belum lenyap pikirannya, mendadak sesosok bayangan orang sudah melayang
keluar lewat sampingnya, siapa lagi kalau bukan Sim Long.
Orang yang tidur paling nyenyak ternyata keluar paling cepat, entah senang atau
gemas, Jit-jit mengomel di dalam hati, “Bagus, ternyata kau pura-pura tidur ....”
Baru saja dia hendak memanggil, bayangan seorang berkelebat pula di sampingnya,
siapa lagi kalau bukan Kim Bu-bong.
Betapa pesat gerakan kedua orang ini, hanya sekejap sudah lenyap di balik tembok
sana, sama sekali tidak bicara kepada Cu Jit-jit.
Dongkol sekali hati Jit-jit, pikirnya, “Baik, kalian tidak mengajak diriku, biar kukejar
sendiri.”
Padahal suara roda kereta dan lari kuda kini tidak terdengar lagi, Cu Jit-jit tidak jelas
dari arah mana datangnya suara kereta tadi. Keruan ia gelisah. Mendadak dia ambil
tusuk kundai dan dilemparkan ke tanah, ujung tusuk kundai mengarah ke timur,
segera dia kembangkan Ginkang dan berlari ke timur.
Sepanjang jalan jangankan melihat kereta, bayangan setan pun tidak dilihatnya.
Keadaan di sini juga semakin sepi, pohon kering di tengah hujan salju di malam gelap
kelihatan mirip bayang-bayang setan yang siap menerkam. Kalau orang yang
bernyali kecil pasti akan putar balik, tapi Cu Jit-jit justru gadis binal yang bandel,
makin tidak ketemu makin ingin dicarinya.
Namun usaha pencariannya tetap nihil, Jit-jit sendiri sudah hampir beku kedinginan,
sejak kecil dia biasa diladeni, hidup mewah dan main perintah, setiap patah katanya
harus dipatuhi ratusan orang, kapan dia pernah menderita seperti ini.
Mendadak embusan angin dingin terasa merasuk tulang, ternyata sepatunya telah
bolong, salju masuk ke dalam sepatu dan membasahi kaus kaki.
Jit-jit menjadi bingung, makin dipikir makin khawatir, akhirnya dia menggelendot di
pohon sambil memegang kaki dan menangis terisak. Omelnya, “Untuk siapakah aku
menderita begini? Orang tidak punya Liang-sim (perasaan), tahukah kau?”
Belum habis dia bicara sendiri, dari luar hutan kering sana terdengar langkah orang
yang menyaruk salju, suaranya yang ganjil ini membikin Jit-jit merinding, saking takut
air mata pun lupa menetes, dia menyurut ke belakang pohon dan mengintip ke sana.
Derap kaki makin dekat, lalu muncul dua sosok bayangan putih, di bawah pancaran
cahaya salju tertampak kedua orang ini mengenakan jubah putih panjang menyentuh
tanah, rambut panjang melampaui pundak, tangan masingmasing memegang cambuk
panjang hitam, seperti badan halus saja melayang tiba, waktu ditegasi, ternyata dua
gadis belia yang berwajah cantik.
Meski wajah mereka kelihatan kaku dingin, betapa pun mereka adalah gadis remaja,
maka legalah hati Cu Jit-jit, namun tetap menahan napas dan tetap mengintip tanpa
bergerak.
Sambil berjalan kedua gadis berbaju putih itu celingukan kian kemari, lalu berhenti,
gadis di sebelah kiri mendadak mendekap bibir dan bersuit.
Suara suitannya terdengar tajam melengking seperti pekikan setan, Cu Jit-jit sampai
berjingkat kaget, tapi lantas didengarnya suitan yang sama dalam jarak puluhan
tombak sana, kejap lain terdengar derap kaki orang banyak semakin dekat.
Mendadak muncul dua belas laki-laki jalan beriring menjadi dua barisan memasuki
hutan.
Kedua belas lelaki ini ada tua-muda, tinggi-pendek, tapi wajah mereka tampak kaku
seperti linglung, lebih mirip mayat hidup yang digiring, di belakang mereka ada lagi
dua gadis berbaju putih yang memegang cambuk panjang, bila seorang keluar
barisan segera cambuk mereka menghajar tubuhnya, cepat orang itu menyelinap
pula ke dalam barisan, wajahnya tidak menunjuk sesuatu perasaan, seperti tidak
merasakan sakit sama sekali.
Baru saja hati Jit-jit merasa lega dan hilang rasa kaget, melihat keadaan ganjil ini,
jantungnya kembali berdebar-debar.
Selama hidupnya dia cuma pernah melihat penggembala menggiring kambing, sapi,
kuda, atau bebek, mimpi pun tak terbayang olehnya bakal melihat gadisgadis remaja
menggiring mayat hidup.
“Mengiring mayat,” mendadak Jit-jit teringat pada cerita yang biasa terjadi di daerah
Siang-say, kembali ia merinding, batinnya, “Mungkinkah ini menggiring mayat?”
Tapi di sini bukan di Siang-say, juga orang-orang itu meski kaku dingin, jelas tidak
mirip orang mati. Kalau bukan orang mati kenapa menurut saja digiring?
Tampak gadis yang datang duluan tadi mengangkat cambuknya, belasan orang itu
pun berhenti, seorang gadis berbaju putih yang berperawakan lebih tinggi berkata
sambil menghela napas, “Ai, letih betul, rasanya mau mati, biarlah kita istirahat di
sini!”
Gadis temannya berwajah bagai bulan, ia pun menghela napas, katanya, “Tugas
menggiring orang seperti ini memang bukan tugas enteng, sudah tidak bisa istirahat,
juga khawatir kepergok orang. Kepada kita Toasiauya justru memberi nama julukan
yang indah ‘Pek-hun-bok-li’ ....” mendadak ia tertawa cekikik geli, lalu menyambung,
“Bok-li (gadis gembala), bila orang mendengar nama ini pasti kita disangka
penggembala kambing atau sapi, siapa tahu yang kita gembala adalah manusia?”
Gadis berperawakan ramping tertawa, katanya, “Menggiring orang kan lebih baik
daripada digiring orang. Kau tahu di antara orang-orang ini tidak sedikit tokohtokoh
ternama, umpama dia ....” cambuknya menuding ke tengah barisan, “dia ini salah
seorang Piauthau terkenal di daerah Ho-say.”
Jit-jit ikut mengintip ke arah yang ditunjuk, tertampak di tengah barisan itu berdiri
seorang lelaki berbadan tinggi besar, tegak kaku dengan selebar muka penuh
berewok, siapa lagi kalau bukan Can Ing-siong?
Jika Can Ing-siong berada di sini, maka orang-orang ini pasti juga datang dari
kuburan kuno itu. Sungguh Jit-jit tak menyangka tanpa sengaja akan memergoki
rahasia ini, sungguh kejut dan girang hatinya, batinnya, “Walau Sim Long cerdik dan
pandai, pasti tidak pernah menyangka di dunia ini ada orang menggembala manusia,
dia kira setelah orang-orang ini terpengaruh daya ingatannya pasti akan dinaikkan
kereta .... Hah, terpaut serambut selisihnya ternyata sangat jauh, seluruh
perhatiannya tertuju untuk menguntit kereta, diam-diam orang lain justru menggiring
pergi orang-orang ini di tengah malam dingin.”
Meski Can Ing-siong musuhnya, tapi melihat keadaannya yang mengenaskan, hati
Jit-jit jadi merasa kasihan, pikirnya, “Bagaimana aku harus memberitahukan kepada
Sim Long supaya dia berusaha menolong mereka?”
Tapi lantas terpikir pula, “Ah, tidak, Sim Long selalu anggap aku gadis kolokan, aku
justru akan melakukan sesuatu yang mengejutkan dia supaya terbuka matanya, dan
kesempatan kini berada di depan mata, mana boleh kuabaikan. Setelah aku
menyelidiki sampai jelas duduk persoalannya baru pulang memberitahukan
kepadanya, akan kulihat bagaimana mimik wajahnya nanti.”
Lantas terbayang olehnya Sim Long yang menyengir dan kagum serta memuji
kepadanya, maka tersimpul senyum manis di wajahnya.
Terdengar salah seorang Pek-hun-bok-li atau Gadis Penggembala Awan Putih yang
bertubuh kecil berkata, “Waktu sudah mendesak, marilah berangkat! Jangan lupa,
sebelum terang tanah kita harus menggiring orang-orang ini tiba di tempat tujuan,
kalau terlambat kita berempat bakal kena hukuman.”
Gadis bermuka bulat berkata, “Kenapa tergesa-gesa, apa gunanya kita sampai di
tempat tujuan lebih dini daripada waktu yang ditentukan?”
Yang berperawakan tinggi menghela napas, katanya, “Tiba lebih dini kan lebih baik
daripada terlambat, marilah berangkat.”
Cambuk panjang terayun, segera dia membuka jalan di depan. Can Ing-siong dan
lain-lain lantas mengintil di belakangnya, persis kawanan bebek yang digiring ke
sawah.
Sementara kedua gadis berbaju putih yang lain mengayun cambuk panjang untuk
menghapus bekas tapak kaki mereka di atas salju, dengan cepat mereka sudah
keluar hutan pula.
Jit-jit berpikir, “Agaknya mereka membagi diri dalam empat kelompok, asal kukuntit
kelompok yang ini ke sarang mereka, tentu tak bisa mereka lolos.”
Dengan penuh semangat dan tekad akan membongkar peristiwa misterius ini, kaki
dingin tidak dirasakan lagi, dengan main sembunyi dan menahan napas, dia terus
menguntit rombongan orang-orang ini dari kejauhan. Untung langkah kaki mereka
yang menyaruk salju cukup jelas terdengar dari kejauhan, maka Jit-jit tidak perlu
khawatir kehilangan jejak buruannya.
Agaknya Pek-hun-bok-li juga tidak mengira di tengah malam dingin hujan salju ini ada
orang memergoki rombongan mereka, maka sedikit pun mereka tidak meningkatkan
kewaspadaan, hakikatnya mereka tidak pernah menoleh atau memeriksa keadaan di
depan dan di belakang.
Kecuali derap kaki lirih, mereka tidak mengeluarkan suara, cara menggiring tawanan
puluhan orang dari satu tempat ke tempat lain ini memang akal yang bagus.
Makin dipikir makin kagum Jit-jit akan cara yang ditempuh orang ini, dalam hati dia
membatin, “Cara sebagus ini kenapa sebelum ini tak pernah ada yang
memanfaatkannya? .... Tapi orang yang dapat menggunakan akal misterius ini, tentu
dia sendiri juga makhluk aneh.”
Sambil meraba-raba siapa sebetulnya makhluk aneh itu
tampangnya, tanpa terasa dia sudah menguntit satu jam lebih.
dan
bagaimana
Diperkirakan sekarang mungkin sudah mendekati fajar, tapi musim dingin biasanya
malam lebih panjang dan siang pendek, maka alam semesta masih gelap gulita,
sedikit cahaya pun belum tampak.
Cu Jit-jit menduga rombongan “penggiring mayat” ini pasti menuju suatu tempat
tersembunyi yang jarang dijelajah manusia, siapa tahu makin maju ke depan, kecuali
menyeberangi sungai yang beku permukaannya, jalanan ternyata makin rata, di
bawah refleksi cahaya salju dapat Jit-jit melihat bayangan tembok kota besar di
kejauhan.
Hal ini kembali di luar dugaannya, pikirnya, “Apakah nona penggiring mayat ini akan
masuk ke kota? Ah, kukira tak mungkin.”
Tapi kenyataan kawanan mayat hidup itu memang digiring mendekati kota.
Waktu itu pintu kota baru terbuka, dua buah kereta mentereng mendadak dibedal
keluar dengan kencang. Empat sisi kereta bergantung empat lampu yang menyala
terang, kelihatannya kereta milik keluarga bangsawan atau orang berpangkat, bukan
saja keretanya, kudanya pun tinggi besar.
Jit-jit membatin, “Umpama mereka mau masuk kota tentu juga takkan naik kereta
yang mentereng ini, bukankah menarik perhatian orang malah?”
Tak tahunya kedua kereta itu justru menyongsong ke arah rombongan “penggiring
mayat” ini, nona bermuka bundar bersuit sekali, kereta segera berhenti, kedua belas
lelaki dan empat nona berbaju putih segera naik ke atas kedua kereta itu.
Jit-jit melongo mengawasi kejadian ini, bingung dan kaget, dia tidak tahu bahwa sepak
terjang orang-orang ini memang selalu di luar dugaan orang, jika penggunaan kereta
kuda ini dapat diraba orang, tentu bukan peristiwa misterius lagi.
Cepat sekali kedua kereta itu bergerak. Jit-jit menjadi nekat, pikirnya, “Sekali bekerja
tidak boleh kepalang tanggung, umpama harus masuk kubangan naga dan gua
harimau tetap akan kukuntit mereka sampai ke sarangnya.”
Mendadak ia melompat ke depan, dengan gesit ia menyusup ke kolong kereta,
dengan membonceng di bawah kereta dia ikut masuk ke sarang musuh.
Orang lain mungkin harus berpikir dua kali, tapi Jit-jit memang gadis binal dan bandel,
kalau tidak tentu takkan mengalami macam-macam bahaya.
Kereta masuk kota, Jit-jit bergelantung di kolong kereta dan merasa punggung
menyentuh salju, rasa dingin merangsang badannya, sukar baginya membedakan ke
arah mana kereta dilarikan. Lambat laun sekeliling mulai terdengar suara orang,
sayup-sayup dia mendengar orang berkata, “Bunga anggrek ini bibit istimewa, sukar
ditemukan meski sengaja dicari.”
“Sekarang kan sedang musim bunga, lewat musimnya tentu sukar dibeli lagi.”
“Seruni ini terlebih molek lagi, bila ditaruh di meja makan, suasana tentu bertambah
indah.”
Mendengar percakapan itu, hidung Jit-jit lantas membau harum bunga, dapat ditebak
tempat ini adalah pasar pagi yang khusus menjual bunga.
Kereta lantas berhenti sejenak, agaknya keempat Pek-hun-bok-li membeli tidak
sedikit bunga kesayangan mereka. Jit-jit jadi heran, “Untuk apa mereka membeli
bunga?”
Terdengar penjual bunga berkata, “Nona boleh ambil saja, kenapa bayar segala.”
“Besok pagi akan datang jenis bunga lain yang lebih bagus mutunya, hendaknya
nona datang lebih pagi.”
Jit-jit tambah heran, “Agaknya mereka adalah langganan lama, hubungannya dengan
para penjual bunga sudah akrab, orang yang tindak tanduknya serbamisterius
ternyata sering kemari membeli bunga, sungguh aneh.”
Kereta mulai bergerak pula ke depan, Jit-jit tidak sempat berpikir lebih banyak.
Setelah keluar dari pasar bunga, jalanan kota yang ditempuh ternyata berbelakbelok
ke kiri dan ke kanan, selang sekian lama lagi, terdengar seorang dalam kereta
berkata, “Apakah pintu gerbang terbuka?”
“Ya, terbentang lebar, orang lain mungkin sudah tiba lebih dulu.”
“Nah, kan sudah kubilang pulang lebih dini, kau justru ingin istirahat segala.”
“Sekarang sudah sampai, untuk apa mengomel, lekas masuk!”
Di tengah percakapan itu, kereta mendadak berjalan menanjak, semula Jit-jit mengira
mendaki lereng bukit, akhirnya baru diketahui cuma undakan batu yang lebarnya
hanya tiba cukup lewat sebuah kereta, kedua sisi dipagari tembok
pendek, undakan batu juga hanya belasan tingkat, di ujung atas terdapat sebuah
gerbang yang luas.
Setelah masuk pintu, jalan di situ dilandasi balok batu hijau, salju sudah tersapu
bersih, walau tidak bisa melihat keadaan sekelilingnya, tapi Jit-jit merasakan
pekarangannya sangat luas dan bangunannya megah, halaman demi halaman
berlaku pula, kemudian baru terdengar seorang berseru, “Kereta diparkir di barak
nomor tujuh, orangnya boleh turun lebih dulu.”
Jit-jit coba mengintip, dilihatnya kedua sisi kereta ada belasan kaki orang yang
mondar-mandir, semua mengenakan sepatu berselongsong tinggi, tapi ada juga yang
bersepatu kain bersulam, ada yang pakai celana, ada yang bergaun, langkah mereka
ringan, cuma tidak kelihatan wajah mereka, baru sekarang Jit-jit mulai gelisah.
Sekarang dia sudah masuk sarang harimau, ia tak menemukan akal cara meloloskan
diri, bila ada orang berjongkok melongok kolong kereta, maka dia akan ketahuan,
umpama dirinya punya enam tangan dan tiga kepala juga jangan harap bisa
melarikan diri.
Kini selain gugup ia pun agak menyesal, tidak seharusnya seorang diri dia
menyerempet bahaya, kini umpama dia mati di sini demi Sim Long juga tak diketahui
anak muda itu.
Suara orang banyak ribut seperti di pasar, ringkik kuda terdengar di sana-sini,
beberapa orang menarik kereta masuk ke istal, ada yang sibuk menimba air,
mengambil sikat, mencuci kuda dan membersihkan kereta, untung tiada yang
melongok ke kolong kereta.
Tubuh Jit-jit terasa kaku dingin, lengannya pegal linu, sungguh dia ingin terjang keluar.
Tapi dia belum ingin mati, terpaksa bertahan sekuat tenaga, hanya satu yang
diharapkan, semoga tukang cuci ini lekas mengakhiri kerjanya dan menyingkir.
Tak tahunya pencuci itu justru tidak mau pergi, sambil mencuci kuda dan
membersihkan kereta malahan sambil ngobrol, ada yang bertembang lagi, maklum,
laki-laki kasar, yang dibicarakan tentu juga urusan perempuan melulu.
Jit-jit mengertak gigi, dalam hati dia mencaci maki dan mengutuki supaya
orang-orang ini lekas mampus.
Tiba-tiba terdengar bunyi keleningan, seorang berteriak, “Sarapan pagi sudah
tersedia, siapa ingin makan bubur lekas ambil!”
Pencuci kereta dan kuda itu serempak bersorak gembira, sikat dibuang, sapu
dilempar, kain lap juga ditinggalkan begitu saja, hanya sekejap orang-orang kasar itu
sudah tidak kelihatan lagi bayangannya.
Lega hati Jit-jit, dia tidak tahan lagi, ia jatuh telentang di atas tanah, seluruh ruas
tulang seperti terlepas. Tapi dia sadar dirinya masih dalam bahaya, terpaksa dia
mengertak gigi dan menahan sakit, perlahan ia merangkak keluar, sembunyi di
belakang kereta dan mengintip keluar.
Di luar istal ada puluhan pohon cemara tua dan rindang penuh salju yang
bergantungan di pucuk pohon, ke sana lagi terdapat bangunan yang berderetderet,
entah berapa banyak gedung yang berada di sekitarnya.
Diam-diam Jit-jit berkerut alis, sungguh dia tidak mengerti dirinya berada di tempat
apa, dari bangunan gedung yang besar megah berderet ini, ia menduga kalau bukan
istana raja tentu gedung menteri, tapi bila direnungkan lagi hal ini pun tidak mungkin.
Selagi sangsi, tiba-tiba terdengar seorang tertawa mengikik, kuduk lantas dicium
orang dari belakang.
Keruan kaget dan gusar Jit-jit, cepat ia membalik badan, sayang tubuhnya masih
pegal linu dan tak bertenaga, gerak-geriknya tidak setangkas semula, setelah
membalik badan, ternyata tidak ada bayangan orang.
Tiba-tiba terasa tengkuk dicium orang pula, lalu suara bernada jahil berkata di
belakangnya, “Wah, alangkah wanginya!”
Kontan Jit-jit menyikut ke belakang, tapi sodokannya luput.
Waktu dia putar badan lagi orang itu sudah berada di belakangnya dan mencium
tengkuknya pula dan katanya dengan tertawa, “Seorang nona sepantasnya lemah
lembut, mana boleh main sikut dan pukul.”
Suara orang sekali ini kedengaran serak tua, berbeda dengan suara tadi.
Sungguh kaget, takut, dan marah bukan kepalang Jit-jit, cepat dia putar tubuh,
bayangan orang tetap tidak kelihatan, malah kuduknya tetap dicium pula sekali.
Didengarnya orang di belakang berkata dengan tertawa, “Meski lebih cepat kau
berputar juga tidak akan melihat diriku.”
Sekarang suaranya berubah lembut seperti suara seorang gadis remaja.
Jit-jit menjadi gemas, beruntun dia berputar lima kali, otot tulangnya sudah bekerja
normal maka gerak tubuhnya tambah cepat dan tangkas, tak tahunya
gerak-gerik orang seperti bayangan setan saja, betapa pun cepat Jit-jit bergerak,
orang terlebih cepat lagi, suara bicaranya juga berubah-ubah, dari tua menjadi muda,
lelaki berubah menjadi suara perempuan, seolah-olah ada delapan orang
ganti-berganti bicara di belakangnya.
Betapa besar nyali Cu Jit-jit, saking ngeri jantungnya seperti hendak melompat
keluar, katanya, dengan gemetar, “Kau ... sebetulnya orang atau setan?”
Orang itu tertawa senang, sahutnya, “Setan ... setan bajul buntung!” — Lalu ia
mencium pula.
Bibir orang terasa dingin seperti es, setiap kali kuduk Jit-jit dicium orang rasanya
seperti dipagut ular, menyingkir tidak mungkin, berkelit juga tidak bisa.
Betapa pun Jit-jit memang gadis cerdik yang pandai menggunakan otaknya, setelah
bola matanya berputar, mendadak dia tertawa cekikik malah, katanya, “Kalau betul
kau setan bajul, kenapa tidak berani mencium pipiku?”
Orang itu tertawa, katanya, “Bila kucium pipimu, bukankah akan terlihat olehmu?”
“Biar aku memejamkan mata,” ujar Jit-jit.
“Meski ucapan perempuan tak dapat dipercaya, tapi .... Ai, betapa pun aku harus
percaya sekali ini.”
Kedua tangan Jit-jit sudah penuh terisi tenaga, matanya terbelalak, mulut berkata
sambil mengikik, “Sudah, mulai!”
Tiba-tiba pandangannya kabur, bayangan seorang berkelebat di depan mata. Dengan
sekuat tenaga Jit-jit menghantam dengan kedua tangan, siapa tahu sebelum tinjunya
mengenai sasaran, kedua tangannya sudah terpegang orang malah.
Orang itu bergelak tertawa, katanya, “Omongan perempuan memang tidak boleh
dipercaya, untung aku sudah sering tertipu, sekarang tidak mudah ditipu lagi.”
Tampak jelas orang ini berpakaian warna jambon, bersepatu tebal, dandanannya
persis pemuda bergajul yang suka menggoda perempuan, tapi wajahnya jelek, mata
kecil, hidung pesek, alis pendek, bibir tebal, tampang yang menjijikkan.
Jit-jit ngeri dan mual, tapi kedua tangannya dipegang orang sehingga tidak mampu
meronta, serunya gugup, “Kau ... bunuhlah diriku, aku ini mata-mata yang
menyelundup kemari, lekas kau serahkan diriku kepada majikan gedung ini, biar aku
dihukum berat!”
Ia pikir lebih baik dirinya tertangkap sebagai musuh yang menyelundup kemari dan
dihukum berat daripada jatuh ke tangan pemuda bajul yang berwajah jelek ini.
Tak tahunya orang lantas cengar-cengir dan berkata, “Majikan rumah ini bukan
bapakku juga bukan anakku, kau boleh jadi mata-mata, apa sangkut pautnya dengan
aku? Kenapa harus kuserahkan dirimu kepadanya!”
“Jadi kau pun menyelundup kemari secara sembunyi-sembunyi?” tanya Jit-jit kaget.
Pemuda baju jambon tertawa, katanya, “Kalau tidak masa aku keluar dari istal?”
Berputar biji mata Cu Jit-jit, harapan hidup timbul dalam benaknya, katanya dalam
hati, “Dinilai dari kungfunya yang tinggi, bila dia mau membantuku, dengan mudah
segera aku bisa meninggalkan tempat ini.”
Tapi berhadapan dengan orang sejelek ini, makin dipandang makin mual, kalau dia
harus memohon kepadanya, betapa pun dia tidak sudi. Apalagi mata orang yang
kecil itu bersinar cabul, kata-kata minta bantuan yang hampir terlontar dari mulutnya
lantas ditelannya kembali.
Sudah sipit matanya, tapi pemuda itu sengaja memicingkan mata, seperti menikmati
sebuah karya besar pengukir ternama, ia mengawasi wajahnya, dadanya, pinggulnya,
lalu pahanya, semua bagian tubuh Jit-jit dipandangnya seperti juru kir atau wasit
dalam pemilihan ratu kecantikan, mendadak dia tertawa lebar, katanya, “Apa kau mau
minta kubantu melarikan diri?”
“Ap ... apa kau bisa?” Cu Jit-jit gelagapan.
Pemuda baju jambon tertawa, katanya, “Orang lain anggap tempat ini kubangan
naga atau gua harimau, bagiku mau datang boleh datang, mau pergi bisa pergi,
mondar-mandir sesuka hatiku seperti keluar-masuk di rumah sendiri.”
“Kukira kau hanya membual saja,” kata Jit-jit.
Pemuda baju jambon menyengir, katanya, “Tak perlu kau pancing diriku, kalau kau
ingin kubantu keluar dari sini, aku harus dipersen dulu cium pipi.”
Jit-jit berpikir, “Biar kupejamkan mata dan dicium sekali daripada mati di sini, kalau
mati di sini, Sim Long tak bisa kulihat lagi.”
Teringat kepada Sim Long, Jit-jit jadi nekat, asal bisa ketemu Sim Long, umpama dia
harus dicium babi atau anjing juga rela.
Segera ia pejamkan mata, katanya, “Baiklah, silakan ....”
Belum habis dia bicara pipinya sudah di“ngok” keras-keras satu kali, didengarnya
pemuda baju jambon berkata, “Seorang lelaki sejati harus bisa pegang janji. Nah, ikut
padaku!”
Tanpa kuasa Cu Jit-jit lantas terseret pergi, waktu dia membuka mata, dilihatnya dia
berlari ke arah gedung-gedung megah sana, keruan Jit-jit kaget setengah mati,
teriaknya, “He, mau ke mana kau?”
Pemuda baju jambon tertawa, katanya, “Sebetulnya ingin kubantu kau lari, tapi bila
kau sudah pergi, selanjutnya tentu takkan menghiraukan aku, setelah kupikir-pikir,
lebih baik menahanmu di sini.”
“Tapi kau ... kau sudah janji ....”
“Pemilik gedung ini bukan bapakku juga bukan anakku, tapi adalah ibuku,” kata
pemuda itu. “Tadi kau menipuku sekali, giliranku sekarang menipumu sekali, satu
lawan satu, sama kuat. Supaya kau maklum saja, meski perempuan pandai menipu,
tapi bila lelaki mau berdusta kan tidak kalah bila dibandingkan perempuan.”
Kejut dan gusar bukan kepalang Cu Jit-jit, ia mencaci maki, “Kau babi, kau anjing
kurap, kau ... kau binatang lebih rendah daripada anjing dan babi, aku benci, ingin
kubeset kulitmu.”
Makin galak dia memaki, senyuman pemuda baju jambon makin lebar, makin senang.
Ketika para lelaki berbaju hitam, gadis-gadis berbaju putih di halaman itu melihat
kedatangannya, semua menyingkir dan memberi hormat sambil menyapa, “Toasiauya
pulang.”
Ada seorang gadis agaknya ada hubungan intim dengan dia lantas berkata,
“Toasiauya semalam tidak pulang lagi, awas bila diketahui Hujin (nyonya), pasti kau
dilarang masuk pintu.”
Pemuda baju jambon berkata dengan tertawa, “Aku memang tidak masuk pintu, tapi
melompat masuk dari tembok dekat istal kuda ... Enci yang baik, jangan kau laporkan
kepada ibu, besok pasti kuajak kau main mesra.”
Gadis itu tertawa malu, serunya, “Siapa mau main mesra denganmu? .... Domba
yang kau bawa pulang ini tampaknya lumayan juga ....”
Di tengah cekikik para gadis itu, pemuda berbaju jambon terus melangkah pergi
sambil menarik Cu Jit-jit menuju ke deretan rumah yang terletak di belakang
pepohonan bambu sana.
“Berhenti!” mendadak seorang membentak. Suara nyaring berkumandang dari atas
loteng di balik pepohonan bambu, meski tinggi loteng ada beberapa tombak, tapi
suara bentakan itu seperti mengiang di tepi telinga Jit-jit.
Pemuda baju jambon ternyata tidak berani melangkah lagi, segera berdiri tak
bergerak.
Orang di atas loteng lantas menegur, “Besar benar nyalimu, sesudah pulang lantas
mau masuk kamar secara diam-diam?”
Pemuda baju jambon ternyata tidak berani mendongak, sebaliknya Cu Jit-jit sudah
pasrah nasib, segera dia mendongak, dilihatnya di belakang langkan loteng berdiri
seorang perempuan setengah baya berdandan seperti seorang ratu.
Tidak sedikit perempuan cantik yang pernah dilihat Cu Jit-jit, tapi bila dibandingkan
perempuan cantik setengah baya ini, maka perempuan lain itu menjadi jelek seperti
siluman, hanya sekilas Jit-jit memandang ke atas dan lantas berat untuk berpisah,
batinnya, “Aku sendiri perempuan, sekali melihatnya lantas kesengsem, bila lelaki
entah bagaimana jadinya, mungkin berjalan pun tidak kuat lagi.”
Perempuan cantik berdandan seperti ratu itu juga menatap Jit-jit, katanya dengan
dingin, “Dari mana kau peroleh perempuan ini?”
“Dia ini ....” tutur pemuda baju jambon sambil menyengir, “dia ... inilah Yan Ping-bun,
nona Yan yang sering anak katakan itu, ibu bilang ingin melihatnya, maka anak
membawanya pulang supaya ibu dapat melihatnya.”
Berputar biji mata perempuan setengah baya itu, dengan mengangguk ia berkata,
“Ehm, memang cantik, pantas kau tergila-gila padanya, kalau demikian, silakan dia
....”
Bahwa pemuda berbaju jambon berusaha melindungi dia, kalau orang lain pasti
kegirangan, tapi dasar Jit-jit berwatak keras, terbayang bila dirinya dibawa masuk ke
kamarnya, rasanya lebih baik mati, maka dia lantas berteriak, “Aku bukan Yan
Ping-bun. Aku she Cu, juga bukan dia yang mengundangku kemari. Aku
menyelundup ke sini dengan membonceng di bawah kereta, maksudku hendak
menyelidiki rahasia kalian, tak tersangka tertawan oleh dia, sekarang mau dibunuh
atau akan disembelih boleh terserah.”
Seketika dingin telapak tangan pemuda baju jambon itu, perempuan cantik setengah
baya itu pun berubah air mukanya, dengan gusar dia mendelik dan mendesis, “Bawa
dia kemari.”
Gedung ini dari luar tertampak megah, pajangan di dalam ternyata juga tidak kalah
dibandingkan istana, perempuan cantik setengah baya duduk bersandar di atas kursi
besar berlapis kulit harimau, duduk santai dengan gaya yang memesona seperti
bidadari.
Begitu masuk pemuda berbaju jambon lantas berlutut di depannya. Jit-jit sudah tidak
memedulikan mati-hidupnya sendiri, apa pula yang ditakuti? Maka dia berdiri dengan
bertolak pinggang sambil mengulum senyum dingin.
“Kau she Cu, siapa namamu?” tanya perempuan itu.
“Mestinya tidak perlu kau urus. Tapi boleh juga kuberi tahukan padamu. Cu Jit-jit
adalah diriku, aku adalah Cu Jit-jit. Nah, sudah jelas bukan, jangan dilupakan!”
“Cu Jit-jit, besar amat nyalimu,” desis perempuan itu.
“Berhadapan dengan perempuan secantik kau, sungguh tidak kepalang senangku,
apa pula yang kutakuti? Sayangnya engkau yang cantik ini melahirkan putra yang
jelek sekali.”
Agaknya perempuan cantik setengah baya belum pernah menghadapi gadis seberani
ini, wajahnya yang molek menampilkan rasa tercengang, mendadak dia berseru ke
luar, “Bawa kemari!”
Seorang gadis baju putih mengiakan terus berlari turun ke bawah loteng, kejap lain
sudah kembali dengan membawa empat laki-laki kekar dan menggusur dua gadis
baju putih, yaitu gadis baju putih yang dilihat Jit-jit menggiring barisan mayat hidup itu.
Melihat nyonya cantik setengah baya, kedua gadis itu ketakutan dan gemetar, cepat
mereka berlutut lunglai di lantai.
Perempuan cantik itu lantas tanya kepada Jit-jit, “Apakah kau membonceng di bawah
kereta mereka itu?”
“Seperti benar, tapi juga seperti tidak benar,” sahut Jit-jit.
Ujung bibir si perempuan cantik tiba-tiba mengulum senyum genit, katanya lembut,
“Anak baik, usiamu masih muda, biar bibi mengajar suatu hal kepadamu, bahwa
perempuan di dunia ini semakin cantik semakin jahat dan keji hatinya, yang berwajah
jelek malah berhati baik.”
“Apa benar?” ujar Jit-jit.
“Jika kau tidak percaya, boleh kau saksikan, setiap gadis anak buahku, bila lalai
bekerja, apa hukuman yang harus diterimanya,” jari tangannya yang lentik lantas
menjentik perlahan, kedua Pek-hun-bok-li yang berlutut itu seketika menjerit,
menangis takut dan memilukan.
Tapi keempat lelaki itu justru tidak kenal kasihan meski terhadap gadis cantik dengan
tubuh montok sekalipun, dengan dua lawan satu, yang belakang menjambak rambut
dan yang di depan meraih baju, begitu tangan direntang, pakaian dirobek sehingga
telanjang, terlihatlah tubuh yang mulus dengan garis tubuh yang ramping, serempak
mereka mengeluarkan cambuk terus menghajarnya, tubuh yang putih mulus dan padat
itu seketika babak belur dan berdarah, jerit tangis makin memilukan.
Kedua gadis itu berguling dan menjerit, meratap minta ampun, tapi cambuk kulit tanpa
kenal kasihan terus menghajar tubuh mereka. Jalur merah membiru menghiasi tubuh
mulus dan montok itu agaknya menambah kebuasan keempat lelaki itu, cambuk
bekerja semakin gencar.
Jit-jit tidak tahan lagi, teriaknya, “Berhenti ... kumohon kepadamu ... suruh berhenti.”
“Anak baik,” ucap si perempuan cantik, “kutahu kau tidak takut mati, tapi kau pun
perlu tahu banyak urusan di dunia ini jauh lebih menderita daripada mati, umpamanya
....”
Kedua tangan Jit-jit mendekap kuping, teriaknya, “Aku tak mau dengar ....”
“Jika demikian, harus kau bicara terus terang kepadaku. Berapa banyak rahasia kami
yang kau ketahui? Kecuali dirimu siapa pula yang tahu?”
“Aku tidak ... tidak tahu ... apa pun aku tidak tahu.”
“Apa benar kau tidak tahu? Baik ....”
Serentak delapan lelaki kekar telah mengurung Cu Jit-jit.
Ngeri hati Jit-jit, dengan gemetar ia berteriak, “Sim Long, di mana kau? Lekas kemari
menolongku.”
Belum lenyap suaranya, tiba-tiba terdengar suara keleningan dari belakang tabir,
seketika berkerut alis si perempuan cantik, perlahan ia menjulurkan kakinya yang
putih dan mengenakan sepatu bersulam, lalu berdiri, dengan langkah gemulai ia
berjalan keluar.
Kaget dan melongo Jit-jit, tapi lega juga hatinya.
Pemuda berbaju jambon menoleh, katanya perlahan, “Kusuruh jangan banyak
omong, kau justru usil, sekarang .... Ai, agaknya nasibmu masih mujur, ada seorang
tamu yang harus ditemui itu, kalau tidak ....”
Kalau tidak bagaimana, tanpa dijelaskan juga Jit-jit dapat membayangkan.
Tampak seorang gadis berbaju putih naik ke atas loteng, lalu bicara dengan kereng,
“Atas perintah Hujin, sementara nona Cu ini supaya disekap di kamar bawah tanah
untuk menunggu keputusan lebih lanjut.”
Segera si pemuda baju jambon bertanya, “Aku bagaimana?”
Gadis itu cekikik geli, katanya, “Kau boleh ikut padaku.”
Berputar biji mata Jit-jit, mendadak dia bertindak, memukul dan menendang,
sekaligus merobohkan keempat lelaki, menyusul segera ia menerobos jendela terus
melompat ke bawah loteng.
Gadis baju putih dan pemuda baju jambon diam saja melihat dia melarikan diri. Jit-jit
sendiri tidak mengira sedemikian gampang dia bisa meloloskan diri, keruan hatinya
sangat girang, ia pikir setelah keluar dari loteng ini, orang belum tentu dapat
mencegatnya.
Tak tahunya baru saja kakinya menyentuh tanah, mendadak didengarnya seorang
tertawa perlahan di belakang, “Anak baik, kau menyusul datang, aku memang
menunggumu!”
Suaranya lembut, nadanya genit, siapa lagi kalau bukan si perempuan cantik
setengah baya.
Seketika Jit-jit seperti diguyur air dingin, dengan nekat mendadak dia putar tubuh dan
menghantam dengan kedua telapak tangan, jurus serangan lihai yang sempat terpikir
dilancarkan seluruhnya, dalam sekejap dia menyerang delapan kali.
Ginkangnya memang tidak rendah, serangan juga tidak lamban, sayang ilmu silat
yang diyakinkannya terlalu banyak ragamnya sehingga kedelapan jurus serangan itu
meski cukup lihai, namun tiada sejurus pun yang diyakinkan dengan sempurna, untuk
menghadapi jago silat biasa memang berkelebihan, tapi di
hadapan perempuan cantik setengah baya ini ilmu silatnya hanya seperti permainan
anak kecil saja.
Didengarnya perempuan cantik itu tertawa dan berkata, “Anak baik, tidak sedikit juga
kungfu yang kau pelajari ....”
Dengan enteng dia mengebaskan lengan baju, Yu-ti-hiat di siku kanan Cu Jit-jit kena
disabetnya, kontan lengan kanan tergantung, namun dia tetap bandel, dengan nekat
tetap menyerang pula tiga kali dengan telapak tangan kiri.
“Kau harus tahu, banyak makan sukar dicerna, demikian pula kungfu, makin banyak
ragam yang kau pelajari namun tiada satu pun yang sempurna, lalu apa gunanya ....”
Sekali nyonya cantik itu berlenggang, kembali lengan bajunya mengebas.
Yu-ti-hiat di sikut kiri Cu Jit-jit kembali tertutuk, lengan kiri juga lemas tak bisa
bergerak, tapi dasar bandel dia tetap tidak mau kalah, kedua kaki beruntun
menendang.
Si perempuan cantik tertawa, katanya, “Dengan kepintaranmu, bila khusus
mempelajari satu macam kungfu mungkin kau mampu melawan sepuluh jurus
seranganku, tapi sekarang ... lebih baik kau menyerah saja.”
Habis berkata, serentak Hoan-tiau-hiat di lutut Jit-jit juga tertutuk dengan kebasan
lengan bajunya, Jit-jit terkulai lemas dan tak mampu berdiri lagi.
Tiada seujung rambut perempuan itu tampak kusut, biasanya sikapnya memang
anggun, pada waktu bergebrak pun gerak-geriknya lemah lembut memesona.
Jit-jit memandangnya sejenak, katanya dengan menghela napas, “Sungguh tak
pernah terpikir olehku bahwa di dunia persilatan ada perempuan seperti dirimu, tak
bisa pula kutebak tipu muslihat apa pula yang sedang kau rancang, agaknya ... geger
dunia persilatan sudah di ambang pintu.”
“Apa yang kulakukan memang tiada seorang pun di dunia ini dapat merabanya, apa
kau tunduk sekarang?”
Walau badan tidak bisa bergerak, tapi mata Jit-jit tetap melotot, teriaknya, “Kenapa
aku harus tunduk padamu? Jika usiaku setua kau, belum tentu dapat kau kalahkan.”
“Anak bandel, agaknya sampai mati pun tak mau tunduk, tapi biar kuberi tahukan
padamu, waktu usiaku sebaya kau sekarang namaku sudah tersohor di seluruh
dunia, tiada lawan yang mampu menandingi aku, jika kau bisa hidup setua aku
sekarang, tentu pula kau tahu selama hidupmu jangan harap dapat menandingi aku,
hanya sayang ....”
Mendadak dia berhenti bicara dan mengulapkan tangan terus putar tubuh dan tinggal
pergi.
Jit-jit membayangkan apa arti “hanya sayang” yang dikatakan, bila dia kembali lagi
nanti entah cara bagaimana orang akan memperlakukan dirinya, terbayang pula
keadaan di sini serbamisterius, umpama jiwanya melayang juga tidak akan diketahui
orang luar, maka jangan harap ada orang akan menolongnya keluar dari sini.
Semakin dipikir semakin ngeri perasaan Jit-jit, jika tiada harapan untuk lolos, terpaksa
dia hanya menunggu kematian saja.
Dua lelaki besar tampak menghampirinya, mereka menyeringai, jelas mengandung
maksud tidak baik.
Jit-jit mengertak gigi, pikirnya, “Umpama orang luar tidak tahu aku mati di sini, paling
sedikit aku harus tahu di mana aku meninggal dunia ....”
Untung lehernya mampu bergerak, maka dia celingukan ke kanan-kiri, dilihatnya di
sebelah kanan adalah jalan kecil berbatu kerikil warna-warni, ada gununggunungan
dan kolam teratai, di belakang pepohonan sana tampak deretan rumah berloteng,
samar-samar kelihatan bayangan beberapa orang berpakaian berwarna-warni
mondar-mandir, entah apa yang sedang dikerjakan.
Mestinya dia ingin melihat jelas, tapi tubuhnya sudah diangkat kedua lelaki itu, empat
tangan berbulu seperti sengaja dan tidak sengaja meremas-remas tubuhnya.
Segera Cu Jit-jit memaki kalang kabut.
Lelaki sebelah kiri menyeringai, katanya, “Genduk busuk, pura-pura suci, sebentar lagi
baru ....”
Mendadak seorang menukas, “Sebentar lagi kenapa?”
Kedua lelaki itu tersentak kaget sambil menoleh, tertampak si pemuda baju jambon
tengah menatap mereka dengan dingin, seketika pucat muka mereka, kepala
tertunduk dan tidak berani bersuara lagi.
Sambil mengawasi Jit-jit pemuda baju jambon seperti mau bicara lagi, tapi segera
ditarik pergi oleh si gadis berbaju putih tadi, kedua lelaki itu pun segera menggusur
Jit-jit ke balik pintu, seorang gadis baju putih sudah menunggu di
samping meja, dengan jarinya yang lentik sedang memajang bunga anggrek di atas
meja.
Melihat Jit-jit, gadis berbaju putih itu geleng kepala, katanya dengan tertawa,
“Setelah berada di sini, masih ingin lari? Membuang-buang tenaga saja ....”
Lalu dia putar meja persegi di depannya dua kali, papan batu di pinggir meja
mendadak menjeplak, muncul sebuah pintu gua yang menjurus ke bawah tanah, di
bawah cahaya terang benderang, ternyata sepanjang dinding lorong dihiasi lampu
perunggu yang indah.
Gadis berbaju putih lantas berkata, “Kamar Hoa-san masih kosong, bawa dia ke
sana saja.”
Di hadapan gadis berbaju putih ini, kedua lelaki itu bersikap hormat dan munduk-
munduk, dengan langkah lebar mereka lantas masuk ke sana.
Cu Jit-jit menoleh, serunya, “Cici yang baik, sebetulnya tempat apakah ini, dapatkah
kau beri tahukan padaku?”
“Ai, merdu juga kau panggil Cici padaku, sayang aku tidak bisa memberi tahu.”
Kontan Jit-jit memakinya, “Setan alas, budak busuk, tidak kau katakan padaku, suatu
hari aku pasti juga tahu.”
Gadis itu hanya mengawasinya dengan tertawa, tidak menjawab dan tidak
menghiraukan ocehannya.
Lorong bawah tanah ini ternyata berliku-liku dan ruwet, gelagatnya tidak kalah rumit
dibandingkan kuburan kuno itu.
Tampak oleh Cu Jit-jit di tepi setiap pintu yang dilewati ada ukiran huruf yang
berbunyi Lo-hu, Ceng-seng dan nama gunung ternama lainnya.
Setiba di depan kamar yang terukir huruf Hoa-san, kedua lelaki itu menekan tombol
rahasia dan membuka pintu batu.
Lelaki sebelah kiri menyeringai pula, katanya, “Genduk busuk, justru ingin kuciummu,
coba saja kau bisa berbuat apa?”
Sembari bicara dia lantas menunduk, mulutnya yang penuh berewok dan berbau
bawang itu lantas mencium muka Cu Jit-jit.
Jit-jit tidak memaki juga tidak meronta, katanya malah dengan nada genit, “Asal kau
bersikap baik padaku, tidak jadi soal kau menciumku.”
Lelaki itu tertawa senang, katanya, “Nah kan begitu, agaknya sudah kau rasakan
nikmatnya dicium olehku, baiklah kucium lagi ....”
Mendadak dia menjerit kesakitan, darah berlepotan di mukanya, ternyata bibirnya
digigit sobek oleh Cu Jit-jit.
Saking kesakitan dan murka lelaki itu mencengkeram dan hendak merobek pakaian
Jit-jit.
Tapi Jit-jit lantas mengancam, “Berani kau sentuhku lagi, bila nanti Siauya kemari pasti
kuadukan padanya .... Hehe, apa kehendakku pasti akan dilakukannya, coba apa
hukuman atas dirimu nanti.”
Sambil mendekap mulut lelaki itu melotot gusar. Lelaki temannya lantas membujuk,
“Ma-losam, sudahlah jangan cari perkara, kau tahu bagaimana watak iblis cilik itu.”
Dengan gemas lelaki itu mendorong Jit-jit ke dalam kamar, lalu daun pintu pun
tertutup.
Lega hati Jit-jit, tapi air mata lantas bercucuran, keadaan sekeliling kamar tidak
diperhatikannya lagi, yang terbayang olehnya hanya wajah Sim Long. Sambil
menangis Jit-jit mengomel, “Setan berhati hitam, di ... di mana kau sekarang? Kenapa
tidak lekas kemari menolongku?”
Mengingat diri sendiri yang salah, kenapa minggat tanpa pamit, seketika pecah
tangisnya. Dia memang teramat lelah, menangis dan menangis, tanpa terasa dia
tertidur.
Entah berapa lama dia pulas, di dalam mimpi terasa Sim Long menghampirinya
dengan tersenyum, dengan girang dia memanggilnya, siapa tahu Sim Long tidak
menghiraukannya, malah asyik bermain cinta dengan perempuan cantik setengah
umur itu, pemuda baju jambon mendadak muncul dan merayunya, tapi mendadak
pemuda itu berubah menjadi kucing dan menubruknya ....
Jit-jit menjerit kaget, tiba-tiba dia terjaga dari alam mimpi, entah sejak kapan pemuda
berbaju jambon sudah berdiri di depannya dan dengan tersenyum tengah
mengawasinya, matanya memang mirip mata kucing, memancarkan sinar hijau
kemilau seolah-olah ingin menelan dirinya bulat-bulat.
Cahaya lampu kelap-kelip. Jit-jit ragu entah kejadian sesungguhnya atau dalam
mimpi? Yang terang sekujur badannya basah oleh keringat dingin, dengan suara
serak dia mendesis, “Sim Long ... di mana Sim Long?”
Pemuda berbaju jambon tertawa, tanyanya, “Siapa itu Sim Long?” Jit-jit
menenangkan hati, baru diketahuinya tadi dirinya memang bermimpi, tapi
keadaan di depan mata sekarang rasanya tidak lebih baik daripada mimpi buruk tadi.
Segera bentaknya, “Kau ... untuk apa kau kemari?” Terpicing mata si pemuda baju
jambon, katanya dengan tersenyum, “Apa yang
hendak kulakukan? Masa kau tidak tahu?” Tangannya lantas mengelus wajah Jit-jit
yang pucat. “Kau ... kau ... enyah dari sini!” teriak Jit-jit. Pemuda baju jambon
cengar-cengir, katanya, “Kalau aku tidak enyah
memangnya kau bisa apa?” Muka Jit-jit yang pucat bersemu merah, serunya
gemetar, “Kau ... kau berani?” Padahal dia maklum pemuda ini pasti berani
melakukan apa pun,
membayangkan apa yang pemuda dilakukan menghentikan aksinya, katanyadia
merinding. Tak tersangka hendak itu lantas orang atas tubuhnya, sungguh dengan
tertawa, “Walau aku ini pemuda bangor, tapi selamanya tak pernah main paksa, asal
kau mau menuruti kehendakku, bagaimana kalau kutolong kau keluar?”
“Tidak. Mati pun aku tidak ... tidak mau!”
“Aku ini kurang apa sehingga mati pun kau tidak mau tunduk padaku? Ah, aku tahu
sekarang, mungkin kau anggap mukaku terlalu jelek?” “Memang pemuda
bertampang sejelek setan seperti dirimu, hanya babi betina
yang suka padamu.”
Pemuda itu menepuk paha, katanya, “Hah, ternyata benar karena mukaku jelek.
Baik!” Mendadak dia putar badan membelakangi Cu Jit-jit, sesaat lagi lantas
membalik
pula, katanya dengan tertawa, “Sekarang pandanglah diriku.” Jit-jit tidak mau
memandangnya, tapi rasa ingin tahu memaksa dia angkat kepala, seketika dia
melongo ... pemuda yang barusan bertampang jelek mendadak telah berubah
menjadi pemuda bertampang cakap.
Di bawah sinar lampu tertampak bibirnya merah tipis, alis lentik mata jeli, kulit
mukanya yang putih bersemu merah, biarpun Giok-bin-yau-khim Sin-kiam-jiu Ji Yok-gi
yang terkenal sebagai pemuda tampan di Bu-lim juga bukan tandingannya.
Keruan Jit-jit terkesima, katanya kemudian, “Kau ... kau ....”
“Bagaimana tampangku sekarang? Apa kau mau ....”
“Siluman, iblis, jangan harap!”
“Masih tidak mau? ... kutahu, mungkin kau anggap wajah secakap ini kurang jantan,
bukan lelaki sejati ....” lalu dia berputar tubuh, setelah membalik kemari pula, kini
wajahnya bersemu hijau perunggu, alis tebal, mata besar, sikapnya gagah perkasa,
memang berbeda dibandingkan pemuda lembut berpupur tadi, suaranya pun berubah
kereng. “Bagaimana?”
Jit-jit menarik napas dingin, katanya, “Kau ... jangan harap.”
“Masih belum mau?” ucap pemuda baju jambon. “Ehm, mungkin kau suka pada
laki-laki yang sudah matang, kau anggap aku masih hijau. Baiklah, boleh kau lihat.”
Dia lantas membalik badan pula, mukanya sekarang bertambah jenggot, alisnya
gompiok, kumisnya melintang. Kini tampangnya memang kelihatan lebih tua sebagai
lelaki yang pandai mengayomi kaum perempuan. Lelaki seperti ini memang punya
daya tariknya tersendiri.
Meski tercengang, tapi Jit-jit tetap mencaci maki.
Lalu pemuda baju jambon lantas berubah menjadi laki-laki kasar dan bengis, katanya
dengan bertolak pinggang, “Kau perempuan rewel, jika tetap tidak tunduk, rasakan
kalau kulahap kau.”
Bukan saja tampangnya berubah, suaranya juga berubah persis sesuai orangnya.
Sungguh tak pernah terpikir oleh Jit-jit bahwa di dunia ini ada ilmu merias seaneh ini,
keruan dia terkesima.
Melihat Jit-jit terbeliak, pemuda itu tertawa, katanya, “Orang macam apa pun yang
kau sukai, baik tua atau muda, aku bisa berubah sesuai kehendakmu, bila kau
menjadi biniku serupa sekaligus punya sepuluh suami, betapa senang dan
bahagia hidupmu nanti? Perempuan lain sekalipun menyembah kepadaku takkan
kulayani, masa kau masih tetap tidak mau?”
“Kau ... peduli kau berubah menjadi apa, jangan harap akan diriku.”
“Hah, tetap tidak mau? Kenapa? Memangnya kenapa? .... Ah, aku tahu, mungkin kau
mengutamakan ilmu dan tidak menilai tampang, biarlah kuberi tahukan padamu,
meski aku bukan orang pandai, tapi baik main musik dan tulis-menulis, atau mengadu
kungfu, semuanya mahir, selain ilmu sastra dan ilmu silat, segala macam ilmu
pengetahuan juga kukuasai dengan baik. Bila kau punya suami seperti diriku,
tanggung selama hidupmu tidak akan kesepian. Kalau tidak percaya, boleh buktikan.”
Sembari bicara dia terus menggerakkan kaki dan tangan, sekaligus dia
mempertunjukkan sembilan gerak perubahan, semuanya ilmu silat Siau-lim, Butong
dan perguruan besar lain yang tidak sembarangan diajarkan kepada orang.
Lalu dia menepuk ke dinding, dinding batu seketika melekuk sebuah cap tangan,
lima jari kelihatan nyata seperti ukiran saja.
Ilmu silat Cu Jit-jit sendiri memang tiada satu pun yang sempurna, tapi kungfu yang
pernah dilihatnya sangat banyak, selintas pandang saja dia kenal pukulan lihai orang
berasal dari sembilan perguruan besar, sementara tepukan ke dinding itu adalah
Toa-jiu-in kaum Lama Tibet. Pemuda ini masih muda, ternyata mahir menguasai
berbagai ilmu pukulan perguruan besar, sungguh hal ini amat mengejutkan dan sukar
dibayangkan.
Jit-jit lantas bertanya, “Dari ... dari mana kau pelajari kungfu itu?”
Pemuda itu tersenyum, katanya, “Apa susahnya? Bila senggang aku malah
memperdalam kungfu dengan perpaduan syair-syair ciptaan pujangga kuno, harap
nona suka mengoreksi.” Lalu kedua lengan bajunya berkibar, dia memainkan ilmu
silatnya sambil membaca syair.
Beruntun si pemuda mempertunjukkan puluhan jurus kungfu yang dipadukan dengan
makna syair yang disenandungkan, tak kepalang heran dan kagum Cu Jit-jit, akhirnya
dia berseru memuji.
“Terima kasih atas pujian nona, dan sekarang tentu nona maklum, di kolong langit ini
memang banyak orang pandai, tapi untuk mencari pemuda seperti diriku pasti tidak
ada keduanya.”
Mendadak Jit-jit mendengus, “Huh, juga belum tentu!”
“Apakah nona kenal lelaki bertampang dan berkepandaian melebihi diriku?”
“Kukenal seorang, baik ilmu sastra atau ilmu silat, jelas seratus kali lebih unggul
daripadamu, orang macam dirimu hanya setimpal menjadi kacungnya.”
Mendelik si pemuda, tapi segera dia tertawa, katanya, “Ah, nona sengaja hendak
memancing kemarahanku?”
“Kau tidak percaya, apa boleh buat. Sayang dia tidak berada di sini .... Hm, kalau dia
berada di sini, siapa yang mampu mengurungku?”
Lama pemuda itu melongo, mendadak matanya memancarkan sinar terang, serunya,
“Hah, aku tahu, dia ... dia pasti Sim Long!”
“Betul ... Sim Long, wahai Sim Long, di mana kau sekarang? Betapa kurindukan
dikau?” bila mengucap nama Sim Long, sorot mata Jit-jit lantas berubah lembut,
manis dan mesra.
Merah mata si pemuda, mukanya dingin, dengan sendirinya ia juga mempunyai daya
tarik tersendiri.
Tergerak hati Jit-jit, katanya tak tertahan, “Kecuali Sim Long, kau pun terhitung
pemuda pilihan satu di antara seribu, jika di dunia ini tiada manusia bernama Sim
Long itu, kemungkinan aku akan jatuh hati padamu.”
“Jadi selama Sim Long ada di dunia ini, selama itu pula kau tidak tertarik padaku,
begitu?”
“Pertanyaan ini tidak perlu kujawab, kuyakin kau sendiri maklum.”
“Jika Sim-Long mampus, lalu bagaimana?”
Berubah air muka Cu Jit-jit, tapi lantas tersenyum, katanya, “Manusia seperti Sim
Long kuyakin tidak akan mati muda, untuk ini tidak perlu kau khawatir.”
“Sim Long ... Sim Long ....” si pemuda mendesis benci. Mendadak dia mengentak
kaki, “Baik, ingin kubuktikan orang macam apakah dia, suatu ketika akan kubunuh dia
di hadapanmu.”
“Kalau berani kau lepaskan diriku, akan kubawa kau menemui dia, siapa lebih jantan
dan siapa lebih unggul antara kalian, setelah berhadapan tentu dapat kau buktikan
....”
“Pandai juga kau memancingku, tapi aku justru terperangkap olehmu .... Baik, akan
kubebaskan kau, hendaknya kau bawa dia menemuiku.”
Dalam hati Jit-jit bersorak girang, tapi lahirnya tetap dingin, katanya, “Apa kau berani?
Tidak takut Sim Long membunuhmu?”
“Aku justru khawatir Sim Long tidak berani menemuiku.”
“Sekalipun di sini ada gunung golok dan lautan minyak mendidih juga dia berani
datang, mungkin kau sendiri yang akan ngacir.”
Sekarang pemuda ini tidak perlu dibakar lagi, sebelum Jit-jit habis bicara dia lantas
membuka Hiat-to pada kedua tangan dan lutut Jit-jit.
Cepat Jit-jit melompat bangun, hatinya girang, tapi kaki tangan masih lemas, darah
belum lancar, baru berdiri hampir ambruk lagi. Lekas pemuda baju jambon
memapahnya, katanya dingin, “Apa kau dapat berjalan?”
“Tak bisa berjalan juga aku akan merangkak keluar, tak perlu kau papah diriku.”
Pemuda itu menjengek, tanpa bicara kedua tangan segera mengurut sendi tulang
lutut Jit-jit dan dibetotnya dua kali, mata Jit-jit sudah mendelik dan hendak
mendorongnya, tapi kedua tangan orang rasanya seperti mengandung kekuatan gaib,
terasa oleh Jit-jit ke mana tangan orang meraba dan memijat segera terasa linu, geli
dan lemas, tapi rasanya juga nyaman dan nikmat, selama hidup belum pernah dia
rasakan seperti ini, umpama sekiranya dia mampu mendorongnya juga tidak rela lagi
mendorongnya.
Tanpa terasa badannya malah merapat, di bawah cahaya lampu mukanya yang
pucat sudah bersemu merah, sorot mata si pemuda juga memancarkan cahaya yang
aneh, gerak-gerik jarinya juga mulai gemetar.
“Berhenti ... berhenti ... lepaskan aku ....” gemetar suara Jit-jit.
Bibir si pemuda berada di tepi telinganya, desisnya perlahan, “Apa betul kau ingin
kulepaskan dirimu?”
Gemetar sekujur badan Cu Jit-jit, tiba-tiba air matanya bercucuran, katanya, “Aku ...
aku tidak tahu ... tolong ... kau ... kau ....”
Mendadak terdengar suara tertawa merdu di luar pintu, seorang mengomel, “Bagus,
memang sudah kuduga kau pasti mengeluyur ke sini. Eh, kalian sedang main apa?”
Nadanya mengandung rasa cemburu, ternyata si gadis berbaju putih tadi.
Keruan kaget dan malu Cu Jit-jit, sekuatnya dia dorong si pemuda.
Gadis berbaju putih meliriknya sekejap, katanya dengan tersenyum, “Bukankah kau
benci padanya, kenapa sekarang tak mau lepas dalam pelukannya?”
Tambah merah muka Cu Jit-jit, biasanya mulutnya usil, tapi sekali ini dia mati kutu dan
tidak mampu bersuara. Sebab dia sendiri tidak tahu kenapa dirinya bisa terbuai oleh
rasa nikmat tadi. Selama hidup baru kali ini dia merasakan rangsangan nafsu berahi,
nafsu berahi yang menakutkan dan mudah menjerumuskan.
Lalu gadis baju putih melirik pemuda baju jambon, katanya tetap dengan tertawa,
“Tentunya kau gunakan rabaan maut padanya bukan? Kau ....”
Ketika melihat sorot mata si pemuda memancarkan nafsu yang menyala, segera dia
berhenti bicara, tubuh pun bergetar.
Selangkah demi selangkah pemuda baju jambon menghampirinya, sorot matanya
seperti tertawa tapi tidak tertawa, katanya, “Aku kenapa?”
Merah muka si gadis baju putih, mendadak dia menjerit, baru saja memutar badan
hendak lari, tapi lengannya sudah ditarik si pemuda dan dipeluknya kencang.
Badannya menjadi lunglai, tenaga untuk meronta pun tiada lagi.
Perlahan si pemuda berkata, “Kau sendiri yang kemari, jangan salahkan aku!”
Sorot matanya makin mencorong, mukanya juga makin merah, mendadak dia
menarik jubah putih si gadis ....
Jit-jit menjerit tertahan, lekas dia melengos ke arah lain.
Didengarnya angin berkesiur, jubah putih itu melayang tiba dan jatuh di depannya,
didengarnya dengus napas si gadis semakin memburu, makin keras dan setengah
merintih. Badan Jit-jit ikut menggigil, dia ingin lari keluar, sayang kaki tak kuat
bergerak, segera didengarnya pemuda itu berkata, “Telah kulepaskan dirimu, tidak
lekas pergi?”
Jit-jit menggigit bibir, sekuatnya dia berdiri, lalu lari ke pintu dengan sempoyongan.
Mendadak pemuda itu membentak, “Ambil baju itu dan pakailah, setelah keluar pintu,
terus belok kiri, tidak boleh berhenti dan jangan menoleh, tiba saatnya ada orang
akan menyambutmu ... jangan menunggu sampai aku berubah pikiran.”
Bibir Jit-jit berdarah karena tergigit kencang, entah bagaimana perasaannya, dia lari
balik menjemput baju putih itu, tak berani melirik si pemuda yang telah menindih si
gadis, segera dia berlari.
Dengan langkah terhuyung sambil mengenakan jubah putih itu, setelah membelok dua
kali, jantungnya masih berdegup keras. Baru sekarang teringat ingin melihat keadaan
di bawah tanah tadi, tapi apa pun dia tidak berani menoleh lagi, dirasakan pemuda tadi
sungguh iblis jahat, bahkan lebih menakutkan daripada iblis, selama hidup belum
pernah dia merasa takut seperti sekarang, juga belum pernah merasa benci seperti
sekarang.
Dari samping dinding di kejauhan seperti terdengar gemerencing suara logam, serupa
suara rantai. Jit-jit tidak berani berhenti, setiap menemukan belokan ke kiri dia lantas
masuk, kembali dia berputar dua kali, baru sekarang ia heran akan bangunan di
bawah tanah ini. Waktu dia angkat kepala, dilihatnya dua lelaki mengadang di depan,
jantung Jit-jit berdegup pula, namun untuk mundur tidak mungkin, terpaksa harus
menerjang ke depan, biarpun kedua orang ini lawan tangguh juga tidak lebih
menakutkan daripada pemuda tadi.
Di luar dugaan, begitu melihat dia, kedua lelaki itu tidak menampilkan sikap
bermusuhan, hanya seorang di antaranya seperti berkata, “Wajah nona ini kok belum
pernah kenal.”
Temannya menjawab, “Mungkin baru masuk.”
Lega hati Jit-jit, baru sekarang dia mengerti sebab apa pemuda tadi menyuruh dia
mengenakan jubah putih ini, dengan tabah segera dia maju lagi dengan langkah
lebar.
Bukan saja tidak merintanginya, kedua lelaki itu malah menjura, sapanya, “Apa nona
hendak keluar?”
Sudah tentu Jit-jit tidak berani bicara, dia hanya mendengus, lalu melangkah lewat,
didengarnya kedua lelaki itu menggerutu.
Banyak pintu di antara dinding kanan-kiri yang dilewatinya, ia pikir Can Ing-siong, Pui
Jian-li dan orang-orang yang lenyap itu mungkin dikurung di balik pintu-pintu itu.
Sementara perempuan cantik setengah baya di atas loteng itu pasti pemilik dan
perencana semua perangkap keji ini. Kalau dia bukan Hun-bong-siancu pasti juga ada
hubungan erat dengan Hun-bong-siancu. Semua ini adalah rahasia yang sedang
diselidiki Sim Long, kini-Jit-jit sudah tahu semuanya.
Terbayang bahwa akhirnya dirinya berhasil membantu kekasih pujaannya menyelidiki
peristiwa misterius ini, terasa derita yang baru dialaminya bukan apaapa lagi.
Dia mempercepat langkahnya sambil berpikir, “Menderita bagi orang yang dicintai
ternyata juga satu kenikmatan, namun siapa pula di dunia ini yang bisa menikmati
kesenangan seperti diriku sekarang ... bukankah aku lebih gembira dan bahagia
daripada orang lain ....”
Sementara itu dia sudah sampai di ujung lorong, di sini tidak kelihatan ada pintu
keluar.
Pada saat itulah dari tempat gelap sana muncul sesosok bayangan orang, begitu
menoleh ke sana, semula Jit-jit berjingkat kaget, tertampak orang yang muncul ini
berperawakan tinggi besar, perawakan Jit-jit tidak terhitung pendek, tapi berdiri di
depan orang ini tingginya hanya sebatas dadanya, badan Jit-jit juga tidak terhitung
kurus, tapi pinggangnya tidak sebesar lengan orang ini.
Badan besar kekar, gerak-gerik orang ini juga tangkas dan lincah, Jit-jit tidak
mendengar langkahnya, tahu-tahu tubuh besar seperti raksasa ini sudah berdiri di
depannya, dadanya telanjang, kulit badannya berminyak mengilat, kepalanya juga
besar, dicukur gundul kelimis, lelaki raksasa bermuka sadis ini ternyata memancarkan
sorot mata lembut selembut seorang ibu yang sayang kepada anaknya, demikian dia
pandang Jit-jit dengan lembut.
Jit-jit tenangkan hati dan membesarkan nyali, sapanya, “Apakah kau ... diutus
Kongcu menyambutku?”
Raksasa itu mengangguk, ia menuding kuping sendiri lalu menuding mulut.
Jit-jit melengak, batinnya, “Kiranya dia bisu-tuli.”
Dilihatnya lelaki raksasa itu mengangkat kedua tangannya yang panjang besar,
langit-langit lorong ini sedikitnya setinggi dua orang, tapi dapat dicapai oleh
tangannya.
Samar-samar kelihatan tubuhnya yang berminyak itu penuh otot, sepotong papan
batu besar dan berat di atas langit-langit telah diangkatnya.
Jit-jit kaget, pikirnya, “Hebat benar tenaganya, kecuali dia, mungkin tiada orang yang
mampu menggeser papan batu di atas itu.”
Tapi dia tidak sempat menoleh lagi, dia melompat ke atas dan menerobos celah-
celah papan batu yang tergeser ke pinggir itu.
Semula dia kira di bagian luar kalau bukan hutan tentu adalah tanah pekuburan,
ternyata dugaannya keliru pula. Mulut lorong ternyata berada di sebuah kamar
belakang toko peti mati.
Dalam rumah yang besar dan luas di sana-sini bertumpuk peti mati, ada yang sudah
jadi, ada yang belum rampung dikerjakan, tukang kayu kekar dengan telanjang dada
sedang sibuk bekerja, jelas toko peti mati ini cukup laris sehingga pekerja sebanyak
ini tiada satu pun yang menganggur.
Sudah tentu Jit-jit berdiri melongo, tapi papan batu sudah tertutup pula, terpaksa dia
harus mengeraskan kepala dan berjalan keluar.
Di luar dugaan, tukang-tukang kayu itu semua tekun pada pekerjaan masingmasing,
tiada satu pun yang menoleh memerhatikan kehadirannya.
Di luar sana kereta berlalu-lalang, manusia pun hilir mudik, suara ramai sebuah jalan
raya. Dua orang sedang memilih dan menawar peti mati, di sana suara gergaji, di sini
suara palu memukul paku, di depan lagi tukang sedang memasah kayu, suasana
kerja keras benar-benar terasa.
Berada dalam toko peti mati ini, hati Cu Jit-jit merasa ngeri dan takut, kenapa bisa
berada di toko peti mati? Mungkinkah dari lorong bawah tanah itu sering digotong
keluar orang mati? Begitu digotong keluar lantas dimasukkan ke dalam peti mati,
setan pun tidak tahu perbuatan mereka, adalah jamak kalau penjual peti mati
mengirim barang dagangannya, siapa pun takkan menaruh curiga, umpama sehari
ada dua-tiga puluh orang mati juga orang luar tidak akan curiga ... pembunuhan
terencana ini sungguh suatu muslihat yang aman dan misterius.
Makin dipikir makin aneh dan ganjil, makin mengerikan, tanpa terasa mengirik bulu
kuduknya, lekas dia lari keluar.
Di bagian depan toko dua pegawai sedang melayani pembeli, seorang bermuka
burik, seorang lagi bibirnya sumbing, kalau bicara suaranya sumbang. Di pojok sana
terdapat meja kasir yang tinggi, di sebelah kiri tertaruh sebuah timbangan emas.
Jit-jit ingat semua yang dilihatnya ini, batinnya, “Asal aku ingat baik-baik toko peti
mati ini, Sim Long akan kubawa kemari ....”
Tamu itu mengawasinya
mengacuhkannya.
dengan
heran,
kedua
pegawai
itu
malah
tak
Jit-jit merasa heran, tapi juga tenang, cepat ia melangkah keluar, begitu menginjak
jalan raya yang ramai, melihat orang ramai berlalu-lalang, sungguh senang sekali
hatinya.
Sambil menunduk dia mencampurkan dirinya di tengah orang lalu di seberang sana,
kemudian baru berani menoleh, dilihatnya toko peti mati itu pakai merek “Ong-som-ki”
yang diukir di atas pigura.
Jit-jit ingat baik semua yang dilihatnya, batinnya, “Hwesionya bisa kabur,
kelentengnya masa bisa lari? Asal aku ingat tempat ini, memangnya kutakut mereka
lari? Seorang diri aku berhasil membongkar muslihat besar yang menggemparkan
dunia ini, Sim Long pasti takkan bilang aku tak becus lagi.”
Hatinya menjadi riang kembali, beberapa langkah kemudian dia berpikir pula,
“Anehnya, mereka tahu aku bakal membongkar muslihat mereka, kenapa aku
dibebaskan? Mungkinkah pemuda baju jambon itu sudah gila? Bukankah
perbuatannya secara tidak langsung telah mempertaruhkan usaha ibunya yang besar
itu? Jelas tidak mungkin ....”
Teringat hal “tidak mungkin”, tanpa terasa ia mengulum senyum pula, dia kira hal
yang “tidak mungkin” itu telah didapatkan jawabnya, “Aku dapat berkorban demi Sim
Long, maka pemuda itu tentu juga dapat berkorban demi diriku, cinta memang
sesuatu yang agung dan hebat.”
Berpikir demikian, hatinya merasakan manis madu, rasa ragunya lenyap.
Waktu itu sudah menjelang magrib, cahaya mentari keemasan menyinari wajah
orang yang berjalan hingga tampak cerah dan segar.
Cu Jit-jit merasa belum pernah mengalami cuaca secerah ini, badan terasa ringan,
langkah pun cepat bagai mau terbang.
Tapi tabir malam segera tiba, Jit-jit lantas menyadari dirinya tidak seriang seperti apa
yang dibayangkan semula, hakikatnya masih banyak urusan yang merisaukannya.
Sekarang dia tidak membawa sangu sepeser pun, padahal perut lapar dan badan
kedinginan, di kota seramai ini, di mana dia bisa menemukan Sim Long? Dia tidak
tahu bagaimana dan ke mana dia harus mencari.
Pada waktu menghadapi mati-hidup tadi, tidak pernah dia pikirkan urusan ini, kini
baru dirasakan soal kecil ini sangat realistis dan sukar diatasi.
Di sini memang kota Lokyang.
Lama Jit-jit mondar-mandir di depan pintu, sukar mengambil keputusan apakah harus
keluar kota atau tetap tinggal di sini.
Ia yakin Sim Long takkan menunggunya di hotel semula, ketika mengetahui dia
menghilang, pemuda itu pasti gugup dan gelisah, dan pasti sibuk mencarinya. Tapi
ke mana dia mencarinya? Sekarang bukan lagi Sim Long yang mencarinya, tapi dia
yang mencari Sim Long.
Perubahan ini sangat aneh dan lucu, pikir punya pikir Cu Jit-jit jadi geli sendiri, namun
dalam keadaan kantong kempis dan perut lapar, bagaimana dia bisa tertawa?
Sambil berkerut alis, dengan bersedekap dia berjalan menyusuri kaki tembok kota,
tiba-tiba dilihatnya seorang bertopi miring sambil bernyanyi kecil dan berjalan
sempoyongan ke arahnya, dari tampang dan dandanannya orang ini kalau bukan
pencoleng tentu juga kaum gelandangan.
Kebetulan jalan sepi dan tidak kelihatan orang lain, mendadak Jit-jit melompat maju
mengadang di depannya, tegurnya, “He, kau tahu siapa Enghiong (kesatria) terbesar
dan ternama di kota Lokyang ini?”
Semula orang itu kaget, dia mengamati Jit-jit sejenak, segera ia cengar-cengir,
katanya sambil memicingkan mata, “Aha, adikku manis, tepat kau tanya kepada
orangnya, Enghiong terbesar di kota Lokyang ini siapa lagi kalau bukan aku Hoa-
hoa-thay-swe Tio-lotoa ....”
Belum habis dia bicara mendadak mukanya kena gampar empat kali pulangpergi,
kontan dia roboh terjungkal. Sebelum tahu apa yang menimpa dirinya, lengan
kanannya sudah ditelikung orang, saking sakitnya sampai dia mencucurkan air mata.
Baru sekarang dia tahu nona cilik ini tidak boleh dibuat main-main, lekas dia minta
ampun.
“Lekas katakan,” bentak Jit-jit, “siapa Enghiong ternama di kota Lokyang?”
Gemetar suara Tio-lotoa, “Yang tinggal di kota barat bergelar Thi-bin-un-hou Lu
Hong-sian. Di kota timur juga ada Tiong-goan-beng-siang Auyang Hi, kedua orang ini
adalah Enghiong ternama di kota Lokyang.”
Jit-jit pikir, “Sesuai julukannya, tentu Auyang Hi lebih luas pergaulannya dan royal
duitnya ....”
Lalu dia membentak, “Auyang Hi tinggal di mana? Lekas bawa nona ke rumahnya.”
Terkilas senyum licik pada sinar mata Tio-lotoa, serunya, “Baik, baik, sudilah nona
lepaskan dulu tanganku, pasti hamba antar ke sana.”
Tiong-goan-beng-siang Auyang Hi memang tokoh terkenal di kota Lokyang,
rumahnya terletak di kota timur, gedungnya besar dan angker, loteng bersusun
dengan pekarangan yang luas.
Dari jauh Jit-jit sudah melihat sinar lampu yang terpancar dari kediaman Auyang Hi,
suara hiruk-pikuk orang bicara dan bersenda gurau pun berkumandang dari sana.
Setelah dekat jadi lebih jelas, orang keluar-masuk dan kereta berseliweran, semua
adalah orang-orang Bu-lim yang dada busung dan perut buncit.
Jit-jit membatin, “Melihat keadaannya memang tidak malu dia dijuluki Tiong-
goan-beng-siang (Sosiawan Tionggoan). Tampaknya cukup aku membocorkan sedikit
rahasia kepadanya, kuminta dia mencari jejak Sim Long, sekaligus supaya
menghubungi orang gagah daerah Tionggoan ....”
Sementara dia berpikir, tiba dia di depan gedung, Jit-jit lantas membebaskan Tio-
lotoa.
Mendadak Tio-lotoa berteriak sekeras-kerasnya, “Hai, saudara-saudara, lekas
kemari, perempuan celaka ini hendak mencari perkara pada kita.”
Orang-orang yang berkumpul dan mengobrol iseng di depan rumah segera merubung
maju setelah mendengar teriakan Tio-lotoa, ada yang berteriak dan ada pula yang
memaki, “Tio-lotoa makin tua makin tak berguna, seorang nona cilik saja tidak mampu
kau atasi?”
Jilid 8
Baru sekarang Cu Jit-jit tahu bahwa Tio-lotoa ternyata salah seorang pengagum
Tiong-goan-beng-siang, melihat belasan lelaki merubung tiba, lekas Jit-jit jambret
bahu Tio-lotoa terus dilemparkan ke arah dua lelaki yang memburu datang lebih dulu.
Sudah tentu kedua orang itu tidak kuat menahannya. Tiga orang terguling mencium
tanah, sementara orang lain yang memburu tiba jadi kaget dan merandek, tapi Jit-jit
lantas menerjang maju.
Kungfu yang pernah dipelajarinya beraneka ragam dan tiada satu pun yang boleh
dikatakan mahir, namun untuk menghadapi lawan keroco ini masih cukup berlebihan,
seperti harimau mengamuk di tengah rombongan domba, dalam sekejap belasan
lelaki itu telah dihajarnya hingga tunggang langgang.
Sudah beberapa hari ini Cu Jit-jit menanggung penasaran, marah, dan takut,
sekarang baru dia berhasil melampiaskan kekesalan hatinya, hingga perut lapar pun
terlupakan.
Merasa bukan tandingan Jit-jit, orang-orang itu melawan sambil mundur, sementara
Jit-jit menghajar sambil mengejar, sebentar saja mereka sudah dekat di depan pintu
gerbang.
“Berhenti!” mendadak seorang membentak. Seorang lelaki berperawakan pendek dan
kekar berusia 30-an, berpakaian sutra warna hijau berdiri di ambang pintu sambil
menggendong tangan, wajahnya kelihatan kereng dan sedang mengawasi Cu Jit-jit
dengan aliasnya berkerut, agaknya heran karena Cu Jit-jit dapat menguasai ilmu silat
sebanyak itu ragamnya, tapi sikapnya tetap tenang saja.
Melihat lelaki ini, kawanan lelaki tadi berlari dan sembunyi di belakangnya. Cu Jit-jit
masih memburu maju dan hendak menjotos, tiba-tiba dilihatnya lelaki kekar ini
mengadangnya sambil menjura dengan tertawa, “Sabar, kungfu nona memang
mengagumkan.”
Tabiat Cu Jit-jit memang senang dilayani secara ramah dan pantang dikasari, melihat
orang berlaku sopan, maka jotosannya yang sudah melayang segera ditarik kembali.
Lelaki berbaju sutra hijau tertawa, katanya, “Kawanan hamba itu memang tidak
bermata hingga lancang terhadap nona, semoga nona suka mengampuni mereka.”
“Ah, tidak apa-apa,” ujar Jit-jit, “sudah kenyang juga kuhajar mereka.”
Lelaki berbaju sutra melengak, katanya pula, “Sifat nona ternyata suka berterus
terang.”
“Sifatku ini baik atau jelek?” tanya Jit-jit.
Tidak sedikit orang yang dikenal lelaki ini, tapi gadis sebinal ini belum pernah
dihadapinya, sesaat dia melenggong, katanya kemudian, “O, baik ... tentu saja baik.”
“Melihat tampangmu ini, tentu kau inilah Tiong-goan-beng-sian Auyang Hi.”
“Betul ... entah nona ada petunjuk apa?”
“Kalau kau dijuluki Beng-siang, maka sepantasnya kau meladeni aku dengan baik,
makan minum dulu sampai puas, sebab ada urusan penting ingin kuberi tahukan
kepadamu.”
“Tamu seperti nona biarpun sengaja kuundang juga belum tentu sudi kemari, cuma
hari ini ....”
“Hari ini kenapa? Apakah hari ini kau kehabisan uang dan tidak mampu mentraktir
aku?”
“Biar kukatakan terus terang kepada nona, hari ini ada seorang saudagar besar
kalangan Kangouw, Leng-jiya, beliau telah meminjam tempatku ini, tamu agung dari
berbagai penjuru sudah berdatangan, maka Cayhe tidak berani ....”
Berputar bola mata Cu Jit-jit, katanya dengan tertawa, “Dari mana kau tahu bahwa
kedatanganku tidak untuk berdagang. Tolong kau bawa aku masuk.”
Dengan sangsi Auyang Hi pandang dia beberapa kali lagi, meski pakaian si nona
tidak keruan, tapi sikapnya agung dan berani, selagi ragu, Cu Jit-jit lantas melangkah
masuk rumah orang seperti rumah sendiri.
Keruan Auyang Hi makin bingung dan tidak dapat meraba asal usul si nona, tapi ia
pun tidak berani sembrono, terpaksa dengan tertawa getir dia silakan orang masuk.
Cahaya lampu terang benderang di ruang besar, dua baris meja kayu cendana yang
panjang penuh diduduki tiga puluhan orang, baik usia, tampang, dan dandanan
mereka berbeda, tapi pakaian mereka sama perlente, jelas mereka adalah saudagar
besar yang sering berkecimpung di dunia Kangouw. Melihat Auyang Hi datang
mengiringi seorang nona cantik, semua mengunjuk rasa heran.
Cu Jit-jit sudah biasa dipandang sedemikian rupa oleh orang banyak, kalau orang
mengawasi kepalanya sampai ke kaki, dia tetap tak peduli dan tenangtenang saja, dia
malah melirik ke sana-sini.
Sudah tentu kehadirannya menarik perhatian dan menimbulkan kasak-kusuk, tapi
Jit-jit langsung menarik kursi terus berduduk, katanya dengan lantang, “Apakah kalian
tidak pernah melihat orang perempuan? Ayolah, bisnis lebih penting, aku kan
manusia biasa dan tidak punya tiga mata, kenapa aku dipandang begitu rupa?”
Delapan di antara sepuluh hadirin merah mukanya oleh sindiran Cu Jit-jit, banyak
yang menunduk atau melengos.
Sungguh senang, bangga juga geli hati Cu Jit-jit. Dia melarang orang memandang
dirinya, matanya justru menjelajah kanan-kiri dengan pandangan tajam.
Di antara sekian orang yang hadir, dia yakin yang benar-benar pedagang hanya
tujuh-delapan orang, belasan yang lain adalah jago-jago kosen Bu-lim, dua di
antaranya malah lain daripada yang lain. Seorang duduk di depan Jit-jit, bibir merah
muka putih, pakaiannya serbasutra, di antara sekian hadirin usianya terhitung yang
paling muda, wajahnya juga sangat tampan, secara sembunyisembunyi dia melirik
Jit-jit, bila Jit-jit balas menatapnya, dengan muka jengah dia lantas melengos.
Cu Jit-jit tertawa di dalam hati, “Kelihatannya pemuda ini anak pingitan yang jarang
keluar pintu, lebih pemalu dari gadis ....”
Makin orang pemalu, makin dipandangnya, hingga pemuda itu tidak berani angkat
kepalanya, sungguh senang hati Cu Jit-jit.
Seorang lagi kelihatan seperti pelajar tua rudin yang tidak lulus ujian, mukanya kurus,
berjenggot kambing yang jarang-jarang, mengenakan jubah panjang yang warnanya
sudah luntur, saat mana sedang memejamkan mata seperti orang yang sudah
beberapa hari tidak makan, hingga duduk lemas dan tidak mampu bicara lagi.
Di belakangnya berdiri seorang kacung berbaju hijau pula, juga kurus tinggal kulit
membungkus tulang, untung bola mata masih berputar kian kemari, kalau tidak,
hampir tak kelihatan gairah hidup sedikit pun.
Diam-diam Jit-jit membatin pula, “Pelajar rudin begini juga berani datang untuk
urusan dagang? Memangnya akan menjual pensil butut.”
Kasak-kusuk dalam ruang besar sudah sirap, terdengar Auyang Hi berdehem, lalu
berseru, “Kini tinggal Leng-jiya dan Keh-siangkong saja, kedatangan Kehsiangkong
ke Lokyang kali ini entah membawa barang-barang aneh apa.”
Akhir katanya matanya menatap seorang lelaki gemuk putih, berdandan lucu, usianya
jelas tidak muda lagi tapi sengaja berlagak Siangkong (tuan muda), kepalanya pakai
ikat kain, jubahnya yang kedodoran bersulam aneka warna, belasan kantong sutra
bergantungan di sekeliling pinggangnya, tangan memegang pipa tembakau.
Keh-siangkong memicingkan mata, lalu menoleh ke kanan-kiri, katanya dengan
tersenyum, “Akhir-akhir ini aku sudah makin malas, kutahu dengan kedatangan
Leng-jiya, pasaran dagang di kota Lokyang pasti ramai, namun aku hanya membawa
dua macam barang saja.”
Auyang Hi berkata, “Barang mengutamakan kualitas dan bukan kuantitas. Barang
yang dibawa Keh-siangkong kuyakin pasti luar biasa, silakan Kehsiangkong
mengeluarkannya supaya hadirin ikut menyaksikan.”
Keh-siangkong berkata, “Ah, janganlah pujian melulu, cuma kawan Kangouw juga
sama tahu, barang berharga di bawah lima ribu tahil aku tidak pernah jualbeli.”
Cu Jit-jit berkerut kening, batinnya, “Besar juga mulutnya, dipandang dari dandanan
dan sikapnya, bukan mustahil dia ini salah seorang Ngo-toa-ok-kun (lima penjahat)
yang merajalela di Kangouw, yaitu Kan-sian Keh-pak-bwe? (pedagang licik Keh si
Pembeset Kulit). Jika benar dia adanya, orang yang berjual-beli dengan dia pasti akan
mengalami kerugian.”
Tampak Keh-siangkong telah mengeluarkan sebuah kodok-kodokan pualam warna
hijau sebesar mangkuk, terutama kedua matanya ternyata terbuat dari sepasang
mutiara besar dan bundar, di bawah sinar lampu tampak gemerlap, harganya tentu
tidak bernilai.
Keh-siangkong berkata, “Kalian sama ahli, baik-jelek barang ini tentu dapat kalian
lihat, maka tidak perlu aku membual, silakan saja kalian menentukan harga sendiri.”
Beruntun dia bersuara dua kali, tapi hadirin tiada yang memberi reaksi.
Cu Jit-jit tertawa geli di dalam hati, pikirnya, “Mungkin orang takut pada yang ahli
membeset kulit, maka tiada yang berani memberi penawaran, padahal kodok pualam
hijau ini memang berharga sekitar lima-enam ribu tahil.”
Keh-siangkong menoleh kian kemari, satu per satu hadirin ditatapnya, akhirnya
pandangannya berhenti pada seorang bertubuh gemuk pendek, katanya dengan
tertawa, “Si Yong-kui, kau berdagang batu permata, berapa kau menawar barangku?”
Berdenyut kulit muka Si Yong-kui yang gempal itu, katanya sambil menyengir, “Ah ...
baiklah, aku menawar tiga ribu tahil.”
Keh-siangkong menarik muka, katanya dengan tertawa dingin, “Tiga ribu tahil, tega
kau tawar serendah ini, jangankan badan kodok yang hijau ini, hanya sepasang mata
mutiaranya saja ... hehe, mutiara sebesar ini pun sukar dicari, besarnya sama, bundar
lagi, hehehe, kalau kau punya dua butir yang sama kuberani bayar enam ribu tahil.”
Si Yong-kui menyengir, katanya, “Aku tahu mestika sebesar ini kalau tiga ribu tahil
memang terlalu murah, tapi sebelum kuperiksa barang itu secara teliti, terus terang
aku tidak berani memberikan tawaran lebih tinggi.”
Beringas sorot mata Keh-siangkong, katanya, “Memangnya sedekat ini tidak kau lihat
jelas, barang mestika mana yang boleh sembarang dipegang orang, memangnya kau
tidak percaya kepada orang she Keh?”
Kembali bergoyang kulit muka Si Yong-kui, ia menunduk, suaranya juga gelagapan,
“Wah, ini ... baiklah kutawar enam ribu tahil ....”
Keh-siangkong terkekeh, katanya, “Meski enam ribu belum cukup modal, tapi orang
she Keh kalau berdagang biasanya ‘cincay’, demi hubungan yang lebih erat
selanjutnya, kali ini biar aku jual murah kepadamu, tapi bayar dulu baru barang
diserahkan, ini adalah kebiasaan jual-beli, enam ribu tahil perak, sepeser pun tidak
boleh kurang.”
Agaknya Si Yong-kui tidak mengira tawaran semurah ini dapat membeli barang antik
yang mahal ini, seketika dia mengunjuk rasa kejut dan girang, orang lain juga mengiri
bahwa dia mendapat barang murah, semuanya mengiler.
Jit-jit membatin, “Orang bilang dia tukang beset kulit, tapi dari jual-beli ini, kenyataan
bukan saja adil, malah boleh dikatakan dia agak rugi.”
Maklum sebagai putri keluarga hartawan, nilai sesuatu permata cukup dikuasainya
dengan baik, nilai mutiara sebesar dan sebundar itu harganya memang pantas enam
ribu tahil perak.
Sementara itu Si Yong-kui sudah suruh orangnya mengambil uang dan menimbang
bobotnya, setelah uang diserahkan, kodok pualam itu pun diambilnya, tapi hanya dua
kali dia mengamati barang itu, seketika wajahnya berubah pucat, serunya dengan
suara gemetar, “Kodok pualam ini cacat, demikian pula mutiara ini ... hanya sebutir di
... dibelah dua, Keh-siangkong, ini ... ini ....”
Keh-siangkong menyeringai, katanya, “Apa betul? Aku sendiri juga tidak
memerhatikannya waktu membeli, tapi barang sudah dibeli, tidak boleh dikembalikan,
kuyakin kau Si Yong-kui juga tahu aturan ini?”
Si Yong-kui melenggong sesaat lamanya, “bluk”, badannya yang gendut duduk lemas
di atas kursi, air mukanya sungguh lebih jelek daripada tampang babi.
Keh-siangkong tertawa terkekeh, katanya, “Dan barang kedua yang kubawa untuk
kalian adalah ... merupakan suatu keajaiban, ya, keajaiban yang selalu kalian
impikan, keajaiban yang diciptakan Tuhan untuk kalian, keajaiban yang
tanggung belum pernah kalian lihat .... Ini, silakan kalian periksa keajaiban itu berada
di sini.”
Meski suaranya tidak enak didengar, tapi dia memang pandai bicara hingga
menimbulkan daya pikat yang besar, seluruh hadirin sama menoleh ke arah yang
ditudingnya.
Betul juga, hadirin sama menjerit tertahan dan melongo seketika, keajaiban yang
dikatakan Keh-siangkong ternyata adalah seorang gadis berbaju putih, berambut
panjang hitam legam dan terurai di atas pundak.
Gadis ini berdiri malu-malu, wajahnya putih bersih dan molek, meski pucat karena
takut, gayanya ternyata memesona dan menimbulkan rasa belas kasihan. Kedua bola
matanya yang bercahaya bening juga memancarkan rasa kaget, takut, dan malu, mirip
seekor rusa yang baru tertangkap dari hutan. Tubuhnya semampai, dadanya montok,
karena dipandang sekian banyak orang ia kelihatan gemetar.
Melihat hadirin terpesona, tersimpul senyuman licik pada wajah Keh-siangkong, sekali
raih dia tarik gadis itu, lalu serunya, “Inilah bidadari dari kahyangan, permaisuri raja,
entah kapan kalian mendapat rezeki, barang siapa dapat memberikan tawaran
tertinggi, bidadari ini akan menjadi miliknya, bila hatimu kesal, dia bisa bernyanyi
menghiburmu, bila kau kesepian dia akan mendampingimu menikmati surga dunia,
badannya yang mulus, hangat dan kenyal ini adalah obat untuk melenyapkan
kesepian.”
Mendengar komentarnya, hadirin berduduk mematung terkesima. Entah berapa lama
kemudian tiba-tiba terdengar seorang berseru lantang, “Kalau dia begitu
menggiurkan, kenapa tidak kau pakai sendiri?”
Hadirin memang takut berhadapan dengan Keh-pak-bwe yang suka menggorok
pembelinya ini, khawatir dikibuli.
Keh-siangkong terkekeh, katanya, “Kenapa tidak kupakai sendiri? .... Hahaha, terus
terang saja, soalnya ‘harimau betina’ di rumah terlalu lihai, kalau tidak, masa aku mau
menjualnya?”
Hadirin saling pandang, masih curiga, juga kurang percaya.
Keh-siangkong memancing lagi, “Ayolah, apa lagi yang kalian tunggu?”
Mendadak dia menarik baju si gadis hingga kelihatan bahunya yang putih melebihi
pakaiannya, payudaranya yang mengintip tampak mengilat lagi padat.
Keh-siangkong berteriak-teriak, “Gadis seperti ini, apa kalian pernah melihatnya? Bila
ada orang berani bilang dia kurang cantik, pasti dia lelaki tolol, lelaki buta.”
Belum habis bicaranya, seorang lelaki bermuka burik segera berdiri, serunya, “Baik,
aku tawar seribu ... seribu lima ratus tahil ....”
Ternyata tawaran pertama ini mendapat sambutan orang banyak, maka di sanasini
orang lantas berlomba, “Seribu delapan ratus tahil ... dua ribu tahil ... tiga ribu ....”
Lelang berjalan terus, badan si gadis makin gemetar, matanya yang sayu mulai
berkaca-kaca, makin dipandang Jit-jit makin merasa kasihan, dia membatin, “Gadis
cantik molek ini, mana tega aku melihat dia terjatuh ke tangan lelaki busuk ini ....”
Entah mengapa mendadak terasa darahnya mendidih, tanpa pikir ia ikut berteriak,
“Aku tawar delapan ribu tahil.”
Hadirin melongo, tapi pemuda berbaju sutra di seberang Cu Jit-jit tiba-tiba
tersenyum, serunya, “Selaksa tahil!”
Berkilat bola mata Keh-siangkong, wajahnya kegirangan, hadirin tersirap kaget oleh
tawaran yang teramat tinggi ini. Cu Jit-jit mengertak gigi, mendadak dia berseru pula,
“Dua laksa tahil perak!”
Harga ini terlebih mengejutkan, keruan hadirin menjadi gempar. Gadis itu angkat
kepalanya dan menatap Cu Jit-jit dengan heran dan juga senang.
Dengan tertawa Keh-siangkong
“Bagaimana Ong-kongcu?”
menatap
pemuda
berbaju
sutra,
tanyanya,
Pemuda itu tertawa sambil menggeleng kepala.
Keh-siangkong lantas menghadap ke arah Cu Jit-jit, katanya sambil menghormat,
“Selamat nona, gadis secantik bidadari ini kini sudah menjadi milik nona, entah di
mana uang nona? Hahaha, dua laksa tahil perak sungguh teramat murah!”
Jit-jit jadi melenggong, sahutnya dengan gelagapan, “Uang ... uang tidak kubawa, tapi
... dua hari ....”
Kontan Keh-siangkong menarik muka, katanya, “Apa nona berkelakar? Tanpa uang
mana bisa bicara jual-beli?”
Ruang besar ini seketika penuh suara gelak tertawa, ada yang mencemooh, ada
yang berolok.
Merah muka Jit-jit, dari malu dia jadi gusar, baru saja dia hendak menyemprot
mereka, tiba-tiba sastrawan tua miskin yang sejak tadi duduk dengan mata terpejam
itu membuka matanya dan berkata, “Tidak apa-apa, uang akan kupinjamkan
padamu.”
Hadirin melengak kaget, Jit-jit juga terbeliak, kakek ini kelihatan rudin, mana punya
uang untuk dipinjamkan padaku segala.
Keh-siangkong menyengir, katanya, “Nona ini tidak dikenal engkau orang tua, mana
....”
Kakek rudin tertawa dingin, “Kau tidak memercayainya, aku justru percaya padanya,
soalnya kalian tiada yang kenal siapa dia, aku orang tua sebaliknya mengenalnya
dengan jelas.”
“Siapa nona ini?” tanya Keh-siangkong heran.
Kakek rudin berkata, “Kau Keh-pak-bwe hanya mahir menipu uang orang lain, biar
kau menipu tiga puluh tahun lagi juga belum dapat membandingi secuil kuku
bapaknya. Tidak perlu kubicara banyak, cukup kuberi tahukan padamu, dia she Cu.”
Keh-siangkong terperanjat, serunya, “She Cu, apakah ... apakah dia putri mestika
keluarga Cu?”
Kakek rudin mendengus sambil memejamkan mata pula, pandangan hadirin serentak
beralih kepada Cu Jit-jit semua memandangnya dengan terbelalak.
Sejak dahulu kala uang memang punya daya pikat luar biasa, manusia mana pun
tidak terkecuali. Terutama orang berwatak seperti Keh-siangkong, dia lebih tahu
betapa hebat daya tarik uang di dunia ini.
Sikapnya yang meremehkan tadi kini berubah tertawa lebar hingga kedua matanya
hampir terpejam, katanya, “Baiklah, bila engkau orang tua yang menanggung, apa
pula yang perlu kukatakan .... Fifi, sejak kini kau menjadi milik nona Cu ini, lekas ke
sana!”
Orang paling terkejut di dalam ruang ini adalah Cu Jit-jit sendiri, sungguh dia tidak
mengerti dari mana kakek rudin ini mengenal dirinya. Tidak habis pula herannya
manusia semacam Keh-siangkong ternyata menaruh kepercayaan penuh kepada
kakek rudin ini. Padahal kakek ini kurus kering, pakaiannya,
topinya, harta miliknya dari kepala sampai ke kaki paling-paling cuma berharga satu
tahil perak saja.
Gadis baju putih itu lantas menghampiri Jit-jit, sinar matanya tampak terang, lembut
dan tetap malu-malu. Segera dia berlutut memberi hormat serta menyapa dengan
suara merdu, “Lanli (perempuan kesusahan) Pek Fifi menyampaikan sembah hormat
kepada nona Cu.”
Lekas Jit-jit menariknya bangun, sebelum dia bicara didengarnya Tiong-goan-
beng-siang Auyang Hi berseru lantang, “Acara baik masih ada pada babak terakhir,
kuyakin hadirin sedang menunggu dan ingin lihat barang dagangan Leng-jiya.”
Hadirin sama mengiakan.
Timbul rasa ingin tahu Cu Jit-jit. “Orang macam apa pula Leng-jiya itu? Orang-orang
ini kelihatan sangat segan kepadanya, tentu dia seorang luar biasa.”
Waktu matanya mengerling, tampak puluhan pasang mata hadirin sama menatap ke
arah kakek rudin kurus itu. Keruan Jit-jit kaget, “Jadi Leng-jiya adalah kakek ini?”
Waktu dia menoleh, mendadak dilihatnya di belakang pemuda berbaju sutra tahu-tahu
berdiri seorang kacung berwajah bersih, kacung ini tengah menatapnya dengan tajam,
Jit-jit merasa pernah melihat wajah si kacung, cuma tidak ingat di mana pernah
melihatnya.
Sementara itu si kakek rudin telah membuka mata dan batuk dua kali, lalu katanya,
“Go-ji, sekali ini apa saja yang kita bawa, satu per satu boleh kau sebutkan supaya
hadirin tahu, ingin kulihat berapa pula tawaran yang diajukan mereka.”
Go-ji (anak sengsara), anak yang berperawakan kurus hitam dan berdiri di
belakangnya mengiakan dengan suara lemah seperti sudah tidak makan tiga hari,
dengan perlahan ia tampil ke depan, lalu serunya, “Lima puluh kuintal Ohliong-teh.”
Setelah terjadi tawar-menawar yang cukup seru terhadap daun teh terkenal itu,
seorang pedagang besar penduduk Lokyang menutupnya dengan harga lima ribu
tahil perak.
Go-ji berseru pula, “Tong-hoa-yu lima ratus tong .... Tinta bak seribu potong ....”
beruntun dia sebutkan delapan jenis barang dagangan, setiap jenis adalah
barang-barang produksi suatu daerah yang jarang ada di pasaran, dalam sekejap
barang-barang itu sudah terjual habis dengan harga tinggi.
Cu Jit-jit menyaksikan perak sebungkus demi sebungkus digaruk seluruhnya oleh
Leng-jiya, namun barang-barang yang disebutkan tadi satu pun tidak kelihatan, maka
dia membatin, “Agaknya Leng-jiya memang seorang pedagang besar sehingga dia
mendapat kepercayaan orang sebanyak ini, tapi kenapa dia justru berdandan mirip
orang rudin? Ah, mungkin kakek ini seorang kikir.”
Kemudian Go-ji berseru pula, “Bik-kin-hiang-to tersedia lima ratus kuintal.”
Sejak tadi Keh-siangkong kelihatan duduk tenang sambil udut tembakau dengan
merem melek, begitu mendengar ‘Bik-kin-hiang-to-bi’ (beras unggul gagang wangi),
matanya mendadak bersinar, serunya segera, “Partai itu kuborong seluruhnya!”
“Berapa tawaranmu?” tanya Go-ji.
Keh-siangkong tampak berkerut kening, setelah berpikir dia pura-pura murah hati,
katanya, “Selaksa tahil!”
Beras unggul gagang wangi memang jarang ada di pasaran, kalau ada, harga
pasaran sekuintal juga cuma dua puluhan tahil saja, bahwa Keh-siangkong berani
menutup dengan harga setinggi itu memang sudah terhitung berani.
Tak nyana si pemuda berbaju sutra mendadak berseru dengan tertawa, “Selaksa
lima ribu tahil!”
Keh-siangkong tampak melengak, akhirnya dia mengertak gigi dan berteriak,
“Selaksa enam ribu.”
Ong-kongcu berseru, “Dua laksa.”
“Hah, dua laksa? .... Ong-kongcu, apa kau bergurau? Sejak dulu kala beras unggul ini
tiada harga setinggi itu.”
Ong-kongcu tersenyum, katanya, “Kalau kau tidak berani beli, tiada orang memaksa.”
Air muka Keh-siangkong berubah pucat, menghijau lalu merah padam, giginya
bergemertuk, sesaat dia melenggong, akhirnya berteriak lagi, “Baik kubayar dua
laksa seribu.”
Harga ini jelas jauh melampaui harga pasaran, bahwa Keh-siangkong yang sering
menggaruk uang orang lain secara nakal ini berani membayar setinggi ini, hadirin
sama kaget dan heran, di sana-sini mulai terdengar bisik-bisik.
Ong-kongcu mendadak berseru, “Tiga laksa!”
Kali ini Keh-siangkong melompat bangun dari tempat duduknya, teriaknya, “Tiga
laksa? Apa kau ... kau gila?”
Ong-kongcu menarik muka, jengeknya, “Keh-heng, kalau bicara harap hati-hati.”
Keh-pak-bwe, si Pembeset Kulit yang terkenal nakal ini ternyata jeri terhadap pemuda
lemah lembut yang baru keluar kandang macam Ong-kongcu ini, dia tidak berani lagi
berkata kotor, dengan lemas dia duduk pula di kursinya, mukanya pucat dan penuh
keringat.
Go-ji lantas berkata, “Tiada penawaran lagi, baiklah barang itu akan diserahkan
kepada Ong-kongcu!”
“Nanti dulu,” mendadak Keh-siangkong berseru sambil menggebrak meja, teriaknya
dengan suara parau, “Kutambah menjadi tiga laksa seribu .... Nah, Ong-kongcu, harga
ini sudah memeras keringatku, kumohon kepadamu, jangan ... jangan berebut lagi
denganku.”
Ong-kongcu tertawa lebar, katanya, “Baiklah, hari ini aku mengalah kepadamu.”
Keh-pak-bwe tampak kegirangan, segera dia keluarkan uang dan menghitung, bahwa
dia membayar lima ratus kuintal beras dengan harga setinggi itu, ternyata masih
kegirangan, tiada hadirin yang tidak heran, siapa pun tidak mengerti mengapa
Keh-pak-bwe hari ini mau berdagang rugi.
Setelah menerima uang dan memberikan tanda terima, Go-ji lantas tertawa seperti
mengalami sesuatu kejadian yang amat menyenangkan, demikian pula Ong-kongcu
juga tertawa lebar.
“Apa ... apa yang membuatmu tertawa?” tanya Keh-pak-bwe.
“Di kota Kayhong ada seorang saudagar yang berani membayar lima laksa tahil
untuk lima ratus kuintal beras unggul gagang wangi, maka sekarang kau berani
membayar tiga laksa tahil perak untuk jumlah beras yang sama, betul tidak?”
Berubah air muka Keh-pak-bwe, serunya, “Dari ... dari mana kau tahu?”
Go-ji tertawa geli, katanya, “Pedagang yang menawar lima laksa tahil untuk membeli
beras jenis itu di Kayhong itu sengaja diutus oleh Leng-jiya kita, bila kau
bawa beras itu ke Kayhong, tentu orang itu juga sudah pergi. Hahaha ... Keh-
pak-bwe, siapa nyana sekali tempo kau pun akan mengalami rugi, biasanya kau
menipu, hari ini kau tertipu.”
Pucat pasi muka Keh-pak-bwe, katanya, “Tapi, Ong ... Ong-kongcu ....”
Go-ji menjelaskan, “Ong-kongcu juga sudah dipesan oleh Leng-jiya untuk
memerankan sandiwara ini hingga kau tertipu ....”
Belum habis dia bicara Keh-pak-bwe meraung terus menubruk maju.
Mendadak melotot mata Leng-jiya, jengeknya, “Kau mau apa?”
Melihat sorot mata tajam orang, Keh-pak-bwe seperti kena dicambuk, seketika
kuncup nyalinya, lekas dia mundur kembali, sesaat dia melongo, lalu mendekap
muka dan menangis tergerung-gerung.
Tak tahan Jit-jit, dia tertawa geli, demikian pula hadirin ikut bertepuk, bahwa Keh-
pak-bwe juga kena tipu, siapa pun merasa girang.
Leng-jiya tersenyum, katanya, “Si Yong-kui tadi ditipunya, Go-ji, hitung tiga ribu tahil
dan kembalikan kepada juragan Si, bulu kambing tumbuh di atas badan kambing,
hendaknya Si-heng jangan sungkan!”
Sudah tentu Si Yong-kui kegirangan, berulang dia ucapkan terima kasih.
Dalam hati Cu Jit-jit juga memuji, baru sekarang dia tahu kakek rudin mirip pengemis,
Leng-jisiansing, bukan saja seorang lelaki hebat, ternyata juga bukan orang kikir
seperti diduganya semula.
Kini mata Leng-jisiansing terpejam pula, sikap Go-ji kembali lesu seperti tidak punya
semangat, lalu katanya perlahan, “Masih ada ... delapan ratus ekor kuda pilihan.”
“Delapan ratus kuda pilihan”, sungguh menarik perhatian hadirin, terutama dua
kelompok orang yang duduk seberang-menyeberang, kedua kelompok itu sama
terbelalak dengan bersemangat.
Kedua kelompok orang ini, masing-masing terdiri dari tiga orang dan dua orang.
Kelompok tiga orang itu adalah lelaki yang bertampang jelek, kulit daging pada
mukanya benjol-benjol. Sementara kedua orang yang lain, seorang bermuka kuning
seperti disepuh emas, mirip orang berpenyakitan, seorang lagi bermata elang
berhidung betet, alisnya tebal, wajahnya bengis, gagah dan kasar, sikapnya kelihatan
angkuh, seperti tidak pandang sebelah kepada siapa pun.
Sepintas pandang Cu Jit-jit lantas tahu bahwa kelima orang ini pasti orang-orang
gagah dari golongan hitam, tenaga mereka pun pasti besar. Ketiga lelaki itu
serempak berdiri, orang pertama berseru, “Siaute Ciok Bun-hou.” “Siaute Ciok
Bun-pa,” sambung orang kedua.
Orang ketiga berseru juga, “Siaute Ciok Bun-piau.” Mereka bicara dengan
membusung dada, sikapnya garang dan bertolak pinggang, agaknya sengaja mau
pamer kekuatan.
Mendengar nama ketiga orang ini, Si Yong-kui dan lain-lain tampak berubah air
mukanya. Auyang Hi lantas bergelak tawa, katanya, “Kaum persilatan siapa yang
tidak tahu nama besar Ciok-si-sam-hiong (tiga jago keluarga Ciok) dari
Bing-hou-kang, buat apa pula kalian harus memperkenalkan diri.”
Ciok Bun-hou bergelak, katanya, “Betul, mungkin Auyang-heng juga tahu, kehadiran
kami ini adalah untuk kedelapan ratus ekor kuda itu, semoga kalian sudi memberi
muka kepada kami bersaudara, supaya kami tidak pulang dengan bertangan kosong.”
Ketiga Ciok bersaudara lantas bergelak tertawa, paduan suara tertawa yang
keras ini serasa menggetar atap rumah. Umpama ada pihak lain bermaksud
membeli kuda pasti akan kuncup nyalinya dan mundur teratur.
Ciok Bun-hou bertiga menyapu pandang hadirin, sikapnya takabur dan bangga.
Tak terduga lelaki hidung betet tiba-tiba menjengek, “Kurasa kalian memang akan
pulang dengan tangan kosong.” Suaranya tidak keras, tapi setiap hadirin dapat
mendengar dengan jelas. Ciok Bun-hou menarik muka, serunya gusar, “Apa
katamu?” Lelaki berhidung betet berkata pula, “Kedelapan ratus ekor kuda itu, kami
bersaudara yang akan membelinya.” “Berdasar apa kau berani
bilang demikian?” teriak Ciok Bun-hou.
Si hidung betet menyeringai, katanya, “Di hadapan Leng-jisiansing, tentunya harus
dengan uang untuk membeli kuda, siapa berani main rebut atau merampok?”
“Bera ... berapa tawaranmu?” teriak Ciok Bun-hou.
“Berapa tawaranmu, pasti kutambah di atasmu.”
“Sebun Kau,” bentak Ciok Bun-hou, “jangan kira aku tidak mengenalmu. Mengingat
kita sesama satu golongan, selalu kami mengalah kepadamu, tapi kau ... kau terlalu
menghina orang ....”
“Memangnya apa kehendakmu?” tantang Sebun Kau.
Ciok Bun-hou gebrak meja, sebelum dia bicara Ciok Bun-pa lantas menarik
tangannya, katanya dengan suara keras dan tegas, “Bing-hou-kang kami dengan
seribuan anggota sedang menunggu kedelapan ratus ekor kuda ini untuk membuka
usaha baru, bila Sebun-heng suruh kami pulang dengan bertangan kosong, lalu cara
bagaimana kami akan memberi pertanggungan jawab.”
“Kalau kalian sedang menunggu kedelapan ratus ekor kuda ini, memangnya
Loh-be-ouw kami tidak memerlukan kuda-kuda ini? Kalau pulang bertangan kosong
kalian sukar memberi pertanggungan jawab, memangnya kami tidak harus
bertanggung jawab juga.”
Ciok Bun-piau mendadak menimbrung, “Jika demikian, biarlah kita mengalah saja.”
Sembari bicara segera dia tarik Bun-hou dan Bun-pa keluar.
Selagi hadirin heran kenapa ketiga saudara ini mendadak mau mengalah, tibatiba
sinar kemilau berkelebat, tiga golok panjang serempak membacok ke arah Sebun
Kau, bacokan keras dan keji, jika Sebun Kau terkena bacokan ini, badannya pasti
hancur.
Betapa ganas serangan golok ketiga saudara Ciok ini, ternyata Sebun Kau juga sudah
waspada dan siaga, dia tertawa dingin, sekali mengegos dapatlah menghindar.
Yang jadi korban adalah kursi tempat duduk Sebun Kau tadi terbacok hancur lebur.
Keruan Si Yong-kui dan lain-lain sama berteriak kaget.
Membara mata Ciok Bun-hou, teriaknya serak, “Bukan kau yang mampus biar aku
yang mati, ayo sikat dia.”
Kembali tiga batang golok mereka berputar pula dan hendak menerjang lagi.
Lelaki muka kuning yang tidak bersuara sejak tadi mendadak berdiri, hanya sekali
berkelebat tiba-tiba Sebun Kau ditariknya menyingkir sambil membentak, “Berhenti
sebentar, dengarkan perkataanku.”
Walau wajahnya kuning seperti orang sakit, tapi gerak-geriknya ternyata gesit dan
mengejutkan.
Ciok Bun-hou bertiga terpaksa berhenti, katanya, “Baik, coba kita dengarkan apa
yang hendak dikatakan Liong Siang-peng.”
Liong Siang-peng lantas berkata, “Bila kita berkelahi di sini, di samping menimbulkan
permusuhan sesama orang Kangouw, rasanya juga tidak enak terhadap
Auyang-heng, maka menurut pendapatku, lebih baik ....”
“Bagaimanapun juga kedelapan ratus ekor kuda itu adalah bagian kami,” tukas Ciok
Bun-hou lantang.
Liong Siang-peng atau Liong si Sakit Melulu tertawa, katanya, “Kalian ingin
mendapatkannya, orang lain juga tidak mau mengalah, bukankah terpaksa harus
diselesaikan dengan pertarungan sengit. Tapi kalau masing-masing pihak mau
membagi empat ratus ekor kuda, permusuhan kan tidak perlu terjadi.”
Ciok bersaudara saling pandang, Ciok Bun-pa lantas berkata, “Ucapan Lionglotoa
memang beralasan ....”
“Kalau begitu marilah kita saling tepuk tangan sebagai tanda perjanjian,” ucap Liong
Siang-peng.
Ciok Bun-hou berpikir sejenak, akhirnya dia menjawab, “Baiklah, empat ratus ekor
kuda sementara juga cukup.”
Lalu dia mendahului maju ke depan.
Liong Siang-peng juga menyongsong maju dengan tertawa, masing-masing
mengulurkan tangan, mendadak dari tangan kiri Liong Siang-peng menyambar dua
titik sinar dingin, berbareng tangan kanan juga menghantam, “blang”, dengan telak
dada Ciok Bun-hou digenjotnya, kedua bintik sinar itu pun tepat mengenai leher
Bun-pa dan Bun-piau.
Terdengar ketiga bersaudara itu menjerit ngeri, tubuh sempoyongan, mata melotot
gusar, lama mereka menatap Liong Siang-peng, teriaknya dengan suara parau, “Kau
... kau ....”
Belum lanjut suaranya, Ciok Bun-hou menyemburkan darah hitam, wajah Bun-pa dan
Bun-piau juga berubah hitam. Satu per satu mereka roboh tersungkur, tiga orang
segar bugar dalam sekejap telah melayang jiwanya menjadi mayat.
Semua hadirin terbelalak kaget, sementara itu dengan tenang Liong Siang-peng
berjalan balik ke tempat duduknya, tetap seperti orang penyakitan yang lemah dan
acuh tak acuh, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
Wajah Auyang Hi tampak gusar tapi entah mengapa akhirnya dia menahan rasa
gusarnya. Semula Cu Jit-jit juga gusar, tapi kejap lain dia berpikir, “Orang lain tidak
peduli, buat apa aku usil, memangnya urusanku belum cukup merepotkan?”
Ternyata Go-ji juga bersikap tak acuh, katanya dingin, “Setelah terjadi pembunuhan,
apakah jual-beli tetap menggunakan uang?”
Sebun Kau tertawa, serunya, “Tentu saja pakai uang.” Diturunkan ransel yang
digendongnya di atas meja, perlahan dia buka buntelan kain kuning itu, ternyata
isinya emas murni.
“Berapa nilainya?” tanya Go-ji. Sebun Kau tertawa, katanya, “Dua ribu tahil, kukira
cukup.” Tak nyana Ong-kongcu yang pendiam dan pemalu itu mendadak angkat
kepala,
katanya dengan tersenyum, “Siaute tawar dua ribu seratus tahil!” Mendengar
tawarannya, hadirin kaget, Jit-jit juga berubah air mukanya. Sebun Kau menyeringai,
katanya, “Apakah Siangkong ini tidak berkelakar?” Ong-kongcu tertawa, “Tiga sosok
mayat masih ada di sini, apakah tega orang
berkelakar di hadapan mayat?”
Sebun Kau berputar menghadap ke arahnya, selangkah demi selangkah dia
menghampirinya, setiap langkahnya makin menimbulkan suasana tegang.
Pandangan semua orang tertuju kepadanya sehingga siapa pun tidak menyadari
tahu-tahu Liong Siang-peng sudah melayang ke belakang Ong-kongcu tanpa
mengeluarkan suara sedikit pun, perlahan dia angkat telapak tangannya.
Ong-kongcu masih tetap tidak merasakan ancaman bahaya, Sebun Kau menyeringai,
“Bila kau mampu menghindar tiga kali pukulanku, kedelapan ratus kuda ditambah
emas ini akan menjadi milikmu.”
Pada akhir perkataannya, secepat kilat kedua tangannya menggempur kedua pundak
Ong-kongcu.
Pada saat yang sama, dari kedua tangan Liong Siang-peng juga menyambar tujuh
bintik sinar dingin, jadi dua orang menggencet dari depan dan belakang, bukan saja
jiwa Ong-kongcu terancam, kacung di belakangnya juga sukar terhindar dari
malapetaka.
Cu Jit-jit menjerit sambil melompat bangun.
Pada saat itulah mendadak lengan baju Ong-kongcu menggulung ke belakang, di
belakang kepalanya seperti bermata, demikian pula lengan bajunya seperti ular sakti,
ketujuh bintik sinar dingin itu tergulung semua ke dalam lengan bajunya, sekali kebut
lagi ke depan, bintik tajam itu langsung menyambar ke dada Sebun Kau.
Sebun Kau menjerit ngeri, mendekap dada sambil mundur terhuyung. Muka Liong
Siang-peng juga berubah pucat, tapi dia tidak gugup, kedua tangan mengkeret ke
dalam lengan baju, waktu dikeluarkan lagi setiap tangan sudah memegang sembilan
badik, di mana sinar gemerdep segera badik menikam punggung Ong-kongcu.
Betapa keji serangannya, badik itu juga hitam gilap, jelas dilumuri racun jahat, bila
Ong-kongcu tergores sedikit saja kulit badannya, jangan harap bisa hidup lagi.
Tapi Ong-kongcu tetap tidak berpaling, hanya sedetik itu, mendadak tubuhnya
mengapung ke atas hingga kedua badik menusuk punggung kursi kayu cendana
yang berukir. Saking kaget, kuncup nyali Liong Siang-peng, dia tidak berani turun lagi
ia putar badan terus kabur.
Ong-kongcu tersenyum, katanya, “Ini pun bawa pulang saja!”
Waktu mengucapkan “ini” dari lengan bajunya melesat setitik sinar dingin, ketika
mengatakan “pulang” sinar dingin itu lantas bersarang di punggung Liong Siangpeng.
Bila dia selesai berkata, Liong Siang-peng pun menjerit dan terkapar di lantai, kaki
tangan berkelojotan, lalu tak bergerak lagi.
Bukan saja tidak pernah menoleh, bahkan Ong-kongcu tetap bersenyum, hanya
mulutnya berkata, “Sungguh Am-gi (senjata rahasia) yang jahat, tapi Am-gi itu milik
dia sendiri.”
Ternyata dalam lengan bajunya masih menyimpan sebuah Am-gi lawan, padahal jari
tangannya saja tidak bekerja, tapi kedua begal besar yang beroperasi di Lohbe-ouw
telah disikatnya.
Melihat demonstrasi menangkap Am-gi, lalu balas menyerang pula hanya dengan
lengan baju saja, seluruh hadirin sama kagum, tapi sikap Ong-kongcu tetap wajar dan
tak acuh, seolah-olah membunuh orang bukan perbuatan jahat, keruan hadirin sama
melongo dan tiada yang berani menanggapi perkataannya.
Cu Jit-jit juga terkesiap, pikirnya, “Pemuda yang kelihatan lemah lembut ini ternyata
memiliki kungfu yang luar biasa, hatinya kejam dan tindakannya ganas, sungguh
mimpi pun orang tidak menyangka ....”
Waktu ia menoleh, tiba-tiba dilihatnya kacung yang berdiri di belakangnya itu juga
tengah mengawasinya dengan tersenyum, matanya yang lincah melirik sana-sini,
seperti banyak persoalan hendak diberitahukan kepadanya.
Heran dan gusar hati Jit-jit, pikirnya, “Kenapa keparat ini menatapku sedemikian
rupa? Mungkinkah dia kenal aku? Wajahnya memang seperti pernah kukenal, tapi
kenapa aku tidak ingat di mana pernah bertemu dengan dia?”
Dia duduk termenung, sedang si gadis baju putih, Pek Fifi, dengan lembut berdiri di
sampingnya, senyumnya yang menarik sungguh siapa pun akan tergiur.
Tapi bagaimanapun Jit-jit sukar mendapatkan jawaban, pikir punya pikir, akhirnya dia
teringat kepada Sim Long. “Di mana Sim Long? Sedang apa dia sekarang? Apakah
dia juga sedang merindukan diriku?”
Tiba-tiba didengarnya Auyang Hi berkata di sampingnya dengan tertawa, “Perjamuan
makan malam sudah disiapkan, nona Cu ikut hadir?”
Selama dua hari ini, baru sekarang Jit-jit mendengar perkataan ramah terhadap
dirinya. Cepat dia menarik napas, dengan tertawa dia mengangguk serta berdiri.
Baru sekarang didapatinya separuh hadirin sudah meninggalkan tempat ini, mayat
juga sudah digotong pergi, tanpa terasa merah mukanya, diam-diam dia tanya diri
sendiri, “Kenapa setiap merindukan Sim Long aku lantas linglung dan lupa daratan?”
Santapan yang dihidangkan memang hebat, bukan saja banyak jenisnya, juga
makanan kelas satu semua. Leng-jisiansing melalap hidangan dengan lahap, apa
yang disenangi seperti dituang saja ke dalam perut.
Selama hidup Cu Jit-jit juga belum pernah makan sepuas dan sekenyang ini, entah
dari mana datangnya selera, yang terang perutnya memang lapar.
Hanya Ong-kongcu dan dua orang lagi yang jarang menggerakkan sumpitnya,
agaknya menonton orang makan saja perut mereka ikut kenyang.
Sambil makan Auyang Hi masih terus mencerocos hingga makanan di mulutnya sering
tersembur keluar, di samping minta maaf karena sejak bertemu dia tidak kenal bahwa
Cu Jit-jit adalah putri kesayangan keluarga Cu, ia pun sibuk memperkenalkan Cu Jit-jit
kepada hadirin lainnya. Jit-jit ogah melayani pembicaraannya, paling hanya
mengangguk atau menggeleng dengan tertawa.
Mendadak Auyang Hi berkata, “Ong-kongcu ini juga putra keluarga terhormat di
Lokyang, asal nona Cu melihat perusahaan bermerek Ong-som-ki, semua itu adalah
milik keluarga Ong-kongcu, bukan saja dia ....”
Mendengar “Ong-som-ki”, hati Jit-jit seketika seperti kena cambuk sekali, darah
seketika bergolak hingga apa perkataan Auyang Hi selanjutnya tidak diperhatikan lagi.
Waktu dia memandang ke sana, Ong-kongcu dan kacungnya yang cakap itu pun
sedang mengawasinya dengan tertawa.
Ong-kongcu tertawa sambil memperkenalkan diri, “Cayhe she Ong, bernama
Ling-hoa ....”
Dengan suara gemetar Jit-jit menukas, “Kau ... kau ... toko peti mati itu ....”
Ong-kongcu tertawa, “Apa maksud nona Cu?”
Wajah Jit-jit yang sudah merah karena menenggak arak seketika pucat, matanya
terbeliak menyorotkan rasa kaget dan ngeri, pikirnya, “Ong-som-ki ... janganjangan
Ong Ling-hoa ini pemuda bergajul yang berhati iblis itu .... Ah, betul, kacung itu
bukankah gadis berbaju putih itu, pantas aku merasa mengenalnya, dia mengenakan
pakaian lelaki hingga aku pangling padanya ....”
Melihat Jit-jit pucat dan menggigil, Auyang Hi kaget dan heran, tanyanya dengan
menyengir, “Nona Cu, engkau ....”
Dengan menggigil mendadak Cu Jit-jit melompat berdiri, “blang”, kursi yang
didudukinya tergetar roboh, Jit-jit menyurut mundur, serunya gemetar, “Kau ... kau ....”
mendadak dia putar tubuh terus angkat langkah seribu seperti melihat setan.
Terdengar beberapa orang berteriak-teriak di belakang, “Nona Cu ... tunggu ... nona
Cu!”
Di antaranya terselip juga suara Pek Fifi yang minta dikasihani, “Nona Cu, bawa
serta hamba ....”
Mana Jit-jit berani berpaling. Entah sejak kapan di luar turun hujan deras, Jit-jit juga
tidak menghiraukan lagi, dia terus lari ke depan tanpa membedakan arah, juga tidak
peduli jalan apa. Sorot mata Ong Ling-hoa yang mengandung daya iblis itu seperti
mengejar di belakangnya.
Memang benar ada orang mengintil di belakangnya, bila dia berhenti, orang itu
segera seperti akan menubruknya.
Lari dan lari terus sampai napas Jit-jit sudah ngos-ngosan, kedua matanya juga
sukar terpentang lagi karena diguyur air hujan, dia tahu bila dirinya terus berlari di
tengah hujan begini, andaikan tidak mati juga pasti akan jatuh sakit.
Lapat-lapat dilihatnya bayangan beberapa rumah di depan, satu di antaranya ada
cahaya yang menyorot keluar, pintunya juga seperti terbuka, Jit-jit tidak peduli lagi,
langsung dia menerobos ke dalam, begitu berada di dalam rumah dia lantas rebah di
lantai.
Setelah mereda napasnya baru dia sempat perhatikan keadaan setempat, rumah ini
ternyata sebuah biara bobrok yang sudah lama tidak terawat, galagasi terdapat di
mana-mana, patung pemujaan pun sama roboh.
Tepat di tengah ruang pemujaan ada api unggun yang sedang menyala, yang duduk
di tepi api unggun memanaskan badan adalah seorang nyonya berbaju hijau dan
sedang mengawasinya dengan heran, waktu dia menoleh, hujan masih tertuang dari
langit, mana ada bayangan orang mengejarnya.
Setelah tenangkan diri, Jit-jit membetulkan badan dan menyapa dengan tertawa,
“Popo (nenek), bolehkah aku ikut memanaskan badan?”
Sikap nyonya berbaju hijau kelihatan welas asih, tapi hanya mengangguk tanpa
bicara.
Rambut Jit-jit semrawut, pakaian basah kuyup dan lengket di badan hingga potongan
badannya yang menggiurkan tampak jelas, diam-diam dia bersyukur, “Untung
seorang perempuan tua, kalau lelaki bukankah amat memalukan.”
Namun demikian ia pun merasa kupingnya panas, dengan perasaan malu dan tidak
tenteram dia membetulkan rambutnya, hingga wajahnya yang molek kelihatan jelas.
Agaknya nyonya berbaju hijau itu pun tidak menyangka gadis yang basah kuyup ini
bisa sedemikian cantiknya, sorot matanya yang semula dingin mulai kelihatan ramah,
dengan menggeleng kepala dia berkata, “Kasihan, pakaianmu basah kuyup, apa tidak
dingin?”
Jit-jit menarik napas, tubuhnya memang lagi menggigil, mendengar perkataan orang
seketika dia tambah gemetar, meski sudah berada di pinggir api unggun, pakaian
basah yang lengket di badannya terasa sedingin es.
Dengan suara lembut nyonya berbaju hijau berkata, “Di sini tiada orang lelaki, lebih
baik kau buka pakaian basahmu, setelah dipanggang kering tentu akan merasa
hangat.”
Walau sungkan dan rikuh, tapi rasa dingin yang merasuk tulang tak tertahan lagi,
terpaksa Jit-jit mengangguk, perlahan dia mulai membuka baju. Meski di hadapan
sesama perempuan, tak urung merah juga muka Jit-jit, cahaya api menambah merah
pipinya, menyinari potongan tubuhnya yang aduhai ....
Tiba-tiba Cu Jit-jit bersuara tertahan, pakaian dalamnya tak berani dilepas lagi,
padahal pakaian dalam juga basah kuyup hingga hampir tembus pandang, cepat ia
berjongkok, dan berharap pakaiannya lekas kering.
Mendadak di luar seperti ada orang berdehem perlahan.
Keruan Cu Jit-jit kaget, badannya mengkeret, serunya dengan gemetar, “Sia ... siapa
di luar?”
Suara serak tua berkata di luar tembok, “Hujan sangat lebat, orang beragama biar
berteduh di emper saja.”
Legalah hati Cu Jit-jit, katanya, “Orang beragama ini memang orang baik, bukan saja
tidak mau masuk, jendela pun tidak dilongoknya ....”
Belum habis dia bicara, mendadak terdengar terkekeh tawa, katanya, “Walaupun ada
orang baik di luar, tapi ada Siaujin (manusia rendah) di dalam.”
Sungguh tidak kepalang kejut Cu Jit-jit, cepat dia meraih pakaian untuk menutup
dada, lalu mendongak ke arah datangnya suara. Tertampak di atas belandar yang
penuh debu dan galagasi menongol sebuah kepala, sepasang matanya yang mirip
mata kucing sedang menatap Cu Jit-jit.
Malu, gusar, dan kaget Jit-jit, ia mendamprat, “Kau ... siapa? Berapa lama kau di ... di
situ?”
“Sudah cukup lama untuk menonton seluruhnya,” ujar orang itu dengan tertawa.
Wajah Jit-jit menjadi merah, repot dia membetulkan pakaiannya, tarik sini, sana
terbuka, tarik sana, sini tersingkap, serbarepot, saking malu sungguh kalau bisa ingin
sembunyi ke dalam tanah saja.
Orang itu tergelak, katanya, “Sayang sekali mataku ini masih kurang untung, pakaian
nona yang terakhir belum dibuka, wah, sayang ....”
Malu dan gusar, segera Jit-jit mencaci, “Keparat, bajingan kau ....”
Mendingan dia tidak memaki, karena caci makinya, orang itu segera melompat turun,
Jit-jit menjerit kaget, tambah gencar caci makinya.
Tampak lelaki ini berpakaian jaket kulit yang sudah lusuh, bagian dadanya terbuka,
tangan kiri pegang buli-buli arak, di pinggang terselip sebatang golok pendek tanpa
sarung, usianya belum tua, tapi wajahnya penuh berewok, alisnya hitam tebal,
matanya mirip mata kucing dan sedang mengamati Cu Jit-jit dari kepala sampai kaki.
Makin garang Jit-jit memaki, makin senang lelaki itu.
Begitu Jit-jit bungkam, lelaki itu lantas berkata dengan cengar-cengir, “Kan tidak
kubuka pakaian nona, tapi nona sendiri yang membuka pakaian, tentu juga tidak
kurintangi, namun nona justru memakiku begitu rupa, bukankah engkau ini tidak
kenal aturan?”
Malu dan gemas Jit-jit bukan main, ingin rasanya dia gampar muka orang, tapi mana
dia berani berdiri, terpaksa dia membentak, “Kau ... keluar, setelah ... setelah aku
mengenakan pakaian.”
“Di luar hujan lebat dan dingin, nona tega suruh aku kehujanan di luar. Daripada
nona kesepian, bukankah lebih baik kutemani.”
Semula Jit-jit kira si nyonya berbaju hijau pasti seorang tokoh dunia Kangouw, melihat
kejadian ini pasti akan membelanya. Siapa tahu nyonya itu malah menyingkir ke
pinggir dengan muka pucat ketakutan.
Berputar mata Jit-jit, mendadak dia tertawa dingin, “Tahukah kau siapa aku? Hm,
inilah Moli (iblis perempuan) Cu Jit-jit, memangnya boleh dibuat permainan olehmu?
Kalau tahu diri lekas kau-lari saja, supaya tidak mati sia-sia di sini.”
Julukan “Moli” sekenanya dia sebut, maksudnya hanya untuk menggertak orang.
Semula lelaki itu melenggong, tapi segera tertawa, katanya, “Sebaliknya apa kau
tahu siapa aku?”
“Kau siapa? Apa bedanya kau dengan babi, anjing, binatang ....”
“Ketahuilah,” ujar lelaki itu sambil tepuk dada, “Hok-mo-kim-kong (raksasa penakluk
iblis) adalah nama besarku, lebih baik kau menurut saja, jangan ....”
Rasa gusar mendadak merangsang Jit-jit, bila dia sudah nekat, umpama telanjang
bulat juga berani berdiri, apalagi sekarang dia masih pakai baju dalam, mendadak dia
melompat bangun, jengeknya, “Baik, kau ingin lihat, ini, silakan lihat, lihatlah yang
jelas ... sebentar lagi nona akan mencungkil kedua matamu.”
Mimpi pun lelaki itu tidak menyangka ada perempuan seberani ini, dia benarbenar
terkejut, badan yang montok terpampang di depan matanya, entah kenapa ia malah
tidak berani memandangnya.
Jit-jit tambah nekat, dia maju selangkah pula, tanpa terasa orang itu menyurut
mundur dengan mata terbelalak.
Mendadak seorang mendengus di luar jendela, “Hm, maling cabul, keluar!”
Tampak sesosok bayangan seperti patung berdiri di luar jendela, kepalanya
mengenakan caping bambu, dagunya berjenggot, dalam kegelapan tidak terlihat jelas
wajahnya, hanya tampak punggungnya menyandang pedang, ronce hiasan pada
tangkai pedang tampak bergoyang tertiup angin.
Lelaki tadi kaget, katanya, “Kau suruh siapa keluar?”
“Kecuali kau, siapa lagi?” jengek orang di luar itu.
Lelaki itu tertawa, katanya, “Bagus, jadi aku ini maling cabul!”
Mendadak dia melompat melewati kepala Cu Jit-jit dan melayang keluar pintu.
Jit-jit tidak mengira Ginkang orang ini sedemikian tinggi, terkejut juga hatinya, segera
tertampak cahaya pedang berkelebat membendung pintu.
Badan lelaki itu terapung di udara, kedua kakinya menendang beruntun, begitu
cahaya pedang terdesak ke samping, lelaki itu melesat keluar di bawah hujan,
terdengar gelak tawanya, lalu bentaknya, “Hidung kerbau keroco, memangnya kau
ingin berkelahi?”
Bayangan di luar jendela memang seorang Tojin kurus kecil, gerak-geriknya lincah,
sinar pedangnya berkelebat lagi menusuk dada lelaki itu.
“Ilmu pedang bagus!” puji lelaki itu sambil angkat buli-buli araknya untuk menangkis,
“trang”, buli-buli arak itu ternyata terbuat dari baja, pedang si Tojin tergetar ke
samping, hampir terlepas dari cekalannya.
“Tenaga pergelangan hebat,” Tojin itu pun memuji. Dalam jangka ucapan tiga patah
kata, sekaligus ia pun menyerang tiga jurus, cepat sekali serangan berantai ini
sehingga lelaki itu tidak sempat balas menyerang dengan cara semula.
Melihat kungfu kedua orang ternyata merupakan tokoh kosen tingkat tinggi dunia
persilatan, kaget dan heran Cu Jit-jit, sesaat dia jadi melongo.
Untung perempuan berbaju hijau di belakangnya lantas bersuara lirih padanya,
“Nona, lekas pakai baju sekarang!”
Merah muka Jit-jit, katanya dengan menunduk, “Ya, terima kasih!”
Cepat dia kenakan bajunya yang masih basah, lalu melongok keluar, tertampak di
tengah hujan sinar pedang berkelebat bagai sambaran kilat naik-turun, begitu cepat
hingga hujan lebat pun tidak tembus, air muncrat ke mana-mana.
Ilmu pedangnya kelihatan tidak begitu lihai, tapi kecepatannya luar biasa, sinar
pedangnya membawa desing angin tajam. Makin dipandang makin heran, ilmu
pedang Tojin ini juga tidak di bawah Giok-bin-yau-khim Sin-kiam-jiu Ji Yok-gi yang
termasuk salah satu ketujuh jago kosen ....
Agaknya lelaki itu pun mulai gelisah, “Hidung kerbau, aku tidak ada permusuhan
denganmu, apa benar kau ingin mencabut nyawaku?”
“Peduli siapa kau dan apa sebabnya, asalkan bentrok denganku, maka dia harus
tahu pedangku selamanya tiada ampun bagi lawan.”
Lelaki itu kaget, katanya, “Orang yang tidak bermusuhan denganmu juga kau
bunuh?”
“Dapat mati di bawah pedangku sudah terhitung untung baginya,” Tojin itu
menjengek.
Dengan suara keras lelaki itu berteriak, “Sungguh keji ....”
Dalam pembicaraan singkat ini si Tojin telah menyerang belasan kali, lelaki itu
terdesak, sedikit lena jaket kulitnya tertebas sobek oleh pedang lawan. Bulu domba
pada jaketnya bertebaran di bawah hujan lebat.
Lelaki itu menjadi gugup, pedang si Tojin mendadak menyambar lewat bulibulinya
terus menusuk dada kiri, pada urat nadi yang mematikan. Serangan ini sungguh
berbahaya, kejam dan telak.
Tak tertahan Cu Jit-jit berteriak, “Orang ini tidak perlu dihukum mati, ampuni saja
jiwanya!”
Sebetulnya tak perlu Jit-jit bersuara, sebab baru separuh dia bicara, mendadak selarik
sinar putih berkelebat dari pinggang lelaki ini menyongsong tusukan pedang “Cring”,
si Tojin tergetar mundur tiga langkah, mata Cu Jit-jit cukup jeli, dia lihat ujung pedang
si Tojin terkutung sebagian.
Lelaki itu tertawa keras, katanya, “Tojin keparat, kau dapat memaksa aku
menggunakan golok pusaka di pinggangku, ilmu pedangmu boleh dipasang dalam
deretan lima ahli pedang Bu-lim zaman ini.”
Si Tojin melintangkan pedang di depan dada, siap menunggu serangan balasan lawan.
Tak tahunya lelaki itu tidak balas menyerang, di tengah gelak tertawanya mendadak ia
melompat mengapung tinggi ke atas, gelak tawanya berkumandang di udara, serunya,
“Adik manis, lain kali kalau buka baju harus periksa dulu sekitarnya, ingat ya ....” Suara
gelak tertawanya semakin jauh dalam sekejap saja lantas lenyap.
Tojin itu masih berdiri tegak di tengah hujan, air hujan menetes dari pinggir capingnya
seperti kerai air.
Jit-jit terkesima, serunya kemudian, “Toya ini silakan masuk kemari, biar kuaturkan
terima kasih.”
Perlahan Tojin itu membalik badan dan melangkah masuk ke situ. Terasa oleh Jit-jit
kehadiran Tojin ini seperti membawa nafsu membunuh. Betapa pun orang adalah
penolongnya, meski segan melihat wajah orang, tak dapat dia membuang muka.
Setelah Tojin itu masuk, Jit-jit memberi hormat, “Atas pertolongan Totiang barusan ....”
Mendadak Tojin itu menukas, “Tahukah kau siapa aku dan kenapa kutolongmu?”
Jit-jit melenggong, tak tahu bagaimana harus menjawab.
Berkata pula si Tojin dengan dingin, “Soalnya akan kubawa dirimu, maka tak boleh
kau jatuh ke tangan orang lain.”
Kaget Cu Jit-jit, serunya, “Kau ... siapa kau?”
Tojin itu mendorong capingnya ke atas hingga tampak jelas mukanya. Di bawah
cahaya api yang bergerak-gerak tertampak mukanya kuning dan kurus, di antara
mata alisnya tampak mengandung rasa dingin dan culas, siapa lagi dia kalau bukan
Toan-hong-cu, kepala biara Hian-toh-koan dari Ceng-sia, satu di antara ketujuh jago
kosen Bu-lim masa kini.
Melihat dia, perasaan Jit-jit lantas tenteram, batinnya, “Kiranya Toan-hong-cu, lelaki
tadi mengatakan dia patut dijajarkan di antara lima ahli pedang zaman ini, ternyata
juga tidak salah tebak. Lalu dari mana datangnya lelaki itu? Kungfunya ternyata
mampu menandingi salah satu dari ketujuh jago kosen Bu-lim, kenapa belum pernah
kudengar tokoh macam itu di Bu-lim?”
Hati berpikir mulut pun berkata, “Sungguh beruntung dapat bertemu dengan
Toan-hong Totiang di sini, tadi Totiang bilang hendak membawa diriku, entah untuk
keperluan apa?”
“Karena Hoa Lui-sian itulah, tentunya kau tahu sendiri.”
Diam-diam Jit-jit terkejut, tapi lantas katanya, “Hoa Lui-sian sudah berada di Jin-
gi-ceng, apakah Totiang belum tahu?”
“Kalau benar, boleh kau antar aku melihatnya ke sana.”
“Maaf, aku masih ada urusan, mau lihat, boleh kau pergi sendiri.”
Mencorong gusar sinar mata Toan-hong-cu, katanya bengis, “Perempuan bernyali
besar, berani kau membual di hadapanku, sudah puluhan tahun kumalang melintang
di dunia Kangouw, memangnya mudah kau tipu begini saja?”
“Setiap patah kataku benar, jika urusanku tidak penting, tentu boleh kuantarmu ke
sana.”
“Bila berurusan denganku, urusan penting lain harus dikesampingkan dulu.”
Kecuali Sim Long, terhadap siapa pun Jit-jit berani mengumbar adat, seketika
matanya mendelik, adat pemberangnya kambuh, serunya gusar, “Aku justru tidak
mau pergi, kau mau apa, jangan berlagak, betapa kehebatanmu, pedang pun ditebas
kutung orang ....”
Air muka Toan-hong-cu berubah kelam hardiknya beringas, “Mau tidak mau harus
pergi!”
Sinar pedang berkelebat, kedua pundak Jit-jit segera terancam.
Jit-jit jadi nekat, “Kau kira aku takut?”
Jit-jit memang tidak takut kepada siapa pun, walau lawan bersenjata pedang, jago
kosen kenamaan pula, bila kemarahannya sudah membara, apa pun tidak dihiraukan
lagi. Tahu-tahu dia memapak sambaran pedang malah, dengan gerakan menangkap
Kim-na-jiu-hoat dari Hoay-yang-pay yang meliputi 72 jurus, maksudnya hendak
merebut pedang Toan-hong-cu.
Toan-hong-cu menyeringai, katanya, “Sungguh budak yang tidak tahu tingginya langit
dan tebalnya bumi, biar kubikin cacat lengan kananmu dulu sebagai hajaran.”
Pengalaman tempur Cu Jit-jit kurang luas, tapi otaknya cerdik, mendengar ancaman
orang, dia malah membentak, “Baik, bila kau melukai tempat lain di badanku berarti
kau ini binatang!”
Tampak dia bermain secara terbuka, kecuali lengan kanan, bagian lain boleh
dikatakan tidak terjaga, pertahanan dipusatkan pada lengan kanannya tok, maka
daya serangnya cukup hebat hingga Toan-hong-cu ditandingi sama kuat.
Toan-hong-cu menyeringai, katanya, “Budak busuk dan licin!”
Pedangnya berkelebat, “sret”, ujung pedang menusuk dada kiri Cu Jit-jit.
Dada kiri Cu Jit-jit memang tidak dipertahankan, jika pedang Toan-hong-cu tidak
tertebas buntung, tusukan ini tentu sudah melukai kulit dagingnya, namun demikian
tetap dia terlambat berkelit, “bret”, baju pundaknya tersobek hingga pundaknya terlihat
jelas.
Kejut dan gusar Jit-jit, dia memaki, “Jelek-jelek kau ini seorang tokoh besar,
ucapanmu ternyata tidak dapat dipercaya.”
Jit-jit tidak tahu bahwa di hadapan orang banyak Toan-hong-cu pernah meludahi
hidangan di atas meja, lalu perbuatan kotor apa pula yang tidak berani dilakukannya?
Sambil menyeringai pedangnya mendadak menyungkit ke atas, serangan keji dan
kotor, yaitu Liau-im-sek, yang ditusuk adalah bagian selangkangan.
Sekuatnya Jit-jit menghindar, sungguh tak terpikir olehnya bahwa tokoh seperti
Toan-hong-cu juga dapat menyerang seorang gadis dengan cara yang rendah begini,
saking malu dan gusarnya, pipi Jit-jit jadi merah, makinya, “Binatang, kau ... kau
binatang.”
“Biar hari ini kau jatuh di tangan binatang,” dalam beberapa patah katanya itu,
beruntun Toan-hong-cu menyerang enam kali.
Kaget, gusar, dan malu Jit-jit, ia terkurung sinar pedang lawan, terdesak hampir tidak
mampu balas menyerang, Toan-hong-cu menyeringai, gerak pedangnya tambah berani
lagi, mengusap dada, menyontek perut, menyungkit selangkangan, semua gerakan keji
dan kotor.
Jit-jit merasa pedih membayangkan dirinya bakal terjatuh ke tangan orang rendah ini.
Sekujur badan sudah berkeringat, kaki tangan lemas, rasa takut merangsang
benaknya, tidak kepalang rasa sedih hatinya.
Dalam pada itu si nyonya baju hijau agaknya sangat ketakutan, namun tidak lupa dia
menambahi kayu kering ke dalam api unggun, asap putih lantas mengepul dan
memenuhi ruangan biara.
Desing angin pedang sementara itu telah mengoyak pakaian di depan dada Jitjit,
demikian pula bagian punggungnya, wajah Jit-jit sudah pucat dan takut.
Toan-hong-cu sebaliknya tambah beringas, gerak pedangnya makin gencar, makin
gila. Tampangnya yang semula kelihatan dingin, mungkin karena kehidupan puluhan
tahun yang mengharuskan dia mengekang nafsu sehingga menjadikan sifatnya yang
nyentrik.
Kini nafsu berahinya yang terpendam sekian tahun telah meledak, membuatnya
tersiksa dan hampir gila.
Dengan pedang buntung di tangannya dia berusaha menyalurkan nafsu yang
terpendam itu, jadi bukan ingin selekasnya menundukkan Cu Jit-jit melainkan
membikin nona itu meronta dan merintih, makin Jit-jit ketakutan dan menderita, makin
puas hatinya dan terlampias.
Setiap manusia pasti punya nafsu yang membara, cuma cara melampiaskannya
yang berbeda.
Untuk melampiaskan nafsunya, Toan-hong-cu ingin menyiksa orang, sehingga orang
itu menderita. Setiap kali bergebrak dengan musuh dan melihat musuh kesakitan,
meronta dan meratap minta ampun baru dia merasa puas. Oleh karena itu tak peduli
siapa musuhnya, betapa pun tangguh lawannya, serangannya pasti ganas.
Menghadapi sorot matanya yang membara bagai binatang kelaparan, wajahnya yang
mirip orang kesetanan, Jit-jit jadi gugup, hingga kaki tangan pun terasa lemas, akhirnya
dia jadi nekat dan membatin, “Begini Yang Kuasa menghukumku, biarlah aku mati
saja.”
Tatkala dia ambil keputusan nekat hendak menerjangkan tubuhnya ke ujung pedang
lawan, pada saat itulah dilihatnya air muka Toan-hong-cu mendadak berubah, gerak
pedang mendadak mengendur dan berhenti. Hidungnya tampak mengendus-endus
seperti mencium sesuatu, lalu menoleh mengawasi si nyonya berbaju hijau, sorot
matanya tampak gusar dan ngeri pula, serunya dengan suara serak, “Kau ... kau ....”
mendadak ia mengentak kaki serta membentak, “Tak nyana hari ini aku terjungkal di
sini.”
Belum habis bicara mendadak ia melompat ke atas dan jumpalitan di tengah udara
terus melesat pergi, tak tersangka tenaganya seperti putus tengah jalan, “blang”, ia
terbanting jatuh menumbuk kosen jendela, caping di kepalanya terpental jatuh, badan
pun terguling ke pecomberan, menggelinding dua kali, dengan pedang buntung dia
menopang badan dan merangkak bangun, lalu kabur dengan cepat.
Kejut dan heran Jit-jit, sesaat dia melenggong, “Jelas dia sudah menang, kenapa
melarikan diri malah dengan cara serunyam itu?”
Waktu dia menoleh, asap putih masih mengepul dari api unggun, nyonya berbaju
hijau duduk kaku seperti patung di tengah asap putih yang makin melebar. Wajahnya
yang semula kelihatan welas asih kini mengulum senyuman aneh sehingga orang
merasa ada semacam kekuatan gaib meliputi dirinya.
Terkesiap hati Jit-jit, ucapnya dengan suara gemetar, “Mungkinkah ... mungkinkah dia
....”
Belum habis bicara seketika ia pun merasa kaki-tangan lemas lunglai, kepala juga
pening dan pandangan gelap.
Kini dia baru sadar kenapa Toan-hong-cu melarikan diri, nyonya berbaju hijau yang
kelihatan welas asih ini ternyata seorang iblis jahat, asap putih itu mengandung racun
yang membius kesadaran orang. Siapa dia? Untuk apa dia berbuat demikian?
Tapi Jit-jit tidak sempat berpikir lagi, rasa kantuk mendadak menyerang dirinya,
kelopak mata terasa berat ... akhirnya dia rebah.
*****
Waktu Jit-jit siuman, bukan saja badan terasa kering dan hangat, malah kini dia tidur
di suatu tempat yang empuk, seperti tidur di gumpalan awan. Rasa dingin, lembap,
takut, dan panik sudah hilang semua, terbayang kejadian yang lalu, sungguh dia
merasa seperti bermimpi buruk.
Waktu dia menoleh, dilihatnya si nyonya baju hijau tetap duduk di sebelahnya, tempat
itu ternyata sebuah hotel, Jit-jit tidur di atas ranjang, nyonya berbaju hijau duduk di
pinggir ranjang. Wajahnya pulih kembali welas asih, dengan lembut dia mengelus pipi
Jit-jit, dengan suara lembut dia berkata, “Anak baik, sudah bangun, kau sakit, tidurlah
lagi.”
Terasa oleh Jit-jit jari orang seperti ular berbisa, ingin didorongnya, tapi tangan terasa
lemas tak bertenaga.
Dia terkejut dan ingin tanya, tapi hanya bibirnya yang bergerak, suara tidak dapat
keluar dari mulutnya.
Sekali ini Jit-jit betul-betul melenggong kaget, “Perempuan siluman ini telah
membuatku bisu.”
Walau banyak pengalaman ngeri yang dialaminya tapi rasa takut dan ngeri sekali ini
sungguh jauh lebih besar daripada yang sudah.
Nyonya berbaju hijau berkata pula penuh kasih sayang, “Coba lihat, begini pucat
mukamu, pasti parah penyakitmu, lekas istirahat. Sebentar bibi akan membawamu
keluar.”
Jit-jit hanya bisa mengawasi, dia ingin berteriak, “Aku tidak sakit, tidak sakit ... kau
perempuan siluman ini mencelakai aku.”
Tapi meski dia mengerahkan segenap tenaga tetap tidak mampu mengeluarkan
suara.
Dalam keadaan mengenaskan ini, nasib selanjutnya dan apa pula yang akan
menimpa dirinya sungguh tak berani dipikir lagi, dia hanya mengertak gigi supaya air
mata tidak menetes. Tapi apa pun, air mata tak tertahan lagi.
Nyonya baju hijau itu keluar sejenak, waktu datang lagi langsung ia menghampiri dan
mengangkat Jit-jit, seorang pelayan hotel ikut masuk dan mengawasi Jit-jit dengan
pandangan kasihan, katanya dengan menghela napas, “Lohujin, engkau sungguh
sabar dan telaten.”
Nyonya berbaju hijau tertawa getir, katanya, “Murid perempuanku ini sejak kecil
sebatang kara, seorang cacat lagi, kalau bukan aku yang merawat dia, lalu siapa
akan mengasuhnya .... Ai, mungkin sudah nasib, apa boleh buat.”
Pelayan itu menghela napas berulang kali, katanya, “Engkau orang tua memang baik
hati.”
Jit-jit tidak tahan dipandang kasihan, tak tahan pula mendengar percakapan itu.
Dadanya hampir meledak, rasanya ingin mengeremus bulat-bulat perempuan siluman
ini. Tapi apa boleh buat, lalat pun dia tidak mampu membunuhnya, terpaksa bungkam
dan membiarkan apa saja yang dilakukan perempuan siluman atas dirinya.
Perempuan berbaju hijau membopongnya keluar dan dinaikkan ke punggung seekor
keledai, tiba-tiba si pelayan hotel menyusul keluar, dia mengeluarkan sekeping perak,
dia memburu maju serta menyisipkan uang itu ke tangan si nyonya baju hijau,
katanya, “Uang sewa kamar tak perlu bayarlah, uang ini kau bawa saja buat sangu di
jalan.”
Nyonya berbaju hijau kelihatan seperti terharu, katanya tersendat, “Kau ... orang
baik.”
Pelayan itu juga hampir menangis, dia kucek mata terus putar kembali ke dalam
hotel.
Ingin rasanya Jit-jit menggampar orang baik tapi ceroboh ini, diam-diam dia
mengumpat, “Memangnya matamu buta, perempuan siluman ini kau anggap orang
baik, kau ... lekaslah mampus saja biar manusia seluruh dunia ini mampus, mampus
seluruhnya.”
Keledai dituntun ke depan, air mata meleleh membasahi pipi Jit-jit, mau dibawa ke
mana dirinya? Apa tujuan orang membawanya pergi?
Orang di jalan banyak yang memerhatikan mereka, biasanya bila Jit-jit berada di jalan
raya memang sering menarik perhatian orang banyak, untuk ini dia tidak perlu
merasa heran. Anehnya sekarang, sekali melihat dirinya, orang-orang itu lantas
melengos dan tidak berani memandangnya pula.
Jit-jit ingin supaya orang memandangnya berulang kali supaya mereka tahu bahwa
dirinya sedang menjadi tawanan nyonya berbaju hijau, tapi bukan saja orang-orang
itu tidak tahu, malah sama melengos dengan rasa jijik.
Sungguh dongkol, heran, dan marah sekali Jit-jit, ingin dia menjatuhkan diri saja dari
punggung keledai supaya mati di jalan raya, tapi nyonya berbaju hijau memapahnya
dengan kencang, bergerak pun dia tidak bisa.
Entah berapa lama dari betapa jauh mereka menempuh perjalanan, yang terang
matahari makin panas.
Tiba-tiba si nyonya baju hijau berkata dengan suara lembut, “Apa kau lelah, di depan
ada warung teh, nanti kita istirahat dan menangsel perut, ya?”
Makin lembut sikap nyonya berbaju hijau itu, makin benci Jit-jit, rasanya belum
pernah dia membenci perempuan yang satu ini.
Warung teh itu di pinggir jalan, sudah banyak kereta kuda, warung itu penuh tamu.
Ketika melihat si nyonya baju hijau membimbing Jit-jit masuk, pandangan tetamu
juga kasihan dan simpati padanya.
Sungguh Jit-jit hampir gila, jika sekarang ada orang mampu membikin dia bicara, bisa
mengatakan betapa jahatnya perempuan siluman ini, disuruh berbuat apa pun dia
mau.
Semula warung ini sudah tiada tempat kosong, tapi begitu mereka masuk, beberapa
orang segera merelakan tempatnya, seakan-akan orang-orang itu merasa kasihan
dan simpati terhadap nyonya tua yang welas asih ini.
Dalam hati Jit-jit berharap Sim Long mendadak muncul, tapi manusia sebanyak ini,
mana ada bayangan Sim Long, dalam hati dia mengumpat, wahai Sim Long, di
manakah kau mampus, memangnya kau sudah minggat dan tidak menghiraukan
diriku lagi? Mungkin ada perempuan lain yang memikatmu? Kau bangsat keji, kau tega
meninggalkan aku.
Menghadapi keadaan ini, dia lupa bahwa dia sendiri yang meninggalkan Sim Long,
bukan Sim Long yang meninggalkan dia.
Bila perempuan gusar pada orang lain, biasanya memang mau menang sendiri, bila
orang itu adalah lelaki yang dicintainya, alasan apa pun jangan harap dapat
membuatnya mengerti.
Mendadak sebuah kereta besar ditarik dua ekor kuda berlari datang dan berhenti di
depan warung, kudanya kuda pilihan, keretanya juga bercat baru hingga mengilap.
Sais mengayun cemeti, tangan yang lain menarik tali kendali, lagaknya dibuat-buat.
Sikapnya garang. Banyak tamu dalam warung berkerut kening, pikir mereka, “Yang
menumpang kereta ini besar kemungkinan orang kaya mendadak.”
Tampak sais kereta melompat turun, dengan sikap hormat ia membuka pintu kereta.
Dari dalam kereta terdengar orang batuk-batuk beberapa kali, lalu keluar seorang
dengan perlahan, tingkahnya memang tidak ubahnya sebangsa orang yang baru
kaya. Badannya yang tambun justru mengenakan pakaian ketat warna cokelat, baju
yang pantasnya dipakai orang yang tiga puluh kati lebih kurus daripada dia.
Jilid 9
Usianya sudah mendekati setengah abad, tapi berdandan seperti pemuda bangsawan
atau anak pembesar, tangan kiri menjinjing sangkar burung kenari, tangan kanan
memegang pipa tembakau, sabuknya emas dengan beberapa kantong bersulam
tergantung di pinggang, seakan khawatir orang tidak tahu dirinya kaya, maka kantong
yang penuh berisi uang itu semua terbuka tutupnya hingga logam kuning kelihatan
gemerlapan.
Orang banyak memang dapat melihat tingkah lakunya, tapi semua orang hampir
muntah karena mual terhadap laki-laki gendut berbau tengik ini, celakanya di
belakangnya ikut keluar seorang gadis berbaju putih yang cantik bagai bidadari,
seperti burung dara saja lengket di samping si gendut.
Kalau si gendut memuakkan, gadis ini bak teratai yang tumbuh di dalam lumpur,
cantik sekali, terutama sikapnya yang seperti minta dikasihani, lelaki mana pun akan
tergiur.
Melihat kedua orang ini, sungguh senang Jit-jit bukan main.
Kiranya lelaki tambun ini bukan lain ialah Keh-pak-bwe, gadis jelita itu jelas adalah
Pek Fifi yang pantas dikasihani.
Melihat Pek Fifi kembali terjatuh ke tangan Keh-pak-bwe, mau tak mau hati Jit-jit jadi
sedih dan kasihan, tapi dalam keadaan seperti sekarang ini, setiap melihat orang
yang dikenalnya, dirasakan seperti kedatangan penolong yang akan membebaskan
dirinya.
Waktu itu kebetulan ada sebuah meja kosong di sebelah kiri Cu Jit-jit, Keh-pakbwe
dengan langkah dibuat-buat membawa Pek Fifi berduduk di meja itu, kebetulan duduk
di depan Cu Jit-jit.
Jit-jit berharap dan menunggu Pek Fifi akan angkat kepala, malah ia pun berharap
Keh-pak-bwe akan melihat dirinya, maka ia melotot mengawasi kedua orang ini
hingga lama, sampai mata terasa pegal.
Akhirnya Pek Fifi angkat kepala, Keh-pak-bwe juga memandangnya sekejap. Tapi
sekali pandang laki-laki kikir yang suka menggasak uang orang ini seketika
mengunjuk rasa jijik, dia meludah ke samping terus melengos ke arah lain.
Demikian pula sorot mata Pek Fifi juga mengunjuk rasa kasihan, tapi dia diam saja
seperti tidak mengenalnya, tidak tersenyum, tidak mengangguk atau menyapa.
Keruan Jit-jit heran, marah, dan kecewa, kalau Keh-pak-bwe bersikap tak acuh
kepadanya masih dapat dimaklumi, tapi Pek Fifi, apakah dia tidak kenal budi?
Akhirnya dia hanya menghela napas, batinnya, “Sudahlah, manusia di dunia ini
memang banyak yang tidak tahu balas budi, apa gunanya aku hidup di dunia ini?”
Sungguh ia kecewa dan putus asa, tekad untuk mati makin menggelora dalam
sanubarinya.
Didengarnya si nyonya baju hijau berkata kepadanya, “Anak baik, kau dahaga,
minumlah teh ini.”
Jit-jit berpikir, “Cara lain untuk membunuh diri tidak ada, biar aku mogok makan
minum saja.”
Air teh yang dituang ke mulutnya kontan disemburkan ke atas meja. Air teh
berceceran di atas meja yang mengilap sehingga mirip sebuah cermin. Tanpa terasa
Jit-jit menunduk, mendingan dia tidak melihat permukaan meja, karena apa yang
dilihat pada permukaan meja seketika membekukan darahnya.
Dengan air teh yang tumpah di atas meja, dia dapat bercermin melihat muka sendiri,
dilihatnya wajah yang kelihatan bukan lagi wajah cantik molek dulu, tapi seraut wajah
yang tak keruan bentuknya, hidung yang semula mancung sekarang berubah jadi
peyot, bibir yang tipis mungil kini berubah merot, muka yang halus kini berubah kisut,
wajah yang cantik seperti bidadari dahulu sekarang lebih mirip hantu.
Sungguh tidak kepalang kaget Jit-jit, remuk redam hatinya.
Umumnya orang perempuan memandang kecantikan melebihi jiwa sendiri, bahwa
wajah yang dulu begitu ayu kini rusak jadi begini, betapa luluh perasaannya, ia
membatin, “Pantas sepanjang jalan orang yang melihat aku sama merasa jijik dan
keheranan, tak heran pula Pek Fifi jadi tidak mengenalku lagi ....”
Sekarang dia ingin menggembor, ingin menangis, ingin mati pun sukar terlaksana,
mendadak dia mengertak gigi dan menumbuk meja sekuatnya.
“Brak, prang!” meja ambruk, cangkir piring dan perabot lainnya sama berantakan, Jit-jit
juga jatuh terguling di lantai, menggelinding di antara pecahan beling.
Tetamu menjadi panik, si nyonya baju hijau tampak gugup dan kerepotan, Pek Fifi
dan beberapa orang lain memburu datang membantu si nyonya untuk
memapah Jit-jit. Seorang menghela napas dan mengawasi dia, katanya, “Nona,
lihatlah betapa sabar dan kasih sayang orang tua ini merawat dan menjagamu, kau
harus turut nasihatnya, jangan lagi berbuat hal-hal yang mendatangkan kesulitan bagi
beliau dan juga untuk dirimu sendiri.”
Ternyata si nyonya baju hijau sedang mencucurkan air mata, katanya, “Sejak kecil
keponakanku ini memang sudah cacat, dasar nasibnya jelek, dilahirkan dalam
keadaan seperti ini, maklum bila wataknya juga rada pemberang, jangan kalian
salahkan dia.”
Hadirin menggeleng kepala mendengar ucapan si nyonya, banyak pula yang
menghela napas, semua bersimpati padanya. Jit-jit dipapah duduk kembali di atas
kursi, mau menangis juga tak keluar air mata. Siapa pula yang tahu betapa sengsara
dan tersiksa hatinya? Siapa pula akan tahu betapa jahat dan keji tujuan si nyonya
berbaju hijau, siapa pula yang dapat menolong dirinya? Ia benar-benar putus asa,
umpama Sim Long sekarang berdiri di depannya juga tidak akan mengenalnya lagi,
apalagi orang lain, jangan harap orang lain akan menolongnya.
Pek Fifi mengeluarkan saputangan untuk mengusap air mata di pipi Jit-jit, katanya
perlahan, “Cici, jangan menangis, walau kau ... walau kau dihinggapi penyakit, tapi ...
tapi ada sementara gadis yang berparas cantik hidupnya justru lebih menderita
daripadamu ....” gadis lemah ini agaknya teringat akan nasib sendiri, tak tertahan lagi
air matanya meleleh. Dengan sesenggukan dia berkata pula, “Apa pun engkau masih
ada yang merawat dan memerhatikan dirimu seperti bibi ini, sebaliknya aku ... aku ....”
Mendadak Keh-pak-bwe membentak, “Fifi, lekas kembali!”
Bergetar badan Pek Fifi, seketika mukanya pucat, cepat ia mengusap air mata,
diam-diam ia melolos sebuah peniti bermutiara dan disisipkan ke tangan si nyonya
baju hijau, lalu lari balik ke sana.
Nyonya baju hijau itu melenggong mengawasi bayangan punggungnya, gumamnya
sambil menghela napas, “Nona yang baik hati, semoga Thian selalu melindungimu.”
Suara lembut yang penuh kasih sayang, wajah yang arif bijaksana, sungguh seorang
tua yang terpuji. Tapi siapa tahu di balik wajahnya yang baik itu tersembunyi sebuah
hati yang jahat, hati iblis.
Cu Jit-jit menatapnya, air matanya hampir berubah menjadi darah. Dia teringat
kepada Ong Ling-hoa dan Toan-hong-cu, meski kedua orang ini rendah dan kotor,
keji dan culas, tapi dibandingkan nyonya ini, mereka masih terhitung orang baik. Kini
wajah sendiri sudah rusak, jiwa-raganya tergenggam di tangan si iblis,
kecuali ingin lekas mati, harapan apa lagi yang didambakannya? Dengan keras dia
mengertak gigi, sebutir nasi pun tidak mau makan, setetes air pun tidak mau minum.
*****
Ketika malam tiba, di bawah bantuan pelayan hotel yang simpatik dan berkasihan,
nyonya baju hijau memasuki sebuah kamar yang terletak di pojok barat, tempat yang
sepi serta tenang.
Perut Jit-jit sudah keroncongan, tenggorokan kering, baru sekarang dia tahu
kelaparan adalah siksaan yang tidak enak, tapi dahaga lebih menyiksa lagi, lehernya
seperti dibakar.
Setelah mengantar minuman, pelayan hotel keluar sambil menghela napas, akhirnya
tinggal Jit-jit dan si nyonya berbaju hijau, iblis jahat itu berdiri di depan Jit-jit dan
menatapnya.
Mendadak si nyonya menjambak rambutnya, katanya dengan menyeringai, “Budak
busuk, kau tidak mau makan minum, memangnya ingin mampus?”
Mendadak Jit-jit membuka matanya, dengan penuh kebencian dia tatap orang, walau
mulut tidak mampu bicara, tapi sorot matanya menampilkan tekad ingin mati saja.
“Setelah terjatuh di tanganku, ingin mampus? ... hehehe, tidak begitu gampang.
Kukira lebih baik kau tunduk dan menurut saja, kalau tidak ....” mendadak tangannya
melayang pulang-balik, muka Jit-jit ditamparnya.
Memangnya sudah benci dan nekat, Jit-jit tetap menatapnya dengan mendelik. Sorot
matanya yang penuh dendam seperti mau bilang, “Aku bertekad akan mati, apa pula
yang kutakutkan? Mau pukul mau bunuh boleh kau lakukan.”
Si nyonya menyeringai pula, katanya, “Budak busuk, tak nyana watakmu sebandel ini,
kau tidak takut ya? .... Baik, ingin kubuktikan apa kau takut tidak.”
Waktu mengucapkan kata terakhir, mendadak suaranya berubah logat seorang lelaki,
kedua tangan terus meraih paha Jit-jit.
Walau sudah terbuktikan nyonya baju hijau ini berhati keji, jahat dan culas, tapi mimpi
pun tidak terbayang oleh Jit-jit bahwa perempuan ini samaran seorang lelaki.
“Bret”, tahu-tahu si “nyonya” merobek pakaian Jit-jit, sebelah tangannya lantas
meraba dada Jit-jit yang hangat.
Air mata bercucuran, badan Jit-jit bergetar keras, meski tidak takut mati, mana bisa
dia tidak ngeri bila dirinya dijamah dan dihina oleh tangan kotor iblis laknat ini.
Nyonya baju hijau itu tertawa terkial-kial, katanya, “Sebetulnya aku ingin melayanimu
dengan baik, akan kuantarkan ke suatu tempat untuk hidup bahagia, tapi kau tidak
tahu kebaikan, terpaksa aku mencicipi dulu keindahan tubuhmu ....”
Badan Jit-jit masih di bawah remasan tangan si iblis, dadanya yang putih kenyal itu
kini sudah mulai bersemu merah karena belaian jari jemari iblis itu.
Jit-jit tidak bisa menghindar, juga tidak dapat melawan, ingin marah pun tidak mampu,
sorot matanya hanya menampilkan rasa mohon belas kasihan.
Nyonya berbaju hijau tertawa senang, katanya, “Kau takut sekarang?”
Dengan menahan duka dan marah, dengan penasaran Jit-jit mengangguk.
“Selanjutnya kau mau tunduk dan menurut perintahku?” desak si nyonya.
Di bawah cengkeraman tangan iblis, apa yang bisa dilakukan Jit-jit kecuali
mengangguk. Wataknya keras, sejak kecil sudah biasa mengumbar adat, tapi berada
di tangan iblis ini, terpaksa dia tunduk dan patuh.
“Bagus, kan begitu seharusnya,” si nyonya tertawa. Suaranya berubah pula, berubah
lembut, perlahan dia mengusap muka Jit-jit, katanya, “Anak sayang, bibi akan keluar
sejenak, segera aku kembali.”
Iblis ini ternyata memiliki dua wajah dan dua suara. Hanya dalam sekejap dia bisa
berubah menjadi seorang lain.
Jit-jit hanya bisa mengawasi orang keluar dan menutup pintu, ia tak tahan lagi dan
menangis.
Terhadap nyonya ini sungguh ia sangat takut, meski si nyonya keluar, tapi dia tidak
berani sembarang bergerak, hanya ingin melampiaskan rasa takut, duka, marah,
putus asa dan terhina lewat air matanya yang tak terbendungkan lagi.
Air mata membasahi pakaian, bantal dan selimut, dia terus menangis dan menangis
sampai lemas dan tanpa terasa dia tertidur lelap.
*****
Di tengah mimpinya mendadak terasa angin dingin meniup dadanya, Jit-jit
kedinginan dan terjaga dari tidurnya.
Waktu ia membuka mata, pintu sudah terbuka, iblis jahat itu sudah pulang. Di bawah
ketiaknya mengempit sebuah bungkusan besar panjang, setelah menutup pintu,
perlahan dia turunkan buntelan besar itu di atas ranjang, katanya dengan tertawa,
“Anak baik, nyenyak tidak tidurmu?”
Melihat senyumnya, mendengar suaranya, kembali gemetar badan Jit-jit, kalau
senyum dan suaranya sejelek dan sejahat hatinya masih mending, makin ramah dan
welas asih senyum dan suaranya semakin mengerikan baginya.
Waktu Jit-jit menoleh ke sana, kembali perasaannya seperti diguyur air dingin.
Buntelan besar itu ternyata berisi seorang gadis berbaju putih, tampak pipinya merah
jambu, pelupuk matanya terpejam, tidur pulas dengan senyum dikulum, siapa lagi
kalau bukan Pek Fifi.
Fifi yang harus dikasihani ternyata juga jatuh ke tangan iblis laknat ini.
Dengan gemas Jit-jit pandang si nyonya, sorot matanya diliputi rasa dendam dan
benci.
Kalau sorot matanya dapat dibuat membunuh orang, entah berapa kali nyonya
berbaju hijau itu akan mampus di bawah tatapan matanya.
Tampak orang itu mengeluarkan sebuah kantong kulit hitam, dari dalam kantong
dikeluarkan sebilah pisau kecil tipis dan sebuah kaitan yang mengilat, sebuah jepitan,
sebuah sendok, sebuah gunting, tiga botol porselen kecil dan ada lagi lima macam
peralatan yang tidak diketahui namanya seperti setrika mini, serupa mainan
anak-anak saja.
Cu Jit-jit tidak tahu untuk apa peralatan itu, dia mengawasi dengan terkesima.
“Anak baik,” ujar si nyonya, “kalau kau tidak takut mati kaget, boleh kau menonton
dari samping, kalau tidak, bibi menasihatimu memejamkan mata saja.”
Segera Jit-jit memejamkan mata, didengarnya si nyonya berkata, “Kau memang anak
baik ....”
Selanjutnya didengarnya suara gemerencing alat-alat yang bersentuhan, suara
membuka tutup botol, suara gunting bekerja, suara tepukan perlahan ....
Berhenti sejenak lalu terdengar si nyonya meniup berulang kali, lalu pisau mengiris
sesuatu diselingi rintihan perlahan Pek Fifi.
Di tengah malam sunyi, semua suara itu terdengar dengan mengerikan, selain takut
Jit-jit juga heran dan tertarik, tak tahan lagi, diam-diam ia mengintip ke sana. Sayang
nyonya baju hijau itu berdiri mungkur mengalangi pandangannya, kecuali terlihat
kedua tangannya sibuk bekerja, bagaimana keadaan Fifi dan apa yang sedang
dilakukan si nyonya baju hijau, sama sekali tidak terlihat.
Terpaksa ia memejamkan mata pula, kira-kira sepemasakan air, terdengar pula
gemerencing alat-alat, suara botol ditutup, kantong diikat. Terakhir nyonya itu
menghela napas lega dan berucap, “Sudah selesai.”
Waktu Jit-jit membuka mata dan memandang ke sana, seketika ia melongo.
Nona jelita Pek Fifi yang berwajah cantik itu kini sudah berubah menjadi seorang
perempuan setengah umur dengan rambut beruban, bermuka burik, alis tipis, hidung
pesek dan bibir tebal, jeleknya sukar dilukiskan.
Nyonya itu tertawa senang, katanya, “Bagaimana dengan kepandaian operasi bibi?
Kini umpama ayah-bunda bocah ini berada di depannya juga tidak mengenalnya lagi.”
Sudah tentu Jit-jit tidak mampu bicara.
Nyonya berbaju hijau tertawa riang pula, dia membelejeti pakaian Pek Fifi, sebentar
saja nona itu sudah telanjang bulat. Di bawah penerangan lampu badan Pek Fifi mirip
domba yang akan disembelih, meringkuk di tempat tidur, sungguh kasihan, tapi juga
menarik.
“Sungguh dara jelita yang mengagumkan ....” kata nyonya berbaju hijau dengan
tertawa. Serasa meledak kepala Jit-jit, mukanya merah panas, lekas dia pejamkan
mata lagi, mana berani menonton lebih lanjut.
Waktu dia membuka mata pula, si nyonya sudah memberi pakaian kasar rombeng
warna hijau kepada Fifi, kini anak dara itu betul-betul telah berganti rupa.
Nyonya berbaju hijau tertawa bangga, katanya, “Terus terang, bila kau tidak
menyaksikan sendiri, dapatkah kau percaya bahwa nyonya buruk di depanmu ini
adalah gadis jelita yang kasihan itu?”
Rasa gusar kembali membakar hati Jit-jit, malu dan menyesal pula, kini baru dia tahu
bagaimana proses dirinya waktu mukanya dipermak menjadi sejelek setan ini,
jalannya operasi tentu sama dengan Pek Fifi tadi. Dalam hati dia membatin, “Asal aku
tidak mati, akan datang suatu hari akan kupotong kedua tanganmu, mengorek kedua
bola matamu yang pernah melihat badanku, supaya selama
hidupmu tak dapat lagi melihat dan meraba, biar kau rasakan betapa sengsara orang
hidup tersiksa.”
Bila dendam membara, keinginan untuk hidup lantas menggelora, dalam hati dia
bersumpah apa pun yang terjadi dia harus bertahan hidup, peduli siksa derita apa
pun yang akan dialaminya, dia tidak mau mati secara penasaran.
Nyonya itu masih terus tertawa riang, katanya, “Tahukah kau, bicara tentang ilmu
tata rias kecuali ajaran Hun-bong-siancu dulu, kuyakin tiada orang kedua lagi di
dunia ini yang mampu menandingi bibimu ini.”
Mendadak tergerak hati Jit-jit, teringat olehnya kemahiran Ong Ling-hoa, pemilik
perusahaan “Ong-som-ki” yang juga pandai ilmu rias itu, rasanya dia tidak lebih asor
daripada perempuan ini. Dalam hati dia membatin, “Mungkinkah Ong Linghoa
keturunan Hun-bong-siancu? Apakah nyonya setengah umur berdandan seperti
permaisuri dengan kepandaian yang mahatinggi itu adalah Hun-bongsiancu?”
Sungguh ia ingin memberitahukan penemuannya ini kepada Sim Long, tapi selama
hidupnya ini apakah dapat bertemu pula dengan Sim Long, harapannya terlalu kecil,
dia hampir tidak berani mengharapkannya lagi.
*****
Hari kedua pagi-pagi mereka bertiga melanjutkan perjalanan.
Jit-jit tetap menunggang keledai, sebelah tangan si nyonya menuntun keledai dan
tangan yang kiri menggandeng Pek Fifi.
Fifi dapat berjalan, karena si “nyonya” tidak membikin lumpuh badannya, sebab ia
tahu gadis lemah ini tidak bakal melawan.
Cu Jit-jit tidak berani memandang Pek Fifi, dan tidak ingin melihat Pek Fifi yang
sedang menangis dan juga tampak takut dan ngeri itu.
Maklum, kalau Jit-jit yang berwatak keras saja ketakutan, apalagi gadis lembut dan
penurut seperti Pek Fifi, meski tidak dipandang juga dapat dimaklumi Jit-jit.
Tapal keledai berdetak, air mata bercucuran, debu beterbangan tertiup angin
menyampuk muka, sorot mata orang lalu yang menaruh belas kasihan, semua itu
terjadi serupa kemarin.
Perjalanan yang bisa membuat orang gila ini entah akan berakhir kapan? Siksa
derita yang tidak tertahankan ini apakah tidak akan berakhir?
Mendadak sebuah kereta besar berkabin muncul dari depan. Kereta ini tiada bedanya
dengan kereta umum yang lewat di jalan raya ini, kuda penarik kereta tampak kurus,
sudah tua dan lelah. Tapi yang menjadi kusir kereta ternyata adalah Kim Bu-bong
yang tindak tanduknya serbamisterius, yang duduk di samping Kim Bu-bong dengan
gagah, siapa lagi kalau bukan Sim Long.
Jantung Cu Jit-jit seperti hendak melompat keluar, tidak kepalang rasa girangnya.
Seketika kepala terasa pening, pandangan juga kabur, air mata tidak terbendung lagi.
Dengan sepenuh hati dia ingin berteriak, “Sim Long ... Sim Long ... tolong aku ....!”
Sudah tentu Sim Long tidak dapat mendengar suara hatinya, anak muda ini hanya
memandang Jit-jit sekejap, kelihatan menghela napas, lalu menoleh ke arah lain.
Kereta itu berjalan lambat karena keledai penarik kereta terlalu lelah dan berlari
ogah-ogahan.
Sungguh cemas, gemas dan benci hati Cu Jit-jit, hampir gila rasanya. Hatinya seperti
dirobek-robek, keluhnya, “Sim Long, O, Sim Long ... tolonglah ... pandanglah diriku,
aku inilah Cu Jit-jit yang merindukanmu siang dan malam, apakah kau tidak
mengenalku lagi?”
Dia rela mengorbankan apa pun asal Sim Long dapat mendengar jeritan hatinya, tapi
sayang, Sim Long tidak mendengar apa pun.
Siapa pun tidak menduga mendadak si nyonya berbaju hijau malah mencegat kereta
yang datang dari depan, tangan disodorkan sambil meratap, “Tuan yang membawa
kereta, sudilah memberi sedekah menolong kaum sengsara ini, Thian pasti akan
memberkahi kalian panjang umur dan banyak rezeki.”
Sim Long mengunjuk rasa heran, ia heran nyonya ini bisa mengadang kereta dan
minta sedekah. Siapa tahu Kim Bu-bong lantas merogoh saku dan menyisipkan
selembar uang ke tangannya.
Jit-jit melototi Sim Long, hampir saja dia meneteskan darah. Hatinya meratap juga
mengumpat, “Sim Long, O, apa betul kau tidak mengenalku lagi, kau jahat, tidak tahu
budi, keparat yang tidak punya hati, sekilas pun kau tidak sudi memandangku lagi.”
Sim Long memang tidak lagi memandangnya, perhatiannya hanya tertuju kepada
nyonya berbaju hijau dan Kim Bu-bong. Nyonya berbaju hijau sedang bergumam,
“Orang yang berhati baik, Thian pasti membalas kebaikanmu.”
Wajah Kim Bu-bong tetap kaku, tidak mengunjuk sesuatu perasaan, cemeti diayun,
“tar”, kereta berjalan pula.
Runtuh rasanya seluruh raga Jit-jit, walau dia tahu jelas Sim Long tidak mungkin
mengenalnya, tapi sebelum bertemu dengan Sim Long, dalam hatinya masih terbetik
setitik harapan, dan harapan itu akhirnya juga nihil.
Roda kereta gemeretak di jalan raya, makin lama makin jauh, membawa pergi segala
harapannya, kini dia benar-benar tahu bagaimana rasanya putus asa, sungguh
perasaan yang aneh.
Kini hatinya tidak lagi sedih, tidak marah, tidak takut, dan tidak menderita, segenap
jiwa raganya sekarang seperti sudah mati rasa. Hanya kegelapan yang terbentang di
depannya, tiada sesuatu yang dapat dilihatnya, tiada yang bisa didengarnya lagi, mati
rasa ini seperti menyeluruh, mungkin inilah perasaan putus asa total.
Jalan raya ini sangat ramai, orang bersimpang-siur, ada yang riang gembira, ada pula
yang sedih, ada yang berjalan dengan enteng dan cepat, ada pula yang melangkah
dengan berat dan seperti hendak mencari sesuatu, ada pula yang ingin melupakan ....
Tapi siapakah yang dapat benar-benar merasakan putus asa?
Kereta yang ditunggangi Sim Long dan Kim Bu-bong sudah ratusan tombak jauhnya.
Angin dingin mencambuk muka, lekas Sim Long menarik turun topi beledunya yang
mahal tapi sudah butut itu, tanpa menghiraukan Kim Bu-bong, dia menguap dan
mementang kedua tangan, gumamnya, “Tiga hari ... sudah tiga hari tanpa
menemukan apa-apa, tiada yang kulihat, padahal waktu yang ditentukan sudah
makin dekat ....”
“Ya, benar, mungkin sudah tiada harapan lagi,” ujar Kim Bu-bong.
Tersimpul senyum kemalasan di wajah Sim Long, katanya, “Tiada harapan? ....
Kurasa harapan tetap ada.”
“Benar, tiada persoalan apa pun di dunia ini yang dapat membuatmu putus asa.”
“Tahukah kau apa harapan satu-satunya yang kudambakan?” berhenti sejenak
karena Kim Bu-bong tidak menjawab, lalu Sim Long melanjutkan, “Harapan kita
satu-satunya hanya pada Cu Jit-jit, dia lenyap seperti ditelan bumi, tentu karena dia
menemukan sesuatu rahasia, dia gadis yang tinggi hati dan keras kepala .... Dia ingin
seorang diri menyelidiki rahasia itu, maka diam-diam dia minggat. Kalau tidak,
biasanya ia tidak suka pergi sendirian.”
“Benar, pikiran siapa pun tak bisa mengelabui kau, apalagi isi hati Cu Jit-jit,” ujar Kim
Bu-bong.
Sim Long menghela napas, ujarnya, “Tapi sudah tiga hari kita tak berhasil
menemukan dia, pasti dia sudah jatuh ke tangan musuh, kalau tidak, menuruti
wataknya, di mana pun berada dia pasti menarik perhatian orang, sedikit banyak kita
bisa mencari tahu tentang dia.”
Mendadak Sim Long tertawa dan memotong, “Aku bicara panjang lebar, beruntun
empat kali kau jawab benar, jangan-jangan kau sedang memikirkan sesuatu ...
padahal tidak perlu kau jawab.”
Lama Kim Bu-bong termenung, perlahan dia menoleh ke arah Sim Long dan
menatapnya dengan tajam, katanya kemudian, “Tebakanmu memang benar, saat ini
aku memang sedang memikirkan sesuatu, tapi soal apa yang kupikirkan? Dapat kau
terka?”
Sim Long tertawa, “Mana bisa kuterka ... aku hanya heran.”
“Heran apa?”
“Di tengah jalan bertemu dengan seorang nyonya yang tidak dikenal, tapi sekali
rogoh saku kau beri selembar uang senilai selaksa tahil kepadanya, apakah ini tidak
patut diherankan?”
Kim Bu-bong berdiam pula, ujung mulutnya mengulum senyum, katanya kemudian,
“Apakah tiada sesuatu kejadian di dunia ini dapat mengelabui matamu?”
“Ya, memang tidak banyak.”
“Bukankah kau pun seorang yang murah hati?”
“Betul, kalau aku punya uang selaksa tahil dan melihat orang yang harus dikasihani,
pasti juga akan kuberikan selaksa tahil padanya.”
“Cocok kalau begitu.”
Sim Long menatapnya, katanya, “Tapi aku ini berasal dari keluarga yang miskin,
sebaliknya kau bukan, kelihatannya kau bukan orang yang suka merogoh kantong
memberi sedekah kepada orang miskin, kenapa nyonya itu tidak minta sedekah
kepadaku atau kepada orang lain, dia justru minta kepadamu.”
Kepala Kim Bu-bong menunduk, gumamnya, “Apa pun tak dapat mengelabui kau ...
apa pun tidak bisa mengelabui kau ....” mendadak dia angkat kepala, sikapnya
kembali dingin dan kaku, suaranya pun berat, “Betul, dalam hal ini memang ada
segi yang patut diherankan dan menarik perhatian, tapi aku tidak bisa menjelaskan.”
Pandangan mereka beradu, keduanya sama bungkam, akhirnya Sim Long tersenyum.
“Senyummu kelihatan aneh,” kata Kim Bu-bong.
“Rahasia hatimu, meski tidak kau katakan, dapat juga kuterka.”
“Kalau bicara jangan terlalu yakin.”
“Bagaimana kalau aku menebaknya.”
“Boleh saja kau tebak, urusan lain mungkin bisa kau tebak, tapi soal ini ....” sampai di
sini dia menahan perkataannya, sebab kelanjutannya dikatakan atau tidak tetap
sama.
Kereta keledai ini masih terus maju perlahan, Sim Long mengawasi debu yang
mengepul di kaki kuda, katanya pula, “Sejak berkenalan denganku, persoalan apa
pun tiada yang kau rahasiakan, hanya soal ini ... soal ini pasti besar sangkut pautnya
dengan dirimu, hal ini tidak perlu kutanyakan juga dapat diketahui?”
“Ya ....” Kim Bu-bong tetap tenang.
“Bila soal ini ada sangkut pautnya dengan dirimu, kuyakin pasti besar pula sangkut
pautnya dengan Koay-lok-ong ....” kelihatannya dia memerhatikan debu, padahal
setiap perubahan sikap dan gerakan Kim Bu-bong tidak terlepas dari pengamatannya,
sampai di sini air muka Kim Bu-bong benarlah mulai ada perubahan.
Segera Sim Long berkata pula, “Karena itu, menurut pendapatku, nyonya yang harus
dikasihani itu pasti juga ada hubungan dengan Koay-lok-ong, sikapnya yang kasihan
itu mungkin hanya pura-pura belaka.”
Sampai di sini dia tidak melanjutkan lagi, ia menatap wajah Kim Bu-bong, bibir orang
kelihatan terkancing rapat, kulit mukanya juga dingin.
Kereta terus maju, angin dingin menampar muka, kedua orang ini saling tatap,
masing-masing sama ingin menyelami isi hati lawan.
Dari air muka Sim Long agaknya Kim Bu-bong ingin menebak ada berapa banyak
yang diketahuinya? Sebaliknya dari perubahan air muka Kim Bu-bong juga Sim Long
ingin tahu ada berapa banyak yang diketahuinya?
Kereta itu maju ratusan tombak pula. Akhirnya air muka Kim Bu-bong yang dingin
beku itu mulai cair. Hati Sim Long tergerak, namun dia menahan perasaannya, karena
dia tahu inilah detik-detik yang menentukan. Ia tahu bila dirinya tak tahan dan buka
suara, maka jangan harap lagi Kim Bu-bong akan mau bicara.
Akhirnya Kim Bu-bong buka suara. Setelah menarik napas panjang, lalu berkata,
“Betul, nyonya itu memang murid Koay-lok-bun.”
Sim Long tidak mau membuang kesempatan, tanyanya segera, “Di bawah Koay-
lok-ong kau bertugas pemegang uang, kedudukanmu tinggi dan penting tapi hanya
sedikit mengangguk kepala perempuan itu dapat minta sekian banyak uang darimu,
jelas kedudukannya tidak di bawahmu, lantas siapakah dia? Apakah salah satu dari
duta besarnya? Tapi mengapa dia seorang perempuan?”
Setiap patah katanya laksana cemeti, begitu deras ia melecut sehingga Kim Bubong
tidak diberi kesempatan berganti napas karena setiap patah pertanyaan ini tepat
mengenai sasarannya.
Kim Bu-bong tidak berani menatap sorot mata Sim Long, ia diam sejenak, mendadak
dia balas bertanya, “Tahukah kau kecuali Hun-bong-siancu yang mahir ilmu tata rias
yang diakui nomor satu di dunia ini, masih ada orang atau perguruan lain yang juga
mahir?”
Sim Long berpikir sejenak, katanya kemudian, “Ilmu tata rias sebetulnya tidak
terlingkup dalam ilmu silat, seorang yang lihai dan nomor satu ilmu tata riasnya belum
tentu seorang pesilat kenamaan ....” mendadak dia menepuk paha dan berteriak
tertahan, “Aha, apakah maksudmu Suto dari Sancoh?”
Kim Bu-bong tidak angkat kepalanya, juga tidak bersuara, tapi mengayun pecut
menyabat pantat kuda sekeras-kerasnya, namun kuda penarik kereta ini sudah tua
dan kurus, betapa pun keras dia memukulnya tetap tak bisa berlari lagi.
Terpancar rasa senang dan bergairah pada sinar mata Sim Long, katanya, “Keluarga
Suto bukan saja terkenal menguasai ilmu tata rias yang luar biasa, malah juga mahir
Ginkang, Am-gi dan obat bius, demikian pula dalam hal kepandaian urut-mengurut,
semuanya berada pada tingkat paling tinggi. Kebesaran nama keluarga mereka dahulu
hanya sedikit lebih asor daripada Hunbong-siancu. Berita yang tersiar di kalangan
Kangouw belakangan ini mengatakan keluarga Suto mulai runtuh karena banyak
melakukan kejahatan sehingga mendapat kutukan Thian, namun di antara anggota
keluarganya masih ada juga yang hidup di dunia ini. Berdasarkan nama kebesaran
dan kepandaian mereka, bila masuk ke dalam lingkungan Koay-lok-bun, kuyakin dapat
menduduki jabatan salah satu keempat duta besarnya.”
Kim Bu-bong tetap membungkam.
Sim Long bergumam pula, “Kalau aku menjadi Koay-lok-ong, bila ada sanak keluarga
Suto mau masuk ke perguruanku, maka kedudukan atau jabatan apa yang akan
kuserahkan kepadanya ....”
Air mukanya semakin cerah dan tampak bercahaya, sambungnya, “Keluarga Suto
tidak gemar arak, Duta Harta sudah diduduki orang ... kukira manusia Suto itu bukan
jenis lelaki yang suka berkelahi dan bernyali besar, tapi jika anak murid Suto disuruh
mengoleksi gadis-gadis cantik di seluruh jagat ini, kurasa tiada orang lain lagi yang
lebih tepat, betul tidak?”
Dengan suara dingin Kim Bu-bong menjawab, “Apa pun tidak pernah kukatakan,
semua itu kau sendiri yang menebaknya.”
Berkilau sinar mata Sim Long, lama dia pandang angkasa, lalu berkata, “Kalau aku
menjadi murid keluarga Suto, cara bagaimana aku akan mengoleksi gadisgadis cantik
di dunia ini untuk Koay-lok-ong? Cara bagaimana aku akan menunaikan kewajiban?
....” perlahan dia mengangguk, lalu meneruskan, “Ya, pertama aku sendiri sudah tentu
harus menyamar menjadi seorang perempuan, dengan demikian kesempatan untuk
bercengkerama dengan gadis-gadis akan jauh lebih banyak.”
Sorot mata Kim Bu-bong mulai memancarkan rasa kagum.
Sim Long berkata lebih lanjut, “Gadis yang berhasil kuculik, untuk membawanya
keluar perbatasan sejauh itu jelas kurang leluasa, maklum gadis cantik umumnya
pasti menarik perhatian orang banyak, tapi kalau aku mahir tata rias, dengan mudah
bisa saja kurias gadis cantik itu menjadi nenek reyot atau perempuan apa saja yang
buruk rupanya sehingga sekilas pandang cukup membuat orang jijik, kalau aku
khawatir gadis itu berontak dan tidak tunduk pada perintahku, akan kucekok dia
sejenis obat sehingga sepanjang jalan dia tidak bisa bicara atau ribut lagi.”
Kim Bu-bong menarik napas panjang, sesaat dia menoleh dan memandang bocah
yang tidur pulas di kabin kereta, ia bergumam, “Kelak kalau bocah ini bisa memiliki
setengah kepandaian Sim-siangkong sudah lebih dari cukup.”
Rupanya sepanjang hari bocah itu bekerja berat dan keletihan, kini tidurnya pulas
sekali, tentu saja tidak mendengar ucapannya. Padahal meski katakatanya ditujukan
kepada si bocah, tapi secara tak langsung dia seperti mau berkata, “Sim Long, kau
memang cerdik, semua rahasia ini telah kau tebak dengan betul.”
Sudah tentu Sim Long merasakan juga pengakuan dari ucapannya yang tidak
langsung ini, katanya dengan tersenyum, “Putar kembali!”
“Kembali?” Kim Bu-bong berkerut kening.
“Dua gadis yang berada di sampingnya itu, pasti gadis dari keluarga baik-baik, apa
tega aku melihat mereka jatuh ke dalam cengkeramannya?”
Mendadak Kim Bu-bong tertawa dingin, kembali ia menoleh kepada bocah itu,
katanya, “Kelak bila kau sudah dewasa, ada beberapa urusan jangan kau tiru seperti
apa yang dilakukan Sim-siangkong ini, urusan kecil tidak bisa sabar akan
menggagalkan urusan besar, nasihatku ini harus selalu kau camkan dalam
sanubarimu.”
Sim Long tersenyum, dia tidak bicara lagi, namun kereta belum juga diputar balik.
Sesaat kemudian mendadak Kim Bu-bong tersenyum dan berkata kepada Sim Long,
“Banyak terima kasih.”
Selama bergaul beberapa hari dengan Kim Bu-bong, baru sekarang Sim Long
melihat dia tersenyum, senyuman yang timbul dari relung hatinya yang dalam.
Dengan tertawa Sim Long bertanya, “Soal apa kau berterima kasih padaku?”
“Besar tekadmu menyelidiki jejak Koay-lok-ong, jelas kau pun tahu kali ini Suto Pian
pasti akan melaporkan hasil kerjanya kepada Koay-lok-ong, sebetulnya secara
diam-diam kau bisa menguntitnya, tapi karena Suto Pian sudah melihat kau
seperjalanan denganku, jika kau menguntitnya, jelas, aku akan ikut bersalah dan
mendapat hukuman, lantaran diriku terpaksa kau lepaskan kesempatan baik ini,
namun sama sekali engkau tidak pernah menyinggung kebaikanmu ini kepadaku,
untuk ini aku mengucap terima kasih padamu?”
Lelaki aneh yang berwatak kaku dan pendiam ini kini melimpahkan isi hatinya, nada
suaranya kedengaran mengharukan.
“Sesama kawan mengutamakan tahu sama tahu, bila kau dapat menyelami isi hatiku,
apa pula yang kuminta?”
Keduanya saling pandang sekejap, namun hati sanubari mereka sudah bertaut,
kata-kata hanya akan berlebihan belaka.
Dari arah depan mendadak berkumandang suara senandung seorang dengan
lantang, tertampak seorang lelaki muda berperawakan kekar tinggi tengah melangkah
dari tepi jalan.
Perawakannya yang setinggi delapan kaki itu sangat gagah, berdada lebar, alis tebal,
mata besar, pada pinggangnya terselip sebatang golok pendek tanpa sarung, pada
tangannya menjinjing sebuah buli-buli arak, sambil bersenandung dia menenggak
arak sepuasnya. Rambutnya semrawut, baju bagian dadanya terbuka lebar, kakinya
mengenakan sepatu butut, pakaiannya kotor, namun langkahnya gagah dan tegap,
sikapnya seperti dunia ini milikku, seperti jalan raya ini tiada orang lain lagi.
Sudah tentu perhatian orang yang lewat di jalan raya ini tertuju kepadanya, tapi
perhatian pemuda ini justru tertuju ke wajah Sim Long.
Sim Long memandangnya dengan tersenyum, lelaki itu juga balas tersenyum,
katanya mendadak, “Boleh menumpang kereta ini?”
“Silakan,” sahut Sim Long.
Memburu maju dua langkah, lelaki muda itu melompat ke atas kereta dan berjubel di
samping Sim Long.
Dengan nada dingin Kim Bu-bong berkata, “Arah tujuanmu berlawanan dengan kami,
kami akan pergi ke arah datangmu, apa tidak salah kau menumpang kereta ini?”
Pemuda kekar itu mendongak dan bergelak tertawa, katanya, “Seorang lelaki
menjadikan empat penjuru sebagai rumahnya, setiap tempat di dunia ini adalah
tujuanku, ingin pergi atau mau datang boleh sesuka hati, hidup bebas melanglang
buana, kenapa tidak boleh?”
Mendadak dia angkat tangan dan menepuk pundak Sim-Long, katanya, “Mari, minum
seceguk.”
Sim Long tertawa, dia terima buli-buli orang, terasa buli-buli ini terbuat dari baja,
dengan bernafsu dia menghirup satu ceguk, araknya terasa harum, ternyata arak
simpanan yang paling wangi dan jarang ada di pasaran.
Kedua orang ini tidak saling tanya asal usul, tidak tanya she dan nama, tapi seceguk
demi seceguk hingga dalam sekejap arak sebuli-buli penuh telah dihabiskan mereka
berdua. Pemuda itu bergelak riang, serunya, “Lelaki hebat! Peminum baik!”
Belum lenyap gelak tertawanya, Kim Bu-bong menghentikan kereta di sebuah kota
kecil, air mukanya kelihatan masam, katanya dingin, “Tujuan kami sudah sampai,
saudara ini silakan turun.”
Pemuda itu terus menarik Sim Long turun, katanya, “Baiklah, kau boleh pergi, aku
ingin mengajaknya minum beberapa cawan lagi.”
Tanpa menunggu reaksi orang dia tarik Sim Long dan diajak memasuki sebuah
warung kecil yang kotor dan gelap.
Bocah dalam kabin kereta tiba-tiba tertawa, katanya, “Mungkinkah orang ini gila?
Agaknya dia juga tahu sikap Sim-siangkong yang meremehkan segala persoalan,
kalau orang lain tentu sudah dibuatnya gemas.”
Kim Bu-bong mendengus sekali, katanya, “Jaga kereta!”
Waktu dia masuk ke dalam warung, sementara Sim Long dan pemuda tadi sudah
menghabiskan tiga cawan, sepiring daging rebus juga sudah disajikan di atas meja.
Dari restoran besar termewah yang ada di dunia ini sampai warung kotor dan paling
murah, semua pernah dikunjungi Sim Long, demikian pula hidangan paling lezat
sampai makanan paling kasar di dunia ini juga pernah dirasakan olehnya. Peduli ke
mana ia pergi, apa pun yang dimakannya, semua sama saja, begitulah sikapnya.
Dengan kaku Kim Bu-bong menyusul datang terus duduk dengan dingin, dia tatap
pemuda itu, sampai lama dia menatapnya, mendadak dia menegur, “Sebetulnya apa
kehendakmu?”
“Hendak apa? Hendak minum arak, ingin bersahabat,” sahut pemuda ini.
“Kau ini orang macam apa, memangnya kau kira aku tidak bisa melihatnya?” jengek
Kim Bu-bong.
Pemuda itu bergelak tertawa, serunya, “Betul, aku memang bukan orang baik,
memangnya tuan orang baik. Kalau aku ini perampok, mungkin Anda bandit besar.”
Berubah air muka Kim Bu-bong, pemuda itu malah angkat cawan araknya, katanya
dengan riang, “Mari, mari! Biar rampok kecil macamku ini menyuguh secawan arak
kepada bandit besar.”
Telapak tangan Kim Bu-bong berada di bawah meja, sumpit di atas meja seperti
mendadak kena ilmu sihir, entah bagaimana tiba-tiba mencelat terus melesat dengan
desing yang keras, kedua sumpit mengincar kedua bola mata si pemuda.
“Khikang bagus!” puji pemuda itu. Sambil mengucap kedua patah kata itu, si pemuda
pentang mulut dan tepat menggigit sepasang sumpit itu terus ditiupnya kembali ke
sana, dengan membawa suara mendesing meluncur balik mengincar mata Kim
Bu-bong.
Pergi-datang sepasang sumpit ini sedemikian cepat hingga sukar diikuti oleh
pandangan mata orang biasa.
Sim Long hanya tersenyum, sumpit yang meluncur di udara mendadak lenyap tak
keruan parannya, waktu mereka menunduk, ternyata sumpit sudah berada di tangan
Sim Long, entah dengan cara bagaimana dan dengan gerakan apa Sim Long
menyambar sepasang sumpit yang meluncur kencang dan dalam jarak sedekat ini.
Taraf kepandaian si pemuda jelas di luar dugaan Kim Bu-bong, tapi betapa tinggi
kungfu Sim Long, jelas juga di luar dugaan si pemuda.
Maklum kepandaian mereka sudah termasuk jago top dunia persilatan, sesaat
mereka bertiga saling pandang dengan kaget dan heran.
Perlahan Sim Long taruh sepasang sumpit di depan Kim Bu-bong, sikapnya tetap
wajar dan ramah, cawan arak terus diangkatnya pula, seolah-olah kejadian barusan
tidak pernah ada.
Kim Bu-bong tidak bersuara, juga tidak memegang sumpitnya dan cawan, dalam hati
sedang berpikir sejak kapankah muncul seorang pemuda kosen ini dalam dunia
Kangouw?
Pemuda itu pun tidak menghiraukan lagi kehadirannya, dia tetap makan minum
sepuasnya bersama Sim Long, makin tenggak makin banyak, lambat laun pemuda itu
mulai mabuk, tiba-tiba dia berdiri serta bergumam, “Tunggu sebentar, Siaute mau ke
belakang.”
Mendadak ia sempoyongan dan “bruk” ia ambruk dan menjatuhi meja, keruan
hidangan di atas meja tumpah berantakan.
Kim Bu-bong tengah melamun, karena tidak menduga, badan basah kecipratan kuah
dan hidangan.
“Maaf, maaf,” cepat pemuda itu membersihkan pakaian Kim Bu-bong dengan lengan
bajunya. Tapi Kim Bu-bong lantas mendorong pemuda itu hingga sempoyongan.
“Ai, aku bermaksud baik, kenapa saudara memukulku malah ....” dengan langkah
sempoyongan pemuda itu lari ke belakang.
Kim Bu-bong menatap Sim Long, katanya, “Maksud keparat ini sukar diraba, kenapa
kau bergaul dengan dia, lebih baik ....” mendadak berubah air mukanya, serentak ia
membentak dengan beringas, “Celaka, kejar!”
Tapi Sim Long lantas menariknya, katanya dengan tertawa, “Kejar apa?”
Masam muka Kim Bu-bong, tanpa bersuara dia meronta dan hendak mengejar.
Sim Long berkata, “Apakah ada milikmu digerayangi dia?”
“Dia mengambil barangku, akan kucabut nyawanya!” berkilat sorot mata Kim Bubong,
segera dia balas bertanya, “Dari mana kau tahu dia mengambil barangku?”
Tersenyum Sim Long, tangannya terangkat dari bawah meja, ternyata menggenggam
setumpuk uang kertas dan sebuah kantong kecil mungil.
Kim Bu-bong heran, tanyanya, “Ini ... cara bagaimana bisa berada padamu?”
“Dia mencomot uang kertas ini dari badanmu, maka aku pun mencomotnya dari
kantongnya, sekaligus kuambil juga kantong kulit kecil ini.”
Beberapa kejap Kim Bu-bong menatapnya lekat-lekat, akhirnya tersembul pula
senyuman tulus dan penuh pengertian, perlahan dia duduk pula terus menenggak
arak, katanya kemudian, “Sudah belasan tahun aku tak minum arak, secawan arak ini
kuminum untuk sahabatku, pencopet sakti nomor satu di kolong langit ini.”
Dengan tertawa sengaja Sim Long bertanya, “Siapa itu pencopet nomor satu?
Apakah pemuda tadi?”
“Kecepatan tangan bocah itu sudah cukup mengejutkan, tapi selama Sim Long masih
hidup, orang lain jangan harap bisa memperoleh julukan copet nomor satu di dunia
ini.”
Sim Long bergelak tertawa, “Sudah memaki orang sebagai copet, malah dibilang
julukan baik segala. Nah, aku tidak berani menerima julukan baik ini.”
Segera dia kembalikan uang kertas kepada Kim Bu-bong, lalu berkata pula, “Coba
kita periksa apa isi kantong kulit saudara yang ingin mencopet uangmu itu.”
Simpanan uang dalam kantong si pemuda ternyata tidak banyak, hanya uang receh
beberapa keping saja.
Sim Long geleng kepala, katanya, “Dinilai dari gerak-geriknya, kuyakin dia bukan
lelaki rudin yang kurang penghasilan, siapa tahu hanya memiliki uang receh yang tak
berarti ini, mungkin dia terlalu royal menghamburkan uangnya.”
“Kalau memperolehnya gampang, membuangnya juga pasti mudah,” ujar Kim
Bu-bong.
Dengan tertawa Sim Long mengeluarkan secarik kertas dari dalam kantong kecil itu,
ternyata bukan uang tapi secarik surat, gaya tulisannya jelek, isinya berbunyi:
Kepada yang terhormat Liongthau Toako.
Sejak Toako mencekok arak, hingga Siaute mabuk tempo hari, terpaksa Siaute juga
mencekoki orang lain sampai mabuk, aku sendiri selama ini belum pernah mabuk lagi,
haha. Memang amat menyenangkan. Selama beberapa hari ini Siaute mendapat
penghasilan lumayan, tapi aku selalu tunduk pada nasihat Toako, selain kubagikan
kepada mereka yang membutuhkan, seperti juga Toako, sekarang Siaute sering
kelaparan, makan tidak tetap, namun setiap malam tidur di dalam biara bobrok, meski
hidup agak menderita, namun perasaanku lega dan gembira, baru sekarang aku
percaya kepada ucapan Toako membantu kesulitan orang lain rasanya memang jauh
lebih menyenangkan dibanding menunaikan tugas apa pun.
Membaca sampai di sini, Sim Long tersenyum, katanya, “Bagaimana, pemuda ini
memang seorang murah hati, bukan?”
Sim Long membaca lebih lanjut.
“Poa-loji memang betul melakukan perbuatan kotor, memerkosa gadis keluarga
baik-baik, aku sudah menghukumnya dengan memotong anunya, To-lotoa
melakukan korupsi, Tam It-seng berbuat serong, To Bian-ci ingkar janji, ketiga
keparat ini membuat Toako marah, maka Siaute mengiris sebelah kupingnya, tapi si
tukang makan Lo Ciu telah mencurinya untuk teman arak, saking dongkol, kuping Lo
Ciu juga kuiris dan kusuruh dia makan kuping sendiri untuk teman arak pula. Haha,
mungkin nikmat dia makan kuping curian, tapi betapa lucu air mukanya waktu dia
makan kupingnya sendiri sulit kulukiskan dengan alat tulis ini, sayang Toako tidak
menyaksikan sendiri, namun sejak kini Lo Ciu sudah menyatakan kapok, tidak berani
makan daging manusia lagi.”
Membaca sampai di sini, Kim Bu-bong yang biasa bersikap kaku dingin jadi geli juga.
Lebih lanjut surat itu berbunyi:
“Untung masih ada Kam Bun-goan, Ko Ci, Kam Lip-tik, Seng Hiong, Liok Ping, Kim
Tek-ho, Sun Ciu-un dan para cucu lainnya, ternyata mereka mau bekerja keras untuk
Toako, semua tugas mereka kerjakan dengan baik, karena puas Siaute mewakili
Toako menjamu mereka makan-minum sepuasnya, hahaha, setelah kenyang baru
Siaute sadar kantong kosong, sepeser pun tidak punya, konon pemilik restoran ini
seorang kikir dan tamak, dengan mata melotot orang banyak lantas tinggal pergi
dengan begitu saja, sebelum pergi malah minta pinjam kepada kasir restoran lima
ratus tujuh puluh tahil perak tunai, seluruhnya disumbangkan kepada Hiong-lusit yang
berjualan wedang kacang di seberang jalan untuk menikahkan putranya.
“Satu hal perlu Toako ketahui, saudara-saudara yang hidupnya menderita dalam
wilayah ini sudah banyak yang kita rangkul, seluruhnya berjumlah lima ratus delapan
puluh empat orang, Siaute sudah ajarkan cara bagaimana mengadakan kontak
rahasia, bila di tengah jalan menemukan ‘kambing gemuk’ yang mencurigakan, harus
berusaha memberitahukan kepada Toako. Hahaha, perkumpulan kita sekarang sudah
beranggotakan ribuan orang, kekuatan kita sudah tidak kecil lagi, lain kali bila Toako
mabuk minum arak, jangan lupa mencarikan nama baik untuk perserikatan kita.”
Di bagian bawah bertanda tangan “Ang-thau-eng” (Elang Kepala Merah).
Habis membaca surat itu, Sim Long berseru, “Bagus, bagus, siapa nyana pemuda
yang masih begitu muda ternyata mampu mengendalikan ribuan orang dan menjadi
Liongthau Toako (pemimpin) mereka.”
“Karena itulah kau dan aku disangka sebagai ‘kambing gemuk’ yang patut
digerayangi isi kantongnya,” demikian ucap Kim Bu-bong.
“Waktu kau berikan uang kertas ini kepada Suto Pian tadi mungkin terlihat oleh anak
buahnya, lalu dia mendahului di depan dan mencegat kita,” ujar Sim Long, lalu
sambungnya, “Setiap nama yang disinggung dalam surat ini, kecuali si Ciu Jing,
semua adalah orang-orang gagah, terutama Ang-thau-eng yang menulis surat ini,
seorang begal besar yang sudah lama terkenal. Konon Ginkang orang ini tidak kalah
dibandingkan Toan-hong-cu dan lain-lain, bahwa tokoh selihai ini juga sudah
ditundukkan oleh pemuda ini, bagaimana sepak terjang pemuda ini dapatlah
dibayangkan, terutama caranya merampas milik si zalim dan dibagikan kepada yang
miskin, patut kita berkenalan dengan dia.”
Kembali Kim Bu-bong hanya mendengus saja tanpa memberi komentar.
“Apakah kejadian barusan masih kau pikirkan dalam hati?”
Tanpa menjawab pertanyaan ini, Kim Bu-bong balas bertanya, “Apa lagi isi kantong
itu?”
Sim Long angkat kantong kulit itu dan dituangnya, ternyata ada dua benda jatuh di
atas meja, yang sebuah adalah seekor kucing batu jade sebesar ibu jari. Tampaknya
hanya perhiasan sederhana saja, namun berkat tangan seorang ahli, ternyata bentuk
kucing kecil ini kelihatan begini elok dan laksana hidup tulen. Setelah diteliti, di bagian
bawah lehernya terukir sebaris huruf kecil yang berbunyi, “Ukiran Him Miau-ji, untuk
disimpan, dilihat, dan dibuat main sendiri.”
Sim Long tertawa, katanya, “Rupanya pemuda itu bernama Him Miau-ji (si Kucing).”
Dengus Kim Bu-bong, “Melihat tampangnya dia memang mirip kucing.”
Sim Long bergelak tertawa sambil memandang benda kedua, tapi gelak tertawanya
seketika lenyap, air muka pun berubah hebat.
Kim Bu-bong heran, tanyanya, “Benda apa pula ini?”
Benda kedua itu adalah sekeping batu jade bundar yang bolong bagian tengahnya,
bentuknya mirip mainan kalung, warnanya hijau pupus mengilap, kelihatan elok sekali,
mainan kalung seperti ini terlalu umum, tapi setelah Kim Bu-bong membolak-balik dan
memeriksanya, seketika ia pun mengunjuk rasa kaget dan heran.
Ternyata di atas mainan kalung batu jade itu berukir dua huruf “Sim Long”.
Kim Bu-bong berkata dengan heran, “Batu mainanmu, mengapa bisa berada di
tangannya? Mungkinkah sebelumnya dia telah menggerayangi isi kantongmu?”
“Batu mainan ini bukan milikku,” ucap Sim Long.
“Bukan milikmu, bagaimana mungkin terukir namamu?”
“Batu mainan ini sebetulnya milik Cu Jit-jit.”
Tambah terkejut Kim Bu-bong, serunya, “Batu mainan nona Cu bagaimana bisa
berada padanya, mungkin ... mungkin ....”
“Peduli apa sebabnya, kalau mainan ini berada di tangannya, maka dia pasti tahu di
mana Cu Jit-jit sekarang, apa pun yang terjadi kita harus mencari dan tanya
kepadanya.”
“Dia sudah pergi jauh, ke mana kita akan mengejarnya?” ujar Kim Bu-bong. Tapi
sebelum Sim Long menjawab dia sudah menjawabnya sendiri, “Tidak sukar, bila
di jalan raya kita memergoki kawanan gelandangan, dari mulutnya tentu bisa kita
mencari tahu jejak si Kucing.”
“Benar, kalau ratusan anak buahnya tersebar di sepanjang jalan raya ini, memangnya
khawatir takkan menemukan jejaknya? .... Ayolah cepat!” lenyap suaranya, orangnya
sudah berkelebat ke luar pintu.
Cuaca lembap, mega mendung, angin berembus dingin, tak jauh di pinggir jalan
dalam sebuah kuil bobrok menyala seonggok api unggun, belasan lelaki duduk
mengelilingi api unggun itu, mangkuk kosong berserakan, guci arak pun berjungkir
balik.
Orang-orang itu sedang berkeplok sambil bernyanyi, suaranya berpadu dan riang, “Si
Kucing, si Kucing, pendekar kelana nomor satu di Kangouw, ahli menggerayangi
kantong, merampas yang kaya menolong yang miskin, setiap orang di empat penjuru
ikutan memujinya sebagai si Kucing yang tiada duanya ....”
Di tengah paduan suara yang gembira bercampur gelak tawa itu, mendadak seorang
bernyanyi solo dengan suara tenor di luar kuil, “Daripada disebut si Kucing yang tiada
duanya, lebih tepat dinamakan si Kucing yang suka mabuk.”
Sesosok bayangan tampak bersalto beberapa kali di udara, lalu meluncur turun di
pinggir api unggun, siapa lagi dia kalau bukan si Kucing yang beralis tebal.
Orang-orang itu segera bersorak sambil berdiri, “Toako sudah pulang!”
Seorang lantas bertanya, “Apakah Toako sudah berhasil?”
Si Kucing menatap tajam satu per satu hadirin ini sambil berputar, alisnya menegak,
matanya bercahaya, katanya dengan tertawa, “Memangnya kapan kalian melihat si
Kucing gagal dalam tugasnya?”
Mendadak ia menepuk pundak seorang lelaki bermuka kuning yang duduk di pinggir
api unggun katanya, “Go-losi, matamu memang tidak lamur, kedua orang itu memang
punya asal usul luar biasa, pinggangnya juga gemuk, namun betapa tinggi kungfu
mereka sungguh mimpi pun tak pernah terduga.”
Lelaki bernama Go-losi tertawa, katanya, “Betapa pun tinggi kungfunya, memangnya
dia mampu menahan kelincahan tangan Toako?”
Si Kucing mendongak sambil bergelak, katanya, “Memang betul, biarlah kuperlihatkan
kepada kalian barang apa saja yang berhasil kugaet dari sakunya. Cukup segenggam
yang kuperoleh ini, mungkin lebih dari cukup untuk hidup tenteram puluhan keluarga
miskin di luar pintu utara itu.”
Tapi demi tangannya menepuk saku pinggang, gelak tawanya seketika berubah
menjadi menyengir, air muka pun berubah hebat, tangan yang sudah merogoh saku
ternyata tak mampu dikeluarkan lagi.
Keruan hadirin melenggong, semua heran dan kaget, seru mereka, “Kenapa,
Toako?”
Lama si Kucing terlongong di tempatnya, akhirnya ia bergumam, “Lihai benar,
sungguh lihai.”
Di bawah cahaya api unggun tertampak keringat sebesar kacang berketes-ketes di
atas jidatnya, mendadak dia bergelak tertawa sambil mendongak, serunya, “Gerakan
bagus, lelaki hebat, hari ini si Kucing baru dapat bertemu dengan tokoh semacam ini,
umpama terjungkal juga rela.”
Go-losi bertanya, “Siapakah yang Toako maksudkan?”
Si Kucing segera mengacungkan jempol, katanya, “Bicara soal ini, betapa tinggi
kungfunya, mungkin jarang ada tandingan di kolong langit ini, tindak tanduknya yang
ramah, tutur katanya yang halus, terus terang jarang terlihat olehku selama hidup ini,
bila aku ini seorang cewek, kecuali dengan dia, aku bersumpah tidak mau kawin.”
Go-losi makin heran, tanyanya mendesak, “Siapakah dia sebenarnya?”
“Dialah pemuda tampan di antara kedua kambing gemuk itu,” sahut si Kucing.
Seluruh hadirin bersuara heran, semua melongo, berkata pula Go-losi, “Toako
memujinya begitu rupa, kuyakin dia pasti luar biasa, tapi ... entah ....” dia hentikan
perkataannya demi melihat tangan si Kucing yang merogoh saku itu sudah sekian
lama masih belum ditarik keluar lagi.
Si Kucing tertawa, katanya, “Dalam hati kau sangsi, tapi tak berani tanya, betul tidak?
Baik, biar kujelaskan. Aku berhasil menggerayangi seluruh uang kepunyaan orang itu,
di luar tahuku sakuku berbalik juga digerayangi olehnya, lebih celaka lagi, dompetku
juga ikut jatuh ke tangan pemuda itu, bukankah hal ini dapat dikatakan tak berhasil
mencuri ayam malah kehilangan segenggam beras?”
Peristiwa yang memalukan, kalau orang lain, siapa mau bercerita akan hal ini di
hadapan anak buahnya sendiri, tapi si Kucing justru omong seenaknya dengan
tertawa riang.
Keruan hadirin saling pandang, tiada yang bersuara.
Si Kucing tertawa pula, katanya, “Untuk apa kalian berlagak seperti ini? Dapat
bertemu dengan tokoh seperti itu sudah untung bagiku, kehilangan barang tak berarti
apa-apa, pula barang itu juga bukan milikku.”
“Tapi ... tapi dompet Toako itu ....” Go-losi tergegap.
“Dompet itu juga tak berarti, yang harus kusayangkan adalah kucing kemala yang
kuukir dengan golok pusakaku ini, namun ....” mendadak berubah air muka si Kucing,
teriaknya, “Wah celaka, masih ada benda lain dalam dompetku itu.”
Kehilangan barang apa pun si Kucing tidak perlu cemas, namun demi teringat pada
barang yang berada dalam dompet itu, seketika muka si Kucing berubah hebat, jelas
benda itu sangat berarti dan tinggi nilainya.
Cepat Go-losi bertanya, “Benda apa?”
Sesaat lamanya si Kucing termenung, katanya kemudian dengan menyengir, “Benda
itu kutemukan di sebuah kuil bobrok, tapi ... tapi ....” akhirnya dia menghela napas dan
menengadah, “tapi benda itu jelas milik pribadi nona itu.”
Go-losi berkerut kening, beberapa kali dia membuka mulut seperti ingin tanya
apa-apa, tapi tidak berani mengutarakan isi hatinya.
“Kalian tentu ingin tahu siapa nona itu, bukan?” ucap si Kucing.
Go-losi tertawa geli sendiri, katanya, “Apakah nona itu adalah ... adalah Toako punya
... Toako punya ....” hadirin tertawa gemuruh menyambut pertanyaan Golosi yang
kepalang tanggung itu.
Si Kucing tertawa riang, katanya sambil membusungkan dada, “Betul, gadis itu
memang menggiurkan, paling cantik dalam pandanganku, tapi siapa dia sebetulnya,
siapa namanya, sampai saat ini aku pun tidak tahu.”
Berkedip Go-losi, katanya, “Apakah perlu Siaute mencari tahu?”
“Tak usah,” ucap si Kucing tertawa kecut, “Ai, sejak hari itu aku melihat wajahnya, dia
mendadak seperti menghilang begitu saja, beberapa kali aku mondar-mandir di
sepanjang jalan raya, namun tak kulihat pula bayangannya.”
Sejenak kemudian, mendadak dia putar badan dan melangkah keluar.
“Toako, mau ke mana?” serempak semua orang bertanya.
“Apa pun dompetku itu harus kuminta kembali, aku pun ingin bersahabat dengan
pemuda itu, bila kalian tiada tugas, boleh tunggu saja di sini,” belum habis si Kucing
bicara bayangannya sudah lenyap di luar kuil.
Go-losi mengawasi bayangan punggungnya, gumamnya, “Beberapa tahun aku
melanglang buana, sungguh belum pernah kulihat seorang gagah jujur, bijaksana dan
berjiwa besar seperti Him-toako, kita bisa menjadi saudaranya, sungguh beruntung
besar, manusia seperti dia memang ditakdirkan untuk menjadi seorang pemimpin
besar. Dia hendak mencari orang, bagaimana juga harus kubantu.”
Sambil bicara bergegas ia pun berlari keluar.
*****
Senja belum tiba, si Kucing sudah berada di jalan raya, agar dapat menemukan jejak
Sim Long dan Kim Bu-bong, dia tidak mengembangkan Ginkangnya yang hebat.
Setelah mengayun langkah sekian lamanya, tampak dari depan datang seorang
nyonya berpakaian hijau dengan tubuh terbungkuk-bungkuk, sebelah tangan
menggandeng seorang anak perempuan, tangan yang lain menuntun seekor keledai,
dengan langkah terseok-seok. Gadis yang di atas keledai dan yang digandeng itu
bermuka jelek sekali, jarang ada perempuan sejelek itu di dunia ini, sampai si Kucing
juga tidak tahan dan meliriknya dua kali.
Dua kali lirikan ini cukup berarti, mendadak dia ingat nyonya baju hijau ini bukan lain
adalah nyonya yang membuat api unggun di dalam kuil bobrok kemarin, pada waktu
itu pula si nona cantik menggiurkan itu mencopot pakaian dan memanggang bajunya.
Sekilas dia berkerut alis, setelah bimbang sejenak, mendadak ia mengadang di
depan ketiga orang dan satu keledai itu sambil membentang kedua tangannya,
katanya dengan cengar-cengir, “Masih kenal aku tidak?”
Beberapa kali si nyonya baju hijau mengawasinya naik-turun, lalu berkata dengan
tertawa dibuat-buat, “Toaya apakah mau memberi sedekah?”
Si Kucing tertawa, katanya, “Kau tidak mengenalku, aku masih mengenalmu. Hari itu
kau sendirian, mengapa sekarang berubah menjadi bertiga? Apakah kau melihat
nona itu?”
Semula Cu Jit-jit sudah putus asa, kini jantungnya berdebar pula, dia masih kenal
pemuda bergajul ini, sungguh tak nyana pemuda bergajul ini bisa mencarinya.
Terdengar nyonya berbaju hijau itu berkata, “Apa satu jadi tiga segala? Nona apa?
Toaya, apa yang kau maksudkan, aku tidak tahu, kalau Toaya ingin memberi
sedekah, lekaslah memberi, kalau tidak aku mau pergi saja.”
Si Kucing menatapnya dengan melotot, katanya, “Kau betul tidak tahu atau hanya
pura-pura tidak tahu? Nona yang malam itu buka baju di dalam kuil itu masa sudah
kau lupakan? Nona yang bermata bundar besar, mulut kecil ....”
Nyonya berbaju hijau seperti teringat mendadak, jawabnya, “O, maksudmu, nona
yang mengeringkan pakaiannya pada api unggun itu. Ai, sungguh cantik sekali, cuma
... malam itu dia lantas pergi ikut si Tosu yang berkelahi dengan kau itu, kudengar
katanya menuju ke timur, agaknya Toaya tidak menemukan dia.”
Si Kucing menghela napas kecewa, ia tidak tanya pula, baru saja dia membalik badan,
mendadak terasa gadis berwajah buruk di samping nyonya baju hijau itu seperti
menunjukkan pandangan ganjil padanya. Segera dia menghentikan langkah sambil
berkerut kening, ia merasa heran, dia tidak dapat berpikir lebih cermat, sementara si
nyonya baju hijau sudah melangkah pergi sambil menggandeng gadis buruk dan
keledainya.
Hati Cu Jit-jit kembali tenggelam, selanjutnya dia tidak berani menaruh harapan
setitik pun.
Si Kucing mengguncang buli-buli araknya, isinya sudah kosong, dia menghela napas
panjang, perasaannya kesal dan hampa, sesaat dia berdiri bingung, entah apa
sebabnya.
“Toako!” mendadak didengarnya seorang memanggil di belakang.
Ternyata Go-losi memburu datang dengan napas ngos-ngosan, sikapnya kelihatan
aneh, si Kucing heran, tanyanya, “Ada apa?”
Menuding punggung si nyonya berbaju hijau Go-losi mendesis, “Kedua ... kedua
‘kambing gemuk’ itu pernah memberi uang kepada nyonya baju hijau itu sehingga
dapat kulihat sakunya cukup padat.”
“Oo ....” si Kucing melengak.
“Mata Siaute cukup tajam, sekilas pandang kulihat uang yang mereka berikan kepada
nyonya baju hijau itu berhuruf merah, itu berarti nilai setiap uang kertas itu di atas
lima ribu tahil.”
Tergerak hati si Kucing, katanya dengan mendelik, “Kau tidak salah melihat?”
“Tanggung tidak salah,” sahut Go-losi.
Bertaut alis tebal si Kucing, katanya, “Kalau hanya memberi sedekah kepada si
miskin di tengah jalan, tak mungkin sekali rogoh kantong mengeluarkan uang lima
ribuan, aku percaya nyonya baju hijau ini pasti ada hubungan erat dengan kedua
orang itu. Kalau kedua orang itu orang aneh dunia Kangouw, maka nyonya berbaju
hijau itu pasti juga bukan orang sembarangan, tapi dia justru berpura-pura selemah
itu ... kurasa ada sesuatu yang kurang beres.”
Mendadak dia putar balik dan memburu ke arah si nyonya baju hijau.
Langkahnya semakin dekat, tapi nyonya baju hijau seperti tidak merasakan. Sorot
mata si Kucing jelalatan, dengan gerak cepat mendadak dia cengkeram pundak si
nyonya baju hijau, kelima jarinya penuh dilandasi tenaga dalam, setiap insan
persilatan bila mendengar sambaran angin sekuat ini pasti segera tahu bila pundak
tercengkeram, tulang pundak pasti teremas hancur.
Tapi nyonya baju hijau tetap seperti tidak merasakan apa-apa, namun mendadak
langkahnya seperti tersaruk batu hingga sempoyongan ke depan, pada detik terakhir
itu dia meluputkan diri dari cengkeraman si Kucing.
Si Kucing tertawa, katanya, “Ternyata memang punya kungfu bagus!”
Nyonya itu berpaling dan bertanya dengan bingung, “Kungfu bagus apa? Toaya, aku
tidak mengerti apa yang kau katakan.”
“Peduli kau tahu atau tidak, ayolah ikut padaku.”
“Mau ... mau ke mana?”
“Kulihat kau terlalu miskin dan hidup sengsara, hatiku tidak tega, ingin kuberi sedekah
padamu.”
“Terima kasih atas maksud baik tuan, sayang aku harus menempuh perjalanan
dengan membawa kedua keponakanku ini ....”
Mendadak si Kucing membentak, “Mau atau tidak mau harus ikut.”
Mendadak dia melompat ke punggung keledai dan segera menepuk pantatnya,
karena kesakitan keledai itu segera lari kencang seperti kesetanan.
Keruan si nyonya baju hijau melengak, berubah air mukanya makinya dengan gusar,
“Bajingan, kembali!”
Si Kucing tergelak, serunya, “Aku memang bajingan, caramu itu pantas untuk
menghadapi kaum pendekar, orang lain mungkin tak mampu berbuat apa-apa
terhadapmu, tapi menghadapi bajingan seperti diriku, hehehe, memangnya bajingan
peduli amat terhadap permainanmu ini.”
Walau kurus, dalam sekejap keledai itu telah lari lebih dua puluhan tombak.
Nyonya berbaju hijau mencak-mencak, teriaknya, “Penculik, rampok ... tolong ....”
Dari kejauhan si Kucing berkaok, “Betul, aku memang rampok, tapi adakah rampok
yang takut pada orang baik, sebaliknya orang baik sama takut kepada rampok,
sampai pecah tenggorokanmu juga tak ada orang berani menolongmu.”
Lari keledai semakin jauh, dalam sekejap lagi hampir lenyap dari pandangan mata.
Akhirnya si nyonya berbaju hijau tidak tahan, sambil mengertak gigi, sekali raih dia
peluk pinggang Pek Fifi, tanpa hiraukan apakah orang lain kaget dan melongo, sekali
tarik napas dia melompat jauh ke depan terus mengudak dengan kencang.
Ginkang dan gerak tubuhnya memang luar biasa, meski sebelah tangannya
mengempit seorang, tapi beruntun empat kali lompat naik-turun dia sudah meluncur
dua puluhan tombak.
Kedua kaki si Kucing mengempit keras perut keledai, sebelah tangan memeluk gadis
buruk rupa, alias Cu Jit-jit, sebelah tangan terus-menerus menepuk pantat keledai
supaya lari lebih cepat, katanya sambil tertawa, “Nah, kelihatan belangnya sekarang,
akhirnya dapat kupaksa menunjukkan kungfumu.”
“Memangnya kenapa kalau dipaksa?” jengek si nyonya baju hijau dengan benci, “apa
kau kira bisa hidup lagi?”
Beberapa kali lompatan pula, jelas dia akan dapat menyusul keledainya yang berlari
kencang itu.
Tak tersangka mendadak si Kucing angkat Cu Jit-jit terus melayang tinggi dari
punggung keledai, serunya dengan tertawa, “Boleh kau kejar aku dulu dan bicara lagi
nanti.”
Sekali meluncur tiga tombak ke depan, keledai tanpa penumpang itu ditinggalkan, tapi
dia yakin yang dikejar nyonya baju hijau bukan keledai melainkan penunggangnya
yang bermuka buruk dalam rangkulannya ini.
Jika murid didik kaum pendekar jelas tak sudi melakukan perbuatan yang memalukan
ini, tapi lain dengan si Kucing yang tidak peduli tentang sopan santun segala, asal
tujuannya suci dan dapat tercapai, perbuatan apa pun berani dilakukannya.
Agaknya nyonya berbaju hijau tidak menduga bajingan tengik ini memiliki Ginkang
selihai itu, dirinya ternyata tidak mampu menyusulnya, keruan ia gugup bercampur
gusar pula, segera bentaknya, “Berhenti, marilah kita bicara secara baik.”
“Bicara soal apa?” tanya si Kucing.
“Sebetulnya apa
dirundingkan.”
kehendakmu?
Turunkan
dulu
keponakanku,
urusan
bisa
Sementara itu mereka sudah hampir mencapai kuil bobrok itu.
Si Kucing tertawa riang, katanya, “Berhenti juga boleh. Tapi lebih dulu kau harus
berhenti mengejar, baru nanti aku akan berhenti, kalau tidak meski tiga hari tiga
malam, jangan harap kau dapat menyusul aku, kukira kau sendiri maklum akan hal
ini.”
“Bangsat, bajingan!” maki si nyonya baju hijau. Tapi terpaksa dia menghentikan
langkahnya, “Apa kehendakmu? Katakan!”
Si Kucing juga berhenti dalam jarak lima tombak, katanya dengan tertawa, “Apa pun
tidak kuinginkan, aku hanya ingin tanya beberapa patah kata saja.”
Berkilat sorot mata si nyonya baju hijau, wajahnya tidak kelihatan welas asih lagi,
desisnya penuh kebencian, “Lekas, tanya soal apa?”
“Ingin kutanya lebih dulu siapa sebetulnya kedua orang yang memberi uang kertas itu
kepadamu?”
“Seorang murah hati yang kebetulan lewat di jalan, mana aku mengenalnya?”
“Kalau kau tidak kenal dia, memangnya dia mau memberi uang kertas sebanyak itu
kepadamu?”
Berubah pula air muka si nyonya baju hijau, serunya beringas, “Baiklah kuberi tahu
padamu, kedua orang itu begal besar yang kupegang rahasianya, mulutku terpaksa
disumbat dengan uang supaya rahasia itu tidak kubocorkan. Tentang di mana
sekarang kedua orang itu, terus terang aku tidak tahu.”
Si Kucing tertawa terkial-kial, katanya, “Kalau betul kedua orang itu begal besar, pasti
kau ini sekomplotan dengan mereka. Manusia macam dirimu ini, mengapa membawa
dua gadis buruk muka dalam perjalanan, kurasa pasti ada suatu yang tidak beres ....”
“Ini ... ini bukan urusanmu,” bentak nyonya baju hijau dengan gusar.
“Aku si Kucing justru suka mencampuri urusan orang lain, meski urusan kecil yang
tiada sangkut pautnya denganku, bila kebentur di tanganku, urusan harus dibikin jelas
baru puas hatiku. Hari ini kalau aku tidak membekuk kau, tentu kau tak mau bicara
sejujurnya.”
Mendadak dia menggembor keras, “Hai, saudara-saudara, ayolah keluar!”
Lenyap suaranya, maka berbondonglah puluhan orang menerjang keluar dari dalam
kuil.
Si Kucing menyerahkan Cu Jit-jit sambil berpesan, “Sembunyikan gadis ini di tempat
yang rahasia dan jaga baik-baik ....”
Sambil mengiakan anak buahnya merubung maju, sementara si Kucing sendiri
melompat balik ke hadapan si nyonya berbaju hijau, katanya, “Nah, boleh mulai.”
Nyonya baju hijau menyeringai, jengeknya, “Kau ingin mampus? Baik!”
Dalam berkata “baik”, sekaligus ia sudah menyerang tiga jurus. Agaknya dia tidak
berani meremehkan pemuda bergajul yang kurang ajar ini, meski sambil mengempit
Pek Fifi, tapi tiga jurus pukulannya telah mengerahkan seluruh tenaganya.
Gerakan si Kucing segarang harimau, berputar laksana langkah naga, secepat kilat
dia berkelit tiga kali, katanya dengan tertawa, “Mengingat kau ini seorang perempuan,
biar aku mengalah tiga jurus lagi.”
Sikap si nyonya baju hijau tampak prihatin, bentaknya bengis, “Baik, jangan kau
menyesal.”
Segera kaki kiri melangkah ke depan, tubuh setengah berputar, telapak tangan
kanan didorong perlahan, mulut membentak pula, “Inilah jurus pertama.”
Tampak kelima jarinya setengah tertekuk, bentuknya mirip tinju tapi bukan tinju,
seperti telapak tangan juga bukan telapak tangan, gerak serangannya lamban,
sampai setengah jalan serangannya, lawan masih bingung dan tak dapat meraba ke
arah mana serangannya akan dilancarkan.
Si Kucing berdiri tegak bergeming, matanya menatap telapak tangan lawan yang satu
ini, sorot matanya tampak prihatin, namun ujung mulutnya mengulum senyuman acuh
tak acuh.
Setiba di tengah jalan mendadak telapak tangan nyonya baju hijau itu terayun ke
atas dan menghantam telinga kiri si Kucing.
Letak kuping kiri merupakan tempat sepele, dengan sendirinya tidak terduga bahwa
lawan bakal menyerang tempat ini, dengan perkataan lain pertahanan paling lemah
pada bagian ini.
Si Kucing merasa di luar dugaan, dalam repotnya dia tidak sempat berpikir, ia
mengegos ke kanan, tak tahunya si nyonya baju hijau seperti sudah memperhitungkan
gerakannya yang berkelit ke kanan ini, hanya bagian tubuh atas saja yang berkisar
tanpa menggeser kedua kakinya, ini berarti ruang lingkup gerak tubuhnya tidak besar,
maka begitu badan si Kucing miring ke kanan, telunjuk jarinya segera menjentik, yang
digunakan adalah sebangsa Tan-ci-sinthong atau tenaga jari sakti, sejalur angin tajam
segera menyambar ke lubang telinga si Kucing.
Lubang telinga dengan genderang kuping adalah titik terlemah pada tubuh manusia
umumnya, biasanya cukup orang mengorek kuping dengan gulungan kertas saja
akan menimbulkan rasa sakit, apalagi nyonya berbaju hijau ini menyerang dengan
landasan tenaga murni, meski tidak kelihatan bentuknya, yang jelas tajamnya
melebihi sebatang paku, bila terkena tenaga selentikan jarinya, genderang telinga
bisa pecah.
Sungguh tak pernah terpikir oleh si Kucing bahwa nyonya berbaju hijau itu bisa
melancarkan serangan sekeji ini, kecuali manusia berhati culas dan jahat, mustahil
bisa memikirkan serangan keji ini.
Cepat si Kucing mengkeret kepala dan menjengkang badan serta mundur beberapa
kaki. Tapi betapa cepat sambaran angin jentikan lawan, walau dia sempat berkelit, tak
urung jidatnya keserempet juga hingga kulit jidatnya jadi merah. Seketika si Kucing
berjingkrak gusar, bentaknya, “Apa ini juga terhitung satu jurus?”
Baru saja dia membentak, tahu-tahu si nyonya baju hijau menubruk tiba pula dan
melancarkan jurus kedua, yang diincar adalah bagian berbahaya di bawah perut,
jurus serangan ini lebih keji lagi, saat itu badan si Kucing lagi doyong ke belakang,
tenaga belum sempat dikerahkan, maka nyonya baju hijau yakin jurus kedua ini pasti
akan menamatkan riwayat lawan.
Di luar tahunya, kekuatan fisik si Kucing sungguh tak terbayang oleh siapa pun,
tenaga murni tubuhnya ternyata bagai arus air yang mengalir tak terputus-putus.
Dia menarik napas, dengan tangkas ia menyurut mundur beberapa kaki pula, begitu
dia kerahkan tenaga pada tungkak kakinya, mendadak dia melompat ke udara, sekali
berjumpalitan kembali ia berada lagi di hadapan si nyonya berbaju hijau.
Jilid 10
Bukan saja mampu meluputkan diri dari dua jurus serangan keji, gerak-gerik lawan
ternyata juga aneh dan lincah, mau-tidak-mau si nyonya tampak gugup, bentaknya
beringas, “Masih ada sejurus, sambutlah!”
Kembali telapak tangannya didorong perlahan, gayanya mirip jurus pertama tadi.
Si Kucing menjengek, “Tadi sebetulnya sudah cukup tiga jurus, tapi apa alangannya
aku mengalah sejurus lagi.”
Beberapa patah kata ini tidak pendek, tapi selesai diucapkannya, pukulan telapak
tangan si nyonya baju hijau juga baru mencapai setengah jalan, si Kucing berdiri
sekukuh gunung, bola matanya menatap tajam seperti mata harimau, siap menunggu
serangan lawan dan segera akan melancarkan serangan balasan mematikan.
Terdengar nyonya berbaju hijau menghardik, “Kena!”
Telapak tangan berhenti bergerak, tapi kaki kanan mendadak melayang, menendang
selangkangan.
Jurus serangan yang tak terduga oleh lawan, namun si Kucing masih sempat berkelit
meski agak kelabakan.
Mendadak lengan baju si nyonya mengebas, puluhan bintik sinar lembut menyambar
keluar dan berkembang melebar, tiga tombak di kanan-kiri si Kucing terjangkau oleh
bintik sinar kemilau itu, betapa pun tinggi kungfu si Kucing, kali ini jelas tak mampu
menyelamatkan diri dari am-gi atau senjata rahasia yang ganas ini.
Anak buahnya baru saja bersorak girang ketika melihat si Kucing berhasil meluputkan
diri dari serangan berbahaya lawan, kini melihat pemimpin mereka terancam bahaya
pula, semuanya menjerit kaget dan khawatir.
Pada detik yang menentukan itulah, buli-buli arak di tangan si Kucing mendadak
berputar, puluhan bintik sinar kemilau yang berkembang di udara itu laksana
rombongan lebah sekaligus meluncur ke dalam sarangnya, seluruhnya tersedot oleh
buli-buli itu.
Nyonya baju hijau terperanjat, sebaliknya anak buah si Kucing berkeplok girang.
Si Kucing menegakkan badan sambil bergelak tertawa, katanya, “Senjata rahasia
keji, tangan yang ganas, untung berhadapan dengan si Kucing, kakek moyangnya
ahli antiberbagai am-gi dari segenap perguruan di dunia ini.”
Gemetar suara si nyonya baju hijau, “Kau ... dari mana kau peroleh buli-buli ini?”
Si Kucing tertawa, katanya, “Tidak perlu kau urus, sambutlah sejurus seranganku!”
Di tengah gelak tertawanya, buli-buli mendadak menghantam dengan dahsyatnya.
Cepat si nyonya baju hijau menyurut mundur beberapa langkah dan tidak balas
menyerang.
Si Kucing tertawa, “Eh, kenapa berhenti, ayolah serang pula.”
Mendelik benci si nyonya baju hijau, desisnya sambil mengertak gigi, “Tak nyana hari
ini aku bertemu dengan kau .... Buli-bulimu itu ....” setelah mengentak kaki ia
menambahkan, “Sudahlah.”
Segera dia berputar hendak lari.
“Masa mau pergi begitu saja,” si Kucing mencemooh, sinar kemilau berkelebat, golok
pendek tercabut dari pinggangnya, cahaya lembayung mendadak mencegat jalan
pergi si nyonya baju hijau.
Merah mata si nyonya baju hijau, mendadak dia angkat Pek Fifi yang dikempitnya
terus diangsurkan ke arah golok. Keruan si Kucing terkejut, lekas dia menarik golok
dan menangkap tubuh Pek Fifi, dalam sekejap itu si nyonya berbaju hijau sudah
melesat pergi beberapa tombak jauhnya, sekali melejit pula, bayangannya lantas
lenyap.
*****
Go-losi sedang mengayun langkah menyusuri jalan, mendadak dilihatnya kedua
“kambing gemuk” yang banyak uang kertas itu sedang tanya ini-itu kepada seorang
lelaki di bawah pohon sana.
Wajah orang yang lebih tua itu tampak kaku dingin, wajahnya aneh dan seram,
sepintas pandang bentuknya seperti mayat hidup, siapa pun yang melihatnya pasti
mengirik.
Sementara yang lebih muda bersikap ramah santai dan gagah, ujung mulutnya
mengulum senyum, berhadapan dengan dia siapa pun akan merasa sejuk seperti
melihat bunga mekar di musim semi, ingin rasanya berkenalan dan bersahabat
dengan dia.
Tergerak hati Go-losi, pikirnya, “Him-toako sedang mencari mereka, mungkin mereka
juga sedang mencari Him-toako, sungguh kebetulan, sayang orang yang ditanya
bukan saudara anggota kita.”
Segera dia menghampiri dengan langkah lebar, sapanya dengan tertawa, “Apakah
kalian sedang mencari orang?”
Orang yang sedang bertanya pada lelaki di bawah pohon memang betul Kim Bubong
dan Sim Long, sesaat mereka mengawasi Go-losi, sorot mata Sim Long tampak
cerah, katanya dengan tertawa, “Orang yang kami cari, apakah Saudara
mengenalnya?”
“Coba kalian jelaskan siapa yang kalian cari?” tanya Go-losi.
Kucing kemala segera dikeluarkan oleh Sim Long dan diangsurkan ke depan Golosi,
katanya dengan tertawa, “Orang yang memiliki mainan kucing ini.”
Go-losi tertawa, segera dia ulur tangan hendak mengambil kucing kemala itu, tapi
Sim Long lantas menarik tangannya, Go-losi jadi menyengir katanya, “Kalau kalian
mencari orang lain, mungkin Siaute tidak mengenalnya, tapi pemilik kucing kemala ini
....”
“Kau kenal dia? Di mana dia sekarang?” tanya Sim Long.
“Silakan ikut padaku,” kata Go-losi, ia putar tubuh terus melangkah pergi.
*****
Musim dingin siang lebih pendek, malam datang lebih cepat.
Api unggun dalam kuil bobrok itu tampak berkobar, di atas dinding menyala pula lima
batang obor, kuil bobrok yang terpencil ini jadi terasa hangat.
Si Kucing sedang duduk di atas sebuah kasur bundar sambil bertopang dagu
mengawasi kedua perempuan buruk rupa yang berada di samping api unggun.
Terasa olehnya ada sesuatu yang kurang beres pada kedua perempuan ini,
walau sejauh ini dia belum menyadari bahwa kedua perempuan buruk ini telah
diproses sedemikian rupa oleh tangan seorang ahli hingga bentuk wajahnya berubah
sama sekali dari aslinya.
Ilmu rias keluarga Suto memang hebat luar biasa.
Terasa pula oleh si Kucing kedua perempuan ini seperti ingin melimpahkan banyak
persoalan yang mengganjal hatinya, tapi tak mampu buka suara, maka sorot matanya
saja yang berbicara, sorot mata mereka tampak gelisah, mendesak namun juga
malu-malu di samping senang pula.
Tak terpikir oleh Cu Jit-jit bahwa nasib manusia memang serbaaneh, orang yang
menolong dan membebaskan dia dari belenggu iblis ternyata adalah pemuda
bajingan yang pernah dibencinya, sedangkan Sim Long ... ai, entah di mana Sim
Long sekarang.
Buli-buli arak yang serbaguna itu ternyata berada dekat lutut si Kucing, di sekitar
perut buli-buli yang gendut itu penuh menemplek jarum lembut yang runcing mengilap
seperti dilem saja lengket di atasnya, di bawah pancaran cahaya api, jarum-jarum itu
tampak berkilau biru.
Pandangan si Kucing beralih ke arah buli-buli araknya, lalu dengan sepotong kayu
kecil dia cungkil sebatang jarum serta diperiksanya dengan saksama, mendadak air
mukanya berubah kelam.
Pada saat itulah Go-losi menerobos masuk seraya berseru, “Toako, Siaute membawa
tamu untukmu.”
“Siapa?” tanya si Kucing dengan berkerut kening. Sembari bicara dia membalik
badan, maka dilihatnya Kim Bu-bong dan Sim Long melangkah masuk. Wajah Kim
Bu-bong tetap kaku masam, sedang Sim Long tetap tersenyum ramah.
Sim Long angsurkan batu kemala itu dengan kedua tangan, si Kucing menerima
dengan kedua tangan pula, sepatah kata pun kedua orang ini tidak berucap, hanya
sama tersenyum saja, namun segala perasaan hati masing-masing sudah terjalin
dalam senyum persahabatan ini.
Sim Long keluarkan pula batu mainan kalung.
Melihat Sim Long muncul, jantung Cu Jit-jit terasa berhenti berdetak, begitu melihat
mainan kalung bundar itu, seketika pipi terasa panas jengah.
Dilihatnya si Kucing ulur tangan hendak menerima mainan kalung itu, tapi Sim Long
tidak memberikannya.
Si Kucing tertawa, katanya, “Kalau tidak salah, mainan kalung ini juga milikku
bukan?”
Sim Long tersenyum, ucapnya, “Apakah Saudara sudah periksa ukiran dua huruf di
atas mainan kalung ini?”
“Sudah tentu sudah, dua huruf ukiran itu berbunyi ‘Sim Long’.”
“Apakah Saudara tahu apa arti kedua huruf ini?”
Berkedip mata si Kucing, katanya, “Sudah tentu tahu, Sim Long adalah nama
seorang gadis kenalan baikku, untuk mengenangnya, maka kuukir namanya di atas
mainan kalung itu supaya tak terlupakan seumur hidup.”
Sudah tentu Cu Jit-jit merasa geli mendengar percakapan mereka itu dan juga
mendongkol, batinnya, “Pemuda ini memang bajingan tengik, untuk mengangkangi
mainan kalung, tak segan-segan dia membual, ceritanya seperti benar-benar terjadi.”
Sim Long juga tertawa geli, katanya, “Kalau demikian, aku inilah gadis pacarmu itu.”
Keruan si Kucing melongo, katanya, “Hah, apa ... apa artinya ini?”
“Kedua huruf Sim Long itu sebenarnya adalah namaku.”
Sesaat si Kucing berdiri melenggong, mukanya agak merah, tapi kejap lain dia
tertawa keras, katanya, “Bagus, bagus, main copet aku kalah, menipu aku pun asor,
baiklah, aku mengaku kalah, boleh tidak?”
Terasa oleh Sim Long, meski pemuda ini bajingan tengik, tapi sifatnya yang polos dan
jenaka, tutur katanya yang lucu sungguh menyenangkan.
Setelah reda gelak tawa si Kucing, tiba-tiba ia berkerut kening, katanya, “Tapi
menurut apa yang kuketahui, mainan kalung ini juga bukan milikmu, mana mungkin
mainan kalung ini berukir namamu? Mungkin ... mungkinkah nona itu adalah ... adalah
kau punya ....”
“Betul,” tukas Sim Long cepat, “nona itu memang teman baikku, kedatanganku ini
juga untuk mencarinya, mohon Saudara sudi memberitahukan di mana jejaknya.”
Si Kucing tidak segera menjawab, lama dia menatap Sim Long, mulutnya bergumam,
“Bahwa nona itu mengukir namamu di atas mainan kalung yang selalu dipakainya, dia
pasti amat mencintaimu .... Ah, bagus sekali ... ai.”
Mengerling bola mata Sim Long, sebagai pemuda yang berpengalaman, sekali
pandang dia tahu pemuda ini pasti juga jatuh hati kepada Cu Jit-jit yang binal itu
sehingga sikapnya sekarang kelihatan linglung. Karena itu tambah besar
keyakinannya bahwa pemuda ini pasti tahu jejak Cu Jit-jit, maka dia berdehem
perlahan, lalu bertanya pula, “Nona itu ....”
Si Kucing tersentak, katanya dengan menyengir, “O, aku sendiri hanya sekali melihat
nona itu, mainan kalung ini juga kutemukan pada waktu itu, sejak itu aku tidak pernah
melihatnya lagi.”
Setelah menghela napas, lalu ia menyambung, “Bicara terus terang, selama
beberapa hari ini aku mondar-mandir sibuk mencari jejaknya pula, tapi agaknya dia
menghilang, ada orang bilang dia diculik Toan-hong-cu.”
Sim Long menatapnya lekat-lekat, terasa apa yang diucapkannya memang tidak
bohong, sumber penyelidikannya akan jejak Cu Jit-jit jadi terputus pula. Sambil
menunduk dia menghela napas.
Tentu saja Jit-jit yang berada di samping api unggun gelisah setengah mati. Ingin
rasanya dia berteriak, “Tolol! Kalian semua lelaki tolol, aku berada di sini, memangnya
kalian buta semuanya?”
Pek Fifi yang berada di sampingnya malah kelihatan tenang dan adem ayem saja.
Sejak masuk tadi pandangan Kim Bu-bong lantas tertuju ke arah buli-buli arak,
diamati sedemikian teliti, sorot matanya terunjuk rasa heran dan kaget, kini mendadak
dia bertanya, “Buli-buli arak ini kau peroleh dari mana?”
Senyum misterius menghias mulut si Kucing, ia tidak menjawab, tapi balas bertanya,
“Apakah tahu asal usul buli-buli arak ini?”
Kim Bu-bong mendengus, “Kalau tidak tahu buat apa tanya.”
“Kalau tahu asal usulnya, maka sepantasnya tidak perlu kau tanya.”
Kembali Kim Bu-bong mendengus, tapi tidak tanya lebih lanjut.
Mendengar tanya-jawab kedua orang seperti main teka-teki, tertarik juga perhatian
Sim Long, sorot matanya pun beralih pada buli-buli itu, hanya beberapa kejap, sorot
matanya mendadak mencorong terang.
Kim Bu-bong bertanya pula, “Apakah kau pernah bergebrak dengan seorang nyonya
berbaju hijau?”
Si Kucing tetap tidak menjawab, malah balas bertanya, “Kau mengenalnya?”
Kim Bu-bong gusar, serunya, “Sebenarnya aku yang tanya padamu atau kau yang
tanya padaku?”
Si Kucing bergelak, katanya, “Memang tidak pantas aku tanya hal ini. Jika kau tidak
kenal dia buat apa kau tanya padaku? Benar, aku memang sudah bergebrak dengan
dia.”
Ia menatap tajam Kim Bu-bong, katanya pula, “Bukan saja aku sudah bergebrak
dengan dia, malah aku pun tahu dia adalah keturunan keluarga Suto. Kedua ... kedua
gadis di samping api unggun itu berhasil kurebut dari dia, demikian pula am-gi yang
lengket pada buli-buli arakku itu adalah am-gi khas keluarga Suto.”
Berubah air muka Kim Bu-bong, dia memburu ke samping api unggun, lalu
membungkuk dan memeriksa. Pek Fifi ngeri melihat wajahnya, sebaliknya Cu Jitjit
balas menatapnya dengan tajam.
“Kecuali kepandaian am-gi,” demikian ujar si Kucing, “ilmu rias keluarga Suto juga
merajai dunia Kangouw, tapi aku tidak bisa membedakan apakah kedua orang ini
pernah dirias atau tidak ....”
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 1 komentar... read them below or add one }
chenlina20160602
michael kors outlet
nike air max 90
louis vuitton outlet stores
gucci outlet
beats by dr dre
michael kors outlet
nike store outlet
air jordans
hollister outlet
nike trainers
marc jacobs handbags
jordan 6
coach outlet
abercrombie outlet
michael kors handbags
mont blanc fountain pens
michael kors uk
nfl jerseys wholesale
pandora outlet
vans shoes
cartier watches
rolex watches
michael kors handbags
jordan shoes
oakley outlet
adidas nmd
nike basketball shoes
louis vuitton outlet
michael kors outlet
coach outlet
adidas originals store
coach factory outlet
michael kors handbags
coach outlet
toms shoes
louis vuitton handbags
tod's shoes
michael kors outlet
michael kors handbags
kobe bryant shoes
as
Posting Komentar