Peristiwa Merah Salju 4

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 15 September 2011

"Seharusnya sekali tabas kutamatkan riwayatmu, namun ada omongan yang perlu kutanyakan
kepadamu." Suaranya menjadi serak, namun semakin bengis, "Jawablah, kenapa kau melakukan
perbuatan terkutuk itu? Kenapa kau membunuh Cui long? Siapa kau sebenarnya?"
"Kau... apa yang kau katakan bahwasanya aku tidak tahu, aku toh tidak kenal kau."
Pho Ang-soat menggerung gusar seperti banteng ketaton, sekujur badannya bergetar, namun
tangan yang memegang golok tetap tenang dan kekar. Sekonyong-konyong sinar golok
berkelebat, golok tahu-tahu sudah keluar dari sarungnya.
Sinar golok terayun bagai kilat menyambar, tahu-tahu laki-laki baju hitam sudah menjatuhkan
diri menggelundung dua tombak jauhnya. Begitu sinar golok berkelebat dia mendahului
menjatuhkan diri seolah-olah dia sudah lama mempersiapkan diri dan berjaga-jaga menghadapi
tabasan golok, malah banyak cara sudah menjadi keahliannya untuk menghindarkan diri dari
rangsekan golok musuh. Memangnya serangan golok ini bukan olah-olah hebatnya, ganas dan
dahsyat, tiada orang mampu melawannya. Tapi laki-laki baju hitam kenyataannya kuasa menolong
jiwanya dari renggutan tabasannya yang ganas. Demi menghindari tebasan golok ini, dia pasti
sudah lama mempersiapkan diri.
Waktu dia mencelat dan memutar badan, serentak tangannya pun terayun. Terpaksa dia
menyambitkan pisau terbangnya juga. "Ting", kembang api berpijar, dua sinar kilat bentrok, pisau
terbang itu seketika tertabas kutung dan jatuh di tanah. Laki-laki baju hitam menggelinding pula
ke lereng gunung, mendadak terasa lambungnya kesakitan setengah mati, tempat dimana tadi
kena disodok sikut Be Khong-cun, rasanya seperti tertusuk bor yang dipalu. Untuk menghirup
napas dan mengerahkan tenaga lagi rasanya susah, tiba-tiba hawa murninya seperti macet.
Kembali sinar golok berkelebat, ujung golok yang runcing dan dingin tahu-tahu sudah
mengancam tenggorokannya. Tebasan golok yang begitu dahsyat dan tak terlawankan mendadak
berhenti, kiranya tangannya yang kekar memegang golok secara mentah-mentah berhasil
mengendalikan seluruh kekuatan tebasan goloknya. Tajam golok hanya mengiris luka di
tenggorokan laki-laki baju hitam, sejalur luka mengucurkan darah segar.
Dengan murka Pho Ang-soat mendelik, tanyanya beringin "Pertanyaanku, kau jawab tidak?"
Akhirnya laki-laki baju hitam menghela napas, katanya, "Baik aku bicara dengan kau aku tidak
bermusuhan, yang kubenci hanya Be Khong cun, aku membunuh perempuan itu, lantaran dia
anak jadah Be Khong-cun!”
Kembali bergetar dan mengejang sekujur badan Pho Ang-soat mendadak dia menggerung,
bentaknya, "Kau bohong."
"Aku tidak bohong, tapi hanya beberapa gelintir orang saja yang tahu akan hal ini...."
Napas Pho Ang-soat tersengal-sengal, semakin hebat gemetar badannya.
Laki-laki baju hitam menyambung, "Dengan Be Hong-ling dia bukan terlahir satu kandungan,
ibunya sebenarnya adalah istri seorang pemetik obat-obatan di Kwantiong. waktu ikut suaminya
ke gunung mencari obat obatan, dia diperkosa oleh Be Khong-cun, maka seluruh pedagang obat
obatan membenci Be Khong-cun sampai ke tulang sumsum, suatu ketika mereka kerahkan tiga
ratus orang menjebak Be Khong-cun di Tiang pek san untuk menuntut balas, di dalam
pertempuran besar itu, Pek-tayhiap Pek cianpwe pun hadir."
Peristiwa besar pertempuran di Tiang pek-san dulu memang amat terkenal di kalangan Bu-lim,
waktu kecil Pho Ang-soat pernah mendengai cerita ini dari ibunya, apakah obrolan laki-laki baju
hitam ini dapat dipercaya? Terasa oleh Pho Ang-soat sekujur badannya panas membara seperti
hampir meledak.
Mengawasinya, laki-laki baju hitam berkata pula, "Secara diam-diam Cui long terus memberi
kabar kepada Ban be tongcu, hal ini tentu kau pun sudah tahu, dia menjual Sim Sam-nio,
demikian pula nasib Hoa Boan-thian berada di tangannya, sejak mula setia kepada Ban be tongcu,
lantaran dia sudah tahu bahwa Be Khong-cun adalah ayahnya, sebelum ajal ibunya membocorkan
rahasia ini kepadanya."

Sampai di sini dia menghela napas, lalu melanjutkan ceritanya, "Darah lebih kental dari air,
untuk hal ini siapa pun tiada yang menyalahkan dia, karena itu aku hendak menuntut balas
kepada Be Khong-cun."
Keringat dingin bercucuran membasahi seluruh kepala dan muka Pho Ang-soat.
"Kau pun musuh besar Be Khong-cun, memangnya untuk menuntut balas kematian putrinya
kau hendak membunuh aku?" tanya laki-laki baju hitam.
"Aku tetap tidak percaya," suara Pho Ang-soat tegas serak, "tiada orang yang merelakan
putrinya berada di tempat Siau Piat-li"
"Memang tiada orang yang mungkin melakukan perbuatan terkutuk ini, cuma kau harus ingat,
bahwasanya Be Khong-cun bukan manusia" mendadak laki-laki baju hitam mengertak gigi,
serunya serak, "Hakikatnya dia memang binatang, binatang liar."
Kepalanya basah oleh keringat dingin, sekujur badan gemetar, seolah-olah badannya runtuh
dan hancur. Siapa nyana bahwa pujaan hati yang selalu dirindukan ternyata adalah putri musuh
besarnya. Dia tidak berani percaya, namun tidak bisa tidak harus percaya. Mendadak terasa
olehnya, kedua ujung mulutnya mulai gemetar dan mengejang, penyakit iblis yang menakutkan itu
seolah-olah hendak merangsang lagi, seketika mencelos hatinya.
Terpancar rasa senang dan puas pada sorot mata laki-laki baju hitam, katanya dingin,
"Omonganku sudah kuucapkan, jika kau tetap ingin membunuhku, silakan turun tangan."
Pho Ang-soat mengertak gigi, tidak bicara. Dia tidak berani buka suara, dia harus mengerahkan
seluruh tenaga dan kekuatan semangatnya untuk memusatkan konsentrasinya melawan dan
bertahan terhadap serangan penyakit iblis.
Semakin terang pancaran sinar mata laki-laki baju hitam, dia sudah merasakan tekanan golok
yang mengancam lehernya mulai mengendor dan melemah. Namun golok masih berada di
tangannya, tangan menakutkan, golok elmaut. Sekonyong-konyong dengan mengerahkan setaker
kekuatan, laki-laki baju hitam menggelinding pergi, lolos dari ancaman ujung golok, kaki tangan
bekerja, bagai binatang liar yang ketakutan menerobos turun ke samping gunung terus lari sipatkuping
ke dalam hutan, di dalam kesibukannya sempat juga dia sambitkan sebatang pisaunya.
Tapi dia tidak berani berpaling apakah sambitan pisaunya berhasil, harapan satu-satunya
sekarang adalah lari semakin jauh meninggalkan golok maut yang menakutkan, semakin jauh
semakin selamat. Bahwa dia sudah banyak bicara serta melakukan semua perbuatannya itu hanya
demi mempertahankan hidup. Ada kalanya, demi mempertahankan hidup seseorang bisa saja
melakukan perbuatan yang tidak patut dia lakukan.
Sudah tentu tidak pernah terpikir olehnya, sambitan pisaunya di dalam kerepotan melarikan diri
ini, ternyata telak mengenai dada Pho Ang-oat.
Darah merembes keluar dan mengalir melalui batang pisau yang dingin tajam, pelan-pelan Pho
Ang-soat terjungkal roboh. Roboh di tanah lembab yang dingin.
Bulan sabit yang redup cahayanya yang kini sudah bersembunyi di balik hutan sana. Alam
menjadi gelap, orang yang sudah roboh, apakah masih kuasa berdiri lagi?
Siapakah laki-laki baju hitam ini? Kenapa begitu banyak urusan yang dia ketahui? Apa yang dia
uraikan benar atau bualan belaka?
Banyak orang yang sukses pernah roboh beberapa kali, tapi mereka toh berdiri lagi. Malah
bukan sekali dua saja, mungkin puluhan kali mereka roboh, akan tetapi puluhan kali pula mereka
berdiri.
Mereka tidak takut dipukul roboh, karena mereka tahu, asal kau masih punya kekuatan, masih
punya keberanian untuk berdiri, tidak jadi soal roboh berulang kali?
Pelan-pelan Pho Ang-soat merangkak bangun dan berdiri. Pisau masih menancap di dadanya.
Darah masih mengalir, tapi penyakit iblis keparat itu seolah-olah ikut merembes keluar bersama

darah segarnya yang mengalir keluar. Rasa sakit yang luar biasa, kiranya malah membuatnya
sadar dan jernih pikiran.
Tapi jernih pikiran membuatnya merasa letih, lemah dan kelaparan. Terutama lapar, sungguh
tak pernah terbayang dalam benaknya bahwa lapar kiranya merupakan siksaan yang sukar
ditahan.
Laki-laki baju hitam sudah lari turun gunung tak kelihatan lagi. Pho Ang-soat tidak
mengejarnya, dia tahu kondisi badannya sekarang, takkan mampu berbuat apa-apa. Seluruh
kekuatannya yang terpendam sudah dia kuras habis seluruhnya.
Di semak-semak rumput di lereng bukit sana ada sinar kuning emas berkilauan, itulah mainan
Kim-ji-gi yang terbuat dari emas murni. Itulah barang milik laki-laki baju hitam waktu dia tergopoh
gopoh lari ke lorong, di saat dia menimpukkan pisaunya ke belakang, jatuh dari kantong di
dadanya tanpa dia sadari.
Dengan cermat Pho Ang-soat mengamati sinar mas kemilau itu, pelan-pelan dia menghampiri,
dia menjemputnya. Kalau tiga bulan yang lalu dia lebih rela dirinya mati kelaparan, betapa pun tak
sudi menjemput barang milik orang lain yang jatuh, malah melirik pun dia tak sudi.
Tapi selama tiga bulan ini, tidak sedikit pengalaman yang sudah dia pelajari, tidak sedikit pula
perubahan pada dirinya. Dia harus mengerti, untuk sukses kau harus mempertaruhkan segala
milikmu. Dan yang terpenting, dia harus bertahan hidup.
Sekarang dia tak rela mati, apalagi mati secara sengsara dalam keadaan serba runyam begini.
Asal dia punya tenaga untuk berdiri, punya kekuatan untuk hidup, umpama sekarang dia terpaksa
harus mencuri atau merebut dan merampas milik orang lain pun bisa juga dia lakukan.
Setelah keluar dari hutan lebat, di bawah kaki gunung di luar hutan, terdapat sebuah
penginapan bobrok yang kotor, tadi pernah dia lewat sini. Sekarang dia tidak ragu-ragu lagi,
dengan kecepatan yang mampu dia lakukan segera memburu masuk, pisau di dadanya sampai tak
dia urus lagi, dia tidak berani mencabutnya, darah jangan sampai bercucuran lagi, semakin banyak
darahnya terkuras, kondisi badannya akan semakin lemah.
Di dalam penginapan masih ada sinar lentera. Ada api tapi tiada orang, sunyi-senyap tak
terdengar suara apa pun Pintu besar terpentang lebar. Mungkin pemilik penginapan yang tua
renta itu sudah tak punya tenaga menutup pintu? Atau hakikatnya dia memang enggan dan tiada
alasan untuk menutup pintu penginapannya?
Dari depan sampai pekarangan belakang semuanya kosong melompong, sinar lampu menyorot
dari bilik paling belakang. Melihat cerobong asap di wuwungan bilik kecil ini, tahulah dia bahwa di
sanalah letak dapur. Bukankah dapur melambangkan kehangatan hidup, di sana ada makanan
yang masih panas mengepulkan asap sedap?
Lekas sekali Pho Ang-soat melangkah ke sana, tapi di dapur ini dia tidak menemukan makanan
dan kekuatan yang dia dambakan. Yang dia hadapi hanyalah kematian.
Api tungku sudah padam, api lentera yang kehabisan minyak pun hampir padam. Seorang
kakek tua renta yang sudah ubanan rebah telentang, lehernya dihiasi sejalur warna hitam
pertanda darah yang mengering, sepasang sumpit masih kencang tergenggam di tangannya,
namun badannya sudah kaku dingin.
Tidak jauh dari mayat orang tua, menggeletak kantong uang yang sudah robek, namun kosong.
Jelas di saat orang tua ini makan bakmi, tiba-tiba lehernya digenjot orang dan jiwanya melayang
seketika. Sumpit masih berada di tangannya, menandakan bahwa bakmi yang dia makan belum
habis. Lalu siapakah yang menghabiskan sisa bakmi di dalam mangkuk?
Sisa uang yang jelas tak seberapa dari kantong uang itu, terang diambil juga oleh si pembunuh.
Tapi masakah setelah dia membunuh orang, sisa bakmi yang belum habis itupun dia gares
sekalian?

Muka kurus kaku dan dingin orang tua ini menampilkan rasa ketakutan, tidak percaya. Sampai
mati dia pun tidak percaya, bahwa di dunia ini ada manusia yang rela membunuh jiwanya yang
sudah tua, manusia yang sudah setengah tuli setengah buta, hanya karena semangkuk bakmi dan
beberapa keping uang tembaganya, apalagi sisa bakmi itu sudah bercampur dengan ludahnya.
Sungguh dia mati penasaran, mati pun takkan meram.
Sanubari Pho Ang-soat pun marah dan tertusuk, karena dia sedang bertanya terhadap diri
sendiri, di dunia ini boleh dikata sudah jarang ada orang yang lebih mendalam memahami lapar
serta kesengsaraan seorang rudin dan miskin. Dia tidak bisa menjawab, mungkinkah dirinya bakal
membunuh orang demi memperebutkan semangkuk bakmi dan beberapa peser uang. Bila seorang
tidak menemui jalan buntu, pasti takkan melakukan perbuatan yang jahat dan tercela ini.
Siapa pembunuh kejam dan telengas ini? Apakah dia benar-benar sudah menghadapi jalan
buntu? Tiba-tiba Pho Ang-soat teringat akan apa yang diucapkan laki-laki baju hitam, mendadak
teringat olehnya Be Khong-cun. Benar, pasti Be Khong-cun adanya.
Pasti dia sudah melihat kedatangan Pho Ang-soat, maka dia melarikan diri. Tapi dia sungguh
terlalu lapar, dia harus menangsal sesuatu makanan, makan apa pun meski setengah mangkuk
bakmi, bagaimana pula perasaannya? Terbayang akan kehidupannya dulu yang jaya dan serba
kemewahan, betapa rasa setengah mangkuk bakmi yang dia telan itu?
Terkepal kencang jari-jari tangan Pho Ang-soat, tiba-tiba dia merasa muak dan hampir tumpahtumpah.
Dia penasaran, benci dan marah, namun di dalam sanubarinya yang paling dalam juga
amat tersiksa, pilu dan duka lara. Majikan Ban be tong yang malang melintang di Kwan tang,
tokoh besar yang pernah menggetarkan dunia dan berkuasa di tanah perdikan padang rumput
yang tiada duanya sampai hati membunuh seorang tua renta miskin karena merebut semangkuk
bakmi dan beberapa peser uangnya. Setelah menghabiskan sisa setengah mangkuk bakmi yang
tawar dan kotor itu, apakah dia tidak merasa muak?
Ban be tongcu memang ingin muntah-muntah. Tapi sekuat tenaga dia menelannya kembali,
sedapat mungkin dia bertahan jangan sampai dirinya muntah-muntah. Kuah bakmi seperti air
pencomberan itu, ludah yang tercampur di dalam bakmi, gigi kuning yang ompong dari kakek tua,
serta pandangan matanya yang menghina serta ejekannya... semua itu cukup membuatnya muak
dan ingin muntah-muntah.
Tapi peduli makanan apa pun, sama saja akan membangkitkan tenaga dan kekuatan di dalam
tubuh manusia. Jika dia tumpahkan keluar bakmi kotor yang berada di dalam perutnya, tak
ubahnya dia memuntahkan tenaga dan kekuatannya pula, justru sekarang dia amat perlu adanya
tenaga, meski hanya setitik tenaga pun bolehlah. Karena setiap titik kekuatannya perlu dia
manfaatkan, seperti pula sewaktu dirinya melarikan diri di pegunungan Tiang-pek-san masa lalu
itu. Waktu itu dia malah pernah minum air kencing sendiri. Tapi keadaan serta situasi sekarang
jauh lebih berbahaya dari waktu itu, karena musuh yang dia hadapi sekarang ratusan kali lebih
hebat, lebih bahaya dan kejam, lebih menakutkan.
Dengan mata kepalanya sendiri dia pernah menyaksikan gerakan golok Pho Ang-soat yang
dahsyat tiada tokoh di dunia ini yang mampu menandingi atau melawan ilmu goloknya. Seolaholah
dia melihat kembali tokoh yang membuat dirinya tak kuasa mengangkat diri di hadapan
umum dulu. Seakan-akan kembali dia melihat golok di tangannya, bila sinar golok berkelebat,
darah segar muncrat lebih segar dan menyolok dari ceceran darah yang berkembang di luar Bwe
hoa am dulu.
Orang yang benar-benar dia takuti mungkin bukan Pho Ang-soat, tapi tokoh yang satu itu.
Seakan-akan dari golok di tangan Pho Ang-soat, dia melihat semangat serta kekuatan orang itu
yang menakutkan. Peduli dia sudah mati atau hidup, dirinya takkan berani berhadapan dengan
tokoh ini, apalagi menghadapi goloknya yang sakti, golok elmaut.
Justru karena dia tahu bahwa tokoh itu sedang menunggu kedatangannya di neraka, maka dia
takut mati. Oleh karena itu dia harus melarikan diri, harus bertahan hidup. Tapi berapa lama pula
dia bisa hidup?

Malam semakin kelam, hembusan angin malam di musim rontok terasa semakin dingin. Tak
lama lagi daun-daun pohon akan rontok seluruhnya, di waktu maghrib, angin badai yang
menghembus ke arah barat laut terasa semakin kencang, pada suatu pagi yang dingin, bila kau
membuka jendela, maka terbentanglah alam semesta nan ditaburi kembang-kembang salju yang
sudah membeku keras.
Seorang laki-laki tua yang berpakaian tipis, kantong kosong lagi, terang dia takkan bisa
bertahan hidup lama lagi di tengah tanah bersalju yang dingin ini.
Be Khong-cun menggenggam kencang jarinya, dengan kencang dia genggam beberapa keping
uang tembaga, itulah uang rampasannya dari kantong uang si kakek tua renta itu, uang sebanyak
ini mungkin masih boleh untuk membeli dua mangkuk bakmi yang paling murah. Bagaimana
selanjutnya? Dengan bekal kepandaiannya, mestinya tidak sukar untuk masuk ke rumah hartawan,
merampok atau mencuri harta mereka, malah dia yakin masih kuasa mencegat dan merampok
kereta kawalan. Bukannya dulu dia tidak pernah melakukan kejahatan-kejahatan seperti itu, tapi
sekarang dia tak berani melakukannya.
Bukan karena dia sudah muak akan kehidupan ini, tapi lantaran dia takut meninggalkan jejak
dan menunjukkan kedoknya sendiri, sehingga Pho Ang-soat dengan mudah menemukan dirinya.
Kepalanya terangkat mengawasi pohon-pohon yang mulai gundul, kini tinggal satu tempat satu
tujuan saja yang bisa dia tuju, hanya sebuah jalan terbentang untuk dia susuri. Semula dia tidak
ingin menempuh ke jalan ini, tapi sekarang tiada pilihan lain, terpaksa dia harus ke sana.
Di bawah ranjang yang terletak di belakang almari, masih tersimpan setengah karung gandum,
dan sebuah peti besi yang sudah berkarat. Di dalam peti ini terdapat secarik saputangan yang
tersulam indah, di dalamnya dibuntal setumpuk uang perak, di antaranya terdapat pula badik yang
terbuat dari baja, masih ada pula korek api yang dibuat bagus sekali.
Kecuali tiga benda yang rada menyolok, selebihnya adalah barang-barang kecil yang campuraduk,
jelas semua barang-barang itu adalah barang-barang yang peninggalan para pelancong
yang biasa menginap di penginapan ini, orang tua renta itu agaknya masih menyimpannya baikbaik,
mungkin menunggu tamu yang kehilangan balik mengambilnya. Memangnya dia seorang
yang jujur dan bajik, meski dia tahu bahwa pemilik barang-barang itu takkan mungkin putar balik
mengambilnya pula.
Saputangan bersulam yang membuntal tumpukan uang itu adalah peninggalan seorang nyonya
muda. Suatu malam secara diam-diam dia datang dengan menunggang sebuah kereta bobrok,
bertemu dengan seorang pemuda yang sudah menunggunya tiga hari di sini, tengah malam
secara diam-diam dia pergi pula tanpa pamit.
Waktu pemuda itu bangun, tidak menemukan barang apa pun yang dia tinggalkan, seorang diri
dia berdiri termangu-mangu setengah harian di pekarangan dengan bercucuran air mata, lalu
dengan membusung dada dia melangkah pergi.
Mungkinkah nyonya muda itu dipaksa untuk menikah dengan keluarga berada, namun secara
diam-diam dia mengadakan pertemuan di hotel dengan pujaan hatinya? Apakah pemuda itu kelak
akan bangkit, melupakan kehidupannya yang pahit getir ini?
Kakek tua itu tidak tahu sama sekali, dia pun tidak ingin tahu, dia hanya mengharap pemuda ini
jangan seperti dirinya, seumur hidup hanya hidup dalam kemelaratan.
Badik dan korek api ditinggalkan seorang laik-laki gede yang mengenakan pakaian berjalan
malam, waktu tengah malam dia datang minta kamar, badannya dilumuri darah, agaknya luka
parah. Menjelang fajar, tiba-tiba dia dikejutkan oleh caci-maki dan suara gaduh yang diselingi
benturan senjata beradu, dari kamar belakang terus berhantam keluar pekarangan. Kakek tua
tetap mendekap guling, tidur di kamarnya, setelah suasana di luar sepi, baru dia berpakaian
membuka pintu melangkah keluar.

Di pekarangan luar ada beberapa genangan darah, di dalam kamar di bawah bantal masih
ketinggalan badik dan korek api ini, namun laki-laki baju hitam yang terluka itu sudah tidak
kelihatan lagi.
Setelah pergi, orang-orang itu tak pernah kembali lagi, bahwa kakek tua ini masih menyimpan
baik-baik semua barang-barang peninggalan para tamunya, tak lain hanya untuk dibuat kenangan
dalam kehidupannya yang sengsara dan serba getir ini.
Uang perak dan korek api tetap ditinggalkan di tempat semula, dengan sedikit gandum dia bikin
bubur ala kadarnya serta dimakan dengan lahapnya. Lalu di kamar yang tadi ditempati Be Khongcun,
dia cuci muka dengan air dingin, dia siap tidur memulihkan tenaga dan kesehatannya.
Kamar itu gelap dan lembab, hawanya apek, ranjang dingin dan keras, tapi bagi Pho Ang-soat
sudah lebih dari cukup. Dalam sebuah kehidupan manusia tiada sesuatu persoalan yang mutlak,
tergantung cara bagaimana kau berpikir serta menanganinya.
Tak bergerak tanpa bersuara dia rebah di dalam kegelapan, ingin tidur, namun tidak
mengantuk dan tidak bisa pulas. Terlalu banyak yang harus dia pikir, muka Be Khong-cun yang
selalu serius dan kereng, muka laki-laki baju hitam yang berlepotan darah, wajah Yap Kay yang
selalu dihiasi senyuman... muka-muka orang seakan melayang-melayang di hadapan matanya di
malam gelap, akhirnya berubah menjadi seorang, seraut muka yang cantik, mata yang jeli,
dengan sorot mata yang sedih dan membawa perasaan menghibur tengah mengawasinya tanpa
berkedip.
Peduli orang macam apa dia sebelum ini, peduli dia putri Be Khong-cun, yang terang dia mati
lantaran aku. Serasa disayat-sayat sanubari Pho Ang-soat, dia tahu selama hidupnya takkan
menemukan seorang gadis yang benar-benar menaruh cinta sedemikian dalam dan murni. Seolaholah
sudah menjadi kodrat akan nasibnya yang harus hidup sebatangkara dan terlunta-lunta.
Tapi pada saat itulah, dia mendadak mendengar suara orang, suara yang lembut dan lebih
hangat dari sutra, "Kapan kau datang kemari?"
Seseorang mendorong pintu pelan-pelan, melangkah masuk, seolah-olah sukma gentayangan di
tengah kegelapan. Walau Pho Ang-soat tidak melihat orangnya, namun dia kenal betul suaranya.
Selama hayat masih di kandung badan, dia takkan melupakan suara ini.
Di kota perbatasan di padang rumput yang sepi, di dalam gang sempit nan gelap, di dalam
kamar kecil yang hangat. Orang selalu menunggunya di sana, masih segar dalam ingatannya
seakan-akan dia mengucapkan, "Kapan kau datang kemari?", "Aku ingin kau berubah jadi laki-laki
sejati...." Terbayang olehnya tangan orang menuntunnya, supaya dirinya berubah jadi laki-laki
jantan.
"...karena banyak persoalan yang hanya bisa dikerjakan oleh laki-laki sejati...." tak pernah
terlupakan olehnya tubuh montok halus menggiurkan itu, takkan terlupakan detik-detik memuncak
nikmat di surga dunia.
Cui long. Apakah Cui long? Apakah perempuan itu adalah Cui long? Mendadak Pho Ang-soat
mencelat bangun, bayangan orang di dalam gelap itu tahu-tahu sudah mendekap dan
memeluknya. Tubuhnya masih montok, kenyal dan hangat lembut, deru napasnya masih
membawa deru dan bau wangi yang tak terlupakan sepanjang masa. Di pinggir telinganya orang
berbisik, "Bukankah kau tidak menyangka aku bakal datang?"
Sampai tenggorokan Pho Ang-soat seakan-akan dicekik, sampai sesak napasnya. "Aku tahu
belakangan ini hidupmu amat menderita, tapi jangan kau menjadi putus asa karenanya, kau pasti
bisa menemukan Be Khong-cun, kalau kau pesimis dan putus asa, kita semua akan merasa
kecewa."
Tangan Pho Ang-soat gemetar, pelan-pelan dia merogoh kantong bajunya. Mendadak sinar api
terpercik. Kamar yang semula gelap tiba-tiba memancar terang, ternyata dia menyalakan api
dengan korek itu. Maka dia melihat orang di depannya, cewek yang pertama kali dia gauli,
sehingga pertama kali dia jadi laki-laki sejati. Perempuan ini pula yang merubah jalan hidupnya,

perempuan yang membuatnya sulit melupakan dia, sayang sekali dia bukan Cui long, dia adalah
Sim Sam-nio.
Sinar api berkelap kelip, muka Pho Ang-soat semakin pucat, tak tertahan dia menjerit tertahan,
"Kau?"
Muka Sim Sam-nio pun pucat, putih tak berdarah, kelihatannya begitu menakutkan, entah
karena luka-lukanya sehingga dia kehilangan banyak darah atau karena dia tidak menduga akan
adanya sinar api? Lekas dia gerakan badan setengah miring, dengan lengan bajunya dia
sembunyikan mukanya, tapi cepat sekali dia berpaling, mengunjuk tawa kepada Pho Ang-soat,
katanya tersenyum, "Ya, aku. Kau tidak menduga bukan?"
Dengan rasa kejut Pho Ang-soat mengawasinya, lama kemudian baru dia manggut-manggut.
"Kau kira Cui long?" tanya Sim Sam-nio.
Pho Ang-soat diam saja, dia tidak tahu cara bagaimana harus menjawab, malah mengawasi
orang pun tak berani lagi.
Sepasang mata Sim Sam-nio yang jeli menatapnya lekat-lekat, katanya pelan-pelan, "Aku tahu
dia sudah meninggal, aku juga tahu kematiannya merupakan pukulan berat bagi lahir batinmu,
aku datang kemari karena aku mengharap kau tidak terlalu sedih akan kematiannya." Dengan
menggigit bibir dia ragu-ragu, seolah-olah dia mengerahkan tenaga baru berani melanjutkan,
"Karena yang harus kau cintai seharusnya aku, bukan dia." Tegak lurus badan Pho Ang-soat
seperti tonggak yang tertanam di tanah, mukanya pun semakin pucat.
Setelah menghela napas, Sim Sam-nio berkata pula, "Aku tahu selama ini kau selalu mengira
dia adalah aku, kau tidak tahu bahwa di dunia ini masih ada seorang seperti diriku ini, maka
kau...."
"Kau salah," tukas Pho Ang-soat tiba-tiba dengan tegas.
"Aku salah?"
Terangkat kepala Pho Ang-soat, mengawasinya, sorot matanya menampilkan mimik yang aneh,
katanya kalem, "Walau aku tidak tahu siapa kau, namun sejak permulaan aku sudah tahu dia
bukan kau."
Sim Sam-nio menjublek. Kali ini yang kaget malah dia sendiri, malah jauh lebih kaget dari Pho
Ang-soat tadi waktu melihat kehadirannya. Lama sekali baru dia bersuara, "Kau tahu? Darimana
kau bisa tahu? Apakah dia yang memberitahu kepadamu?"
"Dia tidak memberitahu, aku pun tidak bertanya, tapi aku sendiri bisa merasakannya...." dia
tidak menjelaskan lebih lanjut, karena dia tahu hal ini tidak perlu diperbincangkan lagi.
Sepasang muda-mudi yang sedang dimabuk cinta asmara, pasti dihubungkan oleh sesuatu
perasaan sensitif yang aneh dan tak mungkin dilukiskan dengan kata-kata, perasaan yang terjalin
dari hati ke hati antara kedua muda-mudi ini jelas tak mungkin dirasakan dan dimengerti oleh
orang ketiga.
Sim Sam-nio adalah perempuan yang sudah cukup matang dan tahu urusan, pengertian ini
sudah tentu sudah amat dia pahami sejak lama. Serta-merta timbul juga dalam benaknya jalinan
perasaan aneh itu, entah mengapa perasaan ini seolah-olah membuat dia amat segar dan
nyaman, lama sekali baru dia paksakan manggut-manggut, katanya lirih, "Ternyata cintamu
memang tidak salah alamat."
"Memangnya aku tidak salah," ujar Pho Ang-soat. Sikapnya tiba-tiba berubah tegas dan kereng,
mantap lagi, katanya lebih pelan, "Aku mencintainya, karena dia adalah dia, dan orang seperti dia
itulah yang kucintai, jelas dan pasti tiada alasan lainnya."
Sekarang Sim Sam-nio benar-benar mengerti, umpama orang memang sudah tahu bahwa
dirinya adalah perempuan pertama yang dia gauli, tapi dia tetap mencintai Cui long.

Cinta asmara memangnya tidak kenal syarat, cinta yang murni selamanya tidak kenal
penyesalan. Tiba-tiba teringat akan Be Khong-cun, namun dia sendiri tidak tahu apakah dirinya
jatuh hati terhadapnya? Apakah cintanya tidak salah alamat?
"Mana Yap Kay?" tanya Pho Ang-soat tiba-tiba.
"Dia... dia tidak kemari," sahut Sim Sam-nio.
"Kau kemari memberitahu hal ini padaku, apa dia menyuruhmu?"
"Aku kemari memberitahu kepadamu, karena aku merasa kau punya hak untuk tahu hal ini."
Lama Pho Ang-soat menepekur, katanya kemudian, "Tapi aku mengharap hal ini bisa kulupakan
untuk selamanya."
Sim Sam-nio tertawa dipaksakan, ujarnya, "Sekarang aku sudah melupakannya."
"Baik sekali, bagus...." ujar Pho Ang-soat, mereka saling pandang, seperti layaknya sahabat
karib yang beradu pandang setelah lama tidak berjumpa.
Pada saat itulah koerek api di tangan Pho Ang-soat tiba-tiba padam. Kamar kecil ini kembali
menjadi gelap. Walau dalam kegelapan yang sama, dua orang yang sama pula sedang
berhadapan, namun jalan pikiran dan hati mereka sudah jauh berlainan. Waktu dulu, Pho Ang-soat
hanya terbayang akan halusnya badan yang panas, bibir yang merangsang, sekujur badannya
seketika ikut terangsang. Sekarang meski orang berdiri di hadapannya, namun nafsu birahinya
untuk menyentuh badan orang pun sudah tiada lagi.
Mereka tidak bicara, memang tiada bahan persoalan yang harus mereka bicarakan lagi. Tak
lama kemudian Sim Sam-nio mendengar langkah Pho Ang-soat yang aneh itu, pelan-pelan
beranjak ke arah pintu dan semakin jauh, akhirnya tak terdengar lagi.
"Aku tidak salah mencintainya, memang dialah yang kucintai, jelas dan pasti, tiada alasan
lainnya." Dengan termenung Yap Kay mendengarkan cerita Sim Sam-nio sampai habis, namun
dalam benaknya dia masih mengulang berkali-kali ucapan beberapa patah kata itu. Seolah-olah
banyak pula kesan di dalam sanubarinya, namun dia tidak tahu entah manis atau getir dan kecut?
Ting Hun-pin mengawasinya, katanya tertawa, "Apa yang dia ucapkan, sudah beberapa kali
pernah kuutarakan. Pernah kukatakan, hanya kaulah yang kucintai, peduli kau orang macam apa,
aku tetap mencintaimu."
Dalam sorot mata Yap Kay yang paling dalam seolah membayangkan rasa derita dan risau yang
sukar dijajaki orang, kepala terangkat, dengan mcndelong dia memandang ke ufuk timur yang
mulai memancarkan cahaya keemasan, tiba-tiba dia bertanya, "Kau tidak menyesal?"
"Pasti tidak."
Yap Kay tertawa, tawanya seperti dipaksakan, katanya, "Bila kelak aku melakukan sesuatu yang
merugikan kau, kau pun tidak menyesal?"
Sikap Ting Hun-pin berubah tegas dan tandas, mirip benar dengan sikap dan keteguhan hati
Pho Ang-soat tadi. Katanya dengan tersenyum, "Kenapa aku harus menyesal? Aku mencintaimu
lantaran aku suka rela, bukan saja tiada alasan lain, juga tiada orang lain yang memaksaku untuk
mencintaimu."
Senyum tawanya mekar dan cerah laksana cuaca pagi disongsong sinar fajar nan cemerlang,
diliputi dan dilandasi harapan nan tak berujung pangkal.
Mengawasi gadis mekar ini, terbayang oleh Sim Sam-nio akan sikap Pho Ang-soat, mendadak
terasa olehnya bahwa mereka baru manusia yang benar-benar bahagia. Karena mereka berani
bercinta, mencintai dengan murni dan setulus hati. Tak tahan akhirnya dia menghela napas,
katanya, "Mungkin kali ini aku tidak pantas menemuinya untuk penghabisan kali."
"Tapi tiada salahnya juga setelah kau menemuinya," ujar Yap Kay.
"Kenapa tidak salah?" tanya Sim Sam-nio tidak mengerti.

"Karena adanya pertemuan kalian kali ini, membuat kita semua sama-sama mengerti akan satu
hal."
"Hal apa?" kembali Sim Sam-nio menegas.
"Dia mencintai Cui long, cintanya memang tidak salah, karena dia mencintainya setulus hati."
Lalu dengan tersenyum dia menyambung, "Hal ini sudah kita pahami, cinta yang murni selamanya
takkan salah."
Cinta selamanya takkan pernah salah. Oleh karena itu bila kau sudah jatuh hati terhadap
seseorang, silakan kau mencintainya, jangan lantaran sesuatu hal kau menyesal dan mundur. Asal
kau mencintainya secara murni dan tulus, kau pasti tidak salah mencintai kekasihmu.
Tapi bagaimana dengan benci? Apakah benci selamanya tidak mengenal salah?
Berdiri di ambang pintu Pho Ang-soat menghadap keluar, mengawasi orang-orang yang masuk
ke dalam warung nasi kecil ini, lalu mengawasi orang-orang yang keluar pula dari dalam setelah
kenyang mengisi perut. Mendadak dia merasa dirinya jauh lebih kurus, letih dan jompo dari setiap
orang yang dilihatnya. Sampai sekarang baru dia insyaf pengejaran tanpa tujuan dan gelandangan
tanpa arah seperti dirinya, sungguh kehidupan yang amat menakutkan. Kehidupan seperti ini
membuat dia selalu letih, rasa letih yang hampir mendekati putus asa. Tapi setiap malam tidak
pernah dia tidur nyenyak.
Sepuluh tahil uang perak yang terbungkus di dalam saputangan bersulam itu sudah dia pakai
habis, dia tidak tahu milik siapa sebenarnya uang itu, tapi dia tidak peduli. Kini hanya satu niatnya
untuk mengetahui milik siapa sebenarnya mainan golekan dari emas murni yang dia temukan di
semak-semak rumput tempo hari. Sayang sekali mainan golekan emas ini terbikin begini halus,
terang bikinan seorang ahli, tiada tanda istimewa atau ciri-ciri khas di atasnya, tapi sekarang dia
memerlukan uang untuk ongkos hidup, terpaksa dia harus menggadaikannya, dengan uang gadai
ini dia akan mencari pemilikinya. Kalau tidak menemukan golekan emas ini, entah bagaimana dia
harus mempertahankan hidup.
Tapi dia bertekad untuk membunuh pemilik golekan emas ini, sungguh merupakan ironi, namun
banyak kejadian semacam ini sering terjadi di dunia ini dan itulah warna-warni kehidupan
manusia.
Ada kalanya kehidupan manusia justru merupakan sindiran yang paling tajam.
Mendadak Pho Ang-soat ingin minum arak, sedapat mungkin dia mengendalikan diri, tiba-tiba
dilihatnya seorang yang terlalu menyolok melangkah masuk dari luar. Pakaian orang ini teramat
perlente, sikap dan tindak-tanduknya diliputi keyakinan akan diri sendiri, kelihatan dia amat puas
dan senang akan segala miliknya, dia pun punya pegangan teguh akan masa depannya kelak.
Perawakan orang muda ini memang gagah, mukanya ganteng, sikapnya angker, dibanding Pho
Ang-soat sekarang yang berdiri di ambang pintu, sungguh merupakan perbandingan yang amat
menyolok sekali. Mungkin lantaran ini, maka tiba-tiba timbul rasa mual dan benci dalam sanubari
Pho Ang-soat terhadap pemuda yang satu ini.
Sorot mata si pemuda yang bercahaya menyapu pandang sekelilingnya, tiba-tiba melangkah
menghampiri ke arahnya, lalu duduk di kursi di hadapannya, walau mukanya dihiasi senyuman
manis, namun sikapnya terang berpura-pura dan bermuka-muka belaka, lagaknya amat sombong,
katanya memperkenalkan diri, "Cayhe Lamkiong Ceng."
Pho Ang-soat sudah enggan mempedulikan orang, maka dia anggap tak pernah melihat orang
ini, tidak tahu akan kehadirannya, anggap tidak mendengar ocehannya. Nama Lamkiong Ceng
hakikatnya tidak membawa manfaat apa-apa bagi dirinya, umpama dia tahu Lamkiong Ceng
adalah putra sulung keluarga besar persilatan Lamkiong yang kenamaan pun sikapnya takkan
berubah.
Meski keluarga besar persilatan Lamkiong yang kenamaan amat menggetarkan nyali setiap
insan persilatan, tapi bagi dirinya sedikit pun tidak membawa keuntungan.

Sudah tentu sikap Pho Ang-soat amat di luar dugaan Lamkiong Ceng, dengan nanar dia
mengawasi muka Pho Ang-soat yang pucat memutih bening, mendadak dia merogoh sebuah
golekan emas dari kantong bajunya, katanya, "Apakah tuan yang barusan menyuruh pelayan pergi
menukarkan mainan ini dengan uang?"
Terpaksa Pho Ang-soat manggut-manggut.
Mendadak Lamkiong Ceng tertawa dingin, katanya, "Sungguh kejadian yang aneh."
"Kejadian aneh?" tak tertahan Pho Ang-soat tertarik.
"Karena aku tahu pemilik golekan emas ini bukan tuan."
Tiba-tiba terangkat kepala Pho Ang-soat, menatapnya lekat-lekat, "Kau tahu? Cara bagaimana
kau bisa tahu?"
Lamkiong Ceng menarik muka, katanya kereng, "Karena golekan ini adalah milikku yang
kuberikan kepada seorang kawan, kedatanganku ini justru ingin bertanya padamu, cara
bagaimana golekanku ini bisa terjatuh ke tanganmu?"
Jantung Pho Ang-soat mulai berdetak cepat, sedapat mungkin dia menekan perasaannya,
katanya, "Katamu golekan emas ini adalah milikmu, apakah kau berani memastikan?"
"Sudah tentu bisa."
"Kau yakin benar?"
"Golekan ini dibikin oleh ahli emas kenamaan dari toko Kiu-sia yang bernama Lo Thong, secara
kebetulan pelayan di sini justru membawa golekan ini ke toko pusat Kiu-sia untuk menjualnya, dan
lebih kebetulan lagi aku berada di sana"
Toko Kiu-sia memang adalah salah satu usaha besar dari modal kekayaan keluarga Lamkiong
yang kaya raya. Lamkiong Ceng pergi ke sana kebetulan hendak mengambil uang untuk foya-foya.
Sungguh kejadian yang benar-benar amat kebetulan, namun di dunia ini justru sering terjadi
peristiwa-peristiwa kebetulan seperti ini, maka di dalam kehidupan manusia sepanjang masa
sering terjadi adegan tragis atau suatu peristiwa besar yang menggembirakan.
Dengan menarik muka, tiba-tiba Pho Ang-soat balas tertawa dingin, katanya, "Umpama benar
golekan ini semula memang milikmu, sekarang tidak pantas kau kemari bertanya kepadaku."
"Kenapa?"
"Karena kau sudah memberikan benda ini kepada orang lain."
"Tapi dia jelas takkan menyerahkan benda ini kepadamu, tak mungkin pula menjual kepadamu,
oleh karena itulah aku keheranan."
"Jadi kau kira aku mencuri atau merampasnya?"
Lamkiong Ceng menyeringai dingin, ejeknya, "Siapa pun bila ingin mencuri dan merampas
barangnya, kukira takkan mudah terlaksana."
"Cara bagaimana pula kau berani memastikan bahwa dia takkan memberikan kepadaku?"
Muka Lamkiong Ceng semakin kaku, sekilas bimbang, akhirnya berkata kalem, "Karena ini
merupakan emas kawin adik perempuanku."
"Apa benar?"
"Masakah hal ini boleh dibuat main-main? Apalagi soal ini sudah banyak diketahui oleh kaum
persilatan."
"Kau punya berapa adik perempuan?”*
"Hanya satu saja." Diam-diam sudah disadarinya pertanyaan pemuda pucat dan kurus ini
semakin aneh. Dan dia menjawab pertanyaan orang karena dia mulai tertarik, ingin dia
membuktikan apa tujuan Pho Ang-soat sebenarnya. Tapi Pho Ang-soat lantas menghentikan

pertanyaan nya. Memang dia tidak perlu bertanya lagi. Kalau kaum persilatan banyak yang
mengetahui akan pernikahan ini, cukup luas sumber penyelidikannya untuk mengetahui asal-usul
misterius laki-laki baju hitam.
"Pertanyaanmu sudah habis?" tanya Lamkiong Ceng.
Lama Pho Ang-soat mengawasi sepasang tangannya yang putih, dikeluarkan dari lengan
bajunya yang terpelihara dengan baik, pada jari telunjuknya mengenakan sebentuk cincin batu
Giok dari dinasti Han yang besar dan berwarna bintik-bintik kembang... semua ini tiba-tiba
menimbulkan pula rasa mualnya terhadap pemuda tengik ini.
Lamkiong Ceng pun tengah menatapnya, katanya dingin, "Apakah kau tidak akan bicara lagi?"
"Masih ada sepatah kata."
"Silakan berkata."
"Kunasehati kepadamu, lebih baik kau carikan calon suami adikmu yang lain saja."
"Kenapa?"
"Karena laki-laki yang bakal menjadi suami adik perempuanmu itu tak berumur panjang."
Pelan-pelan dia angkat tangannya, diletakkan di atas meja, tangannya masih kencang memegangi
golok.
Mata Lamkiong Ceng yang semula mendelik seketika kuncup dan menyipit gemetar, jeritnya
tertahan, "Kau?"
"Ya, aku."
"Pernah kudengar tentang dirimu, beberapa bulan ini sering aku mendengar orang banyak
menyinggung kau," kata Lamkiong Ceng sengit. "Kabarnya kau mirip penyakit menular, kemana
pun kau berada, di sana akan kedatangan bencana."
"Dan apa lagi?"
"Konon bukan saja kau menghancurkan Ban be tong, kau pun merobohkan tokoh-tokoh silat
kenamaan yang punya kedudukan dan nama besar, tentunya ilmu silatmu baik juga."
"Kau tidak terima dan ingin mencobanya?"
Lamkiong Ceng tiba-tiba tertawa, katanya dingin, "Kau ingin aku tunduk kepadamu? Kenapa
kau tidak mampus saja?"
Pho Ang-soat diam dan dingin menatapnya, setelah orang habis mengoceh dan menghentikan
tawanya, baru pelan-pelan dia mengeluarkan suaranya, "Cabut pedangmu."
Pedang panjang berukuran tiga kaki tujuh dim diberi gantolan mas tersoreng di pinggangnya,
sarungnya yang terbuat dari kulit ikan cucut bintik-bintik amat elok dan dihiasi tujuh batu zamrud
yang berkilauan. Jari-jari Lamkiong Ceng sudah memegang gagang pedangnya, ototnya
merongkol dan punggung kulit tangannya sudah memutih kencang. Katanya tertawa dingin,
"Kabarnya golokmu hanya bisa dilihat orang sebelum jiwanya ajal, pedangku justru tidak sama,
tiada ruginya kuperlihatkan dulu kepadamu." Sekonyong-konyongnya badannya mencelat
melambung ke tengah udara, sekaligus pedangnya pun sudah terlolos keluar. Sinar pedangnya
yang kemilau membawa bunyi nyaring seperti pekikan naga, menukik turun dari tengah udara,
"Ting", tahu-tahu mangkuk di depan Pho Ang-soat sudah terbelah dua, disusul suara "Brak",
sebuah kursi kayu yang kokoh dan kuat pun ikut terbelah hancur berkeping-keping.
Pho Ang-soat mengawasi mangkuk yang terbelah dan kursi hancur berantakan di sampingnya,
jangan kata bergerak kaget, bergeming sedikit dari tempatnya pun tidak. Tapi dari samping
seorang terdengar berseru memuji, "Pedang bagus. Ilmu pedang hebat."
Tangkas dan ringan Lamkiong Ceng hinggap turun, pelan-pelan dia mengelus tajam
pedangnya, ujung matanya menyapu pandang ke arah Pho Ang-soat, katanya tersenyum bangga,
"Bagaimana?"

Tawar sikap Pho Ang-soat katanya, "Ilmu pedang peranti pembelah kayu yang kau mainkan ini
dulu aku memang pernah dengar dari orang lain."
Berubah air muka Lamkiong Ceng, bentaknya bengis, "Bukan saja bisa membelah kayu,
pedangku inipun bisa membelah badanmu." Tangkas sekali tangannya bergerak menyendal,
pedangnya seketika bergetar dan berputar memetakan bintik-bintik sinar puluhan batang pedang
panjang. Sekonyong-konyong sinar pedang yang bergulung-gulung itu berubah laksana bianglala
melesat di tengah angkasa, bagaikan kilat menabas lengan Tho Ang-soat yang memegang golok.
Pho Ang-soat tidak mencabut goloknya. Sampai sedemikian jauh dia masih tetap tidak
bergerak, cuma matanya tanpa berkedip mengikuti berkelebatnya sinar pedang lawan. Di saat
tajam pedang sudah mengiris bolong lengan bajunya, lengannya tiba-tiba tertekan ke bawah,
mendadak dia membalik tangan, tahu-tahu sarung pedangnya yang tajam itu sudah mengetuk
keras di pergelangan tangan Lamkiong Ceng yang memegangi pedang. Gerakannya ini
kelihatannya tidak menunjukkan keistimewaan apa-apa, yang terang dia cukup tepat
memperhitungkan waktunya, di saat jurus permainan lawan sudah dilancarkan, baru dia
mendadak turun tangan. Tapi jika orang itu tidak memiliki semangat baja dan urat syaraf kawat,
masakah dia mampu bersabar dan setabah itu baru turun tangan setelah pedang lawan melubangi
lengan bajunya.
Seketika Lamkiong Ceng merasakan pergelangan sakit selanjutnya baru dia menyadari bahwa
pedang panjangnya tiba-tiba tak tercekal lagi serta mencelat terbang menancap di dinding di
depan sana.
Pho Ang-soat tetap duduk di tempatnya, bukan saja goloknya belum keluar, orangnya pun tidak
bergerak.
Lamkiong Ceng mengertak gigi, tiba-tiba dia membanting kaki, seringan burung walet tiba-tiba
badannya melambung ke atas mencelat melewati kepala Pho Ang-soat, sekali raih ia tarik
pedangnya yang menancap di dinding, berbareng kaki kanan menjejak tembok. Meminjam tenaga
jejakan ini, badannya berjumpalitan balik ke belakang dengan gaya menyedot dada jumpalitan di
tengah mega, sinar pedangnya bagai kan perak langsung menusuk ke tenggorokan Pho Ang-soat.
Dari samping kembali terdengar suara pujian. Bahwa pemuda ini tadi kena diselomoti, jelas
karena dia terlalu memandang rendah musuhnya terlalu takabur dan lena. Bahwasanya permainan
pedangnya cukup lincah dan cekatan, bukan saja gerak badannya indah dan lincah, perubahan
gerai badannya pun rumit dan penuh variasi, laksana naga bermain di angkasa membuat
penonton kagum. Hakikatnya tiada hadirin yang melihat cara bagaimana Pho Ang-soat bergerak
atau turun tangan. Jelas mereka tiada satu pun yang melihat.
"Pletak", tahu-tahu pedangnya sudah menusuk kursi, namun Pho Ang-soat yang duduk di atas
kursi entah bagaimana tahu-tahu sudah hilang. Dalam detik-detik yang gawat itu, dengan
kesehatan gerakannya, kembali dia meluputkan diri dari tusukan pedang orang.
Jelas sekali Lamkiong Ceng sendiri menyaksikan pedangnya sudah menusuk Pho Ang-soat,
sekonyong-konyong badan orang sudah berkelebat lenyap. Sampai pun sisa waktu dan tenaganya
untuk merubah gerak serangannya pun tiada lagi, terpaksa dengan mendelong dia mengawasi
pedangnya sendiri menusuk kursi. Baru dia merasakan kesakitan.
Rasa sakit yang luar biasa, seperti dua buah martil besar sekaligus menghantam ke
lambungnya. Belum lagi badannya terbanting roboh tahu-tahu sudah terpukul lagi sampai
mencelat terbang menumbuk tembok. Sekuatnya dia menghirup napas, baru pelan-pelan
badannya melorot jatuh menggelondot dinding, namun kakinya sudah tak kuat lagi menyanggah
badannya.
Pho Ang-soat tengah mengawasi dingin, katanya, "Kau menyerah tidak?"
Napas Lamkiong Ceng tersengal-sengal, mendadak dia membentak, "Pergilah mampus!" Di
tengah bentakannya, tahu-tahu dia menubruk maju lagi, terdengar angin pedangnya menderu
seperti bambu pecah, dari muka dia beruntun menusuk empat kali, lalu berbalik menusuk pula tiga

kali. Tujuh tusukan pedang berantai ini, walau tidak secepat dan sedahsyat serangannya semula,
namun jauh lebih telengas dan keji, setiap tusukan pedangnya merupakan serangan yang
mematikan.
Badan Pho Ang-soat berkelebatan seperti bergoyang-gontai, dalam waktu sesingkat itu dengan
mudah dia sudah berkelit dari serangan tujuh tusukan pedang. Walaupun dia seorang timpang,
tapi gerak langkah kakinya seolah-olah mega mengambang air mengalir, lincah dan enteng serta
wajar. Orang yang belum pernah melihat gayanya berjalan, takkan percaya bahwa pemuda
setangkas kera ini ternyata berkaki timpang.
Tapi dia tahu diri, justru kakinya sebagai seorang cacad, maka sekarang dia bisa bergerak tiga
kali lebih cepat dari orang-orang normal lainnya. Untuk jerih payah ini, latihannya pun tiga kali
lipat lebih berat, gemblengannya tiga lipat lebih banyak dari orang biasa. Demi kakinya yang
timpang ini, entah berapa banyak keringat dan darah yang harus dia cucurkan? Bukan saja orang
lain takkan bisa mengetahui, sampai membayangkan pun takkan pernah dipikirkan.
Setelah melancarkan tujuh kali tusukan pedangnya, baru saja Lamkiong Ceng hendak merubah
jurus serangannya, namun belum sempat gerakannya tersambung mendadak dilihatnya sebatang
golok sudah mengancam di depan matanya. Golok tetap tersarung, sarungnya hitam gelap. Waktu
Lamkiong Ceng melihat jelas sarung golok itu, sarung golok itu tahu-tahu sudah menghantam
dadanya. Mendadak terasa pandangannya menjadi gelap, bintang berkunang-kunang di depan
mata. Setelah pandangannya kembali terang, baru dia menyadari dirinya tengah mendeprok di
lantai, dadanya sakit dan panas seperti dibakar oleh seterika, sampai bernapas pun rasanya berat.
Pho Ang-soat berdiri di depannya, menatapnya dengan dingin, katanya, "Sekarang kau mau
menyerah?"
Mulut Lamkiong Ceng sudah terpentang, namun dia tidak bisa bersuara. Mungkin memang
sudah menjadi ciri dan pembawaannya bagi anak keturunan keluarga besar persilatan yang selalu
bersifat congkak, tinggi hati dan tidak mau tunduk, dikalahkan orang lain. Sekuat tenaga dia
meronta hendak bangun, dengan membusungkan dada dia melotot kepada Pho Ang-soat. Darah
segar masih bercucuran dari mulutnya, mendadak dengan sisa tenaganya dia membentak keras,
"Pergilah kau mampus."
"Aku belum mampus, kau masih memegang pedang, kau masih bisa membunuhku," ejek Pho
Ang-soat menyeringai sadis.
Dengan mengertak gigi Lamkiong Ceng mengayun pedangnya, tapi begitu tangannya
terangkat, dadanya seketika sakit luar biasa seperti tulang dan paru-parunya pecah. Meski
pedangnya menusuk ke depan, masakah mampu membunuh orang lagi. Bahwasanya Pho Angsoat
tidak perlu berkelit atau menangkis, baru saja ujung pedangnya menusuk tiba di depan dada
ujungnya tiba-tiba menukik turun.
Suara pujian di samping tadi kini berganti menjadi helaan napas. Bagi seorang pemuda yang
sombong, helaan napas simpatik seperti ini sungguh jauh lebih menusuk perasaannya daripada
penghinaan dengan olok-olok yang gamblang.
Badan Lamkiong Ceng tiba-tiba mulai gemetar, mendadak dia berseru keras, "Kalau kau begini
membenciku, kenapa tidak kau bunuh aku saja"
"Aku membencimu?" tanya Pho Ang-soat tidak mengerti.
"Aku memang tiada bermusuhan dan dendam terhadapmu, tapi aku tahu kau amat
membenciku, karena kau sendiri sudah menyadari selama hidupmu kau takkan bisa menandingi
aku," tiba-tiba sorot matanya memancarkan senyum tawa yang sadis dan keji.
Pedangnya sudah tak mampu melukai Pho Ang-soat, tapi dia menyadari kata-kata kotor yang
tajam ada kalanya jauh lebih tajam dari pedang untuk melukai hati orang. Dengan suara keras dia
menyambung, "Kau membenci aku, lantaran aku ini adalah laki-laki sejati yang normal, dan kau
tidak lebih adalah manusia cacad yang harus dikasihani, anak haram yang malu melihat matahari.

Jika Pek Thian-ih masih hidup, dia pasti takkan mengakui kau sebagai anaknya, bahwasanya untuk
menuntut balas sakit hatinya pun kau tidak setimpal."
Muka Pho Ang-soat yang pucat tiba-tiba berubah merah padam, badannya bergetar mulai
gemetar.
Kembali terunjuk senyum sinis puas di muka Lamkiong Ceng, katanya dingin, "Oleh karena itu,
dengan cara apa pun kau menghina dan menyiksaku pun tak berguna, karena selamanya aku
lebih kuat dari kau, selamanya takkan tunduk atau menyerah kepadamu."
Otot punggung tangan Pho Ang-soat merongkol keluar, jarj-jarinya kencang memegang gagang
golok, katanya kalem, "Selamanya kau tidak tunduk kepadaku?"
"Mati pun aku takkan tunduk."
"Apa benar?"
"Sudah tentu benar."
Tiba-tiba Pho Ang-soat menghela napas, katanya dengan menatapnya, “Tidak pantas kau
mengeluarkan perkataanmu...." Helaan napasnya kedengarannya jauh lebih sadis dari jengekan
dingin Lamkiong Ceng, di tengah helaan napasnya yang aneh itu, goloknya tiba-tiba berkelebat
keluar dari sarungnya. Sinar golok hanya berkelebat sekali saja
Lamkiong Ceng hanya merasa angin dingin menyembar lewat di pipi kirinya, lantas sebuah
benda melorot jatuh di atas pundaknya. Tanpa sadar serta merta dia menangkap benda jatuh ini,
mendadak didapatinya pundak dan telapak tangannya sudah berlepotan darah. Waktu dia
membuka telapak tangannya, baru dia melihat tegas benda dingin yang berlepotan darah di
telapak tangannya ternyata adalah sebuah kuping. Kupingnya sendiri.
Kejap lain baru dia merasa tempat dimana kupingnya berada terasa panas sakit luar biasa.
Badannya seketika berubah dingin kaku, kedua kakinya menjadi lemas dan "Bluk", kembali dia
melorot jatuh berduduk. Tangan dimana dia memegangi kupingnya yang putus terasa sakit seperti
digigit ratusan ular berbisa, keringat dingin bercucuran membasahi sekujur badan, muka yang
cakap ganteng dan amat angkuh itu, kini kelihatan seperti muka mayat hidup.
Berkata Pho Ang-soat dingin, "Aku belum mati, tanganku masih memegang golok, dan kau?"
Mengawasi kupingnya yang putus, gigi Lamkiong Ceng gemeratak, sepatah kata pun tak kuasa
diucapkan.
"Sampai mati kau tetap tidak tunduk kepadaku?"
Sepasang mata Lamkiong Ceng yang diliputi ketakutan tiba-tiba berkaca-kaca, suaranya
gemetar, "Aku... aku...."
"Kau mau tunduk tidak?"
Mendadak Lamkiong Ceng mengerahkan sisa tenaganya berteriak, "Aku tunduk kepadamu, aku
menyerah kalah...." Waktu dia berteriak, tak tertahan air matanya bercucuran.
Selamanya dia beranggapan dirinya seorang pemuda gagah yang tidak mengenal takut dan
tidak mau menyerah atau tunduk kepada orang lain, tapi sekarang tiba-tiba hatinya dirasuk rasa
ketakutan yang hebat bagai air bah yang tak terbendung lagi, dalam sekejap seluruh keberanian
dan nyalinya tersapu bersih, hanyut tanpa bekas. Ternyata dia sudah tak kuasa mengendalikan
dirinya lagi.
Kembali muka Pho Ang-soat berubah pucat bening, tanpa mempedulikan dia lagi, pelan-pelan
dia membalik badan, pelan-pelan beranjak keluar. Gaya jalannya aneh dan lambat, tapi sekarang
tiada orang yang berani memandangnya sebagai pemuda timpang yang menggelikan.
BAB 44. SEPASANG JAGOAN KELUARGA TING

Deru angin di musim rontok laksana pisau tajamnya menyampuk muka. Pelan-pelan Pho Angsoat
beranjak ke jalan raya, hembusan angin kencang membuat dadanya terasa dingin.
Bahwasanya dia bukan laki laki cacad, selamanya dia tidak mau melukai orang lain, namun dia pun
tidak mau dilukai. Tapi di dunia ini justru ada sementara orang sejak dilahirkan sudah dibawai
bekal bahwa dirinya adalah seorang kuat, sejak dilahirkan sudah diberi hak untuk melukai dan
menyakiti orang lain, sebaliknya orang lain tak kuasa melukai seujung rambutnya saja.
Mungkin mereka bukan manusia yang benar-benar jahat, namun rasa keunggulan yang
menghayati sanubari sementara manusia yang memang berwatak angkuh, itu amat jahat dan
keterlaluan, maka dia perlu disingkirkan dan diberantas.
Menghadapi orang yang berwatak demikian hanya ada satu cara, mungkin yaitu memotong
kupingnya, supaya dia mengerti, jika kau menyakiti hati orang, orang lain pun bisa saja menyakiti
kau. Pho Ang-soat sudah menyadari benar, bukan saja caranya ini tepat dan cocok, malah amat
bermanfaat dan pasti berhasil.
Tan-ciangkui yang berkuasa di toko Kiu-sia baru saja duduk dan mengambil cangkir teh,
sekujur badannya seketika basah kuyup ketumpahan air teh. Tangannya gemetar, jantung pun
berdegup keras, sungguh tak pernah terbayang dalam benaknya putra sulung majikannya pun
bakal menangis tergerung-gerung begitu mengenaskan, sekarang terpaksa dia harus pura-pura
tidak tahu menahu akan peristiwa ini.
Pada saat itu juga mendadak dilihatnya pemuda bermuka pucat yang timpang itu sedang
mendatangi dari seberang jalan sana, cangkir teh di tangannya seketika jatuh hancur di atas
lantai.
Pelan-pelan Pho Ang-soat melangkah masuk ke toko antik ini, dengan dingin dia mengawasi
Ciangkui yang duduk gemetar, katanya, "Kaukah yang berkuasa di toko ini?"
Tan-ciangkui manggut-manggut.
"Akulah yang menyuruh orang menggadaikan golekan emas itu kemari, mana uangku?"
Tan-ciangkui tergopoh-gopoh, katanya dengan mengunjuk tawa, "Uang ada, ada... semua di
sini, silakan Kongcu ambil seperlunya." Seluruh uang kas di dalam toko dia keluarkan seluruhnya,
seolah-olah Pho Ang-soat adalah perampok yang hendak menguras seluruh uangnya.
Tiba-tiba Pho Ang-soat merasa geli dalam hati. Sudah tentu dia tidak tertawa, malah menarik
muka dan berkata, "Apa benar Lamkiong Ceng hanya punya seorang adik perempuan?'
"Ya, hanya seorang saja."
"Dengan siapa dia sudah dipertunangkan?"
"Dengan... dengan Ting-siauya dari keluarga Ting, bernama... bernama Ting Ling-tiong."
Seketika berubah hebat rona muka Pho Ang-soat.
Tan-ciangkui justru lebih terkejut, tidak tersangka olehnya setelah mendengar nama orang ini,
air muka Pho Ang-soat berubah sedemikian menakutkan. Kebetulan sinar surya yang condong ke
barat menyoroti mukanya yang pucat kelihatannya kulit mukanya bening dan tembus sinar.
Arak beracun di Ho han ceng, pedang beracun Ong Toa-ang, pisau terbang yang beruntun
menamatkan dua jiwa tidak berdosa... dan orang yang berada di luar Bwe hoa am malam itu.
Apakah semua orang sudah lengkap?
Sekonyong-konyong segala persoalan mendadak menjadi terang dan muncul di benaknya
setelah dia mendengar nama orang itu. Hatinya seolah-olah menjadi terang dan bersih laksana
kaca tembus cahaya.

Bahwasanya tiada suatu rahasia yang bisa selamanya mengelabui mata manusia, segala rahasia
sekarang seolah-olah sudah tiba saatnya harus dibongkar dan ditelanjangi.
Pho Ang-soat mendadak tergelak-gelak, di tengah gelak tawanya dia beranjak keluar, tinggal
Tan-ciangkui yang keheranan dan melongo duduk di tempatnya. Sungguh belum pernah
terbayang di dalam benaknya bahwa gelak tawa manusia pun kedengarannya begitu menakutkan.
Perkampungan yang besar tenggelam di kesunyian malam nan pekat, tampak beberapa sinar
api yang terpancar di antara aling-aling pepohonan. Hembusan angin membawa bau wangi, bulan
sudah hampir bulat.
Ban be tongcu mendekam di wuwungan rumah, di tengah malam nan gelap, di bawah
hembusan angin malam nan dingin di atas wuwungan, membuat darah dalam dadanya mendidih.
Seolah-olah dia kembali pada masa mudanya di malam pembunuhan besar itu.
Di saat sehening dan sepekat ini, menerjang masuk ke rumah keluarga yang masih asing bagi
dirinya, sembarang waktu goloknya terayun siap membunuh siapa saja, namun sembarang waktu
dia pun siaga untuk diringkus dan dihajar orang lain. Kehidupan yang serba tegang dan selalu
menusuk perasaan, sudah hampir dia lupakan sama sekali.
Tapi malam ini dia tidak perlu kuatir jejaknya ketahuan oleh ronda malam, karena di sini
merupakan salah satu keluarga besar persilatan yang amat kenamaan di Bu-lim, sejarah tiga
keluarga besar persilatan sudah bertahan sejak ratusan tahun yang lalu turun menurun, terus
bertahan dan tetap jaya. Sembarang maling, rampok dan orang-orang pejalan malam takkan
berani sembarangan terobosan di sini, di sini hakikatnya tidak perlu ada penjaga malam dan pakai
ronda segala.
Lama kelamaan sinar api semakin jarang, dari kejauhan terdengar suara kentongan ketiga baru
saja lewat. Penghuni perkampungan besar ini tentunya tidur nyenyak, menurut adat dan tata
tertib keluarga di sini, dilarang orang malas dan suka tidur serta bangun terlambat, sudah tentu
mereka harus tidur pagi-pagi.
Mata Ban be tongcu sejeli mata burung hantu, memperhitungkan tempat untuk lompatan
kakinya berpijak, barulah dia melompat ke sana. Walau tidak takut jejaknya ketahuan, tapi dia
tetap harus hati-hati.
Pengalaman bertahun-tahun dalam kelananya menghadapi berbagai mara bahaya,
membuatnya jadi seorang yang teliti, sabar dan selalu waspada akan bahaya yang mengintai.
Setelah dia melampaui beberapa pucuk wuwungan rumah, mendadak dia melihat sebuah
pekarangan yang istimewa, pekarangan yang lain daripada yang lain. Pekarangan ini bersih,
nyaman dan serba artistik. Di balik kertas jendela yang putih bersih masih kelihatan cahaya lampu,
anehnya tak tampak sepucuk pohon dan tanaman apa pun di dalam pekarangan ini, namun pasir
kuning terbentang luas di sini. Di tengah-tengah padang pasir menguning ini ditanami pohonpohon
kaktus yang hidup subur.
Berbagai macam pohon, besar kecil, beraneka ragamnya, seluruhnya penuh ditumbuhi duri-duri
runcing, ditimpa sinar rembulan yang redup dingin, kelihatan begitu seram dan mendirikan bulu
roma.
Seketika bersinar mata Ban be tongcu, dia tahu di sinilah tempat tujuan yang hendak dicarinya.
Orang yang hendak ditemui, kiranya masih belum mati. Tiada terdengar suara di dalam rumah,
sinar lampu guram dan remang-remang. Pelan-pelan Ban be tongcu menghembuskan napas,
mendadak dia mengeluarkan suara yang aneh sekali, seperti lolong serigala kelaparan di hutan
belantara.
Lampu di dalam rumah seketika padam, pintu yang semula tertutup rapat sebaliknya terbuka
secara tiba-tiba. Disusul sebuah suara yang serak dan rendah bersuara di tengah kegelapan,
"Siapa di situ?"

Kembali Ban be tongcu menghembuskan napas, sahutnya, "Teman lama dari Bwe hoa."
Suara di dalam gelap itu seketika diam, lama sekali baru suara itu berkata pula dingin, "Aku
tahu cepat atau lambat kau pasti akan kemari."
Pelan-pelan pintu tertutup rapat pula, namun lampu tetap tidak dinyalakan. Dalam rumah gelap
gulita, tiada orang yang bisa melihat pemilik rumah yang suka menanam pohon kaktus dan tidak
suka menanam pohon dan kembang lainnya, beraut muka dan berperawakan macam apa.
Suaranya serak dan rendah, sehingga dia laki-laki atau perempuan pun sukar dibedakan, tua atau
muda pun tidak bisa ditentukan.
Di tengah kegelapan malam terdengar suara bisik-bisik Ban be tongcu dengan orang itu.
Terdengar Ban be tongcu sedang bertanya, "Apa kau berpendapat aku tidak pantas kemari?"
"Sudah tentu kau tidak patut kemari, kita sudah mengikat perjanjian, peristiwa di Bwe hoa am
telah berselang, selanjutnya kita putus hubungan, selanjutnya aku tidak mengenalmu lagi."
"Masih segar dalam ingatanku "
"Kau pun pernah berjanji, selanjutnya peduli terjadi peristiwa apa pun, kau tidak akan menarik
diriku ke dalam kancah pertikaian itu pula."
Mendadak Ban be tongcu tertawa dingin, jengeknya, "Bukan aku yang menjilat ludah
mengingkari janji."
"Bukan kau? Memangnya aku?" tanya orang itu.
"Kenapa kau suruh orang pergi membunuhku?"
"Aku suruh siapa membunuh kau?"
"Hatimu sendiri mengerti, kenapa harus bertanya kepadaku?" Lama orang itu berdiam diri,
akhirnya berkata dengan pelan-pelan, "Jadi kau sudah melihat Losam?"
"Ternyata memang Losam, sejak lama kudengar di antara tiga saudara laki keluarga Ting,
losam adalah putra yang paling cerdik dan pandai bekerja sungguh tak nyana di samping kau
ajarkan seluruh ilmu silatmu, dia pun pandai menggunakan pisau terbang."
"Pisau terbang? Pisau terbang apa?"
"Di luar Bwe hoa am dulu, kau membawa kabur dua barang milik Pek Thian-ih, satu di
antaranya adalah pisau terbang pemberian Siau-li, kau kira aku tidak tahu?"
Orang itu diam saja, seolah-olah sedang mengertak gigi.
"Siau-li si pisau terbang memang menggetarkan dunia, tapi orang yang benar-benar pernah
melihatnya tidak banyak, kecuali kau, tiada orang yang bisa meniru buatan yang sedemikian
miripnya."
Orang itu berkata, "Sayang sekali aku sendiri pun tidak tahu bila dia sudah meyakinkan
kepandaian pisau terbang Siau-li."
"Untung peryakinannya belum lihai, maka beruntunglah aku tidak sampai mampus dan kuasa
sampai di sini dengan masih hidup."
Kembali orang itu berdiam diri, sesaat kemudian mendadak bicara dengan gemas, "Aku sudah
tahu bahwa Ban be tong sudah hancur luluh, kabarnya seorang pemuda bernama Pho Ang-soat
yang melakukannya Apakah dia keturunan Pek Thian-ih dari rahim perempuan sundal itu?"
"Tidak salah."
"Mengandal tenaganya seorang mampu meruntuhkan Ban be tong?"
"Bila goloknya bekerja, kepandaiannya takkan kalah tinggi dibanding Pek Thian-ih di masa
mudanya dulu."

"Darimana dia bisa meyakinkan ilmu goloknya itu? Apakah Pek Thian-ih secara diam-diam
menurunkan Sin to sim hoatnya itu kepada perempuan sundal itu?"
"Cinta Pek Thian-ih terhadap Pek-hong Kongcu memangnya tulus dan murni."
Mendadak terdengar suara gemeratak dari beradunya gigi di tengah gelap, kedengarannya
seperti golok tumpul yang sedang diasah, siapa pun yang mendengar pasti mengkirik seram.
Naga-naganya orang itu memang mempunyai permusuhan mendalam yang tak terleraikan dengan
Pek Thian-ih.
Kata Be Khong-cun, "Tapi jika tidak dibantu Yap Kay secara diam-diam, belum tentu Pho Angsoat
bisa berhasil."
"Yap Kay? Apa pula hubungan orang ini dengan keluarga Pek?"
"Asal-usul orang ini kurang terang, gerak-gerik dan jejaknya selalu tersembunyi, semula aku
sendiri pun kena dikelabui, kukira dia hanya seorang kelana yang kebetulan lewat di daerahku
belaka."
"Bahwa kau pun kena dikelabui, agaknya orang ini memang lihai."
"Usianya memang masih muda, namun otaknya encer, ilmu silatnya sukar dijajaki, jauh lebih
sukar dilayani dibanding Pho Ang-soat."
"Menurut pendapatmu bagaimana kalau dia dibanding dengan Losam?"
"Ting-samkongcu memang pemuda yang serba pintar, sayang...."
"Sayang bagaimana?"
"Sayang sekali orang yang terlalu pintar biasanya tidak berumur panjang."
"Kau membunuhnya?" teriak orang itu.
"Beruntung bahwa dia tidak sampai membunuhku, hatiku sudah cukup puas, mana aku bisa
membunuhnya."
"Lalu siapa yang membunuhnya?"
“Pho Ang-soat."
"Darimana kau tahu? Apakah menyaksikan dengan mata kepalamu sendiri?"
Be Khong-cun ragu-ragu, akhirnya dia mengiakan.
Berubah beringas suara orang itu, serunya, "Kau saksikan dia terbunuh tanpa berusaha
menolongnya?"
"Seharusnya aku menolong dia, sayang sekali aku sendiri terluka, jiwaku sendiri sukar
kulindungi."
"Siapa yang melukai kau?"
"Pisau terbangnya itu."
Tertutup mulut orang itu.
"Apa pun yang sudah terjadi, sekarang aku sudah berada di sini, maka kau pun takkan terluput
dari tanggung jawab ini."
"Memangnya apa yang kau inginkan?"
"Sembilan belas tahun yang lalu, kaulah yang bekerja sama dengan aku merencanakan
pembunuhan di luar Bwe hoa am itu, pasti tiada orang di Kangouw yang pernah menduganya.
Umpama Pho Ang-soat memiliki kepandaian setinggi langit, dia pasti takkan bisa menemukan
tempat ini."
"Maka kau berkeputusan menyembunyikan diri di tempatku ini?"

"Terpaksa aku bertindak demikian, kelak bila ada kesempatan, baru kita memberantas rumput
sampai ke akar-akarnya, kita bunuh Pho Ang-soat.'
"Walau di antara kita tiada punya hubungan tapi urusan sudah telanjur sedemikian jauh, sudah
tentu aku tidak bisa mengusirmu pergi."
Tiba-tiba Be Khong-cun tertawa, "Tentunya kau takkan membunuhku untuk menutup mulut,
sebagai orang cerdik tentunya kau tahu, jika tanpa persiapan, masakah aku berani kemari."
"Boleh kau legakan hatimu, cuma selama beberapa tahun belakangan ini, boleh dikata aku
sudah meninggalkan persoalan duniawi, umpama di sini terjadi pembunuhan, orang luar takkan
ada yang tahu."
"Kalau demikian, aku memang boleh lega."
"Yap Kay yang kau singgung tadi, aku sih pernah mendengar namanya."
"Oh, memangnya?"
"Walau Pho Ang-soat tak bisa menemukan tempat persembunyianmu, tapi Yap Kay cepat atau
lambat pasti akan kemari."
"Kenapa?"
"Karena sekarang dia sudah boleh dianggap bakal menantu keluarga Ting kita."
"Jangan sekali-kali kau kabulkan," teriak Be Khong-cun kaget.
"Kenapa tidak boleh kukabulkan? Jika dia sudah menjadi menantu keluarga Ting kita, bukankah
aku bisa tidur nyenyak, apalagi putri keluarga Ting tak mau menikah kecuali dengan pemuda
pilihan yang satu ini. Semula aku masih pikir-pikir, sekarang aku malah ingin lekas merestui
pernikahan ini."
Tiba-tiba Be Khong-cun tertawa dingin, jengeknya, "Kau ingin merestui pernikahan mereka?"
Tiba-tiba orang itu terbungkam lagi, maka dalam gelap terdengarlah langkah kakinya, "Blang",
pintu dia dorong dan beranjak keluar.
Agaknya Be Khong-cun tertawa senang, dengan tersenyum dia menggumam seorang diri, "Yap
Kay, Yap Kay, lebih baik kalau kau tidak kemari, kalau tidak, aku berani tanggung kau akan
menyesal."
Sinar bintang yang redup menyorot masuk ke dalam kamar, samar-samar dilihatnya di atas
meja ada sepoci arak. Dia meraihnya serta mencicipinya seteguk, katanya dengan tetap
tersenyum, "Memang arak bagus, di kala seorang menghadapi kesunyian, memang harus
minum...." Dia tidak mengutarakan ucapannya, tawanya tiba-tiba menjadi kaku, kontan dia roboh
tersungkur.
Malam sedingin es. Dengan memeluk lutut Yap Kay duduk di undakan batu yang dingin,
mendongak mengawasi rembulan yang sudah mencapai ketinggian di pucuk pohon, hatinya
seolah-olah ikut dingin, kalau rembulan semakin membulat, manusia justru akan berpisah.
Kenapa di antara sesama manusia banyak yang saling memperalat, saling mencelakai dan
membunuh, kenapa mereka lebih banyak berpisah? Kalau toh akhirnya berpisah, kenapa mereka
harus berkumpul?
Tiba-tiba teringat olehnya Siau Piat-li, terbayang akan peristiwa yang pernah dialaminya di kota
perbatasan itu, teringat akan Nikoh tua penghuni Bwe hoa am yang kesunyian dan sebatangkara,
terbayang pula akan pusara di lereng gunung itu....
Sekarang boleh dikata dia sudah menjadi jelas akan segala liku-liku persoalan ini, namun masih
ada satu hal yang masih belum dimengerti olehnya, dan hal ini pula yang sampai sekarang masih
belum bisa diselesaikan. Mungkin persoalan ini memang tidak mungkin dibereskan, karena apa

pun yang harus dia lakukan, bukan mustahil dirinya harus melukai hati orang lain, mungkin pula
akan melukai hatinya sendiri.
Berpisah meski mendelu, berkumpul bukankah juga banyak membawa kerisauan? Angin dingin
sepoi-sepoi, didengarnya langkah kaki di belakangnya, sekaligus didengarnya pula suara merdu
senyaring kelintingan. Tiba-tiba dia berpaling, katanya, "Kebetulan kau datang, aku memang ingin
mencarimu."
Dengan mengerutkan mulut, Ting Hun-pin bertanya, "Kenapa tidak kau mencariku?"
"Karena tadi aku belum berkeputusan, apa aku harus memberitahu persoalan ini kepadamu."
"Ada urusan apa?"
"Sebetulnya hal ini tidak akan kuberitahu kepadamu, tapi aku tidak ingin membohongi kau,
selama ini kau terlalu baik pula kepadaku." Sikapnya serius, suaranya pun tawar dingin. Biasanya
sikap Yap Kay tidak pernah demikian.
Ting Hun-pin sendiri tidak bisa tertawa lagi, seakan-akan dia sudah mendapat firasat bahwa
persoalan yang hendak dibicarakan kepadanya bukan urusan baik, "Peduli persoalan apa pun yang
hendak kau bicarakan, aku tidak suka mendengar."
"Tapi kau harus mendengarnya, karena sebelum hari terang tanah aku harus segera
berangkat."
"Kau hendak pergi? Kenapa tidak sejak tadi kau beritahukan padaku?"
"Karena untuk kali ini kau tidak boleh ikut aku."
"Kau... seorang diri hendak kemana?"
"Bukan seorang diri aku pergi."
"Apakah kau hendak pergi bersama Sim Sam-nio?"
"Benar."
"Kenapa?"
"Karena aku menyukainya, selama ini aku amat menyukai dia, kau tidak lebih masih seorang
anak-anak, tapi dia adalah perempuan jelita yang paling kupuja, demi dia aku boleh membuang
segala milikku."
Dengan kaget Ting Hun-pin menatapnya, seperti belum pernah dia melihat orang ini, katanya
gemetar, "Dia... apakah dia benar-benar mau ikut kau pergi?"
Yap Kay tertawa, katanya tawar, "Sudah tentu dia mau, bukankah kau pernah bilang aku ini
laki-laki yang menyenangkan?"
Pucat muka Ting Hun-pin, namun kedua biji matanya membara, seperti orang mendadak
menampar mukanya dengan keras. Selangkah demi selangkah dia menyurutkan mundur, air mata
berderai bercucuran mendadak dia putar tubuh terus menerjang keluar, dengan kencang dia lari
ke sana terus menerjang bobol pintu kamar Sim Sam-nio.
Yap Kay tidak merintangi, karena dia tahu Sim Sam-nio akan memberikan jawaban yang sama
seperti apa yang barusan dia katakan. Untuk ini Sim Sam-nio sudah menjanjikan diri. Tapi tiba-tiba
didengarnya suara jeritan di kamar Sim Sam-nio, jeritan mendadak seperti berhadapan dengan
setan.
Bukan jeritan Sim Sam-nio tapi jeritan Ting Hun-pin. Lampu masih menyala di dalam kamar.
Sinar lampu yang redup tepat menyinari muka Sim Sam-nio yang pucat kaku, mimik mukanya
sedemikian tenang dan wajar. Tapi napasnya berhenti, jiwanya pun sudah melayang.
Sebatang pisau tepat amblas di dadanya, darah membasahi seluruh pakaiannya. Tapi dia mati
dengan tenang, karena kejadian ini sudah dia pikirkan secara masak baru dia berkeputusan.
Kecuali mati, dia tiada punya cara lain untuk membebaskan diri dari dosa yang lebih besar.

Di bawah lampu tertindih secarik kertas dimana ada beberapa baris huruf yang berbunyi, "Nona
Ting adalah gadis yang baik, aku tahu dia amat mencintaimu, aku pun seorang perempuan, oleh
karena itu meski aku sudah berjanji kepadamu, namun aku tidak tega membantu kau menipu dia.
Terutama aku takkan tega mengawasi kalian membunuh Be Khong-cun "
Itulah pesan terakhir Sim Sam-nio. Dia percaya Yap Kay pasti paham apa yang dia maksud, tapi
Ting Hun-pin justru tidak mengerti. Dia membalik badan, melotot kepada Yap Kay, tanyanya
dengan air mata bercucuran, "Ternyata kau membohongi aku, kenapa kau hendak membohongi
aku? Kenapa kau ingin aku bersedih?"
Muka Yap Kay yang selalu cerah terunjuk rasa sedih dan pilu, akhirnya dia menghela napas,
sahutnya, "Karena cepat atau lambat kau pasti akan bersedih."
"Kenapa?" teriak Ting Hun-pin.
Yap Kay tidak mau menjawab lagi, dia siap tinggal pergi.
Namun Ting Hun-pin menarik lengan bajunya, katanya, "Kau sudah berjanji kepadaku
menemani aku pulang, sekarang sudah dekat rumahku, kenapa mendadak merubah haluan?"
"Karena tiba-tiba aku membencimu," dengan keras Yap Kay kipatkan tangannya, tanpa
berpaling beranjak keluar. Dia tidak berani berpaling, karena takut Ting Hun-pin melihat matanya
yang berkaca-kaca.
Sepucuk pohon di luar pekarangan menyendiri dengan daun-daunnya yang mulai gundul. Di
bawah pohon berdiri satu orang, seorang yang sebatangkara, seraut mukanya mirip mayat hidup.
Pho Ang-soat.
Agaknya sudah lama datang, sudah mendengar banyak percakapan, dengan nanar dia
mengawasi Yap Kay, dalam sorot matanya yang dingin dan dalam, agaknya membayangkan rasa
duka dan simpatik.
Yap Kay berteriak kaget, "Kau... kau pun datang?"
"Aku memang harus datang, kaulah yang tidak harus kemari."
Yap Kay mendadak tertawa, tawa yang rawan, "Aku tidak harus datang? Apa benar aku tidak
boleh kemari."
"Bukan saja kau tidak usah kemari, tidak pantas kau bersikap begitu kasar terhadapnya."
"Oh, kenapa?"
"Karena persoalan ini hakikatnya tiada sangkut-pautnya dengan kau, keluarga Ting tiada
permusuhan dengan kau, aku kemari mencari kau, hanya ingin membujukmu supaya
membawanya pergi ke tempat jauh, selamanya jangan kau mencampuri persoalan ini."
Muka Yap Kay memutih, katanya tertawa getir, "Dalam dua hari ini agaknya banyak persoalan
yang sudah kau pahami."
"Aku sudah tahu seluruhnya."
"Kau yakin benar?"
"Aku sudah pernah bertemu Ting Ling-ka."
Yap Kay tidak bertanya lebih lanjut, seakan-akan beranggapan jawaban ini sudah cukup
menjelaskan segalanya
Pho Ang-soat sebaliknya bertanya, "Bukankah yang kau ketahui cukup banyak pula?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Darimana kau bisa mengetahuinya?"
Yap Kay sengaja tidak menjawab, katanya menghela napas, "Aku heran kenapa Ting Ling-ka
berani menempuh bahaya menemui kau."

"Aku hanya heran kenapa kau selalu melibatkan diri di dalam persoalan rumit ini."
Tiba-tiba terdengar seorang menjawab dengan tertawa dingin, "Karena dia sejak dilahirkan
dibekali kesukaan mencari kesukaran, sekarang kesukaran pun sedang melibatkan dirinya."
Suara kumandang dari balik wuwungan rumah hanya kedengaran suaranya tak kelihatan
orangnya. Setelah suaranya berhenti baru kelihatan sebutir kacang dilontarkan tinggi-tinggi di
balik wuwungan rumah sana, lalu melayang jatuh pula. Disusul sepasang tangan terulur keluar
membuang kulit kacang.
"Lok Siau-ka," Yap Kay berteriak kaget.
Orang di belakang wuwungan tertawa, tampak seorang bangun berduduk dengan tersenyum,
sahutnya, "Benar, memang akulah."
"Kenapa kau pun kemari?"
"Sebetulnya aku tidak ingin datang, sayang sekali aku terpaksa harus kemari."
"untuk apa kau kemari?"
"Kecuali membunuh orang, apa pula yang bisa kulakukan?"
"Siapa yang hendak kau bunuh?"
"Kecuali kau, siapa lagi?"
Yap Kay tertawa.
"Kau tidak mengira?"
"Sejak pertama kali aku melihatmu dulu, aku tahu cepat atau lambat kau pasti akan
membunuhku."
"Tak nyana kau ternyata pandai juga meramal."
"Dan lagi aku sudah meramalkan kau pasti tak bisa membunuhku."
"Kukira kali ini ramalanmu meleset."
"Aku pun tahu, apa pun yang terjadi, kau harus mencobanya lebih dulu."
"Entah sekarang juga kau ingin turun tangan atau ingin melihat sepasang pedang dua
bersaudara Ting dulu yang akan memecah golok sakti?"
"Apa? Sepasang pedang memecah golok sakti?"
"Perpaduan sepasang pedang, sembilan kali sembilan delapan puluh satu jurus, setiap jurus
setiap gerakan sambung menyambung, umpama air pun takkan tembus, itulah sepasang pedang
perpaduan yang hebat, khusus dilatih oleh dua bersaudara keluarga Ting untuk menghadapi ilmu
golok keluarga Pek, tentunya kau belum pernah melihatnya."
"Memang belum pernah."
"Ilmu pedang yang jarang terlihat di Bu-lim, dengan susah payah baru sekarang kau punya
kesempatan untuk menyaksikan, kalau kau sia-siakan kesempatan ini bukankah teramat sayang."
"Ya, memang sayang," sahut Yap Kay sambil berpaling, muka Pho Ang-soat tampak pucat
bening.
Pada saat itulah terdengar "Sreng", laksana naga mengaum, dua sinar pedang laksana kilat
berpadu saling silang menukik turun dari atap rumah di seberang sana.
Di tengah pancaran sinar pedang yang cemerlang, tampak dua orang berdiri di sana, seorang
berperawakan tinggi tegap, luka-luka di mukanya belum sembuh, dia bukan lain adalah Tingsamkongcu
yang gagah dan romantis.

Seorang lagi berpakaian ala Tosu dengan rambut digelung di atas kepala ditusuk konde,
mukanya dingin, pedang di tangannya memancarkan cahaya kemilau, dia bukan lain adalah Ting
Ling-ho, putra sulung keluarga Ting yang jarang mencampuri urusan Bu-lim.
Baru saja kaki mereka menyentuh bumi, pedang di tangannya serempak sudah menusuk tiga
jurus, dua pedang bekerja sama dan campur-baur seperti air dan susu, rapat tiada lubang, benar
juga setiap jurus sambung berantai, hujan badai pun takkan tembus.
Ting Hun-pin membelalakkan mata, berdiri di bawah emperan rumah, dia terkesima di
tempatnya, hanya dia seorang sampai detik ini yang masih dikelabui dan tidak tahu liku-liku
persoalannya, jadi dia belum tahu apa sebenarnya yang telah terjadi.
Sekonyong-konyong dua pedang berubah menjadi puluhan batang, puluhan jalur sinar pedang
sudah mengurung sekujur badan Pho Ang-soat sampai bentuk badannya sudah tidak kelihatan
lagi.
Yap Kay menghela napas, katanya, "Agaknya titik terlihai dari delapan puluh satu jurus
perpaduan pedang ini, bahwasanya tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk mencabut
goloknya."
"Kau memang punya pandangan yang lumayan," ujar Lok Siau-ka.
"Agaknya ilmu pedang perpaduan ini memang khusus diciptakan untuk menghadapi ilmu golok
sakti keluarga Pek"
Lok Siau-ka tertawa, katanya, "Untuk menghadapi ilmu golok sakti keluarga Pek, cara yang
terbaik memang tidak memberi kesempatan supaya dia mencabut golok balas menyerang."
"Orang yang menciptakan ilmu pedang ini, bukan saja seorang berbakat, yang terang dia sudah
memeras keringat dan merupakan semua tumpuan jerih-payahnya."
"Karena dia tahu orang-orang keluarga Pek membenci dia, demikian pula dia amat membenci
orang-orang keluarga Pek."
"Dan di sinilah persoalan yang belum bisa kumengerti," kata Yap Kay. "Pertikaian mereka yang
berkepanjangan, apakah sebab-musababnya?"
"Cepat atau lambat kau pasti akan mengerti."
Mendadak Yap Kay tertawa, katanya, "Sembilan kali sembilan delapan puluh satu jurus,
bukankah akhirnya bakal dilancarkan habis juga?"
"Ilmu pedang perpaduan ini punya keunggulan yang luar biasa, yaitu setelah jurus-jurus
permainannya habis, secara langsung bisa diulangi pula dari permulaan."
Tatkala itu dua bersaudara Ting itu memang sudah habis melancarkan delapan puluh satu
jurus, sekonyong-konyong keduanya bersiul nyaring panjang, kedua pedangnya berputar-putar
balik mulai bergerak pula dari jurus pertama, agaknya antara kepala dan buntut ilmu pedang ini
bergandeng dan serasi pula.
Langkah-langkah kaki Pho Ang-soat menunjukkan gerak perubahan yang luar biasa, kini
sekaligus dia pertunjukan dengan hebat, sinar kilat pedang yang sambar menyambar selulup
timbul saling silang serapat itu ternyata tidak mampu menyentuh seujung rambutnya. Tapi gerak
serangan balasannya seakan-akan menjadi buntu dan tertutup rapat, jadi selama ini dia belum
punya kesempatan untuk melolos keluar goloknya.
Tiba-tiba Yap Kay berkata pula, "Orang yang menciptakan ilmu pedang berpadu ini, pasti bukan
para saudara keluarga Ting."
"Darimana kau tahu?" tanya Lok Siau-ka.
"Dulu orang ini pasti melihat Pek-tayhiap memainkan golok saktinya, maka dia bisa
menciptakan ilmu pedang yang khusus menutup buntu jalan keluarnya yang mungkin memberi
peluang untuknya mencabut golok."

"Benar, analisamu masuk akal."
"Dan penonton di luar gelanggang takkan bisa menyelami sedalamnya, kukira dia pasti pernah
bentrok atau bergebrak langsung dengan Pek-tayhiap."
"Ya, kemungkinan besar."
"Mungkin dia adalah salah satu pembunuh yang mengeroyok Pek-tayhiap di luar Bwe hoa am
itu."
"Oh, lalu siapa dia?"
Yap Kay menatap Lok Siu-ka, katanya pelan-pelan, "Mungkin dia adalah Ting Jun-hong."
Ting Jun-hong adalah ayah para persaudaraan keluarga Ting. Dari samping Ting Hun-pin
mendengar percakapan ini, seketika berubah pucat selebar mukanya, seolah-olah dia menjadi
paham seluruh persoalan rumit ini. Tapi dia lebih rela selamanya tidak tahu persoalan ini saja.
Tatkala itu dua bersaudara Ting sudah melancarkan serangan ulangan sampai jurus ketujuh
puluhan, deru napas Pho Ang-soat sudah terdengar jelas. Agaknya dia sudah tak lagi kuat
bertahan, perpaduan berantai ilmu pedang keluarga Ting, laksana air sungai bergulung-gulung
dengan gelombang pasang yang tinggi, seolah-olah selamanya takkan pernah berhenti.
Tak tahan Yap Kay menghela napas.
Lok Siau-ka menatapnya, katanya, "Apa kau ingin membantunya?"
"Tidak."
"Benar tidak ada pikiran ingin membantu?"
"Betul, tapi dia tidak memerlukan bantuanku," sahut Yap Kay tersenyum.
Lok Siau-ka mengerut kening, waktu dia berpaling melihat ke arah gelanggang pertempuran,
air mukanya seketika berubah Saat itu ilmu pedang perpaduan dari keluarga Ting sudah
dilancarkan habis untuk kedua kalinya. Di saat kedua pedang mereka berputar dari jurus
permulaan itu.
Dalam waktu yang sekejap itulah, mendadak terdengar hardikan keras laksana guntur
menggelegar dari tengah gelanggang. Di tengah hardikan keras itu, sinar golok yang lebih
cemerlang dari cahaya kilat tahu-tahu sudah memecah udara menggaris keluar. Ternyata golok
Pho Ang-soat sudah mulai bekerja.
BAB 45. BUDI DAN DENDAM
Begitu golok berkelebat, badan Ting Ling-ho mendadak mencelat terbang ke belakang, di
tengah udara berjumpalitan dua kali, "Blang", badannya menumbuk tiang rumah waktu badannya
terbanting ke tanah, mukanya tidak berdarah, tapi dadanya sudah dihiasi sejalur luka-luka
berdarah.
Darah bagai air mancur dari luka-lukanya yang panjang. Ting Hun-pin menjerit histeris serta
menubruk maju.
Di sana Lok Siau-ka menghela napas, katanya, "Tak nyana delapan puluh satu jurus ilmu
pedang perpaduan ciptaan keluarga Ting tetap bukan tandingan sejurus ilmu golok keluarga Pek."
Sementara itu Ting Ling-tiong memainkan pedangnya dengan gencar, seorang diri dia berusaha
bertahan, namun sorot matanya sudah mengunjuk rasa ketakutan.
Maka dimana sinar golok berkelebat. Terdengar "Trang", pedang di tangannya terpukul jatuh,
kembali sinar golok berkelebat balik, kali ini menyambar ke tenggorokannya. Sekonyong-konyong
Lok Siau-ka menghardik keras, serentak badannya melambung tinggi ke atas, "Trang", dari tengah

udara pedangnya berhasil menangkis golok Pho Ang-soat. Pedang dan golok sama-sama cepat
dan dahsyat. Begitu bentrok, pedang dan golok menerbitkan percikan kembang api, sorot mata
Pho Ang-soat seolah-olah membara.
Lok Siau-ka berkata lantang, "Bagaimana pun kau tidak boleh membunuhnya.”
"Kenapa?" bentak Pho Ang-soat beringas.
"Karena... karena jika kau membunuhnya, kau pasti akan menyesal."
Pho Ang-soat menyeringai dingin, "Aku akan lebih menyesal bila tidak membunuhnya."
Kelihatannya Lok Siau-ka ragu-ragu, akhirnya dia berkeputusan, katanya, "Tapi tahukah kau
siapa dia sebenarnya?"
"Memangnya dia masih punya hubungan apa-apa dengan aku?" tanya Pho Ang-soat.
"Sudah tentu ada, karena dia pun putra Pek Thian-ih, dia adalah saudara tunggal ayah lain ibu
dengan kau."
Sudah tentu semua orang yang mendengar ucapan Lok Siau-ka jadi kaget, sampai pun Ting
Ling-tiong sendiri pun tidak terkecuali.
Pho Ang-soat sebaliknya terlongong.
"Jika kau tidak percaya." ujar Lok Siau-ka lebih lanjut, "boleh kau pergi dan tanya kepada
ibunya."
"Dia... siapakah ibunya?"
"Ibunya adalah adik Ting Jun-hong, Ting-locengcu, Pek-hun, Ting Pek-hun."
Tiada angin tiada suara, seolah-olah deru napas pun berhenti, alam semesta seakan-akan
sudah mati seluruhnya. Entah berapa lama kemudian terdengar Lok Siau-ka menarik napas
panjang, maka mulailah dia membuka tabir rahasia ini, "Pek Thian-ih dikenal oleh Ting-toakoh di
waktu beliau berkelana sampai di luar perbatasan di tengah padang rumput, walaupun sebagai
gadis suci laksana dewi, tinggi hati dan berpandangan luas, namun begitu dia berhadapan dengan
Pek Thian-ih, dia lantas jatuh hati dan tanpa mempedulikan segala akibatnya, dia pasrah nasib dan
masa depan hidupnya kepada Pek Thian-ih.
"Hal ini merupakan suatu pengorbanan besar yang akan selalu terukir di dalam sanubarinya
selama hayat masih di kandung badan, hubungan mereka sudah tentu pernah bersumpah
terhadap bumi dan langit, umpama laut kering dan batu membusuk, cinta mereka tidak akan
luntur, malah dia yakin Pek Thian-ih rela membuang dan mengorbankan segala miliknya, untuk
hidup berdampingan dengan dia sampai hari tua.
"Tak tahunya Pek Thian-ih memang punya pembawaan romantis, wataknya memang demikian,
dimana dia berada di situ menanam bibit cinta, soal permainan cinta asmara bagi dirinya tak
ubahnya sebagai kegemaran dan permainan belaka. Setelah dia pulang, baru Ting Pek-hun
menyadari bahwa dia sudah bunting, namun Pek Thian-ih sejak itu sudah melupakan dirinya.
Dalam undang-undang keluarga Pek, sudah tentu tidak memperbolehkan seorang gadis remaja
yang belum menikah menjadi seorang ibu.
"Kebetulan waktu itu istri Ting-locengcu juga sedang bunting, maka digunakan akal memindah
kembang menyambung kayu, anak yang dilahirkan Ting-toakoh diakui sebagai putranya, sedang
putranya sendiri dia serahkan kepada orang lain. Karena anak ini adalah putranya yang ketiga, dua
putranya yang lebih besar masih berada dalam asuhannya.
"Apalagi hubungan persaudaraan Ting-locengcu dengan adiknya amat erat, demi adiknya Tingtoakoh
dapat selalu berdampingan dengan putranya, maka dia rela berbuat demikian. Rahasia ini
terus berlangsung puluhan tahun tanpa diketahui orang, sampai pun Ting Ling tiong sendiri pun
tidak tahu...."

Pelan dan penuh perasaan Lok Siau-ka mengisahkan cerita rahasia ini, sorot matanya
menampilkan rasa pilu dan penuh derita. Siapa pun dapat merasakan apa yang dia kisahkan pasti
bukan cerita bohong karangannya sendiri.
Yap Kay tiba-tiba bertanya, "Rahasia ini sudah tersembunyi puluhan tahun, lalu darimana kau
bisa mengetahuinya."
"Karena aku...." suara Lok Siau-ka rawan dan tiba-tiba tersendat di tenggorokan selebar
mukanya mengerut kejang berubah bentuk, pelan-pelan dia memutar badan dan mengawasi Ting
Ling-tiong dengan mimik kaget luar biasa.
Tahu-tahu di bawah ketiaknya sudah bertambah sebilah golok pendek ujung golok sudah
amblas ke dalam sela-sela tulang iganya.
Ting Ling-tiong mendelik gusar kepadanya, selebar mukanya diliputi rasa dengki dan benci,
teriaknya serak dengan berjingkak, "Kalau toh tiada orang tahu akan rahasia ini, kenapa kau bisa
bercerita sedemikian jelas?"
Saking kesakitan, keringat dingin bercucuran membasahi kepala dan muka Lok Siau-ka,
agaknya berdiri pun tak kuat lagi, katanya meronta, "Aku tahu setelah rahasia ini kubongkar di
hadapan kalian, pasti akan melukai hati dan gengsimu, tapi... tapi urusan sudah selarut ini,
terpaksa aku harus membeberkannya, aku...."
"Kenapa kau tidak bisa mengatakannya?" bentak Ting Ling-tiong beringas.
Tak tahan Yap Kay menghela napas, sahutnya, "Karena jika dia tidak membeberkan rahasia ini,
Pho Ang-soat pasti akan membunuhmu."
Ting Ling-tiong tertawa dingin "Kenapa dia harus membunuhku? Apakah karena aku
membunuh putri Be Khong-cun, maka dia lantas hendak membunuh aku?"
"Apa yang kau lakukan, memangnya kau sangka orang lain tidak mengetahui?" jengek Yap Kay.
"Aku berbuat apa?" tanya Ting Ling-tiong pura-pura pikun.
Pho Ang-soat mengertak gigi, desisnya, "Kau... kau paksa aku untuk membeberkannya?"
"Katakan," tantang Ting Ling-tiong.
"Kau menaruh racun di dalam arak, kau meracun mati Si Bu."
"Darimana kau tahu kalau aku yang menaruh racun?" desak Ting Ling-tiong.
"Sebetulnya aku memang tidak tahu. setelah aku saksikan sendiri pedang beracun yang
membunuh Cui long, yang digunakan adalah racun sejenis, setelah kau sendiri mengaku bahwa
kaulah biang keladi yang membunuhnya."
Air muka Ting Ling-tiong berubah pucat, mulutnya bergetar tak dapat bersuara.
Berkata Pho Ang-soat lebih lanjut, "Kau menyogok penjaga gudang arak Ho han ceng, kuatir
perbuatanmu terlalu menyolok, maka semua budak dan dan kacung serta pembantu Ho han ceng
kau undang dan kau jadikan pembantu ke Ting keh-ceng."
"Di samping itu sengaja kau menggunakan akal licik hendak mengadu domba aku dengan Yap
Kay, tapi Yap Kay selalu dikuntit oleh adikmu, Ting Hun-pin, kuatir dia menjadi saksi bagi Yap Kay,
sengaja kau minta bantuan Ting Ling-ka untuk menotok Hiat-tonya dan membawanya pergi."
Yap Kay menghela napas, katanya, "Kau timpakan bencana atas diriku, aku tidak menyalahkan
kau, tapi tidak seharusnya kau bunuh bocah cilik yang tak berdosa itu."
Pho Ang-soat menatap Ting Ling-tiong, jengeknya dingin, "Kutanya kau, semua kejadian itu
bukankah kau yang melakukan."
Tertunduk kepala Ting Ling-tiong, keringat dingin bercucuran semakin deras.

Yap Kay berkata, "Aku tahu kau berbuat demikian bukan untukmu sendiri, aku harap kau suka
berterus terang, siapakah orang yang menyuruh kau bertindak demikian."
"Aku... aku tak bisa mengatakan," sahut Ting Ling-tiong tergagap.
"Sebetulnya tidak kau katakan aku pun sudah tahu,"
"Kau tahu?" tanya Ting Ling-tiong mengangkat kepala.
"Sembilan tahun yang lalu, ada seorang di luar Bwe hoa am mengatakan sepatah kata yang
tidak seharusnya dia ucapkan, kuatir orang lain mengenali logat bicaranya, maka dia suruh kau
membunuh habis semua orang yang pernah mendengar ucapannya itu untuk menutup mulutnya."
Ting Ling-tiong menunduk pula.
Pho Ang-soat menatapnya lekat-lekat, katanya tandas, "Sekarang aku ingin tanya kau, apakah
orang itu adalah Ting Jun-hong?"
Ting Ling-tiong mengertak gigi, selebar mukanya diliputi rasa derita, namun sepatah kata pun
dia tidak mau bicara. Apakah dengan diam dia sudah mengakui?
Kasih sayang Ting Jun-hong amat besar terhadap adiknya, melihat adiknya ternoda dan
dipermainkan orang lain, menderita seumur hidup, adalah jamak kalau dia menuntut balas. Bahwa
dia ingin membunuh Pek Thian-ih adalah punya alasan yang meyakinkan.
Lok Siau-ka menggelendot di batang pohon, serunya lantang, "Apa pun yang terjadi, aku yakin
dan tidak percaya bahwa Ting-locengcu adalah biang keladi pembunuhan itu."
Bersinar mata Yay Kay, tanyanya, "Masakah kau lebih mengenalnya dari orang lain?"
"Sudah tentu aku lebih mengenalnya dari orang lain."
"Kenapa?"
Tiba-tiba Lok Siau-ka tertawa, tawanya rawan dan aneh, katanya pelan-pelan, "Karena aku
adalah putranya yang diberikan kepada orang lain itu namaku sebetulnya adalah Ting Ling-tiong."
Suatu hal di luar dugaan pula. Semua orang kembali terlongong. Ting Ling-tiong mengawasinya
dengan mata terbelalak kaget, teriaknya, "Kau... kau adalah... adalah...."
Lok Siau-ka tersenyum, ujarnya, "Aku adalah Ting Ling-tiong, dan kau pun Ting Ling-tiong pula.
Hari ini Ting Ling-tiong ternyata membunuh Ting Ling-tiong, coba kalian katakan apakah peristiwa
ini tidak lucu, terlalu menggelikan?" Dengan tersenyum kembali dia membuka kacang terus
dilempar ke atas, amat tinggi. Tapi sebelum kacangnya melayang turun dia sendiri sudah
tersungkur roboh. Waktu roboh tersungkur, ujung mulutnya masih mengulum senyuman. Tapi
orang lain menjadi kaku dan tak bisa tertawa.
Hanya Ting Hun-pin yang bercucuran air mata, mulutmya menggumam sendiri, "Apakah benar
dia adalah Samkoku? Apakah dia benar-benar...."
Air muka Ting Ling-ho membayangkan rasa duka yang tak bisa mengelabui mata orang lain,
katanya dingin, "Peduli salah atau benar, bahwa kau punya seorang Samko yang demikian,
pendeknya bukan suatu hal yang memalukan."
Tiba-tiba Ting Hun-pin memburu ke hadapan Ting Ling-tiong, katanya dengan mengembeng air
mata, "Lalu kau siapa?... sebetulnya siapa yang menyuruh kau melakukan perbuatan tercela itu?
Kenapa tidak kau bicara?"
"Aku... aku...." suara Ting Ling-tiong tersendat rawan.
Sekonyong-konyong derap lari kuda yang kencang mendatangi memutus pembicaraan orang
banyak, seekor kuda gagah tinggi kekar membedal mendatangi. Laki-laki yang menunggang kuda
mengenakan seragam hijau ketat, badannya basah kuyup oleh keringat dan kotor kena debu,
begitu masuk pekarangan terus melompat turun serta menjatuhkan diri berlutut, serunya, "Siaujin
Ting Hiong, mendapat perintah dari Ting-locengcu mengundang Pho Ang-soat Pho-kongcu, Yap

Kay Yap-kongcu berkunjung ke Ting-keh-ceng, Locengcu telah menyajikan semeja perjamuan
menanti di Thian-sim-lau, menunggu kedatangan Kongcu berdua."
Berubah muka Pho Ang-soat, jengeknya dingin, "Umpama dia tidak mengundangku, aku tetap
akan menemui dia, tapi meja perjamuannya itu, boleh dia nikmati sendiri."
"Apakah tuan adalah Pho-kongcu?" tanya Ting Hiong.
"Benar, akulah," sahut Pho Ang-soat.
"Locengcu menyuruh hamba memberi tahu sepatah kata kepada Pho-kongcu."
"Silakan berkata."
"Locengcu harap Kongcu harus memberi muka kepadanya, karena dia sudah menyediakan
sesuatu untuk dikembalikan kepada Pho-kongcu "
"Apa pula yang ingin dia kembalikan kepadaku," tanya Pho Ang-soat.
"Mengembalikan keadilan."
"Keadilan?" Pho Ang-soat mengerut kening.
"Ya, yang Locengcu ingin kembalikan kepada Pho-kongcu adalah keadilan."
“Keadilan memangnya sesuatu yang serba aneh. Walau kau tidak bisa melihatnya, tak berhasil
merabanya, tapi tiada orang yang berani menyangkal akan kehadirannya di dalam kehidupan kita.
Di kala kau mengira dia sudah melupakan dirimu, kadang kala mendadak dia muncul di
hadapanmu.
Thian-sim-lau bukan terletak di jantung angkasa, namun terletak ditengah danau. Danau tidak
begitu besar, kembang teratai pun sudah layu, namun daunnya yang lebar menghijau tetap segar.
Air nan jernih laksana kaca membayangkan bangunan loteng dengan pagar-pagarnya yang
menguning, di bawah pagar ditambat beberapa perahu.
Jendela yang tertutup kain kerai dari sutra putih sudah tersingkap, seorang laki-laki tua yang
sudah ubanan sedang mondar-mandir menyusuri pagar dengan sikap serius dan prihatin,
pandangannya jauh ke permukaan danau yang tenang. Sikapnya yang lemas dan kuyu seperti
kembang teratai yang sudah layu, namun sepasang matanya masih tetap bersinar terang, gagah
dan tegas.
Karena dia sudah berkeputusan. Dia bertekad hendak memberikan keadilan kepada orang.
Malam semakin kelam, bintang-bintang sudah jarang dan bersembunyi ke angkasa raya.
Di tengah malam kelam nan sunyi ini terdengar suara air beriak terkayuh, sebuah sampan
pelan-pelan terkayuh dari seberang sana, di haluan sampan berdiri seorang pemuda berpakaian
hitam dengan muka pucat-pias, tangannya menggenggam sebatang golok. Tangan yang putih,
golok nan hitam.
Pelan-pelan dengan langkah mantap Pho Ang-soat beranjak naik ke atas loteng.
Mendadak dia merasa amat letih, seperti seseorang yang sudah menempuh perjalanan jauh
memanjat gunung menyeberangi lautan, akhirnya tiba di tempat tujuan, namun hatinya justru
tidak dibuai rasa senang dan riang serta haru.
"Apakah semua orang sudah hadir?". Sekarang terhitung dia sudah menemukan seluruh
musuh-musuhnya, dia percaya Be Khong-cun pasti juga bersembunyi di sini. Karena orang tua ini
sudah menghadapi jalan buntu.
Dendam kesumat, jelas perhitungan darah lama ini bakal impas dan dia tuntut di depan mata,
kenapa sedikit pun dia tidak mempunyai rasa haru, senang dan bergelora sanubarinya?
Sungguh dia sendiri pun tidak habis mengerti. Yang terasa hanya hatinya teramat kalut.

Kematian Cui long, kematian Lok Siau-ka, kematian bocah tak ber dosa itu... semua orang ini
seharusnya tidak setimpal mati, umpama sekuntum kembang yang baru saja mekar, tahu-tahu
mendadak sudah layu dan kuyu.
Kenapa mereka harus mati? Lalu mati di tangan siapa? Cui long pujaan hatinya, namun dia
adalah putri musuh besarnya. Ting ling liong adalah orang yang paling dibenci, namun dia orang
adalah saudaranya sendiri. Dapatkah dia menuntut balas dan membunuh saudaranya sendili
lantaran kematian Cui long? Jelas tidak mungkin. Tapi dapatkah dia berpeluk tangan setelah
kematian Cui long dan menganggap pembunuhnya sebagai saudaranya malah.
Dia berkelana hanya dengan satu tekad dan tujuan, yaitu menuntut balas, dendam yang
membakar hatinya sudah teramat mendalam, namun murni dan jernih. Dendam, memangnya
suatu yang liar, perasaan tunggal yang murni pula. Sungguh belum pernah terpikir dalam
benaknya, asmara dan dendam bakal bergolak dalam rongga dadanya, dan semua ini serba rumit
dan sukar diatasi serta tak bisa diputuskan. Sungguh hampir dia tidak punya keberanian untuk
menghadapi kenyataan ini.
Karena dia tahu, umpama dia berhasil memberantas seluruh musuh-musuhnya, derita dan siksa
batinnya takkan mungkin tercuci bersih. Tapi meski sekarang dia tahu secangkir arak pahit
disuguhkan di hadapannya, dia tetap akan meminumnya juga. Dia sudah tidak kuasa ragu-ragu
atau mundur.
Tiba-tiba dia insyaf dan menyadari, akhirnya dirinya berhadapan langsung dengan Ting Junhong,
tiba-tiba pula disadarinya bahwa Ting Jun-hong jauh lebih tenang dan dingin dari dia
sendiri.
Sinar lampu benderang menyinari muka orang tua ubanan ini, menyinari mukanya yang dingin
dan serius. Setiap kerut-keriput dan pori-pori di mukanya, Pho Ang-soat dapat melihatnya dengan
jelas. Sorot matanya yang teguh sedang mengawasi muka Pho Ang-soat yang pucat, tiba-tiba dia
bersuara, "Silakan duduk."
Pho Ang-soat tidak duduk, dia pun tidak bersuara, pada saat seperti ini, mendadak dia jadi
bingung entah apa yang harus dia lakukan?
Pelan-pelan Ting Jun-hong sendiri malah duduk pelan-pelan, katanya kalem, "Aku tahu kau
pasti takkan sudi duduk bersama dengan musuh besarmu di dalam satu rumah serta minum arak
bersama." Pho Ang-soat mengakui hal ini.
"Sekarang tentunya kau pun sudah tahu, aku adalah biang keladi peristiwa yang terjadi di luar
Bwe hoa am sembilan belas tahun yang lalu itu. Aku pula yang menyuruh Ting Ling-tiong
membunuh orang-orang itu."
Badan Pho Ang-soat mulai bergetar.
Ting Jun-hong berkata pula, "Aku bunuh Pek Thian-ih, aku punya alasanku sendiri, kau hendak
menuntut balas, kau pun punya alasanmu, persoalan ini peduli siapa benar siapa salah, aku sudah
siap memberikan keadilan kepada kau." Mukanya tetap kaku dingin, Pho Ang-soat ditatapnya
lekat-lekat, katanya dingin lebih lanjut, "Aku hanya ingin tahu, keadilan macam apa yang kau
inginkan?"
Pho Ang-soat menggenggam erat tangannya, mendadak dia bersuara, "Keadilan hanya ada
satu."
"Benar," ujar Ting Jun-hong manggut-manggut, "Keadilan sejati hanya semacam, sayang sekali
keadilan itu sendiri kadang disalah-artikan dan diperalat melulu oleh manusia."
"Oh, ya," Pho Ang-soat membenarkan.
"Keadilan yang terpikir di dalam benakmu, justru jauh berlainan dengan keadilan yang
kupikirkan."
Pho Ang-soat menyeringai dingin.

"Aku sudah membunuh ayahmu, kau hendak membunuhku, sudah tentu kau merasa hal ini
cukup adil, tapi jika kau punya saudara kandung dirusak orang, bukankah kau akan bertindak
seperti aku, membunuh orang itu."
Berkerut-kerut kulit muka Pho Ang-soat.
"Sekarang putra sulungku sudah terluka, putra kedua menjadi cacad seumur hidup, putraku
ketiga meski bukan kau yang membunuh, tapi dia gugur lantaran peristiwa ini." Mukanya yang
dingin dan tenang menampilkan kepedihan yang tak terhingga, katanya lebih lanjut, "Yang
membunuhnya, meski keturunan keluarga Pek kalian, tapi dia justru aku yang mendidik dan
mengasuhnya sejak kecil sampai dewasa, lalu kemana aku harus menuntut keadilan ini?"
Pho Ang-soat menurunkan sorot matanya, mengawasi golok di tangannya. Sungguh dia tidak
tahu cara bagaimana dia harus memberi jawaban, hampir saja dia enggan berhadapan dengan
orang tua yang dirundung kesedihan ini.
Setelah menghela napas Ting Jun-hong berkata pula, "Tapi aku sekarang sudah tua bangka,
sudah banyak persoalan yang dapat kuketahui, jika kau menuntut keadilanku, dan aku pun ingin
mempertahankan keadilanku sendiri, maka dendam kesumat ini takkan pernah ada akhirnya."
Dengan suara tawar Ting Jun-hong menambahkan, "Hari ini kau bunuh aku untuk menuntut
balas kematian ayahmu, memang cukup setimpal dan adil, kelak putra dan cucuku bila mereka
hendak membunuhmu untuk menuntut balas kematianku, bukankah sama saja cukup adil juga?"
Dilihat oleh Pho Ang-soat tangan Yap Kay sedang gemetar. Yap Kay berdiri di sampingnya,
sorot mata kedukaannya jauh lebih besar dan tandas dari dirinya.
Ting Jun-hong berkata lebih jauh, "Peduli keadilan siapa benar-benar keadilan sejati, dendam
sakit hati ini tak boleh berlarut lebih lanjut, sudah banyak orang yang menjadi korban karena
dendam kesumat ini, maka...." Sorot matanya semakin terang mengawasi Pho Ang-soat, katanya,
"Aku sudah berkeputusan mengembalikan keadilan yang kau inginkan."
Tak tahan Pho Ang-soat mengangkat kepala, mengawasinya lekat-lekat. "Apakah tua bangka ini
seorang pembunuh yang kejam dan telengas? Ataukah seorang Kuncu yang benar-benar
berpegang teguh akan keadilan dan kebijaksanaan?" Sulit Pho Ang-soat membedakan lagi.
"Tapi aku pun berharap kau bisa melulusi sebuah permintaanku," kata Ting Jun-hong lebih
lanjut.
Pho Ang-soat sedang mendengarkan.
"Setelah aku mati, dendam ini sudah harus berakhir, jika sampai ada orang mati karena sakit
hati ini, peduli siapa mati di tangan siapa, di alam baka, aku pasti tidak akan mengampuni dia."
Dalam suaranya tiba-tiba terasa mengandung kekuatan yang bengis dan marah, siapa pun yang
mendengarnya pasti bergidik seram dibuatnya.
Pho Ang-soat mengertak gigi, suaranya serak, "Tapi Be Khong-cun tetap takkan aku biarkan
hidup."
Tiba-tiba terbayang senyuman aneh pada rona muka Ting Jun-hong, katanya tawar, "Sudah
tentu aku pun tahu kau pasti tidak akan mengampuni jiwanya, sayang sekali dengan cara apa pun
kau menghadapinya, dia tidak akan ambil persoalan ini dalam hatinya."
Berubah air muka Pho Ang-soat, tanyanya, "Apa maksudmu?"
Kembali Ting Jun-hong tertawa, tawanya amat aneh, sorot matanya justru membayangkan
kedukaan dan kepiluan yang mendalam. Tanpa menjawab pertanyaan Pho Ang-soat, pelan-pelan
dia membalik badan mengangkat arak di meja, lalu diangsurkan ke arah Pho Ang-soat tinggitinggi.
"Pengharapanku terakhir kau harus selalu ingat, dendam kesumat seperti pula hutang uang
yang bertumpuk-tumpuk, di kala kau membenci orang, berarti kau berhutang terhadap seseorang,
semakin banyak dendam dan kebencian yang mengeram dalam sanubarimu, maka hidupmu di

dunia fana ini selamanya takkan pernah mengecap hidup senang dan gembira lagi." Habis katakatanya
segera dia tarik cangkir arak itu ke dekat mulutnya hendak ditenggaknya habis.
Tapi pada saat itulah, mendadak tampak selarik sinar berkelebat, sebatang pisau melesat
terbang. Bagai sinar kilat, disusul suara "Tring", tahu-tahu cangkir di tangan Ting Jun-hong
hancur, sebilah pisau kecil bersama dengan pecahan cangkir jatuh di lantai.
Sebilah pisau terbang. Panjang tiga dim tujuh mili
Mendadak Pho Ang-soat berpaling, dengan kaget dia mengawasi Yap Kay. Muka Yap Kay
ternyata berubah pucat pula seperti mukanya, namun sepasang tangannya tetap tenang dan
wajar. Lama dia menatap Ting Jun-hong, Ting Jun-hong pun dengan kaget sedang mendelik
kepadanya, tanyanya, "Kenapa? Kenapa kau lakukan ini?"
Suara Yap Kay tegas dan mantap, "Karena aku tahu arak di dalam cangkir itu beracun, aku pun
tahu arak beracun ini seharusnya bukan kau yang minum."
"Kau ... apa maksudmu sebenarnya?" terkesiap Ting Jun-hong.
"Masakah kau tidak mengerti maksudku?" Yap Kay menghela napas.
Mengawasi muka orang, lama-lama muka Ting Jun-hong mengunjuk rasa keheranan,
mendadak berubah pilu dan amat tersiksa, katanya rawan, "Kalau demikian kenapa kau sendiri
tidak memahami maksudku?"
"Aku mengerti, kau ingin menggunakan darahmu sendiri, untuk mencuci bersih permusuhan ini,
sayang sekali, darah ini juga bukan semestinya kau yang harus mengalirkannya."
Bergetar sanubari Ting Jun-hong, katanya, "Aku mengalirkan darahku sendiri, memangnya apa
sangkut-pautnya dengan kau?"
"Sudah tentu erat sangkut-pautnya "
"Siapakah kau sebenarnya?" bentak Ting Jun-hong beringas.
"Seorang yang tak suka melihat orang yang tak berdosa jadi korban."
Kini Pho Ang-soat sendiri pun ikut tergugah, selanya, "Kau katakan orang ini tidak berdosa?"
"Benar. Dia tidak bersalah, dia pun tidak berdosa dalam peristiwa ini."
"Jadi pembunuh yang berseru, ‘Apakah orangnya sudah lengkap?' di luar Bwe hoa am sembilan
belas tahun yang lalu itu bukan dia?"
"Pasti bukan."
"Darimana kau tahu? Dengan alasan apa kau begini yakin?"
"Karena siapa pun bila dia kedinginan di tengah hujan salju selama satu jam, ketika
mengatakan 'Orang', suaranya pasti berubah karena lidahnya kaku. Dari sini dapat dibuktikan
bahwa tidak perlu lantaran sebab ini dia membunuh orang untuk menutup mulutnya."
"Darimana kau tahu di dalam keadaan seperti itu, suara orang bisa berubah?" tanya Pho Angsoat.
"Karena aku sendiri pernah mencobanya." Tanpa memberi kesempatan Pho Ang-soat buka
suara, dia melanjutkan, "Apalagi sembilan belas tahun yang lalu, malam dimana peristiwa
pembunuhan itu terjadi di luar Bwe hoa am, bahwasanya setindak pun dia tidak pernah
meninggalkan Ting keh ceng."
"Kau yakin benar akan keterangan ini?" desak Pho Ang-soat.
"Sudah tentu aku yakin dan punya bukti."
"Kenapa?"
"Karena hari itu kaki kanannya terluka, bahwasanya melangkah pun tak bisa berjalan, sejak hari
itu sampai sekarang dia tidak pernah meninggalkan Ting keh ceng. Karena sampai detik ini, lukaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
luka di kakinya itu masih belum sembuh seluruhnya, seperti pula keadaanmu, dia bergerak pun
tidak leluasa."
Ting Jun-hong tiba-tiba berjingkrak berdiri melotot kepadanya, namun kilas lain dia menghela
napas, pelan-pelan dia duduk kembali, mukanya yang tadi tenang dan kaku, kini sudah berubah
mencerminkan ketuaan jiwanya.
Yap Kay berkata lebih lanjut, "Dan lagi aku pun tahu, orang yang melukai kaki kanannya adalah
salah satu tokoh besar dari Kim ci pang yang kenamaan akan ilmu pedangnya yang cepat dan
ganas, seorang Bu-lim Cianpwe yang sekarang sejajar dan tenar seperti Hwi kiam khek A Fei...."
"Ki Bu bing?" teriak Pho Ang-soat tertahan.
Yap Kay manggut-manggut, ujarnya, "Benar, memang Ki Bu bing, sampai sekarang baru aku
tahu, kenapa Ki Bu bing menurunkan ilmu pedang cepatnya yang tunggal itu kepada Lok Siau-ka "
Setelah menghela napas, dia meneruskan, "Mungkin lantaran mereka bertanding pedang, dan
setelah itu masing-masing merasa kagum dan saling menghargai, maka dia sudi membawa dan
mengasuh seorang anak dari keluarga Ting yang dirahasiakan. Sayang sekali ilmu pedangnya yang
cepat dan tunggal itu meski secara langsung meninggikan derajat dan wibawa Lok Siau-ka ke
jenjang tokoh pedang yang tiada taranya di dunia, namun dengan ketenarannya yang malang
melintang di dunia tanpa tandingan itu, merubah pula jiwanya menjadi eksentrik, keeksentrikan ini
pula yang menjerumuskan kehidupan Lok Siau-ka menjadi tidak lurus."
Ting Jun-hong diam dan tertunduk, tak tertahan air mata bercucuran. Pho Ang-soat mendelik
kepada Yap Kay, bentaknya bengis, "Darimana kau tahu semua ini, siapa kau sebenarnya?"
Yap Kay ragu-ragu, sorot matanya menampilkan gejolak hati yang tersiksa dan pilu, agaknya
dia sulit berkeputusan, tidak tahu apakah patut dia menjawab pertanyaan ini.
Tak tahan Pho Ang-soat bertanya pula, "Jika pembunuhnya bukan dia, lalu Ting Ling-tiong
membunuh orang untuk menutup mulut, untuk siapa pula perbuatannya itu?"
Yap Kay tidak menjawab pertanyaan ini, mendadak dia berpaling ke arah anak tangga loteng.
Terdengar dari ujung loteng jawaban suara dingin, "Untuk aku." Suaranya serak dan rendah,
siapa pun yang mendengarnya, hatinya pasti merasa tidak enak. Tapi seiring dengan suara serak
ini orangnya pun beranjak turun dari atas loteng, dia bukan lain adalah seorang perempuan yang
berpotongan semampai, montok dan menggiurkan.
Perempuan ini mengenakan potongan jubah panjang yang ringan dan halus, mukanya ditutupi
cadar hitam, sehingga tampang kecantikannya lebih kelihatan misterius dan menggiurkan, begitu
indah dan eloknya potongan badannya sampai orang tidak berani mengawasinya langsung.
Gaya dan gerak-geriknya lebih mempesonakan lagi, seumpama dia hanya berdiri saja, sudah
membawa daya sedot yang takkan mungkin dilawan. Melihat perempuan ini turun, rona muka
Ting Jun-hong seketika berubah, teriaknya, "Kau tidak pantas kemari."
"Aku harus kemari," sahut perempuan jelita ini dengan tegas. Suaranya jauh berbeda dengan
perawakan dan potongan badannya, siapa pun takkan menyangka perempuan yang punya
potongan badan seelok ini, ternyata punya suara yang begitu jelek menggiriskan.
Tak tahan Pho Ang-soat bertanya, "Maksudmu perbuatan Ting Ling-tiong membunuh orang
untuk menutup mulut adalah demi kau?"
"Tidak salah "
"Kenapa?"
"Karena akulah musuh besarmu yang tulen, Pek Thian-ih mati di tanganku." Suaranya diliputi
dendam sakit hati dan kebencian, katanya lebih lanjut, "Karena aku inilah ibunda Ting Ling-tiong."

Hati Pho Ang-soat merasa tertekan, demikian pula hati Ting Jun-hong seolah-olah tenggelam ke
dalam air dingin. Bagaimana dengan Yap Kay? Bagaimana pula perasaan hatinya? Tiada yang
tahu?
Sorot mata Ting Pek-hun menembus cadar mengawasi dirinya, katanya dingin, "Orang macam
apa sebenarnya Ting Jun-hong ini, tentunya kau sudah mengetahui, demi adiknya yang tidak
genah ini, dia rela mengorbankan jiwa raga sendiri, tak tahunya bahwa dia berbuat demikian
hakikatnya tiada sebab dan tiada paksaan." Sampai di sini dia menghela napas, lalu meneruskan,
"Jika kau yang turun tangan, bagaimana akibat semua kejadian ini sungguh tak berani
kubayangkan, oleh karena itu apa pun yang telah terjadi, aku tetap berterima kasih kepadamu."
Yap Kay tertawa getir, seolah-olah kecuali tertawa getir, dia tidak tahu apa yang harus dia
katakan.
"Tapi aku sendiri pun tengah heran, siapakah kau sebenarnya? Cara bagaimana kau bisa tahu
sedemikian banyak?"
"Aku...."
Ting Pek-hun lekas menukas, "Tak perlu kau beritahu kepadaku, aku tidak ingin tahu siapa kau
sebenarnya." Mendadak dia berpaling, sorot matanya setajam golok menembus cadarnya
mengawasi Pho Ang-soat katanya, "Aku hanya ingin supaya kau tahu siapa aku sebenarnya."
Terkepal kedua tangan Pho Ang-soat, katanya, "Aku... aku sudah tahu siapa kau."
Mendadak Ting Pek-hun terkial-kial, serunya, "Kau tahu? Apa benar kau tahu? Berapa banyak
yang kau ketahui?"
Pho Ang-soat tak bisa menjawab. Mendadak disadarinya bahwa terhadap siapa pun tidak
banyak yang dia ketahui, karena selamanya dia tidak ingin mengerti dan mencari tahu seluk-beluk
orang lain, dia pun pernah berusaha dalam bidang ini.
Ting Pek-hun tak henti-hentinya tertawa dingin. Suara tawanya seperti edan dan bengis,
mendadak tangannya terangkat merenggut kain cadar yang menutup mukanya.
Seketika Pho Ang-soat terbelalak, demikian pula semua hadirin terkesima. Ternyata raut muka
yang diselubungi cadar itu memang amat cantik, namun kelihatannya kaku beku seperti dilapisi
malam. Bahwa mulutnya sedang terkial-kial, namun kulit mukanya sedikit pun tidak membawakan
perasaan hatinya. Terang itu bukan raut muka manusia hidup, tak ubahnya mirip sebuah kedok,
sekonyong-konyong Pho Ang-soat merasa sekujur badannya kaku dingin. Apa begitukah raut
mukanya yang asli? Pho Ang-soat tidak berani percaya, tak tega untuk mempercayainya.
Selamanya belum pernah dia saksikan raut muka manusia sedemikian buruk seperti ini, sampai
membuat hatinya tergoncang, karena muka ini tidak selayaknya sebagai wajah seorang manusia.
Pada muka orang ini, hakikatnya tak bisa dibedakan lagi panca indranya, yang kelihatan hanya
malang melintang bekas codet dari irisan pisau, entah berapa banyak, kelihatannya mirip benar
dengan sebuah kedok muka yang hancur terbuat dari tanah liat.
Ting Pek-hun masih terloroh-loroh, katanya, "Tahukah kau kenapa mukaku ini bisa berubah
demikian buruk?"
Pho Ang-soat terbungkam. Yang dia tahu bahwa Pek-hun Siancu dahulu kala adalah perempuan
tercantik kenamaan di Bu-lim.
Kata Ting Pek-hun, "Aku sendirilah yang mengirisnya dengan pisau, seluruhnya aku sudah
mengiris tujuh puluh tujuh kali, karena aku bergaul dengan laki-laki bergajul itu selama tujuh
puluh tujuh hari, setiap kali teringat kejadian sehari, aku lantas mengiris mukaku dengan pisau,
akan tetapi semua kejadian di masa lalu itu jauh lebih menyiksa batinku, lebih sakit daripada irisan
pisau di mukaku ini."

Suaranya lebih serak dan sumbang, katanya lebih lanjut, "Aku amat membenci mukaku sendiri,
kalau bukan lantaran mukaku yang cantik ini, dia tidak akan kepincut kepadaku, maka aku pun
takkan hidup merana selama hayatku?"
Ujung jari Pho Ang-soat pun terasa dingin. Dia dapat menyelami perasaan getir ini, karena dia
sendiri pun pernah mengalami derita seperti itu, sampai sekarang setiap kali dia teringat akan
kehidupannya di kala mabuk-mabukan, terlalu banyak menenggak air kata-kata, jantung dan
hatinya seolah-olah disayat dan ditusuk sembilu.
Ting Pek-hun berkata lebih lanjut, "Aku tidak rela orang lain melihat wajahku lagi, aku tidak
sudi ditertawakan, tapi aku tahu kau pasti takkan menertawakan aku, karena keadaan ibumu
sekarang pasti tidak akan lebih baik dari aku."
Pho Ang-soat tidak bisa menyangkal. Maka terbayang olehnya akan rumah petak itu, dalam
rumah tiada warna lain, kecuali hitam legam. Sejak dia bisa berpikir, ibunya selama itu hidup
menderita seorang diri di dalam suasana kegelapan.
Ting Pek-hun berkata, "Tahukah kau kenapa suaraku bisa berubah begini? Karena di luar Bwe
hoa am aku mengatakan sepatah kata yang tidak seharusnya kuucapkan, aku tidak ingin orang
lain mendengar suaraku lagi, maka aku merusak suaraku sendiri."
Suaranya sebenarnya secantik mukanya. "Semua orang sudah hadir seluruhnya?", waktu dia
mengatakan ini, suaranya masih terdengar merdu, tak ubahnya kicau burung kenari di lembah
Thian-san.
Baru sekarang Pho Ang-soat mengerti apa yang dikatakan Yap Kay tadi. Kuatir orang mengenali
suaranya, jadi bukan lantaran perbedaan antara 'orang dan olang', soalnya dia tahu jarang ada
manusia di dunia ini yang memiliki suara semerdu dan seindah suaranya.
Kata Ting Pek-hun, "Akulah yang menyuruh Ting Ling-tiong pergi membunuh orang, jadi dia
sendiri tidak punya tanggung jawab, walau dia tidak tahu bahwa aku adalah ibu kandungnya,
namun selama ini dia amat patuh akan ucapanku, dia... selamanya memang putra yang patuh."
Suaranya berubah lembut dan kedengarannya welas-asih, "Sekarang akhirnya aku tahu bahwa
dia masih hidup, tentunya kau pun takkan berusaha membunuhnya... maka aku boleh lega
meninggalkan dia, mungkin aku sebetulnya tidak perlu hidup berkepanjangan beberapa tahun ini."
Ting Jun-hong mendadak membentak beringas, "Kau pun tak boleh mati. Asal kau masih hidup,
tiada seorang pun di dunia ini yang bisa membunuhmu di hadapanku."
"Ada saja... mungkin hanya ada seorang saja," ujar Ting Pek-hun.
"Siapa?" tanya Ting Jun-hong.
"Aku sendiri," sahut Ting Pek-hun dengan suara tenang. "Sekarang siapa pun takkan bisa
merintangi aku, karena waktu aku kemari, aku pun sudah tak ingin hidup lagi."
Tiba-tiba Ting Jun-hong berjingkrak berdiri, teriaknya tertahan, "Apakah kau sudah... sudah
minum racun?"
Ting Pek-hun manggut-manggut ujarnya, "Kau kan sudah tahu, racun yang kucari, takkan ada
obat untuk menolongnya."
Luluh hati Ting Jun-hong, mengawasi muka orang, pelan-pelan dia duduk pula di kursinya, tak
tertahan air mata pun bercucuran.
"Sebetulnya kau tidak perlu bersedih bagi kematianku, sejak malam itu, dengan tanganku
sendiri aku memenggal batok kepala laki-laki yang ingkar janji itu, mati pun aku takkan menyesal
lagi, apalagi aku sudah membakar batok kepalanya dan kusedu dalam arak, kutenggak habis
seluruhnya, sekarang siapa pun takkan kuasa memisah kita, aku bisa mati dengan cara ini.
Seharusnya kau merasa lega dan terhibur." Perkataannya masih kedengaran tenang, seolah-olah
seorang yang sedang menceritakan kisah yang dialaminya.

Tapi semua orang yang mendengarkan berdiri bulu kuduknya. Baru sekarang pula Yap Kay
tahu, bahwa batok kepala Pek Thian-ih, bukan dipenggal dan dicuri oleh Tho hoa niocu seperti
yang disangkanya semula. Tapi dia sendiri masih belum mengerti apa sebenarnya tujuan
perbuatan Ting Pek-hun. Demi cinta atau karena benci? Tapi entah demi cinta atau karena benci,
betapa pun kejadian amat gila dan menakutkan.
Mengawasi Pho Ang-soat, berkata Ting Pek-hun, "Boleh kau pulang dan beritahu kepada
ibumu, orang yang membunuh Pek Thian-ih sekarang sudah mati juga, akan tetapi Pek Thian-ih
sudah bersatu padu dengan seseorang, sejak kini peduli di atas langit atau di dalam bumi,
selamanya dia akan menemani aku." Tak memberi kesempatan Pho Ang-soat bersuara, dia
menambahkan, "Sekarang aku hanya ingin supaya kau melihat seseorang lagi."
"Siapa?" tanya Pho Ang-soat tak sabar lagi.
"Be Khong-cun," sahut Ting Pek-hun.
Mendadak dia berpaling, lalu melambaikan tangan ke bawah loteng, maka seorang segera
beranjak naik pelan-pelan dengan mengulum senyum. Kelihatannya hatinya amat senang, di dunia
ini seolah-olah sudah tiada sesuatu yang bisa membuatnya risau, takut dan gelisah. Waktu dia
melihat Yap Kay dan Pho Ang-soat, raut mukanya masih mengulum senyum lebar. Orang ini jelas
Be Khong-cun.
Muka Pho Ang-soat yang pucat seketika membara, tangan kanannya sudah memegang gagang
golok di tangan kirinya.
Tiba-tiba Ting Pek-hun berkata keras, "Be Khong-cun, orang ini hendak membunuhmu, kenapa
kau tidak lari?"
Be Khong-cun masih tersenyum berdiri di tempat, bergerak pun tidak.
Ting Pek-hun tertawa juga, tertawanya membuat ketujuh puluh tujuh codet buruk dimukanya
kelihatan beikerut-kerut, kelihatannya begitu seram dan menakutkan, katanya dengan kalem,
"Sudah tentu dia takkan lari. bahwasanya dia tidak takut mati lagi... bahwasanya dia tidak
mengenal takut lagi, soal dendam sakit hati dan kerisauan, masgul dan lain sudah terlupakan
seluruhnya olehnya, karena dia sudah minum arak obat yang kubuat dari rumput ganja yang
sengaja kusiapkan untuk dia, sekarang sampai siapa dia pun tidak tahu, sudah lupa."
Memang Be khong-cun seperti orang linglung, seorang yang sudah melupakan segalanya,
melupakan siapa dirinya, lupa akan segalanya.
Tapi Pho Ang-soat tidak lupa, dia takkan bisa melupakan. Sejak dia bisa bicara, perkataan
pertama yang dia dengar adalah, "Pergilah kau bunuh Be Khong cun, balaskan sakit hati ayahmu."
Pernah juga dia bersumpah pada dirinya. "Asal aku berhadapan dengan be Khong-cun, pasti
takkan kubiarkan dia hidup, tiada seorang pun di dunia ini yang bisa merintangi aku." Dalam
suasana seperti itu, hanya dendam yang membara di dalam sanubarinya, dendam itu sendiri
laksana rumput beracun yang bersemi dan hidup subur di dalam sanubarinya Bahwasanya dia
sampai tidak mendengar apa yang diucapkan Ting Pek-hun, dendam kesumat seolah-olah sudah
menceburkan dirinya ke dalam tungku yang berkobar.
"... pergilah penggal batok kepala musuh besarmu, kalau tidak, jangan kau pulang menemui
aku...." itulah kutukan ibunya. Dalam rumah tiada warna lain, kecuali gelap. Demikian pula dalam
pandangannya sekarang, tolah-olah rumah berloteng ini sudah tiada setitik pun cahaya, seluruh
jagat semesta seakan-akan sudah menjadi gelap-gulita, hanya Be Khong-cun seorang saja yang
terpandang dalam matanya.
Namun Be Khong-cun tetap cengar-cengir tanpa bergerak, seperti tersenyum mengawasi Pho
Ang-soat. Sorot mata Pho Ang-soat penuh diliputi dendam membara, sebaliknya sorot mata Be
Khong-cun menampilkan rasa hambar, kosong dan senyuman tawar. Sungguh merupakan
perbandingan yang menyolok, kalau tidak mau dikatakan sebagai sindiran tajam. Jari-jari Pho Angsoat
yang menggenggam golok sudah memutih kencang, otot hijau merongkol keluar.

Be Khong-cun tiba-tiba berkata dengan tertawa, "Kenapa tanganmu selalu memegang barang
kotor dan hitam seperti itu? Barang itu kau berikan kepadaku, aku pun tidak mau, memangnya
kau takut aku merebutnya?"
Golok iblis ini entah sudah membunuh berapa jiwa manusia, kini di dalam pandangan Be
Khong-cun tidak lebih hanya sebuah benda kotor hitam yang tidak berguna sama sekali. Golok iblis
yang pernah diagungkan sebagai senjata nomor satu dan golok tiada bandingannya di seluruh
jagat, sekarang sepeser pun tak berharga di dalam pandangannya. Apakah di situlah letak nilai
kemurnian golok itu sendiri? Sesuatu yang dipandang seorang pikun, bukankah kenyataan dan
keasliannya?
Tiba-tiba badan Pho Ang-soat mulai gemetar pula, mendadak dia mencabut goloknya, secepat
kilat goloknya menyambar menabas leher Be Khong-cun.
Pada saat gawat itu pula, tampak sinar pisau berkelebat, “Tring”, golok di tangan Pho Ang-soat
mendadak putus menjadi dua. Bekas kutungan golok berkerontangan jatuh ke lantai bersama
pisau terbang itu. Pisau pendek sepanjang tiga dim tujuh mili.
Sigap sekali Pho Ang-soat membalik badan, melotot kepada Yap Kay, tanyanya serak gemetar,
"Kaukah?"
"Ya, aku," sahut Yap Kay manggut.
"Kenapa kau rintangi aku membunuhnya?" tanya Pho Ang-soat
"Karena sebetulnya kau tidak perlu membunuhnya, hakikatnya kau tiada alasan membunuh
dia," ujar Yap Kay, terpancar rasa duka dan seperti tertekan perasaannya.
Pho Ang-soat semakin melotot, seolah-olah bara berkobar di dalam matanya, tanyanya,
"Katamu aku tiada alasan membunuhnya?"
"Ya, kau tak punya alasan untuk membunuhnya."
Semakin beringas Pho Ang-soat dibuatnya, dampratnya, "Seluruh keluargaku terbunuh di
tangannya, sudah dua puluh tahun hutang darah ini belum lunas, jika dia punya sepuluh jiwa, aku
harus membunuhnya sepuluh kali."
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Kau salah."
"Dimana aku salah?"
"Sasaran bencimu belum tepat."
"Apa benar aku tidak pantas membunuhnya?"
"Tidak."
"Kenapa?"
"Karena orang-orang yang dia bunuh bukan ayah bunda atau familimu, di antara kau dan dia
hakikatnya tiada sakit hati apa-apa"
Sudah tentu ucapan Yap Kay ini seumpama gunung meletus. Sudah pasti takkan ada perkataan
dari siapa pun di dunia ini yang begitu mengejutkan dari apa yang diucapkan Yap Kay ini.
Dengan nanar Yap Kay mengawasi Pho Ang-soat, katanya kalem "Kau membencinya, lantaran
ada orang yang mendesakmu untuk membenci dia."
Bergetar sekujur badan Pho Ang-soat. Kalau orang lain yang bicara dengan dirinya, dia takkan
mau percaya. Tapi yang bicara sekarang adalah Yap Kay, dia tahu Yap Kay pasti bukan seorang
yang suka mengoceh dan membual.
"Dendam bak sebatang rumput beracun, jika ada orang menanamnya di dalam sanubarimu, dia
akan berakar mendalam di dalam hatimu, jadi bukan sejak lahir dia sudah pembawaan
bersemayam di dalam sanubarimu" demikian kata Yap Kay.

Pho Ang-soat mengepal kencang kedua tinjunya, akhirnya dengan paksa dia bersuara, "Aku
tidak mengerti."
"Dendam adalah soal belakangan, oleh karena itu setiap orang boleh saja salah sasaran
membenci orang, hanya cinta yang selamanya takkan salah."
Karena haru dan emosi, muka Ting Jun-hong sampai merah membara, mendadak dia berseru,
"Bagus, ucapan bagus, terlalu bagus ucapanmu."
Sebaliknya raut muka Ting Pek-hun semakin pucat, katanya, "Tapi apa yang dia ucapkan, aku
sepatah pun tetap tidak mengerti."
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Seharusnya kau sudah mengerti."
"Kenapa?" tanya Ting Pek-hun.
"Karena hanya kau saja yang tahu, bahwa Ting Ling-tiong bukan putra kandung Tinglocengcu."
Kembali berubah air muka Ting Pek-hun, teriaknya, "Apakah Pho Ang-soat bukan keturunan
keluarga Pek?"
"Pasti bukan." Jawaban ini bagai guntur menggelegar di siang hari bolong. Semua orang
terbelalak mengawasi Yap Kay, Ting Pek-hun tergagap, "Kau... kau bohong."
Yap Kay mandah tertawa saja, tawa yang pahit dan sedih. Dia tidak menyangkal, karena dia
tidak perlu menyangkal, siapa pun akan tahu dan yakin bahwa dia tidak membual.
"Darimana kau bisa tahu akan rahasia ini?" tanya Ting Pek-hun.
"Ini bukan rahasia," ujar Yap Kay rawan, "hanya sebuah tragedi yang mengharukan, jika kau
sendiri adalah salah seorang yang tersangkut di dalam tragedi ini, cara bagaimana tidak tahu
persoalan ini?"
"Kau...." teriak Ting Pek-hun tertahan. "Apakah kaulah putra Pek Thian-ih yang tulen?"
"Aku memang...."
Pho Ang-soat tiba-tiba menerjang maju ke depan dada Yap Kay, gerungnya gusar, "Kau
bohong."
Tawa Yap Kay semakin memilukan. Dia tetap tidak menyangkal, sudah tentu Pho Ang-soat juga
tahu bahwa orang tidak membual.
Ting Pek-hun bertanya pula, "Apakah Im Pek-hong sendiri juga tidak tahu akan rahasia ini?"
Yap Kay manggut-manggut, sahutnya, "Dia pun tidak tahu."
"Karena hal ini memang sengaja harus mengelabui dia."
"Sebetulnya apakah yang telah terjadi?" tanya Ting Pek-hun.
BAB 46. CINTA ABADI
Sesaat Yap Kay ragu-ragu, kelihatan hatinya amat tertekan dan berduka. Sebetulnya dia tidak
ingin membeberkan peristiwa ini, tapi sekarang dia dipaksa untuk mengungkapnya secara terbuka.
Ternyata di kala Im Pek-hong bunting, hal ini sudah diketahui oleh Pek-hujin.
Tak lain karena Pek-hujin seorang perempuan yang cerdik pandai dan banyak akal serta tabah,
meski dia tahu bahwa suaminya di luar suka main serong, punya gundik, dirinya dimadu, namun
lahirnya dia tetap berlaku tenang dan pura-pura tidak tahu.

Karena dia sudah memikirkan suatu cara untuk memutuskan hubungan suaminya dengan
perempuan ini, cuma bagaimana juga, anak yang bakal dilahirkan Im Pek-hong tetap adalah
keturunan atau darah daging keluarga Pek mereka.
Maka dia tidak akan merelakan darah daging keluarga Pek berada di tangan orang lain, karena
jika anak itu tetap berada di samping Im Pek-hong, maka hubungannya dengan Pek Thian-ih
selamanya takkan bisa dia putus, cepat atau lambat Pek Thian-ih akhirnya toh harus menilik dan
menengok anaknya sendiri.
Oleh karena itu Pek-hujin lantas menyogok dukun bayi yang membantu Im Pek-hong
melahirkan. Dengan seorang anak lain, dia lantas menukar bayi yang baru lahir itu. Waktu itu Im
Pek-hong sendiri sedang dalam keadaan pingsan karena kesakitan di kala melahirkan, sudah tentu
tidak pernah disadarinya bahwa oroknya yang baru lahir itu sudah ditukar dan bayi yang dia susui
bukan putranya sendiri. Setelah dia siuman, sudah lama Pek-hujin membawa oroknya itu pulang.
Sebelum Pek-hujin menikah dia punya seorang saudara kandung yang baik sekali, akhirnya
adiknya ini menikah dengan seorang Piausu she Yap. Bernama Yap Ping, sesuai dengan namanya
Piausu ini amat jujur dan bersahaja, dalam Bu-lim tidak punya nama tenar, namun dia murid Siaulim-
pay lurus dari kalangan preman.
Murid dari perguruan silat yang lurus dan murni, biasanya lebih gampang bercokol mencari
kehidupan di dalam masyarakat. Kebetulan Yap Ping tidak punya anak. Oleh karena itu, Pek hujin
lantas menyerahkan putra Im Pek-hong kepadanya untuk diasuh dan dididik, untuk sementara dia
tetap tidak ingin memberitahu hal ini kepada Pek Thian-ih. Pada waktu itu hanya Pek-hujin dan
adik Yap-hujin saja berdua yang tahu akan rahasia ini, sampai pun Yap Ping sendiri pun tidak tahu
menahu akan asal-usul putra pungutnya ini.
Orang ketiga yang tahu akan rahasia ini adalah Siau-li Tham-hoa. yaitu Li Sun-hoan yang sudah
terkenal dan dipandang sakti mandra-guna bagaikan dewata pada waktu itu.
Soalnya meski Pek-hujin seorang perempuan yang cerdik banyak akalnya, namun dia bukan
perempuan jahat yang punya pikiran sesat. Di saat dia tahu suaminya memelihara gundik di
luaran, setiap perempuan pasti berubah menjadi tabah, pendiam dan banyak pikiran.
Setelah Pek-hujin melaksanakan muslihatnya itu, dalam sanubari nya yang paling dalam merasa
menyesal dan berdosa terhadap orok kecil itu. Dia tahu dengan ilmu silat yang dibekal Yap Ping,
meski dia murid didik langsung dari perguruan Siau-lim-pay lurus, jelas takkan bisa mendidik anak
itu menjadi seorang tokoh besar yang benar-benar terpandang di dalam Bu-lim. Besar harapannya
setiap warga keluarga Pek seluruhnya bisa menonjolkan diri dan menjagoi dunia persilatan.
Oleh karena itu dia memberitahu rahasia ini kepada Li Sun-hoan, karena Li Sun-hoan pernah
berjanji hendak menurunkan kepandaian ilmu timpukan pisau terbangnya kepada seorang putra
dari keluarga Pek, Pek-hujin tahu Li Sun-hoan pasti akan menepati janjinya itu. Dia pun percaya
kepada Li Sun-hoan, pasti takkan membocorkan rahasia ini.
Di dunia ini siapa pun takkan ada orang yang tidak percaya kepada Li Sun-hoan, sampai pun
musuh besarnya pun tetap percaya akan setiap patah katanya. Benar juga Li Sun-hoan menepati
janjinya, sampai sekarang dia tidak pernah membocorkan rahasia ini.
Tapi dia toh tahu juga, di dunia ini tiada sesuatu rahasia yang bisa selalu mengelabui orang
lain, pada suatu ketika kelak anak ini pasti akan tahu asal-usulnya sendiri. Oleh karena itu sejak
bocah itu masih kecil dia sudah memberitahu kepadanya, bahwa dendam kesumat hanya akan
membawa sengsara dan kehancuran bagi setiap insan. Hanya cinta itulah abadi.
Dia mengajarkan kepada bocah itu, cara bagaimana dia harus belajar untuk bisa mencintai
sesamanya, jelas pelajaran ini jauh lebih penting dan sukar dari ajaran bagaimana kau harus
membunuh orang. Hanya orang yang betul-betul mengerti akan makna ajarannya ini baru dia
setimpal mempelajari Siau-li si pisau terbang punya kepandaian. Dan hanya orang yang benarbenar
bisa meresapi makna yang murni dari ajaran ini, baru dia bisa berhasil dengan gemilang.

Setelah pupuk dasar ini dia pelihara dan bina betul di sanubari anak itu, baru dia benar-benar
menurunkan kepandaian mujizat dari pisau terbangnya kepada Yap Kay.
Sungguh merupakan suatu kisah yang mengenaskan.
Selama ini Yap Kay tidak mau menceritakan kisah ini, karena dia tahu latar belakang peristiwa
ini yang sesungguhnya, dan cerita itu pula secara langsung akan melukai lahir batin orang lain.
Sudah tentu orang yang terkena langsung pukulan lahir batin ini adalah Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat sudah melepaskan kedua cengkraman tangannya, selangkah demi selangkah dia
menyurut mundur, seakan-akan berdiri pun tak kuat lagi.
Bahwasanya dia lahir tumbuh dan dewasa hanya karena dendam kesumat, sekarang
keadaannya mirip benar dengan seorang yang berdiri di atas tali terentang tinggi tergantung di
tengah udara, tiba-tiba kehilangan keseimbangan badan dan terjerumus jatuh serta terbanting
keras di tanah.
Dendam kesumat memang membuat dia menderita, tapi derita itu teramat serius, agung dan
suci. Sekarang dia merasa bahwa dirinya terlalu menggelikan. Terlalu kasihan sehingga
menggelikan. Belum pernah dia merasa kasihan akan pribadinya sendiri, karena betapa pun
sengsara dan derita yang dia alami, paling tidak dia tetap bangga akan keluarganya Namun
sampai detik ini, siapa sebetulnya ayah-bunda kandungnya toh dia tetap tidak mengetahui.
Waktu Cui long mangkat, dia kira dirinya mengalami suatu peristiwa yang paling mengenaskan
di seluruh jagat ini. Baru sekarang pula dia sadari ternyata masih ada tragedi lain yang lebih
mengenaskan, nasib yang jelek serta takdir yang buruk.
Yap Kay mengawasinya, sorot matanya menampilkan rasa sesal dan menderita pula.
Sebetulnya rahasia baru dia ketahui di waktu Yap-hujin sudah dekat ajalnya, karena Yap-hujin
berpendapat setiap manusia mempunyai hak untuk mengetahui asal-usul riwayat hidupnya sendui
demikian pula Yap Kay, dia harus dan punya hak untuk tahu.
Pho Ang-soat pun seorang manusia, dia pun harus dan punya hal untuk tahu akan hal ini.
"Sebetulnya sudah lama aku harus memberitahu kepadamu," ujar Yap Kay masgul. "Beberapa
kali sudah hampir kukatakan, namun selalu.... Sungguh dia bingung tak tahu cara bagaimana dia
harus melimpahkan isi hatinya, namun Pho Ang-soat tidak memberi kesempatan kepadanya.
Sorot mata Pho Ang-soat beralih ke arah lain, sengaja menghindari bentrokan pandangan
dengan Yap Kay, namun cepat sekali dia mengucapkan dua patah kalimat, "Aku tidak akan
menyalahkan kau, karena kau toh tidak salah...." Sejenak dia ragu-ragu, akhirnya dia mengatakan
pula kalimat yang takkan pernah bisa dilupakan oleh Yap Kay, "Aku pun tidak akan membencimu,
aku pun takkan membenci siapa lagi." Sebelum ucapannya berakhir, dia sudah putar tubuh,
beranjak turun ke bawah loteng, gaya jalannya kelihatan tetap aneh dan lucu, gerak-geriknya
lamban dan seperti kebodohan-bodohan, seolah-olah dia memang dilahirkan untuk mengalami
tragedi yang memilukan ini.
Yap Kay mengawasinya, dia tidak berusaha menahannya, setelah dia berada di bawah loteng,
baru dia bersuara keras, "Kau pun tidak salah, hanya dendamlah yang salah, dendam kesumat itu
memangnya sudah salah sejak permulaan."
Pho Ang-soat tidak berpaling, seakan-akan malah dia seperti tidak mendengar seruan Yap Kay.
Tapi setelah dia tiba di bawah loteng, badannya ternyata sudah tegak kembali. Walau langkah
kakinya lamban lucu dan kebodohan-bodohan, namun dia terus beranjak ke depan, tidak pernah
berhenti dan berpaling ke belakang. Dia pun tidak roboh karenanya.
Beberapa kali sampai Pho Ang-soat sendiri sudah menduga dirinya bakal tersungkur roboh, tapi
kenyataan dia tetap beranjak tegak tak tergoyahkan.
Mendadak Yap Kay menghela napas, mulutnya menggumam sendiri, "Dia akan sembuh dan
baik pula."

Ting Jun-hong sebaliknya mengawasi dia, sorot matanya membayangnya kekalutan pikiran dan
amat prihatin.
Yap Kay berkata pula, "Sekarang dia tak ubahnya seperti orang yang terluka parah, tapi asal
dia masih bertahan hidup, betapa pun parah dan dalam luka-lukanya, akan datang suatu hari dia
akan sembuh dan sehat kembali." Tiba-tiba dia tertawa, serta menambahkan, "Manusia ada
kalanya mirip dengan cecak, umpama kau memutus ekornya, cepat sekali ekornya itu akan
tumbuh seperti sedia kala."
Ting Jun-hong ikut tertawa, ujarnya tersenyum, "Perumpamaanmu ini baik sekali, sungguh
sangat baik."
Mereka berpandangan, tiba-tiba terasa dalam sanubari masing-masing akan pengertian yang
mendalam akan pribadi orang. Seolah-olah bagai kawan yang sudah karib beberapa tahun
lamanya.
Ting Jun-hong berkata, "Sebetulnya kau tidak ingin membeberkan peristiwa ini?"
"Sebetulnya aku selalu dibayangi perasaan, setelah aku membeberkan rahasia ini, bagi siapa
pun tidak akan membawa manfaat."
"Tapi sekarang jalan pikiranmu itu sudah berubah."
Yap Kay manggut-manggut, ujarnya, "Karena sekarang aku sudah menyadari, pengorbanan
yang kita pertaruhkan untuk peristiwa ini sudah terlalu besar."
"Oleh karena itu kau ingin mengakhiri persoalan ini?"
Kembali Yap Kay manggut-manggut.
Tiba-tiba Ting Jun-hong berpaling dan mengawasi Ting Pek-hun, "Jika kau tidak mati, apakah
persoalan inipun boleh berakhir sampai di sini?"
"Sebetulnya dia memang tidak perlu mati," sahut Yap Kay.
"Lho, kenapa?"
"Umpama dia sudah melakukan kesalahan, sejak lama dia sudah membayar kesalahannya itu."
Ting Jun-hong diam saja. Dia setuju akan jawaban ini. Hanya dia saja yang tahu betapa
pengorbanan yang sudah dipertaruhkan oleh adiknya, Ting Pek-hun, adalah sedemikian
mengenaskan.
Yap Kay mengawasinya, tiba-tiba dia tertawa, ujarnya, "Tentunya kau pun tahu bahwa dia
takkan mati, benar tidak?"
Sekilas Ting Jun-hong melengak bimbang, akhirnya dia manggut-manggut, katanya, "Benar, dia
takkan mati, dan tidak perlu mati...."
Melotot kaget Ting Pek-hun mengawasi Engkohnya ini, teriaknya tertahan, "Kau... apakah...."
Ting Jun-hong menghelas napas, ujarnya, "Sejak pertama aku sudah tahu bahwa kau sudah
menyiapkan arak beracun untuk dirimu sendiri, maka...."
"Maka kau menukar botol berisi arak beracun itu?" desak Ting Pek hun dengan mendelik haru.
"Seluruh bahan obat-obatan dan arak beracunmu kuganti seluruhnya, umpama kau habiskan
seluruh poci arak itu, paling kau akan jatuh mabuk dua hari." Dengan tersenyum dia lantas
meneruskan, "Seorang kolot seperti aku ini ada kalanya bisa juga melakukan tindakan lucu dan
menggelikan."
Lama sekali Ting Pek-hun mematung dengan mata terbelalak tiba-tiba dia terkial-kial.
Ting Jun-hong tertegun, tanyanya, "Apa yang kau tertawakan?"
"Aku sedang menertawakan aku sendiri."
"Menertawakan kau sendiri?" Ting Jun-hong keheranan.

"Kalau toh Im Pek-hong tidak mampus, kenapa aku harus mencari jalan pendek?" tawanya
kedengaran nyaring dan sendu, sampai sukar dibedakan tertawa atau menangis, "Baru sekarang
aku tahu, dia harus lebih dikasihani daripadaku, sampai pun putranya sendiri siapa pun dia tidak
tahu, kalau dia boleh bertahan hidup, kenapa aku tidak mau hidup?"
"Kau memang harus bertahan hidup," kata Ting Jun-hong. "Setiap orang harus
mempertahankan hidupnya."
Ting Pek-hun tiba-tiba menuding Be Khong-cun, "Lalu bagaimana dia?"
"Dia kenapa?"
"Kalau arak yang kuminum bukan arak beracun, lalu arak yang dia minum bukankah...."
"Arak yang kau biarkan dia minum, tak lain hanya arak anggur yang sudah tersimpan tujuh
tahun belaka."
Mendadak rona muka Be Khong-cun berubah hebat.
"Mungkin dia sudah tahu bahwa kau hendak menghadapinya," kata Ting Jun-hong.
"Oleh karena itu melihat di atas mejaku ada arak, dia lantas menenggaknya habis," ujar Ting
Pek-hun.
Ting Jun-hong manggut-manggut, katanya, "Tentunya kau pun harus tahu, sebetulnya dia tidak
sembarangan mau minum arak begitu saja."
"Maka selanjutnya dia lantas pura-pura pikun seperti orang benar-benar keracunan, menunggu
cara bagaimana aku hendak menghadapinya."
"Cara bagaimana kau hendak menghadapinya?"
Ting Pek-hun tertawa getir, sahutnya, "Kalau toh sudah kuberitahu kepadanya, bahwa arak itu
kuracik dengan daun ganja."
"Tentunya dia pun tahu seseorang yang sudah makan rumput ganja, bagaimana pula
reaksinya."
"Maka dia sengaja pura-pura berlaku pikun seperti orang gila, bukan saja dia menipu dan
mengelabui aku, sekaligus dia pun sudah menipu dan mengelabui orang-orang yang ingin
membunuhnya."
Kembali raut muka Be Khong-cun diliputi gelisah, kaget dan ketakutan, tiba-tiba dia mencabut
sebatang pisau dari dalam sepatu panjangnya terus membalik tangan menusuk ke dada sendiri.
Pada saat itu juga, tampak sinar kilat berkelebat. Pisau di tangannya itu tiba-tiba terpental
jatuh, tentunya terpukul jatuh oleh pisau terbang sepanjang tiga dim tujuh mili.
Bergegas Be Khong-cun berpaling, dia mendelik kepada Yap Kay, suaranya serak, "Kau... apa
kau tidak memberi kesempatan kepadaku untuk mati saja?"
Yap Kay berkata tawar, "Aku hanya ingin tanya, kenapa pula mendadak kau ingin mati?"
Terkepal jari-jari Be Khong-cun, serunya, "Apakah mati pun aku tidak bisa?"
"Jika kau minum arak beracun, apakah jiwamu sekarang masih hidup?"
Be Khong-cun terkatup mulutnya, dia tak berani menyangkal.
"Justru karena arak itu tidak beracun, sekarang kau malah ingin mati, bukankah perbuatanmu
ini teramat lucu dan menggelikan?"
Be Khong-cun tidak mampu menjawab. Mendadak dia pun menyadari kejadian ini memang lucu
dan menggelikan, begitu jenaka sampai ingin rasanya dia menangis tergerung-gerung sepuasnya.
Yap Kay berkata pula, "Kau kira rumput ganja itu bisa membikin kau melupakan segala derita
dan dendam sakit hati, apakah orang lain juga bakal melupakan dendam dan sakit hatinya
terhadap kau?"

Be Khong-cun mengakui akan kebenaran arti ucapan Yap Kay, memang dia berpikir demikian.
Setelah menghela napas Yap Kay berpidato lagi, "Sebetulnya kecuali rumput ganja itu, masih
ada sebuah benda di dunia ini sama saja dia pun bisa membuat kau lupa akan derita dendam
kesumat."
Tak tahan Be Khong-cun bertanya, "Apakah itu?"
"Itulah 'pengampunan'."
"Pengampunan?"
"Kalau toh kau sendiri tidak kuasa mengampuni dirimu, orang lain mana bisa mengampuni
kau?" Yap Kay mengoceh terus, "Tapi seseorang bilamana dia sudah dapat benar-benar
mengampuni orang lain, baru dia bisa mengampuni pribadinya sendiri, oleh karena itu jika benarbenar
sudah mengampuni orang lain, orang lain pun akan mengampunimu."
Tertunduk kepala Be Khong-cun. Tidak sukar untuk meresapi kebenaran ajaran filsafat ini.
Di dunia kehidupannya, selamanya dia berpendapat bahwa membalas dendam jauh lebih tepat
dari pengampunan, itu lebih memperlihatkan kebesaran jiwa laki-laki.
Tapi mereka lupa untuk benar-benar bisa melaksanakan 'Pengampunan' ini, bukan saja harus
memiliki sanubari yang bajik dilembari cinta kasih nan suci, dia pun harus punya keberanian pula,
keberanian yang lebih besar daripada membalas dendam.
Sungguh hal ini jauh lebih sulit tercapai daripada membalas dendam itu sendiri.
Untuk selamanya Be Khong-cun tidak akan mengerti akan Tripusaka ajaran Nabi Khong-cu ini.
Oleh karena itu, meski orang lain sudah mengampuni dia, dia toh tetap tidak bisa mengampuni
dirinya sendiri.
Dia menderita, menyesal, mungkin bukan lantaran kesalahan dosa dan perbuatan jahatnya,
adalah karena seluruh dosa dan kesalahannya sudah terbeber dan diketahui orang banyak.
"Seharusnya rahasia ini selamanya pun takkan mungkin diketahui orang lain, seharusnya aku bisa
bekerja lebih baik...." Jari-jarinya terkepal kencang, keringat dingin bercucuran membasahi sekujur
badannya.
Penyesalan macam apa pun, sama saja bisa membikin orang menderita dan sengsara.
Mendadak dia menubruk ke depan, direnggutnya guci arak di atas meja kecil sana, dengan
lahapnya dia habiskan sisa arak yang masih di ada dalamnya. Lalu pelan-pelan dia rebah
telentang, mabuk tak sadarkan diri.
Mengawasi keadaan orang, tiba-tiba timbul rasa simpatik dan kasihan yang tak terlukiskan
dalam sanubari Yap Kay. Dia tahu orang ini selanjutnya takkan pernah mengalami hidup bahagia
dan gembira meski hanya sehari saja.
Orang seperti dia, sudah tidak perlu orang lain berusaha menghukumnya, karena dia sudah
menghukum dirinya sendiri
Sunyi tenteram dalam rumah itu
Segala pertarungan dan derita sudah berselang. Bisa melihat dan menghadapi suatu tragedi
yang dimulai dari permusuhan, terakhir karena adanya pengampunan, sungguh tak usah
diragukan betapa riang dan gembira hati setiap orang.
Mengawasi Yap Kay, muka keriput Ting Jun-hong menjadi cerah, sorot matanya pun
cemerlang. Penuh diliputi perasaan yang tak kuasa diutarakan dengan kata-kata. Jelas itu bukan
rasa terima kasih saja, namun semacam perasaan agung yang lebih tinggi daripada terima kasih
dan hormat.
Baru saja dia hendak membuka suara, dilihatnya putri bungsunya berlari naik ke atas loteng.

Muka Ting Hun-pin yang pucat kelihatan gugup, katanya dengan napas tersengal-sengal.
"Samko sudah pergi." Tiba-tiba teringat olehnya bahwa Lok Siau-ka pun adalah Samkonya, maka
cepat sekali dia menambahkan, "Kedua Samko sama-sama pergi."
"Dua Samko?" tanya Ting Jun-hong mengerut kening.
"Ting Ling-tiong pergi sendiri, kita berusaha menahannya, tapi dia bertekad mau pergi."
Yap Kay dapat memahami perasaan hati Ting Ling-tiong. Dia merasa dirinya tak ada muka
untuk tinggal lebih lama di sini, dia harus melakukan darma bakti untuk menebus dosa-dosanya.
Memangnya Ting Ling-tiong adalah pemuda bajik dan bijaksana. Asal dia diberi kesempatan
untuk memulai dengan baik, kelak dia pasti akan bertindak dengan baik pula. Untuk ini Yap Kay
cukup yakin dan mengerti, dia pun percaya kepadanya. Karena mereka memangnya satu
keturunan dari tunggal ayah lain ibu.
Ting Hun-pin berkata pula, "Lok Siau-ka pun pergi, dibawa pergi seseorang."
"Dia tidak mati?" tanya Yap Kay.
"Kita semula mengira luka-lukanya takkan tertolong lagi," demikian tutur Ting Hun-pin, "tapi
orang itu bilang dia masih punya cara untuk mempertahankan hidupnya."
"Siapakah orang itu?" tanya Yap Kay pula.
"Aku tidak mengenalnya, sebetulnya kita pun tidak mengizinkan dia membawa Lok... Loksamko
pergi, tapi kita tak mampu berbuat apa-apa untuk merintangi dia." Terunjuk rasa kaget dan
takut pada mimik mukanya, tuturnya lebih lanjut, "Selamanya belum pernah aku melihat ada
orang yang memiliki kepandaian silat setinggi itu, cukup hanya mengebas tangan perlahan saja,
kita semua tak mampu mendekati badannya."
"Orang macam apakah dia?" desak Yap Kay
"Seorang laki-laki berlengan satu, mengenakan jubah panjang warna kuning dari kain yang
aneh, sepanjang matanya seperti abu-abu yang kaku mati, belum pernah kulihat mata semacam
itu."
Ting Jun-hong berjingkat dari kursinya, teriaknya, "Ki Bu bing."
Ki Bu-bing.
Nama ini seolah-olah juga membawa kekuatan iblis yang menyedot pikiran orang, berkata Ting
Jun-hong, "Dia tidak punya sanak tiada kadang, dia pun tak punya teman, Lok Siau-ka selamanya
akan dia pandang sebagai anak sendiri, jika dia mau membawa Siau-ka pergi, Siau-ka pasti takkan
mati."
Agaknya orang tua ini sedang menghibur hatinya sendiri. Tiba-tiba disadari oleh Yap Kay bahwa
orang tua ini bahwasanya tidak mirip dengan laki-laki tua dingin kejam seperti yang sering dia
dengar di luaran.
Mukanya yang semula kaku dingin lambat-laun menampilkan gejolak hatinya, mulutnya komatkamit
menggumam, "Kalau dia sudah kemari, seharusnya dia menemui aku."
Yap Kay tertawa dingin, ujarnya, "Dia takkan kemari, karena dia tahu ada seorang murid Siau-li
Tham-hoa berada di sini."
"Apakah kau kira dia tetap belum melupakan sakit hatinya terhadap Siau-li Tham hoa?"
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Ada sementara persoalan yang selamanya takkan bisa
dilupakan, karena...."
Karena Ki Bu bing adalah manusia sejenis Be Khong-cun, selamanya dia takkan bisa meresapi
arti suci dari "pengampunan", demikianlah batin Yap Kay, tidak dia utarakan, karena dia tidak
mengharap setiap orang yang hadir di sini bisa berbuat seperti dirinya, mengutamakan cinta kasih
kepada sesama manusia.

Pada saat itulah, daun jendela yang semula tertutup tiba-tiba terbuka oleh hembusan segulung
angin kencang yang aneh. Lalu dia mendengar seorang berkata di luar jendela, "Sejak tadi aku
sudah berada di sini, sayang sekali kau tidak melihatku." Suaranya dingin dan congkak, setiap
patah katanya diucapkan pelan-pelan, seakan-akan dia tidak biasa melimpahkan isi hatinya
dengan tutur kata yang semestinya.
Untuk menunjukkan jalan pikirannya, biasanya dia menggunakan cara lain yang lebih langsung.
Jalan pikirannya selamanya tidak perlu dimengerti orang lain.
Ki Bu bing.
Hanya mendengar suara perkataan orang, Yap Kay lantas tahu bahwa Ki Bu bing berada di
luar. Pelan-pelan dia membalik badan, maka dilihatnya seorang laki-laki berpakaian serba kuning
seperti batang tombak tegapnya berdiri di bawah pohon Liu di pinggir empang. Raut muka orang
tidak dilihatnya, hanya tampak sepasang matanya yang aneh, sepasang mata yang mencorong
dingin berkilat seperti sinar mata binatang buas.
Sepasang mata itupun sedang mengawasi Yap Kay, tanyanya, "Kau inikah Yap Kay?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Kau tahu aku ini siapa?" tanya Ki Bu bing.
Yap Kay manggut-manggut pula. Agaknya dia tidak rela bila Ki Bu-bing mengira dirinya pemuda
ceriwis oleh karena itu bila tidak perlu bersuara selamanya dia tidak buka mulut.
Lama sekali Ki Bu bing menatapnya, mendadak dia menghela napas panjang. Yap Kay amat
kaget, sungguh tak pernah terbayang olehnya bahwa laki-laki inipun punya saat untuk menghela
napas panjang.
Berkata Ki Bu bing pelan-pelan "Sudah beberapa tahun aku tidak berjumpa dengan Li Sun
hoan, selama ini aku selalu mencarinya." Mendadak dia tarik suara dan berkata lantang, "karena
aku ingin mencarinya untuk bertanding mengadu kepandaian apakah pisau terbangnya yang cepat
atau pedangku yang lebih cepat."
Yap Kay diam, dia hanya mendengarkan saja.
Ternyata Ki Bu bing menghela napas pula, ujarnya "Tapi sekarang aku sudah merubah niatku,
tahukah kau kenapa?"
Sudah tentu Yap Kay tidak tahu.
"Karena kau?" jawab Ki Bu bing sendiri.
"Karena aku?" Yap Kay melengak keheranan.
"Setelah melihat kau, baru aku insaf bahwasanya aku memang tidak bisa mengungguli Li Sunhoan."
Sorot matanya yang dingin dan suaranya yang kaku tiba-tiba berubah amat mendelu dan
rawan, lama sekali baru dia melanjutkan, "Lok Siau-ka hanya tahu membunuh orang, tapi
kau....tiga kali turun tangan, ketiganya berusaha menolong jiwa orang.”
Pisau memangnya alat peranti membunuh orang. Tahu cara bagaimana menggunakan
pisau membunuh orang, tidak sulit, tapi untuk bisa mengerti cara bagaimana menggunakan pisau
menolong jiwa orang, sungguh suatu hal yang sukar dilakukan.
Sungguh Yap Kay tidak nyana bahwa Ki Bu bing tahu juga akan makna ini. Kehidupan
sebatangkara nan sunyi, agaknya sudah menggugah kesadaran laki-laki yang tak berperi cinta
kasih dan membunuh manusia sebagai kegemarannya.
Mendadak Ki Bu bing bertanya pula, "Tahukah kau akan Pek siau seng?"
Yap Kay manggut-manggut.
Daftar alat senjata adalah merupakan koleksi buku karya Pek-siau-seng, di dalam lembaran
sejarah buku karyanya itu sudah meninggalkan lembaran yang tak mungkin dihapus lagi.

Berkata pula Ki Bu bing, "Walaupun dia bukan seorang lurus, namun buku karyanya itu cukup
obyektif dan adil."
Yap Kay percaya. Sesuatu yang tidak adil, takkan lama bisa bertahan. Tapi buku karya Pek siau
seng tentang senjata-senjata itu tetap bertahan dan masih menjadi bahan pembicaraan serta
diakui segala lapisan dunia persilatan sampai sekarang.
"Siangkoan Kim-hong memang mati di tangan Li Sun-hoan, tapi ilmu silatnya, memang
kenyataan lebih unggul dari Li Sun-hoan."
Yap Kay pasang kuping mendengarkan.
Pertempuran Siangkoan Kim-hong melawan Li Sun-hoan sudah menjadi lembaran legenda
bagai cerita dewata saja di kalangan Kangouw. Dongeng memang cerita yang paling
mengasyikkan, tapi sering-sering tidak sesuai dan lepas dari kenyataan.
Ki Bu bing berkata, "Li Sun-hoan dapat membunuh Siangkoan Kim-hong, bukan lantaran ilmu
silatnya, adalah karena keyakinannya."
Selamanya Li Sun-hoan percaya dan yakin benar, bahwa setia dan keadilan lurus pasti bisa
mengalahkan sesat dan kejahatan, kebenaran dan keadilan selalu akan hidup di dalam sanubari
kehidupan manusia umumnya. Oleh karena itu dia menang.
Ki Bu bing berkata pula, "Waktu mereka bergebrak, hanya aku seorang saja yang menyaksikan
dengan mata kepalaku sendiri, aku bisa menilai betapa ilmu silatnya, kenyataan memang tidak
setinggi kepandaian Siangkoan Kim-hong, selama itu aku tetap tidak mengerti, cara bagaimana dia
bisa menang. Tapi sekarang aku sudah mengerti, nilai sejati dari sesuatu senjata sebetulnya tidak
terletak pada senjata itu sendiri, namun terletak pada apa yang dilakukan olehnya"
Yap Kay mengakui akan kebenaran komentar ini.
"Bahwa Li Sun-hoan bisa membunuh Siangkoan Kun liong adalah bukan lantaran dia ingin
membunuh orang sehingga dia dipaksa turun tangan, apa yang dia lakukan terhadap Thian, dia
tidak berdosa terhadap sesama manusia dia tidak bertindak jahat, oleh karena itu dia takkan bisa
dikalahkan."
Seorang bila dia bertempur, berjuang demi keadilan dan kebenaran maka dia takkan bisa
dikalahkan.
Ki Bu bing berkata lebih lanjut, "Jika Pek siau seng juga tahu akan teori ini, maka dia harus
mencantumkan nama Li Sun-hoan di tempat paling atas, pisau terbangnya nomor satu di seluruh
jagat."
Yap Kay mengawasinya, tiba-tiba timbul rasa hormat dan segannya terhadap seorang yang
sukar diselami dan dijajaki harkat dan jiwanya. Siapa pun dia bila sudah mengetahui akan
pengertian yang mendalam ini, dia patut dihormati.
Ki Bu bing tetap mengawasinya, katanya pula, "Oleh karena itu bila sekarang ada orang mau
membuat daftar urutan senjata, maka dia harus mencantumkan pisaumu sebagai nomor satu dan
tiada tandingan di seluruh jagat. Karena apa yang kau lakukan barusan, siapa pun takkan mampu
melakukannya, maka nilai dari pisaumu itu jelas dan pasti takkan ada senjata lain yang bisa
mengunggulinya.
Hembusan angin berlalu, meniup daun pohon melambai, bayangan Ki Bu bing seolah-olah ikut
lenyap tertiup hembusan angin ini. Memangnya dia orang yang susah diraba, mirip dengan angin
yang tidak bisa dipegang.
Yap Kay tegak berdiri menyongsong hembusan angin, terasa dadanya bergolak dan mendidih,
lama sekali sukar diredakan.
Ting Hun-pin berdiri di samping mengawasinya terlongong, sorot matanya pun menunjukkan
rasa cinta dan hormat. Perasaan perempuan memang aneh, jika kau tidak mendapat
penghormatan mereka, maka kau pun takkan memperoleh cinta kasihnya.

Mereka, kaum perempuan, jauh berbeda dengan laki-laki.
Laki-laki bisa jatuh hati dan bercinta kasih terhadap sesamanya karena mereka kasihan dan
simpatik, perempuan hanya cinta terhadap laki-laki yang dihormatinya saja.
Jika kau melihat perempuan mencintai seorang laki-laki karena rasa kasihan, maka kau boleh
berkepastian, cintanya itu tidak akan murni, jelas takkan bertahan lama.
Sudah tentu Ting Jun-hong dapat meraba isi hati putrinya, dia sendiri pun merasa bangga akan
sepak terjang anak muda yang satu ini Pemuda seperti ini, siapa pun yang menghadapinya pasti
akan merasa bangga.
Ting Jun-hong menghampiri ke sampingnya, katanya, "Sekarang tentunya kau tidak perlu
menyembunyikan riwayat hidupmu."
Yap Kay manggut-manggut, sahutnya, "Tapi aku pun tidak bisa melupakan budi luhur keluarga
Yap yang mengasuh dan mendidikku sampai sebesar ini."
"Kecuali kau," kata Ting Jun-hong. "Mereka tidak punya putra yang lain?"
"Mereka tidak punya anak."
"Oleh karena itu kau tetap she Yap."
"Ya, tetap she Yap."
"Yap berarti daun dan Kay terbuka?"
"Benar, Yap Kay."
"Tentunya kau heran kenapa aku menanyakan semua ini kepadamu, tapi tidak bisa tidak aku
harus bertanya, karena...." dia berpaling kepada putrinya serta mengawasinya dengan tersenyum,
katanya lebih lanjut kalem, "Karena aku tinggal punya putri bungsu ini, jika aku harus
menyerahkan dia kepada orang lain, paling tidak aku harus tahu siapa orang yang kupasrahi, siapa
she dan namanya."
SEKARANG dia sudah tahu pemuda ini bernama Yap Kay.
Dia yakin seluruh umat persilatan di kolong langit ini, cepat sekali pasti akan tahu akan
kebesaran namanya.
T A M A T
Anda sedang membaca artikel tentang Peristiwa Merah Salju 4 dan anda bisa menemukan artikel Peristiwa Merah Salju 4 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/peristiwa-merah-salju-4.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Peristiwa Merah Salju 4 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Peristiwa Merah Salju 4 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Peristiwa Merah Salju 4 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/peristiwa-merah-salju-4.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar