juga ilmu tenaga dalam Hau Bun Sian Thian Kiekang, ilmu
mana tinggal dia mematangkannya. Benar-benar sekrang
sekarang ini sampai dimana sudah kemajuan anak Hiong aku
tidak tahu!"
Pak Cu menjadi kagum sekali. Dia tertawa. "Kemarin aku si
pendeta tua menyaksikan perlawanan niocu terhadap Beng
Leng Ciu jiu," katanya. "Aku melihat didalam halnya tenaga
dan kecerdasan, niocu tak berada di bawah angin. Maka itu,
melihat dari kepandaian niocu, aku merasa semua tujuh puluh
dua ilmu silat Siauw Lim Sie tak akan dapat dibandingkan
dengan kepandaian Tek Cio Sengjin."
Im Gwa Sian menggeleng kepala. "Itulah belum tentu"
bilangnya. "Mengenai Tek Cio si imam hidung kerbau, dia
memang luar biasa. Selama beberapa puluh tahun dia tak
pernah meninggalkan puncak Pay Im Nia di Kim Hoa San.
Mungkin dia sedang meyakinkan sesuatu yang lainnya lagi.
Pelajaran Hian bun Sian Thian Khiekang itu mirip ilmu
semedhi. Untuk mempelajari itu perna anak Hion menyekap
diri tiga tahunlamanya. Diwaktu begitu dia tak dapat diganggu
sampai aku sendiri si pengemis tua dilarang menemuinya.
Karena itu pernah aku memikir mungkin si imam hidung
kerbaru lagi mempelajari ilmu sesat."
Pek Cui tertarik hati, ia menghela naps kagum. "Tak perduli
dia mempelajari ilu ssat atau bukan" katanya. "tetapi dia telah
dianggap sebagai orang pandai dan gagah luar biasa yang
nomor satu di jaman ini, sebutan itu tak memalukan dan
mengecewakannya. Menyesal sekali lolap tidak pernah
mempunyai ketika akan bertemu muka dengan sengjin, maka
kalau kelak dikemudian hari lolap beruntung menemuinya,
pasti akan lolap menghindari ............(tidak jelas) tujuh puluh
dia ilmu silat partai itu memohon pengajarannya!"
Kata-kata "mohon pengajaran" itu diartikan dalam artian
umum, itu dimaksudkan menantang secara terhormat untuk
bertanding.
In Gwa Sian tertawa mendengar suaranya pendeta itu.
"Tek Cio si hidung kerbau itu sangat cerdas dan banyak
pengalamannya" katanya. "Dapat dimengerti bahwa tak
mudah untuk dia memperoleh semua kepandaiannya itu.
Setahuku dia telah menyekap diri di dlam gunung Kui Hoa San
buat beberapa puluh tahun, tak pernah dia turun gunung
umpama kata sekalipun satu tindak. Selama tigapuluh tahun,
dua kali seudah dia menutup diri setiap kalinya buat beberapa
tahun lamanya. Malah dia tak pernah meninggalkan kamar
samadhinya itu, yang sekrang menjadi kamar obatnya"
Pek Cui tersenyum. "Kami dari pihak siau Lim Sie, kamipun
mempunyai kebiasaan menutup diri itu" katanya, "kami cuma
tidak membutuhkan waktu demikian lama seperti yang
diperbuat Tek Cio Totiang"
In Gwa Sian menggeleng kepala, memotong pendeta itu,"
Kita tunda halnya Tek Cio itu, tunggu saja nanti sampai kau
berhasil menemuinya. Sekarang ialah soal terpenting.
Bagaimana kalian hendak mengurus itu?"
"Apakah kau menghendaki kami turut denganmu, untuk
kita bersama-sama melepas undangan umum kepada seluruh
kaum Rimba Persilatan guna mengajak mereka berangkat
keluar lautan?" tanya Pak Cui.
"Tak usah!" sahut si pengemis tertawa. "Soal itu tak prnah
lepas dari hatiku si pengemis tua. Asal kau mupakat, segera
kita mengirim orang menyampaikan surat undangan. Jika kau
tidak setuju, sekarang juga aku si pengemis tua hendak
berpamitan darimu!"
"Lolap meminta Tio Sicu datang kemaripun guna
membicarakan urusan itu." berkata Pek Cui. "Kawanan
bajingan dari luar lautan itu datang mengacau wibawa kami
disini tanpa alasan, hingga mereka mendatangkan
malapetaka. Perbuatannya itu tidak dapat dibiarkan saja.
Lolap telah menghimpun para Tianglo dari Tatmo Ih dan Kam
Ih, begitu kami berbicara putusan telah lantas diambil.
"Jika demikian, kita mesti bekerja cepat!" berkata In Gwa
Sian yang dalam hal ini hilang kesabarannya. Dia memotong
kata-kata orang sebelum Pek Cui bicara habis. "Sekarang juga
kita bekerja, kita menulis dan mengirim surat undangan,
bagaimana?"
"Perihal surat undangan telah lolap memerintahkan lekas
ditulisnya," berkata pula si pendeta, "Soalnya ialah kita harus
memilih siapa-siapa saja yang di undang."
Itulah benar. In Gwa Sian setuju, maka itu mereka lantas
memikirkan kawan dan kenalan untuk dipilih siapa yang
kiranya pantas diundang. orang itu harus lihai dan sepaham,
tak dapat sembarang orang mengingat lihainya pihak lawan.
Pembicaraan atau pemikiran itu meminta waktu, sebab
nama-nama yang disebut harus dipilih lebih jauh, selesai
memilih orang, nama-nama mereka itu lantas ditulis, tak
diduganya Pek Cui mengajukan duapuluh orang pendeta muda
dan lincah menyiarkan kesegala penjuru. Di dalam surat
undangan disebut tanggal bulannya, yang tinggal dua bulan
lagi.
Seperginya para pendeta pesuruh itu, barulah lega hatinya
In Gwa Sian. Tadinya dia tegang sendiriny akarena dia tak
sabaran, sekarang dapat dia tertawa.
"Tadi malam aku menempur It Yap Tojin si imam
campuraduk diatas puncak Siauw SIt Hong," katanya. "Kami
mengadu tangan hingga tiga kali. Kesudahannya aku kalah
satu. Walaupun demikian, si hidung kerbau tak menang
seluruhnya. Kami sampai kehabisan tenaga, maka itu kami
lantas pada duduk bersila untuk beristirahat sekian lama.
Ketika itu aku gunakan meminta ia mengundangnya turut
pergi ke luar lautan guna menemui para bajingan!"
"Habis, dia menerima baik undangan itu atau tidak?" Pek
Cui tanya lekas. "Jjika Heng San Kiam-kek memberikan
persetujuan tak sukar buat membasmikawanan bajingan
itu......"
In Gwa Sian tertawa sebelum dia menjawab. Kata dia," Si
imam campur aduk itu masih penasaran atas kekalahannya
dari Tek Cio diwaktu mengadu pedang, dia tidak menjawab
menerima baik undanganku itu, dia cuma tertawa dingin
beberapa kali, terus saja dia mengeloyor pergi turun dari
puncak!"
"Ah!" Pek cui menghela nafas," Manusia umumnya
menganggap dalam hidupnya ada empat buah godaan yang
paling sukar diatasi, ialah harta, paras elok, nama, dan
kedudukan tinggi, tetapi diantara itu menurut pandangan
lolap, nama lah yang paling banyak mencelakai orang.
Demikian dengan It Yam Tojin. Dia dipengaruhi dengan
kekalahannya dari Tek Cio Sengjin itu, dia merasa namanya
runtuh, maka dia menjadi penasaran, karenanya ia sampai
melupakan kesulitan dan bahaya yang mengancam
keselamatannya banyak sesama rekan kaum Rimba
Persilatan....."
Mendadak pendeta ini berhenti bicara, terus dia tertawa
nyaring.
"Amida Buddha!" pujinya. "Ah, aku si pendeta jadi berpikir
sebagai manusia seumumnya!...."
Mendengar kata-kata si pendeta, hatinya It Hiong gentar
sendirinya. Mendadak ia ingat sesuatu, maka juga ia kata
didalam hatinya: "Gak Hong Kun tergila-gila terhadap kakak
Giok Peng, dia bagaikan orang edan dilihat dari tingkahnya itu
dia seperti juga bersedia mengorbankan jiwa demi sang cinta!
Aku bagaikan merampas kekasihnya itu, aku bersalah. Pantas
dia sangat membenci aku!...."
Memikir begini tawarlah hatinya si anak muda. Ia tetap
merasa sulit...
Pembicaraan telah selesai sampai disitu. In Gwa Sian
merasa bahwa ia telah beristirahat cukup maka dia berpamit
diri. Dia masih letih perlu beristirahat! It Hiong pun
menggunakan saat itu untuk mengundurkan diri hanya ia
menggunakan kesempatan terlebih jauhnya. Ia berdusta
bahwa keluar wilayah kuil demi untuk pergi ke tempatnya
Kiauw In dan Giok Peng.
Tatkala itu kedua nona sedang duduk berdua saja depan
berdepan di depannya di atas meja terletak Keng Hong Kiam
pedang mustika Mengejutkan Pelangi. Nampaknya kakak
beradik itu sedang asyik sekali. Sebab mereka sangat akur
satu dengan yang lain. Walaupun demikian mereka segera
dapat melihat ketika It Hiong muncul diambang pintu kamar
mereka. Pemuda itu melangkah dengan perlahan berindapindap.
Kiauw In melirik dan tertawa. "Mau apa kau datang secara
sembunyi-sembunyi bagaikan bajingan?" tegurnya. It Hiong
tertawa.
"Kalian tengah membicarakan urusan apa?" dia balik
bertanya. "Agaknya kalian asyik sekali! Dapatkan aku ini turut
mendengarnya?"
Giok Pek melirik, nampak dia rada jengah.
Kiauw In menunjuk kepada pedang mustika diatas meja.
"Apakah artinya ini ?" tanyanya. "Sampai pun senjata tak
dikehendakinya."
"Aku menyerahkan itu kepada kakak Giok Peng dengan
permintaan ia tolong menyimpan dan menjaganya," sahutnya.
"Siapakah yang bilang aku tidak menghendakinya ?"
Pemuda ini bersikap wajar.
Kiauw In mengawasi, Giok Peng sebaliknya menghela
napas.
"Aku tahu, di dalam hatimu, kau sangat penasaran
terhadapku," katanya. "Dengan kakak In ini, aku justru tengah
membicarakannya !"
Si pemuda menggeleng kepala.
"Bukankah urusan itu urusan umum ?" katanya sambil
tertawa. "Apakah yang menarik dalam urusan ini ? Mana dia
Gak Hong Kun ?"
"Dia sudah pergi !" sahut nona Pek.
"Kenapa kau tak mengajaknya datang kemari untuk
berduduk dan memasang omong ? Terhadap kita, terhadapmu
dan terhadapku, dia telah melepas budi besar."
"Hm !" si nona memperdengarkan suara penasaran atau
mendongkol. "Tadinya aku menganggap dia orang baik-baik
maka aku suka bergaul dengannya sampai akhirnya aku
bentrok dengan pemuda seh Gak itu, yang marah mengharap
cintanya, karena ia menganggap itu tak tepat." Maka ia
meneruskan, "Siapa tahu, terhadapmu dia mendendam
kebencian yang sangat."
It Hiong menghela napas panjang.
"Itulah sudah sewajarnya." katanya menyesal. "Mana dapat
dia dipersalahkan atau disesalkan."
Giok Peng melongo. Kata-kata si pemuda itu diluar
dugaannya.
"Apakah maksudmu ?" ia tegaskan
It Hiong tertawa.
"Kakak, jangan kau banyak pikiran itu !" katanya. "Aku Tio
It Hiong, aku bukannya si orang yang cupat pandangannya.
Mulanya dia baik sekali padamu lantaran ada aku, dia menjadi
terluka hatinya dan berduka karenanya. Selama tahun-tahun
yang lewat, tak pernah dia melupakan kau. Seharusnya dia
membencimu tetapi karena cintanya yang sangat, itu tak
dapat dia lakukan. Karena itu ia berbalik membenciku !"
Parasnya nona Pek menjadi pucat, lalu berubah menjadi
merah.
"Apakah kau bilang ?" tegurnya keras. "Apakah kau ngaco
belo ?"
It Hiong tidak bergusar. Sebaliknya dia tertawa.
"Kakak, sabar" katanya. "Kau dengar dahulu perkataanku.
Tak perduli bagaimana perasaan atau kesanmu terhadap Hong
Kun, dia sebaliknya sangat menyintaimu hingga dia tersesat
dan tak dapat sadar. Bicara dari asal mulanya, memang aku
yang bersalah. Jika aku tidak bertemu denganmu, tidak nanti
Gak Hong Kun menjadi gagal dalam percintaannya...."
Giok Peng mendongkol, tetapi toh dia berduka.
"Mengapa kau tidak mau berkata bahwa aku telah
memeletmu membikin kau berbuat keliru dan menyesal ?..."
katanya, airmatanya terus turun meleleh.
It Hiong bingung.
"Kakak !" katanya. "Kakak jangan kau salah mengerti ! Aku
tahu kau mencintai aku dengan sangat."
Mendengar sampai disitu, Kiauw In membuat main bibirnya
yang dimoncongkan. Ia lantas campur bicara.
"Tak dapatkah kau tidak mempupuri mukamu ?" tanyanya.
"Siapa sih yang mencintai kau dengan sangat ?"
Giok Peng mandi airmata, tetapi mendengar kata-katanya
Kiauw In, dia tertawa.
It Hiong menghela nafas. Ia tidak melayani nona Cio.
Hanya dengan sabar ia kata, "Aku tak tahu dosa bagaimana
yang telah aku lakukan sebelum aku terlahir ke dunia, maka
juga sekarang ini kakak berdua telah begini mencintai aku
hingga cinta itu setebal berlapis-lapis gunung..."
Kiauw In tersenyum, ia melirik kepada Giok Peng.
"Adik, kau dengar !" katanya. "Lihat makin lama kulit muka
dia makin tebal ! Dengan kata-kata apapun dia dapat
keluarkan ! Rupanya dia menganggap bahwa kita sangat
menyintai dia...."
Giok Peng memupus air mata dipipinya.
"Ya, kulit muka dia sekarang berobah setebal tembok !"
sahutnya. "Makin dia bicara makin tebal jadinya."
It Hiong tersenyum. Ia mengawasi kedua nona itu
bergantian.
"Jika bukannya aku yang melakukan perampasan, tidak
nanti Gak Hong Kung membenci aku" katanya. "Biar
bagaimana aku toh merasa malu sendiri. Itulah sebabnya
kenapa terhadap dia, aku tidak membenci sedikit juga. Kakak,
jika Tio It Hiong bukan bicara dengan suara hati nuraninya,
dia pasti bakal terkutuk Thian."
Giok menghela napas. Ia pun merasa bagaimana Hong Kun
senantiasa bersikap baik terhadapnya.
"Apakah maksudmu maka kau bicara begini rupa kepadaku
?" ia tanya. "Aku kurang mengerti...."
Itulah pertanyaan yang tak disangka-sangka It Hiong.
Sejenak ia bungkam, tak dapat ia menjawabnya.
Giok Peng menoleh ke pembaringan dimana Haw Yang
sedang tidur nyenyak Ia tertawa hambar.
"Jangan berpura pintar !" katanya. "Jangan kau sangka
apa-apa yang kau pikir itulah tepat. Memang terhadapku Hong
Kun belum pernah melampauinya, maka juga aku terima
undangannya pergi ke lembah itu, buat berbicara sekian lama.
Perbuatanku itu memang kurang tepat, jangan kata kau yang
melihatnya menjadi gusar. Aku sendiri sadar akan
kekeliruanku. Tak perduli apa yang dia pikir tentang aku,
tetapi aku sendiri...."
Mendadak Nona Pek merasai mukanya panas. Mungkin
menjadi marah. Ia lantas menoleh kepada Kiauw In, untuk
berkata :" Kakak, jangan kau tertawakan aku ! Sejak masih
kecil aku biasa mengikuti ayah merantau, sendirinya tabiatku
menjadi rada berandalan dan terhadap pergaulan pria dengan
wanita, aku tak bersikap keras menurut adat istiadat seperti
kebanyakan wanita lain...."
Nona Cio tertawa.
"Asal hati kita putih bersih dan lurus, tidak masalah kita
terlalu menurut kehendak adat istiadat." katanya.
Wajahnya Giok Peng suaram.
"Biar bagaimana, di satu saat itu aku lalai." bilangnya. "Aku
telah berkelakuan terlalu menuruti suara hatiku, tidak heran
apabila dia menjadi curiga atau cemburu..."
"Dengan dia" nona ini maksudkan It Hiong.
Si anak muda segera mengulap-ulapkan tangannya.
"Kakak, kau keliru !" katanya cepat. "Kenapa kau menerka
begini rupa terhadapku ?"
“Kau membuatku penasaran !"
Kiauw In melirik tajam kepada muda mudi di depannya itu,
terus ia mengawasi Giok Peng.
"Gak Hong Kun mengundang kau datang ke lembah itu,
apakah yang dia bicarakan denganmu?" tanyanya.
"Mungkinkah dia berkulit demikian tebal masih dia
membujukimu atau mendesak hendak menikahimu ?"
"Pada mulanya, dia memang masih dapat berlaku sopan
santun." sahut Nona Pek terus terang.
Sepasang alis Nona Cio bergerak.
"Lalu ?" tanyanya pula, menegaskan. "Mungkinkah dia
berani berlaku kurang ajar atau ceriwis terhadapmu ?"
"Sampai disitu, belum berani dia melakukannya." sahut
Giok Peng, "Namun kemudian kata-katanya samar-samar
mulai menjurus ke arah itu... "
Berhenti kata-katanya Nona Pek, mukanya pun menjadi
merah sekali.
Dengan perlahan Kiauw In menarik napas lega.
"Dia menjemukan tetapi seorang yang mencinta," katanya
perlahan, "sedang bicara dari hal kepandaian terutama ilmu
silat, dia tak mudah dicari lawannya. Sebenarnya dia si orang
muda yang banyak nona-nona cantik mengharapinya. Dia
tampan dan gagah, cintanya pun cinta abadi. Terhadapmu,
walaupun telah lewat beberapa tahun hatinya tetap tak
berubah...."
Giok Peng menggeleng dengan cepat.
"Kakak" katanya, "Kenapa kakak berkata begini ? Aku
justru benci kepadanya !"
Kiauw In menengadah langit-langit rumah. Ia tertawa
hambar.
"Adik, tak ada maksud menertawai kau." katanya sungguhsunguh.
"Aku bicara sejujurnya. Aku sendiri sejak kecil sekali,
aku menjadi besar diatas gunung, tak biasa aku menerima
pujian atau kekang adat istiadat. Bicara terus terang, adat
istiadat ada terlalu keras, banyak larangannya. Yang umum
atau yang paling sederhana, adalah soal pernikahan. Kaum
pria boleh beristri sampai tiga dan bergundik sampai empat.
tetapi kita kaum wanita ? Kita dikekang oleh apa yang
dinamakan tiga menurun dan empat kebijaksanaan dan
lainnya. Bahkan ada yang menganggap bicara dengan
sembarang pria saja sudah tak pantas sekali. Kalau diingatingat,
kita kaum wanita sungguh dirugikan banyak !"
Mendengar kata orang-orang, It Hiong tertawa.
"Kakak berdua tenangkanlah hati kalian !" katanya. "aku
tak akan menggunakan segala aturan peradatan itu untuk
mengekang kalian berdua !"
Kiauw In menoleh kepada pemuda itu, matanya dibuka
lebar dipelototkan.
"Aku bicara wajar saja ! Siapa mau bergurau denganmu ?"
katanya.
It Hiong mengangkat bahunya. Ia tertawa.
"Aku juga bicara wajar sebagaimana kau" bilangnya. "Jika
kalian tak percaya aku, kakak, terserah !"
"Hm !" Giok Peng memperdengarkan suara dihidungnya.
"Kau lihat, bagaimana tampangnya ! Nampaknya dia
menganggap seperti benar ada sesuatu perbuatan kita yang
tak memuaskan padanya !"
It Hiong melihat suasana buruk baginya, tanpa ragu pula,
dengan cepat dia ngeloyor keluar !
Dengan satu gerakan tubuh yang gesit, Kiauw In lompat
maju menghadang di ambang pintu.
"Eh, kau hendak pergi kemanakah ?" tegurnya.
"Ayah menantikan aku buat satu urusan penting." si anak
muda mendusta. "Aku datang kemari melongok kalian dengan
aku mencuri waktu sedetik saja !"
"Aku tidak percaya !" Nona Cio bilang. "Kata-katamu pasti
kata-kata setan belaka !"
"Jika kau tidak percaya, bagaimana kalau kau turut aku
menemui ayahku ?" si anak muda menantang. Tak sudi ia
kalah gertak. Tapi ia bicara sembari tertawa.
"Tak apa buat aku turut pergi menemui ayahmu !" kata
pula si nona. "Kau tentunya bakal dapat upah comelan !"
It Hiong menatap kekasih yang cantik manis itu, air
mukanya berubah.
"Sebenarnya," katanya sungguh-sungguh, "aku mencuri
waktu datang kemari dengan niat mengobrol dengan kalian,
siapa tahu aku justru mendatangkan kecurigaanmu..."
Kiauw In dapat melihat tampang orang bagaikan orang
yang tengah menghadapi sesuatu kesulitan, maka insyaflah ia
bahwa tadi kata-katanya rada keras. Ia memang bertabiat
halus dan luwes. Maka ia lantas tersenyum, dengan tangannya
yang lunak ia mencekal lengan anak muda itu buat ditarik.
"Mari duduk !" ia mengundang.
It Hiong tidak menentang.
"Kau bilang kau datang untuk berbicara denganku." kata si
nona. "Kenapa sebelum bicara kau sudah mau pergi pula ?
Apakah kau gusar ?"
Si anak muda tertawa.
"Nampaknya kakak berdua gusar." sahutnya, "mana aku
berani melayani ?"
Kiauw In bergerak halus menuang air teh yang ia terus
letakkan di depan orang.
"Nah, kau minumlah, juga membuyarkan amarahmu"
bilangnya tertawa. "Sekarang kami bersiap mendengari apa
katamu !" dan ia duduk disisi si anak muda.
Giok Peng pun menghampiri dengan tindakan perlahanlahan
untuk duduk disebelah kanan.
It Hiong menoleh ke kiri dan kanan, hingga terbukalah
dihatinya. Karena disampingnya kiri dan kanan itu ia melihat
tampang-tampang yang manis, kalau Giok Peng elok agresif,
Kiauw In cantik luwes, lagipula disaat itu, kedua-duanya
tengah bersenyum berseri-seri, hingga kecantikannya menjadi
mentereng sekali. Atau dengan lain perkataan Kiauw In mirip
bunga teratai yang muncul di permukaan air dan Giok Peng
bagaikan bunga hoaw tau (paony) yang semua sedang mekar
semarak.
Memandangi kedua nona hampir It Hiong lupa akan dirinya,
ia bagaikan tersadar kaget kapan ia mendengar tawa merdu
dari Kiauw In.
"Eh, kau sedang memikirkan apa ?" tegur nona itu. "Tak
hentinya kau menoleh ke timur dan barat, apakah kau tak
kuatir nanti lehermu salah urat ?"
Anak muda itu melengak karena jengah, belum sempat ia
menjawab ia sudah mendengar suara merdu lainnya. Kali ini
Giok Peng yang tertawa dan berkata :" Nah kakak kan lihat,
ah. Sekarang dia jadi nakal dan kulitnya menjadi tebal,
walaupun kakak maki dia, mukanya tak menjadi merah!"
"Ya, memang begitu," tambahkan Nona Cio. "Kulit mukanya
makin lama makin jadi tebal !"
"Maka kalau nanti Houw Yan menjadi besar dan tingkahnya
seperti dia, akan aku hajar dia setiap hari tiga kali." kata Giok
Peng pula, tetapi dia tertawa.
It Hiong melihat ke kiri dan kanannya, ia menggelenggelengkan
kepala.
"Sungguh hebat !" katanya. "Aku datang kemari untuk
berbicara dengan baik-baik dengan kalian, lantas sekarang
kalian mengganggu aku... !"
"Ha ha !" Kiauw In tertawa. "Agaknya kau telah dibikin
penasaran bukan ? Nah, bilanglah apakah urusanmu itu."
It Hiong tertawa.
"Telah terjadi perkembangan baru dan sangat penting"
katanya kemudian. "Pek Cut Sian an dan ayahku sudah
bekerja sama dengan mereka, mereka telah menyebar surat
undangan ke seluruh negara mengundang sesama rekan
rimba persilatan untuk nanti orang berkumpul di Tiong Gak,
buat berapa merundingkan soal menghadapi kawanan
bajingan dari luar lautan. Tanggal yang ditetapkan ialah
tanggal lima belas bulan pertama, maka juga kita masih
mempunyai waktu kira dua bulan. Karena itu kitapun tidak
dapat terus tinggal disini selama dua bulan itu."
Kiauw In berdiam, otaknya bekerja.
"Bagaimana kalau kita pulang dahulu ke Kiu Hoa San ?"
tanyanya. "Setelah tiba saatnya baru kita pergi ke tiong Gak.
Tak akan telat bukan ?"
"Waktu dua bulan sekejap saja aku sudah sampai" Giok
Peng turut bicara. "Daripada pulang ke Kui Hoa San, kita
menjadi menyia-nyiakan waktu saja. Aku pikir baiklah kita
menggunakan waktu kita guna memahamkan ilmu pedang
Thay-Kek Liang Gia Sam Cay Kiam. Nama paman ia dan Pak
Pek Cut Siansu tersohor, pasti bakal datang banyak orangorang
tersohor, dan pasti juga pertempuran bakal menjadi
dahsyat sekali, karena itu jadi ada gunanya kalau kita
sekarang melatih diri memahamkan ilmu pedang itu hingga
sempurna."
Dua-dua It Hiong dan Kiauw In mengangguk. Mereka
sangat setuju dengan pikirannya Nona Pek itu.
Giok Peng puas, ia tertawa.
"Kalau begitu," katanya. "Mari kita bicara dengan paman
In, untuk memberitahukan pikiran kita ini guna memohon
paman tolong mintakan kepada Pek Cut Siansu agar kita
diberikan sebuah tempat yang tenang disini, dimana kita
dapat melatih ilmu pedang itu."
It Hiong segera berbangkit. Ia tertawa.
"Kita harus bekerja cebat, maka itu kira sekarang juga kau
mau pergi pada ayahku." katanya. "Aku juga ingin mendengar
dari ayah, ayah sudah mempunyai rencana atau belum."
Habis berkata pemuda ini segera meninggalkan sepasang
kekasihnya itu. Tiba di kamar ayahnya ia mendapati sang ayah
tengah bersemadhi. Tak mau ia mengganggu, maka ia
berdiam dipinggiran, matanya mengawasi ayah angkat itu.
In Gwan Sian duduk tegak, mukanya penuh peluh,
rambutnya sedikit bergerak-gerak. Terang sudah ia bukan
cuma tengah bersemadhi hanya ia lagi mengerahkan tenaga
dalamnya untuk menyembuhkan lukanya. Ya, luka bekas
pertempurannya dengan It Yap Tojin.
Diam-diam murid ini terkejut. Maka ia mengawasi terus.
Lewat beberapa menit maka tampak si pengemis membuka
matanya perlahan-lahan, ia berpaling hingga ia melihat anak
angkat itu. Lantas ia tertawa.
"Tenaga tangannya It Yap Tojin lihai luar biasa" kata ia.
"Kecuali gurumu maka seumur hidupku dialah lawanku satusatunya
yang sangat tangguh."
It Hiong nampak masgul, ia menghela napas perlahan.
"Ayah, apakah ayah terluka parah ?" tanyanya prihatin.
Ayah angkat itu mengangguk.
"Aku terhajar tangannya hingga aku mendapat luka di
dalam." sahutnya terus terang. "Hanya sekarang, setelah
mengerahkan tenaga dalamku, aku sudah sembuh banyak."
It Hiong melirik wajah ayahnya. Ia melihat suatu muka
yang meringis pertanda orang tengah melawan rasa nyerinya.
Kembali ia terkejut. Ia tahu baik tabiat ayahnya itu yang keras
yang tidak mau mengalah yang memandang segala apa
secara enteng saja. Bukankah sekarang ayah itu tengah
menderita dari lukanya ?
In Gwa Sian melihat anaknya berdiri diam
In Gwan Sian melihat anaknya berdiri diam itu, ia dapat
menerka kekuatiran orang. Maka ia tertawa, walaupun
tawanya hambar. "Bukannya kau melihat bahwa hari ini
kesehatanku beda daripada hari hari biasa? Tanyanya. "Ya,
ayah," sahut anak itu jujur, "Belum pernah anak melihat ayah
menderita seperti hari ini......" In Gwa Sian menarik napas
panjang. "Ya , aku si pengemis tua, benar benar aku sudah
tua....." katanya.
"Ayah terluka sedikit," kata si anak angkat, : “aku percaya
It Yap Tojin terluka juga. Ayah sudah berkelahi setengah
malam, pasti ayah letih, sudah begitu ayah menempur dia
sebagai tenaga, tidak heran apabila ayah kalah gesit. Aku
percaya jika sama sama seger, tak nanti ayah kalah dari dia."!
Mendengar kata kata anaknya itu, In Gwan Sia tertawa
bergelak.
"Selama beberapa puluh tahun”, katanya "kecuali gurumu ,
tidak ada orang lain juga yang membuat kau kagum dan
takluk, maka jika orang sungai telaga menyebut gurumu aku
si pengemis tua, dan It Yap si imam bulu campur aduk,
sebagai Bu Lim San Toa koy. Ialah tiga orang kosen luar biasa
rimba persilatan, tetapi dimataku, kecuali gurumu itu, aku
sendiri tidak mempercayai bahwa aku berhak atau berderajat
untuk mendapat sebutan itu, dan terhadap Hong San
Kiamkek, aku merasa lebih lebih tak puas.
Aku telah melihat dengan mataku sendiri bagaimana dia
dikalahkan oleh gurumu , sedangkan aku sendiri, melawan
gurumu itu selama tiga hari tiga malam tanpa ada yang kalah
atau menang. Baru kemudian aku merasa mungkin gurumu
sengaja mengalah padaku, tetapi mengalahnya itu aku kena
dibuat beranggapan keliru...."
Pengemis jago ini berhenti sejenak, ia menghela napas.
"Setelah kemarin malam aku bertempur melawan It Yap Si
imam bulu campur aduk itu. "ia menambahkan kemudian,
"baru insyaf bahwa aku kalah seurat......." " Tetapi ayah "
sang anak menghibur, "jangan ayah berduka karena
kegagalan ayah itu, siapa tahu jika lukanya It Yap jauh
terlebih parah daripada luka ayah ini !" Bekata begitu anak ini
merogo sakunya untuk mengeluarkan sebuah pil Pek Coa
Hoan Hun Tin. Anak ada membekal ini obat buatan guruku"
Katanya tertawa, "Maukah ayah memakannya?"
In Gwa Sian menyambuti obat itu, terus ia telan setelah
mana ia duduk terus dengan memejamkan mata dan berdiam
saja. It Hiong mengawasi ayah angkat itu, hatinya bercekat ia
mengerti lukanya ayah itu parah sekali. Dengan berhati hati ia
lari keluar kuil, untuk langsung kembali kepada kedua
kekasihnya. Kiauw In dan Giok Peng heran melihat tunangan
dia pergi dan kembali demikian cepat, bahkan mereka
mendapat tampang orang bingung dan berduka.
Mereka maju memapak. Dengan matanya yang jeli, Kiauw
In menatap anak muda itu. "bagaimana?" tanyanya perlahan,
setelah mereka sudah berdiri berhadapan dekat sekali, "kau
nampak masgul sekali, apakah kau mendapat marah dari
paman in? It Hong menggoyangkan kepala. "Bukan ,"
sahutnya " Sebenarnya , ayahku telah mendapat luka
parah......" Kiauw In terkejut, begitu pula Giok Peng,
Mereka sampai mengigil bagaikan orang kedinginan, lalu
keduanya berdiri tercengang. "Bagaimana ia terlukanya?"
Tanya mereka kemudian... Dengan wajah muram. It Hiong
mengawasi kedua nona itu. "Ayah mengadu tenaga dengan It
Yap Tojin, ia mendapat luka didalam..... " Saking terkejut dan
berkuatir, kedua nona lantas saja mengucurkan air mata.
Mereka ingat budinya pengemis tua itu, sebagai muridnya
Tek Cio Siangjin, Kiauw In tapinya dapat lebih cepat
menenangkan diri. "Adik," ia Tanya Giok Peng, "Dimanakah
kau simpan Hosin Ouw?" Giok Peng bagai dikejutkan, tanpa
menjawab pertanyaan itu, ia lari masuk ke kamarnua, hanya
sebentar ia sudah kembali bersama kotak kumalanya yang
indah. Terus tangan nya yang putih dan halus, ia angsurkan .
It Hiong mengulur tangan menyambuti obat mujarab itu, terus
ia memutar tubuh buat berlari pergi.
"Tunggu!" Kiauw In Memanggil, "Jangan kau bingung tidak
karuan!" Si nona pun melesat menghadang anak muda itu. It
Hiong heran, ia menahan diri, belum sempat ia menanya nona
itu mau apa, nona Kiauw In sudah mendahului: "Dapatkah aku
bersama adik Giok pergi menjenguk ayahmu itu ?" It Hiong
segera mengerutkan alisnya, Sejak jaman dahulu, aturan
Siauw Lim Sie keras sekali," sahutnya. "Kaum wanita terlarang
masuk keruang dalam...... tapi, kalau kalian berdua statusnya
lain, sebagai suami-isteri,
Kalian telah menolak musuh dan menolong mereka dari
ancaman musuh besar, maka itu kalau kakak berdua memaksa
mau pergi, aku percaya mereka tidak akan mencegah , hanya
inilah perbuatan memaksa, inilah kurang selayaknya. "kau
bicara banyak banyak, pulang pergi kau melarang aku turut
padamu, kata Giok Peng tak sabaran. "dalam urusan lain kita
dapat berunding tetapi dalam urusan ini, tidak! Kami harus
turut masuk! "Tapi ...." Kata It Hiong tertahan, ia menghela
napas. Kiauw In menarik tangan Giok Peng, "Jangan kau
mempersulit dia.... " katanya.
Mendadak Giok Peng tertawa sedih, lalu air matanya
meleleh keluar. "Paman In sangat baik terhadap aku," katanya
sedih. Budinya besar laksana gunung, sekarang aku tidak
dapat merawati padanya, bagaimana hatiku tenang?... It
Hiong terpaksa membiarkan " Istrinya " itu , ia perlu segera
kembali kepada ayah angkatnya, guna memberikan itu obat
mujarab, maka juga melihat Giok Peng ditarik Kiauw In , ia
lantas berlompat untuk terus lari sehingga dilain saat dia
sudah berada diluar. Lalu ia kabur secepat cepatnya menuju
kekamar In Gwa Sian, hingga ia sampai didalam kamar, ia
segera menekuk kedua tangannya diansurkan keatas.
Pat Pie Sin Kit sedang duduk bersemedhi, tubuhnya tak
bergeming, matanya dirapatkan. Tenaga dalam pengemis ini
telah sampai puncak kesempurnaannya, ia memiliki tenaga
dalam yang diberi nama Kan Goan Khi Kang, selekasnya dia
mengerahkan tenaganya, seluruh tubuhnya keras bagai besi
atau batu, segala macam alat senjata tidak mempan
terhadapnya. Siapa pelajaran silatnya belum sempurna,
jangan kata melukai dia, memukulnya selagi ia bersemadhi
saja dia akan gagal. Maka itu hebat tangannya Heng San
Kiamkok sebab dia berhasil melukai di dalam tubuhnya
seorang yang demikian kadot. Hanya itu walaupun In Gwa
Sian terluka parah di dalam, It Yap Tojin sendiri terluka tak
ringan.
Disaat pertempuran itu dan In Gwa Sian kena terhajar,
sebenarnya darah di dalam perutnya sudah mengalir, tetapi ia
malu memperlihatkan dirinya muntah darah, dengan sekuat
tenaga ia menahan menyemburnya darah dari mulutnya itu.
Inilah yang membuatnya terluka lebih parah, karena darah
dan napasnya tertahan, sedangkan seharusnya darah dan
napas itu dapat keluar. Lebih celaka, selagi bertempur itu, In
Gwa Sian juga tidak mendapat kesempatan guna
menenangkan diri buat meluruskan napas dan jalan darahnya
itu sedangkan setelah bertemu dengan Pek Cut Siansu,
bukannya ia menunda pembicaraan mengundang bala
bantuan, ia membuang waktu dengan berbicara panjang
lebar.
Hingga itu menambah memberatkan luka di dalamnya itu.
Ia tahu lukanya mengancam, ia masih tidak mau
memberitahukan siapa juga, ia bertahan sampai
pembicaraannya selesai, maka itu setibanya didalam
kamarnya, keadaannya menjadi parah sekali. Barulah setelah
itu ia duduk bersemadhi, ia menggunakan tenaga dalamnya
guna mengusir penyakitnya itu yang sudah hampir kedalam.
Kepandaian Kun Goan Khin-kang dari Pat Pie Sin Kit telah
mencapai batas kesempurnaan, sudah begitu dia dibantu
dengan ilmu silatnya bertangan kosong yang dinamakan CIt
cap jie Sie Hang Liong Hok Hoaw Ciang hoat, yaitu ilmu
menaklukan Naga Menunjuk terdiri dari tujuh puluh dua jurus,
itulah ilmu silat yang menjagoi dalam Rimba Persilatan.
Selama ia merantau, belum pernah ada orang mengalahnya
kecuali waktu ia menguji kepandaian TekCio Siangjie, ini pula
yang membuat ia menjadi beradat tinggi atau berkepala
besar, bertabiat tawar dan aneh, hingga gerak geriknya mirip
orang edan.
Adat tinggi itu membuatnya menerka keliru akan
kepandaian It Yap Tojin, sehingga sekarang ia terluka parah.
Ia merasai sangat nyeri di dalam seluruh tubuhnya bagian
dalam ketika bermula kali ia bersemadhi, untuk mengerahkan
tenaga dalamnya. Itulah saatnya yang ia insyaf bahwa lukanya
parah sekali. Baru itu waktu ia menghela napas dan menyesal.
Tentu saja penyesalan tak datang di muka. Maka ia jadi
seperti putus asa.
Baru sekarang ia sadar dan di dalam hatinya berkata : "Aku
si pengemis tua, telah banyak aku membunuh orang, tapi aku
merasa pasti belum pernah aku membinasakan orang baikbaik,
maka itu jika Thian Yang Maha Kuasa mengetahuinya,
hambamu mohon supaya si pengemis tua ini diperpanjang
pula usianya ! Biarlah setelah selesai hambamu ini membasmi
kawanan bajingan dari luar lautan itu baru hambamu mati...
Bukankah itu belum terlambat."
Habis memuji itu kembali In Gwa Sian mencoba
mengerahkan tenaga dalamnya. Tiba-tiba ia menjadi sangat
kaget. Darah didalam tubuhnya bagaikan bergolak-golak,
nyerinya bukan main. Sukar untuk memperhatikan diri maka
terpaksa ia menghentikan pengerahan tenaga dalam itu,
membiarkan lukanya menguasai dirinya. Ia tetap bersemedi
saja. Ia terus memejamkan matanya dan duduk tenang
sedapat-dapatnya.
Itulah keadaannya si pengemis yang sedang menghebat
itu, waktu It Hiong datang hingga anak angkat ini kaget tak
terkirakan hingga kemudian dia memberikan obatnya. Pek Coa
Hoan Hun Tin itu. Selagi ayah angkat itu berdiam si anak pergi
keluar untuk menemui Kiauw In dan Giok Peng, hingga
akhirnya ia kembali pula dengan membawa hosin ouw.
Dengan hati-hati anak ini membuka tutup kotak hingga lantas
tersiar bau yang harum dari obat mujizat itu memenuhi ruang
kamar.
In Gwa Sian membuka matanya ketika ia merasai bau yang
luar biasa itu. Ia melihat kepada anaknya, tetapi segera juga
ia memejamkan pula matanya.
Sejak ia mengenal ayah angkatnya belum pernah It Hiong
melihat ayahnya lesu begini rupa, maka juga hatinya miris,
tanpa terasa air matanya bercucuran. Ia terus berlutut sambil
mengangsurkan kotak obatnya, ia memanggil perlahan :
"Ayah !"
In Gwa Siang membuka pula matanya, ia tertawa hambar.
"Kau ingin bicara anak ?" tanyanya lemah. "Kau bangunlah
!..."
Tak dapat It Hiong menguasai diri, ia menangis.
"Ayah" katanya, "mari ayah makan dua helai obat ini.
Barusan aku mendapatkan hosin ouw dari kakak Peng..."
Pat Pie Sin Kit menarik nafas perlahan. Ia mengulur
tangannya, akan menjemput dua helai obat yang diangsurkan
itu. Ia memakannya dengan lantas. Ia mengunyah dan
menelannya.
"Beristirahatlah, ayah" kata It Hiong yang terus menutup
dan menyimpan pula kotak obatnya. Tapi ia tidak lantas
mengundurkan diri, hanya ia berdiri diam disisi sang ayah.
Matanya terus mengawasi ayah itu guna menyaksikan
perubahan apa bakal terjadi.
In Gwa Sian terus bersemedi, tubuhnya tak bergerak
matanya tak terbuka. Nampak dia tenang sekali. Baru sesudah
lewat banyak menit, mendadak dia membuka mulutnya dan
menumpahkan darah hingga dua kali.
It Hiong kaget sampai ia menjerit.
Justru itu In Gwa Sian mementang matanya dan tertawa.
"Anak Hiong, pergilah kau beristirahat !" katanya. Itulah
kata-katanya yang pertama. "Sekarang aku sudah sembuh...."
Anak angkat itu menangis.
"Jangan ayah mendustai anakmu... " katanya. Biar
bagaimana anak ini ragu-ragu. "Ayah..."
In Gwa Sian tertawa pula.
"Kau lihat aku muntah darah, anak" katanya tersenyum.
"Bukankah menganggap itu sebagai pertanda dari lukaku yang
parah sekali ?"
It Hiong mengangguk. Belum sempat ia membuka
mulutnya, ayah angkatnya itu sudah berkata pula : "Aku
dilukai It Yap Tojin si imam campur aduk, inilah darahku yang
tertahan sekian lama yang menyebabkan keadaanku parah,
sekarang darah sudah keluar, aku sudah sembuh sebagian
besar. Asal aku dapat beristirahat dua tiga hari lagi, aku akan
sembuh seluruhnya. Sekarang pergilah kau beristirahat."
It Hiong mengawasi darah yang dimuntahkan itu, darah
mati, baru hatinya lega. Lantas ia membersihkan darah itu,
terus ia pamitan untuk mengundurkan diri.
Tiga hari sudah lewat, selalu It Hiong merawati ayah
angkatnya itu. Tak pernah ia berkisar jauh dari ayah itu.
Selama itu tiga kali Peng Cut dan Kiauw In datang menjenguk
dan Kiauw In bersama Giok Peng melongok hingga dua kali,
hanya nona-nona ini tidak datang di siang hari tetapi sesudah
jauh malam dan juga dengan menyelundup dengan loncat
meloncati tembok !
Selewatnya tiga hari ini benar-benar kesehatannya In Gwa
Sian telah pulih seluruhnya, maka itu It Hiong meminta
kepada Pek Cut supaya ayahnya dapat pindah ke ruang luar.
Pek Cut Siansu tertawa dan berkata : "Dapat, itulah dapat !
Di belakang puncak ada sebuah gubuk yang bersih dan sunyi.
Itulah gubuk bekas dahulu almarhum guruku, setelah usia tua
maka gubuk itu tak terpakai pula, walaupun demikian setiap
bulan lolap memerintahkan orang pergi membersihkan dan
merawatnya. Gubuk hanya gubuk bambu tetapi tempatnya
tenang sekali. Jika sicu menyukai ketenangan silahkan pindah
kesana."
It Hiong pun tertawa.
"Tempat itu bekas tempatnya bapak guru, almarhum, mana
dapat aku yang rendah menempatinya ?" tanyanya merendah.
"Tidaklah itu suatu kelancangan dari aku ?"
Kembali Pek Cut tertawa.
"Hal tidaklah demikian adanya, sicu. Gubuk itu telah disiasiakan
selama banyak tahun, didalam keadaan biasa belum
pernah dipakai lainnya. Kalau sicu setuju mari lolap
mengantarkan sicu kesana untuk melihat dahulu, nanti baru
sicu putuskan sicu suka berdiam di sana atau tidak..."
Pendeta itu bersikap sangat ramah tamah.
"Bapak guru sangat sungkan" berkata It Hiong. "Baiklah
kau suka pergi ke sana ! Tapi tak usah bapak guru sendiri
yang mengantarkan, cukup asal bapak memerintahkan salah
seorang lainnya."
"Gubuk itu tak dikunjungi oleh lain orang kecuali lolap
sendiri." Pek Cut memberikan keterangan. "Untuk
mengawasinya, lolap cuma menugaskan seorang seebie"
Lagi-lagi si anak muda tertawa.
"Kalau demikian tolong bapak guru menyuruh bapak guru
cilik saja yang mengantarkan aku !" katanya. "Tak usah bapak
guru sendiri yang mencapikkan hari !"
Pek Cut berbangkit, Tiba-tiba ia menghela napas.
"Seebie itu sudah kembali kepada Sang Buddha kami."
katanya masgul. "Dia sudah pergi ke Nirwana di Tanah Barat
itu..."
It Hiong terkejut, hatinya tercekat.
"Bagaimana, eh ?" tanyanya heran. "Jadi bapak guru cilik
itu sudah pergi ke lain dunia ?"
"Benar..." dan Pek Cut mengangguk dengan perlahan. "Dia
berangkat ke lain dunia karena dia diantar pergi ke ujung
kebutannya Beng Leng Ciujin..."
Sembari berkata itu, pendeta ini sembari berjalan, maka
juga ia sudah lantas berada diluar kamarnya sendiri.
Diam-diam It Hiong memperhatikan wajahnya pendeta tua.
Ia mendapati oarang sangat berduka, maka ia menjadi terharu
sekali. Ia seperti turut merasai kesulitannya si pendeta.
Karena ini ia jadi membayangi pertempuran hebat malam itu.
Pikirnya :" Kalau malam itu aku tiba lebih siang, mungkin
seebie itu tidak sampai mengantarkan jiwanya ditangan Beng
Leng Ciujin..." Maka Ia terus mengintil tanpa membuka suara.
Seperti biasa dimana ia lewat, Pek Cut selalu dihormati para
muridnya.
Pek Cut membawa si anak muda melewati beberapa jalan
gunung, untuk itu mereka harus menggunakan ilmu ringan
tubuh, sebab sulitnya jalan yang dilalui. Walaupun demikian,
mereka tak terburu-buru.
Lewat waktu sepenanakan nasi, tiba sudah mereka dikaki
puncak Siauw Sit Hong. Dari bawah, puncak tampak setinggi
udara. Puncak itu mengatasi tingginya pelbagai puncak
lainnya.
"Itulah Siauw Sit Hong." kata Pek Cut memberikan
keterangan. Ia tertawa. "Gubuk almarhum guruku berada
ditengah-tengah itu, diatas sebuah tanah datar berkarang."
Berkata begitu, pendeta ini menyingkap jubahnya, buat
segera mulai mendaki.
It Hiong menggunakan ilmu ringan tubuh mengikuti terus di
belakang sang pendeta. Mereka harus jalan mengitar. Si anak
muda melihat banyak pepohonan, hingga sulit buat melihat
sasarannya. Ada pula rumput-rumput yang kering.
Selang sesaat, habis melintasi rimba pohon cemara, maka
pemandangan alam disitu berubah seluruhnya. Di depan
mereka ada tanah datar yang caglok dan di sana berdirilah
gubuk yang dimaksud itu, terbuat bambu seluruhnya dan
atapnya atap rumput, kedua daun pintunya tertutup. Di
belakang itu terdapat jurang yang dalam seratus tombak lebih.
Lebar tempat mungkin seratus tombak bundar. Sungguh suatu
tempat yang tenang dan menyenangkan.
Pek Cut membuka pintu sambil tertawa. Kata dia : "Sudah
satu bulan gubuk ini belum sempat dirawat. Kalau sicu setuju,
akan lolap memerintahkan orang membersihkannya."
It Hiong melihat ke sekitar gubuk, Pekarang yang berpagar
bambu, cukup lebar, itulah pagar bambu hidup, maka
tumbuhnya tinggi dan rapat. Ada lagi pagar bambu lainnya,
yang memisahkan Pekarangan luar dari Pekarangan dalam. Di
halaman dalam tertanam banyak pohon bunga, hanya
dimusim dingin begitu daun-daunnya pada rontok.
Gubuk terpecah dalam dua ruang, yang satu berkamar tiga,
yang lain berkamar dua. Yang dua ini disebelah kanan dan
yang tiga itu seperti menyandar pada dinding gunung.
Pek Cut membuka pintu tengah, mengundang tetamunya
masuk.
It Hiong bertindak masuk untuk segera memandang di
sekitar ruang. Paling dahulu ia melihat tergantungnya di
tembok sehelai Lo Han Touw, yaitu gambarnya pelbagai lohan
atau arhat. Ada yang duduk, ada yang rebah dan lainnya
sikap. Lukisannya tidak indah tetapi bentuknya serasi. Terang
itu bukan karyanya seorang pelukis pandai. Meja dan kursi,
juga pembaringan, penuh berdebu. Jadi benar seperti katanya
si pendeta, gubuk itu sudah lama tak terawat.
Mengawasi pula Lo Han Touw, ada sesuatu yang membuat
si anak muda berpikir. Gambar itu tidak lengkap delapan belas
arhat. Baru rampung enam belas, dan yang ketujuh belas baru
selesai separuh, bahkan buatannya sangat buruk. Pada itupun
tidak ada nama pelukisnya.
Pek Cut melihat orang berdiam mengawasi gambar itu, ia
dapat menebak apa yang orang pikirkan. Maka ia lantas
menunjuk gambar itu dan berkata sambil tertawa: "Itulah
lukisannya almarhum guruku. Beliau tidak pandai
menggambar, tetapi entah kenapa ia toh melukiskan itu.
Sayang, sebelum selesai beliau membuat gambarnya, ia
keburu pulang ke langit Barat......"
Mendengar bahwa lukisan itu karyanya ketua Siauw Lim Sie
terdahulu, It Hiong tidak mau berkata apa-apa lagi, cuma
sembari tertawa ia berkata: "Bapak guru almarhum itu harus
dipuji. Walaupun tidak pandai menggambar, toh lukisan beliau
indah bentuknya."
"Guruku ini gemar menulis huruf tetapi tak suka melukis
gambar," kata Pek Cut tertawa, "Maka itu, walaupun gambar
belum selesai, lolap sengaja menggantungnya di sini selaku
tanda peringatan. Inilah gubuk tempat guruku menutup diri
dan memahamkan pelbagai kitab, bahkan guruku itu telah
memesan agar tanpa perintah, siapa pun dilarang lancang
datang dan masuk ke mari.
Di saat guruku mau menutup mata, baru ia pulang ke kuil
dan menghimpunkan para murid, selesai memberikan
pesannya, malamnya ia berpulang dengan tenang. Selesai
menguruskan jenazah guruku itu, baru kami datang ke mari
untuk membenahi segala sesuatu sampai kami menemukan Lo
Han Touw ini. Lima tahun guruku tinggal menyendiri di sini,
cuma dua kali pernah beliau memanggilku untuk diberikan
khotbah. Murid-murid lainnya belum pernah ada yang datang
ke mari, maka juga tak diketahui kapan dimulainya pembuatan
gambar-gambar ini........"
Setelah itu pendeta itu mengajak It Hiong memasuki ruang
yang lainnya. Perlengkapan sama sederhananya: sebuah
pembaringan, sebuah meja serta empat buah kursi. Semua
kamar ada kursi mejanya. Maka itulah kamar yang cocok buat
It Hiong bersama Kiauw In dan Giok Peng.
"Bagaimana, sicu?" tanya Pek Cut tersenyum. "Cocokkah
ini?"
"Bagus, bagus sekali!" It Hiong menjawab dengan gembira.
"Terima kasih, bapak guru! Besok kami akan pindah ke mari!"
"Baiklah, sicu. Sebentar lolap akan memerintahkan orang
untuk membersihkannya."
"Tak usah banyak berabe, bapak. Biar kami yang
membersihkannya sendiri besok."
Selesai memeriksa gubuk itu, keduanya pulang. Pek Cut
lantas mengirimkan empat orang kacungnya pergi
membersihkan seluruh gubuk buat menyediakan ini dan itu
yang menjadi kebutuhan sehari-hari.
It Hiong sendiri pergi kepada ayah angkatnya untuk
memberitahukan hal didapatnya gubuk itu buat ia bersama
Kiauw In sekalian menumpang sementara waktu.
"Bagus!" seru sang ayah girang. "Untuk mempelajari ilmu
pedang memang baik kalian mendapati tempat yang terpencil
dan sunyi itu."
It Hiong puas.
Besoknya, diantar oleh Pek Cut sendiri, It Hiong mengajak
Kiauw In dan Giok Peng pindah ke gubuk itu. Kiauw In dan
Giok Peng memilih kamar sebelah kanan sebab yang kiri itu
bekas gurunya Pek Cut. Karena itu, It Hiong yang
menggunakan ruang yang terlebih besar itu, yang kamar
tidurnya sampai tiga buah.
Pilihannya si nona-nona memuaskan Pek Cut. Ia memang
kurang setuju kalau mereka memilih kamar bekas gurunya,
cuma tadinya ia tidak berani berkata apa-apa.
Seluruh gubuk telah dibersihkan, alat-alat telah tersediakan
lengkap, juga perabotan dapur dan lainnya.
Selesai mengantarkan, Pek Cut mengundurkan diri.
Selekasnya ia tidak ada, Kiauw In dan Giok Peng pergi ke
kamar tidurnya It Hiong, maka mereka segera melihat
gambar-gambar Lo Han Touw yang tidak lengkap itu. Mereka
pun tidak mengerti. Saking herannya, mereka pada
merapatkan alis mereka. Hanya karena saking lucunya, maka
juga mereka tertawa.
"Aneh lukisan para arhat ini," katanya. "Siapakah
pelukisnya?"
It Hiong tertawa. Ia mengasih keterangan bahwa itulah
karya ketua Siauw Lim Si terdahulu, yaitu gurunya Pek Cut
Siansu.
"Maka itu, kakak, di depan lain orang harap kalian jangan
sembarangan membicarakannya," pesan pemuda itu.
Kiauw In tertawa hambar.
"Eh, eh, apakah kau hendak menasehati aku?" tanyanya.
"Bagaimana, eh?" It Hiong membaliki. Ia pun tertawa,
"Memangnya aku omong salah?"
Kiauw In tidak menjawab. Kembali ia mengawasi gambar
lukisan itu.
"Gambar belum terlukis sempurna, tak sedap untuk
digantung di sini," katanya. "Baiklah, besok akan aku melukis
melengkapinya."
Nona Cio memang pandai melukis, bahkan ia pandai juga
memperbarui lukisan-lukisan lama. Hal itu It Hiong ketahui.
"Mana itu dapat dilakukan, kakak," katanya. "Orang
memajang lukisan ini selaku tanda peringatan kepada
almarhum gurunya. Kalau kau melukis melengkapinya,
tidakkah itu jadi bertentangan dengan maksudnya si
pemajang?"
Nona Cio tidak memperdulikan si anak muda, tetap ia
menatap lukisan arhat itu, lukisan yang belum rampung.
Nampak dia sangat tertarik hatinya sehingga sekian lama ia
menatap terus dengan membisu.
It Hiong dan Giok Peng mengawasi, keduanya merasa
sangat heran. Kenapa Kiauw In demikian tersengsem?
Selang seperempat jam, baru Nona Cio bagaikan terasadar,
terus ia menggeleng-geleng kepala dan berkata-kata seorang
diri: "Aneh! Aneh! Mustahil lukisan macam begini masih belum
juga dapat diselesaikan sesudah menggunakan waktu
beberapa tahun?"
Giok Peng heran mendengar suara kakaknya, hingga ia
mengangkat alisnya.
"Kakak," katanya bagaikan menegur. "Apakah artinya katakata
ini? Kenapa kau mengoceh seorang diri saja? Kau
membuat orang heran!"
Kiauw In tengah menatap Lo Han Touw, lalu ia menoleh
kepada adik itu. Ia pun tertawa.
"Aku berkata-kata karena aku mengherankan gambar para
arhat ini!" sahutnya. "Pikirkan saja olehmu, adik! Lukisan
sudah diperbuat bertahun-tahun, kenapa masih ada arhat
yang belum rampung?"
Dua-dua It Hiong dan Giok Peng mengawasi tajam semua
arhat itu satu demi satu. Kali ini mereka mendapat kenyataan,
air baknya lukisan itu memang tidak sama. Ada yang sudah
lama sekali, ada yang belum terlalu lama, ada yang seperti
masih baru. Kenyataan itu terlihat pada warna hitamnya, ada
yang gelap dan kumal, ada yang masih terang. Pula yang
sukar untuk dibedakan lama dan barunya.
Jilid 2
Kiauw In mengawasi dua orang itu, yang perhatiannya
nampak tertarik, ia tertawa.
"Dilihat sekilas, semua gambar ini tidak ada bedanya satu
dari lain, "ia berkata, "yang sebenarnya tidaklah demikian!
Coba perhatikan saja baknya. Menurut penglihatanku air bak
itu ada yang lama ada yang baru ada yang bedanya banyak
tahun dan bulan.
Tentu sekali perbedaan itu tak dapat dilihat oleh orang
bukan pelukis atau penulis. Menurut penglihatanku jika
mataku tidak keliru itu arhat yang separuh rebah dengan arhat
yang belum rampung itu perbedaan pembuatannya masih
berjarak sedikitnya lima tahun lamanya.
Air bak yang disebutkan Kiauw In ialah tinta tionghoa.
It Hong menjadi semakin heran "Aneh !" Serunya "sungguh
menarik hati. Kenapa orang membuat gambar arhat dengan
perbedaan banyak tahun?"
Giok Peng heran tetapi ia tertawa.
"Itulah mungkin disebabkan ketika pendeta tua itu melukis
gambarnya, ia menundanya sebab kebetulan ia lagi
memahamkan kitabnya atau kepalanya pusing.... Maka ia
mencoret sejadi jadinya dan menundanya pula, demikian
seterusnya... "
"Kau benar, adik Peng" berkata Nona Cio.
"Jelasnya Lukisan delapan belas arhat ini dilakukan bukan
terus menerus terutama itu yang belum rampung, jangka
waktu tertundanya sekali, mungkin sampai satu tahun lebih,
lihat perbedaan waktu air baknya itu."
Sampai disini It Hiong dan Giok Peng tidak mengatakan
apa-apa lagi, Cuma tinggal rasa herannya. Merekapun tidak
memperhatikan lebih jauh. Bahkan si pemuda terus minta
kakak In nya menjelaskan kepadanya perihal ilmu pedang
Thay Kek Liang Sam Cay Kiam itu.
"Ketika aku ditolongi guruku dari dalam jurang maut di
belakang Kim Hoa Kiong di Leang Lam itu" Ia berkata " Aku
langsung dibawa pulang ke Kun Hoa San dimana segera aku
dikeram didalam kamar obat duduk menghadap tembok
selama tiga tahun.
Sekeluarnya aku dari kamar obat itu terus aku diganggu
oleh pengacauan musuh-musuh yang tangguh hingga
kejadiannya tak ada kesempatan saat aku memeriksa kitab
ilmu pedang dan kakak berdua sebaliknya, kalian tentu telah
membaca habis dan sudah melatihnya juga. Maka itu sekarang
silakan menjelaskan kepadaku gerak geriknya pelbagai lukisan
itu, nanti besok barulah aku mulai diajari cara berlatihnya"
Kiauw In tertawa sebelumnya ia menjawab, "hebat kitab
ilmu pedang guru kita ini! Sangat banyak perubahannya yang
luar biasa hingga meskipun aku dan adik Peng telah diajari
oleh guru kita, aku masih belum paham seluruhnya. Kami
cuma mengerti tiga puluh enam jurus Cay Kek Kiam dan dua
puluh empat jurus Liang Gie Kiam dengan kedua ilmu pedang
itu mungkin kami dapat melayani musuh andiakata kami
dihadang.
Sulitnya ialah pelbagai perubahannya seperti yang aku
sebutkan. Mengenai Sam Cay Kiam yang terdiri hanya dari dua
belas jurus, sejuruspun kami tidak mengerti. Anehnya mulanya
kami memahamkan, kami menerka mestinya mudah saja,
walaupun gambarnya sederhana nampaknya. Siapa tahu
setelah kami mencoba melatihnya kami dihadapi kesulitan
makin lama makin sulit hingga sekarang ini sebenarnya kami
tak dapat mengerti satu jurus pun."
----------------------------
Halaman 7/8 Hilang
----------------------------
Kiauw In dan Giok Peng merasa sangat tertarik hati, Nona
yang duluan tertawa. "Guru kita suka mengajari kau ilmu
tenaga dalam itu pasti ia melihat bahwa kau berbakat dan
telah memenuhi syaratnya semua." katanya, "sebenarnya juga
didalam halnya bakat kau menang dari kami berdua sedang
juga kau sudah pandai ilmu pedang Khie Bun
Patkwa Kiam, sehingga bagi kau pasti itu memudahkan
mempelajari Sam Cay Kiam. Kalau Liang Gie Kiam
membutuhkan juga sepasang pedang, tidak kemudian dengan
Sam Cay Kiam, Sam Cay Kiam bisa dipakai sendiri dan juga
bertiga berbareng, Tegasnya sebuah pedang dibantu dua yang
lainnya. Selagi ada guru kita, kami berdua dapat turut melatih
dengan baik asal tidak ada guru lantas kami lupa lagi, Maka
itu baiklah kita bekerja sama bertiga. Setelah menempur Beng
Leng , aku insyaf perihal banyaknya orang gagah lainnya, aku
percaya dengan pergi keluar lantas kita bakal melakukan
pertempuran hebat, sebab itu pasti bakal jadi pertempuran
paling dahsyat. Kalau kita menang, nama kita naik, sebaliknya
kalau kita kalah kita runtuh! Ah, entah berapa banyak korban
akan roboh dan darah bakal berhamburan ...."
Kiauw In berduka hingga tanpa merasa air matanya
meleleh keluar.
It Hiong menghela nafas.
"Dasar kakak sangat murah hati" ia memuji. Ia terharu buat
kemurnian dan kewelasan hatinya bakal istri itu." Kakak aku
berjanji akan memahamkan sungguh-sungguh ilmu pedang
guru kita ini, semoga Tuhan yang Maha Kuasa membantu aku
supaya kita berhasil melindungi keutuhannya kaum persilatan
dari Tionggoan, supaya ilmu silat kita tak punah pamornya."
Berkata begitu, anak muda ini terdiam. Diam-diam ia
memuji kepada gurunya dan memohon doa yang Maha Kuasa.
Kemudian ia berkata nyaring, "Biarlah Tio It Hiong tidak
menyia-nyiakan harapan suhu. Semoga ia nanti dapat
mengangkat nama baik Kim Hoa San!"
"Suhu" berarti bapak guru. Itu sebutan untuk seorang guru
kepada muridnya.
Dua-dua Kiauw Im dan Giok Peng menatap tunangannya
itu. Mereka mengawasi tajam wajah si anak muda yang ketika
itu selain tampan, tampak sangat bersemangat dan gagah!
Sedetik Tio It Hiong bagaikan telah menjalin rupa, wajahnya
membuat orang kagum dan menghormatinya.
Giok Peng mendekati Kiauw In untuk berbisik: "Kau lihat
kakak! Bagaimana bengis tampangnya adik Hiong! Dia
bagaikan hendak membunuh orang!"
Kiauw In berdiam. Ia cuma mengangguk.
Baru lewat sedetik lantas It Hiong sadar dengan sendirinya
bahwa ia telah memperlihatkan tampang yang beda daripada
biasanya.
Lantas ia tersenyum, maka segera lenyap juga tampang
bengisnya itu, hingga tampak tampan dan halus seperti
sediakala.
Kiauw In tetap menatap wajah orang, setelah itu ia cekal
tangan Giok Peng buat diajak keluar secara diam-diam.
It Hiong sudah lantas membeber kitab ilmu silat gurunya itu
" Thay kek Liang Gie Sam Cay Kiam. Ia menyaksikan gambar
dan berbagai catatan. Ia meneliti gambar-gambar itu dan
membaca. Berbeda dengan Nona Cio dan Pek, ia mudah
mengerti. Ini berkat kecerdasannya, karena ia telah paham
Hian Bun Sian Thian Khie Kang. Selagi memusatkan
perhatiannya, hilanglah segala pikiran lain dari otaknya.
Dengan sendirinya terbukalah pintu kecerdasannya.
Mulanya It Hiong memeriksa Thay kek Kiam dengan tiga
puluh enam jurusnya. Ia merasakan lihainya ilmu pedang itu,
yang dari tiga puluh enam jurus dapat berubah-ubah menjadi
tiga tikaman atau babatan lainnya. Diwaktu memikirkan
berbagai gerakan, ia memejamkan mata, ia memeta-metakan
dengan tangan dan kakinya, dengan gerakan tubuhnya.
Dibagian-bagian yang sulit, ia menunda, ia memikirkan lebih
jauh. Ya, ia bagai bersemadhi memikirkannya.
Paling akhir anak muda ini menutup rapat kitabnya. Ia pikir,
lebih baik dia beristirahat sebentar untuk membaca dan
memahamkan.
Tengah ia duduk berdiam itu mendadak ia merasakan
kepalanya pusing. Tanpa terasa, tubuhnya limbung ke kiri dan
ke kanan. Lekas ia mencoba menguasai diri, iapun menolak
daun jendela untuk memandang keluar rumah.
Malam itu gelap, ia mengira sudah jam permulaan. Maka
tahulah ia, ia baru menyelesaikan lima jurus, waktu yang
digunakan sudah empat atau lima jam. ia sampai tidak
merasakan bahwa lilin diatas mejanya telah ada yang
menyulutnya. Lalu ia berjalan keluar rumah. Masih terasa
kepalanya sedikit pusing. Ia mengira itu, disebabkan barusan
ia menggunakan otaknya secara berlebihan.
It Hiong tidak merasa bahwa selama beberapa jam itu ia
seperti sudah menggunakan otak selama tiga hari dan tiga
malam. Ia mengangkat kepala, mendongak melihat langit.
Bintang-bintang bertaburan dilangit yang hitam. Sang angin
menderu dari pohon-pohon cemara. Ketika ia menoleh ke
kanan ia melihat sinar api keluar dari dalam rumah. Itu
pertanda bahwa bahwa Kiauw In dan Giok Peng masih belum
tidur.
Mungkin disebabkan hawa malam tiba-tiba anak muda ini
merasa lapar, sedangkan sebenarnya karena dipusatkan pada
pelajaran pedang tadi ia lupa segala apa, jangan kata makan,
minum air seteguk pun belum. Karena ini, ia lantas kembali ke
dalam.
Belum lama tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Ia
menoleh dengan cepat. Maka ia melihat munculnya nona-nona
itu yang berjalan dengan perlahan. Ia tersenyum kepada
mereka. Lalu ia berkata, "Tadi aku lupa mengatakan Pek Cut
Taysu untuk disediakan barang makanan, maka sekarang ini
mungkin kita bakal.."
Giok Peng tertawa memutuskan kata-kata orang.
"Bagaimana, eh ? "tegurnya. "Perutmu sudah lapar ?
Tengah malam begini mana ada barang hidangan ? Aku pikir
baiknya malam ini kita ikat perut biar kenyang..."
Kiauw In tersenyum, tetapi ia lantas berkata, "Beras,
tepung dan lain keperluan dapur semua telah disediakan. Pek
Cut Siansu telah mengirimkan orang membawanya kemari.
Nasipun sudah dimasak matang.
Bersama adik Peng tadi aku datang kemari, buat
mengundang kau makan, tetapi kami melihat kau sedang
tekun mempelajari ilmu pedang, kami tidak mau mengganggu.
Adik Peng yang menyalakan api. Habis itu, dengan diam-diam
kami keluar pula. Barang makanan untukmu telah kami
siapkan didalam kamar kami, kalau kau sudah lapar mari kau
pergi kesana ! Cuma kami mesti membuat kau melakukan
perjalanan..."
It Hiong tersenyum tanpa mengatakan sesuatu, ia turut
kedua tunangannya itu pergi kekamar kedua nona itu.
Kamar kedua nona itu telah dirawat baik sekali, hingga
beda dari semula tadi. Di atas mejapun mengepul asap yang
keluar dari barang makanan. Diatas pembaringan, Hauw Yan
sedang tidur dengan nyenyak. Sinar api lilin membuat kamar
tenang dan nyaman.
Habis memandangi seluruh ruangan, It Hiong tertawa.
"Bagus kakak!" ia memuji. "Kamar yang tadinya nampak
buruk sekarang berubah bagaikan baru dan menarik hati."
Kiauw In tertawa.
"Sudah jangan memuji saja!" tegurnya. "Hayo lekas kau
makan!"
Kembali si anak muda tersenyum; Ia menghampiri meja,
untuk mengangkat mangkuk kosong, guna diisikan nasi.
"Bagaimana pengamatanmu atas kitab suhu itu ?"
tanyanya. "Mudahkah kau mengerti ?"
It Hiong menjawab secara terus terang, "Mulanya beberapa
jurus, nampaknya tidak sukar hanya makin lama, makin
tambah jurusnya, mulai sulit pecahannya. Pelbagai jurus itu
seperti juga tidak ada hubungan satu dengan lain kakak,
rupanya perlu aku dengar pelbagai petunjuk kalian berdua....."
"Mengenai kesulitannya kau benar, adik" berkata Kiauw In,
"Tiga jurus yang pertama mudah dipelajarinya, mulai yang ke
empat, lantas lambat kemajuannya, benar bukan?"
It Hiong mengangguk "Tidak salah." sahutnya. "didalam
tiga- empat jam, aku cuma mengerti sampai jurus ketiga,
mulai jurus ke empat, aku rasanya jurus ketiga dan ke empat
tak ada hubungannya, bahkan seperti memudahkan lawan
memperoleh lowongan guna menyerang kita...." Nona Cio
menggeleng kepala, tetapi ia tertawa.
"Demikianlah kelihatannya. Kalau kau perhatikan jurusjurus
selanjutnya, hal tatkala demikian, tetapi setelah jurusjurus
selanjutnya, segera akan tampak kefaedahannya.Ketika
bermula aku berlatih bersama adik Peng, kami mengalami
kesulitan serupa seperti kau ialah kelambatannya, tetapi
setelah mengerti, kelambatan itu justru penting sekali!"
It Hiong tengah memegangi mangkuk nasinya ketika ia
mendengar perkataan si nona yang terakhir. Tiba-tiba saja ia
meletakkan mangkuknya itu." Aku mengerti sekarang !"
katanya separuh berseru " Kelambatan itu sengaja, guna
mementingkan lawan mendapat kesempatan menyerang,
setelah itu kita pakai jurus yang kelima, guna merubah,
demikian selanjutnya ya, kakak itulah itulah kelebihannya
Thay Kek Kiam dari Khia-bun Patkwa Kiam..."
Baru ia berkata begitu, mendadak anak muda ini menjerit.
"Ah, celaka" terus tubuhnya mencelat bangun, terus dia kabur
ke kamarnya sendiri !
Kiauw In dan Giok Peng kaget. Mereka sangat heran.
Kenapakah pemuda itu ? Tak sempat saling bertanya, mereka
pun lari menyusul.
It Hiong kaget dan lari ke kamarnya sebab mendadak ia
ingat yang kitab gurunya telah ia lupakan, ia tinggalkan itu
menggeletak dimejanya. Tatkala kedua nona sampai di kamar
pemuda itu, mereka menjadi lebih heran pula.
It Hiong tampak lagi berdiri menjublak, matanya
mendorong ke satu arah ! Wajahnya menunjukkan dia
berduka atau putus asa.
"Kau kenapakah ?" tegur Giok Peng mendekati perlahan.
Nona ini, juga Kiauw In heran bukan main.
It Hiong tidak menjawab, hanya airmatanya meleleh keluar.
"Aku harus mati !" mendadak dia berseru sambil
membanting kaki.
Kiauw In yang cerdas dapat menerka duduknya hal, ia juga
kaget sekali, tetapi dapat berhari tenang, dapat ia menguasai
dirinya.
Dengan hati memukul, ia mendekati si anak muda, dan
ketika ia berbicara, suaranya lembut.
"Apakah bukan kau kehilangan kitab silat Thaykek Liang
Gia Sam Cay Kiam ?" demikian tanyanya prihatin.
"Ya" sahut si anak muda, suaranya hampir tak terdengar.
"Karena aku sangat lalai, karena aku tinggalkan diatas meja
ini."
Tiba-tiba anak muda ini ingat senjata mustikanya. Segera ia
menoleh ke tembok.
Di sana Keng Hong Kiam tampak tergantung di tempatnya.
Masih bersangsi, It Hiong lompat mencelat ke tembok,
guna mengulur tangannya menurunkan pedang mustika itu
terus ia menghunusnya. Baru sekarang hatinya menjadi sedikit
lega. Itulah pedang yang tulen. Tadinya ia menyangka pedang
yang dipalsukan. Cahaya pedang itu menyinari seluruh ruang,
hawanya terasa dingin.
Sekonyong-konyong saja It Hiong mengibaskan pedangnya
itu menebas ke samping ! "Jika aku ketahui siapa pencurinya
kitab ilmu pedangku, akan aku bunuh dia dengan ujung
pedang ini !" demikian ia berkata nyaring dan sengit.
Belum berhenti kata-kata si anak muda atau mereka
bertiga mendengar tawa nyaring dan lama dari luar rumah
menyusul mana diantara sinar api lilin terlihat satu tubuh
berlompat masuk seperti melayang, atau segera ampak Pat
Pie Sin Kit di dalam rumah.
Hanya segera pengemis ini mendelong mengawasi It
Hiong.
"He, kau bikin apakah ?" tanyanya heran.
Tak dapat anak itu mendusta, ia menarik nafas panjang.
"Anakmu harus mati ayah" sahutnya perlahan. "Aku telah
membikin lenyap kitab pusaka pedang Thay Kek Liang Gia
Sam Cay Kiam karya guruku...."
Pat Pie Sin Kit kaget. Tetapi dasar jago tua, dapat ia segera
menetapkan hati.
"Bagaimana lenyapnya itu ? tanyanya cepat. "Lekas
terangkan padaku !"
Sambil menanya itu jago tua ini menoleh kesekitarnya.
It Hiong memasuki pedang ke dalam sarungnya. Kembali ia
menghela nafas. Habis itu baru ia memberikan keterangannya.
In Gwa Sian pun menghela nafas.
"Terang orang mencurinya justru kau sedang pergi
bersantap." katanya. "Menurut terkaanku si pencuri bukannya
orang yang baru tiba dan lantas ia mencurinya. Aku percaya
dia sudah lama berada di sini lalu dia mengintai kalian
menunggu ketika buat turun tangan. Nyatanya dia berhasil!"
Terkaan itu masuk diakal. Pula anehnya, kenapa cuma kitab
itu yang dicurinya ? Kenapa tak sekalian pedangnya ?
Kiauw In mengawasi It Hiong, ia terharu. Ia merasa
kasihan. Tapi ingin ia menghibur. Walaupun hatinya sendiri
berat ia paksakan bersenyum.
"Kitab suhu kitab luar biasa" kata ia, "maka itu walaupun si
pencuri lihai, tak nanti dia dapat mempelajari itu didalam
waktu yang singkat. Baik kau jangan terlalu bingung. Paling
benar kita mencarinya. Coba kita periksa kamar ini, ada atau
tidak sesuatu yang mencurigai.."
In Gwa Sian tertawa.
"Kau benar, anak !" pujinya. "Nah, mari kita lihat !"
Tanpa ayal lagi, berempat mereka memisah diri
menggeledah seluruh rumah gubuk.
Sembari memeriksa itu Kiauw In berpikir, "Kitab suhu ini
rampung belum lama, tak mungkin ada orang rimba persilatan
yang mengetahuinya bahkan aku percaya kecuali kita
berempat tak ada seorang lain juga yang tahu itu ! Si penjahat
mungkin telah mencuri dengar pembicaraan kita atau
kebetulan saja dia mendengarnya maka dia lantas
mencurinya. Dia sampai tak memikir membawa sekalian
pedang mustika. Orang itu dapat mencuri dengar pembicaraan
kita, dia pasti lihai sekali. Atau dia hanya orang yang kita tak
perhatikan...."
Oleh karena berpikir demikian. Nona Cio lantas menerkanerka
siapa pencuri itu. Ia sangat cerdas, lekas juga di depan
matanya seperti berbayang si pencuri kitab itu. Dia
menyangka pada seorang wanita muda yang cantik, yang
tingkahnya agak centil.
"Bukankah Giok Peng pernah menceritakan halnya Teng
Hiang mencuri kitab ilmu pedang?", pikirnya lebih jauh. Maka
lantas ia menerka kepada budak pelayan itu. "Bukankah
dianya si budak setan itu?"
Hanya sebentar pikiran nona itu berubah. Bukannya
kawanan bajingan telah kabur semuanya? Mungkinkah Teng
Hiang seorang diri berani berdiam lama di dekat-dekat Tiong
Gak ini. Kalau benar dia berada disini, pasti dia akan kepergok
para pendeta.
Karena kesangsiannya ini mengenai Teng Hiang. Kiaw In
berpikir lain! "Tak mungkinkah ini perbuatan salah seorang
pendeta dari Siauw Lim Sie?" Ia mengingat begini, karena
pernah terjadi beberapa orang seebie menyaksikan ia berdua
Giok Peng melatih diri dengan ilmu Thay kek dan Liang Gie
Kiam. Sebenarnya beberapa seebie itu bukan menyaksikan
hanya mencuri menonton. Ia tahu itu, ia membiarkan saja. Ia
anggap seorang seebie bisa apa. hanya sekarang, timbullah
kecurigaannya.
Sambil otaknya bekerja itu. Kiaw In terus membuat
penyelidikan. Ia sampai di luar rumah, di dalam halaman yang
ada pohon-pohonnya. Tiba-tiba sinar matanya bentrok dengan
satu benda putih di atas rumput yang ada di bawah sebuah
pohon cemara yang besar. segera ia lompat kepada benda
putih itu, yang ternyata adalah sehelai sapu tangan putih.
Lantas ia menjemputnya.
Walaupun malam, sapu tangan itu tampak cukup jelas.
Kiauw In membeber untuk memeriksa. Ia melihat sulaman
benang hijau yang merupakan dua ekor burung kecil. Tentu
sekali ia lantas mengenali itulah barangnya Giok Peng. Ia
menjadi heran tapi ia berpikir terus.
"Sungguh aneh!" demikian pikirnya. "Belum pernah adik
Peng berpisah dari aku kenapa sapu tangannya jatuh di sini?"
Berpikir demikian nona ini mencelat naik ke atas pohon
guna dari atas itu melihat kesekelilingnya. Tiba-tiba saja ia
mengerti!. Pohon itu menghadap kamarnya It Hiong, bahkan
karena bantuannya api, dari situ orang dapat melihat tegas ke
dalamnya, kepada kursi mejanya.
"Tidak salah lagi!" pikirnya, "pasti dia terus bersembunyi di
sini! Dari sini dia dapat mengawasi gerak gerik adik Hiong!
Pasti selekasnya dia melihat adik Hiong pergi, dia datang
menyatroni kemari, dia jalan memutari gubuk dan masuk ke
dalam, terus dia cari kitab pusaka itu. Dia dapat menghilang
dari sini dengan pertolongan pohon-pohon lebat. Dengan
bersembunyi di sini, siapakah dapat memergokinya?"
Hanya si nona masih memikir keras menerka-nerka siapa
pencuri itu. Ia tetap heran bahwa saputangannya Giok Peng
bisa berada di tempat terbuka itu. Tengah Kiauw In berpikir
keras itu, tiba-tiba ia mendengar suaranya In Gwa Sian :
"Kalau si pencuri bersembunyi di atas pohon cemara besar itu,
bukan saja dia dapat melihat jelas kepada gubuk dan bagian
dalamnya, dia sendiri dapat bersembunyi dengan aman, tak
nanti orang dapat melihat padanya."
Kiranya In Gwa Sian sampai di bawah pohon bersama-sama
It Hiong, Kiauw In tidak melihatnya karena ia sedang
mengawasi ke arah gubuk dan pikirannya lagi bekerja keras.
Habis mendengar suaranya sang paman guru, terus ia
melompat turun.
"Paman tak menerka keliru" katanya setelah melompat
turun itu guna membikin dua orang itu tidak menjadi kaget.
"Siapa bersembunyi di atas pohon ini, dia dapat melihat jelas
kamarnya adik Hiong, hingga diapun dapat mengawasi gerak
gerik orang.."
Hampir nona ini memberitahukan hal didapatnya
saputangan Giok Peng itu, ia membatalkannya ketika ia ingat
baiklah ia bersabar dahulu. Maka saputangan itu ia simpan di
dalam sakunya.
In Gwa Sian memandang nona Cio sejenak lantas ia
berkata: "habis pertempuran, kawanan bajingan itu telah pergi
mengangkat kaki sedangkan orang-orang Siauw Lim Sie tidak
nanti ada yang berani melakukan pencurian ini. Siapakah
pencuri itu? Sungguh sulit untuk menerkanya.."
Tetap itu waktu, Giok Peng pun tiba. Maka berkumpullah
mereka berempat menjadi satu. Kiauw In mengawasi Nona
Pek.
"Adik, apakah mendapat sesuatu petunjuk?" tanyanya. Ia
tersenyum walaupun mereka tengah berduka.
Nona Pek menggelengkan kepala.
"Aku mencari dari jurusan utara itu, aku tidak memperoleh
sesuatu" sahutnya.
Senyumannya Kiauw In lenyap dalam sekejap. Ia ingin
menanya pula madunya itu, tetapi ia batalkan tiba-tiba.
Sebaliknya, ia menghela nafas perlahan. Seterusnya ia
bungkam.
In Gwa Sian penasaran, ia lompat naik ke atas pohon. Dari
situ ia memandang keliling. Lekas juga ia loncat turun lagi.
"Tidak salah lagi" katanya, "orang pasti bersembunyi di
atas pohon ini! Mari kita kembali ke rumah, untuk berbicara di
sana".
Dan jago tua ini mendahului membuka langkahnya. It
Hiong mengikuti, diturut oleh Kiauw In dan Giok Peng.
Tiba di rumah, mereka berkumpul di kamarnya si anak
muda.
Giok Peng lantas menuang air teh buat sang paman,
setelah itu ia duduk di sisinya Kiauw In.
Pat Pie Sin Kit menghirup teh itu.
"Aku si pengemis tua belom pernah melihat kitab Thay Kek
Liang Gie Sam Cay Kiam itu" katanya.
"Tetapi aku merasa pasti itulah kitab ilmu pedang istimewa,
yang buat kaum rimba persilatan merupakan ilmu yang
langka. Ketika malam itu aku melihat kalian berlaga berdua
menempur Beng Leng Cinjin aku kagum sekali. Aku telah
menyaksikan gerak-gerik yang aneh dari pedang kalian. Jadi
itulah kitab pedang yang hilang?"
Kiauw In mengangguk membenarkan, tetapi ia
menambahkan : "Sebenarnya yang aku dan adik Peng
gunakan ada bahagian Liang Gie Kiam satu di antara tiga ilmu
pedang yang tersimpan di dalam kitab pusaka itu"
Im Gwa Sie berdiam agaknya dia berpikir: "Aku lihat ilmu
pedang itu lebih lihai dari pada Khia bun Pat Kwa Kiam ciptaan
terdahulu dari guru kalian si imam hidung kerbau itu"
Katanya. "Maka itu kalau kitab itu tidak dapat dicari pulang,
itu berbahaya sekali..."
Berkata begitu pengemis ini memejamkan matanya, alisnya
dan berkenyit. Nampaknya ia berpikir keras. Kali ini tidak
seperti biasa, ia tidak menyebut pula Tek Cio Siang jin sebagai
si imam hidung kerbau. Itulah kebiasaannya yang ia tidak bisa
buang, sedangkan terhadap imam-imam lain umpamanya It
Yap Tojin, ia biasa menyebut si imam campur aduk, imam
capcay...
It Hiong berdiam saja. Tak berani ia mengganggu jalan
pikiran ayah angkatnya itu. Kiauw In dan Giok Pek turut
berdiam pula.
Lewat sehirupan teh, baru kelihatan Pat Pie Sin Kit
membuka matanya.
"Sekitar lima ratus lie dari Siauw Lim Sie ini ada orangorangnya
yang bertugas meronda" kata ia kemudian,
"Terutama diwaktu malam penjagaan keras sekali, maka itu
hal ini tak dapat tidak, perlu kita beritahukan kepada Pek Cut
Siansu supaya kita dapat minta dia memberitahukan muridmuridnya
menggeledah seluruh wilayahnya itu. Dengan begitu
kita akan peroleh mendusan."
Alisnya Kiauw In bergerak bangun.
"Pencuri kitab itu pastilah bukan sembarang orang"
katanya, "mestinya ia mengenal baik dengan wilayah ini, atau
paling sedikitnya dia tentu sudah membuat penyelidikan
sebelumnya dia melakukan pencuriannya ini, kalau tidak, tidak
nanti dia berhasil dengan cara demikian mudah, demikian juga
diwaktu berlalunya."
"Bagaimanakah ?" tanya In Gwa Sian heran. "Mungkinkah
kau mencurigai orang Siauw Lim Sie sendiri ?"
Nona Cio menggoyang kepala.
"Mulanya benar aku pernah menerka demikian" sahutnya,
"tetapi sekarang tidak..."
Kiauw In hendak menyebut juga halnya saputangan yang ia
ketemukan itu atau lagi-lagi ia membatalkannya. Ia pikir
saatnya belum tiba. Cuma kendati demikian, ia belum dapat
memikir sebabnya kesangsiannya itu.
In Gwa Sian bermata sangat tajam, pengalamannya pun
luas sekali, maka itu ia lantas dapat melihat keragu-raguannya
nona. Ia hanya heran kenapa nona itu beragu-ragu.
"Hm, bocah !" katanya kemudian dingin. "Nyalimu sungguh
besar ya ! Kenapa terhadap aku si pengemis tua kan masih
main teka-teki ? Lekas kau bilang, kau sebenarnya ada
menemukan sesuatu apa ?" Sambil berkata demikian lalu Pat
Pie Sin Kit juga menatap tajam.
It Hiong dan Giok Peng heran, sendirinya mereka turut
mengawasi nona Cio. Kiauw In menjublak, inilah ia tidak
sangka. Habis itu ia duduk.
"Sebenarnya aku memikir" katanya kemudian perlahan,
"kalau toh pencurian dilakukan oleh orang dalam, itu bukan
perbuatannya salah seorang Tianglo diantaranya. Kalau orang
mencuri kitab, kenapa ia tidak sekalian mencuri pedangnya
adik Hiong ? Kenapa kitab melulu yang dibawa pergi? Laginya
tentang kitab ini, orang mengetahuinya hampir tak ada.
Menurut aku, inilah bukan pencurian secara kebetulan saja.
Orang juga mesti lihai ilmu ringan tubuhnya, kalau tidak, tidak
nanti dia lolos dari pandangan mata kita, apa pula adik Hiong,
tak mungkin dia kena dikelabui. Setelah memiliki Hian-bun
siang Thian Khie-kang, mata dan telinganya adik Hiong luar
biasa jeli dan tajam. Maka si pencuri mestinya bertubuh
sangat ringan dan lincah ! Siapa pandai lari diatas rumput dan
baru dia dapat memasuki gubuk kita. Sebab ini, aku tak dapat
mencurigai orang dalam."
Berbicaranya si nona beralasan. In Gwa Sian yang cerdik
turut mempercayainya. Hanya It Hiong yang mengerutkan
sepasang alisnya.
"Kakak" tanyanya, "kau pandai menerka, di dalam hal ini,
bagaimanakah pandanganmu ?"
Habis bersamadhi paling belakang, It Hiong mendapat
kenyataan Kiauw In cerdas luar biasa, si nona cerdik, bernyali
besar, hatinya mantap. Di dalam hal itu, ia dan Giok Peng
harus mengaku kalah.
Kiauw In bisa melihat bingungnya tunangan itu. Ia
berkasihan tetapi ia dapat berlaku sabar. Untuk menghibur, ia
berkata : "Kitab pedang suhu itu istimewa, sulit buat
dimengerti, taruh kata orang dapat dibawanya kabur, didalam
waktu beberapa bulan saja, tak nanti orang dapat
memahaminya. Sekarang ini baiklah kita jangan bingun, kita
harus berlaku sabar. Perlahan-lahan saja kita mencarinya..."
Ia pula jawaban tak langsung bagi In Gwa Sian, maka si
pengemis tua lantas mana menghela nafas, ia tak bertanya
terus. Hanya didalam hati ia merasa sangat tidak puas.
Bukankah ia seorang ternama dan sangat disegani ? Selama
beberapa puluh tahun belum pernah ia menemui lawan
setimpal, baru sesudahnya bertanding dengan Thian Cie Lojin
dari luar, pikirannya berubah sedikit tak lagi ia berkepala besar
seperti tadi-tadinya.
Sedangkan paling belakang pertempurannya dengan Hang
Sam Kiam Kek membuatnya mesti berpikir panjang-panjang.
Sekaranglah ia insyaf, kepandaian silat tak ada batas
habisnya, batas kesempurnaannya. Entah masih ada siapa lagi
orang lihai yang ia belum tahu. Tek Cio SIngjin sendiri
membuatnya kagum bukan main.
Selagi berpikir itu lantas ia ingat akan halnya wantu ia
mengantarkan Hing ke Kiu Hoa San supaya anak itu diterima
sebagai murid oleh Tek Cio, disaat itu si imam telah
memberikan ia nasehat untuk ia mengundurkan diri guna
hidup tenang dan damai. Hanya ketika itu nasihatnya si imam
diberikan secara samar-samar.
Mengandal kepandaiannya yang lihai dan menuruti
tabiatnya yang jujur tetapi keras mengingat kepada tugasnya
sebagai manusia yang harus menolong sesama manusia
mulanya, In Gwa Sian tidak memperdulikan nasehat Tek Cio
itu, tetapi sekarang terutama disebabkan hasil
pertempurannya dengan It Yap, ia mulai insyaf. Berbarengan
ia juga mau percaya mungkinlah Thaykek Liang Gia
Sam Cay Kiam telah diciptakan Tek Cio guna mengamankan
dunia persilatan guna membasmi atau menundukkan kawanan
bajingan dari luar lautan itu. Maka itu, bagaimana pentingnya
kitab silat itu dan bagaimana celakanya apabila kitab tak dapat
dicari dirampas kembali....
Hanya itu, sia-sia belaka mereka berpikir, kitab telah
lenyap, bahkan pencurinya masih belum ketahui siapa
adanya...
Jago tua itu duduk bersila sambil memejamkan matanya. Ia
berdiam saja. Giok Peng berdua It Hiong duduk berhadapan,
tampang mereka berduka, pikiran mereka kacau. Kiauw In
juga bingun walaupun diluarnya ia tampak tenang, inilah
karena ia mencoba menguasai diri. Ia memikir bagaimana ia
harus bertindak.
Maka itu, sunyilah kamar.
In Gwa Sian yang paling dahulu membuka matanya dan
berjingkrak bangun sudah lewat sekian lama.
"Kau benar anak In !" kata dia nyaring. "Memang
kehilangan kitab ini tak dapat diumumkan, sebaliknya kita
harus mencarinya secara diam-diam. Siauw Lim Sie
mempunyai aturan keras. Tetapi muridnya sangat banyak,
siapa tahu kalau diantaranya ada salah satu yang buruk !"
Berkata begitu, jago tua ini bertindak keluar, jalannya
perlahan. It Hiong bangkit, terus ia menyusul ayah angkat itu,
waktu ia sampai di pintu, sang ayah sudah menghilang, tak
ada bayangannya lagi. Rupanya sekeluar dari ambang pintu,
dia lantas menggunakan ilmu ringan tubuhnya.
Kiauw In berpaling kepada si anak muda, ia tersenyum.
Katanya perlahan : "Kitab sudah lenyap, percuma kita bingung
tidak karuan. Sekarang mari kita melegakan hati supaya kita
dapat tidur. Besok baru kita berunding pula. Dengan tubuh
dan pikiran segar, mungkin kita dapat memikir sesuatu..."
Berkata begitu nona itu menarik tangan Giok Peng buat
diajak ke kamar mereka.
It Hiong menengadah ke langit, ia menghela nafas. Tak
dapat ia berkata apa-apa. Toh ia menyesal dan mendongkol
sangat. Maka ia mengangkat kepalanya mengawasi langit.
Otaknya bekerja kera. Saking masgul, ia menghela nafas.
Ketika itu wajahnya muram dan suram. Di dalam hati ia kata :
"Berbulan begitu kita disimpan Kiauw In, kitab itu selamat tak
kurang suatu apa tetapi ditanganku belum satu malam, sudah
hilang lenyap dicuri orang !"
Sekembalinya ke kamar mereka, Kiau In menutup pintu. Ia
rupanya sudah memikir tetap sebab lantas ia mengeluarkan
sapu tangan putih yang ia dapat pungut itu sembari
mengibarkan itu di mukanya Giok Peng, ia tanya sambil
tertawa : "Adik Peng, adakah sapu tangan ini kepunyaanmu?"
Giok Peng mengawasi sapu tangan itu. Dengan lantas ia
mengenalinya. Ia mengulur tangannya guna menyambutinya.
Ia tertawa dan kata, "Terima kasih kakak ! Aku gila sekali,
entah dimana aku hilangnya !"
Kiauw In menyerahkan saputangan itu tetapi ia menghela
nafas.
"Coba pikir dengan sabar adik, kapankah kiranya lenyapnya
saputanganmu ini ?" kata ia, sabar. "Di dalam satu atau dua
hari ini kau pernah memakainya tidak ?"
Ditanya begitu, hati Nona Pek tercekat. Maka ia lantas
meneliti saputangan itu. Ia merogoh sakunya dan
mengeluarkan sehelai saputangan yang serupa, yang ia awasi
juga. Berbareng dengan itu, otaknya bekerja.
"Kakak, dimanakah kau dapatkan ini ?" kemudian ia tanya,
agaknya ia heran. "Aku tidak ingat dimana pernah aku taruh
atau membuatnya lenyap. Mungkinkah saputanganku ini ada
sangkut pautnya dengan hilangnya kitab silat pedang itu ?"
Sebagai seorang yang cerdas, Nona Pek sudah lantas dapat
menerka. Memang lenyapnya saputangan itu gelap baginya
dan heran juga ia Kiauw In dapat menemukannya.
Kiauw In dapat bergurau. Ia tertawa. "Buat sekarang ini,
sukar untuk memastikannya." sahutnya.
"Hanya tempat dimana saputangan ini diketemukan olehku
sungguh mengherankan hingga itu dapat menimbulkan
kecurigaan. Adik, cobalah kau pikir secara seksama, mungkin
dari saputangan ini kau dapat menerka-nerka."
Lantas Nona Cio memberitahukan dimana ia menemuinya
saputangan itu. Giok Peng memikir lama juga, akhirnya ia
menggeleng kepala.
"Sungguh tak aku ingat dimana dan kapan lenyapnya
saputanganku ini." katanya. "Ada kemungkinan jatuhnya
waktu kita pindah, yaitu dihalaman luar kuil."
Paras Kiauw In berubah, agaknya ia kaget.
"Kalau benar saputangan ini jatuhnya di halaman luar kuil,"
kata ia, "maka si pencuri kitab pedang tanpa disangsikan pula
mesti salah seorang pendeta disini ! Kalau dugaan ini benar,
tak sulit buat mencari pencuri itu ! Cukup asal kita minta
Paman In menyampaikannya kepada Pek Cut Siansu untuk
mohon Siansu memeriksa para kacungnya. Maka yang penting
sekarang ialah kepastian pikiranmu apa benar-benar
saputanganmu ini jatuh di halaman luar kuil."
Giok Peng berpikir pula. Keras ia menguras otaknya. Tibatiba
alisnya bangun berdiri dan parasnya pun menjadi merah.
"Apakah bukannya dia ?" dia berseru bertanya, giginya
dirapatkan keras satu dengan lainnya, suaranya sengit sekali.
Kiauw In sebaliknya. Dia tenang-tenang saja. Bahkan ia
dapat bersenyum.
"Kau maksudkan Gak Hong Kun, bukankah ?" tanyanya
sabar.
Giok Peng heran hingga ia melengak.
"Kakak, kakak..." katanya, "Kakak, cara bagaimana kau
dapat menerka bahwa aku maksudkan Gak Hong Kun?"
"Tak sulit menerkanya, adik," sahut nona yang ditanya.
"Begitu aku menemukan saputangan ini lantas aku menduga
dia. Itulah sebab saputangan ini tersulamkan tanda atau
lambang semasa kau gemar merantau. Siapa tak
mengenalmu, tidak nanti ia menyimpan saputangan ini. Atau
sedikitnya orang yang telah melihat dan mengetahui tentang
dirimu. Bukankah Hong Kun sangat tergila-gila padamu dan
nampaknya dia tidak mau melepaskan kau ? Maka juga
mestinya dialah yang menyimpan saputangan ini, sampai dia
membuatnya hilang..."
Nona Cio menghela nafas, hingga kata-katanya itu jadi
terputus tetapi setelah itu ia meneruskan : "Hong Kun
menyebalkan tetapi cintanya terhadapmu tebal sekali, orang
yang cintanya demikian keras pantas juga dihargai...."
"Hmm !" Giok Peng memperdengarkan hinaannya. "Kakak,
manusia tak dapat dilihat dari macamnya saja ! Hong Kun
mirip seoarang sopan santun tetapi hatinya ngurak dan buruk
! Ketika itu hari dia memancing aku ke lembah di belakang
gunung mulanya dia bersikap sabar dan hormat, selewatnya
itu dia perlihatkan kebiadabannya! Dia berani mencoba
memeluk aku ! Rupanya disaat itulah dia telah sambar
saputangan ini. Selagi aku mendongkol dan gusar, wajarlah
kalau aku tidak perhatikan tangan jahatnya itu !"
Kiauw In tertawa pula.
"Tetapi bagus ia mencurinya !" katanya. "Kalau dia tidak
mencuri sapu tangan ini, mana dapat dia meninggalkannya ?
Pastilah kita tak dapat menerka dia...."
Giok Peng mengangguk.
"Dalam hal ini, kakak kau benar juga." bilangnya. "Lagipula
lain orang tentu tak mempunyai keberanian dan kepandaian
untuk menyatroni gubuk kita ini sampai kita tidak
mengetahuinya..."
Nona Pek berdiam sejenak, otaknya bekerja.
"Hanya sulitnya..." tambahnya kemudian, "kemana kita
harus cari dia ? Dia tidak punya rumah tangga dan rumahnya
ialah empat penjuru lantas..."
Kiauw In tidak tertawa lagi, sekarang ia bicara secara
sungguh-sungguh.
"Ya, memang sulit juga, "katanya. "Selain dari itu, kitapun
belum memperoleh kepastian bahwa dialah si pencuri. Aku
pikir dugaan kita ini jangan dahulu diberitahukan kepada
Paman In dan adik Hiong. Paman In beradat keras, bisa-bisa
dia langsung pergi ke Hong San mencari It Yap Tojin bangsa
keras kepala, kalau ia menyangkal, dia bisa bentrok pula
dengan paman. Itulah berbahaya buat paman atau sedikitnya
keduanya bisa celaka bersama. Adik Hiong menang ilmu
silatnya, latihan tenaga dalamnya masih kurang, ia sukar
dipastikan tentang kalah menangnya. Disebelah itu kita pula
bakal menghadapi pertempuran mati hidup dengan pihakpihak
jago luar lautan, kita jadi harus mengumpulkan tenaga.
Maka itu saat ini bukan saat yang tepat untuk kita melakukan
pertempuran mati-matian. Masih ada satu hal lain.
Diumpamakan benar Gak Hong Kun yang mencuri kitab belum
pasti dia berani pulang ke gunungnya, malah mungkin sekali
dia pergi menyembunyikan diri disebuah bukit atau lembah
atau hutan guna dia hidup menyendiri untuk mempelajari
isinya kitab. Maka itu adik, buat sementara sukarlah kita
mencari kitab itu..."
Giok Peng berduka sekali, hingga sepasang alisnya rapat
satu dengan lain, paras mukanya kucal dan muram.
"Hanya kakak," katanya kemudian perlahan, "mustahil kita
lantas tak berdaya mencari kitab itu..."
Kiauw In juga menghela nafas.
"Sabar adik," dia membujuk dang menghiburi. "It Yap
bangsa dingin dan angkuh, inilah tentu dikenal baik oleh Hong
Kun, maka itu aku lebih percaya lagi yang Hong Kun tak akan
pulang ke gunungnya. Asal kitab tidak terjatuh ketangannya
imam itu, kita jangan berkuatir terlalu, kita jangan bingung.
Aku percaya dengan kepandaiannya itu, tak nanti Hong Kun
dapat pecahkan artinya setiap jurus dari kitab itu, apapula
dalam waktu yang pendek. Maka itu adik, bersabarlah. Kita
toh tidak dapat mencari kitab dengan menjelajah seluruh
negara ?"
"Habis bagaimana ?" Giok Peng masih mengotot. "Apakah
kita mesti duduk bertopang dagu sampai nanti orang datang
sendiri menggantinya ?"
"Benar adik. Biarlah dia nanti terjeblos di dalam jebakan
atau dia nanti membukakan palang sendiri ! Kalau kita pergi
mencari dia, itulah sulit. Hanya, buat menanti sampai dia suka
menghantarkan sendiri, kita harus mengandalkan kau, adik..."
Giok Peng heran hingga ia melengak.
"Apa ?" tegaskannya ia. "Daya apakah aku punya ?" Atau
mendadak ia melengak pula. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. Lantas
ia menambahkan : "Gak Hong Kun sangat licin, aku kuatir dia
tak akan makan umpan pancing..."
"Kita harus mengatur daya supaya dia tidak curiga apaapa"
kaa Nona Cio, yang mengasah otaknya. "Dalam hal ini,
kitapun terpaksa harus mendustai adik Hiong, agar ia tidak
tahu apa-apa, hingga kalau perlu ia bagaikan mendusta diluar
tahunya !"
Giok Peng mengawasi tajam.
"Daya apakah itu, kakak ?"
Kiauw In membalas menatap.
"Aku memikir untuk memakai kau sebagai umpan, adik"
katanya kemudian, "supaya Hong Kun menaruh kepercayaan
besar dan suka datang padamu. Hanya saja daya apa itu, aku
harus memikirkannya dahulu. Biar bagaimana, asal kau suka
berkorban sedikit, adik. Kau harus insyaf, inilah demi kitabnya
guru kita, jadi tak apa asal kau dapat bersabar dan menahan
malu..."
Nona Pek tertawa hambar.
"Jangan kuatir, kakak !" jawabnya tegas. "Untuk
mendapatkan pulang kitab itu aku bersedia melompat ke
dalam api berkobar-kobar sekali !"
Kiauw In tersenyum.
"Aku cuma memikir" katanya. "Tak akan aku membuat kau
menderita. Atau kalau kau pun menderita juga, itulah cuma
untuk batas waktu yang pendek. Kitab lenyap ditangannya
adik Hiong, apabila kemudian ini diketahui bahwa kau
menderita untuk mendapatkan pulang kitab itu, mungkin dia
akan merasa kasihan terhadapmu dan cintanya main
mendalam."
Giok Peng merasai mukanya panas. Pasti mukanya itu
merah sekali. Tapi ia lantas berkata, "Demiku, adik Hiong telah
menderita banyak, sedangkan kau kakak, kau memerlukan
aku sebagai adik kandungmu sendiri. Dilain pihak, budinya
guru kita besar bagaikan bukit. Maka itu jangan kata baru
menderita sedikit, biarpun tubuh ragaku hancur lebur, aku
rela. Aku bersedia berkorban jiwa ! Nah kakak, apakah
dayamu itu ? Kau bilanglah ! Kau perintahlah aku !"
Nona Cio menghela nafas perlahan, itulah pertanda bahwa
hatinya dirasakan berat.
"Ah, inilah cuma sebab aku membesarkan nyaliku" katanya.
"Karenanya aku memberanikan diri membuat kau menjadi
umpan pancing. Ini pula disebabkan aku ingat harga besar
dari kitab pedang itu. Bukankah itu karya guru kita yang
membuatnya dengan susah payah ? Bukankah juga kitab itu
bakal mengenai nasibnya kaum rimba persilatan seumumnya ?
Gak Hong Kun cerdas dan cerdik, kalau dia menyekap diri
dalam gunung atau lembah sunyi, paling lambat sepuluh
tahun pasti dia dapat pahamkan ilmu pedang itu. Syukur kalau
dia berbalik menjadi berbaik hati, jika sebaliknya celakalah
semua orang jujur sebab sekalipun adik Hiong sudah pandai
Hian boa sin Thian Khie-kang belum tentu dia dapat
mengalahkan Hong Kun. Kalau adik Hiong tidak sanggup,
siapa lagi yang dapat menggantikannya ?"
"Hong Kun menjemukan, tetapi aku lihat dia masih
mengenal perikemanusiaan" kata Giok Peng masgul. "Memang
dia sangat membenci aku dan adik Hiong, tetapi untuk dia
menjadi demikian jahat hingga dia mencelakai kaum rimba
persilatan seumumnya, mungkin tak nanti..."
Kiauw In tersenyum.
"Gak Hong Kun itu" katanya, "jika tidak ada anggapannya
bahwa adik Hiong merampas kekasihnya hingga ia menjadi
sangat sakit hatinya, ada kemungkinan besar menjadi seorang
gagah yang berhati mulia. Dia berbakat baik dan cerdas,
gurunya pun lihai, mudah buatnya meningkat naik. Sayang dia
tidak cukup kuat hati buat menekan sakit hatinya itu. Ya
soalnya itu memang soal sulit dan kerenanya hatinya keras,
diapun sulit buat dikasih mengerti. Kita telah menjadi kakak
beradik. Aku pikir tidaklah halangannya apabila kita berbicara
secara terus terang. Sejak aku masih kecil sekali, rumah
tanggaku sudah mengalami bencana hebat. Ibuku menutup
mata siang-siang dan ayahku berasa ia gunanya kurang.
Sudah pergii mengucilkan diri. Syukur bagiku, aku dikasihhani
guru kita setelah sudi menerima padaku menumpang
padanya. Pay In Nia tinggi dan kecil, sangat jarang orang
mendakinya. Di sana aku hidup menyendiri, dalam kesunyian
dan ketenangan. Tempat itu cocok bagiku. Aku memang
gemar ketentraman. Karena keadaanku itu, aku telah bercitacita
mencari tempat mencil dan sunyi, guna membangun
sebuah gubuk di sana guna hidup menyendiri melewati
tanggal, hari, bulan dan tahun. Aku merasa hidup secara
demikian akan menyenangi hatiku. Siapa tahu aku justru telah
bertemu dengan adik Hiong ! Adalah itu jodoh atau hutang
lama yang harus dilunasi ? Selekasnya aku melihat ia, aku
jatuh Cinta padanya, demikian juga dia terhadapku. Dengan
demikian maka dia telah merusak atau menggagalkan citacitaku
itu. Sekalipun didalam mimpi aku senantiasa ingat
padanya. Demikianlah sampai terjadi itu pertempuran dahsyat
di Lek Tiok Po. Coba tidak ada paman In yang membantu dia,
mungkin tubuhku sudah lama terkubur didalam tanah. Dia
pula yang membuatku membabat angan-anganku buat
menjadi seorang suci, hingga sekarang aku hidup terombangambing
di dalam dunia yang ramai dan penuh bahaya ini,
guna membantu dia dari kekacauan besar, buat melindungi
dan memajukan dunia rimba persilatan yang sejati. Demikian
hatiku yang tadinya tawar sekarang menjadi bergelora...."
Giok Peng menghela nafas berduka mendengar kakak itu
membuka rahasia hatinya.
"Dasar kakak berbakat, cerdas dan cerdik" ia memuji.
"Bukan seperti aku yang hatinya gelap. Aku lain daripada kau
kakak. Setelah itu hari aku melihat adik Hiong, lantas aku
menjadi bagaikan orang edan, aku selalu membayanginya,
seperti malam itu aku duel dia sampai dikuil tua, sampai aku
tertikam pada lenganku. Terang adik Hiong tidak menyinta
aku, aku sendiri yang terus tak dapat melupakan padanya.
Maka tibalah saatnya yang Teng Hiang si budak licin
menggunakan akalnya membuat adik Hiong lupa dengan
kesadarannya hingga malam itu terjadilah peristiwa yang
sangat menyesalkan di loteng Ciat Yan Lauw. Malam itu kakak,
sebenarnya aku sendiri sadar sesadarnya, tetapi entah kenapa
aku tidak dapat menolak keinginannya selagi dia tak sadar diri
itu...."
Giok Peng berhenti bicara dengan tiba-tiba mukanya
menjadi merah. Ingat peristiwa itu, ia malu sendirinya. Ia
menyesal. Itulah peristiwa yang membuatnya melahirkan
Hauw yan, anaknya yang manis itu.
Kiauw In tertawa. Nona ini tak lagi merasa jengah.
"Kita bukan manusia luar biasa, tetapi kita toh tidak tolol"
katanya. "Apa yang kita alami itu rupanya ialah yang
dinamakan takdir. Bicara tentang kita, kita pun harus bicara
perihal Gak Hong Kun. Aku seperti merasai bagaimana dia
menyesal, penasaran dan berduka...."
"Demikian adalah hal, kakak. Cuma apa aku bisa bilang ?
Telah aku serahkan diriku pada adik Hiong, bahkan sekarang
aku telah mempunyai anak. Tak dapatkah Hong Kun
menyadari kedudukanku ? Kenapakah dia seperti juga belum
mau melepaskan diriku ?"
"Bicara dari hal kepantasan memang Hong Kun tak dapat
menganggu pula kau, adik. Hanya kita harus bicara dari lain
sudut. Hong Kun bukan seorang manusia biasa, maka itu pasti
tabiatnya juga luar biasa. Dia cerdas dan gagah, adatnya
tinggi, tak heran kalau dia selalu mau menang sendiri,
selayaknya itu kalau dia tak sudi mengalah terhadap siapa
juga. Orang semacam dia asal dia menghendaki sesuatu tak
mudah dia mundur sendirinya. Benarnya sebelum hilang
nyawa belum dia mau berhenti. Hong Kun tahu kau telah
mempunyai anak, dia toh tak meau melupaimu. Inilah soal
yang sulit. Maka bicara tentang dia, ada dua kemungkinannya,
sudut baik dan sudut buruk. Sudut baiknya itulah cintanya
terhadapmu cinta suci dan kekal abadi, tak dapat dia
melupaimu. Asal dia melihat kau, cintanya muncul. Sudut
buruknya ialah dia sangat membenci adik Hiong dan
karenanya berniat menuntut balas, guna memuasi sakit
hatinya itu. Buat apa baru dia puas kalau kau dan adik Hiong
sudah pecah belah atau bercelaka. Dalam hal ini dia harus
dibuat takut sebab pasti dia dapat melakukan segala apa asal
maksudnya dapat tercapai. Karena dia cerdik dia dapat
memikir segala apa, sekalipun akal yang paling buruk. Dia
dapat menjadi pendekar, dia juga dapat menjadi cabang atas
jahat. Karena dia manusia luar biasa, dia harus dipandang
tidak seperti manusia biasa. Maka itu sekarang bagi kita
pertama-tama kita harus dapat menjaga diri baik-baik dan
kedua supaya secepat mungkin kita bisa mendapati kembali
kita ilmu pedang kita itu !"
Giok Peng berpikir keras, memikirkan kata-kata sang kakak.
Kiauw In bicara dari hal yang benar yang beralasan kuat.
Agaknya Nona Cio mengenal baik sifatnya Hong Kun. Maka hal
itu tidak dapat diabaikan.
"Kakak benar." katanya kemudian, mengangguk. "Benarlah,
biar bagaimana kitab itu harus dicari dan didapat pulang.
Bagaimana pikiran kakak ? Apakah kakak telah dapat
memikirkan sesuatu ? Coba tolong beritahu aku...."
"Aku telah memikirkan sesuatu hanya rasanya itu masih
kurang sempurna. Masih ada bagiannya yang harus teliti. Jadi
tak dapat aku pastikan pikiran itu dapat dilaksanakan atau
tidak. Kau setuju memberikan aku waktu satu hari lagi, bukan
?"
"Tentu kakak !" sahut Giok Peng tertawa, walaupun
tawanya hambar. Ia tidak menanya menanyakan lebih jauh.
Inilah karena ia telah kenal tabiatnya kakak itu.
Dengan satu kibasan tangan Kiauw In memadamkan
penerangan didalam kamarnya itu, maka juga habis itu
keduanya terus naik keatas pembaringan buat merebahkan
diri.
Sebelum pulas, masing-masing mereka itu berpikir sendirisendiri.
Kiauw In memikirkan bagaimana harus mengatur
keruwetan diantara Giok Peng dan It Hiong, serta bagaimana
caranya buat membikin Hong Kun mendengarnya dan nanti
suka datang memakan pancing. Dan Giok Peng memikirkan
apa tipunya Kiauw In itu yang mau membuatnya menjadi
sebagai umpan agar Hong Kun datang membantu, serta
bagaimana andiakata tipu itu, tipu belaka hasil menjadi
kebenaran atau kenyataan ? Dan ia sendiri, bagaimana nanti
jadinya ? Apakah kelak dikemudian hari tak nanti orang Sungai
Telaga menertawakannya ?
Jilid 3
Hebat bekerjanya pikiran kedua nona itu, sampai fajar tiba
tak ada diantaranya yang dapat memejamkan mata dan tidur
pulas.
Adalah Houw Yan yang tidur nyenyak telah membuka
matanya. Kapan ia mengawasi ibunya, ia tersenyum. Ialah
bocah yang belum tahu apa-apa...
Kiauw In yang lebih dahulu lompat turun dari pembaringan,
ia bertindak menghampiri Giok Peng hingga bisa melihat Nona
Pek sedang rebah mendelong saja. Lantas ia tertawa
perlahan. Segera ia mendekati telinga orang untuk berkata
perlahan juga "Sang surya sudah naik tinggi !"
"Oh !" seru Giok Peng perlahan, terkejut lantas ia turun dari
pembaringannya. Ia masih pepat pikirannya tetapi bisa ia
tersenyum. Lekas-lekas ia menyisir rambutnya dan mencuci
muka, untuk terus pergi ke dapur.
Kiauw In mengempa Hauw Yan, sembari tertawa ia kata
pada ibu si anak : "Aku duga tadi malam dia pun sukar tidur
nyenyak, maka itu naik kau lekas, panggil dia masuk untuk
sarapan pagi !"
Giok Peng tersenyum, dengan sabar dia bertindak ke
kamarnya It Hiong.
Pagi itu indah. sisa embun bergemerlapan diantara sinar
matahari. Sang angin bersiur membawakan harumnya bunga,
buah dan rumput. Gubuk pun sangat tenang dan damai.
Selekasnya Giok Peng melihat pintu kamarnya It Hiong, ia
terperanjat. Kedua daun pintu terbuka separoh, maka dia
mengernyitkan kedua belah alisnya yang lentik dan berkata
didalam hati : "Ah, dia lalai sekali. Kenapa dia tidur tanpa
mengunci pintu ? " Ia berjalan terus, ia berpikir pula :"Kalau
toh dia sudah bangun, seharusnya dia menengok kakak In,
aku dan Houw Yan...."
Dilain saat, si nona sudah berada di dalam kamar. Kali ini ia
terperanjat saking heran bercampur kaget. Ia melihat
pembaringan kosong, tetapi pembaringan itu rapi. Sisa api
sudah padam. Ketika ia berpaling ke dinding disitu tak tampak
Kong Hong Kiam, pedang yang mengagetkan Bianglala.
Tanpa terasa Nona Pek berlompatan ke pembaringan,
maka disitu ia melihat sehelai kertas yang ada tulisannya yang
tertindih bantal kepala. Segera ia membaca :
"Kakak In dan kakak Peng yang baik ! Kitab pedang karya
guru kita bukan cuma lihai tetapi juga menyangkut soal
kehidupan kaum rimba persilatan seumumnya, tetapi diluar
tahuku telah aku membuatnya Bielang hatiku dengan
sendirinya menjadi tidak tenang. Lebih-lebih karena janji
pertemuan di Tiong Gok telah mendekati, tinggal lebih kurang
waktu dua bulan. Maka itu didalam waktu singkat ini, hendak
aku berbuat semampuku mencari dan mendapatkannya
pulang. Aku hendak mencarinya walaupun aku tahu
harapannya sangat tipis. Hatiku lega sesudah aku berdaya
semampuku. Lain tahun pada tanggal lima belas bulan
pertama pasti aku akan berada di Tiong Gok.
Kakak berdua, seharusnya aku menemui kalian guna
memberitahukan maksud hatiku ini tetapi karena aku kuatir
kalian mencegah terpaksa aku ambil ini jalan, pergi tanpa
pamitan lagi.”
"It Hiong"
Masih sekian lama Giok Peng berdiri menjublak mengawasi
suratnya si adik Hiong itu, selekasnya dia sadar, dia lari
kepada Kiauw In.
Nona Cio heran melihat orang datang sambil berlari-lari dan
mukanya pucat. Ia melompat bangun.
"Bukankah adik Hiong sudah pergi ?" tanyanya. Itulah
terkaannya yang paling dahulu.
Giok Peng mengangguk.
"Benar," sahutnya sambil ia mengangsurkan suratnya It
Hiong. "Inilah suratnya, silahkan kakak baca !"
Kiauw In menyambuti surat itu dan membacanya dengan
cepat.
"Dia tak dapat melenyapkan sifat kekanak-kanakannya,"
kata Nona Cio kemudian. "Dia toh tak punya endusan sama
sekali ! Habis, kemana dia mau pergi mencari ?"
"Bagaimana sekarang ?" tanya Giok Peng, pikiran kacau
disebabkan kekuatirannya bagi It Hiong.
"Perlu atau tidak kita memberitahukan Paman In ? Kita
dapat minta paman memohonkan bantuannya kedua Siauw
Lim Sie supaya kedua itu mengirimkan murid-muridnya
mencari keperbagai penjuru...."
Kiauw In menggelengkan kepala. Ia menghela napas.
"Adik Hiong pergi sejak tadi malam, dia tentu telah melalui
perjalanan seratus lie atau lebih" katanya. "Jangan kata kita
dapat menyusulnya, taruh kata dia tersusul belum tentu dia
mau diajak pulang. Kecuali kalau paman In sendiri
menyandaknya...."
Giok Peng berdiam matanya menatap sang kakak, siapa
sebaliknya memandang ke arahnya hingga mereka saling
mengawasi.
"Habis apakah kita membiarkan saja dia pergi ?" kemudian
Nona Pek bertanya berduka tetap tak tenang.
Kiauw In tertawa walaupun nadanya berduka.
"Apakah dayanya untuk tak membiarkannya pergi ?" ia
balik bertanya. "Hanya dengan kepergiannya, bukan saja ia
sulit baginya untuk mendapatkan pulang kitab itu, ia juga
merusak rencana yang hendak kita atur. Tidak ada jalan lain
daripada kita bersabar menanti sampai lain tahun, sampai
pertempuran di gunung Tiong Gak itu...."
Giok Peng berdiam. Ia menyambuti pulang suratnya It
Hiong. Kemudian ia mengempo anaknya untuk terus duduk
menghadapi Kiauw In. Di depannya sudah sedia satu meja
barang santapan guna santapan pagi, tetapi tidak ada satu
diantaranya yang tertelan mengisi perutnya.
Cuma It Hiong yang mereka pikirkan dan kuatirkan.
Sang waktu berjalan cepat, sang tengah hari tiba dengan
segera. Ketika itu Pat Pie Sin Kit In Gwa Sian kembali ke
rumah gubuk. Kedua nona telah mengambil keputusan tidak
berani mereka menyembunyikan kepergiannya It Hiong itu.
Maka mereka lantas memberitahukannya.
Si pengemis menepuk meja.
"Anak itu sangat sembrono !" katanya keras. "Nanti aku
pergi susul dia !"
"Adik Hiong telah pergi sejak tadi malam, paman." Kiauw In
mengasi tahu. "Mana dapat paman menyusulnya ? Lagipula
paman tidak tahu akan tujuannya."
In Gwa Sian diam untuk berpikir.
"Benar juga." katanya kemudian. "Aku si pengemis tua
hendak membantui Pek Cut Siansu menyambut para
undangan. Walaupun waktu yang ditetapkan ialah tanggal
limabelas bulan pertama, ada kemungkinan dalam beberapa
hari ini akan sudah datang sejumlah tamu-tamu, ialah mereka
yang formasi tempatnya paling dekat dengan Siauw Lim Sie.
Mereka itu rata-rata kawan atau sahabatnya Pek Cat tetapi
diantaranya pasti juga ada sahabat-sahabat kekalku
sedangkan mereka semua pada mempunyai adat atau tabiat
atau kebiasaan yang luar biasa, yang angkuh dan dingin
hingga sulitlah untuk menyambut dan melayaninya jika terjadi
salah bicara sedikit saja, bisa-bisa mereka nanti angkat kaki
pula. Karenanya, tak dapat aku pergi dari sini."
Dia jagi tua ini menghela napas. Ia mendongkol berbareng
berduka. Hanya sejenak ia menambahkan : "Beberapa orang
sahabatku itu adalah orang-orang yang sudah sekian lama
mencuci tangan yang telah mengundurkan diri, hingga ada
kemungkinan orang -orang muda sekarang ini cuma beberapa
orang saja yang kenal atau ketahui asal usul mereka itu. Sejak
malam itu aku menempur Toian Cie Loid si kepala bajingan
itu, aku memperoleh kenyataan bahwa segerombolan setan
cilik itu sesungguhnya tak dapat dipandang ringan.
Demikianlah, tak dapat tidak, perlu aku mengundang kawankawanku
itu !"
"Siapakah para tetua itu, paman ?" Kiauw In tanya. "Entah
pernah anakda mendengeranya dari guruku atau tidak..."
Ditanya begitu, In Gwa Sian tertawa terbahak-bahak. Dia
girang sekali.
"Orang-orang undanganku itu sangat jarang bergaulan
dengan gurumu si hidung kerbau itu !" sahutnya gembira. Tak
pernah dia lupa menyebut nyalu : "sihidung kerbau." Kalau
lain oarng menyebutnya itulah ejekan untuk kaum imam (tosu
atau Tojin), tetapi buat ia, itulah caranya bergurau. Dia
sendiri-sendiri selalu menyebut dirinya si pengemis tua, atau si
bangkotan pemabukan. "Karena itu tidaklah heran jika dia
belum pernah atau tak pernah di depanmu. Dimata gurumu
itu, sahabat-sahabatku terhitung sebagai orang-orang malang
ditengah, jahat bukan, lurus bukan, sebab mereka tak suak
memikir mendalam siapa salah siapa benar, mereka mudah
bergirang, tapi juga gampang marah. Setahuku selama hidup
mereka belum pernah mereka itu melakukan kejahatan besar,
ada juga sebagai macam kejahatan atau kekejian kecil. Kalau
gurumu si hidung kerbau malu bergaul dengan mereka maka
mereka itupun belum tentu sudi menaruh mata kepada
gurumu yang layaknya kaya dewa alim ! Ringkasnya mereka
keuda pihak mirip api dengan air yang saling tak sudi memberi
ampun...."
"Paman" berkata si nona Cio, "ingin keponakanmu berbesar
hati menambah sedikit dari pandangan paman, ialah mengenai
guruku. Memang diluarnya guruku tampak pendiam dan alim
bagaikan dewa serta berwibawa juga, tetapi sebenarnya
guruku sangat luwes dan pemarah !...."
In Gwa Sian menggelengkan kepala dan tertawa.
"Tok Cio si hidung kerbau itu" katanya, "walaupun ia pandai
ilmu silat luar biasa tetapi yang membuat orang
menghormatinya adalah sifatnya yang putih bersih, yang tak
tamak akan nama besar dan kedudukan. Harus diakui, siapa
yang lihai ilmu silatnya dan merasa dirinya dapat menjagoi
kalangan rimba persilatan, kebanyakan mereka itu
memandang ringan pada nama besar dan kedudukan tinggi,
sebaliknya, hati mereka tawar. Dilain pihak lagi, ada orang
yanglihai semacam itu tetapi tokh tak dapat mengalahi niatnya
tetap berada diatas lain orang. Demikian dengan aku si
pengemis tua, kalau bukannya aku mendengar kabar halnya
Pek Cio Siangjin di Kiu Hoa san memiliki ilmu pedang yang
luar biasa istimewa, tidak nanti aku mendatangi Pay In Nia
untuk menantangnya bertanding..."
Pengemis itu berhenti sejenak, untuk menarik napas
perlahan-lahan melegakan dadanya
"Di masa itu aku si pengemis tua, aku istimewa sekali" ia
melanjuti. "Bicara sebenar, aku sangat tidak puas yang
gurumu disohorkan sebagai orang gagah luar biasa yang
nomor satu dalam dunia rimba persilatan maka itu aku telah
menempur dia sampai tiga hari dan tiga malam, diantara kita
tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang, sampai
akhirnya gurumu menunda gerakan pedang dan
menganjurkan aku untuk menghentikan pertarungan itu.
Kemudian barulah aku pikirkan tentang pertandingan itu,
lantas aku insyaf bahwa setelah bertanding selama seratus
jurus aku telah kalah didalam satu jurus diantaranya. Ketika
itu setahuku, ilmu Hian-bun Sian Thian Khje kang dari gurumu
itu belum sempurna, begitupun belum sempurna ilmu
pedangnya Patkwa Kiu bun Kiam dan ilmu ringan tubuh
lompat tinggi Te In Ciong, loncatan Tangga Mega, tiga puluh
tahun telah berlalu siapa tahu selain semua ilmunya itu
sekarang diapun menciptakan ketiga ilmu pedangnya yang
digabung menjadi satu itu yaitu Thaykeka Liang Gie Kiam,
sedangkan aku, sebaliknya, aku bagaikan si nakan panah yang
telah diluncurkan..."
Kiau In berkuatir. Ia melihat diwaktu berkata terakhir itu
wajahnya si pengemis guram sekali, suata tanda bahwa dia
insyaf dan menyesal. Maka ia lekas-lekas berkata : "Paman,
kaum rimba persilatan menyebut paman sebagai Pat Pie Sin
Kit, bukankah julukan itu besar dan harum tak kalah daripada
namanya guruku ?"
In Gwa Sian tertawa hambar.
"Aku si pengemis tua, telah tua kau..." katanya masgul.
Mendadak dia berbangkit bangun terus bertindak keluar
dengan perlahan.
Kiauw In dan Giok Peng melengak. Belum pernah dia
melihat jago tua itu demikian berduka dan kelakuannya
demikian aneh. Maka mereka menerka bahwa perubahan itu
pastilah disebabkan selama tahun-tahun yang belakangan ini
hidupnya si pengemis aneh terlalu sunyi....
Kiauw In masih mau omong lebih banyak pula tetapi
karena sang paman guru sudah pergi keluar, terpaksa ia mesti
menunda, walaupun demikian, ia toh lantas berjalan
mengikutinya.
Giok Peng dengan mengempo Kauw Yan mengintil di
belakang si kakak In.
Kedua nona itu berjalan tanpa suara, mereka mengikuti
paman itu sampai diluar gubuk sejauh seratus tombak lebih,
sampai disitu baru mereka berhenti.
In Gwa Sian berjalan terus dengan tak pernah ia menoleh
walaupun hanya satu kali. Nampaknya seperti ia tidak tahu
yang kedua keponakan murid itu telah mengantar keluar.
Terus Kiauw In dan Giok Peng mengawasi kepergian sang
paman yang berjalan terus dan baru menghilang disuatu
pengkolan gunung...
Tiba-tiba Nona Pek merasakan sesuatu, yang menggugah
hatinya, maka tanpa merasa airmata itu berjatuhan ke muka
anaknya...
Kiauw In mendapatkan serupa duka itu, matanya lantas
menjadi merah dan mengembangkan air, hanya dia memilih
dapat meneguhkan hatinya mencegah airmata itu mengucur
keluar...
Lantas juga kedua nona itu berdiri diam saja, yang satu
menepis air matanya, yang lain mencoba menguasai hati, buat
melegakan diri.
Giok Peng terasadar paling dahulu karena tiba-tiba saja
Hauw Yan memanggil : "Mama ! Mama !" Maka insaflan ia
atas keadaan mereka. Dari itu, lekas-lekas ia menarik
tangannya Kiauw In.
"Kakak, mari kita pulang !" ia mengajak .
"Ah.. !" Nona Cio mengeluh. "Sejak aku kenal paman In,
belum pernah aku melihat ia seduka barusan..." Lalu tanpa
mengatakan sesuatu lagi, ia memutar tubuh untuk pulang ke
gubuk mereka.
Giok Peng yang tadinya menarik tangan orang, berjalan
mengikuti di belakangnya.
Cepat lewatnya sang waktu. Sepuluh hari berlalu seperti
tanpa terasa. Selama itu In Gwa Sian belum pernah kembali.
Maka itu, untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya, sambil
merawat Hauw Yan, kedua nona rajin berlatih guna
menyempurnakan ilmu pedangnya itu. Ilmu pedang itu perlu
dengan latik tak putus-putusnya untuk menjadi sempurna
betul-betul.
Sementara itu In Gwa Sian sebenarnya sedang repot luar
biasa hingga ia umpama kata tak dapat memecah dirinya.
Namanya Pek Cut Siansu dari Siauw Lim Sie sangat kesohor,
nama diapun tak kalah pamornya. Sekarang mereka berdua
membuat undangan umum. Undangan mereka itu membuat
mereka yang diundang menjadi memperoleh kehormatan
besar, hingga siapa yang menerima itu hatinya menjadi
girang. Benar seperti diduga si pengemis sahabat-sahabat
yang tempat kediamannya paling dekat dengan Siauw Lim Sie
telah datang siang-siang. Diantaranya haruslah disebut
seorang Sungan Telaga Kang Ouw yang dianggap luar biasa,
yang tinggal menyendiri bagaikan bersembunyi disuatu tempat
yang bernama Kim Kok Wan, taman lembah emas, di wilayah
kota Lok yong. Ia telah membuat seluruh rumah besar (cung
ie) yang pintunya senatiasa tertutup karena ia menampik
datanya tamu-tamu, bahkan kunjungan orang rimba
persilatan, Bu Lim ia tolak juga. Karena itu lama kelamaan,
jadi jarang orang menjenguknya, hingga akhirnya ia dilupakan
kaun Kang Ouw dan Bu Lim.
Jago itu she Ngai bernama Eng Eng. Di masanya dia
malang melintang, namanya sangat tersohor. Orang segani
dia kerena dua rupa kepadiaannya, yaitu ilmu ringan tubuh
berlompat tinggi dan jauh, Kang Kang Tae Ciong Sat dan
senjata rahasianya yang dijulukinya Teratai Thio lian cie, yang
berjumlah seratus delapan biji. Pada empat puluh tahun yang
lalu, pernah dengan seorang diri dia menempur lima ketua
Kam Im dari Siauw Lim Sie, sebab ialah ia telah mencuri kitab
silat tangan kosong dan ilmu pedang Siauw Lim Sie yang
disimpan didalam Coang Kok Kok, lauwiang tempat
menyimpan kitab. Ia pun telah bertempur dengan Pek Cut
Siansu sendiri selama tiga ratus jurus tanpa ada yang kalah
atau menang. Ketika itu Pek Cut belum diangkat menjadi
ketua Siauw Lim Sie dan dia mempunyai seorang paman
seperguruan yang terlebih tua. Kapan paman itu melihat dia
tidak bisa merobohkan musuh, si paman turun tangan sendiri.
Dialah Ceng In Taysu, pendeta satu-satunya yang
kedudukannya setingkat lebih tinggi daripada Pek Cut.
Sedangkan gurunya Pek Cut sendiri ialah Go In Taysu.
Tatkala itu usianya Ceng In sudah seratus tahun lebih,
selama hidupnya jarang dia tinggal menetap di Siauw Lim Sie.
Dia lebih gemar merantau. Selama tiga sampai lima tahun, tak
pernah ia pulang ke kuilnya. Hanya disaat Pek Cut bertempur
dengan Eng Eng kebetulan dia baru pulang. Menyaksikan Pek
Cut keteter, dia menyuruh si keponakan murid mundur, untuk
dia yang menggantikan melayaninya.
Sebenarnya selama tigaratus tahun, Ceng In adalah jago
Siauw Lim Sie satu-satunya. Go In sendiri masih kalah
dengannya. Hanya tabiatnya saja yang aneh, tak betah dia
tinggal didalam kuil. Benarlah, setelah dia maju belum
tigapuluh jurus, Eng Eng sudah kena ditotok hingga tak
berdaya.
Pek Cut menyayangi Ngai Eng Eng, ia memintakan
keampunan, maka Eng Eng dibiarkan pergi setelah dia diberi
nasihat. Tapi Eng Eng ingat budi, disaat Peng Cut
mengantarkannya turun gunung, dikaki puncak Siauw li Hiong,
mereka berdua mengikat janji persahabatan. Sejak itu belum
pernah mereka bertemu pula, sampai selewatnya tiga tahu
Pek Cut diangkat menjadi hongthio atau ciang bunjin, ketua
Siauw Lim Sie, baru Eng Eng datang untuk memberi selamat.
Kedua sahabat bertemu dengan sangat gembira. Inilah
pertemuan sesudah belasan tahun mereka terpisah. Malam
itu, mereka berdua bicara asyik sekali. Eng Eng berkatai
hatinya, ia sudah bosan dengan dunia Kang Ouw dan ingin
hidup menyendiri di Kim Kok Wan, maka lain waktu ia minta
Pek Cut suka berkunjung ke rumahnya itu. Kata-katanya telah
dibuktikan. Demikia ia mencuci tangan dan membangun
rumahnya di Kim Kok Wan tiu. Bahkan ia sampai menampik
kunjungannya sahabat atau orang Bu Lim lainnya. Pek Cut
menyetujui dan meuji keputusan sahabat itu mengundurkan
diri, sebab memang benar dunia Kang Ouw sangat berbahaya.
Cuma satu malam sahabat itu beromong-onong,
selanjutnya mereka berpisah pula.
Selanjutnya, selama Eng Eng tinggal di Kim Kok Wan,
hubungan kedua sahabat bagaikan terputus. Tapi disini itu Pek
Cut merasa aneh, ia seperti mencurigai Eng Eng. Ia mendapat
perasaan sahabatnya itu menyimpan sesuatu rahasia entah
apa. Apakah perlunya rumah atau halaman demikian besar di
Kim Kok Wan itu ? Hanya itu pernah Pek Cut memikir
menanyakan keterangannya si sahabat tetapi selalu ia gagal
saja, ia ragu-ragu mulainya sukar dibuka. Dan Eng Eng selama
dia tidak ditanya dia pura-pura tidak tahu apa-apa.
Mulanya masih kedua sahabat suka berkunjung dengan
lain, tahun lewat tahun saling berkunjung itu berkurang
bahkan selama dua atau tiga tahun tak pernah sekali jua.
Hingga mereka seperti sudah saling melupakannya. Tapi
sekarang setelah Siauw Lim pay menghadapi ancaman
pertempuran mati hidupnya ini tiba-tiba Pek Cut ingat
sahabatnya lama itu dan segera mengirimkannya surat
undangan.
Terpisahnya kota Lok yang dengan Tiong Gak cuma kira
ratus lie, buat orang yang mengerti silat hal itu tidak dapat
menjadi alangan suatu apa orang dapat pergi pagi dan pulang
sore. Pek Cut mengirim utusan murid Siauw Lim Sie yang
terpilih maka suratnya tiba dalam satu hari.
Semenjak dilepasnya surat-surat undangan Siauw Lim Sie
menjadi repot membuat persiapan menyambut kawan dan
juga lawan, kamar-kamar disediakna penjagaan diseluruh
halaman kuil diperketat. Tak ada jalan yang tak dijaga.
Sementara itu marilah kita melihat dahulu kepada In Gwa
Siang sejak dia meninggalkan Kiauw In dan Giok Peng berdua.
Jago tua ini merasa hatinya sangat tidak tenang. Sudah hilang
kitab ilmu pedang walaupun itu bukan kitab karyanya sendiri
telah pergi pula anak angkatnya tanpa pamitan lagi. Terutama
ia berduka sekali. Seharusnya ia menuju ke barat, buat
kembali ke Siauw Lim Sie, lantaran pikirannya kusut itu ia
terasasar. Sesudah jalan kira tujuh lie baru ia ketahui bahwa ia
kesasar. Tentu sekali ia harus memutar tubuh buat kembali.
Tetapi itu waktu di depan ia, ia melihat dua pasang sepatu
mana berserakan diatas rumput. Segera timbul perasaannya
ingin tahu, maka dengan satu kali lompat sampailah ia pada
ke empat buah sepatu itu. Kali ini dia bukan lagi heran, hanya
heran bercampur kaget.
Diantara rumput itu tampak rebah dua tubuh pendeta yang
jelas nyata dari jubahnya warna abu-abu dan disisi kedua
mayat itu menggeletak masing-masing singathung, yaitu
tongkat panjang dan kay To golok mereka itu. Tetapi yang
paling hebat ialah kedua pendeta itu hilang kepalanya masingmasing
sebatas leher !
Tak usah disangsikan lagi bahwa kedua mayat itu ialah dua
orang pendeta yang ditugaskan menjaga jalan dan sebuah
jalan cagak.
Sebagai seorang jago, apapula jago tua In Gwa Siang cuma
kaget sebentar. Lantas dia sadar dan dapat menerka artinya
penemuan mayat-mayat itu,. ialah kedua pendeta itu roboh
sebagai korban-korbannya tangan-tangan jahatt. Tepatnya
musuh !
Segera Pat Pie Sin Kit menghampiri mayat-mayat itu, guna
meneliti terlebih jauh. Melihat dari darah yang tidak mengucur
banyak, tahulah dia bahwa kedua pendeta itu mulanya kena
tertotok jalan darahnya, lalu sedang mereka tak sadar, leher
mereka ditebas kutung-kutung. Dalam penasaran, ia meraba
dada orang. Maka ia menemui masih ada denyutan jantung
orang. Maka itulah bukti bahwa orang baru saja dibunuh !
Melihat formasinya tongkat dan golok, In Gwa Sian pun
mendapat kesan kedua senjata sengaja diletakkan disisi
mereka itu. Maka itu lantas otaknya bekerja : "Dia atau
mereka itu, pasti bukan sembarang orang. Tak mudah
merobohkan dua orang hingga orang tak berdaya dan
mayatnya dipindahkan ke tempat yang bala dengan rumput
tebal dan tinggi itu dan sepatu mereka bagaikan
dipertontonkan ! Kenapa kepala orang pun dikutungkan dan
dibawa pergi ? Untuk apakah ? Bukankah itu bukti bahwa
musuh berada atau bersembunyi disekitar sini guna
melakukan pembunuhan gelap terhadap para pendeta ? Atau
mungkin kalau yang jatuh bukan cuma kedua pendeta yang
malang nasibnya ini... "
Tengah pendeta ini berpikir begitu, tiba-tiba ia mendengar
suara berkeresek rumput di belakangnya, belum lagi ia
menoleh atau melirik, kupingnya lantas mendengar ini suara
yang rada parau : "Saudara, bukankah saudara ialah Pat Pie
Sin Kit In Gwa Sian yang namanya tersohor dalam dunia
Sungai Telaga ?"
Cepat bagaikan kilat, In Gwa Sian memutar tubuhnya. Ia
sudah lantas bersiap sedia. "Tidak salah !" sahutnya cepat.
"Ya, inilah si pengemis tua ! Dan kau, tuan yang terhormat,
siapakah kau ?"
Di depan pengemis ini, cuma sejarak bebeapa kaki, tampak
seseorang tua yang kumis janggutnya telah putih semua
bagaikan perak, tubuhnya jangkung kurus, karenanya
jubahnya panjang juga, sedangkan wajahnya menunjuki dia
berwibawa. Yang aneh ialah ditangan kirinya dia itu tertenteng
dua kepala orang yang terikat menjadi satu dengan rotan dan
tangan kanannya memegang sebatang tongkat yang terbuat
dari perunggu. Walaupun demikian dengan muka berseri-seri
dia lantas menjawab pertanyaan orang. "Aku yang rendah
ialah Ngay Eng Eng dan aku datang ke Tiong Gak ini karena
aku menerima undangannya pendeta Pek Cut serta kau kakak
In !"
Tingkatnya In Gwa Sian tingkat tinggi, jarang orang Bu Lim
rimba persilatan yang memanggilnya saudara, kakak atau
adik, maka itu, mendengar orang she Ngay ini memanggil ia
kakak, ia merasa tidak senang. Walaupun demikian ia tidak
mau menunjuk rasa tak puasnya itu. Orang toh berkatai ia
bahwa orang datang karena menerima undangannya. Tak
mau ia berlaku kurang hormat.
"Maaf aku kurang hormat" katanya sambil merangkap
kedua tangannya. "Kakak kau membawa-bawa kepala orang,
kepala siapakah itu ?"
In Gwa Sian sengaja menanya meski juga ia sudah melihat
tegas sekali dua kepala itu tiada rambutnya, jadi itulah
kepalanya dua orang pendeta, bahkan itulah kepalanya dua
orang murid Siauw Lim Sie yang tubuhnya baru ia ketemukan.
Ngay Eng Eng menghela napas.
"Aku menyesal yang aku datang terlambat satu tindak !"
katanya sengit "karena itu kedua bapak pendeta ini telah kena
orang bokong hingga mereka menerima kehilangannya secara
hebat dan menyedihkan ini."
Kedua matanya In Gwa Sian mengerluarkan sinar bengis.
"Dengan begitu kakak Ngay kau telah melihat sendiri si
orang jahat ?" tanyanya, "entah bagaimanakah macamnya
pembunuh itu ?"
"Mereka terdiri dari dua orang" sahut Eng Eng. "Tubuh
mereka kecil dan sangat gesit, telah aku susul ia sejauh
beberapa lie, aku tidak berhasil menyandaknya. Setelah aku
menyerang mereka berulang-ulang dengan teratai besiku,
barulah mereka meninggalkan dua kepala orang ini. Bicara
terus terang, aku menyesal dengan kegagalanku ini..."
In Gwa Sian heran tapi belum sempat ia menanya pula, ia
melihat tibanya Liauw In Taysu bersama dua orang pendeta
tingkat tinggi dari Tatmo ih. Mereka itu datang sambil berlarilari.
Mulanya Liauw In melihat mayatnya kedua pendeta yang
rebah tak berjiwa dan tanpa kepala, baru ia mengawasi kepala
orang di tangan Ngay Eng Eng, tidak ayal lagi ia mengangkat
sebelah tangannya sambil memperdengarkan pujinya.
"Siacu" tanyanya kemudian kepada Eng Eng, "apakah
kedua kepala orang itu kepalanya murid-murid kami ini ?"
Pendeta itu sangat jarang berada didalam kuilnya karena
itu ia tidak kenal Ngay Eng Eng dan tidak tahu juga
persahabatannya orang she Ngay itu dengan ketuanya, karena
ini, melihat orang membawa-bawa kepalanya dua murid Siauw
Lim Sie, ada dirinya ia menjadi bercuriga.
Ditanya begitu rupa, Ngay Eng Eng tertawa hambar, ia
memangnya bertabiat dingin dan jumawa, pertanyaan itu
yang nadanya luar biasa, membuatnya tak puas. Ia seperti
dapat menerka bahwa orang mencurigainya. Tapi ia
menjawab sambil tertawa hambar : "Kecuali orang-orang
Siauw Lim Sie di Tiong Gak sini dimana ada pendeta-pendeta
lain ?"
Mendadak pendeta itu menjadi gusar, walaupun biasanya ia
sabar dan tenang. Inilah disebabkan hebatnya apa yang ia
lihat kedua orang muridnya rebah terkapar tanpa kepala dan
kepalanya justru terikat dan tercekal ditangan orang yang
tidak kenal, sedangkan orang itu bersikap angkuh. Tanpa pikir
panjang lagi ia mengangkat tongkatnya melintang dan dengan
murka, "Jika demikian, maka Siculah yang menjadi
pembunuhnya kedua murid kami ini."
Ngay Eng Eng menengadah langit dan tertawa lebar. Kata
dia : "Membunuh orang dan berbuat jahat bukanlah urusan
yang terlalu berat, tak ada perlunya kalau orang menjadi
kaget dan menjadi banyak berisik karenanya !"
Liauw In juga tertawa dingin.
"Sicu berani membunuh orang, rupa-rupa sicu tak takut
untuk mengganti jiwa ?" tanyanya pula, tetap keras. Karena
habis sudah kesabarannya, ia tegas menggerakkan tongkatnya
untuk menerjang.
"Tahan !" berseru In Gwa Sian yang segera mencegah
gerakan tangan orang.
Liauw In melengak saking heran. Ia pun segera melihat
pengemis itu berlompat maju, menghadang di depannya.
Hanya sambil menghadang itu, In Gwa Sian terus berkata :
"Aku si pengemis tua sudah lama mendengar nama besar dari
kau, kakak Ngay, sayang tak dari siang-siang kita bertemu
satu dengan lain, hari ini kau melihatmu, benarlah kau
seorang gagah perkasa !"
Eng Eng tertawa bergelak.
"Pujian, hanya pujian !" katanya. "Nama kakaklah justru
yang besar dan telah menggemparkah seluruh Sungai Telaga !
Sudah lama aku mengkangeni nama kakak, beruntung sekali
hari ini kita dapat bertemu muka hingga dengan demikian
dapatlah aku penuhkan pun harapanku !" Ia diam sejenak
terus ia menambahkan : "Didalam dunia ini tak sedikit
peristiwa-peristiwa melepas budi dan penasaran dan semua
ada yang terjadi karena sang kebetulan, demikian dengan
taysu ini karena ia melihat aku memegangi kepala orang
kontan aku dituduh sebagai pembunuhnya ! Dalamhal ini biar
bagaimana aku menjelaskan rasanya sulit buat aku
membersihkan diri, susah buat melenyapkan salah mengerti
karenanya, karena urusan ada begini rupa, aku pikir terlebih
baik bagiku untuk tidak mengadu lidah !"
Habis mengucap itu jago tua itu berpaling untuk
mengawasi Liauw In dan mulutnya berulang kali mengawasi
dengan tawa dingin.
Liauw In membanting kaki. Dialah seorang sadar, maka
tiba-tiba saja dia insaf akan kekeliruannya. Maka itu lantas ia
sesalkan In Gwa Sian.
"Eh, pengemis bangkotan, kau jahat sekali. Hampir-hampir
kau membuat kau berbuat salah terhadap seorang sahabat !"
katanya sengit.
Si pengemis tersenyum.
"Kakak Ngay ini adalah tamu undangannya ketua Siauw
Lim Sie kama." katanya sabar. "Siapa suruh kau tidak
mengenalnya ?"
Liauw In menggerakkan tongkatnya dari atas ke bawah,
maka pancapnya tongkatnya itu kedalam tanah hingga
tanahnya muncrat, setelah mana dia merangkap tangannya
memberi hormat pada Eng Eng.
"Maaf, pinceng tidak mengenali kau sicu" katanya.
Eng Eng segera membalas hormat, ia melihat usia si
pendeta sudah lanjut, ia percaya pendeta itu jadi salah
seorang tertua dari Siau Lim Sie dan kedudukannya pasti tidak
rendah.
"Akupun minta diberi maaf." katanya sambil tertawa.
"Lantaran malasku, sangat jarang aku berkunjung ke Siauw
Lim Sie, hingga kecuali ketua Pek Cut, bapak pendeta lainnya
sangat sedikit yang kukenal."
Kembali Liauw In membalas hormat dan berkata merendah,
sesudah mana ia menitahkan kedua kawannya membawa
pulang kedua mayat itu, supaya mereka itu segera
melaporkan kepada ketua-ketua mereka sekalian memohon
petunjuk.
"Sekarang mari kita melihat-lihat disekitar ini. " In Gwa Sian
mengajak.
Pemeriksaan itupun menjadi pemikirannya Liauw In, mka
itu berdua mereka lantas pergi berputaran, tetapi karena tidak
ada hasilnya terus mereka pulang ke Siauw Lim Sie. Baru
sampai dipintu gerbang, mereka sudah disambut Pek Cut
sendiri.
Bukan main girangnya kedua belah pihak, keduanya
tertawa riang.
Habis saling memberi hormat, Pek Cut berkata : "Kakak
Ngay sudah mengundurkan diri, seharusnya tak dapat aku
mengganggumu akan tetapi urusan luar biasa penting,
terpaksa aku mengirim surat juga kepadamu. Inilah sebab
kawanan bajingan luar lautan lihai semuanya tak dapat
mereka dihadapi oleh kaum rimbah persilatan seumumnya."
Eng Eng tertawa.
"Sudah beberapa puluh tahun kita bersahabat, selama itu
belum pernah kita saling minta bantuan, " kata ia, "sekarang
kau telah mengundang aku, aku sangat berterimakasih. Itulah
pertanda bahwa kau masih belum melupakan sahabat
lamamu. Karena itu juga begitu aku menerima suratmua,
begitu aku berangkat kemari, hanya sayang aku toh terlambat
satu tindak, aku tiba tanpa mampu menolong kedua muridmu
itu. Karena itu, sesungguhnya aku malu sekali...."
Parasnya Pek Cut berubah menjadi suaram dengan
mendadak. Ia menjadi sangat berduka.
"Itulah baru permulaan dari peristiwa-peristiwa hebat
menyedihkan." katanya menghela napas, "dan itu tidak
sampai disini saja ! Silahkan kalian masuk kedalam, nanti
kalian mendapat tahu, terutama kau, sahabatku."
Sepasang alisnya In Gwa Sian terbangun. Ia menerka pada
suatu kehebatan lain. Sebenarnya ia hendak meminta
keteranga, atau dapat ia mencegah membuka mulutnya. Maka
dengan membungkam ia turut bertindak masuk. Pek Cut
memimpin dan Ngay Eng Eng mengikuti.
Ketua Siauw Lim pay mengajak kedua teman lamanya
langsung ke Tatmoto. Ruang Bodhidarma, untuk memasuki
sebuah kamar sisi yang terbuat dari batu merah. Itulah
sebenarnya, kamar peranti berobat atau istirahatnya pendetapendeta
yang terluka disebabkan kecelakaan-kecelakaan
latihan. Baru mendekati tujuh atau delapan kaki dari kamar,
bertiga mereka sudah mendengar rintihan tak hentinya,
rintihan saling susul dari mereka yang tengah menderita. Itu
pula pertanda bahwa orang yang lagi menderita itu tak sedikit
jumlahnya....
Di muka pintu ada dua orang pendeta yang bertubuh tinggi
dan besar yang mengawal, selekasnya mereka melihat Pek
Cut, lantas mereka memberi hormat kepada ketua itu, terus
lekas-lekas mereka membukakan pintu.
In Gwa Sian menjadi tidak sabaran, dialah yang
mendahului bertindak masuk, maka itu lantas ia melihat
delapan orang yang masing-masing rebah diatas pembaringan
kayu cemara, tubuh mereka itu dikeredongi selimut putih
hingga tak tampak lukanya masing-masing.
Pek Cut mengawasi si pengemis dan sahabatnya Eng Eng,
wajahnya suaram saking berduka.
"Selama beberapa ratus tahun, belum pernah Siauw Lim
Sie mengalami peristiwa hebat dan menyedihkan seperti kali
ini." kata suaranya sedih. "Sungguh tak kusangka, justru
dibawah pimpinanku bisa terjadi semua ini. Itulah bukti dari
pimpinanku yang tidak bijaksana karena aku tidak mempunyai
kemampuan hingga aku menyebabakan para murid ini
menderita. Kalau nanti aku beruntung dapat kembali dari
perjalanan kesarang bajingan luar lautan itu akan aku
mengundurkan diri dan mengambil keputusan guna aku
mengatur maaf kepada para leluhur dan partaian...."
Sementara itu In Gwa Sian heran. Ia tidak melihat tandatanda
darah pada kain keredong yang berwarna putih itu.
Maka ia kata didalam hati :" Rintihan mereka menyatakan
tentunya mereka terluka parah habis kenpa tak ada tanda
daranya barang setitik juga ?" Saking herannya, tapa merasa
sebelah tangannya diulur dipakai menyingkap kain kerebong
puting dari penderita yang terdekat dengannya.
Begitu ia melihat sang penderita begitu In Gwa Sian sendiri
melengak, matanya mendelong, mulutnya ternganga. Toh Pit
Pin Sin Kit menjadi pengemis konsen dan luas
pengalamannya.
Pendeta yang lagi menderita itu memejamkan kedua belah
matanya, mukanya telah berubah menjadi biru pucat ! Itulah
yang menggetarkan hatinya si jago tua.
Pek Cut menyaksikan keadaannya sahabat pengemis itu, ia
menghela napas.
"Tadi aku menerima laporan, " berkata ia sabar,"katanya
dua orang kami yang berjaga-jaga diarah Barat daya, di jalan
genting yang penting, kedapatan roboh tak berdaya dan
merintih terus terusan, kelihatannya mereka seperti terkena
racun. Mulanya aku mengira mereka itu kurang berhati-hati
dan telah kena terpagut binatang beracun maka kau
memerintahkan pihak Tatmo Ih mengirim orang-orang buat
membantu mereka serta berbareng menempatkan dua orang
penggantinya. Baru aku memberikan perintah itu, lantas
datang lain-lain laporan yang serupa, bahwa orang-orang kami
roboh tak berdaya dengan tubuh bengkak dan mukanya pucat
pasi kehitam-hitaman. Kami tidak tahu apa yang
menyebabkan kecelakaan itu. Karena itu aku minta beberapa
Tianglo dari Tiam Ih serta adik Liauw In pergi melakukan
pemeriksaan guna mencari sipenyerang...."
Liauw In merapatkan kedua tangannya dan berkata :
"Panco sudah menerima titah itu dan telah pergi dengan
mengajak dua orang murid Tatmo Ih, tatkala kami tiba
ditempat jagaan sebelah selatan, kami mendapatkan bahwa
dua orang kita yang bertugas di sana sudah binasa
dibunuh...."
Pek Cut menarik napas.
"Bagaimanakah duduknya itu ?" tanya. Kemudian setelah
memperoleh jawaban, ia kata pada Eng Eng, "Kakak Ngay,
dapatkah kau mengira-ngira kedua orang musuh itu berasal
dari mana ?"
Ngay Eng Eng menggeleng kepala.
"Aku tidak kenal mereka itu, " sahutnya. "Aku cuma melihat
mereka itu bertubuh kecil dan gerak geriknya sangat gesit.
Muka merekapu ditutup dengan topeng. Jika aku tidak keliru
menerka, mestinya mereka itu orang-orang perempuan...."
"Apa ? Orang perempuan ?" tanya In Gwa Sian heran.
"Ya !" Eng Eng tetapkan. "Rasanya mataku tidak keliru
melihat ! Senjata mereka juga bukan senjata yang umumnya
dipakai bangsa pria !"
"Senjata apakah itu ?"
"Yang satu membekal pedang, hanya pedang itu jauh lebih
pendek daripada pedang yagn biasa, panjang kira-kira cuma
dua kaki. Yang lainnya menggunakan sepasang pisau belati
panjang kira-kira satu kaki. Pasti sudah mereka masuk
hitungan jago silat kelas tinggi, sebab mereka gesit dan lihai
dari ilmu ringan tubuhnya mahir sekali. Waktu aku memburu
kepada mereka, mereka sudah berhasil membinasakan kedua
orang kurbannya dan ketika aku mengejar, mereka kabur
tanpa dapat dicandak, hingga aku menggunakan senjata
rahasiaku, baru mereka meninggalkan dua kepala kurbannya
itu."
"Mulanya dua kali aku menghajar mereka dengan pukulan
Tangan Udara kosong. Aku percaya kepandaianku dalam ilmu
itu sudah enam bahagian sempurna, seranganku beras diatas
lima ratus kati, tetapi heran, mereka itu dapat menangkis
dengan baik. Entah mereka menggunakan tipu, entah kenapa,
sehabis menyambuti dua kali seranganku itu, mereka memutar
tubuh dan kabur keras sekali hingga akhirnya mereka lolos...."
Berkata sampai disitu, jago tua ini berhenti sebentar. Ia
mengawasi bergantian kepada In Gwa Sian dan Pek Cut
Siansu. Kemudian ia menghela napas, rupanya untuk
melegakan hatinya yang pepat.
"Aku si tua, aku sangat bersyukur sudah mengundang aku,"
ia melanjuti kemudian. "Sebagaimana kalian ketahui, telah
beberapa puluh tahun sejak aku mengundurkan diri. Siapa
sangka kalian masih mengingatkan dan telah
mengundangnya. Terang kalian sangat menghargai aku. Tapi
aku menyesal sekali, dihadapanku, orang membuatku gagal
mencegah kecelakaan sampai ada orang-orang yang
bercelaka. Itulah hal yang membuatku malu hingga tak ada
tempat buat aku menaruh mukaku. Coba mereka itu berhasil
membawa pergi kepalanya kedua bapak pendeta itu, pasti tak
ada mukaku buat menemui kalian, tak dapat aku memasuki
kuil ini. Syukurlah aku mengerti ilmu lari cepat Delapan Tindak
Mengejar Tonggeret. Ilmu mana aku tidak sia-siakan selama
aku hidup mengasingkan diri. Sejauh dua tiga lie, masih aku
menjadi bingung sendiri. Ketika itu aku makin percaya mereka
bukanlah sembarangan orang. Diakhirinya terpaksa aku
serang mereka dengan biji Teratai besiku. Kalau ini aku tidak
gagal seluruhnya. Mereka itu terkena teratai besi, lantas
mereka melepaskan dua kepala korbannya, tetapi mereka
sendiri kabur terus dan lolos..."
"Saudara Ngay mengandalkan kepada pengetahuanmu
yang luas, tak dapatkah menerka-nerka mereka sebenarnya
dari golongan mana ?" Pek Cut tanya.
Eng Eng menggelengkan kepala.
"Tak dapat aku mengenali mereka sebab pertama-tama
kami tidak sampai bertempur dan kedua mereka mengenakan
topeng."
Tiba-tiba In Gwa Sian menyela : "Saudara Ngay, melihat
keterangan kau ini, mungkin mereka bukan asal Tionggoan,
mestinya mereka orang luar lautan juga. Sayang aku si tua,
aku datang terlambat satu tindak, jika tidak tentu aku akan
mencoba membekuk satu diantaranya, guna mengorek
keterangan perihal mereka !"
Sampai disitu, Liauw In pun campur bicara,
"Dalam pertempuran setengah bulan yang lalu" kata ia,
"walaupun pihak bajingan tidak memperoleh hasil, kita juga
bukannya mendapat kemenangan, karena itu, benarlah katakatanya
saudara In, kita harus ketahui jelas perihal mereka
itu. Setahuku, memang kita belum mendengar perihal dua
oarang pembunuh itu seperti yang dilakukan saudara Ngay."
"Mereka itu lihai, merekapun belum ketahuan siapa adanya,
itulah satu soal" berkata Pek Cut. "Soal lainnya ialah muridmurid
kami yang terluka ini. Tubuh mereka bengkak dan muka
mereka matang biru, tak tahu kami mereka terkena racun apa.
Sama sekali mereka tidak terluka. Bagaimanakah kita harus
menolong mereka itu ? Aku rasa ilmu pengobatan kami sulit
menolongnya, jika mereka terkena senjata rahasia biasanya
yang kecil dan halus seperti jarum, mesti ada tanda atau
bekas-bekasnya."
In Gwa Siang dan Ngay Eng Eng menundukkan kepala,
mencoba mencium-cium ke dekat tubuh para korban itu.
Mereka tidak mendapat hasil apa-apa. Bau yang mereka
dapati cuma bau baCin seperti biasa, baunya luka yang umum.
Toh merekalah orang-orang tua, orang-orang Kang Ouw
kawakan. Maka mereka jadi diam.
Lewat sekian lama, In Gwa Sian menghela napas.
"Seumur aku hidup di dalam Sungai Telaga," kata ia,
"segala macam senjata rahasia hampir aku kenal semuanya,
bahkan senjata rahasia hebat dari beberapa jago, aku ketahui
dengan baik sekali. Ada senjata rahasia beracun yang aku
belum tahu, toh pernah aku mendengarnya."
"Menurut aku, para bapak pendeta ini pasti bukan
disebabkan senjata rahasia" kata Eng Eng. "Aku percaya
mereka dilukai oleh suatu pukulan tangan rahasia yang
beracun. Dalam hal ilmu pukulan ini aku tahu tentang Yan Tio
Siang Can serta Kim Lam It Tok. Kecuali mereka itu bertiga,
aku rasa sukar mencari orang pandai semacam mereka yang
ke empat."
Jago tua itu menyebut tiga orang ahli menggunakan
pukulan beracun itu. Yang Tio Siang yaitu "Sepasang malaikat
kejam dari Yan Tio" (Honak dan Lhoasay) dan Kim Lam It Tok
yakni si "Tunggal Beracun dari Kwio ciu Selatan".
In Gwa Sian menggeleng-geleng kepala.
"Kalau Yan Tio Siang Can, itulah rasanya tak mungkin" kata
dia. "Denganku si pengemis tua, kami mempunyai pergaulan
tawar tidak tawar, rapat tidak rapat, dan berhubung dengan
kepergian kita keluar lintas ini, aku telah bersedia-sedia
mengirim undangan mengharap bantuannya. Mengenai Kim
Lam It Tok, aku cuma pernah dengar namanya, bahwa gerak
geriknya sangat terahasia, hingga hampir tak ada orang Kang
Ouw yang ketahui tindak tanduknya. Pernah aku pergi ke Kwi
ciu mencarinya tetapi aku gagal menemuinya. Aku sangsi
kalau inilah hasil perbuatannya....."
Eng Eng tertawa.
"Sebenarnya setiap rekan rimba persilatan mengetahui
perihal Kim Lam It Tok," kta ia, "cuma benar, melainkan
beberapa orang saja yang pernah bertemu muka dengannya.
Aku mempunyai peruntungan baik, pernah satu kali aku
melihatnya."
In Gwa Sian menarik nafas dalam-dalam.
"Kim Lam It Tok terkenal diseluruh negara, tetapi tak ada
orang yang tahu she dan namanya yang benar." katanya pula,
"orang cuma mendengar gelarannya tetapi belum pernah
melihat sendiri orangnya, maka itu saudara, kalau kau pernah
bertemu dengannya dapatkah kau melukiskan tentang
wajahnya, tubuh dan usianya ? Semoga kalau dilain ketika aku
melihat dia, dapat aku mengenalinya. Hendak aku si pengemis
tua berkenalan dengan dia."
Eng Eng tersenyum.
"Dialah seorang biasa saja, tidak ada ciri-cirinya yang luar
biasa atau berlainan dari orang kebanyakan." sahutnya.
"Tentang usianya dia seimbang dengan usiaku."
Selama dua orang itu bicara, Pek Cut dan Liauw In berdiam
saja. Sebenarnya mereka kurang setuju orang bicara melulu
tetapi mereka malu hati untuk melarangnya, karenanya
terpaksa mereka tunduk mendengarkan dengan hati mereka
risau tidak karuan.
Kebetulan Pat Pie Sin Kit mendapat lihat kedua pendeta itu,
tahulah ia apa sebabnya orang berdiam dengan tampang
berduka itu.
"Aku mendapat satu pikiran." katanya kemudian. "Kedua
muridnya Tek Cio si hidung kerbau mempunyai obat hosinouw,
entah obat itu dapat dipakai menolong membasmi racun
atau tidak..."
Sebelum Pek Cut menjawab, Eng Eng sudah
mendahuluinya.
"Obat itu tersohor mujarab, boleh sekali kita mencobanya,"
kata jago tua itu. "Dengan adanya obat itu, hendak aku
mencoba membuat obat pemusnah racun itu."
"Jadinya kau mengerti ilmu pengobatan, saudara Ngay ?"
In Gwa Sian tegaskan.
Eng Eng tertawa.
"Bersama Kim Lam It Tok pernah aku tinggal buat suatu
waktu" ia menjawab memberikan keteranga. "Dia baik sekali
terhadapku, dia telah mewariskan caranya pembuatan
beberapa obat pembasmi racun, sayang akulah yang tolol, tak
dapat aku mempelajari semua. Inilah sebabnya kau tidak
mengerti sebab musabab dari penderitaannya para bapak
pendeta ini, hanya itu aku merasa, andiakata kita memiliki
hosin ouw, mungkin pengobatannya tak seberapa sulit. Nah,
silahkan saudara pergi mengambil obat itu nanti aku berdaya
mencoba meringankan penderitaannya mereka ini...."
In Gwa Sian mengangguk. Ia memutar tubuh buat pergi
keluar, tetapi baru beberapa tindak, mendadak Eng Eng
memanggilnya. "Saudara In, tunggu ! Sekarang aku tahu
bagaimana harus mengobati mereka ini, tak berani aku
merepotkan pula padamu !"
Pat Pie Sin Kit menoleh. Ia merasa heran. Begitu cepat
perubahannya si orang Ngay ini. Ia pun lantas melihat
bagaimana Eng Eng sudah lantas bekerja, sedangkan Pek Cut
dan Liauw In mendampinginya disisi pembaringan.
Eng Eng mengenakan sarung tangan pada tangan kirinya,
tangan kanannya mencekal sebuah pisau kecil yang tajam
mengkilat, dengan pisau itu ia mengkurat lengan kiri seorang
pendeta, membuat luka sepanjang satu dim lebih, hingga luka
itu lantas mengalirkan darah yang merah kehitaman.
In Gwa Sian segera datang menghampiri. "Apakah saudara
sudah dapat menerka racun ini racun apa?" tanyanya.
Ngay Eng Eng tersenyum.
"Tadi aku lalai" sahutnya, "hampir aku terpedayakan
meraka itu ! Sekarang setelah aku melihat darahnya, aku
merasa pasti bahwa semua bapak pendeta ini telah
keracunan. Ya semacam ular...."
"Jadi benarkah mereka terpagut ular ?" In Gwa Sian
menanya tegas.
Eng Eng tertawa, ia mengangguk.
"Jangan kata para bapak pendeta ini yang mengerti ilmu
silat" katanya, "sekalipun orang biasa saja, asal dia bersenjata
dia dapat membela dirinya. Apa pula mereka ini berbareng
kena diracuninya. Karena ular itu ular biasa, darimana
datangnya ular sedemikian banyak dan munculnya pun hampir
berbareng dipelbagai tempat ? Maka itu dapat diterka bahwa
musuh menggunakan racun yang mulanya mereka kumpul
atau simpan dahulu didalah sebuah selubung atau pipa besi
istimewa, kapan mulut selubung dibuka, lantas racun ini
ditimpukan seperti orang menyerang dengan senjata rahasia.
Dalam hal ini, racun itu racun dicelupkan pada jarum atau
pasir, setelah jarum atau pasir beracun itu mengenakan atau
menempel pada tubuh, racunnya lantas bekerja mengalir ke
seluruh tubuh, meresap ke dalam darah daging hingga si
korban kontan bakuh beku tubuhnya dan kulitnya lantas
berubah matang biru lalu didalam waktu dua belas jam
tubuhnya bengkak, racun masuk ke jantung dan putuslah jiwa
orang..."
In Gwa Sian heran mendengar keterangan itu.
"Dengan begini saudara Ngay" katanya, "teranglah kau
pandai ilmu pengobatan keracunan..."
Eng Eng tertawa pula.
"Saudara In memuji padaku !" katanya. "Aku cuma belajar
kulitnya saja dari Kim Lam It Tok, tak dapat aku dibilang
mengerti atau pandai..." Ia terus merogoh sakunya,
mengeluarkan sebuah botol, ketika ia buka tutup botol itu dari
situ tersiar bau sangat tak sedap yang menyerang hidung
membuat orang hendah tumpah-tumpah.
Menyaksikan semua itu In Gwa Sian, Pek Cut dan Liauw In
pada mengerutkan kening.
Eng Eng kembali tertawa.
"Bicara sejujurnya saudara-saudara" kata ia, "isinya botolku
ini ialah racunnya kodok siam uh. Bukannya aku jumawa,
apabila dipadu dengan racun musuh, racunku ini jauh lebih
beracun, hanya kalau kedua racun dicampur menjadi satu
sifatnya lantas berubah menjadi lunak sedang. Demikian
sekarang hendak aku memakai racun siam uh untuk
membantu para bapak guru ini..."
Sementara itu pendeta itu bernafas perlahan sekali
bagaikan lagi menantikan tibanya sang maut...
Pek CUt dan Liauw In tidak mencegah orang she Ngay itu.
Mereka berdiri disisi seperti lagi menonton. Demikian pula Pat
Pie Sin Kit.
Eng Eng melanjuti usaha pertolongannya. Racun siam uh
itu berwarna kuning, air beracun itu dituangkan sedikit keluka
guratan dilengannya sipendeta pertama, lalu menyusul
dengan cepat percobaan pertolongan itu kepada tujuh orang
pendeta lainnya. Semua mereka inipun digores dahulu sedikit
kulit lengannya, sesudah darahnya yang beracun mengalir
keluar baru mereka dipakaikan obat racun itu. Diakhirnya Eng
Eng memberikan Pek Cut sebotol kecil obat warna putih
sembari tertawa ia kata : "Kalau sebentar satu jam kemudian
mereka terasadar diri dari pingsannya, segera kasih mereka
makan dua butir obat ini dengan diantar dengan air dingin.
Setelah itu biarkanlah mereka beristirahat. Lewat tiga hari,
dengan setiap harinya mereka makan pula dua butir, semoga
mereka sudah sembuh seluruhnya. Sebaliknya apabila
pertolonganku ini gagal, kedelapan bapak guru ini tak akan
hidup melewati malam ini."
Pek Cut menyambuti obat sambil ia menghaturkan terima
kasih, lalu menyerahkan itu lebih jauh kepada seorang
muridnya yang ditugaskan menjaga dan merawati orangorang
yang lagi menderita itu. Kepada si tuan penolong, ia
menambahkan :"Saudara Ngay, jangan menguatirkan apaapa,
jika obat ini tidak menolong mereka terserah kepada
Sang Buddha, manusia mati atau hidup sudah tertakdirkan,
kita manusia tak dapat memaksakan..."
Eng Eng tersenyum.
"Tetapi toh aku percaya bahwa pengobatanku ini tidak
keiru !" katanya.
"Amida Buddha !" Pek Cut memuji sambil merapatkan
tangannya. "Saudara datang dari tempat yang jauh siapa
sangka saudara lantas menghadapi peristiwa tak beruntung
ini, maka setelah sekarang selagi pertolongan pertama ini
silahkan saudara mengikutku ke dalam untuk kita berduduk
beromong-omong supaya dapat aku melakukan kewajibanku
sebagai tuan rumah terhadap tetamunya."
Eng Eng mengucap terimakasih. Ia menerima baik
undangan itu.
Liauw In segera berjalan di depan, untuk meninggalkan
ruang Tatmo Ih itu guna memimpin tamunya ke kamar ketua.
Seorang sue bie kacung pendeta lantas muncul
menyuguhkan air teh.
Habis menghirup tehnya, In Gwa Sian yang mulai
membuka suara. Kata dia : "Dilihat dari peristiwa ini, nyata
sekali kawanan bajingan masih belum berlalu dari wilayah kita
ini bahkan mungkin sekali, mereka segera akan mengulangi
pembokongannya dengan senjata racun yang jahat itu. Karena
itu, menurut pikiranku, baiklah kita lebih dahulu melakukan
penggeledahan secara besar-besaran, guna membersihkan
bagian dalam, lalau kita mengirim orang-orang secara
menyamar ke kaki gunung buat memata-matai musuh disetiap
dusun atau kampung disekitar kita. Dengan begitu, mereka
juga bisa sekalian menyambut datangnya tamu-tamu
undangan kita."
Eng Eng menyetujui usul itu, yang bahkan ia puji.
Pek Cut menghela napas.
"Karena keadaan ialah menjadi begini rupa, baiklah, akan
aku turut saran kedua saudara" katanya, berduka. Karena
sebagai seorang beribadat, ia sebenarnya tak menyetujui
pertempuran apa juga.
Habis berbicara, mereka bersantap. Burung, udang,
semuanya sayuran rasanya lezat. Sesudah itu barulah ketua
Siauw Lim Sie mulai mengatur orang-orangnya.
Tatmo Ih diminta memilih lima puluh orang murid pilihan,
supaya mereka itu dipecah menjadi lima, setiap rombongan
dikepalai oleh Liauw In bersama kelima tianglo dari Tatmo,
ketua dari ruang Tohan Tong dan pengurus Chong Kong Kok.
Mereka ditugaskan menggeledah seluruh wilayah Siauw Lim
Sie sekalian mengatur pula pelbagai pos penjagaan, supaya
setiap jalan masuk terjaga rapi. Dua puluh orang murid
lainnya yang terpilih cerdik, dikirim berpencaran turun gunung
guna sambil menyambut memasang mata kepada kawan dan
lawan.
In Gwa Sian dan Ngay Eng Eng membiarkan bantuannya,
mereka akan membantu ke pelbagai arah. Untuk didalam kuil,
Pek Cut yang bertanggung jawab sendiri.
Dengan cara demikian, Siauw Lim Sie bagaikan salin rupa.
Beberapa hari sudah lewat, tidak terjadi suatu apapun.
Penyerangan gelap tak terulang pula. Eng Eng dan In Gwa
Sian penasaran, sendirinya mereka menjelajah gunung,
memeriksa setiap gua dan lainnya, seluas beberapa puluh lie,
mereka juga tidak menemukan apa-apa. Dilain pihak, tamutamu
undangan mulai tiba, mereka disambut dengan baik dan
diberikan tempat serta pelayanan sempurna. Kalau tamu yang
datang tamu teman lama, Pek Cut dan In Gwa Sian sendiri
yang melayaninya.
Begitulah Siauw Lim Sie, yang tadinya sepi menjadi ramai.
Penghuninyapun menjadi beraneka ragam disebabkan
bedanya cara berdandan pelbagai tamu-tamu itu.
Tanpa merasa, satu bulan telah berlalu. Tetap tak terjadi
gangguan pihak lawan.
Sementara itu, delapan pendeta yang terkena racun sudah
mulai sembuh seluruhnya.
Pada suatu hari, Pek Cut datang ke kamarnya In Gwa Sian.
Ia hendak mendamaikan cara bekerja untuk menghadapi
lawan nanti.
In Gwa Sian nampak repot menyambut ketua Siauw Lim
Sie. Setelah mempersilahkan duduk, ia pula mendahului
menanya keadaan kedelapan pendeta korban racun musuh
itu.
Pek Cut bersyukur orang sangat memperhatikan muridmuridnya.
"Syukurlah tibanya saudara Ngay" kata ia menjawab
pertanyaan, "kalau tidak pasti mereka itu tak akan dapat
ditolong lagi..."
"Apakah saudara Ngay dapat mengatakan atau menerka
siapa musuh penyerang gelap itu ?" tanya pula Pat Pie Sin Kit.
"Mungkinkah mereka adalah murid-muridnya Cit Mo dari pulau
To Ling To ?"
"Cit Mo" ialah "tujuh bajingan" jago-jago dari To Liong To.
"Belum" sahut Pek Cut. "Aku pun keras memikirkannya
tanpa hasilnya. Anehnya kenapa sesudah berselang begini
lama, masih belum ada tindakan lainnya dari mereka itu ?"
"Apakah Siansu menerka kepada pihaknya Kim Lam It Tok
?" In Gwa Sian tanya.
Ketua Siauw Lim Sie itu merapatkan kedua belah alisnya, ia
pun menarik napas berduka.
"Jika dugaannya saudara Ngay tidak keliru, Kim Lam It Tok
sudah kena tertarik kawanan bajingan itu" sahutnya menyesal.
"Kalau benar dialah adanya, makin sulit buat kita
melayaninya...."
In Gwa Sian heran melihat pendeta itu berduka demikian
rupa, sedang ia tahu Pek Cut adalah seorang jago. Berbareng
dengan itu, ia berkesan baik sekali terhadap pendeta ini. Maka
juga mengawasi si pendeta ia menatap tajam hingga matanya
bagaikan bersinar menyala.
"Aku si pengemis tua, aku tidak percaya mereka itu
mempunyai kepandaian sedemikian lihai hingga mereka
sanggup menjagoi Tionggoan !" katanya keras. "Asal aku si
pengemis tua masih bernapas, tak nanti aku ijinkan mereka
bertingkah polah !"
"Kau dan kawan-kawanmu saudara In, memang kalian
mempunyai kepercayaan yang kuat sekali" berkata si pendeta,
"cumalah, buat bicara terus terang, To Liong To Cit Mo serta
Kim Lam It Tok benar-benar tak dapat dipandang terlalu
ringan. Ketujuh bajingan atau siluman itu sudah dua puluh
tahun lamanya belum pernah terdengar menginjak pula tanah
Tionggoan, maka itu, sekarang ini, mungkin mereka sudah
meyakinkan entah ilmu gaib apa. Yang paling dikuatirkan
adalah Kim Lam It Tok seorang. Sudah sejak tiga puluh tahun
yang lampau, belum pernah dia tampak atau terdengar pula
namanya dibuat sebutan. Menurut kabar angin, dia tinggal
menyendiri di dalam rimba lebat terasing dikaki bukut puncak
Il Kiam Hong di gunung Bin San dimana dia setiap hari hidup
berdekatan dengan pelbagai macam binatang beracun, yang
jadikan binatang piaraannya, hingga taklah heran andiakata
dia pakai racun sebagai alat senjatanya yang istimewa. Benar
sulit andiakata betul-betul dia turut memusuhi kita..."
Perkataannya ketua Siauw Lim Sie itu membuat si
pengemis tua berpikir keras.
"Seumurku, aku cuma pernah mendengar nama dia tetapi
belum pernah bertemu dengan orangnya sendiri." katanya
kemudian. "Siansu, tahukan Siansu akan asal usulnya ?"
Jilid 4
Mendapat pertanyaan itu, tiba-tiba Pek Cut ingat kepada
Ngay Eng Eng, maka pikirannya : Kenapa kau tidak mau
mengundang dia datang kemari supaya dialah yang memberi
penjelasan? Dia kenal Kim Lam It Tok, mungkin dia banyak
mengetahui tentangnya. “Saudara In, kau menyadarkan aku.
Bukankah saudara Ngay yang telah menolong jiwa para
muridku? Ia pernah mengatakan bahwa ia pernah belajar
tentang racun dari Kim Lam It Tok yang ia kenal baik, karena
itu kenapa kita tidak mau minta keterangan darinya?
In Gwa Sian mengangguk.
“Benar! Dari keterangannya mungkin kita bisa meraba-raba
pada jago racun itu.” Pek Cut lantas menitahkan seorang
kacungnya pergi untuk mengundang tamunya tersebut.
Setelah satu bulan tinggal bersama disatu tempat didalam
kuil, pergaulan diantara In Gwa Sian dan Ngay Eng Eng tak
lagi main sungkan, bahkan sangat erat satu dengan lain.
Demikianlah ketika tamunya tersebut muncul diambang pintu,
dan ketika ia melihat hanya ada dua orang di sana, yaitu
hanya tuan rumah dan si pengemis tua, maka ini agak
membuat sitamu sedikit heran, ia lantas bertanya : “Entah ada
urusan apa maka Siansu dan saudara In memanggilku datang
kemari?”
In Gwa Sian menghargai tamunya itu, begitu lekas ia
melihat orang muncul, ia lantas berdiri buat memberi hormat
sambil mengundang duduk. Pek Cut pun menyambut secara
terhormat, walau dilain pihak ia harus menjaga derajat dan
kehormatannya sebagai tuan rumah.
Bersama In Gwa Sian, Eng Eng melangkah masuk kedalam
kamar untuk duduk berkumpul dan tanpa basa-basi lagi Pek
Cut langsung memohon keterangan perihal Kim Lam It Tok.
Eng Eng bersedia memberikan penuturannya. Iapun telah
merasa sejak semula bahwa keracunannya para pendeta mirip
dengan racun yang digunakan jago dari Kwieciu Selatan itu.
Beginilah ceritanya.
Ketika Eng Eng berusia dua puluh tahun lebih, ia telah
hidup merantau, maka banyak sekali kenalannya baik dari
kalangan hitam maupun putih. Iapun kadang-kadang
melakukan perbuatan baik, menolong siapa yang harus
ditolong. Ia dikenal karena ilmu ringan tubuhnya yang mahir
dan teratai besi Thi Lian Cie nya yang lihai yang ia peroleh
dari seorang gagah. Kemudian ketika ayah bundanya
meninggal dunia warisan sawah kebunnya ia serahkan pada
kakaknya, ia sendiri terus merantau. Pada satu waktu dalam
usia tigapuluh tahun lebih, ia sampai digunung Tok San di
Kwieciu, kota terbesar kedua di propinsi Inlam. Kwieciu kota
yang besar, banyak penduduknya dan ramai. Penduduknya
kecuali bangsa Han asli juga banyak suku Biauw, Yauw dan
Koso. Suku-suku itu dimasa itu masih dianggap separuh sopan
dan tinggalnya berpencaran dan cara hidupnya ialah
membawa hasil hutan yang berupa obat-obatan kekota untuk
dijual atau ditukar dengan minyak, garam , bahan pakaian dan
lain-lain.
Terjadilah pada suatu hari, ketika ia sedang menunggang
kuda, Eng Eng melintasi jalan besar dipegunungan Tok san
itu. Ketika itu hawa udara panas menyengat, maka disatu
tempat terpisah lima atau enam lie dari kota, ia singgah untuk
beristirahat dan berteduh. disitu terdapat tak sedikit para
pelancong lainnya. Ia memasuki sebuah hutan kecil dan
menambatkan kudanya pada sebuah pohon, terus ia duduk
bercokol diatas sebuah batu hijau bersih. Hawa dan angin
disitu mendatangkan rasa sejuk. Selagi ia beristirahat itu,
mendadak ia mendengar suara berisik sedikit jauh di
belakangnya, dibawah sebuah pohon besar. Ia lantas menoleh
dan menghampiri lalu menyelak didalam kerumunan orang
banyak. Ia melihat seorang lagi menjerit ketakutan dan
menangis. Itulah seorang wanita suku Biauw yang lagi
memegangi seorang pria bangsanya yang pingsan. Disisinya
ada dua buah bekal yang penuh barang makanan dan bahan
pakaian. Si orang pingsan mengeluarkan darah dari mulutnya
dan mukanya pucat kehitam-hitaman.
Dengan melihat sekelebatan saja, Eng Eng tahu bahwa
orang ini telah keracunan, hanya ia tak tahu racun apa itu.
Segera timbul rasa kasihannya dan keinginannya buat
menolong. Ia memang membekal obat, maka dari kantong
obatnya ia mengeluarkan sebuah pil. Ia serahkan obat itu
pada si wanita yang ia suruh masuki kedalam mulutnya si pria
yang dibukanya dengan paksa. Setelah itu tubuh si pria
dipondong dan direbahkannya dibawah pohon.
Wanita itu sangat berterima kasih kepada Eng Eng. Ia
ternyata mengerti juga bahasa han, maka ia mengerti ketika
sipenolongnya itu menanyakan kenapa si pria terkena racun
dan apa hubungannya dengan si pria itu. Ia menerangkan
bahwa pria itu adalah suaminya dan entah kenapa barusan
mendadak dia roboh pingsan keracunan.
“Obatku itu manjur.” kata Eng Eng. “Lihat sebentar lagi
lewat satu jam, suamimu akan dapat tertolong. Aku hendak
tanya kau. Bukankah kalian datang belanja diwaktu pagi,
kenapa baru sekarang suamimu keracunan?”
“Memang kami pergi kekota pagi-pagi dan kamipun sehatsehat
saja,” kata wanita itu.
“Aku tak melihat tanda apa-apa, maka itu mungkin tadi
selagi berjalan pulang dia telah menyedot hawa beracun….”
“Hawa beracun? Memangnya ditempatmu ada suatu
racun?”
“Kami tinggal dikaki gunung Tiam Chong San. Di belakang
tempat kediaman kami ada sebuah selokan dalam berupa
jurang. Baru satu bulan lalu disitu kedapatan seekor laba-laba
yang besar luar biasa dan beracun, setiap pagi dia suka
menyemburkan hawa beracunnya itu yang mirip uap atau
halimun yang bisa mencelakai orang atau binatang yang
kebetulan lewat dan terkena semburannya itu. Sudah tak
sedikit orang atau ternak yang mati karena racunnya…”
Mendengar keterangan itu, Eng Eng terdiam, ia merasa
obatnya tak akan sanggup memunahkan racun laba-laba itu.
Tengah ia berpikir tiba-tiba ia mendengar suara orang
bernapas disisinya, segera ia menoleh dan mendapati si pria
Biauw itu mendusin, kedua matanya dibuka perlahan-lahan,
kaki tangannya pun turut bergerak lalu seterusnya dia
merintih dan mengeluh!
“Ha! obatku bekerja!” pikirnya girang. Maka ia lalu berkata
pada si wanita : “Syukur suamimu sadar, itulah pertanda
bahwa obatku bekerja. Sekarang lekas kau mengajaknya
pulang. Semoga aku bisa mengobatinya sampai sembuh
betul.”
Nyonya itu mengawasi penolongnya dan mengucapkan
terima kasih banyak.
Eng Eng tidak menolong kepalang tanggung, sebab pria itu
belum bisa berjalan dan istrinya tak kuat menggendongnya, ia
lalu memondong dan menaikinya keatas kudanya, lalu ia
menuntun kuda itu. Si wanita jalan di muka sebagai penunjuk
jalan.
Jalannya berliku-liku, kira-kira satu jam barulah mereka
sampai dikaki gunung, untuk jalan lebih jauh mereka harus
memasuki sebuah lembah. Selagi mendekati kampung, ada
tiga puluh orang desa datang berlari-lari seperti mau
menyambut, sebab mereka heran mendengar suara kaki kuda.
Dan mereka benar-benar heran sesudah melihat keadaan si
pria yang tergolek dipunggung kuda.
Seorang pria Biauw yang pakaiannya rapi dan kumisnya
pendek muncul diantara rombongan, ketika si wanita
melihatnya dia lari pada pria itu buat berbicara, rupanya guna
menuturkan perihal suaminya serta penolongnya itu. Setelah
itu si wanita mengajak kenal dengan Eng Eng. Kiranya dialah
ketua suku Biauw dikampung itu dan namanya Minai.
Segera ketua itu menyuruh beberapa orang menolong pria
yang keracunan itu, untuk digotong pulang kerumahnya
dengan istrinya, dia turut bersama kemudian berbicara dengan
Eng Eng. Maka tahulah penolong ini bahwa kampung itu
bernama Ceng Hong Cay dan penduduknya ialah suku “siok”
Biauw artinya suku Biauw yang sudah maju disebabkan
mereka bisa bergaul dengan bangsa Han, sehingga banyak
yang mengerti bahasa Han dan cara hidupnya banyak yang
mengikuti cara hidup bangsa Han juga. Jadi mereka beda
dengan suku “Song” Biauw, suku yang masih tertinggal yang
hidupnya dipedalaman dan sulit buat bergaul karena masih
menutup diri.
Eng Eng pun diundang kerumah siketua. Sebenarnya itu
bukanlah sebuah rumah melainkan goa.
Disini Minai membicarakan urusan laba-laba beracun itu,
yang baik siang maupun malam suka menyemburkan hawanya
yang beracun hingga tak sedikit orang dan binatang ternak
yang mati sebagai korban racunnya. Sia-sia belaka orang
menggunakan berbagai macam obat pemunah, hingga sudah
satu bulan lebih mereka terancam racun itu. Hanya baru
selang beberapa hari Minai menemui seorang yang katanya
dapat membasmi racun itu, orang mana telah diundang
tinggal bersama didalam dusun itu.
“Siapakah orang itu dan dimana adanya dia sekarang?”
tanya Eng Eng menyela.
“Obatnya orang itu benar-benar manjur,” sahut Minai yang
tak menjawab langsung,” Sejak dia datang setiap orang yang
keracunan dapat ditolong jiwanya. Siapa minum obatnya
lantas muntah sedikit air kuning yang bau. Dia she Sia, untuk
membasmi laba-laba itu mulanya dia minta diantarkan
kejurang tempat mengeramnya laba-laba itu, setelah itu dia
pergi sendirian saja. Dia pergi setiap lewat tengah hari.
Menurutnya, untuk membinasakan binatang beracun itu dia
harus menanti saat yang tepat.”
Eng Eng heran, ia menyangsikan kepandaian orang she Sia
itu. Lalu ia mengutarakan keinginannya buat menemui orang
itu untuk belajar kenal dan minta sikepala suku
mengantarkannya sebagai perantara.
Tengah mereka berbicara itu, seorang pemuda Biauw
datang pada ketuanya dan berbicara beberapa patah kata,
setelah itu dia lantas berlalu pula. Tak tahu Eng Eng apa yang
disampaikan pemuda itu karena ia tak mengerti bahasa Biauw,
tapi tuan rumah sudah lantas berkata padanya :“Pemuda
barusan bernama Shapi. Dia adalah keponakanku, ia
mengatakan tentang orang yang keracunan yang tuan tolong
itu, katanya korban itu pernah muntah lagi tapi tetap pingsan,
maka keponakanku datang meminta obatnya Tuan Sia”
“Habis, kenapa kau tidak berikan obat itu?”
“Obat itu tak ada padaku, obat itu selalu dibawa tuan Sia”
“Orang itu perlu segera ditolong, biar aku yang pergi
menemui orang she Sia itu!” Eng Eng menawarkan jasanya.
“Tuan tidak kenal dia, taruh kata tuan bisa menemuinya,
mungkin usaha tuan akan gagal,” kata siketua. “Bagaimana
kalau kita pergi bersama?”
Eng Eng setuju, maka pergilah mereka berdua. Jalanan di
belakang gunung itu sukar juga tetapi mereka dapat
melaluinya. Tibalah mereka dilembah sebelah kanan gunung,
lembah mana sebenarnya terapit tiga buah gunung dan
luasnya kira-kira satu bahu sawah. Disebelah kanan itulah
terletak sebuah jurang dalam belasan tombak yang gelap
hingga tak nampak apa-apa. Berada didekat jurang dimana
angin halus berhembus, sudah tercium bau tak sedap dan
amis.
Sampai disitu, Minai tak berani maju lebih jauh, katanya :
“Laba-laba itu bersembunyi didasar jurang ini, didalam sebuah
goa. Nanti aku coba memanggil-manggil, entah tuan Sia
berada ditempat atau tidak….”
Lalu dua kali ketua kampung ini berteriak memanggil.
Tidak ada jawaban, tetapi tidak lama tampaklah seorang
setengah tua dengan baju hijau muda muncul dibawah
sebatang pohon cemara, terus dia mendaki dengan cepat,
gerakannya mirip gerakan seekor kera.
Eng Eng segera memasang mata, hingga ia bisa menerka
orang sudah berusia kira-kira tiga puluh tahun, berkumis
pendek, dahinya lebar dan matanya tajam. Pada pinggangnya
tergantung sebuah kantong piauw, paling dahulu ia
memandang Minai, barulah beralih ke Eng Eng.
Minai lantas menunjuk pada Eng Eng dan berkata pada
orang tua itu :“Tuan ini tadi ditengah jalan sudah membantu
seorang penduduk kampung kami yang keracunan, sekarang
ia minta aku mengantarkannya kemari untuk melihat
bagaimana tuan akan membinasakan si laba-laba beracun”
Orang itu tidak menjawab, hanya mengawasi kedua orang
itu, nampaknya dia masgul.
Melihat demikian, Eng Eng memecah kesunyian, katanya
:“Tuan, apakah tuan telah melihat binatang beracun itu?
Dalam hal menolong jiwa sesamanya, bersedia aku
mengeluarkan tenagaku yang tak berarti, maka seandianya
tuan membutuhkan kawan pembantu, tuan perintahkan saja
aku!”
Mendengar kata-kata itu, orang setengah tua itu kelihatan
lenyap kemasgulannya, wajahnya menjadi sedikit terang.
“Kau baik sekali, saudara” katanya. “Justru hari ini aku
sedang memikirkan untuk turun tangan dan lagi kekurangan
seorang pembantu, jika tuan sudi membantu, itulah bagus
sekali!”
“Jangan sungkan tuan” Eng Eng menjawab,”Bilang saja apa
yang harus aku lakukan!”
“Terima kasih!” kata orang itu.
Sampai disitu keduanya lantas belajar kenal satu dengan
yang lain. Eng Eng tambah menghargai orang setengah tua itu
sebab dialah kiranya Sia Hong dengan gelar Cek sian ciang si
Tangan Merah yang tersohor.
Sementara itu Minai lantas minta obat kemudian pulang
terlebih dahulu.
Setelah ketua suku itu pergi, Sia Hong berkata pada Eng
Eng, “Binatang beracun itu bakal muncul tak lama lagi, kita
harus bersiap sedia sekarang, mari tuan turut padaku!”
Eng Eng mengangguk, maka keduanya lantas turun
kejurang sambil merembet diatara pohon rotan. Lewat
beberapa tombak jalanannya makin sukar dan sekitarnyapun
mulai remang-remang.
Sesaat kemudian, Sia Hong berdiam diatas sebuah batu
karang besar, sebelah tangannya terus menunjuk ke depan
sambil berkata :“Lihat arah yang kutunjuk itu, didinding
tembok gunung itu ada sebuah gua kecil, itulah tempat si
laba-laba bersembunyi.”
Eng Eng mengawasi, ia dapat melihat goa itu yang tertutup
rumput, goa itu tak akan tampak kalau tidak diperhatikan
benar.
“Binatang beracun itu yang dinamakan siu cu,” Sia Hong
menjelaskan, “Entah mengapa dia bersarang disini, sulitnya
sekarang dia telah menjadi sangat besar dan racunnya
menjadi sangat beracun, hingga untuk dapat didekati….”
Eng Eng mengerutkan kening.
“Habis saudara Sia, bagaimana kau hendak turun tangan?”
tanyanya.
“Telah sekian lama aku awasi binatang itu, dia biasa keluar
lewat magrib buat mencari makan. Keluarnya satu hari satu
kali. Barang makanannya ialah segala kutu dan ular yang lebih
dahulu ia sembur dengan racunnya yang mirip uap itu hingga
bakal mangsanya menjadi pingsan dan beku. Jika terbawa
angin, uap itu dapat melayang jauh dan jika mengenai orang
atau binatang yang kebetulan berada dibawah angin, maka
orang itu akan celaka tanpa tahu apa sebabnya. Uap itu
bagaikan hawa, tak boleh tersedot oleh hidung dan
bekerjanya sangat cepat, orangnya pingsan terus mati….”
Baru sekarang Eng Eng mengerti kenapa Salim, orang
Biauw itu pingsan mendadak.
“Saudara, untuk membinasakan laba-laba itu, apakah telah
kau sediakan obat pemunahnya?” tanyanya kemudian.
“Ya” sahut Sia Hong. “Telah aku gunakan waktu beberapa
hari mencari bahan obatnya, lalu terus aku membuatnya
menjadi obat pulung, inilah dia obat itu!” Ia merogoh kantong
obatnya dan mengeluarkan sebutir pil warna kuning tua
sebesar telur burung gereja, sambil mengangsurkannya pada
sahabat barunya itu, ia lalu berkata “Telan ini untuk mencegah
serangan uap beracun itu.”
Eng Eng menyambut obat tersebut yang terus ia masuki
kedalam mulutnya.
“Saudara bagaimana caranya kau hendak membasmi labalaba
itu?” katanya.
“Itu dia sulitnya! Walaupun aku sudah sedia obat
penawarnya aku masih takut datang terlalu dekat untuk
menebas atau menikamnya dengan pedang. Kalau dia sedang
gusar dan menyemburkan racunnya secara hebat, itu sangat
berbahaya….”
“Bagaimana kalau kita serang dia dengan piauw atau panah
tangan?”
Itulah jalan satu-satunya, hanya dalam hal ini kita harus
menjaga supaya dia kena telak, karena kalau hanya terluka
dia akan mengamuk dan itu sangatlah berbahaya. Bicara terus
terang, aku kuatir aku tak mampu menggunakan senjata itu
dengan sempurna….” “Bagaimana jika aku mempertunjukkan
sedikit kepandaianku yang tak berarti, yaitu aku membantu
saudara dengan peluruku?”
“Baiklah,” jawab Sia Hong. Hanya Biear bagaimanapun
mereka baru kenal, sehingga ia rada sangsi.
Selama itu, sang waktu terus berjalan, sang surya mulai
doyong kebarat, mereka berdua terus mengawasi goa itu.
Dilain saat, sang magrib sudah tiba, ketika jagat mulai
gelap, maka dari mulut goa tampak sesuatu yang tak terlihat
tadi siang. Itulah sinar hijau yang lembut, yang makin lama
makin terang. Dan ketika jagat mulai benar-benar gelap maka
sinar itu lantas menjadi sepasang cahaya hijau mencorong
sekali. Karena itulah sepasang mata sebesar biji buah persik
yang berada diwajah seekor laba-laba raksasa, yang sangat
besar kepala dan tubuhnya berwarna hitam sedangkan kaki
tangannya yang panjang semua berbulu kuning.
Sia Hong lantas menyiapkan keluar beberapa batang
piauwnya (kongpiauw), sedangkan Eng Eng segera
menyiapkan pelurunya.
Dengan cepat laba-laba itu sudah muncul diluar goa
dengan seluruh badannya. Selagi Eng Eng mengawasi tajam,
tahu-tahu Sia Hong sudah mulai menyerang ke arah perut
binatang itu.
Sang laba-laba tak mengira ada orang mengintai dan
menyerangnya, dua batang kongpiaw menancap pada
perutnya tetapi tidak lantas membunuhnya, dia merasa sangat
nyeri dan menjadi gusar karenanya, tak ampun lagi, dia
menyemburkan racunnya yang jahat yang berwarna kuning.
Tepat saat beberapa puluh biji peluru pun datang
menghujaninya.
“Lekas lompat berkelit!” terdengar suara Sia Hong. “Jangan
menghadapinya, racunnya itu tak dapat dihadang!”
Baru Eng Eng mau bergerak, ia merasa lengan kirinya
ditarik, maka ia meneruskan ikut melompat kesamping sejauh
beberapa tombak, karena mereka terus berlompatan dan
ketika mereka berdiri diam untuk menoleh ke belakang,
sempat mereka lihat buyarnya uap kuning itu, makin lama
makin tipis, sedangkan sang laba-laba sudah roboh menjadi
bangkai sebab seluruh tubuhnya penuh terhajar peluru teratai
besi.
Rumput dimulut goa itu pada rebah, rupa-rupanya bekas
diamuk kaki tangannya si laba-laba raksasa itu.
Masih sekian lama Sia Hong diam mengawasi, baru
kemudian berkata :“Syukur binatang berbahaya itu telah dapat
dibinasakan, sekarang marilah kita pulang buat mengatakan
kepada penduduk Biauw supaya mereka menyuruh orang
untuk memendam bangkai ini.
Eng Eng setuju, maka berdua lantas berjalan pulang.
Bukan main girangnya Minai dan warganya, mereka lantas
menjamu kedua orang tamunya dan mereka sangat dihormati
dan dipuji, kemudian mereka berdua diminta suka berdiam
beberapa hari lagi dikampung tersebut.
Selama itu hubungan antara Sia Hong dan Eng Eng makin
erat, lalu Eng Eng mendapat tahu bahwa si sahabat benarbenar
seorang ahli hewan beracun, hingga iapun memperoleh
pengetahuan banyak tentang perihal racun, dan semua
penuturan si sahabat ia ingat baik-baik.
Lewat beberapa hari barulah kedua orang itu berlalu dari
Tiam Cong San, lalu mereka berduapun berpisah untuk
melanjutkan perjalanan masing-masing.
Sesudah lewat beberapa tahun Eng Eng mendengar dunia
Kang Ouw memuji nama Sia Hong sebagai Kim Lam It Tok, Si
Tangan Beracun dari Kwiecu Selatan. Ingin ia menemui
sahabatnya itu, sayang orang tersebut tak menentu tempat
tinggalnya hingga sukar mencarinya. Karena itu belum pernah
kedua sahabat itu saling bertemu lagi, sampai terjadi peristiwa
hebat dikuil Siauw Lim Sie itu, sehingga Eng Eng jadi ingat
pula pada sahabatnya itu, demikianlah penuturannya.
In Gwa Sian dan Pek Cut telah mendengarkan dengan
penuh perhatian, dan akhirnya Pek Cut mengerutkan alisnya
dan berkata masgul :“Dengan begitu teranglah Kim Lam It
Tok seorang yang lurus, kenapa sekarang dia ikut kawanan
bajingan dari luar lautan itu? Sungguh aku tidak mengerti.”
“Memang itu aneh tetapi sekarang kita belum mengetahui
sebab musababnya.” berkata Eng Eng. “Dahulupun aku tak
sempat bertanya perihal gurunya, tak tahu aku tabiatnya
secara mendalam. Mungkin ada sebab musabab yang
membuat pikirannya berubah…”
“Siapa lurus siapa sesat, itu cuma soal satu tindak kaki,”
kata Pat Pie Sin Kit. “Sia Hong mempunyai kepandaian
istimewa itu, ia sudah kena terpikat si sesat yang hendak
memanfaatkannya.”
Sampai disitu mereka berbicara, tidak ada keputusan apaapa,
lalu Pek cut mengajak Eng Eng mengundurkan diri dari
kamarnya si pengemis luar biasa.
Besoknya tengah hari, Pek Cut menerima berita tibanya Go
Hian Tojin bersama dua orang saudara seperguruannya serta
empat orang muridnya. Go Hian adalah ketua partai Bu Tong
Pay dipropinsi Hopak dan kedua saudaranya itu Seng Hian dan
Leng Hian. Bu Tong Pay cuma kalah ternama sedikit dari
Siauw Lim Sie. Tingkatnya Go Hian sama dengan Pek Cut
sedangkan namanya tersohor berimbang dengan nama In
Gwa Sian. Ketika undangan dikirim yang diharap ialah Go Hian
akan mengirim beberapa orang wakilnya, siapa sangka dia
datang sendiri. Inilah diluar dugaan. Maka Pek Cut dan In Gwa
Sian menjadi heran. Walaupun demikian tanpa ayal mereka
menyambut dengan hormat kedatangan Go Hian, bahkan Pek
Cut mengajak para Tianglo dari Kam Ih dan Tatmo Ih.
Yang luar biasa, walaupun mereka sama-sama ternama,
ketiga orang itu belum pernah bertemu satu dengan lain,
artinya mereka belum pernah berkenalan.
Pek Cut beramai menyambut ditempat yang jauhnya lima
lie dari kuilnya. Selagi menantikan, ia dan rombongannya
melihat bagaimana dua orang muridnya yang bertugas
menjaga diarah itu tengah memimpin rombongan tamutamunya,
tujuh orang imam yang mengenakan Topauw, jubah
keimaman serta punggungnya masing-masing menggendong
pedang, cepat jalannya para tamu itu seperti lari, hingga
kedua penyambutnya yang mesti mendahului mereka pada
bermandikan keringat, padahal waktu itu musim dingin.
Setibanya rombongan itu, Pek Cut maju paling depan untuk
menyambut, ia sudah lantas berhadapan dengan seorang
imam tua dengan janggut panjang hingga ke dada dan
jubahnya hijau muda, sembari tertawa ia berkata :“Lolap toh
berhadapan dengan Go Hian Totiang, bukan? Maaf muridku
telah tak jelas membawa berita, hingga lolap tak tahu bahwa
yang tiba totiang sendiri hingga tak dari jauh-jauh lolap
menyambutnya…”
Imam itu tersenyum, ia membalas hormat sambil menjura.
“Tak berani, tak berani pinto menerima kehormatan
demikian besar!” kata dia merendah. “Pinto datang bersama
dua saudara seperguruanku serta ke empat muridku, supaya
mereka itu mudah diperintah-perintah.”
“Lolap tak berani, lolap malu akan mendengar kata-kata
diperintah-perintah itu.” berkata Pek Cut merendah,
“Kedatangan totiang saja sudah membuat kami sangat girang
dan bersyukur dan kami mengharap semoga berkat nama
totiang yang besar kita dapat membasmi kawanan bajingan
luar lautan itu supaya kita dapat melindungi kesejahateraan
rimba persilatan seluruh tionggoan!”
Go Hian merendah, kemudian ia perkenalkan kedua sute,
adik seperguruannya itu, maka Pek Cut pun saling memberi
hormat dengan Seng Hian dan Leng Hian yang baru berusia
empat puluh lebih, rambutnya hitam , matanya tajam. Setelah
itu ia yang ganti memperkenalkan para Tianglonya serta Pat
Pie Sin Kit juga.
Go Hian semua pernah mendengar nama besar si pengemis
aneh, ia tertawa sambil mengurut-urut janggutnya, dengan
ramah ia berkata :“Sudah lama pinto tak dengar nama
Tayhiap banyak disebut orang, kali ini karena ancaman
terhadap kaum rimba persilatan, tayhiap sudi hadir disini,
pinto bersyukur sekali. Pasti kaum rimba persilatan juga akan
bersyukur seperti pinto!”
Imam itu memanggil Tayhiap kepada pengemis cabang
atas itu.
“Sebenarnya namaku itu nama kosong belaka!” In Gwa
Sian merendah. “Tak berani aku si pengemis tua menerima
panggilan Toheng ini. Adalah kami yang sangat bersyukur
bahwa Toheng sebagai seorang ketua partai yang namanya
besar bagaikan gunung Tay San, telah sudi menghargai kami
dengan kehadiran Toheng beramai disini guna bekerja untuk
kaum rimba persilatan tionggoan!”
Tiba-tiba Go Hian menghela napas.
“Sebenarnya pihak kamipun telah mendengar perihalnya
kaum bajingan luar lautan itu sudah mendatangi Tionggoan,”
katanya masgul. “Hanya diluar dugaan kami bahwa
bergeraknya mereka begini cepat. Siauw Lim Sie dan Bu Tong
berasal dari satu kaum, kita bagaikan gigi dan bibir, maka itu
jangan kata Siauw Lim Pay yang mengundang, biarpun cuma
Pek Cut Taysu sendiri, Bu Tong Pay sudah seharusnya dapat
memberi jasanya yang tak berarti. Itulah sebabnya kenapa
pinto setelah menerima surat undangan, sudah lantas
berangkat kemari!”
“Terima kasih, terima kasih!” Pek Cut balas menjawab.
“Toheng beramai sudah melakukan perjalanan jauh, itulah
artinya penderitaan, maka itu silahkan kita pergi kegubuk kami
supaya kami dapat menyambutnya sebagaimana layaknya
tuan rumah. Perkenankanlah lolap memimpin jalan!”
Berkata begitu, benar-benar Pek Cut memutar tubuh buat
bertindak pergi, maka In Gwa Sian lantas mengikutinya,
hingga mereka lantas diikuti oleh para tamunya.
Disepanjang jalan, asal bertemu pendeta, semua pendeta
itu menghunjuk hormat dan mengucapkan selamat datang.
Mereka ini mengagumi pihak Bu Tong Pay, sebab mereka tahu
nama Seng Hian dan Leng Hian sangat tersohor sebagai ahliahli
pedang, kalau mereka itu lihai, pasti lihai pula Go Hian
sebagai suheng dan cianbunjin partai.
Pak Cut mengajak tamunya berkumpul di Tatmo dimana
sudah lantas disajikan barang barang hidangan , delapan
orang kacung bersiap melayani mereka, sedang diluar ruangan
berkumpul dua ratus orang pendeta sebagai pengawal
kehormatan. Pula telah diperdengarkan bunyi tetabuhan
diwaktu mereka menyambut tetamu, semua memuji :“Amidha
Budha!”
Itulah cara penyambutan besar dari Siauw Lim Sie terhadap
tetamunya yang dipandang agung, melihat hal itu Go Hian
beramai bangkit untuk mengatakan dengan merendah bahwa
ia tak sanggup menerima penghormatan itu.
“Inilah melulu disebabkan bersyukurnya kami, karena
seorang ketua partai besar seperti Bu Tong Pay telah sudi
datang mengunjungi Tiong Gak,” kata Pek Cut. “Silahkan
duduk, mari mengeringi tiga cawan!”
“Biar bagaimana kedatangan kami ini adalah hal yang
biasa,” berkata Go hian, “Tadinya pinto sudah mengambil
keputusan buat hidup menyendiri, guna menyingkir dari
segala keruwetan tetapi sekarang tidak.”
“Demikian juga maksud kami dari Siauw Lim Pay,” kata Pek
Cut, “Murid-murid kami banyak yang merantau, tetapi mereka
itu telah dipesan untuk tidak sembarangan melakukan
pembunuhan, siapa tahu kami toh disatroni kawanan bajingan
luar lautan itu…”
Lantas ketua Siauw Lim Sie menjelaskan bagaimana muridmuridnya
kena dibokong dengan racun bahkan ada dua yang
dipenggal batang lehernya!
Mendengar keterangan itu, alis Go Hian terbangun, itulah
tanda dari kemurkaannya.
“Kawanan bajingan itu tinggal terpisah dari kami jauhnya
laksaan lie, tetapi siapa tahu mereka toh datang menyatroni,”
Pek Cut melanjutkan, “Maka itu teranglah maksud mereka
bukan untuk membasmi Siauw Lim Sie saja. Itulah sebabnya
kami membuat undangan umum buat mengajak sesama kaum
persilatan bekerja sama guna menantang dan mencegah
berhasilnya maksud jahat rombongan itu.”
“Itupula sebabnya kenapa kami datang kemari.” Go Hian
memberi kepastian. Kami mengerti ilmu silat cuma kulitnya
saja, karenanya kami bersedia menerima pelbagai perintah.
“Toheng hanya merendah,” berkata Pek Cut, “Siapa yang
tak pernah mendengar nama Bu Tong Siang Kiam?
Kedatangan Toheng beramai ini membuat kami merasa sangat
mendapat muka!”
“Bu Tong Siang Kiam” ialah sepasang jago pedang dari Bu
Tong Pay.
Berkata begitu Pek Cut menghela napas, lalu ia
menambahkan: “Sebenarnya, apabila tidak ada In Tayhiap
yang mendesak kami, tak berani kami turut membuat
undangan umum ini…..”
Go Hian mengalihkan pandang matanya dari pendeta itu
kepada si pengemis tua, lekas-lekas ia berkata: “Pinto malas
sekali, sudah beberapa puluh tahun tak pernah pinto
merantau, karena itu pinto cuma mendengar saja nama
tayhiap banyak disebut orang, tapi hari ini kita dapat bertemu
muka, sungguh pinto banyak bersyukur!”
In Gwa Sian tersenyum,
“Namaku si pengemis cuma nama kosong belaka,”
bilangnya. “Tak berani aku menerima pujian dari Toheng.”
“Dijaman ini siapakah yang tidak kenal Tek Cio Siangjin,
Heng San Kiamkek dan Pat Pie Sin Kit tiga orang besar?” kata
pula imam dari Bu Tong Pay itu. “Pinto pun telah mendengar
halnya saudara In bersahabat erat dengan Tek Cio Totiang,
maka itu dalam urusan kita ini tentunya Siangjin pun turut
diundang. Kapankah kiranya Siangjin bakal tiba, supaya pinto
dapat bertemu dengannya?”
“Tek Cio sihidung kerbau adalah orang paling aneh,” sahut
In Gwa Sian, yang menghela napas.
“Sudah sejak setengah tahun lalu dia telah pergi jauh.”
Tiba-tiba saja pengemis ini menghentikan kata-katanya itu.
Itulah disebabkan ia ingat akan sebutan “sihidung kerbau” itu.
Ia sudah keterlepasan ngomong. Bukankah ketujuh tamunya
ini imam seperti Tek Cio sahabatnya itu? Ia tersenyum jengah,
terus ia menutup mulutnya.
Agaknya Go Hian tidak menghiraukan kata-kata “sihidung
kerbau” itu, dia tersenyum ketika dia melanjuti bicara. Kali ini
dia tanya. Heng San Kiamkek turut diundang atau tidak.
“Katanya dia sangat lihai dengan sebatang pedangnya,” ia
menambahkan, “Kalau dia turut diundang, pasti kita akan
berhasil membasmi kawanan bajingan luar lautan itu.”
“Kami memikir buat mengundang Heng San Kiamkek, tapi
tak dapat,” Pek Cut mewakili In Gwa Sian menjawab.
“Sekarang ini ia tak ketentuan tempatnya, jadi sukar untuk
mengirimkan undangan kepadanya.”
Go Hian agak menyesal, tetapi ia tidak bilang apa-apa.
Demikian mereka berjamu sembari memasang omong.
Selang satu jam, perjamuan itu ditutup, terus Pek Cut
mengantarkan para tetamunya kekamar yang sudah
disediakan buat mereka itu. Hingga selanjutnya Go Hian
semua berdiam didalam kuil Siauw Lim Sie itu.
Waktu berjalan dengan cepat, tibalah tanggal sembilan
bulan pertama. Sekalian pendeta yang diutus menyampaikan
surat undangan sudah pada pulang dengan saling susul.
Sedangkan para undangan telah datang silih berganti.
Diantaranya adalah Uan Tio Siang Can yang belum tiba. Cuma
mereka itu terhitung orang-orang dari kalangan sesat bukan
luruspun bukan..”
Pada suatu hari In Gwa Sian pergi ke belakang gunung,
kegubuk kedua nona. Selekasnya dia masuk kedalam gubuk,
dia jadi terkejut saking herannya. Ini disebabkan dia
mendapati mereka itu lagi bersiap berkemas untuk berangkat.
“Eh, eh, anak-anak!” tegurnya heran, “Kemana kalian
hendak pergi?”
Kiauw In dan Giok Peng tidak menjawab pertanyaan itu,
mereka terus berkemas-kemas.
Pengemis tua itu mengawasi tajam, lalu dia menengadah
ke langit dan tertawa lebar.
“Kalian berdua, kalian sangat nakal” katanya nyaring. Dia
tidak gusar walaupun dia seperti dipermainkan. “Sekarang
kalian menjadi gagu agaknya. apakah kalian mau main gila?
apakah kalian memberikan teka-teki kepadaku si pengemis tua
supaya aku menerkanya?”
Sekali lagi dia tertawa.
Kiauw In mencibir mulutnya. Tiba-tiba diapun tertawa.
“Aku tidak gagu!” sahutnya. Dan ia tertawa pula. “Jika
paman hendak menebak silahkan menebak!”
Giok Peng sementara itu berulang kali mengedipkan
matanya pada si kakak, maksudnya mencegah orang
membocorkan “rahasia” supaya rencana mereka jangan gagal,
akan tetapi Kiauw In berpura-pura tidak melihatnya, ia tetap
dengan tingkahnya itu hingga membuat si adik Peng heran
dan ragu-ragu. Dengan sepasang matanya yang jeli Giok Peng
terus mengawasi kakaknya itu.
In Gwa Sian sebaliknya tidak memperhatikan atau lebih
tepat tidak memperdulikan gerak geriknya Giok Peng itu,
bahkan dia sudah lantas mengulurkan tangannya mencekal
Kiauw In sembari berkata keras: “Anak In, apakah kau sangka
aku tidak tahu? Hm! Kalau kalian berdua bukannya hendak
pergi mencari dia, siapa lagi?”
Kiauw In tertawa seenaknya saja.
“Dia siapa?” tanyanya. Sedikitpun ia tak nampak likat atau
jengah.
Si pengemis tua tertawa lebar.
“Dia siapa?” ia mengulangi, “Siapa lagi! Dialah anak Hiong!”
Kedua nona saling mengawasi, mereka tersenyum.
“Mana dapat kalian mendustai aku si orang tua?” berkata
In Gwa Sian. “Janganlah berpikir demikian! Ketika anak Hiong
meninggalkan gunung, didalam suratnya sudah ditulis jelas
bahwa lain tahun bulan pertama tanggal lima belas dia bakal
kembali ke Tiong Gak, maka jika kalian hendak pergi asalasalan
untuk mencarinya, pikiran kalian itu pikiran tolol!”
“Paman keliru!” berkata Giok Peng, “Walaupun benar kami
hendak mencari seseorang, tapi dia bukanlah adik Hiong!”
Pat Pie Sin Kit melengak sejenak, terus dia berpikir.
“Habis anak Peng, siapakah yang hendak kalian cari?”
tanyanya, “Lekas bilang!”
Si nona tapinya menggeleng kepala.
“Anak tak akan memberitahukan,” sahutnya.
Pengemis tua merasa aneh. Ia mengawasi kedua nona
bergantian, kebetulan Giok Peng tunduk untuk merapikan
bajunya, ia lalu tarik lengan Kiauw In buat diajak pergi keluar.
“Anak In, apakah kalian hendak pergi bersama?” dia tanya
sungguh-sungguh setibanya dihalaman luar. “Jangan kau
membohongi padaku!”
“Anak cuma akan mengantarkan dia,” sahut Nona Cio.
“Anak sendiri mempunyai tempat tujuan lain?”
In Gwa Sian menjadi heran, ia bingung. Ia mengurut-urut
kumisnya dengan tidak tahu harus bilang apa, ia berdiam saja.
“Anak telah bicara jelas!” berkata Kiauw In menegaskan.
“Paman tak akan bertanya tanya pula, bukan?”
Lantas si nona membalik tubuh untuk kembali kedalam,
terus ia menurunkan pedang yang tergantung ditembok lalu
diletakkannya dimeja, kemudian ia membantu Giok Peng
merapikan buntalannya.
In Gwa Sian sudah lantas kembali kedalam sambil bertolak
pinggang, ia berdiri di depan kedua nona.
“Karena kalian tidak mau bicara, aku juga tidak akan
memaksa!” katanya dengan suara tinggi.
“Tapi sekarang kalian harus terangkan padaku, kalian
hendak berangkat hari ini atau besok?”
Giok Peng mengangkat kepalanya.
“Kami akan berangkat besok!” sahutnya singkat.
In Gwa Sian menghela napas.
“Kalian mau pergi juga, nah pergilah, kalian bebas!”
katanya. “Hanya kalau nanti anak Hiong kembali kesini,
apakah kata kalian? Kalian ada pesan atau tidak? Bicaralah!”
“Tidak!” menjawab kedua nona berbareng, singkat.
Mendengar itu, tanpa terasa si pengemis menggeleng
kepala, dan tanpa bilang apa-apa lagi dengan perlahan ia
bertindak keluar….
Selekasnya orang berlalu, Kiauw In tertawa, bahkan sambil
bertepuk tangan, katanya: “Adik Peng, hari ini kita dapat
menggoda paman In!”
“Tetapi paman mengatakan hal yang benar” Giok Peng
bilang. “Kalau benar adik Hiong pulang dalam beberapa hari
ini, bagaimana?”
“Mungkinkah dia akan pergi mencari kita?”
Kiauw In menenangkan. “Adik Peng, kau cuma memikirkan
dia seorang, kau sampai melupakan urusan besar!”
Giok Peng menubruk kakaknya itu.
“Kakak, kakak, aku tidak mau!” katanya.
“Kakak kau permainkan aku! Ah, aku tak mau pergi!”
Kiauw In lantas merangkul adiknya itu, hendak ia
menggoda namun dibatalkannya. Karena Hauw Yan yang lagi
tidur membalik tubuh untuk menyingkap selimutnya, terus
anak itu bangun akan duduk sambil ia memanggil: “Mama!
Mama!”
Giok Peng melepaskan diri, ia lari kepada anaknya itu yang
baginya bagaikan mestika. Sambil memeluk anak itu ia
berkata: “Anak, ibumu disini! Apakah kau ingin makan?”
Hauw Yan merangkul leher ibunya itu.
“Mama, kenapa ayah masih belum kembali?” tanyanya.
Ditanya lain, ia menjawab lain. “Mama, lekas cari ayah, ajak
ayah pulang! Hendak aku mengajak ayah pergi kegunung
memetik buah!”
Kiauw In menghampiri ibu dan anak itu, menepuk-nepuk
lengan Hauw Yan.
“Hauw Yan” katanya sabar, “Besok bersama ibumu akan
aku ajak pergi mencari ayahmu, sekarang jangan kau ganggu
ibumu.”
“Aku tidak mau ikut” kata anak itu yang merangkul terus
pada ibunya, “aku hanya ingin mama mencari ayah!”
Kiauw In menyilangkan tangan di muka bocah itu.
“Kau lihat,” katanya, “Kau sekarang telah berusia lima
tahun! Tak malukah kau selalu mencari ayah dan ibumu?”
Hauw Yan memegang tangan orang, untuk dibawa
kemulutnya buat digigit!
“Haha!” tertawa Kiauw In. “Kau nakal ya? Bagaimana kau
hendak menggigit tangan otang?”
“Habis aku dilarang mencari ayah….” kata anak itu.
“Huss!” Giok Peng mengasih dengar suara Hauw Yan lantas
tertawa.
Malam itu Giok Peng meniduri anaknya, lalu ia duduk
bersama Kiauw In, membicarakan rencana mereka.
Sebenarnya mereka itu disamping rencana mereka, juga mau
bekerja masing-masing.
Rencananya Kiauw In begini : Kiauw In menerka Hong Kun
yang mencuri kitab, ia ingin Giok Peng yang mengambilnya
kembali, caranya yaitu Giok Peng harus bersikap baik terhadap
Hong Kun dan memberinya pengertian. Kitab itu mesti didapat
pulang, kesatu supaya tidak hilang, kedua agar mereka
bertiga dapat bersama-sama memahami dan meyakininya. Tak
dapat isi kitab itu dipelajari orang lain karena akan sangat
berbahaya bagi rimba persilatan. Pertemuan diantara Giok
Peng dan Hong Kun itupun perlu guna memutuskan tali
asmara diantara mereka berdua, supaya It Hiong tidak
terganggu lebih jauh. Mulanya Giok Peng menolak rencana
tersebut, akhirnya ia kena bujuk dan menyetujuinya. Mereka
akan pergi bersama, tetapi Kiauw In mau terus pulang ke Pay
In Nia guna mendapat kepastian, It Hiong telah pulang
kegunungnya atau tidak. Mereka mengharap akan kembali ke
Tiong Gak tanpa terlambat, agar mereka dapat menghadiri
rapat besar demi membantu Pek Cut. Rencana itu tak mau
dibocorkan walaupun terhadap In Gwa Sian. Merekapun akan
berangkat besok pagi secara diam-diam.
Selesai bicara mereka memadamkan api dan terus tidur.
Tengah malam itu datang angin utara yang hebat, hingga
saling beterbangan membuat hawa menjadi dingin luar biasa.
Angin itu tak mau berhenti, daun jendela diserbu berulangKang
Zusi website http://cerita-silat.co.cc/
ulang. Hauw Yan tak dapat tidur, sebentar-sebentar dia
memanggil ibunya, hingga Giok Peng turut menjadi sukar tidur
pula.
Kiauw In pun mendusin dengan terperanjat.
Ia menanti sampai jam lima. Diluar dugaan angin menderuderu
lebih kencang hingga hawa menjadi dingin hampir tak
dapat dilawan.
Akhirnya Giok Peng lompat turun dari pembaringannya, ia
iangin menyalakan api. Tiba-tiba dari arah pintu gerbang kuil,
terdengar riuh suara genta hingga membisingkan telinga,
memecah kesunyian malam dan membuat hati orang gentar…
Mengerti bahwa itulah genta kuil yang merupakan tanda
bahaya, Giok Peng lantas menolak tubuh Kiauw In untuk
dibangunkan, terus membisiki sang kakak agar sang kakak
memasang telinga.
Alis nona Cio rapat satu dengan lain, dengan cepat ia
meniup dan memadamkan api untuk terus membisiki
kawannya: “Pastilah kawanan bajingan dari luar lautan itu
telah datang menyerbu pula secara membokong! Lekas kau
gendong Hauw Yan, aku sendiri mau keluar untuk melihatlihat!”
“Kakak lebih baik kita pergi bersama.” Giok Peng berkata.
“Aku kira tidak ada halangannya kalau kita membiarkan Hauw
Yan tidur seorang diri…” Ia lantas menghampiri anaknya untuk
membisiki telinganya, kemudian ia menjemput dua batang
pedang diatas meja, satu dikasihhkan pada kakaknya.
Kiauw In menyambuti. Lantas keduanya pergi keluar. Habis
menutup pintu mereka memecah diri ke kiri dan kanan berlalu
sambil saban-saban mendekam.
Giok Peng pergi ke kiri, habis memutari rimba ia menuju
kepondokan belakang yaitu Lohan Tong. ruang Arhat tempat
para pendeta belajar silat yang lantainya beralaskan batu
persegi, hanya ubinnya sudah tidak rata bekas latihan keras
dari banyak tahun. Syukur ia pandai ilmu ringan tubuh dan
matanya awas, ubin tak rata itu tidak menyusahkannya.
Ruang itupun mendapat penerangan dari cahaya rembulan,
sebab saat itu si putri malam sedang terangnya. Lentera
didalam ruang tidak dinyalakan rupanya sudah dipadamkan,
tetapi ditubuh delapan belas patung arhat nampak cahaya
cukup nyata, semua berdiam ditempatnya masing-masing
dalam kesunyian ruang itu. Diluar situpun tidak ada orang,
kecuali angin yang menggoyang-goyang pohon-pohon bambu
dan menimbulkan suara gesekannya.
Ketika itu suara genta sudah berhenti, rupanya gantinya
adalah suara berlarinya sepatu dari beberapa puluh pendeta
dari dua pendopo depan berlari-lari kehalaman luar. Suara itu
tak lama lantas hilang.
Disaat Giok Peng hendak melintasi pendopo Tay Hiong Pothian
mendadak ia ingar putranya, ia menjadi ragu-ragu,
tengah ia berpikir matanya melihat satu bayangan berkelebat
disebelah kiri pintu Pekarangan, bergeraknya sangat pesat
hingga sukar dilihat dengan jelas, karena itu ia menjadi curiga,
segera ia melompat menyusul, pedangnya diputar guna
melindungi dirinya.
Setelah melewati pintu, Nona Pek melihat sebuah taman
kecil yang berdampingan dengan sekelompok kamar pendeta.
Itulah halaman barat. Ia melintasi halaman itu, dari sini ia
memutar ke pendopo Tay Hiong Po-thian dan di depan sana
letaknya pintu gerbang. Ia lompat naik keatas genteng terus
melintasinya. genteng itu penuh salju, lantas ia tiba ditepian
payon. Dibawah itu ada sebuah pohon bwe yang bunganya
putih sedang mekar. Disini sinar putih dari salju membuat
sekitarnya terang.
Selagi Giok Peng hendak lompat turun, mendadak kakinya
yang sebelah terpeleset salju, berbareng dengan mana dari
samping menyambar segumpal benda. Ia menerka kepada
bokongan orang jahat. Maka ia berteriak: “Jahanam, jangan
curang!” sambil membentak ia berkelit seraya melompat turun
kehalaman. Baru ia meletakkan kakinya, serangan sudah
datang lagi, kali ini terus bertubi-tubi. Celakanya halaman itu
penuh dengan es hingga sulit menaruh kaki disitu.
Pada saat terancam itu, Giok Peng berlaku cerdik dan
cepat. Ia putar pedang di depannya, menghalau setiap
serangan gumpalan salju, dilain pihak ia lompat mundur
kepohon guna melindungi diri di belakang pohon itu. Ia
berlompatan dengan gerakan “Walet pulang sarang”.
Hebat serangan gelap itu, walaupun senjatanya cuma
gumpalan es, batang pohon terhajar hingga terdengar suara
berisik dan cabangnya pada bergoyang-goyang, hingga salju
diatasnya berjatuhan bagai hujan.
Untuk menghindarkan diri lebih jauh, nona Pek
berlompatan lagi kesamping, kali ini dengan gerakan “Walet
Menembus Tirai”. Ia jadi berada di depan sebuah pendopo.
disitu tergantung sebuah genta yang besar yang biasa
digunakan sebagai pertanda untuk para pendeta bersantap
pagi dan sore.
Disitu Giok Peng berpikir dengan cepat. Tay Hiong Po-thian
sunyi, demikian juga pendopo kiri kanannya. Kemanakah
perginya semua pendeta? Bukankah musuh tengah menyerbu?
Apakah mereka terkena tipu daya musuh “Memancing
Harimau Meninggalkan Sarang”? Itulah berbahaya. Itu artinya
kuil kosong. Maka ia memikirkan untuk membunyikan genta.
Tapi terlalu berbahaya jika ia harus mengambil tambang yang
dikaitkan sebuah martil kecil alat untuk memukul genta, ia lalu
mengayun kakinya menjejak genta itu!
Segera terdengar suara nyaring berisik, berulang-ulang
yang terdengar sampai ketempat yang jauh.
Hanya belum berhenti suara genta itu, tiba-tiba dari
belakang pohon terdengar sebuah suara menghina: “Nona
kecil, para pendeta sudah kabur semuanya, maka itu kau
biarlah aku yang melayani.”
Giok Peng terkejut. Inilah yang tidak ia sangka. Ia
menerka, suara itu tentulah dikeluarkan bayangan tadi. Belum
lagi ia memberi jawaban, kembali ia dibuat kaget sekali, kali
ini dengan menyambarnya seutas tali yang panjang, yang
mengancam menjerat lehernya.
Dalam kagetnya, Giok Peng membela diri. Ia menunduk
sambil pedangnya disabetkan keatas ke arah tali itu untuk
memapasnya putus. Ia menggunakan tipu tebasan
“Membisakan Awan dan Halimun”, karena ia mendongkol,
iapun mendamprat: “Jahanam tak punya muka! Lihat senjata
nonamu!”
Orang yang bersembunyi itu tertawa mengejek, terus ia
berkata: “Haha, malam ini aku datang sengaja untuk
menjengukmu nona! nona yang baik, kau tahu sendiri, para
pendeta itu adalah bangsa orang suci yang tak menghendaki
istri, mereka itu beda dengan aku, Haha! Nona baiklah kau
ikut aku ke pulau To Liong To untuk hidup senang dan
bahagia! Pulauku itu jauh lebih hebat dari pada kuil sunyi ini.
Dan kau akan jauh lebih berbahagia daripada mengikuti
kawanan pendeta itu!”
Kata-kata orang itu membuat nona Pek gusar sekali,
hatinya amat panas, hampir ia membalas mendamprat tapi ia
batalkan begitu mendengar disebutnya nama To Liong To,
pulau naga melengkung. Jadi benar penyerbu ini orang luar
lautan, pastilah datang dalam jumlah besar. Maka mereka itu
tidak boleh dipandang ringan. Para pendeta pun belum pada
kembali.
“Baiklah aku layani dia bicara, barangkali saja aku bisa
mendapat tahu siapa dia sebenarnya…” demikian pikirannya.
Maka tenanglah hatinya. Maka ia melanjutkan menjejak lagi
genta itu dilain pihak ia membuka suaranya, katanya: “Kalau
kau benar orang kosen dari To Liong To, kenapa kau
memasuki kuil seperti maling? Bukankah selain kau masih ada
konco-koncomu yang lain?”
Orang didalam gelap itu telah menarik kembali talinya, ia
tahu setelah gagal kali yang pertama, yang kedua kali pasti
tak ada gunanya. Ia ternyata berada diatas pohon, dari atas
itu ia mengeluarkan juga suaranya: “Eh nona, apakah kau tak
kenal sebuah pepatah kuno “Perang tak pantang haram”. Kau
harus ketahui, kami yang datang maksud kami tidak baik tak
nanti dia datang menyambuti. Mari nona, tuan besarmu Cut
Tong Kauw, Thie Siong Kang tak dapat menanti lama!
Mendengar suara orang itu, tahulah Giok Peng bahwa
manusia ceriwis itu ialah si “Ular Naga Keluar dari Gua” (Cut
Tong Kauw), tapi belum sempat memberi jawaban musuhnya
itu sudah menggunakan pula tali bandringannya. Hanya kali ini
dia bukan mengarah leher melainkan hanya melayangkan
talinya dari kiri ke kanan untuk melilit tubuh.
Mulanya Giok Peng mau menebas, namun ia melihat ujung
tali itu tanpa kepalanya yang bundar, ia lantas menerka
kepada tipu daya jago To Liong to itu. Maka ia batal menebas.
Ia menjejak genta untuk membuat tubuhnya melesat. Begitu
lekas ia menyingkir, begitu lekas juga genta itu kena terlibat
tali musuh dan tertarik keras hingga gentanya berbunyi
nyaring.
Menyaksikan hal itu tahulah si nona bahwa Thie Siong Kang
bertenaga besar sekali. Iapun lantas memikirkan daya buat
berlalu dari situ. Dengan musuh berdiam diatas dan ia
dibawah , ia terancam bahaya. sebab ia kalah kedudukan yang
baik. Ia lantas memutuskan untuk menanti kembalinya para
pendeta…
Tanpa ragu lagi Giok Peng berlompat sejauh dua tombak
hingga ia berada dekat dengan pintu gerbang, lagi satu
lompatan ia akan berada disebelah luar. Tapi ketika ia melihat
pintu, ia heran. Disitu telah bertumpuk banyak batang pohon
yang panjang dan pendek. Umpama kata mirip bukit. Pasti
berabe sekali andiakata ia mesti singkirkan semua rintangan
itu. Terpaksa ia mencari jalan keluar lainnya. Begitulah ia
putar pedangnya sambil ia membentak:
“Jahanam hendak aku mengadu jiwa denganmu!”
Walaupun demikian ia menempelkan tubuhnya pada tembok
sambil jalan dan melindungi dirinya disisi tiang pendopo.
Setelah itu ia lompat untuk sampai dipendopo Tay Hiong Pothian.
Ia hendak lewat pendopo belakang guna melintasi
deretan kamar dan keluar dari situ….
Thie Siong Kang ternyata pintar sekali. Dia telah menduga
si nona telah tertutup jalan majunya dan pasti bakal mundur
teratur, maka dia lantas menjaga dipendopo. Untuk itu dengan
gesit dia lompat turun dari atas pohon dan terus
menempatkan dirinya. Maka ketika Giok Peng datang
mendekat, mendadak dia menggunakan tali bandringannya
sambil dia berseru: “Nona yang baik, baiklah kau letaki
pedangmu, supaya dengan baik kau turuti aku! Percayaitu aku
Cut Tong Kauw, tidak nanti akan menyia-nyiakanmu. Pulau To
Liong To gunungnya indah permai, barang makanannya
lengkap dan lezat! Semuanya sedia untuk kau cicipi dan
makan sepuasnya! Anginnyapun sejuk dan gelombangnya
tenang, hingga pastilah kita bergembira andiakata kita berdua
naik perahu akan berpesiar bersama-sama! Setiap hari akan
aku temani kau selalu! Nah, marilah kita…
Tak sudi Giok Peng kena ringkus tali itu, juga tak mau ia
menyambutinya dengan pedangnya, hanya setelah menanti
hampir tibanya ujung tali, mendadak ia lompat mencelat untuk
menjauhkan diri. Pedangnya diputar buat melindungi diri.
Itulah salah satu jurus dari ilmu pedang Khie Bun Pat Kwa
Kiam. Selekasnya ia bebas dari ancaman tali bandringan itu,
iapun lompat melesat justru ke arah musuh itu, jago To Liong
To itu justru sedang terbuka dadanya sebab dia lagi
membandring si nona. Tapi dia benar-benar kosen, walaupun
seperti dibokong itu masih dapat ia mengelakkan diri.
“Bagus” dia berseru. Bukannya dia menangkis, dia justru
mencelat pergi, berkelit dari serangan yang berbahaya itu.
Segera dia bertindak dan menatap lawannya, mtanya melirik
tajam. Menyusul itu dia bertindak maju sambil tertawa dia
menantang: “Nona yang baik, jangan kelewat kasar! Mari
maju lagi!”
Kembali Siong Kang menggunakan tali bandringannya yang
lihai itu. Nampaknya dia ingin memberi hormat, sebenarnya
dia bersiap untuk melanjutkan serangannya. Disaat itu dia
bersikap sombong dan wajahnya menunjukkan
kejumawaannya.
Giok Peng mengawasi dengan tajam. Ia mengerti bahwa ia
terancam bahaya kalau ia kurang jeli dan kurang gesit. Ia
mendongkol maka mukanya menjadi bersemu merah.
Siong Kangpun mengawasi si nona itu yang dimatanya
tampak semakin cantik dan manis. Dia memang seorang
bajingan yang berparas elok. Dipulaunya, aturannya keras, tak
berani dia sembarang main gila, tidak demikian apabila dia
berada diluar wilayahnya. Dia menjadi bebas bebas, dialah si
tukang menghina wanita. Memang dia bertugas meronda
dibagian luar, jadi ia sering meninggalkan pulaunya,
menyeberang buat beberapa lama untuk mencari kesempatan
memuaskan nafsunya. Demikian juga ketika ia melihat Giok
Peng, dia tertarik bukan main dan berniat mengganggu nona
itu. Dia sampai mengeluarkan iler.
Jilid 5
"Nona yang baik, aku Cut Tong Kay, aku kenal aturan,"
kata dia mencoba bersikap sabar.
"Aku tahu kau tuan rumah dan aku tetamu, dan aku tahu
pula pepatah yang berkata, tamu-tamu tak dapat memaksa,
kau tuan rumahnya! Begitulah sekarang ini, aku suka
mengalah didalam tiga jurus, tak akan aku membalas
menyerang padamu tetapi jika dalam tiga jurus kau tak
mampu mengalahkan aku, bagaimana?" Giok Peng
mendongkol dan gusar, tak sudi ia melayani bicara.
"Siapa mau mengalah dari kau sekalipun buat tiga jurus!"
bentak si nona.
"Aku akan layani kau sampai seratus jurus ..."
Siong Kang menyela dengan tawa nyaring, bandering
ditangannya diulapkan.
"Nona, jangan kau memandang enteng taliku ini!" katanya.
"Taliku ini sama dengan aku sendiri ialah sudah lama
tersohornya! Mari aku bilangi kau secara terus terang! Taliku
ini bernama Twle Hun Toat Beng So, artinya tali pengejar roh
dan perampas nyawa! Taliku lebih hebat daripada Kwa Sian
So, tali peranti meringkus dewa, dan selama sepuluh tahun
entah berapa banyak orang kangouw kosen yang telah
kuringkus bagaikan babi dan kambing untuk diseret ke Po
Liong To dimana mereka dibunuh dan kulitnya dibeset
mayatnyapun ludas! Hanya kalau orang sebagai kau yang
begini cantik manis, aku Cut Tong Kay suka bermurah hati,
takkan ku hukum mati kepadamu sebaliknya akan aku ambil
kau sebagai ..." Benci rasanya Giok Peng mendengar orang
mengoceh makin lama makin tak keruan.
"Jahanam! selanya. "Jahanam, hari ini kau mengakui
kejahatanmu sudah meluap! Entah berapa banyak wanita
yang telah menjadi korban kebiadabanmu! Kalau kau tak
datang kemari, itulah untungmu, tetapi sekarang kau sudah
mengantarkan jiwa, inilah kebetulan bagiku! Memang aku
hendak membasmi manusia biadab semacammu! Akulah yang
akan mengejar roh dan merampas jiwamu! Sudah, jangan
banyak mulut kau.
“Lihat pedangku!" Begitu ia mengakhiri kata-katanya itu,
begitu Nona Pek maju ke garis "Bun" dari Patkwa menyimpang
satu tindak untuk menginjak garis "Twee".
Itulah gerakan dari Khie Bun Patkwa Kiam untuk maju
menyerang.
Inilah sebab Siong Kang kebetulan berdiri di garis "Kian
Kiong".
Siong Kang mengawasi gerak gerik si nona. Dia tak
mengerti artinya tindakan maju itu. Dia justru merasa sangat
girang sebab dia menyangka hatinya si nona sudah berubah
menjadi lunak.
Tanpa merasa dia berseru: "Bagus nona!" Baru saja seruan
itu keluar atas pedangnya, Giok Peng seudah meluncur
kemuka orang. Tadinya pedang itu bersikap bukan menebas
bukan menikam, membuat si pria mata keranjang tak dapat
menerka-nerka. Tahu-tahu dia sudah kaget.
Maka guna menyelamatkan dirinya, dia lompat
berjumpalitan dengan jurus silat "Thie Poan Kio", jembatan
papan besi. Melihat orang lolos, Giok Peng menyerang pula
dengan satu susulan cepat.
Ia mendadak ke Kian Kiong, pedangnya menikam kemuka
orang, disaat orang itu berkepala di bawah berkaki di atas.
Segera terdengar satu suara nyaring, dari beradunya ujung
pedang dengan benda keras! Nona Pek terperanjat.
Tikamannya itu tepat, hanya tadinya kalau ia menyangka
mengenai sasarannya, kiranya hampir menancap di batu bata!
Dan tengah ia keheran-heranan, ia mendengar tawanya si
orang she Thio yang terus berkata: "Aku berada disini
menantikanmu!" Dengan cepat Giok Peng kepalanya, Siong
Kang berjongkok diatas meja tempat memasang dupa,
banderingannya terlibat pada kuping hio louw, tempat abu.
Dia tampak gembira. Diam-diam si nona terperanjat. Benarbenar
lawan itu lihai.
Siong Kang menepuk-nepuk meja sembari tertawa dia
berkata: "Nona, ilmu ringan tubuhmu benar mahir! Dan ilmu
pedang juga tak dapat dicela! Nah, hayo kau menyerang pula.
Tinggal satu jurus lagi! Bukankah aku menjanjikan tiga jurus
padamu?" Giok Peng tidak menjawab.
Ia sedang diganggu rasa herannya. Ialah kenapa tidak ada
pendeta yang muncul sedangkan ia sudah membunyikan
genta berulang-ulang. Apa mungkin semua pendeta sudah
pergi keluar berikut Pek Cut Siauw dan In Gwa Siau,
pamannya itu? Kalau benar pastilah di luar kuil sudah terjadi
sesuatu yang hebat. Ia pula memikirkan Kiauw In.
Bagaimana dengan kakak itu? Kemana perginya sang
kakak? Apakah kakak itupun tak menghadapi lawan yang
lihai? Karena pikirannya itu terganggu, ia jadi diam sambil
mengawasi saja lawannya itu. Siong Kang manatap tajam, ia
mempuasi mata keranjangnya terhadap kecantikan nona di
hadapannya itu. Ia merasa orang makin dipandang menjadi
makin cantik, hingga kembali liurnya meleleh keluar ....
Akhirnya Giok Peng sadar, hatinya pun panas sekali.
"Cut Tong Kauw!" bentaknya smabil menuding: "Kaulah si
ular naga yang biasa keluar dari sarangnya, kenapa kau tidak
mau jantan nongol? Kalau aku lihat macammu sekarang ini
kau justru mirip dengan Hok Au Coa, ulat yang mendekam
diatas meja! Beranikah kau turun dari meja dan diam dekat
padaku untuk melayani pedangku ini?" Siong Kang tertawa
lebar menjawab tantangan itu.
"Masih ada satu jurus!" katanya jumawa, bukannya dia
menjawab, dia justru memperingati akan janji yang
diberikannya.
"Kau tahu, kalau seorang budiman mengeluarkan
perkataannya, empat ekor kuda tak dapat mengejarnya! Kau
percaya aku, aku tidak mau menghina kau dengan melanggar
janjiku!" Giok Peng berlaku sabar.
Ia memang berniat menggunakan akal memancing orang
melompat turun akan ia membarengi menyerang atau kalau ia
gagal, hendak ia lompat keluar guna mencari siasat
selanjutnya. Siong Kang tidak tahu dirinya di akali. Ia
nongkrong terus diatas meja sembahyang itu. Ketika ia
mendapat kenyataan si nona tidak mau menyerangnya pula,
baru ia membuka mulut lebar-lebar untuk tertawa.
Dengan sikap acuh tak acuh, ia berkata: "Setelah kau
selesai menyerangku tiga kali, barulah aku akan membalas
menyerangmu! Kalau ada yang datang tetapi tidak dibalasi, itu
namanya tidak kenal adat istiadat. Nona yang baik, benar atau
tidak kata-kataku ini?" Baru sekarang si nona mau melayani
bicara.
"Katamu mau mengalah tiga jurus dari aku," katanya,
"sudah dua jurus dan masih ada satu jurus sisanya yang
penghabisan, tetapi kau berlaku licik? Kenapa kau main
berkelit saja? Itu namanya bukan mengalah, hanya kau
melindungi dirimu yang licin. Dengan caramu ini, jangan kata
tiga jurus, tiga ratus juruspun tidak ada artinya!" Nona Pek
sudi melayani bicara karena ia pikir untuk memperlambat
waktu, selama ia mengharap-harap kembalinya para pendeta
yang ia sangka akan tiba tak lama lagi, siapa tahu jago dari
pulau Naga Melengkung itu tak kena diakali.
Dia itu tak sudi turun, cuma matanya terus mengawasi.
"Hai, makhluk hina dina!" bentak Giok Peng kemudian.
"Masih kau tidak mau turun untuk kita bertempur terus?"
"Hmm!" Siong Kang mendengus dingin, terus dia berlompat
jungkir balik untuk meloloskan tali kaitannya dari kuping
tempat abu yang besar, untuk lekas-lekas dia menyimpannya.
Setelah itu barulah dia menghunus pedangnya sambil dia
berlompat turun guna bersiap siaga.
Nona Pek langsung melompat maju sambil menikam
kerongkongan orang. Siong Kang tertawa dingin, dengan
pedangnya ia memberi perlawanan. Dia menebas pedang
orang dengan jurus "Garuda Mementang Sayap." Karena ini
kedua senjata beradu keras dan mengeluarkan letikan
percikan seperti kembang api. Dengan berbareng kedua pihak
melompat mundur. Dengan cepat tahulah mereka akan tenaga
kekuatan masing-masing.
Hanya sebentar, Cut Tong Kauw segera membentak sambil
dibarengi tubuhnya melompat maju untuk menikam si nona.
Dia incar jalan darah hiam kie di dadanya nona itu. Itulah satu
serangan ceriwis! Setelah mengetahui tenaga lawan, Giok
Peng tidak mau buat kedua kalinya mengadu tenaga pula. Ia
tertawa sambil melompat maju ke arah lawannya, iapun
membacok ke arah lengan kiri lawan itu. Itulah tikaman "Badai
dan guntur". Ia mencari jalan darah Pek Jie. Siong Kang
tertawa dingin. Dia berkelit sambil memutar tubuh, pedangnya
terus ditikamkan pula. Kali ini dia menggunakan tipu
"Menyibak Rumput Mencari Ular" dan pedangnya mencari
sasaran jalan darah beng bun di punggung si nona.
Giok Peng terkejut juga. Sambil mengegos tubuh, ia lompat
ke samping, dari situ ia menyontek dengan pedang kemuka
lawan, membikin lawan itu kaget dan lekas-lekas membela
diri. Melihat lagak orang itu, si nona tertawa. Tapi ia tidak
hanya tertawa, ia menyusuli dengan satu tikaman lain. Kali ini
ke dada, ke sasaran yang berupa jalan darah ciang tay.
Siong Kang pun terkejut. Ia melihat bagaimana si nona
selalu mencari jalan darahnya yang berbahaya, yang dapat
membahayakan nyawanya. Ia menjadi panas hati. Segera ia
membuat pembalasan. Dua kalinya menikam saling susul
bengis sekali. Giok Peng menjadi repot dibuatnya.
Tak kurang cepatnya, ia menangkis ke kiri dan ke arah
darimana tikaman-tikaman datang. Ia mendapat kenyataan
serangan si Naga Keluar dari Sarang mengancam sekali sinar
putih dari pedangnya dia itu berkelabatan putih dan suara
anginnya menghembus-hembus. Maka ia berlaku tenang, ia
melayani dengan jurus dari Kie Bun Patkwa Kiam. Karena ini
mereka berdua menjadi bergerak-gerak dengan cepat sekali.
Mereka berkelit dan berlompatan, mereka maju dan mundur
silih berganti.
Tanpa merasa, saking cepatnya pertempuran sudah
berlangsung dua puluh jurus. Selama itu si nona merasai
bagaimana musuhnya kuat dan alot. Selama itu ia cuma
mampu melayani, tak dapat ia mendesaknya. Syukur ia cerdas
dan bermata tajam. Maka tak mau ia larut melayani keras
dengan keras. Segera ia menggunakan akal.
Ia menggunakan ketajaman lidahnya, akan mendamprat
dan mengejek lawan itu, membuatnya panas hati dan gusar.
Akal ini memberikan hasil. Hatinya Siong Kang panas bukan
main, ia menyerang sengit sekali. Ia telah menggunakan
seluruh kepandaiannya akan merobohkan si nona.
Dalam murkanya, ia lupa halnya si nona cantik manis dan
tadi ia hendak ganggu dan perkosa. Sekarang ia
menyerangnya sebagai musuh yang dibenci! Dengan Kie Bun
Patkwa Kiam, Giok Peng layani musuh yang tangguh dan
telengas ini.
Dimana perlu ia menyingkir ke sekitar lawan, tak lagi ia
mau melawan sama kerasnya. Maka itu, kembali telah lewat
dua puluh jurus. Hingga selama empat puluh jurus, mereka
masih sama tangguhnya. Segera tampak Siong Kang tak lagi
menyerang keras sebagai tadi-tadinya.
Gerakannya mulai lamban, seperti dua tangannya tak dapat
mengimbangi hawa amarahnya.
Baru sekarang dia mengerti bahwa sebenarnya nona itu
bukanlah sembarang lawan, sedang pada mulutnya dia
memandang ringan dan hendak mempermainkannya. Kiranya
dia memang unggul disebabkan desakannya dengan talinya
yang lihai itu. Tapi dia masih tidak mau menyerah kalah,
bahkan dia penasaran. Dia toh belum dikalahkan, dia baru
dibikin tak mampu merobohkan musuhnya. Sekarang jago dari
To Liong To mau menggunakan akalnya. Dia main mundur
saja.
Selang sembilan tindak, diam-diam dia merogoh kesakunya
menyiapkan senjata rahasianya. Dia menggunakan tangan kiri
sebab tangan kanannya selalu menggunakan pedangnya guna
melayani lawan, ternyata ia meggunakan Hui Hie Piauw, yaitu
senjata rahasia Ikan Terbang. Tiga kali beruntun dia
menyerang si nona selagi nona itu tidak bersiap sedia. Tapi
itulah bukan senjata rahasia maut yang dapat mematikan, itu
hanya tipuan belaka guna membuat lawan kaget dan repot.
Selagi menimpuk itu, selagi si nona terkejut, tangan
kanannya berganti meraba ke pinggangnya dimana ada
tersiapkan lain macam senjata rahasia, ia delapan belas biji
Hui Seng Tan, peluru Bintang Terbang. Asalkan alat
rahasianya ditekan, peluru melesat saling susul menyerang
musuh! Giok Peng kaget dan repot. Itulah senjata-senjata
rahasia yang asing baginya. Makanya ia menyampoknya,
ketiga Hui Hie Piauw.
Yang hebat adalah delapan belas buah peluru itu, yang
menyerang ke atas dan ke bawah, masing-masing sembilan
biji. Itulah tipu senjata rahasia yang dinamakan "Hujan Bunga
Sejagat". Untuk menyelamatkan diri, ia menggunakan
kemahiran kegesitan dan kelincahan tubuhnya. ia berkelit dan
berlompatan ke segala arah hingga ia tampak mirip daun-daun
yang berjatuhan.
Kalau ia berlompatan ke kiri dan kanan, ia lompat tak lebih
dari tujuh kaki. Itulah ilmu yang dinamakan "Tonggeret
Bersedia di antara Daun Rontok." Selekasnya delapan belas
senjata habis dipakai menyerang, bebaslah Nona Pek dari
ancaman bencana maut itu. Tidak ada sebiji peluru juga yang
mengenai tubuhnya. Setiap peluru cuma mendekati ia tiga dim
lalu terasampok menyasar.
Bukan main mendongkol dan gusarnya Cut Tong Kauw,
tanpa mengatakan sesuatu ia menyerang pula. Dia
mengumbar hawa amarahnya. Kali ini dia menyerang dengan
senjata rahasianya yang ketiga ialah Cit Chao So In Nauw,
panah tangan Tujuh Bintang Memecahkan Mega. Diapun
berbesar hati karena sebegitu jauh yang dia tahu setiap
menyerang dengan senjata ini mesti-mesti dia berhasil. Tiap
batang panah tangan itu panjangnya tujuh dim batangnya,
bagian yang tajam ujung ditancapkan empat batang jarum
yang mampu menembus sekalipun orang yang tubuhnya
kebal, menembus ke daging menancap ke tulang. Saking
halusnya, panah tangan itu sulit dikelit.
Tapi yang paling celaka adalah ujungnya setiap jarum
pernah dicelupkan racun hingga asal mengenai darah, racun
itu lantas bekerja, membuat orang binasa seketika! Thio Siong
Kang kosen, semua tiga senjata rahasianya itu jarang dia
gunakan, lebih-lebih panah tangan itu. Biasanya dia gunakan
terhadap lawan yang tangguh.
Demikian kali ini sesudah kewalahan melayani si nona yang
mulanya ia pandang ringan. Begitu dalam amarahnya, dia
menyerang Giok Peng. Nona Pek selalu waspada. Ia
mendengar suara menghembus lalu melihat sinar-sinar halus
berkelebatan ke arahnya. Tanpa berayal lagi, ia memutar
pedangnya maka itu berhasillah ia menyampok jarum dan
runtuh ketujuh jarum maut itu! Siong Kang melengak di dalam
hati, hawa marahnya lantas meluap dan karenanya itu luar
biasa ia menggunakan senjata rahasianya yang terakhir samasama
lihainya, yaitu Hui Ciam yang istimewa, "Panah dan
Jarum".
Makanya ia menyerang dengan ilmu silat, cara
menyerangnya membuat panah itu menyerang ke lima
sasaran empat penjuru dan tengah hingga mirip dengan
bunga bwe lantas disusul dengan sembilan batang jarum, dari
luarnya satu panah itu terbuat dari besi pula, cara
menyerangnya sebanyak tiga kali. Setiap ujung panah beracun
dan bagian cagaknya tajam sekali. Jika lima batang yang
pertama gagal, menyusul sepuluh batang lainnya, kalau masih
gagal pula menyusullah yang terakhir bahkan ini terdiri dua
belas batang.
Hingga semuanya berjumlah dua puluh tujuh batang panah
beracun! Penyerangan yang kedua dan ketiga racun berubah
arah lagi, sesuai cara menyerangnya! Kali ini Siong Kang
percaya bahwa dia tidak akan gagal pula! Nona Pek berseru
"Bagus!" ketika ia melihat musuh menghujani ia dengan anak
panah istimewa itu, dengan lantas ia memutar pedang
bagaikan kitiran hingga tubuh terlindung rapat sampai hujan
dan angin tak dapat menembusinya, hanya terdengar suara
anginnya dan terlihat sinar pedang berkilauan. Suara lainnya
adalah bunyinya ujung yang tajam bentrok dengan badan
pedang dengan kesudahannya anak panah jatuh berserakan di
lantai.
Si nona pun habis sabarnya sesudah ia diserang berulangulang
itu maka ia hendak pembalasan tetapi justru ia mau
menghampiri lawan, Siong Kang mendahuluinya kabur ke
dalam pepohonan lebat di dekat situ, tatkala dia dikejar terus,
dia pun kabur terus-terusan sampai akhirnya dia lenyap dari
pandangan mata. Hingga sia-sia belaka si nona mendaki
puncak untuk melihat ke segala arah. Sebenarnya Siong Kang
menyingkir di tempat-tempat yang rapat dengan pepohonan,
dengan cepat dia menuju ke kali Siong Yang Kee.
Di tengah jalan dia terkejut. Tiba-tiba ia mendengar suara
riuh dan berisik. Lekas dia menengok ke belakang. Maka
tampak banyaknya api obor mendatangi dari puncak Ngo Leng
Hong di arah kanan kuil Siauw Liem Sie. Dia dapat menerka
tentunya para pendeta lagi berjalan pulang, supaya dia tidak
terlihat atau terpergok mereka itu, lekas-lekas dia lari pula ke
tempat lebat dengan pohon, disini dia tetap lari terus
mengikuti tepian rimba itu ....
Sebenarnya tempat lebat itu merupakan rimba-rimba kecil
dan banyak tikungannya dan di setiap gundukan rimba ada
hidup sebuah pohon tua yang umurnya di atas sertaus tahun
yang dahan-dahan dan daunnya bagaikan mengelilingi langitlangit
menambah gelapnya rimba. Jangan kata malam,
siangpun gelap dan orang disitu tak dapat membedakan
empat penjuru, timur dan barat selatan dan utara! Di dalam
rimba itu mudah bagi orang terasasar.
Tidak demikian cabang atas dari luar lautan ini. Sebabnya
ialah dia sudah membuat persediaan, yaitu sejak satu bulan
yang lalu dia sudah mendatangi puncak Ngo Leng Hong dan
membuat sebuah gubuk di dalam dimana dia tinggal dengan
menyamar sebagai seorang tukang cari kayu, untuk
menjelajah rimba guna mengenali setiap bagiannya supaya
jika ada kesempatan dia dapat mengintai kuil Siauw Liem Sie.
Dia pula berani bergaul dengan penduduk gunung disekitar
itu, hingga dia bisa mendengar dari setiap penduduk
andiakata ada gerak-geriknya kuil yang molos keluar. Bahkan
di waktu malampun, dia dapat mondar-mandir dengan bebas
di dalam rimba itu. Demikianlah kali ini menyingkir dari kuil.
Di dalam waktu yang pendek dia sudah tiba di kali Siauw
Yang Kie, di tepi mana dia cepat melompat menaiki sebuah
pohon kayu besar untuk mengambil satu buntalan besar untuk
sambil membawa buntalan itu dia lompat turun pula.
Hanya kali ini segera dia mendengar pertanyaan dari luar
rimba, "Siapa di sana?" Mendengar suara itu, Siong Kang
terkejut. Suara itu aneh datangnya, seperti dari tempat yang
jauh tetapi tibanya, yaitu terdengarnya cepat sekali. Suara itu
mirip anak panah yang melesat datang. Walaupun demikian
dia berlaku tabah dan tenang. Dia berdiam saja. Tak mau dia
menyahut.
Sebaliknya dia membuka buntalannya dan mengeluarkan
sebuah barang setelah dia membukanya nyata itulah sepotong
baju renang panjang lima dim lebar tiga dim, terbuatnya dari
kulit lunak tapi kuat hingga tak mudah dirusak senjata tajam.
Itulah pakaian To Liong To yang memerlukannya sebab
mereka berdiam di atas sebuah pulau dan setiap waktu harus
bergerak di air, berenang atau menyelam. Dengan cepat Siong
Kang menggunakan baju mandinya itu, kemudian dari dalam
bungkusannya dia menarik sepasang Ngo Bie Cie, yaitu
senjata mirip kaitan yang diberi nama "Alis Angkasa".
Itulah senjata yang bisa dipakai di dalam air dan di dalam
air itulah senjatanya pengganti pedang yang berat. Seluruh
kaitan terbuat dari besi, kuat dan ringan sebab besi bajanya
tak besar.
"Siapa itu di dalam rimba?" terdengar pula tegur selagi si
jago To Liong To berdandan itu.
Suara itu keras tetapi seperti suara seorang tua. Dan
pertanyaan terus diulangi beberapa kali sebab selain dia itu
tidak memperolah jawaban. Meski juga ia mendengar, Siong
Kang bagaikan berpura tuli. Tetap ia tidak menyahut balik,
cuma dengan perlahan ia tertawa dingin. Toh ia bersiap sedia,
kaitannya dipentang, disiapkan guna menyambut musuh!
Teguran tidak terdengar lagi, sebagai gantinya ada suara kaki
mendatangi. Itulah suara yang disebabkan injakan kaki pada
daun-daun kering bunyinya berserakan. Sampai disitu dengan
tetap waspada, Siong Kang mengeluarkan suara seperti babi.
Diluar rimba, tindakan kaki terdengar mendatangi makin
dekat makin dekat. Lagi terdengar suaranya seorang tua:
"Siapa di dalam rimba? Lekas keluar! Jangan kau main
sembunyi saja!" Kembali Siong Kang mengeluarkan suara
mirip babi tadi.
"Suhu!" terdengar suara diluar, mirip anak muridnya,
seorang wanita yang memanggil gurunya.
"Barangkali itu suaranya Binatang. Coba dengar!" Di dalam
hatinya, Siong Kang tertawa. Ia menerka bahwa orang kena ia
akali. Karenanya, ia mengulangi suaranya itu, lebih nyaring
lagi.
Sebab ia "berbunyi", kaitannya digoreskan kepada tanah,
suaranya seperti babi lagi mencakar dengan kakinya. Setelah
suara kecil halus itu terdengar suara si tua tadi: "Di waktu
salju dan angin besar seperti ini, di waktu tengah malam gelap
gulita, binatang liar juga tak berani keluar mencari makan!
Muridku, kau berhati-hatilah!" "Biar aku yang masuk
melihatnya!" terdengar suara lain lagi.
"Jika benar binatang liar, akan aku bunuh dengan kay tao
ku ini supaya penduduk sini bebas dari gangguannya!" Siong
Kang menerka di luar rimba ada tiga orang, satu tua, satu
anak tanggung dan yang ketiga seorang pendeta.
Dia itu menyebut kay tao. Ialah golok istimewa yang
merupakan senjata dari kaum penganut agama Sang Buddha.
Si anak tanggung tentunya seorang kacung karena pendeta
dan si orang tua pasti pendeta tua.
Ia memasuki tepian kali tanpa membuat suara, pikrinya
"Sekarang kamu bertiga kepala-kepala gundul, kebetulan
kamu datang, dasar kamu mau mengantarkan jiwa kamu!
Dengan begini kalau nanti aku pulang, dapat aku menangih
jasa dari kakakku!" Segera setelah mengambil keputusan,
Siong Kang mengeluarkan pula suaranya hingga dua kali,
setelah itu ia lompat ke tepi kali.
Memang benar ketiga orang itu pendeta semua. Yang tua
adalah Gouw Ceng, salah satu dari Siauw Liem Ngo Lo, lima
Tetua Siauw Liem Sie, senjatanya ialah sebatang hong puansan,
yang mirip sekop. Dia mengajak Gouw Hong, adik
seperguruannya dan si kacung pendeta Ceng Ceng.
Mereka datang dari puncak Ngo Leng Hong dan di
sepanjang jalan terus melakukan pemeriksaan dan
penggeledahan. Pek Cut Siansu telah memerintahkan separuh
muridnya pulang dan separuh lagi melakukan pemeriksaan
umum dan untuk memeriksa di Siauw Yang Kee itu diperlukan
lima enam puluh orang. Gouw Ceng pernah terluka hingga ia
merasa malu karenanya , karena itu ia ingin membasmi para
penyerbunya itu, maka juga ia yang mengajukan diri meminta
tugas ronda dan memeriksa itu.
Pek Cut menerima baik permintaan itu sebab ia tahu
sebelah hilir Siauw Yang Kee menjadi jalan masuk sebelah kiri
Siauw Liem Sie dan dialah itu perlu dijaga oleh seorang yang
lihai, cuma ia memesan untuk Gouw Ceng barhati-hati, setiba
fajar dia mesti lekas kembali. Tugasnya akan diganti oleh
orang lain. Demikian bertiga mereka pergi ke Siauw Yang Kee
dan mereka justru bertemu dengan si licik Thio Siong Kang.
Hanya itu mereka menyangka bahwa mereka benar bertemu
dengan babi hutan hingga mereka sudah berlaku sembrono
dan melanggar pantangan, "Bertemu rimba jangan
memasukinya".
Beng Khong maju di muka. Gouw Ceng dan Ceng Ceng
mengikuti dia. Dia menjadi heran. Dia cuma melihat kali, tiada
manusia tiada binatang.
Sambil menunju ke kali, dia kata: "Barusan terang-terang
aku melihat ada sesuatu yang muncul di permukaan air yang
terus selam pula. Sekarang bayangannya pun lenyap ...."
Berkata begitu, pendeta ini berjalan.
Dia pun menuju ke sebelah kanan, di situ ada sebuah
pohon cemara yang lebat bercampur pohon-pohon rotan dan
rumput yang tinggi hingga siapa berjalan di situ dia bisa
muncul dan lenyap disebabkan tinggi dan lebatnya rumput itu.
Melihat Beng Khong maju, Ceng Ceng menyusul, Gouw Ceng
berusaha mencegah tetapi berdua mereka terus melangkah,
terpaksa ia membiarkan mereka pergi. Atas segera juga ia
mendengar dua jeritan yang menyayatkan! Ia menjadi kaget
sekali, ia mengikuti jejak dari situ segera ia berlompat lari
untuk mencari tahu suara siapa itu. Hanya sebentar, pendeta
ini telah tiba di tepian kali. Di sana tak tampak Beng Khong
dan Ceng Ceng, segala apa sunyi kecuali air sungai berombak
bergoyang-goyang ....
Sambil memegangi senjatanya, Gouw Ceng berjongkok
guna melihat pinggiran kali guna mencari tapak atau bekasbekas
kedua kawannya itu. Untuk terkejutnya, ia melihat
tanda darah merah baru, di atas dahan sebuah pohon
terdapat baju yang dikenalinya sebagai milik kacungnya Ceng
Ceng, ia menjadi kaget pula. Lantas ia lalu memasang mata di
tepian itu guna menyusul atau atau mencari kedua kawannya
itu. Sepatutnya Ceng Ceng tak ia bawa bersama. Baru pendeta
ini lari belasan tombak jauhnya, mendadak ia mendengar
suara air berbareng melihat munculnya kepala seseorang,
malahan ia lantas kenali si kacung pendeta.
"Ceng Ceng!" ia memanggil.
"Ceng Ceng!" Tidak ada jawaban, sebaliknya kepalanya
Ceng Ceng itu mendadak selam tenggelam pula masuk ke
dalam kali! Itulah aneh! Gouw Ceng menjadi curiga.
Dia maju dua tindak sambil dia menegur: "Penjahat siapa
yang telah mencelakai muridku? Lekas muncul!" Ia pun
menghajar permukaan air.
Menyusul itu, tiba-tiba tampak munculnya kepala orang,
ketika Gouw Ceng mengawasi, disamping kaget sekali, iapun
mengeluh.
Itulah kepalanya Beng Khong, adik seperguruannya!
Bagaikan orang kalap, Gouw Ceng melompat ke air,
senjatanya dipakai menyerang dengan hebat.
Ia pula berseru: "Jahanam, akan aku adu jiwaku!" Hajaran
itu membuat air muncrat, hasilnya tidak ada.
Kepalanya Beng Khong terus tak muncul pula. Tapi dilain
saat, di muka air sejauh setombak lebih, timbullah dua kepala
orang dengan berbareng kedua kepala itu bergoyang tak
henti-hentinya. Itu pula kepalanya Bneg Khong dan Ceng
Ceng! Dilihat dari gerak-geriknya itu, terang kedua kepala
orang itu ada yang menggerak-geriknya, yakni dibuat main ....
Dalam gusarnya, Gouw Ceng seperti lupa segala apa. Ia
lantas bergerak menghampiri kedua kepala orang itu. Karena
air kali dalam, ia mesti berenang. Ketika itu, air tak membeku.
Sebaliknya, air mengalir deras. Itulah Thio Siong Kang, yang
telah memancing Ceng Ceng dan Beng Khong yang telah ia
dapat binasakan, sesudah mana lebih jauh mencoba
memancing Gouw Ceng. Ia ada bagaikan siluman air. Ia dapat
bergerak dengan leluasa di dalam kali. Ia girang ketika ia
mengetahui si pendeta sudah mencebur ke air apalagi ia
selekasnya memperoleh kenyataan pendeta itu tak pandai
berenang. Kepalanya Ceng Ceng dan Beng Khong segera
ditarik pula ditenggelamkan sebagai gantinya itu tangannya
dia dipakai mencabut cagak atau kaitan Ngo Bie Cie yang ia
selipkan di pinggangnya, dengan itu ia lantas menyerang.
Di dalam air, Gouw Ceng tidak dapat bergerak dengan
bebas. Ia menunggu di atas, di bawah kurang perhatian.
Justru itu, ia dapat merintangi kaitan yang satu, tidak lainnya.
Senjatanya Cut Tong Kauw memangnya tidak ampun lagi,
paha kanannya kena tertikam hingga darahnya lantas bocoran
dan lukanya nyeri. Ia kaget dan merasa nyeri, dalam
kagetnya, ia menyerang ke arah dimana ia rasa musuh
berada. Gerakannya itu cepat luar biasa. Cut Tong Kauw tak
dapat membela atau melindungi diri sepenuhnya, ujung
senjata lawannya mengenai kemprolannya disebabkan
gerakannya sedikit lambat. Bukan main ia merasakan nyeri, ia
lantas menyelam lari! Habis menyerang itu, Gouw Ceng lekaslekas
kembali ke darat.
Tak usah ia berdiam lama, di permukaan air ia tampak
timbulnya pula Thio Siong Kang karena cabang atas dari luar
lautan itu hendak membinasakan lawannya. Ia muncul untuk
terus menantang secara jumawa: "Eh, darimana sih
datangnya ini keledia kepala gundul dari Siauw Liem Sie?
Kalau kau benar laki-laki sejati, mari turun ke kali!" Baru
sekarang Gouw Ceng melihat musuh curang itu, yang selalu
main dalam air. Dia mirip siluman air sebab yang tampak
mukanya saja. Di dalam air itu, dia seperti dapat berdiri tegak.
Itulah bukti dari lihainya ilmu berenangnya.
Ia mengerti kalau ia berkelahi di dalam air, sukar buat ia
merebut kemenangan tetapi gusarnya bukan bukan main,
sukar buat ia menahan sabar. Maka itu ia lantas menjemput
batu dan menyerang dengan timpukan. Batu itu dapat
digunakan dengan ilmu melemparkan "Panah Bulu Terbang
bagaikan Belalang".
"Jahanam, jangan lari!" iapun membarengi berteriak.
"Bagus!" Siong Kang berseru terus ia menyelam hingga tak
tampak lagi.
Gouw Ceng putus asa hingga ia menarik nafas dalamdalam.
Sekarang ia ingat kepada luka di pahanya, yang
darahnya masih mengucur maka dengan kedua jeriji
tangannya, ia menekan pinggiran luka itu guna menahan
keluarnya darah, sembari berbuat begitu ia menghadap ke
arah barat sambil membaca mantra "Menghentikan Darah",
menyusul itu ia menekan lukanya itu. Maka di lain saat
berhenti sudah keluarnya darah. Itulah mantra warisannya
Tatmo Couwsu. Baru Gouw Ceng menghentikan darahnya, ia
melihat Siong Kang muncul pula.
Kali ini jago luar lautan itu berkata nyaring, "Pendeta
gundul, aku tahu kau pasti tidak berani turun ke air! Karena
itu tuan besarmu tak mau melayanimu lebih lama pula!" Habis
orang berkata itu, Gouw Ceng memburu ke tepian.
Ia gusar sekali. Ia berkata sengit, "Jahanam, sayang tadi
aku tidak menghajar mampus padamu! Beranikah kau naik ke
darat ini buat menempur aku tiga ratus jurus?" Siong Kang
tertawa lantang.
"Sampai ketemu pula di belakang hari!" kata dia mengejek.
"Akan tiba satu hari yang tuan besarmu akan
mengantarkan kau pergi ke Barat! Ke Nirwana! Keledia
gundul, kau ingat kata-kataku ini!" Kata-kata yang
memanaskan hati ini ditutup dengan orangnya menyelam, dari
gerakan air masih terlihat bahwa dia berenang ke hilir hingga
dia terbawa arus yang deras itu.
Gouw Ceng mengawasi dengan melongo terus ia menghela
napas. Ia tak berdaya sama sekali. Mayat kedua kawannya
pun tak dapat ia cari. Sesudah menjublek sekian lama, baru ia
pergi dengan tindakan berat dengan wajah lesu.
"Dasar aku yang kurang teliti!" ia menyesalkan dirinya
sendiri.
"Kecewa Beng Khong dan Ceng Ceng, akulah yang seperti
mengantarkan jiwanya. Mana aku ada muka untuk kembali ke
kuil menemui ketua dan saudara-saudara lainnya? Tidak bisa
lain, aku mesti cari mayatnya Beng Khong berdua, pulang ke
kuil adalah soal lain ...." Maka itu terus pendeta ini berjalan di
tepian itu.
Tatkala itu angin sudah mulai berhenti menghembus dan
ufuk timur mulai nampak sisanya, guram-guram terang
pertanda tibanya sang fajar. Terus Gouw Ceng berjalan
sampai akhirnya ia tiba di sebuah tempat yang berada di aliran
bawah sungai Siuaw Yang Kee. Di sana terdapat banyak
sawah yang menjadi miliknya kuil sampai sperti tak terlihat
ujung perbatasannya.
Kebanyakan sawah itu diusahakan oleh para pendeta
sendiri, yang lainnya digarap oleh penduduk kampung itu. Di
antaranya ada sawah yang sudah diubah menjadi kebun
sayur. Dengan berdiri diam, Gouw Ceng melihat ke sekitarnya,
ia tidak mendapati siapa juga. Ia mendongkol, iapun berduka.
Maka ia lantas duduk bersila di bawahnya sebuah pohon
cemara pada mana menyandarkan tubuhnya. Ia mengeluarkan
sepatunya Ceng Ceng dan mengawasi itu berulang kali ia
menghela napas sambil menggeleng-geleng kepala, ia
bagaikan kelalap ke dalam pikiran kusutnya sampai ia tak tahu
ada orang muncul dari belakang pohon, sampai orang itu
menegurnya, "Eh, barang apakah itu?" Maka kagetlah ia, terus
ia mencelat bangun untuk segera memutar tubuh.
Barulah hatinya tenang sesudah mengenali orang yang
ialah Lauw In. Di lain pihak dengan gugup, ia mencoba
menyimpan sepatu ke dalam jubahnya! Liauw In mencegah.
"Sute," katanya, "bukankah itu sebuah sepatu?" "Sute"
berarti adik seperguruan dan Gouw Ceng adalah sute-nya
yang ke empat (si-sute).
"Bu ... bukan Toa-suheng ..." sahut adik seperguruan itu
bingung dan gugup hingga suaranya tak lancar.
"Apakah Toa-suheng seorang diri saja?" "Toa-suheng"
adalah kakak seperguruan yang tertua.
Kiauw In mengawasi. Ia melihat satu wajah yang pucatguram.
"Kau kenapakah, sute?" kakak itu tanya.
"Kau seperti hendak menyembunyikan sesuatu kepadaku?
Sepatu siapakah itu? Aku minta janganlah kau membohong".
Bukan main bingungnya pendeta itu, hatinya pepat. Tibatiba
ia terjatuh duduk dengan sendirinya! Ia berdiam saja.
Liauw In heran. Ia mendekati, akan menongkrong di depan
adik seperguruan itu.
"Di sini cuma ada kita berdua, sute" katanya sabar.
"Kau mempunyai urusan apakah? Tak ada halangan untuk
memberitahukan itu kepadaku" Gouw Ceng Beng tidak lantas
menjawab, hanya kali ini ia justru menarik keluar sepatu yang
ia sembunyikan itu untuk dilemparkan, setelah mana ia
menutupi mukanya dan membungkam.
Liauw In pergi menjemput sepatu itu untuk memeriksanya
dengan seksama. Selama itu ia pun berdiam saja, cuma
hatinya yang bekerja menerka-nerka.
Selang sesaat dengan tangan bergemetar ia bawa sepatu
itu ke mukanya Gouw Ceng untuk menanya dengan suara tak
lancar: "Bukankah ini sepatunya Ceng Ceng? Dia kena
apakah?" Untuk kesekian kalinya, adik seperguruan itu tetap
membisu.
Liauw In penasaran, ia menanya dan menanya pula. Ia
mendesak.
Sampai itu waktu, baru Gouw Ceng mengangkat kepalanya
untuk memandang kakak seperguruannya itu.
"Dia ... dia sudah ..." sahutnya sukar.
"Juga Beng ... Khong ...." Liauw In terkejut sekali, hatinya
menggetar. Ia menatap.
"Apakah mereka sudah mati?" tanyanya.
"Siapakah yang?" Sekarang tak dapat adik seperguruan itu
menutup mulut lebih lama maka ia tuturkanlah
pengalamannya tadi sampai Ceng Ceng dan Beng Khong
menyusul ke dalam rimba, ke tepi kali, dimana mereka itu
cuma terlihat kepalanya sebagai mayat sedangkan Ceng Ceng
ketinggalan sebelah sepatunya yang didapatkan di tempat
yang ada darahnya.
Habis itu ia ceritakan "pertempurannya" dengan musuh di
dalam air yang lihai itu yang telah pergi menghilang menyelam
sambil menjanjikan akan bertemu pula nanti.
Liauw In terkejut. Ia mencekal sute itu untuk
mengangkatnya bangun. "Sute! Inilah hebat!" katanya
nyaring, hatinya tegang.
"Mari kita lekas pulang untuk mengabarkan kepada bapak
ketua untuk kita mengambil keputusan! Peristiwa ini tidak
boleh dibiarkan saja. Bahkan kita tidak dapat bertindak
lambat!" "Gouw Ceng tidak, hendak aku turun gunung,"
katanya.
"Hendak aku mencari Thio Siong Kang, kepala bajingan itu
guna menuntut balas buat adik Bneg Khong dan Ceng Ceng.
Sebelum berhasil aku membalas dendam, aku sumpah tidak
mau aku pulang ke kuil".
Gusarnya Liauw In menjadi padam. "Sute, kau benar,"
berkata dia terus terang.
"Benar Beng Khong dan Ceng Ceng telah terbinasa tetapi
mereka pasti terbinasa karena dicurangi, sebagaimana kau
sendiri hampir celaka kena dibokong lawanmu. Dalam
peristiwa ini, kau tak bersalah sama sekali. Buat apa kau
meninggalkan kuil kita? Musuh kita itu pastilah salah seorang
bajingan dari luar lautan, dari To Liong To. Dia dapat
bersembunyi di sekitar kali ini, itulah berbahaya. Itu pula
menandakan lihainya. Bukankah kita tidak pernah memergoki
kita? Karena itu aku percaya, dia mestinay bukan baru malam
ini saja tiba di sini. Sebab telah terbukti penjagaan kita kurang
sempurna, selanjutnya kita mesti lebih waspada dan
memperketatnya. Maka itu, perlu hal ini dilaporkan kepada
ketua kita. Perihal urusan kita tiap tahun, untuk itu kita masih
punya waktu satu bulan lebih. Sekarang inipun para undangan
tengah terus mendatangi, kita harus menantikan mereka
supaya dengan bantuan mereka itu dapat kita membasmi
musuh kita. Kawan-kawan yang termasuk orang lain suka
membantu kita, apapula kau seorang dari Ngo Lo. Jika kau
pergi tanpa pamitan, bukan saja ketua kita bakal menyesalkan
kau, tenaga kitapun menjadi berkurang. Maka itu sute, tak
dapat kau pergi." Gouw Ceng dapat dikasihh mengerti maka ia
mengangguk-angguk.
Lalu ia lantas menyimpan pula sepatunya Ceng Ceng dan
berkata: "Marilah kita pulang, sepatu ini aku akan jadikan
barang bukti kalau bapak ketua dan saudara-saudara kita
melihatnya pasti makin keras tekadnya buat menentang
musuh dari luar lautan itu! Kau jangan kuatir, sute kau tak
bakal dipersalahkan, kau akan dimaklumi." Gouw Ceng
berdiam maka Liauw In lantas pegang tangannya, ditarik buat
diajak meninggalkan tempat itu.
Dengan tangan yang satu ia sentuh bahunya adik
seperguruannya itu.
"Jangan menyesal dan berduka sute," kakak itu masih
membujuk.
"Kau lihat cepat atau lambat sakit hati ini pasti bakal
terbalaskan! Marilah!" Dan mereka menuju pulang ke kuil.
Sekarang kita melihat dahulu Nona Cio Kiauw In seperginya
dia dari Nona Pek Giok Peng. Kalau Nona Pek menuju ke kiri,
ia ke kanan dimana terdapat sebuah ruang diam, kamarkamar
peranti bersemadhi yang bangunannya lebih besar
daripada ruang lainnya di dalam kuil itu. Inilah tempat yang
diperuntukan para tamu. Ketika itu ruang tersebut sangan
sunyi, semua pintu sudah dirapatkan, rupanya orang telah
pada beristirahat. Tanpa ragu-ragu ia lompat naik ke atas
genteng untuk melintasi ruang itu.
Dari atas wuwungan, ia melihat jauh ke sebelah depan
hingga ia menyaksikan pelbagai tanjakan dan bukit-bukit kecil
di sebelah bawahnya. Ia juga melihat Ngo Leng Hong, lima
puncak di arah barat itu. Setelah mengawasi sekian lama,
nona ini menjadi bimbang.
"Malam begini gelap dan puncak demikian," demikain
pikirnya, "aku sebaliknya seorang diri, habis aku menuju ke
arah mana?" Lalu ia memikir sebaliknya.
Ia sudah keluar, tak dapat ia kembali. Masih ia berpikir itu
ketika ia mendengar suara genta nyaring dan berisik, suaranya
seperti dekat seperti jauh. Ia menerka kepada pertanda untuk
berkumpulnya para pendeta. Terkaan ini membuat hatinya
tenang. Bukankah pendeta itu berjumlah besar dan juga ada
ahli-ahli silat kenamaan. Tanpa itu, taruh kata musuh banyak,
tak mudah mereka itu dapat menerobos masuk atau banyak
tingkah. Maka ia pikir baiklah ia pergi melakukan perondaan,
umpamakan ia menemui musuh, harus ia hajar musuh itu
supaya ia dapat membuat jasa dan nanti memperoleh muka
terang! Begitu keputusan itu diambil, begitu si nona melompat
pergi.
Ia menjelajahi pelbagai bukit kecil yang berupa seperti
tanjakan, terus sampai di kaki puncak Ngo Leng Hong. Di sini
ia berhenti sebentar, sekalian beristirahat, matanya
memandang ke kaki puncak. Ia mendapati rimba di antara
mana lapat-lapat tampak beberapa gua. Karena ini ia berlaku
waspada. Setelah beristirahat itu, Kiauw In lompat naik ke
atas sebuah pohon tua, dari situ ia berlompatan terus. Ia
dapat bergerak dengan leluasa karena ia menggunakan ilmu
ringan tubuh "Burung Wlaet Menembusi Tirai".
Ia bergerak maju ke kiri dan ke kanan, sampai ia berada di
pinggang gunung dimana barulah ia lompat turun ke tanah
untuk terus mengawasi ke bawah gunung ke segala penjuru.
Tempat dimana si nona berdiam ialah depannya sebuah gua
besar yang tingginya dua tombak, yang mulutnya lebar
bagaikan ikan lodan mulut mana madap nyamping.
Bergelantungan pada itu ada banyak stalaktit dan akar-akar
rotan. Ada juga terdengar suara menetes air. Dari luar ada
cahaya silau mencorong ke dalam membuat mata silau.
Dengan mencekal pedangnya, dengan tindakan perlahan
Kiauw In berjalan memasuki gua itu.
Selekasnya si nona berada di dalam gua, segera ia
merasakan tubuhnya hangat. Hawa di situ sangat beda
dengan hawa dingin di luar gua. Karenanya mendadak saja ia
merasa segar dan bersemangat. Ia memejamkan mata
sebentar lalu dipentangnya pula hingga ia dapat melihat
denag terlebih tegas sedangkan telinganya segera mendengar
suara plak plok perlahan tak hentinya. Ia melihat banyak
bayangan hitam berterbangan bolak-balik, di antara ada yang
saban-saban membentur dinding dan jatuh karenanya. Kiranya
itulah kawanan kampret yang rupanya menjadi kaget karena
datangnya orang dan lantas terbang berserabutan.
Lantas Nona Cio berpikir: "Di sini ada banyak kampret,
pasti di sinipun tidak ada orang. Baiklah aku keluar dahulu
melihat di luaran". Maka iapun bertindak keluar.
Lantaran ia mengawasi daerah Timur dimana tampak dua
buah puncak di atas satu diantaranya terlihat ada banyak
sekali sinar-sinar warna terang kehijau-hijauan mirip kunangkunang
yang sedang terbang mondar-mandir dan turun naik.
Mengawasi pemandangan itu, makin lama Kiauw In merasa
makin aneh. Selagi begitu, ia mendengar dengungan genta
dari kejauhan (itulah saat dimana Giok Peng menendang
genta berulang-ulang).
Ia tidak perhatikan itu, ia tidak menyangka jelek atau
mencurigainya. Suara itu toh datang dari tempat yang jauh. Ia
justru memusatkan perhatiannya kepada kunang-kunang itu,
yang berterbangan tetapi tetap berkumpul, bergumulan di
satu tempat. Ia menyesal karena ia terpisahnya terlalu jauh,
tak dapat ia melihat lebih tegas. Untuk menghampirinya, iapun
merasa sulit.
Maka Kiauw In mengawasi saja sampai selang seketika ia
mendapati sinar terang itu bagaikan berpindah turun dan
cahayanya pun seperti berkelap-kelip. Seperti cahaya api yang
sebentar hidup sebentar padam. Nampaknya seperti kunangkunang
itu ada yang maju pergi.
"Ah, itu bukannya kunang-kunang!" tiba-tiba ia berkata,
satu katanya itu keterlepasan.
"Di atas gunung tak sama dengan di kaki bukit, di atas
gunung tidak ada tempat yang semak-semak, biasanya di
tempat kering tak ada kumpulan kunang-kunang sebanyak itu.
Itu juga tentu bukannya cahaya dari kawah. Habis cahaya
apakah itu? Kalau itu api kunang-kunang yang terasampok
angin, kenapa pindahnya turun ke bawah tak tertiup ke
puncak yang lain? Itulah aneh! Ah, biarlah aku pergi ke sana
melihat ...." Setelah mengambil putusan ini, sukar atau tidak
Nona Cio lantas bergerak ke arah api yang aneh itu.
Bagaikan sang kera, ia pindah dari satu pohon ke pohon
yang lain. Sebab sulit untuk jalan atau berlari-lari di bawah
tanah. Tidak terlalu lama sampai sudah ia di puncak yang
kedua. Di sini baru ia mencari jalanan. Ia mendapati sebuah
jalan kecil yang berliku-liku maka ia lantas berlari-lari.
Karenanya, ia mesti lari berputaran. Ia lari keras sekali. Kali itu
ia tiba di puncak yang ke empat hingga di depannya tampak
puncak yang paling besar. Ia senang melihat puncak itu. Di
puncak itu tampaknya terdapat lebih banyak gua. Tanpa ragu
ia maju terus. Kalau perlu ia merayap naik dengan bantuannya
akar-akar rotan.
Dengan sukar akhirnya ia toh tiba juga di atas puncak. Di
sini ia berdiri, memandang ke lain arah, ke bawah puncak.
Maka tampaklah di situ sebuah kali, lebar dan agaknya dalam.
Kali ini memisah puncak ini dengan puncak sebelah sana,
puncak kelima. Maka juga puncak itu dapat dipandang tetapi
tak dapat segera disampai ....
Keras Nona Cio berpikir. Bagaimana caranya untuk pergi ke
seberang itu? Biar bagaimana , iapun telah merasa letih.
Sambil separuh beristirahat itu, terus ia memandang ke
sekitarnya. Akhirnya setelah menghela napas dan bangun
berdiri, ia bertindak ke sebuah gua kecil di depannya,
memasukinya dan lantas duduk di atas sebuah batu besar. Ia
memejamkan mata seperti lagi bersemadhi, napasnyapun
disalurkan dengan perlahan.
Di saat itu, sulit buat Kiauw In untuk menenangkan diri.
Pikirannya terasa kusut. Ia meram dan melek dan meram
pula. Entah berapa lama ia sudah duduk diam saja seperti itu.
Lalu, tiba-tiba ia terperanjat.
"Kakak In?" demikian ia mendengar secara mendadak.
Cepat ia membuka matanya.
Untuk herannya, ia melihat Giok Peng di hadapannya.
"bagaimana?” tanyanya segera. "Apakah kau menemukan
musuh?" Giok Peng sudah lantas menuturkan pengalamannya,
bagaimana ia telah bertemu Thio Siong Kang si jago luar
lautan yang lihai itu, yang kosen tetapi licik.
"Sia-sia belaka aku mengejar dan mencarinya." Nona Pek
menambahkan kemudian.
"Dia memiliki kepandaian ringan tubuh yang
mengagumkan. Sia-sia saja aku mencarinya selama beberapa
jam." "Akupun tidak menemukan barang seorang musuh."
Kiauw In memberitahukan.
"Mungkin dia atau mereka sudah lari kabur. Adik Peng,
Hauw Yau ditinggal lama, entah dia sudah mendusin atau
belum. Mari kita lekas pulang!" Berkata begitu Nona Cio
segera berlompat bangun dan bertindak keluar. Giok Peng pun
ingat anaknya itu maka ia segera mengikut.
Sekeluarnya dari puncak ke empat, mereka itu menghadapi
sebuah kali besar, kali tanah pegunungan yang airnya deras
sekali, yang saban-saban menerjang batu-batu besar sehingga
makin menerbitkan suara nyaring dan berisik, suara berisik
mana diperbuat oleh suaranya sebuah curahan air tumpah
yang tinggi. Disitu kedua nona menghentikan tindakannya.
Mereka tidak melihat jalan yang dapat dilalui. Kauw In
menunjuk ke depan dan berkata kepada Giok Peng:
"Adik, lekas cari jalan. Lihat, fajar lagi mendatangi!
Mungkin sampai tengah hari juga kita sukar sampai di kuil!"
Giok Peng berjalan sampai di tepian kali.
Ia menoleh ke kiri dan kanan, yaitu ke hulu dan ke ke hilir.
Sekian lama dia berdiam, tiba-tiba ia berkata: "Aku ingat
sekarang! Ini kan puncak ke empat? Maka puncak yang tadi
kita lihat dari atas mesti puncak yang paling belakang. Mari
kita kembali, dari sana baru kita dapat berjalan pulang." Kauw
In berpikir.
"Tadi, apakah kau melihat cahaya api yang berkelak-kelik?"
tanyanya.
"Bukan melainkan cahaya api tapi api para pendeta" sahut
Giok Peng.
"Jumlah mereka sedikitnya seratus orang lebih. Mereka itu
mencari dan menggeledah di atas dan di kaki gunung dengan
berpencaran."
"Benarkah itu?" Kauw In menegasi.
Awalnya dia heran. "Ah" ia menambahkan, "Kalau
demikian, benar-benar kita mesti kembali!"
Lantas nona Cio mendahului bertindak hingga Giok Peng
mesti mengikutinya. Dengan banyak susah mereka tiba pula di
puncak dan mulut gua tadi, dari sini, dari atas mereka dapat
memandang ke bawah.
Masih mereka belum juga melihat jalanan. Tiba-tiba Nona
Cio menebas berulang-ulang kepada pohon cemara.
"Kenapa itu kakak?" tanya Giok Peng heran. Kauw In
menuding ke arah kali.
"Kita harus menyebrangi kali, tetapi kita tidak dapat
berenang" sahutnya.
"Maka kita mesti menebang pohon ini buat dijadikan
batangnya sebagai perahu, mari kau membantu aku
menebangnya!" Tepat itu waktu dari dalam gua terdengar
suara orang: "Eh, hati-hati! Di luar gua ada orang!" Giok Peng
terkejut, serta merta ia menghunus pedangnya dan lompat
mencelat ke mulut gua.
Kauw In pun melompat menyusul kawannya itu ketika dari
salam gua tampak munculnya dua orang pendeta, yang
segera dikenali Gouw Jin dan Gouw Gie adanya, tangan
mereka membekal tongkat, tampang mereka tegang.
"Taysu, kami disini!" Kauw In segera meneriaki.
"Kami hendak pulang tetapi kami belum berhasil mendapati
jalannya." Kedua pendeta melihat kedua nona, lekas-lekas
mereka memberi hormat.
"Mari kami mengantarkan nona-nona pulang" kata Gouw
Jin.
"Terima kasih" Nona Cio mengucap.
Gouw Jin mendahului memutar tubuh, buat kembali ke
dalam gua, kedua nona mengikuti. Gouw Gie mengikuti paling
belakang.
"Hati-hati!" terdengar suara Gouw Jin setelah mereka jalan
selintasan.
Giok Peng mengawasi ke depan dimana terdapat dinding
yang penuh akar rotan. Disitu tampak sebuah liang besar,
Gouw Jin membungkuk masuk ke dalam liang itu, yang
merupakan sebuah pintu. Gouw Jin maju akan membetot akar
rotan tang menghadangnya. Sekarang Giok Peng berdua
melihat sebuah alat, yaitu sebuah pintu besi yang daunnya
tergantung tinggi.
Selekasnya mereka masuk, daun pintu itu menggebrak
jatuh dengan memperdengarkan suara nyaring berisik.Diamdiam
kedua nona merasa aneh. Lama mereka mengikuti si
pendeta jalan di sebuah terowongan yang cuma muat satu
orang. Sekitarnya batu dan tingginya terowongan cuma tiga
kaki sehingga orang harus membungkuk-bungkuk.
Terowongan pula gelap. Mereka mesti jalan berbelok-belok
beberapa kali sampai mereka mulai merasa hembusan angin
lalu tampak sinar terang, pertanda datangnya fajar.
Di paling ujung itulah mulut terowongan itu berada.
Sekeluarnya dari mulut gua, Giok Peng berdua baru dapat
melihat tegas-tegas. Di depan mereka, puncak gunung
bagaikan menembus ke langit. Mega seperti menutupinya, di
ufuk timur cahaya matahari masih lemah sekali. Puncak yang
tadi malam mereka lihat berada dekat sekali di depan mereka.
"Taysu, apakah ini puncak yang kelima?" Kauw In tanya
Gouw Jin.
"Ya" sahut pendeta itu mengangguk.
"Dari sini kita pulang, jalannya dekat sekali."
"Semula aku menyangka kami dapat pulang dengan jalan
puncak pertama itu" kata Giok Peng.
Gouw Jin menggeleng kepala lalu dia menutur perihal
jalanan di kelima puncak disitu. Ada banyak jalanan, banyak
juga yang buntu. Tanah datar lebih banyak daripada guanya.
Kali tak dapat dilewati kalau airnya banjir, yaitu di musim
hujan.
Di sebelah situ, ada pula gangguan halimun atau uap yang
tebal. Terowongan itu adalah buatan ketua mereka terdahulu.
Masih ada beberapa terowongan lain yang jarang dipakai. Di
akhirnya Gouw Jin memberi penjelasan bahwa tadi mereka
tengah melakukan pemeriksaan ketika mereka melihat kedua
nona itu maka juga mereka lantas menghampirinya. Diamdiam
kedua nona mentertawakan diri. Lantaran tak kenal
jalanan, mereka jadi tersesat. Sekarang dengan dipimpIn
Gouw Jin berdua, lekas sekali mereka kembali ke kuil.
Di pendopo Tay Hiong Po-tian, orang tengah berkumpul.
Disitu Pek Cut Taysu sebagai ketua duduk di kursi pertama,
ditemani oleh Gouw Hian Tojin dari Butong Pay serta ke empat
adik perguruannya sendiri. Di sebelah kiri duduk Pat Pie Sin Kit
bersama Ngay Eng Eng, Ang Siau Siangjin, Liauw Lo, Gouw To
dan Gouw Hoat Taysu. Melihat orang berkumpul dan
tampangnya mereka itu, Kiauw In berdua menerka mesti telah
terjadi sesuatu.
Lekas-lekas mereka maju mendekati buat memberi hormat
pada Pek Cut semua setelah mana mereka mendampingi
paman guru mereka, si pengemis sakti.
"Gouw Ceng, coba kau tuturkan pengalamanmu tadi malam
bertemu dengan musuh," berkata Pek Cut Taysu habis kedua
nona menjalankan kehormatan.
Rupanya orang baru saja berkumpul. Kiauw In berdua
menoleh kepada Gouw Ceng yang paling dulu menghormati
ketuanya, baru dia memberi hormat pada para tamu dan
paman gurunya, setelah itu dia mulai menceritakan
penuturannya yang jelas sekali.
"Tadinya aku tak niat pulang lagi," ia tambahkan kemudian
seraya mengasi tahu bagaimana Liauw In, yang
menemukannya, membujuk dan memberi pengertian
kepadanya kepada bahaya yang mengancam Siauw Liem Sie
serta dunia rimba persilatan semuanya.
"Sekarang aku menerima salah, bersedia aku menerima
hukuman dari bapak ketua." Mengakhiri kata-katanya itu,
Gouw Ceng menghampiri Pek Cut, untuk berdiri sambil tunduk
di depan ketuanya itu, tampangnya sangat berduka.
"Aku sudah tahu" berkata ketua itu.
"Pergilah mundur dan beristirahat! Jangan kau bersusah
hati. Beng Khong dan Ceng Ceng sembrono, mereka
menerima bagiannya maka biarlah mereka nanti disambut
oleh sang Buddha kita di Tanah Barat. Bagi kita, dunia kosong!
Sekarang soalnya ialah musuh besar berada di depan kita dan
keselamatan Siauw Liem Sie terancam, kita harus berdaya
membebaskan diri. Lagi sekali aku beritahukan, jangan kau
bersusah hati. Pergilah kau mundur!"
Jilid 6
Gouw Ceng tidak segera mengundurkan diri.
“Bapak Ketua,” katanya, “Aku bersedia mengorbankan diri,
tak nanti aku mundur walaupun ada ancaman berlaksa
kematian!”
Pek Cut mengulapkan tangannya.
“Amidha Budha!” pujinya.
“Aku mengerti kau!” Terus ia berpaling kepada Liauw In
dan berkata: “Liauw In, kau ajaklah dia pergi!”
Liauw In menurut, habis mengangguk, ia menghampiri
Gouw Ceng untuk memegang.
“Sute kau harus dengar kata-kata bapak ketua.” katanya,
“Mari beristirahat!”
Lalu adik seperguruannya itu ditarik, diajak kependopo
belakang.
Pek Cut menoleh kepada Go Hian Tojin kemudian berkata:
“Totiang, bukankah Thio Siong Kang itu salah seorang
bajingan kepala dari pulau To Liong To? Apakah totiang
pernah mendengar tentang mereka?”
Go Hian membalas hormat.
“Maaf, pendengaran pinto tentang dunia Kang Ouw sangat
terbatas,” sahutnya. “Memang dahulu pernah pinto
mendengar perihal bajingan kepala dari pulau itu, bahwa
mereka itu suka melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak
halal, bahkan pernah ada beberapa orang rekan yang datang
kepada pinto untuk mengajak pinto pergi menyerang mereka,
katanya guna membantu rakyat dari gangguan mereka itu.
Terpaksa pinto tolak ajakan itu sebab ketika itu pinto
berpendapat partai kami tidak mencari urusan diluaran, kalau
orang tidak mengganggu kami, kamipun tidak mau
mengganggu orang. Karena itu pinto tidak tahu jelas perihal
bajingan-bajingan itu.”
Pek Cut tahu dari pihak Bu Tong Pay ini, ia tidak dapat
mengharap keterangan jelas, kalau toh ia menanyakan Go
Hian, itulah disebabkan sebagai tuan rumah tak boleh ia lupa
menunjukkan penghargaan dan rasa hormatnya pada
tetamunya itu, yang telah begitu memerlukan datang untuk
membantu pihaknya. Maka ia mengangguk dan berkata:
“Terima kasih totiang! Syukur bahwa totiangpun mengetahui
bahwa mereka itu telah melakukan perbuatan-perbuatan yang
tidak halal. Sebenarnya perbuatan itu sudah lama mereka
kerjakan dan orang jauh dan dekat rata-rata pernah
mendengarnya.”
“Sayang malam tadi aku tidak bertemu sendiri dengan
jahanam itu!” berkata Eng Eng sengit. “Kalau sebaliknya,
walau kepandaianku tidak berarti, hendak aku mencoba
membekuknya.”
“Ngay Tayhiap berbicara secara terus terang, senang aku
mendengarnya!” In Gwa Sian menimbrung.
Setelah itu muncullah dua orang pendeta muda, yang
masing-masing membawa satu buntalan hitam serta sehelai
atau tambang panjang terbuat entah dari rotan atau benda
lainnya. Mereka itu muncul dari depan dan masuknya secara
tergopoh-gopoh, langsung mereka mendekati Gouw jin Taysu,
salah satu dari Ngo Lo, kelima Tianglo. Mereka memberi
hormat, lantas mereka menyerahkan barang-barang yang
dibawanya itu sambil mengucapkan kata-kata dengan
perlahan.
Gouw Jin menyambut sambil mengangguk-ngangguk,
lantas dia berbangkit dan membawa kedua rupa barang itu
kehadapan Pek Cut untuk dipersembahkan, sambil memberi
hormat, ia berkata: “Harap bapak ketua ketahui bahwa Ceng
Leng dan Beng Wan berdua sudah menerima perintah pergi
kekaki Ngo Leng Hong dekat Siauw Yan Kie, dimana mereka
membuat penyelidikan. Menurut penduduk sana, pada dua
bulan yang lalu kampung mereka kedatangan seorang pria
pertengahan, yang tinggal dengan membuat gubuk dikaki
gunung dan Pekerjaannya setiap hari ialah mencari kayu buat
dijual kepada penduduk kampung, bahwa kadang-kadang dia
menanyakan penduduk tentang segala hal perihal kuil kita.
Tadi malam orang itu nampak pulang entah apa sebabnya.
Mendengar itu Ceng Leng bercuriga, maka ia pergi kegubuk
orang itu dan memeriksanya. Ia cuma menemukan tali
panjang ini, lainnya segala perabotan dapur saja. Beng Wan
sebaliknya menemui bungkusan ini dibawah pohon cemara tua
ditepi kali, tergeletak ditanah, terus dia membawanya pulang.
Harap bapak ketua sudi memeriksanya.”
Semua mata hadirin segera diarahkan kepada kedua
barang itu. Pek Cut mengawasi sekian lama, lantas bungkusan
itu ia serahkan pada Go Hian Tojin, untuk si imam melihatnya.
“Sungguh bungkusan yang besar.” kata Imam dari Bu Tong
Pay itu, “Seorang manusiapun dapat dibungkus dengan ini!”
“Jahitannya bukan seperti jahitan biasa.” Pek Cut
menambahkan, pendeta ini heran.
In Gwa Sian menyambuti bungkusan itu untuk diteliti. Dia
bermata tajam, lantas katanya: “Menurut aku, bungkusan
inipun bekas direndam dahulu dengan getahnya suatu pohon
dan bekas dijemur kering hingga kain ini tidak nyerap air dan
dapat dipakai sebagai pakaian menyelam. Kalau kalian tidak
percaya, cobalah!”
Ngay Eng Eng turut memeriksa benda itu lalu dia
menunjuki jempol tangannya.
“Saudara In benar!” katanya. “Inilah pasti milik Thio Siong
Kang sibajingan itu!”
—- Hal 09 S/D 16 hilang ——
menjadi jurus “Belibis Turun di Pasir” Pedangnya menjadi
meluncur kebahu kiri lawan. Pedang itu bersinar berkilau.
Sia Hong terancam bahaya, untuk menyelamatkan diri ia
berkelit sambil melompat jungkir balik dengan jurus “Ular
Naga Berjumpalitan” Toh ia terlambat juga, ia masih kalah
cepat. Hanya untung baginya cuma bajunya yang terobekrobek!
Dengan lompatan itu ia menyingkir sejauh dua tombak.
“Imam siluman, benar lihai pecut emasmu itu!” Seng Ciang
berseru.
Sia Hong mengeluarkan peluh dingin. Meski selamat, ia
sudah kalah, maka mukanya menjadi pucat pasi dan merah
padam. Ia malu dan penasaran.
Selagi saudara seperguruannya itu berdiri diam. Hek Hong
berlompatan maju sambil menunding dengan goloknya, golok
Pun Tiat To. Ia berseru: “Siluman, benar lihai ilmu pedangmu!
Mari pinto juga hendak belajar kenal denganmu!” Menyusul itu
ia menyerang membacok ke arah jalan darah hoa kay si
lawan.
Seng Ciang melihat datangnya ancaman, ia menangkis
dengan keras hingga senjata mereka bentrok dan bersuara
nyaring. Setelah itu ia membalas menikam iga kiri si imam.
Mau tidak mau Hek Hong mesti berloncatan mundur. Balasan
lawannya itu hebat sekali. Sambil mundur itu, ia menghajar
pedang guna memunahkan serangan itu. Maka pedang dan
golok beradu keras berisik dan percikan apinya bermuncratan.
Bentrokan itu hebat Hek Hong, goloknya hampir lepas dari
tangannya dan jeriji tangannya hampir terpotong, walaupun
demikian ia tidak mau berhenti sampai disitu. Ia penasaran. Ia
merasa dirinya seperti sedang menunggang harimau hingga
tak dapat ia berlompatan turun. Sambil menggertak giginya
dan menyerang pula, mulanya menusuk lalu mendak dan
membabat lawan.
Seng Ciang menangkis tusukan itu, dilain pihak sambil
menjejak tanah, dia lompat guna menyelamatkan kakinya, tapi
selekasnya dia menaruh kakinya, dia balas membacok dari
atas kebawah. Tak berhasil dia mengenai lawan tapi
pedangnya menghajar golok demikian telak dan keras, hingga
golok dari tangan Hek Hong mental dan selagi lawan itu
menjadi kaget dan bengong, dia berlompatan maju dengan
susulan tikamannya!
Tanpa senjata dan sedang bingung sedang tangannyapun
nyeri, maka Hek Hong tidak berdaya terhadap serangan kali
ini. Tak ampun lagi bahu kirinya kena tertikam hingga ia
terluka, sambil menjerit robohlah tubuhnya.
Koaw Hong berlompat maju, dia kaget bercampur gusar.
Kaget buat saudara seperguruannya dan gusar terhadap
lawan itu. Sambil menunding dan berteriak: ” Kau berani
melukai adik seperguruanku, Awas!” Dan dia segera
menghajar dengan Bu Hwe Pian, cambuk baja yang
dinamakan “Ekor Harimau”. Itulah pukulan “Kacung Tay Sie
Menindih Kepala”.
Melihat senjata orang agaknya berat, Seng Ciang berlaku
hati-hati. Begitulah ia menghindar ke kiri darimana ia
membarengi membabat ke kanan mencari bahu lawan. Koaw
Hong pun berkelit, habis berkelit ia menyerang pula,
cambuknya dibabat untuk sekalian melibat tubuh musuh. Seng
Ciang mendak, dengan begitu cambuk lewat diatas kepalanya.
Sekali lagi ia membalas kembali kebahu lawannya itu. Koaw
Hong berkelit sambil berlompatan dengan penasaran, maka
kembali iapun menyerang dengan menyabet kebawah.
Seng Ciang menjejak tanah melompat tinggi setombak
lebih dan setelah ia mendarat ia telah terpisah tujuh delapan
kaki dari lawannya. Tapi ia disusuli si imam yang
menyerangnya dengan jurus “Naga Hitam Keluar Dari Gua”
sasarannya ialah jalan darah “heng han” dipunggung Seng
Ciang. Jago luar lautan mendengar suara aneh akibat
bekerjanya cambuk, ia berkelit sambil mendak ke kanan
darimana lagi-lagi ia membabat bahu lawannya.
Didalam delapan belas senjata, cambuk terhitung yang
nomor tujuh dan dipelajarinya paling sulit, siapa pandai
menggunakannya, dia akan jadi lihai sekali. Koaw Hong cukup
lihai tetapi dia kalah licin dari Seng Ciang, yang ilmu
pedangnya baik sekali. Maka juga didalam waktu tigapuluh
jurus, jago luar lautan itu tetap lebih unggul. Bahkan sehabis
itu, perlahan-lahan, si Imam mulai terkurung sinar pedangnya.
Kalau dia melawan terus dapat susah dia. Karenanya lantas ia
menggunakan akal, mendadak ia menyabet kebawah dengan
jurus “Angin Puyuh Menyapu Salju”.
Dengan memaksakan diri Seng Ciang lompat mundur, atas
mana Koaw Hong lompat ke kanannya. Menampak demikian ia
menerka si imam hendak menyerang dia dengan senjata
rahasia, maka ia lantas memasang mata. Sengaja ia menegur:
“Eh imam siluman, kita belum menang atau kalah, kenapa kau
mau mundur?” Lalu terus ia lompat menyusul pedangnya
dilancarkan.
Benarlah terkaan jago luar lautan itu, saking terpaksa,
Koaw Hong hendak menggunakan senjata rahasianya, cepat ia
merogoh kesakunya dan menimpukkan dua batang jarum
emas, mengarah kemuka dan dada.
Seng Ciang bermata tajam, dan lagi dia sudah bersiaga,
maka itu ketika ia melihat bahu si imam bergerak, ia dapat
menerka kemana arah serangannya. Ia telah memasang mata,
lantas ia menyerang. Ia juga membekal senjata rahasia yang
berupa paku dan dengan itulah ia menyambut jarum lawan.
Suara nyaring terdengar akibat bentrokan senjata rahasia
yang dua-duanya lantas jatuh ketanah. Menyusul itu Seng
Ciang bertindak lebih jauh. Tanpa ragu dan tanpa ayal. Kalau
tadi ia menimpuk dengan tangan kanan, sekarang ia
menimpuk pula dengan tangan kiri. Kalau tadi ia
menggunakan paku, sekarang senjata rahasia yang
dinamakan Thie Lian Cie atau teratai besi. Dan teratai yang
pertama meluncur ke belakang kepala si imam.
Koaw Hong kaget bukan main, ia mendengar bunyi senjata
beradu, ia tahu bahwa penyerangan gelapnya sudah gagal,
maka dalam hati ia berseru: ” Celaka!” dan belum sempat ia
berdaya telinganya sudah mendengar sambaran angin di
belakangnya, dengan cepat ia tunduk sambil mendak sedikit.
Dengan begitu senjata rahasia itu lewat diatas kepalanya.
Tetapi itu belum semua. Seng Ciang menyerang dengan
menggunakan tipu daya. Serangannya kebatok kepala cuma
akal belaka guna memancing kelengahan lawan. Selekasnya
timpukannya yang pertama itu segera menyusul yang kedua,
lalu menyusul yang ketiga. Dua yang belakangan ini dengan
kecepatan luar biasa dan arah tujuannya berlainan.
Kaow hong sudah lantas menjerit. Tak berdaya ia waktu
teratai yang kedua menancap di jalan darah co in dibetisnya
bagian belakang kaki kanannya, sambil menjerit “Aduh!”
tubuhnyapun roboh. Dia merasa nyeri dan kaki kanannya itu
lantas menjadi kaku. Untung baginya, teratai yang ketiga lolos
karena ia keburu roboh.
Menyusul robohnya si imam, muncullah Ngay Eng Eng yang
lantas menghadapi Seng Ciang guna menghadang andiakata
jago luar lautan itu hendak merampas jiwa lawannya. Ngay
Eng Eng datang dengan meluncur dari tempat yang tinggi.
“Hm!” Eng Eng mengasih dengar ejekannya. “Kalian gagah
sekali sehingga dapat merobohkan beberapa bapak imam!
Tapi kalian jangan berpuas diri dahulu! Aku Ngay Eng Eng
dengan tanganku yang berdarah daging ini, hendak aku
melayani kalian. Aku hendak melampiaskan penasarannya
bapak-bapak ini…!”
Belum berhenti suaranya, Lie Seng sudah menikam
padanya. Dengan hanya satu kali bergerak, maka Eng Eng
sudah berkelit hingga segera berada di belakang penyerang
yaitu Lie Seng, si Ular Naga Mendekam, lantas ia membalas
menyerang dengan kedua belah tangannya dengan
menggunakan ilmu silat “Tangan Membalik Mega”. Sasarannya
ialah kedua bahu lawan.
Lie Seng terkejut tetapi dia sanggup menyelamatkan diri.
Sambil mendak sedikit dia menjejak tanah, berkelit dengan
melompat sejauh tiga tombak. Melihat orang menyingkir
begitu jauh, Eng Eng tertawa.
“Manusia jahat, jika kau bernyali, mari maju pula!”
tantangnya. Lalu bukannya ia berdiam menanti orang
menghampirinya, ia justru melompat ke kiri untuk lari
mendekati tanjakan!
Lie Seng menjadi sangat gusar, sambil membentak ia lari
mengejar. Jago tua itu sengaja hendak mempermainkannya,
ia tidak segera melayani melainkan hanya lari berputaran
seperti lagi main petak, kemudian barulah ia lari mendaki
menuju puncak. Ketika itu ia menoleh ke belakang, ia melihat
si Ular Naga Mendekam masih terus menyusulnya dan
ketinggalan tak jauh darinya.
Dengan lekas jago dari luar lautan itu dapat menyusul dan
dengan sengit dia lantas menikam untuk itu dia sampai
berlompat. Eng Eng masih tidak hendak menyambuti, ia hanya
berkelit. Karenanya ia jadi telah memberi kesempatan buat
lawannya itu kembali menikam! Masih jago tua itu tidak mau
melawan, dan hanya berkelit menghindar. Kali ini dia lari terus
mendaki bukit dan barulah diatas bukit itu ia berdiri menanti.
Lie Seng menyusul terus, kedatangannya dibarengi dengan
tusukan, karena dia semakin gusar maka serangannyapun
makin hebat. Pedangnya itu selain berkilau kehijau-hijauan
anginnyapun terdengar tajam. Eng Eng menduga senjata
lawan adalah senjata mestika maka tak mau ia memandang
enteng. Sebaliknya ia mengerahkan tenaga dalam
ditangannya, setelah berkelit ia melayani bertempur sambil
berlompatan mundur dan kesisi kanan berlompatan tinggi.
Dengan tangannya ia bersilat dengan ilmu silat Kim Na Kong
yang istimewa untuk menangkap senjata atau serangan
lawan. Ia sudah berusia lanjut tetapi ia dapat bergerak dengan
gesit sehingga ia seperti sedang bermain diantara kilauan
pedang.
Sudah lama sekali Ngay Eng Eng tidak menggunakan
senjata tajam. Kalau bertempur ia selalu menggunakan
sepasang tangannya. Demikian pula kali ini, tak peduli pedang
si Ular Naga Mendekam menyerang dengan luar biasa, ia
selalu dapat melayani dengan mudah sekali. Dengan cepat
dua puluh jurus telah berlalu, seperti semula tadi tetap
mereka tak ada yang kalah atau menang. Sebaliknya Lie Seng
semakin penasaran, ia menggunakan seluruh kepandaiannya
sebab niatnya adalah merobohkan musuh. Sementara
lawannya tetap melayani dengan tenang seperti semula. Maka
sepuluh jurus lagi telah dilewatkan.
Tengah mereka bertempur bagaikan main-main itu,
mendadak Eng Eng mementang kedua tangannya, terus
tubuhnya mencelat sejauh tiga tombak, sebab ia
menggunakan ilmu silat lompat tinggi dan jauh “Elang
Menyerbu Langit”. Ia menyingkir kesebelah kanan. Lie Seng
membentak nyaring, tubuhnya membarengi berlompat juga
menyusul. Dia seperti tidak mau memberi kesempatan. Kali ini
Eng Eng lari terus terusan, sampai melewati empat puncak.
Dipuncak yang ke empat ini ia tiba disebuah pohon yang besar
dan tua, yang tinggi dan banyak dahan-dahannya sedang
daunnya berupa mirip payung. Disitu ia berhenti dan
mengawasi lawannya sambil tersenyum.
Lie Seng mengejar terus tapi sekarang dia telah bermandi
peluh dan napasnyapun tersengal sengal, cuma semangatnya
yang tak kunjung padam, tapi dia masih menuruti suara
hatinya, yaitu marah. Selekasnya dia datang mendekat maka
tak ampun lagi dia menikam lawannya itu! Dengan tangan
kosong, Eng Eng tidak mau menyambuti pedang. Buat
kesekian kalinya ia berkelit luar biasa gesit, tahu-tahu ia sudah
berada di belakang penyerangnya. Dengan sama hebatnya ia
menyerang dengan kedua tangannya. Ia menggunakan jurus
Melintang Menghajar Dahan Emas, walaupun demikian ia
menggunakan tenaga lima bagian.
Lie Seng lihai, masih dapat ia menyelamatkan diri dengan
lompat ke depan sejauh dua tombak. Cuma iganya tersentuh
sedikit, sedang maksud lawannya adalah membuatnya roboh
pingsan disebabkan tulang-tulangnya pada patah. Panas si
jago dari luar lautan, setelah menaruh kaki, dia memutar
tubuh buat maju menghampiri lantas menikam pula, hebat
niatnya untuk membalas lawannya.
Heran juga Eng Eng, biasanya jarang ia gagal dengan
serangan semacam itu. Hajarannya itu mampu menciderai
orang yang kebal sekalipun, namun Lie Seng malah masih
mampu menyerangnya. Tapi ia tak gentar. Ia menanti, segera
setelah ujung pedang hampir sampai, ia berkelit ke kiri hingga
ia jadi berada disebelah kanan lawannya. Disini ia lantas
menyerang. Tentu sekali sekarang ia tambah tenaganya
hingga menjadi tujuh bagian.
Kali ini Lie Seng tidak lolos seperti tadi, punggungnya telah
terhajar telak, maka tubuhnya tersuruk ke depan sejauh satu
tombak. Tapi dia kuat sekali, dia tak roboh mencium tanah,
bahkan dia lekas-lekas memperbaiki diri. Maka itu kembali dia
dapat maju pula guna melakukan serangan balasan. Dia
menggunakan ilmu pedang “Dengan Obor Membakar Langit”.
Kembali Eng Eng menjadi heran. Ia heran atas kekebalan
dan ketangguhan lawannya itu. Orang telah mengeluarkan
banyak sekali tenaga dan barusan telah kena terhajar
walaupun cuma tersentuh iganya lalu terhajar punggungnya.
Kenapa dia dapat bertahan sedemikian rupa?
Tak usah lama jago tua itu berpikir, lantas ia ingat sesuatu,
hingga ia bagaikan orang yang baru sadar dari tidurnya. Itulah
sebabnya kenapa tubuh lawan terasa seperti lunak-lunak
keras atau lembek kokoh, hingga hajarannya tak mengenai
secara hebat. Maka itu, mungkin orang itu mengenakan
lapisan atau pelindung yang istimewa ditubuhnya. Entah….
“Orang licin!” pikirnya. Lalu, melihat sebuah pohon Pek
disebelah kanannya, ia mendapat akal. Dengan segera ia
menjejak tanah dan lompat naik keatas pohon itu. Berdiri satu
kaki dengan sikap “Ayam Emas Berdiri Dengan Satu Kaki”
Melihat sikap orang itu, Lie Seng gusar sekali. Dia
membentak lantas melompat naik guna menyusul dan
langsung menyerang tanpa ampun lagi dengan tikaman “Naga
Hijau Masuk Kelaut” mengarah ke dada lawannya. Memang
niatnya Eng Eng dengan aksinya itu adalah untuk merampas
pedang lawan. Ia bersikap tenang, ketika ia ditikam itu, ia
menanti sampai orang hampir mendapat hasil, mendadak ia
berpura-pura terpeleset hingga tubuhnya terguling dari dahan
dimana ia menaruh sebelah kakinya. Ia mengait dengan
kakinya hingga tubuhnya bergelantungan bagaikan orang
bermain ayunan. Dengan cepat tangan kanannya menyambar
dahan itu untuk dipegang erat-erat buat bertahan hingga
tubuhnya tak jatuh kebawah, menyusul kemudian sebelah
kakinya menendang lengan lawan, lengan yang dipakai
menikam.
“Aduh!” Lie Seng menjerit, kaget dan nyeri. Cekalannya
sudah lantas terlepas hingga pedangnya jatuh ketanah. Saking
nyerinya dia mesti memegangi lengannya itu. Karena ini dia
menjadi jeri dan terpaksa lompat turun dari pohon untuk terus
lari dan kabur! Eng Eng tidak mau mengerti. Ia tak sudi
membiarkan lawan lolos, begitu melihat orang lari, ia lompat
turun terus mengejar. Ia memang dapat lari lebih cepat,
sebentar saja ia sudah berhasil menyusul. Maka bergeraklah ia
bagaikan elang. Kedua tangannya dipentang menyambar ke
iga lawan.
Lie Seng tahu datangnya ancaman itu, namun tangannya
tak berdaya sehingga ia menjadi kuatir, tapi ia masih memiliki
tangan kiri. Sambil mendak untuk berkelit dari sambaran, ia
memutar tubuhnya lalu cepat dengan tangan kirinya itu ia
menyerang keperut musuh. Ia menggunakan pukulan “Tangan
Pasir Besi” yang lihai dan mengarah perut musuh. Ia bersedia
mati bersama…
Eng Eng tidak menjadi bingung, sebaliknya ia mendahului.
Dengan sebelah tangannya dan dengan ujung lengan bajunya
ia menyampok muka lawan. Si Ular Naga Mendekam kaget
sekali. Tak dapat ia berkelit atau menangkis. Tapi hebat
kebutan itu, walaupun cuma ujung baju. Ia merasai mukanya
nyeri sekali seperti terasampok lembaran besi. Kali ini tak
ampun lagi, ia berteriak kesakitan lantas terjengkang dan
roboh pingsan!
Sementara itu Mie A Lun sudah menyusul hingga ia sempat
menyaksikan robohnya saudara angkatnya itu, guna menolong
saudaranya yang ia kuatir dibunuh musuh, ia menyerang
musuh dengan satu ayunan tangan dan meluncurlah senjata
rahasianya, sebatang kongpiauw disusul oleh dua yang lain.
Senjata itu melesat dengan mengeluarkan suara yang tajam.
Eng Eng tahu datangnya serangan itu, dengan tabah ia
mengebut berulang-ulang membuat ketiga senjata rahasia itu
berjatuhan ketanah.
Mie A Lun terperanjat saking herannya atas kelihaian
lawannya. Ia menjadi penasaran sekali, maka ia menyerang
pula sekarang dengan lebih gencar, ia menyerang keatas tiga
kebawah empat. Maka tujuh buah sinar terang meluncur ke
arah lawannya. Eng Eng mengenali senjata rahasia itu ialah
semacam panah tangan yang bukan terbuat dari besi atau
emas, melainkan terbuat dari akar kayu pinang yang
dilengkapi dengan baja dan seluruhnya sudah direndam dalam
air beracun juga ditambahi dengan sebuah per hingga bisa
melesat dengan cepat sampai sejauh tujuh delapan tombak
dan setiap pipanya memuat tujuh batang. Kembali ia
menunjukkan kegesitan dan kelihaiannya. Sambil melompat ia
mengebut setiap panah tangan itu sehingga berjatuhan
ketanah dan ia terbebaslah ia dari ancaman maut.
Panas hatinya Mie A Lun melihat senjata rahasianya gagal,
sambil berseru ia maju menyerang dengan tangan kirinya
untuk menggertak sementara kepalan kanannya meninju
hebat kedada. Eng Eng berkelit ke kiri, tangan kirinya
membacok lengan penyerangnya itu. Ia bukan membacok
dengan senjata tajam, melainkan dengan pergelangan telapak
tangannya. Itulah bacokan yang dinamakan “Menyambut
Palang Pintu Besi”
A Lun gesit, dapat ia menggeser lengannya itu. Ia gagal
menyerang tapi lengannyapun selamat. Tapi Eng Eng berlaku
cepat sekali, ia menyerang pula dengan kedua tangannya
mencari sepasang mata lawannya. Serangan mana membuat
lawannya berkelit sambil memutar tubuh, hingga ia berada
disisi kiri, maka ia lalu meluncurkan tangannya ke iga jago tua
itu. Itulah serangan “Tawon Galak Masuk Kesarang” Eng Eng
berkelit, tangan kirinya menolak, demikianlah mereka saling
serang.
Kiranya Mie A Lun menggunakan ilmu silat “Naga
Berenang”. Maka itu ia dapat bersilat pesat kedelapan penjuru
hingga ia tampak mirip bayangan saja. Tapi Eng Eng bukan
sembarang lawan. Jago tua ini dapat menandingi kegesitan
jago dari luar lautan itu. Dengan demikian mereka telah
bertempur lebih dari tiga puluh jurus. A Lun penasaran sekali,
sebab ia tak mampu mengalahkan lawannya, mendadak ia lari
berputaran, lalu lompat keluar lapangan untuk memasang
kuda-kudanya. Selekasnya ia mengerahkan tenaganya
ditangan kanan, tiba-tiba ia menyerang sambil berseru
nyaring. Ia menggunakan pukulan “Harimau Hitam
Mencengkeram Hati”
Eng Eng dapat mengegos tubuh dari pukulan dahsyat itu.
Ia menjadi gusar hingga kumis dan janggutnya bangun berdiri
seperti duri landak. Disaat serangan lewat ia berlompatan
merangsek untuk balas menghajar. Ia bukan memukul atau
menusuk hanya menjambret kedua bahu lawannya itu guna
mencengkeram tulang-tulangnya buat ditarik dengan kuat dan
keras. Sebab ia menggunakan jurus silat “Cakar Elang”. Kalau
ia berhasil maka patah dan rusaklah tulang bahu lawannya.
A Lun mengenal bahaya itu, ia berkelit dengan gerakan dari
Naga Berenang. Ia berkelit ke kiri ke kanan, darimana ia
mengirim serangan balasan ke kiri bahu lawan. Ia menyerang
pula dengan pukulan “Harimau Hitam Mencengkeram Hati”
dan sasarannya ialah jalan darah cang cok dari Eng Eng.
Celaka, siapa yang terhajar jalan darah tersebut akan mati
seketika, seringannya akan sakit batuk dan susah napas
bertahun-tahun sebelum akhirnya menutup mata. Eng Eng
mengerti akan ancaman bahaya itu maka ia menyelamatkan
dirinya dengan kelitan “Angin Meniup Gelombang Pohon
Yangliu”
Dua Kali gagal menyebabkan hawa amarahnya memuncak.
Dengan sengit kepalan kirinya menghajar muka lawannya.
Tapi kali ini dia dilawan keras dengan keras, serangan itu
disambut dengan serangan juga. Maka bentroklah kepalan
mereka berdua dan kesudahannya mereka sama-sama
terpukul mundur.
Habis berkelahi lama dan menggembor kegusarannya itu, A
Lun telah menggunakan tenaganya berlebihan, maka habis
bentrok ini, napasnya lantas memburu, hingga mukanya
penuh dengan butiran peluh. Ternyata dia kalah ulet. Sedang
ia masih mengatur napasnya yang memburu, lawannya
berseru sambil maju menyerangnya dengan tidak memberikan
kesempatan untuk beristirahat. Serangan datang bertubi-tubi,
sebab gagal yang satu, menyusul yang lain, tangan dan kaki
bergantian.
Bukan main repotnya A Lun untuk membela diri. Dalam
repotnya itu, ia mencoba berlompat minggir tujuh tindak lalu
dengan cepat sekali mengeluarkan senjatanya yang termasuk
senjata istimewa. Senjata itu sepasang terbuat dari besi,
batangnya sebesar biji buah persik sedang panjangnya dua
kaki delapan dim dan ujungnya merupakan seperti lima jari
tangan yang lancip.
Eng Eng segera mengenali senjata itu yang disebut Jit Goat
Sian Jin Ciang “Tangan Dewa berpokok Matahari dan
Rembulan” atau “CaCing Duri Badak Matahari dan Rembulan”.
Tentu sekali tak mudah ia mempertahankan perkelahian
dengan tangan kosong terus menerus, melihat orang
menggunakan senjata, dengan cepat ia menghunuskan
pedang yang tergantung dipunggungnya.
“Sambut!” A Lun berseru seraya dia mementang sepasang
senjatanya yang luar biasa itu, untuk meluncurkan senjatanya
yang kiri. Itu hanya itu gertakan belaka, selekasnya lawan
berkelit ia membarengi menyerang pula dengan tangan kanan
dan mengancam jalan darah lengtay. Eng Eng berkelit ke kiri,
setelah bebas ia balas menyerang. Ia menebas lengan
lawannya itu, gerakannya ialah gerakan “Belibis Turun di Pasir
Datar”
A Lun menarik tangan dan tubuhnya buat mengangkat kaki
kiri menggeser kesamping musuh dari sisi, sebelum musuh
menarik pulang tangannya, ia coba mendahului menyerang
pula. Dengan dua senjata berbareng, hanya serangannya
masing-masing keatas dan kebawah. Itulah jurus “Gouw Kong
Menumbang Pohon Kayu Manis” dengan begitu kedua belah
pihak sama-sama berlaku keras dan gesit, mereka saling balas
secara kontan. Eng Eng menyingkir dari senjata lawan.
Setelah itu ia membalas pula, menikam dengan jurus
“Menunggang Naga Memancing Burung Phoenik”
Mie A Lun juga dapat menyelamatkan dirinya. Dengan
sepasang senjatanya, dia menangkis pedang lawan. Jago she
Ngay itu menarik pulang pedangnya. Ia memutar tubuhnya
kesamping, dari situ ia menyerang dengan jurus “Rajawali
Emas Membuka Sayap” Tapi serangan itu sia-sia belaka,
lawannya mampu melayaninya. Kembali lawannya menyerang
balik dengan senjatanya mencari jalan darah khie-hay di
pundak kiri. Untuk mencegah serangan itu, Eng Eng
mengancam tangan lawan itu, ia menusuk tangan yang
memegang Sian Jin Ciang. A Lun menarik senjatanya. lalu
dengan cepatnya dia balas menyerang dengan jurus silat
“Bajingan Galak Memasuki Pintu Neraka” sasarannya ialah
jalan darah thay-yang yang berada dibawah iga Eng Eng.
Jago tua itu tidak melompat menyingkir, dia hanya
menyedot hawa membuat tubuhnya menjadi menyusut,
sehingga senjata lawan tak sampai sasarannya.
“Kena!” ia berseru. Itulah karena habis berkelit ia
menyerang.
A Lun bermata jeli dan gesit, dapatlah ia berkelit dari
ancaman pedang itu, ia menangkis dengan tangan kiri seraya
tangan kanannya dipakai menyerang musuh. Eng Eng lompat
ke kiri untuk terus mengancam iga lawan. Kali ini A Lun
terancam bahaya besar, syukur dia tidak menjadi gugup. Dia
tidak berkelit ke belakang atau ke kiri kanan, sebaliknya dia
justru merangsek maju. Pedang lawan ia tempel, supaya
ujung pedang tidak menyentuh tubuhnya, berbareng dengan
itu senjatanya yang sebelah lagi menghajar dada musuhnya
mencari jalan darah khie-bun. Tangkisan dan serangannya itu
dinamakan jurus silat “Bidadari Menenun”
Eng Eng melompat sejauh lima kaki lalu mengawasi
musuhnya dengan tajam, sesudah itu keduanya sama saling
mendekati. Ia lantas menyerang dengan gencar dan hebat,
sehingga berbalik ia menjadi pihak yang menyerang, pihak
penyerbu tahu diri, dan dapat melihat gelagat sehingga
berlaku dengan waspada. A Lun memanfaatkan dengan
maksimal keunggulan senjatanya yang mempunyai
empatpuluh sembilan jurus dan duapuluh empat diantaranya
untuk menghajar jalan darah. Memang senjata itu jarang
terlihat di muka umum saking langkanya.
Buat sementara Eng Eng tampak unggul, ia dapat
mengandalkan pedangnya yang tajam. Iapun selalu
menggunakan tangan kirinya untuk menusuk jalan darah
lawan. Tak dapat A Lun lalai atau ayal bergerak, bisa-bisa dia
jadi korban. Souw Tay Liong melihat kawannya tidak berhasil
merebut kemenangan, dia jadi berpikir keras. Sekian lama
diapun berdiri menonton saja, melihat keadaan dia lantas
mengambil keputusan.
“Adik, kau mundurlah!” Dia berseru kemudian kepada A
Lun, “Biar kakakmu yang membereskan lawanmu ini!”
Walaupun dia berkata begitu, si Harimau Gunung ini tidak
menanti saudaranya mundur dulu, ia trus melompat maju
untuk menyerang musuh. A Lun mendengar dan melihat
begitu kakaknya itu maju, dia melompat keluar dari kalangan
meninggalkan lawannya. Eng Eng sempat mengawasi lawan
barunya yang bersenjatakan golok Gan Leng To - Sayap
Belibis. Namanya “Sayap Belibis” tetapi kenyataannya golok itu
beratnya kira-kira empatpuluh kati. Itulah senjata berat yang
jarang dipakai orang dan siapa yang memakainya selain
tenaganya besar kemungkinan ilmu silatnyapun mahir.
Walaupun demikian ia tidak jeri, bahkan sebaliknya, ketika
musuh datang mendekat secepatnya ia mendahului menikam.
Souw Tay Liong melihat serangan itu lantas berkelit.
Walaupun senjatanya berat, namun tak mau ia memakainya
dengan sembarangan. Dia berkelit ke kiri. Dari sini barulah dia
membalas membacok iga kiri. Itulah ilmu golok “Sang Nelayan
Menebar Jala”. Sasarannya ialah iga kiri lawan. Sambil berkelit
ke kanan, Eng Eng menangkis. Ia berlaku cepat hingga lawan
tidak sempat menarik pulang goloknya, dengan begitu pedang
dan golok beradu keras satu dengan yang lain, hingga
suaranya memekakkan telinga dan kedua senjata mengaung
sampai lama.
Benturan itu membuat Souw Tay Liong mengetahui bahwa
lawan memiliki tenaga yang besar. Hal ini membuatnya
berpikir. Ia tahu mereka berada diwilayah musuh, sehingga
dari segi kedudukan pihak sana lebih unggul. Karena itu
pihaknya perlu secepatnya untuk merebut kemenangan. Kalau
lawan sampai memperoleh bantuan, tentulah berbahaya bagi
mereka. Karena itu tak ayal lagi ia mulai mencoba mendesak.
Ia berkelahi dengan menggunakan “Pek Houw To” yaitu ilmu
golok Harimau Putih, yang semuanya terdiri dari delapan
puluh satu jurus, semua dengan gerak gerik harimau dan pula
biasanya semua serangannya berantai dan belum berhenti
kalau musuh belum dikalahkan….
Satu keistimewaan lain dari ilmu golok Harimau Putih itu
ialah bisa digunakan untuk melayani berbagai senjata dan
selama dipergunakan ditempat luas, sinarnya terlihat
berkilauan. Dan biasanya kalau musuh tak lihai maka hanya
dalam sepuluh jurus dapat dirobohkan. Eng Eng kenal Pek
Houw To, maka itu melihat lawan menggunakan ilmu golok
yang lihai itu, ia tidak bersangsi pula. Ia juga menggunakan
ilmu pedangnya Bu Kek Kiam - pedang Tanpa Batas, yang
telah ia latih selama lima puluh tahun, ilmu ini mirip dengan
ilmu Thay Kek Kiam yaitu bertujuan melawan kekerasan
dengan kelembutan. Sinar pedangnya mengurung seluruh
tubuhnya dengan rapat.
Begitulah Pek Houw To dilayani oleh Bu Kek Kiam, ilmu
goloknya menjadi tak dapat bergerak dengan leluasa, sampai
pada jurus yang ketujuhpuluh lima, yaitu “Harimau Lapar
Menggoyang Kepala” dan “Harimau Hitam Menerkam Bumi”
mendadak goloknya diputar melintir lalu mendadak dia juga
membacok lawannya pada tiga arah!
Tidak ada jalan lain bagi Eng Eng untuk menyelamatkan diri
selain melompat menyingkir, dengan begitu semua bacokan
yang keatas dan kebawah tidak mengenai sasaran. Ia
melompat ke kiri, selekasnya ia menaruh kaki, ia balas
menyerang. Ia bukannya menabas melainkan menikam
kemuka lawan.
Souw Tay Liong terperanjat juga. Ia seharusnya terus
mencecar musuhnya supaya semua jurusnya dapat di jalankan
habis, namun sekarang tidak, bahkan ia harus menyelamatkan
dirinya. Maka ia berkelit kesamping, tangan kirinya dipakai
menolak sedang golok ditangan kanannya membacok dengan
jurus “Harimau Menggeliat”
Bukannya Eng Eng terancam bahaya, melainkan inilah yang
ditunggu-tunggunya, ia mendahului menghajar belakang golok
musuhnya dengan jurus pedang “Ular Sakti Muntahkan Tikus”
dengan mengerahkan tenaganya. Tay Liong kaget sekali,
tangannya terasa nyeri dan tiba-tiba goloknya terlepas dan
terpental keudara dan jatuh hingga delapan kaki jauhnya
dengan suara berdentangan nyaring.
Cie Seng Ciang dan Mie A Lun kaget sekali hingga mereka
berseru tertahan! Mereka menerka pasti lawan akan
melanjutkan serangan susulannya. Sementara itu Tay Liong
masih kelihatan tergetar sambil memegang tangannya yang
terasa sangat nyeri.
Namun dugaan mereka ternyata salah. Setelah
kemenangannya Eng Eng tidak menggunakan kesempatan itu
untuk terus mendesak musuh, sebaliknya dia terus melompat
mundur sambil memberi hormat dengan memegangi terus
pedangnya, sambil tertawa ia berkata: “Sahabat aku
mengucapkan terima kasih karena kalian sudi mengalah. Ini
cuma kekeliruan gerakan tangan, belum ada yang menang
atau kalah! Silahkan ambil golokmu itu! Tak usahlah kalian
mencoba menjagoi disini!”
Perkataan Eng Eng ini membuat lawannya menjadi gusar
sekali. Ia sudah kalah dan merasa malu, tetapi kata-kata
orang membuat merah muka dan telinganya. Ia menganggap
dirinya diejek atau dihina, katanya dalam hati: ” Makhluk mau
mampus! Kau belum kenal senjata rahasiaku yang asal
digunakan pasti meminta jiwa!”
Memang si Harimau Gunung pandai dua macam senjata
rahasia, yang pertama ialah yang terdapat didalam kantong
kulit yang tergantung dipinggangnya. Kantong itu berisi Hui
Hie Cie yaitu tempuling ikan yang terbuat dari baja mengkilat,
panjangnya tiga dim, ujungnya lancip, seluruh tubuhnya
bersisik tajam mirip duri. Apalagi tempuling itu bekas
direndam didalam racun yang ganas, siapa kena terluka maka
dia mesti binasa. Yang lainnya ialah piauw berantai yang
tersimpan dalam lengan bajunya, tajamnya luar biasa. Kedua
macam senjata rahasia itu biasa digunakannya setelah ia
terdesak, maka dari tadi ia ingin menggunakannya namun
dibatalkannya sendiri. Ia tidak menyangka, orang yang
usianya sudah meningkat ternyata sedemikian kosen.
Sekarang saatnya sudah tiba, mendadak ia berseru dan
tangan kirinya terayun menimpukkan tiga buah piauw secara
beruntun. Lalu tanpa menantikan bagaimana hasil
serangannya itu, tangannya terus meraba kantong kulitnya
dan mengambil tujuh batang tempulingnya…
Eng Eng tidak menyangka bahwa orang gusar dan terus
menyerang dirinya, tetapi ia selalu siap sedia, bahkan ia
sempat melihat lawan merogoh kantong kulitnya. Maka sambil
berkelit dari ketiga piauw, ia tak lengah, terus ia menatap
tangan musuhnya dan ia menduga pada senjata rahasia
beracun. Selepasnya senjata itu ditimpukkan , ia putar
pedangnya untuk menangkis. Tubuhnya bagaikan tertutup
pedang. Tiga kali terdengar suara tang ting tong, terus ketiga
piauw sudah jatuh ketanah.
Dilain pihak dengan tangan kirinya ia mengeluarkan Thie
Lian Cie, teratai besinya. Dua biji untuk disembunyikan
didalam lengan baju. Tak dapat ia berlaku ayal, segera ia
melihat tujuh sinar terang meluncur ke arahnya, empat diatas,
tiga dibawah. Tak dapat ia menyampok semua senjata itu
yang ia terka senjata rahasia adanya. Maka guna
menyelamatkan diri ia membuang tubuhnya kesamping untuk
terus bergulingan. Itulah jurus silat “Go Tae Liong” atau “Naga
Tidur Ditanah”. Dilain pihak, dengan pedangnya barulah ia
menyampok tiga yang kebawah itu hingga ketiga tempuling
itu terasampok mental!
Souw Tay Liong terkejut hingga hatinya gentar
menyaksikan ketangkasan lawannya. Sedang menurut
dugaannya, musuh tak akan lolos dari salah satu dari sepuluh
senjata rahasianya, terutama tempulingnya yang beracun. Ia
menjadi sangat penasaran, sambil kertak giginya ia
menyerang pula dengan lima biji tempulingnya yang telah ia
keluarkan dengan sangat cepat dari kantongnya.
Kali ini Eng Eng pun sudah siap sedia. Setelah menjatuhkan
diri ia lantas bangun. Ketika kelima senjata rahasia tiba, ia
sampok runtuh semuanya, ia putar pedangnya rapat
mengurung dirinya.
Tay Liong makin gusar, ia menyimpan goloknya
dipunggungnya, terus menggunakan kedua tangannya untuk
meraup senjata rahasianya. Kiranya disamping tempuling Hui
Hie Cie, iapun membekal Hui Hong Ciam, jarum “Belalang
Terbang”. Ia lalu menggenggam masing-masing tujuh buah
terus menyerang bagaikan hujan. Ia sudah merasa pasti kali
ini tidak akan gagal pula….
Jago dari luar lautan ini tidak pernah menyangka bahwa
Ngay Eng Eng adalah seorang ahli dalam soal menghindari
senjata rahasia, baik dengan berkelit maupun dengan
pedangnya. Dan kali ini Eng Eng memutar tubuhnya bagaikan
gangsing, pedangnya turut berputar melindungi seluruh
tubuhnya. Maka nyaringlah suara bertemunya senjata rahasia
itu dengan pedangnya, yang pada jatuh langsung ketanah
atau terpental jauh!
Tay Liong terkejut menyaksikan lihainya lawan, hingga ia
melongo. Justru itu Eng Eng melompat ke arahnya dan
menebas ke arahnya. Tanpa tahu apa-apa, pedang lawan
sudah menebas kutung batang lehernya hingga robohlah
tubuh dan kepalanya secara terpisah dan darahnya muncrat
bagai air mancur. Cie Seng Ciang kaget menyaksikan
kebinasaan adiknya itu, dia menjadi sangat gusar sehingga dia
lupa pada lawannya yang gagah luar biasa.
Dia lantas mengeluarkan suara kemarahannya: “Kurang
ajar! Bagaimana kau berani membinasakan adik angkatku?
Aku Cie Seng Ciang akan mengadu jiwa denganmu!”
Lantas dia keluarkan senjata rahasianya, sebab dia tak mau
menggunakan pedangnya. Dia menurunkan sebuah
bungkusan kuning dari punggungnya, dari situ dia menarik
keluar sepasang Cu Bo Wanyo Kauw, Kaitan “Bebek Mandarin”
Kaitan ini beda sekali dari kaitan “Kepala Harimau” yang biasa
orang miliki. Yang kiri panjang dua kaki delapan dim, yang
kanan lebih panjang empat dim, besarnya sebesar jari tangan
dan di belakangnya dilapisi emas hingga bersinar gemerlapan
menyilaukan mata. Ujung atau kepala kaitan bercagak tiga,
yang ditengah mirip tombak cagak, yang kiri dan kanan mirip
jie-ie, yaitu semacam tongkat lambang agama Sang Buddha.
Gagangnya disertakan besi pelindung, guna melindungi
tangan yang memegangnya dari serangan senjata lawan.
Pelindung itu bukan mirip tombak cagak tapi sama seperti
kaitan melengkung, pada ujung gagang diikatkan pita yang
berkibaran tertiup angin.
Begitu melihat orang memegang kaitan itu, Eng Eng
menyadari kalau Seng Ciang benar-benar lihai. Kaitannya
sendiri sudah hebat, apalagi pitanya itupun dapat dipakai
untuk melibat senjata musuh! Segera Eng Eng bersiap,
demikian juga lawannya.
Cie Seng Ciang maju setindak.
“Sahabat, lihat senjataku!” katanya nyaring. Sambil
melangkah maju, ia mulai penyerangannya. Dengan cagak kiri
ia mengancam, sedang serangan yang sebenarnya ialah cagak
kanan yang menuju keiga lawan.
Eng Eng sudah siap, mudah saja ia menghindar,
berbarengan dengan musuh, pedangnyapun menyambar
kelengan kanan guna membabat lengan itu dengan jurus
pedang “Membuka Penglari Menukar Tiang” Seng Ciang
mundur sambil mendak, terus tubuhnya berputar untuk
selekasnya menggempur pedang lawan dengan jurus silat
“Kipas Besi Menyambut Angin” keras ia menggempurnya.
Eng Eng menyambut dengan gerakan “Elang Kelabu
Membuka Sayap”, selekasnya lolos ia mendak, guna terus
menyerang pula membabat kebawah beruntun hingga tiga kali
pulang pergi dengan jurus pedang “Angin Timur Mencuci
Jembatan”
Dengan sepasang kaitannya Seng Ciang membebaskan diri
dari ancaman pedang, terus ia membalas menyerang. Mulanya
ia melompat maju, setelah datang dekat lawan sambil
memiringkan tubuhnya ia menikam. Eng Eng mesti berlaku
awas. Tak mau ia memberi kesempatan pedangnya terkait
atau terlibat. Ia menggeser kaki kirinya ke belakang tubuhnya
untuk mundur, dengan begitu senjata lawan tidak mengenai
sasaran dan iapun bebas. Belum sempat ia menenangkan diri,
sepasang kaitan musuh sudah tiba pula, maka lantas ia
mundur setindak sambil kakinya terus dijejakkan untuk
membuat tubuhnya mencelat mundur lebih jauh, inilah yang
dinamakan tipu “Di Tepi Jurang Menahan Kuda”
Hebat Seng Ciang, gagal serangan pertama menyusul
serangan berikutnya. Demikian ia sudah mengulangi
serangannya tanpa henti, ia ingin pedang musuh terlibat dan
terlepas dari cekalan atau terpental jauh. Ketika musuh
mundur ia merangsek, hingga ia mengikuti lawan bagai
layang-layang putus. Lalu dengan kaitannya lagi-lagi ia
menyerang jalan darah Beng Bun.
Selagi melompat mundur, Eng Eng sudah
memperhitungkan kemungkinan lawan menyusul
membayanginya, maka ia juga telah siap sedia. Dengan
kecepatan luar biasa, ia memutar tubuh, buat menghadapi
lawan. Tubuhnya mendak sedang pedangnya menangkis. Ia
memutar tubuh dengan gerakan “Naga Kuning Membalik
Badan”, terus ia berseru bengis: “Kena!” Dan pedangnya
menusuk dari bawah keatas dengan jurus “Menolak Mega
Mengejar Rembulan” Ia membabat sebelah lengan lawannya
yang ganas itu.
Seng Ciang terperanjat. Tak disangka olehnya bahwa lawan
demikian lihainya. Ia lantas menarik tangannya yang dipakai
menyerang itu, sebaliknya dengan tangan kirinya yang
mencoba mengkait pedang lawan. Eng Eng membebaskan
pedangnya dengan gerakan “Membalik Kepala Memandang Si
Putri Malam” habis itu ia membalas dengan membabat kaki kiri
orang she Cie itu.
Seng Ciang terkejut. Maka ia menyelamatkan dirinya
dengan menangkis dengan sepasang kaitannya, membuat
kedua senjata beradu keras menerbitkan suara nyaring.
Saking kerasnya senjata beradu, hingga kedua pihak pun
merasakan tubuhnya bergetar.
Jilid 7
Diam-diam Eng-Eng tunduk akan melihat pedangnya,
hatinya lantas menjadi lega. Pedangnya itu tangguh, tidak
sampai menjadi bengkok melengkung, bahkan lecetpun tidak.
Kapan Seng Ciang pun melihat kaitannya, ia terkejut sekali. Ia
tidak menyangka pedang musuh begitu kuat sekali. Kaitannya
telah sompal akibat adu kekuatan itu, walaupun cuma codet
saja. Yang membuatnya berkecil hati adalah kepercayaan
bahwa siapa senjatanya sompal, itulah alamat atau pertanda
tidak baik...
Seng ciang heran sebab ia tahu kaitannya terbuat dari besi
dan baja campurannya terpilih dan buatannya juga sempurna,
toh senjatanya itu masih kalah. Itu pula bukti lawan bertenaga
kuat. Karena ini ia memikir buat tidak melawan keras dengan
keras. Ia mau mengandalkan kelicinan atau kecerdikannya.
Segera kedua pihak sudah mulai bergebrak pula. Seng Ciang
bertindak dengan hati-hati bagaikan naga marah, demikian
kedua kaitannya jago luar lautan ini bergerak-gerak.
Untuk melayani musuh yang telah menjadi nekad seperti
itu. Eng Eng menggunakan kepandaiannya yang menjadi
latihannya selama tiga puluh tahun lebih. Yaitu ilmu pedang
Bu Kek Kiam. Saking serunya ia sudah menjalankan sampai
seratus dua puluh lebih, sedangkan jumlah semua jurusnya
ialah seratus sembilan puluh lima.
Coba musuh bukannya Cia Seng Ciang pasti musuh itu
sudah roboh siang-siang. Seng ciang dapat membuat dirinya
berada disebelah belakang lawan, segera dia mementangkan
kedua senjatanya, untuk diteruskan menghajar punggung
lawannya itu. Itulah jurus " Dewa Thio mengantar arak. "
Eng Eng belum sempat memutar tubuh ketika ia insyaf
akan datangnya bahaya, maka dengan cepat ia berbalik sambil
menangkis dengan secepatnya, dengan tenaga penuh. Itulah
tangkisan yang juga merupakan serangan.
Seng Ciang terkejut. Kedua tangannya bisa terbabat putus.
Tapi ia bukanlah seorang lemah. Tidak menanti sampai
tibanya pedang ia mendahului mundur tujuh kaki. Eng Eng
mendongkol. Ia mengharap mampu merobohkan musuhnya
itu. nyata ia gagal. Tidak bersangsi pula, ia lompat mengejar.
Segera ia menikam pinggang lawan. Ia menggunakan tipu
pedang " Angin Mengantarkan Pelayaran Sungai. "
Seng Ciang merasakan angin menyambar dibawah ia tahu
halnya penyerangan tengah mengancamnya. Untuk
menyelamatkan diri, ia mendahului memutar tubuh sambil
lompat berjumpalitan. Namanya jurus silat itupun " Ular naga
berjumpalitan. "tepat dengan cara bergeraknya, Maka ujung
pedang cuma mampu mendekati tiga dim , lantas tak
mengenai.
"Bagus!" berseru Seng Ciang yang membalas menyerang
dengan jurus "Sepasang gelang mengalangi rembulan". Saking
cepatnya ia berhasil menggempur pedang lawan hingga sekali
lagi kedua senjata bentrok keras. Bahkan kali ini pedang kena
terlibat. Itu jadi mirip dengan pertarungan hidup dan mati.
Niatnya Seng Ciang yaitu merampas pedang lawannya itu.
Dilain pihak, Eng Eng mau mengadu tenaga kalau perlu suka
ia mengadu jiwa. Maka keduanya menjadi saling menarik. Eng
Eng berlaku cerdik tengah saling tarik itu ia menolak.
Seng Ciang terperanjat. Diluar sangkaan, ia kena tertolak
mundur sepuluh tindak lebih.
"Benar kau lihai !" serunya mendongkol. Tetapi ia diamdiam
ia melirik dana mengedipi mata Mie a Lun.
Kawan itu mengerti, segera ia mengangkat tubuh Souw Tay
Liong buat dipanggul dan dibawa lari. Seng Ciang menanti
kawan itu sudah lari sedikit jauh, ia lompat mundur, sesudah
mana ia memutar tubuhnya dan lari menyusul kawannya. Eng
Eng melihat orang meninggalkannya pergi. Ia membiarkan
saja tak ada niatnya untuk mengejar, sebaliknya ia
memberikan obat kepada Pek Hong Tojin, hingga ia lekas
pulih juga kesakitannya. Setelah itu ia menotok bebas pada
Kam Hong Tojin.
"Si bajingan sudah pergi, mari kita pulang!"
Kemudian si jago tua mengajak. "kalau ada terjadi sesuatu
di kuil, mungkin kita dapat memberikan bantuan kita."
Sim Hong bertiga mengangguk, maka berempat mereka
berlari pulang.
Malam itu bulan indah tetapi sang mega menutupinya,
membuat sang jagad malam suaram terbenam dalam
kesunyian. Kalau toh ada yang terdengar, itulah suara siuran
perlahan dari daun-daun pohon cemara serta berkericiknya air
kali. Eng Eng lagi di depan. Ia menggunakan tenaga Kun Goan
It Khie Kang. Hingga seolah-olah kakinya tidak menginjak
tanah. Karenanya, ditanah pegunungan itu dapat berlari
seperti ditanah datar. Sim Hong bertiga mencoba mengejar,
mereka tidak berhasil. Mereka berdua tetap terpisah dua
tombak lebih. Maka didalam hati mereka mengagumi dan
memuji jago tua itu.
Tengah mereka berlari lari itu mendadak Eng Eng
mengangkat kepalanya memandang kepinggang gunung.
Itulah karena telinganya mendengar sesuatu. Maka lantas ia
melihat beberapa batang panah api meluncur diudara,
mulanya naik terus turun kembali setelah tampak lantas
lenyap. Menyusul itu dari lembah puncak yang ketiga terlihat
naiknya enam buah balon Khong Beng Teng yang ... tidak
jelas..... dan tiga sisanya berwarna kuning semua. Mengikuti
tiupannya angin timur laut, semua balon melayang ke arah
Siauw Lim Sie. Pada malam seperti itu, munculnya balon itu
menyolok mata. Sesudah itu menyusullah suara nyaring dari
genta kuil yang berbunyi tak hentinya.
"Celaka!" seru Eng Eng terkejut. "Pasti kawanan bajingan
sudah menyerang Siauw Lim Sie!" Lantas ia percepat larinya.
Walaupun demikian, masih sempat ia menunjuk ke tanah
datar di luar kuil sambil ia berkata pada ketiga kawan
imamnya : "Totiong bertiga lihat! Bukankah itu kelima Tianglo
dari Siauw Lim Sie tengah memimpin murid-muridnya guna
menentang lawan?"
Sin Hong bertiga menandang ke arah yang ditunjuk itu.
Memang di depan pintu Pekarangan dari Siauw Lim Sie terlihat
satu pertempuran ramai, orang bergerak-gerak dan golok dan
pedang saling sambar. Nampaknya pertempuran itu hebat
sekali.
"Mari kita maju!" Sin Hong mengajak Eng Eng yang tangan
bajunya ia tarik. Ia sendiripun mempercepat larinya.
Di dalam waktu yang singkat, tiba sudah mereka berempat
di tempat pertempuran. Hingga sekarang mereka dapat
melihat dengan tegas.
Pihak musuh benar-benar adalah Hek Keng To Sam Koay,
ialah tiga "jia" (samkoay) dari Hek Keng To, pulau ikan Lodan
Hitam, Thia Lohan Kee Liong Si arhat Besi, Giok Bin Sian Kong
Tan Hong si Rase Sakti Bermuka Kemala dan Cek Hong Siancu
Cin Tong Si Dewa Angin Merah. Mereka lihai sekali, mereka
menabas kesana kemari terhadap para pendeta yang
mengepungnya, diantara siapa yang telah banyak yang roboh
terluka dan terbinasa. Bertiga mereka dibantu oleh Kan Tie Uh
si murid murtad dari Siauw Lim Sie yang berlaku sebagai
cecolok atau penunjuk jalan. Dia lihai dan dia dapat
menghadang Gouw cang dang Gouw Gie dua tertua dari
Siauw Lim Sie. Dia bersenjata golok, saban-saban dia berseruseru,
rupanya guna mengacaukan pihak kuil.
Gouw Ceng gusar dia melesat ke belakang orang murtad
itu dengan senjatanya hong piausan dia menyontek ke
belakang kepala orang. Dia menggunakan jurus "Membiak
Awan Melihat matahari." Kan Tie Uh menjatuhkan diri dalam
gerak "Keledia Malang bergulingan" setelah jatuh lantas dia
menghajar kedua kaki lawannya itu. Gouw Ceng berlompat
berkelit atas mana musuhnya segera meneruskan menyerang
kepada Gouw Gie, saudaranya seperguruannya itu. Hingga
mereka bertiga jadi bertempur seru.
Rombongan Hek Keng To ini datang menyerang secara
tiba-tiba. Sengaja mereka mendahului waktu undangan atau
tantangan dari In Gwa Sian berdua Pek Cut Tojin. Mereka
ingin ketahui persiapan dan kekuatan pihak Siauw Lim Sie itu.
Mereka datang bersama-sama rombongan dari pulau To Liong
To dan lain-lain seperti Cie Seng Ciang Siauw Tiong Seng thia
Han Bin Tiong Lam Cay, Tio It In Lie Tay Keng, Mie A Lun
Souw Tay Liong dan Lie Seng. Setibanya di wilayah kuil
mereka lantas memencar diri dalam beberapa rombongan.
Sengaja pula mereka menyerang di waktu malam, niatnya
kalau bisa sekalian membasmi musuh, merampas dan
menduduki Siauw Lim Sie supaya kuli itu dapat digunakan
mereka sebagai pangkalan untuk melaksanakan lebih jauh
maksud mereka menjagoi dunia Rimba Persilatan seluruh
Tionggoan.
Ketika itu Kan Tie Uh merasa puas sekali sebab seorang diri
ia sanggup menentang kedua Tianglo dari Siauw Lim Sie.
Setelah menonton sejenak itu, Eng Eng menjadi naik darah.
Sebab ia menyerukan tingkahnya si manusia murtad. Ia lantas
berseru seraya terus maju untuk segera menyerang dengan
kedua tangan kosongnya menotok dua jalan darah seng bun
dan hong hwe. Tak ada lagi sedikitpun rasa kasihannya. Ke
dua Tianglo, ia berkata : "Taysu silakan mundur! Biarkan aku
yang membereskan telur busuk ini!"
Kan Tie Uh terperanjat. Seruannya itu membuat telinganya
ketulian. Tapi dia tak menjadi bingung. Tahu akan datangnya
musuh baru, dia menyerang Gouw Ceng dan Gouw Gie,
selekasnya dua pendeta itu berkelit, ia lompat keluar
kalangan.
"Cegat dia!" teriak Eng Eng pada Sin Hong Tojin, tetapi
imam itu justru baru saja merintangi Kee Liong. Karena itu
terpaksa ia sendiri yang berlompat lebih jauh, menghadang
sambil menyerang pula.
Kan Tie Uh juga gusar maka dia segera membacok
penghadangnya itu, hanya setelah menyerang lantas dia
lompat mundur kembali tiga tindak.
"Manusia busuk, kemana kau hendak lari?" Eng Eng
membentak.
Baru sekarang nampak Tie Uh bingung. Kembali Eng Eng
menyerang dengan kedua tangannya dengan gerakan "Elang
Mengacau Lautan" Ia hendak menghajar kepalanya si pendeta
murtad.
Justru disaat mengancam Tie Uh itu, satu bayangan orang
terlihat lompat ke arahnya, untuk menaruh kaki di depannya,
sedangkan dari mulut bayangan itu, ya. orang itu terdengar
bentakannya yang nyaring : "Aku datang! Bangsat tua, jangan
banyak tingkah." Terus kata-kata galak itu ditutup dengan
satu serangan kebutan ke arah jalan darah kiok-tie!
Eng Eng berlompat mundur, menyingkir dari serangan tibatiba
itu, selekasnya ia mengangkat kepalanya, ia mengenali
penyerangnya ialah Beng Leng Cinjin, kepala dari sekalian
bajingan dari Hek Keng To, pulau Ikan Lodan Hitam. Tangan
kiri dia itu mencekal hokutim kentulannya dan tangan
kanannya memegang pedang. Dengan pedangnya, dia
barusan menikam juga ke jalan darah co-leng. Serangan itu
menandakan ketelengasan.
Bukan main mendongkol dan gusarnya jago tua itu maka
setelah orang menyerang pula ia pula melengkung kedua
tangannya untuk membalas menyerang tangan kanannya
menotok ke jalan darah yu leng. Parasnya Beng Leng Cinjin
menjadi merah. Diapun gusar. Dia menarik pulang pedangnya
untuk menabas ke depan dada guna mencoba mengutungkan
lengan lawan. Dengan kebutannya dia menyampok dari
samping menyambar jalan darah thay yang dari si jago tua.
Untuk penyerangnya ini, dia maju dua tindak.
Sin Hong Tojin kuatir nanti Eng Eng gagal ditangannya
ketua dari Hek Keng To itu maka ia berniat memberikan
bantuannya karena itu segera ia menyampok Kee Liong yang
ia hadang itu hingga Si Arhat Besi roboh tersungkur.
Tepat itu waktu Gouw Tek Taysu tiba di situ maka dia
lantas menyerang Kee Liong yang sedang coba bangkit berdiri.
Sin Hong sendiri tanpa ayal pula menghampiri Beng Leng
untuk menyerang imam itu dengan tangannya mengarah jalan
darah Kiok-tiong di punggungnya. Hebat serangan itu, kalau
sasaran itu kena maka batang leher orang bakal patah dan
nyawanya akan melayang pergi.
Tetapi Beng leng Cinjin lihai, nyalinya besar, matanya
tajam, tanpa melihat lagi tanpa memutar tubuh, dia
menangkis ke belakangnya dengan tebasan "Burung Phoenix
Mementang sayap" maka bebaslah ia dari ancaman
malapetaka!
Di samping menangkis sambil membacok itu Beng Leng
juga menyerang, ialah dengan kebutannya yang diputar
hingga menggulung. Hampir Sin Hong celaka, untung masih
keburu berkelit.
Sejenak itu, berhentilah pertempuran mereka. Beng Leng
Cinjin berdiri mengawasi para musuh, ia berkata dengan
seram, nadanya mengejek : "Apakah berdua hendak melayani
aku seorang diri?"
Parasnya Eng Eng merah padam. Ia menjawab keras :" Aku
si orang tua sendiri saja dapat aku melayani kau untuk
dibereskan hingga tak usahlah aku meminta bantuan orang!"
Terus ia berpaling kepada Sin Hong Tojin untuk berkata :"
Toya, silakan kau membekuk dia orang jia itu serta itu
manusia murtad!"
Sin Hong Tojin menurut sambil mengiakan ia lantas
meninggalkan dua orang itu. Ia menuju langsung kepada
Gouw Tek yang tengah menempur Kee Liong. sebab musuh
itu sempat bersiap sedia melakukan perlawanan. Lucunya
kedua orang itu bertempur ilmu silat Hong Mo Thung dari
Siauw Lim Sie. Itulah ilmu silat Tongkat Penakluk Bajingan.
Disaat itu juga Gouw Tek sudah keteter sebab ia telah berusia
lanjut. Ia telah bermandikan peluh pada kepala dan mukanya.
Dilain pihak lagi Kan Tie Uh ialah berhasil dirintangi Gouw
Ceng dan Gouw Gie sedangkan Tan Hong bersama Cin Tong
lagi mengamuk diantara para pendeta yang mengepungnya.
Sepasang pedang mereka main bacok dan tebas saj. Hingga
ada belasan pendeta yang terbinasa dan luka. Di saat mereka
sampai di muka pintu, disitu mereka terhadang Gouw Jiu
Taysu yang baru muncul dari dalam kuil. Pendeta itu dengan
tongkatnya menyerang untuk mencegat.
Sin Hong lantas mengawasi kepelbagai penjuru lalu dia
mengambil keputusan buat membantu Gouw Tek Taysu.
Hanya itu mereka terpisah satu dari lain cukup jauh tak dapat
ia menghampiri dalam sekejab. Justru itu pendeta itu tengah
terancam bahaya oleh Kee liong yang menyerang dengan
pukulan "Menggempur Genta Emas" Terpaksa imam ini lantas
mengeluarkan tiga batang teratai besi dan segera menimpuk
ke arah musuh.
Tanpa membiarkan musuh bernapas hendak ia menghajar
mati musuhnya, walaupun ia mendengar serangannya si
imam, bahkan juga suara menyambarnya senjata rahasia, ia
tak keburu melindungi dirinya. Sambil berteriak keras saking
nyerinya, mundurlah ia terhuyung-huyung hingga lima atau
enam tindak. Senjata rahasia itu menembusi punggungnya.
Justru begitu Gouw Tek menggunakan kesempatan yang baik
untuk lompat menghajar dengan tongkatnya sambil dia
memuji "Amida Buddha, hari ini lolap membuka pantangan
pembunuhan!" Belum lagi tongkatnya melukai korban tiba-tiba
ia berteriak nyaring secara menyeramkan dan tubuhnya terus
terpelanting jatuh sejauh setombak lebih.
Sin Hong Tojin kaget sekali. Ketika itu belum sempat dia
menghampiri pendeta itu. Dari jauh terlihat satu bayangan
orang yang melayang cepat ke arahnya. Belum sempat dia
melakukan sesuatu, bayangan itu sudah tiba disisinya. dalam
kaget dia berlompat mundur. Masih sempat ia melirik Gouw
Tek taysu siapa berguling di tanah dengan keadaan yang
sangat menderita. Ia heran kaget dan ia mengawasi bayangan
katai kecil itu.
"Eh mau apakah kau mengawasi aku saja?" demikian
bayangan itu yang sebenarnya salah satu bajingan, suaranya
kecil tetapi tajam dan iramanya menusuk telinga. "Mungkin
kau tidak kenal aku? Akulah Siauw Tiong Beng dari To Liong
To!"
Baru sekarang Sin Hong dapat membuka mulutnya.
"Orang she Siauw!" bentaknya "Kiranya kau telah
berkomplotan dengan murid murtad Siauw Lim Sie, tiga jin
dari Hek Keng To dan bajingan2 lainnya dari To Liong To
datang mengacau Siauw Lim Sie."
"Apakah kau tak kuatir dari Sungai Telaga nanti
mentertawakanmu? Jika kau kenal selatan, lekas-lekas kau
mengangkat kaki dari sini!"
Mendengar teguran itu, Siauw Tiong Beng terbangun
alisnya, dia tertawa tergelak-gelak.
Sin Hong Tojin sementara itu berpikir. "Melihat suasana ini,
terang sudah bahwa satu pertempuran besar tak dapat
dihindarkan lagi! Gouw Tek terus bergulingan dan merintih,
pasti dia terluka parah. Jika dia tak lekas ditolongi mungkin
jiwanya bakal melayang ...." karena memikirkan demikian
tanpa menghiraukan si bajingan, ia lompat kepada pendeta
yang lagi menderita itu. Tapi di saat ia hampir sampai kepada
Gouw Tek, tahu-tahu Siauw Tiong Beng sudah menghadang
dihadapannya. Ia tidak melihat bagaimana orang itu bergerak
bahkan waktu orang mengibaskan tangannya. Ia merasakan
dorongan angin yang keras kepada mukanya dan jubahnya
berkibaran! Itulah tenaga tangan kosong yang mahir sekali
yang ia baru pernah lihat dan merasainya. Di dalam kaget ia
lekas-lekas membela diri dengan menggunakan tenaga lunak
Kiok Jin Kang, mengumpulkan tenaga dalam di seluruh
tubuhnya, sedangkan kedua kakinya yang berkuda-kuda
hampir melesak kedalam tanah. Dengan berdiri tegak dan
kokoh itu, dengan mata yang bersinar tajam, ia menatap
lawannya yang lihai itu.
Siauw Tiong Beng tertawa berkakakan.
"Tak kurang tak lebih aku cuma menggunakan ilmu Hun
Kim Cu Kut Kang yang umum saja kepada budak berkepala
gundul itu!" kata dia menghina. "Nyata dia tak punya guna
baru tersentuh satu kali dia sudah roboh tak berdaya! Dengan
ini aku hendak membuatnya ketahui halnya bahwa ilmu silat
Siauw Lim Sie bukanlah ilmu jagoan hingga dikolong langit ini
tiada lawannya!"
"Dan malam ini kami cari adalah Pek Cut si gundul serta si
pengemis yang disebut Pat Pie Sin Kit, untuk membuat
perhitungan!"
Sin Hong menjadi tidak senang.
"Kau ngoceh tidak karuan!" bentaknya," Pek Cut Siancu
menjadi ketua dari sebuah kuil dan ia tersohor suci dan mulia
hatinya sehingga kaum rimba persilatan tak ada yang tak
menghormatinya. Kenapa kau berombongan dengan segala jin
dan bajingan mau menemuinya? Mana sudi dia menemuimu?
Kau baiknya jangan membuat kotor tempat suci ini."
Kata-kata si imam dari Bu Tong Pay ditutup dengan
serangan yangn mendadak terhadap si katai kecil itu yang ia
totok kedua jalan darahnya tionghu dan thian koat. Itu pun
jalan darah yang berbahaya, siapa yang tertotok walaupun dia
mempunyai tubuh Kim Ciong Tiouw, Lonceng Emas yang tak
mempan senjata, tetap akan terluka juga didalamnya.
Siauw Tiong Beng mirip terbokong tetapi dia tabah dan
gesit. Dia bukan berkelit justru mengajukan sebelah
tangannya yang semua jarinya terbuka untuk merintangi
serangan itu. Tatkala tangan mereka terbentur satu dengan
yang lain, si imam terkejut. Ia merasai tangan kanannya
seperti terkena tusukan jarum dan tangan kirinya tertindih
berat hingga sukar diloloskan, bahkan tenaga menindihnya
makin bertambah. Syukur disaat itu tibalah serombongan
pihak pendeta yang terus maju menyerang. Antaranya ada
yang lantas menolong Gouw Tek Siansu dan dibawa pergi.
Tibanya rombongan itu menolong si imam, sebab Siauw Tiong
Beng terpaksa meninggalkannya guna membela diri dari
kepungan para pendeta In Gwa Sian serta sejumlah muridnya.
Diantaranya turut juga Kiauw In bersama Giok Peng. Bahkan
ketika nona Pek baru saja tiba di muka pintu gerbang, ia
sudah dihadang oleh Thio Han Biu, Siauw Kui dan Tong Lam
Cay ketiga cabang atas dari To Liong To. pulau Naga
Melengkung. Disebelah ia, nona Cio dirintangi Lie Tay Kong.
Maka itu mereka sudah lantas bergebrak.
Giok Peng membentak ketiga musuh membuat mereka itu
terperanjat sebab suara si nona sangat berpengaruh.
Walaupun demikian, Siauw Kui toh sudah lantas mendahului
menerjang. Dia menikam dada si nona dengan pedangnya,
dengan ilmu pedang "Membuka Saluran Air Gunung."
Giok Peng menangkis tikaman itu dengan jurus "Benang
Sutera Melibat Lengan". Ia meneruskan menghajar. Siauw Kui
penasaran. Kembali ia menyerang, kali ini dengan jurus
"Sabuk Kemala Melilit Pinggang". Cepat serangannya itu ke
tubuh si nona ! Nona Pek berseru, tubuhnya mencelat naik
untuk dari atas membacok ke bawah. Pedangnya itu
berkilauan. Siauw Kui terkejut, ia melompat mundur tiga
tindak.
Selekasnya Giok Peng menaruh kaki pula di tanah, ia
mendahului mengulangi serangannya guna mendapati tempat,
dan ketika yang terlebih baik, dan ia menikam lagi sebelum
musuh itu sempat membuat penyerangan balasan. Kali ini
musuh itu kena terdesak, terus dia terkurung sinar pedang
yang gemerlapan. Celakanya buat dia, dia mesti
menghindarkan senjatanya dari pedang si nona yang dia
sangka pedang mustika adanya.
Tong Lam Cay terkejut menyaksikan kawannya terdesak si
nona. Ia tidak lantas bertindak. Justru begitu Siauw Kui sudah
lantas terancam bahaya maut, sebab desakan lawan
membuatnya repot dan kelabakan ! Baru setelah itu, tanpa
terpikir pula ia melompat maju, guna menyerang si nona buat
membantu kawannya itu.
Selekasnya mendapat bantuan itu, Siauw Kui kontan
merasa sedikit ringan, Giok Peng mesti melayani tenaga baru
itu. Bahkan lewat sedetik, dengan bantuan kawannya orang
she Siauw itu mencoba berbalik mendesak. Berdua mereka itu
bekerja sama. Dilain saat cepat sekali perubahan telah terjadi.
Ialah Nona Pek menjadi sangat cepat menghadapi kedua
lawannya walaupun pedangnya tajam, ia toh kena terdesak.
Thia Han Bin yang berdiri diam disisi selalu memasang mata,
selekasnya ia mendapatkan nona itu bagaikan tak berdaya,
sambil berteriak nyaring ia lompat maju menyerang. Tiga kali
ia membulang-balingkan goloknya, golok Ban-To yang
terkenal tajam luar biasa. Ia pula, dalam ilmu golok lebih
unggul dari pada kedua kawannya itu.
Giok Peng berkelahi dengan maju mundur. Ia menggertak
gigi untuk dapat mempertahankan diri.
"Hahaha !" tertawa Han Bin habis dia mendesak keras dua
kali. "Masihkah kau tidak hendak melepaskan senjatamu dan
minta ampun ? Apakah benar-benar kau mau mencari
mampus ? Saudara-saudaraku, mari kita berbuat baik, kita
bekuk dia hidup-hidup !" Dia berkata-kata dengan lantang.
Giok Peng berkuatir berbareng mendongkol sekali, justru
begitu, mendadak ia bagaikan terasadar, ia terus ingat
sesuatu. Tidak ayal lagi, ia bersilat dengan ilmu pedang Thay
Kek Kiam yang terdiri dari tiga puluh enam jurus. Maka
berlawanlah pedangnya ! Maka didalam waktu yang pendek,
dari terdesak ia berbalik menjadi si penyerang.
Han Bin bertiga heran bahwa orang yang tinggal kalahnya
saja dapat membalik suasana secara sedemikian rupa. Mata
mereka pun lantas disilaukan oleh cahaya pedang
berkelebatan. Si nona menjadi bagaikan gempuran gelombang
sungai Tiang Kang !
"Budak ini benar lihai !" pikir Han Bin dalam bingungnya.
Sia-sia belaka ia mencoba mendesak pula. "Suasana begini
buruk, kalau aku tidak segera mengangkat kaki, kita bisa
sudah....!" Maka lagi sekali ia mendongak, niatnya ialah saat si
nona mundur melompat ke belakang dan mengangkat kaki...
Juga Siauw Kiu dan Tong Lam Cay memikir serupa sebagai
kawannya itu, maka mereka berbareng mencoba mencari
jalan keluar. Mereka memiliki kepentingan diri sendiri hingga
mereka lupa bahwa lain orang pun berpikir demikian.
Han Bin mencari ketika, ia segera melihat itu. Atas
desakannya, gerak gerik si nona seperti terkekang. Dengan
tiba-tiba saja ia menjejak tanah untuk berlompat mundur. Tapi
justru ia berlompat itu, justru matanya menjadi silau sebab
ujung pedang lawan tahu-tahu sudah mengancam dadanya !
Ia menjadi sangat kaget, ia segera menyedot napas untuk
membikin dadanya ringkas sedangkan dengan goloknya ia
mencoba menangkis pedang si nona. Ia menggunakan tipu
golok "Mendorong Ombak Membantu Gelombang".
Sasarannya ialah lengan si nona yang hendak ditebas kuntung
!
Baru saja golok Hian Biu digeraki, sinar pedangnya si nona
sudah berubah berbalik mengancam golok hingga Han Bin
terkejut dan berniat menarik pulang golok itu. Ia dapat
berpikir cepat tetapi gerakan tangannya terlambat disebabkan
ia terpengaruhkan kagetnya. Maka tahu-tahu kembali ia kaget
berbareng merasa dingin dan nyeri pada tangannya sebab dua
buah jeriji tangannya sudah terputus ! Untung baginya selagi
ia terancam bahaya maut Siauw Kie dan Tong Lam Cay dapat
membantunya hingga si nona tak sempat mengulangi
tikamannya !
Bukan itu saja membuat Han Bin kaget dan nyeri, dia juga
gusar sekali ! Rasa nyeri dan gusar yang bercampur menjadi
satu membikin dia merasa hatnya sakit. Hampir saja totoknya
terlepas. Dia telah ditolongi kedua kawannya tetapi itu tak
berarti ancaman petaka sudah lewat. Giok Peng mendongkol
karena usahanya telah orang rintangi, maka itu habis melayani
Siauw Kiu dan Lam Cay, kembali ia mendesak musuh she Thia
itu, terpaksa Han Bin harus menahan nyeri dan melayaninya
terus.
Thay Kek Kiam sudah lantas di jalankan dengan semangat
penuh, dengan begitu nona Pek membuat tiga musuhnya
bagaikan terkurung sinar pedangnya hingga Han Bin bertiga
melihat mereka seperti menghadapi ancaman pedang
disekitarnya. Mulanya mereka dapat bekerja sama, lama-lama
mereka jadi repot sendirinya. Lewat lagi beberapa jurus, Tong
Lam Cay kaget bukan main. Inilah jurus satu kali ketika
senjatanya bentrok dengan serangannya si nona yang mereka
keroyok dengan mendadak saja senjatanya itu kena
dibuntungkan ! Hanya kaget tinggal kaget, ia terpengaruhkan
kegusarannya yang membuat matanya gelap. Demikianlah dia
berseru lantas dia lompat menerjang dengan tangan kosong
dalam hal mana dia telah memiliki latihan puluhan tahun. Dia
menyerang dengan tangan kanan dan tangan kiri silih
berganti.
Giok Peng menerka orang menggunakan tenaga dalam
yang mahir, ia tidak mau melawan keras dengan keras,
selekasnya serangan hampir sampai ia menjejak tanah
berlompat tinggi. Tetapi ia mencelat cuma untuk berkelit.
"Kelihatannya kau seperti orang marah-marah. Kalau
dirumah aku mengalah sedikit terhadap kau, tidak mengapa.
Tapi kalau keluar pintu, kau harus mengalah sedikit
terhadapku. Siapa suruh kau menjadi enciku ?"
Ciu Biuaw Kouw dengar nona itu merubah sebutan
kepadanya sebagai enci, dalam hati merasa tidak enak sendiri.
Goaw Kiang Cu memanggil Lan Siauw In lalu berpesan
padanya demikian :
"Dua ekor burung ini sangat cerdik, dua-duanya dapat
memahami maksud orang. Nanti kalau orang she Tiauw itu
sudah siuman kalian boleh mengambil keputusan sendiri,
kemana saja kalian mau pergi burung itu bisa membawa
kalian ke tempat yang kalian ingini. Dan sesudahnya, kalian
tidak perlu repot-repot, dua-duanya bisa balik sendiri."
Tien Wi Kek, tombak bercagak dari Ti Wie itu orang kosen
dijaman Sam Kok, tiga negara. Dengan senjata itu juga, Tay
Kong menyerang dengan luar biasa cepatnya. Kiauw In
waspada selekasnya ia diserang ia berkelit sambil mengegos
pundaknya sambil bertindak nyamping dengan tindakan
menginjak apa yang dijuluki gerak patkawa. Begitu lekas ia
selamat, ia sudah lantas menlakukan penyerangan
pembalasan. Dari samping itu ia membabat dengan babatan
"Naga Emas Menggoyang Ekor", sasarannya ialah lengannya
lawan yang galak itu.
Tay Kong terkejut. Bukan saja serangannya gagal, ia pun
segera terancam bahaya. Bisa buntung lengannya itu ! Maka
lantas ia menaruh kaki begitu ia maju pula guna menyerang
kembali. Ia pakai tombak cagak kiri guna melindungi tubuhnya
dengan tombak cagak kanan ia kembali mengancam
lawannya. Ia mengarah iga kanan si nona. Itulah tipu jurus
"Kiri Menoleh, Kanan Menangkap."
Kiauw In berkelit dengan menggeser diri ke kiri satu tindak,
begitu senjata lawan lewat tanpa mengenai sasarannya, ia
membalas dengan tak kurang cepatnya. Ia menikam ke arah
kerongkongan lawan itu ! Itulah tikaman "Bianglala Putih
Mengelilingi Matahari". Demikian, begitu bergerak, mereka
sudah saling menyerang hebat, cepat dan telengas dan tidak
ada yang sudi mengalah atau berlaku lambat. LieTay Kong
lantas mendapat tahu lawannya lihai, tak mau ia berlaku lalai.
Ia segera menyerang pula. Ia mengeluarkan ilmu tombak
cagaknya yang diberi nama "Lima Harimau dan Ular Naga",
hingga anginnya itu menderu-deru membisingkan tempat
terbuka itu. Ilmu tombak cagak itu dicampur dengan ilmu
pedang Ngo Heng Kiam dari Ngo Bie Pay, hingga gerakannya
makin cepat berbahaya.
Pek Cut Taysu yang menonton menjadi terkejut. Hebat Lie
Tay Kong. Sendirinya pendeta itu berkuatir nona Kiauw In
nanti tidak sanggup melayani lawannya yang lihai dan ganas
itu, celaka kalau dia ayal atau keliru menggerakkan
tangannya. Kiauw In bertempur dengan sebatang pedang
yang ia geraki umpama kata seperti "naga dan ular terbang
menari-mari", cepatnya bagaikan angin menggulung mega
atau bintang-bintang bertaburan. Lie Tay Kong dapat
mengimbangi kepandaiannya si nona, maka juga pertempuran
mereka menjadi seru sekali. Jurus-jurus telah dikasih lewat,
mereka berkelahi makin keras dan makin cepat. Sampai lima
puluh jurus, mereka tetap sama unggulnya. Hingga nampak
saja berkelebatannya sinar pedang dan tombak cagak dan
sinar itu mengkilat kehijau-hijauan. Kalau Lie Tay Kong
menyerang dengan berani, Kiauw In melawan dengan
waspada serta menjaga dan melindungi pedangnya agar
jangan sampi kena terkait. Tongkat cagak yang berkaitan itu
memang istimewa guna mengait senjata lawan untuk ditarik
dan dirampas. Maka itu walaupun pertempuran dahulu si nona
lebih banyak di pihak membela diri.
Lie Tay Kong penasaran, melihat si nona lebih banyak
berkelit, ia mau percaya nona itu tak akan bertahan lama.
Demikian ia menunggu saat yang tepat. Saat itu ialah saatnya
si nona sudah letih. Dan saat itu tiba selewatnya beberapa
jurus lagi. Secara sekonyong-konyong orang she Lie itu
berseru keras, lalu tubuhnya mencelat tinggi tujuh atau
delapan kaki, lantas dari atas selagi turun ia menyerang
dengan tombak kaitannya itu, mengarah kepala si nona.
Itulah pukulan "Menggempur punggung Thay San." Nona
Cio melihat gerakan lawannya, ia tidak menangkis, hanya
berkelit saja dengan memutar tubuh. Mudah saja ia
menyelamatkan dirinya. Tapi ia bukan melulukan berkelit
hanya selekasnya kaitan lewat, ia membalas menikam dengan
tikaman "Tiga Kali Menghajar Gelombang Pintu Naga." Lie Tay
Kong tengah menggunakan ayalnya. Sebelum kakinya
menginjak tanah, ia sudah menghalau tikaman itu. Lalu
selekasnya ia dapat berdiri terus ia berlompat pula jauh
setombak lebih.
Kiauw In tidak dapat menerka maksudnya lawan.
Selekasnya ia menarik pulang pedangnya, ia pun berlompat
untuk menyusul. Maksud Tay Kong ialah menanti lawannya
letih. Terkaannya itu tepat. Hanya ia kurang menyelami
kepandaiannya si nona. Memang Kiauw In mulai merasa letih,
tetapi ia tahan diri, ia masih dapat bertahan. Tay Kong sendiri
pun sudah mulai mengeluarkan peluh sebab ia telah
mempergunakan terlalu banyak tenaga. Hanya itu ia percaya
si nona pastilah terlebih lelah dari padanya. Ketika ia
berlompat itu, kakinya sudah tak tetap semula, tetapi ia masih
menjalankan rencananya. Ia tetap menanti waktunya dan
waktu itu segera tiba. Di saat itu Kiauw In berlaku cerdik.
Nona inipun memikir guna memancing lawannya itu. Maka
berdua mereka ada masing-masing maksudnya sendiri-sendiri.
Si nona pula mengasih rupa kurang gesit...
Lie Tay Kong girang sekali. Mendadak ia mendak. Lantas ia
menyerang dengan tian wie kek, sepasang tombak kaitannya
itu. Kaitan kanan bergerak dengan jurus "Di dasar Laut
Mencari Jarum" dan yang kiri dengan "Dewa menunjuki Jalan".
Kedua kaitan meluncur ke arah tenggorokan dan iga ! Melihat
datangnya ancaman petaka itu, Kiauw In berlaku gesit. Ia
berkelit ke kiri sejauh satu tindak, terus ia memutar tubuhnya.
"Awan Menampak Matahari". Senjatanya itu dilancarkan mirip
senjata rahasia. Kiauw In dapat melihat bahaya
mengancamnya, itu ia dapat mengerti lawan pasti sudah
mengerahkan tenaga, maka itu tak mau ia melayani keras
dengan keras. Malah untuk menyelamatkan diri, ia berkelit
sambil menjatuhkan diri bergulingan sejauh tujuh atau
delapan kaki. Sebaliknya, sepasang senjatanya Lie Tay Kong
itu mengenai tanah sampai nancap setengah kaki !
Menyusul senjata itu, Tay Kong turun ke tanah, untuk
mencabutnya, tapi justru ia berbuat demikian. Kiauw In telah
berlompat maju, membalas menyerang padanya. Si nona
berlompat dengan lompatan "Ikan Gabra Meletik di Pintu
Naga" dan menikam dengan jurus "Bidadari Melemparkan
Tuak", sasarannya yaitu dada lawan. Tay Kong sampai
mencabut kaitan kirinya, kaitannya masih tetap nancap di
tanah itu, maka ia terpaksa menangkis dengan tangan kiri
dengan gerakan "Menyangga Penglari Emas" Tidak ada waktu
bagi Nona Cio untuk menarik pulang pedangnya, maka kedua
senjata lantas beradu keras, tetapi ini ada baiknya untuknya,
yang telah memikirkan jalan untuk menghajar lawan itu.
Berbareng dengan bentronya kedua senjata itu, tangan kirinya
menyambar dada lawan.
Celaka bagi Tay Kong, tangan kirinya tak dapat ditarik
pulang. Dia juga tidak sempat menggunakan kaitan kanannya
sebab tombak cagak itu belum keburu dicabut. Dia pula tak
sempat menangkis dengan tangan kosong sebab tangannya
tengah memegangi gagang tombak. Maka itu, dadanya kena
terhajar keras hingga dia menjerit keras. Dengan melepaskan
tangannya pada tombak cagak yang masih nancap ditanah itu,
dia berlompat mundur, tubuhnya limbung, hampir dia rebah.
Kiauw In tahu orang terluka hendak ia menyatroni, buat
menghajarnya lebih jauh atau ia terkejut tiba-tiba. Itulah
sebab, selekasnya dia menancap kakinya, Tay Kong sudah
menimpuk dengan panah tangannya yang beracun yang
disimpannya di dalam bumbung, hingga meluncurlah enam
batang mengarah ke atas, bawah dan tengah.
Syukur si nona tabah dan sebab tak sempat ia berkelit,
maka ia putar pedangnya dengan cepat, membikin ke-enam
batang panah itu terasampok jatuh ke tanah. Lie Tay Kong
penasaran sekali, hendak ia menyerang terlebih dahulu. Ia
masih mempunyai senjata rahasia lain. Tapi, sebelum ia
mengeluarkan senjata rahasia itu, dari belakangnya ia
mendengar suara orang berkata padanya :
"Saudara Lie, silahkan mundur ! Kau biarkan Tio It In yang
membereskan ini siluman perempuan !"
Menyusuli kata-katanya itu, orang yang menyebut dirinya
Tio It In itu benar-benar sudah lompat maju dengan
penyerangan hingga Kiauw In terpaksa mesti melayani
padanya. Bahkan karena penyerangan dilakukan dengan keras
dan terus menerus tanpa merasa di dalam sejenak itu mereka
sudah melalui sepuluh jurus ! Di pihak lain, Gouw Jie Taysu
sudah dilibat Giok Bin Siang Ho Tan Hong dan Cek Hong Sian
cu Cin Tong. Dia menjadi repot sebab tak mampu dia
membebaskan diri, sedangkan sebenarnya dia memikir buat
membantui Gouw Tek Taysu. Dia pula melihat bagaimana Kan
Tia Uh si pendurhaka tengah mendesak Gouw Gio dan Gouw
Ceng, kedua tentu yang repot hingga buat membela diripun
sukar.
Juga si jago tua Ngay Eng Eng sudah terlibat Beng Leng
Cinjin. Tak lama muncullah Ang Sian Siangjin. Pendeta ini
melihat Eng Eng terdesak hebat oleh ketua dari pulau luar
lautan itu, tanpa pikir pula, ia maju untuk membantu. Karena
ini Eng Eng sempat lompat mundur, hingga si pendeta sendiri
yang menggantikannya melayani. Ang Sian menggunakan
tongkat sianthung, datang datang dia membabat ke bawah.
Hebat serangan itu hingga anginnya membuat debu dan batu
halus beterbangan. Beng Leng Cinjin menangkis sambil
merapatkan menempel tongkat orang, berniat terus memapas
tangan lawan tetapi Ang Sian keburu menarik pulang
tongkatnya itu.
Setelah gebrakan yang pertama ini, kedua belah pihak
lantas waspada. Karena masing-masing mereka menginsafi
lihainya lawan. Seratus lebih pendeta lantas berdiam untuk
menonton pertempuran diantara kedua jago itu. Ang Sian
bertindak memutar, demikian juga jago luar lautan itu. Mereka
sama-sama melihat kesempatan. Dua kali Beng Leng
menikam, ia tak diladeni. Ang Sian dapat menerka orang
hanya menggertak. Melihat si pendeta tidak kena digertak,
Beng Leng memikir akal. Lagi-lagi ia mulai menyerang,
separuh menggertak separuh sungguh-sungguh. Ia ulangi itu
hingga belasan kali. Ia pun ingin membuat mata lawan kabur
dengan sinar pedangnya itu, yang berkelebatan berkilauan.
Lalu mendadak ia menikam benar-benar, mencari dada si
pendeta. Ia menggunakan jurus "Ular Beracun Keluar dari
Gua".
Ang Sian selalu waspada, matanya pun awas. Kali ini ia
mengerti bahwa orang bersungguh-sungguh. Lantas ia pun
menggunakan tipu. Ia membiarkan pedang meluncur ke arah
sasarannya, hanya setelah ujung senjata itu hampir mengenai,
mendadak ia mendirikan tubuhnya, yang digeser sedikit ke
samping, untuk dari situ menghajar sambil berseru,
maksudnya menghadang jalan mundur lawan. Hebat serangan
itu, yang berupa kemplangan.
Kee Liong yang turut menontonpun kaget sekali, ia takut
ketuanya nanti kena terhajar mati. Ia melihat serangan sangat
berbahaya itu. Tapi Beng Leng dapat menyelamatkan diri.
Tahu-tahu dia sudah berlompat tinggi. Itulah karena caranya
yang luar biasa, yaitu tongkat ditudingkan nempel dengan
ujung pedang lalu tenaga dikerahkan, maka sambil menolak
tongkat itu, tubuhnya mental naik untuk terus berjumpalitan
nyamping terlebih jauh, hingga dia bebas seluruhnya.
Ang Sian tidak mau mengerti, ia lompat menyusul. Kembali
ia menyerang. Ia tidak mau menanti sampai lawan keburu
memasang kuda-kuda. Cara ini membuatnya menang diatas
angin. Maka orang dan tongkat bergerak seperti menjadi satu,
setiap serangan merupakan serangan maut. Disamping ilmu
silatnya, ia memang bertenaga besar dan tenaga dalamnya
mahir. Tongkatnya itu berat, tapi ditangannya menjadi ringan
sekali, mudah digerak gerakinya, siapa terkena tongkatnya dia
seperti direnggut maut.
Repot juga Beng Leng, tak perduli dia lihai sekali. Repot dia
membela diri hingga sulit buat dia mencari ketika akan satu
penyerangan membalas. Syukur ia gesit dan lincah, dapat ia
melayani dengan cara pembelaan diri saja. Akan tetapi sambil
berkelit ia juga menggunakan otaknya yang ia asah untuk
mendapatkan daya menentang bahaya jiwa, buat suatu
pembalasan. Ia bisa celaka kalau ia tidak berhasil
mendapatkan daya itu.
Beng Leng lantas menggertak gigi, tubuhnya maju,
senjatanya bekerja. Ia bergerak cepat bagaikan angin.
Senjatanya itu berkilau di depan si pendeta, hingga dia ini
merasa silau dan terpaksa mundur beberapa tindak. Dengan
perlawanannya yang bertubi-tubi itu, akhirnya dapat ia
membebaskan diri untuk merebut kedudukan. Ang Sian kagum
menyaksikan imam itu demikian gagah, dilain pihak ia pun
mendongkol. Kembali ia maju menyerang. Syukur baginya, ia
berpengalaman dalam hal pertempuran. Karena ketahui lawan
lihai, ia berkelahi dengan perhatian sepenuhnya. Dengan
tongkatnya ia mencoba mengurung pula lawan itu.
Kembali Beng Leng melakukan perlawanan. Rata-rata ia
dibawah desakan, tetapi saking lihainya, Ang Sian tidak dapat
berbuat lebih banyak lagi. Sejurus demi sejurus maka
keduanya sudah lantas melalui seratus jurus lebih ! Masih saja
mereka tampak tak letih-letihnya. Bahkan lewat lagi sekian
lama si pendeta dapat bergerak lincah berputaran didalam
gelanggang pertempurannya itu. Ujung siantung seperti
membayangi tubuh orang tetapi tubuh itu tak pernah
tersentuh saking liciknya atau karena tangkisannya yang
tepat.
Ada kalanya Beng Leng menangkis, beberapa tipu pedang
telah dikeluarkannya guna mendesak lawannya. Ia
menggunakan jurus-jurus seperti "Angin Keras Meruntuhkan
Daun, Kaisar Han Kho Couw Membunuh Ular, Ayam Galak
Merebut Gabah dan Di Kepala Naga Mengambil Mutiara",
ujung pedangnya senantiasa mengancam lawannya itu.
Tibalah gilirannya Ang Sian akan melayani pelbagai
ancaman petaka, dengan tongkatnya ia menghalau setiap
tikaman atau tebasan Beng Leng. Hingga kemudian mereka
tampaknya seperti seri, seimbang gerak geriknya. Dan itulah
bukti dari ngototnya si imam dari luar lautan itu yang benarbenar
lihai, tak dapat dipandang ringan. Apa yang tegas
diantara dua lawan itu, Ang Sian menang tenaga dan tenaga
dalam dan Beng Leng kelincahan, keringanan tubuhnya juga
ilmu pedangnya.
Di luar pintu gerbang Siauw Lim Sie juga terjadi
pertarungan yang seru diantara penyerbu dan tuan rumah,
suara senjata beradu riuh sekali, sedang berkelebatnya
senjata-senjata itu memperlihatkan sinar berkilauan. Tubuh
orang bergerak bagaikan tak hentinya. Suasana itu mirip
dengan badai tengah mengamuk, membuat daun-daun
berjatuhan dan rumput rapat terkurung.
Selagi suasana sedemikian rupa itu, sekonyong-konyong
orang mendengar satu suara tertawa yang bergelak-gelak
keras dan lama datangnya dari rimba sebelah kiri medan laga
itu. Semua telinga orang bagaikan ditusuk-tusuk mendengar
tawa nyaring luar biasa itu. Orang terkejut dan heran tanpa
merasa orang pada berpaling. Belum berhenti suara itu atau
orang melihat munculnya seseorang ialah orang yang tertawa
luar biasa itu. Kiranya tiga tombak dari pintu di sana berdiri
seorang pengemis yang usianya sudah lanjut. Siapa yang
kenal atau tahu pengemis itu lantas mengenali Pat Pie Sin Kit
In Gwa Sian !
Segera In Gwa Sian melirik tajam ke segala penjuru,
setelah itu dia bertindak ke depannya Pek Cut ketua Siau Lim
Sie untuk lantas berkata :
"Di mataku si tua bangka, kawanan setan-setan cilik benar
ada mempunyai kepandaian yang berarti ! Maka itu sayang
mereka pada mengandung hati binatang hingga mereka sudah
mengumpul dosa dalam dunia rimba persilatan, maka itu
nampaknya tak dapat tidak, mereka harus diberi hajaran
hebat !"
"Amida Buddha !" Pek Cut memuji seraya merangkap kedua
belah tangannya. "Sebenarnya sudah cukup asal mereka itu
tahu diri dan mundur sendirinya, supaya selanjutnya mereka
sadar, lalu mencuci hati dan mukanya ! Hanya dengan begitu
saja maka akan habis sudah ini macam kutukan celaka !"
In Gwa Sian tertawa pula nyaring :
"Bapak pendeta yang maha suci" katanya. "Walaupun kau
memondong maksud yang baik dari sang Buddha yang maha
mulia dan welas asih tetapi tidaklah demikian hatinya kawanan
bangsat cilik ini ! Mereka justru menguatirkan yang dunia tak
kacau balau, bahwa kejahatan masih kurang hebat ! Maka
juga kita yang bekerja buat tujuan yang mulia, kita harus
membasmi segala kejahatan, guna menolong rakyat jelata
yang aman dan damai ! Dalam hal ini kita harus bersikap
dengan pembunuhan menghentikan pembunuhan !"
Habis berkata begitu, selagi suara mendengung dan katakatanya
belum sirna, si pengemis sudah lantas bertindak ke
arah pertempuran diantara Ang Sian Siangjin dan Beng Leng
Cinjin. Ia bertindak untuk melompat mencelat supaya dapat
datang menghampiri dengan terlebih cepat. Selekasnya ia
sudah sampai mendadak ia meluncurkan sebelah tangannya
menyerang kepalanya si imam !
Itulah jurus pukulan "Burung Air Mematuk Ikan", satu jurus
dari ilmu silat "Hang Liong Bok Mo Ciang" Menaklukan Naga,
Menundukkan Bajingan. Beng Leng Cinjin menjadi kaget,
lekas-lekas ia berkelit, berbareng dengan mana dengan
pedangnya ia menebas lengan orang. In Gwa Sian menyerang
sambil berlompat maka itu tebasan pedang menyambar
padanya belum sempat menaruh kaki. Tapi tebasan lawan itu
sudah menjadi terkaannya maka juga ia menarik pulang
serangannya sambil tangannya itu diputar balik buat terus
dipakai mementil belakang pedang. Itulah pukulan tangan
yang berpokok pada ilmu tenaga dalam "Sian Thian Khie
kang" dan tepat pentilannya itu, hingga pedang lawan
memperdengarkan suara keras dan putus seketika bagian
yang terserang itu ! Memangnya In Gwa Sian telah melatih
ilmu silatnya itu selama beberapa puluh tahun.
Berbareng dengan itu, Ang Sian Siangjin tidak berlompat
mundur atau menyamping, sebaliknya, ia menyerang sebab ia
kebetulan tengah mengancam lawannya itu. Ia menyerang
dengan tangan kiri yang terbuka sambil ia berlompat maju.
Beng Leng Cinjin terkejut karena putusnya pedangnya itu,
tetapi sebagai seorang jago yang berpengalaman, hatinya
tidak gentar dan dia juga tidak mau mengangkat kaki dari
depan pertempuran cuma guna mencegah serangan lanjutan
dari lawan, ia menjatuhkan diri ke tanah, buat menyingkir
sambil bergulingan. Dengan begitu bebaslah ia dari ujung
tongkat atau tangannya si pengemis. Lekas-lekas ia menoleh,
akan menatap orang yang menguntungkan ujung pedangnya
itu.
In Gwa Sian tidak menanti orang membuka mulut, ia
menuding sambil tertawa dan kata dengan nyaring : "Kiranya
latihan ilmu silat tiga puluh tahun dari pulau Ikan Lodan Hitam
cuma sebegitu saja ! Baru serangan satu jurus saja sudah kau
tak sanggup terima, bagaimana berani kau mendatangi
Tionggoan, guna mengganggu kesejahateraan kau rimba
persilatan kami ?"
Itulah ejekan ! Maka gusar Beng Leng Cinjin bukan
kepalang.
oooOooo
"Pengemis bangkotan !" bentaknya sengit. "Pengemis,
jangan kau ngoceh tidak karuan ! Jangan kau takabur !
Kenapa kau main bokong ? Apakah kau masih punya muka
untuk muncul dalam dunia Sungai Telaga ?"
In Gwa Sian menatap, sikapnya dingin.
"Menghadapi kamu, kawanan bajingan cilik, jika kau tidak
senang dan hendak menempur aku, kau utarakanlah
kehendakmu ! Kau mau apa ?"
Meluaplah hawa amarahnya si jago dari luar lautan, tak
sudi ia melayani mengadu lidah lagi, didalam murkanya itu,
mendadak ia menyerang si pengemis dengan pedang
buntungnya itu, yang ia timpukkan ! In Gwa Sian dapat
melihat serangan yang seperti membokong itu sembari
mengegos tubuh ke sisi, ia tertawa lebar, tangannya diulur
buat dipakai menyambuti senjata itu yang tepat ia kena cekal
gagangnya. Tetapi ia tidak cekal itu lama-lama hanya begitu
terpegang terus ia lemparkan ke samping, ke arah Tio It In
yang sedang berkelahi ngotot melibat Nona Cio Kiauw In !
"Aduh !" menjerit orang luar lautan itu, sebab tepat pedang
mengenakan tubuhnya menyusul mana dia roboh, atas mana
Kiauw In lompat kepadanya sambil si nona menggerakkan
pedangnya, guna menghabiskan jiwa orang atau mendadak
Kee Liong lompat menerjang. Dia itu mau membantu
kawannya, maka ia menangkis pedang si nona, hingga kedua
senjata beradu keras. Demikian It In dapat menggulingkan
tubuh.
Kiauw In tidak puas atas cegahannya Kee Liong itu. Justru
pedangnya nempel dengan toya besi musuh itu, ia
meneruskan menyosorkan pedangnya itu menyusuri
pinggirannya toya, untuk menebas jeriji-jeriji tangan yang
mencekal genggaman besi bulat bundar itu.
Kee Liong kaget sekali. Inilah ia tidak sangka. Adalah diluar
dugaannya yang nona itu demikian lihai. Celakalah kalau ia
membandel memegang senjatanya itu. Buat berkelit atau
menangkis sudah tidak keburu. Maka terpaksa ia melepaskan
cekalnya hingga toya besi jatuh ke tanah dan ia sendiri terus
lompat mundur sekalian menjauhkan diri !
Kiauw In tidak mengejar lawannya itu, sebaliknya ia
berpaling ke arah Tio It In sambil terus berlompat untuk
menghampirinya. It In telah mengguling tubuh sejauh lima
tombak, akan tetapi ia dapat disusul dengan dua kali enjotan
tubuh saja.
Sementara itu Lie Tay Kong, yang dilukai si nona, masih
rebah di tanah. Ia melihat nona itu menyusul It In, segera
memikir buat menurunkan tangan jahat. Ia berada lebih dekat
dengan si nona daripada It In dengan nona itu. Ia pula masih
dapat bergerak leluasa. Maka lekas-lekas ia mengeluarkan
senjata rahasianya, panah Bwan hoa-cian yang beracun itu,
terus saja ia menyerang !
Kiauw In tengah menghampiri It In, ia tidak menyangka
jelek akan tetapi ia memiliki pendengaran yang luar biasa,
telinganya menangkap suara angin menyambar. Lantas ia
menduga kepada senjata rahasia. Tanpa menoleh pula ia
mengapungi diri dengan ilmu ringan tubuh lompatan Tangga
Mega. Maka lima batang panah beracun lewat dibawah
kakinya.
Justru itu Kee Liong telah menggunakan kesempatan yang
baik. Selagi si nona membantu diri itu, ia justru membantu It
In yang tubuhnya ia sambar dan angkat terus digendong
dibawa lari !
Kiauw In turun ke tanah untuk segera menuding Lie Tay
Kong.
"Hai, jahanam, bagaimana kau berani membokong orang ?"
tegurnya gusar. "Perbuatanmu sungguh rendah ! Sayang kau
sedang terluka parah, tidak tega aku membunuhmu ! Ingat,
jika nanti kita bertemu pula, tak nanti aku suka memberi
ampun padamu !"
"Hei budak bau, kau membuka mulut besar !" Tiba-tiba Tan
Hong si Rase Sakti Bermuka Kemala berkata dengan dingin.
"Nonamu ini ingin belajar kenal dengan ilmu silat lihai dari kau
Pay In Nia kamu ! Hendak aku lihat Tek Cio si imam tua telah
mengajarkan budaknya kepandaian berapa tinggi !" Kata-kata
ini disusul dengan serangan dengan tongkatnya yang disebut
tongkat batu sanho pang dan pukulannya ialah jurus "Berlaksa
Bunga Mekar Berbareng", itulah salah satu ilmu silat istimewa
dari pulau Hek Kang To, dan sekali hajar terus bertubi-tubi
sampai delapan kali beruntun. Kiauw In lantas seperti
terkurung sinar berkelibatan dan pelbagai jalan darahnya
terancam akan tertotok atau tertusuk !
Memang namanya "Sam Koay Cit Yauw It Lo Yauw " Tiga
siluman, tujuh iblis atau bajingan dan satu tampang tua
sangat menyeramkan dan menakuti, sebab disamping mereka
hebat luar biasa, juga mereka sangat telengas, sedangkan Tan
Hong ini menjadi salah satu dari tiga iblis dari Hek Kang To.
Dalam halnya ilmu silat, ia cuma kalah seurat dari Beng Leng
Cinjin, ketuanya dan menang setingkat dari Cek Hong Siancu
Cin Tong. Mengenai kekejamannya, kaum Sungai Telaga jeri
terhadapnya !
Kiauw In mendengar suara orang itu akan tetapi sebelum ia
sempat memutar tubuh, cahaya terang sudah datang
kepadanya untuk mengurungnya, penyerangnya sendiri tidak
nampak. Ia cerdas dan tabah. Ia berlaku tenang. Kembali ia
mencelat tinggi dengan gerakan dari lompatan Tangga Mega.
Semua hadirin di medan pertempuran mengagumi nona
Cio. Adalah diluar sangkaan mereka yang si nona dapat
menyelamatkan diri dari serangan maut itu.
Habis mengelit dan menangkis delapan jurusnya lawan,
tanpa membuang waktu lagi, nona Cio melakukan
penyerangan pembalasan. Ia lantas menggunakan Khie bun
Pat Kwa Kiam jurus "Pelangi Melayang Menyusuli Suara" ujung
pedangnya menempel tongkat. Jurus ini mempunyai delapan
perubahan dan semuanya itu lantas dikeluarkan dipakai
menyerang guna menggempur tenaga dalam lawannya.
Siapa tidak lihai dan berpengalaman sukar dia lolos dari
jurus silat itu. Tan Hong jago Hek Kang To, dia lihai dan
banyak pengalamannya, tapi dia lalai, maka itu repotlah ia.
Tongkatnya sudah berbalik kena dikekang dan beberapa kali
kena terhajar hingga bersuara nyaring seperti mau patah.
Syukur senjatanya itu istimewa dan dapat bertahan. Hanya ia
kaget dan karenanya menjadi gusar sekali sebab berbareng ia
pun malu. Lantas ia tertawa dingin. Biasanya makin ia gusar,
tawanya itu makin hebat. Sembari bertahan itu ia
mengumpulkan tenaga dalamnya, ia mencoba menindih
pedang lawan.
Jilid 8
Kiauw In masih sangat muda, walaupun demikian tenaga
dalamnya berimbang dengan tenaganya cabang atas wanita
dari luar lautan itu, maka tak mudah ia berbalik dikekang pula.
Ia bertahan untuk tetap menguasai keunggulannya. Maka
suara senjata menjadi lebih serius beradu nyaring dan gerakan
tubuh mereka berdua makin hebat. Karena mereka mengadu
tenaga dalam, tindakan mereka ayal.
Itulah saat-saat yang berbahaya buat kedua pihak samasama.
Siapa lalai ia bercelaka. Alis lentik Kiauw In bangun
berdiri, sepasang matanya yang jeli dibuka lebar. Kedua belah
pipinya yang halus pun bersemu merah dadu. Tan Hong,
karena murkanya tak lagi tampak senyum genitnya yang
menggiurkan hati sebaliknya kedua biji matanya
mengeluarkan sinar marong bagaikan api bara ! Aneh ialah ia
justru tertawa, tawanya justru bertambah keras...
Kedua nona pun sampai memperdengarkan suara nafas
mereka... Tengah mereka bergulat lebih jauh itu dengan
memecah meminjam tenaga lawan, dengan sekonyongkonyong
saja tahunya Tan Hong melejit tinggi, menyusul
mana tangan kirinya yang kosong dipakai menyerang
lawannya, ia menggunakan pukulan Udara Kosong dan
sasarannya ialah batok kepala lawannya. Kiauw In waspada,
matanya tajam gerakannya gesit.
Melihat serangan lawan itu ia bertahan menentang tongkat
musuh untuk membela diri. Ia memasang kuda-kuda rendah,
tangan kirinya diangkat keras ketinggi guna menyambut
serangan gencar itu. Ia menggunakan satu jurus dari Hang
Liong Hoa Houw Kun silat Menaklukan Naga menundukan
harimau ajaran Pat Pie Sin Kit In Gwa Sian paman gurunya.
Giok Bin Sian Ho cerdik sekali. Barusan dia menghajar Kiauw
dengan dua maksud, pertama untuk mengancam supaya
tongkatnya dapat dibabatkan, dan kedua sekalian saja kalaukalau
lawan itu dapat dihancurkan batok kepalanya. Tapi ia
gagal seluruhnya.
Tidak disangka Nona Cio dapat menentang hajarannya itu !
Ia terkejut sebab selagi menyerang itu, tubuhnya masih belum
menginjak tanah, sedangkan tenaganya dipecah dua, ke
tangan kanan dan tangan kiri.. satu buat meloloskan
tongkatnya, satu lagi buat merebut kemenangan. Tanpa dapat
dicegah lagi kedua tangan lantas beradu satu dengan lain.
Dasar dia cerdik. Tan Hong menggunakan kesempatan buat
terus menendang. Kiauw In mau menghindarkan diri, terpaksa
ia lompat nyamping. Dengan begini berhasillah daya upaya
jago dari Hek Kong To itu, tongkatnya lantas lolos dari
kekangan pedang.
Bagus untuknya, Nona Cio tidak meneruskan menyusulnya.
Melihat orang mundur, Kiauw In lantas kembali pada Pek Cut
Siansu, niatnya buat beristirahat dahulu. Biar bagaimana ia
merasa letih. Justru Nona Cio mengundurkan diri, justru ada
orang berlompat menyusul padanya, saking cepatnya tubuh
orang itu tampak seperti bayangan hitam saja.
Di lain pihak satu sinar mengkilat menyambar arah
kepalanya nona yang dihampirinya itu. Semua orang tegasnya
semua pendeta menjadi terperanjat. Nona Cio lagi dibokong
orang ! Serempak beberapa diantaranya maju guna
menghadang musuh.
“Aduh !” demikian terdengar satu jeritan dan robohlah
penyerang gelap itu sebelum dia berhasil mencapai Nona Cio,
itulah akibat berkilauannya dua buah sinar mirip cahaya
bintang yang satu menyambar pedang yang lain mengarah
pedang yang dipakai si pembokong. Setelah itu maka ternyata
tukang membokong itu yaitu Cek Hong Sian cu Ciu Tong yang
membokong Nona Cio guna ia melampiaskan kedongkolan
hatinya sebab Tan Hong kena dipukul mudur. Pedangnya itu
diruntuhkan dua batang Twie Han Piauw, Piauw Mengejar Koh
atau Piauw maut dari In Gwa Sian yang membantu Kiauw In
berbareng mencegah majunya lawan.
Tatkala itu jam empat kira-kira. Angin gunung bertiup
mendatangkan hawa makin dingin. Anginpun membuat rimba
menjadi berisik sebab bergerak-gerak dahan dan daunnya.
Hanya pertempuran di muka gerbang Siauw Lim Sie telah reda
sendirinya, sebab musuh mundur teratur dan pihak Siauw Lim
Sie tidak mengejarnya. Orang pada hendak beristirahat.
Maka sunyilah suasana disekitar tempat itu ! Tetapi justru
sang kesunyian baru menguasai sang malam, mendadak
orang mendengar suara-suara yang datangnya dari dalam kuil,
datangnya saling susul suaranya seperti mengalun ditengah
udara. Semua orang terperanjat. Pek Cut mengerti musuh
sudah menyelundup kedalam kuil sedikitnya guna mengacau.
Maka ia lantas memikir siapa yang dapat dikirim untuk
membantai pihaknya yang membelai kuil. Selagi berpikir itu,
berulang-ulang ia memuji Sang Buddha !
Sebelum kepala pendeta itu berkata-kata Liauw In sudah
bertindak kehadapannya buat memberi hormat seraya berkata
:
”Dari dalam kuil terdengar suara-suara dari timur
menyerang ke barat, maksudnya buat mengacau kita supaya
kita ribut dan bingung tak karuan. Menurutku tak usah kita
mengirim bantuan kesana. Di dalam kuil sudah ada tiga
totiang dan Bu Tong Pay, kawanan jahanam itu pasti tidak
dapat berbuat banyak. Kita harus jaga supaya kita tidak kena
tertipu mereka. Baiklah aku yang pergi pulang, guna melongok
dahulu.”
Pek Cut Taysu setuju. “Baik, kau pergilah, sute ! Asal kau
waspada !”
Liauw In mengangguk, segera ia berangkat pergi. Ketika
tadi Beng Leng Cinjin dari Bok Kang To menempur In Gwa
Sian dan pedangnya kena dikutungkan, pedang mana terus
ditimpukkan oleh pendeta kepada Tio Itlo, hatinya panas
bukan main. Ia pun malu. Sekian lama ia berdiri diam saja.
Dan tatkala Kiauw In dan Tan Hong mengadu kepandaian
hingga semua orang asyik menonton, mendadak ia
mempunyai serupa pikiran, lantas secara diam-diam ia
mengangkat kaki dari situ, lantas menuju kedalam kuil.
Diatas genteng dalam diatas beberapa wuwungan atau
ruang samping, ia bersembunyi disebuah payon disitu pojok.
Dari sini ia memasang mata ke empat penjuru kuil. Ia
mendapati pelbagai pandangan dimana cahaya api terangterang.
Tapi lalu sunyi sekali. Hingga ia menjadi heran, ia
menerka-nerka apakah sebabnya kesunyian itu ?
Kemudian mengawasi lebih jauh, ia tertarik dan disebuah
loteng atau rongkos disebelah kiri. Rumah bangunan itu besar
sekali. Didalam gelap segala apa tak nampak tegas. Di sana
tak ada pelita atau lentera. Hanya sejenak, Beng Leng lantas
pergi ke rongkos itu. Ia melompati pelbagai ruang atau
pendopo sebelumnya tiba diatas pendopo yang terakhir. Untuk
sampai di tempat itu, ia harus melewati sebuah jalan yang
jalannya terbuat dari batu yang terdiri dari tiga susun,
jendelanya sangat-sangat sedikit dan semuanya tertutup rapat
! Terpaksa ia lompat turun ke jalanan untuk menghampiri
pintu. Ketika ia mengangkat kepala, ia melihat papan merek
dengan tiga hurup Chong Keng Kok tadi, itulah loteng tempat
menyimpan kitab-kitab pusaka Siauw Lim Sie.
Tiba-tiba muncul ingatannya yang jahat ia memikir
membakar lauwiang itu, supaya habis ludas segala catatan
penting mengenai Siauw Lim Sie. Ia pun lantas merogoh
sakunya buat mengasi keluar Liauw gosokan serta peluru
peledak buatannya sendiri.
“Siapa ?” tiba-tiba ia mendengar suara pertanyaan nyaring
di belakang selagi tangannya merogoh saku itu.
Beng Leng kaget sekali. Tak disangka ada orang
memergokinya. Barusan ia tidak mendengar suara apa juga.
Segera ia menoleh maka ia melihat empat orang pendeta
dengan jubah suCinya masing-masing, semua tubuhnya tinggi
besar, tampangnya kekar dan keren. Mereka itu berdiri tegak.
Merekalah empat pendeta yang ditugaskan menjaga loteng
itu. Selagi ia melengak sejenak, Beng Leng sudah
menggenggam peluru peledaknya itu. Ingin ia melanjutkan
niatnya membakar loteng atau sebatang sianthung sudah
menyambutnya. Terpaksa, ia menunda menimpuk. Ia mundur
dua tindak, habis itu bara tangannya diteruskan diayunkan,
dipakai menimpukkan pelurunya itu.
Pendeta itu menyangka orang menggunakan alat rahasia,
dia lompat berkelit maka peluru itu mengenai batu dan kontan
meledak mendatangkan api berkobar, apinya menyambar
jubahnya ! Dalam kagetnya, petugas melindungi
keamanannya Chong Keng Kok itu membuang diri bergulingan
buat memadamkan api yang membakar tubuhnya. Walaupun
demikian sudah meletup ke mukanya membikin luka itu
melepuh dan mendatangkan rasa panas nyeri.
Beng Leng sementara itu tidak berdiam diri saja. Ia
berlompat maju untuk menyerang tiga pendeta lainnya. Ia
menggunakan hadrim, kebutannya, kebutan yang menjadi
senjatanya yang istimewa itu, karena itu ciptaan dan
buatannya sendiri, ujungnya dibuat dari emas putih, kuat
hingga tak takut terbacok kutung oleh golok atau pedang.
Kapan digunakan ujung kebuatan dapat menjadi lunak atau
keras mengikuti tenaga yang ia kerahkan.
Melihat datangnya serangan, ketiga pendeta berlompat
mundur masing-masing satu tindak, tetapi begitu lekas
mereka mundur. begitu lekas juga mereka maju sambil
menyerang dengan berbareng. Mereka menggunakan Lohan
Thunghan ilmu tongkat Arbar dan menyerang itu ke atas ke
tengah dan ke bawah. ! Pendeta yang terbakar itu dapat
berlompat bangun, dia tak terluka parah, maka juga lantas dia
maju mengepung. Tentu sekali ia gusar bukan main.
Pengepungan itu hebat tetapi Beng Leng jauh lebih kosen
daripada mereka dan kebutannya juga sangat lihai karena itu
mereka tidak dapat berbuat banyak bahkan lekas juga mereka
sendiri yang kena dibikin kalang kabutan. Segera setelah
orang keteter dan terdesak, mendadak Beng Leng Cinjin
berseru bengis sambil ia mengabut dengan ilmu kebutan.
“Angin dan Mega Berubah Warna” maka serempak tongkatnya
para pendeta kena dikebut terpapas dari cekalan, mereka
semuanya terpental jauh setombak lebih.
“Lekas buka pintu Chong Keng Kok !” Beng Leng berseru
dengan begis. “Jika tidak, kalian bakal rebah dengan mandi
darah !”
Ke empat pendeta itu kaget bukan main, Tanpa tongkat
ditangan mereka, mereka berdiri terpisah setombak lebih
daripada penyerbu itu, bukannya mereka mengangkat kaki,
mereka justru mengawi. Pendeta yang terbakar itu tapinya
sudah lantas memperdengarkan siulan nyaring dan lama,
memecah kesunyian malam. Siulan itu berkumandang naik ke
udara. Beng Leng berpengalaman, tahulah ia apa artinya
siulan itu, suatu pertanda ada ancaman bahaya dan meminta
bantuan.
Dia memang telengas, dia menjadi sangat gusar, tidak
ampun lagi, dia lompat menyerang. Dia menggunakan jurus
silat “Pay Khong Ciang Angin Menolak Udara Kosong” yang
dahsyat sekali. Seketika itu juga ke empat pendeta roboh
tergulung dan terluka parah ! Ia pun lantas menimpukkan
empat buah pelurunya ke loteng hingga peluru meledak dan
membakar diempat penjuru, apinya terus berkobar. Menyusul
itu ramailah suara genta, karena para pendeta yang melihat
terbitnya kebakaran, sudah lantas memberikan tanda bahaya
itu. Suara genta mengaung ke tengah udara, ke lembahlembah.
Belum puas Beng Leng dengan pembakarannya itu
terhadap Chong Keng Kok, ingin ia membakar lain-lain bagian
dari kuil Siauw Lim Sie, buat membikin Pek Cut Siansu menjadi
bingung. Maka juga lantas ia meninggalkan loteng yang terus
terbakar itu. Selagi ia berlompat, tiba-tiba datang serangan
atas dirinya. Dua buah pedang yang bersinar silau menyerang
berbareng bagaikan dua ekor naga berebut mutiara mustika,
berbarengpun ia mendengar bentakan nyaring :
“Manusia jahat ! Kau cobalah pedang Bu Tong Pay ini !”
Jago dari Bok Keng To itu tidak menjadi kaget atau takut,
dengan tabah ia menyambut musuh. Dengan kebutannya, ia
menyampok pedang yang menikamnya, dengan tangan kiri ia
menyerang pula dengan Pay Khong Ciang. Dengan satu
gerakan berbareng itu, ia membalas menyerang kedua
musuhnya ! Itulah salah satu kepandaian buat menyelamatkan
diri berbareng merobohkan lawan ! Kedua imam itu lihai, duaduanya
dapat menjauhkan diri dari petaka.
Imam yang satu, Leng Hiang Tojin, sudah lantas berkata
nyaring :
“Ilmu silat Hek To lihai sekali ! Sukar dicari waktunya buat
kami memohon pengajaran, maka itu sekarang ini, maukah
kau mencoba-cobanya ?”
Beng Leng melompat balik ke wuwungan semula, matanya
segera dibuka lebar-lebar. Ia segera mengenali Leng Hian dan
Song Hian, kedua imam dari Bu Tong Pay. Ia tahu mereka itu
berdua tersohor lihai, ia terperanjat juga. Ia kuatir nanti kena
dikepung.
Tapi ia tabah, ia lantas tertawa nyaring dan berkata :
“Ilmu pedang Bu Tong Pay sangat termashur, apakah
biasanya kalian maju mengepung untuk merebut kemenangan
? Haaahhaa.. haaha !”
Leng Hian dapat membaca maksud orang, ia tertawa dan
berkata :
“Pinto biasa merantau dengan sebatang pedangku, belum
pernah pinto berkelahi dengan dua melawan satu ! Kau
baiklah bertenang diri menerima nasib nanti !”
“Tutup bacotmu !” bentak Beng Leng gusar. “Apakah kamu
sangka aku takut kamu nanti mengepungku berbareng ?”
Belum berhenti suaranya itu, imam itu sudah lantas
menyerang Seng Hian. Ia menggunakan tangan kosong. Imam
dari Bu Tong Pay itu tahu lawan ini pandai ilmu Pay Khong
Ciang ingin ia mencobanya, maka itu tanpa ragu-ragu ia
menyambut serangan jago luar lautan itu. Maka juga
bentroklah dengan hebat mereka satu dengan lain. Menyusuli
bentrokan itu, Seng Hian mendahului bertindak terus. Ia putar
tangannya yang dilancarkan dengan niat mencekal tangan
lawan. Kalau saja ia dapat mencabak.
Beng Leng terkejut. Tak ia sangka imam dari Bu Tong Pay
itu demikian cepat. Sembari lekas menarik pulang tangan
kanan, dengan tangan kiri ia mengebut ke bahu si imam !
Seng Hian Tojin menggunakan ilmu silatnya yang dinamakan
“Kim Liong Ciu”, Tangan Menawan Naga. Ia meluncurkan
terus tangannya itu. Ketika kebutan tiba dengan lincah ia
berkelit ke samping. Tapi justru si imam dari Bok Kang To pun
membarengi menghajarnya dengan kepalan, mengarah
pinggangnya. Dengan tangan kanannya juga, Seng Hian
menangkis kepalan lawannya. Ia membacoknya. Dilain pihak,
dengan pedangnya, ia menikam ke tampilingan jago luar
lautan itu. Guna menyelamatkan dirinya, Beng Leng berlompat
mundur, lebih dahulu kepalanya dikelitkan dengan melengak
ke belakang.
Demikian kedua jago bergerak. Baru saja beberapa jurus
sudah terlihat kehebatannya mereka masing-masing. Siapa
ayal dia celaka. Setiap serangan berarti serangan maut. Seng
Hiang menang diatas angin, maka ia tiba-tiba mendesak,
pedangnya berkelebat. Anginnya pedang bersiur-siur, ia
mengeluarkan ilmu silat Bu Tong Pay yang tersohor itu. Biar
bagaimana, Beng Leng terperanjat juga. Sekarang insyaflah ia
akan kelihaian jago dari Bu Tong Pay itu. Hawa dingin pedang
meresap kedalam tubuhnya. Walaupun dengan rada repot, ia
mencoba mempertahankan diri. Setelah menggunakan
kebutannya yang lihai itu, ia juga mengeluarkan ilmu tenaga
dalamnya yang ia pernah latih dengan susah payah, yaitu “Mo
Teng Kee” khiekang yang lunak, yang disalurkan kepada
kebutan, hingga setiap helai dari kebutan itu bergerak-gerak
hendak melibat pedang.
Mo Teng Kee mengeluarkan hawa lunak dan lembut, tak
keras sedikit juga, tetapi tenaga menariknya, menyedotnya
kuat sekali, hingga benda apa juga yang kena terlibat,
sekalipun pedang, akan terbetot terlepas ! Seng Hian Tojin
luas pengalamannya, tahu ia akan ancaman tenaga lunak
lembut itu, maka begitu ia merasai sesuatu yang menarik,
lantas ia menerka kepada ilmu kepandaian yang luar biasa
istimewa itu.
Segera ia berdaya membebaskan diri. ia menggunakan
jurus-jurus “Awan Indah Membersihkan Langit” dan “Angin
Puyuh Hujan Lebat” pedang berputar melilit bagaikan
bianglala, tubuhnya bergerak tak hentinya maju mundur dan
berjumpalitan, dilain pihak ujung pedang selalu mengancam
jalan darah lawan. Ia berlaku cerdik dan gesit, senantiasa ia
menjauhkan pedangnya dari lembaran-lembaran kebutannya
lawan.
Selama menjagoi di Hek Keng To dimana dia berhasil
menciptakan dan melatih Mo Teng Kee, pernah beberapa kali
Beng Leng membetot merampas senjata lawan dengan
mengandali ilmunya yang istimewa itu. Kepandaian itu sangat
jarang dipakai kecuali sudah sangat terpaksa, sebab
penggunaannya sangat menghamburkan tenaga. Hanya asal
digunakan dia belum pernah meleset atau gagal.
Beng Leng Cinjin merasa dirinya sudah terlalu hebat maka
ia mengandalkan sangat kepandaiannya itu, karenanya berani
dia datang menyatroni kuil Siauw Lim Sie untuk mengubrak
abrik kuil itu. Di luar dugaannya dia telah bertemu lawanlawan
yang lihai seperti Seng Hian Tojin ini. Bu Tong Pay
menjadi salah satu partai terbesar dan ternama, dapat
dimengerti jika ilmu pedangnya pun istimewa, ada bagiannya
tersendiri yang lihai. Seng Hian tidak kenal Mo Teng Kee tetapi
ia pernah dengar tentang ilmu lunak itu, berkat
pengalamannya dapat ia melayani dengan baik.
Demikian selekasnya merasa kebutannya Beng Leng
menarik secara luar biasa, lekas-lekas ia mengeluarkan ilmu
kepandaian pedang serta kelincahan gerak tubuh partainya.
Demikian sinar pedang kehijau-hijauan melayani sinar kebutan
keputih-putihan, bergeraknya sama cepat dan lincahnya.
Tengah dua orang lihai itu bertarung seru sekali, sekonyongkonyong
terdengar ini suara nyaring yang mempengaruhkan :
“Leng Hiang Totiang, mari kita maju bersama ! Biar
melayani ini bajingan jahanam, buat apa kita berpantang lagi
kepada aturan-aturan rimba persilatan yang mulia yang harus
ditaati ? Dia toh datang menyerbu dan mengacau dengan
melanggar ajeg-ajeg suci itu ! Mari totiang, mari menyerbu
bersama siauw ceng ! Mari kita bereskan dia !” Dan belum
berhenti seruan itu, orangnya sudah berlompat maju
tongkatnya diajukan menyela diantara sinar-sinar pedang dan
kebutan ! Itulah Liauw In yang baru saja tiba.
Berhadapan dengan tetua dari Bu Tong Pay ia tidak
menyebut diri dengan aku, lolap si pendeta tua atau pinceng
si pendeta melarat, hanya siauw ceng si pendeta kecil. Itulah
pertanda bahwa ia berlaku merendah diri. Hanya setelah
seruannya itu, ia maju tanpa menanti jawaban lagi. Seorang
pendeta harus sabar, lemah lembut dan hormat. Semua sifat
itu ada pada Liauw In yang usianya sudah cukup lanjut, kalau
toh ia sekarang menjadi bertabiat keras dan tak sabaran itu,
itulah karena ia melihat bukti dari kecurangan lawan, sudah
datang menyerbu secara diam-diam, tetapi juga telengas,
telah main menggunakan api membakar Chong Keng kok,
suatu bangunan Siauw Lim Sie yang sangat penting itu.
Waktu melihat api berkobar di loteng itu saja ia sudah
kaget bukan main, timbul lantas kekuatirannya bahwa segala
kitab pusaka akan termusnah. Syukur banyak pendeta sudah
lantas muncul disini, mereka yang mencoba memerangi api,
ada juga yang membantu ke empat pendeta petugas yang
sudah menjadi korbannya Heng Leng yang ganas itu.
Ia lantas merasa lega hati, maka lantas ia tanya kemana
perginya si orang jahat pembakar loteng itu.
“Paman” berkata salah seorang petugas yang terluka itu,
“dia lari keras genting dari Lohan Tong” Lohan Tong ialah
Ruang Arhat.
Mendengar jawaban itu, tanpa mengatakan sesuatu lagi,
Liauw In lari ke arah ruang itu selekasnya ia tiba di ujung
payon ia lantas melihat berkelebatannya sinar pedang dan
mengenali Seng Hian Tojin yang lagi bertarung dan Leng Hian
Tojin tengah berdiri bagaikan menonton pertempuran itu.
Maka musuh, berkobarlah hawa amarahnya hingga menjadi
merah ada wajahnya merah padam.
Demikian dalam kegusarannya itu, ia lari menghampiri, lalu
menyerukan Leng Hian Tojin dan terus mendahului
menyeburkan diri dalam medan pertempuran. Di saat itu juga
Beng Leng Cinjin tengah mendongkol dan bergusar sekali,
sebabnya ialah sesudah menggunakan Mo Teng Kee sekian
lama masih ia belum sanggup merobohkan lawannya. Ia
sempat menggertak, gigi dan matanya seperti merah menyala,
maka juga munculnya Liauw In membuatnya seperti api yang
disiramkan minyak, tidak ayal sedetik juga, ia menyambuti si
pendeta, menghajarnya deng Mo Teng Kee digabung dengan
Pay Khong Ciang.
Segera juga Liauw In menjadi terkejut, sehingga lupa ia
akan hawa amarahnya. Ia lantas merasai adanya tenaga
menarik yang menyedot tongkatnya. Sedotan itu tidak keras
atau kaget tetapi kuat sekali. Lekas-lekas ia mengempit
tongkatnya, untuk menahannya sebab tak dapat secara
mendadak ia menariknya lolos. Ketika itu, ia pun terpisah
dekat dengan lawan tak ada lima kaki. Justru itu datanglah
serang Pay Kong Ciang yang dahsyat itu.
Inilah hebat. Bisa celaka ia kalau ia tidak melepaskan
tongkatnya dan lompat mundur atau berkelit ke sisi. Dalam
ilmu silat ketangguhanya Liauw In cuma dibawahnya Pek Cut
Taysu, kakak seperguruannya yang menjadi hongthio, pendeta
kepala dari Siauw Lim Sie. Ia telah berhasil memahirkan ilmu
tongkat Lohan Thung dan pukulan tangan kosong Lohan Ciang
karenanya mana mau ia dalam satu gebrak saja melepaskan
tongkatnya itu, sebab itu dapat memalukan Siauw Lim Sie dan
dirinya sendiri.
Karenanya disaat terancam itu berbareng membelai
tongkatnya (tongkat panjang semacam toya) mendadak ia
berlompat sambil berjingkrak, tangan kanannya menyerang
dengan Lohan Ciang menyambut Pay Khong Ciang. Tanpa
dapat dicegah pula, beradulah kedua kekuatan dahsyat itu,
Pay Kong Ciang kontra Lohan Ciang. Bentrokan itu
mempengaruhkan Mo Teng Kee dari Beng Leng Cinjin, yang
sedotannya menjadi berkurang sendirinya, Liauw In lantas
merasai tongkatnya tertarik kendor itu, ia menggunakan
kesempatan dengan segera. Tangan kirinya yang mencekal
keras tongkatnya sengaja ditolakan dibikin kena tersedot
tetapi hanya sejenak segera ia menariknya pulang dengan
kaget. Maka loloslah tongkat itu dari sedotan, menyusul mana
ia lompat mundur hingga ia lolos dan bebas seluruhnya.
Sementara itu Seng Hiang telah mematuhi aturan rimba
persilatan, ia memegang kekal namanya sebagai jago silat,
salah seorang tertua dari Bu Tong Pay. Meskipun ia tahu Beng
Leng sudah merusak aturan rimba persilatan, ia toh tidak
menyambuti ujaran atau ajakannya Liauw In Hweshio.
Demikian, tengan Beng Leng dan Liauw In berkutat itu ia tidak
turun tangan ia justru berdiri diam menyaksika saja. Kalau ia
mengepung bersama pastilah Beng Leng celaka atau dia kalah
seketika. Ia mundur dua tindak selekasnya Liauw In maju
menyerang. Beng Leng juga melompat mundur dua tindak
selekasnya tongkat si pendeta lolos.
Untuk sejenak, ia berdiri menelongi, cuma wajahnya yang
memperlihatkan tampang bengis dan kejam bagaikan bajingan
jahat. Dilain detik dia sudah merogoh sakunya terus
mengayun tangannya, melontarkan tiga buah peluru. Liauw
Goan Tan yang dapat meledak itu sasarannya ialah Seng Hian,
Leng Hiang dan Liauw In bertiga ! Ketika imam dan pendeta
itu tahu lihainya peluru musuh itu mereka lantas menghindari
diri dengan caranya masing-masing.
Seng Hian memutar pedangnya untuk menempel dan
menyampok peluru maut itu, maka Liauw Goan Tan kena
terlempar keatas dan meledak ditengah udara, hingga apinya
mucrat ke empat penjuru angin ! Leng Hian menyambuti
peluru dengan ia mengegos tubuhnya ke sisi dengan tindakan
setangan menyala bumi, sebelah tangannya diulur, guna
menangkap lunak peluru itu, guna diraup dan digenggam !
Liauw In mempelajari Gwa Kang atau Ngo Kang, ilmu keras, ia
tidak dapat menyambut peluru secara lemah lembut, maka
juga setibanya peluru musuh ia memapaki dengan penolakan
keras Lohan Ciang. Tangan Arhatnya. Maka satu tenaga yang
kuat membuat peluru maut itu terpental balik.
Beng Leng kaget sekali. Bisa celaka ia kalau ia lalai dan
kurang gesit. Peluru jahatnya itu bisa makan tuan ! Maka buat
melindungi diri, lekas-lekas ia menyerang dengan Pay Khang
Ciang. Dengan begitu, Liauw Goan Tan kena tertolak mundur
oleh Liauw In dan kena tertahan oleh pemiliknya sendiri.
Dimana dua kehebatan saling menggencet, maka meledaklah
peluru itu hingga apinya menyambar muncrat kesegala arah,
buyar ditengah udara.
Hanya terbengong sejenak, Beng Leng segera lompat turun
dari payon. Ia melihat ketiga lawan itu lihai, sangsi ia buat
menempurnya lebih jauh. Tapi ia bukannya lari ia hanya
menyelundup ke lain bagian dari kuil yang ia hendak
memusnahkannya, apa mau mencari lain bagian dari kuil yang
ia dapat jadikan sasaran pelurunya, ia lari justru ke
perdalamannya.
Tatkala itu fajar lagi mendatangi. Si putra malam sudah
turun jauh ke barat. Langit sudah gelap di sana sini. Beng
Leng loncat turun justru dilorak dari Lohan Tong, samar-samar
ia melihat mereknya ruang itu.
“Baiklah aku mencoba ruang ini” pikirnya. Ia dengan halnya
setiap murid Siauw Lim Sie yang mau turun gunung,
kepandaiannya harus diuji dahulu di Lohan Tong, siapa tidak
sanggup melewatinya ia gagal. Ujian disitu bukan dilakukan
oleh penguji manusia hanya oleh Bok Jin dan Bok Ma, orangKang
Zusi website http://cerita-silat.co.cc/
orangan dan kuda-kudaan kayu. Demikian dengan perasaan
ingin tahu ia memasuki ruang itu.
Ruang gelap petang, maka jago luar lautan ini menyalakan
api. Ia bertindak di tangga. Ia mendapati ruang kosong
melompong. Tak dapat ia melihat lebih jauh kedalam. Hanya
disisi kiri dan kanan ada teratur tempat pemujaan yang
teraling dengan tirai sulam warna kuning, hingga tak terlihat
patung atau benda apa yang diperankan disitu. Tidak ada
meja atau lainnya. Ada juga lankan besi merah yang
melindungi di depan sekitarnya. Apinya Beng Leng berkelak
kelik tak dapat ia melihat tegas, tetapi dialah bajingan dari
luar lautan, nyalinya besar sekali. Dengan tabah ia bertindak
masuk.
Tiba-tiba mendadak “Sret !” terdengar satu suara atau
ruangan menjadi terang benderang seluruhnya. Itulah cahaya
dari api lentera liulie teng yang menyala diempat penjuru
dengan berbareng. Saking heran ia menghentikan tindakannya
dan lantas menoleh kelilingan.
“Apakah ini ?” katanya kemudian sambil tertawa nyaring.
“Inilah gertaknya yang tak akan membuat orang kaget”. Ia
memadamkan apinya dan menyimpannya pula kedalam saku,
lalu dengan berani ia bertindak terus memasuki ruang.
Berjalan belum lima tindak, mendadak Beng Leng
mendengar satu suara nyaring diatasan kepalanya, menyusul
mana dari kedua sisi tampak mengepulnya asap kuning
meluluhan, disusul pula dengan munculnya dari kuil dan kapan
masing-masing sesosok tubuh arhat besi (thie lohan) yang
besar dan gerakannya gesit, berbareng keduanya
menghadang sambil menyerang !
Yang disebelah kiri yaitu Hong Liong Lohan, mukanya
merah brewokan, dadanya lebar terbuka, serangannya
dahsyat karena berat dan cepatnya sama dengan gerak
geriknya manusia. Yang disebelah kanan yaitu Hok Houw
Lohan, mukanya hitam, alisnya hitam tebal, serangannya
dengan dua kepalannya mengarah pinggang. Pukulan itu pun
cepat dan keras. Itulah serangan yang tidak disangka-sangka
Beng Leng.
Serangan itu tidak dapat dilayani dengan totokan kepada
jalan darah atau sedotan dengan ilmu Mo Teng Kee. Juga
tidak tepat untuk ditangkis. Lebih tak tepat untuk dibarengi
diserang, artinya keras lawan keras, dia menghajar, kira
membalas menghantam. Maka itu tidak ada jalan lain bagi
Beng Leng buat menghindarkan diri. Ia lantas menjauhkan
dirinya menyingkir dengan tubuh bergulingan. Kedua
penyerang menyerang dari kiri dan kanan dengan sasarannya
lolos mestinya mereka beradu satu dengan lain.
Tapi kenyataannya tidak demikian. Kedua pihak kepalanya
berhenti sejenak berjarak dua dim satu dengan lain tak saling
membentur, sebaliknya semua tangan tertarik kembali dengan
sendirinya. Jadi itulah semacam alat rahasia yang istimewa.
Sambil masih rebah Beng Leng melihat bekerjanya arhat besi
itu, tetapi belum sempat ia berdiri serangan sudah datang
pula. Kali ini kedua arhat maju sambil menendang dengan
masing-masing sebelah kakinya, dengan tendangan “Menyapu
Ruang”. Untuk menghindarkan diri ia mencelat bangun,
menyingkirkan diri.
Ketika ia menoleh, tampak kedua arhat kembali ketempat
asalnya. Jago luar lautan ini menjadi kagum dan sangat
tertarik hati, bukannya dia jeri dan mundur, justru ia ingin
mencari tahu terlebih jauh. Maka usahalah ia bertindak ke
sebelah dalam. Dalam sepuluh tindak ia sudah mendengar
suara berkeresek seperti semula tadi. Itulah suara bekerjanya
alat rahasia. Tirai kuning lantas tersingkap pula memunculkan
Acanda Lohan yang bermuka merah seperti emas dan alisnya
gomplot bersama Kanyapa Lohan yang beralis hitam beralis
putih. Kedua arhat itu maju dari kiri dan kanan, dari tempat
munculnya secara tiba-tiba majunya tak cepat juga tak
perlahan, setelah mendekati si iman kira tiga kaki mendadak
mereka mendak, terus mereka menendang secara berantai
empat kali, disusul dengan hajaran kepalan mereka dari sisi
kiri dan ke kanan dan kebawah, semua serangannya dahsyat.
Beng Leng berlaku cerdik. Ia pula tetap tabah. Hendak ia
mencoba kekuatan tangan dan kaki arhat besi itu. Ia berkelit
dari pelbagai tendangan, ia berlompat maju lalu memapak
kaki kedua arhat, hingga terdengar suara nyaring. Menyusul
hajaran itu kedua arhat yang gagal menyerang, sebaliknya
kena terserang mundur sendirinya ketempat asalnya ke dalam
lankan, kebalik tirai kuning. Beng Leng sementara itu merasai
tangannya bergemetar dan sesemutan, dia heran. Dia tidak
sangka, tubuh arhat itu seperti juga mempunyai hasil latihan
sepuluh tahunan saking kuatnya.
Sekarang dia bersangsi maju terus atau mundur teratur.
Kalau dia mundur, dia kuatir nanti ada yang tertawakan. Kalau
dia maju terus, dia menguatirkan serangan-serangan lainnya
lagi yang terlebih lihai. Selagi jago dari luar lautan ini berpikir
guna mengambil keputusan, tiba-tiba ia mendengar suara
berisik dari luar Lohan Tong.
“Kenapa Beng Leng si bangsar tua dari Hek Keng To itu
lancang memasuki Lohan Tong ? “ demikian suara yang satu.
“Bangsat tua itu sudah tiba hari naasnya !” kata yang lain.
“Kali ini dia bakal roboh ! Tadi dia dipecundangi Paman
guru Liauw In serta Seng Hiang Totiang lantas dia kabur ke
Lohan Tong. Rupanya ia sudah luber kejahatan maka dia tak
dapat menyingkir dari keadilan dunia !”
Terang dan tegas suara kedua orang itu. Beng Leng
menjadi sangat mendongkol. Ia telah dicaci dan dihina. Maka
berkatalah ia di dalam hati. : “Tempat macam apakah Lohan
Tong ini ? Toh bukan kandang singa dan sarang harimau !
Hayo maju terus ! Akan aku bakar ludas semuanya !” Ia
merogoh sakunya buat mengeluarkan peluru apinya, untuk
ditimpukkan ke empat penjuru.
Tiba-tiba ia mendengar pula : “Bangsat tua Beng Leng itu
tahu ilmu silatnya tidak berarti, maka dia mengandalkan
peluru apinya buat main bakar saja ! Lihat saja, kalau dia
membakar didalam Lohan Tong, sama juga dia membakar dan
menembus dirinya sendiri !”
Kaget Beng Leng mendengar kata-kata itu. “Didalam dunia
ini dimana ada orang demikian dungu yang mau membakar
dirinya sendiri ?” begitu ia berpikir. “Ya, aku hampir keliru
berpikir !..”
Maka itu, menuruti suara hatinya, ia bakal menuju keluar,
ia kembali kedalam, memasuki ruang arhat itu ! Hanya kali ini
ia berwaspada, senantiasa siap sedia. Setindak demi setindak
ia maju, sampai lewat kira sepuluh tombak. Sekarang ia
dihalangi langkan atau lorang merah. Kapan ia mengangkat
kepalanya, ia melihat tirai kuning yang seperti mengerudungi
seluruh ruang itu. Lain dari tirai itu, ruang kosong dari
perabotan apa juga. Ia lantas berdiam bersiaga. Ia menerka
akan muncul lagi dua arhat besi. Ia celingukan kesekitarnya.
Beberapa saat ia berdiam begitu, ia tidak mendengar atau
melihat apa-apa. Ia menjadi heran, hingga timbullah
curiganya. Karena bercuriga itu yang membuatnya berkuatir.
Beng Leng merasa punggungnya dingin. Itulah pertanda dari
hati jeri. Lantas ia membesarkan nyali, bahkan sambil berseru
ia menyerang dengan Pay Khong Ciang, menghajar tirai
kuning itu, ialah hajaran hebat, sebagaimana tadi ia berhasil
merobohkan empat petugas Chong Keng Kok. Mereka itu
adalah dari angkatan kedua.
Kesudahannya serangan ini menambah herannya jago luar
lautan itu. Serangan cuma membuat tirai bergoyang dan
berkibar, tersingkap baik, lalu perlahan-lahan turun pula. Tak
ada tanda-tandanya bekas terhajar hebat ! Beng Leng heran
dan bercuriga, ia menjadi bingung sendirinya. Lantas ia
mendapatkan apa yang dinamakan “Pwee King Coa Eng” yaitu
perasaan cahaya seperti “melihat bayangan ular dari busur
didalam cawan” lurus matanya membayangi bagaikan dia
terserang dari pelbagai penjuru hingga lantas ia mendapat
ingatan untuk lari kabur dari Lohan tong. Sulit buat maju, dia
memikir buat mundur !
Tiba-tiba ada hawa dingin yang meniup dari sebelah kiri,
tanpa merasa jago ini menoleh ke arah kiri itu. Kiranya
disebelah kiri itu terdapat sebuah gang atau lorong. Tadi
sewaktu baru masuk karena silau dengan sinar api, ia tidak
melihat lorong itu, yang tampak hitam gelap saja. Ia pula tadi
cuma memperhatikan losung serta tirainya. Tanpa ayal lagi,
Beng Leng menyalakan sumbunya, buat memakai itu sebagai
penerangan guna ia bertindak ke dalam lorong itu. Baru tiga
atau empat tindak, tiba-tiba telinganya mendengar suara
nyaring tingtong, menyusul mana mendadak padamlah
penerangan diruang Lohan Tong itu.
Sebaliknya didalam lorong segera tampak sinar buram
entah dari mana keluarnya. Ia berjalan terus dengan waspada.
Ia melalui belasan tombak. Disisi tampak cahaya terang dari
api, berbareng tampak juga sebuah jalan perapatan. Masih ia
bingung maka ia tidak memikir lain daripada supaya lekaslekas
menyingkir dari tempat itu ! Tapi masih sempat ia
berlaku siap sedia. Selekasnya Beng Leng Cinjin menginjak
batu bata bagian tengah dari jalan perapatan itu, mendadak
batu itu melesak kedalam tanah, hanya sejenak, batui tu
muncul naik pula dan jadi rata seperti semula. ia heran hingga
ia berdiri melengak.
Lantas datang hal yang mengagetkan sekali. Tiba-tiba saja
dari empat penjuru, yaitu dari depan dan belakang, dari kiri
dan kanan, beruntun datang serangan golok dan tongkat
dimulainya dengan bayangannya ! Kirainya batu yang diinjak
jago luar lautan adalah batu yang menjadi alat rahasia,
karenanya mucullah empat lohan atau arhat yaitu Cu Kong
Lohan, To Lan Lohan, Kim Bin Lohan dan Gi Bin Lohan,
senjata mereka masing-masing golok kayTo dan tongkat
sianthung dan semuanya menyerang menuruti masing-masing
tipu siasatnya. Beng Leng sudah lantas mengurung diri
dengan tenaga Mo Teng Kee, lalu dengan tabah ia mengebut
serangan yang pertama, yaitu tongkatnya To Lan Lohan dan
golok kayTo dari Kim Bin Lohan, sedangkan dengan tangan
kirinya ia menepuk dada To Lan Lohan. Telak ia mengenai
sasarannya, terdengar suat tingtong, lantas arhat besi itu
berjalan mundur sendirinya, kembali ke tempat asalnya.
Menyusul itu ia memaju satu tindak, mana sambil berkelit,
maka loloslah ia dari bacokan golok dan tongkat dari arah kiri.
Aneh adalah To Lan Lohan. Mendadak dia maju pula, dia
mendesak hingga Beng Leng mau mundur ke tempatnya
semula menaruh kaki. Tapi ini justru membuatnya penasaran.
“Mesti aku robohkan dulu ke empat arhat ini !” demikian
pikirnya.
Tepat itu waktu ke empat lohan berhenti bergerak-gerak,
semua berdiri diam dengan mata mengawasi bengis.
Walaupun hatinya panas, menyaksikan para arhat besi itu.
Beng Leng heran. Ia balik mengawasi tubuhnya berdiam siap
sedia buat suatu penyerangan. Ia menerka-nerka apa
maksudnya diamnya ke empat lohan itu. Ia pula bersangsi
dapat atau tidak ia roobohkan semua lohan itu dan kalau ia
menyerang mereka bakal bergerak menuruti pesawat rahasia
lainnya atau tidak. Mengawasi ke empat arhat, jago ini
menarik napas dalam-dalam. Di dalam kesunyian itu tiba-tiba
terdengar suara yang datangnya dari luar tembok.
Ilmu silatnya jagi Hek Kong To yang hendak menjagoi
dunia rimba persilatan kiranya cuma sebegini saja ! Ha ha ha
!..”
Suara itu yang bernada ejekan ditimpali suara ini :
“Amida Buddha ! Siapa melepas golok jagalnya, asal dia
berpaling dia akan mendapatkan tepian daratan !”, habis itu
sunyi pula. Hatinya Beng Leng tergerak mendengar kata-kata
yang belakangan itu, kata-kata yang berbau keagamaan
(Buddha). Tiba-tiba saja pikirannya terbuka, otaknya menjadi
terang. Memangnya setiap manusia ada liangsimnya, hati
sanubarinya yang sadar, suci murni. Liangsim itu, suara hati
terdapat sekalipun pada orang yang berbathin buruk atau
jahat.
Demikian dengan jago luar lautan ini. Dia dapat
mempelajari silat hingga menjadi demikian lihai juga
disebabkan kesadarannya karena dia mengerti pentingnya
ilmu itu, hanya sayang dipakainya secara sesat. Mulanya ialah
karena dia bangga dengan kepandaiannya itu, lalu dia menjadi
jumawa dan berkepala besar, hingga ia menjadi galak dan
kejam. Hingga liangsimnya kena ketutupan. Sekarang tengah
terjepit itu tiba-tiba kesadarannya timbul.
Tanpa terasa dia berkata seorang diri. “Aku ini bagaimana ?
Kenapa aku jadi begini ?” Di dalam lorong yang terang
benderang itu, Beng Leng melihat seperti ada tak terhitung
berapa banyaknya mata yang lagi mengawasi padanya,
sedangkan ke empat arhat yang lohan bengis itu nampak
tengah menuding ia dengan masing-masing senjatanya.
Mereka itu seperti lagi membeber perbuatan jahatnya. Ia
terkejut. Tiba-tiba ia ingat segala perbuatannya sebegitu jauh.
Memang itulah kejahatan atau kedosaan. Kawan tunduk
padanya, lawan menuding dan dunia meludahinya, ia sudah
berbuat bertentangan dengan waktu atau saat ia mulai belajar
silat.
Dahulu itu ia berpikir baik lalu sesat sampai sekarang ini.
Kesesatan pun yang membujuknya menyerbu Siauw Lim Sie
ini. Kejumawaan yang membuatnya menerjang Lohan Tong.
Sekarang ternyata ia tak berhasil. Ia bahkan terdesak ke
pojok. Maka ia menjadi insyaf dan menyesal. Ia ingat halnya
tangannya berlepotan darah dan berbau baCin. Hebat
liangsamnya mendapat pukulan, pikirnya menjadi gelap.
Tiba-tiba ia merasai kepalanya pusing, terus tubuhnya
limbung, hingga detik lainnya, tanpa merasa ia roboh
sendirinya. Berapa lama sang waktu sudah lewat, inilah Beng
Leng tidak tahu, hanya ia mendusin dengan kaget dan heran
waktu telinganya mendengar bunyinya lonceng vihara
beberapa kali. Ia segera menggerakkan tubuhnya untuk
berduduk dilantai, sedangkan matanya lantas dipentang untuk
memandang ke depan, terus ke sekitarnya. Ia heran hingga ia
duduk menjublak, terus ia memikirkan, sebenarnya apa yang
sudah terjadi dengan dirinya tadi?.
Lama jago luar lautan ini berpikir, masih ia tidak
memperoleh jawabnya. Kemudian ia berpaling ke jendela,
memandang keluarnya cahaya matahari menjelaskan bahwa
sang waktu sudah tengah hari ! Jadi sudah banyak jam ia
berada di dalam kuil Siauw Lim Sie itu, ia heran orang telah
tidak mengganggunya.
Masih lewat sekian saat waktu Beng Leng mendengar
tindakan kaki orang mendatangi dia berhenti di depan pintu
kamar, waktu ia berpaling ia melihat munculnya seorang
seebie kecil, kacung pendeta. Kacung itu bertindak masuk, di
depannya si jago luar lantas, dia memberi hormat.
Kata dia manis : “Oh, totiang sudah mendusin ! Silakan
duduk menanti sebentar, siauwceng hendak pergi melaporkan
kepada ketua kami ! “ Dan lantas dia memutar tubuh dan
bertindak pergi didalam kamar tamu-tamu Siauew Lim Sie.
Maka ia lantas berpikir : “Bukankah aku memusuhkan
Siauw Lim Sie ? Bukankah tadi malam aku menyerbu,
menyerang dan melepas api melakukan pembakaran hingga
aku terkurung di Lohan Tong ? Kenapa aku sekarang
diperlakukan begini hormat oleh pihak musuhku ?” Saking
heran, Beng Leng berpikir banyak. Lalu ia merasa hatinya
tidak tenteram.
“Baiklah aku pergi dengan meloncati jendela !” pikirnya.
Belum lagi itu merupakan putusan, Pek Cut Taysu sudah
tampak lagi mendatangi, tindakannya cepat tapi tenang,
wajahnya menunjuki kesabaran. Di belakang ketua Siauw Lim
Sie itu turut Liauw In dan Ang Sian Siangjin serta dua seebie
cilik. Segera setibanya di depan jago luar lautan itu, Pek Cut
memperdengarkan puji keagamaannya sambil mengangkat
tangannya ke depan dadanya, setelah mana ia kata ramah :
“Totiang, harap saudara jangan memandang kami sebagai
orang luar ! Peristiwa tadi malam adalah peristiwa yang telah
berlalu lewat, harap totiang jangan pikirkan pula. Lolap
bersama totiang sama-sama menjadi orang rimba persilatan,
maka itu bagaimanakah jika mulai hari ini kita hidup
bersahabat ?” Berkata begitu, sebelum menanti jawaban,
pendeta kepala ini sudah lantas memberi isyarat kepada kedua
kacungnya untuk mereka itu lekas menyuguhkan teh.
Selagi Pek Cut mendatangi, Beng Leng sudah berbangkit
bangun, bersiap sedia kalau-kalau orang menerjangnya, tetapi
setelah mendengar kata-kata manis itu serta melihat orang
berlaku ramah tamah, perlahan-lahan ia berduduk pula, Yang
terang yaitu ia jengah. Pek Cut duduk setelah duduk setelah
mempersilakan tamu luar biasa itu berduduk. Kedua seebie
telah kembali dengan cepat, mereka lantas menyuguhkan teh.
Liauw In bersama Ang Siang duduk menemani disebelah
bawah, mereka bungkam.
Setelah mereka terdiam sekian lama barulah terdengar
suaranya Pek Cut taysu terang dan lantang :
“Totiang ilmu silat dan keceradasan totiang semua itu
mengawasi orang lain satu tingkat. Lihatlah disaat bertempur
untuk merebut kemenangan, dan diwaktu menghadapi
kesulitan pikiran dan kecerdasan totiang telah menerima
prayaa kebijaksanaan Sang Buddha hingga totiang masih
disadar dan terbuka pikiran. Itulah berkat pemeliharaan diri
totiang dahulu hari ! Maka itu totiang hari ini lolap hendak
memohon kepadamu suka apalah totiang meletakkan golok
jagal agar totiang insyaf dan sudi berbuat kebaikan terhadap
dunia rimba persilatan supaya bencana kemusnahan yang
tengah mengancam dapat disingkirkan:
Dengan sikap menghormat, Beng Leng menghadapi Pek
Cut Taysu. Kata ia : “Terima kasih atas budi besar dari taysu
yang tadi malam telah membuatku insyaf, budi itu tak dapat
pinto membalasnya, karena itu mana berani pinto tak
menerima baik nasihat taysu ini ? Telah kupikir buat sejak hari
ini dan seterusnya akan mengundurkan diri dari dunia Sungai
Telaga, buat hidup menyendiri !”
Imam ini mengangguk terus ia memberi hormat pula pada
si pendeta, juga terhadap Ang Sian Siangjin dan Liauw In,
kemudian tanpa mengatakan sesuatu lagi, ia pamitan dan
bertindak pergi. Pek Cut berbangkit dengan cepat, ia
merangkap tangannya.
Ia memuji pula. “Tetapi, totiang” katanya, “buat apa
totiang begini tergesa-gesa ? Baiklah kita bersantap dahulu,
baru totiang berangkat pergi.”
“Terima kasih, taysu.” kata si imam.
“Aku telah menerima budi kebaikan kalian. Sampai kita
jumpa pula !”
Dan lantas dia membuka tindakan lebar, keluar dari kamar
tamu-tamu itu. Pek Cut bertiga tak dapat mencegah lagi,
maka mereka membiarkan orang berlalu. Sementara itu mari
kita kembali pada malam tadi. Habis pertempuran hebat,
orang merawat luka-luka dan beristirahat. Penjagaan tidak
dilalaikan karena dikuatirkan nanti apa penyerbuan ulangan.
Mendekati jam lima fajar muncul, angin hebat yang keras
dan dingin, membuat orang menggigil sebab hawa dingin
masuk ke tulang-tulang. Justru suasana demikian itu, tiba-tiba
terdengar suara siulan nyaring, lantas di sana tampak
bergeraknya dengan sangat gesit sesosok bayangan hitam.
Para petugas terkejut dan heran, namun lantas memasang
mata.
Bajingan itu muncul buat terus berdiri diam sambil matanya
diarahkan ke empat penjuru. Sama sekali dia tak
memperdengarkan suaranya. Semua orang mengawasi terus.
Dialah seorang tua dengan jubah panjang menutupi tubuhnya.
Dia bermuka putih dan tak berkumis. Kemudian ternyata
dialah Thian Cia Lojin, yang dunia Sungai Telaga menyebutnya
It Lo Yauw Si Mambang Tua Tunggal. Hanya sebentar jago
tua itu berdiri diam, tangannya lantas menggapaikan Tan
Hong, Cia Hong, Kan Tie Un dan Kee Liong. Mereka itu
menghampiri dengan cepat, semua berdiri dengan hormat di
depannya. Dia bicara perlahan dengan empat orang itu, habis
itu dia berlompat turun, akan lari ke bawah gunung.
Lewat sesaat, Kee Liong menuding Pek Cut Taysu sambil
membentak :
“Eh, keledia gundul dari Siauw Lim Sie, kau dengar ! Malam
ini kami mempunyai urusan penting karena itu kami
membiarkan kamu semua hidup lebih lama sedikit. Kamu
tunggulah nanti kami datang pula guna membuat perhitungan
!”
Kemudian dia berpaling pada kawan-kawannya dan berkata
: “Mari kita pergi !”. Belum berhenti suaranya mendengung,
orangnya sudah lompat berlari ke bawah gunung terus diikuti
ketiga kawannya itu.
Hanya sebentar bayangan mereka pun sudah tidak tampak.
Kiauw In dan Giok Peng segera bergerak diturut oleh Ang Sian
Siangjin. Mereka bertiga hendak menghadang kawanan
penyerbu itu atau di belakang mereka, mereka mendengar
suara nyaring dari Pat Pie Sin Kint In Gwa Sian :
“Anak In ! Anak Peng ! Jangan kejar mereka ! Biarkan
mereka itu pergi !”. Dua-dua Kiauw In dan Giok Peng telah
berlari-lari dengan menggunakan Te In Ciong ilmu ringan
tubuh Lompatan Tangga Mega. Sebentar saja, mereka sudah
berhasil menyandak beberapa orang musuh yang terluka.
Ketika itu mereka mendengar suaranya sang paman guru,
seketika juga mereka menghentikan pengejarannya itu.
Tetapi Nona Pek mendongkol dan penasaran, ia
mengajukan jarum rahasianya, Twie Hun Kim Ciam, maka
diantara si penyerbu ada seorang yang menjerit dan terus
roboh terguling. Kiranya dialah Tio It In, satu diantara tujuh
bajingan dari To Liong To ! Kemudian bersama-sama Ang Sian
Siangjin, kedua nona kembali pada paman gurunya itu,
sedangkan Pek Cut Taysu sudah memerintahkan muridmuridnya
menjaga baik-baik pintu gerbang mereka.
Kemudian sembari memberi hormat pada In Gwa Sian
semua, ia berkata :
“Kami menyusahkan saja para sicu semua ! Sekarang
marilah kita kembali ke dalam untuk beristirahat !”
Tapi In Gwa Sian berkata : “Mungkin Beng Leng si raja iblis
masih berada didalam kuil, mari kita melakukan
penggeledahan buat mencari padanya. Kalian setuju ?”
“Tak dapat kami menyusahkan pula pada sicu sekalian.”
berkata Pek Cut.
“Untuk melakukan pemeriksaan cukup lolap sendiri
bersama sekalian saudara dan murid kami. Sanggup kami
melayani bajingan itu ! Silahkan sicu beramai beristirahat nanti
besok kami akan mohon petunjuk terlebih jauh !” Semua
orang lantas mengikuti pendeta kepala itu masuk kedalam
dimana mereka berpisahan untuk masing-masing beristirahat.
Kemudian Pek Cut, Ang Sian Siangjin dan lima ketua dari Kam
In. Segala apa dipendopo itu tenang dan aman tak ada bekasbekasnya
pertempuran.
“Heran..” pikirnya ketua itu yang lantas memikir menyuruh
murid-muridnya pergi mencari tahu atau berbareng dengan
dengan itu tampak munculnya Liauw In, yang datang dengan
cepat.
“Bagus kau datang, sute !” ia berkata mendahului separuh
berseru. “Lolap justru sedang memikir buat mencari tahu
kemanakah perginya si bajingan kepala ! Apakah ada yang
terluka didalam kuil kita ?”
Liauw In maju terus sampai di depan ketua atau kakak
seperguruannya itu, untuk lebih dahulu memberi hormat.
“Beng Leng si imam siluman sudah membakar Chong Keng
Kok tetapi dia gagal” kata ia melaporkan. “Dia cuma melukai
ke empat murid angkatan kedua yang bertugas menjaga
lauwiang kita itu. Setelah itu dia dirintangi oleh kedua totiang
Seng Hian dan Leng Hian. Waktu siauwte datang kepada
mereka, hampir aku dilukai ilmu lunaknya yang lihai. Dia
rupanya merasa tak unggulan melawan terus kepada kami
bertiga dia mencoba meloloskan diri tetapi dia kesalahan
memasuki Lohan Tong dimana dia kena terlarangkan. Sampai
sekarang dia masih belum lolos. Bagaimanakah pikiran
ciangbun suheng ?”
Ciangbun suheng berarti ketua yang berbareng menjadi
kakak seperguruan. Pek Cut terperanjat juga.
“Bagaimana lukanya mereka berempat ?” tanyanya. Lebih
dahulu ia ingat murid-muridnya itu.
“Mereka sudah dibawa ke pendopo sisi untuk diobati,
mungkin mereka tidak terancam bahaya mau.” sahut Liauw
In.
“Bagaimanakah keadaannya Chong Keng Kok setelah
dibakar itu ?”
“Api telah keburu dipadamkan. Cuma terbakar bagian pintu
saja.”
“Amida Buddha !” Pek Cut memuji seraya merangkapkan
tangannya.
“Buddha kita maha mulia maka kita bebas dari bencana
besar.”
“Sekarang bagaimana dengan imam siluman itu ?” Liauw In
memperingati ketuanya. “Harap ciangbujin suheng lekas
mengeluarkan keputusan !”
“Tak kupikir untuk melakukan pembunuhan.” sahut ketua
itu yang pengasih penyayang.
“Terhadap orang sebangsa dia itu, ingin lolap
menggunakan kitab prayaa. Nanti kita lihat imam itu dapat
dipengaruhi atau tidak. Kalau tidak akan kita pikir pula
bagaimana baiknya.”
Ang Sian Siangkin tidak akur dengan sikap ketua itu.
Dia campur bicara : “Membinasakan manusia jahat berarti
berbuat kebaikan ! “ katanya.
“Kenapa ciangbun suheng bermurah hati terhadap manusia
jahat itu ? Tidak karuan rasa dia memusuhkan kita, dia datang
menyerbu dan telah merusak kita !”
Pek Cut tidak menjawab itu hanya berdiam untuk berpikir.
“Para sute dari Kam Ih, silahkan kalian mengundurkan diri
untuk beristirahat.” kemudian katanya kepada adik-adik
seperguruannya kepada siapa ia berpaling.
“Biarkan lolap sendiri bersama kedua sute Liauw In dan
Ang Siang yang pergi melongok ke Lohan Tong.” Berkata
begitu, bersama-sama Liauw In dan Ang Siang, ketua ini
lantas bertindak pergi menuju keruang arhat yang
dimaksudkan itu.
Ketua ini hendak menggunakan pengarahan dari ilmu
keBuddhaan untuk menghadapi Beng Leng Cinjin supaya
imam dari Hek Keng To itu diluar lautan, tak tersesat terlebih
jauh hingga dia menampakan keimamannya, agar akhirnya dia
sadar dan insyaf dan akan berubah cara hidupnya.
Demikianlah sudah terjadi, Beng Leng telah kena dipengaruhi
prayaa, maka ialah kejadian dia insaf akan perbuatannya yang
salah dan mau mengundurkan diri, buat hidup menyendiri,
karena mana dia tidak diganggu dan dibiarkan pergi
mengangkat kaki. Sambil berlari-lari Beng Leng meninggalkan
kuil Siauw Lim Sie turun dari puncak Siauw Sit Kong.
Ditengah jalan, ia merasa kesepian. Sampai mendekati
maghrib ia belum mendapatkan tempat singgah. Sinar layung
dari matahari membuat rimbah bercahaya keemas-emasan
indah tampaknya. Ia berjalan terus, sampai ia membelok
disebuah tikungan.
“Toa suheng !” tiba-tiba ia mendengar suara panggilan. Toa
suheng ia berarti kakak seperguruan yang paling tua. Segera
ia menghentikan tindakannya dan menoleh ke arah dari mana
panggilan itu datang.
Di sana tampak Tan Hong adik seperguruannya yang terus
menanya :
“Kakak, kemana saja kakak pergi ? Kami berputaran ke
empat penjuru mencari kakak !”
Beng Leng berdiri menjublak mengawasi adik
seperguruannya itu. Karenanya ia tidak membuka mulutnya
buat menjawab. Tan Hong heran, hingga ia terperanjat.
“Kakak !” tegurnya. “Kakak, kau kenapakah ?” Masih Beng
Leng Cinjin berdiri diam. Giok Bin Sian Ho, si Rase bermuka
kumala, menghampiri hingga dekat. Ia memegang dan
menggoyang lengan orang. “Kakak, kakak !” panggilnya. Baru
sekarang imamitu bagaikan terasadar. Dia lantas menghela
napas.
Jilid 9
"Bagus, bagus !" katanya. "Bagus kita bertemu disini, adik !
Inilah aku tidak sangka ! Tetapi adik, inilah pertemuan kita
yang paling akhir !"
Tan Hong terkejut hingga dia melengak.
"Kakak !" katanya sangat heran. "Kakak, apakah kau sakit ?
Kenapa kakak berkata begini ?"
Beng Leng berdiam. Kembali ia tidak menjawab. Ia tak lagi
seriang, segagah seperti biasanya. Lalu ia memperdengarkan
suara bagaikan gerutuan : "Meletakkan golok jagal menoleh
ialah tepian..." Dan ia ulangi itu beberapa kali. Tampak ia
seperti lagi mengingat-ingat segala apa yang telah lalu.
Tan Hong berdiri terpaku mengawasi kakaknya
seperguruan itu, bukan main ia tak mengertinya.
Maka kedua saudara itu sama-sama berdiri menjublak,
yang satu mengawasi tanpa berkedip, yang lain memandang
ke depan dengan mendelong.
Masih lewat beberapa saat sebelum Beng Leng terbengongbengong
itu, baru keliahatan wajahnya yang dari pendiam
menjadi bersungguh-sungguh, terus dia berkata dengan
sungguh-sungguh juga : "Adik, pergi kau bersama adik Cin
Tong, lekas pulang ke Hek Keng To ! Di sana kalian tinggal
aman dan damai, jangan lagi kalian campur urusan dunia
Sungai Telaga !"
Lagi-lagi Tan Hong terperanjat.
"Kakak !" katanya Bingung. "Kakak... !" Beng Leng
memutus kata-kata adik seperguruan itu : "Meletakkan golok
jagal, menoleh ialah tepian ! Kau ingat baik-baik kata-kata ini,
adik ! Kau sampaikan juga kepada adik CIa Tong ! Nah,
kakakmu pergi !"
Tanpa menanti suaranya berhenti, Beng Leng sudah lantas
berlompat maju untuk berlari-lari di jalan pegunungan itu,
hingga dilain detik dia lenyap dalam remang-remang !
Tan Hong melongo, tak ingat ia akan menyusul kakaknya
itu !
Sekarang ini marilah kita melihat dahulu kepada Kiauw In
dan Giok Peng. Mereka telah berkemas-kemas untuk
selekasnya fajar tiba mulai berangkat pergi. Inilah sebabnya
kitab pusaka mereka hilang ditangannya It Hiong dan It Hiong
sudah meninggalkan gunung secara diam-diam guna mencari
kitab itu. Mereka berniat mencari Gak Hong Kun, orang yang
dicurigai telah mencuri kitab. Adalah diluar dugaan justru itu
malam kawanan dari luar lautan sudah datang menyerbu pula
kuil Siauw Lim Sie, hingga mereka mesti menempur kawanan
bajingan itu. Sampai fajar baru mereka pulang, untuk melihat
Hauw Yan, anak yang ditinggal sendirian didalam rumah
gubuk. Selekasnya mereka meloloskan pedang mereka,
mereka lari kedalam kamar.
"Mama !" demikian suara Hauw Yan, yang telah mendusin
dari tidurnya.
Giok Peng berlompat kepada mustikanya itu, untuk
mengangkat dan merangkulnya sambil ia mencium pipi orang.
"Anak !" katanya menyayang.
Kiauw In pun segera menghampiri.
"Kau telah mendusin, anak manis ?" tanyanya sambil
mengusap-usap kepala orang.
Hauw yan mengangguk dan tertawa manis.
"Bagaimana ?" kemudian Nona Cio tanya Giok Peng,
"apakah kita berangkat sekarang ?"
Nona Pek tertawa.
"Kita baru habis bertempur semalam suntuk, aku merasa
letih" sahutnya. "Aku pikir baik kita beristirahat dahulu
sebentar, tengah hari, setelah bersantap, baru kita
berangkat.." Ia hening sejenak, lalu ia melanjutkan : "Kakak,
kita mau pergi mencari kitab, itu berarti kita bakal pergi buat
waktu yang tak menentu cepat atau lama, atau mungkin kita
bakal menderita, maka itu, bagaimana pikiranmu jika kita
menitipkan dahulu Hauw Yan di Lek Ogk Po ? Dengan
demikian anak ini tak usah turut menderita, supaya dia tak
merepotkan kita."
"Pikiran yang baik, adik" sahut Kiauw In, "Cuma, kalau adik
Hong pulang, apa katanya nanti ?"
"Ah, kakak selalu menguatirkan dia tak tenang hati !" kata
Giok Peng. "Kakak, baik kakak jangan pusing itu ! Aku pun
memikir merubah sedikit rencana kita..."
"Bagaimana, adik ?"
"Aku pikir lebih baik kita pergi dahulu mencari Gak Hong
Kan" kata Nona Pek. "Sesudah itu baru kita pergi ke Pay In
Nia menjenguk adik Hong. Bagaimana pikiran kakak ?"
"Buatku sama saja" sahut Kiauw In tertawa. "Aku percaya
ditengah jalan nanti, kita akan bertemu dengan adik Hiong.
Yang perlu ialah asal kita bertindak dengan melihat sajalah."
Senang hati Giok Peng. Maka itu, mereka lantas
beristirahat.
Tengah hari, habis bersantap, kedua nona sudah lantas
bersiap pula. mendadak mereka mendengar suara orang
tertawa diluar rumah, atau In Gwa Sian tampak bertindak
masuk. Dia mengawasi ketika dia melihat persiapan nonanona
itu.
"Kalian mau turun gunung ?" tanyanya. "Buat urusan
apakah ?"
Kiauw In sudah lantas menyuguhkan teh kepada paman
itu.
"Terima kasih atas perhatianmu, paman In" katanya
tertawa. "Kami mau pergi buat satu urusan sekalian untuk
mencari adik Hiong."
"Kalian hendak menuju kemana ?" In Gwa Sian tanya.
"Dapatkah kalian memberitahukannya kepada pamanmu ini ?"
"Pertama-tama kami mau perdi ke Lok Tiok Po" Giok Peng
menerangi jawaban. "Dari sana kita akan menuju ke Hong San
untuk membereskan sesuatu. Habis itu baru kami mencari
adik Hiong. Diakhirnya, kami berniat pulang ke Pay In Nia."
"Ooo.. !" In Gwa Sian memperdengarkan suara heran.
"Buat kepergian kami ini " Kiuaw In menambahkan, "kami
tidak mau berpamitan lagi dari Pek Cut Taysu beramai. Kamu
kurang bebas. Maka kami minta paman saja yang tolong
menyampaikannya nanti !"
In Gwa Sian sudah lantas berbangkit.
"Kalian mau berangkat, berangkatlah !" katanya. "Asal
ditengah jalan kalian harus berhati-hati ! Nah, aku si tua mau
mengundurkan diri."
Pengemis itu lantas memutar tubuh dan bertidak pergi.
Baru beberapa tindak dipintu luar, ia sudah lantas berhenti
dan berpaling.
"Kapan kiranya kalian akan kembali ?" tanyanya.
Kedua nona berjalan bersama, mereka pun sudah sampai
diluar.
"Mungkin buat sepuluh atau lima belas hari." sahut Kiauw
In. "Kami berniat kembali supaya dapat menghadiri pertemuan
tanggal lima belas nanti."
Giok Peng sudah menutup pintu. Mereka menggendol
pedang dan membekal buntalan berikut rangsum kering,
sedangkan kantung piauw mereka berada dipinggangnya
masing-masing. Hauw Yan ada pada ibunya, saban-saban ia
memanggil mama kepada ibu itu serta Kiauw In.
Lekas juga kedua nona sudah berdiri menghadapi In Gwa
Sian guna memberi hormat akan mohon berpamitan, setelah
mana keduanya berlari-lari turun gunung...
Pat Pie Sin Kit mengawasi sambil menggeleng kepala.
Ketika itu sudah mendekati maghrib. Tiba di kaki puncak
Siauw SIt Hong kedua nona berada di dalam rimba. Itulah
tempat dimana Tan Hong bertemu dengan Beng Leng Cinjin.
Jarak waktu diantara mereka cuma berselang satu jam. Tan
Hong masih berdiri menjublak. Ia memikirkan kakak
seperguruannya itu, ia heran kenapa hati dan gerak gerik
kakak itu demikian berubah. Karena kedua nona-nona Cio dan
Pek berlari-lari dengan cepat, mereka sudah lantas melihat
kepada Tan Hong. Kiauw In yang melihat paling dahulu dan
segera mengenali nona dari luar lautan itu.
"Hati-hati adik Peng !" ia lantas memperingati Giok Peng.
"Kau lihat wanita disebelah depan itu ? Dialah Tan Hong dari
Hek Keng To. Dia berada disini, maka itu entah ada berapa
banyak kawan-kawannya didekat-dekat kita...."
Berkata begitu Nona Cio sudah lantas menghunus
pedangnya maka perbuatan itu diturut adik Pengnya. Giok
Peng menempati diri di belakang kakak itu.
Kedua nona bertindak dengan cepat, selekasnya mereka
datang dengan Tang Hong mereka berlompat maju ke depan
orang.
Tan Hong lihai, walaupun ia tengah menjublak telinganya
mendengar suara berkesiurnya angin maka ia lantas menoleh
hingga ia melihat kepada kedua nona itu. Ia segera berlompat
menghampiri sembari membentak ia mendahului menyerang
dengan sanhopang tongkat panjangnya yang istimewa itu.
Giok Peng mengempo Hauw Yan dengan tangan kiri,
pedangnya ditangan kanan atas datangnya serangan sebab
Tan Hong menyerangnya terlebih dahulu, ia segera
menangkis. Ia pun membentak :" Wanita jahat, kau masih
banyak lagak ? Kau toh baru kabur lolos dari tangannya
kakakku !"
Tan Hong sudah berusia dua puluh enam tahun, dia masih
belum menikah, pandangannya tinggi, dia suka sekali orang
mengangkat-angkatnya, sebaliknya, dia tak suka ditegur
orang. Maka itu, suaranya Nona Pek membuatnya gusar.
Tanpa berkata-kata lagi, dia maju sambil memutar
tongkatnya, yang berkilau-kilauan sinarnya guna membikin
kabur pandangan matanya Giok Peng, sesudah mana ia
menghajar ke arah Hauw Yan !
Giok Peng terkejut, ia sangat kuatir anaknya terluka, maka
itu terpaksa ia lompat mundur setombak lebih lalu sambil
mengepit pedangnya, ia mengawasi anak itu yang ia usapusap
kepalanya.
Hauw Yan tidak kaget bahkan ia tersenyum dan tertawa.
Maka itu legalah hati sang ibunya.
Kiauw In gusar sekali menyaksikan orang demikian
telengas. Dia bukan menyerang si ibu hanya anak. Maka ia
lompat sambil terus menyerang Tan Hong menebas ke arah
lengan menyusul mana ia membacok pula bahunya si rase
kemala.
Tan Hong dapat melihat serangan itu ia berkeliat dengan
satu gerakan melengak sambil terus berjumpalitan. Itulah tipu
"Jembatan Besi". Dengan pedangnya ia menyampok guna
menangkis karena mana kedua pedang beradu satu dengan
lain hingga terdengar suaranya yang nyaring.
Kiauw In tidak berhenti sampai disitu. Ia menyerang secara
berantai.
Tan Hong segera juga kena terdesak hingga ia mesti
berkelahi dengan main mundur. Sejak pertempuran tadi
malam ia sudah tahu nona lawannya itu lihai sedangkan
sekarang si nona hendak mengumbar panasnya hatinya. Tapi
dialah seorang berkepala besar ia bandel walaupun jatuh
dibawah angin tak sudi ia cepat-cepat mengangkat kaki.
Demikian mereka jadi bertempur seru, walaupun yang satu
terdesak.
Kiauw In menggunakan jurus-jurus dari ilmu pedang Khia
Bun Patwa Kiam. Ia mendesak sampai orang mundur empat
atau lima tombak jauhnya. Napasnya Tan Hong pun memburu
keras. Dia bermandikan peluh pada dahinya, tak dapat ia
melakukan penyerangan membalas. Karena ini, kemudian ia
berpikir nekad. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri untuk berguling
menghampiri lawan untuk segera berlompat bangun guna
menghajar pinggang dengan kepalan kiri !
Hebat serangan mendadak itu, tak sempat Kiauw In
menangkis, maka iapun menggunakan cara yang terakhir.
Seperti Tan Hong ia jatuhkan diri sambil melengak disusul
sebelah kakinya melayang mendepak lengan kiri orang !
Tang Hong ingin menyerang dengan hebat tak ia sangka
lawan sedemikian lihai. Ia menjadi terkejut ketika ia merasai
lengannya kena terdepak hingga seluruh lengan itu
bergemetar. Walaupun demikian dia tabah sekali. Dia lantas
menjatuhkan diri sambil membacok dengan tongkatnya !
Kembali Kiauw In terancam bahaya. Jago luar lautan itu
lihai sekali, ia lantas menggulingkan tubuh buat menjauhkan
diri, sesudah mana ia melejit bangun. Terus ia lompat maju
pula guna menyerang lagi, ia melakukan pula serangan
berantai. Selain ia membuat mata orang kabur. Ia juga
mencoba mengekang tongkat sanhopang lawannya itu.
Tan Hong tahu bahaya mengancam, ia menjadi nekad,
maka ia berkelahi secara mati-matian.
Pedang dan tongkat beradau berkali-kali, saban-saban
meletikkan percikan apinya.
Di dalam keadaan seimbang itu Tan Hong telah
menggunakan otaknya yang cerdas. Ia lantas mendapat akal.
diam-diam dengan tangan kirinya ia merogoh kedalam
sakunya dimana ia menyimpan peluru liauwgoan tan bahan
peledak buatan istimewa pihak Hek Keng To. Secara
mendadak ia menimpuk ke arah lawannya. Ia pun menimpuk
berulang-ulang.
Nona Cio melihat orang menggunak senjata rahasia, ia
membela diri dengan salah satu jurus dari Hang Liong Hok
Houw Ciang, ilmu silat tangan kosong "Menaklukan Naga
Menundukkan Harimau". Ia menyambuti senjata rahasia untuk
segera dilemparkan ke samping, sedangkan dengan
pedangnya ia mengekang tongkat lawan.
Peluru jatuh ke rumput dan meledak seketika. Ketika itu
digunakan nona licik itu buat pergi berlompat mundur terus
berlari pergi menghilang diantara lebatnya pepohonan dalam
rimba itu. Kiauw In yang menjadi terkejut tak sempat
mengejarnya. Ia pun tidak memikir buat menyusul orang.
"Adik Peng, mari kita lanjuti perjalanan kita !" katanya.
"Sekarang sudah tak siang lagi !" Ia memasuki pedangnya
kedalam sarungnya.
Giok Peng menghampiri kakak itu.
"Tidak kusangka disini kita mesti melakukan pertempuran
dahsyat ini" katanya tertawa. "Bangsat perempuan itu lihai
dan telengas, hampir dia mencelakai anak kita...."
Hauw yan tertawa.
"Mama, enak main-main ya ?" katanya.
Kiauw In dan Giok Peng tertawa. Lucu anak belum tahu
apa-apa itu.
Mereka berjalan terus dengan cepat. Ditengah jalan,
mereka bergurau dengan anak mereka. Lewat jam dan tibalah
mereka dalam kecamatan Yong hong di propinsi Holam.
Lenggang mereka memasuki kota yang tidak besar tetapi lalu
lintasnya hidup itulah kotanya menjadi ramai. Segera mereka
mencari penginapan dimana Hiauw Yan ribut lapar, karena
mana, mereka lantas minta disediakan barang hidangan.
"Tuan kecil ini lucu !" berkata jongos yang menyajikan
barang makanan. Ia tertarik dengan lagak lagunya Hauw Yan.
Anak itu manis dan lincah, siapapun suka bermain-main
dengannya.
"Dia rada bandel..." kata Giok Peng.
"Nona-nona datang begini terlambat. Apakah nona-nona
datang dari Siauw Sit San ?' tanya si jongos yang mengalihkan
pembicaraannya. Ia belum mendapat jawaban atau ia
menabok mulutnya sendiri : "Ngaco belo, harus dihajar"
katanya.
Kiauw In dan Giok Peng tertawa. Mereka menganggap
jongos itu jenaka.
Lantas si jongos memberi penjelasan tanpa diminta. "Siauw
Sit San menjadi tempat formasi kuil Siauw Lim Sie, tempat
formasi kuil Siauw Lim Sie, tempat bersembahyangnya Sang
Buddha yang maha suci dan mulia, mana dapat nona-nona
berdiam di sana ? Dasar aku yang doyan ngoceh ! Masa aku
menanyakan nona-nona datang dari sana ? Bersalah mulutku
harus ditabok ?"
Kiauw In tertawa.
"Tidak karuan-karuan kau menyebut Siauw Sit San"
katanya. "mungkinkah kau ada hubungannya dengan kuil di
sana itu ?"
Jongos itu lekas-lekas menggonyangi tangan.
"Harap tidak salah mengerti nona." sahutnya. "Aku
menyebut-nyebut Siauw Sit San sebab kemarin ini kebetulan
kami kedatangan mereka tamu-tamu yang katanya datang
dari Siauw Sit San dan tengah malam buta mereka telah
berkelahi, maka itu, memasuki kamar ini, aku jadi jelas halnya
mereka itu."
Habis berkata, jongos itu lantas ngeloyor keluar.
Tiba-tiba Kiauw In ingat sesuatu.
"Kakak pelayan, mari !" ia lantas memanggil. "Mari, hendak
aku menanyakan sesuatu."
Jongos itu segera kembali.
"Orang-orang macam apakah yang kemarin itu datang
disini ?" Giok Peng tanya. Ia pun mendapat ingatan seperti
Kiauw In. "Kenapa mereka berkelahi ?" Ia cedik. Ia lantas
meletakkan sepotong perak diatas meja, menambahkan
:"Uang ini buat kau minum arak ! Nah, lekas kau bicara !"
Melihat perak yang berkilau itu, pelayan itu maju dan
tindak, tangannya menyamber, wajahnya tersungging
senyuman.
"Terima kasih nona !" ucapnya. "Kalau nona ingin
menanyakan apa-apa, silahkan."
"Bukankah barusan telah aku tanyakan ?" Giok Peng
membaliki tertawa. "Orang-orang yang datang dari Siauw Sit
San itu, bagaimana cara dandanan mereka, bagaimana
macam tampangnya, dan kenapa mereka berkelahi ?"
"Merekalah dua orang pria dan dua-duanya masih muda."
sahut san pelayan yang benar-benar suka bicara.
"Kelihatannya mereka seperti sahabat baik satu dengan lain.
Tibanya mereka ialah saling susul."
"Jadi merekalah orang-orang muda," kata Giok Peng.
"Bagaimana cara dandannya mereka ? Bagaimanakah
macamnya, potongan badan dan sikap duduknya ? Dapatkah
kau melukiskannya ?"
Pelayan itu menggaruk-garuk kepala. Ia mencoba
mengingat-ingat.
"Ya, aku kini ingat !" katanya ayal-ayalan.
"Lekas !" Nona Pek mendesak. "Bicaralah !"
Kiauw In yang mengempo Hauw Yan bersikap tenang.
"Kakak pelayan, jangan kau kuatir" katanya tersenyum.
"Kami menanyakan mereka sebab kami ingin tahu kalau-kalau
kami kenal atau tidak kedua pemuda itu."
Sembari berkata Nona Cio diam-diam mengedip mata pada
Giol Peng.
Nona Pek mengerti pertanda itu, ia lantas berkata pula.
"Benar ! Kau bicaralah. Tak usah kau berbicara seperti orang
mendongeng !"
Dari tertawa, jongos itu lantas mengasi lihat tampang
sungguh-sungguh.
"Pemuda yang datang terlebih dahulu itu tampan, sikapnya
risau sekali, ia mulai bercerita. "Dia sangat pendiam. Tetapi
sepasang matanya itu toh sungguh menakutkan.:
"Kau takut apa ?' tukas Giok Peng. "Apakah dia dapat
menelanmu ?"
"Bukan begitu nona. Sebenarnya ketika aku takut masuk
kedalam kamar itu melayaninya. Ketika aku tanya dia
memerlukan apa, dia diam saja, sikapnya tawar sekali..."
"Masih ada apa lagi tentang dia ?" Giok Peng mendesak.
"Hayolah kau bicara !"
Jongos ini membuat main tangannya, ia pun mengusap
mukanya.
"Ketika kemudian aku datang mengantarkan barang
makanan daun pintu hanya ditutup dirapatkan." Ia mengasi
keterangan lebih jauh. "Aku menyajikan barang makanan
diatas meja. Ketika itu ia sedang merebahkan diri diatas
pembaringan, matanya yang terbuka tengah mengawasi
langit-langit rumah. Sekilas aku melihat disudut matanya
airmatanya mengalir. Saking heran, tanpa terasa aku
memperdengarkan suara dengan berkata :"Seorang laki-laki
cuma mengalirkan daran tetapi tidak air mata ! Ah,
mengapakah ia mirip seorang wanita...?"
Menyebut "wanita" jongos itu menoleh kepada kedua tamutamunya.
Dia terkejut dan agak likat. Rupanya dia insyaf yang
dia telah ketelepasan omong.
"Bicara terus !" mengundurkan Kiauw In tertawa. "Kami tak
akan persalahkan kau !"
Lega hatinya si jongos. Dia lantas melanjuti : "Sebenarnya
tak puas aku melihat pemuda itu menangis, hendak
mengundurkan diri. Justru aku memutar tubuh, tiba-tiba aku
melihat diatas lantai terletak sebuah buku, entah kitab apa..."
Giok Peng terperanjat hingga ia menyerukan :
"Oh !" Lantas dia bertanya :" Buku apakah itu ?"
"Aku pungut buku itu" si jongos menjawab. "Aku
mengawasinya sebentar. Waktu aku hendak
mengembalikannya kepada si anak muda, tiba-tiba dia
merampasnya, terus aku digaplok ! Oh, sunggguh nyeri !
Hebat gaplokkannya itu ! Begitulah apesnya orang yang
menjadi pelayan..."
"Apakah yang kau lihat pada buku itu ?" Kiauw In tanya.
"Apakah ada tulisannya ?"
Jongos itu menggaruk-garuk pula kepalanya. Dia berpikir
keras.
"Aku melihat empat buah huruf." sahutnya kemudian.
"Sayang aku tidak tahu surat. Akulah dari keluarga melarat,
aku cuma dapat bersekolah selama satu tahun, sembari
bersekolah, aku mengembalakan kerbau juga..."
"Sudahlah !" Giok Peng menyela. "Aku bukan tanyakan hal
sekolahmu ! Aku tanya tentang buku ! Apakah yang tertera
pada buku itu ? Berapa hurufkah yang kau kenal ?"
Jongos itu tidak marah bahkan dia tertawa.
"Kenapa nona sangat tak sabaran ?" dia bertanya. Dia
berdiam pula untuk berpikir. "Dari empat huruf itu aku cuma
dapat membaca yang dua, yang lainnya tidak sebab terlalu
banyak coretannya. Yang dua itu yaitu Sam Cay..."
Dua dua Kiauw In dan Giok Peng melengak. Mereka
dikejutkan dua huruf yang disebutkan itu. Lantas mereka
saling memandang. Terang sudah buku itu buku mereka.
Selang sesaat, Kiauw In menanya pula : "Bagaimana
dengan itu pemuda yang datang belakangan ?"
Jongos itu sudah berpengalaman dalam tugasnya, gerak
gerik kedua nona membuatnya dapat berpikir, karenanya dia
menduga apa-apa, hingga dia juga ingin berlaku cerdik.
Sahutnya : "Maaf, nona-nona. aku telah ketelepasan bicara !
Aku minta dengan sangat supaya hal ini nona-nona tidak
sampaikan kepada siapa juga !"
"Jangan kau kuatir !" berkata Giok Peng. "Lekas kau
tuturkan perihal anak muda yang datang belakangan itu !"
Masih jongos itu menatap kedua nona bergantian. Baru
setelah itu, maka dia bicara.
Katanya : "Pemuda yang datang belakangan itu lebih muda
dari pada pemuda yang datang lebih dahulu. Dia pun tampah
gagah tampangnya, malah dia bertangan terbuka, dia telah
memberi presen sepotong perak kepadaku. Dia menanya aku
siapa-siapa saja yang malam itu menumpang didalam
penginapan kami. Aku beritahu diantaranya tentang pemuda
yang datang lebih dahulu itu. Lantas dia menanya banyak
mengenai tetamu itu, dia tampangnya seperti juga dialah
seorang petugas negara..."
Tepat itu waktu terdengar suara pemilik penginapan
memanggil jongosnya, maka jongos itu lantas minta perkenan
buat segera mengundurkan diri.
Giok Peng mengunci pintu kamarnya.
"Kakak" katanya perlahan, "terang kedua pemuda itu Gak
Hong Kun dan adik Hiong. Bukankah kakakpun menerka sama
seperti aku ?"
Liauw In meletakkan Hauw yan yang tidur dalam
empoannya. Ia mengangguk.
"Memang" sahutnya selang sejenak. "Dan terang sudah
yang kitab pedang guru kita telah dicuri Hong Kun !"
Giok Peng menghampiri pembaringan, untuk duduk
disisinya.
"Bagaimana sekarang ?" tanyanya.
"Kita harus cepat." sahut orang yag ditanya. "Aku percaya
adik Hiong tengah menyusul Hong Kun ! Besok kita membeli
dua ekor kuda, untuk berangkat lekas ke Lok Tiok Po, habis
menitipkan Hauw Yan, segera kita menyusul ke gunung Hoang
San."
"Bagus rencanamu ini, kakak." Giok Peng menyatakan
setuju. "Cuma, apakah kita tak bakal terlambat sampai di
Hong San ?"
"Kita tidak mempunyai jalan lain lagi" kata Kiauw In.
"Terburu-buru juga tak ada faedahnya. Yang penting yaitu
asal disepanjang jalan kita senantiasa mencari keterangan.
Mustahil kita tak dapat menemukan mereka itu."
Giok Peng dapat menyabarkan diri. Maka itu terus mereka
beristirahat. Besoknya, mereka bangun pagi-pagi untuk terus
berkemas. Di dalam kota Tenhong mereka membeli dua ekor
kuda dengan begitu dengan cepat mereka menuju ke Lok Tio
Po, buat menuju ke Hong San. Pada suatu hari mereka tiba di
Tiangsee ibukota propinsi Oawlam. Kota ramai sekali, jalan
besar penuh dengan orang dan pelbagai kendaraan. Tapi
mereka tidak mau singgah dikota itu, maka dari pintu kota
yang satu mereka nyeplos di pintu kota yang lainnya.
Di sepanjang jalan, mereka mencoba mendengar. Sekarang
mereka menuju ke Oawlam Barat, mengikuti jalan umum.
Ketika itu, baru saja lewat tengah hari jam ngo sie dan mulai
memasuki jam hio sie mendekati lohor. Ditengah jalan tak
putusnya lalu lintas ada orang berjalan kaki, ada kereta, kuda
dan keledia.
Tengah kedua nona itu melanjuti terus perjalanannya itu,
tiba-tiba dari arah depan mereka melihat memandanginya dua
orang penunggang kuda yang sedang mengaburkan kudanya.
Penunggang kuda yang di depan seorang wanita muda dan
yang di belakang seorang pria tua. Mereka terperanjat sebab
mereka juga sedang mengasi kuda mereka lari keras. Debu
sampai mengepul naik. Dibagian jalanan itu keadaan lalu lintas
sedang ramai.
Lekas sekali, kedua belah pihak sudah melalui satu sama
lain. Hampir mereka bertabrakan. Ialah diantara Giok Peng
dan wanita di depan itu. Selagi berpapasan itu wanita itu
berseru kaget segera dia menahan kudanya untuk diputar
balik, buat menyusul Nona Pek.
"Nona !" dia memanggil.
Giok Peng tidak mendengar suara itu, ia larikan terus
kudanya.
Wanita itu mencambuk kudanya buat menyusul.
"Siauw Yan Sie !" dia memanggil pula, keras suaranya.
"Nona Pek !"
Baru sekarang Giok Peng mendengar panggilan kepadanya
itu. Segera ia menahan kudanya dan menoleh untuk
mengawasi. Lekas juga ia menjadi heran.
Penunggang kuda itu adalah seorang nona, pakaiannya
serba merah, modelnya luar biasa, tak seperti pakaian yang
kebanyakan. Orangnya sendiri juga berdandan luar biasa.
Dengan semacam gelang emas, dia mengekang rambutnya
yang dilepas panjang terurai ke punggungnya hingga rambut
itu memain diantara debaran angin. Dia pula memakai pupur
medok, hingga dia tampak genit sekali.
"Oh.." sernua saking heran. Ia mengenali Tong Hiang.
Nona itu tertawa haha hihi.
"Bagaimana nona ?" tanyanya tertawa pula. "Apakah nona
sudah mengenali budak pelayanmu ? Nona agaknya tergesagesa,
kemana nona hendak pergi ?"
Giok Peng masih melengak, hingga tak dapat ia menjawab
cepat-cepat.
Tong Hiang mengawasi, mukanya berseri-seri.
"Tuan muda Tio sudah pergi kelain tempat !" katanya pula
tanpa dimulai keterangannya. "Buat apa nona pergi ke Hong
San ?"
Nona Pek melengak. Ia jadi berpikir.
"Heran kenapa budak ini ketahui kami mau pergi ke Hong
San ?" tanya ia pada dirinya sendiri. Ia mencoba
menenangkan hatinya."Tong Hiang, kenapa kau ketahui Tuan
Tio sudah pergi kelain tempat ? Benarkan dia tak ada
digunung Hong San ?"
Ketika itu Kiauw In yang telah memutar kudanya
menghampiri Giok Peng hingga mereka berdua merendengi
kuda mereka. Ia mengenali Tong Hiang yang ia pernah lihat di
Pay In Nia dan ketahui orang memasrahkan diri dikalangan
yang sesat, dari itu ia bersikap waspada. Ia kuatir Giok Peng
nanti kena dibokong...
Tong Hiang melirik pada Nona Cio. Dia tertawa manis.
"Kelihatannya kalian mencurigakan aku !" katanya.
"Rupanya kalian menganggap Tong Hiang bukan seperti
manusia umumnya ! Aku untuk memberitahukan sesuatu
kepada kau, nona, supaya kalian tak usah melakoni perjalanan
jauh yang tak ada faedahnya, yang akan membuat kalian
membuang waktu yang berharga. Nona mau percaya atau
tidak, terserah !"
Mengatakan tidak, Giok Peng mesti berlaku hati-hati.
"Habis kemanakah pergi Tuan Tio ?" ia tanya. "Dapatkan
kau memberi keterangan padaku ?"
Tong Hiang tertawa geli.
"Demi kitab pedang Sam Cay Kiam. Tuan Tio sudah lihat
wanita itu pergi lari." sahutnya. "Ada kemungkinan dia
mengejar terus ke Hek Kong To !"
Giok Peng melengak. Dia heran berbareng terkejut.
"Tong Hiang !" katanya keras-keras bernada menegur,
"benarkah kata-katamu itu ?"
"Tong Hiang ! Tong Hiang !" demikian terdengar suaranya
si orang tua yang menjadi kawan si budak memanggil-manggil
Dia menahan kudanya tetapi tidak pergi menghampiri. Dia
cuma memutar tubuhnya.
Tong Hiang memutar kudanya, sebelah tangan diulapkan.
"Perkataan budakmu ini nona" sahutnya. "Benar atau palsu
kau pikir saja sendiri. Nah, sampai jumpa pula ! " Lantas dia
mencambuk kudanya yang dikedut dikasihh kabur guna
menyusul si orang tua kawannya itu.
Tak dapat Giok Peng mencegah orang berangkat,
karenanya berdua Kiauw In, ia saling mengawasi. Keduaduanya
terbenam didalam kesangsian : Mana Hiang bicara
benar-benar atau main-main ? Budak itu mendusta atau
bagaimana ? Percaya, mereka sangsi, tidak percaya mereka
ragu-ragu.
Bukankah benar It Hiong tengah menyusul kitab pusaka
guru mereka ? Mengapa It Hiong bukannya menyusul Gak
Hong Kun hanya wanita dari Hek Kong To, pulau ikan Lohan
Hitam itu ? Kenapa kitab jadi berada ditangannya Tan Hong
nona itu ? Bukankah itu buat dipercaya ?
Masih sekian lama, keduanya berdiri diam saja. Mereka
bingung.
Sekarang marilah kita melihat dahulu kepada Tio It Hiong,
sejak saat itu ia kehilangan kitab lima pedang Sam Cay Kiam
yang membuatnya kaget dan berduka bukan main. Itulah
kitab pusaka gurunya. Tak mestinya kitab itu lenyap, lebihlebih
tidak lenyap dari tangannya. Maka keras ia memikir,
menerka-nerka siapa si pencurinya. Ia lantas ingat tiga orang
yang dapat dicurigai, ialah Tong Hiang, budaknya Giok Peng,
Cin Tong dari Hek Kong To dan Gak Hong Kun, sahabat tetapi
saingan dalam percintaan.
"Tiga orang itu memiliki kepandaian akan mencuri Sam Cay
Kiam, " demikian pikirnya, "tetapi diantara mereka bertiga,
cuman Tong Hiang yang pernah mencurinya di Pey In Nia
baru-baru ini. Ketika itu Tong Hing suka mengembalikan kitab
itu sebab dia dinasihati Giok Peng, yang berlaku murah hati
terhadapnya. Mungkinkah Tong Hiang yang datang pula dan
mencuri lagi kitab itu ? Kalau andiakata Cin Tong yang
mencuri, ada kemungkinan dia dianjurkan Tong Hiang atau
diperintah budak itu.
Mengenai Gak Hong Kun, ia lebih-lebih beragu-ragu.
It Hiong jujur, tak berani ia sembarang menuduh orang.
Bukankah Hong Kun muda dan gagah ? Mustahil Hong Kun
mau mencuri barang sahabat baiknya ? Ia menganggap ia
adalah sahabat baik orang she Gak itu. Kalau Hong Kun
mencuri, tak malukah dia menghadapi rekan-rekannya kaum
dunia persilatan ? Kalau tokh benar Hong Kun mencuri, itu
mungkin disebabkan urusan asmara, cintanya terhadap Giok
Peng hingga otaknya menjadi keras. Atau Hong Kun mau
gunakan kitab itu guna memaksa Giok Peng menyerah
terhadapnya.
Satu malam It Hiong berpikir, masih ia belum dapat
mengambil keputusan. Kitab pedang itu tidak cuma
menyangkut gurunya, yang paling penting ialah akibatnya
nanti terhadap dunia persilatan. Celakalah kalau kitab pedang
itu jatuh didalam tangannya orang jahat yang berhasil
mempelajari itu hingga sempurna.
Demikian, walaupun ia belum dapat menerka siapa si
pencuri, mendekati fajar It Hiong meninggalkan Kiauw In dan
Giok Peng kepada siapa ia cuma meninggalkan surat. Ia turun
dari gunung Siauw Sit San. Dengan kepandaiannya lompat
tinggi dan ringan tubuh, didalam waktu tiga jam, dapat It
Hiong turun dari gunung itu, akan tetapi ia mau menduga si
pencuri boleh jadi masih ada didalam wilayah gunung itu,
maka itu ia lantas melakukan pemeriksaan, menggeledah
setiap gua atau bagian rimba yang lebat. Baru sesudah lewat
lohor, karena usahanya tidak memberikan hasil, ia turun terus,
akan melanjuti perjalanannya, sampai akhirnya ia tiba
dikecamatan Tong Hong dimana ia terus mencari rumah
penginapan.
Kebetulan sekali bagi anak muda ini, dari mulutnya jongos
yang melayaninya, ia dapat tahu Hong Kun justru berada
dirumah penginapan yang sama dan mengambil sebuah kamar
diruang belakang. Untuk sejenak, ia menjadi bingung pula.
Segera menemui pemuda she Gak itu atau jangan.
"Apakah baik aku lantas bicara secara terus terang padanya
?" demikian ia berpikir. "Bagaimana kalau Hong Kun mengakui
mencuri dan lalu mengajukan syarat untuk mengembalikannya
? Aku menerima syarat itu atau jangan ? Sebenarnya cukup
asal dia mengembalikan dan kita tetap bersahabat... Hanya
bagaimana caranya aku bicara langsung dengannya ?
Dipihakku, aku tidak punya alasan atau bukti ? Itu artinya
Bielang sahabat berbareng menambah seorang musuh...!"
Kemudian setelah memikir masak-masak, It Hiong putuskan
buat melakukan penyelidikan secara diam-diam.
Pemuda ini memasuki rumah penginapan sesudah lewatnya
jam pertama selesai dia membersihkan muka, jongos sudah
menyediakan barang hidangan. Jongos ini doyan sekali bicara.
Dia omong ini dan itu untuk menarik perhatian si tetamu.
Tentu sekali ia melakukan tugasnya dengan baik itu supaya
orang suka pada penginapannya dan nanti memberi hadiah.
Sayang untuknya, pikiran It Hiong lagi kalut dia dibiarkan
ngoceh sendirian saja.
"Tuan" kata si jongos kemudian sesudah dia melihat
temannya itu agak lagi berpikir keras. Dia pun ingat sesuatau,
"Tuan, apakah sahabat tuan tetamu kami yang tinggal di
ruang belakang itu?"
Benar-benar perhatiannya di anak muda menjadi tertarik.
"Apakah katamu ?" tanyanya.
"Jika tuan bersahabat dengan tuan itu, tuan Gak," kata si
jongos menjelaskan, "harap tuan berlaku hati-hati..."
It Hiong heran hingga ia melongo.
"Apakah artinya kata-katamu ini ?" tanyanya pula.
Senang si jongos yang perhatian tetamunya itu sudah
tertarik.
"Sebab tuan, sebab tamuku itu aneh tabiatnya" dia
menerangkan lebih jauh. "Tuan Gak itu telah menamparku
tanpa aku bersalah. Dia lebih banyak merebahkan diri sambil
mengeluarkan airmatanya. Dia pula mempunyai sejilid kita
yang atasnya bertuliskan empat huruf...."
It Hiong makin tertarik. Hatinya tercekat.
"Apakah kau tahu apa bunyinya ke empat huruf dari buku
itu ?" tanyanya.
Jongos itu mengawasi, dia tersenyum tetapi dia tidak
menjawab.
It Hiong pun mengawasi pelayan itu. Ia cepat menangkap
mau orang, maka ia merogoh sakunya dan mengeluarkan
sepotong perak .
"Kau ambil ini untuk kau membeli arak" katanya. "Sekarang
coba kau pikir, empat huruf itu huruf-huruf apa....?"
Tanpa malu-malu jongos itu menyambut sepotong perak
itu, terus dia masuki kedalam sakunya. Dia tertawa pula.
"Tuan baik sekali !" bilangnya. "Terima kasih banyak !"
Habis berkata tapi dia diam pula. Dia mengasi lihat tampang
sedang berpikir keras.
"Dari emapt huruf itu, aku cuma kenal dua" sahutnya
kemudian. "Itulah dua huruf Sam Cay. Dua yang lainnya aku
tidak kenal..."
It Hiong menerka kepada Sam Cay Kiam. Darahnya lantas
bergolak. Ia mendongkol berbareng berduka hati. Terang
Hong Kun adalah si pencuri kitab, sungguh tak terpikirkan
olehnya ! Hong Kun yang gagah dan bersahabat dengannya !
"Benarkah Hong Kun berbuat demikian hina ?" pikirnya
berulang-ulang. Ia terbengong dalam kesangsian. "Benarkah
dia ada sedemikian tak tahu malu ?"
Selagi si anak muda berpikir keras itu, jongos penginapan
terus berdiri diam.
"Pergilah kau minum arak !" perintahnya. "Aku hendak
beristirahat !"
Mendengar perintah itu, barulah si jongos bebenah dan
mengundurkan diri.
Selewatnya jam tiga sunyi sudah seluruh hotel. Penerangan
di sana sini telah dipadamkan.
It Hiong belum tidur. Ia berlompat turun dari
pembaringannya terus ia menyingsatkan pakaiannya. Dengan
menggendol pedangnya, diam-diam ia keluar dari kamarnya.
Ia bertindak ke ruang belakang. Tak sukar buatnya mencari
kamarnya Hong Kun. Ia berdiri di depan pintu berniat akan
mengetuknya atau ia bersangsi sesaat. Diantara ia dan
pemuda itu ada ganjalan diluar kehendaknya. Diantara mereka
berdua ada budi dan perasaan.....
Tanpa merasa anak muda ini membayangi pula peristiwa di
Lok Tio Po. Itulah hal sangat menyedihkan. Bukankah itu
sama saja ia telah merampas pacar orang ? Hal itu
membuatnya malu kepada dirinya sendiri, ia malu kepada
orang she Gak itu. Sedangkan ketika Giok Peng sakit parah di
Siauw ongpo, Hong Kun juga yang pergi mencarikan obat
hosin ouw, obat mujarab itu. Hong Kun melakoni perjalanan
ribuan lie akan mendapatkan obat itu dari tangan kekasihnya
Perlan Hiong si bunga rajah putih bersih. Jiwa Giong Peng
telah tertolong, itulah budi besar. Hal itu pula membuatnya
sangat mengagumi dan menghormati pemuda she Gak itu.
Lalu terbayang pula peristiwa lain. Kali ini halnya Hong Kun
sudah membinasakan Ciatkang Siang Kiat, kedua jago dari
Ciatkang itu yang mati kecewa. Dalam hal itu Hong Kun sudah
kesudian menjadi kaki tangannya pembesar negeri, sendirinya
menyia-nyiakan dan melenyapkan kehormatannya sebagai
orang Kang Ouw sejati.....
Dan yang terbelakang ini Hong Kun pula tak malu
menyelundup masuk ke Siauw Sit San, ke kuil Siauw Lim Sie,
dan secara tak terhormat sudah memancing Giok Peng
membuat pertemuan rahasia dengannya. Peristiwa itu dapat ia
sudahi, maka ia memaafkan pemuda itu, tetapi apa celaka, dia
justru mencuri kitab Sam Cay Kiam !
Itulah kitab sangat penting karya susahnya dari gurunya,
dan akibatnya dapat merusak rimba persilatan...
Maka ditimbang bolak balik, Hong Kun berbuat lebih
banyak kejahatan daripada kebaikan. Kebaikan terhadap Giok
Peng dan dirinya. Itulah soal pribadi. Menjadi keburukan ialah
bekerja dibawah perintahnya pembesar negara yang borok
dan mencuri kitab ilmu pedang, itulah kejahatan. Dan
akibatnya pencurian kitab ilmu pedang itu, akibatnya dapat
meruntuhkan rimba persilatan.
Akhirnya gusarlah anak muda ini, maka lantas dapat ia
mengambil keputusan. Ia bertindak mendekat daun pintu,
tangannya diulurkan, maka dengan satu suara keras terbuka
dan menggubraklah pintuk kamari itu. Sembari bertindak
masuk kedalam kamar ia berseru : "Kakak Gak, bangun !
Adikmu ingin bicara denganmu !"
Habis berkata ia mengeluarkan sumbunya untuk disulut
menyala hingga kamar itu menjadi terang.
Hong Kun mendusin. Sebenarnya dia terkejut, tetapi segera
ia dapat mengendalikan diri. Dia berlaku sabar sebab ia dapat
mengenali suaranya si pemuda she Tio. Ia bergerak untuk
duduk tak mau dia segera menyingkap kelambu. Dari dalam
kelambu itu dia berkata tenang-tenang. "Kiranya ada tamu
yang datang tengah malam begini ! Tetamu dari manakah
yang demikian baik hati datang menjengukku ? Silahkan
duduk dahulu, hendak aku memakai pakaian !"
It Hiong berdiri, ia menanti sambil mengendalikan diri.
Lewat sesaat maka tersingkaplah daun kelambu. Disitu It
Hiong muncul dengan sikapnya yang tenang. Tentu saja dia
lantas melihat It Hiong yang lagi berdiri tegak dengan wajah
muram, sebab hati si anak muda sedang panas sekali.
"Kiranya kau kakak Tio !" katanya, nadanya dingin. "Kakak
datang secara begini tergesa-gesaan sampai mendobrak dan
merusak pintu tentunya ada urusan sangat penting bukan ?
Saudara ada pengajaran apakah dari kau ?"
Selagi ia berkata-kata itu si anak muda menyantel
pedangnya dipinggangnya.
Walaupun hatinya sedang panas saking gusarnya, It Hiong
tidak berani lantas menuduh bahwa orang telah mencuri kita
ilmu pedang gurunya. Sebisa-bisanya ia menekan hawa
amarahnya itu.
"Aku dengar kakak mempunyai sejilid buku yang bagus,
sengaja aku datang untuk meminjamnya" katanya sabar.
Gak Hong Kun berpura tertawa.
"Aku sedang melakukan perjalanan," sahutnya. "Aku pula
sedang ada urusan sangat penting. Disini dimana aku
mempunyai buku ? Harap saudara Tio tidak salah mengerti."
It Hiong mengawasi tajam.
"Kakak Gak, kaulah seorang jujur, kenapa kau mendusta ?"
tanyanya. Itulah teguran.
Mendadak saja Hong Kun memperlihatkan kemarahannya.
"Saudara Tio, jangan kau memaksa orang !" bentaknya.
"Darimana kau pernah melihat aku memiliki sesuatu kitab ?"
It Hiong juga tak dapat mengendalikan diri lagi.
"Aku paling tak dapat melihat perbuatan tak tahu malu
semacam ini !" ia pun membentak. "Siapa tidak ingin ketahui
perbuatannya, maka janganlah orang melakukan
perbuatannya itu."
It Hiong berlompat maju ke depan pembaringan, ia
menyingkap kelambu dan membongkar bantal kepala.
"Hai perbuatanmu ini perbuatan apakah ?" tegur Hong Kun
gusar. "Aku Gak Hong Kun, biarnya aku muncratkan darahku
dalam lima tindak tak nanti aku membiarkan orang
memperhina diriku macam begini !"
Dan "Sret !" dia menghunus pedangnya.
It Hiong dapat mendengar suara pedang dihunus. Ia
menoleh seraya terus lompat ke samping pintu kamar, dari
situ ia mengawasi bengis pada si anak muda.
"Apakah kau menyangka aku cuma menerka-nerka saja ?"
tanyanya gusar. "Apakah kau kira kau cuma menangkap angin
membekuk bayangan ? Ada orang yang menyaksikan
bagaimana kau menangis dan air matamu bercucuran
sedangkan buku Sam Cay Kiam itu jatuh ke lantai !"
Heng Kun melengak, tetapi hanya sedetik lantas ia
memperlihatkan pula wajahnya yang dingin.
"Memang aku mempunyai kitab semacam itu !" katanya
nyaring. "Aku tidak hendak meminjamkan buku itu padamu,
habis kau mau apa ?"
It Hiong melengak. Ia heran akan sikapnya pemuda di
depannya itu.
"Aku ingat persahabat kita maka juga barusan hendak aku
dari kau, kakak." katanya. Ia menjadi sabar pula. "Tapi baiklah
kakak ketahui, kitab itu kitab karyanya guruku. Kau telah
mencuri itu, bagaimana kau masih hendak menyangkalnya ?
Jika kau tidak mau mengembalikan itu secara baik-baik, maaf,
terpaksa aku akan berlaku kurang hormat terhadapmu !"
Berkata begitu, anak muda ini lantas menghunus
pedangnya, hingga terdengar suaranya yang nyaring anak
muda. Yang pertama dilembah Pek Keng Kok dan yang kedua
kali di gunung Siauw Sit San, maka tahulah ia kelihaian orang
muda itu. Sedangkan Kong Hong Kiam adalah pedang mustika
yang tajam luar biasa. Tapi dialah seorang muda beradat
tinggi, yang bangga akan kepandaiannya sendiri, dia tak takut
! Pula, selama ia gagal dalam urusan asmaranya dengan Pek
Giok Peng, ia pun bersakit hati, dalam kekecewaan dan
mendongkol, ingin ia mengadu kepandaian dengan
saingannnya itu. Sekarang rahasianya dibuka tentang ia
mencuri kitab, kemarahannya sampai di puncaknya. Ia malu
dan mendongkol, ia jadi seperti mata gelap.
"Baiklah, boleh kau andalkan ujung pedangmu untuk
mendapatkan pulang kitab ilmu pedangmu !" teriaknya
menantang. Tapi ia bukan cuma memperdengarkan suara
besar itu, ia bahkan mendahului menyerang. Itulah jurus
"Pohon Bunga Bwe Mengeluarkan Pasu" dan sasarannya ialah
ulu hatinya It Hiong.
Bukan main gusarnya pemuda she Tio itu sebab sudah
terang orang berasal orang toh menyangkal dan mengotot,
lalu diakhir mengaku salah tetapi sudi meminta maaf akan
memperbaiki kesalahannya itu. Dalam murkanya, bersedia ia
melayani orang mengadu kepandaian cuma ia tak mau segera
mengandalkan pedang mustikanya. Dengan masih dapat
mengendalikan diri, selagi tikaman datang ia berlompat keluar
pintu kamar, terus ke halaman yang kosong. Di situ ia berdiri
menantikan.
Hong Kun lompat menyusul. Ia putar pedangnya hingga
sinarnya berkilauan, lalu ia maju untuk menyerang. Dalam
sengitnya, ia menyerang secara berantai hingga tiga jurus.
It Hiong tidak menangkis atau membalas menyerang. Ia
juga tetap belum mau menggunakan pedangnya. Maka itu,
tiga kali ia berkelit terus menerus.
"Kakak Gak" katanya dengan sabar, "jika kau suka
mengembalikan kitabku itu, suka aku memulihkan
persahabatan kita. Kau setuju bukan ?"
Hong Kun tidak menjawab, dia justru menikam.
It Hiong melihat tidak ada tempat lagi buat ia main berkelit
mundur, ia pula sangat memikirkan kitab silatnya. Sampai
disitu habis sudah sabarnya. Maka itu ia lantas berkelit ke sisi
darimana segera ia mulai melakukan pembalasan. Ia menikam
dengan jurus "Kunang-kunang terbang menari-nari". Jurus itu
pula setelah serangannya yang pertama lantas disusul
perubahannya, semua sampai delapan tikaman dan tebasan
lainnya.
Hong Kun dapat berkelit dari serangan yang pertama itu
lantas dia berkelit tak hentinya dengan demikian dengan
sendirinya ia kena terdesak mundur beberapa tindak.
Malam itu si putra malam sudah berada diarah barat,
sinarnya telah mulai sirna. Di tempat itu, es putih beterbangan
menyeluruh. Cahaya pedang yang bergerak tak hentinya
bagaikan memahat diatas es putih itu.
Hebat adalah dua anak muda itu, sama-sama muridnya
jago-jago silat yang kenamaan. Guru mereka ialah Thian Hee
Te It Kiam, jago pedang nomor satu dikolong langit dan Hong
San Kiam Lek, jago pedang dari gunung Hong San. Mereka
pula murid-murid pilihan.
Bentrokan-bentrokan pedang mendatangkan suara sangat
berisik, maka juga banyak tamu-tamu lainnya yang mendusin
dari tidurnya, mulanya mereka terkejut kemudian semua pada
mencari menonton. Hati mereka berkedutan saking hebatnya
pertempuran itu.
Jongos hotel muncul dengan ketakutan, dia merasa jeri
sendirinya. Berulang-ulang dengan tidak lancar dia berkata :
"Tuan-tuan, harap kalian jangan berkelahi disini...."
Tiada orang yang menggubris pemintaan itu. Kedua anak
muda bertarung terus, tetap sama hebatnya.
Kembali si jongos berteriak-teriak, sampai akhirnya
suaranya itu terdengar juga. dengan berbareng kedua anak
muda berlompat mundur.
"Saudara Tio !" kata Hong Kun yang menantang : "Saudara
kalau tetap kau menghendaki kembalinya kitab ilmu
pedangmu kau harus menggunakan kepandaianmu yang
sejati. Jika kau benar bernyali besar, lima hari lagi, aku
menantikan kau diatas gunung Hong San ! Di sana nanti aku
belajar kenal dengan ilmu silat pedang nomor satu di kolong
langit ! Baranikah kau bukan ?"
Habis mengucap itu, sekonyong-konyong Hong Kun
menjejak tanah untuk berlompat naik ke atas genteng guna
mengangkat kaki.
It Hiong lompat menyusul, maka didalam waktu sekejap,
lenyaplah dua bayangan dari mereka, ditelan sang malam
yang gelap itu.
Hong Kun kabur terus menerus, sampai ia beranda diluar
kota Tonghong, Setelah melintasi perjalanan duapuluh lie
lebih, ia berada disebuah jalanan yang sunyi. Sang fajar telah
tiba, maka juga sang surya mulai muncul diufuk timur. Sinar
matahari pagi indah dan hangat, angin pun bertiup halus,
membuat orang merasa nyaman.
Sampai disitu, pemuda she Gak ini tidak berlari-lari lagi. Ia
tidak melihat It Hiong mengejarnya terus. Ia berjalan selama
dua jam, tibalah ia di danau Yo kee cip. Biar bagaimana
hatinya tidak tenang. Rupa-rupa perasaan mengacaukan
otaknya. Ia tidak takuti It Hiong, ia hanya tak tenang hati. Ia
pikirkan Giok Peng. Memang niatnya ialah, dengan mencuri
kitabnya It Hiong, hendak ia gunakan itu guna mendesak dan
mempengaruhi Nona Pek itu. Ia masih menyintai si nona...
Hong Kun adalah sudah berpikir buat kembali ke Siauw Sit
San, supaya ia bisa menggunakan kesempatan akan bertemu
pula dengan Giok Peng. Hanya masih ada juga kekuatirannya
kalau-kalau ia akan kepergok It Hiong, itu artinya berabe dan
maksudnya bakal gagal.
Selagi berpikir itu, pemuda ini sudah sampai di depan
restoran Hok Lay Rejeki. Datang tanpa merasa, ia bertindak
memasuki rumah makan itu. Ia lantas minta barang makanan
dan arak. Ingin dengar air kata-kata ia melenyapkan
kekacauan pikirannya itu. Tentu sekali ia mesti minum seorang
diri. Tak hentinya mulutnya meneguk araknya. Pikirannya juga
tak berhenti bekerja, ia sudah mengiringi lima poci arak tetapi
nasi dan barang santapannya belum pernah tersentuh
sumpitnya....
Sekian lama itu jongos itu selalu mengawasi tetamunya ini.
Ia dapat menerka kenapa orang minum saja tak makan tak
berkata-kata. Akhirnya ia datang menghampiri.
"Tuan !" tegurnya sembari tertawa, "tuan telah minum arak
pilihan kami, silahkan coba juga barang makanan kami yang
lezat-lezat !"
Hong Kun berpaling kepada pelayan itu.
"Tambahkan dua botol lagi ! katanya keras. "Jangan
mengoceh tidak karuan !"
Jongos itu kebengongan.
Justru itu dari meja disampingnya meja Hong Kun itu
terdengar seorang berkata begini : "Arak tidak membuat
orang sinting, orang yang membikin dia sinting sendirinya !
Bunga tidak memelet orang lupa daratan, orang lupa datang
sendiri !"
Orang yang berkata itu adalah seorang imam, tubuhnya
tinggi besar dan kekar, disela leher bajunya tertancap hudtim,
kebutannya. Ditangannya ia memegang sebuah cangkir arak.
Ia dahului kata-katanya itu dengan gelak tawa, habis itu ia
menenggak araknya itu sampai cawannya kering. Lantas ia
berkata pula, menyambungi : "Meletakkan golok jagal,
menoleh ialah tepian... !"
Diakhirnya imam itu mengetuk-ngetuk mejanya, mulainya
memperdengarkan nyanyian perlahan-lahan.
Hong Kun dapat mendengar kata-kata orang itu, tak peduli
ia sedang risau. Ia tahu mengerti maksudnya itu. Telah ia
merasa seperti tertikam. Karena itu ia membentak : "Darimana
datangnya si manusia yang kurang ajar, yang bacotnya
mengoceh tidak karuan ?"
Imam itu seperti tidak mendengar suara orang itu, ia masih
memperdengarkan nyanyiannya, berulang-ulang ia minum
araknya ayal-ayalan, sedang tangannya pun tak berhenti
mengetuk-ngetuk mejanya bagaikan irama nyanyiannya itu...
Hong Kun menjadi habis sabar. Dia menjadi gusar.
"Tutup bacotmu !" ia membentak mendamprat. "Apakah
kau hendak mencoba-coba ilmu pedang Hong San pay ? Mari
bangun !" Dan ia berjingkrak bangun dari kursinya, ia
berpaling kepada si imam sambil matanya mendelik,
mengawasi bengis.
Mendengar tantangan itu, si imam tidak menjadi marah.
Dia malah tertawa lebar sampai suaranya itu terdengar diluar
rumah makan. Dia tertawa sambil melenggak. Setelah
berhenti tertawa, dia berkata : "Seorang anak muda begini
bertabiat keras, itu cuma akan mendatangkan keruwetan
pikiran sendiri ! Buat apa membangga-banggakan ilmu pedang
Hong San Pay ? Buat apa bertingkah pula seperti juga disisimu
tak ada lain orang ? Cobalah kau tanya dirimu sendiri,
dapatkah kau melayani ilmu pedang Khie Bun Pat Kwa Kiam
dari Pay In Nia ? Hahahahahahaha !"
Bukan kepalang mendongkolnya Hong Kun. Dia lantas
mengunjuki tampang takabur.
"Kitab pedang Sam Cay Kiam dari Tek Cio Siangjin telah
berada ditanganku !" katanya jumawa. "Murid terpandai dari
dia itu pun tak mampu merampasnya pulang dari tanganku !
Kau pikir ilmu pedang siapa yang lebih sempurna ?"
"Oh, begitu ?" kata si imam tertawa. "Jangan kau mendusta
dihadapanku Beng Leng Cinjin !"
Gak Hong Kun terkejut. Kiranya orang ini adalah satu
diantara ketiga bajingan dari Hek Kong To. Ia merasa bahwa
ia sudah ketelepasan bicara.
Ketika itu diundakan tanggapun terdengar tindakan kaki
orang. Lantas tampak munculnya seorang wanita muda
pakaian luar biasa, sangat berbeda daripada pakaian wanita
seumumnya sedangkan mukanya terpupurkan medok
makanya itu makin bercahaya disebabkan warna pakaiannya
merah seluruhnya. Nona itu bagaikan mega merah.
Rambutnya yang dikekang dengan gelang emas tergerai
panjang dipunggungnya dimanapun tergendol pedangnya.
Tampak wanita itu sangat centil, matanya memain dengan
tajam. Dia bertindak naik dengan lambat-lambat. Tiba diatas,
lantas dia mengambil tempat duduk. Segera dia memanggil
jongos, minta disediakan barang santapan berikut sepoci arak.
Melihat si nona, si imam tertawa dan menegur : "Eh, nona
Tong Hiang kau juga datang kemari, ya ?"
Tong Hiang demikian nama nona itu, lantas berpaling.
Mengenali Beng Leng Cinjin, ia lantas memberi hormat.
"Karena terlambat oleh sesuatu hal, budakmu jadi lewat
disini" sahutnya. Dia membahasakan diri sebagai budak.
Imam itu menghela napas. Kata ia masgul : "Nona, tolong
kau sampaikan kepada Thian Cio Cianpwe bahwa hatinya
Beng Leng sudah jadi seperti air yang berhenti mengalir
hingga tak ada lagi kegembiraannya untuk turut hadir dalam
rapat besar guna merundingkan soal ilmu pedang di Tiong Gak
nanti. Nah, sampai jumpa pula kelak di belakang hari !"
Berkata begitu, si imam membayar uang kepada jongos
terus ia bertindak pergi. Tapi ia berjalan sambil tertawa gelak
dan mengucapkan : "Meletakkan golok jagal, menoleh..."
Suaranya itu lenyap sendirinya dengan berlalunya semakin
jauh...
Jilid 10
Teng Hiang mengawasi berlalunya imam cabang atas dari
luar lautan itu, baru ia memandang sekitarnya. Ketika itu
tamu-tamu lainnya lagi berkasak-kusuk membicarakan tingkah
lakunya Beng Leng yang mirip orang edan. Dengan melihat
keseluruh ruang si nona jadi mendapat lihat juga pada Hong
Kun, yang duduk tenang-tenang saja, tangannya membolak
balik lembarannya sejilid buku.
Lantas si Nona Tong berbangkit dan bertindak
menghampiri.
"Tuan Gak, masihkah kau mengenali Teng Hiang budak
pelayan dari Lok Tiok Po ?" sapanya.
Hong Kun menoleh. Ia melengak ketika mendengar
suaranya si budak pelayan, lebih-lebih sesudah ia mengenali
nona itu. Mulanya tadi ia tidak memperhatikan, ia tidak
mengenali nona itu karena orang berdandan secara luar biasa
hingga ia beda dengan Teng Hiang semasa dia di Lok Tiok Po
masih mengikuti Giok Peng. Teng Hiang sekarang dan Teng
Hiang dahulu sangat jauh berbeda.
"Apakah Locianpwe Pek Kin Jie di Lok Tio Po ada banyak
baik ?" ia tanya. Ia tanpa menjawab lagi pertanyaan si wanita
muda : "Apakah nona datang kemari untuk mencari Nona Pek
Giok Peng? Benarkah ?"
Mulanya Teng Hiang berdiri di depan orang tapi sekarang,
sebelum menjawab ia lantas menjatuhkan diri, duduk dikursi,
di depan anak muda itu. Ia mengawasi Hong Kun yang
tangannya menggenggam kitabnya itu.
"Nona Giok Peng ?" kemudian ia menjawab, suaranya
bagaikan mengasi. "Sekarang ini nona itu berada di Siauw Sit
San tinggal bersama-sama Tuan Tio ! Merekalah sepasang
burung mandaria yang hidup rukun dan manis ! Dan aku ?
Aku hidup sebatang kara, luntang lantung di dalam dunia yang
luas ini. Mana mereka itu sudi memperhatikan padaku si Teng
Hiang ? Akulah orang yang telah masuk dalam kalangan sesat,
apa perlunya mereka itu memperhatikan lagi padaku ?"
Hong Kun tercengang.
"Kau sudah meninggalkan Lok Tiok Po ?" tanyanya.
Teng Hiang tidak menjawab, ia hanya mengganda tertawa.
Lalu tiba-tiba saja ia meluncurkan sebuah tangannya dengan
sangat cepat, hingga tahu-tahu buku ditangannya si pemuda
sudah berpindah ke tangannya sendiri.
"Kau sedang membaca buku apa ?" tanyanya, tingkahnya
acuh tak acuh, bagaikan orang bergurau. Diapun sudah lantas
membalik lembarannya buku itu.
Hong Kun terkejut sekali. Inilah diluar biasa ia mengulur
tangannya, guna merampas pulang buku itu.
Teng Hiang pun berlaku sangat cerdik dan cerdas, dengan
kehebatan luar biasa juga, ia menarik tangannya yang
memegang buku itu sedangkan dengan tangannya yang lain,
ia menyambar dan mencekal tangan orang !
Hong Kun kaget, ia terasadar dari pusingnya yang
disebabkan arak.
"Kenapa Teng Hiang menjadi begini lihai ?" pikirnya. Lalu ia
kata sibuk : "Pulangkan buku itu padaku ! Aku sangat
membutuhkan buku ilmu pedang itu !"
"Sibuk buat apakah ?" Teng Hiang tanya tertawa. "Aku tak
membutuhkan buku macam begini ! Laginya buku ini pernah
terjatuh kedalam tanganku. !"
Hong Kun tidak menggubris kata-kata orang, dia
membutuhkan sangat kitab ilmu pedang itu, maka tanpa
menjawab, dia meluncurkan pula tangan guna merampas !
Teng Hiang menyambut tangan pemuda itu, hingga dia itu
kaget dan lekas-lekas menariknya pulang. Setelah itu, kembali
ia mencoba merampas.
Teng Hiang berkelit, lantas dia angkat tangan kirinya yang
memegang buku itu.
"Kau kenapa kah ?" tanyanya tawar. "Buat apa kau bingung
tak karuan ? Sudah aku bilang, aku tidak membutuh buku ini !
Hanya terlebih dahulu hendak aku tanya kau ! Kenapa kau
bilang kau sangat membutuhkannya ?"
Hong Kun bilang juga. Si nona terlalu cerdik dan licin. Tapi
ia perlu buku itu ! Lantas ia menggunakan akal. Ia mencoba
cara halus, Teng Hiang tidak dapat dilawan keras. Ia malah
berlaku terus terang !
"Buku ini aku butuhkan supaya aku dapat pakai guna
mendapatkan kembali Giok Peng" sahutnya. "Aku ingin dia
kembali kedalam rangkulanku ! Nah kau pikir, bukankah aku
segera membutuhkan buku ini ?"
Teng Hiang tertawa geli. Ia kembalikan buku itu dengan
jalan melemparkannya.
"Oh !" katanya. "Sungguh tak ku sangka murid Heng San
Kiam kek yang sangat tersohor dalam dunia Kang Ouw tetapi
dia telah menggunakan caranya ini untuk mendapatkan buku
orang ! Inilah cuma demi sang asmara !"
Hong Kun tertawa.
"Kau belum pernah merasai cinta !" katanya. "Kau belum
pernah dilandanya maka kau bicara seenaknya saja !"
Ketika itu jongos datang dengan barang hidangan dan
araknya si nona, yang dia atur diatas meja.
Teng Hiang menuangi arak pada cawannya Hong Kun, lalu
cawanya sendiri.
"Tuan Gak, mari minum !" kta Teng Hiang seraya
mengangkat cawannya itu. "Hari ini hendak aku mewakilkan
Nona Giok Peng menghormati kau dengan satu cawan !" Dan
lantas ia meneguk araknya.
Hong Kun pula tetapi dia menjadi lihai sekali. Inilah sebab
kelakuannya si bekas budak yang demikian bebas tak ubah
dengan lagak laguknya seorang pria.
Demikian berdua mereka makan dan minum.
Selama itu Teng Hiang mendapat kenyataan walaupun si
anak muda sedang kacau pikirannya, dia tetap tampan dan
menarik hati, hingga hatinya tergiur juga maka satu kali
sambil tertawa ia kata :
"Baiklah kau berpijak kepada kata-kata bahwa dari pada
masih mengingat-ingat peristiwa yang lama lebih baik
mengambil orang di depan mata ! Bukankah itu yang terlebih
baik ? Jangan kau kacau sendiri tak karuan !"
Hong Kun mengawasi tajam. Kata dia sungguh-sungguh.
"Tahukah kau akan pepatah bahwa siapa berada di laut, dia
sukar mendapatkan air ? Apakah kau menyangka aku si orang
she Gak seorang biasa saja ? Orang dapat mengatakan apa
juga kepadaku tetapi aku bawa diriku sendiri ! Akan aku
berdaya sampai nanti aku mati.... !"
Lalu ia menghela napas panjang. Keduanya berdiam sekian
lama.
"Habis Tuan Gak" kemudian Teng Hiang tanya, "apa saja
yang kau niat lakukan ? Dapatkah kau beritahukan itu
kepadaku ?"
Hong Kun suka bicara terus terang.
"Aku sudah berjanji dengan Tio It Hiong untuk bertempur
di Hong San" sahutnya. "Selesai mengadu kepandaian, hendak
aku pergi ke Siauw Sit San mencari Giok Peng guna
memberitahukan dia apa yang telah terjadi."
"Kalau tuan mau pulang ke Heng San inilah kebetulan."
berkata si nona. "Itulah jalan yang sama yang aku hendak
ambil ! Bagaimana kalau budakmu ini mengantarkan barang
satu lintasan?"
Hong Kun mengangguk. Itulah tanda ia setuju.
Ketika itu sudah cukup mereka makan dan minum. Lantas
keduanya berbangkit, selesai membayar uang kepada jongos,
mereka bertindak keluar, untuk pergi ke pasar guna membeli
kuda. Dengan demikianlah mereka melakukan perjalanan
mereka.
oooOooo
Satu hari mereka berjalan terus, lalu mereka memutar
menuju ke propinsi Ouwlam. Disini, ditengah jalan mereka
bertemu dengan Cin Tong dan Tan Hong, kedua jago dari Hek
Keng To, luar lautan. Sampai Teng Hiang memisahkan diri dari
si anak muda, untuk ia turut bersama Tan Hong dan Cin Tong
berdua.
Cin Tong dan Tan Hong itu tengah dalam perjalanan
mencari Beng Leng Cinjin kakak merangkap ketua mereka.
Mereka mau membujuki supaya ketua itu suka pulang ke
pulau mereka. Dengan Teng Hiang, mereka dari satu kaum,
maka itu dapat mereka berjalan bersama.
"Adik Teng Hiang" tanya Tan Hong, "tadi kau ada bersama
dengan bocah itu, siapakah dia ?"
"Dialah Gak Hong Kun, muridnya Heng San Kiamkek,"
sahut Teng Hiang. "Tadi aku bertemu dia di Yop Kee jip maka
kami berjalan bersama."
Sekalian bicara, budak yang gemar bicara itu lantas
menutur lakon asmara diantara Giok Peng dan It Hiong,
bahwa karena kedua pemuda itu mengganjal hati satu dengan
lain, maka juga mereka berjanji akan mengadu pedang di
Heng San.
Tan Hong tertawa mendengar cerita itu.
"Aku lihat pemuda itu tampan, kenapa di kena dikalah si
orang she Tio ?" tanyanya. "Kenapakah sampai pacarnya itu
kena orang rampas ?"
"Sayang kau belum pernah melihat Tuan Tio itu, kakak
Hong" berkata Teng Hiang menjawab pertanyaan orang lain.
"Dalam hal rupa dan kepandaian, dia melebihi lain orang satu
tingkat. Dialah yang dibilang, siapa melihatnya tentu
menyukainya ! Tak heran kalau nonaku dahulu tergila-gila
terhadapnya. Kalau kakak bertemu dengannya, pasti kakak
pun bakal kena tersesatkan!"
Tan Hong tertawa pula.
"Adik" katanya, "bukankah kau pun menaruh hati kepada
anak muda she Tio itu ? Benar, bukan?"
Teng Hiang tunduk, lalu menghela napas.
"Inilah yang dibilang, air mengalir bunga gugur dan musim
semi pergi berlalu !" sahutnya. "Aku telah kehilangan
kesempatanku."
"Kalian bangun wanita," Cin Tong campur bicara, "di dalam
hati dan pada mata kalian yang dipikirkan dan terlihat kaum
pria melulu ! Kalian sampai tak memikirkan orang toh ada
masing-masing pikiran dan penglihatannya !"
Tan Hong melirik mendelik pada pria itu, kemudian ia
mengawasi pula Teng Hiang untuk berkata lagi : "Ada pepatah
yang berkata, siapa berjodoh maka walaupun jauh seribu lie,
orang akan bertemu juga akhirnya. Urusan di dunia pun
begitu, berubah tak hentinya, seperti berubahnya awan diatas
langit. Sang waktu, sang kesempatan masih banyak, kau tahu
?"
Teng Hiang terdiam, ia menutup mulut. Ia mengedut tali
kudanya, membikin ia dapat mengasi lari kuda mereka
berendeng dengan jago wanita dari luar lautan itu.
Cin Tong sementara itu sudah membiarkan kudanya lari
disebelah depan, mendahului lima atau enam tombak.
Ketika itu ada permulaan musim panas, kadang-kadang
turun hujan. Bertiga mereka mengikuti jalan besar. Dikiri dan
kanan mereka tampak sawah melulu dengan pohon padinya
yang tumbuh subur seluas hanya bersama hijau segar. Itulah
yang umumnya dibilang, "Di Kanglam rumput panjang burungburung
pada beterbang."
Tang Hong dan Teng Hiong tertarik keindahan alam
persawahan itu, mereka pula bicara banyak, tanpa merasa,
mereka memperlambat larinya kuda mereka.
Tiba-tiba saja muncullah sang angin yang terus meniupniup
membuat ujung baju mereka bermain-main karena
sampokkannya, sedangkan di udara, terlihat perubahan sang
mega, yang dari terang menjadi mendung, sedangkan dari
permukaan bumi lantas muncul hawa panas mengkedus.
Dari sebelah depan lantas terdengar suara nyaring dari Cin
Tong, "Hujan besar lagi mendatangi! Mari lekas kita mencari
tempat meneduh !"
Kedua nona juga melihat bahwa sang hujan bakal lekas
turun, mereka menjadi bingung ! Disitu hanya jalan besar, kiri
dan kanan tampak cuma sawah saja ! Kemana mereka dapat
pergi untuk melindungi diri ? Tidak lain, terpaksa mereka
memecut kuda mereka untuk membuatnya lari terus.
Baru mereka berlari-lari empat puluh tombak, air langit
jarang-jarang sudah mulai berjatuhan. Maka mereka itu
mengaburkan terus kuda mereka, sampai mereka menikung
disebuah tikungan. Sekarang, di depan mereka, mereka
melihat sebuah tanjakan dimana terdapat beberapa rumah
gubuk. Itulah tempat petani menyimpan alat-alat
pertaniannya.
Bertiga mereka kabur semakin keras ke sebuah gubuk.
Hujanpun lantas turun dengan lebatnya. Angin bertiup
semakin keras. Lekas sekali pakaian mereka bertiga menjadi
basah. Barulah itu waktu mereka tiba digubuk itu, yang tak
ada manusianya. Disitu mereka turun dari kuda mereka, buat
berlindung lebih jauh dari sang hujan dan angin. Paling dahulu
mereka mencoba mengurus baju mereka. Disitu mereka pada
berduduk di tanah. Mereka juga tidak berani membuat
tabunan, kuatir nanti kesalahan kena membakar gubuk itu.
Di luar gubuk, sang hujan dan angin dan guntur bercampur
menjadi satu, dan gubuk bergerak-gerak hingga bersuara
berkresekan. Hawa sangat dingin hingga ketiga orang itu yang
pakaiannya basah, menderita gangguan.
Dalam keadaan seperti itu, mendadak ada bayangan
seseorang bergerak masuk kedalam gubuk. Segera ternyata
dialah seorang muda, dipunggung siapa tergondol sebatang
pedang. Dia basah kepala dan pakaiannya sembari menyeka
air hujan pada mukanya, dia kata hormat : "Bolehkah aku ikut
berteduh di dalam gubuk ini..."
Anak muda itu berkata tanpa melihat lagi siapa yang
berada di dalam gubuk itu, ia repot menyeka air hujan dan tak
sempat meneliti orang. Tidak demikian dengan Cin Tong si
Dewa Angin Merah. Dia mengenali orang dengan siapa dia
pernah bertempur di Pay In Nia. Dia bisa melihat tegas, sebab
dia sudah lama berada di dalam gubuk dan mukanya kering
dari air. Lantas dia berlompat bangun sambil menghunus
pedangnya.
Tan Hong tidak kenal pemuda itu, ia tak perdulikan.
Tapi Teng Hiang mengenalnya, dalam girang mendadak ia
berseru : "Tuan Tio ! Oh, kau juga datang kemari ? Benarbenar
di dalam dunia ini di tempat mana saja orang tak
bertemu orang !" Ia lantas bangun berdiri dan bertindak
menghampiri.
It Hiong, demikian pemuda itu telah menyusut bersih air di
mukanya dan menggebruki pakaiannya, terus ia mengawasi
ketiga orang didalam gubuk itu.
"Kiranya Teng Hiang, kau pun berlindung disini." katanya
sabar. Terus ia bertindak ke ambang pintu.
Hatinya Tan Hong tergerak mendengar Teng Hiang
memanggil "Tuan Tio" pada orang yang baru datang itu, tidak
ayal lagi ia lantas membuka lebar matanya dan mengawasi
dengan tajam.
It Hiong mau pergi keluar tapi ia bersangsi. Hujan turun
makin deras.
"Kakak Hiong !" Tan Hong menyapa pula, sekarang sambil
tertawa manis, "apakah kakak tengah menuju ke Heng San ?"
Hatinya It Hiong panas mendengar orang merubah
memanggil ia kakak dan lagu suara orang demikian merdu
dan akrab, ingin ia menegur atau segera ia dapat menahan
sabar. Ia ingat tak perlunya ia bergusar. Teng Hiang pun
bertiga, itulah akan merepotkan ia andiakata nona itu dan
kawan-kawannya bergusar. Untuk mengendalikan diri ia
berdiam saja.
"Kakak Hiong !" Teng Hiang berkata pula, lagi-lagi dia
tertawa. "Teng Hiang toh bukannya orang luar ? Kenapakah
kakak ? Kau nampaknya asing terhadapku ini ! Coba kakak
ingat-ingat, apa yang pernah ucapkan semasa kita berada di
Lok Tiok Po...."
It Hiong berdiam. Ia ingat apa katanya dahulu hari itu.
Memang pernah dia bilang bahwa ia tak membedakan orang,
ia anggap Giok Peng dan Teng Hiang sama saja. Bahkan
ketika itu ia memanggil "adik" pada si budak yang sekarang
telah berubah menjadi begini centil dan genit. Ia menjadi
kurang enak hati karena si budak membangkitnya.
"Jangan kau salah mengerti Teng Hiang." katanya sabar.
"Kalau aku tengah memperhatikan suara urusan, aku tak ingat
lagi lain-lainnya apapula yang telah lama lewat."
Tiba-tiba Tan Hong campur bicara, katanya :"Orang di
dalam dunia ini, makin dia bicara manis, makin ternyata dialah
si orang tak berbudi dan tipis perasaannya ! Adik Hiang, kau
bilang benar atau tidak kata-kataku ini ?"
Berkata begitu ia menatap kepada si anak muda. Makin
lama ia melihat makin nyata pada wajah si anak muda itu.
Teng Hiang berpaling kepada Tan Hong, ia tertawa
perlahan. Kemudian ia menoleh pula pada si anak muda yang
ia awasi.
"Apa yang kau pikir dalam hatimu kakak, semua aku tahu !"
katanya pula. "Bukankah kau sedang menyibuki kitab ilmu
pedangmu yang lenyap itu ?"
It Hiong tidak dapat menyangkal, ia mengiakan.
"Karena lenyapnya kitab pedang itu, hatiku ruwet bukan
main !" sahutnya.
Teng Hiang menatap terus.
"Apakah kakak kuatir nanti tak dapat melayani Gak Hong
Kun ?" dia tanya.
"Itulah bukannya soal tak kau pikirkan itu." sahut si anak
muda. "Aku hanya kuatir kitab itu tidak berada ditangannya
Gak Hong Kun bahwa sebenarnya kau tengah dipancing dia
untuk mendatangi Heng San !"
"Dalam perjalananku ini, di Yo kee cip pernah aku bertemu
Gak Hong Kun." Teng Hiang memberitahukan. "Jangan kuatir
kakak, jangan kau ragu-ragu lagi, kitab ilmu pedang itu
memang berada padanya. Aku telah melihatnya sendiri."
Mendengar keterangan itu yang ia percaya hatinya, It
Hiong menjadi lega. Ia lantas melongok keluar. Hujan sudah
mulai mereda bahkan matahari tampak pula sinarnya. Lalu ia
berpaling pula kedalam hingga sinar matanya bentrok dengan
sinar mata ketiga orang itu. Ketika ia melihat Tan Hong ia
terkejut. Sinar matanya nona itu sangat tajam.
"Nah, sampai kita jumpa pula !" katanya tiba-tiba lantas
tubuhnya mencelat keluar berlari kabur tanpa menoleh lagi.
Tan Hong melongo dan Teng Hiang kecele, Cin Tong
berlega hati sebab ia tak usah bertempur pula dengan pemuda
itu.
Karena hujan sudah reda sekali tinggal gerimis sedikit tiga
orang itupun keluar dari gubuk melanjuti perjalanan mereka.
Hanya kali ini mereka lantas memencar diri . Teng Hiang
hendak mencari Thian Jie Lo jin gurunya, Cin Tong hendak
mencari Beng Leng Cinjin kakaknya itu, batal ia pulang ke luar
lautan. Dan Tan Hong ? Nona ini tak dapat melupakan pula
pada It Hiong yang tampangnya ganteng, yang sikap
duduknya gagah. Maka tanpa mengatakan sesuatu, ia menuju
ke arah Heng San, guna menyusul anak muda itu. Tak tahu ia,
apa ia telah dipengaruhi mata penglihatan pertama kali atau
bukan.
It Hiong sementara itu dihari kedua maghrib sudah sampai
di kecamaTan Hong yang, langsung ia memasuki kota yang
tak besaran juga tak kecil. Di saat itu orang sudah mulai
menyalakan api. Langsung ia mencari rumah penginapan
untuk lantas bersantap, sesudah mana ia menutup pintu
kamarnya untuk menyekad diri dengan beristirahat.
Malam itu lewat tanpa suatu kejadian. Pagi hari It Hiong
sudah mendusin dan terus berkemas, maka dilain saat ia
sudah berada dalam perjalanan ke Heng San. Dari jauh ia
sudah melihat gunung itu dikitari banyak gunung kecil dan
banyak pepohonannya. Nampak gunung itu angker.
Kapan si anak muda tiba di kaki gunung ia menindak. Dari
situ tak tahu ia mesti menuju kemana. Ia tidak tahu dimana
pernahnya gubuk dari Hong Kun atau Hong Kun akan
menantikan ia dibagian mana dari gunung tersohor itu.
Berdiri menjublak saja, didalam hati anak muda ini
mengagumi Heng San, yang lebih dikenal dengan nama Lam
Gak --Gunung Selatan. Gunung itu menyambungi kedua
kawan dan Tiongan san dan Hengen. Ia menerka gubuknya
Heng San Kiam Kek tentunya berada di tempat yang paling
suci atau dipuncak tertinggi. Itulah tempat hartanya Heng San
Kiam Kek It Yap Tojin, mana dapat ia mencari secara
bersahaja ? Kalau begitu ia mesti mendaki semua tujuh puluh
dua puncak Heng San !
Puncak utama ialah Hwe Gan Hong, puncak burung belibis.
Puncak yang tertinggi dan tertutup awan atau halimun yang
mungkin keadaannya lebih berbahaya dari pada Pay In Nia,
tempat bersemayamnya gurunya di gunung Kiu Hoa San.
"Sayang..." katanya masgul. Ia lupa menanya tegas
alamatnya Hong Kun. Terutama ia tak ingat halnya lebih baik
ia ikut atau jalan berbareng dengan pemuda itu.
Di tanah pegunungan itu tak hentinya It Hiong merasai
siurannya angin dan telinganya pun senantiasa mendengari
gemuruh daun-daun pohon cemara serta mendengungnya air
tumpah. Semua itu membuatnya seperti melupakan bisiknya
dunia pergaulan. Ia bukan mau pesiar. Ia toh terpesona akan
keindahan gunung. Walaupun demikian ia memasang mata
untuk mencari jalan mendaki. Itulah pokok tujuannya.
"Baiklah, aku duduk beristirahat dahulu" pikirnya kemudian.
Ia mengharap-harap munculnya seorang tukang mencari kayu
guna dimintai keterangannya. Maka ia menghampiri sebuah
batu di tepi jalan diatas mana ia berduduk.
Sang waktu berjalan tanpa menghiraukan apa jua. Capai
rasanya, tengah hari sudah lewat dan orang mulai mendekati
sang lohor. Gunung tetap sunyi, seorang pun tak pernah
melintas.
Kesabarannya It Hiong tengah diuji. Ia ingin maju tetapi
ragu-ragu. Masih ia duduk berdiam, sampai tiba-tiba ia melihat
seorang bagaikan bayangan tengah berlari mendatangi. Ia
menjadi bersemangat, hingga ia menjadi girang sekali. Bahkan
ia berlompat bangun dan bertindak maju guna memapaki
orang itu.
Hanya sebentar kedua belah pihak sudah datang dekat
atau enam tombak, It Hiong mendapati ia berdiri berhadapan
dengan seorang pendeta yang tubuhnya tinggi besar, yang
parasnya tampan usianya lebih kurang empat puluh tahun.
Orang beribadat itu mengenakan jubah putih dan sebuah
golok Kay co tergantung di pinggangnya. Dia memakai sepatu
rumput dengan apa dia lari keras tanpa menerbitkan suara
berisik. Dia berlari keras tetapi nampak dia bersikap tenang.
It Hiong mengangkat kedua tangannya memberi hormat
pada pendeta itu.
"Selamat siang, taysu !" sapanya. "Aku mohon bertanya,
apakah taysu datang ke Heng San ini untuk mengunjungi
salah seorang pertapa disini ?"
Pendeta itu menghentikan tindakannya dan membalas
hormat. Sebelumnya menjawab, dia mengawasi dahulu si
anak muda melihat ke atas dan ke bawah.
"Maaf sicu" sahutnya, "Sicu menanya begini kepadaku,
entah ada apakah maksud sicu ? Harap sicu sudi menjelaskan
terlebih dahulu."
It Hiong berpikir, "Aku hendak mengadu pedang dengan
Gak Hong Kun, mana dapat kau beritahukan itu pada lain
orang !" Karenanya terpaksa ia mendusta. Sahutnya, "Aku
yang rendah ini datang kemari memenuhi undangannya
seorang sahabat, hanya sayang sekali, aku lupa menanyakan
alamatnya yang jelas. Sahabat itu cuma menyebut saja
gunung Heng San."
Pendeta itu tertawa.
"Sicu kecil nampaknya kau cerdas sekali" kata dia manis,
"kenapa buktinya sicu begini sembrono ?"
It Hiong jengah. Memang ia telah berbuat lalai.
"Taysu benar." sahutnya. "Taysu, apakah taysu ketahui
dimana letaknya tempat bertapa dari Heng San Kiam Kek It
Yap To jin ? Sudikah taysu memberi petunjuk kepadaku yang
rendah ?"
Pendeta itu mengawasi. Nampak dia heran.
"Mohon tanya, sicu kecil." kata ia pula, sebelum ia
menjawab pertanyaan orang. "Bukankah sicu menjadi
muridnya Pat Pie Sin Kit In Gwa Sian ? Pinceng merasa
mengenali pada sicu..."
It Hiong berlaku jujur.
"Sebenarnya aku yang rendah adalah muridnya Tek Cio
Siangjin dari Kin Hoa San" sahutnya, "In Gwa Sian itu adalah
ayah angkatku."
"Amida Buddha !" pendeta itu memuji. "Kiranya sicu adalah
penolong besar dari Siauw Lim Sie! Sayang pada saatnya
terjadi penyerbuan kepada kuil dan gunung kami, pinceng
kebetulan berada didalam perantauan hingga pinceng tak
dapat ketika akan menyaksikan kegagahan sicu itu yang
demikian lihainya ! Sicu adalah kemudian, setelah mendengar
berita tentang penyerbuan itu lekas-lekas pinceng membuat
perjalanan pulang tetapi sesampainya di gunung pinceng
cuma dapat melihat sicu satu kali saja. Hal itu sebenarnya
membuatku menyesal..."
Pendeta itu berhenti sejenak baru ia menambahkan :
"Sekarang ini pinceng tengah menjalankan perintah ketua
kami untuk menyampaikan surat undangan kepada It Yap
Tojin supaya imam itu suka turut menghadiri pertemuan besar
yang bakal diadakan itu. Sebenarnya pinceng melainkan
ketahui It Yap Tojin tinggal di puncak Hee Gan Hong, tetapi
belum pernah pinceng pergi ke sana."
Keterangan itu menggirangkan juga It Hiong.
"Kalau begitu, mari kita pergi bersama !" katanya gembira.
"Dapatkah aku yang muda mengikuti taysu ?" Ia memberi
hormat.
Pendeta itu membalasi.
"Dengan segala senang hati sicu !" katanya. "Balikan ini
membuatku bersyukur dan beruntung!"
"Terima kasih !" kata si anak muda yang lantas melihat
langit. Sang sore lagi mendatangi, "Mari, taysu !"
Tidak ayal lagi, keduanya melanjutkan perjalanan dengan
berlari-larian. It Hiong dari di sebelah depan, si pendeta
mengikutinya. Lewat delapan lie, mereka mulai mendaki dan
jalanan mulai sukar. Mereka maju terus sampai mereka mulai
memasuki tempat lebat dengan pepohonan. Itulah rimba.
Pendeta itu memiliki ilmu ringan tubuh yang tak lemah,
selama berjalan bersama itu ia ketinggalan lebih dari empat
atau lima tombak.
Rimba itu, rimba pohon cemara, panjang lima atau enam
lie, pepohonannya besar-besar dan tinggi hingga umpama
kata menutupi matahari dan tumpukan daun isinya tebal kira
satu dim. Sehabisnya rimba lantas tampak sebuah tempat
terbuka penuh dengan rumput luas dua puluh tombak lebih,
ujungnya lapangan rumput itu adalah jurang yang membuat
jalanan buntu. Disebelah depan jurang ada sebuah puncak
tinggi.
Ketika matahari sudah jauh turun ke barat, karuan
cahayanya terhalang puncak, disitu cuaca mulai gelap. Yang
molos hanya sedikit sinar layung merah.
"Bagaimana, taysu ?" It Hiong tanya, "kita jalan terus atau
cari gua untuk beristirahat ?"
"Pinceng memikir baik kita singgah disini untuk makan
rangsum kering." sahut orang yang ditanya, "habis itu, kita
melanjutkan perjalanan kita. Apakah sicu akur ?"
It Hiong mengangguk seraya terus menghentikan
gerakannya.
Maka itu, diatas rumput mereka duduk numprah. Si
pendeta mengeluarkan rangsum keringnya, untuk mereka
bersantap bersama.
It Hiong menghaturkan terima kasih.
Pendeta itupun mengeluarkan sabuknya buat menyusut
peluhnya.
"Sicu, sungguh hebat ilmu ringan tubuh sicu !" kata si
pendeta memuji. "Tak kecewa yang aku bermandikan peluh
karena telah aku menyaksikan kepandaian sicu itu." Habis
memuji, ia tertawa sendirinya.
It Hiong hendak merendahkan diri ketika ia mendengar
satu suara yang datangnya dari pojok jurang : "Eh, pendeta
hutan, apa yang kau tertawakan ? Menyebut-nyebut ilmu
ringan tubuh itu, apanyakah yang aneh ?"
Ilmu ringan tubuh yang dipuji si pendeta ialah Te In Ciong
atau lompatan Tangga Mega. Dan menyusul kata-kata itu, tiga
orang tampak berlari-lari. Hanya sebentar tiba sudah mereka
dihadapan si pendeta dan si anak muda.
Dari tiga orang itu, yang jalan di muka adalah seorang
dengan alis tebal, mata bundar, kumis janggutnya kaku
bagaikan tombak cagak, brewoknya sampai disisi telinga,
menyambung dengan cacentangnya. Dia mengenakan kopiah
hijau dengan jubah hijau, juga pada pinggangnya terselipkan
joan pian, cambuk lunak terbuat dia besi bercampur baja.
Orang yang kedua tubuhnya sedang dan sudah kepalanya
botak lanang kepala itu pun besar bagaikan gantang, hingga
mirip dengan sebuah labu yang diletaki diatas leher ! Dibawah
sepasang alisnya yang sudah putih terdapat dua biji mata
kecil, mirip mata tikus, yang cahayanya bercilakan. Pakaiannya
ialah jubah kuning sebatas dengkul dan celana kuning juga.
Sebagai senjatanya ialah sepasang roda Jit goan lun yang dia
gendolnya di punggungnya.
Orang yang ketiga adalah seorang wanita muda, nona
dengan usia kira dua puluh empat tahun, bajunya merah tua,
rambutnya yang panjang terlepas, ujungnya dipakaikan gelang
emas, gelang mana ditabur dengan semacam tusuk kundia
burung hong (phoenix). Selagi si nona berjalan, burungburungan
itu bergoyang-goyang. Dia berparas cantik dan ada
sujennya juga. Dia pula bermata jeli, hanya sayang, sinar
matanya tajam entah licik entah genit. Dia membekal pedang,
yang ditaruh dipunggungnya. Rencanya pedang itu, yang
berwarna kuning, memain diantara siurannya sang angin.
Kiranya mereka itu bertiga diantara To Liong To Cit Mo atau
tujuh bajingan dari Pulau Naga Melengkung (To Liong) ialah
bajingan yang nomor dua Lom Hong Huan, bajingan kelima
Bok Cee Lauw dan bajingan bunga Siauw Wan Goat.
To Liong To berada jauh diluar lautan, kenapa ketiga
bajingannya ini berada didaratan Tionggoan? Kenapa
sekarang mereka muncul di Heng San ? Itulah karena ada
sebabnya. Karena mereka tengah ditugaskan kakak atau ketua
mereka bajingan yang nomor satu, guna mengundang It Yap
Tojin yang mau diminta suka masuk ke dalam kalangan Cit
Mo, tujuh bajingan, guna mereka nanti sama-sama
menentang ke empat partai rimba persilatan yang terbesar.
Ketua Cit Mo itu ialah Kung Teng Thian yang namanya
mempunyati arti luar biasa, ialah Teng Thian-Menelan Langit.
Dan pada tiga puluh tahun dahulu bajingan itu pernah
bertemu It Yap Tojin ditengah jalan dimana mereka bentrok
hingga mereka bertempur selama tiga ratus jurus tanpa ada
yang kalah atau menang, hingga kesudahannya mereka
berhenti berkelahi sendirinya dan terus perkelahian itu diubah
menjadi persahabatan. Ketika itu It Yap diundang pergi ke
pula Naga Melengkung dimana ia berdian setengah bulan,
baru ia pulang ke gunungnya.
Cit Mo, Sam Koay dan It Yaw Tujuh Bajingan, Tiga Jin itu
(dan satu Mambang) muncul pula di dalam dunia Kang Ouw
Sungai Telaga, maksudnya ialah untuk kembali menjagoi
rimba persilatan. Toa Mo Kang Teng Thian tahu It Yap Tojin
yang lihai itu memaruahkan diri si lurus dan si sesat,
karenanya mengandalkan persahabatannya, hendak ia
mengundangnya bekerja sama.
Dia percaya imam itu akan menerima baik undangannya
itu. Demikian dia mengutus tiga saudaranya itu mengunjungi
puncak Hwe Gan Hong.
Lam Hong Hoan bertiga sampai di Heng San satu hari lebih
dahulu daripada It Hiong. Mereka bermalam di Go In Ih diatas
puncak. Tempat itu, kuil imam bukan, vihara pendeta Budha
pun bukan. Temboknya yang dibuat dari batu granit
melindungi tiga undakan rumahnya yang dibangun di
pinggang gunung bahagian yang rata tanahnya. Bagian
belakangnya bagaikan menyender pada puncak gunung yang
tinggi. Di bagian depannya ada pemgempangnya buatan
manusia lebar persegi dua puluh tombak lebih yang airnya
didapat dari air gunung yang disalurkan ke situ. Di tengah
empang dibangun sebuah jembatan kecil mungil yang
melengkung bagaikan pelangi. Ujung jembatan yang satu
menghadapi pintu besar, disitu dibuat sebuah jalan yang kecil
yang kedua sisinya ditanami banyak pohon bunga. Hingga
seluruhnya tempat menjadi tenang, nyaman dan menarik hati
terutama bagi mereka yang menyukai keindahan alam.
Ketika mereka itu bertiga sampai di Gio In Ih, justru itulah
saatnya It Yap Tojin belum lama pulang dari Siauw Sit San
habis dia menempur Pat Pie Sin Kit dan terluka karenanya. Dia
lantas duduk bersemedhi untuk memelihara diri. Dia heran
waktu dia mendengar tibanya tamu-tamu dari luar lautan itu,
tetapi lekas-lekas dia keluar untuk menyambut.
Kedua pihak membuat pertemuan di ruang pertengahan,
habis belajar kenal dan minum teh, Lam Hong Hoang lantas
menghaturkan surat ketuanya sambil menjelaskan maksud
kedatangannya itu.
It Yap Tojin tersenyum.
"Sudah tiga puluh tahun kita berpisah, tidak kusangka yang
kakak kalian masih ingat pada pinto." berkata imam lihai itu.
"Sungguh pinto bersyukur sekali ! Hanya sangat disayangkan,
tak dapat pinto menerima baik undangannya ini disebabkan
pinto tengah merawat lukaku. Di dalam hal ini pinto mohon
maaf saja."
"Totiang lihai ilmu silatnya dan nama ilmu pedang Heng
San pun sangat tersohor," berkata Lam Hong Hoan sungguhsungguh.
"Siapakah yang tidak menghormati totiang ?
Karenanya kenapakah kesehatan totiang malah terganggu
hingga kau perlu dirawat ? Sudikah totiang memberikan
keterangan kepada kami supaya pengetahuan kami jadi
bertambah ?"
Sekonyong-konyong It Yap Tojin tertawa keras dan lama
sampai tempat kediamannya itu seperti tergetar. Dengan
tertawa semacam itu ia hendak melampiaskan hawa yang
seperti menutup dadanya. Baru setelah itu ia memberikan
keterangannya.
"Malu untuk menuturkan duduknya hal."kata ia. "Pada
setengah bulan yang baru lalu pinto berada di Siauw Sit San,
di sana pinto sudah beradu tenaga dengan In Gwa Sian si
pengemis bau, kesudahannya kedua belah pihak sama terluka
tubuhnya bagian dalam. Itulah penasaran hebat yang selama
hidupku hendak aku melampiaskan !"
"Si pengemis tua yang bau itu terlalu mengandalkan ilmu
tenaga dalamnya yang dinamakan Sian Thian It Goan Khiekang."
Cit Mo Siauw Wan Goat turut bicara. "Karena itu dia
menjadi berkepala besar, dia berjumawa dan suka berbuat
sekendaknya sendiri. Dia pula pandai ilmu silat tangan Hang
Liong Hok Mo Ciang hoat. Apakah yang aneh dari ilmunya itu ?
Jika dia nanti ketemu kakak tua kami, ilmu tangan kosong Bun
Eng Sin Kun dari dari kakak akan membuatnya hilang muka !"
"Bun Eng Sin Kung" ialah ilmu silat tangan kosong tanpa
bayangan.
Ngo Mo Bok Cee Lauw si bajingan kelima juga turut
mengasih dengar suaranya selekasnya sepasang alisnya
bergerak-gerak. Dia berkata : "Salahnya ialah totiang sangat
bermurah hati ! Coba ketika itu totiang segera menggunakan
ilmu pedang Heng San Kiam hoat, dapatkah si pengemis tuan
yang bau itu meloloskan dirinya ?"
Senang It Yap Tojin mendengar pujian itu, ia sampai
tertawa lebar.
"Ilmu pedang pinto ini," kata ia, "seingatku sudah pinto
yakinkan beberapa puluh tahun lamanya, maka juga pinto
telah memikir buat sekali mengadunya dengan Khie Bun Pat
Kwa Kiam dari Tek Cian Siangjin. Sangat ingin pinto mencari
keputusan dengan Tek Cio siapa lebih tinggi, siapa lebih
rendah..."
Puas Lam Hong Hoang yang katanya telah membangkitkan
hawa amarah tuan rumahnya itu, maka lantas berkata pula :
"Kali ini kami bergerak bersama-sama. gerakan kami ini sudah
menggetarkan seluruh rimba persilatan, maka itu kami sangat
mengharap supaya dengan gerakan ini kita pasti sanggup
membakar topengnya kawanan ke empat partai besar itu yang
memiliki nama kosong belaka ! Oleh karena itu totiang, inilah
saatnya totiang mempertunjuki Heng San Kiam hoat, supaya
dunia tahu dan kaum muda nanti menghargai dan
menghormati totiang !"
"Saudara Lam, berat kata-katamu ini !" berkata It Yap
tertawa. "Nah, totiang kalian sampaikan kepada kakak kalian
itu bahwa selekasnya lukaku sembuh, lantas pinto akan cepatcepat
menyusul ke Tiong Gak untuk di sana pinto menerima
sekalian perintah kalian !"
Itulah pertanda bahwa undangan sudah diterima baik,
maka itu Lam Hong Hoan bertiga girang bukan main. Lantas
mereka menghaturkan terima kasih habis mana mereka
memohon diri. Dan adalah dalam perjalanan pulang itu
ditengah berumput itu bertiga mereka bertemu dengan Tio It
Hiong dan pendeta dari Siauw Lim Sie. Mereka mendengar
disebutnya ilmu Te In Ciong, Tangga Mega, mereka tahu
itulah ilmu kepandaian Tek Cio Siangjin, karenanya mereka
menduga anak muda itu muridnya si imam jago dari Kuil Hoan
San. Mereka galak, mereka menjadi membawa sikap galaknya
itu. Begitulah si pendeta di hina dan ilmu Te In Ciong orang
dipandang rendah.
Kemudian Lam hong Hoan berkata dingin dan takabur :
"Kepandaiannya Tek Cio si hidung kerbau itu tidak berarti ! Eh,
pendeta liar, bagaimana kau dapat memikir memakai
kepandaiannya si hidung kerbau buat menggertak orang ?"
It Hiong menjadi sangat gusar. Mulanya ia sudah menerka
bahwa rombongan itu rombongan manusia kasar, kalau ia
tidak sudi melayani pikir, itulah sebab kedua belah pihak baru
pernah bertemu satu dengan lain, tetapi sekarang di depannya
sendiri orang menghina dan mendamprat gurunya, tak dapat
ia bersabar lebih jauh.
"Hai, roh pergelandangan dan setan durjana, kenapa kalian
mudah saja mencaci orang tanpa sebabnya ?" ia menegur.
"Jika benar kalian mempunyai kepandaian, mari maju untuk
mencoba-coba ! Ilmu pedang Pay In Nia tidak dapat dipakai
menggertak orang tetapi sanggup membuat kepala terpisah
dari batang leher kalian !"
Bok Cee Lauw gusar melewati batasnya, maka lantas saja
dia berlompat maju, sepasang roda Jit Goat Lun dipakai
menghajar lawan. Ia menggunakan ilmu "Menangkal Matahari
dan Rembulan" dan arahnya ialah kedua buah bahu orang !
It Hiong menyingkir dari serangan berbahaya itu, sesudah
itu baru ia menghunus Keng Hong Kiam hingga terdengar
suara anginnya yang kerasa. Ia terus membalas menyerang,
menebas pinggang lawan.
Bok Cee Lauw kaget saking hebatnya serangan itu dia
lompat mundur dua tindak.
It Hiong menggunakan kesempatan yang baik itu, selagi
lawan mundur, ia mendesak.
Syukur bagi Bok Cee Lauw, dia bukan sembarang jago dari
To Liong To, walaupun sudah terdesak, sebab dia kena
didahului dia toh dapat memberikan perlawanan dengan baik.
Dia pandai ilmu "Toi Lui Kang" si Keong, dapat dia sangat
terdesak. Cara berkelahi cocok dengan sepasang rodanya itu.
Biasanya menghadapi musuh lainnya dia sudah berhasil dalam
lima jurus saja. Kali ini dia menghadapi It Hiong, dia repot
sendirinya.
It Hiong berkelahi dengan waspada, sesudah beberapa kali
bacokan atau tikamannya gagal sebab licinnya lawan itu.
Setelah bertempur sekian lama, Bok Cee Lauw lupa yang
pedang lawannya pedang mustika yang tajamnya luar biasa,
untuk membalas mendesak, ia menghajar dengan roda kirinya
disasarkan ke dada lawan itu.
Sekarang tidak ampun lagi, kedua senjata beradu satu
dengan lain. Buat kagetnya si bajingan, ia mendapat
kenyataan rodanya kena ditebas kutung ! Tentu sekali, ia
kaget bukan main.
Ilmu silat yang digunakan Bok Cee Lauw adalah "Matahari
dan Rembulan Berebutan Sinar, ia percaya ia bakal berhasil,
tak tahunya ia sendiri yang juga menjadi sangat kaget. Itulah
meragukannya, sebab gerakan tubuhnya menjadi rada lambat.
Ia mencoba lompat mundur dengan berjumpalitan, masih ia
gagal. Orang tidak dapat melihat bagaimana pedang bekerja
tetapi waktu jago dari To Liong To itu dapat bangun berdiri,
terlihat bajunya didadanya sobek kira tidak dan darahnya
tampak mengucur keluar dari liang robekan itu !
Lam Hong Hoan lantas lompat pada adiknya itu, untuk
memeganginya. Sebab badan si saudara rada limbung.
"Bagaimana, adik ?" tanyanya. "Parahkah lukamu ini ?"
"Tidak apa" sahut sang adik yang nomor lima, nafasnya
mendesak. "Cuma luka ringan saja !"
Hong Hoan lantas memeriksa luka saudaranya itu dan terus
memakaikannya obat.
It Hiong tidak melanjuti serangannya, hanya sambil berdiri
mengawasi, ia kata nyaring : "Jika kalian penasaran, aku
bersedia melayani lagi kalian semua !"
Atas kata-kata berani itu, Siau Wan Goat mengajukan diri
masuk ke dalam kalangan, ia mengawasi si anak muda, yang
ia awasi keseluruhannya, atas dan bawah, habis itu baru kata
: "Suka aku menerima pengajaran dari kau, ingin aku belajar
kenal dengan Khie Bun Pat Kwa Kiam!"
Nona itu berkata sembari tertawa kemudian ia menghunus
pedangnya.
"Cuma sebegini saja ilmu kepandaian dari To Liong To !" It
Hiong berkata pula sama nyaringnya. "Karena pedang Keng
Hong Kiam yang tajam luar biasa baiklah kalian maju beramairamai
saja !"
Siauw Wan Goat tidak menjadi mendongkol atau bergusar,
ia dapat tertawa manis.
"Buat maju berramai-ramai, tak usah !" sahutnya. "Mari kita
bertempur berpasangan saja."
It Hiong mendongkol.
"Budak perempuan !" bentaknya. "Siapa mau berpasangan
denganmu ? Sungguh tak tahu malu!"
Dalam gusarnya, si anak muda lantas mendahului turun
tangan. Ia menikam dengan gerakan "Menyerbu Teras ke
Istana Naga Kuning."
Siauw Wan Goat tidak menangkis, ia hanya berkelit, cepat
dan lincah sekali. Dia memang mahir didalam ilmu ringan
tubuh "Bajingan berkelit". Tahu-tahu dia sudah berada di
belakang lawannya sembari tertawa dia kata : "Hai, murid
terpandai dari Pay In Nia, apakah ini bukan berarti nonamu
berkasihan terhadapmu ? Mana dia ilmu Tangga Megamu itu
?"
Pendeta dari Siauw Lim Sie yang menyaksikan pertempuran
itu kaget sekali. Si nona sangat lihai dan It Hiong terancam
bahaya.
It Hiong terkejut. Memang ia mendapati selagi pedangnya
meluncur, lawan menghilang. Ia tidak sangka orang berkelit
lompat ke belakangnya. Maka selagi orang memperdengarkan
suaranya, ia sudah lantas memernahkan diri agar tidak kena
dibokong.
Siauw Wan Goat licin sekali. Ia berada di belakang orang
tetap ia tidak mau segera menyerang hanya sengaja ia
memperdengarkan kata-katanya itu saat mengejek lawan. Ia
merasa pasti kalau ia menikam lawan bakal menangkis. Itulah
berbahaya buat pedangnya yang akan terancam buntung.
"Rupanya kau jeri kepada pedangku ?" kata It Hiong tawar.
Ia telah memutar tubuh dan melihat si Nona berdiri diam saja
mengawasi ia dengan air mukanya tersungging senyuman.
Nona itu memang cantik menarik. "Apakah baik kita
menggunakan tangan kosong saja ? Dengan memakai
pedangku, kemenanganku bukan kemenangan yang terhormat
!"
Dan lantas ia memasuki pedangnya ke dalam sarungnya.
Siauw Wan Goat melirik. Ia pun memasuki pedangnya ke
dalam sarungnya.
"Begini bagus !" katanya. "Aku memikir akan memakai ilmu
silatku Bajingan Berkelit akan melayani ilmumu Tangga Mega
!"
"Sudah, jangan banyak bicara !" It Hiong membentak. "Kau
majulah !"
Nona itu menerima baik tantangan itu. ia lantas maju
setindak. Itulah gerakan "Bajingan Berkelit" dicampur dengan
ilmu "Seribu Perubahan" !
It Hiong menyambuti serangan si nona. Baru beberapa
gebrakan ia sudah lantas mulai mendapatkan lawan bangsa
lemah itu ternyata sangat gesit dan lincah. Secepat itu Wan
Goat sudah berlompatan ke pelbagai penjuru, tubuhnya
tampak seperti sulala berkelebatan sedangkan kedua belah
tangannya saban-saban menyambar bagaikan bayangan.
"Pasti inilah ilmu silat tercampur ilmu sesat" pikir anak
muda itu yang lantas berkelahi dengan waspada. Tak mau ia
sembarang turun tangan, sebaiknya ia berlaku waspada dan
gesit ! ia pun menggunakan ilmu ringan tubuh Tangga Mega
serta jurus-jurus dari Ilmu Menaklukan Naga Menundukkan
Harimau, Hang Liong Hok Houw.
Itulah pertarungan To Liong To kontra Pay In Nia, tangan
bertemu tangan, ringan bertemu ringan, atau lebih benar lagi,
lurus kontra sesat, hingga seorang biasa saja sukar melihat
siapa yang memukul atau menangkis atau sebaliknya.
Tiga orang yang menyaksikan pertempuran berdiam
dengan kagum, mata mereka tak berkedip.
Saking cepatnya orang bergerak-gerak, jurus-kurus pun
dikasih lewat dengan gencar hingga dari belasan sampai
puluhan lalu naik seratus dan seratus lebih. Sesudah jurus
yang kedua ratus barulah terlihat pihak pria memang unggul.
It Hiong tetap mantap, tidak demikian dengan Wan Goat. Si
nona mulai lamban bergeraknya dan nafasnya mulai
memburu. Nyatalah dia kalah urat.
Lam Hong Hoang berkuatir melihat adiknya kalah angin,
tanpa memikir panjang lagi ia meraba cambuk lunaknya, terus
ia lompat kedalam kalangan pertempuran akan membantui
adiknya itu. Mula kalinya ia menggunakan ilmu cambuk "Kiri
dan Kanan Bertemu Sumbernya", cambuk itu menyambar ke
kiri dan kanan.
Sang pendeta melihat kawannya dikepung, ia pun lompat
maju sambil menggerakan goloknya. Ia tidak puas sebab ia
menyangka orang-orang Kang Ouw itu tak tahu malu sudah
main keroyok.
Hong Hoan terkejut. Segera ia menarik pulang cambuknya.
Kalau tidak cambuk itu bisa terbacok buntung. Ia pun
berlompat mundur. Tak ada niatnya menempur pendeta itu, ia
maju cuma guna meringankan adiknya dari desakan
sipemuda.
Pendeta itu berdiri berdiam. Ia mengawasi lawannya itu, ia
tanya tertawa : "Sicu apakah sicu tak memandang mata pada
ilmu golok Lohan To dari Siauw Lim Pay ?"
Hong Hoan menjawab tenang : "Masih banyak kesempatan
akan belajar kenal ilmu silat golokmu itu, taysu. Sekarang
sudah lewat jam pertama, kitapun berada diatas gunung, aku
pikir baiklah kita mencari dahulu tempat untuk beristirahat Jika
taysu mau memaksakan, baiklah aku Lam Hoang Hoan dari To
Liong To, aku bukannya seorang pengecut !"
Cuma dengan terpaksa Hoang Hoan berkata demikian,
supaya orang tidak tahu halnya ia merasa jeri.
Selama pertempuran terhenti karena aksinya Hong Hoan
itu. Siauw Wan Goat terus memandangi It Hiong sering ia
tampak tersenyum, ada kalanya ia seperti orang
berpenasaran....
It Hiong tidak prai, tetapi ia tidak marah. Kata ia bengis :
"Kalian menerbitkan gara-gara sendirinya ! Kalian cuma
mengandalkan kepandaian kalian ! Nah, sekarang apakah
faedahnya itu ? Pertempuran sudah berhenti masih kalian tak
mau pergi ? Apakah yang hendak kalian nantikan ? Mau
apakah sebenarnya kalian ?"
Siauw Wan Goat yang memberi jawaban. Lebih dahulu, dia
tertawa manis.
"Kapannya kau mempelajari ilmu mendamprat orang
menurut caramu ini ?" dia membaliki. "Bukankah kita
berimbang, tidak kalah dan tidak menang ? Kenapa sekarang
kita tak mau bersahabat saja ?"
Sebelum It Hiong memberikan jawabannya, sang pendeta
dari Siauw Lim Sie sudah mendahuluinya sambil berkata :
"Jika nona sudi merubah cara hidup nona beramai, sungguh,
itulah bukan main bagusnya !"
Tapi Bok Cee Lauw gusar. Kata dia keras : "Kakak kedua !
Adik ketujuh ! Buat apa ngoceh tak karuan dengan ini
kawanan ruh gelandangan dan setan liar ? Mari kita pergi !"
Dia lantas berbangkit untuk terus menuding It Hiong sambil
menambahkan : "Anak busuk, luka tusukan pedang ini akan
tiba saatnya aku perhitungkannya ! Kau lihat saja nanti !" Dia
berkata garang, tetapi dia juga yang mendahului membuka
tindakan lebar, untuk berangkat pergi...
Lam Hong Hoan menyusul saudaranya itu, Siauw Wan Goat
turut pergi sesudah kedua saudara itu pergi setombak lebih
jauhnya, hanya selagi mau memutar tubuh ia melirik It Hiong
dan berkata perlahan sekali : "Aku menyesal sudah tak
bertemu sejak..”
It Hiong membiarkan orang pergi, ia mengawasinya dengan
mendelong meskipun kemudian orang sudah pergi jauh.
Sang pendeta berdehem, kata dia seorang diri : "Segala
kehendak dan napsu, itu semua saitan belaka ! Sang Buddha
kami maha pengasih dan penyayang, pikirnya jernih bagaikan
kaca !"
Mendengar suara itu, hatinya It Hiong tergetar, ia lantas
menoleh kepada sipendeta maka ia melihat orang beribadat
itu sudah duduk bersila diatas rumput, kedua matanya
dipejamkan. Tanpa mengatakan sesuatu ia bertindak
menghampiri lalu dalam detik ia sudah duduk bersila juga,
akan beristirahat bersama.
Lewat jam dua, angin terasa mulai keras, hawa udara
dingin.
Ketika itu cukup sudah It Hiong beristirahat, kesegarannya
sudah pulih. Hanya pikirannya yang belum tenang. Itulah
sebab lantas ia ingat kepada Kiauw In, kepada Giok Peng lalu
Teng Hiang dan Tok Nio Cu Yauw Siauw Hoa. Mereka itu
berlainan tampang dan sifatnya, pertemuannya dengan
mereka pun dalam pelbagai keadaan yang jelas ialah mereka
semua menyintai dan menaruh hati terhadapnya, semua suka
membantu padanya hingga mereka itu pada melupai diri
sendiri. Demi dirinya nona-nona itu berani berkorban apasaja !
Terhadap mereka itu, ia bersukur. Ia bergirang tetapi pun,
ia malu sendirinya. ia menyesal berbareng bersuka cita kalau
ia membayang peristiwa diloteng Ciat Yan Lauw lakonnya
dengan Giok Peng. Syukurlah paman gurunya, In Gwa Sian
suka bertanggung jawab buat kesesatan yang diluar
kekuasaannya itu. Kalu tidak entah bagaimana hebatnya
urusan akan berakhir, ia lalu jagai sikap gurunya. Maka ia
makin percaya gurunya itu pandai meramal.
Tapi lakon asmaranya itu nampak belum juga habis. Diluar
dugaannya, muncul lagi dua orang yang menaruh hati
terhadapnya ialah Tan Hong dan Siauw Wan Goat, satu dari
Hek Keng To, pulau Ikan Lodan Hitam satu lagi dari To Liong
To, pulau naga melengkung. Ia tidak memberi hati kepada
mereka itu berdua tetapi gerak gerik mereka luar biasa. Ia
bertanya-tanya dalam hatinya entah bagaimana gerak gerik
terlebih jauh dari mereka itu, entah bagaimana ia bakal
terlihat atau digerembengi...
Karena Tan Hong dan Siauw Wan Goat muncul paling
belakang, mereka itu masih saja meninggalkan kesan, mereka
itu seperti juga terus berbayang-bayang...
"Ah !...." akhirnya ia menghela napas masgul.
Di saat itu, mendadak It Hiong ingat kitab ilmu pedang
gurunya yang ia keja hilang, yang sekarang berada
ditangannya Gak Hong Kun. Celaka kalau Hong Kun sampai
memepelajari ilmu pedang itu. Sudah ia mendapat malu
akibatnya buat kaum rimba persilatan juga sukar dibayangi.
Bencana apa akan terbit andiakata Hong Kun menjadi kosen
sukar dikalahkan siapa juga ? Bukankah itu berarti bahwa
dialah yang berdosa besar ? Maka itu, kokoh kuatlah tekadnya
untuk mendapatkan kembali kitab pedang itu, tak perduli apa
yang ia bakal lakukan. Ia mesti mencegah ancaman petaka di
belakang hari. Pendeknya Heng San harus dijelaskan
seluruhnya guna mencari Gak Hong Kun.
Karena ini, terbangunlah semangatnya anak muda ini
hingga ia menunjukkan tampang sungguh-sungguh serta
kedua matanya dibuka lebar-lebar. Hingga ia nampak keren
sekali.
Tatkala itu bintang banyak tetapi cahayanya lemah.
It Hiong tengah duduk sambil matanya mengawasi ke
depan, waktu ia dikejutkan oleh berkelebatnya satu bayangan
tubuh manusia, bayangan mana lantas berhenti di depan
sejarak lima kaki.
"Siapakah kau ? " tegur si anak muda sambil ia mengawasi
tajam.
"Bagaimana cepat kau telah melupakan aku ?" ada jawaban
bayangan atau orang di depan itu. Suaranya halus dan merdu.
"Aku Tan Hong.."
It Hiong berjingkrak bangun, ia lantas mengenali si cantik
dari luar lautan itu. Justru baru saja ia memikirkannya.
"Mau apa nona datang kemari ?" tanyanya keren,
tangannya berada pada gagang pedangnya. "Malam ini, angin
keras sekali dan dingin ! Kalau kau tengah melakukan
perjalanan, nah, persilahkanlah !"
Pendeta dari Siauw Lim Sie terbangunkan suara keras si
anak muda. Ia membuka matanya dan melihat. Lantas ia
memuji Sang Buddha.
Tan Hong tertawa walaupun ia telah ditegur. Ia menjawab
manis : "Habis berlindung dari hujan dirumah gubuk itu, aku
lantas menyusul kau. Aku mengikutimu. Bukankah kau hendak
mendaki gunung Heng San buat mencari kitab ilmu pedangmu
itu ? Aku memikirkan tak memperdulikan bencana apa yang
muncul asal bisa membantumu."
It Hiong mengendalikan hatinya, supaya tidak bergusar.
"Kau baik sekali nona, aku menerima baik kebaikanmu itu"
sahutnya sabar. "Tapi kau menganggap baiklah aku jangan
mengharapi bantuan nona itu. Aku merasa bahwa aku sendiri
masih sanggup mencari kitabku itu. Bagaimana dapat aku
merepotkan kau ? Silahkan nona kembali, jangan nona
memikir yang lainnya yang tidak-tidak... Nona tahu, aku putih
bersih, tak dapat aku kasi diriku."
"Hm, orang putih bersih !" berkata si nona hambar. Tetapi
ia tertawa manis, "Kau memang putih bersih, hanya saja,
sesudah di sana ada janji dengan kakak seperguruanmu Cio
Kiauw In, toh masih terjadi juga lakon diatas loteng Ciat yan !
Bagaimanakah itu ?"
Mukanya It Hiong menjadi merah. Ia malu dan
mendongkol.
"Apakah kau datang hanya buat menggodia aku ?"
tanyanya.
Tan Hong tetap tertawa manis.
"Aku mau artikan bahwa kaulah pria yang tak mau menyianyiakan
waktu !" sahutnya. "Aku mau omong terus terang.
Aku Tan Hong, aku dapat berbuat sebagaimana Pek Giok
Peng-satu rupa !"
It Hiong menjadi gusar. Hampir ia habis sabar.
"Budak hina tak tahu malu !" dampratnya.
"Makin lama kau menjadi makin tidak karuan ! Kau mau
pergi atau tidak !" dan ia mencabut pedangnya.
Nona itu tidak mau pergi.
"Aku bermaksud baik" sahutnya, masih membandel.
"Kenapa kau menjadi begini galak ? Buat apakah ?"
It Hiong mengibaskan pedangnya.
"Aku tak perduli kau bermaksud baik !" katanya sengit.
"Soalnya ialah aku ingin berlalu dari sini!"
Nona itu sungguh bandel.
"Kau begini galak" katanya perlahan. "Apakah dengan
begini dapat kau menggertak aku ? Tidak, aku tidak mau pergi
! Ini batang leherku, hendak aku mencoba berapa tajamnya
pedangmu!"
Berkata begitu, Nona Tan bertindak menghampiri si anak
muda, untuk datang lebih dekat !
It Hiong kewalahan. Ia jadi berpikir : "Dia melihat aku, dia
tidak tahu malu, tapi sebenarnya dia tidak bermaksud jahat.
Untuk menyuruh dia pergi tak dapat aku menghajar atau
membinasakan-nya. Bukankah aku seorang laki-laki sejati ?
Bagaimana kalau aku membunuh seorang wanita yang justru
sangat mencintai aku dan minta dicintai ? Apakah orang tak
akan tertawakan aku ? Tak malukah aku ?"
Dalam bingungnya, anak muda ini berdiri diam saja.
Pedangnya telah dikasih masuk pula kedalam sarungnya.
Melihat orang diam saja, puas Tan Hong. Ia tahu bahwa ia
telah peroleh angin. Maka ia bertindak lebih jauh, datang lebih
dekat pada anak muda itu.
"Bunuh, bunuhlah aku !" kata ia sengaja. Ia mengajukan
kepalanya. "Lebih baik aku mati bermandikan darah diujung
pedangmu daripada akan mencari hidup sendiri didalam dunia
ini tetapi tanpa kebahagiaan...."
It Hiong tetap diam. Dilawan bandel dan mengalah itu ia
kewalahan. Apa ia bisa berbuat terhadap wanita yang tidak
mau melawannya ?
Jilid 11
Pendeta dari Siauw Lim Sie itu bingung juga menyaksikan
apa yang dipandangnya itu, ia berkesan baik terhadap
sipemuda. Ia memuji nama Buddha, lalu ia berkata kepada si
nona: “Oh nona apa-apaan kau mendesak begini rupa kepada
Tio Sicu? Kau bermaksud baik terhadapnya, bukan? Kenapa
kau tidak mau menanti sampai Tio Sicu selesai mendapatkan
kitab ilmu pedangnya itu?”
Disebutnya hal kitab ilmu pedang itu membuat It Hiong
terasadar, segera ia menatap Tan Hong, lantas ia berkata
kepada sipendeta: “Taysu, mari kita berangkat!” Dan dia
mendahului lompat turun ketepian jurang!
Pendeta itu menurut, ia lompat menyusul. Maka pergilah
mereka menuju ke Hwe Gan Hong. Mereka tak peduli cahaya
bintang yang guram, mereka jalan hingga tanpa terasa sudah
melalui belasan lie. Angin dan hawa dingin makin menjadi-jadi
tapi itu tak dihiraukan. Mereka maju terus!
It Hiong lari dengan cepat sekali. Tak ingin ia disusul Tan
Hong, ia jengah sendiri.
Dengan petunjuk sipendeta, pada waktu terang tanah, It
Hiong sudah tiba di depan Co In Ih.
Kasihan pendeta itu yang tiba belakangan. Dia bernapas
memburu, peluhnya membasahi kepala, muka dan jubahnya.
“Kita sudah sampai Sicu,” katanya sambil meluruskan
pernapasannya. Hanya waktu masih pagi begini, tak dapat kita
mengganggu tuan rumah. Ia tentu sedang menjalankan
ibadatnya. Baiklah sambil beristirahat, kita menanti sekian
waktu lagi…
It Hiong setuju, ia mengangguk. Lantas ia mencari batu
besar diatas mana ia duduk.
Lewat sekian lama, pintu besar terdengar bersuara terus
terpentang. Diambang pintu muncul seorang kacung imam
yang sebelah tangannya membawa keranjang bunga, dia
langsung berlari-lari ke arah jembatan. Dia melihat kepada
dua orang itu tetapi sambil tunduk, dia lari pergi menghilang
dibalik sebuah tikungan gunung.
“Selamat pagi kakak kecil!” It Hiong berseru menyapa
kacung itu. Ia melompat bangun dan mengawasi sikacung.
“Maaf kakak kecil, aku mohon bertanya, Apakah It Yap
Totiang berada didalam? Kami minta sukalah kau
mengabarkan tentang kedatangan kami ini”
Kacung itu memutar tubuhnya.
“Kau she dan nama apa tuan?” tanya dia.
“Beberapa orang tuan dari To Liong To sudah pergi
meninggalkan gunung Siong San ini…”
“Kami datang dari Siauw Lim Sie,” sambut pendeta
mewakili It Hiong menjawab, “Kami tengah menjalankan
perintah guru kami untuk menemui It Yap Totiang guna
membicarakan suatu urusan.”
Kacung itu bukannya menjawab sipendeta malah
mengomel seorang diri: “Heran! Kenapa dalam beberapa hari
ini Go In Ih mendapat kunjungan sekian banyak orang?”
“Aku bernama Tio It Hiong,” It Hiong memperkenalkan diri,
“Aku datang kemari buat memenuhi janji dengan kakak
seperguruanmu, Gak Hong Kun….”
Kacung itu menggoyang tangannya.
“Aku tidak peduli kalian mencari siapa.” kata dia. “Kalian
tunggu saja sebentar! Aku lagi buru-buru hendak memetik
bunga segar!” Habis berkata dia terus lari pergi.
It Hiong mendongkol. Ia mengawasi kawannya.
“Bocah itu kurang ajar!”
“Kita jangan layani dia,” berkata sipendeta, “Kita tunggu
saja!”
Sang matahari mulai naik tinggi, halimun pagi mulai sirna
dan burung-burung mulai ribut berkicauan memecah
kesunyian pagi.
Kacung tadi tampak lari mendatangi, selagi mendekat dia
berkata: “Maaf aku membuat tuan-tuan menanti lama!
Sekarang juga akan aku kasih kabar pada guruku!” Dan ia lari
mendaki jembatan terus masuk kedalam rumah.
Hanya sebentar kacung itu sudah muncul kembali dan
segera terdengar suaranya yang nyaring: “Bapak pendeta dari
Siauw Lim Sie silahkan masuk untuk minum teh! Dan tuan Tio
It Hiong tamu kami yang terhormat, harap suka menanti
sebentar lagi!”
It Hiong heran, ia menoleh kepada sipendeta yang juga
mengawasinya.
“Taysu, pergilah masuk!” katanya “Urusan Taysu penting
sekali.”
Pendeta itu mengangguk-ngangguk, lantas ia mengikuti
sikacung berjalan masuk. Belum lama ia sudah kembali,
terlihat tegas wajahnya tak gembira, pertanda ia putus asa.
Setelah dekat dengan si anak muda, ia berkata menyesal:
“Sungguh aneh, Ketua kami menulis surat sendiri
mengundang It Yap Totiang tapi ia menampik undangan itu,
bahkan dari lagak suaranya barusan, aku menerka ia justru
akan berpihak kepada pihak lawan! Sekarang pinceng mau
lekas pulang guna menyampaikan berita supaya ketua kami
dapat memikirkan pula bagaimana baiknya. Kalau Sicu masuk
kedalam, waspadalah! Sampai jumpa pula!”
Tanpa berayal lagi pendeta itu berlari-lari turun gunung.
It Hiong menanti sekian lama, kacung tadi masih belum
muncul juga, ia menjadi heran hingga hatinya menjadi tidak
puas.
“Kau tidak mengundang aku masuk, baiklah!” pikirnya
sengit. “Aku akan masuk dengan paksa! Jangan kau katakan
aku tidak tahu sopan santun!” Lantas ia melangkah memasuki
rumah itu.
Diruang tamu keadaannya sunyi. Ruang tamu itu kosong.
Dalam kegusarannya tak sempat lagi ia memperhatikan
perlengkapan ruangan itu. It Hiong berkata nyaring
“Aku Tio It Hiong! Aku datang untuk memenuhi janji!
Suruhlah Gak Hong Kun keluar menemuiku!”
Tidak ada jawaban. It Hiong mengulang tantangannya
beberapa kali! Akhirnya muncul juga kacung tadi.
“Buat apa membuka suara membikin ribut disini?”
tegurnya, “Apakah Go In Ih dapat membiarkan kau berlaku
begini tidak tahu aturan? Kakakku Gak Hong Kun menyuruh
kau menggelinding masuk!” Dan dia lantas lari masuk, sejenak
dia berpaling dan katanya keras: “Apakah kau mempunyai
nyali besar buat turut aku masuk?”
It Hiong tengah panas hati, ia turut masuk tanpa
mengatakan sesuatu. Ia kemudian sudah berada dalam
sebuah kamar mirip obat. Disitu ia mendapatkan It Yap Tojin
tengah duduk bersemedi diatas pembaringan sedangkan Gak
Hong Kun berdiri disisi gurunya. Ia menghampiri pembaringan
sampai dekat, lantas merangkapkan dua tangan untuk
memberi hormat sambil menjura pada imam itu. Katanya: “Tio
It Hiong datang menghunjuk hormat! Semoga totiang sehatsehat
saja!” Biarpun hatinya mendongkol tak mau ia
melupakan adat kesopanan.
It Yap Tojin membuka kedua belah matanya mengawasi si
anak muda.
“Apakah kau muridnya Tek Cio Siangjin dari Pay In Nia?”
tanyanya dingin. “Kenapa kau lancang memasuki Go In Ih dan
membikin ribut disini?”
It Hiong tetap berlaku sabar dan hormat.
“Benar, Tek Cio Siangjin adalah guruku,” sahutnya. “Hari ini
aku datang untuk memenuhi janji kakak Gak, muridmu yang
telah mengundang aku datang kemari. Maksudku ialah buat
mengambil pulang kitab ilmu pedang Sam Cay Kiam karya
guruku. Bagaimana urusan kami berdua hendak diselesaikan
terserah kepada totiang?”
“Hm!” tukas Gak Hong Kun dengan suaranya yang dingin
dan bernada mengejek. Dia mendahului gurunya, “Eh, orang
she Tio, bagaimana kau berani berlaku begini kurang ajar
dihadapan guruku?”
It Hiong tidak menggubris lagak orang itu, ia hanya
berkata: “Saudara Gak, kepribadainmu dan kepandaian
silatmu biasanya aku sangat mengaguminya, tetapi kitab ilmu
pedang guruku telah terjatuh kedalam tanganmu, karena itu
tak dapat tidak, aku mesti datang kemari guna memintanya
pulang dari kau!”
Belum lagi Hong Kun menjawab, gurunya sudah menyela.
Kata It Yap Tojin: “Memang kitab itu menjadi karya gurumu,
tapi aku dengar kitab itu diserahkan kepada anak Hong oleh
salah seorang dari kalian dari Pay In Nia! Maka hak apa yang
kau andalkan untuk memintanya pulang?”
It Hiong melengak, ia menahan sabar.
“Kalau seorang laki-laki berbuat sesuatu, dia mesti lakukan
itu secara baik-baik juga!” katanya, lanjutnya “Saudara Gak,
aku mohon tanya, siapakah yang telah memberikan kitab itu
kepadamu?”
Gak Hong Kun tertawa dingin.
“Dialah Pek Giok Peng?” sahutnya tegas.
Itulah fitnah, maka habislah kesabaran It Hiong.
“Ngaco belo!” bentaknya. “Kau telah curi kitab ilmu pedang
itu! Kau juga yang menantang aku datang ke Hwe Gan Hong
buat mengadu ilmu pedang! Siapa sangka justru mengandung
maksud jahat! Kau sengaja hendak membikin rusak
persahabatan kita! Benarkah kau begini tidak tahu malu?”
“Hei Anak Hong, bagaimana ini?” bentak It Yap Tojin.
“Lekas omong terus terang! kita adalah kaum Heng San Pay,
kita memiliki ilmu pedang kita sendiri! Siapakah yang kemaruk
dengan kitab pedang Pay In Nia?”
Melihat gurunya gusar, Hong Kun membawa sikap hormat
dan sungguh-sungguh.
“Suhu!” katanya, “Anak she Tio ini terlalu mengandalkan
pedang Keng Hong Kiam, sudah berulangkali dia menghina
muridmu ini, maka juga aku telah tantang dia datang
kegunung kita supaya dapat aku mengadu kepandaian pedang
dengannya dihadapan suhu.”
“Hendak aku mencari keputusan siapa menang siapa
kalah!”
Dasar licik, pemuda itu mencoba mengalihkan pertanyaan
gurunya.
Tapi It Hiong tidak puas, ia menegur: “Saudara Gak,
kenapa bicaramu ini seperti menyembunyikan kepala
menongolkan ekor? Bukankah kau menantang aku datang
kemari buat kita mengadu pedang, bahwa sehabisnya itu kau
berjanji hendak mengembalikan kitab ilmu perguruanku.”
“Apakah kau percaya betul bahwa dengan ilmu pedangmu
kau dapat mengalahkan aku?” katanya jumawa. “Jangan kau
terlalu menghina orang!”
Sampai disitu tahulah It Yap Tojin bahwa yang salah ialah
muridnya itu, akan tetapi ia membawa sifatnya sendiri,
menyayangi murid secara keterlaluan dan suka memenangkan
Hong Kun, sedangkan Hong Kun itu murid terasayangnya.
Maka ia lantas minta kitab ilmu pedang itu dari muridnya
kemudian ia berkata: “Siapa benar siapa salah tak usah kita
pertengkarkan lagi! Karena kalian sudah berjanji hendak
mengadu ilmu pedang, baiklah kalian lakukan itu. Aku juga
hendak menyaksikan bagaimana macamnya ilmu pedang Pay
In Nia!”
Berkata begitu, imam ini bergerak turun dari atas
pembaringannya, untuk terus pergi keluar dari kamarnya itu.
Hong Kun mengikuti gurunya, maka It Hiong terpaksa turut
juga.
Disepanjang jalan mereka semua menutup mulut. It Yap
Tojin membawa kedua anak muda itu ke belakang tempat
kediamannya itu, di sana ada sebuah halaman mirip sebuah
taman kecil. Disekitarnya terdapat pot-pot bunga yang terbuat
dari batu gunung dimana tertanam aneka bunga yang indahindah
dan harum baunya.
Ditanah terlihat banyak bunga merah yang sudah gugur.
Dihalaman kosong itu tumbuh rumput hijau luasnya kira-kira
dua puluh tombak persegi.
“Nah, disinilah kalian berdua mengadu ilmu pedang!”
berkata si imam setelah dia menghentikan tindakannya. Siapa
yang menang satu atau setengah jurus saja, dialah yang
mendapatkan kitab ini!”
Terang guru ini memihak muridnya, ia justru memakai kitab
sebagai hadiah!
Hong Kun lantas berkata: “Dia menggunakan Keng Hong
Kiam! Pedang itu tajam luar biasa, kalau pedangku beradu
dengan pedangnya bukankah itu berarti aku rugi dan kalah?”
Tapi It Hiong tidak takut, ia lantas berkata: “Kalau aku
memakai pedangku ini, menangku bukanlah menang dengan
penuh kehormatan. Totiang aku minta sukalah aku
dipinjamkan sebatang pedang yang lain!”
It Yap Tojin tertawa.
“Bagus!” serunya memuji. “Kau memiliki semangat rimba
persilatan!” Dan lantas ia memberi pinjam pedangnya sendiri.
It Hiong menyambut sambil mengucapkan terima kasih,
terus ia maju ketengah lapangan rumput itu. Hong Kun
mengikuti, di depan gurunya dia jadi bernyali besar.
Keduanya sudah lantas menghunus pedangnya masingmasing,
dan langsung mengambil posisinya.
“Kakak Gak, silahkan mulai!” It Hiong berkata. Dalam
mendongkolnya ia tetap membawa prilakunya seorang
terhormat yang tahu sopan santun.
“Maafkan aku!” berkata Hong Kun yang juga berlaku
hormat, hanya begitu dia mengucapkan kata-katanya itu, dia
lantas menyerang dengan jurus “Bangau Putih Melintasi
Sungai”. Pedangnya menebas pinggang lawan. menyusul
mana dia terus menyerang berulang-ulang, tak sudi ia
memberi kesempatan kepada lawannya yang selalu masih
main menangkis dan berkelit, main mundur dan berlompatan
ke kiri dan kanan. Dia pergunakan ilmu pedangnya yang terdiri
dari duapuluh empat jurus secara beruntun!
It Hiong masih menghargai It Yap Tojin. Di depan guru
besar itu, ketua sebuah perguruan, tak mau ia berlaku kurang
hormat atau jumawa, ia menaati pesan gurunya buat berlaku
tenang dan sopan. Untuk menyelamatkan diri dari serangan
lawan, maka ia mempergunakan jurus Tan In Ciong, ilmu
ringan tubuh Lompatan Gesit Tangga Mega. Maka ia terlihat
sangat gesit dan lincah, kemana pedang musuh tiba, dari situ
ia menghilang, tubuhnya bergerak gerak bagaikan bayangan.
Maka dalam waktu yang pendek mereka telah bertempur
tigapuluh jurus lebih. Selama itu, pemuda tuan rumah itu
selalu jadi penyerang dan lawannya hanya membela diri, cuma
beberapa kali saja ia mengancam guna membebaskan diri dari
desakan lawan.
Pedang merekapun sering kali beradu satu dengan yang
lain, memperdengarkan suara nyaring atau memuncratkan
percikan api, hingga pemandangannya menjadi menarik hati,
mirip dengan kembang api.
It Yap Tojin menonton dengan hati puas dan kagum sambil
mangut-manggut. Ia mendapati sepasang anak muda ini telah
mencapai kepandaian yang sempurna. Tentu sekali ia girang
mempunyai murid yang lihai, yang dapat mewarisi
kepandaiannya.
Jurus-jurus berjalan terus. Selama ini, It Hiong tidak lagi
mengalah seperti sebelumnya sebab itu berbahaya. Kalau ia
salah satu tindak saja atau tangannya kurang cepat, ia bisa
celaka. Iapun tidak menggunakan pedangnya sendiri. Dipihak
Hong Kun, ia tak perlu jeri lagi terhadap Leng Hong Kiam
maka hatinya menjadi besar dan tabah. Lagipula di depan
gurunya hendak ia perlihatkan ketangkasannya.
Mereka berdua berimbang, sebab yang satu lunak yang lain
keras. Yang lunak ialah It Hiong. Ia masih berpikir panjang
dan tak mau mengalahkan Hong Kun dengan mudah. Karena
hal itu dapat membuat It Yap Tojin kehilangan muka. Ia mau
mencari kemenangan dengan satu atau setengah jurus supaya
pamornya Heng San Pay dapat terlindungi. Tapi karena hal ini,
ia jadi mesti berkelahi keras sekali, sebab ia mesti meladeni
Hong Kun yang sudah kalap itu.
Dari pertempuran biasa, kedua pihak sudah memasuki
babak dimana tenaga dalam digunakan. Itu bukan lagi pibu
biasa, kali ini mereka berkelahi untuk merampas hidup. It
Hiong dipaksa mengikuti musuhnya, karena ia harus menang
dan tak mau celaka. Maka ia berlaku waspada, awas dan
gesit.
Tibalah saatnya It Hiong membalas menyerang dengan
tebasan “Burung Air Mematok Ikan”
Hong Kun tidak mau menangkis, sebaliknya begitu berkelit
ia mendak, terus membalas dengan jurus “Ular Hijau Melintas
Pohon” Ujung pedangnya lurus mengancam ulu hati lawan.
Inilah saat yang berbahaya buat It Hiong jika tidak mundur
maka dadanya dapat dijadikan sate sedang akibatnya bagi
Hong Kun adalah batang lehernya atau kepalanya terbabas
kutung.
Namun It Hiong benar-benar lihai, tak kecewa ia menjadi
murid terpandai Tek Cio Siangjin. Ia tidak melompat mundur.
Ketika ujung pedang meluncur ia mengangkat sebuah kakinya
mendepak lengan lawan yang dipakai menyerangnya itu,
sedangkan pedangnya diteruskan menabas.
Hong Kun terkejut. Sudah tentu ia terpaksa mesti merubah
jurusnya. Depakan lawan membuat serangan mautnya itu
gagal. Dengan mendak tadi, dapatlah ia melindungi kepala
atau batang lehernya. Tangannyapun tidak sampai keras
terdupak, sempat ia memutar lengannya itu dan
menggunakan pedangnya untuk menyampok pedang lawan.
Buat kesekian kalinya kedua pedang beradu dengan keras.
Selagi pedang beradu, It Hiong tidak berdiam saja. Ia justru
bergerak terus membarengi menyerang pula. Hanya kali ini ia
tidak memakai pedangnya, ia cuma melayangkan kaki kirinya
keiga lawan. Hong Kun terperanjat, tapi dapatlah ia
menyelamatkan diri. Yang terbuka adalah iga kirinya, maka ia
lantas menyampok kaki lawan yang menuju keiganya itu
menggunakan tangan kirinya. Habis itu ia lompat mundur.
It Hiong tidak sudi memberi ampun, ia terus lompat
mengejar untuk menyusul. Ia membacok dengan pedangnya
dengan jurus pedang “Memutar Dunia”, menyusul mana ia
mendesak dengan tigapuluh enam jurus dari Khie bun Pat Kwa
Kiam. Maka itu pedangnya seperti berputaran dengan
senantiasa berkilau tajam. Menyaksikan cara menyerang si
anak muda, It Yap Tojin kagum berbareng terkejut. Ilmu silat
itu hebat dan berbahaya.
Hong Kunpun segera mengeluarkan jurus-jurus simpanan
dari ilmu silat Heng San Pay, guna melindungi diri yang lagi
terancam itu. Ia berkelit, melompat dan mendekam ditanah.
Segala macam gerakan mesti digunakannya untuk meloloskan
diri dari desakan musuhnya. Dia akhirnya berhasil juga
meloloskan diri dengan susah payah, sehingga serangan It
Hiong tidak memperoleh hasil. Namun sekarang hatinya mulai
menjadi ciut. Sekarang ia insyaf benar bahwa kepandaian
lawan lihai luar biasa, sedangkan dahinya telah mengeluarkan
peluh pertanda ia telah mengeluarkan segenap tenaganya.
Selain itu ia juga sadar ilmu silat Heng San Pay juga tidak
dapat dipandang ringan, karena itu timbullah kebanggaan dan
kejumawaannya. Justru begitu timbul pula penasaran dan
gusarnya, lantas ia ingin membuat pembalasan. Begitulah ia
berseru dan menyerang dengan hebat. Ia ingin dengan satu
gerakan saja dapat mematahkan atau mengutungkan pedang
lawan.
It Hiong sendiri telah berbesar hati. Ia telah menang diatas
angin. Ketika ia diserang itu, ia menangkis dan Hong Kun
lantas menempel pedangnya. Menyaksikan demikian, It Hiong
dapat menebak maksud lawan, Hong Kun mau melibat
pedangnya untuk mengadu tenaga dalam supaya pedangnya
dapat dipatahkan. Tak ayal lagi ia mengerahkan tenaga
dalamnya, menyambut tantangan lawan, tenaganya terkumpul
pada pedang dan lengannya.
Selagi pedang pedang saling menempel, pikiran kedua jago
dipusatkan, tangan kiri mereka juga dikerahkan guna
membantu tenaga pada tangan kanan. Kuda-kuda mereka
tertancap kuat. Kalau toh kuda-kuda itu bergerak, itu cuma
untuk memperkuatnya.
Sikacung merebahkan diri di bangku, dia menonton dalam
keheranan dan kekaguman. Satu kali ia bertepuk tangan
saking gembiranya. Kedua pemuda itu sama gagahnya dan
sama pandainya, tetapi It Hiong tetap berada satu tingkat
lebih atas. Dia memiliki tenaga dalam yang luar biasa, sebab ia
pernah meminum darah belut emas. Darah binatang itu
membuat tenaganya bertambah sedang tubuhnya ringan dan
lincah. Ilmu silatnya sendiri oleh gurunya ia diajari tenaga
lunak sedang ayah angkatnya mengajarkan Hang Liong Hok
Mo Kun membuat ia bisa bertindak keras. Dan semua itu
disempurnakan dengan minat, tekad dan tekunnya belajar dan
berlatih.
Berjalannya sang waktu membuat muka It Hiong menjadi
bersemu merah. Itulah bukti dari hebatnya pengerahan
tenaga dalamnya. Walaupun demikian ia tetap tenang dan
waspada, sedang nafasnya tetap seperti semula. Tidaklah
demikian keadaan Hong Kun, mukanya telah berpeluh dan
sekarang ia bermandikannya. Pula tertampak napasnya mulai
memburu. Namun ia tetap bertahan sebab niatnya sangat
keras guna merobohkan lawan yang dibencinya itu. Lawan
yang menjadi saingannya dalam urusan asmara!
Tengah kedua belah pihak ngotot berkutat itu, tak ada
salah satu pihak yang mau menyerah kalah, mendadak dari
luar tembok Pekarangan tampak sebuah bayangan kecil hitam
menyambar kedada Gak Hong Kun, arahnya yaitu punggung
kiri anak muda itu.
It Yap Tojin melihat datangnya serangan gelap itu.
“Anak Hong hati-hatilah! Senjata rahasia!” demikian
teriaknya.
Hong Kun mendengar tegas peringatan gurunya itu, ia
terkejut hingga ia melengak sejenak. Justru detik itu ia
berhenti pula mengerahkan tenaga dalamnya. Maka tak
ampun lagi “Trang!” kutunglah pedangnya. Ia kaget dan
mencelat kesamping dengan begitu berbareng iapun lolos dari
bayangan hitam kecil yang menyambarnya itu. Senjata rahasia
itu melesat terus menancap dinding batu. Ia kaget dan
bergusar, tetapi iapun heran hingga jadi berdiri menjublak.
Parasnya It Yap Tojin guram seketika. Itulah disebabkan ia
menyaksikan pedang muridnya kutung dan ujungnya jatuh
menggeletak ketanah. Tapi senjata rahasia itu ada baiknya
juga untuk menutupi kekalahan muridnya itu.
It Hiong meninggalkan Hong Kun. Ia menghampiri It Yap
Tojin buat memberi hormat, seraya berkata: “Inilah hal diluar
dugaan! Saudara Gak telah kutung pedangnya tapi itu bukan
berarti kekalahannya. Kita belum tentu menang kalahnya.
Maka itu saya yang rendah mohon petunjuk totiang, apakah
mengulangi pertarungan ini atau bagaimana…”
Pertanyaan anak muda itu ada baiknya bagi It Yap Tojin
untuk mengutarakan pikirannya. Dengan sendirinya wajahnya
yang tadinya muram jadi lega. Lantas ia tertawa dan berkata:
“Benar, memang belum ada yang menang atau kalah,tapi
kalian perlu istirahat! Pertempuran kalian demikian lama dan
meminta tenaga berlebihan, baiklah urusan disudahi saja!”
Menutup kata-katanya ini, si imam lantas mengulurkan
tangannya mengembalikan kitab ilmu pedang Sam Cay Kiam.
Hong Kun yang melihat perbuatan gurunya itu sebenarnya
merasa tidak puas, hatinya terasa nyeri tapi ia tutup mulut.
Terhadap gurunya, tidak berani ia banyak bicara. tidak
demikian terhadap lawannya. Maka guna lampiaskan
penasarannya, dengan dingin ia berkata pada It Hiong:
“Memang buntungnya pedang bukan berarti menang atau
kalah! Aku taat pada guruku, maka itu orang she Tio, aku beri
ampun padamu! Nantipun kelak akan datang harinya kita
berdua bertemu pula untuk menuntaskan urusan ini! Kita
berdua tak dapat berdiri tegak bersama!”
It Hiong tidak sudi melayani orang mengadu lidah,
diterimanya kitab pedang itu, ia berseru: “Sampai jumpa
pula!” terus ia memutar tubuh melompat naik melewati
tembok, buat berlalu dari Go In Ih.
Apakah senjata rahasia yang kecil dan mirip bayangan itu?
Siapa yang melepaskannya? Tak lain adalah Tan Hong, salah
satu iblis dari Hek Kong To. Sebab dia terus menyusul dan
menguntit It Hiong, walaupun si anak muda tak suka memberi
muka padanya. Ia mengambil jalan dari belakang Go In Ih.
Jadi kebetulan sekali baginya, segera ia menyaksikan kedua
pemuda itu sedang bertarung. Maka ketika tiba saat genting
itu, saat ia merasa heran, kagum dan berbareng kuatir, ia
memberikan bantuan kepada It Hiong. Dalam hal itu ia sampai
melanggar aturan kaum persilatan. Ia menjemput sepotong
batu krikil, terus ia timpukkan ke arah Hong Kun. Habis itu ia
menunduk untuk sembunyi. Ya sembunyi sambil menonton
terus. Hingga ia menyaksikan kemenangan It Hiong, pemuda
yang ia gilai itu. Dan ketika It Hiong angkat kaki, tanpa ayal
lagi iapun keluar dari tempat persembunyiannya itu guna
menyusul anak muda itu.
Bagus untuk nona itu. It Yap Tojin tidak mencari atau
mengejarnya. Imam itu justru masgul melihat muridnya
berdiam diri saja, mukanya pucat dan tampangnya sangat
lesu, bagaikan orang yang gugur semangatnya.
“Anak Hong” katanya menghibur, “Jangan kau bersusah
hati! Dalam pertempuran siapa menang atau siapa kalah,
itulah lumrah! Jangan kau menggoda hatimu. Nah pergilah
beristirahat…!”
“Kepandaianku tidak berarti, suhu” sahut murid itu
perlahan. “Sekalipun darah bermuncratan aku rela. Cuma aku
menyesal telah dibokong orang dengan senjata rahasia,
hingga pemusatan tenagaku runtuh dan pedang pun patah
kerenanya. Kalau sakit hati ini tak aku balas, mana ada muka
aku menemui banyak orang?”
Mendadak It Yap Tojin seperti disadarkan, maka ia lantas
bertindak ketembok untuk melihat senjata rahasia tadi.
Kiranya itu adalah batu krikil biasa yang terdapat dimanamana.
Karena itu dia jadi menduga-duga, siapa penyerang
gelap itu, serta apa pula maksudnya menenyerang dengan
batu itu.
“Ada kemungkinan penyerang gelap itu sipendeta Siauw
Lim Sie tadi” Hong Kun mengutarakan terkaannya.
“Perasaan aku melihat satu bayangan orang dengan tubuh
langsing” sikacung nyeletuk.
Hong Kun berpikir menerka-nerka. Tak dapat ia
membedakannya. Tapi ia penasaran, maka ia lantas berkata
pada gurunya: ” Suhu, muridmu berpikir untuk turun gunung
guna mencari tahu penyerang gelap itu, untuk membuat
pembalasan!”
Dimulut Hong Kun mengatakan demikian, yang sebenarnya
ialah senantiasa ia ingat Giok Peng, jadi ia ingin pergi untuk
membuat Giok Peng dan It Hiong terpecah-pecah. Ia sendiri
mau jadi sinelayan yang memperoleh hasil tanpa berpikir. Tak
ada niatnya yang keras buat mencari pembokongnya itu…
Biar bagaimana, It Yap Tojin sangat menyayangi muridnya
ini, karena itu tak sampai hati ia mencegahnya.
“Jangan terburu nafsu, anak” kata dia. “Sang waktu masih
banyak! Baiklah kau istirahat dahulu sedikitnya satu malam!
Kau berangkat besok saja!”
It Yap Tojin baru menutup mulutnya, belum lagi muridnya
mengatakan sesuatu, sekonyong-konyong mereka melihat
satu bayangan orang melompat masuk dari atas tembok,
bahkan segera terlihat nyata dialah Teng Hiang si nona manis
yang menjadi centil tingkahnya. Dengan langkah berlenggang,
dia menghampiri It Yap Tojin buat memberi hormat, sambil
bertanya: “Mohon tanya totiang, apakah tuan Tio It Hiong
telah datang ketempat totiang ini?”
Melihat nona itu, Hong Kun menerka dialah sipembokong.
Mendadak ia menjadi marah, tanpa menanti jawaban gurunya,
ia mendamprat: ” Budak nyalimu sungguh besar! Bagaimana
kau masih berani datang kemari dengan lagak pilonmu ini?”
Menyusul sebelah tangannya melayang kemuka orang!
Teng Hiang terkejut. Inilah diluar dugaannya. Tetapi ia
bukan sembarang orang, sempat ia menangkis, tatkala tangan
mereka beradu keras, keduanya sama-sama mundur sendiri
setindak.
“Tahan!” bentak It Yap Tojin, yang terus menatap nona
dengan dandanannya yang luar biasa, sejenak kemudian,
barulah dia bertanya: “Siapakah kau? Apa perlunya kau
datang kemari?”
Diperlakukan kasar oleh Hong Kun dan dibentak imam tua
itu, Teng Hiang tidak gusar, dia tertawa manis.
“Aku yang rendah Teng Hiang, muridnya Thian Cie Lojin,”
sahutnya ramah. Tanpa menanti jawaban si imam, dia
menoleh kepada Hong Kun untuk mengawasi tajam sambil
berkata keren: “Tuan Gak, apakah kau sangka Teng Hiang
adalah orang yang dapat kau hina? Kenapa datang-datang kau
menyerang aku, perbuatanmu sangat kurang ajar!”
Hong Kun gusar.
“Hai, budak!” serunya. “Kau telah membantu Tio It Hiong
membokong aku dengan senjata rahasia, bagaimana kau
dapat mengatakan aku yang kurang ajar? Lihat tanganku ini!”
Kembali dia menyerang!
Dengan gesit Teng Hiang berkelit. Dia menjadi gusar juga,
maka itu alisnya lantas berbangkit berdiri dan kedua matanya
dibuka lebar-lebar.
“Kapan aku bokong kau?” ia tanya bengis, “Jika aku tidak
memandang kepada gurumu, hmmm, jangan kau nanti
katakan aku tidak kenal kasihan!”
Hong Kun bertambah murka, ia melompat maju untuk
mengulang serangannya. Kali ini dia menyerang dengan dua
tangan terbuka.
Teng Hiang telah menjadi seorang yang luar biasa. Didalam
murkanya, ia masih dapat tertawa, maka itu dia marah atau
gusar tampangnya sama saja.
Demikian juga kali ini, dia bukan mendamprat melainkan
tertawa bergelak-gelak, hingga suara tawanya itu
mendengung ditelingnya si anak muda. Sambil tertawa, dia
lantas menyerang si anak muda itu.
Hong Kun lagi gusar, dia melayani. Dengan begitu
bergebraklah mereka bahkan secara hebat.
Lewat sepuluh jurus, Hong Kun menjadi heran. Teng Hiang
sangat lincah dan gesit. Bermacam serangannya juga beda
dari orang kebanyakan, ia menjadi gentar hati dan berpikir:
“Heran budak ini! Waktu lewat belum lama, Kenapa
sekarang dia menjadi begini lihai?”
Diantara muda mudi itu tidak ada sangkut paut juga,
bahkan selama di Lek Tiok Po si, pemuda sebagai tetamu
biasa dilayani sipemudi yang ketika itu masih menjadi pelayan
hingga disaat yang kebetulan dan dia datang tepat saat Hong
Kun baru dikalahkan It Hiong. Sedangkan sipemuda lagi
mendongkol dan bersusah hati, hingga ia disangka sebagai
orang yang membokongnya. Sekarang sesudah bertempur
banyak jurus itu, perlahan-lahan hati Hong Kun berubah,
amarahnya reda, iapun diherankan ilmu silatnya si nona. Maka
itu mendadak ia lompat mundur meninggalkan medan
pertempuran. Diluar kalangan ia diam-diam mendelong
mengawasi si nona.
Teng Hiang tidak lompat menyusul melanjutkan
penyerangan. Dia berdiri diam, balik mengawasi.
“Bagaimana, Eh!” tanyanya tertawa. “Kenapa kau tidak
menyerang terus?”
Hong Kun masih berdiam, dan masih mendelong.
“Tahukah kau akan maksud kedatanganku kemari?” Teng
Hiang tanya pula. Kembali dia tertawa. “Aku datang dengan
maksud baik. Aku mengkuatirkan kalian berdua, supaya
ganjalan dilenyapkan! Aku kuatir sekali disebabkan ilmu
pedang itu kau dan tuan Tio nanti mengadu jiwa! Diluar
sangkaku, kau jadi seperti edan, datang-datang kau
menyerang aku!”
Berkata begitu nona ini berpaling kepada It Yap Tojin,
maka untuk herannya ia mendapatkan si imam sudah
menghilang dari hadapan mereka berdua!
Masih Hong Kun tidak dapat menjawab.
Teng Hiang berkata pula. “Aku kira dapat menebak delapan
sembilan bagian tepat! Aku terus terang! Kau rupanya tidak
mempunyai semangat laki-laki. Itulah cuma sebab kau
kehilangan pacar! Kau tahu, nona kami Nona Giok Peng belum
pernah aku melihat ia berduka seperti kau sekarang ini!”
Hong Kun bingung, orang melukai hatinya dengan
menyebut ia kehilangan pacar!
Iapun berduka. Tiba-tiba tubuhnya menggigil dan akhirnya
dia menghela napas.
“Teng Hiang!…” katanya. “Aku minta janganlah kau
menyebut-nyebut pula hal itu….dapatkah?”
Teng Hiang tertawa geli. Dia bercekikikan. Dia mengawasi
dengan wajah tersungging senyum.
“Tuan Gak!” katanya kemudian. “Baik kau dengar katakataku!
Kau toh laki-laki sejati? Buat apa kau membawa
tingkahnya seorang wanita? Kenapa hatimu sangat mudah
tergerak dan terpengaruh? Bukankah kau kenal dengan
pepatah “Hilang Tong go, dapat Siang Jie”? Kalau kau telah
kehilangan Giok Peng, apakah sudah tidak ada lain wanita
lagi?”
Kata-kata itu ada maksudnya yang dalam dan
diucapkannyapun secara sangat menggiurkan hati. Teng Hiang
cantik manis dan ketika itu Hong Kun merasakan hatinya berat
bagaikan diganduli batu besar, walaupun demikian sebagai
orang yang cerdas, ia tahu apa maksud Teng Hiang dengan
kata-kata itu serta gerak geriknya yang lemah lembut tetapi
menggoda. Di Yo Kue Cip juga pernah ia mendengar nona ini
secara samar-samar mengutarakan suara hatinya itu
terhadapnya. Biar bagaimana hatinya tergerak juga sedikit.
Cuma karena ia bertabiat tinggi dan menganggap diri dari
kalangan atas, mana sudi ia menerima seorang bekas budak
menjadi istrinya? Hanya didetik ini, setelah menerima pukulan
yang keras hingga hatinya berguncang dapatlah ia merasakan
cintanya Teng Hiang itu. Apa juga dibilang, nona ini telah
memberi hiburan terhadapnya dan membantu membangun
semangatnya.
Asmara memang aneh, sehingga orang sukar meloloskan
diri daripadanya, sekali orang telah terlibat susah untuk
melepaskan diri. Diwaktu demikian, orang sukar mengenal
tabiat atau cacat. Demikian pula Hong Kun, cintanya pada
Giok Peng lain, sukanya pada Teng Hiang ini pun lain pula.
Masih sekian lama pemuda she Gak ini berdiam saja. Ia
bukan memikirkan apa baik ia terima cintanya budak ini, ia
justru memikirkan peristiwa di Lek Tio Po bersama Giok Peng.
Ketika itu pergaulan mereka berdua sangat akrab, ia berdiam
tapi matanya menatap nona di depannya ini…
Karena Hong Kun berdiam diri, Ia mengira pemuda itu
sedang memikirkan dirinya sehingga ia bergirang sendiri.
Maka itu ia menghampiri sampai dekat sekali dan
menyenderkan tubuhnya ditubuh si anak muda.
“Kakak Hong…” katanya perlahan.
Hong Kun tengah berkhayal ia sedang bersama Giok Peng,
rasanya manis bukan main. ia terbuka matanya tetapi tidak
melihat jelas orang disisinya itu. Ia mendengar panggilan
“Kakak Hong” dan menyangka itulah suaranya si nona Pek.
“Oh Adik Peng, kau toh datang juga….” katanya, terus ia
mengulur kedua lengannya untuk memegang bahu nona itu…
Disaat ini karena pikirannya terbuka karena ia sangat
girang, maka Hong Kun bebas dari khayalannya dan kagetlah
dia setelah melihat tegas, nona itu bukannya Giok Peng hanya
Teng Hiang sibekas budak!
“Oh!…” serunya sambil ia mencium tubuh orang.
Teng Hiang tak enak hati orang memanggilnya “Adik Peng”
dan bukannya “Adik Hiang”. Setiap orang memang
mempunyai rasa harga dirinya sendiri. Maka itu ia merasa
tersinggung. Ia merasa terhinakan, maka mendadak ia
menghunus pedangnya.
“Mahkluk tak tahu budi!” serunya. “Berani kau menghinaku
sampai begini!”
Kata-kata bengis itu disebabkan hatinya yang panas disusul
dengan tikaman yang dahsyat!
Hong Kun mendengar bentakan dan melihat serangan si
nona, ia berkelit. Namun terlambat sedikit, sebaliknya si nona
bergerak sangat cepat. Tidak ampun pula baginya, bahunya
tergores hingga bajunya sobek dan kulitnya tergores dan
darah mengucur keluar.
“Bagus!Bagus!” bersorak sikacung imam yang
menyandarkan dirinya dipojok. Dia memang belum
mengundurkan dirinya sejak berlalunya gurunya secara diamdiam
tadi.
“Bagus! Habis bertempur lalu berbicara! Habis berbicara
lalu bertempur pula! Bagus!”
Teng Hiang mendongkol mendengar suaranya bocah itu,
mukanya menjadi merah tapi dia bukan marah pada sikacung
melainkan ia justru mengulang serangannya terhadap si anak
muda, dia menikam dan membabat berulang-ulang!
Hong Kun kaget dan gusar, ia anggap nona ini terlalu sesat.
Kenapa dia mudah tertawa dan gampang murka? Kenapa dia
demikian telengas? Maka ia memikir untuk menghajar adat
sekaligus melampiaskan kedongkolannya! Maka iapun lantas
menyerang!
Teng Hiang masih saja gusar, ia menangkis terus
melanjutkan serangannya. Dengan begitu berdua mereka jadi
bertempur, yang satu bersenjata pedang yang lain bertangan
kosong. Yang satu bergusar, yang lain sebab ingin
melampiaskan kedongkolannya dan ditambah lagi salah
mengerti. Maka keduanya jadi seperti juga musuh bebuyutan
dan ingin mengadu jiwa secara sengit.
Tengah orang bertempur seru itu, satu bayangan orang
melompat datang untuk memisahkan.
“Berhenti!” bentak bayangan itu.
Dialah It Yap Tojin yang muncul secara tiba-tiba.
Satu gempuran telah membuat kedua muda mudi ini
mundur dengan sendirinya, hingga mereka dapat melihat si
imam berdiri dengan wajah muram saking gusarnya.
“Kau datang buat mencari Tio It Hiong atau sengaja untuk
mengacau disini?” tanya si imam itu bengis, dia menatap dan
menunding si nona.
Mulanya Teng Hiang melengak, lalu dia tertawa dingin.
“Terserah padamu, kau mau bilang apa!” jawabnya berani.
It Yap masih dapat menyabarkan diri.
“Jika maksudmu mencari It Hiong” katanya, “Suka aku
memberi petunjuk, bocah itu sudah mendapatkan kembali
kitabnya dan sudah berlalu dari gunung ini!”
Teng Hiang tertawa.
“Sebenarnya ini harus dikatakan siang-siang!” katanya.
“Hanya ini muridmu….”
“Masih kau tak mau pergi!” It Yap membentak. “Jika aku
tidak memandang muka gurumu, hari ini tak usah kau harap
bisa berlalu dari gunungku ini dengan masih hidup!” Ia lantas
menoleh kepada muridnya untuk menambahkan: “Anak Hong,
kau masuklah untuk beristirahat!”
Teng Hiang tidak menggubris guru dan murid itu, dia
menunding Hong Kun sambil berkata keras: “Orang she Gak!
hari ini kau menghina aku begini rupa, kau lihat nanti!” Lalu
dengan satu enjotan tubuh dia melompat pergi melintasi
tembok dan menghilang.
Hong Kun berjalan terus kedalam dan gurunya berdiam
saja.
Sementara ini marilah kita melihat It Hiong yang berlalu
dari gunung Heng San dengan membawa kitab ilmu pedang
gurunya. Ia girang sekali sebab akhirnya ia bisa mendapatkan
kembali kitab itu. Ia melakukan perjalanan dengan cepat.
Tengah malam dilewati dalam perjalanan, maka setelah tiba
sang pagi ia telah berada di kaki gunung Heng San
dikecamatan Heng Yan.
Cara berjalannya anak muda ini yang tak perduli waktu
siang atau malam, menyulitkan Tan Hong yang terus mengintil
di belakangnya. Dia mahir ilmu ringan tubuh, tapi dibanding
dengan It Hiong ia masih kalah satu tingkat. Dilain pihak
sipemuda juga melakukan perjalanan dengan hati terbuka
hingga dia bagaikan dapat tambahan tenaga. Dia tidak
menghiraukan jalanan sukar. Maka itu waktu sampai
dikecamatan itu napasnya si nona tersengal-sengal dan
peluhnya membasahi seluruh tubuhnya.
It Hiong lantas mencari rumah penginapan. Ia minta
sebuah kamar. Baru sekarang ia mikir buat istirahat. Maka ia
minta barang hidangan untuk mengisi perutnya. Terlebih
dahulu ia hendak membersihkan tubuh baru bersantap terus
merebahkan diri untuk istirahat. Ia tidak biasa minum, tapi kali
ini ia minta arak untuk membantu memulihkan kesegarannya.
Selama memesan barang makanan itu, ia menggantungkan
pedangnya didinding terus ia membuka baju luarnya. Kitabnya
ia simpan dibaju dalam, lalu ia mengunci pintu buat mandi.
Mirip alap-alap Tan Hong senantiasa memasang mata. Ia
melihat si anak muda memasuki penginapan, tahulah ia
bahwa orang mau istirahat.
Ketika itu masih pagi, diam-diam dia girang sekali. Tak
nanti kau terbang lolos, pikirnya.
Diwaktu pagi itu, lalu lintas sudah ramai. Supaya tidak
mendatangkan kecurigaan, si nona berjalan perlahan-lahan
mendatangi rumah penginapan itu. Tadinya ia ketinggalan
jauh, dari itu ia mengintainya dari jauh juga.
Sebagai seorang yang sering merantau, ia tahu bagaimana
harus berbuat kalau orang memasuki rumah penginapan.
Demikianlah, ketika ia bertindak masuk dihotel, tanpa menanti
orang menyambutnya dan bertanya dia membutuhkan apa,
dia melempar sepotong perak keatas meja sambil berkata:
“Inilah untuk kalian minum arak!” kemudian menambahkan:
“Barusan anak muda yang membawa-bawa pedang itu, dia
mengambil kamar mana?”
Pengurus hotel menyambar uang sambil tertawa manis.
“Nona mau cari tuan itu?” katanya. “Mari aku antarkan!” Ia
pun menyebutkan kamar It Hiong.
“Tak usah” kata si nona tertawa, “Cukup asal menyediakan
kamarku disebelah kamarnya.”
Tan Hong duduk dalam kamarnya sambil berpikir
bagaimana caranya ia nanti mencuri kitab pedangnya pemuda
itu.
Tak lama terdengar suara jongos, mendadak Tan Hong
dapat satu pikiran. Ia bangkit dan menghampiri jongos itu.
“Memangnya tuan Tio pergi kemana?” tanyanya tertawa
manis. “Apakah ia sedang tidur?”
Jongos itu mengenali nona yang memberi persen, dia
tertawa dan menjawab: “Tadi aku lihat dia pergi kekamar
mandi, tak nanti dalam waktu sependek ini ia sudah tidur.
Mungkin dia sedang mandi.”
Matanya si nona berputar.
“Kalau begitu baiklah barang hidangan ini kau bawa
kekamarku” katanya tersenyum, “Kalau kau suguhkan
sekarang, nanti keburu dingin, buat dianya kau dapat
menyediakan yang baru lagi.”
Berkata begitu, Nona Tan menyodorkan sepotong perak.
Melihat uang, bukan main girangnnya si jongos.
“Baik, nona baik!” katanya, lalu terus ia sajikan barang
makanan itu dikamarnya si nona. Habis itu ia pergi keluar.
“tunggu!” si nona memanggil.
“Ada apa nona?” tanya jongos itu, dia berhenti dan
menoleh.
“Aku tidak minum arak” kata si nona itu. “Maka itu, kalau
sebentar kau membawakan barang makanannya tuan Tio itu,
kau mampir kesini untuk mengambil arak ini.jadi tak usah kau
mengambil arak yang baru.”
“Baik nona!” kata jongos itu dan terus berlalu.
Tan Hong menutup pintu kamarnya. Ia hanya berpikir
sejenak, langsung dikeluarkannya pat po long, kantong
“Delapan Mestika” atau tegasnya kantong serba guna. Sebab
disitu ia simpan segala macam barang yang ia butuhkan dalam
perantauan, hanya kali ini ia mengeluarkan satu botol obat
tidur, yang ia tuangkan sedikit isinya kedalam poci arak. Ia
hendak mencuri kitab itu disaat It Hiong tidur dengan lupa
daratan! Dan dengan memegang kitab itu, ia hendak
mendesak dan memaksa si anak muda suka mengikuti
kehendaknya…
Tak usah terlalu lama nona ini berdiam didalam kamarnya
karena ia mendengar suara dari dibukanya pintu kamar
sebelah. Lekas lekas ia mengintai. Tahulah ia si anak muda
sudah kembali kekamarnya. Maka ia merapati pintu kamarnya
sendiri dan duduk menanti di muka pintu, menanti si jongos
datang mengambil arak. Ia menanti supaya jongos itu tak
usah mengetuk pintu kamarnya.
Kali inipun ia tak usah menanti lama. Segera ia mendengar
jongos mendatangi membawa barang makanan. Ia
mendengar sebab jongos itu berjalan sambil bernyanyi
perlahan, rupanya karena girang sekali sudah mendapat
persenan. Ia menggapaikan tangannya dan suruh si jongos
menanti. Ia malah memberi isyarat buat jongos itu menutup
mulut. Dengan cepat ia menaruh guci arak keatas nampannya
si jongos yang terus masuk kekamarnya It Hiong.
Si anak muda sedang lapar, selekasnya jongos menyajikan
barang makanan, ia lantas makan dengan lahapnya. Ia tidak
menenggak arak. Ia tidak biasa minum. Ia lupa araknya itu,
walaupun minuman itu tersedia diatas mejanya. Habis minum
air, ia naik kepembaringan tanpa membuka baju luar lagi,
terus tidur.
Tan Hong menanti sekian lama, sampai ia tak mendengar
suara apa juga dikamar sebelah. Ia percaya orang tentu sudah
tidur nyenyak disebabkan bekerjanya obat pulas. Tanpa ayal
lagi, ia pergi kekamar sebelah itu, Ia membekal pisau belati.
Ingin dia mencongkel pintu dengan memakai pisau itu. Namun
ia girang ternyata daun pintu cuma dirapatkan. Maka, mudah
saja ia masuk kedalam kamar orang.
“Orang lalai!” katanya dalam hati. Ia tersenyum. “Orang
Kang Ouw tak boleh teledor begini, sampai pintu kamar lupa
dikunci. Kalau ada musuh datang bukankah itu berarti
celaka?”
Berada didalam kamar Nona Tan lantas melihat kesegala
arah. Ia melihat poci arak masih ada diatas nampan. Ia sangat
teliti, maka ingin ia tahu apakah si anak muda sudah
menenggak arak berapa banyak. Ia menghampiri meja, ia
jemput poci arak itu untuk diperiksa. Ia melengak arak itu
belum diminum sama sekali.
“Ah, dia sangat cerdik…” pikirnya. Maka terhadap It Hiong
ia penasaran berbareng menyukai, sebab tipu dayanya gagal.
Ia suka karena anak muda itu tampan, gagah, jujur dan
cerdas.
Lekas-lekas Tan Hong kembali kekamarnya. Ia merebahkan
diri sambil berpikir, bagaimana ia harus bekerja supaya kitab
pedang itu dapat pindah ketangannya? Kitab itu tak nampak,
tentunya kitab berada dalam saku baju si anak muda. Tak
berani ia sembarang meraba tubuh anak muda itu. Pasti ia
bakal terasadar dengan kaget. Ia menengadah kelangit-langit
kamar untuk mengasah otak. Sampai lama masih belum ia
memperoleh akal. Letih otaknya, maka tanpa terasa iapun
ketiduran dengan pulasnya. Memang ia sendiripun letih, tak
heran kalau ia tidur lama. Waktu mendusin sendirinya, itulah
waktunya lampu dinyalakan. Sang malam telah tiba.
“Ah!” ia menyesalkan dirinya sendiri. “Aku pun lalai!” Tapi
yang membuat hatinya kuatir ialah kalau-kalau It Hiong sudah
melanjutkan perjalanannya! Maka ia lantas keluar kamarnya
untuk melongok kekamar sebelah. Dikertas jendela dari kamar
It Hiong tampak sinar api lilin yang bermain tak hentinya.
Seketika itu legalah hatinya. Api lilin itu menjadi tanda bahwa
si pemuda belum berangkat pergi.
Sang waktu berjalan terus, tiba waktunya penerangan
dipadamkan. Sang malam pergi, sang tengah malam datang.
Seluruh halaman hotel gelap dan sunyi. Malam memangnya
gelap.
Tan Hong menanti saatnya, lantas ia turun dari
pembaringannya. Dari kantung wasiatnya ia menarik keluar
serupa barang. Lalu dengan kertak gigi, ia berkata perlahan:
“Kau cerdik dan waspada, kau tidak minum arak, tapi aku mau
lihat apa kau dapat lolos dari asapku, inilah si “Tidur
Nyenyak!”
Si “Tidur Nyenyak” atau Hauw Bong Jie adalah semacam
hio atau dupa istimewa buatan kawanan dari Hek Kang To,
Pulau ikan lodan hitam itu. Kalau hio itu disulut, asapnya
berbau harum, tapi siapa kena sedot asap itu, meskipun
sedang tidur maka dia bakal kontan tidur nyenyak. Lupa
segala hal, sesudah lewat dua jam dia akan mendusin sendiri.
Siapa menyedot hio dan kemudian mendusin, sesudah
terasadar dia masih tak merasakan sesuatu hingga dia tak
tahu baahwa dia telah kena asap itu.
Demikian dengan membawa dupanya itu, Tan Hong
menghampiri jendela kamar It Hiong. Disulutnya hio itu dan
dimasukkannya kedalam kamar itu. Ia menanti sekian lama,
sampai ia merasa obat pulas itu sudah bekerja. Perlahan-lahan
ia membuka daun pintu. Mudah saja ia memasuki kamar
orang. Segera ia menyalakan api. Maka tampaklah terlihat
sipemuda tengah tidur nyenyak, napasnya menggeros keluar
dari hidungnya. Tanpa ragu-ragu ia lantas mencari kitab,
mencari sana-sini sampai ia menggeledah baju orang, kantung
dan bawah bantal.
Kitab ilmu pedang Sam Cay Kiam tidak ada!
“Aneh!” pikirnya. “Ah, tidak salah lagi, tentu dia simpan itu
didalam baju dalamnya!”
Giok Bin Sian Ho, si rase Sakti Bermuka Kemala menjadi
orang sesat, dia pula telengas, akan tetapi dia tetaplah
seorang gadis putih bersih. Dalam usia duapuluh lima tahun,
dia tetap gadis remaja. Maka timbul rasa malu atau likatnya
terhadap bangsa pria. Merahlah kulit mukanya, ketika ia
memikir mesti menggeledah tubuh It Hiong. Hatinya goncang,
memukul tak hentinya. Beberapa kali ia mengulur tangannya
guna meraba tubuh si anak muda, beberapa kali pula ia
menarik tangannya kembali. Ya, ia malu, ia likat! Ia jengah
sendirinya! Ia menjublak mengawasi wajah si anak muda yang
lagi tidur dengan tenang…
Sang waktu berjalan terus, tanpa terasa pagi hampir tiba.
ayam jago telah berkokok pertanda sang fajar. Hal ini
membingungkan si nona. Usahanya masih belum berhasil. Ia
masih diganggu dengan rasa likatnya!
“Ah!” serunya kemudian. Kembali ia kertak gigi, kali ini
guna menguatkan hatinya, lantas ia meraba dadanya si anak
muda buat merogoh kedalam saku dari baju dalamnya. Dan ia
berhasil memegang kitab yang ia cari itu, maka ia keluarkan
itu, terus dimasukannya kedalam saku sendiri! Bukan main
lega hatinya. Lekas-lekas ia bertindak kepintu kamar. Ia sudah
mengulur tangannya buat memegang daun pintu untuk dibuka
lalu ia berhenti. Ia berpikir keras, tak lama ia mengeluarkan
saputangannya, diatasnya ditulis dua baris huruf, setelah
meletakkan sapu tangannya itu diatas meja, barulah ia pergi
keluar kamar. Ia tidak kembali kekamarnya, hanya pergi
kehalaman terbuka untuk melompat naik keatas genteng.
Disini ia melihat kesekitarnya.
Pagi itu tetap sunyi, belum ada orang yang mendusin atau
keluar dari kamarnya. Jongospun belum ada yang muncul.
Ditimur tampak langit bersinar putih samar-samar. Masih Tan
Hong berdiri diam diatas genteng itu. Ia ingat saat meraba
dada si anak muda guna mengambil kitab orang itu. Ia
merasakan manis, hingga diluar tahunya pipinya merah
sendiri.
Angin pagi sejuk sekali, meresap kedalam tubuh. Nona Tan
menggigil, tapi waktu itu ia merasakan ada angin yang meniup
batang lehernya. Ia terperanjat, insyaflah dia, bahwa telah
berlaku lalai saking kesengsemnya, cepat ia menoleh.
Di depannya, tampak Teng Hiang sedang berdiri
mengawasi!
“Hey budak!” tegurnya, “Kau lagi bikin apakah!”
“Melihat tampang mukamu, rupanya kau telah melakukan
sesuatu yang bagus!” Teng Hiang membaliki. lalu
dilanjutkannya perlahan, “Apakah kau hendak mendustai
aku?”
Tan Hong tertawa.
“Tidak ada halangannya untuk memberitahukan itu
padamu!” sahutnya. “Soal apa lagi kecuali halnya kitab ilmu
pedang!”
Teng Hiang melirik, dia tertawa. Aneh suara tawanya itu.
“Aku lihat kau bukannya maksudkan melulu kitab ilmu
pedang itu saja!” katanya. Ia tertawa pula, “Bukankah
sebenarnya kau hendak mendapatkan dirinya Tuan Tio It
Hiong sendiri?”
Muka Nona Tan menjadi bersemu merah, dia merasai
pipinya panas.
“Oh, adik yang baik” katanya, “Bagaimana kau hendak
menggodia aku? Kau memfitnah ya?”
Teng Hiang tersenyum.
“Bagaimana kalau aku mendapat bagian sedikit?” katanya,
“Boleh bukan?”
Tan Hong tidak menjawab.
“Sampai jumpa pula!” serunya. Mendadak dia lompat dan
terus lari.
Teng Hiang tidak mengejar, dia hanya mengawasi setelah
orang lenyap, dia berkata dalam hati: “Habis aku menyambut
guruku, akan aku susul tuan Tio! Kau lihat saja nanti!” Dan
iapun pergilah.
Pagi itu It Hiong mendusin dan mendapatkan sinar
matahari dijendela sudah bewarna merah. Ia lantas bangkit
turun dari pembaringannya terus menguap dan mengulet.
“Ah, kenapa aku tidur begini nyenyak?” katanya seorang
diri.
Jilid 12
Tepat itu waktu anak muda ini melihat sehelai sapu tangan
diatas meja. Ia heran. Ia lantas menghampiri dan mengulur
sebelah tangannya, menjemput itu. Ia lantas melihat dua baris
huruf yang tertulis pada sapu tangan itu. Bunyinya :
"Kitab pedang aku pinjam untuk dibaca !
Silahkan datang ke Hek Keng To.
Kalau kau memanggil kakak padaku akan
kukembalikan kitabmu itu."
Dibawah itu ada tanda-tandanya dua huruf : "Tan Hong"
Membaca surat itu It Hiong kaget. Segera ia mendekap
dadanya. Maka kembali ia kaget, kali ini kagetnya bukan main
! Kitabnya hilang !
"Celaka !" serunya. Lantas ia menjadi gusar sekali.
Saputangan itu dilemparkan ke tanah. Kendati begitu, ia toh
berdiri menjublak.
"Biar akan aku menginjak-injak Hek Keng To rata seperti
bumi ! Budak hina dina, aku akan susul dan cari kau !"
katanya sengit.
Dilain detik pemuda ini sudah menyambar pedangnya terus
ia lari keluar untuk pergi menyusul si nona. Ia tak bikin banyak
berisik lagi.
Sekarang marilah kita melihat dahulu kepada Teng Hiang,
habis dia berpisah atau ditinggal pergi oleh Tan Hong di
kecamatan Hengyang itu. Dalam perjalanan menemui
gurunya, ia bertemu guru itu. Thian Cio Lojin ditengah jalan,
maka selanjutnya ia turut gurunya itu menuju ke Tay San.
Di jalan besar di Ouwlam barat, rombongan Teng Hiang ini
bertemu dengan rombongan Kiauw In dan Giok Pek. Ia ingat
Teng Hiang ingin ia melampiaskan kesebalannya terhadap
sahabat itu, maka juga kedua nona, nona Cio dan Pek itu, ia
memberi bisikan bahwa It Hiong sudah pergi menyusul Tan
Hong ke Hek Keng To guna anak muda itu mencari ilmu kitab
pedangnya. Maka mereka dianjurkan untuk lekas pergi
menyusul.
Berdua Giok Peng, Kiauw In berunding. Biar bagaimana
mereka kuatir Teng Hiang nanti mendustakan mereka.
Sekarang ini Teng Hiang lain daripada Teng Hiang yang
dahulu. Sekarang Teng Hiang menjadi lihai gerak geriknya...
Tengah nona-nona ini masih ragu-ragu dari sebelah depan
mereka melihat menandatanginya dua orang penunggang
kuda yang kemudian ternyata adalah Cek Hong Siancu Cin
Tong si dewa angin merah serta Ba Cu Liang. Yang
belakangan itu adalah muridnya Beng Cinjin.
Cin Tong melihat kedua nona, lantas dia tertawa bergelak.
"Kamu kedua budak !" katanya sembari tertawa nyaring,
tingkahnya ceriwis sekali. "Hari ini kamu jangan memikir pula
akan lolos dari ujung pedang kakekmu !" Lantas ia teriaki Cu
Liang untuk lompat turun dari kudanya, dia sendiri mendahului
berlompat.
Kiauw In berdua Giok Peng tahu bahwa mereka tidak dapat
menghindari diri dari pertempuran maka merekapun turun,
untuk menghadapi jago luar lautan yang galak itu. Sambil
menuding, Nona Cio berkata nyaring, "Jahanam ! Ketika di
Siauw Sit San kau bisa lolos, bukannya kau terus pulang ke
pulaumu, untuk menutup diri memikirkan segala perbuatan
salah kamu, sekarang kau berkeliaran disini ! Masih beranikah
kau main gila ?"
Ba Cu Liang tidak mau banyak bicara, dia maju sambil
membacok Giok Peng dengan golok Biau-Tonya yang tajam.
Nona Pek berkelit tetapi ia bukannya terus menyingkir,
hanya ia berbalik maju guna membalas menyerang. Ia
menggunakan enam jurus beruntun dan yang keenam ialah
Berlaksa Bunga Mekar Berbareng. Maka juga lawannya seperti
di kurung pedang dari kiri dan kanan, dari atas dan bawah.
Ba Cu Liang menjadi murid alwarisnya Beng Leng Cinjin
dalam angkatan kedua, dialah anggota Hek Keng To yang
paling lihai dari itu tidak heran kalau dia dapat melayani Giok
Peng bahkan dengan goloknya yang istimewa itu ingin ia
membabat kutung pedang si nona.
Giok Peng tidak mempunyai niat berkelahi, ia lebih
memikirkan It Hiong yang lagi dicari itu tetapi karena jago luar
lautan ini mendesak dan melibatnya, terpaksa ia melayani
dengan sungguh-sungguh.
Cu Liang keras dan telengas tidak berhasil dia merobohkan
si nona. Sebaliknya, lama-lama dialah yang terdesak. Dia kuat
tetapi kalah bertahan. Lewat tiga puluh jurus terpaksa dia
maju mundur repot dia membela diri, tak peduli goloknya
sangat tajam.
Cin Tong berkuatir juga menyaksikan keponakan murid itu
terdesak sedemikian rupa sampai dia kewalahan menangkis
pelbagai serangan lawannya, maka itu hendak dia
memberikan bantuannya. Justru dia mau bergerak maju justru
bahaya sudah lantas mengancam si jago muda.
Pedang Giok Peng meluncur ke-iga kanan lawan itu. Cu
Liang menangkis dengan keras ingin dia supaya kedua senjata
beradu, pedang nanti tertebas puntung. Giok Peng sebaliknya
tak mengijinkan pedangnya terbabat lawan. Ia memutar
pedangnya itu untuk dikelitkan sekalian dipakai menebas
lengan kiri.
Celakalah Cu Lian, tak sempat ia menangkis atau berkeliat,
mestinya lengannya itu terbabat buntung atau disaat
menghadapi bencana itu, Trang ! pedang si nona ada yang
tangkis !
Nona Pek terperanjat tetapi segera ia melihat itulah Cin
Tong yang membantu temannya. Ia menjadi marah sekali,
maka ia lantas menyerang si Dewa Angin Merah.
Sebagai kesudahan dari serangannya Giok Peng,
pedangnya bentrok dengan keras tetapi untuk herannya ia
mendapat kenyataan pedangnya itu justru beradu dengan
pedang Kiauw In. Sebenarnya itulah tidak heran. Ketika Cin
Tong bergerak membantu Cu Liang, Kiauw In juga berlompat
menerjang padanya.
Dia lihai, disamping menangkis pedang Nona Pek dapat ia
menyelamatkan diri.
Atas datangnya pedang Nona Cio, dia berkelit dengan cepat
sekali. Karena itu selagi dia lolos, pedangnya Nona Cio beradu
dengan pedangnya Giok Peng !
Kedua nona kaget hingga mereka sama-sama berlompat
mundur.
Cin Tong dapat menyelamatkan diri dengan ia menjatuhkan
dirinya dengan terus bergelindingan, kalau tidak pastilah
ujungnya kedua pedang akan menancap ditubuhnya. Ia
menyingkir jauh setombak lebih.
Kiauw In mendongkol.
"Roh gelandangan dari Hek Kang To kemana kau hendak
menyingkir ?" bentaknya. Ia lompat mengejar.
Cin Tong meletik bangun. Dia juga gusar tetapi dia tidak
membuka mulutnya, dia hanya menyambut serangan si nona,
sesudah mana dia lantas membalas hingga tiga kali saling
susul.
Kiauw In berpikir sama seperti Giok Peng, tak mau ia
melayani lama ia kedua lawan itu, sebab mereka mempunyai
urusan penting mereka sendiri, kalau ia toh menyerang
maksudnya supaya musuh tahu diri dan pergi menyingkir. Cin
Tong sebaliknya memikir lain. Jago luar lautan ini memang
hendak mengganggu nona-nona itu, dia mau membalas sakit
hatinya kawannya di Siauw Si San maka dia berkelahi dengan
bengis.
Demikian mereka bertarung dengan seru.
Ketika itu mendekati maghrib, ditengan jalan itu masih ada
orang-orang yang berlalu lalang, diantaranya ada orang yang
berkereta, tetapi karena ada orang yang berkalahi itu, mereka
itu pada berhenti jauh-jauh dan semua pada menonton.
Belum lama maka datang pula dua penunggang kuda
lainnya, di belakang mereka itu berdua, ada seorang yang
berjubah panjang yang mendatangi sembari berlari-lari.
Nampaknya dia seperti lagi mengejar dua penunggang kuda
itu. Dan dua penunggang kuda itu tak seperti melihat orang
lagi bertarung, terus mereka melarikan kuda mereka, sekeraskerasnya
!
Kiranya dua penunggang kuda itu adalah murid-murid dari
To Liong To ialah Coan kun-kah Mie A Lun dan Ciau sui kauw
Lie Seng, si tenggiling dan ular naga mendekam. Cu Liang
melihat mereka itu, kontan dia berteriak-teriak : "Kawankawan
mari lekas. Mari kita bekuk budak perempuan ini !"
Kedua belah pihak itu ada dari kepulauan yang berlainan
tetapi mereka kenal satu dengan lain dan bersahabat. Mereka
memang asal satu golongan.
A Lun dan Lie Seng menahan kuda mereka, lantas mereka
mengawasi kedua nona itu terutama Giok Peng yang mereka
kenali. Lie Seng tertawa tergelak.
"Inilah kebetulan !" serunya nyaring. "Kita bertemu pula !"
Kata-kata itu ditujukan terhadap Nona Pek dan diucapkan
berbareng dengan lompat turunnya dia dari atas kuda, guna
terus menyerang nona itu !
Tapi Lie Seng menyerang secara mendadak itu, tepat
datang tangkisan pedang dari sisinya, setelah kedua senjata
bentrok nyaring, golok Gan leng To terlepas dari cekalannya
jago To Liong To itu, terpental jauh dua tombak bahkan
saking kerasnya tangkisan itu, sipemilik golok sendiri
terpelanting roboh memegang tanah !
Sementara itu Giok Peng terkejut mendengar suaranya Bu
Cu Liang, suara itu berarti ada bala bantuan untuk lawannya
atau lebih jelas lagi ia bakal mengalami kesulitan. Maka segera
ia memikir buat berkelahi cepat. Begitu ia melihat orang
membacok padanya dengan kecepatan luar biasa ia melompat
ke samping, untuk dari situ menangkis sambil menghajar
dengan hebat. Demikianlah kesudahannya, golok lawan
terbang dan tubuh lawan itu pun roboh.
Melihat lawan terjatuh, Nona Pek menggunakan
kesempatan yang baik. Lagi sekali ia bergerak sangat cepat,
sambil lompat maju ia melancarkan satu tikaman ke arah
lawan. Ia ke arah Bu Cu Liang yang terkejut melihat kawannya
yang membantu padanya, terhuyung roboh. Dia mencoba
berkelit, tetapi dia kalah cepat, tahu-tahu bahu kirinya sudah
kena tertusuk, hingga dia merasakan sangat nyeri dan roboh
seketika.
Selagi si nona menyerang dan merobohkan lawannya itu,
Lie Sang sudah berbangikit bangun, melihat nona itu
merobohkan kawannya dia maju pula hendak menyerang
guna membantu kawan itu. Tapi Giok Peng mendapat dengar
suara orang bergerak, ia lantas menoleh ke belakang,
selekasnya ia melihat aksinya Lie Seng itu, ia mendahului
bergerak pula. Ia membenci dan bergusar terhadap
pembokongnya itu maka ia menyambut dengan satu tikaman.
Kali ini tanpa mengeluarkan jeritan Lie Seng lantas roboh
terkulai untuk tidak berkutik pula. Dia cuma kaget dan lantas
roboh. Sebab Nona Pek sudah berlompat kepadanya dengan
cepat luar biasa sambil menikam dengan jurus pedang
"Diperairan pulau mematuk ikan". Dan Lie Seng tak berdaya
terhadap sambutan itu yang membuatnya kaget dan gugup.
Maka robohlah dia sebagai korban kegalakannya !
Giok Peng bergirang berbareng menyesal sesudah ia
merobohkan dua lawan itu. Ia girang sebab ia menang dan
bebas. Yang menyesalkan ialah karena ia telah melukai dua
orang, walaupun itu dilakukan dengan terpaksa guna
membela dan membebaskan diri dari ancaman maut ! Ia
merasa bahwa ia telah berlaku terlalu keras....
Kemudian Giok Peng melihat kelilingnya. Ia mendapatkan
Kiauw In tengah bertarung seru sekali dengan Cin Tong. Masih
ada satu rombongan lain yang lagi bertempur hebat. Hanya
ketika ia melihat pihak yang melawan musuh itu ia
tercengang. Ia heran masgul dan girang dengan berbareng.
Di pihak itu pemuda yang bersenjatakan pedang, kiranya
Gak Hong Kun adanya !
Karenanya hilangnya kitab ilmu pedang Giok Peng pergi
mencari itu. Ia pun hendak melakukannya diluar tahunya It
Hiong, inilah sebab ia hendak mencari Gak Hong Kun
kemudian ia mendengar berita hal kitab ilmu pedang sudah
terjatuh kedalam tangannya Tan Hong. Berita itu membuatnya
sedikit girang. Dengan begitu tak usah ia menemui Hong Kun,
tak perlu ia mencari pula pemuda itu. Ia boleh langsung
mencari Nona Tan. Siapa tahu disini secara kebetulan ia
bertemu si anak muda, bahkan orang telah membantui
pihaknya. Mana dapat ia tak menemuinya? Dapatkah ia tak
usah berbicara dengan dia itu ? Maka juga bingunglah ia,
hatinya menjadi tak tenang......
Pertempuran diantara Kiauw In dan Cin Tong tetap berjalan
hebat hanya makin lama desakannya sudah makin rapat.
Inilah sebab nona ini insyaf tak usah berkelahi secara berteletele
itu akan merugikan. Hanya ia merasa kesal sebab
lawannya itu tangguh dan tak mudah untuk dikalahkan.
Tengah Nona Cio berkelahi sambil berpikir keras itu ia dan
Cin Tong dikejutkan oleh teriakannya Bu Cu Liang yang
menjadi korban pedang Giok Pek. Hanya si nona terkejut
untuk terus bergirang. Si pria kaget berbareng berkuatir.
Inilah karena dia memperoleh kenyataan, yang menjerit itu
adalah Bu Cu Liang yang menjadi lawannya. Lantas hatinya
menjadi ciut, lenyap sudah pengharapannya. Selagi si nona
mendesak, dia maju mundur--mundur, mendekati Cu Liang.
Selekasnya dia sudah datang cukup dekat, sekonyongkonyong
dia lompat pada si sahabat, yang dia sambar
tubuhnya, terus dibawa lari ke kudanya, terus dia
membawanya lompat naik keatas kudanya itu, buat segera
pergi kabur !
Tentu sekali Kiauw In melengak karena perbuatan lawan itu
sampai tak sempat ia mengejarnya.
Ketika itu Mie A Lun sudah terdesak oleh Hong Kun. Baru
dua puluh jurus dia sudah kewalahan mengerak-geraki Jit
Goat Sianjin ciang, senjatanya yang aneh itu dan terus dia
berkelahi sambil mundur. Dia membantu Cin Tong karena
kebetulan saja siapa tahu sahabatnya Lie Seng, telah dilukai
lawan hingga dia menjadi bingung berbareng menyesal
apabila setelah mendapatkan Cin Tong kabur dengan
membawa Bu Cu Liang hingga dia ditangkap bersama Lie
Seng yang terluka itu...
Lagi beberapa jurus maka bulat sudah tekad A Lun untuk
menyingkirkan diri. Dia mundur ke arah kudanya, niatnya
untuk berlompat naik keatas punggung kuda itu, guna kabur
juga. Tapi ia terdesak, dia repot dan berkuatir sekali.
Lawannya, sebaliknya, mendesak semakin keras. Maka tibalah
saatnya dia berlaku ayal sedikit. Tiba-tiba senjatanya kena
tersontek, terlepas dari cekalannya dan terpental. Dia kaget
hingga dia mengeluarkan peluh dingin. Mana dapat dia
melawan terus sedangkan dengan bersenjata dia sudah kalah
angin. Terpaksa dia lompat lari kepada kudanya, dengan niat
melompatinya naik dan kabur.
Gak Hong Kun tidak mau membiarkan orang pergi, ia
berlompat maju menyusul. Tiba-tiba ia terperanjat. Ia melihat
ada bayangan pedang, berkelebat ke arahnya dan telinganya
mendengar ini teriakan nyaring merdu "Gak Hong Kun !
Biarkan dia kabur...."
Hong Kun heran, batal ia melangsungkan tikamannya,
maka sampailah Mie A Lun kabur bersama kudanya ! Ia lekas
menoleh, hingga ia melihat dan mengenali Giok Peng.
"Adik Peng !" serunya girang bukan kepalang. Ia pun
memutar tubuh, lari menghampiri.
Giok Peng berdiri diam, tampangnya sangat muak. Tak
sepatah ia membuka mulutnya.
Ketika Kiauw In pun datang menghampiri, ia lantas berdiri
berendeng dengan Nona Pek, tetapi matanya mengawasi si
anak muda.
Hong Kun melengak melihat sikap Nona Pek, tapinya dia
tak berdiam lama.
"Adik Peng !" sapanya sembari tertawa. "Aa.. kenapa kau
berada disini ? Bagaimana dengan Hauw Yan ?"
Si nona menatap sungguh-sungguh. Dia mengangkat
kepalanya.
"Inilah karena kau.. !" katanya atau mendadak dia berhenti.
Dia merasa salah omong, dia menjadi canggung sekali.
Hong Kun sebaliknya. Dia malah tertawa.
"Ah, kiranya kau masih ingat padaku ?" katanya. Tapi tak
dapat dia berbicara terus.
"Beginilah macamnya murid dari Heng San Pay !" tiba-tiba
Kiauw In menyela. "Begini tak tahu malu ? Cis !"
Merah padam muka si anak muda, dia terkejut dan malah
dia pun jengah.
Gak Hong Kun berkata, "Giok Peng", tak kurang kerasnya,
hingga ia memegat si anak muda yang agaknya berniat
membuka mulut. "Aku mencari kau karena kau telah mencuri
kitab ilmu pedang guru kami !"
Hong Kun lantas menenangkan diri.
"Oh !" serunya tertahan, terus mukanya menjadi merah,
tetapi hanya sekejap saja.
Terus dia menjawab, tak langsung, dia bahkan
menyampaikan soal.
"Selama ditengah jalan, kau bertemu dengan budak Teng
Hiang atau tidak ?" demikian ia balik menanya.
"Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku ?" tukas si
nona.
"Teng Hiang ketahui tentang kitab ilmu pedang itu !" kata
Hong Kun. Kembali dia mengegosi pertanyaan.
"Kepada siapa kau serahkan kitab ilmu pedang itu ?" tanya
Kiauw In, terpaksa.
Nona Cio sangat tidak puas, dia habis sabar.
Hong Kun tidak mengambil mumet nona itu, dia hanya
mengawasi Giok Peng.
"Adik Peng, dapatkah aku menemani kau pergi mencari
kitab pedang itu ?" demikian dia tanya. Dia bukannya
menjawab hanya bertanya. Selalu dia bicara dengan hawa
maunya sendiri. Sebab sengaja dia berbuat demikian untuk
menggoda hati orang. Hanya kali ini, habis menanya begitu,
dia menghela napas, tampangnya menjadi lesu.
"Tak usah kau pergi bekerja sendiri !" berkata Giok Peng
yang terpaksa menjawab pertanyaan orang. "Kita harus
menyingkir dari kesan umum ! Bilang terus terang padaku,
dimana adanya kitab ilmu pedang itu !"
Si anak muda berdiam, kemudian terdengar suaranya
bagaikan gerutu.
"Aku tidak sangka kau begini tidak berbudi...." demikian
katanya perlahan. Dia tunduk.
Melihat sikap orang itu, terpaksa, Giok Peng membayangi
hari-hari yang telah lewat sebelum ia bertemu dengan It
Hiong. Ketika itu ia dan anak muda ini bergaul rukun dan
akrab sekali. Tapi hanya sedetik, ia dapat menguasai pula
hatinya. Mestinya segala apa sudah lewat.
"Jangan bicara tidak karuan !" bentaknya.
"Dimana adanya kitab pedang itu sekarang. Kalau tidak,
kau mesti memberikan keterangan ! Kau harus bertanggung
jawab !"
Hong Kun menutupi mukanya dengan kedua belah
tangannya.
"Kitab itu sudah dikembalikan kepada Tio It Hiong..."
katanya perlahan.
Giok Peng melengak. Itulah tak ia sangka. Kemudian ia
hendak menanya pula ketika Kiauw In menarik ujung bajunya
seraya berkata, "Dia lagi mengulur waktu untuk melibatmu !
Sekarang sudah mendekati sore. Mari kita berangkat !"
Nona Pek menurut, maka ia ikut kawannya itu. Mereka
menaiki kuda mereka, cuma satu kali mereka menoleh pada
Hong Kun, lantas mereka mencambuk kuda mereka itu dan
pergi !
Hong Kun mengawasi dengan terbengong. Lewat sekian
lama, baru dia bagaikan sadar akan dirinya. Ketika itu Giok
Peng sudah pergi jauh. Disitu tidak ada orang lain kecuali
kudanya Lie Seng, maka dia lantas pakai kuda itu dengan apa
ia pergi meninggalkan tempat itu guna menyusul kedua
nona...
Sekarang kita kembali dulu kepada Tan Hong si Raja Sakti
Bermuka Kemala, itu nomor dua Hek Keng To, pulau ikan
Lodan Hitam. Dengan membawa kitab ilmu pedang Sam Cay
Kiam, ia kabur dari kecamatan Heng yang, terus menuju
kecamatan Cimkoan. Di sana sengaja ia singgah satu hari,
maksudnya untuk menantikan It Hiong. Ia tidak mengharap
memiliki kitab pedang itu disebabkan ia menghendakinya, ia
hanya jatuh cinta terhadap si anak muda yang tampan dan
gagah itu, yang halus gerak geriknya. Kitab cuma mau dipakai
sebagai jalan untuk memperat perkenalan dan pergaulan. Ia
heran setelah satu hari ia tidak mendapatkan si anak muda
menyusulnya. Terpaksa dihari kedua ia melanjutkan
perjalanannya dengan perlahan-lahan. Maka juga diwaktu
tengah hari baru ia sampai ditempat penyebrangan Pek Cio
Toaw, sebuah tempat yang letaknya sudah dekat dengan
propinsi Ouwlam.
Hilang kegembiraannya jago wanita dari Hek Keng To ini.
Ia berhenti disebuah warung teh, pikirannya ialah untuk
medengar-dengar keterangan dari orang-orang yang berlalu
lalang perihal Tio It Hiong mungkin ada yang membawa
ceritera tentangnya.
Belum terlalu lama maka tibalah seorang pendeta yang
tubuhnya katai dan kecil dan kurus kering, tangannya sebelah
membawa tongkat rotan. Dia memasuki warung teh dengan
tindakan lebar.
Warung itu kecil, mejanya cuma lima buah dan semua meja
berikut kursinya boleh dibilang sudah butut.
Pendeta itu memilih sebuah meja, begitu dia menyapu
dengan matanya kepada semua meja lainnya hingga
sendirinya dia melihat kepada Tan Hong. Dia mempunyai mata
yang bersinar dan wajah sangat dingin hingga siapa yang
melihatnya dapat berperasaan segan atau jeri.
Habis menghirup tehnya pendeta itu lantas
memperdengarkan suaranya yang serak.
Ia berbicara dengan Tan Hong yang ia hadapinya, "Ehh,
anak, sepasang tongkat batu dipunggungmu itu tampak
sangat menyolok mata, apakah kau murid dari Hek Keng To ?"
Tak puas Tan Hong melihat lagak dan mendengar kata
orang itu. Dia itu seperti mengandalkan ketuaan tingkat
derajatnya.
"Kalau benar bagaimana, kalau bukan bagaimana ?" Ia
menjawab tetapi sambil kontan membalas menanya.
Tak senang pendeta itu mendapat pertanyaan itu, parasnya
yang tak mengasih mendadak menjadi guram.
"Aku, si pendeta tua menanya kau cara bagaimana kau
berani tak menjawabku ?" tegurnya bengis.
Tan Hong pun mendadak menjadi gusar.
"Nonamu tidak suka menjawab, maka dia tak menyahut
!"demikian balasnya, keras dan sambil menolak pinggang,
setelah mana ia segera berbangkit, berdiri tegar. "Dapatkah
kau melakukan sesuatu atas diriku ?"
Si pendeta kurus kering tertawa pula, dingin.
"Eh, anak, kau jangan galak !" katanya menegur. "Aku si
pendeta hendak menanya dahulu biar jelas terhadapmu, baru
akan aku persilahkan kau, guna kau melanjuti perjalananmu
!..."
Si nona juga tertawa dingin.
"Beranikah kau bertindak terhadapku ?" tanyanya
menantang. "Nonamu tidak percaya pendeta kau bernyali
besar, berani menghina orang Hek Keng To !"
Pendeta itu sudah memejamkan matanya ketika dia
membukanya dengan tiba-tiba, sinar matanya itu dengan
tajam menatap orang dihadapannya. Kembali ia tertawa
dingin.
"Ooh, karena kau mengakui diri sebagai orang Hek Keng
To," dia menegaskan, "apakah kau yang dipanggil Tan Hong
?"
"Mau apa kau menanyakan namaku ?" Tan Hong
membentak.
Lantas pendeta katai dan kurus itu kata keren ! "Kalau
begitu kitab ilmu pedangnya Tek Cio Siangjin berada
ditanganmu ! Lekas kau keluarkan itu untuk aku lihat !"
Mendengar disebutnya kitab Sam Cay Kiam, Tan Hong
melengak. Lantas ia pun ingat yang It Hiong sampai itu waktu
masih belum juga menyusul. Karena ini ia mau menerka
mungkin si pendeta pernah mendengar tentang pemuda itu.
Maka duduk pula ia dikursinya dengan perlahan-lahan ia
menghela napas.
"Bapak guru datang dari mana ?" tanyanya. "Dan apakah
julukan suci dari bapak guru ?"
"Hmm !" si pendeta memperdengarkan suara dingin ! "Oh,
anak yang cerdik ! Baiklah aku memberitahukan kau terus
terang, supaya kau tak usah bercapai hati menerka-nerka. Aku
si pendeta tua, akulah Gouw Beng yang kaum Kang Ouw
menyebutnya Leng Bin Hud ! Hari ini aku datang dari Tiangsen
! Nah, ragukah kau, bukan ?" ia berdiam sejenak, lalu ia
mengulurkan sebelah tangannya, untuk menambahkan : "Nah,
kau serahkan Sam Cay Kiam kepadaku !"
"Perlahan, taysu !" sahut Tan Hong tertawa. "Sabar !
Nonamu masih hendak menanyakan sesuatu !"
"Apakah yang hendak kau tanyakan ?" kata si pendeta tak
sabaran. "Tanyakanlah, kau jangan banyak bicara ! Tapi tak
usah kau buka mulut lagi, mungkin aku ketahui pertanyaanmu
itu ! Mari aku beritahukan ! Aku ketahui dari tentang kau
mencuri Sam Cay Kiam dari Teng Hiang muridnya Thian Cie
Lojin, hanya bukan aku mendengarnya langsung dari sungai
telaga. Jadi urusan itu bukan cuma aku sendiri yang
mengetahuinya tetapi banyak orang lain. Hayo, kau serahkan
kitab pedang itu padaku ! Apakah kau masih memikir yang
tidak-tidak ?"
Tan Hong menggeleng kepala.
"Itulah bukan pertanyaan yang si nonamu hendak ajukan
kepadamu !" sahutnya. "Selama dalam perjalananmu dari
Tiangsen, apakah kau pernah melihat atau menemui seorang
muda she Tio, usia kira dua puluh tahun yang pada
punggungnya tergandol sebatang pedang ?"
"Apakah yang kau maksudkan Tio It Hiong, muridnya si
imam tua she Tio ?" pendeta balik bertaya. "Hm ! Aku si
pendeta tua justru tengah mencarinya untuk membuat
perhitungan dengannya !"
Mendengar jawaban itu, matanya si nona berputar
sedangkan di dalam hatinya ia berpikir : "Kiranya keledia
gundul ini musuhnya adik Hiong ! Baiklah hendak kau bunuh
dia supaya adik Hiong senang hati padaku !" Maka lantas
sepasang alisnya bangkit berdiri terus ia tertawa dingin dan
kata menantang "Kitab pedang Sam Cay Kiam itu benar
berada padaku ! Jika kau rasa kau mempunyai kepandaian
untuk mengambilnya, kau ambillah sendiri !"
Tanpa merasa Leng Bin Hud si Buddha Bermuka Dingin
menjadi naik darah, mendadak dia menggerakkan tongkat
rotannya yang berkepala ular dengan itu dia menyerempang
kaki si nona sambil dia membentak. "Jika kau berani kau
sambutlah aku dalam beberapa jurus !"
Tan Hong melompat berkelit sekalian ia menyambar sebuah
kursi yang terus ia pakai menyampok menangkis maka "Prak!"
rusaknya kursi itu terhajar tongkat hebat potong-potongannya
terbang berhamburan !
Penjual teh menjadi bingung, dia menggoyang-goyangkan
tangan seraya berkata dengan suara menggetar, "Bapak
pendeta, kalau bapak mau berkelahi silahkan pergi keluar. Aku
minta janganlah bapak pendeta merusak usahaku ini !"
Tan Hong sementara itu telah mengeluarkan Sanho pang
ruyungnya yang istimewa itu.
"Eh, Leng Bin Hud !" katanya menantang, "kalau kau
menghendaki seluruh tehnya menjadi dingin beku dan semua
pelanggan bergelandangan disini, nah marilah kau turut si
nonamu pergi keluar sana supaya kita jangan membikin rusak
barang-barang disini !"
Habis berkata begitu si nona terus mendahului bertindak
keluar.
Leng Bin Hud gusar sekali, dia menyambut tantangannya
itu maka dia pun pergi menyusul si nona itu. Dengan demikian
betempurlah mereka ditanah rata ditepi gunung dekat
penyeberangan Pek sek touw. Mereka mengadu kepandaian
tanpa banyak omong lagi.
Leng Bin Hud memandang ringan kepada lawannya karena
ia melihat si nona masih sangat muda. Ia telah memikir
dengan tongkatnya yang panjang itu dalam dua atau tiga
jurus saja ia akan sudah berhasil merobohkannnya. Lantaran
ini juga, ia tidak lantas mengeluarkan kepandaiannya ilmu
Sian Thian Bu kek Khie-kang. Ia cuma memutar pergi
pulagnnya tongkatnya mencari pelbagai jalan darah si nona.
Tan Hong adalah salah seorang dari Sam Koay-Tiga Jin dari
Hek Keng To, bukan cuma ilmu silatnya bukan sembarang
ilmu, senjatanya juga senjata luar biasa. Sanho pang kokoh
kuat bagaikannya besi bercampur baja dapat dipakai menjajar
batu hancur lebur.
Pula senjata itu ada ilmunya sendiri. Maka itu begitu
bergebrak, ia dapat melayani si pendeta ia berhasil mendesak.
Leng Bin Hud repot bertahan dari desakan si nona, baru
sekarang dia insyaf yang wanita remaja dan cantik manis itu
tidak dapat dipandang ringan maka baru sekarang juga secara
tergesa-gesa menggunakan ilmu kepandaiannya, yaitu ilmu
Sian Thian Bu kek Khie kang itu. Hingga selanjutnya dapatlah
ia berkelahi dengan mengimbangi nona itu, dapat juga ia
mencoba balik mendesak.
Tengah mereka berdua bertempur seru itu mendadak dari
luar kalangan terdengar suara cempreng dari seorang wanita,
suara yang mirip dengan bunyi kelenengan perak : "Lihat, lihat
si pendeta kurus itu ! Lihat, dia tak sanggup melayani
lawannya ! Lihat, tongkat rotannya sudah mulai kacau !"
Heran Leng Bin Hud karenanya, walaupun sedang berkelahi
ia lantas mencari ketika dan melirik kesisi, guna melihat
wanita itu akan mendapat tahu siapa dia - nona atau nyonya -
ia kenal atau tidak...
Terpisah dua tombak lebih dari tempat pertarungan, dua
orang tengah berdiri menonton pertempuran. Mereka wanita
dua-duanya, yang satu seorang tua yang lainnya seorang
nona kecil. Kalau si wanita tua sudah putih semua rambut
dikepalanya, adalah wajahnya masih memperlihatkan sisa-sisa
kecantikannya, masih menarik hati sebab mukanya masih
merah dadu, sedangkan pakaiannya termasuk pakaian yang
luar biasa sebab pakaiannnya itu yang berwarna merah
tersulamkan gambar kupu-kupu. Dilihat dari tampangnya dia
mungkin baru berumur lebih kurang empat puluh tahun...
Si Nona Tanggung baru berumur tiga atau empat belas
tahun, rambutnya yang hitam panjang dilepas terurai ke
punggungnya, kakinya tidak memakai sepatu, sedang bajunya
hampir sama dengan pakaian si wanita tua juga tersulamkan
kupu-kupu yang mengasih dengar suara nyaring itu adalah si
anak tanggung itu.
"Eh, budak perempuan, nyalimu besar ya ?" tegur Leng Bin
Hud. "Bagaimana kau menilai ? Awas, sebentar sang Buddha
kamu akan memotong kutung lidahmu !"
Nona kecil itu tertawa geli.
"Bagaimana, eh ?" tanyanya tertawa pula. "Kakak itu saja
kau tidak mampu robohkan, bagaimana kau berani memotong
lidahku ? Cis, tak tahu malu !" Dan ia membawa jari-jari
tangannya ke mukanya sendiri untuk mengejek secara
bermain-main.
Bukan main panas hatinya si Buddha Bermuka Dingin.
Dengan lantas ia menangkis keras senjatanya lawan. Itulah
tipu tongkat "Membangkitkan badai dan guntur". Menyusul itu,
ia lompat mundur tujuh kaki meninggalkan lawannya untuk
sebaliknya mendekati si nona jail.
"Siapakah kau ?" tegurnya bengis.
Si Nona Tanggung belum menjawab, atau kawannya yang
tua sudah mendahuluinya.
"Hm !" nyonya tua itu memperdengarkan suaranya. "Hm !
Akulah Ang Gan Kwie Bo dari gunung Ngo Cie San ! Apakah
benar kau bagaikan mempunyai mata tetapi tidak mengenal
gunung Tay san yang suci dan agung ?"
Nama "Ang Gan Kwie Bo" itu mempunyai arti "Ibu bajingan
berwajah merah", tetapi mendengar itu Leng Bin Hud tidak
takut atau jeri, bahkan ia mengasi lihat wajah dingin ketika dia
menjawab dengan tak kalah dinginnya. "Tongkat rotan
Buddha kami ini tidak mengenal kamu !"
Ang Gan Kwie Bo melengak, dia tertawa tergelak gelak.
Suara tawanya itu keras, nyaring dan tajam seumpama kata
bagaikan menusuk telinga atau menikam uluhati. Terpaksa
hatinya Leng Bin Hud menggetar juga rasanya nyeri. Bahkan
Tan Hong yang terpisah jauh dua tombak lebih turut
merasakan getaran itu.
Sebenarnya tawanya Ang Gan Kwie Bo itu bukan
sembarang tawa. Itu hanya ada semacam ilmu pengaruh yang
dia beri nama Tot Pek Im Po atau gelombang suara merampas
nyawa. Habis tertawa itu, dia tampak tenang.
"Baiklah" kataya sabar, "mari kita mencoba menyambut
beberapa jurusmu, taysu ! Ingin aku belajar kenal dengan
ilmu silat yang istimewa !"
Diam-diam Leng Bin Hud terperanjat. Tahulah dia bahwa
wanita itu sudah mempunyai tenaga latihan yang telah
mencapai puncak kesempurnaan tenaga dari Sian Thian Bu
Kek Khie-kang. Maka mengertilah ia halnya sulit bagi dia dapat
bertahan dari nyonya itu. Karena itu juga suaranya pun jadi
berubah lunak ketika dia menyambut si nyonya. Katanya, "Aku
si pendeta tua tidak mempunyai waktu untuk menyambut kau
! Sekarang ini aku hendak membereskan dahulu ini budak liar
!"
Dan berkata begitu, kembali ia mendesak wanita jago dari
Hek Keng To itu.
Sebenarnya Ang Gan Kwie Bo sudah berusia delapan puluh
tahun lebih. Dia bukan asal suku Han hanya suku Lei atau
Leejin dan tempat asalnya ialah Ngo Cie San, gunung lima
jeriji tangan. Dimana secara kebetulan dia menemui "Sian Hin
Hun" jamur dewa. Siapa yang makan jamur itu, usianya nanti
dapat tambah banyak, tubuhnya sehat dan tak mempan
penyakit. Setelah mendapati jamur itu dia lantas membuat
obar "tak bisa tua" atau awet muda. Memang tadinya dia
berparas cantik, dengan makan obatnya itu, mukanya menjadi
selalu bersemu merah dadu. Dia bagaikan tak dapat menjadi
tua, kecuali rambutnya yang telah berubah putih. Semakin
banyak dia makan obatnya, dia tampak makin segar dan
mentereng. Lalu diapun mempelajari ilmu silat berikut ilmu
sesat. Dia bertabiat aneh dan telengas, demikian dia
memperoleh nama atau julukannya itu. karena itu juga kaum
Kang Ouw jeri terhadapnya, dimana-mana dia disegani bahkan
ditakuti. Dia biasa bekerja seorang diri, gemar merampok dan
merampas dalam hal mana suka dia tak membiarkan korban
hidup, dia main bunuh orang.
Walaupun menjadi jago Ang Gwan Kwie Bo cuma dapat
berpengaruh di tujuh propinsi selatan sampai pada tiga puluh
tahun dahulu dia roboh ditangannya Pat Pie Sin Kit In Gwa
Sian yang terhadapnya menggunakan ilmu silat Hiang Liok Ho
Mo Kun. Setelah itu dia pergi menyendiri di Ngo Cie San
dimana dia telah melatih diri dalam ilmu Sian Thiang Bu Kek
Khie-kang ilmu tenaga dalam yang dihubungi dengan ilmu
Toat Pek Im Po itu.
Thian Cin Lojin kenal Ang Gwan Kwie Bo. Maka itu guna
menambah tenaganya maju gerakan Siauw Lim Pay jago tua
itu sendirinya pergi berkunjung ke Ngo Cie San, mengundang
kepada wanita jago ini dan Ang Gwan Kwie Bo menerima
undangan baik itu sampai baru beberapa hari yang
terbelakang ini dia meninggalkan gunungnya. Sampai
dipenyebrangan Pek Sek To ini kebetulan sekali dia menemui
Leng Bin Hud lagi menempur Tan Hong. Bersama muridnya
Cio Hoa dia berdiri menonton. Nyata sang murid gatal
mulutnya. Selama mengikuti gurunya belum pernah Cio Hoa
turun gunung, bahkan kali inilah yang pertama kali ia turut
gurunya melakukan perjalanan. Ia tertarik hati melihat
pertempuran seru itu hingga ia ingin mencoba kepandaiannya
sendiri. Apalagi ia justru mengejek Leng Bin Hud, sampai si
Buddha Bermuka Dingin menjadi tidak senang dan panas hati.
Demikian mereka berselisih.
Leng Bin Hud tahu wanita itu lihai sekali, tak sudi dia
melayani, bersedia dia mundur teratur. Dalam hal ini dia
pandai membawa diri, kelicikannya membuat dia dapat
menuruti angin. Begitulah dia merendah terhadap si wanita
jago dan terus mundur guna menghadapi Tan Hong pula. Biar
bagaimana tak ingin ia meninggalkan kitab silat Sam Cay
Kiam.
Tan Hong menyaksikan dua orang itu berbicara, ia
mendapat kenyataan bagaimana Leng Bin Hud jeri terhadap si
nyonya tua itu, jadi memandang orang makin rendah, maka
itu waktu ia melihat orang datang pula padanya, ia
mendahului bentaknya : "Eh, manusia tak punya muka, tak
tahu malu, masih kau tak mau menggelinding pergi !" Ia pun
mengangkat tongkatnya untuk mengancam.
Leng Bin Hud mendongkol kata dia dengan suara dalam
yang sedap didengarnya : "Ah ! Kau hendak mencoba-coba
sepasang Sing Im Ciong ku !" Dan benar-benar dia lantas
menggerakkan kedua belah tangannya, untuk dipakai menolak
dengan keras. Dengan begitu dia telah memakai tenaga dari
ilmu Sian Thian Bu kek Khie kang yang ia telah latih lama itu.
Maka juga segelombang hawa sangat dingin sudah mendesir
kebadannya Tan Hong !
Nona menggigil seketika. Hawa dingin itu terasa terlalu
meresap kedalam tubuhnya. Lekas-lekas ia mengerahkan
tenaga dalamnya untuk bertahan, terutama guna menutup
semua jalan darahnya. Ia pula mengerahkan tenaga dalam
lunak dari ilmu Hek To yaitu Mo Teng Kee. Hingga didalam
waktu yang singkat, dapat ia menolak keluar serangan hawa
dingin lawan itu. Dengan mencekal sanho-pang, ia berdiri
tegak menghadapi si lawan yang tangguh.
Si Buddha Bermuka Dingin heran menyaksikan lawan nona
itu. Dia telah melihat sendiri tubuh orang menggigil, ia tidak
mengerti kenapa orang pulih dalam waktu yang demikian
singkat, apapula lawan itu adalah seorang perempuan yang
masih sangat muda sedang khiekangnya itu telah ia latih
selama puluhan tahun. Ilmu itu ia beri nama Sian Thian Bu
kek Khie-kang, sedang serangannya barusan menurut ilmu
tangan dingin beracun Han Tok Siang Im Ciang yang
diciptakan dari Khie kang tersebut. Selama di lima propinsi
utara, ilmu khie kang itu belum pernah gagal, cuma satu kali
di dalam peristiwa di gedung gubernur jendral propinsi Anhui
gagal terhadap Tio It Hiong yang pernah minum darah belut
yang mujizat. Ia tidak dapat menerka, Tan Hong
menggunakan ilmu apa untuk bertahan darinya.
Tengah pendeta ini berdiam saking herannya itu maka
disebelah belakang dia, dia dengar pula tawa nyaring yang
tadi dikasihh dengar si anak tanggung. Kali ini anak itu
tertawa sambil berkata.
"Sungguh ilmu Siang Im Cian yang hebat sekali ! Tapi
segera ternyata ilmu itu justru dapat dipakai cuma buat
mengebut debu dan menepuk lalat. "
Bukan main mendongkol dan bergusarnya si Buddha
Bermuka Dingin. Ia menyesal sekali yang ia tidak dapat segera
menghajar bocah yang jaih dan kurang ajar itu, untuk
sedikitnya merobek mulutnya atau menamparnya beberapa
kali ! Disebelah itu ia sangat jeri terhadap Ang Gan Kwie Bo,
sedangkan ia mengerti bunyi pepatah yang berkata, tak dapat
bersabar dalam urusan kecil bakal merusak usaha besar.
Maka ia lantas tertawa, sebab dengan kecerdikannya, dapat
ia lantas memikir jalan guna meluputkan dirinya dari kesulitan
itu. Begitulah sembari menoleh pada si nona kecil, ia kata,
"Nona, sungguh kaulah seorang yang pandai yang banyak
pengetahuannya ! Tapi baiklah kau ketahui yang aku si
pendeta, aku tak ingin bentrok dengan orang Hek Keng To
maka aku cuma menggunakan Han Tok Siang Im Ciang
dengan tenaga dua bahagian, melulu guna memberi
peringatan terhadapnya agar dia lekas-lekas mengeluarkan
dan menyerahkan kitab pedang Sam Cay Kiam itu. Jadi tak
pernah aku memikir menggunakan tangan berat terhadap
dirinya !"
Dengan kata-katanya ini, Leng Bin Hud mengundang
maksud buruk. Ia membuka rahasia tentang kitab pedang
pusaka, supaya Ang Gan Kwie Bo mendengarnya, agar jago
wanita tua itu tertarik hati dan nanti menggantikan ia
merampasnya dari tangannya Tan Hong. Nyatanya ia belum
kenal Ang Gan Kwie Bo. Nyonya itu bertabiat tinggi dalam
pernah dia menguasi benda orang, baik kitab ilmu pedang
atau kitab ilmu pukulan tangan kosong. Bahkan kata-katanya
itu menimbulkan kesan sebaliknya.
"Ah, taysu !"berkata si nyonya yang dapat menangkap
pikiran orang yang sebenarnya, "kenapa kau telah tidak
menghargai kehormatan dirimu sebagai orang usia dan tingkat
derajatnya lebih tinggi ? Kenapa kau tak malu merampas kitab
ilmu pedang lain orang ? Buat apa kau mengeluarkan katakatamu
ini, seperti juga kau menempatkan emas di mukamu
sendiri ?'
Tan Hong girang mendengar kata-kata orang itu. Rupanya
Ang Gan Kwie Bo berada dipihaknya. Lantas ia campur bicara,
katanya, "Benar apa yang cianpwe bilang ! Bagaimana kalau
kita mengeluarkan syarat ? Jika didalam tiga puluh jurus kau
dapat menangkan aku satu atau setengah jurus, maka aku
akan menyerahkan kitab pedang itu pada kau. Jika sebaliknya
yaitu kau tidak memperoleh kemenangan kau harus
meletakkan tongkat rotanmu itu dan pergi kabur sendiri,
seperti juga kau dapat melanjuti perjalananku dengan bebas.
Bagaimana kalau kita minta cianpwe ini menjadi saksinya ?"
Nona Tan memanggil "cianpwe" orang tua yang dihormati
kepada si nyonya tua.
Si bocah Cio Hia sudah lantas menepuk-nepuk tangan
secara gembira sekali.
"Bagus ! Bagus !" serunya. "Cuma aku kuatir si bapak
pendeta nanti jeri..."
Leng Bin Hud Gouw Beng merasa mukanya panas, sedang
kulit mukanya itu segera bersemu merah. Dia malu dan panas
hati, orang bagaikan mengejeknya.
"Tan Hong !" ia membentak si nona dari Hek Keng To,
"dengan caramu ini kau mencari susah sendiri ! Jangan kau
menyesal kalau nanti aku telah menurunkan tangan terlalu
berat !"
Menyusul kata-katanya itu menuruti hawa amarahnya,
Gouw Beng sudah lantas memutar tongkat rotannya dengan
apa dia bagaikan mengurung tubuhnya si nona !
Tan Hong tahu orang bergusar sampai pada puncaknya,
mungkin lebih maka tak mau ia menyentuh senjatanya
pendeta itu, hanya terus ia memperlihatkan kelincahan
tubuhnya. Bagaikan ular licin ia berkelit atau lompat sana
lompat sini, menyelamatkan diri dari senjata lawan. Tapi ia
bukan berkelit terus-terusan, ia juga menggunakan
tongkatnya, setiap ada ketika ia menyodok bagian-bagian
kosong dari lawannya itu.
Demikian mereka berdua bertarung dengan seru, walaupun
pertempuran baru saja dimulai. Selagi pihak yang satu berlaku
keras, yang lain lunak tetapi cepat.
Selagi itu Ang Gan Kwie Bo dan Cio Hong terus menonton
dengan perhatian.
Saking hebatnya penyerangan jurus-jurus dilewatkan
dengan cepat sekali. Dengan begitu tanpa merasa batas jurus
yang disebutkan tiga puluh jurus telah dilewatkan !
"Sudah cukup ! Sudah lebih daripada tiga puluh jurus !"
tiba-tiba Ang Gan Kwie Bo berseru, "Leng Bin Hud Taysu kau
telah kalah !"
Bagaikan orang tak mendengar Gouw Beng masih
menyerang terus. Dia bagaikan lupa atau kalap.
"Taysu, masihkah kau tidak mau berhenti berkelahi ?"
tanya si nyonya tua yang wajahnya tapinya masih seperti
muda dan manis.
Leng Bin Hud tetap membudek, sebaliknya dengan Tan
Hong. Nona kontan lompat mundur tujuh atau delapan tindak.
Masih si pendeta penasaran, dia lompat menyusul untuk
mengulangi serangannya bertubi-tubi, baru dia berhenti
dengan terkejut ketika mendadak ia merasai kedua tangannya
bergetar dan gemetar bagaikan terhajar hajaran berat seribu
kati, lengannya pun terasakan nyeri dia bagaikan kaku, maka
mendadak pula ia berlompat mundur, matanya menatap
bengis kepada Ang Gan Kwie Bo untuk terus membentak :
"Hm, jurus pemisah yang jempol ! Kenapakah kau
membokong aku si pendeta tua ?'
Si nyonya balik mengawasi. Dia memperlihatkan tampang
dingin. Dengan suara dingin juga dia menjawab : "Bukankah
janji tiga puluh jurus sudah lewat ? Baiklah taysu menepati
janji kita dan mengaku kalah !"
Masih pendeta itu penasaran.
"Siapa suruh kau membokong aku ?" tanyanya bengis.
Pendeta ini mengotot, orang memisahkannya secara keras
dia menuduhnya membokong.
"Hai, kau berlaku galak ya ? Jika kau tetap tidak puas
marilah kau turun tangan atas diri nonamu ini ! Mari !"
Dan nona cilik itu lompat maju sambil melayangkan sebelah
telapakan tangannya !
Tak jeri Leng Bin Hud terhadap bocah itu. Ia sedang
bergusar sekali. Ia pula melupai hadirnya Ang Gan Kwie Bo
disitu. Dengan memindahkan tongkatnya ke tangan kiri
dengan tangan kanannya ia menyampok menggempur tangan
si nona cilik. Ia memikir membuat orang mendapat luka
didalam.
Di luar terkaan si pendeta, Cio Hoa bermata tajam dan
cedas sekali. Ia seperti bisa membaca maksud lawan. Maka
juga selagi menyerang itu, ia merobah tangan terbukanya.
Kelima jari masih tetap dibuka hanya sekarang kelimanya
direnggangkan dan bukan lagi ia menggampar atau
menggaplok hanya menotok ke tangan lawan yang hendak
menangkisnya itu. Ia menotok tengah-tengah telapakan
tangan dibagian yang lemah. Dan selekasnya kedua tangan
beradu ia meneruskan mencelat mundur !
Giauw beng terkejut. Dia telah kena diperdayakan sibocah
bau kencur ! Dia tertotok tak sampai terluka parah toh dia
merasa telapakan tangannya itu tergetar dan kaku kaku gatal
! Tentu sekali ia mendongkol maka hendak ia lompat
menyusul akan tetapi belum lagi dia menjejak tanah atau
berlompat maju, tiba-tiba telinganya sudah mendengar tawa
nyaring garing bagaikan suara genta perak, suara mana mirip
dengan tusukan pada telinga atau tikaman pada ulu hati ! Dan
rasanya sangat sukar akan bertahan dari gangguan itu hingga
dia menjadi kaget tak terkirakan. Dengan terpaksa ia lompat
mundur dua tombak !
Itulah tawanya Ang Gan Kwie Bo siapa telah senantiasa
memasang mata mengawasi gerak gerik si pendeta hingga dia
melihat tegas bagaimana orang dipermainkan Cio Hoa. Dia
mengawasi dengan tampang memandang sangat rendah
setelah mana dengan memegang tangan si anak tanggung,
dia mengajak pergi ke penyeberangan.
Gauw Beng berdiam mengawasi orang berlalu, sesudahnya
dua orang itu pergi jauh, ia menghela napas melegakan
hatinya yang pepat, ketika kemudian ia berpaling, ia
mendapatkan bahwa ia pun sudah ditinggal pergi oleh Tan
Hong. Nona itu sudah berjalan sejauh belasan tombak.
Walaupun demikian dengan mendadak ia berlompat untuk
menyusul !
Tan Hong sementara itu berlari dengan keras. Ia tidak ingin
rewel dan terganggu oleh Gauw Beng Taysu maka juga ia
terus meninggalkan jauh sekali pendeta itu selagi si pendeta
diganggu Cio Hoa dan Ang Gan Kwie Bo. Ia ingin mencari It
Hiong sebab si anak muda belum juga tiba.
Sampai disebuah tikungan, wanita jago dari Hek Keng To
ini dikejutkan oleh berkelebatnya sesosok bayangan orang
yang hampir bertabrakan dengannya. Ia dapat lekas
memindahkan tindakan kakinya serta menggeser tubuhnya
hingga mereka saling lewat, umpama kata hampir saling
membentur bahu. Ia terkejut dan menoleh selekasnya mereka
berdua sudah melewati satu pada lain. Justru ia menoleh itu,
ia melihat orang pun memutar tubuh seraya terus merangsek
padanya sebelah tangannya diayunkan ke arahnya. Terang
orang hendak menepuk punggungnya. Karena ia sudah
menoleh dan dapat melihat, ia segera mencelat ke samping,
membebaskan diri dari serangan gelap itu.
Sekarang terlihat tegas, penyerang itu adalah seorang tosu,
atau imam dari To Kauw, agama To dari Nabi Lo Cu. Dia
mengenakan jubah putih seluruhnya, dia seperti umumnya
kaum tosu, punggungnya menggendol sebatang pedang,
Imam itu bertubuh tegap dan kekar, hanya sebelah matanya -
mata yang kiri - tak dapat melihat.
"Ha, budak !" demikian si imam menegur, "kenapa kau
sangat sembrono ? Kau tak boleh mendapat ampun ! Lekas
bilang, kau asal partai mana ? Toyu kamu hendak memberi
ajaran adat kepadamu !"
Berkata demikian mata si orang suci sempat mencilat
berkilau !
Tang Hong pun gusar sekali. Memangnya karena dibokong
itu ia sudah mendongkol bukan main. Ia tidak kenal imam itu
dan merasa tidak bersalah. Jamak kalau mereka hampir
bertabrakan sebab sama-sama mereka lagi lari-lari dengan
kerasnya.
"Hmm!" ia memperdengarkan suara dinginnya. "Tan Hong
dari Hek Keng To ! Kau kenal atau tidak?"
Menurut panas hati, nona ini bersikap jumawa.
"Bagus ! Bagus !" imam itu berseru berulang-ulang. "Akulah
Hian Ho Cinjin ! Aku memang tengah mencarimu ! Jika kau
tahu gelagat, lekas kau tinggalkan kitab silat Sam Cay Kiam,
nanti aku beri ampun kepada jiwamu ! Jika tidak, hm awas
kau !"
Mendengar orang menyebut nama suCinya, tahulah Tan
Hong bahwa imam dihadapannya ini adalah salah seorang dari
vihara Kim Ho Kiong di puncak Ngo Im Hong digunung Kauw
Loaw San, penghuni atau koancu yang nomor dua. Memang ia
tak kenal si imam tetapi pernah ia dengar namanya. Ketika
dahulu saat Tio It Hiong menyerang Kim Ho Kiong, imam ini
telah terhajar sebelah matanya yang kiri, sekarang ternyata
matanya itu terus buta. Ia mendongkol kapan ia mengingat
orang hendak mendapati kitab pedang Sam Cay Kiam itu.
Bukankah mereka sesama golongan ? Sudah si imam ketahui
ia adalah orang Hek Keng To, toh ia masih menghendaki kitab
ilmu pedangnya itu ! Itulah perbuatan keterlaluan. Maka
dalam murkanya mata si nona menjadi merah, dengan bengis
ia mengawasi lalu dengan tawar ia kata keras : "Totiang, jika
kau benar koancu kedua dari Kim Ho Kiong, suka aku
mempersembahkan kitab pedang itu kepada kau hanya
sayang melihat wajahmu ini, nonamu terasangsi, dia
meragukanmu !"
Diluar sangkaan mendengar demikian, si imam menjadi
cepat sedangkan tadi tidak karu-karuan, dia bergusar.
Begitulah dia bergusar. Begitulah dia tanya perlahan :
"Entahlah, nona dalam hal apa nona menyangsikan pinto ?"
Tan Hong sengaja tertawa. Ia menjawab wajar : "pernah
aku mendengar keterangan Beng Leng Cinjin, kakak
seperguruanku bahwa Jie Koancu Hian Ho dari Kim Ho Kiong
adalah seorang pertapa yang tampan dan tiada cacatnya pada
anggota-anggota tubuhnya, tetapi sekarang, totiang, kau telah
buta matamu yang kiri ! Jika totiang benar bukanlah imam
yang palsu, tolong kau jelaskan kepadaku, kenapa sekarang
kau buta sebelah matamu itu ?"
Muka Hian Ho menjadi merah, ia melengak karena jengah
atau dilain detik, ia menjadi sangat gusar.
"Hai budak nakal !" bentaknya. "Bagaimana kau jadi begini
kurang ajar ? Lihat pedang !" Dan ia menghunus pedangnya
dengan apa ia segera menebas si nona.
Tan Hong pun tidak panas, tetapi ia cerdas ia memikir. Ia
tidak jeri terhadap imam itu bahkan ia memandang tak mata
sebab ia ingat orang pernah roboh ditangan Tio It Hioang.
Begitulah ia berniat "menghajar adat" pada Hian Ho dengan
membuat pedang itu patah. Begitu ditebas, ia menangkis
dengan sanho pang !
Kedua senjata beradu keras, sebab kedua pihak mereka
telah mengerahkan tenaga dalam mereka. Karena beradunya
itu, keduanya sama-sama mundur beberapa tindak dan tangan
mereka bergetar sesemutan. Benar saja ujung pedang kena
tergompalkan !
Tepat itu waktu disitu muncullah Leng Bin Hud. Pendeta itu
yang menyusul terus terusan akhirnya dapat menyandak
orang yang disusulnya karena dia ini tertunda perjalanannya.
Gouw Beng mendatangi sambil berseru : "Hian Ho Totiang,
jangan kasih budak itu lolos ! Kitab ilmu pedang Sam Cay
Kiam berada ditangannya." Dan bentakan itu diakhiri dengan
serangan tongkat rotannya yang diarahkan ke arah pinggang !
Hian Ho melengak mulutnya memperdengarkan suara
seperti geraman. Belum pernah orang membuat pedangnya
bercacat seperti itu di dalam satu gebrakan sja. Ia girang
ketika ia mendengar suaranya Leng Bin Hud dan melihat
mendatanginya pendeta itu. Maka ia percaya, inilah saatnya
guna ia merampas pulang muka terangnya. Dalam hal ini ia
sampai lupa maju, sebab ia tak perduli lagi bahwa mereka
berdua mengepung satu orang bahkan si lawan adalah
seorang wanita muda. Ia tak ingat lagi yang kaum Kang Ouw
bakal menertawakannya.
"Mari kita bersama membekuk budak ini !" demikianlah ia
malah berseru dan terus dengan pedangnya ia mengulangi
serangannya.
Tan Hong melakukan perlawanan. Didalam waktu yang
singkat ia sudah lantas terdesak.
Kalau ia melawan satu sama satu yang mana saja, dari
Hian Ho dan Gouw Beng sanggup ia melayani sampai seratus
jurs, sekarang lain, semua lawan juga berkelahi dengan keras
sekali sebab dua-duanya sedang mendongkol dan marah
besar. Dengan terpaksa ia menggunakan ilmu silat sanho pang
yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Berkilauan cahaya
senjatanya itu bagaikan mengurung tubuhnya.
Pertarungan berlangsung seru. Tan Hong berlaku sungguhsungguh
dan waspada, matanya dipasang benar-benar. Inilah
yang menyulitkan kedua pengepung itu untuk lekas merebut
kemenangan.
Leng Bin Hud penasaran sekali, hatinya menjadi semakin
panas maka satu kali dia menyerang dengan "Menyerbu Terus
Langsung Ke Istana Kuning" suatu jurus silat simpanannya.
Dengan demikian dada atau ulu hatinya Tan Hong terasa
terbebat sebab dilain pihak ada ancaman dari Hian Ho.
Nona itu tabah hatinya, ancaman tak membuatnya terkejut
bahkan ia memperkeras hatinya mempertebal semangatnya.
Ia pun sengit sekali. Ketika senjata lawan tiba, ia menangkis
sambil mencoba melibat dengan senjatanya yang kiri
berbareng dengan mana senjatanya yang kanan ia membalas
menyerang dengan membarenginya. Kalau lawan
menggunakan "Gerak gerik Naga" maka ia jurus silat "Ular
Hijau Melilit Pohon" dan ia bukannya menyerang muka atau
tubuh lawan hanya tangannya yang mencekal tongkat rotan
itu.
Jilid 13
Hanya sekelebatan saja, maka mengucurlah darah dari
tangannya Gouw Beng, sebab tanpa daya lagi dia terlambat
sebuah jeriji tangannya hingga jeriji itu dapat kutung!
Mendapat hasil itu semangat Nona Tan berkobar, hanya
disaat ia hendak menyusuli Leng Bin Hud dengan lain
serangan untuk membuatnya mati daya, tiba-tiba ada
sambaran angin di belakangnya. Ia tahu itulah tikamannya
Hian Ho yang mau menghajar dirinya sambil menolong
sipendeta. Dengan cepat ia berkelit ke kiri.
Hian Ho menyerang dengan jurus “hujan lebat dan taufan”,
ujung pedangnya menabas kebahu lawan. Waktu serangannya
itu yang mirip pembokongan gagal karena si nona berkelit, tak
menanti sesaat, ia lantas menyusuli dengan satu serangan
tangan kosong. Tangan jahat, angin yang mendahuluinya
menyambar kemuka lawan yang lagi berkelit itu.
Bukan main kagetnya Tan Hong, ia baru saja lolos dari
ancaman pedang maut itu, kakinyapun baru saja diletaki,
maka kali ini ia tak dapat lolos lagi. Ia kurang cepat, pukulan
angin itu walaupun kurang telak mengenai sasaran telah
membuat ia terhuyung-huyung, tubuhnya limbung sesudah
delapan tindak baru dapat ia berdiri diam.
Selain kaget dan nyeri, iapun marasakan darahnya bergolak
pada seluruh tubuhnya.
Hian Ho Cianjin tertawa berkakakan.
“Nah, budak bau!” katanya mengejek, sekarang baru kau
ketahui lihainya tangan mautku! Jika kau masih membandel
dan tak sudi menyerahkan kitab pedang itu padaku, akan aku
bikin darahmu berhamburan disini!”
Diam-diam Tan Hong mencoba menenangkan hatinya dan
mengerahkan tenaganya, berbareng dengan itu ia melirik
lawannya. Ia membungkam, tapi sinar matanya menyatakan
kegusarannya. Hanya sejenak saja setelah itu ia sudah
melompat maju menyerang kepada si imam.
Sementara itu Leng Bin Hud sempat mengobati tangannya,
membikin darahnya berhenti mengalir keluar. Ketika itu
wajahnya merah padam saking mendongkol dan gusar. Ketika
si nona berlompat menerjang si imam, dia melihat satu
kesempatan yang baik sekali. Dia memang dapat bersiap
sembarang waktu. Demikianlah secara tiba-tiba dia
menyerang si nona. Untuk itu dia melompat maju dan
serangannya dilakukan selagi nona itu hampir menaruh kaki
ketanah. Dia menggunakan pukulan Sian Thian Bu Kek
Khiekang. Sasarannya adalah punggung lawan yang
dibencinya itu.
Senjata Tan Hong dan senjata Hian Ho beradu dengan
keras. Itu karena ketika si nona menghajar, si imam telah
bersiap-siap dan berhasil menangkis dengan tepat. Setelah
bentrokan, tubuh si nona kontan turun ketanah! Saat itu, ia
terkejut sekali karena merasakan sambaran hawa dingin mirip
es merangsang seluruh tubuhnya. Tak sempat ia berdaya
pula. Serangan hawa dingin meresap masuk kedalam
tubuhnya dan menyerang uluhatinya, seketika ia roboh
pingsan. Serangan itu didetik pertama membuat gemetar dan
menggigil seluruh tubuhnya, terus ia jatuh dan tak berkutik
lagi!
Selekasnya orang roboh, Leng Bin Hud melompat kedada si
nona untuk berjongkok disisinya, guna mengulur kedua belah
tangan dan merogoh kedalam sakunya hingga didetik lain
kitab pedang Sam Cay Kiam sudah berada didalam
genggamannya! Saking girangnya, Gauw Beng tertawa
terbahak-bahak, hanya belum lagi tawanya itu berhenti, ia
dikejutkan dengan berkelebatnya satu bayangan tubuh
manusia. Ketika ia menoleh, ia melihat berdiri lima kaki
disampingnya itu seorang anak muda yang tampangnya
tampan dan gagah, yang dipunggungnya menggembol sebuah
pedang!
Melihat si anak muda, Leng Bin Hud bediri tercengang. Hian
Ho si imam juga sama herannya seperti sipendeta! Sebab
mereka sama-sama mengenalinya sebagai Tio It Hiong
muridnya Tek Cio Siangjin. Selekasnya mereka sadar dan
mengeluarkan seruan tertahan “Oh…!” Mereka memandang
satu dengan lain lalu kemudian mereka mengawasi pula anak
muda itu.
Habis mengawasi tajam kepada dua orang dari kalangan
suci itu, It Hiong lantas menegur: “Apakah kitabnya Tan Hong
kalian yang ambil?”
“Apakah anehnya mengambil kitab pedang itu” sahut Leng
Bin Hud tawar, “Jiwamu juga hari ini kurampas!”
Hian Ho mmengawasi sangat tajam, terus membentak:
“Disinilah musuh-musuh saling bertemu! Maka itu sakit hati ini
ingin aku bayar dengan jiwamu!”
Terpaksa, It Hiong jadi naik darah, mukanya menjadi
merah.
“Jadi kalian tidak mau memberitahukan padaku siapa yang
merampas kitab pedang!” katanya bengis, “mari, jangan kalian
mengharap akan dapat meninggalkan tempat ini dengan
masih hidup segar bugar! Dengan begitu juga akan bereslah
segala urusan dengan kalian! Nah, kalian berdua majulah
dengan berbareng!”
Sambil menantang itu, si anak muda juga sudah lantas
menghunus pedangnya untuk bersedia menyambut serangan.
Dengan begitu juga ia telah memberikan kesempatan kepada
imam dan pendeta itu untuk maju bersama.
Untuk sejenak Hian Ho dan Leng Bin Hud bersangsi. Samasama
mereka merasa jeri atau segan, karena mereka berdua,
masing-masing pernah lolos dari ancaman pedangnya anak
muda yang pemurah itu. Mereka berdua tidak lekas angkat
kaki karena mereka pikir inilah kesempatan yang paling baik
buat mereka bekerja sama menyerang pemuda itu! Dua lawan
satu! Mustahil mereka kalah! Maka mereka melengak sedetik,
lantas mereka saling lirik dan mengedipi mata, menyusul
mana keduanya maju sambil mengangkat senjatanya masingmasing.
Satu pedang Ceng Kong Kiam - satu tongkat rotan Coa
Teang Thung! Dengan sama-sama menggunakan jurus silat
yang istimewa, mereka menyerang dengan berbareng!
Dengan ilmu pedang Khie bun Pat Kwa Kiam, It Hiong
melayani dua musuh. Ia berlaku gesit dan waspada, awas
mata, jeli telinga dan cepat tangan kaki! Iapun menggunakan
ilmu silat “Hang Liong Hok Mo Kun” disaat yang perlu. Maka
disitu sering terdengar senjata-senjata beradu, tubuh-tubuh
berkelit dan berlompatan, bahkan ada yang terpental jauh.
Bertiga…atau lebih tepat disebut berdua, sebab satu dikeroyok
dua orang…mereka mengadu kepandaian atau jiwa…
Sementara itu dengan sendirinya pengalaman dari It Hiong
mengenai ilmu silat Khie bun Pat Kwa Kiam membuatnya
bertambah maju. Dengan demikian dengan mudah ia sanggup
menghadapi pengepungan itu, apalagi ia dibantu oleh pedang
mestikanya serta ilmu ringan tubuh “Lompatan Tangga Mega”
hingga secara umum ia berada diatas angin. Pertempuran itu
berjalan dengan seru, jurus-jurus habis dengan cepat, hingga
dilain saat seratus jurus telah dilewati. Selama itu It Hiong
tetap gagah, pengaruh darah belut emas telah banyak
membantunya. Ia menjadi kuat dan ulet serta dapat bertahan
lama tanpa mudah letih. Walaupun demikian sesudah
melewati banyak jurus itu, ia menjadi berpikir juga. Tak dapat
ia lama-lama berkelahi secara demikian. Kedua musuhnya
bukan orang sembarangan, lama-lama ia bisa kalah tenaga.
Dua-duanya, Leng Bin Hud dan Hian Ho Cinjin
menggunakan seluruh kepandaiannya, mereka juga hendak
merebut kemenangan untuk memuaskan hati mereka. Tengah
mereka bertempur seru itu, mendadak Leng Bin Hud kena
dikakinya sehingga ia kaget sekali, justru ia sedikit lalai
sehingga ujung senjatanya yang istimewa kena terbabat
pedang Keng Hong Kiam hingga ujungnya kutung sedikit! Ia
mundur satu tindak untuk melihat senjatanya, habis mana
mendadak ia melompat maju sambil membalas menyerang
menjambak tangan si anak muda. Ia dapat merangsek sebab
dilain pihak, Hian Ho juga sedang menyerang lawannya itu.
It Hiong dapat menerka maksud kedua lawannya itu. Ia
tidak takut bahkan hatinya tak gentar. Ia tetap berlaku
tenang. Ia juga menantikan waktunya yang baik. Waktu ia
dijambak itu, ia memapaki dengan tebasan pedangnya
ketangan lawan! Leng Bin Hud terkejut, sampai ia menarik
pulang tangannya guna menyelamatkannya dari ancaman
kutung. Pertempuran berlangsung terus. Hian Ho selalu
menyerang secara berbahaya. Leng Bin Hud mengikuti jejak
kawannya itu. Dipihak lain It Hiong tetap waspada dan gesit,
ia tetap melayani dengan seksama.
Satu kali Gouw Beng kaget bukan main. Itulah sebab
pedang lawan menyambar lengan kanannya disebabkan ia
ayal sedikit…
“Hm!” It Hiong memperdengarkan ejekan, lalu terus ia
mengulangi serangan mautnya. “Sambut pedangku!” demikian
ia bentak Hian Ho.
Imam itu terperanjat jeri kepada pedang mestika itu, ia
lompat mundur dua tindak, tetapi ia mundur bukannya buat
menyingkir jauh. Dari samping ia lantas membalas menyerang
pula. Mulanya dengan Im Sat Ciang, terus dengan tikaman
pedangnya ke arah bahu lawan. It Hiong melihat ancaman itu,
ia berkelit ke kiri, pedangnya dipakai melindungi diri.
Selekasnya kaki kirinya menginjak tanah, kaki kanannya
diangkat naik melayang ke punggung lawan. Semua gerakan
dilakukan dengan sangat cepat! Lagi-lagi Hian Ho lompat
mundur. Kembali ia gagal. Syukur ia masih cukup cepat, maka
ia selamat dari tendangan maut itu. Ayal sedikit saja berarti ia
bakal terluka.
Sementara itu Tan Hong sadar sendirinya walaupun
perlahan. Segera ia melihat bagaimana kedua pendeta dan
imam itu tengah mengepung It Hiong dan mereka itu tengah
berkelahi mati-matian. Kapan ia melihat si anak muda,
bagaimana manisnya ia merasa, hingga dalam detik itu ia lupa
akan nyeri pada bahunya, mendadak ia berjingkrak bangun. Ia
terhuyung dua kali sebelum ia dapat berdiri tetap.
“Oh adik Hiong, kau datang…?” serunya dengan napas
memburu.
It Hiong tengah berkelahi, akan tetapi mendengar suara si
nona yang ia kenali, ia toh melirik, hingga ia mendapati nona
itu berada sejauh dua tombak lebih dari mereka bertiga.
“Siapakah yang mencuri kitab itu?” tanyanya kepada si
nona itu.
Ditanya tentang kitab itu, Tan Hong sadar dan terkejut,
tangannya lantas meraba kedadanya, hingga kesudahannya ia
menjadi terkejut sekali. Kitab itu sudah lenyap. Untuk sedetik
ia terdiam.
“Tadi aku dirobohkan hingga pingsan oleh pukulan dingin
Sam Im Ciang si keledia botak Leng Bin Hud” katanya
memberi keterangan. “Karena sekian lama aku tak sadarkan
diri, tak tahu aku kitab itu ada ditangan siapa…” Ia terus
mengawasi pendeta dan imam itu, untuk meneruskan berkata:
“Mestinya satu diantara mereka berdua ini yang merampas
kitab itu! Adik Hiong bereskanlah mereka berdua, jangan kasi
ada yang lolos!”
Selama bicara dengan si nona, dua kali It Hiong mesti
meloloskan diri dari serangan berbahaya lawannya. Hal itu
membuat ia terkejut sekali hingga berbareng iapun berpikir
keras. Demikian pikirnya: “Aku Tio It Hiong mesti berhasil
merampas kitab ilmu pedang guruku! Kenapa aku mesti
melayani mereka berkelahi lama? Itu berarti aku membuangbuang
waktu yang berharga! Bagaimana kalau mereka berlaku
licik dan kabur?”
Mendadak, setelah ingat itu, It Hiong sudah lantas
menyerang dengan hebat. Semangatnya seperti terbangun
secara mendadak. Ia menyerang dengan pelbagai jurus silat
pedangnya yang semuanya terdiri dari tujuh puluh dua jurus.
Ia mendesak dan menyerang secara bertubi-tubi!
Segera juga Leng Bin Hud menjadi repot sekali, bahkan
peluhnya lantas bercucuran, dengan sendirinya ia merasa jeri
dan memikirkan cara untuk angkat kaki dan ia merasa
menyesal kesempatan untuk itu belum tiba. Terpaksa ia mesti
bersabar sambil terus waspada.
Akhirnya datang juga saat yang dinantikannya itu. Yaitu
saat Hian Ho Cinjin mencecar si anak muda dan It Hiong mesti
melayaninya. Hian Ho menikam selagi si anak muda sedang
menghadapi sipendeta. Tengah It Hiong menangkis, si imam
Leng Bin Hud mendadak menyerang secara hebat yaitu
tongkat rotannya bagaikan diterbangkan kepada lawannya.
Dilain pihak, dia memutar tubuhnya buat kabur dari sana!
It Hiong repot membela diri dari serangan imam dan
pendeta itu, maka ketika ia melihat sipendeta
meninggalkannya kabur,namun ia tidak mau mengerti, lantas
ia lompat lari sambil berseru: “Kepala gundul! Hendak lari
kemana kau?”
Gouw Beng mendengar suara orang ia menjadi bingung.
Itu artinya orang telah mengejarnya! Ia cuma tahu lari buat
menjauhkan diri. Ia tidak ingat ia bakal melewati Tan Hong
yang sedang menderita. Hanya beberapa tindak dari si nona
mendadak ada bayangan sesuatu yang menyambarnya!
Kiranya itulah tongkat Sanhopang dari Nona Tan!
Leng Bin Hud bertangan kosong, karena senjatanya telah ia
lempar dan tak sempat diambil lagi. Sekarang ia mendapat
serangan tiba-tiba, terpaksa ia menggerakkan kedua
tangannya guna melindungi dadanya sedang tubuhnya
ditegakkan. dibiarkannya dadanya itu. Ia terus menjatuhkan
diri untuk terus lompat melenting. Karena itulah tipu
menjatuhkan diri buat menyingkir dari serangan maut. Baru ia
lolos dari serangan itu, serangan susulan sudah tiba, kali ini
yang mengancamnya adalah pedang Keng Hong Kiam, bukan
main kagetnya dia. Walaupun ia coba berkelit namun pedang
toh menancap dibahunya. Ia kaget dan kesakitan, sampai
roboh berguling, ia merasa bahwa ia sukar buat lolos namun
ia tak mau menyerah, tak sudi ia mengembalikan kitab pedang
orang. Ia keluarkan kitab itu lalu dengan seluruh tenaganya ia
lemparkan kepada Hian Ho sambil berseru lemah: “Toheng
sambut! Ingatlah tolong balaskan sakit hatiku ini!” Habis
berkata begitu, ia tidak menanti suaranya berhenti, ia
menotok dirinya sendiri guna menghentikan darahnya keluar
terus. Sesudah itu ia menubruk It Hiong, kedua tangannya
dipiting. Maksudnya ialah menerkam si anak muda guna mati
bersama supaya Hian Ho sempat kabur.
Si imam berhasil menyambut kitab itu terus memutar
tubuhnya dan lari. Tan Hong melihat orang hendak lari, ia
lompat menyusul hendak mencegah, tapi ia disambut
serangan Hian Ho. Ia sedang terluka, maka begitu ia dipapaki
dengan serangan Im Sat Ciang beberapa kali, iapun roboh
tanpa berdaya!
It Hiong melihat kitab dilemparkan sipendeta kepada si
imam, ia hendak pergi menyusul imam itu, namun mendadak
Leng Bin Hud lompat menerkamnya… Mau tdak mau ia mesti
membela diri dan caranya ialah dengan memapaki serangan.
Iapun gusar menyaksikan perbuatan pengecut dari pendeta
itu. Maka waktu ia menggerakkan Keng Hong Kiam, Gouw
Beng roboh tanpa berdaya, tubuhnya terkulai tak berkutik
pula!
Sementara itu si anak muda telah menyia-nyiakan waktu.
Ketika itu Tan Hong sudah roboh dan Hian Ho sudah kabur,
bahkan imam itu lari luar biasa cepatnya, sehingga sudah tak
nampak bayangannya. Rupanya dia kabur ketempat yang
lebat dimana dia menyingkir dan menyembunyikan diri.
Dalam keadaan seperti itu, It Hiong mengeluarkan suara
nyaring guna melegakan hatinya kemudian sesudah memasuki
pedang kedalam sarung, ia bertindak menghampiri Tan Hong.
Nona itu sudah dapat duduk, ia tengah beristirahat. Lukanya
parah tapi hanya dibahu sehingga dapatlah ia bertahan.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar