Kilas Balik Merah Salju [Serial Pisau Terbang Terakhir]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Sabtu, 17 September 2011

Kilas Balik Merah Salju

BIAN CHENG DHAO SHENG
THE SOUND OF THE SABRE IN A BORDER TOWN
Karya : Gu Long
Saduran Tjan ID

BAGIAN I. DI TEPI KOTA
Bab 1. DONGENG KUNO
Konon di langit terdapat sebuah bintang terang,
yang muncul satu kali setiap tujuh puluh enam
tahun.
Setiap kali muncul selalu mendatangkan
bencana bagi umat manusia.
Tahun ini adalah saatnya muncul kembali.
Ruang Ban be tong di wilayah Kwan tang.
Sebuah gedung yang cemerlang, gemerlapan.
Banyak orang memuja dan mengaguminya.
Entah sejak kapan gedung Ban be tong telah
terlupakan? Telah menjadi kenangan sebuah
kemenangan? Telah menjadi tempat tanpa
kegiatan dan mulai dilapisi debu dan pasir.
Sebaris pagar kayu, pagar yang terbuat dari
batang kayu setinggi tiga kaki, berdiri
mengelilinginya hingga seakan terpisah dari
padang rumput, terus menjelujur hingga ke ujung
lain yang berada nun jauh di sana, mengelilingi
bangunan yang berderet begitu rapat, seperti
taburan bintang di tengah kegelapan malam.
Entah sejak kapan pagar kayu itu pun telah
tertelan dan tenggelam di balik rumput ilalang
yang tumbuh liar.
Apalagi bangunan di balik pagar, kondisinya
sudah lapuk, berantakan dan hancur, lapisan

debu yang tebal nyaris menyelimuti seluruh lantai
dan dinding rumah, membuat seekor anjing yang
semula berwarna putih dan meringkuk di sudut
ruangan, kini berubah jadi anjing berbulu hitam.
Sorot matanya kehilangan kelincahan serta
kepekaan sebagai seekor binatang, sekarang
nyaris tak mirip lagi sebagai seekor anjing.
Mungkin anjing inilah satu-satunya kehidupan
yang masih tersisa dalam gedung Ban be tong.
Tak tahan Yap Kay menggeleng kepala sambil
menghela napas.
Bukankah kelaparan merupakan salah satu cara
penyelesaian kehidupan yang tepat?
Tetapi bukan termasuk salah satu cara yang
paling keji dan menakutkan.
Sejak zaman kuno, bukankah cara menghabisi
kehidupan yang paling keji, jitu, menakutkan dan
paling purba adalah pembunuhan yang dilakukan
manusia?
Manusia membunuh manusia, manusia
membunuh semua kehidupan, bukankah cara ini
terhitung cara yang paling tepat?
Sam-lopan dari Ban be tong, Be Khong-cun.
Kongsun Toan yang bicara seperti namanya,
bicara terputus-putus. Sim Sam-nio yang tak
segan tidur menemani musuh besarnya demi
membalas dendam. Be Hong-ling yang
mencampur-baurkan cinta dan dendam...
masih ada lagi banyak orang, bukankah

semuanya kehilangan nyawa lantaran Yap Kay
dan Pho Ang-soat? Sepuluh tahun.
Ya, sepuluh tahun sudah lewat!
Selama sepuluh tahun, berapa banyak manusia
yang muncul di dunia persilatan? Berapa banyak
orang yang mati karena nama, berapa banyak
jago yang patah tumbuh hilang berganti? Berapa
banyak waktu dan musim yang berlalu begitu saja
di tengah senyuman Yap Kay?
Lalu bagaimana pula dengan Pho Ang-soat?
Sudah sepuluh tahun, apakah dia pun telah
berubah?
Berubah semakin murung? Makin masgul?
Makin menyendiri dan angkuh?
Atau berubah semakin hambar memandang
nama dan pahala, semakin bisa menyelami
perasaan manusia?
Atau mungkin dia masih seperti dulu, acuh
terhadap orang lain, malang melintang seorang
diri?
Udara malam sangat bersih, cahaya bintang
bertaburan di angkasa, mendampingi bulan
purnama yang bergayut di ujung langit
Suasana malam amat hening, langit bumi
terasa tenang penuh kedamaian, begitu
tenangnya sampai katak-katak musim panas yang
biasanya suka berdendang kini terbungkam,
seolah-olah sudah ter hanyut dalam tidurnya.

Yap Kay duduk bersila di lantai, bersandar pada
tiang bendera yang berdiri tegak di tepi pintu
gerbang, sepasang matanya menerawang ke
udara malam yang bersih, menatap terpesona,
seolah-olah sedang menantikan sesuatu.
Apakah sedang menunggu seseorang?
Siapakah yang bakal mendatangi tempat yang
sepi dan terlupakan itu? Datang hanya untuk
bersua dengannya?
Angin berhembus lembut, selembut belaian
tangan sang kekasih yang sedang membelai kerut
wajah Yap Kay.
Sang anjing yang sedang meringkuk di sudut
dinding seakan mem biarkan angin malam
membelai tubuhnya, ia meringkuk di sana sambil
menikmati keheningan malam.
Menyaksikan tingkah-laku anjing itu, tak tahan
Yap Kay mulai tertawa ringan, kemudian
perlahan-lahan memejamkan mata.
Pada saat itulah mendadak dari balik kegelapan
malam di langit utara berkelebat sekilas cahaya
yang menyilaukan mata.
Yap Kay membuka matanya, mendongak
memandang ke langit utara.
Setelah muncul dari balik kegelapan malam di
langit utara, cahaya itu bergerak makin cepat dan
makin menyilaukan mata, bergerak dengan
meninggalkan ekor cahaya yang panjang sekali,

menggores langit dan berderak menjauh ke langit
selatan.
Ternyata sebuah komet!
Komet yang muncul sekali setiap tujuh puluh
enam tahun.
Keindahan cahayanya tak tertandingi oleh
keindahan cahaya bintang mana pun.
Meskipun sinarnya hanya bertahan sejenak,
namun keindahan dan terangnya terkenang
sepanjang masa.
Biarpun dengan cepat lenyap di balik kegelapan
malam di langit selatan, namun keindahan dan
kecantikannya akan selalu terkenang dalam hati
Yap Kay.
"Cantik!" gumam Yap Kay, "pemandangan
langka seperti ini tak cukup dilukiskan hanya
dengan perkataan cantik."
Pada saat bersamaan, di dalam sebuah loteng
di sebuah kota kecil, tak jauh dari Ban be tong,
seseorang sedang duduk pula di depan jendela,
duduk bermain kartu sambil menikmati
keindahan alam itu.
Langit nan biru terbentang begitu bersih,
sementara pasir kuning membentang di daratan
sejauh mata memandang.
Begitu luasnya pasir kuning seakan
bersambungan dengan ujung langit.

Angin mulai berhembus kencang, berhembus
hingga ke ujung langit.
Begitu pula manusianya, dia pun berada nun
jauh di ujung langit.
Yap Kay seolah baru datang dari ujung langit
berjalan begitu perlahan menelusuri jalan raya,
berjalan menuju ke arah satu-satunya rumah
makan yang terdapat di sana.
Entah berasal darimana, sekuntum bunga
terbawa hembusan angin dan jatuh di atas tanah.
Bunga itu seakan datang dari ujung langit
bergulingan dihembus angin bercampur pasir
kuning ....
Yap Kay mengulurkan tangan, memungut
guguran bunga itu.
Putik bunga telah berguguran, hanya tersisa
beberapa biji kelopak bunga paling bandel yang
masih bertahan, masih bertengger kaku.
Yap Kay memandang sekejap bunga dalam
genggamannya, lalu sambil tertawa dia kebutkan
pakaian dekilnya yang seharusnya sudah pantas
dimasukkan ke dalam tong sampah, kemudian
menyisipkan bunga itu ke bajunya.
Lagaknya seperti seorang lelaki romantis yang
berdandan rapi, kemudian menyisipkan sekuntum
bunga merah paling indah di jubah suteranya
yang halus dan mahal

Dengan senyum puas dia mendongakkan
kepala, membusungkan dada dan berjalan masuk
ke dalam rumah makan dengan langkah lebar.
Begitu mendorong pintu, ia segera melihat Pho
Ang-soat. Betul, Pho Ang-soat dengan goloknya.
Tangannya kelihatan begitu pucat, sementara
goloknya kelihatan begitu hitam.
Hitam pekat bagaikan datangnya kematian.
Apakah putih pucat pun melambangkan
semakin dekatnya elmaut?
Golok hitam berada dalam genggamannya,
dalam genggaman tangan yang putih pucat.
Yap Kay mulai memperhatikan golok Pho Angsoat,
lalu memandang tangannya, setelah itu dari
tangan ia beralih memperhatikan wajahnya.
Paras muka orang itu masih tetap seperti dulu,
pucat-pias, sedang sepasang matanya masih
tetap memancarkan cahaya kehitaman yang
penuh misteri.
Warna hitam yang indah berkilat, bersih tapi
penuh kemisteriusan.
Begitu melihat Pho Ang-soat, Yap Kay
tersenyum, lalu berjalan menghampirinya sambil
tertawa tergelak, ia berjalan ke hadapan Pho Angsoat,
kemudian duduk.
Waktu itu Pho Ang-soat sedang bersantap.
Yap Kay masih ingat, ketika untuk pertama
kalinya bersua Pho Ang-soat sepuluh tahun lalu,

di tempat yang sama, saat itu dia pun sedang
bersantap.
Cara makannya pun aneh, makan sesuap nasi
baru kemudian ayur sesuap, makannya pun
lambat, karena dia makan menggunakan sebelah
tangan.
Tangan kirinya tak pernah digunakan untuk hal
lain, tangan itu selalu menggenggam goloknya.
Peduli sedang melakukan pekerjaan apa pun,
belum pernah dia melepas goloknya itu.
Kini Yap Kay mulai mengawasi Pho Ang-soat.
Gerakan sumpit Pho Ang-soat tidak berhenti
lantaran itu, dia masih tetap menyuapi mulutnya
dengan nasi dan sayur, sama sekali tak ada niat
untuk berhenti makan.
Umpama saat itu ada delapan puluh orang jago
pedang dengan delapan puluh bilah pedang tajam
yang tertuju ke tubuhnya pun, dia tak bakal
berhenti bersantap.
Tapi bagaimana kalau ada delapan puluh orang
gadis cantik? Delapan puluh orang gadis cantik
yang berbugil ria di hadapannya?
Yap Kay memandang wajah Pho Ang-soat, tibatiba
ia tertawa lagi, tegurnya, "Kau tak pernah
minum arak bukan?"
Pho Ang-soat tetap menunduk memperhatikan
makanan di mejanya, juga tidak menghentikan
sumpitnya, perlahan-lahan dia habiskan sisa nasi
dalam mangkuknya, kemudian baru meletakkan

sumpit, mendongakkan kepala ia balas
memandang wajah Yap Kay.
Senyuman Yap Kay persis seperti cahaya
matahari yang mendadak muncul dari balik badai
pasir.
Sebaliknya mimik muka Pho Ang-soat lebih
dingin dari bongkahan salju di musim dingin.
Dia balas memandang Yap Kay, lama kemudian
baru sahutnya sepatah demi sepatah, "Aku tidak
minum arak "
"Biarpun kau tidak minum, bagaimana kalau
mentraktir aku minum barang satu dua cawan?"
"Kau sendiri punya duit, kenapa aku harus
mentraktirmu?"
"Justru arak gratis merupakan arak yang paling
enak dinikmati," Yap Kay tertawa tergelak,
"apalagi kalau kau yang traktir, jelas arak itu
akan menjadi arak langka."
"Aku tak suka minum arak, juga tak suka
mentraktir orang minum arak"
Jawaban Pho Ang-soat diucapkan sangat
lamban, seolah setiap patah katanya harus
melalui pertimbangan yang matang sebelum
diucapkan, seakan setiap patah kata yang
diucapkan dari mulutnya, dia merasa wajib untuk
mempertanggungjawabkan
Oleh sebab itu dia tak ingin salah bicara, walau
hanya sepatah kata saja.

Tentu saja Yap Kay mengetahui hal ini, maka
dia pun menanggapi sambil tertawa,
"Kelihatannya selama hidup tak ada harapan
bagiku untuk menikmati arak gratismu."
Biarpun Pho Ang-soat dan Yap Kay terhitung
sahabat karib, namun di antara mereka berdua
seakan terpisah oleh sebuah jarak yang tak
kelihatan, membuat hubungan mereka berdua
seperti dua orang asing yang tak pernah saling
kenal.
Pho Ang-soat menatap Yap Kay,
memandangnya sampai lama sekali, kemudian
baru ujarnya, "Belum tentu, mungkin kau punya
kesempatan untuk menikmati arak gratisku."
"Kesempatan? Kesempatan apa?"
"Arak kegirangan."
"Arak kegirangan?" Yap Kay terperanjat, "arak
kegiranganmu? Dengan siapa? Cui long?"
Begitu nama itu disebut, Yap Kay sendiri
merasa menyesal, bahkan mengumpat dirinya
sebagai telur busuk yang tolol, sebab kembali dia
saksikan penderitaan dan siksaan batin yang luar
biasa terlintas pada mata Pho Ang-soat.
Sepuluh tahun sudah berlalu, masakah dia
masih belum dapat melupakannya?
Mampukah dia melupakannya?
Perempuan pertama dalam hidupnya, cinta
pertama dalam hatinya, siapa pula yang dapat
melupakannya?

Mungkin orang lain bisa, tapi tidak untuk Pho
Ang-soat.
Bukan lantaran dia kelewat bodoh, bukan pula
karena dia mabuk tapi rasa cintanya terhadap
perempuan itu kelewat dalam.
Barang siapa cintanya kelewat dalam,
seringkah rasa sedih dan sakit yang dideritanya
akan lebih berat dan parah.
Makin dalam menggunakan perasaan, makin
tersayat penderitaan.
Kalau memang saling mencintai, mengapa pula
harus saling melukai hatinya?
Perlahan-lahan Pho Ang-soat menundukkan
kepala, sorot mata sayu mulai menerawang
kosong ke sana kemari, rasa sakit dan derita yang
terpancar dari balik matanya pun kian bertambah
kental.
Menyaksikan keadaannya itu, Yap Kay ingin
sekali berlagak seolah berjiwa besar, ingin
mengucapkan satu-dua patah kata senda-gurau,
tapi dia benar-benar tak tahu darimana harus
mulai.
Untunglah pada saat itu muncul seorang yang
membantunya menyelesaikan kerumitan itu.
"Kenapa kau selalu ingin ditraktir orang minum
arak?" suara itu datang dari mulut tangga,
"apakah kau sudah lupa, terkadang mentraktir
orang minum arak pun merupakan suatu
kenikmatan tersendiri?"

Tak perlu berpaling pun Yap Kay tahu siapa
pembicara itu, segera sahutnya sambil tertawa,
"Siau Piat-li wahai Siau Piat-li, rupanya kau masih
hidup."
Tempat ini adalah sebuah tempat yang sangat
aneh.
Di sini terdapat tempat judi tapi bukan sarang
perjudian, di sini pun terdapat arak tapi bukan
rumah makan. Malahan setiap saat terdapat
perempuan yang siap melayani keinginanmu, tapi
tempat ini pun bukan sarang pelacuran.
Tempat ini adalah satu-satunya tempat hiburan
yang terdapat di kota kecil ini, "Ko ih wan lok"
(tempat bermain sepuasnya).
Di tengah ruangan yang luas berjajar enam
belas meja, meja mana pun yang kau pilih, kau
dapat menikmati hidangan serta arak yang paling
bagus.
Di bagian belakang ruangan besar itu terdapat
anak tangga yang menjulang tinggi ke atas, tak
ada yang tahu tempat apakah di atas loteng, juga
tak ada yang ingin naik ke sana, sebab apa pun
yang kau butuhkan, apa pun yang kau inginkan,
semuanya sudah tersedia di bawah loteng.
Di mulut tangga, sepanjang tahun selalu
tersedia sebuah meja persegi rada kecil, di
belakang meja selalu berduduk seorang lelaki
setengah umur berdandan rajin dan perlente.
Orang ini selalu duduk seorang diri di situ,
selalu bermain kartu seorang diri, jarang ada

orang melihat dia melakukan pekerjaan lain, juga
jarang ada yang melihat ia bangkit dari tempat
duduknya.
Kursi yang dia duduki sangat besar, lebar dan
nyaman, di sisi bangku tersandar dua batang
tongkat yang terbuat dari kayu merah, di tempat
yang paling gampang baginya untuk meraih.
Walaupun banyak orang berlalu-lalang di
hadapannya, namun ia tak pernah menaruh
perhatian, bahkan jarang sekali mengangkat
wajah untuk menengoknya sekejap, seolah-olah
baginya perbuatan apa pun yang dilakukan orang
lain sama sekali tak ada sangkut-paut dengan
dirinya.
Padahal dialah tuan rumah tempat itu,
namanya Siau Piat-li. Dan tempat itu disebut
Siang ki lau.
Sambil tertawa Yap Kay berpaling, dalam
sekejap ia sudah melihat Siau Piat-li yang sedang
duduk di mulut tangga, dia masih sama seperti
sepuluh tahun berselang, sama sekali tak
berubah, yang berbeda hanya rambut yang mulai
beruban serta lebih banyak kerutan di wajahnya.
Entah berapa banyak kegembiraan, berapa
banyak penderitaan, berapa banyak rahasia dan
berapa banyak ketidak berdayaan yang telah
menggurat di setiap kerutan wajahnya, tapi
sepasang tangannya masih tetap lembut dan
halus, selembut tangan seorang gadis remaja.

Pakaian yang dikenakan masih kelihatan
mewah dan mentereng, cawan arak terbuat dari
emas terletak di atas meja, cawan itu dipenuhi
arak berwarna kuning kecoklat-coklatan yang
memancarkan cahaya lembut bagai batu permata.
Saat itu dia sedang menjajarkan kartunya di
atas meja, berjajar membentuk sebuah Pat-kwa.
Sambil bermain dia balas memandang Yap Kay
dan melempar senyumannya.
Tentu saja Yap Kay masih tertawa, ujarnya
dengan tersenyum lebar, "Orang mengundangku
adalah satu persoalan, sementara aku
mengundang orang adalah persoalan lain."
"Betul," sahut Siau Piat-li, "memang sama
sekali berbeda." "Oleh sebab itu aku akan
mengundang, mengundang setiap orang yang
sedang berada dalam gedung ini."
"Sayang, saat ini hanya ada tiga orang dalam
gedung ini," Siau Piat-li menghela napas, "kau
pun seakan telah melupakan sesuatu."
Saat itu di dalam gedung memang hanya
tinggal tiga orang, tapi apa yang telah dilupakan
Yap Kay?
Yap Kay benar-benar tak habis mengerti, dia
langsung bertanya, kalau tidak ditanyakan
bagaimana tanggung jawabnya terhadap diri
sendiri nanti?
"Apa yang kulupakan?"

"Kelihatannya kau lupa, bila ingin mengundang
orang, yang penting kau harus punya uang."
"Uang? Jadi kau anggap aku tak mirip orang
yang menggembol uang?"
"Tepat sekali, kau memang tak mirip," sahut
Siau Piat-li sambil tertawa, "pada hakikatnya kau
lebih mirip orang miskin yang benar-benar sudah
kere habis."
"Jika aku mengundang orang, belum tentu
harus membawa uang," tiba-tiba Yap Kay
menyela.
"Tak perlu uang? Mau dibayar pakai apa?"
"Hutang," kembali Yap Kay tergelak, "masa kau
lupa aku bisa berhutang di sini?"
"Berhutang? Itu sudah lewat, kejadian pada
sepuluh tahun lalu." "Sekali berhutang, dua kali
pun berhutang, setahun berhutang, sepuluh
tahun pun tetap hutang," Yap Kay tertawa
tergelak, "apalagi aku tak pernah mengemplang
hutang, setiap berhutang pasti kulunasi. Aku
termasuk tamu yang bisa dipercaya. Buat tamu
yang bisa dipercaya, lumrah kan jika berhutang
agak banyak? Bukankah begitu Siau-lopan?"
Aturan darimana itu? Mungkin aturan
seenaknya macam begitu hanya bisa
dikemukakan oleh Yap Kay.
Kalau sudah bertemu orang semacam ini,
bayangkan sendiri, apa yang bisa dilakukan Siau
Piat-li?

Dia hanya bisa tertawa getir. Ya, selain tertawa
getir, apalagi yang bisa diperbuat Siau Piat-li?
Pada saat itulah Pho Ang-soat yang selama
ini hanya menepekur dalam kesedihan tiba-tiba
buka suara, "Yang aku maksud minum arak
kegirangan, bukanlah arak kegiranganku." "Aku
tahu."
Jawaban Yap Kay dan Siau Piat-li diucapkan
hampir bersamaan, begitu selesai bicara, mereka
saling bertukar pandang sambil tertawa.
Kemudian Siau Piat-li pun berkata, "Oh, jadi
arak kegirangan yang kau maksud adalah arak
kegirangan Yap Kay dan Ting Hun-pin? Jika Yap
Kay jadi mengawini Ting Hun-pin, dia pasti akan
mengundangmu mencicipi arak kegirangannya."
"Betul," dengan nada amat tenang Pho Angsoat
berkata kepada Yap Kay, "selama hidup aku
tak pernah mengundang orang lain minum arak,
namun asal kau menikah, aku pasti akan
mengundang."
Pho Ang-soat bukannya tak pernah minum
arak, ia pernah minum, bahkan pernah mabuk
selama empat-lima hari di rumah seorang
perempuan yang hidupnya tergantung dari jualan
daging.
Dia bisa minum, bisa mabuk, tentu saja
lantaran cinta. Dan biasanya hanya cinta sepihak
yang membuatnya begitu menderita dan tersiksa.

Sejak mabuk berat itu, hingga kini dia tak
pernah lagi minum arak, jangankan minum,
mencicipi pun tidak.
Dia selalu berpendapat walaupun mabuk arak
bisa melupakan semua penderitaan, namun bila
sudah sadar, penderitaan masih tetap utuh
bahkan jauh lebih berat dan mendalam.
Mabuk arak belum mendusin, kemurungan
mendusin lebih dahulu. Hanya orang yang
pernah minum arak, baru bisa
membayangkan keadaan itu?
Arak memenuhi cawan dan cawan itu berada di
tangan Yap Kay sambil menikmati harumnya
arak, dia menyaksikan Siau Piat-li bermain kartu.
Perlahan-lahan Siau Piat-li menyusun kartunya
menjadi bentuk Pat-kwa, matanya mengawasi
kartu-kartu itu tanpa berkedip. Paras mukanya
yang tirus penuh kerutan nampak murung dan
serius, sampai lama kemudian baru ia
mendongakkan kepala sambil menghela napas
panjang.
"Apa yang telah kau saksikan," Yap Kay
bertanya, "betulkah kau bisa melihat banyak
kejadian melalui deretan kartumu itu?" "Benar."
"Lalu apa yang kau saksikan hari ini?"
Siau Piat-li tidak langsung menjawab, dia
mengangkat cawan emasnya sambil pelan-pelan
dihirup, matanya memandang ke atas dinding dan
menerawang jauh ke depan.

Selang sesaat kemudian baru ia meletakkan
cawannya dan menyahut, "Ada sebagian bencana
yang tak mungkin bisa dihindari, ya... sama sekali
tak bisa dihindari
"Bencana? Bencana apa?" tanya Yap Kay tak
habis mengerti.
"Bencana alam," sahut Siau Piat-li sambil
menarik pandangan matanya dan dialihkan ke
wajah Yap Kay, "bencana alam susah diramal!"
Setelah menghela napas panjang, kembali
lanjutnya, "Tahukah kau, di atas langit terdapat
sejenis komet yang mempunyai ekor panjang,
panjang sekali?"
"Ya, tahu. Komet itu bernama Hui seng."
"Betul, komet itu muncul setiap tujuh puluh
enam tahun satu kali, setiap kali muncul selalu
mendatangkan bencana besar bagi umat
manusia."
"Kemunculan komet akan mendatangkan
bencana? Bencana macam apakah itu?"
"Entahlah, terlepas bencana macam apa yang
bakal terjadi, yang pasti bencana itu akan
mendatangkan ketidak beruntungan bagi seluruh
umat manusia"
Yap Kay termenung beberapa saat, kemudian
katanya, "Semalam, aku pun sempat melihat
komet itu."
"Ya, aku pun melihatnya, cahaya yang
ditinggalkan komet itu begitu tajam dan

berkilauan, benar-benar indah hingga sulit
dilukiskan dengan kata-kata."
Kali ini dia mengalihkan sorot matanya dari
tempat kejauhan ke wajah Yap Kay, gumamnya,
"Entah bencana apa yang dibawa komet kali ini
untuk umat manusia?"
"Peduli bencana apa pun, tak ada hubungannya
denganku," tiba-tiba Pho Ang-soat menyela.
"Salah besar," tukas Siau Piat-li sambil
menatap tajam wajah Pho Ang-soat, "menurut
hasil perhitungan kartu, bencana besar yang
bakal terjadi kali ini justru punya sangkut-paut
erat dengan dirimu."
"Menyangkut diriku?" Pho Ang-soat tertawa
dingin, rasa tak percaya menyelimuti wajahnya,
"kalau memang ramalan kartu itu sangat manjur,
kenapa kau tidak meramal untuk dirimu sendiri....
"
Tiba-tiba Pho Ang-soat menghentikan
perkataannya, mata yang tajam dialihkan ke arah
pintu gerbang.
Yap Kay pun mengalihkan perhatiannya ke
pintu.
Tidak ada hal yang aneh di depan pintu
gerbang, di sana hanya berdiri seseorang,
seorang lelaki yang mengenakan pakaian ringkas.
Sesudah memandang Yap Kay dan Pho Angsoat
sekejap, ia maju selangkah sambil menegur,

"Maaf mengganggu, boleh tahu apakah kalian
berdua adalah Pho-kongcu dan Yap-kongcu?"
"Akulah Yap Kay, ada urusan apa?"
"Majikan kami ingin berbincang-bincang dengan
kalian." "Siapa majikanmu?"
"Sam lopan," jawab orang itu sambil
tersenyum, "Sam lopan dari Ban be tong"
"Sam lopan dari Ban be tong?" ular Yap Kay
melengak.
Bukankah Ban be tong sudah hancur dan
tinggal puing-puing yang berserakan? Darimana
munculnya Sam lopan dari Ban be tong?
"Tolong tanya, siapakah Sam lopan dari Ban be
tong?" kembali Yap Kay bertanya.
Lelaki berbaju ringkas itu tertegun,
dipandangnya Yap Kay sekejap, kemudian sekali
lagi tertawa. Kali ini dia benar-benar tertawa,
dianggapnya setiap orang sudah seharusnya tahu
siapakah Sam lopan dari Ban be tong.
"Sam lopan adalah Be Khong-cun," sahutnya
sambil tertawa.
Yap Kay tertegun, Pho Ang-soat pun ikut
tertegun.
Be Khong-cun?
Bukankah Be Khong-cun sudah tewas sepuluh
tahun berselang, tewas dalam Ban be tong, tewas
di hadapan Yap Kay, kenapa sekarang bisa
muncul lagi di sini?

Mungkinkah Be Khong-cun yang sekarang
berbeda dengan Be Khong-cun yang dulu?
Siau Piat-li sendiri pun merasa heran, kepada
orang itu tanyanya, "Be Khong-cun yang mana?"
"Siaulopan, memangnya kau sudah mabuk
berat di siang hari bolong begini," orang
berpakaian ringkas itu tertawa tergelak, "tentu
saja sahabat karibmu Be Khong-cun, bukankah
putri Sam-lopan kami sering datang ke sini untuk
mengobrol denganmu?"
Semakin mendengar ocehan orang itu, Yap Kay
semakin terperanjat, dengan mata terbelalak
lebar tegasnya, "Bukankah putri Sam-lopan
bernama Be Hong-ling?"
"Benar," jawab orang itu sambil tertawa.
Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Mana mungkin seorang yang telah mati, kini
muncul kembali bahkan mengundang mereka
untuk berkunjung?
"Pulanglah dan beritahu Sam-lopan, kami pasti
akan tiba tepat waktu," akhirnya Yap Kay
berkata kepada orang itu.
"Terima kasih."
Hingga bayangan punggung orang itu lenyap di
balik pintu, rasa kaget dan tercengang yang
meliputi wajah Yap Kay belum juga luntur, begitu
pula dengan Pho Ang-soat.

Siau Piat-li sendiri dengan wajah murung
sedang memandang ke tempat jauh tanpa
berkedip.
"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Yap Kay
setelah meneguk secawan arak.
"Asal datang ke sana, bukankah semuanya
akan jelas?" sahut Siau Piat-li sambil meneguk
pula secawan arak, "tampaknya bencana besar
yang bakal terjadi kali ini memang ada sangkutpautnya
dengan kalian berdua. Ramalan kartuku
sungguh tepat."
"Kau sangka kejadian inilah bencana besar
yang dibawa komet itu?" senyuman ringan
kembali menghiasi bibir Yap Kay.
"Semoga saja bukan!" sahut Siau Piat-li
hambar.
Bab 2. WAKTU BERJALAN TERBALIK
Bagaimana mungkin Be Khong-cun yang sudah
tewas sejak sepuluh tahun berselang bisa muncul
lagi, bahkan mengundang tamu?
Mungkinkah Be Khong-cun yang sekarang
adalah Be Khong-cun yang lain?
Tempat undangan adalah Ban be tong, apakah
gedung Ban be tong yang telah tinggal puing
berserakan itu yang dimaksud? Menjamu tamu di
tengah reruntuhan bangunan?

Tampaknya berbagai pertanyaan yang
membingungkan ini hanya bisa terjawab setelah
malam nanti, setelah mereka tiba di gedung Ban
be tong.
Cahaya bianglala memancar masuk dari arah
barat, persis menyinari Ban be tong.
Yap Kay berdiri di bawah sinar senja,
mengawasi cahaya berwarna kemerah-merahan
itu sambil termenung.
"Begitu indah matahari senja, hanya sayang
sudah mendekati magrib."
Lalu apa pula bedanya dengan kehidupan
manusia?
Kalau kehidupan manusia hanya sesaat, hanya
numpang lewat, lantas buat apa manusia mesti
meributkan sesuatu yang kosong? Buat apa saling
gontok hanya untuk memperebutkan nama dan
kedudukan yang sama sekali tak berarti?
Sekalipun diributkan, lalu untuk apa? Jika
menang bagaimana dan andaikata kalah pun mau
apa?
Yap Kay menghela napas panjang, baru saja
akan beranjak dari situ, tiba-tiba ia saksikan ada
seseorang sedang berjalan dari depan,
menghampiri ke arahnya.
Pho Ang-soat sedang berjalan dari arah depan.
Ia berjalan sangat lamban namun sama sekali
tak berhenti, biarpun malaikat elmaut sudah

menunggu di hadapannya pun dia tak bakal
menghentikan langkahnya.
Caranya berjalan sangat aneh bahkan
cendereng istimewa, kaki kiri maju selangkah
lebih dulu kemudian kaki kanan baru mengikuti
secara perlahan-lahan, sepintas cara
melangkahnya kelihatan begitu sulit.
Biarpun tampak sengsara, namun ia sudah
menempuh perjalanan yang tak terhitung
jauhnya, pernah mengarungi jalan raya yang tak
terhitung panjangnya, semuanya itu dia lakukan
sendiri, selangkah demi selangkah.
Kalau berjalan dengan cara begini, sampai
kapan baru dia akan tiba di tempat tujuan?
Pho Ang-soat tidak tahu, bahkan tak
pernah membayangkannya, sekarang ia sudah
berjalan sampai di sini, bagaimana selanjutnya?
Benarkah di depan sana kematian telah
menunggunya? Yap Kay coba mengamati Pho
Ang-soat, dilihatnya cara berjalan Pho Ang-soat
selalu memandang ke tempat jauh.
Mungkinkah di kejauhan sana, terdapat
seseorang yang sudah begitu terukir dalam lubuk
hatinya, seseorang yang selalu diimpikan siang
malam, sedang menanti kedatangannya?
Kalau memang begitu, kenapa pula sorot
matanya nampak begitu dingin, begitu hambar?
Sekalipun ada perasaan yang terpancar, yang
pasti perasaan itu bukan perasaan cinta yang

hangat, melainkan penderitaan, dendam kesumat
dan kesedihan.
Sudah lama hal itu berlangsung, mengapa ia
masih belum dapat melupakannya?
Matahari senja telah condong ke langit barat,
sang manusia berada di bawah cahaya senja.
Hawa dingin dan sepi menyelimuti seluruh
jagad, membuat matahari senja pun ikut berubah
warna lantaran kesepian, berubah menjadi putih
dan memilukan.
Begitu juga dengan sang manusia.
Di tangan Pho Ang-soat masih tergenggam
sebilah golok. Tangan yang pucat dengan golok
berwarna hitam pekat.
Bukankah warna pucat dan hitam merupakan
warna yang melambangkan semakin dekatnya
kematian?
Kematian, bukankah merupakan juga puncak
dari semua kehampaan dan kesepian?
Kini dari balik kehampaan dan kesunyian yang
terpancar dari balik tatapan mata Pho Ang-soat,
seolah terlihat kematian itu.
Benarkah kematian akan terjadi di kaki langit
dimana matahari senja sedang tenggelam?
Peternakan kuda Lok-jit, gedung Ban be tong!
Pho Ang-soat memandang gedung Ban be tong
di kejauhan, begitu pula Yap Kay.

Langit semakin gelap, namun dilihat dari
kejauhan, bangunan Ban be tong lamat-lamat
masih nampak dengan nyata.
Benarkah Ban be tong sedang menuju ke alam
kematian? Tanpa terasa Yap Kay terbayang
kembali kejadian pada sepuluh tahun lalu, saat
dia melalui jalan yang sama pergi ke Ban be tong,
hanya waktu itu dia naik kereta, sementara kali
ini berjalan kaki.
Dari dalam kereta tiba-tiba ia mendengar suara
nyanyian yang aneh, suara nyanyian itu muncul
dari tengah semak belukar.
Orang itu bersenandung dengan nada pedih,
seperti orang sedang merintih, seperti juga
sedang menangis, tapi ketika diamati lebih
seksama, suara itu lebih mirip orang sedang
berdoa.
Langit cerah, bumi cemerlang, air mata bagai
darah, manusia dicekam kepedihan, seorang
dalam gedung selaksa kuda, golok bisa patah,
manusia bisa duka.
Langit cerah, bumi cemerlang, air mata bagai
darah, manusia dicekam kepedihan, seorang
dalam gedung selaksa kuda, jajigan mimpi bisa
balik ke desa
Kegelapan malam semakin mencekam.
Tanah pegunungan yang luas terasa makin
sepi, makin dingin dan makin lebar, gedung Ban
be tong masih bersembunyi di balik kegelapan
malam yang tiada batas.

Sambil mengawasi angin berpasir yang sedang
berhembus di tengah kegelapan malam, Yap Kay
pun berkata sambil tersenyum, "Dulu di dalam
gedung Ban be tong tersimpan tiga ribu guci arak
wangi, entah bagaimana keadaannya sekarang?
Apa mungkin masih tersimpan arak wangi?"
Perkataan itu seakan ditujukan kepada Pho
Ang-soat, tapi seperti juga Yap Kay sedang
bergumam.
Ternyata Pho Ang-soat bukan cuma
mendengarkan, malah kali ini dia pun menjawab.
"Aku hanya tahu Be Khong-cun telah mampus,
sudah mampus sejak sepuluh tahun lalu," sahut
Pho Ang-soat hambar, "malam ini pun kita tak
perlu pergi ke sana"
"Tapi kita tetap akan ke sana," Yap Kay
tertawa, "sebab kita ingin melihat siapa gerangan
yang menjadi Be Khong-cun, apakah dia bangkit
dari liang kubur? Ataukah ada orang lain yang
menyaru sebagai dirinya?"
Senyuman Yap Kay seakan tak pernah padam,
ujarnya pula sambil tertawa, "Kalau Be Khong-cun
masih hidup, entah bagaimana dengan Hun Caythian,
Kongsun Toan, Hoa Boan-thian serta Sambu
Siansing Loh Loh-san, mungkinkah mereka
masih sehat wal'afiat?"
Sudah jelas orang-orang itu telah lama mati,
mengapa Yap Kay mengatakan mereka masih
sehat wal'afiat?

Mungkinkah dia sudah tahu akan rahasia di
balik peristiwa ini?
Angin malam berhembus makin kencang.
Di tengah hembusan angin, selain pasir yang
beterbangan, tercium bau harum bunga dari
ujung bukit, terdengar pula suara ringkik kuda
serta suara roda yang berputar kencang.
Begitu mendengar suara ringkik kuda, suara
tawa Yap Kay makin nyaring dan cerah.
"Benar, memang beginilah gaya orang Ban be
tong," katanya, "kalau menyambut tamu pasti
dengan kereta kuda, jika tidak, hal ini bisa
menjatuhkan pamor Ban be tong."
Baru selesai dia berkata, sebuah kereta hitam
yang dihela delapan ekor kuda telah muncul dari
balik kegelapan dan berhenti tepat di depan Yap
Kay serta Pho Ang-soat.
Kereta hitam itu persis sama dengan kereta
kuda yang dipakai untuk menjemput mereka pada
sepuluh tahun berselang, bahkan kedelapan ekor
kuda yang digunakan pun tak jauh berbeda.
Sebuah panji segitiga berwarna putih tertancap
di atas kereta, di tengah panji itu tertera lima
huruf sulaman yang amat besar, "Kwan tang Ban
be tong"
Baru saja Yap Kay memperhatikan panji itu,
pintu kereta telah dibuka orang, disusul
munculnya seseorang dari dalam ruang kereta,

seorang lelaki setengah umur berbaju putih bersih
bagai salju.
Begitu melihat wajah orang itu, kontan
senyuman Yap Kay berubah jadi kaku, dengan
sorot mata tercengang setengah tak percaya
diawasinya orang itu tanpa berkedip.
Walaupun tiada senyuman yang menghiasi
wajah Pho Ang-soat, mukanya pun ikut berubah,
dia hanya mengawasi lelaki setengah umur
berbaju putih itu dengan mata mendelong.
Siapakah sebenarnya orang itu? Mengapa
kemunculannya membuat Yap Kay berdua
memperlihatkan mimik muka seaneh itu?
Begitu turun dari kereta, lelaki setengah umur
itu langsung menjura dan menyapa, "Cayhe Hun
Cay-thian mohon maaf yang sebesar-besarnya
karena datang terlambat."
Ternyata orang ini adalah Hun Cay-thian.
Tapi... bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?
Bukankah dia sudah tewas sejak sepuluh tahun
berselang? Bagaimana mungkin dapat muncul
kembali?
Sebetulnya orang ini Hun Cay-thian atau setan
gentayangan?
Raut mukanya tidak jauh berbeda dengan
wajahnya sepuluh tahun lalu, masih tetap bulat,
putih tanpa kumis dan jenggot, malah sewaktu
tidak tertawa ia nampak imut-imut

menyenangkan, usianya masih sekitar empat
puluh tahunan.
Biarpun sepuluh tahun berselang ia belum mati,
seharusnya saat ini usianya sudah mencapai lima
puluh tahun, sedikit banyak paras mukanya pasti
berubah, biarpun ia memiliki kemampuan
merawat muka, mana mungkin tiada kerutan
yang tertampak di wajahnya?
Tapi kenyataan sekarang mukanya benar-benar
tanpa kerutan, wajahnya tetap putih gemuk dan
halus bagai sebuah cermin.
Kali ini Yap Kay bukan cuma tertegun, ia benarbenar
berdiri bodoh, untuk sesaat ia tak tahu apa
yang sebenarnya telah terjadi.
Mungkinkah seseorang yang telah mati bisa
bangkit dan hidup kembali?
Satu kejadian yang mustahil dan tak masuk
akal, tapi sekarang justru terpampang di hadapan
Yap Kay.
Angin malam berhembus mengibarkan ujung
baju Hun Cay-thian yang berwarna putih, namun
dalam pandangan Yap Kay, Hun Cay-thian justru
bagaikan roh gentayangan yang muncul dari balik
kegelapan malam, tak kuasa lagi ia bergidik dan
bersin beberapa kali.
Pho Ang-soat pun sedang mengawasi Hun Caythian,
mendadak ia maju ke depan dan menegur,
"Kau benar-benar Hun Cay-thian?"
"Betul!"

"Lantas siapa Hun Cay-thian yang tewas
sepuluh tahun lalu?"
Giliran Hun Cay-thian yang melengak, dengan
wajah tak mengerti dan penuh keraguan ia balas
menatap wajah Pho Ang-soat, lalu bisiknya, "Aku
sudah mati? Mati sejak sepuluh tahun lalu?"
"Betul, Hun Cay-thian sudah mampus sepuluh
tahun lalu!" jawab Pho Ang-soat kata demi kata.
"Mati dimana? Mati di tangan siapa? Masakah
mati di ujung golokmu?"
"Bukan, mati di ujung pedang Be Khong-cun."
"Sam-lopan Be Khong-cun?" tiba-tiba Hun Caythian
tertawa tergelak, "Pho-kongcu, pandai amat
kau bergurau, hampir saja membuat aku tersedak
saking gelinya."
Sebetulnya Pho Ang-soat masih ingin bicara
lagi, tiba-tiba Yap Kay tertawa pula, sambil
tergelak dia menepuk bahu Hun Cay-thian
berulang kali.
"Siapa suruh kau datang terlambat, itulah
sedikit hukuman dari Pho-kongcu," kata Yap
Kay, "tentunya Hun-heng tidak marah bukan?"
"Mana mungkin aku marah? Datang terlambat
memang pantas mendapat hukuman."
Sudah jelas semua ini adalah kenyataan,
mengapa Yap Kay masih berusaha
merahasiakannya?

Hun Cay-thian memandang Yap Kay sekejap,
lalu katanya sambil tersenyum, "Tentu kau adalah
Yap Kay, Yap-kongcu bukan?"
"Kau kenal aku?"
"Rasanya belum kenal."
Sepuluh tahun lalu mereka pernah bertemu,
mengapa dia mengatakan tak kenal?
"Kalau memang tidak kenal, darimana tahu aku
adalah Yap Kay?"
"Biarpun usiamu masih muda, tapi seorang diri
kau sanggup membongkar rahasia-siangkoan
Siau-sian, menghancurkan Kim ci pang, siapa
yang tidak tahu dan mendengar peristiwa besar
itu?" sahut Hun Cay-thian sambil tertawa.
Beberapa peristiwa itu baru terjadi beberapa
tahun berselang, terjadi setelah Be Khong-cun
sekalian tewas, jika Hun Cay-thian sudah mati
sejak sepuluh tahun lalu, darimana dia bisa tahu
semua kejadian ini?
Dia jelas sudah mati!
Dan sekarang Hun Cay-thian muncul dalam
keadaan segar-bugar, sama sekali tak mirip
mayat yang baru bangkit dari liang kubur,
mungkinkah ada orang lain yang telah menyaru
sebagai dirinya?
Bila orang itu sedang menyaru, seharusnya tak
mungkin bisa lolos dari ketajaman mata Yap Kay
maupun Pho Ang-soat.

"Silakan naik kereta," Hun Cay-thian
mempersilakan.
Yap Kay hanya tersenyum sebagai jawaban,
tapi sebelum naik ke kereta tiba-tiba dia berpaling
sambil ujarnya kepada Pho Ang-soat, "Apakah
kau masih seperti sepuluh tahun berselang,
berjalan kaki?"
Pho Ang-soat tidak menyahut, dia menjawab
pertanyaan itu dengan tindakan, kaki kiri
melangkah lebih dulu kemudian kaki kanan
mengikut, dengan langkah kakinya yang aneh dan
istimewa dia berjalan menuju ke balik kegelapan.
"Dia tak mau naik kereta?" tanya Hun Caythian
keheranan.
"Tidak, dia lebih suka berjalan kaki."
Memandang bayangan punggung yang semakin
menjauh, kembali Hun Cay-thian berkata,
"Kelihatannya kaki dia bemasalah?"
"Benar, kakinya kena polio, sudah sejak kecil,"
sahut Yap Kay. "Polio?"
Ruang kereta itu sangat nyaman dan bersih,
paling tidak bisa menampung delapan orang
sekaligus, tapi kini hanya ditempati Yap Kay dan
Hun Cay-thian berdua.
"Entah masih ada tamu lain tidak?" Yap Kay
bersandar pada dinding kereta dengan sepasang
tangannya sebagai bantal.
"Seharusnya masih ada tiga orang, hanya tidak
jelas apakah Hoa-tongcu diundang tidak?"

"Hoa-tongcu?" berkilat mata Yap Kay, "Hoa
Boan-thian Hoa-tongcu?"
"Kau kenal?"
"Seharusnya kenal," Yap Kay tertawa, "sayang
kedatanganku sepuluh tahun lebih lambat"
"Apa maksudmu?"
"Kalau kedatanganku sepuluh tahun lebih awal,
bukankah kami pasti sudah saling mengenal?"
sahut Yap Kay tertawa lirih.
"Kalau memang berjodoh, akhirnya pasti akan
bertemu, cepat atau lambat sama saja."
"Betul, perkataanmu betul separoh," Yap Kay
manggut-manggut, "eh, omong-omong, apakah
dalam kereta tersedia arak wangi?"
"Ada, pasti ada," Hun Cay-thian tertawa
tergelak, "ada tamu agung macam kau, mana
boleh tak tersedia arak?"
Dari dalam sebuah laci Hun Cay-thian
mengambil keluar dua cawan kristal dan sebotol
arak Tiok yap cing.
Begitu tutup botol dibuka, bau harum semerbak
pun segera tersiar ke seluruh ruang kereta.
Sambil menarik napas dalam, seru Yap kay
dengan penuh rasa puas, "Wah, arak Tiok yap
cing yang telah berusia empat puluh tahun lebih."
"Baru mengendus baunya sudah tahu-tahun
pembuatannya, bagus, bagus sekali, tampaknya
Yap-kongcu memang jagoan minum susu macan,"

gumam Hun Cay-thian sambil menuangkan arak
ke cawan.
"Suka minum memang betul, kalau dibilang
jagoan, rasanya belum tentu."
Setelah menerima cawan arak, Yap Kay tidak
langsung meneguk isinya, diendusnya lebih dulu
tepi cawan, baru dia meneguk habis isi cawannya.
Begitulah cara setan arak menikmati
minumannya, memang begitulah salah satu cara
menikmati arak keras.
Biarkan bau pedas arak menelusuri lubang
hidung masuk ke tenggorokan, kemudian setelah
tenggorokan terbiasa dengan bau arak, sekali
tenggak habiskan isi arak itu. Dijamin pedas dan
panasnya susu macan tak bakal terasa.
Malam terasa semakin kelam, yang terdengar
saat itu hanya ringkik dan derap kaki kuda yang
memecah keheningan.
Memandang keluar jendela, Yap Kay menghela
napas panjang, gumamnya, "Ai, mungkinkah
malam ini ada orang yang akan bersenandung
untuk menambah kegembiraan?"
"Bersenandung untuk menambah kegembiraan?
Oh, ternyata Yap-heng suka permainan semacam
ini? Jangan kuatir, Cayhe bisa atur untukmu."
"Terima kasih Hun-heng, sayang yang ingin
kunikmati bukanlah seperti apa yang kau
bayangkan."
"Lalu apa yang ingin kau nikmati?"

Yap Kay masih bersandar santai di dinding
ruang kereta, lalu sambil mengetuk jendela di
sisinya dia mulai bersenandung.
"Langit cerah, bumi cemerlang, air mata bagai
darah, manusia dicekam kepedihan, seorang
dalam gedung selaksa kuda, jangan mimpi bisa
balik ke desa".
Lambat-laun paras Hun Cay-thian mulai
berubah, tapi Yap Kay masih tetap memicingkan
mata sambil tersenyum, menanti suara
senandungnya sirna, baru ia berkata sambil
menyeringai, "Apakah Hun-heng pernah
mendengar lagu ini sebelumnya?"
"Lagu yang indah, dengan syair yang
menggugah hati, selain Yap-heng, mungkin orang
lain.... "
"Sayang, bukan aku yang menulis syairnya,
lagu itu pun bukan hasil ciptaanku," Yap Kay
tertawa, "aku tak lebih hanya mengulang lagu itu
satu kali."
"Oh, lantas siapa yang menciptakan lagu itu?"
"Sudah mati."
"Sudah mati?"
"Benar, sudah mati sepuluh tahun berselang.
Kalau orangnya sudah mati dan masa silam tak
akan kembali lagi, rasanya Hun-heng tidak
keberatan bukan bila Cayhe mengulang sekali lagi
lagu itu?"

"Bisa mendengar Yap-heng bersenandung pun
sudah merupakan satu kejadian langka, masa aku
malah menegur?" buru-buru Hun Cay-thian
menyahut, "apalagi lagu itu jauh lebih enak
didengar dibanding isu tentang Ban be tong yang
tersiar di luaran."
"Ternyata Hun-heng memang seorang lelaki
berjiwa besar, kebesaranmu sungguh
mengagumkan."
Hun Cay-thian tersenyum, belum sempat
mengucapkan sesuatu, tiba-tiba Yap Kay bertanya
lagi, "Boleh aku tahu, apakah malam ini Samlopan
akan menjamu tamunya di ruang tamu?"
"Darimana Yap-heng bisa tahu?" sekilas rasa
kaget melintas di wajah Hun Cay-thian.
"Ban be tong begitu luas, wilayahnya
terbentang dari timur ke barat, walau berangkat
waktu fajar menyingsing dengan menggunakan
kuda tercepat pun, paling tidak sampai lohor baru
tiba di ujung yang lain," kata Yap Kay, "jika Ban
be tong tidak memiliki gedung penerima tamu,
memangnya Sam-lopan berkeinginan
mengundang kami untuk sarapan pagi?"
"Wah, tidak kusangka dengan usiamu yang
masih begitu muda, ternyata memiliki kecerdasan
luar biasa, sampai urusan sepele dan tetekbengek
pun diperhitungkan secara matang, Cayhe
betul-betul merasa kagum."
"Ah" kembali Yap Kay bergumam,
"tentu saja aku tahu jelas, bukankah

sepuluh tahun lalu pernah datang satu kali
kemari." "Apa kau bilang?"
"Ah, tidak apa-apa" Yap Kay tertawa, "aku
hanya bertanya, tentunya kita sudah hampir
sampai gedung penerima tamu bukan?"
"Betul, gedung penerima tamu berada di depan
sana "
Semalam gedung Ban be tong masih berupa
puing bangunan terbengkalai, puing kotor yang
penuh dikelilingi semak belukar. Tapi bagaimana
dengan malam ini?
Mungkinkah hanya berselisih semalam segala
sesuatunya telah berubah?
Yap Kay tak bisa membayangkan bangunan
macam bagaimana Ban be tong nanti.
Kalau semua penghuninya saja telah...
sekalipun kini mereka telah bangkit dari liang
kubur?
Yap Kay tertawa getir, semua kejadian yang
dialaminya hari ini mungkin merupakan kejadian
paling misterius, paling aneh bahkan paling horor
yang pernah dialaminya sepanjang hidup.
Suara ringkik kuda lamat-lamat berkumandang
masuk ke dalam ruang kereta, Yap Kay melongok
keluar jendela, alis matanya segera bekernyit,
ketika dilihatnya ada begitu banyak cahaya
lentera yang bermunculan dari balik kegelapan
malam.

Dia masih ingat, di luar gedung penerima tamu
Ban be tong memang terdapat banyak cahaya
lentera yang menerangi suasana, tapi dia masih
ingat juga semalam tak setitik cahaya api pun di
tempat itu.
Lalu darimana datangnya lautan cahaya
lentera?
Keadaan Ban be tong saat ini jauh berbeda
dibanding keadaan semalam.
Kereta berhenti di depan pagar kayu, pintu
gerbang berbentuk setengah busur berdiri tegak
di balik kegelapan, sebuah tiang bendera berdiri
tegak di balik pintu, mengibarkan panji kebesaran
Ban be tong.
Dua deret lelaki kekar berbaju putih berdiri
berjajar dengan kedua belah tangan lurus ke
bawah, begitu kereta kuda berhenti, empat orang
lelaki itu segera tampil ke depan membukakan
pintu kereta.
Turun dari kereta, Yap Kay memeriksa
sekeliling tempat itu, tanpa terasa dia menarik
napas panjang, ternyata benar, hanya dalam
semalam Ban be tong telah berubah seratus
delapan puluh derajat.
Bukan saja telah berubah seperti keadaan pada
sepuluh tahun berselang, bahkan suasana
terbengkalai, suasana mengenaskan yang
ditemuinya semalam, kini sudah lenyap tak
berbekas.

Selayang pandang, yang terlihat bersih, rapi,
gagah dan mentereng, sedikit pun tidak mirip
bangunan kuno yang sudah terbengkelai hampir
sepuluh tahun lamanya.
Hun Cay-thian ikut turun dari kereta, ia berdiri
di samping Yap Kay dengan wajah penuh
kebanggaan.
"Bagaimana menurut pendapatmu keadaan
tempat ini?" tanya Hun Cay-thian sambil
tersenyum.
Sepuluh tahun lalu, ketika pertama kali Yap Kay
tiba di tempat itu, pertanyaan itu pula yang
diajukan Hun Cay-thian untuk pertama kalinya,
tak disangka sepuluh tahun kemudian, kejadian
yang sama kembali terulang.
Waktu itu Yap Kay menjawab, "Aku merasa
sudah sewajarnya bila seorang lelaki sedang
sukses, Sam-lopan bisa mencapai taraf hidup
seperti ini, rasanya tidak menyia-nyiakan
perjuangan hidupnya."
Dan sekarang Yap Kay tak ingin menjawab
yang sama, dia ingin memberikan jawaban yang
sedikit berbeda, "Sudah pasti Sam-lopan adalah
seorang luar biasa, kalau tidak, bagaimana
mungkin ia bisa menciptakan keajaiban seperti
sekarang ini?"
"Dia memang seorang luar biasa, namun bukan
pekerjaan gampang untuk bisa mencapai
kesuksesan seperti hari ini."

"Benar, rasanya bukan hanya kata gampang
saja yang bisa melukiskan keadaan sebenarnya,"
Yap Kay menghela napas panjang.
Benar sekali, kalau bukan menyaksikan dengan
mata kepala sendiri, siapa bakal percaya dengan
pengalaman yang sedang dialami Yap Kay saat
ini?
Yap Kay tertawa getir, mendadak biji matanya
berputar, sesudah berpikir sejenak ia berbalik
menghampiri kusir kereta yang sedang
tertunduk sambil menyeka keringat, setelah
menepuk bahunya, sambil tersenyum dia
menegur, "Kau pasti lelah sekali!"
Kusir kereta agak tercengang, tapi segera
jawabnya sambil tertawa paksa, "Ah, hal ini sudah
menjadi kewajiban hamba."
"Padahal seharusnya kau bisa ikut duduk santai
di dalam ruang kereta," tukas Yap Kay, "buat apa
mesti menyiksa diri?"
Setelah tertegun beberapa saat, kusir kereta itu
melepas caping lebarnya sembari tertawa
terbahak-bahak.
"Bagus, bagus sekali, pandangan mata yang
sangat tajam, sungguh mengagumkan, sungguh
mengagumkan."
"Kau bisa menerobos keluar dari dasar kereta
di saat kereta sedang dilarikan kencang, bahkan
berhasil menotok jalan darah kusir itu dan
mengganti pakaian miliknya, kecepatan serta

ketelitianmu dalam bekerja boleh dibilang lembut
bagai serat, cepat bagai sambaran kilat."
"Darimana kau tahu siapa diriku?" kembali
kusir kereta itu tercengang.
"Di kalangan Kangouw kecuali kau Hwi thian ci
cu (laba-laba terbang), siapa pula yang
mempunyai gerakan selincah dan secepat itu?"
Lagi-lagi seseorang yang seharusnya sudah
mati, tapi sekarang secara membingungkan telah
hidup kembali.
Hwi thian ci cu terbahak-bahak, ia segera
melepas pakaian putih dari tubuhnya hingga
tampak pakaian ringkasnya yang berwarna hitam
pekat, kemudian menjura kepada Hun Cay-thian,
ujarnya, "Untuk permainan tololku, harap Hunsiangcu
jangan marah."
"Aku sudah senang kau bersedia hadir, silakan
masuk," jawab Hun Cay-thian sambil tersenyum.
Hembusan angin malam di pinggir kota terasa
kencang sekali, untung cahaya rembulan lembut
dan terang seperti cahaya rembulan di wilayah
Kanglam, bahkan terasa jauh lebih suram dan
sunyi.
Cahaya rembulan membiaskan bayangan tubuh
Hun Cay-thian hingga panjang, mengawasi
bayangan itu tiba-tiba Yap Kay teringat akan satu
hal, dia teringat cerita orang tua di kala dirinya
kecil dulu, konon setan tak punya bayangan.

Yang mempunyai bayangan sudah pasti bukan
setan, berarti Hun Cay-thian tak mungkin setan.
Kalau bukan setan lantas apa? Mayat hidup?
Sekali lagi Yap Kay tertawa getir, selama hidup
ia tak pernah percaya takhayul, tidak percaya
orang setelah mati akan berubah jadi setan, tapi
yang dialaminya hari ini membuat dia bingung,
tak habis mengerti, tak mampu menemukan
suatu alasan yang cocok untuk menjelaskan
semua kejadian ini.
Orang yang telah mati pada sepuluh tahun
berselang, satu per satu muncul kembali di
hadapannya, semua peristiwa yang pernah terjadi
dulu, satu per satu terulang kembali di
hadapannya.
Apakah waktu sedang berjalan terbalik?
Atau.....
Setelah melalui sebuah halaman yang sangat
luas, di ujung jalan ada pintu besar yang tertutup,
kedua daun pintu terbuat dari kayu putih.
Biarpun pintu dalam keadaan tertutup, Yap Kay
percaya sebentar lagi pasti akan dibuka orang dan
seseorang bagaikan malaikat langit bakal berdiri
tegak di depan pintu.
Orang itu wajahnya pasti penuh cambang dan
mengenakan baju serba putih, sebuah sabuk kulit
kerbau besar terlilit di pinggangnya dan sebilah
golok melengkung bersarung perak yang aneh
bentuknya terselip di dalamnya.

Cara bicara orang ini persis sama seperti
namanya, dia bernama Kongsun Toan.
Yap Kay masih ingat perkataan pertama yang
dia ucapkan sepuluh tahun lalu, dia berkata,
"Apakah semua tamu telah datang?"
Yap Kay pun masih ingat, suaranya keras dan
nyaring bagaikan guntur yang menggelegar di
angkasa, membuat telinga semua orang
mendengung keras.
Benar saja, baru tiba di depan pintu gerbang,
pintu kayu putih yang semula tertutup segera
terbuka lebar, di antara cahaya lentera yang
memantul keluar, terlihat seseorang berdiri tegak
di depan pintu.
Tepat sekali, orang itu benar-benar berpakaian
serba putih, hanya saja perawakan tubuhnya
tidak tinggi kekar seperti malaikat langit, wajah
pun tidak bercambang, bahkan di pinggangnya
tidak nampak golok lengkung berbentuk aneh
dengan sarung peraknya.
Orang itu bukan Kongsun Toan melainkan Hoa
Boan-thian.
Melihat kemunculan Hoa Boan-thian, kembali
Yap Kay berdiri melongo, ternyata kejadian hari
ini tidak sama persis seperti kejadian sepuluh
tahun berselang, berarti waktu bukan sedang
berputar balik.
Orang-orang yang bermunculan di sana
kebanyakan adalah mereka yang sudah mati
sepuluh tahun lalu, yang membingungkan mereka

telah bermunculan di hadapan Yap Kay,
mengulang kembali semua adegan dan kejadian
seperti yang berlangsung sepuluh tahun
berselang, namun tidak semua kejadian sama
seperti dulu.
Terlepas kejadian aneh apa yang bakal terjadi
malam ini, Yap Kay mulai tertarik, mulai terkesan.
Sekulum senyuman baru saja tersungging di
ujung bibir Yap Kay, sambil tertawa Hun Caythian
bertanya kepada Hoa Boan-thian, "Mana
Sam-lopan?"
"Ada dalam gedung utama."
Tiba-tiba Yap Kay bertanya sambil tertawa,
"Apakah semua tamu telah datang?"
"Termasuk kalian, sudah empat orang yang
hadir," jawab Hoa Boan-thian, "tinggal menunggu
satu orang lagi"
"Satu orang yang belum hadir tentunya orang
aneh yang datang ke kota bersamaku bukan?"
"Asal kau masuk ke dalam, bukankah
semuanya akan menjadi jelas?" sahut Hoa Boanthian
tertawa.
"Masuk akal, heran, urusan segampang ini pun
tak bisa kupikir, sudah sepantasnya didenda tiga
cawan arak."
"Arak dan sayur telah disiapkan, Sam-lopan
juga telah menunggu di gedung utama, silakan,"
seru Hoa Boan-thian sambil menyingkir ke
samping.

"Terima kasih."
Baru berjalan dua langkah, mendadak Yap Kay
berhenti seraya berpaling, tanyanya kepada Hun
Cay-thian, "Aku dengar siapa pun dilarang
membawa senjata waktu memasuki gedung Ban
be tong apakah kau perlu menggeledah
tubuhku?"
"Siapa yang berkata begitu? Sejak didirikan
hingga kini, Ban be tong sudah mempunyai
sejarah sepanjang empat puluh tahun,
pertarungan besar maupun kecil sudah tak
terhitung dengan jari, masa kami kuatir orang
yang masuk Ban be tong menggembol senjata?"
"Lagi-lagi masuk akal, tampaknya malam ini
aku harus mabuk sampai mati dalam gedung Ban
be tong."
Diiringi gelak tawa, kembali Yap Kay
mengayunkan langkah masuk ke balik pintu.
Di balik pintu gerbang ada penyekat, setelah
melalui sekat itu, tibalah dia di ruang gedung
utama.
Gedung utama masih sama seperti dulu,
bentuknya juga masih sama, biarpun sepuluh
tahun lalu Yap Kay pernah berkunjung ke situ ia
masih dibuat kesemsem oleh kemegahan dan
kementerengan bangunan itu.
Pada dinding sebelah kiri gedung utama
tergantung lukisan besar, menggambarkan
beberapa puluh ekor kuda sedang berlarian, ada
yang sedang meringkik, ada yang sedang berlari

kencang, setiap ekor kudanya gagah, indah dan
seakan-akan hidup.
Pada sisi dinding yang lain tertera tiga
huruf raksasa yang tingginya melebihi
manusia, setiap huruf ditulis dengan gaya
yang indah dan menawan, seindah naga yang
sedang beterbangan di angkasa. Ketiga huruf itu
berbunyi: "Ban be tong".
Di bagian tengah gedung berjajar rapi meja
panjang yang terbuat dari kayu putih, meja
panjang itu disambung jadi satu baris persis
seperti sebuah jalan raya, sementara di kedua sisi
meja berjajar empat ratus bangku yang terbuat
juga dari kayu putih.
Tapi kini di antara jajaran bangku yang tersedia
hanya di tempati dua orang.
Yap Kay pernah bertemu mereka dulu, Buyung
Bing-cu serta Sam-bu Siansing Loh Loh-san.
Di ujung meja terdapat sebuah bangku besar
dan lebar, di sana duduk seorang berbaju putih.
Biar dalam gedung tak ada orang lain pun Yap
Kay tahu, orang itu masih tetap akan duduk
dengan sopan dan beraturan, biarpun bangku itu
ada sandarannya, namun punggungnya tetap
akan tegak lurus bagaikan sebuah tombak.
Orang itu pun masih sama seperti dulu, duduk
seorang diri di sana, duduk dengan jarak yang
begitu jauh dari setiap orang yang hadir.

Begitu jauh dia menjaga jarak dengan semua
kehidupan duniawi, sampai dengan umat manusia
pun menjauh.
Tapi bagaimana jaraknya dari saat kematian?
Yap Kay mencoba memperhatikan dari
kejauhan, biarpun ia masih nampak gagah dan
bersemangat, namun garis kesendirian dan
kesepian sudah nampak jelas membekas di raut
mukanya.
Orang itu seolah sudah memisahkan diri dari
segala keramaian duniawi, tiada kegembiraan,
tiada kenikmatan, tiada sahabat.
Kini tampak ia sedang termenung, entah
sedang mengenang pertarungan gagahnya di
masa lampau? Atau sedang merasakan
penderitaan karena kesepian dan kesendirian?
Atau....
Orang itu tak lain adalah pemilik Kwan tang
ban be tong, Be Khong-cun.
Ya, dia memang Be Khong-cun.
Mimik mukanya sama seperti dulu, begitu juga
dengan raut wajahnya, malah secercah sinar
kepedihan yang berada di balik matanya pun
masih seperti dulu. Biarpun orangnya masih
duduk di sana, namun dia seolah-olah mempunyai
jarak yang begitu jauh dengan setiap orang.
Benar, dia seakan begitu jauh meninggalkan
semua benda perasaan yang ada di dunia fana ini.

Begitu masuk ke ruang utama, Hoa Boan-thian
langsung berjalan menghampiri dengan langkah
lebar, ketika tiba di samping Be Khong-cun, dia
sedikit membungkuk dan membisikkan sesuatu.
Saat itulah, seolah baru tersadar dari impian, ia
segera bangkit, menjura seraya berkata,
"Silakan teman-teman, silakan duduk."
Menunggu semua orang mengambil duduk, Be
Khong-cun baru berkata lagi sambil tertawa, "Ada
pun maksudku mengundang kalian pada malam
ini adalah
"Untuk kejadian yang pernah berlangsung
sepuluh tahun lalu," suara orang menukas dari
arah pintu, "karena putra Pek Thian-ih datang
mencarimu untuk menuntut balas bukan?"
Dengan tercengang semua orang berpaling ke
arah pintu, hanya Yap Kay seorang yang tidak
berpaling, karena dia tahu siapa yang sedang
berbicara.
Selain Pho Ang-soat, siapa lagi yang bisa
mengucapkan perkataan semacam itu?
Tak kuasa Yap Kay tertawa getir, namun sorot
matanya masih menatap tajam Be Khong-cun, dia
ingin tahu perubahan apa yang bakal ditunjukkan
orang itu setelah menghadapi kejadian seperti ini,
apa pula reaksi yang akan dilakukannya.
Tidak ada! Ternyata Be Khong-cun sama sekali
tidak menunjukkan reaksi apa pun, dia hanya
menggunakan sorot matanya yang serius dan

tajam untuk menengok ke arah pintu, mengawasi
Pho Ang-soat.
Hoa Boan-thian segera melompat bangun,
ditatapnya Pho Ang-soat yang berada di depan
pintu dengan penuh amarah, tegurnya, "Siapa
kau? Berani amat bicara kasar di hadapan Ban be
tongcu?"
"Pho Ang-soat!" teriak Hun Cay-thian pula
sambil menggebrak meja, "mau bergurau boleh
saja, tapi jangan kelewatan!"
Menghadapi caci-maki Hun Cay-thian maupun
Hoa Boan-thian yang keras dan kasar, Pho Angsoat
tetap tak menggubris, jangankan
menanggapi, melirik sekejap pun tidak, baginya
kecuali Be Khong-cun, di tempat itu seolah tak
ada orang lain.
Dengan sorot mata tajam dan tak berkedip,
Pho Ang-soat mengawasi wajah Be Khong-cun,
kemudian selangkah demi selangkah maju
menghampirinya.
Sekalipun dia pincang, biarpun caranya berjalan
nampak bebal, tolol dan lambat, namun setiap
orang yang hadir dalam gedung itu seakan tidak
melihat kecacatan itu, karena benda bersinar lain
yang berada di tubuhnya telah menutupi seluruh
kekurangan itu.
Semua orang sedang mengawasi golok dalam
genggamannya.
Golok berwarna hitam pekat! Golok pekat
bagaikan datangnya elmaut.

Padahal tangan yang menggenggam golok itu
putih pucat, sepucat tubuh orang yang sekarat.
Perhatian semua orang tertuju pada golok
dalam genggaman Pho Ang-soat. Semua orang
percaya dan yakin, golok itu golok kematian.
Golok itu tidak dilengkapi sarung yang indah,
tiada hiasan yang menyolok atau menarik
perhatian. Sarung golok hanya terbuat dari dua
lembar bambu berusia ribuan tahun, gagang
golok pun terbuat dari balok kayu biasa.
Bentuk senjata itu seolah memberi kesan hanya
sebuah mainan anak-anak, begitu sederhana,
begitu jelek dan tidak menarik. Tapi setiap orang
sadar, golok itu jelas bukan golok mainan anakanak.
Bila ingin menghentikan semua kehidupan yang
ada di dunia ini, golok itu pasti akan
melakukannya dalam sekejap mata.
Lantas bagaimana dengan setan? Apakah golok
itu pun dapat menghabisi nyawa setan dalam
sekejap?
Sambil menatap wajah Be Khong-cun tanpa
berkedip, dengan langkah kaki yang lambat dan
bodoh, selangkah demi selangkah maju
mendekat, tangan kiri Pho Ang-soat
menggenggam kencang golok itu, sedemikian
kuat hingga nampak otot-ototnya merongkol
hijau.

Dengus napas setiap orang semakin memburu,
menyusul langkah kaki Pho Ang-soat yang
semakin mendekati sasaran
Tiba-tiba semua orang menghembuskan napas
lega, wajah yang tegang pun berangsur
mengendor, karena saat itu Pho Ang-soat telah
menghentikan langkahnya.
Dia berhenti bukan karena sudah tiba di
hadapan Be Khong-cun, dia terpaksa berhenti
karena di hadapannya secara tiba-tiba muncul
sebilah golok lain.
Sebilah golok melengkung tak beraturan,
sebilah golok dengan bentuk yang aneh.
Kongsun Toan! Akhirnya Kongsun Toan muncul.
Seharusnya orang itu muncul di pintu gerbang,
seharusnya dia menghadang di depan pintu
gerbang, menghalau orang-orang bersenjata yang
ingin memasuki Ban be tong, tapi sekarang dia
muncul di dalam gedung dengan membawa golok
lengkungnya yang berbentuk aneh, di tangan
kirinya dia masih menggenggam sebuah cawan
emas.
Pho Ang-soat sama sekali tidak memandang
wajah Kongsun Toan, dengan sorot mata dingin
dan kaku dia hanya mengawasi golok lengkung
yang menghadang jalannya.
Begitu juga dengan Kongsun Toan, sorot
matanya yang tajam sedang mengawasi golok
Pho Ang-soat tanpa berkedip.

"Tak seorang pun boleh membawa pedang
memasuki Ban be tong," dengan suara berat tapi
tegas Kongsun Toan berkata, "begitu pula tak
seorang pun boleh membawa golok datang
kemari."
Pho Ang-soat tidak langsung menjawab,
beberapa saat kemudian perlahan-lahan baru
ia berujar, "Belum pernah ada?" "Belum pernah!"
"Bagaimana dengan kau?" sinar mata Pho Angsoat
berhenti pada golok lengkungnya, "jadi kau
bukan terhitung manusia?"
Berubah hebat paras Kongsun Toan, otot-otot
hijau merongkol. Pada saat itulah Be Khong-cun
yang duduk di bangkunya mendadak
mendongakkan kepala dan tertawa
terbahak-bahak, serunya, "Bagus, pertanyaan
yang sangat bagus "
Cawan emas di tangan kiri Kongsun Toan telah
diremas hingga gepeng, sementara isi cawan
meluap keluar, tercecer di antara telapak
tangannya yang hitam bagai besi baja, raut
wajahnya sudah mulai mengejang lantaran marah
bercampur mendongkol
"Bagus, ternyata punya keberanian, punya
nyali," gelak tawa Be Khong-cun berubah jadi
senyuman, "apakah dia Pho Ang-soat Phokongcu,
yang seorang diri berhasil membongkar
rahasia Pek-kongcu dengan mengandalkan
goloknya?"

Ketika Pho Ang-soat bertarung melawan
Kongcu Gi, peristiwa itu terjadi sepuluh tahun
sebelum Ban be tong dihancurkan.
Bila Be Khong-cun sudah mati sejak sepuluh
tahun lalu, darimana dia bisa mengetahui
kejadian ini?
Kembali sorot mata Pho Ang-soat dialihkan ke
wajah Be Khong-cun.
"Pho-kongcu," kembali Be Khong-cun berkata
sambil tertawa, "kalau sudah datang, mestinya
berilah muka padaku, silakan duduk."
Kongsun Toan berpaling, dengan mata melotot
mengawasi Be Khong-cun katanya, "Bagaimana
dengan goloknya?"
"Aku hanya melihat orangnya, mana goloknya?
Aku tidak melihat goloknya," jawaban Be Khongcun
sangat hambar.
Perkataan itu mengandung arti yang sangat
dalam, apakah dia maksudkan wibawa orangnya
telah menutupi kehadiran goloknya? Ataukah dia
ingin mengatakan bahwa ancaman bahaya yang
sebenarnya bukan datang dari goloknya
melainkan dari orangnya?
Kongsun Toan mengertak gigi, otot-otot
badannya mengejang menahan emosi, tiba-tiba ia
menghentakkan kaki ke lantai, lalu dia sarungkan
pula goloknya dan duduk kembali di bangkunya.
Loh Loh-san yang selama ini hanya mendekam
di meja seolah sedang mabuk air kata-kata,

mendadak menggebrak meja dan tertawa
terbahak-bahak, "Bagus! Perkataan yang bagus."
Saat itu dia masih mendekam di meja, tidak
jelas masih mabuk atau sudah tersadar kembali,
tangannya meraba ke seluruh permukaan meja,
kembali gumamnya, "Mana arak? Aneh, kenapa di
tempat ini gampang sekali menemukan golok dan
pedang, belum pernah tersedia arak yang
melimpah?"
Be Khong-cun tersenyum, lalu katanya,
"Sebenarnya tujuanku mengundang kalian tak
lain hanya ingin mengajak mabuk bersama."
"Apakah tak akan bubar sebelum mabuk?"
sambil mendongakkan kepala yang masih
mengantuk Loh Loh-san mendongakkan kepala.
"Tepat sekali."
"Kalau sudah mabuk, apakah boleh bubar?"
"Tentu."
"Ah, kalau begitu hatiku pun lega," Loh Loh-san
menghela napas panjang. Kembali ia sandarkan
kepalanya di meja dan bergumam, "Arak? Mana
araknya? Apakah dalam Ban be tong tidak ada
arak?"
Yap Kay yang selama ini membungkam ikut
menimbrung, "Dalam gudang bawah tanah Ban
be tong tersedia tiga ribu gentong arak wangi,
jika hanya kau seorang yang menikmatinya,
mungkin kau bisa mabuk sampai mati."

"Kalau soal itu Yap-heng tak perlu kuatir, Ban
be tong bukan saja tempat berkumpulnya para
pemabuk, bahkan manusia macam Cayhe pun
masih sanggup menemanimu meneguk beberapa
cawan," kata Hoa Boan-thian sambil tertawa.
"Sungguh?" sengaja Yap Kay membelalakkan
mata. "Wah, kalau dalam Ban be tong benarbenar
telah berkumpul begitu banyak jagoan
tangguh, tampaknya malam ini aku bakal
mampus di sini."
"Kalau setan arak memang banyak, siapa
bilang ada jago tangguh?" senyuman Hoa Boanthian
tampak membeku kaku.
"Yang kau maksud tentu jago tangguh minum
arak," lagi-lagi Loh Loh-san buka suara. "Jika ada
begitu banyak orang yang bakal mengajak aku
minum, aneh kalau aku tak mati lantaran
mabuk."
"Ah, tujuan Sam-lopan mengundang kalian tak
lain hanya ingin menyaksikan kehebatan kalian,"
akhirnya Hun Cay-thian buka suara, "meski
hanya untuk minum arak, itu kan hanya untuk
basa-basi, siapa bilang kami berniat meloloh
kalian sampai mabuk?"
"Tapi aku tetap merasa takut."
"Takut apa?"
"Takut kalian bakal melolohku sampai mabuk."
Bab 3. ADIK PEREMPUAN YAP KAY

Cawan arak terbuat dari emas, gentong arak
yang sangat besar berisi arak berwarna hijau
pupus.
Di samping arak, berbagai hidangan yang
mahal dan lezat pun sudah tersedia di atas meja.
Orang pertama yang menggerakkan sumpit
adalah Buyung Bing-cu, sedang orang pertama
yang meneguk arak bukan Loh Loh-san melainkan
Kongsun Toan.
Begitu arak dihidangkan, Kongsun Toan
langsung meloloh tenggorokannya dengan dua
belas cawan, karena hawa amarahnya tadi tak
terlampiaskan, terpaksa dia gunakan arak untuk
melampiaskan kemarahannya itu.
Semakin banyak minum wajahnya berubah
semakin tak sedap dipandang, dalam keadaan
seperti ini lebih baik tidak mencari gara-gara atau
mendekatinya, kalau tidak, dia bisa meledak
seperti gudang mesiu yang terbakar.
Pho Ang-soat sama sekali tidak meneguk arak,
sumpit juga tak pernah menyentuh hidangan,
tangan kirinya masih tetap menggenggam golok,
matanya yang cekung bagai sebuah jeram masih
mengawasi Be Khong-cun tanpa berkedip.
Hanya mulut dan tangan Yap Kay yang tak
pernah berhenti, sebentar dia menyumpit
hidangan, sebentar menenggak arak, orang ini
memang hidup santai dan gembira. Bahkan
matanya pun memancarkan cahaya kegembiraan,

gayanya seperti lagi menghadiri pesta perkawinan
kerabatnya saja.
Sambil makan dia memperhatikan semua orang
yang hadir di situ, mula-mula ditatapnya Loh Lohsan,
bergeser ke wajah Hoa Boan-thian,
kemudian beralih ke wajah Buyung Bing-cu dan
akhirnya berhenti di wajah Be Khong-cun.
Entah disengaja atau tidak, kebetulan waktu itu
sinar mata Be Khong-cun pun sedang menatap ke
arah Yap Kay, begitu sorot mata kedua orang itu
saling bertemu, ibarat dua komet yang saling
bentur, percikan bunga api segera memancar
keluar dari mata mereka berdua.
Tiba-tiba Be Khong-cun tersenyum, senyuman
terpaksa, paling tidak dalam pandangan Yap Kay,
dia seakan mempunyai beribu patah kata yang
hendak diucapkan.
Namun Be Khong-cun hanya tersenyum saja,
berlagak meneguk arak untuk mengalihkan
pandangannya, dia seolah kuatir Yap Kay berhasil
membaca rahasia hatinya.
Lalu apa yang dia kuatirkan?
Yap Kay mulai tertarik, sepantasnya yang
kuatir adalah Yap Kay, apalagi setelah melihat
orang-orang yang seharusnya sudah tewas sejak
sepuluh tahun lalu tiba-tiba hidup kembali,
bahkan bisa makan minum dengan wajar, tidak
mati semaput saking kagetnya pun sudah
terhitung lumayan.

Tapi kenyataan sekarang, justru Be Khong-cun
yang merasa takut, merasa kuatir, tidak heran
kejadian seperti ini langsung menarik minat dan
perhatian Yap Kay.
Sepuluh tahun berselang, pada malam yang
sama, tempat yang sama dan orang-orang yang
sama berkumpul menjadi satu, tujuan Be Khongcun
tak lain adalah ingin menemukan putra Pek
Thian-ih.
Lalu bagaimana dengan malam ini?
Apakah kejadian lama terulang kembali?
Apakah tujuannya juga mencari putra Pek Thianih?
Bila kejadian dulu benar-benar akan terulang
lagi, kejadian berikut seharusnya Buyung
Bing-cu mulai mendendangkan lagu,
"...golok kehilangan ketajaman, manusia
kehilangan perasaan.... "
Tapi dari keadaan Buyung Bing-cu saat ini,
sama sekali tak nampak gejala dia siap
bersenandung.
Kalau semua kejadian terulang kembali,
mengapa berbeda? Yap Kay memandang wajah
Loh Loh-san, tapi Sam-bu Siansing sudah roboh
kembali di atas meja, bahkan mulai mendengkur
keras setelah menghabiskan dua cawan arak.
Dia coba memperhatikan pula wajah Hoa Boanthian,
Hun Cay-thian serta Hwi thian ci cu,
walaupun wajah mereka bertiga pun dihiasi
senyuman, namun senyuman mereka justru jauh

lebih jelek, jauh lebih tak sedap dilihat ketimbang
sewaktu tertawa.
Yap Kay tertawa getir, tampaknya pesta arak
malam ini bakal tidak meriah.
Baru ingatan tadi melintas lewat, tiba-tiba Be
Khong-cun angkat bicara, katanya, "Golok kuda
dari Kwan-tang tiada duanya di seluruh dunia,
entah pernahkah kalian dengar pameo ini?"
Ini dia, akhirnya sampai juga pada pokok
masalah, Yap Kay mulai membetulkan posisi
duduknya dan siap menyambut datangnya pokok
permasalahan yang akan dibahas.
"Perguruan Sin to tong (golok sakti) dan Ban be
tong sudah lama malang melintang, siapa yang
tidak kenal, siapa yang tidak tahu," kata Hwi
thian ci cu sambil tertawa,
"Lopan, tampaknya kau sedang bergurau."
"Aai.... kejadian itu sudah berlangsung pada
dua puluh tahun berselang" Be Khong-cun
menghela napas panjang, "sejak ketua perguruan
Sin to tong, Pek Thian-ih meninggal dunia, selama
dua puluh tahun terakhir, nama besar perguruan
Sin to tong sudah jadi legenda dalam sejarah."
"Apa sebabnya Pek-locianpwe bisa mati?"
Pertanyaan itu diajukan oleh Buyung Bing-cu.
Sebetulnya Yap Kay pun ingin mengajukan
pertanyaan itu, karena dia ingin mendengar
bagaimana Be Khong-cun akan menjawab
pertanyaan itu.

Tiba-tiba saja Be Khong-cun terbungkam,
sampai lama kemudian baru ia menghela napas
panjang, sahutnya, "Peristiwa paling menjemukan
yang sukar dihindari manusia bukankah mati tua
atau mati lantaran sakit?"
Dia meneguk isi cawannya, membiarkan arak
hangat perlahan-lahan mengalir melalui
tenggorokan menuju ke lambung, setelah itu
terusnya, "Pek-heng selama hidup belum pernah
melakukan perbuatan memalukan atau merugikan
orang, biarpun dia 'mati muda', namun
kematiannya amat tenang dan penuh
kegembiraan, sebab dia pergi tanpa menderita
siksaan atau rasa sakit apa pun."
Jawaban yang tidak betul! Jawaban ngawur!
Setiap orang Bu-lim tahu dengan jelas bahwa Pek
Thian-ih tewas oleh intrik busuk Be Khong-cun,
mengapa sekarang dia berkata begitu?
Yap Kay yang tak kuasa menahan diri,
langsung saja memprotes, "Bukankah Peklocianpwe
mati lantaran intrik dan rencana busuk
seseorang?"
"Ah, kabar berita yang tersiar dalam Kangouw
ibarat daun yang gugur karena hembusan angin,
tak seorang pun berani memastikan
kebenarannya," Be Khong-cun menjawab hambar,
"kalau betul dia tewas karena intrik dan rencana
busuk, mana mungkin aku tidak berduka dan ikut
berkabung? Mana mungkin aku berpeluk tangan
tanpa melakukan sesuatu?"

Oleh karena pihak lawan bersikeras dengan
perkataannya, mau tak mau Yap Kay hanya bisa
mendengarkan lebih jauh, dia ingin tahu
permainan apa lagi yang akan dilakukan orang
itu.
"Untung saja Pek-heng masih mempunyai
keturunan, paling tidak dia punya seorang putri
untuk melanjutkan keturunannya," lanjut Be
Khong-cun sambil tersenyum.
"Punya seorang putri?" bukan cuma Yap Kay,
bahkan Pho Ang-soat pun ikut terperanjat hingga
berteriak dengan mata terbelalak lebar.
"Benar!"
"Boleh tahu berapa usia putri Pek-locianpwe
itu?" tanya Yap Kay kemudian.
"Tidak tua, juga tidak muda, tahun ini tepat
berusia dua puluh tahun," kembali dia menghela
napas, lalu meneguk isi cawannya. "Ada pameo,
kawin dengan ayam ikut ayam, kawin dengan
anjing ikut anjing. Anak Lelaki meneruskan nama
marga, anak perempuan mengikuti marga suami,
jadi hal semacam itu jamak dan tidak aneh,
hanya saja lantaran hal ini.... "
"Pek-locianpwe tak mampu melanjutkan
keturunan," sambung Buyung Bing-cu.
"Benar," ujar Be Khong-cun manggut-manggut,
"sebagai saudara baiknya, masakah aku tega
membiarkan peristiwa ini berlangsung? Oleh
karena itulah aku... aku...."

"Jadi maksud Sam-lopan, kau ingin mencarikan
menantu untuk putri tunggal Pek-locianpwe?"
kembali Buyung Bing-cu menyela.
"Rasanya apa yang bisa kulakukan sebagai
saudaranya hanyalah begitu" kembali Be Khongcun
manggut-manggut, "tapi sayang, selama ini
dia hidup di pinggiran kota, jarang keluar rumah,
apalagi sebagai seorang gadis muda, kurang
leluasa baginya untuk sering tampil... untung
saja... untung saja hari ini...."
"Untung saja hari ini secara kebetulan muncul
kami beberapa orang di sini," sambung Yap Kay
sambil tertawa, "oleh karena itu Sam-lopan
khusus mengundang kami dan ingin mencarikan
menantu untuk Pek-locianpwe?"
"Benar sekali."
Benarkah Pek Thian-ih mempunyai seorang
anak gadis? Kalau sepuluh tahun berselang dia
mengumpulkan orang-orang itu di Ban be tong
karena ingin menemukan jejak putra tunggal Pek
Thian-ih, maka sepuluh tahun kemudian, kembali
dia mengumpulkan orang-orang itu karena ingin
mencarikan calon suami untuk putri tunggal Pek
Thian-ih.
Tak kuasa lagi Yap Kay tertawa geli, seingatnya
dia tak pernah mempunyai saudara perempuan,
lalu darimana munculnya seorang adik
perempuan? Dan siapa pula namanya?
"Siapa namanya?" tanya Yap Kay kemudian.
"Pek Ih-ling."

Buyung Bing-cu menuang sisa arak ke lantai,
kemudian baru mendongakkan kepala
memandang Be Khong-cun seraya berkata,
"Menantu ikut mertua, aku rasa banyak lelaki
yang enggan hidup satu rumah dengan
mertuanya."
"Itulah sebabnya mas kawin yang ditawarkan
termasuk sedikit istimewa," ucap Be Khong-cun
sambil tertawa.
"Bagaimana terhitung istimewa?" tampaknya
Buyung Bing-cu mulai tertarik dengan tawaran
itu.
"Karena selain memperoleh separoh kekayaan
Ban be tong, masih ada lagi kitab pusaka ilmu
golok sakti warisan Pek Thian-ih."
Separoh bagian kekayaan Ban be tong pun
sudah terhitung sebuah tawaran yang
menggiurkan, apalagi ditambah kitab pusaka ilmu
golok sakti warisan Pek Thian-ih, rasanya tak
seorang lelaki pun yang bakal menolak tawaran
ini.
Tak kuasa kembali Yap Kay tertawa lebar, ia
sudah menangkap sinar tamak yang terpancar
dari mata Buyung Bing-cu.
Bahkan Loh Loh-san yang setengah hidupnya
sudah terbenam dalam liang kubur pun jadi
mendusin dari mabuknya dan menunjukkan
gairah serta kerakusan yang luar biasa.

Sementara reaksi Hwi thian ci cu meski tidak
sejelas kedua orang rekannya, namun dari balik
sorot matanya telah terpancar pula sinar aneh.
Mas kawin yang begitu menggiurkan jika
ditambah dengan si nona cantik bak bidadari dari
kahyangan, jelas tawaran itu luar biasa!
Rasanya hampir semua orang sudah tergoda
oleh pernyataan itu, namun pada akhirnya Yap
Kay juga yang mengajukan pertanyaan, "Syarat
yang kau ajukan memang menarik, tapi
bagaimana pula dengan wajah orangnya?"
"Tak usah kuatir, biarpun belum terhitung
cantik bak bidadari dari kahyangan, namun lebih
dari cukup untuk membuat kalian ter belalak
dengan mulut melongo."
"Boleh tahu syarat apa yang Sam-lopan ajukan
dalam sayembara pencarian calon menantu ini?"
tanya Buyung Bing-cu.
"Urusan ini menyangkut kebahagiaan
sepanjang hidup, aku tak bisa melakukannya
seperti mainan anak-anak, tentu saja keputusan
terakhir tetap berada di tangan yang
bersangkutan."
"Lalu mana orangnya?" tanya Yap Kay, "sampai
kapan kita baru dapat bersua dengan si nona
yang cantik manis itu?"
Sambil tertawa Be Khong-cun mengalihkan
sinar matanya keluar jendela, mengawasi
kegelapan malam yang menyelimuti angkasa,
menyaksikan bintang nun jauh di ujung langit.

Melihat sinar yang cemerlang menyusup keluar
dari balik awan yang sedang bergerak, kembali
sorot mata Be Khong-cun bersinar tajam.
"Kini malam sudah semakin kelam, lebih baik
kalian pergilah istirahat dulu," katanya tertawa,
"aku percaya besok pagi Pek Ih-ling pasti sudah
muncul di sini."
Segulung angin berhembus, menyingkirkan
awal tebal yang menyelimuti cahaya rembulan.
Berada di pinggiran kota yang sepi, berada di
tengah malam yang hening dan suram, siapa pula
yang dapat tidur nyenyak?
Sepasang mata Yap Kay melotot lebar, melotot
sembari mengawasi kegelapan malam di luar
jendela sana, saat ini dia tak lagi bisa tertawa.
Senyum manis yang selalu tersungging di ujung
bibirnya memang selalu akan hilang sirna tiap kali
dia berada seorang diri dan tak ada orang lain.
Dia belum tidur, meskipun Ban be tong hening,
namun jalan pikirannya masih bergolak, bergelora
bagaikan ada ribuan prajurit berkuda yang
sedang berlari bersama, hanya sayang tak
seorang pun yang tahu persoalan apa yang
sedang dia pikirkan.
Dengan santai dia membelai tangan sendiri,
membelai ibu jari dan jari telunjuk tangan
kanannya yang sudah mengeras bagai batu
karang, begitu pula dengan telapak tangannya
yang telah dilapisi kulit tebal, bekas yang
tertinggal karena lama menggenggam pisau.

Siau-li si pisau terbang memang selalu melepas
pisau terbangnya menggunakan ibu jari dan jari
telunjuk, dilepas disertai tenaga murni yang kuat.
Lantas dimana pisaunya? Dia tak pernah
membawa pisau. Apakah karena pisaunya
disembunyikan di dalam hati?
Pho Ang-soat berbaring di atas ranjang.
Dia pun belum tertidur, di tangannya masih
tergenggam golok hitamnya.
Cahaya rembulan yang sendu menyinari
wajahnya yang pucat dan kaku, membuat lekukan
dan guratan di wajahnya terpampang semakin
jelas.
Sepasang matanya yang tajam namun
membawa rasa kesepian yang tiada tara, sedang
mengawasi langit-langit ruangan.
Seekor serangga sedang merangkak di langitlangit,
sorot mata Pho Ang-soat bergerak kian
kemari mengikuti gerakan serangga itu.
Tiba-tiba pintu kamarnya dibuka orang, dengan
senyum di kulum Yap Kay melangkah masuk.
"Belum tidur?" tegurnya.
"Apakah kau tak tahu aturan, harus mengetuk
pintu dulu sebelum memasuki kamar orang lain?"
ujar Pho Ang-soat dingin.
"Aku tahu kau belum tidur," Yap Kay menarik
sebuah bangku untuk duduk, "kan kau bukan
termasuk orang yang takut rahasiamu diketahui

orang lain, jadi apa salahnya aku langsung
masuk kemari."
Yap Kay bukan muncul dengan tangan hampa,
dia membawa arak dan cawan, setelah menuang
secawan, mengendusnya dan meneguknya,
katanya pula, "Bagaimana pandanganmu atas
kejadian itu?"
"Kejadian yang mana?" pandangan Pho Angsoat
masih pada serangga itu, seolah serangga
itu jauh lebih menarik ketimbang Yap Kay.
"Tentu saja kejadian yang menyangkut Be
Khong-cun, Hoa Boan-thian, Ban be tong serta
yang lain. Apa pendapatmu atas semua peristiwa
yang telah terjadi pada malam ini?"
"Aku harus mengucapkan selamat kepadamu!"
tiba-tiba Pho Ang-soat berseru.
Begitu santai hal itu diucapkan, membuat Yap
Kay nyaris tersedak oleh arak yang baru
diteguknya, cepat dia seka ceceran arak di tepi
bibirnya, lalu mengawasi rekannya dengan mata
terbelalak.
"Apa kau bilang? Bisa diulang sekali lagi?"
"Aku harus menyampaikan selamat kepadamu."
"Mengucapkan selamat kepadaku?
Kegembiraan apa yang sedang ku alami hingga
pantas mendapat ucapan selamat?" seru Yap Kay
ter tegun.

"Kau sudah mendapat adik perempuan, masa
peristiwa semacam ini tak boleh disebut kejadian
yang menggembirakan?"
Sekali lagi Yap Kay tertegun, akhirnya dia
tertawa getir dan meneguk habis sisa araknya.
"Jadi menurut pendapatmu, peristiwa yang
terjadi malam ini adalah kejadian lumrah?" ujar
Yap Kay sambil tertawa getir, "seakan pula
sepuluh tahun berselang kita tak pernah
mendatangi Ban be tong dan Be Khong-cun serta
jago lainnya belum tewas?"
Pho Ang-soat tidak menjawab pertanyaan itu,
dia kembali mengalihkan sorot matanya
mengawasi serangga yang sedang berjalan di
langit-langit.
"Jadi kau pun masih sama seperti sepuluh
tahun yang lalu, menggembol golok datang
kemari untuk menuntut balas? Sementara aku
pun masih seperti dulu, seorang gelandangan
yang suka mencampuri urusan orang lain?"
imbuh Yap Kay.
Mendengar ucapan itu, mata Pho Ang-soat
nampak mengejang sejenak, namun mulutnya
tetap membungkam, sama sekali tak bergerak.
"Jika kejadian pada sepuluh tahun lalu harus
terulang kembali, seharusnya perempuan itu
adalah adikmu," kata Yap Kay lagi sambil
tersenyum, "jadi sepantasnya akulah yang harus
menyampaikan selamat kepadamu."

Sudut bibir Pho Ang-soat kembali nampak
mengejang, tapi sayang Yap Kay tak menyaksikan
hal itu karena pada saat itulah tiba-tiba terdengar
pekikan ngeri.
Belum lewat suara jeritan itu, tubuh Yap Kay
bagaikan anak panah terlepas dari busur telah
menerobos keluar melalui jendela, begitu daun
jendela terbuka, bau anyir darah yang
memualkan segera berhembus masuk
Pho Ang-soat mengernyitkan alis, kemudian
perlahan duduk terus turun dari pembaringan,
berjalan keluar pintu.
Begitu tiba di luar pintu, ia pun menyaksikan
Buyung Bing-cu dan Loh Loh-san baru saja keluar
dari pintu kamarnya, yang tidak nampak hanya
Hwi thian ci cu, pintu kamarnya masih tertutup
rapat.
"Barusan seperti ada orang menjerit
kesakitan?" ucap Buyung Bing-cu sambil menatap
Pho Ang-soat.
Yang ditatap sama sekali tidak menjawab, dia
hanya berpaling ke arah datangnya jeritan itu.
"Apa yang telah terjadi?" seru Loh Loh-san
pula, kelihatannya ia belum seratus persen
tersadar dari mabuknya.
"Asal kita datangi tempat itu, bukankah semua
akan jelas?"
Sambil berkata Buyung Bing-cu segera
bergerak menuju ke arah tempat yang sedang

dipandang Pho Ang-soat, sementara Loh Loh-san
segera mengikut di belakangnya.
Menanti mereka sudah berjalan jauh, Pho Angsoat
baru menyusul dari belakang dengan
langkahnya yang bebal lambat dan aneh.
Hingga sekarang tabiatnya yang tak suka
berjalan mendahului orang lain masih dipelihara
dengan baik, baginya seolah selama hidup dia
hanya mau berjalan mengikut dari belakang.
Mungkinkah hal ini disebabkan karena dia
kuatir ada orang bakal memenggal tengkuknya
dari belakang?
Meskipun begitu mendengar suara jerit
kesakitan Yap Kay segera berjalan menuju ke
sana, ternyata dia bukan orang pertama yang tiba
di tempat kejadian.
Sewaktu tiba, di sana sudah hadir empat orang,
satu orang sudah mati dan tiga orang masih
hidup.
Hoa Boan-thian, Kongsun Toan serta Hun Caythian
sama-sama mengawasi mayat yang
tergeletak di tanah tanpa berkedip, wajah mereka
bertiga penuh dicekam perasaan curiga, kaget
dan ngeri.
Padahal ketiga orang itu termasuk jago yang
sudah banyak pengalamanan menghadapi
berbagai peristiwa, jangankan cuma sesosok
mayat, korban yang pernah kehilangan nyawa di
tangan mereka pun sudah tak terhitung

jumlahnya, tapi mengapa mereka mengunjuk
mimik muka seperti itu?
Ketika Yap Kay tiba di tempat kejadian, ketiga
orang itu masih piea belum bergerak, sorot mata
mereka masih tetap mengawasi mayat itu tanpa
berkedip.
Dengan keheranan Yap Kay berjalan mendekat,
tetapi setelah menyaksikan mayat itu, sama
seperti ketiga orang lainnya, sorot matanya ikut
terpaku tanpa berkedip.
Siapa sebenarnya sang korban? Jenazah
siapakah dia?
Mengapa jenazah itu bisa menimbulkan reaksi
yang begitu luar biasa dari orang-orang itu?
Bukan sang korban yang membuat mereka
tercengang dan ngeri, tapi mimik muka mayat
itulah yang membuat mereka bergidik dan ngeri.
Rembulan telah condong ke tepi langit, namun
cahaya lembut yang terpancar masih cukup
terang menyinari jagad raya, terutama menyinari
raut muka Hwi thian ci cu.
Selama hidup belum pernah Yap Kay
menyaksikan raut muka seseram dan mengerikan
ini, apalagi wajah sesosok mayat.
Mimik muka Hwi thian ci cu mengejang lantaran
ketakutan, wajahnya yang pucat tak ubahnya
seperti bunga salju di tengah musim dingin yang
membeku.

Belum pernah Yap Kay menjumpai kulit muka
sesosok mayat yang bisa berubah jadi putih pucat
seperti itu, apalagi menyaksikan kulit seseorang
macam kulit badan Hwi thian ci cu saat ini.
Hwi thian ci cu selama ini tersohor karena ilmu
meringankan tubuhnya, kulit serta otot tubuhnya
sangat lentur bagaikan seekor kuda jempolan,
lantaran sudah terlalu lama kena cahaya sang
surya, kulit itu telah berubah warnanya menjadi
hitam berkilat.
Tapi sekarang otot dan daging tubuhnya sudah
berubah jadi daging gembur yang lunak, kulitnya
seakan sebuah balon udara yang kehilangan gas,
menyusut dan berkerut menempel jadi satu di
atas tulang badan.
Ternyata mayat itu nyaris mengering, darah
yang semula mengalir dalam tubuhnya, kini
hampir semuanya telah terisap keluar.
Yap Kay berdiri termangu sambil mengawasi
mayat Hwi thian ci cu, kepandaian silat apakah
yang mampu mengisap darah seseorang hingga
habis?
"Kau pernah menyaksikan kematian semacam
ini sebelumnya?" gumam Hoa Boan-thian.
"Belum pernah," Kongsun Toan menggeleng.
"Coba kalian lihat," ujar Hun Cay-thian pula,
"tiada bekas luka di tubuhnya, jangan-jangan dia
mati lemas karena ketakutan?"

Sementara tanya jawab sedang berlangsung,
Yap Kay sudah berjongkok memeriksa jenazah itu
dengan lebih seksama, akhirnya ia berhasil
menjumpai bekas luka di tengkuk sebelah kiri.
Kedua mulut luka itu berbentuk bulat dan
besarnya tak lebih sebutir kacang kedelai, bekas
darah kering masih menempel di sekeliling mulut
luka itu.
"Luka bekas apa ini?" seru Hoa Boan-thian
berempat serentak, perhatian mereka sama-sama
dialihkan ke kedua bekas luka itu
"Dari keadaan jenazah, tampaknya darah di
dalam tubuhnya telah terisap hingga kering
melalui kedua bekas luka itu," Hun Cay-thian
berkata.
"Tapi senjata apa yang digunakan? Rasanya
belum pernah kujumpai bentuk senjata di dalam
Kangouw yang meninggalkan bekas luka
semacam itu," ujar Kongsun Toan pula.
Yap Kay yang selama ini hanya membungkam
tiba-tiba buka suara, katanya lirih, "Itu bekas
gigitan!"
"Bekas gigitan?"
"Benar, mulut luka itu jelas terbentuk dari
bekas gigitan."
"Gigitan?" satu perubahan aneh mendadak
melintas di wajah Hoa Boan-thian, "jadi
maksudmu... dia... darah dia terisap .... "

"Benar, diisap setan pengisap darah!" Paras
muka semua orang berubah hebat.
Menurut dongeng orang kuno, konon bila ada
orang mati yang jenazahnya dilompati kucing
hitam pada masa tujuh kali tujuh hari sejak
kematiannya, maka mayat itu dapat berubah
menjadi mayat hidup.
Mayat hidup semacam ini biasanya akan
bangkit dari kubur dan mengejar korbannya
dengan melompat-lompat.
Ada pula dongeng lain yang mengatakan jika
seseorang yang telah meninggal dan kebetulan
dikubur di "liang serigala", maka setelah melalui
tujuh kali tujuh empat puluh sembilan hari, di
saat mayat itu telah mengisap kekuatan inti
matahari dan rembulan, maka sesudah seratus
hari kemudian, jenazah akan hidup kembali dan
bangkit dari liang kubur.
Ketika tengah malam menjelang tiba, di saat
cahaya rembulan sedang bersinar terang, mayat
hidup itu akan menjebol peti mati untuk
melompat keluar dari liang kuburnya dan pergi
mencari manusia bagai mangsanya.
Dengan mengandalkan sepasang taringnya
yang panjang, mayat itu akan menggigit urat nadi
manusia dan mengisap habis darahnya.
Mayat hidup semacam ini biasanya disebut
setan pengisap darah.
Konon setan pengisap darah ini tidak bisa
dibunuh dengan menggunakan senjata apa pun,

hanya bisa dimusnahkan bila jantungnya ditusuk
dengan kayu bunga Tho yang diruncingkan
ujungnya.
Selapis awan gelap bergerak pelan menutupi
cahaya rembulan di tengah kegelapan yang
mencekam, terasa pula hembusan angin utara
yang kencang, mendatangkan hawa dingin yang
menggigilkan.
Tak kuasa Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian
bergidik, bulu romanya berdiri, tanpa terasa
mereka menggigit bibir, entah karena kedinginan?
Atau mungkin karena ketakutan?
"Ah, apa yang kau katakan tak lebih hanya
dongeng yang beredar di kalangan rakyat,"
bantah Kongsun Toan, "mana mungkin ada
kejadian seperti itu?"
"Rasanya hingga saat ini kita harus mengakui
cerita itu sebagai kenyataan," kata Yap Kay pula,
"memang kau masih mempunyai penjelasan yang
lain?"
"Aku tidak percaya!"
Yang mengucapkan perkataan itu adalah Pho
Ang-soat, walaupun dia berjalan paling akhir, di
belakang Buyung Bing-cu, namun tiba tidak
selisih banyak.
"Oya?" Yap Kay mulai tertawa, "jadi kau tak
percaya Hwi thian ci cu tewas karena diisap
darahnya oleh setan pengisap darah?"

"Aku tidak percaya di kolong langit ini terdapat
setan pengisap darah" kembali Pho Ang-soat
menegas sambil mengawasi dua lubang darah di
tengkuk Hwi thian ci cu.
"Lantas menurut kau, bekas luka itu
disebabkan jenis senjata seperti apa?" tanya Hoa
Boan-thian.
"Aku tidak tahu!"
Hembusan angin malam di pinggiran kota
terasa semakin dingin, begitu dingin bagaikan
berada di puncak gunung salju, ditambah sinar
rembulan yang begitu sayu dan pucat, membuat
suasana di tempat itu terasa makin
menggidikkan.
Loh Loh-san memandang kembali jenazah yang
terkapar di hadapannya, lalu dengan suara
gemetar bisiknya, "Konon orang yang tewas
karena diisap darahnya, dia akan berubah pula
jadi setan pengisap darah pada keesokan harinya,
dan dia pun akan mencari korban lain untuk
diisap darahnya...."
"Betul, bahkan dia akan dikuasai dan
dikendalikan setan pengisap darah sebelumnya,"
imbuh Hun Cay-thian.
"Aku pun pernah mendengar dongeng
semacam ini," Yap Kay tertawa tergelak,
"tampaknya kita harus menunggu sampai esok
malam untuk membuktikan apa benar bakal
muncul setan pengisap darah lainnya."

"Andaikata benar-benar muncul... apa yang
harus kita lakukan?" tanya Loh Loh-san dengan
suara masih gemetar.
"Ya, apa boleh buat, jika benar-benar muncul
setan pengisap darah, terpaksa kita hanya bisa
kabur, aku dengar setan semacam ini usah
dibunuh."
Loh Loh-san tidak buka suara lagi, tapi setiap
orang dapat mendengar dengan jelas kedua baris
giginya sedang saling beradu aking takutnya.
"Menurut apa yang kutahu," tiba-tiba Buyung
Bing-cu berkata, "cara untuk membunuh setan
pengisap darah semacam ini hanya ada satu
yakni meruncingkan batang kayu bunga Tho,
kemudian gunakan kayu itu untuk menusuk
jantungnya."
"Kalau begitu besok kita semua menyiapkan
sebatang kayu bunga Tho untuk berjaga-jaga"
sela Yap Kay sambil tergelak.
Saat itu jarak dengan terang tanah sudah tak
lama lagi, dengan cepat jenazah Hwi thian ci cu
digotong masuk ke gudang bawah tanah Ban be
tong.
Dengan tubuh letih, setiap orang pun kembali
ke kamar masing-masing untuk beristirahat, Yap
Kay belum juga bisa memejamkan mata, sambil
mementang mata lebar-lebar dia mengawasi
keluar jendela tanpa berkedip.

Alisnya berkerut kencang, setiap kali sedang
menghadapi masalah dan perlu pertimbangan,
alisnya selalu bekernyit kencang.
Dalam keadaan begitulah pikir punya pikir,
tanpa terasa dia pun terlelap tidur.
Tak lama kemudian, dari luar jendela tampak
ada segumpal kabut tebal perlahan-lahan
bergerak memasuki ruangan itu, dalam waktu
lingkat seluruh ruangan telah diselimuti oleh
kabut tebal.
Dari balik kabut muncullah seseorang, seorang
wanita bertubuh ramping dan berambut
sepanjang bahu.
Perempuan itu berdiri lurus di balik ketebalan
kabut yang dingin membeku, seolah-olah sejak
dulu hingga sekarang dia selalu berdiri kaku di
sana, seolah-olah baru saja melumer dari balik
kebekuan bongkahan es yang keras.
Biarpun orang itu lebih dingin dari bongkahan
salju, namun justru ringan dan mengambang
bagaikan segumpal kabut.
Lamat-lamat terlihat dia adalah seorang wanita,
tapi sayang tak terlihat jelas bagaimana raut
wajahnya, yang tampak hanya dia mengenakan
pakaian seputih kabut, raut mukanya terselubung
di balik asap putih.
Perempuan di balik kabut itu hanya berdiri kaku
sambil menatap Yap Kay yang masih berbaring di
ranjang, lama kemudian baru ia menghela napas
panjang.

Seandainya waktu itu Yap Kay berada dalam
keadaan mendusin, dia pasti akan merasakan
hatinya hancur lantaran helaan napas itu.
Tak ada orang yang bisa melukiskan betapa
pedihnya helaan napas itu, tapi setiap orang
pasti dapat menangkap bahwa di balik helaan
napas itu terselip beribu patah kata yang ingin
disampaikan, terselip rasa kangen yang luar
biasa, terselip pula rasa kesal dan menggerutu
yang mendalam.
Setelah menghela napas panjang, kembali
perempuan di balik kabut itu bergumam, "Ada
begitu banyak peristiwa di dunia ini yang tak
mungkin bisa dibayangkan siapa pun di dunia ini."
Setelah berhenti sejenak, kemudian lanjutnya,
"Kau harus percaya bahwa di jagad raya yang
amat luas ini terdapat sebuah kekuatan misterius
yang tak mungkin dimiliki umat manusia pada
umumnya, kau tak boleh mencari kekuatan itu
apalagi bertarung melawan kekuatan misterius
itu, ingat baik-baik pesanku ini."
Kabut putih kelabu yang menyelimuti orang
berbaju putih kelabu pula, membuat orang itu
seolah menghilang, begitu samar-samar, begitu
tak nyata.
Manusiakah dia? Ataukah roh gentayangan?
Dalam keadaan sadar, sikap Pho Ang-soat
selalu dingin, angkuh dan acuh terhadap setiap
orang, bagaimana sikapnya sewaktu tidur?

Ia merebahkan tubuh miring ke samping
dengan kaki ditekuk dan pinggang melengkung,
raut mukanya memancarkan sinar ketidak
berdayaan seorang anak-anak, bahkan dari balik
matanya yang terpejam lamat-lamat terpercik
juga secercah harapan.
Apa yang dia harapkan?
Kasih sayang keluarga? Kehangatan
persahabatan? Ataukah kemesraan percintaan?
Jangankan orang lain, bahkan dia sendiri pun
belum tentu dapat menjawab pertanyaan ini,
semisal tahu pun dia tak bakal mengatakan
kepada orang lain, apalagi minta dia
mengakuinya.
Dari balik wajah Pho Ang-soat yang dibalut
keletihan, secara lamat-lamat masih dapat
ditemukan jiwa kekanak-kanakannya yang polos,
ketika melihat sikapnya sewaktu tidur saat ini, dia
tak ubahnya seperti seorang anak nakal yang
terlelap tidur karena kelelahan, begitu
nyenyaknya dia tertidur seakan walau ada guntur
yang menggelegar di sisi telinganya pun tak bakal
membuatnya mendus in.
Hembusan angin menjelang fajar biasanya
terasa paling dingin, juga terasa paling kencang,
membuat daun jendela terpentang lebar.
Dari luar jendela lamat-lamat berkumandang
suara nyanyian yang seakan datang dari neraka,
suara itu melantun di tengah hembusan angin,

melayang dan menggaung, seperti suara yang
bergema di dalam jeram sangat dalam.
"Di ujung jalan buntu, tak nampak kau
kembali,
Baru melangkah dijalan kematian, nyawa
keburu putus."
Begitu suara nyanyian berkumandang, tiba-tiba
Pho Ang-soat membuka matanya, mementang
matanya lebar-lebar dengan cahaya berkilat,
sementara otot-otot hijau merongkol pada tangan
kirinya yang menggenggam golok.
"Bunga belum layu,
Rembulan belum gumpil,
Dimana bulan purnama memancarkan
cahayanya? Apakah menyinari bunga mawar di
tepi hutan."
Ketika suara nyanyian itu sekali lagi
berkumandang, kening Pho Ang-soat bekernyit
makin kencang, dia merasa sangat mengenal bait
lagu itu, seakan-akan baru saja mendengarnya di
suatu tempat.
"Di ujung jalan buntu, Tak nampak kau
kembali, Tengah malam kentongan ketiga, Putus
napas hilang nyawa."
Begitu mendengar bait syair terakhir,
mencorong sinar tajam dari balik mata Pho Angsoat,
sekarang dia tahu siapa pembawa nyanyian
itu.

Yan Lam-hui! Betul, dia adalah Yan Lam-hui
yang dilatih Kongcu Gi untuk menjadi bonekanya.
Baru saja keningnya mengendor, sekali lagi dia
mengernyitkan alis, bahkan mengernyit lebih
kencang, Pho Ang-soat belum melupakan satu
hal.
Pho Ang-soat belum lupa Yan Lam-hui tewas di
ujung goloknya. Kalau bukan Yan Lam-hui yang
membawakan nyanyian itu, lalu siapa yang
barusan bersenandung?
Siapa yang dapat membawakan lagu itu?
Mengapa dia datang ke pinggiran kota untuk
membawakan lagu itu?
Apakah dia khusus datang ke situ hanya untuk
membawakan lagu itu? Khusus bersenandung
agar Pho Ang-soat dapat mendengarnya?
Untuk mencari jawaban berbagai pertanyaan
itu, tampaknya dia harus segera menjumpai
orang yang melantunkan lagu itu.
Mengikuti asal suara nyanyian itu, dengan
cepat Pho Ang-soat berjalan keluar meninggalkan
Ban be tong, kelihatannya orang itu berada di
tengah hutan.
Menanti ia memasuki hutan, Pho Ang-soat baru
sadar ternyata hutan itu sangat lebat, sejauh
mata memandang hanya pepohonan tinggi yang
menyelimuti sekeliling tempat itu.
Setelah membetulkan pakaiannya, selangkah
demi selangkah Pho Ang-soat berjalan menembus

kegelapan malam, semakin dalam dia menembus
hutan, semakin jelas suara nyanyian itu
terdengar.
Ternyata benar, suara nyanyian itu berasal dari
balik hutan lebat, tapi siapa yang membawakan
lagu itu?
Bab 4. IRAMA LAGU BAYANGAN SETAN
Angin malam berhembus kencang,
menggoyang dedaunan yang rimbun hingga
tampak bagai tangan raksasa yang sedang
mencabik ke sana kemari.
Dengan pandangan mata tajam Pho Ang-soat
berjalan menelusuri pepohonan, bergerak
menghampiri sumber suara nyanyian itu.
Tak lama kemudian tibalah dia di sebuah tanah
lapang yang luas, di saat itu pula suara nyanyian
tiba-tiba berhenti.
Tiada seseorang pun yang terlihat di sana,
kecuali sebuah gundukan tanah kecil, tak
nampak bayangan apa pun.
Bagaimana mungkin bisa terjadi? Sudah jelas
suara nyanyian itu berasal dari sana, mengapa
tak nampak seorang pun?
Suara nyanyian itu baru berhenti setelah Pho
Ang-soat melangkah masuk ke tanah lapang itu,

dia tak percaya ada orang mampu bersembunyi
dari hadapannya dalam waktu secepat itu.
Atau mungkin orang itu bersembunyi di suatu
tempat? Misalnya bersembunyi di pohon? Atau di
tempat gelap? Atau... bersembunyi di balik
gundukan tanah kecil itu?
Baru saja Pho Ang-soat bersangsi dengan
penuh tanda tanya, mendadak suara nyanyian itu
kembali berkumandang.
Kali ini Pho Ang-soat dapat mendengar suara
itu dengan jelas, bahkan berani memastikan dari
arah mana suara itu berasal.
Ternyata suara nyanyian itu berasal dari
belakang gundukan tanah itu!
Sambil tertawa dingin Pho Ang-soat perlahanlahan
berjalan ke depan, melewati gundukan itu.
Tapi begitu tiba di balik gundukan tanah itu,
lagi-lagi dia dibuat terperanjat, ternyata tak
nampak seorang pun di balik gundukan itu,
mungkinkah suara nyanyian itu jelas bersumber
dari situ?
Sekali lagi Pho Ang-soat pasang telinga
mendengarkan lebih seksama, kali ini dia benarbenar
terkesiap, ternyata suara nyanyian itu
berasal dari dalam tanah.
Dari dalam gundukan tanah kecil itu telah
muncul suara nyanyian yang begitu menggidikkan
bagaikan suara dari neraka, mungkinkah tanah
kecil ini adalah pintu masuk menuju neraka?

Mungkinkah suara itu adalah jeritan sukma
gentayangan yang berusaha kabur dari dalam
neraka?
Seperti apakah neraka itu? Siapa yang pernah
mendatanginya?
Benarkah orang yang telah mati arwahnya akan
gentayangan bahkan tersesat ke dalam neraka?
Benarkah neraka terdiri dari delapan belas
tingkat yang dijaga pasukan manusia berkepala
kerbau berwajah kuda?
Benarkah terdapat raja akhirat yang mengatur
kematian dan penitisan kembali umat manusia?
Pho Ang-soat tidak percaya segala cerita
takhayul, tapi apa mau dikata, kejadian yang
ditemuinya belakangan ini justru sukar diterima
akal sehat.
Orang yang telah mati sejak sepuluh tahun
berselang, ternyata satu per satu muncul di
hadapannya dalam keadaan hidup. Kemudian dari
balik tanah gundukan perbukitan kecil ini bisa
muncul pula suara nyanyian seperti jeritan dari
dalam neraka.
Seandainya semua kejadian itu bukan
dialaminya sendiri, siapa pula yang mau percaya?
Tapi setelah percaya, apa pula yang bisa
dilakukan?
Diawasinya tanah gundukan itu lekat-lekat, lalu
dengan tangan kanan dia mencoba meraba

permukaan tanah, dia ingin membuktikan
benarkah gundukan tanah itu asli atau bukan.
Begitu jari tangannya menyentuh permukaan
tanah, ia segera sadar bahwa gundukan tanah itu
betul-betul asli. Bersamaan dengan itu,
mendadak terjadi goncangan kuat dari balik
tanah, diikuti munculnya beribu garis cahaya yang
memancar dari balik gundukan.
Mengikuti munculnya pancaran cahaya,
terdengar pula suara raungan gusar yang
memekakkan telinga.
Cahaya yang terpancar dari dalam tanah itu
mirip semburan api yang terang benderang dan
menyilaukan mata, mirip pula dengan pancaran
cahaya komet yang terlihat dari kejauhan.
Dengan terperangah Pho Ang-soat mengawasi
pancaran cahaya yang menembus pepohonan itu,
pekikan dan raungan gusar yang berkumandang
tak ubahnya seperti teriakan dan jeritan beriburibu
setan iblis dari neraka, membuat hati siapa
pun bergidik dan ketakutan.
Pada saat Pho Ang-soat masih tertegun dan
terbelalak dengan mulut melongo itulah
mendadak pancaran beribu cahaya itu berubah
bentuk dan muncullah seseorang.
Mula-mula hanyalah sesosok bayangan yang
lamat-lamat, tapi lambat-laun semakin jelas
pakaian yang dikenakan, rambutnya, tangan
kakinya dan terakhir terlihat jelas kerut wajah
seseorang.

Ternyata kumpulan beribu cahaya yang
menyilaukan mata itu kini sudah berwujud
seseorang.
Benar, sesosok manusia hidup!
Menyaksikan manusia yang terbentuk dari
kumpulan cahaya itu, Pho Ang-soat bergidik,
hawa dingin yang menusuk tulang muncul dari
lubuk hatinya dan menyebar ke seluruh badan,
ditatapnya orang itu dengan penuh rasa kaget,
tercengang bercampur ngeri.
Orang itu balas menatap Pho Ang-soat, bukan
saja wajahnya penuh senyuman, bahkan
pancaran sinar matanya pun penuh dengan
senyuman, sayang walau dia tersenyum namun
senyuman itu belum cukup untuk melenyapkan
rasa ngeri Pho Ang-soat.
Dengan mata terbelalak Pho Ang-soat masih
mengawasi orang itu, dari ujung kepala hingga
ujung kaki, kemudian ditatapnya pula pedang
merah darah yang berada dalam genggaman
tangan kiri orang itu.
Begitu merah menyala pedang itu melebihi
merahnya darah, tapi segar dan indah bagaikan
bunga mawar.
Itulah pedang mawar, ya, pedang mawar milik
Yan Lam-hui. Ternyata manusia yang terwujud
dari kumpulan cahaya itu tak lain adalah Yan
Lam-hui, Yan Lam-hui yang telah tewas di ujung
golok Pho Ang-soat beberapa tahun berselang.

"Apa kabar?" sapaan Yan Lam-hui masih
terdengar memikat, seakan mempunyai daya
tarik.
Pho Ang-soat dengan jelas mendengar sapaan
itu, namun untuk sesaat tak tahu bagaimana
harus menjawab.
"Baru berpisah beberapa tahun, masa kau
sudah lupa padaku?" senyuman Yan Lam-hui
nampak semakin mengental, "aku adalah Yan
Lam-hui ! "
"Sebenarnya kau...." suara Pho Ang-soat agak
gemetar.
"Manusia atau setan?" Yan Lam-hui
menyeringai, "jika penilaian itu dilakukan oleh
bangsa manusia macam kau, seharusnya saat ini
aku sudah terhitung sebagai setan."
"Bangsa manusia?" sejelek-jeleknya Pho Angsoat,
dia tetap seorang jago kosen, dalam waktu
singkat ia berhasil mengendalikan gejolak hatinya
dan kembali bersikap tenang, "jadi kau bukan
terhitung manusia?"
"Yang masih hidup adalah manusia, setelah
mati tentu saja berubah jadi setan."
"Kalau begitu kau termasuk golongan setan?"
Pho Ang-soat mulai tertawa dingin.
"Sewaktu mati, memang aku sempat menjadi
setan," ujar Yan Lam-hui sambil tertawa,
"beruntung sekali aku telah bertemu Pangeran
kegelapan."

"Pangeran kegelapan? Siapa Pangeran
kegelapan?"
"Di antara alam yang dihuni golongan manusia
dan alam yang dihuni golongan setan, masih
terdapat sebuah alam lain yang tak akan bisa
kalian bayangkan, nah, alam itulah yang
dikendalikan dan diurus Pangeran kegelapan."
"Oh, jadi dimana letak alam itu?"
"Berada di antara langit dan bumi, berada di
antara kau dan aku. Alam itu persis berada di
sisimu, hanya sayang kau tak akan bisa
menemukannya."
"Lalu apa yang harus kulakukan agar dapat
melihatnya?"
"Asal kau sudah menjadi penghuni alam itu
atau Pangeran kegelapan telah menganggukkan
kepalanya," sahut Yan Lam-hui sambil tertawa
tergelak.
Awan gelap telah menyelimuti angkasa, sinar
rembulan pun lenyap dari pandangan mata.
Di tengah kegelapan itulah lamat-lamat terlihat
seolah ada cahaya biru yang menyebar dari badan
Yan Lam-hui, cahaya aneh yang membuat
perasaan orang bergidik dan seram.
Dengan tatapan tajam Pho Ang-soat
mengawasi gerak-gerik Yan Lam-hui, benarkah
antara alam manusia dan setan masih terdapat
alam lain yang tak terbayangkan oleh akal
manusia? Seperti apakah alam yang dimaksud?

Siapa pula penghuninya? Manusia? Atau setan?
Atau mungkin sebangsa dewa-dewi?
Selama hidup belum pernah Pho Ang-soat
percaya bahwa di dunia ini terdapat dewa-dewi
atau setan, dia anggap kepercayaan semacam itu
hanya takhayul, omong kosong. Tapi apa mau
dikata, justru setiap peristiwa yang dijumpainya
belakangan ini, membuatnya mau tak mau harus
menerima semua takhayul itu sebagai suatu
kenyataan.
Orang-orang yang sudah mati, satu per satu
muncul kembali di hadapannya, muncul dalam
keadaan hidup.
Dari dalam gundukan tanah yang sangat biasa
ternyata terpancar beribu cahaya. Dan cahaya
yang terpancar ternyata dapat berbentuk
seseorang, bahkan seseorang yang sudah mati.
Tapi semua peristiwa itu bukan inti masalah
yang membuat Pho Ang-soat tercengang. Yang
membuatnya terperangah, kaget dan ngeri adalah
terdapatnya alam lain di antara alam kehidupan
manusia, alam misterius yang selama ini tidak
diketahui siapa pun.
Lalu disebut apakah alam misterius yang tidak
diketahui itu? Surga? Neraka? Atau dunia maya
yang selama ini sering dibicarakan umat
persilatan?
"Bila benar-benar terdapat alam seperti ini, apa
nama alam itu?" tanya Pho Ang-soat kemudian,

"disebut apa pula penghuni yang tinggal di alam
itu?"
"Dunia keempat" Yan Lam-hui menerangkan,
"penghuninya disebut manusia maya, oleh
karena itu dunia keempat disebut juga dunia
maya"
"Apa syaratnya untuk masuk ke dunia keempat
itu?"
"Tidak dibutuhkan syarat apa pun, sama sekali
tak dibutuhkan syarat," Yan Lam-hui tertawa,
"yang terpenting ada jodoh atau tidak."
"Jodoh?"
"Betul, jodoh, siapa yang berjodoh maka pintu
alam kita akan terbuka untuknya."
"Kalau tidak berjodoh?"
"Kalau tidak berjodoh maka silakan hidup
berlanjut di dunia yang penuh kepedihan ini,"
sahut Yan Lam-hui sambil tertawa, "oleh karena
itulah aku harus mengucapkan selamat
kepadamu."
"Mengucapkan selamat kepadaku? Kenapa?"
kembali Pho Ang-soat melengak.
"Karena kau adalah orang yang berjodoh, itulah
sebabnya kau dapat mendengar suara
nyanyianku, datang kemari dan berjumpa dengan
Utusan Cahaya."
"Utusan Cahaya?"

"Bukankah tadi kau saksikan ada pancaran
cahaya? Nah, akulah pancaran cahaya itu, Utusan
Cahaya adalah diriku."
"Hanya orang berjodoh yang dapat bertemu
Utusan Cahaya? Hanya Utusan Cahaya yang
dapat membimbingku memasuki dunia keempat?"
"Betul."
"Setelah tiba di dunia keempat, apa pula yang
bisa kudapat?" jengek Pho Ang-soat sambil
tertawa dingin. "Jadi dewa? Jadi manusia abadi
yang tak bisa mati?"
"Benar, dan masih ada lagi, kau akan
memperoleh kekayaan yang berlimpah," sambung
Yan Lam-hui, "apa pun yang bakal kau peroleh,
sudah lebih dari cukup untuk menimbulkan badai
besar di dunia Kangouw."
"Apa yang kau sampaikan merupakan imingiming
yang bisa membuat orang tergiur, terpikat,
tapi sayang di dunia ini masih terdapat jenis
manusia lain, manusia yang tak terpikat oleh
semua itu," kata Pho Ang-soat hambar.
"Aku tahu, manusia macam kau memang tak
bakal terpikat oleh kekayaan dan emas," Yan
Lam-hui tertawa, "tapi bagaimana dengan
tawaran menjadi manusia abadi? Masa kau tidak
tertarik menjadi manusia abadi yang tak bisa
mati?"
"Sayang aku hanya tahu bahwa manusia harus
hidup penuh makna, daripada hidup abadi sebagai

sesosok boneka, lebih baik hidup berpuas ria
selama beberapa tahun."
"Bukankah lebih baik hidup daripada mati,
meski hidup di bawah kendali?"
"Benarkah begitu?" Pho Ang-soat tertawa
dingin, "benarkah semua penghuni dunia
keempat adalah manusia abadi yang tak bisa
mati?" "Kalau tidak bernyawa, mana mungkin
bisa mati?"
"Bukankah kau sudah pernah mati satu kali?"
jengek Pho Ang-soat sambil menatap dingin
dirinya.
"Karena setiap orang yang ingin memasuki
dunia keempat, dia wajib mati satu kali."
"Oh, jadi kalau aku ingin bergabung dengan
kalian, maka aku wajib mati terlebih dulu?"
"Betul, tinggalkan badan kasarmu yang tak
berguna dan sisakan arwahmu yang suci bersih,
hanya semua yang suci bersih yang dapat
memasuki dunia maya."
"Rupanya kedatanganmu sebagai Utusan
Cahaya pada malam ini adalah ingin menjemput
aku pulang ke langit barat?"
Yan Lam-hui tertawa hambar, perlahan-lahan
dia mencabut pedangnya yang berwarna merah
darah.
Begitu pedang itu dilolos dari sarungnya, meski
tiada cahaya sang surya, namun cahaya pedang
itu amat menyilaukan mata seperti pantulan

cahaya matahari, lembut dan indah bagai sinar
rembulan.
Hawa pedang mulai menyelimuti wajah Pho
Ang-soat, hawa membunuh pun semakin
mengental.
Pho Ang-soat belum juga bergerak, tangan
kirinya menggenggam kencang goloknya yang
hitam pekat. Golok hitam yang melambangkan
kematian.
Bukankah warna merah darah pun
melambangkan kematian?
Golok belum lagi diloloskan dari sarung, tapi
paras muka Pho Ang-soat telah berubah semakin
memucat, dia mengawasi pedang di tangan Yan
Lam-hui tanpa berkedip, mimik mukanya tanpa
perasaan sementara biji matanya menyusut kecil.
Yan Lam-hui balas menatap lawannya, sorot
matanya yang berkilat bagai cahaya bintang di
tengah malam memancarkan semacam perasaan
aneh, entah perasaan itu melambangkan
kegembiraan seorang yang baru terlepas dari
penderitaan? Ataukah perasaan pedih karena
ketidakberdayaan.
Perlahan-lahan Pho Ang-soat mendongakkan
kepala dan balas menatap matanya.
Ketika tatapan mata mereka saling bertemu,
terjadilah benturan bunga api yang menyebar di
tengah kegelapan malam, seperti dua komet yang
tiba-tiba saling bentur.

Tiba-tiba Pho Ang-soat berkata, "Kau sudah
dua kali kalah di tanganku, buat apa mesti
mencari kekalahan untuk ketiga kalinya?"
Mata Yan Lam-hui menyusut, tahu-tahu
pedangnya melancarkan sebuah tusukan.
Cahaya pedang segera menyebar ke seluruh
langit, secepat sambaran kilat pedang itu
meluncur ke muka, memancarkan hawa senjata
yang dingin bagaikan es.
Sebaliknya gerakan golok hitam justru sangat
lambat.
Biarpun kelihatan lamban, namun belum lagi
cahaya pedang itu menerobos masuk, tahu-tahu
golok itu sudah menerobos lebih dulu ke balik
cahaya pedang dan membendung seluruh
ancaman itu.
Dalam waktu singkat di angkasa hanya tampak
cahaya pedang yang merah membara bagai darah
serta mata golok yang putih memucat.
Satu tebasan cahaya golok yang sangat tawar,
setawar air telaga di musim semi, dan sedingin
hawa musim salju berkelebat, ya, hanya satu
kelebatan saja, tahu-tahu bunga pedang yang
semula menyelimuti angkasa kini telah lenyap.
Rupanya tebasan golok Pho Ang-soat telah
berhasil memunahkan serangan maut Yan Lamhui.
Seolah-olah ilmu silat Yan Lam-hui sama sekali
tidak mengalami kemajuan, biarpun orangnya

telah hidup kembali namun ilmu silatnya justru
telah mati.
Dengan lenyapnya ancaman cahaya pedang,
seharusnya Pho Ang-soat merasa gembira dan
bangga, ternyata tidak, alisnya justru berkerut
kencang, malah raut mukanya memperlihatkan
perubahan yang aneh.
Kendatipun dia berhasil memunahkan jurus
pedang Yan lam-hui, namun dia justru dapat
merasakan bahwa hawa pedang yang terpancar
dari tubuh lawannya jauh lebih tebal dan kental.
Begitu jurus pedangnya jebol, Yan Lam-hui
segera tertawa seram yang mengerikan, bagaikan
suara raungan dari neraka, berbareng cahaya
hijau yang menyelimuti badannya kian bertambah
tebal dan menguat.
Di tengah tawa seramnya, sekali lagi Yan Lamhui
melancarkan sebuah tusukan.
Kali ini tiada cahaya pedang yang menyelimuti
angkasa, tiada kecepatan bagai sambaran kilat,
tapi hawa pedang yang terpancar justru makin
tebal, makin rapat.
Tusukan pedang itu datang secara lamban,
tiada bunga pedang yang terlihat kecuali getaran
keras pada ujung senjata.
Begitu melihat getaran ujung pedang lawan,
serta-merta Pho Ang-soat mundur selangkah.
Baru saja kakinya melangkah mundur, ujung
pedang yang bergetar tiada hentinya itu tahuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tahu memancarkan cahaya tajam berwarna hijau
tua.
Sinar hijau itu meluncur ke depan, menembus
udara dan langsung mengancam dada musuh.
Beruntun Pho Ang-soat harus menggunakan
tiga macam gerakan tubuh yang berbeda sebelum
berhasil lolos dari ancaman cahaya hijau itu, tapi
sayang dia tak berhasil menghindari tusukan
pedang Yan Lam-hui.
Ujung pedang menyambar, darah segar segera
muncrat kemana-mana.
Darah segar berwarna merah, semerah pedang
mawar dalam genggaman Yan Lam-hui.
Ternyata bahu kiri Pho Ang-soat telah
tersambar ujung senjata lawan hingga muncul
sebuah mulut luka berdarah.
Luka itu cukup dalam, meski tak sampai
menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.
Sambil mengertak gigi Pho Ang-soat
mengayunkan goloknya dengan tangan kanan,
melepaskan bacokan kilat.
Bacokan itu bukan ditujukan kepada lawan, tapi
dibabatkan langsung ke bahu kiri sendiri.
Ketika mata golok berkelebat, kulit daging di
bahu kirinya segera tersayat.
Kembali darah menyembur dari bekas sayatan
itu, kini Pho Ang-soat baru merasakan kesakitan

yang luar biasa, namun dia justru
menghembuskan napas lega.
Tak lama setelah kulit daging bahu yang
tersayat itu jatuh ke tanah, tiba-tiba terdengar
suara mencicit bergema dari sayatan itu, dalam
waktu singkat sayatan kulit daging tadi
berubah jadi hitam pekat, lalu dalam sekejap
melumer dan berubah jadi cairan berwarna
hitam pekat.
Racun! Ya, hanya tubuh yang terkena racun
baru akan menimbulkan gejala seperti ini.
Mengawasi cairan hitam yang membusuk di
atas tanah, Pho Ang-soat tertawa dingin,
jengeknya, "Rupanya penghuni dunia keempat
pun pandai menggunakan akal busuk, bahkan
pintar sekali memakai racun."
Yan Lam-hui tidak menjawab, sekali lagi dia
memperdengarkan suara tawanya yang
menyeramkan, pedang dalam genggamannya
kembali melancarkan tusukan.
Kali ini tidak menunggu ujung pedang lawan
bergetar, golok Pho Ang-soat telah bergerak lebih
dahulu.
Tiada bunga golok, tiada hawa golok, yang
terjadi hanya sekali bacokan, bacokan dari atas
ke bawah, dari gerak cepat berubah jadi lambat.
Di tengah cahaya pedang berwarna merah,
terbias selapis cahaya golok yang sangat tipis.

Dimana cahaya golok berkelebat, tahu-tahu
pedang Yan Lam-hui telah berubah menjadi dua
bagian dan terpisah ke kiri kanan.
Ternyata bacokan golok itu telah membelah
pedang mawar menjadi dua bagian.
Pedang itu terpapas kutung jadi dua bagian,
setengah bagian masih berada dalam genggaman
Yan Lam-hui dan setengah bagian yang lain
rontok ke tanah
Tiba-tiba Yan Lam-hui mengepalkan tangan
kirinya, sambil menjulurkan jari telunjuk dan jari
tengahnya, dia membuat satu guratan lingkaran
aneh di tengah udara dan mulutnya komat-kamit,
kemudian ia berteriak, "Terbang!"
Kurungan pedang yang semula tergeletak di
tanah itu tiba-tiba meluncur ke udara bersamaan
dengan suara bentakan Yan Lam-hui, lalu dengan
kecepatan tinggi meluncur ke arah Pho Ang-soat.
Kutungan pedang itu meluncur begitu mantap
dan bertenaga, seolah-olah terdapat tangan tak
tembus pandang yang sedang menggenggamnya
dan ditusukkan ke tubuh lawan.
Pedang yang semula sebilah mendadak
berubah jadi dua potong, satu bagian berada di
tangan Yan Lam-hui, bagian yang lain terbang
melancarkan serangan maut. Inilah ilmu pedang
tingkat tinggi, ilmu pedang yang dikendalikan
tenaga dalam.
Selama ini kehebatan ilmu itu hanya ada dalam
dongeng atau cerita orang, sama sekali tak

disangka hari ini dari Yan Lam-hui dapat
disaksikan kenyataan itu, setelah bangkit dari
matinya terbukti ilmu silat orang ini bertambah
lihai dan sakti.
Seorang Yan Lam-hui dengan sebilah pedang
saja sudah begitu susah dihadapi, apalagi
sekarang, setelah bertambah lagi dengan sebuah
ancaman yang datang dari udara, Pho Ang-soat
merasakan tekanan yang semakin berat.
Terpaksa dengan sekuat tenaga dia hadapi
ancaman yang datang dari depan maupun
belakang dengan sekuat tenaga.
Manusia aneh dengan jurus serangan aneh dan
ujung pedang yang telah dipoles racun keji...
semakin bertarung, suara tawa Yan Lam-hui
semakin bertambah nyaring.
Semakin nyaring suara tawa lawan, peluh
dingin yang membasahi jidat Pho Ang-soat makin
bertambah deras.
Pedang terbang itu sekali-kali melancarkan
tusukan maut ke tubuh Pho Ang-soat, baru
selesai dia menghindari ancaman pedang terbang
itu, ancaman pedang Yan Lam-hui menyusul tiba.
Sambil membalikkan badan Pho Ang-soat
melayangkan bacokan, siapa tahu pedang terbang
itu tiba-tiba berbalik arah dan menyambar lagi
dari belakang tubuhnya.
Ancaman itu datang tanpa menimbulkan suara,
secara diam-diam pedang itu membokong ke arah
batok kepala Pho Ang-soat.

Berhubung jurus serangan yang dilancarkan
Yan Lam-hui sangat ganas dan hebat, Pho Angsoat
harus menggunakan seluruh kemampuan
dan perhatiannya untuk menghadapi, ditambah
pula punggungnya tidak bermata, hakikatnya dia
sama sekali tidak tahu pedang terbang itu sedang
berbalik arah mengancam tubuhnya tanpa
menimbulkan suara.
Sekalipun tahu juga sulit baginya untuk
menghindarkan diri, sebab sekalipun dia mampu
menghindari serangan pedang terbang itu, belum
tentu berhasil menghindari serangan pedang Yan
Lam-hui.
Di saat yang paling kritis itulah sarung golok di
tangan Pho Ang-soat tahu-tahu menerobos keluar
lewat bawah ketiak dan.... "Traang!", percikan
bunga api memancar dari sarung golok berwarna
hitam itu, tahu-tahu pedang terbang itu sudah
menerobos masuk ke dalam sarung golok itu.
Cepat Pho Ang-soat mengayunkan tangan
kirinya, sarung golok berikut pedang terbang itu
turut bergeser ke samping, cepat dia berjongkok
lalu berputar, secepat kilat ia meloloskan diri dari
tusukan pedang Yan Lam-hui.
Setelah itu dia membalikkan tangannya,
dimana cahaya golok berkilauan, ia songsong
datangnya cahaya pedang lawan.
Tidak terjadi benturan antara golok dan
pedang, meski cahaya pedang datang begitu
cepat, namun gerakan golok jauh lebih cepat.

Ujung pedang Yan lam-hui nyaris menembus
tenggorokan Pho Ang-soat, selisihnya tak lebih
dari satu inci.
Biarpun hanya satu inci, namun satu inci yang
bisa menyebabkan nyawa melayang.
Gara-gara selisih satu inci itulah kembali
cahaya golok Pho Ang-soat berkelebat, kemudian
terdengarlah jeritan ngeri yang menyayat hati
diikuti percikan darah segar.
Di tengah semburan darah yang memancar
kemana-mana, tubuh Yan Lam-hui mundur tiga
langkah dengan sempoyongan sebelum akhirnya
sama sekali tak bergerak.
Pho Ang-soat pun tidak bergerak, hanya
tetesan darah menetes dari ujung goloknya.
Tidak ditemukan sedikit luka pun di tubuh Yan
Lam-hui, hanya sepasang matanya memancarkan
cahaya sayu, menatap Pho Ang-soat tanpa
berkedip.
Sinar mata tak percaya, namun di balik rasa
tak percaya terselip juga perasaan percaya.
Pho Ang-soat sama sekali tak bergerak, dia pun
sama sekali tidak menatap Yan Lam-hui.
"Mana mungkin... mana mungkin?" terdengar
Yan Lam-hui bergumam t i ada hent inya.
Kemudian tertampaklah butiran darah
perlahan-lahan mengucur dari jidat di antara
kedua alis matanya, mengalir lewat bulu mata,
turun ke tenggorokan dan membasahi perutnya.

Sekali lagi cahaya golok berkelebat, kali ini
tubuh Yan Lam-hui yang dibabat.
Bersamaan dengan munculnya lelehan darah,
tubuh Yan Lam-hui berikut pedangnya segera
membelah diri menjadi dua, persis seperti
pedangnya tadi.
Kembali Yan Lam-hui mundur tiga langkah, tapi
belum langkah keempat, tubuhnya sudah terbelah
jadi dua dan roboh terkapar di tanah.
Sampai tubuhnya roboh di atas tanah, paras
muka Yan Lam-hui masih mengunjuk rasa tidak
percaya, rasa ngeri dan takut yang luar biasa.
Perlahan-lahan Pho Ang-soat bangkit,
memandang wajah Yan Lam-hui yang terbelalak
tak percaya, dia mendengus dingin, jengeknya,
"Ternyata penghuni dunia keempat pun tetap bisa
mati."
Pho Ang-soat memungut sarung goloknya
sambil menyarungkan kembali senjatanya, lalu
dengan menggunakan langkahnya yang aneh dan
khas, perlahan-lahan meninggalkan gundukan
tanah itu menuju keluar hutan.
Saat itulah cahaya pertama sang surya mulai
memancar dari ufuk timur, menembus awan
tebal, menyinari hutan nan gelap, membuat
butiran embun yang tersisa di dahan dan
dedaunan membiaskan cahaya yang menyilaukan
mata.

Butiran embun kecil terhimpun membesar lalu
menetes dari atas dahan, menetes persis di atas
mata Yan Lam-hui.
Tiba kembali di Ban be tong, hari mulai terang
tanah. Pho Ang-soat tetap berjalan lamban, tibatiba
ia menjumpai satu kejadian aneh, biarpun
sudah terang tanah namun suasana dalam Ban be
tong masih sunyi sepi, jangankan menjumpai
seseorang, sedikit suara pun tidak terdengar.
Mana penghuninya? Kemana mereka telah
pergi? Jangan-jangan setelah malam berlalu,
keadaan Ban be tong akan pulih seperti keadaan
malam sebelumnya? Mungkinkah mereka yang
seharusnya telah mati, kini kembali masuk ke
liang kubur?
Sekali lagi Pho Ang-soat memeriksa keadaan
sekeliling tempat itu, bangunan Ban be tong
masih tegak megah, tak nampak bangunan itu
berubah jadi puing yang terlupakan, namun
masih tetap tak kelihatan seorang pun. Aneh!
Benar-benar sangat aneh!
Kemana perginya Yap Kay? Bukankah dia
senang berkeliaran dan berhura-hura di
sembarang tempat? Mengapa tidak nampak
batang hidungnya?
Pho Ang-soat berkerut kening, rasa heran dan
curiga mencekam hatinya, tapi ia tidak
menghentikan langkahnya, selangkah demi
selangkah berjalan balik ke tempat penginapan.

Setelah tiba di luar penginapan, kembali ia
jumpai satu peristiwa aneh.
Dari balik daun jendela bangunan penginapan
yang megah, terbias begitu banyak bayangan
manusia, ternyata di dalam gedung itu telah
berkumpul begitu banyak manusia, hanya
anehnya, tak seorang pun yang bersuara.
Belasan orang berkumpul jadi satu tapi tak
terdengar sedikit suara pun, biasanya keadaan
seperti ini menunjukkan satu kemungkinan yaitu
telah terjadi suatu peristiwa yang
menggemparkan.
Padahal kalau dihitung dari munculnya suara
nyanyian fajar tadi, hingga dia balik saat ini,
selisih waktunya tak lebih hanya satu jam,
mungkinkah dalam waktu yang amat singkat ini
Ban be tong kembali didera peristiwa besar?
Begitu masuk ke ruang utama, benar saja, ia
saksikan hampir semua orang sedang berkumpul
di sana, dengan kening berkerut kencang setiap
orang mengawasi Pho Ang-soat yang sedang
melangkah masuk dengan pandangan serius,
mimik muka mereka menunjukkan ketegangan
yang luar biasa, seakan mereka memandang Pho
Ang-soat bagai malaikat penyebar maut.
Bukan cuma orang-orang itu, bahkan Yap Kay
yang selalu banyak bergurau dan banyak bicara
pun kini sedang termenung seperti memikirkan
suatu masalah berat.

Dengan sorot mata yang tak kalah tajamnya
Pho Ang-soat balas memandang wajah orangorang
itu, terakhir sorot matanya berhenti pada
wajah Be Khong-cun yang masih duduk di ujung
meja panjang.
Tak nampak perubahan di wajah Be Khong-cun,
dia masih duduk dengan wajah hambar, bahkan
sepasang matanya yang bersinar pun kini nampak
redup. Perhatiannya tidak tertuju ke wajah Pho
Ang-soat melainkan sedang mengawasi segumpal
kain putih yang tergeletak di atas meja panjang
persis di hadapannya.
Kini Pho Ang-soat baru tahu, ternyata
gumpalan kain putih itu adalah tubuh manusia.
Kain putih itu penuh berlepotan darah, cairan
darah yang membasahi masih nampak merah
menyala, masih kelihatan basah dan belum
mengering, menandakan tubuh orang itu belum
lama digotong ke sana.
Tubuh orang itu sudah tidak bergerak sama
sekali, kemungkinan besar telah mati, mati belum
lama berselang. Siapakah orang itu?
Sekali lagi Pho Ang-soat mengalihkan sorot
matanya ke wajah setiap orang yang hadir, Yap
Kay, Kongsun Toan, Hoa Boan-thian, Buyung
Bing-cu, Loh Loh-san... hampir semuanya hadir di
situ, lalu siapakah manusia di balik balutan kain
putih itu?
Semua orang duduk mengelilingi meja panjang,
di hadapan mereka tersedia semangkuk bubur

sayur, bubur panas yang masih mengepulkan
asap putih, namun tak seorang pun yang
menggerakkan sumpit untuk mulai bersantap.
Di tempat itu masih tersisa satu mangkuk
bubur yang belum ada pemiliknya, perlahan Pho
Ang-soat berjalan ke sana, mengambil tempat
duduk, mengambil sumpit dan mulai bersantap.
Menunggu sampai dia selesai bersantap,
dengan suara hambar Be Khong-cun baru
berkata, "Selamat pagi!"
Tentu saja perkataan itu ditujukan kepada Pho
Ang-soat, oleh karena itu Pho Ang-soat pun
menyahut, "Saat ini sudah tidak pagi lagi!"
"Ya, memang sudah tidak pagi. Aku hanya ingin
tahu, sebelum kentongan keempat lewat
semalam, hampir setiap orang berada di dalam
kamarnya, bagaimana dengan kau?"
"Aku tidak berada dalam kamar."
"Kau pergi kemana?"
Pho Ang-soat mendongakkan kepala,
memandang Be Khong-cun dengan pandangan
dingin, lalu jengeknya sinis, "Memangnya aku
wajib melaporkan keberadaanku kepada Samlopan?"
"Ya, harus," jawab Be Khong-cun kata demi
kata.
"Kenapa?"

"Demi manusia yang berbaring di atas meja."
"Siapa orang itu?"
"Masa kau tidak tahu?" Be Khong-cun menatap
tajam wajahnya. "Memangnya aku harus tahu?"
"Tentu saja, karena sejak kentongan keempat
semalam, hanya kau yang tidak berada dalam
kamar."
"Karena aku tak ada di kamar, maka aku harus
tahu siapakah orang itu?"
"Sejak peristiwa pembunuhan yang terjadi
semalam, baik Loh-siansing maupun Buyungkongcu,
Yap-kongcu serta beberapa orang
lainnya, semuanya kembali ke kamar masingmasing
untuk beristirahat, kehadiran mereka di
kamar bisa dibuktikan" kata Be Khong-cun
dengan sorot mata tajam, "sebaliknya kau? Sejak
kentongan keempat semalam, kemana kau pergi?
Siapa yang bisa membuktikan kehadiranmu?"
Ada satu orang yang bisa menjadi saksi,
bahkan satu-satunya saksi yang mengetahui
kemana Pho Ang-soat telah pergi, dia bukan lain
adalah Yan Lam-hui yang telah bangkit dari
matinya, tapi sayang orang itu sekali lagi telah
menemui ajal di ujung goloknya.
Kini tak seorang pun yang bisa bertindak
sebagai saksi.
"Tidak ada!" jawab Pho Ang-soat kemudian
tenang.

Mendadak Be Khong-cun tidak bertanya lagi,
hawa membunuh segera terpancar dari balik
matanya, lalu terdengar suara langkah kaki yang
berat bergema dari belakang Pho Ang-soat. Hoa
Boan-thian dan Hun Cay-thian sedang berjalan
menghampirinya.
"Silakan Pho-heng!" kata Hoa Boan-thian
dingin.
"Persilakan aku kemana?"
"Silakan keluar."
"Tunggu sebentar," Yap Kay yang
membungkam selama ini tiba-tiba berkata,
"paling tidak sebelum dia keluar, berilah
kesempatan kepadanya agar bisa melihat siapa
yang berada di balik balutan kain putih itu."
"Tidak usah dilihat pun dia pasti tahu," jengek
Hoa Boan-thian dingin.
"Sebelum masalah menjadi jelas, sebelum ada
bukti yang pasti, atas dasar apa kau menuduh
dialah pembunuhnya?" "Kecuali dia, siapa lagi
"Biarkan dia melihat," mendadak Be Khong-cun
menukas.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Pho
Ang-soat berjalan menghampiri ujung meja
panjang, lalu pelan-pelan menyingkap kain putih
bernoda darah itu.
Di balik balutan kain putih membujur kaku
tubuh seseorang, tapi sayang, biarpun Pho AngTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
soat telah menyingkap kain putih itu namun tidak
tahu siapakah dia, sebab mayat itu tanpa kepala.
Bagaimana mungkin orang bisa mengenali
sesosok mayat tanpa kepala? Pho Ang-soat hanya
tahu, mayat itu adalah mayat seorang wanita, itu
pun berdasarkan pakaian yang dikenakan.
"Dia tewas karena batok kepalanya dikutungi
dengan golok," ujar Be Khong-cun dengan wajah
pedih bercampur gusar, "tahukah dimana batok
kepalanya sekarang?"
"Siapa dia?" tanya Pho Ang-soat.
"Dia adalah Be Hong-ling" kali ini Yap Kay yang
menjawab. "Be Hong-ling?" Pho Ang-soat
melengak.
"Sekali tebas batok kepala melayang, bukan
saja harus dilakukan dengan golok yang tajam,
dibutuhkan juga ilmu menebas yang luar biasa,"
kata Be Khong-cun lagi, "Pho Ang-soat wahai Pho
Ang-soat, kau memang tak malu disebut Pho
Ang-soat!"
Perlahan-lahan Pho Ang-soat berhasil
menenangkan diri, sikapnya tetap dingin, hambar
bahkan seolah membawa nada mengejek.
"Atas kejadian ini, apakah kalian masih ingin
mengucapkan sesuatu lagi?" tanya Be Khong-cun
setelah menyapu sekejap wajah seluruh hadirin.
Tiada orang yang bicara lagi, tapi semua orang
sedang menatap Pho Ang-soat, sinar mata
mereka terpancar rasa sedih dan sayang.

"Hanya ada sepatah kata saja," mendadak Pho
Ang-soat berkata. "Katakan!"
"Bagaimana kalau Sam-lopan salah membunuh
orang?"
"Kalau salah membunuh, kita bisa membunuh
yang lain lagi."
Perlahan Pho Ang-soat manggut-manggut.
"Masih ingin mengucapkan sesuatu lagi?" desak
Be Khong-cun. "Tidak ada"
Panji besar Ban be tong berkibar kencang di
bawah teriknya sinar matahari.
Saat itu banyak orang sedang berdiri di bawah
teriknya sang surya.
Setelah Pho Ang-soat berjalan keluar
meninggalkan ruangan, Hoa Boan-thian, Hun
Cay-thian, Be Khong-cun serta para jago lainnya
beruntun ikut keluar meninggalkan ruangan, tak
seorang pun yang bersuara, suasana terasa
hening dan sepi.
Anehnya, Kongsun Toan yang selama ini
temperamental dan gampang mengumbar emosi
ternyata tidak ikut, Yap Kay merasa heran.
Semenjak masih berada dalam ruangan,
Kongsun Toan tak pernah berbicara, sepatah
kata pun tidak, mengapa ia bersikap begitu?
Yap Kay merasa semakin tertarik hal ini, dia
adalah orang terakhir yang meninggalkan gedung
penerima tamu, tiba di bawah teriknya sang

surya, dia pun menengadah sambil menarik napas
panj ang.
"Udara hari ini sangat cerah dan segar," ujar
Yap Kay kemudian sambil tersenyum, "dalam
cuaca secerah dan sesegar ini, aku rasa tak
seorang pun ingin mati."
"Sayangnya, terlepas udara cerah atau tidak,
setiap orang bisa mati mendadak," Be Khong-cun
menambahkan.
"Benar, memang tak salah perkataanmu itu,"
kembali Yap Kay menghela napas.
Be Khong-cun membalikkan badan, berhadapan
dengan Pho Ang-soat, lalu tanyanya, "Selewat
kentongan keempat semalam, sebenarnya kau
pergi kemana?"
"Ke suatu tempat dimana tak ada manusia,"
sahut Pho Ang-soat hambar.
"Sayang, sayang!"
Tiba-tiba Hoa Boan-thian meluruskan
tangannya ke bawah, menepuk pelan ikat
pinggang kulitnya, "Cring!", sebilah pedang lemas
yang terbuat dari baja putih segera tercabut dari
sarungnya dan menjadi kaku dan lurus.
""Pedang bagus!" puji Yap Kay tanpa terasa.
"Bagaimana kalau dibandingkan golok itu?"
ejek Hoa Boan-thian sambil melirik golok di
tangan Pho Ang-soat.

"Tergantung berada di tangan siapa golok itu,"
sahut Yap Kay sambil tertawa.
"Jika berada di tanganmu?" tanya Be Khongcun
tiba-tiba.
"Dalam genggamanku tak pernah ada golok,
aku pun tak pernah memakai golok."
"Hanya menggunakan pisau terbang...."
Nama besar Siau-li si pisau terbang memang
bukan nama kosong.
Selama seratus tahun belakangan, tak pernah
ada jagoan persilatan yang meragukan perkataan
itu.
Yap Kay adalah satu-satunya ahli waris Li Sunhuan,
tak seorang pun pernah memandang
enteng pisau terbangnya.
"Mana pisau terbangmu?" tanya Be Khong-cun
lagi.
"Ini pisauku."
Sepasang tangan Yap Kay yang semula kosong,
entah sejak kapan dan entah berasal darimana,
tahu-tahu sudah menggenggam sebilah pisau
terbang.
Begitu pisau terbang berada dalam genggaman,
sinar berkilauan pun memancar dari balik mata
Yap Kay.
Tanpa sadar semua orang bersama-sama
mundur selangkah, rasa hormat, takut dan ngeri
terlintas di balik mata setiap jago.

Cahaya pisau berkelebat, kembali pisau terbang
itu lenyap dari pandangan mata, sepasang
tangan Yap Kay sudah kosong melompong.
"Aku tak suka membunuh orang menggunakan
pisau terbang," ujar Yap Kay sambil tertawa,
"sebab aku sangat menikmati suara tulang
remuk, apalagi suara kulit disayat."
"Kau pernah mendengar suara ujung pedang
yang sedang menembus kulit daging seseorang?"
tanya Hoa Boan-thian.
"Belum pernah."
"Suara yang ditimbulkan pun sangat enak
didengar" kata Hoa Boan-thian.
"Kapan kau akan mengundangku untuk
menikmatinya?" "Sebentar lagi kau akan
mendengarnya."
Hoa Boan-thian menggetarkan pedangnya,
ujung senjata segera memancarkan cahaya yang
menyilaukan mata.
Hun Cay-thian telah melolos pula pedangnya, ia
bergeser menuju ke belakang Pho Ang-soat.
Menghadapi datangnya ancaman, Pho Ang-soat
sama sekali bergeming, tangan kirinya pun tidak
nampak menggenggam kencang goloknya, dia
hanya berdiri di tempat dengan tenang, sorot
matanya mengawasi pasir kuning di bawah
kakinya.
Sikapnya yang begitu santai seolah-olah tak
tahu Hoa Boan-thian sekalian sedang bersiap

hendak membunuhnya, seakan-akan kejadian itu
sama sekali tak ada sangkut-paut dengan dirinya.
Be Khong-cun pun tidak bergerak, meskipun
sudah berdiri saling berhadapan dengan Pho Angsoat,
namun sinar matanya masih sering melirik
ke arah Yap Kay.
Apakah dia kuatir Yap Kay ikut campur urusan
ini dan membantu Pho Ang-soat? Atau kuatir Yap
Kay melepas pisau terbangnya secara tiba-tiba?
Cerahnya sinar matahari fajar di pinggiran kota
seakan secerah senyuman Yap Kay saat itu.
Sambil tersenyum ujar Yap Kay kepada Pho
Ang-soat, "Pergilah dengan perasaan lega, pasti
ada orang yang akan mengurus masalah akhirmu,
aku pun tak akan lupa membawa beberapa poci
arak wangi untuk menyambangi tanah
kuburanmu."
Matahari memancarkan sinarnya semakin terik.
Hembusan angin kencang menerbangkan pasir
kuning, sejauh mata memandang hanya warna
emas yang menyelimuti angkasa.
Biarpun langit sangat cerah dan terang
benderang, namun justru diliputi hawa
membunuh yang menakutkan.
Di tempat itu meski kehidupan tiada hentinya
tumbuh, namun setiap saat kehidupan itu
mungkin bisa musnah.

Kehidupan memang keras, ganas dan sama
sekali tak berperasaan, siapa kuat dialah
pemenang.
Hoa Boan-thian menggetarkan pedangnya,
menciptakan lima kuntum bunga pedang, Pho
Ang-soat masih tak bergerak, berdiri ketus di
antara Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian,
sikapnya yang begitu dingin ibarat bongkahan
salju abadi yang tak pernah mencair.
Benar, sebongkah salju abadi yang tembus
pandang!
Sekalipun sedang berdiri di tengah deru badai
pasir dan teriknya matahari, dia masih berdiri tak
bergerak, seakan gangguan itu sama sekali tak
mempengaruhinya, walau ia berdiri di medan
seperti apa pun, selalu berdiri kokoh bagaikan
bongkaran salju abadi.
Hun Cay-thian menggenggam kencang gagang
pedangnya, gagang pedang yang semula dingin
kini telah berubah jadi panas membara, butiran
peluh telah membasahi telapak tangannya,
mengucur dari jidatnya, seluruh tubuhnya seolah
mulai terbakar di bawah teriknya matahari.
"Cabut golokmu!" bentakan Hun Cay-thian pun
membara bagai jilatan api.
Pho Ang-soat masih belum bergerak,
biarpun begitu otot-otot hijau pada lengan
kirinya sudah mulai merongkol. "Cabut golokmu!"
Butiran peluh mulai bercucuran dari jidat Hoa
Boan-thian, membasahi sudut matanya,

membasahi batang hidungnya, membuat pakaian
yang menempel punggungnya basah kuyup.
Apakah Pho Ang-soat tidak berpeluh?
Tangannya masih memegang sarung golok dalam
posisi yang sama, hanya otot-otot hijaunya
nampak semakin merongkol.
Tiba-tiba Hoa Boan-thian meraung keras,
"Cabut golokmu!"
"Sekarang bukan saat yang tepat untuk
mencabut golok," jawab Pho Ang-soat sangat
hambar.
"Sekarang adalah saat paling tepat untuk
mencabut golok," jerit Hoa Boan-thian lagi, "aku
ingin melihat, apakah masih ada noda darah di
mata golokmu?"
"Sayang golokku bukan barang pameran."
"Apa yang harus kulakukan agar kau mau
melolos golokmu?" tanya Hun Cay-thian.
"Hanya ada satu alasan aku mencabut
golokku." "Apa alasanmu? Membunuh?"
"Itu pun tergantung manusia macam apa yang
harus kubunuh. Bagiku selamanya ada tiga jenis
manusia yang pantas dibunuh." "Tiga jenis?"
"Musuh besarku, Siaujin...."
"Manusia jenis apa lagi?" tukas Hun Cay-thian.
"Yang ketiga adalah manusia macam kau,
memaksa aku untuk mencabut golok" jawab Pho

Ang-soat sambil berpaling dan menatapnya
dingin.
"Bagus, bagus sekali," Hun Cay-thian
mendongakkan kepala sambil tertawa terbahakbahak.
"Aku memang sudah menunggu katakatamu
itu."
Belum habis suara gelak tawa itu, tangannya
sudah menggenggam kencang.
Bunga pedang kembali memancar dari ujung
pedang Hoa Boan-thian, garis merah bermunculan
dari balik matanya.
Sinar mata yang terpancar dari mata Pho Angsoat
jauh lebih cemerlang, tampaknya dia
memang sedang menunggu saat itu.
Detik terakhir sebelum dia melolos goloknya.
Pada saat itulah mendadak dari balik
keheningan yang mencekam padang rumput
berkumandang suara teriakan Kongsun Toan yang
keras bagai suara geledek, "Toa-siocia telah
kembali!"
Bab 5. TOA-SIOCIA
"Toa-siocia telah kembali!"
Begitu mendengar teriakan itu, Hoa Boan-thian
dan Hun Cay-thian segera menarik kembali
serangannya, senyum kegembiraan pun
menghiasi paras muka Be Khong-cun, muka yang
semula masam kini tampak jauh lebih lega.

"Heran, kenapa budak ini bukan pulang dari
tadi atau nanti saja baru balik, kenapa dia justru
pulang di saat seperti ini," gumam Be Khong-cun,
kemudian tanpa berpaling lagi serunya kepada
Hoa Boan-thian, "Tarik senjatamu, masuk."
"Tapi Pho Ang-soat...”
Tidak menunggu Hoa Boan-thian
menyelesaikan kata-katanya, Be Khong-cun
menukas, "Kalau Pho-kongcu ingin pergi, siapa
yang dapat menghalanginya?"
Habis berkata, dengan langkah lebar Be Khongcun
balik kembali ke dalam gedung penerima
tamu, tinggal Hoa Boan-thian yang masih
mengawasi Pho Ang-soat dengan pandangan
ragu-ragu.
Pada saat inilah Yap Kay tertawa tergelak
sambil berkata, "Hoa-tongcu, kau tak usah kuatir,
sebelum urusan ini menjadi jelas, biar kau gotong
dia memakai tandu besar pun belum tentu dia
mau pergi dari sini."
Agak lega juga Hoa Boan thian setelah
mendengar kata-katanya itu, sambil menyimpan
kembali pedangnya, dia membalik badan dan
bersama Hun Cay-thian masuk ke dalam ruangan.
Yap Kay bertanya, "Kalau Toa-siocia sudah
balik, lalu siapakah Toa-siocia itu?"
"Toa-siocia adalah putri Lopan kami, Pek Thianih,"
jawab Hoa Boan-thian sambil tergelak, "dia
bukan lain adalah Pek Ih-ling."

"Oh, jadi dialah Pek-siocia yang sedang
dicarikan calon istri oleh Sam-lopan," Yap Kay
manggut-manggut.
Hoa Boan-thian hanya tersenyum, dia
membalikkan badan dan berjalan masuk ke dalam
gedung penerima tamu.
Kembali Yap Kay termenung sesaat, setelah
menatap sekejap Pho Ang-soat, tanyanya sambil
tertawa, "Seandainya Pek-siocia jatuh hati
kepadamu, aku tak bisa membayangkan
bagaimana sikap Be Khong-cun nanti, apakah
mungkin dia masih berusaha akan membunuhmu
lantaran kematian Be Hong-ling?"
"Hm, tak ada yang menggelikan dengan hal
ini," dengus Pho Ang-soat dingin.
"Aku tahu, kejadian ini memang tak ada yang
menggelikan, tapi hubungan antara satu masalah
dengan masalah lain rasanya sangat menarik
untuk dipikir dan dirasakan."
Kalau dia merasa tertarik, sebaliknya Pho Angsoat
sama sekali tidak tertarik, tanpa menggubris
rekannya lagi dia balik ke dalam kamarnya.
"He, kau tak ingin masuk dulu untuk menengok
Pek-siocia?" kembali Yap Kay bertanya sambil
tertawa, "jangan kau sia-siakan kesempatan baik
ini. "
"Biar kutinggalkan untukmu saja," tanpa
berpaling lagi Pho Ang-soat lenyap di sudut
ruangan.

Yap Kay tersenyum, lalu mendongakkan kepala
memandang angkasa, seakan sedang memikirkan
sesuatu. Saat ini dia belum berminat bertemu
Pek-siocia, justru sekarang yang dipikirkan adalah
perempuan berambut panjang yang dijumpai
dalam mimpinya semalam.
Jenazah yang membujur di atas meja panjang
telah disingkirkan, permukaan meja telah digosok
hingga mengkilap bagai cermin, bubur pun kini
sudah diganti dengan hidangan dan arak.
Kecuali orang-orang Ban be tong, semua tamu
yang semalam diundang hampir seluruhnya masih
berada di luar gedung penerima tamu, sayur dan
arak di hadapan Buyung Bing-cu maupun Hun
Cay-thian sekalian sama sekali tak tersentuh,
sementara Sam-bu Siansing Loh Loh-san yang
gemar meneguk arak, saat ini sudah terkapar lagi
di atas meja, tampaknya dia sudah mabuk berat.
Sambil tersenyum Yap Kay balik ke tempat
duduknya, menuang cawannya dengan arak dan
meneguknya dengan riang.
"Wah, ternyata arak Kao-liang berusia empat
puluh tahun," gumam Yap Kay sambil
memejamkan mata, "arak bagus, arak bagus!"
"Tentu saja arak bagus, belum pernah Ban be
tong menyuguh tamu dengan arak jelek," tibatiba
Loh Loh-san mendongakkan kepala sambil
bergumam, setelah itu tertidur kembali,

"Tampaknya Sam-bu Siansing bakal
ketambahan satu ketidak mampuan lagi," seru
Yap Kay tertawa.
Setelah meneguk araknya, kembali dia berkata,
"Heran, berada dimana pun, kapan pun, asal
mendengar urusan "yang berhubungan dengan
arak, dia selalu bisa sadar kembali."
"Tepat sekali," kali ini Loh Loh-san tidak
mendongakkan kepala, malah sambil
membalikkan badan melanjutkan lagi tidurnya.
"Sepertinya Yap-kongcu memang sahabat karib
Sam-bu Siansing!" entah sedari kapan Be Khongcun
telah muncul kembali dalam ruangan.
"Kami bukan sahabat karib," sahut Yap Kay
sambil tertawa, "mungkin cocok saja karena
urusan arak."
Kembali Be Khong-cun tertawa, kemudian
kepada semua yang hadir katanya, "Silakan
kalian nikmati dulu hidangan seadanya dan
arak tawar itu, setelah beristirahat, nanti malam
Cayhe pasti akan menemani kalian minum sampai
mabuk."
"Bagaimana dengan Toa-siocia?" Buyung Bingcu
segera bertanya, "bukankah Toa-siocia telah
pulang?"
"Betul, dia memang sudah kembali, tapi saat ini
sedang istirahat, maklumlah kan baru menempuh
perjalanan jauh, malam nanti akan kuundang
juga kehadirannya untuk menemani kalian."

Loh Loh-san yang tertidur mendadak
mendongakkan kepala lagi sambil bertanya,
"Bagaimana dengan takaran minumnya?"
"Kalau mimum satu dua cawan masih bisa."
"Bagus sekali, bagus sekali," gumam Loh Lohsan,
"justru yang aku kuatirkan dia enggan
minum, apa jadinya kalau dia sampai kuloloh
hingga mabuk?"
Selesai bersantap, setiap orang sepertinya
sudah balik ke kamar masing-masing untuk
beristirahat, Pho Ang-soat sejak kembali ke
kamar hingga kini pun belum pernah
menampakkan diri.
Yap Kay tidak kembali ke kamarnya untuk
beristirahat, dia pun tidak tinggal di Ban be tong,
tapi berkeliaran ke sana kemari hingga tak lama
kemudian terlihatlah sebuah kota kecil di
kejauhan.
Berjalan menelusuri jalanan kota, dengan
matanya yang jeli dan senyuman selalu menghias
bibir, dia mengawasi setiap sudut dan setiap
orang yang dijumpainya.
Andaikata ada yang memperhatikan gerakgeriknya,
maka akan terlihat hari ini paling tidak
ia sudah tiga-empat puluh kali menguap, apa
mau dikata ia justru bersikeras enggan tidur.
Dia selalu berpendapat, dalam kehidupan
seorang hampir tiga puluh persen waktunya
hanya dihabiskan, untuk tidur, karena itu bila

tidak terpaksa, dia betul-betul enggan naik
ranjang untuk tidur.
Begitu dia kemukakan pandangannya itu,
segera ada orang bertanya, "Lalu waktu yang
masih ada dua per tiganya lagi digunakan untuk
apa?"
"Sepertiganya untuk menelanjangi
perempuan," jawab Yap Kay sambil tertawa.
"Dan sisanya yang sepertiga?"
"Sisanya yang sepertiga dipakai untuk
menunggu perempuan berpakaian."
Yap Kay gemar sekali berbincang dengan
berbagai lapisan orang, dia berpendapat dimana
pun kau berada, bertemu dengan orang
macam apa pun, pasti ada keuntungan yang
bisa diraih dari mereka, oleh karena itu kau
harus selalu berhubungan dengan, mereka,
dengan begitu kesempatan itu baru bisa kau raih.
Kebetulan saat itu dia sedang lewat di depan
sebuah toko penjual kelontong, dia masih
teringat, sepuluh tahun berselang tempat itu pun
merupakan sebuah toko kelontong.
Pemilik toko kelontong itu adalah seorang lelaki
setengah umur, mukanya bulat dan wajahnya
selalu tersenyum, setiap kali bertemu orang dia
selalu akan berkata, "Baguslah, jalan saja sesuka
hati, toh semua kedai adalah bertetangga."
Lopan yang selalu tersenyum itu bermarga Li,
semua orang memanggilnya Li Ma-hou, hanya

sayang Li Ma-hou sudah menyeberang ke neraka
dan membuka toko kelontong di sana.
Pemilik toko kelontong sekarang she Thio
bernama Kian-beng, usianya sekitar empat puluh
tahunan, orangnya sangat ramah, apalagi kalau
bertemu Siocia, matanya pasti akan berubah
tinggal segaris.
Dari bentuk mukanya, di masa mudanya dulu
dia pasti termasuk pemuda tampan yang banyak
digandrungi cewek, sayangnya lelaki semacam itu
biasanya justru mempunyai bini yang wajahnya
tidak setara dengan ketampanannya.
Dalam hal ini ternyata dugaan Yap Kay tidak
salah, karena dengan cepat dia lihat istri Thio
Kian-beng berjalan keluar dari kedainya.
Kalau tidak melihat wajahnya atau hanya
mendengar suara langkahnya, Yap Kay pasti
mengira ada rombongan gajah sedang berlalu di
hadapannya.
Perawakannya tidak lebih tinggi dari bahu Thio
Kian-beng, tapi lengannya justru lebih besar dari
paha lakinya, raut mukanya pun terhitung cantik,
tapi sayang kecantikannya nampak begitu kaku
dan bebal, tidak termasuk cewek yang pantas
dipandang.
Yap Kay selalu berpendapat cantik buruknya
seseorang bukan dinilai dari wajahnya tapi dari
hatinya, karena yang penting hatinya mesti baik
dan saleh.

Sayang bini Thio Kian-beng termasuk
perempuan yang luar dalam sama saja,
padahal umurnya sudah mencapai empat puluh
tahun lebih, tapi dandanannya tak mau kalah
dengan gadis perawan berumur tujuh-delapan
belas tahun.
Masih mendingan kalau dia tidak buka suara,
ternyata suara perempuan ini bisa membikin
orang mencelat sampai ke atap rumah saking
kagetnya, nada yang sangat kasar, parau dan
keras tanpa daya tarik justru diucapkan dengan
gaya manja seorang gadis kecil.
Sekarang dengan gayanya yang manja itulah
dia berbicara dengan Thio Kian-beng, membuat
semua orang yang mendengar, berdiri bulu
kuduknya saking ngeri dan mualnya.
Begitu melihat perempuan itu berjalan keluar,
Yap Kay segera mempercepat langkah melewati
toko kelontong itu, terhadap suaranya, Yap Kay
benar-benar angkat tangan, dia tak ingin
mendengar untuk kedua kalinya.
Dia pun menaruh perasaan simpatik terhadap
Thio Kian-beng, bagaimana mungkin dia bisa
tahan menghadapi bini semacam ini? Apalagi
hidup serumah dengannya hampir puluhan tahun.
Tentu saja Yap Kay pun tahu siapa nama bini
Thio Kian-beng itu, dibandingkan dengan
orangnya jelas nama yang disandangnya sangat
tidak sepadan, karena nama yang dia gunakan

seharusnya lebih cocok dipakai untuk nama gadis
negeri Hu-sang (Jepang sekarang).
Nama perempuan itu Kang Bi-ying yang artinya
sakura cantik di tepi sungai.
Bunga sakura adalah bunga negeri Hu-sang,
bentuk badannya pun cocok sekali dengan postur
cewek negeri Hu-sang, selain pendek juga gemuk
sekali.
Setelah melewati toko kelontong, sampailah di
depan toko penjual beras, bila ingin membeli
barang kebutuhan yang ada hubungannya dengan
bahan pangan, di sinilah tempatnya yang paling
pas.
Lamat-lamat Yap Kay masih teringat, pada
sepuluh tahun lalu tempat ini bukan toko menjual
bahan makanan, tapi sebuah kedai bakmi milik
Thio Lau-sit.
Lopan yang membuka toko bahan makanan
saat ini bermarga Si, bernama Wi-wi.
Pada hari biasa dia terhitung seorang yang
memegang disiplin dan sangat jujur, asal sudah
meneguk arak, maka wataknya bisa berubah
menjadi orang lain.
Kota kecil ini sesungguhnya termasuk sebuah
kota sederhana yang penduduknya hidup
berhemat, saat itu waktu belum sampai tengah
hari sehingga jarang nampak orang berbelanja di
toko bahan makanan itu, tak heran Si Wi-wi
terkantuk-kantuk di belakang meja kasirnya.

Menyaksikan lagaknya, kembali Yap Kay
tertawa, sepuluh tahun sudah lewat,
pemandangan masih seperti dahulu, tapi
bagaimana dengan penghuninya?
Orang yang seharusnya mati sejak sepuluh
tahun lalu hampir semuanya sudah rriati.
Tapi aneh, entah mengapa orang-orang dari
Ban be tong yang seharusnya sudah tewas, kini
justru muncul semua, justru hidup kembali dari
liang kubur.
Kalau orang-orang Ban be tong telah bangkit
dari liang kuburnya, lantas bagaimana dengan
Thio Lau-sit, Li Ma-hou... penduduk asli kota yang
telah tiada, apakah mereka pun ikut hidup
kembali?
Teringat hal itu, Yap Kay pun teringat pula
tujuan kedatangannya ke kota itu, dia mencoba
menengok ke seberang jalan, gedung Siang-kilau.
Dia bisa membayangkan, saat itu Siau Piat-li
pasti sedang bermain kartu.
Benar saja, belum lagi melangkah ke dalam
gedung, ia sudah mendengar suara kartu gading
yang sedang dibanting di atas meja. Sambil
tertawa Yap Kay mendorong pintu dan masuk ke
dalam, tapi begitu tahu keadaan di sana, ia
berdiri tertegun, betul-betul terperangah.
Memang benar ada orang sedang bermain
kartu, tapi orang itu bukan Siau Piat-li melainkan
seorang perempuan berambut panjang sebahu.

Yap Kay tak tahu bagaimana mesti melukiskan
wajah perempuan itu, sejujurnya dia bukan
termasuk perempuan cantik, tapi perempuan itu
justru menimbulkan gejolak napsu setiap lelaki
yang memandangnya.
Dia memiliki tubuh tinggi semampai dengan
rambut berwarna hitam pekat yang dibiarkan
terurai di bahu, wajahnya berbentuk kwaci dan
berwarna putih bersih bagai salju, pipinya semu
merah dengan lesung pipi yang cukup dalam.
Biarpun bukan termasuk wanita cantik yang
dapat membetot sukma kaum lelaki, namun
setiap gerak-geriknya justru menampilkan
kematangan seorang wanita dewasa.
Apalagi matanya bulat, tidak terlalu besar,
hitam pekat dan membawa cahaya kesepian,
seolah-olah dia sedang merana karena hidup
kesepian.
Sinar matanya menimbulkan kesan indah bagi
semua orang yang memandangnya, begitu indah
hingga menimbulkan rasa kasihan, keindahan
yang mudah membuat perasaan orang hancurlebur.
Justru karena matanya memancarkan sinar iba
dan merana, tak heran setiap lelaki merasa tak
tega menganiayanya.
Ia mengenakan pakaian sutera tipis, bagaikan
cahaya rembulan menyelimuti seluruh badannya,
menimbulkan kesan sayu, tak nyata dan lamatlamat
bagi yang memandangnya.

Justru di balik kesan tak nyata, penampilannya
mendatangkan perasaan tenang bagai batu
karang, lembut bagai hembusan angin dan suci
bagaikan putihnya salju.
Begitu muncul perasaan itu di hati Yap Kay, dia
merasa seolah ada segulung angin berhembus
datang dari jalan raya, meniup punggungnya
yang sedang berjalan masuk ke gedung Siang kilau.
Hembusan angin membuat rambutnya yang
hitam bergelombang, membuat baju sutera putih
yang dikenakan beriak, seakan-akan riak
samudra biru yang beriringan.
Tiba-tiba Yap Kay menjumpai sesuatu, ternyata
di balik baju sutera yang dikenakan perempuan
itu, dia tidak memakai pakaian lain, ternyata
perempuan itu dalam keadaan bugil.
Menanti angin berhenti berhembus, Yap Kay
merasa bajunya telah basah-kuyup oleh keringat,
selama hidup belum pernah dia merasakan
keadaan seperti ini, selama hidup dia pun merasa
belum pernah bertemu wanita yang dapat
membuatnya merasakan hal seperti saat ini ....
"Aku tahu kau pasti Yap Kay," dengan suara
yang lembut seperti orang mengigau perempuan
itu berbisik, "Cihu (suami kakak) sering
menyinggung tentang kau."
"Cihumu? Apa yang pernah dia katakan
kepadamu?" senyuman menggoda kembali
menghiasi wajah Yap Kay.

"Menurut dia, manusia yang paling berbahaya
di tempat ini adalah kau!" kembali perempuan itu
melempar senyuman yang lembut, selembut air
hujan di musim semi, "dia berpesan agar aku
selalu waspada menghadapimu."
"Mewaspadai apa?"
"Mewaspadai gerak-gerikmu," kembali
perempuan itu tersenyum manis, "menurutnya,
kemampuanmu merayu wanita tak kalah
hebatnya dengan permainan pisau terbangmu,
bila sudah bertindak, selamanya tak pernah
meleset."
"Oya? Jika begitu Cihumu benar-benar sangat
memahami tentang aku," Yap Kay tertawa
tergelak,
"siapa dia?"
"Aku!"
Entah sejak kapan Siau Piat-li telah turun dari
atas loteng, berdiri di mulut tangga sambil
tertawa.
"Akulah Cihunya, dia adalah adik iparku."
"Jadi kau telah menikah? Kapan kau menikah?"
tanya Yap Kay agak melengak.
"Tujuh tahun berselang," Siau Piat-li berjalan
menuju ke tempat duduknya, "sayang nasib
istriku jelek, dia meninggal pada tiga tahun lalu. "
"Cihu, apakah gara-gara aku, kau jadi teringat
almarhum Cici?" bisik perempuan itu lembut.

"Selama tiga tahun terakhir, hatiku sudah lebih
tenang daripada air," Siau Piat-li tertawa hambar,
"lebih baik merindukan dia daripada sama sekali
tidak."
"Betul, walau rasa rindu baru muncul setelah
terjadi perpisahan, namun kemesraan pasti jauh
melebihi penderitaan," Yap Kay berjalan
mendekat sambil mencari sebuah bangku, "tapi
omong-omong kau belum memperkenalkan adik
iparmu itu kepadaku, siapa namanya?"
"Aku dari marga So bernama Ming-ming."
"So Ming-ming...." Yap Kay berbisik.
"Ciciku bernama So Cin-cin."
"So Cin-cin?" tiba-tiba Yap Kay tertawa
tergelak, "bila kau mempunyai adik
perempuan, dia pasti bernama So Ho-ho."
"Kenapa?" tanya So Ming-ming melengak.
"Setelah hari ini (Cin) lalu besok (Ming) dan
setelah itu lusa (Ho)."
Kontan So Ming-ming tertawa cekikikan.
"Seandainya kau pernah bertemu Ciciku, pasti
akan kau ketahui apa yang dinamakan wanita
cantik."
"Untung aku belum pernah bertemu, kau saja
sudah begini luar biasa, kalau bertemu lagi
dengan Cicimu, bisa jadi aku bakal ribut melulu
dengan Cihumu."

"Oh, jadi kau pun termasuk jenis lelaki yang
rela berkelahi gara-gara urusan perempuan?"
tanya So Ming-ming dengan mata terbelalak.
"Kalau itu tergantung siapakah perempuannya
dan bagaimana keadaannya."
"Semisalnya aku?" tanya So Ming-ming lagi
sambil mengedipkan matanya.
"Dia tak bakal berkelahi karena kau" Siau Piat-li
segera mewakili Yap Kay menjawab pertanyaan
itu, "seorang Ting Hun-pin pun sudah cukup
membuatnya kepala pusing, apalagi kalau
ditambah dirimu, kujamin kepalanya pasti akan
lebih besar daripada kepala kerbau."
"Wah, kalau begitu dia kan berubah jadi
siluman," So Ming-ming ikut tertawa, "konon di
sebuah negara nun jauh di barat sana terdapat
rakyat yang menyembah manusia berkepala
kerbau sebagai dewanya."
Jangan dilihat penampilan So Ming-ming lemah
lembut pantas dikasihani, ternyata setelah bicara,
dia lebih lincah dan nakal daripada gadis remaja
pada umumnya.
Yap Kay mulai tertarik perempuan itu,
sepasang mata banditnya mulai menggerayangi
setiap bagian tubuhnya, tanpa terasa dia mulai
terbayang apa yang dilihatnya ketika gaun putih
sutera itu tersingkap terhembus angin.
Kelihatannya So Ming-ming bisa menduga apa
yang sedang dibayangkan Yap Kay, kontan

pipinya merah jengah, cepat dia melengos ke
arah lain.
Tidak usah meneguk arak pun Yap Kay sudah
mulai mabuk.
Poci arak masih tergeletak di meja, tapi isinya
sudah berpindah ke dalam perut Yap Kay.
Tiga macam hidangan yang lezat, sepoci arak
wangi dan tiga sosok manusia.
Setelah membuka kartu terakhir di atas meja,
Siau Piat-li baru bertanya kepada Yap Kay,
"Bagaimana dengan pesta yang diadakan Ban be
tong semalam? Siapa pula Be Khong-cun yang
muncul kali ini?"
Begitu menyinggung masalah ini, paras muka
Yap Kay segera berubah serius, setelah
termenung sebentar baru ia berkata, "Percayakah
kau orang yang sudah mati bisa hidup kembali?"
"Hanya ada satu jenis manusia yang bisa hidup
kembali setelah mati, tapi orang semacam itu
sebenarnya bukan mati sungguh-sungguh, dia
hanya menutup jalan napasnya untuk sementara
waktu, bila dia membukanya kembali, dengan
sendirinya dia pun hidup kembali."
"Mungkin saja orang itu hidup lagi, tapi kan
terbatas hanya berapa hari saja, yang aku
maksud adalah setelah lewat sepuluh tahun,
mungkinkah dia bangkit dan hidup kembali?"
"Tidak mungkin."
"Tapi begitulah kenyataannya."

"Jadi Be Khong-cun telah hidup kembali?"
"Bukan hanya dia, Kongsun toan, Hoa Boanthian,
Buyung Bing-cu... hampir semua tokoh
yang tersangkut dalam peristiwa sepuluh tahun
berselang telah hidup kembali."
Setelah berhenti sejenak Yap Kay kembali
menambahkan, "Kecuali tokoh-tokoh bawah
tanah yang ada dalam kota ini."
Yang dimaksud tokoh bawah tanah tak lain
adalah Thio Lau-sit, Li Ma-hou dan lainnya.
"Sudah kau perhatikan dengan jelas?" tegas
Siau Piat-li dengan nada tak percaya, "mungkin
ada orang yang menyaru sebagai mereka?"
"Kau anggap mataku buta?" seru Yap Kay
sambil menuding mata sendiri, "seandainya
mereka orang yang sedang menyaru, mana
mungkin bisa lolos dari ketajaman mataku ini?"
"Jangan-jangan mereka adalah saudara
kembar?" timbrung So Ming-ming.
"Kalau hanya satu orang, kemungkinan itu
memang ada, tapi ini menyangkut banyak
orang...." Yap Kay menggeleng berulang kali.
Siau Piat-li mengambil cawan araknya dan
pelan-pelan meneguk isinya, sorot mata yang
mendelong mengawasi dinding di hadapannya
tanpa berkedip, seolah-olah dia sedang
mengawasi suatu tempat yang tak diketahui
namanya, suatu tempat yang berada di balik
dinding tebal itu.

Sampai lama kemudian baru ia buka suara,
nadanya seolah-olah baru saja terkirim tiba dari
tempat yang tak diketahui namanya itu.
"Di jagad raya yang luas terdapat sejumlah
orang yang memiliki kekuatan misterius yang tak
terbayangkan," ujarnya perlahan, "bahkan sejak
belum ada umat manusia pun tenaga misterius itu
sudah bercokol di sana."
"Tenaga misterius apakah itu?" tanpa terasa
Yap Kay dan So Ming-ming bertanya bersama.
"Tak seorang pun yang tahu."
Siau Piat-li kembali menggeleng, sambil
meneguk habis sisa arak dalam cawan, katanya
pula, "Yang bisa dijelaskan dalam hal bangkitnya
kembali Be Khong-cun dan teman temannya
adalah karena terpengaruh kekuatan misterius
itu, aku bahkan mulai curiga, jangan-jangan
kekuatan misterius itu ada hubungan erat dengan
munculnya komet setiap tujuh puluh enam tahun
sekali itu."
"Kenapa?"
"Masih ingat, pertempuran mana yang
merupakan pertempuran paling menghebohkan
dalam sejarah seratus tahun terakhir?"
"Pertempuran berdarah di bukit Thay ping san."
"Betul, lima jagoan gagah dari Thay ping san
merupakan jago-jago tangguh yang bernyali
besar dan berdarah ksatria, kenapa dalam
semalam saja mereka dapat berubah menjadi

penjahat yang membunuh orang tanpa berkedip?
Tahukah kau apa alasannya?"
"Mungkin mereka telah salah minum obat,"
jawab Yap Kay sambil tertawa terbahak-bahak.
"Kalau salah makan obat, masa empat ratusan
orang berbareng salah makan?"
Yap Kay hanya angkat bahu sambil menyengir.
"Malam itu jika pemimpin mereka Lian It-hong
serta keempat puluh sembilan saudara angkatnya
bisa mempertahankan kesadarannya, akibat yang
terjadi sungguh tak bisa dilukiskan dengan
perkataan."
Malam itu, di saat Lian It-hong dan keempat
puluh sembilan saudara angkatnya sedang minum
arak sambil begadang, tiba-tiba mereka saksikan
keempat ratusan orang saudaranya menunjukkan
gejala yang sangat aneh, sepasang mata jadi
merah membara, mulut berbuih dan setiap orang
memainkan senjata dengan garang, sikap orangorang
itu seolah hewan liar yang siap menerkam
mangsanya.
Pertempuran sengit itu berlangsung mulai
tengah malam hingga keesokan harinya, ceceran
darah mengalir dimana-mana, begitu banyak
darah yang mengalir hingga menjadi sebuah
sungai kecil.
Lian It-hong dan saudara angkatnya bertempur
sengit sambil mengucurkan air mata, bagaimana
tidak, siapa yang tega membantai saudara
seperjuangan sendiri? Tapi mereka tak berdaya,

kalau tidak dibunuh maka dunia persilatan pasti
akan mengalami bencana yang jauh lebih
menakutkan.
Menurut cerita mereka yang mengurusi
tumpukan mayat seusai pertempuran, telah
ditemukan tiga ratusan luka di seluruh tubuh Lian
It-hong.
Ketika hari sudah terang tanah, tempat itu
telah dipenuhi lalat beterbangan, sepintas
pandang hanya warna merah yang menyelimuti
permukaan, mayat yang membukit benar-benar
menyiarkan bau bangkai yang amat busuk.
Yap Kay sadar bila cerita ini berlangsung
sejenak lagi, dia pasti akan muntah saking
mualnya. Untung Siau Piat-li tidak melanjutkan
kisahnya.
Setelah meneguk secawan arak dan menghela
napas, baru ia bertanya, "Tahukah kau, kapan
terjadinya peristiwa pembantaian di gunung Thay
ping san?"
"Seharusnya sudah tujuh-delapan puluh tahun
lalu."
"Tujuh puluh enam tahun," kata Siau Piat-li
lagi, "tepatnya tujuh puluh enam tahun tiga bulan
tujuh hari."
"Apakah pada tahun itu muncul juga sebuah
komet?"
"Tepat sekali, waktu itu sebuah komet persis
muncul di atas bukit Thay ping san."

"Jadi maksudmu kalapnya para Hohan di Thay
ping san karena terpengaruh komet itu?"
"Komet itu mempengaruhi tenaga misterius dan
itu merangsang para Hohan di Thay ping san
untuk melakukan pertempuran," jelas Siau Piat-li
sambil menatap tajam Yap Kay.
Sambil memeras otak Yap Kay memenuhi
cawan arak, selama hidup ia tak pernah percaya
segala takhayul, tapi percaya bahwa di jagad raya
ini memang terdapat suatu kekuatan misterius
yang luar biasa, tapi kalau dia disuruh percaya
kekuatan misterius itu bisa mempengaruhi
manusia seperti apa yang diceritakan Siau Piat-li,
dia tetap sangsi dan tak yakin.
Apalagi kalau mengaitkan kejadian itu dengan
kemunculan komet yang konon terjadi setiap
tujuh puluh enam tahun satu kali, mungkinkah
itu?
Masakah tak ada penjelasan lain yang lebih
masuk akal? Kenapa Be Khong-cun sekalian bisa
hidup kembali? Apakah mereka pun dipengaruhi
oleh tenaga misterius itu?
Pho Ang-soat tersadar dari tidurnya ketika
pintu kamar digedor orang dari luar, cepat dia
membuka mata, sementara tangan kirinya
menggenggam gagang golok.
"Pho-kongcu, apakah kau masih tidur?"
terdengar seseorang berbisik lirih.

Begitu mendengar suara orang itu, Pho Angsoat
langsung mengernyitkan dahinya, dia sudah
mengenali suara siapakah itu.
"Begitukah caramu bila memasuki kamar
orang? Apakah tak ada cara lain yang lebih
sopan?" kontan dia menegur.
Menyusul berhentinya ketukan, seseorang
menyelinap masuk dari luar jendela, kemudian
sambil menjura dan tertawa paksa katanya, "Aku
hanya kuatir mengganggu ketenangan tidur Phokongcu
"Kau memang sudah mengganggu."
Begitu orang menyelinap masuk, Pho Ang-soat
sudah melompat bangun, ditatapnya Buyung
Bing-cu yang berdandan perlente itu sambil
menegur, "Ada apa?"
"Aku pun mendengar suara nyanyian itu
semalam," ujar Buyung Bing-cu.
"Oya?"
"Sebetulnya aku pun ingin mengikuti Phokongcu
memeriksa sumber suara itu, siapa tahu
baru saja keluar pintu kamar, seseorang telah
menegurku dari arah belakang, jangan
mencampuri urusan orang lain, katanya."
"Wah, tak nyana Buyung-kongcu adalah
seorang yang sangat penurut," ejek Pho Ang-soat
sambil tertawa dingin. Buyung Bing-cu tertawa
jengah.

"Begitu ditegur, aku langsung membalikkan
badan, tapi tidak kujumpai seorang pun, beruntun
aku berganti beberapa macam gerakan, tetap tak
berhasil kulihat orang itu."
"Masa kau tidak tahu siapakah dia?"
"Aku hanya tahu dia seorang perempuan."
"Perempuan?" kembali Pho Ang-soat tertegun.
"Dari suaranya jelas dia masih muda."
Pho Ang-soat berpikir sejenak, lalu sambil
menatap wajah Buyung Bing-cu tanyanya, "Jadi
kedatanganmu khusus untuk memberitahukan
persoalan ini kepadaku?"
Sekali lagi Buyung Bing-cu tertawa lebar.
"Menanti aku mencarimu, bayangan tubuhmu
sudah tak nampak lagi, baru aku mau masuk
kembali ke kamar, tiba-tiba kulihat ada seseorang
menyelinap masuk ke kamar Be Hong-ling."
"Darimana kau bisa tahu kamar itu adalah
kamar tidur Be Hong-ling?" tanya Pho Ang-soat
sambil menatapnya dengan sinar mata tajam.
"Aku...." sekali lagi Buyung Bing-cu tertawa
rikuh, "terus terang Pho-kongcu, kedatanganku
ini adalah untuk mencari kesempatan agar bisa
mendekati Be Hong-ling, siapa tahu...."
"Siapa tahu bisa menjadi menantu Ban be
tong?" sela Pho Ang-soat sambil tertawa dingin.
Kal ini Buyung Bing-cu tidak memperlihatkan
kerikuhannya lagi, dengan cepat katanya,

"Tak lama setelah orang itu masuk ke
dalam kamar, kudengar ada suara orang
sedang berbicara, karena heran ber campur
curiga, maka aku pun mendekati jendela, begitu
kulihat...."
"Apa yang telah kau lihat?"
"Kulihat secara tiba-tiba dia menotok jalan
darahnya, kemudian mengayunkan golok...."
bicara sampai di situ Buyung Bing-cu nampak
agak sangsi.
"Dia memenggal batok kepala Be Hong-ling?"
tanya Pho Ang-soat, "lalu siapakah orang itu?"
Dengan ketakutan, Buyung Bing-cu memeriksa
dulu sekeliling situ, kemudian baru berbisik lirih,
"Orang itu adalah...."
Sekonyong-konyong muncul lima-enam jenis
senjata rahasia dari luar jendela, langsung
menerjang tenggorokan Buyung Bing-cu.
Begitu mendengar desiran senjata rahasia,
secepat kilat Pho Ang-soat mengayunkan pula
goloknya, "Trang, trang, trang", semua senjata
rahasia itu berhasil tersapu rontok ke tanah.
Tidak berhenti sampai di situ, dengan satu
tendangan dia buka jendela kamar sambil
melongok keluar, dia ingin tahu siapa yang
berada di luar sana?
Pada saat itulah sebatang tombak tahu-tahu
sudah menusuk ke bawah dari atap bangunan,

suara genteng yang berguguran tertutup oleh
suara daun jendela yang tertendang keras.
Menunggu Pho Ang-soat menyadari akan hal
itu, tombak panjang tadi sudah menusuk batok
kepala Buyung Bing-cu hingga tembus ke
badannya dan terpantek di atas tanah.
Penasaran dengan apa yang terjadi, Pho Angsoat
menjebol atap ruangan terus melejit ke
tengah udara.
Namun sayang yang terlihat hanya bangunan
yang berlapis-lapis, tak seseorang pun terlihat di
sana.
Pho Ang-soat mencoba memeriksa lebih
seksama, akhirnya secara lamat-lamat dia
saksikan ada seekor kuda sedang berlari kencang
menjauhi tempat itu, di atas punggung kuda
terlihat seseorang, seseorang yang mirip dengan
gumpalan bola api.
Dia mengenakan jubah panjang yang sangat
longgar, berwarna merah menyala, semerah
darah segar, mirip pula sekuntum mawar di
bawah terik matahari. Kuda yang ditunggangi
berwarna putih, seputih salju. Saat itu sedang
berlari kencang menuju padang rumput yang
luas.
Begitu cepat kuda itu berlari membuat
rerumputan beriak bagai gelombang ombak di
tepi pantai, rambutnya yang hitam berkibar
mengimbangi jubah merahnya yang
bergelombang, seluruh tubuh orang itu terlihat

basah oleh keringat, tapi gerak-geriknya seakan
orang yang sedang diliputi kegembiraan.
Akhirnya kuda itu berhenti, bukan karena lelah,
melainkan karena di hadapannya telah
menghadang seorang aneh, saat itulah baru ia
menyadari orang aneh itu memiliki wajah yang
begitu putih dan pucat.
Sedemikian pucat wajahnya hingga tak beda
dengan datangnya kematian.
Orang itu berwajah putih pucat dengan biji
mata yang hitam kelam. Kemudian dia pun
menyaksikan golok yang berada dalam
genggamannya.
Golok berwarna hitam dengan tangan berwarna
putih pucat.
Bila dihitung dari waktunya sehabis membunuh
orang lalu kabur dengan menunggang kuda, maka
seharusnya saat itu dia akan muncul di wilayah
sana, itulah sebabnya Pho Ang-soat segera
potong kompas dengan menghadang di tempat
itu.
Bila dari kejauhan orang itu bagaikan segumpal
bola api, setelah dekat baru ia melihat jelas orang
itu adalah seorang wanita.
Pho Ang-soat berdiri bodoh setelah berhasil
menghadang persis di hadapannya dan
mengetahui siapakah orang itu.
Tidak, lebih tepat kalau dikatakan ia berdiri
terperangah.

Ternyata perempuan berjubah merah yang
menunggang kuda putih itu tak lain adalah Be
Hong-ling yang pagi tadi baru saja ditemukan
tewas dengan kepala terpenggal.
Selama beberapa hari belakangan ini Pho Angsoat
bertemu dengan begitu banyak jagoan yang
hidup kembali dari kematian, tidak seharusnya ia
merasa tercengang dengan apa yang dilihatnya.
Tapi setelah berjumpa Be Hong-ling, mau tak
mau dia terperangah juga dibuatnya.
Perempuan itu sama sekali tak tampak
tercengang atau kaget, malahan dengan sinar
mata yang menawan dia tatap wajah Pho Angsoat
lekat-lekat.
"He, siapa kau?" tegurnya dengan nada keras.
"Siapa aku?" Pho Ang-soat tertawa getir, "kalau
tak salah, semalam akulah yang telah memenggal
batok kepalamu."
"Memenggal batok kepalaku?" perempuan itu
terkejut dan heran, "semalam? Tapi semalam aku
tidak berada di sini."
"Semalam kau tidak berada di Ban be tong?"
tegas Pho Ang-soat makin tercengang.
"Betul, aku baru tiba pagi ini."
"Berarti orang yang kubunuh semalam bukan
kau?"
"Terbunuh?" tiba-tiba gadis itu seperti
teringat akan sesuatu, dengan mata berkilat

serunya, "ah, sekarang aku tahu
siapakah dirimu, bukankah kau Pho Angsoat,
yang telah membunuh putri
Samsiokku?"
"Samsiokmu? Siapa paman ketigamu itu?"
"Siapa lagi, tentu saja Sam-lopan Be Khongcun
dari Ban be tong."
"Jadi Be Khong-cun adalah Samsiokmu?" Pho
Ang-soat semakin bingung, "lalu siapakah kau?"
"Aku?" gadis itu tertawa cekikikan, "aku
adalah Pek Ih-ling." "Kau adalah Pek Ih-ling?" Pho
Ang-soat sangat terkejut.
Bab 6. BERTEMU CUI-LONG KEMBALI
"Aku adalah Pek Ih-ling!"
Setelah mendengar namanya, Pho Ang-soat
hanya bisa menghela napas, ya, selain menghela
napas apa lagi yang bisa dia lakukan?
Sudah jelas Pek Thian-ih tak punya anak gadis,
satu-satunya keturunan Pek thian-ih adalah Pho
Ang-soat, tapi kemudian anak itu berubah jadi
Yap Kay.
Gara-gara peristiwa ini, Pho Ang-soat harus
menderita hampir lima-enam tahun lamanya, dia
harus berjuang mati-matian sebelum berhasil
mengatasi kepedihan itu.
Peduli apa pun yang terjadi, ada satu hal Pho
Ang-soat percaya seratus persen, Pek Thian-ih

Pek-locianpwe tidak mempunyai anak perempuan,
satu-satunya putra tunggalnya adalah Yap Kay.
Ketika secara tiba-tiba Be Khong-cun
mengumumkan semalam bahwa putri tunggal Pek
Thian-ih sedang mencari suami, rasa kaget Pho
Ang-soat waktu itu boleh dibilang luar biasa.
Pho Ang-soat percaya, Yap Kay pasti
mempunyai pikiran yang sama dengan dirinya,
ingin menyaksikan perkembangan selanjutnya
kejadian ini, ingin mengetahui permainan busuk
apa lagi yang hendak dilakukan Be Khong-cun.
Oleh sebab itu ketika mendengar pengakuan
perempuan yang seharusnya Be Hong-ling adalah
Pek Ih-ling. Pho Ang-soat segera menarik kembali
perasaan kagetnya dan bertanya, "Kau adalah
Pek Ih-ling? Apakah tak ada orang lain yang
mengatakan bahwa dirimu mirip Be Hong-ling?"
"Bukan cuma mirip, malah ada yang mengira
kami sebagai saudara kembar," sahut Pek Ih-ling
sambil tertawa, "aku percaya kau tentu sangat
terperanjat ketika bertemu aku tadi, pasti kau
sangka sudah bertemu setan bukan?"
"Mana ada setan secantik kau?"
Biasanya kata-kata semacam ini hanya bisa
keluar dari mulut Yap Kay, tapi kali ini Pho Angsoat
pun dapat mengucapkan perkataan itu,
bahkan wajah dan telinganya sama sekali tidak
berubah merah.

Asal perempuan, kebanyakan pasti suka
mendengar orang lain memujinya cantik atau
mungkin inilah kelemahan utama wanita?
Biarpun wajah Pek Ih-ling tidak menunjukkan
perubahan apa-apa, namun dalam hati kecilnya
sudah timbul rasa yang sangat manis, dengan
tersenyum dia terima pujian itu.
"Jadi Be Hong-ling benar-benar mati di
tanganmu?" tanya Pek Th-ling sembari
menatapnya.
"Menurut kau?"
"Kau memang mirip seorang pembunuh, tapi
aku mempunyai satu firasat bahwa Be Hong-ling
bukan tewas di tanganmu."
"Bila Be Khong-cun pun bisa memiliki firasat
seperti itu, dunia pasti akan damai dan
tenteram," jengek Pho Ang-soat hambar.
"Kalau bukan kau pembunuhnya, mengapa
harus kau akui?"
"Siapa bilang aku mengakui?"
"Kalau begitu kenapa tidak berusaha
menyangkal?" "Perlukah berbuat begitu?"
"Paling tidak harus dicoba, aku yakin Samsiok
bukan orang yang tak tahu aturan."
"Tak ada bukti yang menunjukkan orang itu
bukan mati di tanganku," tiba-tiba Pho Ang-soat
teringat Buyung Bing-cu yang belum lama mati
dibantai orang.

"Sama juga, mereka tak punya bukti yang bisa
menuduh kau sebagai pembunuhnya," kata Pek
Ih-ling pula sambil membetulkan rambutnya yang
terhembus angin.
Pho Ang-soat tidak langsung menjawab, ia
berpikir sejenak, tiba-tiba tanyanya, "Dapatkah
kau mengantarku ke kamar Be Hong-ling?"
"Mau apa?"
"Akii ingin melakukan pemeriksaan, siapa tahu
berhasil melacak sesuatu jejak?"
"Baiklah," sahut Pek Ih-ling sambil tertawa,
"tapi kau harus mampu mengikuti aku."
Begitu habis bicara, sepasang kakinya segera
mengempit perut kudanya dengan kencang,
diiringi ringkikan panjang, kuda putih itu kembali
berlari kencang.
Memandang bayangan merah yang semakin
menjauh, perlahan-lahan Pho Ang-soat
menundukkan kepala, memandang kaki
kanannya, sekilas perasaan apa boleh buat
melintas di wajahnya. Merah membara.
Hampir semua perabot yang ada di tempat itu
berwarna merah darah, termasuk juga kain
penutup jendela pun berwarna merah.
Baru pertama kali ini Pho Ang-soat masuk
kamar tidur seorang wanita, di saat dia tiba, Pek
Ih-ling telah menunggunya di dalam kamar.
Sebetulnya dia bisa saja tiba lebih dulu, tapi ia
lebih suka mengikut dari belakang dengan

perlahan, entah apakah dikarenakan Pek Ih-ling?
Ataukah dia memang ingin menyiksa sepasang
kakinya?
Dari dalam ruangan terendus bau harum
seorang gadis perawan, hanya tidak jelas bau
harum itu memang sudah ada sejak tadi ataukah
berasal dari tubuh Pek Ih-ling? Pho Ang-soat tak
berani membayangkan lebih lanjut, dia harus
segera memusatkan perhatian untuk memeriksa
keadaan dalam ruangan itu.
Sebuah cermin yang digosok sangat mengkilat
terletak di atas meja rias, beberapa kotak pupur
tersusun rapi di meja, di samping cermin terdapat
pula sebuah vas bunga, di dalamnya tertancap
sekuntum bunga kertas berwarna merah.
Seprei maupun selimut terlipat rapi di ranjang,
menunjukkan kamar itu pernah dibersihkan dan
ditata oleh seseorang, bagaimana mungkin Pho
Ang-soat dapat menemukan petunjuk dari kamar
yang sudah rapi?
Pek Ih-ling duduk di sudut ranjang, mengawasi
Pho Ang-soat dengan penuh rasa riang dan
tertarik.
"Aku tak tahu jejak apa yang sedang kau
lacak," kata Pek Ih-ling sambil tertawa,
"setahuku, andaikata ada jejak pun sudah pasti
telah disingkirkan orang. Benar bukan
tebakanku?"
"Setelitinya seseorang, pasti akan teledor
juga," dengus Pho Ang-soat hambar, "orang mati

pun dapat bicara apalagi kasus pembunuhan itu
berlangsung di sini."
"Darimana kau tahu di tempat inilah kasus
pembunuhan itu berlangsung?"
"Coba kau perhatikan lantainya, kelewat
berkilat dan bersih, jelas belum lama berselang
pernah dicuci seseorang dengan air!" kata Pho
Ang-soat sambil menuding ke lantai, "kenapa
lantai di kamar lain tak nampak bersih, kenapa
hanya lantai di kamar ini saja yang berkilat?"
"Karena lantai ini pernah ternoda darah?"
"Tepat sekali."
Pho Ang-soat berjongkok sambil meraba lantai,
tiba-tiba di antara celah batu ia jumpai seutas
rambut berwarna putih abu-abu, air mukanya
kontan berubah serius.
"Kalau tidak keliru, seharusnya tahun ini usia
Be Hong-ling baru dua puluh tahun bukan?" tibatiba
ujar Pho Ang-soat.
"Tepat umur dua puluh tahun," Pek Ih-ling
membenarkan. "Eeh, kenapa kau tanyakan
masalah ini?"
"Kalau seorang pemuda berusia dua puluh
tahun, mungkin saja rambutnya ada yang mulai
memutih, tapi dia adalah gadis berusia dua
puluh tahun....." sambil menggeleng kepala
Pho Ang-soat menyimpan rambut putih itu ke
dalam sakunya.

Tentu saja Pek Ih-ling pun menyaksikan juga
ketika Pho Ang-soat memungut rambut putih itu,
serunya, "Kau menduga rambut putih itu milik
sang pembunuh?"
"Kemungkinan benar, kemungkinan tidak
benar."
Sambil tertawa Pho Ang-soat bangkit dan
membalikkan badan siap beranjak pergi.
Pek Ih-ling melengak, tegurnya, "Secepat itu
pemeriksaanmu?"
"Seperti apa yang kau katakan, semua bukti
yang tersisa telah diangkut orang, aku rasa
rambut ini merupakan satu-satunya jejak yang
tersisa."
Begitu selesai bicara, tanpa berpaling dia
berlalu meninggalkan tempat itu, tinggal Pek Ihling
yang masih berdiri melongo.
Suasana Ban be tong masih tercekam
keheningan, tampaknya belum ada orang tahu
bahwa Buyung Bing-cu telah mati dibantai orang
dalam kamar Pho Ang-soat, coba kalau mereka
tahu akan hal ini, semua orang pasti akan
menuduhnya sebagai pembunuhnya.
Memang banyak sekali kejadian seperti ini
berlangsung di dunia, sekali orang menuduhmu
melakukan satu kesalahan, maka selanjutnya
biarpun kau berada di posisi benar, mereka tetap
akan menuduhmu sebagai orang yang salah.
Dalam keadaan begini, biar kau ingin berkelit atau

menyangkal dengan alasan apa pun, belum tentu
orang bersedia menerimanya.
Siapakah orang yang dijumpai Buyung Bing-cu?
Kalau sejak awal dia sudah tahu pembunuhnya
bukan Pho Ang-soat, lantas mengapa baru
mengatakannya sekarang? Apakah dikarenakan
sang pembunuh selalu ada bersama mereka?
Sebab kematian Buyung Bing-cu jelas, sang
pembunuh kuatir perbuatannya diketahui orang,
maka dia segera mengambil tindakan dengan
melenyapkan saksi.
Kalau memang begitu masalahnya, mengapa
sang pembunuh tidak sekalian membunuhnya
semalam? Mengapa harus menunggu hingga
sore?
Dari kemampuan sang pembunuh memasuki
kamar Be Hong-ling tanpa membuat si nona
menjerit kaget, jelas pembunuh itu adalah orang
yang sangat dikenalnya, bisa jadi mereka pernah
bertemu malam sebelumnya dan memang
berjanji akan bertemu lagi di sana.
Kalau memang sudah berjanji untuk bertemu
lagi, mengapa sang pembunuh harus menghabisi
nyawanya? Mengapa dia membunuhnya?
Jarak antara kamar Be Hong-ling dan Pho Angsoat
tidak jauh, tapi karena ia sedang memikirkan
masalah itu, maka langkah kakinya lambat sekali.
Tapi justru karena lambat, dia pun mendengar
ada suara langkah kaki lain sedang berjalan

mendekat, langkah orang itu berasal dari beranda
sebelah kiri menuju ke gedung penerima tamu.
Biarpun suara langkahnya ringan, namun jelas
berasal dari langkah kaki seorang wanita.
Baru saja ingatan itu melintas, Pho Ang-soat
pun segera mengendus bau harum semerbak,
harumnya bunga teratai.
Ia segera merasakan bau harum yang khas,
bau harum yang begitu dikenal olehnya. Menyusul
bau harum itu, terdengar suara seseorang
menghela napas sedih.
Suara helaan napas itu tidak terlampau keras,
tapi justru serasa mencekik napas Pho Ang-soat,
terasa menyentuh sudut tertentu hat inya.
Suara itu... mana mungkin berasal dari dia?
Paras muka Pho Ang-soat saat itu entah diliputi
rasa bimbang atau telah berubah jadi merah
jengah? Dia hanya merasa hati kecilnya begitu
tersentuh, begitu trenyuh oleh helaan napas itu.
Menyusul tampak seseorang bertubuh kecil
ramping muncul dari balik daun jendela.
"Siau Pho!" terdengar orang itu menyapa lirih.
Begitu jauh suara panggilan itu berasal, tapi
terasa begitu dekat, begitu samar, apakah semua
ini merupakan kenyataan? Sudah berapa lama ia
tak pernah mendengar suara semacam itu?
Mungkin sudah ratusan tahun, ribuan tahun?

Tanpa sadar Pho Ang-soat membayangkan
kembali kejadian di masa silam, kejadian yang
dialaminya sepuluh tahun berselang.
Di pinggiran kota yang sama, di tempat yang
sama, saat itu Pho Ang-soat baru berusia delapan
belas tahun, dengan membawa golok yang telah
dikutuk, dengan membawa dendam kesumat
yang sudah terpendam selama delapan belas
tahun, mendatangi tempat itu.
Pada malam itu, ya, pada malam itu... ketika ia
baru kembali ke kamarnya, Pho Ang-sbat
membaringkan diri di atas ranjang tanpa
menyalakan lentera, sejak kecil dia memang
sudah terbiasa hidup dalam kegelapan.
Sekonyong-konyong muncul sebuah tangan
dari balik kegelapan, menggenggam tangannya.
Begitu halus tangan itu, begitu lembut dan
hangat genggamannya.
Pho Ang-soat masih berbaring dengan tenang,
membiarkan dia menggenggam tangannya...
tentu saja tangan yang tidak digunakan untuk
menggenggam golok.
Saat itulah dari balik kegelapan terdengar suara
pembicaraan seseorang, suara yang begitu
lembut seperti suara impian, berbisik di sisi
telinganya, "Siau Pho, sudah lama aku
menunggumu."
Suara itu begitu lembut, manis, begitu muda
dan hangat, jelas sekali suara seorang nona.

"Betulkah kau sudah lama menunggu?" Pho
Ang-soat balik bertanya dengan suara dingin.
"Benar, asal kau pasti datang, biar harus
menunggu selama apa pun, aku merasa
berharga untuk menantinya."
Saat itu Pho Ang-soat belum tahu siapakah
nona itu.
"Jadi kau sudah siap?" tanyanya lagi.
"Benar, sudah siap, apa pun yang ingin kau
lakukan, asal dikatakan pasti akan kulaksanakan."
Pho Ang-soat tidak mengucapkan sepatah kata
pun, bahkan tubuhnya pun sama sekali tak
bergerak.
Belaian nona itu makin lembut, bisikan
suaranya pun makin halus dan merayu, "Aku
tahu apa yang kau inginkan...."
Gadis itu mulai meraba dalam kegelapan,
meraba tubuh Pho Ang-soat, mencari kancing
bajunya, lalu dengan lembut melepas kancing itu
satu per satu... tiba-tiba saja Pho Ang-soat
berada dalam keadaan bugil, biarpun tak ada
hembusan angin dalam ruangan, namun otot dan
tubuhnya gemetar dan mengejang keras.
"Selama ini kau hanya seorang bocah, mulai
saat ini, aku akan membuatmu menjadi lelaki
dewasa," kembali gadis itu berbisik lirih, "sebab
ada sementara perbuatan hanya bisa dilakukan
oleh seorang lelaki dewasa...."

Bibir gadis itu hangat dan basah, menciumi
dada Pho Ang-soat, menciumi pipi dan bibirnya....
Pho Ang-soat masih dapat merasakan belaian
hangatnya, biar saat ini tiada angin berhembus di
serambi, namun tubuhnya mulai gemetar keras,
seolah bunga teratai yang dihembus angin musim
semi.
Termangu Pho Ang-soat mengawasi orang di
luar jendela, suaranya yang lembut bagai orang
mengigau, terdengar selembut di tengah malam
waktu itu, walau sekarang di bawah sorot
matahari.
Belaian tangan yang halus, ciuman bibirnya
yang hangat dan basah, napsu dan harapan yang
begitu misterius tapi mesra... sebenar nya semua
itu sudah jauh tertinggal di luar pikiran, seakan
berada dalam alam impian, tapi dalam waktu
singkat, tahu-tahu telah berubah menjadi
kenyataan.
Pho Ang-soat menggenggam kencang sepasang
tangannya, seluruh tubuhnya gemetar karena
tegang bercampur girang, tapi sorot matanya
masih mengawasi bayangan di luar jendela tanpa
berkedip-dari balik sorot matanya yang dingin
tiba-tiba berubah jadi panas membara.
Kelihatannya bayangan di luar jendela itu pun
merasa tubuhnya mengejang karena pancaran
sinar mata Pho Ang-soat yang membara, lewat
beberapa saat kemudian baru ia berkata,

"Sepuluh tahun telah lewat, pernahkah kau
melupakan aku?"
Mana mungkin bisa dilupakan? Dia adalah
wanita pertama yang muncul di hati Pho Angsoat,
wanita yang selama ini dicinta dan disayang
dengan sepenuh hati, meskipun pada akhirnya dia
tahu sikap perempuan itu terhadapnya hanya
pura-pura, karena menerima upah untuk
melakukannya, namun... mungkinkah benih cinta
yang telah tertanam ditarik kembali?
Seandainya kau pun mengalami pengalaman
seperti apa yang dialaminya, apakah kau dapat
menarik kembali benih cintamu?
Perasaan cinta yang muncul, ibarat air dalam
baskom yang telah dibuang, dia hanya bisa
menghentikan tindakannya dan selama hidup tak
bakal bisa menariknya kembali.
Sekujur tubuh Pho Ang-soat sudah tidak
gemetar lagi, pandangan matanya yang membara
kian padam dan sirna, sebagai gantinya muncul
kesedihan dan perasaan pilu yang mendalam.
Perasaan pilu dan sedih yang timbul dari dasar
sanubarinya yang paling dalam.
Dalam sepuluh tahun terakhir, dialah orang
yang paling tak ingin dijumpai, tapi setiap kali
mendusin di tengah malam, justru hanya dia yang
muncul dalam benaknya.
Cui -long! Ya, Cui long.

Nama itu seolah awan yang sedang melayang
di ujung langit, namun justru mengikuti Pho Angsoat
bagaikan bayangan tubuhnya.
Ada penderitaan tentu ada kegembiraan, ada
kemasgulan tentu ada pula kemesraan, berapa
kali mereka pernah berpelukan dengan mesra?
Berapa kali mereka saling membelai dengan
penuh kasih? Biarpun semuanya telah berlalu,
namun perasaan itu selamanya terukir dalam
lubuk hati, perasaan cinta yang terbawa sampai
alam impian, bagaikan belatung yang menempel
di tubuh bangkai, siang malam menggeroboti
tubuhnya tanpa henti.
Berapa kali dia ingin menggunakan arak supaya
mabuk, tapi mungkinkah ia benar-benar bisa
mabuk? Mungkinkah dengan mabuk semuanya
akan terlupakan? Bagaimana kalau selamanya tak
terlupakan?
Apa pula yang bisa dia perbuat bila tak
terlupakan? Bagaimana pula kalau selalu teringat?
Kehidupan, apa yang dimaksud kehidupan?
Manusia hidup hanya merasakan penderitaan, apa
benar manusia adalah makhluk yang paling
menderita karena cinta?
Justru karena kau pernah mencintai seseorang
dengan sepenuh hati, maka baru akan
merasakan pula penderitaan yang sesungguhnya.
Inilah salah satu kejadian yang paling membuat
manusia sedih dan pilu.

Matahari telah tenggelam di langit barat, awal
senja mulai menyelimuti seluruh angkasa.
Bangunan gedung Ban be tong seolah
terselubung di balik selapis kain sutera tipis,
bayangan manusia di luar jendela bagaikan
lukisan tinta yang basah oleh air.
"Sepuluh tahun berselang kau tidak seharusnya
kemari, sepuluh tahun kemudian kau pun tidak
seharusnya kemari," bayangan manusia itu
berkata perlahan, "kenapa kau tetap datang
kemari?"
Kenapa? Ya, kenapa? Entah sudah berapa kali
Pho Ang-soat bertanya pada diri sendiri, mengapa
dia harus ke sana? Tempat itu bukan desa
kelahirannya, tiada sanak keluarganya di situ, di
tempat itu hanya ada kenangan.
Kenangan pahit, kenangan yang paling
membuatnya menderita dan tersiksa.
Apakah kedatangannya hanya untuk
merasakan kenangan yang pahit dan penuh
penderitaan? Tentu Pho Ang-soat tak bakal mau
mengakuinya. Tapi jika tidak mengakui bisa apa?
Kalau mengakui pun bisa apa?
"Walaupun sepuluh tahun berselang Ban be
tong berhasil kalian musnahkan, namun Ban be
tong yang muncul sepuluh tahun kemudian justru
bermaksud memusnahkan kalian dan sekarang
kalian benar-benar muncul di sini."

Biarpun perkataan itu diucapkan dari balik
jendela, namun masih terdengar begitu halus dan
merdu.
"Pergilah, cepat tinggalkan tempat ini, Siau
Pho, segala sesuatu yang ada di sini tak mungkin
bisa kau bayangkan dengan akal sehat."
Pergi? Kepergiannya sepuluh tahun berselang
harus ditebus dengan penderitaan selama sepuluh
tahun.
Setelah menelaah dan merasakannya selama
sepuluh tahun, baru ia dapat menyimpulkan
bahwa di dunia ini selain terdapat rasa benci dan
dendam, sesungguhnya masih terdapat hal lain
yang jauh lebih menakutkan daripada benci dan
dendam, yakni perasaan cinta.
Rasa benci dan dendam hanya sebatas ingin
menghancurkan musuh saja, perasaan cinta
justru membuatnya ingin menghancurkan diri
sendiri, ingin menghancurkan seluruh dunia.
Penderitaan selama sepuluh tahun membuat
dia mengetahui akan satu hal. Hubungan antara
laki perempuan harus diungkap dengan perkataan
dan pernyataan.
Bila kau tidak mengungkapnya, mana mungkin
orang lain bisa tahu? Mana mungkin orang lain
bisa mengerti?
"Sepuluh tahun berselang aku telah melakukan
satu kesalahan, hari ini aku tak ingin mengulang
kesalahan yang sama," pancaran sinar mata Pho

Ang-soat masih dibebani perasaan pedih, namun
suaranya sudah lebih tenang dan datar.
Jelas sekali maksud perkataan itu, "Sepuluh
tahun berselang aku telah salah membiarkan kau
pergi, masakah hari ini kembali kubiarkan kau
pergi?"
"Kau tak boleh...."
Jelas nona itu pun memahami maksud Pho
Ang-soat, dia pun tahu apa yang bakal dia
lakukan, tapi untuk mencegahnya sudah
terlambat.
Begitu jendela dijebol, Pho Ang-soat
menyelinap ke hadapannya, tapi sayang secepat
apa pun dia bergerak, Cui long jauh lebih cepat.
Baru saja Pho Ang-soat berdiri tegak, bagaikan
bayangan setan Cui long telah lenyap, yang
tersisa dalam ruangan hanya bau harum yang
tipis.
Seandainya tiada sisa bau harum yang
tertinggal, Pho Ang-soat pasti mengira dirinya
baru saja mendusin dari mimpi.
Sinar matahari senja menerobos masuk melalui
daun jendela yang jebol, menyinari wajah Pho
Ang-soat, kini dia sudah tak sedih lagi, emosinya
pun sudah tidak bergolak, paras mukanya telah
pulih kembali dalam kehambaran dan dingin bagai
salju abadi.
Benar-benar bagaikan salju abadi yang tak
pernah mencair.

Kepalanya tertunduk, seolah sedang
memperhatikan bekas lantai yang digunakannya
untuk berdiri, seolah-olah juga sedang putar otak
memikirkan sesuatu.
Pada saat bersamaan, Yap Kay pun sedang
terjerumus dalam pemikiran yang mendalam.
Biarpun ia sudah balik kembali ke Ban be tong,
namun dia bukan duduk dalam kamarnya,
melainkan duduk di atap rumah.
Yap Kay duduk di atas atap, duduk persis di
samping atap rumah yang jebol ditembus
tombak, dia sedang mengawasi posisi lubang itu,
tentu saja termasuk semua yang ada dalam
ruangan.
Buyung Bing-cu yang mati tertembus tombak
sudah tidak nampak lagi, ruangan serta lantai
sudah dibersihkan hingga tidak nampak noda
darah maupun bekas pertarungan di situ, tentu
saja kecuali lubang yang ada di atap rumah.
Kemana perginya mayat Buyung Bing-cu?
Apakah memang telah disingkirkan Yap Kay?
Kalau memang perbuatan Yap Kay, mengapa dia
harus memindahkannya? Kalau bukan, lantas
perbuatan siapa?
Pho Ang-soat enggan berpikir banyak, maka
tanpa memikirkan lagi persoalan itu, dia pergi
meninggalkan gedung penerima tamu dan
langsung kembali ke dalam kamarnya.
Tentu saja dia pun dapat melihat kamarnya
telah dibenahi hingga rapi dan bersih, jenazah

Buyung Bing-cu benar-benar tidak ditemukan di
situ.
Tanpa banyak bicara dia membaringkan diri di
atas ranjang, pada saat itulah dia melihat
sepasang mata Yap Kay.
Yap Kay yang berada di luar lubang melihat
dengan jelas Pho Ang-soat masuk ke dalam
ruangan, melihat dia membaringkan diri, dia pun
melihat orang itu sedang memandang ke
arahnya, tapi heran, wajah Pho Ang-soat sama
sekali tidak menunjukkan perasaan heran atau
tercengang.
Mau tak mau Yap Kay harus mengagumi sikap
tenang rekannya itu. "Memang kau bukan
manusia?"
Entah sedari kapan Yap Kay sudah turun dari
atap rumah, berjalan masuk ke dalam ruangan,
berdiri di depan ranjang sambil mengawasi Pho
Ang-soat tanpa berkedip.
"Memang kau bukan anjing?" bukannya
menjawab Pho Ang-soat malah bertanya, dia
bertanya menggunakan nada bicara yang sama.
"Di dalam kamarmu telah terjadi perubahan
yang sangat besar, jenazah pun tiba-tiba hilang,
masakah sedikit pun kau tidak merasa tercengang
dan kaget?"
"Hanya anjing yang tertarik dengan bau
bangkai" sahut Pho Ang-soat hambar, "jelek-jelek
aku masih terhitung manusia, mana bisa
dibandingkan anj ing?"

"Setelah melihat aku berada di atap kamarmu,
seharusnya kau pun mengerti bahwa aku tahu
jenazah Buyung Bing-cu berada dimana sekarang,
kenapa tidak kau tanyakan kepadaku?" ujar Yap
Kay sambil menarik sebuah bangku dan duduk.
"Aku tahu kau pasti akan memberitahukan
kepadaku, kenapa pula harus ditanyakan lagi?"
"Kalau secara tiba-tiba aku tak ingin
memberitahukan padamu?"
"Jika begitu ditanya pun tak ada gunanya,"
tiba-tiba Pho Ang-soat tertawa tergelak, "berarti
kau bukan Yap Kay."
Yap Kay ikut tertawa mendengar kata-katanya
itu, ujarnya, "Aku lihat kau sangat memahami
karakterku."
"Sama-sama”
Kembali Yap Kay tertawa, sambil tertawa dia
mengambil poci arak dari dalam pelukannya dan
meneguk isinya ke dalam mulut.
"Setelah meninggalkan Siau Piat-li, tiba-tiba
aku teringat akan satu hal dan perlu ditanyakan
kepadamu, karena itu aku pun menuju kamar
tidurmu, tapi sebelum aku berjumpa denganmu,
tiba-tiba saja kudengar dari dalam kamar
berkumandang suara yang mustahil kau lakukan,
itulah suara orang sedang buang air, maka aku
segera naik ke atap rumah, dengan cepat
kutemukan lubang itu, dari lubang atap
kusaksikan Kongsun Toan sedang memindahkan
jenazah Buyung Bing-cu dari lantai."

"Kongsun Toan?" seru Pho Ang-soat melengak.
"Benar," Yap Kay manggut-manggut, "begitu
Kongsun Toan keluar pintu, tentu saja aku segera
mengikutinya, tapi baru sampai di tengah jalan,
kulihat kau serta seorang perempuan sedang
berjalan masuk ke kamar tidur Be Hong-ling."
"Kau pasti tidak menyangka siapakah wanita itu
bukan?"
"Sebetulnya memang tak bisa kuduga, tapi
setelah kulihat raut mukanya, aku pun segera
tahu mengapa Be Hong-ling harus mati."
"Oya? Kenapa Be Hong-ling harus mati?"
"Sebab kalau Be Hong-ling tidak mati, Pek Ihling
pun mustahil bisa tampil."
Pho Ang-soat menatap wajah Yap Kay lekatlekat,
dia sedang menunggu penjelasan darinya.
"Walaupun orang mati dapat hidup
kembali, akan tetapi orang hidup tak
mungkin bisa awet muda," Yap Kay
menerangkan, "sepuluh tahun berselang, dari
sekian banyak anggota Ban be tong, hanya
Be Hong-ling seorang yang masih hidup,
setelah lewat sepuluh tahun, sedikit banyak
usianya pasti sudah mulai menggerogoti raut
mukanya."
Pho Ang-soat mengangguk tanda setuju.
"Tapi kemunculan Be Khong-cun sekalian
sepuluh tahun setelah itu, raut muka mereka
sama sekali tak berubah, bahkan sama sekali

tidak nampak lebih tua atau berkerut. Bila ingin
kejadian berlangsung persis seperti sepuluh tahun
berselang, berarti Be Hong-ling harus mati, walau
mereka memiliki kemampuan rahasia yang bisa
membangkitkan orang dari kematian, namun
belum mampu mempertahankan seseorang tetap
awet muda seperti sedia kala."
"Oleh karena itu Be Hong-ling harus mati,
hingga wanita bernama Pek Ih-ling bisa muncul?"
sela Pho Ang-soat.
"Seharusnya begitu," setelah meneguk
araknya, Yap Kay berkata lebih jauh, "semua
pembicaraan yang kau lakukan dengan Pek Ihling
bukan saja telah kudengar, aku pun sempat
melihat bagaimana kau mencabut rambutmu
sendiri, lalu kau buang ke lantai dan
memungutnya kembali dengan mengatakan
rambut itu milik pembunuh...."
Ternyata rambut putih yang diambilnya dari
lantai adalah rambut Pho Ang-soat sendiri yang
sengaja dicabut.
Tapi mengapa dia berbuat demikian? Apa pula
maksud tujuannya berbuat begitu?
"Aku percaya kau pasti sudah tahu mengapa
aku berbuat begitu," ujar Pho Ang-soat sambil
tertawa.
"Begitu menjumpai kamar itu sudah dibenahi
dan dibersihkan, tentu saja kau pun tahu
kemungkinan menemukan jejak pembunuh kecil
sekali, oleh sebab itu kau sengaja menciptakan

jejak untuk pembunuh itu," kata Yap Kay, "dan
kau pun pasti tahu kejadian ini pasti akan
terdengar juga oleh sang pembunuh, bila si
pembunuh mulai ragu dan ingin menghilangkan
saksi, bisa jadi dia akan berusaha
membunuhmu."
Kemudian setelah tertawa, lanjutnya, "Asal dia
berani bertindak, kau pun akan mendapat
kesempatan untuk menangkapnya."
"Asal pembunuh itu mempunyai kepintaran
macam kau, sia-sia saja aku mengorbankan
rambutku," Pho Ang-soat menghela napas
panjang.
"Jangan kuatir, sekalipun dia amat cerdas pun
yakin pasti akan melakukan satu tindakan, sebab
dia pasti tak mau ambil resiko."
Pho Ang-soat berpikir sejenak, kemudian
katanya, "Bagaimana selanjutnya? Apakah semua
yang kusaksikan di beranda tadi kau pun ikut
menyaksikan?"
"Tidak, sama seperti kau, aku pun hanya
mendengar suara," kata Yap Kay, "dari tempat
persembunyianku, aku hanya bisa melihat situasi
di beranda dan susah untuk melihat keadaan di
dalam gedung penerima tamu."
Sekali lagi Pho Ang-soat terjerumus dalam
pemikiran yang dalam.
Setelah memandangnya sekejap, Yap Kay
berkata, "Orang yang telah mati pun bisa hidup

kembali, tidak aneh bila ada suara yang sangat
mirip."
"Tapi jelas suara itu adalah suaranya, aku
sangat yakin suara itu adalah suaranya."
"Sekalipun memang benar dia, lalu apa yang
bisa kau perbuat? Dia tak ingin bertemu
denganmu, berarti dia mempunyai kesulitan yang
susah dijelaskan kepadamu, apa gunanya kau
menyiksa diri?"
"Siapa bilang aku sedang menyiksa diri?"
biarpun paras muka Pho Ang-soat
memperlihatkan ketenangan yang luar biasa,
namun hatinya sakit, sakit bagai disayat-sayat.
Tentu saja Yap Kay pun mengetahui
penderitaan yang dirasakan rekannya, tapi apa
pula yang bisa dia perbuat? Masalah cinta
memang tak mungkin bisa dibantu pihak ketiga,
terlebih bila urusannya sudah menyangkut
perasaan yang telah membekas jauh di dalam
lubuk hati.
Selama sepuluh tahun bersahabat, tiada orang
yang lebih paham perasaan Pho Ang-soat
ketimbang dirinya, biarpun tampaknya dia dingin,
hambar dan angkuh, kenyataan perasaan
cintanya jauh lebih hangat, jauh lebih gila
daripada siapa pun.
Sejak kecil ia sudah dididik menjadi sebuah alat
untuk membalas dendam, lambat-laun dia telah
membentuk selapis dinding penyekat di dalam
hatinya, dinding penyekat yang membuat

perasaan sendiri susah untuk diungkap keluar dan
perasaan orang pun mustahil bisa menembus
masuk ke hatinya.
Oleh karena itu semakin sikapnya dingin dan
angkuh, semakin hampa perasaannya, makin
kesepian dan merana hatinya. Khususnya bila tiba
malam yang hening, sering dia merasa begitu
kesepian hingga nyaris menjadi gila.
Seringkah dia harus begadang karena susah
memejamkan mata, setiap kali begitu, dia hanya
bisa membelalakkan mata mengawasi kegelapan
malam di luar jendela hingga fajar menyingsing.
Sudah berapa kali dia ingin mencari pasangan
hidup yang bisa diajak meluapkan perasaan
kasihnya, menghilangkan rasa sepinya, saling
menghibur, saling mengungkap perasaan, namun
pada akhirnya dia tak berani melangkah lebih
jauh, dia tak berani mempersembahkan perasaan
sendiri.
Belakangan dia seringkah merasa menyesal,
menyesal mengapa sikapnya terhadap Cui long
begitu keji, bisa jadi selama hidup hanya Cui long
seorang yang dicintainya, namun dia tak pernah
mau mengakui kenyataan itu.
Heran, mengapa manusia selalu tak pernah
bisa menghargai dan menyayangi perasaan yang
telah diperolehnya, mengapa baru dia menyesal
setelah kehilangan? Penderitaan semacam ini tak
disangkal merupakan penderitaan paling kuno

dan paling mendalam bagi umat manusia sejak
zaman dahulu kala.
Cahaya terang mencorong masuk dari luar
jendela, menyinari tubuh Pho Ang-soat yang
masih berbaring di atas ranjang.
Mengawasi orang itu, kembali pandangan sedih
melintas di wajah Yap Kay, sesungguhnya dia
sama sekali tak punya hubungan dengan orang
itu, dia memang hanya seorang biasa,
tapi dikarenakan keegoisan generasi
sebelumnya, karena dendam kesumat yang
keliru, dia telah diubah menjadi sebuah alat balas
dendam, alat balas dendam bagi kepentingan
orang itu.
Walaupun kemudian Yap Kay mengungkap
rahasia itu, sayang sikap dan mental sebuah alat
balas dendam telah telanjur melekat di tubuh Pho
Ang-soat, membuat Yap Kay tidak mampu lagi
untuk menyelamatkan nya, tak mampu
mengubahnya....
Kembali Yap Kay meneguk araknya, sampai
lama kemudian baru ia bicara lagi, "Sebetulnya
Kongsun Toan termasuk jagoan temperamen,
kasar dan berangasan, tapi aneh, Kongsun Toan
yang muncul kali ini sama sekali berbeda, apakah
kau pun merasakan hal ini?"
Pho Ang-soat hanya mendengarkan, tanpa
menjawab.
"Setelah menemukan Buyung Bing-cu tewas di
kamarmu, bukan saja dia tidak menyebar luaskan

berita ini, malah secara diam-diam menyingkirkan
jenazah dan membersihkan kamarmu. Bahkan
pagi tadi Be Khong-cun menegurmu, dia tak
pernah mengucapkan sepatah katapun, bahkan
sampai kau dipaksa turun tangan pun, Kongsun
Toan tak pernah menampilkan diri."
Ditatapnya wajah Pho Ang-soat lekat-lekat,
kemudian tambahnya, "Dari tindak-tanduknya
yang di luar kebiasaan, kesimpulan apa yang bisa
kau ambil?"
"Aku sedang mendengarkan," jawab Pho Angsoat.
"Aku lihat tujuan Ban be tong tak bakal
sesederhana itu, hanya bertujuan membunuh kita
berdua," ujar Yap Kay lagi, "kelihatannya mereka
lebih menitik beratkan pada kemunculannya
kembali dalam Bu-lim, mereka pasti mempunyai
rencana busuk yang lebih besar."
"Rencana busuk? Rencana busuk apa?"
Setelah meneguk kembali araknya, Yap Kay
baru berkata, "Bila Ban be tong ingin tampil
kembali ke dalam dunia persilatan, berapa banyak
uang yang dibutuhkan? Jangankan begitu besar
bangunan di tempat ini bisa pulih kembali
kemegahannya dalam semalam, cukup dari Be
Khong-cun sekalian, benarkah mereka hidup
kembali dari kematian?"
Yap Kay menertawakan diri sendiri, lalu
katanya lebih jauh, "Jangankan kau, aku
sendiri pun tidak percaya, tapi kita pasti sudah

melihatnya dengan jelas bahwa orang-orang itu
bukan hasil penyaruan orang lain, mereka benarbenar
adalah kelompok yang dulu."
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Pagi tadi
aku telah bertemu Siau Piat-li, menurut
pendapatnya, hidupnya kembali orang-orang itu
lantaran terpengaruh oleh kemunculan komet
yang terjadi setiap tujuh puluh enam tahun satu
kali."
"Terpengaruh komet?"
"Menurut dia, terdapat semacam kekuatan
misterius yang maha dahsyat hidup dalam alam
jagad kita, dan kekuatan misterius itu setiap
tujuh puluh enam tahun satu kali akan
terpengaruh oleh kehadiran komet itu," kata Yap
Kay sambil tertawa, "karena kekuatan misterius
itulah orang-orang yang telah mati bisa hidup
kembali."
Kemudian sambil menatap rekannya ia
bertanya, "Apakah kau percaya?"
Pho Ang-soat tidak langsung menjawab, dia
berpikir sebentar, kemudian baru menyahut,
"Ternyata pernyataan Siau Piat-li mirip sekali
dengan perkataannya."
"Perkataan siapa?" "Yan Lam-hui!"
"Yan Lam-hui?" Yap Kay tertegun, "Yan Lamhui
si penerus Kongcu-ih?"
"Benar."

"Bukankah dia pun sudah mati, mati di ujung
golokmu sejak lima tahun berselang?"
"Sudah begitu banyak anggota Ban be tong
yang bangkit lagi dari kematian, apalagi hanya
seorang Yan Lam-hui," kata Pho Ang-soat
hambar.
"Benar juga perkataanmu," Yap Kay tertawa
geli, "kapan kau bertemu dengannya? Apa saja
yang dia katakan?"
Pho Ang-soat pun segera bercerita bagaimana
sekembalinya ke kamar semalam ia mendengar
suara nyanyian, bagaimana melakukan
pengejaran dan di sebuah gundukan tanah
menjumpai peristiwa yang sangat aneh,
kemudian Yan Lam-hui muncul....
Matahari telah tenggelam di langit barat, awan
keabu-abuan mulai menyelimuti seluruh angkasa,
cahaya lentera mulai terlihat dari tempat
kejauhan sana.
Pho Ang-soat belum menyulut lentera di dalam
kamarnya, mereka berdua masih tenggelam di
balik keremangan cuaca.
Sehabis mendengar penuturan Pho Ang-soat,
Yap Kay segera terjerumus dalam pemikiran yang
mendalam, alisnya berkerut kencang, secercah
cahaya mulai muncul dari balik matanya yang
cekung.
Pho Ang-soat pun membungkam setelah selesai
menceritakan pengalamannya, dengan tenang dia

mengawasi Yap Kay, menunggu kesimpulan apa
yang akan diambil rekannya itu.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya dia
mengambil poci arak dan meneguk isinya,
kemudian baru berkata, "Gumpalan cahaya yang
memancar keluar dari balik gundukan tanah
berubah menjadi Yan Lam-hui? Benar-benar
peristiwa yang tak masuk akal, andaikata bukan
kau alami dengan mata kepala sendiri, siapa pun
tak bakal percaya."
"Aku yang mengalami sendiri peristiwa itu pun
tidak percaya, apalagi hanya mendengar dari
cerita orang."
"Konon di tempat kita hidup sekarang masih
terdapat dunia lain, pernyataan seperti ini mirip
pernyataan Siau Piat-li yang mengatakan terdapat
satu kekuatan misterius dalam kehidupan kita."
Yap Kay tertawa.
"Menurut pernyataan Yan Lam-hui, agar bisa
memasuki dunia keempat, seseorang harus mati
terlebih dulu," ungkap Pho Ang-soat, "berarti
semua penghuni dunia keempat adalah orangorang
yang bangkit kembali dari kematian."
"Mungkin semacam Be Khong-cun sekalian?"
Yap Kay menghela napas panjang, "tampaknya
kita hanya bisa melihat peristiwa itu sebagai
sebuah kenyataan"
"Kenyataan apa?"

"Kenyataan bahwa di tempat kehidupan kita
memang benar-benar terdapat semacam
kekuatan misterius yang maha dahsyat, bahwa di
sisi kehidupan kita masih terdapat dunia lain yang
disebut dunia keempat," kata Yap Kay sambil
tertawa, "kalau tidak, alasan tepat apa lagi yang
bisa kita gunakan untuk menjelaskan semua yang
telah kita jumpai selama ini?"
Tampaknya hanya kesimpulan itu yang terasa
paling cocok sampai saat itu.
Yap Kay memandang sekejap cuaca di luar
jendela, ternyata hari telah malam, sudah
saatnya bersantap dan saatnya pula Pek Ih-ling
hendak berjumpa dengan semua orang.
"Sewaktu makan malam nanti, entah
permainan baru apa lagi yang akan
diselenggarakan Be Khong-cun?" ujar Yap
Kay sambil bangkit,
"dari situasi sore tadi, delapan puluh persen
orang yang bakal dipilih Pek Ih-ling pastilah kau."
Tidak menunggu Pho Ang-soat bicara, Yap Kay
menambahkan, "Cuma kau jangan keburu
senang, siapa tahu bakal muncul kejutan lain."
Habis berkata Yap Kay segera berlalu dengan
senyum di kulum, dia yakin mimik muka Pho Angsoat
saat ini pasti tak sedap dipandang. Bagi
orang itu, persoalan apa pun boleh dibuat bahan
gurauan kecuali masalah yang berhubungan
dengan laki perempuan.

Memandang bayangan punggung Yap Kay yang
menghilang di balik pintu, Pho Ang-soat menghela
napas panjang, gumamnya, "Kau keliru besar,
bila aku tak bisa menghadapi gurauan semacam
ini, mana mungkin aku bisa hidup hingga kini?"
"Kau pun keliru," tiba-tiba wajah Yap Kay
muncul kembali di depan pintu, "apakah kau tidak
merasa bahwa gundukan tanah itu merupakan
kunci dari semua rahasia yang ada?"
Bab 7. MANUSIA KERDIL
Santap malam diselenggarakan di ruang utama
Ban be tong.
Ada sembilan orang duduk mengelilingi sebuah
meja bundar, sementara dua-tiga puluhan orang
berdiri di sekitarnya untuk melayani kebutuhan
tamu.
Hidangan yang tersaji di meja pun tidak terlalu
banyak, paling hanya tujuh-delapan macam
masakan.
Tentu saja semua masakan yang disajikan
adalah hidangan khas luar perbatasan, semuanya
lezat, tapi yang paling menarik perhatian Yap Kay
adalah sekuali kuah panas yang diletakkan persis
di tengah meja.
Dalam kuali itu hanya ada daging ayam
kampung yang dipotong ditambah arak keras dari
pinggiran kota, ketika dicampur di atas tungku,

uap panas yang mengepul segera menyebarkan
bau arak yang sangat keras.
"Hidangan macam apa ini?" tanya Yap Kay
setelah mencicipi sesuap kuah ayam arak itu.
"Inilah hidangan paling tersohor di pinggiran
kota," jawab Be Khong-cun sambil tertawa,
"orang menyebutnya ayam masak arak."
"Ayam masak arak? Wah, cocok benar nama
masakan ini."
Kemudian setelah mengambil semangkuk dan
menyuap, kembali tanyanya, "Kau bilang
hidangan ini tersohor di pinggiran kota, kenapa
waktu aku datang dulu tak pernah mencicipinya?"
"Sudah berapa lama kau tak pernah berkunjung
lagi ke sini?" tiba-tiba Hoa Boan-thian bertanya.
"Mungkin sepuluh tahun."
"Tak heran kau belum pernah mencicipinya,"
seru Hoa boan-thian sambil tertawa, "hidangan ini
baru tercipta tujuh tahun lalu, diciptakan tanpa
sengaja oleh Sam-lopan."
"Tujuh tahun berselang?" "Tahun itu musim
dingin terasa luar biasa dinginnya, biar sudah
makan apa pun badan belum terasa hangat, tentu
saja minum arak bisa menghangatkan badan, tapi
kalau kebanyakan bisa mabuk," kata Be Khongcun
dengan bangga, "oleh sebab itu aku pun
mulai berpikir, bila kucampur arak keras dengan
ayam, selain tak memabukkan, juga dapat
membuat tubuh terasa hangat?"

"Maka kau pun mencobanya?"
"Betul, sejak saat itulah muncul hidangan baru
yang kunamakan ayam masak arak."
"Sayang sekali hidangan yang begini lezat tak
bisa dinikmati oleh Buyung-kongcu," kata Yap Kay
hambar, "aneh, kenapa tidak kulihat Buyung
Bing-cu? Apakah dia tidak diundang dalam
perjamuan ini?"
Kongsun Toan yang selama ini hanya
membungkam tiba-tiba berkata, "Sore tadi dia
harus buru-buru pulang karena mendapat surat
penting,"
"Semisal dia hadir di sini, dapat kupastikan dia
pun akan memuji kelezatan hidangan ini," kata
Yap Kay lagi sambil melirik ke arah Pho Ang-soat
sekejap.
Paras muka Pho Ang-soat sama sekali tak
mengunjuk perubahan apa pun, dia bersantap
dengan wajah dingin, hanya saja ujung matanya
beberapa kali seperti sengaja tak sengaja melirik
ke arah Be Khong-cun.
Dalam pada itu, Be Khong-cun pun sedang
menatap wajah Kongsun Toan dengan penuh
amarah.
"Mengapa kau tidak segera melaporkan
kejadian ini kepadaku?" tegurnya keras.
"Saat itu kebetulan Sam-lopan sedang tidur
siang," sahut Kongsun Toan sambil menunduk

kepala, "aku sendiri pun kebetulan sedang repot
sekali, hingga masalah ini jadi kelupaan."
"Aku harap kejadian seperti ini jangan terulang
lagi."
"Pasti tak akan terulang."
Sekali lagi Be Khong-cun melirik ke arah
Kongsun Toan, setelah itu baru mengangkat
cawannya dan berkata kepada semua orang
sambil tersenyum, "Biarpun berkurang dengan
seorang Buyung Bing-cu, aku percaya ini tak
sampai mengurangi kegembiraan kalian."
"Terhadap diriku memang sama sekali tak
berpengaruh," kata Loh Loh-san tertawa, "usiaku
sudah tua, apa lagi yang bisa kuperebutkan?"
"Biarpun orang muda lebih tampan dan gagah,
sayang mereka belum mapan!" tiba-tiba Pek Ihling
berkata sambil tertawa.
"Oh, begitu rupanya!" sinar berkilat kembali
mencorong dari balik mata Loh Loh-san.
"Wah, itu berarti kaum muda harus lebih giat
bekerja, " sela Yap Kay sambil tertawa, "kalau
tidak, beberapa tahun kemudian bila semua nona
punya pikiran seperti Pek-siocia, kami bisa mati
mengenaskan."
"Memang sudah seharusnya begitu, anak muda
zaman sekarang selain ingin menang sendiri dan
bertindak semena-mena, nyaris tak ada kelebihan
lain."

"Tapi bila kaum muda tidak cari menang
sendiri, jadi apa dunia persilatan saat ini?" kata
Yap Kay sambil tertawa, "bukankah begitu?"
"Biar muda, biar tua, semuanya memiliki
kebaikan dan kelebihan masing-masing," sela Be
Khong-cun sambil mengangkat cawan araknya,
"mari kita bersulang satu cawan!"
Begitu mendengar bersulang, tentu saja Loh
Loh-san yang paling gembira, tapi sayang takaran
minum orang ini sangat cetek, baru beberapa
cawan air kata-kata yang pindah ke dalam
perutnya, ia sudah mabuk berat.
Pada saat itulah tiba-tiba mereka mendengar
suara seruling berkumandang memecah
keheningan.
Irama seruling itu lembut dan indah, nadanya
halus sedap didengar, tanpa terasa semua orang
terperana dibuatnya, semua orang dibuat terbuai
dan mabuk kepayang.
Dengan mata yang setengah meram Loh Lohsan
mengalihkan pandangan matanya ke arah
pintu, menyusul irama seruling yang merdu
merayu itu, dari balik kegelapan muncul dua
orang, dua orang kerdil.
Ya, benar-benar dua orang kerdil.
Yang seorang adalah seorang kakek kecil
sementara yang lain adalah nenek kerdil, mereka
mempunyai wajah yang kecil, hidung yang kecil,
mulut yang kecil dan seruling kemala putih yang
kecil pula.

Yap Kay belum pernah menjumpai
manusia yang begitu kerdil, bagian mana pun
dari tubuh mereka memiliki bentuk yang jauh
lebih kecil.
Walau begitu, bentuk tubuh mereka sempurna,
sedikit pun tidak nampak lucu atau jelek.
Si kakek kerdil memiliki wajah yang ramah
dengan rambut telah beruban, sementara si
nenek memiliki wajah halus, lembut dan amat
anggun, sepasang tangannya yang memegang
seruling kelihatan begitu halus dan putih, tak
ubahnya seperti seruling yang dipegang.
Siapa pun mau tak mau pasti akan mengakui
bahwa mereka berdua adalah pasangan serasi,
pasangan ideal.
Tak ada orang yang bersuara, begitu juga
dengan Yap Kay, barang siapa mendengar irama
seruling itu dari kemudian menyaksikan bentuk
badan mereka berdua, dapat dipastikan akan
termangu dan terperangah dibuatnya.
Hanya Pek Ih-ling terkecuali, begitu
menyaksikan kedua orang itu berjalan masuk,
sekulum senyuman gembira segera tersungging di
ujung bibirnya.
"Lo-siansing, Lo-thaythay, kenapa kalian pun
datang kemari?"
"Tentu saja kami harus kemari," jawab si kakek
kerdil sambil tertawa, "masalah ini adalah
masalah besarmu, bagaimana mungkin kami tidak
ikut kemari?"

Masalah besar? Masalah besar bagi Pek Ih-ling?
Apakah mereka berdua pun datang kemari
lantaran Pek Ih-ling sedang mencari calon suami?
Apakah si kakek kerdil pun ingin turut serta dalam
kompetisi ini?
Tiba-tiba Be Khong-cun berdiri, dengan sikap
sangat menghormat menjura kepada kakek kerdil
itu.
Seolah terperanjat oleh penghormatan itu, si
kakek segera berkata, "Aku tak lebih hanya
seorang kakek biasa yang tidak berguna, buat
apa kau memberi penghormatan yang begitu
besar kepadaku?"
"Setelah berjumpa Hong-locianpwe, mana
berani aku bersikap kurang sopan?" sahut Be
Khong-cun dengan sikap lebih menghormat.
Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik
mata Yap Kay, ditatapnya kakek kerdil itu dengan
terperanjat.
"Hong-locianpwe?" gumam Yap Kay dengan
nada terkesiap, "apakah kau adalah Hong-loyacu
yang berjuluk Jian li hui hun, ban li cui gwe, sin
kiau bu im tui hong siu (seribu li terbang di awan,
selaksa li menangkap rembulan, kakek tanpa
bayangan pengejar angin)?"
Sambil tersenyum kakek kerdil itu manggutmanggut.
Kembali Yap Kay memandang ke arah nenek
yang memegang seruling kemala itu, kemudian
ujarnya lagi, "Hong siu gwe po (kakek angin

nenek rembulan) selamanya tak pernah
berpisah, berarti nenek adalah
Gwe-popo si nenek rembulan yang nama
besarnya telah tersohor di Seantero jagad"
"Tak kusangka anak muda ini meski masih kecil
umurnya namun memiliki pengetahuan yang
luas," puji Gwe-popo sambil tersenyum ramah.
"Cianpwe berdua bukannya menikmati hari tua
di loteng Poan-gwe-siu-lau, mau apa mendatangi
tempat terpencil yang sepi dan jauh dari
keramaian ini?" kata Be Khong-cun sambil
tertawa.
"Apa tujuan Sam-lopan mengumpulkan orang
di sini malam ini? Bukankah karena masalah
perkawinan Pek-siocia, " tegur Tui hong siu sambil
tertawa.
"Darimana kalian bisa tahu?" tanya Be Khongcun
agak melengak.
"Tentu saja kami tahu" suara tawa Tui hong siu
semakin riang, "mana mungkin kami tidak
mengetahui persoalan seperti ini? Bukan begitu
Pek-siocia?"
"Ah, tak kusangka masalahku bisa mengusik
kehadiran kalian berdua," seru Pek Ih-ling
tertawa.
"Anak Ling, jadi kau kenal baik kedua
Locianpwe ini?" tegur Be Khong-cun terperanjat.

"Dia adalah teman bermain catur Ong-supek,
ketika masih tinggal serumah, mereka bahkan
sering mengajari aku bermain catur."
"Teman bermain catur? Padahal kami tak lebih
hanya orang bawahannya," Gwe-popo
menerangkan sambil tertawa.
Orang bawahan? Tokoh maha sakti seperti
mereka pun masih menjadi bawahan orang lain?
Lalu manusia macam apa tokoh yang dipanggil
Ong-supek itu? Malaikat seperti apa Ong-supek
itu hingga sanggup memiliki bawahan seperti
kakek pengejar angin dan nenek rembulan?
Yap Kay benar-benar terperangah dibuatnya,
bukan hanya dia, Pho Ang-soat yang selama ini
membungkam pun ikut tergerak hatinya.
"Apakah Ong-supek yang menyuruh kalian
datang kemari?" terdengar Pek Ih-ling bertanya
sambil tertawa ringan.
"Selain dia, siapa lagi yang bisa menyuruh aku
si tua bangka melakukan perjalanan jauh?" omel
Tui hong siu, "tapi seandainya dia tidak menyuruh
pun, kami tetap akan kemari, siapa suruh kau
adalah kesayangan kami."
"Sejak kepergianmu, kami seperti kehilangan
sesuatu," kata Gwe-popo pula sambil tertawa,
"tiap hari mereka berdua berkerut kening saja,
sampai main catur pun tak pernah konsentrasi,
yang lebih parah lagi, walau sedang main catur
namun mereka seperti sedang berlomba
menghela napas."

"Ah, bukankah kau pun sama saja, tiap hari
hanya bersembunyi dalam kamar, seruling
enggan ditiup, sepasang mata merah melulu."
Biarpun usia kedua orang ini sudah mencapai
seratus tahun, namun cara mereka bicara tak
ubahnya seperti dua anak kecil, membuat siapa
pun yang mendengar jadi geli dan tertawa.
Tapi Yap Kay tahu dengan pasti bahwa kedua
orang ini bukan terhitung orang yang
menggelikan atau menawan, jauh sebelum orang
tua Yap Kay mulai pacaran, kedua orang itu
sudah merupakan tokoh menakutkan di Bu-lim.
Tui hong siu terkenal karena keras kepala,
sementara Gwe-popo tersohor karena tindaktanduknya
yang semau hati, tentu saja yang
paling menakutkan adalah ilmu silat yang mereka
miliki.
Bila watak semau hati Gwe-popo mulai
kambuh, biar dia menginginkan rembulan di
angkasa pun nenek itu pasti akan berusaha
mendapatkannya, sementara Tui hong siu
bila menganggap kau harus mati, maka
biarpun bersembunyi di kolong ranjang sang
kaisar pun jangan harap nyawamu bisa selamat.
Kemunculan mereka berdua yang tiba-tiba,
apalagi hubungannya yang begitu akrab dengan
Pek Ih-ling membuat Yap Kay merasa bahwa
persoalan ini makin lama semakin menarik.
Kelihatannya Gwe-popo pun merasa Yap Kay
adalah orang yang menarik, sepasang matanya

yang kecil mengawasi terus gerak-geriknya
sambil tersenyum.
Selama hidup Yap Kay tak pernah merasa rikuh
bila diawasi seorang wanita, tapi sekarang,
seandainya di tanah ada lubang, dijamin dia pasti
akan segera menerobos masuk untuk
bersembunyi.
Tui hong siu sedang mengawasi juga sekeliling
ruangan, sinar matanya yang tajam mengamati
wajah setiap orang tanpa berkedip, tapi akhirnya
berhenti pada wajah Yap Kay.
Belum lagi Yap Kay melakukan sesuatu,
mendadak terdengar Gwe-popo berkata, "Siau
ling ji, di antara beberapa orang lelaki yang
berada di sini sekarang, bukankah sudah ada
seorang yang bisa menjadi calon suamimu?"
"Aku...." paras muka Pek Ih-ling kontan
berubah merah jengah, bahkan ia tertunduk
dengan tersipu-sipu.
"Tua bangka, coba lihat, ternyata ada saatnya
juga paras muka Siau ling ji kita berubah merah
padam," goda Gwe-popo lagi.
"Ah, dia kan anak perempuan, masakah harus
meniru kau, kulit badan yang tak bakal robek
biarpun diledakkan!"
"Apa? Kau menuduh kulit mukaku tebal seperti
badak?"

"Maksudku, kau adalah seorang perempuan
cantik, biasanya perempuan cantik tak bakal
merah padam wajahnya."
Ternyata bukan anak muda saja yang suka
mendengar ucapan menjilat pantat, tak heran
Gwe-popo berseri wajahnya lantaran girang.
Menggunakan kesempatan itu Tui hong -siu
berpaling ke arah Pek ih-ling sambil membuat
muka setan, dua orang itu pun tertawa terkekehkekeh.
Yap Kay ikut tertawa, tertawa melihat Gwepopo
sebenarnya mengetahui tingkah-laku kedua
orang itu, tapi berlagak bodoh.
Memang itulah yang dilakukan mereka suami
istri, terkadang mata harus melotot, terkadang
harus setengah terpejam, saling mengalah
memang bukan tindakan bodoh.
Tak disangkal Gwe-popo sangat memahami
teori itu, karena itulah meski melihat namun dia
tetap berlagak seolah tidak melihat.
Beberapa saat kemudian baru dia
mendongakkan kepala sambil berkata, "Siau ling
ji, peduli siapa pun calon yang bakal kau pilih, dia
harus lulus dulu dari kami berdua."
Kemudian setelah tertawa lebar, lanjutnya,
"Tapi kalian tak usah kuatir, kami tak bakal
menyusahkan dirimu, tentu saja asal kau berhasil
lolos dari tiga ujian."

"Tiga ujian? Ujian apa?" seru Pek Ih-ling panik
bercampur kaget.
"Ujian pertama harus tampan dan gagah
penampilannya," kata Gwe-popo sambil tertawa,
"sementara ujian kedua, dia harus dijajal dulu
kehebatan ilmu silatnya oleh si tua bangka."
Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas,
kembali nenek itu menambahkan, "Sedang ujian
ketiga, tentu saja aku si nenek yang akan
melakukannya."
"Apa yang akan kau lakukan pada ujian
ketiga?"
"Pemeriksaan badan."
"Periksaan badan?" Pek Ih-ling tertegun,
"bagaimana caramu memeriksa?"
"Bugil, tentu saja harus bugil! Kalau tidak,
bagaimana aku bisa melakukan pemeriksaan?"
"Bugil," kali ini Pek Ih-ling benar-benar amat
terperanjat, "suruh dia melucuti semua pakaian
dan membiarkan kau memeriksanya?"
"Tentu saja."
"Tapi... sesudah dia telanjang bulat, dengan...
dengan cara apa kau hendak memeriksanya?"
tanya Pek Ih-ling tergagap.
"Akan kuperiksa seinci demi seinci, kalau tidak,
bagaimana aku bisa tahu dia berpenyakit atau
tidak?"

Seorang lelaki dewasa yang telah melucuti
semua pakaiannya hingga bugil harus diperiksa
seluruh badannya oleh seorang perempuan,
sekalipun usia perempuan itu sudah lewat
setengah abad pun, dia masih tetap seorang
perempuan, bagaimana pun pasti akan rikuh dan
malu.
Begitu Gwe-popo selesai bicara, semua yang
hadir terperanjat, khususnya Yap Kay, karena
sorot mata Gwe-popo yang menatapnya seakan
telah berubah menjadi sepasang tangan yang
sedang melucuti pakaiannya satu per satu.
Dia seolah-olah sudah memastikan bahwa Yap
Kay yang bakal menjadi suami Pek Ih-ling, oleh
karenanya sorot mata yang terpancar penuh
selidik.
Dengan susah-payah akhirnya Yap Kay berhasil
juga lolos dari sergapan mata Gwe-popo, baru
saja dia menghembuskan napas lega, terdengar
Gwe-popo sudah bertanya kepada Pek Ih-ling,
"Siau-ling-ji, calonmu yang mana?"
Pek Ih-ling menundukkan kepala, mukanya
merah, ia duduk di pojokan dengan perasaan
serba kikuk, tapi senyum kegirangan mulai
tersungging di ujung bibirnya, senyuman itu
persis seperti senyum kemenangan seekor rase
kecil yang baru saja berhasil mencuri seekor
ayam gemuk.
Sebenarnya siapa yang dia sukai? Siapa yang
bakal dipilihnya sebagai calon pendamping?

Semua hadirin memandang ke arahnya, bahkan
Pho Ang-soat yang biasanya membisu tanpa
bicara pun tak kuasa ikut melihat, siapa
gerangan lelaki yang bakal dipilihnya.
Loh Loh-san yang selama ini mabuk berat pun
tiba-tiba jadi sadar kembali, dengan sorot mata
penuh harapan dia mengawasi nona itu.
Melihat Pek Ih-ling tidak bersuara, sekali lagi
Gwe-popo bertanya, "Ayo, cepat katakan Siauling-
ji!"
Kepala Pek Ih-ling tertunduk semakin rendah,
pipinya semakin merah, sampai lama sekali baru
dia mengiakan dengan suara yang jauh lebih
lembut daripada suara nyamuk.
Tapi begitu dia bersuara, kontan jantung Loh
Loh-san nyaris melompat keluar, sekujur
badannya jadi lemas tak bertenaga, hampir saja
tubuhnya roboh ke kolong ranjang.
"Siapa sebenarnya?" teriak Gwe-popo, "yang
berkepentingan tidak gelisah, malah penonton
yang panik. Tentunya kau harus mengatakan
bukan?"
Be Khong-cun yang selama ini hanya
menonton sambil tersenyum tiba-tiba ikut
buka suara, "Kenapa anak Ling ragu-ragu
menjawab, mungkin aku mengetahui sedikit
alasannya."
"Apa alasannya?" tanya Gwe-popo.

"Dia kuatir calon yang dipenujui menampik
permintaannya." "Siapa yang bakal menampik?"
"Andaikata ada yang menampik?"
"Kalau ada yang berani menampik, akan
kubunuh orang itu," seru Tui hong siu sambil
menarik kembali senyumannya, kemudian sambil
menatap wajah semua orang satu per satu,
lanjutnya, "Aku rasa kalian semua sudah
mendengar perkataanku dengan jelas bukan?"
Dengan kondisi yang begitu menarik, dengan
tulang punggung yang begitu kuat, apalagi si
nona pun cantik jelita, siapa yang bakal
menampik tawaran itu?
Yap Kay tahu ada seseorang pasti akan
menampik, sebab dia sudah melihat orang itu
telah bangkit.
Dengan wajah dingin Pho Ang-soat bangkit
berdiri, kemudian tanpa mengucapkan sepatah
kata pun beranjak pergi dari situ.
"Mau apa kau?" bentak Gwe-popo dengan
wajah berubah.
Walaupun Pho Ang-soat menghentikan langkah
kakinya, namun dia sama sekali tidak berpaling,
hanya sahutnya ketus, "Hari sudah malam."
Habis berkata, kembali ia melangkahkan
kakinya yang bebal dan lamban berjalan menuju
ke pintu.
Baru saja sorot mata Gwe-popo mencorong
tajam, tiba-tiba tubuh Tui hong siu telah tiba di

depan pintu dan menghadang jalan pergi Pho
Ang-soat.
Malam memang sudah kelam, saat itu pun
sudah waktunya untuk tidur, tapi berarti pula dia
telah menolak lamaran itu.
Sekalipun Pho Ang-soat tak menjelaskan
maksud ucapannya, tapi setiap orang memahami
arti ucapan itu, terlebih Tui hong siu.
Setelah menghadang di depan pintu, dengan
sorot matanya yang berkilat, meski tak setajam
sorot mata Gwe-popo, namun telah dipenuhi
hawa napsu membunuh, dia mengawasi lawan
tanpa berkedip.
Karena pintu terhadang, terpaksa Pho Ang-soat
menghentikan langkah, sinar matanya yang selalu
tampak sayu dan kesepian, balas menatap wajah
Tui hong siu.
Suasana dalam gedung pun seketika menjadi
hening, kalau semula semua orang merasakan
kegembiraan maka dalam waktu singkat hawa
napsu membunuh seakan sudah menyelimuti
seluruh ruangan.
Berada dalam keadaan seperti ini, mestinya Be
Khong-cun sebagai tuan rumah harus segera
turun tangan melerai, tapi Yap Kay lihat orang itu
masih tetap duduk sambil tertawa, sama sekali
tak ada niat untuk menghalangi.
Pho Ang-soat masih berdiri tak bergerak, tapi
otot hijau di tangan kirinya sudah merongkol, dari

balik matanya yang dingin, hambar dan kesepian
kembali terlintas perasaan pilu yang mendalam.
Dengan sorot mata penuh Yiapsu membunuh
Tui hong siu segera menegur, "Jadi kau ingin
tidur?"
"Benar!" jawaban Pho Ang-soat singkat.
"Ingin tidur berarti menampik permintaan?"
Kali ini Pho Ang-soat tidak menjawab.
Terkadang tidak menjawab berarti
mengakuinya.
Tui hong siu bukan orang bodoh, oleh sebab itu
bukan cuma sorot matanya saja ryang
mengandung hawa membunuh, bahkan seluruh
tubuhnya telah diselimuti hawa membunuh yang
tak berwujud.
Di tengah ketegangan yang mencekam seluruh
ruangan, tiba-tiba Yap Kay bertindak, dengan
senyum menghiasi wajahnya ia berjalan
menghampiri Tui hong siu serta Pho Ang-soat,
kemudian ujarnya, "Masalah perkawinan adalah
masalah besar, aku percaya Pek-siocia pun belum
tentu bisa mengambil keputusan. Kini malam
sudah makin larut, apa salahnya kalau kita
beristirahat dulu semalam, kemudian besok pagi
masalah ini baru diputuskan Pek-siocia sendiri?"
Tui hong siu berpaling mengawasi Yap Kay,
bukan wajahnya yang diperhatikan, tapi posisi
yang ditempati pemuda itu, setelah
memandangnya sejenak tiba-tiba ia tertawa

tergelak, "Bagus, bagus sekali, ternyata anak
muda ini banyak latahnya."
"Tidak berani."
Jangan dilihat Yap Kay hanya berdiri
sembarangan di tempat itu, justru posisi yang
ditempatinya sekarang amat strategis, bukan saja
dia telah menghalangi arah serangan Tui hong
siu, bahkan bisa mencegah Gwe-popo
melancarkan serangan bantuan pula.
Begitu melihat pemuda itu tampil, perasaan
kecewa melintas di wajah Gwe-popo, mendadak
dia menghela napas dan berdiri.
"Orang masih muda, kenapa jalan pikirannya
belum terbuka?" ujar nenek rembulan sambil
menghela napas, "tidak heran umur orang zaman
sekarang rata-rata pendek."
Biarpun dia hanya berdiri, namun bagi jago
yang pengalaman dapat dilihat dia telah
membuka kembali posisi yang semula dihambat
Yap Kay.
Begitu nenek itu bergerak, Yap Kay sama sekali
tak berkutik, tapi jari telunjuk, ibu jari serta jari
tengah tangan kirinya disentilkan sebanyak tiga
kali.
Hanya tiga gerakan, tapi cukup membuat Gwepopo
tercengang.
Jangan dilihat tiga gerakan sentilan itu amat
sederhana, padahal ancaman yang ditimbulkan

justru jauh lebih hebat daripada tusukan maut
seorang jago pedang.
Pertarungan tanpa wujud semacam ini tentu
saja bukan setiap orang dapat merasakan, hanya
jago-jago seperti Tui hong siu dan Gwe-popo saja
yang sadar, betapa dahsyat dan menakutkan
serangan itu.
Tiba-tiba saja keempat orang itu seperti orang
yang tertotok jalan darahnya, sama sekali tak
berkutik.
Bukan hanya orangnya, bahkan sang angin
pun seolah turut tak bergerak, suasana tegang
dan serius segera mencekam seluruh ruangan,
kecuali keempat orang itu, meski orang
lain tak ikut dalam pertarungan, namun
mereka ikut merasa keletihan yang luar
biasa, seakan mereka pun baru saja ikut
bertempur ratusan gebrakan, peluh dingin nyaris
membasahi seluruh pakaian mereka.
Entah berapa lama sudah situasi bertahan
semacam ini, saat itulah mendadak terdengar Pek
Ih-ling menghela napas sambil bangkit.
"Hong-kongkong, Gwe-popo, kalau kalian
begitu terus, aku... aku akan....
"Kau mau apa?" tanya Gwe-popo.
"Aku mau mati saja"
"Jangan mati," teriak Tui-hong-siu dengan
gelisah, "kalau kau mati, bagaimana
pertanggung jawaban kami terhadapnya?"

Yang dimaksudkan sebagai dia tentu saja Ongsupek
yang pernah disebut Pek Ih-ling.
"Lantas buat apa kalian memaksa orang terus
menerus, seakan aku... aku sudah tak laku kawin
saja," seru Pek Ih-ling manja.
"Lalu apa yang harus kami lakukan?"
"Sekarang malam sudah larut, lagi pula kalian
berdua baru datang dari tempat jauh, apa
salahnya kita beristirahat dulu, sementara urusan
lain dibicarakan lagi besok?"
Be Khong-cun yang selama ini membungkam
tiba-tiba ikut buka suara, katanya, "Benar, silakan
Locianpwe berdua beristirahat dulu, kalau ada
persoalan lebih baik besok saja kita bicarakan
lagi!"
Sinar rembulan malam ini nampak cerah dan
terang, secerah sinar rembulan di wilayah
Kanglam.
Kanglam berada jauh di sana, begitu pula
dengan bulan purnama, bedanya kau bisa melihat
rembulan asal mau mendongakkan kepala, tapi
bagaimana dengan wilayah Kanglam?
Oh Sam tumbuh dewasa di wilayah Kanglam,
tapi sudah belasan tahun ia tinggal di daerah
pinggiran kota.
Selama belasan tahun belum pernah ia balik ke
wilayah Kanglam walau satu kali pun, setiap kali
sedang mabuk berat, setiap kali dia bermimpi di

tengah malam buta, ia selalu teringat dan
terkenang kampung halamannya.
Sampai kapan baru ia bisa kembali ke kampung
halaman? Sampai kapan baru bisa bertemu ayah
dan ibu? Mengapa seorang pengembara selalu
begitu jauh meninggalkan kampung halamannya?
Malam ini Sam-lopan dari Ban be tong telah
menghadiahkan lima puluh guci arak untuk
bawahannya. Oh Sam dan beberapa orang rekan
akrabnya mengusulkan untuk 'bermain' di rumah
makan Siang ki-lau di kota kecil seusai
menenggak habis isi guci.
Oleh sebab itulah mereka berlima muncul di
tengah perjalanan. Biarpun masih musim panas,
namun hembusan angin di tengah malam terasa
jauh lebih dingin daripada udara di musim salju.
Tapi Oh Sam berlima sedikit pun tidak merasa
kedinginan, mereka membiarkan baju bagian
dada terbuka lebar, mungkin karena pengaruh
arak? Atau karena hangatnya suasana di Siang kilau?
Di bawah cahaya rembulan yang terang, dari
balik kegelapan di ujung jalan, tiba-tiba mereka
melihat ada seseorang berdiri menunggu.
Orang itu mengenakan pakaian ringkas
berwarna hitam, tapi air mukanya justru putih
pucat bagaikan mayat.
Apakah dia pun anggota Ban be tong? Oh Sam
memperhatikan orang itu, dia ingin tahu siapa

gerangan orang itu agar besok punya bahan
cerita untuk mengolok-oloknya.
Oh Sam berlima melanjutkan kembali
langkahnya, tapi belum jauh bertindak, tiba-tiba
mereka lihat orang itu tidak sama sekali tak
bergerak, orang itu masih tetap berdiri di tengah
jalan bagaikan patung.
Sesungguhnya selisih jarak antara kedua belah
pihak tidaklah terlalu jauh, karena itu dalam
waktu singkat Oh Sam sekalian telah tiba di
hadapan orang itu.
"He, siapa kau? Mengapa seorang diri berdiri di
sini?"
Kata berikut sudah tak sanggup dilanjutkan lagi
oleh Oh Sam karena saat ini dia sudah dapat
melihat dengan jelas siapa gerangan orang yang
berdiri di hadapannya.
Orang itu mengenakan pakaian ketat berwarna
hitam, wajahnya putih pucat bagai mayat,
ternyata dia bukan lain adalah Hwi thian ci cu
yang semalam telah digigit sampai mati oleh
setan pengisap darah.
Bukankah dia sudah mati terbunuh? Bukankah
mayatnya sudah dikubur? Bahkan Oh Sam sendiri
yang melakukannya, kenapa sekarang bisa
muncul di sini? Jangan-jangan ....
Mendadak hati Oh Sam bergidik, bulu kuduknya
berdiri, dia jadi teringat sebuah dongeng.

Konon orang yang mati digigit setan pengisap
darah, pada malam keesokannya akan berubah
juga menjadi setan pengisap darah.
Membayangkan dongeng itu, tak kuasa lagi
bulu kuduk Oh Sam berlima berdiri, perasaan
ngeri, takut segera terpancar keluar dari mata
mereka, ditatapnya wajah Hwi thian ci cu tanpa
berkedip.
Pada saat itulah mereka lihat Hwi thian ci cu
mulai mementang mulut, darah segar meleleh
keluar dari sisi bibirnya, sementara dua buah gigi
taringnya yang lebih panjang dari jari tangan
membiaskan cahaya berkilauan di bawah timpaan
sinar rembulan.
Mengikuti melelehnya darah segar, dari balik
tenggorokan Hwi -thian ci cu berkumandang
suara tertawanya yang menakutkan.
Orang pertama yang teringat untuk kabur tentu
saja adalah Oh Sam, beruntung sepasang kakinya
masih mau mengikuti perintah, dia kabur dengan
begitu cepatnya.
Di saat dia sedang berlarian itulah lamat-lamat
terdengar empat kali jeritan ngeri yang
memilukan, tampaknya keempat orang rekannya
yang tertinggal telah menjadi korban santapan
setan pengisap darah itu.
Oh Sam tak berani berpaling, dia kuatir setan
pengisap darah itu tahu-tahu muncul di belakang
tubuhnya.

Saat itulah mendadak ia mendengar suara aneh
berkumandang dari atas kepalanya, suara itu
mirip suara burung besar yang sedang
mengebaskan sayapnya yang lebar.
Tak tahan lagi dia segera mendongakkan
kepala, ternyata bukan seekor burung yang
berada di atas kepalanya, melainkan Hwi thian ci
cu sedang mementang sepasang tangannya,
tangan itu mirip bentangan sayap kelelawar
raksasa yang sedang menerkam ke arahnya.
Kontan Oh Sam merasakan kakinya lemas,
"Bruk!", ia jatuh terduduk di tanah.
Dengan cepat Hwi thian ci cu melayang turun,
persis turun di hadapannya.
Oh Sam masih sempat menyaksikan mimik
muka Hwi thian ci cu yang menyeramkan, dia pun
menyaksikan sepasang gigi taringnya yang tajam
kian lama kian bertambah dekat dengan
tengkuknya, menyusul kemudian ia merasa
kesakitan yang luar biasa timbul dari leher
sebelah kiri.
Menyusul rasa sakit itu, dia pun
merasa cairan darah dalam tubuhnya
mengalir cepat dan menyembur keluar melalui
mulut luka di leher sebelah kirinya,
lambat-laun dia merasa kakinya lemas,
kemudian menyusul badannya, tangannya...
tubuhnya seolah sebuah kantung kulit yang
mulai mengempis.

Tak lama kemudian seluruh tubuh Oh Sam
terkapar lemas di tanah, kulit badannya mulai
berkerut kencang, mukanya yang makin memucat
akhirnya berubah jadi hitam keabu-abuan,
seluruh cairan darah di tubuhnya telah terisap
habis.
Hwi thian ci cu melepas mayat Oh Sam yang
layu, kemudian mendongakkan kepala sambil
berpekik nyaring, ceceran darah masih meleleh
keluar dari ujung bibirnya.
Kemudian bagaikan seekor kelelawar raksasa,
dia melayang ke udara dan meluncur ke balik
kegelapan malam.
BAGIAN II. SUARA GOLOK
Bab 1. MELOLOH GADIS CILIK
"Mana goloknya?"
"Goloknya tak nampak."
"Kenapa?"
"Sebab setelah mendengar suara golok, golok
itu pun tak terlihat."
"Suara golok?"
"Betul, begitu mendengar suara golok, sang
korban pun segera tewas."

"Oleh sebab itu hanya terdengar suara golok,
tapi tidak terlihat goloknya?"
"Benar."
Sekembali ke kamarnya semalam dan
berbaring di atas ranjang, Yap Kay baru merasa
punggungnya telah basah kuyup oleh keringat
dingin.
Membayangkan kembali situasi tegang yang
dialaminya dalam gedung tadi, andaikata Pek Ihling
tidak melerai secara tiba-tiba, Yap Kay tak
bisa membayangkan bagaimana hasil pertarungan
itu?
Semenjak lima puluh tahun berselang Tui hong
siu maupun Gwe-popo sudah terhitung jagoan
nomor wahid di kolong langit, biarpun usianya
sekarang bertambah tua, namun kehebatan ilmu
silat bukan bisa dibatasi dengan meningkatnya
umur seseorang.
Lagipula pada jidat Tui hong siu maupun Gwepopo
secara lamat-lamat terlihat cahaya merah,
gejala semacam itu baru akan muncul jika tenaga
dalam telah dilatih hingga mencapai puncak
kesempurnaan.
Dari situasi tadi, posisinya ketika berada dalam
gedung itu jauh lebih unggul dari siapa pun, tapi
Yap Kay menyadari, kecuali dia bisa melancarkan
serangan lebih dulu, begitu turun tangan
menggunakan pisau terbang ajaran Siau-li si
pisau terbang, ....kalau tidak, lima puluh

gebrakan kemudian ia pasti akan menderita
kekalahan.
Dari sikap Be Khong-cun semalam, tampaknya
dia pun tidak kenal Tui hong siu maupun Gwepopo,
dia pun tidak mengetahui hubungan akrab
Pek Ih-ling dengan mereka berdua.
Dari pembicaraan Tui-hong-siu, dia pun
mendapat tahu bahwa selama beberapa tahun
terakhir Pek Ih-ling hidup bersama mereka, dia
pun tinggal dengan seorang yang disebut Ongsupek.
Dari sini dapat diketahui bahwa Pek Ih-ling
bukanlah Be Hong-ling. Yap Kay yakin, mustahil
gadis itu adalah putri tunggal Pek Thian-ih.
Jangankan Tui hong siu serta Gwe-popo,
mungkin orang yang disebut Ong-supek pun tidak
mengetahui asal-usul gadis itu.
Lalu siapakah dia? Bila bisa diketahui asalusulnya,
bisa jadi dia pun dapat mengungkap
rahasia di balik sepak terjang Ban be tong kali ini.
Tapi, tidak gampang untuk menguak tabir
rahasia semacam ini, bila rahasia Pek Ih-ling
merupakan kunci semua rahasia itu, maka orang
yang melindungi gerak-gerik gadis itu pasti akan
bekerja lebih ketat.
Bisa jadi dia harus membayar dengan harga
yang tak ternilai agar bisa mengungkap semua
rahasia itu.
Matahari telah terbit di ufuk timur.

Sang surya ibarat gadis perawan yang baru
mendusin dari tidur, membuka sepasang matanya
dengan sayup dan mengawasi kekasih yang
berada di sisi pembaringan dengan pandangan
lembut.
Langit di sebelah barat masih remang-remang
gelap, masih tertutup warna kelabu, secercah
cahaya fajar mulai memancar keluar, menyinari
kamar tidur Yap Kay.
Semalaman ia tak bisa memejamkan mata,
otaknya dipenuhi peristiwa yang terjadi semalam,
walau sudah semalam begadang, namun tak
terasa mengantuk sedikit pun, sebaliknya ia
justru kelihatan gembira dan bersemangat.
Begitu melompat bangun dari ranjang, dia
melakukan enam-tujuh puluh gerakan aneh,
bagaikan tak punya tulang saja dia melakukan
berbagai tekukan yang aneh dan tak masuk akal.
Setelah berbaring semalaman tanpa selimut,
keempat anggota badannya sudah hampir
membeku kaku saking kedinginan.
Selasai berolah raga, dengan penuh semangat
dia membuka pintu kamar, menyongsong
datangnya sinar matahari pagi.
Angin fajar berhembus lembut menggoyang
dedaunan, embun pagi meleleh ke bawah
membasahi permukaan tanah.
Yap Kay berjalan menyusuri pepohonan,
menyongsong datangnya sinar pagi, tanpa terasa
ia berjalan menuju ke arah rimba lebat.

Yap Kay berjalan dan berjalan terus, dengan
langkah perlahan tapi pasti menembus hutan,
menuju ke bagian dalam rimbunnya pepohonan.
Tak lama kemudian dari kejauhan ia sudah
melihat sebuah gundukan tanah perbukitan,
gundukan tanah yang tidak terlalu besar.
Begitu sederhana bentuk gundukan tanah itu,
mungkinkah tempat inilah yang dikisahkan Pho
Ang-soat dengan segala kejadian aneh dan
misterius itu?
Dengan perasaan sangsi Yap Kay mulai berjalan
mengitari gundukan tanah itu, memeriksa dan
mengamati dengan seksama sekeliling tempat itu,
namun tak ada yang ditemukan, bahkan sesuatu
yang aneh pun tidak dijumpai di situ.
Ia mencoba meraba permukaan tanah,
mengambil segenggam tanah, meski terasa
agak lembab namun tanah di situ tak beda
jauh dengan tanah di tempat lain, bahkan
sewaktu diendus pun tidak dijumpai bau lain.
Yap Kay mulai menepekur, berpikir tiada
hentinya, perasaan sangsi mulai muncul pada
wajahnya.
"Jangan-jangan aku salah tempat?"
Tidak mungkin, tidak mungkin salah, Yap Kay
coba membantah dugaan itu.
Sekali lagi dia amati gundukan tanah itu
dengan seksama, heran, mengapa tidak
ditemukan pemandangan seperti apa yang

dikisahkan Pho Ang-soat? Atau kedatangannya
tidak tepat waktu? Apakah dia pun harus
mendatangi tempat itu di saat fajar hampir
menyingsing? Atau mungkin gundukan tanah itu
bagaikan seorang gadis perawan, malu bertemu
orang di pagi hari dan hanya muncul di tengah
malam?
Teringat akan gadis pemalu, tanpa terasa Yap
Kay terbayang So Ming-ming, cewek berbaju
putih yang nampak kesepian itu.
Baru saja sekulum senyuman tersungging di
ujung bibirnya, Yap Kay segera mendengar suara
gadis itu.
"Tak kusangka kau pun tahu di tempat ini
terdapat gundukan kecil," tiba-tiba So Mingming
muncul dari balik pepohonan yang
lebat, "terlebih tak kusangka kau pun sangat
tertarik dengan gundukan tanah itu."
Baru teringat akan seseorang, ternyata orang
itu segera muncul di depan mata, kejadian seperti
ini benar-benar merupakan kejadian yang
menyenangkan.
"Lalu darimana kau tahu di tempat ini terdapat
gundukan tanah?" Yap Kay balik bertanya sambil
tertawa, "apakah kau pun tertarik juga dengan
gundukan tanah ini?"
"Tentu saja sangat tertarik, sejak kecil aku
sudah terpesona oleh cerita mengenai gundukan
tanah perbukitan ini."

"Cerita tentang gundukan tanah?" Yap Kay
langsung merasakan semangatnya bangkit
kembali, "maukah kau bercerita padaku, siapa
tahu aku pun bakal kesemsem?"
"Boleh saja aku bercerita, tapi dengan cara apa
kau hendak membalas budi ini?" suara tawa So
Ming-ming semakin mempesona.
"Bagaimana kalau aku traktir makan sampai
kenyang atau mengajakmu pesiar ke wilayah
Kanglam?"
"Ke Kanglam?"
Sebetulnya Kanglam hanya terdiri dari dua
huruf, namun begitu mendengar nama itu, dari
balik mata So Ming-ming memancarkan sinar
aneh.
Melihat keanehan di wajah nona itu,
kembali Yap Kay berkata, "Orang yang belum
pernah datang ke Kanglam pasti ingin sekali
pergi ke sana, tapi bila sudah berada di
Kanglam, kau pasti akan merindukan
pinggiran kota."
Tiba-tiba sinar mata Yap Kay pun
memancarkan sinar kelesuan dan kemurungan.
Apakah dia sedang rindu kampung
halamannya? Apakah dia sedang membayangkan
suasana Kanglam?
Kanglam memang berada dalam alam
impiannya, impian yang dipenuhi kemurungan
dan kesedihan seorang pengembara.

"Apakah kampung halamanmu adalah
Kanglam?" suara So Ming-ming terdengar begitu
sayu dan sendu, seolah hembusan angin yang
terkirim dari wilayah Kanglam.
"Ya, aku dibesarkan di Kanglam."
"Lalu dimana kampung halamanmu?"
Dimana? Tentu saja di pinggiran kota.
Pinggiran kota adalah kampung halaman Yap
Kay, pinggiran kota adalah tempat kelahirannya.
Di pinggiran kota itulah semua impiannya
berada, sayang hanya semua impian buruk.
Biarpun impian buruk telah berlalu, namun
pinggiran kota masih seperti sedia kala,
bagaimana dengan manusianya? Pek Thian-ih
suami istri, orang tua Yap Kay... mereka...
mereka telah ....
Tiba-tiba ia menggeleng kepala, seolah hendak
membuang jauh semua impian buruk itu, tak
lama kemudian sekulum senyuman kembali
menghiasi wajahnya.
"Sebagai seorang pengembara, empat samudra
adalah rumahku, kemana aku mengembara, di
situlah rumahku," kata Yap Kay sambil tertawa,
"kembali ke masalah pokok, coba kau ceritakan
gundukan tanah itu!"
"Menurut dongeng, zaman dahulu kala di
pinggiran jagad, di bagian terujung dari dunia ini
terdapat sebuah puncak gunung yang tingginya
mencapai langit," So Ming-ming mulai bercerita,

suaranya seolah datang dari puncak bukit itu,
"di atas puncak gunung itu bukan saja
terdapat salju abadi yang tak pernah mencair, di
sana pun hidup seekor makhluk aneh yang sangat
langka, bahkan terdapat pula siluman iblis yang
jauh lebih menakutkan daripada setan bengis."
"Kau maksudkan puncak Cu mu lang ma?"
tanya Yap Kay.
"Benar, siluman iblis yang tinggal di puncak
gunung itu konon adalah roh jahat yang berusia
ribuan tahun, bukan saja dia dapat menempel
pada benda apa pun, bahkan dapat pula berwujud
sebagai manusia."
Sorot matanya yang penuh kemurungan tibatiba
memancarkan cahaya yang sangat aneh,
seolah dia sedang mengawasi suatu tempat di
kejauhan sana yang penuh diselimuti
kemisteriusan dan keanehan.
Kelihatannya Yap Kay ikut terpengaruh oleh
mimik wajah gadis itu.
"Di saat roh jahat berusia seribu tahun itu
tampil dalam wujud manusia, dia pun mendatangi
wilayah gunung dan menguasai semua manusia
yang hidup di sana," kata So Ming-ming lebih
lanjut, "setelah diperbudak hampir seratus tahun
lamanya, muncullah seorang bintang penolong
yang membebaskan mereka dari perbudakan,
orang itu adalah utusan dari dewa."
"Utusan dari dewa?"

"Begitu tiba di tempat itu, utusan dewa pun
bertempur sengit melawan roh jahat berusia
seribu tahun itu selama tujuh kali tujuh empat
puluh sembilan hari, akhirnya dengan
mengandalkan bokor sakti, dia berhasil mengunci
roh jahat itu di dalam gundukan tanah perbukitan
ini."
"Oh, hanya dikurung? Bukan dibunuh?" Yap
Kay bertanya.
"Roh jahat berusia seribu tahun tak dapat
dibunuh, dia hanya terkunci di dalam bokor sakti.
Sebelum pergi meninggalkan tempat itu, utusan
dewa sempat berpesan wanti-wanti kepada
semua orang yang tinggal di situ, katanya
gundukan tanah ini tidak boleh digali, kalau tidak,
maka roh jahat itu bakal melarikan diri."
"Berarti hingga sekarang roh jahat berusia
seribu tahun itu masih terkurung di dalam
gundukan tanah perbukitan ini?" tanya Yap Kay
sambil mengamati gundukan tanah di
hadapannya, "sudah berapa lama roh jahat itu
terkurung di sini? Lebih dari seratus tahun?"
"Seratus tahun? Roh jahat itu sudah empat
ratus lima puluh enam tahun terkurung di sini."
"Empat ratus lima puluh enam tahun?" Yap Kay
tercengang bercampur kaget, "heran, kau bisa
mengingatnya begitu jelas?"
"Sudah kuhitung," tiba-tiba So Ming-ming
tertawa geli, "sewaktu masih kecil dulu, kakekku
pernah memberitahu, tahun pertama sewaktu roh

jahat itu tertangkap adalah tahun kemunculan
komet yang keenam."
"Kemunculan komet yang keenam?"
"Kemunculan pada tahun ini adalah
kemunculan yang ketujuh, bukankah bintang itu
muncul setiap tujuh puluh enam tahun satu kali?
Berarti sudah empat ratus lima puluh enam
tahun."
"Keenam kali? Komet?" Yap Kay termenung
sambil memeras otak, selang sesaat kemudian ia
bertanya lagi, "Kalau begitu tahukah kau sejak
tahun pertama kemunculan roh jahat itu hingga
tahun pertama ia dikurung oleh utusan dewa,
semuanya selisih berapa tahun? Apakah tahun
kemunculannya persis pada tahun pertama
kemunculan komet?"
"Entahlah, aku kurang jelas," So Ming-ming
menggeleng, "aku hanya tahu di saat kemunculan
roh jahat itu, di atas langit pernah muncul gejala
yang sangat aneh."
"Gejala aneh?"
Gejala aneh seperti apa? Apakah gejala adanya
bintang berekor yang menyapu jagad? Lamatlamat
Yap Kay masih ingat, zaman kuno orang
menyebut komet sebagai 'bintang sapu', ini
disebabkan bintang itu mempunyai ekor yang
sangat panjang menyerupai sebuah sapu, bahkan
setiap kali kemunculannya selalu membawa
ketidak beruntungan bagi umat manusia.

Ketidak beruntungan seperti apa yang bakal
dibawa bintang itu tahun ini? Apakah hidupnya
kembali orang-orang yang telah mati? Atau
seperti dongeng kuno, munculnya roh jahat yang
akan mengacau dunia?
Benarkah di dalam gundukan tanah perbukitan
itu terdapat roh jahat dari zaman kuno? Benarkah
roh jahat itu masih hidup?
Cahaya matahari yang terik menyelinap melalui
celah-celah ranting pepohonan, membuat
bayangan dedaunan terpampang persis di atas
gundukan tanah.
Berdiri berhadapan dengan gundukan tanah itu,
Yap Kay benar-benar tidak percaya akan
kebenaran dongeng itu.
Seandainya di dunia ini benar-benar terdapat
roh jahat berusia seribu tahun, lalu buat apa
orang persilatan melatih diri dengan berbagai ilmu
silat sakti dan hebat? Buat apa pula orang saling
gontok mencari nama dan kedudukan? Sehebat
apa pun kungfu yang kau miliki, betapa besarnya
kekuasaan yang kau miliki, mampukah melawan
cengkeraman iblis roh jahat berusia seribu tahun?
Menghadapi dongeng yang penuh misteri itu,
untuk sesaat Yap Kay tak tahu harus
mempercayainya atau tidak? Untuk sesaat dia
bimbang, ragu dan penuh tanda tanya.
Mendadak So Ming-ming menatapnya dengan
sorot mata yang sayu, "Kelihatannya kau
meragukan omonganku?"

"Bukan meragukan, tapi aku benar-benar sulit
mempercayainya," sahut Yap Kay tertawa getir,
"apa yang kau kisahkan sesungguhnya hanya
dongeng belaka, kalau belum pernah
menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
bagaimana mungkin aku bisa mempercayai
semua itu sebagai kejadian sebenarnya?"
Tiba-tiba So Ming-ming tersenyum misterius,
katanya, "Kau ingin membuktikan benar
tidaknya? Bukankah teka-teki itu berada dalam
gundukan tanah ini, asal kita gali, bukankah
semuanya akan jelas?"
"Menggalinya?"
So Ming-ming kembali mengangguk.
Sekali lagi Yap Kay mengalihkan pandangan
matanya ke atas gundukan itu, setelah lama
termenung baru ia berkata, "Rasanya itulah satusatunya
jalan untuk menyingkap tabir rahasia
ini."
Ditatapnya So Ming-ming sekejap, kemudian
lanjutnya, "Apakah kau tidak kuatir jika di
dalamnya benar-benar bersembunyi roh jahat
berusia seribu tahun?"
"Aku tak mau berpikir begitu banyak" kata Yap
Kay penuh semangat, "sejak kecil aku selalu
berharap datangnya hari seperti ini. "
"Tapi bagaimana menggalinya? Pakai tangan?"
Bisa saja menggali dengan tangan, tapi yang
jelas bakal membuang banyak waktu, beruntung

So Ming-ming telah menyiapkan alat untuk
menggali, dari balik rimbunnya pepohonan dia
mengeluarkan dua buah cangkul.
Melihat dia telah menyiapkan dua buah
cangkul, tanpa terasa Yap Kay tertawa getir,
serunya, "Ternyata kau sudah siap sejak awal,
juga yakin aku bakal membantumu menggali."
So Ming-ming tidak menjawab, dia hanya
tertawa ringan sembari menyerahkan sebuah
cangkul kepada Yap Kay, maka mereka berdua
pun mulai menggali tanah.
Di antara bayangan pepohonan yang
bergoyang, cangkul kedua orang itu naik turun
tiada hentinya, keringat sudah membasahi tubuh
mereka, menetes pula di atas permukaan tanah
yang lembab.
Makin menggali, paras So Ming-ming makin
memperlihatkan kegembiraan yang meluap. Sinar
kegembiraan yang berbaur dengan gejolak emosi
yang aneh, membuat gadis itu nampak semakin
menarik.
Dia menggali jauh lebih semangat ketimbang
Yap Kay, tampaknya dongeng kuno sudah begitu
mengakar dalam hatinya hingga mulai tumbuh
benih baru, keinginannya untuk menguak tabir
rahasia roh jahat berusia seribu tahun terasa jauh
lebih bernapsu ketimbang Yap Kay.
Tentu saja Yap Kay pun ingin sekali mengetahui
rahasia gundukan tanah itu, namun tujuannya
sangat berbeda dengan gadis itu, jika benar

seperti apa yang dikatakan Pho Ang-soat, dari
balik gundukan tanah itu dapat memancarkan
kumpulan cahaya yang bisa berubah bentuk jadi
orang, maka dalam gundukan tanah itu sudah
pasti terdapat penjelasan yang masuk akal atau
telah dilengkapi dengan suatu peralatan yang
masuk akal.
Hal itulah yang sangat ingin diketahui Yap Kay,
sebab setiap peristiwa yang dijumpainya
belakangan ini nyaris tak satu pun dapat
dijelaskan dengan akal sehat, benarkah dari balik
gundukan tanah yang bersahaja, gundukan tanah
yang bisa dijumpai dimana pun, benar-benar
tersembunyi roh jahat berumur seribu tahun?
Benarkah dari situ dapat pula memancarkan
cahaya yang bisa berubah bentuk menjadi
manusia?
Saat itu tengah hari sudah menjelang, sinar
matahari sedang memancar dengan teriknya,
angin gunung pun terasa berhembus sangat
kencang, sedemikian kencang dan tajam bagaikan
pisau yang menyayat kulit.
Tak selang lama kemudian, gundukan tanah itu
sudah digali hingga rata dengan permukaan tanah
dan muncullan lantai yang terbuat dari batu hijau.
Batu lantai itu sama sekali tidak berwarna putih,
melainkan berwarna hijau lumut, seakan-akan di
masa silam di tempat itu pernah berceceran darah
segar.
"Wah, kelihatannya roh jahat berumur seribu
tahun itu sudah tertindih hingga berubah jadi

sepotong batu hijau," olok Yap Kay sambil
tertawa.
"Bukan berubah jadi potongan batu, tapi
tertindih di bawah batu hijau itu," sahut So Mingming
sambil tertawa pula.
Ketika memegang batu hijau itu, tak kuasa Yap
Kay dan So Ming-ming saling berpandangan
sekejap.
Seandainya di bawah tanah benar-benar
terkurung roh jahat berusia seribu tahun, maka
batu hijau itulah tombol pembuka ruang rahasia.
Tak heran mereka berdua nampak sedikit ragu
kendati rasa ingin tahu yang kuat menguasai
perasaan mereka.
Menyaksikan begitu bergairahnya So Mingming,
akhirnya Yap Kay berbisik, "Mari kita
singkirkan batu itu!"
Sambil memperkuat kuda-kuda, kedua orang
itu menghimpun tenaga dalam dan segera
mengangkat batu hijau itu, ternyata batu hijau
yang mereka sangka ringan, kenyataan beratnya
bukan kepalang.
Paras muka So Ming-ming yang sudah
memerah kini berubah semakin merah padam.
Terpaksa Yap Kay harus menambah kekuatan
tenaga dalamnya untuk membantu.
Akhirnya diiringi suara bentakan keras, batu
hijau itu terangkat dan bergeser ke samping.

Tak ada asap putih, tak ada kumpulan cahaya,
bahkan tak ada suara aneh, hanya bau busuk
yang luar biasa berhembus keluar dari balik liang
itu.
"Wah, bau sekali!" teriak So Ming-ming sambil
menutup hidung dan mundur dua langkah.
Yap Kay sendiri mesti tidak ikut menutup
hidung, tak urung ia berkerut kening juga.
Sesudah mengusir hawa busuk dari hadapannya,
cepat dia melongok ke dalam gua, tapi begitu
melihat, alisnya berkerut kencang.
So Ming-ming segera maju mendekat dan ikut
melongok ke dalam gua, tapi segera teriaknya,
"Aneh, tak ada apa-apanya!"
Ternyata setelah batu hijau itu disingkirkan,
gua di bawahnya tidak dijumpai apa pun kecuali
sebuah gua setinggi tubuh manusia, jangankan
roh jahat berusia seribu tahun, gerombolan semut
pun tak nampak seekor pun.
"Bagaimana mungkin bisa begini?" teriak So
Ming-ming sambil membelalakkan mata, cahaya
gairah yang semula menghiasi wajahnya seketika
hilang tak berbekas.
"Jangan-jangan roh jahat itu tak kuasa
menahan sabar hingga diam-diam sudah
melarikan diri?" goda Yap Kay sambil tertawa.
"Ai, sudah mengorbankan begitu banyak
tenaga, ternyata tidak ada hasil yang bisa
diperoleh," keluh So Ming-ming dengan kesal, ia
merasa kecewa sekali.

"Biarpun tak ada sesuatu yang bisa dilihat,
paling tidak kita bisa makan."
"Bisa makan? Makan apa?" tanya So Ming-ming
melengak. "Tentu saja makan nasi!"
Sebelum hidangan yang dipesan diantar ke
meja, So Ming-ming memperhatikan sekejap
ruangan rumah makan itu, kemudian bertanya
kepada Yap Kay, "Kenapa kau tidak mengajakku
bersantap di rumah makan milik Cihuku? Siangki-
lau tersedia aneka hidangan, kenapa kau
bukannya bersantap di sana?"
"Ah, pertama, mau apa saja di situ, kita harus
turun tangan sendiri, kelewat merepotkan," sahut
Yap Kay, "kedua, bila Siau-siansing melihat kau
datang bersamaku, kujamin dia pasti akan
menuduhku sebagai si hidung bangor, terus yang
ketiga...."
"Masih ada yang ketiga?"
"Betul, di sini jauh dari orang-orang yang kenal
denganmu," kata Yap Kay tertawa, "jadi aku
bisa melolohmu hingga mabuk."
"Melolohku sampai mabuk?" perasaan
tercengang bercampur kaget melintas di wajah So
Ming-ming, jangankan orang dewasa, anak kecil
usia tiga tahun pun pasti tahu bahwa saat itu dia
sedang berlagak, "kenapa kau ingin melolohku
hingga mabuk?"
"Bila seorang lelaki ingin meloloh seorang
wanita hingga mabuk, biasanya terdapat beratus
macam dalih, tapi aku berani menjamin, dari

berapa ratus dalih yang ada, tak satu pun yang
bisa menangkan dalih yang akan kukemukakan."
"Dalih apa itu?"
"Sampai waktunya kau pasti akan tahu dengan
sendirinya," suara tawa Yap Kay kelihatan begitu
misterius.
Sebetulnya So Ming-ming ingin bertanya lagi,
kebetulan pelayan datang mengantar arak dan
hidangan, terpaksa ia menghentikan katakatanya.
Menanti pelayan berlalu, baru dia berkata,
"Kalau tidak kau katakan, aku tidak mau minum"
"Hanya ada satu cara bila kau ingin
mengetahuinya." "Cara apa itu?"
"Minum saja dulu," sahut Yap Kay tertawa,
"hanya dengan minum arak lebih dulu baru kau
akan tahu apa dalih yang akan kukemukakan."
Arak masih ada dalam guci, cawan masih ada di
tangan, namun orangnya sudah tergeletak di atas
meja.
Sudah hampir satu jam lamanya mereka
menenggak susu macan, namun belum ada
pertanda mabuk di wajah masing-masing,
khususnya So Ming-ming, gadis itu malah terlihat
makin meneguk sinar kesepian terpancar makin
tebal.
Begitu dia mulai meneguk cawan yang
pertama, Yap Kay segera mengetahui bahwa
bukan pekerjaan gampang untuk meloloh gadis

itu hingga mabuk, bahkan asal dia sendiri bisa
bertahan tidak mabuk pun sudah hebat.
Setiap meneguk secawan arak, sayur
sesuap segera mengikuti, itulah cara So
Ming-ming meneguk air kata-kata, belum
sampai satu jam paling tidak ia sudah
menghabiskan tiga puluhan cawan arak.
Tiga puluh cawan arak dengan tiga puluh suap
masakan, Yap Kay benar-benar sangsi bagaimana
mungkin sayur dan arak itu bisa muat dalam
perut So Ming-ming, padahal tubuhnya kurus
ceking, tak nyana mempunyai takaran minum dan
makan yang luar biasa besarnya.
Bagi Yap Kay, minum arak mungkin bukan
masalah baginya, tapi kalau disuruh bersantap,
dia hanya bisa memegang perut sendiri sambil
menggeleng kepala dan menghela napas berulang
kali.
"Kenapa kau menghela napas?" tanya So Mingming.
"Aku betul-betul seorang lelaki bodoh," ujar
Yap Kay, "ternyata aku meloloh seorang
perempuan yang tumbuh dewasa sembari tidur."
Kemudian setelah menghela napas lagi,
tambahnya, "Bukankah sama artinya aku sedang
mencari penyakit buat diri sendiri?"
Kontan saja So Ming-ming tertawa cekikikan
sehabis mendengar kata-katanya itu, tegurnya,
"Baru minum satu jam, masa kau sudah tak
sanggup meneguk lebih banyak?"

"Kalau suruh aku makan hidangan, lebih baik
aku menyerah saja," sahut Yap Kay tertawa, "tapi
soal arak? Jangankan baru satu jam, tiga jam lagi
pun bukan masalah."
Dia mendongakkan kepala memandang gadis
itu, kemudian tambahnya, "Bagaimana dengan
kau sendiri?"
So Ming-ming tidak segera menjawab, dia
tertawa lebih dulu lalu meneguk habis secawan
arak, setelah memenuhi kembali cawannya yang
kosong baru dia berkata, "Tahukah kau, sejak
usia berapa aku mulai minum arak?"
"Lima belas tahun."
"Keliru, tiga belas tahun. Ketika usiaku baru
mencapai tiga belas tahun, sudah banyak orang
ingin melolohku sampai mabuk."
"Bagaimana akhirnya? Berapa kali kau berhasil
diloloh hingga mabuk?"
Asal kau seorang lelaki, kau pasti ingin
mengetahui jawaban dari pertanyaan ini.
"Kalau dibilang aku tak pernah mabuk garagara
diloloh, jelas jawaban itu bohong, menipu
orang," kata So Ming-ming sambil tertawa,
"hanya satu kali."
"Satu kali," Yap Kay menggeleng sambil
menghela napas, "satu kali pun sudah luar biasa."
Tentu saja So Ming-ming mengetahui apa yang
dimaksud Yap Kay, setelah tertawa katanya lagi,

"Kali itu adalah saat Ciciku menikah, aku diloloh
Ciciku hingga mabuk."
"Cicimu yang meloloh?"
"Betul."
"Kalau takaran minummu saja sudah cukup
membuat orang mati lantaran kaget, berarti
kehebatan Cicimu cukup membuat setan pun
ketakutan?"
"Sesungguhnya Ciciku memang sudah tersohor
sebagai jagoan arak dari Lhasa."
"Lhasa? Kau maksudkan kota suci orang Tibet?"
"Memangnya masih ada kota Lhasa lainnya?"
"Jadi kau dan Cicimu dilahirkan di kota Lhasa?"
"Selain dilahirkan, kami pun dibesarkan di
sana," So Ming-ming menerangkan, "kami dua
bersaudara dijamin memang ayam kampung dari
Lhasa."
"Ayam kampung?" sekali lagi Yap Kay dibuat
melengak.
"Itu perumpamaan," kembali So Ming-ming
menerangkan sambil tertawa, "orang-orang yang
lahir dan dibesarkan di kota Lhasa biasanya
dipanggil ayam kampung."
Langit bersambungan dengan bumi, sejauh
mata memandang hanya pasir kuning yang
beterbangan di angkasa.
Jarang ada makanan dan hidangan yang
disajikan di pinggiran kota lolos dari sergapan

pasir, setiap suap hidangan yang kau makan
sama artinya dengan kau melahap sesuap pasir.
Memang itulah salah satu ciri khas kehidupan di
pinggiran.
Masih untung daun jendela yang ada di rumah
makan bakmi dimana Yap Kay sedang bersantap
saat ini dilapisi dengan kertas tebal, oleh sebab
itu sedikit sekali pasir kuning yang tercampur
dalam hidangan mereka.
Jendela dengan kertas tebal selain bisa
digunakan untuk menahan hembusan pasir, dapat
juga mengurangi teriknya panas matahari, hanya
saja udara jadi terasa lebih lembab.
Kalau tiada hembusan angin, tentu hawa
panas tak bisa terusir.
Banyak sekali kejadian seperti itu berlangsung
di dunia ini, ada sisi untung pasti ada sisi rugi,
oleh karena itulah sebagai manusia janganlah
kelewat pelit dan hitungan.
Yap Kay berulang kali menyeka peluh yang
membasahi jidatnya, lalu dengan kipas berusaha
mendinginkan badannya yang terasa gerah.
Entah karena sebagai 'ayam kampung' sudah
terbiasa dengan udara di situ atau karena sebab
lain, So Ming-ming bukan saja tidak berkeringat,
malah wajahnya tak nampak merah, napas pun
tak terlihat terengah-engah.
"Tampaknya kau memang benar-benar ayam
kampung dari wilayah Kanglam," olok So Mingming
sambil tertawa, "padahal saat ini musim

panas baru tiba, baru begini sudah kepayahan,
apalagi kalau musim panas sudah datang, apa
jadinya kau?"
"Apa lagi? Tentu saja mencari tempat untuk
berteduh," sahut Yap Kay sambil tertawa, "atau
paling sebagian besar waktuku kugunakan untuk
berendam dalam air."
Baru saja So Ming-ming ingin tertawa,
mendadak terdengar suara seorang bocah
perempuan berkumandang dari luar pintu.
"Jangan kuatir, sampai waktunya siapa tahu
orang itu sudah tidak berada di tempat jorok
seperti ini."
Begitu suara itu bergema, tahu-tahu So Mingming
sudah melihat seorang nenek kerdil sudah
berdiri tepat di hadapannya.
Tentu saja Yap Kay tahu siapa gerangan orang
ini, tapi dia betul tak habis mengerti mengapa
Gwe-popo bisa muncul pula di sana?
So Ming-ming tidak kenal nenek kecil mungil
itu, selama hidup belum pernah ia bersua dengan
seorang nenek yang sedemikian aneh, bahkan
diapun tidak mengira bakal bertemu dengan
seorang macam begini.
Nenek kecil mungil itu bukan cuma kelihatan
sangat tua bahkan luar biasa mini, ada beberapa
bagian tubuhnya kelihatan jauh lebih tua dari
siapa pun, ada pula beberapa bagian tubuhnya
yang nampak jauh lebih kecil dan mini ketimbang
siapa pun.

Nenek itu benar-benar sangat tua dan mini,
tapi kulit wajahnya justru lebih halus dan lembut
ketimbang wajah seorang bayi, selain putih juga
terasa begitu halus dan lembut, semu merah di
antara putih dan empuk bagaikan tahu, apalagi
suaranya, bukan saja merdu dan halus, bahkan
lebih manja dari suara gadis remaja.
So Ming-ming memandang nenek yang serba
luar biasa ini, hampir saja dia tertawa geli, sebab
si nenek sedang menggunakan matanya yang
lembut untuk memandang Yap Kay.
Padahal sejak berusia tiga-empat belas tahun
Yap Kay sudah terbiasa diawasi orang, khususnya
oleh kaum gadis. Sampai berumur tiga puluh satu
tahun, dia masih sering diawasi orang, diawasi
berbagai jenis perempuan. Jadi sebetulnya dia
sudah terbiasa ditatap orang.
Tapi sejak ditatap si nenek semalam, entah
mengapa tiba-tiba ia merasa rikuh sekali.
Apalagi sekarang, ia mulai merasa tak leluasa
dengan tatapan si nenek itu, pipinya terasa mulai
panas dan memerah.
"Apa yang kau pandang?" akhirnya tak tahan
Yap Kay bertanya.
"Aku sedang memandangmu," jawab si nenek.
Yap Kay sengaja menghela napas panjang,
katanya, "Aku sudah tua bangka, buat apa
melihatku?"

Gwe-popo tak mau kalah, dia pun sengaja
menghela napas sambil menyahut, "Aku pun
sudah nenek-nenek, kalau bukan memandang
kakek tua, siapa pula yang kupandang?"
Sebetulnya So Ming-ming tak ingin tertawa,
apa mau dikata ia justru tak kuasa menahan rasa
gelinya lagi, secara tiba-tiba ia merasa bahwa si
nenek betul-betul seorang yang menarik.
Bab 2. CINTA KADALUWARSA
"Baik-baikkah kau!" sapa So Ming-ming
kemudian.
"Aku sangat baik, begitu baik sampai tak
terkirakan."
"Siapa namamu? Mau apa datang kemari?"
"Aku bukan bermarga siapa, kemari pun tak
ada urusan apa-apa," sahut Gwe-popo, "aku
kemari lantaran satu urusan yang sama sekali tak
berarti."
"Urusan apa?"
"Coba saja kau tebak," sahut Gwe-popo lagi
sambil memutar biji matanya, "asal tebakanmu
betul, aku akan menyembahmu sebanyak tiga
ribu enam ratus kali."
"Buat apa kau menyembah begitu banyak?
Tentu kau akan lelah!" So Ming-ming
menggeleng, "aku bertanya justru lantaran aku
tak bisa menebak apa maksudmu datang kemari."

"Tentu saja kau tak mampu menebak, selama
hidup jangan harap kau bisa menebaknya."
"Kalau memang begitu, kenapa tidak segera
kau terangkan?"
"Biarpun sudah kukatakan pun belum tentu kau
percaya."
"Coba katakan."
"Baik, akan kukatakan," tiba-tiba Gwe-popo
berpaling ke arah Yap Kay, kemudian
melanjutkan, "aku datang kemari lantaran aku
ingin menelanjangi kau dan memandang setiap
jengkal badanmu dengan seksama."
Kontan So Ming-ming tergelak, mula-mula dia
terperangah tapi kemudian rasa geli mengalahkan
perasaan tercengangnya, selama hidup belum
pernah ia mendengar ocehan sekonyol itu,
bahkan mimpi pun tak mengira bakal mendengar
lelucon semacam ini.
Yap Kay betul-betul tak mampu tertawa.
Sebetulnya dia masih bisa tertawa, dalam
keadaan biasa dia bakal tertawa keras mendengar
ucapan semacam itu, sekarang ia terbungkam,
benar-benar tak mampu tertawa lagi, sebab dia
kelewat memahami tabiat Gwe-popo.
Dia sangat memahami tabiatnya yang bertindak
sesuka hati. Kalau Tui hong siu tersohor karena
keras kepala, maka Gwe-popo terkenal karena
tindak-tanduknya yang liar.

Teringat akan hal ini, Yap Kay tak sanggup
tertawa lagi, namun dia masih mencoba
memaksakan diri menampilkan sekulum
senyuman.
Masih mendingan jika dia tidak tertawa, begitu
tersenyum maka wajahnya kelihatan jelek hingga
menyerupai orang sedang menangis
"Jangan kau perlihatkan mimik muka seperti
itu," buru-buru Gwe-popo mencela dengan penuh
rasa sayang, "sikap semacam itu bisa membuat
wajahmu berkerut dan cepat tua."
"Ai... aku lebih suka kulit wajahku saat ini
berubah jadi tua dan jelek, seperti wajah kakek
berusia sembilan puluh tahun," gumam Yap Kay
sambil tertawa getir.
Tiba-tiba So Ming-ming menarik kembali
senyumannya, dengan sikap yang lebih serius
tanyanya kepada Gwe-popo, "Jadi kau benarbenar
akan menelanjangi dia dan menikmati
tubuh bugilnya? Sekarang juga? Di tempat ini?"
"Apa salahnya kulakukan sekarang?
Memangnya kurang cocok?"
"Jelas tidak boleh dan tidak cocok," teriak Yap
Kay gelisah.
"Kenapa?"
"Bukankah Siau-ling-ji belum menunjuk calon
suaminya, mana boleh kau telanjangi aku lebih
dulu?" protes Yap Kay, "lagi pula sudah dia

katakan kau tak boleh melakukannya di siang hari
bolong, apalagi di depan umum."
"Baiklah, aku pasti akan membuat kau bugil
dengan perasaan ikhlas!" kata Gwe-popo
kemudian.
Begitu selesai berkata, seperti sewaktu masuk
tadi, tahu-tahu Gwe-popo sudah lenyap dari
pandangan mata. Coba seandainya tidak tersisa
bau harum tubuhnya, So Ming-ming pasti mengira
dia sedang mabuk berat.
Kini Yap Kay bisa menghembuskan napas lega,
perasaan tegang pun berangsur mengendor,
berulang kali dia meneguk arak untuk meredakan
hatinya yang berdebar.
"Dia benar-benar akan melucuti pakaianmu
hingga telanjang?" tanya So Ming-ming kemudian
selesai meneguk arak.
"Jika kau sudah tahu siapa nenek itu,
pertanyaan ini pasti tak akan kau ajukan."
"Lalu siapakah dia?"
"Pernah kau dengar nama besar Tui hong siu?"
"Tui hong siu? Belum pernah!"
"Nama Gwe-popo?"
Kembali So Ming-ming menggeleng,
"Aku hanya tahu seorang lelaki bernama Yap
Kay, ternyata dia hanya setan bernyali kecil, baru
ada seorang nenek ingin menelanjangi dia,
ternyata dia sudah ketakutan setengah mati."

Kalau manusia seperti Tui hong siu dan Gwepopo
pun sama sekali tidak diketahui olehnya,
bagaimana mungkin nona itu bisa memahami
perasaan takut Yap Kay? Oleh sebab itu Yap Kay
enggan memberi penjelasan lebih lanjut, dia
hanya tertawa getir, hanya meneguk araknya
secawan demi secawan.
Tampaknya So Ming-ming tak berniat
menyudahi pertanyaannya, kembali ia berkata,
"Siapa pula Siau ling-ji itu? Apakah dia seorang
perempuan? Masih muda? Atau sudah neneknenek?"
Yap Kay mengerti, bila tidak ia ceritakan kisah
pengalamannya semalam, jangan harap
kehidupannya di masa datang bisa dilewatkan
dengan tenteram, maka secara ringkas dia pun
mengisahkan kembali kejadian semalam.
So Ming-ming termenung sambil melamun
selesai mendengar penuturan Yap Kay, dia seakan
terjerumus dalam pemikiran yang serius, biar
cawan arak di tangan namun tak sekali pun
diteguk isinya, sementara sorot matanya
memandang ke tempat jauh dengan termangu.
Yap Kay tercengang melihat sikapnya itu,
bukankah peristiwa yang berlangsung semalam
sama sekali tak ada hubungan atau sangkut-paut
dengan dirinya? Bahkan semua orang yang hadir
semalam pun tak ada sangkut-pautnya, kenapa
sikapnya tiba-tiba berubah jadi sangat aneh?

Begitulah, untuk sesaat mereka berdua hanya
membungkam dan masing-masing terjerumus
dalam pemikiran sendiri-sendiri.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya
terdengar So Ming-ming menghembuskan napas
panjang, lalu berkata, "Mungkinkah orang yang
dipanggil Ong-supek adalah tua bangka aneh
itu?"
"Tua bangka aneh? Tua bangka aneh yang
mana? Kau kenal orang itu?" tanya Yap Kay.
Perlahan-lahan So Ming-ming menarik kembali
sorot matanya dan meneguk habis isi cawannya,
tapi suaranya seolah masih tertinggal di tempat
jauh, ujarnya, "Di dalam kota Lhasa terdapat
sebuah istana yang bernama istana Potala,
kurang lebih seratus lima puluh li dari istana
Potala ada sebuah bukit yang bernama Cagopoli,
di atas bukit inilah terdapat sebuah tempat yang
disebut kebun monyet."
Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas,
kembali gadis itu melanjutkan, "Pemilik kebun
monyet adalah seorang kakek yang aneh, dia
sudah berumur seratus tahun, dari marga Ong.
Anak-anak yang tinggal di Lhasa biasa
memanggilnya sebagai Ong-supek."
"Kebun monyet? Ong-supek?" wajah Yap Kay
mulai berseri, "apakah orang tua yang bernama
Ong-supek ini amat suka dengan monyet?"
"Bukan hanya suka, bahkan nyaris suka
setengah mati, sukanya mendekati gila," So MingTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ming menerangkan sambil tertawa, "di dalam
kebunnya paling tidak terdapat seribu ekor
monyet, monyet jenis apa pun terdapat di situ,
bahkan terdapat sejenis monyet yang mimpi pun
tak pernah kau bayangkan."
Tiba-tiba mimik mukanya menunjukkan
perubahan yang aneh, katanya lagi, "Aku dengar
di situ terdapat sejenis monyet yang aneh, konon
meski berbadan monyet tapi berkepala manusia."
"Kepala manusia bertubuh monyet?" Yap Kay
tertegun.
"Benar, bahkan pandai pula berbicara."
"Ah, mana mungkin di dunia ini terdapat
monyet jenis seperti itu" sahut Yap Kay dengan
wajah sangsi, "apakah kau pernah menyaksikan
dengan mata kepala sendiri?"
"Belum pernah! Tapi anak-anak yang tinggal di
Lhasa pernah bersumpah kepadaku bahwa
mereka pernah bertemu, malah pernah
mendengar monyet itu berbicara."
Bila seorang kakek aneh berusia seratus tahun,
sebuah kebun yang penuh dengan monyet dan
sejenis monyet berkepala manusia yang dapat
berbicara digabungkan menjadi satu, akan
muncul gambaran seperti apa?
"Aku malah pernah mendengar bahwa dalam
kebun monyet itu tinggal pula sepasang suami
istri kecil mungil serta seorang nona cilik,"
kembali So Ming-ming melanjutkan perkataannya.

"Sepasang suami istri kecil mungil dan seorang
nona cilik?" bisik Yap Kay cepat, dia semakin
tertarik kisah ini.
"Itulah sebabnya sewaktu kudengar kau
bercerita tentang Pek Ih-ling serta kakek tua Ong,
dalam benakku segera terlintas kebun monyet
itu," kata So Ming-ming, "kau menyinggung
tentang sepasang suami istri kerdil itu, aku
semakin yakin Pek Ih-ling sebetulnya adalah si
nona cilik yang tinggal dalam kebun monyet."
"Ehm, ada kemungkinan benar," Yap Kay
manggut-manggut setelah berpikir sejenak.
Tiba-tiba So Ming-ming berbisik, "Kau ingin
melihat keadaan di situ?"
"Melihat apa?"
"Melihat kebun monyet, sekalian melihat si
monyet yang pandai berbicara."
Mau! Sudah pasti mau! Kalau tak mau berarti
dia adalah kura-kura.
Malam itu, sesudah meninggalkan ruang
gedung utama, Pho Ang-soat berjalan menuju ke
kamar tidurnya, tapi dia sama sekali tidak tidur.
Begitu masuk ke dalam kamar dan menutup
pintu, ia segera melesat keluar lagi lewat jendela
dan melayang naik ke atap rumah, di situ ia
menunggu dan melakukan pengamatan, setelah
yakin semua orang telah kembali ke kamar
masing-masing untuk beristirahat, baru ia
meluncur ke kamar tidur Be Hong-ling.

Jangan dilihat sewaktu berjalan gerak-geriknya
begitu lamban dan berat, begitu menggunakan
Ginkangnya, ia bergerak sangat indah dan cepat.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun dia
melayang masuk ke dalam kamar Be Hong-ling,
begitu melompat turun dia pun mendekam tanpa
bergerak, menunggu matanya sudah dapat
menyesuaikan diri dengan kegelapan di situ,
perlahan-lahan baru dia berjalan menuju
pembaringan dan merebahkan diri.
Begitu badannya rebah, dia pun
memejamkan mata, seolah-olah maksud
kedatangannya ke situ adalah untuk tidur.
Benarkah dia datang ke sana untuk tidur?
Malam ini berbintang, tapi sayang cahaya
bintang amat redup, ada rembulan tapi sinar
rembulan pun suram, begitu suram dan redup.
Rembulan tiada bersuara, begitu pula dengan
sang bintang.
Suasana di dalam kamar Be Hong-ling pun
sangat hening, benarkah Pho Ang-soat telah
tertidur?
Kini tengah malam sudah lewat, memang saat
paling nyenyak untuk tidur, tapi saat yang paling
tepat juga untuk mereka yang berjalan malam
mulai beroperasi.
Dari balik kertas putih pada daun jendela tibatiba
muncul seseorang, ia berhenti sejenak
seakan sedang memastikan adakah orang di

dalam kamar, sesaat kemudian baru ia berlalu
dari situ.
Di bawah cahaya rembulan kembali muncul
seseorang yang mengenakan Ya heng ih (pakaian
berjalan malam) dan berkerudung hitam sehingga
hanya terlihat sepasang matanya yang tajam.
Kini sepasang mata itu sedang mengawasi
ruang dalam, cahaya rembulan yang redup hanya
sempat menyinari meja dan bangku, namun tak
mampu menjangkau ranjang di sudut dinding.
Sekilas perasaan puas melintas di balik mata
orang berbaju hitam itu, dengan sekali lompatan
ia sudah menerobos masuk ke dalam kamar,
merapatkan kembali daun jendela dan secepat
kilat tubuhnya telah menerjang ke depan meja
rias.
Tampaknya dia sangat hapal dengan segala
sesuatu yang berada di situ, tangannya langsung
membuka laci ketiga di sisi kiri meja, kemudian
mengambil sesuatu.
Tanpa diperiksa lagi benda itu dimasukkan ke
dalam saku, seusai menutup kembali lacinya, dia
membalikkan tubuh siap kabur dari sana.
Mendadak ia menyadari sesuatu, ia saksikan
seseorang telah berdiri menghadang tepat di
depan jendela.
Orang yang berdiri di hadapannya mempunyai
mata yang sangat hitam, namun sinar matanya
begitu dingin, paras mukanya pucat-pasi,
tangannya pun putih memucat, hanya golok

dalam genggamannya yang berwarna hitam
pekat.
Begitu hitam pekat seakan datangnya
kematian!
Sebelum orang berbaju hitam itu mendekati
kamar, Pho Ang-soat sudah mengetahui
kehadirannya, di balik kegelapan secara lamatlamat
ia dapat melihat sekulum senyuman dingin
yang menghiasi ujung bibirnya.
Tujuan kedatangannya malam ini ke kamar Be
Hong-ling tak lain karena hendak menunggu saat
seperti ini, setelah melakukan permainan
'memungut rambut putih' dari lantai, dia percaya
dan yakin malam ini sang pembunuh pasti akan
melakukan aksinya.
Ternyata apa yang diduganya tidak keliru.
Kini walaupun dia telah saling berhadapan
dengan orang berbaju hitam yang cuma nampak
matanya ini, ternyata Pho Ang-soat masih belum
bisa menebak siapa gerangan dirinya, tapi ada
satu hal yang pasti adalah orang itu lelaki.
Sesaat setelah kedua orang itu saling tatap,
dengan cepat orang itu membalikkan badan dan
berlari menuju ke arah lain, siapa tahu baru saja
tiba di depan pintu, lagi-lagi Pho Ang-soat telah
berdiri menanti di situ.
Sorot mata yang dingin dengan golok berwarna
hitam pekat.

"Kau tidak patut melakukan hal ini," tegur Pho
Ang-soat dingin.
"Aku tidak patut?"
"Kau tidak patut melimpahkan semua
kesalahan dan dosamu ke pundakku," ucap Pho
Ang-soat lambat, seolah kuatir pihak lawan tidak
memahami perkataannya.
Tiba-tiba saja orang itu bungkam, tubuhnya
tidak bergerak, hanya sinar matanya yang
berkedip tak tenang, seakan sedang memeras
otak, seperti juga ketakutan.
Pho Ang-soat tidak bergerak, tiada kilatan sinar
mata, dia hanya memandang orang itu dingin dan
hambar.
Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya sambil
menghela napas panjang perlahan-lahan orang itu
melolos sebilah golok dari belakang punggungnya.
Sebilah golok dengan taburan mutiara pada
gagangnya, golok yang bersinar tajam.
Ketika dia mengawasi golok dalam
genggamannya, seolah sedang mengawasi sang
kekasih, sambil membelai gagang goloknya
dengan penuh kasih sayang, ujarnya lembut,
"Aku berlatih golok sejak usia lima belas tahun,
kini umurku lima puluh dua tahun, berarti sudah
tiga puluh delapan tahun lamanya aku melatih
diri," gumam orang itu, "hampir setiap hari aku
bermimpi bisa menjadi jago golok tercepat di
kolong langit."

Asal kau adalah orang persilatan, siapa pun
pasti mempunyai keinginan seperti itu.
"Tapi aku tahu, mustahil impianku menjadi
kenyataan... karena aku kelewat suka menikmati
hidup."
Dari bentuk senjatanya saja orang sudah tahu.
Golok dipakai untuk membunuh, bukan
melambangkan status dan kedudukan.
Tapi golok bertaburkan permata miliknya
kadangkala justru tak sanggup menghadapi
sebilah golok biasa.
Apalagi jika golok itu golok hitam yang berada
di tangan Pho Ang-soat.
Biar berbeda bentuk, namun kedua bilah
senjata itu mempunyai kegunaan yang sama,
keduanya sama-sama golok, keduanya sering
dipakai untuk membunuh orang.
Sinar sebening permata memancar dari balik
mata orang itu.
"Setelah impian pertama susah terwujud, tentu
aku masih punya impian kedua," katanya, "hanya
sayang impianku yang kedua pun tampaknya
susah untuk terwujud."
"Trang...!" Suara golok tercabut dari sarungnya
bergema hampir bersamaan selesainya katakatanya,
begitu golok dicabut, sinar mata
kepedihan terpancar dari balik matanya.

Semacam kepedihan yang tak mungkin bisa
terlupakan untuk selamanya.
Dia meraung keras, tiba-tiba mengayunkan
goloknya. Di saat golok diayunkan, saat itulah
kematian menjelang tiba. Di saat ia mencabut
golok, Pho Ang-soat tidak bergerak. Di saat dia
mengayunkan goloknya, Pho Ang-soat masih
juga tidak bergerak.
Sampai mata goloknya tinggal lima inci dari
tenggorokan Pho Ang-soat pun seolah belum juga
bergerak, sebab dia sama sekali tidak melihat
adanya kilatan cahaya golok.
Dia hanya mendengar satu suara yang sangat
ringan, halus, lembut, indah dan seakan suara
golok di kejauhan sana.
Menanti ia mendengar suara golok itu, Pho
Ang-soat telah lenyap dari pandangan matanya,
dia telah kehilangan lawan, langit, bumi, sinar
matanya dan segala sesuatu yang dimilikinya.
Dia hanya menjumpai tubuhnya sudah
tergeletak di tengah genangan darah, Pho Angsoat
berdiri persis di hadapannya.
Tiba-tiba orang berbaju hitam itu menangkap
perasaan sedih dan secercah perasaan iba dari
balik mata Pho Ang-soat yang dingin.
Apa yang dia sedihkan? Sedih karena
membunuhnya? Kenapa dia harus iba? Iba karena
harus membunuh orang berbaju hitam itu?

Orang itu balas menatap Pho Ang-soat, tibatiba
ia berseru sambil tertawa tergelak, "Bila kau
tidak melepaskan kain kerudung wajahku,
kujamin kau tak bakal bisa menebak siapakah
diriku."
"Aku tahu, aku tahu siapakah kau," jawab Pho
Ang-soat singkat.
"Kau tahu?" orang itu nampak terkesiap, "kau
tahu siapakah aku?"
Pho Ang-soat tidak menjawab, hanya sorot
matanya dialihkan ke butiran mutiara yang kini
tergeletak di tengah genangan darah.
Babatan golok Pho Ang-soat tadi bukan saja
telah merobek tenggorokan orang berbaju hitam
itu, merobek juga pakaiannya.
Benda yang baru saja diambil orang itu dari
laci, kini sudah tergeletak di tengah genangan
darah segar.
Biar darah berwarna merah, mutiara itu masih
memantulkan cahaya yang berkilauan.
Tertegun orang itu memandang mutiara di
tengah genangan darah, kemudian baru ia
berkata perlahan, "Ternyata kau memang
sudah tahu siapa aku."
Pho Ang-soat tidak menjawab, namun perasaan
iba semakin tebal memancar dari balik matanya.
Dengan tangan kirinya yang gemetar orang itu
memungut mutiara itu dari genangan darah.

Cahaya mutiara gemerlap bagai cahaya
bintang, sementara darah segar memerah bagai
bunga mawar, butiran darah masih mengucur dari
mulut luka, membasahi mutiara itu dan menetes
ke tengah genangan.
Dengan tangan kanannya orang itu melepas
kerudung mukanya, kemudian membungkus
mutiara itu, membungkus dengan hati-hati,
seolah bungkusan itu adalah hadiah yang akan
diberikan kepada kekasih hat inya.
Cahaya rembulan bagai kerlingan mata sang
kekasih, memancar di wajah orang itu.
Ternyata orang yang tak mungkin bisa
mewujudkan impian keduanya ini tak lain adalah
Loh Loh-san.
Selesai membungkus mutiara itu, Loh Loh-san
menyodorkan bungkusan itu sambil berkata,
"Impianku tak mungkin bisa terwujud, maukah
kau menyerahkan bungkusan ini kepadanya?"
"Baik."
Pho Ang-soat menerima bungkusan itu, bahkan
dengan tegas berjanji, "Aku pasti akan
menyerahkan sendiri ke tangannya."
"Terima kasih."
Itulah perkataan terakhir yang diucapkan Loh
Loh-san sebelum akhir hidupnya.
Mengawasi Loh Loh-san yang mati dengan
membawa kelegaan, cahaya pilu semakin kental
memancar dari balik mata Pho Ang-soat.

Ternyata kedatangan Loh Loh-san ke kamar
tidur Be Hong-ling bukan lantaran dia
pembunuhnya, tapi ia datang untuk
menghilangkan barang bukt i.
Dia datang ke sana karena ingin mengambil
mutiara itu. Dia ingin memberikan benda itu
untuk seorang nona yang cantik dan masih muda,
gadis yang menurutnya bakal menyukai dirinya.
Mengawasi mayat Loh Loh-san yang mulai
membujur kaku, Pho Ang-soat seolah mendengar
kata-kata Pek Ih-ling semalam, "Biarpun orang
muda lebih tampan dan gagah, sayang dalam hal
ekonomi mereka lemah!"
Ternyata gara-gara perkataan itulah kematian
telah menimpa dirinya!
Ternyata Loh Loh-san menyangka dewa cinta
telah memilih dirinya, ternyata dia datang ke situ
hanya ingin mencuri mutiara dan menyerahkan
kepada Pek Ih-ling.
Apakah perbuatannya merupakan penampilan
perasaan cintanya? Tak tahan Pho Ang-soat
menghela napas panjang.
Bila orang berkata bahwa cinta yang
sesungguhnya hanya terjadi satu kali, tak
mungkin untuk kedua kalinya, maka apa yang
telah ia katakan tadi memang sangat masuk akal.
Karena cinta adalah sesuatu yang gampang
berubah sifat, dapat berubah menjadi cinta
karena persahabatan, sebagai saudara, bahkan
dapat juga berubah menjadi benci dan dendam.

Sebab antara cinta dan benci sebetulnya hanya
dipisahkan oleh pikiran sesaat.
Apa pun yang dapat berubah biasanya
gampang pula terlupakan.
Di saat perasaan cinta pertama mulai
memudar, terkadang bakal muncul cinta kedua,
perasaan cinta kedua seringkah akan berubah
menjadi semurni, sedalam, semesra dan
sependerita perasaan cinta pertama.
Cinta pun tidak membatasi usia, penyakit
menular ini bisa meracuni kaum muda, dapat pula
meracuni mereka yang sudah dewasa bahkan
yang sudah tua.
Biarpun anak muda lebih berani menyatakan
cinta, lebih berani menyataan benci, bahkan
ungkapan cinta mereka lebih panas dan
bergairah, namun orang dewasa pun terkadang
mudah tergila-gila, mudah terbuai gara-gara
pengaruh cinta.
Baik dia tua maupun muda, menghadapi
perasaan cinta biasanya akan bersikap lebih jujur.
Dia akan mencintai dengan sepenuh hati, tidak
segan mencintai dengan taruhan nyawa.
Sayangnya bagi sementara orang tua, kejujuran
cinta mereka biasanya justru dimanfaatkan oleh
pihak lain.
Bukan cuma dimanfaatkan orang, malah
terkadang dimanfaatkan juga oleh diri sendiri.

Loh Loh-san adalah contoh yang jelas tentang
hal ini.
Dia sangka Pek Ih-ling menaruh perasaan
terhadapnya, maka dengan perasaan jujur dan
tulus dia bersiap menerima luapan rasa cinta itu.
Tapi akhirnya dia harus kehilangan nyawa,
harus mengalami nasib tragis.
Ternyata cinta dapat menciptakan segalanya,
dapat memusnahkan segalanya pula.
Ya cinta! Segala sesuatunya hanya gara-gara
cinta!
Bab 3. PHO ANG-SOAT TERANCAM
BAHAYA
Hari telah terang tanah.
Sinar kepedihan belum luntur sama sekali dari
sorot mata Pho Ang-soat.
Kepedihan hatinya bukan lantaran kematian
Loh Loh-san, tapi karena perasaan cinta yang tak
berdaya.
Dia pernah mengalami pengalaman pahit
seperti itu, dia pun pernah merasakan gejolak
perasaan yang tak berbendung, kobaran emosi
yang membuatnya tak segan mengorbankan
segala sesuatu.
Biarpun segala sesuatunya sekarang sudah
sejauh taburan bintang di langit, namun masih

tertanam dalam lubuk hatinya, bagai kutu yang
siang malam selalu menggerogoti tubuhnya.
Dia tak tahu sampai kapan dirinya baru bisa
lolos dari semua penderitaan itu.
Mengikuti munculnya sinar fajar, Pho Ang-soat
menggeliat sambil mengendorkan tubuhnya yang
kaku, tiba-tiba pandangannya terhenti pada
secercah cahaya matahari yang menembus
masuk lewat jendela, tiba-tiba saja ia teringat
pada kumpulan cahaya yang memancar dari balik
gundukan tanah.
"Tidakkah kau merasa bahwa semua kunci
persoalan terletak pada gundukan tanah itu?"
Itulah ucapan Yap Kay semalam sebelum
meninggalkan dirinya, sekalipun bukan terhitung
ucapan yang menyadarkan dia dari impian, tak
dapat disangkal petunjuk itu memang ada
benarnya.
Langit mulai terang, dari kejauhan
terdengar ayam berkokok, namun jagad raya
masih gelap gulita, seakan masih terlelap
dalam t idurnya.
Pho Ang-soat melompat turun dari atas
ranjang, golok hitam pekat masih tergenggam di
tangan kirinya.
Hitam pekat bagai kematian, hitam pekat bagai
langit malam yang tiada tepian.
Dengan langkah kakinya yang aneh dan bebal
dia menuju pintu kamar, belum lagi membuka

pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka dengan
sendirinya.
Apakah pintu itu terbuka oleh hembusan angin?
Ataukah ada seseorang mendorongnya?
Ternyata yang mendorong pintu adalah si
kakek kerdil Tui hong siu, si kakek pengejar
angin.
Pho Ang-soat tidak kaget, sedikit perasaan
kaget pun tak ada, dia seolah sudah menduga Tui
hong siu bakal membuka pintu pada saat itu.
"Selamat pagi!" sapa Tui hong siu sambil
tertawa. "Ada urusan?" tegur Pho Ang-soat ketus.
"Tentu saja ada, kalau tak ada urusan buat apa
pagi-pagi sudah berdiri menunggu di depan pintu
kamar orang."
Pho Ang-soat bergeser ke samping membiarkan
Tui hong siu masuk, kemudian setelah duduk di
hadapan tamunya baru ia bertanya, "Ada urusan
apa?"
"Sudah lama aku kawin dengan si nenek tua,
sayangnya jangankan punya anak, bertelur
sebutir pun tak pernah, itulah sebabnya kami
selalu menyayangi Pek Ih-ling bagaikan
menyayangi anak kandung sendiri."
Tui hong siu berhenti sejenak menarik napas,
kemudian lanjutnya, "Itulah sebabnya urusan
perkawinannya merupakan masalah besar bagi
kami, bukankah untuk itu kami harus bersikap
lebih serius?"

"Apa sangkut-pautnya dengan aku?"
"Tentu saja ada. Jika Siau ling-ji memilih kau,
bukankah antara kau dan kami jadi ada sangkutpautnya."
Pho Ang-soat tidak menjawab, dia hanya
tertawa dingin.
"Bagi kami, latar belakang dan asal-usul
bukanlah masalah yang penting," ujar Tui hong
siu lagi, "bagi seorang wanita, kebahagiaan
hiduplah segalanya, asal sang suami
mencintainya dan tahu bagaimana menyayangi,
hal itu jauh lebih penting. Tentu saja selain
kebahagiaan, suaminya pun harus seorang lelaki
yang memiliki kondisi kesehatan prima, hanya
dari tubuh yang primalah akan lahir keturunan
yang prima juga."
Dari nada bicara Tui hong siu, dia seolah sudah
menganggap Pho Ang-soat sebagai suami Pek Ihling.
"Suami yang sehat merupakan kebahagiaan
bagi sang istri," kata Tui hong siu sambil tertawa,
"sejak zaman dulu sudah begitu, aku percaya
selanjutnya pun akan begitu."
Ia memandang Pho Ang-soat sekejap sambil
tertawa, kemudian lanjutnya, "Oleh karena demi
kebahagiaan Siau ling-ji di kemudian hari, kami
wajib melakukan pemeriksaan lebih dulu atas
kesehatan suaminya, dalam hal ini kau setuju
bukan?"

"Ada satu hal aku tak tahu, apakah kau pun
sudah memikirkan dengan jelas?" perlahan Pho
Ang-soat berkata.
"Hal apa?"
"Kalian seenaknya bicara seolah segala
sesuatunya bisa dilakukan semaumu sendiri,
pernahkah kalian pertimbangkan pihak lawan
merasa keberatan?"
"Tak bakal ada yang keberatan, apalagi Siau
ling-ji kami begitu cantik dan menawan, syarat
yang dia miliki pun sangat mendukung, hanya
orang tolol yang bakal menampik tawarannya."
"Kebetulan saat ini kau telah menjumpai satu di
antaranya," kata Pho Ang-soat dingin. Selesai
berkata dia pun beranjak meninggalkan ruangan
itu.
Tui hong siu tidak menghalangi, namun
katanya, "Kusarankan kepadamu untuk
mendengarkan dulu satu hal sampai selesai
sebelum mempertimbangkan akan pergi atau
tidak."
"Katakan!" kata Pho Ang-soat sambil
menghentikan langkahnya.
"Biarpun pada lima puluh tahun berselang
nama kami suami istri sudah termashur dalam
dunia persilatan, tapi sejak mengundurkan diri
dari keramaian dunia pada tiga puluh tahun lalu,
jarang sekali kami mencampuri urusan dunia
persilatan, dengan sendirinya perkembangan ilmu
silat kami pun ikut terhambat," kata Tui hong siu

hambar, "terlebih dengan munculnya jago-jago
muda dalam Bu-lim, jelas kehebatan orang
sekarang jauh melebihi kemampuan orang-orang
dulu."
Ia bangkit, perlahan-lahan berjalan menuju ke
hadapan Pho Ang-soat, lalu katanya lagi,
"Sekalipun begitu, apabila keadaan mendesak,
terpaksa kami suami istri tetap akan turun tangan
juga, biar tak sanggup mengungguli lawan, meski
kami harus tewas gara-gara perbuatan ini, kami
tetap rela dan ikhlas melakukannya."
Sambil menatap wajah Pho Ang-soat, ujarnya,
"Sekarang kau sudah memahami maksudku
bukan?"
Maksud perkataan itu jelas sekali, jika dia
masih ngotot ingin pergi atau tetap menolak,
terpaksa kita harus bertarung.
Pho Ang-soat mengerti, tentu saja Tui hong siu
juga mengerti, melihat Pho Ang-soat sama sekali
tidak melakukan tindakan apa pun sehabis
mengucapkan perkataan tadi, tanpa terasa
sekulum senyuman tersungging di ujung bibirnya.
Mendadak terdengar Pho Ang-soat berkata,
"Biarpun aku bukan orang Ouwlam, tapi sayang
watakku seperti keledai."
Lalu dia bertanya, "Di sini? Sekarang?"
Mau bertarung di sini? Atau ganti tempat lain?
Tentu saja Tui hong siu mengerti maksud
perkataan itu, tak heran senyumannya langsung

membeku, hanya sorot mata tajam yang
terpancar keluar.
Tiada angin yang berhembus, udara seakan
menjadi beku dalam waktu sekejap.
Pho Ang-soat sama sekali tak bergerak,
pancaran sinar matanya tetap dingin.
Tui hong siu juga tidak bergerak, sepasang
tangannya dibiarkan terkulai ke bawah.
Biarpun belum pernah ada berita dalam dunia
persilatan tentang jenis senjata andalannya, tapi
Pho Ang-soat tahu dia bersenjata, sebab ia telah
merasakan hawa membunuh yang terpancar dari
senjatanya.
Hawa pedang yang lebih dingin dari salju, hawa
pedang itu terpancar dari tubuh Tui hong siu,
ternyata tubuh orang itu jauh lebih tajam
daripada sebilah pedang.
Tubuh kakek kecil itu memang merupakan
sebilah pedang!
Sejak terjun ke dunia Kangouw belasan tahun
berselang, boleh dibilang musuh macam apa pun
pernah dijumpainya, tentu saja di antara mereka
terdapat juga jago pedang yang tersohor akan
kehebatannya.
Ada sementara orang memiliki ilmu pedang
yang ringan dan gesit, cepat, telengas dan ganas.
Siapa pun dia, biasanya keangkerannya baru
terwujud setelah melancarkan serangan dengan
jurus pedangnya.

Tapi kini bukan saja Tui hong siu belum
melancarkan serangan, bahkan seperti apakah
bentuk pedangnya pun tak ada yang tahu, tapi
Pho Ang-soat dapat merasakan tekanan hawa
pedang yang mengerikan.
Tiada hembusan angin, tapi ujung baju Tui
hong siu berkibar dan menari, kakinya sama
sekali tak bergerak, tapi Pho Ang-soat merasa
seakan-akan ia sedang bergeser.
Pho Ang-soat bisa merasakan hal seperti itu
karena Tui hong siu telah mengerahkan seluruh
kekuatan yang dimilikinya, seluruh kekuatan telah
diubah menjadi hawa pedang, yang membuat
orang lain hanya bisa merasakan tekanan hawa
pedangnya dan melupakan keberadaannya.
Tubuhnya telah menyatu dengan pedangnya,
membaur ke seluruh ruangan, membaur ke
seluruh jagad raya, oleh karena itulah di saat dia
tak bergerak, ia seolah-olah sedang bergerak, di
saat dia bergerak justru seolah-olah tidak
bergerak.
Akhirnya Pho Ang-soat menyadari kehebatan
Cianpwe itu sebagai seorang jago pedang
memang bukan nama kosong belaka.
Menanti Pho Ang-soat bergerak, keadaan sudah
terlambat, seluruh tubuhnya sudah terkurung di
bawah tekanan hawa pedang Tui hong siu.
Selama hidup sudah ratusan kali dia
menghadapi musuh, dalam setiap pertarungan dia
selalu menunggu sampai pihak musuh turun

tangan lebih dulu, goloknya baru melancarkan
serangan balasan, sebab ilmu golok yang
dipelajarinya adalah ilmu golok yang
mengendalikan gerak dengan gerak, dengan
lambat mengatasi kecepatan.
Tapi kali ini dia benar-benar menyesal mengapa
tidak turun tangan lebih dahulu.
Tiba-tiba ia merasakan ilmu golok yang
dilatihnya selama ini telah kehilangan daya guna,
telah kehilangan manfaat di hadapan Tui hong
siu.
Di saat Pho Ang-soat menyesal mengapa tidak
mencabut goloknya terlebih dulu, dan pada saat
Yap Kay menyaksikan Gwe-popo memasuki
warung bakmi, tanah gundukan yang telah digali
Yap Kay di dalam hutan lebat itu telah terjadi
perubahan.
Gua yang semula kosong itu mendadak
mengeluarkan bunyi yang sangat aneh, seolaholah
ada seseorang sedang memutar roda gigi
sebuah mesin.
Menyusul kemudian bergema suara mencicit
aneh dan terlihatlah seekor monyet melompat
keluar dari balik gua, melompat keluar dari gua
itu dan berdiri di sisinya sambil celingukan.
Monyet itu memiliki sepasang mata yang jeli
dan tajam, setelah memeriksa sekejap sekitar
tempat itu, dia langsung berlari menuju ke arah
hutan belantara.

Baru satu tombak monyet itu kabur, tiba-tiba
dari dalam gua meluncur seutas tali, "Sret!", tali
itu dengan cepat membelenggu tubuh monyet
yang sedang kabur itu.
Dengan sepasang tangannya monyet itu
berusaha melepas tali yang membelenggunya,
tapi bagaimana pun dia menarik, usahanya tak
berhasil. Akhirnya dengan gelisah binatang itu
berteriak-teriak sambil melompat ke sana kemari.
Tiba-tiba dari balik gua yang gelap
berkumandang suara seorang tua dan lemah tak
bertenaga, "Sayangku, jangan lari sembarangan
di luar, lebih baik bermain dalam rumah saja."
Seusai berkata, tali itu segera ditarik kembali
dan monyet itu pun langsung berseret balik ke
dalam gua.
Kembali terdengar suara roda besi sedang
berputar.
Tak selang berapa saat kemudian, hutan itu
sudah hening kembali, seakan-akan belum pernah
terjadi sesuatu di tempat itu.
Tangan itu putih memucat, tapi telapak
tangannya terasa dingin membeku.
Golok berwarna hitam pekat masih berada
dalam genggaman tangan yang dingin dan kaku
itu.
Saat ini bukan saja telapak tangan Pho Angsoat
telah basah oleh keringat dingin, bahkan
jidatnya juga telah dibasahi oleh keringat, kini dia

benar-benar sudah tertekan oleh hawa pedang
lawan hingga susah untuk bernapas.
Sepasang tangan Tui hong siu masih terkulai
lurus ke bawah, kakinya sama sekali tak
bergerak, namun seluruh jagad raya seolah sudah
tercekam dalam keseriusan, udara terasa makin
berat.
Dengus napas Pho Ang-soat makin memburu
dan kasar, dia sadar posisinya saat itu sangat
gawat, tak mungkin baginya untuk bertahan lebih
lama lagi.
Tapi dia sama sekali tak mampu bergerak,
sekalipun bisa juga percuma, sebab begitu ia
bergerak, kematian pasti akan tiba.
Bagaimana kalau tidak bergerak? Tidak
bergerak pun sama saja hasilnya, tetap mati.
Yap Kay dan So Ming-ming telah berada dalam
perjalanan menuju ke kota Lhasa.
Siang baru saja menjelang, matahari
memancarkan cahayanya yang amat terik.
Sejauh mata memandang hanya lautan pasir
berwarna kuning yang menyelimuti seluruh jagad.
Bumi begitu tak berperasaan, gersang, sepi,
ganas, dingin yang menggigilkan, panas yang
menyengat... namun sekalipun bumi tak
berperasaan, ada pula bagian lain yang
menyenangkan, persis seperti kehidupan
manusia.

Dalam perjalanan hidup, manusia seringkah
harus menghadapi kendala dan masalah yang
tidak berkenan, masalah yang susah diurai, susah
dicerna.
Akan tetapi kehidupan manusia tetap
menawan, tetap menarik untuk dijalani.
Yap Kay berjalan bersanding So Ming-ming
melewati gurun nan gersang, sejauh mata
memandang hanya terik matahari menyinari
jagad.
"Setelah berjalan satu jam lagi, kita akan tiba
di suatu tempat," ujar So Ming-ming.
"Tiba dimana? Kebun monyet?"
"Bukan, kita akan tiba di Sumbatan leher."
"Sumbatan leher?"
"Sebuah tempat yang harus dilewati bila ingin
menuju ke kota Lhasa," So Ming-ming
menerangkan sambil menerawang ke tempat
jauh, "konon ditempat itulah berbagai setan dan
iblis sering berkeliaran."
"Oya?"
"Semua orang Tibet yang hendak melalui
Sumbatan leher, selalu jalan berombongan,
bahkan sepanjang jalan harus menyebar Gincoa
(uang untuk orang mati)."
"Kenapa?"
"Untuk menyuap setan iblis itu."

"Tak kusangka, ternyata setan iblis pun perlu
sogokan duit," seru Yap Kay sambil tertawa.
Perlahan-lahan So Ming-ming menarik
pandangan matanya, sambil berpaling ia
bertanya, "Jalan atau tidak?"
"Apa itu jalan atau tidak?"
"Kalau jalan terus berarti kita harus menunggu
di sini, menunggu sampai ada orang baru
melanjutkan perjalanan dengan berombongan."
"Kalau tidak dilanjutkan, berarti kita balik ke
kota?" tanya Yap Kay lagi.
"Benar."
Yap Kay tidak langsung menanggapi
pertanyaan itu, dia alihkan pandangan matanya,
memandang rentetan pegunungan yang
terbentang di depan mata, sampai lama
kemudian baru ia menjawab, "Jalan!"
"Sungguh?"
"Sungguh."
"Baik, kalau begitu kita dirikan tenda di sini,
menunggu sampai tibanya rombongan lain."
"Tidak, sekarang juga kita berangkat,"
perlahan Yap Kay berkata.
"Berangkat sekarang juga? Hanya kita berdua?"
tanya So Ming-ming tertegun.
Yap Kay tidak menjawab, dia hanya manggutmanggut.

"Selama ini belum pernah ada orang berani
melewati Sumbatan leher hanya berdua seperti
kita sekarang," So Ming-ming menerangkan.
"Tapi mulai sekarang ada," tukas Yap Kay
sambil tertawa, "bukankah segala sesuatu harus
dimulai dari yang pertama? Biarlah kita yang
memulai, masakah kau tidak gembira dengan
kejadian seperti ini?"
"Mantap, mantap setengah mati!"
Belum selesai perkataan itu diucapkan, dia
sudah mengikuti Yap Kay berangkat menuju ke
Sumbatan leher.
Sebenarnya dalam hati setiap orang pasti
terdapat "sumbatan", suatu sumbatan yang sulit
ditembus.
Bila kau ingin menembus sumbatan itu, maka
kau pasti akan melukai juga perasaan orang lain.
Bila dalam hati terdapat sumbatan, orang itu
pasti akan merasa amat sedih. Tapi bila orang itu
berada dalam sumbatan, dia tak bakal merasa
sedih lagi.
Orang yang sedang sedih seringkali ingin mati,
tapi orang yang sudah mati tak bakal sedih lagi.
Hanya orang mati yang tak akan merasa sedih.
Udara terasa membeku, seluruh angkasa
diliputi keseriusan dan ketegangan yang luar
biasa.

Semua benda, semua kehidupan di alam jagad
seakan-akan telah berhenti bergerak, berhenti
bernapas.
Tui hong siu tidak bergerak, terlebih Pho Angsoat.
Namun terlepas apa pun yang sedang
berlangsung di alam jagad, bumi tetap
berputar....
Hanya saja gerak putaran dilakukan lambat,
lambat sekali, itulah sebabnya tempat yang
semula tidak terjangkau cahaya, lambat-laun
tersinar juga semuanya.
Deretan pegunungan menjulang tinggi ke
angkasa, tebing yang terjal berdiri tegak lurus,
hanya sebuah jalan sempit yang terbentang di
antara bebatuan yang tajam.
Yap Kay dan So Ming-ming telah tiba di lembah
curam Sumbatan leher itu.
Batu cadas yang tajam menjulang ke angkasa
bagaikan taring serigala yang siap menerkam
mereka, siapa pun yang tiba di tempat semacam
itu, sedikit banyak pasti akan bergidik, detak
jantung mereka pasti akan berdebar keras.
Yap Kay merasa debar jantungnya berdetak
lebih cepat ketimbang biasanya, begitu keras
hingga So Ming-ming pun mendengar suara detak
jant ungnya itu.
Maka sambil tertawa geli tegurnya, "Akhirnya
kau tahu juga di sini sebenarnya tak ada setan

iblis atau siluman apa pun, tapi orang lain tak
bakal berani melalui tempat ini seorang diri."
Bila musuh bersembunyi di sekitar sana dan
menyerangmu secara tiba-tiba di saat kau sedang
lewat, maka tak ayal lagi kau pasti akan
tersumbat dan tercekik mampus di situ, ibarat
ada tali gantungan yang menjirat lehermu.
Menyumbat leher, memutus napas dan
menggantung tubuhmu hingga mati, itulah arti
sebenarnya dari Sumbatan leher.
Yap Kay memperhatikan sekejap sekeliling
sana, lalu sahutnya sambil tertawa, "Harus
kuakui, tempat ini memang merupakan jebakan
terbagus untuk membunuh orang, untung
kedatangan kita di sini tak diketahui siapa pun
sehingga...."
Belum selesai kata-katanya, peluh dingin telah
membasahi telapak tangannya.
Sebab secara tiba-tiba ia merasa di tempat itu
ternyata masih hadir orang lain, orang lain yang
sedang bersembunyi di balik kegelapan, orang
yang sedang menjebaknya.
Cahaya matahari memancar masuk ke dalam
kamar, membuat seluruh ruangan terasa terang
benderang.
Ketika cahaya matahari menyoroti permukaan
lantai, secercah sinar segera memantul ke
wajahnya, menyilaukan matanya, saat seperti
itulah merupakan saat yang kritis, saat yang bisa
mencabut nyawanya.

Tapi hingga kini, mengapa dia masih belum
bergerak? Hawa pedang tak berwujud Tui hong
siu yang membungkus seluruh tubuhnya
membuat dia nyaris tak mampu bergerak, apalagi
mencabut golok.
Bila golok tidak dapat dicabut, bagaimana
mungkin melawan musuh?
Cahaya matahari mulai menyinari pinggang Pho
Ang-soat, menyinari pula golok hitam pekat
dalam genggamannya.
Pada saat itulah tiba-tiba Pho Ang-soat
melakukan satu tindakan yang selama hidup
belum pernah dilakukan, satu perbuatan yang
mimpi pun belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Sekonyong-konyong dia lempar golok yang
selama hidup tak pernah terlepas dari tangannya
itu ke balik cahaya matahari.
Golok yang tak pernah meninggalkan tangan
Pho Ang-soat pada akhirnya meninggalkan
dirinya.
Begitu golok terlepas dari genggaman, Tui hong
siu pun tertawa, tubuhnya pun bergerak cepat.
Sepasang tangannya yang selama ini terkulai
lurus ke bawah, terkulai dalam keadaan kosong,
tahu-tahu sudah bertambah dengan dua bilah
pedang.
Dua bilah pedang yang sangat kecil,
panjangnya hanya satu kaki delapan inci, satu di
tangan kiri dan yang lain di tangan kanan.

Dua gulung cahaya pedang berkelebat,
meluncur dari arah yang berlawanan.
Sekilas cahaya melesat ke udara menghantam
golok yang terlepas dari tangan Pho Ang-soat,
sementara kilasan cahaya yang lain menusuk
tenggorokannya.
Biarpun dua kilatan cahaya pedang itu melesat
bukan pada saat yang bersamaan, namun
keduanya tiba pada sasaran hampir bersamaan
waktu.
Satu menyerang golok di udara, satu lagi
mengancam tenggorokan Pho Ang-soat.
Kini keadaannya sangat berbahaya, dia sudah
berada dalam posisi yang mirip dengan sumbatan
leher, sumbatan kematian.
Bab 4. SENYUMAN SI IKAN MAS
Akhirnya Yap Kay melihat seorang misterius
dan aneh muncul dari atas dinding tebing yang
curam.
Dari balik tebing curam yang menjulang ke
angkasa, dari balik awan putih yang menyelimuti
permukaan muncul seseorang.
Sekilas pandang dia mirip dengan seorang
perempuan, rambutnya panjang berkibar
terhembus angin, gaun panjangnya berwarna
kuning berkibar tiada hentinya, persis seperti ikan
mas yang sedang berenang dalam air.

Dengan pandangan ngeri bercampur curiga Yap
Kay dan So Ming-ming mengawasi orang di atas
tebing itu. Dia manusia atau setan? Atau mungkin
siluman iblis seperti dalam dongeng?
Biarpun panas matahari menyengat badan, So
Ming-ming justru merasakan hawa dingin yang
menggidikkan merasuk ke dalam tulang sumsum,
tanpa sadar dia menggenggam kencang tangan
Yap Kay.
Yap Kay sama sekali tak bergerak, tangannya
balas menggenggam tangan So Ming-ming.
Di tempat yang begitu curam, berbahaya dan
asing bagi mereka, tiba-tiba saja dari balik tebing
muncul seseorang. Terlepas siapakah orang itu,
asal dia melancarkan serangan, maka dapat
dipastikan Yap Kay berdua tak punya kemampuan
menangkis apalagi mempertahankan diri, sebab
keadaan mereka saat ini bagaikan seekor ular
yang tertangkap pada bagian tujuh inci di
belakang kepalanya.
Seluruh otot hijau di jidat Yap Kay telah
merongkol, otot-otot hijau itu berdenyut keras,
setiap kali menghadapi situasi yang sangat gawat,
dia selalu menunjukkan keadaan seperti ini.
Biarpun pandangan matanya masih mengawasi
orang di atas tebing, namun otaknya sama sekali
tak berhenti berpikir, dia berusaha memeras otak
mencari cara terbaik untuk menanggulangi
keadaan ini.

Belum sampai ditemukan cara terbaik, tiba-tiba
orang itu telah merentang tangan dan melompat
ke atas batu sambil berteriak, "Ming-ming, aku
rindu padamu!"
Suara teriakannya begitu riang dan lantang,
sama sekali tidak mirip suara setan iblis atau
siluman, terutama orangnya, bukan saja tak
seseram setan, ternyata dia adalah seorang nona
cilik yang cantik dan lincah.
Setelah melalui Sumbatan leher, di depan mata
terbentang sebuah padang rumput yang luas dan
subur.
Tempat itu sudah tak jauh dari Lhasa, kota
suci.
Di tempat itulah si Ikan mas mendirikan
tendanya sebagai tempat bermalam.
Kim-hi, si Ikan mas tak lain adalah nona yang
barusan muncul di tebing curam, dia memang ke
sana untuk menyambut kedatangan So Mingming.
"Sebenarnya aku ingin menakut-nakutimu,"
dengan suara nyaring seperti suara keliningan
Kim-hi berseru, "namun aku pun tak ingin kau
mati ketakutan."
Yap Kay tertawa tergelak, belum pernah dia
jumpai gadis seriang dan selincah ini.
Sebetulnya perempuan ini tidak termasuk
cantik yang sempurna, batang hidungnya sedikit
bengkok, tapi alis matanya sangat indah,

kerlingan matanya memukau dan kulitnya putih
mulus seperti salju.
Yap Kay mulai tahu, ternyata nona itu sangat
gemar tertawa dan So Ming-ming senang
membetot batang hidungnya.
Kini So Ming-ming sedang membetot batang
hidungnya.
"Kau telah berjanji padaku kali ini tak bakal
kelayapan semau hati, kenapa bisa muncul di
sini?" tegurnya.
Kim-hi tidak menjawab, ternyata dia berusaha
menghindari pertanyaan itu.
"Kenapa kau selalu membetot batang
hidungku?" Kim-hi balik bertanya, "apakah kau
baru puas bila model hidungku pesek seperti
kepunyaanmu?"
Kontan saja Yap Kay tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba Kim-hi berpaling, tegurnya sambil
menatap tajam pemuda itu, "Siapakah dia?"
"Aku bernama Yap Kay, yap artinya daun, kay
artinya terbuka."
"Yap Kay?" Kim-hi tertawa cekikikan, "kalau
kau punya adik laki-laki, dia pasti bernama Yap
Kwan."
"Sayang harapanmu tak bakal terwujud, karena
aku adalah anak tunggal."
Kembali Kim-hi menatap Yap Kay beberapa
saat lamanya, lalu katanya, "Aku paling suka

orang yang senang tertawa, sekarang agaknya
aku mulai sedikit menyukaimu."
Tiba-tiba ia menghampiri Yap Kay dan
memeluknya erat-erat, memeluk mesra seperti
waktu dia memeluk So Ming-ming tadi, malahan
mengecup jidatnya berulang kali.
"Sahabat enci Ming-ming berarti sahabatku
juga," kata Kim-hi, "orang yang dia sukai pun aku
akan menyukai juga."
Paras muka Yap Kay tidak menjadi merah,
sebab paras muka Kim-hi pun tidak memerah.
Ketika dia memeluk pemuda itu, semuanya
dilakukan dengan leluasa, terbuka, bebas dan
tidak mengada-ada, begitu polos dan tulus seperti
ikan mas yang sedang berenang di akuarium.
Yap Kay pun bukan termasuk lelaki pemogor,
dia jarang bisa menyimpan rahasia hatinya
apalagi menyimpan luapan perasaan.
"Aku pun menyukaimu," sahutnya," benarbenar
menyukaimu."
Di saat mereka berdua saling bertatap sambil
tertawa, So Ming-ming yang berdiri di samping
meski ikut tertawa, namun dari balik matanya
tiba-tiba muncul secercah perasaan menyesal.
Menyesal? Mengapa dia mesti menyesal?
Apakah dia menyesal karena telah mengajak Yap
Kay datang ke Lhasa?

Dua kilatan cahaya pedang, yang satu melesat
menghantam golok di tengah udara sementara
yang lain menyambar tenggorokan Pho Ang-soat.
Akhirnya pedang Tui hong siu dilolos dari
sarungnya, senjata yang digunakan ternyata
pedang yang biasa digunakan perempuan.
Bersamaan di saat Pho Ang-soat
melempar goloknya ke udara, dengan satu
gerakan cepat tangan kanannya merogoh ke
dalam saku dan mengeluarkan bungkusan
mutiara yang dititipkan Loh Loh-san padanya
menjelang ajalnya tadi.
Waktu itu ujung pedang Tui hong siu sudah
berada tiga inci dari tenggorokannya, dengan satu
gerakan cepat Pho Ang-soat mundur selangkah
kemudian menggunakan bungkusan mutiara yang
berada di tangan kanannya menyongsong
datangnya ujung pedang itu.
"Trang!", diiringi suara benturan nyaring,
butiran mutiara pun berhamburan ke lantai.
Tusukan pedangnya yang pertama berhasil
merontokkan golok, sementara tusukan yang
kedua menghamburkan mutiara kemana-mana.
Begitu mutiara bertebaran di lantai, hawa
membunuh yang membeku di ruangan pun
seketika mencair.
Sepasang tangan Tui hong siu kembali terkulai
ke bawah, kedua bilah pedang kecil itu pun sudah
lenyap dari pandangan mata, sikapnya sekarang
tak jauh berbeda dengan sebelum melancarkan

serangan tadi, hanya bedanya, hawa membunuh
yang menyesakkan napas kini sudah lenyap.
Hanya saja kerutan mukanya tampak jauh lebih
tua, semangat, sikap maupun penampilannya kini
sama sekali telah berubah.
Serangan pedang seorang jagoan, terkadang
seperti uang, dalam beberapa hal nyaris
mempunyai kesamaan.
Bagi seorang jago pedang, ada tidaknya
pedang dalam genggaman sama seperti
seseorang memegang uang atau tidak, seringkah
dapat mengubah jalan hidupnya.
Bila seorang jago pedang tak berpedang, sama
seperti orang tak berduit, seperti sebuah karung
goni yang tak berisi, lemas, loyo dan tak punya
kemampuan.
Pho Ang-soat tidak bergerak, dia hanya berdiri
kaku di situ sambil memandang Tui hong siu
dengan dingin.
Tui hong siu tidak memandang ke arahnya lagi,
sinar matanya seakan terhenti di tubuh Pho Angsoat,
seperti juga sedang memandang ke tempat
jauh.
Begitulah, kedua orang itu pun berdiri saling
berhadapan tanpa bergerak.
Sampai lama kemudian akhirnya Tui hong siu
buka suara lebih dahulu, tanyanya, "Darimana
kau bisa tahu kalau aku menggunakan dua bilah
pedang?"

Pho Ang-soat mengalihkan pandangannya pada
kedua tangan lawan, ujarnya, "Biasanya orang
hanya meninggalkan kulit keras bekas pedang di
tangan kanan, sedang kau... pada kedua
tanganmu punya tanda itu."
"Oleh sebab itu kau sengaja melempar golokmu
untuk memancing pedangku yang sebelah?"
"Ya, rasanya hanya bisa dilakukan dengan cara
begitu," sahut Pho Ang-soat hambar, "sekalipun
kau hanya memiliki sebilah pedang pun, aku tak
yakin bisa menghadapinya."
Dia bicara sejujurnya, sebab sebelum Tui hong
siu datang kemari, dia telah menghimpun semua
semangat, tenaga dan kekuatannya hingga
mencapai puncaknya, sekalipun Pho Ang-soat
berhasil mencabut golok begitu bertemu, dia
tetap sulit menjebol pertahanannya.
Dengan sorot matanya yang nampak jauh lebih
tua ia menatap Pho Ang-soat sekejap, ternyata
suaranya juga terdengar jauh lebih parau dan
tua.
"Bagus, bagus sekali...." gumam Tui hong siu,
"rupanya kau memang punya alasan kuat untuk
meraih kemenangan."
"Cayhe berhasil menang karena memakai akal,
biarpun berhasil lolos dari sergapan pedang
Cianpwe, bukan berarti aku berhasil meraih
kemenangan, buat apa Cianpwe...."
"Kau tak perlu bicara lagi!"

Tui hong siu hanya mengawasi pemuda itu
tanpa berkedip, sampai lama kemudian, ia tetap
tak mengucapkan kata-kata. Mendadak dia balik
tubuh dan beranjak pergi dengan langkah lebar.
Mengawasi tubuhnya yang makin jauh, Pho
Ang-soat menggeleng kepala sambil bergumam,
"Cianpwe ini memang hebat, kehebatannya
memang lain daripada yang lain."
Biarpun ucapan itu diutarakan sangat pelan,
namun secara tiba-tiba Tui hong siu kembali
berpaling memandang ke arahnya, tapi kemudian
dia menghela napas panjang.
"Menang tapi tak angkuh, rendah hati penuh
sopan-santun, biar sedikit dingin dan ketus pun
apa salahnya?"
Selesai berkata, Tui hong siu melanjutkan
langkahnya berlalu dari situ.
Matahari amat terik, udara begitu panas
membuat rerumputan yang tumbuh di dalam
kebun hangus terbakar dan layu.
Pho Ang-soat mengumpulkan kembali mutiara
yang tersebar di lantai dan dimasukkan ke dalam
kantungnya, kemudian dia berjalan keluar kamar,
menuju kebun bunga dan menelusuri beranda.
Di ujung beranda lamat-lamat terlihat sesosok
bayangan putih berdiri di balik keremangan,
begitu remang hingga seakan ada dan tiada.

Pho Ang-soat berjalan sangat lamban,
selangkah demi selangkah berjalan menuju ke
arahnya.
Pek Ih-ling mengawasinya dengan pandangan
ragu, dia seakan sedang mengawasi tempat maya
di kejauhan, selain perasaan murung yang tipis,
wajahnya dihiasi pula dengan perasaan kesal dan
tidak berdaya.
Pho Ang-soat menghentikan langkah setelah
tiba di hadapannya, lalu dengan pandangan mata
dingin dia balas menatap gadis itu.
Begitulah mereka berdua saling berhadapan,
saling berpandangan sampai lama sekali.
"Tak kusangka kau berhasil mengungguli Tui
hong siu," dengan suara lirih Pek Ih-ling berbisik.
"Dia sama sekali tidak kalah, dia telah
kehilangan hawa napsu membunuh untuk
menghabisi nyawaku."
"Berarti kau tahu pagi ini dia bakal datang
untuk membunuhmu?"
"Betul, aku dapat merasakannya."
"Kalau begitu seharusnya kau pun tahu aku
bakal menyuruh dia pergi membunuhmu?"
kembali Pek Ih-ling menambahkan.
Kali ini Pho Ang-soat tidak menjawab, dia
hanya mengawasi gadis itu dengan mulut
membungkam, lewat sesaat kemudian baru dia
angsurkan bungkusan berisi mutiara itu
kepadanya.

"Bungkusan itu diambil Loh Loh-san agar bisa
memancing rasa simpatikmu, semoga kau
menerimanya dengan baik," kata Pho Ang-soat.
Pek Ih-ling menerima bungkusan itu, lalu
sambil menatap wajah Pho Ang-soat katanya lagi,
"Bagaimana dengan kau? Apakah kau sama sekali
tidak menaruh hati kepadaku?"
Menaruh hati? Menaruh perasaan cinta?
Buru-buru Pho Ang-soat menghindari
pertanyaan itu, cepat dia mengalihkan
pembicaraan, "Aku rasa kau tentu sudah tahu Loh
Loh-sap telah mati?"
Loh Loh-san tahu dalam kamar Be Hong-ling
terdapat sekantong mutiara, tentu saja hal ini
dikarenakan Pek Ih-ling sengaja membocorkan
rahasia ini kepadanya.
Tentu saja Pek Ih-ling pun tahu semalam Pho
Ang-soat pasti akan mendatangi kamar Be Hongling
menanti kedatangan sang pembunuh.
Tentu saja perempuan itu pun sadar, begitu
Loh Loh-san muncul di situ, dia pasti akan
menemui ajalnya.
Karena di ujung golok Pho Ang-soat hanya
kematian saja yang ada.
Kalau bukan musuh yang mati, berarti diri
sendiri yang mampus.
Panasnya udara di kebun bunga tidak membuat
beranda itu jadi lebih sejuk, suasana yang

remang-remang serasa berada di sebuah
perjalanan menuju neraka.
"Hanya cinta yang paling suci di dunia ini," kata
Pho Ang-soat dengan hambar, "mungkin kau
kelewat muda hingga tak tahu betapa
berharganya perasaan cinta, tatkala kau telah
memperoleh berbagai pengalaman, maka kau
bakal tahu arti cinta yang sesungguhnya."
Selesai berkata ia segera beranjak pergi
meninggalkan tempat itu, meninggalkan Pek Ihling
yang masih berdiri termangu di situ.
Seandainya kau dapat melihat lebih seksama,
maka akan kau lihat butiran air mata sedang
membasahi pipi perempuan itu.
"Kau keliru besar," bisik Pek Ih-ling sambil
mengawasi bayangan punggung Pho Ang-soat
yang makin menjauh, "biarpun hanya cinta yang
paling suci di dunia ini, namun cinta pula yang
dapat membuat orang merasa tersiksa dan
menderita."
Di kala air mata membanjiri wajah Pek Ih-ling,
sebuah tangan yang kuat tapi penuh keriput
perlahan-lahan memegang bahunya.
Pek Ih-ling tidak berpaling, karena dia tahu
tangan siapa yang sedang memegang bahunya.
Raut muka Be Khong-cun pun dipenuhi banyak
kerutan, kerutan yang tergores di wajahnya
seakan menyimpan penderitaan, perjuangan serta
mara-bahaya yang pernah dialaminya, seakan
sedang memberitahu orang lain, jangan harap

kau bisa merobohkan dirinya dalam masalah apa
pun, bahkan termasuk menyuruhnya pergi
beristirahat.
Biarpun begitu, sorot matanya tetap datar dan
hambar, sedikit pun tidak disertai cahaya mata
yang tajam menggidikkan, kini sepasang matanya
sedang mengawasi Pek Ih-ling.
Biarpun datar namun tersisip pula perasaan
pedih, kasihan, tak berdaya serta serba salah,
tanpa mengucapkan sepatah kata pun Be Khongcun
mengawasi Pek Ih-ling.
Tampaknya si nona tak ingin membiarkan
kepedihan dalam keheningan itu berlarut, maka
cepat bisiknya, "Salahkah aku?"
"Kau tidak salah," jawab Be Khong-cun, "yang
salah adalah takdir!"
Sesudah menghela napas panjang, terusnya,
"Sepuluh tahun telah lewat, kau belum dapat
melupakannya?"
"Melupakan?" Pek Ih-ling tertawa pilu,
"mungkinkah melupakan persoalan ini?"
Penderitaan dan kepedihan yang terbesar,
terdalam dan terkuno bagi umat manusia adalah
sukar melupakan.
Tapi apa pula yang bisa diperbuat sekalipun
sukar dilupakan? Menenggak obat untuk
mengakhiri hidup? Terjerumus dalam kehidupan
yang penuh kemurungan?

Begitu pula keadaan Pek Ih-ling sekarang. Ia
tak dapat meloloskan diri dari tekanan batin
seperti itu.
Dinding benteng yang tersusun dari batu cadas
membentang dari istana Potala hingga bukit
Cagopoli, pintu gerbang kota berada di bawah
pagoda, konon dalam pagoda itu tersimpan tulang
belulang Buddha serta banyak dongeng indah
yang penuh misteri.
Sesudah melewati pintu berbentuk bulat, kuil
Ta-cau-si muncul di sisi kanan Yap Kay.
Bangunan istana tingginya mencapai empat
puluh kaki dengan luas seratus dua puluh kaki,
bangunan itu berdiri kokoh dengan dinding
sepanjang tebing karang.
Yap Kay mengawasi semua bangunan itu
dengan terkesima, mimpi pun dia tak menyangka
istana Potala begitu indah dan megah bagaikan
berada di nirwana saja.
"Indah bukan?"
"Ah, pemandangan seperti ini tak bisa
diwujudkan hanya dengan kata indah saja," sahut
Yap Kay.
Sambil menunjuk bangunan kuil kuno yang
megah dan berada di sisi kanannya, So Mingming
menjelaskan, "Kuil itu Ta-cau-si!"
Kuil Ta-cau-si konon didirikan oleh putri Bunseng
Kongcu dari dinasti Tong.

Pada masa itu Tibet masih disebut Turfan,
sementara kota Lhasa masih disebut kota Losi.
Tahun Tin-koan keempat belas pada ahala
Tong, perdana menteri negeri Turfan, Tong-jin,
dengan membawa permata dan uang emas lima
ribu tahil berangkat ke kota Tiang-an dan
membawa pulang keponakan perempuan kaisar,
putri Bun-seng Kongcu, kembali ke negerinya.
Di kemudian hari putri Bun-seng Kongcu
menikah dengan Jin-po generasi ketujuh, Songjin
Gan-po.
Sebagai rasa cintanya yang tulus dan untuk
memuji kecantikan wajah istrinya, raja negeri
Turfan ini pun membangun sebuah kuil yang
disebut kuil Ta-cau-si.
Setelah melewati kuil Ta-cau-si, sampailah
mereka di pusat perdagangan yang paling ramai
dan megah di kota Lhasa.
Sama seperti jalan utama di wilayah Kanglam,
ada dua jenis orang yang berlalu-lalang di situ,
yang satu adalah penduduk asli dan yang lain
adalah kaum pendatang.
Menelusuri jalan di pusat perdagangan, Yap Kay
menikmati budaya dan kebiasaan kota Lhasa.
Hampir sepanjang jalan berderet kedai dan
toko yang nyaris berubah jadi hitam karena asap
lampu minyak, selain itu terendus juga bau susu
yang kecut dan kental hingga nyaris membuat
orang susah bernapas.

"Kau menyukai tempat ini?" tanya Kim-hi tibatiba.
Yap Kay mengangguk, dia memang hanya bisa
mengangguk, tak seorang pun yang tak menyukai
tempat ini.
"Sebelum ini, apakah kau pernah kemari?"
kembali Kim-hi bertanya.
Yap Kay menggeleng, dulu dia memang tak
pernah kemari, seandainya pernah, tak mungkin
dia pergi meninggalkan tempat ini.
Mendadak Kim-hi menarik tangan Yap Kay,
seakan sedang menarik tangan kekasihnya.
"Ayo, ikut aku, mari kita pergi bermain."
"Bermain dimana?"
"Bermain di tempat yang banyak
permainannya."
Sementara suara tawa si Ikan mas makin
nyaring, paras muka So Ming-ming berubah
semakin tak sedap dipandang.
Beruntung pada saat itulah dari ujung jalan
terdengar seseorang berseru, "Enci Ming-ming,
rupanya kau telah kembali!"
Ketika Yap Kay berpaling, dia lihat ada
segerombolan bocah berusia sebelas-dua belas
tahun sedang berlari mendekat, rombongan itu
ada laki ada pula perempuan, ada yang tinggi
ada yang pendek, ada yang gemuk ada pula yang

kurus, malah ada. seorang di antaranya yang
timpang kakinya.
Yap Kay memang terhitung orang yang suka
anak-anak, melihat kerumunan bocah itu, dia
hanya bisa mengawasi sambil tertawa.
"Enci Ming-ming, kapan kau kembalinya?"
"Enci Ming-ming, begitu lama kau pergi
meninggalkan kami?"
"Enci Ming-ming, selama kau tak di rumah, tak
seorang pun yang mengajak kami bermain."
Mula-mula So Ming-ming mengelus kepala tiap
bocah, kemudian kepada si bocah timpang
sahutnya, "Selama aku tak di rumah, bukankah
masih ada enci Kim-hi!"
"Tapi terkadang enci Kim-hi harus bekerja, dia
tak bisa membawa kami bermain tiap hari," kata
si bocah timpang.
"Kalau aku tidak bekerja, darimana kalian bisa
makan?" teriak Kim-hi sambil tertawa, "wah, baru
ketemu sudah memberi laporan yang bukanbukan...."
"Tidak, kami hanya kangen enci Ming-ming"
seorang bocah perempuan berseru.
"Oh, jadi kalian sudah tidak kangen padaku
lagi?" Kim-hi sengaja cemberut.
Bocah perempuan gendut itu segera memeluk
Kim-hi sambil berseru manja, "Tentu saja kami

pun sangat kangen padamu!" "Kangen atau cuma
ingin gula-gula?"
Menyaksikan serombongan bocah kecil yang
begitu menawan, tak mungkin orang tak akan
tertawa karena senang, begitu juga dengan Yap
Kay.
Begitu dia tertawa, perhatian bocah-bocah itu
pun langsung dialihkan ke wajahnya, setiap anak
mementang mata lebar-lebar dan mengawasinya
tanpa berkedip.
"Siapakah dia?" seorang bocah lelaki yang agak
tinggi bertanya kepada So Ming-ming, "apakah
teman laki barumu?"
"Aku bernama Yap Kay."
Sebelum pemuda itu melanjutkan
perkataannya, Kim-hi telah menukas sambil
menerangkan, "Yap dari kata daun dan kay
berarti buka, dia adalah tamu yang dibawa enci
Ming-ming."
Begitu tahu pemuda itu adalah tamu enci Mingming,
beberapa bocah lelaki itu segera maju
menyapa, "Aku bernama Yu Lam, Toako mereka
semua," bocah lelaki agak tinggi itu
menerangkan.
"Ngawur, kau dilahirkan belasan hari lebih
lambat ketimbang aku, menangmu cuma
perawakan tubuhmu lebih tinggi," protes bocah
lelaki timpang itu cepat, "aku bernama Siau-hoa,
usiaku paling tua di antara mereka semua."

"Selamat berjumpa anak-anak," Yap Kay
segera menyapa sambil tertawa.
Orang yang gemar bergurau memang paling
mudah bergaul dengan orang lain, melihat
kemurungan bocah-bocah itu telah hilang, So
Ming-ming pun memandang wajah setiap bocah,
lalu bertanya, "Mana Giok-seng? Kenapa aku
tidak melihat Giok-seng?"
Wajah penuh senyuman kawanan bocah itu
seketika lenyap sehabis mendengar pertanyaan
itu, semua orang jadi tenang, senyuman pun
berubah jadi kemurungan, bahkan terselip
perasaan takut yang tebal.
Sementara Yap Kay mulai menduga apa yang
terjadi, terdengar So Ming-ming bertanya lagi,
"Apa yang telah terjadi?"
Setiap bocah hanya saling berpandangan tanpa
menjawab, malah ada pula yang segera
menundukkan kepala mengawasi ujung sepatu
sendiri.
"Katakan, apa yang sebenarnya telah terjadi?"
tiba-tiba So Ming-ming berpaling ke arah Kim-hi,
lalu tegurnya, "apa yang sebenarnya telah
terjadi?"
"Aku sendiri tidak tahu," jawab Kim-hi sambil
membelalakkan mata, "semalam aku masih
melihat dia main bersama mereka."
Sekali lagi So Ming-ming berpaling ke arah
bocah-bocah itu, mendadak tegurnya kepada
Siau-hoa, "Kalau memang kau adalah Toako

mereka, seharusnya kau yang mewakili mereka
bicara."
Siau Hoa berpikir sejenak, kemudian katanya,
"Sejak kemarin dia pergi meninggalkan kami,
hingga kini belum balik."
"Kemana dia?"
"Dia... dia...."
"Apakah dia pergi ke kebun monyet?" Siau Hoa
manggut-manggut.
Berubah hebat paras muka So Mingming,
tegurnya agak gusar, "Bukankah
sudah berulang kali aku katakan, jangan
pergi ke kebun monyet?"
"Sejak kau pergi, kami memang tak pernah
mendekati kebun monyet lagi, siapa sangka
semalam terdengar suara teriakan monyet yang
sangat ramai, kemudian... kemudian Giok-seng
berkata ingin pergi melihat keadaan."
Paras muka So Ming-ming berubah jadi tak
sedap dipandang, sikap yang aneh itu membuat
kawanan bocah itu semakin ketakutan.
Situasi makin tegang, Yap Kay menimpali, "Asal
sudah tahu dia pergi ke kebun monyet, persoalan
akan lebih gampang diselesaikan. Asal kita
mendatangi kebun monyet, bukankah semua
akan beres."
"Tidak ditemukan," Siau-hoa menggeleng.
"Mana mungkin bisa tak ditemukan?"

Jawab So Ming-ming, "Peristiwa semacam ini
sudah berlangsung berulang kali, bocah yang
pergi ke sana tak pernah kembali."
"Sudah berulang kali terjadi?" seru Yap Kay,
"apakah sebelum ini pun ada bocah yang lenyap
dalam kebun monyet?"
So Ming-ming mengangguk.
"Apakah tidak mencoba dicari di dalam kebun
itu?"
"Pernah, malah suatu saat kami pernah
menggeledah kebun monyet bersama sekawanan
opas, namun hasilnya sama saja, jangankan
tubuhnya, seutas rambut pun tidak ditemukan."
"Jangan-jangan sudah pergi ke tempat lain?"
"Tidak mungkin, setiap orang yang berani
mendekati kebun monyet, seringkah mereka
lenyap begitu saja." "Termasuk orang dewasa?"
Kembali So Ming-ming mengangguk.
Dalam sebuah kebun yang sangat luas, tinggal
ratusan ekor monyet berbagai jenis serta seorang
kakek, seorang bocah perempuan kecil dan
sepasang suami istri kerdil yang sangat aneh. Hal
semacam ini pun sudah tampak sangat aneh dan
penuh misteri.
Tapi yang paling menarik perhatian Yap Kay
adalah terdapatnya sejenis monyet berkepala
manusia dalam kebun itu, yang konon pandai
berbicara.

Dan kini dia semakin tertarik lagi karena ada
begitu banyak orang hilang setelah mendekati
tempat itu, ada apa dengan kebun monyet itu?
Tampaknya kebun monyet itu tidak hanya
diliputi misteri, bahkan masih menyimpan banyak
rahasia besar yang tidak diketahui orang lain.
Kalau dibilang benar-benar menyimpan rahasia,
rahasia macam apakah itu? Persoalan inilah yang
paling utama ingin diketahui Yap Kay.
Untuk mengungkap masalah yang aneh dan
rahasia, sudah pasti akan menghadapi banyak
kendala dan hambatan, bahkan terkadang harus
menggunakan nyawa sebagai taruhan, namun
ketegangan selama pelacakan dan penyelidikan,
serta rasa puas dan bangga bila berhasil
mengungkap, jelas merupakan daya tarik yang
luar biasa.
Terutama lagi bagi orang seperti Yap Kay.
Kegemaran paling utama dalam hidupnya tak
lain adalah suka mencari ketegangan, suka
mencampuri urusan orang, oleh sebab itu banyak
kesulitan dan masalah yang harus dihadapinya
selama ini.
Beruntung sekali dia termasuk orang yang tak
takut menghadapi kesulitan.
Biasanya orang yang senang mencampuri
urusan orang lain adalah orang yang tak kuatir
menghadapi kesulitan.

Setiap orang mempunyai rumah, terlepas
rumah baik atau buruk, terlepas rumah miskin
atau kaya, rumah mewah megah bak istana atau
pun rumah bobrok yang reyot hampir roboh.
Rumah tetap adalah rumah.
Kandang anj ing pun merupakan rumah.
Asal ada rumah berarti kau akan memperoleh
kehangatan.
Rumah adalah tempat yang paling tepat
bagimu untuk kabur dari kenyataan, merupakan
tempat yang paling cocok untuk menangis dan
berkeluh kesah di saat kau sedang sedih.
Rumah pun merupakan tempat dimana kau
dapat melakukan perbuatan apa pun. Seperti
umpama merasa gatal di suatu bagian tubuh,
setiap saat kau dapat menggaruknya dengan
sesuka hati.
Berada dalam rumah kau tak usah memikirkan
segala pantangan dan larangan.
Tentu saja di saat tak ada orang tua atau orang
luar. Karena setiap orang mempunyai rumah,
tentu saja So Ming-ming pun mempunyai rumah.
Hanya saja mimpi pun Yap Kay tidak
menyangka rumahnya itu macam begini.
Rumah tinggal So Ming-ming berada di kaki
bukit di luar kota Lhasa, mencakup tanah yang
sangat luas, kamarnya saja terdiri dari belasan
buah.

Walaupun rumahnya sangat besar, namun
bukan termasuk rumah mewah yang megah,
bukan juga rumah yang reyot dan buruk.
Keempat dinding rumahnya terbuat dari bahan
yang berbeda.
Ada ruangan yang terbuat dari kayu,
tanah liat, batu bata, anyaman ijuk, batu
cadas dan ada pula yang terbuat dari
lempengan baja, rotan, bambu dan lain
sebagainya.
Yang lebih hebat lagi, ada sebuah kamar di
dalamnya yang menggunakan sederetan pohon
kecil sebagai dinding, dalam kamar seperti itulah
Siau-hoa berdiam.
Ketika Yap Kay tiba di tempat itu dan
menyaksikan bangunan yang begitu antik, untuk
sesaat dia hanya bisa berdiri bodoh.
"Bagaimana?" tanya Siau-hoa yang berada di
sisinya dengan bangga, "rumah kami ini bagus
bukan?"
"Bagus, amat bagus," sahut Yap Kay tertawa
getir, "hakikatnya jauh lebih hebat dari istana
kaisar, lebih nyaman dari nirwana."
Setelah tertawa lanjutnya, "Bila rumah mewah
itu dibandingkan rumah kalian, kelihatan rumah
mereka mirip sarang tikus."
Berada dalam kamar, Yap Kay membaringkan
diri di atas sebuah pembaringan yang terbuat dari
selembar papan dan selapis jerami kering.

"Ai, di kolong langit memang tak ada rumah
lain yang lebih hebat dari rumah ini. Pada
hakikatnya rumah ini benar-benar hebat dan luar
biasa."
"Mereka adalah gerombolan anak gelandangan
yang tak punya orang tua, bila aku tidak
menampung mereka, jelas bocah-bocah itu bakal
hidup bergelandangan di luar, bahkan mungkin
ada yang mati sakit atau kelaparan."
"Mereka adalah anak-anak yatim piatu yang
pernah hidup melarat dan menderita, ada
sebagian di antaranya yang sejak kecil sudah
belajar berbuat jahat, sejak dini sudah melakukan
berbagai tindak kriminal, bayangkan, bila bocah
ini tumbuh makin dewasa, bukankah akhirnya
mereka akan menjadi sampah masyarakat? Kalau
sampai ada begitu banyak sampah masyarakat,
jelas akan menjadi masalah gawat dalam
kehidupan sosial. Itulah sebabnya aku
berkeputusan mengumpulkan mereka, berusaha
mengajarkan hal positip kepada mereka."
"Sekalipun di kemudian hari belum tentu
mereka menjadi manusia berguna, paling tidak
tak sampai membiarkan mereka menjadi sampah
masyarakat."
Ucapan itu disampaikan So Ming-ming ketika
dalam perjalanan mereka pulang ke rumah, tentu
saja dia pun menjelaskan kepada Yap Kay bahwa
dia maupun Cicinya juga anak yatim piatu.

Dia pun anak yatim piatu, maka baru dia
memahami kepedihan hidup seorang yatim piatu,
karena itu baru dia bersedia menampung anak
yatim piatu.
Menyaksikan gerombolan bocah-bocah itu,
memandang rumah dan kamar mereka pula, Yap
Kay merasa terenyuh.
Dalam berbagai hal, bukankah pengembara
sama nasibnya dengan anak yatim piatu?
Mereka sama-sama seperti daun berguguran
terhembus angin, daun yang terapung terbawa
arus, tidak jelas darimana datangnya dan tak
tahu kemana mereka akan pergi, karena mereka
tak lebih hanya tamu yang numpang lewat.
Tamu numpang lewat bukanlah orang yang
kembali.
Orang yang kembali bagaikan panah, tamu
yang lewat hanya terombang-ambing.
Suara derap kuda yang bergema adalah
keindahan yang salah.
Aku bukan orang yang kembali, aku hanya
tamu numpang lewat.
Seorang nyonya muda kesepian duduk seorang
diri di bawah keheningan, menunggu kedatangan
orang yang dirindukan dari tempat jauh, hatinya
begitu gundah, begitu kesepian dan pilu.
Dalam keadaan seperti ini, setiap bunyi yang
bergema akan memberikan khayalan dan harapan
yang tiada tara, membuat dia merasa sang

kekasih telah kembali, kerinduan telah berakhir,
kesepian telah berlalu.
Menanti khayalan dan harapan punah,
walaupun rasa pedih tetap muncul di hati, namun
harapan yang sempat muncul sesaat tetap terasa
indah.
Para penyair berkata "indah adalah sebuah
kesalahan".
Bila sampai detik terakhir harapan masih juga
belum datang, itulah saatnya untuk benar-benar
berduka.
Dalam banyak hal perempuan yang menunggu
kembalinya sang kekasih, mirip juga dengan
pengembara yang terombang-ambing.
Matahari terik telah lewat, malam gelap
menjelang tiba.
Ia duduk di bawah emper rumah, memandang
kejauhan dengan tenang, menyisakan selapis
bianglala di ujung langit serta suara keliningan di
wuwungan rumah.
Yap Kay sedang mengawasi perempuan itu.
Setelah berada di rumah bersama rombongan
anak-anak itu, Yap Kay merasa dalam banyak hal
kehidupan itu penuh ketimpangan, namun di balik
semua itu masih terdapat hal yang menarik dan
indah, karena itu dia pun mengundang anak-anak
untuk makan.

Begitu mendengar Yap Kay mengundang
makan, anak-anak pun mengusulkan untuk
berkunjung ke Hong-ling (keliningan).
Oleh karena itulah Yap Kay muncul di Hong-ling
dan menjumpai nyonya muda yang sedang duduk
seorang diri di bawah emper rumah.
Hong-ling adalah sebuah warung makan kecil,
terletak di pinggir kota, tak jauh dari tempat
tinggal anak-anak itu.
Hong-ling terhitung sebuah kedai makan yang
sangat aneh, sebab dari pemilik sampai pelayan,
semuanya dilakukan sang koki seorang diri.
Karena itu tamu yang bersantap di rumah
makan Hong-ling tahu mereka harus mengurus
diri sendiri jika ingin makan di situ.
Kau harus mengambil sumpit sendiri,
mengambil nasi sendiri dan bila selesai bersantap
harus meletakkan bekas mangkuk dan sumpitnya
di tempat yang telah ditentukan, lalu setelah
membayar dengan memasukkan uang ke dalam
sebuah peti, kau boleh pergi dari situ.
Oleh karena semuanya harus ambil sendiri,
orang-orang di seputar sana menyebut rumah
makan Hong-ling sebagai rumah makan
swalayan.
Tentu saja memasak sayur bukan mesti
dilakukan sendiri. Sejak pagi nyonya muda itu
akan mencuci semua sayur yang ada,
memotongnya, membuat api dan memasaknya
sampai matang.

Kalau masakan sudah siap sejak pagi, hingga
sore hari pastilah sudah dingin, kalau hidangan
tidak hangat, siapa pula yang mau membelinya?
Tentu saja perempuan muda itu tahu akan hal
ini, maka di sisi kiri rumah makannya, di atas tiga
buah meja yang berjajar, disediakan enam buah
anglo, di atas anglo tersedia kuali, dalam kuali
ada air serta penutupnya.
Bila kau merasa hidangan telah dingin, maka
hangatkan masakan itu dalam kukusan.
Tempat semacam ini boleh dibilang sangat
aneh, cara makan yang aneh, rumah makan
yang aneh dan nyonya muda yang aneh.
Yap Kay mulai tertarik semua itu.
Bab 5. TERGILA-GILA PADA GOLOK
Teriknya hawa panas belum hilang, dinginnya
udara sudah merasuk ke tulang.
Kau bisa menikmati perubahan iklim ini di luar
perbatasan.
Rembulan baru saja muncul di tengah langit,
taburan bintang di langit pun masih bersembunyi
di balik awan tebal, tapi giliran ronda telah tiba.
Menyaksikan rombongan peronda yang baru
digantikan lenyap di balik kegelapan di ujung
jalan sana, Lim Cun menarik baju kulit
kambingnya untuk menutupi tengkuknya yang
kedinginan, lalu dengan sepasang mata tikusnya

yang terkesan sedikit ngeri dan takut, dia mulai
memeriksa kegelapan di seputar sana.
Sebetulnya hari ini adalah giliran Oh Sam yang
bertugas ronda, tapi semalam dia ditemukan
tewas, tewas di jalanan di ujung kota.
Konon kematiannya disebabkan darahnya telah
habis diisap setan pengisap darah.
Begitu teringat setan pengisap darah, tubuh
Lim Cun menggigil makin keras, perasaan ngeri,
takut dan horor yang semakin mengental
terpancar dari sepasang matanya.
Belakangan Ban be tong memang seolah
terselubung di balik kabut teror yang mengerikan
dan menakutkan, banyak orang hilang begitu
saja, banyak yang dijumpai telah tewas tanpa
sebab yang jelas, bahkan setan pengisap darah
yang selama ini hanya muncul dalam dongeng
pun ikut bermunculan. Bayangkan saja, siapa
yang tidak takut menghadapi ancaman teror
seperti ini?
Tak heran mereka yang sedang mendapat
giliran ronda akan menjalankan tugasnya dengan
beban tekanan batin yang berat, selain hatinya
tak tenteram, perasaan ngeri dan seram pun ikut
mencekam.
Untung saja hari ini terdapat satu hal yang
agak melegakan, yaitu rembulan pada malam ini
bersinar lebih terang.
Tempat dimana Lim Cun berdiri adalah sebuah
tiang bendera yang besar dan tinggi, di ujung

tiang tergantung sebuah lampion yang sangat
besar.
Sinar rembulan yang terang ditambah lampion
besar, membuat kegelapan sedikit terusir dari
sekitar tempat itu, tak heran perasaan Lim Cun
sedikit lebih lega.
Sejak dulu, kegelapan memang selalu dianggap
sebagai sumber kengerian dan teror.
Hawa dingin menyusup ke balik baju Lim Cun
menyertai hembusan angin malam, di tengah
cuaca dingin yang begini membeku, bila gerak
tidak dipertahankan, tak sampai sepeminuman
teh kemudian dijamin tubuhmu akan berubah jadi
gumpalan es.
Sambil menggenggam golok panjangnya di
tangan kiri, Lim Cun mulai berlari-lari kecil,
sementara dalam genggaman tangan kanannya
membawa botol arak yang berulang kali diteguk
isinya.
Menunggu cairan arak mengalir dalam
perutnya, Lim Cun baru merasakan sedikit
kehangatan. Padahal menurut aturan, waktu
berdinas dilarang minum arak, tapi siapa yang
kuat tidak menenggak arak?
Asal tidak sampai membuat gara-gara, asal
tidak ketahuan atasan, biasanya orang-orang itu
akan menutup mata.
Tatkala isi botol semakin berkurang, perasaan
hangat pun semakin menjalar ke seluruh tubuh,
Lim Cun menghentikan larinya. Mungkin lantaran

pengaruh arak atau mungkin karena malam itu
terasa begitu tenang, perasaan ngeri dan horor
dalam hatinya lambat-laun semakin memudar.
Baru saja Lim Cun bersandar di tiang bendera
karena rasa kantuk, tiba-tiba ia saksikan
seseorang muncul dari balik kegelapan, begitu
lambat gerakan orang itu seolah sudah menyatu
dengan suasana gelap di sekelilingnya.
"Siapa?"
Lim Cun melototkan mata, golok maupun botol
araknya tanpa terasa digenggam makin kencang.
"Siapa? Kata sandi!"
Orang itu tidak menjawab kecuali
memperdengarkan suara tawa yang
menyeramkan, kakinya sama sekali tak bergerak,
namun tubuhnya justru bergerak makin
mendekat.
Lim Cun merasa orang itu seolah melayang di
tengah udara, seperti setan penasaran yang
sedang bergentayangan, saking takut dan
ngerinya, tanpa terasa botol arak terlepas dari
genggamannya, sementara golok panjang
walaupun masih tergenggam di tangan kanan,
namun kelihatan gemetar keras bagai ranting
pohon Liu yang meliuk-liuk diterpa angin.
Sepasang mata tikusnya makin kental
memancarkan rasa takut dan ngeri, dengan suara
gemetar teriak Lim Cun lagi, "Si... siapa... siapa
kau?"
"Hehehe...."

Suara tawanya begitu menyeramkan bagai
muncul dari neraka, orang itu bergeser makin
dekat.
Akhirnya Lim Cun dapat melihat jelas raut
wajah orang itu, ternyata dia bukan lain adalah
Hwi thian ci cu yang telah mati.
Lim Cun semakin ketakutan, sekujur tubuhnya
menggigil keras, saking takutnya ia terkencingkencing
dalam celana.
Cahaya rembulan yang terang menyinari wajah
Hwi thian ci cu yang pucat bagai mayat, noda
darah kering masih menempel di ujung bibirnya,
sementara sepasang taring yang putih panjang
bagai mata pisau mencuat keluar dari balik
mulutnya.
Lim Cun yang tersohor paling cepat kabur
waktu menghadapi musuh, saat ini merasakan
sepasang kakinya seolah tumbuh akar, biar
tubuhnya menggigil keras namun dia bingung, tak
tahu bagaimana mesti kabur dari situ.
Tahu-tahu sepasang taring putih yang panjang
dan tajam itu sudah menempel di atas
tengkuknya, menyusul kemudian Lim Cun
merasakan sakit yang luar biasa menjalar dari
tengkuk hingga ke seluruh tubuh.
Tapi rasa sakit itu tidak berlangsung lama,
karena nyawanya keburu melayang meninggalkan
raganya.
Belum lagi darah dalam tubuhnya habis terisap,
ia sudah mati lebih dulu.

Rupanya Lim Cun mati karena ketakutan.
Begitu gigi taring dicabut dari tengkuk, Hwi
thian ci cu segera memasukkan dua batang
bambu tipis ke bekas gigitannya pada tengkuk
Lim Cun, lalu dengan menggunakan sebuah
kantung air yang besar dia tampung darah yang
mengalir keluar dengan derasnya itu.
Menyaksikan kantong air yang nyaris penuh
dengan darah segar, secercah perasaan gembira
dan bangga melintas di balik mata si laba-laba
terbang ke langit itu.
Tak sampai sepeminuman teh darah sudah
berhenti mengalir dari pipa bambu, Hwi thian ci
cu segera menutup kantung airnya, kemudian
mencabut pipa bambu itu.
Mengawasi Lim Cun yang sudah tergeletak
mampus kehabisan darah, Hwi thian ci cu
menampilkan senyuman penuh kebanggaan.
Ia senang dan bangga, besok pagi suasana di
sekitar sana pasti akan heboh karena mereka
menemukan sesosok mayat yang mati karena
diisap darahnya oleh setan pengisap darah.
Betapa pun panasnya udara, betapa dinginnya
suasana, Pho Ang-soat selalu hanya mengenakan
baju kasar hitamnya ditambah sebuah mantel
kulit yang sudah luntur warnanya.
Dia seolah macan kumbang yang hidup di
tengah belantara luas, mau berubah seburuk
apa pun cuaca di situ, mau terjadi peristiwa apa

pun, dia selalu dapat menyesuaikan diri, dapat
bertahan hidup lebih lanjut.
Pho Ang-soat bukan cuma punya tubuh sekuat
macan kumbang, dia pun memiliki kesensitipan
indra keenam seekor macan kumbang.
Terhadap hawa membunuh dan ancaman
bahaya yang berada di sekelilingnya, dia bisa
menghadapi jauh lebih sigap dan sensitip
ketimbang macan.
Kegelapan malam belum lagi lewat, sisa lentera
makin mengecil dan mendekati padam.
Pho Ang-soat berbaring di tengah kegelapan,
berbaring di atas ranjang yang dingin, biarpun
angin malam di luar jendera terdengar menderu
kencang, namun ia tak peduli, ia mulai merasa
kantuk dan lelah.
Di kala Pho Ang-soat hampir terlelap tidur inilah
mendadak ia mendengar suara yang sangat lirih,
seperti suara lentera yang kehabisan minyak,
seperti lampu yang hampir padam, di tengah deru
angin malam yang kencang, seharusnya suara itu
tak terdengar, apalagi jelas.
Pho Ang-soat tak mendengar suara lain, tiada
yang bisa dilihatnya waktu itu.
Tapi setiap bagian tubuhnya yang punya rasa,
setiap otot yang bisa merasakan, setiap syaraf
perasa yang ada, tiba-tiba mengejang kencang.

Karena ia sudah merasakan hawa membunuh
yang kuat, hawa membunuh yang tak terdengar,
juga tak terlihat....
Hanya manusia yang sudah banyak membunuh
dan senjata yang sering menghabisi nyawa
manusia yang bisa mengeluarkan hawa
membunuh seperti ini.
Hanya manusia semacam Pho Ang-soat yang
dapat merasakan hawa membunuh seperti ini,
biarpun seluruh otot tubuhnya sedang
mengejang, namun sekali meletik, tahu-tahu dia
sudah melompat bangun dari atas ranjang kayu
yang keras dan dingin itu. Tubuhnya melejit
bangun seperti ikan Lehi yang meletik di air, ia
saksikan kilatan cahaya pedang yang berkelebat
menusuk ke arah ranjang dimana ia sedang
berbaring tadi.
Andaikata dia bukan Pho Ang-soat, andaikata
dia tidak memiliki indra keenam bagai macan
kumbang atau tak punya pengalaman untuk
menghadapi kejadian yang menakutkan dan
menyeramkan, andaikata ia tak dapat merasakan
hawa membunuh yang menakutkan itu ....
Dapat dipastikan sekarang badannya sudah
tertembus oleh kilatan cahaya pedang yang
menakutkan itu.
Terlihat cahaya pedang berkelebat, lalu
terdengar suara benturan keras.

Benturan itu bukan berasal dari suara pedang,
yang didengar Pho Ang-soat adalah ujung pedang
yang menembus alas ranjang.
Baru saja suara mendesir, ujung pedang telah
menembus papan pembaringan, tempat dimana
pedang itu menusuk tembus tak lain adalah
jantung Pho Ang-soat sewaktu berbaring tadi.
Tapi kini mata pedang itu bukan menembus
jantung Pho Ang-soat, melainkan hanya menusuk
papan kayu.
Terlepas pedang yang digunakan adalah
pedang seperti apa, pedang itu pasti berada di
tangan seseorang, terlepas macam apakah orang
itu, yang pasti orang itu berada di kolong ranjang.
Berada di tengah udara, Pho Ang-soat
menggunakan seluruh otot tubuhnya,
mengerahkan seluruh kekuatannya untuk
berjumpalitan, lalu menerkam ke bawah,
langsung menerkam ke arah dimana dia anggap
sang penyerang berada.
Ternyata dugaannya tidak keliru.
Di bawah kolong ranjang memang bersembunyi
seseorang, ujung pedang ditusukkan dari bawah
langsung tembus ke atas papan kayu, gagang
pedang malah masih berada dalam
genggamannya.
Begitu Pho Ang-soat menerjang ke bawah,
orang itu segera melompat bangun, dalam
kegelapan Pho Ang-soat seolah melihat ada

secercah cahaya golok berkelebat dari tangan
orang itu.
Padahal saat tubuh Pho Ang-soat meluncur ke
bawah, segenap kekuatan tubuhnya baru saja
digunakan habis, di saat melihat datangnya
cahaya golok itu, tenaga sudah telanjur habis
sedang tenaga baru belum lagi dihimpun.
Tak dapat disangkal orang yang bertugas
membunuh Pho Ang-soat ini adalah jago tangguh
dari sekian banyak jago tangguh, dia sudah
memperhitungkan secara matang Pho Ang-soat
pasti dapat lolos dari serangannya yang pertama,
dia juga sudah perhitungkan Pho Ang-soat bakal
menerjang ke tempat persembunyiannya, tentu
saja dia pun dapat memperhitungkan Pho Angsoat
pasti sadar dia tak mungkin bisa mencabut
pedangnya yang tertancap di dasar ranjang ketika
melihat ia datang menerjang.
Dan yang lebih penting lagi adalah dia sudah
memperhitungkan Pho Ang-soat pasti tak akan
mengira dia masih mempunyai senjata lain.
Bacokan golok inilah yang sesungguhnya
merupakan bacokan yang mematikan.
Jika seseorang masih melambung di udara,
pasti sulit baginya untuk menghindarkan diri.
Dimana cahaya golok berkelebat, sang lawan
pasti akan mati mengenaskan.
Begitu golok diayun, cahaya golok yang tipis
menyinari senyuman sinis yang menghiasi
pembunuh itu, dia tahu mustahil Pho Ang-soat

dapat menghindari bacokan itu, karena dia tak
menyangka.
Bila tak mengira, bisa dipastikan sulit baginya
untuk menghindar, bila sulit menghindar maka
dia pun bakal mati.
Ketika si pembunuh sudah bersiap menikmati
indahnya percikan darah segar, sekonyongkonyong
ia mendengar suara, semacam suara
yang amat dikenalnya.
Suara yang hanya bisa dihasilkan ketika golok
sedang membelah angkasa, suara yang
terdengar olehnya adalah suara golok berdesing.
Sewaktu ia mendengar suara golok itu, dia pun
dapat merasakan dinginnya tanah, ia dapat
melihat Pho Ang-soat berdiri di hadapan nya,
berdiri sambil mengawasinya dengan sorot mata
setajam bintang timur di atas langit.
Bagaimana mungkin? Bacokan golok itu
mematikan, bagaimana mungkin Pho Ang-soat
dapat menghindarinya?
Dia masih ingat dengan jelas, seolah
mendengar ada suara golok. Lantas suara golok
siapa itu?
Mustahil suara golok Pho Ang-soat, karena ia
tidak melihatnya mencabut golok, kalau golok
saja belum dicabut, bagaimana mungkin bisa
terdengar suara golok?
Dia ingin menopang badannya sekuat tenaga,
tiba-tiba tangan kanannya seperti hilang rasa,

sampai Pho Ang-soat menyulut lentera dalam
ruangan, baru ia tahu lengan kanan miliknya
telah terkutung.
Apakah waktu dia mendengar suara golok tadi,
pergelangan tangan kanannya sudah terbabat
kutung? Padahal dia hanya mendengar suara,
tidak melihat ada golok, benarkah di dunia ini
terdapat babatan golok yang begitu cepat?
Di bawah cahaya lentera yang redup, Pho Angsoat
menjumpai orang yang barusan
membokongnya adalah seorang asing, kini dia
sedang mengawasi Pho Ang-soat dengan
pandangan ngeri dan takut.
"Kau tak percaya babatan golokku dapat
mengutungi lenganmu?" tegur Pho Ang-soat
hambar.
"Aku hanya mendengar suara... suara golok...."
gumam orang itu, "tidak kulihat ada golok... tak
ada golok...."
Dari wajahnya yang mengejang, hal ini bukan
disebabkan rasa sakit dari lukanya, melainkan
karena dia ingin berontak dari kenyataan di depan
mata. Ia tak percaya di dunia ini terdapat sabetan
golok secepat itu, kenyataan justru terpampang di
depan mata.
"Siapa kau?" dengan suara dingin Pho Ang-soat
menegur.
Dia tidak menjawab, hanya sorot matanya
dialihkan ke atas lengan sendiri yang kutung,
mengawasi tangannya yang masih menggenggam

golok, tiba-tiba perasaan tidak berdaya, pedih
dan sedih campur-aduk menjadi satu.
Di balik perasaan campur-aduk itu, tersisip pula
keinginan untuk pelepasan.
Tanpa terasa Pho Ang-soat mengalihkan
pandangannya ke arah kutungan tangan itu,
begitu melihat kutungan tangan, tiba-tiba waj
ahnya berubah.
Tiba-tiba saja dia mengerti mengapa si
pembunuh menampilkan perasaan campur-aduk
begitu melihat kutungan tangan sendiri.
Padahal yang dilihat Pho Ang-soat bukan
kutungan tangan itu, melainkan golok yang
berada dalam genggaman tangan itu.
Sebilah golok melengkung, bagai bulan sabit,
melengkung bagai panc ing.
Biasanya hanya penduduk luar perbatasan yang
menggunakan golok lengkung semacam ini, tapi
sejak tiga tahun berselang, tiba-tiba di daratan
Tionggoan muncul seorang jagoan lihai
bersenjatakan golok lengkung.
Dengan mengandalkan golok lengkungnya itu,
dalam tiga tahun jagoan lihai itu berhasil
membantai lima puluh dua jago lihai dunia
persilatan, termasuk para Ciangbunjin perguruan
terkenal.
Hingga kini belum pernah dia terkalahkan,
walau hanya satu kali.

Sekali lagi Pho Ang-soat menatap wajahnya,
lama kemudian baru menegur, "Jadi kau adalah
si golok lengkung A-jit?"
"Benar, akulah si golok lengkung A-jit."
Sekali lagi Pho Ang-soat menatapnya lekatlekat,
ujarnya hambar, "Kau keliru besar." "Aku
keliru?"
"Jika kau datang mencariku secara terangterangan,
mungkin kau dapat melihat golok,"
ujar Pho Ang-soat perlahan.
"Dapat melihat golok?"
Kalau perkataan itu diucapkan kemarin,
mungkin A-jit tak bakal percaya, tapi sekarang,
mau tak mau dia harus mempercayainya. Sekali
lagi sorot matanya memancarkan perasaan
campur-aduk.
Sekali lagi sorot mata Pho Ang-soat
menyongsong datangnya sikap pelepasan A-jit,
ditatapnya wajah orang itu dengan tenang. Lama
kemudian baru dia menghela napas panjang.
A-jit turut menghela napas pula, lambat-laun
paras muka yang menampilkan perasaan campuraduk
pun lenyap, yang tersisa hanya kegembiraan
dan pelepasan. Lalu dengan tulus dia berbisik,
"Terima kasih."
"Tak perlu sungkan," jawaban Pho Ang-soat
sangat hambar.

Mengapa A-jit mengucapkan terima kasih
kepada Pho Ang-soat yang telah membabat
kutung lengannya?
Tentu saja Pho Ang-soat memahami maksud Ajit,
karena itulah dia menjawab "tak perlu
sungkan", sebab dia sendiri pun seorang jago
yang mengandalkan golok.
Terkadang orang yang gila akan golok tidak
jauh berbeda dengan orang yang tergila-gila
karena sang kekasih.
Orang yang sudah terjerumus dalam jaring
cinta, orang yang sudah terbelenggu oleh
benang-benang cinta, bukan saja sulit baginya
untuk melepaskan diri, bahkan kadang ingin mati
pun tidak gampang.
Perasaan pedih yang merasuk hingga ke tulang
sumsum, perasaan lebih baik mati daripada
hidup, mungkin hanya bisa dipahami dan
dirasakan oleh mereka yang tergila-gila pada
golok.
Itulah sebabnya terkadang dibutuhkan pedang
kecerdasan untuk memotong benang cinta,
sementara orang yang gila pada golok hanya bisa
memperoleh pelepasan bila sudah mati di ujung
golok.
Tak heran A-jit bukan saja tidak mendendam,
bahkan merasa berterima kasih kepada Pho Angsoat
kendatipun ia telah mengutungi tangannya.
Sekuat tenaga A-jit merangkak bangun dengan
sisa tangannya yang masih utuh untuk

menopang, kemudian ujarnya kepada Pho Angsoat,
"Kau tak perlu mengantarku."
"Aku tahu!"
Lama sekali kedua orang itu saling menatap
tanpa bicara, tiba-tiba A-jit membalikkan badan
dan beranjak pergi.
Tatkala baru melangkah keluar pintu,
mendadak Pho Ang-soat buka suara, "Tangan kiri
pun bisa dipakai untuk memegang golok, pada
zaman Siau-li si pisau terbang, ada jago yang
mahir menggunakan pedang dengan tangan
kanan, kemudian tangan kanannya putus, namun
permainan pedang tangan kirinya di kemudian
hari ternyata jauh lebih cepat ketimbang
permainan tangan kanannya."
Yang dimaksud Pho Ang-soat adalah Hing Bubing,
tentu saja A-jit pun tahu, namun dia hanya
berpaling dengan hambar, menjawab dengan tak
bersemangat, "Sudah tiga tahun aku
meninggalkan rumah, di dusun masih ada orang
yang selalu menanti kedatanganku dengan penuh
perasaan cinta, mungkin aku bisa menyiapkan
beberapa hidangan dengan tangan kiri atau
menemaninya meneguk beberapa cawan arak
dengan tangan kiri."
"Bila ada kesempatan, aku pasti akan mencicipi
hidangan hasil masakanmu," janji Pho Ang-soat.
"Aku pasti akan menunggu. Rumahku berada di
luar kota Lhasa, sebuah tempat yang disebut
Hong-ling."

Bab 6. NYONYA MUDA DI BAWAH
KELININGAN
Cahaya bintang bertaburan di langit kota
Lhasa, tak jauh berbeda dengan suasana di
wilayah Kanglam.
Nyonya muda itu masih duduk di bawah
keliningan, di bawah pantulan cahaya lentera
sambil memandang ke tempat jauh.
Tempat apakah yang sedang dia lamunkan?
Atau siapa yang sedang dia pikirkan?
Biarpun udara di kota Lhasa pada malam ini
terasa dingin, namun hembusan angin malam
tidak sedingin perbatasan, bahkan masih terasa
hangatnya lelaki kekar dari kota Lhasa.
Angin malam berhembus, menggoyangkan
keliningan pada pohon Siong tua,
menggoyangkan juga keliningan di emperan
rumah.
Suara keliningan terdengar sendu dan pedih di
tengah kegelapan malam, bagaikan pengembara
merindukan kampung halamannya.
Padahal cahaya bintang lebih jauh letaknya
daripada kampung halaman, tapi cahaya bintang
terlihat jelas, bagaimana dengan kampung
halaman?
Beberapa orang bocah duduk mengelilingi
sebuah meja, setiap orang sedang bersantap
dengan lahapnya, dalam usia semuda bocahTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
bocah itu, mereka tak akan mengerti suka
dukanya kehidupan, bagi mereka asal ada
makanan dan kesempatan bermain, biarpun langit
ambruk pun mereka tak peduli.
Dulu Yap Kay pun pernah melewati masa
seperti ini, tapi dengan usianya sekarang, ia
sangat memahami arti dan berharganya sebuah
kehidupan.
Memang aneh, mengapa manusia selalu baru
mengerti akan sisi kebaikan bila ia sudah
kehilangan?
Nyonya muda itu masih memandang kejauhan,
Yap Kay sedang memandang nyonya muda itu,
sementara So Ming-ming mengawasi Yap Kay.
Hanya Kim-hi saja yang berkumpul dengan Siauhoa
sekalian.
Kalau sorot mata nyonya muda itu bagai orang
yang sedang bermimpi, sorot mata Yap Kay
bagaikan pedagang yang sedang meneliti kwalitas
barang, sedang sorot mata So Ming-ming lebih
jeli dari pantulan cahaya bintang.
"He, mau tidak mendengar sebuah cerita?"
tiba-tiba So Ming-ming menegur.
"Sebuah cerita?" seolah baru tersadar dari
lamunannya, Yap Kay berpaling, "cerita tentang
apa?"
"Cerita tentang dia," sahut So Ming-ming
sambil mengalihkan pandangan matanya ke arah
nyonya muda di bawah keliningan.

"Mau!"
"Kalau begitu mari ikut aku!"
Untuk menceritakan tentang si dia, tentu saja
kurang leluasa bila diceritakan di hadapannya,
maka So Ming-ming pun mengajak Yap Kay
menuju ke tepi sebuah air terjun.
Malam ini langit di kota Lhasa terasa jernih dan
indah, ada rembulan, ada pula bintang yang
bertaburan di langit.
Bagaimana suasana di wilayah Kanglam saat
ini?
Di bawah cahaya bintang dan rembulan,
semburan air terjun yang menggelegar tampak
bagaikan seutas tali pinggang warna perak yang
memanj ang.
Di samping air terjun terdapat sebuah batu
cadas yang sangat besar, So Ming-ming duduk di
atasnya, tentu saja Yap Kay pun duduk di
sampingnya, di samping So Ming-ming.
Dalam suasana yang begitu nyaman dan indah,
di bawah cahaya rembulan yang terang, dilatar
belakangi pemandangan alam yang indah dan
suara air terjun yang lembut, dunia serasa begitu
tenteram, coba kalau mereka berdua adalah
sepasang kekasih, betapa romantisnya suasana
saat itu.
"Dia bernama Nava," ujar So Ming-ming
perlahan.

Tentu saja Yap Kay tahu, yang dimaksud si dia
adalah nyonya muda di bawah keliningan.
"Nava?"
"Benar," wajah So Ming-ming tiba-tiba berubah
sangat sedih, "bila ingin memahami Nava, kau
harus mendengar dulu sebuah cerita."
Kisah yang dia ceritakan adalah sebuah cerita
yang memilukan hati.
Nava dilahirkan di tebing sebelah utara gunung
Cu mu lang ma, dia adalah seorang wanita paling
hebat dan suci dalam suku Gurkha.
Suatu saat, tatkala dusun suku Gurkha
diserang suku Niko yang ganas dan buas, suku
mereka menderita kekalahan, kekasihnya ditawan
musuh sementara dia sendiri ditangkap oleh
kepala suku Niko.
Lambang suku Niko adalah "merah", "merah"
yang membawa anyir darah, mereka memang
menyukai anyirnya darah dan ceceran darah.
Setelah ditawan, kepala suku Niko ingin
memperkosa Nava, tapi sampai mati perempuan
itu tetap memberikan perlawanan.
Akhirnya kepala suku Niko pun mengancam
akan membunuh kekasihnya bila Nava enggan
menuruti kemauannya.
Nava harus menahan siksaan dan digagahi
kepala suku Niko, karena perkosaan inilah dia
bertekad melakukan balas dendam.

Dengan gigitan dibalas gigitan, dengan darah
dibayar darah, akhirnya ia menemukan
kesempatan baik menyelamatkan sukunya serta
kekasih hatinya yang tertawan.
Tapi sayang dia sendiri harus mengorbankan
nyawanya.
Menanti sang kekasih membawa pasukan
Gurkha melakukan penyerbuan ke markas besar
suku Niko, Nava ditemukan telah wafat.
Biarpun sudah meninggal, namun dia masih
memperlihatkan kesetiaannya.
Di dalam genggaman tangannya dia masih
memegang selembar kertas yang ditulisnya
menjelang ajal untuk sang kekasih, sebuah bait
lagu berjudul "Kokang".
"Kokang yang kucinta, kau harus hidup terus,
Kau harus hidup, harus waspada, Setiap saat
harus waspada,
Selalu teringat orang-orang yang suka anyirnya
darah,
Mereka gemar membunuh.
Jangan kau ampuni bila bertemu,
Usir mereka semua.
Usir sampai ujung samudra,
Usir sampai ujung gurun,
Bangunlah kembali negerimu tercinta,

Biarpun negeri sudah tenggelam, biar sawah
ladang telantar. Asal kau rajin berjuang, negeri
kami pasti berjaya, Sawah ladang kita pasti subur
sentosa".
Kekasihnya memang tak pernah
mengecewakan harapannya itu, suku Gurkha
pada umumnya juga tak pernah mengecewakan
dirinya.
Negeri tercintanya kembali berjaya, sawah
ladang mereka pun kembali subur sentosa.
Untuk memperingati perjuangan dan
pengorbanannya yang gagah perkasa, jenazah
serta bait syairnya dikubur di bawah pagoda kuil
yang khusus dibangun untuknya, dia telah
menjadi pujaan dan sanjungan setiap orang dari
suku Gurkha.
Kisah ini selain penuh heroik, terselip pula kisah
dramatis yang memedihkan hati.
Yap Kay tidak mengucurkan air mata, bila
dalam dada seseorang telah bergelora darah yang
mendidih, bagaimana mungkin air mata bisa
mengucur?
"Kalau memang jenazahnya telah terkubur di
bawah pagoda, lantas apa pula hubungannya
dengan Nava yang ini?"
"Nava yang ini mesti tidak berada di bawah
tekanan suku bengis yang haus darah, tapi ada
semacam barang yang berbau anyirnya darah
sedang menghimpit dia serta kekasih hatinya,"
kata So Ming-ming sedih.

"Barang apakah itu?"
"Ternama! Kekasih hatinya sengaja pergi
meninggalkan dia karena dia ingin ternama."
"Oh, maksudmu kekasih hatinya pergi
meninggalkan dia karena ia ingin terjun ke dunia
Kangouw dan mencari nama?"
"Benar," jawaban So Ming-ming seperti orang
sedang mengigau, "itulah sebabnya dia terkurung
di dalam tenda milik kepala suku "nama dan
pahala', membiarkan kesepian dan kesendirian
menyiksa hidupnya, membiarkan waktu dan usia
menteror hidupnya, setiap hari dia harus
menunggu kedatangan kekasih hatinya untuk
menyelamatkan dia dari penderitaan ini."
"Sudah berapa lama? Berapa lama dia terhimpit
dalam kesepian dan kesendirian?"
"Tiga tahun! Si Keliningan menanti
kedatangannya sudah tiga tahun di bawah
pohon siong tua itu."
"Siapa nama kekasihnya?" "A-jit!"
"A-jit?"
Bayangan tubuh seseorang segera terlintas
dalam benak Yap Kay, seorang pemuda dengan
golok lengkung dalam genggamannya, golok
bulan sabit.
"Golok lengkung A-jit? Mungkinkah dia?"
gumam Yap Kay tanpa terasa
"Apa kau bilang?"

"Oh, tidak apa-apa," agaknya Yap Kay tak ingin
So Ming-ming tahu tentang orang yang bernama
Golok lengkung A-jit, karena itu segera tanyanya
lagi, "Apakah dia tahu A-jit telah berhasil meraih
nama dan kedudukan dalam dunia persilatan?"
"Ia pernah berkata padaku, sekalipun A-jit
telah mendapat nama besar dalam dunia
persilatan pun, dia tak mungkin balik kemari,"
kata So Ming-ming, "sebab semakin dia ternama
semakin tak berdaya untuk melepaskan semua
itu."
"Betul juga perkataannya," Yap Kay tergelak,
"bila kau telah terjun ke dalam dunia persilatan,
berarti selama hidup kau akan terkekang dan tak
bebas, apalagi bila kau sudah ternama, seringkah
masalah akan bermunculan tanpa disangka, yang
membuat kau tak berdaya untuk
menghindarinya."
"Bila seseorang telah ternama, seringkah
muncuh orang lain yang ingin ternama datang
menantangmu berduel, setelah muncul orang
pertama akan menyusul orang kedua, ketiga dan
seterusnya hingga suatu ketika kau berhasil
dikalahkan. Bila kalah bertarung dalam dunia
persilatan sama artinya kau bakal mati."
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya
perlahan, "Oleh sebab itu Nava berkata pula, bila
A-jit benar-benar kembali, dia pasti akan muncul
menjelang kematiannya."

"Kalau dia sudah tahu begitu akhirnya,
mengapa pula harus menunggu terus?" tanya Yap
Kay.
"Sebab dia tergila-gila kepada cintanya," suara
So Ming-ming sumbang, "biarpun tahu bagaimana
akhirnya, namun dia tetap akan menunggu terus.
Orang yang tergila-gila karena cinta seperti orang
yang tergila-gila pada golok, biarpun sudah tahu
pada akhirnya bakal tewas di ujung senjata
orang, dia tetap nekat untuk melakukannya."
"Orang yang hidup dalam dunia persilatan tak
akan punya kebebasan memilih", perkataan itu
memang tepat.
Cahaya rembulan menyinari jeram, menyinari
riak di permukaan air dan memantulkan cahaya
bintang yang seolah sedang berkedip.
So Ming-ming duduk termangu, dengan biji
matanya yang sayu dia mengawasi Yap Kay tanpa
berkedip.
"Bagaimana dengan kau sendiri?' tanya So
Ming-ming, "apakah kau pun sedang menanti
pertempuran yang tak pernah berakhir? Kenapa
kau tidak mengundurkan diri dari pertikaian dunia
persilatan?"
Yap Kay tidak memandang gadis itu, sorot
matanya dialihkan ke riak air terjun.
"Biarpun orangnya sudah mundur dari dunia
persilatan, akan tetapi namanya masih bergaung
di dunia Kangouw," kata Yap Kay sambil tertawa
getir, "orang yang ingin mencari nama tetap akan

datang mencarimu, biar kau sudah kabur sampai
ke ujung dunia pun, jangan harap bisa melewati
kehidupanmu dengan damai"
So Ming-ming tidak bicara lagi, pikirannya
segera terjerumus dalam lamunan, dia seakan
mencoba mencerna perkataan Yap Kay,
sementara sorot matanya dialihkan ke dasar
kolam yang jernih.
Karena dia tidak bicara, Yap Kay pun tidak
bicara pula, dalam suasana tenang yang begitu
indah buat apa mesti memikirkan masalah budi
dan dendam yang hanya akan merusak suasana?
Sementara Yap Kay masih melamun, terdengar
So Ming-ming berseru, "Coba lihat, benda apa
yang terapung di permukaan sungai?"
Cepat Yap Kay berpaling ke arah sungai.
Setelah diamati sesaat, segera diketahui benda
yang terapung itu adalah sebuah sepatu, sepatu
yang kecil sekali, seperti sepatu seorang bocah
cilik.
"Sepatu, seperti sepatu anak-anak," seru Yap
Kay.
"Cepat, cepat pungut.”
Belum selesai So Ming-ming berteriak, Yap Kay
sudah melesat ke depan, menutul berulang kali di
permukaan sungai dan tahu-tahu sudah balik
kembali ke atas batu. Tangannya menenteng
sepatu kecil itu.

Kalau tadi So Ming-ming ingin secepatnya
memungut sepatu itu, sekarang dia sama sekali
tak berminat menerimanya, hanya mengawasi
sepatu basah yang berada di tangan Yap Kay
dengan sorot mata ngeri, seram dan penuh horor.
Kenapa gadis itu menunjukkan mimik muka
seperti ini? Bukankah sepatu itu hanya sepatu
yang umum dan biasa, mengapa dia harus
menunjukkan mimik takut dan ngeri?
Yap Kay tidak bertanya, bukan berarti dia
enggan mencari tahu, tapi dia yakin So Mingming
pasti akan menjelaskan.
Benar saja, So Ming-ming segera memberi
penjelasan. Setelah mengamati sepatu itu
beberapa saat gadis itu pun berkata, "Baru tiga
bulan berselang aku buatkan sepatu itu untuk
Giok-seng."
Ternyata sepatu itu milik Giok-seng, sementara
bocah itu sudah lenyap sejak semalam, kini hanya
sebelah sepatu yang ditemukan di situ, berarti
telah terjadi sesuatu dengan si bocah.
Yap Kay segera berpaling memandang puncak
tebing darimana air terjun itu berasal, tanyanya
kemudian, "Tempat manakah atas sana?"
"Konon air yang mengalir di sini melewati
kebun monyet," bisik So Ming-ming dengan
perasaan ngeri.
"Kebun monyet?" bisik Yap Kay agak tertegun,
"jadi kebun monyet berada di atas tebing?"

"Benar."
Sepatu itu terjun ke bawah jeram dengan
mengikuti aliran air, kebetulan di atas tebing
terletak kebun monyet, padahal Giok-seng hilang
justru karena pergi mengunjungi kebun monyet,
jelas di balik kebun monyet terdapat rahasia
besar yang tak diketahui orang.
Cahaya pertama sinar fajar baru saja
menembus awan gelap dan menyinari Sumbatan
leher, walaupun langit berangsur mulai terang,
namun permukaan bumi masih remang-remang.
Sumbatan leher di balik keremangan tampak
bagai sebuah lukisan tinta bak, tapi jauh lebih
misterius, aneh dan menakutkan dari kegelapan.
Biarpun mulut luka masih terasa sakit, namun
rasa sakit telah tertutup oleh perasaan gembira
dalam hatinya, sambil mengawasi Sumbatan leher
di balik keremangan, A-jit mulai menampilkan
sekulum senyuman gembira.
Setelah melewati Sumbatan leher dia akan tiba
di Lhasa, sudah tiga tahun ia tinggalkan kota itu,
entah bagaimana keadaannya sekarang?
Apakah puncak atap istana Potala masih
berbentuk bulat? Apakah para pengikut setia
Buddha hidup masih melakukan ritual dengan
sujud dan khusuk? Apakah mereka masih
berdatangan dari tempat jauh, melakukan
penyembahan setiap tiga langkah, bersujud setiap
lima langkah, menggunakan cara yang paling

berat dan penuh derita untuk memperlihatkan
rasa hormat dan ketulusan mereka?
Apakah udara sepanjang jalan dalam kota
masih dipenuhi bau susu ragi yang menyengat
hidung?
Bagaimana dengan keliningan yang tergantung
di emper rumah? Apakah masih mendendangkan
suara denting yang merdu? Apakah di bawah
keliningan masih duduk seorang yang menanti
kedatangannya?
Teringat akan perempuan di bawah keliningan,
A-jit ingin sekali memiliki sayap hingga dapat
segera terbang ke sisinya.
Dia masih teringat dengan jelas saat hendak
berpisah dengan dirinya waktu itu, ia tidak ribut,
tidak menangis, tidak protes.
Dia pun tidak menahan kepergiannya, hanya
ucapnya dengan hambar, "Ingatlah, dalam kota
Lhasa masih terdapat keliningan."
"Akan selalu kuingat," A-jit menjawab dengan
penuh keyakinan, "asal impianku terwujud, aku
pasti akan kembali."
A-jit saat itu masih merupakan pemuda dengan
cita-cita setinggi langit, dia sangka mudah
berkelana dalam Bu-lim dan menjadi ternama, dia
begitu yakin impian dan harapannya dapat segera
terwujud.
Biarpun akhirnya impian itu benar-benar
terwujud, tapi orangnya telah berubah.

Bukan perasaan hatinya yang berubah, bukan
berubah jadi jahat, tapi berubah jadi takut
urusan, berubah jadi takut pulang, karena setiap
saat dia harus berjaga-jaga menghadapi orang
yang membawa niat sama seperti dirinya dahulu,
datang menantangnya berduel.
Dia kuatir sekembalinya ke rumah,
kehadirannya justru akan menyulitkan kekasih
hatinya.
Sekali tak berani pulang, dua kali tak berani
pulang, tiga kali... empat kali... lama kelamaan
dia semakin tak berani pulang.
"Semakin berkelana dalam dunia persilatan
semakin ketakutan", biarpun ucapan ini tidak
tepat seratus persen, namun maknanya sangat j
elas.
A-jit sadar, kemungkinan besar selama hidup ia
tak berani pulang, sebab kekalahan dalam dunia
persilatan berarti kematian.
Bagi orang mati, pulang atau tidak sebetulnya
tak masalah.
Benar tak bermasalah? Biarpun kau adalah
seorang Tayhiap, seorang Enghiong, mereka tetap
adalah manusia, tak mungkin mereka mandra
guna dan super sakti seperti sering diceritakan
orang, mereka tetap manusia biasa yang butuh
uang untuk hidup, makan dan membeli
kebutuhan.
Tanpa pemasukan, mana mungkin punya duit?
Sebagai Tayhiap dan Enghiong Hohan, jelas

mereka tak bisa mencuri, apalagi merampok,
maka muncullah pikiran mereka untuk mencari
pekerjaan rangkap.
Tapi pekerjaan rangkap apa yang paling cocok
dan pas? Tentu saja yang paling mudah dicari
adalah sebagai seorang pembunuh bayaran.
Dalam hal pekerjaan, sebetulnya pekerjaan
yang terhitung paling kuno, paling purba bagi
seorang lelaki adalah pekerjaan sebagai seorang
pembunuh.
Bahkan ada orang mengatakan kalau pekerjaan
ini jauh lebih tua dari seorang wanita yang
melahirkan anak.
Penghasilan sebagai seorang pembunuh
bayaran memang sangat besar, tapi pekerjaan ini
merupakan pekerjaan yang tragis, sebab di saat
mereka sedang menjalankan tugas, setiap saat
kemungkinan nyawa sendiri bakal melayang,
semisal berhasil pun mereka harus hidup dalam
pengasingan, harus merahasiakan identitas dan
tempat tinggal.
Malah terkadang sasaran pembunuhan yang
diterima adalah sanak sendiri, bila menghadapi
situasi seperti ini bukan saja mereka tak boleh
ragu menerimanya, alis mata pun tak boleh
berkerut.
Sebagai pembunuh bukan saja harus tak
mengenal sanak keluarga, bahkan dia harus
kejam tak berperasaan, tak boleh ada perasaan

iba, tak boleh memiliki perasaan kasih, juga tak
mengenal arti peri kemanusiaan.
Syarat utama sebagai seorang pembunuh
bayaran yang berhasil adalah kejam, telengas dan
berdarah dingin. Yang lebih utama lagi adalah
tidak mengenal lingkungan, tidak punya pribadi.
Tak ada waktu pribadi, tak ada keuntungan
pribadi, tak ada budi dendam pribadi, tak ada
keluarga, tak ada kasih sayang. Semua hal yang
berkaitan dengan pribadi harus disingkirkan jauhjauh.
Yang lebih penting lagi adalah tiada jalan
mundur bagi seorang pembunuh, satu kali
melangkah masuk ke dalam lingkungan pekerjaan
itu, sampai mati pun kau tak dapat pensiun.
Jangan harap kau bisa mengundurkan diri di
saat kau berhasil meraup untung besar, sekalipun
musuh belum tentu bisa menghabisi nyawamu,
bisa jadi teman sejawatmu yang akan datang
membereskan kehidupanmu, mengejarmu hingga
kau tak bisa membocorkan semua rahasiamu lagi.
Hanya semacam manusia yang tak bakal
membocorkan rahasia, yaitu orang mati.
Masih ada satu kemungkinan lagi, yakni bila
orang menganggap kau sudah tidak
mendatangkan ancaman lagi bagi mereka, bila
orang lain sudah menganggapmu cacat dan tak
berguna, mungkin saja mereka akan melepas
dirimu.
Persis seperti keadaan A-jit sekarang.

Tangan kanannya sudah kutung, dia sudah
cacat berat, meski masih menyimpan banyak
rahasia besar, namun demi menyelamatkan
nyawa sendiri, tak mungkin dia mau
membocorkan rahasia itu, malah terkadang
berusaha membuang jauh-jauh rahasia itu.
Oleh sebab itulah nasib seperti yang dialami Ajit
sekarang ini beruntung sekali bagi seorang
pembunuh, karena ia pernah mati satu kali.
Orang lain pasti mengira dia sudah tewas di
ujung golok Pho Ang-soat, takkan menyangka
Pho Ang-soat bakal membebaskan dirinya.
Pho Ang-soat memang telah mengutungi
tangannya, tapi dia pun telah mengampuni
nyawanya.
Sejak detik itu, dalam dunia persilatan sudah
tidak terdapat lagi manusia yang bernama si
golok lengkung A-jit.
Matahari makin meninggi dan memancarkan
sinarnya ke seluruh jagad, mengusir sisa-sisa
hawa dingin dan kegelapan yang semula
mencekam.
Kini Sumbatan leher terlihat semakin jelas,
bentuknya yang curam dan berbahaya pun
nampak semakin kentara, tapi A-jit tidak takut,
dia memang dibesarkan di Lhasa, sudah berapa
ratus kali bermain di seputar wilayah Sumbatan
leher, jangankan merasa takut, bahkan dia tidak
percaya akan adanya dongeng tentang setan iblis.

Tiga tahun sudah ia pergi berkelana,
menyaksikan Sumbatan leher yang sudah lama
ditinggalkan, tiba-tiba muncul perasaan manis di
hati kecilnya, baginya melihat Sumbatan leher
sama seperti melihat rumah kediamannya, tanpa
terasa dia pun mempercepat langkah kakinya.
Tebing tinggi curam menghadang masuknya
cahaya matahari, kini A-jit sudah melewati
bayangan gelap Sumbatan leher, sebentar lagi dia
akan tiba di kota Lhasa.
Saat itulah dia saksikan ada seorang kakek
bungkuk sedang berjalan menelusuri Sumbatan
leher.
Kakek itu tua sekali, pada punggungnya yang
bongkok dia menggendong sebuah keranjang
bambu, sementara tangan kanannya membawa
sebuah japitan yang terbuat dari dua bilah
bambu, japitan yang digunakan untuk memungut
sampah dan barang rongsok di sepanjang jalan.
Ternyata kakek itu adalah seorang pengumpul
barang rongsok, seorang pemulung.
Ketika melihat kakek pemulung itu, timbul
perasaan hormat dalam hati kecil A-jit, biar sudah
tua reyot ternyata dia masih pantang menyerah
untuk berjuang mempertahankan hidup, biar usia
telah menggerogoti tubuhnya tapi semangatnya
tetap tinggi.
Kakek pemulung itu berjalan dengan kepala
tegak, punggungnya bongkok dan gerak-geriknya

kurang leluasa, namun dia masih tetap mencari
nafkah dengan mengandal kekuatan sendiri.
Apakah dia tak punya anak? Pasti tak punya,
kalau tidak, siapa yang tega membiarkan orang
setua ini bekerja keras mencari nafkah?
Orang tua yang tak sampai dijatuhkan oleh
kenyataan hidup ini pasti memiliki harga diri yang
tinggi, semisal kau bersimpatik padanya dengan
memberi derma, dapat diduga dia bakal marah.
Masih untung A-jit mendapat cara lain, di
samping bisa membantu orang tua itu
meringankan deritanya, dia pun tak sampai
membuat orang itu tersinggung harga dirinya.
Dari dalam saku A-jit mengeluarkan setumpuk
uang kertas, lalu cepat dibuangnya ke tanah,
setelah itu dengan langkah cepat ia berjalan
melewati si orang tua.
Sepasang mata kakek pemulung itu selalu
mengawasi jalanan, tentu saja dia menemukan
tumpukan uang yang dibuang A-jit.
Menemukan uang yang terjatuh di jalanan tak
bakal menyinggung harga diri dan gengsi si
kakek, tak heran perasaan A-jit merasa lega
bercampur gembira.
Biarpun membantu kebutuhan seorang kakek
bukan terhitung perbuatan yang sangat mulia,
paling tidak bisa membuat perasaan hatinya riang
dan gembira.

Hembusan angin di pagi hari terasa segar dan
penuh kehangatan, bukan saja membawa bau
harumnya bunga lembabnya dedaunan, terendus
pula bau kecutnya susu ragi dari kota Lhasa.
A-jit menarik napas dalam-dalam, betapa
dikenalnya udara seperti ini.
Setiap kali setelah minum arak atau terbangun
dari tidur di tengah malam buta, dia selalu
mendambakan bau seperti ini.
Baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba
dari arah belakang terdengar seorang berseru,
"He, anak muda!"
Suara yang tua, serak dan berat, pasti si kakek
pemulung telah menemukan duit yang
dijatuhkan. A-jit berpaling, benar saja, si kakek
sedang berjalan menghampirinya.
"Dasar anak muda, tak tahu berharganya
uang," omel kakek pemulung itu sambil
memperlihatkan tumpukan duit yang ditemukan
itu, "kenapa kau tidak hati-hati? Coba kalau duit
itu sampai dipungut orang, bukankah kau bakal
sedih?"
"Ah, bukan milikku," sahut A-jit sambil
menggoyangkan sisa tangan kirinya.
"Bukan milikmu7"
"Bukan," A-jit mengeluarkan setumpuk uang
dari sakunya, "coba lihat, duitku ada di sini. Uang
itu bukan milikku."

"Oh...." kakek pemulung itu mengamati uang
itu sejenak, lalu menghela napas, "aai...!
Ternyata uang sebanyak ini tiada pemiliknya."
"Kau yang menemukan, berarti duit itu
milikmu," seru A-jit cepat, "maaf aku harus
pergi dulu!"
Belum beberapa langkah A-jit berjalan,
mendadak terdengar kakek pemulung itu
mengucapkan perkataan yang sangat aneh.
"Biarpun bayaranku untuk membunuh orang
sangat tinggi, tapi biasanya hanya orang hidup
yang memberi aku uang, tak nyana ternyata kali
ini ada orang mati memberi uang kepadaku."
Bayaran untuk membunuh? Jangan-jangan
kakek pemulung ini pun seorang pembunuh
bayaran?
Dengan sigap A-jit berpaling, menatap tajam
kakek pemulung itu, tapi bagaimana pun ia
memperhatikan, kakek pemulung itu sama sekali
tak mirip seorang pembunuh bayaran.
"Kakek tua, apa yang barusan kau katakan?
Bisa diulang sekali lagi?" serunya.
"Boleh saja," jawab kakek pemulung itu sambil
menyeringai, "selama ini hanya orang hidup yang
membayarku untuk membunuh orang, tak
disangka kali ini ada orang mati yang membayar
kepadaku."

"Orang mati yang membayar? Siapa orang mati
itu? Siapa pula yang hendak kau bunuh? Siapa
yang suruh kau membunuh?"
"Kaulah orang mati itu," kakek pemulung
tertawa tergelak, "tadi secara diam-diam kau
buang uang itu ke tanah, takut menyinggung
harga diriku bukan?"
Akhirnya masalah yang paling dikuatirkan A-jit
muncul juga.
Tak disangka walaupun Pho Ang-soat
membebaskan dirinya, namun organisasi rahasia
enggan melepas dirinya begitu saja.
"Jadi organisasi yang mengutusmu?" dengan
kewaspadaan penuh A-jit mengawasi kakek
pemulung itu, "bukankah aku sudah menjadi
orang cacat, mau kabur pun susah, mana
mungkin kubocorkan rahasia organisasi? Kenapa
organisasi enggan melepas diriku?"
"Demi Hong-ling (keliningan)."
"Keliningan? Demi biniku?" A-jit semakin
tertegun.
"Benar," kembali kakek pemulung itu tertawa,
"jika kau tidak mati, mana mungkin Pho Angsoat
bisa mati?"
Kuatir A-jit tidak mengerti perkataannya itu,
maka si kakek pemulung menjelaskan, "Biarpun
sudah tiga tahun kau meninggalkan rumah, tapi
binimu masih menanti kedatanganmu di rumah
keliningan, biar menunggu sepuluh tahun lagi pun

dia masih tetap akan menanti lebih lanjut, tapi
jika kau sudah mati, maka keadaannya pasti akan
berbeda, binimu pasti akan mengurus layonmu,
lalu berusaha balas dendam atas kematianmu."
Sesudah tertawa senang, kembali kakek
pemulung itu berkata lebih lanjut, "Tentunya kau
pun sangat jelas bukan akan kemampuan binimu,
terlepas siapa orang yang telah membunuhmu,
dia pasti akan mengejarnya hingga ketemu dan
berusaha membunuhnya. Mau sehebat apa pun
jagoan itu, dia tetap mempunyai cara untuk
membunuhnya."
"Kalau kalian sudah tahu keinginan si
Keliningan membalas dendam sangat besar dan
kuat, semakin tak beralasan bagi kalian untuk
membunuhku," seru A-jit.
"Kami yang membunuhmu?" kakek pemulung
menyeringai seram, memperlihatkan suara
tawanya yang sangat aneh, "kau mati di ujung
golok Pho Ang-soat, kamilah yang berusaha
sepenuh tenaga membalas dendam kesumatmu."
Walaupun langit terasa makin lama semakin
panas, namun A-jit justru merasakan hawa dingin
yang mencekam merasuk dari alas kakinya
menyusup hingga ke ubun-ubun, sekarang dia
sudah mengerti tujuan organisasi gelap itu,
rupanya mereka berusaha memfitnah Pho Angsoat,
menjerumuskannya ke dalam lembah hitam
ini.

Mereka pasti punya cara agar si Keliningan
mengira dia benar-benar tewas di ujung golok
Pho Ang-soat, asal perempuan itu tahu dia mati di
tangan Pho Ang-soat, dapat dipastikan kehidupan
Pho Ang-soat di masa mendatang tak bakal
tenang.
Tak ada orang lain lebih memahami cara
melacak serta cara balas dendam si Keliningan
ketimbang A-jit, biar kau seorang kaisar pun dia
punya cara untuk menyusup ke dalam istana dan
menyeretmu keluar, lalu membantaimu di tengah
hutan belantara.
Dengan pandangan mata yang lembut dan
penuh keramahan kakek pemulung itu
memandang A-jit, tentu saja dengan nada suara
yang lembut pula dia berkata, "Tahukah kau,
senjata apa yang akan kugunakan untuk
membunuhmu?"
"Golok," jawab A-jit, "kau hanya bisa
menggunakan golok."
"Karena Pho Ang-soat menggunakan golok",
kata-kata ini memang tak perlu diucapkan karena
mereka berdua sama-sama paham, sama-sama
mengerti.
"Tahukah kau golok macam apa yang
akan kugunakan untuk membunuhmu?" lagilagi
kakek pemulung bertanya. "Golok macam
apa?"

"Sebilah golok panjang," sambil tertawa kakek
itu menjelaskan, "bobot senjata itu pun tak boleh
melebihi tujuh belas kati."
Walaupun A-jit belum pernah menyaksikan
golok milik Pho Ang-soat, namun dia pernah
"menangkis" golok itu, karena itu dia pun tahu
ukuran golok yang disebut kakek pemulung
pastilah ukuran serta bobot golok milik Pho Angsoat,
hanya satu hal yang membuatnya tidak
menyangka, kakek pemulung benar-benar
melolos golok itu.
Golok dengan gagang berwarna hitam, golok
dengan mata senjata berwarna hitam, bahkan
seluruh golok itu berwarna hitam pekat.
Begitu hitam warnanya seolah warna jagad
setelah turun hujan di musim dingin, selain gelap
terselip pula semacam cahaya yang aneh, misteri
dan sulit dilukiskan dengan perkataan.
Namun bentuk golok itu sangat biasa, sangat
bersahaja.
Benarkah golok semacam ini justru merupakan
golok iblis yang mampu menggidikkan hati orang?
Mengawasi golok dalam genggaman kakek
pemulung itu, selain perasaan ngeri dan seram,
terlintas juga perasaan hormat di wajah A-jit.
Ngeri dan takut, karena ia sadar nyawanya
bakal berakhir pada hari ini.
Mana mungkin ada manusia di dunia ini yang
benar-benar tak takut mati?

Tentu saja rasa hormatnya dikarenakan golok
yang berada dalam genggaman kakek pemulung
itu, sebab bentuk maupun warna senjata itu tak
beda jauh dengan senjata milik Pho Ang-soat.
Bukan golok itu yang dia hormati, tapi dia
sangat kagum dan menghormati Pho Ang-soat.
Menyongsong sinar sang surya, tiba-tiba dari
balik mata golok berwarna hitam yang aneh dan
penuh misteri itu melintas secercah cahaya tajam.
Begitu golok diayun, desingan angin tajam
segera membelah bumi.
Belum habis desingan angin golok bergema,
batok kepala A-jit telah berpisah untuk selamanya
dari tengkuknya.
Dengan lembut dan halus Kakek itu
mengeluarkan selembar kain putih dari dalam
keranjang bambu di punggungnya, dengan
lembut menggosok kering noda darah pada mata
golok, begitu lembut seakan seorang kakek yang
sedang membersihkan mulut cucu
kesayangannya.
Batok kepala A-jit menggelinding di atas tanah
berpasir yang panas, sepasang matanya terbuka,
juga tidak menunjukkan kesakitan maupun
penderitaan, malahan pandangan mata itu masih
terselip senyuman, senyuman terhadap kakek
pemulung itu.
Karena sedetik menjelang ajalnya dia berhasil
mengetahui satu hal, dia tidak melihat golok Pho
Ang-soat, hanya mendengar suara golok, tapi dia

melihat kakek pemulung itu memungut goloknya,
namun sama sekali tidak mendengar suara golok.
Yang satu hanya mendengar suara golok, yang
lain hanya melihat golok, adakah perbedaan di
balik itu?
Di saat batok kepala A-jit menggelinding di
tanah, keliningan di emper rumah si Keliningan,
jauh di luar kota Lhasa, tiba-tiba berdenting tiada
henti.
Bab 7. ONG-LOSIANSING DALAM RUMAH
KRISTAL
Bangunan itu terbuat dari batu kristal, dinding
bangunan terdiri dari susunan batu kristal,
bahkan atap rumah pun terbuat dari kristal yang
tembus pandang, di tengah kegelapan malam
yang tak berawan dan tak berangin, dapat terlihat
rembulan yang indah dan kedipan cahaya bintang
dari balik rumah.
Hampir semua benda yang ada dalam
bangunan ini terbuat dari kristal, termasuk meja
dan bangku.
Karena pemilik rumah ini sangat menyukai batu
kristal.
Setiap orang menyukai batu kristal, tapi
teramat jarang ada orang yang tahan hidup
dalam rumah seperti ini.

Biar indah menarik namun kristal kelewat
dingin, keras dan tak berperasaan, khususnya
bangku yang terbuat dari batu kristal.
Kebanyakan orang lebih suka duduk di atas
bangku beralas kain sutera sambil menikmati
arak anggur dari Persia dalam sebuah gelas
kristal.
Pemilik rumah ini sangat menyukai barang
kristal, jumlah benda kristal yang dimilikinya
mungkin tak terkalahkan di kolong langit.
Dia adalah kakek berambut putih, orang yang
mengenalnya lebih suka menyebut dia sebagai
Ong-losiansing.
Biarpun setiap orang tahu Ong-losiansing
adalah seorang tua, namun tak seorang pun yang
tahu seberapa tua sebenarnya?
Biarpun rambutnya telah beruban bagai perak
berwarna putih, namun masih lebat bagai rambut
pemuda, meski wajahnya dipenuhi keriput namun
masih terpancar kepolosan dan keluguan seorang
anak-anak.
Sorot matanya meski dipenuhi cahaya
kecerdasan, namun masih terselip kehangatan
seorang pemuda.
Dari raut mukanya dia tulen seorang kakek
yang ramah dan lembut, sikapnya pun ramah dan
penuh kasih sayang, hanya 'anak buah
rahasianya' yang tahu seberapa ramah dan kasih
sayangnya lelaki tua ini.

Bangku yang terbuat dari batu kristal meski
dingin dan keras, Ong-losiansing justru duduk
dengan begitu nyaman dan santai. Seorang diri
duduk dalam rumah itu, berhadapan dengan
barang- barang yang terbuat dari kristal,
mengamati cahaya pantulan yang gemerlapan,
saat seperti itu merupakan saat paling
menyenangkan bagi dirinya.
Dia senang berada dalam rumah itu seorang
diri, karena dia tak ingin orang lain ikut
menikmati kegembiraannya, seperti dia pun tak
ingin orang lain ikut menikmati keindahan
barang-barang kristalnya.
Oleh karena itulah jarang sekali ada orang
berani memasuki rumahnya, termasuk orang
terdekatnya sekalipun.
Tapi hari ini terjadi pengecualian.
Kadar kemurnian batu kristal sudah jelas lebih
murni ketimbang arak kental dalam cawan
kristalnya, Ong-losiansing selain sangat
memandang tinggi soal minuman, pakaian dan
dandanannya pun sangat diperhatikan. Bahan
bajunya selalu terbuat dari bahan berkualitas
nomor satu, kukunya selalu digunting rapi, dia
paling senang meletakkan sepasang kakinya yang
telanjang dan bersih di atas sebuah meja pendek
yang terbuat dari kristal, saat-saat seperti ini
merupakan saatnya yang paling santai.
Dia hanya minum arak di tempat ini, karena
hanya orang yang paling dipercaya baru

mengetahui tempat itu, khususnya di saat ia
sedang menikmati arak, semakin tiada yang
berani datang mengusiknya.
Namun hari ini, di saat dia siap menikmati arak
cawan ketiga, tiba-tiba terdengar orang mengetuk
pintu, bahkan sebelum ia memberi izin, orang itu
sudah membuka pintu sambil menerjang masuk
ke dalam.
Ong-losiansing sangat tak suka, tapi perasaan
itu sama sekali tidak diperlihatkan di wajahnya,
senyuman ramah masih menghiasi ujung
bibirnya.
Hal ini bukan dikarenakan orang yang
menerjang masuk adalah bawahannya yang
paling dipercaya, Hok-supek.
Hok-supek dari marga Thio dan aslinya
bernama Thio Hok, orang yang kenal padanya
sering memanggil Hok-supek atau Hok-congkoan
karena tugasnya di rumah Ong-losiansing
memang sebagai Congkoan atau pengurus rumah
tangga.
Melihat Thio Hok yang setia kepadanya masuk
ke dalam ruangan, Ong-losiansing meneguk dulu
araknya kemudian baru menegur, "Bagaimana
kalau duduk sebentar menemani aku minum
secawan?"
"Tidak, terima kasih."
Dia memang berbeda dengan majikannya, apa
yang dipikir dalam hati segera tercermin di wajah,

dan kini mimik mukanya nampak begitu jelek,
seperti baru saja rumahnya kebakaran.
"Aku tak ingin minum arak dan tak mau
minum," sahut Thio Hok, "kedatanganku bukan
lantaran ingin minum arak."
Sekali lagi Ong-losiansing tertawa, dia suka
pada orang yang suka berterus terang, sekalipun
dia sendiri bukan termasuk jenis manusia seperti
itu, tapi dia amat mengagumi dan menyukai
orang semacam ini, sebab dia beranggapan orang
semacam ini paling mudah dikendalikan.
Oleh karena dia sendiri bukan manusia
semacam ini maka baru dia menjadikan Thio Hok
orang kepercayaannya. Kembali ujarnya, "Lalu
apa tujuan kedatanganmu?"
"Karena satu masalah besar, orang yang
bernama Yap Kay."
"Oya... ?" Ong-losiansing masih saja tertawa
tergelak.
"Yap Kay telah tiba di kota Lhasa," kembali Thio
Hok melanjutkan laporannya, "bila dugaanku
tidak salah, dalam satu dua hari mendatang dia
pasti akan berkunjung ke kebun monyet."
"Wah... wah, ternyata memang sebuah urusan
besar," kata Ong-losiansing, lalu sambil menuding
bangku di hadapannya ia melanjutkan, "duduklah
dulu, mari kita bahas masalah ini perlahanlahan."

Kali ini Thio Hok tidak menuruti permintaannya,
dia sama sekali tidak duduk.
"Setibanya di kota Lhasa, Yap Kay pasti mulai
menaruh curiga terhadap kebun monyet," ujar
Thio Hok lebih jauh, "orang ini suka mencampuri
urusan orang, setiap ada masalah yang menarik
perhatian, dia pasti akan melakukan penyelidikan
hingga tuntas."
"Dia memang manusia semacam itu," sekali
lagi Ong-losiansing meneguk secawan araknya,
"menurut pendapatmu, apa yang harus kita
lakukan sekarang?"
"Sekarang juga kita harus memanggil balik
semua jago terbaik yang kita miliki dalam
organisasi," sahut Thio Hok tanpa pikir panj ang.
"Oya?"
"Biarpun Yap Kay susah diladeni, namun
organisasi kita pun memiliki tak sedikit jago
tangguh, jika kita dapat mengundang datang
semua jago yang kita miliki, kemudian
menggempurnya, aku percaya kali ini Yap Kay
pun pasti akan mampus."
Ketika bicara sampai di situ, tak tahan
perasaan bangga terlintas di wajahnya, karena
dia anggap idenya sangat bagus dan dia percaya
ide itu akan mendatangkan hasil yang luar biasa.
Kebanyakan orang pun pasti akan mempunyai
jalan pikiran yang sama dengannya, akan
menerima usul itu, namun Ong-losiansing sama
sekali tidak bereaksi.

Pantulan cahaya kristal gemerlapan, arak
dalam cawan pun berkilauan, mengawasi arak
yang harum itu lama sekali Ong-losiansing
membungkam, tiba-tiba ia mengucapkan satu
perkataan aneh.
"Sudah berapa lama kau bekerja ikut padaku?"
tanyanya.
"Dua puluh tahun," meski tidak mengerti
kenapa secara tiba-tiba majikannya mengajukan
pertanyaan itu, Thio Hok menjawab juga dengan
sejujurnya, "Ya, tepat dua puluh tahun."
Tiba-tiba Ong-losiansing mendongakkan kepala,
mengawasi wajah Thio Hok yang jelek namun
polos dan jujur itu, setelah memandang cukup
lama baru dia berkata lagi, "Tidak benar."
"Tidak benar?" Thio Hok melengak, "bagian
mana yang tidak benar?"
"Bukan dua puluh tahun, seharusnya sembilan
belas tahun sebelas bulan, harus menunggu
sampai tanggal dua puluh satu bulan depan baru
genap dua puluh tahun."
Thio Hok menarik napas panjang, timbul
perasaan kagum di wajahnya, dia tahu daya ingat
Ong-losiansing memang sangat bagus, tapi dia
tak mengira kehebatannya sedemikian
mengejutkan.
Ong-losiansing menggoyang pelan arak dalam
cawan, cahaya yang terpantul keluar semakin
menyilaukan mata.

"Bagaimana pun juga waktumu bekerja
denganku sudah terhitung sangat lama," ujar
Ong-losiansing lagi, "tentunya kau pun sudah
dapat melihat manusia macam apakah diriku ini."
"Benar."
"Tahukah kau dimana kelebihan yang kumiliki?"
Sementara Thio Hok masih berpikir, Onglosiansing
telah berkata lebih lanjut, "Kelebihanku
yang utama adalah adil dan jujur."
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya
lagi, "Aku harus bersikap dan bertindak secara
adil dan jujur, paling tidak ada tujuh-delapan
ratus orang yang bekerja padaku, bila aku tak adil
dan jujur, bagaimana mungkin orang akan takluk
dan menurut kepadaku?"
Mau tak mau Thio Hok harus mengakui hal ini,
Ong-losiansing memang orang yang adil dan jujur
dalam menghadapi setiap masalah, bahkan dia
amat jelas membedakan mana yang harus
dihukum dan mana yang harus menerima pahala.
Kembali Ong-losiansing bertanya, "Masih ingat
apa yang pernah kukatakan sewaktu kau masuk
ke dalam ruangan tadi?"
Tentu saja Thio Hok masih ingat, "Masih, kau
bilang siapa pun dilarang memasuki pintu
ruangan ini, terlepas siapa pun dirimu."
"Apakah kau terhitung manusia?"
"Ya, aku manusia."
"Sekarang, apakah kau telah masuk kemari?"

"Tapi aku berbeda," sahut Thio Hok mulai
panik, "aku masuk kemari karena ada urusan
penting."
"Aku hanya bertanya kepadamu, apakah
sekarang kau sudah masuk kemari?" Onglosiansing
tetap bertanya dengan nada yang
lembut dan penuh kasih sayang.
"Benar," biarpun dalam hati kecilnya Thio Hok
tidak puas, namun dia tak berani menyangkal.
"Apakah tadi aku menyuruh kau duduk dan
menemani aku minum arak?" kembali Onglosiansing
bertanya.
"Ya, sudah."
"Apakah kau sudah duduk?"
"Belum."
"Kau telah menemani aku minum arak?"
"Tidak."
"Kau masih ingat, aku selalu berkata bahwa
apa yang kuucapkan adalah perintah?"
"Ya, aku masih ingat."
"Tentunya kau masih ingat bukan apa yang
bakal dialami mereka yang berusaha melawan
perintahku?"
Ketika selesai mengucapkan perkataan itu,
Ong-losiansing sudah tidak memandang lagi
wajah jelek yang polos dan jujur itu, seolah dalam
ruangan itu sudah tak ada lagi manusia yang
bernama Thio Hok.

Paras muka Thio Hok saat ini telah berubah
pucat-pias seperti selembar kertas putih,
kepalannya digenggam kencang hingga otot hijau
merongkol, seolah ingin sekali mengayunkan
tinjunya menghajar batang hidung Onglosiansing.
Tentu saja ia tidak melakukan perbuatan itu,
dia tak berani.
Dia tak berani bukan lantaran dia takut mati,
dia tak berani karena sejak empat tahun
berselang dia telah berbini dan sekarang bininya
telah melahirkan seorang putra untuknya.
Seorang putra yang putih, gemuk dan
menyenangkan, bahkan pagi kemarin baru saja
belajar memanggil "ayah" kepadanya.
Thio Hok yang di saat usia senja baru
memperoleh keturunan, kini berdiri dengan
keringat dingin sebesar kedelai membasahi
jidatnya, dengan menggunakan sepasang
tangannya yang berotot dia cabut sebilah pisau
belati dari sakunya, mata pisau itu tipis tajam,
kemudian menghujamkan langsung ke
jantungnya.
Bila peristiwa ini terjadi pada empat tahun
berselang, dia pasti akan menggunakan pisau
tajam itu untuk menusuk hulu hati Onglosiansing,
terlepas akan berhasil atau tidak,
paling tidak pasti akan dicobanya.
Tapi sekarang dia tak berani melakukan hal itu,
bahkan berpikir ke sana pun tak berani.

Putranya yang menarik, senyumannya yang
menawan, terutama sewaktu memanggil "ayah",
suaranya begitu merdu, lucu dan menarik hati.
Tiba-tiba Thio Hok menghujamkan pisau
belatinya, menusuk jantung sendiri, sewaktu
badannya roboh ke tanah, dalam pandangan
matanya seolah-olah muncul sebuah lukisan yang
sangat indah.
Dia seolah melihat putranya telah tumbuh
dewasa, menjadi seorang pemuda yang sehat dan
kekar.
Dia pun seolah-olah menyaksikan istrinya yang
meski tidak terlalu cantik namun lembut dan
penuh kasih sayang sedang memilih calon
pengantin bagi putranya.
Biarpun dia tahu gambaran yang disaksikan
sekarang hanya ilusi menjelang ajal, namun dia
amat yakin dan percaya bahwa di kemudian hari
semua ini pasti akan terwujud.
Karena dia percaya Ong-losiansing yang jujur
dan adil pasti akan merawat anak bininya dengan
sebaik-baiknya, dia pun percaya bahwa
kematiannya pasti akan mendapat imbalan yang
setimpal.
Ong-losiansing masih menikmati arak anggur
dari cawan kristalnya dengan santai, jangankan
menolong, melirik sekejap ke arah anak buahnya
yang setia itu pun tidak, menanti cucuran darah
Thio Hok mulai membeku, baru dia berteriak
perlahan, "Go Thian!"

Lewat beberapa saat kemudian terdengar
seorang menyahut, "Go Thian siap."
Biarpun jawabannya tidak cepat, juga tidak
terhitung lambat, meski pintu ruangan berada
dalam keadaan terbuka, tapi dia sama sekali tidak
melangkah masuk.
Sebab dia memang bukan Thio Hok.
Dibanding Thio Hok, dia sangat berbeda, setiap
perkataan yang pernah diucapkan Ong-losiansing,
tak ada satu pun yang pernah dia lupakan, tak
sepatah kata pun yang dia lupakan.
Sebelum Ong-losiansing memerintahkan dia
untuk masuk, tak nanti dia memasuki ruangan
itu.
Setiap orang beranggapan bahwa ilmu silatnya
tak mampu menandingi Thio Hok, dia pun tak
nampak lebih cerdas dari Thio Hok, bahkan dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaan apa pun dia
tidak lebih setia dan hangat ketimbang rekannya,
tapi dia percaya dan yakin, kehidupan dirinya
akan jauh lebih panjang dari kehidupan temannya
itu.
Tahun ini Go Thian berusia empat puluh enam
tahun, bertubuh kurus kecil dan wajahnya sangat
biasa, jangankan ternama, punya nama dalam
dunia persilatan pun tidak, sebab dia memang tak
ingin mencari nama kosong, selama ini dia selalu
beranggapan nama besar hanya akan
mendatangkan kerepotan dan kemurungan.

Dalam hal ini pandangannya memang sangat
tepat.
Dia tidak minum arak, tidak main judi, pola
hidupnya sangat sederhana, pakaian yang
dikenakan pun sederhana, tapi tabungannya di
rumah uang Su toa che cung sudah mencapai
angka lima puluh laksa tahil perak.
Hingga kini dia masih membujang, karena dia
selalu beranggapan tiap hari orang tentu makan
telur ayam, karena itu dia pun memelihara ayam
sendiri di rumahnya.
Tidak jelas apakah dalam hal ini pandangannya
bisa dibilang tepat?
Dengan tenang dia berdiri menanti di luar
pintu, hingga Ong-losiansing memberi perintah
barulah Go Thian memasuki rumah kristal itu, dia
berjalan tidak terlalu cepat tapi tak bisa dikatakan
terlalu lambat.
Menyaksikan cara Go Thian memasuki ruangan,
pandangan puas terlintas di balik mata Onglosiansing,
mimik mukanya pun nampak jauh
lebih lembut dan penuh kasih sayang.
Siapa pun itu orangnya, dia pasti akan merasa
sangat puas bila memiliki anak buah semacam ini.
Tentu saja Go Thian pun melihat jenazah Thio
Hok yang tergeletak di tanah, namun dia tidak
menyinggung, berlagak seolah-olah tidak melihat.

Ong-losiansing sendiri pun tak mungkin
mengungkit masalah itu, dia hanya bertanya,
"Tahukah kau Yap Kay telah tiba di Lhasa?"
"Aku tahu."
"Tahukah kau apa yang harus kita lakukan
sekarang?"
"Tidak."
Apa yang seharusnya dia ketahui, tentu Go
Thian tak mungkin tidak tahu, tapi apa yang tidak
seharusnya dia ketahui, tak nanti dia mau tahu.
Berada di hadapan tokoh macam Onglosiansing,
bukan saja ia tak boleh menampilkan
sikap kelewat bodoh, juga tak boleh menunjukkan
sikap yang terlalu pintar.
Orang pintar akhirnya bakal termakan oleh
kepintaran sendiri, teori itu dari dulu hingga
sekarang tak pernah berubah.
"Sekarang perlukah kita mengumpulkan semua
anggota untuk berkumpul di sini?" tanya Onglosiansing
lagi.
"Tidak!"
"Kenapa?"
"Sebab Yap Kay masih belum mengetahui
rahasia kebun monyet," sahut Go Thian pasti,
"siapa tahu kedatangannya ke Lhasa hanya
bermaksud jalan-jalan, mungkin saja timbul rasa
ingin tahunya terhadap kebun monyet, tapi itu
pun hanya sebatas rasa ingin tahu. Bila kita

sampai melakukan perbuatan seperti ini, hal itu
seolah memberitahu kepadanya bahwa dalam
kebun monyet benar-benar terdapat rahasia
besar."
Sekali lagi Ong-losiansing tersenyum, ujarnya,
"Bila kau sudah memahami persoalan itu,
seharusnya tahu juga apa yang harus kita
lakukan sekarang."
"Aku tidak tahu. Pernah terpikir olehku
berbagai cara, namun aku sendiri pun tidak tahu
apa yang harus kulakukan?"
"Hahaha, kelihatannya meski kau jauh lebih
pintar daripada Thio Hok, namun belum terhitung
pintar sekali," gelak tawa Ong-losiansing makin
nyaring.
Dalam hal ini tentu saja Go Thian merasa
sependapat. Selama hidup dia memang tak
pernah ingin menjadi orang pintar, paling tidak
selewat usia tiga belas tahun ia tak pernah lagi
berpikir akan hal itu.
"Kemunculan Yap Kay yang tiba-tiba di kota
Lhasa pasti karena ingin menyelidiki apakah
antara kebun monyet dan Ban be tong terkait
hubungan khusus," ujar Ong-losiansing lagi, "dari
cerita So Ming-ming, dia pasti mendapat tahu
selama sepuluh tahun terakhir Pek Ih-ling pernah
tinggal dalam kebun monyet."
Go Thian hanya mendengarkan, sama sekali
tidak memberi komentar.

"Paras muka Pek Ih-ling mirip Be Hong-ling,
sementara para jago Ban be tong jelas sudah
mati semua sejak sepuluh tahun lalu, kenapa
sepuluh tahun kemudian mereka bisa muncul lagi
dalam keadaan hidup? Yap Kay pasti berharap
bisa mendapat jawaban atas semua persoalan itu,
karenanya asal terkait peristiwa itu, Yap Kay pasti
akan melacaknya hingga tuntas."
"Oleh sebab itu kita tak boleh membiarkan niat
dan keinginannya terkabul," sambung Go Thian.
"Betul, tapi kita pun tak bisa melepaskan
kesempatan baik ini begitu saja, cepat atau
lambat kita harus menyingkirkan Yap Kay dari
muka bumi."
"Bila kita ingin membunuhnya, kesempatan
bagus memang tak boleh dilewatkan."
"Benar, itulah sebabnya kita harus menciptakan
sebuah jebakan untuk siluman rase yang licik itu."
Dengan termangu Ong-losiansing mengawasi
kilauan cahaya yang terpantul dari cawannya,
lama kemudian tiba-tiba ia tertawa tergelak,
sesudah itu baru tanyanya kepada Go thian,
"Tahukah kau mengapa aku tertawa?"
"Tidak!"
"Tiba-tiba saja terpikir olehku, seandainya Yap
Kay kita ubah menjadi seekor monyet, kira-kira
monyet macam apa yang paling sesuai baginya?"
"Terlepas seberapa cerdas dan liciknya dia
semasa masih menjadi manusia, aku yakin

sesudah berubah jadi monyet, dia pasti akan
menjadi seekor monyet yang sangat penurut."
Kalau memang hidup sebagai manusia, mana
mungkin dapat berubah jadi monyet?
Kembali Ong-losiansing tertawa terbahakbahak.
Sesaat kemudian tanyanya, "Tahukah kau,
selama beberapa hari ini nomor enam dan nomor
dua puluh enam berada dimana?"
"Aku tahu."
"Dapatkah kau mencari mereka berdua sampai
ketemu?"
"Dapat," Go Thian mengangguk, "dalam empat
jam kemungkinan aku sudah akan
menemukannya."
"Bagus sekali!" Ong-losiansing meneguk habis
isi cawannya, "bila mereka berdua telah
ditemukan, bawa mereka ke sarang dewi...."
Yang dimaksud Sarang dewi adalah rumah
tinggal So Ming-ming.
"Baik!"
"Apakah kau sudah tahu mau apa mereka ke
sana?"
"Tidak tahu."
"Pergi membunuh Yap Kay," Ong-losiansing
menjelaskan, "aku minta mereka berdua pergi
membunuh Yap Kay."
Kemudian setelah berhenti sejenak,
perlahan-lahan tambahnya, "Tapi ada satu hal

harus kau ingat baik-baik, jangan sekali-kali kau
biarkan mereka bertiga turun tangan pada saat
bersamaan."
Yap Kay memang bukan jagoan yang mudah
dihadapi, bila mereka bertiga turun tangan
bersama, tak disangkal kekuatannya pasti jauh
lebih besar daripada kekuatan satu orang,
kemungkinan berhasil pun lebih besar, tapi Onglosiansing
justru berpesan agar mereka bertiga
jangan sampai turun tangan bersama.
Kenapa dia tak ingin ketiga orang itu turun
tangan bersama?
Go Thian tidak bertanya, dia memang tak
pernah bertanya mengapa, mau seaneh apa pun
perintah yang diberikan Ong-losiansing, dia selalu
hanya menerima dengan patuh dan
melaksanakannya.
Di sebuah tempat yang amat rahasia, di dalam
sebuah ruang bawah tanah yang terbuat dari batu
kristal, terdapat sebuah lemari kristal yang hanya
bisa dibuka oleh Ong-losiansing, dalam lemari itu
terdapat sebuah kitab catatan.
Kitab catatan rahasia itu tak pernah dibaca oleh
siapa pun selain Ong-losiansing, sebuah kitab
yang sangat rahasia isinya.
Dalam kitab itu tercantum data lengkap dengan
nomor enam, nomor enam belas serta nomor dua
puluh enam.

Nomor-nomor itu tentu saja bukan mengartikan
tiga buah angka, tapi melambangkan tiga
manusia.
Tiga manusia yang pandai membunuh.
Mereka adalah pembunuh yang setiap saat
menanti perintah Ong-losiansing untuk
melakukan pembantaian, mereka hidup memang
tak lain untuk membantu Ong-losiansing
melakukan pembunuhan. Mereka masih bisa
hidup karena orang-orang itu masih sanggup
membantu Ong-losiansing melakukan
pembunuhan.
Dalam kitab rahasia yang tak pernah
diumumkan secara terbuka itu, tercantum data
pribadi ketiga pembunuh itu.
Nomor dua puluh enam:
Nama: Lim Kong-ceng.
Jenis kelamin: laki-laki.
Usia: dua puluh dua tahun.
Kota asal: Hangciu propinsi Ci-kang.
Orang tua: ayah, Lim Yong dan ibu, Sun
Kong-siok.
Jumlah saudara: tidak ada.
Anak istri: tidak ada.
Hanya data itu saja yang tercantum dalam
buku catatan rahasia mengenai si nomor dua
puluh enam.

Setiap orang yang bekerja pada Ong-losiansing
selalu mempunyai catatan data sederhana seperti
itu.
Tapi dalam kitab catatan lain yang sangat
dirahasiakan Ong-losiansing, data isian mengenai
si nomor dua puluh enam Lim Kong-ceng justru
sangat berbeda.
Dalam catatan rahasia inilah semua detil
mengenai manusia yang bernama Lim Kong-ceng
terdata secara rapi dan cermat.
Setiap orang memang selalu memiliki sisi
kehidupan yang lain, tidak terkecuali Lim Kongceng.
Dalam data catatan yang sangat detil itu
tertera:
Nama: Lim Kong-c eng.
Jenis kelamin: Lelaki.
Umur: Dua puluh dua tahun.
Ayah: seorang juru masak pada Yong li piau
kiok. Ibu: ibu asuh pada Yong li piau kiok.
Itulah seluruh data mengenai Lim Kong-ceng,
meski tidak terlalu panjang lebar, namun sudah
lebih dari cukup, asal kau seorang yang cerdas
dan banyak pengalaman, tidak sulit bagimu untuk
mengorek lebih banyak rahasia lagi dari data
yang tersedia.
Organisasi rahasia yang dipimpin Onglosiansing
selain amat besar juga sangat rahasia,
bukan pekerjaan mudah bila ingin bergabung ke
dalam organisasi ini, apalagi kalau sampai masuk

jajaran mereka yang memiliki kode angka
rahasia, dapat dipastikan mereka adalah jago
kelas wahid.
Semenjak masih berusia enam belas tahun, Lim
Kong-ceng sudah menjadi seorang jagoan
tangguh, dengan mengandal sebilah pedang ia
pernah mengalahkan banyak jago yang oleh
orang dianggap mustahil dapat dikalahkan.
Putra seorang juru masak dan ibu pengasuh,
jelas seorang anak muda yang kenyang akan
kesengsaraan, orang macam ini biasanya mampu
melakukan pekerjaan yang tak bisa dilakukan
orang lain.
Tapi sejak masuk menjadi anggota organisasi
rahasia pimpinan Ong-losiansing, dia telah
berubah menjadi seorang yang hanya memiliki
kode angka rahasia dan tidak memiliki identitas
lagi.
Siapa pun tak ingin melepaskan nama serta
kedudukan yang berhasil diraihnya dengan
keringat, darah dan air mata begitu saja, Lim
Kong-ceng memilih jalan seperti ini pun karena
dia punya kesulitan yang tak mungkin dijelaskan.
Dia sudah banyak membunuh orang yang
seharusnya tak pantas dibunuh, telah banyak
melakukan pekerjaan yang tidak seharusnya dia
lakukan, sebab selamanya dia tak pernah lupa
dirinya hanyalah putra seorang juru masak dan
ibu pengasuh.

Justru karena dia tak pernah bisa melupakan
status asli dirinya yang begitu rendah dan
memalukan, maka dia pun melakukan banyak
perbuatan yang tidak seharusnya dia lakukan,
maka dia pun bergabung dengan organisasi
rahasia pimpinan Ong-losiansing.
Justru karena asal-usul Lim Kong-ceng yang
hina, maka mati-matian ia berusaha mencari
nama dan kedudukan. Dalam menghadapi
masalah apa pun dia selalu menonjolkan watak
pemberontak dan dalam pandangan orang lain dia
adalah pemuda berjiwa pemberontak.
Ilmu pedangnya sama seperti wataknya, penuh
dengan luapan emosi, temperamen dan penuh
sifat memberontak.
Latar belakang keluarga Tan Bun berbeda
dengan Lim Kong-ceng, peduli diambil dari data
buku mana pun, seharusnya Tan Bun termasuk
seorang yang sangat normal, asal-usul orang tua
maupun latar belakang pendidikannya bagus.
Nomor enam belas:
Nama: Tan Bun.
Jenis kelamin: laki laki.
Usia: tiga puluh delapan tahun.
Kota asal: Shantung.
Ayah: Tan An.
Ibu: Tan Lin-bi, sudah wafat.
Istri: Cu Siok-hun.

Anak: satu laki, satu perempuan.
Ayah Tan Bun adalah seorang Piausu serta
pedagang yang sukses di wilayah Shantung, dia
berusaha dari nol, tapi pada usia dua puluh
enam tahun telah berhasil mengumpulkan harta
senilai beberapa ratus laksa tahil perak.
Ibu Tan Bun sudah lama meninggal dunia,
ayahnya tak pernah mencari bini baru lagi bahkan
tak sekalipun mengendorkan pengawasan dan
pendidikan terhadap putranya.
Ketika Tan Bun berusia tujuh tahun, ayahnya
telah mengundang empat orang sastrawan
kenamaan, dua orang guru silat ternama dan
seorang jago Bu tong pay untuk memberikan
pendidikan ilmu silat padanya, ayahnya berharap
di kemudian hari dia bisa menjadi seorang Bun bu
coan cay.
Tan Bun tidak mengecewakan harapan
ayahnya, sejak muda dia sudah hebat dalam
sastra maupun ilmu silat, apalagi dia pun
menguasai intisari ilmu pedang aliran Bu-tong
sehingga oleh umat persilatan dia dianggap
angkatan muda yang hebat dari Bu tong pay.
Istri Tan Bun pun berasal dari keluarga
persilatan kenamaan, selain cantik, juga lembut
dan berpendidikan tinggi, dia di persunting Tan
Bun sejak berusia lima belas tahun, karena itu
banyak orang yang mengaguminya sebagai
seorang pemuda yang penuh rezeki.

Sebagai seorang putra yang berbudi dan pintar,
entah mengapa di kemudian hari Tan Bun
meninggalkan semua yang dimilikinya untuk
bergabung ke dalam organisasi rahasia pimpinan
Ong-losiansing?
Tentu saja pernah ada orang mengajukan
pertanyaan ini kepada Tan Bun, tapi dia hanya
menanggapi dengan senyuman, hingga suatu saat
ketika ia mabuk berat akibat minum banyak arak
dengan ketiga orang temannya, dia pun
menjawab apa adanya, "Karena aku sudah tak
tahan!"
Dengan kehidupan yang begitu berlimpah,
dengan pendidikan keluarga yang begitu disiplin
bahkan dengan kondisi kehidupan yang
berkecukupan, ada masalah apa yang
membuatnya tak tahan?
Ayahnya kelewat keras, kaum berada, punya
duit dan ternama, sejak Tan Bun berusia belasan
tahun ia sudah mengaturkan segala sesuatu bagi
putranya, membuat dia tak perlu memikirkan
kebutuhan di kemudian hari.
Sejak kecil dia pun sudah dilatih menjadi
seorang bocah yang disiplin dan tahu aturan, dia
pun tak pernah melakukan perbuatan yang dapat
membuat ayahnya kuatir.
Selama hidup dia seakan sudah ditakdirkan
menjadi seorang yang berhasil dan bahagia,
memiliki keluarga bahagia, memiliki pekerjaan
berhasil, punya nama punya kedudukan.

Banyak orang persilatan yang sirik kepadanya,
tapi banyak pula yang mengaguminya, tentu saja
orang yang benar-benar merasa kagum tidak
terlalu banyak.
Karena keberhasilan yang diperolehnya bukan
berkat perjuangan dan usaha sendiri, melainkan
diperoleh dari perjuangan ayahnya.
Justru karena dia mempunyai latar belakang
semacam ini maka timbul keinginannya untuk
melakukan beberapa pekerjaan heboh, agar
pandangan orang terhadap dirinya berubah.
Bila kau ingin melakukan satu pekerjaan besar
secara terburu-buru, seringkah kau akan salah
langkah.
Tentu saja tidak terkecuali Tan Bun.
Mungkin saja dia bukan benar-benar ingin
melakukan perbuatan macam itu, tapi akhirnya
dia tetap melakukannya, sebab terpaksa dia
harus bergabung dengan organisasi pimpinan
Ong-losiansing.
Ilmu pedangnya persis orangnya, berasal dari
perguruan ternama dan jarang melakukan
kesalahan, tapi begitu timbul kesalahan, biasanya
susah untuk diatasi.
Sejak lima tahun berselang baru ia bergabung
dengan organisasi pimpinan Ong-losiansing,
setelah melampaui pelatihan ketat selama lima
tahun, sekarang dia makin jarang melakukan
kesalahan.

Tak bisa disangkal Lim Kong-ceng dan Tan Bun
merupakan dua jenis manusia yang berbeda, tapi
mengapa mereka malah bergabung dalam
kelompok yang sama dan melakukan pekerjaan
yang sama?
Rasanya pertanyaan semacam ini susah untuk
dijawab, bisa jadi karena nasib.
Seringkah nasib membuat seorang mengalami
banyak pengalaman dan kejadian aneh, yang tak
bisa diduga sebelumnya oleh siapa pun.
Nasib pun sering menjerumuskan seseorang ke
dalam kondisi yang memilukan atau bahkan
menggelikan, yang membuat mereka tak punya
pilihan lain.
Nasib pun sering mempertemukan pekerjaan
atau manusia yang semestinya tak bisa bertemu
satu dengan lainnya, membuat mereka mau tak
mau harus berpisah dengan orang-orang yang
semestinya tak mungkin terpisah.
Hanya saja manusia yang betul-betul
pemberani dan punya semangat besar tak bakal
takluk dan tunduk pada permainan nasib.
Mereka telah belajar bersabar dalam kesulitan
seperti apa pun, belajar menahan diri dari situasi
seburuk apa pun, asal muncul kesempatan,
mereka pasti akan tampil sambil membusungkan
dada, berjuang dan melawan terus sekuatnya.
Selama mereka belum mati, selama napas
mereka masih ada, mereka yakin suatu saat pasti
akan muncul kesempatan untuk angkat kepala.

Be Sa merupakan jenis manusia yang berbeda
lagi.
Di wilayah Hokkian, keluarga Lim dan keluarga
Tan merupakan keluarga mayoritas.
Meskipun Tan Bun dan Lim Kong-ceng
menyandang nama marga mayoritas di wilayah
Hokkian, namun mereka berdua bukan berasal
dari Hokkian, justru Be Sa adalah orang Hokkian
asli.
Di wilayah Hokkian, nama Be Sa adalah sebuah
nama yang amat biasa dan umum, di setiap kota,
dusun, kota kecil atau desa pasti ada orang yang
bernama Be Sa.
Be Sa tumbuh dewasa di pesisir laut propinsi
Hokkian, tempat yang seringkah disatroni
perompak cebol dari Hu-sang, konon ketika
berusia enam belas, dengan sebilah golok
panjang pernah ia memenggal seratus tiga
puluhan batok kepala perompak cebol.
Be Sa sebetulnya bukan bermarga Be dan
bernama Sa, Be Sa adalah kata dari bahasa Husang.
Lalu dia dari marga apa dan siapa
namanya?
Tak seorang pun yang tahu.
Kemudian para perompak berangsur lenyap,
maka Be Sa pun meninggalkan kampung
halamannya dan mulai berkelana dalam dunia
Kangouw.

Namun selama luntang-lantung di dunia
Kangouw, hasil yang diperolehnya sangat tidak
memuaskan.
Karena dia tak memiliki latar belakang
keluarga persilatan, bukan pula anak murid
jebolan perguruan besar atau kenamaan,
kemana pun dia pergi dan pekerjaan apa
pun yang dia lakukan, selalu mendapat
celaan dan cemoohan orang banyak.
Maka dari itu beberapa tahun kemudian
manusia yang bernama Be Sa pun lenyap dari
peredaran dunia persilatan, menyusul dalam
percaturan dunia yang kalut muncullah seorang
pembunuh bayaran yang dingin, keji, sadis dan
tanpa perasaan, walaupun dia bekerja sebagai
pembunuh, namun tidak menjadikan
pembunuhan sebagai suatu alat hiburan.
Dalam buku catatan rahasia Ong-losiansing, dia
memperoleh angka enam sebagai kode angka
rahasianya, hal ini membuktikan sejarah
bergabungnya dalam organisasi pembunuh
bayaran sudah lama sekali.
Nomor Enam:
Nama: Tidak jelas.
Jenis kelamin: laki laki.
Usia: empat puluh empat tahun.
Kota asal: wilayah Hokkian.
Asal-usul: tidak jelas.

Setelah lewat usia dua puluh lima, Be Sa mulai
menggunakan pedang, waktu itu dia sudah tidak
tergolong muda lagi, sudah tak punya semangat
besar untuk belajar pedang, tentu saja dia pun
tidak memiliki guru pembimbing serta sistim
pendidikan sebagus Tan Bun, bahkan mungkin dia
sama sekali tidak menguasai intisari dan selukbeluk
ilmu pedang.
Tapi dia kaya akan pengalaman.
Pengalamannya jauh melebihi Tan Bun dan Lim
Kong-ceng meski digabung sekalipun, bekas codet
dan luka bacokan yang menghiasi tubuhnya
bahkan jauh lebih banyak dibandingkan gabungan
kedua orang itu.
Menggunakan pengalamannya waktu sering
bertarung jarak dekat melawan kaum perampok
Hu-sang masa lalu, dia berhasil menciptakan
sejenis ilmu pedang yang hebat, gabungan ilmu
pedang Tionggoan dengan ilmu samurai negeri
Hu-sang (Jepang).
Biarpun ilmu pedangnya bukan termasuk indah,
perubahannya pun tidak terlalu banyak, namun
keganasan dan kehebatannya tak terkirakan.
Tak dapat disangkal, nomor enam, nomor enam
belas dan nomor dua puluh enam merupakan jago
tangguh di antara jagoan lain anak buah Onglosiansing.
Ketiga orang itu mewakili tiga jenis manusia
dengan watak dan jenis yang berbeda, ilmu silat

maupun ilmu pedang yang dimiliki mereka bertiga
pun sama sekali berbeda.
Ong-losiansing telah menurunkan perintah
kepada mereka bertiga untuk membunuh Yap
Kay, perintah telah diturunkan dan harus
dilaksanakan.
Perintah yang diturunkan Ong-losiansing tak
pernah tak tepat sasaran.
Tapi anehnya, mengapa ia melarang mereka
bertiga turun tangan bersama? Padahal kalau tiga
orang turun tangan bersama, kemungkinan
berhasil jelas jauh lebih besar ketimbang turun
tangan sendiri-sendiri, sebenarnya apa maksud
dan tujuannya?
Tak seorang pun mengetahui maksud
tujuannya, tak seorang pun mengetahui
rencananya.
Tak ada yang tahu, tak ada pula yang
bertanya.
Bab 8. MEMBUNUH DAN DIBUNUH
Perintah yang diturunkan Ong-losiansing harus
dipatuhi, ditaati, dilarang banyak bertanya.
Bukan saja Go Thian tidak bertanya, Tan Bun,
Lim Kong-ceng maupun Be Sa pun tidak banyak
bertanya.
Go Thian menggunakan waktu yang paling
singkat menemukan mereka, lalu menggunakan

kata yang paling sederhana menyampaikan
perintah Ong-losiansing.
"Lopan minta kalian pergi membunuh Yap
Kay," kata Go Thian, "tapi dia minta kalian
bertiga bekerja sendiri-sendiri." "Baik!" jawaban
mereka pun hanya sepatah kata.
Rencana yang digelar Ong-losiansing pun mulai
berlangsung, sementara di tempat lain rencana
balas dendam pun dipersiapkan.
Rumah keliningan di bawah pohon Siong di luar
kota Lhasa masih berdiri tegak di bawah cahaya
matahari, hanya saja keliningan yang selama ini
tergantung di bawah emper rumah, kini sudah tak
kelihatan lagi.
Bersama dengan hilangnya keliningan, si
Keliningan yang sering duduk bersandar pada
jendela pun kini sudah tidak nampak batang
hidungnya lagi.
Rumah makan swalayan yang menjadi ciri khas
rumah keliningan pun sudah tak ada.
Tak seorang pun tahu mengapa rumah
keliningan menghentikan usaha dagangnya, dan
tidak seorang pun tahu kemana perginya si
Keliningan yang sering menampilkan wajah sedih
dan murung itu.
Cahaya matahari menembus dedaunan
menyinari ruangan dalam rumah keliningan, Yap
Kay berdiri persis di bawah pohon Siong, berdiri
tenang sambil mengawasi rumah yang sepi.

Cuaca kota Lhasa pagi ini terasa amat nyaman,
meskipun matahari menyinari seluruh jagad
namun sama sekali tidak terasa panas yang
menyengat seperti di daerah pinggir perbatasan,
karena itulah walaupun angin berhembus lembut,
cukup membuat rambut Yap Kay beterbangan.
Bau harum bunga dan dedaunan yang
menyertai hembusan angin membuat suasana
bertambah segar, Yap Kay menarik napas
panjang, lalu selangkah demi selangkah
memasuki rumah keliningan yang kini ditinggal
tanpa penghuni.
Ia berjalan ke bangku yang seringkah diduduki
nyonya muda pemurung itu, mengawasi bangku
kosong dengan pandangan tajam.
Terasa di sekeliling bangku itu masih tersisa
bau harum bedak yang menempel di wajah
nyonya muda itu serta bau badan sang nyonya
yang lembut.
Perlahan-lahan Yap Kay duduk dibangku itu,
menirukan gaya duduk sang nyonya muda sambil
memandang ke tempat jauh, kini baru dia
mengerti apa sebabnya si Keliningan memilih
posisi duduk di tempat itu.
Rupanya dari tempat itu dia dapat melihat
ujung jalan, dapat pula melihat pintu gerbang
kota Lhasa yang kuno dan kuat, asal ada orang
berjalan masuk ke dalam kota dan melewati
jalanan itu, dia dapat melihatnya dengan sangat
jelas.

Kini Yap Kay menyaksikan ada empat orang
sedang berjalan dari ujung jalan sana menuju
kemari.
Usia keempat orang itu berbeda, tapi mereka
adalah jago-jago yang pernah berlatih ilmu
meringankan tubuh dan ilmu pedang.
Selisih jarak mereka masih amat jauh, tentu
saja Yap Kay tak dapat mendengar suara langkah
kaki mereka, tapi dari cara mereka berjalan serta
debu yang ditimbulkan langkah kaki orang-orang
itu, dia yakin keempat orang ini memiliki ilmu
silat cukup tangguh.
Yap Kay pun dapat melihat kedatangan
keempat orang itu bukan untuk bersantap di
warung keliningan, dengan muka serius keempat
orang itu berjalan mendekat.
Seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh
dan ilmu pedang yang tangguh biasanya tak akan
menempuh perjalanannya dengan langkah begitu
serius, biasanya mereka hanya akan melangkah
serius bila mempunyai tujuan, ketika mereka
sedang bersiap membunuh orang.
Siapa yang akan mereka bunuh? Apakah si
Keliningan?
Tentu saja kemungkinan seperti ini tetap ada,
namun Yap Kay tahu, pasti bukan, bukan
dikarenakan si Keliningan tidak berada di situ,
tapi berdasarkan indra keenam yang dimiliki Yap
Kay selama ini, dia percaya kedatangan keempat
orang itu berniat membunuh dirinya.

Kalau sudah tahu kedatangan mereka
bertujuan membunuhnya, sepantasnya Yap Kay
segera bangkit, tapi ia tak bergerak, masih duduk
dengan gaya yang santai mengawasi tempat
kejauhan tanpa berkedip.
Yap Kay tidak bergerak bukan lantaran dia
yakin mampu menghadapi keempat orang itu,
tapi dia ingin tahu mengapa keempat orang itu
hendak membunuhnya?
Kedatangannya ke kota Lhasa tak diketahui
siapa pun, malah Pho Ang-soat pun tidak tahu,
mengapa baru hari kedua kedatangannya sudah
muncul orang yang ingin membunuhnya?
Siapakah keempat orang itu?
Apakah mereka ada sangkut-pautnya dengan
kebun monyet yang menjadi target penyelidikan
Yap Kay di kota Lhasa? Atau mereka justru orangorang
yang dikirim Ban be tong?
Kedatangan Yap Kay di kota Lhasa adalah
karena peristiwa di Ban be tong tempo hari, Pek
Ih-ling yang berwajah mirip Be Hong-ling pernah
berkata kepadanya bahwa selama sepuluh tahun
terakhir dia selalu tinggal bersama seseorang
yang bernama Ong-losiansing.
Sedang So Ming-ming pun mengatakan pemilik
kebun monyet di luar kota Lhasa bernama Onglosiansing,
mungkinkah Ong-losiansing yang
disebut kedua orang itu merupakan Onglosiansing
yang sama?

Karena tujuan pelacakan itulah Yap Kay datang
ke kota Lhasa, siapa tahu baru dua hari
kedatangannya, kini sudah muncul orang yang
ingin membunuhnya.
Tak dapat disangkal lagi, langkah Yap Kay
mendatangi kota Lhasa memang merupakan
langkah yang tepat, terlepas kedatangan keempat
orang itu atas perintah kebun monyet atau
perintah Ban be tong untuk mengintilnya, langkah
yang diambil Yap Kay jelas telah menginjak ekor
mereka.
Biarpun jalanan itu amat panjang, biarpun
keempat orang itu berjalan dengan langkah
serius, akhirnya dengan cepat mereka telah
mendekati warung keliningan.
Bila keempat orang itu melancarkan serangan
bersama ke arah Yap Kay, apakah dia sanggup
menghadapinya? Dalam hal ini Yap Kay sama
sekali tak yakin.
Ternyata kejadian di luar dugaan, keempat
orang itu tidak berjalan langsung ke hadapan Yap
Kay, mereka menuju ke bawah pohon Siong dan
berhenti di situ, kemudian salah seorang di
antaranya, seorang yang masih sangat muda tapi
tampan, seorang diri berjalan mendekat i Yap
Kay.
Kini Yap Kay dapat mendengar suara langkah
kaki serta dengusan napasnya, pemuda
tampan yang menghampirinya seorang
diri itu memiliki dengus napas sangat memburu,

paras mukanya pun kelihatan hijau membesi. Yap
Kay tahu pemuda itu pastilah seorang
temperamen yang gampang meluap emosinya.
Biarpun gerak-geriknya cukup tangguh,
membunuh orang pun pasti bukan untuk pertama
kalinya, tapi sayang ia kelewat temperamen,
kelewat mudah naik darah.
Yap Kay masih duduk dengan tenang di luar
warung keliningan, duduk di muka jendela sambil
mengawasi orang itu tanpa bicara. Dia pun
mendengar orang itu berkata, "Aku datang untuk
membunuhmu, seharusnya kau pun tahu
kedatanganku untuk membunuhmu."
"Aku tahu," jawab Yap Kay sambil tertawa.
"Aku bernama Lim Kong-ceng," dengan
sepasang matanya yang tajam penuh dengan
jalur darah, pemuda itu melotot ke arah Yap Kay,
"Kenapa kau masih belum juga keluar?"
Sekali lagi Yap Kay tertawa.
"Bukankah kau yang ingin membunuhku dan
bukan aku yang ingin membunuhmu, kenapa aku
harus keluar?" balik tanyanya.
Lim Kong-ceng tak bicara lagi, dengus
napasnya makin memburu, ia sudah siap melolos
pedangnya, bersiap menerjang ke muka.
Baru saja dia melolos pedang, mendadak
terlihat sebuah kepalan yang tampak lembut,
ringan tapi sangat cepat menghajar wajahnya.

Cepat dia mundur, menghindar, lalu balas
melancarkan serangan, gerakannya tidak
terhitung lambat, di antara kilatan cahaya pedang
tahu-tahu tusukannya sudah mengarah
tenggorokan Yap Kay.
Di saat ujung pedangnya tinggal satu inci dari
tenggorokan Yap Kay, kepalan Yap Kay tahu-tahu
sudah menghajar wajahnya lebih dulu, kemudian
dia pun mendengar suara tulang sendiri yang
terhajar remuk dan tubuhnya mencelat ke
belakang, roboh terjungkal jauh dari arena,
terkapar di bawah sinar matahari.
Karena kau ingin membunuhku, mau tak mau
terpaksa aku pun harus membunuhmu.
Teori itu diketahui setiap orang, Yap Kay pun
tahu, sesungguhnya dia bukan termasuk orang
semacam ini, lalu mengapa sekarang dia
melakukannya?
Karena dia harus bertindak begitu, bila tidak,
andai ketiga orang yang berdiri di bawah pohon
Siong turun tangan bersama, maka dialah yang
bakal mati.
Sewaktu tubuh Lim Kong-ceng roboh ke tanah,
detak jantungnya belum lagi berhenti, akhirnya
dia mengerti akan satu hal.
Ternyata menjadi seorang yang biasa dan
umum bukanlah satu kejadian yang
menyedihkan, apalagi memalukan.
Seseorang yang seharusnya merupakan orang
biasa tapi memaksa diri melakukan perbuatan

yang tidak seharusnya dilakukan, itulah baru
patut disebut manusia yang paling mengenaskan.
Sebetulnya dia tak seharusnya membunuh
orang karena dia memang bukan orang yang
cocok menjadi pembunuh, dia hanya kelewat
temperamen, kelewat memburu napsu dan emosi.
Menjadi putra seorang juru masak dan ibu
pengasuh sudah seharusnya menerima kehidupan
yang sederhana dan bersahaja, dengan begitu
mungkin dia masih bisa hidup lebih lama dengan
aman dan gembira, siapa tahu bisa hidup bahagia
pula dengan generasi berikutnya.
Angin masih berhembus sepoi.
Dedaunan yang tumbuh di pohon Siong ikut
bergoyang, beberapa di antaranya berguguran
dan melayang ke bawah, melayang di tengah
ketiga orang yang masih berdiri di bawah pohon.
Mereka pernah berada bersama Lim Kong-ceng,
namun kematian yang menimpa Lim Kong-ceng
seolah sama sekali tak ada hubungan dengan
orang-orang itu.
Sorot mata mereka sedang mengawasi Yap
Kay, tentu saja setiap gerakan yang dilakukan
Yap Kay waktu memukul mati Lim Kong-ceng tak
lepas dari pengamatan mereka, namun tidak
seorang pun yang bergerak atau melakukan
sesuatu tindakan.
Yap Kay masih duduk di sana, masih
menggeliat dengan kemalas-malasan.

Sampai lama kemudian satu di antara ketiga
orang yang berdiri di bawah pohon baru bergerak
maju.
Cara berjalan orang ini sangat aneh, tentu saja
dia pun datang untuk membunuh Yap Kay, tapi
caranya berjalan justru santun sekali, bagaikan
seorang murid yang datang menjumpai gurunya,
bukan saja sopan-santun dan terpelajar, malah
nampak sedikit takut-takut.
Sekali pandang Yap Kay tahu orang ini pernah
memperoleh pendidikan tinggi, bahkan sejak kecil
sudah dibelenggu oleh peraturan yang ketat.
Orang macam ini justru adalah orang yang
paling menakutkan.
Biarpun langkahnya mantap namun
memancarkan kewaspadaan yang tinggi, setiap
saat dia selalu mempertahankan sikap seorang
pejuang yang siap tempur, sama sekali tidak
memberi peluang orang untuk memanfaatkan
setiap kesempatan.
Biarpun lengannya dibiarkan mengendor,
namun telapak tangan diletakkan dekat gagang
pedang, sementara matanya mengawasi terus
tangan Yap Kay yang diletakkan di pagar dekat
jendela.
Dalam pandangan orang banyak, jika dalam
pertarungan antara dua jago tangguh bila seorang
hanya mengawasi terus tangan lawan, maka
tindakan itu merupakan tindakan yang bodoh.
Karena semua orang berpendapat tak mungkin

kau bisa menemukan sesuatu hanya dari
tangannya saja.
Bagian tubuh yang seharusnya diperhatikan
adalah sorot mata lawan, sementara ada sebagian
orang menganggap perubahan mimik wajah
lawanlah yang harus diperhatikan.
Padahal pandangan orang-orang itu tidak
seratus persen tepat, karena mereka telah
melupakan beberapa hal.
Untuk membunuh memang dibutuhkan tangan.
Tangan pun punya penampilan, terkadang
banyak membocorkan rahasia penting.
Ada banyak manusia yang dapat menyimpan
begitu rapi perasaan serta rahasia pribadinya,
bahkan dapat mengubah diri seperti sebiji buah
yang keras, membuat siapa pun tak bisa melihat
rahasia pribadi yang tak ingin diketahui orang lain
dari perubahan wajah serta sorot matanya. Tapi
tangan sama sekali berbeda.
Bila kau melihat otot hijau merongkol di
tangan, ketika kau lihat nadi darahnya mulai
mengembang kencang, segera akan kau ketahui
perasaan hatinya waktu itu pasti sangat tegang.
Bila kau melihat tangan sedang gemetar,
segera dapat diketahui orang itu selain tegang,
dia pun merasa takut, ngeri, gusar atau emosi
yang meluap.

Semua itu tak mungkin bisa kau simpan atau
tutupi, karena hal ini merupakan reaksi alami,
reaksi kejiwaan.
Oleh sebab itulah bila kau benar-benar seorang
jago tangguh; maka di saat menghadapi duel
yang menentukan, tangan lawanlah yang penting
kau perhatikan.
Tak disangkal orang ini memang jago tangguh
yang matang pengalaman dan sudah beratus kali
menghadapi pertempuran, bukan hanya
tindakannya yang tepat, pandangan serta
analisanya pun amat tepat.
Yap Kay balas menatap, tapi ia tidak
memperhatikan tangannya, sebab dia tahu orang
macam ini mustahil akan melancarkan serangan
lebih dulu.
"Kau kenal aku?" tegur Yap Kay kemudian.
"Kau bernama Yap Kay!" sahut orang itu
singkat.
"Memangnya kita punya dendam?"
"Tak ada."
"Mengapa kau ingin membunuhku?"
Jelas satu pertanyaan yang tak gampang
dijawab, biasanya orang membunuh tak perlu
disertai berbagai alasan yang jelas.
Yap Kay pun tahu pertanyaan itu sulit untuk
dijawab, tapi dia sengaja mengajukan pertanyaan

ini, agar ia mempunyai cukup waktu untuk lebih
memahami karakter dan kelebihan orang itu.
Tampaknya orang itu pun mempunyai pikiran
yang sama, maka sahutnya, "Aku harus
membunuhmu karena kau bernama Yap Kay,
cukup bukan alasanku ini?"
Baru selesai dia berkata, Yap Kay telah turun
tangan lebih dulu.
Yap Kay turun tangan lebih dulu karena dia
tahu tak mungkin orang itu mau melancarkan
serangan lebih dulu.
Rekannya telah memberi sebuah pelajaran
yang sangat bagus, dia pun ingin belajar dari Yap
Kay, dengan tenang menunggu gerakan.
Sayang dia tetap salah perhitungan, begitu
bergerak ternyata Yap Kay menyerang dengan
sangat cepat, jauh lebih cepat dari apa yang dia
bayangkan sebelumnya.
Ketika menyaksikan kepalan Yap Kay
dilontarkan ke wajahnya, ia tertawa dingin,
tangannya diputar siap menangkis datangnya
ancaman itu, siapa sangka jotosan Yap Kay
mendadak berubah, kali ini mengarah langsung
ke hulu hatinya.
Tahu-tahu orang itu merasakan tulang iga di
dada kirinya sudah patah beberapa bagian,
bahkan tulang iga yang patah itu menancap di j
antungnya.

Hingga detik terakhir menjelang ajal, dia masih
tak habis mengerti kenapa pukulan Yap Kay
secara tiba-tiba bisa berubah mengarah dadanya.
Jurus itu mati, manusianya yang hidup. Satu
pukulan yang sama kadangkala bisa
menghasilkan akibat yang berbeda.
Dari bawah pohon Siong terdengar ada orang
menghela napas, mirip juga suara tepukan
tangan, dipenuhi rasa kagum dan memuji.
Kalau kedatangannya berniat membunuh,
mengapa pula harus menghela napas dengan
nada pujian?
"Tentunya kalian pun datang untuk
membunuhku bukan?" ujar Yap Kay sambil
mengawasi kedua orang tersisa yang masih
berdiri di bawah pohon, "kenapa bukannya turun
tangan bersama saja!"
Satu orang masih berdiri tanpa bergerak,
sementara seorang yang lain perlahan-lahan
berjalan maju.
Dia berjalan jauh lebih lambat daripada orang
yang baru saja mati ditinju Yap Kay.
Dengan mata tajam Yap Kay mengawasi orang
itu, mengamati setiap gerak-geriknya,
mengawasi matanya yang tajam dan berkilat.
Tiba-tiba Yap Kay menyadari akan sesuatu,
sekarang baru ia sadar dugaannya keliru besar,
orang ini tak bermaksud membunuhnya, justru

orang yang satulah kekuatan utama penyerangan
ini.
Orang itu tak tebih hanya ingin memindahkan
perhatian Yap Kay ke arah lain, dia tak
berpedang, tidak pula berhawa membunuh.
Bagaimana dengan orang yang lain?
Di saat Yap Kay sedang mengawasi orang yang
mendekati dirinya itulah tiba-tiba orang yang
satunya lenyap.
Mustahil seorang yang terdiri dari darah dan
daging bisa lenyap secara tiba-tiba, hanya saja
siapa pun tak tahu kemana dia telah pergi.
Dalam waktu singkat orang ketiga telah
berjalan tiba di luar jendela dimana Yap
Kay berada, lalu berdiri di situ
dengan santainya, dia berdiri dengan sikap
seorang penonton yang baik, berdiri
mengawasi reaksi Yap Kay. Sepasang matanya
yang jeli bahkan terselip senyuman yang sangat
tipis.
Biarpun orang ini datang kemari bersama
ketiga orang rekan lainnya, namun sikapnya
seakan sama sekali tak peduli dengan mati hidup
orang-orang itu, seolah kedatangannya khusus
untuk menonton dengan cara apa Yap Kay
menghadapi mereka.
Tentu saja dia bukan sahabat Yap Kay, juga tak
mirip musuh besarnya, sikapnya begitu aneh dan
kabur, sekabur baju warna abu-abu yang dia
kenakan.

Sikap Yap Kay sendiri pun sangat aneh, dia
hanya mengawasi orang berbaju abu-abu yang
berdiri di muka jendela, terhadap orang yang
kemungkinan besar musuh tangguh dan
menakutkan, terhadap orang yang tiba-tiba
lenyap dari situ, ia justru bersikap acuh, sama
sekali tidak minat memperhatikan.
Sambil manggut-manggut ke arah orang
berbaju abu-abu itu dia melempar sekulum
senyuman, ternyata orang itu balas tertawa,
malah menyapanya, "Baik-baikkah kau?"
"Aku tidak baik," Yap Kay sengaja menghela
napas, "padahal aku sedang duduk santai di sini
sambil menikmati pemandangan alam, tapi tanpa
sebab ada orang ingin membunuhku, bagaimana
mungkin bisa baik?"
Orang berbaju abu-abu ikut menghela napas,
seakan bukan saja menyatakan sependapat
bahkan memperlihatkan rasa simpatiknya.
"Jika aku sedang duduk santai sambil
menikmati pemandangan alam, tiba-tiba datang
tiga orang yang hendak membunuhku, jelas aku
pun akan merasa sial sekali."
"Tiga orang? Hanya tiga orang yang ingin
membunuhku?" tanya Yap Kay.
"Benar, hanya tiga orang."
"Bagaimana denganmu? Bukankah kau pun
datang khusus untuk membunuhku?"

"Seharusnya kau pun dapat melihat sendiri, aku
bukan datang untuk membunuh," kembali orang
berbaju abu-abu itu tertawa, "di antara kita
berdua tak ada dendam atau permusuhan, buat
apa harus membunuhmu?"
"Mereka pun tak punya permusuhan dan
dendam denganku, mengapa pula datang
hendak membunuhku?" tanya Yap Kay lagi.
"Karena mereka sedang menjalankan perintah."
"Perintah siapa? Be Khong-cun? Atau pemilik
kebun monyet Ong-losiansing?"
Menggunakan senyuman orang berbaju abuabu
itu menjawab pertanyaan Yap Kay.
"Terlepas atas perintah siapa, yang jelas
mereka bertiga saat ini sudah ada dua orang yang
tewas termakan tinjumu."
"Bagaimana dengan orang ketiga?"
"Tentu saja orang ketiga adalah orang yang
paling menakutkan," kata orang berbaju abu-abu
itu, "jauh lebih menakutkan dari gabungan dua
orang yang pertama."
"Oya?"
"Orang pertama yang berusaha membunuhmu
itu bernama Lim Kong-ceng, orang kedua
bernama Tan Bun," orang itu menerangkan,
"sebetulnya ilmu pedang mereka termasuk
tangguh, pengalamannya membunuh pun sangat
luas dan matang, benar-benar tak kusangka
sebelum mereka sempat menggunakan jurus

serangannya, kau telah mencabut nyawa mereka
terlebih dulu."
Yap Kay tersenyum, tertawa penuh gembira.
"Tapi orang ketiga sama sekali berbeda,"
kembali orang, berbaju abu-abu itu
menambahkan.
"Oya?"
"Orang ketiga inilah baru pembunuh
sebenarnya, ia benar-benar mengerti
bagaimana cara membunuh manusia."
"Oya?"
"Dua orang yang pertama bisa mati di
tanganmu lantaran mereka tak bisa menilai
lawan, tak bisa pula menilai kemampuan sendiri,
bukan saja dia terlalu menilai tinggi kemampuan
sendiri bahkan kelewat memandang enteng
kemampuanmu."
Pantangan paling besar bagi orang persilatan
adalah memandang enteng kemampuan lawan,
siapa yang berani melanggar, dia bakal mati.
"Berbeda dengan orang ketiga, bukan saja dia
sangat mengenal asal-usul keluargamu, dia pun
sangat memahami pengalaman serta kemampuan
silatmu, sebab sebelum sampai di sini, dia telah
melakukan penyelidikan dan pelacakan yang
seksama, bahkan sewaktu kau turun tangan
membunuh orang tadi, ia pun telah menyaksikan
semua gerak-gerikmu dengan sangat jelas."

Yap Kay tidak membantah, dia harus mengakui
hal ini.
"Tapi bagaimana dengan kau sendiri?" kembali
orang itu bertanya, "seberapa banyak yang kau
ketahui tentang orang itu?"
"Sama sekali tidak tahu."
"Nah, itulah dia, dalam hal ini saja kau sudah
berada di bawah angin," orang itu kembali
menghela napas.
Kembali Yap Kay harus mengakui hal ini.
"Tahukah kau, kini dia berada dimana?" tanya
orang itu lagi, "apakah kau sudah melihatnya?"
"Belum, aku belum melihatnya. Barangkali
aku bisa menebaknya."
"Benarkah?"
"Dia pasti berada di belakangku, di saat aku
sedang mencurahkan perhatian mengamati dirimu
tadi, ia telah berputar menuju ke belakang
rumah."
"Tebakanmu tepat sekali," perasaan kagum dan
memuji kembali terpancar dari balik matanya.
"Siapa tahu saat ini dia sudah berdiri di
belakangku, siapa tahu jaraknya denganku sudah
sangat dekat, malah bisa jadi dengan sekali
gerakan tangan ia sudah dapat membunuhku."
"Karenanya kau tak berani berpaling?"
"Ai, sejujurnya aku memang tak berani
berpaling," kata Yap Kay sambil menghela napas,

"karena begitu aku berpaling, maka di salah satu
bagian tubuhku pasti akan muncul titik
kelemahan, berarti dia punya kesempatan untuk
membunuhku."
"Kau tak ingin memberinya peluang?"
"Maaf, sama sekali tak ingin."
"Sayangnya, biar kau tidak berpaling pun dia
tetap mempunyai kesempatan untuk
membunuhmu," ujar orang itu, "membunuh orang
dari belakang punggung rasanya jauh lebih
gampang daripada saling berhadapan."
"Biar sedikit lebih gampang, bukan
berarti hal ini bisa dilakukan dengan sangat
gampang." "Kenapa?"
"Karena aku bukan orang mati, aku masih
memiliki telinga untuk mendengar."
"Apakah kau ingin mendengar desiran angin
saat dia melancarkan serangan?"
"Benar."
"Bagaimana kalau dia menyerang dengan
gerakan sangat lamban, sama sekali tak
menimbulkan suara desiran angin?"
"Selambat apa pun, aku tetap dapat merasakan
desiran angin pukulannya," Yap Kay menjelaskan
dengan hambar, "sudah belasan tahun aku
berkelana dalam dunia persilatan, kalau
merasakan saja tak sanggup, mana mungkin aku
masih hidup hingga kini?"

"Ehm, masuk akal juga."
"Oleh karena itu bila dia ingin turun tangan
membunuhku, lebih baik pertimbangkan dahulu
akibatnya."
"Akibatnya? Apa akibatnya?"
"Dia menginginkan nyawaku, aku pun
menginginkan nyawanya," suara Yap Kay tetap
terdengar hambar dan datar, "sekalipun dia dapat
membunuhku di ujung pedangnya, jangan harap
dia bisa meninggalkan tempat ini dalam keadaan
hidup."
Lama sekali orang berbaju abu-abu itu
mengamatinya, kemudian baru tanyanya
perlahan, "Kau benar-benar yakin?"
"Benar, bukan saja aku percaya akan
keyakinan itu, mungkin dia pun
mempercayainya."
"Kenapa?"
"Kalau dia tidak menganggap aku punya
keyakinan akan hal ini, kenapa hingga sekarang
belum juga turun tangan?"
"Siapa tahu dia masih menunggu, menunggu
hingga kesempatan yang lebih baik tiba."
"Dia tak akan berhasil."
"Kalau begitu tidak seharusnya kau
mengajakku berbicara."
"Kenapa?"

"Siapa pun orangnya, sewaktu sedang bicara,
perhatiannya pasti akan terpecah, saat itulah dia
akan memperoleh kesempatan emas."
Yap Kay tersenyum, tiba-tiba tanyanya,
"Tahukah kau peristiwa apa saja yang barusan
berlangsung di sekitar tempat ini?"
"Tidak."
"Tapi aku tahu. Ketika kau sedang berjalan
menuju kemari tadi, ada seekor bajing menyusup
keluar dari lubangnya di atas pohon Siong hingga
menggetarkan enam lembar daun, di antaranya
ada dua lembar daun yang rontok ke bawah. Di
saat kita mulai berbicara tadi, dari semak sisi kiri
ada seekor ular sawah sedang menelan seekor
tikus, lalu ada seekor musang lari menyeberang
di jalanan sebelah depan dan sepasang suami istri
yang tinggal di belakang kita baru selesai
bertengkar."
Semakin mendengar, orang itu semakin
terperanjat, dengan nada kaget bercampur tak
percaya serunya, "Benarkah semua yang kau
katakan itu?"
"Tentu saja sungguh. Tak ada suara atau
gerakan dalam radius dua puluh depa yang bisa
lolos dari pendengaranku."
Orang berbaju abu-abu menghela napas
panjang.
"Untung saja kedatanganku bukan bermaksud
membunuhmu," katanya tertawa getir, "kalau

tidak, mungkin saat ini aku pun sudah mampus
oleh tinjumu."
Yap Kay tidak menyangkal.
Kembali orang itu bertanya, "Jika telah kau
ketahui kedatangannya hendak membunuhmu,
sudah tahu ia berada di belakangmu, kenapa kau
tidak berusaha membunuhnya lebih dahulu?"
"Karena aku tak terburu-buru, yang terburuburu
justru dia," Yap Kay tertawa lebar, "kan dia
yang ingin membunuhku, bukan aku yang ingin
membunuhnya, tentu saja aku lebih mampu
menahan diri."
"Sungguh mengagumkan," kembali orang itu
menghela napas, "kalau bukan bertemu dalam
situasi seperti ini, aku betul-betul berharap bisa
berkenalan dengan seorang sahabat macam
dirimu."
"Sekarang mengapa kita tidak dapat
berteman?"
"Karena aku datang serombongan dengan
mereka, sedikit banyak kau pasti akan waswas
terhadapku."
"Pandanganmu keliru besar!" tukas Yap Kay
cepat, "kalau aku tak bisa menebak niat hatimu,
buat apa mesti melayani kau berbincang?"
"Jadi sekarang aku masih dapat bersahabat
denganmu?" tanya orang berbaju abu-abu
tercengang.
"Kenapa tidak boleh?"

"Tapi kau sama sekali tak tahu manusia macam
apakah diriku ini, bahkan kau tak tahu siapa
namaku?"
"Dapatkah kau memberitahukan kepadaku?"
"Tentu saja dapat," orang berbaju abuabu
tertawa, tertawa sangat riang, "aku
bernama Be Sa."
"Be Sa!"
Tentu saja nama itu tak bakal memancing rasa
curiga maupun rasa tercengang Yap Kay, di
antara sekian banyak teman Yap Kay bahkan ada
di antaranya yang mempunyai nama jauh lebih
aneh daripada nama orang ini.
"Aku bernama Yap Kay, yap berarti daun dan
kay berarti terbuka."
"Aku tahu, sudah cukup lama kudengar nama
besarmu."
Perlahan-lahan dia maju selangkah, dalam
genggamannya masih belum nampak pedang,
dari sekujur badannya juga sama sekali tidak
memancarkan hawa membunuh.
Ia berjalan terus menghampiri Yap Kay,
seakan-akan dia ingin berjabat tangan dengan
orang itu, menyatakan rasa suka citanya. Dan
semua yang dilakukan adalah perbuatan yang
wajar, sebab Yap Kay telah menjadi sahabatnya
sekarang.
Yap Kay sendiri pun terhitung orang yang
senang berkenalan, dia sama sekali tidak

mencurigai Be Sa, rasa waswas pun sama sekali
tak ada, apalagi sekarang, setelah Be Sa menjadi
sahabatnya.
Di saat Be Sa sudah hampir tiba di hadapan
Yap Kay itulah tiba-tiba paras mukanya berubah
hebat, lalu jeritnya dengan nada kaget, "Hati-hati
belakangmu!"
Tak tahan Yap Kay berpaling.
Siapa pun orangnya, bila berada dalam situasi
seperti ini, dia pasti tak akan tahan untuk tidak
berpaling.
Pada saat Yap Kay baru saja berpaling itulah,
mendadak Be Sa mencabut sebilah pedang dari
balik sakunya.
Sebilah pedang lembek yang terbuat dari baja
asli, bergetar ketika terhembus angin dan
bagaikan seekor ular berbisa langsung menusuk
belakang tengkuk Yap Kay sebelah kiri.
Waktu itu Yap Kay sedang menoleh ke sisi
kanan, dalam keadaan begini, belakang tengkuk
sebelah kirinya akan menjadi bagian tubuhnya
yang terbuka, sebuah pintu kosong.
Istilah pintu kosong merupakan perkataan yang
biasa digunakan kaum persilatan, artinya bagian
tubuh yang terbuka bagaikan pintu gerbang yang
kosong dan terbuka lebar, asal kau berminat,
setiap waktu bisa saja masuk keluar.
Pada belakang leher sebelah kiri terdapat nadi
darah besar, nadi vital aliran darah ke otak, jika

nadi itu teriris putus, dapat dipastikan darah akan
menyembur tiada hentinya dan sang korban akan
tewas secara mengenaskan.
Bagi seorang pembunuh yang berpengalaman,
dia tak bakal turun tangan secara sembarangan
sebelum muncul kesempatan yang paling
menguntungkan dan paling meyakinkan bagi
dirinya, tak disangkal Be Sa telah memanfaatkan
kesempatan emas ini dengan sebaik-baiknya.
Inilah kesempatan emas yang ia ciptakan
sendiri dan dia yakin babatan pedangnya tak
bakal meleset, karena dia kelewat yakin dengan
rencananya itu maka sama sekali tak disediakan
jalan mundur bagi diri sendiri.
Oleh karena itulah dia mampus.
Padahal Yap Kay sama sekali tak punya rasa
waswas, dia sama sekali tak mencurigainya,
bahkan sama sekali tak punya kesempatan untuk
menangkis apalagi menghindar.
Be Sa telah memperhitungkan secara tepat,
waktu pedangnya menusuk ke depan,
perasaannya begitu bergetar bagai pemancing
yang kailnya disambar ikan besar. Dia tahu ikan
kakap sudah terkail.
Siapa sangka di saat kritis itulah tiba-tiba Yap
Kay mengayun tangannya, mengayun dari posisi
yang sama sekali tak disangka Be Sa.
Menyusul Be Sa pun mendengar suara golok
membelah angkasa.

Suara golok!
Be Sa hanya mendengar suara golok, sama
sekali tidak melihat goloknya.
Pada hakikatnya dia tidak melihat babatan
golok atau cahaya golok, yang dia dengar hanya
suara golok, kemudian tubuhnya roboh terkapar
di atas tanah.
Belum lagi pedang Be Sa menusuk belakang
leher Yap Kay, tiba-tiba ia merasa tengkuk sendiri
tersambar oleh segulung angin yang dingin
rasanya.
Tentu saja dia tahu perasaan seperti itu adalah
ketika tubuh dibabat golok, namun dia sama
sekali tak sempat melihat golok yang ada di
tangan Yap Kay.
Tentu saja dia pun tahu Yap Kay adalah satusatunya
ahli waris Siau-li si pisau terbang.
Pisau terbang Siau-li tak pernah meleset setiap
kali dilontarkan.
Dalam seratus tahun terakhir, belum pernah
ada umat persilatan yang meragukan perkataan
itu.
Dimulai dari kematian Siangkoan Kim-hong di
ujung pisau terbang Li Sun-huan, tak ada orang
meragukan keampuhannya.
Ujung pedang Be Sa hanya tinggal satu inci dari
belakang leher Yap Kay ketika pisau terbang yang
dilepaskan Yap Kay mendarat di tengkuknya.

Selisih jaraknya hanya satu inci.
Biar hanya satu inci, namun sudah lebih dari
cukup!
Jarak antara mati dan hidup kerap kali jauh
lebih pendek dari satu inci, menang kalah,
berhasil atau gagal seringkah hanya berselisih
kurang dari satu inci.
Mata pedang yang dingin baru saja melesat di
sisi leher Yap Kay ketika tangan Be Sa yang
menggenggam senjata sudah keburu kaku, di
atas tengkuknya telah tertancap sebilah pisau
terbang yang nampak sangat umum dan
sederhana.
Sebilah pisau terbang sepanjang tiga inci tujuh
cun.
Pada saat itulah dari mulut luka di tengkuk Be
Sa perlahan-lahan mengucur darah segar, sinar
matanya memancarkan rasa tak percaya, ngeri
bercampur seram.
Yap Kay tidak berpaling, tentu saja dia yakin
pisau terbang yang dilepaskan tak bakal meleset
dari sasaran.
Kapan Siau-li si pisau terbang pernah meleset
dari sasarannya?
Dengan cepat Yap Kay mendengar suara helaan
napas serta suara tepukan tangan.
"Hebat, luar biasa," helaan napas itu kembali
berkumandang, "pertunjukan ilmu yang
mengerikan!"

Suara itu berasal dari satu tempat yang agak
jauh, karena itu Yap Kay kembali membalikkan
badan, begitu berpaling, ia lihat seseorang
dengan dandanan begitu sederhana berdiri di
bawah pohon siong sana.
Orang itu tak lain adalah salah satu di antara
keempat orang yang secara tiba-tiba hilang dari
tempat itu, dia bukan lain adalah Go Thian, orang
yang diperintah Ong-losiansing menyampaikan
perintah rahasia.
"Sebetulnya kusangka kau pasti akan
mampus," kembali Go Thian berkata setelah
menghela napas, "tak disangka ternyata dia
sendiri yang menemui ajal."
Yap Kay tertawa, hanya tertawa tanpa
menjawab.
"Sejak kapan kau baru teringat dialah
pembunuh ketiga yang sesungguhnya, yang
berniat membunuhmu?" tanya Go Thian lagi.
"Sejak ia berjalan menghampiriku."
"Sejak ia menghampirimu? Waktu itu bahkan
aku sendiri pun menyangka kau benar-benar
bersedia berkawan dengannya, darimana kau bisa
tahu ia berniat membunuhmu?"
"Karena dia kelewat hati-hati waktu berjalan
mendekat, seolah kuatir kakinya bakal menginjak
mati seekor semut di atas tanah."
"Apa salahnya berjalan dengan hati-hati?"

"Ada satu hal yang dia lupakan, " kata Yap Kay,
"bagi orang persilatan macam kami, biar sudah
menginjak mati tujuh-delapan ratus ekor semut
pun tak bakal dipermasalahkan, dia berjalan
dengan hati-hati lantaran dia harus waspada dan
berjaga-jaga terhadap serangan yang
kulancarkan secara mendadak."
Go Thian tidak berkomentar, dia hanya
mendengarkan.
"Hanya orang yang berniat mencelakai
oranglah yang akan berjaga-jaga terhadap
serangan orang lain," Yap Kay menambahkan.
"Oya?"
"Aku pernah mengalami kejadian seperti ini,
biasanya yang bakal rugi dan masuk perangkap
adalah mereka yang tak ingin mencelakai orang
lain."
"Kenapa?"
"Karena mereka tak punya niat mencelakai
orang, mereka tidak perlu menguatirkan sergapan
orang," kata Yap Kay hambar, "bila kau pun
pernah mengalami kejadian serupa, tentu akan
kau paham maksud perkataanku ini."
"Aku sangat memahami, tapi belum pernah
punya pengalaman seperti itu, selama hidup
belum pernah aku percaya kepada siapa pun."
Go Thian memandang Yap Kay sekejap,
lanjutnya sambil tertawa, "Mungkin lantaran kau
pernah merasakan pengalaman seperti ini, pernah

merasakan pelajaran yang menyakitkan dan
memedihkan macam ini, maka sekarang kau
tidak mati."
"Mungkin begitu, melakukan kebodohan satu
kali, kesalahan ada di pihakmu, jika sampai
melakukan kebodohan dua kali, aku sendirilah
yang goblok."
Yap Kay pun balas menatap Go Thian, lalu
setelah tertawa tambahnya, "Setelah mengalami
satu kali pelajaran pahit tapi masih tak waspada,
aku memang pantas untuk mampus."
"Ucapan yang amat bagus."
"Bagaimana dengan kau?" tiba-tiba Yap
Kay menegur, "apakah kedatanganmu juga
berniat membunuhku?"
"Bukan."
"Bukankah kau datang bersama mereka?"
"Betul, hanya perintah yang kami terima
berbeda."
"Oya?"
"Mereka bertiga mendapat perintah
membunuhmu, sementara aku mendapat
perintah hanya untuk melihat." "Melihat apa?"
"Melihat cara kerja mereka, terlepas berhasil
membunuhmu atau kau yang berhasil membunuh
mereka, aku harus menyaksikan dan
mengingatnya dengan baik dan jelas."

"Bukankah sekarang kau telah menyaksikan
dengan sangat jelas?"
"Benar."
"Bukankah sekarang sudah saatnya bagimu
untuk pergi dari sini?"
"Benar," kembali Go Thian mengangguk, "tapi
sebelumnya aku ingin mengajukan satu
permohonan kepadamu."
"Katakan."
"Aku ingin membawa pulang mereka bertiga,
hidup atau mati, aku harus membawa pulang
orang-orang itu." Yap Kay segera tertawa.
"Sewaktu masih hidup, mereka tidak memberi
manfaat apa pun kepadaku, apalagi setelah mati.
Namun aku pun berharap kau bisa membantuku
melakukan satu hal."
"Katakan!"
"Peduli siapa pun orang yang mengutusmu, aku
harap sampaikan kepadanya, minta dia baik-baik
menjaga diri. Di saat aku menjumpainya nanti,
aku harap dia masih tetap dalam keadaan hidup
dan sehat."
"Dia pasti sehat. Dia memang seorang yang
pandai menjaga diri." "Bagus sekali," Yap Kay
tergelak, "aku benar-benar berharap dia masih
hidup sewaktu aku datang mencarinya."
"Aku berani jamin, sementara ini dia tak bakal
mati," Go Thian ikut tergelak, "aku pun berani

menjamin, dalam waktu singkat kau bakal
bertemu dengannya."
Bab 9. RENCANA ONG-LOSIANSING
Tentu saja Ong-losiansing tak bakal mati tanpa
sebab musabab jelas.
Dia selalu percaya hidupnya jauh lebih panjang
dari siapa pun yang berusia sebaya dengan
dirinya.
Dia pun selalu percaya uang adalah segalanya,
hidup di dunia ini uang sangat penting, karena
tanpa uang kau tak akan mampu membeli apa
pun, termasuk kesehatan maupun nyawa sendiri.
Nomor enam, nomor enam belas, nomor dua
puluh enam telah mati, mati di tangan Yap Kay,
terhadap kejadian ini Ong-losiansing sama sekali
tidak tercengang.
Agaknya kematian mereka bertiga sudah dalam
dugaannya.
Kalau sudah tahu mereka bertiga bakal mati,
mengapa dia masih memerintahkan ketiga orang
itu mengantar kematian? Kenapa ia melarang
mereka bertiga turun tangan bersama?
Jangankan dirimu, Go Thian yang
melaksanakan perintah itu pun tidak jelas. Dia
hanya tahu satu hal, semua yang diperintahkan
Ong-losiansing harus dia lakukan dengan baik.

Ong-losiansing memerintahkan dia untuk
membawa pulang ketiga orang itu, maka dia pun
membawa mereka kembali, terlepas apakah
masih hidup atau sudah mati.
Dan Go Thian telah melaksanakan.
"Bila mereka mati di tangan Yap Kay, aku harus
memeriksa jenazah mereka dalam waktu empat
jam."
Sesaat sebelum berangkat, Ong-losiansing
telah menurunkan perintah itu kepada Go Thian,
satu pekerjaan yang tidak mudah untuk
dilakukan, tapi Go Thian mampu melakukannya.
Cahaya matahari senja menyorot di atas air
terjun, pantulan cahaya di atas air menimbulkan
percikan cahaya keemas-emasan.
Dengan tenang So Ming-ming mendengarkan
penuturan Yap Kay hingga selesai, setelah
termenung beberapa saat dia mendongak dan
berkata, "Terlepas siapakah orang itu, kalau dia
berniat mengirim tiga orang untuk membunuhmu,
mengapa tidak menitahkan mereka bertiga turun
tangan bersama?"
"Sebenarnya aku pun tidak mengerti hal ini,
tapi sekarang aku paham."
"Karena apa?"
"Dia sengaja mengutus ketiga orang itu untuk
menyelidiki aliran ilmu silatku," Yap Kay
menjelaskan, "aliran ilmu silat dan ilmu pedang

yang dimiliki ketiga orang itu berbeda, cara
mereka membunuh pun berbeda."
"Oh, berarti dia memang sengaja mengutus
mereka dengan tujuan ingin melihat bagaimana
caramu membunuh mereka?" Yap Kay manggutmanggut
tanda membenarkan.
"Kalau memang tujuannya hanya ingin
melihat bagaimana caramu membunuh,
kenapa ia tidak turun tangan sendiri?" tanya So
Ming-ming. "Tidak perlu, dia tak perlu turun
tangan sendiri."
"Kenapa?"
"Asal dalam empat jam ia memeriksa jenazah
ketiga orang jagonya yang sudah mati,
semuanya akan tertera jelas."
"Aku tidak mengerti."
"Asal dia memeriksa mulut luka yang
mengakibatkan kematian mereka, dia akan tahu
dengan cara apa aku turun tangan, " Yap Kay
menjelaskan, "sama seperti cara Pek-im Shiacu
Yap Koh-seng menebas kutung setangkai ranting
pohon dengan pedangnya. Sebun Jui-soat cukup
memeriksa bekas sayatan di atas ranting, ia
segera dapat menilai tinggi rendahnya ilmu
pedang yang dimiliki musuh."
Semua ini bukan dongeng, juga bukan cerita
isapan jempol, bagi seorang jagoan tulen dia pasti
dapat melakukan hal ini, dari bekas luka
seseorang sudah dapat diraba tinggi rendahnya
kemampuan silat orang.

"Tapi dia harus bisa memeriksa jenazah itu
dalam empat jam sejak kematiannya," Yap Kay
menerangkan lebih jauh, "sebab kalau tidak,
dengan berjalannya sang waktu, maka bekas luka
itu akan menyusut dan berubah bentuk."
So Ming-ming kembali termenung, mendadak
serunya, "Aku tidak mengerti."
"Apa yang tidak kau pahami?"
"Jika kau sudah tahu tujuannya ingin melihat
aliran ilmu silatmu, kenapa kau masih tetap
turun tangan?"
"Pertama, bila ketiga orang itu turun tangan
bersama, belum tentu aku sanggup
menghadapinya. Kedua, saat itu aku masih belum
mengetahui maksud tujuannya," kata Yap Kay
sambil tertawa, "aku baru tersadar ketika orang
keempat mengatakan akan membawa pulang
mayat mereka."
"Sebetulnya waktu itu pun belum terlambat,
kenapa kau tetap mengizinkan dia membawa
pulang mayat-mayat itu?"
"Karena aku ingin tahu siapa sebenarnya orang
yang disebut sebagai si dia itu."
"Oh, kau ingin melacak identitas si dia dari
perjalanan orang keempat sewaktu mengirim
balik mayat-mayat itu?"
"Benar."
"Lalu? Berhasilkah kau melacaknya?"

"Menurut kau?"
Dalam kondisi dan keadaan seperti apa pun,
kau jangan sampai terlacak jejak dan
identitasmu.
Walaupun pesan semacam ini belum pernah
disampaikan Ong-losiansing secara langsung,
namun Go Thian sangat mengetahui akan hal ini.
Tentu saja merupakan satu pekerjaan yang
sangat sulit untuk melakukan hal itu, sudah pasti
Yap Kay pun bukan seorang goblok, dia tentu
mengerti apa tujuan Go Thian mengirim balik
mayat-mayat itu.
Dengan begitu dia pasti akan berusaha
merahasiakan semua gerak-geriknya, berusaha
tidak membocorkan data sedikit pun tentang si
dia.
Padahal bila Yap Kay ingin melacak seseorang,
rasanya tak seorang pun di dunia ini yang mampu
meloloskan diri dari pengejaran dan
penyelidikannya.
Tetapi sewaktu Go Thian bertemu Onglosiansing,
dia berani menjamin tak seorang pun
berhasil melacak jejak dan identitas Onglosiansing
dari setiap perkataan, perbuatan dan
tindak-tanduknya. Bahkan dia berani
menggunakan batok kepala sendiri sebagai
taruhan.
Mengapa dia begitu yakin?

Tentu saja Yap Kay tak akan melepaskan setiap
tempat yang disinggahi Go Thian sepanjang
perjalanannya, apa yang dia lakukan, bahkan
setiap tempat kecil yang tak penting pun tak
dilepaskan begitu saja.
Go Thian menggunakan sebuah kereta yang
disewanya dari sebuah pasar untuk mengangkut
jenazah Lim Kong-ceng bertiga.
Pada malam itu dia sudah menyewa kereta
besar dengan ongkos sewa enam kali lipat dari
biasanya dan minta kusir untuk menantinya di
sekitar sana.
Si kusir Lo Thio sudah dua-tiga puluh tahun
mengerjakan usaha ini, di antara mereka berdua
sama sekali tak punya hubungan apa-apa.
Toko penjual peti mati terbesar di kota Lhasa
bermerek Liu-ciu-lim-ki.
Tengah hari belum lama lewat, Go Thian telah
mengusung ketiga sosok mayat itu ke depan toko
peti mati, lalu dengan membayar harga yang tiga
kali lipat lebih mahal, dia membeli tiga buah peti
mati berkualitas nomor satu.
Dia langsung turun tangan mengawasi sendiri
para pegawai Lim-ki memasukkan ketiga sosok
jenazah itu ke dalam peti mati, walaupun dia
telah membubuhi bubuk harum pencegah busuk
dalam peti mati, namun melarang siapa pun
menyentuh jenazah itu, bahkan pakaian untuk
orang mati pun tak sempat dikenakan.

Setelah itu dia langsung mengantar ketiga peti
mati itu ke sebuah tanah kuburan paling besar di
kaki bukit luar kota Lhasa, dengan membayar
seorang Suhu Hongsui tersohor, dipilihlah tanah
kuburan yang paling baik.
Tanah kuburan itu berada di kaki bukit
menghadap arah matahari terbit, para penggali
liang kubur pun merupakan orang-orang yang
sangat ahli, tak sampai satu jam ketiga buah peti
mati itu sudah masuk ke tanah.
Dalam satu jam berikut batu nisan pun telah
siap, bahkan terukir jelas nama mereka bertiga,
Lim Kong-ceng, Tan Bun serta Be Sa.
Kemudian Go Thian mengawasi sendiri
pendirian batu nisan, membakar Gincoa dan
pasang hio.
Malah dia sempat meneguk tiga cawan arak
dan mengucurkan air mata sebelum
meninggalkan tempat itu.
Setiap perbuatan yang dilakukan Go Thian
boleh dibilang sangat wajar, semuanya dilakukan
demi kawan-kawannya yang telah tiada, tak satu
pun yang nampak aneh atau mencurigakan.
Tapi menjelang senja, Ong-losiansing telah
melihat dan memeriksa mayat Lim Kong-ceng
bertiga.
Mendengar sampai di situ, So Ming-ming
bertanya, "Kalau dia ingin secepatnya melihat
mulut luka yang mematikan di tubuh jenazah
ketiga orang itu, kenapa dia malah

memerintahkan anak buahnya untuk segera
mengubur mayat-mayat itu?"
Inilah persoalan yang utama, persoalan yang
susah dijelaskan dan susah dijawab.
Yap Kay seolah sudah mengetahui jawabannya,
dia tertawa dan tiba-tiba tanyanya kepada So
Ming-ming, "Tahukah kau tentang seorang dari
marga Liu yang tinggal di kota Lhasa, Liu Samgan,
seorang Suhu Hongsui?"
So Ming-ming manggut-manggut tanda tahu.
"Apa kegemaran orang ini?" tanya Yap Kay lagi.
"Dia suka berjudi, selama ini dia anggap dirinya
bukan saja pintar berjudi, bahkan pandai juga
meramal, sayangnya dari sepuluh kali berjudi,
ada sembilan kali dia kalah."
"Apakah dia selalu butuh uang untuk berjudi?"
"Benar."
Yap Kay tertawa, katanya, "Maukah kau
bertaruh denganku?"
"Bertaruh apa?"
"Bertaruh tentang orang yang bernama Liu
Sam-gan ini, sekarang dia pasti sudah mati."
Untung So Ming-ming tidak mau melayani
pertaruhan itu, kalau tidak, ia pasti bakal kalah.
Di dunia ini terdapat banyak sekali kejadian
yang rumit dan memusingkan kepala, padahal
seringkah jawabannya justru amat sederhana,
hampir semua kejadian itu begitu.

Padahal Go Thian sudah menyiapkan tanah
kuburan itu dengan baik, jauh sebelumnya telah
menggali sebuah lorong bawah tanah yang
tembus dengan liang kuburan itu, untuk
menghindari kecurigaan dan penguntitan Yap
Kay, dia sengaja mencari Liu Sam-gan sebagai
alasan.
Waktu itu Liu Sam-gan sedang butuh duit,
maka Go Thian pun menyuap dia dengan
sejumlah uang, ketika semua urusan telah beres,
tentu saja dia harus dibunuh untuk membungkam
mulutnya.
Tak dapat disangkal, inilah satu-satunya cara
untuk menghindari pengejaran Yap Kay, dan
dengan cara ini juga ia dapat mengirim ketiga
sosok mayat itu dalam waktu singkat.
Matahari senja terlihat semakin merah,
semerah ceceran darah.
So Ming-ming mendongakkan kepala,
mengawasi cahaya merah di ujung langit, biji
matanya tampak berkilat seolah memancarkan
sinar keemasan, alisnya juga nampak kuning
keemasan di bawah pantulan sinar senja.
"Bagaimana pun juga, tak mungkin ketiga buah
peti mati yang dipakai untuk menyimpan ketiga
sosok mayat itu terbang lenyap begitu saja," kata
So Ming-ming, "terlepas ketiga buah peti mati itu
mau dikirim kemana, pasti ada orang yang
menggotongnya bukan?"
"Benar."

"Mau digotong kemana pun ketiga buah peti
mati itu, sudah pasti mereka akan meninggalkan
jejak, apalagi menggotong peti yang begitu
berat."
"Seharusnya memang begitu," sekali lagi
Yap Kay memperlihatkan senyuman misteriusnya.
"Apa maksudmu?"
Jalan keluar lorong rahasia, biarpun terdiri dari
tanah berlumpur atau tanah berumput, unfuk
menggotong tiga buah peti mati yang berat, pada
permukaan tanah pasti akan meninggalkan bekas
yang j elas.
Mau digotong orang atau diangkut kereta, pada
permukaan tanah tentu akan meninggalkan
bekas.
Namun bila So Ming-ming sekali lagi berani
bertaruh dengan Yap Kay, maka yang kalah tetap
adalah So Ming-ming.
Sebab tak jauh dari jalan keluar lorong rahasia
itu terbentang sebuah sungai besar, meskipun
arus airnya cukup deras, namun bukan masalah
yang sulit untuk mengangkut ketiga buah peti
mati itu dengan rakit yang terbuat dari kulit
kambing.
Mau air sungai, air telaga ataupun air laut, tak
mungkin di atas permukaan air meninggalkan
jejak barang sedikit pun.
Asal orang yang dikuntit menceburkan diri ke
air, biar anjing pemburu dari jenis paling hebat,

biar sudah mendapat pendidikan yang paling
ampuh pun jangan harap bisa melacaknya.
Senja semakin larut, awan tebal mulai
menyelimuti puncak bukit di kejauhan sana.
Air terjun masih mengalir sangat deras,
sebagian butiran air muncrat ke udara,
membasahi wajah So Ming-ming.
Di tengah udara, di balik senja yang mulai
remang, hanya terlihat seekor burung elang
terbang mengitar.
Hanya angin yang berhembus datang dari
kejauhan, lalu bergerak menjauh lagi.
Tak seorang pun tahu darimana angin berasal?
Kemana angin berlalu? Kapan angin berhembus
dan kapan baru berhenti?
So Ming-ming membetulkan rambutnya yang
terhembus angin, menyeka butiran air yang
membasahi pipinya, lalu perlahan dia
mendongakkan kepala, memandang Yap Kay.
"Tampaknya sulit bagimu untuk mengetahui
siapakah si dia?" katanya, "kini semua titik terang
sudah terputus, ketiga sosok mayat itu pun sudah
dia periksa, dia pun sudah mengetahui aliran ilmu
silatmu. Bahkan tinggi rendahnya
kemampuanmu pun sudah dia ketahui."
"Keliru, kau keliru besar," kata Yap Kay
tertawa, "walaupun sekarang aku sudah tak bisa
melacak jejaknya lagi, tapi bukankah ekor

rasenya sudah kelihatan? Cepat atau lambat si
kepala rase pasti akan terlihat juga."
Dia memandang sekejap So Ming-ming,
kemudian katanya lagi, "Karena dia sudah
memeriksa semua mayat itu, juga sudah
mengetahui kemampuan ilmu silatku, tentu dia
akan melakukan gerakan kedua."
"Gerakan kedua?"
"Benar, kalau tidak, buat apa dia menggunakan
begitu besar tenaga dan pikiran untuk melakukan
semua itu?" ujar Yap Kay, "dia mengeluarkan
begitu besar tenaga dan pikiran tak lain karena
sedang menyiapkan gerakan kedua."
"Percobaan membunuhmu untuk kedua
kalinya?"
"Benar, cuma aku berani jamin, yang
melakukan kesalahan pada gerakan yang kedua
ini pasti dia."
"Bagaimana seandainya kau?" perasaan cemas
terlintas di wajah So Ming-ming.
"Aku punya firasat, yang melakukan kesalahan
kali ini pastilah dia!"
BAGIAN III. PEMBALASAN
Bab 1. BALAS DENDAM DIMULAI
Di atas bukit terdapat sebuah kuburan baru,
rerumputan baru saja tumbuh di atas tanah

gundukan, beberapa pohon Pek-yang berdiri
tegak menahan hembusan angin barat, di depan
kuburan berdiri sebuah batu nisan.
Di atas batu nisan yang besar itu tertera
beberapa huruf besar, "Tempat peristirahatan
putri kesayanganku Be Hong-ling".
Be Khong-cun memandang nanar kuburan baru
itu, sampai lama kemudian baru ia membalikkan
badan memandang Pho Ang-soat, kerutan di
wajahnya terlihat makin tandas, di balik setiap
guratan itu entah sudah tersimpan berapa banyak
peristiwa masa lampau yang penuh kepedihan.
Ya, tak seorang pun tahu berapa banyak
kepedihan yang tertanam di situ? Berapa dalam
dendam kesumat yang terjalin?
Pho Ang-soat berdiri tenang menghadap
hembusan angin barat, dia balas menatap tajam
Be Khong-cun, memandang dengan sorot tajam.
"Apa yang kau lihat?" tiba-tiba Be Khong-cun
bertanya.
"Sebuah kuburan."
"Tahukah kau kuburan siapa?"
"Be Hong-ling."
"Sudah tahu, siapakah dia?"
"Putri Be Khong-cun."
Pho Ang-soat sengaja tidak mengatakan
"putrimu", melainkan "putri Be Khong-cun", sebab

hingga kini dia masih belum percaya orang yang
berdiri di hadapannya adalah Be Khong-cun asli.
Setahu dia, Be Khong-cun sudah tewas sejak
sepuluh tahun lalu, dengan mata kepala sendiri ia
saksikan kematian orang itu, meski bukan dia
yang membunuh, namun dia sangat mempercayai
pandangan mata sendiri.
Di depan tanah perbukitan itu terbentang
padang rumput yang luas, begitu luas hingga
bersambungan dengan ujung langit. Angin di atas
bukit terasa lebih dingin, angin berhembus di atas
rerumputan membuatnya bergoyang bagai
gulungan ombak di samudra.
Paras muka Be Khong-cun nampak lebih pedih,
terdengar ia bergumam, "Putri Be Khong-cun...."
Tiba-tiba ia membalikkan badan, memandang
ke tempat jauh sana. Entah berapa lama sudah
lewat ketika ia berkata lagi, "Sekarang apa yang
kau lihat?"
"Padang rumput, tanah dataran yang luas."
"Apakah kau dapat melihat tepian dataran luas
ini?"
"Tidak."
"Tanah dataran yang begitu luas tak nampak
tepian ini milikku," kata Be Khong-cun agak
emosi, "tanah ini adalah seluruh nyawaku,
seluruh kekayaan yang ada di sini milikku, akarku
tumbuh di tanah dataran ini."

Pho Ang-soat mendengarkan, hanya
mendengarkan, karena dia memang tidak paham
apa maksud Be Khong-cun mengajaknya ke sana
hari itu, apa pula maksudnya mengucapkan
semua perkataan itu?
"Akarku berada di sini, Be Hong-ling adalah
seluruh nyawaku, seluruh kehidupanku," kembali
Be Khong-cun berkata, "siapa pun orang yang
telah membunuhnya, dia harus membayar
dengan harga yang sangat besar."
Mendengar itu, perlahan Pho Ang-soat
mengalihkan kembali sorot matanya ke atas
kuburan baru.
Benarkah orang yang dikubur di tempat ini
adalah Be Hong-ling?
Angin masih berhembus kencang,
menggoyangkan rerumputan, tampaknya luapan
emosi Be Khong-cun ikut terhembus pergi oleh
deru angin dingin, lambat-laun paras
mukanya berubah tenang kembali, kemudian
ia menghela napas panjang.
"Walaupun aku tidak menyaksikan sendiri
bagaimana kau membunuh Be Hong-ling, tapi kau
pun tak bisa membuktikan dia bukan tewas di
tanganmu," kata Be Khong-cun lagi sambil
menatap tajam lawannya.
"Benar, aku memang tak bisa."
Kembali Be Khong-cun mengamatinya sekejap,
mendadak ia membalikkan badan, memandang
lagi padang rumput.

"Tidak mudah bagi siapa pun untuk
memperoleh sebidang tanah yang begini luas," Be
Khong-cun mengalihkan pokok pembicaraan,
"tahukah kau dengan cara apa kuperoleh semua
itu?"
Kau peroleh semua ini dengan melawan hati
nalurimu dan membunuh sahabat karibmu, Pek
Thian-ih.
Pho Ang-soat tidak mengucapkan perkataan
itu, dia hanya menatap Be Khong-cun dengan
pandangan dingin.
"Tanah ini kuperoleh dengan menukar nyawa
sahabat karibku serta beberapa orang
saudaraku," ujar Be Khong-cun lagi, "kini mereka
telah mati, sementara aku masih tetap hidup."
"Aku tahu."
"Oleh karena itu jangan harap siapa pun bisa
merebut semua itu dari tanganku," setelah
berhenti sejenak, kembali tambahnya, "kecuali
Pek Ih-ling!"
Pho Ang-soat tidak mengerti apa maksud
perkataannya itu, untung Be Khong-cun segera
memberi penjelasan.
"Biarpun Be Hong-ling adalah akar
kehidupanku, tapi demi Pek Ih-ling, aku bersedia
mengabaikan semua itu."
Kembali dia menengok wajah Pho Ang-soat,
lalu tanyanya, "Kau mengerti maksudku?"

"Tidak, aku tidak mengerti," Pho Ang-soat
memang benar-benar tidak mengerti.
"Dendam terbunuhnya putriku lebih dalam dari
lautan, tapi...." Be Khong-cun menggigit bibir,
"Pek Ih-ling... ternyata dia menyukai mu. "
Pek Ih-ling?
Lambat-laun Pho Ang-soat mulai mengerti
maksudnya.
Semua usaha, semua kekayaan yang ada di
Ban be tong adalah hasil perjuangan Pek Thian-ih
suami istri, maka demi putri tunggalnya, Be
Khong-cun rela berkorban tanpa syarat, inilah
yang disebut kesetia kawanan seorang sejati.
Oleh karena itu walaupun Pho Ang-soat telah
membunuh Be Hong-ling, namun demi Pek Ihling,
Be Khong-cun mau tak mau harus
membebaskan Pho Ang-soat.
Inilah salah satu sebab mengapa Be Khong-cun
mengajak Pho Ang-soat datang kemari hari ini.
Tapi benarkah kenyataan memang begitu?
Benarkah jenazah yang terkubur di sana adalah
mayat Be Hong-ling yang asli?
Siapa pula Pek Ih-ling yang berwajah sangat
mirip Be Hong-ling? Benarkah dia putri tunggal
Pek Thian-ih?
Kembali Be Khong-cun menatap tajam wajah
Pho Ang-soat, ujarnya lagi, "Aku tahu kau adalah
seorang lelaki yang punya cita-cita tinggi, punya

semangat dan harga diri, pada waktu biasa,
mungkin aku akan bersahabat denganmu,
bahkan memungut kau menjadi menantuku"
Sekali lagi dia menarik muka, setajam sembilu
dia tatap pemuda itu tanpa berkedip, lalu katanya
pula, "Tapi sekarang, lebih baik cepat kau
tinggalkan tempat ini."
"Pergi dari sini?"
"Betul, pergi dari sini. Bawa serta Pek Ih-ling,
pergilah sejauh mungkin, makin jauh makin
baik."
"Kenapa aku harus pergi?" tanya Pho Ang-soat.
"Karena di sini kelewat banyak masalah dan
kesulitan, siapa pun yang berada di sini rasanya
sulit untuk terhindar dari anyirnya darah," kata Be
Khong-cun, "biarpun demi Pek Ih-ling aku rela
melepasmu, bukan berarti aku bisa menjamin
orang lain bisa memaafkan dirimu yang telah
membunuh putriku."
"Aku tidak takut menghadapi masalah, juga tak
takut menghadapi anyirnya darah," kata Pho Angsoat
hambar, "terlebih lagi aku tak butuh maaf
dari orang lain."
"Tapi kau tidak seharusnya datang kemari,
sepantasnya kau segera pulang."
"Pulang? Pulang kemana?"
"Pulang ke kampung halamanmu, di tempat
itulah nyawamu baru bisa selamat dan
kehidupanmu baru tenang."

Pho Ang-soat tidak segera menjawab, dia
alihkan pandangan matanya ke arah padang
rumput yang luas, lama kemudian baru ia
bertanya, "Tahukah kau dimana letak kampung
halamanku?"
"Betapa jauhnya letak kampung halamanmu,
betapa banyaknya ongkos yang kau butuhkan dan
barang apa pun yang ingin kau bawa dari sini,
aku pasti akan memenuhi semua permintaanmu
itu," janji Be Khong-cun cepat, "akan
kukabulkan setiap permintaanmu, asal
kau segera tinggalkan tempat ini bersama Pek
Ih-ling."
"Tak perlu dengan tawaranmu itu, karena
kampung halamanku tidak terlalu jauh," tukas
Pho Ang-soat.
"Tidak jauh? Dimana?"
Di ujung langit terlihat segumpal awan putih,
sorot mata Pho Ang-soat berhenti pada gumpalan
awan itu.
"Di sinilah kampung halamanku," katanya.
"Di sini?" seru Be Khong-cun tertegun.
Pho Ang-soat membalikkan badan, menatap
tajam dirinya, tiada mimik aneh di wajahnya.
"Aku dilahirkan di sini, tumbuh dewasa di sini,
kau minta aku pergi kemana lagi?" ujar Pho Angsoat
lagi.
Mendengar itu, dada Be Khong-cun langsung
bergelombang tak beraturan, napasnya ngosTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ngosan, tangannya mengepal kencang, dari
tenggorokannya hanya terdengar suara orang
mendengkur, tak sepatah kata pun sanggup dia
ucapkan.
"Sejak awal sudah kukatakan, aku tak pernah
takut menghadapi masalah, juga tak kuatir
dengan anyirnya darah, bahkan aku hanya
melakukan apa yang seharusnya kulakukan."
"Jadi kau tetap akan tinggal di sini?" akhirnya
dengan sedikit memaksa Be Khong-cun
mengucapkan pertanyaan itu.
"Benar!"
Inilah jawaban dari Pho Ang-soat, singkat tapi
jelas.
Awan di ujung langit mulai bergerak, menutupi
cahaya sang surya. Hembusan angin barat terasa
makin kencang, menggoyangkan ranting dan
dedaunan, bahkan membuat pohon Pek-yang
yang kokoh pun ikut gemetar.
Biarpun Be Khong-cun masih berdiri tegak,
namun lambungnya mulai mengkerut dan terasa
mual, seakan terdapat sebuah tangan tak
berwujud yang sedang menekan dada dan
lambungnya, begitu kuat tekanan itu nyaris
membuatnya muntah dan berhenti bernapas.
Ia merasakan seluruh mulutnya dipenuhi cairan
getir, kecut dan pahit.
Pho Ang-soat telah berlalu dari situ.

Be Khong-cun tahu akan hal ini, tapi ia tidak
berusaha menghalangi, bahkan berpaling untuk
melihat sekejap pun tidak.
Kalau memang tak berniat menghalangi, buat
apa mesti ditengok?
Seandainya peristiwa ini terjadi pada sepuluh
tahun berselang, dia pasti tak akan
membiarkannya pergi.
Seandainya peristiwa ini terjadi pada sepuluh
tahun berselang, mungkin saat ini dia sudah
terkubur di tanah perbukitan itu.
Pada sepuluh tahun berselang, belum pernah
ada orang berani menampik permintaannya,
semua perkataan yang dia ucapkan tak pernah
ada yang berani membangkang.
Tapi sekarang ada, ada yang berani
melawannya.
Ketika mereka sedang berdiri saling
berhadapan tadi, sebenarnya Be Khong-cun
punya kesempatan untuk merobohkan Pho Angsoat,
kepalannya masih secepat sepuluh tahun
yang lalu, dia yakin masih mampu merobohkan
setiap orang yang berdiri di hadapannya.
Tapi tadi, dia sama sekali tidak bergerak, sama
sekali tidak turun tangan.
Mengapa? Mengapa dia hanya diam saja?
Apakah dia sudah tua? Ataukah ada sesuatu
yang membuatnya takut dan ngeri untuk
bertindak?

Apakah dia adalah Be Khong-cun yang asli?
Apakah dia adalah Be Khong-cun sepuluh tahun
berselang?
Semua orang, semua benda yang ada di Ban be
tong hari ini benarkah sama seperti yang dulu?
Benarkah mereka semua telah bangkit dari
kematiannya?
Biarpun sudah lewat sepuluh tahun, namun otot
Be Khong-cun masih nampak kekar dan kencang,
bahkan tak nampak daging lebih atau lemak yang
tumbuh di seputar lehernya, baik sewaktu duduk
atau berdiri, tubuhnya tetap tegak lurus persis
seperti keadaannya pada sepuluh tahun
berselang.
Tampaknya selama sepuluh tahun terakhir,
nyaris tidak terjadi perubahan apa pun pada
dirinya.
Padahal perubahan dan menuanya seseorang,
memang sulit dilihat dan diketahui orang luar.
Malah terkadang diri sendiri pun tak dapat
melihatnya.
Perubahan dan menuanya seseorang,
sesungguhnya berlangsung dalam hati
Seseorang baru benar-benar merasa lemah dan
tua bila dalam hati merasa dirinya sudah mulai
lemah dan tua.
Tiba-tiba Be Khong-cun merasa sangat lelah.
Awan bergerak yang baru saja menutupi
cahaya sang surya, entah sejak kapan telah

berubah menjadi awan mendung, tak lama
kemudian langit pun berangsur gelap,
kelihatannya segera akan turun hujan.
Sudah barang tentu Be Khong-cun dapat
melihat perubahan itu, pengalamannya selama ini
membuat ia pandai melihat perubahan cuaca, tapi
agaknya dia enggan untuk pulang.
Dengan tenang ia berdiri di depan kuburan,
mengawasi tulisan di atas batu nisan dengan
pandangan nanar, "Tempat peristirahatan putri
kesayanganku Be Hong-ling".
Benarkah Be Hong-ling dikebumikan di tempat
itu?
Kecuali dia seorang, mungkin tidak banyak
yang tahu tentang rahasia ini, tak seorang pun
tahu kuburan siapakah sebenarnya?
Rahasia ini sudah sepuluh tahun tersimpan
dalam hatinya, seperti sebatang duri yang
menghujam dalam hatinya, setiap kali teringat
akan hal ini, hatinya akan terasa sakit, pedih.
Kini perasaan sakit dan pedih kembali
tercermin di wajahnya, entah dikarenakan ia
teringat rahasia itu atau lantaran permintaan nya
ditolak mentah-mentah oleh Pho Ang-soat?
Angin berhembus semakin kencang, di tempat
terpencil seperti ini hanya suara hembusan angin
yang terdengar, tiada suara derap kuda, tiada
pula suara langkah kaki, tapi sekonyong-konyong
Be Khong-cun merasa ada seseorang sedang
berjalan naik ke bukit itu.

Tanpa menoleh pun ia tahu siapa yang datang.
Pek Ih-ling! Hanya Pek Ih-ling seorang yang
bisa menikmati rahasia itu bersamanya.
Dia amat mempercayai Pek Ih-ling, sama
seperti seorang ayah mempercayai putri sendiri.
"Apakah dia tidak mau menerima tawaran itu?"
tanya Pek Ih-ling lirih sambil berjalan mendekati
Be Khong-cun.
Be Khong-cun menggeleng pelan.
Tampaknya jawaban itu sudah terduga Pek Ihling
sebelumnya, begitu melihat Be Khong-cun
menggeleng, perasaan murung dan sedih segera
melintas di wajahnya.
"Sejak awal sudah kubilang, tak mungkin dia
akan menyanggupi," kembali Pek Ih-ling berkata
lirih, "seandainya dia adalah manusia semacam
itu, tak mungkin dia akan pergi pada sepuluh
tahun berselang."
Be Khong-cun mengangkat wajah, memandang
awan mendung yang bergayut di langit, sesudah
menghela napas katanya pula, "Ai, sebetulnya
aku sangat berharap dia mau mengajakmu pergi,
dengan begitu tak ada lagi yang perlu
kurisaukan."
"Bila ia benar-benar mengajakku pergi,
bukankah kau pun telah melanggar perintah
organisasi?"

"Organisasi?" gumam Be Khong-cun, "justru
demi organisasi aku berharap kau pergi
bersamanya."
Perlahan Be Khong-cun membalikkan badan,
ditatapkan Pek Ih-ling dengan penuh kasih
sayang, lalu dengan lembut dia belai pipinya,
mengawasi wajahnya dengan lembut dan
perhatian.
"Setelah aku pergi, dengan cara apa kau akan
menghadapi organisasi?" ujar Pek Ih-ling
kemudian, "bukannya kau tak paham tentang
tindak-tanduk dan sepak-terjang organisasi?"
"Mungkin perkataanmu tak salah, aku memang
sudah tua," Be Khong-cun kembali menghela
napas, "justru karena aku sudah tua, maka aku
berharap kau pun bisa hidup lebih senang, lebih
bahagia. Aku berharap kau dapat meninggalkan
tempat ini."
Sesudah berhenti sejenak, membiarkan butiran
air mata yang mengucur lenyap di atas tanah,
kembali terusnya, "Mengenai organisasi... aku
sudah tua, apa lagi yang perlu kutakuti?"
Awan gelap masih bergayut, rintik hujan belum
juga turun, hembusan angin dingin semakin
menusuk tulang, kemudian bergemalah suara
guntur yang menggelegar.
Ketika guntur mengguncang bumi, Pho Angsoat
telah sampai di depan pintu kamarnya, langit
terlihat makin gelap sedang lentera dalam kamar

belum dinyalakan, kegelapan serasa mencekam
dimana-mana.
Sejak meninggalkan bukit hingga tiba di depan
kamarnya, Pho Ang-soat tak pernah
menghentikan langkahnya, saat ini pun dia tak
berniat untuk berhenti, tapi baru akan mengayun
kaki kanan, mendadak ia batalkan niat itu.
Kakinya seolah terhadang di tengah udara dan tak
mampu dilanjutkan.
Dalam sekejap seluruh bulu kuduknya berdiri,
ia merasakan hawa dingin yang menusuk serasa
menyusup masuk dari dasar telapak kakinya.
Suasana di sekeliling situ sangat hening, tak
terdengar suara apa pun, tak terlihat suatu
kejadian apa pun, tapi mengapa Pho Ang-soat
berubah seperti itu? Berubah secara tiba-tiba?
Kegelapan yang tak bertepian semakin
menyelimuti angkasa, suasana terasa sangat
hening, sepi, seakan semua kehidupan telah
berhenti. Tiada cahaya, tiada suara.
Ketika siap melangkahkan kakinya memasuki
pintu kamar, secara tiba-tiba Pho Ang-soat
menghentikan seluruh gerakannya, hal ini
disebabkan ia telah mendengar suara yang
sangat aneh, suara itu tidak mirip langkah kaki,
juga bukan suara dengusan napas, suara itu
adalah sejenis irama yang aneh.
Sejenis suara yang tak bisa didengar lewat
telinga, semacam suara yang tak bisa ditangkap
telinga, sejenis suara yang hanya bisa ditangkap

oleh kesensitifan dirinya, semacam insting seekor
hewan liar.
Ada seseorang di dalam kamarnya, ya,
seseorang!
Bisa jadi orang itu adalah orang yang ingin
mencabut nyawanya, orang yang penuh diliputi
rasa benci dan dendam.
Pho Ang-soat tak dapat melihat orang itu,
jangankan orangnya, bayangan pun tidak terlihat.
Namun ia dapat merasakan kehadirannya, ia
merasa jarak antara dia dan orang itu makin lama
makin dekat.
Jagad raya dingin membeku, hembusan angin
yang membeku, golok yang dingin membeku.
Pho Ang-soat menggenggam kencang
goloknya, ia tak berani bergerak, tak berani
mengeluarkan suara, seluruh tubuhnya seakan
sudah membeku.
Seluruh langit dan bumi seolah sudah dicekam
keheningan yang luar biasa... saat itulah
mendadak bergema suara desingan angin tajam
dari balik kamarnya.
Pho Ang-soat sudah mulai berkelana dalam
dunia persilatan sejak usia delapan belas, dia
sudah mengembara dan hidup bergelandangan
bagai seekor serigala liar, ia pernah merasakan
jotosan kepalan, pernah merasakan tamparan
tangan, pernah ditusuk pedang, dibacok golok,
bahkan pernah merasakan berbagai sambitan
senjata rahasia.

Tentu saja dia pun dapat menangkap suara itu,
desingan angin yang ditimbulkan dari sambitan
senjata rahasia, semacam Am-gi yang lembut,
kecil dan sangat tajam. Biasanya senjata rahasia
ini ditembakkan melalui sebuah alat pegas yang
kuat dan pada umumnya sangat beracun.
Di saat senjata rahasia membelah udara,
semestinya Pho Ang-soat segera mundur,
seharusnya dia cepat berkelit, tapi pemuda itu
seolah badannya sudah kaku, mengejang, bukan
saja tidak berkelit, bergerak pun tidak.
Bila dia bergerak atau berkelit, dapat dipastikan
dia akan mati mengenaskan.
"Ting...", senjata rahasia itu sudah menyambar
tiba, menghajar di atas lantai ubin, persis di
samping Pho Ang-soat.
Tampaknya orang dalam kamar telah
memperhitungkan dia pasti akan menghindar,
pasti akan bergerak, karena itu sasaran senjata
rahasia itu bukan tertuju ke tubuh korban, tapi
mengancam jalan mundurnya, mau ke arah
mana pun dia menghindar, asal berani
bergerak berarti bakal mati.
Sayang dia sama sekali tak bergerak.
Dari desiran angin serangan ia sudah tahu
serangan itu bukan langsung tertuju ke tubuhnya,
dia pun seakan sudah menduga apa maksud dan
tujuan sebenarnya dari serangan itu.
Dugaan itu memang tak seratus persen
meyakinkan, menghadapi kejadian seperti ini tak

mungkin ada orang yang berani yakin seratus
persen.
Dalam situasi yang begini kritis dan bahaya, tak
ada cukup waktu baginya untuk
mempertimbangkan, oleh karena itu dia harus
bertaruh, menggunakan nyawa sendiri sebagai
bahan taruhan, menggunakan hasil analisa sendiri
sebagai bahan taruhan.
Taruhannya kali ini benar-benar sebuah
pertaruhan yang nyaris, kemenangan pun diraih
dengan nyaris.
Namun pertaruhan belum lagi selesai, Pho Angsoat
masih harus bertaruh terus, tak nanti
lawannya melepaskan dia begitu saja.
Biarpun kali ini dia berhasil meraih
kemenangan, kemungkinan besar kali berikutnya
akan kalah, setiap saat mungkin akan menderita
kekalahan.
Jika kalah maka dia akan kehilangan nyawa,
bahkan kemungkinan besar akan menggadaikan
nyawanya tanpa sempat melihat jelas wajah
lawannya.
Tapi ada satu hal yang dia tahu pasti, orang
yang berada dalam kamar adalah seorang lawan
tangguh yang belum pernah dihadapi
sebelumnya.
Asal orang itu pernah bertemu dengannya, dia
yakin pasti dapat mengenalinya.

Pho Ang-soat tak menginginkan kematian
sebelum mengetahui siapa lawan, maka dari itu
tiba-tiba ia mulai batuk.
Orang batuk tentu bersuara, kalau bersuara
tentu ada tujuan, dia memang sengaja
membocorkan posisi berdirinya kepada pihak
lawan.
Tak salah lagi, ia segera mendengar suara
desingan angin tajam kembali membelah
angkasa, suara desingan yang begitu tajam
seolah hendak mencabik tubuhnya.
Begitu mendengar suara desingan, tubuh Pho
Ang-soat segera menyusup masuk ke dalam
ruangan, menggunakan seluruh kekuatan yang
dimilikinya untuk menyusup masuk, menyusup
lewat desingan angin tajam itu.
Tiba-tiba dari balik kegelapan berkelebat
cahaya golok. Sekilas cahaya golok yang sangat
dingin, sekilas cahaya golok kematian!
Di saat Pho Ang-soat mulai batuk tadi, secara
diam-diam ia telah melolos goloknya, salah satu
di antara lima golok tertajam di kolong langit.
Cahaya golok berkelebat dan ...."Tring!",
bergema suara benturan keras, lalu terdengar
suara senjata rahasia yang rontok ke atas tanah.
Selewat suara benturan itu, suasana kembali
dicekam dalam keheningan.
Begitu melompat masuk Pho Ang-soat pun
tidak bergerak lagi, bahkan dengus napas pun

seolah ikut berhenti, satu-satunya yang dapat ia
rasakan sekarang adalah keringat dingin yang
mengalir melalui ujung hidungnya.
Entah berapa lama sudah lewat, tapi yang pasti
suatu jangka waktu yang betul-betul lama...
akhirnya Pho Ang-soat dapat menangkap suara
lirih.
Dia memang sedang menanti suara itu.
Begitu mendengar suara itu, seluruh tubuhnya
yang semula tegang kini makin mengendor dan
lepas.
Suara yang didengar Pho Ang-soat adalah
semacam suara rintihan yang sangat lirih dan
suara dengusan napas yang memburu.
Hanya orang yang benar-benar kesakitan,
benar-benar mencapai puncak penderitaan hingga
tak mampu mengendalikan diri, baru akan
memperdengarkan suara seperti ini.
Pho Ang-soat tahu dalam pertarungan ini lagilagi
dia berhasil meraih kemenangan.
Biarpun kemenangan itu harus diraih dengan
susah payah, dengan penuh penderitaan dan
kesengsaraan, namun akhirnya berhasil menang
juga-
Dia pernah menang, sering menang, karena
itulah dia masih bisa hidup hingga sekarang.
Paling tidak menang dan tetap hidup jauh lebih
baik daripada kalah dan mampus.

Tapi kali ini nyaris sebelum ia mencicipi
bagaimana rasanya meraih kemenangan, dari
balik kegelapan di ujung langit sana tiba-tiba
berkilat secercah cahaya tajam.
Cahaya, seperti juga kegelapan, selalu datang
secara tiba-tiba, siapa pun tak tahu kapan dia
akan datang, tapi kau harus percaya diri, harus
yakin bahwa cepat atau lambat dia akan datang
juga.
Akhirnya Pho Ang-soat dapat melihat wajah
orang itu, wajah orang yang membawa kebencian
dan dendam kesumat, orang yang ingin
menghabisi nyawanya.
Bab 2. SI KELININGAN
Dari balik kegelapan muncul cahaya terang,
Pho Ang-soat dapat melihat jelas wajah orang itu.
Ternyata dia belum mati.
Ia masih meronta, masih menggeliat, masih
bergerak, gerakannya susah dan lamban, seperti
seekor ikan sekarat yang terjebak di tengah pasir
putih.
Di tangannya menggenggam geretan api, dari
geretan api itulah cahaya terang berasal. Kini Pho
Ang-soat baru sadar, ternyata orang itu adalah
seorang wanita.
Bukan cuma wanita, malah seorang wanita
yang cantik molek, biarpun wajahnya nampak

layu dan pucat, namun semua itu justru
menambah kelembutan dan keindahannya.
Sepasang biji matanya kelihatan agak kabur,
tapi dipenuhi dengan kerinduan, kerinduan di
tengah penderitaan, putus asa dan permohonan.
Ia memandang Pho Ang-soat dengan matanya
yang makin sayu, sebenarnya dia ingin
membunuhnya, namun setelah sorot mata
mereka saling bertemu, dia seakan lupa akan hal
ini.
Ini disebabkan karena dia adalah manusia,
bukan hewan, tiba-tiba dia pun merasa bahwa
dalam situasi dan keadaan seperti apa pun antara
manusia dan hewan tetap terdapat perbedaan
yang besar.
Keanggunan seorang, keibaan dan rasa
perikemanusiaan tak mungkin bisa dibuang begitu
saja.
Lalu siapakah perempuan ini? Mengapa di
tengah malam buta dia datang seorang diri,
berniat membunuh Pho Ang-soat?
"Siapa kau?" Pho Ang-soat bertanya.
"Seseorang yang datang untuk
membunuhmu" jawab perempuan itu, "aku
harus membunuhmu." "Mengapa?"
"Karena kalau kau tidak mati, akulah yang
mati," di balik suara perempuan itu terselip
perasaan dendam yang mendalam, "sebab kalau
kau tidak mati, aku selalu merindukan, harus

tersiksa batinku oleh kebencian hingga akhir
zaman."
"Kerinduan? Tersiksa oleh kebencian?"
"Benar, aku merindukan orang yang telah kau
bunuh. Bila aku gagal menghabisi nyawamu,
bagaimana mungkin aku bisa menghadapi siksaan
batin karena kebencian?"
"Siapa yang kau rindukan?" "A-jit, si golok
lengkung A-jit." "A-jit?"
Pho Ang-soat melengak, bukankah A-jit telah ia
bebaskan? Kenapa tiba-tiba A-jit mati?
Belum sempat Pho Ang-soat memahami hal ini,
perempuan itu sudah berkata, "Kau seharusnya
dapat melihat, meski bacokan golokmu membuat
aku terluka parah, namun luka itu tak melukai
bagian tubuhku yang membahayakan."
Tentu saja Pho Ang-soat tahu, sabetan
goloknya tadi dengan tepat menghujam dadanya,
hanya selisih dua inci dari letak jantungnya.
"Kau seharusnya dapat melihat juga bahwa
sekarang aku tak mampu lagi membunuhmu,"
kembali perempuan itu berkata dengan nada
yakin, "tapi bila ada kesempatan lagi di kemudian
hari, aku masih tetap akan berusaha
membunuhmu."
Dalam hal ini tentu saja Pho Ang-soat dapat
melihatnya, dia tahu perempuan di hadapannya
adalah seorang yang berani bicara berani berbuat,
apa yang sudah dia putuskan ibarat sebuah paku

yang sudah terpantek mati di atas dinding, biar
dicabut dengan cara apa pun tak mungkin bisa
goyah kembali.
"Oleh karena itu lebih baik bunuhlah aku
sekarang," perempuan itu menambahkan.
Membunuhnya? Tanpa terasa sekali lagi Pho
Ang-soat mengamati perempuan di hadapannya.
Biarpun ia cantik, namun bukan perempuan
cantik pertama yang pernah dilihatnya, tapi
anehnya, mengapa tak tersirat sedikit pun
niatnya untuk membunuh.
Apakah hal ini lantaran keterus terangan
perempuan itu? Atau karena dia memiliki
sepasang mata yang kalut? Atau karena dia dan
dirinya termasuk orang yang dilanda kerinduan?
Sebenarnya karena alasan apa? Pho Ang-soat
sendiri pun tak tahu, dia hanya mengerti akan
satu hal, perempuan ini tak boleh dibunuh.
Tak disangkal, agaknya perempuan itu pun
dapat melihat hal ini, maka kembali ujarnya, "Bila
kau tidak membunuhku, maka kau harus
membawa serta diriku."
"Membawamu?" sekali lagi Pho Ang-soat
tertegun.
"Betul. Meski luka ini tak mengenai bagian
penting tubuhku, namun bila tidak segera ditolong
dan diobati, paling aku hanya bisa bertahan dua
jam lagi."
Dalam hal ini Pho Ang-soat pun mengerti.

"Jika aku mati dalam kondisi begini, biar kau
tak menggunakan golokmu lagi, sama artinya
kaulah yang telah membunuhku, apakah hati
kecilmu dapat menerimanya?" kembali
perempuan itu berkata.
Pho Ang-soat tertawa getir, dia memang hanya
bisa tertawa getir, jika bertemu perempuan
semacam ini, siapa yang tidak tertawa getir?
"Kalau kau tak ingin membunuhku, maka kau
harus membawa serta diriku, mengobati lukaku,"
kembali perempuan itu berkata, "aku tahu
kemampuanmu mengobati luka sama hebatnya
seperti permainan golokmu."
Orang yang pandai membunuh, biasanya
pandai pula mengobati luka.
"Tetapi jangan setelah menyembuhkan lukaku,
kau tinggalkan diriku begitu saja," kata
perempuan itu lagi, "mulai detik ini, aku akan
selalu mengintil di belakangmu, sejengkal pun tak
akan kutinggalkan."
Apa pula maksud perkataan itu?
"Karena sekarang aku belum mampu
membunuhmu, di kemudian hari pun tak mampu
membunuhmu, maka aku akan selalu mengintil di
belakangmu, setiap saat mempelajari segalanya
tentang kau, selalu memperhatikan
kepandaianmu dan mencari titik kelemahanmu.
Bila suatu ketika aku berhasil memahami tentang
kau, itulah waktuku untuk meraih kemenangan.
Dalam hal ini kau pasti setuju bukan?"

"Aku setuju!"
"Kau sudah memutuskan tak akan
membunuhku, namun jangan harap kau akan
memperoleh kehidupan yang tenang di kemudian
hari," perempuan itu menatap wajahnya lekatlekat,
"setiap saat kau harus selalu mewaspadai
aku, siapa tahu begitu kuperoleh kesempatan
baik, tanpa sangsi aku bakal menusukmu hingga
mampus."
Dia mengikuti dirinya karena bermaksud ingin
membunuhnya, tentu saja dalam hal ini Pho Angsoat
mengetahui dengan jelas.
"Sekarang kau boleh mulai mengobati lukaku,
lalu mengajakku pergi meninggalkan tempat ini."
"Mengajakmu pergi?" tanya Pho Ang-soat,
"kemana?"
"Bila kita tetap tinggal di sini, memang kau
sangka Be Khong-cun itu orang mampus,
memangnya dia tak bakal bertanya? Begitu ia
mulai bertanya, lalu bagaimana caramu
menjawab?" perempuan itu tertawa, "untung aku
tahu kau pasti akan mengajakku menuju ke suatu
tempat dan tinggal di sana."
"Aku mempunyai tempat?"
Tentu saja Pho Ang-soat mempunyai tempat
untuk ditinggali perempuan itu, sepuluh tahun
lalu ia pergi meninggalkan kota kecil itu dengan
membawa luka dan kepedihan, orang lain pasti
menyangka dia bakal pergi meninggalkan dunia

yang ramai ini, meninggalkan tempat yang
membuatnya sedih dan terluka.
Padahal dia tak pernah pergi jauh, karena
kondisi tubuhnya dan luka hatinya tak sanggup
menopangnya pergi jauh, maka dia hanya
meninggalkan kota kecil itu dan menetap di atas
bukit tak jauh dari situ.
Biarpun tempat itu agak dekat dengan kota
kecil, tapi di sana dia bisa lepas dari semua
keruwetan duniawi, maka begitu menetap hampir
sepuluh tahun lamanya, dia tak pernah
meninggalkan tempat itu.
Kalau memang sudah hampir sepuluh tahun ia
berdiam di situ, mengapa secara tiba-tiba ingin
meninggalkan tempat itu?
Orang lain pasti tak dapat menebak apa
sebabnya Pho Ang-soat mengabulkan satu
permintaan tak masuk akal, yang diajukan
seorang wanita asing kepadanya, bahkan Pho
Ang-soat pribadi pun tak tahu kenapa dia
menyanggupi permintaan itu?
Bahkan dia pun belum tahu perempuan macam
apakah orang itu, namanya pun tak jelas. Dia tak
habis mengerti apa sebabnya secara bodoh dan
sembrono dia bawa perempuan itu pergi
bersamanya.
Untung sesaat sebelum meninggalkan tempat
itu, pada akhirnya perempuan itu
memperkenalkan namanya.
"Aku bernama Hong-ling, si Keliningan."

Selesai bersantap, Yap Kay pun mendatangi
rumah So Ming-ming untuk beristirahat. Menanti
So Ming-ming selesai mengatur bocah-bocah
asuhnya, dia pun ikut keluar menuju ke halaman
dan duduk di samping pemuda itu.
Ketika bersantap malam tadi, Kim-hi
menyelesaikan makannya dengan cepat, lalu
dengan alasan lelah dan ingin cepat beristirahat,
dia balik lebih dulu ke kamarnya.
Selama beberapa hari belakangan ini dia
memang selalu mencari alasan untuk saling
berjumpa dengan So Ming-ming maupun Yap Kay,
tak jelas apa sebabnya ia bersikap begitu.
Tentu saja So Ming-ming tak menaruh
perhatian atas sikapnya yang aneh itu, apalagi
Yap Kay baru beberapa hari berkenalan dengan
Kim-hi, tentu saja dia lebih tak mungkin
memperhatikan urusan tetek-bengek.
Tatkala ia sadar akan hal itu, keadaan sudah
berkembang ke arah tak tertolong lagi.
Duduk santai di tanah berumput sembari
mendongakkan kepala menikmati taburan bintang
di langit dan ditemani seorang nona yang cantik
menawan, benar-benar hal yang indah dan tak
terlupakan.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya So
Ming-ming sambil berpaling.
"Aku sedang membayangkan hubungan antara
kebun monyet dan Ban be tong," sahut Yap Kay
sambil menatap wajah gadis itu, "mengapa ada

begitu banyak bocah yang hilang di seputar kebun
monyet dan tak ada yang pergi menjumpai
pemilik kebun monyet untuk menemukan
anaknya? Apakah orang tua bocah-bocah yang
lenyap itu tak pernah menguatirkan keselamatan
anaknya?"
So Ming-ming tak langsung menjawab, dia
menundukkan kepala, mengawasi rerumputan
hijau yang terhampar di hadapannya, baru ia
menjawab, "Sebab yang hilang rata-rata adalah
anak yatim piatu."
Sebuah jawaban yang memelas dan membuat
hati terasa kecut.
Anak yatim piatu? Tak heran ada begitu banyak
anak telah lenyap, namun belum ada orang tua di
kota Lhasa yang peduli atau menaruh perhatian
atas kasus ini.
Kalau urusan tidak menyangkut diri sendiri,
siapa pula yang mau mencampuri urusan orang
lain?
Yap Kay menghela napas sedih, sesaat
kemudian baru ia berkata lagi, "Bagaimana pun
anak yatim piatu kan tetap manusia, mengapa tak
seorang pun yang berani tampil mengatasi
masalah ini?"
"Setiap orang hanya mau mengurusi masalah
sendiri dan peduli amat dengan urusan orang lain,
masa kau belum pernah mendengar kata-kata
ini?"

Sesungguhnya ucapan itu memang ada
benarnya, sejak zaman dulu hingga kini, banyak
orang memang patuh dan memegang teguh
perkataan itu. Buat apa mesti mencampuri
urusan orang?
Kembali Yap Kay termenung, sesaat kemudian
baru ujarnya, "Asal terbukti hilangnya bocahbocah
itu ada hubungannya dengan kebun
monyet, aku pasti akan menuntut keadilan
kepada pemilik kebun itu."
Bukan hanya So Ming-ming yang mendengar
janji itu, Kim-hi pun ikut mendengar.
Biarpun sejak awal dia sudah balik ke kamar,
bukan berarti ia sudah terlelap, secara diam-diam
ia bersembunyi di pinggir jendela, mengamati
setiap gerak-gerik Yap Kay yang berada di
halaman dan mencuri dengar setiap pembicaraan
yang berlangsung, karena itulah ucapan Yap Kay
terakhir terdengar juga olehnya.
Sayang dia hanya mendengar sampai di situ,
jika gadis itu mencuri dengar kata-kata
selanjutnya, mungkin di kemudian hari tak
sampai terjadi peristiwa yang amat tragis.
Niat dan keputusan seseorang terkadang
muncul hanya sesaat, siapa pula yang bisa
menduga perbuatan apa yang bakal dilakukannya
di kemudian hari? Siapa pula yang bisa menebak
tindakan apa yang sebentar lagi akan dilakukan?
Semestinya Kim-hi dapat melihat So Ming-ming
amat menyukai Yap Kay, biarpun dia sendiri pun

menyukai pemuda itu, lalu apa gunanya dia
mencintainya? Seharusnya dia pun sudah dapat
merasakan bahwa dalam pandangan Yap Kay,
hanya ada So Ming-ming seorang?
Itulah sebabnya selama dua hari ini dia
berusaha menghindari perjumpaannya dengan
mereka berdua, namun apa daya, dia pun tak
tahan menghadapi kesepian dan kesendirian,
itulah sebabnya secara diam-diam dia ikut
memperhatikan gerak-gerik kedua orang itu.
Tak heran semua pembicaraan yang
berlangsung pada malam ini dapat didengarnya
dengan jelas, dia pun sangat memahami maksud
perkataan itu, maka secara diam-diam ia
memutuskan untuk melakukan satu perbuatan
besar, agar pandangan Yap Kay terhadap dirinya
dapat berubah.
Dia putuskan untuk menyambangi kebun
monyet pada malam ini, asal berhasil melacak
sesuatu rahasia dan memberitahukan kepada Yap
Kay, dia pasti akan bersikap beda terhadapnya,
dia pasti akan gembira atas perbuatannya.
Betapa kekanak-kanakannya pemikiran
semacam ini, sayang ia sudah terhanyut ke dalam
lautan cinta, orang yang sudah terlanda penyakit
itu biasanya gampang timbul pemikiran kekanakkanakan.
"Asal peristiwa hilangnya anak-anak itu
berhubungan langsung dengan kebun monyet,

aku pasti akan menuntut keadilan buat mereka,"
kembali Yap Kay berjanji dengan wajah gusar.
Betapa gembira So Ming-ming mendengar itu,
cepat dipegangnya bahu pemuda itu dan bisiknya,
"Kalau memang kau sudah memutuskan untuk
melakukan penyelidikan di kebun monyet, ayo,
sekarang juga kita berangkat."
Setelah mengatur napas, ia menambahkan,
"Kalau tidak berangkat sekarang, aku kuatir
malam ini akan muncul banyak impian. Kuatirnya
mereka melenyapkan semua bukti."
"Berangkat sekarang juga?"
"Ehm," So Ming-ming mengangguk, "saat
ini malam sangat gelap, biasanya penjagaan
mereka agak kendor, dengan cepat kita pasti
akan berhasil melacak rahasianya."
"Betul, kita pasti akan mati lebih cepat di kebun
monyet," tiba-tiba Yap Kay menyambung sambil
tertawa, "bila di dalam kebun monyet benarbenar
terdapat rahasia yang tak boleh diketahui
orang, saat ini mereka pasti sudah menyiapkan
jebakan yang menakutkan menanti kedatangan
kita. Biasanya orang akan beranggapan makin
malam makin cocok untuk melakukan
penyelidikan."
"Padahal justru kebalikannya," So Ming-ming
menambahkan.
"Benar," sahut Yap Kay sambil tertawa,
"semakin banyak rahasia yang tersimpan di suatu
tempat, makin ketat penjagaan mereka waktu

malam, sebab mereka pun pasti berpendapat,
semakin malam semakin tepat saat orang
melakukan penyelidikan, oleh karena itulah
tempat yang menyimpan rahasia akan menjadi
tempat yang sangat berbahaya di waktu malam."
Perasaan murung dan sedih tiba-tiba menghiasi
wajah So Ming-ming, tanyanya kemudian, "Jadi
menurut kau, kapan saat yang paling tepat untuk
berkunjung ke sana?"
"Pagi hari."
"Pagi hari? Kenapa harus pagi hari?"
"Sebab saat itu penjaga mereka sudah
mencapai saat yang paling meletihkan, saat untuk
berganti regu," kata Yap Kay sambil tertawa, "bila
seseorang telah melakukan penjagaan semalam
suntuk, saat itu mereka pasti mulai lelah,
konsentrasi pun mulai mengendor, sebaliknya
regu baru yang akan menggantikan mereka
adalah orang-orang yang baru bangun dari balik
kehangatan selimut, konsentrasi mereka pun
belum terpusat, paling tidak, kondisi mereka
masih terganggu oleh rasa kantuk. Nah, saat
seperti inilah saat yang paling tepat untuk
melakukan penyelidikan."
Penjelasan ini amat jelas dan terperinci, sayang
Kim-hi sudah tak sempat mendengar, karena
waktu itu dia sudah keburu berangkat ke kebun
monyet.
Biarpun belum pernah berkunjung ke kebun
monyet, namun Kim-hi sangat menguasai

keadaan sekitar sana, tanpa kesulitan ia sudah
melewati pagar pekarangan dan menyusup masuk
ke kebun bunga dalam kebun monyet.
Perkiraannya, tempat yang paling banyak
menyimpan rahasia pasti lah tempat tinggal sang
empunya, dan tempat tinggal sang pemilik
seringkah berada di kebun bagian belakang.
Analisa seperti ini sebetulnya sangat tepat dan
masuk akal, karena tempat dimana ia berada
sekarang, meski bukan tempat, tinggal sang
pemilik tapi di situlah tersimpan seluruh rahasia
penting.
Setelah melewati pagar pekarangan, Kim-hi
membiarkan matanya terbiasa dulu dengan
kegelapan, kemudian baru ia mulai melacak
tempat yang diduga ruang tinggal sang pemilik.
Semua ruangan yang berada di kebun belakang
dalam keadaan gelap-gulita, hanya dari sebuah
jendela yang agak besar lamat-lamat terbancar
secercah cahaya terang.
Ruangan itu pasti tempat tinggal sang pemilik,
setelah yakin dengan pikirannya, Kim-hi mulai
bergerak maju dengan sangat hati-hati,
selangkah demi selangkah menghampiri jendela
dimana cahaya terang itu berasal.
Dengan ibu jari dia robek kertas jendela, lalu
mengintip ke dalam melalui lubang kecil itu,
mula-mula Kim-hi melihat sebuah meja, di atas
meja terletak sebuah lentera, dia pun melihat

sebuah pembaringan, di atas pembaringan
kelihatan seseorang sedang tertidur nyenyak.
Dilihat dari caranya tidur, semestinya orang itu
adalah seorang kecil pendek, tapi Kim-hi tak
dapat melihat berapa usia orang itu, karena
kebetulan wajah, orang itu terhadang oleh lidah
api lentera.
Peduli berapa usia orang itu, dari postur
badannya Kim-hi yakin masih mampu
menguasainya.
Setelah mengambil keputusan, Kim-hi pun
membuka jendela dengan sangat hati-hati, lalu
melompat masuk ke dalam, kelihatannya orang
yang sedang tidur di pembaringan itu belum
merasakan ada orang yang menyusup ke dalam,
dia masih tidak bergerak, masih tidur dengan
lelapnya.
Setelah berada di dalam ruangan, perlahan
Kim-hi merapatkan kembali daun jendela dan
berjalan menghampiri pembaringan.
Menanti dia melewati meja dan melihat jelas
wajah orang yang sedang tidur itu, tiba-tiba saja
Kim-hi berdiri tertegun.
Rupanya dia sudah melihat dengan jelas siapa
orang yang sedang tertidur nyenyak itu.
Ternyata dia tak lain adalah Giok-seng, bocah
yang membuat mereka sempat menguatirkan
keselamatannya selama dua hari ini, gara-gara
lenyapnya bocah itu, semua orang sempat risau

dan tak tenang, siapa tahu bocah yang dicari
justru menikmati hidup di situ.
Tidur dalam kamar yang begitu indah,
pembaringan yang begitu besar dan tampaknya
nyaman sekali, kalau bukan menikmati hidup, lalu
apa namanya?
Membayangkan ini, hawa amarah Kim-hi
memuncak, sekali lompat dia menghampiri
pembaringan, lalu menggoyang tubuh Giok seng
yang sedang tertidur dan serunya, "Giok-seng,
Giok-seng, bangun!"
Merasa ada orang menggoyang tubuhnya lalu
mendengar ada orang memanggilnya, Giok-seng
segera terbangun dari tidurnya. Tapi begitu tahu
siapa yang datang, perasaan ngeri dan takut
segera terpancar dari waj ahnya.
Bukan hanya itu, bocah itu masih berusaha
menyembunyikan diri ke balik selimut.
Bisa dibayangkan betapa gusarnya Kim-hi,
mana mungkin ia biarkan bocah itu
menyembunyikan diri?
Dengan sekali cengkeraman ia tarik selimut itu
dari tubuh si bocah, dengan penuh amarah
tegurnya, "Kau masih ingin bersembunyi?"
Mungkin lantaran panik, bocah itu tak mampu
mengucapkan sepatah kata pun, dengan wajah
ketakutan ia gelengkan kepala berulang kali,
sementara mulutnya mengeluarkan suara
mencicit yang tidak diketahui apa maksudnya.

"Kurangajar!" Kim-hi mengumpat, "kau enakenakan
menikmati hidup di sini, sementara kita
yang berada di luar menguatirkan nasibmu...
masa kau sama sekali tak punya perasaan?"
Makin mengumpat, Kim-hi semakin sewot.
Tampaknya Giok-seng dibuat amat sedih oleh
kata-katanya itu, tampak air mata mulai
bercucuran membasahi pipinya, namun mimik
mukanya masih menampilkan perasaan takut,
ngeri dan seram.
Sebenarnya apa yang membuat dia ketakutan?
Kim-hi tak sanggup berpikir lebih jauh, melihat
Giok-seng masih berusaha menyembunyikan diri
di balik selimut, amarahnya semakin meluap,
umpatnya, "Sialan, kau masih ingin bersembunyi
di balik selimut? Bagus, akan kubuang selimutmu
itu, akan kulihat kemana lagi kau akan
bersembunyi?"
Mendengar ancaman itu, Giok-seng bertambah
panik, mati-matian dia mempertahankan
selimutnya, menggeleng kepala sementara suara
mencicitnya makin keras.
Semakin dia mempertahankan selimutnya,
Kim-hi semakin naik darah, sekuat tenaga ia
betot selimut itu hingga akhirnya robek.
Bila seseorang menyaksikan suatu peristiwa
yang mustahil, apa reaksinya yang pertama?
Jatuh pingsan? Atau menjerit keras? Atau sama
sekali tak bergerak?

Bagaimana pula dengan reaksi orang lain?
Mungkin saja Giok-seng tak bisa menjawab
pertanyaan itu, tapi ia dapat melihat dengan jelas
reaksi pertama yang diperlihatkan Kim-hi.
Waktu itu Kim-hi sedang menarik selimut
dengan penuh amarah, tapi begitu selimut
terbetot robek dan ia menyaksikan pemandangan
aneh di balik selimut, reaksi pertamanya adalah
terperangah.
Sesudah terperangah dan berdiri melongo
beberapa saat, gadis itu baru mengucek mata
berulang kali, mengawasi pembaringan itu
dengan pandangan ragu dan tak percaya.
Lambat-laun wajah kagetnya berubah jadi
perasaan ngeri dan horor, akhirnya ia menjerit,
mundur sempoyongan dan terduduk di atas
bangku.
Dia menggeleng kepala berulang kali,
gumamnya terus menerus, "Mana mungkin bisa
terjadi.. . ? Mana mungkin bisa terjadi. . . ? Mana
mungkin
Ketika selimut belum tersingkap, paras muka
Giok-seng diliputi perasaan takut dan ngeri luar
biasa, namun setelah selimut tersingkap,
perasaan takut dan ngerinya hilang, sebagai
gantinya perasaan sedih, tak berdaya dan
penderitaan yang hebat menghiasi raut mukanya.
Dia duduk meringkuk di sudut ranjang,
berusaha menutupi tubuh dengan kedua tangan,

sedang ujung mata mengerling berulang kali ke
arah Kim-hi yang duduk di bangku.
Peristiwa apa yang membuat Kim-hi begitu
ngeri seakan diteror kejadian horor yang
menakutkan?
Masih mengawasi Giok-seng yang meringkuk di
sudut ranjang, Kim-hi bergumam terus tiada
habisnya
"Ai! Mengapa orang selalu tak percaya dengan
kenyataan yang semulah terpampang di depan
mata?"
Tiba-tiba dari belakang Kim-hi berkumandang
suara teguran lembut dan halus, belum sempat
dia berpaling, ia sudah menangkap sorot mata
Giok-seng yang semula dibanjiri air mata, kini
telah berubah jadi pandangan benci, dendam dan
amarah yang meluap, pandangan mata yang
tertuju ke belakang tubuhnya.
Dengan cepat gadis itu berpaling, dia pun
melihat seorang kakek berwajah saleh telah
berdiri di depan pintu, seorang kakek dengan
pandangan lembut dan memperlihatkan sinar
kecerdasan.
"Apakah kau tak percaya dengan semua yang
telah kau saksikan?" dengan suara lembut
kembali kakek itu menegur.
Tak tahan, sekali lagi Kim-hi berpaling
mengawasi Giok-seng yang berada di ranjang,
gumamnya, "Bagaimana... bagaimana mungkin
aku bisa percaya?"

Sambil tertawa kakek itu berjalan menuju tepi
ranjang, katanya lagi, "Apakah kau tidak percaya
lantaran Giok-seng bertubuh monyet? Atau tidak
percaya kalau tubuh monyet ini mempunyai
kepala Giok-seng?"
Bertubuh monyet berkepala Giok-seng?
Ternyata apa yang dilihat Kim-hi adalah makhluk
aneh, manusia bertubuh monyet yang menjadi
penghuni kebun monyet.
Berarti dongeng tentang manusia bertubuh
monyet yang pandai berbicara itu adalah
kenyataan? Apalagi makhluk aneh yang dijumpai
Kim-hi saat ini tak lain adalah Giok-seng yang
sangat dikenalnya, tak heran dia begitu
terperangah, begitu ngeri dan seram.
Hal ini bisa dimaklumi, jangankan Kim-hi yang
sudah kenal orang itu, semisal orang lain pun tak
mungkin bisa menerima munculnya makhluk
seaneh itu.
Untuk menghilangkan perasaan kaget yang luar
biasa, satu-satunya jalan adalah meneguk
secawan arak, karena itu si kakek yang berwajah
ramah itu mengajak Kim-hi menuju ke rumah
yang terbuat dari kristal dan menuangkan
secawan arak anggur Persia untuknya.
Menanti Kim-hi menghabiskan isi cawannya dan
pulih kembali ketenangannya, kakek berwajah
ramah itu memperkenalkan diri, "Aku dari marga
Ong, semua memanggilku Ong-losiansing!"

Jadi diakah Ong-losiansing? Ternyata kakek
berwajah ramah ini tak lain adalah Onglosiansing,
pemilik kebun monyet yang
menakutkan itu. Tapi benarkah dia?
Kembali Kim-hi mengawasi wajah kakek itu
seakan tidak percaya dengan penglihatannya
sendiri.
"Jangan ragu dengan pandangan matamu, apa
yang kau saksikan semuanya memang
kenyataan," kembali Ong-losiansing berkata
sambil memperlihatkan senyuman ramahnya.
"Kenapa Giok-seng,... kenapa dia bisa berubah
jadi begini?" bisik Kim-hi sambil membayangkan
kembali bentuk tubuh Giok-seng yang aneh.
"Kenapa tidak mungkin?" sahut Onglosiansing
sambil tertawa, "Thian menciptakan
sepasang tangan untuk kita, memberi
kecerdasan otak kepada kita, semuanya ini
dikarenakan Thian berharap kita bisa
menciptakan keajaiban di dunia ini."
"Dengan cara apa kau mengubah tubuh Giokseng
jadi tubuh seekor monyet?" kembali Kim-hi
bertanya.
"Mengandalkan sepasang tanganku dan
kecerdasan otakku," sahut Ong-losiansing sambil
menuding kepala sendiri, "biasanya, kalau bukan
kuubah badannya menjadi badan kera, akan
kupindah kepala mereka ke tubuh monyet."
"Dicangkok?"

"Betul," Ong-losiansing manggut-manggut
dan tertawa, "dengan semacam ilmu bedah
tubuh yang canggih, disebut bedah cangkok."
"Ilmu bedah cangkok?"
"Betul. Dengan pembedahan aku potong kepala
orang, kemudian dicangkokkan ke tengkuk
monyet, selanjutnya digabung menjadi satu."
"Tapi... dia... mana mungkin dia bisa hidup
dengan tubuh seekor kera?" Kim-hi masih juga
tak percaya.
"Ketika pertama kali melakukan pembedahan,
memang beberapa kali aku mengalami kegagalan,
untunglah keberhasilan selalu tumbuh dari
kegagalan," Ong-losiansing menerangkan dengan
penuh bangga, "kini aku hanya belum berhasil
memindahkan tali suara di tenggorokan manusia
ke tubuh monyet, sehingga dia hanya bisa
mengeluarkan suara jeritan monyet."
Sekarang Kim-hi baru mengerti apa sebabnya
Giok-seng hanya bisa mencicit, rupanya dia
sudah tak sanggup berbicara lagi.
Ong-losiansing meneguk secawan arak anggur,
menunggu cairan arak mengalir di
tenggorokannya baru ia berkata lagi, "Tapi aku
percaya, lain kali pasti akan berhasil."
"Lain kali? Masih ada lain kali?" seru Kim-hi
sambil membelalak mata.
"Tentu masih ada. Tak bakal berhenti
sebelum berhasil. Apalagi dalam hal ilmu

pengetahuan secanggih ini." "Kau... kau tidak
kuatir dengan hukum?"
"Hukum?" Ong-losiansing tertawa terbahakbahak,
"selama aku berada di dunia ini, akulah
hukum."
"Apakah hati kecilmu bisa menerima semua
perbuatan busukmu itu?" Kim-hi benar-benar
kehabisan kata untuk menegur kakek itu, "apakah
kau tidak takut setan-setan penasaran yang
tewas di tanganmu akan berdatangan dan
menuntut balas kepadamu?"
"Setan penasaran?" suara tawa Ong-losiansing
semakin nyaring, "kalau di dunia ini benar-benar
terdapat setan atau arwah gentayangan, sejak
dulu tak ada lagi orang jahat di sini."
Ditatapnya wajah Kim-hi dengan senyuman
licik, katanya lagi, "Bocah perempuan, masa teori
semacam ini pun tidak kau pahami?"
"Kau... manusia semacam kau pasti akan
mampus secara mengenaskan."
"Kini aku sedang mencari cara untuk
memperpanjang hidup manusia, jika berhasil,
inilah keuntungan bagi seluruh umat manusia."
"Terima kasih," jerit Kim-hi, "kelahiran dan
kematian manusia sudah ditentukan oleh takdir,
bila saatnya mati sudah tiba, biar ingin
menghindar atau bersembunyi pun jangan harap
bisa kau lakukan."

Tiba-tiba Ong-losiansing tidak bicara lagi,
dengan pandangan mata aneh dia mengawasi
Kim-hi tanpa berkedip.
Dipandang seperti ini, lama kelamaan Kim-hi
merasa ngeri juga, bulu kuduknya berdiri.
Setelah termenung sejenak, kembali Onglosiansing
berkata, "Apa kau tak percaya bahwa
aku bisa menghindarkan manusia dari kematian?
Apakah kau tak percaya aku bisa menghidupkan
kembali orang yang baru saja mati?"
"Aku...."
Sebetulnya Kim-hi ingin menjawab "aku tak
percaya", tapi entah mengapa ia tak sanggup
mengucapkannya, terpaksa nona itu menelan
kembali air liurnya.
"Baiklah," tiba-tiba Ong-losiansing bangkit
berdiri, "ayo, ikuti aku!"
Di dalam rumah yang terbuat dari batu kristal
itu terdapat sebuah lemari yang juga terbuat dari
batu kristal, ketika lemari itu dibuka, lalu sebuah
tombol rahasia ditekan, segera muncullah sebuah
pintu rahasia. .
Setelah memasuki pintu rahasia itu, mereka
tiba di sebuah dunia lain.
Sebuah dunia kristal yang sangat artistik dan
indah.
Setelah memasuki pintu rahasia, di hadapannya
terbentang sebuah lorong kristal yang panjang, di

kedua sisi lorong penuh bergantungan lampu
lentera.
Disoroti cahaya lentera yang terang benderang,
lorong kristal itu memantulkan cahaya yang
indah, bahkan ada yang membiaskan cahaya
tujuh warna.
Berada dalam lorong seindah ini, membuat
orang serasa berada dalam dunia maya.
Walaupun Kim-hi sendiri sedikit terbuai, namun
dia tidak lupa bertanya kepada kakek itu, "Kau
hendak mengajakku kemana?"
"Aku tahu kau bernama Kim-hi, sedang sahabat
karibmu bernama So Ming-ming," kata Onglosiansing
sambil melanjutkan perjalanan,
"tahukah kau bahwa sobat baru So Ming-ming
yang bernama Yap Kay, pagi tadi telah bertemu
dengan tiga orang pembunuh bayaran?"
"Darimana kau bisa tahu?"
"Tentu saja aku tahu, karena akulah yang
mengirim pembunuh itu. "
"Mengapa kau ingin membunuh Yap Kay?"
Tiba-tiba Kim-hi teringat cerita Yap Kay, bahwa
ketiga pembunuh itu bukan menyerang secara
bersama, melainkan maju satu per satu.
Karena itu dia segera bertanya lagi, "Mengapa
kau perintahkan ketiga pembunuh itu menyerang
Yap Kay secara terpisah?"

"Hahaha, tak kusangka kau pun menaruh
perhatian atas hal ini," puji Ong-losiansing
sambil menatapnya dengan pandangan kagum,
"aku memang sengaja menyuruh mereka bertiga
menyerang Yap Kay secara terpisah, bukan
lantaran ingin mereka pergi membunuh Yap Kay,
tapi berharap mereka bisa mati di tangan Yap
Kay."
"Suruh mereka mati?" Kim-hi melengak,
"kenapa?"
"Karena ada seseorang ingin melihat bekas luka
yang mematikan di tubuh mereka bertiga."
"Siapa? Siapakah orang itu? Kenapa dia ingin
melihat bekas luka mematikan di tubuh mereka?"
"Dia dikenal oleh Yap Kay namun belum pernah
dijumpainya," sahut Ong-losiansing sambil
tertawa, "seorang yang ingin memahami aliran
silat Yap Kay!"
"Siapa orang itu? Siapa namanya?"
"Orang itu bernama Hing Bu bing."
Bab 3. ORANG MATI YANG BERHARGA
Di ujung lorong kristal terdapat pula sebuah
ruangan yang seluruhnya terbuat dari batu
kristal.
Dalam ruangan itu terdapat tiga orang, seorang
masih muda, seorang lagi berusia agak lanjut dan

seorang lagi berusia per tengahan yang
rambutnya sudah memutih.
Yang muda berperawakan tinggi semampai,
baju dan dandanan necis, bukan saja tampak
sangat tampan, bahkan kelihatan angguh.
Orang yang berusia agak lanjut berdandan
sopan, dia pasti seorang terpelajar.
Sementara orang pertengahan umur tidak jauh
berbeda dengan lelaki paroh baya yang sering
dijumpai di kota atau tengah jalan, hanya
bedanya perawakan orang ini jauh lebih berisi,
berotot dan tidak tampak ada kelebihan lemak di
tubuhnya.
Ketiga orang itu mempunyai perawakan tubuh
berbeda, hanya satu kesamaan yang mereka
miliki, yakni ketiganya membawa pedang.
Mengapa ketiga orang yang membawa pedang
itu berada di situ? Sedang apa mereka di ruangan
ini?
Belum sempat Kim-hi bertanya, Ong-losiansing
menerangkan lebih dulu.
"Mereka adalah pembantu utamaku, terhitung
jago-jago pedang nomor satu. Sayang berada di
sini mereka tak bernama, yang ada hanya kode
angka."
"Kode angka? Maksudnya?"
"Mereka mewakili angka lima, lima belas dan
dua puluh lima, semuanya selisih satu angka dari

angka enam, enam belas dan dua puluh enam
yang kukirim untuk membunuh Yap Kay."
"Kenapa mereka selisih satu angka?"
"Karena mereka mempunyai banyak kemiripan
dan kesamaan tindakan, ketiga pembunuh yang
kukirim untuk menghabisi nyawa Yap Kay, bukan
saja wataknya sama, asal-usulnya sama bahkan
ilmu pedang yang dimiliki pun sama."
"Kau suruh mereka berbuat apa di sini?" "Aku
suruh mereka menanti perintahku di sini,
karena aku hendak menitahkan mereka
membunuh seseorang."
"Membunuh siapa?"
Ong-losiansing tidak langsung menjawab,
kembali dia menekan sebuah tombol rahasia dan
sebuah pintu rahasia lagi-lagi terbuka, di
belakang pintu rahasia itu terbentang pula sebuah
lorong panjang yang terbuat dari batu kristal.
Setelah itu kepada jagoan nomor lima
perintahnya, "Kau berjalan lurus ke depan,
sampai di ujung lorong akan muncul sebuah pintu
lagi, pintu itu tidak terkunci, seseorang duduk di
belakang pintu itu, asal kau buka pintu itu maka
akan kau jumpai orang itu," kata Ong-losiansing.
Kemudian setelah berhenti sejenak,
tambahnya, "Aku perintahkan kepadamu untuk
membunuhnya!"
Sama seperti anak buah Ong-losiansing
lainnya, si nomor lima hanya tahu melaksanakan

perintah, tak pernah menanyakan alasan, apalagi
bertanya siapa korban yang harus dibunuhnya.
"Baik," jawab orang itu, "sekarang juga
kulaksanakan."
Sehabis mengucapkan perkataan itu, secepat
anak panah yang terlepas dari busurnya dia
menerobos masuk ke dalam lorong panjang batu
kristal itu.
Gerak-geriknya kuat dan cekatan, hanya
wataknya agak sedikit temperamen. Lantaran
gejolak emosinya yang besar, paras mukanya
yang semula pucat kini muncul cahaya
kemerahan, dengus napasnya pun berubah sedikit
memburu.
Semenjak memasuki lorong panjang terbuat
dari kristal, dia tak pernah muncul kembali.
Dia tak akan muncul kembali dalam keadaan
hidup, termasuk Kim-hi pun berpendapat begitu,
karena ia sudah pergi terlalu lama.
Biasanya manusia macam mereka, peduli
sedang membunuh atau terbunuh, tak akan
membutuhkan waktu selama itu.
Dalam jangka waktu yang begitu panjang,
melakukan perbuatan apa pun seharusnya sudah
muncul jawaban.
Kematian.
Inilah satu-satunya jawaban.

Tak seorang pun yang buka mulut, juga tak
seorang pun yang menunjukkan wajah sedih,
pedih dan terluka.
Bukan dikarenakan mereka tak punya
perasaan, melainkan karena persoalan seperti ini
sesungguhnya bukan satu peristiwa yang patut
disedihkan.
Setiap orang pasti mati, apalagi mereka yang
melakukan pekerjaan seperti ini.
Bagi mereka, kematian ibarat seorang wanita,
seorang wanita yang sudah terlalu lama digauli
hingga timbul perasaan jemu, bosan dan muak,
namun mustahil bisa ditinggalkan. Oleh karena itu
setiap hari mereka menanti kedatangannya, di
saat ia benar-benar tiba, tentu saja mereka tak
perlu merasa terkejut, apalagi merasa ngeri dan
takut.
Karena mereka semua tahu, cepat atau lambat
dia pasti akan datang juga.
Menghadapi persoalan semacam ini, mereka
nyaris sudah kebal, sudah mati rasa.
Ong-losiansing pun tidak beranjak dari tempat
duduknya, kembali ia menunggu beberapa saat.
Entah dikarenakan rasa ibanya terhadap nyawa
seseorang atau dikarenakan dia sendiri memang
menaruh rasa jeri dan hormat terhadap kematian,
paras muka Ong-losiansing justru terlihat lebih
serius, jauh lebih serius daripada Kim-hi maupun
kedua orang pembunuh.

Dia bahkan mulai cuci tangan di dalam baskom
kristal untuk membasuh sepasang tangannya
yang sudah bersih, kemudian menyulut sebatang
hio yang ditancapkan di atas tempat dupa kristal
dan akhirnya berpaling ke arah si nomor lima
belas.
"Apa yang kuinginkan harus dapat diselesaikan
dengan tuntas," kata Ong-losiansing, "karena
nomor lima gagal, terpaksa sekarang kau yang
harus menyelesaikan."
"Baik."
Nomor lima belas segera menerima perintah
itu, selama ini dia selalu dapat mengendalikan diri
dengan baik, tapi setelah menerima perintah itu,
tubuhnya maupun paras mukanya terlihat sedikit
berubah, karena goncangan hatinya.
Sebuah perubahan yang tak mudah diketahui
orang bila tidak diamati dengan seksama, lalu dia
pun mulai bergerak.
Mula-mula gerak tubuhnya sangat hati-hati dan
lamban, dia mulai memeriksa dulu diri sendiri.
Pakaian, ikat pinggang, sepatu, tangan dan
pedangnya, dia lolos pedang itu kemudian
dimasukkan lagi, dicabut lagi dan dimasukkan
kembali, sampai dia merasa segala sesuatunya
telah siap dan sempurna, hingga dia puas dengan
segala persiapannya, orang itu baru melesat
masuk ke dalam lorong panjang batu kristal itu.
Gerakan tubuh orang ini pun kuat, bertenaga
dan lincah, malah jauh lebih berpengalaman

ketimbang si nomor lima, tapi sama seperti yang
pertama, dia pun tak pernah balik lagi.
Kali ini Ong-losiansing menunggu lebih lama
lagi, kemudian baru membasuh tangan ke dalam
baskom, memasang hio bahkan menghela napas
panj ang.
Ketika berhadapan dengan si nomor dua puluh
lima, mimik mukanya terlihat jauh lebih serius,
perintah yang disampaikan juga lebih singkat.
Karena dia tahu, berbicara dengan manusia
macam si nomor dua puluh lima tak perlu
berbasa-basi, dia hanya berkata singkat, "Kau
pergilah!"
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun si nomor
dua puluh lima menerima perintah itu, menerima
perintah tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Tentu saja dia tak mirip si nomor lima, begitu
mendapat perintah, sepasang alisnya seakan
mulai terbakar.
Dia pun tidak mirip si nomor lima belas,
memeriksa semua perlengkapannya dengan teliti,
memeriksa apakah pedangnya bisa dicabut dari
sarungnya dengan lancar.
Sudah ada dua orang yang tak pernah kembali
sesudah memasuki lorong panjang itu, padahal
mereka berdua adalah pembunuh bayaran yang
sangat ahli, semuanya terhitung jago ilmu
pedang.

Kedua orang itu merupakan rekannya, sudah
cukup lama mereka hidup bersama, dia pun tahu
kedua orang rekannya bukan jagoan yang
gampang dihadapi, tapi setelah memasuki lorong
panjang berdinding kristal, kedua orang itu seolah
lenyap ditelan bumi, sama sekali tak ada kabar
beritanya lagi.
Reaksi si nomor dua puluh lima setelah
mendapat perintah itu jauh berbeda, dia seakan
baru saja mendapat undangan makan dari orang
lain.
Seakan sahabat karibnya yang mengundang dia
makan bersama di rumahnya.
Lorong kristal itu masih nampak terang dengan
aneka warna yang indah, tenang, tak terdengar
suara apa pun, tak terlihat gerakan apa pun.
Tempat itu seperti seekor ular raksasa yang
bersembunyi dalam bukit liar, dengan tenang
menelan dua korbannya lalu menikmatinya tanpa
menimbulkan suara.
Si manusia nomor dua puluh lima sudah siap
masuk ke dalam, sikapnya masih begitu tenang,
bukan saja paras mukanya tidak berubah, dia pun
tidak melakukan gerakan persiapan.
Langkah kakinya tidak terlalu cepat, juga tidak
lambat, sepintas langkahnya seperti sedang
berjalan menuju rumah tetangganya, berjalan
untuk memenuhi undangan makan.

Sekarang dia sudah berjalan masuk ke dalam
lorong itu, siapa pun pasti menyangka dia akan
berjalan terus tanpa berpaling.
Siapa sangka tiba-tiba dia menghentikan
langkahnya, perlahan membalikkan badan,
mengangkat wajahnya dan menatap tajam Onglosiansing.
Sorot matanya sama sekali tanpa emosi, dia
pun tak menunjukkan perubahan sikap, hanya
suara ucapannya begitu datar dan hambar.
"Aku belajar pedang mulai usia delapan tahun,
pada usia tiga belas, belum lagi ilmu pedang
kukuasai, aku telah belajar membunuh orang,"
katanya, "bahkan aku benar-benar membunuh
satu orang."
"Aku tahu," Ong-losiansing memperlihatkan
senyumannya yang ramah, "ketika berusia tiga
belas tahun, kau berhasil membunuh si tukang
jagal Liok yang merupakan orang paling jahat di
dusunmu di tengah pasar yang ramai."
"Tapi selama hidup, tidak banyak orang yang
kubunuh, karena aku paling tak suka membuat
onar, tak suka mencari masalah dan tak pernah
bermusuhan dengan siapa pun."
"Aku tahu."
"Yang lebih penting lagi, sebetulnya aku tidak
suka membunuh orang. "
"Aku tahu. Kau membunuh karena ingin hidup
terus."

"Benar, aku membunuh demi sesuap nasi,
setiap orang harus makan, begitu juga dengan
diriku, karena aku pun manusia," kata si nomor
dua puluh lima, "biarpun membunuh demi sesuap
nasi bukan hal yang menyenangkan, tapi masih
ada orang lain yang demi sesuap nasi justru telah
melakukan perbuatan yang jauh lebih menderita,
tahukah kau?"
Kali ini Ong-losiansing hanya manggutmanggut.
Si nomor dua puluh lima menatapnya tajam,
kembali ujarnya, "Oleh karena aku membunuh
demi sesuap nasi, maka setiap kali akan
membunuh, aku harus memperoleh imbalan
setimpal, tiada terkecuali kali ini."
"Aku tahu."
"Biarpun kau menampungku di saat identitasku
terbongkar dan jiwaku di ujung tanduk, namun
tak ada pengecualian bagimu. Kau seharusnya
mengetahui bukan berapa imbalan yang harus
kuterima untuk membunuh satu orang."
"Aku tahu dan sudah kusiapkan," Onglosiansing
tersenyum.
Dia berjalan mendekat dan menyusupkan
sepuluh keping emas murni ke tangan si nomor
dua puluh lima.
"Aku pun mengetahui peraturanmu, sebelum
membunuh harus membayar separoh biaya, "
kata Ong-losiansing, "aku rasa uang emas itu
sudah lebih dari cukup bukan?"

"Cukup, cukup sekali," si nomor dua puluh lima
memasukkan emas itu ke dalam saku, tiba-tiba
tambahnya, "Aku masih ada sebuah permintaan
lagi."
"Katakan."
"Seandainya aku mati, tolong jangan kau basuh
lagi tanganmu, apalagi memasang sebatang hio,"
ujar si nomor dua puluh lima hambar, "karena
kau sudah membayar biayanya."
Begitu selesai mengucapkan itu, dia
membalikkan badan dan berjalan masuk ke dalam
lorong panjang.
Bayangan punggungnya terlihat jauh lebih
tegak lurus daripada tubuh bagian depannya,
dengan cepat ia sudah lenyap di ujung lorong.
Apakah kepergiannya pun tak akan kembali
lagi?
Dengan termangu Kim-hi menyaksikan
bayangan punggungnya, memandangnya hingga
lenyap di ujung lorong, gumamnya setelah
menghela napas, "Orang ini benar-benar aneh."
"Oya?"
"Tampaknya dia sudah tahu kepergiannya
tak akan kembali lagi, bahkan dia pun tahu bila
orang telah mati, maka biar emas itu lebih murni
pun sama sekali tak ada gunanya, tapi
mengapa dia memaksakan diri untuk menerima
dulu uang muka itu? Apa sebabnya dia
bersikap begitu?"

"Karena hal ini merupakan prinsip hidupnya."
"Prinsip?"
"Betul, prinsip adalah peraturan. Sekalipun dia
tahu pekerjaan ini bisa mengakibatkan kematian,
namun ia tetap melakukannya. Lantaran harus
melakukan, maka dia harus menerima dulu emas
itu, karena itulah peraturannya."
Kembali ia menatap Kim-hi, kemudian
lanjutnya dengan nada yang sama sekali tak
berbau sindiran, "Bagi seseorang yang memegang
prinsip, peraturan tak boleh dilanggar, biar hidup
atau mati, peraturan tetap peraturan."
Perkataan itu disampaikan dengan nada serius,
bahkan disertai dengan sikap hormat.
"Menurutmu orang ini termasuk bodoh atau
pintar?"
"Aku sendiri tak tahu. Yang kuketahui, manusia
macam ini makin lama semakin sedikit."
"Jadi kau sangat mengagumi manusia macam
ini?"
"Benar!"
"Kenapa kau tetap memintanya untuk pergi
mati?"
"Darimana kau tahu kepergiannya untuk
mengantar kematian?" Ong-losiansing balik
bertanya sambil tertawa, "darimana kau tahu dia
bisa bangkit kembali sesudah kematiannya?"

Kim-hi tidak bicara lagi, tampaknya maksud
Ong-losiansing mengajaknya datang kemari tak
lain hanya ingin membuktikan bahwa bila orang
telah terjatuh ke tangannya, maka biarpun dia
sudah mati pun dapat dihidupkan kembali.
Kalau dilihat mimik mukanya sekarang,
agaknya itulah yang ingin dia perlihatkan
kepadanya, oleh sebab itu Kim-hi tidak berbicara
lagi.
Dalam waktu yang berlangsung sesaat, ia mulai
termenung dan membungkam.
Suasana di balik lorong betul-betul sepi,
hening, tak terdengar sedikit suara pun, tak
nampak sesuatu gerakan pun. Si manusia nomor
dua puluh lima tidak juga kembali, walau sudah
ditunggu sampai lama pun tetap belum kembali.
Mereka menunggu sampai lama, lama sekali.
Akhirnya Ong-losiansing berujar, "Mungkin saat
ini sudah menjelang tengah malam, kelihatannya
kita harus mencari makan malam."
"Makan malam?" Kim-hi seperti terperanjat.
"Kau ingin makan lagi di tengah malam begini?"
"Makan di saat tengah malam bukan kejadian
aneh, setiap orang kan harus bersantap," kata
Ong-losiansing, "di saat kita harus makan di
tengah malam, makanlah dengan nikmat, terlepas
kejadian apa pun yang bakal berlangsung,
makan tetap makan."
"Ini pun sebuah prinsip? Prinsip hidupmu?"

"Tepat sekali."
Arak telah dituang ke dalam cawan kristal dan
membiaskan cahaya kuning kecoklat-coklatan
yang memukau, bahkan terendus pula bau harum
yang segar dan wangi.
Benar-benar satu kenikmatan yang luar biasa.
Siapa bilang kaya dan terhormat bukan sebuah
kenikmatan? Hidangan tersedia di piring kristal,
alat makan, alat minum semuanya terbuat dari
benda-benda berharga.
Mungkin tak cukup dibilang indah, lebih tepat
sempurna.
Penampilan Ong-losiansing sewaktu bersantap
dan minum arak pun nyaris mendekati sempurna,
bisa menikmati hidangan malam bersama seorang
macam dia seharusnya terhitung satu kejadian
yang menggembirakan.
Sayang Kim-hi sama sekali tak ada napsu
untuk bersantap, dia bukan sedang menguatirkan
keselamatan si nomor dua puluh lima, tapi sedih
atas perubahan bentuk tubuh Giok-seng.
Dalam anggapannya, bila seseorang masih bisa
duduk sambil menikmati hidangan lezat dan arak
wangi di kala orang lain pergi membunuh orang,
hal itu betul-betul merupakan satu kenyataan
yang sama sekali tak masuk akal.
Dari balik lorong panjang masih belum
terdengar suara atau sesuatu gerakan.

Akhirnya Ong-losiansing menyelesaikan
santapannya, ia mulai membasuh tangan di
sebuah baskom kristal.
Isi baskom kristal itu bukan air biasa,
melainkah air teh yang kental dan wangi.
"Menu hidangan tengah malam kita kali ini
adalah udang bago dan kepiting, kalau ingin
benar-benar merasakan dan menikmati kelezatan
daging udang dan kepiting, kau harus
mengupasnya dengan tanganmu sendiri," Onglosiansing
menjelaskan, "untuk menghilangkan
bau amis, kita harus cuci tangan dengan air teh
kental dan harum."
"Bagaimana setelah membunuh orang?" tibatiba
Kim-hi bertanya sambil menatapnya.
"Membunuh orang?" kelihatannya Onglosiansing
tidak mengerti maksud pertanyaan itu.
"Apakah membunuh orang pun sama seperti
menikmati udang dan kepiting? Harus membunuh
dengan tangan sendiri baru bisa menikmati
keindahan dan kegembiraannya?"
Pertanyaan yang sangat telak, namun jawaban
Ong-losiansing pun tak kalah hebatnya.
"Kalau itu tergantung," katanya.
"Tergantung apa?"
"Tergantung siapa yang hendak kau bunuh, ada
sementara orang yang cukup dibunuh orang
suruhan, tapi ada pula sementara orang yang
harus dibunuh dengan tangan sendiri."

"Bagaimana setelah membunuh?" kembali Kimhi
bertanya, "bila kau telah membunuh dengan
tanganmu sendiri, dengan air apa kau hendak
membasuh tanganmu agar hilang semua bau
anyir darah?"
Tak ada orang yang bisa menjawab pertanyaan
ini, juga tak ada orang yang bersedia menjawab.
Ong-losiansing menyeka tangannya dengan
kain berwarna putih, lalu perlahan-lahan berdiri,
berjalan menuju ke lorong batu kristal itu.
Dia tidak mengajak Kim-hi, sebab dia tahu
nona itu pasti akan mengikutinya dari belakang.
Sebenarnya apa yang telah terjadi di balik
lorong itu? Tentu saja Kim-hi ingin tahu, maka
dengan cepat dia mengintil di belakangnya.
Setelah masuk ke dalam lorong, apakah dia
pun akan mengalami nasib yang sama dengan
ketiga orang itu, pergi untuk tak kembali?
Pintu masuk lorong panjang itu dibangun mirip
sebuah timbangan gantung, semakin mendekati
dasar lorong, ruangan semakin kecil dan
menyempit. Ketika mencapai ujung, luas gua itu
tinggal dua jengkal saja.
Untuk orang seukuran Kim-hi, bukan pekerjaan
gampang untuk menerobos masuk ke dalam gua
sesempit itu, pada mulanya masih ada cahaya
lentera yang menerangi seputar sana, namun
setelah berjalan setengah, tak nampak lagi
cahaya lentera.

Begitu masuk ke dalam, segalanya gelap-gulita,
tak ada yang bisa dilihat, bahkan melihat jari
tangan sendiri pun susah.
Mengapa Ong-losiansing harus membangun
lorong itu begitu misterius dan rahasia?
Sejak melangkah masuk ke dalam lorong
kristal, langkah kaki Ong-losiansing tidak cepat
juga tidak lambat. Dalam waktu singkat tubuhnya
sudah hilang di balik kegelapan di tikungan
depan.
Ong-losiansing berjalan masuk ke dalam
lorong, Kim-hi segera mengintil di belakangnya,
namun dengan cepat jarak mereka sudah selisih
cukup jauh.
Memandang kegelapan yang mencekam
sekeliling tempat itu, si nona mulai meraba-raba
untuk melanjutkan langkahnya, pada saat itulah
ia dengar Ong-losiansing berkata, "Lebih baik kau
tak usah meneruskan perjalananmu."
"Kenapa?"
"Karena lorong ini tidak lurus," sahut Onglosiansing
dari balik kegelapan, "lorong ini terdiri
dari tiga puluh tiga tikungan, bila kau berjalan
lurus ke depan, tubuhmu pasti akan membentur
dinding, bisa jadi akan membuat hidungmu jadi
pesek."
Setelah berhenti sejenak, kembali ia
melanjutkan dengan nada hambar, "Aku tahu,
kau pasti tak percaya. Dilihat dari luar sana,

lorong ini memang kelihatan lurus, jika tak
percaya silakan saja dicoba."
Kim-hi tidak mencoba, sebab dia tahu berjalan
dalam kegelapan memang paling mudah
menimbulkan kesalahan, bisa membuat orang
salah mengartikan lurus sebagai belokan dan
sebaliknya, kalau lurus dan belokan saja susah
dibedakan, bagaimana mungkin hidungmu tidak
pesek?
Biarpun dia masih muda, namun dia pun tahu
masih banyak hal di dunia ini seperti kegelapan,
gampang menciptakan kesalahan bagi orang
untuk menentukan arahnya, membuat mereka
susah membedakan mana yang lurus dan yang
belok.
Misalnya saja moral dan tingkah-laku seorang
Kuncu, terkadang mereka bisa salah langkah.
Kim-hi tak pernah berpikir ke situ, dia pun tak
ingin melakukan perbuatan seperti itu, dia tak
ingin membiarkan hidungnya jadi pesek.
Maka dia pun mengambil satu pilihan yang
paling cerdas. Dia menyalakan geretan api.
Saat cahaya api bersinar, seluruh lorong pun
bermandikan cahaya.
Ternyata kedua dinding lorong panjang itu
terbuat dari batu kristal yang sangat besar, tak
jauh di depan sana benar-benar terdapat sebuah
tikungan, Ong-losiansing sedang berdiri di sana,
bersikap aneh sedang mengawasi Kim-hi.

"Tidak kusangka dalam sakumu tersedia
geretan api" serunya.
"Tentu saja kau takkan menyangka," sahut
Kim-hi sambil tertawa, "biarpun kau mengirim
orang untuk menggeledah seluruh badanku,
orangmu tidak akan menyangka kalau aku
bakal menyimpan sebuah geretan api dalam
tusuk kondeku."
Tusuk konde yang indah dengan sebuah
geretan api yang luar biasa, nilai geretan api itu
mungkin berkali lipat lebih mahal daripada tusuk
kondenya.
"Apakah dalam tubuhmu masih tersimpan
benda lain?" tanya Ong-losiansing sambil
menghela napas, "apakah kau masih menyimpan
barang-barang aneh lainnya?"
"Jika kau ingin tahu, lebih baik geledahlah
seluruh tubuhku dengan teliti."
Kim-hi menatapnya sambil merentangkan
tangan. Pakaian yang dia kenakan tidak terlalu
banyak, potongan tubuhnya yang indah
menampilkan lekukan badan yang
menggairahkan. Apa yang sedang dilakukan gadis
ini? Apakah dia sedang merangsang napsu birahi
orang? Atau sebuah tantangan terbuka?
"Bagaimana pun juga aku berani menjamin
bahwa barang aneh yang berada di tubuhku
sekarang bukan hanya geretan api saja," ujar
Kim-hi sambil tertawa.
Ong-losiansing tertawa, tertawa getir.

"Aku percaya," sahutnya, "aku sangat
percaya."
Tikungan yang terdapat dalam lorong itu benarbenar
sangat banyak, kembali Ong-losiansing
melanjutkan perjalanannya, kali ini Kim-hi
mengintil ketat di belakangnya.
Menelusuri lorong ini, tiba-tiba Kim-hi
merasakan tubuhnya tak nyaman bahkan makin
lama semakin tak nyaman, dia tak habis mengerti
mengapa tubuhnya bisa begitu tak nyaman?
Sebetulnya lorong itu gelap tanpa cahaya,
namun anehnya, walau geretan api tidak
dipadamkan, sirkulasi udara di tempat itu tetap
lancar tanpa gangguan.
Agaknya di bagian yang rahasia telah dibangun
lubang angin yang membantu sirkulasi udara di
situ, sehingga aliran udara dalam lorong tetap
terjaga kering bahkan sangat bersih.
Kalau dibilang sangat bersih, kenapa terendus
bau aneh seperti bau pakaian yang sudah
direndam air sabun selama lima hari, lalu digilas
sebanyak dua puluh satu kali?
Tiba-tiba Kim-hi sadar darimana datangnya
sumber bau yang tak sedap itu.
Kering dan bersih sebenarnya termasuk
kejadian baik, kejadian yang bisa mendatangkan
kegembiraan orang, tidak semestinya membuat
orang merasa tak nyaman.

Tapi lorong itu kelewat kering dan bersih,
hakikatnya membuat orang tak tahan.
Ong-losiansing berpaling, tanyanya,
"Apakah kau merasa agak aneh? Merasa
badanmu mulai tak nyaman?"
"Benar."
"Tahukah kau mengapa bisa muncul perasaan
seperti itu?"
"Tidak, aku tak habis mengerti."
Dia sangka Ong-losiansing akan menjelaskan
persoalan itu, siapa tahu setelah bertanya dia
seakan lupa dengan pertanyaan itu.
"Tahukah kau benda apa yang terhitung paling
bersih di kolong langit?" tanya Ong-losiansing
lagi.
"Emas murni."
"Bukan," kata Ong-losiansing sambil tertawa,
"tak ada benda lain di dunia ini yang jauh lebih
bersih daripada barang-barang yang terbuat dari
batu kristal."
Lorong itu memang dibangun dengan batu
kristal, mau tak mau Kim-hi harus mengakui
bahwa tempat itu memang betul-betul sangat
bersih.
Terdengar Ong-losiansing kembali bertanya, "Di
dunia ini pun terdapat berbagai jenis manusia,
tahukah kau jenis manusia mana yang tergolong
paling bersih?"

"Orang mati!" kali ini tidak menunggu jawaban
Kim-hi, dia jawab sendiri pertanyaan itu.
Mau tak mau kembali Kim-hi harus mengakui,
semua orang mati pasti akan dimandikan dulu
sebelum dimasukkan ke dalam peti mati,
sekalipun dia orang yang paling kotor dan busuk
sekalipun.
Setelah dia mengakui kebenaran hal itu, maka
masalah yang semula tidak dipahami pun kini jadi
mengerti.
"Kau merasa tempat ini rada aneh karena
tempat ini kelewat bersih," kembali Onglosiansing
menjelaskan, "karena di dalam lorong
ini hanya terdapat batu kristal dan orang mati."
Harus diakui, batu kristal memang termasuk
barang yang paling bersih, murni dan sedikit
bahan campurannya, bahkan sebagian besar
orang menganggap benda itu sangat menawan
dan menarik.
Orang mati pun tetap manusia, betapa pun
menakutkannya orang itu, setelah mati, tak
mungkin dia bisa mencelakai orang lain lagi.
Sebuah lorong yang dibangun dari batu kristal,
ditambah orang orang mati yang tak mungkin
bisa mencelakai orang lagi, sebetulnya tempat ini
memang tak perlu ditakuti.
Namun bagi Kim-hi, tempat semacam itu justru
mendatangkan perasaan horor, seram dan ngeri
yang tak terlukiskan. Sampai lama kemudian baru

ia bertanya, "Jadi tempat ini adalah sebuah
komplek kuburan?"
"Kuburan?" Ong-losiansing tertawa terbahakbahak,
"atas dasar apa kau mengatakan tempat
ini kuburan? Mengapa kau bisa punya pikiran aku
telah membangun tanah kuburan dengan batu
kristal?"
Jarang sekali dia tertawa tergelak semacam ini.
Minta manusia semacam dia membangun
sebuah kuburan dengan batu kristal? Pada
hakikatnya pikiran ini betul-betul menggelikan.
Terlepas siapa pun orang yang telah
membangun kuburan dengan batu kristal, yang
pasti hal itu sangat muskil, tak masuk akal.
Anehnya, tempat ini bukan kuburan, kenapa
ada begitu banyak orang mati di sini? Kim-hi tidak
habis mengerti.
"Sebenarnya tempat apakah ini?"
"Sebuah gudang harta," sahut Ong-losiansing.
"Kau bilang tempat ini adalah gudang
harta?" Kim-hi semakin terperanjat, "gudang
untuk menyimpan harta kekayaanmu?"
"Betul."
Sambil tertawa Ong-losiansing mulai membelai
dinding kristal dengan jari tangannya, belaian
yang begitu halus dan mesra seakan belaian
seorang ibu terhadap putra tunggalnya.

Bahkan mimik mukanya menampilkan perasaan
puas yang tak terlukiskan dengan kata.
"Aku berani jamin, simpanan batu kristal yang
ada di sini paling tidak tiga kali lipat lebih banyak
dari tempat mana pun di dunia ini," Onglosiansing
menjelaskan, "andaikata kulempar
semua simpanan batu kristal ini ke pasar, dapat
dipastikan cadangan uang setiap negara di dunia
ini bakal menurun."
"Aku percaya," tak tahan Kim-hi ikut membelai
dinding kristal itu, "selama hidup belum pernah
kujumpai batu kristal sebanyak ini."
"Bukan hanya kau seorang yang belum pernah
melihat, kujamin hanya beberapa orang di dunia
ini yang pernah menyaksikan tumpukan batu
kristal sebanyak ini."
"Apakah dikarenakan orang yang ada di sini
hanya orang-orang mati?"
"Betul, kecuali kondisi yang luar biasa,
biasanya hanya orang mati yang bisa masuk
kemari."
"Bagaimana dengan orang hidup?" tanya Kimhi,
"apakah orang hidup yang masuk kemari tak
pernah lagi bisa keluar dalam keadaan hidup dan
sehat?"
Ong-losiansing tak menjawab pertanyaan itu,
dia cuma tersenyum.
Watak Kim-hi sendiri pun tergolong aneh dan
keras kepala, persoalan yang enggan dijawab

orang lain tak bakal ditanyakan lagi untuk kedua
kalinya, maka dia pun mengalihkan pembicaraan
ke masalah lain.
"Apakah biasanya kau gunakan orang mati
untuk menjaga batu kristalmu?"
Sekali lagi Ong-losiansing tertawa, dia merasa
pertanyaan ini kelewat menggelikan, namun dia
tetap menyahut.
"Sejak dulu hingga sekarang, hanya sejenis
manusia di dunia ini yang menggunakan orang
mati untuk menjaga batu kristalnya."
"Manusia seperti apa?"
"Orang mati. Hanya orang mati yang akan
menggunakan orang mati untuk menjaga batu
kristalnya, sebab dia sudah mati, jadi apakah
semua kristalnya dicuri orang atau tidak, baginya
hal itu sudah tidak terlalu penting lagi."
Jawaban ini tidak menggelikan, sebab contoh
yang dikemukakan bukan saja pernah ada di
masa lampau, seribu tahun kemudian pun bukan
tak mungkin akan terjadi lagi.
Di masa lampau banyak bangsawan atau raja
yang meninggal, biasanya semua harta
kekayaannya ikut dikubur, bahkan seringkah para
pengawal setianya ikut terkubur bersamanya,
untuk menjaga arwah serta harta kekayaannya.
Tentu saja mereka tak bakal tahu cara seperti
itu sebenarnya adalah sebuah cara yang sangat
goblok.

Karena dia sudah mati!
"Aku belum mati," kata Ong-losiansing, "paling
tidak hingga sekarang aku belum mati, karena itu
aku tak bakal menggunakan cara seperti itu."
Kim-hi tertawa, namun tak tahan tanyanya lagi,
"Bukankah tempat ini adalah gudang hartamu?
Kalau memang gudang harta, kenapa terdapat
orang mati?"
Pertanyaan ini bukan pertanyaan yang
menggelikan, sebagian besar orang pun akan
mengajukan pertanyaan yang sama.
Tapi jawaban yang diberikan Ong-losiansing
justru tak bakal dimengerti oleh sebagian besar
orang.
"Oleh karena tempat ini adalah sebuah gudang
harta, maka di tempat ini sering muncul orang
mati."
"Kenapa?" tanya Kim-hi tak habis mengerti.
"Karena ada semacam orang mati yang nilainya
jauh lebih tinggi daripada intan permata,
kebetulan orang yang mati di sini adalah jenis
orang mati yang paling mahal."
Bab 4. DUNIA KRISTAL
Orang yang sudah mati pun masih mempunyai
nilai tinggi? Apa gunanya orang mati?
Kelihatannya Ong-losiansing pun tahu katakatanya
susah dicerna orang lain, maka sebelum

Kim-hi mengajukan pertanyaan lagi, tiba-tiba dia
berganti pokok pembicaraan, katanya, "Konon di
negara yang letaknya di ujung barat terdapat
juga kerajaan dengan kebudayaan tinggi, banyak
orang pintar melakukan percobaan untuk
menciptakan sesuatu yang lebih baru dan
canggih."
"Aku tahu, aku pun pernah mendengar tentang
hal ini."
"Suatu negeri sama seperti kita, punya hukum
juga punya agama kepercayaan, dalam kumpulan
keagamaan pun terdapat Tianglo yang punya
reputasi tinggi, sama seperti Tianglo pelindung
hukum dalam kuil Siau-lim bagi umat persilatan.
Aku mengetahui salah satu di antaranya, ia
bernama Hoat-tianglo, seorang tokoh yang
memiliki kecerdasan tinggi dan sangat dihormati
umatnya. Sama seperti Sim-bi Taysu, pelindung
hukum Siau lim pay."
Walaupun Kim-hi belum pernah berjumpa Simbi
Taysu, tapi ia pernah mendengar tentang
kehebatan tokoh ini.
"Konon Suhunya tewas karena keracunan, oleh
sebab itu selain tekun melatih ilmu silat dan
agama Buddha, dia pun memperdalam ilmu
tentang racun dan obat penawarnya. Bahkan
kemampuannya sudah mencapai kebal segala
macam bisa dan racun. Bahkan ada orang bilang,
di masa tuanya dia berhasil melatih tubuhnya jadi
kebal dan maha sakti."

"Apakah kemampuan Hoat-tianglo sehebat
Sim-bi Taysu?"
"Itulah sebabnya aku singgung orang ini."
"Kenapa?"
"Karena ia pernah bercerita tentang sebuah
kisah yang sangat menarik."
Tidak menunggu Kim-hi mengajukan
pertanyaan, secara ringkas Ong-losiansing
menceritakan, "Hoat-tianglo mempunyai sebuah
kebun buah yang sangat indah, dalam kebunnya
ditanam berbagai jenis buah dan sayuran. Dalam
kebun buahnya ia pernah melakukan percobaan
yang luar biasa."
Dari hasil kebunnya dia pilih sejenis sayuran
yang paling umum, misal sayur kubis, kemudian
ia menggunakan sejenis cairan racun yang sangat
jahat untuk menyirami sayur itu, setelah disirami
selama tiga hari, daun kol berubah jadi kuning
lalu lambat-laun layu.
Diambilnya sayur layu itu untuk memberi
makan seekor kelinci, tiga jam kemudian kelinci
itu pun mati.
Dia pun perintahkan tukang kebunnya untuk
mengeluarkan isi perut sang kelinci dan diberikan
seekor ayam, hari kedua ayam itu pun mampus.
Di saat ayam itu masih sekarat, kebetulan
lewat seekor burung elang, sang elang pun
menyambar ayam itu dan dibawa ke atas batu
tebing. Sehabis melahap ayam itu sang elang pun

mulai merasa kondisi badannya tak segar, tiga
hari kemudian sewaktu sedang terbang di udara,
tiba-tiba burung itu jatuh dan mati.
Hoat-tianglo pun kembali memerintahkan
tukang kebun untuk melempar bangkai elang ke
dalam kolam ikan, dasar ikan Lehi dalam kolam
sangat rakus, daging elang itu pun dilahap
hingga habis.
Keesokan harinya ikan Lehi itu dikirim ke dapur
untuk menjamu tamu, maka delapan sampai
sepuluh hari kemudian tamu itu akan mampus
dengan lambung dan usus membusuk. Sekalipun
ada tabib kenamaan yang melakukan
pemeriksaan pun jangan harap menemukan
penyebab kematian nya. Terlebih tak bakal ada
yang menyangka kalau dia mati diracun musuh
besarnya.
"Selamanya rahasia ini tak pernah diketahui
siapa pun," Ong-losiansing menambahkan sambil
tertawa, "kecuali......
Bicara sampai di sini, mendadak ia
menghentikan perkataannya dan tidak dilanjutkan
lagi.
Tentu saja Kim-hi tak tahan untuk bertanya,
"Kecuali apa?"
"Kecuali orang itu dikirim kemari."
"Memangnya kau bisa menemukan penyebab
kematiannya?"

"Bila aku dapat segera membedah jenazahnya
dan menemukan sisa ikan yang masih berada
dalam lambungnya, bukan saja aku dapat
menemukan penyebab kematiannya, bahkan
dapat ditemukan juga siapa yang telah
meracuninya," ujar Ong-losiansing, "nah,
bukankah nilai orang mati itu jadi lebih tinggi dan
berharga daripada intan permata?"
Kim-hi kelihatan belum juga paham, kembali
tanyanya, "Kenapa bisa begitu?"
"Sebab bukan saja dari tubuh mayat itu aku
berhasil menemukan sebuah rahasia yang tak
mungkin diketahui orang lain, bahkan dari situ
aku pun tahu semacam cara jitu untuk meracuni
dan membunuh seseorang tanpa diketahui siapa
pun."
"Setelah rahasia orang yang meracuni
lawannya itu kau ketahui, tentunya mau tak mau
dia harus menuruti semua perkataanmu bukan?"
tanya Kim-hi.
"Hahaha, tentu saja, akhir dari kisah itu tentu
saja begitu."
Kemudian dengan riang ia menambahkan, "Ada
banyak orang di dunia ini yang mati dengan cara
begini, ada yang terkena racun rahasia, ada yang
terkena senjata rahasia, ada pula yang dilukai
dengan satu cara yang amat rahasia. Asalkan
mayat mereka dikirim kemari, aku pasti dapat
menemukan penyebab kematiannya."

Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Bagiku,
cepat atau lambat setiap rahasia pasti ada
gunanya, terkadang nilainya bahkan jauh lebih
berharga daripada intan permata."
Kim-hi terperangah mendengar semua itu,
peluh dingin telah membasahi telapak tangan dan
kakinya, untuk sesaat dia hanya bisa mengawasi
Ong-losiansing dengan mata terbelalak.
Sewaktu dia mengucapkan semua perkataan
itu, sikap maupun caranya bertutur sangat halus,
sopan dan anggun, seperti seorang penyair
sedang membaca hasil karyanya yang paling
hebat.
Namun dalam pandangan Kim-hi, tak ada
manusia lain di dunia ini yang lebih menakutkan
daripada orang itu.
Ong-losiansing sedang menatapnya, menatap
sambil tersenyum ramah, tanyanya,
"Bersediakah kau melihat gudang hartaku?"
Mendengar ajakan itu, berkilat mata Kim-hi,
tiba-tiba ia tertawa lebar, sinar matanya persis
macan betina yang menerima tantangan untuk
bersenggama.
"Tentu aku bersedia," teriaknya, "memang
kau kira aku takut?"
Betapa panjang lorong yang berliku-liku itu,
tentu akan berakhir juga. Begitu juga dengan
malam yang gelap, akhirnya akan muncul sinar
fajar. Kini mereka telah tiba di penghujung jalan.

Di ujung lorong terdapat sebuah pintu, pintu
tanpa kunci, tanpa pegangan.
Begitu mereka mendekati pintu tadi, pintu itu
pun terbuka dengan sendirinya.
Sekali lagi Kim-hi tertegun. Apa yang terlihat
olehnya ternyata merupakan sebuah
pemandangan yang luar biasa, pemandangan
yang mimpi pun tak pernah dibayangkan.
Di belakang pintu merupakan gua yang sangat
lebar, tiada yang tahu berapa luas sesungguhnya?
Seluruh dinding ruang gua berlapiskan batu
kristal yang sangat indah, sementara di tengah
ruangan bertumpuk pula peti-peti mati yang
terbuat dari kristal.
Siapa pun takkan menyangka di tempat yang
sama dapat melihat begitu banyak tumpukan peti
mati, bahkan semua peti mati itu terbuat dari
kristal.
Apakah di dalam setiap peti mati itu berbaring
sesosok mayat? Sebuah rahasia dari mayat itu?
Dari lentera minyak yang terbuat juga dari
kristal memercikkan jilatan api berwarna kuning,
begitu pintu terbuka, Kim-hi pun memasuki
sebuah dunia kristal yang begitu megah, begitu
cemerlang dan terselip begitu banyak misteri dan
rahasia yang tak di ketahuinya.
Dunia pusaka yang tak terpikirkan dengan akal
sehat itu justru merupakan dunianya orang mati.

Peti mati adalah benda yang paling dibenci
orang, sebaliknya batu kristal justru paling disukai
orang.
Lalu perasaan apa yang ditimbulkan sebuah
peti mati yang terbuat dari kristal untuk seorang?
Kim-hi seakan sama sekali tidak merasakan, dia
seolah sudah bebal, kaku dan mati rasa.
Cahaya terang masih memancar dari wajah
Ong-losiansing, entah karena pantulan cahaya
kristal? Ataukah luapan rasa girang yang muncul
dari dasar hatinya?
Dia menggeliat lalu menarik napas panjang,
seakan di dunia ini hanya tempat itu yang
menjadi kesukaannya dan hanya tempat itu yang
membuatnya bahagia.
Dia mengajak Kim-hi menuju deretan peti mati
terdepan dan berhenti di depan tiga buah peti
mati yang berada di sudut kanan.
Peti mati itu pun terbuat dari batu kristal dan
belum ditutup, tiga orang yang belum lama
dikirim untuk membunuh orang, kini sudah
berbaring dalam peti mati itu.
Anehnya mereka bertiga mati dalam keadaan
tenang, wajahnya tidak memperlihatkan rasa
kaget atau ngeri, di tubuhnya pun tidak terlihat
luka dengan darah yang berceceran.
Bahkan pakaian yang mereka kenakan pun
sama seperti waktu masuk ke dalam lorong tadi,
bersih dan rapi.

Seakan saat mati mereka tidak merasakan
penderitaan maupun siksaan, seakan mereka
belum mati walau kenyataan mereka telah mati.
Apa penyebab kematian mereka? Siapa yang
membunuh mereka? Dimana sang pembunuh itu?
Selama ini Ong-losiansing berdiri terus di
samping ketiga peti mati itu, memusatkan seluruh
perhatiannya mengawasi ketiga sosok mayat
yang berada dalam peti mati.
Selama ini mimik mukanya jarang
menunjukkan perubahan, seorang tokoh yang
mampu mengendalikan diri memang seharusnya
menyimpan semua gejolak perasaan di dalam
hati, bukan ditampilkan di wajahnya.
Tapi sekarang siapa pun dapat melihat mimik
mukanya mulai menampilkan gejolak hatinya.
Anehnya, perasaannya bukan rasa sedih, bukan
juga kaget atau gusar, sebaliknya justru
kelihatan sangat riang dan gembira.
Lama kemudian baru ia menghela napas
panjang dan bergumam, "Kalian adalah jagoan
yang belajar pedang, bisa mati di ujung pedang
orang semacam ini seharusnya kalian bisa mati
dengan mata meram."
Tampaknya dia pun tahu perubahan mimik
mukanya sedikit tak cocok dengan ucapannya,
maka segera dia berganti topik. Tiba-tiba
tanyanya kepada Kim-hi, "Dapatkah kau lihat
berada dimana mulut luka penyebab kematian
mereka?"

Tentu saja Kim-hi dapat melihatnya, luka
penyebab kematian ketiga orang itu berada di
bagian tubuhnya yang paling mematikan, luka
akibat tusukan pedang.
Tusukan pedang yang mencabut nyawa mereka
tepat mengenai bagian mematikan, tenaga yang
digunakan pun tidak terlalu kuat, karena itu mulut
luka yang ditimbulkan tidak terlalu besar,
otomatis darah yang mengucur pun t idak
banyak.
Tak bisa disangkal ilmu pedang yang dimiliki
pembunuh itu telah mencapai puncak
kesempurnaan, bukan saja tusukannya tepat
mengenai bagian mematikan, penggunaan tenaga
pun sangat tepat, sama sekali tidak menyianyiakan
sedikit tenaganya.
Siapakah pembunuh itu? Ong-losiansing tidak
menjelaskan, Kim-hi pun tidak bertanya, tiba-tiba
dia mengajak nona itu menuju tiga peti mati yang
berada di deretan lain.
Dalam peti mati itu pun berbaring tiga sosok
mayat.
Seorang masih muda, seorang berusia sedang
dan seorang lagi berusia pertengahan, bukan saja
usia dan dandanan mereka hampir mirip dengan
ketiga orang yang terdahulu, bahkan di tubuh
mereka pun tidak dijumpai mulut luka yang
dibasahi darah.
Hanya salah satu di antara mereka yang tulang
hidungnya retak.

Ketiga orang itu tak memperlihatkan
penderitaan atau kesakitan, jelas mereka pun
mati karena dibunuh, bahkan serangan yang
langsung mencabut nyawa mereka.
Dari tiga sosok tubuh yang sepintas tak terlihat
ada luka pedang itu, tenggorokan salah satu di
antaranya seolah terdapat sebuah lubang kecil
sekali.
Satu lagi perbedaan yang terlihat adalah ketiga
orang itu sudah mati lebih lama, paling tidak
sudah mati sehari berselang.
Belum pernah Kim-hi bertemu dengan ketiga
orang itu, dia pun tak ingin tahu siapakah
mereka?
Ong-losiansing menjelaskan, "Mereka adalah
bawahanku, sewaktu masih hidup dulu masingmasing
mempunyai kode angka nomor enam,
enam belas dan dua puluh enam, waktu itu
mereka pun terhitung jago pedang kelas satu."
"Karena itulah kau utus mereka membunuh Yap
Kay?" sela Kim-hi, "dan akibatnya mereka mati di
tangan Yap Kay?"
"Benar," sahut Ong-losiansing hambar, "ketika
kuutus mereka membunuh Yap Kay, sama seperti
waktu kuutus mereka bertiga kemari, sudah tahu
dengan pasti mereka bakal mati."
Ucapan itu diutarakan dengan hambar, seolah
sama sekali tak ada rasa menyesal.

"Mereka adalah anak buahmu yang setia," seru
Kim-hi tak tahan, "kenapa kau bersikeras
menghendaki kematiannya? Apakah kau benarbenar
bermaksud melihat mulut luka di tubuh
mereka?"
Ong-losiansing tertawa hambar.
"Bagaimana pun cepat atau lambat akhirnya
mereka akan mati demi aku. Mereka yang mati
saja tidak keberatan, buat apa aku mesti bersedih
hati untuk mereka?"
Sejak zaman dulu, seorang pemimpin yang
bengis memang tak pernah berbelas kasihan.
Kembali Ong-losiansing mengamati ketiga
sosok mayat yang berada dalam peti mati,
kemudian baru ia berkata, "Dapatkah kau
temukan luka mematikan di tubuh ketiga orang
ini?"
Luka yang mencabut nyawa mereka bertiga
pun berada di bagian yang mematikan, hanya
saja kematian mereka agaknya bukan ditusuk
dengan pedang.
Yang satu hancur tulang hidungnya, jelas
kematiannya lantaran tonjokan, seorang lagi tidak
nampak bekas luka di luar tubuhnya, namun bila
diperiksa lebih seksama, pasti akan tampak
sebuah lubang yang cembung ke dalam, luka
yang berada persis di jantungnya. Orang ini pun
mampus karena jotosan maut.
Betulkah sodokan tinju Yap Kay begitu lihai?

Kembali Kim-hi memperhatikan orang ketiga,
luka mematikannya berada di tenggorokan, mulut
lukanya sangat kecil, darah yang mengalir pun
tidak banyak, senjata rahasia apa yang telah
mencabut nyawanya?
"Dia terluka oleh pisau terbang," Ong-losiansing
menjelaskan, "sambitan pisau terbang Siau-li tak
pernah meleset."
Pisau terbang? Kembali Kim-hi mengamati
mulut luka di tenggorokan orang ketiga dengan
seksama.
"Aku tahu, kau tentu dapat melihat dimana
letak luka mematikan di tubuh mereka bertiga,
cuma aku tetap sarankan kepadamu, amatilah
lebih lama dan perhatikan lebih seksama."
Kemudian setelah berhenti sejenak, imbuhnya,
"Lebih baik lagi bila kau perhatikan luka
mematikan di tubuh ketiga mayat yang ada di
sana lalu bandingkan dengan luka ketiga mayat
yang berada di sini, makin lama dilihat semakin
baik, makin seksama dipandang makin bagus. "
Bagaimana pun juga Kim-hi adalah seorang
gadis, sedikit banyak timbul juga rasa muak
setelah lama mengamati orang mati, biar di hati
dia tahu kata-katanya itu ada maksud tertentu,
segera dia menggeleng kepala, katanya, "Tidak,
aku tak mau melihat lagi, mereka kan sudah
mati, apa bagusnya dilihat?"
"Orang mati yang berada di luar sana memang
tak ada yang perlu dilihat, tapi orang mati di

tempat ini sangat patut diperhatikan," kata Onglosiansing,
"tahukah kau, berapa banyak orang
harus kecewa tak mendapat kesempatan
menyaksikan mayat-mayat itu? Bila kau tetap
menampik, satu kesempatan baik telah kau siasiakan."
"Aku tak percaya."
"Kau tak percaya?" Ong-losiansing tertawa,
"kalau tidak percaya, tanyakan saja kepada Yap
Kay."
"Kenapa aku harus bertanya padanya?
Memangnya kau akan memberi kesempatan
kepadaku untuk bertanya kepadanya?"
Kini Kim-hi sudah tahu begitu banyak rahasia,
mungkinkah Ong-losiansing masih mengizinkan
dia untuk keluar dari kebun monyet?
Persoalan inilah yang sangat dikuatirkan Kim-hi
selama ini, dia ingin segera memperoleh jawaban.
Ong-losiansing hanya tertawa, cepat dia
alihkan pembicaraan.
"Kau pernah mendengar orang yang bernama
Hing Bu-bing?"
"Pernah, konon dia orang kepercayaan
Siangkoan Kim-hong!"
"Hing Bu-bing adalah seorang aneh, selama
hidup dia hanya kesemsem pada dua hal.
Pertama, dia kesemsem pada Siangkoan Kimhong,
bukan kesemsem karena hubungan
perasaan laki perempuan, tapi karena

menghormatinya, menyanjung dirinya. Dan
kedua, dia kelewat kesemsem pada pedang."
Setelah merandek sejenak, kembali
tambahnya, "Selain terhadap Siangkoan Kimhong,
peduli manusia macam apa dirimu,
mempunyai hubungan seakrab apa pun, jangan
harap dia bersedia melakukan pekerjaan apa pun
untuk dirimu."
"Ya, aku pun pernah mendengar tabiatnya."
"Tapi sekarang dia bekerja untukku, menjaga
orang mati di tempat ini," Ong-losiansing
menerangkan, "kalau bukan manusia seperti dia,
mana mungkin mau datang ke tempat seperti
ini?"
"Aku tak percaya, apa bagusnya orang mati?
Kenapa dia mau datang ke sini hanya untuk
melihat ketiga orang mati itu?"
Ong-losiansing menghela napas panjang.
"Ai, padahal di hatimu pun sudah tahu
jawabannya, mengapa dia mau datang melihat
kematian ketiga orang itu, kenapa mesti ngotot
bilang tak percaya?"
Setelah tertawa getir, ujarnya, "Heran, kenapa
kaum wanita selalu lain di bibir lain di hati?"
"Karena wanita tetap wanita, pasti terdapat
perbedaan dengan kaum lelaki," sahut Kim-hi
sambil tertawa getir pula, "apalagi lelaki yang lain
di bibir lain di hati pun tidak lebih sedikit
ketimbang perempuan."

"Bagus, ucapan bagus," Ong-losiansing menarik
tangan Kim-hi, "ayo, ikut aku, akan kuajak kau
bertemu seseorang."
Orang yang hendak diperlihatkan Onglosiansing
kepada Kim-hi pun hanya sesosok
mayat, peti mati orang ini berada di deretan
tengah pada urutan ketiga dari belakang.
Orang itu berwajah ungu penuh cambang,
perawakan tubuhnya kekar, meskipun sudah mati
cukup lama, namun jenazahnya masih terawat
bagus, lamat-lamat masih terlihat kegarangan
dan keangkeran semasa masih hidupnya dulu.
Di sekeliling mayatnya bertebaran bubuk wangi
anti pembusukan, sementara tangan kanannya
tergeletak sebuah gada bergigi Long ya pang
yang amat besar.
Cahaya yang berkilauan berasal dari gigi putih
yang memenuhi kepala gada, tampaknya senjata
andalannya semasa masih hidup.
Hanya memandang sekejap Kim-hi sudah tahu
berat senjata itu paling tidak tujuh-delapan
puluh kati, bila lengannya tak memiliki
kekuatan ribuan kati, jangan harap bisa
menggunakan senjata macam itu dengan leluasa.
"Tahukah kau siapa orang ini?" tanya Onglosiansing.
Kim-hi menggeleng.
"Tentu saja kau tak kenal, usiamu masih
kelewat muda," ia menghela napas panjang, "tapi

tiga puluh tahun berselang, Thian-long si serigala
langit pernah malang melintang di kolong langit
dengan mengandalkan gada Long ya pang, waktu
itu siapa yang tak kenal nama besarnya? Apalagi
jago pedang, begitu mendengar namanya pasti
ketakutan setengah mati, begitu takutnya seperti
bocah cilik yang takut harimau."
"Kenapa kau mengatakan khususnya para jago
yang memakai pedang?"
"Karena orang tuanya tewas di ujung pedang
orang lain, karena itu dia khusus menciptakan
Long ya pang yang maha berat, bahkan
mempelajari serangkai jurus istimewa khusus
untuk menghancurkan ilmu pedang berbagai
perguruan kenamaan. Karena pedang itu ringan,
maka senjata ini merupakan lawan tandingnya."
Setelah mengatur napas, kembali terusnya,
"Dari lima belas orang jago pedang kenamaan
yang diakui umat persilatan saat itu, paling tidak
ada sepuluh orang yang tewas oleh Long ya pang.
Bahkan Cing Hong-cu, salah satu dari empat jago
pedang Bu tong pay pun tak lolos dari bencana
ini."
"Aku tak percaya kalau dia memang sangat
lihai, kenapa akhirnya tewas di tangan orang
lain?"
Ong-losiansing tidak langsung menjawab,
sambil tertawa dia menghampiri sepuluh peti mati
yang ada di dekatnya dan membuka penutupnya
satu per satu, tertampak sepuluh sosok mayat.

Biarpun semua mayat itu masih tersimpan baik
namun dapat dilihat kematian mereka sangat
tragis, kebanyakan tulang tengkoraknya hancur
berantakan, ada pula yang tulang rusuknya
patah dan hancur.
Karena itulah walaupun semua jenazah masih
tersimpan rapi, namun justru terasa seram dan
menakutkan.
"Mereka sepuluh jago pedang yang tewas di
tangannya," Ong-losiansing menuding seorang
Tojin berkopiah yang berada di antara mayatmayat
itu dan tambahnya, "Dialah Cing Hong-cu,
jago pedang dari Bu tong pay yang serangannya
paling ganas, tajam dan telengas."
Sambil berpaling ke arah Kim-hi, katanya
kemudian, "Sekarang kau sudah percaya bukan?"
Kim-hi membungkam, tapi matanya terbelalak
lebar, mengawasi mulut luka mematikan di
tenggorokan Thian-long.
Mulut luka itu sangat kecil, jelas dia tewas
karena tusukan pedang.
"Aku tetap tak percaya," tiba-tiba Kim-hi
berseru sambil tertawa dingin.
"Apalagi yang membuatmu tak percaya?"
"Kalau memang Long ya pang sanggup
menjebol pertahanan pedang para jago, kenapa
akhirnya dia pun tewas karena tusukan pedang?"
"Bagus, pertanyaan bagus, masuk akal."

"Pertanyaanku memang masuk akal, kuatirnya
jawabanmu yang tak masuk akal."
"Belum tentu."
"Belum tentu bagaimana?"
"Yang masuk akal pun belum tentu masuk akal,
yang tak masuk akal pun belum tentu tak masuk
akal," kata Ong-losiansing, "tak ada peristiwa
yang tak akan berubah di kolong langit, oleh
karena Thianlong khusus menghancurkan ilmu
pedang orang, maka dia pun pasti akan tewas
oleh tusukan pedang lawan."
"Bagaimana matinya?"
"Dia bisa mati di ujung pedang lawan karena
ada seseorang yang kesemsem dengan pedang
telah tiba di sini, dia menghabiskan waktu selama
tiga tahun untuk mempelajari mayat kesepuluh
jago pedang itu, dari luka mematikan di tubuh
jenazah itu, dia berhasil mempelajari dan
menganalisa setiap perubahan jurus dan setiap
sasaran yang dipakai Thian-long untuk
menghabisi lawannya. Kemudian dari perubahan
ilmu silat mereka dia menciptakan ilmu pedang
baru yang khusus digunakan untuk menghadapi
serangan Thian-long."
Dia menarik napas, sesaat kemudian lanjutnya,
"Oleh karena itulah tiga tahun kemudian si orang
yang gila pedang keluar dari sini, mencari Thianlong
dan menantangnya berduel. Tak sampai
sepuluh gebrakan kemudian ia berhasil

menghabisi nyawa Thian-long di uj ung
pedangnya."
Kim-hi tidak bicara lagi, akhirnya dia paham
kenapa Hing Bu-bing rela menjaga orang mati di
tempat semacam itu. Karena dia hendak
mempelajari aliran silat Yap Kay, yang paling
penting lagi adalah cara menghadapi pisau
terbang Siau-li.
Biarpun antara Yap Kay dan Hing Bu-bing tak
punya dendam apa-apa, namun generasi mereka
sebelumnya justru punya ikatan dendam kesumat
yang sangat dalam.
Siangkoan Kim-hong tewas di ujung pisau
terbang milik Li Sun-hoan, karena itu Hing Bubing
ingin membalas dendam, dia harus
menyelidiki dan mempelajari dulu rahasia Siau-li
si pisau terbang. Itulah sebabnya dia datang ke
sana.
Karena Yap Kay jarang membunuh orang, maka
Ong-losiansing pun mengatur strategi agar Yap
Kay mau tak mau harus membunuh lawannya.
Begitu memahami rahasia itu, perasaan Kim-hi
semakin dingin dan bergidik.
Hing Bu-bing adalah seorang gila pedang, bila
ia tahu di kolong langit terdapat seorang jagoan
tangguh macam Thian-long, tentu saja dia tak
segan untuk mengorbankan segalanya untuk
mengalahkan orang itu, bahkan harus
mengalahkan dia dengan mengandalkan ilmu
pedang.

Maka dia pun tak segan untuk melanggar
prinsip hidupnya, mendatangi tempat tinggal
Ong-losiansing dan bersedia menjadi penjaga
gudang harta.
Tentu saja tujuannya bukan hanya ingin
membunuh jagoan macam Thian-long, yang
paling utama adalah ingin menelusuri dan
mempelajari aliran ilmu silat lawan dari mulut
luka yang di tinggalkan pada mayat-mayat
korbannya.
Menanti ia berhasil membuktikan apa yang
diharapkan bisa diperoleh dari tempat ini, tak
heran dia semakin tak bisa meninggalkan Onglosiansing,
karena di sinilah dia bisa memperoleh
bahan yang dibutuhkan orang-orang yang tewas
di tangan Yap Kay.
Kini dia sudah mendapatkan tiga sosok mayat,
apakah dari ketiga sosok mayat itu sudah cukup
baginya untuk mengungkap rahasia ilmu silat Yap
Kay?
Tak tahan Kim-hi berpaling ke arah ketiga
sosok mayat itu, tiga korban yang tewas karena
dibunuh Yap Kay.
Ong-losiansing mengawasi gerak-gerik Kim-hi,
mulutnya masih tak hentinya memberi penjelasan
kegunaan mayat-mayat itu, ujarnya lagi, "Bagi
seorang yang berpengalaman, tidak sulit baginya
untuk melihat gerak serangan ilmu silat lawan
dari mulut luka mematikan di tubuh korbannya,
bahkan perubahan jurus, letak sasaran serta arah

datangnya tusukan, sampai berapa besar tenaga
yang digunakan pun tak sulit untuk ditelusuri dan
diketahui."
Dipandangnya Kim-hi sambil tertawa, lalu
tanyanya, "Apakah kau percaya?"
"Aku tidak percaya."
"Tidak percaya?"
Tiba-tiba Kim-hi tertawa.
"Bukankah kau pun tahu, biar di hatiku seribu
kali percaya pun di mulut tetap akan mengatakan
tak percaya, kenapa mesti ditanya lagi?"
"Berarti kau sudah percaya pada semua yang
kukatakan?" Ong-losiansing ikut tertawa.
"Tidak percaya, sepatah pun tak percaya."
Ong-losiansing sengaja menghela napas.
"Kalau begitu kau pun tak perlu mendengarkan
penjelasanku lagi, tak usah melihat keenam
mayat itu."
"Tentu aku tak bakal melihatnya lagi, sekejap
pun jangan harap, sebab...." gadis itu tertawa
cekikikan, "sebab aku sudah melihatnya dengan
jelas."
"Oya? Sejak kapan kau melihatnya?"
"Ketika mulutku mengatakan tak bakal
melihatnya lagi."
"Kenapa aku tak tahu?" sengaja Onglosiansing
membelalakkan mata.

"Memangnya jika cewek melirik cowok, dia
akan membiarkan sang cowok mengetahuinya?"
"Tapi mereka kan sudah mati."
"Benar, mereka sudah mati, tapi yang mati kan
lelaki," Kim-hi tertawa, "dalam pandangan kaum
wanita, laki tetap laki, mau dia hidup atau sudah
mati."
"Bagus, bagus sekali," Ong-losiansing tertawa
terbahak-bahak, "ucapanmu sangat bagus."
Dia tertawa tergelak, tidak demikian dengan
Kim-hi, tiba-tiba paras mukanya berubah amat
serius, katanya, "Aku benar-benar telah meneliti
keenam mayat itu dengan seksama, bahkan
menemukan satu hal yang sangat aneh."
"Oya, keanehan apa?"
"Keenam orang itu terbunuh oleh dua orang
yang berbeda, tapi letak luka yang mematikan
justru persis sama, satu-satunya perbedaan
hanya terletak pada senjata, agaknya senjata
yang digunakan untuk membunuh tidak sama."
Ketika Kim-hi selesai mengungkap hasil
analisanya, segera ia memberi koreksi lagi,
"Bukan luka keenam orang itu sama, yang tepat
nomor lima dan nomor enam sama, nomor lima
belas dan nomor enam belas sama, sedang nomor
dua puluh lima sama dengan nomor dua puluh
enam."
Dengan perasaan kagum Ong-losiansing
manggut-manggut.

"Bukan hanya letak lukanya berada di tempat
yang sama, bahkan jurus serangan serta tenaga
yang digunakan untuk menghabisi nyawa mereka
pun sama, seolah menggunakan cara dan
gerakan yang sama."
"Satu-satunya perbedaan hanya terletak pada
senjata yang dipakai untuk membunuh," imbuh
Kim-hi.
"Betul, yang satu menggunakan kepalan dan
pisau terbang sedang yang lain menggunakan
pedang," Ong-losiansing manggut-manggut.
"Benar, karena itu aku pun mempunyai satu
pertanyaan lagi."
"Katakan."
"Baik Hing Bu-bing maupun Yap Kay tak
mungkin belajar ilmu silat dari guru yang sama
bukan? Tapi kalau ditinjau dari bekas luka yang
ada di tubuh mayat itu, Hing Bu-bing seolah-olah
bisa juga menggunakan ilmu silat yang dimiliki
Yap Kay. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Ong-losiansing tertawa, dia belum menjawab.
"Masa Hing Bu-bing telah berhasil mempelajari
ilmu silat yang dimiliki Yap Kay?" kembali Kim-hi
bertanya.
"Bukan berhasil mempelajarinya, Hing Bu-bing
hanya menganalisa dari luka yang ditinggalkan di
tubuh mayat itu, lalu disesuaikan dengan jurus
pedang yang dimilikinya dan mengulang kembali
gerakan itu untuk menyerang lawan."

"Maksudmu, bila Hing Bu-bing bisa membunuh
orang-orang itu dengan menggunakan gerakan
jurus yang dipakai Yap Kay, berarti tidak sulit
baginya untuk membunuh Yap Kay?"
Ong-losiansing tidak langsung menjawab
pertanyaan itu, dia hanya menatap si nona lekatlekat,
memperhatikan rambutnya yang hitam,
jidatnya yang lebar, kemudian mengawasi
tubuhnya yang mulai berisi hingga sepasang
sepatunya yang ada sulamannya, akhirnya dia
menghela napas panjang.
"Ai, aku tak habis mengerti, kenapa Yap Kay
bisa tidak menaruh perhatian pada gadis
semacam kau," Ong-losiansing menggeleng
kepala sambil menghela napas, "yang benar dia
itu telur busuk? Atau seekor babi?"
"Sebenarnya aku sendiri pun tak tahu
manusia macam apakah dia itu," kata Kim-hi,
"tapi syukurlah, sekarang aku sudah paham."
"Lalu siapakah dia?"
"Dia itu bukan benda, juga bukan hewan, dia
adalah manusia, sayang manusia yang sudah
mampus."
Bab 5. PERTEMUAN PERTAMA
Sebuah bukit yang amat tinggi.
Awan dan kabut tebal menyelimuti seluruh
tanah perbukitan, membungkus rapat sebuah
rumah yang terbuat dari kayu.

Pho Ang-soat mengajak Keliningan balik ke
dalam rumah itu.
Biarpun luka yang diderita Keliningan tidak
mengenai bagian yang berbahaya, namun cukup
membuatnya terluka parah.
Pho Ang-soat memang seorang jagoan dalam
hal pengobatan, khususnya mengobati luka bekas
tusukan. Pada hari ketujuh semenjak ketibaan
mereka di sana, si Keliningan sudah sanggup
turun dari ranjang dan melakukan pekerjaan.
Ketika Hong-ling atau si Keliningan terbangun
dari alam mimpi, deru angin malam yang
dilihatnya semalam kini sudah lenyap, sebagai
gantinya dari luar rumah terdengar suara orang
sedang membelah kayu.
Hong-ling tahu Pho Ang-soat sedang membelah
kayu bakar, maka dia pun turun dari ranjang,
mengenakan mantel dan berjalan keluar, berdiri
bersandar di pagar sambil mengawasi gerak-gerik
Pho Ang-soat dengan seksama.
Dia sedang membelah kayu dengan cara yang
aneh, bermanfaat dan indah, gerakannya tidak
terlampau cepat, kapak yang digunakan pun tidak
tajam, tapi setiap kali kapaknya membelah kayu
bakar, terpercik api seperti ada serentetan
mercon sedang meledak.
Hong-ling mengawasi pemuda itu, dia mulai
kesemsem.

Menunggu hingga dia berhenti menyeka
keringat, Pho Ang-soat baru menyadari
perempuan itu sudah berdiri di pinggir pintu.
"Kau dapat tidur nyenyak di tempat ini?" tanya
Pho Ang-soat sambil mengumpulkan belahan
kayu bakar.
"Menurut kau?"
Hong-ling tertawa, tiba-tiba tersungging
sekulum senyuman yang manis di ujung bibirnya
yang putih pucat, seakan munculnya sekuntum
bunga sakura di tengah awan putih.
Kembali Pho Ang-soat berpaling, mengawasi
senyuman wanita itu. Tiba-tiba ia bertanya pada
diri sendiri, mengapa ia mengajak kemari
perempuan itu? Apa sebabnya ia berbuat begitu?
Perempuan itu tampak kesepian. Meski sedang
tertawa, namun tertawanya terasa begitu sepi,
begitu kesepian.
Bukankah kesepian pun langgeng menemani
kehidupan Pho Ang-soat?
Ketika secara tiba-tiba ia menjumpai seorang
wanita kesepian yang mirip nasibnya, bukankah
wajar mereka gampang cocok satu dengan
lainnya dan tak segan untuk menampungnya?
Semenjak munculnya kehidupan manusia,
bukankah lantaran kesepian kemudian timbul
perasaan dan akhirnya muncul bibit-bibit cinta?
Kabut pagi masih menyelimuti perbukitan,
Hong-ling berdiri di balik kabut, ia mengawasi Pho

Ang-soat yang sedang membopong setumpuk
kayu bakar.
Ia bertanya, "Hari ini kau ingin makan apa?"
Sebenarnya Pho Ang-soat sudah mulai
melangkah pergi, tapi ia segera menghentikan
kakinya begitu mendengar pertanyaan itu,
dengan sorot mata ragu ditatapnya perempuan
itu.
"Hari ini kau ingin makan apa?" kembali Hongling
bertanya sambil tertawa, "biar aku yang
turun ke dapur."
"Kau? Kau pandai memasak?"
"Jangan lupa, aku seorang wanita."
"Aku tidak lupa, hanya sulit bagiku untuk
menyatukan antara kau dengan urusan dapur."
"Oh, kau takut aku mencampuri hidangan
dengan racun?" ia menatap pemuda itu dengan
tajam.
"Kalau begitu masaklah!" Pho Ang-soat
membalikkan badan dan menuju ke arah dapur.
Memandang bayangan punggungnya yang
lenyap di balik pintu dapur, kembali Hong-ling
tertawa.
"Di saat kau selesai bersantap nanti, akan kau
sadari bahwa pandanganmu sebenarnya keliru
besar."
Daging babi masak daun berambang, osengoseng
ayam pedas, sepiring dadar telur ditambah

semangkuk kuah kaldu ayam yang gurih
membuat Pho Ang-soat sekaligus menghabiskan
empat mangkuk nasi.
Mengawasi sisa hidangan di piring, terpancar
perasaan kagum dari balik mata pemuda itu.
"Seorang temanku pernah mengucapkan
sepatah kata kepadaku, sebenarnya aku kurang
begitu percaya, tapi sekarang kusadari bahwa apa
yang dia katakan memang masuk akal," kata Pho
Ang-soat, "dia bilang, apakah seorang wanita
pantas berdiam di samping seorang lelaki, hal ini
tergantung mampukah dia menyiapkan hidangan
lezat."
Hong-ling tertawa lebar.
"Oh, engkau sedang memujiku?" serunya,
"atau ingin menarik keuntungan dari ucapan itu?"
Paras muka Pho Ang-soat tetap tampil dingin
dan angkuh, kini sorot matanya telah dialihkan ke
wajah Hong-ling, namun di balik biji matanya
yang tajam muncul bayangan tubuh lain secara
samar.
Sesosok bayangan yang tampak begitu jauh,
tapi seolah makin mendekat. Sesosok bayangan
tubuh yang langsing dan lembut.
Sesosok bayangan lembut bagai bintang fajar,
sesosok tubuh yang memancarkan secercah
cahaya, cahaya bintang.
Cui long!

Sebuah nama yang begitu dikenal, tapi serasa
juga begitu asing baginya.
Begitu teringat akan dirinya, sekilas perasaan
sedih dan tersiksa kembali terpancar dari balik
matanya, otot-otot hijau di tangan kirinya mulai
menegang, giginya pun terkatup kencang di balik
mulutnya yang merapat.
Dia menatap wajah Hong-ling, menunggu
sampai otot hijau yang menegang di tangan
kirinya mulai kendor, sepatah demi sepatah baru
ia berkata, "Aku tak pernah mencari keuntungan
dari orang lain, baik dari orang lelaki maupun
perempuan."
Walaupun suaranya masih tenang, namun
perasaan sedih dan tersiksa terpancar dari
matanya semakin mengental, seakan tak ingin
terlihat perempuan itu, maka begitu selesai
berkata kembali ia berdiri, menggunakan cara
berjalannya yang khas, selangkah demi selangkah
meninggalkan dapur.
Hong-ling sama sekali tidak memandangnya,
menanti pemuda itu lenyap di balik pintu, baru ia
bangkit dan membenahi piring cawan di meja.
Saat itulah sinar matahari memancar masuk
lewat jendela, mengusir kabut tebal dari sekeliling
tempat itu, burung mulai berkicau, suasana
terasa cerah kembali.
Sementara itu Yap Kay yang berada di luar kota
Lhasa sudah bersiap melakukan penyelidikan ke
dalam kebun monyet.

Saat itu Be Khong-cun yang berada di Ban be
tong telah mendapat laporan tentang hilangnya
Pho Ang-soat.
Bantal masih berada dalam keadaan penuh,
sedikit pun tak ada pertanda cembung ke dalam,
seprei dan selimut pun masih tersusun rapi,
sama sekali tak ada tanda pernah dipakai tidur.
"Sewaktu aku lewat di sini pagi tadi, pintu
kamar masih dalam keadaan tertutup," lapor
Kongsun Toan kepada Be Khong-cun, "aku
mencoba berteriak dari luar, namun tiada
jawaban. Akhirnya aku pun memaksa masuk,
ternyata kamar sudah dalam keadaan kosong."
Be Khong-cun tidak memberi komentar, dia
hanya termenung sambil berpikir.
"Aku rasa baru semalam Pho Ang-soat pergi
dari sini," ujar Kongsun Toan lagi, "bila sekarang
juga kita utus orang untuk melakukan
pengejaran, aku yakin masih bisa tersusul."
"Kejar!" perintah Be Khong-cun dengan wajah
dingin, "tak seorang pun boleh meninggalkan Ban
be tong."
"Baik."
Kongsun Toan segera beranjak pergi, tinggal Be
Khong-cun yang masih berdiri di depan kamar
tidur Pho Ang-soat.
Walaupun sinar matahari pagi tak terlampau
panas, tapi semakin meningginya sang surya,
cahaya semakin menerangi ruangan kamar,

menyinari wajah Be Khong-cun, membuat kerutan
wajahnya nampak lebih jelas dan kentara.
Kerutan di wajah bukan hal yang memalukan,
sebaliknya justru mencerminkan kebanggaan,
karena setiap kerutan di wajahnya mewakili
perjuangan hidupnya menentang bahaya dan
maut. Seakan-akan dia hendak memberitahu
kepada orang lain, jangan harap bisa merobohkan
dia dengan gampang dalam hal apa pun.
Jangan mimpi bisa memaksanya
membungkukkan pinggang.
Walau begitu, pancaran sinar matanya justru
amat tenang dan penuh kedamaian, tak disertai
sinar tajam yang menggidikkan.
Apakah penderitaan dan kesengsaraan yang
dialaminya selama ini telah mengikis
keberingasannya?
Atau karena ia sudah pandai menyembunyikan
ambisi dan napsunya?
Atau mungkin lantaran ia pernah mati satu
kali?
Kini sepasang matanya sedang mengawasi
pembaringan yang tak pernah dijamah itu. Dan
pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara
teguran berkumandang dari belakang tubuhnya.
"Selama ini kau baik baik saja bukan Belopan?"
Be Khong-cun segera berpaling, ia lihat
seseorang telah duduk di depan pintu.

Siau Piat-li muncul dengan kursi rodanya, saat
itu dia sedang menatap Be Khong-cun dengan
mimik muka aneh, agak tercengang dan sangsi.
"Sudah berapa lama kita tak bersua? Sepuluh
tahun mungkin?" Be Khong-cun balik bertanya.
Siau Piat-li menghela napas panjang.
"Ya, sepuluh tahun sudah. Waktu berlalu begitu
cepat, secepat awan putih di angkasa, dalam
sekejap mata sudah sepuluh tahun kita tak
bersua."
Ditatapnya wajah Be Khong-cun sesaat,
kemudian ujarnya lagi, "Perjuangan hidup selama
sepuluh tahun ternyata tidak meninggalkan bekas
di wajahmu, penampilanmu saat ini tak jauh
berbeda dengan sepuluh tahun berselang,
bahkan rambut pun tak nampak memutih."
"Manusia akan menjadi tua bila pikiran dan
perasaannya berubah jadi tua."
"Oh, berarti pikiran dan perasaanmu sekarang
sudah jauh lebih muda?"
"Nama besar Kwan tang ban be tong ibarat
matahari di tengah hari, banyak orang
menopangkan hidupnya di sini, mungkinkah
bagiku untuk merasa tua? Dapatkah aku menjadi
tua?" tiba-tiba Be Khong-cun menghela napas
panjang.
"Tapi seingatku, Kwan tang ban be tong sudah
dihancurkan sejak sepuluh tahun lalu," ujar Siau

Piat-li menatapnya tajam, "bagaimana mungkin
hari ini bisa muncul kembali?"
Mendadak mencorong sinar tajam dari balik
mata Be Khong-cun, ditatapnya Siau Piat-li tanpa
berkedip, kemudian tegurnya, "Siau-laute, baru
berpisah selama sepuluh tahun, kenapa kau mulai
termakan isu kosong dunia persilatan?"
"Isu dunia persilatan?" Siau Piat-li semakin
tajam mengawasi rekannya.
"Betul, kabar bohong yang sengaja ditiupkan
kaum Siaujin dari dunia persilatan."
"Oya? Berarti hanya kaum Siaujin yang percaya
dengan kabar kosong itu?"
Siau Piat-li tertawa terbahak-bahak, sejenak
kemudian tambahnya, "Wah, yang begini baru
celaka, kalau seorang Kuncu mulai berbohong,
biar membuat orang mampus pun rasanya tak
perlu membayar ganti rugi."
"Terkadang berbuat begitu, rasanya juga tak
akan merusak nama baik," sahut Be Khong-cun
sambil tertawa, "bukankah begitu?"
"Boleh yang pertama jangan mengulang yang
kedua, masa kau akan mengulang kembali
perbuatan yang sama untuk kedua kalinya?"
"Untung aku cukup tahu diri, apalagi orang
seperti aku paling enggan mengulang hal yang
sama untuk kedua kalinya," Be Khong-cun
menunggu gelak tawa sendiri mereda
kemudian baru melanjutkan, "Tetangga desa

bagai di ujung langit. Perumpamaan itu tak cocok
kau gunakan untuk menggambarkan tentang
hubungan kami."
"Oh, maksudmu?"
"Tempat tinggal kita begitu dekat, kita pun
merupakan sahabat karib, tapi begitu tega
hatimu, selama sepuluh tahun terakhir pernahkah
kau datang menjengukku?"
Siau Piat-li tidak menanggapi, dia
mendongakkan kepala dan menghela napas
panjang.
Be Khong-cun tidak mengerti apa sebabnya ia
menghela napas, segera tegurnya, "Siau-laute,
persoalan apa yang membuatmu menghela napas
panjang?"
"Walaupun sepuluh tahun tidak membuat
kau bertambah tua, tapi sayang kau telah
terjangkit satu penyakit."
"Penyakit? Penyakit apa?" "Penyakit pelupa"
"Penyakit pelupa?" gumam Be Khong-cun
dengan wajah sangsi dan tidak mengerti.
Sambil menunjuk sepasang kaki sendiri,
kembali Siau Piat-li berkata, "Masakah Be-lopan
lupa bahwa kakiku cacad?"
Setelah menatap sekejap lawannya, ujarnya
lebih lanjut, "Seandainya kakiku masih sehat dan
mampu berlari cepat, sudah pasti akan
kusambangi Be-lopan."

Tentu saja Be Khong-cun memahami maksud
perkataannya, air mukanya sedikit berubah, tapi
cepat ia tertawa tergelak.
"Karena Siau-laute menegur kesalahanku,
sudah sepantasnya aku mesti didenda... hari ini
akan kubiarkan kau menghukumku sepuasnya."
"Menghukum aku tak berani," kata Siau Piat-li
sambil tertawa, "sudah sepuluh tahun kita tak
pernah minum arak, hari ini kita berdua minum
sepuasnya."
Yap Kay melangkah di padang rumput
berembun, mengenang kembali pembicaraannya
pagi tadi dengan So Ming-ming, tanpa terasa ia
tertawa.
"Kini langit sudah terang, apakah kita boleh
segera berangkat?" tanya So Ming-ming.
"Tolong gunakan angka ganjil, jangan memakai
angka genap," tiba-tiba Yap Kay mengucapkan
kata yang aneh.
"Angka ganjil? Angka genap? Apa maksudmu?"
tanya So Ming-ming tak habis mengerti.
"Maksudku, aku yang pergi, bukan kita
berdua."
"Aku?" akhirnya mengerti juga So Ming-ming
maksud ucapannya, "jadi kau ingin pergi seorang
diri?"
"Bukan ingin, tapi pasti. Apalagi kepergianku ini
bukan mau jalan-jalan di pasar, jadi tak perlu
berdua."

"Justru karena berbahaya maka aku ingin pergi
berdua, paling tidak ada yang diajak bicara,"
seru So Ming-ming, "apalagi semalam Kim-hi
bisa jadi sudah mendatangi kebun monyet, aku
semakin punya kewajiban untuk pergi
mencarinya."
"Kalau begitu kau lebih tak boleh ikut."
"Kenapa?"
"Bila orang kebun monyet menggunakan Kim-hi
sebagai sandera lalu mengancammu, apa yang
akan kau lakukan?"
"Aku...."
"Kalau aku kan berbeda, hatiku terkadang
seperti baja keras, di saat harus keras tak bakal
hatiku melunak."
"Tapi... bagaimana kalau muncul bahaya yang
mengancam?" tanya So Ming-ming penuh rasa
kuatir, "masa kau pergi sendirian?"
"Tak mungkin ada bahaya, karena aku akan
berkunjung secara terang-terangan."
"Berkunjung secara terang terangan?"
"Betul, bukan masuk dengan melompati pagar
rumah, tapi masuk secara terang-terangan lewat
pintu gerbang."
Biarpun air embun telah membasahi sepatu
yang dikenakan Yap Kay, namun dia tak ambil
peduli, sebab dari sini ia sudah dapat melihat
pintu gerbang kebun monyet.

Setelah berada di depan gerbang, Yap Kay baru
merasa bahwa dinding pagar di situ amat tinggi,
bahkan ketinggiannya mencapai lima atau enam
orang ditumpuk menjadi satu.
Pintu yang semula tertutup rapat, kini dalam
keadaan terbuka.
Tampak di tengah halaman yang luas
terbentang sebuah jembatan berliku sembilan, di
bawah jembatan mengalir air yang jernih dan
bening.
Pada ujung jembatan berdiri sebuah gardu segi
delapan, dalam gardu terlihat ada dua orang
sedang bermain catur.
Biarpun dari kejauhan tak nampak jelas paras
muka kedua orang itu, namun dari dandanannya
Yap Kay berani memastikan kedua orang itu
adalah Tui hong siu dan Gwe-popo.
Waktu itu Gwe-popo sedang bertopang dagu
sambil memegang sebiji catur, namun sampai
lama belum juga diletakkan, kelihatannya nenek
itu sedang berpikir posisi yang lebih tepat.
Sementara Tui hong siu sedang menatapnya
dengan wajah tersenyum, bukan saja bangga,
bahkan terkesan dia sedang mengejek
pasangannya, "Mau kau taruh kemana biji catur
itu?"
Melihat sikap kedua orang itu, sekulum
senyuman segera menghiasi wajah Yap Kay,
dengan langkah lebar dia melalui pintu gerbang,

menelusuri jembatan berliku sembilan dan
menghampiri gardu segi delapan.
Angin berhembus sepoi, menimbulkan riak di
air dan menyiarkan bau harum bunga yang
semerbak, dunia serasa begitu tenang penuh
kedamaian.
Biarpun sikap Tui hong siu dan Gwe-popo
begitu santai penuh keriangan, namun ketika Yap
Kay menghampiri kedua orang itu, tiba-tiba ia
merasakan hawa tajam yang kuat seakan
menghimpit dadanya, dia seperti sedang berjalan
menghampiri dua bilah pedang yang tajam.
Senjata mestika selalu menimbulkan aora yang
berbeda, begitu juga dengan jago persilatan yang
memiliki ilmu silat tinggi, mereka pun
memancarkan aora yang gampang membuat
napas orang jadi sesak.
Gwe-popo dengan memegang biji caturnya
masih saja termenung, sedang Tui hong siu
mengawasi bininya sambil perlahan menikmati
arak dalam cawan, jelas kemampuannya bermain
catur jauh lebih tangguh ketimbang si nenek.
Sampai secawan arak telah habis diteguk, Gwepopo
belum juga menurunkan biji caturnya, tibatiba
Tui hong siu mendongakkan kepala
memandang Yap Kay sekejap, lalu sambil
menyodorkan cawan araknya dia menuding teko
aneh yang terletak di meja.
Siapa pun pasti akan memahami maksudnya,
dia minta Yap Kay menuang arak baginya.

"Kenapa aku mesti menuang arak untukmu?"
Jika orang lain, mereka pasti akan mencacimaki,
bahkan bisa jadi tanpa banyak bicara akan
berlalu dari situ.
Berbeda dengan Yap Kay, bukan saja dia tidak
marah, bahkan benar-benar menghampiri meja
dan mengambil poci itu.
Meski poci telah diambil, namun arak belum
juga dituang.
Perlahan-lahan Yap Kay menggeser poci itu ke
arah cawan, asal dia sedikit miringkan poci itu,
arak niscaya akan mengalir keluar. Siapa sangka
pemuda itu justru sama sekali tak bergerak.
Tui hong siu sendiri pun tetap mengangkat
cawannya di tengah udara, menanti dengan
sabar.
Selama Yap Kay tidak bergerak, dia pun tak
berkutik.
Tangan Gwe-popo yang memegang biji catur
pun mendadak ikut tak bergerak.
Ketiga orang itu seakan-akan tersihir oleh
kekuatan iblis yang maha dahsyat, kekuatan sihir
yang mampu mencabut nyawa mereka,
mengubah mereka seakan orang mati.
Dalam sekejap langit dan bumi seakan ikut
membeku, semuanya berubah jadi mati.
Bab 6. NENEK PENJUAL TELUR

Teko sudah dimiringkan, namun arak belum
juga mengalir. Cawan telah di tangan, namun
berhenti di tengah udara. Biji catur di
tangan, namun tak pernah diletakkan
pada posisinya.
Kebun itu sangat luas, bukan saja terdapat
pohon bambu, nampak pula aneka bunga,
jembatan kecil, air mengalir, gunung-gunungan
dan gardu indah, bahkan dihuni pula kelinci,
burung bangau maupun kijang jinak.
Sayangnya semua kijang jinak maupun kelinci
hanya terukir dari batu, ukiran itu begitu hidup.
Pepohonan yang hijau tumbuh begitu subur,
aneka bunga memancarkan bau harum. Siapa
pun tak menyangka bahwa suasana dalam kebun
monyet nampak begitu indah dan artistik.
Anehnya, tak terlihat seekor monyet pun
berkeliaran di sana.
Baik yang besar kecil, muda tua, monyet jantan
betina, monyet seperti apa pun tak nampak, Yap
Kay benar-benar gagal menemukan seekor
monyet pun.
Sesaat sebelum melangkah masuk ke dalam
pintu, ia sudah menyadari hal ini, bukan saja tak
nampak monyet, suara mencicit yang ramai dari
kera-kera pun tak terdengar.
Dalam kebun monyet tak nampak monyet, apa
sebenarnya yang telah terjadi?

Bayangan gardu segi delapan yang terpampang
di tanah kian lama kian menyusut pendek,
tengah hari telah tiba.
Sudah hampir tiga jam berlalu, namun Yap Kay
bertiga belum juga bergerak, jangankan
tubuhnya, ujung jari pun tak ada yang bergerak,
semua orang terpantek dalam posisinya semula,
bagaikan tiga buah arca marmer.
Bayangan yang membias di tanah kembali
berubah, kini matahari sudah condong ke langit
barat.
Sedikit saja tangan Yap Kay gemetar, arak
bakal tertuang keluar, tapi tiga jam sudah berlalu
begitu saja, tangannya masih tak bergerak, tetap
terpantek bagaikan batu.
Mimik muka Tui hong siu yang semula
tenteram, sinar matanya yang semula terselip
nada ejekan, lambat-laun mulai terjadi
perubahan, kini dia berubah jadi terperangah,
kaget dan sedikit tak sabar.
Tentu saja dia tak tahu kegetiran yang sedang
diderita Yap Kay saat itu.
Pemuda itu merasakan poci dalam
genggamannya makin lama terasa makin berat,
seolah-olah bobotnya telah berubah jadi ribuan
kati, lengannya dari linu berubah jadi kaku, dari
kaku berubah jadi sakit, sedemikian sakit
bagaikan ada jutaan jarum yang sedang menusuk
kulit lengannya.

Kulit kepalanya pun ikut sakit, sakit seperti
ditusuk jarum tajam, peluh membasahi seluruh
pakaiannya, tapi dia masih mengertak gigi,
bersabar, bertahan, sekuat tenaga berusaha
membuang jauh semua pikiran itu.
Karena dia tahu, situasi saat ini bertambah
kritis, bagaimana pun juga dia tak boleh
bergerak.
Walaupun tubuh mereka tak terlihat melakukan
gerakan, namun serunya pertarungan yang
sedang berlangsung justru berlipat kali lebih
dahsyat daripada pertarungan menggunakan
golok dan pedang.
Inilah pertarungan tenaga dalam, daya tahan,
kekuatan tubuh serta kesabaran.
Pertarungan ini benar-benar duel yang
berlangsung tenang, pertempuran berdarah yang
belum pernah terjadi sebelumnya.
Sewaktu berada di luar gedung penerima tamu
Ban be tong, Yap Kay memang pernah melakukan
pertarungan tanpa wujud melawan Tui hong siu,
namun pertarungan waktu itu jauh berbeda bila
dibanding pertempuran kali ini.
Pertarungan sudah berlangsung sejak pagi
hingga senja, enam jam sudah terlewatkan begitu
saja, namun tak ada yang datang ke sana,
bahkan tak seorang pun yang menengok jalannya
pertarungan.

Masa di dalam kebun monyet yang begitu luas,
hanya berdiam Tui hong -siu dan Gwe-popo
berdua?
Atau pemilik tempat itu hanya memperhatikan
diri sendiri, egois, sehingga apa pun yang
dilakukan orang lain, biar mati maupun hidup,
semuanya tak ada sangkut-paut dengannya,
sama sekali tak perlu diperhatikan?
Kegelapan senja sudah menyelimuti seluruh
jagad.
Entah sejak kapan dalam ruang tengah gardu
segi delapan telah disulut cahaya lentera, lampion
yang tergantung sepanjang beranda pun entah
oleh siapa telah disulut semua.
Sinar lentera memancar dari kejauhan,
menerangi wajah Tui hong siu. Wajahnya nampak
pucat-pasi, kulit mata mulai berdenyut keras tapi
tangannya masih kaku bagai batu karang.
Yap Kay sendiri pun sudah kehabisan tenaga,
nyaris roboh dan ambruk, rasa percaya dirinya
mulai goyah, tangannya pun mulai goyang, dia
tahu sulit baginya untuk bertahan lebih jauh.
Pada saat yang kritis itulah, mendadak Sret!",
terdengar suara desingan angin tajam, ternyata
Gwe-popo telah menyambitkan biji caturnya
dengan sekuat tenaga.
"Prang!", biji catur itu langsung membelah
mulut teko itu hingga hancur berantakan.

Dengan pecahnya mulut teko, maka arak pun
mengalir keluar memenuhi cawan.
Ketika arak telah memenuhi cawan, Tui hong
siu menarik kembali tangannya, perlahan-lahan
menghirup isinya hingga habis, dia sama sekali
tidak memandang lagi ke arah Yap Kay, walau
hanya sekejap pun.
Yap Kay sendiri pun segera meletakkan kembali
poci itu ke atas meja, perlahan berjalan keluar
dari gardu segi delapan, menelusuri jembatan dan
berhenti di ujung jalan.
Memandang kegelapan malam yang
mencekam, melihat cahaya lentera yang
bergantungan sepanjang serambi, tiba-tiba ia
merasa semua begitu lembut, hangat dan penuh
kedamaian.
Ternyata bisa lolos dari kematian memang
sebuah kejadian yang sangat menggembirakan.
Hanya orang yang pernah terancam jiwanya,
pernah lolos dari lubang jarum yang dapat
menghargai nyawa sendiri.
Ketika Yap Kay berpaling lagi ke arah gardu
sudut delapan, Tui hong siu serta Gwe-popo yang
semula berada di sana, kini sudah pergi entah
kemana, yang tersisa hanya permainan catur
yang belum selesai.
Kini, di dalam halaman yang begitu luas tinggal
Yap Kay seorang, kalau ada yang menemani,
paling hanya suara air yang mengalir, mengalir
abadi.

Malam ini langit ada rembulan, terlihat pula
bintang yang bertaburan di angkasa.
Cahaya rembulan membiaskan bayangan tubuh
Yap Kay di atas permukaan air, sambil termenung
ia menundukkan kepala, mengawasi bayangan
sendiri di atas percikan air, memandang dengan
termangu.
Pada saat itulah tiba-tiba ia merasa ada
seseorang berjalan naik di atas jembatan, ketika
berpaling, terlihatlah seseorang sedang berjalan
menghampirinya.
Orang itu amat sopan, gerak-geriknya lembut
dan penuh aturan, pakaiannya rapi, mimik
wajahnya lugu, ketika melakukan pekerjaan apa
pun selalu meninggalkan kesan sopan, rendah
hati dan hormat.
Seorang pengurus rumah tangga keluarga
kenamaan memang jauh berbeda bila dibanding
seorang kasir di rumah makan atau losmen.
Dengan lemah lembut dan sopan-santun orang
menghampiri Yap Kay, kemudian setelah memberi
hormat, ujarnya sambil tersenyum, "Hamba Tio
Kong memberi salam untuk tuan."
Biarpun senyuman Tio Kong sopan dan penuh
rasa hormat, namun terkesan agak menjilat.
Kembali katanya, "Ong-loya khusus mengutus
hamba untuk menyambut kedatangan tuan."
"Ong-loya? Ong-losiansing?"
"Benar."

"Kau tahu aku bakal kemari? Tahu siapakah
aku?" kembali Yap Kay bertanya.
"Hamba tahu, Toaya adalah Yap Kay Yaptayhiap."
Setelah melempar sekulum senyuman, ia
menyingkir ke samping sambil ujarnya lagi,
"Silakan, Ong-loya sedang menunggu di gedung
utama."
Gedung utama terletak di bagian belakang
kebun, gedung yang paling terang di antara
sekian banyak bangunan.
Sambil tersenyum Yap Kay melangkah maju,
setelah melewati Tio Kong, ia berjalan menuju ke
arah gedung yang bermandikan cahaya, berjalan
menuju ke masa depan yang tak diketahui
bagaimana akhirnya.
Hari belum lagi gelap, Hong-ling sudah mulai
sibuk di dalam dapur, menyiapkan makan
malam.
Asap putih yang mengepul dari cerobong asap
menimbulkan kabut putih menghiasi langit
kelabu, menambah suasana kehangatan di rumah
kayu itu.
Pho Ang-soat sedang duduk di bangku persis
tengah halaman, dengan sepasang matanya yang
kesepian ia sedang mengawasi Hong-ling di dalam
dapur.
Kehidupan yang tenang, istri yang cantik nan
saleh, keluarga yang harmonis, itulah kehidupan

yang selalu didambakan seorang perantau,
seorang petualang.
Pagi meninggalkan rumah, senja baru kembali.
Setiap petani pasti sudah berangkat ke sawah di
saat fajar menyingsing, kemudian baru balik
menjelang senja, dengan membawa tubuh penuh
lumpur dan keletihan.
Sang istri yang saleh telah menyiapkan
bermacam hidangan serta sepoci arak hangat,
menemaninya bersantap, bahkan menemaninya
meneguk barang satu dua cawan.
Sebuah kehidupan yang hangat dan mesra.
Sayang sekali kehidupan semacam ini ibarat
menggapai bintang di langit, begitu jauh, begitu
muskil untuk seorang pengembara, apalagi
seorang petualang.
Sedemikian jauh dan remangnya kehidupan
macam itu, membuat para pengembara seolah
sudah lupa bahwa di dunia ini masih terdapat
kehidupan seperti itu.
Andaikata perempuan yang sedang menyiapkan
makan malam saat ini adalah kekasih hati Pho
Ang-soat, bila rumah mungil di bukit ini adalah
sarang mereka berdua yang hangat dan mesra,
mungkinkah Pho Ang-soat rela melepaskan hidup
mengembaranya dan melewatkan hari-hari
dengan penuh keriangan?
Tiada seorang pun dapat menjawab pertanyaan
itu.

Bahkan Pho Ang-soat sendiri pun tak mampu,
bukan tak mampu, tapi enggan memikirkan
persoalan itu, tak berani membayangkannya.
Karena itulah dengan cepat dia menarik
kembali sinar matanya dan beralih
memperhatikan keliningan di bawah emper rumah
yang bunyi berdenting karena hembusan angin.
Keliningan itu memang sengaja dipasang Hongling
di tempat itu.
Mengikuti hembusan angin bukit yang lembut,
di tengah dentingan keliningan yang merdu,
terendus bau hidangan yang harum dari balik
ruang dapur.
Saat bersantap malam telah tiba, kembali
satu hari lewat dengan cepatnya, dan sebentar
lagi hari esok pun akan tiba. Besok entah akan
seperti apa?
Pertanyaan seperti ini pun termasuk hal yang
tabu dipikirkan seorang pengembara.
Biarlah hari berlalu begitu saja, makanan yang
bisa dinikmati secukupnya, minuman yang bisa
diteguk hari ini, teguklah sepuasnya. Sedang
besok? Biarlah menjadi urusan esok.
Hari ini masih bisa makan minum dengan puas
di sebuah rumah makan mewah, bisa jadi besok
sudah mampus dalam selokan, hari ini masih
menjadi seorang lelaki yang paling romantis,
siapa tahu besok menjadi pemabuk yang
ditendang keluar dari rumah? Hari ini masih
seorang tuan besar yang kaya raya, siapa bisa

menduga besok menjadi gelandangan yang
mengenaskan di sudut jalan desa.
Dunia penuh perubahan, manusia mana yang
bisa meramalkan hari esok? Siapa yang bisa
membayangkan bagaimana kehidupannya di hari
esok?
Oleh karena itu sebagai manusia, belajarlah
menikmati hari ini, baik-baik menggenggam saat
ini, karena saat inilah merupakan kejadian yang
paling nyata.
Jangan biarkan menyesal setelah kehilangan,
menyesal mengapa tidak baik-baik menikmati
masa lampau.
Bulan dan bintang masih tergantung di awangawang,
malam semakin larut.
Selesai menyiapkan piring dan mangkuk untuk
makan, Hong-ling meninggalkan dapur menuju
halaman depan, ia bermaksud memanggil Pho
Ang-soat untuk bersantap malam.
Saat itulah tiba-tiba ia saksikan ada seorang
nenek berambut putih, dengan tangan kiri
memegang tongkat, tangan kanan menjinjing
sebuah bungkusan kain hijau berjalan tertatihtatih
mendekati rumah mereka, punggung nenek
itu bongkok.
Melihat munculnya si nenek, dengan kening
berkerut Hong-ling segera bertanya, "Apakah
sekitar tempat ini masih ada keluarga lain?"

"Tidak ada," sahut Pho Ang-soat hambar,
"kalau ada pun yang terdekat tujuh-delapan li di
bawah bukit sana."
Hong-ling tidak bertanya lagi. Sementara itu si
nenek sudah tiba di halaman luar, dengan napas
yang masih tersengal dan tertawa paksa,
katanya, "Tuan nyonya berdua, apakah mau
membeli telur ayam?"
"Telur ayammu masih segar?" tiba-tiba Hongling
bertanya sambil tertawa.
"Tentu saja masih segar," jawab nenek itu
sambil tertawa, "kalau tak percaya coba rabalah,
masih hangat malah."
Nenek itu masuk ke halaman dalam,
berjongkok dan membuka bungkusan kain
hijaunya, benar saja isi bungkusan itu adalah
telur ayam yang besar dan bulat.
Sambil memungut sebutir telur ayam, kembali
ujarnya sambil tertawa, "Telur ayam yang masih
segar paling enak langsung ditelan isinya atau
direbus...."
Tiba-tiba paras muka nenek itu mengejang
keras, tangannya diangkat secara mendadak
seolah akan melemparkan telur itu, tapi belum
sempat dilakukan, tubuhnya sudah roboh
terjungkal.
Begitu nenek itu roboh terkapar, tampak
sesosok bayangan hitam meloncat keluar dari
balik semak belukar, dengan tiga kali lompatan
sudah masuk ke tengah halaman, kemudian

tanpa mengucapkan sepatah kata pun bayangan
tadi menyambar bungkusan milik si nenek yang
berisi telur ayam dan dibuang jauh-jauh ke balik
kegelapan.
"Blam!", ledakan keras bergema memecah
keheningan, semburan cahaya api bercampur
pasir dan ranting pohon berhamburan ke tengah
udara.
Menanti cahaya api mulai surup dan pasir
rontok ke tanah, orang berbaju hitam itu
menghembuskan napas panjang seraya
bergumam, "Sungguh berbahaya."
Berubah hebat paras muka Hong-ling, saking
kagetnya dia sampai tak mampu berkata-kata,
hanya matanya masih menatap si nenek yang
terkapar di tanah tanpa berkedip.
Pho Ang-soat sama sekali tidak bereaksi, dia
masih berdiri di sana dengan wajah dingin,
sepasang matanya yang hambar masih
mengawasi suatu tempat di balik kegelapan.
Dalam pada itu orang berbaju hitam itu telah
membalikkan badan, berhadapan dengan Pho
Ang-soat, tegurnya, "Masa kau masih belum tahu
siapakah nenek itu?"
Pho Ang-soat menggeleng.
Mendadak orang berbaju hitam itu
merendahkan suaranya dan berbisik, "Dia adalah
pembunuh gelap yang diutus Ban be tong untuk
membunuhmu."

"Ban be tong?"
"Benar, aku...."
Belum selesai orang berbaju hitam itu bicara,
mendadak tubuhnya mengejang keras, paras
mukanya berubah hebat dan darah segar
menyembut keluar dari ujung bibirnya, begitu
darah mengucur, dalam waktu singkat telah
berubah menjadi hitam pekat.
Menyaksikan peristiwa itu, berubah hebat
paras muka Hong-ling.
Orang berbaju hitam itu telah roboh ke tanah,
sepasang tangannya menekan perutnya, sambil
meronta dengan sepenuh tenaga, serunya,
"Cepat... cepat... dalam sakuku terdapat obat
penawar racun... cepat... cepat
Baru saja Hong-ling hendak mendekat, tiba-tiba
Pho Ang-soat menarik tangannya dan mencegah
perempuan itu.
Paras muka orang berbaju hitam itu berubah
makin menderita, jeritnya, "Tolong... tolonglah
aku... kumohon... cepat... cepat... sebentar lagi
bakal terlambat...."
Pho Ang-soat sama sekali tidak bergeming,
ditatapnya orang itu dengan pandangan dingin,
jengeknya ketus, "Kalau memang obat penawar
berada dalam sakumu, mengapa tidak kau ambil
sendiri?"
"Masakah tidak kau lihat, dia sudah tak
sanggup bergerak," seru Hong-ling panik,

"apakah kita hanya berpeluk tangan saja melihat
orang itu sekarat?"
"Benarkah begitu?" tiba-tiba Pho Ang-soat
tertawa dingin, "dia tak bakal mampus."
Mendengar perkataan itu, sekali lagi paras
muka orang berbaju hitam itu mengejang keras,
mendadak secepat anak panah yang terlepas dari
busur dia melompat bangun dari atas tanah lalu
mengayunkan tangan berulang kali, tujuh titik
cahaya bintang segera melesat ke depan dengan
cepat.
Si nenek yang semula sudah mati terkapar pun
tiba-tiba ikut melompat bangun, tangannya
diayun ke depan, dua butir telur ayam telah
disambitkan ke arah mereka.
Perubahan yang terjadi sangat mendadak dan
di luar dugaan ini seketika membuat Hong-ling
terperangah.
Sementara itu Pho Ang-soat kembali tertawa
dingin, bukan saja dia tak menghindar, sebaliknya
malah maju menyongsong, tak jelas bagaimana
dia bergerak, tahu-tahu kedua butir telur ayam
itu sudah jatuh ke tangannya dan masuk ke
dalam saku.
Sedang ketujuh cahaya bintang yang
disambitkan orang berbaju hitam telah
ditangkis tangan kiri Pho Ang-soat,
"Trang, trang, trang!", ketujuh senjata rahasia
itu menancap semua di atas sarung golok.

Gagal dengan serangan pertamanya, si nenek
melejit dan bersalto beberapa kali di udara
kemudian merangsek ke depan.
Tapi sebelum tubuhnya melayang turun ke
tanah, mendadak ia temukan Pho Ang-soat telah
menanti tepat di hadapannya.
Biarpun kaget, nenek itu tak sampai kalut,
sepasang kepalannya disodokkan ke muka
berbarengan, satu mengancam jalan darah Thayyang-
hiat di sisi kiri kening Pho Ang-soat sedang
yang lain menghantam kening sebelah kanan.
Biarpun serangannya cukup cepat, namun
sebelum kepalannya menyentuh sasaran, telapak
tangan Pho Ang-soat telah menerobos melalui
sela kedua kepalannya, lalu menghantam ke
dadanya.
"Plok!", hanya satu tepukan ringan.
Biar tampaknya ringan, namun tubuh nenek itu
seakan sudah terpantek di atas tanah, sepasang
lengannya terkulai lemas, tubuh pun tak mampu
bergerak, kemudian dia pun mendengar suara
tulang-belulang yang terhajar remuk.
Kini baru dia dapat melihat Pho Ang-soat yang
semula masih berdiri di hadapannya, tiba-tiba
sudah muncul di hadapan orang berbaju hitam itu
dan menggunakan lengan sebelah sedang
menjepit tubuh rekannya itu.
Begitu dijepit kemudian dilepas, sekujur badan
orang berbaju hitam itu pun seolah berubah jadi
segumpal lumpur lunak, bersamaan dengan

hancurnya tulang, darah segar berhamburan
kemana-mana.
Bukan hanya hancuran tulangnya yang
menembus pakaian, darah pun bagai pancuran air
membasahi sekujur badannya, perlahan-lahan ia
roboh tak berkutik.
Dengan pandangan dingin Pho Ang-soat
mengawasi lawannya, dia bediri seakan sedang
melamun, seolah sepanjang hidup baru pertama
kali ini menyaksikan ceceran darah.
Dalam pada itu si nenek masih berdiri dengan
tubuh gemetar keras.
Entah dikarenakan pengaruh pukulan Pho Angsoat
yang aneh atau karena dinginnya hembusan
angin malam, atau mungkin juga lantaran suara
tulang belulang yang hancur berantakan, tiba-tiba
nenek itu berubah bagaikan seorang anak yang
baru terjaga dari mimpi seram.
Pho Ang-soat berpaling, memandang dengan
sorot mata dingin.
Tak kuasa lagi nenek itu merinding sekujur
badannya, setengah menggigil serunya terbatabata,
"Aku... aku adalah nenek yang sudah
berusia delapan puluh tahun... masa... masa kau
tega membunuhku?"
Pho Ang-soat sama sekali tidak bicara,
mendadak dia jambak rambut si nenek yang telah
beruban itu dan membetotnya, rambut berikut
kulit wajah pun segera terbetot lepas hingga kini
muncul seraut wajah lain di muka si nenek.

Dia adalah seorang pemuda berwajah kurus
kecil, berwarna agak kuning dan masih sangat
muda, kini berdiri dengan muka ketakutan.
Perubahan yang sangat mendadak itu kembali
membuat Hong ling tertegun, dia tak habis
mengerti, darimana Pho Ang-soat bisa tahu nenek
itu adalah hasil penyamaran.
Dalam pada itu Pho Ang-soat telah menatap
dingin pemuda yang sedang ketakutan itu,
tegurnya kemudian, "Tahukah kau siapa aku?"
"Aku... aku tahu," jawab pemuda itu dengan
bibir menggigil.
"Kalau begitu seharusnya kau pun tahu, paling
tidak aku memiliki tiga puluh macam cara untuk
membuat kau menyesal karena pernah dilahirkan
di dunia ini."
Setengah memaksakan diri pemuda itu
manggut-manggut, kini paras mukanya telah
berubah jadi pucat tak berdarah. "Kalau begitu
aku ingin bertanya."
"Akan... akan kujawab...." buru-buru pemuda
itu memberikan j anj inya.
"Kau anak buah Hoa Boan-thian atau Hun Caythian?"
"Dari kelompok Hoa-tongcu."
"Kali ini berapa orang yang diutus kemari?"
kembali Pho Ang-soat bertanya.
"Termasuk Hoa-tongcu dan Hun-tongcu, semua
berjumlah tujuh orang."

"Lantas dimanakah kelima orang rekanmu itu
sekarang?" "Aku tidak tahu," pemuda itu
menggeleng, "aku benar-benar tidak tahu."
"Berada dimana mereka sekarang?"
"Ada di kaki bukit... mereka sedang menunggu
kami...."
Belum sempat pemuda itu menyelesaikan
perkataannya, tiba-tiba terdengar lagi suara
remuknya tulang belulang.
Ia mendengar suara remuknya tulang di tubuh
sendiri.
Selesai membasuh tangan, sikap Pho Ang-soat
telah kembali dalam kehambaran, dengan tenang
ia duduk sambil bersantap, seolah tak pernah
terjadi apa-apa di situ.
Hong-ling menyuap nasi, lalu meletakkan
sumpitnya, tegurnya sambil menatap pemuda itu,
"Kau tega untuk melanjutkan bersantap?"
"Tentu saja," jawab Pho Ang-soat tenang,
"kalau kau pernah merasakan bagaimana orang
yang sedang kelaparan, pasti dapat kau habiskan
nasi itu."
"Kau tidak kuafir orang-orang Ban be tong akan
menyerbu kemari lagi?" kembali Hong-ling
bertanya.
"Tidak mungkin, sekarang tak mungkin terjadi,
sebelum mereka berhasil melacak keadaan kita
yang sebenarnya, tak nanti mereka berani

bertindak secara gegabah, tenangkan saja
hatimu."
Kembali Pho Ang-soat menyumpit sepotong
daging, menanti ia selesai mengunyah dan
menelannya baru ujarnya lagi, "Sebelum hari
menjadi terang, tak mungkin mereka menyerang
kita lagi."
Begitu melangkah masuk ke ruang tengah, Yap
Kay segera dapat merasakan Ong-losiansing dari
kebun monyet pasti bukan seorang tokoh yang
sederhana.
Dari perabot, tata letak serta ornamen yang
terdapat dalam ruangan, dapat terlihat
bagaimanakah watak serta perangai pemiliknya.
Ruang itu tidak terlampau lebar, perabot
maupun ornamen di situ pun bukan termasuk
model yang kelewat mewah, tapi hampir
semuanya artistik dan indah.
Hampir semua perabot mendatangkan kesan
nyaman bagi yang melihatnya, bahkan cara
penggunaannya gampang dan sederhana, tidak
memberikan kesan ketersediaan benda itu
mubazir atau berlebihan.
Begitu pula dengan manusianya.
Kesan yang ditimbulkan Ong-losiansing pun
bukan semacam kesan yang menyebalkan,
memberi perasaan tercengang.
Bertemu dengan orang ini, kau seakan merasa
sedang berada dalam sebuah kota kecil yang

tenang, melihat seorang kakek yang penuh kasih
dan lembut sedang bermain dengan cucunya.
Biarpun usianya sudah sedikit lebih lanjut, tapi
dia masih dapat membantumu momong anak,
bahkan terkadang di waktu senggang dia pun
masih bisa membantumu melakukan pekerjaan
ringan.
Terhadap orang semacam ini, apakah kau akan
menganggap dia adalah orang yang muzabir?
Begitulah kesan pertama Yap Kay ketika
pertama kali berjumpa Ong-losiansing.
Biarpun sekarang ia duduk di kursi utama,
namun tak akan kau jumpai sikap jumawa atau
kesan takabur dari mimik mukanya.
Melihat Yap Kay berjalan masuk ke dalam
ruangan, segera Ong-losiansing menampilkan
senyuman ramahnya, lalu dengan suara bagai
seorang kakek sedang memanggil cucunya dia
berkata, "Duduklah anak muda!"
Di tengah ruangan tersedia sebuah meja
bundar yang besar, di meja hanya tersedia dua
pasang mangkuk dan sumpit, tak ada hidangan,
tak ada nasi. Kelihatannya santap malam kali ini
hanya disediakan untuk Yap Kay dan Onglosiansing
berdua.
Karena tuan rumah telah memperlihatkan
senyuman ramahnya, tentu saja Yap Kay tak
dapat bersikap acuh. Maka dia pun ikut tertawa,
sambil tertawa duduk berhadapan dengan orang
tua itu.

Hidangan belum juga tersaji, mungkin harus
menunggu hingga kedatangan sang tamu. Dan
kini Yap Kay telah menempati posisinya, apakah
hidangan boleh mulai disajikan?
Ketika Ong-losiansing menggapai sambil
bertepuk tangan tiga kali, Yap Kay pun
mendengar suara langkah manusia bergema
sambil menyajikan hidangan.
Tapi begitu hidangan disajikan, Yap Kay
langsung terperanjat. Bukan terkejut karena
hidangan yang disajikan tapi kaget lantaran
tangan yang sedang menyajikan hidangan itu.
Benarkah itu sebuah tangan?
Tegasnya tangan itu bukan tangan manusia,
tapi sepasang tangan berbulu yang memiliki
bentuk seperti tangan manusia.
Begitu Yap Kay berpaling, dia pun dapat
melihat dengan jelas wajah pemilik sepasang
tangan berbulu itu.
Monyet! Ternyata seekor monyet.
Rupanya yang menyajikan hidangan adalah
seekor monyet.
Akhirnya ia berhasil juga melihat seekor
monyet, namun Yap Kay tidak mengira monyet
yang ada di kebun monyet ternyata telah terlatih
hingga begitu hebat.
Setiap monyet menyajikan sepiring hidangan,
mengaturnya jadi sederet dengan sangat teratur,
begitu selesai meletakkan sayur, mereka pun

tersenyum lebih dulu kepada Ong-losiansing
sambil manggut-manggut, kemudian baru
mengundurkan diri dari situ.
Sebagaimana diketahui, monyet terhitung
binatang yang paling ribut dan ramai, tapi
walaupun ada begitu banyak monyet di situ,
ternyata tak terdengar sedikit suara pun, mereka
begitu tenang dan teratur, setiap selesai
menyajikan hidangan segera mundur kembali
dengan teratur.
Bukan saja disiplin mereka bagaikan satu
pasukan pembantu yang sudah terlatih, malahan
cara kerja mereka jauh lebih rapi dan baik
ketimbang pembantu biasa.
Menyaksikan kejadian itu, mau tak mau Yap
Kay tertawa getir.
"Kalau dibilang monyet adalah nenek moyang
manusia, sekarang aku mulai agak percaya,"
katanya kemudian.
"Monyet memang jenis binatang paling pintar di
antara sekian banyak jenis hewan, bukan saja
mereka pandai meniru gerak-gerik manusia, cara
berpikir serta tingkah-laku mereka pun mirip
manusia," Ong-losiansing menjelaskan, "coba kau
kumpulkan satu kelompok monyet di satu tempat
yang sama, maka perbuatan mereka yang paling
pertama adalah perebutan kekuasaan."
"Berebut menjadi raja monyet?"

"Benar, bukankah sejak dilahirkan manusia pun
sudah mulai melakukan perebutan dan
pertikaian?"
"Ah, itu hanya terjadi pada segelintir orang,"
protes Yap Kay tidak s epaham.
"Bukan hanya segelintir, tapi hampir semua
manusia itu begitu. Hanya saja tujuan pertikaian
mereka berbeda."
Setelah menuang secawan arak, Ong-losiansing
melanjutkan, "Ada yang bertikai untuk berebut
kekuasaan, harta kekayaan, wanita, usaha
dagang, kedudukan bahkan ada pula yang
berebut hak hidup."
"Ada satu lagi, ada juga yang berebut karena
emosi dan gengsi", Yap Kay menambahkan sambil
tertawa.
"Betul. Oleh sebab itu tak ada manusia yang
tidak mulai berebut sejak dilahirkan. Begitu
dilahirkan, bukankah mereka mulai berjuang
mempertahankan hidup? Kaum pedagang matimatian
bekerja, banting tulang, memeras
keringat, bukankah tujuannya untuk
memperebutkan uang dan harta? Para penjudi
mati-matian bertaruh, bukankah tujuan nya untuk
meraih kemenangan? Seorang pelajar banting
tulang bersekolah hampir sepuluh tahun,
bukankah tujuannya pun untuk meraih
kedudukan dan posisi."
Ia meneguk secawan arak, kemudian
melanjutkan, "Dan hari ini, kau khusus

mendatangi tempat ini, bukankah tujuannya pun
hanya untuk memperoleh pembuktian?"
"Pembuktian?"
"Pembuktian tentang dongeng yang
mengatakan dalam kebun monyet terdapat
ratusan jenis kera. Masakah kedatanganmu hanya
bermaksud makan malam bersamaku?"
"Bagus, kau memang orang yang suka terus
terang, kita wajib menghabiskan secawan arak."
Bab 7. MONYET MEMETIK ALAT MUSIK
Selembar kertas jendela, walaupun dapat
menahan hembusan angin malam yang dingin,
namun tak dapat membendung rasa dingin yang
merasuk tulang.
Satu-satunya cara untuk mengusir rasa dingin
hanyalah meneguk arak, oleh sebab itu arak
sebotol besar sudah setengah di antaranya
berpindah ke perut Yap Kay.
Ketika dia menghabiskan secawan lagi, Onglosiansing
baru berkata, "Apakah kedatanganmu
hari ini dikarenakan cerita tentang makhluk
berkepala manusia bertubuh monyet yang
terdapat dalam kebun monyet ini?"
"Hal itu hanya salah satu di antaranya," Yap
Kay manggut-manggut. Kemudian sambil
menatap tajam Ong-losiansing, lanjutnya, "Ada
seorang sahabat kecil yang agak bengal dan

nakal, bernama Giok-seng. Apakah dia telah
memasuki wilayah kekuasaanmu?"
Ong-losiansing tidak langsung menjawab
pertanyaan itu, perlahan dia penuhi dulu
cawannya dengan arak, perlahan mengangkat
cawan dan meneguknya dengan sangat lamban,
kelihatan ia sedang putar otak memikirkan
pertanyaan itu.
Ketika isi cawan habis diteguk, baru ia
berpaling ke arah Yap Kay sambil menyahut,
"Percayakah kau pada kata-kataku perkataanku?"
"Percaya."
"Baiklah," kata Ong-losiansing sambil
meletakkan cawannya, "aku tidak tahu."
"Tidak tahu?"
"Benar. Sebab selama beberapa hari
belakangan ini aku tidak berada di kebun
monyet,"
"Kau tidak berada di sini?"
"Walaupun aku menyukai monyet, bukan
berarti monyet bisa datang sendiri kemari," kata
Ong-losiansing sambil tertawa, "oleh karena itu
setiap jangka waktu tertentu, aku pasti akan
keluar rumah, pergi ke berbagai tempat untuk
mengumpulkan monyet."
"Kapan terakhir kali kau pergi meninggalkan
rumah?"

"Sejak tiga bulan lalu, sampai di rumah baru
lima hari lamanya," kata Ong-losiansing sambil
tertawa, "oleh sebab itu apakah sahabat kecilmu
itu pernah kemari atau tidak, aku sama sekali
tidak tahu."
"Mungkinkah di saat kau tak ada di tempat...."
"Tidak mungkin," tukas Ong-losiansing, "andai
terjadi peristiwa semacam itu, aku pasti tahu.
Pembantuku pasti akan memberi laporan
kepadaku."
Karena tuan rumah telah menyangkal, tentu
saja Yap Kay tak dapat berbuat lain kecuali
tertawa.
"Hahaha, berarti si setan nakal itu
bersembunyi di tempat lain?"
Ong-losiansing ikut tertawa, sejenak
kemudian baru ia berkata, "Apakah kau pun
ingin tahu si makhluk berkepala manusia
bertubuh monyet itu sebetulnya asli atau palsu?"
"Bagaimana pun toh aku sudah tiba di sini,
untuk memenuhi rasa ingin tahuku, tentu saja
paling baik kalau bisa membuktikan."
"Setiap orang tentu memiliki perasaan ingin
tahu, hanya saja tidak semua rasa ingin tahunya
bisa terpenuhi."
Sambil tertawa orang tua itu bertepuk tangan
sebanyak tiga kali.
Dalam sangkaan Yap Kay, sebentar lagi akan
muncul kembali sekawanan monyet, maka dia

membelalakkan matanya lebar-lebar dan
menengok ke arah pintu dimana monyet yang
menyajikan hidangan berlalu tadi.
Oleh karena Ong-losiansing sudah setuju untuk
memenuhi rasa ingin tahunya, dia sangka orang
tua itu pasti akan mengundang keluar lagi
kawanan monyet itu dan mempersilakan dia
membuktikan apa benar makhluk itu berkepala
manusia bertubuh monyet.
Belum sempat dia mengajukan pertanyaan,
tiba-tiba terdengar suara alat musik bergema
memecah keheningan.
Irama musik apakah itu? Apakah musik dari
dewa-dewi?
Pernahkah manusia mendengar suara irama
musik seperti ini?
Bila ada semacam irama musik yang dapat
melumerkan perasaan hati manusia, bahkan
dapat membuat tubuh seseorang terlebur menjadi
satu dengan suara musik, seharusnya irama
musik semacam ini pantas disebut irama dewa.
Biarpun munculnya suara musik di saat dan
situasi seperti ini sempat membuat Yap Kay
terperangah, namun dengan cepat ia sudah
terbuai ke dalam alunan irama itu.
Biarpun Yap Kay tidak pandai memetik alat
musik, bahkan tujuh nada dasar pun tidak
dikenal, akan tetapi dia bisa menikmati, bagus
atau buruk pun masih mampu dibedakan.

Irama musik yang bergema secara tiba-tiba itu
mungkin belum terhitung sebagai irama dewa,
tubuh Yap Kay pun belum terlebur jadi satu, tapi
dia merasa hampir mabuk, ia dapat merasakan
nada yang memabukkan.
Bukan mabuk karena arak tapi nalurinya yang
mabuk, irama musik itu jauh lebih memabukkan
daripada arak yang keras.
Walaupun Yap Kay telah berada dalam buaian
irama musik, tapi otaknya berputar terus,
bukankah Ong-losiansing ingin memuaskan rasa
ingin tahunya? Mengapa tidak ia undang keluar
monyet berkepala manusia itu, sebaliknya malah
memperdengarkan irama musik yang merdu?
Apakah menjelang munculnya monyet
berkepala manusia itu harus diiringi dulu dengan
irama musik?
Berpikir sampai di situ, tak tahan lagi Yap Kay
tertawa getir, siapa tahu makhluk berkepala
manusia bertubuh monyet ini memang agak
istimewa, harus diiringi musik dulu baru
tampil....
Memutus permainan musik di tengah jalan
bukan sebuah tindakan yang sopan, selama hidup
Yap Kay tak pernah melakukan perbuatan yang
tak sopan.
Untung saja selama apa pun permainan sebuah
musik, pasti ada pula saatnya untuk berhenti.
Akhirnya permainan musik itu berakhir, namun
suaranya masih menggema di ruangan.

"Walaupun belum terhitung irama surga, paling
tidak masih termasuk musik merdu bukan?" kata
Ong-losiansing tiba-tiba.
"Bukan sekedar irama musik merdu saja,"
sahut Yap Kay sambil tertawa pula.
"Ingin menyaksikan orang yang memetik alat
musik itu?" "Ingin sekali."
Biarpun di mulut mengatakan ingin sekali,
padahal hati kecilnya panik setengah mati.
"Bukankah kau ingin memperlihatkan monyet
berkepala manusia? Kenapa malah dialihkan ke
soal orang yang memainkan alat musik itu?"
Melihat kesungguhan hati tuan rumah, sudah
barang tentu sebagai tamu dia tidak ingin
menampik kebaikan orang, lagi pula apa ruginya
menonton sebentar pemain alat musik itu?
Kali ini Ong-losiansing tidak bertepuk tangan,
dengan tangan kirinya ia tepuk tiga kali sandaran
bangkunya, kemudian Yap Kay pun mendengar
suara gigi roda yang bergesek.
Mengikuti suara gesekan itu, Yap Kay melihat
dinding arah asal suara musik tiba-tiba bergerak
turun ke bawah.
Ketika seluruh dinding telah bergeser ke
bawah, kesan pertama yang terlihat di balik
dinding adalah ada sekelompok anak-anak sedang
bermain alat musik.
Namun ketika dilihat lebih seksama, kembali
Yap Kay berpikir, "Ah, tidak benar. Ternyata

sekelompok monyet yang sedang bermain alat
musik."
Menanti ia dapat melihat lebih jelas lagi, Yap
Kay nyaris menjerit tertahan saking
terperangahnya.
"Monyet apa? Ternyata sekawanan monyet
berkepala manusia." Benar-benar sekawanan
makhluk berkepala manusia bertubuh monyet!
Akhirnya ia saksikan sendiri apa yang selama
ini hanya terdengar lewat dongeng.
Lantas kelompok itu sepantasnya disebut
monyet? Atau kelompok manusia?"
"Apakah mereka adalah... adalah monyet?"
tanya Yap Kay setelah termangu sesaat.
"Mereka memang monyet," senyuman Onglosiansing
kelihatan sangat ramah.
"Lantas kenapa mereka memiliki kepala
manusia?"
"Kepala manusia? Coba kau perhatikan lebih
seksama."
Yap Kay tidak mengerti maksud perkataan
Ong-losiansing, maka kembali ia amati kawanan
makhluk itu.
"Coba perhatikan lebih seksama," Onglosiansing
mengulangi perkataannya sekali lagi.
"Apa yang kau perhatikan?"
"Kepala mereka."

Yap Kay bukannya tak pernah melihat
bentuk kepala manusia, mengapa berulang
kali Ong-losiansing minta padanya
memperhatikan lebih seksama? Apakah pada
bagian kepala manusia makhluk makhluk itu
masih tersimpan rahasia lain?
Biarpun kepala manusia yang berada di
tengkuk kawanan monyet itu nampak jauh lebih
kecil, tapi sudah jelas merupakan kepala
manusia, dilihat dan diperhatikan berulang kali
pun tetap kepala manusia, tak salah lagi!
"Coba dekati mereka," tiba-tiba Ong-losiansing
menyarankan.
Tak usah disuruh pun Yap Kay sudah
melangkah maju dan mendekati kawanan
makhluk itu, tapi begitu tiba di dekat mereka,
rasa bingung dan ragu semakin tebal memancar
dari matanya, mukanya juga penuh diliputi
perasaan sangsi.
Pertama, karena baru pertama kali melihat,
kedua, jaraknya pun terlalu jauh, Yap Kay selalu
menganggap kepala monyet itu termasuk jenis
kepala manusia.
Tapi kini, setelah ia semakin dekat, Yap Kay
baru menemukan bahwa kepala kawanan monyet
itu ternyata hanya bentuknya yang mirip kepala
manusia.
Kepala mereka tetap kepala monyet, cuma
bulunya telah dicukur hingga bersih sehingga

kalau dipandang dari kejauhan, kepala mereka
mirip kepala manusia.
Setelah mengetahui kejadian yang sebenarnya,
tak kuasa lagi Yap Kay tertawa terbahak-bahak.
"Sekarang aku baru paham, ternyata semua isu
memang belum tentu bisa dipercaya, karena
terpengaruh oleh opini yang salah, maka kita
selalu menganggap sesuatu yang mirip menjadi
hal yang benar."
Lalu katanya lagi, "Coba kalau aku tidak
mendengar dulu tentang dongeng kepala manusia
bertubuh monyet, ditambah lagi sikap dan gerakgerikmu
selama ini sangat rahasia, mungkin aku
tak bakal tertipu oleh kawanan monyetmu itu."
"Monyet memang nenek moyang manusia, jadi
bila wajah seorang dipenuhi bulu, bukankah dia
pun akan kau sebut seekor monyet?" sahut Onglosiansing
sambil memenuhi kembali cawannya
dengan arak.
"Biar bukan pun paling tidak wajahnya mirip
monyet."
"Karena itulah kawanan monyet yang kau
saksikan sekarang sesungguhnya adalah monyet
berkepala manusia. Selama ini banyak dongeng
yang tersiar tentang tempat ini, hal ini
disebabkan jarak antara masyarakat dengan kami
kelewat jauh."
Setelah berhenti sejenak dan meneguk
secawan arak, kembali katanya, "Seandainya aku
sering berkunjung dan bertandang ke rumah

penduduk, bila aku pun tidak kelewat menutup
diri dari pergaulan, aku percaya isu yang beredar
di luaran pun tak bakal banyak."
Menyebar Isu memang watak asli setiap
manusia, watak yang dibawa sejak lahir.
Menyusul dinaikkannya dinding pemisah,
kawanan monyet itu pun terasing kembali dari
keramaian duniawi.
Sementara itu Yap Kay telah kembali ke tempat
duduknya, duduk sambil meneguk arak dan
tertawa.
"Mungkin hanya manusia kreatip macam Onglosiansing
yang punya pikiran untuk mencukur
kelimis rambut di wajah kawanan monyet itu,"
katanya.
"Aku hanya berpikir, jika memang mereka ingin
belajar bertingkah sebagai manusia, sepantasnya
bila wajah mereka pun dibikin sedikit lebih mirip
manusia."
Tiba-tiba Yap Kay mengalihkan topik
pembicaraan, tanyanya, "Ong-losiansing,
bagaimana pendapatmu tentang kelompok
manusia seperti Be Khong-cun?"
"Be Khong-cun?" tanya Ong-losiansing
melengak, "maksudmu Be Khong-cun dari Ban
be tong?"
"Benar."
Ong-losiansing tidak menanggapi, dia
termenung sejenak baru perlahan-lahan

menyahut, "Walaupun aku sangat memahami
tentang monyet, sayang tidak mengerti tentang
manusia."
Sekali lagi ditatapnya wajah Yap Kay, kemudian
ujarnya lebih jauh, "Walaupun aku sempat
bertemu Be Khong-cun dua-tiga kali, namun
sayang aku tak terlalu memahami tabiat serta
sepak terjangnya."
"Lantas kenapa kau bersedia merawat
putrinya?" tanya Yap Kay sambil menatap tajam
wajahnya.
"Putrinya?" perasaan sangsi sempat melintas di
wajah Ong-losiansing, "sejak kapan aku
merawat putrinya?"
"Aku mendengar pengakuannya dengan mata
kepala sendiri, dia bilang pernah sepuluh tahun
berdiam di sini."
"Ah, dia bukan putri Be Khong-cun," sanggah
Ong-losiansing, "gadis itu bernama Pek Ih-ling,
putri Pek Thian-ih."
"Oya? Aku masih mengira dia adalah Be Hongling,
putri Be Khong-cun. "
Sinar mata Yap Kay tak pernah beralih dari
wajah Ong-losiansing, desaknya lagi, "Sungguh
aneh, kenapa paras muka mereka berdua begitu
mirip? Pada hakikatnya kedua orang itu
mirip sekali seperti satu orang yang sama."
"Aku belum pernah bertemu dengan putri Be
Khong-cun, karena itu tidak tahu seberapa mirip

wajah mereka berdua. Aku hanya tahu satu hal,
Pek Ih-ling adalah seorang gadis yang baik."
Kemudian sambil balas menatap Yap Kay,
katanya lebih jauh, "Oleh karena itu calon suami
yang dipenujui harus kuperiksa dulu identitas
serta sepak-terjangnya dengan seksama."
"Tentu saja harus begitu," sekali lagi Yap Kay
tertawa tergelak, "untung saja bukan aku yang
terpilih, kalau tidak, Ong-losiansing pasti akan
sangat kecewa."
"Kenapa?"
"Sebab aku pasti tak lulus dari seleksimu,
bukan saja aku kelewat miskin, bahkan tak punya
prinsip hidup, lelaki jelek macam aku mana
pantas mempersunting seorang gadis baik macam
dia?"
"Oya? Benarkah kau adalah manusia semacam
itu?"
"Tanggung tak bakal salah. Satu-satunya
kelebihan yang kumiliki adalah aku sangat pandai
melihat diriku sendiri, oleh karena itu aku tak
pernah ingin menjadi seekor katak buduk yang
merindukan rembulan."
"Mana mungkin terdapat katak buduk macam
kau?"
Mendengar perkataan itu, kembali Yap Kay
tertawa. Dia memang selalu percaya diri,
khususnya terhadap kelebihan sendiri. Sekalipun
belum terhitung sebagai lelaki paling tampan di

kolong langit, namun ia tak bisa lari dari predikat
sebagai lelaki paling memiliki daya tarik.
Baru saja Yap Kay meneguk araknya,
mendadak ia tangkap suara guduh, belum sempat
ia melacak sumber kegaduhan, tiba-tiba
dilihatnya ada seekor monyet sedang melompat
naik ke atas meja, lalu berlarian di atas meja itu.
"Ada apa dengan monyet itu?" tanya Yap Kay
segera dengan keheranan.
"Mungkin saja sifat binatangnya kambuh."
Kembali Yap Kay berpaling mengawasi monyet
yang berada di atas meja itu, siapa tahu baru saja
ia berpaling, tiba-tiba terlihat monyet itu sudah
menerkam Yap Kay dengan garang.
Cepat dia mengegos ke samping, biarpun
wajahnya berhasil lolos dari cakaran monyet itu,
namun tak urung cawan yang berada dalam
genggamannya kena diterjang kaki monyet tadi
hingga terlepas jatuh dan hancur berantakan.
Cepat Yap Kay menarik kembali tangannya,
ketika berpaling lagi ke arah monyet itu, tampak
hewan tadi sudah menerobos lewat daun jendela
dan melarikan diri.
"Apakah kau terluka?" tanya Ong-losiansing
penuh rasa kuatir.
"Ah, tidak apa-apa," sahut Yap Kay setelah
memeriksa tangan sendiri, "hanya ujung jariku
tersayat sedikit kena pecahan cawan."
"Parahkah mulut lukamu?"

"Mulut luka tidak masalah, hanya sekarang
malam semakin larut, sudah kelewat lama aku
mengganggumu."
Yap Kay bangkit berdiri lalu menambahkan,
"Aku berharap lain waktu masih ada kesempatan
untuk berbincang lagi denganmu."
"Aku akan selalu menanti."
Sepeninggal Yap Kay, Ong-losiansing masih
tetap duduk di tempat semula, sama sekali tak
bergerak. Senyuman ramahnya ikut lenyap tak
berbekas, sebagai gantinya mimik muka itu
diliputi pikiran yang serius.
Lewat lama kemudian baru ia berseru,
"Masuk."
"Baik," dari luar pintu terdengar seseorang
menyahut.
Go Thian mendorong pintu, melangkah masuk,
langsung menuju ke samping Ong-losiansing dan
dengan tenang menanti perintahnya.
Dengan sangat hati-hati Ong-losiansing
mengumpulkan pecahan cawan itu, lalu dengan
serius mengawasi bekas darah yang tercecer,
bekas darah yang ditinggalkan Yap Kay sewaktu
tersayat pecahan cawan tadi.
"Cepat ambil contohnya dan lakukan
pemeriksaan," kata Ong-losiansing sambil
menyodorkan pecahan cawan yang berlepotan
darah itu ke tangan Go Thian, "coba periksa
darahnya termasuk golongan darah yang mana."

"Baik!"
"Beritahu kelompok darah, suruh mereka
menambah stok darah dari golongan yang sama,"
titah Ong-losiansing lagi.
"Baik!"
Ong-losiansing berpikir sejenak, lalu tanyanya
lagi, "Sekarang bagaimana keadaan monyet
nomor tujuh?"
"Sedikit lebih normal, dia sudah tidak berusaha
menghindari pertemuannya dengan nona Kim-hi."
Tampaknya Ong-losiansing merasa sangat
puas, dia mengangguk berulang kali.
Bab 8. PERTARUNGAN TAK PERLU
DISESALI
Fajar kembali menyingsing.
Di tengah sorotan cahaya fajar, warna hijau
gelap perbukitan di kejauhan sana tampak mulai
berubah jadi hijau muda, air segar mengalir
hingga ke sana, mengalir sangat lambat.
Biarpun hembusan angin masih terasa dingin,
namun membawa bau harum bunga yang
semerbak, aneka bunga yang tumbuh di seputar
perbukitan sudah mulai mekar, bunga yang
berwarna-warni seolah mengelilingi dan memeluk
kencang rumah kayu itu.
Pagi sekali Pho Ang-soat sudah bangun, ia
sudah memotong kayu bakar di tengah halaman.

Walaupun tangannya sudah terbiasa
menggenggam golok, namun ketika membelah
kayu bakar, gerakannya tetap lincah, cekatan dan
sangat indah.
Dengan ujung kaki ia mengijak kayu itu lalu
tangan diayun, kapak pun jatuh persis di atas
kayu, "Kraak!", batang kayu yang besar pun
terbelah jadi dua bagian.
Di tengah keremangan fajar, matanya seperti
warna perbukitan nun di depan sana, hijau
kelabu, terasa begitu jauh, begitu dingin.
Mengapa matanya selalu tampak begitu jauh?
Begitu dingin? Dlihat pada saat dan keadaan
seperti apa pun? Mungkinkah hanya orang yang
pernah berulang kali mengalami perjuangan mati
hidup atau mengalami permainan perasaan
antara cinta dan dendam, pandangan matanya
baru nampak begitu jauh, begitu dingin?
Mayat jagoan yang tewas semalam telah
diangkut pergi, darah pun telah berbaur dengan
tanah, membeku jadi satu. Langit dan bumi masih
terasa begitu tenteram, begitu damai. Tapi Pho
Ang-soat sadar, sejak hari ini jangan harap
mereka akan merasakan lagi kehidupan yang
aman damai seperti itu.
Dia bukan termasuk orang yang takut mati,
namun menghadapi ancaman bahaya yang
berada di depan mata, sedikit pun dia tak punya
pegangan ataupun gambaran, yang lebih penting
lagi adalah ia mulai merasa dirinya mulai

merindukan lagi kehidupan penuh kedamaian
seperti yang baru dialaminya selama dua hari
terakhir.
Sebuah kehidupan normal dari sebuah
keluarga.
Hidup sebagai seorang pengembara sering
terjerumus dalam situasi bahaya, kancah
pertarungan dan ancaman nyawa, kehidupan
normal boleh dibilang merupakan sesuatu yang
langka, mewah dan susah diraih.
Walaupun terkadang di saat mendusin dari
tidur di tengah malam buta, mereka pun
membayangkan suatu kehidupan yang normal,
tapi biasanya mereka tak akan berani
melakukannya di dalam kenyataan.
Biarpun kehidupan normal dapat
mendatangkan kegembiraan dan kebahagiaan,
namun akan melumat dan menghancurkan
kemampuan alam mereka yang luar biasa.
Banyak manusia di dunia ini mirip binatang
buas, memiliki kemampuan luar biasa, memiliki
naluri membunuh yang tinggi, memiliki insting
yang tajam, seakan setiap saat dapat mengendus
datangnya mara-bahaya.
Biarpun kenyataan mereka tak melihat apaapa,
tidak mendengar apa-apa, tapi di saat
ancaman bahaya tiba, mereka selalu dapat
berkelit secara ajaib, menghindar sesaat sebelum
datangnya ancaman itu.

Bila orang semacam ini memangku jabatan,
mereka pasti akan menjadi seorang pembesar
luar biasa, bila berperang pasti akan menjadi
panglima yang sering meraih kemenangan, bila
terjun ke dalam dunia persilatan, mereka pun
tentu akan menjadi Enghiong yang malang
melintang di kolong langit.
Cukat Liang, Koan Tiong. Mereka semua adalah
jenis manusia semacam ini, karena itulah mereka
mampu memikirkan keselamatan negara dan
menjamin kesejahteraan seluruh rakyat.
Han Sin, Gak Hui, Li Jing, mereka pun termasuk
jenis manusia seperti ini, karena itulah
kemampuan perang mereka luar biasa, selalu
meraih kemenangan dan serangannya susah
dibendung.
Li Sun-hoan, Coh Liu-hiang, Thiat Tiong-tong,
Sim Long, Nyo Cing, Siau Cap-it-long. Mereka pun
tergolong manusia seperti ini, karena itulah
mereka dapat malang melintang dalam Kangouw,
meninggalkan nama harum dimana-mana, walau
sudah lewat lama pun nama besar mereka tetap
dikenang sebagai jagoan yang hebat.
Kemampuan yang luar biasa itu dinamakan
indra keenam.
Kehidupan berkeluarga justru merupakan
pembunuh paling hebat untuk mematikan indra
keenam, itulah sebabnya kebanyakan pengelana
enggan atau tak berani mencicipi kehidupan

sebuah keluarga, sebab mereka harus tetap hidup
dalam dunia persilatan.
Tatkala Pho Ang-soat menyadari dalam hati
kecilnya telah muncul ingatan seperti itu, dia pun
sadar nyawanya setiap saat kemungkinan dapat
musnah, namun dia tak menyangkal kalau
kehidupannya selama beberapa hari ini adalah
saat yang paling tenang dan menggembirakan
sepanj ang hidupnya.
Daripada hidup menderita sepanjang masa,
mengapa tidak menikmati kehidupan yang layak
selama beberapa hari?
Kehidupan layak? Kehidupan harmonis? Selama
beberapa hari?
Bila dalam perjalanan hidup orang bisa
menikmati kehidupan harmonis selama beberapa
hari, sesungguhnya hal itu sudah lebih dari cukup.
Itulah sebabnya walaupun Pho Ang-soat tahu
hari ini bakal bertemu mara-bahaya, bahkan bisa
jadi akan merenggut nyawanya, namun ia sama
sekali tidak merasa ngeri ataupun takut.
Seperti hari-hari yang lalu, dia tetap bangun
pagi, membelah kayu bakar dan menunggu
sarapan lezat yang disiapkan Hong-Iing.
Sarapan? Mungkinkah sarapan ini merupakan
sarapan terakhir?
Cahaya matahari masih tetap cerah, secerah
ribuan tahun yang lalu, aneka bunga tetap mekar,
semekar ribuan tahun berselang, manusia pun

tetap hidup, seperti kehidupan ribuan tahun yang
lewat.
Hanya satu yang berbeda, perasaan hati.
Angin berhembus, dedaunan kering pun
berguguran, meski masih musim panas, tetap ada
daun yang gugur, seperti ada pula daun yang
tumbuh di musim dingin.
Daun masih berguguran, selembar, dua lembar,
tiga lembar... semuanya berguguran ke tanah.
Lambat-laun sinar matahari makin tinggi,
keliningan yang tergantung di emper rumah
berdenting mengikuti hembusan angin. Hong-ling
yang terlelap tidur dalam kamar pun telah turun
dari pembaringan, berjalan keluar rumah, menuju
ke bawah keliningan di emperan bangunan.
"Pagi," sapa Hong-ling lembut.
"Hari ini kau terlambat bangun," sahut Pho
Ang-soat hambar.
"Cahaya matahari sungguh indah," gumam
Hong-ling lagi setelah melihat sekelilingnya,
"hembusan angin pun sangat lembut."
"Hari ini pun merupakan hari yang cocok untuk
membunuh orang," tiba-tiba Pho Ang-soat
mengucapkan perkataan itu.
Hong-ling sama sekali tak terkejut, dia hanya
tertawa manis.
"Aku percaya."

Kemudian setelah berhenti sejenak,
tambahnya, "Siapa pun yang bakal datang kemari
hari ini, aku tetap percaya kau pasti mampu
mengalahkan mereka."
Mendadak Pho Ang-soat berhenti membelah
kayu bakar, perlahan bangkit, mendongakkan
kepala dan menatap Hong-ling dengan matanya
yang hitam tapi sayu. Kemudian dengan nada
sedingin hembusan angin salju katanya, "Bila
aku mati, bukankah keinginanmu terkabul?"
"Benar," jawab Hong-ling tanpa berubah muka,
senyumannya masih amat mesra, "tapi bila aku
sendiri yang menghabisi nyawamu."
Kemudian setelah tertawa lagi, lanjutnya,
"Masa kau lupa, aku datang kemari mengikutimu
tak lain karena aku ingin membunuhmu dengan
tanganku sendiri."
"Aku tidak lupa."
"Nah, bagaimana mungkin aku bisa gembira
jika kau mati di tangan orang lain?"
"Benarkah begitu?"
"Maka dari itu aku percaya, siapa pun yang
bakal datang hari ini, kau pasti mampu
mengalahkan mereka, sebab aku pun tahu, kau
tak bakal melakukan perbuatan yang bisa
menimbulkan ketidak senangan hatiku."
"Benar, tak mungkin," Pho Ang-soat
mengakuinya.

"Aku tahu," senyuman Hong-ling semakin
manis, "maka sarapan pun telah kusiapkan."
"Nanti saja aku baru bersantap."
"Kenapa?"
"Karena aku takut ada orang yang bakal
berebut denganku." Biarpun ucapan itu ditujukan
kepada Hong-ling, namun sinar mata Pho Angsoat
telah dialihkan ke pintu di belakang
tubuhnya.
Cepat Hong-ling mengalihkan sinar matanya
mengikuti arah yang dipandang pemuda itu,
terlihatlah ada tujuh orang sedang berjalan
masuk ke dalam halaman dengan langkah
perlahan.
Sinar matahari bertambah cerah, aneka bunga
semakin mekar dan menyiarkan bau harum, angin
masih berhembus, daun pun masih bergoyang,
semua hawa dingin yang mencekam semalam
lambat-laun bertambah larut bersama
meningginya sang surya.
Tapi Pho Ang-soat merasa suhu di sekelilingnya
telah merosot turun hingga ke titik beku, sebab ia
telah melihat wajah orang pertama yang berjalan
paling depan.
Orang itu mempunyai bentuk muka panjang,
seperti muka kuda, wajahnya dipenuhi bisul
sebesar kacang kedelai, matanya juga dipenuhi
garis merah darah.

Ada orang yang sejak dilahirnya sudah
bertampang bengis dan jahat, dia adalah salah
satu di antaranya.
Sesudah memasuki halaman rumah dan
memandang sekejap sekeliling tempat itu,
gumamnya, "Sebuah tempat yang indah,
sungguh indah."
Di tengah halaman terdapat sebuah akar pohon
yang besar, orang pertama tadi langsung duduk
di sana, begitu duduk, dari belakang tubuhnya ia
mengeluarkan sebuah gunting besar, lalu
perlahan-lahan menggunting kuku jarinya.
Pisau gunting itu amat besar, beratnya
mencapai tiga puluh lima kati, namun dalam
genggamannya benda itu nampak begitu ringan,
seringan rambut sang kekasih.
Pho Ang-soat kenal orang ini, panggilannya
amat sederhana, orang menyebutnya sebagai
Gunting satu kali, Cian It-ji.
Setiap korban yang terjatuh ke tangannya,
maka seperti kuku di jari tangannya, sekali,
gunting urusan pun beres.
Di antara pembunuh bayaran tesohor
dalam dunia persilatan, dialah pembunuh
yang paling banyak menghabisi nyawa
korbannya, setiap kali membunuh, dia
selalu melakukan pembantaian mendekati
gila, begitu melihat darah, dia pun langsung
kalap, kalap melakukan pembunuhan, kalap
menjilat darah.

Orang kedua perlahan-lahan berjalan masuk,
orang ini berwajah hijau tua, hidungnya
berbentuk paruh elang, matanya liar bagaikan
mata burung pemakan bangkai, dalam tangannya
tergenggam sebilah pedang.
Cahaya pedang persis warna mukanya,
membiaskan cahaya hijau tua, hijau daun yang
mulai membusuk. Sepintas dia memang tak
terlihat ganas atau buas, tapi memberi kesan
suram dan menggidikkan hati.
Bukankah suram terkadang memberi kesan
jauh lebih buas, jauh lebih ganas dan
menakutkan?
Di tengah halaman tumbuh sebatang pohon,
begitu masuk ke dalam halaman, dia pun
langsung merebahkan diri di bawah pepohonan
yang rindang itu.
Sesudah berbaring baru ia menghela napas
sambil bergumam, "Sebuah tempat yang sangat
indah, terhitung hokki juga bila dapat mati di
tempat seperti ini."
Pho Ang-soat tidak kenal orang itu, tapi dia
cukup mengetahui tabiatnya, orang ini selama
hidup paling benci cahaya matahari.
Orang ini berjuluk Im hun kiam (si Pedang
sukma suram) Sebun Say.
Tidak banyak orang persilatan mampu
mengundangnya, apalagi menyewanya sebagai
pembunuh bayaran.

Bayaran yang diminta untuk tugasnya sangat
tinggi, tentu saja amat tak bernilai. Dia jarang
membunuh orang, bahkan jarang sekali turun
tangan sendiri, semua korban yang harus
dibunuh, kebanyakan sudah tidur abadi dalam
peti mati.
Setiap kali membunuh, dia enggan ada orang
lain menonton dari samping, karena terkadang
dia sendiri pun menganggap cara yang dipakai
untuk menghabisi nyawa orang kelewat sadis,
kelewat kejam.
"Bila kau ingin membunuh seseorang,
lakukanlah dengan cara yang paling hebat, agar
korbanmu tak akan berani mencari balas walau
telah berubah jadi setan gentayangan pun."
Itulah kata pertama yang sering diucapkan
Sebun Say.
Orang ketiga dan orang keempat masuk
bersama, siapa pun pasti mengetahui mereka
berdua adalah saudara kembar, bukan
saja raut wajahnya mirip, bahkan
perawakannya, tinggi pendek kurus gemuk pun
tak berbeda, mereka berdua sama-sama
memelihara kumis yang rapi.
Setelah masuk ke dalam halaman dan
memperhatikan sekejap seputar sana, serentak
kedua orang itu pun berseru, "Tempat yang
sangat bagus, tempat yang benar-benar bagus,
memang sangat hokki bila dapat mati di tempat
seperti ini!"

Tentu saja Pho Ang-soat kenal mereka berdua,
memang jarang umat persilatan yang tidak kenal
sepasang saudara kembar itu.
Auwyang Ting, Auwyang Tang, "Ting Tang
saudara kembar, makan daging sekaligus
tulangnya".
Orang kelima terlihat sangat terpelajar,
wajahnya putih bersih, orangnya halus dan
ramah, kumis dipelihara sangat bersih
dan beratur, dia berjalan masuk sambil
menggendong tangan, bukan saja wajahnya
dihiasi senyuman, sampai sorot mata
pun menandakan senyuman.
Dia tak bicara, tak nampak menggembol
senjata, dandanannya tak beda dengan seseorang
yang sedang datang menyambangi sahabat
karibnya.
Pho Ang-soat tidak kenal orang ini, tapi begitu
melihat gerak-geriknya, tiba-tiba saja terasa
hawa dingin yang menggidikkan muncul dari
dasar telapak kakinya dan tembus hingga ke hulu
hati.
Orang itu hanya berdiri di halaman dengan
senyum di kulum, tidak gelisah, tidak terburuburu,
tidak pula berbicara, seakan baginya mau
menunggu sampai tiga hari tiga malam pun tidak
menjadi masalah.
Seorang pelajar yang begitu halus, lembut dan
ramah penuh sopan-santun, mungkinkah dia pun
seorang pembunuh?

Pho Ang-soat yakin, sekalipun keempat orang
pertama bergabung jadi satu pun belum tentu
kemampuan mereka mampu mengalahkan orang
terpelajar ini.
Mengamati gerak-geriknya yang halus penuh
sopan-santun, mendadak Pho Ang-soat teringat
akan sesuatu.
"Lembut, sangat lembut, lambat, sangat
lambat".
Enam huruf itu melambangkan seseorang,
melukiskan tindakan seseorang waktu membunuh
korbannya, bukan saja amat lembut bahkan
sangat lambat.
Konon sewaktu membunuh orang, dia
melakukannya dengan sangat lambat, bahkan
lambat sekali.
Menurut berita, suatu ketika ia pernah
menghabiskan waktu hampir tiga hari lamanya
hanya untuk membunuh seseorang, kabarnya tiga
hari kemudian korbannya baru putus nyawa,
namun siapa pun tak mengenali bentuk badannya
lagi, bahkan orang sempat ragu benarkah dahulu
dia adalah manusia.
Tapi semuanya itu hanya kabar burung, tidak
banyak orang yang percaya, apalagi yang pernah
menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Tapi Pho Ang-soat percaya, bila di dunia
persilatan benar-benar terdapat manusia yang
"Lembut, sangat lembut, lambat, sangat lambat",
maka kemungkinan besar orang itu adalah lelaki

lemah lembut yang kini telah berdiri di
hadapannya itu.
Sinar matahari semakin terang memancarkan
cahayanya.
Kian Tan, si Gunting satu kali masih
menggunting kuku dengan tenang, Sebun Say
masih berbaring di bawah pepohonan, jangankan
bergerak, mendongakkan kepala pun tidak.
Sepasang saudara kembar Ting Tang masih
duduk di pinggir pagar, mengawasi bunga liar
yang bertebaran di atas tanah lumpur.
Dalam pandangan mereka, Pho Ang-soat sudah
dianggapnya sebagai orang mati.
Karena mereka tidak bergerak, tentu saja Pho
Ang-soat pun tidak bergerak, apalagi Hong-ling,
dia tetap berdiri tenang di pinggir pintu sambil
mengawasi gerak-gerik seputar halaman.
Begitulah kedua belah pihak sama-sama tak
bergerak, sama-sama tidak melakukan tindakan
apa pun.
Entah berapa lama, akhirnya terdengarlah
suara orang tertawa tergelak, menyusul tampak
dua orang lelaki berjalan masuk.
Mereka adalah Hoa Boan-thian dan Hun Caythian.
Setelah memandang sekejap sekeliling tempat
itu, Hoa Boan-thian baru maju ke depan dan
menyapa Pho Ang-soat dengan hangat dan akrab.
"Selama dua hari ini kalian tentu sibuk sekali!"

"Masih baikan," jawab Pho Ang-soat dingin.
"Semalam dapat tidur nyenyak?" "Tidur nyenyak,
makan kenyang."
"Siapa bisa makan enak tidur nyenyak, dia
memang tergolong orang hokki," kata Hoa Boanthian
sambil tertawa, "sayangnya orang yang
banyak hokki seringkah berumur pendek."
"Oya?"
Sambil tertawa, kembali Hoa Boan-thian
menatap Pho Ang-soat, ujarnya lebih lanjut, "Aku
lihat kau bukan terhitung orang yang berumur
pendek, tapi heran, kenapa selalu suka
melakukan perbuatan yang cenderung membuat
umur sendiri jadi pendek."
Pho Ang-soat tidak menjawab, ia hanya
menatap dingin lawannya.
"Inginkah kau menjadi orang yang hokki dan
berumur panjang?" tanyanya lagi.
"Oya? Lalu bagaimana dengan dia?" Pho Angsoat
tertawa dingin.
"Dia?" Hoa Boan-thian melirik Hong-ling
sekejap, "kalau dia tergantung dirimu."
"Maksudmu?"
"Jika kau tak ingin disusahkan beban lain,
kujamin dirimu dapat pergi dari sini dengan bersih
dan gembira," kata Hoa Boan-thian sambil
tertawa, "bila kau ingin menyimpan cewek cakep,
maka kujamin dalam Ban be tong pasti akan kau
dapatkan rumah emas."

"Benarkah begitu?"
"Benar."
Dengan sinar mata sedingin salju Pho Ang-soat
menatap sekejap wajah setiap orang yang hadir
di situ, akhirnya berhenti di wajah Hoa Boanthian,
katanya, "Jadi kalian bersusah-payah
mengerahkan begitu banyak waktu dan tenaga,
tujuannya hanya menginginkan aku kembali ke
Ban be tong?"
"Sam-lopan kuatir kau kedinginan di luar dan
menderita lapar, " ucap Hoa Boan-thian sambil
tertawa, "jadi kuharap Pho-heng bisa memaklumi
niat baik Sam-lopan."
"Aku tahu."
Begitu selesai berkata, tubuh Pho Ang-soat
telah melambung di udara, golok hitam pun telah
dilolos dari sarungnya.
Orang yang diserang bukan Hoa Boan-thian,
bukan pula orang terpelajar yang lemah lembut,
melainkan Kian Tan si Gunting satu kali yang
berada paling jauh darinya.
Orang yang wajahnya buas dan galak biasanya
memiliki hati yang lemah dan penakut, terutama
Kian Tan itu.
Dia memang buas, dia memang galak, senjata
andalan pun sebuah gunting besar. Tapi semua
itu tak lain untuk menutupi perasaan takut di hati
kecilnya.

Dari tujuh orang yang hadir sekarang, dapat
dipastikan dialah yang memiliki ilmu silat paling
lemah.
Dalam hal ini tak disangkal penilaian Pho Angsoat
memang sangat tepat, di saat tubuhnya
belum mencapai Kian Tan, ia telah menyaksikan
perasaan ngeri dan takut yang terpancar keluar
dari balik mata orang itu.
Jeritan ngeri nyaris terjadi berbareng dengan
munculnya suara desingan golok, dimana cahaya
berkelebat, sebuah mulut luka yang menganga
telah muncul di atas kening Kian Tan, menyusul
kemudian sinar ngeri yang terpancar dari balik
matanya pun lambat-laun semakin membuyar
dan hilang.
Ketika berada dalam posisi dimana jumlah
musuh lebih banyak dari kekuatan kita,
seharusnya sasaran pertama yang harus diserang
adalah orang yang dianggap paling tangguh di
antara musuh-musuhnya.
Anda sedang membaca artikel tentang Kilas Balik Merah Salju [Serial Pisau Terbang Terakhir] dan anda bisa menemukan artikel Kilas Balik Merah Salju [Serial Pisau Terbang Terakhir] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/kilas-balik-merah-salju-serial-pisau.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Kilas Balik Merah Salju [Serial Pisau Terbang Terakhir] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Kilas Balik Merah Salju [Serial Pisau Terbang Terakhir] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Kilas Balik Merah Salju [Serial Pisau Terbang Terakhir] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/kilas-balik-merah-salju-serial-pisau.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar