Cersil : Pendekar Laknat 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Rabu, 21 September 2011

Pendekar Laknat
Judul Lama :
Pendekar 3 Jaman
Saduran : SD Liong

Jilid 1
Pusar bumi.
MENGAPA? MENGAPA? MENGAPA?
Demikian pertanyaan yang selalu menghuni dalam benak
Siau-liong, jejaka berumur 16 tahun yang sedang belajar pada
Tabib-sakti-jenggot-naga Kongsin To.
Mengapa gurunya melarang ia untuk menuntut balas atas
kematian ayahnya....?
Kata gurunya, larangan itu adalah pesan terakhir dari
ayahnya, pada saat hendak menghembuskan napas terakhir.
Mengapa mendiang ayahnya berpesan begitu?
Dan mengapa pula gurunya melarang ia berkeliaran ke
balik gunung? Sudah 10 tahun lamanya, pertanyaan itu
mencengkam pikirannya, tanpa penyelesaian.

2
Saat itu gurunya sedang pergi memetik daun obat kelain
tempat. Sebelumnya, Siau-liong telah dipesan supaya jangan
berkeliaran ke balik gunung dan supaya tiap hari giat berlatih
silat saja.
Entah bagaimana saat itu, timbullah keinginan Siau-liong
untuk mengetahui apakah dibalik rahasia dari larangan
gurunya itu.
Tentang kematian ayahnya, menurut keterangan gurunya,
telah dibunuh oleh To Hun-ki, ketua partai Kong tong-pay.
Tong Gun-liong, demikian nama ayah Siau-liong, adalah murid
kesayangan To Hun-ki.
Demikian keterangan sekedar yang diberikan gurunya Siauliong,
mengenai kematian ayahnya. Tetapi mengapa ayah
Siau-liong sampai dibunuh oleh gurunya sendiri, Kongsun Sinto
tak tahu.
Diam-diam Siau-liong, berjanji dalam hati, kelak akan
menyelidiki rahasia pembunuhan ayahnya itu sampai jelas.
Rupanya memang sudah menjadi sifat manusia. Makin
dilarang makin ingin tahu. Dan pada usia menjenjang dewasa
itu, darah Siau-liong memang panas-panasnya. Serentak ia
memutuskan untuk meninjau tempat dibalik gunung itu.
Ternyata jalan di bagian belakang gunung yang didiami itu,
merupakan sebuah jalan buntu. Terputus oleh sebuah jurang
yang curam.
Setelah puas meninjau keadaan sekeliling tempat itu,
karena hari sudah sore, iapun pulang. Pada keesokan harinya,
barulah ia datang lagi dan mulai melakukan penyelidikan.
Disitu terdapat sebuah mulut gua. Bentuknya macam kerucut,
atas sempit bawah lebar. Ketika mengamati, ia terkejut.

3
Di atas mulut gua terdapat tiga buah ukiran huruf:
"Lembah penasaran"
Kini Siau-liong menyadari apa sebab gurunya melarangnya
kesitu. Tetapi Siau-liong makin tertarik. Adakah gua itu dihuni
orang?
Ia hendak memasuki gua itu. Tiba diambang mulut gua,
sehembus angin dingin meniup sehingga ia menggigil.
Teringat akan pesan gurunya, ia bergegas hendak keluar.
Tetapi ia tertegun ketika melihat kedua sisi pintu gua terdapat
beberapa ukiran huruf, berbunyi:
"Laut dendam, sukar ditimbuni. Siapa masuk tentu mati".
Sesaat ia gemetar tetapi pada lain saat bangkitlah
kepanasan hatinya. Sombong dan kejam benar orang itu.
Demikian anggapannya.
Sekonyong-konyong ia dikejutkan oleh gelak tawa yang
menggeledek. Serentak angin kuat menabur Siau-liong
sehingga anak itu terhuyung beberapa langkah ke belakang.
Buru-buru ia berusaha untuk menenangkan darahnya yang
mendebur keras.
Setelah tenang ia memandang kemuka. Ah, ternyata gua
itu mempunyai penghuni. Setombak di atas mulut gua,
terdapat sebuah lubang besar. Ditengah lubang duduk
seorang tua aneh tengah tertawa.
Tangannya mencekal sekerat daging yang masih berlumur
darah. Tampak ia menikmati daging itu dengan lahapnya....

4
Orang aneh itu berbangkit dan menghampiri kepintu gua.
Siau-liong makin menggigil.
Perwujutan orang itu amat menyeramkan sekali. Manusia
tetapi menyerupai iblis. Iblis tetapi ternyata manusia. Mungkin
di dunia tiada manusia yang lebih seram dari dia. Dan
Walaupun berdiri, tetapi orang aneh itu hanya setinggi orang
biasa sedang duduk. Pahanya pendek sekali tetapi telapak
kakinya amat lebar. sepasang tangannya menjulur ke bawah
sampai hampir mencapai lutut.
Dadanya bidang, leher pendek dan kepala besar. Sepasang
matanya berkilat-kilat tajam hampir tertutup oleh rambutnya
yang kusut masai.
"Uh, sial, lebih baik pulang saja," gerutu Siau-liong seraya
hendak ayunkan langkah.
Tiba-tiba orang aneh itu menampar dan setiup angin keras
melanda Siau-liong sehingga ia terdampar ke belakang lagi.
Punggungnya terasa sakit. Sebelum ia sempat berdiri tegak,
orang aneh itu sudah melayang kehadapannya.
“Ha. ha. ha' Seorang penghuni baru lagi! Sekali Raja
Akhirat datang, jangan harap dapat minta tempo. Budak,
lihatlah tanganku!"
Orang aneh itu julurkan sepasang tangannya. Bermula
warnanya putih tetapi segera berobah merah lalu
didorongkan. Setiup angin berbau anyir, menghambur ke arah
Siau-liong.
Siau-liong menghindar ke samping. Dess.... tiba-tiba batu
yang berada di belakang, mendesus seperti hangus terbakar
api dan pecah berantakan.

5
"Heh, heh....” orang aneh itu tertawa mengekeh. Lalu
lepaskan empat buah pukulan lagi.
Siau-liong terpaksa mundur dan tanpa disadari ia telah
masuk ke dalam lingkungan batu-batu yang berserakan.
Dar, dar, dar, delapan buah pukulan dilepaskan orang aneh
itu lagi. Untunglah Siau-liong dapat menghindari. Tetapi batubatu
yang tak menentu bentuknya itu pecah berhamburan ke
segenap penjuru!
Jelas orang aneh itu memang tak bermaksud
menghancurkan Siau-liong. Setiap kali tentu memberi
kesempatan supaya anak itu dapat menghindar. Siau-liong
menyadari juga hal itu. Tetapi lama kelamaan, marah ia.
Diam-diam ia kerahkan tenaga-dalam, siap mengadu
kekerasan.
Rupanya orang aneh itu mengetahui maksud Siau-liong.
Diluar dugaan, ia berhenti memukul dan tertawa
memanjang....
Siau-liong makin marah. Tetapi ketika memandang ke
muka, ia terkejut, “Celaka, mati aku sekarang!"
Ternyata dalam pandangannya, orang aneh itu telah pecah
menjadi empat orang yang berdiri diempat penjuru.
Tangannya yang merah, mengacung ke atas dalam sikap
hendak memukul.
Tetapi anak itu sudah bertekad mengadu jiwa.
Dihantamnya orang aneh itu. Hai.... ia ter-longong2.
Hampir ia tak percaya apa yang dilihatnya. Hantamannya
itu mengenai segunduk batu besar dan batu itu pecah
berantakan. Dan orang aneh itupun lenyap.

6
Sebelum tahu apa yang terjadi, tahu-tahu bahunya sebelah
kanan terasa panas sekali. Cepat ia mengendap lalu berputar
mundur ke belakang. Ah. kiranya orang aneh itu sudah berada
di belakang!
"Budak, engkau adalah calon setan. Kematianmu sudah
hampir tiba. Tetapi rupanya engkau masih penasaran kalau
belum mengadu pukulan!" seru orang aneh itu tertawa
menyeringai. Lalu pe-lahan2 ulurkan tangan kiri. Telapak
tangannya yang berwarna hitam, menimbulkan rasa ngeri.
Siau-liong menggigil. Tetapi Kenekatannya pun bangkit.
Dess.... ia menghantam. Tetapi pukulannya itu seperti jatuh
ke dalam laut. Hilang lenyap dayanya.
Siau-liong terkejut. Tiba-tiba setiup angin keras melanda
dirinya. Angin itu ternyata berasal-asal dari refleksi pukulannya
tadi. Uh, uh, uh.... mulutnya mendesus ketika tubuhnya,
terpental beberapa langkah ke belakang. "Bluk", ia jatuh
terduduk dan muntah darah.
Orang aneh itu tertawa mengukuk, “Budak, mengapa
engkau tak berguna sekali? Hayo, bangunlah!"
Siau-liong membulatkan tekad. Kalau mati, ia harus mati
secara kesatria. "Wut", sekali tangannya menekan tanah, ia
melenting ke udara. Hai.... ia merasa tentu menderita luka
tetapi mengapa sedikitpun tak merasa sakit?
Orang aneh itu maju menghampiri dan Siau-liong terpaksa
mundur. Tetapi saat itu ia sudah terdesak sampai di tepi
telaga yang terbentang di belakang lembah itu.
"LAUT PENASARAN"

7
Demikian bunyi tiga huruf yang terbentang di tepi telaga
itu. Siau-liong terbeliak kaget. Teringat ia akan kata-kata
orang aneh itu, “Laut Penasaran, sukar ditimbuni....”
"Adakah dia hendak lemparkan aku ke dalam telaga ini?"
pikirnya.
Orang aneh itu tertawa mengekeh, “Hai, budak, engkau
ingin mati atau tidak?"
Menyadari bahwa dirinya takkan terluput dari kematian,
semangat Siau-liong malah menyala. Dia tak takut mati.
Dengan berani ia menatap orang aneh itu, serunya, “Setan
tua, engkau ingin mati atau tidak?"
Jawaban Siau-liong itu membuat si orang aneh tertawa
gelak-gelak, “ Bagus, bagus, tepat sekali jawabanmu itu!"
Siau-liong terkesiap.
"Budak, engkau berbakat hebat sekali. Jika tidak. engkau
tentu sudah mampus termakan pukulanku tadi....” seru orang
aneh pula, "pukulanku Bu-kek-sin-kang tadi, mengandung
tenaga keras campur lunak. Jika engkau bukan seorang
perjaka tulen, jangan harap engkau mampu menerimanya!"
"Aku benci semua manusia di dunia!" seru orang itu lagi,
“tetapi hari ini aku benar-benar bingung. Betapapun halnya
engkau tak boleh merusak peraturan lembah ini. Ya, engkau
harus mati satu kali!"
Melihat sinar mata orang aneh itu agak ramah, nyali Siauliong
makin bertambah. Serunya, “Setan tua, aku benci
kepada orang yang telah membunuh ayahku! Katakanlah,
bukankah engkau juga harus ku benci "

8
"Jangan bermulut tajam!" hardik orang aneh itu, “kusuka
akan perangaimu yang baik. Engkau dengar tidak? Aku hanya
menyuruhmu mati satu kali saja!"
"Setan tua, masakan aku dapat mati beberapa kali?" teriak
Siau-liong.
"Bagus! Engkau memanggil aku setan tua dan kupanggilmu
budak kecil. Kita sama-sama tidak merugikan," kata orang
aneh itu, “budak kecil, sudah tentu orang hanya mati satu kali
saja."
"Sekali mati, habislah riwayatnya!" seru Siau-liong.
"Belum tentu," sahut si orang aneh, "mungkin masih
mempunyai kesempatan hidup lagi!"
"Aku tak mengerti ucapanmu." Siau-liong kurang senang.
Sejenak orang aneh itu merenung, lalu berkata, “Pertama,
engkau harus terjun ke dalam Laut Penasaran itu. Bukan
untuk menimbuni karena kupercaya engkau dapat muncul
kembali. Kedua, akan kuberimu ilmu pukulan Bu-kek-sin-kang.
Dan ketiga, engkau tak boleh menanyakan diriku siapa. Dan
jangan menceritakan diriku kepada siapapun juga, bahkan
kepada gurumu!"
"Locianpwe," karena melihat orangtua aneh itu ternyata
tidak buas, maka Siau-liongpun berganti dengan menyebut locianpwe,
"yang pertama aku dapat menerima. Tetapi yang
kedua, aku tak sanggup!"
Orang aneh itu kerutkan kening lalu tertawa lebar, “Hm,
sekarang engkau berganti nada. Memang tak salah
penilaianku bahwa engkau ini seorang anak muda yang
berguna. Kusenang akan kejujuranmu. Kutahu si tua Kongsun

9
itu gurumu. Maka engkau segan berguru pada lain orang.
Jangan kuatir, akupun tak ingin mengambil murid engkau.
Melainkan hendak memberimu sebuah ilmu pukulan sakti!"
"Tetapi itu berarti suatu ikatan guru dan murid. Ah, tak
mau!" Siau-liong menolak.
"Bagus, aku suka akan kekerasan kepalamu!" seru si orang
aneh, “aku sendiri seorang yang keras kepala. Sekarang
bertemu dengan seorang budak yang keras kepala. Apakah ini
bukan jodoh namanya."
Orang aneh itu sebenarnya seorang momok durjana yang
terkenal. Ia membunuh jiwa manusia seperti memitas
nyamuk-nyamuk saja. Tetapi anehnya, berhadapan dengan
seorang anak yang berani, cerdik dan berbakat bagus,
seketika timbullah rasa suka.
"Baiklah," katanya, “kita tinggalkan dulu syarat kedua itu.
Sekarang kita laksanakan syarat yang pertama!"
Entah bagaimana, Siau-liong berganti kesan kepada orang
aneh itu. Segera ia hendak membuka baju.
Tetapi orang aneh itu cepat mencegahnya, “Tunggu dulu
Akan kusaluri tenaga dalam dulu kepadamu. Jika tidak, jangan
harap engkau dapat muncul ke daratan lagi!"
"Tidak." Siau-liong menolak, “beritahukan saja apa yang
harus kulakukan dalam telaga itu. Segera aku hendak
mencebur kesana."
"Budak, engkau ingin mati tidak?" tegur orang aneh itu
dengan mata memberingas.

10
"Setan tua, engkau benar-benar menusuk perasaanku.
Lebih baik aku mati dari pada dihina."
"Jangan tergesa-gesa," kata orang aneh itu, "Laut itu
merupakan mulut sebuah gunung berapi yang sudah padam.
Lahar yang membeku selama ratusan tahun, telah
memancarkan sumber air yang luar biasa dinginnya. Orang
pasti kaku seketika apabila menyilam disitu.”
"Aku?"
"Banyak perjaka tetapi jarang yang tubuhnya mengandung
hawa Tun-yang seperti engkau. Bagimu, tidaklah sukar untuk
menghadapi tempat semacam itu. Tetapi dengan kepandaian
yang engkau miliki sekarang ini, jangan harap engkau mampu
ke dasar bumi untuk mengambil pusaka yang tak ada
tandingannya di dunia persilatan!"
"Pusaka?"
"Berpuluh tahun aku bersembunyi disini, hanyalah karena
hendak menunggu pusaka itu. Sejenis binatang bersisik, mirip
dengan Kilin (warak) dan naga. Aku sendiri belum jelas.
Binatang itu telah menerima sari sinar matahari dan rembulan,
ditambah pula dengan menghisap hawa Im dan Yang dalam
kerak bumi. Apabila muncul, binatang itu memancarkan sinar
pelangi yang menyilaukan, Tetapi dia gesit sekali hingga aku
selalu gagal menangkapnya!"
"Benarkah?" Siau-liong menegas.
"Benar! Apa engkau pernah melihat juga?"
"Sepuluh hari yang lalu, kulihatnya sinar kemilau itu
memancar dari kawah gunung!"

11
Orang aneh itu menghela napas, “Ah, saat itu dia terlalu
cepat sekali. Begitu muncul terus lenyap lagi. Ah, jika aku
berhasil memperoleh mustika dalam mulutnya, di dunia tentu
tiada yang dapat menandingi aku lagi. Akan kutumpas semua
manusia yang kubenci!"
"Ah, lebih baik kalau engkau jangan menemukannya!"
"Mengapa?" orang aneh itu heran.
"Aku tak mau mencarinya " sahut Siau-liong.
"Heh, engkau lupa?" orang aneh itu menggeram buas.
"Lupa apa?"
"Siapa masuk lembah ini harus mati!"
Siau-liong tertawa, “Sama sekali tidak lupa. Tetapi lebih
baik aku yang mati seorang daripada menelan banyak
korban."
"Engkau seorang budak kecil tetapi nyalimu besar sekali.
Baiklah. aku mengalah. Turunlah ke dalam laut itu. Berhasil
mendapatkan mustika itu atau tidak, aku takkan menyesalimu.
Nah, bagaimana?"
Siau-liong setuju. Orang aneh itu segera menyuruhnya
duduk bersila Kemudian ia lekatkan tangannya kepunggung
Siau-liong. Seketika itu Siau-liong rasakan sekujur tubuhnya
dijalari hawa hangat.
Makin lama makin panas sampai mandi keringat.
Tiba-tiba orang aneh itu menyepak pinggangnya. Huak....
Siau-liong muntah darah dan pingsan.

12
Orang aneh itu cepat mengurut dan menyalurkan hawa
murni ke tubuh Siau-liong. Lebih kurang sejam lamanya, baru
ia berhenti. Tubuhnya mandi keringat, napas terengah-engah.
Duduklah ia bersemedhi.
Ketika sadar, Siau-liong terkejut melihat keadaan orang
aneh itu. Tak lama kemudian orang aneh itupan membuka
mata. Ia tampak lelah.
"Seumur hidup, baru kali ini aku melakukan kebaikan. Sejak
saat ini, matipun aku takkan penasaran," ujar orang itu
pelahan.
"Cianpwe, engkau mengapa?" Siau-liong heran.
"Sekarang pergilah engkau mengambil mustika itu.
Walaupun berhasil mendapatkan, tetapi akupun bukan tokoh
yang tiada tandingannya di dunia "
Mendadak timbul rasa iba dihati Siau-liong. Serunya rawan,
“Cianpwe, apakah maksud ucapanmu itu?"
"Tadi telah kusalurkan hawa-sakti ke dalam tubuh sehingga
jalan-darah Tok-djinmu terbuka. Tak kepalang tanggung,
kuberimu ilmu sakti Bu-kek-sin-kang juga."
Siau-liong terbeliak kaget. Sesaat ia termenung-menung.
Baru saat itu ia menemukan peribadi yang sesungguhnya dari
orang aneh itu. Ternyata baik dan luhur budi. Serta-merta ia
berlutut memberi hormat, “Suhu, Siau-liong akan mencari
mustika itu."
Orang aneh itu mengangguk puas.

13
Siau-liong segera loncat ke dalam Laut Penasaran, "blung"
ia menggigil. Andaikata ia belum mendapat saluran tenagasakti
orang aneh itu, pasti ia akan mati kedinginan. Air dalam
telaga yang dinamakan Laut Penasaran itu, memang luar
biasa dinginnya.
Pertama-tama matanya tertumbuk akan suatu
pemandangan yang ngeri. Berpuluh tengkorak manusia
berserakan di dalam telaga.... Adakah mereka mati sendiri
atau dilempar kesitu oleh si orang aneh?
Telaga itu hanya dua tiga puluh tombak lebarnya. Tetapi
amat dalam sekali. Makin ke bawah, makin sempit, Kira-kira
100 tombak dalamnya, terdapat sebuah gua. Aneh! Gua itu
kering tiada airnya sama sekali....
Siau-liong menghampiri gua itu. Hawanya dingin sekali dan
terdapat penerangannya pula. Beberapa tumbuh-tumbuhan
terdapat hidup digua itu. Menilik susunannya. tentulah
ditanam orang. Jenis tanaman yang tumbuh disitu, jarang
terdapat di dunia. Daunnya ada yang biru ke-hijau2an seperti
batu kumala. Batangnya seperti jenggot naga dan bentuk
daunnya menyerupai ekor burung cenderawasih. Bunganya
seperti butir2 mutiara....
Tampak sebuah cekung berisi air jernih. Penuh dengan
benda-benda warna merah zamrud yang tak henti-hentinya
lalu lalang kian kemari.
Siau-liong teruskan langkah kemuka. Tak berapa jauh, ia
tiba disebuah gua lagi. ia makin terkejut. Dalam gua itu penuh
dengan lentera yang ber-gerak2 naik turun, mendekat dan
menjauh.
Siau-liong menyambar lentera yang kebetulan menghampiri
ke arahnya. Tetapi selalu luput.

14
Lentera-lentera itu bagaikan jinak-jinak merpati. Dihampiri,
menjauh. Dijauhi, mendekat....
Gua makin menanjak ke atas. Setelah berjalan agak lama,
ia memperhitungkan, tentu sudah berada diluar Lembah
Penasaran.
Tiba-tiba suasana terang benderang. Ia tiba di sebuah
ruangan yang terang. Begitu masuk ia terbeliak kaget. Di atas
sebuah ranjang batu duduk bersemedhi sesosok tengkorak.
Lehernya terlingkar seutas rantai perak dengan sebuah tongpay
(lencana) berukir tengkorak bersemedhi.
Pada dinding di belakang tengkorak itu terdapat empat
buah huruf:
Ilmu pukulan Thay-siang-ciang.
Dibawahnya tertera lima buah gurat2 lukisan. Kemudian
ditengah ruangan, tampak sebuah tambur batu yang besar.
Permukaan tambur batu penuh dengan guratan huruf yang
bersembunyi:
"Barang siapa masuk kemari, tanda berjodoh. Selain tongpay
dan ilmu pukulan Thay-siang ciang, pun di atas
permukaan batu ini tumbuh sebiji buah Im-yang-som. Dapat
menambah panjang umur dan tenaga-sakti. Buah itu tak boleh
dibiarkan sampai masak. Harus cepat dimakan. Dan hanya
diperuntukkan orang yang benar-benar berjodoh".
Terlintas dalam benak Siau-liong. Andaikata tak berhasil
memperoleh mustika. asal mendapat buah ajaib itu, iapun
dapat menolong memulihkan tenaga si orang aneh....

15
Tambur batu tak kurang dari seribu kati beratnya. Dengan
kerahkan tenaga, ia mendorong. Terdengar bunyi gemuruh
menggetarkan bumi dan tiba-tiba pintu gua itu tertutup rapat.
Ternyata tambur batu itu merupakan alat penutup dan
pembuka pintu gua.
Dibawah tambur terdapat pula beberapa tulisan:
"Pintu gua telah tertutup. Tetapi jangan takut. Gua ini
penuh persedian makanan. Yakinkanlah ilmu pukulan Thaysiang-
ciang sampai sempurna, tentu dapat membuka lantai
batu ini dan dapatkan buah Im-yang-som. Setelah makan,
tenagamu tentu bertambah sakti. Hancurkan pintu gua dan
engkau pasti akan menjagoi dunia"
Siau-liong gelisah sekali. Sampai beberapa lamakah ia
harus tinggal dalam gua situ? Tetapi apa daya. Satu-satunya
jalan, ia harus menurut apa yang tertera dalam tulisan itu.
360 hari lamanya, Siau-liong tinggal dalam gua. Tak
disangkanya bahwa walaupun hanya terdiri dari lima jurus,
tetapi ternyata ilmu pukulan Thay-siang-ciang itu memerlukan
waktu setahun untuk meyakinkan. Untung sebelumnya ia
sudah mendapat saluran tenaga sakti Bu-kek-sin-kang dari
orang aneh itu. Kalau tidak, entah berapa tahun lagi ia baru
berhasil mempelajarinya.
Kini ia meningkat 16 tahun umurnya. Bertubuh tinggi besar,
sehat dan kuat. Pada hari terakhir setelah mengerahkan
tenaga sakti Bu-kek-sin-kang, ia melenting dan lontarkan
pukulan Thay-lo-kim-kong. "Pyur", amblonglah lantai batu
yang menutupi buah ajaib itu.
Lubang dibawah lantai hanya beberapa meter dalamnya.
Tampak sebuah benda menyerupai pohon Sian-jin-ciang atau
Telapak Dewa. Daunnya hanya dua helai, berwarna biru

16
kehijau-hijauan. Pada batang pohon terdapat dua biji buah
sebesar telur burung. Satu merah, satu putih. Buah itu
memancarkan sinar gemilang dan bau yang harum sekali.
Buah yang merah mengandung tenaga Yang dan buah
yang putih tenaga Im. Hanya ditempat yang disaluri air pusar
bumi, barulah buah itu dapat tumbuh.
Segera dipetiknya terus dimakan. Seketika ia rasakan
tubuhnya hangat dan semangat segar. Kemudian ia duduk
bersemedhi menyalurkan darah.
Beberapa waktu kemudian, ia loncat bangun dan
menghantam pintu gua. Dar.... pintu jebol dan terbukalah
sebuah lubang. Girangnya bukan kepalang.
"Suhu!" serta-merta ia berlutut memberi hormat kepada
tengkorak yang duduk di ranjang batu itu.
Setelah itu baru ia menerobos keluar. Ia terkejut ketika
melihat seekor makhluk yang berkemilau dan menyiarkan bau
luar biasa wanginya.
Cepat ia memburu keluar. Seekor binatang yang agak lebih
kecil dari kuda, bersisik dan bertanduk satu, menyerupai
binatang Kilin, tengah muncul dan menyadap bulir-bulir
mutiara dalam air. "Wut".
Siau-liong cepat ayunkan tubuh kepunggung. Tetapi
binatang itupun luar biasa gesitnya. Secepat kilat binatang
itupun menyusup ke dalam pusar bumi....
Siau-liong terus mengejar sampai disebuah tempat yang
dindingnya gilang gemilang. Tetapi hampir setengah hari ia
ber-putar2 menjelajahi sekeliling tempat itu, tetap tak dapat
menemukan binatang aneh tadi.

17
Ia memutuskan harus dapat memperoleh binatang itu.
Kalau gagal, orang aneh yang telah melepas budi kepadanya
itu tentu tetap sengsara. Mati atau hidup, binatang itu harus
dapat ditangkapnya.
Dengan kerahkan tenaga ia mulai menghantam. Dinding
yang mengkilap macam es hancur berantakan, tetapi sebelum
ia memukul lagi, tiba-tiba binatang aneh itu muncul terus
menyerbunya. Siau-liong cepat menghindar seraya
menyambar tanduk binatang itu. Binatang itu berontak sekuatkuatnya.
Kedua kakinya melentik-lentik tubuh orang.
Terpaksa Siau-liong lepaskan tanduk dan berputar
menyambar ekor binatang itu. Tetapi sekali kibas, ekor itu
menghilang dan tahu2 binatang itu menyepakkan kaki ke
belakang kepunggung lawan.
Pertempuran seorang manusia dengan seekor binatang
aneh dalam kerak bumi, telah berlangsung seru sekali.
Binatang itu memiliki tanduk dan gigi yang runcing. Begitu
pula kaki dan ekornya. Merupakan senjata yang berbahaya.
Sekali kena, orang tentu hancur tubuhnya.
Tiba-tiba Siau-liong mendapat akal. Cara bertempur
semacam itu, tak mungkin ia dapat menundukkan lawan. Ia
berganti siasat.
Tiba-tiba ia menyelundup ke bawah perut binatang lalu
menjepit perut binatang itu dengan kedua kakinya. Binatang
itu terkejut dan meronta melepaskan diri. Tetapi tak mampu.
Akhirnya binatang itu gulinglan diri ke tanah.
Tetapi Siau-liong tak mau kalah pintar. Dengan gunakan
jurus Ikan-melenting-ke udara, ia melambung ke udara terus
hendak menginjak binatang itu. Tetapi ternyata binatang itu

18
luar biasa gesit dan cekatannya. Sesaat kemudian Siau-liong
lepaskan cekalannya, secepat itu pula ia menggeliat bangun
dan menyusup ke dalam ruang es....
Siau-liong mengejarnya. Lorong makin lama makin sulit
dilalui. Naik turun, berkeluk-keluk. Dan ketika ia hampir
berhasil menyusul, tiba-tiba binatang itu kibaskan ekor
menyabat dinding ruang.
“Pyur....!" dinding hancur dan Siau-liong terpaksa hentikan
larinya.
Tiba-tiba binatang itu mengangakan mulut Sebutir benda
merah meluncur keluar. Warnanya gilang gemilang indah
sekali!
Itulah mustika yang dikatakan si orang aneh tempo hari.
Siau-liong putar otak untuk merancang siasat. Tiba-tiba
serangkum angin panas dan mustika itu melayang ke arahnya.
Siau-liong menyongsong dengan jurus Thay-lo-kim-kang.
Hendak disambarnya mustika itu tetapi ternyata benda itu
seolah-olah mempunyai mata. Hantaman Siau-liong bahkan
menambah kedahsyatan mustika itu yang melaju pesat sekali
ke arah Siau-liong.
Siau-liong cepat mengganti dengan jadi pukulan. Setelah
mustika itu agak pelahan, ia loncat kesamping. "Bum....”
sebuah tiang ruangan hancur terkena pukuluan Siau-liong.
Langit ruangan berhamburan gugur dan binatang aneh itupun
loncat ke belakang.
Dan ketika Siau-liong menukik turun, mustika
menyambarnya lagi. Siau-liong menggeram dan
menamparnya. "Bum", mustika mengendap ke bawah
menghantam lantai. Lantai hancur berlubang dan mustika itu

19
membal ke atas dan melanda Siau-liong yang saat itu masih
berada di udara. Sudah tentu Siau-liong sukar menghindar.
Cepat ia menghantam dengan jurus ilmu pukulan Thay-siangciang.
Mustika itu jatuh membentur lantai lagi dan membal ke
atas lagi.
Celaka sekali binatang aneh itu. Karena mustika beberapa
kali kena hantaman Siau-liong, binatang itupun meringkikringkik
kesakitan. Cepat ia menyedot kembali mustikanya dan
menyelinap keluar.
Terjadi kejar mengejar yang tegang. Tetapi akhirnya Siauliong
ketinggalan berpuluh tombak dibelakang. Binatang aneh
itu lari ke Laut Penasaran.
"Blung....” baru Siau-liong muncul dipermukaan telaga,
sesosok tubuh meluncur jatuh ke dalam telaga.
Siau-liong terkejut karena air berobah merah warnanya. Ah,
tentu seorang persilatan dijadikan korban penimbunan Laut
Penasaran'
Tetapi Siau-liong tak dapat menghiraukan nasib orang itu
karena dari arah Lembah Penasaran terdengar jeritan seram.
Rupanya di Lembah Penasaran terdjadi pertempuran dahsyat.
"Blung"........ lagi sesosok tubuh terlempar jatuh ke dalam
laut. Mayatnya meluncur ke dasar air.
Setelah pandang matanya biasa mengadapi cahaya
matahari, barulah Siau-liong dapat melihat jelas.
Dalam lembah tampak tiga empat puluh jago2 silat tengah
mengepung binatang itu. Diantaranya terdapat paderi, imam
dan jago-jago silat. Mereka tengah bersiap menunggu

20
kesempatan untuk menyergap binatang aneh itu, Dua orang
yang tak dapat mengendalikan nafsu, segera loncat
menerjang. Tetapi binatang aneh itu segera merangsangnya
sehingga mereka terlempar ke dalam Laut Penasaran.
Binatang itu segera meliar di dalam lembah. Puluhan jago
silat itu tengah mengepung dengan senjata masing-masing.
Seluruh perhatian mereka tercurah pada binatang aneh itu
sehingga tak mengetahui kehadiran Siau-liong.
Tiba-tiba binatang itu lari ke dinding karang gunung.
Beberapa jago silat segera gunakan ilmu Cicak merayap atau
Pik-hou-kang. Punggung dilekatkan pada dinding karang lalu
meluncur ke atas dan taburkan senjata rahasia kemata
binatang aneh itu.
Tetapi binatang itu tak mengacuhkan. Semua senjata
rahasia, terpental dan jatuh ke dalam air. Dua orang yang
hebat ilmu meringankan tubuh atau ginkang, mereka
melambung ke udara dan coba membacok ekor binatang itu
Tetapi binatang itu teramat gesit. Sekali menggeliat ia dapat
lolos dari kepungan. Kedua jago silat yang loncat ke udara
untuk membacok ekor binatang itu. Tetapi luput....
Terpaksa mereka meluncur turun ke bumi lagi. Begitu tiba
di tanah, binatang aneh itu sudah menanduknya. "
"Blung....” salah seorang terpelanting jatuh ke dalam telaga
Penasaran lagi. Rupanya binatang itu masih belum puas. Ia
menyerang lagi pada seorang lain. Siau-liong cepat loncat dari
permukaan air seraya menghantam. Karena pernah
dikalahkan, rupanya binatang itu jeri. Ia hendak melarikan diri
tetapi kalah cepat dengan Siau-liong yang sudah loncat di
punggungnya dan memeluknya erat-erat.

21
Gemparlah tokoh2 yang berada dalam lembah situ. Mereka
mengira kalau siluman air, tetapi ternyata hanya seorang
pemuda.
Mereka datang ke Lembah Penasaran, bukan
berombongan, melainkan perseorangan dan tak kenal satu
sama lain. Mereka datang untuk memburu binatang aneh yang
memiliki mustika.
Melihat Siau-liong menguasai binatang itu, timbullah
kekuatiran mereka. Pemuda itu harus dihancurkan!
Delapan jago silat segera menyerbu Siau-liong dengan
senjata dan pukulan. Karena sedang memeluk binatang itu,
terpaksa Siau-liong harus menderita luka2 berdarah akibat
serangan itu. Anehnya, binatang itu mempunyai perasaan
kasihan terhadap Siau-liong. Tak mau ia meronta.
Siau-liong mengira kedelapan penyerangnya itu tentu salah
turun tangan. Yang di arah si binatang tetapi mengenai
dirinya. Maka ia memberi isyarat agar mereka berhati-hati
jangan sampai menyerang dirinya lagi.
Sudah tentu mereka tak mau menghiraukan. Bagaikan
delapan ekor harimau, mereka menyerang Siau-liong.
"Wut....” tiba-tiba binatang aneh itu sapukan ekornya
sehingga beberapa penyerang itu loncat mundur.
Masih ada beberapa orang yang berhasil menyusup, dapat
memberi beberapa tusukan kepada Siau-liong.
Darah makin deras, sakitnya bukan kepalang.
Namun ia seorang anak yang keras hati. Bukan melepaskan
sebaliknya ia malah memeluk tubuh binatang itu makin

22
kencang. Mulutnya menggigit tanduk. Rupanya binatang itu
marah. Ia hendak membela Siau-liong. Dengan beringas,
diterjangnya kawanan penyerangnya itu.
Siau-liong marah juga. Ia kerahkan tenaga-sakti Bu-keksin-
kang. Begitu mengangkat tangan telapaknya yang
berwarna merah. Seketika menjeritlah sekalian jago2 itu, “Bukek-
sin-kang! Bu-kek-sin-kang....”
Siau-liong terkejut sendiri. Ia tak menduga kalau
pukulannya begitu dahsyat. Sembilan sosok tubuh kecemplung
ke dalam telaga!
Siau-liong kesima. Bukankah ketika bertempur dengan
binatang aneh tadi, ia belum memiliki pukulan sedahsyat itu?
Memang hal itu terjadi diluar pengetahuannya. Ketika
menghadapi serbuan jago-jago silat tadi, ia terpaksa
menelungkup memeluk binatang itu erat-erat. Untuk menjaga
keseimbangan tubuh, mulutnya menggigit tanduk binatang itu.
Tanpa disadari, ia telah menghisap darah kepala binatang itu.
Darah itu disebut Ceng-hiat. Merupakan obat luar biasa
yang terdapat di dunia. Khasiatnya dapat menambah tenagadalam.
Setelah sekalian penyerangnya lari, Siau-liong teringat
sesuatu. Cepat2 ia meluncur turun dari punggung binatang
itu. Binatang aneh itupun segera meluncur ke dalam Laut
Penasaran lagi.
Kiranya Siau-liong teringat akan Koay suhu atau orang
aneh yang secara tak resmi telah menjadi gurunya. Ia
bergegas lari ke gua tempat kediaman orang aneh itu.

23
Tetapi ketika melintasi gunduk2 batu yang bertebaran di
halaman gua, ia terkejut menyaksikan pemandangan yang
mengerikan. Batu-batu berlumuran darah, disana-sini
bertebaran kerat2 kecil daging manusia dan sesosok tubuh
membujur di atas tanah....
"Suhu!" Siau-liong menjerit serentak. Ia bersimpuh
dihadapan mayat itu yang ternyata memang si orang aneh
yang disebut Siau-liong sebagai Koay suhu.
Siau-liong menangis tersedu-sedu. Hatinya pilu sekali. Jika
Koay suhu tak menyalurkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang
kepadanya, dia tentu tak sampai kehabisan tenaga dan musuh
tentu tak mungkin dapat membunuhnya. Dengan demikian
walaupun dia yang bukan turun tangan membunuh tetapi
secara tak langsung, dialah yang menyebabkan kematian
orang aneh itu.
Puas menangis, Siau-liong memeriksa keadaan mayat Koay
suhu. Pada bagian dadanya hancur, berlubang besar sampai
kepunggung.
Hanya pukulan sakti atau cengkeraman maut Ngo-ci-tongjoang
yang mampu meninggalkan luka semacam itu!
"Hm, sudah mengasingkan diri dalam gua yang terpencil
seperti ini, ternyata orang masih mengejar dan membunuhnya
secara ganas. Sungguh tak dapat dimaafkan perbuatan itu,
Siau-liong menggeram. Dan rasa sesalnya karena membunuh
beberapa orang tadi lenyap seketika.
Ia mengubur jenazah Koay suhu baik2. Setelah memberi
hormat terakhir dihadapan kuburan Koay suhu, ia ayunkan
langkah dengan tekad yang bulat. Ia pasti akan menuntut
balas atas kematian Koay suhu.

24
Lebih dulu ia menuju kegua kediaman Koay suhu untuk
mengemasi barang2 peninggalan suhu itu.
Di atas tempat tidur batu, terdapat dua buah topeng
terbuat daripada kulit manusia. Ketika hendak mengambilnya,
tiba-tiba ia melihat pada kedua samping dinding, terdapat
beberapa guratan huruf yang berbunyi, “Anak! Seumur hidup
baru satu kali ini aku melakukan kebaikan menurunkan tenaga
sakti Bu-kek-sin-kang kepadamu. Tetapipun juga
mencelakakan dirimu. Karena engkau tentu takkan kembali
lagi. Adakah memang Tuhan tak mengijinkan aku berbuat
kebaikan....? Nak, kulihat wajahmu bukan orang yang
bernasib malang. Tetapi, ah, hampir setahun kuhanya
kutunggu, mayatmu tak terapung dipermukaan air. Tetapi
kutetap percaya engkau takkan mati. Dalam beberapa hari ini
sudah mondar-mandir disekeliling tempat ini. Maut rupanya
sudah menjenguk di guaku....”
Kemudian Siau-liong membaca tulisan didinding sebelah
kiri, “Nak, aku mempunyai firasat bahwa kematianku sudah
datang. Jika aku mati, engkau harus melakukan tiga buah
pesanku ini:
Pertama: jangan mengatakan tentang diriku kepada
siapapun juga. Dan engkau pun telah menyanggupi.
Kedua: Bunuhlah semua orang yang kubenci dan engkau
benci!
Ketiga: Besok tahun muka pada malam Tiong-Chiu,
pergilah ke-gunung Bu-san, mewakili aku dalam pertempuran.
Si tua Kongsun beberapa kali tampak dipuncak gunung,
rupanya dia mencarimu....”
Sampai disitu, tulisan tak lanjut. Rupanya musuh sudah
datang dan orang aneh itu terpaksa harus hentikan tulisannya.
Berderai-derai air mata Siau-liong membanjir karena
mengenang budi orang aneh itu. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh

25
suara letupan dahsyat. Lembah terasa tergelar keras. Siauliong
terkejut sekali ketika memandang keluar gua. Lembah
telah berobah menjadi lautan api. Ledakan dahsyat susul
menyusul memekakkan telinga.
Segera ia lari keluar. Ternyata tokoh persilatan yang gagal
menangkap binatang aneh tadi telah menumpahkan
kemarahannya. Dari puncak lembah mereka lontarkan
potongan batang pohon untuk umpan api. Potongan kayu itu
makin lama makin dekat pada gua.
Siau-liong terkejut jika mulut gua sampai tertutup api, tak
mungkin ia dapat keluar lagi. Cepat ia bertindak. Menyambar
sehelai baju peninggalan Koay suhu, ia terus menerjang
keluar. Sekali loncat ia hinggap pada sebatang pohon. Dengan
baju, ia menghalau api. Kemudian ia melayang ke atas sebuah
cekung karang lalu untuk yang terakhir kalinya, ia melayang
kepuncak lembah....
Jago2 persilatan yang berada di atas puncak lembah,
terkejut melihat anak itu dapat menerobos dari lautan api.
Mereka hentikan lontaran kayu dan berganti menghujani anak
itu dan senjata rahasia.
Siau-liong sedang melayang ke atas. Tak mungkin ia dapat
menghindari serangan itu. Dalam gugupnya ia putar baju Koysuhu
laksana kitiran. Diluar dugaan, putaran baju itu
menimbulkan tenaga yang dapat menampar jatuh ber-puluh2
buah senjata rahasia.
Ia marah sekali kepada mereka. Selekas kakinya menginjak
tepi puncak, ia lemparkan baju dan lontarkan sebuah pukulan
yang dilambari tenaga sakti Bu-kek-sin-kang.
Melihat telapak tangan anak itu merah membara, sekalian
orang menjerit kaget dan lari tunggang langgang. Enam orang

26
yang terlambat lari, menjerit ngeri dan rubuh tak bernyawa.
Sisanya lari ke dalam hutan.
Siau-liong menanggalkan kedok muka. Ia menghela napas.
Ia menyesal telah membunuh orang. Tetapi ia tak dapat
berbuat lain karena kemarahannya atas tindakan tokoh-tokoh
persilatan yang begitu ganas.
Setelah beberapa saat termenung-menung, akhirnya ia
pulang ketempat kediamannya. Hampir setahun, ia tak
berjumpa dengan Kongsun Sin-tho. Ia merasa rindu kepada
suhunya itu.
"Suhu!" serta-merta ia karena tak mengindahkan berseru
penuh rasa menyesal nasihat suhunya supaya jangan berjalan2
ke belakang gunung.
Tetapi alangkah kejutnya ketika didapatinya gua itu
kosong. Masih ada menyangka tentulah suhunya sedang
keluar untuk mencarinya. Tiba-tiba ia melihat beberapa
guratan huruf pada dinding gua.
Jelas itu tulisan suhunya yang berbunyi, “Liong-ji, aku
sudah pulang beberapa bulan. Sia-sia kucarimu ke-mana2.
Lebih cemas pula hatiku karena dewasa ini dunia persilatan
telah timbul desas-desus bahwa ibumu telah muncul kembali.
Dunia persilatan terancam pertumpahan darah lagi.
Kuputuskan turun gunung mencarimu, sekalian untuk mencari
ibumu. Berhasil atau tidak, setengah tahun kemudian aku
pasti kembali kesini"
Dari tanggal yang tertera dibawahnya, jelas bahwa
kepergian Kongsun sin-to itu baru lebih 10 hari yang lalu.
Siau-liong berkemas-kemas untuk mencari suhunya.

27
Keesokan harinya, ia menuju kemakam ayahnya untuk
minta diri. Tengah ia berlutut mengucapkan doa, tiba-tiba
didengarnya suara orang berbicara. Gunung Hong-san jarang
dikunjungi orang. Dan peristiwa berdarah kemarin,
menyebabkan Siau-liong harus berhati-hati terhadap orang.
Cepat ia menyembunyikan diri.
Tak berapa lama muncullah empat orang tua dari dalam
hutan. Salah seorang berkata, “Menurut pendapat kalian, yang
manakah sesungguhnya Bu-tek Gong-mo itu? Lelaki tua yang
dibunuh Soh-beng-kiu-su atau orang yang muncul dari Laut
Penasaran?"
Mendengar itu, Siau-liong hampir menjerit. Kiranya orang
aneh yang menurunkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang itu
adalah BU-KEK-GONG-MO atau pendekar LAKNAT yang
termasyhur. Dan yang membunuhnya adalah Soh-beng Ki-su.'
"Mungkin kedua-duanya, mungkin bukan semua," sahut
kawannya.
"Maksudmu?" orang pertama yang bicara itu menegas.
"Memang lelaki tua yang dibunuh itu mirip dengan
Pendekar Laknat. Tetapi anehnya dia tak memiliki ilmu sakti
Bu-kek-sin-kang. Sedang yang muncul dari dalam laut itu,
gerak-geriknya tidak menyerupai Pendekar Laknat tetapi dapat
melepaskan pukulan Bu-kek-sin-kang. Maka kesimpulanku,
keduanya mungkin Pendekar Laknat tetapi mungkin bukan
semua," jawab orang yang kedua.
Dari pembicaraan itu dapatlah Siau-liong menarik
kesimpulan bahwa tokoh-tokoh yang datang ke Lembah
Penasaran itu belum tahu pasti tentang mati-hidupnya
Pendekar Laknat.

28
Mengintai dari cela2 tempat persembunyiannya, Siau-liong
terperanjat. Keempat orang tua itu tengah berdiri tegak
dihadapan makam ayahnya.
"Uh, mengapa mereka tegak didepan makam ayah? Apakah
mereka itu sahabat2 ayah?" tanya Siau-liong dalam hati.
Dugaan anak itu memang tepat. Keempat lelaki tua itu
memang paman guru dari Tong Gun-liong, ayah Siau-liong.
Yang paling tua bergelar Tang Siau-seng. Kedua, Se Ki-su.
Ketiga, Lam Kek-ong. Mereka dikenal sebagai Kong-tong Su-lo
atau empat tokoh tua dari partay Kong-tong-pay.
Mereka tegak berdiri dimakam Tong Gun-liong dengan
dengan penuh pertanyaan. Mengapa Tong Gun-liong, murid
kemenakan mereka mati. Siapakah pembunuhnya dan siapa
pulalah yang membuatkan batu nisan disitu? Apakah Siauliong,
putera Tong Gun-liong itu, masih hidup?
Isteri Tong Gun-liong yang bergelar Coa-sik Se-si atau
sicantik Se-si yang berbisa, muncul kembali di dunia
persilatan. Apabila wanita itu mengetahui suaminya telah
dibunuh orang dan dikubur dipuncak Hong-san, tentulah ia
akan makin mendendam kepada partay Kong-tong-pay.
Tiba-tiba keempat jago tua itu berpaling dan tersiraplah
darah mereka seketika. Beberapa langkah di belakang mereka,
tegak seorang tua yang berwajah buruk amat menyeramkan
sekali. Rambutnya memanjang sampai kebahu. Sepasang alis
menggumpal lebat sekali. Hidung merah, sepasang matanya
menonjol keluar. Mulut merekah darah. Berpakaian jubah
berlengan besar yang compang-camping.

29
Walaupun hanya setombak di belakang keempat jago2 tua
itu, namun mereka sama sekali tak mengetahui kedatangan
orang aneh itu. Inilah yang mengejutkan Kong-tong Su-lo!
"Siapakah nama tuan-tuan!" tiba-tiba orang berwajah buruk
itu sambil memberi hormat.
Tokoh kesatu dari Kong-tong-pay, Tang Siau-seng sejenak
berusaha menenangkan diri lalu menyahut dengan tertawa
nyaring, “Kami yang rendah Kong-tong Su-lo dan siapakah
tuan ini?"
Tubuh orang berwajah buruk itu menggigil. Kedua tangan
yang diangkat untuk memberi hormat tadi, dilepaskan ke
bawah. Seketika serangkum angin tajam menyambar keempat
jago Kong-tong.
Kong-tong Su-lo terkejut melihat orang berwajah buruk itu
bersikap bermusuhan. Mereka siap sedia untuk beramai-ramai
menghadapinya. Tiba-tiba kepalan tangan orang yang
berwajah buruk yang sudah siap dilontarkan itu ditarik
kembali. Berputar tubuh ia meraung-raung dan lari menuruni
gunung!
Keempat Kong-tong Su-lo terkejut heran. Siapakah
gerangan orang berwajah buruk itu? Mengapa orang aneh itu
hendak menerjang mereka?
Tak mungkin keempat jago tua itu tak mampu mengetahui
rahasia orang aneh itu. Karena setitikpun mereka tentu tak
menyangka bahwa orang berwajah buruk itu ternyata hanya
seorang bocah yang baru berumur 15 tahun. Ya, memang
benar. Siau-lionglah yang menyaru sebagai orang tua
berwajah seram itu....

30
Karena melihat keempat orang tua itu lama sekali tegak
dihadapan makam ayahnya, Siau-liong ingin tahu siapakah
mereka itu. Ia segera mengenakan kedok dan pakaian
peninggalan Koay-suhunya lalu melangkah keluar.
Dikala mendapat jawaban bahwa mereka adalah Kong-tong
Su-lo, seketika meluaplah amarah Siau-liong.
Sedianya ia sudah mengerahkan tenaga-sakti Bu-kek-sinkang
hendak menghabiskan mereka. Tetapi tiba-tiba matanya
tertumbuk pada gunduk tanah makam ayahnya.... Seketika ia
teringat akan pesan ayahnya yang disampaikan oleh Kong-sun
Sin-tho. Terpaksa ia batalkan pukulannya. Untuk
melampiaskan nafsu kemarahan yang telah membakar rongga
dadanya, ia meraung-raung lari menuruni gunung.... :
Mengapa ayahnya melarang ia menuntut balas kepada
musuh yang telah membinasakanya? Tentu tersembunyi suatu
rahasia dibalik larangan ayahnya itu. Ia memutuskan untuk
turun gunung dan mengembara di dunia persilatan. Ia hendak
mencari ibunya. Ia hendak meminta penjelasan kepada
ibunya. Iapun hendak mencari Kong-tong Sin-tho, guru
berbudi yang telah merawat dan mendidiknya selama belasan
tahun.
Ya, hanya dengan demikian baru ia dapat memecahkan
rasa dendam kegelisahan yang selalu mencengkam hatinya.
---ooo0dw0ooo---
GUNUNG HONGSAN terletak dihulu sungai Kim-set-kiang.
Ombak sungai itu deras sekali sehingga tiada tukang perahu
yang berani mengusahakan penyeberangan. Maka daerah
perairan disitu jarang dikunjungi orang.

31
Berhari-hari Siau-liong menyusur tepi sungai. Jika lelah ia
duduk di tepi sungai. Dikala ter-menung2 memandang deras
arus sungai, pikirannya melayang. Ia teringat akan nasibnya,
terkenang akan kehidupan manusia. Kehidupan tak ubah
seperti arus sungai. Mengalir, terus mengalir tanpa
mengetahui apa yang akan dihadapinya....
Apabila tiba pada lamunan itu maka berkesanlah ia pada
suatu kesimpulan. Tanpa rintangan, air takkan mengerahkan
kekuatannya. Tanpa aral rintangan, manusia takkan kuat lahirbatinnya.
Kesimpulan itu merupakan pelajaran berharga bagi Siauliong.
Tiba-tiba ia mendengar derap kaki orang. Kemudian
sesosok tubuh yang roboh ke tanah dan suara erang
kesakilan. Datangnya dari dalam hutan tak jauh dari
tempatnya. Cepat-cepat ia loncat bangun dan lari ke dalam
hutan itu.
Tak berapa lama ia melihat seorang gadis menggeletak di
tanah. Disisinya terdapat sebilah pedang, Siau-liong cepat
menghampiri. Baru saja ia menjemput pedang dan
mengangkat tubuh gadis itu, tiba-tiba terdengar derap kaki
orang berlari menghampiri. Ia duga mereka tentulah musuhmusuh
yang hendak mengejar gadis itu. Tanpa ayal, ia
membawa lari gadis itu.
Kira-kira sepuluh li jauhnya, ia melihat sebuah biara kecil.
Gadis itu pucat wajahnya dan pejamkan mata. Siau-liong tahu
bahwa ia tentu menderita luka berat. Harus ditolong
secepatnya. Cepat-cepat ia lari kebiara kecil itu.
Ruang depan biara sempit sekali. Terpaksa Siau-liong
menuju keruang belakang. Tetapi disitu pun tak cukup untuk

32
tempat orang dua. Apa boleh buat, Siau liohg letakkan gadis
itu dipangkuannya.
Selama ikut pada Kong-sun Sin-tho, selain ilmu silat....
Siau-liong pun mendapat pelajaran tentang ilmu pengobatan.
Menurut pemeriksaannya, jalan darah gadis itu sudah tak
normal lagi. Ia membekal pil mujarab tetapi ia kuatir pil itu tak
dapat menyembuhkan si nona. Jalan satu-satunya untuk
menyembuhkan nona itu. Penyaluran itu harus dilakukan
empat kali. Setiap kali memerlukan waktu empat jam. Selama
pengobatan berlangsung, tak boleh diganggu orang. Sedikit
saja terganggu, nona itu pasti akan cacad seumur hidup.
Bahkan bisa juga, keduanya mati semua!
Demi menolong jiwa nona itu, Siau-Iiong tak menghiraukan
segala resiko. Ia mengambil 9 butir pil, disusupkan kemulut si
nona. Karena mulut nona itu terkancing, terpaksa Siau-liong
tempelkan bibirnya kemulut si nona lalu meniup pil itu.
Setelah berhasil memasukkan pil kemulut si nona, Siauliong
mulai mengurut seluruh jalan darah ditubuh si nona.
Untunglah dalam usianya yang sudah menjenjang kedewasaan
itu, Siau-liong belum mengerti tentang hubungan wanita dan
pria. Pokok, ia sungguh-sungguh dan wajar.
Tak berapa lama, nona itu sadar. Ia menggeliat dan
merintih pelahan.
"Jangan takut, harap nona kerahkan semangat, Kubantu
mengobati luka nona," buru-buru Siau-liong memberi
penjelasan.
Saat itu si nona masih letih sekali. Ia tak dapat bicara
melainkan mendengus. Dan Siau-liong segera lekatkan kedua
tangannya pada perut nona itu. Ia mulai menyalurkan tenaga
murni ke tubuh nona itu.

33
Karena peredaran darah nona itu tidak normal, maka Siauliong
harus bekerja keras. Dua jam lamanya, baru ia berhasil
dapat menggabungkan darah nona itu dengan tenaga
murninya dan berhasillah ia mengembalikan peredaran darah
si nona.
Tiba-tiba nona itu menjerit, suatu tanda bahwa
perasaannya sudah hidup kembali. Siau-liong makin
memperkeras penyalurannya. Dua jam lagi barulah ia hentikan
penyaluran. Saat itu hari mulai petang. Keadaan si nona
bertambah baik.
"Siapakah nama nona yang mulia?" kini Siau-liong mulai
mengajak bicara.
Dengan suara lemah, nona itu menyahut, “Namaku Tiau
Bok-kun, tuan siapa....”
Siau-liong menyadari bahwa kini ibunya sudah muncul
kembali di dunia persilatan. Jika ia memberitahukan namanya
yang asli, dikuatirkan kesulitan yang tak diinginkan. Maka ia
menjawab sekenanya, “Namaku Kongsun Liong, panggil saja
aku Siau-liong?"
Dikala mereka asyik bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar
derap langkah orang berhenti dimuka biara. Siau-liong
terkejut.... Ia memandang kepintu dengan penuh perhatian.
Tak berapa lama, muncullah lima orang tua. yang empat,
Siau-liong mengenali sebagai Kong-tong Su-lo. Tetapi yang
seorang, ia tak tahu.
Rupanya kelima orang itu habis melakukan pertempuran
seru. Napas mereka terengah-engah, dahinya penuh keringat.
Begitu masuk, mereka terus duduk bersemedhi. Rupanya

34
mereka hendak memulangkan tenaga untuk menghadapi
musuh lagi. Saat itu hari makin malam. Siau-liong terkejut.
Didapatinya peredaran darah nona itu yang sudah mulai
berjalan normal. Tentulah nona itu terganggu pikirannya
karena kedatangar kelima orang itu. Apabila dibiarkan jiwa
nona itu pasti terancam. Buru-buru Siau-liong memberi isyarat
supaya nona itu tenangkan pikiran. Sedang iapun segera
menyalurkan tenaga murni lagi.
Sejam kemudian, kelima orang tua itupun membuka mata.
Dalam ruang yang gelap, tampak sinar mata mereka itu
memancar tajam sekali.
"Suheng, Tang Gun-liong yang terlempar ke dalam lembah
Hok-liong-koh, tentu mati atau terluka berat. Tetapi entah
siapa yang menolongnya dan membawanya kegunung Hongsan.
Kini dia telah meninggal dan dikubur dipuncak Hong-san
dan Siau-liong anaknya itu, entah berada dimana," kata Tang
Siu-seng, jago kesatu dari Kong-tong Su-lo.
Orang tua kelima yang tak dikenal Siau-liong itu,
kedengaran menjawab, “Kalau Gun-liong sudah mati, anaknya
tentu sudah mati juga."
Karena Tang Siu-seng memanggil orang itu dengan
sebutan suheng, Siau-liong menduga orang itu tentulah suhu
dari ayahnya yang bernama Toh Hun-ki gelar Kian-thian-ihsoh!
Dari nadanya, jelas bahwa Kian-thian-ih-soh Toh Hun-ki
sama sekali tak berduka atas kematian Tang Gun-liong dan
lenyapnya Siau-liong. Padahal Tang Gun-liong adalah murid
pewarisnya. Seharusnya Toh Hun-ki menyelidiki atau
sekurang-kurangnya berduka atas kematian sang murid.

35
Sesungguhnya Toh Hun ki bukan jahat. Adalah karena ia
fanatik sekali terhadap gengsi maka ia meminta kematian
Tang Gun-liong dan melukai isteri muridnya itu.
Kong-tong-pay termasuk salah sebuah partai persilatan
yang besar. Tyoa-sek Se-si Ki Ih, isteri Tang Gun-liong itu,
berasal dari seberang laut. Wanita itu gemar membunuh
sehingga menimbulkan bentrokan dengan partai-partai
persilatan lain. Dan sebelum resmi menikah dengan Tang
Gun-liong, ia sudah melahirkan anak. Sebagai ketua Kongtong-
pay, Toh Hun-ki malu terhadap perbuatan muridnya.
Terpaksa ia membunuh Tang Gun-liong dan melukai isterinya.
Siapa tahu, tindakan itu telah menimbulkan salah faham
besar.
Karena tak tahu persoalannya, sudah tentu Siau-liong
mendendam sekali atas kematian ayahnya, Tetapi karena
ayahnya telah memesan supaya ia jangan menuntut balas,
Siau-liong tak mau meminta bertanggungan jawab partai
Kong-tong-pay.
Selang dua jam lamanya, Siau-liong hentikan penyaluran
tenaga dalam. Ia menduga nona Tiau Bok-kun itu tentu
hendak dibunuh Toh Hun-ki dan Su-lo dari Kong tong-pay.
Ia tak tahu apa persoalannya tetapi yang jelas tokoh-tokoh
Kong-tong-pay itu bertindak kejam terhadap seorang nona.
Seketika meluaplah kemarahan Siau-liong terhadap partai itu.
Hutang jiwa, bayar jiwa. Demikian ketetapan hatinya. Tetapi
karena amarahnya meluap. darahnya bergolak keras. Maka
sampai beberapa saat ia belum dapat melanjutkan
pengobatannya kepada nona itu.
Memandang kepintu muka, Siau-liong terkesiap kaget.
Entah kapan, tahu-tahu diambang pintu muncul seorang lelaki
bertubuh kurus kering. Raut wajahnya seperti muka kuda,

36
memelihara kuncir. Pakaiannya mirip paderi bukan paderi,
orang biasa bukan orang biasa. Punggungnya menyanggul
sebuah senjata.
"Ho, ho," orang itu tertawa meloroh, “Toh tua, lekas
serahkan barang yang hendak engkau jual itu. Ingat dibawah
tangan Ki-su tiada makhluk yang bernyawa lagi!"
Kian-thian-it-soh Toh Hun-ki tetap duduk tenang.
"Setan tua, bukankah engkau Soh-beng Ki-su? Kalau
engkau menghendaki jiwa, disini tersedia lima lembar. Tetapi
kalau menginginkan barang penjualan, jangan mimpi!"
Soh-beng Ki-su atau Pertapa pencabut nyawa tertawa
kering, “Jika tak mengingat engkau seorang ketua partai
persilatan, tentu sudah kucabut nyawamu. Kalau tak mau
menyerahkan barang itu, jangan salahkan aku seorang
ganas!"
Soh-beng Ki-su inilah yang telah membunuh Koay suhu
atau Bu-kek-gong-mo. Siau-liong hendak menerjang keluar
dan menghajar orang itu. Tetapi karena ia sedang
menenangkan darahnya yang bergolak, terpaksa ia tahan
sabar.
Toh Hun-ki keempat Su-lo serempak bersiap-siap. Mereka
merencanakan barisan Ngo-heng-tin untuk menghadapi tokoh
ganas itu.
Ngo-heng-tin, merupakan barisan yang rapat ketat, dahsyat
dan sukar diduga gerak perobahannya. Di dalam menyerang,
pun menjaga. Dalam bertahan, juga menyerang.
Tetapi Toh Hun-ki dan keempat Su-lo bergerak, Soh-beng
Ki-su sudah mendahului melesat dan mencengkeram Toh HunTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
37
ki. Tetapi diapun kenal akan kehebatan barisan itu. Tiba-tiba
cengkeramannya ditarik tengah jalan karena dia harus
melindungi diri dari serangan kelima musuh, Dengan
demikian, pertempuran berjalan seru dan dahsyat. Biara kecil
itu seolah-olah tergetar karena angin pukulan mereka.
Siau-liong terkejut ketika Tiau Bok-kun terdengar
mengerang. Cepat-cepat didekapnya mulut si nona itu. Tetapi
terlambat. Tokoh-tokoh yang bertempur telah mendengarnya.
Soh-beng Ki-su loncat keluar dari kepungan, Ia tertawa
aneh, “Bagus Budak perempuan itu ternyata berada disini. Jika
kalian tetap tak mau menyerahkan, tentu dia segera kubunuh.
Mendapat separoh dulu, baru kita bicara lagi."
Dengan menggerung keras, kelima tokoh Kong-tong-pay itu
loncat berbaris dimuka biara, menghadang Soh-beng Ki-su.
Tetapi dengan bertempur cara berhadap-hadapan itu, posisi
kelima tokoh Kong-tong-pay itu lebih tak menguntungkan.
Soh-beng Ki-su perdengarkan ketawanya yang mirip
dengan burung hantu merintih-rintih ditengah malam. Tibatiba
ia mengangkat kedua tinjunya. Tulang-tulang jarinya yang
panjang runcing, mirip dengan cakar burung garuda. Sesaat
terdengar suara mendesis-desis. Jari-jarinya seperti
mengeluarkan asap dingin. Ternyata tokoh aneh itu telah
mengerahkan ilmu tenaga dalam Pek-kut-kang. Secepat kilat
ia menghantam kelima musuhnya.
"Dess....” kelima tokoh Kong-tong-pay serempak memukul
untuk menangkis. Terjadi benturan tenaga dalam dan hasilnya
segera dapat diketahui siapa yang lebih unggul. Soh-beng Kisu
tetap tenang tetapi kelima jago Kong-tong-pay itu
mengerang tertahan. Jelas mereka menderita tekanan yang
hebat.

38
Tring, tring.... terdengar senjata berdering-dering. Kelima
jago Kong-tong-pay telah mencabut pedangnya.
"Bagus, bagus, hayo majulah semua!" Soh-beng Ki-su
tertawa meringkik. Iapun mencabut senjata yang berada
dipunggung. Orangnya aneh, senjatapun aneh. Mirip dengan
cempuling, mirip pula dengan pisau terbang. Sekali
dikibaskan, senjata meluncur ke udara. Dan sekali tangannya
mengacung, senjata itupun meluncur kembali ke dalam
tangannya. Pertempuran dengan senjata segera berlangsung
seru. Untung mereka bertempur diluar, andaikata di dalam
tentulah biara kecil itu akan ambruk.
Saat itu hari mulai terang tanah. Karena sudah dua jam,
Siau-liong hentikan penyaluran tenaga dalamnya. Ia menghela
napas panjang Keadaan Tiau Bok-kun sudah banyak
kemajuan. Ia hendak mengangkat kepala tetapi Siau-liong
mencegahnya dan minta nona itu beristirahat lagi.
"Toh tua, diruang depan ini sempit sekali. Hayo kita
bertempur diluar saja.... Jika kalian menang, budak
perempuan itu boleh kalian ambil separoh. Tetapi kalau kalah,
hm, hm, lima lembar jiwamu pun menjadi milikku!" seru Sohbeng
Ki-su.
Kelima tokoh-tokoh Kong-tong-pay itu segera mengikuti
Soh-beng Ki-su keluar.
Karena masih memerlukan empat jam lagi, maka Siau-liong
segera mulai menyalurkan tenaga dalam lagi. Karena sudah
dapat menerima penyaluran, Tiau Bok-kun pun segera
menyalurkannnya keseluruh tubuh. Dari sinar matahari yang
menyusup dicelah-celah dinding. barulah Siau-liong melihat
jelas muka gadis itu. Seorang nona yang memiliki wajah cantik
dan riang.

39
Tiau Bok-kunpun sempat juga untuk memandang
penolongnya. Seorang pemuda yang gagah dan jujur. Tibatiba
sepasang pipi gadis itu kemerah-merahan dan cepat
palingkan muka.
"In-jin." beberapa saat kemudian Tiau Bok-kun dapat
berseru pelahan. In-jin artinya orang yang melepas budi.
"Nona Tiau," sahut Siau-liong.
Hanya dua patah kata terluncur dari mulut kedua mudamudi
itu. Namun sudah melebihi ribuan kata-kata yang penuh
arti....
Setiba diluar, Soh-beng Ki-su bertempur lagi dengan kelima
tokoh Kong-tong-pay. Gemerincing senjata beradu,
mengejutkan kedua anak muda itu. Ia memandang keluar.
Tampak kelima pedang bercampur-baur dengan sinar
cempuling. Diam-diam Siau-liong menyesalkan cara bertempur
dari kelima orang itu. Jelas kelima tokoh Kong-tong-pay itu
kalah tinggi tenaga dalamnya dengan Soh-beng Ki-su,
mengapa mereka berani mengadu kekerasan?
Tiba-tiba Siau-liong teringat sesuatu dan bertanialah ia
kepada Tiau Bok-kun, “Benda apakah yang dikatakan oleh
Soh-beng Ki-su itu?"
Sekonyong-konyong nona itu mencekal tangan kiri Siauliong
lalu dilekatkan kedada, ujar-nya, “Rabahlah Giok-pwe
ini.'"
Ternyata nona itu menyimpan sebuah Giok-pwe atau
Lencana-kumala didadanya. Menjamah dada si nona,
jengahlah muka Siau-liong. Buru-buru ia menarik tangannya.
"Untuk apakah benda itu?" tanyanya.

40
"Entahlah, aku sendiri tak mengerti. Tetapi yang jelas,
separoh bagian kusimpan dan yang separoh bagian ada pada
Toh Hun-ki. Maka mereka hendak merebut milikku ini!"
"Kalau begitu, siapapun dari mereka yang menang, tak
menguntungkan engkau?"
Tiau Bok-kun hanya mendengus.
"Siapakah yang melukai engkau?" tanya Siau-liong pula.
"Soh-beng Ki-su....”
Alangkah inginnya Siau-liong saat itu keluar untuk
membunuh Soh-beng Ki-su, orang yang telah membunuh
Koay suhu dan melukai nona itu. Tetapi ia tak dapat
meninggalkan si nona begitu saja.
Ia memandang keluar. Tokoh-tokoh itu masih bertempur
gigih sekali. Tetapi jarak tempat pertempuran makin menjauh
dari biara.
"Mudah-mudahan mereka bertempur terus saja," diamdiam
Siau-liong mengharap. Kini untuk yang terakhir, ia harus
memberi penyaluran tenaga dalam lagi. Ketika memandang
Tiau-Bok-kun, ia heran. Wajah nona itu tampak merah. Pada
hal tadi sewaktu diberi penyaluran tenaga-dalam, wajahnya
tak sedemikian merahnya.
"Bagaimana lukamu?" tanya cemas.
Tiau Bok-kun mendesis pelahan.
“Mengapa engkau, nona Tiau?" tanya Siau-liong.

41
Nona itu makin merah wajahnya dan tersipu-sipu tundukan
kepala.
"Kita.... laksana air bertemu telaga. Ini....” serunya pelahan
dan tak lanjut.
"Ini bagaimana?" desak Siau-liong.
Setelah lukanya berangsur baik, kesadaran nona itupun
mulai kembali lagi. Duduk merapat dengan seorang pemuda
yang tak dikenal, mau tak mau sebagai seorang gadis yang
masih suci, Tiau Bok-kun merasa malu sekali.
"Besok saja kuterangkan," sahut nona itu.
"Tetapi apakah yang hendak engkau katakan?" Siau-liong
mendesak lagi.
Buru-buru Tiau Bok-kun melengos. Setelah cukup
beristirahat, Siau-liongpun menyalurkan tenaga dalam lagi ke
tubuh si nona. Penyaluran itu merupakan pengobatan yang
terakhir. Karenanya merupakan detik-detik berbahaya.
Tiba-tiba tokoh-tokoh yang bertempur tadi, terdengar diluar
pintu biara lagi. Dengan pendengarannya yang tajam, Siauliong
dapat memperhitungkan mereka tentu dapat bertempur
sampai dua jam lagi.
Tetapi ia menyadari bahwa setiap saat, pertempuran akan
mengalami perobahan. Maka iapun tingkatkan kewaspadaan
untuk menghadapi segala kemungkinan. Selama pertempuran
berjalan seru, Tiau Bok-kun pun makin bertambah baik
keadaannya. Wajahnya mulai berseri makin segar laksana
kuntum mekar dihari pagi.

42
Tiba-tiba Siau-liong dikejutkan oleh sebuah jeritan ngeri.
Ketika memandang keluar, dilihatnya sinar pedang mulai
kacau-balau. Jelas bahwa tokoh-tokoh Kong-tong-pay itu
sudah mulai terancam bahaya. Asal salah satu ada yang rubuh
maka berantakan barisan mereka.
Tring.... terdengar gemerincing senjata beradu keras.
Serempak dengan letikan bunga api, sebuah pedang telah
terpental jatuh ke dalam biara.
Dari keempat Su-lo, yang dua jakni Lam-kek-sian dan Pakkek-
ong sudah duduk bersemedhi di tanah. Tentulah mereka
terluka. Yang masih bertahan tinggal dua orang Su-lo dan Toh
Hun-ki.
Dalam pada itu, Siau-liong masih memerlukan setengah
jam lagi untuk menyalurkan tenaga dalam. Asal setengah jam
itu dapat berlangsung tanpa gangguan, Tiau Bok kun pasti
akan sembuh sama sekali. Tetapi kalau sampai terganggu, siasia
sajalah jerih payahnya selama enam belas jam itu.
Tiba-tiba terdengar sebuah jeritan ngeri lagi!
"Celaka! Kong-tong-pay tinggal seorang saja.... Tentu tak
dapat bertahan lagi," diam-diam Siau-liong mengeluh.
Tempo amat berharga sekali. Buru-buru ia kerahkan
seluruh tenaga dalam untuk mempercepat penyaluran tenaga
dalamnya. Tetapi alangkah kejutnya ketika ia mendengar Sohbeng
Ki-su tertawa nyaring....
Pada lain saat terdengarlah suara senjata jatuh
bergerontangan disusul dengan suara orang menahan
kesakitan.

43
"Celaka, habislah sudah jerih payahku selama sehari
semalam," Siau-liong mengeluh.
Kiranya suara orang itu berasal dari Toh Hun-ki. Pedangnya
terlepas dan dadanya menerima sebuah pukulan maka
rubuhlah ketua Kong-tong-pay itu di tanah....
Melihat itu dengan teriakan mendengkung-dengkung
macam katak, jari tangan Soh-beng Ki-su yang tajam
mencengkeram Tohl Hun-ki....
Pada detik-detik maut hendak merenggut jiwa ketua Kangtong-
pay itu, sekonyong-konyong terdengar suara bentakan
nyaring, “Bangsat tua, lihat senjataku!"
"Hai, apakah engkau bukan Coa-sik Se-si....!" Soh-beng Kisu
berteriak kaget.
Mendengar itu terkejutlah Siau-liong. Ingin sekali ia
memanggil ibunya itu tetapi karena sedang mengobati si nona
terpaksa ia tahankan hati.
Memang pendatang itu adalah Ki Ih atau yang digelari
orang sebagai Coa-sik Se-si (si cantik Se-si yang berbisa).
"Ah, kiranya engkau belum pikun, Seharusnya engkau tahu
bahwa kelima bangsat tua dari Kong-tong-pay itu adalah
musuhku besar. Mengapa engkau berani lancang hendak
membunuhnya? Biarkan mereka beristirahat memulihkan
tenaga dulu baru nanti kujadikan setan2 tanpa kepala! Nah,
selagi mereka beristirahat, marilah kita isi kekosongan ini
untuk membereskan perhitungan kita tempo dahulu!"
"Bagus, memang aku belum puas hanya mencabut lima
Perempuan siluman, lihat seranganku!" seru Soh-beng Ki-su.

44
Sinar pedang berhamburan, angin menderu-deru.
Pertempuran kali ini lebih dahsyat dari tadi, Kedua tokoh itu
makin lama kian jauh dari biara dan akhirnya tiada
kedengaran suaranya lagi.
Saat itu Siau-liong berhasil menyelesaikan penyaluran
tenaga dalam yang terakhir. Bergegas-gegas ia memberi pil
kepada nona itu, “Minumlah dan setelah beristirahat beberapa
waktu, tenagamu tentu pulih.... Sampai jumpa lagi, selamat
tinggal....”
"In-jin....!" Tiau Bok-kun memanggil. Tetapi pemuda itu
sudah lenyap. Berlinang-linang airmata nona itu. Ingin ia
menyusul In-jin atau Penolongnya itu, tetapi tenaganya masih
belum mengijinkan.
Begitu keluar dari biara, Siau-liong tak menghiraukan
kelima tokoh Kong-tong-pay yang masih duduk bersemedhi
itu. Ia lari menuju ke arah tempat ibunya. Tetapi seratus li
telah ditempuh, tetap ia tak berhasil menemukan ibunya dan
Soh-beng Ki-su.
Dua hari lamanya Siau-liong berkeliran mencari ibunya.
Karena lupa makan lupa tidur dan habis menyalurkan tenaga
dalam kepada si nona, Siau-liong merasa letih sekali, Maka
ketika tiba di kota Siok-ciu, ia segera mencari sebuah rumah
makan. Rencananya, setelah makan ia hendak membeli
pakaian baru.
Suasana dalam kota terang-benderang, rumah dihias
dengan lampu tenglong warna-warni. Jalan penuh orang
pesiar. Ah, tiba-tiba ia teringat bahwa malam itu adalah
malam Tiong-ciu atau pertengahan musim rontok. Rembulan
purnama-sidhi. Rumah2 mengadakan sesaji dengan kuweh
Tiong-jiu-pia. Tengah ia berjalan, serombongan anak2 laki

45
segera mengerumuni, menyoraki dan melempari tali serta
menggodanya.
Siok-ciu termasuk wilayah Su-jwan. Menurut adat
kebiasaan daerah itu, pada malam Tiong-ciu anak-anak diberi
kebebasan untuk bersuka-ria bahkan berkelahi. Mereka
menggunakan tali dan bandringan. Benda itu berat tetapi tak
melukai.
Siau-liong menyambar seutas tali yang dilempar seorang
anak. Anak itu segera menarik sekuat-kuatnya tetapi sampai
mukanya merah padam dan menangis, tetap tak mampu.
Karena hendak lekas-lekas melanjutkan perjalanan, Siau-liong
lepaskan tali itu. Uh, uh.... bocah itu pontang-panting jatuh
terjerembab. Kepalanya benjul terbentur tanah dan
menangislah ia gerung-gerung.
Melihat itu kawanan anak-anak nakal segera mengepung
Siau-liong. Siau-liong jengkel. Kalau didiamkan mereka makin
liar.
Siau-liong tak mau cari perkara. Ia diam saja dan akhirnya
anak2 itu kesal sendiri. Pada saat itu Siau-liong menyiak dua
anak lalu menerobos keluar. Walaupun tak menggunakan
tenaga tetapi gerakan Siau-liong itu membuat kedua anak
terpelanting jatuh. Hu, hu, huuu.... menangislah mereka.
"Tangkap penjahat! Tangkap penjahat!" hiruk-pikuk
kawanan anak nakal itu berteriak-teriak sambil mengejar.
Tetapi Siau-liong sudah jauh.
Ia terhindar dari gangguan anak2 nakal tetapi ia gagal
membeli makanan dan pakaian. Saat itu ia duduk disebuah
batu dalam hutan. Sambil melepaskan lelah, ia mengusapusap
lencana Tengkorak didadanya dengan menyeringai.

46
Lencana itu berasal dari leher Tengkorak yang berada dalam
gua tempo hari.
Siau-liong termenung-menung memikirkan nasibnya. Jika
lain orang pada malam purnama itu duduk menikmati kuweh
Tiong-ciu-pia, adalah dia duduk seorang diri dalam hutan!
Tetapi perutnya merintih-rintih minta isi. Memandang jauh
kemuka, tampak dikaki gunung sebuah bangunan besar yang
terang-benderang penerangannya. Segera ia menuju kesana.
Tiba ditempat itu ia terkejut dan ragu2 memasuki. Papan
nama yang tergantung pada pintu rumah itu bertuliskan Tayhud-
si atau gereja Buddha besar.
Pada kedua samping titian dihalaman gereja itu tampak
empat orang lelaki berdiri tegak tanpa baju. Pada leher
mereka melingkar kalung Lencana Tengkorak.
Melihat mereka tak berbaju, hilanglah rasa malu Siau-liong
yang bajunya compang camping. Tanpa banyak pikir, ia
segera naik ketitian....
Sebenarnya keempat penjaga itu tentu melihatnya tetapi
entah bagaimana mereka diam saja. Dan Siau-liong pun juga
tak mempedulikan mereka. Ia terus melangkah ke dalam
pintu.
Di belakang pintu ternyata merupakan sebuah halaman
luas. Ujung halaman terdapat sebuah bangunan gedung
besar. Beratus-ratus orang memenuhi halaman dan gedung.
Rupanya disitu sedang diselenggarakan perjamuan besar.
Yang mengherankan Siau-liong ialah semua orang yang
hadir disitu sama tidak mengenakan baju dan sama berkalung

47
lencana tengkorak. Pada umumnya mereka bertubuh kurus
kering, celana kumal dan baunya busuk.
Siau-liong tak menghiraukan siapa mereka. Paling penting
ia hendak ikut duduk menyantap hidangan.
Tiba-tiba dua lelaki pincang muncul. Dengan mencekal
tongkat, mereka menghampiri Siau-liong. Muka mereka kotor,
rambut kusut masai dan tubuh kurus sekali. Hanya kedua
matanya yang bersinar tajam. Yang seorang kakinya kiri yang
pincang. Yang seorang, kakinya kanan yang pincang.
"Budak, darimana engkau?" tegur mereka.
Siau-liong terkesiap. Tak tahu ia siapa mereka dan tempat
apa itu. Dengan singkat ia menyahut, “Hong-san!"
Kedua lelaki pincang itu tertegun. Mata mereka berkilatkilat
memandang Siau-liong, tanyanya pula, “Hendak
kemana?"
"Mencari.... , " baru Siau-liong hendak mengatakan
'Mencari ibu', ia merasa kelepasan omong dan cepat
mengganti dengan ucapan, “Menuju ketempat tujuan."
Kedua lelaki pincang itu terkesiap heran.
Pertanyaan pertama, dijawab salah. Tetapi pertanyaan
kedua dijawab betul.
"Dari mana engkau mendapat petunjuk?" tanya mereka.
"Dari dalam laut!"
"Kapan susou-ya datang?" tanya mereka lagi.

48
Siau-liong sebal mendengar pertanyaan yang2 tiada artinya
itu. Cepat ia menukas, “Entah! Aku lapar, jangan bertanya
lagi!"
"Silahkan!" diluar dugaan kedua lelaki pincang itu berputar
tubuh dan berjalan lebih dulu.
Pucuk dicinta ulam tiba. Perut lapar, malah diundang
makan. Demikian anggapan Siau-liong. Segera ia mengikuti
kedua lelaki pincang itu menuju ke dalam gedung besar.
Semua hadirin diam saja. Beratus-ratus mata mencurah ke
arah Siau-liong. Tiba diujung ruangan kedua lelaki pincang itu
berlutut didepan seorang tua yang rambut dan alisnya sudah
putih semua. Jenggotnya yang berkilat-kilat seperti perak,
menjulai sampai keperut. Tetapi wajahnya masih segar seperti
kanak-kanak.
"Seorang budak liar telah menyelundup dengan menyamar
sebagai anggauta kita. Harap bapak ketua memeriksanya,"
kata lelaki yang pincang kaki kiri.
Orang tua yang disebut bapak ketua atau pangcu itu,
mendengus. Kedua lelaki pincang bangun dan berdiri
disampingnya.
Mata orang tua itu berkilat-kilat menatap Siau-liong. Akan
tetapi ketika pandang matanya tertumbuk pada lencana
Tengkorak yang melingkar dileher Siau-liong, ia terbeliak
kaget!
Serentak berbangkitlah ia pelahan-lahan. Dengan mencekal
sebatang tongkat kumala hijau, ia menghampiri Siau-liong.
Pemuda itu terkesiap. Orang tua itu ditaksir sudah 80 tahun
umurnya tetapi masih gagah.... Tetapi mengapa sikapnya
seperti bermusuhan?

49
Begitu dekat, orang tua itu segera putar tongkatnya.
Seketika tubuh Siau-liong dikurung oleh ribuan sinar hijau
kemilau.
Seluruh hadirin terkejut. Mereka tak mengerti mengapa
bapak ketua tiba-tiba menyerang seorang bocah liar dengan
jurus sakti Ciong-lo-ban-jio?
Semula Siau-liong terkejut. Tetapi diam-diam ia merasa
agak paham juga tentang jurus serangan itu. Dalam taburan
hujan sinar tongkat, ia dapat mengetahui dimana letak
kelemahannya. Maka bergeraklah ia dengan langkah yang
aneh dan tahu2 ia sudah menerobos keluar dari lingkaran
sinar tongkat.
Pak tua itu tertegun sejenak. Tetapi pada lain saat ia
lancarkan lagi dua buah serangan dahsyat. Tetapi lagi-lagi
Siau-liong dapat meloloskan diri.
Kini sekalian hadirin benar-benar terperanjat. Setelah tiga
kali serangannya gagal, tiba-tiba pak tua itu membungkuk
badan memberi hormat kepada Siau-liong. Kemudian
mempersilahkannya masuk ke dalam ruangan besar.
Tiba-tiba orang tua itu mengacungkan tongkat kumala ke
atas dan serempak sekalian hadirin berlutut dengan khidmat.
"Cousu-ya telah datang! Dirgahayu! Dirgahayu!" teriak
orang tua itu dengan nyaring.
"Dirgahayu! Semoga panjang usia!" bergemuruhlah ruang
gedung dan halaman menyambut pernyataan pak tua itu.
Tiba-tiba pak tua itu berlutut di tanah. Suasana hening
seketika. Tiada seorangpun yang berani mengangkat muka.

50
Sambil mencekal tongkat kumaia dengan kedua tangan,
pak tua itu berseru pula, “Ketua partai Kay-pang dari Kanglam,
Pengemis-jenggot-perak To Kiu-kong serta seluruh anak
murid, mohon maaf karena tak mengetahui akan kunjungan
causu-ya!"
Diperlakukan sedemikian hormat dan disebut-sebut sebagai
causu-ya atau kakek guru, bukan kepalang kejut Siau-liong.
Masakan dirinya dianggap sebagai causu dari Kay-pang atau
partai kaum pengemis!
Namun sia-sialah Siau-liong hendak memberi penjelasan.
Mereka tentu tak percaya. Apa boleh buat, terpaksa ia
berseru, “Bangunlah! Bangunlah!"
Pengemis-jenggot-perak To Kiu-kong ternyata ketua partai
Kay-pang cabang Kanglam Dia memberi hormat lalu bangun.
Ia mengumumkan kepada hadirin bahwa Cousu-ya dari partai
Kay-pang yang sudah berpuluh tahun tak muncul, sekarang
berkunjung kesitu.
Seketika terdengar sambutan para hadirin, bersorak
dengan gegap gempita....
Tetapi diam-diam mereka kurang yakin. Benarkah sousu-ya
dari partai Kay-pang yang disohorkan sakti itu hanya seorang
pemuda yang baru berumur belasan tahun?
Perjamuan berjalan terus. Pengemis-jenggot-perak duduk
menemani Siau-liong. Kedua pengemis pincang tadipun
diperkenalkan kepada Siau-liong. Yang pincang kakinya kiri
bernama Tio Thou bergelar Thiat-koay-co atau Tongkat-besikiri.
Sedang yang pincang kakinya kanan bernama Li Ji gelar
Thiat-koay-yu atau Tongkat-besi-kanan. Keduanya menjabat
pengurus besar partai Kay-pang wilayah Kanglam.

51
Selesai perjamuan, To Kiu-kong menuturkan keadaan dan
pergolakan dunia persilatan selama ini. Terutama hal
perkembangan partai Kay-pang.
Kay-pang termasuk Ceng-pay atau partai golongan Putih.
Merupakan sebuah partai yang kemasyhurannya sejajar
dengan lain-lain partai persilatan.
Kay-pang didirikan oleh Kiu-ci-sin-kay atau Pengemis-saktijari-
sembilan Ang Jit-kong pada akhir ahala Song. Tetapi
kemudian partai itu pecah menjadi dua. Yang satu didaerah
selatan dan menamakan diri sebagai Kanglam Kay-pang. Yang
satu didaerah utara dengan nama Kangpak Kay-pang.
Kedua partay Kay-pang itu bentrok dan saling bermusuhan.
Akhirnya dicapai persetujuan, mengajukan calon ketua. Tiap
tiga tahun bertemu dipuncak Lok-gan-hong gunung Hoasan,
untuk bertanding memperebutkan kedudukan ketua Kay-pang
dari Kanglam dan Kangpak. Yang kalah harus tunduk pada
perintahnya.
Tokoh pertama yang menjabat sebagai ketua Kanglam Kaypang
adalah Song Thian-kun bergelar Ko-lo-sin-kay atau
Pengemis Tengkorak-sakti. Dalam pertandingan di Hoasan, dia
berhasil mengalahkan calon dari Kangpak Kay-pang yang
bernama Yong Jim.
Gelar Tengkorak-sakti itu diberikan kepada Song Thian-kun
karena tubuhnya yang kurus kering seperti tulang terbungkus
kulit. Setelah menjabat ketua umum kedua golongan partay
Kay-pang itu, ia membuat lencana tengkorak sebagai tanda
pengenal diri. Lencana pengenal itu diperuntukkan apabila ia
mengeluarkan pengumuman, memanggil rapat, memanggil
seorang pengurus partai dan lain-lain yang menyangkut
kepentingan organisasi Kay-pang.

52
Berkat kesaktiannya, Song Thian-kun telah berhasil tiga kali
mengalahkan calon dari Kangpak Kay-pang. Dengan begitu, ia
dapat menjabat sebagai ketua umum selama 9 tahun.
Pada tahun kedua dalam jabatannya yang ketiga kali
sebagai ketua umum partai Kay-pang, di dunia persilatan
muncullah lima orang durjana besar. Dunia persilatan
menggelari mereka dengan istilah singkat: Thian, Te, Liong,
Hou dan Bu-kek-gong-mo. Mereka berlima memusuhi partai2
persilatan yang ternama.
"Huh, partai2 persilatan yang membanggakan diri sebagai
golongan Putih itu tak lain tak bukan hanya gerombolan
manusia2 busuk!" demikian ejekan yang dilontarkan kelima
durjana itu.
Pada saat partai2 besar sedang kewalahan menghadapi
gangguan keempat durjana Thian, Te, Liong, Hou, tiba-tiba
muncul pula Bu-kek-gong-mo atau si Pendekar Laknat!
Pendekar Laknat ini lebih gila lagi. Dia gemar membunuh.
Jiwa manusia dianggap seperti jiwa ayam saja. Oleh karena
tak mampu mengatasi, akhirnya partai2 besar itu tak mampu
bertindak lagi. Mereka menutup diri, masing-masing menjaga
keselamatan tempatnya sendiri2.
Hanya Pengemis Tengkorak-sakti Song Thay-kun satusatunya
tokoh yang berani menentang kawanan durjana
ganas itu. Ia mencari Pendekar Laknat dan bertempur selama
tiga hari tiga malam. Tetapi tetap tak ada yang menang dan
kalah.
Keunggulan Pendekar Laknat terletak pada ilmu tenagasakti
Bu-kek-sin-kang. Sedang keistimewaan PengemisTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
53
tengkorak-sakti pada ilmu pukulan Thay-siang-ciang yang
sakti.
Akhirnya karena agak lengah, Pengemis Tengkorak-sakti
tersapu oleh sebuah pukulan Pendekar Laknat. Tetapi durjana
itupun terhunjam sebuah hantaman dari Pengemis Tengkoraksakti.
Kedua-duanya sama-sama terluka parah!
Sejak itu Pengemis Tengkorak-sakti Song Thay-kun
melenyapkan diri.... Sedang Pendekar Laknat kabarnya pun
dikeroyok oleh keempat durjana Thian, Te, Liong, Hou. Tetapi
keempat durjana itu gagal membunuh Pendekar Laknat.
Mereka menderita luka dan menyembunyikan diri.
Demi mengenangkan jasa Pengemis Tengkorak-sakti. Song
Thay-kun, partai Kay-pang wilayah Kanglam telah
menyempurnakan susunan organisasinya. Menurut tinggi
rendahnya kedudukan, Setiap anggauta mengenakan lencana
Tengkorak yang bentuknya berlainan. Menentukan sandi2
pertanyaan rahasia untuk menghadapi orang yang tak dikenal.
Sandi pertanyaan itu diajukan kedua pengemis pincang tadi
ketika menyambul Siau-liong. Dan pada saat melihat anak itu
berkalung lencana tengkorak, To Kiu-kong segera
mengenalinya, sebagai benda keramat peninggalan Pengemis
Tengkorak-sakti Song Thay-kun. Kemudian untuk menguji
benarkah anak itu murid pewaris dari Song Thay-kun maka To
Kiu-kong telah gunakan jurus Ciong-lo-ban-jio
menyerangnya........
Lenyapnya Pengemis Tengkorak-sakti Song Thay-kun dari
dunia persilatan, ikut hilang pula ilmu pukulan sakti Thaysiang-
ciang yang menjadi kebanggaan partai Kay-pang di
Kanglam. Kini hanya tinggal ilmu tongkat Ji-thau-ciang hwat
saja yang turun temurun diajarkan dikalangan anak murid
Kay-pang.

54
Jurus Ciong-lo-ban-jio atau Ribuan-gajah-menginjak,
merupakan jurus yang paling istimewa dalam ilmu tongkat Jithau-
ciang-hwat atau Pengemis-minta-tongkat. Tetapi jurus
itu masih kalah unggul dengan jurus Thay-siang-bu-kek, salah
satu jurus dari pukulan sakti Thay-siang-ciang.
Maka tadi begitu diserang, Siau-liong segera tahu gerakan
lawan dan terus gunakan jurus Thay-siang-bu-kek. Dengan
mudah ia dapat menghindari ketiga buah serangan To Kiukong.
Pada saat itulah Pengemis-jenggot-perak To Kiu-kong baru
benar-benar memastikan bahwa Siau-liong adalah pewaris dari
cousu-ya Kay-pang. Dengan begitu berarti Pengemis
Tengkorak-sakti Song-thay-kun muncul kembali.
Girang To Kiu-kong sukar dilukiskan!
Tahun ini Hoasan akan dilangsungkan pertandingan untuk
merebut kedudukan Ketua Umum Kay-pang. Maka
berkumpullah seluruh tokoh-tokoh penting dari murid2 Kaypang
didaerah Kanglam. Mereka hendak merundingkan dan
menentukan jago yang hendak diajukan ke Hoasan. Untuk
menghadang penyelundupan orang luar maka setiap anggauta
yang datang harus buka baju dan mengenakan kalung
berlencana tengkorak.
Demikian To Kiu-kong mengakhiri penuturannya.
Saat itu Siau-liong benar-benar tercengkam oleh berbagai
perasaan. Heran, terkejut, girang, sedih, cemas campur-aduk
memenuhi rongga kalbunya.
Dia menjadi pewaris dari Pengemis Tengkorak-sakti Song
Thian-kun. Tetapi pun menjadi murid dari Koay suhu atau si

55
Pendekar Laknat. Padahal kedua tokoh itu semasa hidupnya,
saling bermusuhan.
Diapun ternyata putera dari si wanita cantik Ki Ih yang
dimusuhi oleh partay-partai persilatan. Lalu sebagai pewaris
Pengemis Tengkorak sakti Song Thay-kun, dia dianggap
sebagai ketua partai Kay-pang daerah Kanglam. Ia bersahabat
dengan partai2 persilatan dan bermusuhan dengan partai Kaypang
daerah Kangpak.
Tetapi sebagai murid dari Pendekar Laknat dan putera dari
Ki Ih, ia harus memusuhi semua manusia di dunia! Ah,
bagaimanakah ia harus bertindak....?
Kepada orang2 Kay-pang, ia mengaku bernama Kongsun
Liong. Ia menuturkan juga pengalamannya masuk ke dalam
perut bumi dan memperoleh ilmu pukulan sakti Thay-siangciang....
Hanya mengenai pertemuannya dengan Koay suhu si
Pendekar Laknat, ia tak menceritakan kepada mereka.
Kini sekalian anggauta Kay-pang menyadari bahwa ketua
mereka yang sakti Pengemis Tengkorak-sakti Song Thian-kun
sudah meninggal. Dan percaya pula bahwa pemuda itu
memang benar-benar menerima ilmu warisan dari Song Thaykun.
Dengan demikian partai Kay-pang daerah Kang-lam akan
jaya kembali.
Mereka telah memperoleh pengganti ketua yang baru!
Sejak ber-tahun2 belum pernah pesta pertemuan anggauta
Kay-pang wilayah Kanglam, semeriah dan segembira seperti
saat itu. Hiruk-pikuk kegembiraan berkumandang jauh sampai
diluar biara....
Sekonyong-konyong dari luar pintu biara terdengar sebuah
tertawa gemercik. Sebuah nada yang berciri khas tersendiri.

56
"Ah, dia datang," To Tiu-kong tertawa.
"Siapa?" tanya Siau-liong.
"Salah seorang anggauta pengurus besar partai kita Siaukay
To Tay-tong."
Siau-kay atau Pengemis tertawa Tio Tay-tong melangkah
masuk dan memberi hormat kepada To Kiu-kong lalu tiba-tiba
berseru, “Dunia kacau! Dunia kacau balau."
"Memang kuduga engkau membawa berita luar biasa.
Hayo, cepat beri hormat kepada cousu-ya dulu!" seru To Kuikong.
Memandang Siau-liong, Pengemis-tertawa itu terbeliak.
Tetapi ketika melihat lencana tengkorak didada Siau-liong,
cepat ia berlutut memberi hormat.
Siau-liong merasa kikuk. Ia minta jangan dipanggil Cousuya
atau kakek guru. Tetapi To Kiu-kong mengatakan bahwa
sebutan itu memang diberikan kepada mendiang Pengemis
Tengkorak-sakti. Karena Siau-liong dianggap sebagai
penggantinya maka harus menerima sebutan itu.
Kemudian To Kiu-kong minta penjelasan kepada Pengemistertawa,
“Apa maksudmu. mengatakan dunia kacau-balau
tadi?"
Pengemis-tertawa Tio Tay-tong tertawa nyaring sekali,
sahutnya, “Dengan munculnya Cousu-ya, pasti akan lebih
ramai lagi!"
"Lekas katakanlah!" tukas To Kiu-kong.

57
"Semua dedongkot2 persilatan sama muncul lagi. Dunia
persilatan pasti akan dilanda banjir darah pula! Bukankah
dunia kacau-balau?" seru Pengemis-tertawa itu.
Sekalian orang terperanjat. Bahkan ada yang menggigil
gemetar.
"Konon kabarnya si Cantik-beracun Ki Ih muncul didaerah
Siok-ciu. Kelima durjana besar pada jaman 20-an tahun
berselang yakni Thian, Te, Liong, Hou dan Pendekar Laknat
muncul lagi. Kay-se Thian-mo dan Te-gak Lo-sat kabarnya
tampakkan diri digunung Thian-san. Keng-san Siat-liong dan
Hou-pik Kau-hun, unjuk diri di Se-pak. Lalu Pendekar Laknat
timbul digunung Hoa-san. Menurut kabar, begitu muncul
Pendekar Laknat dengan dua kali pukulan saja telah
menghancurkan belasan tokoh2 lihay. Coba katakanlah,
apakah dunia takkan kacau-balau?"
"Hongsan? Bukankah Cousu-ya juga datang dari gunung
itu? Apakah cousu-ya mengetahui hal itu?" tanya To Kiu-kong
kepada Siau-liong.
"Hal ini.... karena hampir setahun aku berada dibawah
gunung maka tak pernah kudengar apa2," jawab Siau-liong.
Suasana perjamuan yang gembira-ria, mendadak berobah
menjadi tegang regang, cemas gelisah. Tengah sekalian orang
gelisah, tiba-tiba di udara menggema lagi sebuah tertawa
gelak2 yang amat nyaring.
Sekalian orang terkejut. Mereka memandang kesekeliling
penjuru tetapi tak tampak suatu apa. Siau-liong dan beberapa
tokoh Kay-pang segera melangkah keluar.

58
Dibawah sinar bulan purnama, tampak seorang aneh berdiri
di atas puncak rumah. Orang itu mengenakan pakaian warna
biru. Mukanya ditutup kain selubung hitam.
Siau-liong cepat loncat kewuwungan disusul To Kiu-kong,
Pengemis-tertawa, Tongkat-besi-kiri Tio Thau, Tongkat-besikanan
Li Ji dan lain-lain.
Siau-liong terkejut melihat pendatang yang serba misterius
itu. Pada saat ia hendak menegur, tiba-tiba orang aneh itu
sudah lancarkan dua buah pukulan kepadanya. Tangan kiri
memukul dengan jurus Toh-beng-han-kong atau Sinar-dinginmerenggut-
nyawa. Tangan kanan menghantam dengan jurus
Kian-gun-it-biat atau pukulan Panglebur-jagad!
Siau-liong terpaksa mundur selangkah, Melihat serangan itu
begitu hebat, ia duga orang itu tentu bukan tokoh
sembarangan. Ingin ia menyapa tetapi kembali orang itu
menyerangnya lagi. Dua buah tangannya susul menyusul
melontarkan hantaman dengan jurus yang aneh dan dahsyat.
Dalam sekejab saja, sembilan buah pukulan berantai dan
enam buah tendangan, telah diserangkan.
Siau-liong tak sempat bertanya lagi. Ia mengkal sekali
kepada keberandalan orang itu. Segera ia balas menyerang
dengan ilmu pukulan Gun-go-ciang ajaran gurunya Kongsun
Sin-to yang terdiri dari 36 jurus.
Namun orang misterius itu memiliki kelincahan yang
mengagumkan sekali. Jurus2 pukulannya sangat aneh, penuh
perobahan yang sukar diduga.
Baru lebih kurang sejam dinobatkan sebagai ketua Kaypang,
Siau-liong sudah mendapat ujian berat. Diam-diam ia
mengagumi kesaktian orang itu.

59
Tetapi diam-diam ia malu terhadap anak buah Kay-pang
karena sudah bertempur 100 jurus masih belum dapat
mengalahkan lawan. Rasa malu itu membangkitkan
kemarahan Siau-liong....
---ooo0dw0ooo---
Jilid 02
Kilat Lawan Tengkorak
TO KIU-KONG terkesiap. Dahulu ilmu pukulan Thay-siangciang
yang dimainkan mendiang Pengemis Tengkorak, tidaklah
sedahsyat yang dilancarkan Siau-liong saat itu.
Tetapi kesaktian orang berkerudung itupun bukan olaholah.
Memang pada saat menghadapi taburan Thay-lo-kimkong-
ciang, ia terhuyung-huyung mundur sampai tiga
langkah. Tetapi setelah itu, ia loncat menerjang maju lagi.
Siau-liong marah. Cepat ia melambung ke udara. Setelah
berputar-putar, ia menukik dan siap lancarkan jurus kedua:
Siu-lo-pan-cha.
Ketika melihat sepasang telapak tangan Siau-liong berkilat2
merah, To Kiu-kong dan kawan-kawannya memekik
kaget: Bu-kek-sin-kang!
Sebenarnya Siau-liong tak mau menggunakan ilmu pukulan
Bu-kek-sin-kang itu. Karena hal itu akan mengakibatkan
dirinya diketahui orang. Tetapi karena musuh terlampau sakti,
terpaksa ia mengeluarkan pukulan tenaga-sakti itu.
To Kiu-kong terkejut. Ia duga orang berkerudung itu tentu
hancur. Tetapi diluar dugaan orang misterius itu malah

60
tertawa melengking menghindar kesamping dan menyongsong
pukulan Siau-liong dari samping.
Dess.... kembali terjadi benturan antara tenaga-sakti keras
lawan tenaga-sakti lunak. Dan pukulan Siau-liong itupun
buyar....
Siau-liong makin heran. Alangkah hebatnya kepandaian
orang itu! Diam-diam Siau-liong seperti pernah mengenal
ketawa dan gerak-gerik orang itu. Tetapi entah dimana, ia
lupa. Dan yang terutama membuat Siau-liong terpukau ialah
tenaga-lunak yang dimiliki orang itu. Benar-benar ia belum
pernah menyaksikan.
To Kiu-kong dan rombongannya terkejut karena melihat
Siau-liong tertegun diam. Tetapi sebelum mereka bertindak,
orang aneh itu sudah buang diri berjumpalitan beberapa
tombak ke belakang. Kemudian dengan tiga kali locatan, ia
sudah lolos. Siau-liong cepat mengejar. To Kiu-kong
gelagapan. Sungguh berbahaya membiarkan ketua mereka
mengejar seorang diri. Segera ia ajak anak buahnya
menyusul. Tetapi walaupun menyusup hutan melintasi
gunung, mereka tak dapat menemukan ketua mereka dan
orang aneh itu.
Tiba-tiba dari arah tenggara terdengar suitan nyaring. To
Kiu-kong dan anak buahnya segera menuju kesana. Mereka
tiba di sebuah kuil kecil dipinggir kaki gunung. Sekelilingnya
penuh pohon cemara dan hutan bambu. Rakyat menamakan
Thing-si-poh atau kuil Penyimpan Peti-mati. Suitan tadi jelas
berasal dari kuil itu.
Saat itu rembulan sudah condong kebarat. Suasana
disekeliling kuil, amat seram. Bahkan seorang jago sakti
seperti To Kiu-kong, diam-diam pun menggigil dalam hati.

61
Tetapi rasa seram itu segera lenyap ketika menyadari
bahwa suitan nyaring tadi jelas tentu dari jago silat yang
memiliki lwekang sakti. To Kiu-kong segera menghampiri kuil
itu. Dan ketika mengintai ke dalam kuil, hampir saja To Kiukong
dan anak buahnya terkejut pingsan.... Soh-beng Ki-su
yang berwajah seperti mayat, tengah berputar-putar diantara
peti mati karena hendak menerkam si dara cantik Tiau Bokkun!
Dalam ruang kuil itu terdapat tak kurang dari 200 buah peti
mati. Tiau Bok-kun termasyhur memiliki ilmu meringankan
tubuh yang sakti. Karena itu kaum persilatan menyanjungnya
dengan gelar Dewi Kilat.
Entah bagaimana mulanya Tiau Bok-kun dikejar-kejar Sohbeng
Ki-su dalam kuil situ. Untung berkat ginkangnya yang
sakti, nona itu dapat berlincahan menyelundup diantara selasela
peti-mati sehingga Soh beng Ki-su meraung-raung seperti
singa kelaparan.
Seharusnya To Kiu kong tak dapat berpeluk tangan
mengawasi nona itu diancam Soh-beng Ki-su yang termasyhur
sebagai Hwat-giam-lo-ong atau Giam-lo-ong hidup (Raja
Akhirat). Tetapi ketua Kay-pang itupun menyadari bahwa jika
sekali pukul tak dapat membinasakan Soh-beng Ki-su,
akibatnya berbahaya. Kay-pang tentu akan tambah mendapat
seorang musuh yang ganas.
Tampak Soh-beng Ki-su mengamuk sekali. Kesepuluh
jarinya yang runcing macam cakar garuda, mendesis-desis
mengeluarkan asap Pek-kut-kang atau ilmu sakti Tulang-putih
mulai dilancarkan!
Dibawah taburan ilmu-sakti Pek-kut-kang itulah dahulu Tiau
Bok-kun pernah menderita luka. Untung pada waktu itu ia
ketemu dan ditolong Siau-liong.

62
Seketika pucatlah wajah Tiau Bok-kun.
Cress.... tiba-tiba Soh beng Ki-su mencengkeram. Dan
serempak dengan itu, To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa
segera hendak loncat menerjang untuk menolong Tiau Bokkun.
Tetapi, uh.... terpaksa mereka hentikan gerakannya.'
Ternyata cengkeraman Soh-beng Ki-su itu tidak ditujukan
pada Tiau Bok-kun tetapi kesebuah peti-mati yang berada di
samping kanannya. Krak.... kayu penutup peti hancur lebur
beterbangan keempat penjuru....
Kiranya tujuan Soh-beng Ki-su hanya hendak memamerkan
betapa dahsyat tenaga cengkeramannya itu agar si nona
menyerah saja. Demikian dugaan To Kiu-kong. Tetapi ternyata
dugaan itu meleset.
Setelah menghancurkan tutup peti, jari Soh-beng Ki-su
tetap memancarkan aliran tenaga-sakti ke dalam peti. Tibatiba
mayat dalam peti itu pun bangun.
Dalam kuil di tengah hutan dengan berisi 200 buah peti
mati, sudah cukup membuat nyali copot. Apalagi sesosok
mayat dapat bangun dan duduk. To Kiu-kong dan Pengemis
Tertawa hampir jatuh kelenger....
Karena takutnya Tiau Bok-kun menjerit. Tetapi karena Sohbeng
Ki-su menghadang dimuka, terpaksa ia menyelinap
mundur ke belakang dua buah peti mati.
Soh-beng Ki-su mengangkat tangan dan tengkorak itupun
berdiri lalu loncat keluar dari peti matinya.
Hai! Adakah Soh-beng Ki-su memiliki ilmu sihir?

63
Tidak! Ilmu itu disebut tenaga-sakti Pek-kut-kang atau ilmu
Tulang Putih. Ilmu tersebut didasarkan pada latihan menyedot
hawa phosporus mayat-mayat yang sudah menjadi tengkorak.
Dengan latihan itu dapatlah Soh beng Ki-su menggerakkan
mayat dan diperintah menurut sekehendak hatinya. Antara
lain disuruh bersilat dan menyerang orang!
Berturut-turut Soh-beng Ki-su menghidupkan tengkorak2
lalu diperintahkannya mengepung Tiau Bok-kun. Diantara
mayat2 yang dihidupkan itu, terdapat beberapa kerangka
tengkorak yang masih belum hancur dagingnya. Selain ujutnya
mengerikan, pun baunya bukan alang kepalang....
Tiau Bok-kun menggigil. Gerahamnya berkerenyut keras.
Sambil kepalkan tinju dan memegang pedang erat-erat, ia
bersiap-siap.
Setelah menghidupkan tengkorak2 itu, Soh-beng Ki-su pun
segera berseru memberi perintah. Sesosok tengkorak segera
mainkan kedua tulang tangannya menyerang Tiau Bok-kun.
Nona itu tak gentar. Ia mainkan pedangnya dalam jurus
Angin-puyuh. Tetapi pada saat sepasang tulang lengan
tengkorak itu akan tertabas, tiba-tiba Soh-beng Ki-su gerakkan
tangan kiri dan berseru memberi komando, “Si-heng pianyap....”
Tengkorak disebelah kiri yang kerat dagingnya masih
melekat, segera menyerang Tiau Bok-kun. Bau busuk
berhamburan memenuhi ruang.
Hebat dan ngeri sekali! Dibawah perintah gerakan tangan
Soh-beng Ki-su, tengkorak yang masih berdaging itu dapat
menyerang dengan ilmu pukulan Pek-kut-kang yang hebat.
Nona itu tak keburu menangkis. Untung ia memiliki ginkang
yang hebat dan otak yang tajam, Sekonyong konyog ia

64
bertekuk tubuh ke belakang sampai punggung mendatar
dengan tanah. Pedang dilintangkan untuk menjaga tubuh.
Kemudian dengan menjaga tubuh. Kemudian dengan sebuah
gerakan yang luar biasa, ia melenting kemuka dan menerobos
kepungan, melalui celah dua sosok tengkorak.
Tetapi usaha nona itu tak banyak menolong. Hanya
beberapa detik ia dapat bernapas legah atau ia terkejut
karena dapatkan dibelakangnya itu merupakan dinding kuil.
Tak mungkin ia dapat loncat mundur lagi. Sedang kelima
tengkorak itu hanya dengan dua tiga kali loncatan, sudah
berjajar menghadang Tiau Bok-kun. Walaupun tengkoraktengkorak
itu sudah tak bermata lagi tetapi muka mereka
yang tertuju kepada si nona, tak ubah seperti orang yang
dapat melihat.
Pada saat Tiau Bok-kun sedang terpojok, Soh beng Ki-su
pun giat menghancurkan tutup beberapa peti-mati lagi.
Berpuluh-puluh tengkorak loncat keluar dari peti masingmasing.
Ada yang mukanya hancur tetapi hidungnya
complong tetapi mulut masih melekat dengan jenggot yang
memanjang lebat. Pendek kata, barang siapa menyaksikan
pemandangan saat itu, tentu akan pingsan atau mati kaku!
Berpuluh-puluh mayat dan tengkorak yang tak keruan
ujutnya itu, berkerumun mengepung Tiau Bok-kun. Betapapun
hebat ilmu ginkang nona itu, namun kiranya tak mungkin ia
mampu lolos dari kepungan barisan Si-mo-tin atau barisan
Tengk-rak itu.
To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa mempunyai rencana
sama. Satu2nya jalan untuk menolong si nona. hanyalah
dengan meringkus Soh-beng Ki-su.

65
Namun keduanya menyadari bahwa sekalipun keduanya
maju serempak, belum tentu dapat mengalahkan Soh-beng Kisu.
To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa benar-benar tersiksa
batinnya. Tidak menolong, tak sampai hati. Namun menolong
pun belum tentu berhasil. Dan kegagalan itu berakibat besar
bagi partai Kay-pang.
Namun dapatkah mereka hanya berpeluk tangan saja? Ah,
perbuatan itu berlawanan dengan jiwa seorang ksatrya!
Tetapi sebelum keduanya bertindak, tiba-tiba lima sosok
bayangan melayang masuk dari atas tembok dan berjajar di
belakang Soh-beng Ki-su. Mereka bukan lain adalah ketua
Kong tong-pay To Hun-ki dan keempat Kong-tong Su-lo.
Serentak Soh-beng Ki-su berputar tubuh, “Oho, disurga
terbentang jalan lebar, kamu malah pilih masuk ke Neraka.
Bangsat tua, serahkan jiwamu!"
Soh-beng Ki-su atau Pertapa Pencabut-nyawa itu gerakkan
sepasang jari tangannya yang runcing. 8eketika ribuan cakar
putih berhamburan ke arah kelima tokoh partai Kong-tong-pay
itu. Kui-ing-tong-tong atau Bayangan-setan-lalu-lalang,
demikian jurus yang dimainkan pertapa gila itu.
Tiau Bok-kun tak mau men-sia2kan kesempatan sebagus
itu. Pada saat Soh-beng Ki-su sibuk menghadapi kelima tokoh
Kong-tong-pay, nona itu segera mainkan pedang dalam jurus
Sip-hong-sip-u atau Sepuluh-angin-sepuluh-hujan untuk
membobol kepungan barisan tengkorak yang tak berkomando.
Tetapi gerak gerik nona itu tak luput dari pengawasan
sipertapa ganas. Seperti tumbuh mata pada punggungnya,

66
Soh-beng Ki-su segera memberi perintah kepada barisan
Tengkorak, “Cui-si-kui-gok."
Mendengar perintah Cui-si-kui-gok atau Mayat hancur-iblismenangis
itu, barisan Tengkorak segera menyerbu Tiau Bokkun
lagi. Dan anehnya, tengkorak yang mempelopori
penyerangan itu dapat menghindar apabila Tiau Bok-kun
menabasnya. Mereka tetap merangsang maju.
Tiau Bok-kun makin gugup. Ia mainkan jurus Hong-u-putthou
atau tak-tembus-hujan-angin untuk melindungi diri....
Dalam pada itu To Hun-ki dan keempat Su-lo, dengan
susah payah dapat menghindari serangan pertapa ganas itu.
Tetapi belum sempat balas menyerang, Soh-beng Ki-su sudah
menyerangnya sambil memberi komando kepada barisan
Tengkorak. Tetapi karena perhatiannya agak terpecah dalam
memberi komando dan menyerang sendiri, mala berkuranglah
kedahsyatan serangan barisan Tengkorak maupun Soh-beng
Ki-su sendiri. Dengan begitu Tiau Bok-kun dapat bertahan
beberapa saat.
Seperti telah dituturkan dibagian muka, pada saat
menghadapi siwanita cantik Ki Ih, Soh-beng Ki-su terpaksa
mundur dan melarikan diri ke dalam kuil itu. Sebenarnya ia
hendak mempersiapkan barisan Tengkorak untuk membunuh
wanita itu. Tetapi tak ter-duga2, Tiau--Bok-kun melangkah
masuk. Melihat itu iapun terus menerkam si nona....
Mendiang ayah nona itu telah meninggalkan sebuah Giokpwe
atau Pending Kumala. Nona itu tak menyangka sama
sekali bahwa Giok-pwe itu ternyata sebuah tempat
penyimpanan pusaka. To Hun-ki sudah memperoleh separoh
bagian. Jika ia dapat merebut separoh bagian yang menjadi
milik Tiau Bok-kun, tentulah ia dapat menemukan tempat
penyimpanan pusaka itu. Apabila berhasil, bukan saja wanita

67
cantik Ki Ih, bahkan kelima durjana yang termasyhur itu, pun
dapat ditundukkan.
Demi membangun pamor kejayaan Kong-tong-pay dan
nasib dunia persilatan maka To Hun-ki berusaha keras untuk
memperoleh Giok-pwe itu.... Apabila benda itu sampai jatuh
ketangan si Pertapa Pencabut-nyawa, akibatnya ngeri sekali.
Soh-beng Ki-su seperti harimau tumbuh sayap.
Tetapi Tiau Bok-kun pun mati2an mempertahankan
peninggalan orangtuanya. Maka terjadilah peristiwa kejar
mengejar yang seru itu.
Pertempuran antara Tiau Bok-kun lawan barisan Tengkorak
dan kelima tokoh Kong-tong-pay lawan Pertapa Pencabutnyawa,
telah berlangsung sampai beberapa puluh jurus To
Hun-ki tak mungkin menang dan Tiau Bok-kun pun tak
mungkin lari. Adakah To Hun-ki tak menyadari
kedudukaannya?
Tidak! To Hun-ki tahu bahwa ia tak mungkin menang.
Tetapi ia tetap bertempur karena supaya dapat memberi
kesempatan Tiau Bok-kun lolos. Apabila nona itu lolos, kelak ia
tentu masih mempunyai kesempatan untuk merebut Giokpwe.
Untuk memberi kesempatan lari kepada si nona, To Hun-ki
memancing lawan supaya bertanding diluar kuil. Tetapi
pertapa ganas itu tak mau disiasati. Ia tertawa mengekeh dan
tetap merangsang kelima tokoh Kong-tong-pay.
To Hun-ki teringat tempo bertempur seorang diri melawan
pertapa itu, ia dapat bertahan sampai 30 jurus. Segera ia
mengambil keputusan. Keempat Su-lo disuruh membantu si
nona meloloskan diri dari kepungan barisan Tengkorak.
Sedang Soh-beng Ki-su hendak dihadapinya sendiri.

68
Tetapi berhadapan dengan manusia licin macam Soh beng
Ki-su, To Hun-ki benar-benar mati kutu. Sebelum sempat
menjalankan rencananya, Soh-beng Ki-su sudah mendesak
kelima tokoh Kong-tong-pay itu dengan gencar dan
menggiring mereka ke dalam barisan Tengkorak.
Melihat suasana pertempuran, To Kiu-kong dan Pengemis
Tertawa tak dapat tinggal diam lagi. Tetapi sebelum mereka
bertindak, lagi2 muncul pula seorang wanita baju putih,
memakai kerudung warna hitam dan mencekal sebatang
pedang San-tiam-kaim.
"Ki Ih si Ular cantik!" serentak sekalian orang berteriak
kaget dalam hati. Hanya Tiau Bok-kun yang tak kenal siapa
wanita aneh itu.
Belum wanita itu berdiri tegak, pedangnya sudah
menghambur ke arah barisan Tengkorak. Dua tiga sosok
tengkorak, hancur berantakan....
Soh-beng Ki-su cepat mencabut senjatanya yang berbentuk
piau atau passer untuk menyambut.
Sepuluh tahun yang lalu, ilmu pedang San-tiam-kiam atau
Pedang Kilat dari Ki Ih sudah termasyhur. Kini setelah
berselang 10 tahun, tentulah jauh lebih hebat lagi. Ilmu
pedang itu selalu berlawanan geraknya dengan ilmu pedang
biasa. Gerakan yang kosong ternyata gerakan sesungguhnya
dan gerakan yang tampak sungguh kiranya kosong.
Gelombang sinar pedang dan deru angin yang dahsyat
makin menguasai sinar senjata Soh-beng Ki-su. Namun
pertapa itu bukanlah lawan yang empuk. Dengan ilmu Pekkut-
kang, ia dapat memberi perintah kepada barisan
Tengkorak supaya memecah diri dalam kelompok kecil untuk

69
mengurung setiap lawan Dengan mendapat bantuan barisan
Tengkorak itu, Soh-beng Ki-su dapat memperbaiki
kedudukannya yang terdesak.
Ki Ih memang lihay tetapi betapa pun ia seorang wanita.
Berhadapan dengan tengkorak2 yang amat menyeramkan,
hatinya ngeri juga sehingga mengakibatkan permainan
pedangnya agak lamban.
Melihat permainan pedang Ki Ih tak begitu mantap lagi,
Soh-beng Ki-su segera pergencar serangannya dan berhasil
menguasai permainan lawan.
Ki Ih terdesak tetapi di sana, Tiau Bok-kun dan kelima
tokoh Kong-tong-pay berhasil merubuhkan tujuh delapan
sosok tengkorak. Soh-beng Ki-su mulai cemas Kalau Tiau Bokkun
sampai lolos, berantakanlah rencananya. Memikirkan hal
itu, perhatiannya agak terpecah. Keadaan itu tak lepas dari
pengamatan Ki Ih. Dengan beberapa serangan dapatlah ia
merobah kedudukannya. Dari yang diserang menjadi
penyerang.
Soh-beng Ki-su benar-benar gelisah. Buru-buru ia bolangbalingkan
cakarnya ke arah deretan peti mati. Tak kurang dari
30 buah peti mati hancur tutupnya dan mayat2 di dalamnya
segera berloncatan keluar menyerbu musuh.
Pertapa Pencabut-nyawa itu tertawa seram dan barisan
Tengkorak lalu meraung-raung, menangis macam iblis
merintih-rintih....
Dengan munculnya barisan bantuan itu, Ki Ih dan
rombongan Kong-tong-pay terdesak lagi. Mereka lebih banyak
bertahan daripada menyerang....

70
Sekonyong konyong terdengar suara tertawa menggeledek.
Dikala sekalian orang terkesiap, sesosok tubuh dalam jubah
gerombyongan, melayang masuk ke dalam ruang. Gerakannya
gesit dan tak mengeluarkan suara apa-apa....
Sekalian orang terkejut dan yang paling terperanjat sendiri
adalah Soh-beng Ki-su. Hampir ia tak percaya pada apa yang
dilihatnya.
"Ah, tak mungkin.' Bukankah dia sudah kuhantam mati di
lembah gunung Hongsan? Mustahil orang mati dapat hidup
kembali." bantahnya dalam hati.
"Siapakah engkau, hai!" tegurnya bengis untuk
menenangkan getar hatinya.
Wut.... orang aneh itu menjawab dengan kebutkan lengan
jubahnya.... Secercah sinar merah berkilat dan dua tiga puluh
tengkorak segera hancur menjadi abu....
"Pendekar Laknat!" seru Soh-beng Ki-su terkejut.
"Hm, benar Memang orang yang kau bunuh itu tidak mati!"
sahut orang aneh itu.
"Lalu siapa yang mati itu?"
Orang aneh itu tertegun sejenak, sahutnya, “seorang tua
yang tak berdosa!"
Soh-beng Ki-su makin gentar. Akhirnya ia berseru kalap,
“Mau apa engkau kemari?"
Orang aneh itu tertawa nyaring. Ruang kuil bergetaran.

71
"Aku hendak menuntut balas atas kematian orang tua itu!"
katanya seraya mendorong dengan kedua tangannya.
Segulung hawa panas melanda dan hancurlah sisa-sisa barisan
Tengkorak....
Tiau Bok-kun tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Cepat
ia menyelinap keluar. To Hun-ki dan keempat Su-lo mengikuti
lolos. Melihat ketua Kong-tong-pay kabur, Ki Ih cepat
mengejar....
To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa yang menyaksikan di
atas tembok kuil, diam-diam merasa heran. Rasanya dahulu
Pendekar Laknat itu tidak sedemikian tinggi besar. Namun
kalau menilik ilmu pukulan Bu-kek-sin-kang yang dilancarkan
itu, memang benar Pendekar Laknat.
Memang hal itu dapat dimengerti karena kedua tokoh
pengemis itu tentu tak dapat membayangkan bahwa Pendekar
Laknat yang muncul saat itu bukan lain adalah Siau-liong
sendiri.
Itulah yang kedua kalinya ia menyamar sebagai Pendekar
Laknat. Dan untuk yang kedua kalinya pula berjumpa dengan
ibunya. Sayang ia tak tahu bahwa wanita berkerudung muka
adalah Ki Ih, ibunya sendiri. Tetapi andaikata tahu, pun ia
tentu tak leluasa bicara karena masih menyamar sebagai
Pendekar Laknat....
Setelah mereka pergi, barulah Siau-liong terkesiap. Ia
curiga akan gerak-gerik wanita berkerudung tadi. Cepat ia
memutuskan, bunuh dulu Pertapa Pencabut-nyawa itu, baru
mengejar wanita berkerudung yang diduga tentulah ibunya.
Diserangnya Soh-beng Ki-su dengan jurus Sin-liong-thaysan
atau Naga-sakti-gunung-Thaysan. Tetapi Pertapa itu
bukan tokoh lemah. Tak mau ia gunakan senjata melainkan

72
dengan tangannya yang mirip cakar burung garuda. Ia
menakar pukulan lawan dengan sepuluh jari yang disaluri
tenaga-sakti Pek-kut-kang atau Tulang-putih.
Siau-liong masih belum dapat menguasai lwekang Bu-keksin-
kang. Ia hanya tahu menggunakan tenaga-sakti itu dengan
cara keras. Akibatnya ia menderita. Ia terhuyung-huyung
mundur sampai empat langkah. Darahnya bergolak keras.
Soh-beng Ki-su juga terserut mundur selangkah. Hanya
penderitaannya lebih kecil dari lawan.
Setelah tenangkan diri, Siau-liong mengatur siasat.
Tubuhnya bergerak ke kanan kiri lalu tangannya mengendap
ke bawah. Tiba-tiba tangannya dibalikkan menampar kekiri.
Ah, ternyata dia lancarkan jurus pukulan Membalik-langit. Dari
delapan penjuru, melandalah angin lwekang-panas ke arah
Soh beng Ki-su....
Soh-beng Ki-su cepat menyurut mundur. Ia tahu bahwa
ilmu pukulan Pek-kut-kang tak berguna terhadap Pendekar
Laknat. Segera ia gunakan jurus Yang-kek-im-seng atau
Hawa-positip-berganti Negatip. Jurus itu merupakan salah satu
jurus hebat dari ilmu pukulan Thay-im-ki-bun-sip pat-hoan
yang terdiri dari delapan belas jurus.
Terdengar letupan keras ketika dua buah pukulan yang
berlawanan sifatnya itu, saling berbentur....
Tamparan dari sebelah kiri tak berhasil, Siau-liong cepat
mengganti dengan tamparan sebelah kanan. Gejolak angin
menghambur lebih dahsyat. Memang tamparan kiri itu
berbeda sifatnya dengan tamparan kekanan. Lebih mantap
dan lebih berat.

73
Tetapi Soh-beng Ki-su tetap gunakan salah sebuah jurus
dari ilmu Thay-im-ki bun-sip-pat-hoan untuk menghalau
serangan pemuda itu.
Siau-liong marah. Ia rangkapkan kedua tangan lalu
mendorong kemuka. Itulah yang disebut pukulan To-sia-sanho
atau Menjungkir-balikkan-gunung-dan-sungai.
Perobahannya paling banyak dan perbawanya paling dahsyat.
Tetapi Soh-beng Ki-su dapat tetap menangkis. Akhirnya
tersadarlah Siau-liong. Hanya diimbangi dengan ilmu pukulan
Thay-siang-ciang ajaran mendiang Pengemis Tengkorak Song
Thian-kun. Barulah pukulan lwekang-sakti Bu-kek-sin-kang itu
benar-benar dapat mengembang kedahsyatannya. Tetapi, ah,
jika ia gunakan pukulan Thay-siang-ciang, tentulah dirinya
akan dikenal To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa yang
bersembunyi diluar kuil. Padahal ia tak menghendaki hal itu.
Karena keseganan itu maka walaupun sudah bertempur
berpuluh jurus, tetap ia tak mampu mengalahkan Soh-beng
Ki-su. Namun ia tak mau memberi ampun kepada musuh yang
telah membunuh Koay suhu atau Pengemis Tengkorak itu.
Akhirnya ia mendapat akal. Sengaja ia pura-pura kalah dan
mundur, ketika ia mundur sampai diambang pintu, Soh-beng
Ki-su menghunjamnya dengan sepasang pukulan dahsyat dan
Siau-liong membiarkan dirinya dilanda angin pukulan lawan.
Begitu malayang turun diluar kuil, cepat ia kebutkan lengan
jubah ke arah To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa. Sudah
tentu kedua tokoh pengemis itu terkejut bukan kepalang Jika
tak cepat lari, tentulah tubuh mereka hangus dilanda lwekang
panas Bu-kek-sin-kang. Sekali loncat kedua tokoh itu kaburlah.
Tepat pada saat mereka lari, terdengarlah jeritan ngeri dan
rubuhnya tembok kuil. Tetapi tokoh-tokoh pengemis itu tak
berani berpaling muka. Mereka lari terbirit—birit.

74
Siasat Siau-liong berhasil. Setelah dapat menghalau kedua
tokoh Kay-pang itu, ia segera lepaskan pukulan Thay-siangciang
disertai lwekang Bu-kek sin-kang. Jurus yang dipilih
Siau-liong adalah jurus Siu-lo-pan-cha. Jurus yang paling
dahsyat dan tepat untuk menghancurkan segala macam iblis
laknat termasuk seorang durjana besar seperti Soh-beng Kisu.
Pertapa itu menjerit ngeri. Ia terluka parah Tembok kuil
yang berada dibelakangnya ambruk. Tetapi sebagai rase tua,
walaupun dalam keadaan terluka, ia masih dapat
menggunakan tipu siasat. Darah yang hendak menyembur
dari mulut ditekan sekuatnya. Dan ia masih tetap melayani
serangan Siau-liong dengan tenang. Begitu memperoleh
kesempatan, tiba-tiba ia semburkan darahnya kemuka lawan.
Siau-liong terkejut. Setitikpun ia tak menyangka akan
menerima serangan yang begitu luar biasa. Darah yang
disemburkan mulut Soh-beng Ki-su itu jauh lebih berbahaya
dari segala macam senjata rahasia. Jika kena, muka Siau-liong
tentu hancur lebur!
Cepat pemuda itu loncat menghindar.... Serempak dengan
itu, Soh-beng Ki-su pun lotos keluar dari reruntuhan tembok.
Siau-liong mengejarnya.
Menilik sudah terluka parah tentu Soh-beng Ki-su tak dapat
lolos. Tetapi dasar belum takdirnya mati. Setelah melintas
lamping gunung, pertapa itu menyusup ke dalam hutan.
Berkat malam gelap dan hutan lebat, pertapa itu dapat
melenyapkan diri.
Siau-liong terpaksa hentikan pengejarannya.

75
Ia berjalan lesu. Tiba-tiba ia teringat waktu menolong Tiau
Bok-kun dalam biara, diluar biara ia mendengar Soh-beng Kisu
berteriak, “Hai, Ki Ih, perlu apa engkau berkerudung
muka....
"Hai!" serentak Siau-liong tersadar bahwa wanita
berkerudung muka tadi tentulah ibunya. Tetapi, ah.... kembali
ia menghilangkan kesempatan baik untuk menemui ibunya itu.
Segera ia lari mencari wanita berkerudung tadi. Tetapi ia
kehilangan arah dan tak tahu jalan keluar dari pegunungan
situ. Akhirnya ia lari ke arah timur. Tak berapa lama ia
berhadapan dengan sebuah karang buntu. Jauh dibawah
karang itu, terhampar sebuah jalan yang merentang ke dalam
hutan. Terpaksa ia menuruni karang yang curam itu....
Pada saat tiba di bawah, dari dalam hutan disebelah muka,
terdengar suara senjata beradu. Cepat ia lari memburu.
Betapa kejutnya ketika melihat Ki Ih sedang dikeroyok To
Hun-ki dan rombongan To Kiu-kong yang berjumlah sembilan
orang.
Ki Ih berhasil mengejar Toh Hun-ki dan keempat Su-lo dari
Kong-tong-pay. Sebenarnya ia dapat membunuh musuh2
suaminya itu. Sayang To Hun-ki dan ketiga tokoh Pengemis
muncul. Kay-pang memang baik hubungannya dengan partai2
persilatan. Dan Ki Ih memang tak disuka orang.
Selain berasal dari seberang lautan, pun wanita itu banyak
mengikat permusuhan dengan kaum persilatan di Tiong-goan.
To Kiu-kong, Pengemis Tertawa, si Pincang kiri Tio Thau
dan sipincang kanan Li Ji, segera bantu menyerang Ki Ih.
Kedudukan segera berobah. Ki Ih yang semula menang angin,
kini berbalik terdesak.

76
Namun wanita sakti itu tak mau menyerah mentah2. Ia
mainkan pedangnya lebih gencar. Salah sebuah jurus ilmu
Pedang Kilat yang disebut Guruh-dan-halilintar-menyambar,
segera memburu kesembilan pengeroyoknya. Mereka jeri dan
terpaksa mundur. Kesempatan itu digunakan Ki Ih untuk
menabur 9 buah senjatan rahasia Hwe-hun-tui ke arah To
Hun-ki dan keempat Su-lo.
Hwe-hun-tui atau Gumpalan-awan-api, merupakan senjata
rahasia yang telah mengangkat nama Ki Ih. Apabila kelima
orang itu binasa, mudahlah ia membereskan keempat tokoh
pengemis.
To Kiu-kong terkejut tetapi tak keburu menolong kelima
tokoh Kong-tong-pay. Pada saat maut hendak merenggut jiwa
tokoh2 Kong-tong-pay itu, tiba-tiba Siau-liong muncul dalam
penyamaran sebagai Pendekar Laknat. Sambil loncat ke udara,
ia kebutkan kedua lengan bajunya. Dua buah gelombang sinar
merah melanda dan sembilan buah senjata rahasia Hwe-huntui
itupun hancur lebur.
Sesuai dengan namanya, senjata-rahasia Gumpalan-awanapi
itu memancarkan hawa panas. Hanya tenaga-sakti Bu-keksin-
kang yang bersifat panas, dapat menghancurkan senjata
rahasia itu. Dan selamatiah jiwa kelima tokoh Kong-tong-pay!
Sekalian orang terkejut. Selain tak menduga akan
kemunculan Pendekar Laknat, pun mereka heran, mengapa
tokoh gila itu membantu orang2 Kong-tong-pay.
Dan Ki Ih pun tak kurang kagetnya. Menghadapi sembilan
musuh tadi, ia sudah kewalahan. Apa lagi ditambah dengan
seorang Pendekar Laknat. Cepat wanita itu melarikan diri.

77
Pada saat meluncur turun ke bumi, Siau-liong berputar diri
dan lepaskan pukulan dahsyat ke arah sembilan jago
pengeroyok itu!
Gila! Bukankah tadi Pendekar Laknat menghancurkan
senjata rahasia dari Ki Ih? Mengapa sekarang ia berbalik
menyerang ke sembilan tokoh2 yang mengeroyok wanita itu?
Kesembilan jago itu menghindar ke samping lalu
menyerang Siau-liong. Tetapi Siau-liong lebih cepat. Segera ia
lancarkan pukulan yang kedua yakni To-sia-san-ho atau
Membalikkan gunung dan sungai.
Kesembilan jago itu terpental mundur sampai empat
langkah. Mereka berputar diri terus lari masuk ke hutan
Kiranya Siau-liong memang bermaksud hendak menghalau
kesembilan orang itu. Kemudian ia akan menghadap ibunya
dan minta maaf. Ia hendak menjelaskan bahwa dia adalah
puteranya yang terpisah selama 16 tahun itu!
Tetapi ketika berpaling, alangkah kejutnya. Ki Ih siwanita
berkerudung, sudah lenyap!
Siau-liong terpukau. Enam belas tahun lamanya ia berpisah
dari ibunya. Dua kali ia mendapat kesempatan berjumpa tetapi
dua kali itu pula ia tak berhasil bicara dengan ibunya. Air mata
pemuda itu berlinang-linang. Akhirnya ia duduk bersemedhi
memulangkan tenaga.
Ketika membuka mata, ia terkejut. Di hutan jauh disebelah
muka, tampak berkelebat sesosok tubuh wanita. Menduga
kalau ibunya, cepat ia loncat dan lari menghampiri.... Ah,
hampir ia berteriak girang ketika bayangan itu benar Ki Ih.
Tetapi pada lain kejab ia tertegun ketika menyadari bahwa
saat itu dirinya masih menyamar sebagai Pendekar Laknat.
Tak mungkin ibunya akan percaya!

78
Hanya beberapa detik ia tertegun. wanita itupun sudah
lenyap lagi dari pandangan. Cepat Siau-liong mengejar tetapi
tak berhasil. Akhirnya ia membuka kedok dan pakaian
penyamarannya. Lalu ia duduk melepaskan lelah di tepi
sungai.
"Ma, apakah engkau tahu bahwa puteramu Siau-liong
masih hidup dan sekarang sudah begini besar? Ah, mama,
betapalah rindu hatiku kepada-mu....” dalam termenung
mengenangkan nasib, ia menangis meratapi ibunya.
Kemudian ia bertanya pada dirinya, “Mama, apakah engkau
setuju atas tindakanku? Ma, jika engkau mengetahui
maksudku, tentulah engkau dapat menyetujui.... hai!" tiba-tiba
ia memekik kaget.
Matanya yang tengah memandang permukaan air, tiba-tiba
tertumbuk pada wajah seorang gadis. Cepat ia berpaling ke
belakang dan ah.... sicantik Tiau Bok-kun.
"Nona Tiau!" serunya tersipu-sipu menghapus air mata.
Tetapi gadis itu diam saja. Siau-liong mengulang lagi
tegurannya namun tiada penyahutan. Siau liong
memandangnya lekat2. Dan terpukaulah ia....
Nona itu benar-benar menyerupai Tiau Bok-kun tetapi
bukan Tiau Bok-kun!
"Siapa engkau?" akhirnya nona itu menegur.
Siau-liong terkesiap Nada nona itu wajar tetapi galak. Ia
tak puas atas sikap si nona yang tak sopan itu.
"Apa pedulimu aku siapa? " sahutnya.

79
"Siapa yang panggil Tiau Bok-kun itu?"
"Aku salah sangka." muka Siau-liong merah.
"Dan mengapa engkau menangis?"
"Karena aku suka menangis!" sahut Siau-liong dengan nada
yang tak kurang getas.
Dara itu hendak mencabut pedang tetapi tak jadi. Sambil
tertawa mengikik ia menggagah dimuka Siau-liong, “Ih,
jangan marah, bung. Aku memang tak dapat bicara halus
tetapi aku ingin berkenalan dengan engkau. Keberatan?"
"Engkau terlalu bengis, aku tak suka berkenalan."
“Hm, jika menolak, lebih baik kita berkelahi.
"Boleh saja akupun tidak takut!"
Baru Siau-liong berkata begitu, si nona galak sudah
merangsang dengan kedua tangannya ke arah dada dan perut
Siau-liong.
Siau-liong merasa serba salah. Berkelahi dengan seorang
anak perempuan, sesungguhnya ia malu. Tetapi kalau diam
saja, dara itu menyerang dengan liar. Terpaksa ia menghindar
saja.... Dua jurus kemudian, timbullah pikirannya untuk lolos.
Ia anggap tak berguna berkelahi dengan seorang anak
perempuan yang tak dikenal.
Setelah berhasil memaksa dara itu mundur, Siau-liong terus
melarikan diri. Ia menuju ke tepi sungai. Tetapi ketika
berpaling, ah.... nona itu tetap mengejarnya Siau-liong loncat

80
ke sebuah perahu sampan, terus meluncur ke tengah menuju
kota Siok-ciu.
Astaga.... dara itupun loncat ke sebuah perahu dan
mengejar. Ia memiliki lwekang yang hebat sehingga
perahunya dapat meluncur pesat.
Tetapi betapapun halnya, Siau-liong tetap menang cepat.
Begitu tiba di pantai, ia terus masuk kota dan mencari sebuah
rumah penginapan. Habis makan, ia terus masuk tidur.
Menjelang mahgrib, baru ia bangun. Tepat pada saat itu,
dua orang pelayan masuk membawa seperangkat pakaian dan
senampan hidangan.
"Tuan, nona yang bertempat di kamar sebelah depan,
mengirim pakaian ini untuk tuan," kata pelayan itu.
Siau-liong mendengus. Ia malu kalau mengatakan tak kenal
dengan nona itu.... Setelah pelayan pergi, ia bimbang sendiri.
Menerima pemberian itu atau tidak.
Ia mengintai di jendela. Kamar disebelah depan, tampak
sepi. Ia duduk kembali, memandang hidangan itu. Ah,
mungkin nona itu salah faham. Jelas ia tak kenal padanya.
Akhirnya ia berbangkit dan melangkah keluar. Tetapi baru
menyingkap tirai pintu, sesosok tubuh menerobos masuk.
Karena tak keburu menarik pulang tangannya, tersentuhlah ia
pada dua buah benda yang lunak....
Tersipu-sipu ia menyurut kesamping pintu. Seorang dara
melangkah masuk dengan berisak tangis Siau-liong
tercengang. Itulah nona yang mengejarnya tadi.
“Engkau menghina aku! Engkau menghina aku!" sambil
menangis, kedua tangan nona itu mencakari dada Siau-liong.

81
Siau-liong biarkan saja agar nona itu jangan semakin kalap.
Tetapi ia hampir geli karena dadanya seperti di kitik-kitik.
Tiba-tiba tangan nona itu menusuk jalan darah didadanya.
Siau-liong terkejut tetapi diam saja. Nona itu menjerit kaget
dan menarik pulang tangannya sambil mendekap tangan kiri
dengan tangan kanannya.
“Setan, jahat benar engkau!" nona itu meninju dada Siauliong.
Ternyata dalam diam tadi, Siau-liong kerahkan lwekang Bukek-
sin-kang kedadanya. Itulah sebabnya si nona menjerit
kesakitan. Jika tak lekas menarik pulang, tentu tangan nona
itu akan cacad.
Sambil tertawa, Siau-liong menyurut mundur dan memberi
hormat, “Harap jangan marah dan maafkan kesalahanku!"
“Huh, mengapa tak mempersilahkan aku masuk!"
“Hidangan itu adalah pemberian nona, silahkan nona
menyantapnya " kata Siau-liong.
“Bukankah engkau menerimanya?"
“Tanpa jasa apa2, tak pantas menerima hadiah, aku....”
“Ah, apa artinya hidangan semacam itu?" tukas si nona.
Siau-liong tetap menolak. Tetapi nona itupun tetap
memaksanya. Ia terus melangkah masuk, duduk dan suruh
Siau-liong duduk juga lalu diajak makan.

82
Sambli makan mereka ber-cakap2. Nona itu mengatakan
bahwa ia berasal dari seberang lautan. Namanya Pek Ciang-wi
atau Mawar Putih. Memang ia gemar berpakaian serba putih.
Lebih lanjut ia menerangkan bahwa gurunya berpesan.
Apabila di daerah Tiong-goan supaya mencari seorang sahabat
yang baik Ketika berjumpa dengan Siau-liong, ia anggap
pemuda itu seorang baik yang tepat dijadikan sahabat. Maka
makin Siau-liong jual mahal, nona itu makin mengejarnya....
Atas pertanyaan Siau-liong, si nona memberi jawaban yang
indah, “Rumahku diseberang lautan, dibawah gunung Dewa.
Gunung itu terletak di atas angin. Eh, apa perlumu
mengetahui nama tempat itu!"
Dan ketika Siau-liong menanyakan tentang gurunya, nona
itu gelengkan kepala. Siau-liong tak mau mendesak. Ia
sendiripun tak mau mengatakan tentang gurunya kepada lain
orang.
Ketika pertama kali bertemu, Siau-liong tak senang melihat
tingkah si nona yang liar itu. Tetapi entah bagaimana, kini ia
merasa tak marah dengan cara2 liar nona itu. Mungkin hal itu
disebabkan, karena ia putera dari Ki Ih yang juga berasal dari
seberang lautan.
Kepada si nona, Siau-liong mengaku bernama Kongsun
Liong dan minta nona itu memanggilnya Siau-liong.
Mawar Putih terkesiap. Dipandangnya pemuda itu lekat2,
dari ujung kaki sampai ke atas kepala. Ia geleng2 kepala dan
berseru lembut, “Siau-liong....”
Panggilan itu amat menyentuh hati Siau-liong. Dalam sikap
kewajaran, kejujuran dan keliarannya, Mawar Putih memiliki

83
sifat ke Ibuan yang mesra Untuk pertama kali dalam
hidupnya, Siau-liong rasakan indahnya kehidupan....
Mereka makan dan minum dengan gembira. Habis makan,
Mawar Putih suruh Siau-liong berganti pakaian yang
dikirimkan tadi.
Setelah ganti pakaian baru, Siau-liong tampak lebih cakap
dan gagah. Nona itu tertawa gembira. Mereka menuju ke
kebun belakang, menikmati kolam yang menghias taman.
"Siau-liong!"
“Nona Pek!"
Nona itu menggeliat, “Ih, janggal benar panggilanmu itu,"
“Habis?"
"Panggil saja Mawar Putih"
“Mawar.... Putih," suara Siau-liong agak sember. Ia tak
dapat melanjutkan kata2nya karena saat itu si nona sandarkan
tubuh kedadanya.
Siau-liong seorang perjaka yang belum pernah bergaul
sedemikian mesranya dengan gadis. Sejak kecil, ia hanya
bergaul dengan pohon2 hijau dan burung2 hutan. Sudah tentu
ia ter-longong2 melihat tingkah Mawar Putih. Ketika
hidungnya terbaur hawa harum dari tubuh si dara, semangat
Siau-liong serasa melayang-layang....
Tiba-tiba terdengar derap langkah orang bergegas datang.
Keduanya cepat meluruskan duduknya dan memperhatikan
pendatang itu. Ah, ternyata pelayan hotel.

84
"Tuan, ada tetamu mencari tuan!" katanya.
Siau-liong cepat kembali kekamarnya. Ia terkejut melihat
beberapa anak buah Kay-pang berkerumun diserambi
kamarnya. Mereka tampak tegang.
"Cousu-ya datang!" anak buah Kay-pang serempak berseru
ketika Siau-liong muncul.
Mawar Putih terperanjat. Ia tak menyangka bahwa pemuda
yang bernama Kongsun Liong itu ternyata seorang ketua
partai Kay-pang.
To Kiu-kong muncul dari kamar Siau-liong dan
mempersilahkan Siau-liong berdua masuk. Siau-liong terkejut
ketika melihat Tiau Bok-kun berbaring ditempat tidurnya
dalam keadaan pingsan. Bajunya koyak2 dan berlumuran
darah.
Untunglah nona itu tak begitu parah lukanya. Siau-liong
segera minumkan beberapa butir pil kemulut nona itu.
Melihat Siau-liong begitu memperhatikan Tiau Bok-kun,
serentak timbullah rasa tak senang dalam hati Mawar Putih. Ia
duga nona itu tentulah yang dipanggil Siau-liong ketika
berjumpa di tepi sungai tadi pagi.
Setelah memeriksa luka Tiau Bok-kun tak berbahaya. Siauliong
meminta keterangan kepada To Kiu-kong.
Kiranya setelah melarikan diri dari serangan Siau-liong
sebagai Pendekar Laknat, To Kiu-kong dan rombongan To
Hun-ki lalu berpisah.
Menjelang malam, To Kiu-kong mendapat laporan dari anak
buah Kay-pang, bahwa Siau-liong tinggal dirumah penginapan

85
Gun-hian-can To Kiu-kong diminta Toh Hun-ki supaya suka
mengundang Kongsun Liong agar membantu partai Kongtong-
pay menghadapi Soh-beng Ki-su, Ki Ih dan Pendekar
Laknat.
Dalam rangka membasmi durjana itu, pertama harus
mendapatkan Pending Kumala yang berada ditangan Tiau
Bok-kun. Pending Kumala itu merupakan kunci untuk
memperoleh tempat penyimpanan pusaka sakti yang dapat
menyelamatkan dunia persilatan dari kehancuran.
Malam itu juga To Kiu-kong berserta beberapa jago Kaypang
berangkat mencari Siau-liong ke Siok-ciu. Tetapi
ditengah jalan mereka berpapasan dengan Soh-beng Ki-su
yang berhasil melukai Tiau Bok-kun dan merebut Pending
Kumala.
To Kiu-kong dan kawan2 segera menyerang pertapa itu.
Tetapi pertapa itu keliwat sakti bagi mereka. Soh-beng Ki-su
berhasil lolos dan To Kiu-kong hanya dapat menolong Tiau
Bok-kun.
Pada saat masih dapat ditanya, Tiau Bok-kun menyebut2
nama Kongsun Liong maka To Kiu-kong segera membawanya
kerumah penginapan itu.
“Mana To Hun-ki sekarang?" tanya Siau-liong
“Di biara Ji-long-bio di gunung Pit-ka-san," To Kiu-kong
menerangkan.
Karena tak dipedulikan, Mawar Putih merasa terhina. Pada
saat Siau-liong tengah merenung, diam-diam nona itu
menyelinap keluar. Setelah To Kiu-kong dan anak buahnya
minta diri, barulah Siau-liong mengetahui kalau Mawar Putih
lenyap. Tetapi ia tak menghiraukan. Ia lebih mementingkan

86
untuk mengurut jalan-darah Tiau Bok-kun. Tak berapa lama
nona itupun tersadar.
Tetapi sebelum nona itu tersadar benar-benar, Siau-liong
mengambil pakaiannya yang lama lalu menyelinap pergi....
-ooo0dw0ooo-
Gunung Pit-ka-san terletak dihulu sungai Kim-sat-kiang.
Gunung itu mempunyai tiga buah puncak. Kedua puncak di
kanan kiri, dapat dicapai orang. Tetapi puncak ditengah, lurus
melandai seperti sebuah tiang penyanggah langit. Empat
penjuru dikelilingi jurang yang curam. Jika tak memiliki ilmu
ginkang yang tinggi, tak mungkin dapat mencapai puncak itu.
Di puncak tersebut terdapat sebidang tanah datar seluas
sepuluh tombak. Di belakang tanah datar, didirikan sebuah
biara yang disebut Ji-liong-bio. Kepala biara Liau Liau taysu,
seorang paderi dari partai Go-bi-pay.
Pada saat mengurut Tiau Bok-kun, pikiran Siau-liong
menimang. Setelah mendapat separoh Pending Kumala yang
dimiki nona itu, Soh-beng Ki-su tentu akan mencari To Hun-ki
untuk mendapatkan Pending Kumala yang separoh bagian
lagi. Maka ia harus cepat2 mendahului ke Pit-ka-Soh-beng Kisu
pasti akan datang kesitu. Kembali Siau-liong menyaru
sebagai Pendekar Laknat.
Tiba di kaki gunung, tampak biara Ji-liong-bio terang
benderang, penuh orang. Ia menyembunyikan diri. Tak berapa
lama, muncul beberapa orang. Berkelompok kecil terdiri dari
dua tiga orang, kemudian rombongan dari tujuh delapan
orang. Mereka adalah jago2 silat yang sakti. Hal itu terbukti
dari gerakan mereka yang amat tangkas ketika berloncatan
mendaki puncak.

87
Beberapa saat kemudian, dari puncak terdengar suara
orang bertempur seru. Siau-liong terkejut. Apakah To Hun-ki
dan orang2 Kong-tong-pay diserang musuh? Siapakah musuh
itu?
Karena tertarik perhatiannya, Siau-liong hendak
menghampiri puncak. Saat itu rembulan remang. Sekeliling
penjuru gelap pekat. Ia gunakan gerak Burung-hongmenghadap-
matahari. Dalam tiga empat kali melambung, ia
dapat mencapai separoh bagian puncak gunung itu. Tetapi
pada saat ia hendak melayang ke atas lagi, tiba-tiba ia
diserang gelombang angin yang hebat. Dan seketika itu juga
ia meluncur ke bawah lagi. Ia amat terkejut dan berusaha
menyambar dahan pohon yang tumbuh disana sini. Tetapi tak
berhasil.
Minilik kepandaian yang dimiliki saat itu, tak mungkin ia
harus menderita kecelakaan semacam itu. Benar, memang itu
bukan kecelakaan, tetapi sebuah serangan gelap dari
seseorang yang berada di puncak.
Meluncur dari ketinggian 60-an tombak, tentu hancur lebur.
Tetapi untunglah Siau-liong sudah memiliki ginkang yang
disebut Naga-melingkar-18 putaran. Ia berputar-putar dan
melayang ke karang buntung disisi kanan puncak. Dengan
meminjam tenaga tekanan pada dahan pohon, ia melambung
lagi ke atas puncak. Setelah memperhitungkan telah mencapai
ketinggian yang diduga menjadi tempat persembunyian
penyerang gelap tadi, ia terus melayang ke karang di sebelah
kiri. Ia hendak mencari penyerang itu.
Ternyata penyerang gelap itu adalah Soh-beng Ki-su
sendiri. Tepat yang diduga Siau-liong, Soh-beng Ki-su mencari
Toh Hun-ki. Dan ia lebih dulu tiba di gunung Pit-ka-san. Tetapi
ketika melihat di biara Ji-liong-bio berlangsung pertempuran,
ia batalkan rencananya. Pada waktu ia melayang turun sampai

88
di tengah gunung, ia melihat Pendekar Laknat bergegas
mendaki ke atas. Segera ia lontarkan pukulan dahsyat. Setelah
Siau-liong tenggelam ke bawah, ia melarikan diri.
Itulah sebabnya maka Siau-liong tak dapat menemukan
Soh-beng Ki-su. Akhirnya pemuda itu lanjutkan pendakiannya
lagi ke atas puncak. Ia bersembunyi dibalik gunduk karang.
Ketika melongok pertempuran di tanah datar, kejutnya bukan
kepalang.
Kiranya lebih dari enam lelaki dan wanita, tegak berjajar di
depan biara. Dan yang bertempur di lapangan datar adalah Ki
Ih lawan keempat Kong-tong Su-lo serta Liau Liau taysu
bersama empat orang muridnya.
Siau-liong duga ibunya tentu hendak mencari balas kepada
Toh Hun-kin dan keempat Sulo. Diam-diam ia bangga dan
girang mempunyai seorang ibu yang setia kepada suaminya.
Ki Ih memang sakti. Menghadapi keroyokan belasan jago2
sakti. ia tak gentar, Ilmu pedang Kilat, dimainkan laksana ular
naga bergeliatan di permukaan laut. Cepat bagaikan kilat
menyambar dan gesit seperti ular menyusup ke dalam liang.
Tetapi Siau-liong tetap mencemaskan keselamatan ibunya.
Ternyata rombongan paderi yang berjajar diluar biara itu
terdiri dari jago2 persilatan yang ternama. Antara lain, Ki Ceng
siansu ketua Go-bi-pay. It Kiau ketua Tiam-jong-pay, tokoh
Kun-lun Sam-cu dari Kun-lun-pay. Thian-san It-soh dari Thiansan-
pay, paderi2 sakti dari Siau-lim-pay serta tokoh2 Bu-tongpay
dan Hoa-san-pay.
Dalam menghadapi kelima Durjana dan Ki Ih, partai2
persilatan itu telah mengirim jagonya yang tangguh, mencari
pusaka yang telah tersiar luas di dunia persilatan. Hanya

89
dengan memperoleh pusaka itulah kelima durjana dan Ki Ih
dapat diberantas.
Saat itu mereka berhadapan dengan Ki Ih. Mengingat Ki Ih
itu seorang wanita, jago2 itu sama pegang gengsi. Mereka tak
mau mengeroyok melainkan mengajukan beberapa jago saja.
Siau-liong bingung bagaimana harus bertindak. Jika muncul
sebagai Pendekar Laknat, berpuluh jago persilatan tentu akan
menyerangnya. Selain sukar menolong ibunya, ia sendiri
terancam bahaya.
Kalau muncul sebagai ketua partai Kay-pang, ia tentu harus
memusuhi ibunya, karena Kay-pang bersahabat baik dengan
partai2 persilatan.
Sedang ia belum dapat memutuskan tindakan apa yang
akan diambil, keadaan Ki Ih makin payah. Tiba-tiba To Hun-ki
mendesak dan menyabat pinggang wanita itu dengan cepat
dan tak terduga-duga. Siau-liong terkejut sekali dan hampir
berteriak. Untung sebelum membuka mulut, dengan jurus
Kilat-membelah-halilintar, Ki Ih dapat menghapus serangan
maut itu.
Siau-liong kucurkan keringat dingin. Belum sempat ia
menghela napas, tiba-tiba Ki Ih terancam bahaya lagi. Karena
sedang menghindari serangan To Hun-ki, ke 9 tokoh2
lawannya segera menyerbu. Ki Ih alihkan perhatiannya untuk
menghalau serangan orang2 itu tetapi sudah terlambat. Kini ia
dikuasai oleh kesembilan musuh itu dan tak mampu
melancarkan serangan balasan.
Walaupun tak dapat diketahui perobahan muka wanita itu
karena ditutup kain kerudung, namun dari tubuhnya yang
menggigil, teranglah kalau keadaannya makin payah. Ada
tanda2 ia hendak meloloskan diri.

90
Toh Hun-ki dan kawan2nya tahu juga rencana wanita itu.
Mereka mendesak lebih gencar sehingga tubuh wanita seperti
tertabur sinar pedang. Keempat Su-lo dari Kong-tong-pay tak
henti2nya tertawa mengejek.
Pada lain saat Ki Ih menjerit keras. Bahunya kiri terpapas
pedang Toh Hun-ki. Darah membasahi lengan bajunya....
Wanita itu kerahkan seluruh semangat. Sekaligus ia
lancarkan tiga jurus serangan pedang yang dahsyat, khusus
ditujukan pada lawan yang membelakangi jurang. Hendak ia
desak orang itu supaya menyurut mundur dan jatuh ke dalam
jurang! Tetapi kalau orang itu tahu bahaya dan hanya
menghindar.... Ki Ih hendak menggunakan kesempatan itu
untuk loncat ke dalam jurang. Ia lebih suka mati di dasar
jurang daripada mati ditangan musuh-musuh yang dibencinya
itu!
Dalam sekejab mata saja, 300 jurus telah berlangsung.
Berkat kenekadannya, dapatlah Ki Ih mendekati tepi karang.
Dua tiga jurus lagi, ia tentu dapat menghalau musuh yang
menghadang dimuka dan akan terbukalah kesempatan untuk
lolos.
Tetapi untuk mencapai tujuan itu bukanlah hal yang
mudah. Tiga ratus jurus tadi benar-benar telah menghabiskan
tenaganya. Tubuhnya bersimbah keringat. Ia paksakan diri
mengerahkan sisa tenaga yang masih dimilikinya. Tetapi
ternyata tenaganya sudah habis Pedangnya mulai lambat,
tubuh berguncang-guncang dan pandang matanya pun
berbinar-binar. Pada lain saat terdengarlah jeritan ngeri
campur gelak tawa mengejek. Toh Hun-ki mendahului kawankawannya
menusuk dada wanita itu.

91
Pada detik maut hendak merenggut jiwa Ki Ih, sekonyongkonyong
sesosok tubuh dalam jubah hitam melayang di udara.
Dan serempak dengan itu segelombang sinar merah melanda
dan tahu2 senjata kesepuluh tokoh yang mengeroyok Ki Ih
itu, jatuh berhamburan ke tanah....
Siau-liong melayang turun dan memandang kesekeliling.
Melihat Pendekar Laknat muncul, Ki Ih segera sarungkan
pedang dan duduk bersemedhi memulangkan tenaga.
Tahu bahwa ibunya tak terluka, Siau-liong tak mau
mengganggunya. Kini ia menghadapi berpuluh jago silat yang
saat itu sama menghunus senjata dan menghampiri.
"Hai, setan Laknat, engkau menolong aku tetapi mengapa
menolong wanita ganas itu!" tegur Toh Hun-ki.
Diam-diam Siau-liong girang. Ia hendak mengulur waktu.
Maka tertawalah ia senyaring-nyaringnya.
"Toh tua salah engkau Seharus memanggil aku Pendekar
Laknat yang gila. Gila, ya memang gila! Apakah engkau perlu
tahu alasanku?" serunya.
Siau-liong tertawa lagi, “Aku dapat menolong, pun dapat
membunuhmu. Aku dapat menolong Ki Ih, tetapi dapat
membunuhnya juga. Bukan sigila Pendekar Laknat kalau tidak
bertindak segila. ini!"
Tiba-tiba ia berputar tubuh dan "bum....” empat orang
murid Liau Liau taysu yang menyerang dari belakang, telah
disongsong dengan sebuah pukulan. Tubuh keempat orang itu
terlempar ke dalam jurang.

92
Sekalian orang terkejut melihat kesaktian Pendekar Laknat
yang jauh lebih sakti dari 20 tahun berselang. Liau Liau taysu
walaupun marah, tetapi tak dapat berbuat apa2.
"Pendekar Laknat mengapa engkau mengganas orang
secara begitu kejam? Apakah engkau yakin mampu turun dari
gunung Pit-ka-san ini?" bentak Toh Hun-ki, ketua Kong-tongpay.
Siau-liong tertawa dingin, “Menyerang secara gelap, apakah
kalian anggap benar? Aku bebas datang dan pergi. Apakah
engkau yakin merintangi aku? Hm, jangan gegabah!"
Tokoh2 yang pernah berjumpa dengan Pendekar Laknat
pada 20 tahun yang lalu, diam-diam heran. Mengapa sekarang
nada tertawa momok itu sedemikian menggerincing dan jauh
sekali bedanya dengan tertawa Pendekar Laknat yang dulu?
Sikap dan kata2nya juga tak seliar dahulu.
"Suheng, jangan termakan siasatnya yang hendak
mengulur waktu!" tiba-tiba keempat Sulo dari Kong-tong-pay
berseru kepada Toh Hun-ki.
Bersama Liau Liau taysu, keempat Su-lo itu segera maju
menyerang. Toh Hun-ki cepat mencegah keempat Su-lo tetapi
tak keburu merintangi Liau Liau taysu. Karena marah
kehilangan empat orang muridnya, Liau Liau taysu menyerang
dengan cepat sekali.
Namun Siau-liong acuh tak acuh. Tak mau ia melayani
serangan paderi itu dengan sungguh2. Tetapi Liau Liau taysu
makin kalap. serangan pertama luput, ia susuli lagi dengan
serangan kedua yang dilancarkan dengan sepenuh tenaga.
Sesungguhnya tadi Siau-liong gunakan tenaga dalam untuk
menyedot serangan Liau Liau taysu. Pada saat paderi itu

93
menyerang yang kedua kali, saat itu juga Siau-liong pentalkan
kembali sedotan tenaga-dalamnya. Seketika terdengar letupan
keras Liau Liau taysu terhuyung beberapa langkah. Mulutnya
menyembur darah dan jatuhlah ia terduduk di tanah.
Wajahnya pucat lesi. Buru-buru ia pejamkan mata untuk
mengatur peredaran darahnya.
Menyaksikan peristiwa itu, Toh Hun-ki dan rombongannya
terlongong-longong. Dan pada saat itulah Ki Ih loncat bangun
dan terus lari lenyap dalam kegelapan malam!
Siau-liong terkejut Diam-diam ia siap untuk memberi
bantuan kepada ibunya apabila musuh hendak merintangi.
Tetapi ia pun merasa kecewa sekali. Kesempatan untuk
berjumpa dengan ibunya, kembali hilang. Kini ia tumpahkan
kemarahannya kepada orang2 itu. Sambil kerahkan tenaga
dalam, ia maju menghampiri mereka.
Toh Hun-ki, ketua Kong-tong-pay, menginsyafi bahwa saat
itu akan meletus pertempuran maut. Suatu pertempuran yang
akan menggoncangkan dan berakibat besar dalam dunia
persilatan, Ia ambil posisi ditengah.... Tokoh2 yang lain pun
serentak berbaris dibelakangnya.
Tahu betapa penting arti pertempuran itu, Toh Hun-ki tak
berani bertindak gegabah. Setelah dahulu mendesak murid
kesayangannya, Tong Gun-liong supaya bunuh diri, ketua
Kong-tong-pay itu amat menyesal. Karena kematian Tong
Gun-liong itu telah membangkitkan kemarahan sicantik Ki Ih.
Jika saat itu tambah lagi seorang Pendekar Laknat, ah....
partai Kong-tong-pay tentu hancur....!
Diam-diam ketua Kong-tong-pay itu sudah menyiapkan
rencana, serunya, “Pendekar Laknat. apakah kemunculanmu
sekarang ini hendak mengganas.... membunuh.... dan
menjagal orang?"'

94
Siau-liong tak menyahut. Ia kehilangan faham bagaimana
hendak menyelesaikan dendam kematian ayahnya serta pesan
mendiang Koay suhu.
Kesempatan itu tak disia-siakan Toh Hun-ki. Ketua Kongtong-
pay itu melanjutkan pula, “Semua ketua partai persilatan
dan para tiang-lo yang berada disini, mempersilahkan saudara
turun gunung."
Habis berkata ketua Kong-tong-pay itu memberi hormat
dengan membungkukkan tubuh. Sekalian tokoh pun mengikuti
tindakannya.
Detik2 itu amat tegang sekali. Sekalian tokoh tak tahu
apakah tawaran berdamai itu akan disambut baik oleh
Pendekar Laknat.
Sekonyong-konyong Siau-liong bersuit nyaring lalu
melenting tinggi ke udara. Berjumpalitan dua kali lalu
meluncur turun terus meluncur ke bawah gunung. Dalam
sekejab, ia lenyap dalam kegelapan.
Siau-liong hendak menyusul ibunya. Tetapi wanita itu
sudah lenyap. Dalam beberapa kejab saja, ia sudah lari
belasan li. Tiba-tiba tampak tiga sosok bayangn hitam
terapung-apung di permukaan sungai Kim-sat-kiang.
Ketika dekat, kejut Siau-liong bukan kepalang. Ketiga sosok
bayangan hitam itu adalah Tiau Bok-kun yang tengah diserang
Soh-beng Ki-su, si Pertapa pencabut nyawa. Dan yang
seorang lagi, bukan lain Ki Ih, ibu Siau-liong.
Kiranya setelah sadar, Tiau Bok-kun masih perlu
bersemedhi memulihkan tenaga Setelah sembuh, ia segera
keluar mencari jongos penginapan. Dari keterangan pelayan

95
itu, barulah ia mengetahui bahwa yang menolongnya adalah
Siau-liong. Tetapi ia heran, mengapa Siau-liong tinggalkan
dirinya dalam rumah penginapan situ?
Kemudian setelah mendengar keterangan sipelayan bahwa
Siau-liong bersama seorang nona yang menginap di kamar
sebelah, seketika timbullah rasa cemburu dalam hati Tiau Bokkun.
Ah, Siau-liong telah melupakan dirinya karena terpikat
seorang gadis lain!
Segera Tiau Bok-kun lari menuju ke sungai Kim-sat-kiang.
Ia tidak mencari Siau-liong dan merebutnya lagi dari tangan
gadis itu. Dengan ilmu lari cepat, Tiau Bok-kun tiba di kaki
gunung Pit-ka-san. Tepat pada saat itu, Soh-beng Ki-su pun
turun dari gunung. Dan bertemulah keduanya.
Walaupun sadar bahwa tak dapat menandingi Soh-beng Kisu,
namun Tiau Bok-kun tetap hendak merebut kembali
separoh bagian dari Pending Kumala yang dirampas pertapa
itu. Setelah dua tiga kali bertempur dengan Soh-beng Ki-su,
Tiau Bok-kun sudah mempunyai pengalaman. Ia harus
mengembangkan kelebihannya dalam ilmu ginkang, untuk
menutupi kekurangannya dalam tenaga dalam.
Kebalikannya Soh-beng Ki-su tak bersemangat untuk
bertempur. Ia kuatir akan dikejar Pendekar Laknat atau Ki Ih.
Tetapi karena tak bersemangat, kebalikannya ia sukar untuk
meloloskan diri.
Dan memang yang dicemaskan itu, ternyata terbukti. Saat
itu muncullah Ki Ih yang terus menyerangnya. Dengan
demikian Soh-beng Ki-su makin kelabakan. Sesaat
membayangkan kemungkinan munculnya Pendekar Laknat,
semangat Soh-beng Ki-su makin kacau. Ia terus menerus main
mundur saja.

96
Siasat main mundur itu dimaksud untuk menjauhkan diri
dari Pit-ka-san serta menghindari Pendekar Laknat. Tetapi
diluar dugaan, karena lari tanpa tujuan, Siau-liong malah
memergoki mereka.
Siau-liong amat girang sekali. Wanita yang satu, adalah
ibunya sendiri. Dan yang menjadi lawannya adalah musuh
besar Siau-liong. Diam-diam ia membulatkan tekad untuk
meringkus pertapa itu.
Segera ia mencari alat untuk meluncur di air. Ia berhasil
memperoleh dua keping kayu. Dengan berdiri di atas keping
kayu itu, ia meluncur ketempat pertempuran.
Melihat kemunculan orang yang paling ditakuti, serasa
terbanglah semangat Soh-beng Ki-su Satu-satunya jalan yang
paling selamat, hanyalah melarikan diri.
Saat itu Siau-liong hanya terpisah tiga empat tombak. Ia
sudah siapkan pukulan maut. Pertapa itu pasti hancur lebur.
Tetapi se-konyong2 ketiga orang yang bertempur itu bubar
dan lari, Ki Ih meluncur ke tepi sungai.
“Ibu." diam-diam Siau-liong menjerit kaget. Diantara dua
pillhan: ibu atau musuh, ternyata ia memilih ibu. Dan
segeralah ia melesat mengejar Ki Ih.
Tetapi wanita itu terkejut karena Pendekar Laknat
mengejarnya. Ia batalkan lari ke tepi sungai dan berputar
arah, menuju ke tengah sungai lagi, Ia berasal dari Seberang
Laut, kepandaiannya berjalan di atas air, amat mengagumkan.
Dipermukaan laut yang berombak besar, ia dapat berlari-lari
seperti di tanah datar. Apalagi hanya permukaan sebuah
sungai.

97
Tetapi Siau-liong pun ngotot. Ia tak mau lepaskan
kesempatan untuk menemui ibunya itu.
Ki Ih menggunakan dahan pohon, sedang Siau-liong
memakai keping kayu. Yang satu seorang wanita berkerudung
muka. Yang seorang, seorang tua buruk muka. Mereka saling
berkejaran di atas permukaan bengawan Kim-sat-kiang.
Akhirnya melihat pengejarnya makin dekat, Ki Ih berputar
tubuh dan menyerang dengan ilmu Pedang Kilat.
Siau-liong terkejut. Betapapun ia tak berani melawan
ibunya sendiri. Tetapi serangan Pedang Kilat itu benar-benar
luar biasa cepatnya. Terpaksa ia apungkan tubuh melayang
melampaui kepala ibunya.
Tetapi dengan tindakan itu, keping papan yang dibuat
pijakan tadi, terdampar air dan tenggelam.
Untung Siau-liong masih dapat gunakan ilmu meringankan
tubuh ketika ia meluncur ke pe-mukaan air, sehingga ia tak
sampai tenggelam. Tetapi ketika memandang kemuka,
ternyata ibunya sudah meluncur jauh. Tiba-tiba ia melihat
keping papan-pinjakannya tadi dibawa arus. Cepat ia
memburu dan memakainya lagi.
Ketika hendak mengejar, ibunyapun sudah melarikan diri.
Tetapi wanita itu tak mau lari jauh. Ia berdiri dengan sebelah
kaki pada dahan kayu sehingga dapat meluncur pesat. Ia
tetap mondar-mandir di sepanjang permukaan sungai karena
kuatir akan keselamatan Tiau Bok-kun. Kalau nona itu kalah ia
segera membantunya.
Kepandaian berjalan di atas air, Siau-liong kalah jauh
dengan ibunya. Diam-diam Siau-liong kagum melihat ibunya
dapat meluncur dengan sebelah kaki.

98
Pemuda itu lupa bahwa saat itu ia masih dalam
penyamaran sebagai Pendekar Laknat sehingga ibunya
melarikan diri. Siau-liong meniru menginjak papan kayu
dengan sebelah kaki mengejar. Seharusnya Soh-beng Ki-su
melarikan diri.
Tetapi ternyata ia masih bertempur dengan Tiau Bok-kun.
Terang dia tentu mempunyai rencana.
Tepat pada saat Ki Ih berhasil lolos dari sergapan Siauliong,
tiba-tiba Tiau Bok-kun menjerit. Bahu nona itu kena
ditutuk oleh Soh-beng Ki-su Dan secepat rubuh, tubuh nona
itu terus disambar dan dibawa lari oleh pertapa itu.
Mendengar jeritan itu, Siau-liong berpaling. Ketika melihat
apa yang terjadi, ia lepaskan ibunya dan terus mengejar Sohbeng
Ki-su. Tetapi ketika tiba di daratan, ternyata Soh-beng
Ki-su sudah hampir mencapai daerah gunung. Cepat Siauliong
mengejar terus.
Soh-beng Ki-su benar-benar seorang tua yang licin. Ia
gunakan siasat menyusup kesana, menyelinap kemari
sehingga Siau-liong kehilangan jejak.
Entah sudah berselang berapa lama mereka berkejaran itu,
tahu2 saat itu matahari sudah mulai condong kebarat lagi.
Karena mengepit tubuh orang, akhirnya letih juga Soh-beng
Ki-su sehingga larinya pun kurang cepat. Melihat itu Siau-liong
percepat larinya.
Saat itu Siau-liong sudah hampir berhasil menyusul tetapi
tiba-tiba Soh-beng Ki-su melesat ke dalam gerumbul dan
lenyap!

99
Siau-liong gunakan jurus Naga-melingkar-delapan-kali
untuk berloncatan di udara dan melayang ketempat Soh-beng
Ki-su lenyap tadi.
Ternyata di dekat situ terdapat sebuah saluran air seluas
dua li. Saluran sungai itu menjurus loncatan diantara gugusan
batu yang bertaburan disepanjang saluran. Dan saat itu
hampir mencapai ujung terakhir.
Siau liong girang karena ujung saluran itu buntu. Cepat ia
apungkan tubuh ke atas segunduk batu besar. Tetapi ia
terkejut ketika tiba-tiba batu itu bergerak.... Cepat ia loncat
kembali ketempatnya tadi.
Batu besar itu berguguran, menghamburkan tanah lumpur
ke udara. Setelah lumpur lenyap, kejut Siau-liong bukan alang
kepalang. Ternyata batu yang diinjaknya tadi adalah kepala
seekor ular besar. Binatang itu mengangkat kepalanya ke atas
lalu menyerang Siau-liong. Tetapi Siau-liong dapat
menghindari. Setelah dua tiga kali serangannya tak berhasil,
ular itu marah dan menyemburkan segumpal asap beracun....
Siau-liong menjerit kaget. Sambil salurkan tenaga dalam
Bu-kek-sin-kang ketelapak tangan, ia berjumpalitan dengan
gerak Naga-berputar-18-kali, lepaskan hantaman lalu
meluncur ke atas sebatang pohon disebelah kiri.
Tetapi pukulan sakti Bu-kek-sin-kang tak mampu
menghalau uap beracun yang tetap melayang ketempat Siauliong.
Siau-liong makin kaget. Tak mungkin ia dapat
menghindar kelain tempat lagi. Akhirnya ia nekad, apungkan
tubuh melayang ke atas badan ular raksasa. Tetapi tiba-tiba
sisik ular itu bertebaran menyerangnya. Setiap helai sisik,
merupakan seperti sebatang badik tipis.

100
Untunglah Siau-liong dapat menghalau sisik maut itu.
Kemudian ia berjumpalitan menyerang punggung ular.
Rupanya ular itu jeri juga. Sambil menyerang dengan kepala
dan ekor, binatang itu siap2 melarikan diri.
Kejut Siau-liong makin besar. Ternyata ular raksasa itu
bukan ular sesungguhnya tetapi sebuah ular tiruan yang
digerakkan dengan alat.
Setelah mengetahui rahasianya, Siau-liong segera
lancarkan serangan hebat dengan tangan kanan dan kiri.
Terdengar ledakan dahsyat dan ular itu pun hancur berkepingkeping.
Siau-liong menghela napas longgar. Memandang
kesekeliling, hanya karang dan batu2 berserakan yang
menabur seluruh permukaan sungai itu. Tetapi ketika
memperhatikan dengan seksama ternyata batu2 itu seperti
diatur orang dengan rapi.
Siau-liong termenung. Ia harus menolong Tiau Bok-kun
tetapi keadaan tempat disitu amatlah misterius dan
berbahaya. Tiba-tiba entah darimana, air meluap dan mengalir
deras sekali dan cepat merendam batu2 dipermukaannya.
Sungai meluap, bukan soal. Tetapi ia kuatir batu2 itu
merupakan alat rahasia yang berbahaya. Akhirnya ia gunakan
gerak Naga-berputar-18-kali melayang kekarang sebelah
muka. Tetapi baru kaki menginjak karang itu, ia segera
mengeluh, “Celaka!"
Batu karang menonjol itu menyurut ke dalam dan
berbareng itu dari kedua samping, berhamburanlah panah
beracun serta bermacam senjata rahasia.

101
Untunglah Siau-liong tak gugup. Ia gunakan ilmu berat
tubuh Cian-kin-tui, meluncur kepermukaan air dibawah. Tetapi
segera ia menyadari bahwa ilmu kepandaianya meringankan
tubuh, belum mencapai tingkat dapat berjalan di atas air.
Namun ia tak putus asa. Cepat ia dapat menemukan akal.
Ratusan batang anak panah dan lain-lain senjata rahasia yang
terapung di atas air itu, dapat digunakan sebagai alat berjalan
di air. Dan ternyata memang benar. Dengan menginjak di atas
ratusan batang anak panah, dapatlah ia meluncur kemulut
saluran sungai. Tiba di ujung saluran, cepat ia loncat kekarang
sebelah samping. Karena ujung saluran itu meluncur ke
bawah, merupakan suatu air terjun yang berpuluh tombak
tingginya.
"Pertapa itu tentu mengambil jalan kecil ini, pikirnya sambil
mengamati jalan kecil yang terdapat dikarang situ. Sejenak
meragu. ia terus melangkah maju. Berjalan beberapa langkah,
terdengar gumpalan karang berguguran jatuh. Setelah
tenangkan diri, ia lanjutkan langkah lagi. Dan sampai sekian
lama, ia tak mendapat gangguan suatu apa lagi.
Ujung penghabisan dari jalan itu. merupakan sebuah
lembah. Disitu terdapat sebuah pintu raksasa dari batu yang
penuh guratan hurup Jun atau musim Semi. Ia tak menyadari
bahwa saat itu ia tengah berada di lembah ”Ban-jun koh atau
lembah Musim-semi. "
Siau -liong tak menghiraukah suatu apa. Ia terus maju. Ah,
serasa ia memasuki sebuah dunia baru. Dunia yang beralam
keindahan musim Semi. Penuh bunga2 mekar, rumput2 hijau
dan alam nan segar berseri. Hembusan angin sepoi mengantar
bau bunga, membuat semangat Siau-liong sedap segar.
Lembah Musim-semi itu merupakan akibat dari gempa bumi
sehingga karang dan batu2 merekah, jaluran air malang
melintang bagaikan jaring labah-labah.

102
Siau-liong amat gembira. Setelah membuka baju luarnya
yang basah, ia menyusur jalan kecil ditengah padang bunga.
Tiba-tiba ia mendengar orang menyanyi lagu 'Keindahan alam
dan Kehidupan' Ia terkejut dan cepat memandang
kesekeliling. Tetapi tak menemukan apa2.
Ia berhenti. Jelas suara nyanyian itu berasal dari seorang
wanita.
Kembali terdengar nyanyian itu mengalun. Nadanya
melengking tinggi macam orang merintih. Siau-liong terkesiap.
Sekonyong-konyong muncul seekor burung kakak tua
besar. Dan hampir saja Siau-liong melonjak kaget ketika
burung itu dapat berseru seperti manusia, “Ada tamu! Ada
tetamu....!"
Belum Siau-liong mengambil suatu tindakan tiba-tiba
muncul seekor burung gagak hitam terbang melayang di
udara dan berbunyi beberapa kali.
Siau-liong tersirap dan seketika ingat bahwa saat itu ia
sedang mengejar Soh-beng Ki-su.
Cepat2 ia ayunkan langkah lagi. Tetapi jalan disebelah
depan penuh dengan lingkaran saluran air kecil yang
melingkar-lingkar seperti jaring labah-labah. Hutanpun makin
lebat sehingga ia kehilangan arah.
Tiba-tiba burung kakak tua tadi me-lonjak2 di atas dahan
pohon lalu melayang kemuka dengan pelahan.
Seketika timbullah pikiran Siau-liong. Jika burung itu dapat
bicara, tentulah burung piaraan orang. Ia memutuskan untuk
mengikuti arah terbangnya kakak tua itu.

103
Ternyata pemandangan dalam lembah itu makin lama
makin mengagumkan. Penuh dengan pohon-pohon bunga dan
rumput2 hijau serta desir air mengalir disaluran. Angin pun
menebarkan bau yang harum.
Setelah dua kali membelok tikungan dan melintasi
beberapa hutan, tiba-tiba kakak tua itu terbang cepat, masuk
ke dalam hutan lebat.
Siau-liong tertegun. Saat itu ia tiba dimuka sebuah lembah
yang sempit. Sebuah batu besar penggunduk ditengah mulut
lembah. Mirip dengan pintu.
Tengah ia bersangsi, tiba-tiba dendang nyanyian itu
kembali terdengar melantang dari dalam lembah.
“Masakan nyanyian itu suara burung kakak-tua?" diamdiam
ia meragu setelah mendengar jelas lagu yang
dinyanyikan.
Ia terus maju memasuki mulut lembah. Tetapi apa yang
terbentang dihadapannya, benar-benar membuatnya terkejut
bukan kepalang.
Di dalam lembah itu ternyata merupakan sebuah tanah
datar yang seluas sepuluh tombak. Ditengahnya terdapat
sebuah empang. Di atas empang tertutup oleh asap putih
menyerupai awan. Dalam kabut putih itu samar-samar tampak
20 lebih wanita cantik yang rambutnya terurai kebahu. Mereka
tengah bermain-main dalam empang itu. Seorang dara yang
tengah bersandar pada sebatang pohon liu tengah
berdendang lagu. Kiranya nyanyian tadi, adalah dara itu yang
mendendangkan.
Siau-liong ter-longong2 mengawasi pemandangan disitu.

104
“Kongcu datang!" tiba-tiba seorang gadis cantik berpakaian
kuning berteriak.
Rombongan dara yang tengah bermain-main diempang itu
serentak tertegun. Cepat mereka pencarkan diri dalam dua
rombongan dan tegak dengan khidmat.
Tak berapa lama dari dalam hutan muncul delapan gadis
dengan membawa semacam selendang. Mereka menghampiri
empang dan berdiri dalam dua rombongan.
Sesaat kemudian muncullah seorang wanita yang amat
cantik, dalam pakaian yang gilang-gemilang. Serentak barisan
gadis-gadis itupun berdiri memberi hormat.
Sejenak wanita cantik itu memandang kesekeliling lalu
bertanya, “Mana Siau-jui!"
Seorang bujang yang mengawal disamping, segera
berteriak, “Siau-jui' Siau-jui....!"
Dari arah hutan terdengar suara penyahutan. Dan seekor
burung kakak tua segera terbang melayang hinggap di atas
bahu wanita cantik itu. Ah, kiranya burung kakak tua yang
diikuti Siau-liong tadi.
Sambil tertawa wanita itu mengelus-elus kepala kakak tua
lalu menyerahkan kepada seorang bujang. Kemudian ia
membuka pakaian hendak mandi.
"Jangan! Jangan mandi ada orang asing!" tiba-tiba kakak
tua itu berbunyi nyaring.

105
Nona cantik itu tertegun. Ia tak jadi membuka pakaian. Dan
Siau-liong pun terkejut. Cepat ia bersembunyi tetapi
terlambat. Dua orang bujang menjerit kaget.
"Mundur!" bentak nona cantik seraya loncat kemulut
lembah.
Karena sudah kepergok, terpaksa Siau-liong unjuk diri
sekali. Ia memberi hormat dan menjelaskan, “Karena tersesat
jalan. aku keliru masuk kemari. Harap nona maafkan!"
Sicantik terkejut mundur selangkah. Ditatapnya Siau-liong
dengan tajam. Rambut Siau-liong yang kusut masai terurai
kebahu, mata besar, hidung dan mulut lebar serta muka kotor,
membuat sicantik tertawa.
"Nona menertawakan aku....”
Lama sekali nona cantik itu tertawa. Kemudian berseru,
“Kalau tak salah tuan tentulah Pendekar Laknat yang
termasyhur diseluruh jagad itu?"
Siau-liong terkesiap. Ia menyadari bahwa saat itu ia masih
menyamar sebagai Pendekar Laknat. Maka ia mengiakan.
Nona itu juga tertegun. Rupanya ia heran melihat
perobahan sikap dan ucapan Pendekar Laknat.
Rupanya Siau-liong menyadari. Buru-buru ia berganti
dengan nada parau seperti orang tua, “Jika tak salah, nona
tentulah pemilik lembah Musim-semi ini."
Sicantik tertawa mengikikik, “Engkau menduga tepat.
Konon kabarnya lo-cianpwe disohorkan congkak, angkuh dan
ganas. Tetapi kenyataannya lo-cianpwe seorang yang amat
ramah!"

106
Dipanggil 'lo-cianpwe' Siau-liong terpaksa hanya meringis
lalu tertawa gelak2.
Sicantik memainkan biji matanya yang indah beberapa
jenak, lalu berkata pula, “Kabarnya lo-cianpwe sudah
mengasingkan diri digunung selama 20 tahun. Entah mengapa
lo-cianpwe mendadak mengunjungi lembah yang sunyi ini....”
Siau-liong hendak menyahut tetapi nona itu cepat
mendahului lagi, “Sungguh suatu kehormatan besar sekali locianpwe
sudi berkunjung kemari. Silahkan masuk ke dalam
lembah. Kami hendak menghormat dengan
mempersembahkan minuman sekedarnya!"
Nona itu lalu menyisih kesamping mempersilahkan
tetamunya. Siau-liong terpaksa masuk ke dalam lembah. Ia
mempunyai dua alasan. Pertama, kemungkinan Soh-beng Kisu
tentu mempunyai hubungan dengan nona itu. Kedua, ia
ingin tahu apakah sebenarnya yang disebut lembah Musimsemi
itu!
Ternyata ditengah hutan terdapat sebuah jalan yang
bersih, menuju kesebuah bangunan gedung besar dan megah.
Pintunya bercat warna emas dan dihias dengan ukir-ukiran
yang indah. Empat orang bujang cepat menyambut
kedatangan si nona dengan hormat. Si nona suruh mereka
pergi. Kemudian ia mengajak Siau-liong masuk dan duduk
dimeja yang penuh hidangan dan minuman. Tak lama,
terdengar bunyi tetabuhan harpa yang merdu.
Siau-liong terkesiap.
Tiba-tiba nona itu berbangkit mengangsurkan secangkir teh
wangi kepada Siau-liong, “Silahkan minum."

107
Siau-liong tertawa menyambut tetapi ia letakkan lagi
dimeja. Lengan baju si nona bergetar dan setiup hawa wangi
menabur hidung Siau-liong. Seketika bergeloralah darah Siauliong,
nafsu berkobar. Berpaling ke arah pemilik lembah,
didapatinya si nona tengah menyungging senyum manis, mata
mengicupkan sinar kecabulan....
Saat itu hampir Siau-liong tak kuat menahan diri lagi. Ia
hendak memeluk nona cantik itu. Tetapi sekonyong-konyong
ia terkesiap ketika telinganya serasa mendengar bentakan,
“Jangan!"
Cepat ia tenangkan pikiran, katanya: ”Aku sudah tua,
mungkin tak dapat memenuhi harapan nona!" - Diam-diam ia
pancarkan tenaga - sakti Bu-kek-sin-kang ke arah nona itu.
Nona itu terkejut dan terhuyung mundur sampai 5-6
langkah.
“Kuperlakukan engkau sebagai seorang cianpwe, tetapi
engkau....”
“Ha, ha," Siau-liong menukas tertawa, "Jangan banyak
omong. Aku akan pergi!"
Pada saat Siau-liong melangkah muncullah 20 orang gadis
dengan menghunus pedang. Siau-liong tertawa, “Jika nona
tahu siapa diriku, mengapa suruh anak2 perempuan
mengantar jiwa?"
Nona cantik itu menghela napas dan suruh gadis2 itu
menyingkir. Kemudian ia berkata kepada Siau-liong, “Jika locianpwe
hendak pergi, silahkanlah....” tiba-tiba nadanya
berobah rawan. ”Rupanya kita tak dapal keluar dari lembah
ini!"

108
"Mengapa?" Siau-liong terkejut.
Kembali nona itu menghela napas, “Ah, apakah lo-cianpwe
tak tahu? Seluruh tahun lembah ini beriklim hangat seperti
musim Semi. Sumber air disini mendidih panas. Hal ini akibat
dari hawa panas dari kerak bumi. Dan tanah lembah ini
mengandung tambang belirang. Kami yang sejak kecil hidup
disini. memiliki jasmani yang beda dengan orang kebanyakan.
Apabila kami keluar dari lembah ini, dalam waktu setahun
saja, semua ilmu kepandaian kami tentu lenyap dan kami pun
mati!"
Siau-liong tergerak hatinya.
“Apakah kalian hendak tinggalkan lembah ini?" tanyanya.
Nona itu kerutkan dahi, “Sebagai wanita persilatan, kami
ingin mencari pengalaman dan melakukan dharma kebaikan.
Sudah tentu kami ingin sekali keluar dari tempat ini,"
Siau-liong mengangguk, “Lalu dengan cara bagaimana
kalian hendak keluar dari lembah ini?"
Tiba-tiba nona itu berlutut dan bercucuran air mata,
“Justeru itulah kami hendak minta lo-cianpwe menolong."
"Ah, tetapi aku seorang tiada berguna," Siau-liong tersipusipu.
Nona itu menangis, “Lo-cianpwe seorang sakti tiada
tanding. Jika tak mau memberi pertolongan, lebih baik kami
mati saja!"
“Nanti dulu," buru-buru Siau-liong mencegah, asal dapat
saja, aku tentu mau membantu!"

109
"Asal lo-cianpwe mau, tentu dapat menolong kami," nona
itu tertawa. Ia memberi hormat, berbangkit lalu duduk
didepan meja. Siau-liong-pun terpaksa duduk lagi.
“Kami telah mendapat bantuan Soh-beng Ki-su untuk
mencari peta pusaka. Dengan peta pusaka itu kami akan
menemukan penyimpanan pusaka. Diantaranya terdapat
semacam pil Hian-ki-tan yang berkhasiat membikin tulang2
kita seperti baru tumbuh lagi. Dengan begitu dapatlah kami
memiliki jasmani seperti orang biasa. Separoh bagian dari peta
itu berhasil direbut Soh-beng Ki-su. Tetapi yang separoh
bagian masih berada pada lo-cianpwe. Maka sudilah locianpwe
memberikan kepada kami, sesuai dengan kesediaan
lo-cianpwe hendak menolong kami tadi!"
Siau-liong terkejut ketika mendengar kata2 si nona.
Ternyata dugaannya benar. Soh-beng Kisu bersembunyi dalam
lembah situ. Tetapi dia seorang pemuda yang berhati welasasih.
Ia kasihan kepada nasib gadis2 itu.
"Tetapi benda itu tak berada padaku. Desas-desus dalam
dunia persilatan itu tidak benar....” katanya.
Seketika berobahlah wajah si nona. Ia tertawa sinis,
“Benar, memang separoh dari Pending Kumala itu berada
ditangan ketua Kong-tong-pay.... Tetapi lo-cianpwe sudah
berulang kali menempurnya. Menilik kesaktian lo-cianpwe,
tentulah peta itu sudah ditangan lo-cianpwe....” nona itu
berhenti sejenak lalu berkata lagi, “Apabila kedua peta
disatukan, tentulah mudah mencari pusaka itu. Terus terang,
pusaka itu disimpan dalam gunung ini. Aku hanya
menghendaki pil Hian-ki-tan saja. Lain-lain kuserahkan kepada
lo-cianpwe semua!"
"Tetapi benda itu benar-benar tak berada padaku. Jika tak
percaya, terserah!"

110
Tetapi nona itu makin ngotot “Sudah 20 tahun lo-cianpwe
mengasingkan diri. Jika bukan karena pusaka itu, tak mungkin
lo-cianpwe akan muncul lagi!"
Saat itu barulah Siau-liong menyadari kalau Giok-pwe atau
Pending Kumala merupakan penyebab dari kehebohan besar.
Dan teringat jugalah ia akan kata2 Pengemis Tertawa dalam
rapat Kay-pang di biara tempo hari. Pengemis itu mengatakan
bahwa dunia kacau-balau. Keempat durjana Thian, Te, Liong
dan Hou bermunculan di dunia persilatan. Tentulah mereka
juga terpikat oleh peta pusaka itu.
Siau-liong tertegun.
“Lalu apakah tujuan lo-cianpwe mengejar Soh-beng Ki-su
itu?" tanya nona itu pula.
“Untuk menolong nona Tiau Bok-kun!"
“Bukan untuk menolong Pending Kumalanya?" nona itu
menyindir.
Siau-liong mengkal sekali, sahutnya, “Ya, anggaplah begitu
karena benda itu warisan keluarganya."
Nona itu tertawa mengejek. Tiba-tiba wajahnya berobah
bengis lalu membentak, “Rusa tua, sudah kuketahui
kelicikanmu."
Siau-liong terkesiap. Wanita memang aneh. Beberapa saat
berselang masih merengek-merengek menyebut lo-cianpwe.
Sekarang berbalik memaki-maki!

111
"Tak perlu bersilat lidah menutupi maksudmu. Aku adalah
seorang pembohong besar. Tak mungkin engkau dapat
mengelabuhi aku" Maka tiba-tiba nona itu menghambur ejek.
"Memang kenyataan begitu, apakah yang harus kukatakan?
Jika tak percaya. akan kuserahkan separoh Giok-pwe yang
berada pada Toh Hun-ki tetapi nona harus melepaskan nona
Tiau!"
Nona cantik itu tertegun. Ia heran mengapa sekarang
Pendekar Laknat berubah menjadi manusia yang menjunjung
budi kebaikan?
Tetapi ia tak mudah percaya, serunya, “Kalau engkau
hendak menolong Tiau Bok-kun, apakah engkau mau
menemuinya? Dia berada disini!"
Sebelum Siau-liong menjawab, nona itu sudah bertepuk
tangan tiga kali. Dinding ruang yang semula merupakan batu
marmar hijau, tiba-tiba berderak-derak merekah dan
terbukalah sebuah pintu. Seorang nenek tinggi besar,
memapah keluar seorang gadis yang rambutnya kusut masai.
Siau-liong terkejut. Gadis itu adalah Tiau Bok-kun. Menilik
wajah dan semangatnya yang sayu lunglai, tentulah gadis itu
telah ditutuk jalan darahnya. Serentak Siau-liong hendak
menghampiri.
Tetapi nona pemilik lembah mengancamnya, “Selangkah
lagi engkau berani maju, nona itu tentu kuhancurkan!"
Siau-liong tertegun.
“Serahkan!" nona itu tertawa.
“Apa yang harus kuserahkan?" Siau-liong heran.

112
“Jangan pura-pura! Serahkan Giok-pwe itu ."
“Apakah nona tak percaya kepadaku?" tanya Siau-liong.
"Mengapa aku harus percaya?"
Siau-liong mendengus, “Ho, kiranya engkau juga
pembohong"
Nona itu tertawa ejek, “Tadi berbohong sekarang, tukar
menukar Separoh Giok-pwe itu dapat ditukar dengan jiwa
nona Tiau ini. Bagaimana kehendakmu "
Sejenak Siau-liong kehilangan faham. Akhirnya ia tertawa,
“Aha, kita sama2 bermain sandiwara. Engkau menipu aku, aku
menipumu. Aku hendak menipu Giok-pwemu, engkau hendak
menipu Giok-pweku....”
“Sekarang baru engkau bicara benar!" dengus nona itu.
Siau-liong gelengkan kepala, “Soal ini tiada sangkut
pautnya dengan nasib nona Tiau. Menurut hematku, baiklah
kita bertaruh. Siapa'yang menang, akan memperoleh kedua
potong Giok-pwe itu. Setuju?"
Nona itu merenung. Memang benar. Membunuh Tiau Bokkun
pun tiada sangkut pautnya dengan kepentingan Pendekar
Laknat.
“Rusa tua, katakanlah bagaimana pertaruhan itu?" katanya.
“Seorang lelaki takkan berkelahi dengan orang perempuan.
Orang tua takkan menghina orang muda. Baiklah kita bertaruh
dalam soal kepandaian masing-masing dan tidak saling
bertempur."

113
“Caranya?” tanya si nona.
Pendekar Laknat mengusulkan untuk mengadu kepandaian
melempar gundu ke dalam mangkuk. Nona itu terpaksa
menyadari karena ia merasa tak menang dengan momok itu.
Nona itu menyediakan 4 biji benda bundar dan sebuah
mangkuk. Setelah menaruh benda2 itu di atas meja, Siau-liong
mempersilahkan si nona yang melempar lebih dulu.
Diam-diam nona itu tertawa dalam hati. Ia yakin tentu akan
menang. Dengan gaya yang indah, ia lemparkan keempat
gundu itu ke dalam mangkuk. Gundu ber-putar2 dan melingkar2
membentuk sepasang huruf ji (dua).
“Menang!" teriak si nona.
“Nanti dulu, aku belum," seru Siau-liong terus mengambil
gundu dan dilemparkan ke dalam mangkuk Gundu berputarputar
kemudian berhenti dalam bentuk huruf Liok (enam)
“Ha, ha, akulah yang menang!" serunya.
“Tidak, tidak! Gunduku dapat berputar lebih cepat." teriak
si nona.
“Tetapi gunduku dapat membentuk jumlah yang lebih
banyak!" sahut Siau-liong.
“Baiklah, engkau yang menang. Tetapi masih dua kali lagi
bertanding," akhirnya nona itu mengakui. Ia menjeput gundu
lalu dilemparkan lagi. Gundu2 itu berhenti berjajar-jajar rapi di
tengah mangkuk.
Nona itu tertawa bangga.

114
“Jangan tertawa dulu," tukas Siau-liong seraya menjemput
gundu lalu dilemparkan ke udara. "Klotek".... gundu2 itu
berhamburan jatuh dan serentak berhenti ditengah mangkuk.
“Engkau kalah lagi!" serunya.
Tiba-tiba nona itu menuding muka Siau-liong dan memaki,
“Ho, bagus benar muslihatmu, rubah tua! Engkau sengaja
menantang pertandingan bermain gundu ini supaya aku kalah.
Tidak! Jika tak mau menyerahkan separoh Giok-pwe itu,
jangan harap engkau dapat keluar dari lembah ini!"
Siau-liong tertawa mengejek.
“Jika dengan kepandaian, engkau mampu mengalahkan
aku, tentu takkan ingkar. Tetapi caramu tidak jujur. Kalau
menang, engkau meminta Giok-pwe. Tetapi kalau kalah,
engkau cari alasan ini itu. Memang kalau aku sudah mati
disini, tentu tak dapat keluar. Tetapi untuk membunuh
Pendekar Laknat, lebih sukar daripada mendaki tangga
kelangit!"
Nona itu marah dan malu. Wajahnya sebentar pucat
sebentar merah padam. Serentak ia mencabut pedang.
Dengan jurus Bianglala-menutup-matahari. ia menusuk dada
Siau-liong.
Siau-liong mengendap dan menyurut mundur, Rombongan
gadis yang terdiri dari 20 orang itu pun serentak pecah diri
membentuk sebuah barisan. Kemudian mereka menghunus
pedang dan maju menghampiri Siau-liong.
Karena tak mencelakai gadis2 itu, Siau-liong menyurut
mundur.

115
Serangan pertama gagal, gadis pemilik lembah menyusuli
lagi dengan serangan kedua dalam jurus Ular-putih-menyulur
lidah. Ia menusuk dada Siau-liong sekuat-kuatnya.
Saat itu Siau-liong sudah mundur kira2 terpisah dua meter
dari tempat Tiau Bok-kun. Dengan gesit, ia mengisar dan
menendang tangan si nona. Nona itu cepat merobah gerakan
pedangnya.
Tetapi diluar dugaan, tendangan Siau-liong itu hanya
ancaman kosong. Begitu si nona menghindar, secepat kilat
pemuda itu berputar diri kesamping sinenek tua dan menutuk
punggungnya. Dan serempak dengan gerakan menutuk itu,
tangan kiri pun menyambar bahu Tiau Bok-kun. Ia hendak
menerobos keluar dari kepungan.
“Tubuh tua yang licin!" nona pemilik lembah memekik
seraya menyerang dan memberi isyarat agar barisan gadis itu
pun ikut menyerbu.
Dalam keadaan seperti itu, terpaksa Siau-liong harus
membela diri. Sebuah ayunan tangan kiri, membuat tiga orang
gadis tersurut mundur, muntah darah dan terkapar di tanah
Siau-liong terkejut. Ia menyadari bahwa pukulan yang
diayunkan itu adalah ajaran pengemis Tengkorak-sakti Song
Thay-kun. Pukulan Thay-siang-ciang yang amat sakti!
“Ha, ha, jangan mengantar jiwa sia-sia!" serunya memberi
peringatan.
Pada saat si nona pemilik lembah tertegun, Siau-liong
lepaskan lagi sebuah pukulan. Nona itu terkejut dan cepat
loncat menghindar. Kesempatan itu tak disia-siakan Siau-liong.
Dengan gerak Harimau-buas-tinggalkan-gunung, sambil
mengepit tubuh Tiau Bok-kun, ia loncat keluar pintu.

116
Tetapi pintupun tertutup. Siau-liong menghantamnya
dengan pukulan Bu-kek-sin-kang. "Bum....” terdengar ledakan
keras tetapi pintu itu tak kurang suatu apa. Siau-liong heran.
Dalam pada itu rombongan gadis yang dipimpin nona
cantik tadi pun tiba. Tetapi agaknya nona pemilik lembah itu
gentar terhadap Pendekar Laknat. Ia tak berani segera
menyerang melainkan memaki-maki dari kejauhan.
Siau-liong cepat memutuskan. Kalau tak dapat menembus
pintu muka mengapa ia tak mau coba menerjang pintu
belakang?
Sambil mendukung Tiau Bok-kun, ia loncat melayang
keruang besar. Ternyata di belakang ruang itu, merupakan
sebuah hutan lebat. Siau-liong menerobos ke dalam hutan. Ia
kira, ujung hutan itu tentu merupakan jalan belakang keluar
dari lembah. Tetapi ternyata, hutan itu gelap sekali. Melintas
kian kemari, ia tetap hanya berputar-putar dalam hutan itu
saja.
Siau-liong gelisah. Ia memandang kesekeliling dengan
seksama. Sejauh mata memandang, hanya pohon2 bunga
yang tampak. Jarak pohon itu satu dengan lain hampir sama,
sukar dibedakan.
Sejenak tertegun, mulailah Siau-liong berjalan lagi dengan
pelahan. Setiap tiga batang pohon diberinya tanda. Setelah
lebih 40 pohon, ia telah mencapai dua li jauhnya. Tetapi ah....
ternyata ia balik lagi pada jalan semula atau pohon pertama
yang telah diberinya tanda tadi.
Akhirnya ia menghela napas, meletakkan Tiau Bok-kun lalu
bersandar pada pohon. Nona itu masih meram, tiga buah jalan
darahnya ditutuk orang. Sekalipun sudah ditolong Siau-liong

117
tetapi nona itu tetap belum sadar. Terpaksa Siau-liong
mengurutnya. Beberapa waktu kemudian barulah nona itu
menguak dan tersadar.
Begitu melihat Siau-liong, nona itu menjerit dan meronta
hendak lari.
“Nona Tiau, mengapa engkau ini?" tegur Siau-liong.
Dengan wajah pucat, nona itu menyurut mundur,
“Engkau.... engkau bukan pendekar Lak....”
“Jangan kuatir, aku takkan mencelakaimu!" buru-buru Siauliong
menukas setelah menyadari dirinya masih sebagai
Pendekar Laknat.
Tiau Bok-kun berhenti, memandang kesekeliling penjuru.
Dengan tertawa, Siau-liong duduk dan berkata, “Silahkan
duduk, nona."
Dengan ragu2 nona, itu ikut duduk. Tiba-tiba ia teringat,
serunya, “Tadi aku seperti ditutuk oleh Soh-beng Ki-su....
locianpwekah yang menolong?"
Diam-diam Siau-liong geli. Sahutnya, “Benar, memang aku
yang menolongmu. Tetapi saat ini kita masih terbenam dalam
barisan musuh. Entah kita dapat atau tidak keluar dari lembah
ini!"
Buru-buru Tiau Bok-kun menghaturkan terima kasih,
ujarnya, “Ah, kiranya lo-cianpwe seorang yang berbudi luhur.
Desas-desus dalam dunia persilatan itu ternyata tidak benar!"
“Desas desus bagaimana?"

118
"Kabarnya 20 tahun yang lalu lo-cianpwe amat ganas
gemar membunuh, congkak, dingin, tak suka bersahabat dan
kejam sekali....”
"Adakah aku sesuai dengan desas-desus itu?"
Tiau Bok-kun tertawa kecil dan tundukkan kepala “Ku....
rasa tidak sesuai. Lo-cianpwe seorang baik. Aku tak percaya
segala omongan orang itu!"
Diam-diam Siau-liong merasa bahagia. Selebat hutan dalam
lembah Musim-semi, hatinya terasa pekat sekali hingga tak
dapat berkata-kata.
Setelah beberapa saat, Tiau Bok-kun rasakan tenaganya
pulih kembali. Melihat Pendekar Laknat diam saja, ia bertanya,
“Lo-cianpwe, apakah kita tak berangkat lagi?"
"Mungkin kita terpaksa bermalam disini," Siau-liong tertawa
hambar.
Tiau Bok-kun terbeliak. Ia heran mengapa seorang tokoh
yang sedemikian sakti, tak berdaya keluar dari hutan itu.
Sekonyong-konyong terdengar suara ketawa keras. Dan
melengkinglah teriakan garang dari nona pemilik lembah,
“Rubah tua, sepandai-pandai tupai melompat, sesekali
tergelincir juga. Betapapun saktimu, tetapi kali ini jangan
harap engkau mampu keluar dari lembah ini!"
Tiau Bok-kun berpaling memandang keseluruh penjuru,
Tetapi ia tak dapat menentukan arah datangnya suara itu.
Siau-liong murka. Dengan menggembor keras ia
menghamburkan lima buah pukulan Bu-kek-sin-kang keempat

119
penjuru, Pohon2 berderak-derak putus dahannya. Ranting dan
daun bertebaran.
"Ibiis tua! Pohon berjumlah 2000 batang. Kecuali engkau
mampu menghantam habis, barulah engkau mampu keluar
dari lembah ini. Tetapi masih ada pula Pagar Harimau, Pagar
Singa, Pari Beracun dan lain-lain....” tiba-tiba terdengar
lengking suara mirip hantu merintih.
Tiau Bok-kun pucat, Siau-liong pun tertegun. Itulah suara
Soh-beng Ki-su, manusia yang dibencinya. Tetapi apa daya. Ia
hanya termenung.
Saat itu hari mulai petang. Tiba-tiba segumpal kabut tipis
bertebaran melayang-layang. Makin lama makin tebal, baunya
mengandung belirang. Jelas bukan kabut sewajarnya
melainkan ditaburkan orang.
"Lo-cianpwe, mereka melepas api!" seru Tiau Bok-kun
makin cemas.
Tetapi Siau-liong tertawa tenang, “Api tak jadi soal, tetapi
ini....”- ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena batuk2
terserang bau belirang. Tiau Bok-kun pun ikut batuk2.
"Iblis tua! Jangan lama2, lekaslah engkau ke Neraka!" seru
Soh-beng Ki-su pula.
Siau-liong tertawa nyaring, serunya, “Ha, tahukah engkau
bahwa separoh Giok-pwe itu berada dalam tanganku?"
"Bagus, setelah engkau mati, tentu dapat kita ambil!" seru
Soh-beng Ki-su dan nona pemilik lembah.

120
Siau-liong tertawa mengejek, “Ho, di dunia tak ada hal
yang seenak bayanganmu itu! Jika aku mati, tentu lebih dulu
Giok-pwe itu akan kuhancurkan....”
Kata2 Siau-liong itu ternyata membawa pengaruh. Sohbeng
Ki-su dan si nona pemilik lembah berdiam diri. Tetapi
dalam pada itu kabut pun mulai menipis dan akhirnya lenyap
sama sekali. Andaikata Siau-liong tak menggunakan siasat
tadi, tentulah ia dan Tiau Bok-kun sudah binasa.
Hari makin malam. Hutan makin gelap gulita.
Tiba-liba Tiau Bok-kun terhuyung-huyung dan berbargkit,
“Lo-cianpwe....”
"Nona Tiau, mengapa engkau!" Siau-liong terkejut.
Tiau Bok-kun rubuh ,....
---ooo0dw0ooo---
Jilid 03
Disimpang Jalan
Siau-liong terkejut tetapi gadis itu sudah rubuh. Buru-buru
ia menolongnya.... Dahi nona itu mengerut gelap, kaki tangan
lunglai dan bibirnya gemetar.
Siau-liong menyadari bahwa kabut belirang tadi tentu
mengandung racun.... Karena ia sudah mendapat saluran
tenaga murni dari Koay-suhu simanusia dari gua dan minum
darah makhluk aneh serta makan buah Im-yang-som maka ia
memiliki daya tahan yang kebal terhadap kabut beracun itu.

121
Beda dengan Tiau Bok-kun yang lebih rendah
kepandaiannya sehingga tak tahan diserang kabut itu.
Sejak kecil ikut pada gurunya, tabib sakti Kongsun Liong,
Siau-liong pun faham akan ilmu pengobatah. Karena tak
membekal obat, tak dapat ia menyembuhkan nora itu.
Akhirnya ia hanya dapat melakukan cara mengurut untuk
menekan racun dalam tubuh gadis itu supaya jangan
mengembang luas.
Tak berapa lama Tiau Bok-kun tersadar. Memandang Siauliong,
nona itu mengeluh, “Lo-cianpwe, aku benci....”
"Siapa?"
Tiau Bok-kun menghela napas panjang, “Aku benci diriku
yang bernasib malang ini....”
Siau-liong tertawa lalu menghela napas.
“Lo-cianpwe," kata nona itu pula, “dengan kepandaian yang
sakti engkau tentu dapat keluar dari lembah ini. Janganlah
karena diriku, engkau akan mendapat kesusahan....”
Siau-liong tertawa, “Orang menjuluki diriku Pendekar
Laknat. Kegemaranku mengurus hal2 yang tak adil. Sekali
campur tangan, tak pernah aku mundur lagi."
Tiau Bok-kun gelengkan kepala, “Nasibku memang malang.
Hidupku selalu dirundung kesusahan dan keputus-asaan.
Andaikata dapat keluar dari lembah ini, bagiku pun tiada
manfaatnya hidup di dunia!"
Sejenak berhenti, nona itu berkata pula, “Lo-cianpwe,
apakah engkau mau meluluskan sebuah permintaanku?"

122
Siau liong buru-buru mengiakan.
Sesaat tampak Tiau Bok-kun meragu tetapi akhirnya ia
berkata juga, “Ada seorang pemuda gagah bernama Kongsun
Liong. Adakah lo-cianpwe kenal padanya?"
Jantung Siau-liong mendebur keras. Cepat ia menyahut,
“Dia adalah ketua partai Kay-pang yang termasyhur. Masakan
aku tak kenal?"
Tiau Bok-kun menghela napas.
"Tolonglah lo-cianpwe suka menyerahkan suratku ini
kepadanya. Katakan . ,.... katakanlah, bahwa aku sudah
meninggal dunia. Budi pertolongannya kepadaku, terpaksa
kelak pada penitisan yang akan datang, baru dapat kubalas!"
Habis berkata nona itu menangis tersedu-sedu. Siau-liong
terpaksa ikut mengucurkan air mata. Untunglah karena gelap,
tiada yang mengetahui keadaannya saat itu.
Sesungguhnya sudah berulang kali Siau-liong hendak
menyingkap kedoknya agar Tiau Bok-kun terkejut girang.
Tetapi setiap kali, ia batalkan niatnya.
Kini baru ia mengetahui betapa besar cinta Tiau Bok-kun
kepadanya.... Pikiran Siau-liong mulai melayang-layang
jauh....
Dari keterangan gurunya, yakni tabib sakti Kongsun Sintho,
Siau-liong mengetahui bahwa pembunuh ayahnya adalah
ketua Kong-tong-pay yang bernama Toh Hun-ki serta keempat
tokoh tua dan partai itu. Dan Toh Hun-ki itu sesungguhnya
adalah guru dari ayah Siau-liong.

123
Selama ini beberapa kali ia mempunyai kesempatan untuk
membunuh musuh ayahnya itu. Tetapi setiap kali teringat
akan pesan gurunya bahwa mendiang ayahnya meninggalkan
pesan supaya jangan membalas sakit hati itu. Terpaksa Siauliong
lepaskan musuhnya.
Mengenai ibunya, Siau-liong sudah beberapa kali berjumpa
tetapi setiap kali tentu kehilangan kesempatan untuk bicara.
Kemudian pikiran Siau-liong melayang jauh pada manusia
aneh Pendekar Laknat yang memberinya ilmu kesaktian,
Menurut pesan Pendekar Laknat, ia harus membenci semua
manusia di dunia. Apabila ia tak dapat memenuhi pesan itu,
sekurang-kurangnya ia harus dapat membunuh Soh-beng Kisu,
pertapa yang berhutang darah Pendekar Laknat.
Kemudian masih ada seorang lagi yakni Kolo-sin-kay atau
Pengemis Tengkorak Song Thay-kun. Walaupun tokoh itu
hanya berupa tengkorak tetapi dari petunjuknialah ia dapat
mempelajari ilmu pukulan Thay-siang-ciang-hwat yang sakti,
makan buah Im-yang-som dan minum darah ular naga.
Dan kini setelah dirinya dinobatkan sebagai Cousu-ya atau
ketua dari partai Kay -pang, demi membalas budi Pengemis
Tengkorak, ia harus berusaha keras untuk mengharumkan
nama baik partai itu.
Peristiwa2 itu melalu-lalang dibenak Siau-liong. Ia
menginsyafi, betapa berat beban yang terletak pada bahunya.
Kini ia telah memiliki berbagai kepandaian sakti. Tetapi sejauh
itu, satu pun dari beban2 itu belum ada yang berhasil ia
laksanakan. Bagaimana yang akan terjadi, masih gelap
baginya.

124
Ah.... tugas kewajiban masih menumpuk. Mengapa ia harus
menjerumuskan diri dalam jerat asmara? Demikian ia
melamun.
Tengah ia terbenam dalam lamunan itu, tiba-tiba sebuah
suara halus mendesing di udara dan menyambar belakangnya.
Siau-liong terkejut, Cepat ia mengunakan dua buah jari tangan
untuk menjepit senjata gelap itu- Ah, kejutnya bukan kepalang
ketika pendapatkan bahwa yang dijepit itu bukan senjata
rahasia, melainkan hanya secarik lipatan kertas....
Hebat! Hanya ahli menutuk jalan darah dari jauh, yang
mampu menjentikkan surat itu kepadanya. Cepat ia berbangkit
dan memandang keseluruh penjuru. Tetapi kecuali derak halus
dari ranting dan daun2 tertiup angin malam, tiada tampak
suatu apa lagi.
Terpaksa ia duduk kembali serta diam-diam menghela
napas, “Ah, memang benar, di atas gunung masih terdapat
langit yang tinggi, Yang sakti masih ada yang lebih sakti lagi.
Kesaktian orang itu tak dibawah kepandaianku....”
Tiau Bok-kun hanya terlongong-longong memandang Siauliong.
Tetapi pemuda itu tak sempat lagi memberi keterangan
karena ia terus membuka surat lipatan itu. Dan membacanya:
—Ilmu silat tiada batasnya. Harus faham tenaga luardalam,
ilmu pukulan dan senjata, mengetahui barisan Patkwa-
kiu-kiong, Ki-bun-ngo-heng, ilmu pengobatan,
perbintangan dan pemakaian racun, barulah dia dapat
menguasai dunia persilatan. Kepandaianmu tinggi tetapi
kurang pengalaman dan kurang cermat hingga terjebak dalam
barisan pohon bunga. Ingat dan hati-hatilah! Dunia persilatan
itu penuh tipu muslihat yang ganas....”

125
Siau-liong terkejut. Jelas orang itu memberi peringatan
kepadanya. Walaupun nadanya congkak tetapi maksudnya
baik. Siau-liong lanjutkan membaca lagi,
“Soh-beng Ki-su adalah murid dari si Iblis penakluk-dunia.
Dan nona pemilik Lembah Semi itu anak perempuan dari Dewi
Neraka. Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka, merupakan
sepasang suami isteri yang selalu kumpul-cerai. Saat ini
mereka masuk ke dalam lembah. Lekas tinggalkan tempat ini!"
Karena tiada tanda siapa penulisnya, Siau-liong bingung.
"Lo-cianpwe, apakah surat itu....” baru Tiau Bok-kun
bertanya, Siau-liong cepat menukas, “Ah, dari seorang
sahabat pada 40 tahun yang lalu!"
Tepat Siau-liong mengucap begitu, tiba-tiba dari belakang
terdengar orang tertawa dingin dan pada lain saat sesosok
bayangan hitam loncat menyelinap ke dalam gerumbul.
Siau-liong terkejut. Kiranya orang itu bukan lain adalah
orang berpakaian hitam yang pernah bertempur dengannya
tempo hari. Cepat ia mengajak Tiau Bok-kun pergi. Tetapi
nona menolak, “Silahkan lo-cianpwe pergi sendiri, jangan
pedulikan diriku."
Siau-liong tak mau banyak bicara. Cepat ia menyambar
Tiau Bok-kun terus dibawa lari mengejar orang berpakaian
hitam tadi.
Orang itu menyusup ke kanan dan ke kiri. Kira2 dua li
jauhnya, dia sudah berhasil keluar dari barisan pohon bunga.
Mau tak mau Siau-liong harus mengagumi orang itu. Diamdiam
ia memutuskan hendak menyingkap rahasia sibaju hitam
itu. Sekali enjot tubuh, ia menubruk orang itu seraya
membentak, “Siapakah sesungguhnya saudara ini!"

126
Tetapi rupanya orang misterius itu sudah memperhitungkan
hal itu. Pada saat Siau-liong bergerak, iapun sudah
melambung ke udara dan dengan gerak Burung-waletmenembus-
awan, ia melayang ke balik sebuah batu besar.
Diluar daerah barisan pohon bunga itu, merupakan sebuah
tanah lapang. Dan tak jauh disebelah muka, merupakan
sebuah lamping gunung yang melandai curam. Karena
mengepit tubuh Tiau Bok-kun, gerakan Siau-liong kurang
leluasa. Pada saat ia hendak layangkan diri mengejar orang
aneh itu, tiba-tiba tampak beberapa orang ter-huyung2 lari di
atas lamping gunung. Cepat sekali mereka sudah mendekati
ketempat Siau-liong.
Walaupun malam gelap tetapi Siau-liong dapat mengetahui
bahwa kawanan orang yang datang itu adalah ketua Kong
tong-pay yakni Toh Hun-ki bersama keempat tetua Kong-tongpay
atau Kong-tong-su-lo.
Menilik pakaian dan keadaan mereka, rupanya mereka
kalah bertempur dan sedang dikejar musuh. Mereka lari
pontang-panting menuju barisan pohon bunga.... Dalam
keadaan ketakutan mereka tak melihat Siau-liong.
Melihat rombongan orang Kong-tong-pay, Tiau Bok-kun
tampak jeri. Ia menjerit pelahan dan cepat bersembunyi di
belakang Siau-liong. Mendengar jeritan itu, rombongan Toh
Hun-ki berhenti. Mereka tertegun melihat Siau-liong dalam
penyamaran sebagai Pendekar Laknat, berada diluar hutan.
Geraham Siau-liong berderuk-deruk menahan kemarahan.
Tak pernah sedetikpun ia melupakan dendam kematian
ayahnya. Diam-diam ia sudah kerahkan tenaga sakti Bu keksin-
kang. Tetapi pada lain kilas, terngiang pula pesan
mendiang ayahnya bahwa ia tak boleh menuntut balas.

127
Apalagi melihat keadaan Toh Hun-ki saat itu, pemuda Siauliong
tak sampai hati turun tangan.
"Pendekar Laknat....!" seru Tok Hun-ki.
Siau-liong melirik ke arah orang itu. Tampak pakaiannya
berlubang beberapa beberapa tusukan senjata. Tubuh penuh
bintik2 noda darah, rambut kusut masai terurai kedada.
Sedang keempat Kong-tong su-lo dibelakangnya dengan
kepala menunduk.
"Menyerang orang yang sedang terluka, bukanlah laku
seorang ksatrya Aku masih dapat mencari lain kesempatan
untuk membalas dendam padanya," diam-diam Siau-liong
menimang dalam hati. Dan tenaga sakti Bu-kek-sin kang pun
diredakan.
"Kali ini kuampuni jiwa kalian. Tetapi kalau bertemu lagi,
jangan harap kalian mendapat kemurahan seperti saat ini
lagi!" serunya.
Walaupun heran atas tindakan Pendekar Laknat, tetapi Toh
Hun-ki tak mau membuang waktu lagi. Ia menghaturkan
terima kasih dan terus lari menuju ke dalam hutan.
"Hai, apakah kalian benar-benar hendak mencari
kematian!" tiba-tiba Siau-liong berseru seraya ayunkan
pukulan. Serangkum angin menderu menghadang lari
rombongan orang2 Kong-tong-pay itu.
Toh Hun-ki terkejut. Ia kira Pendekar Laknat merubah
keputusan.
"Hutan itu merupakan barisan pohon bunga dari Lembah
Semi. Aku sendiri tadi hampir celaka, apa lagi kalian!" seru
Siau-liong dengan tertawa dingin.

128
Toh Hun-ki berhenti dan memandang ke arah hutan. Ia
berterima kasih sekali atas peringatan momok itu. Sebagai
seorang ketua sebuah partai persilatan, ia berilmu tinggi dan
berpengalaman luas. Apa yang dikatakan Pendekar Laknat itu
memang benar. Diam-diam ia malu pada dirinya sendiri dan
timbullah rasa mengindahkan kepada momok itu.
Beberapa saat kemudian, belasan orang bersenjata muncul.
Mereka hendak mengejar rombongan Toh Hun-ki. Tetapi
terkejut ketika melihat Pendekar Laknat berada disitu. Mereka
tak berani sembarangan bertindak dan hanya pecah diri
mengepung.
Siau-liong tertawa.
Ternyata kawanan pengejar itu adalah Soh-beng Ki-su dan
gadis pemilik Lembah Semi sendiri bersama anak buahnya.
Adalah karena Pendekar Laknat menggunakan siasat untuk
menghancurkan separoh dari Giok-pwe yang berada
ditangannya, maka Soh-beng Ki-su dan gadis pemilik lembah
itu terpaksa hentikan serangannya dengan kabut beracun.
Giok-pwe itu adalah benda milik Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka. Lebih baik mereka tunggu kedatangan guru dan ibu
guru itu.
Soh-beng Ki-su dan gadis pemilik Lembah Semi mengetahui
bahwa guru dan ibu guru mereka itu sukar diraba sepak
terjangnya. Tetapi mereka yakin dalam beberapa hari ini,
kedua tokoh itu tentu akan kambali ke dalam lembah lagi.
Kedatangan Toh Hun-ki dan keempat Su-lo itu tak lain
hendak mengikuti Siau-liong yang tengah mengejar Soh-beng
Ki-su.... Ketua Kong-tong-pay itu tak pernah melepaskan
hasratnya untuk mendapatkan separoh Giok-pwe yang

129
dirampas Soh-beng Ki-su dari Tangan Tiau Bok-kun Yang
separoh bagian sudah berada ditangannya. Apabila berhasil
mendapat yang separoh dari tangan Soh-beng Ki-su, akan
lengkaplah peta untuk mencari kitab pusaka berisi ilmu
kesaktian yang tiada taranya di dunia. Dengan demikian partai
Kong-tong-pay pasti dapat mengangkat diri dan menguasai
dunia persilatan.
Dengan harapan itulah maka Toh Hun-ki memberanikan diri
untuk memasuki sarang harimau atau Lembah Semi-abadi
yang amat berbahaya itu.
Tetapi gerak-gerik Soh-beng Ki-su dan Siau-liong cepat
sekali. Mereka menghilang dari pandangan Toh Hun-ki. Dan
ketua Kong-tong-pay itu kehilangan arah akhirnya tersesat ke
belakang lembah. Disitu mereka dipergoki Soh-beng Ki-su dan
wanita pemilik Lembah Semi-abadi terus diserang.
Toh Hun-ki adalah ketua partai Kong-tong-pay dan
keempat Su-lo itu merupakan jago-jago sakti dari partai
tersebut. Tetapi Soh-beng Ki su dan wanita pemilik Lembah
Semi-abadi adalah murid dari Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka yang termasyhur. Ilmu Pek-kut-kang (tulang putih)
dari Soh-beng Ki-su dan ilmu Yong-kut-kang (pelelah tulang)
dari wanita pemilik lembah, memerupakan ilmu sakti yang
ganas sekali. Maka tak berapa lama, Toh Hun-ki dan keempat
Su-lo itu dapat dilukai dan melarikan diri.
Soh-beng-ki-su dan si nona pemilik lembah memimpin anak
buahnya mengejar. Pada saat rombongan Toh Hun-ki dapat
digiring memasuki barisan pohon bunga, tiba-tiba Pendekar
Laknat menolong.
"Setan tua, rupanya umurmu memang panjang!" seru nona
pemilik lembah seraya tertawa mengejek Siau-liong.

130
Siau-liong marah sekali. Soh-beng-ki-su adalah pembunuh
dari Koay suhu. Sepak terjang pertapa itupun amat ganas
Nona pemilik Lembah Semi, cabul dan ganas. Jika kedua
manusia itu tak dilenyapkan. dunia persilatan tentu menderita.
Siau-liong tertawa keras seraya melangkah maju. Karena
sudah beberapa kali menderita pil pahit dari Pendekar Laknat,
Soh-beng Ki-su gentar dan cepat kerahkan tenaga-sakti Pekkut-
kang. Dari jari pertapa itu meluncur sinar putih menyerang
Siau-liong.
Pemuda itu tak mengacuhkan. Ia tetap tertawa nyaring.
Nadanya menyerupai singa mengaum. Melihat itu, Son beng
Ki-su makin ketakutan. Ia perhebat lagi tenaga sakti Pek-kutkang
sampai beberapa bagian.
Sesungguhnya dalam tertawa tadi, diam-diam Siau-liong
pun sudah kerahkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang. Pada saat
sinar putih Pek-kut-kang tiba, Siau-liong menggembor keras
dan lepaskan pukulan Tay-lo-kim-kong, sebuah jurus dari ilmu
pukulan Tay siang-ciang yang amat dahsyat.
Terdengar suara menggelegar keras ketika kedua jenis
tenaga-sakti itu saling beradu. Hasilnya segera dapat
diketahui. Sinar putih Pek-kut-kang berantakan lenyap dan
Soh-beng Ki-su pun ter-huyung2 ke belakang beberapa
langkah.... Ia terluka.
"Serahkan jiwamu, jahanam!" Siau-liong maju menghampiri
dan hendak meaghantamnya lagi. Tetapi si nona pemilik
lembah segera mengajak anak buahnya menyerbu.
Siau-liong hanya membenci Soh-beng Ki-su dan nona
pemilik lembah itu. Ia tak mau mengorbankan banyak jiwa
yang tak berdosa. Belasan anak buah yang terdiri dari lelaki

131
dan perempuan itu, se-olah2 tak mengacuhkan pukulan Siauliong.
Mereka seperti manusia2 patung yang tak bernyawa.
Siau-liong tak sampai hati dan terpaksa menarik pulang
pukulannya.
Setelah hantamkan tangan kiri ke arah nona pemilik
lembah Siau-liong pun enjot tubuh melambung melampaui
kepala orang2 itu lalu melayang ke arah Soh-beng Ki-su.
Soh-beng Ki-su yang sudah menderita luka itu makin
ketakutan. Wajahnya pucat sekekita. Siau-liong tak peduli dan
terus hendak menghantamnya.
"Tahan!" tiba-tiba dari samping terdengar suara orang
membentak dan serangkum angin bertenaga lunak
mendampar punggungnya.
Siau-liong terkejut seraya cepat loncat menghindar. Ketika
bepaling, tampaklah sepasang kakek-nenek berdiri setombak
jauhnya. Kedatangan kedua orang itu sama sekali tak
bersuara.
Siau-liong terkesiap.
Kedua kakek-nenek itu sudah lanjut usianya. Dahi mereka
penuh berhias keriput tetapi mukanya masih berseri segar.
Sepasang matanya bersinar tajam.
Yang lelaki bertubuh jangkung tetapi punggungnya
bungkuk. Jenggotnya menjulai panjang sampai kelutut.
Rambutnya yang putih terurai lepas pada kedua bahu. Alisnya
pun panjang sehingga hampir bersambung satu sama lain.
Hidung bengkok macam burung kukuk beluk. Mulutnya aneh,
karena bibir bagian atas lebar tetapi yang bawah kecil

132
sehingga tampak baris giginya yang putih. Sepintas pandang
menyerupai orang hutan.
Sedang yang perempuan, bertubuh pendek kecil. Tingginya
hanya sebatas perut sikakek. Alisnya tebal, mata besar dan
hidung membiak lebar, menaungi mulutnya yang besar. Nenek
itu mencekal sebatang tongkat Liong-thau-ciang atau tongkat
Kepala naga. Tongkat lebih tinggi dari orangnya.
Siau-liong tertegun melihat keadaan kedua manusia aneh
itu.
“Suhu." tiba-tiba Soh-beng Ki-su berteriak girang seraya lari
menghampiri dan berlutut dihadapan kakek yang mirip orang
hutan itu.
“Ayah, ibu....!" nona pemilik lembah pun berseru dan lari
terus memeluk dada wanita kate.
Sambil membelai rambut puterinya dengan mesra, nenek
kate itu menghibur, “Jangan takut, anakku. Ibumu tentu akan
menghimpas penasaranmu!"
Kemudian nenek itu melangkah maju. Saat itu barulah
Siau-liong menyadari akan surat peringatan dari orang baju
hitam yang mengatakan bahwa kedua momok suami isteri itu
sudah datang ke dalam lembah. Tak salah lagi, mereka
tentulah suami-isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.
Nenek Dewi Neraka berhenti lima langkah di hadapan Siauliong
dan memandangnya dengan berapi2. Tiba-tiba Dewi
Neraka tertawa mengekeh.
"Heh, heh, setan tua Bu-kek, mengapa 20 tahun tak
ketemu, engkau sekarang bertambah tinggi....” tegurnya.

133
Siau-liong teringat bahwa kedua suami-isteri durjana itu
adalah musuh bebuyutan dari Koay suhu atau Pendekar
Laknat. Beberapa kali Koay suhu kalah oleh kedua momok itu.
Diam-diam ia menimang. Walaupun sekarang ia sudah
memiliki tenaga-sakti dari Koay suhu dan faham ilmu pukulan
Thay-siang-ciang dari Pengemis Tengkorak, tetapi kedua
momok itu tentulah juga sudah jauh lebih maju dalam ilmu
kesaktiannya. Maka Siau-liong tak berani memandang rendah.
Sambil kerahkan tenaga sakti, ia tertawa nyaring.
“Sekalipun berpisah hanya tiga hari tetapi harus meneliti
lagi. Selama 20 tahun ini aku telah berhasil mempelajari
semacam ilmu ajaib. Tubuhku dapat kupanjang-surutkan,
kurus-gemuk kan menurut sekehendak hatiku. Pula aku dapat
memperpanjang umurku sampai seribu tahun!" sahut Siauliong.
Dewi Neraka terperanjat. Tetapi cepat ia tenang kembali
Ujarnya, “Hanya sayang makin tua engkau makin tak kenal
malu. Buktinya, mengapa engkau tak malu menghina kedua
muridku ini?"
Nenek itu mengguncangkan tongkatnya seperti hendak
menyerang. Tetapi Iblis Penakluk-dunia cepat loncat
mencegah.... Lalu berkata kepada Siau-liong, “Setan tua Bukek,
kuucapkan selamat engkau masih tetap awet muda dan
tambah tinggi!"
'Ho, tak perlu memuji!" Siau-liong tertawa tawar.
Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka saling
berpAndangan. Agaknya mereka curiga atas sikap dan kata2
Siau-liong.

134
Iblis Penakluk dunia kerutkan alis, tertawa sinis, “Dua puluh
tahun tak ketemu, engkau banyak berubah. Kabarnya engkau
punya sebuah ilmu baru lagi?"
"Ilmu jenis Bubuk-makan-kayu saja, masakan pantas
dibanggakan," Siau-liong tertawa.
Sambil mengurut jenggot, Iblis Penakluk dunia berkata
pula, “Isteriku telah mengundang seluruh ksatrya dunia
persilatan supaya datang kelembah sini untuk mengadu
kepandaian. Rupanya engkau merupakan tetamu paling
terhormat dari isteriku!"
"Jika isterimu yang mengundang, tiada alasan aku tak
datang," sahut Siau-liong.
Iblis itu tertawa sinis, “Dapat atau tidaknya engkau hadir,
tergantung bagaimana hasil peyakinanmu selama 20 tahun ini.
Mungkin sejak saat ini, dunia akan kehilangan seorang momok
yang disebut Pendekar Laknat!"
Tiba-tiba iblis tua itu menutup kata-kata dengan dorongkan
kedua tangannya ke arah Siau-liong. Siau-liong memang
sudah menduga kemungkinan itu. Iapun sudah siap sedia.
Cepat ia dorongkan kedua tangannya menyongsong.
Dahulu iblis Penakluk-dUnia termasyhur dengan pukulan
sakti Thay-krk-bu-wi-kangnya. Setelah memperdalam lagi
selama 20 tahun, sudah tentu tenaga saktinya makin
sempurna.
Dess.... terdengar ledakan keras. Debu dan batu seluas
beberapa meter, berhamburan keempat penjuru....
Tenaga sakti Bu-kek-sin-kang dan ilmu pukulan Thay-siangciang
yang dilancarkan Siau-liong berlandas kekerasan

135
dahsyat. Sedang tenaga sakti Thay-kek-bu-wi-kang dari iblis
Penakluk dunia mengutamakan tenaga lunak.
Keduanya paling menggunakan delapan bagian tenaganya.
Kesudahannya, mereka sama2 terkejut. Ternyata tenaga sakti
keduanya sama2 lenyap, Tiada yang kalah dan menang.
Iblis Penakluk dunia paksakan tertawa, “Setan tua Bu-kek,
dalam 20 tahun ini, hebat sekali kemajuanmu!"
Dalam berkata-kata itu, iblis Penakluk-dunia tetap
pancarkan tenaga sakti ke arah tangannya dan menyerang.
"Bagus, bagus." seru Siau-liong seraya balikkan kedua
tangannya menyambut.
Mereka saling adu tenaga dalam melalui sepasang tangan
masing-masing. Sampai sepeminum teh lamanya, keduanya
tetap tak bergerak. Tiba-tiba iblis Penakluk-dunia
menggembor keras. Ia deliki mata. Tulang2 tubuhnya
berderak-derak dan ia tambahkan lagi penyaluran tenaga
dalamnya untuk mendesak Siau-liong.
Tampaknya Siau-liong tak kuat bertahan. Kedua lengannya
pun sudah menjuntai ke bawah dan tubuhnya mulai condong
ke belakang.
Toh Hun-ki dan keempat Su-lo serta Tiau Bok-kun
menyaksikan pertempuran maut itu dengan berdebar-debar.
Mereka mencemaskan keadaan Siau-liong. Jika Siau-liong
kalah, merekapun takkan lolos dari tangan maut siiblis
Penakluk-dunia.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara tertawa Siau-liong.
Tubuh Pendekar Laknat itu tegak kembali dan bahkan dapat
mendesak lawan ke belakang.

136
Sepeminum teh lamanya, wajah iblis yang semula merah
segar, mulai tampak pucat lesi. Keningnya basah dengan
keringat. Jelas tokoh itu hampir kehabisan tenaga.
Karena mengenakan kedok penyamaran sebagai Pendekar
Laknat, maka perobahan air muka Siau-liong tak terlihat.
Tetapi jelas, diapun berjuang mati-matian untuk bertahan.
Sekonyong-konyong terdengar getaran menggelegar dan
tahu2 iblis Penakluk dunia serta Siau-liong sama2 menyurut
mundur sampai tujuh langkah.... Debu dan pasir berhamburan
hebat.
Kedua musuh itu tegak berdiri tak kurang suatu apa.
Beberapa saat kemudian, barulah iblis Penakluk dunia berseru,
“Setan tua Bu-kek, dua puluh tahun berselang, engkau
menghalangi cita-citaku menguasai dunia persilatan. Kini 20
tahun kemudian, engkau tetap merupakan penghalangku yang
utama....”
Ia berhenti sejenak. lalu, “Tetapi keadaan sekarang
berbeda dengan dulu. Asal engkau berani datang menghadiri
pertempuran di dalam lembah, aku sudah sedia cara untuk
menguburmu!"
Siau-liong tertawa nyaring, “Dalam hidupku tak pernah
kutakut pada manusia siapa saja. Aku tentu datang."
Tiba-tiba tubuh iblis Penakluk dunia condong kemuka
seperti mau rubuh tetapi segera tegak lagi.... Setelah tertawa
terkekeh-kekeh beberapa saat, ia ajak Dewi Neraka dan puteri
serta muridnya masuk ke dalam lembah. Tak berapa lama
mereka lenyap dari pandangan.
Saat itu hampir menjelang tengah malam.

137
Siau-liong memandang rembulan cekung. Ia menghela
napas dalam.
"Lo-cianpwe....” Tiau Bok-kun lari menghampiri.
"Pendekar.... Laknat," Toh Hun-ki pun bersama keempat
Su-lo menghampiri kemuka Siau-liong.
Siau-liong tak mengacuhkan. Ia duduk di tanah pejamkan
mata. Toh Hun-ki, Tiau Bok-kun dan keempat Su-lo tak berani
mengganggu. Mereka tahu Pendekar Laknat seorang manusia
aneh. Sukar diraba sepak terjangnya. Walaupun tadi telah
menolong tetapi belum tentu dia tak berpaling halauan.
Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba Siau-liong mengangkat
kepala dan muntah darah.
"Lo-cianpwe, apakah engkau terluka....” Tiau Bok-kun
berseru cemas.
Siau-liong mengiakan, “Ya, tetapi si iblis dunia itupun lebih
berat dari aku!"
Toh Hun-ki buru-buru mengambil dua butir pil merah lalu
diberikan kepadanya, “Pil buatan partai Kong-tong-pay ini.
mempunyai khasiat mengembalikan ketenangan darah dan
hawa murni....”
Plak.... tiba-tiba Siau-liong menampar jatuh pil itu dan
membentak, “Siapa sudi makan pil pemberianmu"
Toh Hun-ki tersentak kaget. Bersama keempat Su-lo, ia
mundur beberapa langkah. Ia duga momok itu tentu sedang
kumat gilanya.

138
Tiau Bok-kun pun mengira demikian. Ia juga mundur dua
langkah.
Tak berapa lama terdengar Siau-liong menghela napas
pula.
Mendengar itu Toh Hun-ki memberi hormat seraya
menghaturkan terima kasih, “Pemberian pil tadi berdasarkan
rasa terima kasih kami yang tak terhingga kepada saudara."
"Pergi kau!" bentak Siau-liong, “aku tak butuh terima
kasihmu. Jika saat ini kalian tak terluka, mungkin kalian sudah
jadi mayat!"
"Silahkan saudara berkata apa saja. Tetapi karena merasa
menerima budi, aku tak dapat tinggalkan saudara dalam
keadaan terluka," sahut Toh Hun-ki, terus duduk di tanah
diikuti keempat Su-lo.
Siau-liong pejamkan mata. Beberapa saat kemudian ia
membentak bengis, “Toh Hun ki!"
Ketua Kong-tong-pay itu mengiakan.
"Aku hendak minta engkau menyelidiki berita seseorang....”
"Asal tenagaku mampu, tentu akan kulaksanakan," sahut
Toh Hun-ki.
Siau-liong mengangguk, katanya, “Apakah pada 10 tahun
yang lalu engkau kenal akan seorang lelaki yang bernama
Tong Gun-liong?"
Toh Hun-ki terbeliak.

139
Tong Gun-liong dikubur di gunung Hongsan. Dan ternyata
Pendekar Laknat bersembunyi dibalik gunung itu. Mungkinkah
mayat Tong Gun-liong itu Pendekar Laknat yang
menguburnya? Demikian Toh Hun-ki mulai membayang
kecemasan.
Tetapi Pendekar Laknat seorang iblis yang gila dan
pendendam. Dia tak punya seorang sahabat pun juga. Tak
mungkin dia mempunyai hubungan apa2 dengan Tong Gunliong.
Mustahil dia mau mengubur mayat Tong Gun-liong.
"Lekas bilang, kenal atau tidak!" Siau-liong mengulang
pertanyaannya.
"Tong Gun-liong adalah muridku....” Toh Hun-ki tergagap
lalu menghela napas. Sambil menghitung jari tangan, ia
berkata pula, “Tetapi pada belasan tahun berselang, dia telah
binasa di lembah Hok-liong-koh di gunung Hongsan."
"Mengapa?" Siau-liong tahankan air matanya.
Toh Hun-ki menghela napas panjang, “Memang kelalaianku
sendiri sehingga tak mengetahui bahwa Tong Gun-liong diamdiam
telah jatuh cinta kepada Ki Ih. Dari hubungan gelap,
mereka melahirkan seorang anak lelaki dan....”
Toh Hun-ki terpaksa hentikan keterangannya karena
mendadak Siau-liong menggembor keras dan muntah darah.
"Lanjutkan!" teriak Siau-liong.
Terpaksa Toh Hun-ki bercerita lagi, “Demi menjaga
peraturan perguruan, kuputuskan tak mengakui pernikahan
itu. Tetapi diluar dugaan Ki Ih marah dan mengamuk Kongtong-
pay....”

140
Ia berhenti sejenak untuk mengenangkan peristiwa itu lalu
melanjutkan, “ Pada saat itu, salju mulai turun dengan deras.
Jalanan gunung penuh bertutupkan salju. Dalam kebingungan,
Gun-liong membawa anaknya yang baru berumur belum
cukup 100 hari itu melarikan diri. Tetapi dia tergelincir jatuh
ke bawah karang yang curam dan binasa. Ki Ih menyusul lari
dan tak ketahuan beritanya lagi....”
"Kemunculan Ki Ih kedaerah Tiong-goan itu, tentu mencari
balas pada kalian, bukan?" tukas Siau-liong.
"Benar," sahut Toh Hun-ki. Serentak ia teringat akan
peristiwa digunung Tay-lian-san tempo hari. Bersama tokoh2
Kay-parg, rombongan Toh Hun-ki berhasil mengepung dan
melukai Ki Ih. Tetapi tiba-tiba pada saat itu Pendekar Laknat
muncul menolong Ki Ih. Diam-diam Toh Hun-ki menatap Siauliong
dengan rasa heran.
Siau-liong menggeram, “Jika putera Tong Gun-liong masih
hidup, pantaskah dia menuntut balas kepadamu?"
Toh Hun-ki mengangguk, “Sudah tentu....”
Tiba-tiba Siau-liong tengadahkan kepala tertawa keras,
“Toh Hun-ki, engkau telah membunuh jiwa seseorang. Apakah
engkau tak menyesal atas peristiwa 16 tahun yang lalu itu?"
Ketua Kong Tong-pay menghela napas, “Sebagai guru dan
murid, sudah tentu aku bersedih. Tetapi dalam kedudukan
sebagai seorang ketua perguruan yang menjaga ketertiban
peraturan, aku tak menyesal sama sekali!"
Nada jawaban itu mengunjuk kewibawaan sebagai seorang
ketua partai persilatan yang termasyhur.

141
Siau-liong merenung diam. Setelah menghela napas, ia
berpaling ke arah Tiau Bok-kun, “Nona Tiau itu menderita
terkena racun. Saat ini aku tak sempat merawatnya....”
"Serahkan kepadaku yang mengobatinya," cepat Toh Hunki
menanggapi.
"Tidak! Aku dapat merawat diriku sendiri.... mereka....
mungkin akan membunuhku!" cepat2 Tiau Bok-kun berseru.
Siau-liong tertawa hambar, “Mereka tak dapat dan tak
mungkin berani berbuat begitu....” berpaling kepada Toh Hunki,
Siau-liong berkata lebih jauh, “Asal kalian mengantar nona
itu kekota Siok-ciu dan dapat menyembuhkan lukanya, barulah
kuanggap kalian telah membalas budiku tadi....” habis berkata
Siau-liong terus berbangkit dan melangkah pergi.
Tiba-tiba berhamburan air mata Tiau Bok-kun, serunya,
“Lo-cianpwe....”
Siau-liong berhenti dan menanyakan.
"Apakah lukamu tak mengapa?" tanya nona itu penuh
cemas.
Siau-liong paksakan tertawa, “Mati hidup sudah suratan
takdir. Harap nona jangan kuatir....” berkata sampai disitu,
meluaplah rasa haru dalam hati Siau-liong sehingga air
matanya hampir mencucur keluar. Buru-buru ia berpaling
muka dan berjalan lagi.
"Harap tunggu dulu, aku masih hendak bicara kepada
saudara," baru beberapa langkah Siau-liong berjalan, Toh
Hun-ki sudah menghadangnya.
Siau-liong tertegun.

142
Toh Hun-ki mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari kain
warna biru, katanya, “Bungkusan ini berisi separoh bagian dari
Giok-pwe, sebuah pusaka yang menjadi milik Kong-tongpay....”
Ia berhenti sejenak, melirik ke arah Tiau Bok kun, lalu
melanjutkan pula, “Dan yang separoh bagian adalah milik
nona Tiau itu.... Tetapi sayang telah dirampas Soh-beng Ki-su.
Saat ini tentu sudah diserahkan kepada gurunya siibiis
Penakluk dunia. Apabila kedua Giok-pwe dipersatukan, akan
merupakan sebuah peta rahasia penyimpanan pusaka yang
selama ini dikejar-kejar oleh kaum persilatan.... -"
Kembali ia berhenti sejenak lagi lalu meneruskan, “Pusaka
itu merupakan simpanan harta karun dan kitab pusaka yang
tak ternilai harganya."
"Semut mati karena manisan, manusia karena harta. Aku
tak ingin sama sekali pada harta dunia!" Siau-liong tertawa
hina.
"Aku sendiri juga tak mementingkan harta," buru-buru Toh
Hun-ki menerangkan, "tetapi dalam tempat penyimpanan
pusaka itu, terdapat sebuah kitab. Konon kitab itu adalah
karya dari Tio Sam-hong cousu. Jika berhasil memperolehnya,
tentu akan mendapat kesaktian yang hebat dan dapat
membasmi kawanan durjana, membantu mengamankan dunia
persilatan....”
Ketua Kong-tong-pay itu berhenti sejenak, memandang
Siau-liong lalu berkata pula, “Terus terang aku tak mampu
mendapatkan separoh bagian dari Giok-pwe yang dirampas
Soh-beng Ki-su itu. Maka hendak kuhaturkan separoh bagian
giok-pwe itu kepadamu....”

143
"Sebagai pembalas budi?" tukas Siau-liong.
"Aku hidup untuk kepentingan umat manusia dan bekerja
demi amanat sesama kaum persilatan. Kumohon engkau
muncul lagi dalam dunia persilatan untuk menyelamatkan
bencana darah!" habis berkata ia angsurkan bungkusan berisi
separoh Giok-pwe itu kepada Siau-liong.
Tetapi Siau-liong tak mau tergesa2 menyambuti. Katanya
tertawa, “Apakah engkau percaya kepadaku? Mengapa engkau
yakin aku takkan mencelakai dunia persilatan?"
Sambil menatap Siau-liong, Toh Hun-ki tertawa nyaring,
“Mataku tak buta. Kupercaya penuh engkau pasti takkan
mengecewakan tugas suci dunia persilatan ini!"
Namun Siau-liong masih bersangsi. Jika menerima
pemberian Toh Hun ki, musuh besarnya yang membunuh
ayahnya, kelak ia tentu sulit untuk membalas dendam Tetapi
ucapan Toh Hun-ki itu memang menarik perhatiannya. Ia tak
menghiraukan segala harta karun. Hanya kalau, kitab pusaka
itu sampai jatuh ketangan manusia2 durjana, tentulah dunia
persilatan akan terancam bencana kehancuran! ya, Setelah
meragu beberapa saat, akhirnya ia menerima juga pemberian
itu.
"Semoga anda diberkahi keselamatan dan selamat jalan!"
serasa lapanglah dada Toh Hun-ki setelah Siau-liong mau
menerima. Ia memberi hormat lalu memanggul Tiau Bok-kun
yang masih pingsan dan terus pergi. Keempat Su-lo mengiring
dibelakang.
Siau-liong tegak termenung-menung. Hatinya pepat sekali.
Ingin ia tumpahkan air mata untuk melonggarkan kesesakan
dadanya. Beberapa kali berjumpa dengan Toh Hun-ki tetapi

144
setiap kali tentu tak dapat membalas dendam. Dan beberapa
kali bersua dengan ibunya tetapi tentu terpisah lagi....
Ia merasa kalau kepandaiannya sekarang sudah tinggi.
Siapa tahu dalam pertempuran dengan iblis Penakluk dunia, ia
telah menderita luka berat.
Dan teringat pula ia akan manusia aneh baju hitam. Jika
orang itu tidak muncul memberi bantuan. kemungkinan saat
itu ia sudah mati dalam kurungan barisan pohon bunga.
Siau-liong memandang ke balik batu besar. Setelah tak
melihat suatu apa, ia berjalan menuruni lamping gunung.
Melintasi lamping gunung itu, tibalah ia disebuah tanah datar.
Sebuah anak sungai mengalir keluar gunung.... Ia menurutkan
aliran sungai kecil itu.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia teringat. Buru-buru ia
membuka kedok muka sebagai Pendekar Laknat dan jubah
hitamnya. Saat itu, ia menjadi Kongsun Liong lagi, ketua partai
Kay-pang....
Lebih kurang dua jam lamanya, fajar mulai tiba. Yang
tampak diempat penjuru hanya jajaran gunung. Ternyata ia
tersesat jalan dan tak dapat keluar dari daerah belantara.
Luka dalam tubuhnya mulai bekerja. Hampir ia tak kuat
menahan tubuhnya yang terhuyung-huyung itu. Beberapa kali
hampir rubuh.
Tiba-tiba ia ia melihat sebuah biara pada jarak 10 tombak
disebelah muka. Dengan langkah terhuyung ia menuju biara
itu. Ternyata sebuah biara yang rusak. Pada papan yang
tergantung di atas pintu terdapat tulisan Ke-beng-si atau biara
Ayam-berkokok.

145
Biara itu penuh dengan sarang gelagasi. Tembok bengkah2
dan area2 berserakan diujung ruang. Keadaannya
mengenaskan sekali. Siau-liong harus lekas2 menyalurkan
darah untuk mengobati luka dalamnya. Kalau terlambat ia
pasti akan cacad selama-lamanya.
Tetapi Siau-liong meragu. Biara itu hanya terpisah
sepuluhan li dari lembah Semi. Kedua suami isteri durjana itu
setiap saat tentu dapat mencarinya kesitu. Apabila musuh
mengetahui tempat persembunyiannya, tentu celakalah ia.
Dalam kegelisahan tiba-tiba Siau-liong melihat sebuah
tempat yang tepat untuk bersembunyi. Ialah diruang samping.
Separoh wuwungan ruang samping itu rubuh. Tetapi separoh
bagian belakangnya masih utuh. Tertutup oleh runtuhan
tembok dan wuwungan, dibagian belakang ruang itu terdapat
sebuah lubang berbentuk segi tiga.
Setelah yakin orang tentu sukar menduga tempat itu
dipakai tempat bersembunyi, ia segera menyusup, menutup
liang itu dengan keping papan dan tembok bengkah. Setelah
rapat, ia mulai duduk bersemedhi menyalurkan darah. Berkat
dasar tenaga dalamnya yang kokoh ditambah pula minum
darah naga dipusar bumi serta buah som, dalam waktu sejam
saja, darahnya yang bergolak itu dapat ditenangkan.
Cepat sekali delapan jam telah lewat. Empat jam lagi,
lukanja tentu sembuh. Saat itu hari petang. Angin reda dan
turunlah hujan. Tak berapa lama tiba-tiba ia mendengar
langkah kaki yang halus masuk ke dalam ruang situ. Ia duga
tentulah pemburu yang meneduh. Selekas hujan berhenti,
orang itu tentu pergi.
Diluar dugaan, setelah mondar-mandir beberapa saat,
orang itu berseru kaget dan terus menuju keruang samping

146
Langkah kaki orang itu makin lama makin dekat dan masuk
ke dalam ruang samping. Siau-liong terkejut sekali. Saat itu
penyaluran tenaga dalamnya sedang mencapai puncak
ketegangan. Dalam keadaan seperti itu, cukup seorang biasa
saja, sekali dorong tentu dapat merubuhkan Siau-liong. Dia
akan cacad bahkan bisa mati.
Akhirnya ia menyerah pada nasib. Jika memang ditakdirkan
mati, apa boleh buat. Dengan kebulatan pikiran itu, ia mulai
tenang dan menjalankan penyaluran darah lagi.
Pendatarg itu agaknya tertegun lalu tertawa pelahan seraya
menghampiri ke tempat Siau-liong. Siau-liong pun merasa
bahwa orang itu telah berada dibelakangnya.
Tring.... orang itu mencabut pedang. Seketika terdengar
keping-keping papan dan tembok berhamburan tertabas
pedang.
"Habislah riwayatku....” diam-diam Siau-liong mengeluh....
Saat itu ia tak dapat berbuat apa2. Ia hanya pasrah nasib
saja, Tetapi heran. Sampai sekian saat belum juga terjadi
sesuatu. Rupanya orang itu batalkan maksudnya membunuh.
Lebih kurang sepeminum teh lamanya, Siau-liong
mendengar orang itu menyarungkan pedang kembali. Dan
menyusul terdengar suara celana wanita berteliku duduk tak
jauh dari tempatnya. Ketegangan Siau-liong mereda. Jelas
pendatang itu tiada bermaksud jahat kepadanya.
Selang empat jam kemudian, selesailah penyaluran Siauliong.
Lukanya hampir sembuh sama sekali. Begitu membuka
mata, pertama-tama ia ingin mengatahui siapakah gerangan
pendatang itu.

147
Cepat ia berpaling dan.... astaga! Orang itu sudah lenyap.
Setelah menghela napas panjang, ia berbangkit. Ternyata
hujan sudah berhenti. Ruang penuh air, tubuhnya pun penuh
kotoran debu. Tiba-tiba hidungnya terbaur daging bakar yang
wangi. Buru-buru ia berpaling Dimeja sembahyang tampak
seonggok api yang belum padam. Di atas api terdapat
segumpal daging rusa. Karena sehari suntuk tak makan, air
liurnya pun menitik keluar. Ketika hendak mengambil daging
rusa itu, tiba-tiba sesosok tubuh langsing menerobos masuk.
Girang Siau-liong bukan kepalang. Orang itu bukan lain Pek
Ciang-wi atau si Mawar Putih.
Dara itu tengah membawa sebuah tempat dupa yang diisi
air. Buru-buru Siau-liong menghampiri dan menyambutinya,
“Ah, kiranya engkau....”
"Sudah sembuh?" tanya dara itu.
Siau-liong mengiakan.
"Mengapa engkau terluka?"
Siau-liong tergugu tak dapat menerangkan.
Waktu bertempur dengan iblis Penakluk dunia, ia
menyamar sebagai Pendekar Laknat. Tetapi sekarang ia sudah
kembali menjadi Kongsun Liong lagi. Sulit ia menuturkan
peristiwa itu. Karena tak biasa bohong, merah padamlah muka
pemuda itu. Untung dara itu tak mau mendesaknya.
Sambil menuding ujung hidung Siau-liong, ia berkata,
“Sungguh besar nian nyalimu. Jika semalam yang datang
bukan aku tentu jiwamu sudah melayang!"

148
Siau-liong tertawa meringis. Buru-buru ia alihkan
pembicaraan menanyakan tentang daging rusa bakar.
"Bagaimana?" Mawar Putih tersenyum manis.
"Sungguh harum sekali Tak kira engkau pandai sekali
masak," Siau-liong memuji.
Rupanya dara itu senang hatinya. Ia segera ajak Siau-liong
duduk dimuka meja dan menikmati daging rusa bakar. Siauliong
makan dengan lahap. Selesai makan, haripun sudah
fajar.
Mawar Putih memandang Siau-liong lalu memandang
dirinya sendiri. kemudian tertawa geli, “Ah, engkau ketua Kaypang,
sudah tentu seorang pengemis tua. Tetapi aku....”
Kiranya karena menemani Siau-liong makan dan mengobrol
sampai setengah malam, muka dan pakaian si dara
berlumuran kotoran.
"Makan daging bakar dan minum air kotor sekalipun bukan
pengemis tetapi tentu bangsa manusia liar....” Siau-liong
tertawa.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan buru-buru berpaling.
Mawar Putih pun tertawa. Tiba-tiba ia juga hentikan
tertawanya dan menghela napas panjang.
Sudah tentu Siau-liong heran, tegurnya, “Mengapa engkau
tiba-tiba bermuram durja?"
Sejenak menatap Siau-liong, dara itu gelengkan kepala,
“Ah, aku teringat kalau suhuku sudah datang. Belasan tahun
aku tak pernah berpisah dengan beliau. Sekarang tak tahu
bilakah aku dapat berjumpa lagi dengan suhu....”

149
Wajah dara itu makin rawan, katanya lebih lanjut, “Sejak
kecil aku sudah sebatang kara. Adalah suhuku yang merawat
dan memelihara diriku sampai besar. Kami tinggal di sebuah
pulau kecil. Karena tak bercocok tanam, sejak kecil aku
membantu suhu berburu dan mencari ikan. Cara membakar
daging tadi, pun aku belajar dari suhu."
"Mengapa engkau tinggalkan suhumu dan seorang diri....”
"Aku hendak membalas dendam untuk suhu!" tukas Mawar
Putih geram.
Siau-liong terbeliak memandang dara itu, tanyanya,
“Mengapa nona tak datang bersama suhu nona? Apakah
beliau tega....”
"Suhu sedang sakit....” sahut Mawar Putih dengan nada
sumbang. Dua butir air mata menitik dari sudut matanya,
"suhu mengatakan bahwa penyakit yang diindapkannya itu tak
mungkin sembuh. Yang beliau selalu ingat adalah dendam
darahnya. Karena suhu sudah mewariskan seluruh
kepandaiannya kepadaku, maka sudah selayaknya aku yang
membalaskan dendam itu. Akan kubawa kepala orang itu
kehadapan suhu!"
Siau-liong tertarik perhatiannya. Tetapi ia tak dapat
menemukan kata-kata untuk menghibur dara itu. Lebih-lebih
ketika mengetahui bahwa tujuan dara itu menyangkut juga
asal-usul dirinya. Rasa haru Siau-liong makin meluap. Iapun
kucurkan beberapa titik air mata.
"Eh, mengapa engkau juga menangis?" Mawar Putih
hentikan sedunya dan tertawa menegur.

150
Siau-liong tertegun. Ia heran mengapa secepat itu si dara
sudah mengganti tangis dengan senyum tawa. Terpaksa iapun
ikut tertawa.
"Siapakah musuhmu?" tanyanya.
Dengan geram Mawar Putih menyahut, “Ketua partai Kongtong-
pay To Hun-ki bersama keempat Su-lo!"
Siau-liong termangu. Mengapa terjadi peristiwa yang begitu
kebetulan sekali! Toh Hun-ki adalah musuhnya besar karena
telah membunuh ayahnya. Mengapa musuh besar si dara itu
juga To Hun-ki?
"Apakah suhumu seorang pria atau wanita?" tanyanya agak
ragu.
“Sudah tentu wanita!"
“Mengapa suhumu bermusuhan dengan Toh Hun-ki?"
Dara itu kicupkan gundu matanya, “Pertanyaanmu terlalu
jauh! Apakah engkau hendak mengetahui peristiwa itu
sejelasnya? Apa perlumu?"
Siau-liong menghela napas, “Ah, terus terang saja, Toh
Hun-ki itu juga musuhku besar!"
Mawar Putih terbeliak dan menatapnya. Beberapa jenak
kemudian, ia berkata, “Sungguh kebetulan sekali. Kita dapat
bekerja sama."
Siau-liong mendengus dan merenung. Kemunculan Ki Ih
kedunia persilatan lagi untuk mencari balas kepada Kongtong-
pay, setiap orang persilatan sudah mengetahui semua.
Apalagi ia sendiripun sudah menyaksikan wanita sakti itu.

151
Walau pun setiap kali belum berhasil menerangkan kepada
wanita itu, namun ia percaya bahwa wanita sakti itu tentulah
Coa-sik Se-si Ki Ih.
Tetapi aneh sekali! Mengapa Mawar Putih mengatakan
bahwa suhunya sedang sakit dirumah? Kalau begitu, jelas
guru Mawar Putih ini tentu bukan Ki Ih. Habis kalau bukan Ki
Ih, siapakah sesungguhnya guru dara itu? Mengapa ia juga
mempunyai dendam sakit hati kepada Kong-tong-pay.
"Nona, aku hendak bertanya kepadamu!"
"Silahkan!"
"Siapakak nama suhumu itu....”
Mawar Putih terdiam sejenak baru menjawab, “Tiada
gunanya kuberitahukan nama suhuku. Beliau bernama Aminah
si Boneka-cantik dari Persia!"
"Apa?" Siau-liong menegas kejut.
"Aminah Pasilia!"
"Nama yang aneh dan sukar diingat serta tak sedap
didengar," kata Siau-liong.
Mawar Putih deliki mata, “Apa? Engkau berani menghina
nama suhuku?"
Dara itu terus berbangkit hendak pergi. Siau-liong menyesal
dan buru-buru minta maaf.
Saat itu hari sudah terang tanah. Cuaca cerah. Mawar Putih
melangkah pe-lahan2 sambil kerutkan alis, berkata, “Sekarang

152
hendak kemanakah kita ini? Kita tak dapat terus tinggal
dibiara bobrok ini!"
Sesaat Siau-liong pun tak dapat menentukan arah
tujuannya. Dia hendak membalas dendam. Hendak mencari
ibunya. Hendak mengangkat nama Koay suhu dalam dunia
persilatan. Hendak mengembangkan kewibawaan partai
pengemis. Hendak merebut separoh bagian dari Giok-pwe
yang berada ditangan Soh-beng Ki-su. Hendak mencari orang
baju hitam yang misterius di dalam Lembah Semi....
Banyak nian pekerjaan yang direncanakan tetapi ia bingung
untuk memulai yang mana dulu. Tiba-tiba ia teringat akan
Tiau Bok-kun. Sikap dan tingkah laku nona itu penuh dengan
kehalusan yang mesra sehingga ia tersentuh dengan suatu
perasaan. Perasaan yang selama ini belum pernah dialaminya.
Benar racun dalam tubuh nona itu sudah dapat
disumbatnya tetapi jika tak diobati tepat pada waktunya, nona
itu tetap terancam bahaya cacat. Adakah Toh Hun-ki pegang
janji untuk membawa si nona ke Siok-ciu mencari obat?
Andaikata Toh Hun-ki benar-benar pegang janji, tetapi
seorang nona yang sebatang kara tentu berbahaya sekali
meegembara di dunia persilatan. Misalnya, jika bertermu
dengan tokoh sejahat Soh-beng Ki-su, bukankah sukar untuk
membayangkan nasib nona itu?
Lama merenung tiba-tiba ia menertawakan dirinya sendiri.
Ia baru kenal dengan nona itu, mengapa ia mewajibkan diri
untuk memikirkan nasib nona itu? Bukankah di dunia terdapat
banyak sekali nona yang bernasib begitu? Apakah ia harus
memikirkan nasib mereka semua?

153
Namun betapapun juga, tetap ia merasa masih terlekat
dengan beban kewajiban itu. Selama belum terlaksana, ia
merasa masih belum himpas.
"Aku hendak ke Siok-siu, apakah engkau....”
"Baik, aku menurut kemana saja engkau pergi!" tukas
Mawar Putih terus mendahului melangkah keluar.
Siau-liong terpaksa mengikuti.
Karena tak kenal jalan mereka hanya menurutkan aliran
anak sungai itu menuruni lamping gunung. Pada saat melintasi
dua buah puncak, pada gerumbul pohon disebelah muka.
tampak beberapa sosok tubuh tengah lari menyongsongnya.
Buru-buru Siau-liong menarik Mawar Putih bersembunyi
dibalik batu besar.
Cepat sekali orang2 itu sudah tiba dua tombak jauhnya dari
tempat Siau-liong. Yang dimuka sendiri, mengenakan jubah
biru, jenggot panjang sampai kedada, mencekal sebatang
tongkat Kumala Hijau. Ah, itulah si Jenggot-perak To Kiukong,
ketua partay Kay-pang. Dibelakangnya mengiring
Pengemis-tertawa Tio Tay-tong dan si Pincang kiri Tio Tau
serta Pincang kanan Li Ki.
Siau-liong cepat loncat keluar, “Kiu-kong. lama kita tak
berjumpa!"
To Kiu-kong dan rombongannya terkejut. Tetapi mereka
girang bukan kepalang setelah mengetahui siapa
penghadangnya itu. Serta-merta mereka berlutut memberi
hormat, “Cousu-ya."

154
Siau-liong mengangkat bangun To Kiu-kong dan suruh
yang lain-lain berdiri.
“Partai kita dapat berdiri tegak dalam pergolakan dunia
persilatan adalah karena selama ini sekalian anak murid taat
pada disiplin partai. Maka kumohon cousu-ya jangan keliwat
merendah diri," kata To Kiu-kong.
Sesungguhnya Siau-liong merasa sungkan menerima
penghormatan yang berlebih-lebihan dari To Kiu-kong serta
tokoh2 Kay-pang yang lain. Mereka jauh lebih tua dari dirinya.
Dan sekalipun sudah diangkat sebagai ketua, namun Siauliong
tak mengerti tentang peraturan partai itu. Ia hanya
manda tersenyum mendengar ucapan To Kiu-kong itu.
Kemudian To Kiu-kong menerangkan bahwa selama
beberapa hari ini, ia bersama rombongan, berusaha mencari
Siau-liong. Sungguh tak diduga kalau mereka akan bertemu
disitu.
Siau-liong terpaksa merangkai cerita tentang dirinya selama
beberapa hari itu. Untunglah To Kiu-kong tak menanya lebih
jauh.
“Dewasa ini dunia persilatan telah dilanda bahaya. Tokohtokoh
sakti dari berbagai partai persilatan berbondongbondong
datang ke Jwan-lam....” Berhenti sejenak, ketua Kaypang
itu melanjutkan pula, “Iblis Penakluk dunia, Dewi Neraka
pun kabarnya telah berada dalam lembah Semi digunung Tayliang-
san. Partai2 persilatan telah menerima surat undangan
dari kedua suami isteri momok itu supaya pada pertengahan
musim rontok, datang kelembah Semi guna mengadu
kepandaian. Aku sendiripun telah menerima undangan itu
juga....” ia mengeluarkan sebuah sampul lalu diserahkan
kepada Siau-liong.

155
Siau-liong menyambuti. Dilihatnya undangan itu hanya
selembar sutera pesegi sebesar sapu tangan, diberi tulisan
berbunyi:
— Untuk merayakan malam Tiong-jiu yang indah, kami
undang saudara suka menghadiri perjamuan yang kami
selenggarakan dilembah Semi dengan acara: MENGADU
KEPANDAIAN DENGAN MENDAPAT HADIAH GIOK-PWE. Bila
terlambat atau tidak datang, terpaksa akan kami larang
saudara bergerak di dunia persilatan.
Tertanda: Iblis Penakluk Dunia Dewi Neraka.
"Hal ini sudah kuketahui," Siau-liong tertawa dingin seraya
mengembalikan surat itu.
“Pada hematku," kata To Kiu-kong, "tujuan dari kedua
momok itu tak lain adalah hendak merebut separoh bagian
dari Giok-pwe, Dan kedua kalinya, mereka hendak menjaring
semua tokoh2 persilatan, menghancurkannya lalu menguasai
dunia persilatan. Asal salah satu dari rencana itu berhasil,
tentulah dunia persilatan akan terancam bahaya banjir darah.
Iblis dan durjana akan menguasai dunia persilatan!"
Siau-liong tertawa, “Orang kuno mengatakan bahwa
'Kejahatan selalu kalah dengan Kebenaran'. Sekalipun ganas
sekali rencana kedua momok itu, tetapi tak mungkin mereka
berhasil menentang seluruh dunia persilatan!"
To Kiu-kong amat mengindahkan sekali kepada Siau-liong
yang dianggapnya sebagai kakek guru Kay-pang. Ia hanya
mengiakan saja.
“Masih ada sebuah hal lagi yang hendak kulaporkan kepada
Cousu-ya," kata To Kiu-kong.

156
“Katakanlah," seru Siau-liong.
"Beberapa hari yang lalu, Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay
telah dijebak oleh Soh-beng Ki-su. Tetapi entah bagaimana
ketua Kong-tong-pay itu telah ditolong oleh Pendekar Laknat.
Sungguh mengherankan sekali mengapa sekarang Pendekar
Laknat berbeda sekali dengan 20 tahun yang lalu. Perangainya
berobah jauh lebih baik.... -"
To Kiu - kong berhenti sejenak lalu melanjutkan, “Kabarnya
Pendekar Laknat sudah bertempur dengan Iblis Penakluk
dunia. Keduanya sama2 terluka parah."
Sesungguhnya peristiwa itu telah diketabui Siau-liong tetapi
ia tak leluasa menerangkan. Ia hanya menanyakan adakah To
Kiu-kong hendak memberi laporan lain lagi.
"Ya, mengenai nona Tiau Bok-kun," Kata To Kiu-kong,
"nona itupun ditolong Pendekar Laknat dilembah Semi....
Sekarang sedang diantar Toh Hun-ki berobat ke Siok-ciu....”
Kemudian ketua Kay-pang itu menerangkan lebih lanjut
bahwa racun ditubuh nona itu sudah dapat dikeluarkan dan ia
telah suruh anak buah Kay-pang untuk menjaga dan merawat
nona itu dirumah penginapan.
“Tahukah engkau kemana perginya Toh Hun-ki,” tiba-tiba
Mawar Putih menyelutuk.
To Kiu-kong tergugu. Setelah memandang ke arah Siauliong,
ia menyahut, “Aku dan Toh Hun-ki bergantian
meninggalkan Siokciu. Kemungkinan saat ini dia sedang
menuju kepuncak Ngo-siong-nia!"
Kemudian ketua Kay-pang itu memberi laporan lebih lanjut,
“Saat ini dalam kota Siok-ciu telah berkumpul banyak sekali

157
tokoh2 persilatan. Karena kuatir didengar orang, maka ketua
Bu-tong-pay It Heng totiang, tokoh ketiga Kun-lun sam-cu dari
partai Kun-cun-pay dan rombongan lain, bergegas menuju
kepuncak Ngo-siong-nia. Mereka hendak mengatur rencana
untuk menghadapi iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka....”
Mawar Putih menyeringai lalu mendengus, “Tak perlu
mengoceh begitu banyak! Dimana puncak Ngo-siong-nia itu?"
To Kiu-kong kerutkan dahi. Ia heran mengapa dara itu
begitu bengis. Tetapi karena si dara kawan cousu-ya mereka,
terpaksa To Kiu-kong bersabar. Sahutnya, “Kira2 dua puluh li
dari sini, terdapat sebuah puncak gunung yang penuh
ditumbuhi pohon Siong-pik!"
Diam-diam Siau-liong tahu kalau Mawar Putih tentu salah
faham kepadanya. Tetapi dihadapan tokoh2 Kay-pang, ia tak
leluasa memberi penjelasan. Maka iapun diam saja atas sikap
kasar dari dara itu terhadap To Kiu-kong. Walaupun sudah
berulang kali ia memberi isyarat, tetapi si dara tetap tak
mengacuhkan.
Demikian pun Pengemis Tertawa dan si Pincang-kanan dan
si Pincang-kiri. Mereka diam-diam heran mengapa cousu-ya
mereka selalu galang-gulung dengan beberapa gadis yang tak
keruan.
"Mari kesana!" Mawar Putih terus menarik lengan Siauliong.
Siau-liong tertawa, “Eh, apakah nona hendak pergi....”
Mawar Putih deliki mata, “Sudah tentu kepuncak Ngosiong-
nia untuk mencari To Hun-ki! Bukankah engkau
mengatakan bahwa engkau pun mempunyai dendam sakit hati
tak mau hidup bersama manusia itu?"

158
Sesaat Siau-liong tak dapat menjawab. Memang pada
akhirnya kelak ia tentu akan membunuh Toh Hun-ki dan
keempat Su-lo itu. Tetapi bukan pada saat itu ia harus menuju
ke Ngo-siong-nia dan membunuh mereka.
Melihat Siau-liong ragu2, Mawar Putih tertawa mengejek,
“Hm, agaknya aku telah keliru menilai orang. Lekas pergilah
engkau ke Siok-cu menjenguk gadis kekasihmu itu!"
Habis berkata dara itu terus berputar tubuh dan hendak
melangkah.
“Nona Pek! nona Pek....!" seru Siau-liong gugup. Tetapi tak
dipedulikan Mawar Putih. Dara itu bahkan terus gunakan ilmu
lari cepat menuju ketimur.
Siau-liong bimbang, mengejar atau membiarkannya. Selagi
dia masih belum mengambil keputusan, gadis itu sudah lenyap
dari pandangan mata.
To Kiu-kong dan rombongannya terbeliak heran tetapi tak
berani bertanya. Dan lama sekali Siau-liong masih
memandang ke arah bayangan Mawar Putih.
To Kiu-kong saling berpandangan dengan Pengemis
Tertawa, lalu berbatuk-batuk, ujarnya, “Adakah nona itu
dengan cousu-ya....”
Siau-liong tersadar. Cepat ia menukas tertawa, “Tak ada
hubungan dan sebelumnya pun tak kenal....”
Kemudian ia alihkan pembicaraan dengan menanyakan
tujuan To Kiu-kong dan kawan-kawan.

159
To Kiu-kong tertegun lalu menyahut dengan serius, “Tadi
telah kulaporkan kepada cousu-ya bahwa It Hang totiang
ketua Bu-tong-pay telah mengajak beberapa tokoh persilatan
mengadakan pertemuan rahasia dipuncak Ngo-siong-nia.
Mereka hendak merundingkan rencana menghadapi kedua
durjana iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka. Karena tak
dapat menemukan cousu-ya maka aku terpaksa melancangi
untuk menerima undangan itu. Beruntung disini kami dapat
menjumpai cousu-ya."
Siau-liong kerutkan dahi, ujarnya, “Apakah Toh Hun-ki dan
rombongannya juga hadir ke-sana."
To Kiu-kong mengangguk, “Rasanya saat ini tentu sudah
tiba disana."
Siau-liong terkejut, serunya, “Kalau begitu kita harus
cepat2 kesana, kalau tidak....” ia tak lanjutkan kata2nya.
Rupanya ia merasa kurang leluasa.
To Kiu-kong seorang yang banyak pengalaman. Ia hanya
tersenyum, “Tak mungkin dapat mendahului kita tiba dipuncak
itu....” ia memandang Siau-liong lalu melanjutkan pula,
“Puncak Ngo-siang-nia itu amat berbahaya sekali.
Sekelilingnya lembah2 yang disebut Lembah Sembilanlingkaran.
Jika tak faham, tentu tersesat. Apa lagi saat ini
disekitar lembah itu telah dijaga ketat oleh murid2 Go-bi-pay
dan anak buah Kay-pang....”
Siau liong mengangguk. Tetapi diam-diam ia gelisah karena
menguatirkan keselamatan si dara. Demikianlah mereka
segera menuju ke puncak Ngo-siong-nia.
Sesungguhnya jarak dua puluh li itu dapat ditempuh dalam
waktu setengah jam saja. Tetapi karena jalanan sukar dan To
Kiu-kong tak henti-hentinya memberi petunjuk keadaan

160
tempat itu kepada Siau-liong, maka mereka berjalan agak
lambat. Kurang lebih sejam barulah mereka tiba di puncak itu.
Memang apa yang dikatakan To Kiu-kong benar. Keadaan
puncak amat berbahaya dan sulit- sekali jalanannya. Jika tak
faham pasti tersesat. Pula pada setiap tikung dan tempat yang
berbahaya tentu dijaga oleh anak buah Kaypang serta imam
jubah kelabu.
To Kiu-kong faham benar dengan keadaan tempat itu.
Sepanjang jalan tak henti2nya ia menerima hormat dari anak
buah Kay-pang yang ditugaskan berjaga disitu.
Bermula Siau-liong mengira bahwa di atas puncak tentu
terdapat biara atau kuil. Tetapi ternyata dugaannya itu keliru.
Puncak gunung merupakan sebuah hutan lebat.
Setiba di tepi hutan, To Kiu-kong segera bersuit nyaring.
Beberapa puncak pohon siong tampak bergerak-gerak dan
sesaat kemudian beberapa sosok tubuh meluncur turun.
Mereka segera berjajar menghadang To Kiu-kong.
---ooo0dw0ooo---
-Pertemuan dalam hutan-
Ternyata yang turun dari puncak pohon itu empat orang
imam yang masing-masing mencekal golok kwat-to. Salah
seorang yang dimuka adalah seorang imam tua, berjenggot
panjang menghunus sebatang pedang.
Setelah memberi salam dengan anggukan kepala imam tua
itu berseru kepada To Kiu-kong, “Ketua kami dan beberapa
cianpwe sudah lama menunggu kedatangan. Selekas saudara
tiba, pertemuan segera dimulai. Tetapi.... ia beralih
memandang Siau-liong lalu berkata, “Pertemuan ini

161
menyangkut kepentingan dunia persilatan. Ketua kami telah
memberi perintah, yang tak menerima undangan tak
diperbolehkan hadir. Saudara ini....”
To Kiu-kong cepat maju selangkah dan memberi hormat,
tukasnya, “Adalah cousu-ya kami....”
Kemudian ia memberi keterangan kepada Siau-liong:
Saudara2 ini adalah anak murid dari It Hang totiang ketua Butong-
pay dan Ki Ceng siansu ketua Go-bi-pay. Karena belum
kenal pada cousu-ya maka meminta keterangan."
"Tak apalah," kata Siau-liong.
Imam tua itu terkesiap. Setelah saling bertukar pandang
dengan ketiga kawannya lalu memandang lagi kepada Siauliong,
kemudian mundur beberapa langkah, “Silahkan!"
To Kiu-kong mempersilahkan Siau-liong berjalan dimuka, ia
dan Pengemis Tertawa mengiring dibelakangnya.
Hutan itu seluas berpuluh tombak dan amat lebat sekali
sehingga sesuai dijadikan tempat perundingan rahasia.
Menyusup sejauh 10-an tombak, tiba-tiba pemandangan
disitu tampak terang. Ternyata sebelumnya, berpuluh-puluh
batang pohon telah ditabas sehingga tersedia sebuah tanah
lapang yang cukup luas.
Ditengah tanah lapang itu tampak hadir 30-an orang lebih.
Terdiri dari paderi, imam dan orang biasa. Pada umumnya
mereka sudah berusia 50 tahun ke atas. Sikapnya angker.
Imam tua yang duduk ditengah-tengah, berjenggot putih
menjulai kedada dan punggung menyanggul sebatang kebut

162
pertapaan segera berbangkit menyambut kedatangan To Kiukong.
"Atas nama sekalian hadirin, kuucapkan selamat datang!" ia
terus tersipu-sipu menyongsong.
To Kiu-kong segera memperkenalkan diri Siau-liong,
sebagai coucu-ya dari partai Kay-pang.
“Aku yang rendah bernama Kongsun Liong," Siau-liong
memperkenalkan diri.
Ternyata imam yang sikap dan wajahnya berperbawa
seperti seorang dewa itu adalah It Hang totiang,
penyelenggara dari pertemuan. Ketua Bu-tong-pay itu
terkesiap lalu memaksa diri bersenyum, ujarnya, “Kalau begitu
saudara tentulah ahli waris dari Pengemis Tengkorak Song locianpwe?"
Siau-liong mengiakan.
It Hang menatap wajah Siau-liong dengan penuh
keheranan lalu menyisih kesamping mempersilahkan To Kiukong
dan rombongan masuk.
Sekalian tokoh yang hadir disitu tampak duduk diam. Tetapi
seluruh pandang mata mereka tercurah pada diri Siau-liong.
Rata2 mereka sudah berumur setengah abad. Hanya Siauliong
seorang saja yang masih muda.
Agaknya Siau-liong pun merasakan kekakuan suasana
disitu. Tetapi karena menyadari bahwa saat itu dirinya sebagai
ketua Kay-pang, terpaksa ia menekan perasaannya. Setelah
masuk, iapun terus duduk diantara mereka.

163
Ternyata yang hadir disitu adalah tokoh2 ternama, antara
lain: Ketua Siau-lim-si, Gong taysu. Ki Ceng siansu ketua Gobi-
pay, Ciang Bu-seng ketua partai Tiam-jong-pay, It-bi-cu,
Sam-kicu, Bu-wi-cu tiga serangkai dari partai Kun-lun. Lam
Leng lojin dari partai Thian-san-pay. Tan I-hong pemimpin Jitok-
kau. Cu Kong-leng ketua Tong-thing-pang. Toh Hun-ki dan
keempat Su-lo dari partai Kong tong-pay. Ditambah lagi
dengan It Hang to-tiang ketua Bu-tong-pay dan anak buah
Kay-pang serta beberapa tokoh persilatan yang berilmu tinggi.
Benar-benar merupakan suatu pertemuan yang megah dan
hebat.
Setelah rombongan To Kiu-kong duduk, It Hang totiang
segera membuka pertemuan, "Dewasa ini suasana dunia
kacau, dunia persilatan timbul berbagai peristiwa. Beberapa
durjana muncul kembali. Dimana-mana terjadi pembunuhan
berdarah. Merupakan suatu bencana yang sejak berpuluhpuluh
tahun baru timbul kembali....”
Tiba-tiba diantara hadirin terdengar orang batuk2, serunya,
“Harap toheng suka menunggu sebentar. Aku hendak mohon
sedikit penjelasan tentang sebuah hal."
Ternyata yang bicara itu adalah Lam Leng tojin yang
terkenal sebagai Thian-san it-soh atau orang tua dari gunung
Thian-san. Tubuhnya kurus kecil, sepasang matanya berkilatkilat
penuh perbawa. Dan memelihara jenggot seperti jenggot
kambing. Tingginya kurang dari satu setengah meter, tetapi
nada suaranya bergema nyaring sekali.
It Hang totiang hentikan pidatonya lalu mempersilahkan
orang tua dari gunung Thiansan itu mengajukan pertanyaan.
Lam Leng lojin memberi hormat lalu berseru. "Sungguh
suatu tindakan yang amat terpuji dari totiang untuk

164
mengundang sekalian tokoh2 persilatan berunding untuk
menghadapi ancaman yang akan menimpa keselamatan dunia
persilatan. Pertemuan ini bersifat rahasia, Oleh karena itu,
sekalian orang yang hadir harus diketahui asal-usulnya dengan
jelas. Kita harus menyadari bahwa kedua durjana itu, licin dan
banyak tipu muslihatnya. Apabila pertemuan ini sampai bocor,
pasti akan mengakibatkan kebinasaan pada dunia persilatan.
Dalam hal ini kumohon totiang suka waspada!"
Habis berkata orang pendek kurus dari Thia-san itu
memandang ke arah Siau-liong lalu duduk kembali.
Walaupun tak jelas menyebut nama tetapi isyarat mata
Lam Leng lojin itu segera dapat ditangkap. Seluruh hadirin
memandang ke arah Siau-liong.
Siau-liong pun tahu hal itu. Tetapi karena orang tak terangterangan
menyinggung dirinya pula ia tak mau cari perkara,
terpaksa ia diam saja.
It Hang totiang mengangguk pelahan.
"Lam-heng benar, tetapi aku sudah mengadakan persiapan.
Sekalipun ada orang luar yang menyelundup, dia pasti tak
mampu lolos dari pengamatan para kawan2 dan tak mungkin
keluar dari puncak Ngo-siong-nia ini....”
Habis berkata pimpinan pertemuan itu tertawa dingin dan
sejenak memandang ke arah Siau-liong lalu berkata pelahanlahan,
“Sekarang yang penting adalah untuk menentukan
suatu rencana....”
Sambil mengurut-urut jenggotnya yang panjang, ia
memandang lagi kesekeliling hadirin kemudian menghela
napas.

165
"Thicin dan Te kedua momok itu, mempunyai anak buah
yang besar dan tersebar luas. Mereka telah mengirim
undangan kepada seluruh kaum persilatan untuk menghadiri
pertandingan adu silat dilembah Semi. Jelas, maksud mereka
tentulah hendak menjaring seluruh kaum persilatan untuk
dibinasakan. Jika kita memenuhi undangannya kelembah Semi
dan datang pada pertengahan bulan Delapan, tentulah kita
termakan perangkap mereka....”
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari seorang imam tua
baju kuning yang serentak berbangkit dari tempat duduknya,
“Menurut pendapat loni, lebih baik saat ini juga kita serbu
lembah itu!"
Nadanya nyaring din garang sekali. Empat imam yang
duduk dibelakangnya, sama duduk pejamkan mata dengan
khidmat. Kiranya paderi yang membuka suara itu adalah Ti
Gong taysu, ketua Siau-lim-si.
It Hang totiang menyahut, “Pendapatku memang sesuai
sekali dengan saran taysu. Dalam ilmu perang dikatakan
bahwa siasat ilmu menggunakan tentara yang hebat ialah
dapat melakukan serangan secara tepat dan cepat. Menyerang
musuh selagi musuh tak menyangka dan tak bersiap.
Betapapun ilmu kesaktian yang demiliki kedua momok itu,
namun sukar kiranya untuk menghadapi kekuatan kita
beramai-ramai Sejenak ketua Bu-tong-pay itu berhenti dan
memandang ke arah ketua Tiam-jong-pay dan ketua Tongthing-
pang. kemudian melanjutkan lagi dengan pelahan-lahan,
“Apalagi saudara Shin dan Cu, mahir dalam ilmu barisan Patkwa
kiu-kiong, Ngo-heng-tin dan lain-lain perkakas rahasia.
Kita mempunyai pegangan kuat untuk memenangkan
pertempuran. Hanya saja....”
Kembali ia kerutkan alis, sejenak berhenti lalu berkata pula,
“Kabarnya kedua durjana Liong dan Hou juga tiba didaerah

166
selatan sini. Pendekar Laknat sudah beberapa kali
menampakkan diri. Apabila ketiga momok itu benar-benar
muncul dan berserikat dengan kedua momok Thian dan Te
(Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka), ah, kita pasti
terancam bahaya!"
Seketika heninglah suasana. Sekalian hadirin terdiam.
Memang yang dikatakan It Hang totiang itu benar. Jika saat
itu mereka menyerbu ke Lembah Semi, tentu masih dapat
menghadapi Iblis Penakluk dunia dan Dewi Naraka. Tetapi
apabila kelima momok itu bersatu, tentu tak mungkin
dikalahkan.
Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay segera berbangkit.
Setelah memberi hormat kepada para hadirin, ia segera
berpaling menghadap It Hang totiang....
"Masih ada sebuah hal yang hendak kupersembahkan
kepada totiang dan saudara sekalian!" serunya.
"Silahkan," kata It Hang totiang.
Toh Hun-ki tersenyum, serunya, “Jika saudara2 tak lupa,
tentulah masih ingat akan peristiwa 20 tahun yang lampau.
Pada masa itu kelima Durjana muncul dan mengaduk dunia
persilatan. Dunia persilatan seolah-olah banjir darah dan
korban banyak berjatuhan. Kelima durjana itu terdiri dari Iblis
Penakluk dunia dengan isterinya Dewi Neraka, si Naga dan si
Harimau serta Pendekar Laknat....”
Ia berhenti sejenak untuk mencari kesan, kemudian
melanjutkan, “Tentang Pendekar Laknat, walaupun disohorkan
ganas dan kejam tetapi sepak terjangnya tidaklah seganas
suami isteri Penakluk-dunia dan Dawi Neraka serta kedua
Naga dan Harimau. Kebanyakan yang mati ditangan Pendekar
Laknat itu adalah tokoh2 yang jahat dan tak berbudi. Dan pula

167
dalam pertempuran dahsyat dilembah Lok-gan-koh pada 20
tahun yang lalu itu, jika Pendekar Laknat tak beralih haluan
memusuhi suami-isteri Penakluk dunia dan Dewi Neraka,
tentulah 72 tokoh2 sakti yang dikerahkan Tjeng Hi totiang
ketua Kun-lun-pay untuk mengepung kelima durjana itu,
tentulah mereka habis binasa semua. Ya, apabila saat itu
Pendekar Laknat tak menyerang dan menghalau suami isteri
Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka, tentulah saat ini dunia
persilatan sudah dikuasai oleh kedua suami isteri durjana
itu....”
Kembali Toh Hun-ki berhenti untuk menyelidiki suasana
hadirin. "Oleh karena itu," ia melanjutkan pula, "menurut
hematku, Pendekar Laknat bukan seorang momok yang ganas
tetapi sesungguhnya adalah seorang ksatrya yang penuh
dengan jiwa perwira dan budi luhur....”
"Adakah maksud saudara Toh hendak mengagungkan
nama Pendekar Laknat karena perbuatannya yang lalu itu?"
tiba-tiba ketua Siau-lim-si, Ti Gong taysu berseru dengan nada
dan wajah membesi.
Toh Hun-ki tertawa hambar, sahutnya, “Bukan melainkan
itu saja, tetapi baru2 ini memang aku telah mengalami suatu
peristiwa yang berharga untuk bukti....”
Kemudian ketua Kong-tong-pay itu segera menuturkan
tentang peristiwa yang dialaminya ketika masuk ke Lembah
Semi.
"Demi jiwa raga dan kehormatanku, kujamin bahwa
Pendekar Laknat itu bukanlah momok ganas seperti 20 tahun
berselang. Bukan saja tak mengganggu dunia persilatan pun
jika kita tak dapat mengajaknya dalam persekutuan, tentu
akan menambah kekuatan kita. Paling tidak, kita takkan
dimusuhinya."

168
Ti Gong taysu menggerung seperti singa lapar, “Benarbenar
ucapan yang sembrono! Bersahabat dengan Pendekar
Laknat untuk mendapatkan bantuannya menghadapi para
momok durjana itu, benar-benar suatu langkah yang tak dapat
diterima oleh pikiran yang sehat."
Ketua Siau-lim-si itu terus melangkah kehadapan It Hang
totiang lalu berseru, “Entah bagaimana dengan pendapat
totiang, tetapi aku menolak sekeras-kerasnya!"
Sambil mengurut jenggotnya yang panjang, ketua Bu-tongpay
It Hang totiang menyahut, “Pendekar Laknat adalah
momok ganas yang tergolong aliran jahat. Betapapun
perbuatannya selama ini namun tetap tak dapat kita jadikan
sahabat, Namun jika apa yang dikatakan Toh Hun-ki lohiapsu
itu benar, tak apalah kita singkirkan ketakutan terhadap
momok itu dengan tak saling mengganggu. Setelah nanti
urusan Lembah Semi selesai, kita masih dapat bersahabat
dengannya untuk membersihkan kejahatan di dunia persilatan.
Hal itu tentu akan merupakan suatu berkah bagi kita
semua....”
Tiba-tiba wajah ketua Bu-tong-pay itu berobah sunyi dan
berkatalah ia dengan sarat, “Tetapi yang jelas dewasa ini
kelima durjana itu mempunyai kekuatan besar. Sejak
memendam diri selama 20 tahun itu, entah mereka sudah
berapa menambah kesaktiannya. Entah mereka akan
bersekutu atau tidak, kita belum dapat memperhitungkan.
Oleh karena itu, kuharap para saudara sekalian, suka bersatu
hati untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang
timbul dari kelima durjana itu!"
Ti Gong taysu tertawa nyaring, serunya, “Sudah tentu kita
akan bertindak begitu. Lebih baik pecah sebagai ratna dari
pada hidup bercermin bangkai. Rasanya kekuatiran saudara

169
itu berlebih-lebihan. Adakah diantara kita yang hadir ini
terdapat orang yang takut mati?"
Habis berkata, ketua Siau-lim-si itu sapukan pandang
matanya ke arah hadirin. Ti Gong taysu memang terkenal
berwatak keras. Sekalipun sejak kecil sudah masuk gereja dan
sudah berumur 60 tahun lebih, serta menduduki jabatan yang
tertinggi dalam gereja Siau-lim-si, namun perangai masih
belum banyak berubah. Sedikit2 dia lekas naik darah.
Oleh karena sudah mengetahui watak paderi Siau-lim-si itu,
maka Toh Hun-ki pun tak mau melayani. Ia ganda tertawa
saja dan tak menghiraukan Ti Gong....
Karena sekalian hadirin tiada yang buka suara maka Ti
Hang totiang segera bertepuk tangan tiga kali dan berseru
nyaring, “Kalau begitu kita putuskan malam ini juga kita
menuju ke Lembah Semi. Tengah malam kita serbu lembah
itu....” — wajahnya berobah gelap dan berkata lagi ia dengan
suara yang serius, “Hidup matinya dunia persilatan, ditentukan
dalam pertempuran di lembah nanti Sekonyong-koyong Lam
Leng tojin melengking dan loncat ke udara lalu melayang
turun di hadapan It Hang totiang.
"Tunggu sebentar," katanya sambil memberi hormat,
"hendaknya janganlah totiang melupakan suatu hal yang amat
penting sekali....”
Sambil menunjuk ke arah Siau-liong orang tua dari Thiansan
itu berkata pula, “Asal-usul dirinya masih belum diketahui
jelas. Lawankah atau kawan? Andaikata dia itu mata2 yang
dikirim kemari oleh kedua suami isteri durjana itu, bukankah
kita bakal hancur dalam penyerbuan ke Lembah Semi malam
nanti?"

170
Belum It Hang memberi suatu pernyataan, Ti Gong taysu
sudah melangkah kemuka Siau-liong dan membentak dengan
suara menggeledek, “Siau-sicu, menilik umurnya yang masih
begitu muda, masakan engkau ini menjadi ketua dari partai
Kay-pang?"
Saat itu sebenarnya Siau-liong masih terbenam dalam
renungan. Ia mendapat kesan bahwa sikap Toh Hun-ki dalam
pidatonya membela Pendekar Laknat, menunjukkan
peribadinya yang ksatrya sebagai seorang ketua partai
persilatan. Siau-liong bimbang. Toh Hun-ki itu adalah
pembunuh ayahnya yang harus dibalas. Namun kalau
membunuhnya, Siau-liong merasa telah bertindak tak layak
terhadap seorang tokoh yang berjiwa luhur.
Tengah ia mengalami pertentangan batin, tiba-tiba Ti Gong
melangkah dihadapannya dan membentak dengan kata2 yang
kasar. Siau-liong marah. Tetapi sebelum ia menjawab, To Kiukong
yang berada di sisinya sudah mendahului berbangkit.
Sambil memberi hormat, berkatalah tokoh Kay-pang itu,
“Mengapa taysu mengajukan pertanyaan semacam itu? Sejak
pimpinan Kaypang masih dipegang oleh Pengemis Tengkorak
Song Thay-kun cousu hingga sampai sekarang, partai Kaypang
telah mendapat sambutan dan penghargaan dari semua
partai persilatan besar. Masakan aku keliru mengenal cousu
kami sendiri?"
Dengan ucapan itu, secara halus To Kiu-kong telah
memberi dampratan kepada Ti Gong. Saat itu si Pincangkanan
dan si Pincang kiripun berdiri dikedua samping To Kiukong,
memandang Ti Gong dengan marah.
Ti Gong mendengus. Karena malu ia menjadi marah. Tetapi
pada saat hendak bertindak, It Hang totiang dan Lam Leng
lojin cepat menghampiri.

171
Lam Leng lojin tertawa mengekeh, melerai ditengah To Kiukong
dan Ti Gong taysu, ujarnya kepada To Kiu-kong,
“Pertemuan dipuncak ini bersifat rahasia dan bertujuan untuk
menyelamatkan dunia persilatan dari keganasan kelima
durjana itu. Jika pertemuan ini sampai bocor, akibatnya tentu
suatu bencana bagi dunia persilatan. Adalah demi menjaga
keselamatan dan pengamanan pertemuan ini maka beberapa
saudara telah mengajukan pertanyaan kepada ketua saudara.
Dalam hal itu hendaknya saudara jangan salah faham."
Mendengar itu, Siau-liong serentak berbangkit. Serunya
dengan tertawa tawar, “Oleh karena baru saja muncul di dunia
persilatan, sudah tentu saudara belum kenal padaku. Entah
dengan cara bagaimanakah agar saudara dapat mempercayai
diriku itu?"
Lam Leng tojin berpaling ke arah It Hang totiang, ujarnya,
“Adakah maksud totiang....”
Ternyata orang tua dari gunung Thian-san itu sendiri pun
merasa sukar untuk memecahkan persoalan saat itu. Jika To
Kiu-kong menerangkan bahwa pemuda itu adalah cousu dari
Kay-pang, sudah tentu harus dipercaya. Kecurigaan bahwa
pemuda itu menjadi mata2 yang dikirim suami isteri Iblis
Penakluk dunia dan Dewi Neraka, memang sukar diselidiki.
Oleh karena tak dapat memecahkan persoalan, Lam Leng lojin
tumpahkan beban itu kepada It Hang totiang sebagai
pimpinan pertemuan.
Menyadari kedudukannya sebagai seorang penanggung
jawab, It Hang pun segera maju selangkah dan menatap Siuliong
dengan tajam.
"Pertama kuminta sicu suka menuturkan tentang
pergalaman sicu dikala menerima warisan ilmu dari mendiang
Song Thian-kun," katanya.

172
Siau-liong tak senang hati. Permintaan itu merupakan suatu
penyelidikan terhadap dirinya. Namun demi mengingat akan
sekalian hadirin, terpaksa ia tekan amarahnya dan
menuturkan semua peristiwa yang dialaminya ketika berjumpa
dengan tengkorak Song Thay-kun dalam pusar bumi.
Setelah mendentarkan sampai selesai, It Hang merenung
sejenak lalu berpaling ke arah To Kiu-kong, “Sebagai seorang
ketua, saudara telah memerintahkan anak murid untuk
mengangkat Kong-sun Liong sicu sebagai cousu Kay-pang.
Adakah hal saudara dasarkan atas lencana Tengkorak yang
terkalung didada pemuda itu?"
Sahut To Kiu-kong, “Sudah tentu bukan hanya berdasar
lencana itu saja. Aku telah menguji kepandaian dan dapatkan
bahwa cousu kami ini memang telah memiliki ilmu pukulan
Thay-siang-ciang dari mendiang Song cousu kami."
Pertama, It Hang totiang memandang kesekeliling hadirin,
lalu ia gelengkan kepala. “Keterangan saudara tentang
penemuan ilmu sakti Thay-siang-ciang itu, masih harus diuji
kebenarannya." katanya kepada Siu-liong, "pada hematku,
Laut Penasaran dipusar bumi gunung Hongsan itu merupakan
tempat yang amat panas dan amat dingin. Sebelum engkau
keiuar dari tempat itu dan sebelum mendapat petunjuk dari
Pengemis Tengkorak, bukankah kepandaian saudara belum
berapa tinggi. Dengan kepandaian yang saudara miliki saat
itu, sukar rasanya saudara mampu keiuar lagi dari Laut
Penasaran. Dan lagi, mengapa saudara dapat menemukan
tempat musnahnya Pengemis Tengkorak?"
Adalah karena terpancang oleh pesan mendiang Pendekar
Laknat, terpaksa Siau-liong tak dapat memberi keterangan.
Diam-diam ia memuji ketajaman It Hang totiang untuk cara
penyelidikan yang dilakukan itu.

173
Ia tergagap tak dapat menyahut sampai beberapa saat.
It Hang totiang tertawa dingin lalu memandang lagi kepada
To Kiu-kong, serunya, “Menilik gelagat, asal usul ketua
saudara ini, tentu berbelit-belit!"
To Kiu-kong kerutkan sepasang alis, ujarnya, "Sebelum
menghilang, mendiang Song cousu kami telah berulang kali
memberi petunjuk bahwa ciri pengenal dirinya adalah lencana
Tengkorak dan ilmu pukulan sakti Thay-siang-ciang. Barang
siapa memiliki kedua hal itu, dialah ahli warisnya. Oleh karena
itu aku pun mentaati pesan mendiang Song cousu dan tak
menanyakan lebih lanjut tentang diri cousu kami yang
sekarang ini." "
Lam Leng lojin tertawa mengekeh dan menyelutuk,
“Andaikata Pengemis Tengkorak tidak meninggal dalam Laut
Penasaran tetapi menderita penyakit dilain tempat dan
berjumpa dengan anak itu. Lalu anak itu memaksanya supaya
memberi ajaran ilmu Thay-siang-ciang kemudian merampas
lencana itu, adakah saudara juga tetap hendak
menobatkannya menjadi ketua Kay-pang?"
"Hal itu tak mungkin terjadi!" To Kiu-kong mendengus.
It Hang totiang tertawa, “Taruhlah apa yang dituturkan
Kongsun sicu itu benar semua. Tetapi karena Pengemis
Tengkorak sudah meninggal maka sukar untuk meminta
keterangan kepadanya. Ya, kalau pemuda itu seorang pemuda
jujur, itu sih tak mengapa. Tetapi kalau dia salah seorang
anak buah kedua suami isteri durjana, adakah saudara juga
tetap mengangkatnya sebagai ketua?"
Bermula To Kiu-kong memang marah. Tetapi demi
mendengar pertanyaan It Hang totiang, tiba-tiba wajahnya

174
menampilkan rasa curiga. Ia mengakui, sebelumnya ia tak
pernah dapat memikirkan sepanjang yang ditanyakan It Hang
totiang itu.
Dan Siau-liong yang merasa dirinya dipaksa sebagai anak
buah suami isteri durjana, amat marah sekali.
Dengan lantang berserulah ia kepada It Hang, “Dengan
sepenuh hati aku datang kemari untuk ikut serta saudara
menghadapi para durjana. Tetapi mengapa saudara
mencurigai dan menuduh aku sebagai mata2 musuh?"
Sahut It Hang totiang dengan nyaring, “Terus terang saja,
tokoh persilatan yang masuk ke dalam Laut Penasaran dan
dapat keluar lagi dengan selamat, belum pernah terdapat.
Kecuali dia itu memiliki kepandaian yang dipunyai oleh kelima
durjana itu menjadi satu. Maka....”
Ia berhenti sejenak memandang sekalian hadirin, “Maaf,
memang aku sendiri pun curiga terhadap dirimu, jangan2
mempunyai hubungan dengan suami isteri durjana itu. Kecuali
engkau dapat menuturkan dengan sejujurnya pengalaman
selama masuk ke dalam Laut Penasaran!"
Siau-liong tak mengira ia akan didesak sedemikian rupa
oleh It Hang totiang. Betapapun juga, ia sudah bersumpah
untuk mematuhi pesan Koay suhu (Pendekar Laknat) untuk
tak menceritakan diri tokoh aneh itu kepada siapapun juga.
"Karena saudara mencurigai diriku," serunya dengan
tertawa dingin, “akupun tak dapat berbuat apa2. Nah aku
akan mohon diri!" — habis berkata ia terus melangkah pergi.
“Hai, hendak kemana engkau." Ti Gong tay-su menggerung
keras seraya loncat menghadang.

175
Dalam pada itu It Hang segera memberi penjelasan kepada
To Kiu-kong. Ia duga Siau-liong itu tentu anak buah suami
isteri durjana, Maka terpaksa tak diperbolehkan pergi dari situ.
To Kiu-kong tergoyah pikirannya. Mengapa cousu mereka
(Siau-liong) tak mau menceritakan pengalamannya? Sekilas ia
dapat menerima alasan yang dikemukakan It Hang totiang.
Dan diam sajalah ia, bahkan menundukan kepala tak mau
mencegah Ti Gong taysu.
Sesungguhnya sekalian tokoh2 yang hadir di situ sudah
mengepung Siau-liong. Demi It Hang telah membuka kedok
pemuda itu dan pemuda itu terus hendak pergi, segera
mereka mencabut senjata dan siap menyerang.
Karena murkanya wajah Siau-liong sampai pucat. Kemudian
sambil tertawa dingin, ia berseru, “Bagiku mati hidup, kalah
menang bukanlah soal, hanya saja....”— ia berganti nada
rawan dan lanjutkan kata2nya, “Hanya sayang, dengan saling
bunuh membunuh ini, apakah tidak patut disayangkan?"
Dengan murka sekali Ti Gong taysu membentak bengis,
“Anak siluman, serahkan jiwamu, jangan banyak tingkah."
Wuut.... sebuah pukulan segera dilayangkan kepada Siauliong.
Yang diarah bagian dadanya.
Ilmu pukulan Thay-siang-ciang dari Pengemis Tengkorak,
pada masa itu telah menggetarkan seluruh dunia persilatan.
Lepas dari asal usul Siau-liong, tetapi tentulah pemuda itu
faham akan pukulan Thay-siang-ciang yang hebat sehingga
tokoh seperti To Kiu-kong sampai dapat percaya penuh dan
mengangkatnya sebagai ketua Kay-pang. Dan Ti Gong pun
menyadari hal itu, Ia tak berani memandang rendah. Sekali
turun tangan, ia gunakan jurus Raja Pa-ong-mendoronggunung.
Salah sebuah jurus dari ilmu simpanan Kim-kongTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
176
ciang gereja Siau-lim-si. Dilayangkan oleh seorang tokoh
semacam Ti Gong taysu, pukulan itu kuasa membelah batu
gunung dahsyatnya.
Melihat betapa kasar paderi itu, marahlah Siau-liong.
Diapun segera gunakan jurus Toa-lo-kim-kong untuk
menyongsong.
Sesungguhnya ilmu pukulan Thay-siang-ciang warisan
mendiang Song Thay-kun itu juga bersumber pada ilmu
kesaktian aliran gereja. Serupa dengan Tat-mo-kim-kongciang
yang dilancarkan Ti Gong taysu, pukulan Thay-siangciang
yang dimainkan Siau-liong itu juga termasuk ilmu tenaga
dalam yang keras.
Darr.... terdengar ledakan keras, disusul dengan debu dan
angin yang bertebaran menderu2 keempat penjuru.
Ti Gong taysu tergetar. Ia rasakan pukulan anak muda itu
hebat sekali. Suatu pukulan yang mengandung tenaga dalam
Lunak-keras. Apabila ilmu tenaga dalam yang bersifat keras itu
diyakinkan sampai pada tataran yang tinggi, maka berobahlah
perbawanya menjadi Semu-lunak, atau yang disebut dengan
istilah Kong-kek-seng-ji (apabila Keras mencapai klimaks
tertinggi, timbullah lunak)
Mau tak mau ketua Siau-lim si itu terkejut sekali....
Tetapi sebelum ia sempat berbuat sesuatu, seketika ia
rasakan darahnya bergolak keras dan tergempurlah kuda2
kakinya. Ia terhuyung-huyung lima langkah ke belakang baru
dapat berdiri dengan tegak lagi.
Ketika memandang kemuka, dilihat pemuda lawannya itu
masih tegak berdiri ditempatnya dengan gagahnya.

177
“Maafkan, lo-siansu," seru Siau-liong sambil memberi
hormat.
Malu Ti Gong taysu bukan kepalang. Dan rasa malu itu
menimbulkan kemarahan yang hebat. Semula ia anggap,
sekali pukul pemuda itu tentu akan terkapar rubuh. Tetapi
diluar dugaan dia sendiri yang haius menderita terkena
tangkisan pemuda itu....
Ti Gong taysu adalah ketua Siau-H\limm-si yang amat
tinggi kedudukannya dan harum namanya dalam dunia
persilatan Tetapi saat itu disaksikan oleh ber-puluh2 tokoh
persilatan terkenal, ia harus menderita kekalahan dari seorang
pemuda yang tak terkenal.
Dengan menggerung laksana harimau kelaparan, ketua
Siau-lim-si itu hendak menyerang lagi. Tetapi It Hang totiang
cepat mencegahnya, “Taysu, ijinkanlah aku yang akan
meminta pelajaran dari Kong-sun sicu itu!"
Sebagai ketua Bu-tong-pay yang berilmu tinggi tahulah It
Hang akan kesaktian yang dimiliki pemuda itu. Sebagai
seorang pimpinan pertemuan, ia harus mengambil alih
tanggung jawab untuk menyelesaikan diri pemuda itu.
Cepat ketua Bu-tong-pay itu mencabut kebut dan dengan
melangkah pelahan-lahan ia menghampiri kemuka Siau-liong.
“Ti Gong taysu sudah menerima pelajaran ilmu pukulan
saudara," katanya sambil mengurut jenggot, “sekarang aku
yang tua dan tak berguna ini, ingin juga mendapat pelajaran
saudara dalam ilmu senjata....”
Bu-tong-pay terkenal sebagai partai persilatan yang
mengutamakan ilmu permainan pedang. Rupanya ketua Butong-
pay itu tak mau adu pukulan tetapi hendak menantang

178
pertempuran senjata. Ia yakin akan kehebatan ilmu pedang
partainya.
“Silahkan saudara mencabut senjata dan segeralah
menyerang dulu." seru It Hang.
Diluar dugaan Siau-liong hanya mendengus, “Silahkan
totiang menggunakan kebut, aku yang rendah tetap hendak
melayani dengan tangan kosong saja....” -sejenak
memandang ke arah hadirin, ia melanjutkan pula, “Sejak aku
turun kedunia persilatan, sekalipun aku memiliki pedang
pusaka, tetapi belum pernah selama ini kugunakan. Dan pada
saat ini, aku pun tetap takkan melanggar pantangan itu!"
Suatu ucapan yang angkuh dan besar sekali!
Sekalian tokoh2 yang hadir disitu terbeliak, kaget. Mereka,
sejumlah tak kurang dari 20 tokoh2 ternama, merasa
dianggap sepi oleh pemuda tak terkenal itu.
It Hang marah sekali. Tetapi ia tetap tenang dan tersenyum
simpul, ujarnya, “Baiklah, karena sicu menghendaki sendiri,
harap hati2!"
Ia menutup kata2nya dengan gerakan kebut pertapaan
dalam jurus Memukul-lonceng-emas. Kebut dimainkan
setengah lingkaran di udara lalu tiba-tiba berganti dengan
gerak Angin-meniup-siluman-lari, untuk menghantam kepala
Siau-long.
Jurus yang dimainkan ketua Bu-tong-pay itu amatlah
anehnya dan digerakkan dengan kecepatan yang luar biasa
sehingga membuat Siau-liong terbeliak kaget.
Kebut pertapaan itu dibuat daripada bahan anyaman
ratusan lembar kawat baja. Sepintas pandang menyerupai

179
kebut ekor kuda. tetapi ketika dimainkan oleh It Hang, kebut
itu berobah. menjadi sebuah senjata yang melempang lurus.
Dan karena It Hang telah pancarkan sembilan bagian tenaga
dalamnya, maka beratus-ratus lembar kawat baja itu tegak
lurus dengan tajamnya.
Melihat sekali turun tangan, ketua Bu-tong-pay itu sudah
gunakan jurus yang ganas, terpaksa Siau-liong pun harus
melayani.
Jurus Raja-langit-mendorong-pagoda, salah sebuah jurus
dari ilmu pukulan sakti Thay-siang-bu-kek, segera dilancarkan.
Kedua tangannya didorong kemuka. Tangan kanan memukul,
tangan kiri ditebarkan untuk mencengkeram kebut lawan.
Setitik pun tak terlinlas dalam benak It Hang totiang bahwa
pemuda itu memiliki ilmu pukulan Thay-siang-ciang yang
sedemikian tingginya. Dibanding dengan tataran yang dicapai
oleh Pengemis Tengkorak Song Thay-kun, pemuda itu
ternyata lebih unggul.
Seketika ketua Bu-tong-pay itu rasakan lengan kanannya
tergetar dan kebut yang dicekalnya itu terlanda oleh suatu
tenaga membal yang luar biasa dahsyatnya. Hampir saja
kebut itu terlepas dari cekalannya.
Belum hilang kejutnya, It Hang rasakan tangan kanan
pemuda yang diluruskan kemuka dada itu, mengandung
hamburan tenaga sakti yang amat maut.
It Hang totiang terkejut sekali dan buru-buru menyurut
mundur dua langkah....
---ooo0dw0ooo---

180
Jilid 04
Harimau Iblis
Dalam dua jurus saja, Siau-liong sudah berhasil
mengalahkan dua orang tokoh sakti. Ti Gong taysu dan It
Hang totiang sehingga sekalian tokoh2 yang hadir terkejut
bukan kepalang!
Diam-diam It Hang totiang menimang. Saat itu jika tak
beramai-ramai turun tangan, dikuatirkan tak ada yang mampu
mengalahkan pemuda itu.
Ah, diam-diam ia menghela napas. Demi menyelamatkan
dunia persilatan, terpaksa harus meninggalkan tata-susila
dunia persilatan.
Pada saat ketua Bu-tong-pay itu hendak memberi
komando, sekonyong-konyong dari arah hutan terdengar
suara orang tertawa nyaring. Nadanya menusuk ketelinga
sekalian orang.
Sekalian tokoh terperanjat!
It Hang terbeliak. Cepat ia memandang kesekeliling
penjuru. Tetapi empat keliling hutan itu hanya pohon2 yang
lebat belaka. tiada tampak bayangan seseorangpun juga....
Ketua Bu-tong-pay itu benar-benar terpesona. Pada hal
penjagaan di tempat pertemuan itu sudah diatur sedemikian
ketat sekali. Setiap tiga langkah sebuah pos kecil dan setiap
lima langkah sebuah pos.

181
Sedemikian ketat dan rapat penjagaan itu diatur sehingga
jangankan orang sedang lalat atau nyamuk pun tak mungkin
lolos dari pengamatan!
Tetapi yang jelas, orang misterius itu dapat menembus
masuk dibawah hidung penjagaan yang sedemikan ketat itu.
Suatu hal yang benar-benar membuat ketua Bu-tong-pay itu
terlongong-longong kehilangan faham....
Setelah berhenti tertawa, orang misterius itu berseru
nyaring, “Hidung kerbau It Hang, keledai gundul Ti Gong, Tan
Ih-hong, Sin Bu-seng, si Tua Lam Leng.... ha, ha! Hari ini
kalian mengadakan pertemuan besar....!"
Dari puncak sebatang pohon tinggi yang tumbuh disebelah
kiri, melayang turun sesosok tubuh manusia. Gerakannya
mirip dengan seekor bururg garuda yang menukik dari udara.
Tetapi setiba di bumi, gerakannya amat ringan laksana kapas
jatuh di tanah....
Seorang tua yang tinggi besar dan mengenakan pakaian
hitam putih yang menyolok, tegak berdiri memandang sekalian
hadirin dengan mata berkilat kilat tajam.
Umurnya lebih dari 70 tahun, kepalanya gundul, wajahnya
ke-merah2an segar sehingga tampaknya baru berumur lebih
kurang 50-an tahun.
Kembali orang tua itu tertawa nyaring, “Ho, perlu apa
kalian berada disini....?" Dan tanpa menunggu penyahutan, ia
berpaling memandang Siau-liong, “Apakah untuk menghina
anak kecil itu?"
Sekalian orang tak dapat menjawab. Suasana hening lelap.
Kekalahan Ti Gong taysu dan It Hang totiang amat

182
menggoncangken perasaan mereka sehingga tak tahu apa
yang harus mereka lakukan.
Pada saat itu kebetulan Lam Leng lojin berdiri paling dekat
dengan orang misterius itu. Orang tua dari Thian-san itu
paksakan diri tertawa. "Kalau tak salah, saudara tentulah....”
Belum Lam Leng lojin menyelesaikan kata2nya, orang aneh
itu sudah membentaknya, “Apa? Dua puluh tahun tak bertemu
engkau sudah tak kenal lagi padaku?"
"Ah, saudara masih bersemangat seperti dulu. Mataku
belum rabun, sudah tentu takkan lupa. Hanya saja....”- Lam
Leng lojin tertawa tawar lalu berkata pula, “Dalam saat dan
suasana seperti sekarang ini, kemunculan saudara di dunia
persilatan, apakah tak....”
"Engkau tak berhak bertanya!" orang itu cepat
membentaknya seraya terus menghampiri Siau-liong.
Sekalian hadirin kebanyakan tokoh2 silat tua dan ternama.
Pada masa 20 tahun yang lalu, ketika kelima durjana muncul
mengacau dunia persilatan, merekapun ikut serta. Sudah
tentu mereka tahu siapa pendatang yang aneh itu.
Kiranya orang aneh itu adalah salah seorang tokoh dari
Lima Durjana, yakni Harimau maut pencabut nyawa!
Lam Leng lojin dan Ti Gong taysu cepat maju menghadang
dan membentak, “Berhenti!"
Harimau-maut berhenti, tertawa nyaring lalu tiba-tiba
hantamkan kedua tangannya kedada penghadangnya.
Ti Gong taysu dan Lam Leng lojin memperhitung, si
Harimau-maut tentu tak berani mengganas karena

183
menghadapi sekian banyak tokoh2 persilatan. Tetapi ternyata
dugaan itu meleset. Ternyata Harimau maut masih seganas
pada 20 tahun berselang. Tanpa berkata suatu apa, dia sudah
melancarkan serangan yang dahsyat.
Ti Gong dan Lam Leng terkejut sekali.
Kedua tokoh itu cepat menangkis. Ti Gong menggunakan
Air-terjun-membelah-gunung, salah sebuah jurus dari ilmu
pukulan Tat-mo-kim-kong-ciang. Sedang Lam Leng
mengeluarkan Membalik awan menjungkir hujan. Keduanya
menyongsong dari samping dengan sepenuh tenaga.
Ketika terjadi benturan, terdengarlah suara letupan yang
dahsyat. Tubuh Harimau-maut agak menggigil. Tertawa
nyaring, ia tetap tak mengacuhkan apa2 dan terus
menghampiri kemuka Siau-liong.
Ti Gong taysu dan Lam Leng lojin tersurut mundur sampai
tiga langkah baru dapat berdiri tegak. Wajah kedua tokah itu
pucat lesi, tubuh berguncang-guncang mau rubuh.
Ti Gong taysu terengah-engah, tiba-tiba ia mutah darah.
Jelas ia telah menderita luka dalam yang parah.
Empat orang paderi Siau-lim-si pengikutnya, cepat2 lari
memapah Ti Gong keluar gelanggang.
Sekalipun saat itu tak tampak tanda suatu apa, tetapi ditilik
dari tubuhnya yang berguncangan itu. jelas Lam Leng lojin
juga menderita luka dalam yang berat. Ia berjalan hendak
menuju ketepi gelanggang. Tetapi baru empat langkah, ia
jatuh terduduk ditengah gelanggang.
It Hang totiang kerutkan dahi. Ia tampak gugup
menyaksikan peristiwa itu. Buru-buru ia memberi perintah

184
agar semua anak murid Kay-pang dan Go-bi-pay yang
menjaga di puncak gunung itu serta anak buah lain-lain partai,
segera siapkan senjata dan mengepung rapat hutan itu.
Harimau-maut dan Siau-liong harus dibunuh dibawah hujan
anak panah dan senjata rahasia.
Disamping itu, It Hang mengajak seluruh hadirin untuk
beramai-ramai menyerang musuh. ia tak mau memegang tatasusila
dunia persilatan lagi. Yang penting momok Harimaumaut
harus dilenyapkan!
Setelah menyaksikan bagaimana dalam sebuah pukulan
saja, Harimau-maut dapat melukai Ti Gong dan Lam Leng,
sekalian hadirin tergetar nyalinya. Mereka tak berani lagi
menghadang momok itu.
Kemudian setelah mendapat isyarat dari It Hang,
merekapun segera mencabut senjata masing-masing siap
sedia menghadapi si momok.
Tetapi Harimau-maut tak mengacuhkan sikap orang2 itu.
Seolah-olah tak terjadi suatu apa dengan langkah lebar ia
menuju kehadapan Siau-liong, menatap lekat2 pemuda itu lalu
bertanya dengan tertawa, “Buyung, mengapa mereka
menghina engkau?"
Siau-liong hanya mendengus tak mau menyahut. Dalam
hati pemuda itu, terbit pertentangan sendiri. Ia tak mau
bentrok dengan tokoh2 partai persilatan. Tetapi karena
didesak sedemikian rupa, terpaksa ia harus mengadu pukulan
dengan Ti Gong dan It Hang.
Ia menyadari bahwa bentrokan dengan ketua Siau-lim-si
dan Bu-tong-pay itu berarti akan memperdalam salah faham
sekalian tokoh terhadap dirinya. Itulah sebabnya ia
termenung-menung diam.

185
Kemunculan mendadak dari Harimau-maut itu telah
mengalihkan perhatian sekalian orang. Turut pengetahuan
Siau-liong, Naga-keparat dari gunung Kengsan dan Harimauiblis
itu dahulu ketika muncul, telah menimbulkan banyak
peristiwa2 berdarah di dunia persilatan. Tetapi menurut
penilaian yang adil, sepak terjang kedua momok itu tidak
termasuk golongan Hitam juga bukan golongan Putih.
Melainkan ditengah-tengah. Mereka bertindak menurut
sekehendak hati sendiri. Dalam hal itu, memang tindakan
mereka lebih banyak bersifat jahat. Dan lagi mereka pernah
berserikat dengan Iblis Penakluk dunia serta Dewi Neraka
untuk menghancurkan dunia persilatan. Dengan begitu, kaum
persilatan mempunyai kesan tak baik dan membenci kedua
momok itu.
Siau-liong masih melanjutkan renungannya. Memang tak
sukar baginya untuk tinggalkan tempat situ. Tetapi ia kuatir,
tindakan begitu akan lebih memperdalam tuduhan orang
bahwa ia adalah kaki tangan Iblis Penakluk dunia dan Dewi
Neraka.
Tetapi jika ia tetap berada disitu, tentulah akan bentrok
dengan Harimau iblis (Harimau-maut) Celakanya, ia
terpancang tak dapat mengeluarkan ilmu sakti Bu-kek-sinkang
dan hanya dapat menggunakan ilmu pukulan Thaysiang-
ciang. Entah apakah dengan ilmu pukulan itu ia dapat
mengalahkan Harimau iblis atau tidak.
Ia tak yakin
“Hai!" tiba-tiba pikirannya mengilas, "mengapa aku tak
pergi dulu dari sini, lalu muncul lagi sebagai Pendekar Laknat?
Bukankah dengan langkah itu ia akan terhindar bertempur
dengan Harimau-iblis dan sekaligus dapat membuktikan nama

186
baik Pendekar Laknat itu memang nyata. Ah, bukankah ia
dapat 'sekali dayung dua tepian'?"
Segera ia bendak laksanakan rencananya itu. Tetapi pada
saat ia hendak gunakan gerak Naga-berputar-18 kali,
Harimau-iblis yang habis melukai dua orang, sudah
menghampiri ketempatnya.
Sekalipun Siau-liong marah melihat sikap dan ucapan
Harimau-iblis yang sombong tetapi ia masih dapat berpikir
dengan kepala dingin. Ia tak tahu bahwa ia dapat
mengalahkan momok itu dengan ilmu pukulan Thay-siangciang
saja. Maka terpaksa ia tekan kemarahannya dan tak
mengacuhkan pertanyan momok itu.
Tetapi bukannya marah kebalikannya Harimau-iblis malah
tertawa gelak2, “Buyung, jangan takut. Kalau ada kesulitan,
bilang saja. Nanti aku yang menyelesaikan. Jangan takut
mereka berjumlah banyak....” - tiba-tiba ia berputar tubuh
memandang sekalian orang, kemudian berkata lagi:....
”Mereka itu tak berarti apa2 bagiku. Aku paling benci kalau
yang Kuat menindas yang Lemah, mengandalkan jumlah
banyak mau menindas orang!"
Siau-liong tertawa dingin, serunya sinis, “Bagaimana
engkau itu, aku takut kepada mereka?"
Harimau Iblis tertegun dan menyurut selangkah. Ditatapnya
pemuda itu dengan tajam. Tiba-tiba ia tertawa keras. Nadanya
seperti harimau meraung-raung. Lama baru ia hentikan
tertawanya yang aneh itu.
"Bagus! Punya perbawa gaib dan nyali besar Sesuai sekali
dengan watakku. Kita harus menjadi sahabat baik....” serunya.
Kemudian ia memandang lagi kesekeliling, lalu berkata lagi,
“Kemunculanku di dunia persilatan sekarang ini rasanya

187
takkan sia2 karena dapat mengikat persahabatan dengan
engkau. Hayo, kita pergi kekota Siokciu minum arak!"
Terus saja Harimau Iblis menarik bahu Siau-liong hendak
diajak pergi.
“Aku tak mau bermusuhan dengan saudara, jangan
mengujuk kekasaran!" teriak Siau-liong seraya mengeliat
untuk menghindar.
Sudah tentu Harimau Iblis tak mau melepas anak itu.
Dengan menguak aneh, ia berputar membayangi Siau-liong
dan secepat kilat menyambar pergelangan tangan pemuda itu.
bentaknya, “Budak, mengapa engkau tak tahu diri!"
Siau-liong mendengus tetapi ia tak mau menghindar lagi
dan membiarkan tangannya dicekal orang.
Cerdik juga anak itu. Karena tak leluasa menggunakan Bukek-
sin-kang dalam pukulan, ia gunakan siasat lain. Maka
dibiarkan saja tangannya dicekal tetapi diam-diam ia salurkan
tenaga sakti Bu-kek-sin-kang.
Dalam mata Harimau Iblis, Siau-liong itu dianggap sebagai
pemuda yang belum hilang bau pupuknya. Ia yakin, sekali
sambar tentu dapat mencekalnya. Maka ia tak bersiap apaapa.
Tetapi alangkah kejutnya ketika jari menyentuh tangan
Siau-liong, seketika ia rasakan di jarinya dipancar oleh
serangkum hawa panas. Sakitnya seperti terkena hantaman.
Terpaksa ia mundur beberapa langkah.
It Hang totiang bermula cemas sekali kalau pemuda itu
mau bersekutu dengan Harimau Iblis. Tetapi ketika melihat
Siau-liong tak mengacuhkan tawaran Harimau Iblis dan tibaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
188
tiba momok itu tersentak mundur beberapa langkah,
terkejutlah sekalian orang.
Kini seluruh mata hadirin tertumpah pada Siau-liong dan
Harimau Iblis. Dengan ilmu pukulan Thay-siang-ciang yang
sakti, tentulah Siau-liong dapat mengimbangi Harimau Iblis.
Dan apabila kedua orang itu bertempur seru, siapapun yang
kalah dan menang, bagi sekalian tokoh yang hadir disitu,
merupakan suatu keuntungan. Syukur kedua-duanya sama2
terluka parah....
Harimau Iblis terkejut sekali karena lengannya kesemutan.
Cepat ia salurkan tenaga dalam.... Setelah sembuh, ia maju
lagi dan meraung marah, “Ho, aku salah lihat! Apakah nama
ilmumu itu?" Membengiskan matanya, momok itu membentak
keras:”Bilang lekas, siapa gurumu!"
"Apakah engkau berhak bertanya?" sahut Siau-liong
dengan hambar.
Bukan kepalang marah Harimau Iblis. Mukanya membiru
gelap dan gerahamnya bergemerutukan lalu meraung sekuatkuatnya,
“Aku tak berhak bertanya? Ho, hari ini aku akan
mengadu jiwa dengan engkau."
Habis berseru, terus hendak mencengkeram bahu. Siauliong
sudah bersiap untuk mengadu kepandaian dengan
momok itu.
Tiba-tiba momok itu hentikan gerakannya lalu tertawa
keras. "Buyung, siapakah namamu!?" serunya.
Siau-liong pun tertawa dingin, sahutnya, “Namaku Kongsun
Liong!"

189
Momok itu merenung sejenak lalu berkata seorang diri,
“Kongsu Liong, Kong.... sun.... Liong.... sebenarnya nama
yang tak terkenal, tetapi mengapa....” — ia kerutkan alis
seperti lengah berpikir.
Tiba-tiba ia tertawa nyaring, serunya, “Buyung, sekalipun
engkau tak mau mengatakan nama guru pun tetapi akupun
dapat menebak. Ilmu tenaga sakti yang luar biasa itu, cukup
kukenal....” — kembali ia tundukkan kepala merenung.
Diam-diam Siau-liong terkejut. Ia kuatir Harimau Iblis akan
mengenal tenaga sakti Bu-kek-sin-kang Itu. Apabila hal itu
sampai diketahui Harimau Iblis dan didengar oleh sekian
banyak tokoh-tokoh persilatan, tentulah merugikan nana baik
Pendekar Laknat dan juga tak menguntungkan bagi hari
depannya sendiri.
Untuk mencegah hal itu, terpaksa ia maju selangkah dan
berseru, “Iblis tua, terimalah sebuah pukulan. Mungkin engkau
baru dapat memikir dengan berhasil!"
Wut.... jurus Tay-lo-kim-kong segera dilontarkan ke arah
momok itu.
Setelah menderita kesakitan tadi, Harimau Iblis tak berani
memandang rendah pada pemuda itu lagi. Cepat ia gunakan
jurus Menurut-aliran air-mendorong-perahu untuk menangkis.
Jurus itu adalah salah sebuah jurus yang amat ganas dari
ilmu pukulan Hou-pik-sin-ciang atau pukulan sakti Harimaumaut.
Kerasnya bukan alang kepalang.
Dar.... terdengar letupan keras dan bahu kedua orang itu
sama tergetar.

190
Seketika berobahlah wajah Harimau Iblis. Pukulan yang
dilancarkan Siau-liong itu jauh bedanya dengan tenaga sakti
yang dipancarkan pada pergelangan tangannya tadi. Benarbenar
ia tak habis mengerti.
Setelah saling menarik pulang tangannya, kembali Harimau
Iblis berseru, “Buyung, rupanya paling sedikit engkau
mempunyai dua orang guru sakti. Pukulanmu yang ini lain
sekali dari yang tadi. Aku tak mungkin salah lihat, lekas
bilanglah....”
"Silahkan engkau mengeluarkan seluruh kepandaianmu, tak
perlu bertanya ini itu!" bentak Siau-liong dan menyusul lagi
dengan sebuah pukulan lagi ke arah dada.
Harimau Iblis tertawa nyaring lalu menyongsong dengan
jurus Harimau-hitam-mengorek hati.
Siau-liong tak menduga sama sekali bahwa gerakan tangan
dari momok itu dapat dirobah menjadi genggaman tinju.
Seketika ia rasakan dadanya seperti dilanda oleh sebuah batu
raksasa sehingga jantung serasa pecah dan hampir saja ia
rubuh....
Tujuan Harimau Iblis itu hendak menghancur leburkan
tubuh Siau-liong. Tetapi karena tinjunya tak cukup besar,
terpaksa ia hanya mengaarah dada ana kmuda itu. Ia berhasil
tetapi iapun terkena pukulan Siau-liong. Ia rasakan tulang
belulangnya serasa copot dan mata berbinar-binar gelap.
Dua kali adu pukulan itu, membuat Harimau Iblis benar
memuncak kemarahannya. Meraunglah ia dengan sekuatkuatnya,
“Sungguh tak kira dalam kemunculanku di dunia
persilatan kali ini, aku akan berjumpa dengan seorang
manusia yang seganas engkau....

191
Ia bolang-balingkan tangannya kanan dan berseru pula,
“Dengan pukulanku ini, kita akan menentukan siapa hidup
siapa mati!"
Siau-liong tertawa dingin saja. Tetapi diam-diam ia sudah
menyalurkan tenaga saktinya sampai sepuluh bagian. Selekas
Harimau Iblis memukul, iapun cepat menghantam dengan
pukulan sakti Thay-siang-ciang.
Harimau Iblis sudah memutuskan untuk mengakhiri
pertempuran itu. Maka pukulannya dilancarkan dengan tenaga
penuh, Terdengar ledakan keras disusul dengan pasir dan
debu berhamburan. Dalam libatan asap debu yang lebat,
tampak kedua jago itu sama2 terhuyung-huyung sampai lima
enam langkah lalu rubuh....
Karena tak mau mengeluarkan tenaga-sakti Bu-kek-sinkang,
Siau-liong hanya gunakan pukulan sakti Thay-siangciang.
Ternyata kekuatannya berimbang dengan pukulan sakti
Harimau-iblis. Isi dada kedua orang itu terasa bergolak hebat,
darah berhamburan sungsang sumbal. Begitu jatuh, keduanya
segera pejamkan mata untuk menenangkan darahnya.
Melihat kesudahan itu girang It Hang totiang bukan
kepalang. Pikirnya, “Mereka ibarat ikan masuk jaring. Kalau
tak menggunakan kesempatan ini untuk melenyapkan mereka,
tak mungkin dapat menyelamatkan dunia persilatan....”
Ketua Bu-tong-pay itu segera menghampiri ketempat
Harimau Iblis. Tetapi sebelum dekat, tiba-tiba Harimau Iblis
dua membuka mata, “Hidung kerbau, walaupun aku harus
mati tetapi tak nanti mati di tanganmu!"
It Hang totiang tertegun. Tetapi pada lain saat ia tertawa,
“Iblis tua, asal kuayunkan tangan jiwamu pasti melayang!"

192
“Belum tentu!" dengus Harimau Iblis.
It Hang terkesiap. Timbullah keraguannya adakah momok
itu benar-benar terluka parah. Sebagai ketua Bu-tong-pay
yang ternama dan saat itu menjadi pimpinan berpuluh-puluh
tokoh persilatan, jika membunuh seorang lawan yang sedang
menderita luka dan tak dapat melawan, sekalipun yang
dibunuhnya itu seorang durjana besar, tetapi perbuatan itu
tetap akan tercelah dan namanya cemar.
Ketua Bu-tong-pay itu berpaling ke arah Siau-liong.
Dilihatnya pemuda itu juga duduk menyalurkan napas. Tetapi
wajahnya merah segar seperti orang sehat saja. To Kiu-kong,
Pengemis Tertawa Tio Tay-tong, sepasang pengemis Pincang
sama menghampiri ketempat Siau-liong. Mereka memandang
Siau-liong dengan cemas.
Ti Gong taysu dan Lam Leng lojin, setelah melakukan
penyaluran napas, saat itu sudah tak kurang suatu dan berdiri
lagi. Tetapi sikap mereka tampak putus asa dan malu.
Kekalahan yang diderita dari Siau-liong tadi, amat memalukan
kedua tokoh itu.
Sedang sekalian tokoh2, tegak berdiam diri disekeliling
tempat itu. It Hang totiang tampak bingung. Akhirnya ia
memanggil 20-an jago panah untuk mengepung Harimau Iblis
dan Siau-liong.
Rupanya It Hang tak mau mengambil resiko kehilangan
nama baik. Ia akan menunggu lain orang turun tangan untuk
membunuh Harimau Iblis dan Siau-liong.
Sekonyong-konyong dari luar hutan terdengar suara
seruling berbunyi. Seruling itu adalah untuk alat
menyampaikan berita. Setelah Harimau Iblis berhasil
menyusup dari penjagaan yang ketat, It Hang perintahkan

193
semua penjaga di pos2 menuju ke puncak dan berpencaran
menjaga diempat penjuru hutan. Seruling pertandaan itu
menandakan bahwa ada musuh yang tiba didekat hutan.
Selekas bunyi seruling berhenti, terdengarlah gemerincing
suara senjata beradu. Tentulah musuh itu sedang bertempur
dengan para penjaga hutan situ. Kemudian tak berselang
beberapa waktu, terdengarlah jeritan ngeri. Tentulah
beberapa penjaga telah dirubuhkan orang itu.
Ketika memandang ke arah datangnya pertandaan seruling,
sekalian tokoh2 persilatan melihat seorang wanita bertubuh
semampai dan mukanya berkudung kain hitam, tengah lari
menerobos masuk ke dalam hutan.
Wanita itu mencekal sebatang pedang yacg berkilat-kilat.
Sejenak memandang ke arah sekalian tokoh persilatan disitu,
tiba-tiba wanita ini terus menyerang Toh Hun-ki, ketua Kongtong-
pay.
Sekalian tokoh terperanjat sekali ketika mengetahui bahwa
wanita itu bukan lain ialah Dewi Ular Ki Ih.
Toh Hun-ki menghindar kesamping, mencabut pedang lalu
menempur wanita itu.
Melihat serangan yang dilancarkan Ki Ih dahsyat dan
berbahaya, terpaksa keempat Su-lo dari Kong-tong-pay pun
sama mencabut pedang dan terus menyerang Siau-liong.
It Hang tetap merasa sungkan terjun kegelanggang
pertempuran. Tetapi ia tetap gelisah karena tahu bahwa
wanita itu mempunyai dendam darah terhadap Kong-tongpay.
Tentu mereka akan bertempur mati-matian dan
melupakan masalah penyelesaian Harimau Iblis serta Siau
liong.

194
Benar sekali pun Harimau Iblis dan Siau-liong apabila
terjaga tentu akan dihujani anak panah oleh kawanan jago
tembak, namun sukar diduga terjadinya lain-lain perobahan.
Dalam menyalurkan napas itu, tak pernah Siau-liong
lepaskan perhatiannya kepada orang2 yang mengepungnya
itu. Sesungguhnya ia hanya menderita luka ringan yang tak
membahayakan. Ketika mengetahui yang mengamuk
penjaga2 pos itu ternyata Ki Ih, ia kaget dan girang sekali.
Buru-buru ia menyalurkan pernapasan lagi. Setelah merasa
sembuh, tanpa menghiraukan barisan panah yang masih siap
membidik, tiba-tiba ia melambung ke udara dan melayang ke
arah tempat Ki Ih bertempur dengan Toh Hun-ki.
Tetapi para pengepung itu adalah jago2 pilihan dari setiap
partai. Mereka bermata tajam dan tangkas bergerak. Begitu
melihat Siau -liong loncat ke atas, mereka segera menghujani
anak-panah.
Cres, cres.... karena terburu-buru hendak mendapatkan
ibunya, Siau-liong tak menghiraukan keselamatan dirinya
sendiri. Ia lengah dan lengan kanannya terkena dua batang
anak panah. Dengan geram, dicabutnya anak panah itu lalu ia
balas menghantam dengan pukulan Thay-siang-ciang.
Terdengar beberapa kali jeritan ngeri disusul dengan
rubuhnya 7-8 sosok tubuh dari anak buah barisan pemanah
itu.
It Hang terkejut. Cepat ia loncat mengejar diikuti Kun-lun
Sam-cu, Shin Bu-seng ketua Tiam-jong-pay, Tan I-hong ketua
Ji-tok-kau Ti Gong taysu dan Lam Leng lojin.

195
“Bagus! Kali ini bakal berlangsung pertunjukan yang
ramai!" tiba-tiba Harimau Iblis tertawa terbahak-bahak.
Sekalian tokoh terkejut. Ada beberapa yang lari
menghampiri momok itu.
Lebih kurang 200 anak murid dari Gobi-pay, Kay-pang dan
partai2 lain yang bertugas menjaga hutan itu segeran
lepaskan anak panah dan serentak keadaan menjadi kacau
balau.
Siau-liong lepaskan beberapa kali pukulan lagi. Setelah
dapat mengundurkan It Hang totiang dan rombongannya, ia
segera dapat mendekati ketempat Ki Ih.
Wanita itu bertempur dengan gagah. Serangannya makin
lama makin dahsyat. Walau pun ia takkan kalah dengan To
Hun-ki dan keempat Su-lo, tetapipun sukar merebut
kemenangan.
Serentak Siau-liong menggembor keras terus loncat
menerjang kepungan To Hun-ki dan tegak disamping ibunya.
Betapalah kejutnya ketika mengetahui bahwa sesungguhnya
ibunya itu sudah menderita luka2. Sekujur tubuhnya
berlumuran bintik-bintik darah.
Hati Siau-liong seperti disayat. Setelah lepaskan tiga buah
pukulan ke arah To Hun-ki, ia segera menyambar Ki Ih
dengan gunakan gerak Naga-berputar-18 lingkaran, ia loncat
menerobos hujan anakn panah dan lari keluar hutan, lalu
menuruni puncak bukit.
Lapat2 ia mendengar suara Ti Gong taysu, ketua Siau-lim-si
yang menegur To Kiu-kong, “0-mitohud Bagaimana asal-usul
ketuamu yang sebenarnya? Mengapa ia mempunyai hubungan
dengan Ki Ih-"

196
Menyusul terdengar suara tertawa keras dari si Harimau
Iblis. Dan beberapa saat kemudian terdengar hiruk pikuk
suara orang bertempur. Tentulah Harimau Iblis sudah mulai
bertempur dengan lawanan orang gagah.
Tetapi Siau-liong tak menghiraukan. Yang penting ia harus
menyelamatkan ibunya. Beberapa penjaga yang coba hedak
merintangi larinya, dapat dihantam kocar-kacir. Dan beberapa
loncatan berhasilah ia menerobos keluar dari hutan.
Dia lari sepembawa kakinya. Hatinya penuh dengan rasa
sedih dan gembira. Akhirnya ia bertemu juga dengan ibu
kandungnya. Dengan demikian rindu dendam dari ibu dan
anak yang sudah terpisah belasan tahun itu, akan terpenuhi.
Memang ia marah sekali terhadap kecongkakan It Hang
totiang, Ti Gong taysu dan orang2 yang menuduh dengan
membabi-buta itu. Ia merasa kecewa dan putus asa terhadap
sikap mereka. Rasanya tak sudi lagi ia campur tangan tentang
kemunculan beberapa momok yang hendak menghancurkan
dunia persilatan itu.
Pikirnya, “Setelah menghimpaskan dendam sakit hati, ia
hendak mengajak ibunya mencari tempat yang sunyi dan
hidup dengan tenang. Ia ingin membaktikan hidupnya untuk
membalas budi."
Walaupun lembah Kiu-hui-koh itu amat pelik dan berbelitbelit
jalannya, tetapi berkat petunjuk yang telah diterimanya
dari To Kiu-kong, dapatlah ia keluar.
Sejak dipondong oleh Siau-liong, Ki Ih diam saja. Sepatah
pun tak berkata. Rupanya ia membiarkan dirinya dibawa anak
itu ber-lari2an.

197
Saat itu sudah lewat tengah hari. Siau-liong kendorkan
larinya.
Tiba-tiba dilihatnya tak jauh di atas lereng gunung,
terdapat sebuah pondok dari atap rumbia. Ia mutuskan untuk
beristirahat dulu agar ibunya dapat mengasoh. Maka
segeralah ia menuju ke pondok itu.
Pondok itu ternyata sepi2 saja. Berulang kali mengetuk
pintu, barulah terdengar langkah orang berjalan dengan
pelahan.
Ternyata yang membukakan pintu adalah seorang wanita
berumur 40-an tahun. Mengenakan baju pendek warna hitam.
Sepasang matanya ber-kilat2 tajam.
Siau-liong tertegun. Ia heran mengapa ditempat yang
sesunyi itu terdapat seorang wanita yang mengenakan
dandanan seperti itu? Tetapi ia duga tentulah wanita itu
keluarga pemburu. Bagi kaum pemburu, mengenakan pakaian
serba ringkas, sudahlah umum. Ia segera menyatakan maksud
kedatangannya....
Perempuan baju hitam itu tampak tenang2 saja,
memandang Siau-liong yang memondong seorang wanita
berlumuran darah pakaiannya. Tanpa bertanya apa2 lagi,
perempuan itupun mengangguk dan mempersilahkan Siauliong
masuk.
Perkakas perabot dalam pondok itu amat sederhana sekali
Kecuali balai2 kayu dan meja kursi, tiada terdapat lain-lain
perkakas lagi.
Setelah membawa tetamunya masuk ke dalam bilik, tanpa
mengucap apa-apa, perempuan itupun melangkah keluar,
menuju ke belakang.

198
Sejenak meragu, Siau-liong lalu letakkan ibunya di atas
balai. Hatinya amat sedih, beberapa butir airmata menitik
keluar.
Belum berumur 100 hari ia sudah terpisah dari ibunya.
Kemudian setelah dewasa, ia selalu terkenang akan ibunya itu.
Ia amat rindu akan kasih seorang ibu. Dan saat itu,
harapannya telah terkabul. Sekalipun ia belum pernah melihat
wajah ibunya tetapi ia tahu bahwa ibunya itu wanita yang
bernama Dewi Ular Ki Ih, wanita yang saat itu terbaring
dihadapannya.
Setelah luapan haru kesedihannya reda, mulailah ia
memeriksa luka ibunya. Ternyata beberapa luka yang diderita
ibunya itu hanya luka luar yang tak berarti.
Tiba-tiba ia terkesiap. Ibunya jelas tak terluka berat. Tetapi
mengapa tampak seperti orang yang tak sadarkan diri?
Belum sempat ia memperoleh jawaban, tiba-tiba
perempuan pemilik pondok itu masuk dengan membawa
sepanci air panas. Tersipu-sipu Siau-liong menyambuti.... Ia
membasuh luka ibunya. Pemilik pondok memberinya sebotol
pujer warna kuning, ujarnya, “Puyer ini dapat menghentikan
perdarahan. Dalam beberapa jam saja luka itu tentu sudah
sembuh."
Sambil menyambuti, Siau-liong bertanya, “Adakah cianpwe
ini termasuk keluarga pemburu. Dalam rumah ini....?"
Oleh karena pemilik rumah itu seorang wanita yang sudah
setengah umur, demi menghormatnya, Siau-liong
menggunakan sebutan 'cian pwe' kepadanya.

199
Pemilik pondok itu geleng2 kepala, “Aku hanya sementara
waktu saja menetap disini."
Siau-liong heran tetapi ia sungkan untuk mendesak lebih
lanjut.
Tiba-tiba terdengar sebuah seruan yang bernada penuh
kemesraan, “Mah....”
Sesosok tubuh menerobos masuk dan muncullah seorang
dara berwajah segar. Pakaiannya berwarna hijau, umurnya
diantara 15-16 tahun.
Ia terkejut melihat keadaan dalam bilik. Dipandangnya
Siau-liong dan Ki Ih. yang berbaring di atas balai2 itu, lalu lari
ke dalam ruang belakang.
Perempuan baju hitam itu hanya tertawa tawar lalu
menyuruh Siau-liong lekas melumurkan puyer keluka ibunya.
Habis itu ia keluar menuju ke belakang.
Siau-liong tertegun sejenak lalu melumurkan obat itu
keluka ibunya, juga luka pada lengannya sendiri yang terkena
anak panah itu. Setelah membalut, ia segera menyingkap
sutera hitam yang nenutupi wajah Ki Ih.
Rasa kegirangan yang meluap-luap akan bertemu dengan
ibunya yang sudah berpisah hampir 20-an tahun telah
menyebabkan Siau-liong amat terangsang hatinya. Sambil
membuka kain kerudung, serentak mulutnya pun berseru
dengan gemetar, “Mah.... apakah engkau tak kenal dengan
putera kandungmu sendiri....?"
Sekonyong-konyong terdengar suara ketawa mengikik, “Hi,
hi, hi, siapa yang engkau panggil mamah itu?"

200
Siau-liong terkejut seperti mendengar halilintar berbunyi
ditengah hari. Dan ketika memandang kewajah ibunya, ah....
hampir ia pingsan!
Ternyata yang terbungkus dalam kain kerudung hitam itu
sebuah wajah yang cantik berseri dari si dara seberang lautan.
Mawar Putih!
Setelah terlongong-longong beberapa saat, Siau-liong
menjadi kalap. Diterkamnya bahu si dara itu, bentaknya,
“Kiranya engkau! Mengapa engkau menyaru sebagai ibuku?
Engkau....”
Rindu dendam yang terpendam selama belasan tahun, dan
saat itu dikiranya akan terlaksana, ternyata hancur berantakan
bagai awan dihembus angin....
Keadaan Siau-liong saat itu seperti orang gila. Matanya
melotot, wajah merah padam dan tangan dikepal sekeraskerasnya.
Seolah-olah ia hendak menelan dara itu.
Melihat keadaan Siau-liong sedemikian itu Mawar Putih
agak ketakutan. Ia menyurut mundur seraya berseru, “Apakah
engkau gila? Siapa yang menyaru jadi ibumu?"
Dengan geram Siau-liong menatap dara itu, serunya,
“Dalam dunia persilatan siapakah yang tak tahu bahwa
engkau ini adalah Dewi Ular Ki Ih? Pakaian yang engkau
kenakan dan ilmu Pedang-kilat serta senjata rahasia Hwe-huntui
serta tindakanmu memusuhi Toh Hun-ki untuk membalas
sakit hati. Tiada seorangpun yang menyangsikan engkau tentu
Ki Ih....”
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan dengan makin geram,
“Hm, makanya engkau mengenakan kerudung hitam menutup

201
wajahmu, kiranya.... ah! Engkau.... telah membikin sengsara
hatiku!"
Mawar Putih tertawa dingin, sahutnya, “Dalam hal apa aku
mencelakai dirimu? Apa yang kusenang pakai, kupakai saja.
Mau senang mengenakan kain kerudung, pun siapa yang
melarang?"
Habis berkata dara itu terus loncat turun dari balai2, lalu
berkata pula, “Ilmuku Pedang Kilat dan senjata rahasia Hwehun-
tui itu adalah ajaran guruku. Aku hendak membunuh Toh
Hun-ki, pun juga demi membalaskan sakit hati guruku!"
Siau-liong terlongong tak dapat menjawab.
Mawar Putih memandang sejenak kepada pemuda itu lalu
menyeringaikan hidung, mendengus; "Semalam aku tak jadi
membunuhmu di dalam biara dan pagi ini engkau telah
menolong aku dari puncak Ngo-song-nia. Dengan begitu kita
tak punya hutang piutang lagi dan anggaplah seperti kita
belum pernah kenal mengenal."
Habis berkata dara itu terus melangkah keluar.
Saat itu ketegangan Siau-liong sudah mulai sirap. Cepat ia
mengejar dan menghadang si dara, ujarnya, “Nona engkau....”
Mawar Putih deliki mata, “Aku mau pergi! Mengapa engkau
menghadang aku!"
Siau-liong merah mukanya. Terpaksa ia tahan
kemarahannya, “Tadi aku telah berlaku kasar, harap maafkan.
Tetapi aku hendak mohon bertanya kepadamu tentang
beberapa hal yang penting."

202
Sejenak dara itu keliarkan biji matanya. Tampaknya ia geli
melihat keadaan Siau-liong yang tak ubah seperti monyet
mencium terasi. Tetapi ia berusaha sekuatnya untuk menahan
rasa geli itu. Maka dengan sengaja, ia pura-pura membentak
dengan garang, “Lekas katakan! Aku tak punya tempo
melayanimu."
Siau-liong menghela napas, ujarnya, “Ibu kandungku itu
bernama Ki Ih. Sejak aku dilahirkan belum seratus hari,
keluargaku telah tertimpah bencana. Ayahku meninggal secara
mengenaskan dan ibu tercerai-berai entah kemana....”
"Uh, riwayatmu benar-benar membuat orang terharu," kata
Mawar Putih sambil menyengir.
Siau-liong melanjutkan lagi, “Setiap nona hendak
membunuh Toh Hun-ki, tentu nona berganti dandanan,
mengenakan kerudung hitam dan memainkan ilmu pedang
kilat serta senjata rahasia Hwe-hun-ti. Dengan begitu semua
orang persilatan menganggap nona itu adalah ibuku yang
muncul kembali ke dalam dunia persilatan lagi....”
Mawar Putih kerutkan dahi tak menyahut.
“Menilik tindakan2 nona itu," kata Siau-liong pula, "aku
berani memastikan bahwa gurumu itu tentulah ibuku sendiri.
Maukah nona memberitahukan nama sebenarnya dari guru
nona itu?"
Mawar Putih hunjamkan kakinya ke tanah, berseru,
“Bukankah telah kukatakan bahwa guruku itu bernama.
Aminah Pattalia. Selama ini belum pernah orang memanggil
guruku dengan nama lain!"

203
Siau-liong menghela napas, tanyanya pula, “Pernahkah
gurumu itu mengatakan kalau mempunyai dendam sakit hati
dengan Kong-tong-pay?"
Mawar Putih gelengkan kepala, “Guruku tak mau
mengatakan dan akupun tak pernah bertanya. Cukup bahwa
memang dendam permusuhan itu, memang ada Kalau tidak
masakan guruku siang malam tak pernah melupakannya."
Siau-liong sudah mulai percaya bahwa guru dari dara itu
tentulah ibunya sendiri Uewi Ular Ki Ih. Maka ia terus
lancarkan pertanyaan untuk mendapatkan bukti2 yarg lebih
jelas.
Setelah termenung sejenak, ia bertanya pula, “Sebelum
pergi ke Tionggoan sini, apakah gurumu tak mengatakan apa2
lagi."
Mawar Putih merenung. Tiba-tiba ia berseru, “Eh,
berapakah umurmu sekarang?"
"Enam belas tahun!"
Tiba-tiba Mawar Putih bertepuk tangan, serunya, “Ah,
mungkin benar Memang guruku pernah suruh aku menyelidiki
tentang seseorang.... Jika memang masih hidup orang itu
berumua 16 tahun....” Ia berhenti sejenak menatap wajah
Siau-liong sampai beberapa kali, lalu berkata, “Wajahmu
memang mirip dengan suhuku. Tetapi orang yang akan kucari
itu seharusnya bernama Tong Siau-liong bukan Kongsun
Liong....”
"Ah....” Siau-liong banting2 kakinya, "sebenarnya namaku
adalah Tong Siau-liong. Sejak dipungut sebagai murid dari
Tabib sakti Kongsun Sin-to, aku mengganti she dengan
Kongsun agar orang jangan mengetahui asal-usulku....”

204
Mawar Putih tertawa dingin, “Ih, benar-benar suatu
pertemuan yang tak ter-sangka2! Jika tak berkelahi tentu tak
bertemu!"
Siau-liong benar tak mengerti mengapa dara itu selalu
bersikap dingin. Sudah kenal sampai sedemikian jauh dan
diam-diam Siau-liong tahu bahwa dara itu jatuh hati
kepadanya, tetapi ia bersikap dingin. Bahkan saat itu setelah
mengetahui bahwa guru dara itu adalah ibunya, suatu hal
yang seharusnya akan menambah erat hubungan mereka
berdua. Tetapi mengapa sikap dara tetap begitu dingin?
Tetapi ia tak sempat lagi mencari tahu sebabnya. Serentak
ia menjurah dihadapan dara itu dan berseru, “Nona....”
"Bilanglah, Mengapa ak-uk ak-uk seperti orang
ketulangan?" seru Mawar Putih.
"Sudilah nona membawa aku menemui ibu. Atau cukup
nona memberitabukan letak pulau kediamannya, aku tentu
dapat mencari kesana!"
Masih dengan nada dingin, Mawar Putih berkata, “Sudah
tentu! Asal engkau benar-benar putera dari guruku, tentu
akan kubawamu kesana. Tetapi....” — tiba-tiba ia berganti
dengan nada dengusan hidung, “Aku tak dapat begitu saja
mempercayai keteranganmu tadi!"
Siau-liong terkejut mundur selangkah, serunya, “Dengan
cara bagaimanakah nona akan dapat mempercayai?"
“Kecuali engkau dapat membawa kemari batang kepala dari
Toh Hun-ki dan keempat Su-lo dari Kong-tong-pay itu!"
Siau-liong kerutkan alis, “Tetapi ibu menderita sakit....”

205
"Di dunia ini tiada obat yang dapat menyembuhkan
penyakit guruku kecuali kelima butir kepala orang Kong-tongpay
itu....!" tukas Mawar Putih. Ditatapnya wajah pemuda itu
beberapa saat kemudian ia menghela napas.
"Sudah tentu karena bertemu dengan putera yang
dirindukan siang malam, guruku tentu amat gembira sekali.
Tetapi, aku sudah terlanjur bersumpah dihadapan guru. Tak
membawa kelima butir kepala orang itu, aku takkan pulang!"
Diam-diam Siau-liong malu dalam hati. Mawar Putih hanya
seorang murid, namun dengan mati-matian tetap berusaha
untuk membalaskan sakit hati gurunya. Adakah dia, sebagai
seorang putera, kalah dengan tindakan dara itu?
Tetapi ia teringat akan pesan mendiang ayahnya supaya
jangan melakukan pembalasan itu. Ah, yang manakah harus ia
turut? Pesan ayahnya atau keinginan ibunya?
Dan lagi Toh Hun-ki itu ternyata seorang tokoh tua yang
penuh keperwiraan dan luhur budinya, bingung ia untuk
menentukan pilihan. Melihat pemuda itu termenung-menung
saja, Mawar Putih menertawakan, “Agaknya engkau tak
mempunyai pikiran untuk membalas sakit hati. Sesungguhnya
akupun tak memerlukan bantuanmu. Lambat atau laun, aku
tentu dapat membunuh orang Kong-tong-pay Itu. Hanya
saja....”
Tiba-tiba ia berputar tubuh dan terus menelungkupi balai2
dan menangis, “Engkaupun jangan harap dapat berjumpa
dengan ibumu! Beliau tentu tak sudi mempunyai seorang
putera seperti engkau. Aku.... aku pun tak dapat membawamu
kesana.”
Siau-liong serba sulit. Sesaat tak dapat ia berkata apa2.

206
Krakkk.... tiba-tiba pintu terbuka dan dara baju hijau masuk
membawa sebuah penampan. Sekilas melirik Siau-liong dan
Mawar Putih, ia tertawa menyengir, ujarnya, “Silahkan
saudara berdua makan!"
Siau-liong menghaturkan terima kasih. Sedang Mawar Putih
cepat mengusap air matanya. Ternyata penampan itu berisi
beberapa masakan dan nasi putih.
Sambil menghidangkan makanan di atas meja, dara baju
hijau itu tersenyum, Ibu mengatakan bahwa di - hutan sini tak
dapat menyediakan hidangan yang lezat. Sekedar makanan
kasar dan teh yang tawar ini, harap saudara jangan menolak."
Habis berkata dara itu terus melangkah keluar. Karena
sehari suntuk tak makan, Mawar Putih yang masih belum
hilang sifat kekanak-kanakannya, segera menghampiri kemeja
dan mengajak Siau-liong makan.
Selesai makan hari pun sudah hampir petang Siau-liong
gelisah. Beberapa kali, ia mengajak bicara tetapi Mawar Putih
tak mengacuhkan. Ia enak2 tidur di atas balai2.
Nyonya rumah tak muncul lagi. Hanya si dara baju hijau
yang datang membawa sebuah lempat lilin lalu mengemasi
perabot makan dimeja lain keluar lagi.
Masih belum dapat terpikirkan Siau-liong siapakah
sesungguhnya kedua ibu dan anak dalam pondok itu. Tetapi ia
percaya mereka tentulah keluarga persilatan yang
mengasingkan diri.
Hari makin malam. Dibawah penerangan lilin yang
bergoyang gontai sinarnya, Mawar Putih tidur dengan
nyenyaknya.

207
Siau-liong makin gelisah. Akhirnya ia duduk dikursi
bersemedhi. Entah berapa lama, iapun terlena tidur.
Tiba-tiba setiup angin pegunungan berhambus dari jendela,
menyadarkan Siau-liong dari tidurnya. Dilihatnya Mawar Putih
masih tidur nyenyak. Diam-diam Siau-liong bercekat hatinya.
Mengapa ia sampai tidur juga. Apabila kedua ibu dan anak
pemilik pondok itu kaum....
Tetapi ia menghela napas lega ketika yang terdengar
disekeliling penjuru hanya bunyi belalang dan tenggoret.
Diam-diam ia menertawakan dirinya yang banyak curiga.
Sekalipun orang mengatakan bahwa dunia persilatan itu kotor,
keji dan penuh kejahatan, tetapi tak seharusnya ia mengukur
pemilik pondok yang telah memberikan tempat bermalam dan
hidangan itu, sedemikian rendahnya.
Melongok kelangit, ia perkirakan sudah menjelang tengah
malam. Ia berbangkit dan mondar-mandir diruangan. Tiba-tiba
ia kepalkan tinju dan menghela napas panjang. Rupanya ia
telah mengambil keputusan.
Cepat ia menghampiri meja, mengambil pena-dan tinta bak
lalu menulis:
"Adik Mawar, Aku sudah memutuskan untuk mengambil
kepala Toh Hun-ki dan keempat Su-lo Kong-tong-pay. Dalam
waktu tiga hari tentu sudah selesai. Tunggulah dirumah
penginapan Siok-ciu."
Setelah meragu sejenak, ia menulis namanya "Tong Siauliong"
dibalik kertas itu lalu ditaruh disamping Mawar Putih.
Kemudian ia memadamkan lilin lalu melangkah keluar. Ia
gunakan ilmu lari cepat menuju kepuncak Ngo-siong-nia.

208
Ia tak tahu adakah Toh Hun-ki dan rombongannya masih
berada dipuncak itu. Lebih kurang sejam lamanya, tibalah ia
dihutan pohon siong dari puncak Ngo-siong-nia lagi.
Tetapi dilapangan dalam hutan itu sudah sepi. Yang
tampak hanya dua batang golok kwat-to serta beberapa tetes
noda darah. Ia duga pertempuran antara momok Harimau
Iblis lawan rombongan orang gagah yang dipimpin It Hang
totiang tentu berlangsung dahsyat sekali. Entah siapa yang
menang dan entah kemana perginya mereka itu.
Terpaksa ia menuruni puncak itu lagi. Tiba-tiba ia teringat
bahwa It Hang totiang hendak merencanakan untuk menyerbu
ke Lembah Semi pada malam hari. Adakah mereka sedang
melaksanakan rencananya itu?
Ya, kecuali jejak itu, tak ada lain hal yang dapat ia ikuti.
Maka setelah merenung beberapa saat, ia segera menuju ke
Lembah Semi.
Sekalipun ia masih ingat akan jalanan dari belakang lembah
tetapi ia masih gentar menghadapi barisan pohon bunga yang
amat berbahaya. Ia tak berani mencobanya dan terpaksa
mengambil jalan dari mulut lembah.
Jalanan masuk ke mulut lembah itu penuh ditaburi dengan
batu yang aneh2 bentuknya. Dengan hati2 sekali ia menyusur
maju.
Dia sudah mengambil keputusan untuk membunuh Toh
Hun-ki dan keempat Su-lo agar selekasnya ia dapat bertemu
dengan ibunya Sekalipun mendiang ayahnya sudah memberi
pesan. Namun dalam menjatuhkan pilihan, akhirnya ia memilih
untuk menuruti kehendak ibunya yang masih hidup.

209
Juga dalam penyerbuannya ke Lembah Semi itu juga
mengandung tujuan yang mulia. Sepasang suami-isteri
momok Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka, merupakan
bahaya yang mengancam keselamatan dunia persilatan. Jika
ia dapat melenyapkan mereka, sekalipun ia juga membunuh
Toh Hun-ki dan keempat Su-lo, tetapi tetap ia berjasa juga
kepada dunia persilatan. Dengan jasa untuk menebus
kesalahan. Rasanya arwah ayahnya yang mengasoh di alam
baka tentu dapat memaafkan perbuatannya itu.
Tiba di mulut lembah, ia tersirap kaget. Beberapa sosok
tubuh terkapar di tanah. Diantaranya terdapat dua orang
paderi, tiga orang imam dan lima atau enam orang pengemis.
Ditilik dari darah pada luka mereka yang sudah membeku,
tentulah mereka sudah berapa lama matinya.
Saat itu sudah lewat tengah malam. Dari kenyataan
beberapa mayat itu, teranglah kalau It Hang totiang tentu
melaksanakan rencananya menyerbu Lembah Semi.
Ia pasang telinga mendengarkan keadaan. Tetapi dalam
lembah tampak sunyi senyap Timbullah keheranannya,
“Adakah para tokoh2 pemimpin partai itu juga sudah menjadi
korban keganasan Iblis Penakluk dunia?"
Diam-diam Siau-liong menaruh perindahan terhadap It
Hang totiang dan rombongan orang gagah. Serentak timbullah
perhatiannya untuk memikirkan keselamatan mereka.
Ah, tujuannya kelembah situ adalah untuk membunuh Toh
Hun-ki dan keempat Su-lo. Tetapi iapun mencemaskan juga
nasib tokoh2 persilatan itu. Akhirnya ia memutuskan. Tak
peduli apapun yang terjadi, ia harus menyerbu Lembah Semi
untuk membasmi penjahat2 Iblis Penakluk-dunia, Dewi
Neraka, Soh-beng Kisu dan nona pemilik lembah itu.

210
Segera ia melangkah masuk ke dalam lembah. Saat itu ia
sudah tiba dialiran sungai dimana dahulu ia telah bertempur
dengan ular besar yang ternyata hanya ular buatan manusia
belaka. Ular yang sudah dihantamnya remuk itu sudah tak ada
lagi. Yang dihadapinya hanyalah sebuah anak sungai biasa.
Tak sulit baginya untuk melintasi.
Tetapi belum ia bergerak, tiba-tiba dari arah muka,
terdengar orang tertawa gelak2, “Aha, bapak dapat meramal
dengan tepat sekali. Benar memang ada orang yang datang
mengantar jiwa!"
Menyusul muncullah dua sosok tubuh dari balik batu besar.
Karena malam gelap tak dapat dilihat bagaimana wajah
mereka. Tetapi Siau-liong tak ragu lagi. kedua orang itu
tentulah anak buah Iblis Penakluk-dunia.
"Eh, mengapa yang datang hanya seorang?" kata salah
seorang dari mereka, seraya ayunkan tangannya. Sebertik api
biru meluncur ke udara. Rupanya suatu pertandaan untuk
memberi laporan ke dalam lembah.
Siau-liong cepat loncat hendak membekuk kedua orang itu.
Tetapi mereka dapat bergerak amat lincah. Mereka loncat
kelain batu. Dengan gunakan sikap Ayam-emas-berdiri-satukaki,
orang itu ber-putar2. Seketika terdengarlah suara
menggelegar yang dahsyat.
Terpaksa Siau-liong berhenti untuk memperhatikan
perobahan yang akan terjadi. Batu-batu yang tampaknya
datar-datar itu, tiba-tiba terangkat naik sampai setombak
tingginya. Bagian bawah bagian batu itu merupakan senjata
golok yang ujungnya amat runcing dan kedua belah matanya
sangat tajam.

211
Kedua orang berpakaian hitam itu loncat kemuka dan
berpencaran hinggap di atas batu besar. Kembali mereka
berputar tubuh dan batu2 disitu serta tanah, lenyap seketika.
Pada saat kedua orang itu loncat lagi kelain tempat, tempat
yang ditinggal itu muncul berpuluh-puluh ekor binatang
beracun. Rupanya binatang2 itu sudah kelaparan sekali.
Mereka saling gigit menggigit dan bunuh membunuh sendiri.
Pada saat kedua orang baju hitam itu loncat kelain batu,
tempat yang ditinggalkan itu memancarkan air beracun
setinggi dua tombak.
Demikian berturut-turut kedua orang itu telah berloncatan
pindah dari satu kelain tempat. Rupanya mereka setiap kali
menggerakkan alat-alat rahasia. Sampai pada yang terakhir,
kedua belah dinding karang lembah itu meluncurka berpuluh
batang anak panah beracun. Seolah-olah jalanan lembah itu
penuh dengan maut. Tak mungkin orang dapat melintasinya.
Walaupun hal itu tak mengejutkan hati Siau-liong, namun
diam-diam ia mengagumi juga kelihayan pemilik lembah yang
telah memasang alat-alat rahasia sedemikian ketat dan maut.
Siau-liong tak menghiraukan kesemua itu. Sambil
menggerung keras, ia apungkan diri melayang ke dalam
lembah.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar lengking jeritan.
Ketika Siau-liong berpaling ia mengeluh kaget, "Celaka....!"
Kiranya yang menjerit itu adalah Mawar Putih dalam
penyamarannya sebagai Ki Ih. Terpaksa Siau-liong melayang
kembali kesamping dara itu.
“Mengapa engkau....”

212
"Mengapa engkau tak mengajak aku!" tukas Mawar Putih.
"Aku tak menghendaki engkau ikut aku menempuh
bahaya!" sahut Siau-liong.
Mawar Putih mendengus, “Engkau anggap aku seorang
yang temak hidup takut mati!"
Siau-liong tersipu tundukkan kepala, tak dapat menyahut.
Mawar Putih memandang Siau-liong lalu ter-tawa
menyeringai. Tiba-tiba ia lemparkan sebuah bungkusan
kepadanya, “Terimalah!"
Ketika menyambuti, bukan main kejut Siau-liong. Ternyata
bungkusan itu berisi pakaian dan kedok muka Pendekar
Laknat. Ah.... tentulah waktu ia tidur, Mawar Putih telah
mengambilnya. Diam-diam ia menyesali dirinya yang begitu
lalai.
"Nona....” katanya tersendat-sendat.
Mawar Putih cibirkan bibir tertawa, “Seharusnya dulu2
engkau sudah memberitahu kepadaku!"
Siau-liong tak menyahut. Diam-diam ia menimbang masuk
ke lembah Semi dalam penyamaran sebagai Pendekar Laknat,
memang lebih baik. Cepat ia berganti dandanan sebagai
momok itu.
Mawar Putih tertawa geli melihat pemuda yang cakap itu
tiba-tiba berobah meujadi seorang momok tua yang
menyeramkan. Siau-liong sendiripun geli.

213
Saat itu kedua orang baju hitam tadi sudah lenyap. Sambil
memandang ke arah lembah, Siau-liong kerutkan dahi,
“Lembah penuh dengan alat rahasia? yang amat berbahaya.
Harap engkau tunggu dulu Setelah kuhancurkan alat-alat itu,
barulah akan kubawamu kesana!"
"Tidak! Engkau tentu hendak tinggalkan aku!" Mawar Putih
menolak.
"Aku tak bermaksud begitu, harap engkau....”
"Kalau begitu hayo kita bersama-sama menyerbu!" tukas
Mawar Putih terus melangkah ke dalam lembah.
Siau-liong cemas. Benar dara itu sudah mendapat warisan
ilmu silat dari ibunya. Tetapi jika hendak melintasi lembah
yang penuh dengan perkakas rahasia itu, kiranya tak mungkin
dapat.
Tetapi nona itu keras wataknya, kemanja-manjaan,
sehingga ia tak dapat berbuat apa2 untuk mencegahnya. Apa
boleh buat. Akhirnya ia memutuskan sebuah rencana.
Disambirnya tubuh dara itu lain dibawanya loncat ke dalam
lembah....
--ooo0dw0ooo--
LEMBAH MAUT
Siau-liong melayang ke atas batu besar yang ditempat
kedua orang baju hitam tadi. Ia hendak menyelidiki perobahan
yang terjadi disitu.

214
Sesungguh dengan gerak Naga-melingkar-18 kali, dapatlah
Siau-liong melayang lebih jauh dan tak perlu untuk menyelidiki
keadaan dulu.
Tepat pada saat kakinya hendak menginjak batu, tiba-tiba
ia mengeluh kaget. Ternyata batu itu seperti lenyap dan
tubuhnyapun meluncur ke bawah, jatuh keujung tiga batang
golok. Untung sebelumnya ia sudah berjaga-jaga. Cepat ia
tamparkan tangannya ke udara dan dengan meminjam tenaga
tamparan itu, ia melambung lagi ke atas.
Pada perjalanan kedua, binatang2 beracun itu tak mampu
mencelakai Siau-liong yang melambung tinggi hingga ia dapat
melintasi dengan selamat.
Juga kedua belah karang yang menyemburkan anak panah
dan senjata rahasia beracun itu Siau-liong sudah bersiap.
Jubah Pendekar Laknat yang gerombyongan itu dapat
digunakan untuk menampar rintangan itu.
Perkakas rahasia yang disiapkan dalam lembah oleh kedua
suami isteri Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka itu,
sebenarnya untuk menjaring seluruh tokoh persilatan.
Lapisan yang ketiga terdiri dari air mancur yang
mengandung racun. Selain racunnya ganas, pun airnya
mancur tinggi sekali. Sekali terkena, daging dan tulang2 akan
luluh menjadi cairan.
Tengah Siau-liong menimang-nimang untuk cara yang
hendak dilakukan dalam melintasi rintangan ketiga itu, tibatiba
ia memandang ke bawah dan dilihatnya binatang2
beracun itu bergeliatan menjulur ke atas.

215
Ia terkejut girang dan serentak tertawa keras, serunya,
“Budak liar, nasibmu memang belum ditakdirkan mati. Ada
jalan!"
Dalam kepitan Siau-liong, Mawar Putih merasa aman. Ia
heran mengapa Siau-liong berseru begitu. Iapun cepat dapat
menanggapi dan berseru, “Laknat tua, nyonyamu ini tak
pernah takut pada kematian!"
Siau-liong sengaja menggunakan siasat untuk
membingungkan hati anak buah lembah yang bersembunyi
disekitar tempat itu. Mereka tentu. terkejut dan pangling
mengapa kedua momok itu dapat datang ber-sama2 kelembah
mereka.
Disamping itu Siau-liong mendapat akal. Asal tak terluka,
binatang2 berbisa itu tak berbahaya Maka ia memutuskan
untuk menggunakan suatu cara yang amat luar biasa tetapi
amat berbahaya sekali.
Tiba-tiba ia melayang turun ke bawah dan tepat menginjak
di atas punggung seekor kadal besar. Begitu menginjak iapun
menyerempaki dengan sebuah hantaman ke atas. Dengan
tenaga pijakan dan pukulan itu, tubuhnya segera melambung
tinggi ke udara.
Mawar Putih terkejut menyaksikan keberanian Siau-liong
menempuh cara yang sedemikian berbahaya itu. Andaikata ia
tak menyaru sebagai Ki Ih, tentu ia sudah menjerit ngeri.
Pada saat tubuh Siau-liong hendak meluncur turun, tibatiba
ia lontarkan tubuh si dara kemuka. Mawar Putih pun
bergeliatan menggunakan gerak Burung-walet-menerobossangkar.
Indah dan luwes sekali tubuh dara itu bergeliatan
melayang di atas semburan air beracun.

216
Anak buah Lembah Semi yang menyaksikan dari puncak
gunung, terlongong-longong seperti melihat sebuah
pertunjukan akrobat yang luar biasa mendebarkan.
Mawar Putih dimuka dan Siau-liong dibelakang. Laksana
dua ekor burung walet, kedua anak muda itu meluncur di
udara, melampaui semburan air beracun.
Setelah kedua pemuda itu hampir selesai melintasi
rintangan itu, barulah anak buah Lembah Semi tersadar. Buruburu
mereka segera menggelundungkan balok dan batu serta
menaburkan senjata rahasia.
Siau-liong terkejut Betapapun lihaynya, tetapi diserang dari
atas dan bawah secara begitu ganas, tentulah akan celaka
juga.
Siau-liong cepat gunakan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang
untuk menghantam serangan dari atas puncak itu. Kemudian
ia menggeliat menyusul disamping Mawar Putih.
“Sungguh berbahaya," keluh si dara ketika melihat anak
panah dan senjata rahasia berseliweran disampingnya. Tetapi
dibawah lindungan Siau-liong, dara itu tetap aman. Seketika
timbullah nyalinya lagi.
Pada saat hanya tinggal dua tiga tombak lagi ia akan dapat
melintasi rintangan itu, dan serangan senjata rahasia dari atas
pun sudah mulai reda, tiba-tiba ia tersirap kaget. Ternyata
Mawar Putih sudah mulai habis tenaganya sehingga tubuhnya
mulai meluncur ke bawah.
Dalam kejutnya, Siau-liong bersuit nyaring lalu menukik ke
bawah untuk menyambar si dara. Untunglah si dara segera
tersadar. Dengan kerahkan seluruh tenaga, dara itu bergeliat
meluncur kemuka lagi sampai dua tiga tombak.

217
Pada saat Mawar Putih hendak terhindar dari pancuran air
racun, tiba-tiba sebuah batu besar melayang turun dari atas
puncak. Tepat batu itu akan jatuh di kepala si dara.
Saat itu Mawar Putih sudah kehabisan tenaga. Sekalipun ia
tahu akan ancaman bahaya itu, tetap ia tak mampu
menghindar lagi. Jika terhantam batu itu, kepalanya pasti
hancur lebur jatuh ke bawah, sudah tentu Siau-liong gugup
sekali. Dalam saat-saat yang tak menyempatkan ia berpikir
lagi, ia nekat meluncur dan membentur batu itu dengan
kepalanya.
Pyur.... terdengar letupan dan hancurlah batu itu
berhamburan jatuh ke bawah. Berhasil menghancurkan batu,
cepat sekali Siau-liong sudah menyambar tubuh Mawar Putih
terus dibawa melayang.
Anak buah Lembah Semi yang menyaksikan kesaktian
Pendekar Laknat, sama leletkan lidah. Kemudian mereka
segera lepaskan api pertandaan untuk memberi isyarat bahaya
kepada kawan2nya dalam lembah.
Saat itu ia harus menghadapi lapisan keempat yang
merupakan Lautan api.
Ilmu meringankan tubuh Naga-berputar-18-lingkaran,
sudah menghabiskan tenaganya. Jika ia tak berhenti dulu
disebuah batu, tentulah ia dan si dara akan terancam bahaya
tercebur dalam lautan api.
Dalam perhitungannya, ia mssih sanggup untuk melampaui
rintangan keempat Lautan api itu Tetapi apabila lorong lembah
itu masih jauh, dan ia tak menemukan tempat beristirahat,
tentu akan habislah tenaganya.

218
Namun ibarat orang naik dipunggung harimau, Siau-liong
sudah tak dapat mundur lagi. Akhirnya ia berhasil melintasi
rintangan keempat itu dan tiba dibagian lorong sungai yang
datar.
baru saja ia meletakkan tubuh si dara ke tanah, tiba-tiba
terdengar ledakan bergemuruh dahsyat, seperti sebuah cempa
bumi. Ledakan itu berasal dari bunyi sebuah genderang. Entah
darimana tempatnya.
Dung.... dung....
Bunyi genderang itu menggetarkan seluruh isi lembah.
Jantung Mawar Putih pun serasa terlepas keluar. Buru-buru ia
sandarkan diri pada tubuh Siau-liong. Siau-liong kerahkan
tenaga sakti untuk menolak serangan bunyi genderang maut
itu. Ia bersiap-siap menunggu apa saja yang hendak dilakukan
orang2 Lembah Semi itu.
Genderang berhenti serentak. Sebagai gantinya, angin
menderu, batu dan pasir beterbangan dan airpun bergolakgolak
ke atas udara.
Siau-liong dan Mawar Putih merasa bahwa yang diinjaknya
saat itu bukanlah tanah, melainkan gumpalan ombak laut.
Siau-liong menyadari bahwa gelombang yang
menggoncangkan bumi itu adalah sebuah tenaga sakti aneh
Ki-bun-tun-kang yang menggunakan entah berapa puluh anak
buah Lembah Semi. Dipersatukan menjadi tenaga-sakti Thaykek-
bu-wi-kang dan Thay-im-ki-bun-kang. Hantaman dari arus
tenaga sakti itulah yang membuat bumi bergoncang seolaholah
ditimpa gempa.

219
Siau-liong memeluk Mawar Putih untuk memberi saluran
tenaga sakti Bu-kek-sin-kang. Kemudian ia kembangkan
tenaga sakti lunak untuk menahan arus serangan itu.
Pertempuran adu tenaga sakti berlangsung beberapa
waktu. Pelahan-lahan kabut dan pasir terdampar ke belakang
dan tanah yang dipijaknya itu pun menjadi tanah biasa lagi.
Tetapi gumpalan kabut itu berhenti pada jarak beberapa
langkah. Seperti ada suatu tenaga lain yang menghentikan
buyarnya kabut itu. Kembali terjadi pertempuran hebat adu
tenaga sakti. Kabut tak dapat mundur tetapi pun tak dapat
melayang maju lagi.
Setelah berlangsung beberapa waktu. tiba-tiba terdengar
letupan keras. Kabut itu berhamburan lenyap dan keadaan
dalam sungai itupun tampak seperti biasa lagi.
Mawar Putih kagum atas kesaktian Siau-liong.
Dipandangnya anak muda itu dengan tersenyum tawa.
Kemudian keduanya bergandengan tangan melangkah maju.
Mereka merasa sebagai sepasang muda mudi yang berjalan
dengan mesra. Tetapi bagi pandangan mata berpuluh anak
buah Lembah Semi yang bersembunyi di sekeliling tempat itu,
kedua pemuda itu adalah seorang lelaki tua berwajah buruk
dengan seorang wanita yang berkerudung muka.
Baru melangkah dua tiga tindak, tiba-tiba keduanya
mendengar genderang bertalu tiga kali. Suaranya amat
dahsyat sekali. Seketika pemandangan yang terbentang
dihadapan, berobah sama sekali.
Sekeliling penjuru penuh dengan gunung es dan karang es.
Ada yang menjulang tinggi macam tiang penyangga langit.
Ada yang berkilat-kilat menyilaukan mata, atasnya datar tetapi

220
bagian-bagian bawah runcing dan salju yang menutup gunung
itu mencair dan mengalir turun seperti banjir. Kesemuanya itu
merupakan pemandangan yang ngeri.
Siau-liong tetap memeluk Mawar Putih dan membantu si
dara dengan penyaluran tenaga sakti. Ia tahu bahwa
pemandangan di muka itu hanya pemandangan buatan yang
diciptakan oleh Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka.
Kembali ia gunakan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang yang
bersifat panas untuk menghancurkan gunung es itu.
Tak berapa lama gunung2 dan karang es itu meleleh dan
mengalir menjadi air ke dalam sungai. Pemandangan dalam
lembah itu kembali pula seperti semula.
Pada saat Siau-liong dan Mawar Putih saling berpandangan
dengan heran, tiba-tiba muncullah nona pemilik lembah diiring
20 orang dara cantik.
"Aku disuruh mewakili ayah dan ibu untuk menyambut
kedatangan saudara berdua!" kata nona itu dengan memberi
hormat.
Siau-liong hanya menyahut singkat. Kemudian nona pemilik
lembah itu mengibaskan tangan. Ia dan ke 20 pengiringnya itu
segera melenyapkan diri dibalik jajaran batu2 besar.
Siau-liong menimbang. Karena nona pemilik lembah itu
sudah keluar menyambut sendiri, tentulah sudah tak ada lagi
rintangan alat-alat rahasia. Segera ia ajak Mawar Putih
melangkah kemuka. Setelah keluar dari lembah, membelok
kesebelah kiri dan menyusur jalan. Membelok sekali lagi,
tibalah mereka di pintu batu yang atasnya tergantung dua
buah papan bertuliskan:

221
"Dunia persilatan tergabung satu Lembah Semi mengubur
orang gagah."
Ditengah kedua papan itu terdapat sebuah papan lagi yang
bertulis,
“Pesiar ke lembah sambil menghadiri pertandingan besar
adu kesaktian."
Siau-liong heran. Saat itu masih lama dengan hari
pertandingan yang akan dilangsungkan pada pertengahan
musim rontok. Tetapi mengapa persiapan telah dilakukan
sedemikian rupa.
Ah, tentulah Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka sudah
memperhitungkan kemungkinan It Hang totiang akan
menyerbu sebelum hari pertandingan itu. Maka ia sudah
mengadakan persiapan lebih dulu.
Tengah Siau-liong mencemaskan keselamatan It Hang
totiang dan rombongan orang gagah, tiba-tiba pintu gerbang
itu terbuka dan entah darimana datang, muncullah nona
pemilik lembah beserta ke 20 dara pengiringnya tadi. Mereka
menyambut Siau-liong dan mempersilahkan masuk.
Siau-liong mendengus. Sambil menarik tangan Mawar
Putih, ia melangkah masuk. Tertawa nyaring lalu membentak
keras, “Undangan adu kepandaian, ditetapkan pada nanti hari
Tiong-jiu tetapi mengapa....”
Nona pemilik lembah itu tertawa mengekeh, “Perhitungan
manusia sering meleset. Maka serempak dengan mengirim
undangan, ayah dan ibu terus mempersiapkan segala
sesuatu....” ia berhenti sejenak memandang kepada Siau-liong
dan Mawar Putih lalu berkata pula, “Seluruh orang gagah

222
dalam dunia persilatan sudah terjaring. Kini hanya kurang
kalian berdua saja!"
Habis berkata ia terus menarik sebuah kain sutera merah
yang menutup sebilah papan dari batu kumala merah. Papan
batu itu setinggi satu tombak tetapi tak terdapat suatu tulisan
apa2.
Dengan ter-tawa2 nona itu mengambil pit atau pena lalu
menulis di atas papan kumala itu.
Kesan2 Pesiar ke Lembah Semi Walaupun hanya sebuah
pit, tetapi ketika dituliskan, tak ubah seperti ujung pisau yarg
tajam. Tulisan itu terukir pada batu pualam sedalam dua tiga
dim.
Dan setelah diletakkan lagi, pit itu tetap lurus seperti belum
dipakai.
Siau-liong mendongkol sekali. Diambilnya pena itu lalu
dicorat-coretkan di atas meja sehingga ujung pit yang terbuat
daripada bulu, menjadi kacau balau. Setelah itu pit dicelupkan
ke dalam tinta bak.
Mawar Putih heran melihat tingkah laku pemuda itu.
Seperti yang dilakukan nona pemilik lembah tadi, adalah
mudah. Ia menyalurkan tenaga dalamnya keujung pit
sehingga pit itu berobah sekeras pisau. Tetapi mengapa Siauliong
mencelupkan ujung pit ke dalam tinta. Bukankah pit itu
akan lemas karena basah. Dan kalau basah, bukankah akan
sukar disaluri tenaga dalam?
Pada saat itu Siau-liong sudah siap menulis. Ujung pit yang
kalut tadi, saat itu lurus lagi. Maka mulailah ia menulis:

223
"Pendekar Ksatrya Muncul di dunia Membasmi kejahatan
Mengamankan persilatan."
Nona pemilik lembah itu terbeliak kaget. Tulisan Pendekar
Laknat Siau-liong itu menggoreskan tulisannya sampai
setengah inci ke dalam papan batu. Tulisannya berwarna
hitam jelas sekali.
Habis menulis, Siau-liong tertawa gelak2. Ia lemparkan pit
itu ke arah pintu batu. "Bluk", pit jatuh tepat ditengah-tengah
pintu.
Kembali pemilik lembah terbeliak kaget menyaksikan
kepandaian Siau-liong yang dianggapnya Pendekar Laknat itu.
Kemudian Siau-liong gunakan jarinya untuk menggurat
dibawah tulisannya tadi:
Kesan dari Pendekar Ksatria.
Dengan mengganti nama dari Bu-kek-gong-ma atau
Pendekar Laknat dengan Bu-kek-sin-kun atau Pendekar
Ksatrya itu, jelaslah sudah maksud Siau-liong. Ia menyatakan
bahwa Pendekar Laknat sekarang bukan lagi seorang momok
ganas seperti dahulu melainkan seorang Ksatrya yang hendak
membela kebenaran, menegakkan keadilan, membasmi
kejahatan dan melenyapkan kelaliman.
Pemilik lembah segera melangkah ke dalam.
Siau-liong menggandeng Mawar Putih mengikuti dari
belakang. Sepanjang jalan yang dilalui, alam,
pemandangannya amat indah sekali. Sedikit pun tiada tanda2
bahwa lembah seindah itu merupakan suatu tempat
penjagalan manusia yang ganas....

224
Setelah dua tiga kali membelok, tibalah mereka diruang
besar yang menyerupai sebuah paseban istana.
Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka sudah menunggu
disitu. Melihat Pendekar Laknat datang bersama Ki Ih, mereka
menyeringai sinis. Didepan meja yang berada disebelah
mukanya, telah disiapkan berpuluh gelas emas.
Siau-liong tahu bahwa iblis itu hendak mengadakan adu
minum arak. Tetapi heran, mengapa menyediakan sekian
banyak cawan? Apakah gunanya?
Tiba-tiba terdengar suara tertawa aneh yang
menyeramkan. Dewi Neraka segera mengangkat poci arak lalu
dengan gerak yang istimewa, arak itu memancur keluar ke
arah berpuluh cawan. Dalam beberapa kejab saja, berpuluhpuluh
cawan itu sudah penuh semua.
Kemudian Dewi Neraka itu unjukkan kepandaian lebih jauh.
Ia ngangakan mulutnya dan arak dalam berpuluh cawan itu
meluncur keluar, masuk ke dalam mulut wanita itu lagi.
Walaupun kepandaian menekan dengan tangan dan
menyedot dengan mulut, bukanlah suatu kepandaian yang
mengherankan tetapi karena Dewi Neraka dapat mengisi dan
menyedot arak dari sekian puluh cawan besar kecil, diam-diam
Siau-liong kagum juga.
Siau-liong sejenak memandang ke arah Mawar, memberi
senyuman lalu melangkah maju dengan tenang.
Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka menunggu dengan
penuh perhatian.
Dengan kedua tangan Siau-liong mencekal poci arak itu.
Seketika dari poci itu meluncur keluar 10 buah pancuran kecil.

225
Kesepuluh pancuran itu memancur ke atas lalu berhamburan
jatuh ke dalam berpuluh-puluh cawan arak. Setetes pun tiada
yang menumpah kemeja.
Sudah tentu pertunjukkan itu mengejutkan Dewi Neraka
dan Iblis Penakluk-dunia. Namun mereka berusaha untuk
bersikap tenang2 saja.
Siau-liong duduk bersila. Sekali ngangakan mulut, ia
menyedot arak dari lima cawan. Sekaligus, lima cawan berisi
arak itu telah disedotnya habis. Kemudian diulanginya lagi.
Tiap kali ia selalu menyedot lima cawan arak.
Pada waktu pertunjukan itu berlangsung hingga semua
cawan telah habis disedotnya, tiada seorang pun yang berani
bernapas.
Setelah itu giliran Iblis Penakluk dunia. Iblis itu mengangkat
sebuah poci arak yang besar. Begitu besar hingga lebih tepat
kalau disebut bejana atau guci.
Setelah guci besar itu dicekal, ia gunakan ilmu tenaga
dalam yang paling sukar diyakinkan yakni sifat MELEKAT.
Cawan2 arak besar itu segera saling melekat rapat. Sekali
menunduk, berpuluh cawan arak itu segera penuh dengan
arak. Dan sekali iblis itu lekatkan bibirnya pada sebuah cawan
yang paling besar, arak pun segera meluncur ke dalam
mulutnya....
Sepintas pandang memang cara minum itu, tiadalah yang
mengherankan.... Tetapi ketika diperhatikan dengan seksama,
orang tentu akan terperanjat.
Kiranya arak yang diminum dari cawan besar itu, tak
pernah habis. Tetapi berpuluh cawan besar kecil yang melekat
pada cawan besar itu, isinya meluap ke atas dan mencurah

226
kecawan sebelahnya dan cawan itu pun meluap menumpah
kelain cawan. Dengan luapan secara berantai dari satu kelain
cawan itu, akhirnya menumpah kecawan besar yang diminum
Iblis Penakluk dunia itu. Itulah sebabnya mengapa arak dalam
cawan besar itu tak habis-habisnya.
Kemudian Iblis Penakluk-dunia membuka mulut menghadap
ke atas. Sekali ia mengangkat cawan besar itu, maka
meluncurlah air ke udara sampai satu tombak tingginya. Air itu
meluncur turun tepat masuk ke dalam mulut Iblis Penaklukdunia!
Selesai minum, iblis itu segera gunakan tenaga sakti untuk
menjajar puluhan cawan di tanah.
Jaraknya dengan Siau-liong lebih kurang dua meter. Cawan
kecil terletak paling depan dekat Siau-liong sedang cawan
besar paling belakang, kira2 setombak jauhnya dari pemuda
itu. Jika Siau-liong hendak mengambil cawan besar itu,
tentulah ia harus berbangkit. Suatu hal yang mengurangkan
perbawanya.
Siau-liong tak mau unjuk kelemahan. Iapun gunakan
tenaga sakti untuk menyedot jajaran cawan itu. Bagaikan
seekor ular, jajaran cawan yang masih melekat satu sama lain
itu, bergerak-gerak menghampiri ketempatnya.
Menyaksikan kesaktian Pendekar Laknat dalam ilmu tenaga
dalam untuk menyedot itu, diam-diam Iblis Penakluk dunia
cucurkan keringat dingin. Ia tak kira kalau Pendekar Laknat
saat ini telah mencapai tataran ilmu tenaga dalam yang
sedemikian hebatnya.
Dalam pada itu, setelah menarik jajaran cawan, Siau-liong
segera mengangkat naik. Serempak berpuluh cawan besar
kecil itu naik mendatar ke atas tanah. Lalu ia menuangkan

227
arak memenuhi semua cawan. Sekali ia memijat cawan yang
paling muka, maka arak dan cawan besar kecil itu, satu demi
satu meluncur ke dalam mulut Siau-liong.
Habis minum, ia menarik jajaran cawan yang melekat itu
terus ditaburkan ke arah dinding ruang yang terbuat dari batu
marmar.
Crek. crek.... berturut- turut cawan2 itu menyusup ke
dalam dinding, tepat membentuk beberapa huruf yang
berbunyi:
"Kesan Pendekar Ksatrya dalam pertandingan minum arak."
Siau-liong berbangkit, membersihkan pakaiannya lalu
tertawa nyaring....
Iblis Penakluk dunia tak dapat berbuat apa2 kecuali tertawa
dingin. Ia segera berbangkit dan melangkah keluar. Siau-liong
dan Mawar Putih mengikutinya.
Setelah membelok dua tiga buah tikungan, tibalah mereka
disebuah hutan aneh. Dikata aneh karena hutan itu terdapat
papan nama yang berbunyi: Hutan Nafsu!
Dalam Hutan Nafsu itu terdapat tak kurang dari 200 batang
pohon yang daunnya bergemerlapan seperti kumala dan
dahan2 berwarna emas. Setiap batang pohon, tergantung 10
buah Giok-pwe seperti kepunyaan nona Tiau Bok-kun. Baik
bentuk dan ukiran kembangannya, menyerupai sekali.
Kemungkinan nona itu pernah datang kesitu, lalu lencananya
Giok-pwe ditiru dan dibuat sebanyak-banyaknya.
Pada tepi hutan itu terpancang sebuah papan kayu yang
bertuliskan:

228
"Pada setiap pohon wangi Harus membedakan tulen palsu
Giok-pwe dipersembahkan Tentu takkan mengecewakan.
Namun bila tak berhasil Adalah kesalahanmu sendiri. Dirimu
terbakar api Tulang belulang mendjadi abu."
Didepan papan itu terdapat sebuah meja dan dimeja itu
terletak sebuah Kim-ting atau Bejana-emas yang penuh
dengan segenggam kayu cendana.
Siau-liong memperhitungkan. Jika menyalakan kayu
cendana itu, paling banyak hanya berlangsung sampai
sepenanak nasi. Dalam waktu sepertanak nasi itu untuk
membedakan mana Giok-pwe yang tulen dan mana yang
palsu, sungguh tak mungkin dapat!
Dilain ujung dari hutan itu, tampak sebuah lubang sedalam
satu tombak. Lubang itu penuh dengan kayu bakar dan
ranting kering serta bahan bakar lainnya.
Sedang sekeliling Hutan Nafsu itu penuh dijaga oleh anak
buah Lembah Semi yang ketat sekali. Sekali kedua suami isteri
momok itu memberi isyarat, mereka tentu akan segera
menyerbu.
Pada saat Siau-liong merenungkan cara yang akan
diambilnya, tiba-tiba Mawar Putih menggamit lengannya dan
berbisik, “Tolol, semua itu palsu!"
Siau-liong tertegun. Tetapi cepat ia dapat menyadari. Giokpwe
yang asli harganya sama dengan sebuah kota. Setiap
orang persilatan sama mengiler untuk mendapatkan benda itu.
Tak mungkin kedua suami-isteri momok itu mau
menggantungnya pada pohon dan suruh orang mencarinya.
Merasa dirinya ditipu, marahlah Siau-liong. Sekali ayunkan
tangan, bejana di atas meja itu hancur berantakan.

229
Melihat itu Dewi Neraka marah sekali. Sambil bersuit
nyaring, ia loncat keluar menyerang seraya membentak, “Iblis
Laknat, engkau mencari mati sendiri!"
Gerakan tongkat itu menimbulkan deru angin dahsyat yang
melanda Siau-liong. Siau-iiong tenang-tenang menangkis
dengan tangan.
Dewi Neraka makin marah. Serangannya yang dahsyat itu
dapat dihalau secara tepat oleh lawan. Tiba-tiba ia enjot
tubuhnya melayang ke atas sebatang pohon. Sambil
menginjak daun puncak pohon itu, ia menyambari Siau-liong,
“Hai, Pendekar Laknat, selama 20 tahun ini, sudah berapa
tingginya kesaktianmu. Hayo, kita adu kepandiaan di puncak
pohon ini!"
Siau-liong sejenak berpaling memberi senyuman kepada
Mawar Putih. Maksudnya minta nona itu jangan kuatir. Mawar
Putih mengangguk.
Sekali menjejak tanah, tubuh Siau-liong meluncur ke udara
lalu hinggap di puncak pohon berdiri dengan sebelah kaki.
Dewi Neraka diam-diam terkejut menyaksikan ilmu
meringankan Pendekar Laknat yang sedemikian hebatnya. Ia
tentu akan lebih kaget lagi apabila mengetahui bahwa
sesungguhnya momok Pendekar laknat yang berdiri
dihadapannya itu hanya seorang pemuda belasan tahun
umurnya.
Dewi Neraka mulai beraksi. Segera ia gunakan tenaga sakti
Thay-im-ki-bun-kang yang diyakinkan selama berpuluh tahun
untuk memutar tongkatnya. Taburan tongkat itu
menghamburkan suatu angin tenaga dalam yang merontokkan
daun-daun kumala bertebaran mengelilingi tubuhnya. Tebaran

230
daun2 kumala itu menimbulkun suara tajam macam suitan
yang nyaring. Sapintas pandang menyerupai ribuan batang
golok terbang yang ber-kilat2 menyeramkan.
Tangan kanan memainkan tongkat, tangan kiri Dewi Neraka
itu bergerak naik turun. Tiba-tiba tebaran daun2 kumala itu
melekat panjang, menjadi semacam puluhan batang jwan-pian
atau cambuk ruyung yang menyerang Siau-liong.
Siau-liong tertawa melengking. Ia sudah siap menyambut
dengan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang. Namun ia tenang2 saja
menunggu serangan.
Dewi Neraka terkejut. Serangan ruyung dari daun kumala
itu seolah-olah terpancang oleh sekeping dinding baja yang
tak kelihatan. Dan bukan melainkan itu saja, pun ketika Dewi
Neraka gerakkan tangan hendak menarik balik ruyung daun
tu, ternyata tak mudah. Ruyung2 daun itu seperti tersedot
oleh suatu hawa yang amat kuat.
Dewi Neraka menambahi tenaga saktinya. tampak amat
tegang. Dahinya penuh butir keringat. Setelah mengerahkan
seluruh tenaganya sampai beberapa saat, barulah ia berhasil
menarik balik ruyung daunnya.
Sekonyong-konyong daun2 kumala itu mengelompok dan
membentuk diri menjadi 16 bunga teratai. Setelah berjajar
menjadi sepasang barisan "Pa-kwa-tin”, lalu mulai bergerak
menyerang Siau-liong.
Ternyata Dewi Neraka telah gunakan ilmu tenaga dalam
Thay-im-ki-bun-kang dan ilmu hitam ajaran aliran agama Peklian-
kau, untuk membentuk barisan Lian-hoa-pat-kwa-tin atau
barisan bunga teratai yang berbentuk pat-kwa.

231
Kali ini jika Siau-liong tetap gunakan tenaga-sakti Bu-keksin-
kang, tentu celakalah ia, ternyata keistimewaan dari
barisan bunga Teratai itu ialah kalau dilawan dengan tenaga.
Sekali terlanda oleh tenaga, betapapun kecil tenaga hantaman
itu, barisan Teratai akan pecah berhamburan menyerang
seluruh jalan darah pada tubuh orang.
Suatu hal yang tak mungkin Siau-liong mampu menjaga.
Sesungguhnya Siau-liong tak tahu hal itu. Namun ia pun
tak mau menggunakan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang untuk
menangkis. Melainkan menaburkan lengan jubahnya kian
kemari. Dengan gerakan itu dapatlah ia melepaskan barisan
Teratai dari kekuasaan tangan Dewi Neraka.
Dewi Neraka terkejut sekali. Buru-buru tarikan tangannya
lebih gencar. Dengan usaha itu dapatlah ia mengambil kembali
kekuasaan pada bunga Teratainya. Tetapi hal itu hanya
berlangsung tak lama, beberapa saat kemudian kembali
Teratai2 itu lolos dari kekuasaannya dan ikut ber-putar2
menurut jubah lengan Siau-liong.
Dewi Neraka makin penasaran. Ia pusatkan lagi tariannya
dan berhasil menguasai bunga Teratai tetapi beberapa saat
kemudian, lepas lagi. Dengan demikian terjadilah perpindahan
beberapa kali.
Setelah mencapai perpindahan sampai delapan kali, Siauliong
dapat menguasai teratai2 itu agak lama. Dewi Neraka
mandi keringat berjuang untuk merebut. Tetapi tampaknya ia
sudah tak mampu lagi.
Melihat isterinya menderita kekalahan, sepasang mata Iblis
Penakluk dunia ber-kilat2 memancarkan api. Benaknya mulai
menimang-nimang untuk menggunakan siasat yang sangat
ganas.

232
Kebalikannya, Mawar Putih berseri-seri girang atas
kemenagan Siau-liong.
Saat itu Siau-iioug hendak berputar tubuh dan loncat turun
dan puncak pohon. Tiba-tiba Mawar Putih melengking keras,
“Awas!"
Siau-Jiong mendengus dingin. Cepat ia berputar lagi dan
lepaskan pukulan Menjungkir-balik-gunung-sungai.
Iblis Penakluk-dunia yakin bahwa serangannya dari
belakang itu tentu akan berhasil menghancurkan Pendekar
Laknat. Maka ia gunakan jurus Menghancurkan-gunung-Hoasan
yang diLancarkan dengan kilat. Setitikpun ia tak menduga
bahwa Pendekar Laknat dapat bergerak lebih cepat. Jika adu
kekerasan, tentulah kedua-duanya akan sama2 terluka....
Tempo hari ketika dibagian lembah, ia pernah adu pukulan
dengan Siau-liong dan menderita. Ia tak mau menderita untuk
yang kedua kalinya. Cepat ia menarik pulang tangannya dan
loncat menghindar kesamping.
Siau-liong tertawa mengejek, “Ho, kiranya engkau juga
hanya bangsa anjing buduk yang suka menyerang dari
belakang....”
Belum selesai memaki, Iblis Penakluk dunia dan Dewi
Neraka sudah menyerbunya. Siau-liong songsongkan kedua
tangannya dengan pukulan Tay-lo-kim-kong.
Demikian ketiga orang itu bertempur di atas pohon. Suatu
pertempuran yang hanya dilakukan oleh jago2 yang sudah
tinggi ilmu meringankan tubuhnya.

233
Siau-liong diserang dari muka dan belakang oleh kedua
suami isteri durjana itu. Dalam suatu adegan, Siau-liong
berhasil menggunakan siasat. Ketika Iblis Penakluk-dunia
menghantam dari belakang dan Dewi Neraka memukul dari
muka, Siau-liong loncat melambung ke udara. Kedua suami
isteri itu terkejut. Mereka buru-buru berusaha sekuat-kuatnya
untuk menarik pulang pukulannya agar jangan saling
berhantam sendiri.
Pada saat itulah, Siau-liong gunakan pukulan Siu-lo-panchia
menghantam mereka. Pemuda itu benar-benar cerdik
sekali.
Kalau hanya pukulan Siau-liong itu saja, tentu kedua suamiisteri
iblis itu tak sampai menderita bahaya. Tetapi kedua
suami isteri itu sedang menarik pulang pukulannya. Pada saat
itulah Siau-liong menyusuli dengan hantaman. Kedua durjana
itu terdampar ke belakang sampai belasan langkah dan
terhuyung-huyung mau jatuh.
Namun kedua suami isteri itu adalah dua dari Lima Durjana
yang paling ditakuti dunia persilatan. Kepandaian mereka
memang bukan olah2 hebatnya. Pukulan Siau-liong itu tak
sampai membuat mereka kalah.
Pada saat tubuh berayun-ayun mau jatuh, mereka malah
enjot tubuhnya ke udara seraya lepaskan hantaman ke arah
kepala Siau-liong. Suatu gerakan yang tak terduga-duga dan
luar biasa.
Melihat itu Mawar Putih kucurkan keringat dingin. Ia
terkejut dan hampir saja menjerit karena mengira Siau-liong
pasti celaka.
Tetapi ternyata Siau-liong memiliki jurus istimewa dalam
ilmu pukulan Thay-siang-ciang. ilmu pukulan sakti ajaran

234
mendiang Pengemis Tengkorak Song Thay-kun itu mempunyai
sebuah jurus yang disebut Dewa-menderita-berkelana. Justeru
dalam keadaan yang berbahaya, jurus itu dapat
mengembangkan kedahsyatannya.
Tampak pemuda itu bergeliatan seperti orang yang hampir
tenggelam dalam air. Tahu2 ia sudah lancarkan jurus istimewa
Dewa-menderita-berkelana....
Seketika kedua suami isteri durjana itu rasakan darahnya
bergolak keras. Mereka terkejut sekali. Buru-buru mereka
meluncur setombak jauhnya dan hinggap di atas sebatang
dahan. Jelas mereka sudah kehabisan tenaga.
Tetapi kedua suami isteri iblis itu selain licik dan penuh akal
muslihat, juga memiliki ilmu Hitam yang tinggi. Iblis Penakluk
dunia mendahului loncat turun kebumi seraya menantang .
"Hai, Laknat. Bertempur di atas pohon sudah kuakui
kepandaianmu. Hayo, kita bertempur dibawah lagi!"
Saat itu Dewi Neraka pun menyusul turun dan berdiri
disamping suaminya. Sambil menunggu Siau-liong, mereka
cepat menggunakan kesempatan untuk menyalurkan darah,
memulangkan tenaga.
Siau-liong tertawa nyaring, serunya, “Tetamu harus
menurut kemauan tuan rumah. Terserah kalian hendak
memilih acara apa sajalah."
Setelah menyalurkan darah itu, tenaga Iblis Penakluk dunia
kembali segar. Ia tersenyum, “Laknat tua....”
"Bukan, panggillah Pendekar ksatrya!" cepat Siau-liong
menukas.

235
Iblis Penakluk-dunia tertawa gelak2, “Ho, tak kira engkau si
tua bangka ini juga gila nama kosong." setelah berhenti
sejenak ia melanjutkan pula, "Masih ingatkah engkau akan
peraturan lama ketika kita bertempur sampai 50 jurus
dahulu?"
Sudah tentu Siau-liong tak tahu. Namun ia tak mau
diketahui orang. Sambil tertawa hambar ia menyahut, “Aku
belum pikun, masakan lupa!"
“Bagus!" teriak Iblis Penakluk dunia, "sekarang engkau
menurut lagi peraturan lama itu. Terima dulu lima puluh jurus
seranganku, baru nanti kita bicara lagi!"
Sungguh licin sekali iblis tua itu. Dengan peraturan itu, ia
bebas menyerang Siau-liong sampai 50 jurus tanpa memberi
hak pada Siau-liong untuk balas menyerang.
Siau-liong terpancing. Karena malu mengatakan tak tahu
tentang peraturan lama antara Pendekar Laknat dengan Iblis
Penakluk dunia, ia segera tertawa menghina, “Silahkan, aku
siap menanti serangamu!"
Iblis Penakluk-dunia tak mau banyak bicara lagi. Cepat ia
sudah lancarkan jurus Lima gunung-menindih-kepala. Dan
serempak dengan itu Dewi Neraka pun gerakkan tongkatnya,
menyapu pinggang Siau-liong dalam jurus Bumi-merekahgunung-
meletus....
Serangan kedua durjana itu merupakan kombinasi
serangan yang serasi. Dahsyatnya bukan alang kepalang.
Tokoh2 paling sakti dari kalangan partai yang manapun, jika
menghadapi serangan kedua suami isteri durjana itu, tak
boleh tidak tentu akan remuk!

236
Kedua suami isteri durjana itu diam-diam memperhatikan
bahwa kesaktian Pendekar Laknat sekarang ini, jauh melebihi
dari 2o tahun yang lalu. Kuatir kalau kalah, maka Iblis
Penakluk-dunia lalu menggunakan cara licik itu.
Siau-liong terkejut. Ia masih asing dengan jurus serangan
dari kedua iblis itu. Maka ia berlaku hati2 sekali.... Lebih
banyak menjaga diri dari pada menyerang.
Demikian cepat sekali serangan itu sudah berjalan sepuluh
jurus. Tiba-tiba kedua momok itu merobah gaya serangannya.
Mereka menyerang sederas hujan mencurah dan sedahsyat
badai melanda.
Melihat itu Mawar Putih gelisah sekali. seperti semut di atas
papan besi panas. Sampai2 ia tak berani bernapas karena
pikirannya amat tegang sekali. Diam-diam ia memanjatkan
doa semoga Siau-liong berhasil selamat dari ke lima puluh
jurus serangan kedua iblis itu.
Seluruh perhatian dara itu tercurah akan jalannya
pertempuran. Setiap jurus dihitungnya dengan cermat sekali
Setiap jurus, membuat jantungnya mendebur keras. Ketika
sudah sampai hitungan ke 40, diam-diam hatinya merekah
girang.
"Sudah 40 jurus, tinggal 10 jurus lagi, ah, dia berhasil
dengan selamat," pikirnya.
Tetapi, ah.... pada saat ia mulai menghitung jurus yang ke
41 dan menyusul akan tiba jurus yang ke 42, diam-diam ia
mengeluh.
Mulai jurus yang ke 41 itu, gerakan kedua iblis itu tiba-tiba
menjadi lambat. Hanya gerakannya yang tampak lambat tetapi
kedahsyatan dan keganasannya serta perobahannya, benarTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
237
benar belum pernah terjadi jurus ilmu serangan semacam itu,
dalam sejarah dunia persilatan selama 20 tahun yang terakhir
ini.
Pada 20 tahun yang lalu, Pendekar Laknat memang jatuh
dibawah 10 jurus serangan kedua suami isteri iblis itu.
Walaupun karena mendapat rejeki luar biasa, minum darah
biawak tua, makan buah Im-yang-som dan disaluri tenagadalam
oleh Koay suhu atau Pendekar Laknat, Siau-liong
menjadi pemuda gemblengan. Tetapi dalam pengalaman
bertempur menghadapi tokoh2 sakti semacam suami isteri
iblis itu, ia masih kurang. Oleh karenanya, saat itu ia
kelabakan dan terdesak di bawah angin.
Mulai dari jurus yang ke 41 itu, baik gerakan suami isteri
iblis itu menggunakan tenaga berat atau ringan, tetap
membuat Siau-liong groggy atau sempoyongan. Kepalanya
pening, mata berkunang dan darah bergolak-golak. Ia seperti
seorang mabuk yang tak tahu arah penjuru lagi....
Mawar Putih benar-benar bingung sekali. Hatinya seperti
disayat sembilu dan air matanya pun berderai-derai turun....
Namun dara itu tak dapat berbuat suatu apa. Dalam
peraturan dunia persilatan, pada setiap adu kepandaian
walaupun dengan cara yang bagaimana tak adilnya, orang lain
tak boleh ikut campur membantu. Itulah sebabnya ia seperti
seorang gagu yang sakit ketulangan. Tahu sakit tetapi tak
dapat menyatakan dan berbuat apa-apa....
Pada jurus yang ke 45, sekonyong-konyong Siau-liong
memekik kaget. Mawar Putih pun tersentak kaget dan
kucurkan keringat dingin.
Serangan jurus ke 45 itu merupakan serangan maut yang
berbahaya sekali. Siau-liong terkejut sekali dan sampai

238
menjerit kaget. Ia gunakan gerak-langkah Thay-siang bu-kekpoh-
hwat untuk menghindar dari serangan maut itu. Ah.... ia
berhasil lolos dari lubang jarum. Tubuhnya basah kuyup
bersimbah peluh!
Sejak keluar dari pusar bumi dan mendapat ilmu kesaktian
dari Pendekar Tengkorak Song Thay-kun serta Pendekar
Laknat, baru pertama kali itu Siau-liong menghadapi
pertempuran yang membuat semangatnya serasa terbang!
Suami isteri iblis itu tak memberi ampun lagi, Mereka
melancarkan serangan maut lagi.
Jurus ke 46 dapat dihadapi Siau-liong dengan selamat.
Tetapi pada jurus yang ke 47, ia terdesak lagi dan pontang
panting tak keruan....
---ooo0dwooo---
Jilid 05
Pertempuran Dalam Air
KELEDAI-MALAS-BERGULING-GULING, demikian jurus yang
digunakan Siau-liong ketika diburu serangan dari empat
penjuru oleh kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka.
Dengan menjatuhkan diri berguling-guling di tanah
dapatlah Siau-liong menyelamatkan diri dari serangan yang ke
47. Jubahnya menderita robek beberapa tempat.
Waktu suami isteri ganas itu melancarkan serangan pada
jurus ke 48, si dara Mawar Putih tak dapat menahan diri lagi.

239
Ia tak peduli lagi segala peraturan dunia persilatan. Secepat
mencabut pedang, ia terus hendak loncat maju membantu
pemuda itu....
Untunglah Siau-liong ternyata dapat lolos dari serangan
lawan. Pemuda itu hanya menderita napas sesak karena
tekanan angin pukulan suami isteri-iblis.
Jurus ke 49 membuat tubuh Siau-liong basah kuyup mandi
keringat. Ia segera kerahkan tenaga murni untuk
menghantam dinding kepungan musuh.
Dess.... terdengar desus benturan angin yang amat keras
ketika ia lancarkan pukulan Thay-siang-ciang. Ia gunakan sisa
tenaganya dalam pukulan itu. Dahsyatnya bukan alangkepalang
sehingga debu dan pasir bertebaran keempat
penjuru.
Tetapi sayang. Karena tenaga dalamnya sudah habis
digunakan untuk menghadapi 48 jurus serangan maut dari
suami isteri iblis, maka sekalipun pukulannya itu masih
mengunjuk perbawa, tetapi tak berisi. Iblis Penakluk-dunia
dan Dewi Neraka hanya tersurut mundur dua langkah. Tetapi
Siau-liong masih terkurung dalam lingkaran tenaga dalam
yang dipancarkan kedua suami isteri iblis itu.
Pada jurus ke 50 atau jurus yang terakhir, Iblis Penaklukdunia
dan Dewi Neraka telah gunakan seluruh tenaga sakti
untuk melancarkan pukulan maut Thay-im-ki-bun-kang. Dua
macam tenaga sakti digabungkan menjadi satu dalam gerak
serangan yang serempak.
Siau-liong sudah kehabisan tenaga untuk menolak
serangan itu. Ia rasakan dirinya seperti ditimpah gunung
Himalaya yang rubuh! Tak boleh tidak, dia tentu hancur
lebur....

240
Tetapi berkat bahan2 tulang Siau-liong yang bagus apalagi
telah makan buah Im-yang-som dan menghisap darah
binatang dalam pusar bumi, makin terjepit dalam bahaya
makin ia dapat memancarkan tenaga sakti. Semangat ingin
hidup, tambah memperhebat daya kekuatan tenaganya.
Dalam jepitan dua macam aliran tenaga sakti dari suami
isteri iblis itu, sekonyong-konyong anak muda itu mencelat ke
udara sampai dua tiga tombak tingginya. Sambil bergeliatan ia
melayang hinggap di atas sebatang pohon, lalu duduk
memejamkan mata untuk memulangkan napas.
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka benar-benar terlongong2
melihatnya....
Serangan 50 jurus tadi, bagi kedua suami isteri itu
merupakan ilmu simpanan yang paling diandalkan. Dan yang
mengherankan, Pendekar Laknat menghadapinya dengan
jurus2 permainan ilmu silat yang baru. Seharusnya, apabila
Pendekar Laknat tetap mengunakan jurus seperti dalam
pertempuran dahulu tak mungkin dia sampai begitu pontang
panting keadaannya.
Sudah tentu kedua suami isteri itu tak tahu bahwa
Pendekar Laknat yang dihadapi saat itu bukanlah Pendekar
Laknat pada 20 tahun berselang, melainkan hanya seorang
anak muda yang baru berumur belasan tahun.
Sudah tentu Siau-liong tak tahu cara menghadapi ke 50
serangan suami isteri itu. Oleh karena masih kurang
pengalaman bertempur, apalagi dikeroyok dua musuh yang
sakti, ia menjadi kelabakan setengah mati. Darahnya
bergolak-golak keras. Walaupun ia dapat menyelamatkan diri
dari 50 serangan itu, tetapi ia memerlukan beristirahat untuk
menenangkan darahnya.

241
Tetapi Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka itu
menganggap Pendekar Laknat sebagai musuh bebuyutan yang
menjadi duri mata mereka. Cepat mereka loncat ke atas
menyerang Siau-liong lagi.
Siau-liong pun sudah menjaga kemungkinan itu. Begitu
serangan tinju dan tongkat tiba, mendadak ia menghilang.
Tahu2 ia sudah berdiri dimuka Mawar Putih.
Kedua suami isteri itu makin panas. Mereka malayang turun
dan sambil menggerung terus menghampiri Siau-liong.
Siau-liong siap sedia. Tiba-tiba Mawar Putih menyelinap
kemuka pemuda itu. Ia kira Siau-liong tentu menderita luka.
Tanpa menghiraukan suatu apa, dara itu terus melindunginya.
Siau-liong terkejut. Ia tahu Mawar Putih tak mungkin
mampu menerima serangan kedua momok itu. Kepandaian
dara itu masih belum memadai.
Pada saat itu Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka sudah
mulai lancarkan pukulan dengan sepenuh tenaga.
Celaka....! Siau-liong gugup. Untuk maju melindungi
dimuka dara itu, jelas sudah tak keburu lagi. Satu-satunya
jalan, ia menarik pinggang dara itu terus diseret lari!
Kedua iblis itu meraung-ruang dan mengejarnya. Saat itu
hari sudah terang tanah. Keadaan dalam lembah makin jelas.
Tiba-tiba Siau-liong tak jauh disebelah muka terdapat sebuah
kolam besar seluas seratusan tombak bahu. Hingga
menyerupai sebuah telaga besar.
Pikir Siau-liong, kedua momok itu tinggal di daerah
pegunungan, mereka tentu kurang mahir berenang dalam air.

242
Maka cepat2 pemuda itu menyempal dua batang dahan
pohon. Setelah dilempar ke dalam telaga, mereka apungkan
diri hinggap di atas dahan itu, meluncur ketengah telaga.
Begitu tiba, kedua iblis itupun mencontoh tindakan Siauliong,
menggunakan dahan pohon untuk meluncur
dipermukaan air.
Siau-liong tenang saja. Sambil bergandengan tangan
dengan Mawar Putih mereka meluncur dengan bebas,
berlenggang lenggok ke kanan kiri.
Memang perhitungannya tepat. Ilmu air kedua momok tak
selihay di atas daratan. Setelah beberapa putaran mengejar,
mereka berteriak-teriak seperti kalap yang kehabisan napas.
Akhirnya kedua iblis itu mencari akal. Tak mau mereka
bersama mengejar melainkan memencar diri.
Iblis Penakluk dunia tetap mengejar diair sedang Dewi
Neraka naik ke darat dan berlarian mengelilingi telaga. Begitu
kedua anak muda itu lari ke arah mana saja, cepat Dewi
Neraka loncat ke dalam telaga untuk menghadang.
Dengan cara itu dapat kedua iblis itu menarik keuntungan
dari cara pengejaran itu.
Keadaan Siau-liong makin lama makin berbahaya. Kedua
iblis itu makin lama makin dapat mempersempit lingkaran
gerak Siau-liong berdua. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba
Siau-liong rasakan suatu sambaran angin melanda
belakangnya. Ternyata kedua suami isteri yang ganas itu tak
sabar lagi. Dari jarak jauh mereka sudah lantas mengirim
pukulan.

243
Pada saat keadan makin bahaya dimana kedua suami isteri
itu makin mendekat, cepat Siau-liong membuka jubah luarnya
sehingga dalam pakaian dalam yang ringkas, tubuhnya
tampak tegap kekar.
Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka terbeliak heran
melihat tingkah laku Pendekar Laknat itu. Apa perlunya dia
membuka jubah?
Kuatir kalau musuh akan melarikan diri, kedua suami isteri
iblis itu segera pesatkan serangannya. Setiap kesempatan
pukulannya dapat mencapai, mereka segera lontarkan
hantaman!
Sambil mengandeng Mawar Putih, Siau-liong tamparkan
jubahnya untuk menangkis. Jubah itu mempunyai dwi-fungsi
atau dua macam daya kegunaan. Pertama, untuk menangkis.
Dan kedua, dengan meminjam tenaga tamparan itu, Siau-liong
dapat bergerak dengan pesat.
Kembali kedua suami isteri iblis itu terbeliak. Sesaat mereka
kehilangan faham. Cara memutar jubah untuk meminjam
tenaga mempercepat gerakan tubuh, sungguh suatu cara
yang cerdik sekali. Kedua iblis itu bingung. Mereka tak berani
mendesak maju tetapi pun tak mau melepaskan kurungannya.
Karena sekali lepas, sukarlah untuk memperoleh
kesempatan sebagus itu lagi.
Mengapa kedua iblis itu juga tak mau meniru perbuatan
Siau-liong saja? Ah, kiranya memang berlainan tujuan kedua
fihak itu. Siau-liong hanya ingin menghindarkan diri dengan
ber-putar2 dipermukaan telaga. Sedangkan Kedua iblis itu
bertujuan untuk membunuh. Jika mereka menggunakan cara
seperti Siau-liong, tentu tenaga pukulan mereka akan
berkurang.

244
Kejar mengejar itu berlangsung cukup lama. Tiba-tiba
diluar kesadaran, Siau-liong berdua telah menempatkan diri
dalam lingkaran kemampuan pukulan lawan mengenainya.
Seketika kedua iblis itu meluncur sambil tertawa lepas. Pada
lain saat mereka menghantam dengan tiba-tiba.
Dipermukaan telaga seketika melambung dua gunduk
gelombang dahsyat yang muncrat ke atas dengan amat
tingginya Kemudian jatuh berhamburan menimpah Siau liong
dan Mawar Putih.
Sesosok jubah hitam terdampar ke atas dan pada lain saat
Siau-liong dan Mawar Putih lenyap.
"Kurang ajar, dia menghilang ke dalam telaga!" gerutu Iblis
Penakluk-dunia, Ia bersama isterinya menyurut mundur.
Tetapi disekeliling penjuru tak tampak bayangan Siau-liong
dan Mawar Putih.
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka hampir tak percaya
apa yang dilihatnya. Mereka heran mengapa Pendekar Laknat
dan Dewi Ular Ki Ih secepat itu dapat meloloskan diri. Mereka
tentu menyelam ke dalam air atau bersembunyi dibalik batu.
Cepat mereka menyelam ke dalam air dan memeriksa
gundukan batu di dasar telaga. Walau pun mereka mempunyai
indera penglihatan yang tajam sekali tetapi karena berada di
dalam air, mereka tak dapat melihat dengan jelas.
Tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia melihat di balik sebuah batu
besar, dua sosok tubuh mendekam. Cepat ia menyerbunya.
Pyah, pyah. pyah.... terdengar air beriak keras dan
gelombang muncrat ke atas. Siau-liong dan Mawar Putih
unggul dalam air. Mereka cepat menyongsong iblis itu dengan

245
pukulan. Iblis Penakluk dunia terpaksa berhenti dan
menangkis dengan kedua tangannya.
Tetapi iblis itu kalah unggul dalam air. Gelombang air yang
selaju kuda lari mendamparnya sehingga ia terpaksa gunakan
ilmu Cian-kin-tui atau Kaki-seribu-kati dan meramkan mata
untuk bertahan diri.
Pada saat ia membuka mata, Pendekar Laknat dan Ki Ih
sudah lenyap lagi. Tetapi ia mendengar air disebelah muka
beriak keras. Tentulah Pendekar Laknat dan Ki Ih sedang
dikejar Dewi Neraka. Cepat iapun meluncur kemuka. Baru tiga
empat tombak berenang, tampak isterinya sedang bertempur
dengan Pendekar Laknat dan Ki Ih. Secepat kilat ia segera
menyambar pergelangan tangan Pendekar Laknat.
Pertempuran itu telah menyebabkan air beriak seperti
diaduk-aduk sehingga sukar untuk melukai lawan. Satusatunya
jalan ialah mencengkeram tangan Pendekar Laknat.
Tetapi Siau-liong diam saja. Baru ketika tangan iblis itu
hampir menyentuh pergelangan tangannya, ia segera
menjejak lawan. Tetapi Iblis Penakluk-dunia itu juga sakti.
Cepat ia mengendap ke bawah dan gunakan jarinya untuk
menutuk telapak kaki Siau-liong.
Untuk menghindari ancaman itu, Siau-liong melambung ke
atas, berjumpalitan dan menghantam dengan kedua
tangannya. Setelah dapat mengundurkan kedua lawan. cepat
ia menarik Mawar Putih dan laksana anak panah, mereka
meluncur kemuka.
Kedua suami isteri itu bergegas mengejar. Tetapi baru lima
enam tombak, mereka sudah kehilangan jejak Siau-liong dan
Mawar Putih. Terpaksa kedua iblis itu meluncur ke atas

246
permukaan air lagi. Mereka memutuskan menggunakan siasat
"menjaga kelinci keluar dari gerumbul'.
Memang benar perhitungan mereka itu. Betapapun
pandainya berenang, namun Siau-liong dan Mawar Putih tentu
tak mungkin terus menerus menyelam dalam air.
Dengan perhitungan itu, Iblis Penakluk dunia menunggu
dalam air, Dewi Neraka didaratan.
Cara itu membuat Siau-liong dan Mawar Putih mati kutu.
Keduanya berusaha diam-diam mendekati tepi pantai.
Pikirnya, sewaktu kedua iblis lengah, mereka terus hendak
loncat ke daratan dan meloloskan diri.
Tetapi pada saat menyembul ke permukaan air Iblis
Penakluk-dunia cepat melihatnya. Buru-buru kedua pemuda
itu menyelam lagi ke dalam air.
Marah karena dipermainkan Siau-liong dan Mawar Putih,
kedua suami isteri iblis itu segera terjun mengejar ke dasar
telaga.
Siau-liong terkejut ketika melihat kedua iblis itu
menggunakan siasat Barisan-dua-muka untuk mencegat.
Karena sukar untuk menembus, Siau-liong menarik Mawar
Putih kesisinya dan siap menghadapi musuh.
Mawar Putih heran mengapa Siau-liong diam saja. Ia salah
duga kalau pemuda itu hendak menyerah.
Pada saat itu, Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka makin
mendekat. Sekonyong-konyong Siau-liong lancarkan tenagasakti
Bu-kek-sin-kang. Hawa panas yang memancar dari
tenaga-sakti itu mampu memanaskan air dan menimbulkan
gelombang besar.

247
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka terkejut. Buru-buru
mereka berhenti dan melancarkan menyalurkan tenaga dalam.
Tenaga dalam Thay-im-ki-bun-kang dari Iblis Penaklukdunia
dan tenaga dalam Thay-im-bu wi-kang dari Dewi Neraka
serentak memancar ber-sama2. Air telaga yang panas itu
segera dingin lagi.
Dengan begitu kedua belah fihak sama2 tak menarik
keuntungan apa2. Tetapi bagi Siau-liong hal itu tidak
menguntungkan. Ia harus lekas-lekas mencari kesempatan
lolos.
Tak berapa lama, kedua iblis itu tak tahan lagi berendam
dalam dasar air. Iblis Penakluk-dunia segera melambung ke
permukaan air. Dengan begitu serangannya pun buyar.
Menggunakan kesempatan itu, Siau-liong cepat menarik
Mawar Putih diajak meluncur kelain tempat. Dalam sekejab
saja keduanya sudah mencapai 7-8 tombak jauhnya.
Merekapun memerlukan bernapas....
Tetapi begitu keduanya muncul di permukan telaga, suami
isteri iblis yang sudah lebih dahulu berada di permukaan air
cepat mengejarnya.
Siau-liong lepaskan Mawar Putih dan siap melontarkan
pukulan Bu-kek-sin-kang. Sekalipun tak mati tetapi sekurangkurangnya
kedua iblis itu pasti akan menderita.
Dengan menggembor keras, tiba-tiba Siau-liong
melambung ke udara dan lepaskan pukulan Dewa menderitadalam-
berkelana.

248
Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka menyurut mundur
satu tombak lalu loncat ke atas potongan dahan kayu dan
maju menyerang lagi dengan tongkat dan pukulan. Mereka
mencegah agar Siau-liong jangan sampai mendekati Mawar
Putih lagi.
Memang Mawar Putih tak menang melawan Dewi Neraka.
Tetapi berkat ilmunya berenang yang tinggi, ia dapat
melampaui kedua iblis itu. Bahkan menang dibanding dengan
Siau-liong.
Begitu melihat Dewi Neraka maju menerjang, mendadak
dara itu lenyap.
Pada saat Siau-liong meluncur turun ke air lagi, ia terkejut
karena tak melihat Mawar Putih. Tetapi ia tak sempat
mencarinya lagi karena saat itu Iblis Penakluk-dunia sudah
menyerangnya.
Dalam kemurkaannya, Siau-liong balas menghantam lawan.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba Siau-liong mendengar
bunyi senjata beradu. Ia duga Mawar Putih tentu benempur di
atas daratan dengan Dewi Neraka. Ia cemas. Sekalipun takkan
kalah tetapi Mawar Putih tentu tak kuat bertempur lama.
Dengan gugup, Siau-liong bersuit nyaring lagi loncat ke udara
lagi.
Kuatir lawan akan melontarkan pukulan sakti lagi, buruburu
Iblis Penakluk-dunia menyelam ke dalam air.
Kesempatan itu digunakan Siau-liong untuk melayang dua tiga
tombak jauhnya. Selekas tiba di air, ia cepat berenang ke
daratan.
Tetapi belum Siau-liong mencapai daratan, Mawar Putih
sudah meluncur ke dalam air lagi dengan potongan dahan

249
kayu. Ternyata dara itu juga menguatirkan keselamatan Siauliong.
Setelah berhasil melepaskan diri dari serangan Dewi
Neraka, cepat ia loncat ke dalam telaga lagi.
Siau-liong meneriakinya dan dara itupun segera lemparkan
dua batang dahan kayu. Siau-liong loncat ke atas dahan kayu
lalu meluncur bersama dara itu.
Suami isteri iblis mengkal sekali. Mereka gunakan siasat
untuk menyerang dari muka dan belakang. Siau-liong terpaksa
menghadapi mereka. Dalam beberapa kejab saja, mereka
sudah bertempur sampai berpuluh-puluh jurus. Tetapi tetap
belum ada yang menang atau kalah.
Rupanya Siau-liong tak sabar lagi. Tiba-tiba ia memekik
keras, “Berhenti "
Kedua suami isteri iblis itu tertegun dan hentikan
serangannya.
Siau-liong tertawa keras. Pada saat Iblis Penakluk-dunia
dan Dewi Neraka tertegun, Siau-liong cepat menarik tangan
Mawar Putih meluncur kedaratan. Dalam beberapa loncatan
saja, keduanya sudah mencapai 20-an tombak jauhnya.
Dewi Neraka bersuit nyaring. Sambil bolang-balingkan
tongkat, ia hendak mengejar. Tetapi dicegah suaminya,
“Sudahlah. biarkan mereka lolos!"
"Tolol! Apa engkau gila? Terang mereka sudah hampir
kalah mengapa engkau lepaskan lagi?"
Iblis Penakluk dunia tertawa.
"Isteriku, apakah engkau melihat arah mereka lari?"
tanyanya.

250
Sepasang mata wanita iblis itu mengeliar, serunya, “Apa
hubungannya dengan orang itu?"
Sambil mengurut jenggotnya yang hampir mencapai lutut.
iblis pendek itu berkata dengan gembira, “Mereka menuju ke
arah selat Tujuh maut yang menembus keujung buntu.
Sebelumnya sudah kusuruh murid2 dan puteri kita supaya
bersiap disana. Sekalipun dewa turun kesitu, tak mungkin
mampu lolos dari bencana kebinasaan!"
Dewi Neraka menghunjamkan tongkat dan tertawa
mengekeh, “Heh, heh, aku memang seorang nenek linglung.
Tetapi si tua Laknat itu masih membawa separoh Giok-pwe,
jika....”
"Jangan kuatir, isteriku," Iblis Penakluk-dunia menukas,
"dalam waktu tiga jam kemudian kutanggung benda itu tentu
akan jatuh ditangan kita dalam keadaan utuh!"
Kedua suami isteri itu saling berpandang. Serempak mereka
tertawa keras.
Kemudian berkatalah Dewi Neraka dengan berseri gembira,
“Asal benda itu jatuh ketangan kita, dunia persilatan pasti kita
kuasai!"
Kembali kedua suami isteri iblis itu tertawa nyaring.
"Tetapi sebelum benda itu jatuh ketangan kita, aku kuatir
kedua manusia itu akan muncul menghalangi urusan ini!" tibatiba
Iblis Penakluk-dunia berseru.
“Apakah engkau maksudkan si Naga-laknat dan
Harimau....”

251
"Si Naga dan si Harimau kedua iblis itu hanya
mengandalkan keberanian. Tak perlu kita cemaskan!" cepat
Iblis Penakluk dunia menukas.
Dewi Neraka deliki mata dan membentak suaminya,
“Jangan jual lagak! Lekas katakan siapakah manusia itu!"
Dengan wajah bersungguh, Iblis Penakluk dunia berkata,
“Yang kukuatirkan bukan lain adalah si Tabib sakti jenggot
naga Kongsun Sin Tho dari gunung Hongsan dan puncak Sinli-
hong gunung Busan....”
”Tolol!" Dewi Neraka menukas tertawa, "mengapa makin
tua engkau makin bernyali kecil? Engkau takut kepada tabib
yang jual resep jamu dan janda yang tak berani ketemu orang
itu? Ha, ha....”
Iblis Penakluk-dunia menyingkirkan hidungnya yang
melengkung seperti kait, ujarnya, “Benar, si tabib tua Kongsun
Sin Tho memang hanya termasyhur dalam ilmu pengobatan
dan selama itu orang tak pernah melihat kepandaian silatnya.
Orang menganggapnya dia tak mempunyai ilmu kepandaian
silat yang berarti. Tetapi sesungguhnya hanya aku seorang
yang tahu. Dua puluh tahun yang lalu ketika di gunung Tongpik-
san, aku pernah menderita kekalahan dari orang itu.
Kepandaian tabib itu....” — ia berhenti menghela napas.
"Jauh di atas kita berdua." katanya kemudian, "dan tentang
janda yang tinggal di puncak Sin-li-hong itu, bahkan lebih
sukar lagi dihadapi."
Wajah Dewi Neraka berobah seketika, katanya, “Kalau
begitu, kita terpaksa harus melepaskan si tua Jong Ling untuk
menghadapi mereka!"

252
Iblis Penakluk-dunia merenung. Beberapa jenak kemudian
ia berkata, “Melepas si Jong Ling memang menguntungkan
tetapi juga akan berbahaya.... ah, tetapi mungkin akulah yang
berbanyak kecemasan. Selama ini kedua orang itu tak pernah
mencampuri urusan orang lain. Kemungkinan dalam urusan
kita ini, mereka pun takkan menyimpang dari adat
kebiasaannya itu."
Dewi Neraka deliki mata, “Tolol....” tiba-tiba ia tertawa
mengekeh, Nadanya macam burung hantu mengukuk
ditengah malam.
Iblis Penakluk dunia memandang isterinya, lalu ikut tertawa
nyaring: Isteriku paling lama hanya sehari semalam, kita bakal
memperoleh pusaka yang dibuat incaran oleh be-ribu2
manusia dari dahulu sampai sekarang. Pada saat itu, ho, pada
saat itu tak ada manusia di dunia yang mampu melawan aku
dan engkau!"
Pada saat kedua suami isteri iblis itu sedang ber-cakap2,
Soh-beng Ki-su dan nona pemilik lembah bersama anak
buahnya muncul. Dengan sikap manja, nona itu jatuhkan diri
kedada Dewi Neraka, tanyanya, “Ma, apakah engkau bersama
ayah sudah menenggelamkan mereka ke dalam air?"
Sambil mem-belai2 rambut puterinya, wanita iblis itu
berkata, “Anak tolol....” kemudian ia tertawa mengekeh....
Tangan kanan mencekal tongkat, tangan kiri memegang bahu
si nona, ia berjalan terhenyak-henyak menuju ke dalam
lembah.
Setelah memandang ke arah Siau-liong dan Mawar Putih
lari tadi. Iblis Penakluk dunia segera memanggil muridnya,
Soh-beng Ki-su.

253
"Cepat putuskan semua jalan yang menghubungi selat
Tujuh-maut. Lalu suruh anak buah dalam lembah berkumpul
untuk menunggu perintah!"
Soh-beng Ki-su mengiakan dan terus pergi.
Iblis Penakluk dunia masih tertegun di tempat itu,
Wajahnya sebentar gelisah sebentar berobah girang. Setelah
Soh-beng Ki-su lenyap, barulah bergegas menyusul isterinya.
Dilain pihak, setelah lari satu li jauhnya dan tak melihat
kedua iblis itu mengejar barulah Siau-liong dan Mawar Putih
berhenti.
Napas Mawar Putih ter-engah2. Ia duduk disebuah batu
besar dan menghela napas panjang-pendek. Siau-liong
sejenak memandang kesekeliling penjuru. Diam-diam ia
kerutkan dahi.
Empat penjuru merupakan karang tinggi yang landai,
penuh ditumbuhi pakis (lumut) sehingga tak mungkin
dipanjat. Disebelah muka tampak jalan kecil yang menyerupai
pematang sawah, berkelak-keluk melingkar-lingkar. Dan
memandang ke atas hanya langit biru. Tampaknya sepanjang
hari lembah itu tak terkena sinar matahari, pula tak pernah
didatangi orang....
Ujung mulut selat lembah itu, menembus ke telaga. Hanya
itu, tak ada lain-lain jalanan lagi.
Diam-diam Siau liong menimang dalam hati, “Tampaknya
selat ini masih dalam lingkungan Lembah Semi. Anak murid
kedua suami isteri iblis itu kemungkinan tentu bersembunyi
disekitar situ. Ah, aku harus hati2. Kecuali alat-alat rahasia
yang hebat, pun kedua suami isteri itu amat ganas dan
banyak tipu muslihat....”

254
Ilmu kepandaian Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka
yang tergolong pada aliran Hitam itu telah mencapai
peyakinan yang tinggi. Mau tak mau Siau liong harus
mengakui bahwa baru pertama kali itu ia bertemu dengan
musuh yang tangguh. Apalagi kedua suami isteri itu
menyerang dengan serempak untuk saling mengisi. Apabila
bertempur lama, tentu bahaya.
Diam-diam hati Siau-liong tergetar. Masuknya ke dalam
lembah Semi, walaupun bertujuan hendak melenyapkan Iblis
Penakluk dunia dan Dewi Neraka, tetapi yang penting ialah
membunuh Toh Hun-ki dan keempat Su-lo. Dengan begitu
dapatlah ia meminta Mawar Putih untuk membawanya
menemui ibunya diluar lautan.
Tetapi ternyata Toh Hun-ki dan rombongannya tak
kelihatan. Yang ada adalah kedua suami isteri ganas. Diamdiam
Siau-liong menghela napas.
“Bagaimana sekarang kita ini?" Mawar Putih bangkit dari
duduk dan menghampiri Siau-liong.
Siau-liong merenung. Katanya sesaat kemudian, “Turut
pendapatku, Toh Hun-ki dan keempat Sulo itu tentu sudah
ikut rombongan It Hang to-tiang untuk menggempur Lembah
Semi. Ah, bagaimana nasib mereka, sukar diramalkan....”
Kemudian ia berpaling memandang ke arah telaga, katanya
lebih lanjut, “Lebih dulu kita harus mencari tempat beristirahat
yang tersembunyi. Biarlah aku kembali menyelidiki lembah.
Apabila Toh Hun-ki dan rombongannya sudah blnasa ditangan
kedua suami isteri iblis itu, tetap akan kupotong batang
kepalanya dan kubawa kemari! "
Mawar Putih merenung sampai beberapa saat.

255
"Siau.... liong," dara itu berseru pelahan.
Siau-liong terkejut, “Ada sesuatu?"
Mawar Putih tersenyum, “Bukalah kedokmu itu, ah,
memuakkan.... sekali!"
Tiba-tiba Siau-liong mendapat pikiran. Jika ia dan Mawar
Putih berganti rupa dan tidak lagi sebagai Pendekar Laknat -
Ki Ih, kedua suami isteri iblis itu tentu akan bingung.
Segera ia menarik tangan dara itu ke balik gerumbul pohon
alang-alang. Alang2 itu setinggi orang, menjaluri disepanjang
jalan yang berkelak-kelok sampai beberapa tombak jauhnya.
Suatu tempat persembunyian yang bagus.
Setelah sejenak memandang kesekeliling dan yakin tiada
orang, barulah kedua anak muda itu melepas kedok dan
pakaian penyamaran mereka. Setelah itu mereka berjalan
menyusur ujung jalan kecil itu. Kira2 sepeminum teh lamanya,
barulah mereka keluar.
Kini mereka tiba disebuah selat yang dikelilingi karang dan
batu raksasa. Setelah mengamati sekeliling, barulah Siau-liong
mengajak Mawar Putih berjalan menurut jalan pematang
ditengah selat itu.
Karang dikedua samping jalan amat berbahaya sekali.
Menjulang tinggi dengan lempang dan penuh pakis. Tak
mungkin dapat dikaki orang.
"Makin berjalan makin tak tampak jalanan. Hendak
kemanakah engkau ini?" akhirnya karena tak tahan, Mawar
Putih bertanya.

256
“Harap bicara pelahan2 saja. Lembah karang ini dapat
memantul gema suara sejauh dua li," kata Siau-liong.
Sesungguhnya ia sedang mencurahkan seluruh
perhatiannya untuk mengamati keadaan disekeliling dan jalan
kecil yang dilewati itu. Maka ia tak jelas yang dikatakan Mawar
Putih.
Mawar Putih mendengus dan terpaksa diam.
Karena kuatir selat itu mengandung alat rahasia lagi,
terpaksa Siau-liong berjalan dengan pelahan-lahan. Maka
hampir sepenanak nasi lamanya, mereka baru mencapai satu
li jauhnya.
Jalanan selat lembah itu lurus menuju kemuka. Tampak
pada ujung jalan disebelah muka, menjulang sebuah puncak
gunung. Sebenarnya apabila sudah tiba di ujung jalan, akan
terdapat sebuah jalan tembusan lagi. Tetapi karena tak tahu,
Siau-liong berhenti di tengah jalan.
Tengah ia menimang-nimang baik melanjutkan perjalanan
lagi atau tidak, tiba-tiba Mawar Putih menjerit kaget. Cepat ia
berpaling. Ah, ternyata dara itu tengah ayunkan pedangnya
menabas seekor ular besar sepanjang 6-7 meter.
Betapapun Mawar Putih itu seorang anak perempuan yang
mempunyai sifat pembawaan bernyali kecil. Sekalipun sudah
menabas kutung ular, tetapi wajahnya masih tampak
ketakutan.
Ular itu tubuhnya berwarna hijau tetapi ekornya merah.
Kepalanya mempunyai sebuah tengger warna hitam.
Tubuhnya yang terkutung itu masih bergeliatan tak hentihentinya.
Jelas binatang itu tentu seekor ular yang amat
berbisa.

257
Siau liong tak menghiraukan. Ia anggap ular itu binatang
yang biasa terdapat dipegunungan.
Segera ia menarik tangan si dara lagi untuk diajak berjalan
menuju keujung jalan.
Tiba disitu, disebelah kiri terbentur sebuah selat gunung
yang agak lebar. Merupakan sebuah tanah Iapang seluas
beberapa bahu, dikelilingi oleh deretan puncak gunung yang
berjajar rapi. Pohon2 layu, mengesankan pemandangan
musim rontok yang sayu. Jauh sekali bedanya dengan alam
kesegaran dalam Lembah Semi.
Siau-liong berjalan dimuka. Ia berjalan dengan hati2. Tibatiba
Mawar Putih yang berada dibelakangnya menjerit kaget
lagi. Jeritan itu menimbulkan gema suara yang berkumandang
sampai beberapa li jauhnya.
Ketika berpaling. Siau-liong melihat berpuluh ekor ular
besar tengah merayap mendatangi. Mawar Putih siapkan
tenjata rahasia Hwe-hun-tun terus ditaburkan ke arah
kawanan ular itu. Binatang itu bergeliatan susul menyusul
mati.
Kini barulah Siau-liong menyadari bahwa kawanan ular itu
bukanlah suatu hal yang kebetunan melainkan tentu suatu
perangkap musuh yang sengaja dipersiapkan.
Ia memandang lebih jauh. Dilihat pada celah2 batu dalam
gerumbul rumput, penuh dengan benda2 yang bergelitan.
Selain ular berbisa, pun terdapat juga binatang kadal,
kelabang dan lain-lain serangga berbisa.
Siau-liong cepat suruh Mawar Putih berjalan dimuka dan ia
melindungi dibelakangnya. Ia menimang. Jika menggunakan

258
tenaga sakti Bu-kek-sin-kang atau Thay-siang-ciang, tentulah
dirinya akan ketahuan.
Akhirnya terpaksa ia gunakan akal. Memukul dengan diamdiam
menyaluri tenaga sakti Bu-kek-sin-kang secara perlahan.
Walaupun cara memukul itu terpaksa hanya menggunakan
tiga bagian tenaga sehingga tak dapat menghancurkan
binatang2 itu seluruhnya. Tetapi hawa panas yang memancar
dari tenaga sakti Bu-kek-sin-kang itu memaksa kawanan
binatang itu tak berani maju lagi.
Begitulah dengan jalan bersama si dara, Siau-liong tetap
siap siaga menjaga kawanan binatang beracun. Kemudian ia
meminta si dara supaya menyimpan pedang dan senjata
rahasia Hwe-hun-tui.
Mawar Putih salah paham dan deliki mata: ”Mengapa?
Apakah karena kepandaianku tak menyamai engkau?"
Siau-liong tertawa hambar, “Saat ini dirimu bukan sebagai
Ki Ih, jangan sampai menimbulkan kecurigaan orang."
"Uh, aku memang tolol!" si dara tertawa lalu melakukan
perintah Siau-liong.
Tiba di tanah lapang, tampak empat penjuru dikelilingi batu
karang yang tinggi sekali sehingga tempat itu menyerupai
dasar sebuah sumur.
Tempat itu seluas 10 an bahu. Ditengah terdapat
segerumbul rimba yang ditumbuhi betasan pohon cemara.
Benar-benar merupakan sebuah tempat bersembunyi yang
bagus sekali.
Siau-liong mengajak Mawar Putih cepat2 menuju ke rimba
cemara itu. Mereka terkejut ketika menemukan dua orang

259
lelaki dalam rimba itu. Seorang lelaki berumur 50-an tahun,
memelihara rambut panjang sampai ke bahu. Mengenakan
pakaian pertapaan, bukan sebagai imam pun bukan sebagai
orang biasa. Dia duduk bersila sambil memegang sebatang
kebut pertapaan. Mulutnya kemak-kemit seperti tengah
menghapal.
Sedang yang seorang lagi, seorang tua bertubuh kurus
tinggi. Mata ber-kilat2 tajam. Begitu melihat Siau-liong dan
Mawar Putih muncul dia terkejut lalu tebarkan kipas Kim-kutsan
atau kipas berkerangka emas. Selagi Siau-liong belum
berdiri tegak, cepat orang tua itu menyerang dadanya dengan
jurus Mengusir-angin-memburu-awan.
Siau-liong ingat2 lupa orangtua itu. Dia seperti pernah
bertemu tetapi entah dimana. Ia marah karena orang tua itu
amat kasar. Cepat ia kerahkan tenaga-sakti Bu-kek-sin-kang
kelengannya. Begitu kipas Kim-kut-san melayang, ia segera
menyongsongnya.
Rupanya orangtua itu menyadari bahaya. Secepat kedua
tenaga beradu, ia terus menyurut mundur.
Siau-Kong tak mau memburu melainkan membentaknya,
“Apakah kalian berdua ini kaki tangan suami isteri iblis itu?"
Lelaki yang duduk bersila di tanah itu sejenak berpaling
samping memandang ke arah Siau-liong dan Mawar Putih, lalu
melanjutkan menghapal lagi.
Sedangkan orang tua yang mencekal kipas Kim-kut-san tadi
mengeliarkan matanya beberapa jenak lalu bertanya kepada
Siau-liong, “Apakah saudara bukan cousu dari partay Kaypang?"

260
Siau-liong mengamati kedua orang tua itu lagi dan
teringatlah ia bahwa mereka itu tokoh2 yang ikut hadir dalam
pertemuan di puncak Ngo-siong-ngai dipimpin It Hang totiang.
"Saudara dengan Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka....”
Belum orang tua itu selesai bertanya Siau-liong tertawa
menukas, “Aku dan paman berdua, satu kubu ialah tak mau
hidup dalam dunia persilatan bersama kedua suami isteri iblis
itu....”
Serentak Siau-liong teringat akan sikap It Hang, Ti Gong
taysu, Lam Leng lojin dan lain-lain orang terhadap dirinya
tempo hari. Seketika meluaplah kemarahannya, “Tetapi karena
It Hang totiang dan lain-lain orang mencurigai diriku maka
terpaksa aku bersama nona ini masuk sendiri ke dalam
Lembah Semi....”
Orangtua yang memegang kipas buru-buru menjurah
memberi hormat, “Lebih dulu kuwakili It Hang totiang dan
beberapa saudara, menghaturkan maaf kepadamu. Sukalah
saudara berlapang dada....” - sejenak berhenti, ia berkata
pula, "Aku Cu Kong-leng yang oleh dunia persilatan digelari
sebagai Im-yang-san (si Kipas tenaga Positip dan Negatip),
berkat kepercayaan dari para sahabat himpunan Tong-thingpang,
telah diangkat sebagai ketua dari perhimpunan itu....”
Kemudian ia menunjuk kepada lelaki yang duduk
bersemedhi di tanah, berkata lagi, “Dan saudara itu adalah
Tan Ih-hong, ketua perkumpulan Ji-tok-kau.... dia tengah
mengobati lukanya dari gigitan binatang beracun!"
Lelaki yang duduk bersila itu atau Tan Ih-hong tetap
berkomat-kamit mulutnya. Ia tak menghiraukan orang.

261
Siau-liongpun tak mempedulikannya. Ia bertanya lagi
kepada Cu Kong-leng, “Apakah saudara ikut dalam rombongan
It Hang totiang menyerbu ke Lembah Semi? Apakah saudara
tahu dimana Toh-Hun-ki dan keempat Su-lo dari Kong-tongpay
itu?"
Ketua Tong-thing-pang itu menghela napas panjang,
ujarnya, “Kemarin setelah saudara dan Dewi Ular Ki Ih
tinggalkan puncak Ngo-siong-nia. Harimau Iblis muncul
kembali dan bertempur sengit lawan It Hang totiang dan
kawan2. Kesudahannya ketua Go bi-pay Ki Ceng siansu dan
Lam Leng lojin menderita luka parah. Karena terpaksa, kami
be-ramai2 mengeroyoknya barulah pertempuran berimbang.
Tetapi kalau perempuran itu berlangsung lama, kedua pihak
pasti akan sama2 remuk. Untunglah si Naga Haram
muncul....”
"Engkau maksudkan Naga Haram dan gunung Kengsan
itu?" Mawar Putih menyeletuk.
Cu Kong-leng mengiakan.
Mawar Putih menyeringai, “Kabarnya Harimau Iblis dan
Naga Haram itu sebenarnya dua orang bersaudara. Kalau dia
muncul, kalian tentu celaka karena masakan dia takkan
msmbantu saudaranya si Harimau Iblis itu?"
Cu Kong-leng tak kenal siapa Mawar Putih itu. Ia tak
senang karena dara itu kasar nada bicaranya. Tetapi
mengingat dara itu kawan Kong-sun Liong (Siau-liong),
terpaksa ia mengangguk, “Benar, tetapi kemunculan Naga
Haram saat itu ternyata tak menyusahkan rombongan orang
gagah. Bahkan dia malah menganjurkan supaya jangan
memusuhi rombongan orang gagah. Setelah tukar bicara
dengan gunakan ilmu Menyusup suara, mereka segera
tinggalkan puncak gunung....”

262
Cu Kong-leng berhenti sejenak. Memandang kesekeliling
penjuru lalu berkata pula, “Setelah terjadi kehebohan dari
saudara dan Ki ih lalu Harimau Iblis, para orang gagah yang
hadir dipuncak Ngo-siong-nia itu hampir saja bubar. Untunglah
It Hang teguh pendirian. Ia tetap berkeras hendak melakukan
penyerbuan ke Lembah Semi,akhirnya para orang gagah
'menunjang keputusan ketua Bu-tong pay itu dan pada tengah
malam mereka telah tiba diluar Lembah Semi....”
Cu Kong-leng berhenti untuk menghela napas. Sesaat
kemudian ia berkala pe-lahan2, “Rombongan orang gagah
dipecah menjadi dua kelompok yang akan masuk dari muka
dan belakang lembah. Karena aku dan ketua Tiam-jong-pay
yakni saudara Shin Bu-seng agak mengerti tentang ilmu Ngoheng,
maka kami berdua ditempatkan secara terpisah dalam
kedua kelompok itu. Aku termasuk dalam kelompok Ti Gong
taysu, Kun-lun Sam-cu dan Tan Ih-hong yang masuk dari
belakang lembah. Sedang ketua Tiam-jong-pay Shin Bu-seng
ditempatkan pada kelompok kedua yang terdiri dari ketua Kaypang
To Kiu-kong ketua Kong-tong-pay Toh Hun-ki dan It
Hang totiang yang masuk dari sebelah muka....”
Cu Kong-leng berhenti untuk menyelidiki kesan Siau-liong
dan Mawar Putih. "Diputuskan pula bahwa pada kurang lebih
pada pukul satu malam supaya kedua kelompok itu bertemu di
dalam lembah. Jika sampai terjadi pencegatan oleh suami
isteri iblis dan anak buahnya, supaya melepaskan anak panah
yang berbunyi untuk memberi berita. Agar bisa cepat memberi
bantuan....”
Kembali ketua Tong-thing-pang itu berhenti sejenak lagi
untuk menghela napas.

263
Rupanya Mawar Putih tak sabar, tegurnya, “Ih, mengapa
engkau begitu loyo? Apakah engkau dapat menutur dengan
lancar?"
Cu Kong-leng kerutkan dahi, ber-batuk2 lalu melanjutkan
pula, “setelah masuk dari belakang lembah, disepanjang jalan
kami tak menemui suatu rintangan apa2. Karena aku agak
faham tentang segala jenis alat perangkap. kelompok kami
dapat melewati beberapa persiapan musuh. Tetapi dikala
hampir mencapai tengah lembah, ketua Siau-lim-si Ti Gong
taysu karena tak hati2 secara tak sengaja telah menyentuh
tombol sebuah perkakas rahasia.... '"
Mawar Putih mendengus, “Uh, lagi2 paderi tua itu!"
Cu Kong-leng tertawa menyeringai, katanya, “Untunglah
saat itu Ti Gong taysu dan aku cepat2 dapat menghadapi
perobahan. Sebelum terjerumus ke dalam perangkap, kami
dapat menghindar Tetapi celakanya Iblis Penakluk-dunia dan
Dewi Neraka segera mengetahui tentang kedatangan kami
Segera terjadilah pertempuran seru....”
Sesaat merenung, Cu Kong leng menyambung
penuturannya lagi, “ Walaupun saat itu Iblis Penakluk dunia
dan Dewi Neraka tak muncul, tetapi Soh-beng Ki-su dan nona
pemilik lembah memimpin anak buahnya untuk menyerang.
Karena faham akan keadaan tempat dan berjumlah lebih
banyak pula karena....”
Kembali Cu Kong-leng menghela napas lagi, lalu katanya,
“Kepandaian kami tak memadai untuk menghadapi ilmu setan
mereka, maka tak berapa lama bertempur, kami telah tercerai
berai. Aku dan saudara Tan Ih-hong terdesak mundur sampai
ke dalam selat lembah sini. Sebelumnya kami telah
melepaskan anak panah suitan, tetapi dari kelompok It Hang
totiang, tak muncul barang seorang bala bantuanpun juga....”

264
"Toh Hun-ki dan keempat Su-lo itu sudah mati atau masih
hidup!" teriak Mawar Putih tak sabar lagi.
Cu Kong-leng memandang si dara dengan pandang tak
mengerti, katanya, “Sejak terdesak ke dalam selat ini, kami
telah kehilangan hubungan dengan kawan2. Kami tak jelas
lagi bagaimana keadaan mereka. Tetapi menurut hematku....”
Untuk kesekian kali, Cu Kong-leng menghela napas lagi,
“Termasuk It Hang totiang, To Kiu kong, Shin Bu seng dan
beberapa tokoh lain kemungkinan besar tentu mengalami
nasib jelek!"
Dalam pada itu diam-diam Cu Kong-leng heran mengapa
Kongsun Liong dan dara yang dianggap liar itu, begitu
memperhatikan sekali akan diri Toh Hun-ki dan keempat Su-lo
dari partai Kong-tong-pay.
Mawar Putih banting2 kaki lalu menegur Siau-liong,
“Bagaimana tindakan kita? Pergi atau mengobrak-abrik
Lembah Semi?"
Siau-liong juga kehilangan faham. Sesaat ia termangumangu.
Cu Kong-leng batuk2, kemudian berkata, “Bermula kami
heran mengapa orang Lembah Semi tak mengejar kesitu.
Tetapi setelah memeriksa keadaan tempat ini, barulah aku
tersadar....”
"Bagaimana?" tukas Mawar Putih pula.
Cu Kong-leng tertawa masam, jawabnya, “Tempat ini
merupakan tempat buntu. Meskipun aku faham akan ilmu

265
perkakas rahasia dan ilmu barisan, tetapi sungguh aku tak
mengerti barisan mereka ini!"
Siau-liong memandang kesekeliling penjuru. Memang
benarlah. Karang2 yang memagari sekeliling tempat itu
menjulang tinggi dengan landai sekali atau tegak lurus. Sukar
untuk dipanjat. Pun andaikata dapat memanjat ke atas,
dikuatirkan di atas karang itu sudah disiapkan alat atau
barisan anak buah Lembah Semi.
Hutan pohon siong itu berada ditengah2 tanah buntu.
Rupanya memang dibuat oleh orang2 Lembah Semi. Karang2
tinggi itupun juga disempurnakan dangan lubang2 gua yang
dilengkapi dengan perkakas rahasia dan barisan pendam.
Tengah Siau-liong merenungkan keadaan tempat itu, tibatiba
Mawar Putih menjerit kaget dan cepat bersembunyi di
belakangnya seraya menunjuk ke arah Tan Ih-hong ketua
perkumpulan Ji-tok-kau, “Lihatlah, dia....”
Ketika Siau-liong berpaling, tampak ketua Ji-tok-kau itu itu
sedang menampar-namparkan kebud hud-tim. Dari kebud
hud-tim itu menghambur bubuk putih yang halus. Sedang
tangan kirinya mencekal seekor ular berbisa dan dimasukkan
ke dalam mulutnya, kresss. Kepala ular itu remuk dikunyahnya
terus ditelan ke dalam perut. Darah bercucuran dari mulut
membaurkan bau anyir yang memuakkan sekali....
Tetapi ketua Ji-tok-kau atau perkumpulan Pemakan Racun,
makan dengan lahapnya. Dikunyah ular beracun sepanjang
setengah meter itu seperti orang makan kuweh untir2 atau
baling2.
Siau-liong, Mawar Putih dan Cu Kong-leng serasa diiris-iris
hatinya karena ngeri....

266
"Tan kaucu itu memang biasa makan ular beracun. Dia
mendirikan perkumpulan Pemakan racun. Pengaruhnya besar
sekali didaerah Selam.” Cu Kong-leng menerangkan.
Dalam beberapa saat Tan Ih-hong sudah memakan habis
ular itu. Setelah mendehak dua kali sambil mengusap mulut ia
berbangkit.
"Kawanan ular berbisa itu sudah kutindak dengan jimat
(tumbal). Tak mungkin mereka berani datang lagi. Tetapi
kalau orang Lembah Semi yang mahir menguasai ular itu
menyuruh binatang beracun itu menyerang lagi, akupun tak
dapat berbuat apa2!" kata ketua perkumpulan Pemakan Ular
itu.
Ketua Pemakan-ular itu memelihara rambut panjang
sampai kebahu. Wajahnya berwarna hijau kehitam-hitaman.
Tentulah hal itu disebabkan karena gemar makan ular
beracun. Pakaiannya betapa compang camping, kaki telanjang
dan kotor. Pertapa bukan. pengemispun tidak.
Ketua Pemakan Ular itu tak menghiraukan Siau-liong dan
Mawar Putih. Tetapi agaknya ia jeri juga terhadap kedua anak
muda itu. Ia berjalan mengitar dan menuju ketempat Cu
Kong-leng, serunya, “Bagaimana? Apakah engkau sudah dapat
menemukan jalan keluar dari lembah ini?"
Karena ngeri melihat demonstrasi Tan Ih-hong makan ular
beracun tadi, Mawar Putih masih gemetar dan bersembunyi di
belakang Siau-liong.
Saat itu sekali pun dalam gerumbul semak yang sedang
diluar hutan pohon siong itu masih terdengar suara gemersik
dari kawanan ular berbisa, tetapi mereka tak berani bergerak.
Rupanya apa yang dikatakan katua Pemakan Ular itu memang
benar.

267
"Barisan ini memang amat aneh sekali. Sampai saat ini aku
belum dapat mengetahui namanya," sahut Cu Kong-leng ketua
himpunan Tong-thing-pang itu.
Mendengar itu marahlah Tan Ih-hong, bentaknya, “Ho,
engkau menipu aku! Aku sudah makan dan menundukkan
kawanan ular beracun itu tetapi engkau tak mampu
mengetahui barisan yang begitu sederhana! Uh, sampai
dimanakah pengetahuanmu tentang ilmu barisan itu....”
Ia berhenti sejenak lalu berkata lebih lanjut, “Ketahuilah,
sekalipun terkurung disini sampai 28 tahun pun takkan
kelaparan mati." Aku dapat makan ular. Tetapi bagaimana
dengan kalian? Bukankah kalau tak makan setengah bulan
saja kalian tentu sudah tak kuat? Apalagi kawanan ular
berbisa itu....”
Ia melirik ke arah Siau-liong dengan pandang yang jeri lalu
tak melanjutkan kata2nya.
Cu Kong-leng tertawa dingin, “Sama sekali aku tak menipu
saudara supaya mengusir ular beracun itu. Harap tahu bahwa
meskipun untuk saat ini aku belum dapat mengetahui barisan
mereka tetapi sedikit telah kuselami gerak perobahannya.
Mungkin tak lama lagi tentu sudah kuketahui rahasia barisan
mereka itu. Sekalipun saudara dapat hidup dengan makan ular
beracun tetapi tempat ini penuh dengan alat rahasia pembawa
maut. Benar memang kedua suami isteri iblis itu tak mengejar
kesini tetapi jika tak kutunjukkan jalaninya, sekali salah
langkah tentu akan tertimpah bahaya maut!"
Agaknya ketua perkumpulan Pemakan Ular itu memang
singkat sekali pikirannya. Mendengar bantahan Cu Kong-leng,
ia menjadi bungkam.

268
Kemudian Cu Kong-leng menunjuk kesekeliling penjuru dan
berkata kepada Siau-liong, “Sekalipun pengetahuanku picik,
tetapi aku pernah meyakinkan sampai berpuluh tahun tentang
ilmu perkakas rahasia dan barisan. Dalam 200 macam barisan
yang pernah kupelajari, tak ada satupun yang sama dengan
barisan itu!"
Menurut arah yang ditunjuk Cu Kong-leng, Siau-liong
melihat deretan karang tinggi itu seperti menyerupai bentuk
delapan tanduk runcing.
Berkata Cu Kong-leng pula, “Jika menurutkan keadaan
alam, jelas barisan mereka mengandung unsur perobahan Patkwa-
kiu-kong. Tetapi....”
Ia menunjuk ke arah gua2 yang besar kecil dan tinggi
rendah pada kaki karang itu, lalu berkata pula, “Yang tak
kumengerti ialah tentang ke 7 buah gua yang tersebar
diempat penjuru itu. Yang 6 buah, jelas gua alam. Tetapi yang
satu tentu dibuat orang....” — ia berhenti dan merenung.
"Kabarnya suami isteri iblis itu mahir menggunakan tipu
siasat untuk menjebak orang. Mungkin tempat ini tiada
terdapat perkakas rahasianya. Mereka memang sengaja
membuat lubang gua untuk menimbulkan kecurigaan orang!"
kata Siau-liong yang tak sabar menunggu.
Tetapi ketua Tong-thing-pang itu gelengkan kepala,
“Tempat itu amat berbahaya dan merupakan ciptaan alam
yang menyerupai bentuk barisan Pat-kwa-tin. Sudah tentu
kedua iblis itu takkan menyia-nyiakannya. Kalau tak percaya,
cobalah saudara cari jalan yang saudara lalui ketika datang
kesini tadi. Apakah saudara mampu menemukannya lagi atau
tidak!"

269
Siau-liong terkejut. Cepat ia melakukan perintah itu. Ah,
memang keadaan empat penjuru hampir sama. Dan belasan
batang pohon siong yang tumbuh ditengah hutan itupun
hampir sama semua sehingga sukar menemukan dari jalan
mana tadi ia masuk kesitu.
Bukan kepalang kejut Siau-liong. Kedatangannya kehutan
situ adalah untuk mencari tempat bersembunyi. Setelah
memulangkan tenaga, ia hendak keluar untuk menempur
kedua suami isteri iblis itu lagi. Lalu mencari Toh Hun-ki dan
keempat Su-lo. Maka bermula ia tak menghiraukan Cu Kongleng
yang sedang mempelajari keadaan tempat situ. Tetapi
setelah melakukan apa yang dikatakan Cu Kong-leng tadi,
gelisahlah ia. Benar-benar ia tak mampu menemukan jalan
yang ia masuki tadi.
"Jika barisan Pat-kwa digabung dengan robahan barisan
Bintang-tujuh, benar-benar sebuah barisan yang luar biasa
hebatnya. Sejak dahulu belum pernah orang melakukan hal
itu. Mengingat Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka itu
memiliki kecerdasan yang hebat, tidak mustahil kalau mereka
dapat menyatukan kedua bentuk barisan itu. Kecuali....”
Plak, tiba-tiba ketua Tong-thing-pang itu menampar pipinya
sendiri, “Benar! Ah, tentu bukan ciptaan kedua iblis itu sendiri.
Orang yang menciptakan barisan itu, karena berani memaksa
nyalahi perhitungan alam, tentulah sudah mati dalam barisan!"
Siau-liong dan Mawar Putih setengah mengerti setengah
tidak. Tetapi melihat sikap ketua Tong Thing-pang itu, terang
kalau dia benar-benar memeras otak.
Saat itu agaknya Cu Kong-leng sudah menemukan titik2
terang. Segera ia melangkah maju kehadapan Siau-liong, “Jika
orang yang meciptakan barisan itu tidak dibunuh kedua suami
isteri iblis, dia adalah seorang ahli pikir yang cemerlang sekali.

270
Tetapi kemungkinan besar, orang itu tentu sudah mati dalam
barisan yang diciptakannya itu sendiri....”
Ia menghela napas, katanya pula, “Karena ia menciptakan
barisan ini terlampau ganas, dalam ke 7 lubang barisan itu
sama sekali tidak diberi pintu hidup. Oleh karenanya,
sekalipun ia mampu balik keluar dari barisan, tentu juga akan
mendapat kutukan....”
Siau-liong hanya menganggukkan kepala. “Penilaian
saudara memang tepat," kata Siau-liong, “tetapi tentulah ada
sebab lain mengapa orang itu mau menciptakan barisan
semacam ini!"
"Maksudmu?....”
Siau-liong tertawa, “Orang itu tentu sudah linglung atau
memang sudah gila!"
Tiba-tiba ketua Tong-thing-pang itu bertepuk tangan,
“Bagus, Pendapat saudara memang hebat. Memang orang
linglung atau gila sering menonjolkan kepandaiannya. Menilik
ciptaan yang begitu ganasnya, memang hanya seorang gila
yang dapat melakukannya. Tetapi....” ia menunduk berpikir
lagi.
Beberapa saat kemudian ia berkata, “Tokoh2 yang ahli
dalam ilmu barisan dan alat-alat rahasia, sebagian besar aku
tahu. Tetapi aneh, mengapa aku tak dapat menemukan
siapakah pencipta barisan itu?"
Tan Ih-hong mondar-mandir mendukung tangan. Tiba-tiba
ia menarik tubuh Cu Kong-leng, serunya, “Kawanan ular
berbisa itu dalam waktu sejam lagi tentu akan liar kembali.
Lekaslah cari jalan keluar!"

271
Cu Kong-leng geleng2 kepala, “Tempat ini merupakan
tanah mati. Sama sekali tiada jalan keluar....”
Namun ketua Tong-thing-pang itu tetap membuat
penilaian. Tiba-tiba ia menunjuk sebuah gua yang paling
besar, serunya, “Jika terpaksa, kita hanya dapat menggunakan
jalan ini untuk keluar. Tetapi adakah gua itu menembus keluar
atau masih dalam bagian lembah, aku tak berani memastikan.
Pula mungkin di dalam gua terdapat banyak ular dan serangga
berbisa....”
“Jangan kuatir, serahkan kawanan binatang beracun itu
padaku!" seru ketua Pemakan Ular.
Cu Kong-leng tertawa, “Kecuali binatang beracun, mungkin
masih terdapat bahaya air dan api serta lubang2 jebakan yang
tak dapat kita duga-duga. Jika hanya seorang saja,
kemungkinan tentu binasa....”
“Semua ancaman alat rahasia dan lain-lain perangkap,
menjadi tanggunganmu!" teriak Tan Ih-hong.
Kemudian Cu Kong-leng menanyakan pendapat Siau-liong.
Pemuda itu memandang sejenak kepada Mawar Putih lalu
menjawab, “Dari pada disini menunggu kematian, lebih baik
kita coba2 menempuh bahaya!"
Baru Siau-liong berkata begitu, tiba-tiba terdengar suara
orang bersuit pelahan. Sudah tentu sekalian orang terperanjat.
Suitan itu seperti bunyi seruling tetapi pun mirip dengan
batang pohon yang berderak-derak tertiup angin.
Menyusul dengan itu, karang yang mengelilingi empat
penjuru, menghambur kabut tipis. Dibawa kesiur angin, kabut
itu makin lama makin tebal dan pelahan-lahan mengumpul

272
ditengah. Saat itu alam disekeliling penjuru tampak meremang
tak jelas lagi.
Suara suitan itupun kedengaranya makin rendah nadanya
sehingga sukar diketahui berasal dari benda apa. Suaranya
mirip dengan kawanan setan yang merintih-rintih ditengah
malam.
Suasana dalam hutan ditengah tanah lapang buntu itu
makin terasa seram.
Seketika berobahlah wajah Cu Kong-leng ujarnya,
“Rapanya barisan mereka sudah mulai bergerak. Harap
saudara sekalian mengikuti aku, jangan bergerak sendiri!"
Tiba-tiba Tan Ih-hong berteriak, “Awas! Kawanan ular
berbisa itu mulai menyerang lagi!"
Memang benar. Dari sekeliling penjuru hutan, ribuan ular
dan binatang berbisa serempak merayap datang. Sambil
gerakkan kebut hudtimnya kekanan kiri, Tan Ih-hong
membaca doa.
Tetapi rupanya kawanan binatang beracun itu telah
mendapat tekanan dari ilmu sihir yang lebih kuat. Mereka tak
mengacuhkan Tan Ih-hong dan terus menyerbu.
Karena kebudnya tak memberi hasil, Tan Ih hong bingung
juga. Tiba-tiba ia menyambar seekor ular besar terus digigit
kepalanya. Setelah meminum darah ular itu, ia segera
menyemburkan kesekeliling penjuru.
Serangan istimewa itu memaksa kawanan binatang beracun
tak berani maju lagi. Tetapi mereka tetap bergeliatan
disekeliling hutan.

273
Dalam pada itu kabutpun makin tebal sehingga mata sukar
memandang kemuka. Dan yang lebih mengejutkan. Tiba-tiba
belasan batang pohon siong bergetaran! Makin lama makin
keras seperti terjadi gempa bumi.
Keempat orang itu seperti berada dalam perahu yang
tengah diamuk badai. Kepala mereka pening, mata berkunang2....
Cu Kong-leng berseru gugup, “Tempat ini merupakan poros
tengah barisan. Jika terjadi suatu perobahan, semua benda
disini tenju hancur ludas. Lekas ikut aku!"
Kembali Tan Ih-hong mencengkeram seekor ular besar lalu
digigit kepalanya. Setelah itu ia semburkan darah ular tadi ke
arah yang ditunjukkan Cu Kong-leng. Kawanan binatang
berbisa yang berada ditempat itu segera menyingkir memberi
jalan.
Cu Kong-leng berjalan lebih dulu, ketiga orang lainnya
mengikut dibelakangnya. Beberapa kali Cu Kong-leng berhenti
untuk membuat penyelidikan. Dengan begitu jalannya amat
pelahan sekali. Untunglah selama itu Tan Ih-hong dapat
menggigit mati 7-8 ekor ular besar dan setiap kali tentu
menyemburkan darah ular itu untuk membuka jalan. Dengan
demikian amanlah perjalanan mereka.
Kira2 sepenanak nasi lamanya. tiba-tiba Cu Kong-leng
berseru, “Sudah sampai!"
"Sampai dimana?" Tan Ih-hong bertanya penuh
ketegangan.
Cu Kong-leng tertawa hambar, “Tiada nama yang lebih
tepat untuk tempat itu kecuali kita sebut sebagai Pintu
Akhirat,"

274
Ketika Siau-liong mengawasi kemuka, ternyata yang
disebut Pintu Akhirat oleh ketua Tong-thing-pang itu adalah
gua paling besar yang tadi ditunjuk oleh Tan Ih-hong. Gua itu
setinggi satu tombak, lebar empat-lima meter. Disebelah
dalam hitam pekat tak tampak suatu apa.
Sepintas pandang gua itu seperti buatan alam. Gerumbul
rumput alang2 yang tumbuh di pintu gua, hampir setinggi
orang. Sarang labah2 dan galagasi memenuhi lubang pintu.
Memberi kesan bahwa gua itu tak pernah dikunjungi manusia.
Siau-liong memandang lekat kepada Cu Kong-leng. Diamdiam
pemuda itu muiai meragukan keterangan Cu Kong-leng.
Sedang Tan Ih-hong pun melongok ke dalam gua lalu
melengking, “Hm, jelas sebuah gua yang tak pernah diinjak
manusia mengapa engkau katakan sebagai jalan keluar?"
"Mataku belum rabun. Kuyakin takkan salah lihat!" jawab
Cu Kong-leng.
Tan Ih-hong tak membantah tetapi pun tak berani gegabah
masuk.
Saat itu kabut tebal sudah merata menyelimuti hutan siong.
Hanya suara bergetaran tadi sudah berhenti.
Setelah memasang pendengaran, berkatalah Cu Kong-leng,
“Jika penilaianku tak salah. Gua ini setengahnya memang
ciptaan alam tapi setengahnya juga dibuat manusia.
Kupercaya gerak-gerik kita ini tentu sudah diawasi musuh."
“Bagaimana engkau tahu?" seru Tan Ih-hong kurang puas.

275
"Tadi barisan itu jelas sudah bergerak. Jika kita masih
berada dalam hutan, tentu sudah mati ditangan mereka....”
kata Cu Kong-leng, "bahwa kemudian barisan itu berhenti,
menandakan kalau mereka mengetahui bahwa kita sudah
tinggalkan hutan itu!"
Kemudian sambil menunjuk ke dalam gua, ketua Tongthing-
pang itu berkata pula, “Walaupun kuyakin gua itu
merupakan satu-satunya jalan keluar. Tetapi aku tak berani
memastikan adakah kita nanti mampu keluar dengan selamat
atau tidak. Karena dalam gua itu tentu penuh bahaya maut!"
Karena tak mengerti ilmu barisan dan ilmu segala macam
alat rahasia, Siau-liong diam saja.... Demikian pun dengan
Mawar Putih.
Cu Kong-leng melangkah masuk ke dalam gua. Beberapa
langkah kemudian, ia berseru memanggil ketiga orang itu
supaya lekas masuk juga.
Keiika Siau-liong bertiga masuk, ternyata gua itu
merupakan sebuah terowongan alam. Tetapi bagian lantai dan
langit2 serta dinding gua terdapat bekas2 dibuat manusia.
Kembali Cu Kong-leng menyatakan keyakinannya bahwa
gua itu pasti merupakan satu2nya jalan keluar. Tetapi ia masih
belum mengetahui alat rahasia apa saja yang dipasang dalam
gua itu.
Mereka melanjutkan langkah. Makin ke dalam lorong gua
itu makin sempit. Juga sinar penerangannya, makin gelap. Jika
mereka berempat tak memiliki ilmu silat tinggi, pasti tak
mampu melihat keadaan disekeliling.
Kira2 sepuluh tombak jauhnya, tibalah mereka di ujung
gua. Setelah menyelidiki kian kemari, akhirnya Cu Kong-leng

276
menunjuk pada sebuah batu hijau yang menonjol di sebelah
kiri, “Itulah alat penggerak pesawat rahasia....”
Tampak ketua Tong-thing-pang itu yakin akan
penemuannya. Setelah memandang bergantian pada Siauliong,
Mawar Putih dan Tan Ih-hong, ia berkata pula, “jika
memutar aiat itu, akan terjadi dua kemungkinan. Kesatu, akan
terbuka sebuah jalan hidup. Dan yang kedua akan terjadi
suatu perobahan yang tak terduga-duga....”
"Serangan ular dan binatang berbisa?" tanya Tan Ih-hong.
Cu Kong-leng gelengkan kepala, “Sukar dipastikan.
Semburan api mungkin bencana air atau mungkin pula letusan
gunung dan mungkin kita akan terperosok ke dalam lubang
penjara tanah!"
Tan Ih-hong terkejut, “Apakah tak ada lain pesawat
penggerak lagi?"
Pun Mawar Putih mendesak juga supaya Cu Kong-leng
memeriksa lagi lebih cermat.
Ketua Tong-thing-pang itu menurut. Ia menyelidiki sekitar
tempat itu dengan seksama. Tapi tetap tak menemukan suatu
apa.
“Ah tak ada lain kecuali yang itu!" katanya.
Siau liong tak dapat berkata apa2. Demikian pun Mawar
Putih dan Tan Ih-hong.
"Kita akan menurut saja apa yang dikatakan saudara
Kongsun Liong," kata Cu Kong-leng seraya memandang Siauliong.

277
Karena hal itu menyangkut keselamatan jiwa mereka
berempat, Siau-liong tak berani gegabah mengambil
keputusan. Sesaat ia memandang wajah Mawar Putih tetapi
dara itupun tak punya pendapat apa2. Ia tertegun diam.
"Saat ini musuh sudah mengamati gerak-gerik kita.
Sekalipun kita diam saja disini, mereka tetap menyerang.
Daripada mati konyol, lebih baik kita putar alat itu. Untunguntunganlah,
mungkin bencana mungkin kebebasan!"
akhirnya Cu Kong-leng menyetujui.
Karena Mawar Putih diam saja dan ketua Pemakan Ular itu
juga hanya celingak-celinguk, akhirnya Siau-liong menyetujui.
Cu Kong-leng mulai mengangkat tangan kanannya.
Tangannya agak gemetar, butir2 keringat mengucur dari
dahinya. Hatinya tegang sekali.
Tiba-tiba ketua Pemakan Ular Tan Ih-hong mendesah
pelahan lalu menarik jubahnya yang penuh tambalan itu ke
atas untuk menutup mukanya.
Dalam pada itu tangan Cu Kong-leng makin menggigil
keras. Setelah berhenti sejenak, akhirnya ia menjamah batu
hijau dan menekannya.
Batu marmar hijau itu hanya sebesar mangkuk, Sekali
ditekan terus menyurut masuk.
Keempat orang itu menahan napas untuk menunggu apa
yang akan terjadi. Tiba-tiba terdengar suara bergetar dahsyat
sehingga tanah dalam gua itu bergoncangan.
Mawar Putih menjerit terus memeluk dada Siau-liong.
Dalam keadaan yang sedemikian tegangnya, dara itu lupa
akan segala susila dan rasa malu.

278
Tetapi sampai beberapa saat, belum terjadi sesuatu.
Goncangan itupun makin reda. Rupanya berasal dari luar gua.
Setelah itu terdengar suara berderak-derak. Ah, dinding gua
sebelah muka tiba-tiba merekah dan terbuka sebuah jalan
lebar.
Cu Kong-leng menghela napas longgar dan berseru
gembira, “Hola, bahaya telah lalu. Hayo kita keluar "
Mawar Putih lepaskan pelukannya.... Dengan wajah tersipusipu
merah ia memandang Siau-liong lalu berputar tubuh.
Tan Ih-hong pun membuka tutup mukanya lalu cepat2
mengikuti langkah Cu Kong-leng.
Cu Kong-leng melangkah dengan hati2 sekali. Siau-liong
cepat menarik Mawar Putih diajak mengikuti orang she Cu itu.
Lorong jalan itu makin lama makin lebar dan terang. Kira2
tiga tombak jauhnya, merupakan sebuah gua besar
menyerupai sebuah ruangan di bawah tanah.
Setelah memandang kesekeliling Cu Kong-leng berkata,
“Penilaianku tadi banyak yang meleset. Pencipta barisan itu
ternyata bukan orang ganas karena masih memberi jalan
hidup....”
Tampaknya Cu Kong-leng amat gembira. Kipas disusupkan
kepunggung lagi lalu me-ngurut2 jenggot. katanya pula, “Kini
aku pun sudah jelas akan bentuk barisan ini. Tak lain hanya
gabungan antara barisan Pat-kwa dan Thay-kek. Sama sekali
bukan seperti yang kukatakan tadi ialah barisan Tujuhmaut....”

279
Sambil menunjuk pada kedua samping dinding gua, ia
menerangkan bahwa asal tidak menyentuh dinding itu, barisan
tentu takkan bergerak. Lalu ia menghampiri kemuka dinding
gua dan menunjuk sebuah batu menonjol sebe«ar telur,
serunya, “Inilah alat pembuka dari jalan ke luar!"
Dengan wajah berseri tawa, ia segera menekan batu itu.
Siau-liong dan Tan Ih-hong sudah mulai menaruh kepercayaan
kepada Cu Kong-leng Mereka merasa lega.
Setelah batu ditekan, dari bawah tanah terdengar suara
macam kerbau menguak. Sambil tersenyum simpul, Cu Kongleng
berpaling" "Suara itu berasal dari pergantian antara Patkwa
dengan Thay-kek. Begitu peralihan tempat itu selesai,
pintu keluar tentu akan terbuka....”
Baru ia berkata begitu, se-konyong2 terjadi ledakan
dahsyat. Kedua dinding gua ber-derak2 merekah. Batu2
berguguran seperti hujan mencurah sehingga keempat orang
itu tak dapat berdiri tegak.
"Barisan Tujuh Maut....” serentak Cu Kong-leng menjerit
keras.
Tetapi ia tak dapat melanjutkan kata2nya karena saat itu
dari kedua samping dinding gua yang pecah itu, gelombang
air bah melanda dahsyat, Siau-liong berempat pontangpanting
tak dapat berdiri tegak. Beberapa kali Siau-liong
berusaha untuk mempertahankan keseimbangan tubuh tetapi
selalu gagal. Air bah yang membawa pecahan batu
melandanya hebat sekali sehingga ia hampir pingsan.
Samar2 ia masih mendengar Mawar Putih menjerit
memanggilnya, “Siau.... liong.... Siau.... liong....”

280
Tetapi jeritan dara itu lenyap ditelan gelombang air bah
yang mengamuk dahsyat. Tak mungkin Siau-liong dapat
mendekati Mawar Putih. Yang terdengar tak lain suara
teriakan Cu Kong-leng yang masih me-mekik2 seperti orang
gila, “Barisan Tujuh Maut.... pintu celaka.... air bah....”
Jeritan ketua Tong-thing-pang itu terputus oleh sebuah
ledakan yang dahsyat lagi. Tanah ruang gua itu segera
amblong ke bawah. Keempat orang itu laksana orang yang
terlempar ke bawah jurang. Siau-liong yang memiliki tenaga
sakti hebat, tetap tak mampu berbuat apa2.
Siau-liong merasa bahwa dirinya pasti mati dalam barisan
Tujuhy Maut itu. Dari ketinggian 20-an tombak, ia
dihempaskan oleh gelombang air terjun. Ia rasakan sendi
tulangnya seperti remuk dan pada lain saat ia tak ingat apa2
lagi....
Entah selang berapa lama ia dalam keadaan pingsan itu.
Hanya ketika ia membuka mata ia sasakan tulang belulangnya
seperti pecah dan tenaganya lenyap sehingga tak kuat untuk
mengangkat tangannya.
Otaknya masih ber-binar2 sehingga tak dapat mengingat
apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia pun tak tahu
dimanakah saat itu ia berada.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia mendengar langkah
kaki orang berjalan mendatangi. Ia terkejut. Cepat ia loncat
bangun. Uh.... kaki dan tangannya serasa tak bertulang lagi.
Ia meronta dan berusaha untuk menggeliat bangun namun
tetap sia2.
Pada lain saat ia merasa dahinya telah di-elus2 oleh sebuah
tangan yang halus. Sebuah helaan napas ringan terdengar dan

281
hidung Siau-liong serentak terbaur oleh bau yang harum
semerbak.
Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk merentang
sepasang mata memandang kemuka. Tetapi pandang matanya
masih ber-kunang2, tak dapat melihat jelas kecuali hanya
sesosok bayangan beraneka bunga.
Tak berapa lama, derap langkah kaki orang tadi
kedengaran pula. Jelas yang datang itu tentu bukan seorang
saja.
Tangan halus itu kembali menjamah keningnya dan
terdengarlah suara yang lemah-lembut, “Hatilah engkau
mengangkatnya bangun!"
Siau-liong rasakan punggungnya diangkat oleh dua lengan
yang halus untuk didudukkan. Karena masih lemah tenaga
dan pikirannya. Siau-liong membiarkan saja dirinya diangkat
itu.
Kemudian mulutnya seperti dingangakan tangan orang lalu
dimasuki sebutir pil. Mau tak mau Siau-liong menelan pil itu
juga.
"Hati2lah merawatnya! Jika sudah sadar, panggillah aku,"
kata orang yang berkata tadi.
Siau-liong dibaringkan lagi di atas ranjang. Terdengar
langkah orang meninggalkan ruang itu. Beberapa kali orang
itu berhenti. Agaknya seperti tak tega meninggalkan Siauliong.
Pil itu memancarkan aliran tenaga keseluruh tubuh Siauliong
sehingga ia merasa semangat dan tenaganya pulih
kembali. Cepat ia mengambil napas dan menyalurkan tenagaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
282
murni. Berkat memiliki dasar tenaga dalam yang kokoh, tak
berapa lama tenaga dalamnya sudah pulang kembali. Segera
ia hentikan penyaluran tenaga dalam lalu membuka mata.
Ah.... kiranya dirinya saat itu berada dalam sebuah ruang
tidur yang indah dan berbaring di atas sebuah ranjang yang
harum baunya.
Kamar tidur itu tentu milik seorang gadis.
Ia terkejut sekali. Ia heran mengapa diriny, tiba-tiba berada
disitu. Buru-buru ia tenangkan perasaannya untuk mengenang
kembali apa yang telah dialaminya. Akhirnya berhasillah ia
mengingat semua peristiwa.
Diam-diam ia menggigit lidahnya sendiri sehingg|
kesadaran pikirannya bertambab terang. Ah, ternyata ia belum
mati. Tetapi serempak itu, pikirannya kacau tak karuan,
hatinya amat cemas sekali.
Dimanakah gerangan dua orang itu?
Kegelisahan Siau-liong itu selain karena hubungannya
dengan Mawar Putih yang makin erat, pun juga karena ia
memerlukan sekali tenaga dara itu. Jika Mawar Putih sampai
mati, bukankah selamanya ia bakal tak bertemu dengan ibu
kandungnya Dewi Ular Ki Ih?
Cepat2 ia memeriksa pakaiannya. Ah, ternyata
perlengkapan untuk menyaru menjadi Pendekar Laknat masih
berada di dalam baju. Demikianpun separoh Giok-pwe yang
diberikan Toh Hun-ki itu, juga masih ada.
Setelah menenangkan diri, Siau-liong lalu loncat bangun.
Ruangan itu sunyi senyap. Dibawah ranjang terdapat dua
orang pelayan perempuan duduk bersila. Begitu melihat SiauTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
283
liong loncat turun dari ranjang, kedua bujang gadis itu
terkejut. Mereka tersipu-sipu menyongsong.
Siau-liong tetap tak tahu dimanakah tempat beradanya saat
itu. Tetapi ia duga tentulah dirinya ditolong oleh pemilik ruang
tidur itu.
Melihat. kedua bujang itu menghampiri, Siau-liong segera
memberi hormat, “Entah siapakah yang telah menolong
diriku?"
Kedua bujang dara itu baru berumur 15—16 tahun.
Rambutnya dikuncir, mengenakan baju dan celana hijau daun.
Pinggangnya bersabuk sutera hijau gelap.
Kedua bujang dara itu tertawa dan serempak berseru,
“Sudah tentu nona majikan kami!"
Siau-liong terbeliak, “Apakah nonamu itu....”
"Nanti engkau tentu tahu sendiri!" tukas salah seorang
gadis pelayan.
Siau-liong tak mau bertanya lebih jauh. Ia lebih memikirkan
keselamatan Mawar Putih dan kedua orang itu. Maka
ditanyakanlah hal itu kepada kedua gadis pelayan.
"Tolol! Perlu apa nona kami menolong lain orang? Yang
penting hanya menolong engkau!" kedua gadis pelayan itu
tertawa mengikik.
Diam-diam Siau-liong terkejut. Tentulah Mawar Putih dan
kedua orang itu mengalami bahaya.
Salah seorang gadis pelayan itu segera mengajak
kawannya keluar. Tak berapa lama mereka mengiring seorang

284
nona yang mengenakan pakaian merah menyala.
Dandanannya amat mewah, tak ubah seperti puteri istana.
Ketika Siau-liong mengawasi dengan seksama, ia terbeliak
kaget. Nona baju merah itu bukan lain adalah gadis pemilik
Lembah Semi atau puteri tunggal dari suami isteri Iblis
Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.
Waktu melihat Siau-liong sudah berdiri didepan ranjang,
nona itu tertawa gembira, serunya, “Eh, engkau masih harus
beristirahat dulu, mengapa turun dari tempat tidur?"
Diam-diam Siau-liong kerahkan tenaga dalam siap akan
dihantamkan. Nona itu terkejut. Tetapi pada lain saat ia
tertawa, “Eh, engkau ini bagaimana? Dengan maksud baik
kuselamatkan jiwamu, mengapa engkau memandangku begitu
menyeramkan? Apakah.... ah, aku memang tolol," nona itu
menepuk-nepuk dahinya sendiri, "mungkin pikiranmu masih
goncang akibat barisan Tujuh Maut itu. Tetapi jangan kuatir.
Engkau sekarang sudah selamat dan tak ada orang yang
berani menganggumu disini....”
Nona itu maju selangkah dan bertanyakan nama Siau-liong.
Siau-liong hendak meledak kemarahannya. Untunglah saat itu
ia menyadari bahwa dirinya bukan lagi sebagai Pendekar
Laknat. Seharusnya ia bersikap seperti tak kenal dengan nona
itu. Begitu pula ia harus menyadari kedudukannya saat itu.
Mawar Putih belum ketahuan nasibnya. Kalau andaikata
masih hidup tentulah menjadi tawanan orang Lembah Semi.
Demikian pula dengan rombongan orang gagah yang dipimpin
It Hang to-tiang. Mereka belum diketahui nasibnya!
Mengingat akan nasib mereka, seketika Siau-liong merasa
beban yang dipikulnya makin berat. Bukan saja melaksanakan
dendam terhadap Toh Hun-ki dan keempat Su-lo, merehabilitir

285
nama baik mendiang Pendekar Laknat, mencari ibunya. Pun
sekarang tambah lagi dengan tugas untuk membasmi Iblis
Penakluk-dunia dan Dewi Neraka demi menyelamatkan dunia
persilatan.
Timbullah serentak pikiran Siau liong.
Ia harus menggunakan siasat untuk pura-pura bersikap
baik terhadap nona pemilik lembah itu. Pe-lahan2 ia akan
menunggu kesempatan untuk bertindak.
Melihat pemuda itu termenung-menung, nona itu
menafsirkan Siau-liong tentu masih belum hilang kegoncangan
hatinya akibat malapetaka barisan Tujuh Maut.
Ia maju dua langkah lagi, mendorong Siau-liong, “Eh,
mengapa engkau ini? Apakah masih gentar?"
Siau-liong terkejut. Buru-buru ia menyurut selangkah ke
belakang, “Ah.... no.... na....”
Nona pemilik lembah itu tertawa mengikik, tanyanya pula,
“Siapakah namamu?"
"Kongsun Liong!"
Dengan mata memancar asmara, nona itu memandang
lekat, ujarnya, “Ih. engkau benar-benar seperti seekor naga....
naga yang indah."
Tiba-tiba nona itu tempelkan lengannya ke bahu Siau-liong
Pemuda itu terkejut dan mundur selangkah lagi dengan wajah
kemerah-merahan.

286
"Eh. engkau malu2?" nona itu tertawa. Ia terus berpaiing
dan menyuruh bujang kedua pergi. Setelah itu ia menarik
lengan baju Siau-liong, “Mari kita duduk bercakap-cakap."
Siau-liong terpaksa menurut saja. “Tahukah engkau siapa
namaku?" tanya nona itu dengan memandang lekat.
Siau-liong paksakan tertawa, “Justeru itu yang hendak
kutanyakan."
Nona itu cibirkan bibirnya tertawa, “Namaku Po Ceng-in,
pemilik Lembah Semi ini. Lembah Semi ini pemberian dari
ayah bundaku. Mereka berdua jarang datang kemari!"
Siau-liong hanya mengangguk saja.
"Karena aku suka memakai warna merah, ayah bundaku
senang memanggilku Siau-hong kata nona itu dengan sikap
manja lalu mendekat dan tempelkan tangannya ke bahu Siauliong,
“Jika engkau suka, panggillah aku Siau-hong saja....”
"Hm, baiklah!" sahut Siau-liong terpaksa.
Sambil kicupkan ekor matanya dengan tingkah yang genit,
nona itu mendesak, “Nah, panggillah aku ia terus rapatkan
tubuh ke tubuh Siau-liong.
Karena dua kali didesak, Siau-liong terdesak ketepi ranjang
dan tak dapat menghindar lagi. Untuk serentak berdiri, ia
sungkan. Bingung saat itu hatinya. Sebesar itu, belum pernah
ia duduk merapat begitu rupa dengan seorang gadis.
Wajah Siau-liong merah padam, mulutnya serasa
terkancing tak dapat berkata apa2.

287
Diluar dugaan sikap malu dari Siau-liong itu malah makin
menimbulkan nafsu si nona lebih berkobar.
“Panggillah....” desaknya dengan pandang penuh asmara.
"Siau.... nona Siau-hong....” akhirnya Siau-liong paksakan
diri memanggil.
Nona itu tertawa mengikik.
"Siau-hong cukup Siau-hong saja, tak perlu pakai nona.
Mengapa nadamu begitu janggal?"
Sejenak ia keliarkan ekor matanya yang genit lalu
menanyakan umur Siau-liong.
"Tujuh belas tahun!" sahut Siau-liong.
"Ih, sebaya dengan aku....” tiba-tiba nona itu merah
mukanya dan tak melanjutkan berkata lagi.
Diam-diam Siau-liong gelisah. Ia kuatir nona itu akan tanya
ini itu sehingga tiba pada pertanyaan yang ia tak dapat
menjawab. Terlintas pada diri Mawar Putih, cepat ia alihkan
pembicaraan.
"Boleh kuketahui bagaimana. nona telah menolong
jiwaku?" tanyanya.
"Sebenarnya bukan menolong dalam arti yang
sesungguhnya. Lebih tepat kalau meminta dirimu dari tangan
ayahku!"
Karena tak leluasa untuk langsung menanyakan diri Mawar
Putih, maka Siau-liong bertanya dengan cara memutar, “Selain
diriku, siapa lagi yang nona tolong!"

288
Nona itu tertawa mengikik, “Cukup engkau seorang saja.
Aku tak peduli lain orang!"
Karena tak berhasil menanyakan diri Mawar Putih, maka
Siau-liong, bertanya pula, “Selain aku masih ada beberapa
orang yang terjerumus dalam barisan itu. Entah bagaimana
mereka sekarang ini....”
Nona itu mendengus hambar, “Hm, dalam sehari semalam
itu telah tertangkap empat lima puluh orang. Siapakah yang
engkau tanyakan itu?"
Terpaksa Siau-liong menerangkan juga. "Yang seorang
adalah Cu Kong-leng ketua Tong-thing-pang, seorang Tan Ihhong
ketua Pemakan ular dan masih ada lagi seorang gadis
bernama....”
Seketika berobahlah wajah nona pemilik lembah, tukasnya,
“Mengapa engkau begitu menaruh perhatian kepada mereka?"
Ditatapnya wajah Siau-liong lekat2 lalu bertanya pula,
“Apakah engkau datang bersama anak perempuan itu?
kalian....”
"Aku hanya berjumpa ditengah jalan. Sebelum itu tak kenal
mengenal!" buru-buru Siau-liong menukas.
Nona pemilik lembah itu mengangguk puas. Namun
wajahnya tetap dingin, ujarnya, “Sekali pun gadis dengan
kedua ketua perkumpulan itu tidak mati tetapi mereka
dijebloskan ayah ke Lembah Maut. Barang siapa tak mau
menjadi anak buah ayah, tentu akan mengalami nasib begitu!"

289
Mendapat keterangan itu agak legalah hati Siau-liong. Asal
Mawar Putih belum meninggal, ia masih mempunyai harapan
untuk menolong.
Kembali mata nona pemilik lembah itu berkilat!, serunya,
“Karena sekarang kita bertemu tentulah dalam penitisan
dahulu kita memang berjodoh. Asal engkau tak memusuhi
orang tuaku, kita tentu dapat....”
Sekalipun nona itu seorang gadis yang cabul dan tak punya
malu, tetapi pada saat mengucap soal2 perkawinan, agaknya
masih kikuk juga.
Kembali ia memberi kicupan mata kepada Siau-liong lalu
berkata dengan nada gembira, “Dewasa ini ayah-ibuku sudah
merajai dunia persilatan. Hari depan kita tentu penuh
kesenangan. Tak ada seorang manusia dalam dunia yang
berani mengganggu kita!"
Siau-liong tak leluasa menjawab tetapi hatinya amat muak.
Pada saat yang sulit itu, tiba-tiba terdengar suara langkah
orang berhenti didepan pintu. Setelah batuk2, orang itu
berseru, “Nona, nyonya besar datang!"
Siau-liong terkejut. Yang dimaksud dengan nyonya besar
tentulah Dewi Neraka, ibu dari nona pemilik lembah itu. Diamdiam
ia gelisah.
Nona pemilik lembah itu tertawa riang, “Ah, ibu datang....”
Baru ia berkata begitu, muncullah seorang wanita tua ke
dalam ruang situ.

290
“Mah....!" nona itu cepat berseru seraya menghampiri. Ia
pun memberi isyarat kepada Siau-liong, “Lekas, menyambut
ibuku!"
Sesaat Siau-liong tak tahu bagaimana harus bertindak.
Untuk membungkuk tubuh memberi hormat kepada Dewi
Neraka, ia muak. Namun kalau tak mempedulikan. ia kuatir
akan menimbulkan kecurigaan orang.
Akhirnya terpaksa ia memberi hormat dengan segan dan
mengucap beberapa patah kata yang tak lampias.
Sejak masuk ke dalam ruangan, Dewi Neraka
memperhatikan sekali diri Siau-liong. Ditatapnya wajah
pemuda itu lekat2, kemudian berpaling kepada puterinya,
“Nak apakah engkau sungguh2 suka kepadanya?"
Nona itu menyahut bisik2, “Jika tak suka, masakan kuminta
dia dibebaskan....” kemudian dengan suara agak keras, ia
berseru, “Asal mamah meluluskan, kami segera....”
“Baik, mamah tak keberatan, asal....” tiba-tiba Dewi Neraka
menghampiri Siau-liong dan menghantam kepala pemuda itu
dengan jurus Menghantam-gunung Hoa-san.
Bukan kepalang kejut Siau-liong. Jurus itu bukan main
dahsyatnya dan dilancarkan dalam jarak dekat secara tak
terduga-duga.
Tetapi untunglah Siau-liong cerdas sekali. Cepat ia dapat
mengetahui apa maksudnya. Maka bukan saja tak menghindar
atau menangkis, bahkan ia malah pura-pura terkejut dan
terhuyung-huyung mundur sampai beberapa langkah.
"Mah, mengapa engkau ini? apakah....!" secepat kilat nona
pemilik lembah itupun loncat menghadang ditengah.

291
Dewi Neraka memang sudah menghentikan tangannya. Ia
membelai-belai rambut anaknya seraya tertawa mengutuk,
“Anak tolol! mamah kan hanya hendak mengetahui asalusulnya
saja!"
Sambil menyandarkan kepalanya kedada sang ibu dengan
sikap kemanja-manjaan, nona pemilik lembah itu berkata, “Ah,
tetapi mamah hampir membikin orang kaget setengah mati,
sungguh....”
Dewi Neraka memandang Siau-liong lagi. Tiba-tiba ia
mengeluarkan sebuah botol kecil diberikan kepada putrinya,
“mamah takkan mencampuri urusanmu pribadi, tetapi....”
Tiba-tiba wajah Dewi Neraka berobah dingin, “Dia bersama
rombongan orang2 yang memusuhi kita. Harus diberi minum
sebutir pil ini dulu....”
"Tidak mah!" nona itu menolak, “aku tak ingin dia menjadi
seorang yang tolol dan linglung pikiran. Akulah yang
menanggung bahwa kelak dia tentu takkan memusuhi ayah
dan mamah lagi!"
Dewi Neraka amat menyayang sekali kepada puterinya itu.
Maka ia hanya dapat geleng2kan kepala dan menghela napas
lalu menyimpan botol itu lagi.
Baru ia hendak berkata apa2, tiba-tiba terdengar suara
genderang berbunyi gencar.
"Ah, ayahmu mencari aku. Tentulah sudah mendapat
laporan tentang jejak Pendekar Laknat dan wanita Ular itu....”
habis berkata lalu keluar.

292
Setelah Dewi Neraka pergi, berkatalah si nona dengan
mengulum senyum, “Jangan takut kepada ibuku yang
berwajah seram itu. Sesungguhnya dia baik hati."
Siau-liong mengiakan. Kemudian ia berkata dengan nada
selembut mungkin, “Sudah lama kudengar cerita orang
tentang Pendekar Laknat muncul di dunia persilatan lagi.
Sungguh aku ingin sekali melihat bagaimana perwujutan
momok itu. Tadi karena ibumu mengatakan telah menemukan
jejak Pendekar Laknat dan Ki Ih, apakah engkau setuju kalau
secara diam-diam kita ikuti ibumu agar dapat melihatnya?"
Nona itu kerutkan dahi. Sesaat kemudian ia menjawab,
“Eh, mengapa nyalimu mendadak berobah begitu besar? Pada
hal sesungguhnya Pendekar Laknat itu tak lain hanya seorang
tua buruk yang memuakkan!"
Siau-liong mengeluh tetapi untunglah pada saat itu juga si
nona menyusuli kata2 lagi, “Tetapi baiklah. Ini merupakan
permintaanmu yang pertama kepadaku. Sudah tentu aku tak
dapat menolak."
Nona itu menarik tangan Siau-liong terus diajak keluar.
Sudah dua kali Siau-liong masuk ke dalam Lembah Semi itu.
Tetapi tempat2 yang dilalui saat itu, sama sekali belum pernah
didatanginya.
Setelah melintasi tiga buah jalanan naik turun dan
beberapa deret bangunan perumahan, tibalah mereka
disebuah halaman gedung yang luas. Selama dalam
perjalanan itu, Siau-liong selalu memperhatikan dengan
seksama. Diam-diam ia merasa kagum atas bangunan yang
diciptakan dalam lembah itu.
Tiba-tiba nona itu menarik lengan baju Siau-liong suruh
pemuda itu berjalan pelahan dulu. Siau-liong terkejut. Segera

293
ia hentikan langkahnya. Dari dalam ruang besar terdengar
suara orang tertawa.
"Itulah ayahku," si nona membisiki kedekat telinga Siauliong.
Pada hal Siau-liong memang sudah mengetahui hal itu.
"Ih, agaknya mereka tidak membicarakan soal Pendekar
Laknat dan Ki Ih," kata nona itu pula seraya berjingkat-jingkat
menghampiri ke bawah jendela belakang.
Saat itu menjelang sore hari. Dibagian ruang belakang
penuh ditumbuhi pohon yang-liu. Dengan hati2 Siau-liong
mengikuti si nona yang saat itu sudah mengintip dari lobang
jendela.
Ternyata dalam ruang gedung itu terdapat beberapa orang.
Kecuali suami isteri Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka,
terdapat pula dua orang tetamu.
Ketika melihat wajah kedua tetamu itu, kejut Siau-liong
bukan alang kepalang. Ternyata kedua tetamu itu bukan lain
adalah Harimau Iblis dan si Naga Terkutuk.
Saat itu kedengaran Naga Terkutuk berkata, “Kemunculan
saudara ke dunia persilatan, rupanya tiada mempunyai
maksud memusuhi kami berdua saudara. Tetapi....”
Naga Terkutuk yang bertubuh tinggi kurus dan
mengenakan jubah warna kuning, pinggang menyelip
sebatang ruyung lemas itu, sejenak melirik ke arah
saudaranya, Harimau Iblis.
Kemudian ia menatap pula tuan rumah dengan pandanng
mata penuh keserakahan, “Asal saudara suka membagi harta
pusaka itu kepada kami, kami tentu akan membantu cita2
saudara untuk menguasai dunia persilatan!"

294
Iblis Penakluk-dunia serentak berbangkit lalu berjalan
mondar-mandir sambil mendukung kedua tangannya.
Wajahnya yang seram tampak makin menyeramkan....
"Memang tak sukar untuk membagi harta pusaka itu,"
akhirnya ia menjawab. Setelah berbatuk-batuk sejenak, ia
melanjutkan pula, “Tetapi....” ia paksakan tertawa
menyeringai.
"Tetapi bagaimanakah cara kita membagi kitab pusaka
peninggalan Tio Sam hong itu?"
Tio Sam-hong adalah pendiri dari partai Bu-tong-pay.
Apabila kitab pusaka itu benar buah karya Tio Sam-hong,
tentulah merupakan kitab yang memuat ilmu pelajaran
pedang sakti. Merupakan sebuah kitab pusaka yang tiada
keduanya dalam dunia persilatan!
Harimau Iblis yang sejak tadi hanya diam saja, saat itu
sekonyong-konyong berteriak menggeledek, “Masing-masing
mendapat separoh bagian, apakah sukarnya?"
Seketika berobahlah wajah Iblis Penakluk-dunia. Hampir
meledaklah kemarahannya tetapi pada lain saat ia dapat
menindas lagi emosinya. Ia mengulum senyum tetapi tak
berkata apa2.
Adalah Dewi Neraka yang serentak berbanngkit dan
berkata dengan nada dingin, “Jika saat ini merundingkan
tentang cara membagi harta pusaka, rasanya masih terlalu
pagi....”
Sejenak memandang ke arah kedua tetamunya, wanita itu
melanjutkan, “Separoh bagian dari Giok-pwe itu masih berada
ditangan Pendekar Laknat. Jika tak dapat menemukan

295
jejaknya, tak mungkin kita membicarakan soal pembagian
harta itu. Ibarat orang melihat rembulan dalam air alias
omong kosong belaka!"
Tiba-tiba Naga Terkutuk tertawa gelak2, “Bukankah
Pendekar Laknat dan Dewi Ular Ki Ih sudah terperangkap
dalam barisan Tujuh Maut lembah ini? Masakan mereka
mempunyai sayap terbang ke angkasa?"
Iblis Penakluk-dunia gelengkan kepala; “Berbicara tentang
peristiwa itu tentulah saudara berdua takkan percaya. Bahkan
kami berdua suami isteri pun benar-benar tak mengerti!"
Sejenak berhenti ia melanjutkan pula, “Seluruh penjuru,
setiap pelosok dan segenap ujung dari barisan Tujuh Maut itu
telah kami periksa dan selidiki, tetapi kedua orang itu hilang
tiada berbekas."
Mendengar itu Harimau Iblis hanya tertawa dingin, “Ho,
benar-benar suatu hal yang tak mungkin!"
Tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia pun tertawa, “Sekali pun
Pendekar Laknat dan Dewi Ular lenyap tetapi diantara sekian
banyak tokoh persilatan yang tertangkap itu, terdapat seorang
pemuda dan seorang gadis!"
Mendengar itu Naga Terkutuk dan Harimau Iblis serempak
berbangkit.
"Siapakah kedua muda mudi itu?" tanya Naga Terkutuk
seraya memandang tuan rumah dengan tajam.
Iblis Penakluk-dunia tertawa, “Kalau kukatakan, saudara
berdua tentu akan kecewa. Mereka berdua tak lebih dari
anak2 muda yang masih ingusan!"

296
Naga Terkutuk mendengus lalu duduk lagi. Sementara
Harimau Iblis tampak merenung dan berkata seorang diri, “Ah,
tetapi masa ini tak boleh disamakan dengan masa 20 tahun
yang lalu. Diantara kalangan muda, terdapat juga yang
sakti....”
"Dimanakah mereka sekarang?" tanyanya kepada Iblis
Penakluk-dunia.
Jawab Iblis Penaklak-dunia, “Yang perempuan sudah
dimasukkan dalam Lembah Maut dan yang lelaki....” — tibatiba
ia melambai ke arah luar jendela dan berseru keras, “Hai,
masuklah kalian!"
Mendengar itu Siau-liong terbeliak kaget. Tetapi karena
jejaknya sudah ketahuan, apa boleh buat, terpaksa ia
melangkah masuk. Nona pemilik lembah pun segera mengikuti
dibelakangnya.
“Ada keperluan apakah ayah memanggil kami berdua?"
begitu masuk si nona segera berseru kepada ayahnya, Iblis
Penakluk-dunia.
Mata Iblis Penakluk-dunia. ber-kilat2 memandang Siauliong.
Melihat itu si nona menjadi gelisah. Buru-buru ia berseru
kepada ibunya, Dewi Neraka, “Mah....”
Dewi Neraka tersenyum, “Budak tolol! Mamah kan berada
disini, mengapa engkau kuatir?"
Naga Terkutuk loncat dari tempat duduknya dan
menghampiri Siau-liong diamatinya pemuda itu dari ujung kaki
sampai ke atas kepala Kemudian ia tertawa gelak2; "Ho, kami
tak tahu kalau saudara sudah mendapat menantu....”

297
Naga Terkutuk alihkan pandang matanya ke arah nona
pemilik lembah lalu berseru dengan nada mengejek, “Nona
Po. ilmumu merawat diri benar-benar luar biasa hebatnya.
Meskipun engkau sudah berumur lebih dari 40 tahun, tetapi
kelihatannya.... seperti seorang gadis yang baru berumur 20-
an tahun. Benar-benar sepadan menjadi pasangan dari
engkoh kecil ini....”
Seketika berubahlah wajah Po Ceng-in, nona pemilik
lembah itu.
"Siapakah yang memberitahukan umurku kepadamu?"
tariaknya melengking.
Naga Terkutuk tertawa nyaring, “Kuingat dahulu ketika
pertama kali datang ke lembah ini, engkau mengaku berumur
20 tahun. Sekarang setelah dua puluh tahun lagi aku kemari,
masakan salah kalau kukatakan engkau berumur 40 tahun
itu?"
Merah padamlah selebar muka Po Ceng-in. Dipandangnya
Naga Terkutuk itu dengan mata berapi-api dan tubuh
menggigil. Seolah-olah hendak menelannya....
Dewi Neraka serentak berdiri seraya. menghujamkan
tongkatnya kelantai. Wajahnya membesi. Tetapi ketika
melangkah dua tindak, ia mendengus untuk menekan
kemarahannya. Ditariknya tubuh Po Ceng-in kesisinya dan
dihiburnya, “Kemarilah anakku, jangan pedulikan iblis tua itu!"
Naga Terkutuk cepat mengangkat kedua tangannya
menghaturkan maaf kepada kedua suami isteri seraya
tertawa, “Maafkan, maafkan!"

298
Se-konyong2 wajahnya membengis dan berpaling
membentak Siau-liong, “Budak, siapa namamu? Berapa
umurmu sekarang?"
Demi menyelamatkan keadaan, sudah beberapa kali Siauliong
harus menekan kemarahan. Tetapi kali ini karena
diperlakukan begitu oleh Naga Terkutuk, ia tak dapat
menahan diri lagi.
"Meskipun umurku baru belasan tahun tetapi aku sudah
dewasa. Siapa yang engkau sebut 'budak' itu!" ia balas
membentak.
Naga Terkutuk seorang momok yang garang dan congkak.
Entah beberapa sudah tokoh2 persilatan yang jatuh
ditangannya. Sudah tentu ia tak dapat menerima perlakuan
yang diunjuk Siau-liong, seorang anak muda yang
dianggapnya masih ingusan.
Dipandangnya Siau-liong dengan tertawa dingin, “Umurku
sudah 88 tahun. Jika mempunyai cucu, tentu juga lebih besar
dari engkau. Pula dalam kedudukanku dikalangan persilatan,
bukanlah suatu hinaan kalau kupanggilmu dengan sebutan
budak!"
Habis berkata ia segera menampar bahu Siau-liong.
Tampaknya tamparan itu amat pelahan dan sepintas pandang
hanya sebagai suatu peringatan dari orang tua terhadap anak
muda. Tetapi sesungguhnya tepukan itu merupakan gerak
Naga-sakti-mencakar yang dahsyat.
Siau-liong tegak termangu-mangu....
---ooo0dw0ooo---

299
Jilid 06
Telur di ujung tanduk
Pada saat tangan Naga Terkutuk hampir mencengkeram
bahu Siau-liong, tiba-tiba Harimau Iblis meluncur kesamping
saudaranya dan mencekal tangan Naga Terkutuk.
Sudah tentu Naga Terkutuk terperanjat, tegurnya, “Dinda,
engkau....”
Harimau Iblis tertawa, “Gerakan Naga-sakti-mencengkeram
kanda itu, belum tentu dapat mengenai budak itu!"
Sekalian orang terkejut mendengar kata2 itu. Bahkan Naga
Terkutuk pun deliki mata kepada adiknya itu lalu
membentaknya, “Apakah maksudmu?"
Hampir ia tak percaya apa yang dikatakan Harimau Iblis itu.
Kata Harimau Iblis, “Kemarin tatkala dipuncak Ngo-siongnia,
aku pernah adu kepandaian dengan dia, tetapi
akhirnya....” ia terlawa menyeringai, “akhirnya kami sama2
terluka!"
Mendengar itu Iblis Penakluk-dunia dan isterinya, Naga
Terkutuk dan Po Ceng-in terbeliak kaget. Semua mata
tertumpah ke arah Siau-liong.
Benar-benar suatu hal yang mustahil. Tetapi karena mulut
Harimau Iblis sendiri yang mengatakan, mau tak mau harus
percaya.

300
Reaksi pertama timbul dari Po Ceng-in. Nona pemilik
lembah itu kejut girang lalu memegang lengan Siau-liong dan
bertanya lembut, “Apakah yang dikatakan itu benar?"
Siau-liong mendengus lalu menyurut mundur selangkah,
menghindarkan lengannya.
Naga Terkutuk dan Harimau Iblis tertawa mengekeh
menyaksikan penolakan Siau-liong.
Po Ceng in tertegun. Tanpa menghiraukan ejek tertawa
kedua momok serta sikap Siau-liong dingin, ia melesat
kesamping pemuda itu seraya berseru cemas, “Jangan
percaya omongan iblis tua itu. Aku memang baru berumur....”
Ia tak lanjutkan kata-kata melainkan menatap wajah Siauliong
dan dengan nada meratap ia berkata; "Tanpa kukatakan
engkau tentu dapat melihat sendiri apakah aku ini mirip
dengan wanita yang berumur 40 tahun?" Kembali Po Ceng-in
tertawa mengikik tetapi jelas tertawa yang dibuat-buat untuk
menutupi rasa malunya.
Siau-liong terpaksa memandangnya.... wajah wanita itu
memang menimbulkan rasa kasihan tetapi pancaran matanya
penuh dengan nafsu kecabulan. Memang andaikata Naga
Terkutuk tak membuka rahasianya, Siau-liong tentu percaya
nona itu masih berumur 20-an tahun.
Beberapa saat Siau-liong tergugu kehilangan faham. Ia tak
tahu bagaimana harus bertindak. Namun ia menyadari bahwa
saat itu dirinya berada dalam sarang harimau buas. Juga ia
menginsyafi akan beban kewajibannya yang berat. Ia harus
menolong Mawar Putih, merebut kembali separoh bagian dari
Giok-pwe, menyelamatkan dunia persilatan, membalas
dendam dan mencari ibunya....

301
Ia menimang lebih lanjut Dalam lembah Semi yang penuh
dengan perkakas rahasia, musuh lebih menang tempat. Begitu
pula jumlah mereka jauh lebih besar. Untuk mengahadapi
keempat momok itu, jelas bukan hal yang mudah.
Demi menyelamatkan kesemuanya itu, terpaksa ia harus
bermain sandiwara Walaupun sesungguhnya ia muak terhadap
wanita itu, namun terpaksa ia memandangnya dengan
pandang mata lemah lembut dan mesra.
Po Ceng-in menyambut pandangan itu dengan semangat
terbuai-buai. Tiba-tiba ia berkata kepada ibunya, “Mah, ijinkan
kami pergi!" — ia terus menarik tangan Siau-liong diajak
keluar.
“Tunggu!" tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia membentak.
Po Ceng-in terbeliak. Belum pernah selama ini ayahnya
membentaknya sedemikian bengis.
Dewi Neraka berobah wajahnya dan melengking kepada
suaminya, “Tolol! Mengapa engkau menakuti anak kita begitu
rupa!"
Plak, Iblis Penakluk-dunia mendebur meja, dengusnya,
“Jika aku terus menerus menuruti engkau saja. Bukan saja
usaha menguasai dunia persilatan akan hancur berantakan.
Pun kemungkinan kita akan menelan pahitnya kekalahan
seperti 20 tahun berselang itu lagi. Aku....”
Dewi Neraka hunjamkan tongkatnya kelantai lalu
berbangkit, teriaknya, “Tolol! Jika banyak tingkah, lebih baik
kita berpisah dan bekerja sendiri-sendiri saja! Apa engkau kira
aku hanya mengandalkan engkau saja?"

302
Habis berkata wanita bengis itu melangkah kehadapan Po
Ceng-in, ujarnya, “Tanyalah pada anak itu. Jika dia benarbenar
bersungguh hati kepadamu, mari kita berangkat
sekarang juga. Mamah akan membawamu pulang ke Sepak.
Tak perlu kita hiraukan lagi soal harta pusaka dan segala
macam kekuasaan dunia persilatan!"
Po Ceng-in memandang ibunya dengan penuh rasa syukur.
Tetapi pada saat hendak bertanya penegasan kepada Siauliong,
tiba-tiba Naga Terkutuk dan Harimau Iblis tertawa
gelak. Kemudian berserulah Harimau Iblis dengan suara
nyaring, “Aha, nyata perangai saudara masih belum berubah
seperti dahulu....”
Dan Naga Terkutuk pun menumpangi, “Hubungan saudara
suami isteri berdua yang berkumpul dan berpisah tak menentu
itu benar-benar menjadi buah pembicaraan indah dalam dunia
persilatan. Hari ini bercerai entah kapan akan bertemu pula"
Demikianlah kedua saudara momok itu bergantian saling
memberi komentar. Bukan melerai dan mendamaikan kedua
suami isteri itu tetapi kebalikannya menyiram minyak pada api
kemarahan Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka supaya
putus hubungan.
Seketika berobahlah wajah Iblis Penakluk-dunia. Sepasang
alisnya yang panjang melekat satu sama lain dan sejenak
melirik ke arah kedua tetamunya, cepat ia melesat kemuka
Dewi Neraka.
“Isteriku, jangan marah. Hal ini menyangkut kepentingan
kita berama. Sekali salah langkah, kita pasti kalah. Oleh
karena itu aku perlu berhati-hati....” Lalu ia menunjuk Siaulioug,
serunya, “Budak itu bukan pemuda biasa. Janganlah
engkau sampai kena dikelabuhinya!"

303
Dewi Neraka mendengus, “Sampai dimanakah kemampuan
seorang anak yang baru berumur belasan tahun itu? Bukankah
kalian sendiri yang ketakutan dan menduga yang bukanbukan....”
Namun sekali pun mulut mengatakan begitu tetapi diamdiam
Dewi Neraka mengingat juga akan keterangan Harimau
Iblis tentang pertempurannya dengan Siau-liong. Maka ia tak
mau ayunkan langkah melainkan masih mengamati Siau-liong
denga teliti.
Iblis Penakluk-dunia paksakan tertawa, “Munculnya budak
itu bersama seorang budak perempuan ke dalam barisan
Tujuh Maut, menandakan bahwa mereka tentu ikut dalam
rombongan It Hang si imam hidung kerbau itu. Kalau malam
gelap, anak buahku tak dapat melihatnya, tetapi....
“Ah, soalnya sederhana sekali," Naga Terkutuk menyelutuk,
“kalau saudara tak sampai hati turun tangan kepada menantu
yang tercinta, perintahkan orang supaya menyiksa budak
perempuan itu. Dia tentu akan mengaku semua."
Iblis Penakluk-dunia alihkan pandang matanya ke arah
Naga Terkutuk, ia tertawa iblis; “Ah, saudara memang pintar.
Tetapi, Akupun memang sudah mempunyai pikiran begitu.
Bahkan sebelum saudara datang kemari, aku sudah suruh
orang untuk memeriksa budak perempuan itu. Tetapi diluar
dugaan....
Ia berhenti sejenak untuk mengelus jenggotnya yang
memanjang sampai kelutut, lalu melanjutkan, “Diluar dugaan
budak perempuan itu lenyap."
Sekalian orang tersentak kaget. Dan yang paling kaget
sendiri adalah Siau-liong. Kemanakah gerangan Mawar Putih
itu....

304
Naga Terkutuk keliarkan biji matanya beberapa kali lalu
berkata, “Tujuh Maut itu merupakan barisan yang paling ketat
dan rapat. Sampai pun bangsa binatang dan burung tak dapat
keluar masuk dalam barisan itu. Maka betapa lihaynya
kepandaian seseorang, pun tak mungkin dapat masuk keluar
menurut sekehendak hatinya....”
Dia geleng2 kepala dan berkata seorang diri, “Pendekar
Laknat dan Dewi Ular Ki Ih sudah terperangkap dalam barisan
Tujuh Maut tetapi dapat melenyapkan diri. Sebagai gantinya
dalam barisan itu terdapat tawanan sepasang muda mudi.
Sianak perempuan sudah dimasukkan ke dalam Lembah Maut
tetapi lenyap lagi....”
Tiba-tiba ia tertawa keras, “Ha, ha, apakah kita .sedang
melihat hantu?"
Dewi Neraka segera gunakan ilmu menyusup suara
bertanya kepada Iblis Penakluk-dunia, “Tolol, apakah
keteranganmu itu sungguh2?"
Iblis Penakluk-dunia kerutkan dahi lalu menyahut dengan
ilmu menyusup suara juga, “Sudah tentu sungguh2....”
Ia memberi isyarat kicupan mata kepada isterinya lalu
berkata, “Soal hilangnya budak perempuan yang baru
berumur belasah tahun itu tak perlu kita cemaskan. Dan
budak laki itu, jika engkau suka, ambillah sebagai menantu.
Tetapi menurut hematku, saat ini Lembah Semi sudah
kemasukan seorang tokoh yang sakti. Hilangnya budak
perempuan itu merupakan salah satu bukti....”
Kembali Iblis Penakluk-dunia berhenti. Diam-diam ia
memperhatikan Naga Terkutuk dan Harimau Iblis lalu berkatu
lagi, “Si tua Naga dan Harimau itu tamak akan harta pusaka

305
dan menghendaki separoh bagian. Sudah tentu di dunia tiada
hal yang semurah itu. Sekarang baiklah kita gunakan
keserakahan mereka itu untuk mengadu mereka dengan orang
sakti yang menyelundup ke dalam lembah ini. Atau kalau
perlu, kita dapat gunakan alat-alat rahasia dalam barisan
Tujuh Maut untuk melenyapkan kedua iblis itu!"
"Apakah engkau kira mereka mau tunduk pada
perintahmu?" tanya Dewi Neraka.
Sahut Iblis Penakluk-dunia dengan gembira, “Mereka
berdua hanya mengandalkan pada kegagahan saja. Jika
engkau tak mudah naik pitam dengan gunakan siasat saja
mereka tentu suka melakukan perintahku!"
Dewi Neraka mendengus lain melengking, “Tolol! Kalau
memang bisa, silahkan engkau kerjakan Perlu apa aku harus
mengadu biru?"
Percakapan kedua suami isteri itu menggunakan ilmu
menyusup Suara. Dengan begitu lain orang tiada dapat
mendengarnya. Hanya bibir mereka yang tampak bergerakgerak,
tetapi sama sekali tak mengeluarkan suara apa2.
Beberapa saat kemudian, Naga Terkutuk memekik keras,
“Budak perempuan itu lenyap, tak jadi apa. Kita dapat
memeriksa budak laki ini!"
Habis berkata iblis itu terus tebarkan kesepuluh jari
tangannya. Sekali tubuh bergerak. ia gunakan jurus Nagasakti-
mengambil-air. Kesepuluh jarinya itu mengeluarkan desis
angin lalu mencengkeram kedua bahu Siau-liong.
Siau-liong benar-benar tak mau berkelahi. Buru-buru ia
mundur dua langkah kesamping. Tetapi serangan kedua dari
Naga Terkutuk sudah menyusul.... Tanpa menarik pulang

306
jarinya, tiba-tiba ditengah jalan jarinya itu dirobah dalam jurus
Menyapu-buyar-awan. Cengkeraman diganti dengan tabasan.
Kedua tangannya susul menyusul menyerang Siau-liong.
Melihat calon menantunya diserang seganas itu, Dewi
Neraka melengking tajam. Sekali hujamkan tongkataya
kelantai, kepala tongkat yang merupakan pangkal kepala
naga, meluncur lepas dari batang dan melayang kelambung
Naga Terkutuk!
Serempak dengan itu, kepala naga-nagaan tongkat itu
hidungnya mengeluarkan beberapa lembar kumis sepanjang
15 senti. Kumis itu terbuat dari pada kawat baja yang halus
dan runcing. Warnanya berkilat kebiru-biruan. Jelas kalau
dilumuri racun.
Naga Terkutuk terkejut sekali dan cepat menarik pulang
serangannya seraya menyurut mundur. Dengan demikian
terluputlah ia dari bahaya maut.
Dewi Neraka tertawa dingin. Sekali gentakkan tongkatnya
kelantai, kepala naga itu melayang balik dan ninggap pada
hulu tongkat lagi. Juga kumis naga yang memancar keluar
tadi, segera menyusup masuk pula.
Ternyata kepala tongkat yang diukir seperti kepala naga
itu, diikat dengan kawat halus yang ulet sekali. Dapat dipijat
keluar untuk menyerang musuh.
Naga Terkutuk tak mau balas menyerang melainkan
berseru keras, “Apakah benar-benar engkau hendak
memusuhi kami berdua saudara?"
Tetapi Dewi Neraka tak mau menyahut. Sedang Iblis
Penakluk-dunia segera mengangkat kedua tangannya,

307
“Maafkan, maafkan! Harap saudara berdua jangan mengambil
dihati. Kita sedang berunding mengatur siasat!"
Merah padam selembar muka Naga Terkutuk. Pada saat ia
hendak lampiaskan kemarahannya, tiba-tiba Harimau Iblis
gunakan Ilmu menyusup suara mencegahnya, “Harap toako
jangan cari gara2! Jika bertempur, mereka menang orang dan
tempat. Belum tentu kita menang....”
Naga Terkutuk mendengus lalu menjawab dengan ilmu
Menyusup Suara, “Apakah adik takut?"
Harimau Iblis tak menghiraukan dan berkata pula, “Apalagi
masih ada budak lelaki itu yang jelas memiliki kepandaian
sakti. Menurut pengakuannya dia murid pewaris dari Pengemis
Tengkorak dan sudah memahami ilmu pukulan Thay-siangciang.
Pada waktu aku bertanding melawannya, ternyata dia
masih memiliki lain ilmu sakti....”
Sejenak berhenti ia berkata pula, “Ilmu saktinya itu,
rasanya aku kenal Tetapi sampai saat ini masih belum
kuketahui termasuk perguruan mana. Seperti tenaga-sakti Moya-
kong-lat dari paderi Liau Hoan gunung Thian-san,
tetapipun seperti tenaga Bu-kek-sin-kang dari Pendekar
Laknat. Jadi bukan Mo-ya-kong-lat pun bukan Bu-kek-sinkang.
Tetapi yang jelas, budak itu tentu mempunyai latar
belakang yang hebat. Jika dia bersatu dengan suami isteri
iblis, tentu akan makin menyulitkan kita. Memang
diketemukannya sepasang muda mudi dalam barisan Tujuhmaut
itu tentulah hanya omong kosong Dan tentang
lenyapnya budak perempuan dalam Lembah Maut itu, benarbenar
juga tak mungkin terjadi."
Naga Terkutuk mendengarkan dengan termangu. Rupanya
ia tak pernah memikir sampai disitu.

308
Setelah termenung sejenak, Harimau Iblis melanjutkan lagi,
“Turut pendapatku kita menghadapi dua kemungkinan.
Pertama, mungkin Pendekar Laknat dan Dewi Ular Ki Ih
memang sudah bersekutu dengan suami isteri iblis itu.... It
Hang dan rombongan tokoh2 partai persilatan sudah terjaring
dalam perangkap mereka. Tujuan keempat iblis itu tak lain
karena hendak menghadapi kita berdua "
Kemungkinan kedua, Pendekar Laknat dan Dewi Ular Ki Ih
telah binasa ditangan suami isteri iblis itu. Separoh bagian dari
Giokpwe pun sudah jatuh ketangan mereka. Bahwa Pendekar
Laknat dan Dewi Ular Ki Ih terjebak dalam selat buntu tetapi
dapat melenyapkan diri, hanyalah cerita karangan kedua
suami isteri iblis itu saja, Suatu siasat untuk menghapus
perhatian orang....”
Harimau Iblis sejenak melirik ke arah Iblis Penakluk-dunia
dan Dewi Neraka lalu berkata lagi kepada Naga Terkutuk;
"Salah satu dari kedua kemungkinan itu atau kedua-duanya
tak mungkin terjadi, tetapi tetap tak menguntungkan bagi kita
kakak beradik?"
Iblis Penakluk-dunia dan isterinya tahu juga bahwa kedua
saudara iblis itu tengah melakukan pembicaraan dengan
gunakan ilmu Menyusup Suara. Tetapi mereka pura-pura tak
tahu.
Melanjutkan pula percakapan Harimau Iblis kepada Naga
Terkutuk, “Keadaan yang kita hadapi saat ini, betapapun
kedua suami isteri itu memainkan siasat apa saja, kita tak
boleh mengundurkan diri karena ketakutan. Jika kedua suami
isteri itu benar telah berhasil mendapat kitab pusaka
peninggalan Tio Sam-hong, mereka tentu takkan membiarkan
kita berdua hidup di dunia. Maka kalau hari ini kita tak
membereskan mereka, kelak tentu akan lebih sukar lagi!"

309
"Benar!" dengus Naga Terkutuk. Ia merenung sesaat lalu
berkata pula, “Karena aku tak dapat mengawasi siasat
mereka, harap adik yang waspada terhadap gerak-gerik
mereka!"
Harimau Iblis mengangguk, kemudian ia berpaling ke arah
kedua suami-isteri iblis. memberi hormat seraya berseru,
“Karena tengah merundingkan urusan peribadi maka kami
telah ber-cakap2 dengan ilmu Menyusup suara. Harap saudara
berdua jangan salah faham!"
Iblis Penakluk-dunia hanya ganda tertawa mengiakan. Lalu
ia menanyakan pendapat kedua kakak beradik itu mengenai
situasi yang dibadapi saat itu.
"Kami berdua saudara termasuk orang bodoh. Sudah tentu
kami hanya menurut keputusan saudara saja. Kami bersedia
membantu! sahut Harimau Iblis.
"Ah, saudara keliwat merendah diri, "kata Iblis Penaklukdunia.
Sejenak keliarkan mata, berkatalah ia, “Peristiwa
lenyapnya Pendekar Laknat dan Dewi Ular Ki Ih dari barisan
Tujuh Maut itu adalah berdasar laporan dari anak buahku. Aku
sendiri belum memeriksa hal itu....” — ia melirik ke arah
Harimau Iblis dan Naga Terkutuk lalu melanjutkan, “Kami
berdua suami isteri hendak menyelidiki barisan Tujuh Maut,
saudara berdua....” "
"Sudah tentu kami akan ikut juga!" cepat2 Harimau Iblis
menukas.
Diam-diam Iblis Penakluk-dunia terkejut mendengar
pernyataan itu. Ia merasa heran kalau kedua kakak beradik itu
tak tahu bahwa dalam barisan Tujuh Maut penuh dilengkapi
dengan alat rahasia dan jebakah2 yang berbahaya.

310
Namun ia menghapus rasa herannya dengan mengulum
senyum dan menganggukkan kepala. Lalu bertepuk tangan
tiga kali.
Dari luar gedung masuklah 16 oranng laki perempuan
menghadap dan memberi hormat kepada Iblis Penakluk-dunia.
Mereka mengenakan pakaian ringkas dan menyelinap senjata.
“Lekas beritahukan kepada Soh-beng Ki-su bahwa aku
beramai-ramai hendak memeriksa ke dalam barisan Tujuh
Maut!"
Sepasang lelaki dan perempuan memberi hormat lalu
melangkah keluar. Yang lain-lain segera berbaris pada kedua
tepi pintu.
Iblis Penakluk-dunia segera mempersilahkan kedua
tetamunya ikut.... Naga Terkutuk melirik ke arah Harimau Iblis
dengan pandang penuh kesangsian.
Harimau Iblis tertawa gelak2, “Ah, sebagai tetamu, aku tak
boleh berlaku kurang hormat terhadap tuan rumah. Silahkan
saudara berjalan lebih dulu."
Iblis Penakluk-dunia tertawa hambar. Diam-diam ia
menertawakan kedua tetamunya itu. Sekalipun mereka
mempunyai rencana bagaimana, pun takkan terlepas dari
genggamannya. Maka ia memberi isyarat kicupan mata
kepada isterinya. Dan kedua suami isteri lalu melangkah
keluar.
Pada saat keempat durjana itu sedang siapkan rencana
masing-masing secara diam-diam, adalah Siau-liong tetap
mengawasi gerak-gerik mereka dengan tak acuh. Diam-diam
ia sudah dapat menyelami apa isi hati keempat orang itu.

311
Pikirnya, asal keempat iblis itu masing-masing mempunyai
kecurigaan dan saling tak percaya, ia tentu mendapat
kelonggaran dan kesempatan untuk mengadu domba mereka.
Setelah keempat iblis itu pergi, buru-buru Siau-liong
bermain sandiwara. Dengan mesra ia menarik tangan Po
Ceng-in dan membisiki kedekat telinganya, “Hayo, kita ikut
melihat juga."
Melihat Siau-liong begitu mesra kepadanya, Po Ceng-in
menjadi lupa daratan. Setelah memberi tatapan mata yang
penuh arti, tanpa banyak pikir lagi ia segera menggandeng
tangan Siau-liong dan melangkah keluar untuk mengikuti
gerak gerik keempat iblis itu.
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka berhenti dan
berpaling. Ketika melihat anak perempuannya bergandengan
tangan Siau-liong, mereka tersenyum lalu melanjutkan
perjalanan lagi.
Harimau Iblis dan Naga Terkutuk berjalan di belakang
sendiri Seolah-olah tanpa disengaja Naga terkutuk berjalan
disamping Po Ceng-in. jaraknya hanya lebih kurang setengah
meter sehingga jika mengulurkan tangan tentu dapat
mencapai.
Siau-liong sudah siap siaga menghadapi keempat iblis itu.
Diam-diam dia sudah membentengi tubuhnya dengan saluran
Bu-kek-sin-kang. Maka tenang-tenang saja ia mengikuti di
belakang mereka.
Memang bangunan dalam Lembah Semi itu dicipta
sedemikian hebat. Jalanan ditengah halaman berbelak-bilok.
Loh-gik-thia atau pagoda termpat beristirahat penuh
bertaburan disana sini.

312
Bangunan pada setiap tempat selalu disusun menurut
bentuk Pat-kwa dan Kiu-kong. Bahkan setiap po-hon dan
setiap batang bunga, pun ditanam menurut aturan barisan.
Selama berjalan itu diam-diam Siau-liong memperhatikan
dan mencatat dalam hati semua yang dilihatnya. Tetapi
ternyata kedua suami isteri iblis itu sengaja berjalan berputarputar
kian kemari sehingga sesudah delapan kali membelok,
sukar bagi orang untuk mengenal arah lagi.
Kira2 sepeminum teh lamanya, tibalah mereka dimulut
sebuah selat lembah yang sempit. Iblis Penakluk-dunia
berhenti. Sambil tertawa ia menerangkan, “Itulah mulut
Lembah Maut. Didalamnya penuh dengan berbagai perkakas
rahasia. Sekali salah langkah, sukar dibayangkan akibatnya....”
Memandang ke arah kedua saudara iblis, ia berkata pula,
“Misalnya kalau keliru melangkah ke Pintu-mati, tentu akan
terjerumus ke dalam liang dan pasti akan hancur lebur. Aku
sendiripun tak berdaya menolong. Saudara berdua hendaknya
ikut saja di belakang kami, jangan bergerak sembarangan!"
Jelas ucapan Iblis Penakluk-dunia mengandung ancaman
untuk menakuti hati orang.
Harimau Iblis tertawa gelak, serunya, “Jangan kuatir,
andaikata kami sampai mengalami nasib sial keluar menginjak
tempat maut. pun takkan meminta ganti jiwa kepada saudara
berdua'"
Iblis Penakluk dunia tertawa sinis lalu melanjutkan berjalan
lagi. Harimau Iblis pun memberi isyarat mata kepada
saudaranya. Mereka tetap berjalan di belakang Po Ceng-in
dengan mengambil jarak dekat.

313
Belasan anak buah lembah yang terdiri dari lelaki dan
perempuan dan bersenjata pedang tadi, bertindak sebagai
pelopor dimuka. Begitu masuk ke dalam selat, mereka
berjalan pelahan-lahan dan tak henti-hentinya menggerakkan
tubuh kekanan dan kiri. Mirip seperti kupu2 yang
berterbangan menerobos gerumbul bunga.
Selama memperhatikan keadaan tempat yang dilaluinya itu,
diam-diam Siau-liong heran juga. Jelas semalam ketika
bersama Mawar Putih, ia dikejar suami isteri Iblis Penaklukdunia
dan Dewi Neraka masuk ke dalam selat lembah itu,
disitu terdapat sebuah telaga yang besar. Tetapi mengapa
saat ini ia tak melihat telaga itu lagi? Heran, adakah Iblis
Penakluk-dunia dan Dewi Neraka itu mempunyai ilmu untuk
memindah gunung dan menyingkirkan laut?
Tak berapa lama rombongan itu telah keluar dari jalanan
selat yang sempit Kini mereka berhadapan dengan sebuah
tanah lapang yang luas. Tanah lapang yang merupakan tanah
rendah mirip seperti dasar sumur.
Kedua barisan peloror lembah Semi itu, tiba-tiba cepatkan
langkahnya menuju ke kaki batu karang disebelah bawah.
Kemudian mereka lalu menyusup ke dalam gerombol pohon.
Kini barulah Siau-liong mengetahui jelas bahwa jalan keluar
dari lembah Tujuh Maut itu bukan hanya satu saja. Kemarin ia
datang dan masuk dari salah sebuah jalan.
Tampak hutan pohon siong itu berada ditengah tanah
lapang. Tetapi ia tak dapat menentukan arahnya yang tepat.
Ke 16 barisan lelaki perempuan dari lembah Semi tadi
muncul dari tempat masing dalam gerumbul semak sambil
mencekal bendera warna hijau yang dilambaikan ke arah kiri.
Setelah itu mereka menyelinap bersembunyi lagi.

314
Dari empat penjuru kaki karang, sayup2 terdengar suara
menderu pelahan dan menyusul mulailah kabut tipis
bertebaran keluar. Tak berapa lama ke 7 gua dan sekeliling
penjuru segera tertutup kabut.
"Apakah maksud saudara?" tanya Harimau Iblis kepada
tuan rumah.
Iblis Penakluk-dunia tertawa, “Agar barisan Tujuh Maut
tetap aktif. Menjaga kemungkinan musuh menyusup kemari!"
Harimau Iblis tertawa keras; “Bagus saudara sungguh
cermat sekali!"
Iblis Penakluk dunia saling berpandang mata dengan
isterinya lalu mereka melangkah ke arah hutan.
Begitu masuk ke dalam hutan, Iblis Penakluk-dunia
berhenti dan memandang kesekeliling.... Sesaat kemudian ia
berkata kepada kedua tetamunya, “Barisan Tujuh Maut itu
diciptakan oleh seorang cianpwe yang sakti. Lebih dari
setahun lamanya barulah aku dapat mempelajari rahasia2
perobahan dalam barisan itu. Sungguh suatu ciptaan yang luar
biasa hebatnya....”
Habis berkata ia lekatkan pandang mata kepada Harimau
Iblis, lalu katanya, “Sayang barisan hebat ini sudah berpuluh
tahun tak pernah digunakan. Kecuali kemarin malam itu,
barulah barisan itu bekerja untuk menangkap rombongan It
Hang sihidung kerbau. Sejak ini....”
Tanpa menunggu tuan rumah menyelesaikan kata2nya,
Harimau Iblis cepat menukas dengan tertawa nyaring.
Nadanya ngeri menusuk telinga, tak ubah seperti raung singa
kelaparan sehingga daun2 dalam hutan itu bergetaran.

315
Cukup lama tertawa, barulah ia berhenti, serunya, “Sayang
karena barisan itu sudah lama tak digunakan, kemungkinan
tentu tak begitu lancar. Kalau tidak, tentu tak mungkin
Pendekar Laknat dan Dewi Ular Ki Ih serta budak perempuan
baju putih itu dapat melenyapkan diri!"
Iblis Penakluk-dunia tahu bahwa Harimau Iblis sedang
berusaha untuk membakar hatinya. Merahlah selebar muka
iblis itu. Sinar matanya mulai memancarkan sinar
pembunuhan.
Beberapa saat kemudian, wajah Iblis Penakluk-dunia itu
mulai tenang lagi. Ia tertawa seram, “Barisan Tujuh Maut
mempunyai 72 perobahan. Asal masuk ke dalam selat, berarti
sudah masuk perangkap. Sekalipun faham akan ilmu Ngoheng,
Pat-kwa dan Kiu-kiong, tetap tak mungkin dapat keluar
dari barisan itu!"
Seketika berobahlah wajah Harimau Iblis, serunya, “
Maksud saudara hendak mengatakan bahwa kami berdua
saudara saat ini pun sudah masuk dalam perangkap?"
Iblis Penakluk-dunia tertawa, “Saudara berdua sedang
menjadi sekutu kami. Menguasai dunia persilatan dan
menikmati harta karun yang tak ternilai harganya itu Sudah
tentu kami tak mempunyai maksud hendak mencelakai
saudara berdua!"
Harimau Iblis balas tertawa dengan nada dingin, “Mm.
sesungguhnya kami berdua ini sudah tak berguna lagi. Adakah
saudara masih tetap hendak mengajak kami kerja-sama dan
membagi rata harta karun itu?"
Iblis Penakluk-dunia tertawa keras, “Ah, jangan memikirkan
yang bukan2. Saat ini....”

316
"It Hang dan rombongan orang gagah sudah masuk dalam
perangkap. Dewasa ini dunia persilatan tentu memerlukan
seorang pemimpin. Kalau Pendekar Laknat dan Dewi Ular Ki Ih
pun sudah jatuh ke dalam tangan saudara, tentulah harta
karun yang dapat dibelikan sebuah negara itu, mudah engkau
dapatkan. Dapat menguasai dunia persilatan dan memperoleh
harta karun yang ber-limpah2....”
Berhenti sejenak ia melanjutkan pula, “Masakan saudara
masih rela membagi rejeki dengan lain orang lagi?"
Dewi Neraka getarkan tongkat berkepala naga, lalu
berteriak sengit, “Kalian sungguh cerdik sekali!"
Namun seperti tak tersinggung oleh sindiran tajam dari
wanita iblis itu, Harimau Iblis berseru pula, “Jika tak pintar,
kami berdua tentu tak berani masuk mencari kematian ke
dalam barisan ini!"
Harimau Iblis menutup kata2nya dengan tersenyum.
Sepintas pandang seperti orang yang sudah yakin pada
dirinya.
Iblis Penakluk-dunia kerutkan alis. Setelah keliarkan
pandang mata kesekeliling, ia melangkah ketengah Naga
Terkutuk dengan Po Ceng-in.
Ia memandang kelain tempat se-olah2 tak mengacuhkan
Po Ceng-in.
Melihat tindakan tuan rumah itu, diam-diam Harimau Iblis
memberi isyarat mata kepada kakaknya, Naga Terkutuk. Naga
Terkutuk tersenyum tetapi tak berkata apa2.

317
Pada saat Iblis Penakluk-dunia akan tiba ditengah-tengah
Po Ceng-in dengan dirinya, tiba-tiba Naga Terkutuk
menggembor keras dan dengan sebuah jurus Naga-saktimencengkeram
dengan secepat kilat tangan kanannya
menyambar siku lengan kiri dari Po Ceng-in....
Saat itu Po Ceng-in sedangn terbuai dalam lamunan
asmara. Tangan kinannya mencekal tangan kanan Siau-liong
erat2. Seolah-olah. ia takut kehilangan pemuda itu. Nona
pemilik lembah itu benar-benar sedang dimabuk kepayang
sehingga lupalah ia akan keadaan saat itu. Hampir ia tak
mengetahui serangan mendadak dari Naga Terkutuk itu.
Barulah setelah pergelangan tangannya tercengkeram, ia
tersadar kaget. ”Aih....” buru-buru ia salurkan tenaga-sakti
Thay-kek-bu-wi-sin-kang kelengan kiri untuk menolak
serangan orang.
Tetapi tenaga-dalam Naga Terkutuk itu hebat sekali. Dan
memang rencananya, ia hendak mencekal Poh Ceng-in untuk
dijadikan sandera sebagai alat penekan Ibiis Penakluk-dunia
dan Dewi Neraka. Oleh karena itu maka ia harus dapat
menguasai Po Ceng-in.
Dengan tertawa dingin, ia tambahkan tenaga dalam
ketangannya. Po Ceng-in rasakan tangannya seperti terjepit
kait baja. Tenaga sakti Thay-kek-bu-wi-sin-kang yang
dipancarkan itu, bukan saja tak mampu menghalau tenaga
lawan, bahkan malah terdesak masuk kembali dan hampir
menyerang jatungnya.
Seketika ia rasakan lengan kirinya seperti patah, wajahnya
pucat, gerahamnya mengerat kencang dan meringislah ia
hendak menangis.
“Lepaskan!" teriak Dewi Neraka seraya gentakkan
tongkatnya.

318
Naga Terkutuk memandang kelain jurusan, sahutnya, “Asal
berani maju selangkah lagi, urat jantung puterimu tentu akan
kuremukkan."
Dewi Neraka mengerenyutkan gigi seperti hendak menelan
si Naga Terkutuk. Tetapi apa daya, ia terpaksa harus menurut
perintah orang.
Iblis Penakluk-dunia tertawa tawar, “Tindakan saudara itu
tentu saudara anggap pintar. Tetapi sesungguhnya tolol
sekali."
Harimau Iblis tertawa mengejek, “Ah, tujuan saudara kan
hanya menguasai dunia persilatan dan mendapat harta karun.
Masakan saudara.... ingat akan puteri saudara. Asal sudah
mendapat tujuan yang saudara cita-citakan, peduli apa
dengan yang lain-lain hal. Hanya saja....”
Ia berhenti sejenak untuk beralih memandang Dewi
Neraka, serunya pula, “Tetapi berbeda dengan nyonya.
Tentulah lebih mencintai anak daripada segala kekuasaan dan
kekayaan. bukan?"
Dewi Neraka tertegun. Buru-buru ia berseru kepada
suaminya, “Tolol! Jika engkau nekad turun tangan dan sampai
menyebabkan jiwa anak kita celaka. aku tentu akan mengadu
jiwa denganmu!"
Ternyata Harimau Iblis sudah dapat menyelami hubungan
antara kedua suami isteri itu.... Dewi Neraka amat mencintai
sekali anaknya. Diperhitungkan. wanita itu tentu lebih sayang
anak dari pada segala apa di dunia. Psikologi atau perasaan
hati wanita itu, dapat dimanfaatkan oleh Harimau Iblis. Ia
suruh Naga Terkutuk membekuk Po Ceng-in agar dapat
dijadikan alat penekan kedua suami isteri iblis itu.

319
Iblis Penakluk-dunia melambaikan tangannya, “Jangan
kuatir isteriku. Kutanggung anak kita tentu takkan menderita
apa2....”
Ia menutup kata2 sambil mengangkat jari ke atas.
Serangkum api merah segera meluncur ke udara.
Harimau Iblis tertegun, teriaknya, “Hai, jangan main gila
dihadapanku! Ketahuilah....
“Ah, harap saudara jangan banyak curiga," Iblis Penaklukdunia
tertawa, “aku hanya memberi perintah kepada anak
buah barisan supaya melakukan penyelidikan yang lebih
cermat lagi....”
Sejenak keliarkan mata, ia melanjutkan, “Terus terang
kuberitahukan kepada saudara bahwa saudara berdua
memang sudah masuk ke dalam barisan Tujuh Maut Dengan
cara dan siasat apapun, jangan harap saudara dapat
menghindar....”
“Tetapi paling tidak juga akan bersama mati dengan
puterimu!" tukas Naga Terkutuk.
Tetapi acuh tak acuh Iblis Penakluk-dunia mengurut
jenggotnya yang panjang dan berkata pula, “Sesungguhnya
aku tak mengandung sikap bermusuhan dengan saudara.
Paling tidak dalam saat kita perlu bekerja-sama untuk
menghadapi musuh yang sakti."
Harimau Iblis tertawa, “Sudahlah, jangan banyak bermain
lidah, kami berdua tiada waktu mendengarkan Lekas
beritahukan apa yang sesungguhnya telah terjadi. Apakah
Pendekar Laknat itu bersekongkol dengan kalian berdua atau

320
memang benar-benar sudah mati dalam barisan Tujuh Maut.
Dimanakah sekarang Giok-pwe yang separoh bagian itu?" '
Wajah Iblis Penakluk-dunia mengerut gelap, sahutnya, “Jika
saudara tetap tak mau percaya, akupun tak dapat berbuat
apa2. Pendekar Laknat dan wanita Ki Ih itu benar-benar
memang telah tertangkap dalam barisan Tujuh-maut, tetapi
mereka dapat melenyapkan diri tanpa meninggalkan suatu
jejak apapun juga....”
Berhenti sejenak, ia melanjutkan, “Setelah menghilang
selama 20 tahun, Pendekar Laknat memang makin tinggi ilmu
kesaktiannya. Berapa kali mengadu kepandaian, kami berdua
suami isteri hampir celaka ditangannya. Tetapi jika dia dan Ki
Ih mampu menghilang dari barisan Tujuh Maut aku benarbenar
tak percaya sama sekali! Taruh kata mereka mempunyai
sayap dapat terbang, pun tentu tetap diketahui oleh anak
buah barisan. Oleh karena itu....” — wajah iblis itu makin
berobah gelap, "berani pastikan bahwa dalam barisan Tujuh
Maut ini tentu sudah kedatangan lagi seorang sakti yang luar
biasa!"
Bermula kedua saudara Harimau dan Naga hanya tertawa
sinis. Tetapi demi melihat sikap Iblis Penakluk-dunia begitu
bersungguh-sungguh, tergerakklah hati mereka.
Naga Terkutuk mendengus, “Lalu siapakah kiranya orang
yang menyelundup ke dalam barisan Tujuh Maut itu?"
Dan tanpa menunggu jawaban Iblis Penakluk dunia, ia
melanjutkan lagi, “Apakah tidak mungkin paderi Liau Hoan
dari gunung Thian-san.... atau Kiu Tiong-beng si Manusia
Aneh dari Pak-ciang?.... atau Sepasang Imam dari gunung Mosan....
atau Empat Manusia Buruk dari gunung Imsan....?"
Iblis Penakluk-dunia berturut-turut gelengkan kepala.

321
"Orang2 itu adalah tokoh2 aneh yang sakti pada jaman ini.
Mereka telah mencapai tataran yang tinggi sekali. Tetapi kalau
mereka dapat keluar masuk ke dalam barisan Tujuh Maut
tanpa diketahui orang, benar-benar tak mungkin!"
Hampir saja Siau-liong tertawa geli mendengar percakapan
mereka. Betapa tidak! Kalau mereka tahu bahwa yang menjadi
Pendekar Laknat dan Ki Ih bukan lain adalah dirinya dan
Mawar Putih. bukankah mereka akan ditelan bulat2 oleh
kawanan iblis durjana itu?
Tetapi ketika teringat akan Mawar Putih yang nasibnya
belum ketahuan, seketika hatinya pilu dan rawan.
Ia gelisah sekali. Jika budak perempuan baju putih itu
benar-benar lenyap seperti yang dikatakan Iblis Penaklukdunia,
jelas kalau Mawar Putih sudah lolos dari barisan Tujuh
Maut. Lalu kemanakah nanti ia hendak mencari dara itu....?
Saat itu kabut dari keempat dinding karang makin tebal dan
mulai merembes ketengah. Persis seperti kemarin malam
ketika Siau-liong berada disitu.
Mata si Naga Terkutuk tak henti-hentinya berkeliaran
memperhatikan keadaan kesekeliiing. Sedang tangan
kanannya tetap mencengkeram bahu kanan Po Ceng-in erat2.
Sementara tangan kiri nona itu menggandeng tangan kanan
Siau-liong, sehingga mereka saling gandeng menggandeng
tangan.
Tetapi po Ceng-in tenang2 saja. Rupanya ia sudah dapat
menangkap isyarat kedua orang tuanya supaya tak usah
berusaha untuk melepaskan diri dari cengkeraman Naga
Terkutuk.

322
Dewi Neraka bersiap-siap dengan tongkat kepala ular
naganya. Ia memandang lekat2 ke arah Naga Terkutuk.
Bagaikan seekor burung rajawali yang menunggu saat2 si ular
naga lengah mencengkeram korbannya.
Iblis Penakluk-dunia kebalikannya malah memandang kian
kemari dengan sikap acuh tak acuh. Seolah-olah seperti
menunggu sesuatu dari lingkaran kabut tebal itu.
Suasana- tampak sunyi. Rupanya Harimau Iblis tergerak
hatinya mendengar kata2 Iblis Penakluk-dunia tadi. Matanya
bergantian memandang Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka.
Sekonyong-konyong dari jauh terdengar beberapa suitan
nyaring. Dan sayup2 dari dalam kabut tebal itu meluncur tiga
larik sinar api berwarna hijau kebiru-biruan ke atas angkasa.
Diperkirakan, api itu tentu berasal dari tengah dinding karang
yang terpisah 1O tombak lebih jaraknya.
“Apakah sudah ada hasil dari penyelidikan anak buah
saudara?" tanya Harimau Iblis.
Iblis Penakluk-dunia gelengkan kepala, “Aneh, masih belum
ketemu apa-apa....” — tiba-tiba ia menunduk kepala dan
berjalan beberapa langkah lalu berhenti. Memandang ke arah
Naga Terkutuk dan Harimau Iblis, ia berkata pula, “Sudah tiga
kali menyelidiki, hasilnya tak menemukan apa-apa. Baik
Pendekar Laknat, Ki Ih, budak perempuan baju putih dan lainlain
orang yang diduga menyelundup ke dalam barisan itu!"'
Naga Terkutuk dan Harimau Iblis saling berpandangan
dengan heran. Kedua saudara itu benar bingung menghadapi
gerak-gerik Iblis Penakluk-dunia yang sukar diraba itu. Sesaat
kedua saudara itu kehilangan faham.

323
Tetapi mereka tetap tak lepaskan pendirian semula. Asal
masih dapat menguasai Po Ceng-in, bagaimanapun kedua
suami isteri iblis itu hendak bermain siasat, tentu tetap dapat
diatasi.
Iblis Penakluk-dunia berjalan lagi. Tiba-tiba ia lontarkan
pertandaan api lagi. Api itu terbuat daripada bahan phosporus
sehingga sinarnya amat kuat sekali. Paling tidak tentu dapat
dilihat sampai jarak satu li jauhnya.
Timbul pula kecurigaan Harimau Iblis terhadap gerak-gerik
tuan rumah. Cepat ia berseru menegur, “Apa lagi itu?"
Tawar2 saja Iblis Penakluk-dunia memandang Harimau
Iblis. Dan berkatalah ia tanpa menyinggung pertanyaan tadi,
“Kini setelah jelas tiada orang yang menyusup ke dalam
barisan Tujuh Maut, untuk sementara waktu ini tak perlu
kuminta bantuan saudara berdua. Lebih dahulu kami suami
isteri menghaturkan terima kasih kepada saudara berdua....”
Harimau Iblis dan Naga Terkutuk terbeliak kaget. Sepasang
mata Harimau Iblis yang bundar besar, melingkar-lingkar
memandang Iblis Penakluk-dunia lalu membentak keras,
“Jangan main gila dihadapanku....”
Lalu beralih memandang Dewi Neraka, ia mengancam,
“Awas, jiwa puterimu yang engkau sayangi itu!"
Diluar dugaan, Dewi Neraka tak menghiraukan
ancamannya. Ia tetap lekatkan pandang matanya kepada
Naga Terkutuk.
Sejenak berhenti, Iblis Penakluk-dunia berkata pula,
“Sesungguhnya cita-citaku hanyalah untuk mendapat harta
pusaka itu dan menguasai dunia persilatan. Walaupun It Hang
dan rombongannya sudah terperangkap ke dalam barisan

324
Tujuh Maut, tetapi si Pendekar Laknat itu masih belum
ketahuan jejaknya. Rasanya jalan untuk mencapai cita2 itu
masih banyak rintangannya....”
Ia menghela napas lalu memandang ke arah Harimau Iblis,
“Saudara berdua memiliki ilmu kesaktian yang jarang
tandingannya. Maka kami hendak mengadakan hubungan
kerja-sama dengan saudara dalam jarak waktu yang lama.
Setelah mendapat harta pusaka dan menguasai dunia
persilatan....”
“Yang penting bagaimanakah sikap saudara dalam
kerjasama itu." karena tak sabar mendengar bicara orang
yang berbelit-belit, Harimau Iblis cepat menukas.
Iblis Penakluk-dunia tertawa gelak2. serunya, “Bukan aku
segan kerjasama itu, melainkan yang kuminta janganlah
saudara terlalu memperhitungkan balas jasa dan janganlah
menanyakan sebab-sebabnya. Lakukanlah perintah kami tanpa
syarat."
Naga Terkutuk dan Harimau Iblis terbeliak. "Ngaco! Jangan
bicara ngelantur!" teriak kedua saudara itu serempak.
Iblis Penakluk dunia hanya ganda tersenyum,tiba-tiba ia
berputar tubuh terus melangkah pergi.
Kedua saudara Naga dan Harimau itu benar-benar tak
mengerti apa yang sedang dilakukan tuan rumah. Naga
Terkutuk segera memperkeras cekalan tangannya pada lengan
Po Ceng-in.
“Aih....” Po Ceng-in mengerang kesakitan namun terpaksa
ditahannya juga. ia berpaling memandang Siau-liong dengan
sinar mengharap.

325
Siau-liong memang sedang menunggu suatu peluang yang
baik. Oleh Karena ia juga tak mengerti apa yang terkandung
dalam ucapan Iblis Penakluk-dunia, maka sampai saat itu ia
beium berani bertindak.
Tiba-tiba bau harum berhembus ketempat situ dan
berserulah Harimau Iblis, “Huh, apakah ini?"
“Masakan saudara tak mengetahui bahwa sepanjang tahun
lembah ini selalu berada dalam suasana musim semi. Pabila
angin berhembus, tentu mengantar bau bunga yang harum
membuai semangat orang."
Setelah menyedot bau itu sejenak, berobahlah seketika
wajah Harimau Iblis dan segera ia menggembor marah, “Aku
tak tahan lagi melihat permainan ini....” — ia berpaling kepada
Naga Terkutuk dan suruh memaksa Po Ceng-in berjalan
menunjukkan jalan keluar dari situ.
Naga Terkutuk pun menyadari sesuatu yang tak
menguntangkan. Maka cepat ia menyeret Po Ceng-in supaya
berjalan. Karena tangan nona itu masih tetap mencekal
tangan Siau-liong maka Siau-liong pun ikut terseret bangun.
Melihat Naga Terkutuk dan Harimau Iblis sudah mulai
bertindak dan mengingat bahwa bau harum itu tentu
mengandung obat bius, Siau-liong mengambil putusan untuk
turun tangan saat itu juga.
Sekali kaki mengisar, ia segera membentak Naga Terkutuk,
“ Lepas!'"
Naga Terkutuk tertegun, bentaknya, “Ho, budak, apakah
engkau juga sudah bosan hidup?"

326
Siau-liong tertawa keras. Nadanya laksana guntur
berkumandang ditengah musim semi. Naga Terkutuk terbeliak
kaget sekali. Dari nada tertawanya, jelas diketahui bahwa
pemuda itu memiliki tenaga dalam yang sakti.
Mendengar tertawa itu, cepat2 Harimau Iblis memberi
peringatan kepada saudaranya, “Awas, budak itu....”
Tetapi peringatannya itu sudah terlambat datangnya. Pada
saat Naga Terkutuk masih terpukau, Siau-liong sudah segera
pancarkan tenaga saktinnya ke tubuh Po Ceng-in.
Setitikpun Naga Terkutuk tak mimpi bahwa pemuda yang
baru berumur belasan tahun itu, mampu menyalurkan tenaga
dalamnya untuk membantu Po Ceng-in menolak tekanan
tangan Naga Terkutuk.
Seketika Naga Terkutuk rasakan tangannya yang
mencengkeram lengan Po Ceng-in itu seperti dilanda oleh
gelombang tenaga sakti yang dahsyat sehingga tangannya
terasa linu kesemutan dan lemah lunglai.
Po Ceng-in pun mengetahui peristiwa itu. Ia rasakan
tubuhnya dilanda oleh arus tenaga sakti dan tahu2 dilihatnya
Naga Terkutuk menarik pulang cengkeramannya. Nona itu
kejut2 girang. Tanpa me-nyia2kan kesempatan lagi, ia segera
mendorong iblis itu. Karena Naga Terkutuk sedang terpukau
oleh peristiwa yang mengejutkan tadi, ia tak sempat lagi
mengerahkan tenaga dalam untuk menolak dorongan Po
Ceng-in. Maka terhuyung-huyunglah iblis itu sampai beberapa
langkah jauhnya.
Melihat itu dengan meraung keras. Harimau Iblis segera
menyerbu. Tetapi Dewi Neraka yang sejak tadi sudah siap
siaga, cepat menghantamkan tongkatnya ke arah Harimau
Iblis.

327
Harimau Iblis terpaksa berputar menghindarkan diri. Tetapi
Dewi Neraka tak mau berhenti. Dengan mangukuk seram
seperti seekor burung hantu, wanita tua itu putar tongkatnya
membabat perut Harimau Iblis.
Sementara Naga Terkutuk, setelah menyalurkan tenagadalam,
tangannya yang kesakitan tadi sudah pulih kembali.
Lalu ia gunakan jurus Naga-sakti-bermain-diair, menyerang Po
Ceng-in dengan kalap.
Iblis Penakluk-dunia tertawa mengekeh. Begitu tangan
Naga Terkutuk hendak menyambar lengan Po Ceng-in, Iblis
Penakluk dunia segera menyongsong dengan sebuah
hantaman. Naga Terkutuk terpaksa hentikan serangan untuk
turun ke tanah seraya dorongkan kedua tangan menyambut
pukulan iblis Penakluk-dunia.
”Bum”.... terdengar letupan keras dan keduanya masingmasing
menyurut mundur tiga langkah.
Saat itu pecahlah pertempuran seru antara sepasang suami
isteri lawan sepasang saudara. Angin pukulan mereka
menderu-deru memancarkan sambaran dahsyat. Mereka
bertempur amat sengit sehingga sukar dikenal ciri2 orangnya.
Siau-liong mengawasi pertempuran keempat iblis dengan
tersenyum dingin.
Sementara kabut yang bertebaran dari empat penjuru
karang makin tebal. Kecuali diluar hutan, digelanggang
pertempuran itu terbungkus oleh kabut tebal sehingga sejauh
dua meter saja, orang tak dapat melihat apa2 lagi. Bau wangi
dari kabut itu makin keras juga.

328
Tiba-tiba Siau-liong rasakan kepalanya agak pening. Ia
terkejut dan buru-buru salurkan tenaga-dalam untuk
melindungi diri.
Sekalipun sudah bebas dari cengkeraman Naga Terkutuk
namun Po Ceng-in tetap rasakan lengan kirinya tak dapat
diangkat ke atas. Lentuk dan lunglai. Tentulah Naga Terkutuk
telah gunakan tenaga untuk mencengkeram lengan nona itu
sampai patah. Ia bahagia sekali karena merasa telah diuruturut
oleh Siau-liong. Tetapi ketika melirik, dilihatnya pemuda
itu tengah memandang kesekeliling penjuru. Sedikitpun tak
mengacuhkan dirinya. Diam-diam nona itu heran atas sikap
pemuda itu. Aneh, benar-benar aneh. Setempo ia merasa
Siau-liong menyambut cintanya. Tetapi setempo ia dapatkan
pemuda itu bersikap dingin padanya.
Sejenak menghela napas, ia gerak-gerakkan lengannya
bekas yang dicengkeram Naga Terkutuk tadi. Setelah terasa
agak baik, barulah ia menghampiri kesamping Siau-liong dan
menegurnya dengan mesra, “Engkoh.... Liong!"
Siau-liong terpaksa berpaling, “Mengapa?" — habis
mengucap, hatinya terasa amat muak.
Dengan pancaran mata yang berkilat-kilat, Po Ceng-in
memandang Siau-liong lalu berseru, “Hatimu amat ganas
benar!"
Siau-liong tertegun. Tetapi saat itu ia sedang menimangnimang
tindakan yang akan dilakukan setelah pertempuran
diantara keempat iblis itu selesai. Maka acuh tak acuh, ia
hanya menjawab singkat saja; "Benarkah begitu?"
Po Ceng-in berkata pula, “Ternyata engkau memiliki ilmu
kepandaian yang begitu sakti. Tetapi mengapa engkau tak

329
lekas menolong aku dan membiarkan diriku disiksa sampai
setengah hari oleh iblis terkutuk itu....?"
Siau-liong kerutkan alis, “Setiap tindakan harus disesuaikan
dengan saat dan keadaan, Jika tidak.... mungkin akan
runyam!"'
Sekali pun mulut menjawab Po Ceng-in tetapi mata Siauliong
terus memperhatikan lekat2 pada jalannya pertempuran
keempat iblis itu.
Dengan geram Po Ceng-in ulurkan lengan kirinya kemuka
Siau-liong, “Nih, lihatlah....”
Siau-liong terpaksa memandangnya juga lalu paksakan diri
bertanya, “Apa masih sakit?"
Po Ceng-in tempelkan tubuhnya kebahu Siau-liong dan
menyahut dengan manja, “Sakitnya hampir tak tertahan lagi,
lho....!"
Siau-liong hanya mendengus, “Sayang saat ini aku tak
membawa obat maka tak dapat berbuat apa2."
Tiba-tiba Po Ceng-in menarik pulang lengannya dan
tertawa mengikik, “Tak apa, aku sudah membawa obat
sendiri. Tetapi obat itu harus dimakan kita berdua!"
Siau-liong terbeliak. Baru hendak membuka mulut. tiba-tiba
ia rasakan darahnya bergolak keras. Mata berpudar-pudar dan
hampir ia rubuh.
Saat itu Po Ceng-in sudah mengeluarkan sebuah botol kecil
dari bahan kumala dan menuang dua butir pil berwarna merah
darah. Yang sebutir ditelannya dan yang sebutir disusupkan
ketangan Siau-liong. serunya, “Lekas telanlah "

330
Siau liong cepat dapat menduga bahwa pil ilu tentulah
sebuah obat anti racun. Maka tanpa berayal lagi terus
menelannya.
Pil itu pahit rasanya tetapi setelah masuk ke kerongkongan,
terasa menyegarkan tubuh. Rasa pusing dan darah yang
bergolak tadi, pun segera lenyap.
Saat itu pertempuran antara suami isteri Iblis Penaklukdunia
dan Dewi Neraka lawan Harimau Iblis dan Naga
Terkutuk kuatir akan alat-alat rahasia dalam barisan Tujuh
Maut. Maka keduanya bertempur dengan hati2 dan sejengkal
pun tak mau keluar dari hutan siong itu.
Tetapi suami isteri Dewi Neraka dan Iblis Penakluk-dunia
pun tak dapat berbuat apa2 terhadap kedua lawannya itu.
Po Ceng-in yang masih menyandarkan tubuhnya kebahu
Siau-liong, tiba-tiba menunjuk ke arah gelanggang
pertempuran dan tertawa, “Naga dan Harimau kedua Iblis itu
sudah tamat riwayatnya."
Siau-liong terkejut. Ketika memperhatikan, memang kuda2
kaki kedua iblis itu sudah ter-huyung2 tak mantap lagi. Begitu
pula jurus serangannya sudah tak bertenaga lagi. Jelas
mereka tentu akan remuk ditangan Iblis Penakluk dunia dan
isterinya.
Siau-liong terkesiap. Ia tahu bahwa kedua iblis itu terkena
kabut beracun. Kalau tidak tak mungkin begitu keadaannya.
Bermula ia kira kepandaian iblis bersaudara itu seimbang
dengan suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.
Jika kedua fihak bertempur. ke-dua2nya tentu akan menderita
luka. Walau pun karena menang tempat dan orang, tuan

331
rumah dapat mengalahkan tetamunya tetapi paling tidak pihak
tetamu pun tentu dapat membuat Iblis Penakluk-dunia dan
Dewi Neraka terluka parah.
Tetapi tak terduga ternyata Iblis Penakluk-dunia dapat
menggunakan siasat licik, menebarkan kabut beracun
sehingga kedua saudara Naga dan Harimau itu mengalami
kekalahan dengan cepat. Melihat keadaan itu mau tak mau
Siau-liong harus merobah lagi rencananya.
"Sejak saat ini Naga dan Harimau kedua iblis tua itu tentu
akan berganti nama menjadi anak buah ayah bundaku!" Po
Ceng-in tertawa riang.
Siau-liong terbeliak tetapi ia pura-pura bertanya, “Tetapi
menilik watak mereka, masakan mereka mau tunduk?"
Po Ceng-in tertawa, “Tolol, biar mereka tak mau tetapi
mereka pun terpaksa harus mau juga, Pil buatan ayah yang
disebut Pian-sing-ih-sin (merobah watak, melenyapkan
perasaan) akan membuat mereka lupa se-gala2nya....”
Tiba-tiba ia berhenti berkata. Rupanya menyadari kalau
kelepasan omong. Dipandangnya anak muda itu tanpa berkata
sepatah pun juga.
Saat itu keadaan Naga Terkutuk dan Harimau iblis makin
pontang-panting. Mereka terus menerus main mundur saja
sehingga hampir terdesak keluar hutan.
Melihat itu gelisahlah Siau-liong. Jika menunggu sampai
kedua suami isteri iblis itu mendapat kemenangan, tentulah
sukar baginya hendak meloloskan diri. Usaha untuk
menyelidiki Mawar Putih tentu gagal.

332
Segera ia berpaling ke arah Po Ceng-in, katanya, “Alat
perkakas rahasia dalam barisan Tujuh Maut itu, kiranya nona
tentu paham semua, bukan?"
Po Ceng-in terbeliak, serunya, “Eh, perlu apa engkau
menanyakan hal itu?"
“Tak dapat disangsikan lagi kedua locianpwe ayah-bunda
nona itu tentu akan menang. Kita tak perlu menguatirkan
mereka. Maka.... inginlah kugunakan kesempatan saat ini
untuk menambah pengalaman!"
Po Ceng-in tertawa mengikik, “Tolol, mengapa engkau
begitu terburu nafsu? Kan besok masih banyak waktu. Engkau
boleh me-lihat2 sepuas-puasmulah. Perlu apa harus
sekarang?"
Tiba-tiba dari keempat iblis yang sedang bertempur itu
terdengar suara erang tertahan. Menyusul terdengar getaran
keras dari tubuh seseorang yang terhantam mencelat sampai
satu tombak jauhnya.
Tanpa berpaling melihatnya, Siau-liong sudah dapat
menduga bahwa yang rubuh itu tentulah Harimau Iblis.
Wajah pemuda itu makin menggelap, ia mendesak Po
Ceng-in, “Kalau aku ingin me-lihat2 sekarang, apakah nona
suka menemani?"
Po Ceng-in memandang penuh tanya ke arah pemuda itu,
“Eh. engkau ini mengapa....” tiba-tiba ia menyurut mundur
dengan wajah gelisah, serunya, “kalau mau kesana. pun harus
mendapat ijin dari ayah-bundaku dulu. Karena.... karena
perkakas rahasia dalam barisan itu rumit dan pelik sekali.
Bahkan aku sendiri pun ada beberapa tempat yang tak
mengetahui kegunaannya!"

333
Saat itu pertempuran sudah mendekati penyelesaian.
Harimau Iblis kena terhantam lengannya oleh Iblis Penaklukdunia
dan terlempar di tepi hutan, tak ingat diri lagi
Sedangkan Naga Terkutuk walaupun masih dapat bertahan
mati2an tetapi saat itu sedang diserang dari muka belakang
oleh kedua suami isteri iblis. Paling banyak dalam tiga empat
jurus lagi, dia tentu akan mengalami nasib serupa dengan
Harimau Iblis tadi.
Dalam detik2 yang mendesak itu, Siau-liong cepat
bertindak. Ia mendengus lalu tiba-tiba mencengkeram lengan
kiri Po Ceng-in yang masih sakit tadi seraya berseru dingin,
“Sebagai pemilik lembah ini, jika engkau tak tahu jelas akan
perobahan barisan itu, bukankah berarti engkau hendak
membohongi orang saja?"
Walaupun hanya menggunakan seperlima bagian
tenaganya, tetapi karena yang dicengkeram Siau-liong itu
tepat pada bagian luka akibat bekas cengkeraman Naga
Terkutuk tadi. menjeritlah Po Ceng-in dengan amat kesakitan
sekali.
Siau-liong kendorkan sedikit tekanannya sambil
membentak, “Apakah sekarang mau meluluskan?"
Po Ceng-in tegakkan tubuhnya yang meliuk kesakitan tadi
dan mendamprat geram, “Memang kutahu engkau hanya berpura-
pura suka kepadaku....” dari kedua matanya, turunlah
beberapa titik air mata.
Rupanya tindakan Siau-liong itu benar-benar menyakitkan
lengan dan hatinya.
Melihat itu Siau-liong hampir tak sampai hati. Namun
terpaksa ia berkata menerangkan, “Karena keadaan terdesak,

334
terpaksa kuharus membuat nona menderita sedikit. Kelak
dikemudian....”
"Apa yang engkau maksudkan dengan keadaan terdesak itu
kalau bukan karena enekau hendak buru-buru mencari jejak
nona baju putih itu!"
Tiba-tiba ia tertawa rawan dan banting2 kaki, serunya,
“Baik, akan kutemani engkau kesana!"
Karena sudah berpengalaman, maka Siau-liong tak mudah
mempercayai mulut orang. Ia tetap mencekal lengan nona itu
sembari diajak berjalan bersama.
--ooo0dw0ooo--
MANUSIA DALAM TANAH
Diluar hutan kabut amat tebal. Memandang ke belakang,
hutan itu hilang lenyap ditelan kabut tebal.
Po Ceng-in tak menghiraukan keadaan disekelilingnya. Ia
biarkan dirinya ditarik Siau-liong.... Adalah pemuda itu sendiri
yang gelisah.
Pikirnya, jika wanita itu nekad hendak mati bersama-sama,
bukankah akan runyam akibatnya nanti?
"Ceng-in! Ceng.... in....!" sekonyong-konyong dari arah
hutan terdengar Dewi Neraka berseru memanggil puterinya.
Po Ceng-in tertegun dan berhenti. Katanya, “Ayah seorang
berhati besi. Jika mengetahui kecuranganmu, walaupun ada
aku disampingmu, tetap dia akan menggerakkan alat rahasia
dalam barisan Tujuh Maut!"

335
Siau-liong tertawa hambar, “Jika tak masuk ke dalam
sarang harimau, masakan mampu memperoleh anaknya.
Dalam keadaan seperti sekarang, tak ada lain pilihan lagi!"
Po Ceng-in ayunkan langkah lagi. ujarnya, “Nona yang
datang bersamamu itu tentulah benar-benar sudah
menghilang. Karena ayah tentu tak bohong. Begitu pula
setelah dilakukan penyelidikan ke dalam barisan Tujuh Maut
dan Lembah Maut, tetap tak dapat menemukan jejak nona
itu."
Siau-liong tak saba, “Aku melakukan amal kemanusiaan
tetapi terserah saja pada nasib. Tak dapat menemukannya,
pun tak apalah."
“Bukankah kalian berdua....” baru Po Ceng-in berkata
sampai disitu.
Siau-liong cepat menukas, “Lebih baik jangan membuang
waktu!"
Po Ceng-in menghela napas panjang. Sambil menggulap
peluh dimukanya. ia segera berjalan. Bahkan kali ini jalannya
lebih cepat. Siau-liong tetap siap siaga menghadapi segala
kemungkinan.
Tiba-tiba dalam selimut kabut tebal itu samar2 tampak
sebuah dinding batu menghadang ditengah jalan Kiranya
mereka sudah tiba diujung tanah bengkah. Po Ceng-in
berhenti dimuka sebuah gua.
Gua itu tingginya hampir 2 meter, mulut gua tertutup
sarang labah2 dan gerumbul semak. Jelas bukan gua yang
kemarin Siau-liong masuki.

336
Setelah memeriksa beberapa saat, Po Ceng-in mengatakan
salah jalan. Bukan kesitu tetapi seharusnya belok kekiri, Siauliong
tak dapat berbuat apa2 kecuali mengikuti nona itu
menuju kesebelah kiri".
Setelah melalui tiga buah gua, akhirnya Po Ceng-in berhenti
lagi, “Disinilah! Hanya disini terdapat satu-satunya jalan
keluar!'
Gua itu hanya satu setengah meter tingginya hingga orang
harus menundukkan kepala kalau melangkah masuk.
Tiba-tiba Po Ceng-in menampar ke arah gua itu. Dari
samping mulut gua yang gelap, melesat keluar seorang lelaki
tinggi besar menghunus pedang. Dia adalah salah seorang
anggauta barisan Lembah Semi yang menunjukkan jalan pada
rombonpan tetamu kemarin.
Saat itu wajahnya membesi. Tegak melintang dipintu gua
dengan mata tak berkesiap memandang Po Ceng-in dan Siauliong.
Po Ceng-in menghela napas pelahan lalu lambaikan tangan
memanggil orang itu, “Kemarilah!"
Tetapi orang itu tetap tegak seperti patung dan tak
menyahut.
"Kemarilah engkau! Thian-cun akan segera datang!" seru
Po Ceng-in tertawa tawar.
Thian-cun adalah sebutan kehormatan bagi Iblis Penakluk
dunia. Setiap anak buah Lembah Semi memangggil Iblis
Penakluk-dunia dengan sebutan Thian-cun.

337
Orang itu terkesiap lalu maju menghampiri. Waktu tiba
pada jarak satu meter dihadapan Po Ceng-in, sekonyongkonyong
nona pemilik Lembah Semi itu ayunkan tangan
kanannya, menghantam dada orang itu.
Bluk.... tubuh penjaga gua yang tinggi besar itu, bagaikan
layan-layang putus tali, melayang ke belakang dan membentur
batu karang....
Siau-liong terkejut. Setitikpun ia tak mengira bahwa Po
Ceng-in akan menghantam mati anak buahnya sendiri. Ia
hendak menolong tetapi sudah terlambat. Orang itu pecah
kepalanya. Benak berhamburan dan nyawanya melayang....
Kata Po Ceng-in dengan napas agak terengah, “Apa boleh
buat, tak ada lain jalan lagi." Kemudian memandang Siauliong,
ia berkata pula, “Dia adalah anak buah ayah. Kecuali
ayah, dia tak mau mendengar perintah dari siapa saja. Jika tak
dilenyapkan, dia tentu akan menggerakkan perkakas rahasia
sehingga kita berdua tentu mati."
Tanpa menunggu tanggapan Siau-liong, nona itu terus
masuk ke dalam gua. Bermula memang sempit tetapi setelah
melangkah setombak jauhnya, keadaannya makin lebar dan
tinggi sehingga tak perlu berjalan dengan kepala menunduk.
Kira2 dua puluh tombak jauhnya, barulah mereka tiba
disebuah persimpangan tiga. Sejenak merenung, Po Ceng-in
memilih jalan sebelah kanan. Tak lama mereka tiba di ujung
jalan terdapat sebuah kamar batu. Tak ada perkakas apa2
dalam kamar itu. Hanya pada dinding tengah, terdapat 5 buah
tombol dari baja.
Po Ceng-in menghampiri lalu menekan salah sebuah tombol
itu. Segera terdengar bunyi berderak-derak. Dinding bagian

338
tengah dan kanan kirinya pelahan-lahan berkisar dan
tampaklah tiga buah pintu berjajar-jajar rapi.
Siau-liong memandang cermat. Pintu yang tengah lebar
dan bersih. Disebelah dalam samar2 tampak penerangannya.
Sedang pintu yang sebelah kanan, sempit kecil tetapi cukup
dimasuki seseorang.
Sedang pintu yang kiri, hanya semeter tingginya. Bagian
dalam gelap dan lembab. Bau yang busuk menghambur keluar
dari pintu itu, memuakkan sekali.
Sejenak berdiri merenung, Po Ceng-in segera masuk ke
dalam pintu sebelah kanan, ialah pintu yang terkecil.
"Eh, apakah nona tak keliru?" karena curiga, Siau-liong
cepat menarik nona itu.
Po Ceng-in tertawa dingin, “Jika aku memang bermaksud
mencelakaimu, tentu akan kubawamu masuk ke dalam pintu
yang lain....”
Tiba-tiba nada suara nona itu berobah rawan2 gemas, “Tak
apa untuk menemani engkau mati! Hanya dengan cara itu
barulah hatiku tenteram. Tetapi ah, sayang. Hatiku tetap tak
sampai....”
Seketika ngerilah hati Siau-liong. Dengusnya dalam hati,
“Huh, wanita yang cabul ini ternyata bisa jatuh cinta matimatian
padaku....”
Pada lain saat Po Ceng-in segera menerobos ke dalam
pintu kecil itu. Siau-liong terkejut. Karena pintu amat sempit
sekali maka ia terpaksa lepaskan cekalan pada tangan Po
Ceng-in. Nona itu terus melangkah maju dengan cepat.

339
Siau-liong terkesiap. Diam-diam ia memaki dirinya mengapa
begitu lengah. Bagaimana kalau nona itu menipunya agar
dapat lolos?
Buru-buru ia menyusul. Untunglah tak berani jauh, lorong
dalam gua itu mulai melebar dan beberapa saat kemudian
tibalah mereka disebuah tanah yang luas. Ditengah tanah
seluas lima tombak itu, terdapat sebuah pintu batu yang kecil.
Tiba-tiba Po Ceng-in berputar tubuh dan tertawa mengikik
sembari angsurkan lengan kirinya ke arah Siau-liong,
“Peganglah lagi erat2! Supaya jangan sampai aku dapat lari
atau menggerakkan perkakas rahasia disini!"
Siau-liong tersipu-sipu malu dan menolak, “Sudah cukup
kusuruh nona menderita tadi. Hal itupun karena terpaksa
juga!"
Po Ceng-in pun menarik pulang tangannya lalu menunjuk
pada pintu batu itu, “Melalui pintu itu berjalan 10-an tombak,
sudah keluar dari barisan Tujub Maut, masuk ke dalam
Lembah Maut....”
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi, “Sekalipun dalam
Lembah Maut itu tiada dipasang perkakas rahasia, tetapi
lembah itu merupakan tempat berbahaya sekali. Sekali masuk
tak mungkin orang mampu keluar lagi!"
Siau-liong diam saja. Sudah hampir setengah hari ia
mengikuti nona itu menerobos keluar dari barisan Tujuh Maut,
tetapi yang dilaluinya selama itu hanyalah lorong gua saja.
Dan lagi perjalanan itu mengalami berpuluh2 tikungan yang
berbelok-belok. Selama itu ia tak berjumpa dengan seseorang
pun juga.

340
Setelah meragu sebentar, Po Ceng-in tiba-tiba ulurkan
tangan menekan batu marmar hijau yang menonjol di tepi
pintu. Pintu berderak-derak berkisar. Begitu terbuka separoh
bagian, Po Ceng-in terus menarik tangan Siau-liong diajak
menerobos masuk.
Heran Siau-liong dibuatnya mengapa Po Ceng-in begitu
tergopoh-gopoh sekali. Tetapi ia duga tentu ada sebabnya. Ia
diam saja dan hanya mengikuti di belakang si nona.
Terowongan dalam pintu itu, lurus membujur kemuka. Tak
berapa jauh dari pintu, terdapat sebuah kamar yang melekuk
masuk.
Siau-liong hanya memperhatikan untuk mengikuti di
belakang Po Ceng-in. Ia tak sempat memperhatikan apa yang
berada dalam kamar itu.
Kira2 lari sejauh dua tombak dari kamar itu, terdengarlah
suara orang berteriak, “Kembali!"
Suara itu amat lemah sekali seperti dilontarkan dari mulut
seseorang yang tengah meregang jiwa. Tetapi sekalipun
begitu, nadanya memiliki perbawa yang amat kuat. Seketika
Po Ceng-in tampak menggigil dan seperti anak kecil, ia
menurut untuk berhenti.
Dengan menghela napas, nona itu berseru, “Jong Leng
lojin....!"
Siau-liong tak tahu siapakah Jong Leng lojin itu. Tetapi dari
nada suaranya tadi, dapatlah ia menduga orang itu tentu
seorang tua yan sakit parah. Seketika timbullah rasa
herannya. Mengapa dalam ruang gua dibawah tanah yang tak
pernah diinjak manusia, terdapat seorang manusia, seorang

341
tua yang sakit? Dan apa pula sebabnya, Po Ceng-in begitu
takut sekali kepada orang itu?
Berkata Po Ceng-in dengan setengah berbisik, “Orangtua
itu menjaga dijalan tembusan Lembah Maut sini. Selamanya,
ia terus tidur. Setiap setengah bulan baru terjaga sekali. Ah,
mengapa hari ini kebetulan dia sedang bangun?"
Siau-liong pun berputar tubuh. Dilihatnya bagian dinding
gua yang cekung ke dalam itu merupakan sebuah kamar.
Tetapi orang yang berteriak tadi tak muncul sehingga tak
dapat diketahui bagaimana perwujutannya!
Siau-liong ingin lekas keluar dari Lembah Maut untuk
mencari Mawar Putih dan lain-lain tokoh yang belum ketahuan
jejaknya itu. Serunya, “Tak perlu menghiraukannya, aku
hendak lekas2....”
“Tidak bisa!" wajah Po Ceng-in berobah tegang kemudian
berkata dengan bisik2:”.... Kecuali engkau tak ingin hidup."
Habis berkata ia terus melangkah ke dalam ruang itu. Siauliong
tertegun tetapi terpaksa ia mengikuti juga.
Bukan kepalang kejutnya ketika masuk ke dalam ruangan
itu. Ditengah ruangan duduk seorang tua yang kurus kering
seperti tinggal tulang terbungkus kulit saja. Rambutnya
panjang kusut masai menutup dahi. Orang itu tengah duduk
bersila.
Yang luar biasa adalah sepasang matanya yang berkilatkilat
tajam sekali. Po Ceng-in dan Siau-liong berganii-ganti
ditatapnya. Entah berapa umurnya tetapi yang jelas dia
seorang yang sudah lanjut sekali umurnya. Dia hanya
mengenakan baju tipis dan tidak bersepatu. Sepintas tak ubah
seperti sesosok mayat hidup yang menyeramkan.

342
"Maju sedikit kemari!" seru orang tua kurus itu dengan
nada gemetar.
Po Ceng-in memberi isyarat ekor mata kepada Siau-liong
lalu melangkah maju tiga langkah kemuka.
Diam-diam Siau-liong menimang. Kecuali sepasang
matanya yang masih memancarkan sinar, orang aneh itu
sudah tak ubah seperti orang mati. Tetapi mengapa masih
begitu bengis? Sikap orang tua itu mengurangkan rasa kasihan
Siau-liong kepadanya.
Setelah mengawasi Po Ceng-in beberapa saat, orang itu
tertawa ketolol-tololan, “Ho, aku kenal padamu!" -lalu ia
menuding Siau-liong, serunya, “Kemarilah engkau!"
Saat itu barulah Siau-liong menyadari bahwa orang tua itu
seorang gila. Ia segera melangkah maju dan memberi
hormat....”Karena ada urusan penting, maaf aku tak dapat
lama2 disini. Dan lagi.... saat ini aku sendiri masih dalam
bahaya sehingga tak dapat menolong locianpwe!"
Berulang kali Po Ceng-in mengisar tubuh memberi isyarat
mata kepada Siau-liong. Nona itu gelisah sekali tampaknya.
Tetapi Siau-liong tak mengerti apa sebab nona pemilik
lembah sedemikian ketakutan terhadap orang tua gila itu.
Setelah memandang lekat2 pada Siau-liong tiba-tiba orang
tua itu ayunkan tangannya mencengkeram kemuka.
Gerakannya lamban tiada bertenaga. Siau-liong mengira kalau
memang begitu kebiasaan orang gila, suka menggerakgerakan
tangan dan kaki sekehendak hatinya. Apalagi gerak
mencengkeram itu sama sekali tak mengeluarkan suara dan
ditujukan tempat kosong.

343
Tetapi alangkah kejut Siau-liong ketika tahu2 ia rasakan
tubuhnya seperti tersedot oleh segelombang tenaga yang
amat dahsyat. Tak sempat lagi ia hendak melawan dan diluar
kehendaknya, tubuhnya meluncur maju kehadapan orang tua
aneh itu....
Siau-liong gelagapan seperti orang disiram air dingin.
Dipandangnya orang tua itu. Ah, benar-benar seorang
tengkorak hidup. Tetapi mengapa orang tua itu memiliki ilmu
tenaga yang sedemikian saktinya? Apakah dia pandai ilmu
sihir?
Tetapi Siau-liong tak sempat lagi membuat penilaian karena
saat itu si orang tua kurus tertawa mengikik, “Budak, ho,
engkau takut padaku atau tidak?"
Merahlah muka Siau-liong. Ia menundukkan kepala tak
menjawab.
Ia sudah menerima saluran tenaga sakti dari Pendekar
Laknat. sudah pula mendapat pelajaran ilmu pukulan Thaysiang-
ciang dari Pengemis Tengkorak ketua Kay-pang, makan
buah Im-yang-som dan minum darah binyawak purba dari
pusar bumi. Dalam dunia persilatan kepandaiannya dapatlah
digolong dalam tingkatan jago kelas satu.
Tetapi setitik pun tak pernah ia mengira bahwa gerak
cengkeraman ke udara dari orang tua yang dianggap gila itu
telah membuatnya tak berdaya sama sekali. Hal itu
membuatnya terlongong-longong kecewa dan putus asa....
“Aku muncul di dunia persilatan sebagai Pendekar Laknat.
Tetapi ternyata kepandaianku masih begini tak berguna.
Hanya akan mencemarkan nama baik Pendekar Laknat saja!"
pikirnya.

344
“Budak, engkau takut kepadaku atau tidak!" kembali
orangtua aneh itu berseru.
“Sudah tentu takut," buru-buru Po Ceng-in mewakili untuk
menjawab, “siapa orang di dunia yang tak gemetar
mendengar nama Jong Leng lojin?"
“Siapa suruh engkau usil mulut!" bentak orang tua aneh
yang bernama Jong Leng lojin seraya tamparkan tangannya.
Uh.... Po Ceng-in terlempar dua tiga meter ke belakang....
Nona itu terpaksa merangkak bangun.
Jong Leng lojin terbahak-bahak dan membentak Siau-liong
lagi, “Hai, budak! Lekas bilang, engkau takut kepadaku atau
tidak!"
Sikap dan tingkah laku Jong Leng lojin yang bengis itu
menimbulkan kemarahan Siau-liong, Anak muda itu
tengadahkan kepala dan tertawa keras, “Aku merasa kasihan
kepadamu!"
Jong Leng lojin deliki mata kepada Siau-liong. Tiba-tiba
sinar matanya padam dan iapun menghela napas, “Budak,
engkau benar, aku.... aku.... memang mengenaskan sekali!"
Po Ceng-in terbeliak. Ia tak duga kalau Jong Leng lojin
dapat berobah sedemikian merawankan.
"Ya. sesungguhnya tak perlulah engkau takut kepadaku....”
tiba-tiba Jong Leng lojin berbangkit.
Tring, tring.... terdengar bunyi bergemerincingan yang
nyaring melengking memekak telinga. Dan terkejutlah Siauliong.
Ternyata bunyi bergemerincing itu berasal dari dua utas
rantai baja yang diikatkan pada lutut kaki orang aneh itu.

345
Rantai masuk ke dalam tulang lutut dan tembus keluar,
dimasukkan ke dalam lubang tanah.
Karena sudah bertahun-tahun rantai itu masuk ke dalam
tulang. maka sudah seolah-olah menjadi satu dengan daging.
Ngeri, benar-benar suatu siksaan yang menegakkan bulu
roma....!
Siau-liong bergidik juga. Dengan geram ia memandang
pada Po Ceng-in. Tetapi nona itu cepat2 memalingkan muka
kesamping. tak berani menghadapi pandang mata menuntut
dari pemuda itu.
Kini Siau-liong cepat dapat menduga bahwa tentulah Iblis
Penakluk-dunia dan Dewi Nerakalah yang mengikat orang itu.
Tetapi iapun merasa heran mengapa Jong Leng lojin yang
memiliki kepandaian bagitu sakti, tak mampu memutuskan
rantai yang hanya sebesar jempol tangan saja? Dan mengapa
orang tua sakti itu sampai dapat dirantai oleh suami isteri iblis.
"Mengapa locianpwe rela dirantai disini?" segera ia
bertanya.
Mata Jong Leng lojin berkeliar sejenak lalu menyahut,
“S:apa bilang?"
"Dengan kesaktian yang locianpwe miliki, masakan tak
mampu memutus rantai yang hanya sejempol tangan
besarnya itu?" tanyanya pula.
Jong Leng lojin gelengkan kepala, “Rantai ini terbuat dari
baja murni. Merupakan logam yang paling lemas tetapi ulet
sekali. Tak mungkin kudapat memutuskannya kecuali engkau
bisa mendapatkan semacam obat untukku!"

346
Siau-liong menghela napas. Dia sendiri masih dalam
bahaya. Entah dapat selamat entah tidak. Bagaimana ia dapat
mencarikan obat untuk orang tua itu?
“Sekali pun aku senang sekali membantu locianpwe, tetapi
pasti hanya akan mengecewakan harapan locianpwe saja.
Karena aku benar-benar tak mempunyai kemampuan begitu
besar!"
Jong Leng lojin tampak kecewa. Tiba-tiba ia berkata
kepada Siau-liong, “Takkan kusuruh engkau mencari obat itu
dengan sia-sia. Akan kuberimu sebuah hadiah!"
Siau-liong tertawa tawar, “Bukan aku menginginkan hadiah
locianpwe, tetapi pada saat dan tempat seperti sekarang ini,
tenagaku benar-benar tak mencapai. Kecuali....” ia berhenti
sejenak lalu, “kecuali aku mempunyai peta dari barisan Tujuh
Maut."
Jong Leng lojin bertepuk tangan, “Tepat sekali
permintaanmu itu, budak! Barisan Tujuh Maut itu memang
aku yang menciptakan. Dan justeru peta barisan itulah yang
hendak kuberikan kepadamu!"
Girang Siau-liong bukan buatan. Bergegas ia bertanya,
“Apakah ucapan locianpwe itu sungguh2?"
Jong Leng lojin mendengus lalu mengambil sebuah lipatan
kain warna kuning yang sudah kumal, diberikan kepada Siauliong,
“Ambillah!"
Dan serentak iapun mengeluarkan selembar bungkusan
kain sebesir jari tangan, katanya, “Resep! Jangan lupa, paling
lama sebulan, engkau harus mengantarkan obat itu kemari!"

347
Siau-liong buru-buru menyambuti dan menyimpannya baik2
dalam baju, “Harap locianpwe jangan kuatir. Tentu akan
kulaksanakan sebaik-baiknya."
Orang tua kurus itu pejamkan mata. Dari kedua lekuk
pipinya yang cekung tinggal tulang itu, tampak menampil
senyum gembira.
Siau-liong pun segera ayunkan langkah pelahan-lahan
keluar dari ruang itu. Po Ceng-in tetap mengikuti
dibelakangnya. Beberapa saat kemudian nona itu menarik
tangan Siau-liong, "Karena sudah mempunyai peta dari Jong
Leng lojin, kiranya engkau tentu tak memerlukan bantuanku
lagi sebagai penunjuk jalan.
Siau-liong berhenti memandangnya sejenak katanya, “Jika
nona hendak pulang, silahkan. Hanya kuharap janganlah nona
memberitahu urusanku ini kepada ayah-bunda nona....”
Siau-liong berhenti sejenak lalu tertawa, “Dengan cara
apapun juga. sesungguhnya aku harus menghaturkan terima
kasih kepada nona."
“Tak perlu," sahut Po Ceng-in rawan. Dengan menahan
haru air matanya yang hendak mengucur, ia berkata dengan
sekat, “Ada sebuah hal yang harus kuberitahukan kepadamu."
Siau-liong mengangguk, “Silahkan."
“Memang sebelumnya aku sudah merasa, tak mungkin
engkau menaruh cinta sesungguhnya kepadaku. Oleh karena
itu....” ia berhenti untuk menenangkan diri lalu dengan nada
gemetar ia berkata pula, “kuberimu minum racun Jong-tok!"
Siau-liong seperti disamber petir kejutnya, “Perempuan
siluman, engkau!" teriaknya marah.

348
Tetapi Po Ceng-in tenang2 saja menyahut, “Sekarang
terserah saja engkau hendak mengapakan diriku. Tetapi
kukatakan, percuma saja. Karena racun Jong-tok itu tiada
obatnya lagi.... Tetapi jika engkau ingin hidup, masih ada
sebuah jalan....” kata wanita itu pula.
"Bagaimana?"
"Menjadi suami isteri dengan aku....” sahut Po Ceng-in
tenang sekali.
Hati Siau-liong seperti disayat sembilu. Geram, dan marah
sekali sehingga untuk beberapa saat ia termangu-mangu
seperti patung.
Tiba-tiba Po Ceng-in meramkan mata dan berkata dengan
rawan, “Aku sendiri pun minum racun itu. Dengan begitu kita
menjadi dua nyawa satu badan. Hidup sama hidup, mati ikut
mati!"
Siau-liong terpaku. Sekonyong-konyong ia menggerung
sekeras -kerasnya, “Perempuan siluman, serahkan nyawamu
lebih dulu!"
Dengan pukulan Tay-lo-kim-kong, Siau-liong hantamkan
tangan kanannya kedada Po Ceng-in. Tetapi wanita itu tenang
sekali sikapnya. Tidak mau menangkis, pun tak mau
menghindar. Bahkan pejamkan kedua mata sambil
menyungging senyum. Seolah-olah menghadapi kematian
seperti hendak pulang kerumah....
Pada saat tinju hendak tiba di dada, entah bagaimana, tibatiba
Siau-liong menariknya kembali.

349
“Pukullah! Jika tak mau memperisteri aku, bunuh sajalah!"
Po Ceng-in menentang.
Dada Siau-liong serasa meledak. Ia memakinya,
“Perempuan siluman, engkau perempuan iblis yang buta....!"
Po Ceng-in menatapnya, mendadak ia tertawa nyaring
macam orang-utan meraung-raung, nadanya.
“Dengan mahluk macam apa saja engkau hendak
mempersamakan diriku, siluman perempuan atau iblis
perempuan.... pokok nasib hidupmu sudah ditentukan tak
dapat berpisah dengan diriku "
Wanita pemilik lembah itu berhenti sejenak, menghela
napas lalu melanjutkan kata-katanya, “Jika engkau membunuh
aku, engkau pun takkan dapat hidup lebih lama dari tiga hari.
Begitu racun Jong-tok itu bekerja, sekalipun dewa tak
mungkin dapat menolongmu!"
Jong-tok adalah ramuan racun dari segala jenis binatang
berbisa.
Siau-liong menggemeretakkan gigi. Namun tak dapat
berbuat apa2. Ia percaya perempuan itu tentu tak bohong.
Dengan minum racun Jong-tok yang ganas, setiap saat
jiwanya dapat diputuskan menurut kekehendak perempuan
itu!
Siau-liong menghela napas dalam....
Dia tak takut mati. Hanya tugas yang dibebankan pada
dirinya masih banyak yang belum selesai. Jika mati ditangan
perempuan siluman itu. bukanlah suatu kematian yang
teramat sia-sia....?

350
Teringat ia akan kematian ayahnya ditangan Toh Hun-ki.
ibunya yang sedang mengidap sakit disebrang lautan, gurunya
Kongsun Sin-tho yang telah merawatnya belasan tahun,
Pendekar Laknat yang telah memberi saluran tenaga dalam
kepadanya serta Pengemis Tengkorak yang telah menurunkan
ilmu pukulan Thay-siang-ciang....
Mereka masing-masing menumpahkan harapannya kepada
dirinya. Walaupun permintaan mereka itu berlainan satu sama
lain, tetapi ia merasa telah menerima budi mereka. Budi yang
wajib ia balas dengan jiwa raga. Jika ia sampai mati dilembah
situ, bukankah ia akan mengecewakan harapan mereka....
Dan juga masih ada Tiau Bok-kun serta Mawar Putih.... ah,
teringat akan kesemuanya itu, hatinya amat pilu sekali.
Bahkan timbul juga perasaan tak puas atas keadilan Yang
Maha Kuasa, mengapa menggariskan suratan nasibnya dalam
keadaan yang sedemikian rumit....
Diam-diam Po Ceng-in melirik ke arahnya lalu tertawa
pelahan, “Sesungguhnya engkau tak perlu bersedih begitu
rupa. Apakah kerugianmu mengambil aku sebagai isteri?
Bukankah tak lama lagi ayahku bakal menjadi pemimpin dunia
persilatan? Pada saat itu, dikolong dunia ini....
“Tutup mulutmu!" bentak Siau-liong.
Po Ceng-in mendengus, “Hm, dalam hal apakah aku tak
dapat dibandingkan dengan budak perempuan baju putih itu?
Mengapa hatimu begitu kemati-matian terpikat padanya?
Budak perempuan hina itu kemungkinan sudah mati!"
Memang Po Ceng-in berani mengatakan begitu karena ada
kenyataannya. Walaupun umurnya sudah 40-an tahun, tetapi
wajahnya masih berseri secantik gadis2 remaja. Terutama
sepasang sepasang mata dan bibirnya, benar-benar

351
mengandung daya tarik yang hebat. Tak kalah menariknya
dengan wajah Mawar Putih mau pun Tiau Bok-kun.
Tetapi Siau-liong tetap muak terhadap perempuan itu.
Ingin ia menghantamnya hancur lebur.
Dengan menahan kegeraman, ia paksakan menegur,
“Berapa lamakah racun itu akan bekerja?"
Sambil memandang pemuda itu, Po Ceng-in menjawab,
“Hal itu tergantung padamu sendiri Setiap saat dapat bekerja.
Mungkin seumur hidup racun takkan bekerja. Syaratnya asal
engkau memperisteri aku, tentu selamat selama-lamanya!"
Siau-liong tertawa dingin, “Hapus saja impianmu itu!"
Po Ceng-in menghela napas, “Terserah saja padamulah!
Karena hal itu memang tak dapat dipaksakan."
Dengan tajam ia melirik anak muda itu lalu berkata pula,
“Begini sajalah! engkau tak sudi mengambil isteri aku, tetapi
pun jangan dengan budak baju putih itu. Paling tidak, takkan
bersatu seumur hidup....”
Habis berkata ia tertawa keras. Tetapi nadanya
mengandung rintihan hati yang putus asa.
Siau-liong menghela napas. Benar-benar ia tak dapat
berbuat apa2 terhadap wanita yang sudah diamuk dendam
asmara itu....
Puas tertawa, Po Ceng-in berseru dengan terengah-engah,
“Apa yang tak dapat kuperoleh. Lain orang pun jangan harap
bisa mendapatkannya!.... lekas, lekaslah bunuh aku....
bunuhlah....!"

352
Dengan kalap ia menyongsong Siau-liong seraya herteriakteriak....
Kalau engkau tak mau membunuhku, tak apalah. Aku
dapat bunuh diri sendiri. Tetapi kalau aku mati, engkau pun
hanya dapat hidup 3 hari lagi. Pergilah silahkan kalau mau
pergi....!"
Entah bagaima mendadak Siau-liong kasihan juga. Lepas
bagaimana peribadi wanita itu tetapi yang nyata ia begitu
mencintainya kemati-matian. Kalau tidak masakan dia sampai
nekad makan racun ganas berdua supaya dapat sehidup
semati dengannya.
Segera Siau-liong mencengkeram bahu Po Ceng-in dan
menguncang-guncangkannya; ”Nona.... nona....”
Po Ceng-in agak tenang, sambil mengangkat muka ia
bertanya, “Bagaimana? Apakah engkau sudah menyadari....?"
Siau-liong tertawa masam, “Aku tak dapat membohongi
engkau. Tetapi memang benar-benar aku tak dapat
memperisteri engkau, hanya....”
“Tak perlu mengatakan!" tukas Po Ceng-in.
“Hanya aku dapat meluluskan, untuk mati bersama-sama
engkau!" kata Siau-liong tanpa peduli.
“Engkau meluluskan atau tidak, tetap sama saja. Racun
Jong-tok itu tiada obatnya!"
Siau-liong mengangguk, “Kutahu.... hanya saja marilah kita
cari tempat yang bagus untuk membuat liang dan mati dalam
satu lubang kubur!"

353
Po Ceng-in tertawa rawan. Itulah liang kubur 'Mati bersama
hidup berbeda' ditatapnya Siau-liong, tanyanya, “Apakah
engkau benar-benar sudah memutuskan begitu?"
Siau-liong mengangguk, “Sekali sudah memutuskan, tak
nanti aku menyesal. Tetapi engkau harus meluluskan sebuah
hal dulu."
"Katakanlah!"
"Dalam waktu setahun lamanya, harap engkau jangan
membuat racun Jong-tok itu bekerja dulu Dan jangan
bertanya apa yang akan kulakukan. Apapun juga tindakanku,
jangan sekali-kali engkau turut campur.... , ."
Po Ceng-in menolak, “Tidak, bagaimana kalau engkau
mencari budak baju putih dan bercumbu-cumbuan
dengannya?"
Siau-liong banting2 kaki menghela napas jengkel, “Percaya
atau lidak, terserah. Tetapi aku tak punya hati apa2 terhadap
nona itu. Dan lagi aku masih mempunyai tugas berat yang
belum kuselesaikan. Mana aku mau menyeleweng untuk
bermain cinta."
Setelah merenung beberapa jenak, Po Ceng-in menyatakan
setuju.
Siau-liong menghela napas panjang, katanya, “Kalau begitu
pada nanti hari raya Musim Rontok tahun depan, harap
engkau menunggu aku dipuncak Sin-li-hong gunung Busan!"
Po Ceng-in tertegun; “Lembah Semi mempunyai alam
musim semi sepanjang tahun. Benar-benar merupakan tempat
peristirahatan selama-lamanya yang bagus. Mengapa harus
menuju kegunung Busan?"

354
Tetapi Siau-liong berkeras, “Hal itu termasuk salah satu
syarat perjanjian. Kalau tak setuju, katakan sekarang juga!"
Po Ceng-in tak dapat berbuat apa2 kecuali menyetujui juga,
“Baiklah, akan kutunggu engkau dipuncak Sin-li-hong pada
nanti pertengahan musim rontok. Jika engkau tak datang.
jangan salahkan aku berhati ganas.... terpaksa akan ku
buatmu supaya mati secara pelahan-lahan dengan tubuh
membusuk!"
Siau-liong paksakan tertawa, “Aku bukan orang yang suka
ingkar janji. Asal engkau benar-benar melaksanakan
perjanjian setahun itu, aku pasti datang!"
Tiba-tiba Po Ceng-in menatap pemuda itu dengan mesra,
ujarnya, “Mungkin tak lama lagi aku akan ke Sin li-hong. Lebih
dulu hendak kubangun makam itu seindah-indahnya agar
kelak hatimu puas....”
Berhenti sebentar, ia melanjutkan kata2nya lagi, “Kita
dapat tinggal disana, mengasingkan diri dari keramaian dunia.
Tetapi kalau niatmu tetap tak berobah, kitapun dapat mati
berkubur di makam itu!"
Siau-liong tertawa masam, “Terserah! Tetapi menurut
pendapatku, baiklah makam itu jangan diberi payon. Biarkan
saja terbuka. Memang lebih baik kalau engkau dapat
secepatnya membangun makam itu kesana!"
Po Ceng-in diam beberapa saat. Kemudian ia mengangkat
muka memandang Siau-liong. Tiba-tiba ia mengambil sebuah
botol kecil dari batu kumala lalu diserahkan kepada Siau-liong.
"Obat ini untukmu. Sekeluarnya dari lembah mungkin ada
gunanya....” berputar tubuh, ia terus lari menyusuri lorong
terowongan yang panjang.

355
Siau-liong tegak mematung sambil mencekal botol obat itu.
Dia seperti tersadar dari mimpi buruk. Ia merasa seperti habis
keluar dari Neraka. Hatinya segelap terowongan dibawah
tanah yang baru saja disusurinya tadi. Kini nasibnya sudah
ditentukan. Ia bakal hanya dapat hidup selama satu tahun
saja....
Dalam waktu setahun itu, ia harus sudah dapat
menyelesaikan budi dan dendam. Mengajak Mawar Putih
menemui ibunya diseberang laut. Kemudian pada musim
rontok tahun muka, harus mewakili Pendekar Laknat
memenuhi tantangan digunung Busan. Dan terakhir baru
menunaikan perjanjiannya dengan Po Ceng-in.
Tiba-tiba saja pada saat itu ia merasa bahwa tempo amat
berharga sekali. Tak boleh ia mensia-siakan setiap detikpun
juga. Maka segera ia menyimpan botol obat lalu mengeluarkan
peta pemberian Jong Leng lojin.
Peta itu tenyata dibuat dengan cermat tetapi amat jelas
sekali. Ditambah dengan kecerdasan otaknya, setelah meneliti
beberapa saat, Siau-liong segera dapat mengingat semua
jalan tembusan serta tembusannya.
Ujung dari jalan tembusan yang terbentang dihadapannya
saat itu, merupakan sebuah dinding batu. Menurut petunjuk
dalam peta, Siau-liong dapat menemukan sebuah tombol
pembuka pintu. Sekali tekan, pintu batu itupun segera
terbuka.
Ternyata diluar pintu itu adalah daerah Lembah Maut.
Segera ia melangkah keluar. Sambil berjalan ia merangkai
rencana. Lebih dulu ia hendak mencari Mawar Putih, kemudian
mencari Toh Hun-ki serta keempat Su-lo, membunuh mereka

356
lalu mengambil batang kepala mereka untuk diserahkan
kepada Mawar Putih.
Rencana kedua, ia akan menuju kekota Siok-ciu mencari
Tiau Bok-kun, sekalian membelikan obat untuk Jong Leng
lojin. Setelah itu akan masuk ke dalam Lembah Semi lagi.
Menyerahkan obat kepada Jong Leng lojin lalu membunuh
Soh-beng Ki-su untuk membalaskan dendam kematian
Pendekar Laknat.
Tiba-tiba terdengar seekor burung gagak terbang di atas
kepalanya seraya berbunyi nyaring. Siau-liong terkejut. Saat
itu sudah menjelang magrib. Suasana dalam Lembah Maut
makin menyeramkan. Siau-liong mempertinggi
kewaspadaannya, siap menghadapi setiap kemungkinan.
Sekonyong2 dari balik beberapa gunduk batu yang
berserak-serak kira2 lima tombak jauhnya disebelah muka,
melurcur seuntai sinar berkilat kemilau menyambar ke arah
burung gagak itu. Dan serempak pun terdengar suara
bentakan yang nyaring seperti memecah angkasa.
"Binatang, engkau berani jual lagak dihadapanku....”
---ooo0dw0ooo---
Jilid 07
Menyusun tenaga
HUAK.... burung gagak itu bergaok dan miringkan tubuh
menghindar. Setelah berputar-putar, burung itu balik ke dalam
lembah lagi.

357
Jelas benda berkilat itu adalah senjata rahasia yang
dilepaskan oleh seorang ahli. Tetapi ternyata burung itu dapat
menghindari.... Terang burung itu bukan burung biasa.
Tiba-tiba dari balik gundukan batu terdengar suara orang
berseru, “Lo-siansu, harap sabarkan diri. Saat ini kita berada
dalam perangkap musuh. Hendaknya jangan mempertunjukan
diri."
Mendengar kata2 itu, Siau-liong terkejut girang. Jelas ia
kenal nada orang itu sebagai To Kiu-kong dan Ti Gong taysu.
Ti Gong mendengus, “Huh, pengemis busuk, engkau juga
berani mencampuri urusanku?"
To Kiu-kong pun marah juga. Sahutnya dengan tajam, “Losiansu,
tak perlu lo-siansu mengagulkan diri. Sekalipun aku
seorang pengemis tua, tetapi juga merupakan salah sebuah
aliran Putih dalam dunia persilatan. Rasanya tak lebih rendah
dari lo-siansu!"
Mendengar percakapan yang tajam itu, Siau-liong tak dapat
mengendalikan diri lagi. Dengan gunakan gerak Nagamelingkar-
18-kali, ia apungkan tubuh ke arah tempat
persembunyian mereka.
Ternyata dibalik gundukan batu itu terdapat tak kurang dari
10-an orang. Ada yang rebah, ada yang duduk tersebar
diantara semak rumput....
Mereka adalah ketua Siau-lim-si Ti Gong taysu, To Kiu-kong
dan Pengemis-tertawa Tio tay-tong serta si Pincang-kanan dan
si Pincang-kiri. Dan yang membangkitkan semangat Siauliong,
ternyata ketua Kong-tong-pay Ton Hun-ki dan keempat
Su-lo pun berada diantara mereka.

358
Pakaian mereka compang-camping, sekujur tubuh
berlumuran darah dan kotoran. Jubah Ti Gong taysu rompal2
tak keruan.
Kemunculan Siau-liong, mengejutkan sekalian orang. Ti
Gong taysu yang hendak bertindak terhadap To Kiu-kong, pun
terpaksa berhenti. Secepat berputar tubuh ia menghantam
Siau-liong.
To Kiu-kong dan kawan-kawannya terkejut girang sekali.
Kehadiran ketua mereka pada tempat dan saat seperti itu,
benar-benar membuat mereka tercengang heran sehingga tak
dapat berkata apa2.
Setelah lepaskan pukulan, Ti Gong taysu menggembor dan
hendak menyerang. Tetapi dicegah oleh Toh Hun-ki, “Harap
bersabar dulu. Jika memang harus berkelahi, nanti saja
setelah persoalan sudah jelas!"
Ti Gong terpaksa tarik pulang tinjunya dan membentak,
“Apanya yang perlu dijelaskan lagi? Budak itu jelas anak buah
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka! Bukankah ketika
dipuncak Ngo-siong-nia tempo hari engkau juga melihatnya
menolong Dewi Ular Ki Ih?"
“Benar," sahut Toh Hun-ki, "tetapi aku pun juga
menyaksikan dia menempur Harimau Iblis!"
Toh Hun-ki tak mau melayani ketua Siau-lim-si itu lagi. Ia
terus berpaling memberi hormat kepada Siau-liong, “Ah,
Kongsun hiapsu....”
Siau-liong hanya mengangguk dan mendengus. Matanya
berkilat-kilat memandang orang2 disitu, lalu bertanya,
“Dimanakah It Hang totiang dan romhongannya?"

359
Toh Hun-ki menghela napas, “It Hang totiang, Kun-lun
Sam-cu dan rombongannya, belum ketahuan jejaknya. Turut
pendapatku, kemungkinan mereka.... tertimpah
kemalangan....”
Siau-liong terbeliak, serunya, “Apakah kalian melihat ketua
Tong-thing-pang Cu Kong leng dan ketua Ji-tok-kau Tan Ihhong
serta seorang gadis baju putih?"
Toh Hun-ki gelengkan kepala, “Sejak masuk ke dalam
Lembah, Tan Ih-hong dan Cu Kong-leng sudah tak ada berita.
Kami sekalian didesak ke dalam Lembah Maut sini dan tak
pernah melihat si dara baju putih itu!"
Siau-Liong gelisah. Jika Mawar Putih benar-benar masuk ke
dalam Lembah Maut, tak mungkin dia menghilang. Sekalipun
benar ada seorang sakti yang menyelundup ke dalam lembah
seperti yang diduga Iblis Penakluk-dunia itu tetapi tanpa
memiliki peta dari Jong Leng lojin, tak mungkin bisa keluar.
Apalagi disekeliling penjuru lembah itu dijaga ketat oleh anak
buah Ibiis Penakluk-dunia....
Rupanya Ti Gong taysu masih membekal dalam tentang
peristiwa dipuncak Ngo-siong-nia tempo hari. Tetapi karena ia
menyadari takkan mampu mengalahkan Siau-liong, maka ia
mau juga dicegah Toh Hun-ki tadi. Ia berdiri disamping tak
bicara apa. Tetapi matanya tetap memandang Siau-liong
dengan gusar.
Melihat Siau-liong termenung diam, Toh Hun-ki berkata
pula, “Pertemuan dipuncak Ngo-siong-nia telah dihadiri oleh
200 tokoh2 persilatan ternama. Tetapi ternyata kedua suami
isteri iblis itu telah mempersiapkan jaring2 perangkap yang
hebat sekali. Dalam pertempuran di lembah mereka, kami
telah kehilangan banyak sekali kawan2 sehingga yang masih
hidup hanya tinggal beberapa orang ini!"

360
Siau-liong tindas ketegangan hatinya, menyahut, “Lembah
Maut ini memang berhubungan dengan barisan Tujuh Maut.
Penuh dilengkapi dengan alat-alat rahasia dan barisan
pendam. Iblis Penakluk-dunia menggunakan tempat ini
sebagai tempat tawanan. Kemungkinan saudara2 memang
sukar untuk lolos dari sini!"
Toh Hun-ki mengangguk, “Ya, memang hal itu sudah
kuduga, tetapi.... betapapun juga. Kebenaran pasti akan
mengalahkan kejahatan. Memang untuk sementara ini Iblis
Penakluk-dunia menang, tetapi akhirnya dia tentu takkan lolos
dari kekalahan juga! Pengorbanan It Hang totiang dan ke 200
orang gagah itu, pasti takkan sia2. Tentu akan menggugah
hati nurani segenap kaum persilatan untuk serentak
berbangkit menentang kedua suami isteri iblis!"
Siau-liong tertawa dingin, “Ucapan saudara memang benar.
Suami isteri Ibiis Penakluk-dunia dengan gerombolannya
berusaha dengan sekuat tenaga dan kemampuannya untuk
menguasai dunia persilatan. Tetapi betapapun, usaha mereka
yang ganas itu pasti akan menemui kegagalan. Namun
kehancuran dari rombongan orang gagah yang dipimpin It
Hang totiang itu, benar-benar merupakan pukulan berat bagi
kubu kekuatan dunia persilatan. Dalam beberapa waktu,
kiranya sukar untuk menyusun tenaga, menghadapi ancaman
kedua iblis itu. Dunia persilatan pasti akan menderita
kekosongan tokoh sehingga mudah dikuasai mereka. Dengan
demikian dunia persilatan pasti akan mengalami suatu
kehancuran banjir darah yang belum pernah terjadi
selamanya!"
“Jika tak timbul suatu keajaiban, memang banjir darah itu
tak mungkin dapat dihindari lagi," sahut Toh Hun-ki.

361
“Apakah yang engkau maksudkan dengan keajaiban itu?"
tanya Siau-liong.
Sepasang mata ketua Kong-tong-pay itu berkilat-kilat
memancar api. Sambil mengurut-urut jenggotnya yang
panjang sampai kedada, ia berkata pelahan-lahan, “Sejak
dunia persilatan tenteram kembali dari pengacauan keempat
momok Iblis Penakluk-dunia. Dewi Neraka, Harimau Iblis dan
Naga Terkutuk, banyaklah sudah para cianpwe persilatan yang
berilmu sakti sama mengasingkan diri dari dunia ramai.
Misalnya, Ketua partai Kun-lun-pay yang dahulu yakni Ceng Hi
totiang, Liau Hoan siansu paderi sakti dari gunung Thian-san,
Sepasang imam dari gunung Busan dan lain-lain.... Mereka
termasuk tokoh2 yang telah mencapai kesempurnaan dalam
ilmu silat. Jika mendengar gerombolan iblis itu muncul dan
mengacau lagi, kemungkinan besar para cianpwe itupun tentu
akan keluar lagi untuk menentramkan suasana. Selain itu....
Ia berhenti sejenak lalu berkata pula, “Masih ada seorang
yang dapat diandalkan ialah....”
“Siapa?" Siau-liong menyelutuk.
"Orang itu bukan lain adalah momok yang sejajar
tingkatannya dengan keempat iblis lainnya, ialah Pendekar
Laknat! Walaupun dia berwatak sombong dan dendam,
malang melintang di dunia persilatan seorang diri, namun
setelah beberapa kali bertemu dengannya, kutahu dia ternyata
amat baik hati budinya....”
Toh Hun-ki berhenti mencari kesan pada sekalian orang.
Kemudian menyambung pula, “Dan lagi dia sudah mau
menerima permintaanku! Kemungkinan setiap saat dia akan
muncul membantu perjuangan kita melawan kedua suami
isteri iblis itu. Maka pada hematku, walaupun keadaan saat ini

362
memang teramat buruk, tetapi belum berarti kalau sudah
hancur lebur!"
Toh Hun-ki berbicara dengan sikap seorang ketua partai
persilatan yang berwibawa. Jelas ia masih menaruh
kepercayaan penuh pada Pendekar Laknat.
Diam-diam malulah Siau-liong pada dirinya sendiri.
Sebenarnya saat itu ia hendak membunuh Toh Hun-ki dan
keempat Su-lo, lalu menyerahkan batang kepala mereka
kepada Mawar Putih dan bersama dara itu pulang ke seberang
laut menemui ibunya.
Tetapi sikap Toh Hun-ki yang mengunjukkan pribadi
seorang tokoh aliran Putih yang tak kenal takut, diam-diam
telah menggerakkan hatinya. Bukan saja tak sampai hati
untuk membunuhnya, pun tak sampai pula ia untuk berpeluk
tangan mengawasi bencana berdarah yang akan menimpah
dunia persilatan.
Tanpa disadari, tangannya merabah baju dan terjamahlah
separoh Giok-pwe yang diberikan Toh Hun-ki kepadanya.
Pikirannya makin kabur dan hilanglah fahamnya untuk
bertindak.
Sampai beberapa saat ia termenung-menung. Akhirnya ia
menghela napas, “Kalau Pendekar Laknat itu sejajar
tingkatannya dengan Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka,
terang kalau dia tidak lebih sakti dari kedua suami isteri itu.
Sekalipun dia muncul membantu rombongan orang gagah,
juga belum tentu dapat mengalahkan suami isteri iblis itu!"
Pada saat Toh Hin-ki hendak menyahut, Ti Gong taysu
rupanya tak sabar menunggu lagi. Ia menyelutuk nyaring,
“Perlu apa engkau meributi orang itu! Pendekar Laknat sejenis
dengan Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka, Bagaimana

363
mungkin dia akan berbalik haluan membantu kita? Dan lagi ia
mendengus. lalu melanjutkan, "kalau hasil kemenangan
terhadap suami isteri iblis itu berkat bantuan Pendekar Laknat,
rasanya juga merupakan suatu hal yang menghilang muka
seluruh kaum persilatan golongan Putih!"
Siau-liong meluap tetapi ia masih paksakan diri untuk
menekan kemarahannya. Serunya dengan tertawa dingin,
“Andaikata Pendekar Laknat benar-benar muncul disini dan
menolong sekalian saudara dari lembah ini. Entah apakah losiansu
akan ikut atau tetap tinggal seorang diri disini!"
Ti Gong terkesiap, bentaknya, “Suatu hal yang mustahil
terjadi! Dan lagi aku tetap tak percaya bahwa seorang iblis
ganas yang gemar membunuh orang, dapat berobah seratus
derajat pendiriannya....!"
Habis berkata ketua Siau—lim-pay itu maju selangkah dan
membentak, “Budak, katakanlah engkau sendiri datang dari
mana?"
"Apa engkau berhak mengurus aku?" sahut Siau-liong
marah.
"Omitohud!" seru Ti Gong taysu. Lalu ia berpaling kepada
Toh Hun-ki, “Budak itu jelas menjadi anak buah Iblis
Penakluk-dunia! Coba bayangkanlah. Sedang kita yang
berjumlah puluhan orang tetap sukar menghadapi serangan
Iblis Penakluk-dunia dan akhirnya digiring masuk ke dalam
lembah ini, mengapa dia seorang diri dapat muncul lenyap
sekehendak hatinya?"
Sejenak ketua Siau-lim-si itu memandang sekalian orang
lalu berseru lantang, “Turut hematku, lebih baik kita bersatu
untuk membasmi budak itu!"

364
Benar-benar dada Siau-liong seperti hendak meledak.
Marah dan kecewalah ia. Jika setiap kaum persilatan golongan
Putih mempunyai pendirian semacam Ti Gong, bersikap bengis
dan keras kepala seperti paderi itu, terang dunia persilatan
pasti akan kiamat!
Toh Hun-ki kerutkan alis memandang Ti Gong, “Harap losiansu
suka redakan nafsu amarah lo-siansu. Pada saat dan
tempat seperti sekarang ini bagaimana kita hendak
menambah musuh lagi? Walaupun memang sepak terjang
Kongsun haipsu ini dapat menimbulkan kecurigaan orang
tetapi menurut pengamatanku, dia bukanlah golongan orang
semacam Iblis Penakluk-dunia dan rekan-rekannya itu....”
Kemudian ketua Kong-tong pay itu memandang Siau-liong
dan memberi sebuah senyuman, “Entah begaimanakah cara
Kongsun haipsu dapat masuk ke dalam lembah ini, apakah....”
“Terlalu panjang kalau diceritakan," tukas Siau-liong tak
sabar, "saat ini tiada waktu lagi untuk bercerita. Tetapi
memang aku sendiri juga terjebak dalam barisan Tujuh Maut
itu. Jika Cu Kong-leng dan Tan Ih-hong belum mati, mereka
tentu dapat memberi kesaksian....”
Ia menghela napas, sambungnya, “Jika tidak bertemu
seorang cianpwe yang aneh, saat ini aku tentu tak dapat
berada disini!"
Ti Gong mendengus, “Hm, keterangan yang sukar
dipercaya!"
Ketua Siau-lim-si itu walaupun bengis dan keras kepala
tetapi ia agak gentar juga terhadap Siau-liong. Oleh karena itu
ia pun tak berani bertindak apa2 kecuali hanya memandang
anak muda itu dengan mata penuh kemarahan.

365
Siau-liong tertawa dingin. Ia tak mempedulikan ketua Siaulim-
si itu dan berpaling ke arah To Kiu-kong, “Kiu kong!"
“Cousu-ya!" buru-buru tokoh pengemis itu menyahut.
Siau-liong tertawa masam, “Saat ini diriku sedang dicurigai
orang. Apakah kalian masih tetap menganggap diriku sebagai
cousu-ya?"
Dengan masih menundukkan kepala To Kiu-kong
menyahut, “Bagaimanapun halnya adalah pewaris dari kakek
guru kami Pengemis Tengkorak Selama-lamanya tetap
menjadi cousu-ya partai kami. Aku dan sekalian anak
murid....”
Tokoh Kay-pang itu menghela napas. Sepasang matanya
berlinang-linang dan dengan suara rawan melanjutkan kata2
lagi; "Bertahun-tahun ini pamor partai kita makin menyuram.
Kami harap cousu-ya suka mengembalikan cahaya gemilang
dari partai kita. Jika benar-benar cousu-ya sampai tersesat
dan mau bersekutu dengan kedua suami isteri iblis itu, itupun
memang sudah menjadi kehendak Allah untuk melenyapkan
Kay-pang. Setitik pun aku dan sekalian anak murid Kay-pang
takkan mendendam kepada cousu-ya!"
Mendengar pernyataan tokoh Kay-pang yang penuh
bernada kesungguan dan kesetyaan hati itu, mau tak mau hati
Siau-liong pilu juga.
Kemudian ia melolos lencana Tengkorak yang tergantung
pida lehernya lalu diserahkan kepada To Kiu-kong, “Ambillah
lencana ini. Sejak saat ini aku bukan lagi cousu-ya dari Kaypang!"
To Kiu-kong terkejut sekali. Ia menyurut mundur dan
berseru gugup, “Mengapa begitu? Bagaimana nanti

366
pertanggungan jawabku kepada sekalian anak murid Kay pang
yang berjumlah puluhan ribu itu?"
Siau-liong menghela napas. "Memang aku sudah mererima
budi dari Pengemis Tengkorak yang telah memberikan ilmu
pukulan sakti Thay-siang-ciang. Tetapi sedikitpun aku belum
dapat membalas....”
Ia berhenti merenung.... Tiba-tiba dengan nada tegas ia
berseru, “Pilihlah diantara anak murid Kay-pang seorang yang
berbakat bagus. Akan kuberinya pelajaran ilmu Thay-siangciang
itu kepadanya agar dapat melanjutkan usaha untuk
mengembangkan pamor partai Kay-pang....”
“Ini.... ini....” To Kiu-kong makin bingung dan tak mengerti
maksud Siau-liong. Sampai beberapa saat ia tergugu tak dapat
berkata yang jelas.
Siau-liong tahu isi hati tokoh Kay-pang itu. Dengan
tersenyum ia berkata, “Kiu-kong, jangan meragu. Aku akan
bersumpah takkan memberikan ilmu pelajaran itu kepada lain
orang lagi. Tentang diriku....”
Ditatapnya To Kiu-kong lekat2, lalu berkata pula dengan
tenang, “Setelah urusan itu selesai, aku hendak pergi jauh
keseberang lautan. Mungkin dalam kehidupan sekarang, aku
takkan kembali lagi. Dengan begitu ilmu pukulan Thay-siangciang,
tetap menjadi milik partai Kay-pang."
Oleh karena tak mau menceritakan tentang perjanjian mati
dengan Po Ceng-in pemilik lembah Semi, maka Siau-liong
hanya menggunakan alasan hendak pergi jauh keluar lautan.
To Kiu-kong benar-benar dicengkam oleh rasa keheranan
dan tak mengerti atas ucapan cousu-ya mereka. Ia berpaling

367
dan bertukar pandang mata dengan kedua pengemis Pincang,
lalu mengiakan.
"Karena begitu yang menjadi kehendak cousu-ya, akupun
tak berani menolak. Tetapi hal itu mempunyai akibat besar.
Apabila kami beruntung dapat keluar dari bahaya maut saat
ini, pun harus mengundang seluruh anak murid Kay-pang
dalam sebuah pertemuan besar. Lalu memilih calon yang tepat
untuk melaksanakan perintah cousu-ya tadi. Kemudian
barulah kami dapat mengundang cousu-ya untuk memberi
ilmu pelajaran."
Siau-liong mengangguk, “Baiklah, tetapi hal itu harus
segera terlaksana secepat mungkin. Karena aku benar-benar
ingin lekas tinggalkan tempat ini!"
“Perintah cousu-ya pasti akan kulaksanakan, tetapi.... saat
ini kita sekalian sedang terkurung dalam Lembah Maut.
Dapatkah lolos dari sini, masih sukar diramalkan....”
Siau-liong hendak membuka mulut, tetapi Ti Gong taysu
dan Toh Hun-ki kedengaran mendesah pelahan. Rupanya
mereka telah mencium sesuatu hawa yang harum.
“Ini tentulah gerombolan siluman itu yang mengacau. Bau
ini bukan sewajarnya!" seru Ti Gong dengan geram.
Memang saat itu Siau -liongpun terbaur oleh angin yang
mengantar bau harum. Diam-diam ia heran. Jelas diketahui
dalam lembah itu hanya terdapat pakis yang tak enak baunya.
Dari manakah datangnya bau harum itu?
“Awas!" tiba-tiba Toh Hun-ki berseru, "bau harum ini tentu
mengandung racun. Kemarin pun aku sudah terkena. Harap
saudara lekas menutup pernapasan!"

368
Tetapi bau itu makin lama makin keras. Sedang menutup
pernapasan pun tak dapat berlangsung lama. Saat itu mereka
benar-benar menyerupai kawanan ikan dalam jaring yang tak
dapat lolos. Tak lama mereka pasti akan rubuh.
Kira2 tak sampai sepeminum teh lamanya, Su-lo dari Kongtong-
pay, Pengemis Tertawa Tio Tay-tong serta kedua
pengemis pincang tampak tak kuat. Mereka terus menerus
batuk2 dan tubuhnya terhuyung-huyung....
Saat itu hari makin malam. Suasana dalam lembah itu
makin menyeramkan. Ditambah pula dengan tebaran kabut,
benar-benar menyerupai sebuah tempat di Neraka.
Ti Gong taysu, To Kiu-kong dan Toh Hun-ki yang lebih
tinggi ilmu lwekangnya, masih lebih dapat bertahan. Tetapi
makin lama kepala mereka makin pusing, mata makin
berkunang-kunang dan lalu makin kantuk.
Apabila setiap saat musuh datang menyerang, habislah
tentu riwayat mereka....
Siau-liong amat gelisah. Tiba-tiba ia teringat akan botol
obat pemberian Po Ceng-in. Nona itu mengatakan bahwa
botol itu mungkin berguna dalam perjalanan keluar lembah.
Ah, kemungkinan yang dimaksudkan itu tentulah kabut
beracun.
Segera ia mengeluarkan botol itu dan segera menuang
sebutir lalu menelannya sendiri. Ternyata khasiatnya hebat
sekali. Ia rasakan semangatnya segar lagi. Rasa lemas dan
pening akibat kabut itu hilang seketika.
Setelah mengetahui khasiatnya, segera ia membagikan pil
itu kepada To Kiu-kong, kedua pengemis pincang, Toh Hun-ki
serta keempat Su-lo. Tak lama mereka segar kembali.

369
Ti Gong yang menggeletak di tanah. Melihat orang2 sudah
segar lagi, ia paksakan diri bangun dan berseru, “Hai,
mengapa aku tak diberi pil?"
Dalam pakaian jubah yang sudah compang camping dan
sekujur badan berlumur noda darah, ketua Siau-lim-si itu
tampak tak karuan keadaannya. Mau tak mau orang tentu geli
melihatnya.
Toh Hun-ki benar-benar amat berterima kasih sekali kepada
Siau-liong. Rasa kesangsiannya terhadap pemuda itu lenyap
sama sekali. Serta-merta ia menghaturkan terima kasih.
Tetapi Siau-liong mengatakan, yang penting saat itu harus
segera bersiap menghadapi kemungkinan lain. Musuh tentu
akan segera datang menyergap.
"Lebih baik kita pedayakan mereka. Jangan sampai mereka
mengetahui bahwa kita tak kurang suatu apa....” katanya,
"begitu mereka datang, kita basmi habis dan terus keluar dari
lembah celaka ini!"
Toh Hun-ki memuji buah pikiran pemuda itu. Ia
menyatakan akan menurut apa yang direncanakan pemuda
itu. Selain itu ia pun memintakan obat juga untuk Ti Gong
Taysu. Karena walau pun ketua Siau-lim-si itu berwatak kasar
dan bengis tetapi dia tetap seorang tokoh golongan Putih yang
menentang kejahatan.
Siau-liong mendengus lalu menghampiri Ti Gong, serunya
tertawa, “Tadi lo-siansu menuduh aku seorang kaki tangan
Iblis Penakluk-dunia. Dengan begitu pil ini tentu mengandung
racun. Apakah lo-siansu tak kuatir?"

370
Ketua Siau-lim-si itu paksakan membuka mata dan hendak
berkata. Tetapi baru bibirnya bergerak, ia sudah tak kuat.
Siau-liong tak sampai hatinya. Segera ia menyusupkan
sebutir pil kemulut paderi itu. Tak berapa lama paderi itu
dapat merangkak bangun. Sejenak memandang ke arah Siauliong,
ia duduk kembali. Walaupun tak membuka mulut tetapi
wajahnya menunjukkan bahwa ia menyesal dengan
tuduhannya terhadap Siau-liong.
Saat itu sesuai dengan rencana Siau-liong lalu mereka
semua menggeletak di tanah, pura-pura pingsan seperti
terkena racun.
Tiba-tiba Siau-liong mendapat pikiran. Segera ia
mengatakan kepada To Kiu-kong yang berada disebelahnya,
“Aku hendak menyelidiki keadaan lembah ini.... siapa tahu aku
dapat menemukan jalan keluar dari lembah ini. Pada saat itu
kalian harus lekas2 menerobos keluar tak perlu tunggu aku!"
“Baik cousu-ya!" kata To Kiu-kong yang saat itu sudah pulih
seratus persen kepercayaannya terhadap Siau-liong.
Setelah memberi pesan supaya berhati-hati. Siau-liong
melesat lenyap ditelan kabut.
Dalam tempat yang penuh dengan pohon dan saat itu
sedang terbungkus kabut tebal, jika tak memiliki mata yang
amat tajam, tentu akan celakalah.
Toh Hun-ki dan lain-lain orang, menghela napas. Mereka
benar-benar tak mengerti akan sepak terjang Siau-liong.
Tetapi yang jelas, kini mereka sudah yakin bahwa pemuda itu
bukanlah kaki tangan Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.
Hanya To Kiu-Kong yang paling bingung. Ketika dipuncak Ngosong-
nia, ia melihat Siau-liong menolong Dewi Ular Ki Ih yang

371
terluka. Lalu sekarang cousu-ya itu hendak mancari sigadis
baju putih serta Tiau Bok-kun. Mengapa cousu-ya itu dimanamana
tempat selalu terlibat dengan wanita saja?
Sepeminum teh dari kepergian Siau-liong, suasana dalam
Lembah Maut makin sunyi. Hanya hawa wangi itu tetap
berhamburan memenuhi lembah. Tetapi karena sudah minum
pil pemberian Siau-liong, mereka tak kurang suatu apa.
Bahkan mereka merasa segar semangatnya karena menghirup
hawa wangi itu.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara suitan pelahan.
Seperti suitan dari mulut orang tetapi juga mirip tiupan
seruling.
Tak berapa lama sepetik api kehijau-hijauan meluncur ke
udara. Sekalian orang gagah segera bersiap-siap. Mereka
berbaring di tanah, pura-pura pingsan.
Tak berapa lama, mereka mencuri lirik. Tampak seorang
tua bermuka kurus, rambut dikucir, tubuhnya kurus kering
seperti tulang terbungkus kulit, mengenakan pakaian
pertapaan. Dandanannya mirip imam bukan imam, orang
biasapun juga bukan. Punggung menyanggul sebuah senjata
yang aneh.
Orang itu bukan lain adalah murid tunggal dari Iblis
Penakluk-dunia yakni Soh-beng ki-su atau Pertapa-percabutnyawa.
Setelah memandang kesekeliling penjuru dan melihat
rombongan Ti Gong dan Toh Hun-ki menggeletak pingsan di
tanah, tiba-tiba ia kebutkan lengan jubahnya melambai
“Anak2, lekas kemari!"

372
Lebih dari 20 orang berpakaian hitam, muncul dan memberi
hormat dihadapan Soh-beng Ki-su, menunggu perintah. Sikap
dan gerak-gerik rombongan baju hitam itu seperti tak wajar.
Seperti orang tolol. Mereka masing-masing memandang ke
ujung kakinya.
"Ikatlah tulang bahu mereka dengan rantai besi dan terus
bawa ke dalam lembah!" seru Soh-beng Ki-su dengan nada
macam iblis merintih.
Ke 20 orang baju hitam itu gemuruh mengiakan. Beberapa
orang diantaranya segera mengeluarkan rantai besi terus
hendak mengikat Toh Hun-ki dan rombongannya.
Yang paling tak tahan hatinya adalah Ti Gong taysu. Diamdiam
ia gunakan ujung kaki untuk menjejak Toh Hun-ki, lalu
tiba-tiba menggembor keras dan loncat menghantam dengan
jurus Air-terjun-membuka-gunung kepada Soh-beng Ki-su.
Soh-beng Ki-su tersentak kaget. Benar-benar ia tak
menduga akan serangan mendadak itu. Sekali kaki menekan
tanah, ia loncat sampai dua tombak ke udara menghindari
pukulan Ti Gong taysu.
Melihat ketua Siau-lim-si sudah bergerak, Toh Hun-ki dan
lain-lain orang gagah segera loncat bangun. Toh Hun-ki, To
Kiu-kong serempak menyerang Soh-beng Ki-su. Pengemistertawa
Tio Tay-tong. kedua pengemis Pincang dan Su-lo
Kong-tong-pay, mengamuk ke-20 orang anak buah Soh-beng
Ki-su.
Terdengar jeritan ngeri berkumandang memenuhi lembah.
Ke 20 orang baju hitam itu hanya bertindak dari komando
Soh-beng Ki-su, Karena Soh-beng Ki-su pontang panting
sendiri sehingga tak dapat memberi komando, ke 20 orang

373
berpakaian hitam itupun kacau balau. Mereka mundur
kegunduk batu.
Ketika Soh-beng Ki-su melayang turun ke tanah. To Kiukong
dan Toh Hun-ki serentak menyerangnya. Mereka
gunakan jurus dahsyat dari ilmu simpanan partai masingmasing.
Brett.... Soh-beng Ki-su dapat menghindari tongkat Kumala
Hijau To Kiu-kong tetapi tak urung pakaianya robek sampai
panjang.
Sedangkan Toh Hun-ki lebih beruntung. Ia dapat
menghantam lengan kiri pertapa pencabut nyawa itu sehingga
Soh-beng ki-su menguak-uak karena kesakitan.
Soh-beng Ki-su murka. Setelah mundur beberapa langkah
ia menekuk kedua tangannya. Krek, krek....
So-beng Ki-su rentangkan kesepuluh jarinya. Dari ujung jari
itu menghambur asap putih mirip dengan ribuan ekor ular
meluncur ke arah Toh Kun-ki dan kawan-kawannya. Ti Gong
taysu dan To Kiu-kong segera berkumpul merapat.
Belum asap putih itu melanda datang, sekonyong-konyong
ketiga orang itu dilanda oleh semacam hawa dingin sekali.
"Awas, dia sedang melancarkan ilmunya Pek-kut-kang! "
teriak Toh Hun-ki.
Ti Gong taysu baru pertama kali itu bertempur lawan Sohbeng-
Ki-su sehingga ia tak tahu pertapa Pencabut-nyawa itu
memiliki ilmu tenaga sakti luar biasa, yakni tenaga Tulang
Putih atau Pek-kut-kang. Ketua Siau-lim-si itu merganggap
ilmu tenaga dalamnya mampu menghadapi.

374
Ketua Siau-lim-si itu segera mendorongkan kedua
tangannya untuk menghalau kabut. Tetapi diluar dugaan,
begitu terkena angin pukulan, asap putih itu malah bergulunggulung
melanda Ti Gong taysu.
Seketika Ti Gong seperti didampar oleh hawa yang luar
biasa dinginnya sehingga ia menggigil kedinginan. Darahnya
serasa membeku.
Melihat serangannya berhasil, Soh-beng Ki-su loncat
mundur lalu taburkan segumpal asap merah dan tertawa
nyaring, “Tengkorak menari!"
Saat itu Ti Gong berusaha untuk mengerah tenaga dalam
melawan hawa dingin. Tetapi tenaganya lenyap, tulang serasa
berhamburan lepas dari sendinya. Ia benar-benar telah
kehilangan tenaga untuk melawan.
Teriakan Soh-beng Ki-su itu mengejutkan sekalian orang
gagah. Jelas pertapa pencabut nyawa itu tentu melepaskan
pertandaan ke arah lembah Semi. Hal itu diinsjafi oleh Toh
Hun-ki dan kawan2nya.
Lembah Semi tentu akan mengirim bala bantuan.
Kemungkinan malah Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka
sendiri akan datang.
Tetapi kekuatiran Toh Hun-ki dan rombongannya itu, tidak
tepat. Ternyata buka bala bantuan dari Lembah Semi yang
muncul, melainkan berpuluh-puluh kerangka tengkorak yang
berloncatan menyerbu rombongan Toh Hun-ki.
Selama berpuluh tahun berkecimpung dalam dunia
persilatan, tak pernah Ti Gong menyaksikan peristiwa seaneh
itu, bahwa kerangka tengkorak dapat diperintah untuk
menyerang. Tetapi karena saat itu ia sudah kehilangan

375
tenaga, maka ia tak dapat berbuat suatu apa lagi kecuali
hanya menghela napas, “Omitohud! Habislah riwayatku
sekarang!"
Ia segera duduk bersemedhi di tanah. Pejamkan mata
menunggu ajal.
"Barisan tengkorak!" teriak Toh Hun-ki dan To Kiu-kong
serempak.
"Im dan Yang silang menyilang!" terdengar pula Soh-beng
Ki-su berseru nyaring.
Berpuluh kerangka tengkorak itu segera menari-nari dan
berbondong-bondong menyerbu sekalian orang.
Toh Hun-ki dan kawan2 menyadari bahwa saat itu mereka
terancam bahaya maut. Tetapi mereka sudah bertekad bulat,
lebih baik pecah sebagai ratna daripada menyerah.
Mereka segera mengelompok menjadi sebuah lingkaran.
Bahu membahu mereka lancarkan pukulan ke arah barisan
Tengkorak itu.
Sekalipun barisan tengkorak itu tak dapat main silat tetapi
gerakan mereka menghamburkan angin dingin dan bau busuk
yang memuakkan sekali.
Karena tak bernyawa, barisan tengkorak hanya bergerak
menurut perintah So-beng Ki-su. Selama tidak diperintah
mundur, mereka tetap maju. Sekalipun separoh dari kerangka
tubuhnya hancur terkena pukulan, atau bahkan hanya tinggal
sebuah kaki dan tangan saja, mereka tetap berloncatan
menyerang. Pendek kata, kalau tak hancur sama sekali,
mereka takkan berhenti.

376
Beberapa saat kemudian, serangan barisan Tengkorak itu
makin menghebat. Lingkaran kepungan mereka pun makin
menyempit. Keadaan rombongan Toh Hun-ki makin gawat.
Soh-beng Ki-su tak henti-hentinya berteriak dan tertawatawa.
Sekonyong-konyong terdengar sebuah suara raungan yang
dahsyat. Dan menyusul terdengar suara tertawa panjang yang
tak kalah congkak perbawanya dengan tertawa Soh-beng Kisu.
Sekalian orang gagah terkejut sekali. Ketika mencuri
kesempatan melirik, mereka makin terkejut.
Soh-beng Ki-su tampak terhuyung-huyung ke belakang.
Tak jauh disebelah mukanya, muncul seorang aneh
berpakaian biru. Rambutnya memanjang sampai kebahu. Mata
sebesar kelinting, mulut besar dan merah, jenggotnya
berserabutan lempang seperti duri. Amboi.... itulah Pendekar
Laknat!
Sudah beberapa kali Soh-beng Ki-su menderita kekalahan
dari Pendekar Laknat. Sudah tentu ia kaget setengah mati
ketika mendadak momok yang ditakuti itu muncul. Ia
terhuyung-huyung mundur mencari jalan untuk lolos.
Karena tak diberi komando lagi, barisan Tengkorak pun
macet. Mereka tertegun diam.
"Pendekar Laknat!" serentak Toh Hun-ki berteriak girang.
Ia segera bersama To Kiu-kong menghantam barisan
tengkorak itu hingga hancur lebur berhamburan ke dalam
semak.

377
Pendekar Laknat yang muncul itu sudah tentu Siau-liong
yang menyamar. Kiranya, kepergiannya untuk menyelidiki
keadaan lembah itu tadi hanya suatu alasan untuk berganti
sebagai Pendekar Laknat.
Tetapi memang tadi ia telah menyelidiki juga. Berkat
bantuan peta pemberian Jong Leng lojin, dapatlah ia dengan
leluasa mengetahui seluk beluk keadaan lembah itu. Tetapi,
ah.... si dara Mawar Putih tetap tak dapat diketemukannya.
Kemanakah gerangan lenyapnya dara itu?
Akhirnya ia terpaksa kembali lagi untuk menyelamatkan
rombongan orang gagah. Tetapi alangkah kagetnya ketika ia
mendengar teriakan Soh-beng Ki-su memberi komando
kepada barisan Tengkorak.
Cepat ia menyamar lagi sebagai Pendekar Laknat.
"Tua bangka Laknat.... dari mana engkau masuk ke dalam
lembah ini!" seru Soh-beng Ki-su seraya mundur beberapa
langkah.
Sambil maju menghampiri, Siau-liong tertawa liar, “Disegala
tempat, baik di puncak gunung mau pun dilembah belantara,
aku bebas pergi dan datang menurut sekehendak hatiku....”
Diam-diam Siau-liong teringat akan nasib Koay suhu atau
Pendekar Laknat asli, yang dianiaya pertapa Pencabut-nyawa
itu. Geramnya, “Hm, kalau saat ini tak kubunuhnya, sampai
kapan lagi....?"
Serentak ia salurkan ilmu tenaga sakti Bu-kek-sin-kang ke
lengannya. Setelah telapaknya merah membara ia segera
menghantam Soh-beng Ki-su sekuat tenaganya. Dalam

378
penyamaran sebagai Pendekar Laknat, Siau-liong bebas
menggunakan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang.
Tahu kelihayan ilmu pukulan itu, Soh-beng Ki-su tak berani
menangkis. Cepat ia berputar tubuh terus lari ngiprit. Tanpa
menghiraukan gundukan batu yang tajam dan runcing, ia
nekad berguling-guling sampai beberapa belas langkah jauh.
Dengan cara nekad itu, barulah ia dapat terhindar dari
pukulan maut.
Tubuh pertapa itu berlumuran darah. Pakaian robek2 kulit
lecet2 berdarah!" SecepaT kilat Siau-liong memburu tiba dan
hendak menyusuli hantaman lagi. Soh-beng Ki-su sudah tak
mungkin dapat menghindar lagi. Dia pasti mati!
Tetapi tiba-tiba pertapa ganas itu berteriak sekuat-kuatnya,
“Tunggu!"
Entah bagaimana Siau-liong mau juga menahan
pukulannya, “Apa engkau masih mau bicara lagi?"
"Ada sebuah hal yang aneh, mungkin engkau ingin
mengetahui?!"
"Soal apa? Lekas katakan!"
Soh-beng Ki su sengaja bersikap ayal memberi jawaban,
“Engkau datang bersama Dewi Ular Ki Ih....” - ia berhenti
memandang reaksi Siau-liong lalu melanjutkan pelahau-lahan,
“apakah engkau tahu kemanakah ia sekarang?"
Siau-liong terkesiap. Pikirnya, “Kemungkinan merasa benar
Mawar Putih menyamar lagi sebagai Ki Ih"
Melihat Siau-liong tertegun. Soh-beng Ki-su dapat menduga
kalau orang itu sudah mulai tertarik perhatiannya. Ia tertawa

379
mengekeh dan berkata pula dengan lambat2, “Malah akulah
yang pernah melihat ia muncul dalam lembah ini tetapi
kemudian dibawa oleh seorang wanita baju Hitam melintasi
puncak gunung itu!" -ia menunjuk ke arah sebuah puncak
gunung yang landai.
Menurut arah yang ditunjuk itu, Siau-liong dapatkan puncak
gunung itu tegak melandai. Jika disitu memang tiada alat
perangkap, Sia-liong sanggup untuk mencapai ke atas. Hanya
keterangan Soh-beng Ki-su bahwa Mawar Putih telah dibawa
oleh wanita baju hitam melintasi puncak gunung itu, rasanya
tak mungkin terjadi.
Tetapi tiba-tiba ia teringat akan kekuatiran yang dinyatakan
Iblis Penakluk-dunia bahwa seorang sakti yang tak dikenal
telah menyelundup masuk ke dalam Lembah Maut.
“Apakah engkau melihat sendiri?" akhirnya ia menegas
dengan penuh kesangsian.
“Bukan melainkan melihat sendiri, pun dibawah puncak itu
terdapat tusuk kundai Kumala yang dipakai oleh Dewi Ular Ki
Ih. Kalau tak percaya, bolehlah kubawa engkau kesana!" sahut
Soh-beng Ki-su.
Siau-liong merenung.... Dari sikap dan nadanya, rupanya
Soh-beng Ki-su itu tak bohong. Cepat ia mencengkeram leher
baju orang itu dan mengancamnya, “Bawalah aku kesana....
tetapi kalau engkau berani menipu aku, hm, tulang
belulangmu pasti kuhancur leburkan!"
Soh - beng Ki Su tergugu mengiakan lalu berjalan karena
didorong Siau-liong.
"Pendekar Laknat, jangan termakan siasatnya!" Toh Hun-ki
berseru memberi peringatan.

380
Siau-Long tertegun sejenak. Tetapi pada lain saat ia
tertawa meliar lalu tanpa berpaling ke arah Toh Hun-ki, ia
terus menyeret Soh-beng Ki-su lari ke arah puncak itu.
Walaupun puncak itu berbahaya sekali keadaannya tetapi
dalam Lembah Maut. puncak itu termasuk satu-satunya
tempat yang dapat ditempuh.
Tak berapa lama tibalah mereka dikaki puncak. Soh-beng
Ki-su melirik Siau-liong, katanya, “Aku toh sudah berada
dalam genggamanmu, masakan mampu lolos? Tetapi dengan
cara menyeret dan menggusur seperti ini, bagaimana aku
mampu mencari tusuk kundai Kumala itu?"
"Hm, tak mungkin engkau lolos dari tanganku!" Siau-liong
lepaskan cengkeramannya.
Setelah menghela napas untuk melonggarkan lehernya
yang sesak ia pura-pura seperti mulai mencari. Dihampirinya
sebuah semak belukar. Tetapi pada saat Siau-liong tak
waspada, ia terus loncat menyusup ke belakang sebuah batu
disebelah kiri.
Ternyata di belakang batu itu terdapat sebuah gua rahasia
yang tembus ke Barisan Tujuh Maut dan Lembah Semi.
Sesungguhnya dalam peta pemberian Jong Leng lojin, tempat
itu memang disebut. Tetapi karena Siau-liong sedang
terbenam memikirkan Mawar Putih, ia sampai tak ingat lagi
sehingga Soh-beng Ki-su dapat lolos.
Tetapi Soh beng Ki-su masih tongolkan kepalanya dari balik
batu dan tertawa mengekeh, “Heh, heh, tua bangka Laknat!
Aku tak mau seratus persen membohongimu. Memang ada
seorang wanita baju hitam menolong seorang wanita.... tetapi

381
bukan Dewi Ular Ki Ih, melainkan seorang gadis baju putih....
Ki Ih mungkin sudah binasa dalam barisan Tujuh Maut!"
Siau-liong tertegun dan lupalah ia untuk menghantam
pertapa itu. Pada lain saat ketika tersadar, ternyata Soh-beng
Ki-su sudah lenyap. Ia marah karena ditipu mentah2 oleh Sohbeng
Ki-su. Tetapi ia terhibur juga hatinya karena nyata
Mawar Putih telah ditolong orang.
Terpaksa ia kembali ketempat rombongan Toh Hun-ki lagi.
Ketua Kong-tong-pay itu amat girang sekali melihat Pendekar
Laknat kembali. Cepat ia memberi llormat, “Pendekar Laknat,
dua kali sudah engkau telah memberi pertolongan. Budimu itu
takkan kulupakan selama-lamanya!"
Tawar2 Siau-liong menyahut, “Perlu apa engkau ribut2?
Aku dapat memberi hidup tetapi pun dapat membunuh,
ditatapnya ketua Kong-tong-pay itu dengan mata berapi-api
lalu tertawalah ia senyaring-nyaringnya.
Tetapi Toh Hun-ki sudah biasa mendengar tertawa yang
penuh kecongkakan itu. Kemudian ia berkata, “Pesanmu
ketika di Lembah Semi tempo hari, telah kulaksanakan. Racun
pada luka nona Tiau Bok-kun sudah terobati. Ketika
kutinggalkan Siok-ciu, dia masih beristirahat di rumah
penginapan. Tetapi saat ini dia tentu sudah sembuh!"
“Tahu!" sahut Siau-liong hambar, lalu menghampiri Ti Gong
taysu.
To Kiu-kong, Pengemis-tertawa Tio Tay-tong dan kedua
pengemis Pincang, diam-diam terkejut menyaksikan Pendekar
Laknat dapat muncul dan lenyap di Lembah Maut. Sekalipun
Toh Hun-ki telah memperlakukan Pendekar Laknat sebagai
seorang pendekar budiman, tetapi orang2 Kay-pang itu tetap
gelisah. Maka mereka menjauhkan diri dan tak ikut bicara.

382
Sikap Ti Gong taysu tampak lucu. Wajahnya menampil
kejut dan ketakutan. Ia terlongong-longong memandang Siauliong.
Dua puluh tahun berselang, ia ikut dalam rombongan yang
dipimpin Ceng Hi totiang ketua Kun-lun-pay untuk membunuh
kelima momok. Sudah tentu saat itu ia melihat Pendekar
Laknat juga. Seingatnya Pendekar Laknat itu tak setinggi yang
di hadapannya sekarang. Begitupun suaranya yang
menggeledek itu, tak sama dengan dahulu. Tetapi memang
pakaian, wajah dan dandanannya tiada beda dengan Pendekar
Laknat dahulu.
Karena kuatir nanti timbul salah faham sehingga terjadi
perkelahian antara Pendekar Laknat dengan Ti Gong taysu,
buru-buru Toh Hun-ki menyelinap ke tengah mereka dan
memperkenalkan....”Inilah ketua Siau-lim-si Ti....”
“Sahabat lama pada 20 tahun yang lalu, masakan perlu
engkau perkenalkan!" bentak Siau-liong.
Memang untuk menyempurnakan penyamarannya sebagai
Pendekar Laknat, diam-diam Siau-liong menyelidiki tentang
peristiwa kelima momok mengadu biru di dunia persilatan
pada 20 tahun berselang.
Diketahuinya bahwa Ti Gong taysu termasuk salah seorang
tokoh yang ikut gerakan membasmi kelima momok itu.
Ti Gong taysu menyebut 'Omitohud' lalu memalingkan
muka. Sudah tentu Toh Hun-ki gugup dan kuatir Pendekar
Laknat marah. Buru-buru ia berkata lagi kepada Siau-liong:
“Demi memberantas gerakan Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka yang hendak mencengkeram dunia persilatan, maka It

383
Hang totiang telah memimpin rombongan orang gagah
menyerang ke Lembah Semi. Tetapi ternyata rombongan
gagah banyak yang gugur dan sekarang hanya tinggal kami
beberapa orang ini....”-ia menghela napas dan mata berlinanglinang.
"Menilik kenyataan sekarang ini, tentulah kedua suami isteri
durjana itu segera akan bergerak. Keamanan dunia persilatan
jiwa para tokoh2 persilatan. menghadapi ancaman. Satusatunya
harapan, hanya terletak pada Pendekar Laknat
seorang saja!" kata ketua Kong-tong-pay itu lebih lanjut.
Memang agak berkelebihanlah ucapan Toh Hun-ki itu.
Tetapi sesungguhnya hal itu memang suatu fakta.
Makin mengindahkanlah Siau-liong terhadap pribadi ketua
Kong-tong-pay itu. Namun ia terpaksa deliki mata dan
berseru, “Aku tak sanggup menyanggul beban seberat itu dan
tak ingin mencampuri urusan yang tiada sangkut pautnya
dengan diriku!"
Berdiam sebentar, Siau-liong tertawa keras dan menegur Ti
Gong taysu, “Paderi tua, Siau-lim-si termasyhur diseluruh
dunia. Ilmu pukulan Tat-mo -kim-kong merajai dunia
persilatan dan engkau pun seorang ketua. Terapi mengapa
engkau dapat dikurung dalam Lembah Maut sini?"
Ti Gong taysu mendengus, “Aku memang merasa malu
karena kepandaianku masih rendah. Dan lagi memang suami
isteri iblis itu licin sekali memasang jerat.... tetapi, ah, hal itu
bukanlah sesuatu yang memalukan. Paling banyak kan mati!"
Ucapan itu menunjukkan keperibadian seorang ketua partai
persilatan seperti Siau-lim-si Keras, pantang mundur. Semula
Siau-liong tak puas melihat sikap congkak dari ketua Siau-limsi
itu.

384
Tetapi setelah mendengar pernyataannya itu,
kemarahannya pun agak reda.
Toh Hun-ki makin gelisah. Pada saat ia hendak membuka
mulut melerai, tiba-tiba dari arah barisan Tujuh Maut dan
terowongan yang tembus ke Lembah Maut, terdengar suitan
pelahan.
Siau-liong mendengarkan dengan seksama, lalu berkata
dingin, “Hendak kubawa kalian keluar dan Lembah Maut ini,
tetapi entah....”-ia memandang Ti Gong taysu, berkata pula,
"Apakah kalian percaya padaku?"
Ti Gong taysu tetap membisu. Adalah Toh Hun-ki yang
cepat menghampiri dan berkata tegang, “Musuh kuat segera
datang, jika Pendekar Laknat dapat membawa kami keluar
dari lembah ini, itulah yang paling bagus....”
Siau-liong tertawa. Sejenak memandang sekalian orang, ia
berputar tubuh lalu ayunkan langkah.
Berkat peta dari Jong Leng lojin, dapatlah ia mengetahui
keadaan lembah itu dengan jelas. Ternyata Lembah Maut itu
mempunyai 10 buah jalanan yang tembus keluar. Tetapi
hampir seluruhnya akan tembus ke dalam Barisan Tujuh Maut.
Hanya ada sebuah jalan yang dapat menembus keluar Lembah
Semi.
Siau-liong menyadari bahwa tak lama lagi Iblis Penaklukdunia
dan isterinya tentu akan datang membawa anak
buahnya. Maka cepat ia menuju kejalan tembusan yang gelap.
Berpaling ke belakang, dilihatnya Toh Hun-ki dan keempat Sulo
dari Kong-tong-pay mengikuti dibelakangnya, lalu To Kiukong,
Pengemis-tertawa Tio Tay-tong, kedua pengemis
Pincang dan paling akhir Ti Gong taysu.

385
Ketua Siau-lim-si itu berjalan dengan kepala menunduk.
Sikapnya seperti orang yang puas.
Jalan tembusan itu berada di kaki sebuah dinding karang.
Siau-liong berhenti lalu menghantam segerumbul semak
belukar setinggi orang.
Toh Hun-ki terkejut karena mengira Pendekar Laknat tentu
menemukan jejak musuh. Mereka buru-buru berpencar dan
siap2.
Terdengar bunyi berderak-derak lalu berhamburan pecahan
batu dari balik semak itu. Dan pada dinding karang segera
terbuka sebuah lubang terowongan yang cukup untuk
seorang.
Tanpa bersangsi lagi, Siau-liong terus menerobos masuk.
Toh Hun-ki dan rombongannya pun segera mengikuti. Karena
tubuhnya tinggi besar, terpaksa Ti Gong taysu harus agak
menunduk baru dapat masuk.
Terowongan itu memang terowongan alam. Penuh liku2
dan berlekuk-lekuk jalannya Selain lembab, pun amat licin
sekali. Agaknya dinding langit terowongan itu mengucurkan air
ke bawah.
Untung makin ke dalam terowongan itu makin lebar. Berkat
makan buah Im-yang-som dan minum darah biawak purba
dalam pusar bumi, mata Siau-liong luar biasa tajamnya. Walau
pun terowongan amat gelap, ia dapat berjalan pesat.
Toh Hun-ki dan kawan2nya, walaupun memiliki tenaga
dalam yang tinggi, namun tetap kalah awas dengan mata
Siau-liong. Terpaksa mereka harus jalan dengan hati-hati.

386
Terowongan itu ternyata amat panjang. Kira2 satu li
jauhnya, barulah tiba dimulut gua sebelah luar. Siau-liong
cepat loncat keluar. Disekeliling tempat situ merupakan
sebuah lamping gunung yang jauh dari Lembah Semi. Ia
menghela napas longgar.
Diperhatikan keadaan empat penjuru. Ternyata sekeliling
penjuru merupakan jajaran puncak gunung yang saling
bergandengan. Lembah Semi berada ditengah lingkup jajaran
puncak gunung itu....
Tiba-tiba ia terperanjat. Dibalik sebatang pohon pada jarak
beberapa tombak jauhnya, tampak sesosok bayangan
berkelebat. Gerakannya amat cepat sekali. Sekejab saja
bayangan itu sudah menghilang dalam kegelapan.
Saat itu baru menjelang tengah malam. Setelah menunggu
sebentar, ternyata tak tampak sesuatu yang mencurigakan
lagi. Diam-diam ia menertawakan dirinya sendiri yang begitu
keliwat perasa. Bukankah dalam hutan tentu banyak
binatang2 yang menghuni?
Saat itu Toh Hun-ki dan lain-lain orang pun sudah keluar
dari terowongan gua. Pakaian dan tubuh mereka kumal dan
kotor.
Tetapi mereka tak menghiraukan hal itu. Mereka lebih
tercengkeram oleh kegirangan yang meluap-luap karena
sudah terlepas dari Lembah Semi. Semua mata terarah
kepada Siau-liong dengan pandang terima kasih yang tak
terhingga.
Ti Gong taysu menghela napas panjang. Tiba-tiba ia
melangkah kehadapan Siau-liong dan memberi hormat. "Aku
selalu menjunjung budi dan dendam. Sejak saat ini seluruh
anak murid Siau-lim-si akan menghormat saudara sebagai

387
seorang pendekar budiman, bukan tokoh golongan Hitam
lagi!"
Siau-liong hanya tertawa hambar; “Aku tak memusingkan
hal itu. Terserah saja kepadamu!"
Tiba-tiba To Kiu-kong banting2 kaki, serunya, “Walaupun
aku dapat lolos keluar tetapi cousu-ya kami masih berada
dalam Lembah Maut. Jika kedua suami isteri iblis itu
melakukan serangan besar-besaran, cousu-ya tentu terancam
bahaya!"
Diam-diam Siau-liong geli dalam hati. Lalu berkata, “Tokoh
perwira Kongsun Liong itu. seorang pendekar muda yang
paling kuindahkan. Dia dapat muncul lenyap secara aneh.
Siapa tahu saat ini dia pun sudah lolos dari Lembah Maut.
Harap kalian jangan gelisah!"
Sekalian orang terbelalak. Belum pernah terdengar bahwa
Pendekar Laknat mau menghargai sebagai itu. Lebih2
terhadap seorang pemuda tak terkenal.
Melihat sekalian orang mengawasi dirinya. karena kuatir
akan terbuka kedoknya, Siau-liong tertawa nyaring lalu
berkata kepada Toh Hun-ki, “Bagaimana tujuan kalian?"
Ketua Kong-tong-pay menghela napas panjang.
Memandang Ti Gong taysu dan Tio Kiu-kong, lalu berkata,
“Saat ini di Siok-ciu tentu masih banyak tokoh2 persilatan
yang berbondong-bondong datang. Kemungkinan mereka
tentu belum mendengar tentang kekalahan yang kami derita
dalam penyerangan ke Lembah Semi kali ini. Tiada jalan lain
lagi kecuali hanya menyusun kekuatan dengan sahabat2
persilatan itu....”

388
Memandang Siau-liong, ia berkata setengah meminta, “Jika
Pendenar Laknak tak tega melihat kehancuran dunia
persilatan, maka....”
“Baik, aku bersedia membantu gerakan kalian untuk
membasmi Iblis Penakluk dunia dan isterinya. Tetapi....” Siauliong
berhenti menatap wajah Toh Hun-ki lekat, serunya
pula:.... Setelah kedua iblis itu dapat ditindas, aku hendak
minta beberapa barang kepadamu sebagai upahnya!"
“Asal kami mampu saja, tentu akan memberikan," Toh
Hun-ki menyahut gopoh.
Siau-liong tertawa dingin, "Mungkin barang yang hendak
kuminta terlampau berharga sekali sehingga tak mungkin
engkau mau memberikan!"
Sambil menunjuk kelangit. Toh Hun-ki bersumpah, “Apapun
yang hendak engkau minta, aku takkan sayang memberikan.
Sekali pun jiwaku juga akan kuserahkan!"
Siau-liong mendengus, “Toh Hun-ki, engkau benar. yang
kuminta justeru batang kepalamu dan keempat Su-lo Kongtong-
pay!"
Sekalian orang tersentak kaget. Toh Hun-ki termenung
lama. achirnya ia mengangguk. Serunya tertawa, “Jika
memang itu yang engkau kehendaki, akupun setuju. Begitu
kedua suami isteri iblis itu sudah dibasmi, terserah kapan saja
engkau hendak mengambilnya....”
Ketua Kong tong-pay itu berpaling ke belakang dan
memandang keempat Su-lo, lalu berkata dengan tenang,
“Tentang batang kepala dari keempat suteku ini, aku pun
dapat memberi keputusan. Akan kami serahkan ber-sama2
sekaligus!"

389
Keempat Su-lo itu tenang2 saja wajahnya, Se-akan2
mereka sudah pasrah nasib pada ketuanya.
Sikap dan ucapan yang perwira dari ketua Kong-tong-pay
itu mengharukan hati Siau-liong. Tetapi terpaksa ia paksakan
diri tertawa dingin, “Perjanjian telah kita setujui, pada saat itu
harap engkau jangan menyesa!."
Wajah Toh Hun-ki mengerut sarat dan tertawalah ia selapang2nya,
"Aku bukanlah manusia yang suka menjilat ludah.
Asal dapat menyelamatkan dunia persilatan, aku tak
menghiraukan nasibku!"
Siau-liong termenung. Pada lain saat ia mempersilahkan
rombongan tokoh persilatan itu lanjutkan perjalanan.
Baru beberapa langkah menuruni gunung, tiba-tiba Toh
Hun-ki berhenti dan berpaling, “Apakah Pendekar Laknat
hendak....”
Siau-liong mendengus, “Aku pun tak pernah ingkar janji.
Tiga hari lagi aku tentu datang ke Siok-ciu untuk berunding
dengan kalian."
Demikian Toh Hun-ki dan rombongan, segera menuruni
gunung menuju ke Siok-ciu. Setelah mereka jauh, Siau-liong
menghela napas terharu. Beberaoa butir air mata menitik
turun.... Dia sendiri tak tahu mengapa ia begitu terharu
perasaannya dan sampai menangis.
Keharuan itu sama sekali bukan karena umurnya tinggal
setahun ia serahkan pada nasib. Apalagi dalam waktu setahun
itu, cukuplah baginya untuk bertemu dengan ibunya,
melaksanakan balas dendam dan lain-lain, habis itu, mati pun
ia tak menyesal.

390
Tengah hatinya dirundung kepiluan, tiba-tiba dari balik
pohon besar disebelah muka tadi, bayangan itu mulai muncul
lagi.
Siau-liong terkejut. Terang bayangan itu bukan binatang
liar melainkan seorang persilatan yang memiliki gerakan
tangkas sekali. Dari potongan tubuhnya yang langsing,
tentulah dia seorang wanita.
Ketika memandang dengan seksama, makin besarlah rasa
kejut Siau-liong. yang datang itu ternyata si dara baju hijau
tua, ialah dara dari gubuk keluarga pemburu yang pernah Siau
liong dan Mawar Putih datangi tempo hari.
Tiba dihadapan Siau-liong, dara itu memandang lekat2
kepadanya dan bertanya dengan geram, “Tua bangka, siapa
namamu?"
Semula Siau-liong hendak menegurnya. Tetapi ketika
menyadari bahwa saat itu ia masih dalam penyamaran sebapai
Pendekar Laknat, ia batalkan niatnya. Tentulah dara itu takkan
mengenalinya.
“Nona kecil, mengapa tengah malam engkau berjalan-jalan
di puncak gunung sini?" Siau-liong balas bertanya.
Dara itu kerutkan alis lalu melengking, “Apakah engkau
tuli? Tak mendengar apa yang kutanyakan?"
Siau-liong tertegun. Diam-diam ia memuji dara itu benarbenar
bernyali besar. Tengah malam di tempat sunyi bertemu
dengan Pendekar Laknat yang berwajah seram, namun dara
itu setitik pun tak takut!

391
Saat itu mereka berada disebuah belantara yang tak pernah
didatangi orang. Siau-liong anggap tak perlu ia bertingkah
seperti Pendekar Laknat lagi.
"Nona kecil, pernahkah engkau mendengar nama Pendekar
Laknat?" serunya.
Dara itu menyahut dengan berteriak nyaring. "Apakah
engkau Pendekar Laknat itu?"
Siau-liong memandang wajah si dara yang masih kekanakkanakan,
tertawa, “Benar aku memang Pendekar Laknat!"
Diluar dugaan, dara itu malah membentak, “Bagus, setan
tua! Akhirnya aku dapat menemukan engkau!" -wut.... ia terus
ayunkan tangan menampar.
Siau-liong benar-benar tak mengerti mengapa dara itu
sedemikian bengisnya. Terhadap tamparannya, ia tak
menaruh kekuatiran, Diluar dugaan, hampir saja ia celaka!
Tampaknya biasa saja gerak tamparan dara itu sehingga
Siau-liong sama sekali tak berjaga-jaga. Pikirnya, tak apalah
andaikata sampai mengenai bagian jalan darah yang penting.
Tentu takkan menderita.
Adalah pada saat tenaga tamparan itu hampir tiba, barulah
Siau-liong kaget setengah mati. Ia sudah tak sempat
menangkis lagi. Terpaksa ia kerahkan tenaga dalam untuk
melindungi tubuhnya....
Ternyata tamparan dara itu mengandung tenaga dalam
lunak yang istimewa. Tampaknya lemah sekali tetapi hebatnya
bukan kepalang. Dapat menghancurkan tulang2 dari sendinya.
Dan yang istimewa lagi, pukulan itu sama sekali tak bersuara.

392
Dess.... dada Siau-liong terkena pukulan si dara dengan
tepat sekali. Walaupun ia sudah kerahkan lima bagian tenaga
dalamnya, namun dadanya seperti dihantam dengan palu
godam.
Darah bergolak keras, mata berkunang-kunang dan
tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sampai tujuh
delapan langkah baru ia dapat paksakan diri berdiri tegak.
Melihat pukulannya berhasil dara itu melengking dan
secepat kilat loncat maju ia menghantam dengan kedua
tangannya lagi!
Sudah tentu Siau-liong kejut bukan kepalang. Menurut
penilaiannya, tenaga dalam dari pukulan si dara serta
gerakannya dalam ilmu meringankan tubuh, tidak dibawah
kedua suami isteri Iblis Penakluk dunia. Kalau ia tak balas
menyerang, terang tentu akan terluka berat.
Tiba-tiba Siau-liong menggembor keras. Dengan salurkan
delapan bagian dari tennga sakti Bu-kek-sin-kang, iapun
menyongsong dengan kedua tangannya.
Ketika dua tenaga sakti saling beradu sama sekali tak
mengeluarkan suara.
Kiranya tenaga sakti yang dilepas Siau-liong itu bersifat
Keras. Sedang tenaga sakti si dara merupakan tenaga sakti
lunak. Keras beradu Lunak, hilang sirna kedua-duanya!
Siau-liong mendengus. Ia hendak menarik pulang tenaga
pukulannya. Tetapi diluar dugaan si dara menyerang lagi.
Dara itu juga seorang pemarah. Melihat pukulannya tak
mampu merubuhkan Siau-liong. marahlah ia Dorongkan kedua

393
tangan kemuka, ia pancarkan seluruh tenaga saktinya ke arah
Siau-liong.
Siau-liong pucat seketika. Ia menyadari bahwa apabila dua
jenis tenaga sakti saling beradu, salah satu atau mungkin
kedua-duanya. tentu akan menderita luka parah. Bahkan
mungkin binasa. Dara itu tak mempunyai dendam
permusuhan dengan dirinya. Tetapi mengapa begitu kalap
hendak mengadu jiwa?
Juga dara itu tak mau memberi kesempatan kepadanya
untuk bicara. Dan celakanya, ternyata dara itu memiliki
kepandaian yang sakti. Dua kali dara itu menyerang hebat.
Dan kalau sekarang dibiarkan juga, kemungkinan ia tentu
celaka.
Dengan mengerat gigi, terpaksa Siau-liong kerahkan tenaga
sakti untuk menyongsong serangan si dara.
Tetapi alangkah kejut Siau-liong. Sudah delapan bagian
dari tenaga saktinya yang ia lancarkan namun tetap
berimbang dengan tenaga sakti si dara.
"Celaka," keluhnya dalam hati, “aku tak kenal dan tak
mempunyai dendam suatu apa kepada budak perempuan
ini.... Kalau sampai binasa ditangannya, bukankah amat
penasaran?"
Dan tak habislah heran Siau-liong. Ia sudah menerima
penyaluran tenaga sakti dari Pendekar Laknat, sudah makan
buah Im-yang-som dan sudah pula minum darah binyawak
dalam pusar bumi. Karena hal2 yang luar biasa itu, barulah ia
memiliki kesaktian seperti saat itu. Tetapi dara itu? Ya, dara
itu tentu lebih muda dari dia. Tetapi mengapa kepandaiannya
begitu hebat, tak dibawah kepandaiannya?

394
Tengah pikirannya melayang, tiba-tiba Siau-liong rasakan
tekanan tenaga lawan makin bertambah keras sehingga
tubuhnya mulai terdorong ke belakang.
Siau-liong gelagapan kaget. Buru-buru ia menambahkan
tenaga dalamnya lagi.
Namun rupanya dara baju hijau itu amat penasaran sekali.
Kalau dapat, hendak dihancurkan saja Siau-liong saat itu juga.
Melihat Siau-liong menambahkan tenaga saktinya, dara itu
geregetan sekali.
Se-konyong2 data itu gentakkan kedua kakinya menekan
tanah. Dengan segenap tenaga ia memberi tekanan kepada
Siau-liong.
Siau-liong gelagapan sekali ia tak kira kalau dara itu begitu
kalap hendak mengadu jiwa kepadanya. Apabila terjadi
benturan, tak dapat tidak keduanya akan celaka semua.
Namun untuk menghindari, Siau-liong sudah tak sempat
lagi. Dan terjadilah getaran dahsyat. Siau-liong dan dara itu
sama2 terpental setombak dan rubuh ke tanah!
“Aduh....” dara itu mengerang pelahan lalu tak bersuara
lagi. Tampaknya tentu menderita luka parah dan mungkin
sudah binasa, mungkin hanya pingsan.
Siau-liong walaupun masih sadar tetapi juga sudah terlongong2.
Darah dalam tubuhnya bergolak keras sehingga
kepalanya pening mata pudar. Kemungkinan setiap saat ia
akan pingsan dan mati.
Dengan kuatkan diri Siau-liong kerahkan tenaga murni
untuk memulihkan peredaran darahnya. Tetapi begitu

395
kerahkan tenaga murni, darahnya melancar keras, meluap
kemulut dan "huak".... ia muntah darah sampai dua kali....
Mata Siau-liong mulai kabur. Sekeliling alam terasa berputar2.
Dalam keadaan antara sadar tak sadar iiu, ia masih
dapat menghela napas. Kalau ia harus mati saat itu, sungguh
mengenaskan sekali....
Sekonyong-konyong dari jauh terdengar orang berseru
memanggil-manggil, “Leng-ji! Leng-ji....”
Walaupun Siau-liong mendengar juga suara itu. tetapi ia
sudah seperti terbuai dalam keadaan mabuk. Pikirannya tak
dapat lagi mengetahui keadaan disekelilingnya.
Suara itu makin lama makin dekat. Nadanya mengunjuk
rasa kegelisahan. Tak lama kemudian sesosok bayangan
meluncur pesat kesamping dara itu. Dia menjerit lalu
berjongkok memeriksa si dara.
Ternyata pendatang itu ada wanita dari gubuk keluarga
pemburu atau ibu dari dara itu. ialah nyonya rumah yang
menemui Siau-liong ketika pemuda itu bersama Mawar Putih
mencari tempat bermalam dihutan.
Wanita baju hitam itu mendukung si dara s-raya mengiangngiang:
,,Anakku, oh, anakku....”
Dara itu sudah pingsan. Kaki tangannya lunglai, mata
meram seperti orang mati.
Wanita itu lekatkan telinganya kedada puterinya.
Didengarnya jantung dara itu masih mendebur. Cepat ia
mengambil sebutir pil lalu disusupkan kemulut si dara.

396
Terdengar perut dara itu kerucukan. Tak lama kemudian
bibirnya bergetar lalu "huak" mulutnya muntahkan segumpal
darah hitam!
Ketegangan wajah wanita baju hitam itu agak menurun.
Sambil membopong tubuh si dara, ia pe-lahan2 menghampiri
ketempat Siau-liong. dengan mata berkilat-kilat gusar ia
membentak Siau-liong, “Tua bangka laknat!"
Siau-liong walaupun masih sadar tetapi juga sudah terlongong2.
Darah dalam tubuhnya bergolak keras sehingga
kepalanya pening mata pudar. Kemungkinan setiap saat ia
akan pingsan dan mati.
Dengan kuatkan diri Siau-liong kerahkan tenaga murni
untuk memulihkan peredaran darahnya. Tetapi begitu
kerahkan tenaga murni, darahnya melancar keras, meluap
kemulut dan "huak".... ia muntah darah sampai dua kali....
Mata Siau-liong mulai kabur. Sekeliling alam terasa berputar2.
Dalam keadaan antara sadar tak sadar itu, ia masih
dapat menghela napas. Kalau ia harus mati saat itu, sungguh
mengenaskan sekali....
Siau-liong pikirannya masih sadar. Baru ia gerakkan mulut
hendak memberi keterangan, wanita baju hitam itu sudah
membentaknya, “Walaupun aku sudah mengasingkan diri dan
sudah cuci tangan, tetapi engkau sendiri yang cari mati....”
Wajah wanita itu tiba-tiba berobah pilu. Matanya berlinang2.
Setelah termenung beberapa saat ia berkata pula,
“Karena engkau berani mencelakai puteriku. Terpaksa aku pun
harus berlaku kejam kepadamu!"

397
Ia menutup kata2nya dengan mengangkat kaki kanannya.
Sekali tendang, tubuh Siau-liong berguling-guling beberapa
langkah.
“Hai, tua bangka Laknat! Apakah engkau dengar kata2ku
tadi?" serunya.
Tendangan wanita itu membuat Siau-liong meregang
setengah mati Tulang belulangnya serasa copot dari
persendiannya. Ia hanya mengerang, tertahan.
Wanita baju hitam itu tertegak diam. Pada lain saat ia
menghela napas panjang. memandang Siau-liong yang
menggeletak tak berkutik dilanah, ia berkaa seorang diri,
“Pada saat dan tempat sekarang ini, kuampuni jiwamu. Tetapi
besok pada pertengahan hari....”
Habis berkata wanita itu terus membawa si dara baju hijau
pargi. Tak berapa lama lenyap dalam kegelapan.
Siau-liong dalam keadaan sadar tak sadar. Semangatnya
seperti melayang-layang di angkasa. Ia tak berani
mengerahkan hawa murni untuk menjalankan peredaran
darah. Karena dengan berbuat begitu bahkan akan membuat
darahnya sungsal sumbal. Dan pasti matilah ia saat itu. Apa
boleh buat ia biarkan saja apa yang terjadi dalam tubuhnya.
Ia pasrahkan dirinya pada kehendak Nasib.
Rasa sakit telah menyebabkan kesadaran pikirannya hilang.
Seolah olah anggauta badannya, bukan lagi menjadi miliknya.
Malam merayap panjang, Sudah hampir tiga jam lamanya
Siau-liong dalam keadaan sedemikian itu. Saat itu haripun
hampir terang tanah. Angin di malam musim rontok yang
dingin membuat Siau-liong tersadar. Mulai ia gelisah.
Tenaganya lemah lunglai tak dapat bergerak lagi.

398
Saat itu ia masih berada tak berapa jauh dari mulut gua
tembusan. Jika suami isteri Iblis Penakluk dunia dan Dewi
Neraka muncul, tentu ia akan diseret ke dalam lembah lagi.
Namun apa daya. Ia benar-benar tak kuat untuk
menggerakkan tubuhnya. Kembali ia harus menyerah pada
nasib.
--ooo0dw0ooo--
MAWAR dan MELATI
Sekonyong - konyong terdengar derap langkah orang.
Bermula lapat2 tetapi makin lama makin dekat. Dan beberapa
saat kemudian tiba di belakang Siau-liong.
Diam-diam Siau-liong mengeluh. Jelas Toh Hun-ki dan
rombongannya sudah pergi. Yang mungkin datang tentulah
suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka. Atau anak
buah Lembah Semi.
Tetapi pada lain kilas ia anggap dugaannya itu kurang
tepat. Karena baik Iblis Penakluk-dunia atau Dewi Neraka,
mau pun Soh-beng Ki-su tentu tak mungkin datang seorang
diri. Pada hal jelas yang datang itu adalah seorang.
Dengan telinganya yang tajam apalagi keadaan sekeliling
tempat itu sunyi senyap, dapatlah ia mengikuti gerak-gerik
pendatang itu. Setelah tiba dibelakangnya, orang itu tertegun
diam.
Pada lain saat tiba-tiba orang itu berjongkok dan berteriak
cemas, “Lo-cianpwe, lo-cianpwe.... engkau....”

399
Siau-liong tak asing lagi dengan nada suara itu. Ya, itulah
Tiau Bok-kun. Tak mungkin salah.
Dengan paksakan diri, Siau-liong bergeliat berseru. "Tiau....
nona.... Tiau....!"
Luka dalam yang dideritanya benar-benar parah. Setelah
berseru tiga patah kata, napasnya terengah dan tak dapat
melanjutkan lagi. Darahnya bergolak sehingga ia hampir
pingsan.
“Lo-cianpwe, mengapa engkau menderita luka yang begitu
parah?....” tanya Tiau Bok-kun cemas.
Setelah ditolong oleh Pendekar Laknat dari Lembah Semi,
Tiau Bok-kun merasa berhutang budi kepada orang tua yang
berwajah seram iiu.
Siau-Liong hanya tersenyum hambar tetapi tak menjawab.
Diam-diam ia cemas juga mengapa pada waktu larut malam
begini, Tiau Bok-kun datang kesitu. Apabila orang Lembah
Semi keluar, bukankah nona itu akan celaka!
Sejenak memandang keempat penjuru, Tiau Bok-kun
berkata, “Lo-cianpwe, lekaslah engkau salurkan tenaga dalam.
Kita.... kita harus lekas2 tinggalkan tempat ini!"
“Aku.... sudah tak ada harapan lagi! Lekaslah engkau....
pergi.... jangan . , .jangan pedulikan aku!"
Tampak mata Tiau Bok-kun berlinang-linang, katanya
meratap, "Jika tak ketemu, itu lain soal. Tetapi sekali aku
berjumpa dengan locianpwe, tak mungkin aku tak
mempedulikan.... Tempo hari jika tak ditolong locianpwe, aku
tentu sudah mati dalam Lembah Semi!"

400
Melihat nona itu berkeras kepala, Siau-liong gugup dan
membentaknya, “Pergi.... engkau! Aku....”
Karena hatinya goncang, darah meluap dan pingsan lagilah
ia.
Tiau Bok-kun gugup sekali. Setelah bersangsi sejenak, ia
terus memanggul tubuh Pendekar Laknat lalu dibawanya turun
gunung.
Kira2 setengah li jauhnya, mereka tiba di kaki puncak. Tiau
Bok-kun memilih sebuah tempat yang tersembunyi dan
meletakkan tubuh Siau-liong. Setelah menyandarkan tubuh
Siau-liong pada batu, Tiau Bok-kun mulai lekatkan kedua
tangannya pada perut Siau-liong untuk menyalurkan tenaga
dalamnya.
Berkat makan buah Im-yang-som dan minum darah
binyawak dalam pusar bumi, Siau-liong memiliki dasar ilmu
tenaga dalam yang lebih tinggi dari orang biasa. Maka begitu
mendapat saluran tenaga dalam dari Tiau Bok-kun, cepat
sekali darah Siau-liong yang bergolak keras itu dapat
ditenangkan kembali.
Setelah beberapa waktu lamanya, Siau-liong membuka
mata. "HuaK", ia muntahkan segumpal darah hitam. Tetapi
dengan begini, napasnya agak longgar, semangat lebih segar.
Tiau Bok-kun hentikan penyalurannya dan berkata dengan
ter-engah2, “Locianpwe, lekas salurkan tenagamu. Engkau
sudah makin baik!"
Tetapi Siau-liong tersenyum tawar dan gelengkan kepala,
“Percuma! Tak mungkin aku sembuh! Aku dapat merasakan
sendiri.... Nona Tiau....” ia berkata pula.

401
"Lo-cianpwe....”
"Mengapa tengah malam begini engkau datang kemari?"
"Aku hendak mencari seseorang!"
Siau-liong tergetar hatinya, “Siapa?"
Nona itu menghela napas panjang. Sampai lama ia tak
berkata.
“Apakah bukan pemuda yang bernama Kong-sun Liong
itu....”
Tiau Bok-kun teringat ketika dalam Lembah semi ia pernah
minta tolong kepada Pendekar Laknat supaya menyampaikan
pesan kepada Kong-sun Liong. Wajah nona itu tersipu merah
ketika mengangguk, “Kutahu dia tentu sudah masuk ke dalam
Lembah Semi, maka....”
Diam-diam Siau-liong mengucurkan dua titik air mata. Lalu
dengan halaukan rasa haru, ia barkata, “Harap nona suka
mendengar nasehatku. Lebih baik nona jangan mencarinya!"
“Mengapa? Apakah lo-cianpwe pernah melihatnya?" tanya
Tiau Bok-kun gugup.
Siau-liong tidak menyahut melainkan melanjutkan kata2nya
lagi, “Nona takkan dapat menemukannya se-lama2nya!"
"Mengapa?" Tiau Bok-kun makin tegang Siau-liong
menghela napas, “Mungkin dia sudah pergi keseberang lautan
dan takkan kembali lagi....”
Tiau Bok-kun meregang kedua matanya lebar2 memandang
Siau-liong. Dua butir air mata bercucuran dari pelupuknya.

402
Beberapa saat kemudian ia membesut air matanya lalu
berkata dengan tersekat, “Tidak, tidak mungkin dia berbuat
begitu. Paling tidak dia tentu akan membawaku pergi!"
Berhenti sejenak ia berkata pula, “Dia tahu bahwa diriku
senasib dengan dia. Tiada ayah-bunda, hidup sebatang kara!"
Hati Siau-liong seperti disayat sembilu. Batinnya, “Ah,
tahukah engkau bahwa Kongsun Liong yang engkau cari itu
berada dihadapanmu? Tahukah pula engkau bahwa aku hanya
dapat hidup dalam satu tahun saja?"
Sau-liong termangu tegak seperti patung. Perasaannya melayang2
tak keruan. Nasib malang tak putus2nya merundung
dirinya. Poh Ceng-in si wanita pemilik Lembah Semi telah
memberinya minum racun Jong-tok. Dalam waktu satu tahun
ia tentu mati. Belum sempat ia melakukan tujuan mencari ibu
dan membalas musuh2, diluar dugaan ia bertemu dengan si
dara baju hujau yang menyerangnya sehingga sama2
menderita luka parah....
"Lo-cianpwe, mengapa engkau.... juga tampak bersedih?"
tiba-tiba Tiau Bok-kun bertanya cemas seraya mengeluarkan
sapu tangan.
Ternyata Siau-liong tak dapat mengendalikan kesedihan
hatinya sehingga menitikkan air mata juga.
Setelah Tiau Bok-kun menyeka air matanya, barulah ia
tersadar. Ia paksakan tertawa. "Dengan Kongsun Liong itu,
aku memang pernah bertemu....”
“Oh....” desis Tiau Bok-kun tegang, “Dimanakah dia? Locianpwe.
dimanakah dia sekarang?"

403
Sejenak merenung Siau-liong menyahut, “Pada waktu
berjumpa dia sedang siap2 hendak pergi jauh kelain tempat.
Dia tentu dicelakai secara licik oleh orang dengan racun yang
ganas. Menurut keterangannya, dia hanya dapat hidup selama
setahun lagi....”
"Lo-cianpwe!" Tiau Bok-kun menjerit, "Apakah
keteranganmu itu benar?"
Siau-liong menghela napas, “Menurut keterangannya pula,
dia masih mempunyai seorang keluarga yang tinggal
diseberang laut. Sebelum mati dia hendak bertemu muka
dengan keluarganya itu. Maka ia bergegas-gegas menuju
keseberang laut!"
"Tahukah lo-cianpwe letak tempatnya diseberang lautan
itu?" Tiau Bok-kun mendesak.
Siau-liong gelengkan kepala, “Ini.... aku tak mendengar
jelas!"
Sejenak melirik pada Tiau Bok-kun, kembali Siau-liong
melanjutkan kata2, “Pada saat pergi, Kongsun Liong telah
minta tolong kepadaku supaya menyampaikan sebuah pesan
kepada nona!"
Dengan ber-linang2 air mata Tiau Bok-kun bergegas
menanyakan. Tetapi Siau-liong tak tahan berhadapan mata
dengan si nona. Cepat palingkan muka dan berkata, “Dia
mengatakan.... supaya nona lupakan saja kepadanya.
Anggaplah nona tak pernah bertemu dengannya!"
Hampir saja ia tak kuat menahan air matanya tetapi
dengan kuatkan hati ia menahan diri.

404
Tiau Bok-kun terpukau lalu berkata seorang diri,
“Melupakannya? Seperti tak pernah kenal padanya....? Enak
sekali ia mengucap kata-kata itu....”
Serentak berpaling menatap Siau-liong, Tiau Bok-kun
membentaknya, “Bohong! Tak mungkin dia mengatakan
begitul Kutahu isi hati dan peribadinya. Dia bukanlah seorang
pemuda yang mudah melupakan budi dan cinta....”
Berhenti sejenak untuk menekan haru penasarannya, Tiau
Bok-kun melanjutkan berkata pula, “Tentu karena tak dapat
menyembuhkan racun itu maka ia lantas tak mau bertemu
dengan aku lagi....!"
Siau-liong menghela napas panjang.
"Rasanya itu lebih baik agar nona dan dia jangan sampai
menderita!"
"Tetapi tak bisa begitu! Sekalipun dia hanya dapat hidup
satu tahun, satu tahun aku akan menemaninya. Kemudian....
aku rela menemani mati bersamanya!"
Diam-diam Siau-liong terkejut, serunya, “Nona, tindakan
nona itu bodoh sekali. Sekalipun nona rela berkorban tetapi
baginya, tentu akan lebih menambah penderitaan batin!"
Ditatapnya Siau-liong dan berkatalah Tiau Bok-kun,
“Bagaimana lo-cianpwe tahu kalau dia akan menderita....?"
Ia tenangkan ketegangan hati dan menghela napas,
ujarnya, “Tak peduli dia hendak pergi kemana, aku tetap akan
mencarinya!"
Siau-liong terpukau. Tak tahu ia bagaimana harus
berkata.... Ia kehilangan faham.

405
Saat itu sudah hampir menjelang fajar. Angin pagi mulai
berhembus menggigit tulang. Tiau Bok-kun memandang
kesekeliling penjuru lalu berkata, “Lo-cianpwe, mari kubawa
lo-cianpwe ke Siok-ciulah!"
Siau-liong gelengkan kepala, “Percuma, lukaku ini tak
mungkin sembuh lagi. Biarlah aku menggeleiak disini saja!"
"Dikota Siok-ciu banyak tabib yang pandai. Tentu dapat
menyembuhkan luka lo-cianpwe!"
Tanpa menunggu persetujuan Siau-liong lagi, Tiau Bok-kun
terus memanggul tubuh pemuda itu dan mulai ayunkan
langkah.
Siau-liong hendak meronta tetapi dia sudah tak bertenaga
lagi. Terpaksa ia menghela napas dan pasrah bongkokan.
Hatinya gundah kelana tak keruan. Sedih bahagia, pedih dan
gembira bercampur aduk jadi satu dalam sanubarinya. Mati
tak dapat, hidup pun tak bisa....
Kira2 sepeminum teh lamanya, mereka tiba di jalan besar.
Tengah Tiau Bok-kun berjalan, sekonyong-konyong terdengar
suara orang membentak bengis, “Berhenti!"
Tiau Bok-kun terkejut dan berhenti, Dari balik sebuah batu
di tepi jalan, melesat keluar seorang dara.
Dara itu memandang lekat2 pada Pendekar Laknat yang
dipanggul Tiau Bok-kun lalu mendengus tajam; “Bagus!
Kiranya kalian begitu mesra sekali!"
Setelah menenangkan kegoncangan hatinya, Tiau Bok-kun
menyahut, “Apakah engkau bukan taci Mawar Putih?"

406
Kiranya dara itu memang si Mawar Putih. Ketika dirumah
penginapan dalam kota Siok-Ciu, tempo hari mereka memang
pernah berjumpa.
Mawar Putih tak menghiraukan teguran Tiau Bok-kun.
Menunjuk pada Pendekar Laknat, Mawar Putih melengking,
“Perlu apa engkau memanggulnya?"
Habis berkata ia terus hendak merebut. Tiau Bok-kun
menghindar seraya berteriak, “Jangan, dia sedang terluka
berat!"
Mawar Putih tertegun. “Mengapa terluka?"
"Menurut keterangannya, lukanya sudah tak ada harapan
lagi!"
Mawar Putih memandang tajam2. Ah. benar. Wajah Siauliong
pucat lesi, napasnya lemah. Dara itu terkejut sekali.
Tetapi karena Tiau Bok-kun memanggil Siau-liong sebagai
Pendekar Laknat, ia duga nona itu belum tahu kalau yang
dipanggulnya itu bukan lain adalah Kongsun Liong. Diam-diam
Mawar Putih legah hatinya.
Kini ia tersenyum, “Baik, harap serahkan dia kepadaku!"
Tiau Bok-kun meragu. Dipandangnya wajah Siau-liong.
Kedua matanya memejam, rupanya pingsan. Nona itu cemas,
serunya; "Beliau orang tua ini menderita luka dalam. Harus
cepat2 diobati, kalau tidak....”
“Kutahu!" Mawar Putih tertawa dingin, “masakan aku
sampai hati membiarkannya mati!"
Walaupun heran mengapa dara itu menghendaki Pendekar
Laknat yang sedang terluka parah, namun karena melihat dara

407
itu begitu bersungguh-sungguh, terpaksa ia menyerahkannya
juga.
Sesungguhnya Siau-liong tidak pingsan. Ia tahu kalau
dirinya dibuat rebutan oleh kedua gadis itu. Namun kalau
membuka mulut, ia kuatir akan menimbulkan salah faham
diantara kedua dara itu. Maka ia pura-pura pingsan.
Setelah membopong Siau-liong, Mawar Putih lalu berkata;
“Kami hendak berangkat, silahkan engkau melanjutkan
perjalananmu sendiri!"
Tiau Bok-kun mengangguk, “Baiklah, ah, membikin repot
taci saja....”
“Tak apa," sahut Mawar Putih tersenyum. Lalu berputar diri
dan melangkah pergi.
Tiau Bok-kun memandang bayangan dara itu sampai
beberapa saat. Tiba-tiba ia berteriak memanggilnya, “Taci
Mawar Putih!"
Mawar Putih berhenti dan menanyakan apalagi yang
hendak dikehendaki nona itu.
“Apakah taci pernah mendengar tentang diri.... Kongsun....
liong?"
Mawar Putih kerutkan alis, “Mengapa engkau
menanyakannya?"
Tiau Bok-kun menghela napas, “Kabarnya dia telah
menderita luka akibat diracuni secara licik oleh seseorang.
Mungkin.... hanya dapat hidup sampai satu tahun saja!"
Mawar Putih tertegun, “Siapa bilang?"

408
"Lo-cianpwe ini," kata Tiau Bok-kun menunjuk Siau-liong.
Dua butir air matanya menitik turun dan berkata lagi, "Dan
lagi, katanya dia sudah berangkat keseberang laut.... Taci
Mawar, tahukah engkau seberang lautan yang ditujunya itu?"
Tiau Bok-kun menyusuli pertanyaan pula.
"Tidak tahu," sahut Mawar Putih dingin. Ditatapnya Tiau
Bok-kun tajam2 lalu menegur, “Eh, mengapa engkau terus
menerus menanyakan tentang dirinya?.... Kukasih tahu
padamu. Sekalipun andaikata dia tak jadi menuju keseberang
lautan, tak nanti dia mempedulikan dirimu!.... Lekas engkau
lanjutkan perjalananmu, dan jangan bertanya atau menyelidiki
beritanya lagi!"
Dengan rawan kepiluan, Tiau Bok-kun menyahut, “Tak apa
dia akan mempedulikan aku atau tidak. tetapi dia telah
menolong jiwaku....”
"Dia banyak sekali menolong orang!" tukas Mawar Putih,
"mungkin itu hanya merupakan suatu kewajiban baginya,
Tetapi jelas dia tentu tak menghendaki engkau membalas
budinya.... mungkin dia sudah melupakan dirimu!"
Tiau Bok-kun menghela napas lalu pamitan dan terus
melangkah pergi. Tampak langkahnya agak terhuyunghuyung.
Jelas nona itu telah menderita pukulau batin yang
berat!
Diam-diam Siau-liong mencuri lirik. Dilihatnya nona itu
menuju ke Siok-ciu. Ia menghela napas panjang....
Setelah Tiau Bok-kun lenyap dari pandangannya, Mawar
Putih segera bertanya kepada Siau-liong, “Apakah engkau
benar-benar terluka parah? Apakah engkau dilukai Iblis

409
Penakluk-dunia dan isterinya ketika dalam barisan Tujuh
Maut?"
Siau-liong hanya menghela napas rawan dan minta nona
itu supaya meletakkan dirinya.
“Tidak boleh membuang waktu. Aku akan mencari orang
supaya mengobati lukamu!" kata Mawar Putih, terus
melangkah pesat.
“Percuma! Jangan buang waktu dan tenaga sia-sia!" teriak
Siau-liong gugup.
Tetapi dengan yakin Mawar Putih mengatakan “Betapa
berat lukamu itu, aku kenal seseorang yang dapat
menghidupkan orang yang sudah meregang jiwa!"
Siau-liong kenal watak dara yang keras kepala itu. Apalagi
ia lemah lunglai tak bertenaga. Terpaksa ia membiarkan saja
dibawa Mawar Putih. Tetapi ia yakin, lukanya itu tak mungkin
diobati lagi.
“Kalau engkau berkeras hendak mencari penolong, harap
tolong bukakan kedok muka dan jubahku.... aku tak ingin
dikabarkan orang bahwa Pendekar Laknat terluka berat dan
mati....”
Habis berkata karena kehabisan tenaga murni, Siau-liong
pingsan pula.
Mawar Putih memaki dirinya sendiri yang begitu tolol. Ia
segera mengerjakan permintaan pemuda itu. Membuka kedok
muka dan jubah Pendekar Laknat sehingga menjadi Siau-liong
lagi. Mawar Putih lalu memanggulnya dan lanjutkan
perjalanan.

410
Tak berapa lama ia tiba disebuah gubuk dilereng gunung.
Gubuk itu adalah tempat Mawar Putih dahulu dibawa Siauliong
untuk merawat lukanya.
Siau-liong masih pingsan sehingga tak tahu apa yang
terjadi saat itu.
Setelah mendebur pelahan-lahan tiga kali pada pintu, ia
segera mendorong daun pintu. Wanita baju hitam sudah
berdiri tegak dalam ruang. Matanya berkilat-kilat memandang
Mawar Putih dan Siau-liong.
“Kemana engkau?" tegurnya.
Dengan tersipu-sipu malu. Mawar Putih memberi
keterangan, “Tadi ketika aku berjalan-jalan disekitar gunung,
tak terduga telah menemukannya!"
“Siapa? Apakah anak itu?"
“Ya, benar dia. Putera dari guruku!" sahut Mawar Putih.
Wanita baju hitam itu mendesah lalu suruh Mawar Putih
masuk. Sambil mengikuti di belakang wanita itu, Mawar Putih
berkata setengah meratap, “Bibi, harap suka menolongnya,
kalau tidak dia tentu mati!"
Wanita baju hitam itu berhenti, menghela napas, “Ai,
adikmu si Ling juga menderita luka dalam yang parah. Sampai
saat ini masih berbahaya keadaannya!"
"Hai, mengapa....!" Mawar Putih terkejut.
Wanita baju hitam itu gelengkan kepala dan merghela
napas, “Seperti engkau, diapun tengah malam keluyuran

411
dalam hutan.... jika aku tak datang pada saat yang tepat,
mungkin dia tentu sudah mati ditangan Pendekar Laknat!"
Kejut Mawar Putih bukan alang kepalang, serunya:
Pendekar Laknat? Adik Ling terluka ditangan Pendekar
Laknat?"
Wanita baju hitam itu menatap Mawar Putih, “Mengapa?
Apa engkau anggap hal itu mustahil terjadi?"
Mawar Putih gugup, “Tidak, Tidak begitu.... ku maksudkan
mengapa adik Ling sampai bertempur dengan Pendekar
Laknat. Apakah dia mempunyai dendam permusuhan dengan
orang itu?"
Wanita baju hitam hendak membuka mulut tetapi tak jadi.
Ia menghela napas lalu mengeluh, “Ah, sukar dikatakan."
Saat itu perasaan Mawar Putih benar-benar tak keruan
rasanya. Jika wanita baju hitam itu sampai mengetahui bahwa
yang menjadi Pendekar Laknat itu tak lain adalah Siau-liong,
apakah dia masih mau menolongnya?
Ia berusaha untuk menenangkan kegelisahan dan
mengikuti di belakang wanita itu. Ketika berada di dalam
ruangan, dilihatnya si dara baju hijau memang sedang rebah
di atas ranjang. Serupa dengan Siau-liong, dara itupun sedang
pingsan.
Wanita baju hitam memeriksa dan meraba-raba dahi
puterinya, kemudian berkata, “Mungkin tak berbahaya. Tetapi
paling tidak harus beristirahat 10 hari baru sembuh.... ah,
dengan peristiwa ini mungkin akan mengabaikan urusanku
yang penting!”

412
Melihat betapa sayang wanita itu kepada puterinya dan
kuatir Siau-liong akan diketahui sebagai Pendekar Laknat,
Mawar Putih tak mau mendesak wanita itu supaya cepat2
mengobati Siau-Liong.
Wanita itu gelengkan kepala lalu menghela napas dan
menatap Mawar Putih, “Mari kita lihat anak itu!"
Demikian Mawar Putih segera mengikuti masuk ke dalam
ruangan. Tetapi apa yang disaksikan saat itu benar-benar
membuatnya terbelalak kaget seperti melihat hantu!
Ranjang dimana Siau-liong berbaring tadi, ternyata kosong
melompong. Siau-liong lenyap!
"Mana orangnya?" wanita baju hitam itu pun bertanya
kaget.
Mawar Putih berdiri terlongong-Longong. ia gelagapan
mendapat pertanyaan itu lalu sibuk mencari kian kemari.
Bahkan sampai kekolong ranjang dan meja pun diperiksanya.
Namun Siau-liong tetap menghilang seperti ditelan bumi....
Geli2 mengkal wanita baju hitam itu berkata, “Tolol,
dengan caramu itu bagaimana engkau mampu
menemukannya?"
Mawar Putih tertegun, “Dia terluka parah sampai tak
sadarkan diri. Bagaimana mampu pergi....” berhenti sejerak
memandang wanita baju hitam, Mawar Putih berkata pula,
“pula tak mungkin tanpa sebab dia melarikan diri!"
Wanita baju hitam tertawa hambar, “Sekali pun dia tak
dapat berjalan tetapi lain orang kan bisa membawanya lari!"

413
Mawar Putih terbeliak kaget, “Bibi mengatakan.... dia
dilarikan orang?"
"Mungkin diculik.... mungkin hendak ditolong. Sekarang
masih sukar dikatakan!" kata wanita baju hitam itu.
Mawar Putih seperti orang tidur disiram air dingin. Dia
gelagapan terus loncat lari keluar.
Tepat pada saat tubuh Mawar Putih melambung di udara,
wanita baju hitam itu pun balikkan tangannya ke belakang.
Serangkum angin keras melanda Mawar Puiih.
Ternyata angin dari gerakan tangan wanita itu
mengandung tenaga sakti menyedot. Mawar Putih seperti
terlibat tali yang tak kelihatan dan pada lain saat tubuhnya
ditarik ke belakang.
Dara itu berusaha untuk berdiri tegak pada saat kakinya
menginjak tanah. Kemudian menatap wanita itu dengan
cemas, “Bibi....”
“Tak perduli pendatang itu hendak menculik atau hendak
menolongnya. Tetapi dia mampu datang kemari tanpa
kuketahui sama sekali, jelas bukan orang sembarangan. Saat
ini tentu sudah jauh, percuma engkau hendak
mengejarnya....” wanita baju hitam itu mondar-mandir
beberapa saat. Pada lain saat ia berkata seorang diri, “Tetapi,
siapakah dia....”
Mawar Putih yang ter-longong2 memandang wanita itu, tak
sabar lagi terus bertanya, “Tentulah perbuatan kedua suami
isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka itu. Selain mereka,
rasanya tiada lain orang lagi.... ah, kasihan dia....”

414
Mawar Putih menangis terisak, “Kasihan dia sedang
menderita luka yang amat parah, tentu akan mati!"
"Engkau tahu apa!" bentak wanita itu, "meskipun kedua
suami iuteri iblis itu hendak menguasai dunia persilatan tetapi
mereka setempo juga terpaksa datang kemari. Mungkin
perbuatan Pendekar Laknat....”
"Tidak mungkin Pendekar Laknat, dia....” tiba-tiba Mawar
Putih merasa telah kelepasan omong. Buru-buru ia diam.
"Bagaimana engkau tahu kalau bukan Pendekar Laknat?"
tegur wanita itu dengan tajam.
Dengan tersekat-sekat Mawar Putih imenyahut, “Karena....
karena dia dengan adik Ling."
"Benar, Pendekar Laknat dan Ling-ji sudah sama2 terluka,
tak mungkin dia. Lalu siapakah orang itu? Apakah....” tiba-tiba
wanita baju hitam itu tertawa dingin, “Ya, tentulah dia!"
"Siapakah yang bibi maksudkan?" Kukatakan pun engkau
tak tahu. Tetapi....” wanita itu berhenti, menarik Mawar Putih
duduk di atas ranjang lalu melanjutkan kata-katanya, “Aku
mengerti Ilmu meramal. Anak itu tak mengunjuk pendek usia.
Sekalipun menderita berbagai kesulitan dan siksaan tetapi
tetap tak berbahaya. Hanya engkau dengan dia....” -wanita itu
memandang beberapa kali wajah Mawar Putih tetapi tak
berkata apa2.
"Apakah bibi sudah meramalkan wajah kami?" tanya Mawar
Putih terkejut.
"Tak perlu melihat dengan teliti. Cukup melihat sebentar
saja sudah tahu!"

415
Wajah Mawar Putih tersipu merah. Dengan tersendatsendat
ia bertanya, “Tadi bibi mengatakan.... aku dan dia....”
-oooo0dw0ooo-
Jilid 08
Panca Sakti
Wanita baju hitam itu menghela napas.
“Masalah manusia hidup itu semua tergantung pada jodoh.
Misalnya kutolong engkau dari Lembah Maut dan kemudian
engkau mengangkat aku sebagai ibu-angkat, itu juga jodoh.
Dan jodoh itu rupanya sudah digariskan dalam kehidupan kita.
Sejenak memandang Mawar Putih, ia berkata pula,
“Tentang perhatianmu terhadap pemuda itu, aku pun sudah
mengetahui jelas. Hanya aku mempunyai dua buah kata pesan
kepadamu. Engkau dan dia tak mempunyai keberuntungan
untuk terangkap sebagai suami isteri. Dan itu sudah menjadi
garis hidupmu!”
Seketika pucat lesilah wajah Mawar Putih. Tubuhnya
menggigil dan dengan suara tersendat-sendat ia berkata, “Aku
tak mampunyai pikiran sejauh itu.... Hanya karena aku telah
dirawat dan dianggap sebagai anak sendiri oleh guruku atau
ibu dari pemuda itu, maka aku pun merasa terikat kewajiban
untuk mencari putera guruku itu. Sekarang setelah dapat
menemukannya tetapi tak dapat membawanya kehadapan
guruku, bagaimanakah pertanggungan jawabku kepada
guru?"

416
Habis berkata air mata dara itu ber-derai2 mengucur. Ia
mendekap tempat tidur dan menangis terisak-isak.
Wanita baju hitam itu menepuk pelahan bahu Mawar Putih,
“Hal itu tergantung dari rejeki atau jodoh ibu dan anak itu.
Jika jodoh belum terputus, tentu akan dapat bertemu. Tetapi
kalau memang sudah tiada jodoh lagi, bagaimanapun dipaksa.
tetap tak dapat!"
Puas menangis, Mawar Putih mengusap air matanya lalu
mengangkat muka bertanya, “Bi, apakah aku masih dapat
bertemu dengan dia."
Wanita baju hitam itu mengangguk, “Sudah tentu bisa!"
“Asal bisa ketemu lagi, aku tentu segera membawa
keseberang laut!" katanya seorang diri.
Wanita itu menghela napas pelahan tetapi tak berkata apa2
lagi.
Tiba-tiba terdengar suara orang pelahan dari si dara baju
hijau Wanita baju hitam cepat masuk ke dalam ruangan.
Kemanakah sebenarnya Siau-liong?
Sesungguhnya ketika Mawar Putih meletakkan Siau-liong ke
atas tempat tidur dan siwanita baju hitam pun ikut masuk,
saat itu Siau-liong sudah tersadar. Diam-diam ia melirik
bayangan wanita baju hitam itu.
Sesaat Mawar Putih dan wanita baju hitam keluar, tiba-tiba
Siau-liong melihat sesosok bayangan melesat dari tepi pintu
lalu seperti sesosok hantu, muncullah di dalam ruang itu
seorang lelaki bertubuh tinggi besar.

417
Orang itu mengenakan pakaian biru, mukanya ditutup kain
kerudung hitam. Siau-liong terkejut. Diingatnya orang itu
pernah muncul ketika dibiara Tay-hud-si dan barisan pohon
bunga dalam lembah Semi, untuk memberi petunjuk dan
mengajaknya keluar dari bahaya.
Siau-liong kejut2 girang. Ketika ia hendak bergerak dan
membuka mulut, orang aneh baju biru itu secepat kilat telah
menutuk jaland arahnya. Kemudian dengan kecepatan yang
sukar dipercaya. orang itu segera mendukung Siau-liong.
Selain perakannya amat cepat sekali, sedikitpun tak
mengeluarkan suara apa2.
Tutukan itu telah membuat Siau-liong pingsan. Sejak itu ia
merasa seperti bermimpi. Sesaat ia rasakan sekujur Tuhuhnya
sakit sekali seperti digigiti ribuan ekor ular. Sesaat lagi ia
merasa lubuhnya lemas lunglai.
Entah berselang berapa lama, barulah ia dapat sadar lagi.
Ketika membuka mata ia dapatkan dirinya terbaring disebuah
biara rusak. Orang aneh baju biru sedang duduk
dihadapannya.
Siau-liong hampir tak percaya kepada matanya. Ia kira
masih bermimpi. Kemudian ia mengigit lidahnya sendiri ah....
ternyata sakit. Jelas ia tak bermimpi, Apa yang disaksikan saat
itu, benar suatu kenyataan. Girangnya bukan alang kepalang!
Ternyata orang aneh baju biru sudah melepas kerudung
mukanya. Dan tampaklah wajah yang sebenarnya.
Dia bukan lain adalah guru yang sejak kecil merawat dan
mendidiknya.... Tabib-sakti-jenggot-naga Kongsun Sin-to!
Buru-buru Siau-liong merangkak bangun dan berlutut
memberi hormat dihadapan gurunya, “Suhu....”

418
Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya. Lupa rasa girang
dan haru telah membanjirkan air matanya mengalir turun....
Seketika teringatlah ia mengapa luka berat yang dideritanya
dalam pertempuran lawan si dara baju hijau kemarin, saat itu
sama sekali sudah terasa sembuh.
Ditatapnya Kongsun Sin-to dengan mata melongong,
kemudian dengan nada haru sesal ia berkaia; “Terima kasih
atas pertolongan suhu....”
Dengan wajah membesi, Kongsun Sin-to memberi isyarat
tangan, “Lukamu baru saja sembuh, perlu beristirahat. Jangan
pikirkan apa2, lekas bersemedhi salurkan tenaja murnimu....”
Kemudian tabib sakti itu menghela napas pelahan dan
berkata pula, “Tenaga sakti dari Janda gunung Busan,
termasuk salah satu ilmu dari Panca sakti. Jika engkau tak
makan buah Im-yang-som dan darah binyawak purba, aku
pun tak dapat menolongmu!"
Siau-liong tak berani berkata apa2. Buru-buru ia melakukan
perintah suhunya. Duduk bersemedhi mengosong pikiran dan
melakukan penyaluran hawa murni.
Oleh karena lukanya sudah disembuhkan Kongsun Sin-to,
maka setelah melakukan persemedian beberapa waktu, ia
rasakan tubuhnya segar dan nyaman. Tak lama kemudian
tenggelamlah ia dalam kehampaan....
Tak terasa empat jam telah berlalu dan Siau-liong pun
segera menyudahi persemedhiannya. Ia dapatkan
semangatnya segar, lukanya sembuh sama sekali.
Saat itu hari pun sudah malam. Sinar rembulan memancar
masuk ke dalam jendela. Melihat Siau-liong sudah sadar,

419
Kongsun Sin-to yang sejak tadi pun bersemedhi disampingnya,
segera bangun dan memberi senyuman.
Tetapi Siau-liong tampak terpaku memandang rembulan
bundar. Seingatnya, saat itu baru permulaan bulan delapan.
Tetapi mengapa bulan sebundar purnama?
Kongsun Sin-to menyulut lilin dan membawakan senampan
makan. Melihat Siau-liong terlongong, ia tertawa, “Malam ini
memang sudah bulan delapan tanggal empat belas. Liong-ji,
engkau sudah tertidur selama 12 hari!"
Siau-liong tersentak kaget. Yang dirasakan hanya sehari
semalam, tetapi mengapa ia sampai tidur selama 12 hari!
Setelah meletakkan makan dihadapan Siau-liong Kongsun
Sin-to berkata pula, “Sudah 10-an hari tak makan, tentulah
engkau lapar sekali. Hayo, lekas makanlah!"
Memang Siau-liong merasa lapar sekali. Segera ia melahap
hidangan itu sampai habis.
Wajah Kongsun Sin-to tampak mengerut gelap, Walaupun
tidak marah, tetapi nyata orang tua itu tidak senang hati.
Setelah Siau-liong habis makan, ia memanggilnya, "Liong-ji!"
Tersipu-sipu Siau-liong berlutut dihadapan gurunya itu dan
berkata dengan tersendat, “Su-hu.... murid telah melanggar
pesan suhu masuk ke belakang gunung. Karena itu....”
"Yang sudah lalu. jangan diungkat lagi....!" tukas Kongsun
Sin-to. Kemudian dengan tertawa ia berseru.... ”Pendekar
Laknat dan Pengemis Tengkorak. kini sudah terikat guru
dengan engkau. Sekarang engkau bukan lagi mempunyai suhu
aku seorang!"

420
Siau-liong gugup dan cepat menganggukkan kepala, “Pada
saat itu murid dalam keadaan terpaksa. Tetapi dalam hati kecil
murid, tetap hanya mempunyai seorang guru yakni suhu....”
Dalam mengucap kata2 terakhir itu, Siau-liong amat
terharu sehingga matanya berlinang-linang. Ia teringat akan
dirinya yang telah diracuni wanita pemilik Lembah Semi dan
janji kepada wanita itu akan mati bersama2 pada nanti
pertengahan musim rontok tahun depan. Ia merasa dirinya
telah menyia-nyiakan budi kebaikan dari Kongsun Sin-to
selama belasan tahun.
Kongsun Sin-to menghela napas.
“Mati hidup dan kumpul berpisah itu sudah menjadi garis
hidup manusia. Siapapun tak mungkin dapat mengubah garis
hidup itu. Memang pada saat kutinggalkan gunung untuk
mencari obat, sudah kuduga engkau tentu akan mengalami
peristiwa2 itu. Tetapi kutak tahu apakah peristiwa2 itu akan
merupakan malapetaka atau keberuntungan bagimu.
Kesemuanya tergantung pada tindakanmu sendiri dikemudian
hari....”
Tabib-sakti itu berhenti sejenak untuk memandang wajah
Siau-liong.
“Gurumu ini dikenal dalam dunia persilatan sebagai seorang
ahli pengobatan yang sukar dicari tandingnya. Sedikit sekali
orang persilatan yang tahu sampai dimana kepandaianku
dalam ilmu silat. Bahkan pelajaran silat yang kuberikan
kepadamu itu, hanyalah semata-mata sebagai pelajaran dasar
saja. Sedang sebenarnya ilmu kepandaian yang kumiliki itu
sudah tak berbekas dalam dunia persilatan itu, sesungguhnya
termasuk salah satu dari ilmu Panca-sakti....”

421
Mendengar penjelasan itu diam-diam Siau-liong terkejut.
Serentak ia teringat akan ilmu pelajaran silat yang diberikan
gurunya dahulu. Rasanya ilmu silat itu hanya biasa saja.
Ternyata gurunya memang belum menurunkan ilmu saktinya
kepadanya.
“Tentang tenaga sakti Bu-kek-sin-kang yang engkau miliki
saat ini serta tenaga sakti Thay-kek-buwi dari Iblis Penakluk
dunia, tenaga sakti Thay-im-ki-bun-kang dari Dewi Neraka itu,
walaupun amat dahsyat dan ganas sekali, tetapi tenaga sakti
mereka itu hanya termasuk golongan ilmu liar. Hanya dapat
mencapai pada tingkat tataran tertentu saja. Tidak demikian
dengan Panca-sakti yang tergolongan dalam ilmu sejati aliran
Ceng cong-bu-hak. Ilmu itu luasnya tak terbatas....”
Kongsun Sin-to berhenti sejenak dan menghela napas, lalu
melanjutkan lagi. "Pada ketika itu kutaruh harapan besar
sekali kepada dirimu. Sebenarnya segera hendak kuajarkan
ilmuku yang disebut tenaga sakti Thian-jim-sin-kang (tenagasakti
lemas tapi ulet) kepadamu. Agar engkau menjadi satusatunya
murid pewarisku.... Untuk keperluan itulah maka aku
pergi untuk mencari daun obat, agar dapat merobah sifat
tubuhmu.... ah, tetapi tak terduga ternyata engkau
mempunyai lain rejeki sehingga harapanku menjadi hampa.
Terpaksa dalam sisa hidupku sekarang ini, aku harus mencari
lagi seorang tunas yang berbakat....”
Agak terharu nada Kongsun Sin-to dalam mengucapkan
kata2 terachir itu. Setelah berhenti sejenak iapun meneruskan
lagi, “Hanya tunas yang benar-benar berbakat itu sukar
didapatkan. Adakah nanti aku berhasil mendapatkan murid
pewaris atau tidak, juga masih sukar dikata!"
Kata-kata Kongsun Sin-to yang bernada menyesali Siauliong
itu, dirasakan sepatah demi sepatah seperti sembilu yang
menyayat hati Siau-liong.

422
Siau-liong hanya dapat tundukkan kepala penuh dengan
rasa sesal.
Setelah mengurut jenggot yang terurai kedada. Kongsun
Sin-to melanjutkan pula, “Telah kukatakan tadi, jodoh dan
peruntungan orang itu sudah ada garisnya sendiri2.... Barang
siapa hendak melanggarnya. tentu tertimpah kemalangan.
Sekali pun sejak saat ini engkau tak berjodoh lagi untuk
menerima pelajaran ilmu tenaga sakti Thian-jin-sin-kang itu,
tetapi....”
Kongsun Sin-to kembali berhenti lagi. Matanya berkilat-kilat
memandarjg Siau-liong. "Bukankah separoh dari peta Giokpwe
itu berada dalam tanganmu?" tanyanya.
Buru-buru Siau-liong meraba bajunya. Ah, peta itu memang
masih disimpannya. Buru-buru ia menjawab, “Separoh dari
Giok-pwe itu sebenarnya Toh Hun-ki....”
Kongsun Sin-to mengangguk. "Hai itu sudah kuketahui
semua. Kabarnya harta pusaka yang terpendam dalam tempat
itu adalah Tio Sam-hong pendiri partai Bu-tong-pay sendiri
yang memendamnya sebelum ia menutup mata, Harta pusaka
itu ratusan tahun telah menjadi pembicaraan hangat dan
diidam-idamkan oleh setiap kaum persilatan. Tetapi karena
peta yang dilukis pada Giok-pwe itu dipecah dua bagin maka
sampai sekarang belum ada seorang pun yang mampu
mendapatkan harta pusaka itu.
Kongsun Sin-to terpaksa berhenti karena tersekat batuk2,
"Diantara harta pusaka itu yang paling berharga adalah
sebuah kitab pusaka yang ditulis oleh Tio Sam-hong sendiri....
Ketahuilah, yang kusebut sebagai tenaga sakti Panca sakti itu,
selain tenaga sakti Thian-jim-sin-kang yang kumiliki dan Ya-lusin-
kang (tenaga sakti mengenal suara) dari si Randa gunung

423
Busan itu, masih terdapat lagi tiga jenis tenaga sakti lainnya
ialah: Cek-kui-sin-kang (tenaga-sakti Gema-merah). Jit-huasin-
kang (tenaga sakti Tujuh Robah) dan Thian-kong-sinkang....”
Mendengar itu hati Siau-liong tak keruan rasanya. Semula
ia mengira bahwa ia telah memiliki ilmu kepandaian sakti dari
Pendekar Laknat dan Pengemis Tengkorak. Siapa kira ilmu
kepandaian itu bukanlah tergolong ilmu sejati yang tiada
tandingannya di dunia persilatan. Bahkan termasuk ilmu liar
atau ilmu samping-pintu yang tak mungkin akan mencapai
tataran kesempurnaan.
Takkala ia bertempur dengan Randa Busan, hampir saja ia
kehilangan nyawa. Diam-diam ia mengakui kebenaran ucapan
suhunya itu. Serentak timbullah penyesalannya yang amat
mendalam kepadanya dirinya yang tempo hari karena
menuruti hawa nafsu, telah melanggar perintah gurunya dan
gegabah masuk ke dalam belakang gunung. Bukan saja ia
telah kehilangan kesempatan mewarisi kepandaian sakti dari
gurunya. Pun karena kesalahan itu ia harus menebus mahal.
Menderita peristiwa dan Pengalaman yang serba aneh dan
hebat dan akhirnya harus menderita keracunan dari wanita
pemilik Lembah Semi. Akibatnya, ia hanya dapat hidup
setahun lagi....
Dengan wajah serius Kongsun Sin-to melanjutkan
keterangannya pula, “Pewaris terakhir dari ilmu sakti Cek-kuisin-
kang adalah Rahib sakti dari Lam-hay ialah To Teng
nikoh.... Sedang pewaris dari ilmu sakti Jit-hua-sin-kang
adalah Jong Ling lojin yang bergelar orang-sakti terpedam dari
Su-jwan. Kedua orang itu sudah berpuluh tahun tak muncul
lagi di dunia persilatan. Entah apakah mereka sudah
mempunyai murid pewaris lagi. Atau apakah mereka memang
sudah muksah, tiada seorangpun dalam dunia persilatan yang
mengetahui....”

424
Tergeraklah hati Siau-liong. Segera ia teringat akan orang
tua yang dirantai dalam penjara dibawah tanah dalam barisan
Tujuh Maut. Serentak ia berseru, “Jong Ling lojin itu, murid
pernah....”
Tetapi tampaknya Kongsun Sin-to tak menghiraukan kata2
Siau-liong dan sambil memberi isyarat tangan supaya anak itu
diam, ia melanjutkan keterangannya lagi.
"Cek-kui Jit-hua, Thiam-jim dan Je-In keempat ilmu sakti
itu, sudah berpuluh tahun tak muncul lagi di dunia persilatan.
Tentang diriku, walaupun telah memiliki salah satu dari ilmu
Panca Sakti itu, tetapi karena selama ini aku tak mau
menonjolkan diri, maka orang persilatan pun tak mengetahui.
Tetapi.... keempat ilmu sakti yang kukatakan tadi, berpangkal
pada pengutamaan Hawa murni.... Sedang Thian-kong-sinkang
mengutamakan kesempurnaan Sin atau Semangat....”
Tiba-tiba mata Kongsun Sin-to berkilat-kilat memandang
Siau-liong lalu berkatalah ia dengan serius, “Semangat dapat
mengambil Hawa, Hawa tak dapat menguasai Semangat. Oleh
karena itulah maka Thian-kong-sin-kang termasuk yang paling
unggul diantara keempat ilmu sakti itu. Sayang sejak Tio Samhong
cousu meninggal dunia, tiada muncul lagi pewarisnya....
Sementara orang persilatan sama menduga bahwa dalam
kitab pusaka yang tersimpan dalam harta karun rahasia itu,
terdapat tulisan tentang ilmu sakti Thian-kong-sin-kang itu....”
Siau-liong mendengarkan seperti orang mabuk. Diam-diam
ia terkejut. Apabila kitab pusaka itu sampai jatuh ketangan
suami isteri Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka, setelah
mereka berhasil memahami ilmu sakti Thian-kong-sin-kang,
siapa lagikah tokoh persilatan yang mampu menandingi
mereka? Bukankah dunia persilatan akan mengalami banjir
darah dan penjagalan besar-besaran....?

425
Kongsun Sin-to menghela napas pelahan. "Engkau telah
kemasukan ilmu sakti Samping. Sekalipun engkau tak mungkin
dapat mempelajari ilmu sakti yang kumiliki yang mendasarkan
pada Hawa, tetapi engkau masih ada harapan untuk
mempelajari ilmu Thian-kong-sin-kang yang mendasarkan
pada Semangat. Oleh karena itu jika engkau berhasil
menemukan Giok-pwe yang separoh bagian lainnya dan
menemukan harta pusaka itu, engkau tetap masih ada
harapan untuk menjadi tokoh utama dalam dunia persilatan.
Tetapi sejak ini jodoh kita sebagai murid dan guru, akan
berakhir. Sejak saat ini hanya tergantung pada dirimu sendiri
bagaimana akan mengatur langkah hidupmu!"
Hati Siau - liong seperti disayat sembilu rasanya.
Menyahutlah ia dengan nada pilu, “Murid sudah tiada
mempunyai harapan apa2 lagi. Kecuali hanya ingin lekas2
dapat bertemu muka dengan ibu yang sedang menderita sakit
diseberang laut. Hanya saja, murid terpaksa harus tinggal
ditempat ini lagi untuk beberapa hari."
Ia tenngat dalam penyamarannya sebagai Pendekar Laknat
telah menolong Toh Hun-ki dan rombongannya dari Lembah
Maut lalu berjanji untuk bertemu dengan mereka di Siok-ciu
nanti tiga hari kemudian. Dimana dia akan ikut dalam
pemusyawarahan untuk membasmi Iblis Penakluk-dunia dan
Dewi Neraka.
Tetapi ah.... saat itu karena tertidur selama 12 hari, entah
bagaimana dengan keadaan mereka. Adakah rombongan Toh
Hun-ki masih berada di Siok-ciu menunggunya? Apakah
tindakan baru dari suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka dalam langkah mereka untuk menguasai dunia
persilatan?

426
Memikirkan hal2 itu, hati Siau-liong resah gelisah. Dia harus
menepati janji, membantu Toh Hun-ki dan rombongan orang
gagah, untuk melenyapkan kedua suami isteri durjana itu.
Kemudian baru ia mengambil batang kepala Toh Hun-ki dan
keempat Su-lo untuk bersama-sama Mawar Putih menhadap
ibunya diseberang laut.
Tetapi saat itu setelah mendengar penjelasan dari Kongsun
Sin-to, ia merasa menyesal. Apa yang hendak dilakukan itu,
terasa sukar.
Maka menegurlah Kongsun Sin-to, “Liong-ji, rupanya
hatimu amat resah. Adakah karena memikirkan ibumu atau....”
Hati Siau-liong makin pilu. Air matanya berderai-derai
turun. Sejak kecil ia diasuh dan dididik Kongsun Sin-to. Dalam
perasaannya Kongsun Sin-to itu sudah seperti orang tuanya
sendiri. Pada saat mendengar bahwa mereka sudah tak
berjodoh atau sudah putus hubungan, apa lagi dirinya sudah
terkena racun Jong-tok dan hidupnya hanya tinggal setahun.
Maka pecahlah beteng pertahanan hatinya.
Ia menangis pilu dibawah kaki sang guru. Lalu menuturkan
apa yang telah dialaminya selama di dalam Lembah Semi,
diracuni Poh Ceng-in dan hidupnya yang hanya tinggal
setahun itu.
Selesai mendengar, sambil mengurut jenggot Kongsun Sinto
berkata, “0, makanya ketika kuobati, kudapatkan semua
jalan darah ditubuhmu terdapat perobahan yang tak wajar.
Semula kukira akibat dari makan buah Im-yang-som dan
darah binyawak purba itu, kiranya....”
Tabib sakti itu menghela napas, ujarnya pula, “Memang
perempuan siluman itu benar. Setelah racun jong-tok itu

427
menyerap keseluruh jalan darah ditubuh, di dunia tiada
terdapat obatnya lagi. "
Ditatapnya wajah anak itu, mau berkata tetapi tak jadi.
Bermula Siau-liong masih mengandung harapan bahwa
gurunya itu tentu mampu mengobati. Tetapi melihat nada
kata2nya, habislah sudah harapan Siau-liong. Ia pun hanya
memandang pada Kongsun Sin-to dengan longong
kehampaan.
Setelah merenung beberapa saat, Kongsun Sin-to berkata
pelahan-lahan, “Boleh dikata seluruh hidupku kuabdikan pada
ilmu pengobatan. Sekali pun tidak sesakti tabib Hoa To pada
jaman Sak Kok dahulu, tetapi kepandaianku termasuk jarang
terdapat tandingannya. Menurut pengetahuanku masih dapat
juga racun Jong-tok itu diobati, tetapi....”
Mendengar masih ada setitik harapan. seketika menyalalah
harapan Siau-liong.... Buru-buru ia mencurahkan seluruh
perhatiannya.
“Karena perempuan siluman itu juga meminum racun,
maka racun Jong tok itu tentu terdiri dari dua jenis racun Im
dan Yang. Sekalipun engkau terpisah jauh sekali dengan dia,
tetapi apabila ada salah seorang yang mati, yang seorangpun
tentu ikut mati. Kecuali....”
"Kecuali bagimana?" Siau-liong mulai tegang perasaannya.
"Kecuali engkau minum habis darahnya!" sahut Kongsun
Sin-to, atau dengan gunakan darah anjing atau ayam hitam
untuk ,memikat darahnya, mengorek keluar hatinya lalu
memakannya mentah2. Hanya dengan jalan begitu, dapatlah
racun dalam tubuhmu itu hilang. Selain itu, tiada lain obat
yang dapat menyembuhkan lagi.

428
Siau-liong menghela napas rawan, "Sekalipun cara itu
dapat menyelamatkan jiwaku tetapi.... aku tak tega
menggunakannya....”
“Kutahu engkau tentu tak mau. Engkau berhati welas asih
sekali, ah.... semuanya terserah saja kepada nasibmu....”
Kongsun Sin-to berbangkit dan ayunkan langkah pelahanlahan
seraya berkata, “Kini engkau sudah dewasa. Segala apa
harus dapat menjaga diri sendiri. Dewasa ini Iblis Penakluk
dunia dan Dewi Neraka sedang berusaha untuk menguasai
dunia persilatan. Tokoh2 persilatan dari berbagai aliran dan
partai telah bersiap-siap menyusun kekuatan. Suatu
pertempuran antara golongan Putih dan Hitam pasti akan
terjadi, sesungguhnya....”
Ia berhenti sejenak menghela napas, ujarnya lebih lanjut,
"Pada umumnya mereka bertujuan hendak mendapatkan
harta pusaka terutama kitab pusaka tulisan Tio Sam-hong.
Siapa yang mendapatkan pusaka itu, dialah yang akan dapat
menguasai dunia persilatan!"
Timbullah pikiran Siau-liong. Separoh bagian dari Giok-pwe
itu masih berada ditangan suami isteri Iblis Penakluk-dunia
dan Dewi Neraka. Untuk merebutnya tentu sukar sekali.
Hidupnya hanya tinggal setahun. Segala kitab pusaka tak
berguna lagi baginya. Dan apabila separoh bagian Giok-pwe
yang disimpannya itu sampai jatuh ketangan Iblis Penakluk
dunia dan Dewi Neraka, bukankah akan hebat sekali akibatnya
bagi keselamatan dunia persilatan!
Seketika tergugahlah pikirannya. Serentak ia mengeluarkan
separoh Giok-pwe dari dalam bajunya lalu diserahkan kepada
Kongsun Sin-to.

429
“Oleh karena murid sudah terkena racun jong-tok, hidup
murid pun takkan lama. Sekalipun dapat merebut yang
separoh bagian lagi dan menemukan kitab pusaka ilmu sakti
Thian-kong-sin-kang, bagi murid pun sudah tak berguna lagi.
Oleh karena itu....” Dengan tahankan kepiluan hatinya, Siauliong
lanjutkan kata-katanya, “Hendak murid persembahkan
separoh bagian Giok-pwe ini kepada suhu, agar suhu dapat
memberikan kepada orang yang benar-benar berjodoh....”
Kongsun Sin-to tertawa gelak2, “Muridku, aku sudah cukup
puas karena telah memiliki salah satu ilmu sakti dari Panca
Sakti. Dan selama ini belum pernah kuunjukkan kesaktianku
itu di dunia persilatan. Begitupun dalam sisa hidupku yang tak
berapa banyak itu. takkan kutonjolkan kepandaianku itu. Maka
kitab pusaka Thian-kong sin-kang itu, juga tak penting bagiku.
Soal aku hendak menjadi lain orang untuk menjadi pewaris,
tak lain tak bukan hanyalah sekedar agar ilmu sakti Thian-jimsin-
kang itu jangan sampai lenyap ditanganku!"
Setelah mengetahui bahwa gurunya tak mau menerima
Giok-pwe, Siau-liong berkata, “Kalau begitu biarlah murid
pendam kitab pusaka itu selama-lamanya agar jangan ada
orang yang mengganggu usik!"
Tanpa menunggu persetujuan Kongsun Sin-to. Siau-liong
terus meremas Giok-pwe itu hingga hancur lebur, lalu dibuang
ke tanah.
Siau-liong termenung-menung dalam kepekaan. Ia
tersenyum getir karena dapat menghamburkan kesesakan
dadanya.
Ada dua sebab yang mendorongnya menghancurkan
separoh Giok-pwe itu. Pertama, dengan lenyapnya ilmu Thiankong-
sin-kang dalam kitab pusaka itu berarti ilmu sakti Thianjim-
sin-kang dari gurunya itu bakal merajai di dunia

430
persilatan.... Kedua, menjaga jangan sampai ilmu sesakti
Thian-kong sin-kang itu sampai jatuh ketangan orang yang tak
bertanggung jawab, misalnya Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka.
Setelah memandang beberapa jenak pada hancuran Giokpwe
yang berhemburan di tanah, Kongsun Sin-to menghela
napas, “Walaupun tindakanmu terdorong dari rasa
kesungguan tetapi membuat ilmu sakti terpendam selamalamanya
di tanah, merupakan perbuatan yang melanggar
hukum alam!"
Siau-liong diam tak menyahut. Saat itu malam makin larut.
Sisa lilin yang menerangi tempat itu sudah habis. Untung
rembulan memberi cukup penerangan. Guru dan murid duduk
saling berhadapan dalam suasana yang merawankan.
Tak berapa lama, Kongsun Sin-to berkata; “Siau-liong aku
akan berangkat!"
"Suhu, engkau....” Siau-liong tak dapat melanjutkan
kata2nya karena dicengkam oleh isak keharuan.
Belasan tahun ia berkumpul dengan guru yang tercinta itu.
Baru berjumpa lagi terus akan berpisah. Air mata anak itu
berderai-derai.
Dalam berkata-kata tadi. Kongsun Sin-to sudah tiba
diambang pintu. Ia berpaling dan tertawa tenang, “Di dunia
tiada perjamuan yang takkan bubar. Ada waktu berkumpul,
pun ada waktu berpisah. Sekalipun ikatan guru dan murid
sudah habis, tetapi bukan berarti kita takkan berjumpa lagi.
Siapa tahu....”

431
Entah bagaimana Kongsun Sin-to tak melanjutkan
kata2nya. Sekali bahunya bergetar, tabib sakti itu sudah
melayang keluar.
Ketika Siau-liong memburu keluar, ternyata gurunya itu
sudah lenyap. Dia terlongong-longong. Masih diingat-ingatnya
kata2 terakhir dari gurunya itu Siapa tahu.... ah, mengapa tak
dilanjutkan lalu terus pergi?
Angin berhembus dan keresahan pikiran Siau-liong pun
agak reda. Memandang kesekeliling, didapatinya biara itu
sudah rusak semua. penuh ditumbuhi semak rumput. Ia
segera melangkah keluar. Empat penjuru tegak berjajar
puncak gunung. Dia tak tahu saat itu berada dimana. Setelah
memeriksa bekalannya, kecuali separuh bagian Giok-pwe yang
telah dihancurkan. semuanya masih lengkap, antara lain peta
dan resep obat pemberian Jong Leng lojin, botol berisi pil dari
Poh Ceng-in dan kedok serta pakaian dari Pendekar Laknat.
Setelah termenung beberapa saat, akhirnya ia menyamar
lagi sebagai Pendekar Laknat, lalu ayunkan langkah. Ia tak
tahu yang akan dituju, langkahnya hanya ditujukan pada
puncak gunung yang paling rendah sendiri. Dari situ ia hendak
ke Siok-ciu. Menjenguk Toh Hun-ki dan rombongannya lalu
membelikan obat untuk Jong Leng lojin.
Menurut Perhitungannya, saat itu tepat kurang setahun
dengan pertengahan musim rontok tahun muka. Suatu hal
yang membuatnya menyadari betapa berhargalah waktu itu.
Setiap detik dan setiap saat, harus digunakan dengan sebaikbaiknya.
Riwayat dirinya yang menyedihkan ditambah pula dengan
peristiwa2 yang selalu merundung dirinya dengan kesialan dan
malapetaka. membuat hatinya serasa tertindih oleh sebuah
batu besar.

432
Sekonyong-konyong ia mengadah dan tertawa nyaring
sekali! Nadanya bergema menembus awan. Dalam malam
sunyi dan ditengah alam pegunungan yang lelap, tertawa itu
benar-benar menyerupai suara raksasa tengah mengumbar
tertawa....
Puas tertawa ia terus menyusur sepanjang hutan yang
panjang. Tiba-tiba ia terhenti. Cepat2 ia gunakan gerak Nagamelingkar-
18 kali, melayang ke atas sebatang pohon setinggi
beberapa tombak.
Tak berapa lama tampak beberapa sosok bayangan lari
mendatangi. Dari atas pohon dapatlah Siau-liong melihat
dengan jelas. Orang2 itu mengenakan pakaian persilatan dan
menghunus senjata. Begitu tiba di tepi hutan mereka berhenti
lalu berjalan pelahan-lahan masuk ke dalam hutan. Sikap
mereka seperti menghadapi seorang musuh berbahaya.
Salah seorang dari kawanan orang itu, berseru:.... ”Aneh!
Mengapa mendadak hilang?"
"Sekalipun ilmu meringankan tubuhnya hebat sekali tetapi
tak mungkin ia dapat terbang kelangit!" sahut kawannya.
“Setiap jalan keluar dari lembah, telah dijaga ketat. Karena
dari kawan2 kita tiada memberi tanda apa2, tentulah orang itu
masih berada dalam hutan ini. Hayo, kita cari lagi yang teliti."
kata orang yang pertama tadi....
“Huh, tahukah kalian siapa orang yang hendak kita tangkap
itu? kalau nada suara tertawanya, tentulah Pendekar Laknat.
Momok itu amat ganas sekali. Lebih baik kita lapor saja pada
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka!"

433
Kawan-kawannya menyetujui. Mereka segera berputar
tubuh terus lari keluar hutan. Siau-liong hendak loncat turun,
tetapi tiba-tiba dari belakang terdengar kesiur angin tajam
menyambar dirinya.
Siau-liong terkejut sekali. Itulah serangan gelap dari suatu
senjata rahasia. Dengan ilmu Thing-hong-pian-wi atau
Mendengar-suara-menentukan-letak, cepat ia gerakkan tangan
kirinya dan berhasillah ia menjepit sebuah senjata rahasia
dengan dua buah jari!
Tetapi seketika ia melongo. Ternyata yang dijepit itu
bukanlah senjata rahasia, melainkan sehelai daun yang kering.
Pada saat ia kesima, telinganya terngiang suara orang
tertawa pelahan. Cepat ia memandang ke arah suara tertawa
itu dan dapatkan pada puncak sebatang pohon setinggi lima
tombak duduk dengan rapi seorang rahib berjubah kuning.
Sepasang mata rahib itu berkilat-kilat memancar ke arah Siauliong.
Dari jarak lima tombak dapat melontarkan sehelai daun
kering menjadi seperti senjata rahasia dan gerakan daun
kering itu dapat menimbulkan desis angin yang begitu tajam,
benar-benar suatu ilmu kesaktian yang bukan olah-olah
hebatnya!
Tetapi masih ada lagi hal yang membuat Siau-liong lebih
terkejut. ialah suara ketawa rahib itu. Tertawa itu
kedengarannya pelahan dan lirih tetapi nyatanya telinga Siauliong
seperti mau pecah
Rahib itu hentikan tertawanya, berseru, “Apakah engkau
Pendekar Laknat?"
“Ya, akulah!" sahut Siau-liong.

434
"Berapakah umurmu sekarang?" tanya rahib itu pula.
Siau-liong tertegun. Hampir ia tak dapat menjawab
pertanyaan itu. Karena ia memang tak tahu umur Pendekar
Laknat itu.
Setelah meragu beberapa saat, ia menyahut agak
tersendat, “Perlu apa harus menghitung umur, pokok aku
sudah tua sekali!"
Tiba-tiba ia teringat. Sebagai Pendekar Laknat ia harus
membawa sikap yang sesuai. Maka setelah mejawab, iapun
terus tertawa mengekeh.
Karena terpisah pada jarak lima tombak, ia tak dapat
melihat jelas wajah dan sikap rahib itu. Tetapi ia dapat melihat
bagaimana tajam kilat mata rahib itu memancarkan sinar.
“Engkau hendak membanggakan ketuaanmu
dihadapanku?" bentak rahib itu.
Siau-liong tertawa lepas, sahutnya, “Tidak, tidak!"
Rahib tua itu tidak marah melainkan tertawa dalam,
“Apakah engkau juga hendak mencari pusaka itu?"
Siau-liong tertegun. pikirnya, “Menurut nada katanya,
tentulah dia datang untuk mencari pusaka itu. Tetapi dia tentu
tak mungkin mengira bahwa peta pusaka itu telah
kuhancurkan sehingga pusaka itu akan terpendam selamalamanya!"
Maka tertawalah ia dengan dingin, “Aku seorang tua
bangka yang sudah menjelang masuk kubur. Segala harta
pusaka di dunia tak mungkin menggerakan hatiku lagi....”

435
Tiba-tiba rahib tua itu berteriak pelahan dan tahu2
tubuhnya dalam keadaan tetap duduk melayang kebatang
pohon dihadapan pohon tempat Gak Lui.
Caranya rahib melayang itu tak ubah seperti sekuntum
awan yang 'terbang' melayang tertiup angin.
Siau-liong terbeliak. Pikirnya, “Ah, ternyata di dunia ini
memang penuh dengan orang sakti. Di atas gunung terdapat
awan dan di atas awan masih terdapat langit yang luas....”
Pada saat ia masih tercengang, tiba-tiba rahib itu
membentaknya, “Kalau tak mencari pusaka, perlu apa engkau
datang kemari?"
Siau-liong tertawa hambar. Tanpa menyahut apa yang
ditanyakan, ia berkata, “Pusaka itu tak mudah didapat!"
Rahib tua tersenyum, “Sukar atau tidak, asal benar-benar
di dunia ini terdapat pusaka itu, aku tentu dapat
menemukannya!"
Nadanya penuh dengan keyakinan atas kemampuannya.
Walaupun dahinya berhias keriput usia tua tetapi matanya
masih bersinar terang, seri wajahnya pun masih berseri.
Terutama ketika tertawa, tampak dua baris giginya yang putih
mengkilap. Sepintas pandang memang sukar untuk menaksir
umurnya. Lebih2 tak mudah untuk mcngetahui asal-usul
dirinya....
Sejenak tertegun, berkatalah Siau-liong; "Untuk mencari
pusaka itu. Pertama-tama. harus dapat memperoleh sepasang
Giok-pwe.... Giok-pwe itu merupakan peta dari tempat
penyimpanan pusaka. Sengaja dijadikan dua buah Giok-pwe

436
agar orang sukar untuk mengumpulkan. Tanpa peta dari Giokpwe
itu tak mungkin engkau tahu tempat pusaka itu!"
“Kalau begitu akan kucari kedua Giok-pwe itu lebih dulu
baru nanti mencari pusaka!" kata si rahib tua. Dari kerut
dahinya menampilkan sinar kemauan ambisi yang besar.
Diam-diam Siau-liong muak melihat wajah rahib itu.
Setelah sejenak mengeliarkan pandang matanya, rahib itu
berkata dengan lembut, “Apakah engkau sungguh2 tahu jelas
bahwa peta itu terbagi menjadi dua buah Giok-pwe?"
Diam-diam Siau-liong mendapat kesimpulan bahwa rahib
itu memang tak tahu sama sekali tentang Giok-pwe. Tetapi
disamping itu iapun diam-diam menertawakannya karena tak
mungkin lagi orang dapat mencari Giok-pwe itu. Yang satu
telah dihancurkannya!
“Ya," sahutnya.
"Tahukah engkau ditangan siapakah Giok-pwe itu
sekarang?" tanya sirahib dengan lembut.
Tergerak hati Siau-liong, serunya. "Yang separoh bagian
berada ditangan Iblis penakluk-dunia dan Dewi Neraka!"
"Iblis penakluk-dunia.... Dewi Neraka....” rahib tua itu
berkata seorang diri.
Kemudian ia tersenyum, “Itu mudah, akan kutanyakan
kepada mereka!"
Melihat betapa yakin dan congkak sikap rahib tua itu, diamdiam
Siau-liong geli dalam hati.
"Dan yang separoh lainnya?" tiba-tiba rahib itu bertanya.

437
Siau-liong tertawa keras, “Yang separoh bagian itu....
mungkin sukar dicari!"
Seketika membesilah wajah sirahib tua. Serunya dengan
kurang senang, “Mengapa sukar dicari?"
"Mungkin sudah dihancurkan orang!"
Rahib itu tertegun. Tiba-tiba ia juga tertawa keras, “Tolol!
Siapa yang memiliki benda itu tak mungkin rela
menghancurkan!"
Siau-liong hanya ganda tertawa terus.
“Tutup mulutmu....” bentak sirahib.
Siau-liong tertegun dan hentikan tertawanya. Tampak rahib
itu tengah pasang telinga. Pun telinga Siau-liong yang tajam
segera mendengarkan suara orang berjalan dari kejauhan.
Tak berapa lama, berpuluh-puluh sosok bayangan
menerobos ke dalam hutan. Jumlahnya tak kurang dari empat
sampai lima puluh orang.
Rahib tua mengicupkan ekor mata kepada Siau-liong dan
tertawa, “Tuh, Dewi Neraka dan Iblis Penakluk-dunia telah
datang."
Siau-liong hanya tertawa dingin. Dipandangnya kawanan
orang yang datang itu. Ternyata dua orang yang memimpin
rombongan itu adalah Iblis penakluk-dunia dan Dewi Neraka
sendiri. Tetapi Soh-beng Ki-su dan Poh Ceng-in tak tampak
ikut serta.

438
Tak berapa lama rombongan Iblis penakluk-dunia itu tiba
diluar hutan. Iblis penakluk-dunia bertanya kepada salah
seorang anak buahnya, “Apakah kalian tak salah dengar?"
Orang itu tersipu-sipu menyahut, “Hamba mendengar jelas,
suara tertawa itu adalah tertawa Pendekar Laknat!"
Iblis penakluk-dunia memberi isyarat. Rombongan anak
buahnya segera pencar diri, mengepung hutan itu.
Beberapa saat kemudian, Iblis penakluk-dunia berteriak
nyaring “Hai tua bangka Laknat! Lekas keluar! Tak mungkin
engkau mampu lolos lagi!"
Bentakan itu nyaring sekali sehingga daun-daun pohon
sama bergetaran.
Memandang Siau-liong, rahib tua itu tertawa, “Mari....”
tahu-tahu tubuhnya yang sedang duduk bersila di atas puncak
pohon, terbang melayang keluar hutan.
Iblis penakluk-dunia dan Dewi Neraka mengira kalau yang
muncul itu Pendekar Laknat. Buru-buru mereka lari
menghampiri. Begitu Pendekar Laknat belum sempat berdiri di
tanah, mereka hendak mendahului menyerangnya.
Tetapi ketika melihat yang muncul itu bukan Pendekar
Laknat, mereka terbelalak kaget. Iblis penakluk-dunia
menyurut mundur lima langkah. Mata menatap rahib tua itu
dan serentak ia mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Ah, aku telah keliru menerima laporan dari anak buah.
Ternyata sin-ni yang berkunjung!" serunya dengan hormat.
“Ih, engkau masih kenal aku?" seru rahib itu tertawa
gembira.

439
“Sin-ni termasyur diempat samudera. Walaupun sudah
berpuluh tahun tak berjumpa tetapi aku tak pernah melupakan
sin-ni!" buru-buru Iblis-penakluk-dunia berseru.
Sin-ni artinya rahib sakti.
Siau-liong yang masih bersembunyi di atas pohon, diamdiam
terkejut. Segera ia menyadari bahwa rahib itu adalah
rahib sakti To Teng yang dikatakan gurunya (Kongsun Sin-to).
Rahib yang memiliki ilmu sakti Tek-ki-sin-kang, salah sebuah
ilmu sakti dari Panca Sakti.
Kongsun Sin-to dengan ilmu sakti Thiau-jim-sin-kang.
Randa Busan dengan Ya-ih-sin-kangnya, Jong Leng lojin
dengan Jit-hua-sin-kang serta rahib sakti dari Lamhay dengan
Cek-ci-sin-kang. Merupakan empat datuk dari Panca Sakti.
Yang masih kurang adalah Thian-kong-sin-kang, ilmu sakti
yang masih terpendam dalam suatu tempat seperti terlukis
pada peta pusaka Giok-pwe. Mungkin ilmu sakti Thian-kongsin-
kang itu tak mungkin didapat orang lagi untuk selamalamanya!.
seperti terlukis pada peta pusaka Giok-pwe. Dan mungkin
ilmu sakti Thian-kong-sin-kang itu tak mungkin didapat orang
lagi untuk selama-lamanya....
Sambil tersenyum rahib tua itu memandang Dewi Neraka,
tegurnya, “Apakah selama ini kalian baik-baik saja?"
"Terima kasih, berkat restu sin-ni kami berdua tak kurang
suatu apa", sahut kedua suami istri Iblis penakluk-dunia.
Setelah berdiam beberapa saat, Iblis penakluk-dunia cobacoba
menyelidiki, tanyanya, “Sudah berpuluh tahun sin-ni
mensucikan diri digunung Bu-ih-san, tetapi kali ini....”

440
Lam-hay-sin-ni tertawa mengekeh, “Kabarnya kitab pusaka
yang ditulis Tio Sam-hong telah diketahui orang terpendam
dalam Lembah Semi dipegunungan Tay-liang-san sini.
Benarkah itu?".
Iblis penakluk-dunia kerutkan alis. "Kudengar juga begitu".
“Dan orang mengatakan pula bahwa separoh dari Giok-pwe
itu berada ditanganmu, apakah benar?"
Iblis penakluk-dunia berdiam beberapa saat, lalu berkata
tersendat-sendat; "Ini....”.
"Bilanglah!" tiba-tiba rahib sakti dari Lam-hay itu berubah
wajahnya.
Buru-buru Iblis penakluk-dunia tertawa, “Benar, tetapi yang
separoh lagi....”.
Lam-hay-sin-ni maju selangkah, “Yang separoh itu, nanti
akan kuusahakan sendiri. Yang berada padamu. lekas berikan
kepadaku!"
Sesungguhnya wajah Iblis penakluk-dunia sudah mendelik
seperti dicekik setan. Tetapi dia tetap paksakan diri tertawa
kecut, “Ini.... ini....”
”Hm, tidak mau memberikan?" wajah rahib sakti mengkerut
gelap.
Sepasang alis Iblis-penakluk-dunia makin merapat. Tibatiba
ia melirik kepada isterinya lalu tertawa-tawa, “Karena sinni
menghendaki, sudah tentu akan kuberikan, tetapi....” ia
berhenti sejenak, lalu, “Giok-pwe itu sesungguhnya tak berada
padaku melainkan disimpan dalam sebuah tempat rahasia di

441
Lembah Semi. Adakah sin-ni bersedia bersama kami
mengambil kesana atau sin-ni sendiri yang akan
mengambilnya?"
Dengan mata berkilat berserulah rahib sakti itu tajamtajam,
“Bukankah kalian bermaksud hendak menipu aku?"
"Sin-ni adalah satu-satunya lo-cianpwe dunia persilatan
yang paling kuindahkan. Masakan aku berani berbuat kurang
ajar terhadap sin-ni?". buru-buru Iblis penakluk-dunia
menyanggapi.
Wajah Lam-hay-sin-ni berseri girang, “Baik, aku akan ikut
kalian mengambilnya!"
Iblis-penakluk-dunia tertawa sinis, “Kalau begitu silahkan
sin-ni ikut kami!"
Bersama isterinya, Iblis penakluk- dunia segera berputar
diri dan ayunkan langkah.
Rombongan pangawal suami isteri Iblis-penakluk-dunia pun
segera memberi isyarat kepada sekalian anak buah Lembah
Semi untuk kembali ke dalam lembah.
Rahib sakti dari Lam-hay mengikuti di belakang Iblis
penakluk-dunia dan Dewi Neraka dengan wajah berseri girang.
Tetapi ketika rombongan Iblis penakluk-dunia itu baru
berjalan beberapa langkah, tiba-tiba terdengar suara
bentakan.
“Berhenti....!"
Iblis penakluk-dunia berhenti seraya balas membentak
marah, “Siapa!"

442
Dari balik sebatang pohon di tepi jalan muncul dua orang.
Iblis penakluk-dunia dan rombongannya terkejut sekali.
Bahkan Siau-liong yang masih bersembunyi di atas pohon pun
tersentak kaget sehingga hampir terpelanting jatuh.
Ternyata kedua orang yang muncul dari balik pohon itu
adalah Randa Busan dan puterinya.
Dengan lincah dara baju hijau itu mengikuti di belakang
ibunya. Jelas lukanya ketika bertempur dengan Siau liong
tempo hari, sudah sembuh.
Teringat seketika Siau-liong akan pertempurannya dengan
dara itu. Betapa gemas dan mati-matian dara itu
menyerangnya ketika menganggap Siau-liong itu Pendekar
Laknat.
“Hm, mengapa dia begitu membenci kemati-matian kepada
Pendekar Laknat? diam-diam Siau-liong menimang. Begitu
juga ia masih teringat pada saat dalam keadaan sadar tak
sadar karena menderita luka dan dibawa Mawar Putih ke
pondok janda itu, samar2 ia mendengar janda itu berkata
dengan geram “Hm, Besok pada pertengahan musim rontok
tahun depan, takkan kuampuni jiwamu lagi....”
Siau-liong pun teringat akan pesan dari tulisan Pendekar
Laknat yang diguratkan pada dinding gua. Dalam pesan itu,
Pendekar Laknat memintanya supaya mewakili datang
kepuncak Sin—li—hong gunung Busan guna memenuhi
undangan pada pertengahan musim rontok tahun depan.
Tak tahu Siau-liong undangan apa yang dimaksud oleh
Pendekar Laknat itu. Yang jelas tentu undangan untuk
mengadu kesaktian. Tetapi mengadu kesaktian dengan siapa?

443
Pikiran Siau-liong melayang lebih lanjut. Ia teringat, pada
waktu berada di Lembah Maut, Soh-beng Ki-su pernah
mengatakan bahwa Mawar Putih telah ditolong oleh seorang
perempuan baju hitam. Oleh karena Mawar Putih
membawanya dirinya kepondok janda itu, apakah tidak
mungkin perempuan baju hitam yang dimaksud Soh-beng Kisu
itu bukan Randa gunung Busan itu?
Tetapi mengapa yang muncul dihutan situ hanya sijanda
dan puterinya? Dimanakah Mawar Putih sekarang? Apakah
dara itu disuruh jaga pondok atau sudah pergi kelain tempat
lagi?
Sebelum semua pertanyaan yang menghuni benak Siauliong
itu terjawab. tiba-tiba Randa Busan kedengaran berseru
kepada rombongan Iblis pe-nakluk-dunia, “Apa kenal pada
kami ibu dan anak?"
Belum Iblis-penakluk-dunia sempat menyahut, Lam-hay
Sin-ni sudah melangkah maju dan membentak
“Tidak kenal! Lekas enyah!"
Randa Busan tertawa dingin, serunya, “He, rupanya engkau
cepat-cepat menjadi jompo!”
Sekali mengangkat tangan kirinya, Randa Busan menampar
pelahan-lahan sebuah batu besar yang berada dimukanya,
Tamparan itu pelahan sekali dan batu itupun tampaknya tak
kurang suatu apa. Tetapi ketika Randa Busan menyepak
dengan kaki kanannya, batu besar itu sudah berguguran
remuk bubuk....
Iblis-penakluk-dunia dan Dewi Neraka terkejut bukan
kepalang.

444
Lam hay Sin-ni pun belalakkan kedua matanya dan
melengking tajam, “Ye-ih-sin-kang....”
Randa Busan tersenyum, “Sekarang sudah kenal padaku?”
Lam-hay Sin ni tercengang-cengang, serunya, ”Ye li, Thianjim
dan Jit-hua-sin-kang. Bukankah sudah lama lenyap dart
dunia persilatan? Engkau....”
Randa Busan menghela napas, “Kecuali Thian-kong-sinkang,
keempat ilmu sakti itu masih terdapat di dunia
persilatan....”
Tiba-tiba rahib sakti itu membentak, “Kalau begitu
engkau.... ,engkau juga hendak mencari pusaka itu!”
”Untuk apakah itu?” Randa Busan heran. Randa Busan
membentak, “Aku tak mencari pusaka, tetapi pun tak
mengijinkan orang untuk mencarinya!”
“Mengapa?” tanya Lam-hay Sin-ni heran.
Bentak Randa Busan pula, “Kukatakan sebabnya pun
engkau takkan mengerti.... Hanya saja....”
Tiba-tiba ia alihkan pertanyaan, “Mengapa engkau bersama
mereka!”
Lam-hay Sin-ni merenung sejenak lalu menyahut, “Engkau
tak perlu mengurus!”
Tiba-tiba Randa Busan tertawa panjang. Nadanya dingin
sinis. Beberapa saat kemudian baru ia berhenti lalu berkata,
“Sebenarnya aku memang tak perlu mengurus. Tetapi aku tak
tega melihat engkau kesana mengantar kematian. Janganlah
engkau hanya mengandalkan ilmu saktimu Cek-ci-sin-kang tak

445
ada yang menandingi. Tanggung engkau bisa pergi kesana
tetapi jangan harap bisa kembali....”
Randa dari Busan itu menghela napas rawan lalu berkata
pula “Jong Leng lojin itu salah satu contoh!”.
Mata Lam-hay Sin-ni terbeliak, ”Siapakah Jong Leng lojin
itu?”
Sahut Randa Busan dingin2, “Pewaris dari ilmu sakti Jit-hua
sin-kang!”
Terdiam sejenak Lam-hay Sin-ni tertawa; “Memang lama
sekali aku menyembunyikan diri. Beberapa peristiwa memang
tak kuketahui”.
“Tetapi mengapa mencari pusaka engkau bisa
mengetahui?” tegur Randa Busan.
Wajah rahib dari Lam-hay mengerut gelap. Tampaknya
hendak marah. Dipandangnya randa dari Busan itu lalu diam
lagi.
Suami isteri Iblis-penakluk-dunia dan Dewi Neraka yang
sejak tadi hanya mendengar saja. Merasa saat itu mendapat
kesempatan baik. Buru-buru Iblis penakluk-dunia menjurah
memberi hormat kepada Randa Busan.
“Ucapan nyonya tadi ada beberapa bagian yang tak
kumengerti. Tetapi kami suami isteri berdua sungguh merasa
beruntung sekali karena hari ini dapat melihat wajah nyonya,
salah seorang pewaris dari ilmu Panca Sakti!”
Habis berkata, bersama isterinya ia memberi hormat lagi
kepada Randa dari Busan itu.

446
Muak tampaknya Lam-hay Sin-ni melihat tingkah laku
kedua suami isteri itu. Ia mendengus dingin.
Iblis-penakluk-dunia segera berputar diri menghadap Lamhay
Sin-ni, “Kitab pusaka peninggalan Tio Sam-hong,
merupakan benda yang sangat diincar oleh ribuan kaum
persilatan. Untuk menghormat kepada Sin-ni, kami berdua rela
menyerahkan peta Giok-pwe itu kepada Sin-ni, te-tapi....” Ia
berhenti lalu berpaling ke arah Randa Busan, dengan muka
cemas, katanya, ”Tetapi kami pun amat menghormat juga
kepada wanita pewaris Ye-li-sin-kang ini. Oleh karena itu kami
merasa bingung, hendak kami serahkan kepada siapakah peta
Giok-pwe itu....”
Randa Bu-san menatap tajam pada Iblis penakluk-dunia
lalu membentaknya, “Huh, licik sekali siasatmu!”
Tiba-tiba Lam-hay Sin-ni maju selargkah kemuka Randa
Busan lalu membentaknya geram, “Engkau kira dengan ilmu
Ya-li-sin-kangmu itu dapat menggertak aku? Kitab pusaka itu
setiap hidung tentu menginginkan. Jika tidak karena kitab
pusaka itu, perlu apa engkau datang kemari?.... huh, engkau
anggap aku orang tolol!”
Rahib itu serentak bersiap seperti hendak menyerang.
Randa Busan tertawa dingin lalu berkata kepada Iblis
penakluk-dunia, “Jika saat ini aku benar-benar melayani dia
berkelahi, bukankah sesuai dengan tujuan hatimu....” Wanita
dan Busan itu gentakkan kakinya ke tanah dan menghela
napas lalu berkata seorang diri, “Untung atau celaka itu,
memang sudah suratan takdir.... perlu apa aku bersitegang
hendak melanggar Kodrat alam untuk mempertahankan nasib
orang?”

447
Dara baju hijau yang sejak tadi selalu berada disisi ibunya,
saat itu segera mengajak ibunya pergi.
Randa Busan mengangguk, “Baiklah, biar mereka ramairamai
sendiri!” –ia terus berputar diri lalu melangkah pergi.
Setelah bayangan ibu dan anak itu lenyap Lam-hay Sin-ni
tiba-tiba tertawa keras.
Apa yang telah terjadi tadi, Siau-liong dapat melihat jelas.
Diam-diam ia mencemaskan keselamatan rahib dari Lam-hay
itu.
Walaupun rahib itu memiliki ilmu sakti Cek-ci-sin-kang
tetapi ia tentu tak dapat menghadap kelicikan kedua suami
isteri iblis. Apalagi Siau-iong mendapat kesan bahwa rahib itu
tampaknya seperti seorang yang ketolol-tololan.
Teringatlah saat itu Siau-liong akan Jong Leng lojin yang
dipenjara dibawah tanah oleh Iblis penakluk dunia dan Dewi
Neraka. Kedua kaki orang tua sakti itu diikat dengin rantai
besi....
Jika Lam-hay Sin-ni masuk ke dalam Lembah Semi,
kemungkinan besar nasibnya tentu akan serupa dengan Jong
Leng lojin!
Ngeri seketika Siau-liong membayangkan hal itu. Ia
bingung apakah saat itu ia harus bertindak mencegah
perbuatan Iblis penakluk-dunia dan Dewi Neraka yang hendak
mencelakai rahib Lam-hay. Ataukah ia tinggal diam saja.
Belum sempat ia mendapat keputusan, tiba-tiba dari ujung
tikungan gunung jauh disebelah muka tampak tiga sosok
benda warna biru meluncur ke udara.

448
Dan cepat laksana anak panah meluncur, beberapa sosok
tubuh manusia berhamburan tiba terus menyerbu Iblis
penakluk-dunia dan isterinya.
--oooo0dw0ooo--
PEREBUTAN GIOK-PWE
Pada saat Iblis-penakluk-dunia dan Dewi Neraka sedang
mengipikan rencananya untuk menjebak Lam-hay Sin-ni akan
berhasil, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh munculnya
beberapa sosok bayangan itu.
Cepat sekali beberapa orang itu sudah tiba dihadapan Iblispenakluk-
dunia. Ternyata mereka berjumlah empat orang,
mengenakan pakaian ringkas, menyanggul senjata
dipunggung.
Keempat orang itu memberi hormat kepada Iblis-penaklukdunia.
Salah seorang segera berkata, “Memberi laporan
kepada bapak pemimpin, pada beberapa tempat diluar
gunung, diketemukan jejak musuh!"
“Apakah sudah diselidiki orang2 dari mana?" tanya Iblispenakluk-
dunia.
"Kebanyakan kami dan para anak buah tak kenal mereka.
Tetapi diantaranya terdapat ketua Siau-lim-pay paderi Ti Gong
ketua Kong-tong-pay Toh Hun-ki, ketua Kay-pang To Kiu-kong
dan lain-lain. Dan lagi....”
Anak buah Lembah Semi itu berhenti sejenak, lalu
melanjutkan keterangannya, “Menurut penyelidikan yang kami
peroleh, kali ini rombongan musuh dipimpin oleh imam tua
Ceng Hi, ketua Kun-lun-pay yang lama!"

449
Iblis Penakluk - dunia berpaling dan tersenyum kepada
isterinya, “Sungguh tak meleset dugaanku. Hidung kerbau tua
Ceng Hi itu dengan mengandalkan dirinya pada 20 tahun jang
lalu pernah menghalau kita berdua dari Tiong-goan, sekarang
keluar lagi dari pertapaannya....”
Iblis itu menengadah ke atas dan tertawa gelak2 lalu
berkata pula. “Tetapi sekarang tidak sama dengan 20 tahun
jang lalu. Aku mempunyai rencana untuk menghancar
leburkan barisan mereka.... asal pemimpin sudah remuk,
pastilah yang lain-lain runtuh nyalinya dan partai2 persilatan
itu tentu tak berarti lagi bertingkah hendak menentang aku!"
Anak buah Lembah Semi itu menunggu sampai Iblis
penakluk-dunia selesai berkata. Setelah itu barulah ia berkata
lagi dengan nada gentar, “Saat itu disekeliling gunung Tayliang-
san telah dikepung musuh. Walaupun kami telah
mengadakan hubungan dengan posisi penjagaan "yang
tersebar dalam jarak 10 li dari gunung. Tetapi tetap tak dapat
mengetahui berapakah jumlah musuh yang datang itu!"
Iblis-penakluk-dunia tertegun. Pada lain saat ia tertawa
nyaring, “Apa guna mengandalkan jumlah banyak?"
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara teriakan
menggemuruh. Teriakan dari suatu penyerbuan.
Iblis-penakluk-dunia kerutkan alis lalu memberi perintah,
“Kasih tahu pada orang dimuka, jangan melawan....”
Orang itu mengiakan lalu bersama keliga kawannya segera
melesat pergi.
Iblis-penakluk-dunia membisiki beberapa patah kata
kedekat telinga isterinya. Kemudian ia berpaling ke belakang
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil : Pendekar Laknat 1 dan anda bisa menemukan artikel Cersil : Pendekar Laknat 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cersil-pendekar-laknat-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil : Pendekar Laknat 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil : Pendekar Laknat 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil : Pendekar Laknat 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cersil-pendekar-laknat-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar