timbul seketika jiwa kesatriaannya. Ia merasa saat ini biarpun
mati bagi nenek dan nona itu pun rela. Padahal kedua orang itu
siapa, apakah orang baik atau orang jahat, sama sekali dia
tidak tahu.
Begitulah perlahan-lahan si nenek lantas menurunkan lengan
bajunya yang menutupi mukanya itu, katanya, “Terima kasih,
anak muda, kalau tiada bantuan tenagamu mungkin sejak tadi
jiwa nenek sudah melayang. Rupanya tua bangka Ting Put-si
itu masih ngotot tak mau mengaku kalah padamu, maka
bolehlah kau bergebrak lagi padanya. Ai, aku sudah sedemikian
tua, sudah banyak juga aku menjumpai kesatria sejati dan
pahlawan tulen di dunia ini, tak tersangka pada saat hampir
dekat ajalku, di depan mataku sekarang justru terdapat seekor
babi tua, sungguh aku sangat penasaran.”
“Kau bilang babi tua, apakah kau maksudkan aku?” tanya Ting
Put-si dengan gusar.
“Seorang yang tahu diri masih boleh dikata belumlah terlalu
buruk,” ujar si nenek dengan tersenyum. “Nah, Ting Put-si, jika
kau ingin membunuh dia kan terlalu gampang? Asal kau
gunakan beberapa jurus yang belum pernah kau katakan
padanya, tanggung dia tak mampu menangkis dan akan kau
binasakan.”
“Memangnya kau sangka aku Ting Put-si adalah pengecut
seperti itu?” sahut Ting Put-si dengan gusar. “Boleh kau
saksikan dengan baik, justru setiap jurus yang akan kugunakan
adalah kepandaian yang telah kukatakan padanya tadi.”
Justru si nenek sengaja memancing ucapan Ting Put-si ini,
maka dapatlah ia menghela napas lega dan tidak bersuara
pula.
Di sebelah sana Ting Put-si segera membentak, “Nah, Lemper
raksasa, segera aku akan menghantam dengan jurus ‘Gik-cuiheng-
ciu’ (mendayung perahu melawan arus). Jurus ini sudah
kuajarkan padamu tadi, janganlah kau lupa.”
Sambil berkata ia lantas pasang kuda-kuda dengan sedikit
berjongkok, mendadak telapak tangan kiri menghantam ke
depan dari bawah ke atas.
Ketika mendengar Ting Put-si menyebut jurus “Gik-cui-hengciu”,
diam-diam Ciok Boh-thian lantas siap siaga, ia pun pasang
kuda-kuda dengan sedikit berjongkok, telapak tangan kiri juga
memukul ke depan dari bawah ke atas.
“He, salah, bukan begitu caranya menangkis seranganku!”
bentak Ting Put-si. Namun pada saat itu juga tampaknya
tangan pemuda itu sudah hampir membentur tangannya
sendiri, keruan ia terkesiap, ia tahu Lwekang Boh-thian sangat
kuat, kalau sampai kedua orang saling mengadu tenaga dalam,
untuk memenangkan pemuda itu menjadi susah diramalkan.
Maka cepat Put-si menarik kembali pukulannya itu, segera
telapak tangan kanan berganti menyodok ke depan. Jurus ini
bernama “Ki-hong-tut-gi” (kejadian aneh mendadak timbul).
Tapi Boh-thian telah ingat betul-betul pesan si nenek, segera ia
pun memapak dengan jurus yang sama, bahkan tangannya
membawa tenaga dalam yang lebih kuat. Sebelum kedua
tangan kebentur, seketika Ting Put-si merasakan angin pukulan
lawan telah menyampuk tiba. Ia terperanjat dan cepat ganti
serangan lagi ....
Bab 21. Pulau Keong Hijau dan Pulau Kabut Ungu
Ciok Boh-thian sama sekali tidak ambil pusing jurus serangan
apa yang akan dilontarkan Ting Put-si, dia hanya
memerhatikan gerak-gerik lawan, jurus apa yang digunakan
orang tua itu, segera ia pun meniru dan memapak dengan
jurus yang sama.
Dengan demikian Boh-thian menjadi tidak perlu menggunakan
otak, sebaliknya perhatiannya melulu dicurahkan dalam hal
mengerahkan tenaga dalam sehingga pukulannya makin lama
makin dahsyat.
Di pihak lain Ting Put-si mesti dua kali pikir bila hendak
menyerang, ia khawatir kalau-kalau tangannya kebentur dan
lengket dengan tangan Ciok Boh-thian dan terpaksa harus
mengadu tenaga dalam. Sebab itulah banyak seranganserangannya
yang bagus-bagus tak dapat dikeluarkan.
Sebagai seorang tokoh, sudah tentu banyak sekali lawan
ternama yang pernah dihadapi Ting Put-si, tapi tak pernah ia
ketemukan lawan sebagaimana Boh-thian sekarang, tidak
peduli jurus apa yang dimainkan, selalu lawan menirukannya.
Bilamana lawannya adalah tokoh kenamaan, maka cara
pertarungan ini boleh dianggap terlalu licik, tapi sekarang Ciok
Boh-thian jelas tidak mahir ilmu silat dan sebelumnya sudah
berjanji akan melawannya dengan menggunakan jurus-jurus
serangan yang diajarkannya tadi, jadi perbuatan pemuda itu
yang menirukan setiap jurus serangannya boleh dikata tidak
melanggar janji.
Keruan lama-kelamaan Ting Put-si menjadi gelisah, berulangulang
ia mencaci maki, tapi toh tak bisa mengapa-apakan Ciok
Boh-thian.
Sesudah berlangsung beberapa puluh jurus, lambat laun Bohthian
sudah dapat meraba cara bagaimana mengerahkan
tenaganya maka setiap pukulannya makin lama makin kuat.
Sudah tentu Ting Put-si tak berani ayal, ia melayaninya dengan
sepenuh tenaga.
Pikirnya, “Sebenarnya orang macam apakah bocah ini? Janganjangan
dia sengaja pura-pura bodoh, tapi sebenarnya dia
adalah seorang jago muda yang memiliki ilmu silat sangat
tinggi?”
Setelah beberapa jurus pula, Ting Put-si ra\sakan tekanan
tenaga lawan makin lama makin kuat. Untung Boh-thian hanya
menirukan gaya serangannya saja sehingga dia tidak perlu
khawatir kalau-kalau pemuda itu mendadak menyerangnya
dengan cara di luar dugaan.
Pada suatu jurus, mendadak kedua tangan Ting Put-si berputar
beberapa kali, lalu kedua tangan Ting Put-si berputar beberapa
kali, lalu kedua telapak tangannya menghantam miring ke
depan. Jurus ini bernama “Hek-co-hek-yu” (mungkin kiri
mungkin kanan), ke mana tenaga pukulannya akan dikerahkan,
apa ke kiri atau ke kanan, hal ini tergantung dalam keadaan.
Diam-diam Put-si bergirang dengan jurus pukulannya ini, ia
membatin, “Anak busuk, sekali ini kau tentu mati kutu dan tak
bisa menirukan lagi. Masakah kau tahu dari jurusan mana
tenaga pukulanku akan kukerahkan?”
Benar juga, tertampak Boh-thian menjadi bingung, tiba-tiba ia
bertanya, “Hey, seranganmu ini akan mengarah ke kanan atau
ke kiri?”
Ting Put-si terbahak-bahak geli, bentaknya, “Boleh kau terka
saja akan ke kanan atau ke kiri?” berbareng kedua tangannya
sengaja digerak-gerakkan untuk menggodanya.
Dalam gugupnya terpaksa Boh-thian mengangkat kedua
telapak tangannya dan sekaligus memapak kedua tangan
lawan. Karena tak mengetahui dari sebelah mana tenaga
pukulan lawan akan dikerahkan, terpaksa ia memapak dengan
kedua tangan dengan sekuatnya.
Keruan Ting Put-si menjadi kaget malah. Kurang ajar pikirnya,
masakah jurus “Mungkin kiri mungkin kanan” yang pura-pura
itu telah ditirukan oleh Ciok Boh-thian dengan perubahan “Hekco-
ek-yu” (juga kiri juga kanan) sehingga serangan sungguh.
Dengan cara demikian, terpaksa Ting Put-si harus mengadu
tenaga dalam dengan Ciok Boh-thian dan hal ini justru tidak
dikehendaki olehnya. Pada detik berbahaya itu, sekilas timbul
sesuatu akal, mendadak Put-si mengangkat kedua tangannya
ke atas sehingga tenaga pukulannya dilontarkan ke udara.
Jurus ini disebut “Thian-ong-thok-tah”(Thian mengangkat
menara), yaitu suatu jurus serangan yang biasanya digunakan
untuk melawan musuh yang sedang menubruk dari atas.
Boh-thian sendiri pada waktu itu toh tidak menyerang dari
udara, jadi jurus Ting Put-si itu sebenarnya tiada gunanya. Tapi
dasar Boh-thian selalu menirukan setiap jurus lawan, ketika
mendadak dilihatnya Ting Put-si mengeluarkan jurus “Thianong-
thok-tah” itu, walaupun tidak paham apa maksud
tujuannya, tapi dia lantas menirukan juga dengan mengangkat
kedua telapak tangan ke atas sehingga tenaga pukulannya
menjurus ke udara.
Keadaan pada waktu itu menjadi empat tangan dari kedua
orang itu sama-sama terangkat ke atas dengan pandangmemandang,
Put-si memandang Boh-thian dengan geli, BohKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
thian memandang Put-si dengan bingung. Saking tak tahan,
akhirnya Ting Put-si terbahak-bahak geli.
Melihat lawannya tertawa, tanpa merasa Boh-thian juga ikut
tertawa. Si nona yang bersandar di dinding perahu sana juga
ikut tersenyum menyaksikan adegan yang lucu itu.
Sebaliknya si nenek lantas mencemoohkan, “Huh, tidak tahu
malu! Tidak dapat menangkan orang, lantas menggunakan akal
bulus untuk menipu anak kecil!”
Sekilas itu mendadak Ting Put-si dapat mengeluarkan tipu yang
aneh itu untuk menghindarkan adu Lwekang dengan Ciok Bohthian,
maka Put-si sangat puas atas kecerdikannya sendiri, ia
tidak ambil pusing terhadap ejekan si nenek, ia hanya tertawa
saja dan memberi alasan, “Aku toh tiada bermusuhan apa-apa
dengan bocah ini, buat apa aku mesti membinasakan dia
dengan tenaga dalamku?”
Dan baru saja si nenek hendak mengolok-olok pula, mendadak
terasa perahu mereka menjadi oleng terus meluncur cepat ke
hilir.
Kiranya permukaan sungai di situ agak sempit dan arus
menjadi lebih kencang.
Kembali Ting Put-si bergelak tertawa dan berkata, “Siau-jui,
sudah akan sampai di Pik-lwe-to, kalian nenek dan cucu
bersama si Lemper Raksasa disilakan dulu ke tempatku itu.”
Air muka si nenek berubah mendadak, sahutnya tegas, “Tidak,
biar mati pun aku tidak sudi menginjak tanah pulau setanmu
itu.”
“Tinggal saja di sana buat beberapa hari lamanya, apa sih
halangannya?” ujar Put-si.
Dalam pada itu arus sungai bergelombang dengan hebat, air
ombak mendebur ke atas perahu mereka. Waktu Boh-thian
memandang ke arah yang dituju Ting Put-si, ternyata di
sebelah kanan sungai sana tertampak sebuah puncak gunung
yang menghijau, ujung puncak itu lancip dan bagian bawah
bulat sehingga bentuknya mirip keong. Ia pikir tentu inilah
“Pik-lwe-to” (pulau keong hijau) yang dimaksudkan itu.
“Belokkan kemudi untuk menepi,” perintah Ting Put-si kepada
si tukang perahu.
Si tukang perahu mengiakan. Segera Ting Put-si bersiap-siap di
haluan perahu dengan memegang jangkar, asal sudah dekat
dengan tepi sungai segera ia akan membuang sauh ke daratan
pulau itu.
“Loyacu,” demikian kata Boh-thian, “jika Lothaythay ini tidak
mau pergi ke rumahmu buat apa engkau me ....”
Belum habis Boh-thian bicara, sekonyong-konyong si nenek
telah meloncat bangun, sekali rangkul si nona, segera terjun ke
dalam sungai.
“He! Jangan!” teriak Ting Put-si dengan kaget. Segera ia
hendak menjambret, tapi sudah terlambat. Terdengar suara air
berdebur, nenek dan nona itu sudah menghilang ditelan
ombak.
Dalam kagetnya cepat Boh-thian juga bertindak, ia pegang
sepotong papan perahu terus ikut terjun ke dalam sungai.
Waktu melompat ia telah memancal di tepian perahu sehingga
walaupun terjun belakangan, tapi sauhnya justru berada di sisi
si nenek berdua.
Boh-thian tidak dapat berenang, begitu masuk sungai mulutnya
lantas kemasukan air. Tapi tekadnya hendak menolong orang,
dengan tangan kanan merangkul papan, tangan kiri lantas
meraih kian kemari, kebetulan rambut si nenek yang panjang
kena dijambak olehnya, terus saja ia pegang dengan kencang
dan tak terlepaskan lagi. Ketiga orang lantas terhanyut oleh
arus yang deras itu.
Sesudah terdampar sejenak, sementara itu kepala Boh-thian
terasa pusing, mulutnya masih terus tercekok air. Tiba-tiba
badannya terguncang hebat, pinggangnya terasa sakit,
rupanya ia telah terdampar dan tertumbuk oleh sepotong batu
karang yang melintang di tepi sungai.
Dengan girang segera Boh-thian gunakan kakinya untuk
menahan dirinya di batu karang itu. Waktu ia mendongak ke
permukaan air, di atas sana tampak kabut belaka, di tengah
kabut lapat-lapat tertampak pula banyak pepohonan.
Tanpa pikir lagi segera ia menarik si nenek ke atas, syukurlah
orang tua itu masih terus merangkul cucu perempuannya
dengan kencang, cuma tidak diketahui apakah sudah mati atau
masih hidup.
Boh-thian lantas pondong kedua orang itu dan berusaha
mendarat sekuat tenaga. Ia berjalan ke tengah pepohonan
yang penuh kabut sana. Kira-kira beberapa puluh meter
jauhnya ia sudah meninggalkan tepi sungai yang penuh lumpur
itu.
Setiba di tanah yang kering barulah ia meletakkan kedua
wanita itu.
Tapi baru saja ia hendak menurunkan kedua wanita itu, tibaKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
tiba terdengar si nenek mendampratnya, “Anak kurang ajar!
Kau berani menjambak rambutku?”
Boh-thian melengak dan cepat menjawab, “O, ya, maaf, maaf!”
“Kau jambak rambutku sedemikian kencang sehingga kepalaku
kesakitan, huak ....” mendadak ia memuntahkan air sungai
yang telah diminumnya tadi.
“Nenek, kalau kita tak tertolong oleh Toako ini tentu saat ini
kita sudah ....” sampai di sini si nona berkata, tiba-tiba ia pun
memuntahkan air sungai yang tadi banyak masuk ke dalam
perutnya.
“Jika demikian, jadi bocah ini yang telah menolong jiwa kita,”
kata si nenek. “Ya, sudah, kesalahannya menjambak rambutku
takkan aku persoalkan lagi padanya.”
Si nona tersenyum, katanya pula, “Toako ini benar-benar
sangat baik, terima kasih banyak-banyak atas pertolonganmu.”
Waktu itu si nenek dan si nona masih berada dalam pondongan
Boh-thian dan belum diturunkan, jarak pandangan mereka
tiada setengah meter jauhnya, wajah si nona menjadi merah
dan tak berani menatap Boh-thian.
“Sudahlah, sekarang boleh turunkan kami,” kata si nenek.
“Tempat ini adalah Ci-yan-to (pula kabut ungu), letaknya tidak
terlalu jauh dengan tempat kediaman Ting-lokoay, maka kita
harus berjaga-jaga kalau-kalau dia mengacau ke sini.”
Boh-thian mengiakan. Dan baru saja ia hendak menurunkan
nenek dan cucunya itu, tiba-tiba di balik semak pohon sana ada
suara orang berkata, “Bocah itu besar kemungkinan tidak
mampus, kita harus menemukan dia.”
Boh-thian terkejut, katanya dengan suara bisik-bisik, “Wah,
celaka! Ting Put-si telah mengejar tiba!”
Segera ia mendekam ke dalam semak-semak dengan masih
memondong dua orang, sedikit pun ia tidak berani bergerak.
Maka terdengar suara tindakan orang yang lalu di sebelah
mereka, seorang tua dan seorang lagi wanita muda. Kaget Ciok
Boh-thian melebihi tadi demi mengetahui siapa kedua orang
itu. Sesudah kedua orang itu beberapa puluh meter jauhnya, ia
coba melongok ke sana, benar juga kedua orang itu adalah
Ting Put-sam dan si Ting Tong.
Kiranya Ting Put-sam dan Ting Put-si adalah saudara kandung,
usia mereka cuma selisih satu tahun, suara mereka pun sangat
mirip. Karena khawatir dikejar oleh Ting Put-si, maka suara
Ting Put-sam telah keliru disangka Ting Put-si oleh Boh-thian.
“Wah, celaka! Kiranya adalah Ting-samya!” bisik Boh-thian
dengan suara takut.
“Mengapa kau demikian takutnya?” ujar si nenek, “Bukankah
cucu perempuan Ting Put-sam itu telah mengajarkan ilmu
silatnya padamu?”
“Loyacu hendak membunuh aku, si Ting-ting Tong-tong juga
marah padaku, katanya aku tidak menurut kata-katanya, maka
aku telah diringkus menjadi sebuah lemper raksasa dan
dilemparkan ke dalam sungai,” tutur Boh-thian. “Untunglah
saat itu perahu kalian lewat di sisinya, kalau tidak ... kalau
tidak ....”
“Kalau tidak tentu kau sudah menjadi kura-kura di dalam
sungai, telah menjadi isi perut ikan, bukan?” sambung si nenek
dengan tertawa.
“Ya, ya!” sahut Boh-thian. Dan bila teringat kejadian
kemarinnya, diam-diam ia merasa khawatir pula, segera ia
berkata, “Nenek, mereka masih mencari aku, kalau aku
tertangkap pula tentu ... tentu aku tak dapat menyelamatkan
jiwaku lagi.”
Si nenek menjadi gusar, sahutnya, “Jika aku tidak dalam
keadaan lumpuh begini, hanya seorang Ting Put-sam saja apa
artinya bagiku? Kau boleh pergi memanggil dia ke sini, ingin
kulihat apakah dia berani mengganggu seujung rambutmu atau
tidak?”
Rupanya perangai si nenek ini sangat berangasan, biarpun dia
melatih Lwekang dan tersesat, tapi dia tetap memandang
sebelah mata kepada para jago-jago silat di dunia.
“Nenek, dalam keadaan demikian sebaiknya engkau
menghindari kedua saudara Ting itu, kelak kalau kesehatanmu
sudah pulih kembali barulah engkau membikin perhitungan
dengan mereka,” demikian si nona juga menghiburnya.
Namun si nenek masih marah-marah, katanya, “Sekali ini
nenekmu benar-benar sialan, aku Su Siau-jui selama hidup ini
telah malang melintang di dunia Kangouw, biasanya akulah
yang membikin gara-gara kepada orang lain, mana bisa jadi
seperti sekarang ini aku harus bungkam dalam seribu bahasa?
Ya, semuanya ini adalah gara-gara perbuatan ‘binatang kecil’
dan ‘tua bangka’ itu.”
“Sudahlah, nenek,” kata si nona, “apa yang sudah lalu buat apa
diungkat-ungkat pula? Kita berdua sama-sama menderita
kesukaran, kita harus tetirah dengan pikiran tenang barulah
dapat sembuh dengan cepat. Bila hati nenek selalu murung,
tentu akan semakin merusak kesehatannya sendiri.”
“Rusak biar rusak, takut apa?” kata si nenek dengan gusar.
“Hari ini benar-benar sialan, sedemikian banyak aku tercekok
air sungai yang kotor, nama baik Su Siau-jui hari ini benarbenar
telah runtuh habis-habisan.”
Begitulah semakin marah semakin keras suara ucapan nenek
itu. Boh-thian khawatir kalau didengar oleh Ting Put-sam,
maka cepat ia menghiburnya, “Tenanglah, nenek! Apa ...
apakah perlu aku menyalurkan sedikit tenaga kepadamu?”
Dan sebelum si nenek menjawab ia lantas menempelkan
telapak tangannya ke Leng-tay-hiat di punggung orang, lalu
mengerahkan tenaga dalam dan disalurkan ke tubuh si nenek
itu.
Karena penyaluran tenaga dalam itu, terpaksa si nenek
mencurahkan pikirannya untuk mengerahkan tenaga bantuan
itu ke urat nadi di tubuh sendiri yang buntu itu. Maka satu
demi satu Hiat-to yang macet itu dapatlah ditembus.
Yang diharapkan Ciok Boh-thian, asalkan nenek itu tidak
bersuara lagi sehingga diketahui Ting Put-sam, maka ia masih
terus menyalurkan tenaga dalamnya.
Diam-diam Su-popo (si nenek she Su) terheran-heran,
“Sedemikian hebat tenaga dalam bocah ini, bukan saja sangat
kuat, bahkan tenaganya sangat murni, terang dia masih
berbadan jejaka, yang diyakinkan juga Lwekang dari golongan
yang baik. Tapi mengapa dia sama sekali tidak mahir ilmu
silat?”
Karena sedikit pikirannya bercabang, seketika darah di rongga
dadanya bergolak, cepat si nenek memusatkan perhatiannya
lagi dan tidak berani memikirkan urusan lain.
Kira-kira setengah jam kemudian barulah “Siau-yang-kengmeh”,
yaitu urat-urat nadi bagian kaki dapat ditembus semua.
Maka dapatlah si nenek bernapas lega, mendadak ia
berbangkit, katanya dengan tertawa, “Sementara ini cukuplah!
Kau tentu sudah capek juga.”
Boh-thian dan si nona terkejut dan bergirang pula, seru mereka
berbareng, “Ha, nenek sudah dapat berjalan?”
“Ya, baru urat nadi bagian kaki yang telah bekerja lancar, tapi
masih banyak urat nadi bagian lain yang masih buntu,” sahut si
nenek.
“Aku toh tidak lelah, biarlah kita melancarkan sekalian uraturat
nadi yang lain,” ujar Boh-thian.
“Seenaknya saja kau bicara,” sahut si nenek. “Aku dan A Siu
bersama-sama melatih Bu-bon-sin-kang sehingga tersesat
jalan tenagaku, apakah kau kira penyakitku ini adalah penyakit
lumpuh biasa? Biarpun Tat-mo Cosu atau Thio Sam-hong hidup
kembali juga tidak dapat menembus seluruh urat nadiku di
dalam waktu satu hari.”
“Ya, ya, aku tidak paham urusan demikian ini,” kata Boh-thian
dengan kikuk.
“Jika merasa iseng, bolehlah kau membantu A Siu melancarkan
Siau-yang-keng-meh di bagian kakinya,” kata si nenek.
“Baiklah,” sahut Boh-thian. Segera ia memayang si nona alias
A Siu, ia sandarkan bahu nona itu pada sebatang pohon, lalu
menggunakan telapak tangan untuk menahan Leng-tay-hiat di
punggungnya, perlahan-lahan ia menyalurkan tenaga dalam
menurut cara yang diajarkan si nenek tadi. Karena Lwekang si
A Siu jauh lebih cetek daripada neneknya, maka Boh-thian
harus menggunakan tempo berlipat ganda untuk melancarkan
Hiat-to si nona.
Sesudah merangkak bangun, dengan suara lemah lembut A Siu
berkata, “Terima kasih, Toako ini. Nenek, kita juga belum
mengetahui nama Toako yang baik hati ini, entah cara
bagaimana kita harus menyebutnya, sungguh agak kurang
hormat.”
Meski ucapan A Siu itu ditujukan kepada neneknya, tapi
sebenarnya sedang menanyakan namanya Ciok Boh-thian,
soalnya dia merasa rikuh untuk bicara langsung kepada
seorang pemuda yang baru dikenalnya itu.
Diam-diam Boh-thian membatin sendiri, “Ya, siapakah
namaku?”
Dalam pada itu si nenek sudah lantas berseru, “Hey, Lemper
Raksasa, cucu perempuan sedang menanyakan namamu
siapa?”
“Aku ... aku pun tidak tahu,” sahut Boh-thian dengan tergagapgagap.
“Ibuku memanggil aku ... memanggil aku ....”
Dia hendak mengatakan bernama “Kau-cap-ceng”, tapi
sekarang ia sudah tahu bahwa nama itu tidak sopan untuk
diucapkan di depan seorang nona yang berbudi halus dan
sopan itu. Maka ia lantas menyambung pula, “Mereka
sebaliknya salah mengenali diriku, padahal aku bukan orang
yang mereka maksudkan itu. Sebenarnya siapakah diriku ini,
aku sendiri pun susah ... susah untuk menjelaskan ....”
Su-popo menjadi tidak sabar, bentaknya, “Jika tidak mau
mengatakan, boleh tak mengatakan, kenapa mesti bicara
macam-macam.”
“Nenek, bila orang tak mau mengatakan, tentu dia ada
kesukarannya sendiri, maka kita pun jangan memaksa,” ujar A
Siu. “Tentang nama tidaklah menjadi soal, asalkan kita selalu
mengingat kepada budi kebaikannya sudah cukuplah.”
“Tidak, tidak, bukanlah aku tidak mau mengatakan namaku,
soalnya namaku sesungguhnya sangat jelek,” kata Boh-thian.
“Jelek apa segala? Apakah ada nama yang lebih jelek daripada
nama Lemper Raksasa?” ujar Su-popo. “Jika kau tidak mau
mengatakan, maka biarlah kupanggil kau si Lemper saja.”
“Boleh juga engkau memanggil aku si Lemper, ini toh tidak
terlalu jelek,” sahut Boh-thian dengan tertawa. Ia pikir paling
tidak nama Lemper akan lebih sedap didengar daripada
panggilan Kau-cap-ceng alias anak anjing.
A Siu menjadi lebih rikuh lagi melihat perangai Boh-thian yang
baik itu, biarpun neneknya mengolok-olok dan ucapannya
kasar toh pemuda itu sedikit pun tidak marah. Segera katanya
pula, “Sudahlah nenek, janganlah engkau menggodanya lagi.
Toako ini ....”
“Tak apa, tak apa,” sahut Boh-thian cepat. “Aku akan
berterima kasih asal Ting-yaya dan si Ting Tong tidak
menguber-uber diriku. Sekarang kalian bolehlah mengaso
sebentar, biarlah aku pergi mencari sesuatu makanan apaapa.”
“Di Ci-yan-to ini banyak tumbuh buah kesemak, saat ini
buahnya sedang masak, boleh kau pergi memetiknya sedikit,”
kata Su-popo. “Di pulau ini juga banyak kepiting yang gemukgemuk,
boleh juga kau menangkapnya beberapa ekor.”
Boh-thian mengiakan dan segera berangkat. Dengan hati-hati
ia menyusur pepohonan yang rindang itu karena khawatir
dipergoki oleh Ting Put-sam dan si Ting Tong. Kira-kira ratusan
meter jauhnya benar juga tertampak di lereng bukit situ ada
belasan pohon kesemak dengan buahnya yang merah masak.
Sesudah berada di bawah pohon-pohon kesemak itu, Boh-thian
memegang batang pohon dan digoyang-goyangkan sekuatnya.
Pertama karena tenaganya besar, kedua buah kesemak itu
memang sudah masak, seketika berjatuhanlah belasan buah
kesemak. Cepat Boh-thian pentang bajunya untuk menjemput
buah-buah itu, lalu dibawanya kembali.
Sementara itu, kaki Su-popo dan si A Siu sudah dapat
bergerak, cuma tangan mereka yang masih kaku, Su-popo
masih mendingan dapat mengangkat tangannya walaupun
berat sekali rasanya. Sebaliknya kedua tangan A Siu sama
sekali belum dapat bergerak.
Boh-thian mengupas kulit buah kesemak itu, lebih dulu ia
memberikan sebuah kepada Su-popo, lalu mengupas sebuah
pula untuk menyuapi A Siu.
Melihat pemuda itu menyuapi dirinya, muka si A Siu menjadi
merah sebagai buah kesemak itu. Tapi ia pun tak bisa menolak
terpaksa ia memakannya.
Ketika Boh-thian hendak menyuapi sebuah lagi, tiba-tiba A Siu
berkata, “Toako sendiri bolehlah makan dulu, habis itu baru
baru ....”
Begitulah mereka lantas makan secara bergiliran. Boh-thian
sendiri makan sebuah, lalu mengupas dan membaringkan Supopo
dan menyuapi A Siu lagi.
“Tidak jauh di sebelah barat daya sana ada sebuah gua, malam
nanti kita boleh tinggal di sana agar kedua saudara setan yang
‘tidak tiga tidak empat’ (Put-sam dan Put-si) itu tak dapat
menemukan kita,” kata Su-popo.
Boh-thian menjadi girang, serunya, “Ha, bagus sekali!”
Ia tidak begitu jeri terhadap Ting Put-si, tapi terhadap Ting Putsam
dan si Ting Tong yang hendak membunuhnya itu dia
benar-benar sangat takut. Maka ia menjadi terhibur demi
mendengar Su-popo mengatakan ada suatu tempat sembunyi
yang baik.
Lambat laun malam pun tiba, segera Boh-thian memayang Supopo
dan tangan lain memapah A Siu, bertiga lantas menuju ke
arah gua.
Rupanya Ci-yan-to adalah tempat yang pernah dijelajahi Supopo,
terbukti nenek ini sudah sangat hafal sekali jalannya.
Benar juga, kira-kira satu-dua li jauhnya, sampailah mereka di
suatu lembah bukit, di sisi kanan adalah dinding karang belaka,
sesudah Su-popo memberi petunjuk belok sini dan putar sana
akhirnya sampai juga di depan sebuah gua.
“Lemper Raksasa, malam ini kau tidur dan jaga di luar sini, tapi
tidak boleh masuk ke dalam gua,” kata Su-popo.
Berulang-ulang Boh-thian mengiakan. Katanya pula, “Sayang
kita tidak berani menyalakan api untuk mengeringkan pakaian
kita.”
“Hm, dasar sialan, kelak kedua setan yang tidak tiga dan tidak
empat itu harus dibikin menderita sepuluh kali lebih berat
daripada kita sekarang,” kata si nenek dengan gemas.
Besok paginya, sebagai sarapan pagi mereka pun makan buah
kesemak lagi, lalu Boh-thian menyalurkan tenaga pula untuk
melancarkan urat nadi kedua nenek dan cucu itu sehingga
tangan mereka dapatlah bergerak semua.
“Lemper Raksasa,” kata Su-popo, “di sana ada sebuah empang
dan banyak terdapat kepiting yang gemuk-gemuk, boleh kau
pergi menangkapnya beberapa ekor daripada kita makan buah
kesemak setiap hari.”
Boh-thian menjadi ragu-ragu, sahutnya kemudian, “Menangkap
kepiting sih tidak sukar, cuma saja kita tak dapat
memasaknya, pula tak dapat memakannya secara mentahmentah.”
“Huh, seorang laki-laki yang muda dan kuat mengapa mesti
ketakutan setengah mati kepada seorang tua bangka sebagai
Ting Put-sam?” jengek Su-popo.
“Jangankan Ting-samya saja, sampai-sampai si Ting-ting Tongtong
juga jauh lebih lihai daripadaku,” sahut Boh-thian sambil
menggeleng. “Jika aku kena ditangkap mereka, lalu aku diikat
pula sebagai lemper raksasa dan dilemparkan lagi ke dalam
sungai, wah, kan bisa runyam.”
“Sudahlah, nenek, apa yang dikatakan Toako ini pun ada
benarnya,” sela A Siu. “Bolehlah kita bersabar sementara,
tunggu nanti kalau urat nadi nenek sudah lancar kembali dan
tenaga saktimu sudah pulih, tatkala mana masakah kita masih
takut kepada Ting Put-sam atau Ting Put-si segala?”
“Hm, kau bicara seenaknya saja, untuk memulihkan tenaga
saktiku apakah begitu gampang?” jengek si nenek. “Untuk
melancarkan urat nadi kita saja diperlukan belasan hari
lamanya dan kalau ingin memulihkan kepandaian semula,
sedikitnya diperlukan setahun atau paling tidak juga delapan
bulan lamanya. Apalagi di dalam delapan bulan ini kita dapat
makan buah kesemak melulu? Hm, mungkin belasan hari lagi
juga semua buah kesemak itu akan kedaluan dan busuk
semua.”
“Untuk itu kita tidak perlu khawatir,” ujar Boh-thian. “Aku akan
memetik buah kesemak sebanyak-banyaknya, lalu dijemur
menjadi kesemak kering, kukira cukup untuk persediaan
setengah atau satu tahun dan kita takkan mati kelaparan.”
Kiranya Boh-thian menjadi kapok setelah berulang-ulang
menghadapi bahaya dan tersiksa, ia pikir daripada hidup
merana tak menentu, ada lebih baik hidup aman tenteram di
gua ini saja.
Tapi Su-popo lantas mengomelnya, “Kau suka menjadi kurakura
yang terus mengkeret di sini, aku yang tidak sudi. Pula
keparat Ting Put-si itu di dalam satu-dua hari ini tentu akan
mencari ke pulau ini, biarpun kau ingin mengkeret di sini
seperti kura-kura juga tak bisa jadi lagi. Eh, apa-apaan kau ini,
Lemper Raksasa? Percuma saja kau memiliki Lwekang setinggi
itu, tapi mengapa tidak pernah belajar ilmu silat?”
“Justru tiada orang yang mengajarkan aku, hanya si Ting-ting
Tong-tong saja pernah mengajarkan l8 jurus Kim-na-jiu-hoat,
dengan sendirinya aku tak sanggup melawannya. Ilmu silat
yang diajarkan kakek Ting Put-si kepadaku juga setiap
jurusnya sudah dipahami olehnya,” demikian jawab Boh-thian.
“Nenek,” tiba-tiba A Siu menyela, “mengapa engkau tidak mau
memberi petunjuk barang beberapa jurus kepada Toako ini.
Sesudah dia memahami kepandaianmu, bila dia dapat
mengalahkan Ting Put-si, bukankah lebih membanggakan
daripada engkau sendiri yang menangkan dia.”
Su-popo memandang dengan tak berkesip kepada Boh-thian.
Sorot matanya mendadak memantulkan perasaan yang buas
dan benci, kedua tangannya juga tampak gemetaran seakanakan
ingin menubruk maju dan sekali gigit membinasakan
pemuda itu.
Boh-thian menjadi takut dan tanpa merasa melangkah mundur
setindak. Katanya dengan terputus-putus, “Lothaythay, engkau
... engkau ....”
“A Siu,” mendadak si nenek berseru dengan suara bengis,
“coba kau pandang dia yang jelas, bukankah sangat mirip
sekali?”
Sepasang mata A Siu yang besar bundar itu menatap sejenak
ke muka Ciok Boh-thian, tapi air mukanya sangat lemah
lembut sahutnya kemudian, “Nenek, memang agak mirip,
namun ... namun pasti bukan dia. Bila dia memadai sedikit
kejujuran dan ketulusan Toako ini saja ....”
Sinar mata si nenek yang bengis tadi perlahan-lahan mulai
pudar kembali, tapi ia masih mengejek dan berkata, “Meski
bukan dia, tapi mukanya sedemikian mirip, biar bagaimanapun
aku takkan mengajarkan kepandaianku padanya.”
Seketika Boh-thian paham duduknya perkara, ia tahu tentu si
nenek menyangka dirinya sebagai pemuda Ciok Boh-thian itu,
agaknya Ciok-pangcu itu terlalu banyak berdosa kepada orang
lain, maka banyak sekali orang-orang di dunia ini yang benci
padanya. Kelak kalau aku dapat bertemu dengan dia, tentu aku
akan memberi nasihat padanya agar menjadi orang yang baikbaik,
demikian pikirnya.
Dalam pada itu terdengar si nenek sedang bertanya padanya,
“Apakah kau juga she Ciok?”
“Bukan!” sahut Boh-thian sambil menggeleng. “Orang lain
memang mengatakan bahwa aku sangat mirip dengan Ciokpangcu
dari Tiang-lok-pang, padahal sama sekali aku bukanlah
dia. Ai, bicara ke sana ke sini tiada seorang pun yang mau
percaya padaku.” Habis berkata ia lantas menghela napas
panjang dengan hati kesal.
“Aku percaya engkau bukanlah dia,” tiba-tiba A Siu
menanggapi dengan suara perlahan.
Boh-thian menjadi girang, “Kau benar-benar tidak percaya?
Itulah sangat ... sangat bagus. Hanya engkau seorang yang
telah menyatakan tidak percaya.”
“Engkau adalah orang baik-baik dan dia adalah orang ... orang
jahat,” kata A Siu. “Kalian berdua sama sekali berbeda.”
Alangkah terhibur hatinya Boh-thian, ia merasa telah
ketemukan seorang yang benar-benar dapat menyelami isi
hatinya, tanpa merasa ia pegang tangan si nona dan berkata,
“Banyak terima kasih.” Dan saking terharunya sampai air
matanya bercucuran. Maklum, selama ini setiap orang selalu
menganggap dia sebagai Ciok-pangcu segala, untuk
membantah adalah sangat sulit. Sekarang ia menjadi seperti
seorang pesakitan yang mendadak telah dapat membikin
terang duduknya perkara dan dengan sendirinya dia sangat
berterima kasih kepada si nona yang sudi memahami isi
hatinya itu.
Muka A Siu menjadi merah jengah, tapi ia pun tidak tega
menarik kembali tangannya yang dipegang Boh-thian itu.
Sebaliknya Su-popo lantas mencemooh lagi, “Kalau betul bilang
betul, jika bukan ya bukan, seorang laki-laki sejati macam apa
pakai menangis segala?”
“Iy ... ya, o, ma ... maaf!” mendadak Boh-thian sadar masih
memegang tangan A Siu yang putih halus itu, cepat ia
melepaskannya dan berkata pula, “Aku ... aku tidak seng ...
aku akan pergi memetik buah kesemak lagi.”
Ia tidak berani banyak memandang si nona pula dan cepat
berlari pergi.
Melihat tingkah laku Boh-thian yang serbakikuk, tingkah laku
yang wajar dan sekali-kali bukan pura-pura itu, mau tak mau si
nenek merasa geli juga. Ia menghela napas dan berkata, “Ya,
memang bukan. Coba alangkah baiknya kalau binatang kecil
she Ciok itu bisa memiliki sedikit kejujuran sebagai si Lemper
ini.”
Selang tidak lama, mendadak di luar gua terdengar suara
orang berlari, tertampak Boh-thian telah berlari kembali
dengan wajah pucat dan sangat ketakutan, katanya, “Wah,
celaka, celaka!”
“Ada apakah? Kau telah dipergoki Ting Put-sam?” tanya Supopo.
“Bu ... bukan!” sahut Boh-thian. “Orang-orang Swat-san-pay
telah menyusul ke pulau ini, wah, berbahaya sekali ....”
Mendengar “Swat-san-pay” disebut, seketika air muka Su-popo
dan A Siu berubah, mereka saling pandang sekejap, lalu si
nenek bertanya, “Siapa yang datang?”
“Itu ... itu Pek Ban-kiam dengan belasan orang Sutenya,” sahut
Boh-thian. “Mereka pasti akan menangkap diriku untuk dibawa
pulang ke Leng-siau-sia dan dihukum mati di sana.”
“Kau telah dilihat mereka tidak?” tanya Su-popo.
“Untung tidak sampai dilihat mereka,” ujar Boh-thian. “Cuma
aku telah melihat Pek Ban-kiam itu sedang ... sedang bicara
dengan kakek Ting Put-si.
“Apakah kau tidak keliru? Ting Put-si atau Ting Put-sam?” Supopo
menegas.
“Ting Put-si, pasti tidak keliru,” sahut Boh-thian. “Dia
mengatakan bahwa di sungai tiada diketemukan mayat, tentu
terdampar dan sembunyi di pulau ini. Mereka telah mulai
mencari dan sebentar tentu akan sampai di sini, wah, bisa
celaka ini.”
Saking khawatirnya sampai jidatnya penuh berkeringat.
A Siu coba menghiburnya, “Apakah Pek Ban-kiam itu pun salah
mengenali kau? Tapi kalau engkau memang bukan dia, betapa
pun kau dapat menerangkan kepada mereka dengan jelas dan
tidak perlu khawatir.”
“Ti ... tidak, mereka sukar untuk diberi penjelasan,” ujar Bohthian.
“Sukar diberi penjelasan? Jika begitu hantam saja!” kata Supopo.
“Di dunia ini orang yang difitnah juga tidak melulu kau
seorang saja.”
Bab 22. Ciok Boh-thian Diterima Menjadi Murid Kim-ohpay
“Pek-suhu itu adalah tokoh terkemuka Swat-san-pay, ilmu
pedangnya sangat tinggi, aku mana mampu melawannya?”
tutur Boh-thian.
“Hm, macam apakah ilmu pedang Swat-san-pay itu? Bagiku
juga cuma biasa saja dan tidak mengherankan,” jengek Supopo.
“Tidak, tidak,” ujar Boh-thian sambil goyang-goyang
tangannya. “Ilmu pedang Pek-suhu itu memang sangat hebat,
benar-benar susah dilukiskan lihainya. Dia punya pedang
hanya sedikit bergerak begini saja lantas dapat meninggalkan
enam titik bekas luka di tubuh orang atau di atas pilar, kau
percaya tidak?”
Sambil berkata ia pun memegangi lengan celananya, pikirnya
kalau Su-popo tidak percaya maka ia akan menyingsing lengan
celana untuk memperlihatkan bekas goresan pedang di
pahanya. Karena dia adalah bocah gunung dan tiada pernah
bergaul, maka sama sekali tak terpikir olehnya apakah
perbuatannya itu sopan atau tidak dilakukan di depan kaum
wanita.
Namun terdengar Su-popo telah mendengus sekali dan
berkata, “Mengapa aku tidak percaya? A Siu, bila kita punya
Bu-bong-sin-kang kini berhasil dilatih, bukankah sekaligus aku
dapat membuat tujuh bekas luka pedang!”
A Siu mengangguk dan menghela napas perlahan karena
menyesal ilmu sakti mereka itu belum berhasil terlatih dan
mereka sudah telanjur menjadi orang cacat.
Segera Boh-thian menghiburnya, “Sementara ini kalian tak bisa
bergerak, tapi nanti kalau kalian sudah sembuh tentu dapat
melatihnya lagi, buat apa mesti banyak bicara pula.”
“Persetan, ngaco-belo belaka!” semprot Su-popo. “Kalau aku
dapat melatihnya lagi buat apa mesti banyak bicara pula.”
Boh-thian menjadi bingung atas omelan nenek itu, ia garukgaruk
kepala dan tidak berani buka suara lagi.
Rupanya kemarahan Su-popo masih belum reda, ia mengomel
lagi, “Hm, di mana letak kelihaian ilmu silat Swat-san-pay?
Dalam pandanganku justru tiada harganya barang sepeser pun,
Pek Cu-cay si setan tua itu main raja-rajaan di Leng-siau-sia
dan anggap dia punya Swat-san-kiam-hoat sudah nomor satu
di dunia ini. Hm, aku punya Kim-oh-to-hoat (ilmu golok Kimoh-
pay) justru adalah lawan mematikan bagi dia punya ilmu
pedang. Eh, Lemper Raksasa apakah kau tahu apa artinya Kimoh-
pay?”
“Ti ... tidak tahu,” sahut Boh-thian sambil menggeleng.
“Kim-oh artinya matahari, bilamana sang surya menyingsing,
apa yang akan terjadi dengan salju di atas gunung?” tanya Supopo.
“Salju akan cair,” jawab Boh-thian.
“Itu dia! Jika sang surya sudah menyingsing, maka gunung
salju akan runtuhlah,” kata Su-popo. “Sebab itulah ilmu silat
dari Kim-oh-pay merupakan lawan mematikan bagi ilmu silat
Swat-san-pay. Anak murid mereka bila bertemu dengan orang
Kim-oh-pay tentu mereka akan menyembah dan minta ampun
belaka.”
Tentang Swat-san-kiam-hoat sudah disaksikan oleh Boh-thian
sendiri, maka sekarang ia menjadi ragu-ragu akan kebenaran
Kim-oh-to-hoat sebagaimana dikatakan oleh Su-popo itu.
Dasar dia adalah orang jujur, karena rasa sangsinya itu
seketika tertampak jelas pada air mukanya.
“Apakah kau tidak percaya?” tanya Su-popo segera.
Jawab Boh-thian, “Ketika aku ditawan oleh Pek-suhu di
kelenteng sana, aku telah menyaksikan sesama saudara
seperguruan mereka saling gebrak dan aku masih ingat sedikit
kepandaian mereka itu, aku merasa ... merasa ilmu pedang
Swat-san-pay mereka itu memang ... memang ....”
“Memang apa?” bentak Su-popo dengan gusar. “Kau hanya
menyaksikan latihan di antara sesama saudara seperguruan
mereka, hanya semalam saja apa yang dapat kau pelajari? Dari
mana kau tahu bagus dan tidak? Coba kau pertunjukkan
kepadaku sekarang.”
“Sedikit kepandaian kasar yang kupelajari ini tentu tidak selihai
Pek-suhu itu,” ujar Boh-thian.
Tiba-tiba Su-popo terbahak-bahak, A Siu juga tersenyumsenyum.
Lalu nenek itu berkata, “Pek Ban-kiam itu memang
mempunyai bakat yang bagus, latihannya sangat giat pula,
sejak kecil sampai sekarang sudah lebih 20 tahun berlatih ilmu
pedang, sekarang kau hanya melihatnya saja dalam waktu
sebentar lantas ingin selihai dia, bukankah terlalu
menggelikan?”
“Nenek, Toako ini memangnya mengatakan tidak selihai Peksuhu
itu,” sela A Siu.
Su-popo melotot sekali kepada nona itu, lalu dia berpaling
kepada Boh-thian dan berkata pula, “Baiklah, boleh coba kau
pertunjukkan sekarang, ingin kulihat betapa lihainya ilmu
pedangmu.”
Boh-thian tahu si nenek sedang menyindir padanya, dengan
muka marah segera ia menjemput sebatang ranting pohon
untuk digunakan sebagai pedang, ia menirukan jurus ilmu
pedang yang pernah dilihatnya di kelenteng tempo hari itu,
“sret”, segera ia menusuk seperti apa yang dimainkan Houyan
Ban-sian dan Bun Ban-hu dahulu.
“Haha!” Su-popo tertawa. “Jurus pertama saja sudah salah!”
Muka Boh-thian bertambah merah dan segera berhenti.
“Teruskan, terus main,” seru Su-popo. “Aku ingin tahu betapa
lihainya Swat-san-kiam-hoat-mu.”
Dengan perasaan malu mestinya Boh-thian hendak
melemparkan ranting kayu itu. Tapi sekilas dilihatnya A Siu
sedang memandangnya dengan penuh perhatian, sorot
matanya memperlihatkan rasa simpatik, sedikit pun tiada
maksud mengejek. Maka ia lantas menggerakkan pedangnya
pula, “sret-sret-sret”, ia mainkan terus ilmu pedang yang
dilihatnya tempo hari, makin lama makin lancar permainannya
sehingga menerbitkan suara angin yang menderu-deru.
Semula Su-popo dan A Siu tersenyum-senyum saja
menyaksikan permainan Boh-thian, akan tetapi makin lama
rasa menghina nenek itu pun makin lenyap, sebaliknya menjadi
heran. Setelah Boh-thian selesai memainkan Swat-san-kiamhoat
yang tidak teratur dan banyak kesalahannya itu, maka
Su-popo saling pandang sekejap dengan A Siu, mereka
mengetahui ilmu pedang yang dipelajari pemuda itu sangat
tidak sempurna, terang karena tidak mendarat didikan
sebagaimana mestinya, namun tenaga dalamnya ternyata
sangat hebat, boleh dikata jarang ada bandingannya.
Waktu melihat kedua orang itu diam-diam saja, dengan kikuk
Boh-thian lantas membuang ranting kayu dan berkata,
“Hendaklah kalian jangan menertawakan lagi diriku, aku sangat
bodoh, sesudah belasan hari aku pun tidak ingat lagi
seluruhnya.”
“Kalau bilang permainanmu ini boleh menyaksikan latihan anak
murid Swat-san-pay di suatu kelenteng bobrok, lalu diam-diam
mempelajarinya?” tanya Su-popo.
“Ya, aku tahu adalah perbuatan tidak pantas mencuri belajar
ilmu silat orang lain, soalnya aku merasa ilmu pedang ini
sangat menarik, maka tanpa sadar lantas mengingat-ingat
permainan mereka ini,” tutur Boh-thian dengan muka merah.
“Hanya dalam semalam saja kau sudah dapat mempelajari hal
ini pun boleh dikatakan kau mempunyai bakat yang tinggi,”
ujar Su-popo. “Maka aku punya Kim-oh-to-hoat ini tentu kau
pun dapat mempelajarinya. Begini saja, ada lebih baik kau
mengangkat aku sebagai gurumu.”
“He, nenek itu kurang baik,” sela A Siu mendadak.
“Mengapa kurang baik,” tanya si nenek dengan heran.
Wajah A Siu menjadi merah jengah, sahutnya, “Jika begitu,
bukankah aku harus memanggil dia sebagai Susiok (paman
guru), seketika aku menjadi lebih rendah setingkat.”
“Panggil Susiok ya panggil saja, mengapa mesti geger?” ujar si
nenek dengan menarik muka.
“Si tua bangka Ting Put-si sewaktu-waktu dapat menyusul
kemari dan memaksa aku pergi ke Pik-lwe-to, dalam keadaan
begitu bukanlah kita harus terjun ke sungai untuk membunuh
diri lagi? Jalan satu-satunya ialah lekas-lekas mengajar ilmu
silat kepada si Lemper ini barulah kita dapat melawan tua
bangka itu. Sekarang urusan sudah mendesak, dari mana
dapat membedakan soal tingkatan segala. Eh, Lemper
Raksasa, Su-popo hari ini ingin membuka pintu dan mendirikan
cabang serta akan menerima kau sebagai murid pertama bagi
Kim-oh-pay kami, kau mau tidak?”
Watak Ciok Boh-thian mestinya sangat penurut, Su-popo ingin
dia menjadi muridnya, tentu dia akan terima dengan baik. Tapi
demi mendengar A Siu mengatakan sungkan untuk
memanggilnya sebagai Susiok, maka ia menjadi agak raguragu.
“Lekas kau berlutut dan menyembah padaku, maka jadilah kau
sebagai ahli waris Kim-oh-pay kami,” kata Su-popo pula. “Aku
adalah cikal bakal dari Kim-oh-pay dan kau adalah murid
pertama angkatan kedua Kim-oh-pay kita.”
Tiba-tiba A Siu teringat sesuatu, ia tersenyum dan berkata,
“Nenek, terimalah ucapan selamatku atas pendirian cabang
Kim-oh-pay kalian hari ini. Eh, Toako ini, bolehlah lekas kau
mengangkat guru pada nenek. Aku toh bukan murid Kim-ohpay,
tapi kita terdiri dari dua golongan yang berlainan, maka
aku tidak perlu memanggil kau sebagai Susiok.”
Karena buru-buru ingin menerima murid, maka Su-popo tidak
memikirkan apa yang dikatakan A Siu itu, segera ia berkata
pula, “Lekas berlutut dan menyembah delapan kali padaku.”
Mendengar A Siu sudah setuju, dengan girang Boh-thian lantas
berlutut dan menyembah delapan kali kepada Su-popo.
Rasa girang Su-popo sungguh tak terkirakan, katanya,
“Sudahlah! Murid yang baik, sekarang kita adalah orang
sekeluarga, hubungan kita menjadi tidak sama dengan tadi.
Hari ini Kim-oh-pay kita telah didirikan, kau harus melatih ilmu
silatku dengan giat dan tekun, sebab bagaimana
perkembangan Kim-oh-pay kita di kemudian hari semuanya ini
adalah tergantung kepadamu. Nah, Lemper Raksasa ....”
“He, nenek cikal bakat Kim-oh-pay,” tiba-tiba A Siu menyela
dengan tertawa, “Murid pertama golongan kalian adalah
kesatria yang hebat, tapi nama julukannya ini kedengarannya
kurang sedap.”
“Ya, benar juga,” sahut Su-popo. “Eh, sebenarnya siapa
namamu? Terhadap Suhu sekali-kali kau tidak boleh berdusta.”
“Ya, ya,” sahut Boh-thian. “Ibuku memanggil aku sebagai Kaucap-
ceng, tapi orang-orang Tiang-lok-pang mengatakan aku
adalah Pangcu mereka yang bernama Ciok Boh-thian. Padahal
bukan, namun aku ... aku sendiri pun tidak tahu sebenarnya
she apa dan bernama siapa.”
“Huh, Kau-cap-ceng apa segala, ngaco-belo belaka! Ibumu
tentu seorang gila,” kata Su-popo dengan mendengus.
“Sudahlah, boleh begini saja, kau ikut aku punya she, yakni
she Su. Sebagai murid Kim-oh-pay angkatan kedua sebaiknya
kau pakai nama apa ya? Ehm, murid Swat-san-pay itu ada
yang bernama Pek Ban-kiam. Hong Ban-li, Kheng Ban-ciong
dan entah ‘Ban’ apa lagi. Tapi kita lebih kuat selaksa kali
daripada mereka, murid mereka adalah angkatan ‘Ban’ (laksa),
maka murid kita adalah angkatan ‘Ek’ (seratus juta, jadi
selaksa kali daripada selaksa). Dia bernama Pek Ban-kiam
(selaksa pedang), maka biarlah aku memberi nama padamu,
yaitu ‘Su Ek-to’ (seratus juta golok).”
Memangnya selama hidup Ciok Boh-thian belum pernah
mendapat nama yang resmi, baik dipanggil sebagai Kau-capceng,
si Lemper, maupun Ciok Boh-thian, semuanya tak
diperhatikan olehnya.
Sekarang Su-popo memberi nama Su Ek-to padanya,
memangnya dia juga tidak tahu ‘Ek’ itu berarti ‘laksa kali laksa’
(10.000x10.000), maka tanpa pikir ia pun mengiakan saja.
Sebaliknya Su-popo merasa sangat senang, dengan penuh
semangat ia berkata pula, “Aku punya Kim-oh-to-hoat ini
sudah beberapa tahun yang lalu kuciptakan dengan sempurna
cuma saja untuk memainkan ilmu golok ini diperlukan tenaga
dalam yang kuat, kalau tidak tentu takkan memperlihatkan
betapa hebatnya ilmu golok ini. Sekali ini aku kepergok Ting
Put-si di sungai sini, dia berkeras hendak mengundang aku ke
Pik-lwe-to, untuk ini kalau dia tak dilabrak, tentu dia masih
akan terus rewel dan tak mau mundur teratur, maka aku dan A
Siu lantas melatih ‘Bu-bong-sin-kang’ bersama, bila tenaga
sakti ini sudah terlatih, aku akan menggunakan Kim-oh-to-hoat
dan A Siu memainkan ... Giok-tho-kiam-hoat (ilmu pedang
rembulan dengan perpaduan sang surya dan rembulan),
jangankan cuma seorang tua bangka sebagai Ting Put-si,
biarpun tokoh nomor satu di dunia persilatan sekarang ini juga
akan angkat tangan menghadapi kami. Tak terduga karena
sedikit lengah A Siu telah salah latih, cepat aku memberi
pertolongan, akibatnya kami berdua sama-sama runyam, hawa
murni tersesat dan menjadi lumpuh semua.”
Begitulah, dasar watak si nenek memang suka blakblakan,
sekali Boh-thian sudah menjadi muridnya, maka ia lantas
bicara secara terus terang dan menceritakan sebab
musababnya dia sampai menjadi lumpuh itu.
Lalu ia menyambung pula, “Dan untunglah kau memiliki tenaga
dalam yang hebat, ini sangat cocok untuk melatih Kim-oh-tohoat
kita. To-hoat tidak sama dengan Kiam-hoat, pedang
mengutamakan cepat dan gesit, sebaliknya golok harus keras
dan kuat. Ranting kayu itu terlalu enteng, boleh kau cari
sebatang lagi yang lebih besar.”
Boh-thian mengiakan dan lantas pergi mencari batang kayu.
Sampai di tempat sebatang pohon yang sudah tumbang, ia
lihat di samping itu ada sebatang golok yang sudah karatan, ia
coba menjemput golok itu, ternyata golok itu adalah golok
yang biasanya dipakai memotong kayu, mata goloknya sudah
banyak yang sumbing, bahkan gagang kayunya sudah
membusuk dan terlepas, hanya bobotnya agak lumayan dan
terasa.
Ia pikir daripada menggunakan ranting kayu adalah lebih baik
memakai golok pemotong kayu yang sudah karatan ini. Maka ia
lantas mencari sepotong kayu dan dipasang sebagai gagang
goloknya itu.
Waktu melihat Boh-thian membawa kembali golok karatan itu
Su-popo dan A Siu tertawa geli, kata si A Siu, “Nenek, Kim-ohpay
kalian hari ini didirikan secara resmi dan memakai golok
pusaka demikian untuk mengajarkan ilmu silat kepada
muridmu yang pertama, bukankah agak ... agak kurang
mentereng?”
“Kurang mentereng apa?” sahut Su-popo. “Justru
perkembangan Kim-oh-pay kami kelak adalah berkat golok
pusaka ini. Hahahaha!” ia menjadi terbahak-bahak sendiri demi
bicara tentang “golok pusaka” yang istimewa itu. Maka A Siu
dan Boh-thian juga ikut tertawa.
“Baiklah, sekarang kita mulai,” kata Su-popo kemudian.
“Ingatlah yang betul, jurus pertama dari Kim-oh-to-hoat kita
bernama ‘Khay-bun-liak-cat’ (buka pintu tangkap maling),
yaitu khusus digunakan untuk mengatasi jurus ‘Jong-siongkheng-
khek’, (menyambut tamu di bawah pohon Siong) dari
Swat-san-kiam-hoat mereka. Karena mereka pura-pura baik
hati menyambut tamu segala, maka terang-terangan saja kita
membuka pintu dan tangkap maling. Tampaknya kita pun
seperti membungkuk memberi hormat, tapi di dalam hati kita
anggap lawan sebagai maling.”
Habis bicara ia lantas mengambil ranting kayu tadi dan
perlahan-lahan memberi contoh caranya menggunakan jurus
serangan itu sambil berkata, “Karena aku masih lemas
sehingga gerak-gerikku kurang cepat, tapi kau harus
memainkannya dengan cepat dan kuat.”
Boh-thian memanggut, lalu angkat goloknya dan menirukan
memainkan jurus serangan itu dengan cepat sekali.
“Bagus, kalau sudah hafal nanti kau harus memainkannya lebih
cepat,” ujar Su-popo. “Dan jurus kedua kita bernama Bweswat-
hong-he (bunga Bwe mekar di musim panas), yaitu untuk
mengatasi mereka punya jurus Bwe-swat-ceng-jun (bunga Bwe
mekar di musim semi). Mereka suka main bunga Bwe bersayap
enam apa segala, tapi kita sengaja mekar di musim panas agar
salju mereka mencair dan bunga Bwe mereka rontok.”
Jurus “Bwe-swat-ceng-jun” dari Swat-san-pay itu agak ruwet
sebagaimana pernah disaksikan Ciok Boh-thian alias Su Ek-to
waktu Pek Ban-kiam memainkannya di markas Tiang-lok-pang
tempo hari.
Sedangkan “Bwe-swat-hong-he yang diajarkan Su-popo ini
adalah sangat cepat, dalam sekejap harus membacok ke atas,
ke bawah, ke kanan dan ke kiri masing-masing tiga kali
sehingga berjumlah 12 kali bacokan, dengan serangan dahsyat
ini untuk mematahkan setiap serangan pedang lawan.
Lalu jurus ketiga bernama “Jian-kin-ap-tho” (seribu kati
menindih unta) khusus untuk mengawasi jurus “Siang-tho-selay
(dua unta datang dari barat) dalam Swat-san-kiam-hoat.
Jurus keempat bernama “Tay-hay-tim-sah” (pasir tenggelam di
dasar laut) untuk mengatasi jurus “Hong-sah-bong-bong”
(angin badai bertebaran), dan begitu seterusnya, setiap jurus
ilmu golok ajaran Su-popo itu tentu ada sesuatu nama yang
aneh. Walaupun nama jurus-jurus ilmu golok itu aneh, tapi
memang sangat hebat dan menakjubkan.
Boh-thian tidak pernah kenal sekolahan alias buta huruf, maka
ia tidak paham nama-nama jurus ilmu golok yang indah itu, dia
hanya mengingat baik-baik caranya memainkan setiap jurus
itu.
Su-popo juga cukup sabar, mulutnya mengucap dan tangannya
bergaya memberi contoh, bila permainan Boh-thian salah
segera dibetulkannya. Dengan demikian kemajuan Boh-thian
menjadi pesat, jauh berbeda daripada waktu dia mencuri
belajar ilmu pedang Swat-san-pay di kelenteng bobrok tempo
hari itu.
Sesudah memberi petunjuk sampai 18 jurus, Su-popo sendiri
merasa letih, segera ia pejamkan mata untuk mengaso dan
membiarkan Boh-thian berlatih sendirian.
Tidak lama kemudian Su-popo menyambung pula pelajarannya,
bila sudah capek ia mengaso lagi dan begitu seterusnya
sehingga menjelang magrib ia sudah mengajarkan 72 jurus
Kim-oh-to-hoat kepada Boh-thian.
“Swat-san-kiam-hoat mereka meliputi 72 jurus,” demikian kata
Su-popo akhirnya, “tapi ilmu silat Kim-oh-pay kita selalu
melebihi mereka, maka ilmu golok kita ini pun satu jurus lebih
banyak daripada mereka, jadi ada 73 jurus. Jurus yang terakhir
ini hendaklah kau perhatikan betul-betul, ini, lihatlah!”
Sambil berkata ia lantas mengangkat ranting kayu dan
memotong dari atas ke bawah, lalu sambungnya, “Di waktu
melontarkan serangan ini kau harus meloncat ke udara dan
membacok ke bawah bersama badanmu yang lagi menurun
itu.”
Menyusul ia lantas mengajarkan cara bagaimana harus
meloncat, cara bagaimana mengerahkan tenaga dan cara
bagaimana menutup jalan mundur yang mungkin digunakan
lawan untuk menghindar.
Untuk sejenak Boh-thian termenung-menung menyelami jurus
itu, kalau ia menirukan ajaran si nenek, ia meloncat ke atas,
lalu goloknya membacok ke bawah, begitu dahsyat serangan
itu sehingga sebelum goloknya menurun atau debu pasir di
atas tanah sudah bertebaran.
Selesai pertunjukkan jurus serangan itu, Boh-thian lantas
berhenti dan berdiri di samping. Waktu ia pandang Su-popo,
tertampak wajah si nenek pucat pasi, ketika berpaling dan
memandang A Siu, nona itu tampak mengembeng air mata,
agaknya sangat berduka.
Boh-thian menjadi heran, dengan tergagap-gagap ia bertanya,
“Apakah ... apakah jurus permainanku ini tidak betul?”
Su-popo tidak menjawab. Selang sebentar barulah ia
menggerakkan tangannya dan berkata, “Betul, cuma ... cuma
daya serangan itu teramat dahsyat, maka janganlah
sembarangan digunakan agar tidak keliru melukai orang baik.”
“Ya, ya, orang baik sekali-kali tidak boleh dilukai,” sahut Bohthian.
Jurus ke-73 itu rupanya menimbulkan kesan yang amat
mendalam bagi Boh-thian sehingga pada malamnya ia tak bisa
tidur nyenyak, ia terus memikirkan cara permainan jurus
terakhir sampai melupakan Ting Put-sam dan Ting Put-si serta
Pek Ban-kiam yang sedang mencarinya di sekitar gua itu.
Syukurlah Ci-yan-to itu penuh dengan hutan belukar, walaupun
luas pulau itu tidak terlalu besar, maka Pek Ban-kiam dan
kawan-kawannya seketika susah menemukan tempat
sembunyinya itu.
Besok paginya, begitu bangun ia lantas berlatih Kim-oh-tohoat.
Sampai jurus terakhir, ia meloncat ke udara terus
membacok ke bawah. Sekali ini lebih dahsyat lagi daripada
kemarinnya, begitu angin senjatanya menyambar ke bawah,
“blang”, terdengarlah suara benturan yang keras.
“Selamat pagi Su ... Su-toako,” tiba-tiba terdengar A Siu
menegurnya dari belakang.
Boh-thian menoleh, dilihatnya A Siu berada di depan gua dan
sedang menyaksikan dirinya dengan sorot matanya yang halus.
“Oh, ya, selamat pagi,” sahutnya cepat.
Muka A Siu menjadi merah, katanya, “Aku ingin jalan-jalan ke
hutan sana, apakah engkau suka mengawani aku?”
“Baiklah, kau sudah dapat bergerak, kau memang harus
melemaskan otot,” sahut Boh-thian. Segera kedua orang
berjalan ke arah hutan sana.
Kira-kira beberapa puluh meter jauhnya, sementara itu mereka
sudah memasuki hutan yang cukup rindang itu, di dalam hutan
masih remang-remang oleh kabut tipis, keadaan sunyi senyap,
hanya terdengar suara tindakan mereka yang menimbulkan
suara keresek-keresek menginjak daun-daun kering di atas
tanah.
Sekonyong-konyong Boh-thian mendengar suara tersedu-sedu
sebelahnya, waktu Boh-thian menoleh kiranya A Siu yang
menangis. Keruan ia terkejut dan cepat ia bertanya, “Nona A
Siu, sebab ... sebab apakah engkau menangis?”
Tapi A Siu tidak menjawab, ia berjalan pula dan tiba-tiba
bersandar di sebatang pohon dan menangis lebih sedih lagi.
“Ada apakah? Kau telah diomeli nenekmu?” tanya Boh-thian. A
Siu menggeleng kepala.
“Habis mengapa? Badanmu tidak enak?” tanya Boh-thian pula.
Kembali A Siu hanya menggeleng saja dan begitu pula meski
Boh-thian telah bertanya sampai beberapa kali.
Seketika Boh-thian menjadi bingung. Wanita-wanita yang
pernah dikenalnya seperti ibunya, Si Kiam, Ting Tong, Hoa
Ban-ci dan lain-lain semuanya berwatak terang-terangan dan
tidak pernah terjadi seperti A Siu yang lemah lembut dan malumalu
ini.
Makin sedih A Siu menangis, makin bingunglah Boh-thian,
akhirnya terpaksa ia memohon, “Sebenarnya apakah yang
menyebabkan hatimu sedih? Sudilah kau menerangkan
kepadaku?”
“Se ... semuanya ga ... gara-garamu, kau ... kaulah yang
salah, masakah ... masakah kau masih bertanya?” sahut A Siu
dengan terguguk-guguk.
Keruan Boh-thian terkejut, pikirnya, “Aku yang salah? Bilakah
aku berbuat salah?”
Tapi karena dia sangat menghormati A Siu yang berbudi halus
itu maka ia percaya saja segala apa yang dikatakan nona itu,
jika dia bilang dirinya salah, maka tentulah tidak keliru lagi.
Segera ia menjawab dengan suara terputus-putus, “No ... nona
A Siu, harap engkau suka menerangkan padaku apa
kesalahanku, aku adalah ... adalah seorang bodoh, sudah
berbuat salah, tapi ti ... tidak tahu, sungguh bodoh aku ini.”
Dengan air mata meleleh A Siu memandang Boh-thian, lalu
tuturnya, “Semalam aku ... aku telah bermimpi buruk,
impiannya sangat menakutkan, di mana kau ... kau telah
bersikap sedemikian kejamnya kepadaku?”
Sampai di sini kembali air matanya bercucuran lagi.
“Aku sangat kejam padamu?” Boh-thian menegas dengan
terheran-heran.
“Ya, aku telah mengimpi, dengan memainkan jurus ke-73 dari
Kim-oh-to-hoat itu, kau telah membacok dari udara dan sekali
bacokan telah membinasakan diriku,” sahut A Siu.
Untuk sejenak Boh-thian tercengang, mendadak ia mengetokngetok
kepalanya sendiri dan mengomel, “Kurang ajar! Aku
telah membikin nona ketakutan di dalam mimpi.”
A Siu menjadi tertawa geli, katanya, “Su-toako, aku sendirilah
yang bermimpi dan tak dapat menyalahkan kau.”
Boh-thian sampai terkesima memandangi wajah si nona yang
putih halus dan cantik itu di kala tertawa dengan pipinya yang
masih terdapat beberapa tetes air mata.
Muka A Siu menjadi merah, katanya pula dengan malu-malu,
“Impianku biasanya sangat tepat dan terbukti, makanya aku
menjadi takut jangan-jangan pada suatu hari kelak engkau
benar-benar akan membacok mati diriku dengan jurus ketujuh
puluh tiga itu.”
“Tidak, tidak mungkin, biar bagaimanapun tidak mungkin aku
membunuh kau,” sahut Boh-thian sambil menggeleng-geleng.
“Jangankan aku tak mungkin membunuh kau, sekalipun kau
yang akan membunuh aku juga aku takkan ... takkan
melawan.”
“Jika aku akan membunuh kau, sebab apa kau takkan
melawan?” A Siu menegas dengan heran.
“Ya, aku ... aku merasa apa pun yang nona katakan dan apa
pun yang hendak nona lakukan, tentu aku akan menurut
kepada segala kehendakmu itu,” sahut Boh-thian sambil garukgaruk
kepala dan menyengir. “Apabila engkau benar-benar
hendak membunuh diriku, bila aku tidak menurut, tentu
engkau akan tidak senang, maka adalah lebih baik aku
membiarkan diriku dibunuh engkau saja.”
A Siu mendengarkan ucapan Boh-thian itu dengan termangumangu.
Ia merasa ucapan pemuda itu sangat tulus ikhlas dan
timbul dari lubuk hatinya yang murni, sungguh ia menjadi
sangat berterima kasih, ia terharu dan matanya menjadi merah
lagi.
Katanya kemudian, “Sebab ... sebab apakah engkau
sedemikian baiknya padaku?”
“Kupikir asalkan nona merasa senang, maka aku pun merasa
bahagia,” sahut Boh-thian, “Nona A Siu, sungguh aku ingin ...
ingin senantiasa memandang kau seperti sekarang ini.
Dasar Boh-thian memang seorang pemuda yang masih hijau
dan polos, apa yang terpikir olehnya segera diucapkannya
tanpa mempunyai pikiran-pikiran lain. Sebaliknya meski usia A
Siu lebih muda beberapa tahun, namun dalam hal seluk-beluk
kehidupan manusia entah berapa kali lipat paham daripada
Boh-thian. Oleh sebab itulah demi mendengar ucapan Bohthian
tadi segera ia anggap pemuda itu telah menunjukkan
rasa cinta padanya dan bersedia untuk hidup berdampingan
selamanya sebagai suami-istri. Keruan ia menjadi malu,
mukanya menjadi merah dan menundukkan kepala.
Sampai sekian lamanya kedua orang terdiam. Akhirnya A Siu
membuka suara dengan kepala tetap tunduk, “Aku pun tahu,
engkau adalah orang baik, apalagi ketika di atas perahu itu kita
... kita berdua telah memakai satu bantal, untuk mana biarpun
mati juga aku takkan ikut kepada orang lain lagi.”
Dengan ucapan A Siu ini maksudnya ialah bahwa apa yang
sudah terjadi itu seakan-akan sudah suratan takdir. Dalam
keadaan seluruh badan terikat Boh-thian justru dilemparkan
orang ke dalam kolong selimutnya sehingga meringkuk
bersama satu bantal semalam suntuk, hanya saja ia malu
untuk mengatakannya secara terus terang, maka ketika
menyebut tentang “bersatu bantal” itu suaranya menjadi
sedemikian lirihnya sebagai bunyi nyamuk.
Sudah tentu Boh-thian sama sekali tidak paham ucapan A Siu
itu pada hakikatnya merupakan sumpah setianya, yang
diketahui hanya kedengaran si nona ternyata sangat baik
padanya, dengan sendirinya ia sangat senang. Tiba-tiba ia
berkata, “Alangkah baiknya jika di atas pulau ini hanya
terdapat nenekmu, engkau dan aku bertiga. Kita dapat tinggal
selamanya di sini tanpa diganggu oleh siapa pun juga. Tapi
sayang kita telah disusul oleh Pek Ban-kiam, kakek-kakek Ting
Put-sam, Ting Pun-si segala sehingga kita selalu dalam
keadaan khawatir.”
“Aku sih tidak takut kepada Pek Ban-kiam atau Ting Put-si
segala, aku hanya takut kalau ... kalau kelak kau membunuh
diriku,” sahut A Siu sambil mengangkat kepalanya.
“Tidak, aku lebih suka membunuh diri sendiri daripada
mengganggu seujung jarimu sekalipun,” sahut Boh-thian cepat.
Tanpa merasa A Siu mengangkat telapak tangan sendiri serta
memandangnya. Kala itu sinar sang surya sedang
memancarkan cahayanya yang gilang-gemilang dan menembus
masuk ke dalam hutan di antara celah-celah pepohonan, maka
tertampaklah jari-jari A Siu yang putih bersih menggiurkan itu,
tanpa merasa Boh-thian terus pegang tangan si nona dan
menciumnya.
Keruan A Siu menjerit kaget dan cepat menarik kembali
tangannya, mendadak ia menjadi lemas dan bersandar di
batang pohon dengan napas terengah-engah.
Mengira si nona menjadi marah, cepat Boh-thian berkata, “O,
maafkan, nona, harap janganlah marah. Aku tidak sengaja ....”
Melihat kegugupan pemuda itu, A Siu menjadi tidak tega,
kembali ia menyodorkan tangannya dan berkata dengan suara
lemah lembut, “Ti ... tidak, tidak apa-apa.”
Boh-thian menjadi girang, dengan hati berdebar-debar kembali
ia memegang tangan si nona yang putih halus itu dan dirabarabanya
dengan perlahan, tapi ia tidak berani menciumnya lagi.
Sudah tenang kembali pernapasannya, lalu A Siu berkata, “Kau
telah melancarkan jalan darah nenekku, akan tetapi entah
kapan barulah kekuatan beliau dapat pulih kembali.”
Karena Boh-thian tidak paham tentang Cau-hwe-jip-mo
(lumpuh karena salah melatih) apa segala, maka ia pun tidak
tahu cara bagaimana harus menghiburnya, ia hanya berkata,
“Semoga Ting Put-si tak dapat menemukan kita, maka takkan
menjadi halangan walaupun sementara ini kesehatan nenekmu
belum pulih kembali.”
“Mengapa kau masih bicara tentang nenekmu dan nenekku
segala? Bukankah dia adalah cikal bakal Kiam-oh-pay dan
engkau adalah muridnya, mengapa engkau tidak memanggil
Suhu padanya?”
“Ya, karena sudah biasa sehingga sukar berubah seketika,”
sahut Boh-thian. “Nona A Siu ....”
“Mengapa kau masih menyebut nona apa segala padaku, buat
apa mesti sungkan-sungkan?”
“O, ya, ya. Tapi ... tapi cara bagaimana aku harus memanggil
kau?”
Kembali muka A Siu menjadi merah, katanya di dalam hati,
“Seharusnya kau memanggil aku ‘adik Siu’ dan aku memanggil
Toako padamu.”
Akan tetapi, betapa pun dia adalah nona yang berperasaan
halus, pikirannya demikian sudah tentu tak berani
diutarakannya, maka ia hanya menjawab, “Boleh kau panggil
aku ‘A Siu’ saja. Dan bagaimana aku harus memanggil
engkau?”
“Kau suka memanggil apa, boleh terserah padamu,” ujar Bohthian.
“Bila aku memanggil engkau sebagai si Lemper, kau akan
marah atau tidak?” tanya A Siu dengan tertawa.
“Ha, bagus, masakan aku akan marah?” ujar Boh-thian tertawa
juga.
“Baiklah. Eh, Lemper!” panggil A Siu dengan suara merdu.
“Ya, A Siu,” sahut Boh-thian. Dan A Siu juga mengiakannya.
Maka tertawalah kedua muda-mudi itu dengan saling pandang,
rasa gembira mereka susah diperkirakan.
“Apakah kau tidak lelah berdiri sejak tadi? Marilah kita
berduduk untuk bicara,” ajak Boh-thian. Lalu kedua orang itu
duduk berjajar di bawah pohon besar itu.
Rambut A Siu yang panjang itu menjulai sampai di pundak dan
mengilap terkena sinar matahari. Perlahan-lahan Boh-thian
membelai rambut si nona yang tersampir di sebelah bahunya
itu.
“Engkoh Lemper,” kata A Siu sambil memainkan ujung
bajunya, “jika kami tidak bertemu dengan kau, tentu nenek
dan aku saat ini sudah mati tenggelam di dasar sungai dan
takkan terjadi seperti saat sekarang ini.”
“Kalau kita bisa hidup seperti ini, bukankah kita akan sangat
gembira?” sahut Boh-thian. “Buat apa kita harus belajar ilmu
silat apa segala dan saling pukul, saling gontok, akibatnya
sama-sama susah dan sama-sama celaka. Sungguh aku tidak
paham.”
“Betapa pun ilmu silat harus kita pelajari,” ujar A Siu. “Di dunia
terlalu banyak orang jahat, biar kau tak memukul orang, tentu
orang lain yang akan memukul kau. Memukul saja masih tidak
menjadi soal, kalau sampai membunuh, itulah yang celaka.
Maka dari itu Engkoh Lemper, bolehkah aku mohon sesuatu
padamu?”
“Boleh saja,” sahut Boh-thian. “Apa yang kau katakan, tentu
akan kulakukan.”
Maka berkatalah A Siu, “Kim-oh-to-hoat yang diajarkan nenek
itu memang sangat lihai, ditambah lagi Lwekangmu yang kuat,
sesudah kau latih dengan masak, tentu akan sedikit sekali jago
silat yang mampu menandingi kau. Hanya saja aku
mengkhawatirkan sesuatu, kau sangat jujur dan polos,
sebaliknya hati manusia di dunia Kangouw ini kebanyakan
palsu dan jahat, bila kau banyak mengikat permusuhan, tentu
kau akan masuk perangkap orang-orang jahat itu dengan
segala tipu akalnya yang licik. Maka dari itu aku mohon
hendaklah kau jangan banyak mengikat permusuhan dengan
orang.”
“Ini adalah maksud baikmu bagi kepentinganku, tentu saja aku
akan menurut,” sahut Boh-thian sambil mengangguk.
Sesudah berhenti sejenak, lalu A Siu berkata pula, “Kim-oh-tohoat
ajaran nenek itu setiap jurusnya sangat ganas dan kejam,
kelak bila kau bertempur dengan orang, bila banyak melukai
atau membunuh orang, mau tak mau musuhmu akan menjadi
banyak juga.”
Boh-thian menjadi khawatir, cepat jawabnya, “Ya, benar
ucapanmu ini. Biarlah aku takkan mempelajari ilmu golok ini
dan akan minta nenek mengajarkan kepandaian lain saja.”
“Ilmu silat Kim-oh-pay justru cuma terdiri dari ilmu golok itu
melulu dan tiada lain macam lagi,” kata A Siu dengan
menggeleng kepala. “Pula, biar ilmu silat macam apa pun juga
pasti akan melukai dan membunuh orang. Kalau tak dapat
melukai atau membunuh orang, maka itu tak bisa dinamakan
silat lagi. Soalnya, asal di waktu kau bertempur dengan orang
hendaklah senantiasa bermurah hati, di mana dapat
mengampuni orang, maka ampunilah, dan ini pun sudah
cukup.”
“Di mana dapat mengampuni orang, ampunilah dia, katakatamu
ini sangat baik. A Siu, kau sungguh sangat pintar dapat
mengatakan kata-kata sebagus itu,” puji Boh-thian.
“Ah, masakah aku bisa sepintar itu, apa yang kukatakan ini
hanya kutipan dari sesuatu syair kuno saja,” sahut A Siu
dengan tersenyum.
“Apa? Syair?” tanya Boh-thian dengan bingung. Maklum, dia
buta huruf, sudah tentu syair apa segala tak diketahuinya.
A Siu memandang heran kepada pemuda itu, ia ragu-ragu
apakah Boh-thian benar-benar tidak paham atau cuma purapura
saja? Tapi ia pun tidak menjawabnya, sesudah merenung
sejenak, kemudian ia berkata, “Harus mencapai tingkat tiada
tandingannya di dunia ini barulah dapat mengampuni orang di
mana kau ingin mengampuni, kalau tidak, biarpun kau yang
minta ampun kepada orang juga belum tentu orang mau
mengampuni. Eh, Lem ....” sampai di sini ia tertawa, lalu
menyambung, “Bolehkah aku memanggil ‘Toako’ saja
kepadamu?”
Dan tanpa menunggu jawaban Boh-thian segera ia meneruskan
lagi, “Maksudku agar kau suka mengampuni sesama manusia,
tetapi orang Bu-lim banyak yang berhati jahat, engkau
bermaksud mengampuni orang boleh jadi pihak lawan
menggunakan kesempatan itu untuk mencelakai kau. Toako,
aku pernah melihat orang memainkan sejurus serangan yang
amat bagus, biarlah sekarang kupertunjukkan kepadamu.”
Habis berkata ia lantas mengambil golok puntul yang terletak
di sebelah Boh-thian, ia berdiri tegak, lalu membuka langkah,
golok ditolak ke depan dengan melintang, menyusul lantas
menebas ke kiri, ditarik kembali dan menebas lagi ke kanan,
menyusul golok membacok balik dan menurun ke depan
dadanya sendiri.
Melihat gaya si nona yang indah dan menggiurkan itu, Bohthian
menjadi terpesona sehingga termangu-mangu
memandangi A Siu, hakikatnya ia tidak memerhatikan
permainan goloknya tadi.
Dalam pada itu sesudah menarik kembali goloknya, A Siu
mundur dua tindak, lalu berdiri tegak pula dengan golok
terpeluk di depan dada, katanya, “Sesudah menarik kembali
senjata, tenaga dalam harus tetap dikerahkan untuk menjaga
sekitar badan sendiri agar tidak mendadak diserang musuh.”
Ketika melihat pemuda itu termenung-menung memandangi
dirinya dan terang tidak memerhatikan apa yang dikatakan
tadi, segera ia bertanya, “Kenapakah kau? Apakah jurus
permainanku ini kurang baik?”
Bab 23. Pek Ban-kiam Dikerubuti Ting Put-sam dan Ting
Put-si
“O, ti ... tidak! Baik sekali, ba ... bagus sekali!” sahut Boh-thian
dengan tergagap.
“Di mana letak kebagusannya?” tanya A Siu.
“Ini ... ini ....” Boh-thian menjadi susah menjawab, mukanya
berubah merah.
“Ya, tahulah aku,” omel A Siu. “Engkau adalah murid ahli waris
Kim-oh-pay, sudah tentu kau sama sekali memandang sebelah
mata dengan sedikit permainan cakar kucing yang kutunjukkan
ini.”
“O, ma ... maaf, aku memandangi kau karena sangat
memesonakan, maka aku menjadi lupa kepada permainan
golokmu,” sahut Boh-thian dengan gugup. “Nona A Siu,
sukalah engkau memainkannya sekali lagi.”
“Tidak, tidak mau lagi!” A Siu pura-pura marah.
“Aku mohon dengan sangat, sukalah kau main sekali lagi,”
pinta Boh-thian sambil memberi hormat.
“Baik, aku main satu kali lagi, tapi tidak kuat untuk main ketiga
kalinya,” kata A Siu dengan tersenyum. Segera ia membuka
langkah dan ayun goloknya lagi membacok dan menebas
seperti tadi, ia ulangi pula jurus itu dengan perlahan.
Sekali ini Boh-thian benar-benar memerhatikan dengan
sungguh-sungguh, maka dapatlah dia ingat dengan baik
caranya, gayanya, langkah, dan gerakan-gerakannya.
Lalu A Siu memberi pesan pula bilamana Boh-thian harus tetap
mengerahkan tenaga untuk menjaga-jaga kalau pada saat
terakhir mendadak diserang musuh, untuk ini Boh-thian
mengingatnya dengan baik pula. Lalu ia mengambil golok dari
si nona dan memainkan jurus itu menurut apa yang telah
dipahaminya.
Melihat pemuda itu sekali belajar lantas bisa, sungguh A Siu
sangat girang, pujinya, “Kau sungguh pintar, Toako, hanya
memerhatikan sebentar saja kau sudah dapat memahaminya.
Jurus serangan ini bernama ‘Pang-kau-cik-kik’ (mengetok dari
samping dan memukul dari sisi), ke mana golokmu tiba, ke
situlah tenaga dalam harus dikerahkan.”
“Jurus serangan ini sungguh sangat bagus, tiba-tiba di kanan,
tahu-tahu di kiri, mendadak ke atas, tahu-tahu ke bawah lagi
sehingga musuh susah untuk menangkis,” ujar Boh-thian.
“Letak kebagusan jurus serangan ini melainkan berguna untuk
mengampuni pihak lawan saja,” kata A Siu. “Hendaklah tahu,
sekali jago silat sudah bertanding, sekali senjata beradu, maka
sering kali harus mengadu tenaga dalam, sesungguhnya itu
adalah pertarungan yang sangat berbahaya, yang kalah
andaikan tidak mati juga pasti akan terluka parah. Tidak perlu
dibicarakan lagi apabila kau memang tidak dapat melawan
musuh, tapi seumpama kau lebih lihai daripada lawanmu, kau
ada maksud takkan melukai lawan dan ingin menghentikan
pertarungan sengit dengan sama-sama tidak cedera, hal ini
sesungguhnya teramat sukar. Maka dari itulah, jurus ‘Pangkau-
cik-kik’ ini adalah sangat bagus dan serbaguna, jurus ini
takkan melukai orang, tapi juga tak bisa dilukai orang.”
Melihat nona itu bersandar di pohon dan tampaknya sangat
lelah, segera Boh-thian berkata, “Duduklah, agaknya engkau
sangat lelah.”
Perlahan-lahan A Siu berjongkok dan duduk bersila di bawah
pohon, kemudian ia tanya, “Kau sudah mendengarkan uraianku
barusan?”
“Sudah,” sahut Boh-thian. “Jurus ini bernama ‘Pang-kau-cikkik’
apa ya?”
Sekali ini bukanlah dia tidak memerhatikan uraian A Siu tadi,
tapi ia benar-benar susah mengucapkan nama jurus serangan
itu. Maklum, nama itu adalah kalimat ungkapan tertentu,
karena dia tidak pernah sekolah, dengan sendirinya ia tidak
paham dan susah mengucapkan.
“Ha, kembali kau tidak memerhatikan uraianku lagi,” omel A
Siu. “Sudahlah, kau berpaling ke sana dan jangan memandang
padaku lagi.”
Kata-kata si nona ini sebenarnya hanya untuk bergurau saja.
Tak tersangka Boh-thian dasarnya memang polos tanpa
mempunyai pikiran apa-apa, ia benar-benar berpaling dan tak
berani memandangnya lagi.
A Siu menjadi tak enak sendiri, ia tersenyum, lalu
menerangkan, “Jurus itu bernama ‘Pang-kau-cik-kik’. Toako,
hendaklah mengetahui bahwa setiap tokoh Bu-lim kebanyakan
sudah menjaga nama dan pamor. Seorang tokoh yang
kenamaan, dia takkan menyesal bila kau melukainya sehingga
parah sekalipun, tapi dia akan merasa malu bila kau
mengalahkan dia. Sebab itulah di waktu bertanding paling baik
kalau kita bisa memberi kelonggaran kepada lawan dan jangan
terlalu mendesaknya. Jika sudah terang kau telah menang,
bolehlah kau menggunakan jurus serangan ‘Pang-kau-cik-kik’
ini, karena kau menebas ke sana dan ke sini dan naik-turun,
tentu pandangan orang-orang di samping akan kabur, tapi
akhirnya kau melangkah mundur sambil menarik kembali
golokmu, hal ini akan membingungkan para penonton, mereka
takkan mengetahui dengan pasti siapa yang telah menang dan
siapa yang kalah. Dengan cara demikian berarti kau telah
memberi muka kepada lawan agar dia tidak merasa malu dan
berarti kau telah mengurangi permusuhan yang tidak habishabis.
Bila kau dapat menambahi beberapa patah kata yang
ramah tamah untuk memuji pihak lawan, dengan demikian
pihak lawan menjadi lebih rikuh lagi untuk bermusuhan terus
dengan kau dan bukan mustahil akan berbalik menjadi
kawanmu.”
Sungguh Boh-thian sangat kagum atas uraian si nona, katanya,
“A Siu, kau masih sangat muda, tapi sudah sedemikian pandai
memikir. Caramu ini benar-benar sangat baik.”
“Jangan memuji dulu, uraianku masih belum selesai,” kata A
Siu dengan tertawa. “Sekarang bolehlah kau berpaling kemari.”
Boh-thian menurut. Ia lihat si nona sedang memandang
padanya dengan tersenyum simpul, wajahnya molek berseri,
untuk pertama kalinya hatinya terguncang.
Dalam pada itu terdengar A Siu telah berkata, “Ah, aku pintar
apa? Aku hanya dengar kata orang tua saja, maka aku pun
menirukannya.”
“Biarlah aku melatihnya sekali lagi supaya tidak lekas lupa,”
ujar Boh-thian. Lalu ia melompat bangun, ia angkat goloknya
dan memainkan pula jurus “Pang-kau-cik-kik” itu sampai dua
kali lagi.
“Ehm, bagus, sedikit pun tidak salah,” kata A Siu sambil
manggut-manggut.
Dengan senang Boh-thian lantas duduk di samping si nona.
Tiba-tiba A Siu menghela napas dan berkata, “Toako, aku telah
mengajarkan jurus ‘Pang-kau-cik-kik’ ini, tapi janganlah kau
beri tahukan kepada nenek.”
“Ya, takkan kukatakan padanya, kutahu nenekmu tentu akan
kurang senang,” sahut Boh-thian.
“Dari mana kau mengetahui nenek akan kurang senang?”
tanya A Siu.
“Engkau bukan orang Kim-oh-pay, sekarang sebagai murid
Kim-oh-pay aku telah belajar kepandaian dari golongan lain,
sudah tentu beliau akan kurang senang,” ujar Boh-thian.
“Kim-oh-pay, haha, Kim-oh-pay! Nenek menjadi seperti anak
kecil saja,” kata A Siu dengan tertawa.
“Ya, aku pun merasa nenekmu agak kekanak-kanakan sifatnya.
Ting Put-si hanya mengundang beliau bermain ke Pik-lwe-to,
mestinya beliau boleh pergi saja sebentar, buat apa dilakoni
sampai terjun sungai segala. Perangainya benar-benar agak
terlalu keras.”
“Huh, kau berani menggerundel pada gurumu sendiri, awas
akan kukatakan padanya biar beliau membeset kulitmu,” kata
A Siu dengan tertawa.
Boh-thian menjadi gugup juga walaupun mengetahui si nona
hanya bergurau saja, cepat ia berkata, “He, jangan! Lain kali
aku takkan sembarangan omong lagi.”
Melihat kekhawatiran pemuda itu, A Siu menjadi menyesal
juga, ia merasa tidak pantas mendustai orang jujur sebagai
Boh-thian itu. Apalagi kalau diingat sebabnya dirinya
mengajarkan jurus “Pang-kau-cik-kik” itu, walaupun tidak jelek
bagi pemuda itu, tapi sesungguhnya juga terdorong oleh
kepentingan sendiri.
Dasar perasaan A Siu memang halus, maka cepat ia berkata,
“Toako, kau telah berjanji padaku bila kelak bertempur dengan
orang, engkau takkan sembarangan melukai dan membunuh
orang, bahkan takkan membikin malu orang, sungguh aku
merasa sangat berterima kasih, untuk mana terlebih dulu
terimalah penghormatanku ini.”
Habis berkata ia lantas berlutut dan menyembah.
Boh-thian terkejut, serunya cepat, “He, mengapa engkau
memberi penghormatan setinggi ini?”
Segera ia pun berlutut dan balas menyembah.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara bentakan seorang
wanita dengan gusar, “Huh, tidak tahu malu, mengapa kau
main sembah-sembahan lagi dengan perempuan lain di sini?”
Siapa lagi suara itu kalau bukan suaranya si Ting Tong!
Keruan kejut Boh-thian tak terhingga, “Haya! Ting-ting Tongtong!”
ia menjerit dan segera melompat bangun.
Benar juga tertampak si Ting Tong sedang berlari datang dari
hutan sana, di belakangnya mengikuti seorang tua, itulah Ting
Put-sam adanya.
Melihat kedua orang itu, sungguh takut Boh-thian tidak
kepalang, cepat ia rangkul A Siu dan mengepitnya, segera ia
membawanya melarikan diri secepat terbang.
Akan tetapi Ting Put-sam jauh lebih cepat lagi, hanya beberapa
kali lompatan saja sudah melampaui Boh-thian dan segera
mengadang di depan pemuda itu.
Kembali Boh-thian menjerit kaget, cepat ia membelok ke
samping.
Memangnya dia punya ginkang kalah tinggi daripada Ting Putsam,
ditambah lagi dia mengempit si A Siu, sudah tentu
dengan mudah saja kembali dia sudah diadang pula oleh Ting
Put-sam.
Saat itu si Ting Tong juga sudah menyusul sampai di
belakangnya. Tertampak nona itu bersenjata liu-yap-to (golok
panjang tipis seperti daun liu) yang mengilat, keruan ia tambah
khawatir.
Tiba-tiba terdengar si Ting Tong membentak dengan murka,
“Letakkan perempuan hina itu dan biar kubinasakan dia, kalau
tidak, selama hidup urusan kita ini pasti takkan terselesaikan!”
“Ti ... tidak, jang ... jangan!” sahut Boh-thian gugup.
“Sret”, mendadak Ting Tong menebaskan goloknya ke atas
kepala A Siu. Boh-thian terkejut, tanpa pikir lagi ia melompat
ke samping.
Saking khawatirnya kalau-kalau tebasan si Ting Tong itu akan
membinasakan A Siu, maka tanpa terasa tenaga dalamnya
telah timbul menurutkan pikirannya, seketika tenaga dalam
yang mahakuat timbul di telapak kakinya sehingga tubuhnya
yang meloncat itu terus mengapung ke atas, di luar dugaan
tingginya sampai melebihi pucuk pohon.
Sedemikian tinggi loncatan Boh-thian itu, bukan saja Ting Putsam
dan si Ting Tong terkejut, bahkan Boh-thian sendiri pun
menjerit kaget selagi badannya masih terapung di udara.
Ia menduga bila jatuh nanti, tentu badannya akan hancur,
paling sedikit kakinya juga pasti patah. Lebih celaka lagi kalau
A Siu sampai dibunuh oleh si Ting Tong, tentu runyamlah
segala urusan.
Saat itu badannya sudah mulai menurun ke bawah dan
tampaknya akan menjatuhi sebatang dahan pohon yang
melintang, dalam gugupnya ia menggunakan kakinya untuk
bertahan sekuatnya dengan maksud dapatlah melompat lagi
sejauh mungkin untuk melarikan diri. Tak terduga lantas
terdengarlah suara “krak”, dahan pohon itu telah patah,
badannya membal lagi ke depan sehingga lebih tinggi daripada
tadi.
Syukurlah pada saat itu terdengar A Siu yang berada di
kempitannya itu telah berkata padanya, “Toako, waktu
menurun nanti hendaklah tekuk kakimu agar daya turunnya
tertahan sedikit, tentu daya pentalnya nanti akan lebih ....”
Belum habis ucapan A Siu, kembali kedua kaki Boh-thian sudah
jatuh pula di atas dahan pohon yang lain.
Sekali ini ia menuruti petunjuk A Siu, ia sedikit tekuk lututnya
untuk mengurangi daya tekanannya. Aneh juga, dahan pohon
itu tidak patah lagi, tapi hanya mendoyong sedikit ke bawah,
lalu menyendal kembali ke atas sehingga tubuh Boh-thian
terlempar terlebih tinggi dan jauh. Dan begitulah seterusnya,
tiap kali di atas dahan, lalu Boh-thian terpental lebih jauh lagi
sehingga lambat laun suara bentak maki si Ting Tong makin
menjauh dan akhirnya tak terdengar lagi.
Dengan melompat naik-turun itu, Ciok Boh-thian merasa
sangat senang. Ditambah lagi A Siu masih terus memberi
petunjuk-petunjuk cara menggunakan tenaga dan cara
melompat. Memangnya tenaga dalam Boh-thian sangat kuat,
sekali mengetahui cara bagaimana menggunakan ginkang,
dengan cepat ia sudah dapat melompat dengan sesukanya
sebagai kera atau tupai gesitnya. Sungguh senangnya tak
terhingga, katanya, “Wah, cara demikian ini sangat bagus,
dengan begini kita takkan takut dikejar oleh mereka lagi.”
Dalam pada itu mereka sudah hampir mencapai ujung hutan
sana, tiba-tiba terdengar pula suara-suara bentakan yang
ramai disertai sinar berkelebatnya senjata, terang ada orang
sedang bertempur di sana.
“Wah, celaka, di sana ada orang, kita jangan maju lagi,” kata
Boh-thian. Dan sedikit kakinya menutul dahan pohon, dengan
enteng ia lantas turun ke bawah. Ia menurutkan cara yang
diajarkan A Siu, ia tarik napas dalam-dalam, ujung kakinya
menyentuh tanah lebih dulu, biarpun dia masih tetap
membawa seorang, tapi jatuhnya ke tanah ternyata tiada
mengeluarkan suara apa-apa.
Ia sembunyi di balik sebatang pohon yang besar, lalu
mengintip ke arah suara ramai-ramai sana. Tapi ia menjadi
terkejut. Tertampak di suatu tanah lapang yang dikelilingi
pohon-pohon itu ada dua orang sedang bertarung dengan
sengit, yang satu bersenjata pedang adalah Pek Ban-kiam,
yang lain bertangan kosong, itulah Ting Put-si.
Di samping masih ada belasan murid Swat-san-pay dengan
pedang terhunus sedang mengawasi pertempuran itu, mereka
bersorak-sorak untuk memberi semangat kepada Pek Bankiam.
Sebaliknya mesti Ting Put-si tidak bersenjata, tapi dia telah
mainkan tangannya untuk mencengkeram, mencakar,
menutuk, memotong, dan memukul, lihainya melebihi
sepasang senjata.
Terkadang kalau pedang Pek Ban-kiam menusuk dari samping,
bukannya Ting Put-si menghindar mundur, sebaliknya ia
menerjang maju untuk mendahului menghantam.
Hanya mengamati beberapa jurus saja segera Boh-thian
mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyaksikan
pertempuran itu sampai lupa bahwa dia masih memondong
seorang lagi. Memangnya Boh-thian pernah belajar Swat-sankiam-
hoat, sedangkan jurus-jurus serangan Ting Put-si juga
adalah sebagian pernah diajarkan kepadanya, walaupun masih
ada sebagian besar tak pernah dilihatnya, tapi jalannya
dapatlah diikuti dengan baik, di mana letak tujuan setiap
serangan itu pun dapat dipahaminya.
Ia lihat Ting Put-si lebih banyak menyerangnya daripada
bertahan, sepasang telapak tangannya sebagai pedang dan
mirip golok, terkadang dipakai menusuk menyerupai tombak
pula sehingga Pek Ban-kiam terdesak dan terpaksa lebih
banyak bertahan daripada menyerang.
Pek Ban-kiam tampak tenang dan sabar, namun tidak kurang
pula tangkisannya. Terkadang kelihatan dia terdesak, tapi
sekali pedangnya berkelebat, kembali dia dapat memaksa Ting
Put-si untuk menarik kembali serangannya.
Tampaknya tidaklah mudah bagi Ting Put-si untuk merebut
kemenangan, bahkan kalau sudah lama boleh jadi akan lebih
menguntungkan Pek Ban-kiam yang bersenjata itu.
Kalau Ciok Boh-thian saja dapat menarik kesimpulan demikian,
maka bagi Pek Ban-kiam dan Ting Put-si sudah tentu lebihlebih
merasakan akan keadaan itu.
Kiranya Ting Put-si itu menganggap dirinya sama tingkatannya
dengan ayah Pek Ban-kiam yaitu Wi-tek Siansing Pek Cu-cay,
maka ia telah menyatakan akan melawan Pek Ban-kiam
dengan bertangan kosong, bahkan di dalam 72 jurus saja ia
akan dapat merampas pedang lawannya itu.
Di luar dugaan, begitu pertarungan sudah berlangsung seketika
Ting Put-si mengeluh di dalam hati. Dahulu ia pernah
bertempur dengan beberapa orang murid Swat-san-pay, maka
ia sangka kepandaian Pek Ban-kiam betapa pun juga terbatas.
Siapa duga di antaranya sesama murid Swat-san-pay itu
bedanya ternyata sangat jauh, keruan ia terkecoh dan
mengeluh.
Walaupun yang dimainkan Pek Ban-kiam sama-sama adalah
Swat-san-kiam-hoat, tapi kecepatannya dan perubahanperubahannya,
tenaga dalam yang digunakan serta caracaranya,
nyata dia sudah mencapai tingkatan jago kelas satu,
sekalipun Wi-tek Siansing Pek Cu-cay sendiri di masa jayajayanya
ketika masih malang melintang di dunia Kangouw
mungkin juga tidak lebih daripada kepandaian sang putra
sekarang.
Terpaksa Ting Put-si harus mencurahkan perhatian dan
mengerahkan semangat lebih daripada biasanya, ia gunakan
kegesitannya untuk melompat dan menyusup kian-kemari di
bawah lingkaran sinar pedang lawan, terkadang bila sudah
kepepet ia harus menggunakan serangan balasan yang
berbahaya dengan tujuan gugur bersama untuk memaksa Pek
Ban-kiam menarik kembali serangannya yang lihai. Sebaliknya
bila ketemukan keadaan begitu, selalu Pek Ban-kiam mengalah
dan tidak mau mengadu jiwa dengan lawan, seakan-akan Bankiam
sudah yakin pasti akan memperoleh kemenangan terakhir
nanti.
Sebenarnya kalau berbicara tentang kepandaian sejati betapa
pun harus diakui Ting Put-si adalah lebih tinggi setingkat,
sebabnya dia terdesak adalah lantaran dia terlalu takabur, dia
tak mau menggunakan senjata untuk menandingi Pek Bankiam,
dia tidak tahu jago macam apakah “Gi-han-se-pak” itu,
bahwasanya sekalipun jago yang paling kuat, kalau senjata
lawan senjata dengan dia juga tidak mudah untuk
mengalahkannya, apalagi bertangan kosong sebagai Ting Put-si
sekarang?
Begitulah, maka sesudah dua-tiga puluh jurus, tiba-tiba Pek
Ban-kiam berkata, “Ting-sicek (Paman Ting), silakan
menggunakan senjata saja, kalau bertangan kosong engkau
tak dapat menandingi aku.”
“Kentut!” bentak Ting Put-si dengan gusar. “Masakah aku tak
dapat menandingi kau? Hm, ini boleh kau coba seranganku ini!”
Mendadak tangan kirinya berputar sekali, menyusul kepalan
kanan terus memukul ke depan melalui lingkaran tangan kiri
itu.
Serangan ini sangat aneh, karena tidak paham cara
mematahkannya, terpaksa Pek Ban-kiam mundur satu tindak.
Ting Put-si tertawa terbahak-bahak, sekonyong-konyong ia
melompat naik ke kanan, begitu cepat tubuhnya mengapung ke
atas seakan-akan kakinya dipasang dengan pegas (per) dan
mendadak bisa terpental, ketika tubuhnya sudah berada di
udara, kedua kakinya lantas menendang cepat.
Terpaksa Pek Ban-kiam mundur selangkah lagi sambil putar
pedangnya untuk melindungi mukanya sendiri.
Tapi Ting Put-si masih terus melancarkan serangan-serangan,
mendadak dari sebelah kanan, tahu-tahu dari sebelah kiri, tibaKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
tiba dari belakang, dan sekonyong-konyong dari depan lagi.
Ciok Boh-thian sampai pusing menyaksikan serangan-serangan
Ting Put-si yang tampaknya tak teratur itu.
“Bret”, mendadak terdengar suara kain terobek, kiranya lengan
celana Ting Put-si telah tertusuk oleh pedang Pek Ban-kiam
dan sobek. Meski kakinya tidak sampai terluka, tapi celananya
juga sudah terobek panjang sehingga kelihatan kakinya.
“Terima kasih atas kesudianmu mengalah,” segera Ban-kiam
berkata sambil menarik kembali pedangnya.
Pertandingan di antara jago silat kelas tinggi, kalah atau
menang hanya tergantung kepada satu-dua jurus saja. Maka
sekali celana Ting Put-si tertusuk robek, hal ini boleh dikata
sudah terang siapa yang kalah dan siapa yang menang.
Tak terduga, dari malu Ting Put-si menjadi gusar, bentaknya,
“Siapa yang mengalah padamu? Tusukanmu barusan ini hanya
kebetulan saja mengenai celanaku, masakah dianggap?”
Dan segera dengan jurus “Khik-cui-heng-ciu” (Perahu Meluncur
Melawan Arus), kembali ia menerjang pula.
Dalam keadaan demikian, mau tak mau Pek Ban-kiam harus
angkat pedang dan menyambut serangan itu. Tusukan
pedangnya tadi sehingga merobekkan lengan celana lawan,
dibilang kebetulan memang juga betul, waktu itu Pek Ban-kiam
sedang menusuk ke depan, Ting Put-si juga sedang mengayun
kakinya untuk menendang sehingga seperti sengaja
menyodorkan lengan celananya ke ujung pedang lawan.
Namun demikian, sedikit banyak kegarangan Ting Put-si
menjadi banyak berkurang juga, serangan-serangan
selanjutnya mau tak mau harus lebih berhati-hati, tapi makin
lama dia pun semakin terdesak di pihak asor.
Melihat perimbangan pertarungan itu tentu saja yang paling
senang adalah orang-orang Swat-san-pay yang menonton di
samping, segera ada yang berseru memuji, “Coba lihatlah jurus
serangan Pek-suko, Gwat-sik-hun-hong (Sinar Rembulan
Remang-remang) itu, pedangnya bergerak seakan-akan tak
kelihatan, remang-remang saja menuju sasarannya, sungguh
telah memperlihatkan inti Swat-san-kiam-hoat yang hebat.
Lihatlah itu, Ting-siansing sampai kerepotan menghindar, kalau
bukan Pek-suko sengaja memberi kelonggaran tentu badannya
sudah pakai bintang.”
“Kentut!” mendadak terdengar bentakan orang dari dua
jurusan. Satu jurusan adalah suara Ting Put-si, itulah lumrah
dan tidak mengherankan karena dialah yang diolok-olok, tapi
suara yang lain ternyata datang dari jurusan timur laut sana.
Waktu semua orang berpaling ke arah sana, maka orang yang
paling kaget tentulah Ciok Boh-thian.
Ternyata di sebelah sana telah berdiri berjajar dua orang, yang
seorang adalah Ting Put-sam dan yang lain dengan sendirinya
adalah si Ting Tong.
“He, Losam, lekas kau menyingkir pergi, aku sedang bergebrak
dengan orang, buat apa kau berdiri di situ?” teriak Ting Put-si.
Meski dengan sepenuh perhatian dia bergebrak dengan Pek
Ban-kiam, tapi betapa pun adalah saudara sekandung sendiri,
baru dengar suaranya saja ia lantas tahu sang kakak telah
datang.
Maka Ting Put-sam telah menjawab dengan tertawa, “Aku ingin
melihat apakah ilmu silatmu selama ini sudah ada kemajuan
atau tidak.”
Ting Put-si menjadi gugup, ia tahu dalam keadaan demikian
dirinya pasti susah memperoleh kemenangan, tapi sang kakak
justru telah muncul dan ingin melihat kepandaiannya.
“Kau pergi saja, Losam,” serunya pula. “Kau hanya
mengacaukan perhatianku saja. Aku terpaksa harus bicara
dengan kau sehingga perhatianku terpencar, cara bagaimana
aku bisa menghajar bocah ini.”
“Kau tidak perlu bicara dengan aku, kau boleh berkelahi
dengan sepenuh perhatianmu,” sahut Put-sam dengan tertawa.
Lalu ia menoleh dan berkata kepada si Ting Tong, “Biasanya
kau punya Si-yaya (kakek keempat) suka menganggap ilmu
silatnya tiada tandingannya di dunia ini, seakan-akan kakekmu
sendiri juga tak bisa menandingi dia. Sekarang kau boleh
pentang matamu lebar-lebar untuk menyaksikannya, boleh kau
melihat kau punya Si-yaya dengan bertangan kosong akan
menghajar lawannya, akan merebut pedang lawan sehingga
lawannya mengaku kalah serta berlutut dan menyembah minta
ampun padanya. Hahaha!”
Ting Put-sam sengaja bergelak tertawa sehingga suaranya
memekak telinga dan membuat siapa yang mendengar merasa
tidak enak.
Keruan Ting Put-si sangat mendongkol, bentaknya, “Losam,
kau tertawa apa-apaan?”
“Aku menertawai kau!” sahut Put-sam.
“Menertawai aku mengenai apa? Apanya yang menggelikan?”
teriak Put-si dengan gusar.
“Aku menertawai kau karena selama hidupmu kau suka
sombong, ingin menang sendiri, tapi di kala menghadapi
bahaya toh masih perlu bantuan kakakmu ini untuk
mengangkat kau keluar dari malapetaka,” kata Put-sam.
“Malapetaka apa?” bentak Put-si dengan murka. “Bocah she
Pek ini adalah angkatan muda kita, kalau bukan mengingat
ayah-bundanya, tentu sejak tadi sekali menghantam sudah
kumampuskan dia. Huh, siapa yang ingin bantuanmu untuk
mengangkat diriku apa segala? Lebih baik kau pergi
mengangkat poci arak saja atau mengangkat pispot juga boleh.
Aduh! Anak kurang ajar, kau berani melukai aku ....”
Mestinya dia sudah kewalahan melawan Pek Ban-kiam yang
bersenjata, sekarang dia terpencar pula perhatiannya untuk
bicara dengan Ting Put-sam, kesempatan itu segera digunakan
oleh Ban-kiam untuk menyerang sehingga iga kirinya tergores
dan darah bercucuran.
Ting Put-sam dan Ting Put-si adalah saudara sekandung, tapi
sejak kecil mereka sudah suka bertengkar dan berkelahi
sendiri. Si kakak tidak mirip kakak, si adik juga tidak pantas
sebagai adik. Tapi sekarang demi melihat saudaranya terluka,
mau tak mau ia menjadi khawatir juga, segera ia membentak
dengan gusar, “Anak bedebah! Kau berani melukai saudara
Ting Put-sam?”
Dan sekali melompat, segera ia melayang ke belakang Pek
Ban-kiam dan kontan hendak mencengkeram punggung lawan
itu.
Diserang dari muka dan belakang, namun sedikit pun Pek Bankiam
tidak bingung, lebih dulu pedangnya menusuk Ting Put-si
sehingga lawan dari depan itu dipaksa mundur setindak, habis
itu ia lantas putar pedang menebas ke belakang.
Dasar Ting Put-si memang suka unggul, dia masih berteriakteriak,
“Losam, lekas menyingkir! Siapa yang suruh kau
membantu aku?”
“Siapa yang membantu kau?” sahut Ting Put-sam. “Aku Ting
Put-sam paling benci kalau ada perkelahian yang tidak adil.
Biarlah aku melucuti pedangnya dulu, lalu akan kubikin
darahnya juga keluar di badannya, habis itu barulah kalian
berkelahi secara adil.”
Melihat sang suheng dikeroyok, sudah tentu para murid Swatsan-
pay tidak kira tinggal diam. Apalagi Ting Put-sam itu
diketahui adalah musuh yang telah membunuh saudara
seperguruan mereka, maka serentak mereka berteriak-teriak
terus menerjang maju bersama.
“Anak anjing, apa barangkali sudah bosan hidup semua? Hayo
lekas enyah kembali seluruhnya!” bentak Ting Put-sam.
Namun sebagai jawaban para murid Swat-san-pay itu telah
menusuk dengan pedang mereka. Dengan gesit dapatlah Ting
Put-sam menghindar serangan-serangan itu sambil membentak
pula, “Lekas mundur semua, kalau tidak awas, terpaksa Locu
akan membunuh orang!”
Ban-kiam mengetahui para sutenya itu sekali-kali bukan
tandingan Ting Put-sam, sekali orang tua itu menyatakan
hendak membunuh orang, maka akibatnya tentu para sutenya
itu akan banyak yang menjadi korban. Cepat ia berseru, “Para
Sute, hendaklah lekas mundur!”
Biasanya murid-murid Swat-san-pay itu sangat segan kepada
sang suheng, maka demi mendengar perintah itu, serentak
mereka melompat mundur semua.
“Coba pinjamkan pedangmu itu!” tiba-tiba Ting Put-sam
berkata kepada seorang murid Swat-san-pay yang pendek
gemuk dan bernama Li Ban-san.
“Baik, ini terimalah!” sahut Li Ban-san dengan gusar. “Sret”,
mendadak pedangnya menusuk ke perut Ting Put-sam.
Tapi dengan cepat Ting Put-sam menggeser ke pinggir, sekali
tangannya menjulur, dengan tepat pergelangan tangan Li Bansan
sudah tertangkap olehnya, dengan perlahan Ting Put-sam
memuntir sehingga mau tidak mau Li Ban-san harus
melepaskan pedangnya sehingga mirip benar dengan Li Bansan
sengaja menyodorkan pedangnya kepada Ting Put-sam.
Karena puntiran itu, pergelangan tangan Li Ban-san sudah
terkilir, waktu Ting Put-sam mengayun kaki pula, kontan badan
Li Ban-san yang bundar buntak di depan itu terjungkal.
Waktu murid-murid Swat-san-pay hendak mengerubut maju
lagi, namun Ting Put-sam sudah memutar pedang
rampasannya, ia gunakan ujung pedang untuk menggaris di
tanah sambil berlari mengelilingi Pek Ban-kiam dan Ting Put-si
yang sedang bertempur itu sehingga suatu garis lingkaran
seluas empat lima meter.
Selesai itu, lalu ia berkata kepada murid-murid Swat-san-pay,
“Nah, siapa saja yang berani melangkah masuk lingkaran ini
berarti dia telah masuk ke pintu akhirat.”
Pek Ban-kiam tampaknya menghadapi lawannya dengan
sangat tenang, tapi di dalam hati sebenarnya ia sangat gelisah.
Ia tahu kedua saudara Put-sam dan Put-si itu biasanya
membunuh orang tidak pernah berkedip alias tidak kenal
ampun. Sekarang kedua orang tua itu bersatu padu untuk
menempurnya, terang dirinya susah untuk melawan mereka.
Keadaan sekarang kalau dibandingkan pertarungan di
kelenteng toapekong waktu melawan suami-istri Ciok Jing
mungkin jauh lebih berbahaya, boleh jadi murid Swat-san-pay
hari ini akan gugur semua di Ci-yan-to ini.
Karena keadaan sudah berbahaya, terpaksa Pek Ban-kiam
melancarkan serangan-serangan kilat lagi, ia pikir Ting Put-si
harus dibinasakan dahulu barulah keselamatan murid-murid
Swat-san-pay dapat terjamin.
Akan tetapi Ting Put-si juga bukan kaum keroco yang dengan
mudah dapat dibinasakan olehnya. Meski iga orang tua itu
sudah terluka, namun luka itu tidak parah dan masih dapat
bertempur dengan tangkasnya.
Begitulah, lantaran Pek Ban-kiam ingin buru-buru menang,
meski serangan-serangannya tambah gencar, tapi “safety”nya
menjadi kurang daripada tadi.
Sebaliknya Ting Put-si semakin tangkas, kedua tangannya
menari kian-kemari di antara berkelebatnya sinar pedang
lawan, dia masih tetap gesit dan berbahaya walaupun darah
tiada hentinya bercucuran keluar dari lukanya.
“Losi, kau boleh mundur dahulu,” demikian Ting Put-sam telah
tampil ke depan dengan pedang terhunus. “Balut dulu lukamu
baru nanti kau maju dan bertempur lagi.”
Namun dasar Ting Put-si adalah orang yang suka menang,
segera ia berteriak, “Luka apa? Di mana aku terluka? Huh,
hanya sebatang pedang karatan bocah ingusan ini saja
masakah dapat melukai diriku?”
Ting Put-sam terbahak-bahak dan tidak membantahnya lagi.
“Sret”, mendadak pedangnya menusuk ke arah Pek Ban-kiam
sambil berseru, “Nah, orang she Pek, hendaklah kau
mendengarkan yang jelas, saat ini adalah aku bertempur
dengan kau satu lawan satu, Ting-losi juga ingin satu melawan
satu dengan kau, jadi bukan kami berdua bersama-sama
mengerubut kau seorang. Ting Put-si suruh aku jangan ikut
campur, tapi aku tidak menurut. Sebaliknya aku suruh dia
mundur dan dia juga tidak mau tunduk. Aku sendiri menjadi
sebal melihat rupamu ini, maka aku ingin memberi hajaran
padamu. Losi juga muak padamu, maka ingin memberi persen
beberapa kali tamparan padamu. Sekarang kami masingmasing
akan mencapai tujuannya sendiri-sendiri dan tiada
maksud hendak mengeroyok kau, aku sengaja bicara di muka
supaya orang lain takkan bilang Ting-si Siang-hiong (kedua
tokoh keluarga Ting) telah mengeroyok seorang jago Swatsan-
pay, hal ini tentu tak enak didengar kalau tersiar.”
Begitulah, meski mulutnya mengoceh, tapi tangannya tidak
pernah kendur, ia menyerang dengan cepat dan lihai.
Diam-diam Ban-kiam sangat mendongkol, pikirnya, “Huh, kau
bilang bertempur dengan aku satu lawan satu dan Ting Put-si
juga menyatakan bertempur satu lawan satu, tapi kenyataan
demikian apa bedanya dengan dua mengeroyok satu?”
Namun watak Pek Ban-kiam tidak suka bertengkar mulut
dengan orang, pula ia sudah merasa muak terhadap sifat
pengecut kedua saudara she Ting itu, apalagi di bawah
kerubutan dua jago terkemuka, sudah tentu ia pun tidak dapat
membagi perhatiannya untuk bicara.
Maka dia hanya memusatkan perhatian dan menjaga diri
dengan sangat rapat, bila ada kesempatan dia lantas
melancarkan serangan balasan.
Pada suatu saat yang menentukan, ketika pedang Ting Put-sam
terbentur dengan pedang lawan, Ban-kiam merasa lengannya
tergetar, tenaga dalam lawan yang dahsyat telah
membenturnya dengan hebat, cepat ia pun mengerahkan
tenaga sambil menyampuk ke samping, menyusul pedang
berputar untuk menebas kembali. Akan tetapi pada saat itu
juga mendadak kaki kanan terasa kesakitan, kiranya Ting Putsam
telah menggunakan telapak tangan kiri yang kuat untuk
memotong kakinya, walaupun tidak terluka, namun sakitnya
bukan kepalang. Cepat ia mundur dua tindak dengan
terhuyung-huyung dan hampir-hampir terperosot jatuh.
“Jangan mencelakai suko kami!” teriak seorang murid Swatsan-
pay terus menerjang maju dengan pedang terhunus.
Tapi baru saja kakinya melangkah masuk lingkaran yang
digaris Ting Put-sam tadi mendadak sinar pedang berkelebat,
tahu-tahu dadanya sudah tertusuk oleh pedang, sudah binasa
ditusuk oleh Ting Put-sam.
Keruan orang-orang Swat-san-pay terkejut dan murka pula,
dua orang di antaranya segera menerjang maju pula.
Ting Put-sam membentak dengan suara menggelegar sambil
loncat ke udara, dari atas pedangnya terus membacok ke
bawah, berbareng telapak tangan kiri juga menghantam. Di
mana sinar pedangnya menyambar, tanpa ampun lagi salah
seorang murid Swat-san-pay itu terbelah menjadi dua mulai
dari pundak kanan sehingga sampai di pinggul kiri, sedangkan
pukulan tangan kiri Ting Put-sam juga mengenai batok kepala
murid Swat-san-pay yang lain, kontan orang itu roboh terkulai
tanpa bersuara, kepalanya sampai terpuntir ke belakang,
kiranya tulang lehernya sudah patah dan terang tak bisa hidup
lagi.
Hanya dalam sekejap saja Ting Put-sam sudah membunuh tiga
orang, Ciok Boh-thian sampai berdebar-debar dan ngeri
menyaksikannya.
Bahkan keganasan Ting Put-sam itu belum mereda, ia putar
pedangnya secepat kilat dan menerjang ke arah Pek Ban-kiam.
Mendadak terdengar suara “krak-krak” dua kali, kedua pedang
yang saling bentur itu telah patah semua. Berbareng kedua
orang sama-sama menimpukkan sisa pedang patah kepada
lawan dan kedua orang sama-sama mendakkan tubuh untuk
menghindar, kedua pedang patah itu pun sama-sama
melayang lewat di atas kepala masing-masing.
Kedua orang sama gerakannya dan sama cepatnya, betapa
bahayanya juga sama-sama pula.
Karena kaki kanan Pek Ban-kiam sudah terluka, jalannya
menjadi kurang leluasa, sekarang kehilangan senjata lagi,
seketika ia terdesak di pihak yang dicecar dengan seranganserangan
tanpa dapat membalas.
Ada lagi dua murid Swat-san-pay yang nekat, walaupun sadar
bilamana mereka melangkah masuk ke dalam lingkaran tentu
mereka lebih banyak mati daripada hidupnya. Tapi mereka pun
tidak ingin menyaksikan sang suheng dikerubut dan
dibinasakan begitu saja oleh musuh, maka tanpa pikir lagi
mereka lantas menerjang maju dengan pedang terhunus.
Tiba-tiba Ting Put-sam berseru, “Losi, boleh kau bereskan
mereka saja, hari ini aku sudah membunuh tiga orang.”
“Haha, jadinya kau juga terpaksa memohon sesuatu padaku,”
seru Put-si dengan tertawa.
Sungguh aneh sekali, sama sekali Ting Put-si tidak memutar
tubuh, tapi kedua kakinya terus menyepak ke belakang seperti
halnya kuda menyepak orang saja, maka terdengarlah “plakplok”
dua kali, kedua kakinya masing-masing telah kena
menyepak di dada tiap orang.
Kontan kedua murid Swat-san-pay itu mencelat sampai
beberapa meter jauhnya dan terbanting jauh, sedikit pun
mereka tidak sempat bersuara dan tahu-tahu mereka sudah
mati terdepak.
Sekali kedua saudara she Ting sudah mengganas, maka
mereka tidak kenal lagi segala tata krama dan sopan santun
orang Kangouw lagi. Mereka kerjakan tangan dan kaki dan
menyerang Pek Ban-kiam dengan cara yang keji mematikan.
Dengan kaki pincang Pek Ban-kiam masih terus bertahan
dengan tenang, selangkah ia mundur keluar dari kalangan.
Sekonyong-konyong ia bersuara tertahan pula, kiranya bahu
kanan telah kena dihantam lagi oleh telapak tangan Ting Put-si
sehingga lengan kanan hampir-hampir susah bergerak.
Melihat pertarungan sengit itu, semakin lama darah kesatria
Ciok Boh-thian semakin bergolak, mendadak ia berteriak, “Cara
demikian sungguh terlalu tidak adil!”
Tanpa pikir lagi ia terus lemparkan A Siu ke atas tanah, ia
cabut golok karatan yang terselip diikat pinggangnya, lalu
menerjang maju sambil berteriak, “Sungguh tidak adil, dua
mengeroyok satu!”
Karena dilemparkan begitu saja ke atas tanah, A Siu sampai
menjerit kesakitan. Rupanya Boh-thian mendengar suara A Siu
itu, ia masih sempat berpaling dan berkata, “O, maaf, maaf!”
Habis itu secepat terbang ia sudah melompat masuk ke tengah
lingkaran dan mendekati Ting Put-si.
Mendengar dari belakang ada orang menerjang tiba, Ting Put-si
tetap tidak menoleh atau membalik tubuh, kembali kakinya
menyepak lagi ke belakang.
Tapi sekali menutul kedua kakinya, dengan enteng sekali Bohthian
lantas melayang ke depan melintasi kepala orang dan
turun kembali di depan Ting Put-si.
Ketika merasa kakinya menyepak tempat kosong, sebaliknya
tahu-tahu di depannya sudah bertambah satu orang, untuk
sejenak Ting Put-si tercengang, tapi ia lantas berseru sambil
menuding, “He, Lemper Raksasa, kiranya kau!”
“Ya, betul, inilah aku,” sahut Boh-thian. “Kalian ... kalian
berdua mengeroyok satu orang, ini terlalu tidak adil.”
Habis berkata, Boh-thian coba melirik ke arah Ting Put-sam
dengan jantung memukul keras, ia masih ngeri menyaksikan
tiga sosok mayat yang berlumuran darah yang barusan
dibunuh Ting Put-sam itu menggeletak di sebelahnya, bahkan
kakinya sendiri sekarang juga berlepotan darah.
Semula Ting Put-sam juga terkejut ketika tiba-tiba melihat
seorang melayang masuk ke tengah kalangan pertempuran
mereka. Tapi demi mengenali Boh-thian segera ia
mendamprat, “Anak bedebah, tempo hari kau telah berhasil
melarikan diri, kiranya kau sembunyi di sini.”
“Aku ... aku ingin melerai kedua Loyacu agar janganlah terlalu
banyak mengikat permusuhan, jika sudah menang, di mana
dapat mengampuni orang hendaklah mengampuni, buat apa
mesti ngotot dan ingin membunuh musuh habis-habisan.”
Bab 24. Ting Put-sam dan Ting Put-si Melawan Gabungan
Kim-oh-to-hoat dan Swat-san-kiam-hoat
Put-sam dan Put-si saling pandang dengan bergelak tertawa,
kata Put-si, “Losam, entah dari mana bocah ini dapat belajar
beberapa kalimat ocehan penjual obat, lalu sekarang
menirukannya untuk memberi nasihat kepada kita, sungguh
lucu, hahaha!”
Boh-thian tidak menanggapi lagi, tiba-tiba ia gunakan goloknya
untuk mencukil sebatang pedang yang terletak di atas tanah
sehingga pedang itu terlempar ke arah Pek Ban-kiam,
berbareng ia berseru, “Pek-suhu, Swat-san-pay kalian biasanya
harus menggunakan pedang!”
Sungguh sekali-kali tak tersangka oleh Pek Ban-kiam bahwa di
saat dirinya terancam bahaya dan tampaknya dalam sekejap
lagi tentu akan binasa di bawah tangan kedua saudara Ting,
siapa duga mendadak telah muncul seorang penolong yang
bukan lain adalah Ciok Tiong-giok, bocah yang selama ini
sedang dicari dan hendak dibunuhnya, sudah tentu tidak
keruan perasaannya pada saat demikian.
Pedang yang dilemparkan ke arahnya itu adalah tinggalan
seorang sutenya yang dibinasakan Ting Put-sam tadi, asal
dirinya sudah bersenjata pula, seketika semangatnya akan
bertambah berlipat ganda. Maka tanpa bicara lagi segera ia
sambar pedang yang melayang ke arahnya itu.
Sebaliknya Ting-Put-sam menjadi murka melihat Boh-thian
merintangi tujuannya, bahkan hendak membantu pihak lawan,
segera ia mendamprat, “Anak jadah! Bukankah orang she Pek
itu hendak menangkap dan membunuh kau? Jika tempo hari
aku tidak menolong kau, apakah kau masih dapat hidup sampai
sekarang?”
“Ya, betul juga,” sahut Boh-thian sambit memanggut.
“Makanya aku pun hendak menasihatkan Pek-suhu ini agar di
mana dapat mengampuni orang hendaklah suka mengampuni.”
Dalam pada itu diam-diam Ting Put-si merasa khawatir kalaukalau
Boh-thian membicarakan kejadian di atas perahu, di
mana ia telah dikalahkan oleh pemuda itu, hal ini tentu akan
sangat menghilangkan pamornya, maka ia pikir bocah ini harus
dibinasakan lebih dulu, dengan demikian rahasianya tidak akan
terbongkar.
Maka ia lantas membentak, “Kau mengoceh apa di sini? Ini,
rasakan!” Kontan ia terus menghantam ke arah Ciok Boh-thian.
Sekali ini Su-popo tiada terdapat di situ, maka Ting Put-si tidak
perlu rikuh-rikuh lagi, jurus serangan “Hek-in-boan-thian”
(Awan Mendung Memenuhi Langit) yang digunakan ini adalah
tipu serangan yang belum pernah diajarkan kepada Boh-thian.
Namun Pek Ban-kiam tidak dapat tinggal diam dan
membiarkan Ciok Tiong-giok dihantam mati secara begitu keji,
sekali pedangnya bergerak, dengan jurus “Lo-su-hong-sia”
(Pohon Tua Mendoyong Miring) segera ia menusuk dari
samping.
Di lain pihak ternyata Ciok Boh-thian juga tidak manda
diserang, mendadak goloknya membacok dengan jurus “Tiangcia-
ciat-ki (Orang Tua Memotong Ranting), dengan cepat ia
menebas tangan Ting Put-si.
Sungguh aneh juga jurus serangan antara golok dan pedang itu
mestinya saling berlawanan, yaitu seperti diketahui ilmu golok
yang dimainkan Ciok Boh-thian itu adalah ciptaan Su-popo
yang bertujuan mengalahkan Swat-san-kiam-hoat.
Tapi sekarang sesudah bergabung dan dimainkan bersama,
ternyata telah menimbulkan daya tekanan yang mahadahsyat,
hanya sekejap saja Ting Put-si sudah terkurung di bawah
ancaman pedang dan golok itu.
“Awas, Losi!” seru Put-sam dengan khawatir. Maksudnya
hendak membantu, akan tetapi serangan-serangan gabungan
golok dan pedang itu terlalu lihai, apalagi dia sendiri bertangan
kosong, biar bagaimanapun juga susah menembus jaringan
sinar pedang dan golok.
Sudah tentu yang lebih-lebih kaget adalah Ting Put-si, untung
pada saat berbahaya itu ia sempat menjatuhkan tubuh ke
samping, lalu bergelindingan lolos keluar kalangan. Waktu ia
melompat bangun pula, tertampaklah di antara pedang dan
golok lawan sana masih bertebaran sutra-sutra putih panjang.
Ketika ia meraba janggutnya sendiri, ternyata jenggotnya yang
putih panjang itu sudah terkupas sebagian.
Dengan sendirinya Ting Put-si terkejut dan gusar pula, Ting
Put-sam juga melongo kaget, Pek Ban-kiam pun tidak
menduga, hanya Ciok Boh-thian saja masih tidak sadar bahwa
serangannya tadi sesungguhnya sangat lihai dengan tenaga
dalam yang dahsyat sehingga telah mengguncangkan perasaan
tiga jago terkemuka dunia persilatan di depannya itu.
“Baik, kita pun memakai senjata,” akhirnya Ting Put-sam
berseru. Segera ia jemput dua batang pedang yang berserakan
di atas tanah, ia berikan sebatang kepada Put-si, lalu berseru
pula, “Hayolah, Losi, pikir apa lagi? Majulah bersama!”
Dan sekali pedangnya bergerak, segera ia mendahului
menusuk Ciok Boh-thian.
Memang Ciok Boh-thian masih hijau dan tiada berpengalaman,
maka ia menjadi kelabakan ketika diserang, ia bingung cara
bagaimana harus menangkisnya. Syukurlah Pek Ban-kiam
lantas membantunya dengan jurus serangan “Siang-tho-selay”,
serangan ini seketika menyadarkan Ciok Boh-thian,
segera ia mengeluarkan jurus “Jian-kin-ap-tho” ajaran Supopo,
dengan punggung golok ia mengetok ke bawah, begitu
hebat daya tekanannya sehingga Ting Put-sam hampir-hampir
tidak kuat menahan pedangnya. Untung Ting Put-si cepat
menolongnya.
Waktu Pek Ban-kiam menyerang pula dengan jurus “Hong-sahhong-
bong”, segera Boh-thian mengikuti dengan jurus “Tayhay-
tim-sah”, kerja sama antara golok dan pedang itu
sedemikian rapat sehingga Ting Put-sam dan Ting Put-si
semakin terdesak, sampai-sampai mereka berkaok-kaok
kelabakan.
Tenaga dalam Ciok Boh-thian memangnya sangat kuat, ilmu
silat yang dipelajarinya juga sangat bagus, hanya saja kurang
latihan dan belum ada pengalaman dalam medan pertempuran,
sebab itulah terkadang ia menjadi bingung menghadapi
serangan lawan dan tidak tahu harus menangkis dengan jurus
serangan apa.
Kim-oh-to-hoat yang dipelajari Boh-thian itu, kecuali jurus ke-
73, jurus-jurus yang lain adalah khusus ditujukan untuk
menghadapi Swat-san-kiam-hoat. Sewaktu Su-popo
mengajarnya juga selalu memberi petunjuk cara mengatasi
serangan Swat-san-kiam-hoat sejurus demi sejurus. Tapi
sekarang dalam keadaan bingung ia menjadi tidak ingat lagi
kepada ajaran Su-popo, bila musuh menyerang, tanpa pikir lagi
ia hanya menirukan Pek Ban-kiam saja, jurus serangan apa
yang dimainkan Pek Ban-kiam, segera ia juga keluarkan jurus
serangan lawannya menurut petunjuk Su-popo. Jadi kalau Pek
Ban-kiam memainkan jurus “Lau-ki-heng-sia”, maka ia lantas
mengeluarkan jurus “Tiang-cia-ciat-ki”, bila Pek Ban-kiam
gunakan “Siang-tho-se-lay”, segera ia pakai jurus “Jian-kin-aptho”.
Walaupun Kim-oh-to-hoat itu diciptakan Su-popo sebagai
tumbal penangkal Swat-san-kiam-hoat, justru karena tumbal
itulah maka bila keduanya digunakan secara bersama-sama
maka setiap lubang kelemahan dari masing-masing to-hoat dan
kiam-hoat itu menjadi tertutup rapat dan jadilah semacam ilmu
silat yang mahadahsyat dan tiada taranya.
Semula Pek Ban-kiam merasa ragu-ragu dan tidak habis
mengerti akan kelakuan Ciok Boh-thian itu. Tapi sebagai
seorang tokoh silat terkemuka, sesudah berlangsung beberapa
jurus ia mengetahui ilmu golok yang dimainkan Ciok Boh-thian
itu hakikatnya merupakan jodoh dari ilmu pedangnya sendiri,
bilamana kedua senjata sudah dimainkan bersama, maka luar
biasa daya tekanannya kepada pihak musuh.
Yang lebih hebat lagi adalah tenaga dalam bocah she Ciok itu
seakan-akan membawa semacam kekuatan yang kelihatan,
yang makin lama makin luas daya tahannya.
Dalam hal ilmu silat maupun pengetahuan sudah tentu Ting
Put-sam dan Ting Put-si lebih atas daripada Pek Ban-kiam,
maka dengan sendirinya mereka pun sudah mengetahui
keadaan yang luar biasa pada diri Ciok Boh-thian itu. Cuma
saja watak kedua saudara she Ting itu memang bengis dan
galak, betapa pun mereka tidak mau mengaku kalah, bahkan
mereka berharap ilmu golok aneh yang dimainkan Ciok Bohthian
itu terbatas jurus serangannya, maka mereka masih terus
bertahan dengan mati-matian untuk mencari kesempatan.
Pek Ban-kiam juga khawatir kalau-kalau Ciok Boh-thian cuma
“macan kertas” saja, jangan-jangan hanya beberapa jurus
serangan permulaan saja yang lihai, habis itu tak berguna lagi
dan berbalik akan dikalahkan oleh kedua saudara Ting. Melihat
gelagatnya adalah lebih menguntungkan kalau melancarkan
serangan kilat dulu.
Karena pikiran demikian, segera ia melancarkan serangan
dengan jurus “Am-hiang-soh-eng” (Harum Kurang, Bayangan
Jarang), batang pedangnya gemetar, sinar pedangnya
gemilapan, itulah sejurus Swat-san-kiam-hoat yang paling
hebat dan dapat melukai lawan di luar sadar orang.
Untuk mengikuti jurus Swat-san-kiam-hoat itu, segera Ciok
Boh-thian juga mengayun goloknya menebas dari samping
dengan jurus “Beng-goat-ciau-su” (Rembulan Terang Menyorot
Pohon), goloknya juga tampak gemetar dan menyambar cepat
dengan membawa tekanan tenaga dalam yang dahsyat.
Maka terdengarlah dua kali suara jeritan, pundak Ting Put-si
terkena golok, lengan Ting Put-sam juga tertusuk pedang.
Kedua orang secepat kilat lantas melompat keluar kalangan.
Ting Put-sam masih sempat jambret si Ting Tong dan dengan
cepat sekali lantas menghilang di balik hutan di sebelah timur
sana. Sebaliknya Ting Put-si terus melarikan diri ke balik bukit
sebelah barat.
Hanya sekejap saja keadaan menjadi sunyi kembali, darah
berceceran di atas tanah dengan lima sosok mayat yang sudah
tak bernyawa. Para murid Swat-san-pay saling pandangmemandang
dengan rasa curiga.
Pek Ban-kiam melirik ke arah Ciok Boh-thian dengan rasa
benci, malu dan heran pula, tapi juga tidak kurang rasa terima
kasihnya. Coba kalau bocah ini tidak membantunya, tentu saat
ini jiwa belasan orang Swat-san-pay sudah melayang di pulau
terpencil ini. Sungguh ia masih merasa ngeri bila teringat
betapa ganas dan keji serangan-serangan kedua saudara Ting
yang tidak kenal ampun tadi.
Sesudah menghela napas lega, kemudian Ban-kiam bertanya,
“Ilmu golokmu barusan ini adalah ajaran siapa?”
“Ajaran Su-popo,” jawab Boh-thian. “Seluruhnya ada 73 jurus,
lebih banyak satu jurus daripada Swat-san-kiam-hoat kalian
dan tiap-tiap jurusnya adalah penangkal daripada Swat-sankiam-
hoat.”
“Hm, tiap-tiap jurus adalah penangkal Swat-san-kiam-hoat?
Ha, apakah tidak terlalu besar mulutnya?” jengek Pek Bankiam.
“Siapakah Su-popo itu?”
“Su-popo adalah cikal bakal Kim-oh-pay kami, beliau adalah
guruku, aku adalah murid pertama angkatan kedua Kim-ohpay,”
sahut Boh-thian.
Pek Ban-kiam menjadi gusar mendengar jawaban itu,
jengeknya pula, “Hm, kau boleh tak mengakui perguruan
asalmu, mengapa kau masuk lagi ke dalam perguruan Kim-ohpay
apa segala? Hm, Kim-oh-pay, nama ini belum pernah
kudengar, di dunia persilatan juga tiada pernah terdaftar nama
ini.”
Boh-thian masih tidak tahu kalau Pek Ban-kiam sudah gusar, ia
menjelaskan pula, “Menurut berita suhuku, katanya Kim-oh
berarti sang surya, bila matahari terbit, maka mencairlah salju
di atas gunung, sebab itu bila anak murid Swat-san-pay
kebentur dengan Kim-oh-pay kami, maka tiada jalan lain bagi
kalian kecuali ... kecuali ....”
Mestinya ia hendak berkata sebagaimana pernah diucapkan
oleh Su-popo, yaitu “kecuali berlutut dan menyembah minta
ampun”. Tapi betapa pun Boh-thian bukanlah pemuda tolol,
sebelum kata-kata itu diucapkan, mendadak ia ingat bahwa
kata-kata itu tidaklah pantas didengar oleh murid-murid Swatsan-
pay, maka mendadak ia berhenti dan tidak melanjutkan
kata-katanya.
Sudah tentu Pek Ban-kiam kurang senang, dengan muka
masam ia mendesak dengan suara bengis, “Bila anak murid
Swat-san-pay kami ketemukan orang Kim-oh-pay kalian lantas
bagaimana? Kecuali apa, lekas katakan!”
Boh-thian menggeleng, sahutnya, “Bila kuterangkan, tentu kau
akan marah, aku pun mengira ucapan Suhu ini agak tidak
tepat.”
“Kecuali mengaku kalah dan lari terbirit-birit, demikian hendak
kau katakan, bukan?” desak Ban-kiam pula.
“Ya, kukira tiada berbeda jauhnya maksud ucapan suhuku itu
dengan kata-katamu ini,” sahut Boh-thian. “Tapi hendaklah
Pek-suhu jangan gusar, mungkin suhuku hanya bergurau saja
dan janganlah dianggap sungguh-sungguh.”
Sebenarnya Pek Ban-kiam masih kesakitan karena kakinya dan
pundaknya kena pukulan Ting Put-si tadi, tapi demi mendengar
uraian Ciok Boh-thian yang menghina nama baik
perguruannya, sudah tentu ia tidak tahan lagi, segera ia angkat
pedangnya dan berseru, “Baik, sekarang juga aku ingin belajar
kenal dengan ilmu silat Kim-oh-pay kalian, aku ingin tahu cara
bagaimana kau akan menundukkan Swat-san-kiam-hoat kami.”
Tapi begitu pedangnya terangkat, seketika ia merasa
lengannya sakit tidak kepalang dan pedang hampir-hampir
terlepas dari cekalannya.
Pada saat itulah seorang murid Sat-san-pay bernama Pau Banyap
telah tampil ke muka dan berseru, “Bocah she Ciok, tentu
kau tidak kenal lagi kepada susiokmu ini, biarlah aku saja yang
belajar kenal dengan kepandaianmu!”
“Pau-sute, kau mundur saja, biar aku yang melayani dia,” seru
Ban-kiam. Segera ia pindahkan pedang ke tangan kiri lalu
berkata pula, “Nah, bocah she Ciok, mulailah!”
“Sudahlah, kakimu dan pundakmu sudah terluka, kita tak perlu
bertanding lagi, apalagi aku pun pasti bukan tandinganmu,”
demikian sahut Boh-thian.
“Kau berani menghina Swat-san-pay, mengapa tidak berani
bertanding?” bentak Ban-kiam dan kontan pedangnya
mendahului menyerang dengan jurus “Bwe-swat-ceng-jun”
walaupun ia menyerang dengan tangan kiri sehingga tidak
segesit tangan kanan, namun serangannya itu tetap tidak
kurang lihainya.
Cepat Boh-thian angkat golok karatnya dan balas dengan jurus
“Bwe-swat-hong-he” ajaran Su-popo. Ternyata jurus serangan
ini sangat bagus dan merupakan penangkal bagi jurus “Bweswat-
ceng-jun” yang dilontarkan Pek Ban-kiam itu.
Keruan Ban-kiam terperanjat, cepat ia ganti serangan dan
dengan jurus “Bang-gwat-cau-tit” (Meniup Seruling di Malam
Terang Bulan). Tapi Boh-thian lantas keluarkan jurus “Jik-jitkim-
koh” (Genderang Berbunyi di Siang Bolong).
Kembali Ban-kiam terkejut, tampaknya golok lawan sudah
menyambar tiba dan cepat menuju ke titik kelemahan jurus
serangannya sendiri itu, tanpa pikir lagi segera ia ganti
serangan lagi. Untunglah Boh-thian tidak paham di mana letak
kebagusan serangannya sendiri dari tidak mendesak lebih jauh,
sebaliknya ia pun segera ganti jurus serangan begitu melihat
Ban-kiam ganti serangan.
Padahal dengan jurus “Jik-jit-kim-koh” itu Boh-thian sudah
berada di pihak penyerang, tak peduli apakah Ban-kiam ganti
jurus serangan atau tidak, asalkan Boh-thian mendesak maju,
tentu Ban-kiam akan dipaksa melangkah mundur beberapa
tindak. Dalam keadaan kakinya tidak leluasa bergerak, mau tak
mau Ban-kiam pasti akan menghadapi bahaya atau terpaksa ia
harus menyerah kalah. Tapi karena Boh-thian tidak paham
letak kebagusan serangannya itu telah terbuang dengan
percuma.
Diam-diam Ban-kiam bersyukur atas dirinya sendiri. Malahan
sebagian murid Swat-san-pay yang menyaksikan di samping
itu pun dapat melihat keadaan demikian tadi dan diam-diam
mereka pun merasa bersyukur bagi sang suheng.
Akan tetapi beberapa jurus kemudian, kembali Pek Ban-kiam
menghadapi bahaya lagi.
Kim-oh-to-hoat itu benar-benar sangat aneh, tiap-tiap jurusnya
ternyata benar-benar merupakan penangkal bagi Swat-sankiam-
hoat. Tak peduli betapa pun hebat serangan Pek Bankiam
selalu dapat dipatahkan oleh Ciok Boh-thian, hanya
dengan golok karatan saja Boh-thian tetap di pihak yang lebih
unggul.
Kira-kira sudah lebih tiga puluh jurus, ketika Ciok Boh-thian
sedang membacok dengan goloknya ke pundak kiri Pek Bankiam,
mestinya Ban-kiam dapat mengayun kakinya untuk
menendang pergelangan tangan Boh-thian yang memegang
senjata itu. Akan tetapi baru saja kakinya terangkat sedikit,
seketika bagian yang bekas kena pukulan Ting Put-si itu terasa
kesakitan luar biasa, saking tak tahan sampai Ban-kiam
merasa lemas dan tekuk lutut, lekas-lekas ia menyangga
dengan tangan kanan di atas tanah.
Dalam keadaan demikian terang dia tak dapat menghindarkan
bacokan Ciok Boh-thian tadi. Di luar dugaan bacokan Ciok Bohthian
itu ternyata tidak diteruskan, bahkan ia berkata, “Biarlah
sekali ini tak dianggap saja.”
Kesempatan itu segera digunakan Pek Ban-kiam untuk
melompat bangun.
Sekilas itu timbul macam-macam pikiran di dalam benaknya,
“Bocah ini sedari tadi sudah dapat mengalahkan aku, mengapa
setiap jurus serangannya selalu tak diteruskan? Tampaknya dia
seperti tidak pernah belajar Swat-san-kiam-hoat. Barusan
sudah terang dia tadi menundukkan aku, mengapa dia sengaja
mengalah padaku? Padahal bocah she Ciok ini biasanya sangat
licik dan kejam, bila aku sudah dibunuh olehnya, terang para
Sute tiada satu pun yang mampu menandingi, dia tidak tega
membunuh, apakah sebabnya? Jangan-jangan, ya, janganjangan
dia benar-benar bukanlah Ciok Tiong-giok?”
Berpikir sampai di sini, tanpa pikir pedang yang dipegang
tangan kiri itu lantas menusuk ke depan dengan jurus “Tiauthian-
sik (gaya pembukaan). Seketika terdengar suara heran
para murid Swat-san-pay. Kiranya “Tiau-thian-sik” itu tidak
termasuk di dalam ke-72 jurus Swat-san-kiam-hoat, tapi
adalah salah satu kepandaian dasar bagi setiap murid Swatsan-
pay yang mulai belajar, maka tiada dapat digunakan untuk
menandingi musuh. Sebab itulah maka para murid Swat-sanpay
yang lain bersuara heran, mereka menyangka sang
Suheng terluka parah dan tidak sanggup memainkan
pedangnya lagi.
Tak tersangka Ciok Boh-thian juga terkesima atas serangan
Pek Ban-kiam itu.
Maklum ia tidak pernah melihat jurus “Tiau-thian-sik” ini, Supopo
juga tidak pernah mengajarkan padanya, maka ia
menjadi bingung cara bagaimana harus menangkisnya.
Akan tetapi di hadapan jago sebagai “Gi-han-se-pak” Pek Bankiam
mana boleh lawannya main ayal-ayalan. Hanya sedikit
tertegun saja secepat kilat pedang Ban-kiam sudah
menyambar tiba dan tepat menjuju di depan ulu hati Ciok Bohthian.
“Bagaimana sekarang?” bentaknya.
“Aneh, ilmu pedang apakah seranganmu ini? Mengapa aku
tidak pernah tahu?” sahut Boh-thian.
Mau tak mau Ban-kiam merasa kagum juga atas ketabahan
Boh-thian, walaupun jiwanya terancam, tapi toh masih sempat
bertanya tentang ilmu pedang apa segala. Segera ia berkata,
“Apa benar kau tidak pernah mempelajarinya?”
Boh-thian menjawab dengan menggeleng kepala.
“Saat ini bila aku hendak mencabut nyawamu adalah terlalu
mudah bagiku,” ujar Ban-kiam, “Akan tetapi seorang laki-laki
harus dapat membedakan antara dendam dan budi secara
tegas. Tadi kau telah menolong aku di kala aku dikerubut
kedua saudara she Ting. Sekarang aku hanya kembalikan
budimu itu, kita satu jiwa bertukar satu jiwa, jadi masingmasing
tiada punya utang apa-apa. Sejak kini kau dilarang
mengatakan lagi bahwa Kim-oh-to-hoat adalah penangkal
Swat-san-kiam-hoat.”
“Ya, memangnya tadi aku pun sudah bilang tak sanggup
melawan kau,” sahut Boh-thian sambil memanggut. Tapi
mendadak ia berkata pula, “Eh, Pek-suhu, sekarang aku sudah
paham. Seranganmu ini agaknya toh tidak susah untuk
ditangkis.”
Habis berkata sekonyong-konyong dadanya melekuk sehingga
terlepas dari ancaman ujung pedang, berbareng goloknya
lantas menyampuk dari samping. “Plok”, golok dan pedang
kebentur, karena tenaga dalam Boh-thian memang sangat
dahsyat, kontan pedang Pek Ban-kiam terlepas dan patah
menjadi dua.
Air muka Ban-kiam berubah merah padam, cepat ujung kaki
mencukit, sebatang pedang yang terletak di tanah lantas
mencelat dan dapat dipegangnya pula. Menyusul “sret-sretsret”
tiga kali, ia menyerang dengan cepat, semuanya adalah
jurus serangan yang paling umum dan mesti dipelajari setiap
murid Swat-san-pay yang mulai belajar. Tapi bagi Ciok Bohthian
serangan-serangan yang mudah itu malah
membingungkannya, ia menjadi kelabakan dan tak dapat
menangkis lagi, tahu-tahu pergelangan tangan sudah terkena
pedang dan goloknya terlepas dari cekalan.
Pada saat lain ujung pedang lawan sudah menjuju di depan ulu
hatinya pula.
Waktu Ban-kiam menyendal pedangnya, seketika baju di
bagian dada Boh-thian itu tergores sebuah lingkaran kecil.
Ketika pedangnya ditarik kembali, tiga cuil kain bundar kecil
lantas jatuh bertebaran.
Maka tertampaklah baju di dada Ciok Boh-thian telah berlubang
sebesar mangkuk, baju luar, baju tengah dan baju dalam telah
tembus kena digores sebuah lubang bundar sehingga kelihatan
kulit dadanya.
Ketika pedang Ban-kiam bergerak pula, mendadak Boh-thian
berteriak mengaduh, ternyata dadanya sendiri sudah tertusuk
enam titik secara berjajar dalam bentuk enam sayap. Darah
pun merembes keluar dari luka-luka itu. Untung tusukan
pedang itu tidak dalam sehingga tidak terlalu sakit.
“Jurus ‘Swat-hoa-liok-cut’ yang bagus!” sorak para murid Swatsan-
pay.
Pek Ban-kiam juga lantas berkata, “Nah, sekarang silakan
pulang dan beri tahukan kepada gurumu bahwa Swat-san-pay
yang telah mencederai kau ini.”
Rupanya Ban-kiam melihat Boh-thian memang benar-benar
tidak paham beberapa jurus kepandaian dasar Swat-san-pay
tadi, pula sikapnya dan gerak-geriknya, perangainya dan tutur
katanya juga sama sekali berbeda daripada Ciok Tiong-giok,
maka ia pikir, “Dia telah menyelamatkan jiwaku tadi, tak peduli
dia Ciok Tiong-giok atau bukan, yang pasti hari ini tak dapat
aku membunuh dia. Jurus ‘Swat-hoa-liok-cut’ ini hanya sekadar
sebagai peringatan bagi Kim-oh-pay mereka agar jangan lagi
bermulut besar.”
Habis itu, bersama para sutenya segera mereka mengangkat
jenazah-jenazah kelima sutenya yang terbunuh tadi. Karena
berduka atas kematian para sutenya, pula malu atas dirinya
sendiri yang tak dapat membela sute-sute itu, tanpa merasa
Ban-kiam mencucurkan air mata. Katanya dengan dendam,
“Kedua bangsat tua Put-sam dan Put-si, sakit hati Swat-sanpay
ini pasti akan menuntut balas, diharap saja kalian jangan
mati terlalu cepat.”
Lalu ia memberi tanda berangkat, beramai-ramai mereka
lantas bertindak keluar hutan sana, tiada seorang pun yang
menoleh lagi kepada Ciok Boh-thian.
Melihat darah berceceran di atas tanah, beberapa batang
pedang patah berserakan di sana sini, keadaan sunyi senyap,
hanya suara beberapa ekor burung gaok terdengar terbang
melayang di atas pohon sana, mau tak mau Boh-thian merasa
seram juga.
Segera ia jemput kembali goloknya, lalu berseru, “A Siu! A
Siu!”
Ia coba mencarinya di balik pohon besar tempat mereka tadi,
tapi A Siu tidak diketemukan. Ia pikir mungkin si nona sudah
pulang lebih dulu. Segera ia pun kembali ke gua dengan
langkah cepat sambil berseru, “A Siu! A Siu!”
Keruan Boh-thian menjadi gugup, ia lihat di atas tanah di
dalam gua itu ada huruf-huruf yang ditulis dengan arang, tapi
dia adalah pemuda buta huruf, sudah tentu tidak paham apa
arti tulisan itu. Ia menduga Su-popo dan A Siu tentu sudah
pergi semua meninggalkan dia.
Semula Boh-thian merasa sangat kesepian, Tapi sejak kecil ia
sudah biasa hidup seorang diri, rasa sepi itu tidak lama
kemudian pun tak dirasakannya lagi. Sekarang luka di dadanya
sudah tidak berdarah lagi. Ia robek sepotong kain dari ujung
baju luar untuk menutupi lubang bundar di bagian dada itu.
Katanya di dalam hati, “Semuanya sudah pergi, biarlah aku
pun pergi saja dari sini, aku akan mencari ibu dan Si Kuning.”
Sekarang dia sudah terhindar dari macam-macam persoalan
orang lain yang membingungkan, ia merasa lega dan gembira.
Segera ia selipkan golok karatan diikat pinggangnya, lalu
menuju ke tepi sungai.
Sampai di tepi sungai, tertampak ombak mendebur-debur, di
tepi sungai tiada sebuah kapal apa pun. Boh-thian terus
mencari dengan menyusur pantai. Ci-yan-to itu adalah sebuah
pulau karang yang tidak luas, maka tiada satu jam lamanya
Boh-thian sudah mengelilingi pulau kecil itu dan tetap tiada
tampak bayangan sebuah kapal pun. Sepanjang mata
memandang juga tiada kelihatan bayangan layar sesuatu
perahu yang berlayar di sepanjang sungai.
Kiranya Ci-yan-to terletak di suatu muara Sungai Tiangkang
yang bercabang, arus di situ sangat keras, permukaan sungai
juga sempit, maka jarang sekali ada kapal atau perahu yang
mendekati pulau kecil itu.
Sambil berdiri di tepi sungai, diam-diam Boh-thian memikir,
“Terpaksa aku harus tinggal lagi beberapa hari di sini, akan
kutunggu kalau-kalau ada kapal atau perahu yang lalu di sini.
Kalau tidak, boleh juga aku akan belajar berenang agar lain kali
bila aku didorong orang dan kecemplung lagi ke dalam sungai,
tentu aku takkan khawatir dan takkan minum air lagi.”
Kemudian terpikir pula, “Ya, buat apa aku mesti buru-buru
pergi dari sini? Orang-orang itu seperti Ting-samyaya, Tingsiyaya,
si Ting-ting Tong-tong, Pek-suhu, dan lain-lain lagi,
semuanya ingin membinasakan diriku. Untuk berkelahi aku tak
dapat melawan mereka, kalau sembunyi di sini kan lebih
selamat.”
Tengah termenung-menung, mendadak terdengar suara
keresek, dari semak-semak di samping kakinya tiba-tiba
melompat keluar seekor kelinci liar. Memangnya Boh-thian
sedang kelaparan karena setengah harian belum makan apaapa,
selama beberapa hari terakhir ini pun tidak berani
menyalakan api untuk memasak, yang dimakan melulu
kesemak belaka. Sekarang melihat seekor kelinci gemuk, tentu
saja ia sangat girang, segera ia cabut goloknya dan memburu
terus menusuk.
Namun kelinci itu teramat gesit, sedikit meloncat ke samping,
seketika tusukan Boh-thian itu mengenai tempat kosong. Tapi
cepat Boh-thian memutar kembali goloknya terus menebas,
kontan kelinci itu tertebas menjadi dua potong.
Selagi Boh-thian hendak mengambil kelinci yang sudah mati
itu, tiba-tiba terkilas sesuatu di dalam benaknya, “Tebasanku
barusan ini bukankah adalah jurus ‘Ting-cia-cit-ki’ ajaran Supopo?
Ya, memang betul adalah jurus serangan itu. Jika
demikian, jadi jurus ini tidak melulu untuk mengatasi ‘Lau-kihong-
sia’ dari Swat-san-kiam-hoat, tetapi masih dapat
digunakan pula pada lain tempat.”
Lalu terpikir lagi olehnya, “Tadi waktu aku menusuk kelinci ini
dengan golok, caraku adalah sama dengan jurus ilmu pedang
yang dimainkan Pek-suhu untuk mengalahkan aku itu. Padahal
kelinci ini toh tidak pernah belajar ilmu golok atau ilmu pedang
segala, tapi sedikit berkelit saja dia sudah menghindarkan
tusukanku. Ah, tahulah, bila aku diserang orang aku boleh
menangkis atau berkelit dan tidak pasti harus menggunakan
jurus atau cara-cara tertentu untuk menangkisnya.”
Maklumlah, selama hidup Ciok Boh-thian belum pernah
mendapat pelajaran ilmu silat secara teratur, Cia Yan-khek dan
Ting Put-si telah mengajarkan ilmu silat padanya, tapi mereka
itu tiada punya maksud tujuan baik. Ting Tong dan Su-popo
telah mengajarkan Kim-na-jiu-hoat dan Kim-oh-to-hoat
padanya, walaupun mereka tiada bermaksud jelek, tapi juga
mempunyai tujuan tertentu, yaitu seorang berharap dia dapat
menyelamatkan diri, sedangkan seorang lagi ingin Boh-thian
menggunakan Kim-oh-to-hoat untuk menangkan Swat-sankiam-
hoat, adapun mengenai bagaimana cara menghadapi
musuh, cara bagaimana menyerang dan menghindari serangan
serta kepandaian-kepandaian dasar ilmu silat pada umumnya
sama sekali tak pernah diajarkan kepadanya. Sebab itulah
maka Boh-thian dapat melayani Swat-san-kiam-hoat yang
dimainkan Pek Ban-kiam secara lihai itu, sebaliknya malah
kelabakan dan tak bisa menangkis jurus “Tiau-thian-sik” yang
sepele.
Sekarang secara kebetulan golok Ciok Boh-thian telah menebas
kelinci sehingga berhasil menyelami jalan ilmu silat yang
sebenarnya, bahwasanya ilmu silat itu adalah hidup dan tidak
mati dalam setiap gerak atau jurus tertentu, tapi boleh berubah
dan bergerak menurut keadaan.
Teori demikian sebenarnya sangatlah dangkal, sebabnya Ciok
Boh-thian tidak paham adalah bukan lantaran dia bodoh,
soalnya sejak mula dia sudah disesatkan oleh macam-macam
ajaran yang diberikan si Ting Tong, Ting Put-si dan Su-popo
secara kaku dan mati.
Malam itu waktu di kelenteng Toapekong meski Bin Ju juga
pernah bergebrak dan seakan-akan sengaja mengajar kepada
Ciok Boh-thian, tapi tatkala mana kedua orang tiada bicara
barang sepatah kata pun, Bin Ju hanya membantunya
memahami cara menggunakan jurus serangan Swat-san-kiamhoat,
dengan sendirinya di mana letak “hidupnya” ilmu silat itu
tidak sampai diajarkan padanya.
Sekarang hal ini mendadak disadari sendiri olehnya, keruan ia
sangat girang. Pikirnya pula, “Tempo hari waktu berada di atas
perahu Suhu telah memberikan petunjuk padaku agar
menirukan setiap jurus yang dimainkan Ting-siyaya, tipu
serangan apa yang dilontarkan beliau, segera aku pun
menirukan dengan tipu serangan yang sama. Cara demikian
terang seperti orang bermain-main saja. Coba bilamana TingKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
samyaya juga berada di situ, lalu beliau mendadak menyerang
padaku, kan bisa celaka kalau aku tetap melayani Ting-siyaya
dengan tipu serangan yang sama-sama. Maka terpaksa aku
harus ganti tipu serangan yang lain untuk menyambut pukulan
Ting-siyaya dan sekaligus balas menyerang Ting-samyaya.”
Begitulah, sekali otaknya menjadi encer, segera segala ilmu
silat yang pernah dipelajarinya lantas diingatkannya kembali
sejurus demi sejurus, saking asyiknya, tanpa merasa kaki dan
tangannya lantas bergerak-gerak sendiri seperti sedang
menari-nari. Ia tidak pikirkan lagi itu jurus apa dan cara
bagaimana harus menggunakannya, tapi apa yang dia ingat
lantas dimainkannya menurut pikirannya, apa tangannya yang
terangkat atau kakinya yang bergerak, makin lama makin
bersemangat, sampai akhirnya debu pasir dan daun kering ikut
bertebaran terbawa oleh angin yang ditimbulkan oleh tenagatenaga
dalamnya yang dikeluarkan itu. Bahkan berpotongpotong
batu sebesar kepalan juga mencelat ke udara tercukit
oleh kakinya, pepohonan juga terguncang.
Waktu batu-batu itu jatuh kembali ke atas kepalanya, apakah
Ciok Boh-thian menolaknya ke samping dengan tenaga
pukulannya ke atas atau melompat untuk berkelit, keadaan
demikian menjadi mirip tengah bertempur saja.
Makin lama makin bersemangat dan batu yang tercukit oleh
kakinya juga tambah banyak. Sampai akhirnya, tak peduli
batu-batu menghambur dari arah mana tentu dapat ditolaknya
terpental atau dihindarkannya dengan sangat mudah.
Sekonyong-konyong terdengar suara “krak”, sebatang ranting
kayu yang juga mencelat ke udara telah patah terbentur batu,
lalu jatuh ke bawah berbareng dengan batu itu. Secepat kilat
tangan kiri Boh-thian menyambar tangkai kayu itu, menyusul
terus menyabet ke samping sehingga tepat batu itu kena
disampuk dan mencelat jauh-jauh.
Untuk sejenak Boh-thian melengak sendiri, katanya di dalam
hati, “Bukankah gerakan ini adalah jurus serangan yang
dimainkan dengan tangan kiri oleh Pek-suhu tadi?”
Segera ia pegang lagi goloknya, dengan tangan kiri tetap
memegang tangkai kayu. Ia mainkan jurus “Tiang-cia-ciat-ki”
dari Kim-oh-to-hoat.
Jurus-jurus serangan golok dan pedang itu mestinya saling
bertentangan, tapi sekaligus dimainkan bersama ternyata
menimbulkan daya serangan yang mahadahsyat. “Cret”,
sebatang pohon siong sebesar lengan telah terkutung oleh
goloknya, sebaliknya tangkai kayu di tangan kiri juga kena
sabet di batang pohon sehingga kulitnya pohon itu terbeset
sebagian.
Saking asyiknya Ciok Boh-thian memainkan sebatang golok
karatan dan sebatang ranting kayu, makin lama makin cepat,
ia tidak ambil pusing apakah permainannya yang aneh itu tepat
atau tidak, yang terang di atas pulau situ toh tiada manusia
lain lagi, maka ia tidak perlu khawatir ditertawai orang.
Begitulah, secara tidak sengaja Ciok Boh-thian alias Su Ek-to
telah meyakinkan lwekang yang paling tinggi, kemudian
digembleng oleh beberapa tokoh terkemuka, sekali otaknya
menjadi encer, tiba-tiba dia dapat menciptakan sejenis ilmu
silat gabungan pedang dan golok.
Ilmu silatnya ini mencakup Swat-san-kiam-hoat dan Kim-ohto-
hoat, pula meliputi ilmu silat ajaran Cia Yan-khek, Ting Putsi,
si Ting Tong, dan Bin Ju. Hanya saja jurus serangannya
tiada tertentu, walaupun mempunyai daya tekanan yang
dahsyat, tapi lubang kelemahannya juga tidak sedikit.
Boh-thian sendiri tiada bermaksud menciptakan ilmu silat,
sudah tentu tak pernah terpikir olehnya untuk memberi nama
jurus-jurus ilmu silatnya itu.
Apalagi dia buta huruf, disuruh membeli nama juga dia tidak
mampu.
Begitulah makin latih makin tambah lwekangnya sehingga
sedikit pun tidak merasa lelah sampai akhirnya perutnya
berkeruyukan saking laparnya barulah ia berhenti. Waktu ia
cari kelinci tadi ternyata sudah hancur terinjak-injak olehnya
sendiri, terpaksa ia mencari ke semak pula untuk menangsel
perut.
Ia coba kembali ke gua itu dengan harapan Su-popo dan A Siu
sudah pulang, tapi keadaan di situ ternyata sunyi senyap.
Dalam pada itu malam pun sudah tiba, terpaksa Boh-thian
tidur di dalam gua.
Sampai tengah malam, mendadak terdengar suara menderak
yang keras dari arah pantai. Karena lwekangnya sekarang
sudah sangat tinggi, dengan sendirinya indra pendengarannya
juga sangat tajam. Segera ia melompat bangun dan berlari ke
tepi sungai. Di bawah sinar bintang yang remang-remang
tertampak sebuah kapal berlabuh di sana dan tiada hentinya
bergoyang-goyang.
Boh-thian terkejut dan bergirang, ia khawatir kalau-kalau kapal
itu adalah milik Ting Put-sam atau Ting Put-si, maka ia tidak
berani mendekatinya. Ia coba sembunyi di belakang pohon
untuk mengintai.
Tiba-tiba terdengar suara menderak yang keras pula, sekali ini
dapat dilihatnya dengan jelas, yaitu layar yang terlepas di tiang
kapal itu tadinya berlipatan menjadi satu, ketika tertiup angin
kencang, layar itu lantas terpentang dan mengeluarkan suara
kebasan keras.
Kapal itu tergoyang-goyang dan tampaknya hendak terhanyut
pula meninggalkan pulau, cepat Boh-thian berlari mendekati
sambil berteriak, “Adakah orang yang berada di atas kapal?”
Tapi ia tidak mendapat jawaban orang. Sekali lompat segera ia
melayang ke atas kapal. Ia coba melongok ke dalam ruangan
kapal, keadaan di dalam gelap gulita dan tiada kelihatan apaapa.
Dalam pada itu kapal itu mulai terombang-ambing, nyata telah
meluncur perlahan ke tengah terbawa oleh arus. “Apakah ...
apakah Ting-samyaya yang berada di dalam?” Boh-thian
berteriak pula. Namun tetap tiada jawaban seorang pun.
Tanpa pikir ia berjalan ke dalam ruangan, mendadak kakinya
kesandung badan orang merebah melintang di lantai kapal.
Cepat Boh-thian berkata, “Maaf!” Segera ia bermaksud
membangunkan orang itu. Tak terduga di mana tangannya
menyentuh kiranya adalah serangka mayat yang sudah kaku
dan dingin.
Keruan Boh-thian menjerit kaget. Waktu tangan kirinya meraba
ke belakang, kembali tersentuh lengan seorang, keadaannya
juga sudah kaku dingin, terang sudah mati sekian lamanya.
Dengan menggagap-gagap ia terus menyusur ke belakang
kapal, ternyata di mana-mana hanya mayat belaka, kakinya
menginjak mayat, di mana tangannya menjulur juga selalu
menyentuh mayat. Di ruangan belakang juga penuh dengan
mayat, banyak yang bergelimpangan di lantai, ada pula yang
duduk di atas kursi.
“Adakah orang di sini?” kembali Boh-thian berteriak khawatir.
Saking ngerinya sampai ia merasa suaranya sendiri pun sudah
berubah.
Setiba di buritan kapal, di bawah sinar bintang yang remangremang
kelihatan pula di atas geladak situ pun bergelimpangan
belasan orang. Semuanya sudah kaku, terang juga mayat.
Bab 25. Rasul Pengganjar dan Rasul Penghukum
Sementara itu angin meniup dengan kencangnya sehingga
menimbulkan suara menderu-deru, beberapa layar kapal yang
sudah robek pun ikut berkibar-kibar dan menerbitkan suara
memberebet yang keras dan menyeramkan.
Walaupun Ciok Boh-thian alias Su Ek-to sudah biasa hidup
sendirian dan berhati tabah, tapi di tengah malam gelap, di
atas kapal yang penuh mayat belaka, betapa pun ia merasa
merinding juga, apalagi kalau terkenang kepada “mayat hidup”
yang pernah mengudaknya di Hau-kam-cip dahulu itu.
Saking ngerinya segera Boh-thian bermaksud meninggalkan
kapal itu. Tapi baru saja ia naik kembali ke atas geladak kapal,
maka mengeluhlah dia. Kiranya kapal itu sudah jauh
meninggalkan tepian dan sedang terhanyut oleh arus yang
deras. Mula-mula kapal itu terhanyut ke pulau Ci-yan-to,
sesudah berputar dan oleng beberapa kali, kemudian terhanyut
pula ke hilir.
Semalam suntuk Boh-thian tidak berani tidur di dalam kapal, ia
melompat ke atas atap kapal, sambil bersandar pada tiang
layar ia menantikan datangnya fajar.
Besok paginya sesudah sang surya muncul dan seluruh jagat
raya menjadi terang benderang, barulah rasa seram Boh-thian
mulai hilang. Ia coba memeriksa kembali keadaan kapal itu, ia
lihat di luar dan dalam kapal itu sedikitnya ada 50-60 mayat
yang bergelimpangan dan mengerikan. Anehnya di atas mayatmayat
itu tiada bekas-bekas darah, juga tiada tanda-tanda
terluka oleh senjata tajam sehingga tidak diketahui apa yang
menyebabkan kematiannya.
Ketika Boh-thian memutar ke haluan kapal, tiba-tiba dilihatnya
tepat di atas pintu ruangan kapal terpaku dua buah pening dari
tembaga putih sebesar gobang. Sebuah pening melukiskan
muka seorang yang sedang tertawa ramah, sebuah lagi
melukiskan muka yang bengis dan jahat.
Untuk sejenak Boh-thian memandangi kedua bentuk pening
tembaga itu, ia merasa muka yang terlukis di atas pening itu
seakan-akan hidup saja, ia tidak berani memandang lebih lama
lagi dan cepat-cepat berpaling. Ketika ia memandang pula
kepada mayat-mayat yang bergelimpangan itu, ia melihat
hampir semuanya membawa senjata, terang korban-korban itu
adalah orang-orang persilatan semua.
Waktu diperiksa lebih teliti, terlihatlah pada baju setiap korban
itu masing-masing tersulam seekor ikan kecil bersayap dan
berwarna putih. Boh-thian tambah heran, ia menduga korbankorban
di atas kapal itu tentu adalah orang-orang sekomplotan,
cuma tidak diketahui mengapa bisa ketemukan musuh tangguh
dan semuanya terbinasa.
Begitulah kapal tanpa juru mudi itu masih terus terhanyut ke
hilir. Menjelang tengah hari, sampailah pada suatu pengkolan
sungai, tiba-tiba dari depan sedang meluncur tiba dua buah
kapal dengan menempuh arus.
Melihat ada kapal yang meluncur dari hulu sungai dalam
keadaan oleng, juru mudi kapal dari muara sungai itu menjadi
khawatir dan berteriak-teriak, “Hai! Awas! Banting kemudi!”
Akan tetapi kapal tanpa pengemudi itu makin mengoleng,
kebetulan di tengah sungai situ ada pusaran air sehingga kapal
itu malah menerjang ke depan dengan melintang. Maka
terdengarlah suara gemuruh yang keras, tanpa ampun lagi
kedua buah kapal dari muara sungai itu telah tertumbuk.
Terdengarlah suara orang yang panik diseling suara caci maki
yang kotor. Boh-thian menjadi kaget dan khawatir. Pikirnya,
“Wah, kapal mereka telah tertumbuk rusak, tentu mereka akan
mencari ke atas kapal ini dan meminta pertanggungjawabanku.
Kalau diusut lebih jauh, tentu mereka akan mengira aku yang
telah membunuh orang-orang di atas kapal ini. Wah, tentu aku
bisa celaka. Lantas apa yang harus kulakukan sekarang?”
Dalam gugupnya tiba-tiba timbul akalnya, cepat ia menyusup
ke dalam ruangan kapal, ia membuka papan lubang dan
sembunyi ke dalam dek di bagian bawah kapal.
Sementara itu tiga buah kapal sudah oleng bersama dan
bergumul menjadi satu. Selang tak lama lantas terdengar ada
suara orang melompat ke atas kapal ini, menyusul ramailah
suara teriak kaget orang banyak. Ada yang berseru, “He, inilah
orang-orang Hui-hi-pang (gerombolan ikan terbang)! Meng...
mengapa sudah mati semua!”
Lalu ada yang menanggapi, “Ya, bahkan pangcu... pangcu
mereka Seng Tay-yang juga mati di sini!”
Sejenak kemudian mendadak ada orang berteriak di haluan
kapal, “He, med... medali pengganjar dan... dan medali
penghukum!”
Dari suaranya yang gemetar terang sekali orang ini sangat
ketakutan.
Karena teriakan itu, seketika suara ribut-ribut tadi lantas
berhenti, keadaan berubah menjadi sunyi senyap.
Walaupun sembunyi di bawah kapal dan tidak dapat melihat air
muka orang-orang itu, tapi dapatlah Boh-thian membayangkan
betapa kaget dan takutnya mereka.
Sampai agak lama barulah terdengar seorang membuka suara,
“Tahun ini memang jatuh tempo keluarnya Siang-sian-leng dan
Hwat-ok-leng (Medali Pengganjar dan Medali Penghukum),
maka besar kemungkinan kedua rasul pengganjar dan
penghukum kembali telah bertugas keluar lagi. Ai, memangnya
orang-orang Hui-hi-pang ini di masa lampau sudah terlalu
banyak melakukan kejahatan....” sampai di sini ia lantas
menghela napas panjang dan tidak meneruskan.
“Oh-toako,” demikian terdengar seorang bertanya, “konon
menurut cerita orang, katanya Siang-sian-leng dan Hwat-okleng
ini adalah tanda panggilan kepada seseorang ke... ke
sesuatu tempat, setiba di sana barulah diambil tindakan, jadi
hukuman tidak dilakukan di tempat si orang yang dipanggil.”
“Ya, bilamana yang dipanggil itu mau tunduk kepada
panggilannya,” sahut orang yang duluan tadi. “Tampaknya
Seng Tay-yang dari Hui-hi-pang ini tidak mau menurut perintah
dan melakukan perlawanan, maka kedua rasul sakti itu
menjadi gusar.”
Sesudah pembicaraan orang itu, lalu semua orang terdiam lagi.
Tiba-tiba Boh-thian sendiri teringat, “Mayat-mayat yang
bergelimpangan di kapal ini katanya adalah orang-orang Huihi-
pang segala dan ada juga seorang pangcu. Wah, celaka,
bukan mustahil kedua rasul yang disebut pengganjar dan
penghukum itu juga akan mendatangi Tiang-lok-pang kami?”
Berpikir demikian, mau tak mau ia menjadi gelisah, ia merasa
perlu lekas pulang ke tempat Tiang-lok-pang untuk
memberitahukan kepada kawan-kawannya di sana agar bisa
siap siaga sebelumnya. Maklum, walaupun dia keliru disangka
sebagai Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang sehingga banyak
menimbulkan kesulitan-kesulitan baginya, bahkan beberapa
kali jiwanya terancam bahaya, namun setiap orang di Tianglok-
pang adalah sedemikian baik dan menghormat padanya,
meskipun pernah terjadi seorang Tian Hui yang bermaksud
membunuhnya, tapi hal ini pun terjadi karena salah paham,
sebab itulah Boh-thian sangat menaruh perhatian terhadap
keselamatan orang-orang Tiang-lok-pang. Segera ia pasang
telinga dan mendengarkan lebih jauh apa yang dipercakapkan
orang-orang di atas kapal itu.
Terdengar seorang di antaranya telah berkata pula, “Oh-toako,
menurut pendapatmu, urusan ini akan merembet sampai
kepada kita atau tidak? Kedua rasul itu apakah juga akan
mendatangi Tiat-cha-hwe (perkumpulan tombak besi) kita?”
Maka orang yang dipanggil sebagai Oh-toako itu telah
menjawab, “Jikalau kedua rasul pengganjar dan penghukum
sudah muncul lagi, maka setiap organisasi atau perkumpulan di
dunia Kangouw tentu susah bebas dari penilikan mereka.
Tentang Tiat-cha-hwe kita apakah dapat terhindar dari
malapetaka ini kukira semuanya tergantunglah kepada nasib
kita.”
Dan sesudah merenung sejenak, lalu ia berkata pula, “Baik
begini saja, diam-diam boleh kau perintahkan orang agar
segera pulang lapor kepada Congthocu (ketua) kita. Adapun
para saudara yang berada di atas kedua kapal kita itu, boleh
suruh mereka berkumpul ke atas kapal ini. Semua benda di
atas kapal ini janganlah dipegang, kita membawa kapal ini ke
kampung nelayan di luar muara Ang-liu-kang sana. Karena
kedua rasul pengganjar dan penghukum sudah menumpas
habis para tokoh-tokoh Hui-hi-pang, rasanya mereka takkan
datang lagi untuk kedua kalinya.”
“Betul, betul, bagus sekali akal ini!” seru orang pertama tadi.
“Jika kedua Sucia (rasul) melihat kapal ini pula, tentu mereka
akan mengira kapal ini hanya berisi mayat-mayat orang Hui-hipang
belaka dan tidak mungkin memeriksa ke sini lagi. Biarlah
sekarang juga aku akan meneruskan perintahmu.”
Tidak lama kemudian, terdengarlah orang banyak beramairamai
berkumpul ke atas kapal ini. Di tempat sembunyinya
Boh-thian dapat mendengar percakapan ramai yang dilakukan
orang-orang itu dengan suara perlahan dan ketakutan seakanakan
sedang menghadapi elmaut.
Terdengar seorang di antaranya berkata, “Tiat-cha-hwe kita
toh tiada bersalah kepada mereka, rasanya kedua rasul
pengganjar dan penghukum takkan membikin susah kepada
kita.”
Lalu seorang kawannya menanggapi, “Memangnya kau kira
orang-orang Hui-hi-pang berani menyalahi mereka? Tapi toh
tidak terhindar dari malapetaka. Ai, kukira bencana yang selalu
terjadi satu kali setiap sepuluh tahun ini mungkin... mungkin
kali ini kita... kita juga....”
Tiba-tiba seorang lagi menyela, “Lau Li, apabila Congthocu kita
memenuhi panggilan dan pergi ke sana, lalu bagaimana?”
“Lalu bagaimana? Sudah tentu bisa pergi tak bisa pulang!”
sahut orang she Li itu dengan mendengus. “Menurut kejadianKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
kejadian beberapa puluh tahun yang lalu, setiap orang, apakah
dia pangcu, congthocu, atau ciangbunjin dari golongan mana,
asal sudah pergi memenuhi panggilan itu, belum pernah ada
seorang pun yang pulang kembali. Sudahlah, selama ini
Congthocu sangat berbudi kepada kita, pendek kata kalau
terjadi apa-apa atas diri beliau, masakah kita mesti bersikap
pengecut dan membiarkan beliau menghadapi bahaya sendiri?”
“Benar juga. Tapi jalan paling baik adalah menghindari saja,”
ujar seorang lagi. “Untung kita dapat mengetahui sebelumnya
secara kebetulan, tampaknya Thian memang memberkati agar
Tiat-cha-hwe kita terbebas dari bencana ini. Perkampungan
nelayan kecil di muara Ang-liu-kang itu sangatlah terpencil dan
merupakan suatu tempat sembunyi yang bagus, biarpun kedua
Sucia pengganjar dan penghukum serbalihai juga susah untuk
menemukan kita.”
“Sudah lama Congthocu mengusahakan perkampungan nelayan
ini, tujuannya tiada lain justru akan digunakan seperti sekarang
ini,” kata orang yang dipanggil Oh-toako tadi. “Selama delapan
tahun nelayan yang berdiam di perkampungan itu boleh dikata
tidak pernah keluar dari perkampungan itu, jadi tempat itu
memangnya adalah sebuah tempat pengungsian yang baik.”
Kemudian seorang lagi yang bersuara lantang kasar telah
berkata, “Tiat-cha-hwe kita selama ini malang melintang di
lembah Tiangkang sini, kita tidak takut kepada langit dan tidak
gentar pada bumi, bahkan kepada si tua bangka raja juga kita
tidak mau tunduk, mengapa sekarang hanya mendengar nama
rasul-rasul kentut apa segala lantas ketakutan setengah mati
dan lari mencawat ekor terus mengkeret dan sembunyi seperti
kura-kura saja. Seumpama kita dapat sembunyi dengan baik,
tapi kelak kalau ada orang menanyakan kejadian ini, lalu muka
kita harus ditaruh ke mana? Maka ada lebih baik kita
melawannya mati-matian, persetan, toh jiwa kita belum pasti
akan melayang!”
“Benar juga,” ujar Oh-toako tadi. “Orang yang makan nasi
Kangouw sebagai kita ini memangnya tidak perlu pikir tentang
jiwa melayang segala, pekerjaan kita senantiasa bergulat
dengan elmaut, apa yang mesti kita takuti. Namun menghadapi
Siang-sian dan Hwat-ok Sucia kita tidak boleh tidak berpikir
dua kali, jangankan kita, sedangkan tokoh-tokoh terkemuka
sebagai....”
Sampai di sini, mendadak orang yang bersuara lantang kasar
tadi berteriak, “Huh, dasar pengecut, bilakah kau pernah
melihat aku Ong-laulak, Si Bulus Berkepala Botak, minta
ampun dan takut kepada orang lain? Huh... aduuuh!”
Belum selesai ucapannya, mendadak ia menjerit ngeri. Habis
itu keadaan lantas sunyi senyap dan tiada seorang pun yang
berani membuka suara lagi.
Sejenak kemudian, tiba-tiba Boh-thian merasa ada air yang
menetes di atas tangannya, waktu ia mengendus barang cair
itu, terciumlah bau anyirnya darah. Malahan darah itu masih
terus menetes dari atas.
Karena tahu orang-orang yang berada di atas geladak kapal itu
tepat berada di atas kepalanya, maka Boh-thian tidak berani
bergerak sedikit pun agar tidak menjangkitkan sesuatu suara
dan terpaksa membiarkan darah menetes terus di atas
badannya.
Dalam pada itu terdengar pula si Oh-toako tadi sedang
berteriak dengan bengis, “Apa kau menyalahkan aku karena
Ong-laulak telah kubunuh?”
“Ah, tidak, tidak!” demikian sahut seorang dengan suara agak
gemetar. “Ucapan Ong-laulak tadi memang... memang terlalu
kasar sehingga tidaklah heran membikin marah kepada Ohtoako.
Cuma... cuma saja Ong-laulak selamanya juga... juga
sangat setia dan telah banyak berjasa bagi Tiat-cha-hwe kita.”
“Jadi kau tidak setuju atas tindakanku barusan ini?” tanya si
Oh-toako.
“Bu... bukan....” belum sempat orang itu bicara pula, kembali
terdengarlah jeritan ngeri, terang ia sudah dibunuh pula oleh
orang she Oh itu.
Maka air darah kembali menetes lagi ke bawah melalui celahcelah
papan kapal, untung sekali kini air darah itu tidak
mengotori badan Ciok Boh-thian, tapi menetes semua di lantai.
Berturut-turut Oh-toako itu telah membunuh dua orang,
keruan yang lain-lain tidak berani banyak cincong lagi. Maka
Oh-toako itu telah berkata, “Bukanlah aku sengaja berbuat
ganas dan kejam dan tidak mengingat hubungan baik sesama
saudara, tapi soalnya menyangkut jiwa beribu-ribu anggota
kita, bila tempat kita ini sampai diketahui musuh, maka nasib
kita pasti akan serupa dengan kawan-kawan dari Hui-hi-pang
ini. Ong-laulak menganggap dirinya jagoan dan berteriakteriak,
padahal jiwanya tidaklah menjadi soal, masakah jiwa
Congthocu dan kita semua harus ikut melayang bersama dia?”
Terdengar semua orang mengiakan saja dan tidak berani bicara
pula.
Maka Oh-toako itu berkata lagi, “Nah, siapa-siapa yang tidak
ingin mampus supaya berdiam saja di dalam kapal ini. Siau
Song, pergilah kau memegang kemudi, pakailah sepotong kain
layar untuk menutupi tubuhmu agar jangan sampai dilihat
orang.”
Begitulah Boh-thian yang mendekam di bawah kapal itu lantas
mendengar mendeburnya air, kapal itu terasa bergerak.
Mungkin orang-orang di atas kapal itu semuanya sedang
merenungkan nasibnya sendiri-sendiri, maka tiada seorang pun
yang berbicara. Dengan demikian Boh-thian sendiri lebih-lebih
tidak berani bergerak dan menerbitkan sesuatu suara. Teringat
olehnya tipu-tipu silat yang dimainkannya di tepi pantai
kemarin itu, dengan pedang di tangan kiri dan golok di tangan
kanan, ditambah lagi jurus-jurus pukulan dan tendangan
ajaran Ting Put-si. serta Kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong,
semua kepandaian itu sejurus demi sejurus terlintas pula
dalam ingatannya, sehingga tanpa merasa seluruh tenaga
dalam yang terpupuk di dalam tubuhnya, telah dicurahkan
semua ke dalam jurus-jurus ilmu silat ciptaannya itu.
Terkadang kalau ia merasa salah satu jurus di antaranya masih
kurang sempurna, segera ia memikirkannya pula dari semula.
Begitulah ia tenggelam di dalam lamunannya untuk menyelami
ilmu silatnya. Semula ia masih sempat mengikuti juga gerakgerik
orang-orang Tiat-cha-hwe yang berada di atas kapal itu,
tapi sampai akhirnya, perhatiannya telah tercurah seluruhnya
kepada ilmu silat melulu. Sesudah mengalami penyelaman
secara mendalam ini, baru sekarang lwekang dan gwakang
yang telah dihimpunnya selama bertahun-tahun ini dapatlah
dilebur dan dipahami dengan baik. Maka si “Kau-cap-ceng”
yang tadinya cuma seorang pemuda gunung yang ketololtololan
telah tumbuh juga menjadi seorang jago silat kelas
wahid hasil ciptaannya sendiri.
Beberapa jam kemudian, teringat pula olehnya pertandingan
ilmu pedang antara Ciok Jing suami-istri melawan, Pek Bankiam,
serta macam-macam ilmu silat ketika terjadi pertarungan
antara Ting Put-sam dan Ting Put-si mengeroyok Pek Ban-kiam
di Ci-yan-to tempo hari, di mana dahulu ia merasa susah
memahami letak kebagusan ilmu-ilmu silat itu. Tapi sekarang
sesudah direnung kembali, ia merasa setiap tipu dan setiap
jurus yang dimainkan mereka itu toh semuanya jelas dan
gamblang baginya.
Selagi Boh-thian termenung-menung, tiba-tiba terdengar suara
gemerencingnya rantai, kiranya kapal itu sudah membuang
sauh dan telah berlabuh.
Segera terdengar pula si Oh-toako sedang berkata, “Sesudah
masuk rumah, semua orang dilarang keluar lagi. Dengan
tenang tunggulah kedatangan Congthocu dan terserah kepada
perintah beliau nanti.”
Dengan suara perlahan semua orang telah mengiakan, lalu
dengan hati-hati mereka mendarat semua. Hanya dalam
sekejap saja semua orang sudah meninggalkan kapal itu,
keadaan menjadi sunyi kembali.
Sesudah menunggu agak lama, Boh-thian menduga orangorang
itu tentu sudah masuk rumah semua, maka perlahanlahan
barulah ia berani membuka papan lubang dan melongok
ke atas. Segera matanya menjadi silau oleh cahaya yang
terang benderang. Kiranya waktu itu sudah siang hari.
Melihat sekelilingnya tiada orang lagi barulah Boh-thian
menerobos keluar dari bawah dek. Ia lihat di atas geladak
kapal masih penuh dengan mayat-mayat kemarin itu. Segera ia
menjemput sebatang golok dan diselipkan pada ikat
pinggangnya. Ia menggerayangi pula mayat-mayat itu dan
menemukan beberapa renceng uang perak guna sangu. Lalu ia
menuju ke buritan kapal, dari situ ia melompat ke daratan.
Sambil membungkuk ia terus berlari-lari kecil menyusur tepi
sungai.
Kira-kira satu li jauhnya barulah ia sampai di suatu jalanan
kecil yang menghubungkan tepi sungai itu. Ia pikir saat itu
belum terlepas dari daerah berbahaya, rasanya makin jauh
meninggalkan tempat itu akan makin baik, maka ia lantas
angkat kaki dan berlari-lari secepatnya. Untunglah
perkampungan nelayan itu memang sangat sepi dan terpencil,
belasan li di sekitar situ ternyata tiada sebuah rumah pun,
selama itu tiada seorang pun yang dijumpai.
Ia tidak tahu bahwa di sekitar perkampungan nelayan itu,
sebenarnya ada juga beberapa petani, tapi petani-petani itu
diam-diam telah binasa diracun orang-orang Tiat-cha-hwe, ada
juga penduduk pindahan baru dari lain tempat, tapi tidak lama
kemudian meninggalkan tempat itu.
Orang-orang yang berdekatan dengan perkampungan nelayan
Ang-liu-kang (muara pohon Liu merah) itu menganggapnya
sebagai tempat maut yang selalu berjangkit penyakit menular.
Maka selama beberapa tahun ini tiada seorang pun yang berani
mendekatinya, dan dengan demikian Ang-liu-kang dapatlah
menjadi sarang Tiat-cha-hwe yang sangat baik dan rahasia.
Setelah berlari beberapa li lagi, jarak dengan kampung nelayan
itu sudah semakin jauh. Boh-thian benar-benar sudah sangat
lapar. Segera ia memasuki hutan yang berada di sebelah jalan
dengan tujuan mencari sesuatu makanan. Eh, benar-benar
sangat kebetulan, belum jauh ia berjalan, sekonyong-konyong
terdengar suara gemeresak, dari tengah-tengah semak-semak
telah menerjang keluar seekor babi hutan yang besar, dengan
kedua taringnya yang kelihatan putih tajam, binatang itu terus
menyeruduk ke arah Ciok Boh-thian.
Tapi dengan sebat sekali Boh-thian dapat mengegos ke
samping, berbareng tangan kanan sudah mencabut golok,
dengan jurus “Tiang-cia-ciat-ki” (Si Kakek Menebas Tangkai)
dari Kim-oh-to-hoat, secepat kilat ia menebas. “Sret”, tanpa
ampun lagi buah kepala babi hutan itu sudah terpenggal.
Babi hutan itu ternyata sangat buas dan tangkas, meski
kepalanya sudah terpenggal toh tubuhnya masih menerjang ke
depan sampai beberapa meter jauhnya, habis itu barulah
roboh.
Sungguh girang Boh-thian tak terkatakan. Ini benar-benar
pucuk dicinta ulam tiba, memangnya ia sedang kelaparan dan
ingin mencari makanan, tahu-tahu babi hutan itu telah
mengantarkan nyawa sendiri untuk menjadi babi panggang
baginya.
Segera Boh-thian mencari sepotong batu hitam, ia gunakan
punggung golok untuk mengetok batu itu sehingga meletikkan
lelatu untuk membuat api unggun.
Ia pilih bagian-bagian yang baik dan potong keempat paha babi
hutan itu. Ia mencucinya ke tepi sungai kecil yang tiada jauh
dari situ. Ketika kembali goloknya yang dia bakar di dalam api
unggun itu pun sudah merah, dengan golok panas itulah ia
bersihkan bulu-bulu di atas paha babi hutan. Lalu keempat
paha itu dia tusuk dengan sebatang kayu dan terus
dipanggang.
Tidak lama kemudian, maka teruarlah bau harum sedap yang
merangsang selera.
Tengah Boh-thian sibuk memanggang paha babi hutan, tibatiba
terdengar di tempat sejauh beberapa puluh meter sana
ada orang berkata, “Wah, alangkah sedapnya bau ini, benarbenar
membangunkan nafsu makan setiap orang!”
“Agaknya di sebelah sana ada orang sedang memanggang
daging, marilah kita coba pergi ke sana dan berunding padanya
untuk minta bagian sedikit,” demikian seorang lagi
menanggapi.
“Ya, benar! Hayo!” sahut orang yang pertama.
Lalu terdengar suara langkah mereka yang menuju ke tempat
Ciok Boh-thian.
Maka tertampaklah seorang di antaranya bertubuh tinggi
gemuk, bermuka lebar dan bertelinga besar, memakai jubah
warna kuning kehijau-hijauan, wajahnya tersenyum simpul dan
ramah tamah. Seorang lagi juga bertubuh sangat tinggi, tapi
kurus kering, berbaju panjang warna biru langit, berjenggot
kecil sebagai buntut tikus, wajahnya kelihatan guram dan
bersungut.
Sesudah dekat, segera si gemuk menyapa dengan tertawa,
“Haha, Saudara cilik, bolehkah....”
Karena sudah mendengar percakapan mereka tadi, segera
Boh-thian menukas, “Ya, di sini masih banyak kelebihan daging
panggang, biarpun sepuluh orang juga takkan habis, sebentar
boleh silakan kalian ikut pesta saja.”
“Jika demikian, banyaklah terima kasih,” ujar si gemuk.
Kedua orang itu lantas berduduk di samping api unggun.
Mereka melihat pakaian Ciok Boh-thian cukup perlente, tapi
kotor dan kusut, bahkan penuh bekas darah. Kedua orang itu
saling tukar pandang dengan perasaan heran. Tapi mereka
lantas memusatkan perhatian mereka kepada paha babi hutan
yang sedang dipanggang itu dan tidak ambil pusing lagi kepada
keadaan Ciok Boh-thian itu.
Babi hutan itu ternyata cukup gemuk sehingga sesudah
terpanggang minyaknya telah menetes ke dalam api unggun
dan menimbulkan bau sedap, walaupun belum dimakan,
namun sudah merangsang selera.
Keruan si kurus hampir-hampir mengiler. Dari pinggangnya ia
menanggalkan sebuah houlo (buli-buli arak terbuat dari sejenis
labu) berwarna biru, ia membuka sumbat buli-buli itu terus
menenggak seceguk, lalu mulutnya berkecap-kecap sambil
memuji, “Ehmmm, arak bagus!”
Si gemuk juga lantas menanggalkan sebuah houlo warna
merah, lebih dulu ia mengocaknya berapa kali, lalu membuka
sumbat dan menenggaknya juga satu ceguk, kemudian ia pun
berkata, “Ehmmm, arak bagus!”
Selama ikut Cia Yan-khek dahulu, sering juga Ciok Boh-thian
melihat dan mencicipi arak. Sekarang terendus bau arak,
seketika timbul juga keinginannya ikut minum. Cuma ia
menjadi ragu-ragu ketika melihat kedua orang itu masingmasing
meminum araknya sendiri-sendiri dan tiada maksud
mengundangnya ikut minum, maka ia pun merasa tidak pantas
untuk memohon kepada mereka.
Selang tak lama, keempat paha babi panggang itu sudah cukup
matang, segera Boh-thian berkata, “Sudah matang sekarang,
silakan makan!”
Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, segera si gemuk dan si
kurus menyerbu babi panggang itu, masing-masing
menyambar sepotong paha gemuk besar itu terus akan
digerogoti dengan lahapnya kalau Ciok Boh-thian tidak keburu
menyetop mereka, “Meski kedua belah paha itu gemuk dan
besar, tapi itu adalah paha bagian belakang, rasanya tidak
seenak paha bagian depan.”
Apa yang dikatakan Boh-thian itu memang benar. Kalau
memilih paha (kaki) babi, maka kaki bagian depan adalah lebih
lezat daripada kaki belakang.
Maka si gemuk telah menjawab dengan tertawa, “Hatimu
ternyata sangat baik!”
Segera ia menukarkan sebelah kaki depan yang lebih kecil dan
lebih lezat rasanya, lalu digerogoti dengan lahapnya.
Si kurus sudah telanjur menggerogoti paha panggang bagian
depan itu, ia hanya ragu-ragu sejenak, tapi tidak jadi
menukarkannya.
Begitulah sesudah kedua orang itu memakan sebagian paha
panggang itu, lalu masing-masing minum seceguk lagi araknya
masing-masing sambil memuji, “Ehmmm, arak bagus!”
Kemudian buli-buli arak disumbat kembali dan digantungkan
lagi ke pinggang masing-masing.
Diam-diam Boh-thian membatin, “Tampaknya kedua orang ini
toh bukan orang miskin, mengapa mereka begini kikir, hanya
minum dua ceguk saja lantas tidak berani minum lebih banyak
lagi, memangnya apakah arak mereka sedemikian bagus dan
mahalnya?”
Sejenak kemudian, dengan memberanikan diri Boh-thian coba
memohon kepada si gemuk, “Toaya (tuan), apakah boleh aku
minta arakmu barang beberapa cegukan saja?”
Namun si gemuk telah menggoyang kepala dan menjawab,
“Tidak, tidak boleh! Ini bukan arak, tidak boleh diminum orang
lain. Kami telah makan babi panggangmu, sebentar kami tentu
akan memberi balas jasa yang pantas.”
“Hehe, kau berdusta,” ujar Boh-thian dengan tertawa. “Baru
saja kau sendiri mengatakan ‘arak bagus’, pula aku pun
mencium harumnya arak.”
Lalu ia berpaling kepada si kurus dan memohon, “Biarlah arak
kepunyaan Toaya ini saja, bolehkah aku meminumnya
beberapa ceguk?”
Namun si kurus telah menjawabnya dengan mata mendelik,
“Ini adalah racun, jika kau berani boleh silakan minum.”
Habis berkata ia lantas menanggalkan pula buli-bulinya dan
ditaruh di atas tanah.
“Jika racun, mengapa kau sendiri tidak keracunan?” ujar Bohthian
dengan tertawa sambil mengambil buli-buli arak itu,
ketika ia membuka sumbatnya, segera terendus bau arak yang
menusuk hidung.
Melihat Boh-thian benar-benar akan minum arak kawannya, air
muka si gemuk agak berubah, cepat ia berkata, “Memangnya
begitu, siapa yang berdusta padamu? Hayo, lekas taruh
kembali!”
Berbareng tangannya lantas menjulur dengan maksud merebut
kembali houlo yang telah dipegang Boh-thian itu.
Tak terduga, baru saja jarinya menyentuh tangan Ciok Bohthian,
seketika si gemuk merasa tergetar oleh suatu tenaga
yang mahakuat sehingga jarinya terpental balik.
Si gemuk bersuara kaget dan berkata, “Eh, beginilah kiranya!
Jadi kami sendiri yang salah mata, ya, silakan minum arak itu!”
Tanpa sungkan-sungkan lagi Boh-thian lantas angkat houlo itu
dan meneguknya dua kali, ia pikir si kurus sangat kikir dan
sayang sekali kepada araknya, maka ia tidak berani minum
terlalu banyak, sesudah ia tutup kembali buli-buli itu, lalu
mengucapkan terima kasih.
Tiba-tiba ia merasa suatu arus hawa dingin menaik dari
perutnya. Hawa dingin itu terus mengalir menaik sehingga
dalam sekejap saja sekujur badannya seakan-akan terbeku
kaku. Cepat Boh-thian mengerahkan tenaga dalamnya untuk
melawan, dengan demikian arus dingin itu lambat laun dapat
dipunahkan. Dan sesudah hilang rasa dingin itu, seketika
seluruh anggota badannya terasa sangat segar sekali, bukan
saja tidak merasa dingin, sebaliknya malah merasa hangathangat
dan enak sekali.
“Ehmmm, arak bagus!” demikian tanpa terasa Boh-thian juga
memuji dan tanpa kuasa ia sambar houlo arak tadi, ia cabut
sumpalnya dan kembali meneguk dua kali.
Ketika tenaga dalamnya dapat memunahkan pula hawa dingin
yang timbul dari arak itu, maka ia pun mulai merasakan
pengaruhnya alkohol itu. Katanya dengan gegetun, “Ah, benarbenar
arak bagus yang belum pernah kuminum. Sayang arak
ini terlalulah berharga, kalau tidak tentu akan kuhabiskan
seluruhnya.”
Air muka si gemuk dan si kurus tampak terheran-heran. Kata si
gemuk, “Jika adik cilik benar-benar tahan minum, maka
bolehlah silakan minum habis seisi houlo itu.”
“Apa benar? Kukira Toaya ini takkan mengizinkan,” ujar Bohthian
dengan girang.
“Isi houlo merah tuan gemuk ini rasanya terlebih enak lagi,
apakah kau mau mencobanya?” tiba-tiba si kurus menanggapi
dengan nada dingin.
Boh-thian tidak bersuara lagi, ia hanya pandang si gemuk
dengan maksud memohon.
Tiba-tiba si gemuk menghela napas, katanya, “Semuda ini
telah memiliki lwekang sedemikian tinggi, tapi jiwa akan
melayang secara begini, sungguh sayang!”
Sambil berkata ia terus menanggalkan houlo merah dari
pinggangnya dan ditaruh di atas tanah.
Diam-diam Boh-thian berpikir, “Kedua orang ini rupanya suka
berkelakar semua. Bilamana arak mereka ini benar-benar
beracun, mengapa mereka sendiri telah meminumnya juga?”
Segera ia pun angkat houlo merah itu, ketika sumpalnya
dicabut, bau arak lantas menusuk hidung pula. Tanpa pikir lagi
ia lantas meneguk dua kali. Sekali ini rasanya tidak dingin
seperti arak si kurus, sebaliknya rasanya sangat panas
sehingga perut seperti terbakar. Boh-thian sampai menjerit
kaget dan meloncat bangun, cepat ia mengerahkan tenaga
dalam sehingga rasa panas sebagai api itu dapatlah
dipunahkan. Teriaknya, “Wah, lihai benar arak ini!”
Dan aneh juga, begitu rasa panas di dalam perut sudah lenyap,
seketika sekujur badannya terasa lebih segar daripada tadi.
“Begitu hebat tenaga dalammu, kenapa sih kalau kau habiskan
sekalian isi kedua houlo itu?” ujar si gemuk.
“Ah, aku mana berani minum sendirian,” sahut Boh-thian
dengan tertawa. “Hari ini kita bertiga dapat berkenalan dan
bersahabat, alangkah senangnya jika kita sambil makan daging
panggang sambil masing-masing minum seceguk. Nah, silakan
dahulu, Toaya.”
Habis berkata ia terus mengangsurkan houlo merah itu kepada
si gemuk.
“Haha, jika adik cilik ingin mengukur kekuatan padaku,
terpaksa aku mengiringi sebisanya,” sahut si gemuk dengan
tertawa. Ia terima houlo merah dan menenggaknya seceguk,
lalu diangsurkan kembali kepada Boh-thian sambil berkata,
“Silakan minum lagi!”
Tanpa sungkan-sungkan Boh-thian minum seteguk pula, lalu
mengangsurkan houlo itu kepada si kurus sambil berkata,
“Silakan Toaya ini juga minum!”
Air muka si kurus tampak berubah, katanya, “Aku akan minum
kepunyaanku sendiri.”
Segera ia ambil houlo biru dan minum seteguk, kemudian
diberikan pula kepada Ciok Boh-thian.
Boh-thian telah merasakan arak di dalam houlo biru itu, ia pikir
kalau arak panas dan dingin itu diminum seteguk demi seteguk
secara bergiliran, rasa panas-dingin yang bercampur aduk itu
tentulah akan sangat enak sekali. Maka tanpa pikir ia lantas
terima houlo biru si kurus dan meminumnya seteguk besar.
Ketika dilihatnya si gemuk dan si kurus memandangnya dengan
mata melotot, segera Boh-thian paham apa artinya, dengan
menyesal ia bilang, “O, maaf, terlalu banyak tegukan barusan
ini.”
Tapi si kurus telah berkata dengan nada dingin, “Jika kau ingin
gagah-gagahan, makin banyak kau meneguk makin baik.”
“Kalau kehabisan dan kita belum puas, biarlah sebentar kita
beli lagi di kota sana, aku membawa uang, boleh kita membeli
satu guci besar dan kita dapat minum sepuas-puasnya. Cuma
arak sebagus ini mungkin susah didapatkan,” kata Boh-thian
dengan tertawa. Lalu ia minum seteguk lagi isi houlo merah,
kemudian diangsurkan kembali kepada si gemuk.
Si gemuk tampak duduk bersila dan diam-diam mengerahkan
lwekangnya, dengan demikian barulah dia minum seteguk pula.
Ia semakin heran dan terperanjat demi menyaksikan Boh-thian
minum seteguk demi seteguk tanpa halangan apa-apa.
Bab 26. Ciok Boh-thian Menciptakan Pukulan Berbisa
Kiranya si gemuk dan si kurus itu adalah tokoh-tokoh yang
memiliki ilmu silat mahatinggi. Hanya saja bentuk ilmu yang
dilatih mereka itulah satu-sama-lain berlawanan. Yang dilatih si
gemuk adalah sun-yang, positif, mahapanas, sebaliknya yang
diyakinkan si kurus adalah im-ju, negatif, mahadingin. Isi dari
kedua houlo mereka itu adalah arak obat yang sangat baik
untuk menambah lwekang mereka. Arak di dalam houlo merah
adalah arak mahapanas dan mahakeras, sebaliknya arak di
dalam houlo biru adalah arak obat mahadingin.
Kedua botol arak obat itu mengandung banyak sekali obat-obat
mukjizat kumpulan si gemuk dan si kurus, khasiatnya sangat
hebat dan keras, bagi orang biasa, jangankan meminumnya,
hanya mencicipi saja juga akan melayang jiwanya.
Adapun lwekang si gemuk dan si kurus memangnya sangat
tinggi, pula mereka telah minum obat lain yang dapat
melemahkan bekerjanya arak obat mereka, sebab itulah
mereka tidak keracunan. Tetapi kalau si gemuk salah minum
arak si kurus dan si kurus keliru minum arak si gemuk, maka
mereka pasti akan binasa seketika, bahkan usus mereka akan
putus dan mati dengan mengerikan. Tapi sekarang mereka
melihat Ciok Boh-thian sudah sekian banyak minum arak
mereka dan masih tetap tidak berhalangan apa-apa, keruan
mereka terperanjat tak terkatakan.
Pengalaman dan pengetahuan si gemuk dan si kurus
sebenarnya sangat luas, segala ilmu silat di dunia ini boleh
dikata hampir seluruhnya dikenal mereka, tapi sama sekali tak
terpikir oleh mereka bahwa secara sangat kebetulan Ciok Bohthian
telah mendapat pengalaman aneh, lebih dulu pemuda itu
mendapat ajaran ilmu silat lunak dan dingin yang menyerupai
“Han-ih-bian-ciang”, kemudian mendapat ilmu “Yam-yamkang”
yang mahakeras dan panas dari Cia Yan-khek. Kedua
macam ilmu yang panas-dingin, im dan yang atau positif dan
negatif itu mestinya berlawanan satu sama lain, karena itu
Boh-thian hampir-hampir lumpuh dan binasa, tak terduga ia
mendapatkan pula “Lo-han-hok-mo-kang” dari Tay-pi Lojin
dengan boneka-boneka kayu pemberiannya itu, hal ini
membuat tenaga im dan yang di tubuh Boh-thian menjadi
terbaur menjadi satu, makin menambah kekuatannya yang
ampuh, bahkan menjadi tidak mempan keracunan segala jenis
racun.
Ketika minum arak-arak obat si gemuk dan si kurus tadi mulamula
Boh-thian memang merasakan tajamnya arak itu, tapi
sesudah dipunahkan oleh tenaga dalamnya, dalam waktu
singkat malah makin menambah kekuatan yang telah
dimilikinya itu.
Dasar jiwa Ciok Boh-thian memang luhur, sesudah minum arak
enak kedua orang itu secara gratis, ia merasa rikuh dan segera
panggang lebih banyak daging babi hutan itu, ia pilih bagianbagian
yang paling lezat untuk disuguhkan kepada si gemuk
dan si kurus sambil berulang-ulang minta mereka pun ikut
minum arak.
Setelah mengetahui tenaga dalam Ciok Boh-thian luar biasa
lihainya, si gemuk dan si kurus menyangka pemuda itu sengaja
hendak bertanding lwekang dengan cara minum arak berbisa
itu. Karena mereka pun tidak mau mengaku kalah, terpaksa
mereka terima ajakan Ciok Boh-thian dan minum arak sendirisendiri
seteguk demi seteguk, tapi diam-diam mereka juga
menjejalkan obat pil pemunah racun arak ke mulutnya sendirisendiri.
Di samping itu si gemuk dan si kurus diam-diam juga
mengawasi gerak-gerik Ciok Boh-thian, mereka melihat
pemuda itu sama sekali tidak makan obat pemunah apa-apa,
betapa hebat tenaga saktinya benar-benar tiada pernah
mereka lihat, sungguh mereka tidak tahu dari manakah
mendadak bisa muncul seorang kesatria muda yang aneh ini.
Dalam pada itu setelah minum seteguk lagi Ciok Boh-thian
telah menyodorkan pula houlo merah kepada si gemuk.
Terpaksa si gemuk menerimanya sambil berkata, “Lwekang
adik cilik ternyata begini hebat, sungguh Cayhe sangat kagum.
Numpang tanya siapakah nama saudara cilik yang terhormat?”
Boh-thian lantas mengerut kening bila ditanya soal nama.
Jawabnya, “Urusan ini benar-benar membikin kepalaku sakit.
Sering orang menuduh aku she Ciok, padahal aku bukanlah she
Ciok, aku tidak tahu she apa dan bernama siapa, sebab itulah
pertanyaanmu ini benar-benar susah kujawab.”
Sudah tentu si gemuk tidak mau percaya, ia anggap Boh-thian
berlagak bodoh dan tidak mau mengatakan namanya. Ia coba
tanya pula, “Jika demikian, siapakah guru saudara cilik yang
terhormat? Dari golongan dan aliran manakah engkau?”
“Guruku she Su, beliau adalah seorang nenek tua, apakah kau
pernah kenal dia?” sahut Boh-thian. “Beliau adalah cikal bakal
Kim-oh-pay dan aku adalah muridnya yang pertama.”
Diam-diam si gemuk dan si kurus menganggap Ciok Boh-thian
hanya membual saja, sebab seluruh golongan dan aliran
persilatan di dunia ini boleh dikata telah dikenalnya semua, tapi
belum pernah mereka mendengar tentang Kim-oh-pay dan
nenek she Su apa segala.
Pada kesempatan tanya-jawab itulah, si gemuk pura-pura lupa,
ia tidak minum araknya, tapi houlo merah lantas disodorkan
kembali kepada Boh-thian sambil berkata, “O, kiranya adik cilik
adalah murid pertama dari Kim-oh-pay, pantas engkau begini
lihai. Ini, silakan minum lagi sebagai penghormatanku!”
Tapi Boh-thian melihat si gemuk belum meneguk araknya itu,
ia mengira si gemuk saking asyiknya bicara sehingga lupa
minum, segera ia berkata, “Eh, kau sendiri belum lagi minum.”
“O, ya? Aku sampai lupa,” sahut si gemuk dengan muka
merah. Karena maksudnya diketahui orang, diam-diam ia
merasa sangat mendongkol. Ia tidak tahu bahwa
sesungguhnya Ciok Boh-thian adalah bermaksud baik karena
khawatir si gemuk dirugikan karena si gemuk sendiri tidak
minum.
Padahal seluruhnya si gemuk sudah minum delapan ceguk,
kalau minum lebih banyak lagi, sekalipun ada obat pemunah
juga pasti akan berbahaya baginya. Maka terpaksa ia purapura
mengangkat houlo merah, ia tempelkan di tepi mulut
dengan lagak menenggak, tapi sebenarnya ia tutup rapat-rapat
mulutnya, maka waktu buli-buli itu diturunkan, arak yang akan
tertuang itu sudah mengalir masuk kembali ke dalam buli-buli
itu.
Perbuatan si gemuk ini sudah tentu diketahui pula oleh si
kurus. Maka ia pun lantas menirukannya, ia juga cuma
berlagak minum, tapi sesungguhnya tiada setetes arak yang
masuk ke dalam tenggorokannya.
Dan begitulah, seteguk demi seteguk secara bergiliran,
akhirnya isi houlo-houlo yang hampir penuh itu boleh dikata
ada delapan bagian yang diminum sendiri oleh Ciok Boh-thian.
Memangnya kekuatan minum arak Boh-thian tidak besar, ia
hanya mengandalkan tenaga dalamnya yang hebat sehingga
sampai sekian lamanya masih dapat bertahan. Walaupun arak
berbisa itu tiada jeleknya, bahkan bermanfaat baginya, namun
di bawah pengaruh alkohol itu, mau tak mau pikirannya
menjadi agak limbung, bicaranya menjadi banyak, ia mengoceh
tentang si A Siu, si Ting-tong, dan macam-macam lagi.
Sudah tentu si gemuk dan si kurus merasa bingung dan tidak
mengerti apa yang dikatakan pemuda itu. Pikir si gemuk,
“Masakan kekuatan minum kami berdua tidak mampu melawan
dia seorang, hal ini kalau sampai tersiar, wah, tentu akan
runyam. Apalagi sesudah dia minum habis kedua buli-buli arak
mukjizat ini, kelak dia tentu akan tambah lihai. Peribahasa
mengatakan, ‘Berpikiran sempit bukannya seorang kesatria,
kalau tidak keji bukanlah jantan’. Rasanya aku harus berani
bertindak lebih jauh.”
Karena pikiran itu, si gemuk lantas mengedipi si kurus.
Si kurus dapat menangkap maksud kawannya, segera ia
merogoh saku dan mengeluarkan sebutir pil yang disebut “Kiukiu-
wan” (pil 99) dan disiapkan di tangannya. Waktu Boh-thian
menyodorkan lagi houlo biru padanya, segera ia pura-pura
minum pula seteguk, lalu pura-pura menggunakan tangannya
buat mengusap mulut houlo, tapi yang sebenarnya ia telah
masukkan pil Kiu-kiu-wan ke dalam buli-buli itu. Sesudah dia
kocak-kocak beberapa kali, lalu berkata, “Ehmmm! Arak bagus!
Arak enak!”
Ketika si kurus melakukan perbuatannya itu, diam-diam si
gemuk juga sudah mengeluarkan sebutir pil yang bernama
“Liat-hwe-tan” (pil api membara) dan diam-diam dimasukkan
ke dalam houlo merah, Dan dengan sendirinya sisa arak
bercampur Liat-hwe-tan ini pun habis ditenggak oleh Ciok Bohthian.
Sebagai pemuda yang masih hijau pelonco, Boh-thian mengira
telah bertemu dengan dua orang peminum yang baik hati,
maka ia hanya asyik minum arak dan makan daging, sama
sekali tak terpikir olehnya bahwa kedua orang yang
sebelumnya tak dikenal itu, diam-diam hendak membikin
celaka padanya.
Begitulah, maka terdengar si kurus telah berkata, “Adik cilik,
sisa arak di dalam houlo ini tinggal sedikit saja, rupanya kau
sangat kuat minum, maka boleh kau habiskan saja.”
“Baiklah,” sahut Boh-thian dengan tertawa. “Karena kalian
tidak sungkan-sungkan, maka aku pun tidak perlu sungkansungkan
juga.”
Segera ia ambil houlo biru, baru saja ia hendak mengeringkan
isinya, tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, katanya, “Ketika
berada di atas kapal, pernah kudengar ceritanya si Ting-ting
Tong-tong, katanya kalau orang lelaki dan orang perempuan
cocok satu sama lain, maka mereka akan terikat menjadi
suami-istri. Bila lelaki suka sama lelaki, maka mereka bisa
mengangkat saudara. Hari ini secara kebetulan kita telah
bertemu di sini dan rupanya kalian cukup menghargai diriku,
kupikir sehabis makan-minum ini nanti, biarlah kita bertiga
lantas mengangkat saudara saja, dengan demikian kelak kita
akan selalu dapat makan-minum bersama dan tentu sangat
menyenangkan. Entah bagaimana pendapat kalian atas usulku
ini?”
Khawatir kalau-kalau Boh-thian tidak jadi menghabiskan
araknya, cepat si gemuk menjawab, “Bagus, bagus! Bagus
sekali usulmu ini. Nah, silakan kau habiskan sisa arak kami ini.”
“Dan bagaimana pendapat Toaya yang ini?” tanya Boh-thian
kepada si kurus.
“Tentu saja aku menurut bilamana adik cilik mempunyai
maksud baik demikian,” sahut si kurus.
Sekarang pikiran Boh-thian sudah makin limbung, keadaannya
sudah setengah mabuk, saking senangnya ia terus mengangkat
tinggi-tinggi houlo biru dan menenggak habis seluruh sisanya.
Ternyata rasanya sekarang sudah tidak sedingin tadi.
“Sungguh hebat, sungguh kuat sekali adik cilik ini. Nah, sedikit
sisa arak di dalam houlo ini pun silakan adik cilik habiskan
sekalian,” seru si gemuk dengan tertawa. “Dan habis itu segera
kita mengangkat saudara.”
Pikiran Ciok Boh-thian memangnya sangat sederhana, pula
dalam keadaan sudah sinting, dengan sendirinya mulutnya
banyak mengoceh dan banyak tingkah pula, tanpa merasa ia
pun berlagak gagah, tanpa pikir ia ambil houlo merah lagi terus
ditenggak habis sisa isinya.
Si gemuk dan si kurus saling tukar pandang, pikir mereka,
“Kiu-kiu-wan dan Liat-hwe-tan adalah racun yang tiada
bandingannya di dunia ini. Kiu-kiu-wan dibuat dengan 9x9=81
macam rumput berbisa. Liat-hwe-tan juga terbuat dari bahanKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
bahan racun yang tiada taranya seperti warangan, bisa ular
sendok, bisa laba-laba hitam dan macam-macam lagi. Tak
peduli Kiu-kiu-wan atau Liat-hwe-tan, asal sebutir
dicemplungkan ke dalam sumur atau sungai, maka penduduk
berkampung-kampung akan mati keracunan. Sekarang kedua
pil beracun digunakan sekaligus, mustahil kalau dia masih
tetap tidak akan mampus keracunan.”
Benar juga, baru saja mereka berpikir demikian, mendadak
terdengar Ciok Boh-thian telah menjerit, “Aduh! Celaka! Sakit
sekali perutku!”
Dan sambil memegang perut pemuda itu meringis dan
berjongkok.
Si gemuk dan si kurus saling pandang dengan tertawa senang.
Segera si gemuk pura-pura tanya, “He, ada apakah? Perutmu
sakit? Ah, tentu karena kau makan terlalu banyak, maka
perutmu mulas!”
“Tidak! Bukan mulas! Tapi... aduh, celaka!” teriak Boh-thian
sambil meloncat.
Berbareng si gemuk dan si kurus juga lekas-lekas melompat
bangun. Mereka mengira sebelum pemuda itu menemui ajalnya
tentu akan menyerang mereka sekuat-kuatnya, maka mereka
telah himpun tenaga dan siap menantikan segala
kemungkinan.
Ciok Boh-thian memang lantas memukul juga, tapi bukan
ditujukan kepada mereka, melainkan diarahkan kepada
sebatang pohon besar sambil berteriak, “Aduh! Sa... sakitnya
tidak kepalang!”
Karena perutnya sakit dan ususnya seperti dipuntir-puntir,
maka Boh-thian telah mengerahkan tenaga dalamnya dengan
maksud hendak memunahkan rasa sakit itu melalui
pukulannya. Tak terduga Kiu-kiu-wan dan Liat-hwe-tan
memang bukan racun sembarang racun, sekali kedua jenis
obat itu sudah bekerja, seketika perut Boh-thian seperti
disayat-sayat, sakitnya susah dilukiskan dan hampir-hampir ia
jatuh kelengar. Seketika kaki-tangannya juga terasa kaku dan
sekujur badannya terasa kejang.
Saking tak tahannya, sekuatnya tangan kiri lantas memukul ke
batang pohon. Tak tersangka sesudah pukulan itu dilontarkan,
segera rasa sakit perutnya lantas agak berkurang. Maka tangan
kanan segera dipukulkan pula kepada batang pohon.
Dan begitulah seterusnya, setiap ia melontarkan pukulan rasa
sakit perutnya lantas berkurang dan segar kembali. Tapi kalau
dia berhenti memukul, seketika perutnya kesakitan lagi,
bahkan seperti disayat-sayat dan ditusuk-tusuk.
Sambil berkaok-kaok menahan rasa sakit dan kaki-tangannya
bergerak dan memukul, maka dengan sendirinya ia telah
mengeluarkan ilmu silat yang baru saja diciptakannya ketika
berada di Ci-yan-to itu. Walaupun ilmu silatnya itu tidak begitu
teratur, tapi dahsyatnya mengejutkan.
Si gemuk dan si kurus kembali saling pandang dengan
terperanjat, berulang-ulang mereka melangkah mundur.
Mereka tahu jago silat selihai sebagai Ciok Boh-thian itu,
sesudah keracunan dan pada saat akan menemui ajalnya,
tentu seluruh kekuatan di dalam tubuhnya akan buyar dan
meledak sehingga kelakuannya akan mirip harimau gila. Asal
kena terpukul atau kena dirangkulnya, maka celakalah orang
itu.
Mereka melihat pukulan dan tendangan Ciok Boh-thian yang
dahsyat itu gayanya mirip ilmu silat Swat-san-pay dan
menyerupai pula ilmu silat keluarga Ting. Di samping itu
banyak tercampur pula ilmu silatnya Mo-thian-kisu Cia Yankhek.
Keruan mereka tambah melongo heran dan mau percaya
mungkin pemuda ini benar-benar adalah murid dari Kim-ohpay.
Makin memukul makin dahsyat dan cepat permainan Boh-thian
itu. Ia merasa setiap pukulannya dilontarkan, setiap kali pula
tenaga pukulannya itu lantas melenyapkan sedikit rasa sakit
perutnya. Maka ia memukul dengan lebih semangat lagi dan
makin dahsyat.
Walaupun demikian, sekarang si gemuk dan si kurus juga
sudah dapat menilai sampai di mana kepandaian Ciok Bohthian
itu. Meski pukulan Boh-thian itu sangat dahsyat, namun
gayanya dan caranya tidaklah luar biasa. Mereka saling
pandang dengan tersenyum dan sama-sama berpikir, “Lwekang
bocah ini memang sangat kuat, tapi ilmu silatnya ternyata
tidak seberapa. Jika Kiu-kiu-wan dan Liat-hwe-tan tidak dapat
membinasakan dia, terang pemuda ini pun bukan tandingan
kami berdua. Tadi karena tenaga dalamnya terlalu lihai, maka
terlalu tinggi menilai kepandaiannya.”
Berpikir sampai di sini, mereka menjadi sayang kepada arak
obat dan pil-pil yang berharga dan telah diminum oleh Ciok
Boh-thian tadi. Tahu begitu, sekali gebrak saja pemuda itu
sudah dapat mereka bunuh dan tidak perlu banyak membuang
waktu dan membuang barang berharga sebanyak itu.
Setelah bersilat sekian lamanya, kadar racun di dalam perut
Boh-thian juga mulai menghilang terbawa oleh tenaga dalam
yang dia keluarkan dan terdesak sampai di bagian telapak
tangan, rasa sakit perutnya juga lantas berkurang dan akhirnya
lantas lenyap juga.
Kemudian dengan agak sempoyongan Boh-thian kembali ke
samping api unggun, katanya dengan tertawa, “Wah,
sedemikian sakitnya perutku barusan ini, kukira ususku akan
putus terpuntir-puntir, sungguh aku takut setengah mati.”
Si gemuk dan si kurus menjadi terperanjat malah, pikir
mereka, “Sungguh luar biasa, ternyata di dunia ini ada
makhluk yang tak mati kena racun Kiu-kiu-wan dan Liat-hwetan.”
Segera si gemuk menanyakan, “Dan sekarang perutmu masih
sakit atau tidak?”
“Tidak, tidak sakit lagi,” sahut Boh-thian sambil mengulur
tangan kanan untuk mengambil sepotong daging babi
panggang yang sudah hampir hangus.
Di bawah cahaya api unggun tiba-tiba ia melihat di telapak
tangan sendiri itu ada bintik merah sebesar mata uang, ia
bersuara heran, “He, apa apakah ini?”
Waktu ia periksa tangan kiri, ternyata yang berada di telapak
tangan kiri ini adalah bintik-bintik biru.
Kiranya tadi ia telah mendesak racun di dalam perutnya ke
telapak tangan, cuma saja dia tidak mahir menggunakan
tenaga dalamnya sehingga tidak dapat mendesak kadar racun
itu keluar tubuh, akibatnya racun itu menjadi terkumpul pada
telapak tangannya.
Bagi si gemuk dan si kurus sudah tentu paham duduknya
perkara, maka mereka merasa lebih lega pula. Pikir mereka,
“Kiranya bocah ini pun tidak mampu memanfaatkan tenaga
dalamnya yang mahadahsyat itu, maka bocah ini lebih-lebih
tidak perlu ditakuti lagi. Boleh jadi dia memang dilahirkan
dengan keadaan yang luar biasa, atau mungkin dia telah
makan sesuatu benda mukjizat sehingga membuat tenaga
dalamnya sedemikian lihainya.”
Dalam pada itu terdengar Ciok Boh-thian telah berseru kepada
mereka, “He, tadi kita telah bersepakat akan mengangkat
saudara. Nah, siapakah di antara kalian berusia lebih tua dan
siapakah nama kalian yang terhormat?”
Sesungguhnya si gemuk dan si kurus yakin bahwa sesudah
Ciok Boh-thian minum racun mereka tentu akan binasa
seketika, makanya mereka tanpa pikir menyanggupi akan
angkat saudara dengan dia, sama sekali tak terduga, bahwa
pemuda itu ternyata tidak mempan diracun.
Selamanya kedua orang ini sangat tinggi hati dan menilai tinggi
dirinya sendiri, apa yang sudah mereka katakan tentu ditepati,
sejak mereka berhasil meyakinkan ilmu silat mereka yang
ampuh belum pernah mereka mengingkar sesuatu janji, maka
sekarang walaupun di dalam hati mereka seratus kali tidak sudi
mengangkat saudara dengan pemuda ketolol-tololan ini, tapi
terpaksa mereka harus melakukannya agar tidak mengingkari
janjinya sendiri.
Begitulah, maka sesudah si gemuk berbatuk satu kali, lalu
katanya dengan canggung-canggung, “Aku... aku bernama Thio
Sam, usiaku lebih tua sedikit daripada saudaraku yang
bernama Li Si ini. Dan kau sendiri katanya tidak punya nama,
cara bagaimana kita dapat mengangkat saudara?”
“Guruku telah memberikan suatu nama padaku, ialah Su Ek-to,
maka bolehlah kalian panggil aku dengan nama ini saja,” sahut
Boh-thian.
“Jika demikian, bolehlah kita bertiga mengangkat saudara
sekarang juga,” ujar si gemuk dengan tertawa. Lalu ia
mendahului berlutut dengan sebelah kaki dan berseru lantang,
“Hari ini Thio Sam dan Li Si mengangkat saudara dengan Su
Ek-to, sejak kini kalau ada untung akan sama dinikmati dan
jika ada kesukaran akan sama ditanggung. Bila mengingkari
sumpah ini, biarlah kelak Thio Sam akan menyerupai babi
hutan ini disembelih orang dan dimakan. Haha, haha!”
Sudah tentu “Thio Sam” (Thio si Tiga) adalah namanya yang
palsu, maka dia sengaja menyebut Thio Sam melulu dan sama
sekali tidak menyebut “Aku”, hal ini menandakan dia memang
tidak mempunyai maksud sungguh-sungguh untuk kiat-pay
atau mengangkat saudara dengan Ciok Boh-thian.
Segera si kurus juga berlutut dan menirukan si gemuk, katanya
dengan tertawa, “Ya, hari ini Li Si dan Thio Sam mengangkat
saudara dengan Su Ek-to, biarpun tidak dilahirkan pada tahun
dan hari yang sama, tapi semoga dapat mati pada hari dan
waktu yang sama. Bilamana melanggar sumpah ini, biarlah
kelak Li Si akan mati dicincang orang. Hehe, hehe!”
Dengan sendirinya “Li Si” (Li si Empat) adalah namanya yang
palsu juga. Maka sehabis mengucapkan itu, ia berulang-ulang
mengekek tawa.
Sebaliknya Ciok Boh-thian adalah seorang pemuda yang masih
hijau dan polos, ia pun berlutut dan mengangkat sumpah
dengan tulus dan sungguh-sungguh, “Hari ini aku mengangkat
saudara dengan kedua Koko (kakak) ini, bila ada arak enak dan
daging lezat tentu akan kusilakan mereka menikmati dahulu,
jika ada orang lain hendak membunuh kedua Koko, tentu aku
akan maju untuk melawannya dahulu. Apabila aku mengingkar
janji, biarlah aku dihukum untuk sakit perut setiap hari seperti
tadi.”
Melihat kesungguhan Ciok Boh-thian itu, diam-diam si gemuk
dan si kurus merasa rikuh sendiri. Si gemuk lantas berbangkit
dan berkata, “Sudahlah, Samte (adik ketiga), sekarang kami
ada urusan penting, terpaksa kita harus berpisah dahulu.”
“Toako dan Jiko (kakak tertua dan kakak kedua) hendak ke
mana?” demikian tanya Ciok Boh-thian. “Tadi Thio-toako
menyatakan sesudah kita menjadi saudara angkat, maka ada
untung akan dirasakan bersama dan kalau ada kesukaran akan
ditanggung bersama pula. Toh aku tiada punya urusan apaapa,
maka biarlah aku ikut berangkat bersama kalian saja.”
Namun si gemuk lantas bergelak tertawa, sahutnya, “Kami lagi
ada urusan, yaitu hendak mengundang tamu, hal ini tiada
menarik, maka kau tidak perlu ikut.”
Habis berkata segera ia mendahului berangkat.
Sebagai pemuda yang baru saja bergaul dan mengikat
persahabatan, Ciok Boh-thian merasa berat untuk berpisah,
segera ia pun ikut di belakang mereka dan berkata, “Biarlah
aku mengantar keberangkatan kedua Koko. Setelah berpisah,
entah kapan kita akan berjumpa dan bersama-sama makanminum
pula.”
Si kurus yang memakai nama palsu Li Si itu tetap merengut
dan tidak ambil pusing kepada Boh-thian, hanya si gemuk Thio
Sam yang masih bersenda gurau dengan dia. Katanya, “Samte,
kau bilang gurumu memberi nama Su Ek-to padamu, jika
demikian, sebelum gurumu memberi nama baru itu tentu kau
sudah mempunyai nama yang asli. Sekarang kita sudah
mengangkat saudara, masakah kita perlu berdusta dan
menyimpan rahasia?”
Boh-thian tertawa rikuh, sahutnya, “Bukanlah aku sengaja
berdusta kepada Koko, soalnya namaku terlalu tidak enak
didengar. Sejak kecil ibuku memanggil aku sebagai Kau-capceng.”
“Kau-cap-ceng? Hahahaha! Kau-cap-ceng! Nama ini memang
sangat aneh!” seru si gemuk sambil bergelak tertawa.
Langkah Thio Sam dan Li Si itu tampaknya tidak terlalu cepat,
tapi diam-diam mereka telah menggunakan ginkang yang
tinggi, maka pepohonan di tepi jalan telah mereka lewati
seperti terbang cepatnya.
Untuk sejenak Ciok Boh-thian tercengang dan tahu-tahu sudah
ketinggalan beberapa meter jauhnya, cepat ia pun angkat kaki
dan menyusulnya.
Begitulah, dua orang di muka dan satu orang di belakang, jarak
mereka selalu bertahan sejauh beberapa langkah saja. Thio
Sam dan Li Si ingin lekas-lekas meninggalkan si bocah tolol ini,
tapi meski mereka sudah mengeluarkan segenap kepandaian
ginkang mereka toh Boh-thian tetap mengintil dengan kencang
di belakang.
Bicara tentang jalan cepat mereka bertiga, maka kentara sekali
selisih kepandaian mereka yang sangat mencolok. Gaya
langkah Thio Sam dan Li Si, tampak seenaknya saja, mereka
berlenggang dengan luwes, sedikit pun tidak kelihatan terburuburu.
Sebaliknya Ciok Boh-thian harus melangkah lebar-lebar,
kedua tangannya juga berayun ke muka dan ke belakang
sambil membungkuk tubuh dan setengah berlari, kelakuannya
itu lebih mirip copet kepergok dan sedang diuber orang.
Tapi di tengah jalan cepat itu toh Ciok Boh-thian masih
sanggup membuka mulut dan bicara seperti biasa, keruan mau
tak mau si gemuk dan si kurus harus kagum kepada tenaga
dalamnya yang mahakuat itu.
Ketika tanpa merasa Boh-thian mengetahui bahwa arah yang
diambil mereka itu adalah jalan di mana dia datang tadi, yaitu
menuju kampung nelayan yang dibuat sembunyi gerombolan
Tiat-cha-hwe dan sekarang sudah sangat dekat, maka cepat
Boh-thian berseru, “He, he! Kedua Koko, di depan sana adalah
tempat berbahaya, janganlah ke sana. Marilah kita berganti
jurusan saja dan jangan mengantarkan jiwa percuma ke sana.”
Rupanya Thio Sam dan Li Si menjadi heran, berbareng mereka
berhenti dan berpaling, tanya Li Si, “Mengapa kau katakan di
depan sana adalah tempat berbahaya?”
“Ya, di muara sungai di depan sana ada sebuah kampung
nelayan, banyak sekali orang-orang Kangouw yang
bersembunyi di sana dan tidak ingin orang lain mengetahui
jejak mereka, jika mereka melihat kita bertiga hendak
memergoki tempat sembunyi mereka, boleh jadi mereka akan
terus mengganas dan akan membunuh kita.”
“Dari mana kau tahu?” tanya Li Si dengan muka masam.
Segera Boh-thian menceritakan pengalamannya, di mana dia
telah kesasar ke atas kapal yang penuh mayat, cara bagaimana
dia telah mendengar perundingan orang-orang Tiat-cha-hwe di
tempat sembunyinya dan akhirnya menyaksikan orang-orang
itu sembunyi di perkampungan nelayan itu.
“Jadi mereka sembunyi di kampung nelayan itu adalah lantaran
takut kepada Siang-sian dan Hwat-ok Sucia, ini toh tiada
sangkut paut dengan urusan kita, mengapa kita takut akan
dibunuh mereka?” ujar Li Si tetap dengan air mukanya yang
merengut.
“Tidak, tidak!” sahut Boh-thian sambil goyang-goyang kedua
tangannya. “Orang-orang itu terlalu ganas dan jahat, sedikitsedikit
lantas main membunuh, demi rahasia jejak mereka,
bahkan kawan mereka sendiri pun tidak segan-segan
dibunuhnya. Ini lihat, noda darah di atas bajuku ini adalah
tetesan darah kawan mereka yang terbunuh itu.”
“Ya, sudahlah, jika kau takut bolehlah kau jangan ikut kami,”
ujar Li Si.
“Tapi... tapi kukira kedua Koko lebih baik jangan pergi ke
sana,” kata Boh-thian. “Urusan ini tidak boleh di... dibuat mainmain.”
Namun Thio Sam dan Li Si tidak gubris padanya lagi, segera
mereka berpaling kembali dan berjalan terus. Pikir mereka,
“Percuma saja bocah ini memiliki tenaga dalam sehebat ini,
ilmu silatnya ngawur, pengecut pula seperti tikus.”
Tak tersangka, belum seberapa jauh mereka berjalan, tahutahu
Boh-thian telah menyusul tiba pula dengan langkah cepat.
“Katanya kau takut dibunuh orang-orang Tiat-cha-hwe, buat
apa kau ikut lagi?” tegur si Thio Sam.
“Bukankah kita sudah bersumpah bahwa kalau ada untung
akan dinikmati bersama dan kalau ada kesukaran akan
ditanggung bersama pula,” sahut Boh-thian. “Sekarang kalau
kedua Koko berkeras hendak ke sana, maka terpaksa aku
mengiringi kalian agar bila perlu dapat mati pada hari dan
waktu yang sama. Seorang laki-laki sejati mana boleh
melanggar janjinya sendiri.”
“Hehe, kalau nanti sekaligus berpuluh tombak orang-orang
Tiat-cha-hwe menancap di atas tubuhmu sehingga kau akan
dibikin mirip binatang landak, apakah kau tidak takut?” jengek
Li Si.
Boh-thian menjadi terbayang jeritan ngeri kedua orang Tiatcha-
hwe yang terbunuh di kapal mayat itu, diam-diam ia
mengirik juga. Ia pikir pengganas-pengganas yang sembunyi di
kampung nelayan itu sedikitnya ada ratusan orang, sekarang
dirinya hanya bertiga, biarpun betapa tinggi ilmu silat kedua
saudara angkat itu rasanya juga susah melawan orang banyak.
Melihat air muka Boh-thian menunjuk rasa jeri, segera Li Si
mengejeknya, “Sudahlah, untuk mati rasanya kami berdua
juga tidak perlu minta ditemani, kau boleh pulang saja sendiri.
Jika kami nanti tidak mati, sepuluh tahun lagi tentu kita akan
berjumpa pula.”
“Tidak, aku tetap akan ikut,” sahut Boh-thian. “Tambah
seorang pembantu tentu akan tambah baik. Andaikan kita tidak
dapat melawan jumlah mereka yang terlalu banyak, di saat
berbahaya toh kita masih dapat melarikan diri dan belum pasti
akan terbunuh.”
Melarikan diri? Huh, itu kan perbuatan pengecut!” jengek Li Si.
“Sudahlah, lebih baik kau jangan ikut saja daripada nanti
membikin malu.”
“Baiklah, aku pasti takkan lari,” sahut Boh-thian.
Karena tidak berdaya mengenyahkan Boh-thian, Li Si dan Thio
Sam hanya saling pandang dengan tersenyum ewa. Tanpa
berkata lagi mereka lantas melanjutkan perjalanan, tidak lama
kemudian sampailah mereka di tengah kampung nelayan itu.
Ternyata kapal yang penuh mayat itu sudah tak terlihat pula, di
tengah kampung itu pun sunyi senyap tiada tampak seorang
pun.
Setelah mengamat-amati keadaan setempat, lalu Thio Sam dan
Li Si mendatangi sebuah gubuk. Pintu gubuk itu didorong
terpentang, langsung mereka lantas menuju ke dapur. Sesudah
memandang keadaan sekitar tempat itu dan memikir sejenak,
tiba-tiba Thio Sam memindahkan sebuah gentong air besar
yang terletak di pojok ruangan dapur itu. Maka tertampaklah di
bawah gentong air itu ada sebuah gelang besi.
Tanpa disuruh lagi Li Si lantas pegang gelang besi itu terus
ditarik ke atas. Maka terdengarlah suara keras, sepotong papan
besi ikut terangkat dan kelihatan sebuah lubang di bawahnya.
Segera Thio Sam mendahului melompat masuk ke dalam
lubang itu. Menyusul Li Si juga melompat ke bawah.
Boh-thian terheran-heran melihat kejadian luar biasa itu.
Tanpa pikir ia lantas ikut melompat ke dalam lubang.
Mendadak di bawah lubang itu mereka disambut oleh suara
bentakan seorang, “Siapa itu?”
Menyusul angin tajam lantas menyambar, dua batang Cha
(tombak bercabang) yang mengilap telah menusuk ke arah
Thio Sam.
Tapi ketika kedua tangan Thio Sam bergerak dan menepuk di
atas batang tombak-tombak itu, di mana tenaga dalamnya
menggetar, kontan kedua penyerang itu lantas terjungkal dan
binasa.
Di depan mereka ternyata terbentang sebuah jalan lorong yang
berlika-liku, di atas dinding jalan tersulut lilin yang besar.
Setiap ada pengkolan jalan, di situ tentu dijaga oleh dua orang
lelaki. Tapi setiap kali Thio Sam cukup menggerakkan kedua
tangan dan kontan kedua laki-laki bersenjata tombak itu lantas
terbunuh. Caranya Thio Sam ternyata sangat cepat lagi jitu,
sama sekali ia tidak perlu menggunakan jurus kedua.
Boh-thian sampai melongo menyaksikan kesaktian itu,
pikirnya, “Ilmu sulap apakah yang digunakan Thio-toako ini?
Jika yang dia gunakan ini adalah ilmu silat juga, maka terang
Thio-toako jauh lebih lihai daripada Ting Put-sam, Ting Put-si,
Pek-suhu, dan lain-lain.”
Selagi pikiran Boh-thian melayang, terdengarlah suara riuh
ramai, dari depan telah membanjir tiba orang banyak.
Namun Thio Sam telah maju dengan langkah perlahan.
Sebaliknya orang-orang yang menyerbu dari depan itu
mendadak berdiri tegak, air muka mengunjuk rasa kaget dan
ketakutan.
“Apakah congthocu kalian berada di sini?” tanya Thio Sam.
Segera seorang laki-laki berperawakan tinggi besar tampil ke
muka orang banyak, katanya sambil memberi hormat,
“Maafkan kami tiada menyambut kedatangan tuan-tuan.
Silakan menuju ke ruangan besar untuk sekadar minum. O,
kiranya masih ada seorang tamu terhormat lagi. Silakan tuantuan
bertiga masuk ke dalam.”
Thio Sam dan Li Si tidak bicara lagi, mereka hanya
mengangguk saja.
Boh-thian sendiri merasa kebat-kebit, di jalan lorong yang
remang-remang dan menyeramkan itu Thio Sam berturut-turut
telah membinasakan 12 orang Tiat-cha-hwe, tampaknya pihak
mereka tentu akan menuntut balas, maka diam-diam Boh-thian
sangat khawatir. Namun dilihatnya kedua saudara angkat itu
telah melangkah ke depan seperti tidak terjadi apa-apa, sudah
tentu ia tidak dapat mundur sendirian, maka terpaksa ia
mengikut dari belakang.
Lelaki kekar tadi lantas menunjukkan jalan di depan dengan
sikap sangat hormat. Sepanjang jalan lorong itu penuh berbaris
anggota Tiat-cha-hwe yang bertombak baja, ujung tombak
yang bercabang itu tajam dan gemilapan terkena sinar lilin.
Namun Thio Sam dan Li Si anggap seperti tiada apa-apa saja,
bersama Ciok Boh-thian mereka lantas menyusur ke depan
mengikuti tuan rumah. Sesudah membelok lagi suatu
pengkolan, mendadak pandangan mereka terbeliak, mereka
telah sampai di suatu ruangan pendopo.
Di sekeliling dinding pendopo itu terpasang banyak obor
sehingga keadaan terang benderang sebagai siang hari. Sekitar
ruangan juga berdiri penuh anggota-anggota Tiat-cha-hwe
yang bertombak. Air muka semua orang ini tampak sangat
tegang.
Sekali tempo pandangan Ciok Boh-thian kebentrok dengan
sinar mata orang-orang itu, ia merasa sorot mata mereka itu
semuanya buas dan kejam sehingga membikin orang merasa
tidak aman.
Lelaki kekar tadi menyilakan Thio Sam dan Li Si duduk ke
tempat yang terhormat. Tanpa sungkan-sungkan Thio Sam dan
Li Si terus mengambil tempat duduk yang ditunjuk. Dengan
tertawa Thio Sam berkata kepada Boh-thian, “Adik kecil,
bolehlah kau duduk di sebelahku sini.”
Dan sesudah Boh-thian juga mengambil tempat duduk, lelaki
kekar itu juga mengiringi duduk di sebelah lain. Sejenak
kemudian beberapa orang pelayan yang tak bersenjata telah
menyiapkan meja dengan hidangan lengkap.
Mendadak Thio Sam dan Li Si menggerakkan tangan kiri
masing-masing, berbareng dari lengan baju mereka
menyambar keluar sesuatu benda, “plok”, kedua benda itu
jatuh berjajar di atas meja di depan si lelaki kekar tadi, kiranya
kedua benda itu adalah dua potong pening atau medali
tembaga dan ambles rata di permukaan meja.
Tertampak di atas pening tembaga itu masing-masing terukir
muka orang, yang satu muka yang tertawa dan yang lain muka
yang lagi gusar. Jadi mirip sekali dengan kedua pening
tembaga yang terpaku di atas kapal mayat orang-orang Hui-hipang
itu.
Serentak si lelaki kekar itu berbangkit demi melihat kedua
benda itu. Seketika pula terdengar suara gemerencing, ratusan
orang yang berdiri di sekitar ruangan pendopo telah
menggerakkan tombak mereka, karena tombak mereka
terpasang gelang-gelang besi, maka mengeluarkan suara
nyaring yang membisingkan telinga, berbareng orang-orang itu
pun melangkah maju satu tindak.
Diam-diam Boh-thian menjadi khawatir, “Wah, celaka, mereka
akan berkelahi. Di ruangan pendopo yang terletak di bawah
tanah ini tentu susah untuk melarikan diri.”
Waktu ia melirik kedua saudara-angkatnya, ia lihat Thio Sam
dan Li Si masih tetap tenang saja, yang satu tetap tersenyumsenyum
ramah dan yang lain tetap bermuka masam tanpa
memberi reaksi apa-apa.
“Jika sudah begini, apa mau dikata lagi?” ujar si lelaki kekar
tadi dengan lesu.
“Congthocu,” kata Thio Sam dengan tertawa, “kedatangan
kami adalah untuk mengundang kau agar suka hadir pada
pesta ‘Lap-pat-cok’ (bubur atau jenang perayaan tutup tahun)
nanti, maksud lain tidak ada, harap jangan curiga.”
Lelaki kekar itu memang benar adalah congthocu atau
pemimpin umum Tiat-cha-hwe. Dia bersangsi sejenak,
kemudian ia telah menepuk meja sekali, kedua potong pening
tembaga yang terjepit rata di muka meja itu mendadak
mencelat ke atas, dengan cepat ia sambar kedua benda itu dan
dimasukkan ke dalam baju, lalu katanya, “Baiklah, orang she
Liong pasti akan hadir pada waktunya.”
“Banyak terima kasih atas kerelaan Liong-thocu sehingga
perjalanan kami ini tidak tersia-sia,” ujar Thio Sam sambil
mengacungkan jari jempolnya.
Sekonyong-konyong di antara orang-orang yang berkerumun
itu ada seorang telah berseru, “Walaupun Liong-congthocu
adalah pemimpin kami, tapi Tiat-cha-hwe adalah milik orang
banyak, maka tidaklah pantas kalau Congthocu sendiri saja
yang disuruh memikul beban ini bagi para saudara.”
Begitu mendengar suara orang itu, segera Boh-thian mengenali
pembicara itu adalah Oh-toako yang berturut-turut membunuh
dua orang di atas kapal itu. Ia tahu orang she Oh sangat
ganas, maka diam-diam ia merasa kebat-kebit dan khawatir.
“Apa gunanya mengakibatkan korban yang lebih banyak,” ujar
congthocu she Liong itu dengan tersenyum getir. “Keputusanku
ini sudah bulat, hendaklah Oh-hiante tidak perlu banyak bicara
lagi.”
Lalu ia angkat poci arak yang sudah tersedia untuk
menuangkan arak bagi Thio Sam, tapi tangannya ternyata agak
gemetar, arak yang tertuang sampai tercecer di atas meja.
Kata Thio Sam dengan tertawa, “Konon Liong-congthocu
adalah seorang kesatria yang gagah berani, membunuh orang
biasanya tidak berkedip, tapi hari ini mengapa menjadi agak
jeri?”
Habis berkata segera Thio Sam mengangkat cawan arak dan
hendak minum. Tapi mendadak tangannya terasa kaku, cawan
arak jatuh ke lantai dan pecah berantakan, menyusul tubuh
Thio Sam lantas terkulai miring di atas kursi.
Keruan Boh-thian terkejut, cepat ia tanya, “He, kenapakah kau,
Toako?”
Segera ia pun berpaling dan tanya Li Si, “Jiko, kenapakah....”
belum habis ucapannya, tiba-tiba dilihatnya Li Si juga terkulai
lemas dan perlahan-lahan memberosot ke bawah meja.
Bab 27. Pukulan Berbisa Ciok Boh-thian Mulai
Mengganas
Tentu saja Boh-thian tambah kaget dan bingung.
Congthocu she Liong itu semula mengira kelakuan Thio Sam
dan Li Si itu hanya pura-pura dan main sandiwara saja, tapi
kemudian demi tampak muka Thio Sam merah membara,
napasnya terengah-engah, sebaliknya kedua mata Li Si
kelihatan mendelik, mukanya gelap menghitam, itulah tandatanda
terkena racun yang mahajahat. Keruan ia menjadi
girang, tapi ia masih tidak berani ambil tindakan sesuatu, ia
pura-pura berkata, “He, kenapakah? Apa barangkali arak kami
ini tidak cukup baik? Dan tuan ini mau minum tidak?”
Sambil berkata ia hendak menuangkan arak untuk Li Si.
Dalam pada itu tubuh Li Si sudah meringkuk seperti cacing di
bawah meja, tubuhnya tampak berkejang.
Sungguh kaget Ciok Boh-thian tak terkatakan, cepat ia
memayang bangun Li Si dan berkata, “Jiko, apakah... apakah
badanmu sakit?”
Nyata Boh-thian tidak tahu bahwa tadi lantaran berlomba
minum arak yang mengandung racun jahat dengan dia, maka
sedikitnya Thio Sam dan Li Si masing-masing juga telah ikut
minum tujuh atau delapan ceguk.
Menurut ukuran kekuatan Thio Sam dan Li Si itu, bila berturutturut
mereka minum dua-tiga ceguk dan segera mengerahkan
tenaga dalam untuk melawan bekerjanya racun, maka hal ini
masih tidak menjadi halangan bagi mereka.
Namun tadi mereka telah minum melampaui takaran, waktu itu
mereka masih bertahan sekuatnya dan diam-diam merasa
senang karena Ciok Boh-thian telah kena dikelabui, di samping
itu juga merasa syukur karena lwekang mereka tampaknya
telah banyak tambah maju, buktinya setelah minum arak
berbisa sebanyak itu toh tidak merasakan perut sakit dan usus
terpuntir-puntir.
Di luar perhitungan mereka bahwa tatkala itu mereka telah
minum obat pemunah, obat pemunah itu gunanya
melambatkan bekerjanya racun arak itu, dengan demikian
tenaga dalam mereka yang kuat itu lambat laun akan dapat
membaur dan memunahkan arak obat yang sudah masuk di
dalam perut, dengan demikian tenaga dalam mereka akan
bertambah lebih kuat. Jadi obat pemunah itu sebenarnya hanya
mempunyai khasiat melambatkan bekerjanya racun dan tiada
khasiat memunahkan racun.
Tapi sesudah kedua orang melakukan perjalanan cepat, di luar
dugaan pada saat yang genting racun jahat di dalam arak itu
mendadak telah bekerja di dalam perut. Keruan seketika perut
Thio Sam dan Li Si kesakitan seperti disayat-sayat, sekujur
badan mereka kaku kejang. Mereka insaf keadaan sangat
berbahaya, maka cepat mereka mengerahkan tenaga murni di
dalam pusarnya untuk bertahan, sedapat mungkin sisa arak
berbisa di dalam perut itu dibungkus dan membiarkannya
cerna sedikit demi sedikit. Kalau tidak, bila racun jahat itu
bekerja secara mendadak, tentu jantung mereka akan putus
dan bisa mati seketika.
Diam-diam mereka mengeluh, sungguh sial bahwa racun itu
justru bekerja pada saat mereka berada di sarang musuh,
andaikan bekerjanya racun di dalam perut itu sementara dapat
dilambatkan, tapi rasanya juga susah terhindar dari kekejaman
orang-orang Tiat-cha-hwe itu.
Di pihak lain, ketika mendadak melihat Thio Sam dan Li Si tibatiba
memberosot ke lantai dengan badan kejang, keringat
berbutir-butir memenuhi jidat mereka, tampaknya sangat
menderita, maka Liong-congthocu dan Oh-toako dari Tiat-chahwe
serta anak buah mereka menjadi terheran-heran dan
curiga pula. Walaupun menghadapi kesempatan yang bagus itu
untuk bertindak, namun terpengaruh oleh wibawa Thio Sam
dan Li Si yang memang sangat mereka takuti, maka sementara
itu mereka masih tidak berani bertindak apa-apa.
Dalam pada itu yang paling gelisah adalah Ciok Boh-thian, ia
coba tanya pula, “Toako, Jiko, apakah kalian mabuk atau
mendadak kalian sakit usus buntu?”
Namun Thio Sam dan Li Si tidak memberi jawaban, dengan
setengah berduduk setengah telentang cepat mereka
mengerahkan lwekang untuk melawan bekerjanya racun di
dalam perut. Selang tidak lama, mulailah dari ubun-ubun
kepala kedua orang mengeluarkan uap putih yang hampir tidak
kelihatan.
Liong-congthocu itu cukup berpengalaman, demi melihat
keadaan itu, segera ia mengisiki bawahannya she Oh tadi, “Ohhiante,
kedua orang ini terang dalam keadaan payah, kalau
bukan cau-hwe-jip-mo (kelumpuhan karena sesatnya ilmu
yang dilatih) tentu adalah sakit keras mereka mendadak
kumat. Mereka sedang mengerahkan lwekang untuk bertahan,
kesempatan ini janganlah kita sia-siakan, hayolah beramairamai
maju bersama!”
Orang she Oh itu menjadi girang. Tapi ia tidak berani
mendekat, hanya sebatang tombak lantas ditimpukkannya ke
arah Thio Sam.
Sudah tentu Thio Sam tidak sanggup menangkis, terpaksa ia
berusaha menghindar dengan sedikit memiringkan tubuhnya,
namun tidak urung tombak itu telah menancap di atas bahunya
sehingga darah bercucuran.
Kaget Ciok Boh-thian tak terhingga, cepat ia berseru, “He, kau
kenapa kau berani melukai toakoku?”
Sudah tentu orang-orang Tiat-cha-hwe tiada satu pun yang
takut padanya, pertama karena dia masih sangat muda, kedua
Boh-thian kelihatan bingung dan gugup, gerak-geriknya
tampaknya lucu. Apalagi Thio Sam yang biasanya sangat
ditakuti mereka itu sekarang dengan sangat mudah telah
dilukai, keruan mereka tambah berani dan bersemangat. Maka
tanpa menjawab lagi segera Ciok Boh-thian dipersen dengan
timpukan tiga batang tombak sekaligus oleh orang-orang Tiatcha-
hwe.
Dengan gugup Boh-thian sempat menggunakan lengan kiri
untuk menyengkelit sehingga dua batang tombak kena
ditangkis mencelat, berbareng tangan kanan digunakan untuk
menangkap tombak ketiga, menyusul tubuhnya menggeser,
cepat ia menjaga di depan tubuh Thio Sam dan Li Si yang tak
berkutik itu.
Dalam keadaan panik, tiba-tiba lima batang tombak baja telah
menyambar pula. Cepat Boh-thian putar tombak rampasannya
itu, satu per satu tombak-tombak musuh itu kena dipukul
mencelat kembali sehingga dua anggota Tiat-cha-hwe berbalik
jatuh menjadi korban, yang seorang kepalanya pecah dan yang
lain perutnya tertembus.
Liong-congthocu itu cukup cerdik, ia melihat tempat yang agak
sempit itu sukar menggunakan senjata, kalau pertarungan
demikian diteruskan tentu akan lebih banyak melukai
kawannya sendiri. Maka cepat ia berseru, “Semua orang
berhenti dahulu, biarkan aku sendiri yang membereskan anak
jadah ini!”
Serentak anak buahnya lantas menyingkir. Ketika Liongcongthocu
itu membungkuk tubuh, kedua tangannya meraba
ke kain pembebat kakinya, ketika menegak kembali, tahu-tahu
kedua tangannya masing-masing sudah memegang sebilah
belati yang mengilap.
“Hayo mundur, saksikanlah congthocu kita membereskan anak
jadah itu!” teriak anggota-anggota Tiat-cha-hwe sambil
menyingkir dan berdiri memepet dinding pendopo.
Mendadak Liong-congthocu itu melompat maju secepat kilat,
tahu-tahu ia sudah berada di samping Ciok Boh-thian, kedua
belatinya lantas menyambar dari atas dan bawah, masingmasing
mengincar muka dan pinggang pemuda itu.
Sama sekali Ciok Boh-thian tidak menduga datangnya
serangan lawan ternyata begini cepat, keruan ia menjadi
kelabakan, sambil berseru kaget lekas-lekas ia melangkah ke
samping, namun tidak urung pinggang dan lengannya juga
sudah terkena belati musuh. “Trang”, berbareng tombak
rampasannya itu pun jatuh ke lantai.
Melihat kepandaian Ciok Boh-thian ternyata tidak tinggi, diamdiam
Liong-congthocu itu merasa lega dan mendapat hati.
Sambil membentak-bentak kembali ia menubruk maju pula
sebagai harimau menerkam mangsanya.
Karena sudah kepepet, dalam keadaan gugup Ciok Boh-thian
harus melawan sebisanya, tanpa pikir tangan kirinya lantas
menolak ke depan, ternyata yang digunakannya ini adalah
salah satu jurus yang telah diciptakannya sewaktu berada di
Ci-yan-to tempo hari. Di luar dugaan, tolakan tangannya itu
telah menimbulkan serangkum angin yang mahakuat dan
menyambar ke arah lawan.
Seketika Liong-congthocu itu merasa napasnya menjadi sesak
dan cepat-cepat ia melompat pergi. Untunglah Ciok Boh-thian
belum matang betul atas jurus-jurus serangan ciptaannya
sendiri itu sehingga tidak terpikir olehnya untuk melakukan
serangan susulan lagi.
Diam-diam Liong-congthocu terkejut, pikirnya, “Kiranya ilmu
silat bocah ini sesungguhnya tidak lemah. Daripada banyak
terjadi hal-hal yang tak terduga, apalagi kalau kedua orang itu
sembuh kembali, tentu aku bisa celaka. Paling perlu bocah ini
harus dimampuskan lebih dulu.”
Maka cepat kedua belatinya berputar naik-turun dan kembali ia
menubruk maju ke arah Ciok Boh-thian.
Luka di lengan Boh-thian yang terkena belati tadi sangat
ringan, tapi pinggang yang tertusuk itu terasa sangat sakit.
Karena sekali balas serang Liong-congthocu itu kena dipaksa
mundur, diam-diam Boh-thian berpikir, “Eh, rupanya jurus
serangan yang kuciptakan dengan secara ngawur itu boleh juga
digunakan.”
Ketika dilihatnya Liong-congthocu menerjang maju pula dengan
bengis, cepat Boh-thian lantas mengegos ke samping,
berbareng tangannya membalik dan menghantam ke punggung
lawan.
Sebagai pemimpin besar Tiat-cha-hwe, sudah tentu ilmu silat
Liong-congthocu itu bukanlah kaum keroco yang rendah. Ketika
didengarnya setiap pukulan Ciok Boh-thian itu selalu membawa
sambaran angin yang keras, tenaga dalamnya ternyata sangat
lihai, diam-diam ia menjadi jeri. Sekarang ia tidak berani ayal
dan memandang ringan lagi kepada Ciok Boh-thian, segera ia
mengeluarkan segenap kepandaian yang diandalkannya, ia
mulai menyerang ke tempat yang mematikan di tubuh pemuda
itu dengan jurus-jurus serangan yang paling ganas.
Semula Ciok Boh-thian agak repot juga melayani serangan
musuh yang menggencar itu, tapi lama-lama ia pun dapat
mengikutinya sehingga pertarungan kedua orang makin lama
makin sengit.
Bermula juga anggota-anggota Tiat-cha-hwe masih bersoraksorak
memberi bantuan semangat kepada congthocu mereka,
tapi sampai akhirnya mereka menjadi melongo dan ikut
berdebar-debar menyaksikan pertempuran seru itu dan lupa
bersorak lagi.
Dalam pada itu Thio Sam dan Li Si masih tetap menggeletak
tak berkutik, sambil mengerahkan tenaga dalam untuk
melawan meluasnya racun di dalam perut mereka pun
mengikuti pertarungan sengit antara Ciok Boh-thian melawan
Liong-congthocu. Mereka sadar bahwa mati atau hidup mereka
hanya tergantung kepada hasil pertempuran itu.
Berulang-ulang mereka melihat banyak kesempatan bagus bagi
Ciok Boh-thian untuk mengalahkan lawannya, tapi
kesempatan-kesempatan itu telah disia-siakan semua oleh
pemuda itu. Sungguh mereka merasa sayang sekali dan gelisah
pula, bahkan mereka pun tidak berani terlalu memencarkan
perhatian sehingga mengganggu tenaga dalam sendiri yang
sedang dikerahkan untuk melawan racun itu.
Setelah pertempuran berlangsung beberapa lama pula,
mendadak Ciok Boh-thian melancarkan sebuah pukulan. Baru
saja Liong-congthocu itu hendak menangkis, tiba-tiba ia
mencium dari angin pukulan lawan itu terbawa semacam bau
harum yang memabukkan, seketika kepalanya menjadi pusing,
orangnya lantas roboh dan tak sadarkan diri lagi. Tapi air
mukanya memperlihatkan tersenyum-senyum yang aneh.
Ciok Boh-thian berbalik terperanjat atas kejadian itu, cepat ia
melompat mundur dan berseru, “He, kenapa? Apa kau
terpeleset jatuh? Boleh lekas bangun!”
Dari samping orang yang dipanggil sebagai Oh-toako itu telah
berlari mendekati sang congthocu, tertampak muka pemimpin
mereka itu berwarna matang biru, itulah pertanda kena racun
yang mahajahat. Waktu diperiksa pula napasnya, ternyata
orangnya sudah mati.
Saking kaget dan gusarnya Oh-toako itu lantas berteriak
dengan suara parau, “An... anak jadah, kau... kau berani main
licik dengan memakai racun, biarlah kita meng... mengadu jiwa
saja dengan dia.... Hayolah kawan-kawan, maju semua untuk
menuntut balas, Cong... Congthocu telah dibinasakan oleh
anak bangsat ini!”
Orang-orang Tiat-cha-hwe serentak berteriak-teriak, mereka
angkat tombak terus menyerang serabutan ke arah Ciok Bohthian.
Dengan mati-matian Ciok Boh-thian tetap mengadang di depan
Thio Sam dan Li Si dan tidak berani menyingkir pergi, ia
khawatir kalau sedikit lena tentu kedua saudara angkat akan
dibunuh oleh tombak-tombak baja yang tak terhitung
banyaknya itu.
Ketika sudah berbahaya, segera Boh-thian merebut sebatang
tombak musuh, sekuatnya ia patahkan tombak itu sehingga
menjadi pendek, lalu dia mainkan Kim-oh-to-hoat dengan
kencang untuk menangkis dan menghalau serangan musuh.
Karena tenaga dalamnya memang sangat kuat dan tersalur ke
batang tombaknya yang pendek itu, maka susahlah bagi
musuh yang ingin menahannya, dalam sekejap saja belasan
senjata lawan sudah tersampuk jatuh atau terpental.
Ada seorang anggota Tiat-cha-hwe yang berdiri paling depan,
ketika tombaknya terbentur dan mencelat, segera ia menubruk
maju, kedua tangannya terus mencakar ke muka Ciok Bohthian.
Melihat lawan itu menerjang dengan kalap, cepat tangan
kirinya menyapu ke depan, maka terdengarlah suara “prak”
yang keras, dengan tepat kesepuluh jari musuh kena ditampar
sehingga sembilan di antara sepuluh jari itu patah semua,
menyusul orang itu lantas terkulai ke lantai dan tak berkutik
lagi.
Dalam pertarungan sengit itu, dengan sendirinya tiada orang
sempat memerhatikan mati atau hidupnya anggota Tiat-chahwe
itu. Segera ada tujuh atau delapan kawannya menerjang
maju lagi, ada yang bertombak dan ada yang bertangan
kosong, dengan nekat mereka mengerubut Ciok Boh-thian.
Boh-thian sendiri tidak berani mundur barang selangkah pun,
ia khawatir akan memberi lowongan kepada musuh sehingga
kedua kakak-angkatnya mendapat cedera. Maka bila dilihatnya
ada musuh mendesak maju, kontan tangannya lantas
menampar atau menabok. Dan setiap kali ia menyerang, aneh
juga, entah sebab apa pihak lawan pasti roboh terjungkal,
saktinya tidak alang kepalang.
Begitulah, maka berturut-turut enam atau tujuh orang telah
dirobohkan oleh Ciok Boh-thian. Tentu saja pihak lawan
menjadi geger, banyak di antaranya berteriak-teriak, “Awas,
pukulan anak keparat ini berbisa dan sangat lihai, kawankawan
harus hati-hati!”
Lalu ada orang berseru pula, “Ya, Ong-samko dan Sun-loliok
juga telah binasa dipukul anak bangsat itu, hati-hatilah ka...
kawan....” belum selesai ucapan orang ini, “bluk”, tahu-tahu ia
sendiri pun roboh terkapar, tombaknya yang antap tepat
memukul mukanya sendiri.
Rupanya orang ini belum lagi terkena pukulan berbisa dari Ciok
Boh-thian, tapi dia toh mati juga keracunan.
Di ruangan pendopo itu masih banyak anggota-anggota Tiatcha-
hwe yang belum sempat ikut bertempur, mereka menjadi
saling pandang dengan penuh ketakutan, tanpa merasa mereka
mundur ke belakang selangkah demi selangkah. Menyusul
terdengarlah suara gedubrakan dan gemerencing yang nyaring
ramai, ternyata anggota-anggota Tiat-cha-hwe itu satu per
satu telah roboh terjungkal dengan sendirinya, ada yang
sempat memutar tubuh dan hendak melarikan diri, tapi belum
seberapa langkah, tidak urung juga roboh terkapar dengan
tombak mereka.
Hanya dalam sekejap saja ratusan laki-laki tegap yang berada
di ruangan pendopo itu sudah bergelimpangan memenuhi
pendopo, tinggal empat orang saja yang berkepandaian paling
tinggi, sedapat mungkin mereka menutupi mulut dan hidung
sendiri, lalu mencari jalan buat berlari keluar. Namun mereka
hanya mampu mencapai pintu ruang pendopo saja, lalu
keempat orang itu jatuh terjungkal semua dan binasa.
Menyaksikan keadaan demikian, bukannya Boh-thian bergirang
atas kemenangannya, sebaliknya ia menjadi ternganga takut.
Jauh lebih takut daripada waktu dia kesasar ke atas kapal yang
penuh mayat di Ci-yan-to tempo hari. Maklum, waktu di atas
kapal itu, yang dilihatnya adalah mayat anggota-anggota Huihi-
pang yang sudah mati lebih dulu, tapi sekarang anggotaanggota
Tiat-cha-hwe ini satu per satu menggeletak mati di
depan matanya secara aneh, entah kena sihir atau disambar
iblis nyawa mereka itu.
Tiba-tiba Boh-thian teringat kepada seruan orang-orang Tiatcha-
hwe tadi yang mengatakan pukulannya yang berbisa itu
terlalu lihai, ia menjadi bingung sebab selamanya dirinya toh
tidak pernah berlatih ilmu pukulan yang berbisa apa segala.
Ketika tanpa sengaja ia coba mengamat-amati telapak
tangannya sendiri, tiba-tiba terlihat di tengah-tengah telapak
tangan itu terdapat toh merah sebesar gobang, di pinggir toh
merah itu banyak terdapat garis-garis biru yang aneh. Dengan
terheran-heran Boh-thian mengamat-amati sampai sekian
lamanya, akhirnya ia merasa jijik sendiri, kedua tangan sendiri
seakan-akan telah berubah sebagai benda-benda yang
memuakkan, hidungnya mengendus pula bau yang aneh,
seperti bau wangi dan seperti bau busuk yang susah dilukiskan.
Boh-thian tidak ingin melihat tangannya sendiri lagi, ia coba
berpaling memandang Thio Sam dan Li Si, keadaan kedua
orang itu tampaknya baik-baik saja, ubun-ubun kepala mereka
makin banyak mengepulkan uap putih, di bahu Thio Sam masih
tetap menancap tombak yang ditimpukkan orang Tiat-cha-hwe
tadi.
Boh-thian pikir tombak yang menancap di bahu sang toako itu
harus dicabut keluar lebih dahulu. Maka ia lantas mendekati
Thio Sam, ia pegang gagang tombak dan perlahan-lahan
dicabut ke luar. Darah segar lantas memuncrat keluar dari
bahu Thio Sam. Cepat Boh-thian menahan luka itu dan
menyobek ujung bajunya dan digunakan membalut luka sang
toako.
Terdengar Thio Sam telah menarik napas panjang, lalu dengan
suara lemah ia berkata, “Deng... dengarkanlah dan... dan
kerjakanlah... menurut... petunjukku....”
Kiranya keadaan Thio Sam dan Li Si sama payahnya terkena
racun araknya sendiri, tapi sesudah pundak Thio Sam
mengeluarkan darah, hal ini malah membikin bekerjanya racun
dihambat untuk sementara. Ia insaf kesempatan yang cuma
sedetik itu adalah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan
diri, maka dengan sepenuh tenaga ia coba bicara kepada Ciok
Boh-thian.
“Ya, baiklah, pasti akan kukerjakan menurut petunjuk Toako,”
demikian Boh-thian menjawab.
“Gun... gunakanlah... tangan kirimu un... untuk menahan lengtay-
hiat di.... di punggungku....” kata Thio Sam dengan
terputus-putus dan sekata demi sekata, dan sesudah bernapas,
lalu ia menyambung pula.
Begitulah, sesudah banyak membuang tenaga dan dengan
susah payah akhirnya barulah Thio Sam selesai memberi
petunjuk kepada Ciok Boh-thian, caranya mengerahkan
lwekang untuk membantu mendesak keluar kadar racun yang
mengeram di dalam tubuhnya. Ketika habis bicara, saking
letihnya jidatnya sampai penuh butiran keringat yang besarbesar,
wajahnya juga merah membara dan napas terengahengah.
Boh-thian tidak berani ayal lagi, segera ia kerjakan menurut
petunjuk sang toako. Ia membuka baju Thio Sam dan
menggunakan tangan kiri untuk menahan di leng-tay-hiat di
bagian punggung, sedangkan tangan kanan menahan di tantiong-
hiat, tenaga dalam dikerahkan masuk melalui tangan kiri
untuk mendesak kadar racun, sebaliknya tangan kanan
mengerahkan tenaga untuk mengisap keluar.
Benar juga, tidak antara lama terasalah ada suatu arus hawa
yang hangat dan halus telah menyusup masuk melalui tangan
kanannya. Yang terpikir oleh Ciok Boh-thian hanya menolong
jiwa Thio Sam saja, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa
lantaran kerjanya itu kembali badannya sendiri telah
kemasukan kadar racun yang tidak sedikit, yaitu racun yang
asalnya mengeram di tubuh Thio Sam.
Selagi Boh-thian asyik melakukan tugasnya itu, tiba-tiba
terdengar suara tindakan orang banyak. Dari luar telah berlari
masuk belasan orang yang semuanya bersenjata tombak.
Terang mereka adalah anggota Tiat-cha-hwe pula. Begitu
mereka memasuki ruangan dengan sendirinya mereka lantas
kaget melihat pemimpin dan kawan-kawan mereka sudah
menggeletak tak bernyawa memenuhi pendopo itu.
Kiranya orang-orang Tiat-cha-hwe ini bertugas menjaga di luar,
karena sudah sekian lamanya tiada terdengar sesuatu suara
atau perintah dari sang congthocu, maka sebagian di antara
mereka lantas masuk ke situ untuk melihat apa yang sudah
terjadi.
Sudah tentu mereka tidak menduga bahwa kawan-kawan
mereka sudah mati semua, saking kagetnya mereka melihat
pula Ciok Boh-thian, Thio Sam dan Li Si masih duduk di atas
lantai situ dan terang juga terluka parah, maka sambil
berteriak-teriak anggota-anggota Tiat-cha-hwe itu serentak
menyerbu maju sambil mengacungkan tombak mereka.
Mestinya Ciok Boh-thian hendak berbangkit untuk menghalau
musuh. Tak tersangka belasan orang Tiat-cha-hwe itu baru
menerjang maju kira-kira beberapa meter jauhnya, mendadak
tubuh orang-orang itu lantas sempoyongan seperti orang
mabuk, menyusul satu per satu lantas roboh terkulai, seperti
nasib kawan-kawan mereka yang lain, belasan orang itu pun
mati tanpa bersuara.
Boh-thian sendiri tidak alang kepalang kagetnya, jantungnya
sampai berdebar-debar, ia berteriak dengan gemetar, “Toako...
Toako, apakah... apakah di ruangan ini ada setan? Le... lekas
kita pergi saja dari sini!”
Namun Thio Sam menjawabnya dengan menggeleng. Saat itu
sebagian racun di tubuhnya sudah terdesak keluar, sakit
perutnya sudah tidak sehebat tadi, maka dapatlah ia bicara
dengan lebih lancar, “Boleh kau menggunakan cara barusan ini
un... untuk menolong Jiko pula.”
Boh-thian mengiakan. Segera menurutkan cara ajaran Thio
Sam tadi untuk mengisap racun Li Si. Sekarang yang terasa
masuk di telapak tangannya adalah hawa halus yang dingin
segar.
Kira-kira sepertanak nasi kemudian, kadar racun di dalam
tubuh Li Si sudah banyak berkurang, maka bergilir Thio Sam
yang ditolong.
Begitulah secara bergilir, berulang-ulang Boh-thian telah
mengisap tiga kali pada tiap-tiap orang itu. Walaupun sisa
racun belum lenyap seluruhnya, tapi sekarang sudah tidak
berhalangan lagi bagi Thio Sam dan Li Si.
Melihat mayat yang bergelimpangan di sekitar mereka, teringat
kepada keadaan bahaya tadi, mau tak mau Thio Sam dan Li Si
merinding sendiri dan bersyukur pula atas pertolongan Ciok
Boh-thian. Melihat air muka Ciok Boh-thian walaupun merasa
takut-takut, tapi gerak-geriknya sangat tangkas, sedikit pun
tiada tanda-tanda keracunan, maka diam-diam Thio Sam dan Li
Si tidak habis mengerti, mereka merasa bocah ini mungkin
memiliki kekebalan pembawaan atau mungkin pernah makan
obat mukjizat apa-apa sehingga tidak mempan keracunan.
Hendaklah maklum bahwa arak berbisa dari kedua houlo itu
sebagian besar telah diminum Ciok Boh-thian, yang diminum
Thio Sam dan Li Si hanya sebagian kecil saja, tapi sekarang
boleh dikata hampir seluruhnya kadar racun dari arak kedua
houlo itu masuk di dalam tubuh Ciok Boh-thian. Sebabnya
orang-orang Tiat-cha-hwe itu seketika binasa bila kesampuk
oleh angin pukulannya terang adalah karena tersebarnya racun
mahajahat melalui telapak tangannya. Bahkan akhirnya seluruh
ruang pendopo itu pun penuh dengan hawa berbisa sehingga
orang yang masuk ke situ akan mati seketika.
“Baiklah, Jite dan Samte, marilah kita pergi dari sini,” akhirnya
Thio Sam berkata dan segera mendahului berjalan keluar
dengan diikuti oleh Li Si dan Boh-thian.
Sesudah keluar dari lorong di bawah tanah, tertampaklah di
atas berdiri beberapa puluh orang yang berkerumun di sekitar
lubang masuk itu, semuanya bersenjata tombak dan sedang
mengintai-intai.
Waktu melihat Thio Sam bertiga muncul, serentak mereka
merubung maju. Seorang di antaranya lantas menegur,
“Congthocu di mana? Mengapa belum lagi keluar?”
“Congthocu kalian berada di dalam,” sahut Thio Sam dengan
tertawa. “Jika kau ingin bertemu bolehlah masuk saja.”
“Mengapa kalian keluar lebih dulu?” seorang yang berada di
barisan depan ikut tanya.
“Hal ini aku sendiri pun tidak mengerti, maka lebih baik kalian
boleh masuk ke dalam dan tanya saja kepada Congthocu,”
sahut Thio Sam dengan tertawa. Berbareng kedua tangannya
lantas menjulur ke depan, kontan dua orang kena
dicengkeramnya terus dilemparkan ke dalam lorong di bawah
tanah.
Perawakan kedua orang itu sangat kekar, ilmu silat mereka pun
tampaknya tidak lemah, siapa duga hanya sekali dicengkeram
saja mereka lantas tak bisa berkutik, mirip bangkai saja
mereka telah terlempar ke dalam lorong.
Keruan kawan-kawannya menjerit kaget, berbareng mereka
angkat tombak terus menyerang. Sama sekali Thio Sam tidak
menghindar atau berkelit, sebaliknya ia mendesak maju dan
kedua tangannya menyambar ke depan, kontan dua orang
kena dicengkeram lagi terus dilemparkan pula ke belakang.
Ternyata serangan Thio Sam itu teramat jitu, di mana
tangannya sampai tentu sasarannya kena dicengkeramnya.
Walaupun orang-orang Tiat-cha-hwe itu juga menyerang, tapi
tombak mereka selalu menusuk tempat kosong atau cepatcepat
ditarik kembali karena khawatir mengenai kawannya
sendiri, maklum, mereka berkerumun di tempat yang sempit.
Ciok Boh-thian hanya menonton saja di samping, dilihatnya
Thio Sam seenaknya saja mencengkeram dan melemparkan
musuh sehingga mirip elang menyambar anak ayam, tak peduli
cara bagaimana musuh berusaha melawannya atau ingin lari,
tapi selalu sukar meloloskan diri dari cengkeraman dan
lemparannya itu.
Makin melihat Boh-thian makin ternganga heran, sungguhsungguh
tak terpikir olehnya bahwa di dunia ini ternyata ada
kepandaian setinggi ini. Kalau dibandingkan sang toako angkat
ini, maka jago-jago yang pernah dikenalnya seperti Pek-suhu,
Ciok-cengcu, Ting Put-sam dan Ting Put-si, Su-popo, dan lainlain,
apalagi si Ting-ting Tong-tong segala, boleh dikata tiada
artinya lagi.
Di sebelah lain Li Si ternyata tidak perlu maju membantu, ia
hanya berpangku tangan mengikuti kejadian itu.
Sesudah belasan orang dicengkeram dan dilemparkan ke dalam
lorong oleh Thio Sam, segera Thio Sam memutar ke belakang
untuk mengincar orang-orang yang berdiri paling jauh sehingga
lambat laun orang-orang Tiat-cha-hwe itu didesak mendekati
lubang lorong.
Sisa orang-orang Tiat-cha-hwe itu kini tinggal 30-an saja.
Mereka menjadi ketakutan demi melihat ilmu silat Thio Sam
yang luar biasa itu, segera ada orang mendahului berteriak,
“Lari!”
Cepat orang itu melarikan diri ke dalam lorong di bawah tanah.
Tanpa pikir kawan-kawannya lantas ikut masuk juga.
“He, jangan masuk ke sama, di dalam sana sangat berbahaya!”
seru Boh-thian.
Tapi siapa yang mau percaya dan menurut padanya? Bahkan
orang-orang itu berebut mendahului menyelamatkan diri ke
dalam lorong yang sudah penuh hawa berbisa itu. Dan sudah
tentu, tiada lama berselang orang-orang itu pun berturut-turut
binasa semua.
Sungguh Boh-thian tidak habis mengerti, ia merasa bingung
sebab apakah anggota-anggota Tiat-cha-hwe itu bisa
mendadak mati satu per satu dan mengapa sang toako dan jiko
itu juga mendadak sakit perut dan keracunan? Pula untuk apa
sang toako sengaja menggiring orang-orang itu masuk ke
lorong di bawah tanah?
Begitulah ia menjadi ragu-ragu dan entah cara bagaimana
harus ditanyakan kepada kakak-kakak angkat itu. Sejenak
kemudian, ia coba minta keterangan kepada Thio Sam,
“Toako....”
Tapi mendadak Thio Sam memotong, “He, siapakah yang
datang itu?”
Ketika Boh-thian berpaling, ia tidak melihat bayangan seorang
pun, segera ia tanya, “Siapakah yang datang? Di mana
orangnya?”
Namun tak terdengar Thio Sam menyahut. Waktu Boh-thian
berpaling kembali, ia menjadi terkejut. Ternyata Thio Sam dan
Li Si sudah menghilang.
“Toako! Jiko! Ke manakah kalian?” seru Boh-thian. Berulangulang
ia berteriak, namun tiada jawaban apa-apa.
Kampung nelayan itu banyak terdapat rumah-rumah gubuk,
berturut-turut ia memeriksa beberapa rumah gubuk itu, tapi
semuanya kosong melompong tiada bayangan seorang pun.
Tatkala itu sang surya baru saja muncul di ufuk timur, seluruh
kampung nelayan itu terang benderang, tapi keadaan sunyi
senyap dan tinggal dia seorang diri.
Teringat kematian orang-orang Tiat-cha-hwe yang mengerikan
di lorong itu, Boh-thian menjadi merinding takut. Mendadak ia
menjerit terus berlari terbirit-birit keluar kampung.
Sesudah belasan li berlari barulah Boh-thian melambatkan
langkahnya. Waktu ia periksa kembali telapak tangannya
sendiri, ia melihat toh merah yang timbul di tengah telapak
tangan itu sekarang sudah hilang sebagian besar dan tidak
sejijik seperti tadinya, maka legalah hatinya.
Kiranya timbulnya toh merah di telapak tangan itu adalah
tergantung keadaan, karena dia sudah tidak mengerahkan
tenaga, maka racun yang terdesak itu lantas mengalir kembali
ke dalam tubuh melalui urat nadinya. Dan begitulah
selanjutnya karena dia berlatih tiap hari, maka racun jahat itu
pun perlahan-lahan punah sendiri dan lwekangnya juga ikut
bertambah hebat. Sesudah 7x7=49 hari nanti barulah seluruh
kadar racun di dalam tubuh itu dapat punah seluruhnya.
Begitulah, tanpa membedakan arah, Ciok Boh-thian terus
berjalan mengikuti langkahnya. Sesudah setengah harian,
kembali ia telah sampai di tepi Tiangkang (Sungai Panjang).
Segera ia menyusur jalan di tepi sungai itu dan menuju ke hilir
sungai.
Sewaktu tengah hari sampailah di suatu kota kecil, Boh-thian
membeli bakmi sekadar isi perut, lalu melanjutkan perjalanan
ke timur.
Karena dia tiada mempunyai sesuatu kepentingan, maka ia
terserah ke mana dirinya akan terbawa oleh kakinya. Waktu
petang, tiba-tiba dilihatnya jauh di depan di antara hutan sana
ada dinding rumah, sesudah dekat, kiranya adalah sebuah
kelenteng yang megah. Di depan kelenteng itu terbentang
sebuah jalanan yang lebar dan rata terbuat dari papan-papan
batu. Tiba-tiba dari dalam kelenteng tampak berjalan keluar
dua tojin (imam agama To atau Tau) berkopiah kuning dan
membawa pedang.
Waktu melihat Ciok Boh-thian, dengan langkah cepat kedua
tojin setengah umur itu lantas mendekatinya. Seorang imam
itu lantas menegur, “Kau mau apa?”
Rupanya dia melihat pakaian Boh-thian kotor dan kumal,
usianya masih muda, kelakuannya juga ketolol-tololan, maka
nada teguran imam itu menjadi agak kasar.
Namun Boh-thian tidak ambil pusing, ia menjawab dengan
tertawa, “Ah, tidak mau apa-apa, aku hanya berjalan-jalan
saja. Eh, apakah di sini adalah kelenteng hwesio (padri agama
Buddha)? Apakah bisa memberi sedikit makanan padaku?”
“Anak goblok sembarangan omong,” semprot tojin itu dengan
gusar. “Kau sendiri lihat apakah aku ini seorang hwesio? Hayo,
lekas enyah, lekas! Kalau berani main gila lagi ke Siang-jingKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
koan sini, awas kedua kaki anjingmu!”
Berbareng tojin yang lain tampak meraba-raba pedangnya
dengan muka bengis, lagaknya seperti segera akan lolos
senjata untuk membunuh orang.
Namun dengan tertawa Boh-thian hanya berkata, “O, jika
bukan kelenteng hwesio, maka tentulah kelenteng tosu.
Soalnya perutku sudah lapar, maka ingin minta sedikit
makanan pada kalian, toh aku tidak ingin berkelahi. Ya, tanpa
sebab buat apa mesti membunuh dua orang tojin?”
Sambil berkata ia pun terus berjalan pergi.
“Kau bilang apa?” damprat imam yang muda tadi dengan
gusar, berbareng ia lantas memburu maju.
Apa yang dikatakan Ciok Boh-thian itu sesungguhnya tidaklah
salah. Ketika di ruang bawah tanah di tempat sembunyi orangorang
Tiat-cha-hwe itu, sekali tangannya bergerak tentu jatuh
seorang korban, hal ini membuatnya sangat menyesal, maka ia
benar-benar tidak ingin berkelahi lagi dengan orang. Sekarang
dilihatnya imam muda itu memburu dan hendak melabraknya,
ia menjadi khawatir jangan-jangan di luar tahunya kembali
imam itu dibunuhnya pula. Maka tanpa pikir lagi ia terus
angkat langkah seribu, dengan cepat ia lari masuk ke dalam
hutan.
Maka terdengarlah kedua tojin itu tertawa terbahak-bahak.
Imam yang setengah umur tadi berkata, “Hahaha! Rupanya
seorang bocah dogol, hanya sedikit digertak saja sudah lari
terbirit-birit mencawat ekor!”
Boh-thian sendiri merasa lega melihat kedua imam itu tidak
mengejarnya. Tapi hari sebentar lagi akan gelap, untuk
mencari sedikit makanan atau buah-buahan sekadar tangsel
perut juga susah, sebab hutan itu melulu pohon cemara dan
sebagainya yang tak berbuah.
Ia coba berlari ke atas sebuah bukit kecil dan memandang
sekitarnya, ia lihat dari belasan rumah. Cerobong rumah bagian
belakang tampak mengepulkan asap, hal ini menandakan
penghuninya sedang menanak nasi dan memasak. Kecuali
kompleks bangunan kelenteng itu tiada terdapat bangunan lain
di sekitar situ.
Melihat cerobong yang mengepulkan asap, Ciok Boh-thian
menjadi terbayang-bayang kepada masakan-masakan enak,
maka perutnya yang lapar itu tambah berkeroncongan. Ia pikir,
“Para tojin itu tampaknya sangat garang, baru saja bicara
sudah ajak berkelahi. Biarlah aku mengintip ke rumah belakang
sana, bila ada makanan, segera aku mencurinya dan lari.”
Begitulah ia lantas memutar ke belakang kelenteng, ditujunya
rumah yang bercerobong asap tadi, lalu ia menggeremet maju
mepet tembok. Tiba-tiba dilihatnya pintu belakang rumah itu
setengah tertutup dan setengah terbuka, keruan ia menjadi
girang. Ia melongok ke dalam dan melongok ke belakang
seperti maling khawatir kepergok, lalu menyelinap masuk ke
dalam.
Sementara itu hari sudah gelap, sesudah masuk pintu belakang
itu, maka Boh-thian telah berada di suatu pelataran dalam. Di
sebelah sana adalah serambi panjang dengan kamar dapur
yang besar, terdengar suara wajan gemerencang terketok dan
suara minyak mengosos disertai bau sedap yang teruar jauh ke
luar dapur.
Keruan semua itu makin merangsang selera Ciok Boh-thian
yang memang sudah kelaparan itu, hampir saja ia mengiler,
cepat ia menelan ludah, biji lehernya sampai naik-turun.
Ia dengar di dalam dapur itu banyak orang, ia pikir kalau
menuju langsung ke sana tentu akan kepergok. Tiba-tiba ia
mendapat akal, dengan hati-hati ia mendekati pintu dapur, ia
sembunyi di pinggir serambi yang gelap. Pikirnya, “Ingin
kulihat masakan yang selesai diolah itu nanti dibawa ke mana?
Jika di dalam ruang makan sana toh belum ada orang, maka
aku akan mencuri sepotong daging dan semangkuk nasi, lalu
akan kubawa lari, dengan demikian aku tak perlu berkelahi
atau membunuh orang lagi.”
Benar juga, tidak antara lama, terlihatlah tiga orang keluar dari
kamar dapur itu. Semuanya adalah tosu kecil. Seorang
membawa tanglung (lampu berkerudung) berjalan di depan, di
belakangnya dua orang masing-masing membawa nampan
dengan masakan-masakan yang menyiarkan bau sedap, terang
masakan-masakan itu adalah sebangsa Ang-sio-bak, ayam
goreng dan sebagainya.
Keruan biji leher Ciok Boh-thian naik-turun lagi, berulang-ulang
ia telan ludah sendiri pula. Dengan berjinjit-jinjit ia lantas
menguntit di belakang tosu-tosu kecil itu.
Sesudah menyusur serambi dan melalui sebuah gang, akhirnya
ketiga tosu cilik itu masuk ke sebuah ruangan. Masakanmasakan
yang mereka bawa itu ditaruh di atas meja. Dua tosu
kecil di antaranya lantas kembali dulu ke dapur, tertinggal
seorang tosu kecil yang masih mengatur meja-kursi, sumpit
dan cawan dan lain-lain yang perlu dalam perjamuan.
Dengan sembunyi di balik jendela ruangan yang panjang itu
dengan mata tak berkedip Ciok Boh-thian terus mengincar
makanan-makanan yang sudah siap di atas meja itu. Sungguh
kalau dia tidak khawatir memukul mati tosu cilik itu, tentu
sejak tadi dia sudah menerjang masuk dan menggasak
makanan lezat itu.
Tunggu punya tunggu, syukurlah akhirnya tosu kecil itu
meninggalkan ruang makan itu dan menuju ke ruangan sana.
Tanpa ayal lagi Ciok Boh-thian lantas menyerobot ke dalam,
lebih dahulu ia comot sepotong “Ang-sio-gu-bak” (daging sapi
masak saus) dan dijejalkan ke dalam mulut, saking keburunya
sampai ia keselak. Sambil mengunyah, kedua tangannya lantas
menyambar pula seekor ayam kuah dan bermaksud membetot
paha ayam, “Pek-sak” (ayam masak kuah bening) itu.
Tapi baru saja Ang-sio-gu-bak tadi masuk ke perutnya, tibatiba
terdengar di luar jendela sana ada suara orang bicara,
“Sute, Sumoay, silakan sebelah sini!”
Lalu terdengar suara tindakan beberapa orang menuju ke
ruangan makan itu.
“Wah, celaka! Bisa kepergok aku ini!” demikian Boh-thian
mengeluh. Saat itu paha ayam “Pek-sak” tadi belum lagi kena
dibesetnya, terpaksa ia angkat ayam itu seekor penuh terus
hendak berlari ke ruangan belakang, tapi mendadak dari
belakang juga ada suara orang yang lagi mendatangi.
Ia coba periksa sekitarnya, ternyata ruangan itu cukup luas
dan tiada tempat sembunyi yang baik. Diam-diam Boh-thian
mengeluh dan gelisah, “Wah, jangan-jangan aku terpaksa
harus berkelahi dan membunuh lagi.”
Bab 28. Thian-hi Tojin Ketua Siang-jing-koan
Dalam pada itu beberapa orang itu sudah berada di depan
deretan jendela panjang, sejenak lagi tentu akan memasuki
ruang makan.
Pada saat yang sudah sangat mendesak itu, sekilas Boh-thian
melihat di atas ruangan itu tergantung melintang sebuah papan
pigura besar yang bertuliskan tiga huruf emas. Karena sudah
kepepet, tanpa pikir lagi Boh-thian lantas meloncat ke atas
belandar, lalu menyusup ke belakang papan pigura itu. Ia
setengah merebah dan rasanya cukup baginya untuk
sembunyi.
Apa yang terjadi itu hanya berlangsung dalam beberapa detik
saja. Di sini Ciok Boh-thian baru saja sembunyi di belakang
papan pigura, di sebelah sana orang-orang tadi pun sudah
mendorong pintu dan melangkah masuk. Terdengar seorang di
antaranya sedang berkata, “Kita adalah saudara seperguruan,
mengapa Suko seperti kedatangan tamu agung saja dan
mengadakan perjamuan apa segala.”
Boh-thian merasa suara orang itu sudah dikenalnya. Ia coba
mengintip ke bawah melalui sela-sela pigura itu, ia lihat ada
belasan tojin mengiringi dua orang tamu pria dan wanita.
Kiranya kedua orang tamu ini adalah Ciok-cengcu suami-istri,
yaitu Ciok Jing dan Bin Ju dari Hian-soh-ceng.
Terhadap Ciok Jing berdua sampai sekarang Ciok Boh-thian
masih sangat berterima kasih, lebih-lebih Nyonya Ciok yang
dahulu pernah memberi sedekah kepadanya, pula belum lama
berselang telah mengajarkan ilmu pedang padanya. Maka
setelah bertemu sekarang, seketika timbul perasaan hangat di
lubuk hati pemuda itu.
Sementara itu seorang tosu tua yang sudah ubanan terdengar
membuka suara, “Sute dan Sumoay datang dari jauh, sungguh
suhengmu ini merasa girang tak terhingga, hanya secawan
arak bening ini saja masakah dapat dikatakan sebagai
perjamuan?”
Tiba-tiba tosu tua itu melihat di atas meja perjamuan penuh
tetes air kuah, sebuah pinggan (basi) hanya tinggal sedikit sisa
kuah bening, masakan pokok di dalam basi itu entah ayam
atau itik, ternyata sudah terbang.
Tosu tua itu mengerut kening, ia pikir bagaimana kerjanya
anak-anak ini, masakah makanan yang sudah siap tidak dijaga
sehingga kena digondol kucing. Karena berada di depan tamu,
ia merasa tidak baik untuk mendamprat anak-muridnya yang
lengah itu.
Tatkala itu kembali ada tosu-tosu cilik membawakan masakan
lain lagi. Waktu mereka melihat keadaan meja perjamuan yang
morat-marit itu, mereka menjadi kikuk dan serbasalah, cepat
mereka membersihkan meja dan menyiapkan daharan yang
lain lagi.
Dengan hormat tosu tua itu menyilakan Ciok Jing suami-istri
duduk di meja utama, ia sendiri mengiringinya bersama tiga
orang tojin lain yang setengah umur, sisanya 12 orang tojin
lagi terbagi pada dua meja yang lain.
Setelah minum beberapa cawan, kemudian tosu tua itu
membuka suara pula dengan terharu, “Selama delapan tahun
tidak bertemu, ternyata Sute dan Sumoay tidak kurang sehat
dan gagahnya daripada dahulu. Sebaliknya suhengmu ini
sekarang sudah tua dan loyo.”
“Rambut Suheng memang telah tambah ubanan, tapi
semangatmu toh tetap sangat kuat,” sahut Ciok Jing.
“Tambah ubanan apa? Rambutku ini adalah karena pikiranku
yang sedih, hanya dalam semalam saja lantas ubanan,” kata si
tosu tua. “Jika Sute dan Sumoay datang kemari pada tiga hari
yang lalu, tentu jenggot dan rambutku tidaklah seputih ini,
paling-paling cuma setengah putih saja.”
“Yang dipikirkan Suheng apakah urusan tentang kedua sucia
(rasul) Siang-sian dan Hwat-ok (pengganjar bajik dan
penghukum jahat) itu?” tanya Ciok Jing.
“Ya, kecuali urusan ini, rasanya tiada urusan kedua di dunia ini
yang dapat membuat Thian-hi Tojin dari Siang-jing-koan
berubah menjadi lebih tua 20 tahun hanya dalam waktu
semalam,” sahut si tosu tua alias Thian-hi Tojin.
“Justru Sute dan Sumoaymu ini mendengar tentang berita
bahwa kedua rasul itu kembali muncul, dunia persilatan harus
menghadapi bencana pula, makanya siang-malam kami
memburu kemari untuk berunding dengan Ciangbun-suheng
dan para Suheng dan Sute,” tutur Ciok Jing. “Selama sepuluh
tahun terakhir ini nama Siang-jing-koan kita cukup menonjol di
kalangan bu-lim, pohon besar tentu terancam angin, kukira
kedua rasul itu boleh jadi akan berkunjung ke sini. Maka ada
maksud Siaute suami-istri untuk tinggal satu-dua bulan di sini.
Bilamana mereka benar-benar mencari gara-gara ke sini,
walaupun tidak becus, sedikitnya kami suami-istri juga dapat
berjuang mati-matian bahu-membahu bersama para Suheng
demi perguruan.”
Thian-hi saling pandang sekejap dengan para tosu yang hadir
di situ, lalu menghela napas perlahan sambil merogoh keluar
dua bentuk medali tembaga. Ia taruh kedua buah medali itu di
atas meja.
Dari atas Boh-thian dapat melihat dengan jelas bahwa kedua
medali tembaga itu pun terukir muka tertawa dan muka gusar
sebagaimana medali-medali yang pernah dilihatnya di atas
kapal mayat dan di sarang Tiat-cha-hwe. Diam-diam ia
tercengang, “Aneh, mengapa Thian-hi Tojin ini pun mempunyai
dua buah medali yang serupa?”
Dalam pada itu terdengar Ciok Jing telah berkata dengan
heran, “Eh, kiranya sucia itu sudah berkunjung kemari. Jika
demikian kedatangan Siaute suami-istri toh tetap ketinggalan
walaupun kami telah memburu kemari siang dan malam. Dan
apakah mengenai urusan itu? Lalu cara... cara bagaimana
Suheng melayaninya?”
Karena pikiran Thian-hi tidaklah tenteram, seketika ia menjadi
susah menjawab. Segera seorang tojin setengah umur yang
duduk di sebelahnya mewakilkan menjawab, “Datangnya kedua
sucia itu adalah kejadian tiga hari yang lalu. Berkat budi
Ciangbun-suheng yang luhur dan rela menanggung segala
kemungkinan, maka beliau sudah menyanggupi akan pergi ke
sana untuk makan ‘Lap-pat-cok’ (bubur atau jenang tanggal 8
bulan 12 atau penutup tahun).”
Ketika melihat kedua medali tembaga, memangnya Ciok Jing
sudah menduga akan hal demikian. Segera ia berbangkit dan
memberi hormat kepada Thian-hi, katanya, “Dengan rela Suko
telah menanggungnya sendirian untuk menyelamatkan seluruh
penghuni Siang-jing-koan ini, sungguh Siaute merasa
berterima kasih dan malu pula, di sini terimalah hormat Siaute
lebih dulu. Cuma Siaute masih ada suatu permohonan yang
kurang pantas, sebelumnya mohon Suko sudi memaafkan.”
Thian-hi tersenyum, sahutnya, “Segala apa di dunia ini
sekarang bagiku adalah laksana awan yang terapung di udara
itu. Apa yang Sute inginkan tentu akan kupenuhi.”
“Jika demikian, jadi tegasnya Suko sudah menyanggupi?” Ciok
Jing menegas.
“Ya, kusanggupi,” sahut Thian-hi. “Entah apakah keinginan
Sute itu?”
“Begini, dengan lancang Siaute mohon agar Suko suka
menyerahkan tugas ciangbun atas Siang-jing-koan ini kepada
kami suami-istri,” tutur Ciok Jing.
Ucapan Ciok Jing ini membuat para tosu yang hadir di situ
menjadi melengak semua.
Dan belum lagi Thian-hi menjawab, segera Ciok Jing
menyambung pula, “Setelah kami suami-istri memegang
jabatan ciangbun ini, maka undangan untuk makan Lap-patcok
itu biarlah kami yang pergi ke sana mewakilkan Suko.”
Mendadak Thian-hi terbahak-bahak, suara tertawa yang
mengandung rasa pahit getir, matanya juga tampak basah
berkaca-kaca. Katanya, “Maksud baik Hiante berdua, biarlah
suhengmu terima di dalam hati. Sebagai ketua Siang-jingkoan,
suhengmu sudah cukup dikenal oleh orang bu-lim selama
belasan tahun ini. Sekarang di kala menghadapi bahaya
masakah aku malah menghindarkan tanggung jawabku, lalu
muka Thian-hi yang tua keriput ini kelak harus ditaruh ke
mana?”
Sampai di sini Thian-hi telah pegang tangan kanan Ciok Jing,
lalu menyambung pula, “Sute, usia kita selisih terlalu banyak,
kau adalah keluarga preman pula, kita jarang berkumpul di
masa yang lalu, tapi hubungan kita selamanya sangat baik,
apalagi ilmu silatmu dan pribadimu sesungguhnya adalah tokoh
utama perguruan kita, selama ini Suheng sangat kagum
padamu. Coba kalau bukan lantaran janji Lap-pat-cok ini, tentu
Suheng akan menyerahkan jabatan ciangbun ini kepadamu.
Namun keadaan hari ini sudah lain, maka permintaanmu tiada
mungkin dapat kupenuhi lagi. Hahaha!”
Di tempat sembunyinya Boh-thian dapat mendengar dengan
jelas percakapan itu. Ia tidak tahu barang apakah “Lap-patcok”
yang dibicarakan itu. Ia masih ingat istilah itu pun pernah
diucapkan Thio Sam waktu bertemu dengan orang-orang Tiatcha-
hwe, sekarang demi menyebut janji makan “Lap-pat-cok”,
Thian-hi Tojin lantas sedih, apa barangkali “Lap-pat-cok” itu
adalah sesuatu racun yang lihai?
Dalam pada itu terdengar Thian-hi telah berkata pula, “Sute,
bahwasanya rambut Suheng menjadi putih dalam semalam, hal
ini sekali-kali bukanlah karena takut mati. Usiaku sekarang
sudah 62 tahun, kalau mati tahun ini juga sudah cukup umur.
Hanya saja yang selalu kupikirkan adalah cara bagaimana agar
kita dapat melenyapkan bencana besar yang setiap sepuluh
tahun satu kali tentu menimpa bu-lim ini? Dengan cara
bagaimana agar nama dan ilmu silat perguruan kita yang jaya
ini dapat dipertahankan? Ya, memang semuanya ini adalah
urusan mahasulit. Selama 32 tahun berselang, pihak sana
sudah tiga kali mengadakan perjamuan Lap-pat-cok. Setiap
tokoh dan setiap jago dari berbagai kalangan dan golongan
yang diundang ke sana belum pernah ada seorang pun yang
dapat pulang. Sesungguhnya kematian Suheng ini tiada perlu
dibuat gegetun, hanya, saja urusan kesudahannyalah yang
perlu kita pikirkan.”
Tiba-tiba Ciok Jing juga terbahak, ia angkat cawan arak dan
mengeringkan isinya, lalu berkata, “Suko, bahwasanya secara
lancang Siaute mohon Suko menyerahkan jabatanmu, hal ini
bukanlah Siaute ingin mewakilkan Suko untuk mengantarkan
jiwa, tapi bertujuan ingin menyelidiki persoalan ini, ya, boleh
jadi Thian memberkahi sehingga Siaute dapat menyelidiki
rahasia di dalamnya, walaupun Siaute tak berani menjamin
akan mampu menumpas malapetaka yang selalu mengancam
bu-lim ini, tapi asal rahasia di balik layar sudah dapat
disiarkan, lalu setiap orang persilatan sama berbangkit dan
beramai-ramai berjuang, masakah kita benar-benar tak
mampu melawan pihak mereka itu?”
Namun Thian-hi telah menggeleng perlahan, katanya,
“Bukanlah aku sengaja menilai tinggi pihak orang dan
mengartikecilkan Sute, coba lihat, tokoh-tokoh sebagai It-bok
Totiang dari Bu-tong-pay, Giok-cin Tojin dari Jing-sia-pay, dan
tokoh-tokoh lain yang berkepandaian tinggi toh mereka hanya
bisa pergi dan tak bisa kembali. Maka menurut pendapatku, ai,
biarpun ilmu silat Sute cukup tinggi, betapa pun... betapa pun
juga belum dapat dibandingkan dengan kaum cianpwe
(angkatan tua) sebagai It-bok dan Giok-cin Totiang.”
“Untuk ini Siaute juga cukup tahu diri,” ujar Ciok Jing. “Namun
berhasil atau tidak dari sesuatu urusan sebagian adalah
tergantung pada kepandaian dan sebagian lagi juga tergantung
kepada nasib. Andaikan Siaute tidak mampu menumpas
bencana ini, tapi berusaha untuk menyelidiki sedikit rahasia
yang menyangkut urusan ini rasanya bukanlah tiada harapan
sama sekali.”
Namun Thian-hi tetap menggeleng, katanya, “Jabatan
Ciangbunjin Siang-jing-koan kita selama ratusan tahun ini
selalu dipegang oleh kaum beribadat (tosu). Bila aku mati,
maka aku sudah menunjuk Tiong-hi Sute sebagai penggantiku.
Untuk selanjutnya asalkan Sute berdua suka membantu
sepenuh tenaga agar supaya golongan kita tetap berkembang,
maka cukuplah bagiku untuk menyatakan terima kasih yang
tak terhingga.”
Begitulah meski Ciok Jing telah berulang kali mendesak, tapi
Thian-hi tetap menolak sehingga semua orang sampai berhenti
minum dan lupa makan.
Di tempat sembunyinya Boh-thian sendiri sedang asyik
menikmati ayam Pek-sak yang dicurinya dari meja perjamuan
tadi. Sepotong demi sepotong ia jejalkan daging ayam itu ke
dalam mulut, tapi karena khawatir mengeluarkan suara, maka
ia tidak berani mengunyah, jadi terus menelannya matangmatang
begitu saja. Walaupun demikian ia pun tidak lupa
pasang mata mengintip segala kejadian di bawah.
Dilihatnya Nyonya Ciok, yaitu Bin Ju, sejak mula hanya
mendengarkan saja pembicaraan sang suami dengan Thian-hi
Tojin tanpa menimbrung apa-apa, sebaliknya perlahan-lahan ia
mengambil kedua bentuk medali tembaga yang berada di atas
meja, ia mengamat-amati medali-medali itu sejenak, lalu
seperti sengaja dan seperti tidak sengaja ia hendak
memasukkan benda-benda itu ke dalam sakunya.
“Taruh kembali, Sumoay!” mendadak Thian-hi berseru.
“Ah, aku yang menyimpannya bagi Suko toh sama saja,” sahut
Bin Ju dengan tersenyum dan tampaknya kedua medali itu
segera akan masuk ke dalam bajunya.
Thian-hi menjadi khawatir, mencegahnya dengan ucapan tak
dihiraukan, terpaksa ia hendak merebutnya kembali dengan
tangan. Tapi kebetulan pada saat itu Ciok Jing sedang
menjulurkan sumpitnya hendak mengambil makanan sehingga
lengannya tepat merintangi tangan Thian-hi yang terjulur itu.
Segera Tiong-hi yang duduk di sebelahnya Bin Ju ikut
bergerak, cepat tangannya menyambar hendak merampas
medali-medali itu sambil berkata, “Lebih baik serahkan padaku
saja!”
Namun cepat Bin Ju telah mengangkat tangannya ke atas,
berbareng tangan yang lain terus mengebas ke bawah.
Terpaksa Tiong-hi menarik kembali tangannya dan balas
menutuk pergelangan tangan Nyonya Ciok dan begitulah lantas
terjadi serang-menyerang di antara mereka.
Tiong-hi sudah ditetapkan oleh Thian-hi untuk
menggantikannya menjabat sebagai ketua Siang-jing-koan, ini
berarti Tiong-hi adalah calon pemimpin yang akan datang, ia
pun terhitung tokoh yang tertinggi ilmu silatnya di dalam
kelenteng itu di samping Thian-hi sendiri.
Sudah tentu Tiong-hi mengetahui apa yang dilakukan Ciok Jing
dan istrinya itu timbul dari maksud yang baik. Tapi kedua
bentuk medali tembaga itu menyangkut jiwa semua penghuni
Siang-jing-koan, Thian-hi sudah menerimanya dari kedua rasul
pengganjar dan penghukum, jika sekarang jatuh ke tangan
orang lain, hal ini berarti jiwa semua imam di dalam kelenteng
itu pun terancam, sebab inilah maka Tiong-hi telah berusaha
merebutnya sedapat mungkin.
Begitulah, sambil tetap berduduk Tiong-hi dan Bin Ju telah
bergebrak belasan jurus. Kedua orang adalah tunggal guru,
yang dimainkan adalah Kim-na-jiu-hoat (ilmu menangkap dan
memegang) dari perguruan sendiri, walaupun masing-masing
tiada maksud melukai lawannya, tapi terpaksa juga mesti
mengeluarkan segenap kepandaian.
Sebagai saudara seperguruan mereka sudah berpisah 20-an
tahun, selama itu walaupun pernah bertemu beberapa kali, tapi
belum pernah menyaksikan sampai di mana kemajuan ilmu
silat masing-masing. Sekarang kedua orang mendadak
bergebrak dengan sama kuatnya, mau tak mau dalam hati
masing-masing juga memuji akan kemajuan lawannya.
Belasan tojin yang duduk di meja-meja lain sementara itu juga
telah mengikuti pertarungan Tiong-hi dan Bin Ju. Tojin-tojin itu
adalah jago-jago terkemuka semua, mereka pun tahu selama
belasan tahun ini nama Ciok Jing dan Bin Ju sangat menonjol di
dunia Kangouw, sekarang menyaksikan Nyonya Ciok itu
berebut medali tembaga dengan Tiong-hi secara diam-diam,
nyonya itu telah memperlihatkan segenap intisari ilmu silatnya
dari perguruan mereka, maka tojin -tojin itu merasa sangat
kagum dan gegetun. Ternyata di antara mereka tiada seorang
pun yang sadar bahwa di atas kepala mereka masih ada
sepasang mata yang lain sedang mengikuti perebutan medali
itu.
Pada belasan jurus permulaan kekuatan Bin Ju dan Tiong-hi
boleh dikata sembabat. Namun sebelah tangan Nyonya Ciok itu
memegang dua buah medali sehingga tangan kanan itu cuma
dapat menggunakan kepalan saja dan jarinya tak dapat
dimanfaatkan. Lantaran demikian, Kim-na-jiu-hoat yang paling
bagus menjadi tak dapat dimainkan dengan sempurna.
Sesudah beberapa jurus pula, dengan lwekang yang kuat
tangan kiri Tiong-hi berhasil memaksa lengan kiri Ciok-hujin ke
bawah, berbareng tangan kanannya sudah menyambar dan
sudah dapat menyentuh medali-medali yang tergenggam di
tangan nyonya itu.
Bin Ju insaf sekali ini pasti susah dipertahankan lagi. Jika ia
menggenggam terus dan sama-sama mengadu lwekang,
pertama kurang pantas dilihat orang banyak, kedua dirinya
betapa pun adalah wanita, dalam hal lwekang tentu tidak
sekuat Tiong-hi. Segera ia mengendurkan tangannya sehingga
kedua bentuk medali dibiarkan jatuh. Dengan jalan demikian ia
berharap sang suami yang duduk di sisinya akan dapat
menyambar benda-benda itu.
Di luar dugaan, baru saja Ciok Jing hendak menjulurkan
tangannya, sekonyong-konyong dua rangkum yang keras telah
menyambar ke mukanya. Kiranya Thian-hi yang telah
menolaknya dengan kedua tangan. Kedua rangkum angin itu
sangat kuat, kalau tidak ditangkis tentu akan terluka parah.
Maka terpaksa ia angkat tangan untuk menangkis. Dan karena
sedikit ayal itulah, Ciau-hi Tojin yang duduk di sebelah Thian-hi
telah dapat menyambar kedua medali tembaga itu.
Begitu medali-medali itu jatuh di tangannya Ciau-hi, serentak
Ciok Jing suami-istri, Thian-hi dan Tiong-hi lantas bergelak
tertawa dan berhenti bergebrak.
Tiong-hi dan Ciau-hi lantas membungkuk tubuh dan berkata,
“Harap Sute dan Sumoay suka memaafkan.”
Cepat Ciok Jing dan Bin Ju membalas hormat, kata Ciok Jing,
“Mengapa kedua Suheng berkata demikian, justru Siaute
berdua yang telah berlaku kasar. lwekang yang telah dicapai
Ciangbun-suheng ternyata sedemikian tingginya dan berpuluh
kali lebih kuat daripada Siaute, rasanya perjalanan ini
walaupun berbahaya, tapi untuk meloloskan diri saja dengan
selamat rasanya juga bukan tiada harapan.”
Kiranya sesudah bergebrak tadi, Ciok Jing telah mengetahui
lwekang sang suheng ternyata jauh lebih tinggi daripada
dirinya, maka semangatnya yang sok jagoan tadi lantas lenyap
sebagian besar.
Dengan tersenyum getir Thian-hi lantas menjawab, “Ya,
semoga terkabul menurut doa Sute itu. Terima kasih. Marilah,
silakan minum!”
Lalu ia mengangkat cawan dan menenggaknya hingga habis.
Meski Siang-jing-koan adalah tempat beribadat, tapi mereka
tidak pantang minum arak dan makan barang berjiwa.
Dalam pada itu Ciok Boh-thian yang menyaksikan Bin Ju tak
berhasil merebut kedua medali tembaga yang tidak diketahui
apa gunanya itu, karena teringat kepada kebaikan Nyonya Ciok
dahulu, maka diam-diam ia telah merancang, “Tosu itu telah
merebut medali-medali tembaga, sebentar aku akan
merebutnya pula untuk dihadiahkan kepada Ciok-hujin.”
Sementara itu sesudah saling mengangkat gelas dan habis
minum, lalu Ciok Jing berbangkit dan berkata, “Kuharap
perjalanan Suheng nanti takkan mengalami sesuatu halangan
sehingga dapat pulang dengan selamat. Siaute sendiri karena
urusan seorang anakku kena diculik orang dan sekarang buruburu
ingin pergi menolongnya sehingga tidak sempat bicara
lebih lama dengan para Suheng dan Sute, maka sukalah para
Suheng memaafkan, sekarang juga kami mohon diri.”
Mendengar itu, para tosu terperanjat. Kata Thian-hi, “Kabarnya
putra Sute belajar di tempat Swat-san-pay, dengan nama Sute
suami-istri, ditambah pengaruh Swat-san-pay yang besar,
masakah ada manusia yang begitu kurang ajar dan berani
menculik putramu?”
Ciok Jing menghela napas, sahutnya, “Urusan ini terlalu
panjang untuk diceritakan, soalnya juga karena salah Siaute
sendiri yang tidak pandai mendidik anak, maka akibat yang
ditimbulkan anak yang menyeleweng itu tidaklah dapat
menyalahkan orang lain.”
Hendaklah maklum bahwa Ciok Jing adalah seorang yang
bijaksana, walaupun Hian-soh-ceng, kediamannya yang megah
itu, telah dibakar habis oleh Pek Ban-kiam, tapi ia tahu sebab
musababnya adalah kesalahan di pihaknya sendiri, maka dia
tidak menaruh dendam kepada Swat-san-pay.
Di antara para tosu itu, Tiong-hi terhitung orang yang paling
simpatik, dengan suara lantang ia lantas berseru, “Sute dan
Sumoay, jika musuh berani menculik putramu, itu berarti dia
pun memandang rendah kepada Siang-jing-koan. Tak peduli
tokoh macam apa penculik itu, biarpun suhengmu ini tidak
becus juga pasti akan memberi bantuan padamu.”
Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, “Sedangkan
putramu diculik orang, tapi kau toh perlukan datang ke tempat
perguruan yang sedang menghadapi kesukaran, hal ini
menandakan betapa baik budi Sute berdua. Untuk ini masakah
kami tidak mempunyai perasaan dan berpeluk tangan
membiarkan Sute mengalami kesukaran sendiri?”
Ia sangka kalau penculik itu sudah tidak gentar kepada Ciok
Jing suami-istri dan tidak takut kepada orang-orang Swat-sanpay
yang berpengaruh itu, maka penculik itu tentulah seorang
tokoh yang sangat lihai. Sama sekali tak terpikir olehnya
bahwa orang yang menangkap putranya Ciok Jing itu justru
adalah kaum Swat-san-pay.
Pertama memang Ciok Jing tidak ingin perbuatan sang putra
yang merusak nama keluarganya diketahui orang luar, apalagi
sekarang Siang-jing-koan sendiri sedang menghadapi
kesulitan, tentu saja ia lebih-lebih tidak ingin para suheng itu
mengikat permusuhan baru dengan pihak lain lagi. Maka cepat
ia menjawab, “Maksud baik para Suheng dan Sute, sungguh
kami merasa terima kasih tak terhingga. Cuma persoalan ini
sekarang masih harus diselidiki dulu dengan lebih jelas, biarlah
kelak bilamana urusan sudah agak jelas, jikalau Siaute berdua
merasa kurang kuat, dengan sendirinya kami akan pulang
kemari untuk minta bantuan.”
“Baiklah jika demikian halnya,” ujar Tiong-hi. “Tatkala mana
Sute juga tidak perlu datang sendiri, asalkan menyampaikan
sedikit berita saja tentu seluruh isi Siang-jing-koan akan
dikerahkan.”
Ciok Jing dan Bin Ju memberi hormat dengan ucapan terima
kasih. Tapi di dalam hati diam-diam merasa berduka, mereka
tahu dosa putranya, andaikan anak itu akan dicincang atau
digantung oleh Swat-san-pay, mau tak mau mereka hanya bisa
menerima nasib saja dan tidak nanti minta pertolongan kepada
Siang-jing-koan.
Begitulah Ciok Jing berdua lantas mohon diri, mereka diantar
keluar oleh Thian-hi, Tiong-hi dan lain-lain.
Melihat semua orang sudah keluar agak lama, segera Ciok Bohthian
melompat keluar dari tempat sembunyinya, ia melompat
ke atas rumah dan melintasi pagar tembok. Pikirnya, “Ciokcengcu
dan Ciok-hujin mengatakan putra mereka telah diculik
orang, entah siapakah yang melakukan perbuatan itu? Tentang
medali-medali tembaga itu tampaknya hanya benda permainan
yang tiada artinya, dapat direbut atau tidak, tidaklah menjadi
soal, sebaliknya tentang putranya yang diculik itu aku harus
bantu mencarikannya untuk membalas budi kebaikan Ciokhujin
padaku. Ya, bila aku dapat menolong kembali putranya,
tentu dia akan sangat gembira. Biarlah aku menyusulnya untuk
tanya siapakah nama putranya itu, berapa umurnya dan
bagaimana rupanya agar aku dapat mencarinya.”
Ia coba melompat ke atas pohon yang tinggi, ia lihat belasan
buah lampu kerudung dalam dua baris sedang bergerak ke
sebelah sana, kiranya para tosu sedang mengantar Ciok Jing
dan Bin Ju keluar kompleks kelenteng.
Pikir Boh-thian, “Kuda tunggangan Ciok-cengcu berdua sangat
cepat larinya, ada lebih baik aku mendahuluinya mencegat
mereka di depan sana.”
Sesudah membedakan arah yang akan dituju Ciok Jing suamiistri,
segera ia melompat turun dan mendahului berangkat
melalui lereng bukit.
Tak terduga, belum lagi beberapa jauh ia meninggalkan
kompleks kelenteng itu, tiba-tiba terdengar suara bentakan
orang, “Siapa itu? Lekas berhenti!”
Bahwasanya dengan lwekang Ciok Boh-thian yang tinggi itu, ia
sembunyi di atas papan pigura dengan menahan napas
sehingga sama sekali tidak diketahui oleh siapa pun juga. Tapi
sekarang begitu dia angkat kaki dan berlari, seketika imamimam
Siang-jing-koan yang bukan kaum keroco itu lantas
mengetahui tempat mereka telah kemasukan orang luar.
Semula mereka pun masih tinggal diam saja, tapi begitu Ciok
Jing dan Bin Ju sudah agak jauh, segera mereka menyusul dan
menggerebek Ciok Boh-thian dari berbagai jurusan.
Dalam kegelapan mendadak Ciok Boh-thian merasa hawa
pedang yang dingin, tahu-tahu dua orang tojin sudah
mengadang di depannya dengan pedang terhunus dan
memancarkan sinar yang gemerlapan. Samar-samar ia melihat
seorang di antaranya tak-lain-tak-bukan adalah Ciau-hi.
Ia menjadi girang, segera ia bertanya, “Apakah Ciau-hi Tojin di
situ?”
Ciau-hi melenggong, ia pikir kiranya orang sudah
mengenalnya. Segera ia menjawab, “Ya, betul. Siapakah
saudara ini?”
Tanpa banyak cincong lagi Boh-thian lantas berkata sambil
mengangsurkan tangan, “Berikan medali-medali tembaga tadi
padaku!”
Ciau-hi menjadi gusar. “Terimalah ini!” bentaknya, berbareng
pedangnya terus menusuk ke paha Ciok Boh-thian.
Kaum Siang-jing-koan mempunyai peraturan yang keras, yaitu
tidak boleh sembarangan membunuh. Sekarang asal-usul pihak
lawan belum jelas, walaupun begitu datang Ciok Boh-thian
lantas minta medali tembaga apa segala, namun serangan
Ciau-hi itu toh tidak diarahkan ke tempat yang berbahaya.
Dengan cepat Boh-thian dapat mengegos, berbareng tangan
kanan balas mencengkeram pundak lawan.
Melihat gerak-gerik Boh-thian sangat cekatan, Ciau-hi tidak
berani ayal lagi, pedang berputar terus menusuk pula ke bahu
kanan lawan.
Lekas-lekas Boh-thian mendakkan tubuh dan menggeser ke
samping, berbareng tangan kanan digunakan menyampuk. Di
luar dugaan, kontan Ciau-hi lantas mencium serangkum bau
amis yang memuakkan, kepalanya menjadi pening, seketika ia
roboh terjungkal.
Selagi Boh-thian tercengang atas kejadian itu, tiba-tiba pedang
tojin kedua sudah menusuk dari belakang.
Sekarang Boh-thian sudah tahu bahwa telapak tangannya
sendiri itu rada-rada ajaib, asal memukul tentu akan
membinasakan orang, maka ia tidak berani balas menyerang
lagi, lekas-lekas ia melompat ke depan. Namun sudah kasip
sedikit, “bret”, bajunya telah terobek satu garis, bahkan
kulitnya juga tergores sedikit.
Meski ilmu silat tojin itu lebih rendah daripada Ciau-hi, tapi
karena melihat Ciau-hi telah dirobohkan lawan dengan cara
yang tak jelas, maka buru-buru ia ingin menolong sang
suheng, pedangnya berputar dengan kencang, ia serang Bohthian
dengan gencar.
Karena tak berani balas memukul, terpaksa Boh-thian berusaha
menghindar. Pada suatu kesempatan ia dapat menjemput
pedang Ciau-hi yang terlempar di atas tanah itu. Ia lihat musuh
masih terus menyerang tanpa kenal ampun, segera ia pun
memutar pedang itu sebagai gantinya golok, ia mainkan Kimoh-
to-hoat yang lihai itu. “Trang”, sekaligus ia tangkis pergi
pedang lawan yang sedang menusuk.
Karena tenaga dalam Ciok Boh-thian yang luar biasa kuatnya
itu, tojin itu tidak mampu memegangi pedangnya lagi, senjata
itu terlepas dan mencelat dari cekalannya. Tapi ilmu silat kaum
Siang-jing-koan tidak melulu dalam hal ilmu pedang saja, Kimna-
jiu-hoat juga merupakan salah satu kepandaian tunggal
yang disegani di dunia persilatan.
Maka begitu kehilangan senjata, tojin itu tidak menjadi gentar,
sebaliknya ia terus menubruk maju malah, kedua tangannya
yang mirip cakar itu terus mencengkeram dada dan perut Ciok
Boh-thian. Dengan cara pertarungan dari jarak dekat ini, pihak
lawan yang berpedang menjadi sukar untuk menggunakan
senjatanya.
“Hei, jangan, jangan!” demikian Boh-thian berteriak-teriak
gugup karena musuh menyeruduk dengan nekat. Berbareng
tangan kirinya terus menyampuk untuk mendorong pergi tojin
itu.
Pada saat dia sudah mengeluarkan tenaga, dengan sendirinya
racun jahat yang mengeram di tubuhnya itu juga sudah ikut
terkumpul di telapak tangannya. Maka sekali tangannya
mendorong, kontan saja tojin itu pun roboh terkulai.
“Ai, ai! Sesungguhnya aku toh tidak ingin membikin celaka
kau!” seru Boh-thian sambil banting-banting kakinya sendiri
dengan penuh menyesal.
Dalam pada itu terdengar suara suitan yang sahut-menyahut,
para tosu sudah makin mendekat. Cepat Boh-thian meraba
sakunya Ciau-hi, benar juga kedua medali tembaga dapat
diketemukannya. Segera ia masukkan benda-benda itu ke
dalam bajunya sendiri, lalu angkat langkah seribu menuju ke
jurusan yang ditempuh Ciok Jing dan istrinya.
Sekaligus tanpa berhenti ia terus berlari sampai belasan li
jauhnya, tapi sama sekali tak terdengar suara larinya kuda.
Pikirnya, “Apa barangkali kuda-kuda tunggangan Ciok-cengcu
dan Ciok-hujin itu sedemikian cepatnya sehingga aku tidak
dapat mendahului mereka? Atau, jangan-jangan aku telah
salah ambil arah, mereka tidak melalui jalan besar ini, tapi
mengambil jurusan lain?”
Setelah berlari beberapa li lagi, tiba-tiba terdengar suara kuda
meringkik. Cepat Boh-thian memandang ke arah suara kuda
itu, dari jauh dapat dilihatnya di bawah sebatang pohon
tertambat dua ekor kuda, seekor hitam dan seekor lagi putih.
Terang itulah kuda-kuda tunggangan Ciok Jing berdua.
Boh-thian sangat girang, segera ia mengeluarkan kedua medali
tembaga dan disiapkan di tangan. Baru saja ia hendak pentang
mulut untuk menyapa, sekonyong-konyong terdengar suara
Ciok Jing sedang bicara di kejauhan, “Adik Ju, maling kecil itu
secara sembunyi-sembunyi telah menguntit kita, tentu dia
tidak bermaksud baik, bolehlah kau bereskan dia saja.”
Keruan Boh-thian terperanjat, disangkanya Ciok Jing tidak suka
dikintil olehnya. Anehnya suara Ciok Jing terdengar dengan
jelas, tapi orangnya tidak kelihatan. Ia menjadi khawatir kalauKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
kalau Ciok-hujin melabrak dirinya dan terpaksa ia harus balas
menyerang, lalu nyonya baik itu juga terpukul mati, kan urusan
bisa runyam.
Maka cepat ia menyusup dan sembunyi di tengah alang-alang
yang lebat. Ia pikir Bin Ju pasti akan memburu ke situ, jika
demikian ia akan melemparkan medali-medali tembaga tadi
kepada nyonya itu, lalu ia akan melarikan diri.
Tiba-tiba terdengar suara berkeresek, sesosok bayangan orang
telah melompat keluar dari balik pohon di sebelah sana,
dengan pedang terhunus orang itu menuding ke tengah semaksemak
sambil membentak, “He, anak muda, untuk apa kau
menguntit kami? Hayo lekas keluar!”
Itulah suaranya Bin Ju.
Baru saja Boh-thian hendak menjawab, sekonyong-konyong
dari tengah semak-semak rumput menyambar keluar tiga titik
sinar, ada orang sedang menyerang Bin Ju dengan senjata
rahasia. Ketika Bin Ju mengayun pedangnya dan baru saja
senjata-senjata rahasia itu disampuk jatuh, cepat dari semaksemak
rumput telah melompat keluar seorang laki-laki berbaju
hijau, dengan golok laki-laki itu lantas membacok Bin Ju.
Kejadian ini benar-benar di luar dugaan Boh-thian, sama sekali
tak terpikir olehnya bahwa di tengah semak-semak rumput itu
tersembunyi orang lain pula.
Dilihatnya gerakan laki-laki itu cukup gesit, golok diputar
dengan kencang. Bin Ju hanya menangkis seperlunya saja dan
tidak balas menyerang.
Sementara itu Ciok Jing juga sudah muncul dari balik pohon
sana, ia hanya menonton saja dengan berpangku tangan.
Setelah mengikuti beberapa jurus, tiba-tiba ia menegur, “He,
kau, bukankah kau ini muridnya Loh Cap-pek dari Thay-san?”
“Kalau betul mau apa?” bentak orang itu, goloknya sedikit pun
tidak kendur.
“Walaupun Loh Cap-pek tiada persahabatan dengan kami, tapi
juga tidak bermusuhan,” kata Ciok Jing. “Kau sudah menguntit
kami beberapa li jauhnya, apa maksud tujuanmu yang
sebenarnya?”
“Aku tidak sempat menjelaskan....” sahut laki-laki itu. Kiranya
Bin Ju tampaknya seperti seenaknya saja melayani seranganserangan
lawan, tapi sebenarnya laki-laki itu sudah terdesak
sehingga kelabakan.
Maka Ciok Jing berkata pula dengan tertawa, “Ilmu golok Loh
Cap-pek jauh lebih tinggi daripada kami, tapi tampaknya kau
belum lagi ada tiga bagian mempelajari kepandaian suhumu
itu. Nah, lepas senjata dan berdiri saja di situ!”
Mendengar ucapan Ciok Jing ini, kontan pedang Bin Ju juga
tepat menusuk pergelangan laki-laki itu. Sedikit berputar ke
samping, Bin Ju putar gagang pedangnya untuk mengetok,
dengan tepat hiat-to di punggung orang lantas ditutuknya.
“Trang”, golok laki-laki itu jatuh ke tanah, sedangkan tubuhnya
sudah tak bisa berkutik lagi.
“Kau she apa, sahabat?” tanya Ciok Jing dengan tersenyum.
Namun orang itu sangat kepala batu, biarpun terancam dia
tetap tidak gentar. Bahkan dengan galak ia menjawab, “Mau
bunuh boleh bunuh, buat apa banyak bicara?”
“Jika sahabat tidak mau bicara juga tidak menjadi soal,” ujar
Ciok Jing dengan tertawa. “Kau telah ikut di dalam organisasi
mana? Agaknya gurumu tidak mengetahui, bukan?”
Laki-laki itu mengunjuk rasa sangsi dan heran, ia pikir dari
manakah orang mengetahui seluk-beluk tentang dirinya?
Maka Ciok Jing menyambung lagi, “Cayhe tiada pernah
bermusuhan dengan gurumu, andaikan dia benar-benar
mengirim orang untuk menguntit kami, hehe, untuk bicara
terus terang, rasanya gurumu masih cukup menghormati kami
dan takkan mengutus orang semacam saudara.”
Di balik kata-katanya ini Ciok Jing ingin mengatakan bahwa
ilmu silatmu terlalu rendah, tidaklah mungkin gurumu
mengirim seorang keroco seperti kau ini.
Keruan muka orang itu menjadi merah jengah, untung dalam
keadaan gelap sehingga tidak dilihat orang lain.
Ciok Jing lantas menepuk dua kali di pundak laki-laki itu,
katanya, “Kami suami-istri selamanya suka blakblakan dalam
segala hal. Jika kau ingin tahu jejak kami, tiada halangannya
kami memberitahukan secara terus terang. Kami tadi baru
datang dari menyambangi Thian-hi Totiang di Siang-jing-koan.
Bolehlah kau pulang dan tanya kepada gurumu, tentu kau akan
tahu bahwa di waktu mudanya Ciok Jing dan Bin Ju pernah
belajar silat di Siang-jing-koan dan Thian-hi Totiang adalah
suheng kami. Sekarang kami hendak berangkat ke Leng-siausia
di Swat-san untuk menemui Wi-tek Siansing, ciangbunjin
dari Swat-san-pay. Nah, jika sahabat tiada sesuatu yang perlu
ditanyakan lagi bolehlah silakan pergi saja.”
Sesudah pundaknya ditepuk, segera laki-laki itu merasa
badannya bisa bergerak lagi. Di samping malu ia menjadi
kagum juga. Ia memberi hormat dan menjawab, “Ciok-cengcu
ternyata berbudi luhur dan tidak bernama kosong, maafkan
tadi aku telah mengganggu.”
Habis berkata, goloknya yang jatuh tadi pun tidak berani
dijemput kembali, segera ia putar tubuh dan melangkah pergi.
Baru beberapa tindak orang itu berjalan, tiba-tiba Ciok Jing
berseru pula, “He, sahabat, apakah pangcu kalian sudah
diketemukan?”
Orang itu terkejut. “Jadi... jadi kau sudah tahu semua?”
sahutnya dengan terputus-putus sambil berpaling.
“Ah, tidak, aku tidak tahu,” kata Ciok Jing sambil menghela
napas perlahan. “Jadi belum ada beritanya, ya?
“Ya, belum ada,” sahut laki-laki itu sambil menggeleng.
“Kami suami-istri juga ingin mencari dia,” kata Ciok Jing pula.
Untuk sejenak ketiga orang berdiri terpaku berhadapan,
kemudian orang itu membalik tubuh dan melanjutkan
perjalanannya.
“Engkoh Jing, apakah dia orang Tiang-lok-pang?” tanya Bin Ju
sesudah orang itu pergi agak jauh.
Hati Ciok Boh-thian tergetar demi mendengar “Tiang-lok-pang”
disebut.
Bab 29. Ciok Jing Suami-Istri Difitnah Meracuni
Dalam pada itu terdengar Ciok Jing telah menjawab, “Tadi
waktu dia berputar tubuh dan menarik jubahnya, lapat-lapat
aku melihat ujung bajunya itu tersulam setangkai bunga
kuning, maka aku coba-coba menegurnya, dan ternyata
memang betul. Sebabnya dia menguntit kita kiranya... kiranya
adalah anak Giok. Tahu begitu, tentu tadi kita tak perlu
membikin susah padanya.”
“Tampaknya mereka... mereka sangat setia kepada anak Giok,”
ujar Bin Ju.
“Ya, anak Giok kena diculik oleh Pek Ban-kiam, tentu saja
orang-orang Tiang-lok-pang disebarkan untuk mencegat di
mana-mana,” ujar Ciok Jing. “Jumlah mereka sangat banyak,
hubungan luas dan pengaruh besar, tak tersangka toh tetap
tiada mendapatkan sesuatu berita apa-apa.”
“Dari... dari mana kau mengetahui tiada sesuatu berita apaapa?”
kata Bin Ju dengan sedih.
Dengan penuh kasih sayang Ciok Jing memegang tangan sang
istri, katanya dengan lembut, “Adik Ju, bila mereka sudah
mendapat berita tentang anak Giok, tentu mereka takkan
menyebarkan orang ke mana-mana untuk mengikuti jejak
tokoh-tokoh Kangouw. Murid Loh Cap-pek tadi tanpa sebab
telah menguntit kita, selain ingin mencari tahu jejak pangcu
mereka rasanya tiada maksud tujuan lain lagi.”
Tempat di mana Ciok Jing dan Bin Ju berada itu jaraknya kirakira
beberapa meter dari tempat sembunyi Ciok Boh-thian.
Walaupun suara bicara Ciok Jing tidak keras, tapi cukup jelas
didengar oleh pemuda itu.
Sebenarnya dengan kepandaian Ciok Jing suami-istri yang
tinggi, waktu datangnya Boh-thian tadi tentu akan diketahui
oleh mereka. Cuma waktu itu mereka lagi mencurahkan
perhatian kepada laki-laki murid Loh Cap-pek yang selalu
menguntit itu, ditambah lagi lwekang Boh-thian sekarang
sudah sangat tinggi, langkahnya enteng tak bersuara, sebab
itulah sehabis Ciok Jing menyelesaikan urusan laki-laki itu,
sama sekali mereka tidak menduga bahwa di tengah semaksemak
sana masih sembunyi seorang lain lagi.
Dari percakapan Ciok Jing berdua itu, Boh-thian mendengar
tentang Pangcu Tiang-lok-pang yang diculik Pek Ban-kiam yang
maksudnya rasanya seperti dirinya, tapi “anak Giok” apa segala
toh bukanlah dirinya.
Memangnya dalam benak Ciok Boh-thian telah penuh tanda
tanya mengenai asal usulnya sendiri, kalau sekarang
mendadak ia keluar dari tempat sembunyinya tentu juga
kurang pantas. Maka ia lantas diam saja untuk mendengarkan
lebih lanjut.
Saat itu adalah malam yang gelap, suara serangga dan katak
mulai bergema, angin pun meniup mendesis-desis, sebaliknya
Ciok Jing suami-istri pun tidak bicara lagi.
Karena khawatir jejaknya diketahui, maka Ciok Boh-thian
sampai bernapas pun tidak berani terlalu keras. Selang agak
lama barulah didengarnya nyonya Ciok menghela napas,
menyusul terdengar suara tersedu-sedu yang perlahan.
Lalu terdengar Ciok Jing telah berkata, “Adik Ju, selama kita
merantau di kalangan Kangouw belum pernah kita melakukan
sesuatu yang jahat. Beberapa tahun terakhir ini demi
keselamatan anak Giok bahkan kita lebih banyak menjalankan
kebajikan. Kalau sudah begini kita masih diharuskan tidak
mempunyai keturunan maka apa mau dikata lagi bilamana
memang sudah suratan nasib, apalagi anak durhaka sebagai
anak Giok itu ada lebih baik kita anggap tidak mempunyai anak
saja, sudah.”
“Meski anak Giok memang agak nakal sejak kecil, tapi dia... dia
tetap jantung hati kita,” ujar Bin Ju dengan suara lembut.
“Hanya karena anak Kian telah tewas dengan mengenaskan di
tangan orang, kita menjadi lebih memanjakan anak Giok dan
mengakibatkan gara-gara seperti sekarang ini, namun...
namun aku tetap takkan membencinya. Tempo hari waktu di
kelenteng kecil itu bukankah dia belum seburuk sebagaimana
kita sangka? Jika aku tidak... tidak salah melukai dia, tentu...
tentu takkan....” sampai di sini suaranya menjadi tergugukguguk,
rupanya ia sangat menyesal dan berduka.
“Sudah kukatakan janganlah kau sedih atas kejadian itu,
andaikan tempo hari kita dapat menyelamatkan dia, toh tidak
mustahil akan direbut lagi oleh mereka,” kata Ciok Jing.
“Urusan ini pun sangat aneh, ke manakah perginya orangorang
Swat-san-pay ini, mengapa mendadak telah menghilang
semua dan tiada berita apa-apa lagi di dunia persilatan
Tionggoan. Adik Ju, besok juga kita berangkat langsung ke
Leng-siau-sia. Setiba di sana, baik atau buruk tentu kita akan
mendapat keterangan yang jelas.”
“Tanpa beberapa pembantu yang kuat, apakah kita mampu
menyelamatkan anak Giok dari sarang harimau sebagai Lengsiau-
sia itu?” ujar Bin Ju.
“Untuk menolong orang di sana memang tidaklah gampang,”
kata Ciok Jing. “Harapan kita hanya mencegatnya di tengah
jalan, tapi sekali anak Giok sudah berada di Leng-siau-sia,
maka itu berarti kambing sudah masuk ke dalam mulut
harimau.”
“Kukira dalam urusan ini juga tidak seluruhnya anak Giok yang
bersalah,” kata Bin Ju. “Lihatlah Swat-san-kiam-hoat yang
dimainkan anak Giok itu sedemikian ceteknya, tentu karena
Swat-san-pay tidak mengajarkan dia dengan sungguhsungguh.
Anak Giok adalah pemuda yang angkuh dan tinggi
hati pula, mungkin di sana ia telah banyak mengikat
permusuhan. Tentu selama beberapa tahun ini dia telah sangat
menderita lahir batin.”
“Ya, semuanya adalah karena salahku, sungguh aku sangat
menyesal,” kata Ciok Jing. “Dahulu waktu aku memutuskan
akan mengirim dia belajar kepada Swat-san-pay, walaupun kau
tidak membantah, tapi kutahu di dalam hati kau merasa sangat
berat. Sungguh tidak nyana Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li
yang sedemikian terhormat, persahabatannya dengan kita juga
begini baik, ternyata anak Giok telah disia-siakan di sana.”
“Engkoh Jing, urusan ini mana boleh menyalahkan kau,” ujar
Bin Ju. “Maksudmu mengirim anak Giok ke Leng-siau-sia
adalah demi kebaikanku, walaupun kau tidak menjelaskan juga
aku tahu sendiri. Kau tahu bahwa untuk membalas sakit hati
anak Kian melulu tenagaku sendiri tentu tidak berhasil, sampai
pada saat yang menentukan juga kau tidak enak ikut campur,
ditambah lagi pihak musuh terlalu hafal akan ilmu silat
perguruan kita, tentu dia sudah mempunyai cara untuk
mengalahkan kita. Tapi kalau anak Giok berhasil mempelajari
Swat-san-kiam-hoat, dengan bahu-membahu kami ibu dan
anak tentu mampu membinasakan musuh. Siapa tahu... siapa
tahu... ai!”
Ciok Boh-thian dapat mengikuti percakapan Ciok Jing dan Bin
Ju itu, tapi sebagian besar ia merasa tidak paham dan bingung.
Hanya terpikir olehnya, “Nasib nyonya Ciok sungguh malang,
sedemikian sedih dia merindukan anaknya itu. Agaknya
anaknya telah ditawan orang Swat-san-pay dan dibawa ke
Leng-siau-sia, biarlah aku ikut mereka ke sana dan bila perlu
akan kubantu mereka. Bukankah tadi dia mengatakan ingin
mencari beberapa pembantu?”
Tengah merenung, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara
derapan kuda yang ramai dari kejauhan, ada belasan ekor kuda
sedang lari mendatangi dengan cepat. Rupanya Ciok Jing
berdua juga sudah dengar, mereka tidak bicara lagi, tapi duduk
dengan diam saja.
Selang tidak lama, suara derapan kuda makin mendekat, lalu
ada orang berseru, “Itu dia, di sini!”
Menyusul ada orang berseru pula, “Ciok-sute, Bin-sumoay,
kami ingin bicara dengan kalian!”
Ciok Jing dan Bin Ju mengenali suara Tiong-hi Tojin itu, mereka
agak heran, tapi lantas melompat maju. Seru Ciok Jing, “Tionghi
Suheng, apakah telah terjadi sesuatu?”
Maka tertampaklah Thian-hi, Tiong-hi, dan belasan suheng dan
sute dari Siang-jing-koan itu semuanya berkuda, dua tojin di
antaranya masing-masing memondong sesosok tubuh. Karena
keadaan gelap sehingga tubuh-tubuh siapakah itu tidaklah
jelas.
Dengan pada yang gugup dan kasar Tiong-hi lantas menegur,
“Ciok... Ciok-sute dan Bin-sumoay, kalian tidak berhasil
merebut kedua medali pengganjar dan penghukum di dalam
kelenteng, mengapa lantas menggunakan tipu muslihat untuk
merebutnya pula? Urusan kedua medali tembaga itu tidak
menjadi soal, tapi mengapa kalian memakai cara keji terhadap
Ciau-hi dan Thong-hi Sute, perbuatan kalian ini sungguh...
sungguh tidak patut.”
Ciok Jing dan Bin Ju terkejut semua mendengar uraian itu.
Cepat Ciok Jing bertanya, “Ciau-hi dan Thong-hi Suheng
telah... telah mengalami cedera? Mengapa... mengapa bisa
terjadi demikian? Apakah jiwa kedua suheng itu berbahaya?”
Karena mengkhawatirkan keselamatan kedua suheng itu,
seketika juga Ciok Jing tidak sempat mendebat dan membela
diri atas tuduhan Tiong-hi tadi.
Tapi dengan marah-marah Tiong-hi berkata pula, “Entah kau
telah bersekongkol dengan kaum pengecut yang tidak kenal
malu sehingga berani menggunakan racun yang keji. Walaupun
kedua sute belum lagi binasa, tapi keadaan mereka sekarang
rasanya juga tidak berbeda banyak.”
“Harap Suheng jangan marah dulu, coba kuperiksa mereka,”
kata Ciok Jing sambil melangkah maju hendak melihat keadaan
Ciau-hi dan Thong-hi.
Tapi lantas terdengar suara “sret-sret” di sana-sini, beberapa
tojin sudah melolos pedang dan mengadang di depan Ciok Jing.
Dengan menghela napas Thian-hi lantas berkata,
“Menyingkirlah kalian! Ciok-sute bukanlah manusia semacam
itu.”
Para tojin itu mendengus, lalu menurunkan pedang dan
memberi jalan.
Segera Ciok Jing mengeluarkan geretan api untuk menerangi
muka Ciau-hi dan Thong-hi. Maka terlihatlah wajah kedua tojin
itu hitam gelap, itulah memang tanda-tanda terkena racun.
Waktu pernapasan mereka diperiksa, ternyata denyut
jantungnya sangat lemah, jiwa mereka sudah tinggal sesaat
dua saat saja.
Hendaklah maklum bahwa ilmu silat Siang-jing-koan
mempunyai gayanya tersendiri dan mempunyai kelebihan
daripada ilmu silat golongan lain. Ciau-hi dan Thong-hi Tojin
semuanya memiliki lwekang yang cukup tinggi, sedangkan
pukulan berbisa Ciok Boh-thian tidak langsung mengenai tubuh
mereka, maka kedua tojin itu cuma jatuh pingsan terkena
hawa berbisa yang tertolak keluar dari telapak tangan Ciok
Boh-thian. Namun demikian, terang ajal mereka pun takkan
tahan lebih lama daripada satu atau setengah jam.
Melihat begitu parah kedua tojin itu keracunan, Ciok Jing
menoleh dan tanya kepada sang istri, “Adik Ju, kau kira orang
dari golongan manakah yang memakai cara sekeji ini?”
Dan karena menolehnya itu, tertampaklah beberapa tojin yang
lain dengan pedang terhunus sudah mengepung mereka
dengan rapat.
Tapi Bin Ju anggap tidak tahu saja atas sikap permusuhan para
imam itu. Ia menerima geretan api dari tangan sang suami,
lalu mendekat untuk periksa air muka Ciau-hi dan Thong-hi,
sedikit saja terendus hawa berbisa yang diembuskan dari
pernapasan kedua imam itu, seketika Bin Ju sendiri merasa
kepala pening, cepat ia melangkah mundur.
Setelah memikir sejenak, lalu ia berkata, “Aku belum pernah
melihat racun begini selama merantau. Tolong tanya, Tiong-hi
Suheng, cara bagaimana kedua suheng ini kena racun? Apakah
salah minum obat racun? Atau terkena senjata rahasia musuh
yang berbisa? Apakah tubuh mereka ada bekas luka?”
“Dari mana aku bisa tahu?” sahut Tiong-hi dengan marah.
“Kami justru menyusul ke sini untuk tanya padamu. Kau
perempuan ini tadi tampak mencurigakan, besar kemungkinan
waktu makan-minum tadi, karena tidak berhasil merebut
medali-medali itu, lalu kau menaruh racun di dalam arak. Kalau
tidak, mengapa orang lain tidak keracunan, tapi Ciau-hi Sute
yang mengantongi medali-medali itu justru keracunan?
Sedangkan me... medali-medali itu pun direbut lagi oleh
kalian.”
Saking gusarnya air muka Bin Ju sampai pucat pasi. Tapi dasar
perangainya memang halus, sejak kecil ia pun sangat sopan
dan menghormati para suheng, maka ia tidak suka bercekcok
mulut dengan mereka, hanya air matanya yang berlinanglinang
dan hampir-hampir menetes.
Ciok Jing tahu di dalam persoalan ini tentu adalah
kesalahpahaman yang besar. Tadi dirinya suami-istri tidak
berhasil merebut medali-medali tembaga itu, habis itu Ciau-hi
lantas keracunan dan kehilangan medali-medali itu. Dalam
keadaan demikian mereka suami-istri memang berada pada
tempat yang harus dicurigai. Ia coba memegang tangan sang
istri dengan maksud menghiburnya agar jangan berduka. Tapi
seketika ia pun bingung dan tak berdaya.
“Aku... aku....” demikian Bin Ju bermaksud membela diri, tapi
hanya kata-kata itu saja yang sanggup diucapkan dan sudah
menangis.
“Biarpun kau menangis sampai langit runtuh, memangnya
kedua sute ini dapat kau hidupkan kembali? Huh, kucing
menangisi tikus....” jengek Tiong-hi dengan gusar.
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong di belakang
mereka ada orang berseru, “Mengapa kalian tidak
membedakan hitam atau putih dan sembarangan memfitnah
orang?”
Mendengar suara orang yang sangat keras dan kuat itu, para
imam terkejut dan berpaling semua. Maka tertampaklah di
sebelah sana sudah berdiri seorang laki-laki berbaju rombeng
kumal. Tatkala itu fajar sudah mulai menyingsing sehingga
remang-remang wajahnya kelihatan, rupanya usianya masih
sangat muda.
Ciok Jing dan Bin Ju menjadi girang demi melihat pemuda itu.
Bin Ju sampai berteriak, “Ha... kau....” syukurlah
pengalamannya cukup luas sehingga kata-kata “anak Giok”
tidak sampai terucapkan.
Pemuda itu memang betul Ciok Boh-thian adanya. Dia
sembunyi di dalam semak alang-alang dan mendengarkan para
imam itu menuduh Ciok Jing berdua telah meracuni kedua sute
mereka. Boh-thian menjadi ragu-ragu, kalau dirinya tampil ke
muka, tentu akan bergebrak dengan para imam dan bukan
mustahil pukulan berbisanya akan banyak minta korban lagi,
hal ini sesungguhnya sangat bertentangan dengan pikirannya.
Tapi akhirnya demi melihat Tiong-hi makin garang dan makin
mendesak sehingga Bin Ju sampai menangis, maka Boh-thian
tidak tahan lagi, segera ia keluar dari tempat sembunyinya.
“Siapa kau? Dari mana kau mengetahui kami sembarangan
memfitnah orang?” bentak Tiong-hi segera.
Boh-thian menjawab, “Ciok-cengcu dan Ciok-hujin tidak
mengambil medali-medali tembaga kalian, tapi kalian
bersitegang menuduh mereka, bukankah ini memfitnah secara
ngawur?”
“Huh, kau bocah ini tahu apa? Kau berani sembarangan
mengoceh di sini?” bentak pula Tiong-hi sambil melangkah
maju setindak dengan pedang terhunus.
“Sudah tentu aku tahu,” sahut Boh-thian. Mestinya ia hendak
mengatakan bahwa sesungguhnya dia yang mengambil medalimedali
itu, tapi terpikir pula bila dikatakan terus terang, tentu
kawanan imam itu akan main rebut lagi, dan kalau tidak
dikembalikan, tentu akan terjadi pertarungan sengit sehingga
terpaksa membunuh orang. Sebab itulah ia pikir lebih baik
tidak dikatakan saja.
Di lain pihak hati Tiong-hi juga tergerak, ia pikir boleh jadi
pemuda ini mengetahui seluk-beluk tentang medali-medali itu.
Maka ia lantas tanya, “Habis siapakah yang mengambil medalimedali
itu?”
“Pendek kata bukanlah Ciok-cengcu dan Ciok-hujin yang
mengambil.” kata Boh-thian. “Kalian telah bersikap kasar
kepada mereka, sampai-sampai Ciok-hujin jadi menangis,
sungguh tidak pantas, lekaslah kalian meminta maaf kepada
Ciok-hujin.”
Sungguh girang Bin Ju tak terkatakan ketika mendadak melihat
sang putra kesayangan yang dirindukannya siang dan malam
itu, ternyata dalam keadaan selamat tanpa kurang sesuatu apa
pun. Sekarang didengarnya pula pemuda itu menyuruh Tionghi
meminta maaf, terang sekali anak muda itu ingin membela
sang ibu.
Bin Ju mempunyai dua orang putra yang telah banyak
menyusahkan orang tua, dan baru sekarang ia mendengar
sang putra mengucapkan kata-kata yang bersifat membela
ibunda, seketika lega dan terhiburlah hatinya, ia merasa jerih
payah dan duka derita yang telah dialaminya selama 20-an
tahun bagi sang putra tidaklah sia-sia.
Melihat wajah sang istri berseri-seri, tapi air matanya
berlinang-linang pula, Ciok Jing dapat memahami pikirannya,
tangan istrinya yang masih dipegangnya itu digenggamnya
lebih kencang lagi. Ia pun berpikir, “Ya, betapa pun jeleknya
kelakuan anak Giok, terhadap ibunya toh dia masih sangat
berbakti.”
Dalam pada itu Tiong-hi menjadi gusar karena Boh-thian berani
bicara dengan kasar padanya. Dengan suara keras ia
membentak pula, “Siapakah saudara ini? Berdasar apa kau
berani menyuruh aku meminta maaf kepada Ciok-hujin?”
Karena senang hatinya, Bin Ju menjadi anggap sepi terhadap
tuduhan Tiong-hi yang tak berdasar tadi, ia khawatir putranya
bertengkar dengan imam-imam itu sehingga menimbulkan
persengketaan di antara saudara seperguruan sendiri, maka
cepat ia menyela, “Tiong-hi Suheng hanya salah paham saja,
kita adalah orang sendiri semua, asalkan duduknya perkara
dibikin terang, maka tidak perlu bicara tentang minta maaf apa
segala.”
Lalu ia berpaling kepada Boh-thian dan berkata pula dengan
suara halus, “Para Totiang adalah supek dan susiokmu, lekas
kau menjura kepada mereka.”
Terhadap Bin Ju memangnya Ciok Boh-thian mempunyai kesan
baik, sekarang dilihatnya nyonya itu memandangnya dengan
wajah ramah dan penuh kasih sayang, hal ini selama hidupnya
belum pernah diterimanya dari siapa pun juga. Seketika darah
Ciok Boh-thian bergolak, ia merasa biarpun apa yang harus
dilakukannya menurut pesan Bin Ju, sekalipun mati juga tidak
menolak, apalagi cuma disuruh menjura saja.
Maka tanpa pikir lagi ia lantas tekuk lutut dan menjura kepada
Tiong-hi sambil berkata, “Ciok-hujin menyuruh aku menjura
padamu, maka aku lantas menjura!”
Thian-hi, Tiong-hi dan lain-lain sama melengak. Mereka heran
mengapa Ciok Boh-thian sedemikian menurutnya kepada Bin
Ju. Mereka tahu Ciok Jing mempunyai dua orang putra. Yang
satu telah dibunuh oleh musuh, seorang lagi hilang diculik,
maka pemuda ini besar kemungkinan adalah muridnya saja.
Walaupun tabiat Tiong-hi agak berangasan, tapi apa pun juga
dia adalah kaum beribadat, melihat Ciok Boh-thian memberi
hormat padanya, seketika rasa gusarnya lantas mereda. Cepat
ia melompat turun dari kuda dan hendak membangunkan
pemuda itu, katanya, “Ah, janganlah banyak adat!”
Tak tersangka bahwa sekali Ciok Boh-thian sudah disuruh
menjura, maka ia pikir harus menjura benar-benar, waktu
Tiong-hi memayangnya ia tidak lantas bangun.
Dengan sendirinya waktu tangan Tiong-hi memegang bahu
Boh-thian, ia merasa tubuh anak muda itu sangat berat, sedikit
pun tidak bergoyah. Keruan ia menjadi marah lagi, pikirnya,
“Kau anggap aku sebagai orang tua, tapi sekarang kau sengaja
pamer lwekang lagi di hadapanku.”
Segera ia menarik napas dalam-dalam dan mengerahkan
tenaga untuk mengangkat ke atas, maksudnya hendak
menjungkirkan Ciok Boh-thian yang bandel itu.
Melihat kuda-kuda Tiong-hi itu, segera Ciok Jing suami-istri
mengetahui apa yang hendak dilakukan sang suheng. Ciok Jing
agak mendongkol atas sikap Tiong-hi itu. Tapi demi mengingat
sang suheng hendak memberi sedikit hajaran kepada putranya,
ya, apa boleh buat, terpaksa membiarkan anak muda itu tahu
rasa sedikit.
Sebaliknya Bin Ju lantas berseru, “Perlahan sedikit, Suko!”
Maka terdengarlah suara “Wuuut... bluk”, bukannya Ciok Bohthian
yang terangkat, sebaliknya tubuh Tiong-hi sendiri
mencelat ke belakang dan tertumbuk pada kudanya sendiri.
Dengan sempoyongan lekas-lekas Tiong-hi menggunakan ilmu
“Jian-kin-tui” (membikin berat tubuh), dengan demikian
barulah ia dapat berdiri tegak lagi. Namun kudanya yang
tertumbuk itu lantas meringkik dan terjungkal.
Kejadian yang disaksikan orang banyak ini sudah tentu
membuat semua orang terkejut. Ciok Jing dan Bin Ju sendiri
pernah bertanding pedang dengan Ciok Boh-thian di kelenteng
kecil di luar kata Yangciu tempo hari dan mengetahui tenaga
dalam anak muda itu sangat kuat, namun sama sekali tak
terbayang oleh mereka bahwa kekuatan lwekangnya sekarang
sudah memuncak selihai ini, hanya tenaga pentalan saja sudah
membikin tokoh kelas wahid dari Siang-jing-koan mencelat
sendiri.
Begitu Tiong-hi sudah berdiri tegak, “sret”, segera ia melolos
pedang. Saking gusarnya ia berbalik tertawa. Serunya, “Bagus,
bagus, bagus! Murid didik sute dan sumoay ternyata lain
daripada yang lain, maka biarlah aku belajar kenal beberapa
jurus dengan dia.”
Habis berkata, kontan ujung pedang lantas menusuk ke dada
Ciok Boh-thian.
“Tidak, ti... tidak, aku tak mau berkelahi dengan kau!” seru
Boh-thian sambil goyang-goyang kedua tangannya dan mundur
setindak.
Di sebelah lain Thian-hi sudah dapat melihat ilmu silat Ciok
Boh-thian tidak boleh dibuat main-main, ia pikir kalau Tiong-hi
Sute bertempur dengan anak muda ini, kalau menang toh
takkan terpuji, sebaliknya kalau kalah malah akan ditertawai
orang. Sekarang dilihatnya Ciok Boh-thian tidak mau
bertanding, hal ini menjadi kebetulan, maka cepat ia menyela,
“Ya, kita adalah orang sendiri, buat apa bertanding segala?
Andaikan ingin tukar pikiran tentang kepandaian masingKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
masing juga tidak perlu sekarang juga.”
“Betul itu,” Boh-thian menimpali. “Kalian adalah suheng dan
sutenya Ciok-cengcu, bilamana bergebrak dan aku
membinasakan kalian lagi, wah, kan bisa berabe!”
Maklum, sama sekali Boh-thian tidak tahu adat istiadat orang
hidup, ia khawatir jangan-jangan dalam pertarungan nanti
pukulannya yang berbisa akan membinasakan lawan lagi, maka
ia telah katakan terus terang isi hatinya itu. Tak disangkanya
bahwa ucapannya itu biarpun didengar oleh siapa pun juga
tentu akan menimbulkan rasa murka dan akan melabraknya.
Apalagi imam-imam Siang-jing-koan itu biasanya sangat
menilai tinggi ilmu silat golongan mereka, keruan mereka
menjadi gusar.
Begitu pula Ciok Jing lantas membentak juga, “Kau bilang apa?
Jangan sembarang mengoceh!”
Semula Tiong-hi sudah menarik kembali pedangnya dan
hendak menyingkir karena perintah Thian-hi tadi. Tapi demi
mendengar ucapan Ciok Boh-thian yang menghina dan
memandang enteng para imam itu, ia tidak tahan lagi, segera
ia melangkah maju pula dan membentak, “Baik, aku justru
ingin tahu cara bagaimana kau akan membinasakan kami. Nah,
mulailah!”
“Tidak, aku tidak mau berkelahi dengan kau,” sahut Boh-thian
dengan goyang-goyang kedua tangannya.
Tiong-hi semakin murka, dengusnya, “Hm, jadi kau merasa
tiada harganya buat bergebrak dengan aku?!”
“Sret”, kontan ia mendahului menusuk ke bahu anak muda itu.
Karena Boh-thian tidak bersenjata, maka serangan Tiong-hi ini
sengaja ditujukan ke tempat yang tidak berbahaya. Dia adalah
jago pedang terkemuka dari Siang-jing-koan, walaupun
pengalaman tempurnya tidak lebih banyak daripada Ciok Jing
dan Bin Ju, tapi ketangkasannya bahkan melebihi suami-istri
itu.
Keruan Boh-thian menjadi kelabakan, ia tidak sempat
mengelakkan diri lagi, “cret”, bahunya telah tertusuk sedikit,
kontan darah merembes keluar.
“Aduh!” Bin Ju menjerit khawatir.
Sebaliknya Tiong-hi lantas membentak pula, “Lekas keluarkan
senjatamu!”
Namun Boh-thian berpikir, “Kau adalah suhengnya Ciok-hujin,
tadi aku sudah salah membunuh dua orang suhengnya, kalau
sekarang membunuh kau lagi, pertama, tidaklah baik terhadap
Ciok-hujin, kedua, aku pun akan dianggap sebagai orang
jahat.”
Sebab itulah ia tidak menangkis tusukan Tiong-hi tadi, ia
khawatir kalau tangannya bergerak, bukan mustahil telapak
tangan yang beracun itu akan menimbulkan korban lagi. Maka
kedua tangannya sengaja ditelikungnya di belakang punggung
dan saling genggam dengan erat, betapa pun dibentak Tiong-hi
tetap dia tidak mau mainkan tangannya.
Melihat kelakuan Boh-thian ini, para imam Siang-jing-koan
menyangka dia sengaja menghina, keruan mereka menjadi
marah biarpun biasanya mereka adalah orang yang sabar.
Segera ada yang berseru, “Tiong-hi Suheng, bocah itu terlalu
sombong, berilah hajaran yang setimpal!”
“Apa kau benar-benar tidak sudi bergebrak dengan aku?”
segera Tiong-hi membentak Ciok Boh-thian lagi. “Sret-sret”,
kembali ia menyerang pula dua kali.
Saking cepatnya serangan Tiong-hi, dalam hal ilmu pedang
memangnya Boh-thian juga kurang mahir, walaupun
lwekangnya tinggi, tapi tidaklah sanggup menghindar, kontan
lengan kiri dan dada kanan tertusuk pula. Untung Tiong-hi
tidak bermaksud membunuhnya melainkan cuma memaksanya
bergebrak saja, maka tusukan-tusukan itu hanya mengenai
kulitnya dan pedang lantas ditarik kembali, makanya Boh-thian
hanya terluka lecet saja.
Melihat putra kesayangan berturut-turut terluka tiga tempat,
sungguh hati Bin Ju merasa seperti dirinya yang terluka. Maka
waktu melihat Tiong-hi kembali menusuk pula, “trang”, segera
ia menangkiskannya bagi Ciok Boh-thian. Serentak
terdengarlah suara “trang-tring, trang-tring” yang ramai,
dalam sekejap saja Tiong-hi dan Bin Ju sudah bergebrak 13
kali.
Kedua orang sama-sama terhitung jago pilihan dari Siang-jingkoan,
sekali ilmu pedang “Siang-jing-gway-kiam” dimainkan,
Tiong-hi sekaligus menyerang 13 kali dan Bin Ju sekaligus juga
menangkis 13 kali, seketika lelatu meletik sebagai kembang api
disertai sinar pedang yang kemilauan, cepatnya tak terkatakan.
Maka begitu ke-13 jurus sudah dimainkan, serentak para imam
dan Ciok Jing lantas bersorak dan menyenggak, “Bagus!”
Karena kedua orang adalah tunggal guru, Thian-hi tahu biarpun
bertarung lebih lama lagi juga susah menentukan kalah dan
menang. Maka ia lantas berkata, “Bin-sumoay, apa kau sudah
terang akan membela anak muda ini?”
Bin Ju tidak menjawab, ia hanya pandang Ciok Jing dengan
harapan sang suami yang menyatakan ketekadannya.
Maka Ciok Jing lantas membuka suara, “Bocah ini terlalu
angkuh dan sembrono, memanglah pantas kalau diberi
hajaran. Berturut-turut dia sudah kena tiga kali tusukan Tionghi
Suheng, syukurlah Tiong-hi Suheng sengaja bermurah hati
sehingga jiwanya tidak sampai melayang. Hanya sedikit
kepandaian kasaran bocah ini mana dia sesuai untuk bergebrak
dengan Tiong-hi Suheng? Nak, lekas kau menjura dan minta
maaf kepada Supek!”
“Sudah terang dia memandang rendah kepada Siang-jing-koan
kita, ia anggap tiada harganya bergebrak dengan kita,” seru
Tiong-hi dengan marah-marah. “Kalau tidak, mengapa tadi dia
menyatakan sekali tangannya bergerak kita tentu akan
terbunuh semua?”
Waktu Ciok Boh-thian membuka tangannya, lapat-lapat ia
melihat noktah merah dan garis-garis biru di tapak tangannya
itu agak timbul lagi. Ia menghela napas dan berkata, “Kedua
tanganku ini benar-benar penyakit, sedikit-sedikit tentu
membinasakan orang.”
Mendengar itu, kembali air muka para imam Siang-jing-koan
berubah.
Mau tak mau Ciok Jing sendiri menjadi marah juga demi
mendengar ucapan Boh-thian yang sombong dan menyinggung
perasaan itu. Segera ia membentak, “Kau bocah ini benarbenar
tidak kenal tingginya langit dan tebalnya bumi. Tadi
Tiong-hi Supek sengaja mengampuni kau, makanya jiwamu
tidak sampai melayang, apa kau tidak tahu?”
“Aku... aku....” sahut Boh-thian dengan tergagap-gagap.
Dalam pada itu Tiong-hi sudah mulai curiga. Tadi ia telah
menusuk tiga kali kepada Ciok Boh-thian, dilihatnya cara
pemuda itu belum paham cara menghindarnya, sebaliknya
lwekangnya sedemikian lihainya, kalau bicara tentang ilmu silat
tampaknya bukanlah murid didiknya Ciok Jing suami-istri.
Apalagi waktu Boh-thian membuka kedua tangannya, sayupsayup
tercium olehnya bau amis busuk yang memusingkan
kepala. Keruan ia tambah sangsi. Segera ia membentak pula,
“Sebenarnya kau murid siapa? Dari mana kau belajar berlagak
dan bermulut besar?”
“Aku... aku adalah murid tertua Kim-oh-pay,” sahut Boh-thian.
Tiong-hi melengak. Pikirnya, “Kim-oh-pay? Setahuku di dunia
persilatan tiada terdapat nama demikian, besar kemungkinan
bocah ini membual lagi.”
Segera ia berkata, “O, kukira kau adalah muridnya Ciok-sute
sendiri, tapi ternyata bukan orang sendiri, ini menjadi
kebetulan malah.”
Segera ia mengedipi dua orang sute yang berdiri di sebelahnya.
Kedua imam itu tahu maksud sang suheng, segera mereka
memutar pedang, masing-masing dengan jurus “Tiau-pay-kimteng”
(Menyembah Puncak Emas), yang seorang menghadapi
Ciok Jing dan yang lain mengarah Bin Ju.
Gaya “Tiau-pay-kim-teng” ini adalah satu jurus penghormatan
kepada lawan dari ilmu pedang Siang-jing-koan, biasanya
digunakan bilamana hendak bertanding dengan tokoh Bu-lim
yang terkemuka atau angkatan yang lebih tua. Jurus ini
tampaknya cuma sebagai penghormatan saja dengan ujung
pedang mengarah ke bawah, tapi sebenarnya telah
mengadakan penjagaan yang sangat rapat dalam lingkaran
beberapa meter. Sekali lawan bergerak, seketika lantas
mendahului menggempur.
Sudah tentu Ciok Jing berdua paham maksud kedua imam itu,
yaitu mengawasi gerak-gerik mereka. Asalkan dirinya bergerak
hendak membela sang putra, maka kedua imam itu serentak
akan melayaninya. Tapi kalau dirinya tidak bergerak, maka
kedua imam itu pun takkan melakukan penyerangan lebih dulu.
Dalam pada itu Tiong-hi sudah tak sabar lagi, kembali ia
membentak Boh-thian, “Lekas keluarkan senjatamu! Jika kau
tidak balas menyerang, segera aku mampuskan kau murid
jahat dari Kim-oh-pay ini.”
Dengan tegas ia mengatakan “Kim-oh-pay”, terang supaya
Ciok Jing berdua tak dapat membelanya lagi andaikan nanti
Boh-thian benar-benar dibunuh olehnya.
Pada saat yang menentukan itu, Ciok Jing menduga bila Bohthian
tidak menandangi tantangan Tiong-hi itu, tentu anak
muda itu akan terancam bahaya. Sebaliknya kalau terima
tantangan itu, karena mengetahui ada kemungkinan dirinya
suami-istri akan membela anaknya, tentulah dia akan pikirpikir
lebih dulu sebelum merobohkannya dan paling-paling
anak muda itu hanya dilukai sedikit saja sekadar sebagai hajar
adat.
Maka Ciok Jing lantas berseru, “Nak, jika Supek ingin memberi
petunjuk padamu, hal ini akan sangat berguna bagimu, tentu
Supek takkan melukai kau, janganlah takut. Lekas kau
keluarkan senjata untuk melayaninya!”
Melihat sinar pedang Tiong-hi yang gemerlapan dan wajah sang
supek yang kereng itu, diam-diam Boh-thian menjadi jeri.
Berulang-ulang dia telah tertusuk tiga kali, ia tahu ilmu pedang
imam itu sangat lihai. Sekarang didengarnya Ciok Jing
menyuruhnya mengeluarkan senjata, tiba-tiba timbul suatu
pikiran padanya, “Ya, betul, aku akan menangkis serangannya
dengan senjata, dengan demikian racun di tanganku tentu
takkan membinasakan dia.”
Sekilas dilihatnya di atas tanah ada sebatang golok, yaitu
senjata yang ditinggalkan muridnya Loh Cap-pek tadi. Dengan
girang ia lantas berseru, “Baik, baik! Aku akan melayani
seranganmu. Tapi... tapi kau jangan menyerang lebih dulu,
tunggulah aku mengambil golok itu. Jika kau menggunakan
kesempatan ini untuk menusuk punggungku tentu tak bisa
dianggap menang, jangan kau main belit.”
Melihat cara bicara Ciok Boh-thian itu seperti anak kecil saja,
Tiong-hi sangat mendongkol dan geli pula. Ia menjengek sekali
sambil melangkah mundur. “Cret”, ia tancapkan pedangnya ke
tanah dan berkata, “Huh, kau anggap aku Tiong-hi ini orang
macam apa? Masakah pakai menyerang dari belakang
terhadap bocah ingusan macam kau?”
Dengan tangan tolak pinggang Tiong-hi sengaja menunggu
Boh-thian menjemput golok di atas tanah itu. Pikirnya,
“Kiranya bocah ini mahir menggunakan golok, jika demikian
terang dia bukan muridnya Ciok-sute. Hanya saja entah
mengapa Ciok-sute menyuruh dia memanggil supek pula
padaku?”
Begitulah, selagi Ciok Boh-thian berjongkok hendak mengambil
golok, mendadak timbul pula suatu pikirannya, “Wah, dalam
pertarungan nanti jangan-jangan secara tidak sengaja aku
menggunakan sebelah tangan yang kosong ini dan tentu akan
membinasakan dia pula. Ya, ada lebih baik tangan kiri ini
kuikat saja pada badanku, dengan demikian akan aman
sentosa segalanya.”
Bab 30. Rahasia Putra-putra Ciok Jing yang Hilang
Maka ia tidak jadi menjemput golok itu, ia menegak kembali
dan berkata kepada Tiong-hi, “Maaf, harap kau tunggu dulu
sebentar.”
Habis itu ia lantas melepaskan ikat pinggang, tangan kiri ia
julurkan lurus di samping badan, lalu dengan tangan kanan ia
mengikat lengan kiri pada badannya sendiri.
Dengan mata terbeliak semua orang mengikuti perbuatannya
itu, semuanya tidak tahu permainan apa yang akan dilakukan
olehnya. Namun Boh-thian tetap asyik melakukan
pekerjaannya sendiri, setelah tangan kiri sudah terikat kencang
di atas badan, lalu golok di atas tanah barulah diambilnya dan
berkata, “Baiklah, sekarang kita boleh mulai, dengan demikian
aku takkan membinasakan kau.”
Sungguh Tiong-hi hampir-hampir jatuh kelengar saking
gusarnya. Anak muda menerima tantangannya dengan
mengikat sebelah tangannya, ini berarti suatu hinaan yang tak
terkatakan. Sudah tentu para imam Siang-jing-koan juga
marah-marah, mereka membentak dan mencaci maki. Ciok
Jing dan Bin Ju juga lantas menyemprot Boh-thian, “Anak
kurang ajar! Hayo lekas melepaskan ikat pinggangmu itu!”
Untuk sejenak Boh-thian tertegun, pada saat itulah Tiong-hi
sudah hilang kesabarannya, pedangnya dengan cepat sudah
menusuk. Dengan gugup lekas-lekas Boh-thian mengangkat
goloknya untuk menangkis.
Tiong-hi sudah tahu lwekang anak muda itu sangat kuat, maka
sebelum pedangnya terbentur golok, cepat ia sudah ganti
serangan. “Sret-sret-sret”, berturut-turut ia melancarkan
enam-tujuh kali tusukan sehingga Boh-thian kerepotan
melayaninya, jangankan hendak menangkis, dari mana
datangnya serangan lawan saja Boh-thian tidak jelas.
Diam-diam anak muda itu mengeluh, “Wah, celaka!”
Dalam keadaan kepepet, tanpa pikir goloknya lantas
membacok dan menebas serabutan, sedikit pun tidak menurut
aturan.
Untunglah Tiong-hi sudah agak kapok terhadap lwekangnya
yang mahakuat itu, walaupun permainan golok Ciok Boh-thian
kelihatan banyak lubang kelemahannya, tapi di waktu goloknya
membacok, mau tak mau Tiong-hi harus menarik kembali
pedangnya dan menghindarkan diri, ia khawatir kalau-kalau
pedangnya terbentur golok dan mencelat, hal ini tentu akan
membikin malu habis-habisan padanya.
Sesudah membacok tak keruan, dilihatnya Tiong-hi berbalik
mundur, maka Ciok Boh-thian sempat tenangkan diri untuk
sementara. Teringat olehnya ilmu golok yang diciptakannya
dengan parang karatan yang ditemukan di Ci-yan-to tempo
hari, tiba-tiba timbul pikirannya, “Eh, ya, mengapa aku tidak
menggunakan ilmu golokku itu untuk melayani dia?”
Hanya saja dahulu tangan kirinya menggunakan pedang dan
tangan kanan memakai golok, sekarang tangan kiri sendiri
terikat kencang, hanya tinggal tangan kanan saja yang tetap
memainkan golok, dengan sendirinya daya gunanya menjadi
banyak berkurang, namun begitu jurus-jurus serangannya
yang aneh-aneh tetap tidak kurang banyaknya.
Sebenarnya kepandaian ciptaan Boh-thian sendiri ini tidaklah
sempurna, banyak lubang kelemahannya. Akan tetapi begitu ia
mengerahkan lwekangnya yang tiada bandingannya, dengan
sendirinya daya tempurnya menjadi sangat hebat. Hanya
belasan jurus saja para imam Siang-jing-koan dan Ciok Jing
suami-istri sudah melongo terheran-heran.
Lebih-lebih Tiong-hi, di samping kejut dan gusar, ia menjadi
rada-rada jeri pula. Sebagai orang beribadat, pengalaman
tempur Tiong-hi tidaklah luas, tapi ilmu golok dari golongangolongan
terkemuka di dunia persilatan boleh dikata sudah
dikenalnya semua. Sekarang dilihatnya ilmu golok Ciok Bohthian
itu sudah dangkal dan bodoh, caranya ngawur pula dan
sangat bertentangan dengan teori ilmu golok pada umumnya.
Ilmu golok demikian mestinya sekali gempur sudah cukup
mengalahkan anak muda itu, tapi aneh bin ajaib, justru dirinya
sendiri yang berulang-ulang terancam oleh serangan ngawur
itu, hal ini sungguh-sungguh tidak masuk akal.
Sesudah belasan jurus pula, lama-lama Tiong-hi menjadi
gelisah dan hilang sabar. “Sret”, pedangnya menusuk dari
depan. Kebetulan pada saat itu golok Ciok Boh-thian telah
berputar balik. Karena kedua orang sama-sama cepatnya,
“trang”, benturan kedua senjata tak dapat dihindarkan lagi.
Tiong-hi sudah berjaga-jaga sebelumnya, ia telah pegang
pedangnya dengan sangat kencang. Tapi tenaga dalam Ciok
Boh-thian benar-benar terlalu kuat, di tengah jerit kaget orang
banyak, pedang Tiong-hi tertampak sudah melengkung,
gagang pedang pun berdarah, ternyata genggaman tangan
Tiong-hi sampai tergetar pecah.
Tiong-hi terkesiap, diam-diam ia merasa nama harumnya
selama hidup sudah terhanyut sekarang, apa gunanya
meyakinkan ilmu pedang dan menjadi ciangbunjin segala?
Tanpa bicara lagi ia sambitkan pedang melengkung itu ke arah
Ciok Boh-thian, menyusul kedua tangannya bagaikan cakar
baja terus menubruk maju.
“Trang”, Ciok Boh-thian sempat menangkis timpukan pedang
melengkung itu sehingga terpental, tapi lantaran itulah bagian
dadanya menjadi terbuka, kesempatan ini tidak disia-siakan
oleh Tiong-hi yang sedang menubruk maju itu, dengan cepat
kedua hiat-to penting di dada Ciok Boh-thian telah kena
dicengkeramnya.
Serangan Tiong-hi ini laksana banteng ketaton dahsyatnya.
Kim-na-jiu-hoat kaum Siang-jing-koan pun terhitung sesuatu
kepandaian tunggal yang lihai. Siapa duga baru saja kedua
tangannya menyentuh hiat-to di dada Ciok Boh-thian, kontan ia
terpental balik oleh tenaga dalam anak muda itu sehingga
mencelat.
Sekali ini karena dia menyerang dengan kalap, maka tenaga
pental balik itu pun tambah keras, tubuhnya yang mencelat itu
tampaknya dengan segera akan terbanting telentang, jika ini
terjadi, maka dia pasti akan malu besar.
Syukurlah Thian-hi Tojin cepat bertindak, dengan cepat ia
sempat menggunakan sebelah tangannya untuk menolak
pundak sang sute ke samping sehingga daya pental itu dihapus
sebagian, kedua kakinya menyentuh tanah lebih dulu dan
meloncat ke atas. Dengan demikian Tiong-hi tidak sampai
roboh terjungkal, tapi lalu menurun kembali dengan enteng.
Namun wajahnya sudah lantas pucat pasi sebagai mayat.
Setelah mendorong Tiong-hi ke samping, berbareng pula
Thian-hi sudah melolos pedangnya dan berkata, “Ternyata
benar-benar seorang kesatria muda yang hebat, kagum,
sungguh kagum sekali! Biarlah sekarang aku yang belajar kenal
beberapa jurus padamu, mungkin aku yang sudah loyo ini pun
bukan tandingan saudara.”
Sambil bicara, berbareng pedangnya lantas menusuk lambat ke
depan. Waktu Boh-thian angkat goloknya menangkis,
mendadak ia merasa tenaga yang dikerahkan pada batang
goloknya itu punah tanpa bekas.
Kiranya Thian-hi mengetahui lwekang Ciok Boh-thian sangat
lihai, maka serangannya telah menggunakan cara “menggeser”
untuk menghapus tenaga lawan. Namun tidak urung lengan
kanan pun terasa tergetar dan kesemutan, dada pun kesakitan.
Keruan ia terkejut dan khawatir, jangan-jangan dirinya sudah
terluka dalam. Maka waktu menyerang pula, sebelum terbentur
dengar golok lawan, segera ia tarik pedangnya dan menyusul
menusuk dari samping.
Jangan mengira Thian-hi sudah lanjut usianya, tapi
kegesitannya ternyata tidak kalah daripada orang muda,
bahkan serangannya lebih jitu dan makin ganas.
Begitulah, dalam waktu singkat saja kedua orang sudah
bergebrak lebih 20 jurus, karena sambaran angin senjata
semakin meluas, maka lingkaran para penonton juga makin
terdesak lebar.
Leng-hi Tojin dan kawannya yang bertugas mengawasi Ciok
Jing dan Bin Ju sampai teralih perhatiannya dan asyik
mengikuti pertarungan yang seru di tengah kalangan.
Sementara itu Ciok Boh-thian telah mainkan ilmu goloknya
dengan semakin lancar, tenaga dalamnya juga ikut tambah
kuat, semula Thian-hi masih dapat menandingi, tapi setiap
bergebrak satu jurus tenaga anak muda itu pun tambah kuat
sebagian, boleh dikata tumbuh tiada habis-habis dan tiada
berhenti-henti.
Walaupun menang dalam kebagusan ilmu pedang, tapi kedua
kaki Thian-hi sudah terasa mulai lemas, lengan juga mulai
pegal, setiap kali bergebrak berarti semakin payah.
Sekarang Ciok Jing dan Bin Ju juga sudah dapat melihat jelas,
apabila pertarungan itu diteruskan tentu Thian-hi akan
kecundang. Sebaliknya kalau sang putra yang dibentak suruh
berhenti, hal ini sama dengan menyuruh dia mengalah di depan
umum dan tentu akan membikin malu kepada Thian-hi.
Sungguh cemas dan bingung Ciok Jing berdua, mereka merasa
serbasalah dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Ciok Boh-thian sendiri makin bertempur makin bersemangat,
sampai akhirnya Thian-hi yang selalu terdesak malah.
Sekonyong-konyong Boh-thian melihat kaki kanan Thian-hi
menjadi lemas dan hampir-hampir tekuk lutut, namun imam
tua itu masih terus bertahan sekuatnya, hanya air mukanya
yang sudah berubah hebat.
Tiba-tiba tergerak hati Boh-thian, teringat olehnya ucapan A
Siu ketika berada di Ci-yan-to dahulu, “Di waktu kau bertempur
dengan orang, hendaklah selalu ingat bahwa di mana dapat
mengampuni orang hendaklah mengampuni saja.”
Sekali teringat kepada pesan A Siu itu, seketika Boh-thian
terbayang wajah yang lembut dan ayu itu. Segera ia
melintangkan goloknya terus mendorong ke depan.
Kontan Thian-hi merasa dorongan golok itu membawa tenaga
tekanan yang dahsyat sehingga napasnya terasa sesak. Cepat
ia melompat mundur dua tindak dan tidak urung tindakan
mundur itu pun sudah membuatnya terhuyung-huyung. DiamKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
diam ia mengeluh, “Celaka, jika dia mendesak maju lagi, untuk
mundur saja rasanya aku pun tidak kuat lagi.”
Akan tetapi Ciok Boh-thian tidak mendesak maju pula,
sebaliknya goloknya lantas menebas kosong ke kiri, lalu ditarik
kembali dan menusuk kosong lagi ke kanan, habis itu golok
berputar ke atas terus membacok di depan anak muda itu
sendiri. Tiga kali gerakan itu adalah serangan kosong semua,
namun betapa hebat tenaga yang digunakannya sehingga debu
pasir sampai bertebaran terguncang angin senjatanya.
Selagi Thian-hi tercengang dengan napas terengah-engah,
terlihatlah Boh-thian sudah menarik goloknya sambil mundur
dua tindak, lalu berdiri tegak sambil memondong senjata dan
berkata, “Ilmu pedang tuan sangat bagus, Cayhe merasa
sangat kagum. Hari ini susah menentukan kalah dan menang,
bolehlah kita berhenti dan marilah bersahabat saja.”
Thian-hi hampir-hampir tidak percaya kepada pendengarannya
sendiri, ia berdiri termangu-mangu dan tidak sanggup
berbicara.
Melihat Ciok Boh-thian menarik senjata dan melangkah mundur
dengan gayanya yang sangat indah serta kuat itu, tanpa
merasa semua orang memberi sorakan memuji. Ciok Jing
tersenyum-senyum dan merasa lega hatinya dengan
kesudahan pertarungan yang damai itu. Lebih-lebih Bin Ju,
girangnya tak terkatakan lagi.
Mereka senang karena ilmu silat sang putra yang hebat itu,
tapi yang lebih menggirangkan adalah sikap Ciok Boh-thian
yang terakhir itu, sudah pasti akan menang, tapi toh dia mau
mengalah dan menyudahi pertarungan itu dengan damai tanpa
syarat ini benar-benar perbuatan yang luhur dan cocok sekali
dengan sifat-sifat mereka suami-istri.
Namun Bin Ju lantas membentak Boh-thian dengan tertawa,
“Huh, anak goblok, sembarangan mengoceh tak keruan,
mengapa pakai sebutan Cayhe segala, harus panggil supek dan
mengaku Siautit (keponakan)!”
Thian-hi sendiri pun menghela napas lega, katanya dengan
gegetun, “Arus sungai selalu mendorong ke muka, orang muda
memang selalu lebih hebat, kita sudah tua, tidak berguna lagi!”
“Nak, lekas kau memberi hormat dan minta maaf kepada
Supek,” cepat Bin Ju berseru pula.
Boh-thian mengiakan, ia membuang goloknya, lalu menjura
dengan penuh hormat.
Bin Ju sangat senang, katanya, “Ciangbun-suko, ini adalah
anak nakal sute dan sumoaymu, sejak kecil kurang mendapat
didikan, harap suka memberi maaf atas kesalahannya.”
Thian-hi terkesiap. “O, kiranya adalah lenglong (putra kalian),
pantas, pantas!” sahutnya kemudian. “Tapi Sute tadi
mengatakan lenglong telah diculik orang, kiranya hal itu
tidaklah betul.”
“Siaute mana berani mendustai Suheng,” kata Ciok Jing. “Anak
itu memang diculik orang, entah cara bagaimana dia bisa lolos
sampai sekarang kami pun belum sempat tanya
keterangannya.”
“Ya, memangnya, dengan kepandaiannya yang tinggi ini
memang tidak susah untuk meloloskan diri,” ujar Thian-hi
dengan manggut-manggut. “Hanya saja ilmu silat lenglong
terang bukan ajaran Sute dan Sumoay, dalam ilmu goloknya ini
pun tidak banyak terkandung jurus-jurus ilmu silat Swat-sanKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
pay, sebaliknya tenaga dalamnya sedemikian hebatnya dan
susah diukur. Bahkan jurus yang terakhir tadi lebih-lebih
jarang terlihat.”
“Betul itu, jurus ini adalah ajaran A Siu,” demikian Boh-thian
menanggapi. “Dia bilang padaku agar senantiasa bermurah hati
kepada lawan, di mana dapat mengampuni orang supaya
mengampuni saja. Jurus ini bernama ‘Pang-kau-cik-kik’ (pukul
dari samping dan hantam dari pinggir), gunanya untuk
mengalah kepada lawan, tapi juga takkan dilukai oleh lawan.”
Begitulah tanpa tedeng-aling-aling dan prasangka apa-apa Ciok
Boh-thian mencerocos menurutkan apa saja yang hendak
diucapkan, keruan muka Thian-hi sebentar merah sebentar
pucat, malunya tak terkatakan.
Segera Ciok Jing membentak, “Diam! Kau sembarangan
mengoceh apa?”
“Baiklah, aku takkan bicara lagi.” kata Boh-thian. “Apabila
sejak mula terpikir olehku untuk mengikat tanganku yang
berbisa ini dan melulu gunakan golok untuk bergebrak dengan
orang, tentu takkan... takkan....” sampai di sini ia lantas
berhenti, ia pikir kalau bicara terus terang bahwa dirinya yang
telah membinasakan Ciau-hi dan Thong-hi, tentu akan timbul
persengketaan baru lagi.
Namun begitu Thian-hi dan imam-imam lain sudah terperanjat,
beramai-ramai mereka membentak, “Apa katamu? Telapak
tanganmu berbisa?” – “Jadi Ciau-hi dan Thong-hi Sute adalah
kau yang membunuhnya?” – “Dan kedua medali tembaga itu
pun kau yang mencurinya bukan?”
Begitulah senjata-senjata para imam yang tadinya sudah
dimasukkan kembali ke sarungnya ini sekarang beramai-ramai
dicabut keluar lagi.
Boh-thian menghela napas menyesal, katanya, “Sesungguhnya
aku tiada bermaksud membunuh mereka, tak terduga
tanganku hanya sedikit bergerak saja mereka sudah lantas
roboh sendiri.”
Dengan murka Tiong-hi lantas berseru kepada Ciok Jing, “Nah,
Ciok-sute, cara bagaimana urusan ini harus diselesaikan,
hendaklah kau katakan saja!”
Pikiran Ciok Jing menjadi kusut, ketika berpaling dilihatnya pula
air mata sang istri berlinang-linang, perasaannya juga sangat
khawatir dan cemas, terpaksa ia menjawab dengan kuatkan
perasaan, “Betapa pun kepentingan perguruan harus
diutamakan. Binatang cilik ini telah banyak menimbulkan garagara,
kami suami-istri susah juga untuk membelanya, maka
terserah kepada keputusan Ciangbun-suheng untuk mengambil
tindakan padanya.”
“Bagus!” seru Tiong-hi, berbareng pedangnya bergerak,
serentak ia hendak maju mengerubut.
“Nanti dulu!” tiba-tiba Bin Ju mencegahnya.
Dengan melirik Tiong-hi berkata, “Apa yang Sumoay ingin
katakan lagi?”
“Ciau-hi dan Thong-hi Suheng saat ini toh belum meninggal,
boleh jadi mereka masih dapat tertolong.” ujar Bin Ju dengan
suara gemetar.
Tiong-hi mengekek sambil mendongak, katanya dengan
mengejek, “Kedua sute sudah terkena racun sejahat ini,
masakah mereka masih ada harapan buat hidup lagi? Ucapan
Sumoay ini apa bukan sengaja mengolok-olok saja?”
Bin Ju pun tahu tiada harapan lagi, ia coba tanya Ciok Bohthian,
“Nak, racun apakah yang berada di telapak tanganmu
itu? Apakah ada obat pemunahnya?”
Sambil bertanya ia lantas mendekati anak muda itu, katanya,
“Coba kuperiksa sakumu apakah terdapat obat pemunah.”
Lalu ia pura-pura memasukkan tangannya ke saku Ciok Bohthian
untuk mencari obat, tapi diam-diam ia membisiki anak
muda itu, “Lekas lari lekas! Ayah dan ibu tak sanggup
menolong kau lagi!”
Boh-thian terperanjat. “Ayah dan ibu? Siapa adalah ayah dan
ibu?” serunya menegas.
Kiranya tadi Thian-hi selalu menyebut tentang “lenglong” apa
segala, karena buta huruf, maka Boh-thian tidak tahu bahwa
“lenglong” artinya “putramu”. Bahwasanya Ciok Jing suami-istri
juga menyebutnya sebagai “anak”, hal ini pun ia sangka
sebutan lazim kaum tua kepada kaum muda, sama sekali tak
terduga olehnya bahwa suami-istri itu telah salah mengenalnya
sebagai putra mereka.
Pada saat itulah, sebelum Ciok Boh-thian dapat berbuat apaapa,
tiba-tiba terasa punggungnya tersentuh oleh sesuatu.
Kiranya Ciok Jing yang telah menjuju punggungnya dengan
ujung pedang, katanya, “Adik Ju, kita tidak boleh membela
binatang cilik ini sehingga merusak hubungan baik dengan
perguruan sendiri. Dia tidak boleh lari!”
Nada ucapannya ternyata penuh mengandung perasaan pahit
getir.
Bin Ju pun hampir-hampir pingsan saking pedihnya, katanya
dengan suara gemetar, “Nak, apakah jiwa kedua supek ini
benar-benar tiada obat yang dapat menolong mereka?”
Saat itu Leng-hi yang berdiri di samping dan bertugas
mengawasi Bin Ju itu menjadi khawatir jangan-jangan sang
sumoay akan merintangi atau mungkin juga mendadak
membunuh diri, maka dengan cepat ia pegang tangan Bin Ju
dan merampas pedangnya.
Tatkala mana Bin Ju sedang mencurahkan perhatian atas diri
Ciok Boh-thian sehingga dengan gampang saja pedangnya
kena dirampas.
Sebaliknya Ciok Boh-thian tidak tinggal diam melihat Bin Ju
diperlakukan begitu, ia berteriak, “Apa yang kau lakukan?”
berbareng pedang Bin Ju tadi lantas hendak direbutnya
kembali.
Akan tetapi Leng-hi telah putar pedang itu terus memotong.
Sebelum tertebas, cepat Boh-thian menarik tangan terus
membalik untuk memegang pergelangan tangan lawan. Ini
adalah satu jurus kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong tempo
hari.
Walaupun kim-na-jiu-hoat ini amat bagus, tapi mana dapat
digunakan atas diri Leng-hi yang tergolong jago pilihan Siangjing-
koan? Mendadak Leng-hi membentak, “Bagus!”
Berbareng pedangnya memutar balik untuk menangkis.
Tak tersangka tubuhnya lantas sempoyongan, pandangannya
menjadi gelap, “bluk”, ia jatuh tersungkur sendiri. Kiranya
racun di telapak tangan Ciok Boh-thian itu telah teruar pada
waktu tangannya bergerak tadi. Ketika Leng-hi membentak,
dengan sendirinya ia harus menyedot napas, maka kontan ia
keracunan.
Saking kagetnya para imam sampai menyingkir mundur
beberapa tindak, wajah mereka pun pucat seketika laksana
melihat setan iblis.
Boh-thian insaf keonaran yang ditimbulkannya ini telah tambah
besar, walaupun para imam itu tampak melangkah mundur,
tapi setiap orang tetap menghunus pedang dan mengepung di
sekelilingnya, untuk menerjang keluar tidak boleh tidak harus
menjatuhkan korban jiwa lagi. Sekilas dilihatnya pula kedua
tangan Leng-hi memegang perutnya sendiri sambil menggosokgosok
dan meremas-remas tiada hentinya, terang imam itu
sedang menderita sakit perut yang tak terhingga.
Kiranya imam-imam Siang-jing-koan itu jauh lebih kuat
lwekangnya dibanding anggota-anggota Tiat-cha-hwe, oleh
karena itu mereka tidak lantas binasa terkena hawa berbisa,
tapi masih sanggup tahan untuk sejam dua jam lamanya.
Tiba-tiba Ciok Boh-thian teringat kepada Thio Sam dan Li Si
sewaktu menderita sakit perut dan berkelesotan di sarang Tiatcha-
hwe tempo hari, kemudian Thio Sam telah mengajarkan
cara menolongnya sehingga racun di dalam tubuh kedua
saudara angkat itu dapat dipunahkan, maka cepat ia lantas
membangunkan Leng-hi.
Para imam di sekelilingnya sudah siap-siap dengan pedangnya
untuk mengerubutnya, namun Boh-thian buru-buru ingin
menolong Leng-hi, maka sikap permusuhan imam-imam itu tak
dihiraukan lagi. Dengan tangan kiri Boh-thian lantas tahan
leng-tay-hiat di punggung Leng-hi, sedangkan tangan kanan
memegang tat-tiong-hiat di bagian dada, ia kerahkan tenaga
melalui tangan kiri dan tangan kanan dipakai menyedot,
dengan cara yang diajarkan Thio Sam itu, tidak lama kemudian
Leng-hi Tojin lantas bisa menarik napas panjang, sakit
perutnya lantas berhenti. Dan begitu sudah sembuh, kontan
Leng-hi memaki, “Maknya, bangsat kau!”
Sebagai orang beribadat, caci maki Leng-hi itu sesungguhnya
tidak pantas, tapi sekali dia sudah dapat bersuara, segera
semua orang mengetahui jiwanya sudah dapat diselamatkan,
maka semua orang lantas bersorak gembira dan tidak
memusingkan kata-kata Leng-hi yang kurang sopan tadi.
Saking girangnya Bin Ju sampai meneteskan air mata.
Katanya, “Nak, Ciau-hi dan Thong-hi Supek juga keracunan
sejak tadi, lekas kau menolong mereka!”
Dalam pada itu dua tosu sudah memondong Ciau-hi dan
Thong-hi ke depan Ciok Boh-thian, keadaan kedua imam itu
sudah sangat payah, napas mereka sudah tinggal Senin-Kamis
saja.
Segera Boh-thian menjalankan cara penyembuhan seperti tadi.
Karena Ciau-hi dan Thong-hi lebih lama keracunan, maka
diperlukan waktu lebih lama pula barulah racun-racun di dalam
tubuh mereka dapat dipunahkan.
Begitu sadar kontan Ciau-hi lantas mendamprat, “Kakekmu
disambar geledek, anak keparat!”
Dan Thong-hi juga tidak mau ketinggalan, ia pun mengumpat,
“Anak jadah piaraan biang anjing, kau berani menggunakan
racun untuk menyerang tuanmu!”
Karena senangnya sehingga Ciok Jing dan Bin Ju tidak
mengambil pusing lagi kepada caci maki ketiga suhengnya
yang menyangkut kehormatan suami-istri mereka. Sebaliknya
diam-diam mereka menertawakan imam-imam itu, “Percuma
saja ketiga suheng itu bertirakat selama ini, biasanya mereka
sangat saleh, tampaknya seperti imam yang sangat alim, tapi
di waktu kepepet kata-kata mereka pun sedemikian kasarnya.”
Setelah Ciok Boh-thian menyembuhkan Ciau-hi bertiga, maka
rasa gusar para imam tadi lantas hilang pula sebagian besar.
Bin Ju lantas berkata, “Nak, jika kau yang mengambil medalimedali
tembaga dari Ciau-hi Supek itu, hendaklah kau
mengembalikan saja kepada beliau, ibu tidak inginkan bendabenda
itu lagi.”
“Ibu? Ibu?” Boh-thian menggumam dengan terperanjat, lalu ia
mengeluarkan medali-medali itu dan dikembalikan kepada
Ciau-hi sambil menegas lagi kepada Bin Ju, “Ibu? Kau... kau
adalah ibuku?”
Di sebelah sana Thian-hi Tojin sudah lantas berkata kepada
Ciok Jing dan Bin Ju, “Sute dan Sumoay, biarlah kita berpisah
saja di sini!”
Ia tahu untuk bertemu lagi kelak susahlah diramalkan, maka
tanpa mengucapkan “sampai bertemu lagi” segera ia
memimpin para imam dan berangkat pergi.
Ciok Boh-thian masih memandangi Bin Ju dengan termangumangu
dan penuh keragu-raguan. Sebaliknya kedua mata Bin
Ju tampak basah, dengan tersenyum-senyum ia berkata, “Anak
bodoh, apa kau tidak... tidak mengenali ayah-ibumu lagi?”
Habis itu segera ia merangkul Boh-thian ke dalam
pangkuannya.
Sejak tahu seluk-beluknya orang hidup belum pernah Bohthian
dikasihi orang, terhadap Bin Ju selama ini dia memang
merasa sangat suka dan terima kasih, kini mendadak
mengalami perlakuan sedemikian, dengan sendirinya
perasaannya juga terguncang dan terharu, ia terlongonglongong
tak sanggup bicara. Sampai agak lama barulah dia
bisa membuka suara, “Apakah dia... Ciok-cengcu adalah...
adalah ayahku? Tapi aku kok tidak tahu. Cuma... engkau
bukanlah ibuku, aku... aku memang sedang mencari ibuku
sendiri.”
Hati Bin Ju menjadi pilu karena Boh-thian tidak mengenalinya
lagi, hampir-hampir ia meneteskan air mata pula. Katanya, “O,
kasihan anak ini. Tapi kau juga tak dapat disalahkan,
sesudah... sesudah sekian tahun lamanya tentu kau sudah
pangling kepada ayah-ibumu. Waktu kau meninggalkan Hiansoh-
ceng tinggimu baru seperut ibu, tapi sekarang kau sudah
lebih tinggi daripada ayahmu. Wajahmu ternyata juga banyak
berubah, pertemuan di dalam kelenteng tempo hari kalau
sebelumnya ayah-ibu tidak mengetahui kau yang telah ditawan
Pek Ban-kiam, di kala bertemu juga tentu kita takkan saling
mengenal.”
Boh-thian semakin heran mendengarkan uraian nyonya Ciok
itu. Soal dirinya ditawan Pek Ban-kiam dan dibawa ke
kelenteng Toapekong itu memang betul terjadi, tapi tentang
ibunya yang diketahui bermuka kuning pucat, perawakannya
juga jauh lebih pendek dan kecil daripada Bin Ju, untuk ini
tidaklah mungkin dia pangling.
Maka dengan tergagap-gagap ia berkata, “Ciok-hujin, engkau
telah... telah salah kenal, aku... aku bukan an... anak kalian!”
“Engkoh Jing,” Bin Ju berpaling kepada Ciok Jing, “coba kau
lihat anak ini....”
Mendengar Ciok Boh-thian tidak mau mengakui ayah-ibunya,
diam-diam Ciok Jing lantas menimbang-nimbang, “Bocah ini
sangat cerdik, dia tidak mau mengakui orang tua sendiri tentu
dia mempunyai maksud yang mendalam. Jangan-jangan dia
telah menimbulkan bencana besar di Leng-siau-sia dan telah
banyak melakukan kejahatan di Tiang-lok-pang, namanya
tersohor sangat busuk, maka dia merasa malu untuk mengakui
ayah-ibu sendiri. Atau mungkin juga takut dihukum dan
khawatir merembet ayah-ibunya?”
Sesudah berpikir sejenak, kemudian ia tanya, “Jika demikian,
kau ini Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang atau bukan?”
Boh-thian garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, sahutnya,
“Ya, semua orang mengatakan aku adalah Ciok-pangcu, tapi
sebenarnya bukan, mereka pun telah salah mengenali diriku.”
“Habis siapa namamu?” tanya Ciok Jing.
“Aku tidak punya nama dan tidak punya she,” sahut Boh-thian
dengan wajah bingung. “Ibu hanya panggil aku ‘Kau-capceng’.”
Ciok Jing saling pandang dengan Bin Ju, mereka merasa
ucapan Ciok Boh-thian itu sangat jujur dan sungguh-sungguh,
sedikit pun tiada tanda-tanda sengaja berdusta.
Segera Ciok Jing mengedipi sang istri dan mengajaknya
menyingkir agak jauh, lalu dengan suara perlahan ia berkata,
“Adik Ju, bocah ini sebenarnya Tiong-giok atau bukan? Dari
kabar-kabar yang kita peroleh memang diketahui bahwa Tionggiok
telah menjadi pangcu di Tiang-lok-pang, tapi sebagai
seorang pangcu masakah bisa jadi sedemikian dungunya?”
“Anak Giok sudah belasan tahun meninggalkan kita,” sahut Bin
Ju dengan berat, “sesudah dewasa sudah tentu muka dan
perawakannya akan banyak berubah. Akan tetapi... aku yakin
dia pasti putraku.”
“Kau benar-benar mantap, sedikit pun tidak sangsi?” Ciok Jing
menegas.
“Kesangsian sih ada, tapi entah mengapa, aku percaya
bahwa... bahwa dia pasti putra kita. Apa sebabnya, aku sendiri
pun tak bisa menjelaskan.”
Tiba-tiba Ciok Jing teringat kepada sesuatu, katanya, “Ah, aku
mendapat akal. Bukankah kau masih ingat waktu perempuan
hina itu hendak menyatroni kau, adik Ju?....”
Apa yang diungkap Ciok Jing ini merupakan kejadian yang tak
bisa dilupakan oleh mereka suami-istri, hanya mereka tidak
mau menyinggung kejadian itu. Maka Ciok Jing cuma
menyebut awalnya dan Bin Ju pun lantas mengerti.
“Betul, biar kutanya padanya,” demikian Bin Ju lantas sadar
akan maksud sang suami. Lalu ia berduduk di atas sepotong
batu besar, kemudian Boh-thian dipanggilnya, “Nak, coba
kemari, ada yang hendak kukatakan padamu.”
Boh-thian lantas mendekatinya dan oleh Bin Ju dia disuruh
duduk juga di sebelahnya, lalu nyonya itu mulai bertanya,
“Nak, pada waktu kau berusia dua tahun, datanglah seorang
penjahat wanita yang hendak membikin susah ibumu,
kebetulan ayahmu tidak di rumah, sedangkan ibu baru saja
melahirkan adikmu sehingga tidak mampu melawan penjahat
wanita itu. Wanita jahanam itu benar-benar sangat jahat,
bukan saja ibumu hendak dibunuhnya, bahkan kau dan adikmu
juga akan dibunuh olehnya.”
“Hah, lalu aku terbunuh atau tidak?” seru Boh-thian terkejut.
Tapi ia lantas tertawa sendiri dan menyambung pula, “O, aku
benar-benar sudah linglung, sudah tentu aku tidak terbunuh.”
Namun Bin Ju tidak tertawa, ia melanjutkan ceritanya, “Waktu
itu ibu membopong kau dengan tangan kiri, sedangkan tangan
kanan memainkan pedang untuk melawannya dengan matimatian.
Penjahat wanita itu sangat lihai, aku menjadi
kewalahan. Pada saat berbahaya itu kebetulan ayahmu keburu
pulang. Dengan cepat penjahat wanita itu menimpukkan tiga
buah kim-ci-piau (senjata rahasia berbentuk mata uang), dua
buah di antaranya kena disampuk jatuh oleh ibumu, kim-cipiau
yang ketiga telah mengenai bokongmu. Kau menjerit
menangis, ibumu menjadi khawatir dan lelah terus jatuh
pingsan. Tapi karena melihat ayahmu, penjahat wanita itu pun
lantas melarikan diri. Wanita itu benar-benar amat kejam,
sewaktu melarikan diri dia sekalian menggondol pergi adikmu
pula. Karena buru-buru ayahmu harus menolong aku dahulu,
pula khawatir kalau-kalau penjahat wanita itu
menyembunyikan pembantu dan aku akan dicelakai, maka
ayahmu tidak mau mengejarnya, pula mengingat... mengingat
penjahat wanita itu pun tidak mungkin membunuh putranya,
paling-paling orok itu sengaja diculik untuk menakut-nakuti
ayahmu saja. Siapa tahu pada hari ketiga mayat adikmu telah
dikirim pulang oleh penjahat wanita itu, di atas badan ulu
hatinya tertancap dua bilah pedang kecil, yang sebatang
pedang hitam dan sebatang lagi pedang putih, bahkan di atas
pedang-pedang itu terukir pula nama ayah-ibumu....” bercerita
sampai di sini, saking sedihnya air matanya sudah bercucuran
sebagai hujan.
Boh-thian juga gusar mendengar peristiwa kejam itu, katanya,
“Penjahat wanita itu benar-benar terlalu keji, seorang anak
bayi yang tak berdosa juga tega membunuhnya. Wah, kalau
tidak terbunuh aku kan senang mempunyai seorang adik? Ciokhujin,
kejadian itu selamanya ibu tak pernah katakan padaku.”
“Nak,” kata Bin Ju pula dengan air mata berlinang-linang, “apa
benar-benar kau telah melupakan ibu kandungmu sendiri?
Aku... aku inilah ibumu yang sesungguhnya.”
Boh-thian mengamat-amati sejenak wajah Bin Ju, lalu
menggeleng perlahan-lahan, katanya, “Bukan, kau bukan
ibuku. Kau telah salah mengenali aku.”
“Dahulu pantatmu telah tertumpuk oleh kim-ci-piau si penjahat
wanita, walaupun sekarang kau sudah dewasa, tentu bekas
luka itu takkan hilang. Nah, coba kau membuka celanamu dan
periksalah sendiri.”
“Aku... aku....” sahut Boh-thian dengan muka merah dan
serbasalah.
Teringat olehnya bahwa di atas pundak sendiri terdapat bekas
gigitan si Ting Tong, di atas paha juga terdapat enam titik
bekas luka tusukan pedang oleh “Liau-susiok” dari Swat-sanpay,
semuanya itu sebenarnya sudah dilupakan olehnya, tapi
setiap kali ia membuka baju dan periksa, selalu terlihat jelas
apa-apa yang tertinggal di atas badannya sebagaimana
dituduhkan orang. Seluk-beluk di dalam urusan ini benar-benar
membuatnya bingung dan tidak habis mengerti. Sekarang
Ciok-hujin mengatakan pula bahwa di pantatnya terdapat
bekas luka kim-ci-piau, wah, jangan-jangan luka demikian itu
benar-benar ada pula.
Ia coba meraba-raba pantat sendiri sebelah kiri dari luar, ia
merasa tidak ada sesuatu bekas luka apa-apa. Hanya saja ia
sudah kapok dengan dua kali kejadian sebelumnya, yaitu luka
gigitan di pundak dan luka pedang di paha, mau tak mau
sekarang ia menjadi sangsi.
“Aku adalah ibu kandungmu, entah sudah berapa kali aku
mengganti kain popokmu jika kau ngompol atau berak,
masakah sekarang kau merasa malu segala?” ujar Bin Ju
dengan tersenyum. “Baiklah, boleh kau periksakan kepada
ayahmu saja.”
Habis berkata ia lantas memutar tubuh dan menyingkir ke
sana.
Ciok Jing sendiri juga merasa ragu-ragu, katanya, “Nak, boleh
kau lepaskan celana dan periksa sendiri saja.”
Dengan sangsi Boh-thian meraba pantat sendiri pula dari luar,
sesudah yakin tiada bekas luka apa-apa barulah dia membuka
tali kolor dan melorotkan celananya, waktu ia melongok ke
belakang, terlihatlah di sebelah kiri pantat itu lapat-lapat ada
sejalur bekas luka kira-kira tiga-empat senti panjangnya,
rupanya luka itu sudah terlalu lama, maka bekas luka itu sudah
samar-samar saja.
Seketika Boh-thian ternganga kaget, ia merasa langit dan bumi
seakan-akan berputar, dirinya serasa mendadak telah berubah
seorang lain, tapi toh dirinya sama sekali tidak tahu apa-apa.
Saking kaget dan takutnya, tak tertahan lagi Boh-thian
menangis keras-keras.
Cepat Bin Ju berpaling kembali, dilihatnya sang suami sedang
manggut-manggut padanya, maksudnya berkata, “Ya, dia
memang betul Tiong-giok adanya.”
Bin Ju menjadi girang dan cemas pula, ia berlari mendekati
Boh-thian terus merangkulnya. Katanya dengan air mata
bercucuran, “Anak Giok, O, anak Giok, jangan takut, betapa
pun besarnya urusan tentu ayah-ibu akan menyelesaikan
bagimu.”
“Aku sudah lupa kepada segala kejadian di masa lampau,” kata
Boh-thian sambil menangis. “Aku tidak tahu engkau adalah
ibuku, tidak tahu dia adalah ayahku, tidak tahu di pantatku ada
bekas luka demikian ini. Aku tidak tahu, ya, tidak tahu, segala
apa pun tidak tahu....”
“Lwekangmu yang begini tinggi ini kau belajar dari mana?”
tanya Ciok Jing.
“Entah, aku tidak tahu,” sahut Boh-thian.
“Habis pukulanmu yang berbisa itu kau pelajari dari siapa
pula?” desak Ciok Jing.
“Tidak tahu, tiada orang yang mengajarkan padaku,” sahut
Boh-thian dengan takut-takut. “Ai, kenapakah aku ini, segala
apa sudah linglung bagiku. Apakah aku benar-benar Ciok Bohthian,
Ciok-pangcu? Ciok... Ciok, jadi aku benar-benar she Ciok
dan adalah anak kalian?”
Saking gugupnya sampai muka Boh-thian menjadi pucat,
kedua tangannya masih memegangi celananya yang
kedodoran, khawatir kalau melorot ke bawah, sebaliknya lupa
mengikat tali kolornya.
Melihat Boh-thian sedemikian gugup dan takutnya, Bin Ju
merasa sangat kasihan, tiada hentinya ia menepuk-nepuk
perlahan pundak anak muda itu dan berkata, “Anak Giok,
jangan takut, jangan takut!”
Ciok Jing lantas kesampingkan juga rasa gemasnya kepada
putranya yang diketahui berkelakuan tidak senonoh itu,
pikirnya, “Aku pernah melihat kepala orang mengalami pukulan
keras atau menderita sakit parah, lalu melupakan segala apa
yang pernah dialaminya, konon penyakit ini bernama ‘sakit
hilang ingatan’ dan sangat sukar disembuhkan kembali.
Jangan-jangan... jangan-jangan anak Giok sekarang terkena
penyakit aneh ini?”
Pikiran Ciok Jing ini tidak berani lantas dikatakan kepada sang
istri, tak terduga Bin Ju sendiri juga mempunyai pikiran yang
serupa. Suami-istri itu saling tukar pandang dengan ragu-ragu,
akhirnya sama-sama tercetus, “Sakit hilang ingatan!”
Ciok Jing tahu orang yang menderita penyakit aneh itu tidak
boleh ditanyai terus-menerus, semakin didesak penyakitnya
akan semakin berat. Jalannya harus perlahan-lahan
membantunya memulihkan daya ingatannya, lalu dipancing
dan ditanya sedikit demi sedikit. Maka dengan ramah tamah ia
lantas berkata, “Hari ini kita telah dapat berkumpul kembali,
sungguh suatu hal yang sangat menggembirakan. Nak, tentu
perutmu sudah lapar, marilah kita pergi ke kota di depan sana
untuk makan dan minum.”
“Se... sebenarnya siapakah diriku ini?” demikian Boh-thian
masih bingung.
Bin Ju lantas bantu melipatkan celana anak muda itu dan
mengikat tali kolornya, lalu katanya dengan halus, “Nak,
apakah kau pernah terjatuh sehingga kepalamu terbentur
dengan keras? Atau kau pernah berkelahi dengan orang dan
kepalamu kena diketok benda keras oleh lawanmu?”
“Tidak, tidak pernah,” sahut Boh-thian sambil geleng-geleng
kepala.
“Atau selama ini pernahkah kau jatuh sakit panas?” tanya Bin
Ju pula.
“O, ya, pernah,” sahut Boh-thian. “Beberapa bulan yang lalu
sekujur badanku terasa sangat panas sebagai dibakar di dalam
tungku. Kemudian berubah menjadi dingin setengah mati.
Waktu itu aku berada di atas gunung, lalu... lalu jatuh pingsan
dan apa yang terjadi selanjutnya aku tidak tahu apa-apa lagi.”
Bab 31. Ciok Jing Berkisah tentang Rasul-rasul
Pengganjar dan Penghukum
Ciok Jing menjadi girang dan merasa lega karena sang istri
telah dapat menjelajahi sumber penyakit anak muda itu.
“Nak, janganlah kau takut,” kata Bin Ju pula dengan lembut,
“karena sakit panas itu sehingga kau telah melupakan segala
apa di masa lampau, tapi perlahan-lahan daya ingatanmu pasti
akan pulih kembali.”
Namun Boh-thian masih bersangsi. “Jadi kau benar-benar
adalah ibuku dan... dan Ciok-cengcu adalah ayahku?” tanyanya
pula.
“Betul,” sahut Bin Ju dengan tersenyum. “Nak, aku dan
ayahmu telah mencari kau ke mana-mana, berkat Tuhan yang
maha pengasih, akhirnya kita bertiga telah dapat berkumpul
kembali. Eh, mengapa kau tidak... tidak lekas panggil ayah?”
Boh-thian percaya penuh bahwa Bin Ju pasti tidak
membohonginya, memangnya ia sendiri pun tidak punya ayah,
maka sesudah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia memanggil ayah
pada Ciok Jing.
“Dan panggil juga ibu!” sahut Ciok Jing dengan tersenyum.
Disuruh memanggil ibu kepada Bin Ju bagi Ciok Boh-thian
menjadi lebih sukar keluar dari mulutnya. Ia masih ingat
dengan jelas bahwa wajah ibunya sendiri sama sekali berbeda
daripada Bin Ju, ibunya yang menghilang itu rambutnya sudah
mulai ubanan, sebaliknya rambut Bin Ju masih hitam mengilap.
Tabiat ibunya sangat keras, sedikit-sedikit lantas marah-marah
dan memaki, bahkan main pukul segala, sama sekali berbeda
daripada sikap Bin Ju yang ramah tamah ini.
Melihat air muka Bin Ju penuh menaruh harapan akan
panggilannya, bahkan kelihatan matanya menjadi basah
sesudah menunggu sekian lamanya belum lagi dipanggil, Bohthian
menjadi tidak tega, akhirnya ia memanggil dengan suara
perlahan, “Ibu!”
Sungguh girang Bin Ju tak terlukiskan, terus saja ia merangkul
Boh-thian sambil berseru, “O, anakku yang baik!” berbareng air
matanya sudah bercucuran pula.
Ciok Jing pun terharu, pikirnya, “Kalau mengingat sepak
terjang anak ini ketika di Leng-siau-sia dan di tengah orangorang
Tiang-lok-pang, dosanya itu biarpun ditebus dengan
jiwanya juga belum cukup setimpal, mana dapat dikatakan
sebagai ‘anak yang baik’?”
Tapi mengingat anak itu menderita penyakit hilang ingatan, ia
merasa tidak enak untuk menegurnya tentang perbuatanperbuatannya.
Apalagi kalau diingat bahwa kesalahan setiap orang harus
diberi kesempatan untuk memperbaikinya, bukan mustahil
kelak anak ini akan berubah menjadi baik. Padahal kalau
ditinjau lebih mendalam, sejak kecil dia sudah berpisah dengan
ayah-ibu, betapa pun dirinya sebagai ayah harus bertanggung
jawab karena kurang memberi didikan. Hanya saja perbuatan
tidak senonoh bocah inilah yang benar-benar telah membikin
busuk nama baik Hian-soh-siang-kiam (sepasang pedang dari
Hian-soh-ceng) yang tersohor di Kangouw selama ini.
Begitulah sesaat itu pikiran Ciok Jing menjadi bergolak di
samping gembira juga merasa menyesal dan gemas.
Melihat air muka sang suami yang sebentar terang sebentar
masam itu, segera Bin Ju dapat meraba apa yang dipikirnya.
Khawatir kalau suaminya mulai menanyai dosa Ciok Boh-thian
cepat Bin Ju berkata, “Engkoh Jing, Anak Giok, aku sudah
sangat lapar, marilah kita lekas mencari makanan.”
Ia lantas bersuit, sejenak kemudian kedua ekor kuda hitamputih
lantas berlari mendatangi dari semak-semak sana. “Nak,
kau bersatu kuda tunggangan dengan ibu saja.”
Melihat sang istri sangat gembira, hal ini jarang terjadi selama
belasan tahun ini, maka Ciok Jing hanya tersenyum saja dan
lantas mencemplak ke atas kuda hitam.
Boh-thian dan Bin Ju bersama menunggang kuda putih terus
dilarikan menuju ke jalan besar. Tapi di dalam hati Boh-thian
tetap ragu-ragu dan tidak habis mengerti, “Apakah dia benarbenar
ibuku? Jika betul ibu yang membesarkan aku sejak kecil
itu tentulah bukan ibuku lagi. Sebenarnya yang manakah yang
betul adalah ibuku?”
Begitulah tiga orang berdua kuda telah melanjutkan
perjalanan. Beberapa li kemudian, tiba-tiba terlihat di tepi jalan
ada sebuah kelenteng.
“Marilah kita sembahyang dahulu ke dalam kelenteng,” tibatiba
Bin Ju mengajak. Lalu ia mendahului melompat turun terus
masuk ke dalam kelenteng.
Terpaksa Ciok Jing dan Boh-thian ikut ke dalam kelenteng.
Padahal Ciok Jing mengetahui sang istri selamanya jarang
bersembahyang. Tapi sekarang dilihatnya Bin Ju sudah berlutut
di depan patung ji-lay-hud (Buddha) dan sedang menjura
berulang-ulang.
Waktu ia berpaling ke arah Ciok Boh-thian, tiba-tiba timbul
rasa terima kasihnya, pikirnya, “Walaupun bocah ini tidak
genah kelakuannya, padahal cintaku kepadanya melebihi
jiwaku sendiri. Jika ada orang hendak membikin celaka
padanya tentu aku akan membelanya sekalipun nyawaku harus
melayang. Hari ini kami ayah-ibu dan anak dapat berkumpul
kembali, sungguh Tuhan yang maha pengasih benar-benar
sangat memberkati kepadaku.”
Karena itu, tanpa merasa ia pun berlutut dan menjura ke
hadapan patung Buddha.
Boh-thian hanya berdiri saja di samping, ia dengar Bin Ju
memanjatkan doa dengan suara perlahan, “Mohon Buddha
memberkati agar penyakit putraku ini lekas sembuh. Dia masih
terlalu muda, biarlah segala dosanya ditanggung olehku
sebagai ibunya, segala kutuk hukuman ibunya yang akan
memikulnya, asalkan putraku selanjutnya dapat membarui
hidupnya, bebas dari kesukaran dan bencana, hidup sejahtera
dan bahagia.”
Suara Bin Ju itu sebenarnya sangat lirih tapi dengan lwekang
Ciok Boh-thian yang tinggi sekarang, dengan sendirinya ia
dapat mendengarnya dengan jelas. Seketika darahnya tersirap,
perasaannya terguncang, pikirnya, “Jika dia bukan ibu
kandungku, masakah dia sedemikian baiknya kepadaku?
Selama ini aku ragu-ragu untuk memanggil ibu padanya, aku
benar-benar sudah terlalu linglung.”
Saking terharunya mendadak ia terus menubruk maju terus
merangkul pundak Bin Ju dari belakang sambil berseru, “Ibu,
O, ibu, kau benar-benar adalah ibuku!”
Dari panggilan ibu tadi keluar dari mulutnya dengan sangat
dipaksakan adalah sekarang panggilan Boh-thian ini benarbenar
timbul dari lubuk hatinya yang tulus. Sudah tentu Bin Ju
dapat mendengar dari nada suaranya itu, dengan terharu ia
lantas berpaling dan balas memeluk sambil berseru, “O,
anakku yang bernasib malang!”
Dasar watak Ciok Boh-thian memang jujur dan berbudi, ia
menjadi teringat kembali kepada “ibu” yang pernah selama
belasan tahun di atas gunung yang sunyi itu, walaupun dirinya
diperlakukan dengan kurang baik, tapi ibu dan anak telah hidup
berdampingan sekian lamanya, betapa pun hatinya juga
merasa berat. Maka ia telah bertanya pula, “Dan bagaimana
dengan ibuku yang dahulu itu? Apakah... apakah dia memang
membohongi aku?”
“Bagaimana macamnya ibumu yang dahulu itu? Coba kau
terangkan pada ibu,” kata Bin Ju sambil membelai-belai rambut
Ciok Boh-thian.
“Dia... dia punya rambut sudah agak putih, jauh lebih pendek
daripadamu, dia pun tak bisa ilmu silat, dia sering marahmarah
sendiri, terkadang marah-marah padaku dengan mata
melotot,” demikian tutur Boh-thian.
“Kau bilang dia adalah ibumu, apakah dia pun panggil anak
padamu?” tanya Bin Ju.
“Tidak, dia panggil aku sebagai ‘kau-cap-ceng’!” sahut Bohthian.
Hati Ciok Jing dan Bin Ju tergerak semua, pikir mereka,
“Wanita itu memanggil Anak Giok sebagai kau-cap-ceng (anak
anjing campuran), teranglah karena dia terlalu benci kepada
kami suami-istri, jangan-jangan... jangan-jangan adalah wanita
hina itu?”
Maka cepat Bin Ju tanya pula, “Apakah ibumu itu bermuka
bundar telur, kulit badannya sangat putih, kalau tertawa
terdapat dekik di atas pipinya?”
“Bukan,” sahut Boh-thian sambil menggeleng. “Ibuku itu
berpipi gemuk dan kekuning-kuningan, jarang tertawa, juga
tiada dekik di pipi apa segala.”
“O, kiranya bukan dia,” ujar Bin Ju dengan menghela napas.
“Nak, ketika di kelenteng kecil malam itu pedang ibu telah
melukai kau, bagaimana dengan lukamu itu?”
“Tidak apa-apa, hanya luka ringan saja, beberapa hari lagi
tentu akan sembuh,” sahut Boh-thian.
“Dan cara bagaimana kau lolos dari cengkeraman Pek Bankiam?”
tanya Bin Ju pula. “Anak kita benar-benar hebat,
sampai ‘Gi-han-se-pak’ juga tidak mampu menawannya.”
Kata-kata terakhir ini dia tujukan kepada Ciok Jing dengan rasa
bangga.
Ciok Jing sendiri memang sangat kagum kepada kepandaian
Pek Ban-kiam setelah pertandingan di kelenteng Toapekong
tempo hari. Maka ia pun setuju atas ucapan sang istri. Ia hanya
menjawab, “Ah, jangan terlalu memuji padanya, nanti terlalu
memanjakan dia.”
Tapi Ciok Boh-thian lantas menerangkan, “Bukan aku sendiri
yang meloloskan diri, tapi Ting-samyaya dan si Ting-ting TongKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
tong yang menyelamatkan aku.”
Ciok Jing dan Bin Ju terperanjat mendengar namanya Ting Putsam
itu, cepat mereka tanya keterangan lebih lanjut.
Karena cerita ini agak panjang, maka Ciok Boh-thian lantas
menguraikan dengan jelas tentang cara bagaimana Ting Putsam
dan si Ting Tong telah menolongnya, kemudian Ting Putsam
hendak membunuhnya, tapi Ting Tong telah mengajarkan
kim-na-jiu-hoat padanya dan akhirnya dia terlempar ke dalam
perahu yang lain.
Bin Ju lantas menanyakan pula kejadian-kejadian sebelumnya,
terpaksa Boh-thian menuturkan cara bagaimana ia telah
dinikahkan dengan si Ting Tong oleh Ting Put-sam dan cara
bagaimana ditawan oleh Pek Ban-kiam di markas besar Tianglok-
pang. Kemudian ceritanya melompat kejadian berikutnya,
di mana dia telah bertemu dengan Su-popo dan A Siu di Sungai
Tiangkang serta bertanding melawan Ting Put-si, lalu cara
bagaimana Su-popo telah menerimanya sebagai murid pertama
Kim-oh-pay ketika mendarat di Ci-yan-to. Sesudah itu dia
ditinggal pergi si nenek dan A Siu, lalu menemukan kapal
mayat Hui-hi-pang, akhirnya dia ketemu dengan Thio Sam dan
Li Si serta mengangkat saudara dengan mereka. Ia
menceritakan seluruhnya sehingga sampai di sarang Tiat-chahwe
dan akhirnya kesasar ke dalam Siang-jing-koan.
Apa yang telah dialaminya di dunia Kangouw itu memangnya
sudah membikin bingung padanya, sekarang dia disuruh cerita,
sudah tentu terjungkir balik tiada teratur. Namun Ciok Jing dan
Bin Ju selalu tanya secara teliti sehingga akhirnya sebagian
besar cerita Ciok Boh-thian itu dapatlah dipahami mereka.
Begitulah makin mendengar cerita itu makin terheran-heran
Ciok Jing berdua, pikiran mereka pun semakin tertekan. Waktu
Ciok Jing menanyakan cara bagaimana Boh-thian bisa masuk
ke dalam Tiang-lok-pang, maka anak muda itu lantas
menguraikan cara bagaimana dia dibawa Cia Yan-khek ke atas
Mo-thian-kay sehingga mendapat ilmu menangkap burung dari
jauh, kemudian ia putar kembali ceritanya mengenai dahulu ia
pernah terima persen dari Bin Ju di depan warung siopia ketika
bertemu dengan Bin Ju di sana.
Sudah tentu Ciok Jing dan Bin Ju sama sekali tidak menduga
bahwa si pengemis kecil yang kotor dekil yang pernah dijumpai
di Hau-kam-cip dahulu itu ternyata bukan lain adalah putranya
sendiri. Bila teringat keadaan si pengemis kecil yang terluntalunta
dan harus dikasihani itu, kembali Bin Ju merasa pilu
hatinya.
Diam-diam Ciok Jing juga membatin, “Kalau dihitung menurut
waktu pertemuan di Hau-kam-cip tempo dulu itu, tatkala mana
bocah ini toh belum lama melarikan diri dari Leng-siau-sia.
Mengapa Kheng Ban-ciong dan kawan-kawannya bisa pangling
kepada Anak Giok ini?”
Berpikir demikian, segera Ciok Jing mengamat-amati pula air
muka “Ciok Tiong-giok”. Ia merasa muka si pengemis kecil
yang sekilas pernah dilihatnya di Hau-kam-cip dahulu itu
samar-samar sudah tak teringat olehnya, yang masih jelas
adalah pakaiannya yang compang-camping dan mukanya yang
kotor saja. Lalu terpikir lagi, “Sejak dia melarikan diri dari
Leng-siau-sia, sepanjang jalan ia hidup dari mengemis, sudah
tentu mukanya menjadi dekil, bukan mustahil malah dia yang
sengaja membikin kotor mukanya supaya tidak mudah dikenali
orang sehingga Kheng Ban-ciong dan kawan-kawannya
menjadi pangling. Aku pun sudah berpisah sekian tahun
lamanya, perubahan anak kecil juga sangat cepat, dengan
sendirinya aku lebih-lebih pangling lagi.”
Setelah ragu-ragu sejenak kemudian Ciok Jing coba bertanya,
“Waktu di depan warung siopia tempo dulu, apa kau tidak
merasa takut ketika melihat Kheng Ban-ciong dan para
susiokmu yang lain?”
Sebenarnya Bin Ju tidak suka sang suami menyinggung urusan
Swat-san-pay itu, tapi karena sudah diucapkan, untuk
mencegahnya juga tidak bisa lagi, ia hanya mengerut alis, ia
khawatir sang suami terus mengusut perbuatan-perbuatan
putranya yang tidak senonoh.
Tak terduga Ciok Boh-thian telah menjawabnya, “Kheng Banciong?
Orang-orang Swat-san-pay itu? Apakah mereka benarbenar
adalah susiokku? Tatkala itu aku tidak tahu mereka
hendak menangkap aku, dengan sendirinya aku tidak takut
kepada mereka.”
“Kau tidak tahu mereka hendak menangkap kau?” Ciok Jing
menegas. “Kau... kau benar-benar tidak tahu Kheng Ban-ciong
adalah susiokmu?”
“Ya, tidak tahu,” sahut Boh-thian sambil menggeleng.
Melihat wajah sang suami sekilas agak masam, Bin Ju tahu
Ciok Jing telah menahan rasa gusarnya sedapat mungkin. Maka
cepat ia membuka suara, “Nak, setiap orang tentu pernah
berbuat salah, asalkan insaf akan kesalahannya dan berani
memperbaikinya rasanya belumlah terlambat. Ayah dan ibu
mencintai kau melebihi jiwanya sendiri, maka segala apa tidak
perlu kau merahasiakan, katakanlah terus terang segala sebab
musababnya kepada ayah-ibumu saja. Sebenarnya bagaimana
sikap Hong-suhu terhadap dirimu?”
“Hong-suhu? Hong-suhu yang mana?” Boh-thian menegas
dengan bingung. Tiba-tiba teringat olehnya ketika di kelenteng
Toapekong tempo hari ayah-ibunya pernah sebut-sebut
namanya Hong Ban-li, maka ia lantas menyambung pula,
“Apakah kau maksudkan Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li? Aku
pernah mendengar kalian menyinggung namanya, tapi aku
tidak kenal dia.”
Ciok Jing dan Bin Ju saling pandang sekejap. Segera Ciok Jing
tanya pula, “Dan bagaimana dengan Pek-yaya (Kakek Pek)?
Tabiat beliau sangat keras bukan?”
“Pek-yaya siapa? Entah, aku tidak pernah melihat dan tidak
kenal dia,” sahut Boh-thian sambil geleng kepala.
Menyusul Ciok Jing dan Bin Ju bergilir menanyakan pula
suasana dan keadaan Swat-san-pay di Leng-siau-sia, tapi Ciok
Boh-thian ternyata tidak mengetahui apa pun.
“Engkoh Jing, penyakitnya ini terang terjadi sejak waktu itu,”
kata Bin Ju kepada sang suami.
Ciok Jing mengangguk, tapi diam saja.
Kiranya kedua orang sekarang telah paham duduknya perkara,
mereka menarik kesimpulan, “Anak Giok sudah mengalami
pukulan batin yang mahahebat sejak dia melarikan diri dari
Leng-siau-sia, jika bukan kepalanya terkena benda keras waktu
di tempat perguruannya itu, tentu disebabkan saking
ketakutannya sehingga pikirannya menjadi linglung dan
melupakan segala kejadian di masa lampau. Tentang
pengalamannya waktu di Mo-thian-kay dan di Tiang-lok-pang,
semuanya itu terjadi sesudah dia menderita sakit hilang
ingatan.”
Kemudian Bin Ju berusaha menjajaki lagi kejadian-kejadian di
masa kecilnya, tapi bicara ke sana kemari Ciok Boh-thian
hanya ingat pernah hidup di atas pegunungan yang sunyi,
kerjanya cuma menangkap burung dan memburu ayam hutan,
lebih dari itu dia tidak dapat menjelaskan lagi, seakan-akan
sejak dia dilahirkan sehingga berumur belasan tahun, masa
hidupnya itu hanya kosong belaka tanpa sesuatu peristiwa.
“Anak Giok,” kata Ciok Jing akhirnya, “ada suatu hal penting
yang menyangkut mati-hidupmu di masa depan. Tentang ilmu
silat Swat-san-pay sebenarnya sampai berapa banyak telah
kau pahami?”
Boh-thian tampak termangu-mangu, jawabnya kemudian, “Aku
hanya menyaksikan orang-orang Swat-san-pay melatih ilmu
pedang di dalam kelenteng tempo hari, diam-diam aku pun
mengingatnya sebagian saja. Apakah lantaran ini mereka
sangat marah padaku sehingga aku hendak dibunuh oleh
mereka? Ayah, itu Pek-suhu bersitegang mengatakan aku
adalah murid Swat-san-pay, entah apakah maksudnya?
Anehnya mengapa di atas pahaku memang benar terdapat
bekas luka tusukan ilmu pedang mereka itu. Ai, sungguh aku
pun tidak habis mengerti akan hal ini.”
“Adik Ju, biar kucoba lagi dia punya ilmu pedang,” kata Ciok
Jing kepada sang istri. Lalu ia melolos pedangnya dan
menyambung pula, “Coba, boleh kau gunakan Swat-san-kiamhoat
yang telah kau pahami itu untuk bergebrak dengan Ayah,
sedikit pun kau tidak boleh menyembunyikan kepandaianmu.”
Bin Ju lantas mencabut pedang dan diserahkan kepada Ciok
Boh-thian sambil tersenyum, maksudnya mendorong anak
muda itu agar melakukan apa yang dikehendaki Ciok Jing.
Ketika Ciok Jing mulai menusuk dengan lambat, segera Ciok
Boh-thian mengangkat pedang untuk menangkis, yang dia
gunakan adalah jurus “Siok-hong-hut-khi” (Angin Utara
Mendadak Meniup), gerakannya lamban, gayanya kaku dan
banyak lubang kelemahannya.
Ciok Jing mengerut kening melihat ketololan ilmu pedang anak
muda itu, sebelum kedua pedang kebentur, segera ia ganti
serangan lagi sambil berkata, “Kau pun boleh balas serang
saja!”
“Baik!” sahut Boh-thian. Mendadak pedangnya membacok dari
samping, ia gunakan pedang sebagai golok sehingga yang dia
mainkan lebih mirip Kim-oh-to-hoat daripada disebut ilmu
pedang.
Dengan cepat Ciok Jing mempergencar serangan-serangannya,
pikirnya, “Betapa pun licin bocah ini juga jangan harap akan
dapat mengelabui diriku dalam hal ilmu silat. Setiap orang
yang menghadapi detik menentukan antara mati atau hidup
tidaklah mungkin berpura-pura lagi dalam permainan ilmu
pedangnya.”
Karena pikiran ini, segera ia mendesak lebih kencang pula,
setiap serangannya selalu menuju tempat-tempat berbahaya di
tubuh Ciok Boh-thian.
Mau tak mau Boh-thian menjadi kelabakan, dalam gugupnya
untuk mempertahankan diri secara otomatis ia lantas
memainkan kepandaian ciptaannya sendiri, yaitu ilmu yang
mirip ilmu golok dan menyerupai ilmu pedang.
Dalam pada itu serangan-serangan Ciok Jing bertambah
gencar. Coba kalau lawannya bukan putranya sendiri, niscaya
dengan mudah dia sudah membikin tamat riwayatnya. Pada
jurus ke-11 jika mau dada Ciok Boh-thian tentu sudah
ditembus oleh pedangnya, ketika jurus ke-23 mestinya buah
kepala anak muda itu pun dapat ditebasnya menjadi dua,
bahkan setiba jurus ke-28 pertahanan Ciok Boh-thian menjadi
terbuka semua, dadanya, perutnya, pundaknya, kakinya,
semuanya dengan gampang dapat dijadikan sasaran pedang.
Ciok Jing menoleh sekejap kepada sang istri sambil
menggeleng. “Sret”, menyusul pedangnya lantas menusuk ke
depan, perut Ciok Boh-thian segera terancam oleh ujung
pedang. Keruan Boh-thian kelabakan, ia coba menangkis
sebisanya, “trang”, tahu-tahu pedang Ciok Jing tergetar
mencelat, berbareng dadanya terasa sesak, kontan ia tersentak
mundur beberapa tindak. Di bawah guncangan tenaga dalam
Ciok Boh-thian yang mahakuat itu, hampir-hampir saja ia tidak
sanggup berdiri tegak lagi.
“He, kenapakah kau, Ayah?” seru Boh-thian kaget, cepat ia
membuang pedangnya dan memburu maju hendak memayang
Ciok Jing.
Tiba-tiba Ciok Jing merasa pening dan muak, lekas-lekas ia
menutup pernapasan dan memberi tanda agar Boh-thian
jangan mendekatnya.
Kiranya sekali Ciok Boh-thian sudah bergebrak dengan orang,
dengan sendirinya racun yang mengeram di dalam tubuhnya
lantas terdesak keluar oleh tenaga dalamnya yang bergolak itu.
Syukurlah sebelumnya Ciok Jing sudah mengetahui seluk-beluk
kepandaian putranya sehingga tidak sampai roboh keracunan.
Khawatirkan diri sang suami, cepat Bin Ju juga memburu maju
untuk memayangnya, ia menoleh dan menegur Boh-thian,
“Ayah cuma menjajal kepandaianmu saja, mengapa kau begini
sembrono?”
Boh-thian menjadi khawatir, sahutnya cepat, “Ya, aku... aku
yang salah, Ayah! Apakah kau terluka?”
Melihat bocah itu menaruh perhatian secara tulus dan sungguhsungguh
kepadanya, diam-diam Ciok Jing sangat girang dan
terhibur. Ia tersenyum, sesudah mengatur napasnya,
kemudian ia menjawab, “Ah, tidak apa-apa. Adik Ju, jangan
kau salahkan Anak Giok. Dia memang benar belum memahami
ilmu pedang Swat-san-pay, sebab kalau dia sudah mahir, tentu
dapat menyerang dan dapat menarik kembali dengan tepat,
dengan sendirinya dia takkan sembrono padaku. Tenaga dalam
bocah ini benar-benar sangat hebat, tokoh Bu-lim yang mampu
menandingi dia boleh dikata sangat terbatas.”
Bin Ju cukup kenal watak sang suami yang biasanya tidak
sembarangan memuji orang persilatan pada umumnya, kalau
sekarang dia memuji putra kesayangannya, hal ini
menandakan kepandaian Ciok Boh-thian memang benar-benar
hebat. Tentu saja Bin Ju ikut bergirang, katanya, “Tapi ilmu
silatnya masih terlalu kaku, sebaiknya sang ayah memberi
petunjuk-petunjuk seperlunya.”
“Ketika di kelenteng tempo hari bukankah kau sudah pernah
mengajarkan dia?” ujar Ciok Jing dengan tertawa. “Tampaknya
dalam hal mendidik anak nakal si ayah yang keras harus
menyerah kepada sang ibu yang pengasih.”
Bin Ju tersenyum gembira, katanya, “Kalian tentu sudah lapar,
marilah kita mencari rumah makan.”
Sesudah mereka sampai di suatu kota kecil dan tangsel perut
seperlunya, kemudian mereka keluar kota menuju ke suatu
tempat yang sunyi. Di sini Ciok Jing lantas menguraikan letak
saripati ilmu pedang yang hebat. Dasarnya Ciok Boh-thian
memang tidak bodoh, selama ini dia telah banyak memahami
pula berbagai macam ilmu silat, sekarang diberi petunjuk pula
oleh tokoh silat terkemuka sebagai Ciok Jing, sudah tentu ia
tambah cepat mengerti. Apalagi lwekang Ciok Boh-thian
memangnya sudah sangat tinggi dan melebihi jago kelas satu
di dunia Kangouw, yang masih kurang baginya hanya dalam
hal pengalaman tempur saja.
Begitulah Ciok Jing dan Bin Ju bergilir memberi petunjuk dan
saling gebrak dengan Boh-thian, bilamana ada sesuatu
kesukaran segera mereka memberi petunjuk di mana perlu,
dengan demikian kemajuan Boh-thian terang jauh lebih pesat
daripada waktu Bin Ju memberi petunjuk secara diam-diam
waktu bertemu di kelenteng Toapekong dahulu.
Karena tenaga dalam Ciok Boh-thian teramat kuat, biarpun dia
berlatih terus dari siang sehingga petang tanpa berhenti dan
mengaso, namun sedikit pun dia tidak kelihatan lelah, bahkan
napasnya tidak sampai terengah-engah. Sebaliknya Ciok Jing
dan Bin Ju yang memberi petunjuk secara bergilir malah mandi
keringat dan merasa capek.
Secara ringkas saja pelajaran-pelajaran itu telah berlangsung
selama beberapa hari, kemajuan Boh-thian sangat pesat, dari
ilmu pedang ajaran ayah-ibunya sudah dapat dipahaminya
tujuh-delapan bagian.
Hian-soh-kiam-hoat memangnya adalah ilmu pedang yang
lihai, ditambah lagi tenaga dalam Ciok Boh-thian yang
mahakuat, kelak kalau bertemu lagi dengan Pek Ban-kiam,
Ting Put-sam, dan Ting Put-si dan lain-lain, andaikan Boh-thian
belum dapat mengalahkan jago-jago tua itu, paling sedikit ia
pun sudah mampu mempertahankan diri.
Selama beberapa hari itu, di kala mengaso atau di waktu
makam, Ciok Jing dan Bin Ju masih terus berusaha memancing
Ciok Boh-thian menceritakan pengalamannya di masa lampau
dengan maksud membantunya memulihkan daya ingatannya.
Akan tetapi Boh-thian hanya dapat menceritakan dengan jelas
tentang kejadian sesudah dia berada di Tiang-lok-pang, sampai
kejadian-kejadian kecil ia pun dapat menerangkan, tapi ditanya
sewaktu kecilnya, ketika tinggal di Hian-soh-ceng dan belajar
silat di Leng-siau-sia, semuanya ini ia hanya melongo saja tak
bisa menjawab.
Pada hari itu, sesudah makan siang, mereka bertiga kembali
berada di bawah pohon yang biasanya mereka suka dudukduduk
di situ dan mengobrol. Tiba-tiba Bin Ju menjemput
setangkai ranting dan menggores-gores di atas tanah, ia
menulis empat huruf “Hek-pek-hun-beng” (hitam dan putih
harus dibeda-bedakan dengan tegas), lalu katanya, “Anak
Giok, apakah kau masih ingat keempat huruf ini?”
Boh-thian menggeleng-geleng kepala, sahutnya, “Tidak, aku
tidak bisa membaca.”
Ciok Jing dan Bin Ju terkejut semua. Padahal waktu anak
mereka meninggalkan rumah Bin Ju sudah mengajarkan
membaca kepadanya, kitab-kitab yang sederhana sebagai
“Sam-ji-keng” (kitab aksara tiga), “Tong-si” (sanjak Tong)
boleh dikata sudah dapat dihafalkan di luar kepala, mengapa
sekarang jawabnya tidak bisa membaca? Apalagi Wi-tek
Siansing dari Swat-san-pay terkenal serbapandai, baik ilmu
silat maupun ilmu sastra. Anak muridnya juga terkenal sebagai
kaum cerdik pandai semua. Waktu Ciok Jing memasrahkan
Tiong-giok kepada Hong Ban-li dahulu juga dengan tegas
dinyatakan semoga anak itu mendapat didikan ilmu silat
maupun ilmu sastra, tatkala itu Hong Ban-li telah berkata
dengan tertawa, “Pek-tehu (adik ipar Pek, maksudnya istri Pek
Ban-kiam) adalah sastrawan wanita di Leng-siau-sia kita,
biarkan dia yang mengajar putramu, tanggung tidak akan
mengecewakan harapanmu.”
Tapi kini anak muda itu ternyata mengaku buta huruf.
Tentang empat huruf “Hek-pek-hun-beng” itu adalah tulisan di
atas papan yang tergantung di pendopo Hian-soh-ceng mereka,
tulisan itu adalah sumbangan seorang tokoh Bu-lim angkatan
tua, maknanya cocok dengan sepasang pedang hitam-putih
andalan Ciok Jing dan istrinya, tapi juga mengandung pujian
kepada mereka suami-istri yang suka membela keadilan dan
membantu kaum lemah untuk menumpas kejahatan.
Sebabnya Bin Ju menulis keempat huruf yang dahulu sering
dilihat putranya sejak kecil, mungkin dari situ akan dapat
mengingatkan dia kepada kejadian-kejadian di masa lampau,
siapa duga anak muda itu bahkan menjawab tidak dapat
membaca.
Lalu Bin Ju menggores lagi angka “satu” di atas tanah,
tanyanya pula dengan tertawa, “Dan huruf ini kau masih ingat
tidak?”
“Tidak, huruf apa pun aku tidak tahu, tiada yang pernah
mengajarkan padaku,” jawab Boh-thian.
Pedih sekali hati Bin Ju, air matanya lantas berlinang-linang
lagi.
“Anak Giok, coba kau mengaso dulu ke sebelah sana,” kata
Ciok Jing kepada Boh-thian.
Setelah mengiakan, Boh-thian lantas jinjing pedangnya dan
menyingkir ke sana untuk berlatih sendiri.
Kemudian Ciok Jing telah menghibur sang istri, “Adik Ju,
penyakit yang diderita Anak Giok tampaknya tidaklah enteng
dan tak dapat disembuhkan dalam waktu singkat.”
Sesudah merandek sejenak, lalu ia menyambung pula,
“Seandainya dia memang sudah melupakan segala kejadian
yang lalu, hal ini pun bukanlah urusan jelek. Sepak terjang
bocah ini di masa lampau terlalu sembrono, walaupun sekarang
agak... agak linglung, tapi tingkah lakunya terang jauh lebih
baik dan lebih prihatin. Hal ini boleh dikata merupakan suatu
kemajuan besar baginya.”
Bin Ju pikir apa yang dikatakan sang suami itu pun ada
benarnya, seketika dari sedih berubah menjadi girang. Apa
halangannya kalau cuma buta huruf saja, paling-paling
diajarkan lagi dari permulaan kan beres?
Tiba-tiba Ciok Jing berkata pula, “Adik Ju, ada suatu hal yang
aku tidak habis paham. Penyakit hilang ingatan bocah ini
terang sudah terjadi sewaktu dia meninggalkan Leng-siau-sia,
kemudian ia menderita sakit panas lagi, hal ini hanya semakin
menambah parah penyakitnya itu. Akan tetapi... akan
tetapi....”
Mendengar ucapan sang suami itu mengandung sesuatu tekateki
yang mendalam, mau tak mau Bin Ju ikut menjadi tegang,
cepat ia tanya, “Akan tetapi apa?”
“Bicara tentang kesusastraan terang Anak Giok buta huruf,”
kata Ciok Jing. “Bicara tentang ilmu silatnya juga tidak terlalu
mahir, hanya lwekangnya saja yang luar biasa. Bicara soal
pengalaman, pengetahuan dan tipu akalnya, semuanya lebihlebih
tiada yang dapat dipilih. Padahal Tiang-lok-pang adalah
suatu organisasi besar yang sangat menonjol pada masa akhirakhir
ini, namanya sangat disegani oleh dunia persilatan,
mengapa... mengapa....”
“Ya, betul, mengapa mengangkat seorang anak kecil sebagai
Tiong-giok untuk menjadi pangcu mereka?” sambung Bin Ju
dengan manggut-manggut.
Ciok Jing merenung sejenak, lalu sambungnya pula, “Waktu di
Ciciu tempo hari kita pernah mendengar cerita bahwa Ciok
Boh-thian, Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang adalah seorang
yang suka main perempuan, tingkah lakunya culas dan licik,
tapi ilmu silatnya sangat tinggi pula. Sebenarnya tiada seorang
pun yang tahu asal-usul Ciok-pangcu itu, belakangan entah
mengapa dia telah dapat dikenali oleh murid wanita dari Swatsan-
pay yang bernama Hoa Ban-ci, katanya dia adalah murid
murtad Swat-san-pay mereka, Ciok Tiong-giok, yang sedang
dicari-cari oleh perguruannya. Tapi kalau dilihat sekarang,
segala apa tentang tingkah lakunya culas licik dan ilmu silatnya
sangat tinggi, ulasan-ulasan itu sesungguhnya tidak tepat
digunakan atas diri Tiong-giok.”
Dengan mengerut kening Bin Ju menanggapi, “Ya, dahulu kita
pikir usia Anak Giok memang masih muda, tapi otaknya
memang tajam, jika ilmu silatnya benar-benar telah maju
pesat sehingga dapat menjabat sebagai pangcu apa juga bukan
sesuatu yang aneh, sebab itulah kita tatkala itu sedikit pun
tidak curiga, kita hanya berunding cara bagaimana
menyelamatkan dia dari pencarian Swat-san-pay. Akan tetapi
melihat kelakuannya sekarang, kukira... kukira....”
Sampai di sini mendadak ia perkeras suaranya, “Ya, Engkoh
Jing, kukira di balik urusan ini tentu adalah suatu muslihat keji.
Coba pikir saja, betapa cerdik pandai tokoh ‘Tio-jiu-seng-jun’
Pwe-siansing itu, masakah....” sampai di sini ia menjadi takut
sendiri, suaranya menjadi gemetar pula.
Ciok Jing sendiri berjalan mondar-mandir dengan berpangku
tangan, mulutnya tiada hentinya menggumam, “Ya,
mengangkat dia menjadi pangcu , mengangkat dia menjadi
pangcu , apa maksud tujuannya? Apa maksud tujuannya?”
Setelah dipikir berulang-ulang, akhirnya jelaslah duduknya
perkara baginya, segala apa yang terjadi sangat cocok dengan
persoalannya, cuma saja urusan ini terlalu mengerikan, maka
ia tidak berani lantas mengutarakan pendapatnya.
Waktu ia memandang sang istri, sekilas sorot mata Bin Ju juga
sedang menatap ke arahnya dengan penuh rasa cemas dan
khawatir.
Untuk sejenak suami-istri itu saling pandang, habis itu
mendadak mereka berseru berbareng, “Pengganjar dan
Penghukum!”
Ucapan ini cukup keras sehingga dapat didengar oleh Ciok Bohthian,
segera anak muda ini mendekati dan bertanya, “Ayah,
ibu, sebenarnya macam apakah Pengganjar dan Penghukum
itu? Aku pernah mendengar nama itu dari orang-orang Tiatcha-
hwe, imam-imam Siang-jing-koan itu pun pernah
menyebut-nyebutnya.”
Ciok Jing tidak menjawab sebaliknya malah bertanya, “Sewaktu
kau mengangkat saudara dengan Thio Sam dan Li Si, apakah
mereka mengetahui kau adalah Pangcu Tiang-lok-pang?”
“Mereka tidak tanya, aku pun tidak bilang, mungkin mereka
tidak tahu,” sahut Boh-thian.
“Bagaimana keadaan mereka ketika kau berlomba minum arak
berbisa dengan mereka? Coba kau ceritakan lagi dengan lebih
jelas,” tanya Ciok Jing.
“Hah, apakah arak itu berbisa? Mengapa aku tidak keracunan?”
sahut Boh-thian dengan heran. Lalu ia pun menuturkan lagi
pengalamannya ketika bertemu dengan Thio Sam dan Li Si, di
mana mereka telah makan babi panggang dan minum arak
sepuas-puasnya.
Ciok Jing mendengarkan dengan diam saja, sesudah Boh-thian
menutur, ia merenung sejenak, lalu berkata, “Anak Giok, ada
suatu hal harus kukatakan padamu, baiknya saat ini masih
dapat dicegah, maka kau pun tidak perlu khawatir.”
Sesudah merandek sebentar, kemudian ia menyambung, “Pada
masa 30 tahun yang lalu, banyak sekali di antara gembonggembong
dan tokoh-tokoh Bu-lim dari berbagai golongan dan
aliran mendadak telah menerima undangan yang meminta
mereka sebelum tanggal 8 bulan 12 supaya datang ke Liongbok-
to (Pulau Kayu Naga) di Laut Selatan untuk makan Lappat-
cok.”
“Ya, semua orang asalkan mendengar tentang ‘Lap-pat-cok’
lantas sangat ketakutan, entah apa sebabnya?” kata Boh-thian
sambil manggut-manggut.
Namun Ciok Jing menyambung terus, “Tokoh-tokoh dari
berbagai golongan dan aliran itu semuanya adalah orang-orang
yang punya harga diri, ketika mereka menerima medali
undangan....”
“Medali undangan? Apakah kedua potong medali tembaga itu?”
sela Boh-thian.
“Betul, tak-lain-tak-bukan adalah kedua buah medali tembaga
yang pernah kau rebut dari Ciau-hi Supek itu,” sahut Ciok Jing.
“Muka medali-medali itu masing-masing terukir wajah orang
yang sedang tertawa, ini mempunyai arti ‘pengganjar’, yaitu
memberi ganjaran kepada orang yang berbuat bajik,
sebaliknya medali yang lain terukir wajah marah yang berarti
‘penghukum’, yaitu pemberi hukuman kepada setiap kejahatan.
Pengirim-pengirim medali undangan itu adalah dua orang
pemuda gemuk dan kurus.”
“Pemuda?” Boh-thian menegas. Ia sudah menduga pengirimpengirim
medali-medali itu tentulah Thio Sam dan Li Si, tapi
demi mendengar pemuda, ia merasa tidak cocok pula dengan
mereka.
“Apa yang terjadi itu adalah di waktu lebih 30 tahun yang lalu,
dengan sendirinya ketika itu mereka masih muda,” ujar Ciok
Jing. “Para pemimpin Bu-lim yang kebagian medali undangan
itu dengan sendirinya ragu-ragu, mereka menanyakan
siapakah tuan rumah yang mengundang itu, tapi kedua utusan
itu menyatakan bahwa sesudah para tamu sampai di tempat
tujuan tentu akan tahu sendiri. Gembong-gembong persilatan
itu ada yang anggap sepele akan undangan itu dan
menerimanya dengan tertawa, ada juga yang marah-marah.
Menurut kedua utusan itu, bila penerima undangan itu
menepati undangan itu, maka segalanya akan aman tenteram,
sebaliknya kalau menolak, maka golongan atau organisasi
mereka ini pasti akan tertimpa bencana. Karena itulah para
pemimpin persilatan itu saling bertanya-tanya, ‘Hadir atau
tidak?’
“Orang pertama yang menerima medali undangan itu adalah
Siau-san Totiang, Ciangbunjin Jing-sia-pay di Sucwan Barat.
Sambil tertawa ia mengerahkan tenaga dalam sehingga kedua
medali tembaga itu kena diremas menjadi dua potong tembaga
rongsokan. Dengan memperlihatkan kepandaiannya yang hebat
itu Siau-san Totiang mengira kedua pemuda yang takabur itu
pasti akan kabur dengan ketakutan. Siapa duga, baru saja
medali-medali itu dirusaknya, kontan keempat tangan pemudapemuda
itu pun sekaligus menghantam dada Siau-san Totiang,
tanpa ampun lagi tokoh persilatan di daerah Sucwan itu
terbinasa seketika.”
“Ah, sedemikian keji cara mereka itu,” seru Boh-thian.
“Ya, serentak orang-orang Jing-sia-pay juga lantas mengerubut
maju,” sambung Ciok Jing. “Tatkala itu ilmu silat kedua
pemuda belum mencapai tingkatan setinggi seperti sekarang,
segera mereka merampas dua batang pedang, setelah
membunuh tiga orang Tojin mereka lantas melarikan diri.
Namun demikian, kejadian tentang Jing-sia-pay diubrak-abrik
dan Siau-san Totiang dibunuh dua orang pemuda yang tak
terkenal dalam waktu singkat saja sudah lantas membikin
geger dunia persilatan.
“Dua puluh hari kemudian, Tiau-lopiauthau di Ekciu juga
menerima medali undangan tersebut. Waktu itu Tiaulopiauthau
sedang sibuk mengadakan perjamuan untuk
merayakan ulang tahunnya yang ke-60. Tamu-tamu yang hadir
sangat banyak, tiba-tiba kedua pemuda yang tidak diundang
muncul di tengah perjamuan dan mengaturkan medali-medali
tembaga mereka. Memangnya sebagian besar para hadirin itu
lagi ramai membicarakan peristiwa Jing-sia-pay, sekarang
diketahui kedua pemuda itu mengacau pula ke situ, serentak
mereka bergerak dan hendak menghajar kedua pemuda itu.
Tak terduga dengan gampang saja kedua pemuda itu dapat
meloloskan diri dari kepungan orang banyak. Bahkan tiga hari
kemudian, keluarga Tiau-lopiauthau sebanyak lebih 30 jiwa
pada tengah malam buta semuanya telah tewas. Di atas pintu
rumah jelas terpaku dua bentuk medali tembaga muka tertawa
dan muka marah itu.”
“Pertama kalinya aku melihat kedua medali tembaga itu adalah
di pintu ruangan kapal Hui-hi-pang yang penuh mayat itu,”
kata Boh-thian dengan menghela napas. “Tak tersangka
bahwa... bahwa kedua medali itu mirip saja dengan kartu
undangan yang dikirim oleh Giam-lo-ong (raja akhirat).”
“Setelah kejadian itu tersiar, segera ketua Siau-lim-pay tampil
ke muka dan mengundang para pemimpin terkemuka dari
dunia persilatan untuk merundingkan cara menghadapi
persoalan medali-medali tembaga itu, berbareng penyelidikpenyelidik
disebarkan untuk mencari tahu jejak kedua utusan
yang mengganas itu,” demikian Ciok Jing melanjutkan
ceritanya. “Namun kedua pemuda utusan itu benar-benar
sangat licin, sering kali mereka menyamar dan ganti rupa
sehingga jejak mereka susah diketemukan. Tapi bilamana
orang-orang Bu-lim sudah mulai lengah, tahu-tahu kedua
pemuda itu muncul lagi untuk menyampaikan kedua medali
panggilan.
“Bukan saja jejak kedua pemuda itu susah diketemukan dan
ilmu silatnya tinggi, malahan mereka pandai menggunakan
racun pula. Seperti Sian-pun Tianglo dari Siau-lim-pay, Khopek
Tojin dari Bu-tong-pay, mereka telah tewas semua
sesudah menerima medali undangan. Waktu menerima medalimedali
itu tiada terjadi apa-apa, tapi lewat sebulan kemudian
mendadak mereka kena penyakit keras terus binasa. Menurut
perkiraan, tentulah kedua rasul Siang-sian dan Hwat-ok Sucia
itu jeri kepada ilmu silat Sian-pun Tianglo dan Kho-pek Totiang
yang tinggi, mereka tidak mampu melawannya, maka diamdiam
mereka telah menaruh racun jahat di atas medali-medali
mereka, sesudah tangan menyentuh racun itu, akhirnya racun
akan bekerja dan membunuh sang korban. Anehnya racun itu
sama sekali tidak memberi tanda-tanda sebelumnya, tapi sekali
sudah kumat, hanya dalam waktu satu jam saja lantas binasa,
sungguh lihainya susah dikatakan.”
Bab 32. Ting Tong! Dia Muncul Lagi
Ciok Boh-thian sampai merinding mendengarkan cerita seram
itu, katanya, “Masakah kedua saudara-angkatku Thio Sam dan
Li Si itu adalah manusia-manusia yang begitu kejam? Mereka
suka bermusuhan dengan orang-orang Bu-lim, sebenarnya apa
maksud tujuannya?”
“Entahlah, selama 30-an tahun ini persoalan yang rumit ini
tetap tak terpecahkan,” sahut Ciok Jing sambil menggeleng.
“Sesudah tewasnya tokoh-tokoh terkemuka seperti Siau-san
Totiang dari Jing-sia-pay, Tiau-lopiauthau dari Sucwan, Sianpun
Taysu dari Siau-lim-si, Kho-pek Totiang dari Bu-tong-pay,
mau tak mau pemimpin-pemimpin Bu-lim yang lain menjadi
kebat-kebit dan merasa tidak aman, mereka tidak berani main
kasar lagi, bila di antaranya ada yang menerima medali
undangan, segera disanggupi untuk hadir pada perayaan
makan Lap-pat-cok itu. Jika demikian, maka kedua rasul itu
akan berkata, ‘Sungguh kami merasa mendapat kehormatan
atas kesediaan tuan akan hadir di Liong-bok-to, diharap pada
hari dan bulan sekian silakan menunggu di mana, pada
waktunya tentu ada orang akan menyambut kalian dengan
perahu.’ – Begitulah, selama tahun undangan itu, tokoh-tokoh
Bu-lim, ciangbunjin, pangcu dari berbagai golongan yang telah
menjadi korban keganasan mereka itu ada 14 orang, selain itu
ada 19 tokoh yang melaksanakan undangan mereka. Akan
tetapi ke-19 orang itu hanya dapat pergi saja dan tidak dapat
pulang, selama 32 tahun ini sedikit pun tiada berita-berita
tentang nasib mereka.”
“Terletak di lautan selatan manakah pulau yang disebut Liongbok-
to itu?” tanya Ciok Boh-thian. “Mengapa tidak
mengumpulkan teman dan pergi menolong ke-19 orang itu?”
“Tentang Liong-bok-to itu sudah ditanyakan kepada hampir
seluruh nelayan dan ahli pelayaran, tapi tiada seorang pun
yang kenal nama pulau itu, tampaknya pulau itu hanya omong
kosong kedua pemuda itu saja,” tutur Ciok Jing lebih jauh.
“Begitulah setahun demi setahun telah lalu dengan cepat,
selain keluarga-keluarga dari ke-33 orang yang mengalami
nasib malang itu, maka semua orang lambat laun sudah
melupakan peristiwa-peristiwa tersebut. Tak terduga 11 tahun
kemudian, tahu-tahu medali undangan itu muncul lagi di dunia
Kangouw. Kali ini ilmu silat kedua rasul itu sudah tambah maju
lagi, hanya di dalam waktu 20-an hari saja beberapa ratus
orang dari berbagai aliran dan organisasi besar telah dibunuh
oleh mereka.
“Keruan kejadian itu semakin menggegerkan dunia Kangouw.
Waktu itu tiga orang tertua Go-bi-pay lantas tampil ke muka
untuk mengumpulkan 20-an jago-jago pilihan, secara diamdiam
mereka sembunyi di markas Ang-jio-hwe (perkumpulan
tombak merah) di daerah Holam untuk menantikan kedatangan
kedua pengganas. Tak terduga kedua pengganas itu seperti
serbatahu saja, mereka telah menghindari Ang-jio-hwe, bahkan
tidak menginjak ke dalam wilayah Holam, sebaliknya medali
panggilan mereka masih terus disebarkan ke tempat-tempat
lain. Asal penerima medali undangan itu menyanggupi akan
hadir, maka segenap anggota keluarga penerima undangan itu
akan aman tenteram, jika tidak maka biarpun betapa keras dan
rapatnya penjagaan, tentu segenap anggotanya akan menjadi
korban keganasan kedua orang itu.
“Tahun itu Soa-pangcu dari Hek-liong-pang juga mendapat
medali undangan, tatkala itu ia telah menyanggupi akan hadir,
tapi diam-diam ia telah memberitahukan waktu dan tempat
perahu yang akan memapaknya kepada Ang-jio-hwe. Maka tiba
pada saatnya serentak ke-20 tokoh persilatan itu lantas
menuju ke tempat yang dimaksudkan. Akan tetapi sial bagi
mereka, entah siapa yang telah membocorkan rahasia mereka
itu, ketika tiba saatnya ternyata tiada seorang pun atau perahu
yang datang menyambut. Mereka coba menunggu lagi
beberapa hari, namun satu demi satu di antara mereka itu
berturut-turut tewas keracunan.
“Keruan sisanya menjadi ketakutan dan beramai-ramai mereka
lantas bubar menyelamatkan diri. Akan tetapi belum lagi
sampai di rumah masing-masing, di tengah jalan mereka sudah
mendapat kabar, ada yang seluruh anggota keluarganya telah
habis dibunuh orang, ada pula segenap anggota organisasinya
telah habis dibinasakan tanpa mengetahui siapa pembunuhnya.
Dalam tahun itu hanya ada tujuh orang tokoh saja yang telah
menumpang sebuah kapal lain menuju ke Liong-bok-to, tapi
mereka pun bisa pergi dan tak bisa pulang, besar kemungkinan
mereka sudah terkubur di dasar lautan yang susah dijajaki.
Apa yang terjadi itu adalah peristiwa pada 21 tahun yang lalu.
Ai, benar-benar bencana besar bagi Bu-lim, kalau dipikir
sungguh menyeramkan dan menyedihkan!”
Ciok Boh-thian ingin tidak memercayai cerita yang mengerikan
itu, akan tetapi dengan mata kepala sendiri ia telah
menyaksikan terbunuhnya anggota-anggota Tiat-cha-hwe serta
kapal mayat orang-orang Hui-hi-pang, bahkan tanpa sengaja
dia sendiri telah membantu Thio Sam dan Li Si melakukan
keganasan itu, kalau teringat sekarang sungguh ia menjadi
bergidik sendiri.
Ia dengar Ciok Jing telah menyambung pula, “Selang 11 tahun
kemudian, kembali kedua rasul itu muncul lagi. Yang pertama
menerima medali undangan adalah Bu-kek-bun di daerah
Kangsay. Setahun sebelumnya di antara pemimpin-pemimpin
berbagai golongan dan aliran sudah mengadakan musyawarah
dan permufakatan, tak peduli siapa yang menerima undangan,
maka seluruhnya akan menerima dengan baik dan berjanji
akan hadir. Mereka telah bertekad kepada pemeo yang
mengatakan ‘tidak masuk sarang harimau, mana bisa
mendapat anak harimau’. Mereka bertekad akan datang ke
Liong-bok-to untuk melihat keadaan yang sebenarnya, semua
orang telah bersatu padu akan menumpas musuh bersama dari
dunia persilatan itu.
“Sebab itulah pada tahun undangan itu, di mana medali
undangan disampaikan sebegitu jauh tidak terjadi korban jiwa,
seluruhnya ada 33 orang yang telah menerima undangan,
maka ada 33 orang yang akan hadir, akan tetapi ke-33 jago
dan kesatria pilihan yang terkenal cerdik pandai itu pun
mengalami nasib yang sama, mereka bisa pergi dan untuk
selamanya tidak pernah pulang lagi, hilang tanpa bekas dan
tanpa berita.
“Karena pengacauan Liong-bok-to itu, maka jago-jago
terkemuka Bu-lim selama ini menjadi terkuras habis. Siangjing-
koan kami biasanya jarang berkeliaran di Kangouw, meski
ilmu silat ayah-ibumu berasal dari Siang-jing-koan, tapi dalam
pergaulan selalu menggunakan nama Hian-soh-ceng. Para
paman gurumu yang berilmu silat tinggi itu pun jarang
bertarung dengan orang sehingga bagi penglihatan orang luar
para imam Siang-jing-koan dikira hanya orang-orang beribadat
yang saleh dan tidak paham ilmu silat....”
“Apakah lantaran mereka jeri kepada Liong-bok-to?” Boh-thian
memotong.
Untuk sejenak Ciok Jing tampak serbaragu-ragu, katanya
kemudian, “Para paman gurumu itu biasanya tidak pernah
bermusuhan dengan orang, mereka adalah imam-imam yang
suci, tapi bila dikatakan mereka jeri kepada Liong-bok-to, ya,
memang benar juga. Maklum, biarpun kau adalah tokoh Bu-lim
kelas satu, biarpun punya pengaruh besar dan berkawan
banyak, asalkan menyebut ‘Liong-bok-to’, siapa pun akan
kebat-kebit. Sungguh tidak tersangka bahwa Siang-jing-koan
yang sedemikian prihatin, akhirnya tetap tak terhindar dari
bencana.”
Habis berkata ia lantas menghela napas panjang.
“Ayah ingin menjadi Ciangbunjin Siang-jing-koan, katanya
hendak menyelidiki keadaan Liong-bok-to yang sebenarnya,”
tanya Boh-thian pula. “Tapi kalau mengingat pengalamanpengalaman
yang lalu, di mana tidak sedikit tokoh-tokoh
terpandai yang hanya bisa pergi dan tak bisa pulang, rasanya
tugas ayah pun tidaklah gampang dilaksanakan.”
“Ya, sudah tentu sangat sulit,” ujar Ciok Jing. “Tapi kita
biasanya memandang membantu kesukaan orang sebagai
kewajiban sendiri, apalagi urusan mengenai perguruannya
sendiri, masakah kita bisa berpeluk tangan tanpa peduli?”
Boh-thian mengangguk-angguk. Tiba-tiba ia tanya, “Kau bilang
kedua saudara angkatku Thio Sam dan Li Si itu adalah kedua
rasul dari Liong-bok-to yang menyampaikan medali
undangan?”
“Itu sudah terang dan tidak disangsikan lagi,” sahut Ciok Jing.
“Jika mereka adalah orang jahat, mengapa mereka mau
mengangkat saudara dengan aku?” kata Boh-thian dengan
heran.
Ciok Jing tertawa geli. Katanya, “Waktu itu kau bicara dengan
ketolol-tololan sehingga mereka tidak dapat menolak. Apalagi
sumpah yang mereka ucapkan itu adalah palsu dan tidak dapat
dianggap.”
“Sumpah palsu bagaimana?” tanya Boh-thian.
“Thio Sam dan Li Si adalah nama mereka yang palsu,” tutur
Ciok Jing. “Mereka mengucapkan sumpah atas nama Thio Sam
dan Li Si, dengan sendirinya segala sumpah yang diucapkan
hanya palsu belaka.”
“O, kiranya demikian! Kelak kalau bertemu lagi tentu aku akan
menegur mereka.”
Sampai di sini Bin Ju yang sejak tadi hanya tinggal diam saja
tiba-tiba menyela, “Anak Giok, lain kali kalau ketemu kedua
orang itu hendaklah kau berlaku hati-hati. Tangan kedua orang
itu sudah penuh berlumuran darah, mereka biasa membunuh
orang tanpa berkedip, kalau pertarungan secara terangterangan
tidak menang mereka lantas menyerang secara
menggelap. Kalau menyerang secara menggelap tidak berhasil
mereka lantas menggunakan racun.”
“Ya, jangankan kau masih sangat hijau dan pikiranmu jujur
polos, sekalipun tokoh-tokoh yang jauh lebih cerdik daripada
kau juga susah menghindarkan diri dari keganasan kedua
utusan itu,” sambung Ciok Jing. “Maka bicara tentang hati-hati
dan berjaga-jaga boleh dikata sangat sulit. Sebaliknya, anak
Giok, kalau lain kali bertemu lagi harus serentak menggunakan
pukulan mematikan, harus mendahului daripada didahului.
Walaupun cuma seorang saja di antara mereka yang dapat
dibunuh juga sudah terhitung mengurangi suatu bencana bagi
Bu-lim.”
“Tapi... tapi kami adalah kiat-pay-hiati (saudara angkat),
masakah aku boleh membunuh mereka?” ujar Boh-thian
dengan ragu-ragu.
Ciok Jing hanya menghela napas dan tidak bicara lagi. Ia pikir
memang tidaklah patut untuk memaksa sang putra membunuh
saudara-saudara angkatnya sendiri.
“Engkoh Jing,” kata Bin Ju dengan tertawa, “kau bilang anak
Giok orang yang jujur polos, jadi sudah terang putra kita telah
berubah baik bukan?”
“Dia memang sudah berubah menjadi baik,” sahut Ciok Jing
sambil mengangguk. “Dan justru sebab itulah maka ada orang
ingin memperalat dia untuk menahan bencana yang akan
menimpa mereka. Anak Giok, apakah kau tahu sebenarnya apa
maksud tujuan para pemimpin Tiang-lok-pang itu mengangkat
kau sebagai pangcu mereka?”
Sesungguhnya Ciok Boh-thian memang bukan anak bodoh,
hanya sejak kecil hidup di gunung bersama ibunya, di waktu
mudanya tinggal di atas Mo-thian-kay bersama Cia Yan-khek,
kedua orang juga jarang bicara, sebab itulah terhadap selukbeluk
dan lika-liku orang hidup sama sekali tak dipahami
olehnya. Sekarang demi mendengar uraian Ciok Jing tadi,
seketika dia sadar, tanpa terasa tercetus dari mulutnya, “Ya,
mereka mengangkat aku sebagai pangcu, jangan-jangan...
jangan-jangan aku hendak dijadikan tameng oleh mereka?”
Ciok Jing menarik napas lega, katanya, “Ya, sebenarnya
sebelum duduknya perkara dibikin jelas tidaklah pantas
mengukur jelek hati orang dan menilai rendah kesatria
Kangouw, tapi kalau bukan begitu, di dalam Tiang-lok-pang
sendiri toh banyak terdapat tokoh-tokoh terkenal, masakah
seorang muda yang masih hijau sebagai dirimu yang diangkat
menjadi pangcu? Tiang-lok-pang itu adalah suatu organisasi
besar yang baru menonjol pada beberapa tahun terakhir ini,
ketika kita bertemu di Hau-kam-cip dulu di dunia Kangouw
masih belum mengenal ‘Tiang-lok-pang’ apa. Menurut
perkiraanku, karena kemajuan pesat yang dicapai Tiang-lokpang
pada masa akhir-akhir ini, maka para pemimpin Tianglok-
pang telah memperhitungkan sudah dekat dengan waktu
munculnya medali undangan dari Liong-bok-to, sekali ini Tianglok-
pang mereka pasti akan menerima juga undangan itu,
sebab itulah lebih dulu mereka lantas memilih seorang yang
mempunyai hubungan rapat dengan mereka untuk diangkat
menjadi pangcu, dan bila tiba saatnya, pangcu yang baru ini
lantas didorong ke depan untuk memikul segala bencana yang
akan menimpa.”
Ciok Boh-thian sampai terlongong-longong, sungguh tak
pernah terpikir olehnya bahwa hati manusia ternyata
sedemikian licin dan kejamnya. Tapi perkiraan Ciok Jing itu
memang sangat masuk di akal sehingga mau tidak mau ia pun
percaya penuh.
“Nak,” Bin Ju ikut berkata, “nama Tiang-lok-pang di kalangan
Kangouw sangat busuk, walaupun tidak terlalu jahat, tapi soal
merampok, mengganas dan perbuatan-perbuatan kekerasan
lain bukanlah sesuatu yang asing bagi mereka, lebih-lebih
mereka tidak pantang kecabulan, hal ini lebih-lebih tidak dapat
dimaafkan oleh orang Bu-lim. Para Thocu dan Hiangcu di dalam
organisasi mereka itu bukanlah manusia baik-baik semua,
kalau mereka sengaja membikin perangkap untuk menjerat
kau, hal ini pun tidak mengherankan.”
“Hm, mereka sengaja mencari orang untuk menjadi pangcu
dan anak Giok memang pilihan yang paling tepat,” jengek Ciok
Jing. “Dia sudah melupakan kejadian-kejadian di masa yang
lampau, terhadap seluk-beluk dan lika-liku orang Kangouw
juga tidak paham, Mereka cuma tidak menyangka sama sekali
bahwa pangcu muda mereka ini ternyata adalah putranya Ciok
Jing dan Bin Ju dari Hian-soh-ceng sehingga perhitungan
mereka belum pasti akan terlaksana dengan tepat.”
Sampai di sini, tangannya memegang gagang pedang sambil
memandang jauh ke timur, yaitu arah letak markas pusat
Tiang-lok-pang.
“Jika kita sudah mengetahui tipu muslihat mereka, maka kita
tidak perlu khawatir lagi,” kata Bin Ju. “Untungnya anak Giok
belum lagi menerima medali undangan. Lalu sekarang apa
yang harus kita lakukan, Engkoh Jing?”
Ciok Jing merenung sejenak, jawabnya, “Kita bertiga harus
datang ke Tiang-lok-pang untuk membongkar rahasia mereka.
Cuma dengan demikian mereka tentu akan malu dan menjadi
kalap sehingga besar kemungkinan akan terpaksa main
kekerasan, padahal kita hanya bertiga, pula kita perlu
kesaksian beberapa orang terkemuka dari Bu-lim agar di
kemudian hari mereka tidak dapat merecoki anak Giok lagi.”
“Nyo Kong, Nyo-toako di Ka-hin-hu, Ciatkang, adalah sahabat
kental kita, pergaulannya juga sangat luas, boleh kita minta dia
tampil ke muka untuk mengajak kawan-kawan Bu-lim
bersama-sama berkunjung ke Tiang-lok-pang.”
“Usul ini sangat bagus,” kata Ciok Jing dengan girang. “Kawankawan
Bu-lim di sekitar Kanglam rasanya pasti akan suka
membantu kita suami-istri.”
Hendaklah maklum bahwa hubungan Ciok Jing suami-istri
dengan orang-orang Bu-lim biasanya sangat baik, mereka suka
membantu kesukaran kawan dan jarang minta bantuan orang
lain. Sekarang tiba-tiba mereka inginkan bantuan kawankawan
itu, tentu saja dengan gampang mereka akan
mendapatkan bala bantuan secukupnya.
Begitulah mereka bertiga lantas mengambil jalan ke arah timur
menuju ke Ka-hin-hu. Tiga hari kemudian, sampailah mereka
dan bermalam di Liong-ki-tin. Kota kecil ini cukup ramai,
mereka bertiga bermalam di suatu hotel. Ciok Jing suami-istri
mendiami sebuah kamar besar di bagian depan, sedangkan
Ciok Boh-thian memperoleh sebuah kamar agak kecil di
sebelah dalam. Mestinya Bin Ju hendak mencarikan sebuah
kamar besar bagi putra kesayangannya itu, tapi karena kamarkamar
sudah penuh tamu, terpaksa apa adanya.
Malam itu Boh-thian duduk bersila di atas tempat tidurnya, ia
melatih ilmunya sehingga badan terasa segar dan semangat
penuh. Waktu ia periksa kedua telapak tangannya, ternyata
noktah merah dan garis-garis biru di tengah telapak tangan itu
sudah samar-samar dan hampir-hampir tak kelihatan lagi.
Ia tidak tahu bahwa kedua botol arak berbisa itu sekarang
sudah terbaur menjadi tenaga dalam yang mahakuat di dalam
tubuhnya, ia menyangka tentu kegiatannya berlatih selama
beberapa hari ini sehingga racun telah diusir keluar, maka ia
menjadi girang, lalu ia merebah dan tidur.
Sampai tengah malam, tiba-tiba terdengar jendela bersuara
gemeletak, ada orang sedang mengetok jendela dengan
perlahan.
Tepat Boh-thian bangun dan tanya dengan suara tertahan,
“Siapa?”
Tapi kembali terdengar suara “tek-tek-tek” tiga kali, suara
jendela diketok itu sudah sangat hafal baginya. Hati Boh-thian
berdebar, cepat ia tanya pula, “Apakah Ting-ting Tong-tong di
situ?”
Maka terdengarlah suara si Ting Tong menjawab perlahan di
luar jendela, “Sudah tentu aku adanya, memangnya kau
mengharapkan siapa?”
Boh-thian menjadi girang dan gugup pula demi mendengar
suara si nona, seketika ia sampai tidak sanggup bicara lagi.
Tiba-tiba terdengar suara “bret”, kertas jendela terobek,
sebuah tangan menyelonong masuk, tahu-tahu telinganya
telah dijewer.
“Hayo, mengapa tidak lekas membuka jendela?” demikian
terdengar si nona berkata.
Boh-thian menjadi kesakitan, tapi khawatir membikin kaget
ayah-ibunya, maka ia tidak berani bersuara dan lekas-lekas
membuka daun jendela.
Segera Ting Tong melompat masuk ke dalam kamar, ia
mengekek tawa dan berkata, “Engkoh Thian, kau kangen
padaku atau tidak?”
“Aku... aku... aku....” berulang-ulang Boh-thian menyebut
“aku”, tapi tidak sanggup meneruskan lagi.
“Bagus, jadi kau tidak kangen padaku, ya?” omel si Ting Tong.
“Yang kau rindukan hanya pengantin baru yang telah
bersembahyang Thian bersama kau itu?”
“Bilakah aku pernah bersembahyang Thian lagi dengan siapa
lagi?” sahut Boh-thian.
“Huh, dengan mata kepala sendiri aku melihatnya, kau berani
mungkir?” semprot si nona. “Baiklah, aku pun tidak
menyalahkan kau, ini memang sifatmu yang bangor dan biasa
main gila, aku berbalik merasa senang. Dan di manakah nona
cilik pengantin baru itu?”
“Sudah hilang, ketika aku kembali ke dalam gua di sana, dia
sudah hilang meski aku telah mencarinya,” tutur Boh-thian.
“O, semoga Buddha memberkati, supaya selama hidup ini kau
takkan menemukan dia lagi,” kata si Ting Tong dengan
mengikik.
“Dan di manakah kakekmu, apakah beliau baik-baik saja?”
tanya Boh-thian.
“Kenapa kau tidak tanya diriku baik-baik atau tidak?” omel si
nona sambil mencubit lengan pemuda itu. Tapi mendadak ia
menjerit, “Aduh!”
Kiranya tenaga dalam Ciok Boh-thian telah mementalkan
tangan si nona dengan kuat sehingga nona itu menjerit kaget.
“Apakah kau baik-baik saja, Ting-ting Tong-tong?” tanya Bohthian
kemudian. “Sungguh untung bagiku, waktu kau
melemparkan aku ke dalam sungai, kebetulan aku jatuh di
dalam sebuah perahu sehingga tidak sampai mati tenggelam.”
“Untung apa? Akulah yang sengaja melemparkan kau ke dalam
perahu itu, masakah kau tidak tahu?” kata Ting Tong.
Boh-thian menjadi kikuk, sahutnya, “Di dalam hatiku sudah
tentu tahu kau sangat baik padaku, hanya saja... hanya saja
aku merasa malu untuk mengatakannya.”
Ting Tong tertawa, katanya, “Kau dan aku adalah suami-istri,
masakah pakai malu apa segala?”
Begitulah mereka duduk berdampingan di pinggir ranjang,
sayup-sayup Boh-thian mengendus bau harum yang timbul dari
badan si Ting Tong, harumnya anak perawan yang khas,
keruan perasaan Boh-thian seperti dikilik-kilik dan....
Tapi demi teringat bahwa ayah-ibunya juga berada di kamar
sebelah, urusan perkawinan dengan si Ting Tong ini entah
bagaimana pendapat mereka, ia angkat tangan kanan dan
bermaksud merangkul si nona, tapi baru saja menyentuh
bahunya, cepat ia menarik kembali lagi tangannya.
“Engkoh Thian, hendaklah katakan sejujurnya padaku,
sesungguhnya aku lebih cantik ataukah binimu yang baru itu
lebih ayu?” tiba-tiba si Ting Tong bertanya.
“Di manakah aku ada bini baru lagi? Aku hanya punya... punya
istri kau seorang saja,” sahut Boh-thian.
Ting Tong kegirangan, mendadak ia peluk si anak muda dan
“ngok”, ia menciumnya satu kali.
Boh-thian menjadi merah jengah dan bingung, ingin
mendorong pergi si nona, rasa berat karena nikmat juga
ciuman itu, hendak balas memeluk, eh, hati tidak berani.
Biarpun tingkah laku si Ting Tong itu lebih berani, tapi apa pun
juga dia adalah anak perawan yang masih suci, ketika tanpa
sadar ia mencium Ciok Boh-thian satu kali, lalu ia pun merasa
menyesal. Dengan malu ia lantas menyusup ke tengah ranjang,
ia tarik sehelai selimut terus membungkus dirinya rapat-rapat.
Sampai sekian lamanya Boh-thian merasa ragu-ragu,
tangannya ingin memegang anak dara itu, tapi takut-takut dan
tidak jadi. Akhirnya ia hanya memanggil perlahan, “Ting-ting
Tong-tong! Ting-tang Ting-tong!”
Namun si nona diam saja tak menggubrisnya.
Akhirnya Boh-thian menguap kantuk, ia duduk di atas kursi
sambil mendekap di atas meja kemudian terpulas.
Di pihak lain si Ting Tong merasa bersyukur karena kekasih
yang dicari-cari selama ini telah dapat diketemukan pula.
Dengan rasa senang serta badan lelah, tanpa merasa akhirnya
ia pun tertidur di atas ranjang.
Sampai fajar sudah menyingsing, tiba-tiba terdengar suara
orang mengetok pintu, lalu terdengar Bin Ju sedang
memanggil, “Anak Giok, kau sudah bangun?”
“O, ibu!” Boh-thian menjawab sambil berbangkit. Tapi demi
memandang ke arah si Ting Tong, seketika ia menjadi bingung.
“Buka pintu, anak Giok, aku ingin bicara,” terdengar Bin Ju
berkata pula.
Boh-thian mengiakan. Dengan ragu-ragu pintu lantas hendak
dibukanya.
Sudah tentu si Ting Tong menjadi kelabakan juga. Yang akan
masuk itu adalah ibu mertua, kalau dilihatnya dirinya
bermalam di suatu kamar bersama Ciok Boh-thian, walaupun
mereka tidak melanggar tata susila apa-apa, tapi siapa yang
mau percaya, bukankah kelak akan dipandang hina oleh ibu
mertua itu?
Segera ia membuka daun jendela dan bermaksud melompat
keluar. Tapi ketika ia melirik Ciok Boh-thian, tiba-tiba hatinya
terasa berat pula untuk berpisah, dengan susah payah ia telah
mencari anak muda itu dan akhirnya diketemukan di sini, jika
sekarang berpisah lagi maka susahlah diramalkan kapan akan
dapat bersua pula. Maka berulang-ulang ia memberi tanda agar
anak muda itu jangan membuka pintu dahulu.
“Ibuku, tidak menjadi soal,” bisik Boh-thian, sementara itu
tangannya sudah menyentuh palang pintu.
Ting Tong menjadi gugup, pikirnya, “Kalau orang lain memang
tidak menjadi soal, tapi ibumu justru menjadi soal.”
Ia melihat palang pintu sudah hampir diangkat oleh anak muda
itu, untuk melompat keluar jendela rasanya juga tidak keburu
lagi.
Mestinya si Ting Tong adalah anak dara yang tidak takut mati,
tapi demi terpikir akan berjumpa dengan ibu mertua, bahkan
kepergok dalam keadaan yang kurang pantas begini, mau tak
mau ia menjadi gugup. Saat itu Boh-thian sudah hampir
menarik palang pintu, tanpa pikir lagi segera ia bertindak
dengan menggunakan kim-na-jiu-hoat, tangan kirinya
mencengkeram “leng-tay-hiat” di punggung anak muda itu dan
tangan kanan tepat memegang “koan-ki-hiat” di tengkuknya.
Boh-thian hanya merasa kedua tempat hiat-to itu kesemutan
dan kaku, lalu tak bisa berkutik lagi. Ia merasa si Ting Tong
telah merebahkan tubuhnya, lalu menyeretnya dan sembunyi
bersama-sama ke kolong ranjang.
Bin Ju adalah tokoh Kangouw yang sudah berpengalaman.
Ketika didengarnya suara jawaban sang putra di dalam kamar,
tapi sampai sekian lamanya pintu kamar tidak dibuka,
kemudian terdengar pula suara-suara yang mencurigakan, ia
menjadi khawatir atas keselamatan Ciok Boh-thian, tanpa pikir
lagi segera ia mendobrak pintu dengan bahunya.
Ketika palang pintu patah dan daun pintu terpentang, segera
dilihatnya jendela pun sudah terbuka, sedangkan putra
kesayangannya sudah tiada berada di dalam kamar lagi. Cepat
ia berseru, “Lekas kemari, Engkoh Jing!”
Dengan menjinjing pedang Ciok Jing segera memburu tiba.
“Anak... anak Giok telah digondol lari orang!” seru Bin Ju
dengan suara gemetar sambil menunjuk jendela.
Habis itu susul menyusul suami-istri itu lantas melayang ke
luar jendela, satu hitam yang satu putih laksana dua ekor
burung raksasa saja, gayanya sangat indah.
Si Ting Tong yang sembunyi di kolong ranjang diam-diam
memuji juga akan kepandaian pasangan suami-istri yang
tersohor itu.
Sebenarnya dengan pengalaman Ciok Jing dan Bin Ju yang luas
itu mestinya tidak gampang tertipu. Soalnya mereka terlalu
mengkhawatirkan keselamatan sang putra sehingga tidak
sempat berpikir panjang lagi, begitu melihat jejak putranya
sudah hilang, pikiran Bin Ju lantas bingung dan menduga keras
pasti orang Swat-san-pay atau Tiang-lok-pang yang telah
menculik Ciok Boh-thian.
Ketika dia mendobrak pintu dan masuk ke dalam kamar, jarak
waktunya dengan suara-suara yang mencurigakan di dalam
kamar itu hanya selang sejenak saja, ia menaksir masih dapat
menyusul penculiknya, sebab itulah tidak menaruh perhatian
keadaan di dalam kamar.
Ciok Boh-thian sendiri yang kena dicengkeram Hiat-to yang
penting itu untuk sedetik dua detik memang tak bisa berkutik,
tetapi karena lwekangnya terlalu lihai, hanya sekejap saja ia
sudah dapat melancarkan kembali Hiat-to yang tertutuk itu.
Cuma saja ia merasa senang dan nikmat badannya berada
dalam pelukan si Ting Tong, maka ia tidak mau bersuara
memanggil ayah-ibunya. Dan karena sedikit ayal itulah
sementara itu Ciok Jing dan Bin Ju sudah melompat ke luar
jendela dan pergi jauh.
Di kolong ranjang itu sudah tentu banyak debu kotoran,
akhirnya Boh-thian tidak tahan dan bersin beberapa kali, ia
tarik tangan si Ting Tong dan menerobos keluar dari kolong
ranjang. Ia lihat muka si nona juga penuh debu, tapi tidak
mengurangi cantiknya dan kelihatan malu-malu.
“Mereka adalah ayah-ibuku,” demikian Boh-thian coba
menerangkan.
“Aku sudah tahu, petang kemarin aku mendengar kau
memanggil mereka,” sahut Ting Tong.
“Nanti kalau ayah dan ibu sudah kembali, maukah kau
menemui mereka saja?” tanya Boh-thian.
“Aku tak mau,” sahut Ting Tong sambil membuang muka.
“Ayah-ibumu memandang hina kepada kakekku, dengan
sendirinya juga memandang rendah padaku.”
Selama beberapa hari berada bersama ayah-ibunya Ciok Bohthian
telah banyak mendengar pembicaraan mereka, ia merasa
ayah-ibunya benar-benar pendekar-pendekar yang berbudi
luhur, berbeda sekali dengan tindak tanduk Ting Put-sam.
Karena itulah ia menjadi ragu-ragu dan bungkam.
Ting Tong menaksir tidak lama lagi Ciok Jing berdua pasti akan
pulang, segera ia mengajak, “Marilah kau ikut ke kamarku, aku
ingin bicara sesuatu dengan kau.”
“Kau pun menginap di hotel ini?” tanya Boh-thian dengan
heran.
“Tidak menginap di sini, habis menginap di mana?” ujar si
nona. Lalu ia menggapai Boh-thian dan mendahului melompat
keluar jendela, ia menyusur ke serambi sana dan lantas masuk
ke sebuah kamar.
Segera Boh-thian menyusul ke dalam kamar si nona, ia tanya,
“Di mana kakekmu?”
“Aku berkeluyuran sendiri, tidak bersama kakek lagi,” sahut
Ting Tong.
“Sebab apa?” tanya Boh-thian.
“Hm, sebab apa?” si nona mendengus. “Aku ingin mencari kau,
tapi kakek tidak mengizinkan, terpaksa aku minggat sendirian.”
Boh-thian menjadi terharu, katanya, “Ting-ting Tong-tong, kau
sungguh sangat baik terhadapku.”
Si nona sangat girang, sahutnya dengan tertawa, “Semalam
kau rikuh untuk mengatakan, mengapa sekarang kau tidak
rikuh lagi?”
“Kau sendiri yang mengatakan bahwa kita adalah suami-istri,
tidak perlu rikuh-rikuh dan malu-malu,” kata Boh-thian dengan
tertawa.
Muka si Ting Tong kembali bersemu merah.
Pada saat itulah terdengar di luar suara Ciok Jing sedang
berseru, “Ini uang sewa kamar dan rekening makanan!”
Habis itu lantas terdengar suara berdetaknya kaki kuda,
rupanya Ciok Jing suami-istri telah berangkat meninggalkan
hotel.
“Apakah kau tahu di mana letak Ka-hin-hu?” tanya Boh-thian
kepada si Ting Tong.
“Ka-hin-hu adalah tempat yang besar, masakah tidak tahu?”
sahut si nona dengan tertawa.
“Ayah-ibuku hendak pergi ke sana untuk mencari seorang yang
bernama Nyo Kong, sebentar biarlah kita menyusul ke sana
saja,” kata Boh-thian. Agaknya ia pun merasa berat untuk
berpisah dengan si nona jelita yang baru saja bersua kembali.
Karena keterangan Boh-thian itu, tiba-tiba Ting Tong mendapat
akal, “Dia tidak kenal jalanan ke Ka-hin-hu yang terletak di
jurusan tenggara sana, biarlah nanti aku mengajaknya
berangkat ke arah timur laut supaya makin lama makin jauh
berpisah dengan ayah-ibunya, dengan demikian tentu tidak
khawatir akan bertemu lagi di tengah jalan.”
Lantaran hatinya senang, dengan sendirinya mukanya yang
memang ayu itu bertambah cantik menggiurkan.
Boh-thian sampai terkesima memandangi anak dara itu.
“Mengapa kau memandang aku sedemikian rupa? Memangnya
baru saja kenal?” Ting Tong menggoda dengan tertawa.
“Ting-ting Tong-tong, kau... kau sungguh sangat enak
dipandang, jauh lebih bagus daripada ibuku,” ujar Boh-thian.
Si nona mengikik tawa, sahutnya, “Engkoh Thian, kau pun
sangat bagus, jauh lebih bagus daripada kakekku.”
Habis berkata ia lantas terbahak-bahak.
Begitulah kedua muda-mudi itu bicara dan bersenda gurau,
akhirnya Boh-thian tetap teringat kepada ayah-ibunya,
katanya, “Bilamana aku tidak diketemukan ayah dan ibu,
mereka tentu akan khawatir. Marilah sekarang juga kita
menyusul mereka.”
“Baiklah,” sahut Ting Tong. “Engkau benar-benar putra yang
berbakti.”
Segera mereka pun membereskan rekening hotel dan lantas
berangkat bersama.
Sudah tentu pengurus dan pelayan hotel dibuat terheran-heran
ketika melihat Ciok Boh-thian yang datangnya diketahui
bersama Ciok Jing suami-istri, kini tahu-tahu keluar bersama
dari kamar si nona cantik yang semula datang sendirian. Maka
gegerlah suasana hotel itu ramai membicarakan kejadian itu,
ada yang membumbu-bumbui dengan kata-kata kotor dan
cabul, ada pula yang kagum kepada rezeki Ciok Boh-thian yang
dianggapnya kejatuhan bidadari dari langit....
Sesudah meninggalkan Liong-ki-tin itu, Ting Tong lantas
mengajak Boh-thian ke jurusan timur. Beberapa li kemudian,
sampailah mereka di suatu persimpangan jalan cabang tiga.
Tanpa pikir si Ting Tong lantas mengambil jurusan timur laut.
Karena percaya si nona pasti kenal jalanan, maka tanpa curiga
Boh-thian mengikut saja. Katanya, “Ayah-ibuku menunggang
kuda bagus, bilamana mereka tidak berhenti mengaso di
tengah jalan terang kita tidak dapat menyusul mereka.”
“Setiba di rumah keluarga Nyo di Ka-hin-hu dengan sendirinya
akan bertemu,” ujar Ting Tong dengan tersenyum. “Ayahibumu
sudah kenyang makan asam-garam, memangnya kau
khawatir mereka akan kesasar?”
“Ayah dan ibu sudah menjelajahi hampir seluruh jagat,
masakah mereka bisa kesasar?” sahut Boh-thian dengan
tertawa.
Begitulah sepanjang jalan mereka bicara dan bergurau dengan
gembira ria. Sejak berkumpul dengan ayah-ibunya dan hanya
mendapat petunjuk-petunjuk, maka sekarang Boh-thian sudah
jauh lebih paham tentang seluk-beluk orang hidup.
Melihat tingkah laku ketolol-tololan sang kekasih telah banyak
berkurang, diam-diam si Ting Tong sangat girang. Pikirnya,
“Sesudah menderita sakit parah, banyak kejadian-kejadian di
masa lampau telah dia lupakan. Asalkan aku menceritakannya
kembali hal-hal itu, tentu dia takkan lupa lagi.”
Maka sepanjang jalan ia sengaja menceritakan kejadiankejadian
di dunia persilatan, tentang peraturan-peraturan
Kangouw, soal hati manusia yang baik dan jahat dan macammacam
lagi.
Sewaktu tengah hari, sampailah mereka di suatu kota kecil.
Mereka mendapatkan sebuah rumah makan untuk mengaso
dan tangsel perut.
Ketika masuk ke ruangan rumah makan itu, terlihat tiga buah
meja besar di bagian tengah sudah penuh diduduki tetamu.
Terpaksa mereka mengambil sebuah meja kecil di pojok
ruangan.
Rumah makan itu tidak terlalu besar, si pelayan sedang sibuk
menyiapkan daharan bagi tamu-tamu yang berada pada tiga
meja besar itu sehingga tidak sempat mengurusi kedatangan
Boh-thian berdua.
Ting Tong melihat di antara tamu-tamu yang mengelilingi
meja-meja besar terdapat tiga orang wanita yang usianya
boleh dikata tidak muda lagi, dengan sendirinya juga tak dapat
disebut cantik. Orang-orang itu semuanya membawa senjata,
logat mereka adalah orang-orang daerah Liau-tang. Mereka
sedang makan-minum secara bebas.
“Sobat-sobat Kangouw ini kalau bukan orang-orang dari
piaukiok (perusahaan pengawalan) tentu adalah jago-jago
kalangan lok-lim (kaum begal dan sebagainya),” demikian pikir
si Ting Tong.
Ia lihat Boh-thian juga sedang memandang ke arah tamu-tamu
di meja besar itu, tiba-tiba terpikir pula olehnya, “Semoga aku
senantiasa berada bersama Engkoh Thian dan makan bersatu
meja seperti sekarang ini, maka bahagialah selama hidupku
ini.”
Begitulah, karena rasa bahagianya itu, maka meski pelayan
terlambat meladeninya juga tidak menimbulkan rasa
marahnya.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar ada orang berseru di luar,
“Aha, bagus, bagus! Ada arak dan ada daging, memangnya
kakek sudah sangat lapar!”
Boh-thian merasa suara orang sudah dikenalnya. Benar saja,
segera tertampak seorang tua telah melangkah masuk.
Ternyata adalah Ting Put-si.
“Wah, celaka!” diam-diam Boh-thian mengeluh. Cepat ia
berpaling ke arah lain agar tidak dilihat orang tua itu.
Si Ting Tong juga lantas membisikinya, “Wah, aku punya
cekkong (mbah cilik), jangan kau pandang dia, biar aku
menyaru dahulu.”
Dan tanpa menunggu jawaban Boh-thian segera ia mengeluyur
ke ruangan belakang.
Bab 33. Kembali Ciok Boh-thian Membikin Keok Ting Putsi
Sesudah masuk, Ting Put-si melihat meja-meja sudah penuh
tetamu, hanya di meja Ciok Boh-thian masih ada tempat duduk
yang lowong, tapi di atas meja belum terdapat daharan apaapa,
maka tak disir olehnya. Sebaliknya ia lantas duduk di atas
bangku panjang pada meja yang tengah, waktu ia mendesak
sedikit, kontan seorang laki-laki yang duduk lebih dulu di atas
bangku itu terdesak ke ujung.
Keruan laki-laki itu menjadi gusar, sekuatnya ia pun mendesak
kembali. Ia pikir berapa kuat tenaga kakek loyo ini, hanya
sedikit desak saja pasti akan membuatnya mencelat keluar
pintu.
Tak terduga baru saja badannya kontak dengan tubuh Ting
Put-si, seketika timbul suatu kekuatan yang mahadahsyat dan
mendesaknya kembali sehingga dia sendiri yang terpental.
Untunglah Ting Put-si keburu menariknya sambil berkata,
“Jangan sungkan-sungkan, marilah duduk bersama!”
Karena tarikan Ting Put-si barulah laki-laki itu tidak jatuh
tersungkur. Seketika mukanya merah padam dan tidak tahu
apa yang harus diperbuatnya lagi.
Ting Put-si lantas berkata pula, “Hayo, silakan, silakan! Jangan
sungkan-sungkan, silakan!”
Lalu mangkuk besar yang berisi arak lantas diangkatnya terus
ditenggak hingga habis. Menyusul ia lantas ambil sumpit bekas
pakai si lelaki tadi dan menyumpit sepotong daging terus
dimakannya dengan nikmat. Kelakuannya itu seakan-akan
dialah tuan rumahnya yang sedang menjamu tamu.
Tiada seorang pun di antara tetamu itu yang kenal Ting Put-si,
tapi lwekang si lelaki tadi terhitung paling kuat di antara
mereka, karena desakannya tadi lelaki itu hampir-hampir saja
mencelat dan jatuh, maka dapatlah dibayangkan si kakek loyo
ini tentu bukan orang sembarangan. Kiranya lelaki yang
didesak Ting Put-si tadi adalah Hoan It-hui dari Ho-hou-kau di
Kwantang.
Sambil menikmati daharannya, seperti tidak sengaja Ting Putsi
menatap seorang laki-laki yang duduk di sebelahnya dan
sedang melotot padanya, pinggang lelaki itu terlibat sebatang
“kiu-ciat-nui-pian” (ruyung lemas beruas sembilan). Mendadak
ia menegur, “Hei, bocah, dari golongan mana kau? Mengapa
kau pun menggunakan kiu-ciat-pian?”
“Cayhe Hong Liang, ketua Jing-liong-bun di Kimciu,” sahut lakilaki
itu dengan suara lantang, “Numpang tanya Locianpwe,
apakah Cayhe tidak boleh menggunakan kiu-ciat-pian?”
Saat itu si Ting Tong sudah menyamar sebagai pelayan dan
telah keluar lagi, mukanya dipoles dengan hangus, tangannya
juga penuh hangus, ketika dia meraba muka Ciok Boh-thian,
kontan muka Boh-thian juga penuh hangus hitam, kedua
muda-mudi saling pandang dengan geli.
Tiba-tiba terdengar Ting Put-si bergelak tertawa, katanya,
“Hahaha! Masakah Yaya melarang orang menggunakan kiuciat-
pian?”
Dan ketika tangannya meraba ke pinggang sendiri dan ditarik
kembali, “sret”, tahu-tahu tangannya juga sudah memegang
sebatang ruyung lemas. Ujung ruyung berbentuk kepala naga,
badan ruyung bercahaya kemilauan berhiaskan emas putih dan
batu permata, bila ruyung itu bergerak, terpancarlah sinar
gemerlapan yang menyilaukan mata.
Diam-diam semua orang terperanjat. “Kiranya dia sendiri juga
menggunakan kiu-ciat-pian?” demikian pikir mereka.
Sementara itu Ting Put-si telah berkata pula, “Bocah ingusan
yang tidak punya kepandaian apa-apa juga berani membawabawa
kiu-ciat-pian segala, bila bertempur dengan orang tentu
lebih banyak kalah daripada menang dan orang tentu akan
memandang rendah kepada setiap pemain kiu-ciat-pian.
Memang sudah lama Yaya mendengar di daerah Kimciu
terdapat sekawanan yang mengaku Jing-liong-bun segala,
keparat, katanya turun-temurun kalian juga memakai kiu-ciatpian.
Maka sudah lama aku ingin membunuh habis segenap
keluargamu, cuma saja daerah Kwantang terlalu dingin, Yaya
malas datang ke sana buat bunuh orang. Sekarang kebetulan
pergoki kau bocah ini di sini, nah, tidak lekas kau membunuh
diri mau tunggu apa lagi?”
Baru sekarang Hong Liang paham duduknya perkara. Kiranya
kakek ini bersenjatakan kiu-ciat-pian, maka orang lain dilarang
menggunakan senjata yang serupa. Hal ini benar-benar terlalu
aneh dan sewenang-wenang.
Sebelum Hong Liang memberi jawaban, sekonyong-konyong
bergemalah suara seorang di meja sebelah kiri sana, “Hm,
untung juga kau bocah tua ini tidak menggunakan golok!”
Waktu Ting Put-si memandang ke arah pembicara itu,
terlihatlah orang itu bermuka lebar dan penuh berewok
pendek. Segera ia tanya, “Jika aku menggunakan golok, lantas
bagaimana katamu?”
“Sebab yayamu juga menggunakan golok, kalau menuruti
logika kau bocah tua yang semena-mena ini, bukankah Yaya
juga akan kau bunuh?” sahut lelaki berewok. “Tapi seumpama
kau mampu membunuh Yaya, di dunia ini masih beribu-ribu
dan berlaksa-laksa orang yang memakai golok, apakah kau
mampu membunuh habis mereka?”
Habis berkata, “sret”, ia melolos goloknya dari pinggang terus
ditancapkan ke atas meja.
Golok itu berwarna emas lembayung, punggung golok tebal
dan mata golok tipis, pada pangkal gagang golok tergantung
seuntai kain sutra warna ungu. Waktu golok itu menancap di
atas meja, bergetarlah mangkuk piring yang berada di atas
meja sehingga mengeluarkan suara, nyata sekali golok itu
sangat berat dan tenaga pemakainya juga sangat kuat.
Kiranya lelaki berewok itu adalah Lu Cing-peng berjuluk Cikim-
to (Si Golok Emas Lembayung), ketua Gway-to-bun
(Golongan Golok Kilat) dari Tiang-pek-san.
“Cret”, mendadak Ting Put-si menyimpan kembali ruyungnya,
ketika sebelah tangannya menjulur, tahu-tahu golok yang
terselip di pinggang si lelaki yang berada di sebelahnya telah
dicabut olehnya, lalu serunya, “Baik, anggap Yaya memang
bersenjatakan golok, lantas bagaimana? Tapi, wah, keliru!
Kurang ajar!.... Yaya berjuluk ‘Ce-jit-put-ko-si’, sekarang di sini
ada 11 bocah keparat yang bergolok, ditambah lagi pemakai
ruyung ini, terpaksa Yaya harus membagi dan membunuh
selama tiga hari....”
Golok adalah senjata yang sangat umum, maka di antaranya
orang-orang Kwantang itu memang ada 11 orang yang
membawa golok. Mereka menjadi terkejut menyaksikan
kecekatan Ting Put-si merebut golok itu, tanpa merasa mereka
sama meraba goloknya sendiri dan siap bertempur. Ketika
mendengar si kakek mengaku berjuluk “Ce-jit-put-ko-si” atau
satu hari tidak lebih dari empat, beberapa orang di antaranya
sampai berseru, “Ha, dia... dia adalah Ting Put-si!”
“Ya, hari ini Yaya belum pernah membunuh orang maka
dapatlah aku membunuh empat bangsat cilik, nah, siapakah di
antara kalian yang ingin mampus?” demikian Ting Put-si
berseru sambil tertawa. “Hayo lekas laporkan nama kalian! Jika
tidak kecuali bocah bersenjata ruyung ini asal kalian mau
menjura sepuluh kali dan minta ampun kepada Yaya, maka
boleh juga jiwa kalian diampuni.”
Tapi lantas terdengarlah suara tertawa dingin di sana-sini,
empat orang serentak berbangkit dan melangkah keluar rumah
makan itu mereka lantas berdiri sejajar di depan pintu. Selain
Hong Liang, Hoan It-hui, Lu Cing-peng, orang keempat adalah
seorang wanita setengah umur.
Wanita itu tidak bersenjata, begitu sudah berdiri di luar pintu,
segera ia singkap kedua sayap kun (gaun panjang) dan diikat
pada ikat pinggangnya, maka tertampaklah dua baris pisau
kecil yang gemerlapan di bagian pinggangnya. Pisau itu
panjangnya cuma belasan senti, sedikitnya ada 30 batang
lebih, secara rajin terselip pada seutas sabuk bersulam yang
terikat di pinggang.
Sedangkan senjata Hoan It-hui adalah sepasang boan-koan-pit,
dengan suara lantang ia membuka suara, “Cayhe adalah Liautang-
ho (Burung Ho dari Liautang) Hoan It-hui, ketua Ho-pitbun,
bersama-sama dengan ketua Jing-liong-bun, saudara
Hong Liang; ketua Gway-to-bun, saudara Lu Cing-peng dan
Hui-hong-to (Pisau Belalang Terbang) Ko Sam-niocu dari Hanbwe-
ceng. Keempat golongan kami dari Kwantang ini
selamanya tiada permusuhan apa-apa dengan Ting-loyacu, tapi
entah sebab apa Ting-loyacu telah sengaja menghina dan
mengolok-olok kami, haraplah sudi memberi penjelasan?”
Ting Put-si tidak menjawab, sebaliknya ia sengaja mengamatamati
Ko Sam-niocu dengan kepala miring-miring ke sini dan
meleng-meleng ke sana seperti lagaknya anak kecil mengincar
boneka. Kemudian ia berkata, “Kurang! Kurang cantik!”
Melihat lagak Ting Put-si itu sudah tentu semua orang tahu
yang dimaksudkannya “kurang cantik” itu adalah Ko Samniocu.
Dasar watak Ko Sam-niocu memang sangat keras,
kepandaiannya juga memang tinggi, ayahnya, bapak
mertuanya dan gurunya, semuanya cukup ternama dan
berpengaruh di dunia persilatan Kwantang, Han-bwe-ceng
mereka juga terkenal suatu perkampungan yang kaya raya
dengan sawah-ladang, perkebunan dan peternakan yang subur.
Sebab itulah biarpun dia sudah janda, tapi sangat terkenal di
Kwantang. Apalagi pada masa mudanya dia pun tersohor
sangat cantik, walaupun sekarang sudah setengah umur juga
masih belum hilang seluruh kecantikannya itu. Keruan ia
menjadi murka mendengar hinaan Ting Put-si itu. Terus saja ia
berteriak, “Ting Put-si, keluarlah kau!”
Dengan acuh tak acuh Ting Put-si melangkah keluar rumah
makan itu. Tanyanya, “Apakah kalian berempat ini yang ingin
mampus?”
Sekonyong-konyong sinar putih berkilauan, lima batang pisau
terbang telah menyambar tiba dari berbagai jurusan. Cepat
sekali datangnya pisau-pisau terbang itu, meski pisau-pisau itu
sangat pendek, tapi desiran angin yang timbul dari sambaran
pisau-pisau itu tidak kalah kerasnya daripada angin sambaran
golok atau pedang.
“Pisaunya bagus! Orangnya tidak cantik!” bentak Ting Put-si.
Berbareng tangan kanan lantas menarik keluar kiu-ciat-pian, di
mana cahaya kuning berkelebat, empat pisau musuh lantas
tersampuk jatuh. Dalam pada itu pisau kelima telah
menyambar ke mukanya, dia lantas pamerkan sekalian
kepandaiannya, begitu mulut terbuka ujung pisau itu lantas
tergigit.
Hong Liang, Hoan It-hui dan Lu Cing-peng terperanjat. Tapi
serentak mereka lantas menerjang maju.
Cepat Ting Put-si menghindarkan bacokan golok Lu Cing-peng,
berbareng kakinya menendang pergelangan tangan Hoan It-hui
untuk memaksanya menarik kembali boan-koan-pitnya.
Sedangkan kiu-ciat-pian yang diputarnya berbalik digunakan
untuk melibat ruyung Hong Liang.
Akan tetapi sebelumnya Hong Liang sudah siap sedia, ia tahu si
kakek lawannya ini tidaklah empuk, maka begitu ruyung Ting
Put-si menyambar tiba segera ia menyendal ruyungnya sendiri
sehingga batang ruyung melurus lempeng laksana tombak
terus ditusukkan ke dada musuh.
“Boleh juga, bocah keparat ini!” puji Ting Put-si sambil
mengulur tangan kanan untuk menarik ujung ruyung lawan.
Hong Liang terkejut dan cepat menarik kembali senjatanya.
Tapi lengan Ting Put-si masih tetap menjulur maju. Untunglah
pada saat itu golok Lu Cing-peng lantas menebas sehingga Ting
Put-si terpaksa menarik kembali tangannya. Dan dari sebelah
lain Ko Sam-niocu juga telah menyambitkan sebilah pisau.
Begitulah karena dikerubut orang empat, mau tak mau Ting
Put-si tak berani mengolok-olok lagi, Dengan penuh tenaga ia
putar ruyungnya untuk menjaga diri. Baru sekarang dia
mengetahui bahwa kepandaian orang-orang Liautang itu
ternyata tidak rendah, jika satu lawan satu memang tidak ada
artinya, tapi satu dikeroyok empat, betapa pun ia agak
kerepotan juga.
Ciok Boh-thian dan Ting Tong ikut menyaksikan pertarungan
itu bercampur dengan orang banyak. Sesudah beberapa puluh
jurus, tertampak Lu Cing-peng dan Hoan It-hui serempak
menyerang maju. Waktu Ting Put-si mengayun ruyungnya
untuk memaksa mundur kedua lawan itu, pada saat itulah kiuciat-
pian Hong Liang lantas menyabet ke atas kepala Ting Putsi.
Buru-buru Ting Put-si miringkan kepalanya, tapi hampir pada
saat yang sama dua bilah pisau terbang Ko Sam-niocu juga
telah menyambar tiba. Dalam seribu kerepotannya itu lekaslekas
Ting Put-si mendoyongkan tubuhnya ke belakang, dua
bilah pisau itu menyerempet lewat di tepi tenggorokannya,
hanya selisih beberapa senti saja tentu lehernya sudah bocor.
Walaupun begitu tidak urung sebagian kecil jenggot Ting Put-si
yang sudah putih beruban itu juga terpapas sehingga benangbenang
perak itu bertebaran jatuh.
“Hui-to (pisau terbang) yang bagus!” demikian belasan orangorang
Kwantang yang menonton di depan pintu memberi
sorakan kepada Ko Sam-niocu.
Diam-diam Ting Put-si juga mengakui kelihaian senjata rahasia
janda Kwantang itu. Ia pikir kalau tidak menggunakan
serangan mematikan, bukan mustahil dirinya yang bakal
kecundang.
Segera ia putar ruyungnya dengan lebih kencang, di tengah
berkelebatnya bayangan ruyung ia selingi pula dengan kim-najiu-
hoat dengan tangan lain. Ruyung digunakan menyerang
jarak jauh, yang berani dekat segera dicakar dan dicengkeram
dengan tangan kiri, dengan demikian Lu Cing-peng dan Hoan
It-hui terpaksa harus menghindar dan tidak berani mendekat
lagi.
Melihat Ting Put-si memainkan kim-na-jiu, yang paling senang
adalah Ciok Boh-thian. Maklum, dahulu ketika di atas perahu
Ting Put-si pernah mengajar ilmu menangkap dan
mencengkeram itu kepadanya, cuma waktu itu
pengetahuannya dalam teori-teori ilmu silat sangatlah terbatas,
apa yang diajarkan Ting Put-si itu hanya ditelannya mentahmentah
dan cuma diingatnya di dalam hati saja, tapi tidak
mampu mempraktikkannya. Tapi sekarang dia telah mendapat
petunjuk-petunjuk ilmu silat dari ayah-ibunya, banyak pula
mendapat petunjuk-petunjuk ilmu silat yang berharga, dengan
sendirinya benaknya yang tadinya bebal lantas terbuka. Ia
merasa sangat senang dan cocok dengan setiap jurus serangan
Ting Put-si baik mencengkeram, mencakar, memegang,
menarik dan gaya-gaya serangan lain.
Sampai pada suatu saat menentukan, mendadak tangan kiri
Ting Put-si merangsang ke pundak Lu Cing-peng. Cepat Cingpeng
memutar balik goloknya untuk menebas lengan lawan.
Boh-thian terkejut. Ia tahu apabila tebasan Lu Cing-peng itu
diteruskan, tangan Ting Put-si tentu akan berubah menampar
dan pasti akan kena mukanya, menyusul tangannya akan
menyambar ke bawah untuk merampas goloknya. Tamparan
Ting Put-si itu tentu akan membikin kepala Lu Cing-peng pecah
berantakan. Maka tanpa lagi pikir lagi Boh-thian lantas berseru,
“Awas, dia akan pukul mukamu!”
Karena lwekangnya sangat kuat, maka suaranya itu dapat
didengar setiap orang walaupun di tengah suasana
pertempuran yang ramai. Sebagai jago silat terkemuka dengan
sendirinya Lu Cing-peng mendengar juga seruan Ciok BohKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
thian itu. Seketika ia tersadar dan cepat membuang golok dan
menjatuhkan diri ke bawah. Walaupun cukup cepat dia
menghindar, tidak urung terserempet juga angin tamparan
Ting Put-si sehingga mukanya terasa panas pedas.
Sesudah bergelindingan beberapa meter jauhnya barulah Lu
Cing-peng melompat bangun dengan hati berdebar-debar.
Untunglah ada orang berseru memperingatkan, kalau tidak
jiwanya pasti sudah melayang di bawah pukulan lawan.
Tapi dengan menyingkirnya Lu Cing-peng, Hoan It-hui menjadi
payah menghadapi Ting Put-si, berulang-ulang ia diberondong
dengan serangan-serangan berbahaya. Cepat Cing-peng
berseru, “Ambilkan golok!”
Segera seorang anak buahnya melemparkan sebatang golok,
begitu sambar golok itu serentak Lu Cing-peng menerjang
maju lagi. Tiba-tiba dilihatnya ruyung Ting Put-si sedang
berlibatan dengan ruyung Hong Liang, sekonyong-konyong
tubuh Hong Liang terseret terus ditumbukkan kepada golok Lu
Cing-peng yang sedang membacok itu. Terpaksa Cing-peng
memutar balik goloknya.
“Awas, orang she Hoan! Lehermu akan dicengkeram!”
mendadak Boh-thian berteriak.
Hoan It-hui terkejut, tanpa pikir ia lantas tegakkan boan-koanpit
untuk melindungi tenggorokannya sendiri. Benar juga, saat
itu kelima jari Ting Put-si sudah mencakar tiba, “cret”, lehernya
keserempet dan meninggalkan lima jalur lecet berdarah.
Berturut-turut Boh-thian berseru dan menyelamatkan jiwa dua
orang, keruan para jago Kwantang itu merasa sangat terima
kasih. Mereka melihat muka penggembor itu terpoles hangus
hitam, terang muka aslinya tidak ingin dikenali orang.
Sebaliknya Ting Put-si menjadi murka, kontan ia memaki,
“Kurang ajar! Anak anjing siapa itu yang membacot di sini?
Kalau berani boleh majulah untuk menempur Yaya!”
“Wah, dia... dia telah mengenali kita?” kata Boh-thian kepada
si Ting Tong sambil menjulurkan lidah.
“Habis siapa yang suruh kau buka mulut?” omel Ting Tong.
“Tapi dia mengatakan anak anjing siapa, mungkin dia belum
tahu siapa dirimu.”
Dalam pada itu kelima orang itu kembali sudah bertempur pula
dengan lebih sengit. Ting Put-si buru-buru ingin tahu siapa
orang yang berseru membantu lawannya itu, maka ia
menyerang semakin gencar dengan jurus-jurus mematikan.
Tapi berulang-ulang Ciok Boh-thian berseru tepat pada
waktunya sehingga Lu Cing-peng tertolong pula dua kali, Hoan
It-hui empat kali dan Hong Liang tiga kali.
Pada satu kali mendadak Ting Put-si menggunakan serangan
berisiko, sekonyong-konyong ia meloncat ke atas terus
menubruk ke arah Ko Sam-niocu. Untung juga Ciok Boh-thian
berseru memperingatkannya sehingga Ko Sam-niocu sempat
menghindar, tapi tidak urung pundak Ko Sam-niocu tersampuk
oleh jari Ting Put-si sehingga lengannya terasa kaku dan susah
bergerak lagi.
Namun janda Kwantang itu pun benar-benar sangat lihai,
meski tangan kanan tak bertenaga lagi, segera tangan kiri
mencabut pisau, “crit-crit” dua kali, dua batang pisau lantas
menyambar ke arah Ting Pit-si. Tapi sekali gulung dengan
ruyungnya, kedua pisau itu lantas terlibat terus disambitkan ke
arah Hong Liang dan Lu Cing-peng. Berbareng itu bahkan Ting
Put-si lantas meloncat ke atas, ruyungnya terus menyabet ke
bawah.
Cepat Ko Sam-niocu membungkuk tubuh untuk menghindar.
Tapi terdengarlah suara jeritan orang banyak, menyusul janda
Kwantang itu merasa kepalanya terangkat, tanpa kuasa
tubuhnya terus melayang ke atas.
Kiranya ujung ruyung Ting Put-si dengan tepat kena melilit
sanggulnya dan badannya ikut terangkat. Keruan Hong Liang
bertiga sangat terkejut. Dengan tenaga mereka berempat saja
masih kewalahan, apalagi kalau Ko Sam-niocu mengalami
nasib malang, sisa mereka bertiga tentu juga tak terhindar dari
bencana. Maka dengan mati-matian mereka lantas mengerubut
maju.
Mendadak mulut Ting Put-si meniup, “berrr”, pisau yang
tergigit olehnya tadi lantas disemburkan ke perut Ko Samniocu.
Sedangkan tangan kiri berbareng mencengkeram,
mencakar dan menjambret, dalam sekejap saja ia dapat
menghalau Hong Liang bertiga yang sekaligus menerjang maju
itu.
Saat itu tubuh Ko Sam-niocu masih terapung di udara,
sambaran pisau yang ditiup Ting Put-si itu betapa pun sukar
dihindarnya. “Selama ini entah sudah berapa banyak musuh
yang binasa di bawah pisau terbangku, tapi hari ini senjata
akan makan tuannya, akhirnya aku mesti mati di bawah
senjatanya sendiri,” begitulah terbayang olehnya sambil
memejamkan mata dan menanti ajal.
Sungguh di luar dugaan siapa pun juga, secara kebetulan dua
bilah pisau yang dilibat dan disambitkan Ting Put-si tadi
masing-masing telah kena disampuk mencelat oleh Hong Liang
dan Lu Cing-peng, dengan tepat pisau-pisau itu telah
menyambar lewat di samping Ciok Boh-thian. Melihat keadaan
sangat berbahaya, untuk bersuara memperingatkan juga tidak
keburu lagi, segera Boh-thian menangkap kedua batang pisau
itu dan secepat kilat lantas disambitkan.
Maka terdengarlah suara “trang” yang nyaring, sebilah pisau
itu tepat membentur jatuh pisau yang sedang menyambar ke
arah perut Ko Sam-niocu, pisau yang lain juga tepat memapas
putus rambutnya sehingga Ko Sam-niocu terjatuh ke bawah.
Tapi begitu kakinya menyentuh tanah, cepat ia melompat
mundur dengan berjumpalitan, Mukanya tampak pucat pasi
ketakutan. Penonton-penonton di samping juga terkesima
kaget, sampai lupa menyoraki kepandaian Ciok Boh-thian yang
luar biasa itu.
Apa yang terjadi ini pun sama sekali di luar dugaan Ting Put-si.
Cepat ia berpaling dan membentak, “Sobat dari manakah yang
selalu merintangi urusanku? Kalau berani hayolah maju untuk
bertempur 300 jurus dengan aku, terhitung kesatria macam
apa jika main sembunyi-sembunyi saja?”
Kedua mata Ting Put-si melotot ke arah Ciok Boh-thian, tapi
muka pemuda itu terpoles hangus, maka ia tidak mengenalnya.
Tapi mengapa orang ini tahu sebelumnya setiap jurus
serangannya, bahkan benturan kedua bilah pisau itu amat jitu
disertai tenaga yang amat kuat, maka teranglah lwekang
sendiri sekali-kali bukan tandingannya. Walaupun watak Ting
Put-si sangat tinggi hati, sekarang mau tak mau ia harus
prihatin dan tidak berani mengoceh semena-mena lagi seperti
tadi.
Sebaliknya perbuatan Ciok Boh-thian tadi hanya terdorong oleh
maksudnya ingin menyelamatkan orang, sekarang mendadak
dipelototi dan ditegur oleh Ting Put-si dengan garang, ia
menjadi lupa pada mukanya sendiri yang telah dipoles hangus
oleh si Ting Tong, maka dengan gugup ia menjawab, “Siyaya,
aku... aku inilah Si Lemper Raksasa!”
Untuk sejenak Ting Put-si tercengang, lalu ia berkata dan
terbahak-bahak, “Hahaaak! Kukira siapa, tak tahunya adalah...
adalah Si Lemper Raksasa!”
Ia pikir pantas bocah ini mengetahui setiap jurus seranganku di
muka, sebab tempo hari bocah ini pernah kuberi tahu tentang
ilmu silatku. Maka lenyaplah rasa jerinya tadi, segera ia
membentak Ciok Boh-thian, “Anak keparat, mengapa kau
berani ikut campur urusan yayamu?”
Kontan ruyungnya lantas menyabet ke atas kepala pemuda itu.
Tapi dengan enteng sekali Ciok Boh-thian dapat menghindar
dengan melompat ke samping. Ting Put-si tambah murka
karena serangannya luput, beruntun-runtun ia menyerang tiga
kali pula dan semuanya kena dielakkan oleh Ciok Boh-thian. Ia
tidak tahu bahwa dengan lwekang yang dimiliki Ciok Boh-thian
sekarang, berbagai jurus serangan ilmu silat dalam
pandangannya adalah terlalu sepele dan tiada artinya lagi.
Hanya saja ia masih takut kepada wibawa Ting Put-si, maka ia
hanya berkelit saja tanpa balas menyerang.
Diam-diam Ting Put-si merasa heran, ia merasa tidak pernah
mengajarkan ilmu permainan ruyung itu kepada Ciok Bohthian,
mengapa pemuda itu mampu mengikuti seranganserangannya
dengan baik tanpa cedera apa-apa?
Orang-orang lain yang menyaksikan Ciok Boh-thian berkelit ke
sini dan menghindar ke sana di bawah sambaran ruyung
menjadi khawatir. Sebaliknya Boh-thian sendiri berpikir,
“Kenapa Siyaya tidak menyerang aku dengan sungguhsungguh?
Apa barang kali dia cuma main-main dengan aku?”
Nyata ia tidak tahu bahwa sebenarnya Ting Put-si sudah
mengeluarkan segenap kepandaiannya, cuma kakek itu tetap
kalah setingkat sehingga ruyungnya tidak mampu mengenai
Boh-thian.
Ting Tong cukup kenal watak kakek-ciliknya itu, dalam keadaan
kalap bukan mustahil sekali-kali ruyungnya akan mengenai
sasarannya, maka ia menjadi khawatir dan cepat berseru,
“Engkoh Thian, lekas balas menyerang, lekas! Kalau tidak bisa
celaka kau!”
Mendengar suara jeritan nyaring anak dara keluar dari mulut
seorang “pelayan” rumah makan, keruan semua orang menjadi
heran dan memandang sekejap kepada si Ting Tong.
Sebaliknya Ciok Boh-thian tidak mau mengerti. Pikirnya,
“Mengapa bisa celaka? Ah, barangkali karena aku tidak balas
menyerang, maka Siyaya akan anggap aku telah menghinanya
sebagaimana halnya dahulu aku dianggap demikian oleh imamimam
Siang-jing-koan karena aku menempur mereka dengan
sebelah tangan terikat.”
Karena itu, segera ia menjulurkan kedua tangannya terus
mencengkeram ke dada Ting Put-si sekaligus, yang dia
gunakan adalah 13 jurus kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong
dahulu.
Sudah tentu Ting Put-si mengenal ilmu silat keluarganya
sendiri itu. Hanya saja ia menjadi kaget karena setiap jurus
serangan yang tampaknya sepele, tapi di tangan Ciok Bohthian
lantas menjadi suatu serangan dahsyat yang lihai. Keruan
ia bingung dan berteriak-teriak, “Ada setan! Ada setan!”
Beberapa jurus kemudian, dengan gerakan “Hong-bwe-jiu”
(Pegangan Ekor Burung Hong), tangan Boh-thian membalik dan
tepat ujung ruyung Ting Put-si kena dicengkeramnya.
Sekuatnya Ting Put-si membetot, tapi tidak bergoyah sedikit
pun. Ia menjadi kalap, dengan bentakan keras ia kerahkan
segenap tenaganya untuk menarik, saking nafsunya ia menarik
sehingga ruas tulang seluruh badannya sampai berbunyi
kratakan, nyata ia telah keluarkan seluruh tenaganya habishabisan.
Melihat si kakek sedemikian ngotot hendak menarik kembali
ruyungnya, Boh-thian membatin, “Jika kau tidak mau lepas
tangan, biarlah aku yang lepas saja!”
Waktu dia kendurkan pegangannya, maka terdengarlah suara
gedubrakan yang ramai gemuruh, tubuh Ting Put-si mencelat
ke belakang sehingga dinding rumah makan itu ambrol
tertumbuk, bahkan terus jatuh ke ruangan makan, meja kursi
dan mangkuk piring ikut terseruduk jatuh dan pecah
berantakan. Menyusul terdengarlah empat kali jeritan ngeri,
seorang anak buah Kwantang dan tiga orang penonton biasa
tahu-tahu telah jatuh tersungkur, punggung mereka terlihat
mengeluarkan darah.
Waktu Boh-thian memburu masuk, dilihatnya punggung
keempat orang itu ada yang terkena beling pecahan mangkuk,
ada yang terkena sumpit, tapi Ting Put-si sudah menghilang
entah ke mana perginya.
Kiranya Put-si tahu kalau dirinya bukan tandingan Ciok Bohthian
lagi, saking gusar dan gemasnya lantas dilampiaskannya
kepada orang-orang yang berada di dekatnya, sekenanya ia
sambar pecahan mangkuk dan sumpit untuk menimpuk empat
orang itu.
Ketika Hoan It-hui dan kawan-kawannya memeriksa korbankorban
yang jatuh itu, ternyata semuanya sudah tidak
bernyawa lagi. Kejut mereka tak terhingga mengingat
keganasan Ting Put-si itu. Coba kalau Ciok Boh-thian tidak
turun tangan menolong mereka, tentu saat ini mayat yang
menggeletak di situ bukanlah keempat orang itu, tapi adalah
mereka berempat ciangbunjin dari Kwantang.
Segera mereka menjura kepada Ciok Boh-thian dan
mengucapkan terima kasih, “Atas budi pertolongan Siauhiap
(pendekar kecil), selama hidup kami ini takkan lupa. Tolong
tanya siapakah nama Siauhiap yang mulia?”
Karena sudah mendapat petunjuk-petunjuk tentang tata krama
dari ibunya, segera Ciok Boh-thian membalas hormat dan
menjawab, “Ah, hanya sedikit urusan saja tidak perlu disebutsebut
lagi. Cayhe she Ciok dan bernama Tiong-giok.”
Lalu ia pun tanya nama dan asal usul keempat orang itu.
Hoan It-hui memperkenalkan dirinya bersama tiga kawannya,
kemudian ia tanya pula nama si Ting Tong.
“O, dia bernama Ting-ting Tong-tong, dia adalah... adalah....”
berulang-ulang ia mengucapkan “adalah”, mukanya menjadi
merah dan tidak dapat menyambung lagi.
Sebagai orang yang lebih tua dan berpengalaman luas, Hoan
It-hui tidak menanya lebih lanjut. Ia pikir sepasang muda-mudi
ini mengadakan perjalanan bersama, sudah tentu ada
hubungan istimewa di antara mereka yang serbasusah untuk
diceritakan kepada orang lain.
“Marilah kita pergi saja!” demikian si Ting Tong lantas
mengajak.
“Ya, baiklah!” sahut Boh-thian sambil mohon diri kepada semua
orang.
Berulang-ulang Hoan It-hui dan kawan-kawan menyatakan
terima kasih sambil mengantar. Mestinya mereka ingin tanya
pula dari golongan mana dan siapa perguruan Ciok Boh-thian,
tapi lihat si Ting Tong beberapa kali mengedipi pemuda itu,
nyata mereka tidak ingin diganggu lebih lama oleh orang lain,
terpaksa It-hui berkata pula, “Budi pertolongan Siauhiap tadi
entah cara bagaimana harus kami balas. Di kemudian hari asal
ada perintah dari Siauhiap, biarpun masuk lautan api atau
terjun ke dalam air mendidih tidak nanti akan kami tolak.”
Tiba-tiba Boh-thian teringat kepada tanya-jawab yang
diajarkan ibunya, segera ia berkata, “Kita adalah sesama orang
Bu-lim, seharusnya kita saling bantu membantu. Jika kalian
sedemikian sungkan, aku jadi rikuh sendiri. Hari ini kita dapat
bersahabat sungguh aku merasa senang tak terhingga.”
Memangnya Hoan It-hui merasa sangat berterima kasih karena
jiwanya ditolong pemuda itu, ternyata tutur kata jago muda
budiman ini juga sedemikian ramah tamahnya, keruan ia
tambah kagum dan merasa suka berkawan padanya.
Begitu pula si Ting Tong diam-diam merasa girang, “Coba,
siapa berani mengatakan Engkoh Thian adalah orang linglung,
bukankah pikirannya sekarang sudah semakin jernih.”
Karena hatinya senang, maka wajahnya lantas bersenyum
simpul. Tapi ia lupa mukanya telah dipoles dengan hangus,
dadanya memakai kain koki, tapi kupingnya memakai antinganting,
maka tampaknya menjadi ganjil dan lucu, diam-diam
semua orang tertawa geli.
Ko Sam-niocu lantas memegang lengan si Ting Tong, katanya
dengan tertawa, “Pelayan rumah makan secantik ini sungguh
jarang terdapat di kampung halaman kita. Nyata beda sekali
suasana di Kanglam ini dengan daerah Kwantang kita.”
Mendengar itu, semua orang mengakak tawa. Ting Tong juga
mengikik, pikirnya, “Ya, saking gugupnya karena melihat
sicekkong (kakek-cilik keempat) tadi aku lantas buru-buru
menyamar, sekarang aku menjadi lupa mencuci muka dan
melepaskan anting-antingku ini.”
Dalam pada itu kelihatan beberapa ratus penduduk setempat
sedang merubung dan menonton, agaknya mereka merasa jeri
karena pertarungan sengit tadi. Tapi Ting Put-si telah
membunuh tiga orang, tentu penduduk akan mengira mereka
ini adalah kaum perampok dan kawanan bandit yang biasa
mengganas. Maka Ko Sam-niocu lantas berkata pula, “Kita
jangan lama-lama tinggal di sini, marilah berangkat.”
Lalu ia pun berkata kepada Ting Tong, “Adik cilik, karena
penyamaranmu ini mungkin bajumu sendiri telah menjadi
kotor. Aku membawa cukup banyak pakaian, jika kau sudi
bolehlah mencari suatu tempat untuk cuci badan dan ganti
pakaianku. Sungguh gadis cantik seperti dirimu ini selamanya
belum pernah kulihat, kelak kalau kupulang ke Liautang tentu
engkau akan dapat kugunakan sebagai bahan cerita kepada
sanak keluargaku.”
Meski si Ting Tong adalah seorang dara yang nakal dan cerdik,
tapi sejak kecilnya mengikut kakeknya tinggal di tempat yang
terpencil dan berkelana di Kangouw, belum pernah ia
mendapat pujian sebagaimana diterimanya dari Ko Sam-niocu,
keruan ia menjadi senang sekali, sahutnya dengan tertawa,
“Ah, masakah aku cantik? Cici terlalu memuji saja!”
“Tapi... tapi pada malam... malam itu kau benar-benar telah
bersolek dengan sangat cantik,” tiba-tiba Boh-thian ikut
berkata. Maksudnya adalah malam pengantin mereka tempo
hari, cuma saja tidak jadi diucapkannya.
Ting Tong melototinya sambil menjulur lidah.
Ko Sam-niocu lantas memberi tanda dan berseru, “Marilah
berangkat!”
Beramai-ramai semua orang mengiakan. Segera mereka
membawakan kuda, lebih dulu Ciok Boh-thian dan si Ting Tong
disilakan naik ke atas kuda, habis itu berbondong-bondong
mereka pun mencemplak ke atas kuda masing-masing, dengan
membawa jenazah kawan mereka dari Liautang itu dengan
cepat mereka lantas meninggalkan tempat itu.
Bicara tentang usia maupun ilmu silat sebenarnya Hoan It-hui
adalah paling tinggi di antara rombongan mereka itu. Tapi
perjalanan mereka ke Tionggoan ini semua ongkos telah dipikul
oleh Ko Sam-niocu yang memang terkenal sangat tangan
terbuka, menggunakan uang seperti membuang sampah, maka
nyonya itu berbalik seakan-akan menjadi pemimpin dari
rombongan.
Kuda yang mereka tunggangi adalah kuda pilihan dari
Liautang, maka dalam waktu singkat saja beberapa puluh li
sudah mereka lalui. Diam-diam Boh-thian tanya kepada Ting
Tong, “Apakah jalan ini menuju ke Ka-hin-hu?”
Ting Tong mengangguk dengan tersenyum. Padahal letak Kahin-
hu itu di jurusan tenggara, sebaliknya mereka menuju ke
arah timur laut, jadi jarak mereka dengan Ciok Jing menjadi
semakin jauh.
Petangnya mereka sampai di Kota Peng-yang-ceh. Mereka
bermalam pada suatu hotel yang terbesar di kota ini. Kawan
mereka yang mati itu adalah dari Gway-to-bun, maka Lu Cingpeng
dan anak muridnya berkewajiban menyelesaikan
layonnya. Ko Sam-niocu sendiri membantu si Ting Tong
berdandan kembali sebagai wanita. Diam-diam Ko Sam-niocu
merasa heran, si Ting Tong berdandan sebagai nyonya muda,
tapi tingkah lakunya jelas masih anak perawan, sungguh ia
tidak habis mengerti akan hal ini.
Bab 34. Tonghong Heng, Ketua Tiang-lok-pang yang Asli
Malamnya jago-jago Liautang itu mengadakan perjamuan besar
bagi Ciok Boh-thian. Karena tidak ingin diketahui hubungan
dirinya dengan Ting Put-si, maka setiap kali Ko Sam-niocu,
Hoan It-hui dan lain-lain memancing tentang asal usul dan
perguruan dirinya dan Ciok Boh-thian selalu Ting Tong
berusaha membelokkan pokok pembicaraan.
Karena yang ditanya enggan menerangkan, maka para jago itu
pun tidak berani banyak bertanya lagi.
Melihat hubungan Ciok Boh-thian dan si Ting Tong penuh kasih
sayang, Ko Sam-niocu menduga tuan penolongnya dengan adik
perempuan cilik itu besar kemungkinan adalah sepasang
kekasih yang diam-diam minggat dari rumah. Jika demikian
halnya, adalah tidak tahu diri bila kita menghalangi malam
bahagia mereka ini.
Sebab itulah, sesudah cukup makan minum, Ko Sam-niocu
lantas memberi tanda kepada Hoan It-hui, masing-masing
menggandeng Ciok Boh-thian dan Ting Tong untuk diantarkan
ke kamar mereka.
Dengan tertawa penuh arti Hoan It-hui lantas mengundurkan
diri, sebaliknya Ko Sam-niocu masih menggoda, “Inkong, coba
lihatlah, pengantin perempuan kita ini cantik sekali bukan?”
Muka Boh-thian menjadi merah, ketika ia melirik si nona,
tertampak air muka si Ting Tong juga merah jengah, kerlingan
matanya menggetar sukma, jantung Boh-thian memukul keras.
Cepat kedua muda-mudi itu sama-sama melengos, keduanya
sama-sama mundur beberapa tindak dan berdiri bersandar
dinding.
Ko Sam-niocu mengekek tawa, katanya, “Malam pengantin
kalian ini janganlah disia-siakan, mengapa kalian mesti malumalu?”
Sambil berkata sebelah tangannya lantas menutupkan pintu
kamar dari luar, sebelah tangan yang lain lantas mengayun
pula, sebilah pisau terbang lantas menyambar sehingga batang
lilin yang menerangi kamar itu terpapas bagian atasnya.
Seketika keadaan di dalam kamar menjadi gelap gulita,
sedangkan pisau terbang itu masih terus melayang keluar
dengan menembus jendela.
“Selamat malam dan selamat tidur! Semoga kalian hidup
bahagia sampai hari tua!” demikian Ko Sam-niocu berseru
dengan tertawa. Lalu pintu kamar dirapatkannya.
Seperti halnya pada malam pengantin mereka dahulu,
sekarang Ciok Boh-thian dan si Ting Tong juga sama-sama
bingung dan malu-malu walaupun dalam hati mereka
sebenarnya seperti dikilik-kilik.
Sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, tiba-tiba terdengar
suara bentakan seorang di pelataran sana, “Huh, jika memang
jantan dan kesatria sejati, hayolah keluar untuk berkelahi
secara terang-terangan, mengapa mesti main menimpuk pisau
secara sembunyi-sembunyi, huh, bukankah ini perbuatan kaum
pengecut?”
Ciok Boh-thian dan Ting Tong menjadi geli. Si nona lantas
berlari mendekati Boh-thian, empat tangan saling
menggenggam dengan kencang. Nyata perbuatan Ko Samniocu
yang menimpukkan pisau untuk memadamkan api lilin
mereka tadi telah menimbulkan salah paham orang di luar itu.
Mestinya Ciok Boh-thian ingin bersuara memberi penjelasan,
tapi terasalah sebuah tangan yang halus dan lunak telah
mendekap mulutnya dan melarangnya bersuara. Segera ia pun
rangkul si Ting Tong ke dalam pelukan.
Dalam pada itu orang yang berada di pelataran itu masih terus
memaki, “Pisau terbang yang keji semacam ini besar
kemungkinan adalah perbuatan perempuan hina yang tidak
kenal malu dari Liautang itu. Hm, janda she Ko itu tidak becus
ilmu silatnya, paling-paling hanya pandai menyerang secara
menggelap dengan pisau karatan seperti ini. Jika kesatria dari
Tionggoan sini tentu tidak sudi menggunakan senjata rahasia
begini.”
Oleh karena timpukan pisaunya telah menimbulkan salah
paham orang, mestinya Ko Sam-niocu tidak ingin cekcok dan
membiarkan orang mencaci dan habis perkara. Siapa duga caci
maki orang itu secara terang-terangan telah dialamatkan
kepadanya, diam-diam ia heran, “Apakah orang itu mengenali
pisauku atau cuma omong sekenanya saja?”
Tapi caci maki orang itu ternyata semakin galak dan meluas,
katanya, “Huh, dasar Kwantang adalah daerah miskin, daerah
kere, di mana penuh kaum perampok dan kawanan bandit.
Bedebah, di sana ada seorang yang berjuluk ‘Ban-to-bun’ (Si
Golok Lambat), permainan goloknya lamban, pintarnya cuma
menggunakan obat tidur untuk membikin celaka orang. Ada
pula seorang yang bernama Jing-coa-pang (Gerombolan Ular
Hijau), pekerjaannya cuma mengemis dengan membawa ular.
Ada lagi seorang she Hoan pakai nama ‘It-hui-lok-cui’ (Sekali
Terbang Kecemplung ke Dalam Air), kemahirannya adalah
menggunakan dua batang kayu pencukit tahi, haha, sungguh
menggelikan!”
Keruan gembar-gembor orang di pelataran itu membuat jagojago
Liautang di dalam hotel menjadi gusar. Mereka tahu orang
sengaja mengolok-olok dan menantang kepada mereka.
Segera Lu Cing-peng menjinjing goloknya dan menerjang ke
pelataran. Maka tertampaklah seorang laki-laki pendek kecil
sedang mencak-mencak, mencaci maki dengan tak terhingga
senangnya.
“Hai, sobat,” segera Lu Cing-peng membentak, “apa
maksudmu menggembar-gembor tak keruan di sini?!”
“Apa maksudku?” orang itu menjawab. “Asal aku melihat muka
orang dari Liautang aku lantas merasa muak dan ingin
kupenggal kepalanya untuk digantung di atas tiang sana.”
“O, bagus! Ini dia kepala orang Liautang berada di sini, boleh
coba kau memenggalnya!” seru Lu Cing-peng, berbareng ia
terus melompat ke samping orang itu, golok Ci-kim-to bekerja,
kontan ia menebas ke pinggang orang.
Orang itu menjerit, tahu-tahu Ci-kim-to telah menebasnya
menjadi dua sebatas pinggang. Badan bagian atas itu sampai
mencelat dua-tiga meter jauhnya dan darah memenuhi
pelataran.
Sementara itu Hoan It-hui, Hong Liang, Ko Sam-niocu, dan
lain-lain telah berdiri di sekeliling pelataran dan sedang
menonton, mungkin mereka takkan terkejut seperti sekarang
apabila lelaki pendek kecil itu mengeluarkan ilmu silatnya yang
hebat dan aneh atau sekalipun Lu Cing-peng yang tertebas
menjadi dua, sungguh sama sekali tak terduga oleh mereka
bahwa hanya dengan sekali tebas saja dan tanpa mengadakan
perlawanan, lelaki yang galak di mulut itu ternyata sudah
terbunuh mati. Keruan Lu Cing-peng sendiri juga ternganga
kaget karena lawannya ternyata tidak mahir ilmu silat sedikit
pun.
Dan selagi semua orang saling pandang dengan bingung itu,
tiba-tiba di atas atap rumah ada suara orang berkata dengan
nada dingin, “Bagus sekali! Sungguh kepandaian yang hebat!
Lu-tayhiap dari Gway-to-bun di Liautang dengan sekali tebas
telah membikin pelayan hotel terputus menjadi dua potong!”
Waktu semua orang mendongak dan memandang ke atas,
maka tertampaklah seorang dengan jubah warna kelabu
sedang berdiri di atas rumah sambil bertolak pinggang.
Melihat itu sadarlah semua orang bahwa orang yang dibunuh
oleh Lu Cing-peng barusan kiranya adalah pelayan hotel yang
telah disuruh oleh orang tak dikenal itu untuk sengaja mencari
perkara kepada jago-jago Liautang.
Tanpa bicara lagi tangan Ko Sam-niocu lantas bekerja “crit-critcrit”
tiga kali, tiga batang pisau terbang terus menyambar ke
atas. Namun dengan cepat sekali orang itu telah tangkap
sebilah pisau terbang terus melompat ke samping sehingga dua
bilah pisau yang lain juga terhindar.
Lalu dengan tertawa orang itu berseru, “Atas kedatangan Sutay-
mui-pay dari Kwantang, kami akan menunggunya dengan
hormat di tengah hutan siong yang terletak 12 li di utara kota
ini, jika kalian tidak berani datang juga tidak menjadi soal.”
Dan sebelum Hoan It-hui dan lain-lain menjawab, cepat orang
itu lantas melompat turun ke sana terus menghilang dalam
kegelapan.
Untuk sejenak semua orang terdiam. Kemudian berkatalah Ko
Sam-niocu, “Kita akan pergi atau tidak?”
“Tak peduli siapa adanya pihak lawan, sekali mereka sudah
menantang, mau tak mau kita harus menerimanya,” ujar Hoan
It-hui.
“Benar,” tukas Ko Sam-niocu. “Betapa pun kita harus
mempertahankan martabat dan nama Su-tay-mui-pay dari
kalangan persilatan di Kwantang.”
Lalu ia mendekati jendela kamar Ciok Boh-thian dan berseru,
“Ciok-inkong, adik perempuan cilik, kami ada janji dengan
orang dan terpaksa harus berangkat dulu, biarlah besok saja
kita bertemu pula di kota sebelah depan sana.”
Setelah merandek dan tidak mendapat jawaban Ciok Bohthian,
segera ia menyambung pula, “Di tempat ini sudah terjadi
perkara jiwa, tentu akan timbul kesukaran, maka ada lebih baik
Inkong berdua juga lekas berangkat saja daripada tersangkut
dalam perkara ini.”
Dia tidak langsung minta Ciok Boh-thian dan Ting Tong ikut
hadir dalam pertemuan mereka nanti, maklum siang harinya
jiwa mereka baru saja ditolong oleh Ciok Boh-thian, kalau
sekarang mereka mengajaknya pula akan berarti pemuda itu
seakan-akan telah dijadikan pengawal mereka, hal ini tentu
akan sangat memerosotkan derajat jago-jago Su-tay-mui-pay
dari Kwantang.
Namun segala gerak-gerik di pelataran ini telah cukup jelas
didengar oleh Ciok Boh-thian dan si Ting Tong. Dengan bisikKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
bisik Boh-thian telah tanya Ting Tong, “Bagaimana kita harus
berbuat?”
“Ya, toh tidak dapat tinggal terlalu lama lagi di sini, terpaksa
kita harus mengikut di belakang mereka untuk menonton,” ujar
Ting Tong sambil menghela napas gegetun. Maklumlah, sebab
dengan demikian maka malam yang bahagia bagi mereka
berarti akan dilalui dengan sia-sia pula.
Namun Ciok Boh-thian ternyata tidak berpikir dan tidak
merasakan apa-apa tentang malam pengantin segala, katanya
pula, “Entah siapakah pihak lawan mereka itu, apakah tidak
mungkin adalah siyaya-mu?”
“Aku pun tidak tahu,” sahut Ting Tong. “Biarlah kita jangan
perlihatkan diri saja, boleh jadi siyaya-ku yang akan mereka
hadapi.”
“Wah, jika demikian tentu bisa runyam,” seru Boh-thian
dengan khawatir. “Le... lebih baik aku tidak ikut pergi saja.”
“Tolol,” omel Ting Tong. “Jika betul Siyaya yang akan mereka
hadapi, kan kita dapat mengeluyur pergi secara diam-diam?
Sekarang ilmu silatmu sudah begini tinggi, Siyaya juga tidak
mampu membikin susah lagi padamu. Aku tidak khawatir, kau
sendiri malah takut.”
Tengah bicara, terdengarlah suara derapan kuda yang ramai,
jago-jago Kwantang itu beramai-ramai sudah meninggalkan
hotel. Terdengar Ko Sam-niocu berteriak kepada pengurus
hotel, “Aku meninggalkan 210 tahil perak di sini, yang sepuluh
tahil adalah biaya-biaya tinggal kami, sedangkan 200 tahil
yang lain adalah ganti rugi dan ongkos penguburan si pelayan
yang mati itu. Pembunuhnya adalah begal dari Soatang yang
bernama Ong Tay-hou, janganlah kalian merembet perkara ini
kepada orang lain.”
Boh-thian menjadi heran, ia tanya si Ting Tong dengan suara
lirih, “Siapakah Ong Tay-hou itu?”
“Tolol! Itu kan nama palsu, agar besok dalam laporan kepada
yang berwajib ada cukup alasannya,” kata Ting Tong.
Mereka lantas keluar juga dan melihat dua ekor kuda tertambat
di muka hotel, segera mereka mencemplak ke atas kuda dan
meninggalkan hotel itu. Walaupun tahu telah terjadi
pembunuhan di dalam hotel itu, tapi siapakah di antara
penghuni-hotel yang berani keluar untuk menegur mereka?
Begitulah Boh-thian dan Ting Tong lantas mengintil rombongan
jago-jago Kwantang itu dari jauh. Kira-kira belasan li jauhnya,
benar juga di depan sana terbentang sebuah hutan siong yang
lebat.
Dari jauh terdengar Hoan It-hui telah berseru dengan suara
lantang, “Entah sobat dari kalangan mana tadi telah
mengundang kami, maka sekarang orang-orang Han-bweceng,
Gway-to-bun, Jing-liong-bun ,dan Ho-hou-kau sudah
berada di sini dan mohon bertemu!”
Dalam kalangan Kangouw terdapat semboyan yang
mengatakan “Hong-lim-bok-jip” (Bila Ketemu Hutan Janganlah
Masuk), apalagi dalam malam gelap, siapa tahu kalau di dalam
hutan itu sudah disediakan perangkap bagi mereka? Sebab
itulah jago-jago Kwantang itu lantas berhenti di depan hutan
dan menyapa.
“Marilah kita sembunyi di semak-semak sana, coba lihat dulu
apakah Siyaya atau bukan?” kata Ting Tong kepada Boh-thian.
Kedua orang lantas melompat turun dari kuda mereka, dengan
merunduk mereka lantas sembunyi di belakang sepotong batu
besar yang sekelilingnya tumbuh rumput yang cukup lebat.
Ketika mendengar suara kaki kuda, Hoan It-hui dan kawankawannya
sudah tahu bahwa Boh-thian berdua jadi mengikut di
belakang mereka. Maka sekarang mereka pun tidak menyapa
pemuda itu, mereka memusatkan perhatian ke arah hutan.
Empat pemimpin berdiri paling depan, belasan anak murid
mereka berbaris beberapa meter di belakang mereka. Akan
tetapi keadaan ternyata sunyi senyap, sedikit pun tiada
jawaban apa-apa.
Malam itu bulan sudah menyerong ke barat dan agak guram,
wajah semua orang menjadi agak kepucat-pucatan tersorot
cahaya rembulan itu, perasaan mereka rada tegang.
Selang agak lama, tiba-tiba terdengar suara suitan di dalam
hutan, menyusul dari sebelah kiri dan kanan lantas berlari
keluar sebaris laki-laki berseragam hitam, kedua barisan yang
berjumlah ratusan orang itu lantas berputar ke belakang
sehingga jago-jago Kwantang itu akhirnya terkurung di tengah.
Sesudah itu, dari dalam hutan kembali keluar sepuluh orang
laki-laki seragam hitam pula, serentak kesepuluh orang ini
lantas berdiri secara berjajar.
Ciok Boh-thian bersuara heran perlahan di tempat
sembunyinya. Kiranya kesepuluh orang ini telah dikenalnya
semua. Mereka bukan lain daripada para hiangcu Lwe-go-tong
dan wakilnya dari Tiang-lok-pang. Bi Heng-ya, Tan Tiong-ci,
Tian Hui dan lain-lain juga termasuk di antara kesepuluh orang
itu.
Dan sesudah kesepuluh orang itu sudah berdiri di tempatnya,
lalu keluar lagi seorang dari dalam hutan, siapa lagi dia kalau
bukan “Tio-jiu-seng-jun” Pwe Hay-ciok.
Lebih dulu tabib she Pwe itu batuk-batuk beberapa kali, lalu
membuka suara, “Para pemimpin Su-tay-mui-pay dari
Kwantang telah sudi berkunjung kemari, kami... huk, huk,
tidak berani menunggu di markas, tapi sengaja datang
menyambut ke sini. Hanya saja... huk, huk,... hanya saja
kedatangan kalian agak terlambat, sungguh membikin para
saudara kami merasa tidak sabar lagi.”
Mendengar pembicaraannya diseling dengan terbatuk-batuk,
maka Hoan It-hui lantas tahu tokoh di hadapannya ini pasti
Pwe Hay-ciok yang termasyhur di dunia persilatan itu. Tapi ia
merasa lega malah setelah mengetahui bahwa pihak lawan
ternyata adalah Tiang-lok-pang yang justru menjadi tujuan
perjalanan mereka ini. Ia pikir kebetulan juga dapat bertemu
dan bertempur untuk menentukan mati atau hidup dengan
Tiang-lok-pang di tempat ini daripada tanpa sebab terlibat
dalam permusuhan dengan Ting Put-si yang gila-gilaan itu.
Maka cepat ia memberi hormat dan menjawab, “O, kiranya
Pwe-siansing yang telah jauh-jauh menyambut kedatangan
kami ini, sungguh kami sangat terima kasih. Cayhe adalah
Hoan It-hui dari Ho-hou-kau dan saudara ini adalah....”
begitulah ia lantas perkenalkan pula Lu Cing-peng, Hong Liang,
dan Ko Sam-niocu.
Melihat kedua pihak itu bertemu secara ramah tamah, diamdiam
Boh-thian menyangka mereka tidak jadi berkelahi, segera
ia membisiki si Ting Tong, “Kiranya adalah kawan-kawan
sendiri semua, marilah kita keluar untuk menemui mereka.”
Namun si Ting Tong pantas mencegahnya, bisiknya perlahan,
“Nanti dulu, tunggulah sebentar lagi!”
Di sebelah sana terdengar Hoan It-hui mulai bicara pula, “Kami
sudah berjanji akan berkunjung ke tempat kalian pada hari
Tiong-yang-ce, tak terduga di tengah jalan kami telah
mengalami sedikit halangan sehingga datang agak terlambat,
untuk ini mohon Pwe-siansing dan para hiangcu sudilah
memaafkan.”
“Ah, tidak,” jawab Pwe-tayhu. “Cuma saja Ciok-pangcu sudah
cukup lama menunggu dan kalian belum juga berkunjung
datang, maka beliau telah berangkat pergi untuk urusan
penting yang lain. Beliau menyangka janji pertemuan kalian itu
tentu telah dibatalkan, maka tidak menunggu lebih lama lagi.”
Hoan It-hui tertegun atas keterangan itu. Katanya kemudian,
“Entah sekarang Ciok-enghiong pergi ke mana? Sesungguhnya
saja kedatangan kami dari jauh ke Tionggoan sini justru
berharap dapat berjumpa dengan Ciok-enghiong kalian. Jika
tidak dapat bertemu, maka... maka kami benar-benar sangat
kecewa.”
“Dasar orang goblok,” demikian si Ting Tong membisiki Bohthian.
“Dia berada bersama kau, makan-minum bersama satu
meja, tapi mengatakan tidak bertemu dengan kau dan sangat
mengecewakan mereka. Sungguh menertawakan.”
Dalam pada itu terdengar Hoan It-hui telah menyambung lagi,
“Kunjungan kami ini telah membawa juga sedikit hasil bumi
Kwantang, beberapa lembar kulit berbulu dan beberapa kati
jinsom untuk dipersembahkan kepada Ciok-enghiong, Pwesiansing,
dan para hiangcu yang terhormat. Sedikit oleh-oleh
yang tak berarti ini sudilah kiranya kalian terima dengan suka
hati.”
Habis bicara ia lantas memberi tanda, segera ada tiga orang
anak buahnya mendekati seekor kuda dan menurunkan tiga
bungkusan dari punggung binatang tunggangan itu. Lalu
dengan membungkuk hormat mereka mendekati Pwe Hay-ciok.
“Ah, kalian... kalian benar-benar sangat baik hati,” sahut Pwetayhu
dengan tertawa. “Atas... huk, huk,... atas hadiah kalian
yang berharga ini, sungguh kami sangat... sangat berterima
kasih, sangat berterima kasih!”
Lalu dari punggung sendiri Hoan It-hui lantas menanggalkan
juga sebuah bungkusan kecil, ia melangkah maju tiga tindak,
lalu bungkusan kecil itu dipersembahkan sambil berseru,
“Tonghong-pangcu dari Pang kalian dahulu pernah tinggal di
Kwantang serta mempunyai persahabatan yang akrab dengan
kami. Di sini adalah sebuah jinsom tua yang telah berbentuk
badan manusia, kalau dimakan akan dapat awet muda dan
panjang umur, jinsom ini terhitung benda yang jarang
terdapat, dengan ini khusus kupersembahkan kepada
Tonghong-toako.”
Dengan kedua tangannya dia persembahkan bungkusan kecil
itu, tapi sorot matanya menatap tajam kepada Pwe-tayhu.
Diam-diam Ciok Boh-thian sangat heran, ia tidak tahu dari
mana munculnya seorang Tonghong-pangcu lagi?
Sementara itu terdengar Pwe-tayhu sedang terbatuk-batuk
beberapa kali, lalu menghela napas pula dan menjawab,
“Pangcu kami yang dahulu, Tonghong-toako, pada... huk, huk,
pada beberapa tahun yang lalu telah mengalami sesuatu
urusan yang tidak menyenangkan, beliau menjadi putus asa
dan tidak mau mengurus soal organisasi lagi. Sebab itulah
segala urusan penting dari Pang kami telah diserahkan kepada
Ciok-pangcu yang sekarang. Tonghong toako sendiri lantas...
huk, lantas mengasingkan diri, sampai saat ini kami pun tidak
pernah menerima kabar beritanya dan sangat merindukan
beliau. Sekarang kalian membawakan oleh-oleh berharga ini,
tapi entah cara bagaimana harus menyampaikan kepada
beliau?”
“Entah Tonghong-toako bertirakat di mana dan sebab apakah
beliau sampai perlu mengasingkan diri?” tanya It-hui. Lapatlapat
nadanya sudah mengandung maksud menegur dan
mendesak.
Namun Pwe-tayhu menjawabnya dengan tersenyum, “Cayhe
cuma bawahan Tonghong-toako saja, pengetahuan kami atas
urusan pribadi beliau sangatlah terbatas dan tidak banyak. Jika
saudara Hoan dan para kawan mengaku adalah sahabat akrab
Tonghong-pangcu, maka kebetulan Cayhe ingin minta
petunjuk: sebab apakah di kala Tiang-lok-pang sedang
berkembang dengan pesat dan namanya lagi jaya, tapi
mendadak Tonghong-pangcu malah menyerahkan beban yang
amat berat ini kepada Ciok-pangcu?”
Tidak menjawab, sebaliknya malah bertanya. Dengan demikian
Hoan It-hui menjadi terdesak dan susah menjawabnya.
“Tentang ini, mungkin... mungkin....” It-hui menjawab dengan
tergagap-gagap dan tidak sanggup meneruskan.
Maka Pwe-tayhu lantas berkata pula, “Pada waktu Tonghongpangcu
menyerahkan kedudukan pangcu, saat itu para saudara
kami boleh dikata sama sekali tidak mengetahui seluk-beluk
tentang ilmu silat dan pribadi Ciok-pangcu yang sekarang.
Mengingat usianya masih sangat muda namanya juga tidak
menonjol di dunia persilatan, sekarang dia diharuskan
memimpin para kesatria, tentu saja menimbulkan ketidakadilan
dalam hati saudara-saudara kami. Namun sesudah Ciokpangcu
menduduki jabatannya, berturut-turut beliau lantas
melakukan beberapa pahala bagi Pang kami, hal ini
membuktikan bahwa pandangan Tonghong-pangcu benarbenar
sangat tajam dan pintar memilih penggantinya, bukan
saja ilmu silatnya memang tinggi, bahkan pengetahuannya
juga lain daripada yang lain.... Huk, huk, jika tidak demikian
masakah beliau dapat bersahabat akrab dengan kalian?
Hahahaha!”
Di balik kata-katanya, yang terakhir ini seakan-akan dia ingin
mengatakan bahwa kalau kalian anggap pilihan Tonghongpangcu
itu tidak tepat, maka kalian yang merupakan sahabat
pilihan Tonghong-pangcu pula tentu juga bukan manusia baikbaik
atau cuma kaum keroco saja.
“Pwe-tayhu,” mendadak Lu Cing-peng menimbrung, “berita
yang kami peroleh di Kwantang justru tidak demikian ini, sebab
itulah maka jauh-jauh kami sengaja datang kemari untuk
menyelidikinya.”
“Berita yang tersiar sejauh itu bukan mustahil telah sengaja
ditambah dan dibuat-buat,” ujar Pwe Hay-ciok. “Entah berita
bohong apakah yang telah kalian dengar?”
“Ya, sebelum jelas duduknya perkara yang sebenarnya
memang susah untuk dikatakan apakah berita ini cuma berita
bohong atau bukan,” kata Lu Cing-peng. “Dari seorang kawan
kami mendengar, katanya Tonghong-toako telah... telah....”
sampai di sini sorot matanya mendadak berapi-api, nadanya
lantas meninggi, “telah dibunuh oleh pengkhianat dalam Tianglok-
pang, kematiannya tidaklah jelas dan kedudukan pangcu
telah ditempati oleh seorang pemuda yang kejam, angkara
murka dan cabul pula perbuatannya. Apa yang kami dengar
dari kawan itu rasanya bukan bualan belaka. Mengingat
persahabatan kami dengan Tonghong-toako di masa lampau,
walaupun kami sadar baik ilmu silat maupun derajat kami
sesungguhnya tidak sesuai untuk ikut campur dalam urusan
Pang kalian, tapi demi untuk kepentingan Tonghong-toako,
terpaksa... terpaksa kami harus berlaku sembrono.”
“Benar, ucapan Lu-heng memang tepat, tindakan kalian ini
memanglah sembrono,” sambung Pwe Hay-ciok dengan
tertawa dingin.
Muka Lu Cing-peng menjadi panas, diam-diam ia mengakui
“Tio-jiu-seng-jun” Pwe Hay-ciok memang benar-benar pintar
dan cerdik. Segera ia menjawab dengan suara keras,
“Sebenarnya soal pengangkatan pangcu kalian, sebagai orang
luar kami tidak perlu ikut campur. Kedatangan kami jauh-jauh
dari Kwantang ini hanya ingin tanya kepada Pang kalian,
sesungguhnya Tonghong-toako saat ini masih hidup atau sudah
mati. Dia mengundurkan diri sebagai pangcu sesungguhnya
dilakukan secara sukarela atau atas paksaan orang lain?”
Pwe Hay-ciok tertawa dingin. Katanya, “Sekalipun orang she
Pwe ini tidak becus, tapi jelek-jelek juga ada sedikit nama di
dunia Kangouw, apa yang sudah kukatakan masakah pernah
dijilat kembali? Biarpun kalian menganggap aku berdusta, apa
mau dikata lagi, terpaksa orang she Pwe akan berdusta sampai
titik terakhir. Hehe, kalian adalah orang-orang yang ada nama
di dunia persilatan, dengan penuh semangat kalian suka
membela teman, hal ini sungguh harus dipuji dan dikagumi.
Tapi dalam urusan ini rasanya tidaklah tepat.”
Selamanya Ko Sam-niocu suka disanjung puji orang, keruan
sekarang ia menjadi gusar atas olok-olok Pwe Hay-ciok itu.
Dengan suara garang ia berkata, “Orang yang membunuh
Tonghong-toako bukan mustahil kau orang she Pwe inilah
biang keladinya. Kedatangan kami ke Tionggoan sini adalah
untuk menuntut balas bagi Tonghong-toako, memangnya kami
sudah bertekad takkan pulang dengan hidup. Seorang laki-laki
sejati berani berbuat harus berani bertanggung jawab,
mengapa kau bicara secara plintat-plintut? Nah, lebih baik kau
mengaku terus terang saja, sebenarnya Tonghong-toako sudah
meninggal atau masih hidup?”
Dengan acuh tak acuh Pwe Hay-ciok menjawab, “Orang she
Pwe ini sudah lama menderita sakit sehingga selalu tersiksa,
memangnya aku sudah merasa bosan hidup. Jika Ko Samniocu
mau bunuh, boleh silakan mulai saja.”
“Huh, percuma saja kau mengaku sebagai tokoh persilatan,
tapi main akal bulus terhadap nyonya besarmu ini,” damprat
Ko Sam-niocu. “Baiklah, jika kau tidak mengaku, bolehlah kau
panggil keluar itu anak jadah she Ciok, biar nyonya besar tanya
langsung kepadanya.”
Ia pikir Pwe Hay-ciok terlalu licik, untuk adu mulut rasanya
tidak bisa menang, main kekerasan juga mungkin kalah karena
jumlah lawan lebih banyak. Sebaliknya Ciok-pangcu itu hanya
seorang pemuda ingusan, andaikan nanti tidak mau bicara
terus terang, sedikitnya dari sikapnya dan gerak-geriknya akan
dapat diketemukan sedikit tanda-tanda yang meyakinkan.
Akan tetapi Tan Tiong-ci yang berdiri di sebelah Pwe Hay-ciok
itu mendadak menanggapi, “Untuk bicara terus terang kepada
Ko Sam-niocu, memang Ciok-pangcu kami biasanya paling
suka kepada kaum wanita, tapi yang dia pilih hanya anak dara
yang masih muda dan cantik, yang masih halus dan empuk.
Kalau beliau diminta menemui Ko Sam-niocu, hehe, kukira...
kukira....”
Ucapan Tan Tiong-ci itu bernada sangat bangor, secara terangterangan
ia mengolok-olok Ko Sam-niocu sudah tua lagi jelek
mukanya, maka Ciok-pangcu mereka tentu tidak mau
menemuinya.
Diam-diam si Ting Tong merasa geli, ia membisiki Boh-thian,
“Sebenarnya Ko-cici juga sangat cantik, jika menurut kata-kata
Tan-hiangcu tadi, apakah kau juga telah penujui dia?”
“Hus, jangan sembarangan mengoceh!” bentak Boh-thian
tertahan sambil memegang tangan si nona.
Dalam pada itu Ko Sam-niocu menjadi gusar, kontan ia telah
menyambitkan tiga bilah pisaunya ke arah Tan Tiong-ci.
Tapi Tan Tiong-ci dapat mengelakkannya semua, katanya
dengan tertawa, “Eh, apa gunanya kau penujui diriku?....”
begitulah mulutnya lantas mencerocos lagi dengan kata-kata
yang tidak senonoh.
Keruan Ko Sam-niocu semakin kalap, segera pisau terbangnya
menyambar lagi.
“Nanti dulu!” It-hui bermaksud melerai.
Akan tetapi sekali Ko Sam-niocu sudah murka, maka susahlah
dihentikan, sekaligus ia telah menyambitkan enam bilah pisau,
yang satu menyambar terlebih cepat daripada yang lain.
Keenam bilah pisau itu dapat dihindarkan oleh Tan Tiong-ci,
akan tetapi waktu pisau ketujuh menyambar tiba, “cret”, ia
tidak sempat mengelak, dengan tepat kaki kanan termakan,
seketika kaki Tan Tiong-ci sakit dan lemas sehingga berlutut.
“Huh, apa gunanya berlutut dan minta ampun?” demikian Ko
Sam-niocu balas mengejek.
Sekarang Tan Tiong-ci yang menjadi murka, ia cabut pisau
yang menancap di kakinya itu terus menerjang maju. Akan
tetapi Hong Liang telah putar ruyungnya dan menyabet
sehingga Tiong-ci terpaksa mundur lagi.
Tampaknya pertempuran total segera dapat terjadi, untunglah
pada saat itu mendadak Ciok Boh-thian lantas berseru, “Jangan
berkelahi! Jangan berkelahi! Kalian ingin bertemu dengan aku,
bukankah kalian sudah bertemu sekarang?”
Sembari bicara ia lantas keluar dari tempat sembunyinya
dengan gandeng tangan si Ting Tong, hanya beberapa kali
lompatan saja ia sudah berdiri di tengah-tengah orang banyak.
Serentak Tan Tiong-ci dan Hong Liang yang telah siap-siap
bertempur tadi lantas melompat mundur, segenap anggota
Tiang-lok-pang lantas bersorak gemuruh dan sama memberi
sembah hormat, “Pangcu sudah tiba!”
Keruan Hoan It-hui dan lain-lain sangat terkejut. Sebenarnya
dia merasa sangsi, tapi kalau melihat sikap anggota-anggota
Tiang-lok-pang yang sungguh-sungguh itu rasanya toh tidaklah
pura-pura. Lalu terpikir olehnya, “Ya, Inkong mengaku she
Ciok, usianya masih muda, ilmu silatnya sangat tinggi,
memangnya tidaklah mengherankan juga dia adalah Pangcu
Tiang-lok-pang, adalah salah kami sendiri yang tidak berpikir
sampai begini jauh.”
Ko Sam-niocu juga lantas menyapa, “Eh. Ciok... Ciok-inkong,
kiranya kau adalah... adalah Pangcu Tiang-lok-pang? Ai, kami
benar-benar terlalu sembrono. Tahu begini, masakah kami
berani tidak memercayai lagi?”
Boh-thian hanya tersenyum, katanya kepada Pwe Hay-ciok,
“Pwe-siansing, sungguh tidak nyana bahwa kita akan bertemu
di sini. Mereka ini adalah sahabatku semua, jangan kita saling
cekcok.”
Memangnya Pwe Hay-ciok juga sangat girang atas munculnya
Ciok Boh-thian, ia pun tiada permusuhan apa-apa dengan jagojago
Kwantang itu, segera ia memberi hormat dan menjawab,
“Pangcu sudah datang sendiri, maka segala sesuatu terserah
kepada kebijaksanaan Pangcu.”
“Sungguh kami tidak pernah menduga bahwa pangcu baru
Tiang-lok-pang kiranya adalah Inkong,” demikian Ko Samniocu
berkata. “Kami telah percaya kepada berita bohong yang
mengatakan Tonghong-toako dicelakai kaum pengkhianat,
makanya kami lantas mengadakan janji pertemuan dengan
Pang kalian. Tapi jika Pangcu baru ternyata adalah Inkong
adanya, dengan budi luhur Inkong ini tidaklah mungkin berbuat
sesuatu yang tidak pantas terhadap Tonghong-toako, kami
percaya pasti Tonghong-toako yang penujui Inkong karena
nyata-nyata berjiwa luhur dan berkepandaian tinggi, maka
beliau rela mengundurkan diri dan memberikan tempatnya
kepada tenaga muda. Cuma keadaan Tonghong-toako entah
baik-baik atau tidak?”
Ciok Boh-thian menjadi bingung untuk menjawabnya. Ia
berpaling dan coba bertanya kepada Pwe-tayhu, “Tonghong...
Tonghong-toako ini....”
“O, Tonghong-pangcu telah mengasingkan diri di pegunungan
sunyi, beliau tidak mau menemui tetamu dari mana pun juga,”
jawab Pwe Hay-ciok. “Ya, sayang, kalian yang penuh menaruh
perhatian atas diri beliau dan sengaja datang dari jauh,
mestinya memang harus bertemu dengan beliau.”
“Tadi ucapan Cayhe mungkin agak kasar, untuk mana haraplah
Pwe-siansing suka memberi maaf,” kata Hoan It-hui sambil
memberi hormat. Lalu sambungnya pula, “Hanya saja
hubungan, kami dengan Tonghong-toako boleh dikata lain
daripada yang lain, maka betapa pun juga kami harap dapatlah
bertemu sejenak dengan beliau, untuk ini mohon Inkong dan
Pwe-siansing sudi meluluskan. Walaupun Tonghong-toako
menyatakan tidak mau menemui orang luar, tapi kami ini
bukanlah orang luar.”
“Tempat tirakat Tonghong-toako itu entah jauh atau tidak?”
kata Boh-thian kepada Pwe Hay-ciok. “Sesungguhnya memang
sangat mengecewakan bila kedatangan Hoan-toako dan
kawan-kawannya dari tempat sejauh ini ternyata tidak dapat
bertemu dengan beliau.”
Pwe Hay-ciok menjadi serbasusah. Setiap ucapan sang pangcu
boleh dikata adalah perintah. Tapi apa yang terjadi di antara
persoalan pangcu lama dan baru tampaknya sudah dilupakan
seluruhnya olehnya, di hadapan orang banyak tidak leluasa
pula untuk mengingatkannya kembali. Terpaksa ia mengulur
tempo dan berkata, “Untuk ini seketika juga susah diterangkan.
Sementara ini silakan para tamu mampir dulu di markas kita
yang terletak tidak jauh dari sini, sambil minum sekadarnya
perlahan-lahan kita dapat membicarakannya lagi.”
“Markas kita terletak tidak jauh dari sini?” Boh-thian menegas
dengan heran.
Pwe-tayhu memandang sekejap kepada pemuda itu. “Penyakit
linglung Pangcu kembali kumat lagi?” pikirnya. Tapi ia pun
lantas menjawab, “Dari sini menuju ke timur laut, dengan
mengambil jalan singkat kita hanya perlu menempuh 50-an li
saja sudah dapat sampai di markas besar kita di Yangciu.”
Baru sekarang Boh-thian sadar telah disasarkan oleh si Ting
Tong. Waktu dia memandang si nona, si Ting Tong telah
menjawabnya dengan menjulurkan lidah dan tertawa.
Hoan It-hui dan kawan-kawannya memang ingin mencari tahu
di mana beradanya Tonghong Heng, maka mereka lantas
menerima baik undangan Pwe Hay-ciok.
Begitulah beramai-ramai mereka lantas berangkat ke jurusan
timur laut. Menjelang pagi mereka sudah sampai di markas
besar Tiang-lok-pang. Petugas-petugas penyambut tamu sibuk
melayani Hoan It-hui dan kawan-kawannya. Sedangkan Ciok
Boh-thian dan si Ting Tong lantas masuk ke ruangan dalam.
Melihat sang pangcu telah pulang, Si Kiam sangat girang dan
kejut pula ketika melihat beliau membawa pulang seorang
nona cantik. Pikirnya, “Baru saja kesehatannya sedikit pulih,
sekarang penyakit bangornya sudah kumat lagi. Tadinya kukira
dia akan berubah kelakuannya yang buruk ini, siapa duga dia
tetap demikian. Ya, memangnya kalau sifatnya itu dapat
berubah, tentu matahari akan muncul dari arah barat.”
Sesudah cuci muka dan baru saja Boh-thian minum teh,
terdengarlah Pwe Hay-ciok berseru di luar kamar, “Enci Si
Kiam, harap sampaikan kepada Pangcu bahwa Pwe Hay-ciok
mohon bertemu.”
Bab 35. Pek Ban-kiam Menerjang ke Sarang Tiang-lokpang
Tanpa menunggu laporan Si Kiam, segera Boh-thian keluar dan
berkata, “Pwe-siansing, memangnya aku ingin bicara dengan
kau. Sebenarnya bagaimana duduknya perkara tentang
Tonghong-pangcu?”
“Harap Pangcu ikut kemari,” sahut Pwe Hay-ciok, Ia membawa
Boh-thian menyusur taman dan sampailah di suatu gardu
pemandangan. Ia menunggu Boh-thian mengambil tempat
duduk, habis itu barulah dia sendiri pun berduduk. Lalu
katanya, “Sesudah Pangcu menderita sakit ini, jangan-jangan
telah melupakan semua kejadian di masa lampau?”
Boh-thian sendiri sudah mendengar pembicaraan ayah-ibunya
dan mengetahui sebabnya orang-orang Tiang-lok-pang
mengangkatnya menjadi pangcu sebenarnya tidak dengan
iktikad baik, tapi justru ingin memperalat dan mengorbankan
jiwanya demi keselamatan orang banyak di dalam Pang
mereka. Hanya saja selama ini Pwe Hay-ciok selalu ramah
tamah dan sangat menghormat padanya, di waktu dirinya
menderita sakit payah juga berkat pengobatannya yang tekun,
biar bagaimanapun juga orang tua itu telah banyak
mengurangi penderitaannya. Jika sekarang dirinya menegur
dengan terus terang, tentu akan membuatnya kikuk. Apalagi
kejadian-kejadian di masa dahulu memangnya dirinya juga
sudah lupa, untuk ini perlu juga mendapat keterangan yang
jelas.
Maka ia lantas menjawab, “Ya, benar! Harap Pwe-siansing sudi
menguraikannya dari awal sampai akhir sejelas-jelasnya.”
“Tonghong-pangcu yang dulu nama lengkapnya adalah
Tonghong Heng, berjuluk Pat-jiau-kim-liong (Si Naga Emas
Delapan Cakar), beliau adalah Pangcu punya susiok, apakah
Pangcu masih ingat?”
“Aku punya susiok?” Boh-thian menegas dengan heran.
“Mengapa... mengapa aku tidak ingat sedikit pun? Dari aliran
dan golongan manakah dia itu?”
“Tentang asal usul perguruan Tonghong-pangcu, karena kami
adalah kaum bawahan dan tidak pantas untuk tanya kepada
beliau,” sahut Pwe Hay-ciok. “Tiga tahun yang lalu, Pangcu
sendiri mendapat perintah Suhu....”
“Mendapat perintah Suhu? Siapa sih guruku?” tanya Boh-thian.
Hay-ciok menggeleng-geleng kepala. Katanya, “Penyakit
Pangcu ini benar-benar sangat parah, sampai-sampai gurunya
sendiri pun sudah terlupa. Tentang perguruan Pangcu, kami
sebagai bawahan juga tidak mengetahui. Tempo hari, itu Pek
Ban-kiam dari Swat-san-pay menuduh Pangcu adalah murid
pelarian dari Swat-san-pay mereka, hal ini pun membuat
Siokhe (bawahan) merasa heran.”
Sampai di sini ia lantas berhenti, agaknya mengharap agar
Boh-thian menyambungnya dan membeberkan asal usul
perguruannya sendiri.
Tapi Boh-thian cuma menerangkan, “Tentang guruku, aku
hanya pernah mengangkat Su-popo dari Kim-oh-pay sebagai
suhu, hal ini pun baru terjadi tidak lama berselang.”
Lalu ia ketok-ketok dahi sendiri karena apa yang diingatnya
selalu berbeda daripada apa yang dikatakan orang lain, hal
demikian ini membuatnya sangat kesal. Kemudian ia menanya
lagi, “Lalu bagaimana sesudah aku mendapat perintah dari
guruku?”
“Atas perintah guru Pangcu, maka Pangcu telah datang
menumpang kepada Tonghong-pangcu dan mohon
bimbingannya agar dapat menambah pengalaman. Tidak lama
kemudian Pang kita lantas terjadi suatu urusan penting, yaitu
mengenai medali tembaga tanda undangan Siang-sian dan
Hwat-ok Sucia. Tentang ini apakah Pangcu masih ingat?”
“Tentang medali dari Siang-sian dan Hwat-ok itu memang aku
mengetahui,” sahut Boh-thian, “tapi bagaimana dan apa yang
dirundingkan pada waktu itu, hal ini sedikit pun aku tidak ingat
lagi.”
“Begini, menurut tradisi Pang kita, setiap tahun satu kali kita
mesti mengadakan sidang pleno pada tanggal tiga bulan tiga,”
demikian Pwe Hay-ciok menjelaskan. “Pada hari itu berkumpul
para hiangcu dari pusat dan para thocu dari cabang-cabang di
berbagai tempat. Pada suatu sidang besar tiga tahun yang lalu
tiba-tiba ada kawan menyinggung tentang kemajuan Pang kita
yang pesat, lewat dua-tiga tahun lagi soal undangan medali
tembaga akan muncul pula di Kangouw, tatkala mana rasanya
Pang kita takkan terhindar daripada undangannya, lalu cara
bagaimana harus menghadapinya, ini harus dirundingkan
sekalian supaya tiba saatnya nanti tidak tergesa-gesa dan
bingung.”
“Ya, benar itu,” ujar Boh-thian sambil mengangguk. “Bila
medali tembaga rasul-rasul itu sudah disampaikan, kalau
Pangcu tidak mau terima dan berjanji akan hadir, maka
segenap anggota tentu akan ikut menjadi korban. Hal ini aku
sudah menyaksikan sendiri.”
“Pangcu telah menyaksikan sendiri?” tanya Hay-ciok terheranheran.
“Sesungguhnya saja aku bukan pangcu kalian,” kata Boh-thian.
“Cuma tentang Siang-sian dan Hwat-ok Sucia itu aku memang
telah menyaksikannya sendiri, yaitu ketika mereka membunuh
habis-habisan orang-orang Hui-hi-pang dan Tiat-cha-hwe.”
Tentang tertumpasnya Hui-hi-pang dan Tiat-cha-hwe lantaran
menolak untuk menerima medali tembaga, berita-berita itu
sudah lama didengar oleh orang-orang Tiang-lok-pang.
Pwe Hay-ciok menghela napas, lalu berkata pula, “Kita juga
sudah menduga akan tiba suatu hari nahas seperti kawankawan
Kangouw itu, sebab itulah hiangcu yang dahulu
mengemukakan persoalan ini sesungguhnya cukup beralasan.
Cuma saja Tonghong-pangcu menjadi gusar dan anggap
hiangcu she Ho itu sengaja menjangkitkan perasaan takut dan
mengeruhkan suasana, segera beliau memerintahkan Hohiangcu
itu ditahan. Ketika para kawan memohonkan ampun
bagi Ho-hiangcu, pada lahirnya Tonghong-pangcu menyatakan
baik, tapi pada malamnya Ho-hiangcu itu lantas dibunuh
olehnya, besok paginya diumumkan katanya Ho-hiangcu telan
membunuh diri karena takut kepada dosanya sendiri.”
“Mengapa beliau berbuat demikian?” tanya Boh-thian. “Ya,
mungkin Tonghong-pangcu ada permusuhan pribadi dengan
Ho-hiangcu itu, kesempatan itu lantas digunakan untuk
membunuhnya.”
“Tidak, tidak begitulah soalnya,” kata Pwe Hay-ciok sambil
menggeleng. “Alasan yang sesungguhnya adalah karena
Tonghong-pangcu tidak ingin orang lain mengungkat soal
medali tembaga itu.”
“O,” Boh-thian mengangguk dan pahamlah dia.
Hendaklah maklum bahwa sebenarnya dia mempunyai bakat
yang pintar, soalnya dia jarang bergaul sehingga seluk-beluk
orang hidup sama sekali asing baginya. Tapi akhir-akhir ini dia
telah berkumpul dengan Ting Tong, selama beberapa hari
berbicara dan tukar pikiran pula dengan Ciok Jing dan Bin Ju,
maka sekarang ia telah dapat meraba pikiran orang lain,
Pikirnya, “Rupanya Tonghong-pangcu sadar bila terima
undangan medali tembaga, maka berarti akan tamatlah
riwayatnya. Sebaliknya kalau tidak mau terima medali itu,
tentu segenap anggota akan ikut berkorban. Lantaran soal
yang serbamenyusahkan ini, maka beliau tidak mau soal sulit
itu disebut-sebut.”
Dalam pada itu Pwe Hay-ciok telah menyambung ceritanya,
“Sudah tentu para kawan mengetahui bahwa beliau sendiri
yang telah membunuh Ho-hiangcu. Dari perbuatannya ini para
kawan lantas dapat menarik kesimpulan bahwa kelak bila
medali tembaga itu disodorkan kepadanya, tentu beliau akan
menolak, tidak mungkin beliau rela mengorbankan diri sendiri
untuk keselamatan para kawan. Tatkala itu semua orang hanya
membatin saja, tapi tiada yang berani membuka suara. Pada
saat itulah, hanya engkau Pangcu yang telah tampil ke muka
dan menegur Tonghong-pangcu atau susiokmu itu.”
“Aku... aku yang tampil ke muka dan... dan menegurnya?”
Boh-thian menegas dengan terheran-heran.
“Benar!” sahut Hay-ciok. “Waktu itu dengan tegas Pangcu telah
berkata, ‘Susiok, sebagai seorang pangcu, hendaklah engkau
berpikir panjang demi kepentingan Pang kita di kemudian hari.
Hari munculnya Siang-sian dan Hwat-ok Sucia sebab tidak jauh
lagi, sebabnya Ho-hiangcu mengemukakan soal ini juga
mengingat kebaikan kita bersama, tapi Susiok telah
mendesaknya sehingga dia membunuh diri, hal ini mungkin
akan menimbulkan rasa penasaran para kawan.’ — Tonghongpangcu
menjadi gusar dan mendamprat engkau, ‘Anak kurang
ajar! Di tengah sidang ini masakah kau berani ikut bicara?
Akulah yang mendirikan Tiang-lok-pang, kalau mau runtuh
biarlah aku pula yang meruntuhkannya, orang lain tidak perlu
banyak bacot.’ — Ucapan Tonghong-pangcu itu lebih-lebih
menimbulkan rasa kurang puas para kawan. Tapi Pangcu
sendiri lantas berkata, ‘Susiok, engkau akan terima medali
tembaga atau tidak, akhirnya toh tetap akan mati, apa sih
bedanya? Jika engkau tidak mau terima, paling-paling jiwa
kawan-kawan yang setia ini akan ikut menjadi korban, cara
demikian apa manfaatnya bagimu? Maka ada lebih baik kalau
Susiok menerima medali secara kesatria sehingga segenap
anggota Pang kita pasti akan selamanya teringat kepada budi
kebaikanmu.’”
“Ya, benar juga kata-kata ini,” ujar Boh-thian sambil anggukangguk.
“Akan tetapi... akan tetapi, Pwe-siansing, aku merasa
tidak... tidak mahir bicara sebagus itu. Aku tidak mampu
mengucapkan kata-kata seindah itu.”
“Ah, mengapa Pangcu mesti merendah hati?” kata Hay-ciok
dengan tersenyum. “Soalnya Pangcu baru saja sembuh dari
sakit keras, maka daya ingatanmu belum lagi pulih. Kelak bila
kesehatanmu sudah pulih, tentang kepandaianmu berbicara
dan berdebat, jangankan segenap kawan kita, sekalipun tokohtokoh
Kangouw pada masa kini juga tiada seorang pun yang
dapat menandingi engkau.”
“Apa ya?” kata Boh-thian dengan setengah percaya dan
setengah ragu-ragu. “Lalu... lalu bagaimana sesudah aku
berkata begitu?”
“Seketika muka Tonghong-pangcu lantas merah padam,” tutur
Pwe Hay-ciok. “Beliau menggebrak meja dan berteriak-teriak,
‘Kurang ajar! Hayo, lekas... lekas ringkus bocah murtad ini!’ —
Tetapi meski dia membentak berulang-ulang, semua orang
hanya saling pandang belaka dan tiada seorang pun yang
bergerak. Keruan Tonghong-pangcu semakin murka, dia
berteriak-teriak, ‘Ha! Jadi kalian telah bersekongkol dengan
bocah ini dan hendak berontak padaku? Baik, kalian tidak mau
turut perintah, biarlah aku sendiri yang membinasakan bocah
keparat ini!’”
“Apakah para kawan tidak dapat mencegahnya?” tanya Bohthian.
“Sudah tentu semua orang tidak mau turut perintahnya, tapi
tetap tiada seorang pun yang berani bersuara,” kata Hay-ciok.
“Segera Tonghong-pangcu mengeluarkan senjatanya, Pat-jiauKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
hui-coa (Cengkeram Bercakar Delapan), kontan dia lantas
menyerang engkau, Pangcu. Tapi dengan cepat engkau sempat
menghindar. Berulang-ulang Tonghong-pangcu melancarkan
serangan mematikan, tapi satu per satu dapat dielakkan
olehmu, sebaliknya engkau tetap tidak balas menyerang.
Permainan cengkeram delapan cakar Tonghong-pangcu itu
terhitung suatu kepandaian tunggal di dunia persilatan, tapi
engkau mampu menghindarkan beberapa kali serangannya, hal
ini sudah boleh dikata sangat hebat, Saat itu Bi-hiangcu lantas
berseru, ‘Pangcu, sutitmu telah mengalah beberapa kali
seranganmu tanpa membalas, hal ini adalah karena dia
menghormati engkau sebagai pangcu dan susioknya, jika
engkau menyerang secara ganas lagi, tentu seluruh kesatria di
jagat ini akan anggap kau yang salah.’
“Tapi Tonghong-pangcu tambah murka, bentaknya, ‘Boleh kau
suruh dia balas menyerang saja! Memangnya kalian sudah
condong padanya, jika perlu bolehlah kalian maju semua dan
bunuhlah aku, angkatlah bocah ini sebagai pangcu, supaya
terlaksana maksud tujuan kalian!’ — Sambil memaki seranganserangannya
tidak pernah berhenti sehingga engkau berulangulang
terancam bahaya, tampaknya dengan segera jiwamu
akan melayang di bawah senjatanya.
“Pada saat itulah Tian-hiangcu telah berseru padamu,
‘Terimalah pedang ini, Saudara Ciok!’ — Berbareng dia lantas
melemparkan sebatang pedang padamu. Sesudah bersenjata
engkau mengalah tiga jurus lagi, lalu berkata, ‘Susiok, aku
sudah mengalah lebih 20 jurus, jika kau tetap mendesak,
janganlah menyalahkan aku berlaku kasar padamu.’ — Akan
tetapi dengan sinar mata yang buas Tonghong-pangcu
menjawab kau dengan serangan keji, mukamu segera hendak
dicakar dengan senjatanya.
“Para kawan menjadi penasaran dan berteriak-teriak
menganjurkan engkau membalas serangannya. Akhirnya
barulah engkau mengucapkan maaf, lalu melancarkan
serangan balasan. Pertarungan kalian menjadi sangat seru.
Kepandaian Tonghong-pangcu dan Pangcu adalah berasal dari
suatu perguruan, keruan para kawan susah membedakan siapa
yang lebih unggul.
“Namun sesudah sekian lamanya, akhirnya semua orang dapat
melihat jelas bahwa Pangcu engkau belum mengeluarkan
segenap tenaga dan terang masih mengalah padanya,
sebaliknya Tonghong-pangcu menyerang semakin kalap.
Akhirnya dengan sejurus yang menyerupai ‘Sun-cui-tui-ciu’
(Mendorong Perahu Menurut Arus) dapatlah engkau menusuk
pergelangan tangannya, hui-jiau terjatuh ke lantai, tapi engkau
tidak menyerang lebih jauh, sebaliknya lantas menarik senjata
dan melompat mundur malah.
“Dengan muka pucat Tonghong-pangcu terpaku di tempatnya,
sinar matanya menyapu ke muka para kawan satu per satu.
Keadaan sunyi senyap, tiada seorang pun yang membuka
suara. Selang agak lama barulah Tonghong-pangcu berkata
dengan nada iba, ‘Ya, baik, baik!’ — Lalu ia melangkah keluar
dengan cepat. Para kawan hanya menyaksikan kepergiannya
itu dan tetap tidak seorang pun yang bersuara.
“Dengan perginya Tonghong-pangcu itu, teranglah beliau
merasa malu untuk kembali lagi. Tapi Pang kita tidak boleh
tanpa pimpinan, maka beramai-ramai para kawan lantas
mengangkat engkau sebagai pangcu. Waktu itu dengan rendah
hati engkau berkata, ‘Aku tidak mempunyai kepandaian apaapa,
sebenarnya aku tidak berani menanggung kewajiban
seberat ini. Cuma saja mengingat dua-tiga tahun lagi akan
muncul pula soal medali tembaga, maka sementara ini biarlah
aku menjabat kedudukan ini, jika medali tembaga itu diantar
kemari, akulah yang akan menerimanya dengan baik untuk
menanggung segala akibatnya.’
“Mendengar pernyataanmu itu, serentak para kawan bersorak
gembira dan lantas menyembah padamu. Kepandaianmu tinggi
dan telah menundukkan Tonghong-pangcu, sekarang engkau
menyanggupi pula berkorban bagi orang banyak, budi
kebaikanmu itu sungguh tiada taranya. Para kawan merasa
tidak kecewa telah mendukung engkau sebagai pangcu.”
“O, makanya beberapa kali aku melancong keluar, kalian
menjadi panik dan khawatir kalau-kalau aku tidak pulang lagi,”
kata Boh-thian.
Muka Pwe Hay-ciok menjadi merah. Cepat ia berkata, “Kami
hanya khawatirkan keselamatan Pangcu. Selama ini walaupun
Pangcu agak keras terhadap para kawan, tapi budi kebaikan
Pangcu tetap membuat kami berterima kasih.”
“Pwe-siansing,” kata Boh-thian sesudah merenung sejenak,
“kejadian-kejadian di masa lampau aku sudah tidak ingat lagi.
Maka hendaklah kau jangan menutupi apa adanya, sebenarnya
aku pernah berbuat kesalahan-kesalahan atau tidak?”
“Dikatakan kesalahan, sebenarnya juga jamak,” ujar Pwe Hayciok
dengan tersenyum. “Usia Pangcu masih muda, tentu juga
agak romantis dan suka pelesir. Pula wanita-wanita itu
kebanyakan adalah sukarela, tidaklah banyak terjadi
pemaksaan. Nama Tiang-lok-pang kita memangnya tidak
terlalu disukai orang luar, andaikan terjadi apa-apa juga
dianggap sepele saja oleh para kawan.”
Diam-diam Boh-thian sangat mencela kepada dirinya sendiri. Ia
tahu ucapan Pwe Hay-ciok itu meski kedengaran soal sepele,
tapi jelas selama beberapa tahun ini dirinya pasti sudah banyak
melakukan perbuatan tidak senonoh, yaitu dalam hal main
perempuan. Akan tetapi sudah dipikir dan diingat kembali,
rasanya selain si Ting Tong toh dirinya tidak pernah
berhubungan dengan perempuan lain lagi.
“Pangcu,” Hay-ciok berkata pula, “Siokhe ingin mengemukakan
sesuatu yang agak menyinggung, entah Pangcu sudi
mendengarkan atau tidak?”
“O, ya, aku justru ingin mendapat petunjuk-petunjuk Pwesiansing
silakan bicara terus terang saja,” sahut Boh-thian
cepat.
“Bahwasanya Tiang-lok-pang terpaksa melakukan pekerjaanpekerjaan
gelap, hal ini memang susah dihindarkan, kalau
tidak daripada kita memperoleh pembiayaan sandang-pangan
bagi beberapa ribu anggota Pang kita? Memangnya kita juga
bukan kaum kesatria dari kalangan pek-to (golongan baik-baik)
sehingga tidak perlu patuh kepada adat peraturan mereka yang
tengik. Cuma saja mengenai putri atau istri bawahannya
sendiri, menurut pendapat Siokhe ada lebih baik Pangcu jangan
terlalu menggubrisnya agar... agar tidak menimbulkan
sengketa di antara saudara-saudara kita sendiri.”
Seketika muka Boh-thian merah jengah. Teringat olehnya pada
malam itu Tian-hiangcu telah berusaha membunuhnya dengan
menuduh dirinya telah mencemarkan kehormatan istri hiangcu
itu. Karena dirinya kena penyakit hilang ingatan, bukan
mustahil hal demikian itu memang betul terjadi, wah, lantas
bagaimana baiknya sekarang?
Dalam pada itu Pwe Hay-ciok telah berkata pula, “Tingkah laku
Ting Put-sam, Ting-losiansing itu rada aneh, ilmu silatnya juga
sangat tinggi, jika Pangcu berhubungan dengan cucu
perempuannya, kelak kalau Pangcu membuangnya lagi,
mungkin Ting-losiansing tidak mau terima dan hal ini berarti
akan menambah permusuhan....”
“Mana bisa aku membuangnya?” sela Boh-thian.
Hay-ciok tersenyum, katanya, “Di waktu Pangcu sedang
menyukai seorang nona sudah tentu Pangcu menganggapnya
sebagai jantung hati kesayangan. Cuma biasanya Pangcu tidak
bisa lama menyukai nona-nona itu. Tentang nona Ting, jika
Pangcu benar-benar suka padanya juga tidak menjadi soal, tapi
janganlah sekali-kali mengadakan upacara nikah segala supaya
tidak masuk perangkap Ting-losiansing itu.”
“Akan tetapi aku... aku sudah menikah dengan dia,” kata Bohthian
dengan rada tergagap.
“Ya, waktu itu penyakit Pangcu belum lagi sembuh, besar
kemungkinan dalam keadaan tak sadar Pangcu telah terjerat
oleh perangkap Ting Put-sam, hal ini pun tidak perlu dianggap,”
ujar Hay-ciok.
Boh-thian mengerut dahi dan merasa bingung untuk
menjawabnya.
Sampai di sini Hay-ciok merasa sudah cukup membicarakan
soal pribadi sang pangcu, kalau melampaui batas boleh jadi
akan mendatangkan rasa rikuh malah. Maka ia lantas
membelokkan pokok pembicaraan, katanya, “Su-tay-mui-pay
dari Kwantang telah datang kemari dengan garang sekali, tapi
begitu bertemu dengan Pangcu sikap mereka lantas lunak,
bahkan memanggil inkong tak habis-habis, hal ini menandakan
budi luhur dan wibawa Pangcu yang tiada bandingannya.”
Kiranya tentang Ciok Boh-thian menggempur lari Ting Put-si
serta menolong jiwa Ko Sam-niocu dan kawan-kawannya, di
tengah jalan jago-jago Kwantang itu sudah bercerita kepada
orang-orang Tiang-lok-pang, dan sudah tentu banyak dibumbubumbui.
Maka Pwe Hay-ciok berkata pula, “Meski ilmu silat orang-orang
itu selisih sangat jauh dibandingkan Pangcu, tapi di dunia
persilatan mereka pun tergolong tokoh-tokoh ternama. Mereka
telah utang budi kepada Pangcu, kesempatan ini dapat
digunakan untuk merangkul mereka. Jika nanti mereka
bertanya pula tentang Tonghong-pangcu, hendaklah Pangcu
menjawab bahwa Tonghong-pangcu sudah mengundurkan diri,
kejadian yang Siokhe ceritakan tadi tidaklah perlu
diberitahukan kepada mereka agar tidak menimbulkan hal-hal
yang tak diinginkan.”
“Ya, saran Pwe-siansing ini memang beralasan,” kata Boh-thian
sambil mengangguk.
Sesudah bicara sejenak pula, kemudian Pwe Hay-ciok
mengeluarkan sehelai daftar dan melaporkan tentang
keuangan organisasi, tentang mutasi petugas, tentang
penerimaan sumbangan dari pelabuhan atau dari gunung
mana.
Sudah tentu Ciok Boh-thian tidak paham tentang administrasi
segala, apalagi dia memang buta huruf, maka dia hanya
mengiakan saja atas laporan Pwe Hay-ciok itu.
Cuma sekarang lantas diketahuinya juga bahwa apa yang
dilakukan oleh Tiang-lok-pang kiranya adalah hal-hal yang
tidak halal, banyak diterima upeti dari kaum begal di berbagai
tempat, hakikatnya adalah persekongkolan dan membagi
rezeki. Hati Boh-thian merasa tidak enak, tapi tidak tahu cara
bagaimana harus bicara kepada Pwe Hay-ciok.
Malamnya diadakan perjamuan besar-besaran untuk
menghormati jago-jago dari Kwantang itu. Hoan It-hui, Ko
Sam-niocu, Hong Liang, dan Lu Cing-peng berempat duduk di
tempat yang terhormat dengan diiringi Ciok Boh-thian, Pwe
Hay-ciok, dan si Ting Tong.
Sesudah saling angkat gelas serta mengobrol hal-hal yang
biasa, kemudian Hoan It-hui berkata, “Dengan bakat Inkong
yang tinggi ini sehingga Tiang-lok-pang semakin berkembang
dan jaya, untuk ini Tonghong-toako tentu juga merasa sangat
senang.”
“Saat ini Tonghong-pangcu sendiri sedang menikmati
kehidupannya yang aman dan tenteram, beliau tidak mau ikut
campur lagi urusan-urusan dalam Pang, maka kami pun tidak
berani melaporkan sesuatu kepadanya,” kata Hay-ciok.
Dan baru Hoan It-hui ingin memancing lebih jauh untuk
mendapatkan keterangan tentang diri Tonghong Heng, tibatiba
wakil hiangcu dari Hou-beng-tong mendekati Pwe Hay-ciok
dengan tergesa-gesa dan membisiki apa-apa kepadanya. Lalu
Hay-ciok mengangguk dengan tersenyum. Kemudian ia
berpaling dan berkata kepada Ciok Boh-thian, “Harap Pangcu
maklum bahwa Swat-san-pay telah mengirim bala bantuan
kemari dengan maksud menolong kawan-kawan mereka. Di
luar dugaan mereka, bukannya berhasil menolong kawan
mereka, sebaliknya dua orang di antara penyatron baru itu
kembali diringkus kita lagi.”
“Ha, anak murid Swat-san-pay telah kita tawan?” Boh-thian
menegas dengan terkejut.
“Tempo hari sesudah Pangcu meninggalkan markas bersama
Pek Ban-kiam dari Swat-san-pay itu, Siokhe dan para kawan
merasa khawatir kalau-kalau Pangcu kena diingusi oleh orang
she Pek itu, maka menyusul para kawan lantas bergerak
serentak untuk mencari jejak Pangcu,” demikian Pwe Hay-ciok
menjawab tanpa menjelaskan ditawannya Ciok Boh-thian oleh
Pek Ban-kiam dahulu supaya tidak kehilangan muka di
hadapan jago-jago Kwantang itu, “Di tengah jalan kita telah
pergoki serombongan mereka di sini. Cuma sayang Pek Bankiam
itu cukup cerdik sehingga hanya ia sendiri yang berhasil
lolos.”
“Dan bagaimana dengan nona Hoa Ban-ci itu?” mendadak si
Ting Tong menimbrung.
“Dia sudah tertawan lebih dulu pada rombongan pertama,
tatkala mana nona Ting juga berada di sini, bukan?” sahut Hayciok.
“Pertama kali itu seluruhnya kita telah menawan tujuh
orang Swat-san-pay.”
Hoan It-hui dan kawan-kawannya terperanjat. Sungguh tak
terduga oleh mereka bahwa Swat-san-pay yang begitu tersohor
ternyata sudah dikalahkan habis-habisan oleh Tiang-lok-pang.
Maka Pwe Hay-ciok menyambung pula, “Ketika kita memeriksa
dan menanyakan jejak Pangcu kepada anak murid Swat-sanpay
itu, mereka sama mengaku bahwa pada malam itu juga
Pangcu telah meninggalkan kelenteng kecil itu, kemudian tidak
pernah bertemu lagi. Setelah yakin keadaan Pangcu tidak
kurang suatu apa pun, Siokhe dan para kawan barulah merasa
lega. Sekarang terserahlah kepada kebijaksanaan Pangcu cara
bagaimana akan memperlakukan orang-orang Swat-san-pay
itu.”
Diam-diam Boh-thian membatin, “Menurut cerita ayah-ibu,
katanya dahulu aku pernah berguru kepada Swat-san-pay dan
orang-orang Swat-san-pay ini masih terhitung paman guruku.
Sekarang mana boleh aku menahan mereka apalagi
menghukum mati mereka?”
Maka berkatalah Boh-thian, “Kukira di antara kita dan Swatsan-
pay telah terjadi sedikit salah paham, maka lebih baik...
lebih baik berkawan saja daripada mencari lawan. Pwesiansing,
kukira bebaskan mereka saja dan undang mereka ikut
makan minum sekalian, bagaimana pendapatmu?”
“Jika Pangcu anggap jalan ini adalah paling baik, nyata sekali
keluhuran budi Pangcu ini harus dipuji,” sahut Pwe Hay-ciok
dengan tertawa. Segera ia memberi perintah, “Bawalah kemari
orang-orang Swat-san-pay itu!”
Wakil hiangcu tadi mengiakan terus berlalu. Sejenak kemudian
empat anggota Tiang-lok-pang telah menggiring datang dua
lelaki berbaju putih. Tangan kedua orang itu terikat telikung,
baju mereka berlepotan darah, agaknya sebelum tertawan
mereka telah melawan mati-matian sehingga terluka.
“Lekas maju dan menyembah kepada Pangcu!” bentak wakil
hiangcu tadi.
Lelaki yang berusia lebih tua hanya mendelik saja. Sebaliknya
kawannya berumur 30-an itu lantas mencaci maki, “Sembah
apa? Jika berani bolehlah bunuh saja tuan besarmu ini! Kalian
kawanan bandit yang kejam ini adakalanya tentu akan
menerima ganjaran yang setimpal. Tunggulah kedatangan
guruku, Wi-tek Siansing, beliau akan mencincang kalian
sehingga hancur luluh untuk membalas dendam kami.”
“Dampratan Si-sute sangat tepat! Ya, makilah mereka, bandit
anjing! Maling yang tidak tahu malu!” demikian mendadak
suara seorang yang keras menanggapi dari luar.
Menyusul terdengarlah suara gemerencing nyaringnya rantai
besi makin mendekat.
Tertampaklah 20-an orang Swat-san-pay yang terborgol semua
telah memasuki ruang pendopo dengan bersitegang leher.
Kheng Ban-ciong, Houyan Ban-sian, Kwan Ban-lu, Kwa Bankin,
Ong Ban-jim, Hoa Ban-ci, semuanya termasuk di antara
tawanan-tawanan itu. Bahkan Ong Ban-ek yang memiliki
ginkang tertinggi sekarang juga ikut tertangkap.
Begitu masuk, Ong Ban-jim dan kawan-kawannya lantas
mencaci maki lebih keras lagi, ada pula di antaranya berteriak
murka, “Huh, dasar bangsat pengecut, hanya pandai main asap
pembius dan obat tidur, perbuatan demikian biasanya cuma
dilakukan oleh golongan maling ayam yang rendah!”
Mendengar itu. Hoan It-hui saling pandang sekejap dengan
kawan-kawannya. Pikir mereka jika apa yang dituduhkan
orang-orang Swat-san-pay itu benar, memang perbuatan
demikian itu bukanlah sesuatu yang gemilang walaupun
berhasil membekuk lawan-lawannya.
Rupanya Pwe Hay-ciok dapat menduga pikiran jago-jago
Kwantang itu, segera ia berbangkit. Katanya dengan tertawa,
“Ya, memang tempo hari kami telah menggunakan obat tidur,
hal ini bukanlah kami takut kepada kepandaian kalian, tapi
adalah mengingat hubungan Ciok-pangcu dengan perguruan
kalian, kalau sampai kami melukai kalian tentulah tidak baik.
Sekarang kalian bergembar-gembor, agaknya kalian merasa
penasaran karena telah tertawan. Baik begini saja, boleh kalian
maju satu per satu untuk coba-coba padaku, asal salah
seorang di antara kalian mampu bertahan sepuluh jurus saja,
maka Tiang-lok-pang kami boleh kalian anggap bangsat yang
rendah dan pengecut?”
Tempo hari dalam pertempuran di markas besar Tiang-lokpang
ini Pwe Hay-ciok telah memperlihatkan kepandaiannya
“Ngo-heng-liok-hap-ciang”, Kwa Ban-kin dan kawan-kawannya
tiada satu pun yang mampu melawannya, hanya dalam duatiga
jurus saja sudah kena ditutuk roboh semua, maka untuk
bergebrak sepuluh jurus dengan Pwe Hay-ciok sekarang
memang bukanlah soal mudah.
Si Ban-lian, murid Swat-san-pay yang baru sekarang ikut
tertawan, dia belum kenal betapa lihainya Pwe Hay-ciok.
Sebaliknya ia melihat muka Pwe Hay-ciok pucat kurus seperti
orang sakit tebese, sudah tentu ia tidak takut padanya. Terus
saja berteriak, “Tiang-lok-pang kalian hanya menang dengan
jumlah orang lebih banyak, apanya yang luar biasa? Huh,
jangankan sepuluh jurus, biar seratus jurus juga akan Locu
layani!”
“Bagus, bagus!” kata Hay-ciok dengan tertawa. “Saudara ini
benar-benar pemberani dan harus dipuji. Kita boleh bertaruh
saja, jika kau mampu bertahan dalam sepuluh jurus, maka
Tiang-lok-pang boleh dianggap sebagai kawanan bangsat
pengecut, tapi kalau saudara yang kalah di dalam sepuluh
jurus, apakah Swat-san-pay juga boleh dianggap sebagai
kawanan bandit pengecut?”
Sambil bicara ia terus mendekati Si Ban-lian dan begitu
mengebut dengan jarinya, kontan beberapa utas tali yang
meringkus di tubuh Si Ban-lian itu lantas putus semua. “Nah,
silakan mulai sekarang!” kata Hay-ciok pula dengan tertawa.
Hanya dengan sekali kebutan jari saja tali-tali rami sebesar
jeriji itu lantas putus semua, padahal tadi Si Ban-lian telah
meronta sekuatnya dan tidak mampu melepaskan diri. Keruan
muka Ban-lian menjadi pucat, tanpa merasa badannya menjadi
gemetar.
Pada saat itulah tiba-tiba dari luar ada suara seorang
menanggapi ucapan Pwe Hay-ciok tadi, “Bagus, bagus! Jadilah
kita bertaruh!”
Mendengar suara itu, anak murid Swat-san-pay lantas
bergirang, sebaliknya orang-orang Tiang-lok-pang melengak,
sampai-sampai Pwe Hay-ciok sendiri juga rada terkejut.
Maka tertampaklah seorang yang gagah berwibawa telah
muncul di depan pintu. Siapa lagi dia kalau bukan “Gi-han-sepak”
Pek Ban-kiam.
Sesudah melangkah masuk, segera Ban-kiam memberi salam
kepada Hay-ciok, lalu berkata, “Cayhe tidak becus, tapi ingin
coba-coba sepuluh jurus dengan Pwe-siansing.”
Pwe Hay-ciok tersenyum, sikapnya tetap sangat tenang, tapi
batinnya sebenarnya serbarunyam. Menurut kepandaian Pek
Ban-kiam, rasanya paling sedikit harus ratusan jurus lebih baru
bisa menangkan tokoh Swat-san-pay ini, jadi tidaklah mungkin
dapat mengalahkannya di dalam sepuluh jurus saja.
Namun sebagai seorang tua yang berpengalaman, hanya
berpikir sekejap saja ia lantas menjawab dengan tertawa,
“Pertaruhan sepuluh jurus hanya dapat digunakan untuk
menggertak para sute Pek-tayhiap saja, sekarang Pek-tayhiap
sendiri yang datang, maka syarat pertaruhan ini perlu diubah
sedikit. Jika Pek-tayhiap ada minat buat lemaskan otot dengan
Cayhe, maka bolehlah kita tentukan saja di dalam dua-tiga
ratus jurus.”
“O, kiranya apa yang telah diucapkan Pwe-siansing tadi dijilat
kembali?” desak Pek Ban-kiam.
“Hahaha!” Hay-ciok tertawa. “Pertaruhan sepuluh jurus hanya
ditujukan kepada kaum muda yang hijau dan congkak saja,
masakah Pek-tayhiap tergolong orang-orang demikian ini?”
“Jika Tiang-lok-pang mau mengaku sebagai kawanan bangsat
pengecut, apa halangannya kalau aku dianggap masih hijau
dan congkak?”
Kiranya sesudah Pek Ban-kiam masuk ke ruang pendopo, ia
menjadi mendongkol ketika melihat Ciok Boh-thian duduk
terhormat di tengah ruangan, sebaliknya para sutenya
bermuka pucat dan teringkus semua. Sebab itulah ia terus
pegang kelemahan ucapan Pwe Hay-ciok tadi agar dia mau
mengaku bahwa Tiang-lok-pang adalah kawanan bangsat
pengecut.
Pada saat itulah tiba-tiba di luar ada orang berseru dengan
suara lantang, “Nyo Kong dari Ka-hin-hu dan suami-istri Ciok
Jing dari Hian-soh-ceng datang berkunjung!”
Itulah suaranya Ciok Jing.
Ciok Boh-thian sangat girang, cepat ia melompat bangun
sambil berseru, “Ayah! Ibu!” Berbareng ia terus berlari keluar.
Ketika lewat di samping Pek Ban-kiam, mendadak Ban-kiam
pegang tangannya. Karena di luar dugaan, tahu-tahu nadi
pergelangan tangan Ciok Boh-thian sudah terpencet. Tapi dia
buru-buru ingin menemui ayah-ibunya, tanpa pikir lagi ia
lantas mengebaskan tangannya, di mana tenaga murninya
bekerja, seketika Ban-kiam merasa separuh tubuhnya pegal
kesemutan, lekas-lekas Ban-kiam lepas tangan, namun tidak
urung terasa juga suatu arus tenaga mahadahsyat telah
menumbuk ke arahnya, cepat ia melangkah mundur.
Air muka Ban-kiam berubah seketika. Dilihatnya Pwe Hay-ciok
sedang tersenyum-senyum padanya sambil berkata, “Benarbenar
kepandaian yang hebat!”
Ucapan ini seperti memuji Ciok Boh-thian, tapi sesungguhnya
menyindir kepandaian Pek Ban-kiam terlalu cetek, masih hijau
dan sombong.
Dalam pada itu tertampaklah Ciok Boh-thian telah masuk
kembali mengiring kedatangan Ciok Jing dan Bin Ju, selain itu
ada pula seorang tua berjenggot putih dan berbadan tinggi
besar.
Jarak Yangciu dan Ka-hin-hu tidak terlalu jauh, maka jago-jago
Tiang-lok-pang mengenali Nyo Kong adalah tokoh silat ternama
di daerah Kanglam, lebih-lebih sang pangcu memanggil Ciok
Jing dan Bin Ju sebagai “ayah-ibu”, dengan sendirinya mereka
lantas berbangkit sebagai tanda hormat.
Dengan penuh kasih sayang tertampak Ciok Boh-thian
menggandengi tangan Bin Ju. Nyonya itu tersenyum simpul,
katanya kepada Boh-thian, “Sungguh aku sangat khawatir
ketika kau menghilang dari hotel kemarin pagi. Tapi ayahmu
mengatakan jangan khawatir, tidak mungkin orang mampu
menculik kau lagi. Dia bilang pasti akan bisa mendapat kabar
tentang dirimu bila tanya ke Tiang-lok-pang sini, benar juga
kau ternyata berada di sini.”
Sebaliknya muka si Ting Tong menjadi merah atas kedatangan
Ciok Jing dan Bin Ju, cepat ia melengos ke arah lain, hanya
pasang kuping untuk mendengarkan apa yang dibicarakan
mereka.
Maka terdengar Ciok Jing suami-istri, Nyo Kong telah
bersalaman dengan Pwe Hay-ciok, Hoan It-hui dan lain-lain.
Karena sama-sama tokoh persilatan yang ternama, maka
masing-masing saling mengucapkan kata-kata pujian kepada
kenalan-kenalan baru itu. Lebih-lebih Hoan It-hui dan kawanKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
kawannya menjadi tambah hormat kepada Ciok Jing dan Bin Ju
ketika diketahui mereka adalah ayah-ibunya Ciok Boh-thian.
Kemudian Boh-thian berkata kepada Pwe Hay-ciok, “Pwesiansing,
kesatria-kesatria Swat-san-pay ini biarlah kita
lepaskan semua saja.”
“Atas perintah Pangcu, lepaskan semua ‘kesatria’ Swat-sanpay!”
sambung Pwe Hay-ciok dengan tertawa meneruskan
perintah Ciok Boh-thian. Kata-kata “kesatria” sengaja
diucapkan dengan lebih keras, terang ia sengaja hendak
menyindir tawanan tawanannya itu.
Belasan anggota Tiang-lok-pang serentak mengiakan atas
perintah itu. Lalu petugas-petugas yang bersangkutan sama
maju membuka ringkusan dan belenggu atas diri anak murid
Swat-san-pay.
Tapi dengan muka merah padam sambil meraba gagang
pedangnya Pek Ban-kiam lantas membuka suara, “Nanti dulu!
Ciok... hm, Ciok-pangcu, Pwe-siansing, mumpung Nyo Kong,
Nyo-loenghiong dan Ciok-cengcu suami-istri berada di sini,
marilah urusan kita harus dibicarakan dahulu sehingga jelas.”
Sesudah merandek sejenak, lalu ia menyambung pula, “Kita
sebagai orang-orang Bu-lim, jika kita sendiri yang tidak becus
sehingga terkalahkan, maka pihak lawan akan membunuh atau
menghinanya, biar bagaimanapun adalah lumrah dan mati pun
tidak perlu menyesal. Akan tetapi para suteku ini tertawan oleh
karena dibius dengan obat tidur, perbuatan Tiang-lok-pang
yang rendah dan memalukan ini sebenarnya merugikan nama
baik Swat-san-pay atau merusak nama baiknya Tiang-lok-pang
sendiri? Dan apa pula yang telah dikatakan oleh Pwe-siansing
tadi rasanya tidak ada salahnya untuk diuraikan lagi agar dapat
didengar sekalian oleh ketiga orang sobat yang baru datang
ini.”
Pwe Hay-ciok terbatuk-batuk beberapa kali, lalu menjawab
dengan tertawa, “Rupanya saudara Pek ini....”
“Siapa yang sudi bersaudara dengan kawanan bangsat yang
rendah dan pengecut? Huh, tidak punya malu!” potong Pek
Ban-kiam dengan suara bengis.
“Ciok-pangcu kami....”
“Pwe-siansing,” demikian Ciok Jing menyela sebelum Pwe Hayciok
bicara lebih jauh, “usia anakku ini masih muda dan
pengalamannya cetek, masakah dia memenuhi syarat untuk
menjadi pangcu kalian? Belum lama berselang ia pun jatuh
sakit keras sehingga melupakan segala kejadian yang lampau.
Maka dalam persoalan ini tentu ada salah paham yang besar,
sebaiknya sebutan ‘pangcu’ janganlah digunakan lagi.
Sebabnya Cayhe mengundang Nyo-loenghiong ke sini justru
ingin bikin terang urusan ini. Pek-suheng, soal persengketaan
Swat-san-pay kalian dengan Tiang-lok-pang dan anakku yang
durhaka ini pernah berdosa pula kepadamu, dua persoalan ini
hendaklah dipisah-pisahkan untuk diselesaikan tersendirisendiri.
Aku orang she Ciok walaupun cuma kaum keroco biasa
saja, tapi selamanya tidak sudi berdusta kepada siapa pun
juga. Aku ingin mengatakan bahwa putraku ini benar-benar
telah melupakan segala apa yang terjadi di masa lampau.”
Bab 36. Ciok Boh-thian Tulen dan Palsu, yang Satu
Jantan, yang Lain Pengecut
Dan sesudah merandek sejenak, kemudian ia sambung pula
dengan suara lantang, “Namun demikian, segala sesuatu yang
pernah dilakukan olehnya, tak peduli apakah dia masih ingat
atau sudah lupa, pendek kata tidak nanti kami mengelakkan
tanggung jawab. Sebaliknya jika perbuatan orang lain yang
dilakukan dengan memperalat nama putraku, untuk ini kami
menyatakan dengan tegas di sini bahwa semuanya tidak ada
sangkut pautnya dengan kami.”
Seketika heran dan bingunglah semua orang yang hadir di situ,
sungguh tiada seorang pun akan menduga bahwa mendadak
bisa terjadi hal-hal yang luar biasa ini.
“Hehe, hehe, mengapa bicara demikian?” jawab Pek Hay-ciok
dengan terkekeh kaku. “Ciok-pangcu kami....”
Tiba-tiba Ciok Boh-thian menimbrung, “Ya, Pwe-siansing, apa
yang dikatakan ayah memang tidak salah. Aku bukan pangcu
kalian, hal ini berulang-ulang sudah kukatakan, tapi kalian
tetap tidak percaya.”
“Sebenarnya rahasia apa yang terkandung di dalam urusan ini,
sungguh kami ingin ikut mengetahuinya dengan jelas,”
demikian Hoan It-hui membuka suara. “Kami hanya kenal
Pangcu Tiang-lok-pang adalah Tonghong Heng, Tonghongtoako,
mengapa beliau bisa diganti oleh Ciok-inkong?”
Sejak tadi Nyo Kong hanya diam saja, sekarang ia pun ikut
bicara sambil mengelus jenggotnya, “Pek-suhu, janganlah
engkau keburu nafsu, siapa yang salah dan siapa yang benar di
dalam urusan ini tentu dunia persilatan akan memberi
pertimbangan yang adil.”
Meski usianya sudah tua, tapi suaranya ternyata keras lantang
dan berwibawa. Terdengar ia melanjutkan lagi, “Maka segala
persoalan biarlah kita bicara secara tenang saja. Paling betul
sekarang belenggu atas diri beberapa saudara itu hendaklah
dibuka lebih dulu.”
Melihat Pwe Hay-ciok sudah mengangguk setuju, segera
beberapa anggota Tiang-lok-pang tadi melepaskan orang-orang
Swat-san-pay yang tertawan itu.
Sesudah mendengar nada Ciok Jing dan Nyo Kong tadi yang
lebih condong menegur kepada Pwe Hay-ciok dan tiada tanda
bermusuhan dengan dirinya, hal ini membuat Pek Ban-kiam
menjadi heran Sebenarnya sikapnya yang keras dan
menantang kepada Pwe Hay-ciok tadi hanyalah karena
terpaksa mengingat para sutenya sudah tertawan, sekarang dia
hanya bersendirian, demi mempertahankan martabat Swatsan-
pay terpaksa ia bersuara galak dan siap menghadapi
segala risiko. Tapi dengan datangnya Ciok Jing suami-istri dan
Nyo Kong secara mendadak, tampaknya situasi menjadi
berubah, maka ia pun tidak banyak bicara lagi, hanya tunggu
dan lihat dulu apa yang akan diperbuat oleh Pwe Hay-ciok.
Menunggu sesudah anak murid Swat-san-pay telah dibebaskan
semua dan telah ambil tempat duduk masing-masing,
kemudian Ciok Jing berkata pula, “Pwe-siansing, usia putraku
masih demikian muda, pengalamannya terlalu cetek, kalau dia
dapat menduduki pemimpin suatu organisasi besar sebagai
Tiang-lok-pang kalian, apakah hal ini takkan ditertawai setiap
kesatria Kangouw? Hari ini mumpung Nyo-loenghiong, Peksuheng,
dan para saudara-saudara Swat-san-pay yang lain
serta Su-tay-mui-pay dari Kwantang juga hadir di sini, maka
persoalan ini harus dibikin jelas. Ingin kukatakan bahwa sejak
kini putraku, Ciok Tiong-giok ini tiada sesuatu hubungan dan
sangkut paut apa-apa lagi dengan Tiang-lok-pang. Tentang
perbuatan-perbuatannya selama beberapa tahun ini, apa yang
dia lakukan sendiri sudah tentu akan dibereskan, sebaliknya
perbuatan yang dilakukan orang lain dengan memperalat
namanya, apakah perbuatan itu baik atau jelek, bukanlah
menjadi tanggung-jawab anak Giok.”
“Apa yang dibicarakan Ciok-cengcu ini benar-benar membikin
orang merasa bingung dan tidak habis mengerti,” demikian
Pwe Hay-ciok menjawab dengan tertawa. “Bahwasanya Ciokpangcu
menjabat pangcu kami, hal ini sudah berlangsung
selama tiga tahun dan bukan kejadian sehari semalam saja,
selama ini kami pun tidak pernah mendengar cerita dari Pangcu
bahwa Hian-soh-siang-kiam yang termasyhur di dunia
Kangouw ternyata adalah ayah-ibu beliau. Pangcu, mengapa
tidak kau katakan sejak dulu? Kalau tidak, jarak Hian-soh-ceng
dari ini toh tidak terlalu jauh, pada waktu engkau diangkat
menjadi pangcu tentu kita sudah mengundang ayah-bundamu
untuk menyaksikan upacara resmi itu.”
“Aku... aku sebenarnya juga tidak tahu,” sahut Boh-thian.
Jawaban Boh-thian ini membuat semua orang melengak.
“Mengapa kau sebenarnya juga tidak tahu?” demikian mereka
bertanya-tanya di dalam hati.
Maka cepat Ciok Jing menukas, “Ya, sebagaimana telah
kukatakan tadi, putraku ini pernah jatuh sakit keras sehingga
melupakan segala kejadian di masa lampau, bahkan ayahibunya
sendiri juga tak teringat lagi. Maka soal ini tak bisa
menyalahkan dia.”
Sebenarnya Pwe Hay-ciok serbasusah dan terdesak oleh katakata
Ciok Jing tadi. Tak mungkin secara terang-terangan ia
menceritakan maksud tujuan mereka mengangkat Ciok Bohthian
sebagai pangcu hanya untuk tameng saja dalam
menghadapi undangan medali tembaga dari kedua rasul
penghukum dan pengganjar, sedangkan soal ini pun tidak
pernah diucapkan oleh orang-orang Tiang-lok-pang sendiri,
mereka hanya sama-sama tahu di dalam hati saja, masakah di
hadapan orang luar boleh diceritakan?
Tapi sekarang demi mendengar Ciok Boh-thian mengaku
bahwa sebelumnya dia sendiri pun tidak tahu Ciok Jing dan Bin
Ju adalah ayah-ibunya, maka dapatlah dia alasan bantahannya,
segera ia berkata, “Ya, belum lama memang Pangcu telah
menderita sakit keras, tapi kejadian itu baru dua bulan saja,
ketika beliau diangkat menjadi pangcu kesehatannya cukup
baik, pikirannya sangat jernih, kalau tidak mana mungkin
beliau mampu menandingi dan bahkan mengalahkan
Tonghong-pangcu?”
Ciok Jing dan Bin Ju menjadi curiga, mereka merasa belum
pernah mendengar kejadian demikian dari sang putra.
“Nak, sebenarnya bagaimana kejadian yang dikatakan itu?”
tanya Bin Ju kepada Boh-thian.
“Aku sendiri pun sama sekali tidak ingat lagi,” sahut Boh-thian
sambil geleng kepala.
“Kami hanya tahu pangcu she Ciok dan bernama Boh-thian,
nama Ciok Tiong-giok hanya baru saja kami mendengarnya
dari Pek-suhu dan Ciok-cengcu,” kata Pwe Hay-ciok pula. “Apa
tidak mungkin Ciok-cengcu yang telah salah mengenali orang?”
“Putra kandungku sendiri masakah aku bisa salah
mengenalnya?” sahut Bin Ju dengan gusar. Biasanya dia sangat
ramah tamah, tapi Pwe Hay-ciok mengatakan Ciok Boh-thian
bukan putranya, betapa pun ia menjadi geram juga.
Melihat Pwe Hay-ciok tetap ngotot, Ciok Jing pikir tiada jalan
lain kecuali mengungkap terus terang saja tipu muslihat
mereka. Segera ia berkata, “Pwe-siansing, biarlah kita bicara
secara blakblakan. Sebabnya pang kalian sedemikian
menghargai putraku yang masih hijau ini kukira sekali-kali
bukanlah lantaran dia memiliki kepandaian tinggi dan
pengetahuan luas segala, tujuan kalian hanya ingin
memperalat dia untuk menghadapi bencana undangan medali
tembaga saja, coba katakan betul tidak?”
Karena ucapan Ciok Jing ini secara langsung telah kena isi hati
Pwe Hay-ciok, biarpun dia sudah berpengalaman dan licin,
tidak urung air mukanya berubah juga. Ia terbatuk-batuk
untuk mengulur tempo, dalam benaknya terkilas macammacam
pikiran dengan cepat cara bagaimana harus menjawab
tuduhan Ciok Jing itu.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang bergelak
tertawa dan berseru, “Kalian sedang menunggu undangan
medali tembaga bukan? Bagus, bagus sekali! Ini dia medali
yang kalian tunggu sudah datang!”
Dan tahu-tahu di tengah ruangan sudah berdiri dua orang, satu
gemuk dan satu kurus, pakaian mereka sangat perlente. Cara
bagaimana datangnya mereka itu ternyata tiada seorang pun
yang memerhatikan.
Ciok Boh-thian sangat girang demi melihat kedua orang itu,
cepat ia menyapa, “He, Toako dan Jiko, sudah lama berpisah,
apakah kalian baik-baik saja?”
Ciok Jing dan Bin Ju pernah mendengar cerita putranya itu
tentang mengangkat saudara dengan Thio Sam dan Li Si. Maka
mereka menjadi terkejut ketika mengetahui yang dimaksudkan
Thio Sam dan Li Si itu kiranya adalah kedua pendatang ini.
Cepat mereka berkata, “Kedatangan kalian berdua ini sungguh
sangat kebetulan, kami sedang susah menentukan tentang
kedudukan pangcu dari Tiang-lok-pang, untuk ini harap kalian
berdua suka ikut menjadi saksi.”
Sementara itu Boh-thian sudah mendekati Thio Sam dan Li Si
untuk memegang tangan mereka dengan mesra sekali.
“He, kiranya Samte adalah Pangcu Tiang-lok-pang, pantas ilmu
silatmu sedemikian hebat,” kata Thio Sam dengan berseri-seri.
Diam-diam Bin Ju pikir keselamatan sang putra hanya
tergantung dalam waktu singkat ini saja, maka cepat ia
menyela, “Pangcu Tiang-lok-pang sebenarnya adalah
Tonghong-siansing, mereka telah menipu putraku ini untuk
menjadi tameng, maka kedudukan anakku ini tak bisa
dianggap sungguh-sungguh.”
Thio Sam memandang sekejap kepada Li Si, tanyanya,
“Bagaimana pendapatmu, Losi?”
“Harus mencari orang yang sesungguhnya,” sahut Li Si dengan
nada dingin.
“Benar,” seru Thio Sam. “Kita sudah mengangkat saudara dan
berjanji akan hidup bahagia bersama, ada kesulitan dipikul
bersama. Sekarang Samte kita hendak digunakan sebagai
tameng oleh mereka, bukankah ini berarti mencari setori
kepada kita berdua?”
Melihat cara munculnya Thio Sam dan Li Si yang mendadak itu,
semua orang sudah tahu bahwa ilmu silat kedua orang ini
susah diukur. Dari wajah dan tingkah laku mereka jelas
kelihatan pula sama dengan kedua rasul penghukum dan
pengganjar yang namanya mengguncangkan Bu-lim selama
beberapa puluh tahun ini, keruan semua orang terkesiap.
Sekalipun Pwe Hay-ciok dan Pek Ban-kiam juga ikut kebatkebit.
Dalam pada itu terdengar Thio Sam telah berkata pula dengan
tertawa-tawa, “Kami mengundang tamu untuk ikut menikmati
Lap-pat-cok, maksud kami adalah baik, tapi entah mengapa
setiap orang yang kami undang selalu sungkan hadir sehingga
sangat mengecewakan kami. Padahal orang yang kami undang
semuanya adalah ciangbunjin-ciangbunjin yang terkenal,
pangcu-pangcu yang ternama atau kaucu-kaucu dari kalangan
terpuji, kalau cuma orang biasa saja tidak nanti dikunjungi oleh
medali-medali tembaga kami. Ya, bagus, bagus, bagus!”
Sambil mengucapkan “bagus-bagus” sorot matanya lantas
menyapu ke arah Hoan It-hui, Lu Cing-peng, Hong Liang dan
Ko Sam-niocu sehingga keempat orang itu merasa mengirik.
Ketika paling akhir pandangannya menatap Ko Sam-niocu,
untuk sejenak sorot matanya berhenti lebih lama, dengan
tertawa ia menambahkan sekali lagi, “Bagus!”
Sebelumnya Hoan It-hui sudah merasa sebagai seorang
ciangbunjin tentu tidak luput dari undangan medali tembaga,
maka dapat diduga ucapan “bagus” empat kali Thio Sam itu
tentu maksudnya mereka berempat ciangbunjin dari Kwantang
kebetulan juga di sini, dengan demikian dia tidak perlu susah
payah melawat ke daerah Kwantang untuk menyampaikan
medalinya.
Sebaliknya Ko Sam-niocu menjadi gusar, segera ia berteriak,
“Apa maksudmu dengan ucapan ‘bagus’ sambil memandangi
nyonya besarmu ini?”
“Bagus berarti bagus, apa sih maksudnya yang lain? Pendek
kata bagus pasti tidak berarti tidak bagus,” sahut Thio Sam
sambil tertawa.
“Jika mau bunuh boleh lekas bunuh, tapi jangan harap nyonya
besar mau terima medalimu!” bentak Ko Sam-niocu, Berbareng
tangan kanan bergerak, kontan dua bilah pisau lantas
melayang ke arah Thio Sam.
Semua orang ikut terkejut. Sungguh tidak terduga bahwa
sedikit hatinya tidak senang seketika juga dia lantas
menyerang, bahkan terhadap kedua rasul pengganjar dan
penghukum itu ternyata tidak merasa jeri sedikit pun.
Sesungguhnya walaupun watak Ko Sam-niocu sangat keras,
tapi dia bukanlah seorang yang sama sekali tak bisa berpikir.
Ia sudah menduga jika kedua rasul itu toh sudah berniat
menyampaikan medali tembaga padanya, maka bencana ini
betapa pun susah dihindarkan. Sekarang ada sekian jago-jago
terkemuka yang berkumpul di markas Tiang-lok-pang, dalam
keadaan menghadapi musuh bersama, begitu mulai bergebrak,
tentu yang lain-lain takkan berpeluk tangan, mereka tentu
berpikir daripada dibunuh oleh kedua rasul itu ada lebih baik
sekarang mengerubut maju bersama, dengan tenaga gabungan
Su-tay-mui-pay dari Kwantang, ditambah Tiang-lok-pang,
Swat-san-pay, Hian-soh-siang-kiam dan lain-lain, boleh jadi
kedua musuh itu dapat ditumpas.
Karena itulah Ciok Boh-thian menjadi kaget ketika melihat Ko
Sam-niocu mulai menyerang dahulu, cepat ia berseru, “Awas,
Toako!”
“Tidak apa-apa, jangan khawatir!” ujar Thio Sam dengan
tertawa. Dan begitu lengan bajunya mengebas, dua potong
tanda warna kuning lantas menyambar ke depan dan tepat
berbenturan dengan kedua pisau terbang Ko Sam-niocu.
“Trang-tring”, didahului oleh suara nyaring mendenging, kedua
benda kuning itu dari tegak berubah menjadi melintang dan
dengan mendorong kedua bilah pisau terus menyambar ke
arah Ko Sam-niocu.
Didengar dari suara sambaran angin, nyata kekuatan benturan
tadi sangat hebat, kalau Ko Sam-niocu mendak dan mengegos,
tentu kawan-kawan yang berdiri di belakangnya yang akan
menjadi korban.
Tanpa pikir lagi kedua potong benda kuning itu lantas
ditangkapnya. Seketika terasa kedua lengannya tergetar sakit,
setengah badannya bagian atas terasa linu kesemutan. Waktu
ia periksa benda-benda kuning yang menolak kembali pisaunya
itu, kiranya bukan lain dari dua buah medali pengganjar dan
penghukum yang ditakuti itu.
Sudah lama juga Ko Sam-niocu mendengar tentang peraturan
yang ditentukan oleh kedua rasul pengganjar dan penghukum,
siapa saja asal sudah menerima medali tembaga mereka, maka
dapatlah dianggap sebagai telah terima baik undangan mereka
untuk hadir dalam perjamuan Lap-pat-cok dan tak mungkin
menolaknya pula. Seketika pucatlah mukanya, sampai-sampai
tubuhnya juga agak gemetar.
Tapi dengan tertawa-tawa Thio Sam terus berkata pula, “Pwesiansing,
kalian telah memasang perangkap untuk menipu
Samte kami agar dapat dipalsukan sebagai pangcu kalian.
Samte kami adalah seorang yang jujur dan polos, dengan
gampang saja dia terjebak. Tapi kami Thio Sam dan Li Si ini
bukan manusia jujur. Kedatangan kami adalah untuk
mengundang tamu, sudah tentu sebelumnya kami sudah
menyelidiki dengan jelas. Kalau kami sampai salah
mengundang orang, bukankah akan menjadi buah tertawaan?
Ke mana lagi muka Thio Sam dan Li Si ini akan ditaruh? Sebab
itulah, eh, saudaraku, tidakkah lebih baik kita persilakan turun
saja sasaran utama yang hendak kita undang ini?”
“Benar, seharusnya kita persilakan dia turun,” sahut Li Si.
Habis berkata, sekonyong-konyong ia sambar sebuah bangku
bundar terus dilemparkan ke langit-langit rumah. “Blang”,
seketika atap rumah tertimpuk menjadi suatu lubang besar,
debu pasir bertebaran disertai sepotong benda yang besar.
“Bluk”, benda besar itu jatuh terbanting di tengah ruangan.
Tanpa merasa para hadirin mundur beberapa tindak karena
jatuhnya benda besar itu. Ketika mereka memerhatikan,
kiranya yang jatuh terbanting itu adalah satu manusia. Orang
itu tampak meringkuk tak bergerak.
Waktu Li Si menutuk beberapa kali dari jauh dengan jari kiri,
seketika hiat-to orang yang tertutuk itu terbuka dan perlahanlahan
dapatlah berbangkit. Sungguh kejut dan kagum tak
terkatakan semua orang atas kepandaian tiam-hiat (menutuk
jalan darah) Li Si dari jarak jauh itu. Dalam pada itu orang itu
telah kucek-kucek matanya, kemudian memandang sekitarnya
dengan bingung.
Demi mengenali siapa orang itu, serentak ramainya suara
teriakan kaget, “He, dia!” — “Kenapa... kenapa dia?” —
“Sungguh aneh!”
Ternyata wajah orang itu mirip benar dengan Ciok Boh-thian,
hanya saja pakaiannya lebih perlente, bajunya dari kain sutra,
kopiahnya berhiaskan mutiara yang besar.
“Ciok-pangcu, kami datang kemari untuk mengundang kau
pergi makan Lap-pat-cok, kau akan hadir atau tidak?” demikian
Thio Sam lantas berkata kepada pemuda itu sambil
mengeluarkan dua buah medali tembaga.
Agaknya Ciok Boh-thian tidak habis mengerti atas kejadian itu.
Ia bertanya, “He, Toako, seb... sebenarnya apa-apaan ini?”
“Samte, coba kau lihat, wajah orang ini mirip kau atau tidak?”
sahut Thio Sam dengan tertawa. “Mereka telah
menyembunyikan dia, sebaliknya kau ditipu untuk
menggantikan dia sebagai pangcu. Akan tetapi, hahaha, toako
dan jikomu akhirnya dapat menemukan dia sehingga kau gagal
menjadi pangcu mereka, untuk ini kau menyesal kepada kami
atau tidak?”
Boh-thian menggeleng-geleng kepala, dengan mata tak
berkedip ia pandang orang itu. Selang sejenak barulah berkata,
“Ayah, ibu, Ting-ting Tong-tong, Pwe-siansing, sejak mula aku
sudah menyatakan kalian telah... telah salah mengenali diriku,
sekarang menjadi lebih terang lagi bahwa aku bukan dia, dia...
dialah yang tulen!”
Cepat Bin Ju melangkah maju, dengan suara terputus-putus ia
bertanya, “Kau... kau adalah anak Giok?”
Orang itu mengangguk, sahutnya, “Ya, ibu, ayah, kalian berada
di sini semua?”
Pek Ban-kiam juga mendesak maju dan menegur, “Kau masih
kenal padaku tidak?”
Orang itu lantas menunduk, sahutnya, “Pek-susiok dan... dan
para Susiok, kalian juga berada di sini semua?!”
“Hahahaha! Ya, memang kami sudah datang semua!” kata
Ban-kiam dengan terbahak-bahak.
Sebaliknya dengan mengerut kening Pwe Hay-ciok berkata,
“Muka mereka berdua satu-sama-lain sangat mirip, perawakan
dan usia mereka juga sama, sebenarnya siapakah di antara
kalian adalah pangcu kami, sungguh aku tidak mampu
membedakan. Wah, ini benar-benar suatu kejadian aneh.
Apakah engkau inilah pangcu kami?”
Orang baru itu tampak mengangguk. Lalu Pwe Hay-ciok
bertanya pula, “Habis selama ini sebenarnya Pangcu pergi ke
mana?”
“Ai, susah untuk diceritakan, biarlah kita bicarakan nanti saja,”
kata orang itu.
Seketika suasana di ruang pendopo itu menjadi sunyi senyap,
yang terdengar hanya sedu sedan Bin Ju yang sedang
menangis.
“Wajah orang memang banyak yang sama, tapi bekas luka
pedang di paha apakah juga bisa sama, kukira di dalam
persoalan ini ada sesuatu yang ganjil,” kata Ban-kiam.
“Ya, orang ini adalah palsu,” akhirnya Ting Tong ikut bicara.
“Engkoh Thian yang tulen di atas pundak kirinya ada... ada
sebuah bekas luka gigitan.”
Ciok Jing menjadi ragu-ragu juga, ia pun mengemukakan
alasannya, “Benar, putraku pada waktu kecilnya juga pernah
terluka oleh senjata rahasia musuh.”
Lalu ia tuding Ciok Boh-thian dan melanjutkan, “Pada tubuh
orang ini justru terdapat bekas luka senjata rahasia itu. Untuk
membedakan siapa yang tulen atau palsu, asal keduanya
diperiksa tentu segera akan dapat diketahui.”
Semua orang menjadi heran dan bingung juga mengikuti
percakapan itu. Mereka sebentar-sebentar pandang Ciok Bohthian
dan lain saat mengamat-amati pula si pemuda
berpakaian perlente itu.
Maka terdengarlah Thio Sam bergelak tertawa sambil berkata,
“Jika Ciok-pangcu sudah harus dipalsukan, maka setiap ciricirinya
dengan sendirinya harus dibikin persis pula. Kalau di
atas badan yang tulen ada bekas luka, yang palsu dengan
sendirinya juga harus ada.”
Habis berkata, “sret”, mendadak ia lolos sebatang pedang yang
tergantung di pinggang seorang wakil hiangcu Tiang-lok-pang
dan di mana pedangnya menyambar, kontan bahu, paha kiri
dan pantat pemuda perlente itu masing-masing tergores suatu
lingkaran, ketika dia meniup pula, kontan jatuhlah tiga potong
kain kecil bulat sebesar mangkuk. Tiga potong kain bundar itu
kemudian bertebaran dan berubah menjadi sembilan potong.
Ternyata hanya sedikit bergerak saja pedangnya telah
mengorek satu bundaran pakaian pemuda perlente yang
berlapis tiga (baju luar dan dalam) sehingga kelihatan kulit
badannya. Maka tertampaklah di ujung bahunya terdapat
keriput bekas luka, di paha dan di pantatnya juga ada,
semuanya cocok seperti apa yang dikatakan si Ting Tong, Pek
Ban-kiam, dan Ciok Jing.
Melihat itu, semua orang sampai menjerit kaget, selain kejut
atas kepandaian Thio Sam yang luar bisa itu, mereka pun
heran melihat bekas luka di badan pemuda itu ternyata serupa
dan persis seperti apa yang terdapat pada Ciok Boh-thian.
Cepat Ting Tong memburu maju, dengan suara gemetar ia
tanya, “Apa kau benar-benar Engkoh Thian?”
Pemuda itu tersenyum getir, sahutnya, “Ting-ting Tong-tong,
sudah lama kita tak bertemu, sungguh aku sangat kangen
padamu, sebaliknya kau ternyata sudah melupakan daku.
Biarpun kau tak kenal padaku lagi, tapi aku, biarpun seratus
tahun atau seribu tahun juga aku masih tetap kenal kau.”
Mendengar itu, saking girangnya sampai si Ting-tang Ting-tong
melelehkan air mata, serunya, “Ya, engkau inilah benar-benar
Engkoh Thian-ku. Dia... dia ini hanya penipu yang memuakkan,
mana bisa dia mengucapkan kata-kata mesra demikian?
Hampir-hampir saja aku tertipu olehnya!”
Sambil berkata ia pun melotot marah kepada Ciok Boh-thian,
berbareng ia lantas gandeng tangan pemuda perlente itu
dengan mesra.
Ketika pemuda itu menggenggam kencang tangan si nona dan
tersenyum padanya, seketika si Ting Tong merasa senang dan
bahagia tak terperikan.
“Ting-ting Tong-tong, memangnya sejak mula aku sudah
menyatakan aku bukan kau punya Engkoh Thian, apa sekarang
kau ma... masih marah padaku?” tanya Boh-thian sambil
mendekati anak dara itu.
“Plok”, mendadak ia dipersen sekali tamparan oleh si Ting Tong
dengan dampratan, “Kau penipu, aduh....” kiranya dia
menampar terlalu keras sehingga tangannya kesakitan tergetar
oleh tenaga dalam Ciok Boh-thian yang lihai itu.
“Apakah tanganmu sa... sakit?” tanya Boh-thian.
“Enyah, enyah kau! Aku tidak sudi melihat penipu yang tak
kenal malu seperti kau ini!” damprat Ting Tong dengan gusar.
Boh-thian menjadi murung. “Aku... aku tidak sengaja menipu
kau,” katanya setengah menggumam sendiri.
“Kau masih menyangkal?” semprot si Ting Tong. “Kau sengaja
membuat bekas luka palsu di pundakmu, mengapa tidak kau
katakan sejak mula?”
“Aku... aku sendiri pun tidak tahu adanya bekas luka ini,” ujar
Boh-thian.
“Penipu! Pendusta! Enyah kau!” bentak Ting Tong dengan
muka merah padam.
Air mata berlinang-linang di kelopak mata Ciok Boh-thian dan
hampir-hampir menetes, sedapat mungkin ia menahannya
sambil menyingkir mundur.
“Pwe-siansing,” segera Ciok Jing berkata kepada Pwe Hay-ciok,
“pem... pemuda ini dari mana kalian menemukannya dan
putraku ini mengapa bisa dipaksa menjadi pangcu kalian?
Mumpung di sini banyak hadir kawan-kawan Bu-lim, urusan ini
harus kau jelaskan untuk menghindarkan rasa curiga semua
orang?”
“Pemuda ini serupa benar dengan Ciok-pangcu, kalian Hiansoh-
siang-kiam sendiri adalah ayah-ibu kandungnya toh juga
salah mengenalnya, apalagi orang lain?” jawab Pwe Hay-ciok.
Ciok Jing mengangguk, ia pikir memang beralasan juga ucapan
tokoh Tiang-lok-pang itu.
Maka Pwe Hay-ciok berkata pula, “Adapun soal diangkatnya
Ciok-pangcu sebagai pimpinan pang kami, untuk ini beliau
telah mengalahkan Tonghong-pangcu dahulu dengan
kepandaian yang sejati, karena itu maka para saudara kami
telah mendukungnya. Coba silakan Ciok-pangcu bicara apa
betul atau tidak kejadian ini? Bahwasanya kami ‘memaksa’
beliau, kami sangsi apakah istilah ini cukup tepat?”
“Apa yang dilakukan tempo dulu sebenarnya hanya keputusan
untuk sementara saja untuk mencegah kerusuhan yang
mungkin timbul di dalam pang kita,” kata si pemuda perlente
alias Ciok Tiong-giok itu dengan nada tergagap-gagap. “PweKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
siansing, jabatan pangcu ini kukira... kukira engkau sendiri saja
yang menduduki, aku... aku tidak sanggup melakoni lagi.”
Air muka Pwe Hay-ciok tampak guram membesi, katanya, “Apa
yang telah Pangcu katakan dahulu itu? Mengapa sekarang kau
merasa menyesal dan menghindarkan kewajiban?”
“Ya, sesungguhnya aku tidak sanggup melakukannya lagi,”
sahut Tiong-giok. “Segala urusan pang kita pada hakikatnya
adalah Pwe-siansing yang mengambil keputusan, aku hanya
menjadi pangcu boneka saja, sebab itulah aku bertekad
menyingkir pergi untuk memberikan tempatku kepada orang
lain yang lebih pandai. Dan karena kepergianku tanpa pamit
ini, dengan sendirinya aku bukan pangcu lagi. Bukankah dalam
surat yang kutinggalkan padamu itu sudah kukatakan dengan
cukup jelas?”
“Surat?” Pwe Hay-ciok menegas dengan heran. “Surat apa?
Mengapa aku tidak pernah melihatnya?”
“Kepandaian Pwe-siansing benar-benar luar biasa,” kata Ciok
Tiong-giok dengan tertawa. “Ketika aku menghilang, entah dari
mana engkau telah menemukan bocah yang mukanya mirip
benar dengan aku ini. Jika dia sudah mau memalsukan diriku,
maka bolehlah dia lakukan sampai saat terakhir, buat apa
tanya padaku lagi? Ayah dan ibu, marilah kita tinggalkan saja
tempat yang tak genah ini!”
Nyata mulutnya sangat lincah, kalau dibandingkan Ciok Bohthian
jelas seperti langit dan bumi bedanya.
Dengan bergelak tertawa Thio Sam lantas berkata, “Ciokpangcu,
Pwe-siansing, kalian tentu tahu peraturan Liong-bok-to
kami. Jika pangcu kalian sendiri yang menerima medali
undangan kami, maka inilah jalan yang terbaik, sebaliknya
kalau pangcu tidak mau terima, ini berarti pang kalian
memandang rendah kepada Liong-bok-to, dari kawan kita akan
berubah menjadi lawan dan terhadap lawan biasanya Liongbok-
to tidak mau sungkan-sungkan lagi.”
Pwe Hay-ciok dan gembong-gembong Tiang-lok-pang yang lain
terkesiap. Mereka tahu bilamana tiada orang yang tampil ke
muka untuk menerima medali tembaga yang dikatakan, maka
si gendut dan si kurus pasti akan mulai mengganas. Dilihat dari
kepandaian yang telah diperlihatkan mereka tadi rasanya
segenap anggota Tiang-lok-pang tiada seorang pun yang
mampu melawannya.
Melihat orang-orang Tiang-lok-pang tertegun, segera Ciok Bohthian
berkata, “Pwe-siansing, apa yang dikatakan Thio-toako
itu bukanlah berkelakar, sekali beliau bilang bunuh orang tentu
akan segera terjadi pembunuhan. Seperti orang-orang Hui-hipang
dan Tiat-cha-hwe, seluruh anggota mereka telah dibunuh
habis oleh Toako berdua. Maka sebaiknya medali mereka itu
diterima saja lebih dahulu, tak peduli siapa yang akan menjadi
pangcu nanti, yang terang korban jiwa orang banyak dapatlah
dihindarkan. Kedua belah pihak adalah saudara sendiri semua,
kalau sampai terjadi perkelahian, sungguh aku tidak tahu harus
membantu pihak mana?”
“Itu adalah urusan Pangcu, kami yang menjadi bawahan tidak
dapat mengambil keputusan,” ujar Pwe Hay-ciok.
“Ciok-pangcu,” Boh-thian lantas berkata kepada Ciok-Tionggiok,
“harap kau terima medali itu saja. Medali itu kau terima
akan mati, tidak terima juga pasti mati. Bedanya jika kau tidak
terima, maka segenap anggota yang lain juga akan ikut
menjadi korban, untuk ini apakah... apakah kau tega?”
“Hehe, kau bicara seenaknya dan sok budiman bagi orang lain,
jika sedemikian luhur budimu, kenapa kau sendiri tidak terima
saja kedua medali itu demi keselamatan Tiang-lok-pang? Hehe,
sungguh menggelikan!” demikian jawab Tiong-giok.
Boh-thian memandang sekejap kepada Ciok Jing suami-istri
dan si Ting Tong sambil menghela napas, katanya, “Pwesiansing,
selama ini kalian sangat baik terhadap diriku,
memangnya kalian berharap agar aku dapat melepaskan
bencana ini bagi Tiang-lok-pang. Jika sekarang Ciok-pangcu
yang tulen tidak mau menerima medali-medali undangan itu,
maka biarlah aku yang menerimanya saja.”
Habis berkata ia lantas mendekati Thio Sam dan hendak
mengambil medali yang terdapat di tangannya itu.
“Nanti dulu!” cepat Thio Sam menarik tangannya. Lalu katanya
kepada Pwe Hay-ciok, “Medali undangan Liong-bok-to ini hanya
diserahkan langsung kepada orang yang diundang. Nah,
sesungguhnya kalian menganggap siapa yang benar-benar
menjadi pangcu kalian?”
Sama sekali Pwe Hay-ciok dan gembong-gembong Tiang-lokpang
itu tidak menduga bahwa Ciok Boh-thian masih mau
berkorban bagi pang mereka meski sudah tahu akan tipu
muslihat dan intrik mereka. Dalam keadaan demikian, betapa
pun keji dan kejamnya mereka, mau tak mau mereka merasa
sangat berterima kasih juga kepada Ciok Boh-thian, serentak
mereka lantas membungkuk tubuh memberi hormat kepada
Boh-thian sambil berseru, “Kami rela mengangkat Ciok-tayhiap
sebagai pangcu kita, segala perintah Pangcu akan kami
laksanakan dan taati.”
“Ah, mana aku berani!!” sahut Boh-thian sambil balas
menghormat. “Aku tidak paham apa-apa, kalau salah omong
atau salah berbuat diharap kalian janganlah marah padaku.”
“Hahahahaha!” Thio Sam bergelak tertawa. “Nah, Ciok-pangcu
dari Tiang-lok-pang, pada tanggal delapan bulan dua belas
tahun ini diharap sudi hadir ke Liong-bok-to kami untuk
sekadar menikmati Lap-pat-cok.”
“Baiklah, tentu aku akan hadir sekalian menyambangi Toako
dan Jiko,” sahut Boh-thian.
Thio Sam dan Li Si saling pandang sekejap dengan mengerut
dahi. Tapi Thio Sam lantas mengayun tangannya, dua potong
medali tembaga terus melayang ke arah Ciok Boh-thian dengan
perlahan.
Ketika semua orang memusatkan perhatian untuk menyaksikan
cara bagaimana Ciok Boh-thian akan menerima medali-medali
itu, sekonyong-konyong Bin Ju berteriak, “Jangan terima, nak!”
“Aku sudah menyanggupinya, ibu!” sahut Boh-thian. Ketika
kedua tangannya menjulur, dengan gampang saja masingmasing
tangannya sudah menangkap sepotong medali tembaga
itu. Lalu katanya pula kepada Bin Ju, “Seperti Ciok... Ciokcengcu,
meski sudah tahu ada bahaya toh beliau tetap mau
mewakilkan Siang-jing-koan untuk hadir ke Liong-bok-to,
sungguh sikapnya itu sangat mengagumkan orang, maka anak
juga ingin menirukannya.”
“Bagus, memang kesatria sejati dan pendekar budiman, tidak
percumalah kita telah mengangkat saudara,” puji Li Si. “Tapi,
Samte, biarlah kita bicara di muka secara terang-terangan,
apabila sudah datang di Liong-bok-to nanti, Toako dan Jiko
akan memandang kau sebagaimana tamu-tamu yang lain
tanpa pandang bulu dan tak dapat memberi sesuatu pelayanan
istimewa.”
“Ya, sudah seharusnya demikian,” sahut Boh-thian.
“Dan di sini masih ada beberapa buah medali yang harus
diserahkan kepada saudara-saudara Hoan, Hong dan Lu dari
Kwantang, silakan nanti juga hadir ke Liong-bok-to untuk
menikmati Lap-pat-cok. Apakah kalian mau terima atau tidak?”
demikian Li Si berkata pula.
Hoan It-hui memandang sekejap kepada Ko Sam-niocu,
pikirnya, “Kau toh sudah menerima medalinya, kita Su-taymui-
pay dari Kwantang sudah berjanji mati-hidup bersama,
tiada jalan lain terpaksa ikut mengantarkan jiwa juga ke Liongbok-
to.”
Maka berkatalah dia, “Ya, jikalau sedemikian Liong-bok-to
menghargai kami, masakah kami menolak arak suguhan dan
memilih arak hukuman? (maksudnya masakah diundang tidak
mau sebaliknya minta dipaksa).”
Lalu ia mendahului melangkah maju untuk menerima medali
undangan disusul dengan Hong Liang dan Lu Cing-peng.
“Terima kasih, terima kasih!” sambut Thio Sam dan Li Si. Lalu
katanya kepada Ciok Boh-thian, “Samte, kami masih perlu
melanjutkan perjalanan jauh, hari ini terpaksa tidak dapat
minum sepuas-puasnya dengan kau. Biarlah kami lantas
mohon diri saja.”
“Tiada halangannya kalau kita minum tiga mangkuk saja,” seru
Boh-thian, “Eh, di manakah buli-buli arak Toako dan Jiko?”
“Sudah kami buang,” sahut Thio Sam. “Arak kami itu tidak
dapat dibuat di dalam waktu singkat, apa gunanya selalu
membawa buli-buli kosong. Baiklah, mari Jite, kita bertiga
habiskan tiga mangkuk arak.”
Segera anggota-anggota Tiang-lok-pang menuangkan arak,
Thio Sam, Li Si, dan Ciok Boh-thian masing-masing lantas
menghabiskan tiga mangkuk penuh.
Tiba-tiba Ciok Jing melangkah maju sambil berseru, “Cayhe
Ciok Jing adanya, biasanya dikenal sebagai cengcu dari Hiansoh-
ceng, kami suami-istri ada maksud hendak ikut hadir ke
Liong-bok-to untuk minta semangkuk Lap-pat-cok.”
Cepat Thio Sam berpaling. Pikirnya dengan heran, “Selama
lebih 30 tahun ini, setiap orang Bu-lim bila mendengar nama
Liong-bok-to tentu kebat-kebit dan ketakutan, tapi hari ini
ternyata ada orang yang sengaja minta berkunjung ke sana,
hal ini benar-benar baru terjadi untuk pertama kalinya.”
Tapi ia pun lantas menjawab, “Ciok-cengcu, maafkan atas
permintaanmu ini. Kalian berdua adalah murid Siang-jing-koan
dan belum pernah berdiri sendiri secara resmi di dunia
persilatan, maka kami tidak dapat mengundang. Begitu pula
seperti halnya dengan Nyo-loenghiong dan Pek-tayhiap.”
Bab 37. Ciok Boh-thian Memalsukan Ciok Tiong-giok
untuk Menolong Ciok Jing
“Kalian bilang akan melanjutkan perjalanan jauh, apakah...
apakah kalian akan berkunjung juga ke Leng-siau-sia?” tibatiba
Ban-kiam bertanya.
“Dugaan Pek-tayhiap sangat jitu, kami berdua memang hendak
berkunjung dan menyambangi ayahmu, Wi-tek Siansing Pekloenghiong,”
sahut Thio Sam dengan tertawa.
Ban-kiam melangkah maju, tampaknya ia ingin bicara apa-apa,
tapi tidak jadi. Selang sejenak barulah berkata, “Ya, baik,
baiklah!”
“Jika Pek-tayhiap cepat pulangnya mungkin kita dapat
berjumpa pula di Leng-siau-sia,” ujar Thio Sam. “Nah, selamat
tinggal, sampai bertemu!”
Sesudah memberi salam, bersama Li Si segera mereka
melangkah keluar.
“Keparat! Berlagak apa di sini?!” mendadak Ko Sam-niocu
memaki, berbareng empat bilah pisau terbang lantas
ditimpukkan ke punggung kedua orang.
Sebenarnya Ko Sam-niocu sadar bahwa serangannya itu sukar
mengenai sasarannya, soalnya dia teramat murka, beberapa
bilah pisau terbang itu hanya sekadar pelampias saja. Benar
juga, kedua orang itu seperti tidak merasa apa-apa meski
empat bilah pisau itu sudah melayang sampai di belakangnya.
“Awas, Toako!” seru Boh-thian khawatir.
Tapi mendadak bayangan orang berkelebat, kedua orang itu
tahu-tahu melesat ke samping untuk kemudian menghilang
dengan cepat sehingga pisau-pisau terbang itu mengenai
tempat kosong dan jatuh dengan sendirinya. Betapa cepatnya
gerakan kedua orang itu sungguh susah untuk diukur, keruan
semua orang saling pandang dengan tercengang.
Saat itu Ciok Tiong-giok sebenarnya bermaksud mengeluyur
pergi dengan membawa si Ting Tong, tak terduga serangan Ko
Sam-niocu itu telah memancing perhatian semua orang ke arah
pintu sehingga perbuatan Ciok Tiong-giok itu diketahui.
“Berhenti!” bentak Pek Ban-kiam dengan bengis. Lalu katanya
kepada Ciok Jing, “Ciok-cengcu, silakan menyatakan
keputusanmu!”
“Apa mau dikata lagi jika memang demikian jadinya,” sahut
Ciok Jing dengan menghela napas. “Pek-suheng, biarlah kami
suami-istri membawa serta anak murtad itu ikut kau pergi ke
Leng-siau-sia untuk menerima hukuman dari Pek-supek.”
Ucapan Ciok Jing ini benar-benar di luar dugaan Pek Ban-kiam
dan anak murid Swat-san-pay yang lain. Untuk membela
putranya yang palsu tempo hari Ciok Jing suami-istri telah
bertempur mati-matian pantang menyerah, sekarang demi
putranya yang tulen sudah ketemu malah dia menyanggupi
berkunjung ke Leng-siau-sia, jangan-jangan di balik ini ada
sesuatu tipu muslihat.
Dalam pada itu Ciok Jing dan Bin Ju sendiri merasa sangat
sedih, mereka sangat menyesalkan putranya yang tak becus,
sudah mau menjadi pangcu, di kala ada bahaya berbalik main
sembunyi dan mengelakkan kewajiban, manusia demikian
biarpun ilmu silatnya setinggi langit juga takkan diindahkan
oleh orang gagah di dunia Kangouw.
Bilamana mereka bandingkan dengan Ciok Boh-thian yang
telah kumpul bersama sekian lamanya, walaupun tutur kata
pemuda itu rada-rada kekanak-kanakan, tapi dasar wataknya
sangat jujur dan polos, terkadang pun memperlihatkan jiwa
kesatrianya yang menggembirakan mereka menjadi suka
kepada pemuda itu.
Tak terduga Ciok Tiong-giok yang tulen mendadak muncul,
meski wajah kedua pemuda itu sangat mirip, tapi jiwa mereka
sangat berbeda, yang satu gagah perwira, yang lain lemah
pengecut. Celakanya yang pengecut itu justru adalah putranya
sendiri yang tulen, sedangkan kesatria muda itu berbalik bukan
putranya, hal ini membuat Bin Ju sangat kecewa. Tapi apa pun
juga pemuda itu tetap darah dagingnya sendiri, tidak urung ia
memanggilnya, “Anak Giok, coba ke sinilah!”
Segera Tiong-giok mendekat dan berkata dengan tersenyum,
“Ibu, sudah beberapa tahun kita berpisah, sungguh anak
sangat merindukan engkau. Tampaknya ibu menjadi semakin
cantik dan lebih muda, setiap orang yang melihat tentu akan
mengira engkau adalah kakak perempuanku dan takkan
percaya engkau adalah ibu kandungku.”
Bin Ju tersenyum, tapi hatinya sangat mendongkol, ternyata
putranya hanya pandai omong sebagai bergajul saja.
Dalam pada itu Tiong-giok berkata pula, “Ibu, anak telah
memperoleh sepasang gelang kemala yang indah, sudah lama
anak berharap dapat berjumpa dengan ibu agar dapat
memasang gelang kemala ini di tangan ibu sendiri.”
Sambil berkata ia lantas mengeluarkan sebuah bungkusan kecil
yang berisi sepasang gelang kemala dan sebuah tusuk kundai
berbingkai mutiara dan berbatu permata indah. Ia tarik tangan
sang ibu dan memasukkan sepasang gelang kemala hijau itu.
Memang Bin Ju sangat suka kepada perhiasan dan berdandan,
melihat sepasang gelang kemala itu sangat bagus, mau tak
mau ia menjadi senang juga atas kebaktian putranya kepada
orang tua.
Lalu Tiong-giok membalik tubuh dan menancapkan tusuk
kundai bermutiara itu di atas sanggul si Ting Tong, katanya
dengan perlahan, “Tusuk kundai mutiara ini seharusnya lebih
cantik sepuluh kali lagi baru cocok untuk mengimbangi wajah si
Ting-ting Tong-tong yang cantik molek.”
Ting Tong menjadi girang, sahutnya lirih, “Engkoh Thian, kau
memang selalu pandai bicara.”
Rupanya Pwe Hay-ciok menjadi tidak sabar menyaksikan
adegan itu, segera itu berseru, “Hari ini Nyo-loenghiong, Ciokcengcu
dan nyonya, para kesatria Swat-san-pay dan su-taymui-
pay (empat golongan besar) Kwantang berkumpul di sini
semua, segala kesalahpahaman juga sudah dapat diakhiri,
sekarang marilah kita mulai dengan jamuan baru, marilah kita
sama-sama bergembira.”
Akan tetapi Ciok Jing, Pek Ban-kiam, Hoan It-hui, dan lain-lain
masih tertekan perasaan, mereka pikir, “Kesukaran Tiang-lokpang
kalian sudah ada yang mau menghadapi, tapi kami masih
harus memikirkan keselamatan sendiri-sendiri, siapa yang
punya nafsu untuk makan-minum lagi?”
Segera Pek Ban-kiam membuka suara, “Menurut kedua sucia
dari Liong-bok-to itu, katanya mereka akan berkunjung juga ke
Leng-siau-sia, persoalan ini menyangkut kepentingan ayah dan
Swat-san-pay kami, maka Cayhe harus lekas-lekas pulang ke
sana. Tentang maksud baik Pwe-siansing ini Cayhe hanya
mengucapkan terima kasih saja.”
“Kami bertiga ingin berangkat bersama dengan Ciok-suheng,”
segera Ciok Jing menambahkan.
Maka Hoan It-hui dan kawan-kawannya juga lantas mohon diri
dengan alasan waktunya sudah mendesak, mereka harus
lekas-lekas pulang ke Kwantang untuk kemudian bersiap-siap
menghadiri pertemuan di Liong-bok-to.
Begitulah dengan perasaan hampa Ciok Boh-thian mengikuti
Pwe Hay-ciok mengantar para tamu yang mohon diri itu.
Pikirnya dengan rasa pedih, “Memangnya sejak mula aku bilang
mereka telah salah paham, tapi si Ting-ting Tong-tong justru
mengatakan aku adalah dia punya Engkoh Thian, Ciok-cengcu
dan nyonya juga bilang aku adalah putra mereka, tapi
sekarang diriku telah ditinggal sendirian oleh mereka.”
Mendadak ia merasa di dunia ini hanya tertinggal seorang diri
saja, siapa pun tiada sangkut pautnya dengan dia, sungguh ia
ingin menangis sepuas-puasnya.
Ketika memberi salam perpisahan, Ciok Jing dan istri melihat
Ciok Boh-thian mengunjuk rasa cemas yang tak terhingga,
mestinya Bin Ju hendak mengatakan akan memungut Bohthian
sebagai anaknya, tapi mengingat dia adalah pangcu suatu
organisasi besar, ilmu silatnya juga sedemikian lihai,
kedudukannya sudah jauh lebih tinggi daripada mereka suamiistri,
maka ia merasa rikuh untuk mengemukakan maksudnya.
Terpaksa ia hanya berkata dengan suara halus, “Ciok-pangcu,
karena salah kenal tempo hari sehingga selama ini kami agak
kurang hormat padamu, untuk ini kami berharap... berharap
kelak kita dapat berjumpa pula.”
Boh-thian hanya mengiakan saja dengan kurang semangat.
Sampai semua tamunya sudah lenyap dari pandangan dia
masih termangu-mangu di depan pintu.
Para anggota Tiang-lok-pang tiada berani mengusiknya,
mereka menduga mungkin sang pangcu menjadi masygul
karena sadar sudah dekat ajalnya sesudah menerima medali
tembaga kedua rasul pengganjar dan penghukum tadi, kalau
mereka mengganggunya, jangan-jangan rasa marah sang
pangcu akan dilampiaskan atas diri mereka?
Malamnya selekasnya Boh-thian sudah masuk kamar tidurnya,
tapi pikirannya bergolak, sampai tengah malam masih belum
pulas.
Pada saat mulai melayap-layap hendak pulas, mendadak
terdengar daun jendela diketuk perlahan-lahan tiga kali. Cepat
Boh-thian bangun berduduk, teringat olehnya dahulu apabila si
Ting-ting Tong-tong datang mencarinya selalu memberi tanda
dengan ketukan jendela seperti sekarang ini. Tanpa merasa ia
lantas menegur, “Apakah Ting-ting....” baru sekian ucapannya
ia lantas menghela napas, sebab lantas teringat pula bahwa
saat itu si nona tentu sudah berada di dalam pelukan Engkoh
Thian yang dicintainya dan tidak mungkin sudi datang
mencarinya lagi.
Di luar dugaan, daun jendela perlahan-lahan telah terdorong
buka, sesosok tubuh yang langsing tampak melompat masuk
sambil mengikik tawa, siapa lagi dia kalau bukan si Ting Tong?
“Mengapa kau potong namaku, Ting-tong kau ganti menjadi
Ting-ting saja?” demikian nona genit itu berkata dengan suara
perlahan sambil mendekati tempat tidur Ciok Boh-thian.
“Hah, kenapa kau kem... kemari lagi?” seru Boh-thian sambil
meloncat turun dari tempat tidurnya, ia girang dan terkejut
pula.
“Aku rindu padamu, maka datang menjenguk kau lagi,” sahut
Ting Tong dengan tertawa. “Gimana sih? Apakah aku tak boleh
datang kemari?”
“Kau sudah menemukan kembali kau punya Engkoh Thian,
buat apa kau datang menjenguk diriku lagi?” ujar Boh-thian
sambil menggeleng.
“Ai, kau marah padaku, bukan?” kata Ting Tong dengan
tertawa merayu. “Engkoh Thian, siang tadi aku telah
menampar kau, apakah kau masih marah padaku?” sambil
berkata ia terus meraba-raba pipi Ciok Boh-thian yang
ditamparnya itu.
Hidung Boh-thian lantas mengendus bau harum yang
menggiurkan, mukanya terasa diraba oleh sebuah tangan yang
putih dan halus, tanpa kuasa perasaannya menjadi kacau.
Katanya dengan setengah menggumam, “Aku tidak marah,
Ting-ting Tong-tong. Tak usah kau datang menjenguk diriku,
memangnya kau telah salah mengenali diriku, asal kau tidak
sebut aku sebagai penipu saja sudah cukup bagiku.”
“Penipu, penipu! Ai, jika kau benar-benar penipu, mungkin aku
malah senang,” ujar Ting Tong dengan suara lembut. “Ai,
Engkoh Thian, engkau benar-benar seorang jantan, seorang
kesatria sejati yang jarang terdapat di dunia ini. Kau sudah
menikah dan sudah sembahyang Thian dengan aku, kita pun
sudah... sudah tidur bersama, tapi selama itu... selama itu kau
tidak pernah memperlakukan aku sebagai istrimu.”
Muka Boh-thian menjadi merah jengah, sekujur badannya
terasa panas, katanya dengan tergagap-gagap, “Ting-ting
Tong-tong, aku... aku bukan kesatria sejati! Bukanlah aku
tidak... tidak kepingin, aku hanya... hanya tidak berani! Ya,
untung juga kita belum... belum apa-apa, kalau tidak, wah,
tentu bisa runyam!”
Ting Tong menggeser dan duduk di tepi ranjang, mendadak ia
menutupi matanya dan menangis tersedu sedan.
Keruan Boh-thian menjadi gugup, cepat ia tanya, “He, ada
apakah, Ting-ting Tong-tong?”
“Ya, aku tahu engkau adalah seorang kesatria se... sejati, akan
tetapi tidak begitulah pendapat... pendapat orang lain,”
demikian sahut Ting Tong sambil menangis. “O, sungguh,
biarpun aku terjun ke dalam sungai juga tidak cukup untuk
membersihkan nama suciku. Ciok... Ciok Tiong-giok itu
mengatakan... mengatakan bahwa aku sudah menikah dengan
kau dan sudah bersatu kamar, maka dia tidak mau padaku
lagi.”
“He, maaa... mana boleh jadi!” seru Boh-thian sambil
membanting-banting kaki. “Ting-ting Tong-tong, jangan
khawatir kau, biar kubicarakan dengan dia, akan kuterangkan
bahwa hubungan kita adalah suci bersih, selamanya tidak...
tidak pernah....”
“Tapi... tapi dia sudah sangat benci padamu, biarpun kau
bicara padanya juga dia takkan percaya,” ujar Ting Tong sambil
menangis.
Dalam hati kecilnya lapat-lapat Boh-thian merasa senang, “Jika
dia tidak mau padamu, akulah yang mau.”
Tapi ia pun tahu kata-kata demikian tidak layak diucapkan,
bahkan memikirnya juga tidak pantas. Maka dia hanya berkata,
“Lalu bagaimana? Wah, gara-gara diriku sehingga ikut
membikin susah padamu!”
Dengan terguguk-guguk Ting Tong berkata pula, “Dia bukan
sanak kadangmu, kau pun tidak berbuat sesuatu kebaikan
baginya, sebaliknya malah menyerobot dan menikah dengan
kekasihnya, sudah tentu saja dia benci dan dendam padamu.
Apabila dia... dia bukan dia, tapi misalnya Hoan It-hui atau
kawan-kawannya, mereka pernah utang budi padamu, dengan
sendirinya mereka akan percaya segala apa yang kau katakan.”
Boh-thian mengangguk, katanya, “Ya, benar. Ting-ting Tongtong,
sungguh aku merasa tidak enak, kita harus mencari
suatu akal yang baik. Eh, ya, kau boleh minta kakekmu
berbicara padanya, tentu dia akan menurut.”
“Percuma, percuma!” sahut Ting Tong, “Dia... dia Ciok Tionggiok
itu jiwanya sedang terancam, dalam waktu singkat kita
pun tak dapat menemukan kakek.”
“Hah, mengapa jiwanya sedang terancam?” tanya Boh-thian
terkejut.
“Itu Pek Ban-kiam dari Swat-san-pay tadinya mengira kau
adalah Ciok Tiong-giok sehingga kau ditangkap olehnya, syukur
kakek dan aku telah menyelamatkan kau, kalau tidak, tentu
kau sudah digiring ke Leng-siau-sia dan dicincang di sana, kau
masih ingat tidak kejadian itu?”
“Ya, sudah tentu masih ingat. Wah, celaka, sekali ini Pek-suhu
tentu akan menggiring dia ke Leng-siau-sia pula.”
“Memangnya! Orang-orang Swat-san-pay itu sudah terlalu
benci padanya, sekali dia sudah sampai di Leng-siau-sia, pasti
jiwanya akan melayang!”
“Benar, kalau melihat cara orang-orang Swat-san-pay yang
berulang-ulang menguber dan menangkap aku tempo hari,
tampaknya urusannya tentu bukan sembarang persoalan.
Cuma saja mengingat kehormatan Ciok-cengcu suami-istri,
boleh jadi kau punya Engkoh Thian hanya akan didamprat
sekadarnya saja dan urusan akan menjadi beres.”
“Enak saja kau bicara,” ujar si Ting Tong. “Jika mereka mau
mendamprat, apa tak bisa dilakukan pada setiap tempat, buat
apa mereka mesti susah-susah menggiringnya pulang ke Lengsiau-
sia? Apakah kau tidak tahu bahwa dalam usaha
menangkapnya selama ini Swat-san-pay sudah jatuh korban
beberapa orang?”
Seketika Boh-thian berkeringat dingin. Memang diketahuinya
bahwa Swat-san-pay telah jatuh korban beberapa orang,
jangankan dosa yang diperbuat Ciok Tiong-giok di Leng-siausia
itu pasti sangat berat, hanya melulu perhitungan korban
akibat pemburuannya di daerah Kanglam ini saja sudah cukup
alasan untuk menjatuhkan hukuman mati padanya.
Dalam pada itu si Ting Tong berkata pula, “Engkoh Thian
memang betul bersalah, adalah pantas kalau dia menebus
dosanya dengan jiwanya sendiri. Yang harus disayangkan
adalah Ciok-cengcu dan Ciok-hujin, mereka adalah orang-orang
baik, tapi sekarang mereka harus ikut berkorban ‘jiwa’.”
“Hah? Apa katamu? Ciok-cengcu dan nyonya juga akan ikut
berkorban jiwa?” seru Boh-thian sambil melonjak bangun. Ia
masih ingat kebaikan suami-istri she Ciok itu, ia merasa
mereka adalah orang yang paling baik di dunia ini, maka demi
mendengar kedua orang itu menghadapi bahaya, dengan
sendirinya ia menaruh perhatian penuh.
“Kau sudah tahu bahwa Ciok-cengcu berdua adalah ayahbunda
Engkoh Thian, jika mereka mengantar Engkoh Thian ke
Leng-siau-sia, masakah mereka sengaja mengantarkan
kematian putranya? Sudah tentu mereka akan mintakan
ampun kepada Pek-losiansing. Namun dapat dipastikan Peklosiansing
tentu takkan meluluskan dan tetap akan
membinasakan Engkoh Thian. Untuk mana Ciok-cengcu berdua
tentu akan membela putra kesayangan mereka dan pada saat
mana mau tak mau pasti akan menggunakan kekerasan. Coba
kau pikir, betapa banyak jago-jago Swat-san-pay itu, pula di
rumahnya sendiri, sebaliknya Ciok-cengcu hanya bertiga, mana
bisa mereka melawannya? Ai, kulihat selama ini Ciok-hujin
sangat baik padamu, ibumu sendiri mungkin juga tidak
sedemikian sayangnya padamu. Tapi sekarang dia akan... akan
tewas juga di Leng-siau-sia.”
Sambil berkata ia terus menutupi mukanya dan kembali
menangis pula.
Seketika darah Ciok Boh-thian bergolak dan mendidih, serunya
tanpa pikir, “Jika Ciok-cengcu dan Ciok-hujin ada kesukaran,
biarpun betapa bahayanya di Leng-siau-sia sana juga aku akan
menyusul untuk membantunya. Seumpama aku tidak mampu
menolong mereka, aku lebih suka gugur bersama mereka di
sana daripada hidup sendirian. Ting-ting Tong-tong, biarlah
sekarang juga aku akan pergi!”
“Kau hendak ke mana?” tanya si Ting Tong sambil menarik
lengan baju pemuda itu.
“Malam ini juga aku akan menyusul mereka untuk bersamasama
naik ke Leng-siau-sia,” sahut Boh-thian.
“Kabarnya ilmu silat Wi-tek Siansing Pek-loyacu itu sangat
lihai, di samping itu ada tokoh-tokoh lain seperti Hong-hwe-sinliong
Hong Ban-li dan sebagainya, andaikan kepandaianmu
dapat menangkan mereka, tapi di tengah Leng-siau-sia konon
penuh terdapat pesawat-pesawat rahasia seperti jaring kawat,
panah berbisa, jebakan di bawah tanah, dan macam-macam
lagi, sedikit kurang hati-hati tentu kau akan masuk perangkap
mereka.”
“Jika begitu apa mau dikata lagi kalau memang sudah nasib,”
ujar Boh-thian.
“Janganlah kau terdorong oleh ketekadanmu yang timbul
seketika ini, jika terjadi apa-apa atas dirimu, siapa lagi yang
mampu menolong Ciok-cengcu dan nyonya?” ujar Ting Tong.
“O, apabila engkau gugur di sana, entah betapa akan rasa
dukaku, aku... aku pun tentu tak bisa hidup sendirian.”
Hati Boh-thian berdebur keras mendengar ucapan yang
meresap itu, katanya dengan agak gemetar, “Mengapa engkau
sedemikian... sedemikian baik padaku? Aku toh bukan... bukan
kau punya Engkoh Thian yang sebenarnya?”
“Ya, kalian berdua terlalu mirip laksana pinang dibelah dua,
dalam hatiku hakikatnya tiada perbedaan, apalagi kita telah
berkumpul cukup lama, selama itu pun kau sangat baik dan
jujur padaku,” sampai di sini tiba-tiba Ting Tong pegang kedua
tangan Ciok Boh-thian dan menambahkan, “Engkoh Thian,
berjanjilah padaku, biar bagaimanapun engkau jangan pergi
dan binasa.”
“Akan tetapi aku harus menolong Ciok-cengcu dan istrinya,”
ujar Boh-thian.
“Sebenarnya aku ada satu akal, cuma kukhawatir engkau
curiga dan mengira aku menipu kau, maka tidak enak akan
kukatakan,” kata Ting Tong.
“Lekas katakan, lekas! Apakah akalmu itu, masakah aku curiga
padamu?”
Ting Tong tampak merenung sejenak, katanya dengan raguragu,
“Engkoh Thian, cara ini sesungguhnya terlalu membikin
susah padamu, sebaliknya terlalu menguntungkan dia, setiap
orang yang mengetahui akalku ini tentu akan mengatakan aku
sengaja menjebak kau. Ai, tidak, tidak bisa, biar bagaimanapun
hal ini adalah terlalu tidak adil.”
“Sebenarnya bagaimana akalmu itu? Asal dapat menolong
Ciok-cengcu berdua, biarpun sedikit membikin susah padaku
apa sih halangannya?”
“Engkoh Thian, jika kau berkeras ingin tahu, biarlah akan
kuturut dan akan kuterangkan,” sahut Ting Tong. “Cuma kalau
kau benar-benar akan menjalankan akalku ini, maka akulah
yang tidak boleh. Aku akan tanya dulu padamu, apakah kau
tahu sebab apakah orang-orang Swat-san-pay sedemikian
bencinya kepada Ciok Tiong-giok dan bertekad akan
membunuhnya?”
“Kalau tidak salah Ciok Tiong-giok itu adalah murid Swat-sanpay,
dia telah melanggar larangan perguruan, telah
mengakibatkan kematian putri Pek-suhu sehingga sebelah
lengan gurunya, yaitu Hong Ban-li ikut menjadi korban, ditebas
oleh Pek-losiansing, ya, boleh jadi berbuat pula kejahatankejahatan
lain yang tidak senonoh.”
“Benar, justru karena Ciok Tiong-giok itu telah mencelakai
orang, makanya mereka akan membunuhnya untuk mengganti
jiwa. Engkoh Thian, apakah kau telah membinasakan putri Peksuhu
dari Swat-san-pay itu?”
“Hah, aku?” seru Boh-thian melengak. “Sudah tentu tidak!
Sedangkan muka putri Pek-suhu itu belum pernah kulihat.”
“Itu dia,” kata Ting Tong. “Akalku ini sesungguhnya juga
sangat sederhana, ialah engkau boleh menyaru sebagai Ciok
Tiong-giok dan ikut Ciok-cengcu ke Leng-siau-sia sana, nanti
bila mereka hendak membinasakan kau barulah kau mengaku
terus terang bahwa kau sesungguhnya adalah Kau-cap-ceng
dan bukan Ciok Tiong-giok. Yang akan mereka bunuh adalah
Ciok Tiong-giok dan bukan kau, paling-paling mereka akan
mencaci maki padamu karena kau telah menipu mereka
dengan menyaru, tapi akhirnya kau toh akan dibebaskan juga.
Dan karena kau tak dibunuh oleh mereka, dengan sendirinya
Ciok-cengcu berdua juga tidak perlu bergebrak dengan mereka
dan tentu pun tidak berbahaya lagi.”
Untuk sejenak Boh-thian terdiam, katanya kemudian, “Akalmu
ini cukup baik, cuma letak Leng-siau-sia itu jauh di wilayah
barat sana, dalam perjalanan sejauh ribuan li bersama Peksuhu
dan rombongannya itu bukan mustahil sedikit salah
omong saja penyamaranku akan diketahui. Kau sudah tahu
sendiri, Ting-ting Tong-tong, aku tidak pintar bicara, gerakgerikku
juga bodoh, mana dapat menirukan Ciok Tiong-giok
yang... yang pintar dan cerdik itu.”
“Soal ini sudah kupikirkan juga,” ujar Ting Tong dengan
tertawa. “Kau bisa semir sejenis... sejenis obat yang berbisa di
bagian tenggorokanmu sehingga di bagian itu akan menjadi
bengkak, kau pura-pura sakit tenggorokan dan susah bicara,
pura-pura menjadi bisu dan tidak perlu membuka suara dalam
perjalanan.”
Sampai di sini tiba-tiba Ting Tong menghela napas, lalu
katanya pula dengan menyesal, “Engkoh Thian, meski akalku
ini cukup bagus, tapi kau yang harus menderita, maka aku
merasa tidak enak.”
Mendengar ucapan si nona itu penuh rasa kasih sayang
padanya, sungguh Boh-thian menjadi terharu. Dalam keadaan
demikian jangankan dia cuma disuruh pura-pura menjadi bisu,
sekalipun dia diminta mati baginya juga mau. Maka segera ia
berseru, “Bagus, akalmu sangat bagus! Cuma cara bagaimana
aku harus menggantikan Ciok Tiong-giok itu?”
“Rombongan mereka itu bermalam semua di Heng-co-tin di
sebelah barat sana, sekarang juga kita dapat menyusul ke
sana,” kata Ting Tong. “Kutahu kamar tidurnya Ciok Tionggiok,
diam-diam kita masuk ke sana dan kalian dapat saling
tukar pakaian. Besok pagi kau lantas pura-pura merintih-rintih
kesakitan dan mengatakan bagian tenggorokanmu keluar bisul
jahat sehingga susah bersuara, sebelum saat kau hendak
dibunuh orang Swat-san-pay janganlah kau membuka mulut
dan bicara.”
“Ting-ting Tong-tong, akal sebagus ini hanyalah engkau yang
dapat memikirkannya,” seru Boh-thian dengan girang.
“Dan ingatlah, sepanjang jalan jangan kau bicara dengan siapa
pun juga, terhadap Ciok-cengcu dan Ciok-hujin juga tidak
boleh memberi isyarat apa-apa. Maklum Pek-suhu dan kawankawannya
itu sangat lihai, sedikit kau memperlihatkan tandatanda
yang mencurigakan akan berarti membikin celaka
kepada Ciok-cengcu berdua.”
“Ya, baiklah, biarpun kepalaku dipenggal juga aku takkan
bicara,” sahut Boh-thian sambil mengangguk. “Hayolah,
sekarang juga kita berangkat.”
Tapi mendadak pintu kamar dibuka orang, suara seorang
wanita berseru, “Jangan kau tertipu olehnya, Siauya!”
Remang-remang Boh-thian melihat seorang wanita muda
berdiri di depan pintu, kiranya adalah Si Kiam. “Jangan...
jangan tertipu apa, Si Kiam?”
“Di luar kamar telah kudengar seluruhnya,” sahut Si Kiam.
“Nona Ting ini tidak bermaksud baik, dia... dia hanya ingin
menyelamatkan dia punya Engkoh Thian dan sengaja menipu
kau untuk mewakilkan kematiannya.”
“Ah, masakah begitu?” ujar Boh-thian. “Nona Ting membantu
aku memikirkan cara bagaimana harus menolong Ciok-cengcu
dan Ciok-hujin.”
“Ai, mengapa Siauya tidak pikir masak-masak, mungkinkah
mereka menaruh maksud baik padamu?” kata Si Kiam.
Mendadak Ting Tong tertawa dingin, “Huh, memangnya kau
adalah pelayan pangcumu yang tulen, sekarang kau sengaja
membantu orang luar dan sengaja mengadu domba.”
Lalu ia berpaling kepada Boh-thian dan berkata, “Engkoh
Thian, jangan kau pedulikan perempuan hina ini, lekas kau
pergi minta sedikit bun-hiang (dupa pemabuk) kepada Tanhiangcu,
tapi jangan bicara tentang urusan kita ini, sesudah
mendapatkan dupa itu boleh tunggu aku di luar sana saja.”
“Untuk apa kita membawa dupa seperti itu?” tanya Boh-thian.
“Sebentar tentu kau akan tahu, sekarang lekas berangkat,
lekas!” desak si Ting Tong.
Boh-thian mengiakan dan segera melangkah keluar.
Setelah Boh-thian pergi, segera Ting Tong menyemprot Si
Kiam, “Hm, budak hina, baik juga ya hatimu!”
Si Kiam menjadi takut, ia menjerit terus hendak lari. Tapi si
Ting Tong tidak memberi kesempatan padanya, cepat ia
memburu maju, kedua tangannya menghantam sekaligus,
tepat punggung Si Kiam kena digenjot dan tanpa ampun lagi
mati seketika.
Sebelum meninggalkan kamar itu, lebih dulu Ting Tong
menyeret jenazah Si Kiam itu ke dalam kamar, ia sengaja
merobek-robek pakaian Si Kiam dan meletakkan jenazah
pelayan itu di atas ranjang agar besok paginya dicurigai orangorang
Tiang-lok-pang yang pasti akan menyangka pangcu
mereka sendiri yang telah membunuh pelayannya lantaran
melawan kehendak sang pangcu yang tidak senonoh. Dengan
demikian Pwe Hay-ciok dan lain-lain tentu juga tidak akan
kaget bilamana mendadak Ciok Boh-thian menghilang, mereka
tentu mengira sang pangcu sengaja menyingkir untuk
beberapa hari lamanya karena merasa malu.
Selesai mengatur, perlahan-lahan Ting Tong lantas menyusup
keluar dan setelah menunggu agak lama barulah kelihatan Ciok
Boh-thian muncul.
“Sudah dapat!” kata pemuda itu.
“Bagus!” sahut Ting Tong dengan girang dan segera
mengajaknya berangkat menuju ke tepi sungai dan naik ke
atas perahu yang sudah siap.
Setelah mendayung perahu itu beberapa li jauhnya, kemudian
mereka mendarat, ternyata di bawah pohon sana sudah
tertambat dua ekor kuda. “Marilah kita menunggang kuda
saja!” kata si nona.
“Ai, rencanamu ini benar-benar sangat rapi, sampai-sampai
kuda pun sudah disiapkan,” ujar Boh-thian.
“Rapi apa segala?” semprot Ting Tong dengan muka merah.
“Ini adalah kuda Yaya, aku toh tidak tahu kalau kau ingin buruburu
hendak pergi menolong Ciok-cengcu.”
Boh-thian menjadi bingung mengapa si nona mendadak marah.
Ia tidak berani banyak bicara lagi dan terus cemplak ke atas
kuda.
Kira-kira jam tiga dini hari sampailah mereka di luar Kota
Heng-co-tin, mereka turun dari kuda dan masuk ke dalam
kota. Ting Tong membawa Boh-thian ke sebuah hotel. Di luar
hotel si nona berbisik-bisik padanya, “Ciok-cengcu suami-istri
dan putranya tidur di kamar kedua di sebelah timur sana.”
“Apakah mereka bertiga tidur di suatu kamar?” tanya Bohthian.
“Wah, jangan-jangan nanti ketahuan Ciok-cengcu dan
Ciok-hujin.”
“Mereka terpaksa harus tidur sekamar, mereka harus
mengawasi putranya agar tidak melarikan diri,” sahut Ting
Tong. “Ai, mereka hanya memikirkan harga diri mereka sebagai
kesatria tanpa memikirkan mati-hidup putranya, orang tua
demikian benar-benar jarang terdapat di dunia ini.”
Mendengar nada si nona seperti merasa penasaran, Boh-thian
menjadi bingung dan tidak dapat menanggapi. Terpaksa ia
tanya dengan suara tertahan, “Habis, bagaimana?”
“Boleh kau sulut dupa pemabuk yang kau bawa, masukkan ke
dalam kamar mereka melalui celah-celah jendela, sesudah
mereka tak sadarkan diri barulah kau membuka jendela dan
masuk ke dalam, diam-diam kau pondong keluar Ciok Tionggiok
dan selesaikan tugasmu. Ginkangmu sangat tinggi, keluarmasuk
kamar tentu takkan diketahui Pek-suhu dan kawankawannya.
Aku akan menunggu kau di bawah emper sana.”
“O, kiranya demikian,” kata Boh-thian sambil mengangguk.
“Baiklah, akan kukerjakan menurut petunjukmu. Apakah dupa
ini yang digunakan Tan-hiangcu dan kawan-kawannya untuk
menawan orang-orang Swat-san-pay sebagaimana dikatakan
mereka itu?”
“Benar,” sahut Ting Tong. “Ini adalah perbuatan rendah yang
biasa dilakukan oleh orang-orang Pang kalian, tentu dupa ini
sangat manjur, kalau tidak masakah orang-orang Swat-sanpay
yang bukan kaum lemah itu dapat dibekuk begitu saja?
Cuma kau pun harus hati-hati, jangan sampai menerbitkan
suara sedikit pun. Ketahuilah Ciok-cengcu dan nyonya tidak
dapat disamakan dengan anak murid Swat-san-pay.”
Boh-thian mengiakan perlahan. Segera ia menyalakan dupa
pembius yang dibawanya. Walaupun di tempat terbuka
kepalanya terasa pusing juga ketika membau asap dupa itu.
Keruan ia terkejut. “Dupa ini bisa mematikan orang tidak?”
cepat ia tanya.
“Mereka telah menawan orang-orang Swat-san-pay dengan
dupa semacam ini, apakah di antara orang-orang Swat-san-pay
ada yang mati?” Ting Tong balas bertanya.
“Ya, tidak,” sahut Boh-thian. “Baiklah, harap kau tunggu di
sini.”
Perlahan-lahan ia melompat, melintasi pagar tembok, ternyata
enteng sekali gerakannya sehingga tiada menimbulkan suara
sedikit pun. Ia menemukan jendela kamar kedua di serambi
timur, ia dengar suara napas ketiga orang di dalam kamar itu
sedang terpulas dengan nyenyaknya, perlahan-lahan ia
membasahi kertas penutup jendela dengan air ludah sehingga
terkorek menjadi sebuah lubang kecil, lalu ia menyalakan dupa
dan memasukkannya ke dalam kamar. Nyala dupa itu sangat
cepat dan sebentar saja sudah habis. Ia dengar sekeliling situ
tiada sesuatu suara, dengan hati-hati ia lantas mendorong
daun jendela sehingga terpentang, palang jendela telah patah
oleh tenaga dalamnya yang kuat. Dengan gesit ia lantas
melompat ke dalam kamar.
Bab 38. Ciok Boh-thian Pura-pura Sakit Gondok
Di bawah cahaya bintang-bintang yang remang-remang
dilihatnya dalam kamar itu terdapat dua buah dipan. Ciok Jing
suami-istri bersatu dipan dan Ciok Tiong-giok tidur sendirian di
dipan yang lain.
Baru saja ia hendak mengangkat tubuh Ciok Tiong-giok,
mendadak ia merasa kepala sendiri agak pusing, ia tahu telah
mengisap bau dupa pemabuk, cepat ia menahan napas dan
membawa Ciok Tiong-giok keluar hotel.
Ting Tong sudah menunggu di sana, bisiknya perlahan,
“Marilah kita menyingkir agak jauh supaya tidak membikin
kaget Pek-suhu dan kawan-kawannya.”
Boh-thian mengiakan, dengan memondong Ciok Tiong-giok ia
ikut si nona menyingkir ke tempat lebih jauh dari hotel itu.
“Lekas kau menanggalkan pakaiannya dan menukar dengan
pakaianmu, begitu pula seluruh isi sakunya,” kata si Ting Tong.
Waktu Boh-thian merogoh kantongnya sendiri, ia
mengeluarkan sekotak boneka kayu pemberian Tay-pi Lojin
dahulu serta dua potong medali tembaga. “Apakah ini juga...
juga diberikan padanya?” tanyanya.
“Ya, berikan semua,” sahut Ting Tong. “Kalau tersimpan di
bajumu, jangan-jangan akan dilihat orang dan terbongkar
rahasia penyamaranmu. Biarlah aku meronda di sebelah sana.
Cepat kau bertukar pakaian dengan dia.”
Menunggu sesudah si Ting Tong menyingkir agak jauh, segera
Boh-thian melepaskan, pakaiannya sendiri, lalu membelejeti
Ciok Tiong-giok dan saling bertukar pakaian. “Sudah, sudah
selesai!” serunya kemudian.
Maka kembalilah Ting Tong mendekat, katanya, “Jiwa Ciokcengcu
dan Ciok-hujin selanjutnya tergantunglah padamu, jika
kau kurang pandai bergaya tentu celakalah mereka.”
“Aku akan berbuat sebisanya,” ujar Boh-thian.
Lalu Ting Tong mengeluarkan sebuah kotak kecil, ia membuka
tutup kotak dan mengorek sedikit salep dengan kukunya sambil
berkata, “Dongakkan kepalamu!”
Sesudah Boh-thian mengangkat kepalanya, segera ia poles
salep itu di lehernya dan berkata pula, “Sebelum pagi
mendatang nanti harus kau membersihkan salep ini supaya
tidak dilihat orang lain. Besok akan terasa sakit sedikit, untuk
ini kau harus tahan derita.”
“Tidak apa,” sahut Boh-thian.
Tiba-tiba terlihat badan Ciok Tiong-giok sedikit bergerak seperti
akan siuman. Cepat ia berkata, “Ting-ting Tong-tong, aku akan
kembali ke kamarnya, sampai bertemu!”
“Ya, lekas, selamat!!” sahut Ting Tong.
Kira-kira belasan meter jauhnya Boh-thian melangkah ke arah
hotel, waktu menoleh, terlihat Ciok Tiong-giok sudah berduduk
dan seperti sedang bicara dengan si Ting Tong dengan suara
lirih. Tiba-tiba terdengar Ting Tong mengikik tawa, suaranya
sangat perlahan, tapi penuh rasa gembira.
Sekonyong-konyong Boh-thian merasakan semacam
kecemasan yang hebat, lapat-lapat ia merasa selanjutnya tidak
dapat berkumpul bersama si Ting Tong lagi. Sesudah merandek
sejenak, akhirnya ia melompat masuk ke dalam hotel dan
menyusup ke dalam kamar.
Asap dupa di dalam kamar masih cukup keras, ia membuka
daun jendela supaya ada hawa segar. Terdengar suara derapan
kuda yang makin menjauh, ia tahu si Ting Tong dan Ciok
Tiong-giok telah pergi bersama. Pikirnya, “Ke manakah
mereka? Sekarang si Ting-ting Tong-tong tentulah sangat
senang. Aku sendiri terlalu bodoh dan tidak pintar bicara,
berada bersama dia hanya selalu membikin marah padanya
saja.”
Ia berdiri termenung-menung agak lama di depan jendela,
ketika mendadak merasa lehernya mulai sakit barulah cepatcepat
ia menyusup ke kolong selimut.
Obat salep si Ting Tong itu ternyata sangat manjur, tidak
sampai satu jam tenggorokan Ciok Boh-thian sudah kesakitan.
Waktu ia meraba dengan tangan, tempat tenggorokan itu
sangat panas dan bengkak seperti orang gondok.
Ia tahan sampai fajar sudah menyingsing, lalu ia
membersihkan bekas salep itu dengan selimut, kemudian mulai
merintih-rintih kesakitan menurut ajaran Ting Tong supaya
menarik perhatian Ciok Jing suami-istri dan tidak curiga
bilamana mengendus sisa bau dupa.
Benar juga, sesudah merintih-rintih sebentar lantas didengar
oleh Ciok Jing, segera orang tua itu bertanya, “Kenapa kau?”
Nadanya bukannya kasih sayang, sebaliknya rada marah.
Bin Ju juga lantas bangun dan bertanya, “Kenapakah anak
Giok? Apakah badanmu kurang enak?”
Dan tanpa menunggu jawaban segera ia mendekati Boh-thian.
Ketika mendadak melihat kedua pipi Boh-thian merah
membara, lehernya juga bengkak, ia menjadi kaget dan cepat
berteriak, “He, Engkoh Jing, lekas kemari, coba lihatlah!”
Mendengar seruan sang istri yang khawatir itu, cepat Ciok Jing
lantas melompat bangun ke depan dipan putranya, ia menjadi
khawatir juga demi tampak leher putranya merah bengkak
sebagai gondokan. “Besar kemungkinan hanya penyakit bisul
biasa saja, kalau diobati cepat-cepat tentu akan segera
sembuh.”
Lalu ia tanya Boh-thian, “Bagaimana, Nak? Apakah sangat
sakit?”
Boh-thian hanya merintih saja dan tidak berani membuka
suara. Pikirnya sendiri, “Karena ingin menolong kalian,
makanya aku pura-pura sakit untuk menipu kalian. Hanya sakit
bisul begini saja kalian sudah sedemikian menaruh perhatian
padaku, ini menandakan kalian masih sangat cinta kepada
putramu Ciok Tiong-giok itu walaupun dia telah banyak
berdosa. Ai, mengapa di dunia ini tiada seorang pun yang
mencintai aku seperti ini.”
Teringat demikian ia menjadi terharu sehingga mengembeng
air mata.
Melihat putranya mewek-mewek akan menangis, Ciok Jing dan
Bin Ju mengira dia kesakitan, maka mereka tambah khawatir.
Ciok Jing bertanya, “Biarlah kucari seorang tabib.”
“Di kota kecil seperti ini tentu tiada tabib pandai, marilah kita
pulang ke Yangciu saja dan minta tolong Pwe-tayhu untuk
memberi obat padanya,” usul Bin Ju.
“Tidak,” jawab Ciok Jing. “Jangan-jangan akan menimbulkan
curiga Pek Ban-kiam dan kawan-kawannya, pula akan
dipandang hina oleh Pwe Hay-ciok.”
Ia tahu Pwe Hay-ciok dan orang-orang Tiang-lok-pang sudah
dendam kepada putranya yang khianat ini, bilamana dibawa ke
sana bukan mustahil sang putra akan dicelakai malah.
Segera Bin Ju membawakan semangkuk kuah hangat untuk
Ciok Boh-thian, tak terduga salep berbisa itu sangat lihai, luardalam
tenggorokan itu telah bengkak semua sehingga tak
dapat makan-minum sama sekali. Keruan Bin Ju tambah
khawatir.
Ciok Jing lantas mencari seorang tabib. Dasar tabib
kampungan, tapi berlagak mahapandai, sesudah memeriksa
penyakit Boh-thian itu, sebentar ia bilang cuma penyakit
gondok, tapi lain saat ia menakut-nakuti katanya sakit kanker.
Akhirnya ia membual betapa kepandaiannya dan minta
pasiennya jangan khawatir, lalu ia membuka resep.
Ciok Jing memberi pujian sekadarnya dan memberikan
honorarium yang cukup, setelah tabib itu pergi ia lantas
membeli obat ke apotek.
Karena kesibukan Ciok Jing, itu, akhirnya orang-orang Swatsan-
pay mendapat tahu juga persoalannya. Khawatir kalaukalau
Ciok Jing main gila dan berusaha menyelamatkan
putranya, maka Pek Ban-kiam pura-pura menjenguk ke
kamarnya. Ketika melihat tenggorokan Ciok Boh-thian benarbenar
seperti orang sakit gondok dan Bin Ju tampak khawatir
dan bingung, diam-diam ia merasa senang dan syukur.
Pikirnya, “Kau bocah durhaka ini sudah berdosa kelewat
takaran, jika kau terbunuh begitu saja di Leng-siau-sia nanti
akan terlalu murah bagimu, memangnya kau harus disiksa dan
banyak menderita dahulu agar kau bertobat.”
Walaupun demikian pikirnya, namun sebagai seorang kesatria
ia malah menghibur Bin Ju agar jangan khawatir.
Sesudah memberikan obat kepada putranya, kemudian Ciok
Jing berkata kepada sang istri, “Aku sudah siapkan kereta di
luar. Tiong-giok adalah seorang lelaki, dia harus berani tahan
uji, sedikit penyakit saja tidak boleh menghalangi urusan orang
banyak. Marilah kita lantas berangkat saja.”
Bin Ju menjadi ragu-ragu, katanya, “Penyakit anak begini
parah, kalau dipaksa meneruskan perjalanan mungkin...
mungkin akan tambah berat.”
“Kedua sucia pengganjar dan penghukum itu sedang menuju
ke Leng-siau-sia, Pek-suheng harus buru-buru menyusul ke
sana, jika Wi-tek Siansing sampai bergebrak dengan mereka,
kita tak dapat membantu, sebaliknya memperlambat
perjalanan Pek-suheng, hal ini tidaklah pantas.”
Bin Ju terpaksa mengiakan, katanya kepada Boh-thian, “Nak,
marilah kubantu kau memakai baju.”
Lalu ia membantu Boh-thian berpakaian dan lantas keluar
hotel.
Melihat Ciok Jing memaksa putranya melanjutkan perjalanan
dalam keadaan sakit, mau tak mau Pek Ban-kiam menaruh
hormat juga atas jiwa kesatrianya.
Sebaliknya Bin Ju paham apa yang diperhitungkan sang suami,
ia kenal watak suaminya tidak nanti mengeluyur pergi dengan
membawa lari putranya. Tapi menurut perhitungan Ciok Jing
kunjungan Thio Sam dan Li Si ke Leng-siau-sia nanti pasti akan
cekcok dan bertempur dengan Pek Cu-cay alias Wi-tek Siansing
yang berperangai keras dan tidak nanti mau terima medali
tembaga yang disodorkan itu. Jika bisa Ciok Jing ingin
mencapai Leng-siau-sia tepat pada waktunya dan dapat
membantu pihak Swat-san-pay dengan sepenuh tenaga, jika
nasibnya malang dan gugur dalam pertempuran itu, maka
paling sedikit akan dapat mencuci bersih nama busuk putranya,
sebaliknya kalau untung mendapat kemenangan, maka berita
tentang Swat-san-pay bergabung dengan Hian-soh-ceng telah
menjatuhkan Thio Sam dan Li Si pasti akan tersiar di dunia
Kangouw, jasa itu tentu dapat menebus dosa putranya dan Pek
Cu-cay tentu tidak tega membunuhnya lagi.
Namun Bin Ju sendiri sudah menyaksikan kepandaian Thio Sam
dan Li Si di markas Tiang-lok-pang dan menduga lebih banyak
kalah daripada menangnya bila benar-benar bergabung
melawan kedua orang itu. Akan tetapi selain pikiran sang
suami itu rasanya tiada jalan lain lagi yang lebih sempurna,
sebab itulah ia pun menurut saja.
Sebenarnya tabib di Heng-co-tin itu memang tidak becus, dia
telah salah sangka bengkak di tenggorokan Ciok Boh-thian itu
sebagai sakit gondok. Namun dengan demikian Ciok Jing dan
Bin Ju menjadi tidak curiga apa-apa. Pula wajah Boh-thian dan
Ciok Tiong-giok memang sangat mirip, sesudah saling tukar
pakaiannya, siapa pun tidak dapat membedakannya lagi.
Dengan enak-enak Boh-thian bertiduran di dalam kereta kuda
tanpa bersuara sedikit pun, maka rahasianya juga tidak sampai
ketahuan siapa-siapa. Kepergian si Ting Tong tanpa pamit itu
adalah kebetulan bagi Ciok Jing dan Bin Ju, maka mereka pun
tidak mengusut lebih lanjut.
Begitulah rombongan mereka lantas mempercepat perjalanan
agar tidak didahului oleh Thio Sam dan Li Si. Setiba di wilayah
Provinsi Oulam, bengkak di tenggorokan Ciok Boh-thian sudah
kempis, akan tetapi dia masih gagu dan tidak dapat bicara.
Beberapa kali Ciok Jing membawanya kepada tabib-tabib di
kota yang dilalui, namun tidak diperoleh sesuatu kepastian
tentang penyakitnya, hal ini membuat Ciok Jing menjadi
masygul dan Bin Ju pun lebih sering mencucurkan air mata.
Suatu hari sampailah mereka di wilayah Se-ek (daerah
provinsi-provinsi sebelah barat). Orang-orang Swat-san-pay
sangat hafal keadaan setempat, mereka selalu mengambil
jalanan kecil yang lebih dekat. Untuk ini mereka yakin pasti
akan dapat tiba lebih dulu di tempat tujuan daripada Thio Sam
dan Li Si. Makin dekat dengan Leng-siau-sia makin legalah hati
mereka.
Hanya Ciok Jing dan Bin Ju saja yang merasa bimbang, mereka
menduga pada waktu bertemu dengan Wi-tek Siansing nanti
kedua pihak tentu akan serbasalah. Apabila orang tua itu lantas
marah-marah terus membinasakan anak Giok dan pada saat itu
juga Thio Sam dan Li Si muncul pula, maka keadaan tentu
akan menjadi sulit.
Diam-diam Ciok Jing dan Bin Ju juga saling berunding, tapi
susah mengambil sesuatu keputusan, terpaksa mereka pasrah
nasib dan terserah kepada keadaan nanti.
Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di suatu lereng
gunung di mana terdapat sederetan rumah-rumah papan kayu,
Pek Ban-kiam telah tanya penjaga rumah-rumah papan itu dan
diketahui beberapa hari terakhir ini belum pernah ada orang
asing lalu di situ, maka hatinya menjadi makin lega.
Mereka bermalam di perumahan papan itu, besok paginya
mereka melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Kiranya
perjalanan selanjutnya sangatlah terjal dan tidak dapat dilalui
dengan kuda. Beberapa murid Swat-san-pay jalan di depan
sebagai penunjuk jalan mereka terus mendaki gunung dan
melintasi tanjakan. Kira-kira satu jam kemudian, seluruh tanah
mulai tertampak hanya salju belaka. Untung ginkang setiap
orang tidaklah lemah sehingga tidak mengalami suatu
kesukaran.
Sepanjang jalan Ciok Boh-thian terus ikut di belakang ayahbundanya,
tidak mendahului juga tidak ketinggalan.
Melihat kekuatan berjalan sang putra sangat tangkas,
napasnya juga panjang, diam-diam Ciok Jing dan Bin Ju
merasa lwekang pemuda itu tidak lebih lemah daripada mereka
sendiri, mereka menjadi kagum dan senang. Tapi demi ingat
tidak lama lagi akan berjumpa dengan Pek Cu-cay, kembali
mereka khawatir pula.
Petangnya mereka melihat di depan sana berdiri suatu puncak
gunung yang menjulang tinggi dengan bangunan berpuluhpuluh
rumah.
“Ciok-cengcu, inilah Leng-siau-sia adanya, tempatnya terlalu
terpencil dan miskin, segalanya kasar dan sederhana saja,”
kata Pek Ban-kiam.
“Sungguh suatu tempat yang bagus,” puji Ciok Jing. “Puncak
yang tertinggi dikelilingi gunung-gemunung, benar-benar
sesuai dengan namanya sebagai ‘leng-siau’ (mencakar langit).”
Tertampak awan mengapung ke atas dan lambat laun seluruh
Leng-siau-sia telah terselubung semua di-tengah-tengah
gumpalan awan yang tebal.
Ketika rombongan mereka sampai di kaki puncak gunung itu
hari pun sudah gelap, mereka lantas bermalam pada dua
rumah batu yang biasanya disediakan untuk orang-orang yang
hendak berkunjung ke Leng-siau-sia agar besok pagi-pagi
dapat mendaki puncak tinggi itu dengan tenaga penuh.
Waktu fajar baru menyingsing segera rombongan mereka mulai
mendaki puncak terjal itu. Walaupun semua orang
berkepandaian tinggi, tidak urung mereka harus berhenti
mengaso dua kali serta makan ransum di gardu kecil di tengah
gunung. Lewat tengah hari barulah mereka sampai di luar
Leng-siau-sia. Tertampaklah beratus-ratus rumah dikelilingi
selapis tembok benteng yang putih dan tingginya lebih dari
lima-enam meter, kelihatannya penuh dengan salju yang sudah
membeku.
“Pek-suheng, dinding benteng penuh dengan salju yang
membeku, maka pastilah sangat kukuh laksana baja, orang
luar tidaklah mungkin dapat menyerbu ke dalam,” kata Ciok
Jing.
“Ya, selama lebih 170 tahun berdirinya golongan kami memang
tidak pernah diserbu musuh dari luar,” sahut Ban-kiam dengan
tertawa. “Hanya saja di musim dingin sering mendapat
gangguan kawanan serigala yang lapar, tapi juga tidak mampu
masuk ke dalam benteng.”
Sampai di sini dilihatnya jembatan gantung yang melintasi
sungai es yang mengelilingi benteng itu masih tergantung
tinggi-tinggi dan belum dihubungkan, diam-diam Ban-kiam
menjadi marah, segera ia membentak, “Siapa itu yang dinas
jaga? Apakah tidak lihat kami telah pulang?”
Maka tertampaklah di atas benteng menongol sebuah kepala
dan berkata, “Kiranya Pek-supek dan para supek yang lain
telah pulang, segera akan kulaporkan dulu.”
“Ada tamu jauh berkunjung kemari, lekas turunkan jembatan
gantung!” bentak Ban-kiam pula.
Terdengar orang itu mengiakan sambil mengkeretkan kembali
kepalanya, tapi sampai sekian lamanya jembatan gantung
masih tetap tidak diturunkan.
Ciok Jing melihat sungai yang mengelilingi benteng itu lebarnya
ada lima-enam meter lebih, untuk melompat ke seberang
memang tidak gampang.
Pada umumnya dinding benteng memang selalu dikelilingi oleh
sungai pelindung benteng, tapi di puncak gunung ini hawa
sangat dingin, air sungai telah membeku menjadi es, sungai ini
pun sangat dalam, tepi sungai juga membeku sebagai dinding
es yang licin, baik binatang maupun manusia jika terjerumus
ke bawah tentu sangat sukar untuk naik kembali.
Dalam pada itu terdengar Kheng Ban-ciong dan Kwa Ban-kin
juga sedang membentak-bentak suruh penjaga-penjaga
benteng lekas turunkan jembatan gantung dan membuka
pintu.
Melihat suasana agak luar biasa, Ban-kiam menjadi khawatir
jangan-jangan terjadi apa-apa di dalam benteng. Segera ia
membisiki kawan-kawannya, “Para Sute harap waspada, boleh
jadi kedua orang dari Liong-bok-to itu sudah tiba lebih dahulu.”
Mendengar itu semua orang terkesiap dan tanpa merasa sama
meraba senjatanya masing-masing.
Pada saat itulah terdengar suara berkeriang-keriut, jembatan
gantung perlahan-lahan telah diturunkan. Pintu gerbang lantas
terbuka dan tertampak berlari keluar seorang yang berjubah
putih, lengan baju sebelah kanan terikat pada ikat
pinggangnya, di dalam lengan baju itu tertampak kosong
melompong, terang tiada isinya, yaitu lengannya buntung.
Orang ini lantas berteriak-teriak, “Haha, kiranya Ciok-heng dan
Ciok-so yang telah tiba, sungguh tamu yang tak terduga,
selamat datang!”
Melihat Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li menyambut sendiri
kedatangan mereka, sedangkan lengan kanannya kelihatan
buntung akibat perbuatan putranya sendiri, sungguh Ciok Jing
menyesal tak terhingga. Cepat ia memapak maju sambil
berseru, “Hong-jite, kami suami-istri membawa putra durhaka
ini sengaja datang kemari untuk menerima hukuman yang
akan dijatuhkan Pek-supek dan engkau.”
Habis berkata ia terus melangkah maju dan bertekuk lutut
memberi hormat. Sejak Ciok Jing terkenal di dunia Kangouw
belum pernah ia memberi hormat kepada angkatan yang
setingkat kecuali kepada orang tua, sekarang lantaran
pengorbanan Hong Ban-li terlalu besar gara-gara perbuatan
putranya, maka tanpa merasa ia lantas menjura kepada sobat
lama itu.
Melihat suaminya berlutut dan menjura, sebaliknya sang putra
masih berdiri termangu di samping, cepat Bin Ju menarik baju
Ciok Boh-thian sambil berlutut di samping sang suami.
Boh-thian sendiri tidak tahu apa-apa, tapi ia berpikir, “Dia
adalah gurunya Ciok Tiong-giok yang kusamar sekarang,
ketemu guru memang seharusnya memberi hormat.”
Maka ia lantas berlutut juga dan menjura berulang-ulang
sampai kepalanya membentur tanah.
Hong Ban-li tidak menggubris perbuatan Ciok Boh-thian itu
sebaliknya ia berkata kepada Ciok Jing, “Ai, mengapa Ciokheng
dan Ciok-so memakai adat setinggi?”
Cepat ia pun berlutut dan balas menjura.
Sesudah Ciok Jing suami-istri dan Hong Ban-li berbangkit
kembali, hanya Ciok Boh-thian sendiri yang masih berlutut di
situ.
Sama sekali Ban-li tidak menggubris Ciok Boh-thian, katanya
kepada Ciok Jing, “Ciok-heng dan Ciok-so, rasanya sudah
belasan tahun kita tidak bertemu, kalian berdua ternyata
semakin sehat dan tambah muda. Selama ini terdengar juga
nama kalian berdua yang sangat terpuji di dunia Kangouw,
sungguh aku merasa sangat kagum dan terimalah ucapan
selamat dariku.”
“Kami tidak mampu mengajar anak, segala pujian kawankawan
Kangouw hanya nama kosong saja, apa yang perlu
ditonjolkan?” sahut Ciok Jing dengan rendah hati. “Hari ini
melihat keadaan Hong-hiante, sungguh kami merasa malu tak
terhingga.”
“Ah, kita adalah sahabat lama dan sesama kaum persilatan,
hanya sedikit persoalan mengapa harus selalu disebut-sebut?
Kalian datang dari jauh dan tentu sudah capek, hayolah lekas
masuk ke dalam benteng dan mengaso dulu,” kata Hong Ban-li
tetap tidak ambil pusing kepada Ciok Boh-thian yang masih
berlutut di tempatnya.
Segera Hong Ban-li mengiringi Ciok Jing mendahului masuk ke
dalam benteng. Bin Ju lantas menarik bangun putranya dengan
mengerut kening, melihat sikap Hong Ban-li tadi walaupun
ucapannya enak didengar, tapi jelas belum mau mengampuni
dosa Ciok Boh-thian.
Ketika masuk ke benteng, Pek Ban-kiam telah memanggil
seorang penjaga dan bertanya dengan suara perlahan, “Apakah
Loyacu (tuan besar, maksudnya ayahnya) baik-baik saja? Apa
yang telah terjadi di sini sesudah aku pergi?”
“Loyacu... Loyacu cuma suka marah-marah dan agak kasar
perangainya,” sahut anak murid Swat-san-pay itu. “Sejak
Supek berangkat juga tiada terjadi apa-apa. Hanya...
hanya....”
“Hanya apa?” desak Ban-kiam dengan menarik muka.
Murid itu menjadi ketakutan, jawabnya, “Lima... lima hari yang
lalu mendadak Loyacu mengamuk dan... dan telah membunuh
Liok-supek dan Boh-susiok.”
“Hah? Mengapa bisa begitu?” tanya Ban-kiam terkejut.
“Tecu sendiri tidak tahu,” sahut murid itu. “Kemarin dulu
kembali Loyacu membunuh Yan-susiok pula, juga sebelah kaki
Tho-supek kena ditebas kutung oleh beliau.”
Sungguh kaget Ban-kiam tak terkatakan. Pikirnya, “Boh, Lio,
Yan, dan Tho-sute adalah jago-jago pilihan dalam Swat-sanpay,
biasanya ayah sangat sayang kepada mereka, mengapa
mendadak ayah berlaku sekejam ini kepada mereka?”
Cepat ia menarik murid itu ke samping, sesudah Bin Ju dan
Ciok Boh-thian pergi lebih jauh, segera ia tanya pula,
“Sesungguhnya apa yang telah terjadi?”
“Tecu benar-benar tidak tahu,” sahut murid itu. “Sesudah
meninggalnya paman-paman guru itu, setiap orang di Lengsiau-
sia merasa tidak tenteram dan kebat-kebit. Kemarin
malam Thio-susiok, Be-susiok, dan lain-lain juga pergi tanpa
pamit, katanya hendak pergi mencari Pek-supek. Untunglah
hari ini Pek-supek sudah pulang dan dapatlah meredakan
kemarahan Loyacu.”
Karena tidak mendapatkan keterangan yang diharapkan,
segera Ban-kiam menyusul ke rumah. Setiba di ruangan tamu,
tertampak Hong Ban-li sedang mengiringi Ciok Jing dan Bin Ju
minum teh. Segera ia berkata, “Silakan kalian duduk dahulu,
Siaute akan menemui ayah dan minta beliau keluar bertemu
dengan tamu.”
Mendadak Hong Ban-li menukas dengan mengerut kening,
“Beberapa hari yang lalu mendadak Suhu jatuh sakit, mungkin
beliau harus mengaso beberapa hari lagi baru dapat menemui
tamu. Kalau tidak, beliau biasanya sangat menghormati Ciokheng,
tentu sejak tadi beliau sudah keluar.”
Pikiran Ban-kiam menjadi kacau, cepat ia berkata, “Jika
demikian, biarlah aku menjenguk ayah dahulu.”
Dengan langkah lebar segera ia menuju ke kamar tidur sang
ayah, sampai di luar pintu, ia berdehem dahulu, lalu berseru,
“Ayah, anak sudah pulang!”
Maka tertampaklah tirai pintu tersingkap, muncul seorang
wanita cantik pertengahan umur, ialah bini muda Pek Cu-cay
yang bernama Yu-nio. Wajahnya kelihatan agak pucat, melihat
Ban-kiam segera ia berkata, “Syukurlah sekarang Toasiauya
sudah pulang, memangnya kami sedang bingung apa yang
harus kami lakukan. Sejak kemarin dulu pikiran Loyacu
mendadak menjadi linglung, aku... aku telah sembahyang dan
berdoa, tapi sedikit pun tidak berhasil apa-apa. Toasiauya,
semoga kau....” sampai di sini ia lantas menangis tergugukguguk.
“Urusan apakah yang membikin ayah menjadi marah-marah?”
tanya Ban-kiam.
“Ya entah anak muridnya salah omong apa sehingga Loyacu
menjadi murka, berturut-turut beberapa muridnya telah
dibunuh,” tutur Yu-nio. “Saking marahnya sekujur badan
Loyacu menjadi gemetar, sepulangnya di kamar mukanya
tampak berkejang, mulutnya berbuih dan mengiler, bicara pun
tidak sanggup lagi. Ada orang mengatakan beliau terkena
‘angin’ dan entah betul atau tidak....” sembari bicara dia terus
menangis sedih.
Mendengar penyakit “kena angin”, seketika Pek Ban-kiam
menjadi khawatir, tanpa bertanya lagi ia lantas berseru,
“Ayah!” dan terus berlari ke dalam kamar.
Ia lihat kelambu tempat tidur sang ayah tertutup rapat, di
dalam kamar ternyata ada sebuah anglo kecil dan sedang
masak obat.
“Ayah!” seru Ban-kiam pula sambil membuka kelambu. Maka
tertampaklah ayahnya bertiduran dengan menghadap ke
sebelah sana, badannya sedikit pun tidak bergerak.
Pendengaran Ban-kiam sangat tajam, ia merasa pernapasan
ayahnya seperti sudah berhenti. Saking kagetnya tanpa pikir ia
terus menjulur tangan untuk memeriksa pernapasan hidung
sang ayah.
Tapi baru saja sebelah tangannya terjulur sampai di samping
mulut ayahnya, dari dalam selimut mendadak menyambar
keluar suatu benda, “krek”, tahu-tahu tangan Ban-kiam telah
terbelenggu dengan kencang, kiranya benda itu adalah sebuah
jepitan baja yang penuh berduri tajam.
Keruan Ban-kiam tambah kaget. “Ayah, akulah, anak telah
pulang!” teriaknya. Tapi mendadak dada dan perutnya
berbareng telah tertutuk dua kali dan tepat mengenai hiat-to
yang penting sehingga dia tidak bisa berkutik lagi....
Dalam pada itu Ciok Jing suami-istri yang dilayani Hong Ban-li
dalam sedang minum di ruangan tamu itu pun merasakan
sesuatu yang aneh pada orang-orang Swat-san-pay yang
dilihatnya, seakan-akan setiap orang itu menyembunyikan
rahasia apa-apa. Ciok Jing menjadi heran dan mengira janganjangan
berhubung akan datangnya kedua rasul pengganjar dan
penghukum dari Liong-bok-to itu, maka orang-orang Swat-sanpay
itu merasa cemas dan gelisah.
Rupanya Hong Ban-li mengetahui perasaan tamunya, ia coba
memberi penjelasan bahwa gurunya sudah tua, biasanya cukup
sehat, tapi mendadak jatuh sakit rada berat. Untuk mana Ciok
Jing juga mendoakan agar Pek Cu-cay lekas sembuh dan minta
Hong Ban-li jangan terlalu berduka.
Sementara itu hari sudah mulai gelap, Hong Ban-li perintahkan
orang menyiapkan perjamuan. Kheng Ban-ciong, Kwa Ban-ki
dan lain-lain ternyata tidak muncul lagi, maka Ciok Jing bertiga
diiringi oleh Ban-li sendiri bersama seorang sutenya yang
bernama Liok Ban-thong. Sekali ini Ciok Boh-thian juga
disilakan duduk dan disuguhi arak. Dengan alasan minum arak
untuk bikin hangat badan, berulang-ulang Ban-li menyilakan
tamunya penghabisan isi cawan sehingga Bin Ju sampai-sampai
menghabiskan tiga cawan.
Sekonyong-konyong terasa suatu arus panas menaik dari
dalam perut, menyusul dada pun terasa panas sebagai dibakar,
cepat Bin Ju mengerahkan lwekang untuk bertahan, katanya
dengan tertawa, “Hong-hiante, arakmu ini sungguh lih... lihai!
Agaknya Ciok Jing juga merasakan hebatnya arak itu,
mendadak ia berbangkit dan membentak, “Arak apakah ini?”
“Ini adalah som-yang-ciu (arak kolesom) yang memang agak
keras sedikit tapi rasanya tak sampai memabukkan Hian-sohsiang-
kiam, bukan?” sahut Ban-li dengan tertawa.
Dengan suara bengis Ciok Jing membentak pula, “Kau...
kau....” tapi mendadak tubuhnya menggeliat dan akan jatuh.
Cepat Bin Ju dan Ciok Boh-thian berbangkit dan bermaksud
memayang Ciok Jing, tak terduga mereka berdua berbareng
juga merasa kepala pusing dan mata berkunang-kunang.
Sekaligus mereka pun roboh dan terduduk kembali di
tempatnya masing-masing tak sadarkan diri.
Entah berselang berapa lama, dengan lwekang Ciok Boh-thian
yang kuat itu perlahan-lahan ia siuman lebih dulu. Semula ia
mengira di dalam mimpi saja, perlahan-lahan ia menggerakgerakkan
tangannya dan bermaksud menahan tubuhnya untuk
berduduk, sekonyong-konyong terasa kedua tangannya
terkatup oleh sesuatu benda yang keras dan dingin. Ia
terkejut, pikirannya lantas jernih seketika.
Maka tahulah dia bahwa kaki dan tangannya telah terbelenggu
semua. Waktu ia membuka mata, ternyata keadaan gelap
gulita dan tidak mengetahui di mana ia berada. Ia coba berdiri
dan melangkah ke depan, tapi baru dua tindak saja, “blang”,
batok kepalanya lantas membentur dinding yang keras.
Ia coba tenangkan diri sambil raba-raba kepalanya yang benjut
Perlahan-lahan ia meraba-raba dinding di sekelilingnya, kiranya
dia terkurung di dalam sebuah kamar batu yang kecil. Keadaan
gelap gulita, hanya pada ujung kiri sana remang-remang ada
cahaya yang menembus masuk. Ketika diperiksa, kiranya
adalah sebuah lubang sebesar belasan senti, jangankan
manusia, anjing pun susah menerobos lewat. Ia coba ketokketok
dinding batu dengan borgol di tangannya itu sehingga
mengeluarkan suara gemerantang yang nyaring, nyata dinding
batu itu sana tebal dan kukuh.
Boh-thian duduk bersandarkan dinding dan mengingat-ingat
kembali apa yang telah terjadi, “Mengapa aku bisa sampai di
sini? Apa barangkali arak kolesom yang mereka suguhkan itu
dicampur dengan obat tidur sehingga Ciok-cengcu suami-istri
juga jatuh pingsan di tempat perjamuan itu. Tampaknya orangorang
Swat-san-pay berkeras akan membunuh Ciok Tiong-giok,
khawatir kalau Ciok Jing berdua membelanya, maka mereka
perlu dipulaskan lebih dulu dengan obat tidur. Tapi mengapa
mereka belum membunuh aku? Ah, besar kemungkinan karena
Wi-tek Siansing sedang sakit, mereka sengaja mengurung kami
untuk beberapa hari lagi dan akan diputuskan sendiri oleh Witek
Siansing bila sakitnya sudah sembuh.”
Lalu terpikir pula olehnya, “Bilamana Wi-tek Siansing tanya
padaku, asal aku mengatakan bahwa aku adalah Kau-cap-ceng
dan bukan Ciok Tiong-giok, kukira dia pasti akan
membebaskan diriku. Tapi Ciok-cengcu berdua belum tentu
akan dibebaskan olehnya, boleh jadi akan tetap dipenjarakan
sebagai sandera sampai tertangkapnya Ciok Tiong-giok yang
tulen. Selama dipenjarakan, orang halus dan suka bersih
sebagai Ciok-hujin apakah tahan di tempat yang gelap dan
kotor seperti ini, wah, entah betapa dia akan merana. Cara
bagaimanakah aku harus mencari suatu akal untuk menolong
Ciok-hujin dan Ciok-cengcu, habis itu barulah aku akan bicara
menurut aturan dengan Pek-loyacu.”
Demi teringat harus bertempur seketika ia menjadi sedih pula,
padahal dirinya sekarang dalam keadaan terborgol dan
memerlukan pertolongan orang lain, cara bagaimana pula
dapat pergi menolong Ciok-cengcu berdua? Di dalam Lengsiau-
sia ini adalah orang-orang Swat-san-pay semua, siapa
yang mau menolongnya?
Ia coba meronta dan membetot-betot borgol itu, tapi hanya
terdengar suara gemerencing rantai saja, kiranya di antara
borgol tangan dan kaki itu tersambung pula beberapa utas
rantai besi.
Pada saat itulah mendadak dari lubang kecil di dinding tadi ada
cahaya lampu menembus masuk. Ada orang mendekati kamar
batu itu dengan membawa pelita. Menyusul dari luar lubang
dinding itu terlihat disodorkan masuk sebuah kuali kecil yang
berisi setengah kuali nasi, di atas nasi terdapat beberapa iris
sayur asin, sepasang sumpit tertancap di atas nasi pula.
Boh-thian tidak pikirkan lagi tentang pura-pura menjadi gagu
segala, segera ia berteriak, “He, he! Aku ingin bicara dengan
Pek-loyacu, lekas sampaikan kepada beliau!”
Tapi orang di luar itu hanya mendengus saja tanpa menjawab.
Sinar pelita tadi lambat laun menjadi pudar dan akhirnya
lenyap. Ternyata orang itu telah pergi tanpa menggubris
permintaan Boh-thian.
Terendus bau sedapnya nasi barulah Boh-thian ingat perutnya
sudah lapar. Padahal ia ingat sudah makan cukup banyak
dalam perjamuan itu, mengapa sekarang sudah lapar sekali.
Rupanya waktu tak sadar dan terkurungnya di kamar batu itu
sudah cukup lama.
Tanpa pikir lagi segera ia pegang kuali nasi itu, sumpit lantas
bekerja dan makan dengan lahap, hanya sekejap saja isi kuali
itu sudah disapu bersih ke dalam perutnya. Habis makan ia
taruh kuali kosong itu di tempatnya semula.
Beberapa kali ia coba membetot lagi, tapi borgol di kakitangannya
itu ternyata terbuat dari baja, biarpun ia
mengerahkan segenap lwekangnya juga susah
mematahkannya, sebaliknya pergelangan tangan dan kaki
sendiri yang kesakitan dan lecet. Ia coba meraba daun pintu
kamar batu itu, akhirnya ia menemukan garis celah-celah
pintu, sekuatnya ia mendorong dengan pundak, tapi pintu batu
tidak bergerak sedikit pun.
Boh-thian menjadi putus asa dan menerima nasib di samping
mengkhawatirkan keselamatan Ciok Jing dan istrinya. Daripada
susah-susah akhirnya ia tidak mau pikir lagi, dengan
bersandarkan dinding ia pejamkan mata dan tidur.
Di dalam kamar tahanan yang gelap gulita itu susah diketahui
sudah lewat berapa lamanya, besar kemungkinan sudah
menunggu satu hari barulah ada orang mengantarkan nasi lagi.
Terlihat sebuah tangan menjulur masuk dari luar lubang
dinding untuk mengambil kuali kosong.
Sekilas benak Ciok Boh-thian timbul suatu akal. Ketika orang
itu memasukkan makanan pula, secepat kilat Boh-thian
menubruk maju, di tengah gemerencingnya rantai besi, tahutahu
pergelangan tangan orang itu sudah terpegang.
Dengan kim-na-jiu-hoat ditambah lwekang yang lihai, sekali
tangannya sudah dipegang Ciok Boh-thian, biarpun tokoh
terkemuka di dunia persilatan juga tidak tahan, apalagi
sekarang hanya seorang pengantar makanan biasa saja?
Keruan orang di luar itu kaget, saking kesakitan ia menjerit
laksana babi hendak disembelih. Ketika Ciok Boh-thian sedikit
menarik, seluruh lengan orang itu telah kena diseret masuk ke
dalam, bentaknya, “Jangan berteriak, kalau berteriak lagi
segera kubetot putus lenganmu!”
Terpaksa orang itu minta ampun, “Tidak, aku takkan berteriak
lagi. Lek... lekas engkau melepaskan tanganku!”
“Buka dulu pintu kamar batu ini, lepaskan aku keluar,” sahut
Boh-thian.
“Baik, lepaskan tanganku, biar kubuka pintunya,” kata orang
itu.
“Sekali kulepaskan tentu kau akan lari, tidak dapat kulepaskan
tanganmu,” ujar Boh-thian.
“Habis, cara bagaimana aku dapat membukakan pintunya?”
jawab orang itu.
Boh-thian pikir benar juga alasan orang itu. Kalau melulu
memegangi tangannya saja terang tak berguna. Tapi dengan
susah payah tangan orang sudah kena dipegang, masakah
sekarang lantas dilepaskan begitu saja?
Tiba-tiba ia mendapat akal pula, katanya, “Lekas serahkan
kunci borgol kaki-tanganku ini!”
“Kunci?” orang itu menegas. “Wah, buk... bukan aku yang
memegang kuncinya. Hamba cuma seorang pengantar ransum
saja.”
Boh-thian merasa curiga atas pada jawaban orang. Ia pikir toh
sudah tiada jalan lain, terpaksa orang ini harus didesak terus.
Segera ia genggam lebih keras sambil berkata, “Baiklah, biar
kupatahkan dulu tanganmu dan urusan belakang!”
Keruan orang itu berkuik-kuik kesakitan pula. Di luar dugaan,
sesudah mengaduh-aduh beberapa kali, akhirnya terdengar
suara nyaring, sebuah kunci telah terlempar masuk.
Ternyata orang itu sangat licin sekali, dia sengaja
melemparkan kunci ini jauh-jauh sehingga tangan Boh-thian
tidak sampai untuk mengambilnya. Jika mau ambil kunci itu
terpaksa pemuda itu harus melepaskan dulu tangannya.
Bab 39. Dengan Perkasa Ciok Boh-thian Menolong Supopo
dan A Siu
Seketika Boh-thian menjadi bingung juga. Sambil membetot
sekuatnya tangan orang itu Boh-thian mengulurkan sebelah
kakinya ke belakang untuk meraih kunci borgol itu. Namun
meski lengan orang itu sudah terbetot sampai-sampai hampir
copot dari ruasnya toh masih belum bisa mencapai kunci itu.
Sebaliknya orang itu menjerit-jerit kesakitan pula seperti babi,
“Aduh, aduuuh! Jangan tarik lagi, kalau tarik lagi tanganku
tentu putus!”
Melihat kaki sendiri tidak bisa mencapai tempat kunci, tiba-tiba
Boh-thian mendapat akal pula, cepat ia menanggalkan sebelah
sepatunya sendiri, ia incar dinding sebelah sana, lalu sepatu itu
ditimpukkan sekuatnya. Ketika sepatu itu membentur dinding
dan terpental balik, dengan tepat kunci yang terletak di tanah
itu juga tersampuk dan terbawa ke sebelah sini.
Boh-thian sampai bersorak saking senangnya karena akalnya
mencapai hasil yang diharapkan. Segera ia jemput kunci itu
dan memakai kembali sepatunya. Secara bergantian ia
membuka kedua belah borgol tangannya. Habis itu mendadak
“krek”, ia gunakan borgol itu untuk membelenggu tangan
orang itu.
Keruan orang itu terkejut. “He, ap... apa yang kau lakukan?”
serunya takut.
“Sekarang bolehlah kau membukakan pintu kamar tahanan
ini,” kata Boh-thian dengan tertawa sambil mengeluarkan
rantai borgol.
Tapi orang itu masih ragu-ragu, Boh-thian menjadi tidak sabar,
ia tarik rantai borgol sehingga lengan orang itu terseret ke
dalam lubang lagi. Rupanya agak keras juga tenaga yang
digunakan Ciok Boh-thian sehingga muka orang itu tertumbuk
dinding, kontan batok kepalanya benjut dan hidung keluar
kecapnya.
Orang itu sadar tidak dapat membangkang lagi, terpaksa
sambil menyeret rantai borgol ia membukakan pintu kamar
batu itu. Akan tetapi ujung rantai yang lain masih terikat pada
borgol kaki Ciok Boh-thian, meski pintu sudah terbuka, namun
kedua ujung rantai besi itu menembus lubang dinding batu dan
terikat pada tangan dan kaki dua orang, jadi Ciok Boh-thian
tetap tidak dapat keluar.
“Coba serahkan kunci borgol kakiku ini,” kata Boh-thian sambil
menarik rantai borgol tangan orang itu.
“Aku benar-benar tidak memegang kuncinya,” sahut orang itu
dengan wajah sedih. “Hamba benar-benar cuma seorang
pengantar makanan saja dan tidak berkuasa memegang kunci.”
“Baiklah, jika begitu tunggulah sesudah aku keluar dahulu,”
kata Boh-thian. Segera ia tarik pula lengan orang itu ke dalam
lubang dan membukakan borgolnya.
Begitu tangannya terlepas dari borgol, dengan cepat orang itu
lantas berlari ke sana dan bermaksud menutup kembali
pintunya. Akan tetapi semuanya ini sudah dalam perhitungan
Ciok Boh-thian, secepat kilat ia sudah melompat ke sana dan
menyelinap keluar pintu. Sekali cengkeram segera ia bekuk
kuduk orang itu dan diangkat ke atas.
Ia lihat orang itu berjubah putih, badannya kekar, mukanya
cerdas, terang adalah anak murid Swat-san-pay dan bukan
pengantar nasi saja seperti pengakuannya tadi. Segera ia
membentaknya, “Kau mau buka borgol kakiku atau tidak? Atau
kau minta kutumbukkan kepalamu di atas dinding batu ini?”
Sebenarnya ilmu silat orang itu juga tidak lemah, tapi kebentur
di tangan Ciok Boh-thian orang itu menjadi seperti anak ayam
dicengkeram oleh elang, sedikit pun tidak dapat berkutik. Tiada
jalan lain terpaksa ia mengeluarkan kunci dan membuka borgol
kaki pemuda itu.
“Di mana kalian telah mengurung Ciok-cengcu dan Ciok-hujin,
lekas membawa aku ke sana,” bentak Boh-thian.
“Sebenarnya Swat-san-pay tiada permusuhan apa-apa dengan
Hian-soh-ceng, maka Ciok-cengcu suami-istri sudah pergi
tanpa cedera sesuatu apa pun,” sahut orang itu.
Boh-thian merasa sangsi, sekilas dilihatnya orang itu melirik ke
arah pintu yang terletak di ujung lorong sebelah sana, ia pikir
orang ini tentu berdusta, boleh jadi Ciok-cengcu berdua
terkurung di kamar sana.
Segera ia menyeret orang itu ke depan pintu batu itu, lalu
bentaknya, “Lekas membuka pintu ini.”
Air muka orang itu tampak berubah pucat, katanya, “Aku... aku
tidak punya kuncinya! Yang terkurung di dalam ini bukan...
bukan manusia, tapi adalah... adalah seekor singa dan dua
ekor macan, jika dibuka tentu bisa celaka.”
Boh-thian merasa heran bahwa yang terkurung di dalam situ
adalah singa dan harimau, ia coba menempelkan telinganya ke
pintu dan mendengarkan dengan cermat, tapi tak terdengar
sesuatu suara binatang-binatang buas itu.
“Engkau toh sudah terlepas, silakan lekas melarikan diri saja,
jika tinggal lebih lama di sini, jangan-jangan akan dipergoki
orang dan mungkin engkau akan tertangkap pula,” demikian
kata orang itu setengah menakut-nakuti.
Boh-thian pikir kau toh bukan kawanku, mengapa sedemikian
baik hatimu memikirkan keselamatanku? Padahal tadi aku
minta dibukakan borgol saja kau tidak mau, sekarang malah
suruh aku lekas melarikan diri. Jangan-jangan Ciok-cengcu
berdua memang benar-benar dikurung di dalam kamar ini.
Segera ia angkat tubuh orang itu, ia benturkan kepalanya
dengan perlahan di dinding batu, lalu bertanya, “Kau mau buka
pintu tidak? Atau minta kepalamu pecah? Hm, aku justru ingin
tahu macam apa singa dan harimau yang kau katakan itu.”
“Ai, binatang-binatang itu sangat buas, sudah beberapa hari
tidak diberi makan, bila melihat manusia nanti pasti akan terus
menerkam....”
Karena buru-buru ingin menolong Ciok Jing dan istrinya, Bohthian
merasa sebal akan ocehan orang, tanpa menunggu
selesai uraiannya segera ia jungkirkan tubuh orang itu dan
dikocok-kocok untuk memaksanya menurut. Di luar dugaan
lantas terdengar suara gemerencing nyaring, dari baju orang
itu telah terjatuh dua buah kunci.
Boh-thian sangat girang, segera ia lemparkan orang itu ke
tanah dan cepat menjemput kunci-kunci itu untuk membuka
pintu batu. Benar juga, hanya sekali putar saja segera kunci
pintu itu terbuka.
Dalam pada itu orang tadi telah menjerit kesakitan, cepat ia
merangkak bangun dan segera putar tubuh hendak angkat
langkah seribu.
Namun Boh-thian tidak memberi kesempatan padanya. Ia pikir
kalau orang ini sampai lari keluar dan memanggil kawan, tentu
akan banyak menimbulkan kesukaran lagi. Secepat terbang
Boh-thian lantas memburu maju, sekali jambret segera orang
itu diseretnya terus dijebloskan ke dalam kamar tahanannya
sendiri tadi, sekalian ia lemparkan borgol kaki dan tangan
beserta rantainya ke dalam dan menutup pintunya, bahkan
dikunci pula dari luar. Habis itu barulah ia kembali ke kamar
batu di ujung lorong sana.
“Ciok-cengcu! Ciok-hujin! Apakah kalian berada di sini?” seru
Boh-thian sambil melongok ke dalam kamar.
Tapi tak terdengar suara jawaban apa-apa. Ia coba pentang
pintu lebih lebar, ternyata di dalam tiada terdapat seorang pun.
Sebaliknya kira-kira dua-tiga meter di sebelah sana terdapat
sebuah pintu pula. Pikirnya, “Ya, pantas ada dua buah kunci.”
Segera ia menggunakan kunci yang lain untuk membuka pintu
kedua, baru saja pintu itu terbuka sedikit dan belum lagi ia
bersuara, tiba-tiba terdengarlah ada orang sedang mencaci
maki di dalam situ, “Jahanam keparat, haram jadah! Akan
kusembelih dan potong-potong kalian agar kalian sekarat
setengah mampus....” dan di samping itu terdengar pula suara
gemerencingnya rantai besi.
Suara caci maki orang itu kedengaran sangat berat, rupanya
tenggorokannya serak, sama sekali bukan logat orang Kanglam
sebagaimana suaranya Ciok Jing. Maka percayalah Boh-thian
bahwa Ciok Jing dan istrinya memang tidak dipenjarakan di
situ. Tapi lantas terpikir olehnya mengapa tidak membebaskan
sekalian orang yang ditawan Swat-san-pay ini. Karena itu ia
lantas berseru, “He, kau tidak perlu memaki lagi, biar kutolong
kau keluar dari sini!”
Namun orang itu masih terus memaki, “Huh, kau kutu macam
apa? Berani mengaco-belo dan menipu Locu? Apa kau minta
kupuntir putus lehermu....”
Boh-thian merasa geli dan anggap perangai orang benar sangat
kasar. Tapi ia pun maklum, siapa pun kalau dikurung di tempat
demikian tentu akan merasa sebal dan tertekan pantas kalau
orang ini pun marah-marah.
Ia lantas melangkah ke dalam kamar dan berkata, “Apakah
engkau juga diborgol dan dirantai oleh mereka?”
Tapi baru sekian ia berkata, dalam kegelapan sekonyongkonyong
sesuatu benda yang berat terasa mengepruk dari
atas. Cepat Boh-thian berkelit ke samping, namun belum lagi
dia berdiri kuat, tahu-tahu hiat-to penting di bagian punggung
sudah kena dicengkeram orang, menyusul lehernya lantas
dicekik oleh sebuah lengan yang besar dan kuat, makin lama
makin kencang sehingga napasnya sesak seketika, telinganya
sampai mendenging-denging dan mata mulai berkunangkunang,
sebaliknya terdengar pula suara caci maki orang itu.
Sama sekali Boh-thian tidak menduga bahwa di dalam kamar
tahanan situ akan terdapat jago selihai itu. Sekali kena
didahului orang, seketika ia pun tak berdaya, diam-diam ia
hanya mengeluh dan sedapat mungkin mengerahkan tenaga ke
bagian lehernya untuk melawan cekikan lengan orang itu.
Meski daging bagian tenggorokan cukup lemas dan tidak
sekuat lengan, tapi lwekang Ciok Boh-thian teramat hebat,
semakin bertempur semakin kuat, di mana tenaganya sampai,
tangan orang itu ternyata dapat ditolak agak kendur. Cepat
Boh-thian mengambil napas, ketika lengan orang itu hendak
mengait kembali dengan lebih kencang, tanpa ayal lagi tangan
kanan Ciok Boh-thian lantas digunakan untuk menarik,
berbareng kepalanya lantas memberosot ke bawah sambil
melompat mundur.
“Hai, dengan maksud baik aku hendak menolong kau keluar,
mengapa tanpa bertanya engkau menyerang aku malah?” seru
Boh-thian dengan mendongkol.
“Eh, sia... siapa kau? Boleh juga ya kepandaianmu?” demikian
orang itu sangat terkejut sambil memandang Boh-thian dengan
mata terbelalak lebar. Selang sejenak, kembali ia bersuara
heran, lalu membentak, “Anak busuk, siapa kau?”
“Aku... aku....” seketika Ciok Boh-thian menjadi bingung untuk
menjawab apa mesti mengaku bernama Kau-cap-ceng atau
tetap memalsukan nama Ciok Tiong-giok?
“Ya, kau dengan sendirinya adalah kau, masakah tidak punya
nama?” semprot orang itu.
“Loyacu, biar kutolong kau keluar dahulu, segala urusan boleh
kita bicarakan nanti,” ujar Boh-thian.
“Apa? Kau hendak menolong aku? Hahaaah! Apakah gigi orang
seluruh dunia ini takkan copot semua menertawakan kau?
Hahaha, siapakah aku ini? Dan macam apakah kau itu? Huh,
hanya sedikit kepandaianmu yang mirip cakar ayam saja
mampu menolong aku?”
Dari dekat sekarang Boh-thian dapat melihat orang itu sudah
tua, jenggotnya sudah putih, tubuhnya tinggi besar tapi agak
bungkuk seakan-akan kamar batu yang kecil ini kurang tinggi
bagi tubuhnya yang tegap itu, kedua matanya lekuk ke dalam,
tapi sorot matanya tajam berwibawa.
Boh-thian sampai mengirik ketika sinar mata orang itu
menyapu kian-kemari di atas mukanya. Pikirnya, “Orang Swatsan-
pay tadi bilang di kamar ini terkurung singa dan harimau,
melihat macamnya orang ini ternyata benar-benar mirip seekor
binatang buas.”
Ia tidak berani banyak bicara lagi padanya, segera katanya,
“Loyacu, biar kupergi mencari kunci untuk membuka
borgolmu.”
Orang tua itu menjadi gusar, dampratnya, “Aku tidak perlu,
aku sendiri suka tinggal tirakat di sini, kalau tidak, di dunia ini
siapa yang mampu mengurung aku? Huh, kau bocah ini
barangkali tidak punya mata, masakah anggap aku dikurung
orang di sini? Hehe, untung saat ini Yaya lagi sabar, kalau tidak
tentu badanmu sudah kurobek-robek.”
Ketika kedua tangannya digoyang-goyangkan, terdengarlah
suara gemerencing rantai borgolnya. Lalu ditambahkannya,
“Ini, sekali Yaya sudah murka, apa artinya rantai-rantai seperti
ini, apa gunanya borgol-borgol ini, hm, dalam pandanganku
tidak lebih seperti tahu yang empuk.”
Sudah tentu Boh-thian tidak mau percaya, ia pikir tutur kata
orang ini kok mirip orang gila, tapi kepandaiannya sangat tinggi
pula, akan kutolong berbalik aku hendak dipentung. Lebih baik
kutinggal pergi untuk mencari Ciok-cengcu saja. Maka katanya
kemudian, “Baiklah, jika begitu biar aku pergi saja dari sini!”
“Pergi ya pergi, lekas enyah kau! Selamanya Yaya malang
melintang di dunia ini tanpa ketemu tandingan masakah
mengharapkan pertolongan bocah ingusan macam kau?
Hahaha, benar-benar lucu, sungguh menggelikan....”
“Ya, sudah, maaf, maaf!” kata Boh-thian sambil mengundurkan
diri dan perlahan-lahan merapatkan kembali daun pintu.
Jalan lorong itu cukup panjang, Boh-thian menyusur ke sana
dan membelok satu kali, sesudah belasan meter lagi barulah
sampai di ujung. Tertampak di kanan-kiri masing-masing
terdapat sebuah pintu. Ia coba mendorong pintu sebelah kiri,
tapi tertutup kencang, waktu mendorong pintu yang lain
dengan mudah saja pintu itu lantas terpentang. Kiranya di situ
adalah sebuah ruangan. Tidak seberapa jauh memasuki
ruangan itu lantas terdengar dari arah kiri sana ada suara
beradunya senjata, agaknya pertempuran cukup sengit.
“Kiranya Ciok-cengcu sedang bertempur dengan orang di sini,”
demikian pikir Boh-thian. Segera menuju ke arah datangnya
suara. Akan tetapi ia tidak menemukan pintu yang menuju ke
tempat suara pertempuran itu. Karena khawatirkan
keselamatan Ciok Jing dan Bin Ju, ketika dilihatnya dinding
papan di sebelah sana tidak terlalu tebal, segera ia
menumbuknya dengan bahunya dan kontan dinding papan itu
jebol.
Seketika suara nyaring beradunya senjata tambah keras dan
ramai. Kiranya di situ juga sebuah ruangan, empat laki-laki
berjubah putih dan berpedang sedang mengerubut dua orang
wanita.
Sesudah mengenali kedua orang wanita itu, tanpa merasa Bohthian
terus berteriak, “He, Suhu, A Siu! Kalian berada di sini?!”
Kiranya kedua wanita itu tak-lain-tak-bukan adalah Su-popo
dan cucu perempuannya, si A Siu.
Su-popo memakai golok dan A Siu memutar sebatang pedang,
dengan rambut kusut kedua orang sedang melawan kerubutan
empat murid Swat-san-pay. Baju nenek dan cucu itu tampak
berlepotan darah, agaknya sudah terluka, keadaannya cukup
mengkhawatirkan. Mereka mendengar juga seruan Ciok Bohthian,
tapi serangan-serangan keempat lawannya terlalu
gencar sehingga tidak sempat menoleh. Bahkan lantas
terdengar jeritan kaget A Siu, pundaknya tertusuk musuh pula.
Walaupun tidak bersenjata, tanpa pikir Ciok Boh-thian lantas
menerjang maju, kontan punggung orang yang sedang
mencecar A Siu itu hendak dicengkeramnya. Cepat orang itu
berkelit dan balas menebas dengan pedangnya.
Mendadak tangan kanan Ciok Boh-thian menyampuk pula
sehingga pedang orang itu terguncang ke samping, menyusul
tangan kiri Ciok Boh-thian lantas menggaplok ke arah seorang
tua yang lain. Namun orang tua itu ternyata tidak kalah
cepatnya tahu-tahu pedangnya sudah mendahului menusuk
perut Boh-thian.
Serangan itu benar-benar sangat lihai dan cepat, untung Bohthian
tempo hari sudah mendapat didikan Su-popo, terhadap
intisari ilmu pedang Swat-san-pay sudah dipahami dengan
baik, diketahui bahwa serangan si orang tua adalah jurus yang
bernama “Leng-sing-song-bwe” (Sepasang Pohon Bwe di Atas
Bukit), mestinya cuma satu jurus, tapi mempunyai dua
gerakan, tusukan pertama segera disusul dengan tusukan
kedua. Maka cepat Boh-thian mengerutkan perutnya ke
belakang untuk menghindar, menyusul tangan kiri lantas
mengebut ke bawah, jarinya segera menyelentik.
Benar juga, saat itu tusukan kedua si orang tua sedang
dilancarkan sehingga pedangnya seakan-akan sengaja
disodorkan untuk diselentik Ciok Boh-thian. Maka terdengarlah
suara “tring” sekali, kontan pedang itu patah menjadi dua.
Separuh tubuh si orang tua sampai kesemutan karena getaran
tenaga selentikan itu, tanpa kuasa lagi setengah potong
pedang juga terlepas dari cekalan, cepat ia melompat mundur
dengan muka pucat.
Boh-thian tidak mendesak lebih jauh, orang yang sedang
menyerang A Siu lantas kena dicengkeram terus diangkat dan
dijujukan ke arah pedang kawannya yang datang hendak
menolong.
Keruan orang itu terkejut dan cepat menarik kembali
senjatanya. Kesempatan itu tidak disia-siakan Boh-thian,
kontan ia menghantam dan tepat mengenai dadanya, orang itu
terhuyung-huyung mundur dan akhirnya jatuh terduduk.
Menyusul Boh-thian lantas melemparkan tawanannya ke arah
orang keempat. Orang itu sedang melabrak Su-popo dengan
mati-matian, ia menjadi kaget dan tidak sempat menghindar
lagi, ia kena ditumbuk dengan keras oleh tubuh kawannya
sendiri, kedua orang sama-sama muntah darah dan
menggeletak tak sadarkan diri.
Hanya dalam sekejap saja keempat orang itu telah dirobohkan
semua oleh Ciok Boh-thian, hanya si orang tua saja yang
belum terluka. Namun nyalinya menjadi pecah juga demi
menyaksikan ketangkasan Boh-thian yang lihai itu. “Kau...
kau....” demikian entah apa yang hendak dikatakannya,
mendadak ia putar tubuh terus hendak lari.
“Jangan membiarkan dia lari!” seru Su-popo.
Cepat Boh-thian melompat maju, sekali kakinya menyapu,
kontan orang tua itu terjungkal, kedua lutut kakinya keseleo
semua dan tak bisa bangun.
“Bagus, muridku yang bagus! Murid pertama dari Kim-oh-pay
kita memang benar-benar hebat!” seru Su-popo dengan
tertawa.
Wajah A Siu tampak putih pucat, sepasang matanya
memandang Boh-thian dengan sayu merawan, nyata sekali
hatinya sangat girang.
“Suhu, A Siu, sungguh tidak nyana dapat berjumpa dengan
kalian di sini,” kata Boh-thian.
Buru-buru Su-popo membalut luka si A Siu, menyusul nona itu
pun merobek ujung bajunya sendiri untuk membalut luka sang
nenek. Syukurlah luka kedua orang tidak parah sehingga tidak
menjadi halangan.
“Tempo hari waktu aku kehilangan kalian di Ci-yan-to, sungguh
aku merasa sangat kesepian, sekarang kita telah berjumpa
pula, paling baik paling baik untuk selanjutnya kita jangan
berpisah lagi,” demikian kata Boh-thian.
Muka A Siu yang pucat itu seketika bersemu merah dan
menunduk malu. Ia tahu sifat Ciok Boh-thian yang tulus jujur
dan tidak pandai bicara. Apa yang diucapkan itu jelas timbul
dari lubuk hatinya yang murni, walaupun dirasakan malu juga
karena pemuda itu terang-terangan menyatakan isi hatinya di
depan sang nenek, tapi tidak urung hati A Siu merasa sangat
senang.
Su-popo tertawa mengekek, katanya, “Jika kau sudah berjasa
besar, hal ini bukan mustahil akan terlaksana dan boleh
anggap nenek sendiri yang telah meluluskan permintaanmu.”
Kepala A Siu makin menunduk, mukanya tambah merah
lantaran malu.
Sebaliknya Ciok Boh-thian masih belum tahu bahwa ucapan
Su-popo itu berarti telah menerima lamarannya. Dengan
bingung ia malah tanya, “Suhu meluluskan permintaanku soal
apa?”
“Aku mengizinkan cucu perempuanku ini menjadi istrimu, kau
mau tidak? Kau ingin tidak? Kau suka tidak?” kata Su-popo
dengan tertawa.
Boh-thian terkejut campur girang. “Aku... aku sudah tentu
suka....” sahutnya dengan tergagap-gagap.
“Tapi kau harus berjuang dan berjasa dahulu,” kata Su-popo.
“Sekarang Swat-san-pay sedang terjadi huru-hara, kita harus
pergi menolong satu orang dahulu.”
“Ya, memangnya aku hendak menolong Ciok-cengcu dan Ciokhujin,
marilah kita lekas pergi mencarinya,” sahut Boh-thian.
Teringat keadaan Ciok Jing suami-istri dalam keadaan bahaya,
seketika hatinya menjadi gelisah sehingga urusan A Siu tak
terpikir lagi.
“Apakah Ciok Jing dan istrinya juga sudah datang di sini?”
tanya Su-popo. “Kita harus mengamankan pemberontakan
dahulu, soal Ciok Jing berdua adalah urusan biasa saja. A Siu,
binasakan saja keempat orang ini!”
Segera A Siu menghunus pedang dan melangkah maju. Tibatiba
dilihatnya si orang tua yang kedua kakinya keseleo tadi
sedang duduk bersandarkan dinding, sorot matanya penuh
mengunjuk rasa minta diampuni. Maka A Siu menjadi tidak
sampai hati untuk membunuhnya. Katanya, “Nenek, beberapa
orang ini bukanlah biang keladinya, mereka hanya ikut-ikutan
saja, sementara ini biarlah diampuni dahulu, nanti sesudah
diperiksa dan jika memang bersalah barulah dibunuh.”
“Ya, sudah! Hayo lekas, jangan sampai bikin runyam urusan,
lekas berangkat!” sahut Su-popo. Segera ia mendahului
melangkah pergi dan disusul oleh Boh-thian dan A Siu.
Cepat sekali Su-popo menyusur serambi dan melintasi
ruangan-ruangan, setiap kali ada orang datang dari depan
mereka lantas sembunyi di pojok atau di belakang pintu untuk
menghindar, tampaknya nenek itu hafal sekali terhadap setiap
kamar dan ruangan di situ.
Boh-thian jalan berjajar dengan A Siu dari belakang, dengan
suara tertahan ia tanya si nona, “Suhu suruh aku berjuang dan
berjasa apa? Siapakah yang akan ditolong?”
Baru saja A Siu akan menjawab, tiba-tiba terdengar suara
tindakan yang ramai, dari depan telah mendatangi lima atau
enam orang.
Lekas Su-popo sembunyi di balik sebuah tiang yang besar.
Segera A Siu juga menarik Boh-thian untuk sembunyi di
belakang pintu.
Beberapa orang itu sambil berjalan sembari mengobrol. Kata
seorang di antaranya, “Sesudah bergotong royong bersamasama
dan dapat mengurung si tua gila itu barulah kita merasa
lega. Selama beberapa hari ini hidup kita benar-benar sangat
tertekan dan terancam.”
“Ya, selama Si Gila itu belum binasa, selalu pula kita belum
bebas dari ancaman,” kata seorang lagi. “Ce-supek masih
ragu-ragu saja, bukan mustahil bisa membikin urusan menjadi
runyam malah.”
Segera seorang dengan suara kasar menanggapi,
“Memangnya, daripada kerja kepalang tanggung, mestinya kita
bereskan Ce-supek sekalian!
“Hus,” bentak seorang kawannya dengan suara tertahan.
“Kata-kata demikian masakah boleh kau ucapkan dengan
keras? Jika didengar oleh anak muridnya Ce-supek, sebelum
kita menumpas mereka boleh jadi buah kepalamu sudah
berpisah dengan kau.”
Orang yang bersuara kasar itu rupanya menjadi penasaran,
sahutnya, “Kalau perlu biar kita coba-coba dengan mereka,
masakah kita pasti kalah?”
Begitulah orang-orang itu makin menjauh. Ciok Boh-thian yang
berjubelan sembunyi di belakang pintu bersama A Siu dapat
merasakan badan anak dara itu rada gemetar. Dengan
berbisik-bisik ia tanya, “Apakah kau takut, A Siu?”
“Ya, aku agak takut,” sahut si nona. “Jumlah mereka sangat
banyak mungkin kita tak dapat melawan mereka.”
Dalam pada itu Su-popo telah keluar dari tempat sembunyinya
dan berseru tertahan kepada mereka, “Ayo, lekas!”
Segera ia mendahului menyusur ke depan dengan cepat.
Sesudah melalui sebuah pelataran luas dan menembus sebuah
serambi yang panjang, akhirnya mereka sampai di suatu taman
bunga yang luas. Taman itu penuh salju, hanya kelihatan
sebuah jalanan kecil dari batu-batu kecil menembus ke suatu
ruangan tertutup.
Su-popo mendekam di balik sebatang pohon, ia comot
segumpal salju, sesudah dikepal segera disambitkan keluar
ruangan tertutup tadi, “plok” batu salju itu jatuh di tanah dan
mengejutkan dua orang penjaga yang berdiri di samping
ruangan itu. Cepat mereka berlari datang untuk memeriksa
dengan pedang terhunus.
Menunggu kedua orang itu sudah dekat, sekonyong-konyong
Su-popo melompat keluar, goloknya menebas dua kali dengan
cepat luar biasa. Kontan leher kedua orang itu tertebas, tanpa
bersuara sedikit pun kedua orang itu terjungkal binasa.
Untuk pertama kalinya Ciok Boh-thian menyaksikan Su-popo
membunuh orang secara ganas, tanpa merasa bulu romanya
sama berdiri. Selang sejenak baru teringat olehnya bahwa
jurus serangan Su-popo tadi pernah juga diajarkan padanya di
Ci-yan-to tempo hari, jurus itu bernama “Cay-au-to” (Golok
Menebas Tenggorokan) dan dirinya sudah mahir
menggunakannya, cuma selama ini belum pernah terpikir
olehnya bahwa jurus serangan itu ternyata sedemikian bagus
dan cepat untuk membunuh orang.
Ketika dia tenang kembali, sementara itu Su-popo sudah
menyeret kedua mayat ke belakang gunung-gunungan, lalu
dengan enteng sekali ia mendekati jendela ruangan tertutup itu
untuk mendengarkan.
Telinga Ciok Boh-thian amat tajam, belum dekat dengan
jendela itu sudah didengarnya di dalam ruangan itu ada suara
dua orang sedang bertengkar. Meski suara mereka tidak terlalu
keras, tapi terang keduanya sama-sama marah dan tidak mau
mengalah.
Terdengar seorang di antaranya berkata, “Menangkap harimau
adalah gampang dan celakalah kalau melepaskannya.
Peribahasa ini tentu kau sudah paham. Urusan ini sudah
telanjur kita kerjakan, sekarang kau menjadi takut malah.
Jikalau si tua gila itu sampai lolos keluar, tentu kita akan mati
semua tanpa ampun.”
Diam-diam Boh-thian berpikir, “Jangan-jangan ‘si tua gila’ yang
mereka maksudkan adalah orang tua aneh di dalam kamar
tahanan itu? Tingkah laku orang tua itu memang aneh, aku
mau menolong dia keluar, tapi dia justru tidak mau. Mungkin
dia memang benar-benar orang gila. Ilmu silat orang tua itu
memang sangat lihai, pantas kalau semua orang ini sedemikian
takut kepadanya.”
Maka terdengar seorang lain telah menjawab, “Si Gila itu sudah
terkurung di penjara binatang, sekalipun dia memiliki
kepandaian setinggi langit juga tak mampu lolos keluar. Kalau
saat ini kita mau membunuh dia adalah teramat mudah, cuma
kita harus menjaga nama baik kita. Perbuatan durhaka
terhadap orang tua demikian mungkin Liau-sute sendiri tidak
ambil pusing, tapi aku tidak berani memikul tanggung
jawabnya. Kelak kalau kita ditanyai kawan-kawan dunia
persilatan, lantas cara bagaimana kita akan menjawab dan ke
mana muka kita harus ditaruh?”
“Huh, jika kau takut bertanggung jawab atas perbuatan
durhaka, seharusnya sejak mula kau jangan menjadi biang
keladi urusan ini,” jengek orang pertama yang disebut she Liau
itu. “Sekarang urusan sudah dilaksanakan, kau menjadi
menyesal dan ingin mengelakkan tanggung jawab. Hm,
masakan di dunia ini ada soal seenak ini? Pendek kata, Cesuko,
apa yang kau pikirkan sudah kuketahui, lebih baik kita
bicara blakblakan saja dan tidak perlu pura-pura.”
“Aku mempunyai pikiran apa? Ha, ucapan Liau-sute benarbenar
berduri dan penuh tulang,” sahut orang she Ce.
“Apa maksudnya ucapan berduri?” kata si orang she Liau.
“Sesungguhnya Ce-suko cuma pura-pura baik hati dan ingin
menimpakan perbuatan durhaka ini kepadaku saja. Tujuanmu
ialah satu kali tembak dapat dua burung, supaya kau sendiri
bisa enak-enak dan tenang-tenang naik di atas singgasana.”
“Haha, aneh benar tuduhan Liau-sute ini!” jawab orang she Ce.
“Berdasarkan apa aku ada hak naik ke atas singgasana? Kalau
mesti menurutkan urut-urutan, di atas kita masih ada Sengsuko
dan tidak mungkin jatuh kepada bagianku.”
Mendadak suara seorang yang lebih tua dan serak menyela,
“Kalian bertengkar urusan kalian sendiri dan tidak perlu
menyangkutpautkan diriku.”
“Seng-suko, engkau adalah orang jujur, kau tidak lebih hanya
akan digunakan sebagai tameng oleh Ce-suko, maka segala
sesuatu hendaklah kau pikirkan yang jelas, janganlah dijadikan
boneka sedangkan engkau sendiri masih belum sadar,”
demikian kata orang she Liau.
Boh-thian coba membasahi kertas perapat jendela dengan air
ludahnya, perlahan-lahan ia mengorek sebuah lubang kecil, lalu
mengintip ke dalam ruangan. Ia menjadi terkejut ketika
diketahui bahwa di dalam situ tidak cuma tiga orang yang
bicara saja, tapi masih ada dua-tiga ratus orang lainnya, ada
yang berdiri dan ada yang berduduk, laki-laki dan wanita, ada
yang tua dan ada yang masih muda, semuanya berjubah putih
seragam murid Swat-san-pay.
Di tengah ruangan tertampak ada lima buah kursi besar, kursi
yang tengah kosong, keempat kursi di kedua sampingnya
berduduk empat orang. Terdengar ketiga orang tadi masih
berdebat tak henti-hentinya. Dari suara mereka dapat dikenali
bahwa yang duduk di sebelah kiri adalah orang-orang she Seng
dan Liau, seorang yang duduk di sebelah kanan terang she Ce,
seorang lagi berwajah putih kurus dan muram durja seakanakan
baru kematian istri.
Saat itu terdengar orang she Ce telah menegurnya, “Nio-sute,
sejak tadi kau diam saja, sesungguhnya bagaimana
pendapatmu?”
Orang she Nio yang berwajah muram itu menghela napas, lalu
geleng-geleng kepala, kemudian menghela napas pula dan
tetap tidak membuka suara.
“Nio-sute tidak berbicara, dengan sendirinya ia menyetujui
urusan ini,” kata si orang she Ce.
“Kau toh bukan cacing pita di dalam perut Nio-sute, dari mana
kau mengetahui pikirannya?” debat orang she Liau dengan
gusar. “Kita berempat yang telah melakukan urusan ini,
seorang laki-laki sejati, sekali sudah berbuat harus berani
bertanggung jawab. Kalau berani di muka dan takut
belakangan, huh, terhitung orang gagah macam apa ini?”
Tapi si orang she menjawab dengan dingin, “Justru karena kita
semua ini takut mati, makanya telah melakukan kejadian ini,
masakah kita dapat disebut sebagai kesatria atau orang gagah?
Lebih tepat kalau dikatakan bahwa kita sudah kepepet
sehingga terpaksa menyerempet bahaya.”
“Ban-li,” sekonyong-konyong si orang she Liau berseru. “Coba
katakan, bagaimana menurut pendapatmu?”
Maka majulah seorang ke depan, yakni Hong-hwe-sin-liong
Hong Ban-li yang buntung sebelah tangannya. Ia memberi
hormat, lalu menjawab, “Tecu tidak mampu menyelesaikan
urusan ini sehingga menimbulkan malapetaka, dosa ini saja
sudah diganjar dengan kematian, masakah sekarang Tecu
berani mempunyai pikiran durhaka lagi? Maka Tecu setuju
dengan usul Ce-susiok, jangan sekali-kali turun tangan keji
kepada beliau.”
“Aku pernah menyelamatkan jiwamu, apakah kau sudah lupa?”
bentak si orang she Liau dengan gusar.
“Mana mungkin Tecu melupakan budi kebaikan Susiok,” sahut
Ban-li. “Tapi kalau Susiok menyuruh Tecu membunuh beliau,
betapa pun Tecu tidak bisa menurut.”
“Lalu cara bagaimana kau akan menyelesaikan anak murid
Tiang-bun (cabang utama) yang baru pulang itu?” tanya orang
she Liau dengan suara bengis.
“Jika Susiok mengizinkan Tecu ikut bicara, maka menurut
pendapatku sementara ini mereka dapat ditahan dulu untuk
kemudian dicarikan jalan penyelesaiannya,” ujar Ban-li.
“Cari penyelesaian apa? Hehe, keputusanmu sudah lama
disiapkan, masakah aku tidak tahu?” jengek orang she Liau.
“Apa maksud ucapan Susiok ini?” tanya Ban-li.
Si orang she Liau menjawab, “Anak murid Tiang-bun kalian
berjumlah banyak, tinggi pula kepandaiannya, sudah tentu
kedudukan ciangbun (ketua) tidak rela diserahkan kepada anak
murid dari cabang lain. Lebih dulu kau ingin menimpakan dosa
pendurhakaan atas diriku, kemudian anak murid cabang empat
kami akan kalian bunuh habis, dengan demikian kalian tentu
akan menjagoi dengan aman sentosa.”
Sampai di sini mendadak ia keraskan suaranya, “Maka dari itu,
setiap murid Tiang-bun semuanya merupakan bibit bencana,
hari ini kita harus babat rumput sampai akar-akarnya. Kita
harus turun tangan bersama, setiap murid Tiang-bun harus
dibinasakan seluruhnya.”
Habis berkata, “sret”, segera pedangnya dilolosnya.
Serentak dari sekitar ruangan melompat maju dua-tiga puluh
orang dengan pedang terhunus dan siap siaga di seputar Hong
Ban-li, tapi di samping itu ada pula beberapa puluh orang
dengan pegang pedang juga telah mengepung.
Diam-diam Boh-thian menjadi khawatir dan berpikir,
“Tampaknya Hong-suhu susah melawan orang banyak, entah
aku harus membantunya atau tidak?”
Dalam pada itu terdengar Hong Ban-li telah berseru, “Sengsusiok,
Ce-susiok, dan Nio-susiok, apakah kalian membiarkan
Liau-susiok malang melintang di sini? Jika cabang empat
mereka sudah membunuh habis anak murid Tiang-bun, maka
cabang-cabang dua, tiga dan lima kalian tentu akan menjadi
giliran dibasmi pula oleh mereka.”
“Bergerak!” bentak orang she Liau memberi komando kepada
anak buahnya, berbareng ia terus menubruk maju, kontan
dada Hong Ban-li lantas ditusuknya.
Cepat Ban-li melolos pedang dengan tangan kiri untuk
menangkis serangan itu. Terdengar suara “trang”, menyusul
lantas “bret” pula. Walaupun pedang lawan tertangkis, tapi
tidak urung lengan baju kanan Hong Ban-li terkupas sepotong.
Hendaklah maklum bahwa Hong Ban-li terkenal lihai seperti
halnya Pek Ban-kiam, kedua orang merupakan jago-jago
utama Swat-san-pay dari angkatan kedua, ilmu pedangnya
sesungguhnya tidak kalah daripada paman-paman gurunya she
Seng, Ce, Liau, dan Nio itu. Cuma sayang sebelah lengannya
sudah buntung, permainan pedang dengan tangan kiri dengan
sendirinya kurang leluasa. Ia telah dapat menangkis tusukan
orang she Liau itu, tapi paman guru itu mendadak mengganti
gerakan pedangnya dari menusuk menjadi menebas. Walaupun
Ban-li sudah menduga akan jurus serangan itu, tapi pedang di
tangan kiri agak canggung digunakan, untung lengan kanan
sudah buntung sehingga yang tertebas hanya lengan bajunya,
kalau tidak tentu lengannya akan menjadi korban pula.
Paman gurunya itu benar-benar kejam, sekali berhasil
serangannya, menyusul serangan kedua lantas dilancarkan
pula. Namun dari samping Ban-li lantas menyambar maju dua
batang pedang saling beradu sehingga serangan orang she Liau
kembali gagal.
“Kenapa tidak lekas maju!” bentak orang she Liau kepada anak
buahnya. Sambil berteriak-teriak serentak beberapa puluh
orang dari anak murid cabang empat lantas mengerubut maju.
Seketika terdengarlah suara riuh ramai, pertarungan sengit
lantas terjadi, anak murid cabang utama kebanyakan harus
satu-lawan-dua atau tiga. Ruangan itu seketika berubah
menjadi medan pertempuran.
Orang she Liau lantas melompat ke pinggir untuk menyaksikan
pertempuran. Dilihatnya anak murid dari cabang dua, tiga dan
lima tidak bergerak, semuanya menonton di samping. Tergerak
hatinya dan tahulah dia apa sebabnya. Segera ia berseru, “Loji,
Losam, Longo, keji amat kalian, sengaja kalian membiarkan
cabang empat kami bertarung mati-matian dengan cabang
utama dan nanti kalian yang akan mengambil keuntungannya.
Hehe, jangan kalian mimpi!”
Karena pikiran demikian, ia menjadi murka, kedua matanya
menjadi merah, kontan ia terus menyerang orang she Ce. Maka
kedua orang lantas saling gebrak dengan sengit.
Nyata ilmu pedang orang she Liau lebih bagus daripada orang
she Ce. Sesudah belasan jurus si orang she Ce lantas mulai
terdesak mundur.
Cepat orang she Seng, yaitu suheng kedua, melompat maju
dengan pedang terhunus, serunya, “Losi, segala urusan
hendaklah dirundingkan dengan baik-baik. Sesama saudara
seperguruan mengapa mesti menggunakan kekerasan seperti
ini?” berbareng pedangnya lantas menyambar maju sehingga
tusukan orang she Liau kena ditangkis.
Melihat jisuheng sudah ikut maju, kesempatan itu tidak
diabaikan orang she Ce, cepat ia melangkah maju dan balas
menusuk perut orang she Liau. Serangan samsuheng she Ce ini
pun tidak kurang kejinya, tujuannya hendak membinasakan
lawannya tanpa kenal ampun sedikit pun.
Bab 40. Su-popo Ternyata adalah Nyonya Pek Cu-cay
Saat itu pedang orang she Liau sedang ditangkis pergi oleh
pedang jisuhengnya dan sedang saling adu tenaga dalam buat
melepaskan lengketan pedang lawan, maka tusukan
samsuhengnya itu benar-benar di luar dugaan dan betapa pun
susah dielakkan.
Pada saat demikian untunglah sang sute she Nio yang tadi
hanya diam-diam saja itu kini mendadak ikut melolos pedang
terus menusuk ke punggung orang she Ce sambil berkata, “Ai,
dosa, dosa caramu ini!”
Untuk membela diri, terpaksa orang she Ce menarik kembali
pedangnya untuk menangkis serangan gosute she Nio itu.
Begitulah anak murid dari cabang dua, tiga, lima dan lain-lain
lantas ikut menerjang maju untuk membela gurunya masingmasing.
Maka pertempuran menjadi tambah seru....
Ciok Boh-thian sampai bingung menyaksikan pertarungan
gaduh itu. Hanya sebentar saja terjadilah banjir darah di
ruangan pendopo itu, banyak tangan kutung dan kaki patah
tercecer di sana-sini diseling suara jerit ngeri.
“Toako, aku... aku takut!” kata A Siu dengan suara gemetar
sambil menggelendot di samping Boh-thian.
“Sebenarnya ada urusan apakah, mengapa mereka saling
hantam sendiri?” tanya Boh-thian.
Tatkala itu setiap orang di dalam ruangan itu sedang
memikirkan keselamatannya sendiri, maka biarpun Boh-thian
bicara lebih keras di luar juga takkan dipedulikan.
Sebaliknya Su-popo lantas menjengek, “Hm, bagus, bagus!
Pertarungan yang bagus! Biarkan semuanya mampus barulah
puas hatiku!”
Pertempuran sengit beratus-ratus orang tanpa teratur itu agak
lucu juga tampaknya, lebih-lebih pakaian mereka adalah
seragam putih semua, senjata yang dipakai juga sama, kawan
atau lawan menjadi susah membedakan. Semula anak murid
cabang utama bertarung melawan cabang ketiga, tapi sesudah
anak murid cabang-cabang lain juga ikut masuk medan
pertempuran, seketika keadaan menjadi kacau, banyak di
antaranya yang memangnya ada permusuhan pribadi lantas
dilampiaskan dalam pertempuran gaduh ini.
“Sudahlah, kita jangan lihat lagi, marilah menyingkir saja,”
kata A Siu kepada Boh-thian.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara gedubrakan yang
gemuruh, daun pintu telah terpentang dan terlepas dari
engselnya. Lalu terdengar seorang berseru dengan suara
lantang, “Siang-sian dan Hwat-ok Sucia dari Liong-bok-to
berkunjung kemari hendak bertemu dengan ketua Swat-sanpay!”
Begitu keras dan nyaring suara seruan itu sehingga suara
pertempuran yang riuh ramai tadi tersirap semua.
Mendengar nama Siang-sian dan Hwat-ok Sucia dari Liong-bokto
sudah tiba, semua orang sangat terkejut. Segera sebagian
orang berhenti bertempur dan melompat ke pinggir. Berturutturut
yang lain juga berhenti bertempur. Hanya sekejap saja
semua orang sudah menyingkir ke samping, perhatian semua
orang tertuju ke arah pintu. Di tengah ruangan hanya
tertinggal suara rintihan mereka yang terluka, suara lain tiada
terdengar lagi. Sejenak kemudian penderita-penderita luka itu
pun lupa merintih lagi dan sama memandang ke arah pintu.
Ternyata di ambang pintu secara berjajar telah berdiri dua
orang, satu gemuk dan satu kurus, pakaian mereka sangat
perlente. Hampir-hampir Ciok Boh-thian berseru menyapa
ketika melihat yang datang itu adalah Thio Sam dan Li Si. Tapi
lantas teringat dirinya dalam penyamaran sebagai Ciok Tionggiok
dan belum waktunya untuk menonjolkan siapa sebenarnya
dia.
Dalam pada itu terlihat Thio Sam mulai berkata dengan
tertawa, “Pantas ilmu silat Swat-san-pay termasyhur di seluruh
jagat, kiranya di waktu latihan di antara sesama saudara
seperguruan digunakan cara menyerang dan membunuh
sungguhan. Wah, cara demikian benar-benar hebat. Sungguh
mengagumkan.”
Orang she Liau lantas tampil ke muka dan menegur dengan
suara bengis, “Apakah kalian ini yang disebut sebagai Siangsian
dan Hwat-ok Sucia dari Liong-bok-to?”
“Benar,” sahut Thio Sam. “Entah siapakah di antara kalian ini
adalah Ciangbunjin Swat-san-pay? Atas perintah Liong-bok-to
Tocu kami ingin menyampaikan medali undangan agar
ciangbunjin kalian kelak berkunjung ke pulau kami untuk
sekadar ikut minum semangkuk Lap-pat-cok.”
Sambil bicara ia lantas mengeluarkan dua buah medali
tembaga, tiba-tiba ia berpaling kepada Li Si dan berkata, “Eh,
kabarnya Ciangbunjin Swat-san-pay adalah Wi-tek Siansing
Pek-loyacu, tampaknya orang-orang yang berada di sini kok
tidak mirip dia?”
“Ya, aku pun berpikir begitu,” sahut Li Si.
Segera orang she Liau tadi menanggapi, “Orang she Pek itu
sudah mati, ciangbunjin yang baru....”
Belum habis ia bicara mendadak Hong Ban-li lantas memotong
dengan mendamprat, “Kentut busuk! Wi-tek Siansing masih
baik-baik, beliau hanya....”
“Apakah demikian ini caranya kau bicara dengan susiokmu?” si
orang she Liau balas mendamprat.
“Orang macam kau ini juga ada harganya untuk dipanggil
susiok?” jawab Ban-li.
Nama orang she Liau itu selengkapnya adalah Liau Cu-le,
wataknya sangat keras dan berangasan. Karena jawaban Ban-li
yang kasar itu, kontan pedangnya lantas menusuk.
Cepat Ban-li menangkis sambil melangkah mundur. Rupanya
Liau Cu-le sudah merah matanya, dengan murka ia lantas
menerjang maju. Tapi seorang murid cabang utama lantas
mengadang maju untuk melabraknya. Menyusul Seng Cu-hak,
Ce Cu-bian, Nio Cu-cin, berturut-turut juga menyerbu maju lagi
sehingga pertempuran gaduh kembali terjadi.
Hendaklah maklum bahwa geger-geger yang terjadi di dalam
Swat-san-pay ini cukup berat persoalannya. Sebab itulah
keempat saudara seperguruan she Seng, Ce, Liau, dan Nio itu
saling tidak mau mengalah, saling sirik, saling dendam, asal
salah seorang di antara mereka binasa keadaan tentu akan
berubah, sebab itulah meski kedua rasul pengganjar dan
penghukum itu sudah datang toh mereka masih cekcok
mengenai urusannya sendiri.
Menyaksikan suasana begitu Thio Sam lantas bergelak tertawa,
katanya, “Rupanya kalian tekun benar melatih ilmu silat
perguruannya sendiri, tapi temponya kan masih banyak,
mengapa mesti buru-buru pada saat ini?”
Habis berkata ia terus melangkah maju dengan perlahan,
mendadak kedua tangannya bekerja, ia mencengkeram dan
menarik ke sana kemari, maka terdengarlah suara
gemerencing yang ramai, tahu-tahu beberapa batang pedang
sudah terbuang ke atas lantai. Entah cara bagaimana pedang
orang-orang she Seng Ce, Liau, dan Nio beserta pedang Hong
Ban-li dan dua orang muridnya tahu-tahu sudah kena dirampas
oleh Thio Sam, mereka hanya merasa tangan tergetar
kesemutan, lalu pedang sudah terlepas dari cekalan.
Keruan mereka menjadi terperanjat semua, baru sekarang
mereka nyaho bahwa ilmu silat kedua tamu itu bukan main
lihainya. Dalam kagetnya mereka sampai lupa mengenai
percekcokan di antara mereka sendiri itu dan teringat kepada
macam-macam cerita tentang korban yang jatuh di mana
tempat yang kedatangan Siang-sian dan Hwat-ok Sucia.
Sekarang mereka telah menyaksikan dan merasakan sendiri
jelas bilamana kedua rasul itu mau mengganas, mungkin susah
dilawan sekalipun segenap kekuatan Swat-san-pay dikerahkan
seluruhnya. Apalagi di dalam golongan sendiri sedang saling
bunuh-membunuh. Begitulah mereka menjadi takut dan ada
yang sampai menggigil.
Sementara itu Thio Sam berkata pula dengan tertawa,
“Ketekunan kalian meyakinkan ilmu silat sungguh harus dipuji,
tapi juga tidak perlu segiat ini dan masih banyak tempo. Kami
berdua masih harus menyampaikan medali undangan ke lain
tempat dan tiada waktu senggang untuk tinggal di sini.
Tentang Wi-tek Siansing apakah dia sudah mati atau masih
hidup kami tidak ambil pusing, yang pasti Swat-san-pay toh
harus ada seorang ciangbunjin. Yang diundang oleh Liong-bokto
kami adalah ciangbunjin dari Swat-san-pay, maka lekas
terangkan yang manakah adalah ciangbunjin kalian?”
Untuk sejenak Seng Cu-hak dan para sutenya hanya saling
pandang saja tanpa bisa menjawab. Mereka tahu selama
berpuluh tahun ini, setiap ciangbunjin yang menerima
undangan dan pergi ke Liong-bok-to selamanya tiada seorang
pun yang dapat pulang kembali, maka siapa saja yang menjadi
Ciangbunjin Swat-san-pay sekarang akan berarti membunuh
diri pula menghadapi utusan-utusan dari Liong-bok-to ini.
Tadinya mereka anggap Leng-siau-sia terletak jauh di wilayah
barat dan jarang ada hubungan dengan orang-orang persilatan
daerah Tionggoan, medali undangan Liong-bok-to itu rasanya
takkan sampai di Leng-siau-sia yang terpencil ini. Pula tentang
kepandaian rasul-rasul pengganjar dan penghukum itu hanya
beritanya saja yang mereka dengar dan besar kemungkinan,
sengaja dibesar-besarkan dan dilebih-lebihkan oleh orang,
padahal belum tentu benar sedemikian lihainya. Siapa duga
hal-hal yang disangka takkan terjadi itu mendadak lantas
muncul di depan mereka sekarang.
Kalau beberapa saat sebelumnya tadi kelima cabang murid
Swat-san-pay saling bertengkar dengan harapan cabangnya
sendiri yang akan menjagoi dan pemimpinnya sendiri yang
keluar sebagai pejabat ciangbunjin, untuk mana mereka tidak
segan-segan saling hantam dan saling bunuh. Tapi sekarang
setelah keadaan berubah mendadak, mereka menjadi
mengkeret dan berharap agar pihak lawan yang menjadi
ciangbunjin saja, supaya bisa mewakilkan mereka mengantar
nyawa ke Liong-bok-to.
Lantaran itulah, serentak Seng Cu-hak, Ce Cu-bian, Liau Cu-le,
Nio Cu-cin, dan Hong Ban-li saling tunjuk dan sama berseru,
“Itu dia! Dia adalah ciangbunjinnya!”
Tentang Swat-san-pay dapat diterangkan bahwa sudah cukup
lama diketuai oleh Wi-tek Siansing Pek Cu-cay, yaitu ayahnya
Pek Ban-kiam. Pek Cu-cay mempunyai empat orang sute, ialah
Seng Cu-hak, Ce Cu-bian, Liau Cu-le, dan Nio Cu-cin. Guru
mereka sudah lama wafat sehingga kepandaian keempat sute
itu sebagian besar adalah ajaran Pek Cu-cay, sebab itulah
resminya Pek Cu-cay adalah suheng mereka, tapi
sesungguhnya adalah guru dan murid.
Ilmu silat Swat-san-pay terkenal banyak ragam perubahannya,
tentang lwekang berbalik tiada sesuatu yang bisa ditonjolkan.
Pek Cu-cay sendiri hanya secara kebetulan pada masa
mudanya telah makan sejenis buah ajaib sehingga mendadak
tenaga dalamnya bertumbuh dengan luar biasa. Karena tenaga
dalamnya yang hebat itu ditambah bagusnya ilmu silat, maka
selama beberapa puluh tahun ini dia menjagoi daerah Se-ek
tanpa tandingan.
Caranya Pek Cu-cay menurunkan kepandaiannya kepada para
sute dan anak muridnya tidak pernah menyembunyikan satudua
jurus yang istimewa, tapi telah mengajar dengan segenap
kepandaian yang dia miliki sendiri. Hanya tentang lwekangnya
yang diperolehnya secara kebetulan itulah yang susah
dipelajari, sebab itu kepandaian para sutenya selalu terbatas
dan susah mencapai tingkatan seperti Pek Cu-cay.
Dasar watak Pek Cu-cay adalah suka menang dan tinggi hati,
mengenai dia kebetulan makan buah ajaib sehingga
lwekangnya tumbuh mendadak, hal ini selalu dirahasiakannya,
dengan demikian dia ingin menunjukkan bahwa kepandaiannya
itu adalah berkat kecerdasan dan kegiatannya berlatih dan
bukan diperoleh secara mujur.
Sebaliknya di dalam hati keempat sutenya itu lantas timbul
rasa penasaran dan sirik, mereka anggap sang suheng yang
dipesan mendiang gurunya agar memberi bimbingan kepada
para sute itu berlaku tamak dan sengaja merahasiakan
sebagian ilmu silat perguruan sendiri.
Lebih-lebih ilmu silat Pek Ban-kiam dan Hong Ban-li ternyata
sangat tinggi dan hampir-hampir memadai keempat susioknya,
hal ini membuat Seng, Ce, Liau, dan Nio menjadi penasaran.
Cuma di bawah pengaruh Wi-tek Siansing mereka tidak berani
memperlihatkan perasaan kurang puas itu. Dan baru sekarang
ketika anak murid Tiang-bun (cabang utama di bawah Pek Cucay)
banyak yang turun gunung, Pek Cu-cay sendiri kurang
waras pula pikirannya, maka para sutenya serentak melakukan
pemberontakan.
Namun kepandaian antara mereka berempat boleh dikata
sembabat, maka siapa pun tidak mau tunduk kepada yang lain
dan sama-sama ingin menjadi ciangbunjin. Tapi untuk bisa
mencapai cita-cita itu mereka pun sadar harus berdaya
menumpas dahulu ketiga orang sekutunya barulah dapat aman
menduduki kursi ciangbunjin. Sama sekali tak terduga bahwa
pada saat yang krisis itulah mendadak kedua sucia dari Liongbok-
to muncul di situ.
Begitulah, kalau tadi mereka berebut menjadi ciangbunjin,
maka sekarang mereka sama-sama ingin mengelakkan
tanggung jawab. Kata Ce Cu-bian, “Usia Samsuheng (Ce Cubian)
adalah paling tua, menurut aturan dan dengan sendirinya
dia yang harus menjabat ketua golongan kita.”
“Hanya usia lebih tua saja apa gunanya?” jawab Ce Cu-bian.
“Dalam urusan kita ini kau yang paling banyak mengeluarkan
tenaga, jika Liau-sute tidak mau menjadi ciangbunjin siapa lagi
yang cocok untuk menjabatnya?”
“Huh, soal Ciangbunjin Swat-san-pay kita sebenarnya adalah
biasa dijabat oleh Toasuheng, sekarang Toasuheng sudah exit,
dengan sendirinya Jisuko yang harus menggantikannya,
kenapa mesti dipersoalkan lagi?” demikian kata Gosute, Nio
Cu-cin.
Tapi jisuheng Seng Cu-hak lantas menjawab, “Bicara tentang
banyak akal dan kecerdikan di antara kita berempat harus
diakui Gosute yang paling pintar. Maka aku setuju bila Gosute
yang menjabat ciangbunjin kita. Maklumlah urusan hari ini
lebih mengutamakan mengadu kecerdikan daripada mengadu
kekuatan.”
Liau Cu-le lantas menyambung pula, “Ciangbunjin kita
memangnya dijabat oleh orang dari Tiang-bun, jika Ce-suheng
tidak mau menggantikannya, maka boleh silakan Heng-sutit
dari Tiang-bun yang menjabatnya. Kukira semua orang pasti
tidak mempunyai alasan untuk menolaknya, paling sedikit aku
orang she Liau pasti setuju.”
“Tapi tadi ada orang berteriak-teriak, katanya anak murid
Tiang-bun harus dibinasakan semua, entah siapakah tadi itu
yang melepaskan kentut anjing demikian?” kata Ban-li.
Liau Cu-le menjadi gusar, alisnya sampai menegak. Mestinya ia
hendak balas memaki, tapi lantas terpikir sesuatu olehnya,
sedapat mungkin ia bersabar dan berkatalah, “Urusan sudah
kadung demikian, apakah terhitung seorang kesatria sejati jika
mengkeret digaris depan?”
Begitulah kelima orang itu ribut mulut sendiri saling
mengajukan orang lain untuk menjadi ciangbunjin.
Sejak tadi Thio Sam hanya mendengarkan saja dengan
tersenyum-senyum tanpa membuka suara. Sebaliknya Li Si
yang tidak sabar lagi mendengarkan pertengkaran orang-orang
Swat-san-pay yang tidak habis-habis itu. Segera ia
membentak, “Sebenarnya siapakah di antara kalian ini adalah
ciangbunjinnya? Kalian bertengkar terus, kalau sampai makan
waktu seminggu atau sebulan, apakah kami juga disuruh
menunggu begitu lama?”
“Ya, Seng-suko, hendaklah kau lekas menerima saja,” kata Nio
Cu-cin. “Jika ayal lagi jangan-jangan akan timbul malapetaka,
maka kaulah yang akan membikin susah orang banyak.”
“Mengapa aku yang akan membikin susah orang banyak?”
sahut Seng Cu-hak dengan gusar.
Begitulah kembali kelima orang itu bertengkar pula dengan
sengitnya.
Segera Thio Sam berkata pula dengan tertawa, “Aku ada suatu
akal. Begini, kalian berlima boleh memutuskan urusan ini
dengan mengadu kepandaian masing-masing. Kepandaian
siapa yang paling tinggi, dialah yang akan menjadi Ciangbunjin
Swat-san-pay.”
Kelima tokoh Swat-san-pay itu tidak berani menjawab. Mereka
saling pandang dan menimbang-nimbang dalam hati masingmasing.
Maka Thio Sam menyambung pula, “Tadi waktu kami datang
terlihat kalian berlima sedang saling labrak, kukira di samping
kalian sedang berlatih untuk mempertinggi ilmu silat perguruan
kalian, tentu pula kalian sedang mengukur tenaga untuk
menentukan siapa yang lebih unggul dan berhak menjadi
ciangbunjin. Rupanya kami terlalu buru-buru masuk ke sini
sehingga pertandingan kalian terputus setengah jalan. Maka
sekarang kalian boleh meneruskan, tidak sampai satu jam
tentu dapat ditentukan pihak yang kalah atau menang. Kalau
tidak, menuruti watak saudaraku yang tidak sabaran ini, satu
jam kemudian jika urusan masih belum selesai mustahil semua
orang Swat-san-pay akan dibunuh habis olehnya sehingga
tiada seorang pun di antara kalian yang berhasil menjadi
ciangbunjin. Nah, satu, dua, tiga! Lekaslah mulai!”
“Sret”, segera Liau Cu-le mendahului melolos pedang.
Tapi mendadak Thio Sam berseru pula, “Yang mengintip di luar
jendela itu tentunya juga orang Swat-san-pay, harap masuk
saja sekalian ke sini! Karena ciangbunjin ini akan ditentukan
dengan ilmu silat, maka tidak peduli tua atau muda, setiap
orang boleh ikut.”
Habis berkata lengan bajunya lantas mengebas ke belakang,
“blang”, daun jendela terpentang dan terpental tersampuk oleh
angin pukulannya itu.
Karena jejaknya sudah ketahuan, segera Su-popo menarik A
Siu dan Ciok Boh-thian masuk ke dalam ruangan.
Melihat mereka bertiga, seketika semua orang yang berada di
dalam ruangan menjadi tercengang. Serentak Seng Cu-hak, Ce
Cu-bian, Liau Cu-le, dan Nio Cu-cin berempat mengelilingi
mereka dengan senjata terhunus. Namun Su-popo hanya
tertawa dingin saja tak ambil pusing.
Sebaliknya Hong Ban-li lantas melangkah maju dan memberi
hormat sambil menyapa, “Terimalah hormatku, Sunio (ibu
guru)!”
Boh-thian terperanjat. Pikirnya, “Aneh, mengapa suhuku
adalah dia punya ibu guru?”
Dalam pada itu Su-popo hanya menengadah saja tanpa
menggubris hormat Hong Ban-li itu.
Dengan tertawa Thio Sam lantas berkata, “Bagus, bagus! Sobat
cilik yang tidak mau mengaku sebagai Pangcu Tiang-lok-pang
ternyata sudah kembali ke Swat-san-pay sini! Jite, coba lihat,
alangkah miripnya bocah ini dengan samte kita.”
Li Si mengangguk dan menjawab, “Ya, cuma tutur katanya
rada-rada tengik dan tingkah lakunya agak bergajul. Di mana
ada nona cantik, di situ juga dia lantas hinggap.”
Diam-diam Boh-thian anggap kebetulan malah karena kedua
saudara angkat itu telah salah sangka dia sebagai Ciok Tionggiok.
“Eh, kiranya nenek ini adalah Pek-lohujin, maaf kami berlaku
kurang hormat,” demikian Thio Sam membuka suara lagi.
“Para sutemu sedang mengincar kedudukan Ciangbun Pekloyacu,
mereka sedang mengukur tenaga dan adu otot untuk
merebut jabatan terhormat itu. Nah, baiklah, kalian boleh
mulai lagi. Satu-dua-tiga, hayo mulai!”
Namun Su-popo lantas menggandeng tangan A Siu dan Bohthian,
dengan bersitegang leher ia berjalan ke depan. Seng Cuhak
dan lain-lain tidak berani merintanginya dan menyaksikan
nenek itu berduduk pada kursi besar yang tengah dengan sikap
yang mencemoohkan orang-orang di sekitarnya.
“Hayo, kenapa kalian belum mulai, mau tunggu kapan lagi?”
bentak Li Si mendadak.
“Benar!” sahut Seng Cu-hak terus mendahului menusuk Nio
Cu-cin dengan pedangnya.
Cepat Cu-cin menangkis sambil melangkah mundur, entah
sengaja atau sungguhan, mendadak ia sempoyongan dan
berkata, “Wah, ilmu pedang Seng-suko benar-benar luar biasa,
aku mengaku bukan tandinganmu!”
Di sebelah sana Liau Cu-le dan Ce Cu-bian berdua juga sudah
mulai adu tanding. Tapi keempat orang itu hanya main
beberapa jurus saja, diam-diam para penontonnya sudah sama
menggeleng kepala. Kiranya setiap jurus serangan mereka
semuanya sangat lemah dan kurang jitu, sama sekali tidak
memperlihatkan sebagai tokoh kelas satu dari golongan Swatsan-
pay.
Nyata sekali bahwa pertempuran mereka sekarang bukan “cari
menang” lagi, sebaliknya mereka hanya mencari kalah malah,
mereka sudah tidak mau berebut menjadi ketua Swat-san-pay
lagi. Hanya karena terpaksa maka mereka bertempur
sekadarnya, yang diharapkan bukannya menang melainkan
kalah saja. Tapi karena mereka mempunyai pikiran yang sama,
maka untuk mencari kalah pun tidak gampang.
Suatu ketika tertampak Nio Cu-cin sengaja menubruk ke ujung
pedang Seng Cu-hak, sebaliknya mendadak Cu-hak menjerit,
“Aduh!”
Sekonyong-konyong sebelah kakinya kesandung sehingga
tusukannya mengarah ke lantai malah.
Menyaksikan pertarungan yang menyebalkan itu, Thio Sam
terbahak-bahak, katanya, “Losi, kita berdua sudah menjelajah
seluruh jagat ini, tapi pertandingan sebagus ini benar-benar
baru pertama kali ini kita lihat. Pantas ilmu silat Swat-san-pay
sangat termasyhur, nyatanya memang lain daripada yang lain.”
Rupanya Su-popo merasa sebal juga, dengan suara bengis ia
lantas membentak, “Ban-li, di mana kau telah mengurung
Ciangbunjin dan anak murid Tiang-bun? Lekas pergi
melepaskan mereka!”
“Liau... Liau-susioklah yang mengurung mereka, Tecu sendiri
tidak... tidak tahu apa-apa,” sahut Ban-li dengan suara
gemetar.
“Kau tahu apa tidak, pendek kata mereka harus lepas
dibebaskan atau segera kubinasakan kau saat ini juga!” bentak
Su-popo pula.
“Ya, ya, Tecu akan coba mencarinya,” sahut Ban-li sambil putar
tubuh hendak bertindak pergi.
“Nanti dulu!” tiba-tiba Thio Sam mencegah. “Saudara juga
salah seorang calon pewaris ciangbunjin dari Swat-san-pay,
mana boleh kau tinggal pergi begini saja? Hayolah kau, kau,
kau... kau!” berulang-ulang ia menuding empat murid Swatsan-
pay, lalu melanjutkan, “Kalian berempat yang pergi
membebaskan seluruh orang Swat-san-pay yang dikurung di
Leng-siau-sia ini dan bawa ke sini semua. Kalau sampai kurang
satu orang saja maka kepala kalian akan hancur seperti contoh
ini.”
Habis berkata tangan kanannya terus mencakar ke atas tiang
kayu di sebelahnya sehingga tiang itu seketika melekuk suatu
lubang. Tertampak dari sela-sela jarinya bertebaran bubuk
kayu yang halus.
Dalam waktu singkat saja sekaligus dia telah perlihatkan dua
macam ilmunya yang sakti, keruan orang-orang Swat-san-pay
menjadi jeri dan mengkeret. Empat orang yang ditunjuk tadi
sampai gemetar ketakutan. Tanpa disuruh lagi segera mereka
mengiakan dan mengundurkan diri untuk melaksanakan
perintah itu.
Di sebelah sana Seng Cu-hak berempat masih belum berhenti
dari pertarungan mereka yang lucu. Mereka pun sadar tingkah
laku mereka itu mungkin susah mengelabui mata Thio Sam dan
Li Si, maka sedapat mungkin mereka pura-pura bertanding
sungguh-sungguh dan mengadu jiwa walaupun setiap kali
selalu mengalah dan memberi kesempatan kepada pihak lawan
masing-masing.
Makin melihat makin dongkol Su-popo, segera ia mendamprat,
“Huh, permainan setan begini juga dianggap sebagai ilmu silat
Swat-san-pay? Hm, kalian benar-benar membikin malu nama
Leng-siau-sia yang keramat ini.”
Mendadak ia berpaling kepada Ciok Boh-thian dan berkata,
“Muridku, ambil golok ini dan tebaslah sebelah lengan mereka,
setiap orang satu.”
Di depan Thio Sam dan Li Si sedapat mungkin Boh-thian tidak
berani membuka suara agar tidak dikenali. Terpaksa ia terima
golok yang disodorkan padanya, lalu melangkah maju, ia
tuding Seng Cu-hak terus membacok.
Mendengar Su-popo memberi perintah agar lengannya yang
harus ditebas, keruan Seng Cu-hak tidak berani main-main.
Cepat ia angkat pedangnya untuk menangkis. Karena sekarang
menyangkut keselamatannya, maka gerakan pedangnya ini
sangat kuat dan indah, suatu jurus ilmu pedang Swat-san-pay
yang sejati.
“Bagus! Mendingan jurus ini daripada tadi!” senggak Thio Sam.
Tiba-tiba Boh-thian mendapat pikiran, “Kedua Giheng sudah
kenal tenaga dalamku yang hebat, jika aku menang dengan
menggunakan lwekang, tentu mereka akan lantas mengenali
aku sebagai Kau-cap-ceng, padahal aku menyaru sebagai Ciok
Tiong-giok, terpaksa aku juga harus menggunakan Swat-sankiam-
hoat saja!”
Segera ia putar goloknya dan menusuk dari samping, yakni
merupakan satu jurus ilmu pedang Swat-san-pay yang disebut
“Am-hiang-soh-eng” (Harum Kedaluan Hilang Bayangan).
Melihat ilmu pedang Boh-thian hanya sepele saja, Seng Cu-hak
tidak jeri pula. Ia putar pedang untuk melindungi tempattempat
penting di tubuhnya sendiri, sesudah beberapa jurus
kemudian, sengaja ia pancing golok Ciok Boh-thian menusuk
ke atas kakinya. Ia pura-pura tidak sempat menangkis dan
mengelak, sambil menjerit kesakitan ia melompat minggir
dengan luka di kakinya itu.
Segera ia membuang pedangnya dan berseru, “Pahlawan selalu
timbul dari kalangan muda, tua bangka sudah tak berguna lagi!
Aku terima mengaku kalah.”
Melihat ada kesempatan, Nio Cu-cin juga tidak mau
ketinggalan, segera ia mendahului ayun pedang dan menebas
ke pundak Ciok Boh-thian sambil membentak, “Kau bocah ini
benar-benar tidak tahu aturan lagi, sampai-sampai Susiokco
(kakek-guru muda) juga kau lukai?”
Ia cukup paham ilmu pedang yang dimainkan Ciok Boh-thian,
maka hanya beberapa jurus saja ia sengaja memancing suatu
serangan pemuda itu sehingga lengan kirinya terserempet
pedang. Segera ia berteriak-teriak, “Wah, luar biasa! Hampirhampir
saja lenganku ini ditebas putus oleh anak ingusan ini.”
Menyusul Ce Cu-bian dan Liau Cu-le juga tidak kalah liciknya,
berturut-turut mereka pun mencari suatu kesempatan dan
membiarkan ujung golok Ciok Boh-thian melukai sedikit kulit
badan mereka, lalu mengaku kalah dan mengundurkan diri.
Maklumlah bahwa Ciok Boh-thian memang tiada maksud
menebas kutung lengan mereka sebagai diperintahkan oleh Supopo
tadi, pula ia tidak mengeluarkan kepandaiannya yang
sejati, yang digunakan hanya sedikit ilmu pedang Swat-sanpay
yang belum masak dilatihnya. Selain itu Seng Cu-hak
berempat sebenarnya sangat lihai, hanya lantaran mereka
sengaja mengalah, maka tidak sulit bagi mereka untuk
memainkan kelicikannya. Coba kalau Ciok Boh-thian juga tidak
bermaksud memenangkan mereka, tentu mereka pun tidak
gampang pura-pura kalah.
Jadi pertandingan barusan ini lebih mirip dengan permainan
anak kecil saja. Keruan Su-popo sangat mendongkol. Tapi ia
pun tidak ambil pusing, dengan suara bengis ia lantas
membentak, “Jadi kalian sudah dikalahkan oleh bocah ini,
kalian sudah rela mengangkat dia sebagai ciangbunjin?”
Diam-diam Seng Cu-hak berempat membatin, “Kalau dia
diangkat menjadi ketua, paling-paling kita hanya akan
memperalat dia sebagai korban yang mewakilkan Swat-sanpay
pergi ke Liong-bok-to, apanya yang membuat kita
keberatan?”
Maka serentak mereka menjawab, “Ya, kedua sucia dari Liongbok-
to tadi sudah menetapkan syaratnya, kedudukan ciangbun
harus direbut berdasarkan kepandaian masing-masing.
Sekarang kami sudah kalah, ya, apa mau dikata lagi?”
“Jadi kalian benar-benar sudah takluk?” Su-popo menegas.
“Ya, takluk lahir batin tanpa syarat,” sahut mereka. Tapi diamdiam
mereka berpikir, “Huh, jika kedua jahanam Liong-bok-to
ini sudah pergi, bukankah Leng-siau-sia ini akan menjadi dunia
kami pula? Hanya seorang nenek loyo dan seorang anak
ingusan saja bisa berbuat apa?”
“Jika begitu mengapa kalian tidak lekas menyampaikan sembah
bakti kepada Ciangbunjin dan mau tunggu kapan lagi?” ujar
Su-popo dengan suara lantang.
Sebelum Seng Cu-hak berempat menjawab atau bertindak,
tiba-tiba terdengar teriakan seorang di luar, “Siapa yang berani
menduduki jabatan ketua Swat-san-pay?”
Itulah suaranya “Gi-han-se-pak” Pek Ban-kiam. Benar juga
segera tertampak tokoh muda Swat-san-pay itu melangkah
masuk dengan menyeret rantai borgol, di belakangnya
mengikut beberapa puluh orang pula, semuanya juga
terbelenggu. Di belakang Pek Ban-kiam kelihatan Kheng Banciong,
Kwa Ban-kin, Ong Ban-jim, Houyan Ban-sian, Bun Banhu,
Ang Ban-ek, Hoa Ban-ci, dan anak murid Tiang-bun yang
baru saja pulang dari Tionggoan.
Ketika melihat Su-popo juga berada di situ, segera Ban-kiam
menyapa, “Engkau sudah pulang, ibu!”
Nadanya terdengar penuh rasa girang dan di luar dugaan.
Tadi waktu mendengar Hong Ban-li memanggil Su-popo
sebagai ibu-guru, lapat-lapat Boh-thian sudah merasa nenek
itu tentu adalah istri Pek Cu-cay, sekarang mendengar Pek
Ban-kiam memanggilnya sebagai ibu, maka dugaannya itu
terang tidak perlu disangsikan lagi. Hanya saja ia masih heran,
“Jika suhuku adalah istri ketua Swat-san-pay, mengapa beliau
mengaku pula sebagai ketua Kim-oh-pay, bahkan selalu
mengatakan bahwa Kim-oh-pay merupakan bintang bencana
bagi Swat-san-pay?”
Dalam pada itu dilihatnya si A Siu telah berlari ke depan Pek
Ban-kiam dan menyapa, “Ayah!”
Tertampak Ban-kiam sangat girang, sahutnya dengan suara
terputus-putus, “A Siu, kau, kau ternyata tidak... tidak mati?”
“Sudah tentu dia tidak mati!” sela Su-popo dengan mendengus.
“Memangnya semua orang sedemikian tak becus semacam
kau? Huh, hanya kau yang bermuka tebal yang masih berani
memanggil ibu padaku! Hm, benar-benar tiada gunanya aku
melahirkan anak goblok seperti kau. Orang tua sendiri telah
dikurung orang, dirinya sendiri juga berhias besi-besi
rombengan demikian, kau merasa senang ya dengan kejadian
ini? Dasar telur busuk semua, huh, Swat-san-pay apa segala?
Yang tua telur busuk, yang muda juga telur bau, semuanya
telur kopyor. Rasanya lebih baik Swat-san-pay berganti nama
menjadi Telur-busuk-pay saja.”
Pek Ban-kiam diam saja membiarkan ibunya mencaci maki
sepuasnya, kemudian barulah ia berkata, “Bu, tertawannya
anak bukanlah karena kepandaianku kalah tinggi daripada
mereka, tapi kawanan pengkhianat ini telah menggunakan akal
licik, dia... dia telah pura-pura menyaru sebagai ayah dan
memasang perangkap di dalam selimut, lantaran itulah maka
anak telah terjebak.”
“Dasar telur busuk kecil macam kau ini memang tidak pantas
diberi hidup,” damprat Su-popo pula. “Kalau salah mengenali
orang luar sih masih dapat dimengerti, masakah ayahnya
sendiri juga salah mengenalnya, huh, apakah kau masih dapat
dianggap sebagai manusia?”
Rupanya sejak kecil Ban-kiam sudah biasa dimaki dan dihajar
sang ibu, maka sekarang ia pun anggap biasa meski dimaki
habis-habisan di depan orang banyak. Yang terpikir olehnya
hanya keselamatan ayahnya. Maka cepat ia tanya, “Bu, apakah
ayah baik-baik saja?”
“Telur busuk tua itu mati atau hidup, sedangkan kau telur
busuk kecil ini pun tidak tahu, dari mana lagi aku bisa tahu?”
sahut Su-popo dengan gusar. “Daripada hidup membikin malu
saja karena kena dikurung oleh sute-sutenya, ada lebih baik
dia lekas mampus saja.”
Mendengar ucapan itu baru sekarang Ban-kiam merasa lega, ia
tahu sang ayah cuma berada dalam tahanan kawanan
pemberontak saja. Katanya segera, “Terima kasih kepada
langit dan bumi bahwa ayah ternyata masih selamat.”
“Selamat kentut!” bentak Su-popo dengan gusar. Walaupun
begitu katanya, namun dalam hati sesungguhnya ia pun
memikirkan keselamatan sang suami. Segera ia berkata
kepada Seng Cu-hak dan para sutenya, “Di mana kalian telah
mengurung Toasuheng? Mengapa tidak lekas-lekas
dikeluarkan?”
Seng Cu-hak menjawab, “Perangai Toasuheng sangat keras,
siapa pun tidak berani mendekat padanya, kalau mendekat
segera akan dibunuh olehnya.”
Terkilas rasa girang dan lega pada wajah Su-popo. Katanya
kemudian, “Bagus, bagus! Dasar telur busuk tua itu selalu
anggap ilmu silatnya nomor satu di dunia ini, sombongnya
tidak kepalang. Sekarang biarlah dia mengalami sedikit
penderitaan supaya tahu rasa.”
Agaknya Li Si menjadi tidak sabar mendengarkan caci maki
yang tak habis-habis itu, akhirnya ia menimbrung,
“Sesungguhnya yang manakah ketua Telur-busuk-pay itu?”
Sekonyong-konyong Su-popo melangkah maju, ia tuding Li Si
dan mendamprat, “Istilah ‘Telur-busuk-pay’ masakah boleh
diucapkan oleh telur busuk macam kau? Aku memaki lakiku
dan anakku sendiri. Hm, kau ini kutu busuk jenis apa, berani
kau ikut-ikut menghina Swat-san-pay kami?”
Semua orang menjadi kebat-kebit melihat Su-popo
mendamprat Li Si dengan sikap sedemikian galak. Mereka pikir
kalau sampai Li Si menjadi gusar dan menyerang, maka nenek
itu pasti akan celaka. Maka dengan cepat Ciok Boh-thian lantas
melompat maju dan mengadang di depan Su-popo, asal Li Si
menyerang segera akan ditangkisnya.
Pek Ban-kiam sendiri masih terbelenggu, dia hanya mengeluh
saja dan tak mampu berbuat apa-apa.
Di luar dugaan Li Si ternyata tidak marah, sebaliknya ia
tersenyum dan berkata, “Baiklah, anggaplah aku telah salah
omong, harap Pek-hujin memaafkan. Nah, sebenarnya
siapakah ketua Swat-san-pay kalian!”
“Pemuda ini sudah mengalahkan para pengkhianat itu, mereka
sudah mengangkatnya sebagai ketua Swat-san-pay, siapa lagi
yang merasa tidak takluk?” jawab Su-popo sambil menuding
Boh-thian.
“Anak tidak mau terima dan ingin bertanding dulu dengan dia!”
seru Pek Ban-kiam.
“Bagus!” sahut Su-popo. “Hayo, buka semua belenggu mereka
itu!”
Liau Cu-le menjadi ragu-ragu, ia saling pandang dengan Seng
Cu-hak dan Nio Cu-cin. Pikir mereka, “Jika anak murid Tiangbun
ini dibebaskan, maka untuk mengatasi mereka tentu tidak
gampang lagi. Padahal kita sudah mengadakan
pemberontakan, perbuatan durhaka ini betapa pun tak bisa
diampuni. Namun dalam keadaan sekarang ini mau tak mau
mereka harus dilepaskan juga.”
Tapi sedapat mungkin Liau Cu-le mencari jalan lain, katanya,
“Kau adalah jago yang sudah keok di bawah tanganku,
sedangkan aku saja sudah takluk, berdasarkan apa kau berani
membangkang?”
Ban-kiam menjadi gusar. Dampratnya, “Huh, kau pengkhianat
yang durhaka ini, kalau bisa aku ingin mencincang tubuhmu
hingga hancur luluh, hm, sebaliknya kau masih berani
mengatakan aku adalah jago yang sudah keok di bawah
tanganmu? Secara licik kau telah menjebak aku, sekarang
tanpa malu-malu kau masih berani bicara?”
Bab 41. Ciok Boh-thian Mengalahkan Pek Ban-kiam, Supopo
Menjadi Ciangbunjin
Kiranya orang yang pura-pura sakit dan menyamar sebagai Pek
Cu-cay sehingga tangan Ban-kiam mendadak diborgol itu taklain-
tak-bukan adalah Liau Cu-le. Di antara anak murid Tiangbun
yang baru pulang dari Tionggoan itu hanya Pek Ban-kiam
yang paling lihai, sekali kepalanya sudah tertangkap, seketika
juga ekornya tidak dapat berkutik sehingga Kheng Ban-ciong
dan lain-lain juga kena diringkus dengan mudah. Sekarang
berhadapan dengan orang yang telah menangkapnya dengan
cara pengecut itu, keruan Ban-kiam merasa dendam dan
geregetan tak terkatakan.
Maka dengan tertawa Liau Cu-le menjawab, “Jika kau tidak
keok di bawah tanganku mengapa kedua tanganmu bisa
terbelenggu? Aku toh tidak menggunakan senjata rahasia juga
tidak memakai obat tidur!”
“Buat apa masih terus bertengkar tak habis-habis?” bentak Li
Si mendadak. “Hayo, lekas membuka belenggunya, biarlah
mereka berdua bertanding.”
Liau Cu-le masih ragu-ragu, Li Si menjadi tidak sabar, segera ia
rampas pedang dari tangan Liau Cu-le, hanya dua kali bergerak
saja, tahu-tahu borgol tangan dan kaki Pek Ban-kiam sudah
terputus dan jatuh ke atas lantai. Padahal borgol-borgol itu
terbuat dari baja, sekalipun pedang Liau Cu-le itu cukup tajam,
tapi bukanlah pedang mestika yang dapat memotong besi
sebagai potong sayur, namun dengan lwekang yang tinggi Li Si
telah menebas borgol-borgol itu dengan mudah sekali, yang
hebat adalah tangan dan kaki Pek Ban-kiam sedikit pun tidak
ikut terluka. Keruan semua orang sangat kagum dan tanpa
merasa sama bersorak memuji.
Biasanya Pek Ban-kiam juga tinggi hati, tapi sekarang mau tak
mau ia pun menyatakan kekagumannya. Dalam pada itu
seorang murid Tiang-bun cepat-cepat menyampaikan sebatang
pedang padanya.
Tapi mendadak Ban-kiam meludahi muka murid Tiang-bun itu,
menyusul kakinya lantas mendepak sehingga orang itu
terguling. “Huh, pengkhianat!” Ban-kiam memaki.
Maklumlah bahwa anak murid Tiang-bun yang tinggal di Lengsiau-
sia ternyata dalam keadaan selamat tanpa diganggu,
maka terang adalah kaum pengkhianat yang telah ikut
bersekongkol dengan anak murid cabang-cabang yang lain.
“Ini, ayah!” seru A Siu sambil mengangsurkan pedangnya
sendiri.
Ban-kiam tersenyum senang, “Ehm, putriku yang baik!”
katanya terhibur. Selama ini dia sudah cukup menderita,
sekarang diketahui ibu dan putrinya dalam keadaan selamat
dan sehat walafiat, dengan sendirinya ia sangat gembira.
Tapi ketika dia berpaling, wajahnya yang tersenyum simpul itu
sekonyong-konyong berubah menjadi bengis dan penuh
kebencian, sorot matanya berapi, bentaknya kepada Liau Cule,
“Kau pengkhianat ini bukan lagi angkatan tua Swat-san-pay,
marilah kita coba-coba lebih dulu. Ini, terimalah pedangku!”
“Sret”, kontan ia mendahului menusuk.
Pada saat yang hampir sama tiba-tiba Li Si menegakkan
pedang rampasannya tadi sehingga serangan Ban-kiam itu
tertangkis. Lalu ia sodorkan gagang pedang ke tangan Liau Cule.
Maka mulailah pertarungan sengit, kedua orang sama-sama
mengeluarkan segenap kepandaian masing-masing untuk
mengadu jiwa, sama sekali berbeda daripada pertandingan
antara Seng Cu-hak berempat tadi.
Di antara angkatan tua Swat-san-pay, kecuali Pek Cu-cay,
maka kepandaian Liau Cu-le terhitung yang paling tinggi. Ia
pikir dirinya tadi sudah mengaku kalah pada Ciok Tiong-giok,
asal sekarang dirinya mengalahkan Ban-kiam, maka dengan
sendirinya Ciok Tiong-giok akan tetap diangkat sebagai pejabat
ketua dan akan mengantarkan nyawa ke Liong-bok-to.
Kepandaian Pek Ban-kiam memangnya tidak di bawah Liau Cule,
dalam keadaan gawat begini terpaksa Cu-le mengerahkan
segenap tenaganya, kalau ayal sedikit saja bukan mustahil dia
sendiri yang akan celaka. Ia bertekad harus membinasakan
Ban-kiam, dengan demikian barulah dia dapat menjagoi di
Leng-siau-sia dan Ciok Tiong-giok hanya akan menjadi
ciangbunjin dengan nama kosong saja. Asal Thio Sam dan Li Si
sudah pergi, pemuda itu akan segera didesak agar lekas
berangkat ke Liong-bok-to yang jauh itu daripada nanti
terlambat.
Begitulah diam-diam Liau Cu-le mempunyai perhitungan yang
muluk-muluk, semangatnya lantas terbangkit, permainan
pedangnya menjadi semakin lincah dan hidup, setiap
serangannya bertambah ganas.
Sebaliknya Ban-kiam buru-buru ingin membalas dendam
sehingga terlalu nafsu dan sering menyerang secara
berbahaya.
Sesudah 30-an jurus, suatu ketika Ban-kiam menusuk ke
depan, namun dengan cepat Cu-le sempat berkelit dan segera
balas menebas, “bret”, tahu-tahu ujung baju Ban-kiam
terpapas sepotong.
A Siu sampai menjerit khawatir. Sebaliknya Su-popo lantas
memaki, “Dasar telur busuk kecil, serupa benar dengan
bapaknya, anak ajaran telur busuk tua itu memangnya tidak
banyak berguna!”
Dalam gugupnya ditambah dicemoohkan pula, keruan
permainan pedang Ban-kiam menjadi agak kacau.
Diam-diam Cu-le bergirang, katanya, “Memangnya aku sudah
mengatakan kau adalah jago yang sudah keok di tanganku,
masakah aku hanya membual saja, buktinya sekarang
bagaimana?”
Dengan mengolok-olok begini maksud Cu-le ingin membikin
marah lawannya sehingga perhatiannya semakin terpencar.
Tak terduga perhitungannya ternyata meleset. Paling akhir ini
Ban-kiam telah banyak kecundang di daerah Tionggoan
sehingga perangainya telah banyak lebih sabar dan lebih ulet.
Ia tidak murka atas olok-olok lawan itu, sebaliknya menjadi
lebih prihatin dan menjaga diri dengan rapat. Pada lain
kesempatan berulang-ulang ia berbalik balas menyerang tujuh
kali. Serangan berantai ini seketika mengubah keadaan
menjadi sama kuatnya, bahkan setiap serangan Ban-kiam
selalu mengancam tanpa kenal ampun.
Liau Cu-le ganti siasat, ia main putar di sekeliling Ban-kiam
sambil mencaci maki. Mendadak sinar pedang berkelebat, Bankiam
bersuit panjang, “sret-sret-sret”, ia menyerang tiga kali
secara berantai, ketika serangan keempat menyambar pula,
“cret”, tanpa ampun lagi kaki Liau Cu-le tertebas kutung
sebatas dengkul. Ia menjerit ngeri tersungkur bermandikan
darah.
Dengan pedangnya yang masih berteteskan air darah Ban-kiam
menuding Seng Cu-hak dan membentak, “Sekarang kau! Hayo
maju!”
Namun dengan muka pucat Cu-hak diam saja. Selang sejenak
barulah menjawab, “Kau ingin menjadi ciangbunjin boleh
silakan... silakan menjabatnya, aku... aku tidak perlu berebut
dengan kau.”
Segera sinar mata Ban-kiam beralih kepada Ce Cu-bian dan Nio
Cu-cin. Tapi kedua orang itu pun menggeleng-geleng tanda
menyerah.
“Huh, baru mengalahkan beberapa pengkhianat saja apa sih
yang luar biasa?” tiba-tiba Su-popo menjengek. Lalu ia berkata
kepada Ciok Boh-thian, “Muridku, coba kau bertanding dengan
dia, biarkan orang lain menyaksikan apakah murid si telur
busuk tua itu lebih lihai atau murid ajaranku lebih hebat.”
Semua orang menjadi heran mendengar ucapan si nenek.
Sudah terang Ciok Tiong-giok adalah muridnya Hong Ban-li,
mengapa nenek itu bilang muridnya sendiri?
Sementara itu Su-popo telah membentak Ciok Boh-thian, “Ayo,
lekas maju! Gunakan golok dan jangan memakai pedang. Ilmu
pedang ajaran telur busuk tua itu hanya permainan anak kecil
saja, tapi ilmu golok kita jauh lebih lihai!”
Sesungguhnya Boh-thian tidak ingin bertanding dengan Pek
Ban-kiam, apalagi kalau teringat beliau adalah ayahnya A Siu
atau bakal mertuanya. Tapi kalau dia membuka suara untuk
menolak tentu rahasia penyamarannya akan diketahui Thio
Sam dan Li Si. Karena itulah dengan menjinjing golok dia
menjadi serbasalah berdiri di samping Su-popo.
Melihat pemuda itu masih diam saja, kembali si nenek
membentak, “Apa yang telah kujanjikan tadi apakah kau sudah
tidak mau lagi? Tadi aku hilang kau harus membuat suatu jasa
besar barulah janjiku itu akan dipenuhi. Dan jasa besar itu
sekarang harus kau lakukan, yakni murid telur busuk tua ini
harus kau kalahkan. Jika kau kalah, maka kau pun harus lekas
enyah dari sini dan jangan bertemu pula dengan aku, lebihlebih
jangan harap bisa bertemu dengan A Siu.”
Baru sekarang Boh-thian mengetahui bahwa jasa besar yang
dimaksudkan sang guru kiranya adalah suruh mengalahkan
putra kandung si nenek sendiri. Hal ini benar-benar
membuatnya terheran-heran.
Sebaliknya orang-orang lain yang hadir di situ berpendapat,
“Kiranya Su-popo sengaja hendak menjadikan bocah dungu ini
sebagai ketua Swat-san-pay agar dapat dijadikan korban ke
Liong-bok-to untuk menggantikan nyawa suami atau
putranya.”
Namun Pek Ban-kiam dan A Siu berdua cukup paham apa
maksud tujuan Su-popo ini.
Kiranya suami-istri Pek Cu-cay dan Su-popo sama-sama
berwatak keras, biasanya si nenek masih suka mengalah
sedikit kepada sang suami walaupun dengan menahan rasa
mendongkol. Dalam persoalan Ciok Tiong-giok hendak
memerkosa A Siu dan gagal itu, bukan saja Pek Cu-cay telah
menebas sebelah lengan Hong Ban-li, bahkan suami-istri
mereka telah cekcok, dalam marahnya Cu-cay telah menampar
Su-popo sekali. Saking jengkelnya Su-popo lantas minggat dari
Leng-siau-sia. Walaupun sekarang dia sudah pulang, tapi
kejadian ditampar sang suami itu masih terus teringat olehnya,
makanya dia terus mencaci maki “telur busuk tua” tidak habishabisnya.
Watak Pek Cu-cay itu memang sangat sombong, ilmu silatnya
memang juga merajai wilayah barat situ sehingga kepandaian
sang istri dipandang sebelah mata olehnya. Saking dongkolnya
Su-popo bertekad akan mendidik seorang murid yang pandai
untuk mengalahkan putranya sendiri, dengan demikian akan
berarti mengalahkan muridnya Pek Cu-cay sebagai tanda
kemenangannya atas diri sang suami.
Demikianlah apa yang diketahui oleh Pek Ban-kiam atas isi hati
ibunya. Cuma dia belum tahu bahwa Ciok Boh-thian memang
betul adalah murid ibunya, dalam hal ini adalah A Siu yang
lebih jelas duduknya perkara.
Begitulah Ban-kiam lantas melotot kepada Boh-thian dengan
sikap yang menghina.
“Bagaimana? Apakah kau memandang enteng padanya?” Supopo
menjengek. “Pemuda ini sudah mengangkat guru padaku
dan telah kudidik seperlunya, kepandaiannya sekarang sudah
berbeda daripada tadinya. Sekarang kau boleh coba-coba
bertanding dengan dia, jika kau yang menang, ya, anggaplah
telur busuk tua bangka itu lebih lihai, tapi kalau kau yang
kalah, maka jadilah A Siu sebagai istrinya.”
Ban-kiam terkejut. “Wah, ini tidak boleh jadi, ibu! A Siu mana
boleh diambil sebagai istri oleh bocah ini?” serunya.
Su-popo terbahak-bahak, katanya, “Jika kau dapat
mengalahkan dia, dengan sendirinya A Siu takkan menjadi
istrinya. Kalau tidak, cara bagaimana kau bisa merintanginya?”
Diam-diam Ban-kiam mendongkol, “Ibu marah pada ayah,
sekarang aku ikut-ikut dimarahi. Jika putramu ini tidak mampu
menangkan bocah ini bukankah percuma menjadi manusia di
dunia ini?”
Dalam pada itu Su-popo telah membentak pula, “Jika kau
merasa penasaran boleh lekas melabraknya. Buat apa hanya
melotot belaka?”
Ban-kiam mengiakan. Segera ia berkata kepada Ciok Bohthian,
“Ayolah, kau boleh mulai menyerang!”
Boh-thian memandang sekejap ke arah A Siu, nona itu tampak
malu-malu dan menaruh perhatian padanya. Pikirnya, “Suhu
mengatakan kalau aku kalah, selanjutnya tak dapat bertemu
lagi dengan A Siu. Maka pertandingan ini mau tak mau harus
menang.”
Segera ia mengangkat golok dan bergerak. “Sret”, mendadak
Ban-kiam lantas menusuk. Cepat Boh-thian menangkis dan
balas membacok satu kali.
Di Ci-yan-to dahulu Boh-thian sudah pernah bergebrak dengan
Ban-kiam. Tapi waktu itu dia menggunakan Kim-oh-to-hoat
murni, ketika Ban-kiam menggunakan jurus yang paling kasar
dari ilmu pedang Swat-san-pay, maka Boh-thian berbalik tidak
mampu menangkisnya sehingga baju di bagian dadanya
tergores dan berlubang. Sejak itulah Boh-thian lantas terbuka
otaknya dan memahami soal “perubahan” atau “variasi” dalam
ilmu silat yang tinggi, diketahuinya bahwa di kala bertanding
silat harus bisa melihat gelagat, berubah dan bertindak
menurut keadaan. Kemudian ia mendapat petunjuk-petunjuk
pula dari Ciok Jing dan Bin Ju sehingga ilmu silatnya banyak
mendapat kemajuan.
Sekarang kembali ia harus bergebrak pula dengan Pek Bankiam,
ilmu goloknya tidak lagi terbatas atas ajaran Su-popo
saja, tapi banyak jurus serangannya sudah lain daripada yang
lain dan susah diduga.
Keruan sesudah beberapa jurus saja Ban-kiam lantas
terperanjat. Ia tidak mengerti dalam waktu singkat ini dari
manakah bocah ini mendapat pelajaran ilmu golok sedemikian
lihainya? Teringat olehnya waktu bertanding dengan pemuda
yang mengaku pangcu dari Tiang-lok-pang di Ci-yan-to dahulu,
pemuda itu juga mengaku sebagai murid pertama dari Kim-ohpay
segala, ilmu golok kedua orang tampaknya rada-rada
mirip, cuma dalam hal variasi dan keganasan pemuda Ciok
Tiong-giok di hadapannya ini terang jauh lebih lihai.
Wajah kedua pemuda ini sangat mirip, jangan-jangan mereka
berasal dari satu guru? Ibuku mengatakan telah memberi
bimbingan seperlunya, jangan-jangan dia memang benar-benar
adalah murid Ibu? Demikian Ban-kiam menimbang-nimbang
sendiri.
Sesudah beberapa jurus pula, ketika Ban-kiam menebas dari
samping, cepat Boh-thian menangkis. “Trang”, lelatu api
bercipratan, Ban-kiam merasa lengannya tergetar oleh suatu
tenaga yang mahakuat, dadanya sampai sakit. Keruan ia
tambah kaget, tanpa merasa sampai mundur dua-tiga tindak.
Boh-thian tidak mendesak lebih lanjut, ia berpaling kepada Supopo.
Maksudnya ingin bertanya, “Apakah aku dianggap
menang belum?”
Tak terduga Ban-kiam menjadi semakin bersemangat bila
mana berhadapan dengan lawan tangguh, apalagi Ciok TiongKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
giok hanya kaum keroco saja, kalau sampai kalah bukankah
terlalu penasaran? Segera ia membentak, “Lihat pedangku,
bocah!”
Menyusul ia lantas menusuk pula.
Waktu Boh-thian hendak menangkis lagi, namun Ban-kiam
tidak mau mengadu senjata pula, segera ia ganti siasat, ujung
pedang berputar terus menjengkit ke atas untuk menusuk
tenggorokan Boh-thian.
Serangan ini sangat cepat lagi jitu dan memperlihatkan ilmu
pedang Swat-san-pay yang indah. Thio Sam sampai memuji,
“Ilmu pedang yang bagus!”
Akan tetapi Ciok Boh-thian lantas mengayun goloknya untuk
menebas lengan lawan, yang dia gunakan adalah Kim-oh-tohoat,
jurus ini tepat merupakan serangan yang antiserangan
Ban-kiam itu. Maka Thio Sam kembali berseru memuji, “Ilmu
golok yang bagus!”
Begitulah pertarungan kedua orang makin lama makin cepat.
Ban-kiam unggul dalam ilmu pedang yang sudah terlatih,
sebaliknya Boh-thian menang dalam hal tenaga dalam.
Ketika mencapai 30-an jurus, mendadak Boh-thian membacok
ke depan. Dalam keadaan susah menghindar, terpaksa Bankiam
menangkis dengan pedangnya. Maka terdengarlah suara
“trang” yang nyaring, pedang Pek Ban-kiam tergetar patah
menjadi dua.
Segera Boh-thian menarik kembali goloknya dan melompat
mundur. Sebaliknya muka Ban-kiam merah padam, dari
seorang murid Swat-san-pay di sebelahnya segera
disambarnya sebatang pedang dan kembali menusuk ke arah
Boh-thian lagi.
Setelah mengalami pertarungan seru ini, tenaga dalam yang
terhimpun di tubuh Ciok Boh-thian sudah mulai bergerak, maka
setiap jurus serangannya sekarang selalu membuat Pek Bankiam
merasa kewalahan untuk menangkisnya. Lebih-lebih di
atas senjatanya seakan-akan membawa kekuatan yang susah
dilawan. Maka tidak sampai beberapa jurus pula, “krak”,
kembali pedang Ban-kiam tergetar patah. Cepat Ban-kiam
berganti senjata, tapi baru dua jurus saja lagi-lagi pedangnya
patah.
Sambil memegang pedang patah Ban-kiam berseru, “Tenaga
dalammu memang jauh melebihi aku, tapi dalam hal serangmenyerang
aku belum lagi kalah!”
Segera ia lemparkan pedang patah, kembali ia sambar
sebatang pedang anak muridnya terus menerjang maju dan
menusuk pula.
Tapi Boh-thian sempat mengegos. Sekilas dilihatnya sorot mata
A Siu menampilkan rasa sedih dan khawatir. Sekonyongkonyong
hati Boh-thian tergerak. Teringat olehnya apa yang A
Siu pernah pesan padanya di Ci-yan-to dahulu bahwa di kala
bertanding dengan orang hendaklah selalu memberi jalan hidup
bagi lawannya, kalau bisa mengampuni supaya mengampuni.
Seorang tokoh Bu-lim takkan merasa malu bila dilukai olehmu,
tapi dia akan lebih suka mati saja jika kau mengalahkan dia.
Ia lihat air muka Ban-kiam sangat prihatin, pikirnya, “Dia
adalah tokoh terhormat Swat-san-pay, kalau aku mengalahkan
dia di hadapan orang sebanyak ini tentu dia akan malu.
Sebaliknya kalau aku kalah tentu aku akan kehilangan A Siu.
Wah, lantas bagaimana baiknya? Ya, biarkan aku
menggunakan jurus Pang-kau-cik-kik ajaran A Siu tempo hari
supaya pertandingan ini berakhir dengan seri saja.”
Berpikir demikian, mendadak dalam benaknya terkilas pula
suatu kesimpulan, “Ya, di Ci-yan-to tempo hari aku telah
berjanji kepada A Siu bahwa kelak aku akan berbuat menurut
pesannya itu. Untuk mana dia saking terima kasihnya sampai
menjura padaku. Pemberian hormat itu tentulah karena sudah
diduganya akan adanya pertandingan seperti sekarang ini.
Coba kalau bukan lantaran ayahnya, buat apa dia mesti
menyembah padaku? Tentunya dia sudah tahu bahwa ayahnya
takkan mampu melawan ilmu golokku ini, makanya dia
memberi pesan demikian padaku.”
Segera ia membacok ke kanan satu kali dan ke kiri satu kali,
karena itu dadanya menjadi terbuka, kesempatan itu tidak
disia-siakan oleh Pek Ban-kiam, pedangnya lantas menusuk ke
depan.
Pada saat itulah cepat Boh-thian mundur tiga tindak, goloknya
lantas menebas di depannya sendiri dari atas ke bawah. Waktu
itu tusukan pedang Ban-kiam masih berjarak belasan senti
dengan dada sasarannya dan segera sudah terasa akan
tekanan tenaga dalam Ciok Boh-thian yang dahsyat sedang
pedangnya sampai tergetar dan mendenging-denging.
Akan tetapi pada saat yang sama kembali Ciok Boh-thian
mundur dua tindak lagi. Pikirnya, “Aku sudah mematahkan tiga
batang pedangnya, untuk bisa berakhir dengan seri tentunya
dia juga harus mematahkan golokku ini.”
Maka diam-diam ia kerahkan tenaga ke tangan, “krak”,
goloknya mendadak juga patah menjadi dua seakan-akan
patah tergetar oleh pedang Pek Ban-kiam.
A Siu menghela napas lega setelah menyaksikan kejadian itu.
Serunya cepat, “Ayah, Toako, kalian sama kuatnya, siapa pun
tidak dikalahkan oleh siapa-siapa!”
Ia berpaling ke arah Boh-thian dan tersenyum simpul padanya,
ia merasa syukur bahwa pemuda itu masih ingat kepada
pesannya dahulu dan dapat memahami maksud tujuannya.
Sebaliknya air muka Pek Ban-kiam tampak pucat lesi,
mendadak ia menancapkan pedangnya ke atas tanah, katanya
kepada Ciok Boh-thian, “Kau sengaja mengalah, masakah aku
tidak tahu? Kau tidak membikin aku kehilangan muka di depan
umum, sungguh aku merasa terima kasih.”
Su-popo sangat senang, katanya, “Anakku, kau pun jangan
cemas, ilmu goloknya ini adalah ajaran ibu, lain hari aku pun
akan mengajarkan padamu seperti dia. Kau dikalahkan dia kan
sama saja seperti ibu yang mengalahkan kau. Masakah kita ibu
dan anak masih membeda-bedakan antara kau dan aku?”
Dalam marahnya tadi dia masih mencaci maki “telur busuk tua
bangka” dan “telur busuk kecil” segala, tapi sekarang sesudah
Ciok Boh-thian mengalahkan putranya itu dengan Kim-oh-tohoat,
hal ini berarti pada akhirnya dirinya lebih unggul daripada
sang suami, saking senangnya ia lantas menghibur putranya
yang keok itu.
Keruan Ban-kiam merasa serbarunyam, terpaksa menjawab,
“Ya, ilmu golok itu memang benar-benar sangat lihai, mungkin
anak terlalu bodoh dan tak dapat mempelajarinya.”
Su-popo mendekati Ban-kiam, perlahan-lahan ia meraba dan
membelai rambut putranya itu. Katanya dengan penuh kasih
sayang seorang ibu, “Kau jauh lebih cerdas daripada bocah
dungu ini, apa yang dapat dia pelajari masakah kau tidak
dapat? He, anak dungu, kenapa tidak lekas menjura dan minta
maaf kepada bapak mertuamu?”
Untuk sejenak Boh-thian melengak. Tapi ia lantas paham juga.
Dengan girang dan kejut cepat ia menjura kepada Pek Bankiam.
Namun Ban-kiam lantas menyingkir ke samping, katanya
dengan suara bengis, “Nanti dulu, urusan ini biarlah
dibicarakan nanti saja.”
Lalu katanya kepada Su-popo, “Bu, meski ilmu silat bocah ini
cukup tinggi, tapi tingkah lakunya bangor dan kotor, hari depan
A Siu hendaklah kita pikirkan baik-baik.”
“Sudahlah! Sudahlah!” demikian mendadak Li Si menyela.
“Apakah kau akan mengambil dia sebagai mantu atau tidak,
yang terang aku tidak ambil pusing. Kulihat di antara orangorang
Swat-san-pay tiada seorang pun yang dapat menangkan
saudara cilik ini, apakah sudah terang dia akan menjadi
ciangbunjin kalian? Kalian semua takluk atau tidak?”
Pek Ban-kiam, Seng Cu-hak, dan anak murid Swat-san-pay
yang lain tiada seorang pun yang berani membuka suara.
Mereka merasa kepandaian memang kalah tinggi, di samping
itu mereka pun berharap sesudah Ciok Boh-thian menjadi
ciangbunjin akan segera berangkat ke Liong-bok-to untuk
mengantarkan nyawa, sebab itulah mereka tidak memberi
bantahan apa-apa.
Segera Thio Sam mengeluarkan dua potong medali tembaga,
katanya dengan tertawa, “Selamat bahagia, saudara cilik
kembali telah menjabat Ciangbunjin Swat-san-pay, maka
kedua buah medali ini silakan diterima sekalian.”
Sambil bicara sebelah matanya berkedip-kedip pula beberapa
kali.
Boh-thian tercengang melihat permainan mata Thio Sam itu, ia
heran apakah sang toako telah mengenali penyamarannya?
Padahal sepatah kata pun dia tidak bicara, mengapa rahasianya
bisa ketahuan?
Ia tidak tahu bahwa bukan saja ilmu silat Thio Sam dan Li Si
memang sangat tinggi, bahkan pengalamannya juga sangat
luas, walaupun dia tidak pernah bersuara, tingkah lakunya juga
tidak memperlihatkan sesuatu tanda-tanda yang
mencurigakan, tapi tadi waktu dia bergebrak dengan Pek Bankiam,
di mana dia telah mengeluarkan tenaga dalam yang
mahakuat, hal inilah yang jarang terdapat di dunia Kangouw,
sedangkan Thio Sam dan Li Si sudah cukup mengetahui betapa
hebat lwekang Ciok Boh-thian pada waktu mereka berlomba
minum arak berbisa dahulu, maka sekali lihat saja mereka
lantas mengetahui rahasia penyamaran pemuda itu.
Begitulah ketika melihat Thio Sam menyodorkan medali
tembaga kepadanya, Boh-thian menjadi ragu-ragu dan
berpikir, “Ya, sudahlah! Toh aku sudah pernah menerima
medali undangan ini sebagai Pangcu Tiang-lok-pang, sekali
terima akan mati, dua kali terima juga mati, apa sih
halangannya kalau sekarang aku menerima pula medalinya?”
Tapi baru saja ia angsurkan tangan hendak menerima
pemberian medali-medali itu, mendadak Su-popo
membentaknya, “Nanti dulu!”
Terpaksa Boh-thian menarik kembali tangannya dan
memandang si nenek dengan bingung. Terdengar nenek itu
sedang berkata, “Tentang kedudukan Ciangbunjin Swat-sanpay
ini tadi telah ditentukan dengan jelas, yaitu berdasarkan
ilmu silat masing-masing dan sekarang memang kau telah
keluar sebagai juara. Cuma aku pun merasa muak atas sikap
congkak si telur busuk tua bangka yang sok aksi sebagai
ciangbunjin dahulu. Sekarang aku kepingin menjadi
ciangbunjin juga untuk mencicipi rasanya. Dari itu, muridku
yang baik, silakan kau menyerahkan kedudukan ciangbunjin
padaku saja.”
“Menye... menyerahkan padamu?” Boh-thian menegas dengan
heran.
“Ya, mengapa?” sahut Su-popo dengan marah. “Apakah kau
menolak? Jika demikian, hayolah kita boleh coba-coba
bertanding berdasarkan ilmu silat masing-masing untuk
merebut kedudukan ketua.”
Melihat si nenek marah-marah, Boh-thian menjadi takut. Cepat
ia mengiakan, lalu mengundurkan diri.
“Nah, sekarang akulah yang akan menjabat sebagai
ciangbunjin, hayo, siapa lagi yang tidak mau takluk?” seru Supopo
dengan tertawa.
Seketika semua orang hanya saling pandang saja, semua
merasa perubahan ini terlalu cepat dan aneh, maka tiada
seorang pun yang berani membuka suara.
Su-popo lantas tampil ke muka dan menerima kedua buah
medali dari tangan Thio Sam, katanya, “Ciangbunjin baru
Swat-san-pay orang she Su dari keluarga Pek mengucapkan
banyak terima kasih atas undangan kalian, pada waktunya
kelak tentu akan hadir.”
Thio Sam dan Li Si saling pandang dengan tertawa, berbareng
kedua orang lantas putar tubuh terus melangkah pergi, hanya
dalam sekejap saja suara tertawa mereka sudah berada
beberapa puluh meter untuk kemudian semakin jauh lagi dan
akhirnya menghilang dengan cepat.
Dengan duduk di atas kursi tengah, kemudian Su-popo berkata
dengan pada dingin, “Lepaskan semua belenggu orang-orang
itu!”
Tapi mendadak Nio Cu-cin menegur, “Berdasarkan apa kau
berani berlagak dan memerintah? Kedudukan Ciangbun Swatsan-
pay yang mahapenting ini masakan boleh
diserahterimakan seperti permainan begini saja?”
Seng Cu-hak dan Ce Cu-bian juga lantas menyokong, “Benar,
kau bersenjata golok dan tidak memakai pedang, memangnya
bukan kepandaian Swat-san-pay, mana boleh kau menjadi
ciangbunjin kita?”
Tadi waktu Thio Sam dan Li Si masih berdiri di situ, yang dipikir
semua orang adalah selekasnya kedua pentol pembawa maut
itu bisa lekas-lekas pergi dan biar ada satu orang yang
menerima undangannya untuk mengantar nyawa ke Liong-bokto.
Tapi begitu kedua pentol maut itu sudah pergi, segera
teringat oleh mereka akan dosa pengkhianatan yang telah
mereka lakukan, kalau sekarang Su-popo yang menjadi
ciangbunjin mustahil dia takkan mengusut kesalahan mereka
itu. Karena persoalan yang menyangkut mati hidup mereka ini,
maka ramailah seketika dan sama menolak kedudukan Supopo
itu.
“Baiklah, jika kalian tidak bisa menerima aku sebagai
ciangbunjin, ya, apa boleh buat,” kata Su-popo sambil
memegangi kedua medali tembaga itu dan saling diketok-ketok
sehingga mengeluarkan suara “ting-ting”, lalu sambungnya,
“Nah siapakah di antara kalian yang ingin menjadi ciangbun
dan bersedia hadir ke Liong-bok-to? Hayo, silakan tampil ke
depan!”
Perlahan-lahan sorot matanya lantas menggeser dari Seng Cuhak
ke muka Ce Cu-bian dan Nio Cu-cin. Tapi semua orang
sama berpaling, tak berani menatap sinar matanya yang tajam.
“Lapor Sunio,” kata Ban-li tiba-tiba, “kami semua telah berbuat
durhaka dan mengkhianat Suhu, sungguh dosa kami tak
terampunkan. Tapi dalam urusan ini sesungguhnya kami
mempunyai alasan yang sangat terpaksa.”
Sambil berkata ia terus berlutut dan berulang-ulang menjura.
Lalu menyambung pula, “Sebenarnya Sunio yang menjabat
ciangbunjin kita adalah sangat baik sekali, biarpun Sunio akan
membunuh Tecu juga Tecu tak berani mengelakkan diri. Cuma
Tecu memohon agar Sunio suka mengampuni dosa yang lainlain
untuk menenteramkan perasaan mereka, supaya di dalam
Swat-san-pay kita takkan timbul geger-geger dan bencana
saling bunuh lagi.”
“Bahwasanya watak suhumu memang kurang baik, hal ini
masakah aku tidak tahu?” ujar Su-popo. “Sesungguhnya
bagaimana awal mula kejadian ini, coba kau ceritakan yang
jelas.”
Ban-li menjura beberapa kali pula, lalu berkata, “Sejak Sunio,
Pek-suko, dan para sute turun gunung, setiap hari Suhu selalu
marah-marah. Adalah soal kecil jika anak murid cabang utama
kita didamprat atau dihajar oleh beliau, kita yang sudah
menerima budi kebaikan Suhu mana berani merasa penasaran.
Soalnya dimulai pada setengah bulan yang lalu, ketika kita
kedatangan tiga orang tamu yang mengaku tiga saudara she
Ting. Yang seorang katanya bernama Ting Put-ji, yang kedua
Ting Put-sam dan yang lain Ting Put-si....”
“Ting Put-si... Ting Put-si itu mau apa datang ke sini?” Su-popo
menegas dengan terkejut.
“Begitu datang ketiga saudara she Ting itu, mereka lantas
bicara secara rahasia dengan Suhu di dalam kamar,” tutur Banli
lebih lanjut. “Apa yang dibicarakan kami tidak tahu, yang
terang ketiga tua bangka itu rupanya telah membikin marah
kepada Suhu sehingga keempat orang telah bertengkar. Tecu
sekalian khawatir kalau Suhu sendirian akan kewalahan
dikerubut tiga orang lawan, maka beramai-ramai kami
menjaga di luar kamar, asalkan mendengar perintah Suhu
serentak kami pun akan menyerbu ke dalam untuk melabrak
ketiga tua bangka itu. Terdengar Suhu sangat marah dan
mencaci maki dengan Ting Put-si itu, disinggung-singgung juga
nama ‘Pek-lwe-san’ dan ‘Ci-yan-to’ apa, terdengar disebutsebut
juga nama seorang wanita, kalau tidak salah seperti
‘Siau-jui’.”
Su-popo mendengus satu kali dengan muka cemberut. Tapi
lantas teringat para anak muridnya belum kenal nama kecilnya
itu, kalau diterangkan akan menjadi kurang baik malah. Maka
ia hanya tanya saja, “Lalu bagaimana?”
“Lalu entah cara bagaimana mulailah bergebrak, yang
terdengar hanya suara menderu-deru angin pukulan di dalam
kamar Suhu,” demikian tutur Ban-li. “Karena tidak menerima
perintah Suhu, Tecu dan kawan-kawan tidak berani
sembarangan masuk. Selang tak lama, tertampak dinding
kamar itu sepotong demi sepotong tergetar ambrol, dari lubang
dinding itulah baru kami dapat melihat jelas Suhu sedang
bertanding dengan Ting Put-si. Ting Put-ji dan Ting Put-sam
hanya menonton saja di samping. Karena guncangan angin
pukulan kedua orang sehingga dinding tembok sama tergetar
pecah dan ambrol. Tidak terlalu lama kemudian, tua bangka
Ting Put-si itu akhirnya tidak mampu menandingi kesaktian
Suhu, ia telah kalah satu jurus dan dadanya kena dihantam
oleh Suhu sehingga muntah darah.”
Su-popo sampai bersuara kaget, air mukanya menampilkan
rasa khawatir.
Dalam pada itu Ban-li telah melanjutkan, “Rupanya Suhu
sangat gusar, pukulan kedua segera dilontarkan pula. Tapi Ting
Put-ji itu telah menangkisnya dan berkata, ‘Kalah atau menang
sudah jelas, buat apa diteruskan lagi? Toh bukan permusuhan
besar apa-apa, masakan perlu mengadu jiwa segala?’ — Lalu
Ting Put-si dipayang dan pergilah ketiga orang she Ting itu
meninggalkan Leng-siau-sia.”
“Ketiga tua bangka itu tidak pernah datang lagi, tapi sejak itu
pikiran Suhu lantas kurang normal, sepanjang hari beliau selalu
terbahak-bahak, tertawa dan bicara sendiri, katanya, ‘Bangsat
tua Ting Put-si itu memangnya adalah jago yang sudah keok di
bawah tanganku, sekali ini dia tentu akan lebih kapok lagi
mengakui kekalahannya. Dia... dia mengatakan Siau-jui telah
ikut dia ke Pik-lwe-san....’.”
Bab 42. Ciok Boh-thian Mengalahkan Wi-tek Siansing
“Ngaco-belo, mana bisa terjadi demikian?” mendadak Su-popo
membentak dengan gusar.
“Ya, memangnya Suhu juga bilang, ‘Ngaco-belo, mana bisa,
terjadi demikian? Terang si bangsat tua Ting Put-si itu sengaja
berdusta, berdasarkan apa sih Siau-jui sudi datang ke Pik-lwesan?
Tapi... tapi, jangan-jangan Siau-jui kena juga dibujuk dan
dirayu dan... dan akhirnya tanpa sadar mau....’.”
Dengan muka merah padam kembali Su-popo membentak
pula, “Telur busuk tua bangka itu sengaja mengaco-belo,
masakan bisa terjadi tanpa sadar apa segala?”
Karena tidak paham apa maksud ucapan si nenek, terpaksa
Ban-li mengiakan saja.
“Kemudian apa lagi yang dikatakan telur busuk tua bangka
itu?” tanya Su-popo.
“Yang dimaksudkan Sunio apakah Suhu?” Ban-li menegas.
“Ya, siapa lagi kalau bukan tua bangka itu?” sahut Su-popo.
“Sejak itu pikiran Suhu agaknya sangat tertekan, beliau selalu
menggumam, ‘Apakah benar dia sudah pergi ke Pik-lwe-san?
Tapi pasti tidak. Hanya saja seorang diri dia berkelana di
Kangouw, tentu dia sangat kesunyian dan mungkin bisa terjadi
lalu mampir ke sana untuk omong-omong.’.”
“Kentut! Ngaco-belo!” kembali Su-popo mendamprat.
Ban-li menjadi serbabingung dan serbarunyam, terpaksa hanya
berlutut dan tak berani mengiakan. Sebab kalau mengiakan
tentu akan berarti mengakui ucapan suhunya itu adalah
“kentut” belaka.
“Coba kau berdiri saja,” kata Su-popo kemudian. “Kemudian
bagaimana?”
Ban-li mengucapkan terima kasih, lalu berbangkit dan
menyambung ceritanya, “Dua hari kemudian, mendadak Suhu
bergelak tertawa terus, setiap orang yang dijumpai tentu
ditanya, ‘Coba katakan ilmu silat siapa yang paling tinggi di
dunia ini?’ — Semua orang selalu menjawab, ‘Sudah tentu
Ciangbunjin Swat-san-pay kita yang paling tinggi.’ —
Tampaknya waktu itu perangai Suhu berbeda sekali daripada
biasanya. Terkadang ia sudah bertanya tentang ilmu silat
secara berbelit-belit sehingga sukar untuk menjawabnya. Suatu
hari beliau kepergok Liok-sute di tengah pelataran, tiba-tiba
beliau bertanya, ‘Ilmu silatku kalau dibandingkan Boh-hoat
Taysu, ketua Siau-lim-si siapa yang lebih tinggi?’ — Entah cara
bagaimana jawab Liok-sute, yang terang buah kepala Liok-sute
kemudian diketemukan sudah remuk kena hantaman Suhu dan
terbinasa di situ. Melihat kematian Liok-sute yang mengerikan
itu, lekas-lekas kami melapor kepada Suhu....”
“A Liok biasanya memang ketolol-tololan dan tidak pandai
bicara, entah cara bagaimana suhumu telah membinasakan
dia?” ujar Su-popo.
“Suhu bahkan terbahak-bahak ketika menerima laporan kami,”
demikian Ban-li menyambung. Katanya, ‘Biarkan dia mampus!
Masakah aku tanya dia tentang ilmu pukulanku dibandingkan
dengan ilmu pukulan Siau-lim-pay, dia secara ngawur telah
menjawab bahwa susah dibedakan mana yang lebih unggul,
katanya aku dan si gundul Boh-hoat Taysu dari Siau-lim-pay
sama-sama lihainya. Hahaha, benar-benar pantas mampus!
Masakan Wi-tek Siansing Pek Cu-cay yang tiada bandingannya
sejak dulu kala sehingga sekarang dianggap sama pandainya
dengan kepala gundul dari Siau-lim-si.’
“Kami lihat pikiran Suhu waktu itu tampaknya agak abnormal,
kami hanya saling pandang saja dan tidak berani menanggapi
ucapan beliau. Ternyata Suhu menjadi gusar dan mendamprat
kami, ‘Apakah kalian bisu semua? Mengapa tidak bicara?
Ucapanku tadi benar atau tidak, tepat atau tidak?’ — Segera
beliau tuding Soh-sute untuk menjawab, tapi rupanya jawaban
Soh-sute tidak memuaskan Suhu, sekali gaplok kembali Sohsute
dihantam mati pula. Dan begitu pula Yan-sute disuruh
menyebut bahwa Wi-tek Siansing dari Swat-san-pay adalah
tokoh serbanomor satu di dunia ini baik ilmu pedang, ilmu
lwekang maupun ilmu lain-lainnya. Tapi sekali salah omong,
kembali Yan-sute kemudian juga dihantam pecah kepalanya
dan binasa seketika. Melihat pikiran Suhu dalam keadaan
kurang waras, terpaksa Tecu sekalian tak bisa berbuat apaapa.”
“Kenapa kalian tidak memanggil tabib untuk memeriksa
penyakit gurumu?” omel Su-popo.
“Sudah, kami sudah memanggil tabib Lam dan tabib Te yang
paling pandai di Leng-siau-sia kita ini untuk memeriksa
penyakit Suhu, tapi begitu bertemu dengan tabib-tabib itu
Suhu lantas tanya mereka tentang ilmu silat lagi. Sudah tentu
kedua tabib itu tidak dapat menjawab karena ilmu silat bukan
bidang pekerjaan mereka. Karena itu Suhu menjadi marah dan
lagi-lagi kedua tabib itu menjadi korban keganasan beliau.
“Dalam keadaan demikian semua, orang hanya merasa takut
dan penasaran, tapi tidak berani bicara. Besoknya kami hendak
mengubur ketiga sute dan kedua tabib itu, tapi Suhu telah
membikin kacau pula upacara sembahyangan itu. Waktu Thosute
coba-coba melerai beliau, sebaliknya Suhu telah
menyambar sebuah piring dan sebelah kaki Tho-sute telah
tertebas putus mentah-mentah.
“Melihat keganasan Suhu itu, malamnya lantas ada tujuh orang
suheng dan sute yang kabur tanpa pamit. Semua orang merasa
Swat-san-pay sedang menghadapi detik-detik keruntuhan,
setiap orang merasa tidak aman dan terancam oleh kekejian
Suhu itu. Karena sudah terpaksa barulah beramai-ramai kita
berunding tindakan apa yang harus diambil. Akhirnya secara
diam-diam kami telah menaruh obat tidur di dalam makanan
Suhu sehingga beliau tak sadarkan diri dan kaki-tangannya
dapat dibelenggu. Dosa atas perbuatan durhaka kami ini
sesungguhnya terlalu berat, ganjaran apa yang akan
dijatuhkan atas diri kami terserahlah kepada Sunio sekarang.”
Habis bicara Ban-li memberi hormat kepada Su-popo, lalu
mengundurkan diri dan berdiri bercampur dengan orang
banyak.
Untuk sejenak Su-popo termangu-mangu. Teringat olehnya
keperkasaan sang suami selama ini, sampai hari tua ternyata
menjadi linglung dan pikun, tanpa merasa air matanya hampirhampir
menetes. “Apa yang dituturkan Ban-li tadi adakah
sesuatu yang tidak jujur dan terlalu dilebih-lebihkan?”
tanyanya kemudian dengan sama rada gemetar.
Semua orang diam saja. Selang agak lama barulah Seng Cuhak
membuka suara, “Suso, sesungguhnya memang begitulah
kejadiannya, jika kami berdusta lagi padamu bukankah berarti
bertambah besar pula dosa kami?”
“Ya, umpama memang suhengmu bersalah, mengapa Ban-kiam
dan rombongannya yang baru pulang itu pun kalian jebak
pula?” ujar Su-popo. “Dan mengapa para murid Tiang-bun
hendak kalian tumpas, mengapa secara keji kalian hendak
membabat rumput sampai ke akar-akarnya?”
“Siaute memangnya tidak setuju membikin susah Ciangbun
Suheng dan para murid Tiang-bun, maka dari itu Siaute telah
cekcok dengan Liau-sute, untuk ini Suso tentu sudah
mendengar sendiri,” kata Ce Cu-bian.
Untuk sejenak Su-popo termenung-menung, akhirnya ia
menghela napas dan berkata, “Ya, apa mau dikata lagi, urusan
sudah telanjur dan tak bisa menyalahkan siapa-siapa.”
Sementara itu Liau Cu-le yang sebelah kakinya ditebas kutung
oleh Pek Ban-kiam tadi ternyata cukup memiliki pambek
kesatria, sama sekali ia tidak merintih walaupun darah
bercucuran, ia menutuk hiat-to sendiri untuk menghentikan
aliran darah, lalu membalut sendiri dengan sobekan baju. Tiada
seorang pun muridnya yang mendekat untuk menolongnya.
Semula Su-popo sangat benci kepada Liau Cu-le karena dia
bersitegang hendak membinasakan Pek Cu-cay dan anak murid
Tiang-bun, tapi sesudah mengetahui duduknya perkara dan
ternyata kesalahan terletak pada suaminya sendiri, maka hati
Su-popo menjadi lemas. Segera ia membentak kepada anak
murid cabang empat, yaitu murid-muridnya Liau Cu-le,
“Binatang, menyaksikan guru kalian terluka parah, mengapa
kalian hanya menonton saja? Apakah kalian ini manusia?”
Karena dampratan itu barulah murid-murid cabang empat
berebut lari ke depan untuk menolong Liau Cu-le. Yang lain-lain
ikut merasa lega juga, kalau dosa Liau Cu-le yang besar juga
diampuni, maka mereka yang cuma ikut-ikutan saja tentu
takkan menjadi soal pula. Segera ada orang mengeluarkan
kunci untuk membuka belenggu Kheng Ban-ciong, Ang Ban-ek,
Hoa Ban-ci, dan lain-lain.
Kemudian Su-popo berkata, “Kalau pikiran Ciangbunjin
seketika kurang waras, mestinya kalian harus berusaha
menyadarkan dia. Tapi kalian telah berbuat durhaka, betapa
pun kalian telah melanggar tata tertib perguruan. Cara
bagaimana memutuskan urusan ini aku sendiri pun tidak tahu.
Tindakan pertama sekarang kita harus melepaskan Ciangbunjin
dulu untuk berunding dengan beliau.”
Air muka semua orang menjadi berubah dan ragu-ragu,
mereka menjadi takut kalau Pek Cu-cay dilepaskan apakah
tidak akan menimbulkan bencana pula bagi mereka?
Su-popo menjadi gusar. Bentaknya, “Bagaimana? Apakah
kalian akan mengurung dia selama hidup ini, apakah dosa
kalian masih belum cukup?”
Terpaksa Seng Cu-hak menjawab, “Suso, kita sudah
menyaksikan sendiri bahwa saat ini ciangbunjin kita adalah
engkau dan bukan Pek-suko. Sudah tentu Pek-suko akan kita
lepaskan, tapi kita harus berdaya menyembuhkan penyakitnya
dahulu, kalau tidak....”
“Kalau tidak bagaimana?” bentak Su-popo dengan bengis.
“Kalau tidak, Siaute merasa malu untuk bertemu pula dengan
Pek-suko, maka biarlah sekarang juga Siaute mohon diri saja,”
sambung Cu-hak sambil memberi hormat.
Segera Ce Cu-bian dan Nio Cu-cin juga berkata, “Ya, jika Suso
cukup bijaksana mau mengampuni jiwa kita, maka biarlah kami
segera akan pergi dari sini untuk selamanya tak berani
menginjak Leng-siau-sia lagi.”
Diam-diam Su-popo juga dapat memahami perasaan para sute
yang takut kepada kemungkinan balas dendam Pek Cu-cay bila
nanti suheng itu dibebaskan. Jika mereka sampai bubar, maka
Leng-siau-sia tentu takkan pantas sebagai tempat keramat
Swat-san-pay lagi. Terpaksa ia ambil kebijaksanaan, katanya,
“Baiklah, sementara ini kita tunda dulu mengenai persoalan ini.
Biar kupergi menjenguknya, jika tiada sesuatu jalan yang baik,
tentu aku pun takkan gampang melepaskan dia.”
Seng Cu-hak, Ce Cu-bian, dan Nio Cu-cin saling pandang
sekejap. Mereka pikir betapa pun kalian adalah suami-istri dan
sudah tentu akan membelanya. Namun kami juga punya kaki,
bila si gila itu kau bebaskan, segera juga kami akan angkat
kaki dari sini.
Maka Cu-hak lantas menjawab, “Silakan Ciangbunjin segera
pergi menjenguk Suheng, biarlah kami menunggu kabar saja di
sini.”
Segera Su-popo memanggil Ban-kiam dan A Siu, lalu berpaling
kepada Boh-thian, katanya, “Ek-to, coba kalian bertiga ikut
padaku.”
Menyusul ia berkata pula kepada Seng Cu-hak bertiga, “Lebih
baik silakan ketiga Sute mengantar kami ke sana untuk ikut
mendengarkan pembicaraanku agar kalian tidak menjadi
khawatir. Jangan-jangan kalian akan menyangka kami akan
mengatur tipu muslihat apa-apa untuk menjebak kalian.”
“Ah, mana kami berani berpikir demikian?” sahut Cu-hak.
Walaupun begitu katanya, tapi untuk selamatnya mereka
bersama Cu-bian dan Cu-cin lantas ikut masuk ke belakang
juga. Liau Cu-le lantas memberi isyarat kepada seorang
muridnya. Orang itu paham maksud sang guru, dari jauh ia
lantas mengikut juga dari belakang.
Sesudah menyusur serambi yang panjang, akhirnya
rombongan mereka sampai di tempat di mana Ciok Boh-thian
pernah dikurung. “Di sinilah!” kata Seng Cu-hak menunjukkan
tempat tahanan tua yang pernah dilihat Boh-thian.
Waktu Cu-hak mengeluarkan kunci hendak membuka pintu
penjara itu, di luar dugaan gembok pintu itu ternyata sudah
terbuka. Keruan ia bersuara heran dan ketakutan. Diam-diam
ia mengeluh, “Wah, celaka! Si Gila itu sudah lolos!”
Melihat tangan Seng Cu-hak agak gemetar dan tidak membuka
pintu, segera Su-popo mendorong pintu batu itu dan dengan
mudah saja sudah terpentang. Tanpa merasa Cu-hak, Cu-bian
dan Cu-cin bertiga melangkah mundur beberapa tindak.
Di dalam ruangan situ kosong melompong tiada seorang pun.
Segera Seng Cu-hak berseru, “Wah, celaka! Dia sudah kabur!”
Tapi lantas teringat olehnya bahwa tempat situ adalah ruangan
luar, masih harus membuka sebuah pintu pula barulah akan
mencapai kamar tahan Pek Cu-cay. Saking tegangnya sampai
dia tidak berani membuka lagi pintu yang kedua itu.
Mestinya Ciok Boh-thian hendak memberi tahu bahwa pintu itu
sudah dibuka olehnya, tapi demi teringat dia sedang menyaru
sebagai orang bisu, ada lebih baik jangan membuka suara
dahulu.
Su-popo menjadi tidak sabar, segera ia ambil kunci dari tangan
Seng Cu-hak dan dimasukkan lubang kunci, tapi segera
diketahuinya pintu itu sudah terbuka, ia sangka sang suami
benar-benar sudah lolos, diam-diam menjadi khawatir kalaukalau
suaminya yang kurang waras itu akan menimbulkan
bencana di luaran.
Tak tersangka baru saja pintu itu didorong sedikit, segera
terdengarlah suara tertawa seorang tua. Seketika semua orang
merasa lega, itulah suaranya Pek Cu-cay. Setelah tertawa
orang tua itu telah berseru, “Huh, apa-apaan ilmu silat dari
Siau-lim-pay, Bu-tong-pay dan lain-lain itu? Sejak kini semua
orang Bu-lim harus ganti belajar ilmu silat dari Swat-san-pay,
segala ilmu silat dari golongan lain harus dihapus. Hai, dengar
tidak kalian? Ini dia Pek Cu-cay adalah raja di atas raja segala
tokoh persilatan. Siapa yang tidak tunduk padaku segera
kupatahkan batang lehernya!”
Waktu Su-popo melangkah masuk, remang-remang terlihat
kaki-tangan sang suami terbelenggu semua dan terikat di
tengah-tengah dua tiang batu dengan rantai besi, mau tak mau
perasaan si nenek menjadi pedih.
Pek Cu-cay juga tertegun ketika tiba-tiba tampak sang istri.
Tapi ia lantas berkata dengan tertawa, “Bagus, bagus! Kau
sudah pulang. Sekarang setiap orang Bu-lim telah mengangkat
aku sebagai yang dipertuan agung, Swat-san-pay menjagoi
seluruh dunia, golongan-golongan lain telah dipunahkan. Popo,
bukankah hal ini sangat menggembirakan?”
“Ya, bagus, tapi entah mengapa aliran dan golongan lain harus
dihapuskan?” sahut Su-popo dengan dingin saja.
“Eh, mengapa kau bertanya demikian? Ilmu silat Swat-san-pay
sudah terang paling tinggi, dengan sendirinya golongan dan
aliran lain harus dibubarkan saja!”
“Coba lihat, siapa ini?” tiba-tiba Su-popo menarik A Siu ke
depan. Ia tahu suaminya paling sayang kepada cucu
perempuannya itu, sebabnya sang suami menjadi kurang
waras pikiran justru timbul lantaran A Siu membunuh diri
terjun ke dalam jurang. Ia berharap dengan melihat cucu
perempuan kesayangannya mungkin pikiran sehatnya akan
pulih kembali.
Segera A Siu juga menyapa, “Yaya, aku sudah pulang, aku
tidak mati, aku jatuh di atas salju yang belum beku, nenek
yang telah menolong diriku.”
Pek Cu-cay pandang sekejap kepada A Siu. Katanya kemudian,
“Bagus, kau adalah A Siu! O, mestikaku, apakah kau tahu di
dunia ini ilmu silat siapakah yang paling tinggi? Siapa yang
dipertuan agung di dunia persilatan sekarang ini?”
Dengan suara perlahan A Siu menjawab, “Yaya!”
Pada saat itulah Pek Ban-kiam telah melangkah maju, katanya,
“Ayah, anak telah pulang terlambat sehingga ayah menderita,
biarlah anak membukakan belenggumu.”
“Hus, pergi kau! Siapa yang minta kau membuka kunci
belenggu?” bentak Cu-cay. “Besi karatan begini dalam
pandangan ayahmu hanya seperti kayu lapuk saja, asal aku
mau meronta sedikit tentu akan terlepas. Soalnya aku tidak
mau dan lebih suka istirahat di sini. Huh, aku Pek Cu-cay
selamanya malang melintang di dunia ini, biarpun seribu orang
maju sekaligus juga tak bisa mengganggu seujung rambut
ayahmu, siapa lagi yang mampu membelenggu diriku?”
“Ya, ayah memang tiada tandingannya di dunia ini,” kata Bankiam.
“Sekarang ibu dan A Siu sudah pulang, kita harus
bergembira, silakan ayah makan minum di ruangan depan
untuk merayakan berkumpulnya kita sekeluarga.”
Sembari berkata ia terus pegang kunci hendak membuka
belenggu tangan sang ayah.
Tapi Cu-cay menjadi gusar. Teriaknya, “Aku suruh kau pergi,
mengapa kau tidak pergi!”
Tiba-tiba ia melihat Seng Cu-hak dan lain-lain sedang
melongak-longok di luar pintu, segera ia membentak, “Kurang
ajar! Melihat aku mengapa kalian tidak memberi hormat? Hayo,
siapa di antara kalian sang mengaku sebagai kesatria dan
jagoan?”
Seng Cu-hak dan lain-lain menjadi serbasalah. Tapi mereka
pikir kalau sang suheng nanti dilepaskan bukan mustahil
mereka akan celaka, rasanya lebih baik sekarang juga
merendah diri dan mengambil hatinya. Maka Cu-hak lantas
menjawab, “Pek-loyacu adalah jago pedang nomor satu tiada
taranya sejak dahulu kala hingga sekarang, bahkan ilmu
pukulan juga nomor satu, ilmu lwekang juga nomor satu!”
“Ya, Pek-loyacu adalah mahakesatria, mahapendekar,
mahaguru ilmu silat, dengan menonjolnya Swat-san-pay kita,
dengan sendirinya Siau-lim-pay, Bu-tong-pay dan lain-lain
harus dihapuskan, hanya Pek-loyacu kita yang harus
dipertuanagungkan!” demikian Nio Cu-cin lantas ikut
mengumpak. Begitu pula Ce Cu-bian dan lain-lain lekas-lekas
ikut arah angin dan memberi puji sanjung setinggi langit
sehingga Pek Cu-cay tampak manggut-manggut dan tertawa
senang.
Sebaliknya Su-popo merasa malu sekali. Pikirnya, “Tua bangka
ini dikatakan gila toh juga tidak. Buktinya dia masih ingat pada
diriku dan A Siu. Penyakitnya mungkin disebabkan karena
terlalu sombong atau gila hormat.”
Mendadak Pek Cu-cay berkata kepada Su-popo, “Beberapa hari
yang lalu Ting Put-si telah datang kemari, katanya kau telah
menyambangi dia dan berdiam beberapa hari di Pik-lwe-to.
Apakah benar hal ini?”
“Apakah kau benar-benar sudah gila? Masakah kau percaya
saja segala ocehan demikian?” sahut Su-popo dengan gusar.
“Yaya,” tiba-tiba A Siu menyela, “Ting Put-si memang pernah
memaksa aku dan nenek supaya mampir ke tempatnya Piklwe-
to itu, dia memaksa orang di saat bahaya, tapi nenek lebih
suka membunuh diri dengan terjun ke dalam sungai daripada
ikut dia ke tempatnya itu.”
“Bagus, bagus! Memangnya nyonya Pek Cu-cay masakah
terima dihina begitu? Kemudian bagaimana?”
“Kemudian... kemudian beruntung kami telah ditolong oleh
Toako ini, akhirnya Ting Put-si dapat digebah pergi,” sahut A
Siu.
Untuk sejenak Pek Cu-cay mengamati Ciok Boh-thian, katanya,
“Kepandaian bocah ini masih boleh juga, walaupun masih
selisih beberapa pal dengan kepandaianku, tapi rasanya
memang sudah cukup untuk mengenyahkan Ting Put-si.”
“Huh, kau membual apa?” teriak Su-popo dengan mendongkol.
“Kau mengaku tokoh nomor satu di dunia ini, kan benar-benar
ngaco-belo belaka! Anak ini adalah muridku, aku sendiri yang
telah mendidiknya. Kepandaian muridku ini saja sudah terang
jauh lebih tinggi daripada kepandaian muridmu!”
“Hahaha! Omong kosong! Omong kosong!” seru Pek Cu-cay
dengan terbahak-bahak. “Kepandaian apa yang kau miliki
sehingga mampu menangkan kepandaianku?”
“Coba jawab, Kiam-ji adalah anak-didikmu, bukan?” tanya Supopo.
“Nah, coba katakan kepada gurumu, Anak Kiam,
kesudahan pertandingan tadi antara kau dengan muridku
berakhir dengan kemenangan di pihak siapa?”
“Ini... ini....” Ban-kiam tergagap-gagap tak bisa menjawab. Di
hadapan ayahnya yang tinggi hati itu ia tidak berani
mengemukakan hal-hal yang berlawanan dengan wataknya.
Tapi Cu-cay sudah lantas berkata dengan tertawa kepada Supopo,
“Hah, muridmu masakah mampu melawan muridku?”
Su-popo melotot sekali kepada sang putra dan mendengus.
Ban-kiam menjadi kikuk. Sebagai seorang laki-laki yang jujur
terpaksa ia mengaku. Katanya, “Ya, anak memang sudah cobaKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
coba bergebrak dengan dia dan benar-benar telah kalah.”
“Apa katamu?” teriak Pek Cu-cay sambil meloncat bangun
sehingga rantai besi borgolnya bersuara gemerencing. “Kau
kalah? Mana bisa jadi? Tidak, tidak boleh jadi!”
Sebagai suami-istri selama puluhan tahun Su-popo cukup kenal
watak dan perasaan sang suami. Pikirnya, “Tua bangka ini
selamanya anggap dirinya tiada tandingannya di kolong langit,
rupanya dia kena dibakar oleh ucapan Ting Put-si sehingga
pikirannya menjadi kurang waras. Kata peribahasa, “Penyakit
jiwa harus diobati dengan ilmu jiwa. Jika sekali-sekali dia
dikalahkan oleh seseorang, boleh jadi penyakit gilanya ini akan
dapat disembuhkan. Cuma sayang Thio Sam dan Li Si sudah
pergi, kalau tidak mereka berdua cukup memenuhi syarat
untuk mengobati penyakit tua bangka ini. Sekarang terpaksa
harus dicari jalan lain, walaupun ilmu silat muridku ini tidak
tinggi, tapi tenaga dalamnya terang lebih kuat, mengapa aku
tidak mencobanya?”
Maka ia lantas berkata, “Huh, selamanya kau cuma membual
ilmu silatmu nomor satu di dunia ini dan tenaga dalam tiada
bandingannya di kolong langit. Huh, benar-benar tidak tahu
malu. Padahal melulu soal tenaga dalam saja, muridku ini
sudah terang jauh di atasmu!”
Pek Cu-cay bergelak tertawa sambil mendongak. Katanya
kemudian, “Biarpun Tat-mo Cosu dari Siau-lim-si hidup kembali
juga bukan tandingan orang she Pek ini, sekarang hanya
seorang bocah hijau ingusan saja, kalau tenaga dalamnya ada
satu pertiga tenagaku sudah cukup baginya untuk menjagoi
dunia persilatan.”
“Huh, benar-benar sombong dan tidak tahu malu,” jengek Supopo.
“Kalau kau ingin tahu rasa, cobalah kau mengadu tenaga
dulu dengan dia.”
“Ha, masakah bocah ini ada harganya untuk bergebrak dengan
aku?” ujar Cu-cay dengan tertawa. “Ya, baiklah, aku hanya
menggunakan sebelah tangan saja sudah cukup membuatnya
berjungkir balik tiga kali.”
Su-popo tahu tenaga dalam sang suami memang sangat lihai
dan bukan mustahil Ciok-Boh-thian akan dilukai. Sekarang
suaminya mengucapkan sendiri akan menggunakan sebelah
tangan melulu, keruan kebetulan baginya. Segera ia
menjawab, “Baik. Silakan kalian coba-coba bertanding. Pemuda
ini adalah muridku juga calon suami A Siu, berarti juga calon
cucu menantumu, maka kalian tidak boleh saling melukai.”
“Kau bilang dia adalah calon cucu menantuku?” Pek Cu-cay
menegas dengan tertawa. “Baiklah, akan kucoba dulu apakah
dia memenuhi syarat untuk menjadi suami si A Siu atau tidak?
Tentu aku takkan mencelakai jiwanya.”
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang berlari masuk
ke dalam kamar tahanan itu dan berseru, “Lapor Ciangbunjin,
pangcu dari Tiang-lok-pang Ciok Boh-thian bersama Mo-thiankisu
Cia Yan-khek telah menolong keluar Ciok Jing dan istrinya,
sekarang mereka sedang menantang perang di ruang
pendopo.”
Dari suaranya dapatlah dikenal adalah suaranya Kheng Banciong.
Seketika Pek Cu-cay dan Su-popo bersuara heran berbareng,
“Mo-thian-kisu Cia Yan-khek?!”
Sebaliknya Ciok Boh-thian terkejut dan bergirang. Ia merasa
girang karena diketahui Ciok Jing dan istrinya sudah lolos
dengan selamat. Terkejut karena Ciok Tiong-giok itu sekarang
sudah berada di Leng-siau-sia, maka rahasia penyamarannya
ini tentu akan segera terbongkar. Ia pun sudah lama tidak
bertemu dengan Cia Yan-khek, sekarang dapat berjumpa pula,
di samping girang ia pun rada-rada takut.
“Selamanya kita tiada persengketaan apa-apa dengan Tianglok-
pang dan Cia Yan-khek, untuk apa mereka mencari perkara
ke sini?” demikian kata Su-popo kemudian. “Apakah mereka
datang untuk membantu Ciok Jing?”
“Ciok Boh-thian dari Tiang-lok-pang itu sangat kurang ajar,
katanya dia telah penujui Leng-siau-sia kita dan suruh kita
harus... harus menyerah padanya,” sahut Kheng Ban-ciong.
“Kentut anjing!” teriak Pek Cu-cay dengan gusar, “Orang
Tiang-lok-pang seluruhnya datang berapa banyak?”
“Mereka hanya terdiri dari lima orang saja,” sahut Ban-ciong.
“Selain Cia Yan-khek, Ciok Boh-thian dan Ciok Jing suami-istri
terdapat pula seorang nona jelita cucu perempuannya Ting Putsam.”
Mendengar si Ting Tong juga ikut datang, mau tak mau Bohthian
lantas mengerut kening. Ia coba melirik si A Siu, ternyata
nona itu pun sedang memandang padanya dengan matanya
yang jeli. Dengan muka merah cepat Boh-thian berpaling ke
arah lain. Pikirnya, “Mengapa Ciok Tiong-giok itu datang pula
bersama Ting Tong? Apa mereka khawatir kalau-kalau aku
mengalami cedera di sini, makanya mereka sengaja datang
buat membantu bila perlu? Dan Cia-siansing itu tentu datang
hendak menolong aku pula.”
Dasar watak Boh-thian memang polos dan jujur, maka
disangkanya manusia di seluruh jagat ini juga semuanya
berhati baik dan berbudi. Sebab itulah terhadap orang lain
selalu yang dipikirkan adalah hal-hal yang baik saja.
Dalam pada itu Pek Cu-cay telah berkata, “Huh, hanya lima
orang saja apa artinya bagiku? Apakah tidak kau katakan
bahwa Pek-loyacu dari Swat-san-pay adalah jago nomor satu di
dunia ini, mengapa mereka berani main gila ke sini? Ah, ya, ya!
Tentu berita tentang tetirahku di dalam kamar sunyi ini telah
tersiar, mereka sangka Pek-loyacu sudah cuci tangan dan tidak
mau main silat lagi, maka berani mengacau ke sini. Coba lihat,
baru saja guru kalian istirahat sebentar saja kalian sudah tak
mampu menghadapi orang luar.”
“Huh, masih membual apa lagi?” semprot Su-popo. “Hayo,
semua orang ikut aku keluar untuk menandangi musuh.”
Segera ia mendahului melangkah keluar disusul dengan Pek
Ban-kiam, Seng Cu-hak, dan lain-lain.
Baru saja Ciok Boh-thian juga hendak melangkah pergi, tibatiba
didengarnya seruan Pak Cu-cay, “Kau bocah ini tinggal
dulu di sini, biar kuberi sedikit hajaran.”
Terpaksa Boh-thian berhenti dan putar tubuh kembali. A Siu
yang sudah jalan juga lantas berpaling dan kembali ke depan
pintu. Ia tahu sang kakek kurang waras, jangan-jangan sekali
hantam Boh-thian akan terbinasa. Maka cepat ia berseru,
“Nenek, kakek benar-benar hendak... hendak bertanding
dengan dia.”
Su-popo masih sempat berpaling dan berkata kepada Pek Cucay,
“Jika kau berani melukai muridku, seketika juga aku akan
pergi ke Pik-lwe-san untuk selamanya takkan pulang lagi.”
Cu-cay menjadi gusar. Teriaknya, “Kau... kau bilang apa?”
Namun Su-popo tak menggubrisnya lagi, segera ia bertindak
keluar sambil merapatkan pintu penjara. Seketika keadaan di
dalam menjadi gelap gulita.
Segera A Siu mendekati sang kakek, ia gunakan kunci yang
tertinggal di atas belenggu oleh Pek Ban-kiam tadi untuk
membuka borgol kaki dan tangan Pek Cu-cay. Katanya
kemudian, “Yaya, bolehlah kau mengajarkan beberapa jurus
padanya. Tapi jangan keras-keras, dia belum lama belajar
silat.”
Pek Cu-cay menjadi senang, katanya dengan tertawa, “Baik,
aku akan ajarkan beberapa jurus padanya supaya berguna
baginya kelak.”
Boh-thian merasa kebetulan malah. Tadi ia mendengar kakek
itu mengaku sebagai jago nomor satu di dunia ini, ia merasa
dirinya pasti bukan tandingannya. Sekarang orang tua itu
hanya akan memberi ajaran saja, sudah tentu ini yang
diharapkannya. Maka cepat ia mengucapkan terima kasih.
A Siu lantas mengundurkan diri, ia membuka pintu penjara
sehingga dalam kamar tahanan itu menjadi terang lagi.
Setelah berdiri, ternyata perawakan Pek Cu-cay hampir-hampir
lebih tinggi satu kepala daripada Ciok Boh-thian, tertampak
gagah perkasa laksana malaikat. Keruan Boh-thian bertambah
segan dan hormat padanya sehingga tanpa merasa dia mundur
dua tindak.
“Jangan takut, jangan takut!” kata Cu-cay dengan tertawa.
“Yaya takkan melukai kau. Lihat ini, sekali tanganku menjulur
dan memegang kudukmu segera kau akan kubanting
terguling....” sambil bicara tangannya juga lantas meraih dan
benar juga kuduk Ciok Boh-thian lantas kena dipegang
olehnya.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar