Sukma Pedang 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 12 September 2011

Sukma Pedang

Karya Gu Long (Khu Lung)
Dengan Judul Asli : Huan Hua Xi Jian Lu
Atau Judul Baratnya : Sword Bathed in Flowers / Spirit of the Sword

NB : Ternyata cerita ini sama dengan cerita Misteri Kapal Layar
Panca Warna, tetapi lain penterjemahnya, jadi inti cerita keduaduanya
sama, tetapi beda gaya dan alur cerita.

Jilid 01
Adakah manusia di dunia ini yang belum pernah melihat laut?
Tetapi ada berapa gelintir manusia yang pernah melihat lautan
sedang mengganas, ombaknya menggulung tinggi, suaranya
menggetarkan jantung?
Kabut menebal... menghalangi pandanganku, ini adalah sebuah
pemandangan yang jarang terjadi, badai mengamuk,
menghembuskan angin yang bergulung-gulung.
Dalam cuaca yang begitu mengerikan, mungkinkah ada benda
yang dapat mengapung di atas lautan? Nyatanya... memang ada.
Ombak yang menerpa tinggi tidak sanggup merobohkannya, tubuh
orang yang satu ini berdiri tegak, seakan sebuah batu karang besar
yang disandarkan pada tembok yang kokoh.
Mungkinkah yang terlihat ini seorang manusia? Kadang-kadang
bila melihat kejanggalan seperti ini, kalau anda mengatakan bahwa
itu pasti hantu... orang yang percaya mungkin akan lebih banyak.
Apa yang terpampang di hadapan kita sekarang memang
demikian adanya. Orang ini berjalan selangkah demi selangkah
menuju tepi pantai. Ombak yang tinggi menghempas bagian
kepalanya dari belakang. Namun langkah kakinya masih tetap tegar!
Orang ini mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya yang
panjang meriap-riap menutupi sebagian wajah dan menjuntai di
bahunya, Di tangannya tergenggam sebatang pedang yang
berwarna hitam pekat.
Awal bulan empat... angin laut selalu bertiup kencang, Dia tidak
memperdulikannya, tangannya menggenggam pedang itu erat-erat
Membuat siapa pun yakin, seandainya ombak dapat menggulungnya,
pedang itu akan tetap menempel di tangannya dan tangannya pun
tidak akan lepas dari pedang itu.

Di antara pasir yang menebar di pesisir pantai, terdapat banyak
jejak kaki. Dan jarak antara jejak kaki yang satu dengan yang
lainnya persis sama.
Setelah menempuh pesisir pantai yang panjang, di ujung jalan
adalah sebuah pelabuhan, jejak kaki orang berbaju hitam yang
sangat teratur itu terus memanjang sampai pelabuhan tersebut,
jejak kaki itu terlihat samar-samar, tapi mengapa langkah kakinya
tidak mengeluarkan suara sedikit pun? Ada orang yang mengatakan
bahwa setan atau pun hantu tidak bisa meninggalkan jejak.
Tapi berjalan di atas pasir tanpa mengeluarkan suara sedikit pun,
apakah ada manusia yang sanggup melakukannya? Bila kita bertemu
dengan orang yang suka berdebat, entah persoalan ini akan
diributkan sampai berapa lama baru ada jawaban yang pasti....
Sebuah rumah di dekat pelabuhan telah menyalakan penerangan
Sebuah lampu yang terbuat dari kristal menghias di atas sebuah
meja pualam yang berbentuk aneh, membuat suasana dalam
ruangan itu terasa menyeramkan.
Di samping lampu terdapat setumpuk uang emas dan sekotak
mutiara, Hek I Jin duduk di meja itu. Orang ini tampaknya sangat
tegar, angin yang mengganas di tengah lautan saja tidak dapat
merubuhkannya.
Bila orang itu berdiri, tubuhnya bagaikan sebatang tiang baja
yang ditanam dalam-dalam di bawah tanah. Apa pun tidak
menggerakkan tubuh itu....
Pada saat itu, ada seorang manusia yang mendatangi dari balik
pelabuhan, Kemunculannya yang tiba-tiba itu tetap tidak membuat
Hek I Jin bergeming, sepertinya kedatangan orang ini sudah dapat
diduga olehnya.
Bagaimana manusia yang sedang melangkahkan kaki, bila kaki kiri
sudah diayunkan ke depan maka tidak dapat tidak, kaki yang kanan
harus menyusul dari belakang.

Manusia yang tiba-tiba muncul itu tampaknya lebih tinggi kurus
dari yang pertama. Di bawah cahaya lampu, wajah orang itu
sungguh tidak sedap dipandang, namun bibirnya justru sedang
mengembangkan sebuah senyuman.
Dan kalau diperhatikan dengan seksama, wajah yang
memperlihatkan senyuman yang kaku itu ternyata hanya sebuah
topeng.
Suara ombak yang menggelegar terdengar jelas, menerpa batubatu
karang yang ada di pesisir pantai Cahaya lampu menari-nari,
Manusianyapun tidak berbeda dengan hantu. Pada saat seperti ini,
bila ada orang ketiga yang melihat mereka, siapa yang dapat
memastikan bahwa mereka adalah manusia atau hantu...?
Thi Bian Jin mengatupkan kedua telapak tangannya dan diangkat
ke atas serta menjura...
"Apakah Toa Tek Siansing?" tanya Thi Bian Jin.
"Benar!" Wajah Toa Tek Siansing itu tetap kaku dan menjawab
dengan lantang.
"Sepuluh tahun tidak berjumpa.... Badai kali ini begitu ganas,
Kapal-kapal yang berlayar dihancurkannya sampai berkeping-keping,
Saya mengira semua penumpang kapal telah mati tenggelam ke
dasar lautan, sepanjang perjalanan saya kemari, saya melihat tiangtiang
anjungan di pelabuhan patah dan ambruk. Para nelayan pun
tidak ada yang terlihat batang hidungnya. Tidak disangka Toa Tek
Siansing tetap bisa sampai di sini untuk memenuhi janji."
"Saya bukan manusia. Saya hanya sebuah sukma yang berkelana
antara dunia manusia dan alam kematian. Juga bukan sukma
manusia, tetapi sukma pedang!" katanya dengan suara dingin.
Suaranya begitu berat dan kaku. Benar-benar tidak mengesankan
setengah manusia pun.

Thi Bian Jin memperhatikan Toa Tek dengan seksama, Dari atas
kepala dan terhenti di tangan yang menggenggam pedang hitam itu.
Tangan itu tidak berbeda dengan tangan-tangan biasa yang dapat
kita temui pada setiap orang.
Tapi tangan yang satu ini menggenggam pedang dengan begitu
kencang seakan pedang itu memang tumbuh di tangannya dan tak
bisa dilepaskan lagi. Terhadap apa yang disebut tangan, Thi Bian Jin
sangat memandang tinggi.
Tangan yang dimiliki seorang ahli bisa berarti segalanya, Karena
alat untuk membunuh orang memang pedang, tapi kehebatan
tanganlah yang dapat menggerakkan pedang tersebut.
"Di tempat asalmu ada sebuah pepatah: "Sebatang pedang Toa
Tek, menyapu seluruh Fu Sang."
"Memang bukanlah nama kosong, Kedatangan saya kemari kali ini
adalah untuk menyewa pedang di tanganmu itu, Maksudnya agar
kau membasmi seluruh ahli dari Tionggoan." kata Thi Bian Jin,
Tangannya menunjuk ke arah tumpukan uang dan mutiara di atas
meja.
"Semua benda-benda ini hanya sebagai rasa hormat saya kepada
Toa Tek Siansing, Setelah usaha kita berhasil kekayaan serta
kedudukan yang terhormat akan kita rasakan bersama." lanjutnya.
Toa Tek memperlihatkan sebuah senyuman yang aneh.
"Kau kira aku mau datang untuk semua ini?" tanyanya, Tangan
kirinya tiba-tiba mengibas, mutiara-mutiara yang ada di atas meja
beterbangan di udara, pedang di tangan kanannya berkelebat.
"Seeeeet! sett!"
Di bawah sinar lampu kristal itu, terlihat cahaya yang menyilaukan
mata. Mutiara-mutiara itu jatuh kembali ke atas meja, ternyata telah
menjadi dua seluruhnya dan yang mengagumkan adalah belahan

mutiara itu rapi sekali, seakan dipotong dengan cara mengukur jarak
satu per satu. Lagipula, mutiara itu baru terbelah setelah jatuh di
atas meja.
Gemuruh suara ombak masih terdengar dengan jelas, seandainya
kita dapat menutup suara gemuruh itu, suasana di pelabuhan yang
telah hancur ini akan menjadi hening seketika.
Mata Thi Bian Jin bersinar sekilas. Sinar kagum.
"Jadi... apa maksudmu memenuhi undangan ini?"
"Hanya untuk.... Menang!" jawab Toa Tek.
"Menang?" Thi Bian Jin jadi heran dibuatnya.
"Tidak salah! Pedang adalah aku! Aku adalah pedang! Makna
sebatang pedang adalah kemenangan! Kelahiranku, kedatanganku,
justru untuk kemenangan itu! Menang hidup. Kalah, mati! Tidak ada
pilihan yang lain!" suaranya tegas sekaIi.
Thi Bian Jin tertawa senang.
"Saya percaya kedatangan Toa Tek Sian-sing kali ini dengan
perhitungan yang matang, Menyerang harus kena, bertarung harus
menang."
"Siapa lawan saya yang pertama?" tanya Toa Tek tanpa
memperdulikan kata-kata Thi Bian Jin yang bernada pujian itu.
"Saya rasa Tuan sudah mengatur hari-harinya, Lawan pertama
anda adalah Chi Siong Kiam Khek dari biara Chi Siong di Lau San...."
kata Thi Bian Jin menjelaskan.
Sebetulnya bagi Toa Tek, segala macam biara, kuil atau pun
partai persilatan, tidak membawa arti khusus. Fu Sang, tempat
asalnya sendiri, semua yang disebutkan tadi dalam waktu sekejap
sudah hilang dari ingatannya.

Dia hanya mengharapkan kemenangan. Kecuali kemenangan,
wajah dan mimik orang-orang yang telah dibunuhnya selama ini pun
tidak pernah diingatnya.
Hatinya hanya mengingat sepatah kata, kemenangan! Hal lainnya
tidak akan diperdulikannya. Kalau kita mau mengatakan dengan
melihat kenyataan pada dirinya, hidupnya bagaikan sebuah
perjudian. Dan orang yang berjudi tentu selalu mengharapkan
kemenangan bukan kekalahan.
Dalam bayangan Thi Bian Jin saat itu, terlihat sudah raut muka
Chi Siong Kiam Khek. Keangkerannya, penampilannya yang penuh
wibawa dan tentu saja pintu gerbang biara itu sendiri yang selalu
tertutup rapat dan kokoh.
Thi Bian Jin paling tidak suka melihat wajahnya yang selalu
ditampilkan sesombong mungkin, bahkan lonceng besar yang
berbunyi setiap ada bahaya pun dibencinya.
Oleh sebab itu, Thi Bian Jin sekali lagi menatap pedang hitam
yang tergenggam di tangan laki-laki yang ada di hadapannya,
tangan dan pedang itu akan membereskan biara Chi Siong dan
kewibawaannya, Termasuk lonceng yang menyebalkan itu.
Kebencian adalah sebuah perangkap yang aneh, tapi banyak
orang yang tidak menyadari bahwa yang paling sering terperangkap
justru diri sendiri bukan orang lain!
Gunung Thai San, tidak terlalu tinggi, pepatah yang mengatakan!
Mendaki puncak Thai San, maka dunia akan terlihat kecil sebetulnya
agak berlebihan. Tapi ketegarannya dan nama besar yang
disandangnya selama ini telah menutupi sebagian kekurangannya.
Biara Chi Siong terletak di dekat Go Toa Fu Siong, yang berarti
lima tempat terkenal di sekitar Thai San yang mempunyai nama Fu
Siong. Banyak perguruan besar ataupun biara di Bu Lim yang
mendengar namanya saja, orang sudah menggidik.

Tiga hurup besar "Biara Chi Siong" terpancang di atas pintu,
Dengan dasar hitam dan tulisan tinta emas.
Pintu besar itu seperti biasa, selalu tertutup rapat, Cahaya sinar
matahari membuat tulisan emas di atas pintu itu berkilauan. Pada
saat itu, sepasang mata yang mengandung sinar tajam
memperhatikan huruf di atas pintu itu.
Orang ini masuk dari pintu besar di depan yang bertiang pualam
Langkah kakinya begitu kuat dan jaraknya pun tetap. persis seperti
yang terlihat di pesisir pantai tempo hari.
Toa Tek To Hun tidak memandang sebelah mata terhadap pintu
besar yang ada di hadapannya, baginya yang tersirat di pelupuk
mata hanya kelebatan pedangnya dan darah yang akan mengalir.
Dia tidak pernah membayangkan bagaimana jalannya pertarungan
yang sudah di depan mata, dia mempunyai kepercayaan yang tidak
dapat diuraikan terhadap dirinya sendiri, paling-paling yang akan
didapatinya hanya "kematian".
Tentu saja kematian orang lain, bukan dirinya, Sudah banyak
sekali kejadian seperti ini yang dialaminya, Kelebatan pedang lalu
mengalir darah dari kening, lawannya rubuh ke tanah dan mati.
Meskipun hal seperti itu sudah dialaminya berulang-ulang, namun
dia tidak pernah memandang ringan seorang musuh, sebab dalam
hatinya dia tahu bahwa memandang rendah kepandaian seseorang
adalah peristiwa yang paling mudah membuat diri kita mengalami
kekalahan. Mungkin pengertian inilah yang membuat diri Toa Tek To
Hun belum pernah mengalami kekalahan selama ini.
"Tang... Tang... Tang..." Suara lonceng yang dibayangkan oleh
Thi Bian Jin pun berbunyi nyaring, Toa Tek To Hun bagaikan tidak
mendengar lonceng tanda bahaya itu. Dia tetap melangkah dengan
pasti dan yakin.

Baginya hanya satu kata "menang" yang harus diperhatikan! Dia
melangkah lagi, Sampai di depan pintu besar itu, kakinya terhenti.
Tidak terlihat tanda-tanda bahwa dia akan mengetuk rantai bundar
berkepala singa di pintu itu. Bahkan terpikir pun tidak, Dengan cepat
dia menghantam pintu itu.
"Braakkk!!!"
Dia sudah tiba di dalam pelataran. Di pintu yang tadi dilaluinya
terlihat cetakan sesosok tubuh manusia. Rapi seperti baru saja diukir
Dan yang menakjubkan adalah di bagian pinggir cetakan sosok
tubuh manusia itu tidak terlihat sedikit pun keretakan.
Hal ini bukan hanya dilakukan di biara Chi Siong saja, Di manapun
juga dia tidak mempunyai kebiasaan mengetuk pintu, dia bukan
sedang memamerkan kekuatannya, tapi sedang memupuk rasa
percaya diri di hatinya.
Rasa percaya diri seorang manusia bukan selamanya menyala
begitu saja, terkadang seperti sebuah tungku api yang memerlukan
tambahan kayu dan minyak.
Tempat Toa Tek To Hun berdiri saat ini adalah ruang pertemuan
biara itu, matahari dengan terik menyoroti atap rumah, pohon
cemara dan juga tubuh manusianya sendiri, beberapa puluh orang
tosu berdiri dengan rapi berbentuk dua barisan.
Toa Tek To Hun dan Chi Siong Kiam Khek berdiri berhadapan Toa
Tek To Hun tidak pernah memperhatikan bagian lain dari tubuh
lawannya, yang menjadi pusat perhatiannya hanya mata, karena
sepasang mata manusia paling mudah membocorkan rahasia
hatinya.
Walaupun seseorang pandai sekali menyembunyikan perasaan
hatinya, tetapi akan terlihat jelas oleh orang yang mempunyai
pengalaman dalam hal ini karena mata digerakkan oleh perasaan
hati. Perasaan tergerak, sinar mata pun berkelebat Kadang-kadang
untuk menunjukkan kepura-puraan pun tidak sempat lagi.

Pandangan mata Chi Siong Kiam Khek menelusuri sosok tubuh
yang ada di hadapannya, kemudian terhenti di tangan Toa Tek To
Hun yang menggenggam pedang hitam itu. Sebuah tangan yang
kokoh dan memancarkan kekuatan.
Seorang pembunuh bayaran bukan saja memerlukan hati yang
keji dan mantap, tapi juga memerlukan tangan yang bisa
mendukung kepandaian ilmunya.
Selama ini, Chi Siong Kiam Khek belum pernah menemukan
kelemahan ilmu pedangnya, sayangnya bila seseorang harus
mencari kelemahan dirinya sendiri, sama seperti mencari sebatang
jarum di tumpukan jerami, selamanya manusia selalu menganggap
diri sendiri sudah cukup sempurna.
Dia hanya pernah kalah satu jurus selama hidupnya. Dan orang
itu adalah seorang tokoh besar yang selamanya hidup di lautan.
Ruangan yang begitu besar dan orang yang demikian banyak,
ternyata tidak menimbulkan suara sedikitpun. Sejak mengalami
kekalahan melawan jago dari lautan itu, Chi Siong Kiam Khek segera
pulang dan menutup diri.
Dia mengira kalau dia bisa merubah sedikit lagi jurus yang
dimilikinya dan menunjukkan perubahan yang tidak disangka oleh
lawan, kelak tentu ada kesempatan untuk menebus kekalahan itu.
Satu hal yang tidak disadari olehnya, Bila dia dapat melatih diri
untuk mencapai kemajuan, apakah orang lain tidak dapat melakukan
hal yang sama?
"Apakah anda yang disebut Lau San Chi Siong?" tanya Toa Tek To
Hun.
"Betul!" jawabnya mantap.
"Kalau betul, kau harus mati!"

Perasaan Chi Siong Kiam Khek sulit dijelaskan. Dengan
pengalaman selama berpuluh tahun, hatinya sudah tidak mudah
dibuat terkejut lagi.
Tapi bila kematiannya harus ditentukan oleh orang lain, mau tidak
mau Chi Siong Kiam Khek terkejut juga mendengar sesumbar orang
yang satu ini.
"Aku harus mati?" Suaranya terasa dingin sekali.
Terdengar suara tertawa anak buahnya yang menganggap
perkataan Toa Tek To Hun tidak masuk akal dan lucu sekali. Dalam
hati mereka, menganggap laki-laki yang ada di dalam ruangan itu
sungguh tidak tahu diri.
Padahal kematiannya sendiri sudah di depan mata. Anak buah Chi
Siong Kiam Khek hanya tahu bahwa Koan-cu mereka belum pernah
terkalahkan selama ini dan seorang laki-laki yang sama sekali tidak
terkenal, berani mengatakan bahwa guru atau pun majikan mereka
akan mati di bawah pedangnya.
"Betul sekali!" jawab Toa Tek To Hun dengan yakin.
Chi Siong Kiam Khek adalah seorang manusia yang mempunyai
banyak pergaulan, dia juga pernah melukai orang ataupun
membunuhnya.
Dia mengerti sekali bagaimana penampilan seseorang sebelum
melukai atau membunuh musuhnya, Semakin tenang pembawaan
seseorang sebelum melakukan pembunuhan semakin banyak
kemungkinan menang yang akan diraihnya.
Apa yang terlihat pada diri Toa Tek To Hun persis seperti yang
digambarkan olehnya, memang ketenangan dan keyakinan
merupakan kunci keberhasilan seorang pembunuh bayaran.
"Mengapa kau ingin membunuh aku?" tanya Chi Siong Kiam Khek
dengan datar.

"Hanya satu alasan, yaitu ingin menguji ketajaman pedang ini!"
jawab Toa Tek To Hun sambil mengacungkan pedangnya.
Melihat cara bicara lawan di hadapannya, Chi Siong Kiam Khek
dapat merasakan bahwa Toa Tek To Hun sama sekali tidak ragu
kalau-kalau ia akan mengalami kekalahan.
Anak murid Chi Siong Kiam Khek tidak senang mendengar nada
bicaranya yang congkak. Mereka segera mengambil posisi
mengurung, Chi Siong Kiam Khek melambaikan tangannya, memberi
tanda agar mereka tidak boleh bertindak apa-apa, meskipun dia tahu
bahwa lawan yang berani datang menemuinya tentu mempunyai
pegangan tapi siasat seperti itu sudah lama diketahuinya.
Siasat menggertak supaya lawannya ciut dulu nyalinya, tentang
hal ini tentu saja Chi Siong Kiam Khek jauh lebih memahami dari
anak muridnya.
"Bersiap-siaplah!" kata Toa Tek To Hun.
Pedang digenggam dicabut dari sarungnya, lalu dihunus dan
akhirnya masuk kembali ke dalam sarung, Gerakan ini sudah biasa,
tetapi dapat menimbulkan kesan antara ada dan tiada. Sinar pedang
menyilaukan... Chi Siong Kiam Khek juga sudah menghunus
pedangnya.
Tidak ada yang mengatakan bahwa gerakan pedang laki-laki itu
belum cukup cepat, paling tidak bagi anak muridnya, Tapi, meskipun
jarak antara kelambatan dan kecepatan hanya sedikit sekali, reaksi
yang ditimbulkan justru besar sekali perbedaannya.
Di antara kedua belah alis mata Chi Siong Kiam Khek ada garis
luka yang memanjang. Darah segar memercik dengan deras dan
tubuhnya pun jatuh ke tanah.
Bagi anak muridnya, Toa Tek To Hun malah belum terlihat
menghunuskan pedangnya, orang yang dapat melihat dia
menghunuskan pedangnya dan mengayunkan ke arah musuh dan

memasukkan kembali ke sarungnya, sudah terhitung memiliki
kemampuan luar biasa.
Anak murid Chi Siong Kiam Khek gempar seketika. sepertinya
sekarang mereka baru sadar bahwa ketiga kata "Kau harus mati"
yang diucapkan Toa Tek To Hun bukan main-main. Juga baru sadar
bahwa Koan cu mereka benar-benar sudah mati.
Tapi sembilan dari sepuluh anak murid biara itu yakin kalau koan
cu mereka mati bukan karena ketinggian ilmu pedang Toa Tek To
Hun, tapi dengan semacam ilmu sihir.
Suara hunusan pedang dan golok memekakkan telinga. Mereka
segera mengurung Toa Tek To Hun dan bersiap-siap menyerangnya.
"Kalian masih belum pantas membuat aku menghunus pedang ini.
Mundur!" Bentakan itu sangat berwibawa.
Anak murid Chi Siong Kiam Khek selamanya tidak pernah
mendengar perintah orang lain. Tapi apa yang diucapkan oleh Toa
Tek To Hun bukanlah perintah, namun seperti semacam mantera
pengampunan.
Mereka tidak bergerak, Hati mereka merasa malu. Pedang di
tangan guru mereka masih tergenggam erat-erat, tetapi manusianya
sendiri sudah mati, Dan dari matanya yang membelalak dapat
dipastikan bahwa sebelum kematian menjemputnya, dia terkejut
sekali.
Chi Siong Kiam Khek adalah seorang yang mempunyai nama
besar di Bulim. Dalam satu jurus roboh bermandikan darah,
peristiwa ini kalau sampai tersebar di luaran, entah apa akibatnya?
Bila saja dia yang sudah memperhatikan keyakinan Toa Tek To Hun,
tidak terlalu menganggap dirinya sendiri tinggi, mungkin dia juga
tidak akan mengalami kekalahan yang begini mengenaskan.
"Ingat baik-baik.... Aku bernama Toa Tek To Hun!" Kata-kata itu
diucapkan sepatah demi sepatah seakan ingin orang-orang yang

mengelilinginya dapat mendengar dengan jelas, setelah itu dia
membalikkan tubuh dan melangkah keluar.
Perjalanannya kali ini telah menunaikan tugasnya dengan baik.
Segala kesedihan, kemarahan, kekesalan hatinya telah ditumpahkan
pada diri Chi Siong Kiam Khek.
Seorang pembunuh bayaran tidak pernah memikirkan bagaimana
dan apa yang terjadi setelah lawannya dibunuh, juga tidak
memikirkan bagaimana perasaan para keluarga yang
ditinggalkannya, pelajaran pertama yang harus diketahui oleh
seorang pembunuh bayaran ialah bagaimana menahan perasaan hati
dan mencapai kemenangan.
Karena bila dirinya tidak berhasil memenangkan pertandingan
maka hanya matilah jalan keluar baginya, bukan hanya seorang
pembunuh bayaran saja yang harus mengetahui peraturan ini, juga
sebagian besar jago-jago Bulim harus memahaminya.
Langkah kaki Toa Tek To Hun di atas batuan hijau di sepanjang
jalan keluar gedung itu masih tercetak rapi. Butiran debu yang
dihasilkan pijakan kakinya ikut beterbangan menyertai kegelisahan di
hatinya.
Apa yang membuat dia tertarik untuk melakukan tugas bagi Thi
Bian Jin, bukanlah imbalannya, Tapi sebuah kata "menang". Bukan
pula mutiara-mutiara yang telah dibuatnya menjadi dua bagian,
yang dikhawatirkan olehnya justru apabila tidak ada lagi lawan yang
sesuai untuk bertanding melawannya.
Tidak ada lagi kemenangan yang dapat memuaskan hatinya,
Karena kemenangan yang ingin diraihnya adalah kemenangan yang
cukup berarti, yaitu dengan lawan yang cukup pantas untuk mati di
bawah pedangnya.
Bagaikan seorang pemain sandiwara di atas panggung, bila
mereka sudah terlalu banyak memainkan peranannya, yang

dibutuhkan bukan lagi imbalan yang akan diperoleh tapi tepuk
tangan yang gemuruh.
Dia selalu percaya bahwa kepastian untuk dirinya sendiri jauh
lebih penting dari kepastian orang lain, Toa Tek To Hun memandang
lekat-lekat pedang yang tergenggam di tangannya, Pedang itu juga
mempunyai kepercayaan terhadap dirinya sendiri.
Pedang adalah dirinya. Dan dirinya adalah pedang itu. Mereka
telah lama menyatu. Pedang yang selalu menang dan tak pernah
mengenal kata "kalah", Bagaimana mungkin pedang seperti ini tidak
mempunyai kepercayaan diri yang besar?
Dari arah belakang, sayup-sayup terdengar tangisan yang pilu,
Dia selamanya tidak pernah terharu mendengar suara seperti itu. Dia
yakin bahwa pencipta alam semesta ini selalu demikian, dia
menghadapi orang yang tertawa dengan tertawa dan menghadapi
orang yang menangis dengan tangisan.
Dia tertawa dengan nada suara yang aneh ketika mengangkat
kepala untuk melihat tiga tulisan berhuruf emas di atas pintu itu.
Seorang pembunuh juga mempunyai rasa bangga. Apalagi dapat
membunuh lawannya di kandang orang itu sendiri.
-ooo0ooo-
Lu Chi adalah nama daerah yang sekarang dikenal dengan nama
Shan Tiang, Di antara rimba pohon Su terdapat telaga Wei San. Hui
Sian Ceng terletak di tengah telaga ini. Pat Sian Kiam tinggal di
dalamnya, Hui Sian Ceng atau perkampungan Hui Sian dan
pemiliknya Pat Sian Kiam alias si Pedang Delapan Dewa sangat
terkenal di Bulim. Namanya masih di atas Chi Siong Kiam Khek,
tempat tinggalnya pun jauh lebih luas.
Hari ini cerah dan sejuk. Dalam udara seperti itu, orang-orang
yang tinggal di dalam Hui Sian Ceng tidak akan menduga akan
datangnya awan kelabu.

Toa Tek To Hun selalu berjalan dengan penuh keyakinan dan
tenaga yang kuat, keyakinan dan tenaga kaki yang kuat bila
melangkah, akan menunjukkan bagaimana tingginya ilmu orang
yang mempunyainya.
Pintu gerbang Hui Sian Ceng sudah terlihat olehnya, Bibir Toa Tek
To Hun mengulum senyum tipis, pikirannya melayang ke Thi Bian Jin
yang mengatakan bahwa lawannya yang kedua adalah Ceng Cu atau
pemilik perkampungan dari Hui Sian Ceng, Pat Sian Kiam Lie Ceng
Hong.
Pintu gerbang yang satu ini juga tertutup rapat. Dalam hati Toa
Tek To Hun sadar, bila dirinya mengalami kekalahan pasti dia akan
menerima kematian, Tapi selamanya dia tidak mencemaskan dirinya
akan mengalami kekalahan dan otomatis kematian pun tidak pernah
terbayangkan olehnya. Yang pasti dia yakin, manusia tidak ada yang
dapat hidup setelah nyawa meninggalkannya.
Toa Tek To Hun percaya kalau saat ini Pat Sian Kiam masih belum
mendengar tentang kematian Chi Siong Kiam Khek, Andaikata dia
sudah mendengar pun, pasti tidak akan menyangka kalau orang itu
dapat mati dalam keadaan yang memalukan.
Orang-orang di Biara Chi Siong juga tidak mungkin menyebarkan
berita bahwa Koan Cu mereka mati dalam satu jurus saja. Manusia
hidup memerlukan nama baik, manusia yang sudah mati pun
mementingkan hal itu.
Toa Tek To Hun melangkah mendekati pintu gerbang. Dan
sekejap kemudian pintu besar itu telah membuka cetakan sesosok
tubuh manusia. Bagi Lie Ceng Hong, orang yang datang ke
perkampungannya untuk mengadu ilmu ataupun memohon menjadi
anak muridnya adalah hal yang tidak mengherankan lagi.
Peristiwa ini sudah terjadi sebanyak tujuh kali dan semuanya
meninggalkan tempat ini dengan kepala ditundukkan. Usia orangorang
ini hampir sebaya dengan Toa Tek To Hun. Semuanya tidak
lebih dari tiga puluh lima tahun.

Lie Ceng Hong tidak memerlukan waktu yang lama untuk
mengalahkan orang-orang itu. Tidak lebih dari lima belas jurus. Oleh
sebab itu, Lie Ceng Hong tidak begitu mengambil hati tamu yang
datang tanpa diundang ini.
Mereka berdiri berhadapan. Dalam benaknya Lie Ceng Hong selalu
tidak habis mengerti. Apakah orang-orang ini kekurangan pekerjaan
sehingga nyawa dan nama baik pun tidak diperdulikan lagi?
"Siapa nama besar tuan ini?" tanya Lie Ceng Hong tanpa
memandang sebelah mata.
"Toa Tek To Hun!" jawab yang ditanya.
Mendengar nada yang pasti dan yakin itu, kening Lie Ceng Hong
agak berkerut.
"Ada urusan apa kau mencariku?" tanyanya.
"Aku menginginkan kematianmu!" jawab Toa Tek To Hun dengan
tegas.
Lie Ceng Hong tertawa datar, Kata-kata ini sungguh asing di
telinganya. Bahkan seumur hidupnya, baru pertama kali inilah dia
mendengar ada orang yang mengucapkan kata-kata seperti itu
kepadanya. Tentu saja Lie Ceng Hong mengerti, dirinya tidak boleh
kalah gertak dengan laki-laki yang ada di hadapannya ini.
"Anak ingusan dari mana yang berani membuka mulut besar di
hadapanku?"
"Lihat saja kenyataannya!" jawab Toa Tek To Hun dengan suara
yang tidak kalah kerasnya.
Sinar pedang membuat ruangan itu tiba-tiba menjadi dingin,
Belum lagi laki-laki itu sempat mencernakan jawaban yang diberikan
oleh Toa Tek To Hun, dirinya sudah limbung dan roboh ke tanah.

Di bagian dahinya terlihat garis memanjang. Darah mengucur
seperti air sungai, Kata "cepat" apa pun di dunia ini tidak dapat
melukiskan apa yang telah terjadi, "Kecepatan" merupakan pokok
terpenting dalam ilmu silat.
Bila tidak dapat melaksanakannya maka hal lain pun tidak perlu
diungkapkan lagi, Anak murid Lie Ceng Hong memandang dengan
terpana. Untuk sesaat mereka lupa menghunus pedang dan
membalaskan kematian Ceng Cu itu.
Bayangan hitam dengan rambut panjang yang terurai melintas di
hadapan orang-orang itu. Mereka tersadar seketika, Langkah Toa
Tek To Hun sudah mencapai pintu gerbang, Tidak ada orang yang
mencoba menghalanginya, Hanya terdengar suara panik dan ramai
membicarakan dirinya...
"ltu pasti ilmu siluman, Bukan ilmu pedang sejati!" Kata-kata
itulah yang tertangkap oleh telinganya dan kata-kata itu juga yang
sering didengarnya ketika ia masih berada di tanah asalnya yaitu Fu
Sang alias Jepang.
Dalam hatinya ia merasa kecewa, Rupanya para Ko Chiu di
Tionggoan hanya begini saja, Benar-benar nama yang menyesatkan
orang, Mungkin bila orang-orang ini tidak mempunyai nama
demikian besar, dia pun tidak akan menerima permintaan Thi Bian
Jin untuk membunuh mereka.
-ooo0ooo-
Bagian Dua
Hari ini berbeda dengan hari kemarin, Angin bertiup dengan
kencang, Hujan turun dengan deras. Hari yang sungguh tepat untuk
membunuh seseorang "Gelang Berantai" Chao Hui Peng adalah
seorang jago Bulim di Tionggoan. Namanya lebih tinggi setingkat
lagi di atas Chi Siong Kiam Khek maupun Pat Sian Kiam Lie Ceng
Hong. puluhan tahun belakangan ini, di Bulim ada sebuah nyanyian
yang mengatakan "Gelang Berantai dikeluarkan, enam iblis disapu

bersih." Nyanyian itu bermaknakan kejadian dua puluh tahun yang
silam.
Ketika itu dia mencari enam orang iblis yang sangat jahat dan
menggemparkan dunia persilatan, meski pun dirinya mengalami luka
yang tidak ringan, namun enam orang iblis itu pun terbasmi di
bawah pedangnya. Sejak itulah Gelang Berantai Chao Hui Peng
menjadi terkenal Tidak ada orang yang berani mencari perkara
dengannya.
Di telinga Toa Tek To Hun kembali terngiang kata-kata yang
diucapkan oleh Thi Bian Jin.
"Lawan ketiga adalah Gelang Berantai Chao Hui Peng.... Chao Hui
Peng... Chao Hui Peng...."
Di tempat kediaman Chao Hui Peng juga ada sebuah lonceng
besar, Bila terjadi suatu urusan besar, maka lonceng itu akan
berbunyi. Sekarang, semua anak murid, keluarga, maupun para
pelayan sedang berkumpul di ruang depan. Lonceng sudah
dibunyikan sebanyak dua belas kali sebagai tanda bahwa seluruh
anggota keluarga itu harus berkumpul.
Toa Tek To Hun dan Chao Hui Peng sudah berdiri berhadapan
Laki-laki itu berusia kira-kira lima puluh tahun. Banyaknya
pengalaman menghadapi pertempuran membuat laki-laki ini tidak
berani menganggap enteng semua lawannya.
Matanya memperhatikan Toa Tek To Hun dari atas kepala dan
berhenti di tangan yang menggenggam pedang itu. Tangan dan
pedang inikah yang telah membunuh Chi Siong Kiam Khek dan Pat
Siam Kiam Lie Ceng Hong?
Tangan yang istimewa dipadukan dengan pedang yang juga
istimewa barulah dapat menyebabkan peristiwa yang dalam sekejap
menggegerkan rimba persilatan itu. Manusia bagaimanakah yang
sedang berdiri di hadapannya sekarang? Mungkin pertanyaan ini
hanya dapat dijawab dengan selembar nyawa.

"Aku sudah mengetahui bahwa di dunia persilatan muncul
seorang sepertimu!" katanya memulai pembicaraan.
"Aku mengucapkan selamat bagi dirimu, karena yang lainnya mati
tanpa mendengar nama lawannya!" kata Toa Tek To Hun dengan
wajah kaku.
"Oh ya?" tanya Chao Hui Peng, "Betul, Dengan demikian kau
dapat mati dengan mata meram"
"Sombong betul!" kata Chao Hui Peng tajam.
"Sombong itu perlu asal pada tempatnya, Dan aku memang
pantas menyandang kesombongan ini!"
"Apakah Chi Siong Kiam Khek dan Lie Ceng Hong berdua mati di
tanganmu?"
"Benar." jawab Toa Tek To Hun tanpa menampilkan perasaan
apa-apa.
"Berapa jurus yang kau perlukan untuk merobohkan mereka?"
tanya Chao Hui Peng penasaran
"Lebih baik tidak usah disebutkan karena kau tidak mungkin
percaya...." jawaban itu membuat Chao Hui Peng tambah penasaran
"Coba katakan"
"Boleh dikatakan hanya setengah jurus...." jawabnya tenang.
"Kau mengoceh yang bukan-bukan!" bentaknya marah.
Chao Hui Peng telah membuat kesalahan besar. Dalam suatu
pertarungan besar. Hal yang paling utama adalah harus dapat
menahan emosi. Lagipula seorang yang tidak mempercayai bahwa
dengan hanya mempergunakan setengah jurus dapat membunuh
orang, belum pantas disebut Ko Chiu, menandakan ilmunya belum

cukup tinggi dan pengetahuannya dangkal seseorang yang belum
mengetahui bahwa dalam setengah jurus dapat membunuh,
bagaimana mungkin dapat menahan serangan setengah jurus itu?
Tangan Toa Tek To Hun menggenggam pedangnya erat-erat,
Chao Hui Peng belum memperhatikannya. otaknya masih dipenuhi
kata-kata setengah jurus tadi, sungguh mati dia tidak percaya jika
hanya dalam setengah jurus dapat merobohkan lawan.
Tentu yang dimaksudkan adalah seorang Ko Chiu melawan
seorang Ko Chiu juga. Mungkin jago yang berasal dari tengah lautan
itu pun tidak dapat melakukannya.
Toa Tek To Hun selamanya belum pernah menjelaskan hal ini
kepada lawannya, juga tidak memaksa mereka untuk percaya.
Kenyataan dapat membuktikannya sendiri....
Gerakan pedang yang tidak tampak telah menembus dahinya.
Begitu melihat sinar yang menyilaukan, Chao Hui Peng segera
bermaksud menghindar, belum sempat hal itu dilakukannya, rasa
dingin telah sampai di antara kedua alis matanya.
Pada saat itu, otaknya masih sempat mengingat dua patah kata
"setengah jurus". Orangnya rubuh ketanah, Gelang Berantai
bergelindingan jatuh.
-ooo0ooo-
Hujan tanpa angin Awal musim panas. Toa Tek To Hun menyusuri
gang kecil. Walau pun jalan besar atau gang sempit, langkah
kakinya tetap teratur jarak jejak yang ditinggalkannya tetap sama,
Kelihatanya mudah tapi untuk melaksanakannya tidak semudah
orang yang hanya melihat. Tanpa latihan yang tekun dan keras,
siapa pun jangan harap dapat melakukannya.
Air hujan membasahi rambutnya yang panjang, juga baju dan
seluruh tubuhnya. Dia merasakan kesejukan disertai rasa puas yang
dalam, otaknya sekali lagi mengingat ucapan Thi Bian Jin...

"Lawan keempat adalah Golok Emas Pheng Hou. Lawan kelima
adalah Telapak Besi Lim Peng. Lawan keenam adalah It Kuan Pit,
nama sejenis senjata yang bentuknya berupa pinsil yang terbuat dari
baja, Cung Tao. Lawan ketujuh adalah Peluru Pengejar Sukma Cin
Tiong...."
Golok Emas Pheng Hou juga sudah dirubuhkan olehnya, tidak
mungkin terjadi hal yang tidak diinginkannya, Toa Tek To Hun selalu
penuh keyakinan, yang pasti pedang dihunuskan dan lalu
dikembalikan ke dalam sarungnya.
Dia tidak pernah mencoba menghapuskan sisa darah lawannya,
Karena kecepatannya, maka darah yang tersisa pun hampir tidak
ada. Wajah Thi Bian Jin terus melintas di benaknya, Sejumlah Ko
Chiu yang tergores oleh pedangnya juga melintas terus.
Dari Telapak Besi Lim Peng sampai Peluru pengejar Sukma Cin
tiong, Apa yang membuat dirinya kurang puas adalah waktu yang
diperlukannya untuk membunuh orang-orang itu terlalu singkat
justru waktu untuk merenungi diri sendiri terlalu panjang.
Satu persatu lawannya roboh. Di dalam Bulim pun tersiar katakata
"Manusia ombak dari Fu Sang, merobohkan lawan setengah
jurus" dan masih banyak lainnya lagi yang kurang meyakinkan.
Cin Thiong yang terakhir pun mengalami hal yang tidak berbeda.
Langkah kaki di tanah teratur dan bergetar. Beribu kali pertarungan
yang telah dialaminya, semua lawannya roboh dengan luka
memanjang di kening, tidak pernah di tempat yang lain.
Apakah dia tidak akan berhenti membunuh? Tentu saja tidak, Thi
Bian Jin tidak akan meminta Toa Tek To Hun membunuh orangorang
yang tidak berharga, Dan ada berapa orangkah manusia di
dunia ini yang pantas mati di bawah pedangnya?
Para pendekar di Bulim merasa diri mereka sedang terancam
bahaya besar, namun ternyata tidak ada yang mempunyai pikiran
untuk bergabung dan melawannya. Kalau dipikir-pikir memang nama

besar sering menyesatkan manusia. Para keluarga pendekar yang
mati di tangannya juga tidak mau mengumpulkan kekuatan untuk
membalas dendam kepadanya.
Sejak menjadi pembunuh bayaran, tidak ada manusia yang
bergaul ataupun bercakap-cakap dengannya, Dia selalu sendiri,
kesepian, kesal dan kadang-kadang benci terhadap dirinya sendiri.
Namun hidup ini terus dilaluinya, Toa Tek To Hun tidak pernah
berpikir untuk berganti profesi. Tentunya hendak mengganti profesi
pun tidak mungkin berhasil. Manusia dari segala macam kalangan,
bila hendak mengganti suatu pekerjaan yang telah ditekuninya
sekian lama, delapan di antara sepuluhnya tidak akan berhasil. Ratarata
mereka kembali menggeluti pekerjaan semula.
-ooo0ooo-
Malam berkabut di sebuah kuburan umum, Angin bertiup
menggoyangkan ilalang yang tinggi. Suara jangkrik dan burung
hantu bersahutan laksana sebuah nyanyian yang memilukan.
Di tengah pekuburan itu terdapat sebuah tanah kosong, dengan
langkahnya yang teratur Toa Tek To Hun menyusuri tanah kosong
itu. Kecuali gemerisik langkah kakinya, suara jangkrik dan burung
hantu, kesunyian terasa mendirikan bulu roma.
Tiba-tiba di kuburan yang penuh dengan kabut dan kesepian yang
mencekam itu, muncul setitik sinar, Toa Tek To Hun seakan
mengenal sekali sinar terang itu. Kesunyian malam, kabut dan tanah
kosong, sungguh merupakan tempat yang tepat untuk pertemuan
para setan dan iblis.
Tapi dia selamanya tidak pernah merasa takut terhadap keadaan
ini. Dia adalah seorang ahli perubahan manusia menjadi setan,
Mungkin bila setan yang bertemu dengannya, mereka juga akan
mundur tiga langkah.

Masih lampu kristal yang sama. Toa Tek To Hun berjalan
mengikuti titik terang itu, Sampai di depannya, dia berhenti. Di
samping lampu kristal yang diletakkan dekat kuburan, terdapat
setumpuk uang kertas dan batangan emas. Dia berdiri di depan batu
nisan, Thi Bian Jin keluar dari balik kuburan tersebut.
Dia menjura dalam-dalam, seakan orang yang ada di hadapannya
adalah kaisar kerajaan besar, Toa Tek To Hun tidak menanggapinya,
Dia berdiri tegak tak bergeming.
"Dalam tiga bulan ini tuan sudah memenangkan tujuh belas kali
pertarungan. Dalam dunia Kangouw sudah ada tujuh belas orang Ko
chiu mati di bawah pedang Sian-sing dan nama Toa Tek To Hun
telah menggetarkan dunia persilatan. Benar-benar suatu berita yang
patut dirayakan...." kata Thi Bian Jin tertawa senang.
Toa Tek To Hun sama sekali tidak berminat untuk ikut tertawa,
Thi Bian Jin mengeluarkan sebuah guci emas dan cangkir yang
terbuat dari emas juga. Dia menuangkan arak ke dalam cangkir
tersebut.
"Saya ingin menghormati tiga cawan arak untuk Siansing!"
katanya.
"Saya tidak minum arak!" jawabnya dengan nada dingin.
"Sama sekali tidak pernah?" tanya Thi Bian Jin heran. Mungkinkah
ada laki-laki yang tidak minum arak di dunia ini?
"Pedang hanya minum darah, tidak minum arak, Aku adalah
pedang, pedang adalah aku!" ujarnya tegas.
Thi Bian Jin seakan sudah menduga akan mendapat jawaban ini.
Dia meneguk cawan di tangannya sampai kering, mungkin dia ingin
minum arak itu tidak terdapat apa-apa, atau hanya ingin
mengobarkan perasaan puas dalam hatinya.

Meskipun yang membunuh para pendekar itu bukan dirinya, tetapi
menang atau kalah mempunyai sangkutan yang dalam dan berarti
baginya.
Dapat dikatakan bahwa dia sama sekali bukan mengkhawatirkan
mati hidup Toa Tek To Hun, melainkan usahanya sendiri apakah
dapat berjalan lancar sesuai rencana.
"Pertarungan Siansing besok adalah sebuah pertarungan yang
menentukan. Lawan Siansing merupakan seorang jago besar,
Namanya Tionggoan taihiap Fang Tiong Seng, jurus Telapak Bangau,
Pedang Sayap Bangau, serta tiga belas perubahan Bangau Terbang
disebut sebagai Bu Lim Sam Kiat atau Tiga jago dunia persilatan,
jurus-jurus itu bila dikeluarkan seperti tiga orang yang
memainkannya.
Dalam dua puluh tahun terakhir ini, enam puluh lebih
pertandingan telah dilakukannya. Belum pernah sekalipun Tionggoan
taihiap atau Pendekar besar dari Tionggoan Fang Tiong Seng
mengalami kekalahan," kata Thi Bian Jin menjelaskan.
"Kali ini dia harus kalah!" ujar Toa Tek To Hun tanpa
memperlihatkan mimik yang berubah.
"Siansing lebih baik berhati-hati...." Thi Bian Jin menasehatinya.
"Tidak perduli siapa pun lawan saya, selamanya saya selalu
berhati-hati, Anda tidak perlu khawatir Karena saya hanya boleh
menang, tidak boleh kalah," ujar Toa Tek To Hun.
Thi Bian Jin menarik nafas panjang,
"Siapa pun yang dapat meyakinkan diri seperti Siansing, tidak
akan pernah mengalami kekalahan lagi."
Toa Tek To Hun tidak menanggapinya.

Kebanyakan para cukong yang menyewa akan mengucapkan
kata-kata itu. Paling tidak, dirinya harus mempertahankan hidup
baru dapat selalu mendengar ucapan ini. Andaikata dia mati, cukong
itu akan tetap hidup.
Tanpa nyawa, waktu masih terus berputar Toa Tek To Hun
meraba pedangnya dengan penuh kasih sayang. Mungkin di dunia ini
hanya pedang itu yang mengerti perasaannya. Tidak perduli siang
hari atau pun tengah malam, di musim salju atau pun musim panas,
pedang itu tidak pernah berpisah dengan dirinya.
Hubungan batin antara Toa Tek To Hun dan pedangnya bukanlah
sesuatu yang dapat dijelaskan dengan kata-kata, hanya perasaan
yang dapat mengungkapkannya. Apalagi bila sedang menghadapi
sebuah pertarungan, hubungan dirinya dengan pedang itu bagaikan
seorang manusia dengan nyawanya. Pedang itu memberikan
kepercayaan diri yang besar sekali, dan juga memberikan kekuatan
yang tidak tertandingi.
Meskipun selama ini dia terus mendapat tawaran dan pekerjaan
dari para cukong untuk membunuh seseorang, tapi di dunia ini orang
yang paling dipandang hina olehnya justru adalah para cukong ini.
Baginya, mereka adalah sebangsa manusia pengecut yang hanya
berani membunuh orang dengan kekuasaan dan uang, tidak pernah
berani menghadapi sendiri musuh-musuhnya.
Bahkan identitas merekapun ditutupi sedemikian rupa, sehingga
Toa Tek To Hun tidak pernah mengetahui siapa diri cukong-cukong
itu sebenarnya, namun dia memang tidak ingin mengetahuinya,
yang penting baginya adalah lawan yang pantas, dan kemenangan.
Thi Bian Jin menuangkan arak lagi dalam cangkir emas itu.
"Saya ingin menghormat Siansing dengan arak ini untuk
mengucapkan semoga sukses!" kata Thi Bian Jin.
"Kata-kata yang sudah penah diucapkan, tidak ingin saya ulangi
berkali-kali," ujarnya tanpa perasaan Toa Tek To Hun pun

meninggalkan Thi Bian Jin yang masih terlongong-longong dengan
cawan arak di tangan...
-ooo0ooo-
Musim kemarau mulai menjelang, malam terasa panas. Bintangbintang
memenuhi cakrawala, beberapa ekor kunang-kunang
menari-nari. Rumah keluarga Fang adalah sebuah bangunan besar
model kuno, tanahnya luas sekali.
Fang Tiong Seng sehari-harinya terkenal sangat ramah dan
mudah bergaul. Orangnya bijaksana, tidak segan menolong siapa
saja. Namanya bukan hanya berkumandang di dunia persilatan
bahkan di dusun-dusun kecil pun, banyak rakyat yang
menghormatinya. Manusia semacam ini juga dapat diincar bahaya
kekalahan?
Berapakah manusia ini yang tidak takut akan kematian? Katakata:
"Melihat kematian seperti pulang ke rumah", hanyalah berlaku
untuk orang yang sudah ditakdirkan harus mati dan selama
hidupnya segala macam telah tercukupi.
Saat ini ruangan besar dalam rumah Fang Tiong Seng terang
sekali, lilin-Iilin yang besar dan lampu minyak bertebaran di seluruh
ruangan itu.
Fang Tiong Seng berwajah persegi, Telinganya besar,
penampilannya berwibawa, Setiap orang yang meIihatnya dapat
merasakan kepercayaan dirinya yang tebal dan kehormatan yang
dimilikinya.
Dia duduk tegak di sebuah bangku besar berbentuk singa dan
terbuat dari batu pualam, Tapi dari pakaiannya, ia membawa kesan
sederhana. Kata sederhana itu sama sekali tidak merendahkan
derajat dan kewibawaannya.
Usia empat puluh delapan tahun adalah masa paling gemilang
bagi seorang pendekar besar, juga masa di mana ilmunya sudah

terlatih dengan matang. Orang seperti ini, mestinya bahagia sekali,
Nyatanya dia memang bahagia, paling tidak dalam hati kecilnya,
karena masa depan dan usahanya menunjukkan kecerahan.
Namun saat ini, dia tidak terlihat bahagia, Murid-muridnya, Mo Put
Chi alias Mo yang tak kenal kalah dan Hu Put Chiu atau Hu yang tak
pernah sedih berdiri di sisi kiri kanannya.
Putra sahabat lainnya, Kwe Po Giok berdiri di sebelah kiri depan,
pemuda itu mengenakan pakaian berkabung, puluhan pengawal
berbaris di kedua sisi.
Di dalam ruangan sunyi sekali sehingga percikan lilin pun dapat
terdengar dengan jelas. Tangan kiri Kang Tiong Seng menggeng-
"menjatuhkan para ko chiu? Mungkin ini merupakan peristiwa
yang paling menggetarkan, menggidikkan, menakutkan di dunia
persilatan selama ini! siapakah manusia ini? Pedang apa yang
digunakannya? Dari perguruan mana asalnya? Seorang manusia
tidak mungkin langsung menjadi seorang ahli pedang tanpa ada
yang mendidik?
Selama bertahun-tahun, baru kali ini para murid dan anak
perguruannya melihat Fang Tiong Seng begitu bingung dan
tertekan,ingin rasanya mereka berbagi duka dengan sang guru,
meskipun tubuh harus hancur dan tulang belulang harus berantakan.
Wajah Fang Tiong Seng menoleh ke arah Hu Put Chiu.
"Kau sering bergerak di dunia Bulim. Kawan-kawanmu paling
banyak, Apakah dulu kau pernah mendengar nama orang ini?"
tanyanya.
"Sampai saat ini, orang-orang di dunia kangouw tidak ada yang
tahu dari perguruan mana dia berasal. Bahkan jurus yang
digunakannya pun tidak di kenal. Hanya mereka tahu bahwa orang
ini berasal dari Fu sang. Dia ingin membunuh seluruh ko chiu di
Tionggoan!" jawab Hu Put Chiu.

"Bila demikian, cepat atau lambat dia pasti akan mencari aku!"
kata Fang Tiong Seng dengan nada dingin.
"Pada waktu itu, berarti kematiannya pun tiba!" tukas Mo Put Chi.
Orang yang satu ini sesuai sekali dengan namanya, Mo yang tidak
kenal kalah.
Dia paling membanggakan gurunya, Tidak pernah menganggap
tinggi kekuatan luar, sifatnya tidak pernah mau mengalah, Dia tidak
percaya Toa Tek To Hun bisa mempunyai tiga kepala dan sembilan
nyawa.
Fang Tiong Seng bergumam sendiri, Dia terlihat seperti
merenungkan sesuatu.
"Put Ce belum kembali juga?" Tiba-tiba dia bertanya.
"Belum. Sam sute (adik seperguruan nomor tiga) kan sudah tidak
usah diherankan. Dalam mengerjakan urusan apa pun, selalu lebih
lambat setindak dari orang lain," sahut Hu Put Chiu tertawa.
Di dalam perguruan Fang Tiong Seng, Sun Put Ce terdaftar
sebagai murid ketiga, Selamanya selalu lamban, Andaikata
rumahnya sendiri sudah terbakar pun, belum tentu panik.
Dia menganggap waktu seperti orang yang makan kuaci, harus
dinikmati sungguh-sungguh. Sebelum memakannya harus dikupas
dulu kulitnya, tidak boleh ditelan begitu saja.
Sifat ini tentu berbeda jauh dengan kedua abang seperguruannya,
Mo Put Chi dan Hu Put Chiu. Manusia yang berkecimpung di dunia
persilatan sudah pasti tahu sifat dan julukan ketiga murid Fang
Tiong Seng ini.
"Aku ingin beristirahat. Laporkan bila Sun Put Ce sudah kembali!"
kata Fang Tiong Seng.

Malam sudah larut, jalanan diselimuti oleh kabut tipis. Sun Put Ce
berjalan sendirian tanpa tergesa-gesa. Waktu baginya tidak akan
pernah habis.
Dia selalu menganggap pekerjaan di dunia tidak akan pernah
selesai. Cepat atau lambat bukan menjadi masalah, Hari ini tugas
yang satu beres, besok pasti ada tugas lain yang datang. Di jalanan
tidak ada seorang manusiapun.
Paling tidak dengan jalan selambat ini, dia tidak akan membentur
orang lain, Dan orang lain pun tidak bisa membenturnya, Adakah
manusia yang lebih lambat darinya di dunia ini?
Bukankah di hadapannya sekarang ada satu?
Orang itu menyongsong dari depan, Begitu lambatnya sampai
seperti sama sekali tidak bergerak, kalau diperhatikan sekali lagi
dengan seksama, bayangan samar-samar di depan itu memang tidak
bergerak, dia berdiri tegak di tengah jalan.
Sun Put Ce melangkah maju dengan perlahan sekarang dia dapat
melihat orang yang berdiri di bawah sebatang pohon besar itu.
Rambutnya panjang dan pakaiannya hitam semua, tangannya
menggenggam sebatang pedang berbentuk aneh.
Wajah orang itu kaku dan pucat, seperti seorang manusia yang
tidak mempunyai darah. Sun Put Ce merasa bulu kuduknya berdiri
Tetapi dia tetap tidak menganggap langkah kakinya yang lambat itu
membuatnya bertemu dengan orang tersebut. Bila jalannya cepat,
dia juga tetap akan bertemu dengannya.
"Apakah kau murid Fang Tiong Seng?" tanya laki-laki berpakaian
hitam itu.
"Betul!" sahut Sun Put Ce sambil mengangguk lemah.
Kepalan tangan yang menggenggam pedang aneh itu
memperlihatkan otot hijau, Meskipun Sun Put Ce selalu lamban, tapi

bukan berarti dia tidak mempunyai naluri, Sejak tadi dia sudah
bersiap-siap.
Sinar pedang berkelebat, dalam waktu beberapa detik masuk
kembali ke dalam sarung, Sun Put Ce terkesiap, Dia hanya tahu
bahwa pedang itu sudah masuk kembali ke dalam sarungnya,
terkejut pun sudah terlambat.
Dia mencoba merasakan keadaan dirinya sendiri, namun tidak
terasa kelainan pada tenggorokan, dada, ataupun keningnya,
Biasanya tempat-tempat yang disebutkan tadi merupakan sasaran
yang empuk bagi seorang ahli pedang.
Ternyata dirinya belum mengalami sesuatu, sungguh cepat!
Orang itu seperti belum menghunus pedangnya sama sekali
Dari atas pohon terdengar suara gemeretak. Sebatang ranting
jatuh ke atas tanah, Sekarang Sun Put Ce baru yakin orang itu telah
menghunuskan pedangnya barusan.
Andaikata pedang itu ditujukan ke arah tenggorokan, kening
ataupun dada, Sun Put Ce percaya dirinya sudah terkapar
bermandikan darah.
"Pungut!" perintah manusia berpakaian hitam itu.
"Apa?" tanya Sun Put Ce kebingungan.
"Ranting pohon!" katanya dengan nada dingin.
Sun Put Ce terpana sejenak, kemudian dia menekuk pinggangnya
dan memungut ranting pohon tadi, ingin sekali rasanya dia tertawa,
orang ini benar-benar aneh, orang macam apa pun ada di dunia ini.
Dia sendiri sudah termasuk jenis yang langka, para suhengnya
suka menggodanya, "Orang macam apa pun ada di dunia ini, tidak
nyana masih ada lagi orang seperti dirinya."

Sun Put Ce tidak tahu harus menangis atau tertawa mendengar
ejekan itu. Paling tidak saat ini dia mempunyai seorang kenalan yang
sama-sama langka.
Ranting pohon itu masih digenggam dalam tangannya, dia tidak
mengerti maksud manusia berpakaian hitam itu. Dia berdiri menatap
ke arahnya sambil menunggu.
"Bawa pulang dan tunjukkan pada Fang Tiong Seng, Besok
tengah hari aku akan menjumpainya!" Kata-kata yang diucapkan
oleh orang itu seperti sebuah perintah.
Sebetulnya Sun Put Ce tidak ingin menuruti perintah itu. Kalau
para suhengnya melihat dia membawa pulang ranting tersebut,
mereka pasti akan menggelengkan kepala dan mengatakan "Orang
macam apa pun ada di dunia ini!" Tapi nyatanya Sun Put Ce
menganggukkan kepalanya.
Manusia berpakaian hitam itu meninggalkan tempat itu dengan
langkah limbung. "Orang macam apa pun ada di dunia ini." gumam
Sun Put Ce. Dia memperhatikan ranting pohon itu sejenak, kemudian
dibuangnya sembarangan.
Langkah kakinya baru mencapai tujuh, delapan tindak, tiba-tiba
dia berhenti, meskipun di dunia ini orang macam pun ada, tapi yang
persis dengan orang itu tentunya tidak ada.
Mungkinkah orang ini yang namanya menggetarkan rimba
persilatan? Rasanya dia tidak salah menduga, Apalagi setelah Sun
Put Ce mengatakan nama gurunya, dia tetap akan datang besok
tengah hari, Apakah ranting pohon ini dijadikan sebagai kartu
namanya?
Sun Put Ce membalikkan tubuhnya dan memungut kembali
ranting pohon tersebut. Dia menyimpan ranting itu hati-hati di balik
bajunya. Baru beberapa langkah kakinya berjalan, dia mendengar
suara jeritan seorang gadis.

Walaupun suara itu berkumandang dari arah depannya, dia tetap
melangkah dengan tenang dan penuh perasaan. Di balik kabut
terlihat bayangan samar tiga orang, Setelah jaraknya mendekat dia
melihat seorang laki-laki yang masih terhitung muda dan
mengenakan pakaian berwarna warni mencengkeram seorang gadis.
Dari bentuk tubuh dan wajah gadis itu, Sun Put Ce segera dapat
mengetahui bahwa usianya masih muda sekali, Sekali lihat saja,
orang akan mempunyai pikiran tentang kemungkinan yang paling
gampang terjadi antara seorang pria dan gadis.
Rupanya ketiga laki-laki itu adalah satu komplotan. Gadis itu
seorang diri, pakaiannya terbuat dari bahan yang mahal, Permata
berkilauan dari seluruh tubuhnya, Pasti anak gadis keluarga berada,
Demi kehormatan dan harta bendanya, gadis itu rupanya tidak mau
menyerah begitu saja. Gadis itu ternyata sudah tidak sadarkan diri
lagi. Sun Put Ce paling benci melihat kejadian seperti ini.
"Apa yang kalian perbuat?" teriaknya lantang.
Tentu saja kalau bukan bermaksud memperkosa gadis itu, harta
benda di seluruh tubuhnya yang menjadi sasaran mereka,
pertanyaan itu seakan menampilkan kebodohannya sendiri!
Pemuda yang memakai baju warna warni itu menatap orang yang
menghadang di depannya dengan pandangan meremehkan "Siapa
kau?" tanyanya sinis.
"Sun Put Ce!"
"Dari perguruan mana?" tanya pemuda itu sekali lagi.
Sun Put Ce membalas tatapan pemuda itu dengan mata penuh
hawa amarah. Sudah terang sedang melakukan perbuatan buruk,
masih berani menanyakan perguruannya!
"Kau tidak berani menjawab bukan? Aku sudah mengira bahwa
kau bukan orang baik-baik," sambung pemuda itu.

Sun Put Ce terpana, mereka yang melakukan kejahatan malah
dirinya yang dikira bukan orang baik-baik!
"Apakah hubunganmu dengan gadis ini?" Dia balik bertanya.
Kedua rekan pemuda itu saling pandang dan tertawa, Sun Put Ce
merasa jengah, Apakah ia telah mengucapkan kata yang salah lagi?"
"Dia adalah isteri saya!" jawab pemuda itu dengan suara keras.
Sun Put Ce tidak bisa tidak berpikir, manusia macam apa pun ada
di dunia ini, Dia selalu turut campur urusan orang lain.
"lsteri? Kok begini?" katanya kikuk.
"Jangan turut campur urusan rumah tangga saya...." jawab
pemuda itu.
"Kau mengatakan bahwa dia adalah isterimu.... Apa buktinya?"
kata Sun Put Ce untuk menutupi rasa malunya.
"Dari perguruan mana kau ini?" pemuda itu menanyakan sekali
lagi.
"Murid ketiga Tionggoan taihiap!" jawabnya terus tenang.
Pemuda itu terpana sejenak, sekarang dia merasa orang yang ada
di hadapannya ini cukup pantas untuk turut campur dalam
urusannya.
"0h... Sun Taihiap.... Kau tidak mengerti...."
"Tentu saja aku tidak mengerti!" tukas Sun Put Ce.
Pemuda itu menghela nafas panjang, "Aih.... Gadis ini sebetulnya
berasal dari keluarga miskin, Saya melihat wajahnya cukup cantik,
maka mengambilnya sebagai isteri, Siapa sangka setelah derajatnya

terangkat dia mencela saya segala macam...." kata pemuda itu
dengan menunjukkan wajah sendu.
"Mencela apa saja?" tanya Sun Put Ce penasaran.
"Pertama-tama dia mengatakan bahwa bekas luka di tubuhku
terlalu banyak," jawab pemuda itu semakin sendu.
"Apakah kau merupakan orang yang terjun di dunia Bulim?" tanya
Sun Put Ce.
"Betul! Orang yang terjun dalam dunia Bulim pasti tidak dapat
menghindarkan diri dari perkelahian. Tentu saja bekas luka di
tubuhku banyak, Dia malah mengatakan sebal melihatnya," jawab
pemuda yang cerdik itu. Sekali pandang saja, dia sudah dapat
melihat kalau Sun Put Ce adalah seorang manusia yang polos.
"Apalagi yang dicelanya?" tanya Sun Put Ce dengan kepala
manggut-manggut.
"Dia masih mencela badan saya mengeluarkan semacam hawa
yang tidak sedap," kata pemuda itu, Sun Put Ce tidak
memperhatikan kedua rekan pemuda tersebut yang sedang
menahan tawa.
"Apakah kau jarang mandi?" tanyanya Iugu.
"Bukan... bukan! Hanya sedikit bau badan," jawabnya,
"Aih.... Dia juga tidak dapat disalahkan. Bau badan memang
menyebalkan," kata Sun Put Ce sambil menarik nafas.
"Tapi... karena hal ini, dia mencari seorang kekasih gelap yang
tubuhnya memancarkan keharuman." Pemuda tersebut seperti
menikmati tanya jawab ini.

"Di mana-mana juga hanya terdengar tubuh anak gadis yang
memancarkan keharuman, mana ada laki-laki yang tubuhnya
harum?" tanya Sun Put Ce heran.
"Aih... Sun Taihiap... kau tidak mengerti Pemuda itu kerjanya di
pemandian umum. Setiap hari menggosokkan badan dan kaki orang
dengan sabun wangi. Manusia seperti ini setiap hari berendam di
dalam air. Coba Sun Taihiap bayangkan, orang yang setiap hari
terkena hawa sabun wangi seperti itu, masa tidak wangi. Bahkan
sedikit daki pun tidak ada. Oleh sebab itu perempuan jalang ini
langsung terpikat olehnya." kata pemuda itu dengan wajah
mengenaskan.
"Hm.... Benar juga...." jawab Sun Put Ce setelah merenung
sejenak.
"Andaikata dia minggat bersama laki-laki itu, saya sih tidak
keberatan. Toh tidak ada ruginya bagi kita orang laki, Tapi
setidaknya dia harus meninggalkan semua perhiasan hasil jerih
payah saya bertahun-tahun. Nilainya mencapai laksaan tail!" Pemuda
itu mengeluh.
"Dari mana kau mempunyai uang sebanyak itu?" tanya Sun Put Ce
heran.
"Kakek saya adalah bekas menteri kerajaan Ayah pun berdagang
kecil-kecilan, Namun kami sangat hemat, setiap sen kami kumpulkan
sehingga sekarang dapat hidup berkecukupan," sahut pemuda itu.
"Kalau begitu tadi kau mencengkeramnya demikian keras, untuk
mengambil kembali harta bendamu yang ada padanya?" tanya Sun
Put Ce polos.
"Betul! Dia tidak mau mengembalikan!" kata pemuda itu
bersungut-sungut.
"Barang adalah miiikmu. seharusnya dikembalikan kepadamu
lagi...." ujar Sun Put Ce manggut-manggut.

Pemuda berpakaian warna warni itu memerintahkan kedua
rekannya untuk melepaskan mutiara dan semua perhiasan yang
melekat di tubuh perempuan itu, mereka melakukannya dengan
cepat.
"Sun Taihiap... perempuan ini akan saya bawa pulang.,." katanya.
"Apakah kau masih menganggapnya sebagai isteri?" tanya Sun
Put Ce serius.
"Rasanya tidak lagi...." jawab pemuda itu setelah berpikir
beberapa detik.
"Kalau tidak lagi, buat apa kau membawanya pulang? Benar-benar
manusia macam apa juga ada di dunia ini... biarkan saja dia
pergi...." kata Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Terimakasih, Sun taihiap..." Pemuda itu menjura dalam-dalam.
Dia segera mengajak kedua rekannya untuk meninggalkan tempat
itu. Namun mereka tidak pergi terlalu jauh. Dari balik sebuah dinding
rumah, mereka berhenti dan mengintip apa yang akan dilakukan
oleh orang itu. Kedua rekannya tersenyum terus.
Sun Put Ce tahu kalau gadis itu tertotok jalan darahnya, Dia
segera melepaskan totokan di bagian tengkuknya, tapi rupanya jadi
orang baik memang susah.
Ketika baru sadar, gadis itu menatap ke arah Sun Put Ce, Dan
tanpa diduga-duga, dia melayangkan tangannya menampar pipi Sun
Put Ce dengan keras.
"Kouwnio mengapa kau membalas air susu dengan air tuba?"
tanyanya heran.
Jilid 02
Kalau melakukan pekerjaan lain dapat sambil bersantap tentu
tidak sama dengan menggerakkan tangan memukul orang, Gadis itu

cantik sekali, Dia memperhatikan Sun Put Ce dengan seksama.
Sekarang dia baru sadar bahwa laki-laki ini bukan orang-orang yang
menghadangnya tadi, Tangannya yang masih terangkat ke atas
segera diturunkan. Dia melihat ke arah dirinya sendiri, Seluruh
perhiasan di tubuhnya sudah lenyap, Kemarahan mulai naik ke
kepalanya lagi.
"Ada hubungan apa kau dengan ketiga orang tadi?" tanya gadis
itu dengan mata mendelik.
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Kenal pun tidak!" katanya.
"Lalu siapa kau?" tanya gadis cantik itu lagi,
"Hanya orang yang kebetulan lewat," jawabnya kalem.
"Omong kosong!" bentak gadis itu.
"Hei.... Mengapa kau mengatakan aku omong kosong?" tanya Sun
Put Ce penasaran.
"Tentu kau yang melepaskan semua perhiasanku!" seru gadis itu
dengan wajah me-rah padam.
"Kouwnio jangan menuduh sembarangan. perhiasanmu itu
dilepaskan oleh suamimu sendiri, Bila kau memang sudah tidak
menyukainya dan jatuh cinta kepada pemuda yang bekerja
menggosok badan di permandian umum itu, ya sudah... Buat apa
meributkan perhiasan yang tidak seberapa itu?" kata Sun Put Ce
dengan nada menasehati.
"Kentut!" bentak gadis itu marah. Watak Sun Put Ce sangat sopan
dan lagi pula polos.
"Mana boleh seorang gadis mengucapkan kata-kata kotor seperti
itu?" tegurnya.

"BoIeh saja kalau terhadap seorang kutu busuk seperti engkau!"
seru gadis itu lantang.
"Apakah aku salah bicara lagi?" tanya Sun Put Ce sambil
mengerutkan keningnya.
"Tentu salah! Aku masih suci, mana bisa punya suami? Bukankah
itu suatu bukti bahwa kau ngaco belo saja?" teriak gadis itu kesal.
Sun Put Ce terpana sejenak, Kemudian dia tertawa lebar.
"Kouwnio.... Sudah terang kau berbuat salah, mengakulah!"
katanya.
Gadis itu merasa dirinya dipermainkan Dia makin percaya bahwa
laki laki di hadapannya ini sekelompotan dengan orang-orang yang
merampas perhiasannya. Sambil berteriak, dia melancarkan dua
buah serangan sekaligus.
Sun Put Ce kalau melakukan pekerjaan memang lambat Tapi
kalau menghadapi serangan ternyata cepat sekali, Dia menggeser
dua langkah ke samping. serangan gadis itu pun luput.
"Hmmm, Pantas saja berani merampok di tengah jalan umum.
rupanya punya sedikit kepandaian...." ejek gadis itu. Dia
mengeluarkan sebuah pecut panjang dari lilitan pinggangnya,
Bersiap-siap untuk melancarkan serangan lagi.
Sun Put Ce memperhatikan gadis itu dengan seksama, Wajahnya
sungguh cantik, Cara berpakaiannya juga terlihat dari keluarga
berada dan berpendidikan, Mengapa bisa jatuh cinta dengan seorang
pemuda yang kerjanya menggosok badan orang? Benar-benar orang
macam apa pun ada di dunia ini. Hmmm.... Wanita yang cantik
belum tentu bijaksana dan baik hati, Tapi wanita yang bijaksana dan
baik hati sudah pasti akan tampak cantik, Gadis di hadapannya ini
entah termasuk yang depan atau yang belakang.,.? pikirnya dalam
hati.

"Tunggu dulu! Apakah pemuda yang berpakaian warna warni
berwajah putih dan cukup tampan itu bukan suami Kouwnio?" tanya
Sun Put Ce menegaskan sekali lagi.
Gadis ini merenung sejenak. sepertinya dia tidak ingat lagi
tampang orang-orang tadi.
"Tadi ketika saya lewat di jalan ini, saya mendengar suara
teriakan.." Sun Put Ce menceritakan kejadian yang ditemuinya
barusan.
Gadis itu terperanjat,...
"Jadi dia?"
"Siapa orang itu?" tanya Sun Put Ce.
"Kau tidak tahu?" Gadis itu berbalik tanya.
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Tentu kau juga tidak tahu siapa aku?" tanyanya dengan alis
berkerut Sekali lagi Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Hal apa saja yang kau ketahui?" tanya gadis itu sambil
menatapnya dengan pandangan meremehkan.
"Apa yang aku ketahui memang tidak banyak, Tapi orang dan apa
saja yang aku ketahui, belum tentu kau juga tahu...." kata-katanya
membingungkan.
Tapi tampaknya gadis itu mengerti apa yang dimaksudkan oleh
Sun Put Ce.
"Saya tidak percaya...." sahutnya.

"Apakah kau tahu asal usul ranting pohon ini?" tanyanya sambil
mengeluarkan ranting yang disimpan di balik bajunya.
Gadis itu memperhatikan sekejap.
"Bukankah ranting itu diambil dari pohon yang besar itu?" tanya
gadis itu sambil menunjuk pohon besar yang ditebas oleh laki-laki
berpakaian hitam tadi.
"Tahukah kau, mengapa saya membawa ranting ini?" tanya Sun
Put Ce kembali.
"Segala macam manusia ada di,dunia ini. Aih.... Andaikaia kau
mau membawa batu besar pun, siapa yang perduli?" katanya sambil
menggelengkan kepala.
Wajah Sun Put Ce menjadi cerah mendengar kata-kata itu.
"Apa yang dikatakan Kouwnio memang benar.. Dan tahukah
engkau dari perguruan mana saya berasal?"
"Kalau dilihat dari tingkah lakumu, pasti bukan berasal dari
perguruan yang terkemuka...." sahut gadis itu dengan nada
mengejek.
"Suhu memang bukan manusia paling hebat di kolong langit Tapi
juga tidak dapat dikatakan bahwa namanya tidak terkenal sama
sekali...." kata Sun Put Ce tersenyum.
Gadis itu ikut tertawa, Orang ini tampaknya cantik juga...
"Lalu.. siapakah suhumu itu? Dan siapa pula namamu?" tanyanya.
"Nama saya... Sun Put Ce. Murid terbungsu dari Tionggoan taihiap
Pang Tiong Seng..." jawabnya menjelaskan.
Mata gadis itu membesar. Kalau bukan terkejut, mana mungkin
dia membelalakkan matanya sebesar itu.

"Nama saya Bwe Mei.,." katanya,
"0h... rupanya Bwe Kouwnio.... Apakah laki-laki tadi benar-benar
bukan suamimu?" kata Sun Put Ce setelah menjura dengan sopan.
"Tentu saja bukan! Kau terlalu jujur, Mau saja ditipu mereka!"
katanya.
"Ditipu?" tanya Sun Put Ce terkesiap.
"Dengan susah payah kepergok olehnya. Melihat kedatanganmu
mereka sengaja mengarang sebuah cerita dan mengatakan bahwa
aku adalah isterinya," kata Bwe Mei kesal.
"Aih.... Segala macam manusia ada di dunia ini.... Orang-orang itu
sungguh licik, Mereka bisa saja mengarang sebuah cerita yang
begitu meyakinkan Bwe Kouwnio.... Saya masih ada urusan lain,
Maaf, saya ingin mohon diri...." katanya, Lalu dia membalikkan
tubuh untuk meninggalkan tempat itu.
"Tunggu dulu! Sun taihiap saya belum mengucapkan terima kasih
atas pertolonganmu tadi...." ucapnya sambil menjura dengan penuh
hormat.
"Tidak apa-apa.... Tapi ada seorang gadis cantik seperti kau
mengucapkan terima kasih, membuat saya merasa bangga...." katakatanya
tidak beraturan lagi.
Gadis itu tersenyum, jarang ada manusia sepolos ini di dunia....
"Sun Put Ce.... Saya ingin memberikan sebuah tanda mata...."
katanya sambil menyodorkan sesuatu ke tangan laki-laki itu.
Sun Put Ce menerimanya, Dia membuka telapak tangan dan
melihat apa yang diberikan gadis itu. Rupanya sebuah dompet kecil
yang memancarkan keharuman.
"Terima kasih atas hadiah Kwe Kouwnio.,." ujarnya.

-oooo0oooo-
Bagian Tiga
Malam baru hujan...
Tidak besar juga tidak terlalu kecil Kalau hujan seperti ini turun
terus, orang-orang tentu akan kesal juga.
Di ruangan keluarga Fang, tetap terang seperti sebelumnya.
Meskipun ruangan itu terang benderang, wajah Fang Tiong Seng
justru diselimuti awan gelap, Dia duduk di kursi singa tersebut.
Mo Put Chi, Hu Put Chi, Sun Put Ce dan yang lainnya berdiri di
sebelah kiri Kwe Po Giok berdiri di sebelah dengan pakaian
berkabung, Ruangan besar itu sunyi senyap. hujan menerpa atap
rumah menimbulkan suara sendu.
Di tangan Fang Tiong Seng tergenggam sebatang ranting pohon,
Sun Put Ce kembali dan menyodorkan sebatang ranting pohon
kepadanya, Kedua suhengnya belum mengatakan "Manusia macam
apa pun ada di dunia ini", Sun Put Ce merasa keadaan itu berbeda
dengan biasanya.
Sebatang ranting pohon, Setiap orang menatapnya dengan
seksama, seperti ranting itu bisa berubah menjadi emas setiap saat
Benar-benar tidak masuk akal! pikiran ini tentu saja hanya ada di
benak para pengawal yang ilmunya masih rendah. Bagi ketiga murid
Fang Tiong Seng, mereka tahu ranting menyiratkan sebuah makna
penting bagi suhunya.
"Sam sute... bagaimana tampang orang yang memberikan ranting
pohon itu?" tanva Hu Put Chi.
"Orang yang aneh...." sahut Sun Put Ce.
"Bagaimana anehnya?" tanya Hu Put Chiu penasaran.

"Pokoknya aneh sekali...." Sun Put Ce mencoba menggambarkan
dengan gerakan tangan tapi tidak berhasil.
"Nada bicaramu selalu membuat orang kesal!" kata Hu Put Chiu.
"Put Chiu, jangan kau salahkan sute-mu...." kata Fang Tiong Seng
sambil menatap kedua muridnya bergantian.
"Suhu.... Pekerjaan apa yang dapat diselesaikan olehnya?" gerutu
Hu Put Chi, (Maksudnya "Manusia ada yang tinggi dan ada yang
pendek), Nilai seseorang tidak dapat dilihat dari ucapannya saja...."
kata sang guru.
"Suhu... teecu tidak mengerti," kata Hu Put Chiu dengan wajah
tertunduk.
"Tentu saja kau tidak mengerti, semua orang yang ada di ruangan
ini juga belum tentu ada sepuluh persen yang mengerti." kata Fang
Tiong Seng.
Orang-orang yang ada dalam ruangan itu saling pandang,
Semuanya memancarkan sinar mata kebingungan.
"Nilai seorang manusia hanya dapat terlihat bila dia sudah
kehilangan segalanya," katanya kemudian.
Kalau sudah kehilangan segalanya, mana ada yang tersisa lagi?
Kwe Po Giok menganggukkan kepalanya berkali-kali. Tampaknva
hanya dia seorang yang mengerti. Sungguh-sungguh merupakan
seorang anak yang berotak cerdas!
Fang Tiong Seng menatap ranting pohon itu sekali lagi.
"Sungguh jurus yang hebat! Kecepatan pedangnya sulit diuraikan
dengan kata-kata! Pantas saja dalam waktu tiga bulan dia sanggup
membunuh tujuh belas jago dari Tionggoan!" ujarnya sambil
menghela nafas, wajah orang-orang di kiri kanannya berubah.

"Apakah dia adalah Toa Tek To Hun?" tanya beberapa orang
serentak.
"Pasti!" jawab Fang Tiong Seng yakin.
"Kalau begitu besok tengah hari adalah waktu kematiannya!" seru
Mo Put Chi dengan suara lantang.
"Bukan waktu kematiannya, tapi waktu kematianmu!" sahut Fang
Tiong Seng. Mo Put Chi terpana, Sebagian besar orang yang ada di
sana ikut terkejut.
"Aku?" tanya Mo Put Chi tidak mengerti.
"Kau sudah mengikuti aku sekian lama. Aku paling tahu sifatmu!"
kata Fang Tiong Seng menganggukkan kepalanya.
"Mo Put Chi mati pun tidak mau mengalah. Aku saja tahu...."
sambung Kwe Po Giok, Orang-orang yang ada di dalam ruangan itu
semua menoleh ke arahnya, Bocah ini selalu dapat berpikir melebihi
orang lainnya, Fang Tiong Seng juga menatap kepadanya.
"Aku ingin bertanya.... bila aku mati di bawah pedang seseorang,
apa yang akan dilakukan olehnya?" tanya laki-laki itu menunjuk ke
arah Mo Put Chi.
"Dia pasti akan mengadu nyawa dengan orang tersebut. Tapi
kalau Fang lopek saja bukan tandingan orang itu, apalagi Mo toako...."
jawab Kwe Po Giok dengan suara berat Dia menarik nafas
panjang.
Fang Tiong Seng menganggukkan kepalanya dengan puas,
Sungguh seorang bocah yang cerdas, wajahnya pun menjadi kelam
seketika.
"Oleh sebab itu, besok adalah hari kematiannya!" kata laki-laki itu.
Mo Put Chi tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Se-akan apa yang
didengarnya tadi sama sekali tidak berarti.

"Hanya dengan melihat ranting pohon itu saja, Fang lopek sudah
dapat memastikan diri bukan tandingannya?" tanya Kwe Po Giok
penasaran.
Fang Tiong Seng meraba ujung ranting itu.
"Jika kau melihat cara potong daging seorang juru masak, kau
akan segera tahu, apakah dia seorang koki yang hebat atau tidak,
iya kan?" sahutnya, Fang Tiong Seng mengulurkan tangan dan
membelai-belai kepala bocah itu, Tampak sekali dia sangat
menyayanginya.
Anak buah Fang Tiong Seng tidak mengerti apa hubungan cara
potong daging seorang juru masak dengan ranting pohon yang
ditebas Toa Tek To Hun.
"Saya mengerti, walaupun Toa Tek To Hun hanya menebas
sebatang ranting pohon, tapi dari cara dan bentuk ranting itu sendiri,
kau orang tua sudah dapat menafsirkan berapa hebatnya jurus yang
digunakan dan kecepatan gerakan pedangnya!" sahut Kwe Po Giok,
Pedang apakah yang demikian mengerikan? Benar-benar tidak
dapat dibayangkan! Fang Tiong Seng seakan terkejut mendengar
jawaban Kwe Po Giok.
"Bagaimana kau bisa mengerti sedemikian dalam?" tanyanya
heran.
Wajah Kwe Po Giok menampilkan rona merah. Dia tersipu-sipu.
"Sejak usia tiga tahun, saya mendapat sebutan Bocah Ajaib,"
ujarnya dengan kepala tertunduk, Kwe Po Giok segera menjatuhkan
diri dan berlutut di hadapan Fang Tiong Seng. ia membenturkan
kepalanya di atas lantai tanpa berhenti.
Langkahnya itu membuat orang-orang yang hadir disana terpana,
Hanya ada satu orang yang mempunyai pikiran! "Manusia macam
apa pun ada di dunia ini", Apakah orang yang disebut sebagai

manusia jenius, bocah ajaib adalah seperti siluman yang menjelma
menjadi manusia?
"Kwe Po Giok! Kau...." Fang Tiong Seng ikut terkesiap.
"Saya tahu. Apa yang dikatakan Fang lopek tidak mungkin
bohong, Fang lopek mengakui bukan tandingan Toa Tek To Hun
juga pasti benar, seharusnya saya tetap tinggal disini dan mengadu
nyawa bersama lopek. Tapi dendam sedalam lautan masih belum
terbalas, Saya mohon lopek mengerti dan menyebutkan sebuah jalan
keluar yang baik untuk anak!" katanya sambil terus membenturkan
kepala ke lantai.
Jidatnya sudah biru dan bahkan mulai mengeluarkan darah. Tapi
bocah yang keras kepala ini tetap tidak mau berhenti.
"Kau ingin aku mengatakan, siapa yang dapat mengalahkan Toa
Tek To Hun saat ini?" tanya Fang Tiong Seng sambil menarik nafas
dalam-dalam.
Kwe Po Giok terus membenturkan kepalanya.
"Ayah mati dengan cara demikian mengenaskan. Saya harus
membalaskan dendam dia orang tua!" katanya dengan air mata
bercucuran.
Setiap orang yang hadir dalam ruangan itu turut terharu.
Sebagian besar ikut menitikkan air mata. Fang Tiong Seng dengan
hati tertekan mengangkatnya bangun, Mo Put Chi memukul tinjunya
ke telapak tangan yang satunya, Suara keras memekakkan telinga
orang-orang yang ada dalam ruangan itu.
"Peristiwa ini bukan hanya mengakibatkan dendam pribadi saja.
juga menentukan kelanjutan nasib dunia persilatan, jika tidak ada
orang yang sanggup menghentikan, entah masih berapa banyak
korban yang akan jatuh," kata Fang Tiong Seng dengan suara berat.

"Mengapa kita tidak menghindarinya untuk sementara? Kita bisa
secara diam-diam mengumpulkan para pendekar untuk bersatu
menghadapinya!" kata Hu Put Chiu memberikan usul.
Mo Put Chi ingin sekali berteriak setuju. Sebagian besar orangorang
yang mendengarnya juga sependapat. Menghadapi orang
yang begitu lihai, tidak hanya dapat dilakukan dengan pedang saja.
Kadang-kadang perlu menggunakan akal juga!
"Toa Tek To Hun menghadapi musuh-musuhnya secara terang,
Dia menggunakan ilmu sejati. Memang tindakannya agak telengas,
namun tidak menyalahi peraturan Bulim. Bagaimana kita boleh
mengeroyoknya? Aku, Fang Tiong Seng tidak akan melakukan
perbuatan yang begitu memalukan!" katanya.
Kepala Hu Put Chiu tertunduk malu. Mo Put Chi juga menahan
ucapan yang akan keluar dari bibirnya tadi, orang-orang yang hadir
di sana juga ikut terdiam mendengar kata-kata tersebut.
Akhirnya Mo Put Chi tidak dapat menahan diri lagi. "Apakah di
dunia yang luas ini tidak ada seorang pun yang dapat
mengalahkannya?" teriaknya dengan suara tidak puas.
Pertanyaan ini memang sudah sejak tadi ditahan oleh setiap
orang. Fang Tiong Seng memandang sekali lagi pada ranting di
tangannya, Dia menarik nafas panjang, wajahnya berkerut-kerut,
seakan sedang mengertak.
"Munkin ada satu orang.... Hanya satu orang itu...." jawabnya
terpatah-patah.
Mata orang-orang yang hadir bersinar penuh harapan, Di dunia ini
masih ada manusia yang satu itu? Yang masih dapat membuat hati
setiap orang berdebar-debar?
Balas dendam memang perlu, Jago Fu sang itu sudah terlalu
merajalela. Paling tidak harus dibuktikan kepadanya bahwa

Tionggoan juga masih memiliki jago yang dapat diandalkan! Hal ini
mungkin lebih penting dari sekedar dendam pribadi.
"Siapakah orang ini? Di mana tinggalnya?" tanya Kwe Po Giok
beruntun.
"Dia pernah berkelana sampai ke sembilan negara, tapi lebih suka
meninggalkan dunia ramai dan menjadi dewa!" sahut Fang Tiong
Seng.
"Yang lopek katakan itu dewa atau manusia?" tanya Kwe Po Giok.
"Dia dapat disebut dewa manusia bagi dunia kita, Juga
merupakan dewa dari segala pedang!" kata Fang Tiong Seng
menjelaskan.
"Apakah lopek tahu di mana tinggalnya?" tanya Kwe Po Giok
masih kurang puas.
"Di atas Tang hay (Laut Timur) di tengah lautan luas, Ada sebuah
kapal dewa. Layar yang berkembang merupakan sehelai kain
pancawarna, Setiap tahun pada bulan Tiong chiu (Bulan delapan
tanggalan cina) dia selalu berada di sebuah perkampungan nelayan
dan beristirahat di sana," jawab Fang Tiong Seng, Dia berjalan
menuju jendela, Bintang-bintang memenuhi angkasa.
Malam yang indah. Orang-orang yang hadir tidak dapat menahan
diri untuk ikut melongok sekejap, Bulan segera akan membulat,
Mereka memikirkan manusia setengah dewa yang tinggal di atas
lautan, Mengembangkan layar dan berkeliling ke seluruh penjuru
dunia, Betapa menyenangkan hidup seperti itu!
"Tiong chiu sudah dekat. Orang itu pasti akan mengunjungi
perkampungan nelayan tersebut Sayangnya, meskipun kalian dapat
menemukan beliau, belum tentu dapat mengundangnya datang...."
kata Fang Tiong Seng sambil menarik nafas.

"Mengapa?" tanya Kwe Po Giok. "Sebab dia sudah dua puluh
tahun lebih mengasingkan diri dan tidak turut campur urusan
duniawi, Di Bulim sekarang sudah tidak ada jago yang pantas
menjadi lawannya lagi," kata Fang Tiong Seng.
"Masih ada satu... ya, paling tidak masih ada satu jago...." tukas
Kwe Po Giok. Anak murid dan para pengawal Fang Tiong Seng
terpana, Memang benar masih ada satu orang yang menjadi
lawannya saat ini.
"Tidak salah! walaupun kalian tidak berhasil mengundangnya
datang, tapi ada semacam barang yang akan membuatnya terpaksa
datang..." ujar Fang Tiong Seng.
"Barang apa?" tanya Kwe Po Giok segera, "Ya! Barang apa yang
dapat mengundang dewa lautan itu? Setidaknya anak murid Fang
Tiong Seng sudah tahu bahwa yang disebut dewa tersebut adalah
seorang manusia juga!
"Ranting pohon ini!" kata Fang Tiong Seng berwibawa.
Mata Mo Put Chi diam-diam menyimpan rasa kurang puas, Hu Put
Chiu kebingungan Sun Put Ce seperti biasa, berdiri acuh tak acuh.
Mungkin mereka sedang berpikir, mengapa begitu banyaknya jago di
Tionggoan ini masih tidak sebanding dengan sebatang ranting pohon
untuk mengundang dewa lautan itu?
Fang Tiong Seng memandang ke arah Sun Put Ce...
"Bawalah ranting pohon ini, ajak Po ji besertamu, Tunjukkan
kepada dewa itu, Dia pasti berada di lautan Timur, di sebuah
perkampungan nelayan pertengahan Tiong chiu ini!" perintahnya.
"Baik!" sahut Sun Put Ce.
"Kau harus berhasil menemukan kapal dengan layar pancawarna
tersebut. Ranting pohon ini harus kau serahkan langsung ke tangan
Dewa laut Timur," kata Fang Tiong Seng selanjutnya.

"Baik!"
"Kalian berangkatlah sekarang juga!"
"Baik," sahut Sun Put Ce. Dia berlutut di hadapan Fang Tiong
Seng, Kepalanya ditundukkan dengan penuh hormat. Demikian juga
kepada Mo Put Chi dan Hu Put Chi. Tanpa mengucapkan sepatah
kata pun, dia menarik tangan Kwe Po Giok dan meninggalkan
tempat itu.
Orang-orang yang hadir mengantarnya dengan pandangan mata,
Tidak ada yang mengucapkan kata-kata apa pun. sebetulnya pada
saat dan detik seperti ini, tidak ada lagi yang harus dikatakan.
Tidak berhasil menemukan Dewa laut Timur, kembali pun tidak
ada gunanya, sedangkan kesempatan untuk bisa bertemu dengan
dewa itu terlalu tipis! Dalam hati Mo Put Chi dan Hu Put Chiu merasa
tindakan gurunya memerintahkan Sun Put Ce mengundang tokoh
pendekar seperti itu, sungguh tidak masuk akal!
Manusia berotak kayu seperti Sun Put Ce, apakah mungkin bisa
mengundang datang Dewa laut Timur itu atau memintanya turun
tangan dalam membasmi Toa Tek To Hun? Tapi kedua orang itu
yakin, dengan berbuat demikian, gurunya pasti sudah mempunyai
pikiran yang matang.
Bulan tidak lama purnama, Pang Tiong Seng menatap langit
sambil menarik nafas panjang.
"Malam panjang sebentar lagi berganti, orang yang sudah harus
meninggalkan tempat ini, sekarang juga sudah boleh pergi. Besok
tengah hari, ruangan ini akan menjadi sebuah tempat kematian!"
katanya.
Kata-kata yang diucapkan oleh Pang Tiong Seng, pasti bukan
gurauan, tetapi Mo Put Chi masih penuh semangat. Hu Put Chiu
masih tetap riang seperti sediakala, bagi mereka keluarga Fang tetap
adalah keluarga Fang, tidak dapat disamakan dengan keluarga lain!

Embun menetes di dedaunan, pagi hari mulai menjelang. Di dalam
pandangan orang yang meninggalkan teman-teman dan
keluarganya, titik embun itu bagaikan air mata yang jatuh, Sun Put
Ce dan Kwe Po Giok sedang menempuh perjalanan. Gunung yang
mereka lalui tidak begitu terjal. Tetapi Sun Put Ce ketinggalan jauh
di belakang Kwe Po Giok, Kelambatannya memang sudah terkenal
Sama sekali bukan karena tidak mau berdekatan atau pun sengaja
menghindari Po Giok.
Bocah itu terpaksa berhenti beberapa kali untuk menunggunya.
"Di dalam dunia kangouw sering orang mengatakan ketiga murid
Pang Tiong Seng, Mo Put Chi selamanya tidak pernah kenal katakata
kalah, Hu Put Chiu cerdas, setia lagi periang, Hanya Sun Put Ce
yang sungguh-sungguh Put Ce alias tak berakal dan tidak berguna,"
kata Kwe Po Giok dengan kepala menggeleng.
"Betul!" jawab Sun Put Ce. Wajahnya sama sekali tidak
menunjukkan perubahan apa-apa.
"Fang lopek pasti tahu. Mo Toako dan Hu jiko tentu tidak mau
kalau disuruh pergi, mereka memilih mati atau hidup bersama
dengannya," kata Kwe Po Giok lagi.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Dan mengapa kau mau disuruh melaksanakan tugas ini?" tanya
Kwe Po Giok.
Wajah Sun Put Ce terlihat aneh, Dia tidak berkata apa-apa,
Apakah ada alasan yang tidak ingin dikemukakan olehnya atau tidak
ada jawaban yang pantas?
"Apakah cara jalanmu selamanya selambat ini?" tanya Kwe Po
Giok mengalihkan persoalan yang tadi.
"Betul!" sahutnya lagi.

"Apakah selain kata "betul" tidak ada yang dapat kau katakan
lagi?" tanya Kwe Po Giok kesal.
"Kadang-kadang bisa juga sepatah atau dua patah..,." jawabnya.
"Coba katakan! sembarangan kata apapun boleh!" ujar Kwe Po
Giok penasaran.
"Jalan perlahan masih lebih baik daripada tidak dapat sampai
untuk selamanya, sejak dulu bahaya yang paling besar bagi manusia
adalah kematian, terkadang kehidupan malah lebih mengerikan dari
pada kematian!"
Beberapa patah terlepas dari mulutnya juga. Kwe Po Giok
memperhatikan Sun Put Ce, kemudian dia menarik nafas panjang,
"Satu, dua patah perkataanmu benar juga. Memang masuk akal!"
katanya, Wajah Sun Put Ce tetap tidak menunjukkan perubahan
apa-apa.
Mereka sudah sampai di atas pegunungan, padang rumput dan
hutan kecil di bawah terlihat jelas. Tampak bayangan orang-orang
yang sedang berkelahi di depan hutan pohon siong itu. Mungkin
juga, kelima atau enam orang itu sedang berlatih kungfu. Tidak ada
suara beradunya pedang atau pun teriakan-teriakan.
"Apakah kau melihat beberapa orang didepan hutan itu?" tanya
Kwe Po Giok.
"lya!" sahut Sun Put Ce.
"Mana yang kau anggap lebih penting, melihat orang-orang itu
atau meneruskan perjalanan?" tanya Kwe Po Giok.
"Dua-duanya penting!" sahut Sun Put Ce.
"Ngaco!" teriak Kwe Po Giok kesal. Sun Put Ce tidak menyahut
Kwe Po Giok segera lari menuruni gunung, Hutan itu tidak terlalu

rimbun, jarak antara pohon yang satu dengan yang lainnya agak
berjauhan, Dari arah sini dapat menembus ujung sebelah sana,
Daun-daun pohon siong memenuhi tanah, Menebarkan semacam
bau yang menyegarkan.
Keenam orang itu sedang saling gebrak, mereka terbagi dua
kelompok. Empat orang yang sebelah dalam berasal dari satu
kelompok dan yang sebelah luar merupakan seorang tua dan yang
satunya masih sangat muda.
Empat orang yang pertama bertubuh tinggi besar, kulitnya hitam
Tiga di antaranya beralis tebal dan berwajah garang, Sekali lihat
saja, sudah kentara bukan orang baik-baik. Yang terakhir lebih
sedap dipandang, yang tua berusia kira-kira enam puluhan ke atas.
Seluruh rambutnya berwarna putih, Waktu telah membuat wajahnya
menjadi keriput.
Kepalanya besar, dadanya rata, punggungnya bungkuk, seperti
orang yang waktu kecilnya kekurangan vitamin D. Semacam
penyakit kelainan dalam kandungan, Tampangnya mengharukan
Setiap kali melancarkan serangan ataupun berkelit nafasnya
terengah-engah, Pakaiannya berwarna putih atas bawah. juga ada
duapuluh atau tigapuluh tambalan di seluruh pakaiannya itu.
Yang muda merupakan seorang anak gadis berusia kurang lebih
tujuh belas atau delapan belas tahun. Mungkin juga karena
rambutnya yang dikepang dua sehingga usianya terlalu lebih muda
dari sebenarnya. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan rona
merah jambu di kedua pipinya.
Dia mengenakan pakaian berwarna ungu yang sudah usang. Juga
penuh dengan tambalan, pakaiannya yang sudah rombeng dan soI
patunya yang telah ternganga di bagian depan, sedikit pun tidak
mengurangi keayuannya. Kedua orang yang satu tua dan satu muda
ini menghadapi empat laki-laki tinggi besar.
Benar-benar tidak seimbang! Dua kelompok manusia ini bertarung
dengan sengit Tampaknya bukan soal balas dendam. Tidak dapat

diterka alasan perkelahian tersebut Mungkin juga sedang mengadu
ilmu..,.
"Keempat orang itu pasti bukan manusia baik-baik.,.." kata Kwe
Po Giok.
"Delapan puluh bagian...." sahut Sun Put Ce.
"Tujuan mereka pasti bukan merampok," kata Kwe Po Giok
kembali.
"Pasti untuk mendapatkan gadis itu," sahut Sun Put Ce.
"Maksudmu mereka mempunyai niat busuk terhadap gadis cilik
itu?" tanya Kwe Po Giok.
"Delapan puluh bagian," sahut Sun Put Ce. Kwe Po Giok
menatapnya sekejap.
"Kau selalu mengatakan delapan puluh bagian, Mengapa tidak
tujuh puluh atau sembilan puluh?" tanyanya.
"Mungkin juga," sahut Sun Put Ce.
"lni terang-terangan yang kuat menindas yang lemah, Sebagai
murid perguruan Fang Tiong Seng, tentu kau tidak akan membiarkan
kejadian ini terlihat olehmu..." kata Kwe Po Giok.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Mengapa kau masih belum turun tangan?" desak Kwe Po Giok.
Sun Put Ce melihat ke medan pertarungan itu. Si orang tua
nafasnya makin tersengal, Suaranya sampai terdengar jelas, Kaki
dan tangannya sibuk menghindari serangan Sebentar lagi pasti akan
mengalami kekalahan.

Gadis itu tidak berbeda jauh, Dia selalu menghindari lawan
dengan cara berkelit kesana kemari, Tidak berani keras lawan keras.
Rasanya dia juga hanya dapat mempertahankan diri tidak begitu
lama lagi.
Laki-laki yang tingggi besar dan temannya yang berwajah hitam
pekat mempunyai ilmu yang jauh lebih tinggi dari kedua rekan yang
lainnya, Orang-orang ini badannya besar, tapi bukan besar-besar
goblok, Jurus-jurusnya kejam dan telengas, Cara bertarungnya juga
mantap, Pasti bukan kaum keroco.
"Kau tidak berani turun tangan?" tanya Kwe Po Giok tidak sabar.
"Bukan!" sahut Sun Put Ce.
"Kalau memang mau turun tangan, cepat sedikit, Bagaimana
kalau kedua orang itu terluka di tangan orang-orang kasar
tersebut?" desak Kwe Po Giok kesal.
"Kemungkinan tidak," sahut Sun Put Ce tenang.
"Kemungkinan tidak? Apa yang kau katakan cuma "mungkin" saja
kan?" kata Kwe Po Giok keki.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Sebetulnya kau mau mengurus atau tidak?" tanya Kwe Po Giok
tidak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Mau!" Dia berjalan maju beberapa langkah. Tangannya
diacungkan, Namun sikapnya santai saja.
"Hei! Bisakah kalian berhenti sejenak?" serunya.
Kedua orang yang disebut lebih lihai itu lebih dulu menghentikan
pertarungan. Yang lainnya ikut mundur tiga langkah, Orang tua dan
gadis muda itu memandang dengan curiga, mereka mengatur
nafasnya yang memburu.

"Ada urusan apa?" tanya laki-laki berwajah hitam pekat.
"Mengapa kalian berenam berkelahi?" tanya Sun Put Ce.
Orang tua itu nafasnya tetap tersengaI-sengal, Si gadis
menatapnya tapi tidak mengatakan apa-apa. Laki-Iaki yang ilmunya
tinggi itu melihat baik orang tua maupun gadis itu tidak menyahut,
Dia maju ke depan .
"Kami sedang berlatih, Orang tua itu adalah supek kami. Yang
gadis adalah sumoi kami. Mengapa kau harus turut campur urusan
kami?" katanya.
Kwe Po Giok terpana, Sun Put Ce tetap tidak memperlihatkan
perasaan apa-apa.
"Lopek.... Saya tidak percaya apa yang dikatakannya, Ceritakan
apa yang sebenarnya telah terjadi?" kata Kwe Po Giok dengan
sopan.
Orang tua itu seperti sedang berpikir juga seperti sedang
mengatur nafasnya yang memburu, dia tidak mengatakan apa-apa.
"Cici ini, coba kau yang jelaskan, Apakah keempat perampok ini
menghina kalian?" tanya Kwe Po Giok tidak kenal menyerah.
Si gadis merenung sejenak, Laki-laki yang berwajah hitam itu
menatapnya dengan tajam, Seakan ingin mendengar apa jawaban
gadis itu.
"Tidak ada apa-apa...." sahutnya lirih.
Orang yang tinggi besar itu tertawa lebar
"Aku lihat kalian berdua kasak-kusuk sejak tadi, Tentu kalian
sendiri yang tidak bermaksud baik," katanya sinis.

"Nama saya Sun Put Ce, murid ketiga dari Tionggoan taihiap Fang
Tiong Seng," kata Sun Put Ce memperkenalkan diri, Tentu saja
orang-orang itu pernah mendengar nama Tionggoan taihiap Fang
Tiong Seng, Mereka juga tahu nama murid-muridnya. sikapnya
berubah agak lunak.
"Fang taihiap bukan orang luar, Kejadian ini hanyalah salah
paham. Benar-benar salah paham." kata orang itu.
"Dalam penglihatan saya sama sekali bukan salah paham!" kata
Kwe Po Giok ketus.
"Bagaimana kau tahu bukan salah paham?" tanya orang itu.
"Saya melihat orang tua dan cici ini berada di bawah tekanan
kalian, Mereka tidak berani mengatakan hal yang sebenarnya," kata
Kwe Po Giok.
"Hal ini tidak benar Andaikata mereka benar-benar takut kepada
kami, sekarang di hadapan murid Fang taihiap seharusnya mereka
mengaku dengan jujur," jawab orang itu. Kwe Po Giok tetap merasa
ada sesuatu yang tidak pada tempatnya, namun dia tidak dapat
menjelaskan nya. ia memandang ke arah Sun Put Ce.
"Bagaimana menurut pendapatmu?" tanyanya.
"Tidak tahu!" sahut Sun Put Ce.
Lak-laki yang berwajah hitam menghampiri sang kakek.
"Supek, mari kita mulai Iagi...." katanya, Selesai berkata dia
sudah menyerang dengan jurus Sungai Bergelombang, Orang tua itu
membalas dengan jurus Burung Hong Menganggukkan Kepala,
Ketiga laki-laki yang lain mengerubuti gadis muda itu kembali.
"Apakah keadaan ini mirip dengan pertarungan antara supek dan
sutit?" tanya Kwe Po Giok.

"Tidak mirip!" sahut Sun Put Ce.
"Mirip apa?" desak Kwe Po Giok,
"Mungkin mirip...."
"Dapatkah kau tidak memakai kata "mungkin" lagi?" potong Kwe
Po Giok kesal.
"Seperti peristiwa Couw yi dan ()oy Kai," kata Sun PutCe.
Otak Kwe Po Giok berputar sejenak.
"Maksudmu yang satu memang ingin memukul dan yang lainnya
rela dipukul?" kata bocah cerdas itu.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Kau tampaknya tidak bodoh, hanya agak kurang luwes sedikit,"
kata Kwe Po Giok setelah memperhatikannya dengan seksama.
Sun Put Ce tidak menjawab, Bibirnya menyunggingkan sebuah
senyum getir.
"Menurutmu, apa yang harus kita Iaku-kan?" tanya Kwe Po Giok.
"Kau saja yang mengatakannya." sahut Sun Put Ce.
"Tampaknya, kau sama sekali tidak mempunyai pendapat?" kata
bocah itu kembali.
"Kadang-kadang ada juga...." sahut Sun Put Ce kalem.
"Kau lihat, saya akan menghentikan mereka, Kemudian meminta
yang keempat orang pergi ke bagian kiri dan kakek serta gadis cilik
itu menuju sebelah kanan, Bagaimana pendapatmu?" tanya Kwe Po
Giok.

"Bagus sekali," sahut Sun Put Ce.
"Dengan demikian, berarti kau mengerti apa yang saya
maksudkan?" tanyanya kembali.
"Mengerti sedikit," sahut Sun Put Ce tetap tanpa menunjukkan
perasaan apa-apa.
Kwe Po Giok dengan gaya tidak sabar mengulapkan tangannya,
Dia tidak tahu harus tertawa atau menangis menghadapi sikap Sun
Put Ce. Tiba-tiba dia berteriak dengan suara lantang....
"Cuwi harap berhenti!"
Orang yang tinggi besar dan berwajah hitam pekat itu agaknya
kepala rombongan mereka, Dia yang pertama-tama menghentikan
pertarungan tersebut, Dipandangnya Kwe Po Giok dengan tatapan
tajam.
"Apa yang saudara cilik ini inginkan?" tanyanya.
"Kalian tidak tampak seperti kenalan lama. Apalagi sedang berlatih
ilmu antara supek dan sutit," katanya.
Mata orang itu seperti hampir keluar.
"Saudara cilik, kami hanya menghormati Fang taihiap, Keseganan
kami tidak sama sekali bukan berarti kami takut pada kalian,"
katanya.
"Jadi... apa lagi yang hendak kau lakukan?" lanjut rekannya yang
lain.
"Saya tahu,., saya hanya bermaksud baik, Sama sekali tidak
berterima kasih, malah menyalahkan!" ujar Kwe-Po Giok.
"Maksud baik apa?" tanya laki-laki berwajah hitam itu.

"Sun toako itu nama aslinya Sun Put Ce, Kalian tentu tahu,
namanya itu: benar-benar sesuai dengan namanya. Arti Put Ce
adalah tidak berakal, atau dapat dikatakan tidak senang melihat
yang tidak adil. Dia paling benci melihat pertarungan. Apa pun
alasannya, Apalagi melihat kalian melihat dua orang kakek dan gadis
muda melawan empat orang laki-laki tinggi besar seperti kalian, Dia
pasti akan menghentikan pertarungan ini. Bila tidak, kalian terpaksa
harus berusaha mengalahkannya, baru dia merasa puas," kata Kwe
Po Giok sambil menunjuk ke arah Sun Put Ce yang berdiri di
kejauhan.
Laki-laki berwajah hitam itu seperti merenung sejenak, Dia
meragukan kekuatan mereka berempat dapat melawan murid dari
Tionggoan taihiap yang termasyur, mukanya terlihat bingung.
"Lalu bagaimana pendapat saudara kecil?" Dia balik bertanya
kepada Kwe Po Giok.
"Sikap Sun toako ini sudah menjadi adat-nya sejak kecil Urusan
apa pun yang ingin tangani, pasti harus selesai baru mau sudah.
Menurut pendapat saya, lebih baik kalian berpisah diri untuk
sementara. Kau dan rombonganmu mengambil jalan sebelah kiri dan
kedua orang kakek dan gadis itu mengambil arah sebelah kanan,
Bukankah ini jalan terbaik?" kata Kwe Po Giok memberikan
sarannya,
"Baiklah, Memandang wajah Fang tai-hiap, looce mengalah untuk
kali ini. Supek! Sumoi! Sutit saat ini sudah terlalu sabar.,." kata lakilaki
itu. Kemudian dia menggapai tangan kepada ketiga rekannya
dan mengajak mereka meninggalkan tempat tersebut
Orang tua dan gadis itu juga tidak menengok ke arah Sun Put Ce
atau Kwe Po Giok barang sekejap, Mereka melangkah ke arah yang
berlawanan.
Kwe Po Giok dan Sun Put Ce berdiri termangu.

"Tahukah kau apa yang sebetulnya terjadi di antara mereka?"
tanya si bocah.
"Tidak jelas!" sahut yang lebih tua.
"Benarkah kedua orang tua dan muda tadi begitu miskin sampai
pakaian pun penuh dengan tambalan-tambaIan...?" kata Kwe Po
Giok.
"Tidak!" sahut Sun Put Ce seperti biasanya.
"Bagaimana kau bisa mengatakan mereka tidak miskin? Baju
mereka begitu rombeng, di kantong yang tergantung di pundak ada
dua buah mangkok kotor, di dalamnya masih tersisa setengah butir
bakpao jagung!" tanya Kwe Po Giok dengan mata terbuka lebar.
Sun Put Ge tidak mengeluarkan suara.
"Tampang mereka tidak seperti orang miskin, Wajah orang tua itu
terang dan berwarna merah. Apalagi gadis itu. wajahnya cantik,
Tangannya halus, Mereka menyamar sebagai orang miskin tentu
mempunyai alasan tersendiri," kata Kwe Po Giok seperti
menerangkan kepada dirinya sendiri.
"Betul!" sahut Sun Put Ce tanpa diminta.
"Apakah kau dapat menduga alasan mereka menyamar menjadi
orang miskin?" tanya bocah itu.
"Tidak!" jawabnya.
Kwe Po Giok mendengus, Dengan kesal dia melangkahkan
kakinya. Sun Put Ce mengikuti dengan langkah perlahan-Iahan.
jarak mereka mulai berjauhan. Kwe Po Giok berhenti di depan
menunggunya.

"Kedua belah pihak sama-sama tidak mau mengatakan sebab
musabab perkelahian tadi, Di dalam peristiwa ini pasti ada suatu
rahasia," katanya.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Ada sebuah cara untuk mengetahui rahasia tersebut...." kata Kwe
Po Giok setelah teman seperjalanannya sudah berendeng di sebelah.
"Betul!" sahut si manusia lambat itu. Mata Kwe Po Giok bersinar
terang,
"Kau juga tahu caranya?"
"Tidak! Kau yang tahu," sahut Sun Put Ce.
Kwe Po Giok benar-benar kesal.
"Caranya ialah mengikuti kakek dan gadis tadi. Dengan demikian
kita bisa menyelidiki urusan ini," katanya menjelaskan.
"Betul!" sahut Sun Put Ce. Kwe Po Giok mendelikkan matanya.
"Bagaimana Fang lopek bisa menyerahkan urusan ini...." Katakatanya
terhenti Dia tidak tega menyakiti hati teman seperjalanannya
itu. Sun Put Ce tertawa getir.
"Saya rasa keempat orang kasar tadi pasti telah berputar arah dan
mengejar mereka," kata Kwe Po Giok kembali pada pokok persoalan.
"Betul!" Tidak usah dikatakan lagi siapa yang mengucapkan katakata
itu.
"Apakah kau dapat menduga arah mana yang diambil sang kakek
dan gadis muda itu?" tanya si bocah lagi.

"Arah Utara," jawaban Sun Put Ce kali ini benar-benar di luar
kebiasaannya.
"Tentu saja, Saya menyuruh mereka berpencar Yang satu ke arah
Barat, yang satu lagi ke arah Timur. sedangkan kita datang dari arah
Utara. Pasti kita tidak akan kembali ke Utara dan tujuan kita adalah
ke Selatan, Orang tua dan gadis itu tidak mungkin mengikuti
keempat orang tadi mengambil arah Timur, arah mereka sudah pasti
Utara!" kata Kwe Po Giok.
"Kau benar-benar cerdas!" Kata-kata ini membuat Kwe Po Giok
terpana.
"Dan kau juga sudah menampakkan kemajuan. Paling tidak, katakatamu
sudah lebih dari satu, dua patah," katanya. Sun Put Ce
tertawa getir sekali lagi.
Kedua orang itu segera berganti arah dan mengejar sejauh empat
li, ternyata dugaan Kwe Po Giok memang tidak salah, Keenam orang
itu telah berbaku hantam kembali. Orang yang berwajah hitam itu
sedang tertawa terbahak-bahak.
"Kedua manusia bego itu mengira dirinya pintar, Sekarang tentu
sudah berada sejauh sepuluh li dari sini. Kalau barang tidak juga
diserahkan, kalian akan mengalami akhir yang menggenaskan...!"
teriaknya.
"Hek Houw! Untuk apa kalian yang menginginkan barang ini?"
tanya gadis muda itu.
Laki-laki yang dipanggil Hek Houw alias si Macan hitam itu
menggeram,
"Untuk apa? Sejak pembunuh bayaran itu datang ke Tionggoan,
tujuh belas pertarungan telah dimenangkan olehnya. Berarti tujuh
belas kochiu telah tewas di tangan-nya. Nama Hek Houw bukan
tidak terkenal Siapa tahu dalam daftarnya, namaku juga ikut
tercantum!" serunya.

"Kau hanya takut namamu tercantum dalam daftar orang yang
harus dibunuh olehnya, Apakah kau tidak memikirkan bahwa orang
lain juga mempunyai rasa takut yang sama?" Gadis ini tidak mau
kalah.
"Pokoknya kalian sudah terpegok oleh loocu, Bagaimana pun
barang itu harus diserahkan!" kata Hek Houw.
"Serahkan barang apa?" tanya gadis itu seperti tidak mengerti.
"Barang apakah yang kalian kawal sekarang ini? Apakah kalian
benar-benar tidak tahu? Sungguh membuat orang tertawa geli!" Hek
Houw memperlihatkan tawanya yang lebih mirip seringai seekor
harimau, "Hek Houw! Kau jangan terkena siasat "sekali lempar batu,
dua ekor burung terkena"," kata orang tua itu.
"Maling tua! Kau jangan pura-pura Iagi, barang itu ada di saku
cucumu. Pepatah mengatakan "Nyawa lebih penting dari harta
benda sedangkan yang disimpan oleh cucumu itu hanya sebatang
jinsom berusia tiga ribu tahun, Ukurannya seperti sebatang lobak
besar, Sudah berbentuk!" kala Hek Houw.
Orang tua dan cucunya itu tidak dapat lagi berkata apa-apa.
Sun Put Ce dan Kwe Po Giok saling pandang sekejap. Rupanya
kedua orang kakek dan cucu itu mempunyai usaha pengawalan
barang rahasia. Mereka menyamar sebagai orang miskin untuk
menghindari perampokan, Di dunia ini ada jinsom sebesar itu. Kwe
Po Giok dan Sun Put Ce bahkan belum pernah mendengarnya.
"Chow Ceng si penyakitan! Barang itu tidak senilai dengan dua
lembar nyawa. Serahkanlah kepadaku!" bentak Hek Houw.
Peng Chow Ceng alias Chow Ceng si penyakitan adalah seorang
piauwsu terkenal. Untuk mengawal yang langka ini, dia rela
mengorbankan jenggotnya yang panjang, Tujuannya tentu saja agar
tak dikenali orang, penyamaran mereka sebagai pengemis ternyata
tidak dapat mengelabui Hek Houw.

"Bila jinsom ini sampai hilang, dua lembar nyawa pun tidak
sanggup menggantikan!" sahut Peng Chow Ceng.
"Paling tidak, kalian bisa bersembunyi di tempat yang aman, Bila
aku tidak lama lagi akan mengalami nasib yang sama dengan
ketujuh belas orang jago itu," kata Hek Houw.
"Kau kira setelah menerima hadiah ini, (Pembunuh bayaran dari
Fu sang) itu tidak akan membunuhmu lagi?" tanya Peng Chow Ceng
sambil tertawa dingin.
"Tidak! Jinsom itu bukan untuk dihadiahkan kepadanya," jawab
Hek Houw.
"Jadi kepada siapa hendak engkau hadiahkan barang yang begitu
berharga?" tanya si gadis muda.
"Urusan sudah jadi begini, Dibicarakan juga tidak apa, Tentu saja
akan aku hadiahkan kepada seorang yang sanggup melawan Toa
Tek To Hun!" jawabnya seraya menarik nafas.
"Siapa orang tersebut?" tanya Peng Chow Ceng.
"Aih.... Berat aku mengatakannya...." sahutnya kembali.
"Bila di dunia benar-benar ada seorang seperti yang kau katakan
dan orang itu adalah manusia yang matanya terbuka lebar melihat
barang berharga, aku dapat memastikan bahwa dia masih bukan
tandingan Toa Tek To Hun!" kata Peng Chow Ceng sinis.
"Tidak! Tidak! Bukan diberikan kepada orang tersebut, tapi
diberikan kepada orang yang berada di sampingnya, Maling tua!
sebetulnya kau sayang barang atau sayang nyawa?" tanya Hek
Houw menegaskan.
Orang tua dan gadis itu tidak menyahut, wajah mereka diselimuti
hawa pembunuhan. Pada saat itu, Kwe Po Giok menoleh ke arah Sun
Put Ce.

"Apakah kau pernah mendengar ada jinsom sebesar itu di dunia
ini?" tanya bocah cerdas itu.
"Tidak pernah!" sahut Sun Put Ce.
"Ternyata Hek Houw ingin merampas jinsom untuk
menyelamatkan nyawanya." kata Kwe Po Giok,
"Betul!" sahut Sun Put Ce seperti biasanya.
"Menurut pendapatmu, pihak mana yang harus kita bela?" tanya
Kwe Po Giok.
"Terserah!" sahut rekannya.
"Urusan sebesar ini mana boleh terserah?" kata Kwe Po Giok.
Karena kedua-dua pihak sama-sama patut dikasihani." jawab Sun
Put Ce.
"Coba kau jelaskan!" pinta si bocah.
"Kedua kakek dan cucu itu mencari makan dengan usaha
pengawalan, barang itu tidak boleh sampai hilang, mereka tidak
akan sanggup menggantinya. Demi menyelamatkan selembar
nyawanya, Hek Houw terpaksa harus mendapatkan jinsom itu.
Keadaan seperti ini sungguh mengenaskan!" jawab Sun Put Ce jauh
melebihi dua patah seperti biasanya.
Sun Put Ce, saya sungguh kagum kepadamu!" kata Kwe Po Giok
polos.
"Apa yang kau kagumi?" tanya Sun Put Ce heran.
"Rasa adil dalam dirimu, Tidak pernah berat sebelah, Suatu ilmu
yang tidak sia-sia," kata Kwe Po Giok mengacungkan jempol nya.

Sun Put Ce menggelengkan kepala dan tertawa getir, Saat itu
keadaan si kakek dan cucunya sudah semakin berbahaya.
"Kita harus segera turun tangan," kata Kwe Po Giok.
Sun Put Ce tidak memberi tanggapan.
"Mengapa? Kau takut?" tanya Kwe Po Giok.
Sun Put Ce menganggukkan kepala, Hal ini di luar dugaan Kwe Po
Giok. Meskipun Sun Put Ce merupakan murid yang paling tidak
berguna di antara ketiga orang murid Fang Tiong Seng, namun
dalam hatinya, ia tidak menyangka laki-laki itu begitu pengecut.
"Apa yang kau takuti?" tanyanya tidak puas.
"Takut salah ikut campur," jawabnya.
"0h.... Begitu rupanya," ujar Kwe Po Giok lega.
"Betul!"
"Kalau kita sudah terlanjur mengerjakan sesuatu, kita tidak boleh
setengah-setengah," kata Kwe Po Giok membesarkan hatinya.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Apa lagi yang kau takuti?" desak Kwe Po Giok, Sun Put Ce malah
merenung.
"Kita toh sudah terlanjur turut campur, jangan ada kepala tiada
buntut, Kakek dan cucunya itu kasihan sekali!" kata Kwe Po Giok
yang merasa simpati kepada kedua orang itu.
"Betul! Manusia yang patut dikasihani di dunia ini memang
banyak!" sahut Sun Put Ce.

"Berhenti!" teriak Kwe Po Giok setelah maju beberapa langkah.
"Lagi-lagi dua manusia yang tidak tahu mati hidup!" kata Hek
Houw geram setelah melihat siapa yang berteriak.
"Hek Houw! Toa Tek To Hun belum tentu akan membunuhmu.
Hal ini masih harus dilihat apakah kau pantas mati di bawah
pedangnya, Tapi bila kau tetap akan menyulitkan kakek dan cucunya
itu, Sun tai-hiap akan membunuhmu saat ini juga!"
kata Kwe Po Giok dengan maksud menciutkan nyali laki-laki itu.
Hek Houw malah tertawa terbahak-bahak.
"Dia?" Tangannya menunjuk ke arah Sun Put Ce.
"Kenapa? Kau tidak percaya?" tanya Kwe Po Giok.
"Tentu saja loocu tidak percaya, Aku beritahukan kepadamu...
Siapa yang turun tangan pun, aku tidak perduli, Walaupun Fang
taihiap sama juga...." serunya berang.
Kwe Po Giok menoleh kepada Sun Put Ce.
"Sun toako, cepat turun tangan!" katanya.
Sun Put Ce tidak bergerak, Kwe Po Giok mendekatinya dan
mendorong punggung-nya. Sun Put Ce menyurut mundur.
"Sun toako, nama baik Fang taihiap tidak boleh jatuh di
tanganmu!" katanya. Sekali lagi dia mendorong dengan keras, Kali
ini rekannya tidak maju atau pun mundur, Dia berdiri tidak
bergeming, Kwe Po Giok kesal sekali.
"Manusia macam apapun ada di dunia ini!" teriaknya sambil
menghentakkan kaki. Hek Houw memperhatikan keadaan mereka.
Murid Fang taihiap tidak mungkin sebodoh itu, diceritakan sampai

pagi pun dia tidak akan percaya, Secepat kilat dia mengangkat
telapak tangannya dan menghantam ke depan!
"Cepat balas serangannya!" teriak Kwe Po Giok gugup. Serangan
telapak tangan Hek Houw ini sangat telengas dan cepat, dan Sun
Put Ce seakan tidak bermaksud menghindarinya. Atau mungkin juga
hatinya sedang ragu. ingin menghindar tapi toh tidak sempat
menghindar Iagi.
Hek Houw senang sekali, Benar-henar pantas dihajar, pikirnya
dalam hati. berani menyaru sebagai anak murid Fang Tiong Seng!
Hek Houw hanya pernah mendengar nama ketiga murid pendekar
besar itu, sedangkan bagaimana rupa dan tampangnya, dia sama
sekali tidak tahu. Tenaga di telapak tangan ditambah lagi sebanyak
dua bagian. Dengan sepenuh tenaga ia meng-hantamkan tangannya
ke depan
"Bumm!"
Suara yang menggelegar mengejutkan setiap orang, Pundak Suh
Put Ce terpukul telak! Bibir Hek Houw sudah siap-siap tersenyum
Tiba-tiba saja wajahnya berubah menjadi lebih jelek daripada orang
yang sedang menangis.
Dia mana tahu ilmu Kim Ceng ka, semacam ilmu yang dapat
membalikkan tenaga orang, sudah terlatih dalam diri Sun Put Ce
dengan matang, Apalagi serangan yang dilancarkan olehnya tadi
ditambah lagi dua bagian. jumlah seluruhnya menjadi sepuluh
bagian. ilmu yang dipelajari Sun Put Ce mempunyai suatu
keistimewaan yaitu bila orang menyerangnya dengan tenaga sebesar
sepuluh bagian, maka tenaga yang membalik akan bertambah
menjadi lima belas bagian.
Dapat dibayangkan berapa besar tenaga yang berbalik
menghantam Hek Houw, Laki-laki itu meringis kesakitan Dari ujung
bibirnya terlihat darah mengalir Tentu saja Hek Houw sudah terkena
luka pada bagian dalam tubuhnya. Dia sampai terhenyak mundur
lima langkah.

Anak buahnya menggeram dengan suara keras. Seakan siap-siap
melancarkan serangan. Kwe Po Giok tidak memperdulikan laki-laki
kasar itu. Dia tahu, bila seseorang benar-benar ingin menyerang,
tentu tidak perlu berteriak Teriakan itu pasti hanya gertakan belaka,
Dugaan bocah cerdas itu ternyata benar.... Hek Houw mengulapkan
tangannya.
"Mundur! Loocu toh bukan benar-benar sedang bertarung dengan
Sun taihiap!" kata laki-laki, itu sekedar untuk menutupi rasa
malunya. Sekarang dia percaya Sun Put Ce adalah murid Fang
taihiap, bila laki-laki itu memang ingin membunuhnya, tentu
semudah membalikkan telapak tangan.
Anak buahnya terpana, Dengan rasa bersyukur mereka menuruti
perintah majikannya dan mundur teratur.
"Lopek dan cici ini boleh mundur sekarang!" kata Kwe Po Giok
kepada kakek serta cucunya.
"Terima kasih atas bantuan saudara!" kata Peng Chow Ceng
sambil menjura, Dia menarik tangan gadis itu dan segera melangkah
pergi.
"Karena Sun taihiap telah turun tangan dalam urusan ini, loocu
terpaksa memberi muka!" kata Hek Houw.
"Kalau Hek taihiap memang mau memberi muka, mengapa tidak
sejak tadi saja?" ujar Kwe Po Giok.
"Saya memang memerlukan jinsom tersebut. Tapi urusan sudah
jadi begini, mau bilang apalagi... Sampai jumpa!" kata Hek Houw,
Dia menjura kepada kedua orang itu dan mengibaskan tangan
kepada anak buahnya untuk meninggalkan tempat tersebut. Arah
yang dipilihnya tentu berlawanan dengan kakek dan cucunya tadi.
"Sun toako, menurutmu apakah Hek Houw akan menyudahi
urusan ini?" tanya Kwe Po Giok setelah tempat itu kosong.

"Pasti!" sahut Sun Put Ce.
"Mengapa kau dapat seyakin itu?" tanya si bocah kembali.
"Karena ia memang jenis orang seperti itu!" katanya.
"Maksudmu, Hek Houw tidak akan mencari kakek Peng Cihow
Ceng dan cucunya lagi?" tanya Kwe Po Giok. Bibirnya tersenyum, Dia
ingin melihat tanggapan Sun Put Ce. Teman seperjalanannya hanya
mengangkat bahu.
"Saya lihat kau bukan orang yang bodoh," kata Kwe Po Giok
sambil menganggukkan kepala.
"Tapi saya juga bukan termasuk orang yang pintar," sahut Sun
Put Ce.
"Justru di sinilah titik kepinteranmu. Biasanya orang yang
menganggap dirinya tidak pintar, pasti juga bukan orang yang
termasuk bodoh," kata Kwe Po Giok kembali.
Sun Put Ce tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Mereka
berjalan dari arah Selatan kemudian membelok ke arah Tenggara,
Sampai kira-kira tujuh atau delapanpuluh li, mereka duduk dan
beristirahat di bawah sebatang pohon yang rimbun. Kwe Po Giok
mengeluarkan perbekalan dari balik baju-nya. Mereka duduk
menikmati makanan kering itu.
Tiba-tiba, sebuah suara yang tidak asing berkumandang.
"Chow toako.... Aku rasa kita tidak mungkin termasuk dalam
daftar," kata orang yang pertama.
Sebetulnya, selain Toa Tek To Hun, siapa yang berani memastikan
dirinya termasuk dalam daftar?" sahut orang kedua.

"Paling tidak, Fang Tiong Seng pasti termasuk dalam daftar orang
penting baginya. Tapi ternyata sampai sekarang...." kata orang yang
pertama tadi lagi.
"Hanya waktunya saja yang belum sampai, Toa Tek To Hun
mungkin melepaskan siapa saja, tapi tidak mungkin mencoret
namanya dari daftar." sahut lagi orang yang kedua.
"Betul juga kata-katamu! Chow toako, menurutmu, apakah ada
orang yang lebih bodoh dari Sun Put Ce di dunia ini?" tanya orang
yang pertama.
"Hek Houw! Tidak boleh mengejek bodoh kepada manusia yang
berbudi!" Terdengar sahutan seorang gadis.
Sun Put Ce melirik Kwe Po Giok sekilas, Dalam hatinya terasa ada
kehangatan, Meskipun selama ini, dia tidak perduli orang-orang
selalu mengatakan dirinya bodoh! seorang manusia yang sudah
sering diejek bodoh, tidak akan merasa sakit hati lagi, Tentu berbeda
dengan orang yang menganggap dirinya pandai.
Kwe Po Giok membalas tatapan Sun Put Ce. Dia ikut merasa
bangga mendengar perkataan sang gadis, Paling tidak, dia
menganggap Sun Put Ce terlalu rendah diri, Ternyata gadis itu
bermata tajam juga. Dia memperhatikan rekannya dengan seksama,
Tentunya ada alasan lainnya Iagi.
Orang yang selalu dikira berotak kayu ini ternyata sekali keluar
rumah, sudah bertemu dengan Bwe Mei yang menghadiahkannya
sebuah dompet, Sekarang gadis yang satu ini juga mempunyai
pandangan tersendiri terhadapnya.
Bukankah tidak dapat dikatakan bahwa gadis-gadis ini manusia
yang buta? Mungkin juga Sun Put Ce seperti sebuah berlian yang
belum diasah, Hanya orang yang ahli baru dapat melihat nilainya.
Tapi dalam hati Kwe Po Giok merasa tertekan, sebelumnya dia
tidak akan menyangka kakek dan gadis itu adalah serombongan

dengan Hek Houw. sandiwara yang mereka lakukan terlalu
meyakinkan Hek Houw juga memerankan dengan bagus. Benarbenar
tampak seperti orang yang suka menindas. Pada saat itu,
terdengar suara Peng Chow Ceng kembali.
"Apa yang dikatakan Ai Giok memang ada benarnya, Fang Tiong
Seng pasti tidak akan memilih seorang yang bodoh dan tidak bisa
apa-apa mengurus persoalan sebesar ini!"
Sun Put Ce seketika merasa hormat kepada Peng Chow Ceng,
Bukan karena orang tua itu mengatakan dirinya tidak bodoh. Tetapi
pujiannya kepada sang guru.
"Apakah kita harus memberi pelajaran kepada ketiga orang itu?"
tanya Kwe Po Giok.
"Mengapa harus memberi pelajaran kepada mereka?" Sun Put Ce
tidak mengerti.
"Mereka kan mempermainkan kita tanpa perasaan?" kata Kwe Po
Giok kesal.
"Mungkin bagi perasaan kita terasa dipermainkan tapi mereka
tidak menganggap demikian," kata Sun Put Ce.
"Apakah mereka sedang melindungi dirinya sendiri?" tanya Kwe
Po Giok.
Sun Put Ce menganggukkan kepala sebagai jawaban.
"Sungguh tidak dinyana, Kau memang manusia berbudi seperti
yang dikatakan oleh gadis itu," Kwe Po Giok menggeleng-gelengkan
kepalanya.
Sun Put Ce tertawa-tawa. Mereka tidak jadi memberi pelajaran
kepada ketiga orang tersebut Diri mereka dipermainkan hanya
karena rasa takut mereka yang menuntut untuk mencari tahu,
terlalu menyalahkan orang memang tidak baik!

-oooo0oooo-
Bagian Empat
Matahari bersinar dengan terik. ini adalah hawa yang membuat
orang-orang mengeluh tak tertahankan.
Di rumah keluarga Fang, jendela besar-besar berjumlah tiga buah
telah dipentang dengan lebar, Rasa panas masih tetap tidak
terhalau. Pada waktu ini pepatah hati yang tenang akan terasa
menyejukkan benar-be-nar terbukti, namun hati siapa yang sanggup
tenang saat itu?
Tengah hari sudah semakin dekat Fang Tiong Seng duduk di kursi
singa. Wajahnya kelam. Bibir Mo Put Chi semakin berkerut.
Dia benar-benar tidak sanggup menerima keangkeran nama Toa
Tek To Hun. Hari ini dia akan mendapatkan kesempatan untuk
menyaksikannya sendiri, Fang Tiong Seng mengatakan padanya
bahwa waktunya sudah sampai.
Dia tetap menganggap suhu sedang memberikan pelajaran
kepadanya, karena mengharapkan dirinya tidak demikian keras
kepala.
Hu Put Chiu berdiri di sebelah kiri Fang Tiong Seng, sedangkan
Mo Put Chi di sebelah kanan. Seluruh anak buah dan para pengawal
berlutut dengan membuat dua baris berjajar. Di pundak mereka
terdapat sebuah buntalan dan pada masing-masing tangan
tergenggam beberapa keping uang emas. Meskipun matahari
bersinar dengan terik, di dalam atau pun luar ruangan terasa kabut
yang tebal.
"Kalian telah mengikuti aku selama bertahun-tahun. Namun di
dunia ini tidak ada pesta yang tidak usai. Kalian pergilah!" katanya
dengan wajah sendu.

Para anak buah dan pengawal membenturkan kepala ke lantai
sebanyak tiga kali, Dengan air mata yang bercucuran, mereka
mengundurkan diri, peristiwa ini bisa terjadi dalam keluarga Fang,
siapa pun tidak akan menyangkal Tetapi masih ada sebagian orang
yang tetap berdiri di tempatnya.
"Mengapa kalian belum pergi juga?" tanya Fang Tiong Seng
heran.
Sebetulnya, Fang Tiong Seng sendiri tidak mempunyai kepastian
diri, Kedua muridnya pun tidak berbeda. Namun para pekerja di
rumah Fang Tiong Seng masih tetap tidak ingin meninggalkan
tempat itu. Apakah mereka ingin menyerahkan nyawa secara
percuma?
Seorang pelayan berusia lanjut maju ke depan, Dia menjura ke
arah majikannya.
"Kami adalah orang-orang yang tidak mempunyai keluarga, Kami
semua rela bertarung mati-matian dengan manusia jahat itu!"
katanya tegas.
"Bertarung mati-matian ? Apakah kalian bisa bertarung
melawanmu? Kalian hanya mengantarkan nyawa!" kata "Fang Tiong
Seng dengan suara keras.
Kemarau memang telah tiba. Namun dalam ruangan itu terasa
ada awan yang tebal dan gelap, Airmata orang-orang yang hadir
dalam ruangan itu berkilauan diterpa matahari, bagaikan sebatang
pedang panjang yang bersinar ketika dihunus.
"Meskipun sudah pasti tidak dapat hidup, kami rela mati bersama
Tuan!" kata pelayan tua tadi mewakili teman-temannya.
Fang Tiong Seng bangkit dari kursinya. Mereka menatap orangorang
itu dengan tajam, Mereka semua sudah berlutut di
hadapannya, Kemarahan di wajahnya telah sirna. Tiba-tiba Fang

Tiong Seng tertawa terbahak-bahak. Kadang-kadang sebuah suara
tawa lebih menyakitkan dari ratap tangis.
"Tidak disangka aku, Fang Tiong Seng, masih mempunyai
demikian banyak teman, Pada waktu biasa, mungkin aku sering
kasar terhadap kalian, Hari ini, terimalah hormat saya!" katanya
sambil menekuk kaki dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan para
anak buahnya.
Jilid 03
Mo Put Chi dan Hu Put Chiu juga menjatuhkan diri seketika,
Seluruh ruangan itu tidak ada yang tidak berlutut. Airmata dan suara
ratap tangis memecahkan keheningan.
"Ambil pedangku!" teriak Fang Tiong Seng dengan gagah, Suara
ini menggetarkan hati setiap orang, Mo Put Chi pun semakin yakin
tidak akan kalah, Hu Put Chiu semakin riang, Anak buah Fang Tiong
Seng tidak menangis lagi.
Seakan mereka yakin, asalkan pedang majikannya sudah
tergenggam di tangan, tidak ada urusan yang tidak dapat
diselesaikan. Tidak ada musuh yang tidak dapat dikalahkan Mereka
berdiri serentak dengan gagah.
-oooo0oooo-
Hawa terasa menyengat. Di mana-mana sama, tidak terkecuali di
pegunungan. Tidak ada angin yang bertiup, Tumbuh-tumbuhan
terpaku tidak bergerak, Hanya langkah kaki Kwe Po Giok dan Sun
Put Ce yang tidak henti bergerak.
Dalam pertengahan Tiong Chiu, mereka harus sampai di
perkampungan nelayan daerah laut Timur, Walaupun waktunya
sudah tidak lama lagi, tetapi mereka tidak mau tergesa-gesa.
Meskipun langkah kaki menuju arah Timur Laut, hati mereka tetap
berada di tempat asal mereka datang.

"Sekarang sudah tengah hari," kata Kwe Po Giok dengan mata
memandang jauh.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Sekarang manusia jahat itu pasti sudah sampai di Jin Gi Tong,
ruangan dalam keluarga Fang yang berarti ruangan adil bijak-sana,"
kata bocah itu kembali.
"Betul!" kata Sun Put Ce.
Siapa pun tidak ingin memandang mata teman seperjalanannya,
Tetapi meskipun mereka tidak saling memandang, mereka tahu
bagaimana perasaan hati masing-masing.
"Pedang, telapak tangan dan senjata rahasia lopek sangat
terkenal, Mungkinkah dari ketiga ilmu itu tidak ada satu pun yang
sanggup mengalahkan Toa Tek To Hun?" Kwe Po Giok sulit untuk
menerima kenyataan ini.
Sun Put Ce tidak menyahut Dia membalikkan tubuh ke arah
Tenggara dan berlutut. Laki-laki itu menyembah sebanyak tiga kali.
-oooo0oooo-
Langkah kaki terus menuju timur laut, namun hati tetap beralih ke
arah Tenggara, lama sekali kedua orang itu tidak berkata apa-apa.
Memang tidak ada uraian yang dapat menjelaskan perasaan hati
mereka. Kwe Po Giok benar-benar tidak tahan lagi, Dalam hal
berdiam diri, dia masih bukan tandingan Sun Put Ce.
"Coba kau bayangkan.,., Bagaimana keadaan Jin Gi Tong
sekarang?" tanyanya, Sun Put Ce menyahut.
"Kau tidak memikirkan atau sama sekali tidak berani berpikir?"
Lagi-lagi Kwe Po Giok.

"Pikiran manusia paling sulit dikendalikan bukan?" sahut Sun Put
Ce.
"Tidak salah! Banyak para pertapa yang mensucikan dirinya
mengalami kegagalan karena tidak sanggup mengendalikan
pikirannya!" kata Kwe Po Giok seraya menarik nafas.
Sun Put Ce tidak memberikan tanggapan.
"Mereka tidak dapat tidak memikirkan kejadian yang telah mereka
alami selama hidup!" kata Kwe Po Giok.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Maka dari itu, dalam buku sejarah Toa Chiu Yin Guan Bun ada
sebuah pepatah! Setiap tanaman pasti berakar! Tahukah kau artinya
tanaman di sini?" tanya Kwe Po Giok.
"Kalau kau sudah tahu, buat apa bertanya?" kata Sun Put Ce.
"Mengapa engkau tidak tolong menjelaskan?" tanya Kwe Po Giok.
"Maksudnya kenangan dan pikiran!" sahut Sun Put Ce terpaksa.
"Kalau ada yang berani mengatakan Sun Put Ce tidak berakal,
lebih-lebih lagi mereka yang mengatakan hal itu," kata Kwe Po Giok.
Sun Put Ce hanya melirik sekilas tanpa menjawab.
"Tahukah engkau mengapa saya berkata demikian?"-tanya Kwe
Po Giok.
"Tentu ada alasanmu sendiri!" sahut Sun Put Ce kalem.
"Omonganmu kadang-kadang seperti mengoceh sembarangan,
sebetulnya tidak!" kata Kwe Po Giok dengan wajah serius.

Sun Put Ce meneruskan langkah dengan perlahan, Dari jauh
terlihat sebuah sungai. Sebuah perahu kecil sedang berlayar di
tengah sungai itu. Tiga orang dengan pedang di tangan sedang
berdebat.
"Lautan tak terbatas, seperti hawa amarah dalam diri manusia,
Manusia di kalangan BuIim seperti tidak tahu apa artinya kebaikan.
Mereka menjadi suka saling membunuh," kata Kwe Po Giok sambil
tertawa dingin.
"Benar juga!" sahut Sun Put Ce. "Apakah kita harus menyeberangi
sungai itu juga?" tanya Kwe Po Giok kepada teman seperjalanannya.
"Bila tidak, kita terpaksa memutar cukup jauh!" sahut Sun Put Ce.
Lebar sungai itu kira-kira tiga puluh meter, Jago yang mempunyai
kepandaian setinggi apa pun, tidak mungkin dapat melayang ke
seberang, Mau tidak mau, mereka harus naik perahu. Perahu kecil
itu paling-paling panjangnya dua setengah meter, Lebarnya tidak
mencapai satu meter, Di dalamnya terisi empat orang. Yang satu
adalah tukang perahu, Kakinya besar dan tampak tidak kokoh,
usianya sekitar empat puluh lima tahunan. Tangannya besar dan
berotot, Bambu hijau yang tergenggam di kanan kiri bergerak cepat,
Seperti seekor capung besar yang sedang beterbangan
Ketiga orang lainnya, yang satu tua dengan rambut yang sudah
berwarna putih, Usianya mungkin sudah lebih dari tujuh puluh,
Hidungnya merah, alisnya panjang.
Satunya lagi, hampir sebaya dengan si tukang perahu, Bajunya
perlente, wajahnya tenang, dengan sebuah pedang di tangan. Yang
paling muda usianya sekitar tiga puluhan Tampangnya terpelajar
Juga menggenggam sebatang pedang, Bahkan pedang yang bagus,
Ketiga orang itu sedang bertarung.
Bila yang tua menyerang yang paling muda, laki-laki setengah
umur itu akan membantu yang muda. Dan kalau yang muda

membalas serangan yang tua, yang setengah baya itu juga akan
beralih membantu yang tua.
Pertarungan seperti ini membuat orang yang melihatnya bingung,
Mereka yang sendiri meskipun tahu masalahnya, juga tidak dapat
berpikir bagaimana cara menyelesaikan urusan tersebut! Tukang
perahu duduk di ujung dan memperhatikan pertarungan ketiga
orang itu. Air yang memercik memenuhi perahu pun tidak
diperdulikannya.
Kwe Po Giok dan Sun Put Ce duduk di sebuah rumah kayu yang
digunakan untuk tempat meneduh dan memperhatikan jalannya
pertarungan itu
Tukang perahu membuka topi kerudungnya. Ternyata dia adalah
seorang perempuan.
"Apa yang sebetulnya kalian pertengkarkan? Apakah kalian tidak
jadi menyeberangi sungai?" tanyanya kesal.
"Toaso.... di antara kami, hanya satu orang yang boleh
menyeberangi sungai ini." kata orang yang paling muda.
"Mengapa? Apakah kedua orang yang lainnya tidak jadi
menyeberang!" tanya tukang perahu itu heran.
"Bukan! Mereka akan dijadikan umpan ikan!" sahut orang yang
paling muda itu. Tukang perahu itu tidak bersuara lagi. Sebetulnya
siapa yang akan menjadi umpan ikan, saat ini masih terlalu pagi
dibicarakan.
Orang yang tertua itu jelas dari Go Bi pay, ilmu mengapung di
atas airnya telah menunjukkan identitas dirinya, Juga sangat lihai.
Kepandaiannya di darat mungkin tidak berapa hebat. Terlihat dari
caranya mengelit serangan laki-laki setengah baya itu, tetapi
meskipun sinar pedangnya berkilauan, sekali berbentur dengan
pedang pusaka di tangan orang yang paling muda pasti akan
menyebabkan pedang lawan bergetar.

"Kalau dinilai dari umur, aku yang paling tua. Mestinya aku yang
menyeberang dan menerima barang," kata si orang tua.
Laki-laki setengah baya tadi tertawa dingin.
"Umur tua apa gunanya? Manusia yang mati di pedang Toa Tek
To Hun semuanya berusia limapuluh ke atas!" katanya dengan nada
mengejek.
"Oey Kek Bun, Yap Thian! Kalian masih belum pantas untuk
menerima barang itu, Di antara kita bertiga, mungkin hanya aku It
Cheng Hong yang paling pantas, Kalian terjunlah ke dalam sungai.
Aku tidak tega membunuh kalian!" kata si orang muda.
Rupanya orang tua itu adalah Pak Hay Ok Hi alias si Nelayan buas
dari laut Utara, Oey Kek Bun. Dan laki-laki setengah baya itu adalah
Bong San To Mo atau iblis pedang dari Bong San. pertarungan
mereka kali ini, lagi-lagi untuk menghindari diri dari keganasan Toa
Tek To Hun. Hanya karena kedatangan pembunuh bayaran dari Fu
Sang tersebut, jago-jago Bulim jadi gempar dan ketakutan.
Nama It Cheng Hong memang terkenal, tapi kalau dibandingkan
dengan Cheng Song dan Lie Cheng Hong masih kalah satu tingkat,
Apakah setelah membunuh para jago kelas satu, Toa Tek To Hun
juga akan membasmi para jago kelas dua? Tidak ada seorang pun
yang tahu!
Kwe Po Giok dan Sun Put Ce memandang ke arah jembatan
penyeberangan Di sana terhenti sebuah tandu dengan warna-warna
yang menyolok, Selain empat orang laki-laki bertubuh tegap sebagai
penggotong tandu, masih ada dua gadis muda dengan pakaian
semarak berdiri di kiri kanan tandu tersebut.
"Apalagi itu?" tanya Kwe Po Giok.
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.

"Pertengkaran mereka tampaknya ada hubungan dengan tandu
berwarna warni itu," kata Kwe Po Giok.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Mungkin orang atau barang yang ada dalam tandu tersebut,"
kata Kwe Po Giok.
"Betul!"
"Kalau kita berebut untuk menyeberangi sungai lebih dahulu,
mungkin kita yang akan mendapatkan orang atau barang dalam
tandu itu!" kata-kata Kwe Po Giok seperti penjelasan juga seperti
pertanyaan.
"Buat apa harus berbuat seperti kata-mu?" tanya Sun Put Ce.
"Kalau barang yang dapat membuat orang puas dan senang?"
kata Kwe Po Giok memancing reaksi rekannya.
"Tidak ada bedanya!" sahut Sun Put Ce tegas.
"Sama?" tanya Kwe Po Giok heran melihat keteguhan manusia
yang satu ini. Sun Put Ce mengangguk yakin.
"Apakah kau tahu siapa atau barang apa ! yang ada dalam tandu
itu?" tanya Kwe Po Giok. Sun Put Ce menggelengkan kepalanya kali
ini.
"Penyakit lamamu kambuh lagi! Kalau kau tidak tahu siapa atau
barang apa yang ada dalam tandu itu, mengapa kau mengatakan
tidak ada bedanya?" tanya Kwe Po Giok penasaran.
Sun Put Ce tetap tidak menjawab.
"Coba kau jelaskan!" desak Kwe Po Giok.

"Karena di dunia ini tidak ada barang yang tidak berharga, Hanya
tergantung dari sudut mana kita melihatnya!" Akhirnya Sun Put Ce
menjelaskan.
"Perkataan itu memang benar Namun apakah ketiga orang itu
juga tidak tahu pernyataan ini?" kata Kwe Po Giok.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
Kwe Po Giok jadi malas meneruskan perdebatan yang tidak ada
penyelesaiannya itu. Pada saat yang sama, laki-laki muda itu telah
mengelit dari serangan orang tua tersebut Kakinya dengan gerakan
cepat menendang ke arah orang berusia setengah baya. Tendangan
itu bukan main kerasnya, tepat pada perut Bong San to mo.
"Pung!"
Suara benda berat terjatuh ke dalam air terdengar jelas, Tidak
terlihat Bong San to mo muncul lagi ke permukaan, orang tua itu
seakan sadar bukan tandingan It Cheng Hong, tanpa menunggu
diserang lagi, dia terjun ke dalam sungai.
It Cheng Hong menyarungkan pedangnya dan tertawa terbahakbahak.
Pada saat itu, dia semakin yakin, bahwa dalam daftar hitam
Toa Tek To Hun pasti tertera namanya. Bila dia adalah pembunuh
bayaran itu, dan mengetahui sekarang ada seorang manusia seperti
It Cheng Hong, dia juga tidak akan melepaskannya!
Suara tawanya terdengar aneh, Dia sedang menertawai dirinya
yang dapat mengalahkan dua jago kelas dua dunia persilatan
Dengan demkian dirinya naik satu tingkat menjadi jago kelas satu.
Namun dia juga berduka karena pasti tidak akan terlepas dari
manusia jahat dari Fu Sang itu, Dalam tawanya tersirat nada suka
dan duka.

"Tukang perahu! Cepat kendalikan perahu menuju jembatan
penyeberangan!" perintahnya sambil tertawa terus, Dia baru sadar,
akibat pertarungan tadi, perahu sudah tergeser makin menjauh.
Dia tidak menyangka sepasang bambu hijau di tangan tukang
perahu itu secepat kilat hampir menghantam punggungnya, Dengan
ketangkasan yang tak kalah cepat, It Cheng Hong berkelit.
Dia tertawa keras, It Cheng Hong menghentakkan kaki ke
landasan perahu, tangannya memegang badan perahu sebagai
tumpangan, Dengan sekali loncat, dia sudah sampai di ujungnya.
Serangan yang gagal, membuat tukang perahu itu terkejut It
Cheng Hong benar-benar berarti sehembusan angin. Paling tidak,
kecepatannya sama. Dia sadar kega-galannya akan berekor panjang,
Tanpa berpikir dua kali lagi, perempuan setengah baya itu terjun ke
dalam sungai.
Sekali lagi It Cheng Hong tertawa nyaring, nadanya terdengar
penuh keangkuhan. Seakan dia sudah merajai rimba persilatan Toa
Tek To Hun terlupakan untuk sementara. Dia mengambil dayung
bambu hijau yang tertinggal oleh perempuan tadi. It Cheng Hong
lalu mengayuh dengan kencang dan sekuat tenaga, Tapi perahu
tersebut tidak meluncur bahkan membuat sebuah lingkaran It Cheng
Hong mencoba sekali lagi.
Namun yang terjadi tetap sama, Suatu hal yang memang belum
pernah dilakukan, kalau dilihat terasa mudah. Tapi tidak demikian
bila kita mencobanya sendiri. Tadi It Cheng Hong melihat
perempuan tukang perahu itu mendayung dengan mudah, seperti
tidak mengeluarkan tenaga sama sekali.
Dicobanya berulang-ulang, tapi hasilnya tetap sama. Perahu itu
sudah mirip sebuah komedi putar, Terus membuat lingkaranlingkaran
Wajah It Cheng hong merah padam karena kesal Dia
mengangkat dayung itu dan mencoba sampai lima enam kali. Tentu
saja bagi orang yang mengerti caranya, melakukan hal seperti itu
mudah sekali,

Dengan marah, It Cheng Hong mematahkan dayung bambu
tersebut menjadi dua bagian Dengan demikian, bila dia ingin
menyeberangi sungai, rasanya harus meminta kemurahan hati Thian
yang di atas untuk menghempaskan angin kencang!
Pada musim panas seperti ini, darimana datangnya angin? Pada
saat itu juga, dua orang manusia melayang ke atas perahu itu. It
Cheng Hong menolehkan kepala untuk melihat Tentu saja dia tidak
mengenal Sun Put Ce dan Kwe Po Giok.
Ternyata tanpa diduga Sun Put Ce telah mencengkeram leher
baju Kwe Po Giok dan membawanya melayang ke atas perahu
tersebut It Cheng Hong marah sekali, Dia mengeluarkan pedangnya
dan bersiap-siap menyerang kedua orang itu.
"Kurang ajar! Kalian ingin mencari keuntungan dariku?"
bentaknya.
Sun Put Ce bergeser ke samping, Dia mengibas-ngibas tangannya
dengan repot.
"Saudara jangan salah paham!" katanya,
"Apa yang salah paham? Kalian pasti ingin menarik keuntungan
dariku!" sahut It Cheng Hong menatap tajam.
"Siapa yang ingin menarik keuntungan darimu? Apakah kau bisa
menyeberangi sungai ini?" tanya Sun Put Ce.
"Bisa atau tidak, apa urusannya dengan-mu?" bentak It Cheng
Hong.
"Kalau kau tidak dapat menyeberangi sungai ini, mana mungkin
urusanmu bisa terselesaikan?" tanya Sun Put Ce tenang.
Kwe Po Giok yakin kali ini It Cheng Hong tidak akan berani
mengatakan urusanku selesai atau tidak, apa urusannya denganmu?

Ternyata dugaannya memang tidak ke-1iru. Menyeberangi sungai
rasanya sangat penting bagi It Cheng Hong, Apakah di dalam tandu
yang ada di jembatan penyeberangan sana ada seorang gadis
secantik bidadari? persoalan ini mungkin hanya It Cheng Hong yang
dapat menjawab, Mungkin juga dia sendiri kurang jelas! Hal yang
paling sulit diterima di dunia ini adalah ketidak tahuan....
"Byar, Byur!"
Suara air yang terpukul oleh dayung menyegarkan hati It Cheng
Hong, Sun Put Ce mendayung dengan cepat, Sebentar saja sudah
jauh ke tengah.
"Loheng, mengapa tidak sejak tadi kau mengatakan bahwa kau
menguasai ilmu yang satu ini?" tanya It Cheng Hong dengan senyum
lebar.
Sun Put Ce tidak menjawab, Bibirnya menyungging senyuman
yang tipis.
"Siapa nama besar loheng? Melihat gerakanmu melayang ke
perahu sambil mencengkeram bocah ini, rasanya lumayan juga,
Meskipun masih kalah sedikit dari aku!" katanya dengan suara
bangga.
Sun Put Ce tetap tersenyum saja tanpa menjawab.
"lt Cheng Hong taihiap! Hari ini adalah pesta kemenanganmu
bukan?" kata Kwe Po Giok dengan nada mengejek.
"Siapa yang menyuruh anak kecil seperti kau ikut bicara?" Bentak
It Cheng Hong.
"Kalau dilihat dari keindahan tandu ,di seberang itu, isinya tentu
seorang pengantin yang cantik jelita...." Kwe Po Giok seperti berkata
pada dirinya sendiri.

It Cheng Hong tidak menjawab, Dia hanya memandang tandu itu
dengan tatapan mata yang tajam, Wajahnya berubah-ubah,
"Aneh sekali... Kalau mendengar pembicaraan kalian bertiga tadi.
Rasanya kalian sedang memperebutkan orang atau barang dalam
tandu itu. Tetapi tampaknya kau...." kata-kata Kwe Po Giok terhenti
It Cheng Hong mendelikkan matanya dengan garang.
"Dasar! Kalau tidak bicara bisa mati? Kalau berani mengucapkan
sepatah kata lagi. Loocu akan menebas kepalamu!" teriak It Cheng
Hong kesal.
"Kalau dilihat dari tandunya saja, sudah begitu mewah!" kata Sun
Put Ce.
"Tentu saja," sahut It Cheng Hong tidak berani membentak Sun
Put Ce karena dia masih membutuhkan orang itu.
"Keluarga pengantin ini pasti kaya raya...." kata Sun Put Ce
kembali.
It Cheng Hong diam tidak menyahut. Pada saat itu, perahu sudah
hampir mendekat dengan jembatan penyeberangan tersebut It
Cheng Hong tampaknya tidak sabar lagi. Dia menghentakkan kaki
dan melayang ke seberang.
Keempat laki-laki penggotong tandu segera menyongsongnya,
Mereka saling menyerang, It Cheng Hong ternyata benar-benar
cukup tangguh, Tidak sampai dua puluh jurus, keempat laki-laki itu
sudah terguling roboh.
Kedua dayang itu melihat rekannya mengalami kekalahan,
spontan menyerang, ilmu mereka lebih tinggi dari ke empat
penggotong tandu tadi, tetapi kalau dibandingkan dengan It Cheng
Hong tentu masih jauh, Meskipun memerlukan waktu yang lebih
lama, akhirnya mereka terpaksa mengaku kalah juga dengan It
Cheng Hong.

Dia mendekati tandu berwarna warni tersebut lalu berusaha
mengulurkan tangannya lewat tirai yang tertutup.
"Kemarikan barang itu!" katanya.
Gerakannya memang cepat, Dia sudah dapat membayangkan
tentunya orang yang berada dalam tandu, ilmunya lebih tinggi dari
kedua dayangnya, Ternyata dugaannya masih kurang tepat, Siku
tangannya dicengkeram oleh orang dalam tandu itu.
Suara tertawa yang merdu pun berkumandang. Tentunya yang
tertawa adalah orang dalam tandu itu, bukan It Cheng Hong.
Kwe Po Giok menatap Sun Put Ce, Rekannya tidak membalas
tatapan itu. Seakan peristiwa apapun di dunia ini tidak membuatnya
tercengang.
"Coba kau tebak, manusia macam apa yang berada dalam tandu
itu?" tanya Kwe Po Giok.
"Seorang perempuan," sahut Sun Put Ce ringan.
"ltu sih tidak perlu kau jelaskan! Maksud saya perempuan macam
apa?" tanya Kwe Po Giok sekali lagi. Sun Put Ce tidak menjawab,
selamanya dia tidak pernah mengemukakan apa yang diketahuinya
lebih dahulu daripada orang lain.
"Saya rasa pasti seorang perempuan yang jelek sekali!" pancing
Kwe Po Giok.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Mengapa kau yakin bukan seorang perempuan cantik?" tanya
Kwe Po Giok menatapnya heran. Sun Put Ce tidak menjawab.
"Manusia macam apa pun ada di dunia ini!" katanya dengan nada
kesal, Dia yakin apa yang sering dikatakan kedua suheng Sun Put Ce
memang benar.

Pada saat itu terdengar suara perempuan dalam tandu itu....
"Apa yang ingin kau katakan?" pertanyaan itu sudah tentu
diajukan kepada It Cheng Hong.
"Saya hanya ingin Bi jin sim," jawabnya.
"Hanya ingin hatinya, tidak mau orang-nya?" tanya perempuan itu
sekali lagi dengan suara manja.
"Selama hidupku ini aku tidak pernah mempunyai tempat tinggal
yang tetap. Langit adalah atap rumahku, tanah adalah tempat
tidurku, Bagaimana aku berani menyusahkan hidup seorang wanita
cantik?" sahut It Cheng Hong.
"lt Cheng Hong.... Bila kau menginginkan Bi jin sim, tentu saja
mudah sekali, tetapi kau juga harus menerima diriku," kata
perempuan dalam tandu itu dengan suara tegas.
"Kouwnio, seumur hidup ini aku tidak pernah berhenti bertualang,
Ada Bi jin sim di tangan, hidupku akan menjadi tenang, Aku dapat
berkelana ke penjuru dunia, Tetapi Bi jin harus hidup. Aku hanya
takut kau akan sengsara, selamanya tidak dapat mendapatkan
kebahagiaan!" sahut It Cheng Hong sambil menarik nafas panjang.
"lt Cheng Hong! Benarkah yang kau ucapkan adalah demi
kebaikan diriku?" tanya perempuan dalam tandu.
"Aku berani bersumpah berat!" sahut It Cheng Hong.
"Sudahlah! Anggap saja aku mempercayai perkataanmu! Bukalah
tirai tandu ini!" perintah perempuan itu.
It Cheng Hong menyingkap tirai itu sedikit Tangan seorang
perempuan terulur dan menyerahkan semacam barang, sayangnya
dari tempat Kwe Po Giok dan Sun Put Ce tidak dapat melihat
bagaimana rupa perempuan itu. Tapi dari sikap It Cheng Hong yang

wajar-wajar saja, dapat dipastikan perempuan itu tidak seberapa
jelek, Atau mungkin It Cheng Hong sendiri belum melihat wajahnya?
"Dia sudah menyerahkan Bi jin sim kepada It Cheng Hong,
Mungkin dia juga sudah menyerahkan hatinya sendiri," kata Kwe Po
Giok.
Sun Put Ce tidak memberikan tanggapan.
"Apakah kau mempunyai pandangan yang lain?" tanya Kwe Po
Giok heran. Dia tidak mengatakan, "betul" kali ini.
"Tidak," sahut rekannya.
"Sebenarnya It Cheng Hong telah bersedia menerima hati wanita
cantik itu, mengapa dia tidak mau menerima orangnya? Apakah Bi
jin sim itu hanya semacam barang?" tanya Kwe Po Giok kurang
mengerti.
"BetuI," Kata-kata itu kembali diucapkan oleh Sun Put Ce.
Kwe Po Giok dengan dongkol mendelik matanya sekejap, Rupanya
Sun Put Ce tidak pernah menjawab sesuatu yang tidak diyakini
olehnya.
"Barang macam apa?" tanya bocah itu.
"Hanya pernah mendengar cerita orang, Barang itu dapat
membawa kehangatan pada musim dingin, Memberi kesejukan pada
musim panas, Dapat menjadi bala penangkal setan. Malam hari
ketika tertidur, sering bermimpi bertemu dengan bidadari," sahut
Sun Put Ce.
Mata Kwe Po Giok membuka dengan lebar....
"Apakah bukan ocehanmu saja?" tanyanya kurang percaya.

"Untuk apa saya harus mengoceh yang tidak-tidak?" kata Sun Put
Ce tenang.
Benar juga.... bila kita mendapatkan barang seperti itu, hidup kita
masih akan tentram," kata Kwe Po Giok.
"Tentu saja!" sahut Sun Put Ce dengan kepala terangguk-angguk,
"Seperti apa bentuk Bi jin sim itu?" tanya Kwe Po Giok.
"Mungkin sebentar lagi akan terlihat...." sahut rekannya.
It Cheng Hong mengatupkan kedua tangannya dan menjura....
"Cung Kouwnio, mengapa kau masih belum menyerahkan Bi jin
sim itu?" tanya laki-laki itu.
Rupanya tangan yang terulur itu hanya mempermainkan It Cheng
Hong. Dia menarik kembali barang yang tergenggam tadi. Saat ini,
tangan tersebut terulur lebih panjang. Terlihat kesepuluh jari jemari
yang lentik dan halus. Dari tangan itu orang akan membayangkan
betapa cantik pemiIiknya. Tetapi It Cheng Hong tampaknya belum
dapat melihat wajah perempuan itu, sebab tidak terdengar pekikan
kagum atau jeritan menakutkan.
Tangan yang lembut dan halus itu menyerahkan semacam barang
ke tangan It Cheng Hong. warnanya merah darah, Berkilauan
menyolok mata. Kali ini dia tidak mempermainkannya Iagi. Dengan
perasaan berbaur, It Cheng Hong menerima dan menatapnya
dengan seksama, Alisnya yang berkerut pasti menandakan
keraguannya akan kemukjizatan barang tersebut Tetapi kalau
melihat sinarnya yang berkilauan, rasanya tidak usah diragukan lagi.
"It Cheng Hong.... Kau belum membuka kain cadar wajahku
ini...." Terdengar suara si perempuan dalam tandu itu berkata. It
Cheng Hong terpana sejenak, Namun dia maju juga dan
mengulurkan tangannya. Kwe Po Giok dan Sun Put Ce

memperhatikan dengan seksama, Karena kedua orang itu ingin
membuktikan dugaannya.
Tiba-tiba It Cheng Hong mengeluarkan jeritan aneh. Kemudian
tubuhnya mundur sebanyak tiga tindak. Tangannya gemetar,
mukanya berkerut-kerut. Apakah seorang manusia bila bertemu
dengan setan, akan menunjukkan penampilan seperti itu?
"Aku she Cung, dan adik Cung tao pun sangat buruk rupa.
Benarkah kau lebih memilih mati daripada menerima diriku?" tanya
perempuan dalam tandu tersebut.
"Tidak... tidak!" sahut It Cheng Hong gugup.
"Lalu... mengapa tubuhmu gemetar?" tanya perempuan itu lagi.
"Karena engkau terlalu baik kepadaku, barang yang begini
berharga, saya tidak dapat menahan getaran hati dan gembiranya
perasaan!" sahut It Cheng Hong dengan suara kikuk.
"Dia berbohong!" kata Kwe Po Giok.
"Betul!" sahut rekannya seperti biasa.
"Sebetulnya bagaimana bentuk wajah perempuan itu?" tanya Kwe
Po Giok penasaran.
"Kalau tidak terlalu jelek, tentunya terlalu cantik!" jawab Sun Put
Ce.
"Mungkinkah terlalu cantik?" tanya Kwe Po Giok.
Sun Put Ce tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Jika ada
sesuatu yang tak segera dijawabnya, ada kemungkinan hal itu
terjadi. It Cheng Hong seperti ingin kabur, Dari sinar matanya yang
jelalatan, Kwe Po Giok dan Sun Put Ce dapat menangkap isi hatinya.

"Mengapa kau tergesa-gesa ingin mendapatkan barang itu?"
tanya perempuan dalam tandu tersebut.
"Untuk diberikan kepada seorang teman," sahut It Cheng Hong,
perempuan itu memperdengarkan suara tertawa beberapa kali.
"Rasanya bukan..." katanya, "Mengapa aku harus mendustaimu?"
tanya It Cheng Hong.
"Kau mempunyai banyak alasan untuk mendustai diriku, Kau tidak
ingin mengatakan hal yang sebenarnya karena kau takut
ditertawakan olehku, Terang-terangan kau memberikan barang ini
untuk mencari perlindungan kepada seseorang," kata perempuan
tersebut.
It Cheng Hong terkesiap, wajahnya berubah hebat Tubuhnya
limbung dan mundur sebanyak tiga depa. Perempuan dalam tandu
itu tiba-tiba menerjang keluar, Kali ini giliran Kwe Po Giok yang
terkejut
Bentuk tubuhnya masih lumayan. Wajahnya justru mirip dengan
seekor burung yang masih merah. Ditambah dengan bulu-bulu halus
berwarna putih memenuhinya, Lubang hidungnya mencuat keatas,
Mulutnya lebar dan ditumbuhi dua buah taring yang menonjol
keluar.
Tidak heran It Cheng Hong begitu terkejut, tetapi meskipun
perempuan itu begitu buruk rupa, tidak seharusnya It Cheng Hong
menggunakan segala macam dusta dan tipuan untuk mendapatkan
barang itu.
Bila hanya mendengar suaranya yang merdu dan melihat
tangannya yang halus, siapa pun tidak akan menyangka bahwa dia
adalah seorang perempuan yang demikian jelek wajahnya.
It Cheng Hong lari terbirit-birit. perempuan jelek itu mengejarnya,
Kedua dayang tadi tetap berdiri di tempat semula menatap keadaan
kedua orang itu. Mereka tahu mengejar pun akan sia-sia saja.

"Apakah perempuan itu akan menurunkan tangan jahat kepada It
Cheng Hong?" tanya Kwe Po Giok.
Sun Put Ce menganggukkan kepalanya.
"Tapi mengapa harus It Cheng Hong? Apakah dia benar-benar
menyukainya?"
Kembali bocah itu bertanya. Sekali lagi Sun Put Ce
menganggukkan kepalanya.
"Sebelum perempuan itu keluar dari tandunya, kau dan aku telah
melihat bentuk tangannya yang halus dan suaranya juga amat
lembut Apakah kau sudah menduga bahwa wajahnya sejelek itu?"
tanya Kwe Po Giok kembali.
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya, Kwe Po Giok menatapnya
dengan tajam, Sulit baginya untuk menyelami isi hati teman
seperjalanannya itu.
Matahari tetap terik, sampai sejauh selaksa li pun tidak terlihat
awan, Tengah hari telah tiba. Di dalam ruangan keluarga Fang,
masih terdapat orang-orang yang sama.
Yang pergi, sudah berangkat sejak tadi.
Yang tinggal, di usir pun masih tetap terpukau di tempatnya,
Bedanya, di setiap kepala anak buah dan murid Fang Tiong Seng
sekarang terlibat sehelai kain putih.
Fang Tiong Seng tetap duduk di kursi singa itu. Lama sekali dia
tidak mengeluarkan suara. Seperti sudah menjadi mayat yang di
balsem. Tiba-tiba dia mengeluarkan pedangnya, Diamatinya pedang
itu dengan seksama.
"Lahir sebagai orang Bulim. seharusnya mati dalam pertarungan
Hidup tidak terasa enak, mati pun tidak susah!" katanya.

Suara yang keras ini menggetarkan hati setiap orang, Mereka
percaya, pertarungan yang paling akbar sudah di depan pelupuk
mata. Pada saat itu, terdengar sahutan yang tidak kalah keras dari
luar ruangan itu.
"Kata-kata yang bagus!"
Mata yang mengandung amarah dari Mo Put Chi semakin
membelalak, Hati Hu Put Chiu semakin berdebar Matahari yang
panas semakin membara. Di ruangan yang besar dari keluarga Fang
telah bertambah satu orang, Fang Tiong Seng dengan langkah lebar
dan wajah berwibawa berjalan keluar dari ruangan besar itu.
Dia berdiri berhadapan dengan Toa Tek To Hun, Para anak buah
dan kedua muridnya ikut keluar dan membentuk dua barisan yang
rapi.
"Saudara adalah Toa Tek To Hun?" tanya Fang Tiong Seng.
"Betul!" sahut orang itu.
"Di dalam golok ada sukma, di dalam pedang pun demikian juga,
Saudara telah memberikan sukma saudara pada pedang di tangan,
aku pun demikian juga, Mati atau pun hidup akhir pertarungan ini,
aku Fang Tiong Seng tidak akan memasukkannya di dalam hati!"
ujar pendekar besar itu.
Toa Tek To Hun seakan tergerak hatinya mendengar ucapan
tersebut, Setelah Tiong-goan kehilangan demikian banyaknya jagojago
pilihan, masih ada juga yang dapat mengucapkan kata-kata
seperti itu, Toa Tek To Hun tidak pernah menyangkanya. Oleh sebab
itu, dia menjura dalam-dalam terhadap Fang Tiong Seng.
"Mengapa saudara perlu melakukan adat seperti tadi?" tanyanya,
"Kau adalah satu-satunya pendekar sejati yang pernah kutemui di
Tionggoan! Hiai pun kau akan mati atau tetap hidup, Toa Tek To
Hun tetap menghormati manusia seperti dirimu!" katanya tegas.

"Terima kasih!" kata Fang Tiong Seng.
"Tidak usah sungkan!" sahut Toa Tek To Hun.
Laki-Iaki itu meraba pedangnya, perbuatan ini membuat perhatian
orang yang hadir terpukau padanya, Tangannya mengumpulkan
kekuatan. Sinar pedang berkilauan menimbulkan suara angin yang
gemuruh, perubahan gerakannya begitu menyakitkan mata.
Membuat nafas orang-orang yang sedang memperhatikan terhenti
untuk sementara. pertarungan ini adalah huatu penentuan Bila kali
ini tidak dapat merebut kemenangan, para jago di Bulim juga pasti
akan mengalami kekalahan yang mengenaskan.
Pedang di tangan Toa Tek To Hun digerakkan. Hawanya
memenuhi tempat itu. Fang Tiong Seng berdiri tanpa bergerak di
keningnya terdapat luka memanjang. Pada saat itu, hati setiap orang
di penuhi rasa putus asa, kecuali Toa Tek To Hun seorang tentunya.
"Bagus! jurus yang teramat cepat, pedangnya juga sama cepat!"
kata Fang Tiong Seng dengan suara tawa yang aneh.
Darah segar mengucur dengan deras dari keningnya. Tubuh Fang
Tiong Seng bergoyang-goyang. Dia mencoba melangkah, tapi segera
terjungkal ke tanah. Murid, anak buah dan para pelayan
mengerumuninya. Suara ratapan terdengar memenuhi ruangan
tersebut Toa Tek To Hun sudah berada di depan pintu.
"Toa Tek.... jangan pergi dulu!" Terdengar suara teriakan dari
dalam ruangan.
Pedang di tangan Mo Put Chi seperti terbang menusuk dari arah
belakang, Toa Tek To Hun tidak menoIeh. langkahnya dipercepat.
Tusukan pedang itu mengenai tempat kosong. Mo Put Chi tidak mau
sudah, dia berteriak keras dan menyerang sekali lagi, Toa Tek To
Hun menggeser tubuhnya sedikit. Tubuhnya membalik. Tangan
leruIur dengan gerakan yang tidak tertangkap oleh mata, jari
telunjuknya menyentil ujung pedang Mo Put Chi. "Ting!"

Seiring dengan dentingan suara itu, pedang di tangan Mo Put Chi
terlepas dan melayang jauh, Akhirnya tertancap di tengah-tengah
sebatang pohon di jalanan.
Dengan tangan kosong, Mo Put Chi menyerangnya lagi, Dia
seakan tidak mau mengakui kekalahan ini, Hasilnya tetap sama,
Tidak seujung jari pun, dia dapat menyentuh tubuh Toa Tek To Hun.
Benar-benar suatu pemandangan yang mengharukan.
Toa Tek To Hun meneruskan langkahnya, Dia tidak melirik
sekejap pun kepada Mo Put Chi. serangannya yang bertubi-tubi
hanya menguras tenaga tanpa hasil. Akhirnya Mo Put Chi terpaksa
berhenti, dia terlihat putus asa. Airmatanya sampai mengalir tanpa
henti.
"Toa Tek To Hun! Mengapa kau tidak menghunus pedang dan
membunuh saja diriku ini?" teriaknya marah.
Toa Tek To Hun menghentikan langkah kakinya. Kepalanya
menoleh kepada Mo Put Chi sekejap, "Karena kau masih belum
pantas mati di bawah pedangku!" sahut Toa Tek To Hun.
Pada saat itu, Mo Put Chi baru sadar kesombongannya tidak
berlebihan. Bukan hanya dia yang tidak pantas, semua orang yang
berada dalam ruangan dalam pun tidak ada yang pantas, Mo Put Chi
dari marah berubah sedih.
Tubuhnya gemetar, air matanya bercucuran Bayangan Toa Tek To
Hun makin mengecil dan akhirnya menghilang. Semuanya terjadi
begitu cepat, Meski-pun pertarungan ini sudah memenuhi pikiran
setiap orang, tapi kenyataannya jauh berbeda.
Begitu cepat penyelesaiannya. Terlalu cepat sehingga mereka
seperti baru mengalami sebuah mimpi buruk, orang-orang itu hampir
tidak percaya bahwa semuanya telah berlalu.
Mata Mo Put Chi beralih ke pedangnya yang tertancap di batang
pohon. Dengan langkah lebar dia mendekat dan mencabut pedang

itu. Mo Put Chi tidak ingin berpikir lebih lama lagi, dia ingin segera
membunuh diri.
Perbuatan bunuh diri sebenarnya tidak sesuai dengan namanya,
tetapi gurunya sendiri sudah mengalami kejadian yang mengenaskan
Dia sendiri pun sudah mencoba, Untuk membalas dendam ini,
sulitnya melebihi segala hal di dunia, Mati adalah sntu-satunya jalan
keluar Apa salahnya mengikuti gurunya menuju alam baka? Bukankah
suhu sudah mengatakan bahwa hari ini merupakan batas
waktunya yang terakhir? Namun pada saat pedangnya sudah siap
menggorok lehernya sendiri, tiba-tiba Hu Put Chiu menerjang keluar
dan menahan pedang di tangannya....
Mo Put chi marah sekali, dia mendelik ke arah ji sutenya.
"Apa maksudmu menahan pedang ini?" bentaknya.
"Suheng, kau tidak boleh bunuh diri, karena kau memang tidak
perlu mati!" jawab Hu Put Chiu.
"Mengapa?" tanya Mo Put Chi dengan mata masih membara.
"Karena suhu juga belum mati!" sahut Hu Put Chiu yakin.
"Aku tidak percaya!" kata Mo Put Chi.
"Suheng.... Mengapa kau tidak masuk saja dan membuktikannya
sendiri?" Hu Put Chiu menyarankan.
Setelah mengalami kejadian ini, tubuh siapa yang tidak
mengeluarkan keringat dingin ?
Keluarga Fang menjadi kalang kabut, Anak buah dan para pelayan
berlarian kesana kemari. Mereka saling memberitahu bahwa majikan
mereka tidak mati.
Dalam pertarungan kali ini, mengharapkan kemenangan seperti
bermimpi di siang hari. Oleh sebab itu, dalam pikiran para pelayan

dan anak buah Fang Tiong Seng, tidak matinya majikan tersebut
merupakan suatu hal besar dunia Bulim.
Harapan seorang manusia memang paling mudah berubah, pada
saat pertarungan belum berlangsung, mereka mengharapkan
majikannya akan meraih kemenangan sekarang pertarungan telah
berlalu, harapan mereka tentu saja majikannya itu tidak mati.
Tidak matinya Fang Tiong Seng dengan "harus menang" sebelum
pertarungan berlangsung mempunyai nilai yang sama. Dua-duanya
menggetarkan hati anak buah serta para pelayan keluarga Fang,
Tidak jadi mati, masih mempunyai kesempatan untuk mengulangi
kembali. Bila ingin menebus suatu kekalahan, manusia harus dapat
mencapai titik " tidak mati" terlebih dahulu.
Saat itu, Fang Tiong Seng dipapah oleh para pelayannya untuk
duduk di kursi singa, Kedua matanya tertutup rapat. Di keningnya
terdapat luka memanjang. Baginya pertarungan memang telah usai,
Meskipun tidak sampai mati, rasanya baru saja ter-jaga dari sebuah
impian buruk. Mungkinkah perasaannya lebih enak mati daripada
hidup? Siapa yang dapat menyelami bagaimana perasaan hatinya
saat ini?
Kedua matanya terpejam rapat, keIihatannya lemas sekali. Atau
dia sedang mengenang kembali pertarungan tadi. Mo Put Chi dan Hu
Put Chiu masuk dengan langkah berlari-lari, Mereka mengalirkan air
mata, rasa kejut dan gembira tertera jelas di wajah keduanya.
Kejadian ini memang di luar dugaan. Karena dalam hati kecil
mereka, suhunya pasti akan meraih kemenangan, meskipun pernah
terlintas pikiran yang buruk, tapi yang mereka bayangkan adalah
seperti apa yang dialami oleh Chi Siong, Kiam Khek dan rekanrekannya.
Mereka sungguh tidak menyangka akhir pertarungan ini
akan menjadi begini.
Peristiwa ini membangkitkan kembali semangat mereka. Paling
tidak, Toa Tek To Hun tidak sanggup melakukan seperti yang biasa

dilakukannya. Sekali sinar pedang berkilau, musuh rubuh dengan
bermandi darah.
Mo Put Chi menghampiri suhunya....
"Apakah kau orang tua benar-benar tidak apa-apa?" tanyanya
dengan suara pilu.
"Aku pun tidak menyangka gerakannya kali ini akan menaruh
belas kasihan kepadaku...." sahut Fang Tiong Seng dengan wajah
kelam.
"Tidak, suhu! Kau merupakan orang pertama di Tionggoan yang
dihormatinya. Oleh sebab itu, gerakan pedangnya bukan menaruh
rasa belas kasihan, tapi rasa hormat!" kata Hu Put Chiu.
"Benar, suhu! Apa yang dikatakan sute memang tidak salah, Dia
terlalu menghormati suhu. sebetulnya dia telah berusaha sekuat
tenaga, Namun ketika pedang itu sudah mendekat, dia tidak tega
membunuh suhu, tetapi hanya melukai saja!" sahut Mo Put Chi.
Fang Tiong Seng tidak tahu mana yang lebih benar. Dia tidak
menyahut.
"Sekarang telah terbukti. Meskipun ilmu pedang Toa Tek To Hun
memang lihai, tapi dia masih belum dapat mengendalikan perasaan
hatinya," kata Hu Put Chiu.
"Namun... bila aku yang mendapatkan kesempatan untuk
membunuhnya, aku tidak akan terpengaruh rasa kasihan atau pun
rasa hormat. Sebab bila orang ini tidak mati, di dalam kangouw
entah masih harus mengorbankan berapa banyak jiwa!" kata Fang
Tiong Seng tegas.
Ruangan itu sunyi senyap, Akhir pertarungan ini tidak dapat
dikatakan paling baik atau pun paling buruk!

"Sayang sekali... meskipun aku berlatih lagi selama sepuluh tahun,
masih tetap bukan tandingannya...." Fang Tiong Seng menarik nafas
panjang.
"Benarkah ilmu pedangnya sedemikian lihai?" tanya Mo Put Chi.
"Aku sudah pernah mengatakan pada saat sekarang ini, hanya
ada satu orang yang dapat menahan serangan pedangnya..." sahut
Fang Tiong Seng.
-oooo0oooo-
Kapal layar panca warna penghuninya setengah dewa.
"Benarkah di dunia ini ada manusia semacam itu?" tanya Ho Put
Chiu.
"Tentu ada" Sahut Fan Tiang Seng.
Di wajah setiap orang terbersik setitik harapan.
"Apakah sang sute dan Po Giok dapat berhasil menemuinya?"
tanya Hu Put Chiu entah kepada siapa.
"Aku berharap mereka berhasil..." kata Fang Tiang Seng
-oooo0oooo-
Bagian Lima
Pinggir pantai. Disini adalah perkampungan nelayan yang telah
porak poranda.
Pemandangan seperti ini rasanya tidak akan membuat manusia
kerasan.

Begitu pula Kwe Po Giok dan Sun Put ce. Mereka juga tidak
menyukai tempat itu. Tapi nyatanya mereka telah sampai, suka atau
tidak bukan persoalan lagi. Untuk menunggu adalah persoalan lain.
Untuk menunggu layar panca warna dari kapal dewa itu, mereka
hampir-hampir merasa jenuh.
Angin laut tiap hari berhembus. Matahari menyengat. Waktu
seperti itu sungguh sulit dilalui, wajah kedua orang itu merah
hangus, Kulit yang tersengat matahari menjadi terkelupas, membuat
belang wajah mereka.
Di tempat seperti ini, untuk menghilangkan waktu luang,
memancing adalah jalan yang terbaik, Kadang-kadang ada beberapa
kapal layar yang lewat, tapi tidak satupun yang berlayar
pancawarna,
"Mungkinkah di dunia ini ada layar pancawarna? Ada kapal
dewa?" tanya Kwe Po Giok setengah putus asa. Dia masih seorang
bocah cilik, kesabarannya tentu kalah jauh dengan rekannya yang
lebih tua.
"Ada.... Pasti ada!" sahut Sun Put Ce.
"Karena Fang lopek mengatakan ada, lalu kau juga yakin pasti
ada?" tanya Kwe Po Giok.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Tapi kita sudah beberapa hari diam di tempat ini, bayangan layar
panca warna pun tidak terlihat," kata Kwe Po Giok mengeluh.
"Cepat atau lambat, kita pasti berhasil menemukannya!" kata Sun
Put Ce yakin.
"Bagaimana kalau dewa itu telah mati?" tanya Kwe Po Giok.

"Berarti nasib kita sudah ditakdirkan menunggu sampai akhir
zaman," sahut Sun Put Ce seakan bila peristiwa itu benar-benar
terjadi, tetap tidak akan menggoyahkan hatinya.
"Saya hanya takut, bila kita menunggu sampai saat itu, Toa Tek
To Hun telah berhasil membunuh seluruh jago di Tionggoan!" kata
Kwe Po Giok.
Sun Put Ce tidak menyahut. Apakah Toa Tek To Hun akan
membasmi seluruh jago persilatan di Tionggoan? Dia yakin, tidak,
Hatinya dikaluti bermacam-macam pikiran, Karena mereka sudah
sampai di tempat ini, jalan satu-satunya hanya menunggu.
Kwe Po Giok dan Sun Put Ce memancing ikan kembali, Apakah
memancing ikan suatu kesenangan atau penderitaan? ini harus
dilihat dari si pemancingnya sendiri.
Apakah dia memancing karena hobby atau hanya mengisi waktu?
Seperti kedua orang tersebut, mereka melakukannya untuk
mengisi waktu luang, tentu saja merupakan suatu penderitaan. Kwe
Po-giok berkali-kali mengangkat pancingnya. Umpannya telah habis
dimakan namun tak ada seekor ikanpun yang terkail. Hanya Sun Put
Ce yang berhasil mendapat seekor ikan kecil sepanjang tiga cun.
Dalam anggapan hari mereka meskipun Sun Put Ce berhasil
mendapatkan seekor ikan kecil, toh masih jauh lebih baik daripada
dirinya yang tidak berhasil, meskipun merasa kurang senang.
"Kau senang ikan?" tanya bocah itu dengan wajah bersungutsungut.
"Sedikit..." sahut rekannya.
"Andaikata kau tidak mendapat seekor ikanpun, apakah kau tetap
menyukai ikan?" tanya Kwe Po-giok penasaran.
"Betul." Sahut Sun Put-ce.

"Apakah ikan menyukai manusia?" tanya Kwe Po Giok dengan
nada mengejek.
"Paling tidak mereka menyukai umpan pada kail manusia," jawab
sang rekan, "Sebetulnya ikan dapat menjadi sahabat manusia, Tapi
kadang-kadang mereka bisa menjadi musuh besar, Benar atau
tidak?" tanya Kwe Po Giok.
Sun Put Ce menatapnya dalam-dalam.. "Benar!" sahutnya.
"Coba kau terka. Bagaimana keadaan Fang lopek sekarang?"
tanya Kwe Po Giok berganti memandangnya. Sun Put Ce
menggeleng kepala dengan lesu.
"Saya dapat melihat bahwa dirimu sangat menderita saat ini!"
kata Kwe Po Giok.
"Apakah kau tidak?" Sun Put Ce berbalik bertanya.
"Saya.,.? Tentu saja. Saya selalu menganggap memancing itu
menyebalkan, menghabiskan waktu dengan percuma," sahutnya
kesal.
"Waktu luang adalah emas." kata Sun Put Ce datar.
Pada saat itu, Sun Put Ce mendongakkan kepalanya untuk
menatap seekor burung camar, Dia menelusuri sampai ke bawah.
Diantara batu-batu karang, ada sesuatu yang lebih menarik daripada
burung camar itu sendiri, Seorang gadis duduk di sebuah bebatuan
Tangannya melambai-lambai ke arah Sun Put Ce.
Seumur hidupnya, Sun Put Ce tidak pernah berdekatan dengan
seorang gadis, sebelumnya dia selalu mempunyai anggapan bahwa
perempuan adalah makhluk yang telah ditentukan.
Dunia ini tidak dapat tanpa perempuan, juga tidak boleh terlalu
dekat dengan makhluk tersebut, Tidak disangka, begitu keluar dari
pintu perguruan, dia telah bertemu dengan dua di antara makhluk

tersebut, Bwe Mei malah memberikan sebuah dompet yang harum
untuknya.
Dan kejadian sekarang, mimpi pun tidak pernah dibayangkan
Sejak perjumpaan mereka tempo hari, bila dia sedang menyendiri
atau sedang tidur, bayangan gadis itu sering berputar di benaknya,
Karena hal ini, paling tidak anggapannya terhadap seorang gadis
sudah mulai berubah.
Dia tidak lagi berpikir bahwa perempuan itu makhluk yang "tidak
boleh terlalu didekati", Malah dia mempunyai anggapan kalau bisa
agak dekat sedikit, bukankah menyenangkan?
Gadis yang melambaikan tangannya itu tampak tidak asing. Tapi
Sun Put Ce yakin, dia bukan Bwe Mei yang memberikan dompet
kepadanya, Mengapa Bwe Mei menghadiahkan dompet untuknya?
Bila pertanyaan ini diajukan kepada Sun Put Ce, tentu dia akan sulit
menjawabnya. Sama seperti mengapa Toa Tek To Hun harus
membunuh para jago kelas satu di Tionggoan?
Apa yang terjadi di dunia memang sering di luar dugaan?
Kehidupan manusia ibarat sebuah panggung sandiwara ... Tiba-tiba
Sun Put Ce teringat. Gadis itu adalah cucu Peng Chow Ceng. Juga
merupakan salah satu dari ketiga orang yang bersandiwara di
hadapan mereka, Sun Put Ce kagum kepada mereka, Setidaknya
sandiwara yang dijalankan telah berhasil mengelabui dia dan Kwe Po
Giok.
Mengapa mereka harus menjalankan peranan seperti itu? Apakah
mereka ingin menguji dirinya dan Kwe Po Giok? Kalau begitu, berarti
sejak semula mereka telah tahu bahwa dirinya adalah anak murid
Fang Tiong Seng! Dia merasa Chow Ai Giok tidak dapat disamakan
dengan Bwe Mei....
Kalau dia teringat kepada gadis itu, dia pasti harus menyimpan
dengan baik dompet yang diberikan kepadanya, Dia tidak
seharusnya bermain api dengan gadis lain, Namun kata-kata Ai Giok

seperti "jangan menganggap bodoh seorang manusia yang berbudi",
juga sering terngiang-ngiang di telinganya.
Kemudian, dia juga merasa dompet yang diberikan oleh Bwe Mei
hanya sebagai tanda terima kasih karena telah menyelamatkan
nyawanya, pikirannya menjadi ruwet.
Dia melihat Ai Giok melambaikan tangannya sekali lagi, kemudian
menyelinap di antara batu-batu karang di tepi pantai tersebut, Dia
pernah mendengar orang berkata bahwa perempuan adalah
makhluk yang tidak pernah setengah-setengah.
Kalau tidak lebih baik dari kaum laki-laki, pasti jauh lebih jahat
dari mereka, Dia tidak tahu apakah pikirannya sendiri yang
melangkah terlalu jauh terhadap sikap dan tingkah laku kedua gadis
itu?
Tanpa mengatakan sepatah kata pun Sun Put Ce menuruni bukit
karang tersebut. Tentu saja dia masih mempunyai alasan yang lain.
Siapa tahu gadis itu dapat memberikan sedikit keterangan tentang...
Kwe Po Giok meliriknya sekilas, Dia tidak menanyakan tujuan Sun
Put Ce karena dia memang tidak mengetahui kehadiran gadis itu,
Kadangkala Kwe Po Giok juga tidak menyelami perasaan Sun Put Ce,
meskipun kepintarannya lebih tinggi dari manusia umumnya.
Dia hanya mengira Sun Put Ce sedang mencari umpan ikan di
balik batu-batu karang tersebut, Dia tahu anak rajungan dapat
dijadikan umpan, LagipuIa untuk mencarinya harus menggali pasirpasir
di sepanjang pesisir pantai itu.
Tidak lama kemudian, Sun Put Ce telah menghilang di balik batu
karang yang besar-besar. Chow Ai Giok duduk di atas sebuah batu
yang licin dan mengkilap, Bajunya tampak sederhana, jauh berbeda
dengan penampilan Bwe Mei.

Kain yang digunakan sebagai bahan baju itu amat tipis, Meskipun
Ai Giok mengenakan pakaian dalam, tapi bentuk payudaranya yang
menyembul tetap membuat sebuah pemandangan yang indah.
Angin laut berhembus, meniupkan segulung keharuman dari
tubuh gadis itu. Sun Put Ce berdiri dengan sikap lugu. Ai Giok
tersenyum-senyum, Dia menepuk-nepuk batu karang di sampingnya,
sebagai isyarat agar Sun Put Ce duduk di sana, Sun Put Ce bagai
setengah mabuk.
Baru kali ini keluar merantau, sudah menemui dua peristiwa yang
mimpi pun tidak berani dibayangkan Sejak berkenalan dengan Bwe
Mei, sudah berulangkali dia memikirkan rupanya sendiri. Dilihat dari
bentuk luar, dia tidak dapat menandingi It Cheng Hong, Dari
kecerdasan dia pun tidak setimpal dengan Kwe Po Giok. keningnya
tidak seberapa lebar, Alis dan mata masih lumayan, Hidungnya tidak
termasuk mancung, Bibirnya malah agak tebal sedikit.
Bentuk wajahnya sulit dilukiskan. Tidak bundar, namun juga tidak
dapat disebut berbentuk persegi, Juga tidak terlalu panjang, Kulitnya
berwarna gelap, Manusia seperti dirinya, paling mudah dibedakan
dengan orang lain. Dia tidak habis pikir, Apa yang membuat kedua
gadis itu tertarik kepadanya?
Bagaimana pun dia tidak enak menolak permintaan seorang gadis
yang telah menyusulnya sejauh ribuan li. Dia duduk di samping gadis
itu. Angin laut memang tidak terlalu kencang, namun meniup
rambut-rambut kecil yang terurai di kepala Ai Giok, Sun Put Ce yakin
sekali darah hangatnya mengaliri seluruh bagian tubuh.
Menimbulkan suatu perasaan yang janggal! Pada saat itu, dia baru
percaya bahwa perempuan merupakan makhluk yang telah
ditentukan oleh Thian!
"Sun toako.... Kalian sungguh pandai menyenangkan diri.... Jauhjauh
ke sini hanya untuk memancing,..." kata gadis itu.
"Betul!" sahutnya.

"Memang sengaja memancing ikan atau kebetulan ada urusan
yang perlu ditangani? Lalu sekalian memancing?" tanya Chow Ai
Giok.
"Mengisi waktu luang," sahut Sun Put Ce.
"Saya dengar, Toa Tek To Hun juga tidak akan melepaskan
suhumu, Fang Tiong Seng taihiap, Benarkah?" tanya gadis itu
kembali.
"Benar!" sahutnya,
"Lalu mengapa kau bisa datang ke perkampungan nelayan ini
untuk memancing?" tanya gadis itu dengan pandangan menyelidiki.
Sun Put Ce tertawa getir tanpa menjawab.
"Sun toako.... Kau benar-benar seorang manusia yang jujur...."
kata Ai Giok sambil menarik nafas.
"Aku... aku.,.," Sun Put Ce menjadi kikuk.
"Sun toako... kalau ada sesuatu yang ingin kau ucapkan, silahkan!
jangan malu-malu!" kata gadis itu membesarkan hati laki-laki di
sampingnya.
"Sebetulnya tidak ada yang ingin kukatakan Aku hanya takut
membuat kau kecewa..." sahut Sun Put Ce dengan suara ragu.
"Saya tidak takut. sebetulnya sejak pertama kali bertemu, saya
sudah... sudah...." kata-katanya tidak dapat dilanjutkan, dia
bergeser lebih dekat dengan Sun Put Ce.
Sun Put Ce yakin, tubuh dan tulang kerangka seorang gadis tidak
sama dengan seorang laki-laki. Nafasnya agak memburu.
Hal ini pasti tidak dapat mengelabui Chow Ai Giok. Namun apa
yang dapat dilakukan olehnya tidak dapat melampaui batas lagi,

perempuan selalu menghindari anggapan rendah dan kurang
pendidikan dari seorang laki-laki, meskipun apa yang sanggup
mereka lakukan dapat membuat para laki-laki lupa diri!
Di antara laki-laki dan perempuan ada kata-kata "jodoh", Bila
tidak, kalau dinilai dari raut wajah dan ilmu silat Chow Ai Giok, mana
mungkin dia takut tidak menemukan pemuda yang lebih dari Sun Put
Ce!
Chow Ai Giok mengeluarkan suatu benda dari balik pakaiannya,
Dia menyerahkannya ke tangan laki-laki itu.
"Benda ini sengaja saya sulam untukmu, bila kau melihatnya,
seperti bertemu dengan diri saya...." katanya dengan wajah tersipusipu.
Sun Put Ce merasakan aliran darahnya semakin cepat. Angin laut
tidak dapat menyejukkan hatinya yang panas membara. Karena di
tangannya tergenggam sebuah dompet yang memancarkan bau
harum. Lagi-lagi sebuah dompet! Apakah seorang gadis selalu
memberikan dompet sebagai isyarat perasaannya kepada seorang
laki-laki? Kalau demikian, nilai dompet ini tidak terkira!
Kesedihan dalam hatinya, kesepian, kejenuhan selama menunggu
selama beberapa hari ini segera sirna bersama dompet di tangannya
dan gerakan yang ditunjukkan Chow Ai Giok, semangatnya bangkit
seperti sekumpulan api yang disiram minyak. Semakin membara!
seandainya seorang gadis saja bisa begitu terbuka pandangannya,
dirinya tentu tidak boleh sekaku itu.
Tiba-tiba Sun Put Ce membentangkan kedua tangannya dan
memeluk Chow Ai Giok. Pada saat demikian, dia tambah yakin
bahwa kulit dan tubuh seorang gadis berbeda sekali dengan seorang
laki-laki. perasaannya bergelora, Bagaikan sebuah perahu yang
terombang-ambing di tengah lautan!
Chow Ai Giok tampak terkejut Tapi rasa terkejutnya bukan karena
merasa dihina, atau pun takut. Dia justru merasa hal itu memang

yang sedang dinanti-nantikannya dan sama sekali tidak menyangka
akan terlaksana! Mungkin juga perasaan itu sama dengan perasaan
laki-Iaki itu sendiri.
Tiba-tiba Sun Put Ce teringat sebuah dompet yang lain, Dompet
yang satu itu lebih dahulu diterimanya. Dia merasa perbuatannya
sekarang sangat menyalahi pemilik dompet itu. Tiba-tiba dia
melepaskan rangkulannya, SebetuInya, pelukan Sun Put Ce tadi
tidak terlalu ketat. Perbuatan seperti itu semestinya kurang sopan,
Dia seperti memeluknya dengan setengah hati, Tidak seharusnya
memeluk, toh dia sudah memeluk, Tidak berani memeluk, dia toh
memeluk dengan hati ragu, Benar-benar sulit diuraikan. Bagi Sun
Put Ce yang tidak berdekatan dengan seorang gadis, mana mengerti
teori ini?
"Chow Kouwnio, maafkanlah aku!" katanya dengan suara lirih.
Ai Giok menatapnya dengan heran, "Mengapa harus minta maaf?"
tanya gadis itu.
"Waktu kecil sudah mendapat didikan dari keluarga, setelah
dewasa juga mendapat ajaran dari suhu, Tidak seharusnya aku
melakukan perbuatan yang tidak sopan." katanya.
"Sun toako.... Saya tidak menyalahkan dirimu, Kalau orang lain,
tentu saja tidak boleh!" sahut Ai Giok dengan wajah tersipu-sipu.
"Apakah Chow Kouwnio hanya datang seorang diri?" tanya Sun
Put Ce mengalihkan pembicaraan.
"Betul!" sahutnya.
"Mengapa kouwnio bisa datang sendirian ke perkampungan
nelayan ini?" tanya Sun Put Ce tidak mengerti.
Wajah Chow Ai Giok menunjukkan perubahan hebat.
"Saya ingin bermain-main," sahutnya dingin.

"Apakah nona pernah mendengar jejak atau keadaan Toa Tek To
Hun saat ini?" tanya Sun Put Ce tidak memperdulikan perubahan
gadis itu.
"Tidak...." jawab Chow Ai Giok.
"Chow Kouwnio.... Terhadap kesalahan tadi, aku harap kau mau
memaafkan," kata Sun Put Ce dengan perasaan tidak enak.
"Sudah saya katakan bahwa saya tidak perduli. Mengapa kau
begitu pengecut?" sahut sang gadis.
"Bukan pengecut, tapi merasa berdosa kepada dompet ini,"
sahutnya sambil meraba pakaian yang dikenakannya. Chow Ai Giok
jadi kesal bercampur geli.
"Merasa berdosa kepada dompet itu? Bukankah saya sudah
memberikannya kepadamu?" tanya gadis itu dengan wajah
tersenyum.
"Bukan dompet yang kau berikan, tetapi dompet yang lain," sahut
Sun Put Ce. senyuman Ai Giok langsung sirna, matanya mendelik.
"Kau masih memiliki dompet yang lain? Darimana? Coba saya
lihat!" serunya dengan suara keras.
Sun Put Ce benar-benar buta tentang hubungan antara laki-laki
dan perempuan. Dengan jujur dia menerangkan adanya dompet lain,
bahkan dikeluarkannya dompet itu untuk diperlihatkan kepada Chow
Ai Giok. Apa salahnya memperlihatkan kepada gadis ini? pikirnya
dalam hati, Toh tidak lebih hanya sebuah dompet!
Chow Ai Giok merebut dompet itu dari tangan Sun Put Ce. Dia
memperhatikan dengan seksama, tidak sama dengan miliknya. Yang
ini malah lebih halus dan indah.
"Siapa yang memberikannya padamu?" tanyanya dengan nada
dingin,

"Nona Bwe Mei," sahut Sun Put Ce terus terang,
Chow Ai Giok terpana. Mungkinkah karena dompet itu lebih bagus
atau dia tidak menyangka gadis itu yang memberikannya.
"Hu li cing si siluman srigala!" katanya dengan nada benci.
Tangan gadis itu terangkat, Sun Put Ce tidak keburu
mencegahnya lagi. Dompet itu telah terlempar jauh ke dalam laut.
Laki-laki itu merasa agak marah, tapi sebelum dia sempat
menegurnya, gadis itu sudah membalikkan tubuh dan pergi
meninggalkan tempat itu.
Sun Put Ce benar-benar tidak tahu hati seorang gadis sulit
dimengerti. Mereka tidak mengerti apa arti sebuah persahabatan.
Mereka hanya tahu tentang cinta.
Dompet yang dilempar oleh Chow Ai Giok masih terapung-apung,
Kalau permukaan sudah basah semua, tentu dompet itu akan
tenggelam Sun Put Ce tidak dapat membiarkan dompet itu
tenggelam. Kejadian ini sama dengan tidak menghargai pemberian
Bwe Mei.
Gadis itu merupakan orang pertama yang memandangnya tinggi,
dalam hatinya, tidak terkira rasa terima kasih atas perhatian Bwe
Mei. Tanpa sempat membuka baju lagi, dia segera terjun ke dalam
laut.
"Pung!!!"
Lautan ada sebagian yang kalau dilihat tidak dalam, tapi begitu
terjun baru merasakan tidak terlalu dangkal juga, Sun Put Ce hanya
mengingat dompet itu, dia meraih dan menggenggamnya erat-erat.
Dia juga lupa bahwa dirinya sama sekali tidak bisa berenang.
Beberapa kali tangannya menggapai kalang kabut, lalu perlahanlahan
tenggelam.

Meneguk air laut yang asin tentu saja bukan pengalaman yang
menyenangkan Meskipun harus mati tenggelam, tangannya tetap
tidak mau melepaskan dompet yang telah berhasil diraihnya,
ingatannya pun lambat laun menghilang.
Ketika tersadar kembali, dia menemukan dirinya rebah di batu
yang tadi ia duduki bersama Chow Ai Giok. Kwe Po Giok berdiri di
sampingnya. Tubuhnya juga bawah kuyup, Sun Put Ce sudah dapat
menduga apa yang telah terjadi.
Dia melihat Kwe Po Giok sedang mengedarkan pandangannya ke
sekitar tempat tersebut. Apakah dia masih tetap mencari layar panca
warna itu? Sun Put Ce memaksakan dirinya untuk duduk.
"Kwe Siaute.... Terima kasih atas pertolonganmu!" katanya
dengan suara lemah, Kwe Po Giok mengalihkan tatapannya kepada
teman seperjalanannya itu.
"Sampai di sini beberapa hari, saya masih tidak tahu bahwa kau
adalah seorang pengagum wanita," sahutnya tenang.
"Saya..." Sun Put Ce gugup wajahnya merah.
"Sekarang saya baru percaya kata-kata "Thao hua un" yang
berarti rejeki didekati wanita," katanya seperti kepada dirinya
sendiri.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Tapi ada yang mengatakan manusia yang mendapatkan Thao
hua un, justru sedang sial," katanya lagi.
"Betul!" sahut Sun Put Ce kembali, "Kalau tidak, mana mungkin
kau hampir mati tenggelam?" kata bocah itu. Sun Put Ce tidak
menyahut "Meskipun kau mendapatkan Thao hua un... tetapi kau
sama sekali tidak mengerti hati kaum perempuan...." kata Kwe Po
Giok, Sekali ini dia menarik nafas panjang.

"Aku?" tanya Sun Put Ce sedikit heran, "Lidah seorang
perempuan, senjata rahasia terakhir mereka," kata Kwe Po Giok.
Sun Put Ce segera tahu bahwa perbuatannya dengan Chow Ai
Giok pasti diintip oleh bocah ini, Dia merasa kurang enak.
"Pada saat seperti sekarang, perbuatanku memang tidak patut,"
sahut Sun Put Ce.
"Saat seperti sekarang, mencari kesenangan memang paling
pantas," ejek Kwe Po Giok sinis. Sun Put Ce memperhatikannya
dengan tajam, Sekarang dia baru sadar, apa yang diketahui oleh
Kwe Po Giok jauh melebihi usianya.
jilid 04
"Ada suatu hal yang membuat saya kagum terhadapmu!" kata
Kwe Po Giok, Sun Put Ce menatapnya dengan pandangan bertanya.
"Keberanian dan kesetiaan terhadap sebuah dompet, saya
sungguh tidak dapat melebihi dirimu," ujarnya menjelaskan.
Sun Put Ce menarik nafas panjang.
"Sejak usia tiga tahun sudah mendapat gelar bocah ajaib.
Memang tidak terlalu ber-lebihan," katanya.
"Coba kau terka, bagaimana keadaan Fang lopek sekarang?"
tanya Kwe Po Giok tanpa memperdulikan pujian Sun Put Ce.
Rekannya tidak menyahut.
"Saya juga tidak tahu bagaimana keadaannya, tapi saya yakin Toa
Tek To Hun sudah pergi mencarinya," kata Kwe Po Giok dengan
suara sendu. Sun Put Ce tetap tidak mengeluarkan suara.
Matahari terbit, matahari tenggelam. Pagi atau senja, Di
pegunungan atau pun di daratan. Langkah kaki Toa Tek To Hun

tetap tegar, jejak kakinya masih terlihat rapi dan teratur, Di samping
jejak kaki, ada tetesan darah segar, Menitik dari ujung pedangnya.
Di padang rumput, ataupun dalam hutan belantara, sepertinya
semua ada jejak kaki orang itu. jejak kaki itu seperti mengatakan
"Pedang adalah aku. Aku adalah pedang, Aku lahir, aku datang
hanya untuk kemenangan Menang, hidup. Kalah, mati, Di dalam
hidup ini tidak ada pilihan yang lain."
Di sampingnya terasa ada sebuah suara yang menyahut.
"Saya percaya kedatangan Siansing kali ini hanya untuk
memenangkan semua pertarungan."
Sinar pedang berkilauan. Suaranya bergemuruh, Kening terdapat
jalur luka memanjang, Satu-satu musuh pun rubuh bermandikan
darah. Para pesilat dari Tionggoan yang tidak takut ataupun gentar,
pasti dari golongan tingkat tiga atau empat.
Manusia takut ternama, babi takut menjadi gemuk, Kadangkala
tidak terkenal justru membawa keberuntungan. Biasanya manusia
berusaha menjadi terkenal. Usaha apapun berani dilakukan untuk
menjadi terkenal. Saat ini, untuk menghilangkan nama yang sudah
terlanjur terkenal, sama sekali tidak mungkin. Satu-satunya jalan
hanya mencari dewa pelindung.
Hendak mencari dewa pelindung, harus pintar, serta memiliki
sesuatu yang dapat dijadikan imbalan. Oleh sebab itu, Peng Chow
Ceng dan Hek Houw bersusah payah memainkan sandiwaranya, It
Cheng Hong menggunakan perkawinan untuk menipu Bi jin sim.
Dunia seperti permainan catur, Benar-benar boleh dipercayai.
Di kota ini, penginapan dan rumah makan Thai Pek Ki sangat
terkenak. Dalam jarak sejauh ratusan li, siapa pun pernah
mendengar nama Tai Pek Ki itu. Usaha seperti ini, yang penting
dapat menyediakan kamar yang bagus. Dapat mencari juru masak
yang bisa mengolah bermacam-macam masakan enak. Nama pun
akan melambung selamanya.

Hari ini, Thai Pek Ki mendapat kunjungan seorang pesilat, Dia
menempelkan kain berwarna merah dengan tulisan dari tinta hitam
di atas pintu, Huruf yang tertera adalah: "Cu Thi Jui" alias Si mulut
besi Cu.
Pengurus rumah makan dan penginapan Thai Pek Ki kurang
senang, Dia berjalan keluar dari pintu belakang dan mengetuk pintu
kamar Cu Thi Jui.
"Apakah tamu yang bernama Cu Sian-sing ada di tempat?"
tanyanya.
"Siapa di sana?" Terdengar sahutan dari dalam.
"Saya adalah pengurus penginapan ini," katanya menjelaskan
Seorang laki-laki berkacak pinggang setelah pintu dibuka.
"Ada keperluan apa?" tanyanya,
"Apakah Cu Siansing akan membuka usaha di penginapan ini?"
pengurus penginapan itu balik bertanya.
Cu Thi Jui tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku adalah seorang perantau, Sampai di mana, membuka usaha
di mana. Kalau ramai akan menetap lebih lama beberapa hari, kalau
usaha sepi, tentu aku akan melepaskan merek di depan segera,"
sahutnya.
"Cu Siansing.... Saya hanyalah seorang pengurus di sini, Yang
dapat mengambil keputusan adalah majikan pemilik kami, Majikan
kami itu paling tidak suka kejadian seperti ini, Lebih baik kau cepatcepat
melepaskan merek di depan itu," katanya.
"Apakah kau tidak percaya ramalan bintang?" tanya laki-laki itu.
"Tidak heran. Kau tidak percaya karena belum bertemu dengan
orang keluarga Fang. Saya justru ingin membuktikan bahwa ramalan
bintang benar-benar hebat!" katanya setelah melihat pengurus
penginapan itu menggelengkan kepalanya.

"Cayhe masih tidak percaya...." sahut pengurus penginapan itu.
"Pengurus Liu, kau masih belum mengerti. sebetulnya ramalan
bintang bukan hanya dongeng yang tersiar di luaran. Ramalan ini
seperti ilmu jiwa. Dengan melihat apa yang berkecamuk dalam jiwa
seseorang ditambah ilmu perjalanan bintang di atas langit, hasilnya
benar-benar mengagumkan jauh sebelum jaman sekarang sudah
banyak yang menggunakannya. Seperti Ko pocu liau dari dinasti
Chow, awal dinasti Han ada Shi Fu, akhir dinasti Han ada Cu kian
peng. Di sebelah Utara ada Hong Po Giok, Gok sik. Kai huat Chien,
Masih ada lagi dari sebelah Tenggara, Ku Lien, Lai ho, pada zaman
dinasti Thang ada Yan Thian Cen, Thio Kincan, Budha pengemis Kai
hut Ying li, Kim liang hong dan lain-lain," katanya panjang lebar.
Tidak disangka-sangka, pengurus itu juga mengalami ramalan
bintang ini.
"Zaman dinasti Song ada Ma I To Jin, Ceng miao ing, Fu pan dan
Liu si pek," sahutnya.
"Betul! Betul!" Dinasti Goan ada Lie Kok Yong, Choa kui, dinasti
Beng ada Gouw Kok Chai, Yuan ki, Li fen, Hung Peng Lu, Chen ju
lan, dan yang terakhir pada zaman dinasti Ching masih ada Tan
Tham Suk dan Cek Kok Fan yang menggunakannya," sahut Cu Thi
Jui. Tanpa dinyana, meskipun pengetahuan tentang ramalan bintang
cukup dalam, dia tetap menggeleng kepalanya.
"Liu Cangkwe tidak percaya pasti ada sebabnya," kata Cu Thi Jui.
"Boleh dikatakan demikian...." jawab Liu Cangkwe itu.
"Mungkinkah pernah ditipu dengan ramalan bintang?" tanya Cu
Thi Jui kembali.
"Hanya kata-katanya yang omong kosong," sahut pengurus
penginapan itu.

"Sebagian pendeta yang mengerti ilmu meramal atau sihir di
Kangouw tujuannya memang hanya mencari makan dengan menipu,
tapi Liu Cangkwe tidak boleh menyamakan semuanya," kata Cu Thi
Jui mencoba meyakinkan pengurus penginapan tersebut
"Dulu, kira-kira dua puluh tahun yang lampau, di kampung saya
ada seorang bernama Sun poa sin atau Manusia setengah dewa she
Sun, Ramalannya bagai ramalan dewa. Apa yang akan terjadi kelak
dapat diramalkannya dengan tepat. Saya jadi penasaran, suatu hari,
saya memintanya untuk meramal nasib saya, ternyata nama
besarnya tidak sesuai dengan kenyataan," jawab Liu Cangkwe
menjelaskan.
"Ramalannya tidak tepat bukan?" tanya Cu Thi Jui menduga
perkataan orang selanjutnya.
Liu Cangkwe mengangguk dengan senyum mengandung ejekan.
"Dengan cara apa ia mengatakannya? Dari raut wajah, garis
tangan, Pekji (tanggal dan jam kelahiran) atau dari huruf?" tanyanya
kembali.
"Dari huruf...." jawab Liu Cangkwe.
"Dari huruf justru saya paling ahli," kata Cu Thi Jui lagi.
Liu Cangkwe menganggap muka orang ini ternyata cukup tebal,
Masih berani sembarangan mengoceh.
"Waktu telah berlalu sebanyak hampir dua puluh tahun Huruf apa
yang saya cabut ketika itu pun sudah saya lupa lagi..." kata Liu
Cangkwe.
"Bagaimana kalau Liu Cangkwe masuk sebentar?" undang tamu
itu.
Pengurus penginapan itu terlihat enggan. Mungkin karena
pekerjaannya masih banyak yang belum diselesaikan.

"Liu Cangkwe,.. bila cayhe salah menebak, kau tidak percaya pun
belum terlambat" kata Cu Thi Jui mengibaskan tangannya
mempersilahkan pengurus itu masuk ke dalam.
Liu Cangkwe itu terpaksa menurutinya, Si Mulut Besi Cu
mengambil sebuah bumbung bambu. Di dalamnya berisi batangbatang
bambu dengan berbagai tulisan. Dia menyerahkannya ke
tangan Liu Cangkwe tadi, Laki-laki itu mengocok-ngocoknya sejenak,
kemudian dia memejamkan mata dan mencabut sebatang bambu
itu. Dia membuka mata dan membaca huruf Ci pada bambu itu.
Huruf itu berarti budi.
"Apa yang ingin Liu Cangkwe tanyakan?" tanya Cu Thi Jui.
"lstri, rejeki, dan turunan," katanya.
"Liu Cangkwe lahir dalam edaran shio apa?" tanyanya kembali.
"Yo (kambing)." sahut pengurus penginapan itu. Sejenak hening,
lalu tampak si peramal Cu menggelengkan kepalanya berkali-kali.
Alisnya berkerut,
"Liu Cangkwe apakah ingin saya mengatakan hal yang
sebenarnya?" tanya peramal itu.
"Tentu saja saya ingin kebenaran," sahut Liu Cangkwe.
"Liu Cangkwe sudah digariskan hidup menyendiri Tidak beristri
Apalagi anak, Tentu tak usah dibicarakan lagi. Mengenai rejeki,
hanya sampai di sini saja, Saya melihat pekerjaan Liu Cangkwe juga
tidak dapat dipertahankan lebih lama lagi," sahutnya sambil
menghela nafas.
Liu Cangkwe membelalakkan mata saking terkejut.
"Siansing dapat mengetahui darimana?" tanyanya dengan mata
membelalak.

"Huruf Ci yang Cangkwe dapatkan, Atas adalah kambing, bawah
adalah aku, Kalau memang hanya ada engkau, dengan sendirinya
tidak ada orang lainnya. Juga karena huruf 'kambing" tadi terputus,
rejeki Cangkwe juga tidak lama lagi," sahutnya.
"Siansing rupanya benar-benar tepat mendapat sebutan Cu Thi
Jui. Saya memang masih menyendiri sampai saat ini," kata Lui
Cangkwe.
Cu Thi Jui tersenyum tipis.
"Liu Cangkwe,... ini barulah sebagian kecil. Cayhe masih bisa
menghitung yang lainnya. Kau bekerja kepada seorang majikan, Dan
majikan tersebut meskipun kekayaannya melebihi satu kota, tapi.,,
aih! orangnya tidak ada di sini, saya sungkan mengatakannya," katakatanya
sengaja dihentikan.
"Mengapa Siansing tidak meneruskan?" tanya Liu Cangkwe
penasaran.
"Saya tidak ingin membuka rahasia orang di hadapan orang
lainnya," sahut peramal tersebut.
"Baiklah! Cu Siansing tunggu sebentar Saya akan mengundang
Loya kemari!" kata Liu Cangkwe langsung membalikkan tubuh dan
meninggalkan tempat itu.
Dia tidak tahu, di belakang punggungnya, Cu Thi Jui menyungingkan
sebuah senyuman licik.
Kira-kira sepeminuman teh, terdengar suara dari ruangan luar.
Sebuah tandu yang mewah diturunkan Liu Cangkwe menyingkap
tirai penutup. Seorang laki-laki dengan baju perlente dan berusia
kira-kira lima puluh tahunan turun dari tandu tersebut wajahnya
persegi Telinganya besar, Tubuh-nya jauh lebih gemuk dan gempal
dari Liu Cangkwe.
Cu Thi Jui si peramal berdiri di depan pintu kamarnya dengan
gaya orang penting. Setelah diperkenalkan ternyata pemilik

penginapan tersebut bernama Oey Thian Gie. Bukan saja kaya raya,
juga amat berkuasa, Para pejabat kota itu semua mendengarkan
kata-katanya.
Manusia sekaya ini tentu mempunyai pandangan yang luas.
Rakyat setempat sangat menghormatinya, tapi Cu Thi Jui tidak
menganggap dirinya harus menghormati orang tersebut.
"Liu Cangkwe mengatakan bahwa ramalan Siansing seperti dewa,"
katanya setelah memperhatikan Cu Thi Jui beberapa saat Si peramal
Cu hanya tertawa-tawa saja.
"Hanya pujian kosong dari Liu Cangkwe, kalau saya benar-benar
seperti dewa, untuk apa saya memasang merek di penginapan ini
dan mengoceh yang bukan-bukan!" katanya merendah.
"Kata-kata itu masih harus dibuktikan.... Apakah Siansing bisa
menguraikan arti mimpi?" tanya Oey Thian Gie.
"Sedikit-sedikit," sahutnya tanpa menyombongkan diri.
"Liina belas tahun yang lalu, Lohu pernah pergi ke Ho sian ko bio,
sebuah tempat sembahyang yang sangat termashyur, Dalam mimpi
itu, seseorang memberikan sebuah semangka kepada saya, Ternyata
ketika semangka di tangan, Lohu hanya melihat setengahnya. Bila
Siansing menguraikan mimpi tersebut, apa artinya?" tanya Oey
Thian Gie.
"Apa yang Oey Tangke ingin ketahui?" ujar Cu Thi Jui.
"Keturunan!" sahut pemilik penginapan itu.
"Kalau menurut hal yang umum terjadi, semangka itu mempunyai
biji yang banyak, seharusnya turunan Oey Tangke juga banyak,"
kata Cu si peramal.
"Memang begitulah kata sebagian besar yang pernah Lohu
tanyakan," sahut Oey Thian Gie,

Cu Thi Jui berdiri, Dia menatap wajah pemilik penginapan itu
dengan tajam, kepalanya menggeleng perlahan.
"Salah besar! Salah besar!" ujarnya.
Oey Thian Giei menatap Liu Cangkwe yang berdiri di sisinya, Mata
kedua orang itu sama-sama memancarkan sinar terkejut.
"Kalau Cu Siansing yang menguraikan mimpi tersebut, apa
maknanya?" tanyanya penasaran Cu Thi Jui tidak segera menjawab
Dia adalah seorang manusia yang amat cerdas. Biasanya orang yang
cerdik tidak akan menonjolkan diri dari luar, Dia menunggu sampai
Oey Thian Gie terlihat tidak sabar lagi, baru menjawab...
"Oey Tangke ingin mendengarkan kata-kata yang hanya
menyenangkan atau yang sebenarnya?"
"Tentu yang sebenarnya," sahut Oey Thian Gie mulai kesal, Wajah
Cu si peramai meskipun tersenyum atau tidak, selalu ber-penampilan
seperti orang yang bodoh.
"Kalau Oey Tangke ingin saya mengatakan yang sebenarnya,
baiklah! Dulu Oey Tangke datang ke Ho sian ko bio meminta mimpi
tentang anak, Dalam mimpi itu terlihat seseorang memberikan
sebuah semangka kepadamu. Tetapi setelah ada di tangan, tinggal
setengah, Hal ini menandakan bahwa bukan turunan Oey Tangke
banyak, tetapi sepi," kata Cu si peramal menjelaskan.
Oey Thian Gie terkesiap, Di dunia ternyata ada orang yang begitu
berani dan yakin terhadap perkataannya sendiri! Yakin terhadap diri
sendiri memang baik, Namun perkataan yang terlalu yakin seperti
yang diucapkannya barusan, bisa membawa bahaya, Dengan uang
dan kekuasaan Oey Thian Gie, dia bisa membeli kepalanya, Oey
Thian Gie berdiri dari tempat duduknya.
Manusia semacam ini memang sedikit, Manusia yang berani bicara
dengan jujur di hadapannya lebih sedikit lagi, setidaknya orang ini
mempunyai keistimewaan Oey Thian Gie tiba-tiba duduk kembali,

Tidak mengatakan apa-apa, berarti apa yang diramalkan oleh Cu
Laothao memang tepat.
Hanya berdasarkan cerita sebuah mimpi aneh, orang ini telah
dapat menebak dengan tepat, Kecuali sebelumnya dia telah mencari
tahu tentang dirinya,
"Cu Siansing sudah pernah mendengar tentang saya?" tanyanya
dengan pandangan menyelidik.
"Cayhe tidak heran dengan pertanyaan itu," katanya sambil
menggelengkan kepala.
"Lohu masih ingin meminta sedikit pelajaran," kata Oey Thian Gie
selanjutnya.
"Silahkan," sahut Co laothao tanpa terlihat gentar sedikit pun.
"Saya ingin mencabut sebuah huruf" kata Oey Thian Gie.
"Meskipun cayhe ahli dalam bidang ini, tapi tidak dapat dikatakan
selalu tepat seratus persen," sahut Cu laothao,
"Cu Siansing terlalu merendahkan diri," Oey Thian Gie sinis.
Cu laothao menyodorkan bumbung bambu di hadapan Oey Thian
Gie. Dia meminta laki-laki itu mencabut sebatang, Huruf yang
terlihat adalah "Ling" yang berarti sukma.
"Apa yang ingin Oey Tangke ketahui?" tanya Cu laothao.
"Selain kata sepi yang telah Siansing uraikan, kita boleh
berbincang-bincang tentang istri dan rejeki," kata Oey Thian Gie.
"Oey Tangke pernah menjadi pejabat pada zaman pemerintahan
Chao," kata Cu Thi Jui.
"Benar! Hal ini diketahui oleh hampir setiap orang dalam kota ini,"
sahut Oey Thian Gie datar.

"Pernah menjabat yang saya maksudkan tidak sama dengan
anggapan orang-orang," kata Cu Thi Jui dengan berani, Wajah Oey
Thian Gie tampak berubah sekejap.
"Apa arti ucapan Cu Siansing ini? Apakah saya hanya berbicara
sembarangan tentang masa menjadi pejabat?" tanyanya dengan
nada tidak senang.
"Tentu saja benar! Apakah Oey Tangke ingin mendengar katakata
yang sejujurnya?" tanya Cu laothao tanpa memperdulikan
kemarahan pemilik penginapan tersebut.
"Hanya ingin mendengar yang sebenarnya!" sahut Oey Thian Gie.
"Baik! Lihat huruf Ling ini. Ada tiga huruf khou berderet sejajar,
Tiga huruf yang sejajar itu menunjukkan suatu masa. Di atas ada
huruf yi. Di bawah terdapat huruf ca. Dapat diartikan hujan yang
deras dan gunung yang kokoh.
Dari huruf ini, saya dapat melihat bahwa masa jabatan Oey
Tangke dulu didapatkan dengan uang dan kekuasaan. Sama sekali
bukan prajurit sejati yang menunggu kenaikan pangkat dalam waktu
lama dan telah berkorban banyak untuk negara," katanya tenang.
Mata Oey Thian Gie merah membara. Wajah Liu Cangkwe
berubah hebat, Kedua tukang pukul yang menjaga di luar ingin
segera menerjang masuk, Belum ada orang yang demikian tidak
sopan terhadap majikannya.
Oey Thian Gie mengibaskan tangannya memberi isyarat kepada
kedua tukang pukul itu agar jangan bertindak apa-apa. Cu laothao
tampak tenang sekali, Dia seperti tidak melihat gerakan bersiap-siap
dari kedua tukang pukul tadi. Oey Thian Gie seperti dilepas
kedoknya di muka umum, Hatinya memang kurang senang, Namun
bidang pekerjaan orang itu memang memerlukan kejujuran. Dia juga
tidak dapat terlalu menyalahkannya.

Yang penting, apa yang dikatakan Cu laothao memang benar, Dia
menggunakan uang dan kekuasaan untuk menjabat dalam
pemerintahan pamannya adalah seorang menteri, Adiknya sendiri
pernah mempunyai hubungan yang dalam dengan salah seorang
keluarga raja, Karena kehamilannya dan tidak dapat bersatu, dia
memilih jalan pendek dengan menggantung diri.
Hal ini menyebabkan kematian dua nyawa, Keluarga raja itu
menjadi tidak enak hati. Dia tidak dapat menikahi adiknya karena
suatu alasan tertentu, "Dengan demikian, dia membalas kebaikan
yang pernah diberikan adiknya, Keluarga raja itu memberikan
kedudukan yang cukup tinggi kepadanya.
Begitulah jabatan itu didapatkan olehnya, Hal ini tidak mungkin
diketahui oleh orang luar. Keterangan ini juga yang membuat Oey
Thian Gie kagum terhadap Cu laothao.
"Nama besar Siansing benar-benar mengagumkan, Tolong lihat
bagaimana rejeki saya selanjutnya?" tanya Oey Thian Gie penasaran.
"Mungkin tidak begitu tepat...." sahut Cu laothao.
"Lohu mempercayai Siansing sepenuhnya," sahut Oey Thian Gie.
Cu laothao meminta Oey Thian Gie menyebutkan tanggal, hari serta
jam kelahirannya. Dia sama sekali tidak sempat duduk, Setelah
meneguk secawan teh, dia menatap laki-laki itu.
"Tangke tidak lama lagi akan mendapatkan kerugian besar"
katanya menerangkan Oey Thian Gie tampaknya tidak terlalu
merisaukan sedikit kerugian Hartanya toh banyak sekali.
"Apakah jumlahnya besar sekali?" tanya Oey Thian Gie.
Cu Thi Jui menganggukkan kepalanya. "Berapa besar?" tanya Oey
Thian Gie ingin menegaskan.
"Tidak dapat terhitung." sahut Cu loa-thao alias Cu si peramal

"Cu Siansing dapat mengatakan nilainya besar sekali, namun tidak
dapat memberikan gambaran yang tepat, Atau Siansing memang
ragu menyebutkannya?" tanya Oey Thian Gie dengan nada kurang
senang.
"Cayhe hanya bisa meramal sampai di sini, Bila Oey Tangke
kembali ke rumah dan memikirkan kata saya dengan seksama,
mungkin Oey Tangke sendiri akan mendapatkan gambaran," sahut
Cu laothao.
Oey Thian Gie tidak berkata apa-apa lagi, Mungkin dia sudah
mengerti maksud Cu Thi Jui atau mungkin dia menganggap manusia
ini toh bukan dewa.. tidak ..tentu apa yang diramalkannya benarbenar
akan terjadi.
Sebelum meninggalkan tempat itu, dia memberikan uang sebesar
limapuluh perakan kepada Cu laothao, Untuk saat itu, Oey Thian Gie
sudah termasuk amat royal. Dia keluar dari ruangan tersebut Liu
Cangkwe menyingkapkan tirai tandu agar majikannya masuk ke
dalam Dengan suara rendah dia berbisik....
"Orang itu jelas adalah orang persilatan, kata-katanya belum
tentu dapat dipercayai.
"Tidak! Apa yang dikatakannya sungguh tepat, maksud katakatanya
tentang nilai yang tak terhitung adalah...." Oey Thian Gie
tidak jadi meneruskan kata-katanya.
Otomatis, Liu Cangkwe juga tidak berani banyak bertanya. Dia
hanya mengantar tandu itu sampai pekarangan depan.
Pada saat itu, Cu laothao tersenyum dengan rasa puas dan
bangga.
-oooo0ooooKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Malam yang sangat indah, Rembulan bersinar terang, Angin tidak
terlalu kencang, ini bukan saat yang tepat bagi pejalan malam untuk
mengurus sesuatu.
Oey Thian Gie ragu-ragu, apakah dia harus menemui selirnya
malam ini? Bukankah maksud Cu laothao bahwa dia akan kesepian
itu, berarti tidak mempunyai keturunan? Dengan Lian Pue dan Siau
sing semuanya berjumlah tujuh orang selirnya.
Masih tidak menyamakan seorang raja, namun masih dapat
menyaingi menantu dan ipar raja. Mungkinkah dari ketujuh selir itu,
tidak ada seorangpun yang dapat berbuah? Dia masih merasa
kurang puas.
Maka dari itu, kalau memungkinkan dia masih ingin menambah
satu, dua orang selir, Dia tidak percaya bahwa yang didapatkannya
semua adalah ayam yang tidak dapat bertelur.
Begitu kembali ke rumah, dia segera mencari pengurus rumahnya
dan bagian keuangan Dia menanyakan apakah ada hutang yang
belum dilunasi oleh para peminjam? Bagian keuangannya
melaporkan bahwa hanya satu yang belum membayar. jumlahnya
hanya tujuh puluh tail perak saja.
Hal apa yang akan membuatnya mengalami kerugian besar?
Mungkin hanya omong kosong kaum penipu! Tapi dua hal yang lain
dikatakannya dengan tepat Oey Thian Gie berpikir sejenak, Berhatihati
toh tidak ada salahnya!
Oey Thian Gie memutuskan untuk mengunjungi siau jit malam ini.
Siau jit yang dimaksudkan adalah selir nomor tujuh, namanya Kim
siau lok. Tahun ini baru berusia tujuh belas.
Tidak terhitung kurus, juga tidak termasuk gemuk, Kulit tubuhnya
tidak seberapa hitam, tapi juga tidak dapat dikatakan putih, Bentuk
mata dan hidungnya biasa-biasa saja. Bentuk kakinya kecil. Kalau
melangkah seperti sempoyongan Ada semacam gaya genit yang
tidak dapat dikatakan.

Dia masih mempunyai satu keistimewaan yang jarang dimiliki
gadis lain, Oey Thian Gie tidak pernah mengatakannya kepada siapa
pun. Oey Thian Gie juga tahu, perempuan semacam ini belum tentu
dapat memberikan keturunan untuknya, Tapi dia mencari Siau lok
bukan hanya untuk menyemaikan bibitnya saja.
Oey Thian Gie minum banyak sekali jalannya agak limbung. Kim
siau lok memapahnya. Laki-laki itu ingin memeluknya, keduanya tapi
malah terjatuh ke atas tempat tidur. Biar pun dia minum seberapa
banyak, asal masih tersisa sedikit kesadaran hal pertama yang akan
dilakukannya adalah memeluk pinggang Kim siau lok yang ramping
itu. Gadis itu adalah keponakan luar Liu Cangkwe, Dia juga yang
menjadi comblang keduanya, sebab itu pula yang membuat Liu
Cangkwe dapat menjadi pengurus penginapan dan salah satu orang
kepercayaan Oey Thian Gie.
Bagi seorang yang sudah setua Liu Cangkwe, dapat menjadi
pengurus sebuah penginapan sudah merupakan rejeki besar, Apalagi
penginapan Thai Pek Ki yang begitu besar dan terkenal.
Seorang gadis yang mempunyai pinggang ramping ditambah lagi
satu keistimewaan yang lain, sudah pasti akan disayangi, Di antara
ketujuh selir Oey Thian Gie, memang Kim siau lok yang paling sering
di-kunjunginya.
Kim siau lok sering bersembahyang ke beberapa bio yang
termashyur. Dia sering berpikir, seandainya dia dapat melahirkan
seorang anak untuk Oey Thian Gie, mana mungkin harta warisan
sebanyak itu terjatuh ke tangan orang lain?
Kim siau lok tidak habis pikir, Kalau bukan takdir Oey Thian Gie
sendiri yang tidak mempunyai keturunan, masa tujuh orang
perempuan tidak ada satu pun yang bisa melahirkan?
Oey Thian Gie dan Kim siau lok bermesraan sejenak. Waktu sudah
hampir memasuki kentongan ketiga, selanjutnya adalah menikmati
keistimewaan Kim siau lok yang satu itu. Siau lok baru saja
membuka pakaian atasnya.

Dia meniup penerangan yang berupa lilin sampai padam Tiba-tiba
Oey Thian Gie teringat sesuatu, Perasaan mabuknya sirna seketika,
Kecuali barang yang satu itu, apakah yang lebih baik tidak terkira
nilainya?
Sekarang dia baru benar-benar mengagumi Cu laothao, Apa yang
dikatakannya selalu benar dan tepat, Kalau tidak percaya kata-kata
orang itu, tentu akan terjadi hal yang benar-benar menakutkan
Akibatnya pun akan mengerikan! Dalam sekejap, dia bangkit dan
duduk, Dengan gerakan cepat, dia mengenakan seluruh pakaiannya,
Kim siau lok terpana...
"Ada apa, Loya?" tanya gadis itu.
Oey Thian Gie tidak menyahut Dia tidak ada waktu untuk
menjelaskan segalanya, Wajah Kim siau lok terlihat sedih.
"Apakah ada perbuatan saya yang salah?" tanyanya dengan mata
membasah.
Oey Thian Gie hanya memiringkan barang itu. Hal yang lainnya tidak
menarik perhatiannya lagi, Dengan adanya barang tersebut, dia
merupakan manusia yang memiliki barang pusaka yang tidak ternilai
di dunia ini.
Juga menjadi jimat agar dirinya tidak menjadi tua. Asalkan dia
dapat hidup sampai delapan puluh atau sembilan puluh tahun, dia
masih bisa membuktikan bahwa dirinya masih ada kesempatan
untuk mempunyai keturunan.
Bahkan jauh lebih perkasa dari anak muda usia dua puluhan,
barang itu adalah pusaka tak ternilai di kolong langit Dia mengira
apa yang dikatakan sebagai kerugian yang tidak terhitung adalah
barang pusaka itu. Siapa tahu anak buahnya ada yang mengincar
benda pusaka tersebut?
Oey Thian Gie memutuskan untuk memindahkan benda pusaka itu
dari tempat penyimpanan yang lama ke sebuah tempat yang lebih
rahasia. Untuk keamanan benda tersebut, Siau lok jadi kehilangan

perhatian.
Kehilangan gadis itu, di dunia pasti masih bisa mendapatkan Siau lok
yang lain. Kehilangan Bi jin sim, di dunia ini tidak ada lagi Bi jin sim
kedua.
Dia segera mencari kepala pengawalnya, Chao toa king, Di tempat
penyimpanan barang pusaka dia menemukan kepala pengawal itu
berjaga dengan sigap.
"Chao toa king, apa yang terjadi malam ini, sama sekali tidak
boleh diberitahukan kepada siapa pun!" perintahnya.
"Loya harap jangan khawatir!"
"Apakah ada manusia yang tangan dan kakinya kotor di gedung
ini?" tanya Oey Thian Gie.
"Apakah maksud Loya, orang yang mengincar benda pusaka di
dalam ruangan ini?" tanya Chao toa king lagi.
"Ini tidak perlu kau urus!" kata Oey Thian Gie.
"Loya... Paling tidak, enam orang anak buah saya tidak akan
berbuat sesuatu yang merugikan Loya. Saya berani menjamin
dengan kepala saya!" sahutnya tegas.
"Bagus! sekarang kau tunggu di pintu rahasia kedua. Siapa pun
tidak boleh ada yang masuk!" perintahnya tegas.
"Baik, Loya!" sahut Chao toa king.
Oey Thian Gie membuka pintu rahasia ketiga, lalu keempat.
Kemudian dia membuka sebuah lemari besi yang kokoh, Manusia
yang mempunyai tenaga besar apa pun, tidak mungkin bisa
menggeser lemari besi ini.
Dari dalam lemari itu, Oey Thian Gie mengeluarkan sebuah kotak
persegi. Kotak itu tidak seberapa besar, Dengan hati-hati dan tegang

dia membukanya.... Sinar berwarna kemerahan terpancar dari
kotak,tersebut.
Samar-samar terlihat bentuk tubuh seorang perempuan yang
tidak mengenakan sehelai benang pun. Entah bahannya terbuat dari
batu kumala jenis apa, sehingga dapat terukir demikian indah, Yang
ini baru benar-benar Bi jin sim yang asli.
Keistimewaan Bi jin sim justru terletak di bentuknya yang seakan
seorang wanita hidup, Lihat saja bagian kepalanya terbuat dari batu
kumala hitam asli, bukan dicat atau semacamnya, demikian juga
bagian alisnya, Bagaimana batu kumala dengan warna berbeda-beda
dapat diukir tepat pada bagiannya masing-masing?
Di bagian mata terbagi warna hitam dan putih dengan serasi,
Seluruh tubuhnya berwarna putih. Hanya bagian jantungnya yang
berbentuk hati dengan warna merah. Suatu hasil karya yang
sungguh mengagumkan.
Warna merah dari jantung merupakan batu kumala, Ada juga
orang yang menyebutnya Ke hiat ang (Merah darah ayam). Bagi
toko emas atau permata, batu jenis ini tentu tidak asing lagi. Selain
harganya sangat tinggi, juga sangat sulit didapat, Batu kumala putih,
hitam dan merah masih dapat ditemukan, tapi coba kita tanyakan
pada toko emas atau pun permata, mungkinkah mencari sebuah
batu berbentuk tubuh seorang wanita dengan paduan ketiga macam
batu tersebut...?
Tentu saja tidak mungkin ada duanya lagi. Dan siapa pula yang
sanggup mengukir seorang wanita dari jenis batu yang aneh ini,
sehingga terbagi jelas antara rambut alis, mata, dan jantung?
Apalagi bagian jantungnya. Kalau kita perhatikan dengan seksama,
seakan terlihat ada darah yang sedang mengalir di dalamnya....
Ada satu lagi keistimewaan Bi jin sim ini. Yaitu bila seorang lakilaki
memeluknya dalam tidur selama setengah tahun,
keperkasaannya akan kembali muda. Melebihi pemuda yang sedang
menginjak puber.

Tentu saja yang dimaksudkan adalah persoalan yang menyangkut
hubungan antara laki-laki dan perempuan, Paling tidak, bagi Oey
Thian Gie akan berguna sekali.
Oleh sebab itu, benda pusaka ini makin tinggi nilainya di mata
Oey Thian Gie. Asalkan dia masih hidup lebih panjang satu hari,
tentu bisa berusaha menyemaikan bibit agar mendapatkan
keturunan Lagipula tanpa mengenal kata lelah!
Dengan hati-hati Oey Thian Gie menutup kembali kotak tersebut
Dia memasukkannya kedalam balik pakaiannya, Siau lok sebetulnya
merupakan istri muda kesayangan Oey Thian Gie.
Melebihi siapa atau barang apa pun di dunia ini. Tapi kalau dia
bandingkan dengan Bi jin sim, tentu akan terlihat jelas
perbedaannya. Dia keluar dari ruangan penyimpanan benda pusaka
itu, Dipanggilnya Chao toa king.
"Malam hari harus dijaga lebih ketat, terutama di sekitar kamar
Siau lok. Harus ditambah lagi beberapa orang penjaga!" perintahnya.
"Baik! Hamba mengerti!" sahut Chao toa king.
Oey Thian Gie terus memikirkan tempat penyimpanan yang
terbaik, sedangkan tempat penyimpanan benda pusaka yang
berpintu empat lapis saja, dia kurang yakin, apakah masih ada
tempat lain yang lebih aman. Dalam waktu yang singkat dia tidak
mendapatkan pikiran yang baik. Asalkan tempat yang tidak terlihat
olehnya, hati Oey Thian Gie tidak mungkin bisa tenang, Untuk
sementara paling baik disimpan dalam tubuhnya sendiri.
Dia kembali ke kamar Kim siau lok, Gadis itu sedang bertopang
dagu, wajahnya tampak kurang senang. Sikap Loya yang dingin,
baru pertama kali dia alami sejak masuk ke dalam keluarga itu, Oey
Thian Gie memelukya erat-erat.

"Loya, Siau lok tidak tahu melakukan kesalahan apa," katanya
manja. Oey Thian Gie merasakan perbuatannya tadi memang kurang
pantas, Dia memeluk Siau lok lebih erat lagi.
"Kau tidak melakukan kesalahan apa-apa!" sahutnya mesra.
"Pasti ada. Kalau tidak, mana mungkin sikap Loya seaneh itu.
Pertama dingin, kemudian hangat, lalu sekarang tidak dingin juga
tidak hangat," kata Siau lok dengan tampang cemberut.
Oey Thian Gie mencium rambutnya yang memancarkan
keharuman.
"Apa yang percaya dingin, lalu hangat, kemudian tidak dingin tidak
hangat, Kau ini ada-ada saja. Aku tidak pernah bersikap dingin
terhadapmu." kata Oey Thian Gie.
"Loya berbohong.... Hanya Siau lok yakin Loya memang boleh
berbohong apa saja. Tetapi Siau lok tentu tidak boleh...." Seseorang
kalau sudah terbiasa disanjung dan dipuji tentunya akan wajar-wajar
saja menanggapinya.
Bagi Oey Thian Gie, kata-kata pujian seperti itu tidak akan
dimasukkannya di dalam hati. Kekuasaan dan kebebasan adalah cara
hidup yang menyenangkan.
Siau lok tidak berkata apa-apa lagi, setiap kali Oey Thian Gie
memeluk pinggang gadis
itu, rasanya berat untuk melepaskan lagi, Kalau bukan karena
teringat akan Bi jin sim, Oey Thian Gie tidak pernah menempuh
setengah perjalanan, sedangkan Siau lok maklum sekali apa yang
diinginkannya bila sudah sampai taraf tertentu.
Jadi seorang gadis memang tidak mudah. Dia harus mengerti apa
yang disukai kaum laki-laki. Dan harus menghindari apa yang tidak
disukainya, Laki-laki yang menghadapi mereka dengan kadangkadang
baik, kadang-kadang jahat, justru paling susah dilayani.

Siau lok sudah seperti aliran air, yang mengikuti kemana arus
membawanya. Oey Thian Gie pun tidak sanggup bertahan lebih lama
lagi, Pada saat seperti itu, Kim siau lok sering merasa sombong, Selir
yang lain pasti tidak akan sanggup memberikan seperti dirinya, Dia
yakin sekali, Dia tidak merasakan bahwa apa yang dilakukannya
adalah sesuatu yang amat rendah, dia juga tidak sadar bahwa
keistimewaannya itu bisa menarik laki-laki yang mana saja.
Oey Thian Gie sangat memaklumi perasaan seorang perempuan,
karena dia sudah banyak bergaul dengan jenis yang satu ini. Dalam
waktu satu tahun, dia pasti akan pergi ke Kim Leng sekali, lalu ke
Lok Yang satu kali, Peking juga.
Masih ada beberapa kota yang tidak begitu besar, Di tempattempat
tersebut, dia juga mempunyai beberapa orang simpanan, Dia
melakukan semua itu bukan disebabkan dirinya memang genit, tapi
dia ingin merasakan berbagai jenis perempuan dari usia yang
berbeda dan suku bangsa yang berlainan. Di samping itu, dia juga
mengharapkan bahwa salah satu di antaranya akan sanggup
memberikan keturunan kepadanya.
Dia pernah berjanji kepada para perempuan simpanannya itu, Bila
saja ada salah satu dari mereka yang sanggup melahirkan seorang
anak baginya, Dia akan membuatkan sebuah rumah yang mewah
juga uang emas untuk seumur hidup. Namun, meskipun dengan
imbalan yang begitu besar, setelah lewat lima tahun, hasilnya tetap
sia-sia. Oleh sebab itu, setiap kali Oey Thian Gie teringat kata-kata
tukang ramal yang dulu, hatinya pasti kesal. Dia akan berteriakteriak
marah, inikah yang disebut banyak anak dan cucu?
Sebaliknya, Cu Thi Jui memang pantas dipuji, Tukang ramal ini
membuat hatinya puas. Tetapi dia juga khawatir sekali, Begini
banyaknya harta, bila tidak ada keturunan, kepada siapa dia akan
mewariskan semuanya?
Kim siau lok membuka bajunya sekali lagi.

"Siau lok.... Tadi kau mengatakan pertama aku bersikap dingin,
lalu hangat kemudian tidak dingin tidak hangat, Apa artinya?" tanya
Oey Thian Gie yang tiba-tiba teringat ucapan selirnya yang rada
janggal "Yang sudah lewat tidak usah dibicarakan lagi." sahut Siau
lok seraya bermaksud memadamkan penerangan di kamar itu.
"Kalau kau tidak mau mengatakan, aku akan menggelitik
dirimu...." kata Oey Thian Gie dengan pura-pura mengulurkan
tangan, Siau lok paling takut geli. Dia segera menciut ke ujung
tempat tidur, Dia menutupi tubuhnya dengan pakaian yang sudah
terlepas tadi.
"Aduh Loya! Ampun.... Saya paling tidak kuat geli," teriaknya
malu-malu.
"Hayo cepat katakan!" ancam Oey Thian Gie tersenyum-senyum.
"Loya kan sudah tahu.,., Mengapa harus bertanya lagi?" kata Kim
siau lok tersipu-sipu.
"Aku sama sekali tidak tahu...." sahut Oey Thian Gie keheranan.
"Loya pelupa sekali, Bukankah barusan kau tinggalkan kamar ini
dengan tergesa-gesa, bahkan tidak mengucapkan sepatah kata
pun?" kata Siau lok manja.
"ltu karena aku teringat sesuatu hal yang penting, Lalu jelaskan
tentang kata hangat tadi?" tanya Oey Thian Gie dengan pandangan
meneliti.
"Setelah Loya pergi kira-kira setengah peminuman teh, Loya
kembali lagi, Begitu masuk lalu memadamkam lilin dan memeluk
diri.Siau lok, kemudian.,." Wajah Siau lok makin merah.
Oey Thian Gie terpana. Mungkinkah Siau lok sedang bergurau
dengannya? Kaum laki-laki kadang-kadang juga harus mengeraskan
hati, berlagak acuh sedikit, karena hubungan antara laki-Iaki dan

perempuan tidak selamanya perang hangat saja, sewaktu-waktu
juga bisa terjadi perang dingin.
"Setelah Loya mendapatkan apa yang Loya inginkan, Loya terus
pergi lagi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Siau lok pikir
mungkin Loya sedang marah, tidak tahunya sekarang Loya kembali
lagi untuk...." kata Siau lok dengan suara lirih. Di dalam hati Oey
Thian Gie terasa kurang enak, Bagi seorang laki-laki, lebih baik
memperistri seorang perempuan dan tidak menyentuhnya sama
sekali, dari pada ada laki-laki lain yang menyentuhnya.
Laki-laki seperti Oey Thian Gie juga tidak berbeda, perempuan
simpanannya ada beberapa orang. Dalam satu tahun, dia hanya
sempat mengunjungi mereka satu atau dua kali.
Sisa hari sebanyak tiga ratusan itu, mereka terpaksa menderita
kesepian, Oey Thian Gie masih tetap mengutus beberapa orang
kepercayaannya untuk mengawasi perempuan-perempuan tersebut.
Laki-laki yang dikatakan oleh Siau lok, masuk ke kamar gadis itu
hanya berbeda beberapa detik sejak dia keluar, Oey Thian Gie mana
mungkin bisa menerima penghinaan seperti ini.
Dulu pernah terjadi peristiwa yang sama. Salah seorang selirnya
tertangkap basah sedang bermesraan dengan laki-laki lain, akhirnya
mereka berdua menerima hukuman yang mengerikan! Oey Thian Gie
memandang Siau lok dengan tatapan tajam.
"Siau lok.... Tadi kau mengatakan bahwa setelah aku pergi
dengan tergesa-gesa, lalu tidak sampai setengah peminuman teh
aku kembali lagi?" tanyanya sekali lagi.
"Loya! Apa yang terjadi dengan dirimu malam ini? Apakah
perbuatan yang kau lakukan tadi sudah tidak ingat lagi?" Siau lok
berbalik bertanya kepada tuannya.
"Setelah kembali, kita langsung melakukan..." kata-kata Oey
Thian Gie sengaja dihentikan sampai di situ saja.

"Loya.... Kapan Siau lok berani menolakmu?" kata gadis itu
semakin heran.
Oey Thian Gie merasa ada setungku api menyerang dadanya, Siau
lok tidak mungkin bercanda sedemikian jauh. Siapakah orang itu?
Yang dengan berani masuk ke kamar dan memadamkan lilin, begitu
dia keluar meninggalkan tempat tersebut! Kata-kata Siau lok
memang benar, Dia tidak mungkin berani menolaknya!
Namun, laki-laki itu bukan dirinya, sedangkan Siau lok tidak dapat
membedakan kelainan sedikit pun. Bukankah hampir tidak masuk
akal? Kalau bukan Siau lok yang nafsunya terlalu besar sehingga
suka mencari jajanan dari luar, pasti laki-laki itu mempunyai bentuk
tubuh yang sama dengan dirinya.
Oey Thian Gie tidak percaya bahwa dalam gedung rumahnya ada
laki-laki yang bentuk tubuhnya sama dengan dirinya, Siapakah
maling itu?
"Siau lok, Apakah kau tidak membayangkan bahwa taki-laki yang
masuk ke kamar tadi bukan aku?" tanyanya dengan suara bergetar
karena menahan amarah, Gadis itu meliriknya sekejap.
"Loya.... Kau mempermainkan aku. Siau lok tidak mau!" serunya
manja.
Dengan kedua tangannya Oey Thian Gie mencengkeram rambut
Siau lok. Baju yang sejak tadi dijadikan penutup dada direnggutnya
Dia menghempas tubuh perempuan itu dengan keras.
Kini siau lok terkejut, tubuhnya yang lemah gemulai mana
mungkin sanggup menerima bantingan sekeras itu? Dia terjatuh ke
lantai.
"Katakan! Apakah laki-laki yang tidur bersamamu tadi tubuhnya
segemuk aku?" bentak Oey Thian Gie.
"Loya...." kata Siau lok dengan suara pilu.

"Katakan!" bentaknya lantang, Siau lok merasa terhina dan
ketakutan. Dengan sendirinya, dia tidak berani tidak menjelaskan....
"BetuI, Masa gemuk atau kurus, Siau lok tidak dapat
membedakannya." ratap gadis itu dengan airmata bercucuran.
"Kalau kau berdusta, kau akan menerima akibatnya!" kata Oey
Thian Gie dengan suara datar.
"Loya.... Siau lok mana berani berdusta kepadamu?" Suara Siau
lok terdengar sendu.
"Kau pikir sekali lagi., Benarkah orang itu segemuk diriku?" tanya
Oey Thian Gie masih kurang puas.
"Siau lok menganggukkan kepalanya dengan yakin. Oey Thian Gie
tidak melihat ada sinar kebohongan di mata gadis itu. Terhadap
perempuan semacam Siau lok, Oey Thian Gie paling mengerti.
Sejak kecil dia hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan, sekali
berhasil mencapai kedudukan seperti sekarang, dia tidak mungkin
menyia-nyiakannya.
Dengan kasih sayang yang diberikannya, ditambah lagi segala
macam kemewahan yang dinikmati nya saat ini, tidak mungkin Siau
lok akan berani bermain api di belakangnya. Lagi pula, bila Siau lok
benar-benar mencela dirinya sudah tua dan gemuk, dia tidak akan
sebodoh itu mengakui perbuatannya sendiri. Dia sungguh tidak habis
pikir, Bila benar-benar ada seorang maling cinta, siapa orangnya?"
"Kalau orang itu memang mempunyai bentuk tubuh yang sama
dengan diriku, apakah dalam bidang yang satu itu juga seperkasa
diriku?" tanyanya ketus.
Sekali lagi Kim Siau lok menganggukkan kepalanya, Dia bahkan
memaksakan diri menyunggingkan sebuah senyuman manis, "Loya...
sudah terang orang tadi adalah dirimu, mengapa kau masih bermain
teka teki dengan saya?"

Oey Thian Gie marah sekali. Dia melayangkan telapak tangannya
dan menampar pipi Siau lok. Meskipun tamparan itu tidak terlalu
keras, tapi bagi perempuan selemah Siau lok cukup terasa, Dia
terhempas ke atas tempat tidur.
Mata gadis itu berkunang-kunang, Hampir saja dia mengira apa
yang terjadi malam ini hanyalah sebuah impian buruk, Sekarang pun
dia masih belum terjaga.
"Benarkah laki-laki itu seperkasa diriku?" tanyanya dengan suara
keras.
Siau lok menganggukkan kepalanya sekali lagi, Dalam bayangan Oey
Thian Gie selalu memanjakan dirinya, mengapa hari ini berubah
sedemikian rupa? Mungkinkah tuannya ingin menguji kesetiaan
dirinya? pikirnya dalam hati.
Oey Thian Gie bagaikan api disiram minyak, rasanya dada laki-laki
itu membumbung dan akan meledak segera, Di dunia ini ternyata
ada laki-laki yang bentuk tubuhnya sama dengan dirinya serta
mempunyai keahlian yang tidak berbeda dalam bidang yang satu itu!
Bagaimana dia sanggup menerimanya? Sampai pada pikiran itu,
Oey Thian Gie merasa sepertinya agak tidak masuk akal.
"Apakah yang kau katakan benar semua-nya?" tanyanya dengan
suara keras.
Siau lok mengangguk dengan keras. seperti seekor anak menjangan
yang sedang ketakutan.
"Begitu masuk langsung memadamkan penerangan seharusnya kau
sempat melihat wajahnya bukan?" tanya Oey Thian Gie.
"Siau lok sedang menunduk dan memikirkan tindakan Loya
sebelumnya, Begitu lilin padam. Orang itu langsung memeluk diriku
dengan ketat. Siau lok tidak sempat melihat wajahnya lagi...." sahut
Kim siau lok.
"Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun?" tanya Oey Thian Gie
kembali.

"Betul!" sahut Siau lok.
"Bagaimana kau bisa tahu bahwa orang itu adalah aku?" tanyanya
dengan suara bengis.
"Loya.... Di dalam gedung keluarga Oey, mana ada lagi laki-laki
segemuk Loya, lagi pula mana ada yang berani masuk ke kamar Siau
lok?" Kata-katanya lebih mirip pertanyaan.
Apa yang dikatakannya memang benar. Tidak ada laki-laki dalam
gedung itu segemuk dirinya dan tidak mungkin ada yang berani
bermain gila dengan selirnya.
Tapi Oey Thian Gie malah menambahkan dua kali tamparan ke
pipi Siau lok. Tenaga yang dipakainya terlalu keras, Siau lok jatuh
tidak sadarkan diri, nafasnya memburu seperti seekor babi. Dengan
penuh amarah dia menerjang keluar tanpa menengok lagi. Kepala
pengawal, Chao toa king mendekati dan menanyakan dengan penuh
perhatian.
"Loya.... Apa yang terjadi?"
Oey Thian Gie sepatah pun tidak menyahut Dia melangkah ke
kamarnya sendiri Tempat ini adalah ruang beristirahatnya bila dia
tidak mengunjungi salah satu orang selirnya. Dengan suara keras
dibantingnya pintu kamar tersebut Chao toa king memijit-mijit
belakang kepalanya. Peristiwa ini belum pernah terjadi sebelumnya.
-oooo0oooo-
Oey Thian Gie menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur,
Lilin pun tidak dinyalakan, kedua tangannya bertumpu kepada
kepala bagian belakang, seakan ingin memusatkan pikiran pada apa
yang telah terjadi. Siapa yang mempunyai nyali sebesar itu? Siapa
yang mempunyai bentuk tubuh sama dengan dirinya? Siapa pula
yang mungkin begitu perkasa seperti dirinya?

Rasanya tidak mungkin bagi laki-laki sebayanya ada yang
demikian perkasa tanpa jimat seperti Bi jin sim.... Bukan saja dalam
gedungnya tidak ada laki-laki seperti itu, di dunia ini pun belum
tentu ada!
Seandainya tidak ada kejadian ini atau laki-laki ini, mungkinkah
Siau lok hanya mengoceh sembarangan?
Tiba-tiba di tepi ranjangnya terdapat bayangan seseorang.
Bagaimana orang ini bisa masuk ke dalam kamarnya? Kapan dia
masuk? Oey Thian Gie hampir mengira dirinya telah bertemu dengan
setan.
Setelah matanya terbiasa dalam kegelapan Oey Thian Gie dapat
melihat bahwa bentuk badan orang itu persis seperti dirinya. Biar
pun lebih kurus atau lebih gemuk, dia selalu memperhatikan orang
yang mempunyai bentuk badan sama dengannya.
Terutama malam ini Sekali lihat saja, dia sudah dapat memastikan
bahwa mereka berdua hampir tidak mempunyai perbedaan.
"Siapa?" tanyanya dengan suara berat.
"Aku!" sahut orang yang ada dalam kamarnya itu. Suara itu terasa
tidak asing di telinganya.
"Siapa aku itu?" tanyanya sekali lagi. Tamu yang tidak diundang
itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Oey Tangke sungguh pelupa!" sahutnya, Oey Thian Gie terpana.
Dia bangkit dan duduk dengan tegak.
"Cu Thi Jui?" tanyanya.
"Orang-orang memanggilku Cu lao thai-ya," sahut orang itu.
"Rupanya kau yang menyamar diriku dan masuk ke kamar Siau
lok," katanya dengan geraham dikertakkan.

"Siau lok (kesenangan kecil) nama ini sungguh sesuai, sedikit
kesenangan yang diberikan kepadaku benar-benar menyegarkan,"
sahut Cu Thi Jui.
Oey Thian Gie begitu marahnya sampai tubuhnya menggigil.
"Tahukah kau bagaimana aku akan menghukum dirimu?"
bentaknya marah.
"Saya ingin sekali mendengarnya," sahut Cu Thi Jui tenang.
"Aku akan mengikat dirimu dan menjadikan umpan buaya!" kata
Oey Thian Gie dengan mata mendelik.
"Tidak berat! Sama sekali tidak berat! Kalau saya yang mengalami
kejadian ini, tentu tidak akan seringan itu hukuman yang akan
kuberikan!" sahutnya seperti sengaja menyulut api.
"Kau sudah menarik keuntungan dariku, masih berani datang
kemari?" bentak Oey Thian Gie dengan kasar. Cu laothao malah
menghampiri Oey Thian Gie dan duduk di tepi tempat tidur.
"Kau pikir kedatangan saya hanya untuk Siau lok?" katanya
dengan bibir tersenyum, dengan marah Oey Thian Gie merenggut
baju Cu laothao.
"Aku ingin mencincang tubuhmu sampai berkeping-keping!"
katanya.
Cu laothao mengulurkan tangannya dan menjentik tangan yang
mencengkeramnya itu. Sekejap saja tangan Oey Thian Gie sudah
terlepas.
Siapakah manusia ini? Mengapa hanya dengan sentilan ujung
telunjuk saja dapat mengeluarkan tenaga demikian besar? Oey Thian
Gie tidak pernah mempercayai ilmu sihir, ia melancarkan sebuah
serangan dengan telapak tangannya, namun sentilan jari Cu laothao

kembali menahan serangan itu. Oey Thian Gie menarik tangannya
kembali.
"Siapakah kau sebetulnya?" tanyanya dengan mata menatap
tajam.
"Bukankah saya sudah mengatakan bahwa orang-orang menyebut
aku Cu lao thai-ya!" sahutnya dengan wajah tanpa menunjukkan
perasaan apa-apa.
"Apakah kau bukan seorang peramal?" tanya Oey Thian Gie
kembali. Sekali lagi Cu laothao tertawa terkekeh-kekeh.
"Dibilang iya juga boleh, dibilang bukan juga tidak apa-apa,"
jawabnya.
"Kalau begitu, sebelumnya kau sudah menyelidiki diriku?" tanya Oey
Thian Gie dengan
wajah merah padam.
"Tidak salah!" sahut peramal tersebut.
"Kalau begitu kau adalah barang tiruan!" kata Oey Thian Gie.
"Kalau dikatakan saya adalah seorang penipu juga tidak benar
Ada beberapa hal tentang dirimu yang sama sekali tidak diketahui
oleh orang lain, tapi saya toh dapat mengetahuinya dengan pasti!"
Sahut Cu Thi Jui. Oey Thian Gie menganggap kata-kata itu ada
benarnya.
"Manusia she Cu! Kau adalah seorang pertapa, tapi kau
melakukan perbuatan tercela seperti ini. Tidakkah kau takut berbuat
dosa?" tanya Oey Thian Gie dengan suara berwibawa.
"Saya tidak takut!" sahut Cu laothao kalem.
"Kau bisa meramal nasib manusia. Apakah kau tidak percaya
bahwa semua yang terjadi di dunia ini ada hubungannya dengan
Thian?" tanyanya sekali lagi.

"Percaya, tapi tidak seluruhnya," sahut peramal tersebut, Cu lao
thaiya tertawa terkekeh-kekeh.
"Ramalan bintang Tiongkok mudah sekali Hanya menurut
peredaran shio dan sifat manusianya sendiri. Sampai zaman di-nasti
Han, boleh dibilang semuanya penipu, Ketika memasuki dinasti
Tang, Lie Si Cung baru membuktikan kebenarannya.
Oleh sebab itu, dia disebut sebagai pelopor ilmu perbintangan
Seterusnya memang masih ada beberapa orang yang mengikuti
jejak-nya. Seperti Chen thu nan dari dinasti Song, Yu Ki Gi yang
menghitung dari-tanah tempat berpijak Dari semua ini, ramalan
huruf justru yang paling tepat," sahut Cu Thi Jui.
Oey Thian Gie seperti telah melupakan apa yang diperbuat orang
ini kepada Siau lok. Perihal kegemukan dirinya, kadang-kadang dia
sendiri sebal, tapi adakalanya dia merasa bangga.
Anak buahnya semua kurus-kurus. Bila ada yang mengatakan
dirinya gemuk, dia menganggap sebagai pujian kepada dirinya yang
bermaksud menunjukkan kehidupannya yang subur. Bila ada yang
mengatakan kepalanya dan telinganya besar, dia justru marah dan
tidak segan-segan menghukum orang tersebut.
Sekarang ada seorang manusia yang berbentuk tubuh sama
dengan dirinya, otaknya juga sangat cerdas, Lagipula pandai
menyenangkan perempuan.
Memang orang ini berdiri sebagai musuhnya, namun kalau dilihat
dari nilai kaum laki-laki, rasanya tidak perlu dibesar-besarkan, dia
malah ada menanam sedikit kekaguman pada orang tersebut.
"Ramalan apa lagi yang dapat disebutkan paling tepat?" tanyanya
dengan nada suara seorang teman.
"Ramalan dari Pekji. Kita harus mengetahui tanggal, jam, hari
kelahiran dengan tepat, Setiap enam puluh tahun akan menampilkan
sekali shio dengan naungan bintang yang paling cemerlang, Satu

tahun terdiri dari dua belas bulan, tiga ratus enampuluh lima hari,
Satu bulan ada tigapuluh hari, Satu hari ada duapuluh empat jam.
Kalau dihitung, maka perubahan hidup manusia berdasarkan
hitungan ini mempunyai duaratus limapuluh lima ribu sembilan-ratus
duapuluh perubahan dalam seumur hidupnya. Memang kalau kita
yang tidak mengerti akan pusing menghitungnya. Oleh sebab itu,
saya sendiri sulit memper-cayainya," kata Cu Thi Jui.
Oey Thian Gie dibuat tujuh keliling oleh keterangannya. Dia
termangu-mangu sejenak.
"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan tadi. Aku hanya ingin
tahu apa maksudmu sebenarnya datang ke gedungku ini? Kau harus
tahu, masuk mudah, keluar tentu sulit," kata Oey Thian Gie.
Cu laothao tersenyum lebar.
"Betul! Bagi orang biasa tentu tidak mudah masuk ke dalam
gedung ini. sedangkan untuk keluar, pasti lebih sulit lagi. Sampai
saat ini, apakah kau belum bisa menebak maksud kedatanganku?"
tanya Cu Thi Jui.
Oey Thian Gie merasa kesal sekali. Dia menggelengkan kepalanya.
"Tidak tahu!"
"Siang tadi saya sudah meramalkan bahwa dalam waktu dekat ini,
kau akan mendapatkan kerugian yang besar, Dan nilainya tidak
terkira pula," sahut Cu laothao.
Oey Thian Gie terkesiap.
"Kau ingin merebut?" tanyanya.
"Kalau kau ingin bekerja sama, untuk apa saya perlu tangan
merebut?" sahut perangai tersebut.

"Orang she Cu! Sekali aku berteriak, seluruh penjaga di gedung ini
akan mengeroyok dirimu!" katanya dengan suara datar.
"Apakah manusia yang pintar akan melakukan hal itu?" tanya Cu
laothao lagi.
"Mengapa tidak?" seru Oey Thian Gie penasaran.
"Coba katakan.... Bila kau berteriak, seluruh penjaga akan segera
datang ke kamar ini. Gerakan siapa yang lebih cepat? Da-tangnya
mereka atau sentilan jari saya? Mari saya jelaskan kepadamu....
Setiap jari tanganku ini manfaatnya sama, Gerakan dan
kecepatannya juga sama. Kekuatan yang dikeluarkannya juga sama,
jangan kata daerah yang mematikan, tempat mana pun yang saya
sentil akan dapat menghancurkan tulangmu, Percaya tidak?" kata Cu
laothao tenang.
Oey Thian Gie terpaksa percaya sekarang. Tadi saja, hanya
dengan sentilan jari, orang ini dapat menahan serangannya, Tetapi,
orang she Cu ini telah mengatakan nilai yang tak terhitung,
Bagaimana kalau dia meminta seluruh hartanya?"
"Berapa yang kau inginkan?" tanya Oey Thian Gie dengan hati
berdebar-debar.
"Hanya satu," sahut Cu laothao.
Oey Thian Gie terpana.
"Satu? Satu uang emas atau satu Siau lok?" tanya laki-laki itu.
Toh, Siau lok sudah didapatkannya, Lebih baik jadi dermawan
dengan menyumbangkan sekalian, daripada orang ini tinggal di
dalam gedungnya. Oey Thian Gie akan mati kesal setiap menatap
wajahnya.
Cu laothao mengulangi tawanya yang menyebalkan.
"Siau lok? Dia adalah milikmu. Setelah berhasil mencobanya, tentu
harus dikembalikan kepadamu, Tentang uang emas, saya sendiri

tidak kekurangan, Saya hanya menginginkan satu barang yang ada
dalam pakaianmu sekarang!" katanya.
Oey Thian Gie tiba-tiba mengerti siasat licik orang ini, Dia
memang terkejut Tidak disangkanya orang ini pula yang akan
merebut benda pusaka ini.
"Mimpi!" serunya dengan mata mendelik.
"Sebetulnya dalam mimpi pun saya sering ingin mendapatkan
barang tersebut," sahut Cu laothao tenang.
"Kau anggap kau benar-benar dapat mengambilnya?" tanya Oey
Thian Gie gusar.
"Kau harus cepat-cepat mengeluarkannya, Bila tidak, jiwamu
sendiri akan diambil oleh saya!" Cu laothao mengucapkan kata-kata
tersebut tanpa menunjukkan perasaan apa-apa pada wajahnya.
Oey Thian Gie sadar, orang ini bukan hanya sekedar menggertak
Dia mulai membenci Liu Cangkwe yang mengundang setan masuk
ke rumah, Dia juga membenci ke-tujuh selirnya, Kalau salah satu di
antara mereka ada yang bisa memberikan keturunan untuknya, dia
pasti tidak akan pergi ke Thai Pek Ki untuk menemui pembunuh ini.
Dia memeluk benda pusaka yang ada di balik pakaiannya erat-erat.
"Cu ya.... Kau adalah seorang pendekar besar dalam dunia
kangouw, dan dalam soal laki-laki dan perempuan, kau juga jauh
lebih perkasa dari pada saya. Kau tidak memerlukan benda ini, Terus
terang saja, hanya orang yang tidak berguna seperti saya baru
memerlukannya," kata Oey Thian Gie dengan suara memelas. Dia
rela merendahkan dirinya sendiri untuk benda langka seperti Bi jin
sim.
Cu lao thaiya tampaknya sudah tidak sabar lagi, Dengan gerakan
yang cepat, ia merebut barang yang ada di balik baju Oey Thian Gie.
Saking terkejutnya, Oey Thian Gie lupa menjerit, dia berdiri terpaku

sampai laki-laki itu menghilang dari kamarnya, Sejenak kemudian dia
baru tersadar.
"Maling! Cepat tangkap maling!" teriaknya kalang kabut.
Chao toa king bergerak menuju kamar majikannya, Gerakannya
itu tidak dapat dikatakan lambat Dia membangunkan Oey Thian Gie
yang terjatuh lemas di tanah, Setelah itu, memburu keluar. Apa yang
terjadi selanjutnya tentu sudah dapat diterka.
Oey Thian Gie tidak mengatakan apa-apa lagi kepada Chao toa
king, Hal ini juga tidak dapat menyalahkan dirinya, Oey Thian Gie
sudah terlalu kecewa dan putus asa. Dia memutuskan untuk
meminta para pengawal dan pejabat setempat menangkap maling
tersebut.
Dia duduk dengan wajah lesu di atas tempat tidur. Sejenak
kemudian, dia seperti dikejar setan berlari ke arah kamar Siau lok.
Ketika dia masuk ke dalam kamar tanpa penerangan itu, kepalanya
membentur sesuatu. Secepat kilat dia menyalakan lilin. wajahnya
pucat seketika. Siau lok telah menggantung diri.
Setelah gadis itu mati, dia baru terpikir bahwa dalam peristiwa ini
tidak ditimpakan kesalahan kepadanya, Di dunia ini tidak ada lagi Bi
jin sim kedua. Dan juga tidak mungkin ada Siau lok kedua. Oey
Thian Gie jatuh tidak sadarkan diri untuk selamanya.
Malam sudah larut, Di tepi pantai tidak ada angin yang bertiup.
Lautan tenang, Rembulan hampir penuh, membuat pemandangan
cerah, Di atas laut terdengar sedikit kepak sayap burung camar.
Sungguh suatu malam yang penuh misteri.
Kwe Po Giok dan Sun Put Ce menyalakan seonggok api unggun di
pesisir pantai, Dalam cuaca seperti ini tentunya tidak perlu
menyalakan api unggun untuk menghangatkan badan, tapi untuk
membakar ikan.

Kalau saja ada bumbu untuk dibubuhkan di atas ikan itu, baru
kemudian membakar-nya, pasti ikan itu akan enak dimakan,
sedangkan di tepi laut itu, garam saja tidak ada..
Mereka hanya membakarnya sekedar untuk mematangkan daging
ikan itu, Rasanya yang tawar tentu tidak menerbitkan selera.
Tapi bagi orang yang sudah terlanjur kelaparan, bisa mengisi
perut saja sudah termasuk beruntung. Di perkampungan nelayan
yang telah porak poranda seperti ini, ada uang pun tidak bisa
membeli makanan. sebagai pengisi perut, mau tidak mau, mereka
hanya makan ikan bakar setiap hari.
Ikan yang basah membuat suara peletak peletuk terbakar api
unggun, Setelah matang tentu akan menciut, apalagi dibuang kepala
dan ekor serta tulang, Tentu daging yang tertinggal hanya sedikit,
untung saja kedua orang itu mempunyai akal yang bodoh.
Mereka membakar ikan itu sampai kering sekali, Dan memakannya
dengan tulang belulangnya sekaligus, Kwe Po Giok mendongakkan
kepalanya menatap rembulan.
"Rasanya hari ini sudah tanggal lima belas bulan delapan."
katanya.
"Empat belas," sahut rekannya.
Laki-laki itu bertugas membakar ikan. Kwe Po Giok hanya terima
bersihnya saja, Selama beberapa hari ini, dia juga terus memancing,
Tapi ikan yang didapatnya paling hebat beratnya dua ons. ikan
seperti itu saja juga sudah membuatnya girang setengah mati. Dia
loncat tinggi sekali, hampir saja tercebur ke dalam laut
Setiap kali Sun Put Ce membakar satu ekor, Kwe Po Giok pun
memakan ikan yang baru dipanggang itu, Kadang-kadang malah
belum cukup matang sudah direbutnya. Sampai Kwe Po Giok merasa
kenyang, Sun Put Ce baru kebagian, dia tidak pernah
mempersoalkan masalah ini, karena dalam hatinya dia menganggap
Kwe Po Giok masih bocah cilik.

"Apakah kau tidak bisa menemani saya mengobrol lebih banyak?"
tanya Kwe Po Giok sambil tertawa getir.
"Saya tidak bisa bicara," sahut Sun Put Ce.
"Jadi kau hanya bisa makan ikan?" tanya Kwe Po Giok.
"Makan ikan pun, masih kalah denganmu," sahut Sun Put Ce.
Wajah Kwe Po Giok langsung merah padam mendengarnya.
"Tidak disangka kau juga bisa menyindir," katanya.
"Saya selamanya tidak pernah menyindir orang," sahut teman
seperjalanannya itu.
"Sebetulnya, bila kau menyindir, memarahi, saya pun tidak akan
menyalahkan dirimu," kata Kwe Po Giok sambil menarik nafas.
"Mengapa saya harus memarahimu?" tanya Sun Put Ce heran.
"Karena saya hanya bisa makan, sama sekali tidak bisa
memancing ikan. Malah ikan yang besar semua saya makan, Kau
hanya kebagian yang kecil," kata Kwe Po Giok.
"Sebetulnya ikan yang kecil juga enak," sahut Sun Put Ce sambil
tersenyum.
Kwe Po Giok kembali menarik nafas panjang.
"Kau ini benar-benar keterlaluan. Kalau saya menjadi dirimu, Dan
kau hanya bisa makan tetapi tidak bisa memancing, pasti semua
ikan ini akan saya makan sendiri," katanya dengan nada kesal.
Dia heran di dunia ini ada orang seperti Sun Put Ce? Pada saat itu
terdengar langkah kaki seorang manusia yang berjalan di atas pasir.
Dua orang sedang mendekati.

Jilid 5
"Aku juga bisa makan ikan," kata salah satunya. Orang itu
mengenakan pakaian panjang berwarna merah muda, Dia mendekat
ke arah Sun Put Ce. Seekor ikan yang baru selesai dibakar,
diambilnya, Dengan gaya lahap dia memakan ikan itu.
Sun Put Ce seperti tidak perduli ikan yang sudah susah payah
dibakarnya diambil oleh orang tersebut, Kwe Po Giok justru kurang
senang....
"Hei! itu ikan kami!" teriaknya, "Milikmu adalah milikku. Asalkan
aku senang, nyawamu juga akan menjadi milikku," kata Hun Pao
alias Jaguar merah muda.
Kwe Po Giok menatap Sun Put Ce sekilas, rekannya tetap
membakar ikan. Sejak tadi kepalanya tetap tertunduk, Jadi kedua
orang itu sama sekali tidak bisa melihat wajahnya.
Apalagi mereka sudah cukup lama berada di daerah panas itu,
Kulit wajah mereka sudah gelap, seandainya ada orang yang pernah
bertemu dengan kedua orang itu pun, belum tentu akan mengenali
lagi pada saat ini. Kwe Po Giok tertawa nyaring.
"Toaya pasti tidak menginginkan diri saya. Tubuh ini kotor lagi
pula dagingnya kesat. Tentu tidak seenak daging ikan," katanya.
Orang satunya lagi kebetulan adalah Hek Houw. Dia ikut tertawa.
"Bocah dusun ini tampaknya tidak begitu bodoh," katanya.
Hun Pao dan Hek Houw duduk di atas pasir dan memakan ikan yang
telah matang, Mereka masih belum mengenali kedua orang itu.
"Mungkin ini merupakan ikan bakar yang paling tidak enak yang
pernah Toaya makan selama ini," ujar Hek Houw.
"Sebetulnya lumayan juga," sahut Hun Pao.

"Makan ikan tanpa garam masih dapat disebut lumayan?" tanya
Hek Houw mendengus.
"Tentu saja! Paling tidak, kau sudah terbiasa makan ikan yang
enak, sekarang makan ikan yang hangus dan tawar. Kau toh bisa
membedakan rasanya," sahut Hun Pao kembali.
"Kalau didengar kata-kata ini seperti omong kosong, Tapi kalau
dipikirkan secara seksama, terasa ada benarnya juga!" kata Hek
Houw.
Tepat pada saat itu, angin meniup. Membuat api unggun menarinari.
Hun Pao dan Hek Houw memperhatikan derap langkah yang
mendekati. Ternyata yang datang adalah It Cheng Hong. Bajunya
berwarna hitam pekat. Di tangannya tergenggam sebuah
bungkusan, Dia berdiri di samping api unggun.
"Rupanya manusia yang datang tanpa suara pergi tanpa
bayangan, Kiang Pak It Cheng Hong!" seru Hun Pao.
It Cheng Hong tertawa nyaring.
"Dari jauh aku sudah melihat titik api. Tadinya kukira Dewa api
telah muncul, tidak tahunya kedua Houw Pao Suang hao yang
sedang membakar ikan!" serunya.
It Cheng Hong juga belum mengenali Sun Put Ce dan Kwe Po Giok.
"Kau juga menerima Sin Bok Ling (Kayu perintah dewa) dan
segera datang untuk menyampaikan hadiah?" tanya Hun Pao dengan
suara rendah.
It Cheng Hong tertawa dingin, "Beberapa hari yang lalu aku sudah
menerima Sin Bok Ling. Setelah melakukan beberapa kali jual beli,
aku segera datang untuk mengantarkan hadiah. Houw Pao Suang
Hoa tentu membawa hadiah yang nilainya tidak terkira, Jauh lebih
hebat dari setan gentayangan macam diriku ini," katanya menyindir.

Hun Pao dan Hek Houw saling pandang sekejap. Mereka
menggenggam erat-erat bungkusan di tangan masing-masing,
seakan takut sekali kehilangan barang itu.
"Ketiga bajingan ini tampaknya belum mengenali identitas kita,"
bisik Kwe Po Giok di telinga temannya.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Kalau menurutmu, lebih baik dikenali atau tidak?" tanya bocah
itu.
"Tentu saja lebih baik dikenali," sahut Sun Put Ce.
"Tampaknya kau memang tidak bodoh!" kata Kwe Po Giok.
"Terima kasih!" sahut Sun Put Ce.
Pada saat itu, terdengar suara batuk, nafas yang berat serta
deritan rakit di laut. Seorang laki-laki bertubuh gemuk meloncat
turun, Orang ini sudah tua.
Di tempat yang sepi seperti perkampungan nelayan ini, bertemu
dengan orang tua tersebut rasanya tidak sesuai, Orang tua gemuk
ini memakai pakaian dari bahan belacu yang kasar. Di seluruh
bajunya terdapat banyak tambalan besar kecil berisi berbagai
penganan kemilan.
Sembari jalan, tangannya tidak berhenti merogoh penganan itu dan
memakannya, pada umumnya orang tua dan anak kecil
berpenampilan dan berkelakuan hampir sama, di dalam sakunya
terisi kue, kacang, buah kering, kuaci dan permen. Ditambah lagi
pada bambu panjang yang diletakkan di pundaknya juga terdapat
banyak kantong-kantong besar dan kecil.
Orang tua ini lucu sekali, Sampai matanya juga selalu menyipit
menampilkan senyum dan tawa. Tetapi pada wajah Hek Houw, Hun
Pao dan It Cheng Hong tersirat rasa kejut yang tidak terkira, Orang
tua itu terus mengemil sambil sekali menarik nafas dengan susah
payah.

Dia duduk di pesisir pantai. Sun Put Ce hanya melirik orang tua itu
sekilas kemudian melanjutkan membakar ikan. Kwe Po Giok terus
memandangi orang itu.
"Belum lama ini, tubuhku semakin Iemah. Baru jalan beberapa
langkah saja sudah capek setengah mati, Aih! Sudah tua! Kalau ada
yang lari bila melihat kedatanganku tentu aku sudah tidak sanggup
mengejamya." Orang tua itu seperti berkata kepada dirinya sendiri.
It Cheng Hong, Hun Pao, Hek Houw sebetulnya memang berniat
lari. Setelah mendengar ucapan itu malah jadi urung. Mereka
bersama-sama berjalan ke hadapan orang tua itu dan membungkuk
dengan hormat.
"Boanpwe menemui Cu lao thaiya!" kata mereka serentak, Orang
tua aneh seperti itu bisa membuat ketiga bajingan itu begitu hormat
kepadanya. Benar-benar akan menjadi berita besar kalau tersiar di
luaran!
Cu lao thaiya memicingkan matanya beberapa saat.
"Orang tua yang hampir buta seperti aku ini, masih belum
mengetahui bahwa kalian bertiga juga ada di sini. Mengapa kalian
tidak pergi membunuh orang atau membakar api? Ada apa kalian
berkumpul di sini?" tanya orang tua itu.
Mulutnya mengecap permen, dari sudut bibirnya mengalir air liur,
perbuatannya ini akan membuat jijik orang lain, tapi bagi ketiga
orang yang ada di hadapannya pasti tidak berani berpikir demikian.
Orang tua itu seperti membawa semacam wibawa yang tidak
dapat ditentang, Dengan sangat hormat, mereka mundur dua
langkah.
"Kami sudah menerima Sin Bok Ling, maka segera datang untuk
mengantarkan hadiah!" sahut Hek Houw.
Sun Put Ce dan Kwe Po Giok saling melirik sekilas.

"Bok lang-kun benar-benar hebat! Meski-pun sudah
mengundurkan diri berpuluh tahun, kedudukan Bengcu dunia hitam
masih dikuasainya. Sekali Sin Bok Ling keluar, banyak kalangan yang
sengaja datang mengantarkan hadiah untuknya!" kata Cu lao thaiya.
Dia berhenti sejenak, Matanya memicing. Makanan terus mengalir ke
mulut-nya. Seperti tidak serius dalam mengucapkan kata.
"Apa yang kalian persembahkan kepadanya? BoIehkah
membiarkan mata tua ini untuk terbuka sedikit?" tanya orang tua itu
melanjutkan kata-katanya yang terhenti.
Hun Pao dan Hek Houw tersentak, wajah mereka berubah hebat.
Sampai It Cheng Hong pun tidak berbeda, matanya jelalatan karena
panik.
"Masa lihat saja tidak boleh?" tanya orang ini itu tenang.
!t Cheng Hong bertiga akhirnya membuka bungkusan masingmasing.
Mata Cu lao thaiya yang sejak tadi memicing membuka
seketika, Tampaknya dia sangat tertarik dengan kotak di tangan Hek
Houw. Tentu saja, terhadap kotak di tangan It Cheng Hong ia juga
menunjukkan minat.
Sun Put Ce melirik ke arah sana sekilas kemudian menekuni
pekerjaannya kembali, Kwe Po Giok berjalan mendekati orang-orang
itu dan ikut melihat sekejap, Kemudian dia duduk kembali di
samping rekannya.
"Hek Houw! Apa isi kotak panjang itu." tanya Cu lao thaiya
kepada Hek Houw.
"Cu lao thaiya! isinya hanya sebuah jim-som gunung yang sudah
tua," sahutnya.
"Oh.... Jinsom tua.... berapa beratnya?" tanya Cu lao thaiya
kembali.
"Tu... tujuh., kati setengah," sahut Hek Houw dengan suara ragu.

"Tujuh kati adalah jinsom, delapan kati sudah termasuk pusaka,
Sayang sekali berat jinsom ini masih kurang setengah kati." kata Cu
lao thaiya.
"Benar juga!" sahut Hek Houw dengan perasaan lega Cu lao
thaiya hanya melirik sekejap pada permata yang berkilauan di
tangan Hun Pao. Tatapan matanya beralih pada kotak persegi di
tangan It Cheng Hong.
"lt Cheng Hong taihiap! Apa isi kotakmu itu?" tanyanya.
"Sebetulnya juga bukan barang mustika yang langka. Hanya
sebuah patung ukiran yang terbuat dari batu Ke Hiat Ang." sahutnya
dengan hati berdebar-debar.
"Ya... memang bukan barang langka," sahutnya dengan mata
setengah terpejam. Ketiga orang itu cepat-cepat membungkus
kembali barang persembahannya masing-masing.
"Tampaknya selera Bok lang kun makin lama makin rendah, Kalau
tidak, mana mungkin memandang mata barang-barang seperti itu,"
kata Cu lao thaiya.
Wajah It Cheng Hong dan kedua rekannya menyiratkan kekecewaan,
bila menghadiahkan barang kepada seseorang tentu saja tidak harus
yang termahal, tapi kalau bisa, juga jangan yang terlalu tidak
dipandang, apalagi yang akan menerima hadiah itu adalah Bok lang
kun!
"Aku anjurkan kepada kalian.... Lebih baik hadiah itu dikumpulkan
menjadi satu. Dan diberikan kepada Bok lang kun. Kalau orang itu
menganggap hadiah kalian kurang pantas, tentu kalian sendiri akan
menerima resiko yang kurang enak," kata Cu lao thaiya dengan
lagak baik hati.
Kata-kata ini diucapkan dengan nada berat dan tidak bertenaga,
Seperti ucapan main-main saja. Selesai berkata, dia menyumpal
mulutnya dengan sebuah gula-gula, yang berbicara memang
setengah hati, tapi yang mendengarkan justru sepenuh perasaan.

Sinar mata It Cheng Hong berkilat di bawah sinar api, Dia
menatap Hun Pao dan Hek Houw dengan tajam, ke-dua orang itu
tampaknya mengerti sekali arti mata itu, mereka menggenggam
bungkusan masing-masing dengan erat dan mundur satu depa.
Secepat kilat, It Cheng Hong menghadang jalan mundur kedua
orang itu.
"Apa yang hendak kau lakukan?" tanya Hek Houw.
It Cheng Hong tertawa dingin.
"Toh hadiah kalian berdua terlalu sedikit, mengapa tidak berbuat
baik dengan memberikannya kepadaku agar dapat kupersembahkan
kepada Bok lang kun?" suaranya sinis. Memang perbuatan ini yang
diinginkan oleh Cu lao thaiya, Dia ingin mereka saling membunuh
agar dirinya dapat meraih keuntungan.
"Apa yang kau andalkan?" bentak Hun Pao tak kalah garang.
It Cheng Hong tidak menyahut, Dia meraba gagang pedangnya
seakan benda itulah yang akan menjadi andalannya, Hun Pao dan
Ilek Houw mengeluarkan senjata mereka serentak, Hun Pao
menggunakan pecut yang terbuat dari ekor macan tutul, Sedangkan
Hek Houw menggunakan Cakar harimau yang terbuat dari besi.
"Kalau kau menginginkan barang kami, kau terpaksa harus
melangkahi mayat kami lebih dahulu!" kata Hun Pao.
"Tidak separah itu!" sahut It Cheng Hong, dia mengeluarkan
sebuah senjata terbuat dari rantai panjang dengan pedang di
ujungnya.
Manusia secepat angin, pedang secepat kilat, itulah julukan yang
diberikan oleh orang-orang dalam dunia kangouw untuk It Cheng
Hong. Ketiga orang itu langsung bergebrak, pecut ekor macan tutul
dan cakar besi harimau menghantam kepala It Cheng Hong.
Manusia secepat angin itu ternyata tidak begitu mudah
menghindari serangan tersebut, dia harus berjuang sekuat tenaga,
baru dapat meloloskan diri. Di bawah cahaya api unggun, wajah

mereka tampak garang, seperti ingin memakan sesamanya. Tanpa
disangka-sangka, Kwe Po Giok berteriak dengan suara nyaring...
"Saya lihat lebih baik kalian mempersembahkan hadiah-hadiah itu
kepada Cu lao thaiya saja. Daripada orang tua itu harus susah payah
mencari hadiah di tempat lain!"
Bagi ketiga orang itu, saran Kwe Po Giok tentu dianggap tidak baik,
tapi mereka seperti tersengat aliran listrik, Bersama-sama
menghentikan gerakannya, Hek Houw tertawa terbahak-bahak.
"Lucu sekali! Lucu sekali!" serunya dengan lantang.
"Kami sama sekali tidak membayangkan kalau Cu lao thaiya juga
datang untuk mengantarkan hadiah. Kita saling membunuh, tinggal
Cu lao thaiya yang menarik keuntungan," kata Hun Pao.
Cu lao thaiya yang tetap duduk di atas pasir, dia menggelengkan
kepala seraya menarik nafas panjang. Dia seakan tidak
memperdulikan anggapan orang-orang itu. "Aih! Kalian kan tidak
mungkin memandang rendah orang tua seperti aku ini. Kalau aku
sudah berani datang, toh tidak mungkin bertangan kosong." Biar
pun dia selicik apa, tapi dia sudah mengakui bahwa kedatangannya
malam ini adalah untuk mengantarkan hadiah juga.
Untuk mencari kepercayaan orang-orang tersebut, dia
mengeluarkan sebutir mutiara yang amat berkilauan dan berwarna
ungu, setiap gerakannya akan merebut perhatian ketiga orang itu,
juga Kwe Po Giok dan Sun Put Ce.
"lni adalah benda pusaka yang hampir menjadi legenda,
panggilannya mutiara kristal ungu. Biar dipersembahkan kepada
kaisar tua masih pantas, mana mungkin aku menginginkan barang
rongsokan kalian?" katanya dengan wajah tersenyum.
Api unggun yang terang membuat sinar mutiara di tangan Cu lao
thaiya makin berkilauan. It Cheng Hong dan kedua rekannya saling
pandang.

Dengan kedudukan Cu lao thaiya, Bila dia mau datang
mengantarkan hadiah, sudah pasti merupakan benda pusaka yang
tak terkira nilainya, Dan mereka ternyata menduga orang tua itu
menginginkan barang antaran mereka, Kalau dibilang putar balik,
semestinya setan kecil itu yang menerbitkan perkara. Mata ketiga
orang itu seperti berjanjian menoleh ke arah Kwe Po Giok.
"Mutiara kristal ungu.... Benda pusaka ini memang belum pernah
kulihat," kata It Cheng Hong.
"Saya bahkan belum pernah mendengarnya," sahut Hek Houw.
Cu lao thaiya tertawa senang.
"Kalian kemarilah! Aku orang tua ini akan membuka mata kalian,"
katanya. Ke tiga orang itu langsung mendekat dengan perasaan
ingin tahu. Melihat hadiah yang akan diberikan oleh orang lain toh
tidak ada salahnya. Paling tidak, mereka bisa membandingkannya
dengan barang antaran mereka sendiri.
Ketika langkah kaki mereka kira-kira tinggal tiga depa di hadapan
orang tua itu, tiba-tiba sekilas sinar ungu berkelebat, menghantam
telak di tubuh ketiga orang itu, Menyerang orang dengan mutiara
kristal ungu, siasat ini, belum pernah terpikirkan oleh It Cheng Hong
dan kedua rekannya.
Lagipula kesannya terlalu angkuh. Cu lao thaiya ternyata tidak
berhenti sampai disitu saja, Tangannya dengan sigap merogoh
segala macam barang dari kantongnya.
Dia menimpuk serampangan. It Cheng Hong, Hun Pao, dan Hek
Houw roboh ke tanah. Tubuh mereka penuh dengan segala
penganan kecil, Senjata rahasia yang paling aneh di dunia! Darah
mengalir dari sana sini, Makanan kecil itu telah melukai beberapa
bagian tubuh mereka, Bahkan ada dua atau tiga aliran darah yang
tertotok sehingga mereka bertiga tidak dapat bergerak.
Hek Houw terengah-engah. Dia memandang Cu lao thaiya dengan
perasaan tertekan.

"Kau toh sudah mempunyai mutiara kristal ungu, mengapa masih
ingin merebut barang antaran kami?" tanya laki-laki itu gusar.
"Anak bodoh! Di dunia ini mana ada mutiara kristal ungu? Yang
kau lihat tadi adalah rencengan buah anggur," kata Cu lao thaiya
sambil tertawa terbahak-bahak.
Apakah ini sebuah hinaan, permainan atau gurauan? Dengan
teriakan nyaring Hek Houw berusaha untuk bangkit, Tapi tenaganya
hilang, It Cheng Hong dan Hun Pao tidak bergerak lagi, Tetapi
mereka tampak tidak semarah Hek Houw.
"Rupanya begini cara kau mendapatkan barang antaran!" teriak
Hek Houw dengan suara keras. Cu lao thaiya menggelengkan
kepalanya dengan mengeluarkan suara berdecak.
"Bocah cilik! Siapa yang kerajinan menenteng hadiah jauh-jauh
sampai di sini.
Lagi pula, jaman dulu Cu kek Sian sing juga dengan cara yang sama
mendapatkan selaksa anak panah dari Lang Ya," kata orang tua itu.
Hek Houw tidak mengeluarkan suara lagi, Di pinggir pantai hanya
terdengar suara keresekan kayu bakar dalam api unggun.
"Siau houw, Siau pao, Si pak hong, kenapa pergi? Kok cuma
begitu saja? Hanya merusakkan makanan dalam kantong orang tua
ini!" kata Cu lao thaiya dengan nada mengejek.
Sun Put Ce berdiri, Dia menarik tangan Kwe Po Giok untuk
meninggalkan tempat tersebut, Cu lao thaiya bangkit juga dengan
wajah kemalas-malasan. Dia merogoh barang antaran yang telah
disiapkan oleh ketiga orang itu.
"Seharinya manusia pintar sama dengan seumur hidupnya orang
bodoh," katanya menggumam.
Kwe Po Giok mengibaskan tangan Sun Put Ce. Dia masih belum
mau pergi, Cu lao thaiya menatap kedua orang itu sekejap, Sinar
matanya mengandung hinaan dan pandangan meremehkan Kwe Po

Giok juga menatap ke arahnya. Dia hanya menganggap orang itu
seperti segumpal daging yang tergeletak di sana.
Cu lao thaiya dengan ramah menggapai kepada Kwe Po Giok.
"Anak baik! Kemarilah! Kong kong masih mempunyai makanan
yang enak untukmu," katanya dengan bibir tersenyum.
Kwe Po Giok dengan nakal ikut tersenyum.
"Kau bukan kong kong! Kau adalah seekor babi!" katanya.
Cu lao thaiya seperti belum mendengar dengan jelas, dia
mengulurkan wajahnya ke depan.
"Apa yang kau katakan?" tanyanya berlagak pilon.
"Kau adalah seekor babi. Kau meminta orang-orang memanggilmu
Cu lao thaiya, Berarti dirimu memang bukan orang tapi babi, Kata Cu
dalam bahasa cina, dengan nada yang sama tetapi tulisan yang
berbeda memang berarti babi," sahut Kwe Po Giok dengan suara
yang lebih keras. Dia memperhatikan orang tua itu dengan tatapan
meneliti
"Tapi kau juga tidak tampak seperti seekor babi...." lanjutnya.
Sun Put Ce mengangkat kerah bajunya sedikit, Kwe Po Giok sengaja
mengalihkan pandangannya, Dia pura-pura tidak tahu, Cu lao thaiya
tertawa lebar.
"Kau lihat aku mirip apa?" tanyanya, "Kau mirip dua ekor babi.
sebetulnya kau malah lebih gemuk dari dua ekor babi!" kata Kwe Po
Giok seperti sedang menaksir suatu barang.
Cu lao thaiya memicingkan matanya, wajahnya berubah beberapa
kali. Kemudian ia tertawa terkekeh-kekeh.
Kalau begitu aku juga ingin memelihara dirimu agar lebih gemuk
sedikit, supaya kau bisa menjadi seekor cucu babi!" katanya.

Sekali lihat sinar matanya, Sun Put Ce sudah dapat menduga
orang tua itu mulai dipenuhi hawa membunuh, Cu lao thaiya
mengeluarkan makanan kecilnya, Dia menggunakan penganan itu
sebagai senjata rahasia dan ditimpukkan ke arah Kwe Po Giok dan
Sun Put Ce, Kacang, buah kana dan permen adalah benda yang
ringan, tetapi sekali ditimpukkan ternyata dapat mengeluarkan suara
gemuruh. Semua ini tampaknya sudah dapat diduga oleh Sun Put
Ce. Benda-benda itu juga mengandung tenaga yang kuat.
Sun Put Ce menggeserkan tubuhnya untuk menghindari senjata
rahasia tersebut Dia juga kelabakan menyelamatkan Kwe Po Giok,
Senjata rahasia Cu lao thaiya dalam dunia kangouw memang sangat
terkenal.
Pada saat itu, Sun Put Ce sangat mengharapkan tubuhnya dapat
tumbuh lebih banyak kaki dan tangan, Dia tahu bagaimana pun ia
tidak sanggup menyelamatkan Kwe Po Giok Iagi.
Tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa bocah itu tidak
selemah yang tertampak di luar. Kedua tangannya bergerak
serampangan. Ternyata makanan yang menyerang dirinya sudah
tertangkap oleh tangannya, Cu lao thaiya dan Sun Put Ce samasama
terpana. Bocah itu mengembangkan tangannya dan
mengembalikan makanan itu dengan gerak kilat.
Sun Put Ce masih termangu-mangu. Cu lao thaiya tidak sempat
berpikir lebih lama.
Dia segera mengibaskan tangan menyampok jatuh senjata rahasia
yang makan tuan itu. Di dalam dunia kangouw Co lao thaiya sudah
sangat terkenal. Didalam dunia kang-ouw nama Cu lo-tahiya sudah
sangat terkenal. Belum pernah terdengar ada orang yang sanggup
membuatnya begitu kelabakan. Senjata rahasia yang
dilemparkannya sendiri ternyata tidak sanggup dihindarinya.
"Seerr! Serrr!"
Hampir semuanya menembus tubuh Cu lao thaiya, Seperti Hek
Houw, Hun Pao dan It Cheng Hong. Dia juga mati dengan badan

tertembus senjata rahasia antik tersebut.
Air yang beriak dekat pantai menghembuskan suara tarikan nafas
panjang, Sun Put Ce justru memandang Kwe Po Giok dengan
terpana, sinar matanya mengandung kecurigaan. Seakan sulit
mengerti bocah yang satu itu. Mungkin selain perasaan terkejutnya,
dia masih memikirkan hal yang lain, Kwe Po Giok membalikkan
tubuh. Dia menatap Sun Put Ce dengan pandangan lembut.
"Kau tidak menyangka bahwa aku bisa ilmu silat?" tanya bocah
itu.
"Saya tidak menyangkal" sahutnya tegas dan polos.
Kwe Po Giok memandangnya dengan seksama, Sun Put Ce
memang tidak berbohong, sedangkan Fang lopek saja tidak tahu
bahwa dia mempunyai ilmu yang tinggi, apa lagi Sun Put Ce. Namun
pandangan Kwe Po Giok terhadap Sun Put Ce sudah banyak
mengalami perubahan, Kwe Po Giok tertawa-tawa.
"Saya sudah pernah mengatakan. Sejak usia tiga tahun saya
sudah mendapat sebutan bocah ajaib. Meskipun saya masih belum
bisa menandingi manusia jahat itu, untuk melawan babi seperti ini
saja, delapan belas ekor sekali serang pun saya tidak takut," katanya
tanpa niat menyombongkan diri.
"Mengapa kau harus melawan dia?" tanya Sun Put Ce heran.
"Pertama karena aku memang tidak menyukainya. Kedua, ketiga
orang yang diadu domba tadi semuanya sudah mati tanpa kau
ketahui, Ketiga, saya memang ingin mendapatkan barang-barang
tersebut untuk digunakan sebagai hadiah untuk Bok lang kun!" kata
Kwe Po Giok menjelaskan.
Sun Put Ce terkejut sekali, Dia menghampiri It Cheng, Hun Pao
dan Hek Houw, Ketiga orang itu memang sudah putus nyawa. Dia
kagum sekali terhadap Kwe Po Giok tapi juga agak takut
penampilannya seperti sudah melewati usianya. Kedewasaannya
membuat Sun Put Ce tidak berani membayangkan.

"Untuk apa kau harus menghadiahkan barang berharga seperti ini
kepada Bok lang kun?" tanya Sun Put Ce.
"Orang yang dapat membuat beberapa bajingan ini menunduk
sekian rupa, bukan tidak mungkin dapat juga melawan Toa Tek To
Hun," katanya tersenyum.
"Kau kenal dengannya?" tanya Sun Put Ce sekali lagi.
"Saya tidak mengenalnya. Dia juga tidak kenal saya. Tapi saya
yakin dia pasti bisa mengenali bahwa hadiah-hadiah ini tidak begitu
mudah didapatkan," sahut bocah itu.
Sun Put Ce menatap Kwe Po Giok sambil menarik nafas panjang.
Akal budi biasanya disertai pengalaman yang banyak, Namun bagi
bocah berusia belasan, dari mana datangnya pengalaman? Dia
menarik nafas sekali lagi.
"Saya selalu menganggap dirimu masih seorang bocah cilik," kata
Sun Put Ce.
"Sekarang?" tanya Kwe Po Giok.
"Sekarang saya baru sadar bahwa kau adalah siluman kecil,"
sahutnya.
Kedua orang itu saling pandang dan tertawa lebar. Hanya tawa Sun
Put Ce yang terselip sedikit kegetiran.
Malam semakin larut, Di tepi pantai terlihat bintang memenuhi
angkasa, Ombak sedang menghajar batu karang, Dia tidak perduli
apa yang dikatakan orang terhadap dirinya, Bagus boleh, kejam
boleh, tegar pun boleh, Toh ombak hanya segulungan air yang tidak
berakal budi.
Di pesisir pantai terlihat bayangan dua orang yang sedang
berjalan, perasaan hati sangat tertekan, sehingga langkah kaki di
atas pasir pun dapat terdengar jelas.

"Apakah kau tahu di mana Bok lang kun sekarang?" tanya Sun Put
Ce.
"Tidak...." sahut si bocah ajaib.
"Kau bisa menemukannya?" tanya Sun Put Ce kembali
"Tidak.... Tapi asalkan tempat yang ada apinya, saya dapat
melihat dengan jelas."
Kwe Po Giok menunjuk ketiga macam hadiah yang terbungkus
menjadi satu.
Sin bok seng hue (kayu dewa api malaikat)?" tanya Sun Put Ce.
Kwe Po Giok menganggukkan kepalanya. Sun Put Ce kembali
menarik nafas panjang. Dia percaya walaupun orang pintar ataupun
orang bodoh, keduanya mempunyai kelemahan masing-masing,
Orang yang pintar tahu kelemahannya sendiri tapi berusaha
menutupi dari pandangan orang, sedangkan orang yang bodoh,
sama sekali tidak menyadari kebodohannya sendiri
Memandang dari kejauhan, terlihat tujuh titik sinar api di pesisir
pantai. Kwe Po Giok berjalan di muka, Sun Put Ce mengiringi dari
belakang, Mereka melangkah dengan perlahan menuju ketujuh titik
sinar api tersebut Mata Kwe Po Giok bersinar bagai bintang, Mata
Sun Put Ce malah seperti awan kelabu.
-oooo0oooo-
Amukan ombak di laut sudah berhenti. Tempat ini adalah daerah
berpasir yang Iuas. Ombak laut perlahan-Iahan mendorong
kedepan, kemudian menarik diri kembali.
Penarikan dirinya seperti tentara yang sedang menyusun kekuatan
untuk menyerang kembali, hal ini seperti juga Toa Tek To Hun.
Menyerang, membunuh, mundur, menghilang. Menyerang kembali
dan seterusnya.
Dia terus membunuh hanya karena satu hak "Tidak kalah",
Tentunya kata-kata "Tidak kalah!!" orang itu harus ditebus dengan

darah manusia. Tidak hentinya menghunus pedang, tidak hentinya
darah mengalir dan kematian.
Hanya satu yang merupakan ke-kecualian: Fang Tiong Seng,
Apakah ini merupakan satu-satunya kekecualian di antara korbankorban
yang diincar Toa Tek To Hun?
Tujuh titik sinar api makin lama makin mendekat. Di dalam hati
orang-orang Bu-lim, ketujuh titik sinar api ini hampir sama dengan
api setan yang sedang menari-nari di neraka. Tujuh titik api
mengelilingi berbentuk lingkaran, Di tengah-tengahnya duduk
seorang laki-laki usia setengah baya, wajahnya tidak menunjukkan
perasaan.
Tampaknya seperti sebuah patung kayu, atau mungkin
merupakan ukiran patung dengan hasil karya yang tinggi sehingga
berbentuk manusia?
Kira-kira ada puluhan orang yang berlutut di sekeliling orang
tersebut, pakaian mereka aneh-aneh. Namun kain yang dililitkan di
tangan berwarna sama, Sun Put Ce dan Kwe Po Giok mendekat
perlahan-lahan.
Sun Put Ce menyenggol Kwe Po Giok sedikit.
"Apakah ini yang disebut Bok lang kun?" tanyanya.
"Delapan bagian," sahut si bocah ajaib.
"Apakah dia sanggup melawan Toa Tek To Hun?" tanya Sun Put
Ce dengan merendahkan suaranya.
"Mungkin dia sendiri juga tidak tahu...." sahut Kwe Po Giok.
Para pengikut Bok lang kun mengundurkan diri satu per satu,
Setiap orang meninggalkan bungkusan berisi emas permata, sinar
api membuat barang-barang tersebut berkilauan, para pengikut itu
melihat Sun Put Ce dan Kwe Po Giok.

Kedua orang itu membawa sebuah bungkusan yang cukup besar.
Mereka mengira Sun Put Ce dan Kwe Po Giok juga merupakan para
pengikut Bok lang kun, jadi tidak ada yang menanyakan apa-apa.
Penghormatan yang begini hening dan rapi sungguh terlihat
sekalipun anak buah Fang Tiong Seng juga tidak sanggup
melakukannya. Pada saat itu, dari balik batu karang muncul belasan
orang.
Dilihat sekilas saja sudah dapat ditebak bahwa mereka itu adalah
para bajak laut, Keheranan mereka terhadap penghormatan dan
upacara yang sedang berlangsung lebih hebat dari pada Kwe Po
Giok dan Sun Put Ce. Mereka tidak pernah begitu hormat kepada
seseorang, sehingga mereka agak curiga.
"Apa-apaan ini?" tanya orang pertama.
"Mungkin upacara sembahyang para umat agama sesat. Patung
kayu itu kemungkinan besar adalah patung kayu yang disembah oleh
mereka," sahut orang kedua.
"Tidak perduli bagaimana hebatnya benda tersebut, Pokoknya
hanya sebuah patung kayu. Buat apa orang-orang bodoh itu
meninggalkan emas permata kepada sebuah patung kayu? Lebih
baik buat kita saja!" sambung orang ketiga.
Orang kedua dan ketiga segera ingin mendekati emas permata
yang ditinggalkan para pengikut tadi, namun orang yang pertama
mencegah mereka.
"Bagaimana kalian bisa begitu yakin bahwa itu hanyalah sebuah
patung kayu?" katanya mengingatkan.
"Biar aku yang mencoba," Orang ketiga mengajukan diri, kedua
rekannya menganggap perbuatannya benar. Mereka
menganggukkan kepala serentak.

Orang ketiga memungut sebuah batu kerikil yang cukup besar,
Dengan sekuat tenaga dia menimpuk kepala patung kayu tersebut
Batu itu jatuh tepat di atas kepalanya. Orang itu terlihat senang
sekali, Tak! Suara detak batu tersebut terdengar jelas.
Tidak seperti menimpa ke tubuh seorang manusia, Seakan suara
batu yang ditumpukkan pada batang pohon. Sama sekali tidak
bergeming. Orang ketiga itu tertawa terbahak-bahak.
"Kalau yang kena timpukan batu itu seorang manusia, otaknya
pasti sudah berceceran kemana-mana," katanya sombong.
Para rekannya sangat yakin kekuatan tenaga rekan yang satu itu.
Mereka menganggap apa yang diucapkannya memang benar
Serentak mereka ikut tertawa keras. Apalagi orang ketiga itu. Dia
semakin bangga. Hanya dengan sebutir batu, dia sanggup
membuktikan bahwa dewa agama sesat itu hanya permainan orangorang
bodoh.
Dia yang pertama-tama masuk ke dalam lingkaran api tersebut
Tatapan mata mereka otomatis terpusat pada emas permata yang
berserakan.
Tiba-tiba suara tawa mereka sedikit demi sedikit menipis dan
akhirnya sirna. Hal ini membuktikan bahwa tidak percaya setan
dengan takut terhadap setan mempunyai perbedaan yang menyolok.
Mata Bok lang kun terbuka lebar, Bola matanya berputar kesana
kemari, namun tubuhnya sama sekali tidak bergeming. Para bajak
laut itu tentu saja tidak percaya bahwa patung kayu itu terjaga oleh
timpukan batu orang ketiga.
Namun para bajak laut itu tampaknya yakin sekali terhadap
tindakannya sendiri, Kepercayaan diri dalam perut mereka terlalu
banyak sehingga sulit dicerna.
"Dia bukan patung, tapi manusia," kata orang pertama dengan
suara lirih. Orang ketiga yang tadi menimpukkan batu tertawa keras.
"Walaupun dia adalah seorang manusia, dalam sekejap kita bisa
membuatnya menjadi setan," katanya takabur.

Ungkapan ini didukung oleh bajak laut yang lain. Percaya diri
adalah kelanjutan dari akal sehat, bukan terburu nafsu, Tapi bajak
laut itu tidak mengerti teori ini. Mereka menyerbu bersama-sama.
Ada yang memakai golok, ada yang memakai pedang, Ada yang
dengan tangan kosong dan tendangan kaki Gerakan mereka maju
bersama menghantam tubuh Bok lang kun.
Kwe Po Giok terkesiap, Dia tidak dapat menahan diri....
"Hati-hati!" teriaknya.
Sun Put Ce tidak bersuara, mungkin dia sudah menduga apa yang
bakal terjadi... atau mungkin juga mati hidupnya Bok lang kun sama
sekali tidak ada hubungannya dengan mereka.
Teori ini sangat gamblang: Bila Bok lang kun mati di tangan para
bajak laut ini, sudah dapat dipastikan dia tidak sanggup melawan
Toa Tek To Hun. Tapi kalau dia menang, mereka masih sempat
memberikan hadiah berupa benda berharga itu kepadanya.
Kwe Po Giok dalam keadaan terkejut berteriak "Hati-hati!" Tapi
teriakan itu tidak membuat Bok lang kun waspada, dia malah
memejamkan matanya kembali. Pada saat itu juga keanehan terjadi
di bawah kerubutan golok, pedang dan kaki tangan, Bok lang kun
terdengar mendengus sekali.
Tidak sempat terlihat gerakan tubuhnya, namun para bajak laut
itu beterbangan ke udara, Tidak perduli berapa tinggi tubuh-tubuh
itu mencelat ke udara, tapi setiap tubuh yang terjatuh ke bawah,
tidak ada satu pun yang bergerak lagi, mereka semua mati
penasaran.
Kecuali riak air di laut dan peletakan suara kayu bakar, suasana
sekitar itu hening dan sunyi Kwe Po Giok dan Sun Put Ce yang
bersembunyi di balik batu karang menatap dengan mata terbelalak.
Mereka saling memandang sekejap, meskipun keadaan di tempat
mereka gelap gulita sehingga tidak dapat melihat sinar mata maKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
sing-masing, tapi mereka sudah saling mengerti apa yang tersirat
didalamnya!
Mata Bok lang kun tiba-tiba terbuka lagi..
"Keluar!" bentaknya.
Di sekitar Bok lang kun tidak ada seorang manusia pun yang
terlihat sadar, Dan dia mengatakan "keluar" bukan "berdiri" Tentu
yang dimaksudkan adalah kedua orang di balik batu karang tersebut.
Kwe Po Giok dan Sun Put Ce saling pandang kembali, keduanya
berjalan lambat ke hadapan manusia kayu itu. Mata Bok lang kun
sedikit pun tidak mirip kayu. Malah lebih mirip bintang yang
cemerlang, Kwe Po Giok dan Sun Put Ce berdiri pada jarak satu depa
di hadapannya.
"Siapa yang berteriak hati-hati tadi?" tanya Bok lang kun tajam.
"Saya!" sahut Kwe Po Giok.
"Kau tahu siapa aku?" tanya manusia kayu itu kembali.
"Kau adalah Bok lang kun!" sahut bocah tersebut tenang.
"Apakah kau juga tahu siapa Bok lang kun itu?" tanyanya.
"Saya tidak begitu jelas, saya hanya tahu bahwa Bok lang kun
rasanya adalah seorang perampok besar yang membunuh orang
tanpa mengedipkan niatanya," sahut Kwe Po Giok.
Sun Put Ce hampir mengeIuh. Anak ini terlalu berani! Bok lang
kun justru tertawa terbahak-bahak. wajahnya tidak menunjukkan
suatu perasaan. Tawa keras semacam ini hanya dapat mendirikan
bulu roma orang yang mendengarnya.
"Betul! Bok lang kun adalah seorang perampok besar yang
membunuh orang tanpa mengedipkan matanya...." Tawanya terhenti

seketika, Dia menatap Kwe Po Giok tajam. Sejenak kemudian dia
terlihat menarik nafas.
"Perampok besar seperti aku ini kalau mati, entah berapa banyak
yang merayakannya, mengapa kau justru mengkhawatirkan
keselamatanku?" tanya Bok lang kun dengan pandangan menyelidik.
Tidak ada nada marah dalam suaranya, hal ini membuktikan bahwa
Bok lang kun tidak dapat disamakan dengan manusia biasa.
"Karena saya merasa bagaimana pun perampok besar macam kau
lebih baik daripada maling kecil yang tidak tahu malu itu!" sahut Kwe
Po Giok tenang, ungkapan itu rasanya tidak berbeda jauh, Bok lang
kun menatap Kwe Po Giok sekali lagi. Dia juga melihat bungkusan di
tangan bocah itu. Untuk sekian lama dia tidak mengucapkan apaapa.
Sun Put Ce diam-diam mengumpulkan tenaga, Setiap waktu siap
menghunuskan pedangnya.
"Kau juga datang untuk mengantarkan hadiah?" tanya Bok lang
kun.
"Tadinya bukan, Sekarang iya!" sahut Kwe Po Giok.
"Kenapa?" tanya Bok lang kun agak heran.
"Karena namamu ternyata tidak kosong," sahut Kwe Po Giok.
Tenang sekali ia bicara.
"Kalau namaku memang tidak kosong, apakah sangat berarti
untukmu?" tanya manusia
kayu itu sembari tersenyum tipis. Kwe Po Giok menganggukkan
kepalanya.
"Tentu saja berarti.... Saya ingin meminta kau membunuh
seseorang," sahutnya.
"Bunuh siapa?" tanya Bok lang kun dengan alis berkerut.

"Sebetulnya dia tidak termasuk jenis manusia, dia adalah seekor
binatang buas, Namanya Toa Tek To Hun!" sahut Kwe Po Giok
dengan tampang marah.
Bok lang kun memejamkan matanya, dia tak mengucapkan apa-apa
lagi. Kwe Po Giok dan Sun Put Ce saling pandang sejenak.
"Apakah kau juga tahu orang ini? Kau juga takut kepadanya?"
tanya Kwe Po Giok penasaran, Bok lang kun tetap tidak menjawab.
Sebetulnya pertanyaan yang sia-sia, sudah lama Bok lang kun
tahu bahwa sekarang di dunia persilatan daerah Tionggoan sedang
diguncangkan oleh nama Toa Tek To Hun. Orang-orang yang dapat
disebut jago kelas satu, tidak ada satu pun yang tidak khawatir
dirinya akan menjadi incaran iblis sakti itu.
Setelah lewat sekian lama, Bok lang kun membuka matanya kembali.
Dia menyingkap baju untuk memperlihatkan baju dalamnya, Di
antara perut sampai ke dada ada sebuah luka yang memanjang,
Bekas luka itu tampaknya cukup dalam, Di bawah cahaya api
unggun, bekas luka itu memancarkan warna keunguan.
Tentunya memberi kesan kekalahan atau kebanggaan bagi pemiliknya....
juga membuktikan bahwa orang yang dapat membuat
luka seperti itu di tubuhnya bukan semacam manusia yang dapat
ditemukan di mana saja.
"Tiga tahun yang lalu, aku pernah kalah di tangan seseorang,
Juga karena belas kasihannya, aku masih bisa hidup sampai hari ini,"
kata Bok lang kun dengan suara pilu.
Siapa pun tidak menyangka kalau manusia yang dari luar terlihat
seperti sebuah patung kayu juga mempunyai perasaan. Hanya saja,
ada berapa orang yang mendapat kesempatan melihat keadaan
seperti ini?
"Siapa orang itu?" tanya Kwe Po Giok dengan perasaan ingin tahu.
"Fang Tiong Seng taihiap!" sahut Bok lang kun.
Kwe Po Giok dan Sun Put Ce sama-sama terkejut, mungkinkah

setelah rasa terkejut itu hilang, yang tersisa adalah kekecewaan
tanpa batas?
"Namun, satu jurus pedang saja dari Toa Tek To Hun, Fang
Taihiap tidak dapat menerimanya, apalagi diriku! Aku mengeluarkan
Sin Bok Ling justru untuk mengumpulkan berbagai macam hadiah
yang nilainya tinggi. Aku ingin meminta bantuan seorang pendekar
tiada bandingan untuk turun tangan menghadapinya, Di dunia ini
sekarang hanya ada satu orang yang dapat menghentikan perbuatan
Toa Tek To Hun!" katanya menjelaskan.
Kwe Po Giok menarik nafas panjang, Sun Put Ce tetap tidak
menunjukkan perasaan hatinya, manusia yang tidak pernah
menunjukkan perasaan hatinya, mungkin juga merupakan manusia
yang paling tertekan.
"Saya tahu siapa yang kau maksudkan justru karena kami tidak
berhasil menemukannya, barulah kami mencari dirimu," ujar Kwe Po
Giok.
"Dia adalah dewa di atas lautan," kata Bok lang kun.
"Apakah dewa juga menginginkan hadiah?" tanya Kwe Po Giok
kurang percaya.
"Dewa tentu tidak memerlukannya, tapi untuk menemui dewa
tersebut, kita harus menyediakan berbagai hadiah yang nilainya
tidak terkira, karena hanya ada satu orang yang dapat membawa
kita menemuinya, sedangkan orang itu adalah manusia yang
mempunyai hobby mengumpulkan emas, permata dan benda-benda
pusaka," kata Bok lang kun menjelaskan
"Siapa lagi orang yang satu ini?" tanya Kwe Po Giok segera.
"lkut aku!" kata Bok lang kun seraya berdiri.
-oooo0ooooKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Embun menetes di pagi hari. Lautan tetap sepi.
Ombak di lautan beriak, Para nelayan di perkampungan itu belum
ada yang terjaga. Meskipun dusun ini porak poranda. Meskipun
rumah-rumah yang terbuat dari atap rumbai hampir rubuh, namun
pada cuaca pagi yang begini sejuk, terasa ada juga keindahannya!
Mungkinkah di perkampungan nelayan yang begini melarat, akan
ada seorang tokoh penting yang mau berdiam menetap?
Bok lang kun berjalan di depan, Kwe Po Giok mengikuti langkah
kakinya, Sun Put Ce seperti biasanya tertinggal jauh di belakang
Mereka berhenti di sebuah rumah kayu yang sudah reot, Rumah
sejelek ini, masih tetap kalah dibandingkan dengan kandang anjing
para hartawan. Kwe Po Giok dan Sun Put Ce seperti sudah menjadi
tingkah yang rutin saling memandang.
"Orang yang ingin kau ajak kami temui, tinggal di rumah ini?"
tanya Kwe Po Giok kurang percaya. Bok lang kun tidak menjawab
Dia hanya menganggukkan kepalanya. Pada saat itu, mau tidak
mau, Kwe Po Giok dan Sun Put Ce agak mencurigai maksud Bok lang
kun.
"Orang kepercayaan dewa mengapa bisa tinggal di tempat seperti
ini?" tanya Kwe Po Giok.
Bok lang kun tetap tidak menyahut, dia mendorong pintu kayu
tersebut. Rumah sereot ini, rasanya akan rubuh kalau tertiup angin
sedikit saja, Apa yang terdapat di dalamnya hampir bisa ditebak oleh
Sun Put Ce dan Kwe Po Giok!
Di dunia ini ternyata banyak hal yang ada di luar dugaan manusia,
Begitu pintu rumah reot itu terdorong, mata Kwe Po Giok dan Sun
Put Ce terbelalak, mereka tidak meragukan Bok lang kun lagi.
Mereka malah meragukan pandangan mata mereka sendiri! Mereka
juga mulai mengagumi Bok lang kun....
Begitu pintu reot itu terbuka, terlihat jelas perbedaan antara dua
dunia, di dalamnya terlihat banyak barang antik dan benda pusaka

berserakan semuanya merupakan barang-barang yang belum pernah
dilihat oleh Kwe Po Giok dan Sun Put Ce seumur hidupnya!
Dekorasi dan perabotannya juga mewah sekali, Kwe Po Giok yakin
di istana raja pun belum tentu sebagus ini. Mereka berdua bagaikan
sedang berada dalam alam mimpi dan sampai saat itu masih belum
terjaga.
Di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah bangku besar seperti
tempat tidur. Emas permata berserakan seperti sampah, Di atasnya
duduk seorang gadis berusia lima belas atau enam belas tahun.
Rambutnya panjang dengan poni di depannya. Dia memakai gaun
berwarna putih, wajahnya cantik sekali.
Di sampingnya berdiri seorang perempuan setengah baya.
Wajahnya juga sangat manis. Pada saat itu, siapa pun akan mengira
dirinya telah bertemu dengan bidadari. Hanya dewi yang bisa
membangun sebuah rumah yang dari luar begitu jelek dan dalamnya
melebihi istana, Apalagi dibangunnya pada sebuah perkampungan
nelayan yang miskin serta porak poranda. Juga hanya dewi yang
bisa memiliki begitu banyak harta benda dan barang pusaka.
Kwe Po Giok menatap ke sekeliling ruangan itu, hatinya amat
gembira. Bok Iang kun berdiri dengan berpangku tangan, Sun Put
Ce berdiri paling belakang, orangnya tidak bergerak, tapi bola
matanya jelalatan.
Gadis berbaju putih yang duduk di atas hamparan emas permata
itu adalah orang yang disebut Siau kiong cu. walaupun dia entah
putri dari mana, tapi setiap orang memandangnya akan percaya,
bahwa hanya seorang putri saja yang bisa terlihat demikian anggun,
cantik dan menawan.
Perempuan setengah baya yang berdiri di sampingnya merupakan
pelayan yang selalu melayaninya, panggilannya adalah dayang Cui
thian. Bagi Kwe Po Giok, orang yang jelek selalu masih ada sedikit
kelebihannya.

Entah pada alis, mata atau bentuk tubuh, sedangkan orang yang
cantik juga pasti mempunyai kekurangannya. Namun Siau kiong cu
bagaikan seorang manusia tanpa cacat. Biarpun dilihat dari sudut
mana, tetap sedap dipandang, Sedangkan kelebihannya juga tidak
mungkin ada pada diri gadis lain.
Dalam hati Kwe Po Giok tidak hentinya berseru, Thian! Bagaimana
di dunia ini ada gadis yang demikian sempuma! Hanya melihat
tampang gadis secantik ini, orang yang berhadapan dengannya
tentu harus berdiri dengan hormat. Seorang tokoh seperti Bok lang
kun saja sudah sejak tadi menunjukkan sikap hormatnya.
"Siapa orang ini?" tanya Siau kiong cu dengan mata melirik ke
arah Bok lang kun.
"Seorang perampok!" sahut dayang Cui thian.
"Perampok kecil atau perampok besar?" tanya gadis cantik itu
sekali Iagi.
"Perampok besar," sahut dayang Cui thian. Tiba-tiba Siau kiong cu
itu tertawa keras. Suara tawa memang adalah musik termerdu di
dunia. Tawa dari Siau kiong cu bisa membuat tubuh orang yang
mendengarnya menggigil.
Tidak perduli siapa pun. Yang mendengar suara tawanya akan
merasa hatinya berdebar-debar, perasaan yang meluap karena
gembira, Orang akan merasakan banyak sekali hal di dunia yang
dapat membuat kita bergembira, Meninggalkan kesan yang paling
dalam.
"Barang yang diantar seorang perampok besar, tentu jauh lebih
berharga daripada yang diantar oleh perampok tua, perampok
menengah ataupun perampok kecil. Cepat buka! Biar aku bisa
melihatnya!" seru Siau kiong cu dengan bibir tetap tersenyum.
Bok lang kun yang pertama-tama maju ke depan, Hadiah yang
diantarkannya sudah dapat dibayangkan betapa tinggi nilainya. Ada
berpuluh batu mata kucing yang besar, Ada serenceng mutiara

hitam berbentuk segitiga. Mungkin dari laksaan butir mutiara pun
belum tentu dapat menemukan satu seperti yang dibawa Bok lang
kun. Masih ada lagi lima butir berlian sebesar tinju.
Semuanya merupakan barang-barang yang sulit didapat, bahkan
ada orang yang malah belum pernah mendengarnya. Dari arah
belakang, Sun Put Ce maju kedepan dan membuka bungkusannya.
Kalau dibandingkan dengan Bok lang kun memang tidak seberapa,
Tapi ada satu benda yang mungkin bisa membuat Siau kiong cu itu
tersenyum, Paling tidak, begitu menurut pikiran Kwe Po Giok. Siapa
tahu, senyum di bibir Siau kiong cu malah sirna, Matanya mendelik
lebar.
"Lempar keluar! Semuanya lempar keluar!" teriaknya sambil
mengibaskan tangan Siapa pun tidak menyangka akan perubahan
yang terjadi ini? Kwe Po Giok sampai berpikir mungkin Siau kiong cu
mengidap semacam penyakit angin-anginan, Kadang-kadang
adatnya baik, kadang-kadang suka marah-marah!
"Siau kiong cu.... Yang dilempar keluar barangnya atau
orangnya?" Terdengar suara dayang Cui thian bertanya.
"Semuanya lempar keluar! Barang-barang yang diantarnya semua
merupakan sampah, Aku tidak suka!" bentaknya nyaring, Katakatanya
sungguh membuat orang curiga, Barang-barang sebagus ini
masih tidak suka? Jadi barang apa yang disukainya?
Perintah Siau kiong cu sama sekali tidak boleh dibantah, Dayang Cui
thian mengulapkan tangannya, seorang laki-Iaki bertubuh tinggi
besar keluar dari ruangan dalam. Dia mengangkat tubuh Bok lang
kun.
Dengan kedudukan dan kekuasaan manusia seperti Bok lang kun,
ternyata ia tetap tidak berani mengadakan perlawanan
"Siau kiong cu.... Bolehkah menunda sebentar?" Tiba-tiba Sun Put
Ce membuka suara. Mereka berdiri berbaris, Bok lang kun paling
depan, menyusul Sun Put Ce dan Kwe Po Giok berdiri di belakang
pundaknya.

"Siapa kau?" tanya Siau kiong cu.
"Saya juga datang mengantarkan hadiah," sahut Sun Put Ce.
"Hadiahmu sudah Siau kiong cu lihat tadi," kata gadis cantik itu.
"Tapi ada satu hadiah yang tidak diperhatikan secara seksama
oleh Siau kiong cu, juga tentunya belum tahu keistimewaannya,"
sahut Sun Put Ce.
"Barang aneh yang kau hadiahkan kepadaku?" tanya Siau kiong
cu ingin tahu, Bagaimana pun dia masih seorang gadis cilik yang
cepat tergugah hatinya oleh pancingan Sun Put Ce cepat meraih Bi
jin sim.
"Benda pusaka ini memberi kehangatan pada musim dingin Juga
bisa memberi kesejukan pada musim panas, Satu lagi keisti-
**********************************
Jilid 5 Hal 50/51 Hilang
**********************************
"Benda itu mempunyai keistimewaan kami mendengarnya dari Cu
lao thaiya, Dan orang itu mendengarnya dari pemilik aslinya." katakatanya
semakin membingungkan.
"Siapa pula Cu lao thaiya itu?" tanya Siau kiong cu kepada
dayangnya. Rupanya perempuan setengah baya itu mempunyai
pengetahuan yang luas, Dia merupakan bagian informasi juga bagi
gadis cilik tersebut.
"Cu lao thaiya adalah panggilan seorang perampok ulung,"
jawabnya.
"Kalau memang milik seorang perampok ulung, bagaimana bisa
terjatuh di tanganmu?" tanya Siau kiong cu lagi.

"Perampok ulung itu menggunakan makanan kecilnya sebagai
senjata rahasia. Saya menggunakan makanan itu juga sebagai
senjata makan tuan baginya, Dia sudah mati," kata Kwe Po Giok
menjelaskan.
Dengan mata terbuka lebar Siau kiong cu menatap ke arahnya.
"Aku masih mengira kau tidak bisa ilmu silat," katanya.
"Sebetulnya apa yang saya bisa juga tidak banyak," sahut Kwe Po
Giok tersenyum.
"Kau kira dengan memberikan Bi Jin sim, rekanmu itu bisa
menggerakkan hatiku," seru Siau kiong cu sambil tertawa dingin.
Kwe Po Giok menggelengkan kepalanya.
"Tidak! Kalau hatimu begitu mudah tergerak, berarti kau masih
belum terhitung seorang putri," sahutnya.
"Siapa namamu?" tanya Siau kiong cu.
"Kwe Po Giok!"
"Apakah barang yang kau bawa jauh lebih berharga dari mereka?"
tanya Siau kiong cu sekali lagi.
"Betul!" sahut bocah itu.
"Barang apa?" tanya Siau kiong cu penasaran.
Kwe Po Giok mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Dia
menggoyang-goyangkan sebatang ranting pohon, "lni!" jawabnya.
Siau kiong cu terpana.
"Bukankah itu sebatang ranting pohon?" tanyanya.

"Betul! Siapa pun akan tahu kalau ini adalah sebatang ranting
pohon," sahut Kwe -
**********************************
Jilid 5 Hal 54/55 Hilang
**********************************
akan terjadi di balik tawa tersebut, mungkin akan membawa
kematian baginya!
Malaikat elmaut melangkah setindak demi setindak mendekatinya.
Manusia hanya tahu bahwa dunia ini adalah milik kehidupan.
Kadang-kadang tidak terpikir bahwa dunia juga merupakan tempat
kematian. Di dunia yang lain baru ada kehidupan yang abadi. Apa
yang diketahui oleh kaum manusia memang tidak banyak....
"Lucu.... Lucu sekali! Mimpi pun aku tidak pernah menyangka
kalau ada orang yang akan memberiku sebatang ranting pohon,"
katanya sambil tertawa terus. Dayang Cui thian dan laki-laki tinggi
besar itu ber-siaga, Siap menerima perintah dari Siau kiong cu.
"Saya berani mengatakan apa yang kau lihat sekarang sama sekali
bukan mimpi," sahut Kwe Po Giok. Tawa Siau kiong cu tiba-tiba
terhenti.
"Apakah kau ingin bermimpi?" tanyanya.
"Kadangkala saya ingin sekali bermimpi, tapi ingin bermimpi pun
tidak begitu mudah," sahut Kwe Po Giok sambil menarik nafas.
"Di tempat ini mudah sekali!" kata Siau kiong cu dengan nada aneh.
Kwe Po Giok termangu-mangu.
"Kau bisa membuat orang bermimpi?" tanyanya heran, Siau kiong
cu tidak langsung menyahut Dia mengambil sebuah cawan yang
terbuat dari emas. Dituangkannya isi sebuah guci yang indah.
"Minum ini kau akan segera bermimpi!" katanya, Kwe Po Giok
menatapnya tajam.

"Kenapa? Bukankah kau ingin bermimpi?" tanya Siau kiong cu.
"lya!" sahut bocah itu.
"Kau tidak berani meminum arak ini?" tanya Siau kiong cu
kembali.
"Berani!" sahut Kwe Po Giok, Dia menghampiri ke depan dan
menerima cawan arak tersebut "Apa yang akan saya impikan?"
tanya bocah itu selanjutnya.
"Mungkin sebuah mimpi yang indah, mungkin juga sebuah mimpi
yang dapat membuat orang mati terkejut," sahut Siau kiong cu
tenang.
Kwe Po Giok tidak menoleh ke arah Sun Put Ce. Juga tidak
berpikir panjang lagi, dia meneguk isi cawan itu sampai kering.
Kwe Po Giok mengembalikan cawan itu ke tangan Siau kiong cu.
Dia menatapnya dengan mata tidak berkedip, lambat laun,
pandangannya mulai berputar. Gadis yang ada di hadapannya
terlihat semakin cantik, Emas permata yang bertaburan semakin
berkilauan Warna-warni yang tertangkap oleh pandangan matanya
semakin indah.
Dalam keadaan seperti itu, orang akan merasa bahagia sekali, Apa
yang terlihat merupakan pemandangan yang tidak mungkin
ditangkap oleh orang yang sadar Semua kesedihan dan
kesengsaraan lenyap, Yang ada hanya pelangi beraneka warna,
Sayangnya, dalam sekejap Kwe Po Giok sudah jatuh tidak sadarkan
diri!
Matahari bersinar di atas kepala, Tidak terlihat awan berkumpul
Langit dan laut bagai tak berbatas. Laut mempunyai ratusan
perubahan Kalau laut dibandingkan dengan seorang perempuan,
rasanya perbedaan mereka tidak begitu banyak, Ketika airnya beriak
perlahan, gayanya seperti lembutnya seorang ibu.
Ketika ombaknya menggulung ganas, tampaknya seperti seorang
gadis genit yang sedang menari-nari, Suasana laut seperti hari ini,

malah seperti hati seorang gadis yang sulit ditebak, Menatap jauh ke
tengah lautan, ada sebuah kapal yang terlihat Jauh, jauh sekali ada
layar pancawarna yang sedang bergerak, bila diperhatikan lebih
mirip sebuah lukisan indah yang tergantung di ruangan yang besar...
-oooo0oooo-
Di permukaan laut Awan putih bergumpal, angin yang berhembus
mengembangkan layar pancawarna. Ombak maju mundur. Badan
kapal sedikit terhempas, bagaikan alunan sebuah ayunan yang dapat
membuat manusia pulas dalam mimpi.
Tempat ini merupakan kabin yang mewah. Orang yang berada di
dalam tidak akan merasa dirinya duduk dalam sebuah kabin kapaL
Lebih pantas disebut sebuah ruangan yang besar. Di dalam kabin
yang mewah ini ada sebuah tempat tidur besar.
Di atasnya ada seseorang yang baru terjaga dari mimpi indah,
mungkin dia merupakan pemuda pertama yang dapat menikmati
kemewahan, keharuman dan kenyamanan tempat tidur besar itu.
Dia seakan masih setengah sadar, rasanya mata masih
berkunang-kunang, tubuhnya sempoyongan. Dibilang mimpi tapi
bukan, dibilang kenyataan juga tidak tepat. Tapi ia sama sekali tidak
bermimpi jangan kata mimpi indah, mimpi buruk juga tidak,
sekarang matanya baru terbuka lebar.
Dia merasakan seperti sedang bermimpi, karena apa yang terlihat
olehnya terlalu indah, terlalu mewah! Dia percaya, bukan hanya
dirinya, siapa pun di dunia ini belum pernah melihat kamar seindah
dan semewah ini! Dia terpana sekian lama, kemudian dia baru
menyadari bahwa di ujung tempat tidur duduk seorang perempuan
setengah baya.
Kwe Po Giok bangun dan duduk dengan tegak. Dia memandang
perempuan itu.
"Siapa kau?" tanyanya.

"Saya hanyalah seorang dayang," sahut perempuan itu.
Kwe Po Giok terpana sejenak.
"Orang seusiamu ada yang jadi dayang?" tanyanya heran.
Perempuan setengah baya itu tersenyum-senyum.
"Perampok saja ada besar kecil. Dayang juga sama. Kau adalah
seorang perampok kecil, saya adalah seorang dayang besar,"
sahutnya.
"Ternyata kau cukup menyenangkan," kata Kwe Po Giok.
"Kau juga menyenangkan," timpal perempuan setengah baya
tersebut.
"Saya?" Kwe Po Giok tampak bingung.
"Betul! Hanya seseorang yang mempunyai selera humor yang
tinggi, baru bisa menghadiahkan sebatang ranting pohon kepada
Siau kiong cu kami."
"Kalau bicara tentang ranting pohon itu sendiri, sama sekali bukan
hal yang menyenangkan," kata Kwe Po Giok menghela nafas.
"Saya justru menganggapnya cukup menyenangkan," sahut
dayang tersebut.
"Tempat apa ini?" tanya Kwe Po Giok.
"Coba kau tebak...." sahut dayang setengah baya itu.
"Rasanya di atas kapal...." kata Kwe Po Giok setelah menatap
sekelilingnya sekejap.
"Tidak salah! Apa yang kau impikan tadi?" tanya dayang itu.

"Kalau benar-benar mimpi, rasanya tidak," sahut Kwe Po Giok
sembari menggelengkan kepala. Pada saat itu, terdengar suara
langkah kaki yang ringan mendekati, begitu ringan dan lembut,
sehingga Kwe Po Giok segera dapat menduga yang datang adalah
seorang gadis.
"Sedangkan orang yang tidak ingin bermimpi bahkan terus
dihantui macam-macam mimpi," Terdengar sahutan dari luar,
Tentunya suara seorang gadis pula, karena begitu merdu di telinga.
Kwe Po Giok langsung mengenali suara itu adalah milik Siau kiong
cu. Dia yakin, meskipun sudah lewat berapa lama atau di tempat
mana saja, dia tetap akan mengenali suara gadis itu. Dia juga yakin,
orang yang sering mendengar suara ini, akan selalu gembira dan
berusia panjang.
Tiba-tiba kabin itu bergoyang keras, sampai lukisan yang
terpancang di dinding ikut terayun ke kanan dan kiri, tiang kayu
mengeluarkan bunyi berderak-derak, Kwe Po Giok terkejut.
"Apakah ini yang disebut kapal dewa? Apakah saya sekarang
berada di atas kapal dewa?" dia bergumam seorang diri.
Guncangan terhenti. Sebuah wajah yang sangat menawan muncul
dari balik pintu kabin tersebut. Siapa lagi kalau bukan Siau kiong cu?
Rambut juga panjang, gaun yang panjang, bentuk mata dan alisnya
yang panjang, dipadu dengan warna kulit yang putih bersih.
Mana ada keindahan yang melebihi keindahan yang satu ini?
Apalagi di atas kapal dewa ini, Siapa yang berani mengatakan bahwa
dia bukan seorang bidadari yang turun dari khayangan?
Jilid 6
Kwe Po Giok ingin turun dari tempat tidur, Tangan Siau kiong cu
memberi isyarat jangan. Pemuda itu merasakan kakinya masih
lemas. Perempuan setengah baya yang mengaku dirinya dayang,
ternyata adalah Cui thian, Dia berdiri dan membungkuk dengan

hormat kepada Siau kiong cu. Dia juga merupakan pengasuh sang
puteri sejak kecil.
"Aku masih ingin memberitahukan satu persoalan yang mungkin
dalam mimpi pun tak pernah terbayangkan olehmu," kata Siau kiong
cu.
"Apa?" tanya Kwe Po Giok ingin tahu.
"Ayahku juga ingin bertemu denganmu. Dia menganggap ranting
pohon yang kau bawa adalah sebuah mainan yang cukup
menyenangkan," katanya menjelaskan.
Akhirnya langkah pertama harapan Kwe Po Giok tercapai juga,
Karena itu, Kwe Po Giok harus merasa berterima kasih kepada Siau
kiong cu, Juga harus merasa berterima kasih kepada Bok lang kun,
Tanpa adanya kedua orang ini, dia tidak mungkin bertemu dengan
sang dewa.
"Siau kiong cu.... Apakah kau menyukai Bi jin sim yang kami
bawa?" tanya Kwe Po Giok.
"Aku memberikannya kepada ayah. Benar barang yang
mempunyai keistimewaan atau tidak, masih harus dibuktikan," sahut
Siau kiong cu.
"Kau sendiri tidak menyukainya?" tanya Kwe Po Giok.
"Tidak!" sahut Siau kiong cu tegas.
"Mengapa? Bukankah benda itu sangat indah?" tanya Kwe Po Giok
tidak mengerti.
"Memang indah! Tapi aku tetap tidak menyukainya, Karena usiaku
baru tujuh belas tahun, Kalau aku menyimpannya, aku takut berbalik
muda. Bukankah aku bisa kembali menjadi bayi?" sahutnya.
Ketiga orang itu tertawa berderai.

Matahari yang terik menyusup ke dalam ruangan itu. Di dalam
kabin juga banyak emas permata, sinarnya menyilaukan warna warni
yang terpancar bagai sebuah pelangi, Tempat ini memang pantas
disebut tempat tinggal para dewa.
Bagi orang yang belum pernah melihat istana kaisar, pasti akan
merasa tempat ini khayangan, Kabin yang mewah ini bukan kabin
yang ditempatinya tadi. Yang satu ini bahkan lebih indah dan
mewah, Dari jendela dapat terlihat langit yang cerah. Awan putih
menggumpal permukaan laut kadang tenang, kadang beriak.
Menimbulkan semacam gelora di hati.
Jaman dulu orang yang mengatakan "Di laut Timur ada gunung
dewa, di mana jalan pintas menuju surga berada", Kapal dewa ini
pasti merupakan transportasi untuk menuju ke tempat tinggal para
dewa.
Di sudut kabin ada sebuah tempat tidur yang besar, Di atasnya
bersandar seorang laki-Iaki berusia kira-kira empatpuluhan, yang
pasti tidak sampai lima puluh. pakaiannya mirip kaisar atau mungkin
pakaian dewa pun seperti itu? Karena orang biasa tidak mungkin
memakai pakaian dengan bahan sutera seperti itu. Apalagi mahkota
yang ada di kepalanya, Semua jenis batu permata mahal yang ada di
dunia ini bertaburan memenuhinya.
Orang ini berwibawa sekali. Orang yang memandangnya sekali,
pasti ingin memandang lagi untuk kedua kali, dan tentunya tidak
berani menghindari tatapan matanya yang tajam, Siapa pun yang
memandangnya, pasti akan merasa rendah diri.
Meski-pun orang tidak tahu bahwa dia adalah Dewa lautan Timur,
tapi dengan sekali pandang, ia pasti akan percaya bahwa dia adalah
dewa di antara manusia.
Kwe Po Giok masuk ke dalam kabin tersebut Sekali lihat, dia
sudah tahu bahwa orang itu sedang menggenggam sebatang ranting
pohon. Siapa pun tidak akan menyangka, segala macam emas
permata dan benda pusaka tidak dapat menggerakkan hati dewa itu,
tapi sebatang ranting pohon ternyata berhasil menggerakkannya.

Tang hai sin sian sedang menatap ranting pohon itu dengan pikiran
melayang.
Kwe Po Giok menoleh ke arah Siau kiong-cu. Tatapan mata gadis
mengisyaratkan agar dia jangan bersuara, Dia dan dayang Cui thian
berdiri terpaku di samping tempat tidur besar tersebut. Suasana
dalam kabin hening dan senyap, Suara hempasan ombak dan deru
angin yang mengibarkan layar panca warna terdengar jelas.
Tiba-tiba.... Tang hai sin sian menarik nafas pendek, Selain Kwe
Po Giok, Siau kiong cu, dayang Cui thian, masih ada beberapa
pengawal di dalam kabin tersebut. Tidak ada satu orang pun yang
dapat menebak mengapa Tang hai sin sian menarik nafas.
Mungkin hanya Kwe Po Giok yang dapat menduga sedikit, dia
tahu.... asalkan seorang yang mempunyai ilmu tinggi, dengan
melihat bentuk yang rata dan cara tertebasnya ranting pohon itu,
pasti akan menarik nafas. Tarikan nafas ini juga merupakan
ungkapan berbagai perasaan.
Di antara berbagai macam perasaan itu, siapa yang tahu bila
terselip rasa kagum, hormat atau ngeri? Meskipun Kwe Po Giok
sendiri juga akan mempunyai perasaan bermacam-macam. Mungkin
jumlahnya bisa mencapai delapan atau sepuluh macam....
Ranting itu juga menyiratkan "makna pedang"
"Tidak disangka dalam dunia saat ini, bisa muncul lagi seorang
manusia yang begini aneh," kata Tang hai sin sian seperti kepada
dirinya sendiri, Kwe Po Giok tidak dapat menahan perasaannya, Dia
tidak memperdulikan isyarat mata yang diberikan Siau kiong cu.
"Dia bukan manusia aneh, tapi seorang manusia jahat. Seorang
manusia yang maha jahat!" serunya kesal.
Siau kiong cu mendelik ke arahnya, Kwe Po Giok pura-pura tidak
melihat, dia benar-benar sudah tidak dapat menahan dirinya lagi,
Apalagi harus mendengar pujian kepada manusia jahat itu?
Bukankah kedatangannya sia-sia saja kalau Tang hai sin sian hanya
sekedar mengucapkan kata pujian kepada orang tersebut?

Siau kiong cu tampak marah, Dia menyalahkan Kwe Po Giok yang
tidak mendengar kata. Dayang Cui thian malah tidak menunjukkan
perasaan apa-apa. Tidak disangka, Tang hai sin sian menatap ke
arah Kwe Po Giok.
"Orang ini bukan manusia jahat!" Kata-katanya makin membuat
bocah itu terkejut
"Bagaimana kau bisa tahu kalau dia bukan manusia jahat?" tanya
Kwe Po Giok dengan nada protes.
Siau kiong cu rasanya ingin membentak bocah itu. Dayang Cui
thian tetap tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Rasanya para
penghuni kapal itu memang mempunyai perbedaan dengan manusia
biasa, Tang hai sin sian tidak menunjukkan sikap kurang senang...
"Karena orang ini pasti mengerahkan segala jerih payah untuk
mencapai taraf setinggi ini. Dia pasti juga menghamburkan semua
waktunya untuk melatih diri. Mana mungkin ada kesempatan untuk
berbuat jahat?" katanya wajar.
"Tapi dia suka membunuh orang!" kata Kwe Po Giok kurang puas.
Siau kiong cu sudah mengangkat tangan-nya. Dayang Cui thian
menggeser tubuhnya mendekati gadis cantik itu. Dia berbisik dengan
suara rendah.
"Siau kiong cu buat apa mencari kesulitan sendiri.... Bocah itu
cerdiknya setengah mati...."
"Apa yang kau maksudkan?" tanya Siau kiong cu seraya
menurunkan tangannya.
"Kau masih dapat melihat kenyataan ini? Biar dia berteriak
sekeras apa, Cu jin tidak menunjukkan sikap amarah sedikit pun,"
sahut Dayang Cui thian.
"Kenapa?" tanya Siau kiong cu bingung.

"Karena dia berteriak bukan dengan maksud kurang ajar. Dia
terlalu sedih dan mencari keadilan untuk kaum Bulim sehingga tidak
dapat menguasai dirinya lagi," sahut dayang tersebut.
"Mengapa aku tidak memikirkan hal ini?" tanya Siau kiong cu
seperti kepada dirinya sendiri.
"Pedang memang tidak mempunyai perasaan, dia menyebut
dirinya sendiri To Hun. Bagaimana mungkin dia bisa mempunyai
perasaan?" Terdengar sahutan dari bibir Tang hai sin sian.
"Hutang nyawa dibayar dengan nyawa! Apakah kata-kata ini tidak
berlaku lagi?" teriak Kwe Po Giok kesal.
"Betul! Hutang nyawa dibayar dengan nyawa. Cara membunuhnya
memang sudah agak kelewatan, Harus ada orang yang
menghentikannya!" kata Tang hai sin sian sambil menarik nafas
panjang.
"Dalam Tionggoan, siapa lagi yang dapat menghentikannya?"
tanya Kwe Po Giok yang emosinya mulai bisa dikendalikan Tang hai
sin sian tertawa getir. Siapa pun tidak ada yang mengerti arti tawa
itu. Apakah mengungkapkan kekesalan hatinya atau kebanggaan
dirinya? Namun, sedikit banyaknya dari tawa ini terdengar kesan
yang sendu, ini juga mengartikan bahwa Tang hai sin sian tetap
adalah seorang manusia yang kebetulan berilmu tinggi, bukan dewa!
Pertanyaan Kwe Po Giok memang membuat Tang hai sin sian
tertawa getir, namun membuat Siau kiong cu marah besar. Katakata
bocah itu terang-terangan merupakan sebuah sindiran, sindiran
yang terlalu polos dan kekanak-kanakan.
Dayang Cui thian tetap tidak menunjukkan perasaan apa-apa.
Mungkin juga karena usianya lebih tua, sehingga perasaan percaya
kepada majikannya lebih dalam. Dia masih dapat menahan diri untuk
mengikuti apa yang terjadi di hadapannya.

"Kenyataannya, pada jaman sekarang ini sulit mencari seseorang
yang dapat menghentikannya...." Terdengar suara Tang hai sin sian
berkata.
"Kecuali dewa...." sahut Kwe Po Giok.
"Di dunia ini mana ada dewa?" Tang hai sin sian sekali lagi
tertawa getir, Kali ini dia malah menggelengkan kepalanya berulangulang.
"Cianpwe merupakan dewa yang serba bisa dalam hati kecil
orang-orang Bulim," kata Kwe Po Giok.
"Aku bukan dewa," sahutnya lirih.
"Kau adalah dewa!" seru Kwe Po Giok tidak mau sudah.
"Kwe Po Giok! Kau jangan terlalu mendesak ayahku!" seru Siau
kiong cu tidak dapat menahan kekesalannya lagi, Tang hai sin sian
mengibaskan tangannya.
"Asalkan desakan itu mengandung maksud yang terpuji Aku sama
sekali tidak membenci manusia keras kepala seperti dirinya!" kata
laki-laki yang disebut manusia dewa itu.
"Kalau cianpwe tidak segera turun tangan, berarti membiarkan
kejahatan mera-jalela, Pada saat seperti ini, siapa lagi yang sanggup
menghentikannya?" kata Kwe Po Giok.
Tang hai sin sian turun dari tempat tidur dan memperhatikannya,
Sampai lama ia baru berkata lamat-1amat....
"Tentu aku harus tampil untuk menghentikannya!" Nada
ucapannya sangat berwibawa, juga mengandung suatu kekuatan.
Siapa yang mendengarnya akan ikut merasa kepiluannya, Juga
membuat orang terharu, Kwe Po Giok segera menjatuhkan diri
berlutut di hadapannya.
"Terima kasih, Cianpwe!" serunya.

Dia hanya seorang bocah berusia enam belasan, Tekadnya sudah
bulat Sebelum berhasil dia tidak mungkin akan berhenti. Bisa
mengundang Tang hai sin sian adalah harapannya yang terbesar Dia
seperti sudah mendapatkan seorang dewa pelindung. Kalau
diucapkan lebih kasar lagi, dia seperti sudah dapat menentukan hari
kematian Toa Tek To Hun.
Tang hai sin sian tampak merenung, dia seperti sedang berpikir
keras....
"Cepat atau lambat, Toa Tek To Hun pasti akan mencariku
Mengapa bukan aku saja yang mencarinya lebih dahulu?" gumamnya
seorang diri.
Di atas sulaman di tepi tempat tidur terdapat sebatang pedang
pendek, Tang hai sin sian mengambilnya. Dia membuat guratan
panjang dari bekas potongan ranting pohon ke arah bawah, mungkin
hanya Kwe Po Giok yang melihat gerakan tersebut.
Mengetahui cara kerja lawan yang semakin cepat dan tepat,
merupakan suatu kunci rahasia, Lebih baik mendahuluinya sebelum
dia bersiap diri. Dalam menghadapi persoalan ini sama sekali tidak
boleh berpikir terlalu jauh, yang diperlukan adalah ketenangan dan
keberanian belaka.
Tang hai sin sian menyerahkan batang ranting itu kepada dayang
Cui thian, wanita itu melihat sekejap, kemudian diserahkan kembali
kepada pemiliknya sekarang, yaitu Siau kiong cu.
"Bok lang kun selama berpuluh tahun malang melintang di rimba
hijau, Sun Put Ce adalah murid perguruan terkemuka, Mereka adalah
orang yang tidak dapat dipandang ringan dalam aliran hek pai
(Hitam putih), Dengan dua orang ini sebagai penunjuk jalan, pasti
Tok Tek Siansing dapat ditemukan," kata Tang hai sin sian.
"Betul!" sahut dayang Cui thian sependapat.
"Kau pergilah! Setelah bertemu dengan Tok Tek Siansing, berikan
ranting pohon itu kepadanya, janjikan pertemuan pada hari Chong

yang. Tempatnya adalah Jin gi tong, Pada waktunya aku akan
sampai di sana untuk menentukan tinggi rendah antara dia dan
aku," kata Tang hai sin sian selanjutnya.
"Baik!" sahut dayang Cui thian, rupanya itu yang menyebabkan
dia menggores ranting pohon tadi, sebagai undangan kembali untuk
Toa Tek To Hun. Orang-orang yang hadir dalam ruangan itu baru
mengerti semuanya.
"Bagaimana dengan diri saya?" tanya Kwe Po Giok.
"Kau tetap di sini!" sahut Tang hai sin sian.
"Mengapa aku harus tinggal di sini?" tanya Kwe Po Giok kurang
puas.
"Karena ayahku meminta kau tetap di sini, maka kau harus
menetap, Aku saja tidak berani membangkang perintahnya, Apakah
kau berani?" tanya Siau kiong cu kesal.
Kwe Po Giok tertawa getir.
-oooo0oooo-
Matahari bersinar dengan terik. Di pegunungan tidak ada angin
yang berhembus, panasnya terasa menyengat, tumbuhan tandus
dan layu, tanah merekah karena tersengat matahari terus menerus.
ini merupakan musim kemarau yang cukup panjang.
Siapa yang dapat menggerakkan kaki dengan ringan dalam cuaca
seperti ini? Di daerah pegunungan ini? jejak kaki yang tertinggal rapi
dan teratur, jarak juga selalu sama, Cara jalan orang ini tidak pernah
berubah. Seperti juga cara membunuh korban yang terpilih. Kilatan
pedang, roboh bermandikan darah. Selalu tidak berbeda!
Langkah kaki ini menyusuri daerah Tionggoan. Para jago Bulim di
Tionggoan juga terus bertambah banyak yang menjadi korban.
Saat ini, Toa Tek To Hun kembali menyusuri pegunungan.
Langkah kakinya teratur, antara jejak yang satu dengan yang
satunya seperti diukur dengan tepat. Mungkin kalau jarak kaki itu

mengalami perubahan, ucapan "tidak kalah" nya juga harus diubah,
prinsip dan disiplinnyalah yang membuat kemenangannya terus
bertahan.
Seperti sebuah jam dinding, hanya dengan ketepatannya, waktu
baru bisa terus berlalu.
Toa Tek To Hun tetap berjalan sendiri, satu-satunya teman bagi
manusia ini hanya pedangnya, sekitarnya hanya terlihat bukit yang
gersang. Langkahnya berhenti di tepi sebuah batu besar, tangan
perlahan diturunkan dan meraba pedang.
Seorang yang berilmu tinggi kalau tidak mempunyai pendengaran
yang tajam, atau indera keenam, tentu saja belum dapat disebut ko
chiu.
Tepat pada saat itu, di balik bukit melangkah keluar tiga orang,
Mereka adalah Bok lang kun, dayang Cui thian dan Sun Put Ce.
Ketiga orang ini kalau bergabung menjadi satu, rasanya di dunia ini
sulit dicari tandingannya. Tapi kedatangan mereka bukan untuk
bertanding.
"Teecu Cui thian, Menerima perintah dari Cu jin, sengaja
mengantarkan semacam benda, Harap Toa Tek siansing periksa,"
kata dayang tersebut dengan nada hormat.
Dia menyodorkan ranting pohon ke tangan Toa Tek To Hun. Lakilaki
itu menerimanya, matanya menatap ke arah ketiga orang yang
menghadangnya itu.
Setiap kali bertemu dengan seseorang, dia pasti akan
memperhatikan sinar matanya terlebih dahulu, Apalagi bila orang
yang dilihatnya adalah seorang musuh, Kemudian pandangannya
baru beralih pada ranting pohon di tangannya.
Dia dapat mengenali bekas tebasannya sendiri, Dia melihat
sebuah guratan yang lain, wajahnya seketika menunjukkan
perasaan, semacam rasa terkejut.
Sinar pedang berkelebat, pohon yang berada dekat dirinya
tertebas sebagian, Dia seakan sedang mengumbar kemarahannya
pada pohon tersebut.

Dayang Cui thian terkesiap, bila tebasan pedang tadi ditujukan
kepada dirinya, pasti saat ini dia sudah roboh bermandikan darah,
sebuah gerakan yang begitu cepat sehingga hampir tidak terlihat Cui
thian sampai tidak tahu kapan Toa Tek To Hun menyarungkan
pedangnya kembali.
Tadinya dia masih belum seberapa jelas siapa manusia yang
menggemparkan dunia Bu-Iim ini. Sekarang dia sudah mengerti
sepenuhnya. Juga mengerti mengapa Kwe Po Giok sampai perlu
mengundang majikannya turun tangan, seandainya dia dan dua
rekannya bergabung, juga tetap akan mati penasaran dalam waktu
sekejap. Cui thian yakin pendapatnya tidak salah, tentu saja dia juga
tidak mempunyai keberanian untuk mencoba!
Toa Tek To Hun dengan mata yang masih membayangkan rasa
terkejut menatap ranting pohon itu sekali lagi.
"Siapakah Cu jinmu?" tanyanya dengan suara agak bergetar.
"Majikan teecu juga adalah pemilik kapal dewa dengan layar
pancawarna," sahut Cui thian.
Wajah Toa Tek To Hun berubah beberapa kali, dia seperti sudah
dapat menduga sebelumnya. Lagipula di dunia ini yang dapat
menguraikan "makna pedang" pada ranting tersebut ada berapa
orang jumlahnya?
"Apakah ada pesan lain yang ingin disampaikan olehnya?" tanya
Toa Tek To Hun kembali
"Hari Chong yang, Jin gi tong, Cu jin mengajak Siansing
mengadakan pertarungan mati hidup," sahut dayang Cui thian.
Tiba-tiba Toa Tek To Hun tertawa tergelak-gelak. Tertawa
memang banyak ragamnya. Tawa orang ini merontok daun-daun
kering pada tumbuhan sekitar tempat itu. Dia belajar ilmu silat sejak
kecil, keinginannya untuk menang selalu kuat.

Dia juga berlatih dengan keras, bila bukan seorang yang ilmu
sudah mencapai taraf tertinggi tentu tidak dapat menggetarkan
daun-daun sampai rontok seperti yang dilakukannya!
Bok lang kun dan dayang Cui thian sudah termasuk golongan
pesilat kelas satu di daerah Tionggoan, mereka saja harus menahan
setengah mati agar suara tawa Toa Tek To Hun tidak memutuskan
urat jantung mereka, Apalagi Sun Put Ce. Keringat besar kecil sudah
memenuhi seluruh bagian tubuhnya.
"Tidak disangka bahwa aku, Toa Tek To Hun masih bisa menemui
lawan yang setanding...." katanya sambil tertawa dingin, Tatapan
matanya menusuk, Suara tawanya juga terhenti "Berikan jawaban
pada majikanmu bahwa aku Toa Tek To Hun akan datang pada
waktunya."
"Cu Jin sudah tahu Siansing pasti akan datang, Tidak perlu teecu
melaporkan lagi...." sahut dayang Cui thian.
"Bagus!" kata Toa Tek ToHun, Dia menatap ketiga orang itu
bergantian Sinar matanya menunjukkan bahwa dia tidak sekedar
menatap tapi mengandung maksud tertentu, padahal cuaca hari itu
sangat panas, tapi di bawah pandangan mata Toa Tek To Hun, Sun
Put Ce, Bok lang kun serta dayang Cui thian merasakan hati mereka
dingin.
"Sam wi adalah jago-jago kelas satu dari daerah Tionggoan, Kalau
bergabung melawan aku belum tentu tidak bisa mencapai
kemenangan, mengapa kita tidak mencoba?" kata Toa Tek To Hun.
Ketiga orang itu tahu, di dalam dunia ini, segala macam hal boleh
dicoba, segala macam orang boleh diuji, Hanya satu, Toa Tek To
Hun yang tidak boleh. Dayang Cui thian memperlihatkan sebuah
senyuman manis.
"Teecu hanyalah pengantar berita," sahutnya sopan.

"Tetapi wajah kedua orang itu memancarkan hawa pembunuhan
Hanya ada niat membunuh baru bisa memancarkan hawa
pembunuhan seperti itu," katanya menunjuk Sun Put Ce dan Bok
lang kun.
Tangannya meraba pedang, urat nadi berwarna hijau menonjol
dari balik kulit, setiap kali dia memegang pedang, setiap orang selalu
merasakan bahwa tangan itu memang tumbuh di samping
pedangnya, selamanya tidak terpisah.
Bok lang kun bukan orang bodoh. Fang Tiong Seng bisa melukai
perutnya dalam berapa gebrakan saja, sedangkan Fang Tiong Seng
sendiri dalam sejurus terluka oleh Toa Tek To Hun. perbedaan ini
sudah terlihat nyata, Wajah Bok lang kun pucat seketika.
Wajah Sun Put Ce juga berubah, kedua-duanya sama mundur
beberapa langkah, Tangan menggenggam pada pedang masingmasing.
Iklim seakan tiba-tiba berubah menjadi musim salju, Di
sekitar dedaunan melambai-lambai. Hawa pembunuhan memenuhi
udara.
"Kami memang ingin sekali membunuhmu. Para jago Bulim di
Tionggoan saat ini, siapa yang tidak ingin membunuh dirimu?" Tibatiba
Sun Put Ce membuka suara.
Toa Tek To Hun melangkah mendekati dengan tatapan mata yang
menusuk, Sun Put Ce tidak mundur lagi. Dia berdiri terpaku, Bukan
karena dia tidak sombong atau berlagak jago, justru karena dia
menyadari sampai di mana ilmu silatnya, maka laripun tidak ada
gunanya kalau memang Toa Tek To Hun menginginkan
kematiannya.
Dia juga tidak dapat melupakan perasaan tertekan sesama
saudara seperguruannya.
Untuk anak murid Fang Tiong Seng, semuanya bisa tetap percaya
diri meskipun harapan sudah tiada, Pada saat itu, yang dikagumi
oleh Bok lang kun dan dayang Cui thian bukan Toa Tek To Hun, tapi
rasa setia kawan dan keteguhan Sun Put Ce. Apakah dia benarKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
benar Put Ce (tidak berakal)? Mungkin pandangan setiap orang
berbeda.
Sun Put Ce hanya telah menyadari apa yang terjadi saat ini.
Meskipun terhina, dia tidak dapat menghapus takdir hidupnya. Tentu
saja, Bok lang kun akan membantunya bila Sun Put Ce diserang oleh
musuh besar itu.
Tanpa dinyana, Toa Tek To Hun tertawa terbahak-bahak.
"Bagus! Kata-kata yang bagus!" katanya.
Tangannya yang berurat hijau telah terlepas dari gagang pedang,
Hanya dalam sekejap saja, matahari kembali terasa menyengat Iklim
kembali menjadi kemarau, hawa panas seakan ingin membakar
hangus setiap manusia. Toa Tek To Hun membalikkan tubuh dan
meninggalkan tempat itu.
Langkah kakinya yang teratur terus melintas di benak ketiga
orang tersebut seperti ingin memberikan kesan yang dalam kepada
mereka, sampai lama sekali mereka baru berhenti memandang,
Dayang Cui thian melirik Sun Put Ce sekilas, kemudian dia menarik
nafas, Bok lang kun tidak berkata apa-apa. Dia hanya menepuk bahu
Sun Put Ce berkali-kali.
Walaupun Bok lang kun tidak mengucapkan sepatah kata pun,
tepukan pada bahu itu sudah menyiratkan betapa dalam terima
kasihnya kepada Sun Put Ce. Dayang Cui thian merasa dadanya
sudah jauh lebih lapang.
"Manusia itu sungguh mengerikan! Aku sama sekali belum pernah
melihat manusia yang begitu mengerikan, Kalau bukan karena
perkataan Sun samko tadi, mungkin kita semua harus menerima
kematian di tempat ini," kata Cui thian.
"Saya tidak pintar bicara." sahut Sun Put Ce datar.
"Namun kau sudah mengucapkan sepatah kata yang amat
berguna," lanjut Cui thian.

"Dan kau juga tidak takut mati!" tukas Bok lang kun. Dia tidak
mengatakan apa-apa lagi. Hanya menyungging sebuah tawa yang
getir. Kalau dia masih berbicara, Dia bukanlah Sun Put Ce!
Matahari yang tenggelam berwarna merah. Malam belum
inenjeIang. Manusia paling merindukan saat seperti ini. Karena
segala kegiatan terhenti pada saat senja hari. Waktu pun seperti
melambat Manusia akan merasa terkejut kalau waktu yang
ditentukan semakin mendekat Tidak dapat ditangkap juga tidak
dapat ditahan.
Cui thian keluar dari penginapan. Dia merasa tertekan, dan rasa
dalam hatinya tidak dapat dikatakan kepada siapa pun. Manusia
yang ada dijalan tiba-tiba menjadi banyak.
Siang hari panas sekali. Senja hari seperti ini, panas telah
menyurut, namun ada semacam kehangatan yang tetap tidak dapat
sirna dari hati Sun Put Ce. Di hadapannya ada sebuah bayangan
yang tidak asing.
Pinggang yang ramping, kaki yang panjang, bentuk rambut yang
tinggi. Diperhatikan sejenak, sudah dapat diterka siapa orangnya,
Sinar mata Sun Put Ce yang redup menyinar seketika, semua
kesusahan selama ini seperti menguap ke udara. Tanpa sadar dia
mengikuti terus.
Sun Put Ce bukanlah seorang laki-laki yang suka main
perempuan, Hanya saja, saat ini hatinya sedang tertekan. Dia
melihat orang itu berhenti di depan sebuah pintu. Dia
mendorongnya, Pintu itu seakan hanya dirapatkan saja. Rupanya dia
tinggal di kota kecil ini.
Sun Put Ce berjalan sambil berpikir, gadis itu menolehkan
kepalanya dan tersenyum. Pintu masih belum ditutup, Laksana
sebuah mata kail yang tidak berwujud, Sun Put Ce terpancing masuk
kedalam, sebetulnya hal itu dilakukannya karena dia memang
mengenal gadis itu.

Bahkan dia memberikan sebuah dompet kepadanya. Dompet
memang bukan sebuah benda yang amat "berharga, tapi bisa
menyiratkan sebuah makna yang dalam.
Dia masuk melalui pintu tersebut, dari dalam berkumandang
sebuah suara yang merdu.
"ToIong rapatkan pintunya!"
Dalam keadaan tertekan seperti sekarang, dapat mendengar
suara yang satu ini, benar-benar menyejukkan hati, bagi seorang
perempuan, ilmu yang satu ini meskipun digunakan laksaan kali
masih tetap ada khasiatnya. Sun Put Ce merapatkan pintu, dia
masuk ke ruangan tengah yang diapit oleh dua ruangan lagi di kiri
kanannya.
Kedua ruangan itu gelap gulita, seperti orang yang ada di
hadapannya, penuh misteri. Mungkin juga ingin membuat kesan
yang agak romantis, Sun Put Ce berdiri di depan ruangan tengah itu.
"Mengapa belum masuk juga?" tanya gadis itu.
Sun Put Ce menganggap kalau dia masuk ke dalam ruangan itu
adalah hal yang wajar, kalau dia tidak mau masuk barulah bisa
dianggap tidak menghargainya. Perabotan yang terdapat dalam
ruangan sangat sederhana, sekali lihat saja sudah dapat menduga
bahwa rumah itu merupakan tempat menetap sementara.
Tetapi di atas meja sudah tersedia empat macam sayuran yang
tidak terlalu menerbitkan selera, juga ada sebotol arak yang baik. Di
dalam ruangan itu hanya terdapat sebuah tempat tidur, sebuah meja
dan dua buah kursi.
Sun Put Ce adalah seorang laki-laki yang jarang minum arak, dia
dapat mencium perbedaan antara arak yang murah dengan arak
yang baik, ada hubungannya dengan kekuatan minum kedua
suhengnya.
Bwe Mei tertawa datar, dia mengisi dua buah cawan dengan arak
yang telah tersedia.

"Pertemuan antara manusia, bisa dikatakan mengandalkan
perjodohan juga," katanya.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Kita harus bisa menyayanginya," kata Bwe Mei kembali
"Betul!" sahut sang pria. Gadis itu mengangkat cawannya.
"Aku ingin memberi hormat padamu dengan secawan arak!"
katanya.
"Terima kasih," sahut Sun Put Ce juga ikut mengangkat cawan
yang satu lagi.
Kedua orang itu mengeringkan cawannya sekaligus, Sun Put Ce
belum pernah minum arak bersama seorang gadis, oleh karena itu,
meskipun arak rasanya pahit, tetapi begitu sampai di perut terasa
manis. Bwe Mei mengisi kembali cawan tersebut Sun Put Ce sangat
menyukai tangan-nya. Jari-jarinya panjang dan indah. Tidak terlihat
sebuah urat pun yang menonjol.
Bercahaya bagaikan batu kumala, Sebetulnya, dia juga tidak
menemukan bagian yang kurang pada diri gadis itu. Sun Put Ce
mengangkat kembali cawannya.
"Sekarang giliran saya yang memberi hormat dengan arak ini,"
katanya.
Bwe Mei meneguk cawannya sampai kering.
"Mengapa harus menghormati saya dengan secawan arak?" tanya
gadis itu.
"Dompet itu memberikan rasa tenteram di hati saya," sahut Sun
Put Ce.
Bwe Mei memang cantik, seorang gadis asalkan mencukupi kata
"Mei" yang berniat na indah saja, biar pun ada sedikit kekurangan
juga tidak akan terasa lagi. Apa-lagi Bwe Mei tidak mempunyai

kekurangan sedikit pun. Gadis yang begini sempurna bisa menaksir
dirinya? Sun Put Ce selalu tidak habis pikir.
"Apakah dompet itu masih ada?" tanya Bwe Mei.
"Masih," sahut Sun Put Ce seraya mengeluarkan dompet tersebut
untuk diperlihatkan sebagai bukti Bwe Mei menerima dompet itu dan
menelitinya sejenak, Kemudian dia mengembalikannya kepada Sun
Put Ce.
"Sulit dipercayai Kau masih tetap menyimpannya, Namun...
karena basah oleh air, baunya yang harum telah hilang," kata gadis
itu.
"Basah karena terjatuh ke laut. Maaf!" kata Sun Put Ce. Dia tidak
menjelaskan bahwa bukan dompet itu saja yang basah. Orangnya
saja hampir tenggelam.
"Kau tidak usah meminta maaf, sikapmu terhadapku masih
lumayan," ujar Bwe Mei seraya tersenyum manis.
Sun Put Ce terpana....
"Mengapa kau bisa tahu?" tanyanya heran.
"Dari keadaan dompet ini, saya sudah bisa menduga. Oleh sebab
itu, yang berterima kasih semestinya aku..." sahutnya dengan wajah
tertunduk.
Bagaimana perasaan tidak akan senang kalau ada seorang gadis
cantik yang mengucapkan terima kasih? Rasa terima kasihnya
mungkin karena pertolongannya tempo hari Meskipun ucapan terima
kasih Bwe Mei berdasarkan hal itu, hati Sun Put Ce tetap bergetar
Orang yang sedang bergembira paling mudah mabuk, Orang yang
sangat tertekan juga paling mudah mabuk, Dia memang sedang
bergembira. Tetapi kalau bayangan Toa Tek To Hun, Suhu, Kwe Po
Giok dan lainnya melintas lagi di benak, rasa gembira akan sirna
seketika. ia sudah lupa telah minum berapa banyak. Tapi dia yakin,
selama hidupnya dia belum pernah minum sebanyak ini. Oleh sebab
itu, Sun Put Ce pun mabuk...

Ketika dia tersadar dengan mata masih berkunang, Sun Put Ce
mendapatkan dirinya rebah di atas tempat tidur, pikirannya masih
belum pulih seluruhnya. Dia hanya tahu dirinya sama sekali tidak
berpakaian. Sebuah wajah yang tidak asing dengan senyuman yang
dapat membuat aliran darahnya meluap berputar di depan mata.
perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang siap meledak
dalam dirinya.
Karena ketika dia bergerak sedikit, badannya menyentuh kulit
halus, Membuat dia mempunyai pikiran bahwa tulang belulangnya
pasti akan putus berantakan Sun Put Ce sudah tahu siapa yang
berada di sampingnya.
Dia tidak berani bergerak lagi. Hanya degup jantungnya yang
berdebar-debar terdengar jelas, Tetapi biarpun dia tidak berani
bergerak, lawannya justru bergera. Sebuah kaki yang halus dan
hangat menopang di atas dengkulnya, Dengan cepatnya pasti terjadi
reaksi. Sun Put Ce percaya, gadis yang ada di sampingnya juga
telanjang bulat.
Dia adalah seorang laki-laki berusia dua puluh delapan tahun Dia
masih belum tahu, apakah orang lain pernah mengalami hal yang
sama? Apakah dalam keadaan seperti ini ada laki-laki yang dapat
menolak?
Dan andaikata dia tidak menolak tapi membiarkan semuanya
terjadi, apa akibatnya kelak? Rasanya setiap orang dalam saat
seperti ini akan teringat harga dirinya, nama besar perguruannya,
kehormatan lawan jenisnya dan bagaimana menyelesaikan akibat
yang akan terjadi. Namun, sebagian besar justru akan melakukan
lebih dahulu baru berpikir.
Banyak sekali hal di dunia ini kalau baru pertama kali
melakukannya akan terasa ngeri. Umpamanya, tubuh telanjang yang
saling bersentuhan, bau keringat yang dapat tercium, disertai
keharuman dari bagian lain seperti rambut tubuh lawan jenisnya,
Kegugupan yang tidak dapat digam-barkan dengan jelas.

Namun Sun Put Ce adalah laki-laki sebenarnya, Dia juga
mempunyai kebutuhan yang sama dengan orang lain, yang paling
mengerikan justru dalam seumur hidupnya dia belum pernah melihat
perempuan telanjang, Sun Put Ce sulit mengendalikan dirinya.
Tubuhnya bergetar dalam kobaran api nafsu birahi, sebuah
tangan yang lembut kembali menempel di bagian perutnya. Badai
yang dibawa sepasang tangan ini terlalu dahsyat, Sun Put Ce hampir
tidak sadarkan diri.
"Apakah kau tidak menyayangi kesalahan pertemuan yang
kebetulan ini?" Tiba-tiba gadis itu bertanya, Sun Put Ce merasakan
sukmanya terpanggil kembali oleh suara yang merdu itu.
"Sayang..." sahutnya lirih, dia berhenti sebentar untuk mengatur
nafasnya yang masih memburu, "Tapi saya ingin tahu kesalahan
siapa ini?" tanya Sun Put Ce.
"Apakah kesalahanku?" tanya gadis itu.
"Maksudmu saya yang bersalah?" tanya Sun Put Ce kembali.
"Arak aku yang sediakan, kau juga mabuk karena aku meloloh
dirimu secara kelewatan. Aku tidak menyalahkan dirimu kalau kau
mengatakan aku yang bersalah," kata Bwe Mei. Dia membalikkan
tubuhnya dan berhadapan dengan Sun Put Ce.
Dua gumpal bukit yang ranum menempel di dadanya, Sebuah
pengalaman yang sulit dilukiskan! Dia melihat sinar matanya yang
bergairah, memperlihatkan dengan jelas keinginan dalam hatinya.
Sun Put Ce hampir tidak tahan melihat sinar mata seperti itu, dia
memeluk Bwe Mei erat-erat. Orang yang baru pertama kali
mengalaminya, bagaimana dapat melukiskan perasaan yang
berkecamuk pada saat itu.,.? Khayalan dan kenyataan yang dialami
diri sendiri tentu jauh berbeda.
Setiap laki-laki yang menginjak usia dewasa, pasti ingin
merasakan gairah yang ditimbulkan bila memeluk seorang

perempuan cantik. Siapa pun tidak akan dapat menggenggam
perasaan yang sebenarnya.
Apalagi di saat ada seorang perempuan cantik yang benar-benar
berada dalam pelukannya, pasti perasaan ingin tahu bagaimana
perasan hatinya saat itu hilang lenyap bersama gelora yang
bergelombang.
Sun Put Ce sendiri rasanya mulai mengerti namun tak kuasa
menerangkannya, sedangkan Bwe Mei menunjukkan sikap jinakjinak
merpati. Mungkin sikap antara mau dan malunya malah
membuat laki-laki itu tambah penasaran.
Pada hakekatnya, sebelum melanjutkan, dia harus memikirkan
setiap kemungkinan. Namun sulitnya adalah mengendalikan perasan
yang berkecamuk dalam dada itu. Di depan matanya tampak kulit
yang halus dan mata yang memancarkan gairah mengundang,
Bagaimana Sun Put Ce sanggup menahan diri?
Dia mengkertakkan gigi sekuatnya. Meskipun tubuh Bwe Mei
mulai melakukan gerakan. Biarpun berapa banyak pahlawan yang
jatuh dalam sedetik ini, Sun Put Ce tiba-tiba diingatkan oleh sebuah
nama.... Fang Tiong Seng! Kemudian bayangan yang lain pun
berputaran Wajah Mo Put Chi, wajah Hu Put Chi, wajah Kwe Po
Giok...!
Tentu saja dia juga teringat dirinya sendiri, dia adalah Sun Put Ce.
Seorang manusia yang tidak boleh dianggap tidak berakal sama
sekali, Dia mendorong tubuh yang halus dan hangat itu sekerasnya,
hampir saja Bwe Mei terbanting dari tempat tidur.
Sun Put Ce bangkit dari ranjang, dia meraih pakaiannya segera,
Perubahan seperti ini, meskipun laksaan kali peristiwa yang sama,
mungkin tidak lebih dari tiga orang yang sanggup melakukannya,
Tapi... Sun Put Ce ternyata bisa! Perubahan yang langka itu,
ternyata dialami juga oleh Bwe Mei.
Hal pertama yang dirasakannya adalah terhina dan dipandang
rendah. Namun dalam sekejap, pikirannya sadar, Dia tidak dapat

menyalahkan Sun Put Ce, malah harus berterima kasih kepadanya,
Dia tidak seharusnya marah, bahkan harus menaruh hormat
kepadanya.
Bwe Mei menarik nafas panjang.
"Anak murid Fang Tiong Seng memang berbeda dengan umum,"
katanya.
"Bwe kouwnio.... Apa sebetulnya yang telah terjadi?" tanya Sun
Put Ce seperti baru terjaga dari sebuah mimpi yang menyeramkan.
"Apalagi kalau bukan takaran minummu yang kelewat rendah,"
kata Bwe Mei seraya mengembangkan sebuah senyuman.
"Sebetulnya saya memang tidak kuat minum Apakah kita
sudah...?" Kata-katanya tidak dapat dilanjutkan karena jengah.
"Belum...." sahut Bwe Mei.
"Saya minta maaf...." kata Sun Put Ce.
"Aku tidak menyalahkan dirimu," sahut Bwe Mei cepat.
"Mengapa kau tidak menyalahkan diriku?" tanya Sun Put Ce.
"Karena kau tidak termasuk laki-laki yang jahat," sahut Bwe Mei.
"Lihat perempuan langsung bergairah, apakah saya termasuk
orang baik?" tanya Sun Put Ce tidak mengerti.
"Laki-Iaki yang dapat menghentikan tindakan pada saat seperti
ini, mana boleh dianggap bukan orang baik-baik?" sahut Bwe Mei
dengan wajah tersipu.
Sun Put Ce sendiri tidak mengerti, bagaimana dirinya dapat
terlepas dari jerat yang begitu ketat? Matanya beralih pada tempat
tidur. Tangan yang halus dan pundak yang terbuka masih
menyembul dari balik selimut. Kekuatan apakah yang menyadarkan
dirinya tadi?

Sekarang, kembali sinar mata yang penuh gairah menatapnya,
Ditambah lagi gerakan kepala yang menawan ketika mengibaskan
rambutnya. Sun Put Ce tahu, dia harus segera meninggalkan tempat
ini. Bila tidak, dia sendiri juga tidak yakin akan dapat melepaskan diri
sekali lagi.
-oooo0oooo-
Malam, di keremangan pegunungan terlihat kunang-kunang
beterbangan. Sebuah jalan kecil memanjang dari bawah bukit
menembus hutan siong.
Di atas jalan kecil itu ada sebuah tandu bergerak. Tandu itu tidak
seberapa besar, tetapi yang menggotongnya justru empat orang
laki-laki bertubuh kekar, Tadinya terdengar suara percakapan dari
dalam tandu itu. Namun sejak masuk ke dalam hutan siong, suara
percakapan sudah tidak terdengar lagi, dengan demikian, berarti
dalam tandu itu berisi dua orang.
Tiba-tiba, sebuah bayangan hitam yang panjang hinggap di atas
tandu tersebut, Seperti seekor kelelawar yang besar, orang ini
mengenakan topeng. Seluruh tubuhnya hitam pekat, hanya
sepasang mata yang terlihat dari lobang penutup mukanya.
Dia tertawa dingin, Dengan satu kali injakan, atap tandu itu
amblas ke dalam,
Terdengar suara berderak, Sepasang laki-laki dan perempuan
loncat keluar, Yang perempuan sangat cantik, yang laki-laki tinggi
kurus. Tampangnya juga cukup bagus.
Kedua orang ini duduk di dalam tandu yang sama. Dari sini sudah
dapat terlihat jelas, betapa akrabnya hubungan sepasang laki-laki
dan perempuan itu. Ketika menghambur keluar dari tandu, kedua
orang itu melayangkan sebuah pukulan serentak.
Maksudnya agar manusia yang mengganggu acara itu dapat
terhalau segera, Siapa sangka, manusia bertopeng itu sudah dapat
menduga akan adanya serangan ini, dia langsung meloncat mundur
sebanyak tiga depa.

Sinar rembulan menembusi hutan siong dan bersinar di muka
manusia bertopeng tersebut, MenimbuIkan bintik-bintik seperti
orang yang terkena penyakit cacar. laki-laki dan perempuan yang
menghambur dari dalam tandu itu berdiri berkacak pinggang.
Wajahnya menampilkan sinar amarah, "Siapa kau?" teriak yang
laki-laki. "Orang yang ingin mengadu ilmu!" sahut si manusia
bertopeng.
Sepasang laki-laki dan perempuan itu, baru memperhatikan
bahwa manusia bertopeng itu menggenggam sebatang pedang yang
agak mirip golok. Bentuk tubuh pedang itu pipih dan tidak lebar
Namun di ujungnya ada sedikit lekukan seperti golok, "Kalau kau
ingin mengadu ilmu... tentunya kau sudah mencari keterangan siapa
kami ini?" tanya laki-laki tinggi kurus itu.
"Tanpa mengetahui identitas dirimu, mengadu ilmu apa gunanya?
Kau adalah Kiang Pak It Cheng Hong, Dia adalah perempuan yang
menyaru menjadi buruk rupa untuk menguji dirimu, Kao kie...." kata
manusia bertopeng tadi sambil tertawa dingin.
It Cheng Hong tertawa terbahak-bahak.
"Siapa pun tahu, Kiang Pak It Cheng Hong sudah mati di tangan
Cu lao thaiya di pinggir pantai lautan Timur." serunya.
Manusia bertopeng itu ikut tertawa terbahak-bahak.
"Permainan seperti itu mungkin masih bisa mengelabui orang lain,
tapi tidak bisa lepas dari mataku!" katanya.
"lt Cheng Hong tidak mati? Atau sudah mati hidup kembali?"
tanya Kao Kie dengan gaya seakan benar-benar tidak tahu.
"Karena kehadiran Toa Tek To Hun telah menimbulkan badai
dalam dunia persilatan daerah Tionggoan, banyak jago kelas satu
dan dua yang hatinya berkebit-kebit. Mereka terus gelisah kapan
dirinya yang akan menjadi korban selanjutnya, Nah.... siluman
manusia yang cerdik menemukan akal bagus.

Dia meminjam tangan Cu lao thaiya dan pura-pura mati Manusia
yang sudah mati toh tidak berharga lagi bagi Toa Tek To Hun...!"
sahut manusia bertopeng itu.
It Cheng Hong dan Kao Kie saling lirik sekilas, ternyata di dunia ini
susah menutupi hal yang sebenarnya. Mereka terus menganggap
bahwa kejadian ini tidak ada pihak ketiga yang tahu.
Rupanya Kao Kie adalah perempuan berwajah buruk yang
memberikan Bi jin sim kepada It Cheng Hong, Dia sengaja
menyamar untuk menguji hati laki-laki itu, It Cheng Hong tentu saja
tidak menyukai perempuan berwajah buruk, tetapi dia memerlukan
benda pusaka itu.
Dia ingin merebutnya. Biarpun si perempuan tampil dengan wajah
aslinya, tetap saja It Cheng Hong bermaksud merebut benda pusaka
tersebut. Kao Kie sangat menyukai It Cheng Hong, Tentu sulit untuk
menjelaskan alasannya.
Percintaan antara laki-laki dan perempuan memang sulit diuraikan
dengan kata-kata, lagipula cinta yang dapat dijelaskan pasti nilainya
terbatas, Kao Kie mengikuti lt Cheng Hong sampai pesisir di lautan
Timur, dia melihat laki-laki itu pura-pura mati. Setelah semua orang
sudah meninggalkan tempat itu, baru dia bangun kembali, It Cheng
Hong menghargai kesetiaannya, mereka berdua meninggalkan laut
Timur, Dia melihat laki-laki itu pura-pura mati.
Setelah semua orang sudah meninggalkan tempat itu, baru dia
bangun kembali. It Cheng Hong menghargai kesetiannya, mereka
berdua meningalkan lautan timur. Kemudian merencanakan untuk
menetap di Si Pak, duIu mereka takut tidak terkenal, sekarang
malah merasakan menjadi orang terkenal itu sangat menakutkan.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya It Cheng hong
"Kau tidak perlu tahu!" sahut manusia bertopeng itu.
"Mengapa?" tanya Kao Kie gantian.

"Kau setelah bertanding denganku, tahu atau tidak tahu, tiada
artinya lagi bagi kalian," sahut manusia bertopeng.
"Sombong benar!" bentak It Cheng Hong "Cu lau thaiya saja
masih bukan tandingannya. Hanya karena dia ingin menghindari Toa
Tek To Hun, baru terpaksa pura-pura kalah dan mati di tangan
orang tua itu.
Namun setelah mengetahui indentitas diri mereka, toh masih
berani mencarinya untuk bertanding, dapat dibuktikan bahwa
manusia bertopeng itu juga bukan orang biasa. Senjata keduanya
sudah ditangan. Para pemikul tandu mundur ke samping.
Melihat kenyataan saat sekarang, orang yang berani
menggunakan kata-kata mengadu ilmu melawan mereka, mungkin
tidak ada lagi, kecuali Toa tek To Hun. Tetapi mereka belum pernah
mendengar Toa Tek To Hun menggunakan topeng penutup muka.
Meskipun manusia ber topeng ini bukan Toa Tek To Hun, tapi
pedang yang digunakannya justru sama dengan orang itu.
Bentuknya panjang pipih, warnanya hitam mengkilap. Pedang It
Cheng Hong dan Kao Kie sudah terhunus. Manusia bertopeng itu
meraba pedangnya dengan tangan kiri. Mereka berdua langsung
dapat menerka bahwa dia adalah seorang manusia kidal.
Mereka tidak dapat melihat wajah dan mimik muka manusia
bertopeng itu. Tapi dari caranya meraba pedang, It Cheng Hong dan
kao Kie segera dapat merasakan hawa pembunuhan yang tebal.
Daun-daun pohon saling melambai-lambai seakan setanpun
menyambut siapa saja yang akan tergeletak hari ini. Pikiran It Cheng
Hong dan Kao Kie terus berputar. Mereka tidak dapat menebak siapa
orang di Bulim yang menggunakan kata-kata
"mengadu ilmu" untuk mengajak para jago bertanding.
It Cheng Hong turun tangan lebih dahulu, Kao Kie pun tidak
ketinggalan terlalu lama. Sinar pedang berkelebat menutupi manusia
bertopeng, keadaan ini membuat kedua orang itu makin percaya diri,

Selain Toa Tek To Hun atau Tang hai sin sian, siapa yang sanggup
melawan kedua orang itu sekaligus?
Entah sejak kapan, pedang manusia bertopeng juga telah
dihunuskan, sinarnya berkelebat menembus kilatan pedang kedua
orang itu, cara bertempurnya mirip dengan Toa Tek To Hun.
"Tang! Tang! Ting! Ting!"
Terdengar suara beradunya pedang, bukan pedang kedua orang
itu melayang, juga belum terlihat ada bekas luka memanjang di
kening mereka, Mungkinkah manusia bertopeng ini Toa Tek To Hun?
Rasanya tidak mungkin, Tapi mungkin saja kalau sejak
kedatangannya ke daerah Tionggoan.
Dia belum bertanding dengan dua orang jago kelas satu sekaligus,
Dan malam ini adalah kejadian untuk pertama kalinya bahwa dia
tidak dapat membunuh lawan dalam kurang dari satu jurus!
Kedua orang itu meloloskan diri dari serangan manusia bertopeng,
mereka meloncat mundur sebanyak lima depa. Setelah saling
pandang sejenak, kemudian mulai menyerang Iagi. Manusia
bertopeng itu sudah pasti bukan Toa Tek To Hun.
Langkah kakinya kurang teratur, hawa pembunuhan yang
dipancarkan oleh pedangnya juga kurang tebal. Pedangnya
mengeluarkan sinar "Ting! Tang!"
Dua kali dentingan suara, Bagian perut dan dada pakaian It
Cheng Hong dan Kao Kie terkoyak, Bahkan ada luka memanjang
pada perut It Cheng Hong, meskipun tidak terlalu parah, darah segar
mengalir dengan deras. Kao Kie terpana, Wajah It Cheng Hong
sepucat pedangnya sendiri.
Manusia bertopeng itu bukan Toa Tek To Hun. Tetapi jurus yang
digunakan dan pedangnya justru sama dengan orang itu. Apakah
manusia bertopeng ini masih mempunyai hubungan dengan Toa Tek
To Hun? Apakah ada manusia lain yang sanggup melukai kedua jago
kelas satu itu dalam jurus kedua selain Toa Tek To Hun sendiri?

It Cheng Hong dan Kao Kie tidak habis pikir Tapi mereka
menganggap, manusia bertopeng ini memang pantas mengajak
mereka bertanding. ilmu gabungan kedua orang itu jauh lebih tinggi
dari Chao Hui Feng, Chi Siong Kiam Kek ataupun Lie Cheng Hong.
Di bawah ancaman kematian, It Cheng Hong dan Kao Kie
menggunakan tenaga sepenuhnya. Mereka berusaha keras,
serangan yang dilancarkan kedua orang itu bukan main hebatnya, lt
Cheng Hong dan Kao Kie tentu saja tidak ingin mati konyol begitu
saja.
Pedang manusia bertopeng berkelebat berapa kali, mereka tidak
sempat menghitungnya lagi, mereka hanya tahu.... setiap kali
pedang itu berkelebat, waktu kematian pun semakin dekat.
Sinar rembulan menyinari wajah mereka yang menyeramkan,
Sinar mata mereka lebih menyiratkan sinar terkejut, mereka sadar
sulit untuk meloloskan diri dari pertarungan ini.
Sekali pedang menyambar kemudian masuk kembali ke dalam
sarung, Tubuh It Cheng Hong dan Kao Kie terhuyung-huyung.
Mereka bertahan sekuatnya, tangan masih ingin digerakkan untuk
balas menyerang, namun dalam waktu lima detik keduanya rubuh di
tanah. Nafas masih belum berhenti. Darah segar mengalir dari
kening.
"Bagaimana jurus ilmu silatku menurut kalian?" tanya manusia
bertopeng dengan nada menyindir.
Kao Kie memandangnya dengan mata terbelalak.
"Kau adalah Cap..!" Kata-katanya tidak sempat di teruskan,
Tubuhnya kaku bersama tubuh It Cheng Hong yang jalan selangkah
lebih cepat daripadanya.
Manusia bertopeng itu menarik nafas panjang, pedangnya
menyambar ke kanan dan kiri, Keempat laki-laki pemikul tandu
rubuh dengan tubuh mandi darah.

"Tujuh jurus setengah!" kata manusia bertopeng itu. Entah katakata
tujuh jurus setengah itu membawa kesenangan atau kepiluan
dalam hatinya.
Dengan tujuh jurus setengah dapat membunuh It Cheng Hong
dan Kao Kie sudah termasuk manusia langka, Namun Toa Tek To
Hun belum pernah menggunakan lebih dari tiga per empat jurus...!
Rembulan bersinar menerangi atap rumbia dan rumah bambu.
Dahan dan pohon bunga melambai tertiup angin. Bwe Mei
mendorong pintu bambu, langkahnya diperlahankan agar tidak
menerbitkan suara bising. Bayangan tubuhnya merupakan bayangan
terindah di antara bunga-bunga yang ada di sekitar tempat itu.
"Siapa?" Terdengar suara yang berat berkumandang dari dalam
rumah itu.
"Memangnya siapa lagi?" sahut Bwe Mei.
"Kreekk!" Suara deritan pintu mengiringi tubuh gemulai gadis itu
masuk ke dalam, Di atas tempat tidur terbaring seorang Iaki-laki.
Usianya belum terlalu tinggi Sekitar tiga puluhan, mungkin karena
bersandar di tempat tidur, jadi kelihatannya lebih tua dari umur
semestinya.
Di dalam rumah tercium bau obat-obatan. Di samping tempat
tidur ada dua buah kayu penopang kaki, Hal ini menunjukkan bahwa
laki-laki yang bersandar di tempat tidur itu tidak bisa jalan tanpa
bantuan alat tersebut.
"Ada kemajuan?" tanya Bwe Mei. Dia sama sekali tidak
menyalakan penerangan. Laki-laki di atas tempat tidur itu menarik
nafas.
"Pernahkah kau mendengar kalau penyakit seperti ini cepat
sembuh?" Dia balik bertanya kepada Bwe Mei.
"Untuk orang yang mengalami Cao hue jit mo (Salah melatih ilmu
silat sehingga darah mengalir secara terbalik, malah ada "pembuluh

nadi yang putus dan menjadi lumpuh total), kau tidak termasuk
parah sekali...." kata Bwe Mei.
"Meskipun tidak terlalu parah, tapi seumur hidup ini juga jangan
harap bisa mengembalikan keadaan semula," kata laki-laki itu
sembari menghela nafas.
"Aku paling tidak suka mendengar nada pesimis seperti itu!" kata
Bwe Mei.
Laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku Cap sa thai po, Kiau Bu Suang juga tidak ingin
mengucapkannya," sahutnya dengan wajah sendu.
Keheningan menyelimuti ruangan itu. Dari arah gunung
berkumandang ratapan burung hantu, Setelah sekian lama, dia
memandang ke arah Bwe Mei.
"Mengapa tidak duduk?" undangnya.
Bwe Mei tidak bergerak, Dia tetap berdiri di samping tempat tidur.
"Apakah kau sudah memberitahukan beberapa teman baik
saya..?" tanya Kiau Bu Suang.
"Memberitahukan soal apa?" Bwe Mei mencibirkan bibirnya.
"Bahwa aku sudah menjadi manusia cacat," sahut Kiau Bu Suang.
"Kau pernah mengatakan, bahwa selain aku, kau tak ingin
bertemu dengan siapa pun!" kata Bwe Mei dengan nada dingin.
"Aku memang pernah berkata begitu," Kiau Bu Suang
mengakuinya.
"Apakah kau mengharapkan mereka datang menjengukmu?"
tanya Bwe Mei cepat-cepat.
Kiau Bu Suang menggelengkan kepaIanya.

"Tidak! Tidak! Teman yang bagaimana baik pun, tetap tidak
kuharapkan kedatangannya, Aku tidak ingin penderitaanku ikut
mereka rasakan, Tetapi mereka harus tahu bahwa aku, Kiau Bu
Suang sudah tercoret namanya dari Bulim," kata laki-laki di atas
tempat tidur itu.
"Apa perlu?" tanya Bwe Mei.
"Kau pasti mengerti, kalau aku diam-diam meninggalkan dunia
kangouw tanpa ada kabar berita, mungkin kawan-kawan baikku
akan menduga bahwa aku sudah tiada di dunia ini," sahut Kiau Bu
Suang.
"Aku pernah bertemu dengan dua orang kawan baikmu, mereka
sangat ingin tahu di mana kau berada, tapi aku tidak
mengatakannya, Aku hanya menceritakan sedikit tentang keadaan
dirimu saat ini. Mereka tampaknya khawatir," kata Bwe Mei.
Suasana dalam rumah bambu itu hening kembali, mereka seakan
tenggelam dalam pikiran masing-masing...
"Apakah ada peristiwa besar yang terjadi di Bulim akhir-akhir ini?"
tanya Kiau Bu Suang,
"Tentu saja ada! Tetapi walaupun-peristiwa besar apa atau
bagaimana, semua pasti ada hubungannya dengan Toa Tek To
Hun," sahut Bwe Mei.
Kiau Bu Suang menegakkan tubuhnya, dia mengambil sebuah
cawan di meja samping, dan menuang air putih untuk dirinya
sendiri.
"Peristiwa besar apa?" tanyanya kemudian.
"Toa Tek To Hun tidak henti menghunus pedang!" kata Bwe Mei.
Kiau Bu Suang tidak bersuara.

"Jumlah korbannya sudah dua puluh sembilan orang!" kata Bwe
Mei selanjutnya.
Cangkir di tangan Kiau Bu Suang bergetar hebat, isinya tumpah
dan membasahi baju Bwe Mei.
"Maaf!" kata Kiau Bu Suang dengan tangan menopang pada meja
seakan ingin berusaha berdiri. Bwe Mei membimbingnya bersandar
kembali, dia mengeluarkan sebuah sapu tangan untuk mengusap
bajunya yang basah.
"Mengapa kau masih selalu sungkan terhadapku?" tanya Bwe Mei.
Hubungan mereka memang sudah akrab sekali, kalau bicara
dengan nada yang lebih kasar, hanya belum melewati malam
pengantin saja. Sejak Kiau Bu Suang mengatakan dirinya mengalami
Cao hue, dia sibuk mencari obat dan tabib terkemuka untuk
mengobatinya, sementara itu, dia juga tidak henti mencari jejak Toa
Tek To Hun.
Nama Cap sa tai po memang amat terkenal, bahkan jauh lebih
terkenal daripada Tionggoan taihiap Fang Tiong Seng, Di dalam
daftar nama korban yang diincar Toa Tek To Hun, tidak mungkin
namanya tidak tertera.
Jika Toa Tek To Hun hendak mencarinya, pasti dia sudah datang
dari kemarin-kemarin, Kalau sampai hari ini bayangannya pun belum
tampak, kemungkinan besar Toa Tek To Hun sudah mendapat kabar
tentang penyakit Cao hue yang diderita Kiau Bu Suang.
Kalau dilihat dari keadaan sekarang, penyakit yang diidap oleh
Kiau Bu Suang termasuk rejeki atau bencana?
"Masih ada peristiwa besar apa lagi?" tanya laki-laki itu.
"Aku sudah mengatakan, bahwa peristiwa sebesar apa pun, pasti
ada hubungannya dengan Toa Tek To Hun," kata Bwe Mei.
Kiau Bu Suang tentu percaya keterangan ini, Toa Tek To Hun
adalah segulungan badai Dan ia adalah badai terbesar yang pernah
melanda kaum Bulim di Tionggoan.

"Kau tentu kenal It Cheng Hong dan Kao Kie?" Bwe Mei
melontarkan pertanyaan yang sebetulnya tidak perlu dijawab lagi.
"Tentu! Yang satu terkenal dengan ginkangnya. Yang satu lagi
terkenal dengan jurus pedangnya, di antara kedua orang itu,
semuanya patut dijadikan sasaran oleh Toa Tek To Hun," kata Kiau
Bu Suang.
"Keduanya sudah tewas!" ujar Bwe Mei datar.
"Mati bersama?" tanya Kiau Bu Suang.
"Ya! Bahkan dengan luka panjang di kening," Bwe Mei
menjelaskan.
"Prangg!!!" Cangkir di tangan Kiau Bu Suang terlepas, pecahan
kacanya berantakan kemana-mana.
"Apa yang terjadi dengan dirimu hari ini?" tanya Bwe Mei heran,
Kiau Bu Suang sendiri juga tidak mengerti.
"Cao hue tidak bedanya dengan terserang angin jahat. Sejak kena
penyakit yang satu ini, tanganku sering kesemutan dan kebal, Lebihlebih
tangan di sebelah kiri. Tadi aku lupa memindahkan cangkir dari
tangan kanan ke tangan kiri, sedangkan tangan ini gemetar terus,"
kata Kiau Bu Suang seakan memberi penjelasan kepada gadis itu.
Bwe Mei memunguti pecahan kaca dalam kegelapan, mata Kiau
Bu Siang memancar aneh, tetapi Bwe Mei sama sekali tidak
melihatnya. Keheningan kembali menyelimuti rumah tersebut, Di luar
terdengar angin berhembus, Bayangan sinar rembulan menari-nari
lewat jendela.
"Selama kedatangannya di daerah Tiong-goan, baru kali ini aku
mendengar Toa Tek To Hun menghadapi dua orang sekaligus," kata
Kiau Bu Suang.
"Betul, Namun kali ini dia memerlukan lebih dari satu jurus untuk
membunuh It Cheng Hong dan Kao Kie," kata Bwe Mei.

"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Kiau Bu Suang heran.
"Karena di tubuh kedua orang itu, ada luka yang lain," sahut Bwe
Mei.
Kiau Bu Suang memejamkan matanya.
"Bagi Toa Tek To Hun, ini pasti merupakan kekecualian," kata
Kiau Bu Suang.
"Siapa pun yang melihat mayat kedua orang itu, pasti akan
mempunyai pendapat," kata Bwe Mei sambil tertawa getir.
"Pendapat mereka belum tentu masuk akal..." sahut Kiau Bu
Suang.
"Mengapa?" tanya Bwe Mei menatap laki-laki itu tajam.
Mata Kiau Bu Suang tetap terpejam.
"Kau mungkin bisa mengeluarkan pendapat tentang siapa saja,
Tapi terhadap Toa Tek To Hun, pendapatmu belum tentu tepat,"
katanya.
"Menurut apa yang dilihat oleh beberapa orang jago kelas dua,
kalau ditilik dari keadaan mayat kedua orang itu, orang yang
membunuh mereka pasti memerlukan sedikitnya di atas lima jurus
baru dapat merobohkan kedua orang itu.
Hal ini juga ramai dipergunjingkan, orang-orang yang bermata
tajam dan mempunyai ilmu cukup tinggi rata-rata yakin bahwa yang
membunuh kedua orang itu bukan Toa Tek To Hun," kata Bwe Mei
menjelaskan kembali.
Kiau Bu Suang membuka matanya dan menatap gadis itu.
"Amei.... Bagaimana pendapatmu sendiri?" tanyanya.
"Orang ini pasti bukan Toa Tek To Hun!" sahutnya yakin.
"Kenapa?" tanya Kiau Bu Suang dengan pandangan menyelidik.

"Jejak kaki Toa Tek To Hun selalu rapi dan teratur selamanya
begitu, disini tempat terlihat dari bekas pertarungan antara
pembunuh itu dengan It Cheng Hong dan Kao Kie, jejak yang
tertinggal ternyata acak-acakan. Berarti orang tersebut bukan Toa
Tek To Hun," kata Bwe Mei mengeluarkan pendapatnya.
"Hanya itu teorimu?" tanya Kiau Bu Suang kurang percaya.
"Toa Tek To Hun sudah membunuh hampir tiga puluh orang.
Belum pernah ada luka lain di depan," kata Bwe Mei.
"Apalagi?"
"Luka di kening It Cheng Hong dan Kao Kie juga tidak mirip sekali
dengan bekas luka yang selalu ditinggalkan Toa Tek To Hun," kata
gadis itu melanjutkan penjelasan tentang apa yang terpikir olehnya.
"Di mana letak perbedaannya?" tanya Kiau Bu Suang, Angin
kencang berhembus, Meninggalkan kegigilan di tubuh, nada suara
Kiau Bu Suang juga terdengar sendu.
"Bukankah aku pernah mengatakan perihal ranting pohon yang
diberikan kepada Fang Tiong Seng taihiap oleh Toa Tek To Hun?"
Bwe Mei mengingatkan kembali.
"Iya. Aku ingat kau pernah menceritakannya," sahut Kiau Bu
Suang.
"Gerakan pedang Toa Tek To Hun selalu mengandung "makna
pedang", sedangkan dalam gerakan pedang pembunuh itu tidak ada.
Ada hal lain yang mungkin penting," kata Bwe Mei.
"Apa?"
"Dari bekas luka kedua orang itu, dapat terlihat mereka mati
dalam waktu yang tidak bersamaan, Berarti gerakan pedang yang
membunuh mereka tidak dilancarkan sekaligus. Kalau Toa Tek To
Hun yang melakukannya, aku yakin hal ini tidak mungkin terjadi!"
kata Bwe Mei yakin.

Kiau Bu Suang termangu-mangu sejenak, - "ltu juga belum pasti!
Tulang perempuan dan laki-laki memang berlainan Kau tidak bisa
memastikan sesuatu dari mayat kedua orang itu saja. Umpamanya,
mayat yang mati tenggelam, Kalau perempuan pasti menjadi pucat
seperti kertas. Dan laki-laki justru menjadi kehitaman warna
mukanya," sahut Kiau Bu Suang tidak sependapat.
Bwe Mei tidak percaya teori ini. Malah dia membenci pendapat
Kiau Bu Suang itu. Memang setiap orang selalu berkeras tentang
pendapatnya masing-masing, dan tidak suka kalau pendapatnya
tidak diterima oleh si lawan bicara.
"Apakah kau bertemu dengan Sun Put Ce?" Tiba-tiba Kiau Bu
Suang bertanya, Bwe Mei menganggukkan kepalanya.
"Aku juga melihat Bok lang kun dan dayang Cui thian, mereka
memberikan ranting pohon kepada Toa Tek To Hun. Setelah itu
mereka mencari penginapan untuk membahasnya," kata Bwe Mei.
"Bagaimana pendapatmu tentang dayang Cui thian itu?" tanya
Kiau Bu Suang.
Bwe Mei merenung sejenak, dia merasa sedikit aneh.
"Mengapa kau bisa menanyakan tentang perempuan itu?" Bwe
Mei berbalik bertanya pada laki-laki yang bersandar di atas tempat
tidur, Wajah Kiau Bu Suang tidak menunjukkan perasaan apa-apa.
"Tidak.... Aku hanya sekedar ingin tahu," katanya, Bwe Mei
berpikir lagi beberapa detik.
"Tampaknya dia sangat setia terhadap Tang hai sin sian," sahut
gadis itu.
"Dia akan setia terhadap siapa saja yang menjadi majikannya,"
tukas Kiau Bu Suang.
"Apa maksud perkataanmu itu?" tanya Bwe Mei bingung, Kiau Bu
Suang hanya menggelengkan kepalanya.

"Sebetulnya juga tidak ada maksud apa-apa," sahutnya.
Perasaan Bwe Mei terhadap laki-laki itu memang dalam, tapi
pengertian tentang isi hatinya justru tidak terlalu dalam. Dia hanya
merasakan bahwa Kiau Bu Suang agak aneh malam ini.
-oooo0oooo-
Malam....
Kapal dewa layar pancawarna tetap bergerak melaju, karena
tubuh kapal itu sangat besar, ombak yang sedang-sedang saja tidak
akan begitu terasa. Pada saat itu, lampu-lampu di kapal Tang hai sin
sian bersinar terang.
Dari kabin dapat terdengar suara deburan ombak, Suara layar
berkepak-kepak, suara kapal melaju berdesir, di dalam kabin justru
tidak terdengar suara sedikit pun.
Tang hai sin sian duduk di atas tempat tidurnya yang indah,
wajahnya kelam, ia sedang merenung. Bahkan sudah merenung
sejak tadi. Tidak ada seorang pun yang tahu apa yang sedang
dipikirkannya. Andaikata ada yang dapat mengetahui apa yang
sedang terpikir olehnya, orang itu pasti akan terkejut setengah
mati...
Jilid 7
Biarpun wajahnya kelam atau bergembira. penampilannya tetap
mirip seorang dewa! Dia berdiri dari tempat tidurnya, Dari dalam
lemari dia mengeluarkan sebuah kotak besar. Ketika kotak itu di
buka, dia menatap isinya dengan tarikan nafas berulang kali, Di
dalam kotak itu terdapat sebilah pedang.
Sebilah pedang yang indah sekali. Menatap pedang yang pernah
menjadi senjatanya malang melintang di Bulim selama puluhan

tahun, perasaannya menjadi bersemangat. Dia bagaikan melihat
teman baiknya atau pelayannya yang paling setia.
Pedang mendapat kebanggaan dari tuannya, dari orang mendapat
nama dari pedang. Dia pernah menganggap pedang itu sebagai
nyawanya. Dalam bahaya yang bagaimana besar pun, pedang itu
seperti dewa penolong baginya. Setiap kali menghadapi suatu
pertarungan asalkan pedang itu tergenggam di tangan, dia akan
percaya diri sepenuhnya.
Sekarang, rasa percaya diri bangkit kem-bali, Dia merasa gagah
sekali, Sreet!! Suara hunusan pedang terdengar. Kilau-kemilau
terpancar Ruangan kabin itu bagai diseimuti sinar keperakan.
Tiba-tiba suara keras berdentang, Pedang itu terjatuh ke lantai,
Dalam perasaannya, suara berdentang itu lebih mirip sebuah
keluhan, tentunya keluhan dari pedang tersebut.
Dia memandang pedang yang terjatuh dengan gaya termangumangu.
Wajahnya yang kelam berubah jadi pilu, Siapa yang dapat
mengetahui perasaan hatinya saat ini? Mungkin hanya satu orang di
dunia ini yang bisa mengetahuinya. Tapi orang itu bukan Siau kiong
cu yang teramat disayanginya, Lebih tidak mungkin lagi kalau orang
itu adalah Kwe Po Giok.
-oooo0oooo-
Kapal dewa itu sangat besar, Mungkin hanya sebuah kapal besar
biasa. Kapal itu terlihat mengapung di atas lautan tanpa batas,
Hidup manusia pun tidak berarti banyak. Maka dari itu, orang yang
sudah berlayar berbulan-bulan, biasanya akan mencari kesenangan
dengan cara gila-gilaan. Ada yang mengatakan para pelaut adalah
kuda binal yang sukar dikendalikan
Oleh sebab itu, di atas kapal perlu berbuat sesuatu untuk
mengurangi kesenjangan. Harus ada sesuatu yang dilakukan sebagai
hiburan Siau kiong cu senang menghias bunga, Mungkin ini
merupakan jalan terbaik untuk mengusir kesepian dan kekesalan di
atas kapal.

Namun bagi orang yang tidak mempunyai jiwa sabar dan tekun,
pekerjaan menghias serta merangkai bunga merupakan pekerjaan
yang hanya membuang waktu dengan sia-sia. Mungkin pekerjaan
seperti ini hanya dapat dilakukan oleh kaum perempuan.
Setiap kali Siau kiong cu merangkai bunga, para dayang pun
segan memperhatikan di sampingnya, karena Siau kiong cu bisa
merangkai bunga selama dua jam. Para dayang menertawakan
keluguannya, para pengawal menertawakan keisengannya,
sebetulnya bila mereka tidak menertawakan dirinya lugu atau iseng,
mereka tentunya bukanlah dayang dan para pengawal. Apa
sebabnya? Karena mereka pasti tidak tahu maksud Siau kiong cu di
balik merangkai bunga tersebut!
Mungkin hanya ada satu orang yang mengerti yaitu dayang Cui
thian. Dia sering diam-diam memperhatikan Siau kiong cu merangkai
bunga, Akhirnya rangkaian bunga itu selesai juga. Dia menolehkan
kepalanya. Tertampak olehnya Kwe Po Giok sedang memperhatikan
dengan gaya terpesona.
Pemuda itu seakan bukan memperhatikan saja, otaknya juga ikut
berpikir. Oleh karena itu, para dayang dan pengawal sering
menertawakan dirinya di belakang, ia dianggap terlalu lemah lembut
seperti seorang perempuan. Apalagi mempunyai kesenangan
terhadap rangkaian bunga, Mereka juga tidak dapat disalahkan
orang-orang yang kedudukannya hanya dayang dan para pengawal
tentu tidak mengerti mengapa Kwe Po Giok bisa menyenangi
pekerjaan seorang perempuan itu!
Siau kiong cu memperdengarkan suara yang merdu, Tiba-tiba,
bunga yang telah dirangkai dengan indah, ditumpahkannya kembali
Dia mulai merangkai sekali lagi Kwe Po Giok sama sekali tidak
bertanya mengapa dia harus mengulangi sekali lagi rangkaian bunga
tersebut. Dia hanya memperhatikan dengan seksama dan penuh
perhatian Tidak ada kesan tidak sabar atau kesal di wajahnya.
Apakah karena Siau kiong cu terlalu cantik? Apakah gadis yang
sedang merangkai bunga merupakan pemandangan yang menawan?
Kalau jawabannya iya, maka Siau kiong cu tidak akan menganggap

dirinya istimewa. Tiba-tiba Siau kiong cu tertawa kembali dengan
suara yang lebih keras.
"Ternyata kau memang cukup cerdas Ayah menyuruh kau
memperhatikan aku merangkai bunga, kau pun memperhatikan
dengan seksama dan bahkan tak pernah mengeluh, malahan sudah
beberapa malam berturut-turut," kata gadis itu.
"Saya masih mempunyai kesabaran memperhatikan beberapa
malam lagi. Sayangnya hari Chong Yang sudah semakin dekat,"
sahut Kwe Po Giok. Dalam kabin terjadi keheningan Di luar jendela,
laut dan langit bagai berpadu.
"Berapa lama lagi hari Chong Yang tiba?" tanya Siau kiong cu.
"Paling banyak tiga atau empat hari lagi," sahut bocah cerdas itu.
Alis mata Siau kiong cu bergerak.
"Kalau begitu mengapa ayahku belum memerintahkan kapal ini
berbalik haluan?" tanya gadis itu seperti kepada dirinya sendiri.
Kwe Po Giok terpana.
"Apakah tujuan kapal ini sekarang bukan ke arah pelabuhan
Tionggoan?" Dia malah balik bertanya, Siau kiong cu menggelengkan
kepalanya.
"Bukan!" sahutnya.
Apakah masih ada berita yang mengejutkan lagi bagi Kwe Po
Giok? sebenarnya dia memang terkejut, bahkan pada saat itu juga
dia menghambur keluar, Siau kiong cu mengikuti di belakangnya.
Matahari menyorot ke dalam kabin. Tempat tidur yang indah kuat
bergerak seiring deburan ombak. Tempat ini adalah kabin Tang hay
sin sian. Semua perabotan masih pada tempatnya. Pedang panjang
yang indah juga masih tergeletak di dalam kotak, Tang hay sin sian
malah tidak ada lagi dalam kabin itu. Seorang dayang sedang
menyapu, Seorang pelayan tua sedang merapikan barang-barang
yang berserakan.

Siau kiong cu menerobos masuk, Bagi gadis tersebut, ini bukan
kebiasaannya, Dia menarik tangan pelayan tua yang sedang
merapikan kamar itu. Siau kiong cu tidak pernah sekasar ini
sebelumnya, Pelayan itu tampak tercengang.
"Siocia!" panggilnya dengan gugup.
"Mana ayahku?" tanya gadis itu. wajahnya kelihatan cemas.
"Loya sudah berangkat dengan perahu kecil," sahut pelayan itu
takut-takut.
"Mengapa kau tidak melaporkan sejak tadi?" tanya Siau kiong cu
dengan wajah menunjukkan kemarahan
"Cu jin yang memerintahkan, Cu jin tidak ingin kalian
menyaksikan pertarungan berdarah itu," sahut pelayan tua itu
menjelaskan
"Kepergiannya adalah untuk memenuhi janji, tapi mengapa
pedangnya malah ditinggalkan?" tanya Kwe Po Giok,
"Lweekang (tenaga dalam) dan Kiam sut (Jurus pedang) Cu jin
sudah sempurna, walaupun hanya sekuntum bunga atau pun
selembar daun, sudah dapat dijadikan senjata untuk melukai orang.
Untuk apa perlu membawa pedang?" sahut pelayan tua itu
tersenyum.
Siau kiong cu tidak mengeluarkan suara, Kwe Po Giok
memperhatikan pelayan tua dengan tenang, sinar matanya seakan
ingin menembusi tubuh pelayan tua tersebut pelayan tua itu
mengelakkan diri dari tatapan Kwe Po Giok.
Dia mengambil pedang yang tergeletak di atas meja dan
dihaturkannya kepada pemuda itu, Kwe Po Giok tidak menerimanya,
Mungkin karena dia merupakan bocah ajaib.
Pelayan tua itu menghaturkan pedang Tang hay sin sian
kepadanya, bukan kepada Siau kiong cu. Hal ini terasa janggal

baginya. Mungkin karena dirinya bocah ajaib itulah, dia dapat
merasakan kejanggalan melebihi orang lain.
Dia tetap belum menerima pedang itu, Dia hanya menatap tajam
Selain suara sapu yang digerakkan dayang cilik itu, di dalam kabin
masih terdapat hawa panas yang tidak dapat dimengerti.
Hawa ini juga bukan sembarangan orang dapat merasakannya,
Seperti halnya bila sinar matahari tidak dapat menembusi kamar ini
lagi, maka kabin ini akan lembab selamanya.
"Dia orang tua masih meninggalkan pesan apa?" tanya Siau kiong
cu memecahkan kesunyian.
"Cu jin berpesan agar siocia merangkai bunga setiap hari untuk
ditunjukkan kepada Kwe kongcu, sampai dia merasa bosan, baru
boleh berhenti," kata pelayan tua itu tersenyum.
Tangis dan tawa itu hampir sama, ada yang sejati dan ada yang
berpura-pura. Ada yang keras dan ada yang lirih, kenyataan ini
hanya dapat dilihat oleh orang yang berotak cerdas. Apakah tawa
atau tangis yang sejati? Apakah tawa kesedihan atau tangis
kegembiraan?Kwe Po Giok sudah dikenal sebagai bocah ajaib pada
usia tiga tahun, Tangannya tiba-tiba terulur, dia merenggut kerah
baju pelayan tua itu.
Siau kiong cu terkejut. Dayang cilik yang sedang menyapu pun,
sampai menghentikan gerakkannya, Tentu saja pelayan tua itu pun
ikut terkesiap, Dalam hatinya bahkan terselip rasa hormat.
"Katakan atau tidak!" bentak Kwe Po Giok.
Pelayan tua itu berusaha setenang mungkin.
"Apa yang Kwe kongcu minta hamba jelaskan?" Dia seakan tidak
mengerti maksud bocah cerdas itu.
"Biarpun ilmu Cianpwe sudah mencapai taraf kesempurnaan tapi
lawannya kali ini juga merupakan makhluk ajaib, Dia sudah
memenangkan pertarungan hampir sebanyak tigapuluh kali, Cianpwe

seharusnya lebih berhati-hati menghadapinya, Di balik peristiwa ini
pasti ada suatu misteri," kata Kwe Po Giok.
"Misteri apa?" tanya pelayan tua itu sambil tertawa getir.
"Rahasia ini hanya engkau yang tahu. Bila kau tidak mau
mengatakannya, maka aku akan membunuhmu, Setelah itu aku
akan menerima kematianku sendiri dengan membenturkan kepala ke
dinding kabin ini!" kata Kwe Po Giok dengan wajah serius.
Siau kiong cu dengan sendirinya sudah dapat membayangkan bila
semua itu benar-benar terjadi, pelayan tua itu memandang
terkesiap. Wajah yang semula tenang berubah pucat seperti
selembar kertas. Tiba-tiba dia menangis tersengguk-sengguk.
Tangisan pelayan tua itu menyiratkan arti yang dalam, dari wajah
yang tersenyum lalu berubah begitu pilu, tentu menjelaskan bahwa
apa yang bakal terjadi adalah suatu tragedi. Oleh sebab itu, Siau
kiong cu pun ikut mengalirkan airmata.
Rembulan bersinar penuh, membuat ruangan di rumah keluarga
Fang terang benderang, Namun, di wajah setiap orang ada
segumpalan kabut. Cemas, tegang, namun tidak ada satu pun yang
membuka suara, Seakan semua pembicaraan telah selesai dan tidak
tersisa lagi, pembicaraan mengenai apa pun saat ini akan terdengar
seperti bualan atau omong kosong.
Selain Fang Tiong Seng yang berhasil menghindar dari maut,
masih ada Mo Put Chi, Sun Put Ce, Bok lang kun, dan dayang Cui
thian, masih ada lagi beberapa pengikut setia yang tetap berada di
dalam ruangan Jin gie tong.
Hati mereka sangat tertekan, bagaikan seorang dokter ahli dan
pada saat itu ada pasien tergeletak parah di hadapan mereka,
namun tiada daya untuk membantu. Mungkin begitulah perasaan
orang-orang yang hadir di tempat itu. Ada juga sebagian orang yang
bahkan belum pernah merasakan keadaan demikian selama
hidupnya.
Namun, di antara mereka paling tidak ada dua orang yang masih
menyimpan setitik harapan. Harapan bagaikan matahari, di kala kita
berdiri berhadapan dengannya, bayangan kita malah berada di

belakang, Biarpun kita telah kehilangan segala sesuatu, tetapi tetap
masih tersisa sedikit harapan dalam hati.
Siapakah salah satu di antara kedua orang yang menyimpan
segaris harapan itu? Orang itu semestinya adalah Bok lang kun,
Tiba-tiba Fang Tiong Seng berdiri dari kursi singanya.
"Sudah datang!" teriak pendekar besar tersebut, pada saat yang
bersamaan sebuah suara yang dingin menyahut dari arah luar.
"Mana orangnya?" Siapa lagi kalau bukan Toa Tek To Hun.
Kalah menangnya pertarungan kali ini, sama juga dengan mati
hidupnya para pendekar kaum Bulim di Tionggoan, juga merupakan
pertarungan ketinggian ilmu antara Fu sang dan Tionggoan.
Menurut pandangan orang-orang yang selalu mengikuti tindaktanduk
dan kejadian besar dalam dunia Bulim, paling tidak mereka
menganggap Fang Tiong Seng sendiri sudah mempunyai persiapan
yang cukup matang.
Hal ini bukan karena Fang Tiong Seng pernah luput dari kematian,
tetapi disebabkan oleh keinginan untuk membalas kekalahan.
Dayang Cui thian maju untuk memberi hormat.
"Cu jin sudah sejak tadi menunggu di pegunungan sebelah Barat
di luar perkampungan," katanya memberi penjelasan Dia
mengatakan hal itu kepada Toa Tek To Hun, tapi pandangannya
justru menatap Fang Tiong Seng.
Toa TekTo Hun membalikkan tubuhnya.
"Aku berangkat sekarang juga!" Kata-katanya belum selesai,
orangnya malah sudah berada di pekarangan. Suara langkah kakinya
sama sekali tidak terdengar, namun jejak langkahnya yang rapi
meninggalkan kesan yang dalam bagi setiap orang yang hadir dalam
ruangan itu.
Ruangan itu sunyi senyap, Seluruh harapan bertumpu di
pegunungan sebelah Barat, orang-orang yang hadir masih tetap
berdiam di Jin gie tong, tapi hati mereka sudah terbawa langkah Toa
Tek To Hun ke pegunungan sebelah Barat.

Setelah begitu lama tidak ada yang bersuara, akhirnya Fang Tiong
Seng menarik nafas panjang.
"Mengapa dia tidak mengijinkan kita pergi untuk melihat
pertarungan tersebut? Bagaimana hati kita tidak menjadi tegang
kalau hasilnya tidak diketahui oleh mata kepala sendiri?" kata Fang
Tiong Seng dengan suara pilu.
"Karena dia membunuh bukan untuk dipamerkan," sahut dayang
Cui thian.
Fang Tiong Seng menganggukkan kepala tanda mengerti. Air
muka dan maksud yang tersirat dari dayang Cui thian, hanya
seorang yang paham secara keseluruhan.
Fajar baru mulai menampakkan diri, di daerah pegunungan
sebelah Barat, Rembulan sudah lama tenggelam. Daun dan
rerumputan dipenuhi embun yang berkilauan. Sebelum hari menjadi
terang, kegelapan tidak akan bertahan lama. Namun, bagi Tang hay
sin sian, penantiannya bagai seumur hidup.
Dalam keadaan biasa, orang mungkin akan menikmati udara yang
baru berganti itu, hawa yang sejuk tentu akan menyamankan hati.
Tetapi dalam keadaan gelisah seperti saat itu, siapakah yang
sanggup menikmati keindahan gunung yang menghijau, air yang
mengalir jernih?
Ini merupakan pertarungan hidup atau mati. pertarungan yang
tidak dapat dihindarinya, oleh karena itu, dia terpaksa menunggu
dengan sabar, Bahkan matanya hampir tidak pernah berkedip, Saat
itu, ada seseorang yang mendaki ke atas gunung....
Tang hay sin sian hanya melirik sekilas, Langkah kaki yang
berirama dan teratur, musuh besar telah datang memenuhi janji.
Mereka berhadapan kira-kira dalam jarak lima langkah, Dalam sinar
mata keduanya telah tersirat rasa hormat dan pengertian yang
dalam.
"Beberapa hari yang lalu aku telah menerima "makna pedang"
pada ranting pohon Siong, Hari ini Toa Tek mendapat kesempatan

bertarung dengan Siansing, merupakan kebanggaan bagiku,
Meskipun siapa yang mati atau hidup, Dalam hidup Toa Tek ini tidak
akan pernah menyesal," kata laki-laki berpakaian hitam itu.
"Aku hanya berharap Siansing bisa mengabulkan sebuah
permintaanku," kata Tang hay sin sian dengan wajah berwibawa.
"Silahkan kemukakan!" sahut Toa Tek To Hun tidak kalah serius.
Di mataTang hay sin sian ada tekad yang kuat dan semacam
perintah yang tak dapat ditolak.
"Pertarungan kita hari ini, baik siapa yang menang ataupun siapa
yang kalah, aku harap Siansing berjanji bila berhasil hidup, harus
meninggalkan Tionggoan untuk selamanya!" kata Tang hay sin sian.
Laki-laki setengah baya ini benar-benar seorang yang berbudi,
Dalam menghadapi bahaya yang demikian besar, dia tetap
mementingkan manusia sebangsanya, Sifat orang yang satu ini,
bahkan lebih terhormat dari Fang Tiong Seng di mata musuhnya.
Bagi seorang pahlawan, kematian toh hanya terjadi satu kali.
Toa Tek To Hun merasakan hatinya bergetar, manusia disegani
bukan kegalakannya, tapi karena wibawa yang dipancarkannya.
"Dapat mengadakan pertarungan dengan Siansing, berarti
keinginanku sudah terpenuhi, bila Toa Tek berhasil meraih
kemenangan dan tetap hidup, aku berjanji akan kembali ke Fu sang
dan tidak akan menginjakkan kaki lagi ke daerah Tionggoan untuk
selamanya!" jawab sang lawan dengan nada sungguh-sungguh,
"Terima kasih atas janjimu tadi, Darah sudah tumpah terlalu
banyak, Aku tidak ingin ada darah kaumku yang mengalir lagi!" kata
Tang hay sin sian dengan sinar mata hormat.
Tangan Toa Tek To Hun meraba gagang pedang, Caranya
menggenggam pedang, membuat orang yang melihatnya yakin,
meskipun pedang dipatahkan atau tangan yang dibuntungkan,
keduanya tetap tidak terpisahkan. Oleh karena itu, pedang semacam

ini memang hanya pantas dipadukan dengan tangan seperti milik
Toa Tek To Hun.
Tang hay sin sian tidak bergerak.
"Silahkan keluarkan pedang!" kata Toa Tek To Hun.
"Pedang sudah terhunus sejak tadi!" jawab Tang hay sin sian. Dia
mengulurkan tangan kanan yang disembunyikan di belakang.
Sebuah pedang pendek tergenggam di jarinya, sinar yang
dipancarkan oleh pedang pendek itu sangat menyolok mata. Pedang
ini juga mendapat sebutan Ciang tiong kiam yang berarti pedang
dalam genggaman.
Toa Tek To Hun tampak terpana.
"ltu pedang yang hendak kau gunakan untuk bertarung dengan
aku?" tanyanya dengan perasaan kurang percaya. Pedangnya sendiri
panjang sekali, hampir dua puluh kali lipat dari pedang yang
tergenggam di tangan lawannya.
"Panjang bukan merupakan kepastian untuk memenangkan yang
pendek, Ada belum pasti memenangkan yang tiada," kata Tang hay
sin sian.
Toa Tek To Hun merenung sejenak.
"Betul!" sahutnya kemudian.
"Siansing bisa mengerti maksudku ini, berarti Siansing maklum
bahwa aku melawan Siansing dengan pedang pendek ini bukan
berarti meremehkan ilmu Siansing, Harap jangan tersinggung!" kata
Tang hay sin sian.
Toa Tek To Hun kembali merasa hatinya bergetar. Dengan wajah
kereng dia menatap lawannya.
"Aku mengerti!"
Kedua orang saling berhadapan. Matahari mulai bersinar, hati
justru semakin kelam...

Di atas laut matahari pun telah naik tinggi. Sinar pagi menyebar,
pandangan terasa silau, Namun siapa yang ingin memandang lautan
yang indah di pagi hari?
Kapal dewa masih terus bergerak di atas lautan biru. Di dalam
kabin masih terlihat lampu penerangan bersinar. Siau kiong cu, Kwe
Po Giok dan pelayan tua masih ada di dalam kabin milik Tang hay
sin sian. Mereka telah berdiam diri begitu lama.
Di atas kapal tidak terlihat lagi keceriaan dan senyuman manis
seperti biasanya. Keheningan, ketegangan, kecemasan seakan
menyelimuti kapal dan isinya.
Pelayan tua duduk terhenyak dengan air mata bercucuran,
berkali-kali terlihat dia menguruti dada untuk melegakan
perasaannya. Tapi mungkinkah?
"Beberapa hari Kongcu memaksa saya bicara, tapi mati pun saya
tidak mau mengatakan apa-apa. Namun sekarang, tanpa diminta
saya tetap akan membicarakannya," kata orang tua itu dengan
wajah pilu. Kwe Po Giok menatapnya dengan pandangan tak
percaya.
"Mengapa kau harus mengatakannya sekarang?" tanya bocah itu.
Pelayan tua menatap matahari yang baru terbit, Tiada keindahan
yang dapat dirasakan olehnya.
"Karena hari ini adalah hari Chong Yang," sahutnya tanpa
menoIeh.
"Sebetulnya Thia ada rahasia apa?" tanya Siau kiong cu khawatir
Kerutan di wajah pelayan tua itu seperti bertambah banyak dan
dalam hanya jangka waktu dua hari saja. Kesedihannya tidak dapat
ditutupi lagi.
"llmu pedang yang Cu jin latih sangat dalam. Dia berusaha
mencapai taraf kesempurnaan, salahnya dia terlalu memaksa diri,
Dua tahun yang lalu, Cu jin mengalami Cao hue jit mo. Tenaga
dalam yang dilatihnya selama empat puluh tahun lebih musnah
begitu saja,

Saat ini, pedang panjang yang ditinggalkan itu tidak sanggup
dihunusnya lagi. Setiap kali dia mencobanya, setiap kali pedang itu
terjatuh ke lantai," kata pelayan tua itu sambil sekali-sekali
menghapus airmata yang berderai.
Tiada hal yang lebih mengejutkan lagi bagi Kwe Po Giok dan Siau
kiong cu. Meskipun sejak semula sudah ada firasat buruk, mereka
tetap tidak menyangka begini kejadian yang sebenarnya, Seorang
yang sudah kehilangan tenaga dalam yang dilatihnya selama
empatpuluh tahun, pergi menghadapi Toa Tek To Hun seorang diri,
akibatnya apa sama sekali tidak berani dibayangkan oleh kedua
orang itu.
Tubuh Siau kiong cu yang kecil bergetar. Kwe Po Giok secara
diam-diam mengatupkan rahang, tangannya terkepal kencang. Sinar
mata mereka terpaku pada pedang panjang yang telah membuat
Tang hay sin sian terkenal. Pedang ditinggal, orangnya sudah pergi.
Benar-benar bermaksud meninggalkan nama yang telah dipupuk
selama puluhan tahun.
"Meskipun demikian, Cu jin tetap ingin menemui Toa Tek To Hun.
Sebab hanya dia yang dapat meredakan ambisi di hati orang itu,
Biarpun dia tidak mencari Toa Tek To Hun, orang itu pasti akan
mencarinya, Cu jin lebih rela mati daripada dilihat orang sebagai
seorang jompo yang tidak bisa apa-apa lagi," sahut pelayan tua
dengan wajah semakin kelam.
Toa Tek To Hun tiba-tiba menghunus pedangnya, Sejak dulu dia
selalu menghunus pedang dengan hati yakin dan kecepatan penuh,
Baginya, kalah berarti mati.
Cahaya yang terpancar dari pedang terpadu dengan sinar
keperakan dari matahari. Laksana hujan cahaya yang deras, tapi
akibatnya sama sekali tidak sama dengan bayangan Toa Tek To
Hun. Pedangnya sudah masuk kembali ke dalam sarung.
Menghadapi Tang hay sin sian bahkan jauh lebih mudah daripada
menghadapi ketiga puluh korbannya yang lain. Benar-benar di luar
dugaannya, Tang hai sin sian belum mencabut pedang pendeknya,
Ciang tiong kiam masih terlilit dalam sarungnya.

Rupanya guratan kesedihan yang terpancar dari sinar matanya
karena dia sudah tahu bahwa hari ini pasti akan menghadapi
kematian, Wajah Toa Tek To Hun pucat bagai sinar matahari yang
bersinar.
"Kau adalah manusia yang telah cacat. Mengapa kau tetap ingin
menghadapi aku? Mengapa kau tidak mengatakannya sejak
semula?" tanya Toa Tek To Hun pilu.
Tang hay sin sian tertawa getir.
"Dapat bertemu langsung dengan dirimu," merupakan suatu hal
yang patut dibanggakan, karena sejak semula aku yakin kau bukan
orang jahat, Lagipula, demi keselamatan bangsaku, mati pun aku
rela. Bagaimana aku harus mengatakannya kepadamu?" Selesai
berkata, tubuh Tang hay sin sian rubuh ke tanah dan tidak bergerak
lagi.
Orang yang bijaksana tentu mengerti bahwa kematian hanyalah
tidur panjang, Tanghay sin sian pasti mengerti Di wajahnya masih
tersungging sebuah senyuman kepuasan.
Toa Tek To Hun bagaikan sebuah patung, Dia berdiri terpaku di
samping mayat Tang hay sin sian. Lama sekali... bayangan tubuhnya
yang dibuat oleh sang matahari makin menciut, Tiba-tiba dia tertawa
seperti orang gila.
Sembari tertawa, matanya tidak henti menatap pedang panjang di
tangannya. Pedang yang telah memberikan sekian banyak
kemenangan. Dia telah lama berteman dengan pedangnya itu, tapi
selama ini dia belum pernah merasa benci kepada pedangnya seperti
hari ini.
Toa Tek To Hun meraung keras.
"Takk!!!"

Pedang itu telah terputus menjadi dua bagian pedang panjang
dengan sejarah ratusan kemenangan Dilemparkannya pedang itu ke
tanah, matanya sama sekali tidak menoleh lagi sekejap pun.
Dia berlutut di hadapan jenazah Tanghay sin sian, orang yang
berbudi Iuhur, pasti akan melakukan hal yang sama, Manusia yang
sudah mencapai kepuasan dan rela berkorban seperti Tanghay sin
sian, mungkin tidak ada duanya lagi di dunia ini.
Selama ini Toa Tek To Hun selalu merasa dirinya adalah seorang
pendekar besar, seorang pahlawan bagi negaranya, Hari ini,
matanya telah terbuka, dia tidak lebih dari seorang pembunuh
bayaran yang berdarah dingin. Dia menyembah jenazah Tang hay
sin sian sebanyak tiga kali Wajahnya terbayang awan kelabu.
"Kau tidak usah khawatir, meskipun aku bukan seorang pendekar
besar seperti dirimu, tapi setidaknya Toa Tek To Hun adalah seorang
laki-laki sejati permintaan terakhirmu akan kukabulkan. Aku akan
meninggalkan Tionggoan dan tidak akan kembali untuk selamanya!"
ucapnya dengan suara lirih namun mengandung kepastian yang
dalam.
Senyum di wajah Tang hay sin sian seakan makin mengembang,
"Tidak akan kembali untuk selamanya! Tidak akan kembali untuk
selamanya!" Kumandang kata-kata Toa Tek To Hun terus terdengar
sampai bayangan tubuhnya menghilang.
Di pegunungan sebelah Barat, Keadaan cuaca tetap sama. Hanya
bertambah sedikit sejuk dengan adanya angin yang berhembus.
Bayangan Toa Tek To Hun sudah tidak terlihat.
Tang hay sin sian masih rebah di tanah dengan luka memanjang
di keningnya. Darah segar memercik di mana-mana, pada saat itu,
ada sebuah bayangan berkelebat. Sebuah topeng menutupi
wajahnya. pakaiannya berwarna hitam. Di bahunya tergantung
sebuah bungkusan yang panjang, mungkin isinya adalah sebatang
pedang.
Dia menghampiri tubuh Tang hay sin sian, Tangannya meraba ke
bagian jantung, tiba-tiba sebuah tawa yang ringan terdengar dari
bibirnya.

Apakah dia menertawakan nama kosong Tang hay sin sian?
Mungkin jawabannya hanya dia sendiri yang tahu, Ketika matanya
menangkap kutungan pedang hitam milik Toa Tek To Hun, dia
tertawa sekali lagi.
Kali ini secara terang ia menunjukkan kepuasan hatinya karena
dia merupakan orang satu-satunya yang menonton pertarungan
tersebut justru karena dia telah melihat semuanya, mendengar
seluruhnya, dia baru dapat tertawa dengan senang.
Dia tahu, masa kecemerlangannya telah tiba. Menggantikan
kedudukan Tang hay sin sian yang dianggap dewa kaum manusia
itu, Sebelum meninggalkan tempat itu, dia memandang sekali lagi
pada tubuh Tang hay sin sian yang telah kaku, tentu saja Toa Tek
To Hun harus tetap menjadi kambing hitamnya.
Kematian seorang pendekar besar, tentu tidak sama dengan nama
keroco. Di daerah pegunungan bagian Barat, datang lagi dua orang
yang lain, mereka seperti tidak percaya dengan pandangan mata
mereka sendiri, terlebih-lebih Bok lang kun.
Masih lumayan Sun Put Ce. Setelah terkejut sekejap, dia tidak
bersuara lagi, tetapi, meskipun mulutnya tidak mengucapkan
sepatah kata pun, di dalam pikirannya mungkin sedang berkecamuk
rasa gelisah.
"Kau percaya?" tanya Bok lang kun.
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Aku juga tahu, kau tidak mungkin percaya dengan penglihatan
kita," kata Bok lang kun selanjutnya.
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya sekali lagi. Bok lang kun
kebingungan melihat tingkahnya.
"Sebetulnya kau percaya atau tidak?" tanyanya.
"Percaya," sahut Sun Put Ce.

Bok lang kun menarik nafas.
"Sun lao te, kata-katamu seakan membuatku pusing tujuh
keliling," katanya.
"Aku memang tidak bisa bicara," sahut Sun Put Ce.
"Tapi kau kan bisa berpikir," kata Bok lang kun dengan nada
kurang puas. Sun Put Ce tidak memberikan jawaban, Bok lang kun
mengedarkan matanya ke sekeliling tubuh Tang hay sin sian . "
"Aku mempunyai satu pendapat, bila dia menggunakan pedang
panjang yang membuatnya terkenal, pasti akhirnya tidak akan
menjadi seperti ini, bukan..."
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
Bok lang kun merenung sejenak.
"Tetapi... mengapa dia tidak menggunakan pedang panjangnya?
Apakah dia terlalu meremehkan lawannya?" pertanyaan laki-laki itu
seperti ditujukan untuk dirinya sendiri Sun Put Ce diam kembali.
"Betapa harus disayangkan bila seorang pendekar besar pada
zamannya harus mengalami kematian di tangan seorang asing yang
datang dari Fu sang, Tampaknya malah tidak lebih dari sepuluh jurus
mereka bergebrak," kata Bok lang kun sambil menenangkan
perasaannya yang masih goncang.
Sun Put Ce menatap jejak kaki yang melingkar di sekitar mayat
Tang hay sin sian dengan pandangan terpesona.
"Tampaknya kau mempunyai pendapat tersendiri mengenai
sepuluh jurus yang kukatakan tadi?" tanya Bok lang kun setelah ikut
melirik sekilas.
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Apakah kau juga percaya bahwa Tang hay sin sian mati dalam
sepuluh jurus?" tanya Bok lang kun kembali

Sekali lagi laki-laki itu menggelengkan kepalanya, Bok lang kun
merasa sedikit kesal. Dia tidak tahu dirinya bukan orang pertama
yang mempunyai perasaan demikian terhadap Sun Put Ce.
"Kelihatannya kau mempunyai kebiasaan menggeleng-gelengkan
kepala!" katanya menyindir.
"Tidak!" sahut rekannya.
"Kalau kau tidak percaya Tang hay sin sian mati dalam sepuluh
jurus, Coba katakan pendapatmu, dalam berapa jurus dia rubuh?"
tanya Bok lang kun makin kesal.
Sun Put Ce merenung sejenak, Kemudian dia menarik nafas
panjang.
"Setengah jurus!" Akhirnya dia menjawab juga.
Bok lang kun terkejut sekali, Matanya hampir keluar karena
mendelik Dia sangat menghormati Tang hay sin sian. Meskipun dia
tidak seperti orang lain yang menganggap orang itu seperti dewa.
Karena dia tahu, hanya orang bodoh yang latah terhadap ka-takata
orang lain, sedangkan orang yang cerdik akan mempunyai
tanggapannya sendiri Bok lang kun mencibirkan bibirnya.
"Apakah kau tidak melihat jejak kaki di tanah itu?" tanyanya
dengan suara dingin, Sun Put Ce justru menganggukkan kepalanya.
"Justru saya sudah melihat jelas jejak kaki di tanah baru berani
memberikan kesimpulan!" katanya tegas.
"Kalau kau memang sudah lihat, bagaimana kau bisa mengatakan
tidak percaya? jejak kaki yang banyak itu terang-terangan sudah
menandakan bahwa kedua orang itu pernah bergebrakan paling
tidak sebanyak sepuluh jurus," kata Bok lang kun.
Sun Put Ce tidak bersuara lagi.
"Penyakitmu yang kalau bicara suka setengah-setengah ini benarbenar
bisa membuat orang muntah darah karena kesal!" bentak Bok
lang kun.

"Saya tahu," sahut Sun Put Ce tenang.
"Kalau tahu justru harus dirubah!" kata Bok lang kun dengan nada
lebih lunak.
"Baik!" sahut Sun Put Ce kembali.
"Kalau dilihat dari jejak kaki yang tertinggal kedua orang itu pasti
pernah bergebrak sebanyak sepuluh jurus. Bagaimana
pendapatmu?" tanya Bok lang kun.
"Saya sudah memberikan pendapat tadi," sahut Sun Put Ce
dengan wajah tidak menunjukkan perasaan.
"Tetap yakin setengah jurus?" tanya Bok lang kun dengan mata
terbelalak.
"Betul!" sahut Sun Put Ce serius.
"Berdasarkan apa?" tanya Bok lang kun kurang puas.
Sun Put Ce tidak pernah marah, persoalan apa pun dihadapinya
dengan kepala dingin. Seakan waktu yang tersisa baginya selalu
lebih banyak dari orang lain.
"Jejak kaki!" katanya.
Bok lang kun merasakan dadanya hampir meledak.
"Apakah kau masih belum melihat dengan jelas jejak kaki di
tanah. jejak yang begitu banyak sudah dapat dipastikan hasil
gebrakan kedua orang itu!" teriaknya marah.
"Tidak! Masih ada jejak kaki orang ke-tiga," sahut Sun Put Ce
setenang biasanya.
Bok lang kun terpana, Dia segera memeriksa sekali lagi jejak kaki
di tanah itu. Lama sekali dia termenung, kemudian dia mengalihkan
pandangan ke arah rekannya.

"Sun Laote, aku merasa kau sangat pintar," katanya seraya
menghela nafas.
"Terima kasih," jawab Sun Put Ce.
"Tapi agak menakutkan," lanjut Bok lang kun.
"Saya menakutkan?" Baru kali Sun Put Ce merasa heran.
"Tidak salah! Dari sikapmu yang hanya melihat tapi tidak bicara.
Kau menyimpan dugaanmu dalam hati. Kalau melihat
kelambananmu bila sedang melakukan sesuatu, sungguh merupakan
suatu kebalikan," kata Bok lang kun.
"Ada orang yang mengatakan, orang yang cerewet seperti sebuah
kapal yang bocor. Manusia sejenis ini selalu dijauhi teman," sahut
Sun Put Ce.
Bok lang kun terpana, Dia menggelengkan kepalanya berulang
kali.
"Tidak disangka hari ini aku menambah pengalaman!" katanya.
Sun Put Ce menatap tubuh Tang hay sin sian yang terbujur kaku,
"Bagaimana kalau kau katakan tentang jejak kaki tiga orang yang
berbeda itu?" tanya Bok lang kun.
"Kalau pendapat saya salah, harap jangan ditertawakan," sahut
Sun Put Ce.
"Mana mungkin..." kata Bok lang kun.
"Di antara ketiga jejak kaki itu, ada seorang yang memakai sepatu
yang depannya berbentuk lebar. Semacam sandal jepit dengan tali di
atasnya, itu adalah jejak kaki Toa Tek To Hun," ujar Sun Put Ce
menjelaskan.
"Betul! Sepatu macam itu disebut Cui can cu. Hanya orang negara
Fu sang yang memakainya!" kata Bok lang kun sependapat.

"Jejak kaki kedua ada tercetak huruf "Hok", itu pasti sepatu Tang
hay sin sian, Kalau kau tidak yakin, coba kau buka sepatu itu dari
kakinya dan cocokkan," kata Sun Put Ce.
"Tidak usah! Aku mempercayai kata-katamu," sahut Bok lang kun.
"Jejak kaki orang ketiga lebih panjang, Mungkin panjangnya ada
kira-kira sejempol," lanjut Sun Put Ce menjelaskan Bok lang kun
memperhatikan sekejap, "Benar.... Kemungkinan besar orang ini
bertubuh tinggi dan berperawakan tegap, Mungkinkah orang itu
adalah teman yang dibawa oleh Toa Tek To Hun? Tapi setahuku,
orang ini kemana-mana selalu sendirian," kata Bok lang kun tak
habis pikir.
"Tentu saja Toa Tek To Hun selalu bergerak sendirian dan orang
seperti Tang hay sin sian juga tidak mungkin mengajak teman
Lagipula, orang yang mempunyai kaki besar, belum tentu
perawakannya juga pasti tinggi besar. Seperti orang yang bertubuh
pendek, juga ada sebagian yang mempunyai kaki dan tangan yang
besar," sahut Sun Put Ce.
Bok lang kun merenung sejenak, Memang dia tidak dapat
membantah kebenaran kata-kata Sun Put Ce, sebetulnya banyak
orang yang berperawakan tinggi besar, tapi bentuk kaki dan
tangannya justru kecil-kecil.
Dan ada lagi orang yang kerdil, tapi telapak tangan dan kakinya
malah besar Dia menatap ke arah Sun Put Ce. Orang ini selalu
mempunyai pendapat yang masuk akal.
Pandangan Sun Put Ce mengarah ke perkampungan keluarga
Fang di kejauhan, Di dalam hati keduanya berkecamuk perasaan
yang berbeda. Tentu saja, hanya mereka yang mengetahuinya.
"Orang yang memberikan nama Put Ce padamu, barulah dapat
disebut orang yang matanya belum terbuka," kata Bok lang kun.
Sun Put Ce tidak mengeluarkan suara. Bok lang kun juga belum
dapat mengerti orang itu sepenuhnya, karena Sun Put Ce tidak
pernah memperdulikan penilaian orang terhadap dirinya.

Meskipun menerima caci maki atau pun pujian, dia tidak pernah
menunjukkan reaksi apa-apa. Sun Put Ce adalah seorang laki-laki
yang istimewa.
Panas terasa membara.
Di ruangan besar keluarga Fang hawa terasa menyengat,
meskipun tiga buah jendela yang besar-besar terbuka lebar. Luka di
kening Fang Tiong Seng semakin jelas. Dia duduk di atas kursi
singanya.
Sun Put Ce dan Bok lang kun baru kembali Bok lang kun adalah
seorang tamu, Dia duduk di kursi yang telah disediakan. Mo Put Chi
dan Hu Put Ciu duduk kiri kanan Fang Tiong Seng, Sun Put Ce
berdiri di hadapannya dan melaporkan apa yang telah dilihatnya
tadi.
Dayang Cui thian duduk di sisi Bok lang kun. Air mata masih
menitik terus. Kekecewaan dan kesedihan memenuhi hati setiap
orang yang hadir, tidak ada satu pun yang menemukan cara terbaik
untuk memulai pembicaraan supaya suasana tidak begitu
mencekam.
Hanya isak tangis dayang Cui thian yang seakan menjadi musik
pengantar kepiluan hati mereka, rasanya dia ingin mengungkapkan
kekesalan dan kesedihan hatinya.
"Cu jin adalah manusia yang sakti, toh masih bisa dikalahkan oleh
Toa Tek To Hun.
Oleh karena itu aku yakin, Toa Tek To Hun tidak mungkin
melawannya sendirian, jejak kaki orang ketiga itu pasti merupakan
bukti bahwa dia membawa seorang pendam-ping," kata Cui thian
dengan tersendat-sendat.
Setiap orang sependapat dengan pandangan dayang Cui thian,
Hanya Sun Put Ce dan Bok lang kun yang tidak setuju, Tetapi pada
saat itu mereka tidak mengatakan apa-apa karena takut melukai hati
dayang Cui thian.

"Toa Tek To Hun pasti merasa agak jeri mendengar nama besar
Tang hay sin sian, jadi dia mengajak seorang pembantu untuk
bersama-sama menghadapinya. Kita juga mempunyai banyak jago
yang ternama, mengapa kita tidak mengajak mereka bergabung
agar Toa Tek To Hun dapat dibasmi?" kata Hu Put Chiu
mengeluarkan pendapatnya.
Ruangan menjadi hening seketika, setiap orang sibuk dengan
pikiran masing-masing, Fang Tiong Seng bangkit dari kursinya.
wajahnya kusut, Terlihat jelas bahwa hatinya sedang dalam keadaan
tertekan.
"Di Tionggoan pasti ada seorang jago yang dapat mengatasi Toa
Tek To Hun!" katanya dengan nada sendu.
"Pasti ada!" sahut Mo Put Chi lantang, Fang Tiong Seng menarik
nafas panjang, Terlihat bayangan kekecewaan di wajahnya.
"Orang seperti Tang hay sin sian yang begitu tinggi ilmunya,
ternyata hanya menggunakan sebatang pedang pendek melawan
Toa Tek To Hun. Meskipun orang tua itu menemui ajalnya, tapi
dapat dikatakan sulit mencari tandingannya lagi," kata pendekar
besar tersebut.
"Cayhe rasa Tang hay sin sian tidak menggunakan pedang
panjang pasti ada alasan tertentu," kata Bok lang kun mengeluarkan
pendapatnya, perkataan ini membuat perhatian semua orang terarah
kepadanya.
Teori yang tampak gamblang ini ternyata tidak ada yang
terpikirkan sejak tadi,
"Perkataan Bok lang kun taihiap ada benarnya, Tetapi pendek
pedang belum tentu tidak dapat mengalahkan pedang panjang, Hal
ini mengandung arti yang dalam, Maksudnya yang penting bukan
senjatanya tapi orang yang menggunakannya, Bila ilmu orang itu
cukup tinggi maka senjata apa pun digunakannya tidak lagi menjadi
persoalan Tang hay sin sian tidak menggunakan pedang panjangnya
memang mempunyai banyak alasan yang dapat kita kemukakan.

Mungkin dia merasa ilmunya sudah mencapai taraf kesempurnaan
sehingga untuk melawan seorang Toa Tek To Hun saja tidak perlu
menggunakan pedang yang membuatnya terkenal itu," kata Fang
Tiong Seng mengambil kesimpulan
"Apa yang suhu katakan memang benar, Tanghay sin sian terlalu
yakin dengan ilmunya sendiri Siapa tahu dia akan mengalami
kejadian seperti ini," sahut Hu Put Chiu.
"Tampaknya kaum Bulim yang ilmunya tinggi memang banyak,
tapi siapa yang dapat setepat suhu dalam mengambil tindakan?"
kata Mo Put Chi.
Wajah Bok lang kun memerah. Dia tidak suka nada bicara seperti
itu. Namun dia tidak membantah sementara itu, dayang Cui thian
seperti tidak mendengarkan perkataan manusia di sekitarnya, Dia
tenggelam dalam kesedihannya sendiri.
Terhadap kata-kata apa yang baru saja didengarnya, meskipun
dirinya sangat menghormati Tang hay sin sian dan kurang menyukai
Fang Tiong Seng, alasan untuk membantah memang tidak ada.
Penjelasannya sangat sederhana.
Maksud kedua orang tadi, meskipun Fang Tiong Seng mengalami
kekalahan dari Toa Tek To Hun, tapi dia tetap hidup segar bugar
sampai saat ini, Tang hay sin sian juga kalah, meskipun namanya
lebih terkenal dari Fang Tiong Seng, tapi dia tidak berhasil luput dari
kematian Fang Tiong Seng juga merasa kata-kata muridnya agak
keterlaluan. Dia mendelikkan mata lebar-lebar kepada kedua orang
tersebut.
"Aku yang menjadi guru kalian sudah mengalami kekalahan,
meskipun masih tetap hidup, tidak ada satu pun yang patut dijadikan
kebanggaan! Tang hay sin sian memang mati, tapi kemungkinan
besar Toa Tek To Hun membawa begundalnya untuk mengeroyok
orang sakti tersebut," katanya dengan nada dingin.
Bok lang kun serta merta menganggukkan kepala berkali-kali.

Fang Tiong Seng memang bukan jago biasa, Dia adalah seorang
pendekar yang terkenal berbudi dan bijaksana, Dia dapat tetap
hidup sampai sekarang, sudah merupakan rejeki besar bagi kaum
Bulim.
"Siapkan segala keperluan penguburan bagi Tang hay sin sian!"
perintahnya. Para murid dan anak buahnya serentak mengiakan
Kesibukan pun terlihat di rumah itu.
-oooo0oooo-
Rumah makan ini mempunyai nama yang cukup terkenal di kota
tersebut, Bok lang kun tidak pernah melewatkan setiap penginapan
atau pun restoran yang ternama, dia merasa kehidupan seorang
manusia harus dinikmati sebaik mungkin.
Kalau manusia memang tidak dapat hidup tanpa makan atau pun
minum, mengapa selagi masih ada kesempatan tidak digunakan
secara baik-baik?
Rumah makan yang mempunyai nama memang banyak, Namun
belum tentu semua bisa memasak hidangan yang terkenal dari
setiap daerah, Mereka mempunyai keistimewaan masing-masing.
Kecuali di kota raja. Semua yang kita inginkan dapat ditemui di
sana. Barang siapa yang sudah terbiasa keluar masuk restoran, pasti
akan mampu mengenali dan membedakan cita rasa setiap masakan
yang disajikan.
Hati Bok lang kun sedang tertekan, dia duduk di restoran kelas
satu dalam kota.
Dipilihnya tempat duduk yang menghadap ke pintu masuk, Dia
minum dan makan sendirian, mungkin suasana hati yang sedang
galau mempengaruhi seleranya, Dia merasa semua yang tersaji di
hadapannya tawar dan tidak enak.
Tiba-tiba tampak Sun Put Ce masuk dari pintu. Bok lang kun
melambai-lambaikan tangannya. Sun Put Ce entah sedang
memperhatikan apa, dia tidak melihat gapaian tangan Bok lang kun
Laki-laki itu menduga tentu ada yang menarik perhatian Sun Put Ce,

bila tidak, tak mungkin wajahnya begitu kebingungan Mungkin telah
terjadi sesuatu yang di luar dugaannya.
Entah apa sebabnya, Bok lang kun kurang menyukai murid
perguruan Fang Tiong Seng, Hanya terhadap Sun Put Ce,
pandangannya agak lain. Dia tidak dapat mengemukakan alasan
yang tepat.
Mungkin dia menyukai Sun Put Ce karena orang itu tidak banyak
bicara, bukankah ada pepatah yang mengatakan, daripada banyak
bicara lebih baik diam, sedikit bicara asal yang penting saja. Dari sini
dapat dibuktikan bahwa untuk berbicara saja bukan hal yang mudah
dilakukan.
Bok lang kun melemparkan sebuah uang perak dan mengikuti
langkah Sun Put Ce yang baru saja meninggalkan restoran itu.
Mungkin dia sedang mencari seseorang tapi tidak dapat
menemukannya lalu berganti arah, Bok lang kun merasa penasaran,
Tidak biasanya Sun Put Ce bertingkah seaneh itu.
Dia mempercepat langkahnya, Sun Put Ce sudah sampai di
tikungan jalan, Dalam perguruan Fang Tiong Seng, Sun Put Ce
adalah murid yang tidak menonjol. Namun Bok lang kun percaya,
justru orang itu yang paling cerdas. Dengan kecepatan langkahnya,
dalam sekejap ia sudah dapat menyusul Sun Put Ce. Matahari mulai
tenggelam. Di atas langit tampak warna-warna bercahaya.
Pemandangan di luar perkampungan pada saat matahari
tenggelam, mempunyai keindahan tersendiri Bok lang kun ingin
melambaikan tangannya dan memanggil Sun Put Ce. Rasanya tidak
baik menganggap Sun Put Ce seorang yang tidak berakal. Dia
enggan mengacaukan maksud yang terkandung dalam hati rekannya
itu.
Tanpa disangka-sangka, laki-Iaki itu membalikkan tubuhnya dan
mengisyaratkan dengan tangan agar dia mendekat dengan diamdiam.
Bok lang kun semakin kagum terhadap orang itu. Kalau bicara
tentang ilmu silat, Sun Put Ce masih jauh dibandingkan dengan
dirinya. Tapi reaksinya terhadap keadaan sekelilingnya ternyata lebih

cepat daripada Bok lang kun. Pada umumnya, seseorang yang
mempunyai naluri yang kuat, Bila reaksinya kurang cepat, berilmu
tinggi pun tiada gunanya.
Bok lang kun sudah sampai di sampingnya. Dia mengulurkan
badan mendekati ke arah telinga rekannya itu.
"Apa yang kau temukan?" bisiknya, Sun Put Ce menggelengkan
kepalanya, "Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Bok lang kun
semakin heran. Mata Sun Put Ce memandang jauh ke depan, Seperti
seekor elang yang mengincar seekor kelinci Bok lang kun tidak saja
mengagumi Sun Put Ce.
Dia juga menganggap dia rada aneh, dulu Bok lang kun adalah
seorang Bulim bengcu dari aliran hitam. Setelah Toa Tek To Hun
datang ke Tionggoan untuk meraja-lela, dia percaya mereknya
terpaksa harus diturunkan. Tetapi dia ingin sekali dapat bertemu
sekali dengan orang itu dan mengadu ilmu.
Tentu saja dengan maksud berbagai pengalaman supaya bisa
menjajaki sampai mana tingginya ilmu Toa Tek To Hun. Dengan
demikian, kemungkinan besar dia bisa mencari titik kelemahan orang
itu.
Namun selamanya Toa Tek To Hun tidak pernah bermain-main,
Bila orang itu tidak menahan serangannya, terpaksa ia harus
mengorbankan diri.
"Saya melihat seseorang yang membawa pedang panjang," kata
Sun Put Ce memecahkan keheningan.
"Apakah kau kira setiap orang yang membawa pedang panjang
pasti Toa Tek To Hun?" tanya Bok lang kun.
"Saya juga melihat sepasang kaki," sahut Sun Put Ce.
Bok lang kun ingin tertawa, Bila kaki yang dilihat Sun Put Ce tidak
memakai rantai emas, tentu merupakan sepasang kaki yang
bentuknya aneh sehingga menarik perhatiannya.

"Sepasang kaki yang bagaimana?" tanya Bok lang kun tersenyumsenyum.
Mata Sun Put Ce kembali memandang ke arah kejauhan di
depannya.
"Semestinya merupakan salah satu dari kaki yang meninggalkan
jejak di pegunungan sebelah Barat," gumam laki-Iaki yang dianggap
aneh itu.
Bok lang kun terpana, Dia memperhatikan Sun Put Ce sekian
lama. Dia merasa selain cerdas, dia juga termasuk makhluk ajaib.
"Meskipun mata saya salah lihat, Dan kau menganggapnya saya
seperti makhluk ajaib, saya juga tidak akan perduli," kata Sun Put
Ce.
Bok lang kun hampir tertawa terbahak-bahak. Rekannya ini
seakan bisa membaca pikirannya saja, Dia semakin kagum terhadap
laki-laki itu.
"Tahukah kau? Meskipun kau adalah makhluk ajaib, tapi kau
cukup menyenangkan," kata Bok lang kun.
"Apakah kau tidak merasa bahwa dirimu sudah banyak berubah?"
tanya Sun Put Ce.
"Rasa rendah diri paling mudah merubah watak seseorang," sahut
Bok lang kun sambil menarik nafas.
"Mengapa kau harus merasa rendah diri?" tanya Sun Put Ce.
Bok lang kun menundukkan kepalanya, Wajahnya terlihat sendu.
"Aku adalah seorang Bulim bengcu, meskipun dari hek to. Tapi
ketika seorang pembunuh bayaran dari Fu sang membunuhi para
jago di Tionggoan, aku malah menyembunyikan diri," sahut laki-laki
itu sambil menghela nafas sedih.
Sun Put Ce ikut menarik nafas.
"Aku tahu kau memandang rendah diriku. Memang kenyataannya
orang yang rendah diri adalah orang yang merasa dirinya rendah,"
kata Bok lang kun.
"Saya tidak mempunyai maksud demikian." sahut Sun Put Ce.

"Apa yang kau maksudkan memang sulit diterka," kata Bok lang
kun kembali
"Kau salah!" sahut Sun Put Ce. "Sejak semula memang aku telah
berbuat kesalahan, Aku sebetulnya tidak boleh menjadi seorang
kepala perampok, Lebih-lebih tidak pantas menjadi seorang Bulim
beng-cu!" kata Bok lang kun.
"Sebetulnya di dalam dunia Bulim masih ada orang yang lebih
menggemaskan darimu," sahut Sun Put Ce.
"Siapa?" tanya Bok lang kun tidak mengerti.
"Orang yang menghianati kaumnya sendiri," sahut Sun Put Ce.
Bok lang kun terkejut.
"Siapa yang mengkhianati kaumnya sendiri?" tanyanya.
Sun Put Ce tidak menjawab, Mimik wajahnya aneh sekali, kecuali
dirinya sendiri, siapa pun tidak ada yang dapat menebak perasaan
hatinya, Dia berlari ke arah depan. Bok lang kun mengikuti di
belakangnya. Bok lang kun menganggap bila Sun Put Ce diangkat
menjadi Bulim bengcu, tentu akan jauh lebih terkenal dari pada
dirinya, Dunia Bulim akan mengalami perubahan yang dahsyat.
Setelah berlari kurang lebih dua li, mereka menangkap suara
pembicaraan dan tertawa yang terkekeh-kekeh dari dua orang, Sun
Put Ce memberi isyarat dengan gerakan tangan, Bok lang kun
benar-benar terpana. ia memang tidak dapat melebihi Sun Put Ce.
Kedua orang itu menyelinap ke dalam hutan. Di dalamnya
terdapat banyak pohon besar berusia ribuan tahun, jumlahnya
banyak sekali. Mereka bersembunyi di balik sebuah pohon besar
yang terlindung dari pandangan kedua orang itu.
Bok lang kun menatap ke depan, matanya hampir melonjak
keluar, Sun Put Ce tetap tidak menunjukkan perubahan apa-apa. Di
hadapan mereka ada dua orang laki-laki, Salah seorang di antaranya
sangat terkenal. Dia adalah Raja tinju dari Mo Pak.

Gelarnya Hong Be (Kuda gila), Bok lang kun hanya pernah
bertemu dengan orang itu satu kali, namun dia tak akan lupa untuk
selamanya.
Tidak ada satu orang pun yang tahu nama aslinya, Mungkin
karena gelar Hong Be terlalu besar sehingga nama aslinya tidak
pernah diingatnya lagi. Yang satunya lagi merupakan seorang
manusia yang mengenakan sebuah topeng hitam, yang terlihat
hanya kedua bola mata dan bibirnya saja. Seluruh pakaiannya juga
berwarna hitam, Di tangannya tergenggam sebuah pedang dengan
bentuk aneh.
"Pedangmu memang mirip Toa Tek To Hun. Tapi penampilanmu
justru seratus persen barang lokal," kata Hong Be dengan nada sinis.
Manusia bertopeng itu mendengus dingin.
"Mengapa kau mengikuti Tuan besarmu sampai ke tempat ini?"
tanya Hong Be setelah tidak mendengar jawaban dari orang
tersebut,
"Mengadu ilmu!" sahut manusia bertopeng itu ketus.
Hong Be tertawa tergelak-gelak, Kemudian dia menatap seluruh
tubuh manusia bertopeng itu dari atas kepala sampai ke kaki.
"Apakah tawamu sudah selesai?" tanya manusia bertopeng itu
kembali.
"Kau ingin meniru Toa Tek To Hun. Mengail di air keruh?" kata
Hong Be dengan nada sindiran, Manusia bertopeng malah tertawa
terkekeh-kekeh. Dia tidak menjawab perkataan Hong Be.
"Meskipun kau ingin meniru Toa Tek To Hun, tapi masih ada satu
hal yang tidak dapat ditiru olehmu!" kata Hong Be.
"Apa itu?" tanya manusia bertopeng itu dengan nada tajam.

"Sesuatu yang tidak pernah berubah, Langkah kakinya yang
teratur," kata Hong Be tersenyum sinis. Manusia bertopeng
tampaknya terpaksa mengakui kelemahannya ini.
"Hanya dengan melihat gerakan dan suaramu, aku bisa menduga
kau tentunya seorang jago kelas satu dalam dunia Bulim, Namun
aku tidak mengerti mengapa kau harus menyamar sebagai Toa Tek
To Hun?" tanya Hong Be.
"Untuk selamanya kau tidak akan mengerti" sahut manusia
bertopeng.
"Paling tidak aku mengerti satu hal," kata Hong Be.
"Apa yang kau mengerti?" tanya manusia bertopeng sambil
menatap tajam pada lawan bicaranya.
"Kau ingin mencelakai Toa Tek To Hun.... Kau bermaksud
menimpakan seluruh kesalahan ini atas dirinya!" kata Hong Be
dengan nada yakin. Manusia bertopeng itu kembali mendengus
dingin.
"Sayangnya terkaanmu hanya benar separuh," sahut manusia
bertopeng itu.
"Yang separuh lagi?" tanya Hong Be penasaran.
"Aku memang bermaksud menimpakan kesalahan kepada
seseorang, tapi bukan Toa Tek To Hun!" kata lawan bicaranya.
Hong Be termangu-mangu sejenak.
"Makmu bau! Sudah terang-terangan kau ingin mencelakakan Toa
Tek To Hun! pedang yang kau gunakan mirip dengan pedangnya.
Sejak dulu di Tionggoan belum pernah tersiar berita ada seorang
jago yang menggunakan pedang seperti itu," sahut Hong Be merasa
dirinya didustai.

"Bicara dengan manusia yang tidak berpendidikan memang susah.
Kau toh tidak akan mengerti. Untungnya aku datang dengan maksud
mengadu ilmu, bukan mengadu mulut!" seru manusia bertopeng itu
tak sabar lagi.
Hong Be marah sekali Wajahnya merah padam.
"Makmu kurang ajar! Baik! Kita lihat pedang siapa yang lebih
tajam!" teriaknya dengan suara keras.
"Trang!!!"
Pedang sayap camar salju berkilau Hong Be telah dihunus,
Rambutnya yang berwarna pirang dan acak-acakan disertai wajah
yang panjang, dan suara tertawanya yang meringkik, membuat
Hong Be persis seperti seekor kuda. Sungguh sebuah gelar yang
tepat!
Manusia bertopeng hitam itu tetap menggenggam pedang hitam
berikut sarungnya dengan tangan kanan. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa manusia tersebut menghunus pedang dengan
tangan kirinya. Dia adalah seorang kidal, Kecuali orang yang baru
menginjakkan kaki untuk pertama kali ke tanah Tionggoan, mestinya
banyak orang yang mengenal siapa pendekar yang biasa bertangan
kidal.
Sedikit hembusan angin gunung, bertiup semilir menggidikkan hati
orang yang berada di sekitar tempat itu.
"Mengapa kau belum menghunus pedangmu?" tanya Hong Be
dengan suara tajam.
Manusia bertopeng masih berdiri terpaku Bok lang kun dan Sun
Put Ce diam-diam menarik nafas, Dari sikapnya, mereka dapat
menebak bahwa Hong Be belum pernah bertemu dengan Toa Tek
To Hun.
Orang itu ingin menyamar sebagai pembunuh bayaran tersebut,
tentu tindakannya juga dibuat semirip mungkin.Toa Tek To Hun
tidak pernah menghunus pedang sebelum langsung menyerang. Dan

sudah pasti sekali pedang terhunus, dalam sekelebatan musuhnya
roboh ketanah!
Sun Put Ce memandang sepasang kaki manusia bertopeng
dengan seksama, sedangkan Bok lang kun memperhatikan tangan
kiri dan pedangnya. Sulit dikatakan apa maksud pandangan kedua
orang itu, Namun bagaimana pun mereka yakin bahwa manusia
bertopeng inilah yang datang ke pegunungan sebelah Barat untuk
menyaksikan pertarungan antara Toa Tek To Hun dan Tang hay sin
sian.
Hong Be juga dapat merasakan hawa pembunuhan yang
terpancar dari diri manusia bertopeng itu. Dia tidak mengucapkan
kata-kata lagi. Secepat kilat pedangnya disapu ke depan. Pedang di
tangan manusia bertopeng itu juga berkelebat, Gerakannya memang
mirip dengan Toa Tek To Hun, tapi Sun Put Ce dan Bok lang kun
masih bisa melihat dengan jelas.
Serangannya memang cukup cepat, paling tidak itulah anggapan
Hong Be. Dia mencoba menangkis serangan manusia bertopeng itu,
tapi dalam sedetik saja dia menyadari dirinya kurang cepat.
Dalam keadaan seperti ini, dia dapat menilai serangan dirinya
masih belum bisa mengenai manusia bertopeng itu, sedangkan
serangan dari orang tersebut sudah dekat dan tidak bisa ditahan
olehnya, Dia berusaha keras untuk menggeser tubuhnya sedikit ke
samping, Namun hal itu juga masih kurang cepat dilakukannya
"Ceeeeppp!"
Lengan kirinya telah tertembus oleh pedang lawan. Pada saat itu
Hong Be sama sekali tidak gila, Dia sadar sepenuhnya, Dia
mengeluarkan serangannya yang paling ganas. Selama
berkecimpung di dunia Bulim, dia hanya pernah menggunakan jurus
tersebut satu kali, yaitu ketika menghadapi lima orang musuh
tangguh.
"Trang! Trang!"
Dua kali suara itu terdengar, serangannya yang paling ampuh pun
tetap dapat dihindari manusia bertopeng itu. Dia sadar dirinya masih
belum dapat menandingi orang tersebut Sekali pedang di tangan kiri

manusia bertopeng berkelebat Pedang sayap camar salju berkilauan
milik Hong Be terpelanting.
"Ting!"
Melayang jauh dan terjatuh ke tanah. Di saat menjelang
kematiannya, Hong Be mengamuk kalang kabut, Dia meninju dan
menyerang dengan telapak tangannya secara serampangan, namun
hasilnya tetap sia-sia. Dia menangis menggerung, ratapannya mirip
seekor kuda yang disembelih. Darah segera muncrat dari keningnya,
orangnya pun rubuh ke tanah.
Sun Put Ce dan Bok lang kun sama-sama berpikir, kalau manusia
bertopeng itu memang bukan bermaksud mencelakai Toa Tek To
Hun, mengapa gerakannya dilakukan persis seperti orang itu?
Lagipula mengapa dia tidak mau mengakuinya?
"Keluar!" bentak manusia bertopeng itu. Bok lang kun menatap
Sun Put Ce sejenak,
"Cepat pergi!" serunya, "Kau tidak bisa berbuat apa-apa," kata
Bok lang kun.
"Dua tetap lebih baik daripada satu!" sahut Sun Put Ce keras
kepala.
"Dua juga masih bukan tandingannya," kata Bok lang kun sambil
menarik nafas panjang.
"Kalau sudah tahu dua saja masih tidak bisa mengalahkannya,
kau suruh aku lari sendiri?" tanya Sun Put Ce dengan suara sinis.
"Aku masih bisa mengimbangi sesaat, Kau lari dan cari
pertolongan," kata Bok lang kun.
"Gerakanmu lebih cepat daripada saya. Kau yang lari mencari
pertolongan," sahut Sun Put Ce berkeras.

"Kau benar-benar tidak mengerti soal mati hidup, Apakah kau
sudah bosan hidup lebih lama lagi?" bentak Bok lang kun.
"Betul!" sahut Sun Put Ce ngotot.
"Mengapa?" tanya Bok lang kun.
Sun Put Ce tidak menyahut.
"Kau harus menjelaskan dulu kepadaku!" kata Bok lang kun
kembali.
"Bencana besar!" sahut Sun Put Ce.
"Aku tidak mengerti, Kau jangan mengoceh yang tidak-tidak!"
kata Bok lang kun. Terdengar suara manusia bertopeng itu
mendengus.
"Bok lang kun! Apakah kau merasa jeri?" tanya manusia
bertopeng itu tajam tanpa menoleh.
Jilid 8
"Kalau kau sendiri tidak merasa takut, mengapa topengmu tidak
dilepaskan?" sindir Bok lang kun.
"Jika kau bisa mengalahkan pedang di tanganku, tentu kau akan
melihat wajah ini dengan jelas!" sahut manusia bertopeng itu.
Bok lang kun keluar dari persembunyiannya.
"Sun Put Ce! Lekas lari!" Dia masih sempat menoleh kepada
rekannya.
"Tidak!" sahut Sun Put Ce tegas. Kata "tidak" nya jelas-jelas sulit
dirubah menjadi
"iya", Persis seperti kata "iya" nya yang juga sulit dirubah menjadi
"Tidak".

"Kalau kau ingin mengetahui sebuah rahasia besar, maka kau
harus cepat pergi dan mengintip ke dalam rumah kayu kecil," bisik
Bok lang kun.
Sun Put Ce terpana mendengar ucapan rekannya.
"Rumah kayu kecil yang mana?" tanyanya heran.
"Rumah kayu kecil yang membuat kita membalikkan tubuh pun
sulit," sahut Bok lang kun.
Wajah Sun Put Ce berubah. Kata-kata ini kalau diucapkan kepada
orang lain tentu akan bingung. Hanya Sun Put Ce yang mengerti. Di
dunia ini mana ada rumah kecil yang untuk membalikkan tubuh saja
sulit?
Tetapi Sun Put Ce mengerti bahwa kata-kata ini adalah sebuah
ungkapan, Pada saat itu, Bok lang kun sudah berjalan mendekati
manusia bertopeng itu.
"Kau harus cepat-cepat pulang. Bila tidak, rahasia itu tidak akan
kau ketahui untuk selamanya," katanya sambil tidak henti
melangkahkan kaki.
"Rahasia apa?" tanya Sun Put Ce mengiring di belakangnya.
"Rahasia mengapa Toa Tek To Hun harus membunuh jago-jago di
Tionggoan!" kata Bok lang kun dengan mata mendelik.
Hati Sun Put Ce bergetar. Kata-kata ini mungkin juga sebuah
tipuan agar Sun Put Ce mau meninggalkan tempat itu. Bok lang kun
tidak ingin dia membuang nyawa secara sia-sia. Sun Put Ce tentu
tidak menganggap penting nyawa sendiri. Tetapi dia juga tahu Bok
lang kun tidak ingin ada orang yang lain ikut dalam pertarungan
tersebut, bila tidak konsentrasinya bisa terpecah.
Bok lang kun menatap Hong Be. Dia menatap tubuh yang mulai
kaku itu, yang merupakan jago kelas satu, tidak disangka bisa
menemui ajal di Tionggoan dalam tiga jurus saja.

Hanya dengan tiga jurus bisa membunuh Hong Be, manusia
bertopeng ini memang cukup pantas menyaru sebagai Toa Tek To
Hun. Tatapan mata Bok langkun beralih kepada manusia bertopeng
yang masih berdiri tegak membelakanginya. Kini dia telah berbalik
menghadapinya.
Dua pasang mata bertemu. Diam-diam dia dapat menebak siapa
manusia bertopeng di hadapannya, mengapa dulu dia tidak pernah
mendengar orang ini menggunakan tangan kiri? seseorang yang
sudah terbiasa menggunakan tangan kanan, bila ingin merubah
menjadi tangan kiri, tentu harus belajar dari awal. Sebelum mulai
melatih diri, tentu tidak menjadi persoalan, seperti seorang yang
menggunakan sumpit.
Bila sejak pertama dia belum pernah meng-gunakannya, maka
dimulai dari tangan kiri atau kanan sama saja. Lain halnya dengan
orang yang sudah terbiasa, bahkan akan lebih sulit daripada orang
yang sama sekali belum bisa.
Dengan melihat gerakan manusia bertopeng tersebut ketika
membunuh Hong Be, hatinya sudah mempunyai perhitungan Tang
hay sin sian yang dihormatinya telah mati, dan mati sebagai
pengorbanan bagi kaum Bulim, Bok lang kun seketika sadar bahwa
kematian pendekar sakti tersebut merupakan intrik dari manusia
bertopeng ini.
Namun dia tidak dapat menjelaskannya kepada Sun Put Ce.
Manusia berdarah dingin di hadapannya tentu tidak akan
melepaskan orang itu bila dia menyebut rahasianya sekarang, Tapi
dia percaya dengan kecerdasan Sun Put Ce, cepat lambat dia juga
bisa mengetahui semuanya.
"Bila kau tidak pergi ke rumah kayu kecil itu untuk melihat rahasia
besar, maka kau akan menyesal seumur hidup!" kata Bok lang kun
dengan tegas, Dia merasa orang yang tangannya berlumuran darah
seperti dirinya barulah patut mati.

"Saya pergi!" sahut Sun Put Ce. kata-kata ini seakan bukan keluar
dari mulutnya. Dia membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat
itu.
"Tidak boleh pergi!" bentak manusia bertopeng.
Sun Put Ce bukan saja tidak berhenti, malah dia mempercepat
larinya, Manusia bertopeng ingin menahan dirinya, sebab orang itu
sudah mengetahui bahwa yang membunuh Hong Be bukan Toa Tek
To Hun. Rahasia ini tidak boleh bocor. Tapi Bok lang kun
menghadang di depannya.
"Setelah membereskan dirimu, aku masih bisa mengejarnya!" kata
manusia bertopeng itu sambil tertawa dingin.
"Kalau kau memang tidak bermaksud jahat terhadap Toa Tek To
Hun, siapa yang ingin kau celakai sebenarnya?" tanya Bok lang kun
mengalihkan perhatiannya.
"Kau sudah tidak memiliki kesempatan untuk mengetahui rahasia
ini!" sahut manusia bertopeng itu sinis.
"Meskipun kau dapat mengalahkan Hong Be dalam tiga jurus, aku
masih mempunyai keyakinan dapat menahan seranganmu sebanyak
sepuluh jurus!" kata Bok lang kun.
"Tidak mungkin sebanyak itu!" sahut manusia bertopeng dengan
nada yakin.
"Kaum Bulim sedang dilanda kekacauan, Kau mempunyai ilmu
yang begini tinggi, mengapa tidak mau membantu membasmi Toa
Tek To Hun, malah menyamar sebagai dirinya, Bukankah bila kau
berhasil mengalahkan manusia berdarah dingin itu, namamu akan
melambung. Apa pun yang kau inginkan pasti akan kau dapatkan.
Kekuasaanmu pun tidak kepalang tanggung, Kaum Bulim pasti
sepakat mengangkat dirimu sebagai Bulim bengcu, Sekali pancing
dapat dua ekor ikan besar," kata Bok lang kun menyayangkan
pendirian manusia bertopeng itu.

"Kau kira dengan mengulur waktu, aku tidak dapat mengejar
bocah itu? pikiranmu terlalu dangkal!" kata si manusia bertopeng
sambil mendengus, Bok lang kun segera menghunus pedangnya.
"Dalam hal ini saja kau tidak dapat menandingi Toa Tek To Hun!"
"Apa maksudmu?" tanya manusia bertopeng itu berang.
Toa Tek To Hun memang ganas kalau sudah turun tangan, tapi
dia tidak pernah merendahkan derajatnya sendiri, Lebih-lebih dia
tidak akan pernah menyembunyikan kepala menyurutkan ekor. Dan
yang paling penting, bila sekali gerakannya tidak dapat membunuh
sang musuh, dia tidak akan mencarinya kembali," kata Bok lang kun.
"Yang kau maksud pasti Fang Tiong Seng!" sahut manusia
bertopeng.
"Betul!" kata Bok lang kun.
Manusia bertopeng itu mengeluarkan suara tawa yang datar. Dia
tidak mengatakan apa-apa. Tangannya yang menggenggam sarung
pedang semakin erat, Tangan Bok lang kun juga menggenggam
pedangnya kencang-kencang, Kalau tangan lawannya bergerak, dia
juga sudah siap membalas serangan.
Orang seperti dia tidak begitu takut menghadapi kematian,
apalagi dia memang sudah mengakui kalau kedua tangannya penuh
lumuran darah. Orang yang tidak takut mati, biasanya kematian
justru tidak begitu berani mendekatinya.
Kematian sebetulnya agak mirip dengan halilintar. suaranya
menakutkan, tapi bahaya yang sebenarnya justru tindakan yang
menyusul di balik gemuruh tersebut, Bok lang kun memperhatikan
tangan kiri lawan dengan penuh perhatian.
Sinar pedang manusia bertopeng itu berkelebat, pedang di tangan
Bok lang kun juga bergerak. Kedua orang itu seakan ingin
menggunakan kecepatan untuk menundukkan lawannya, sayangnya
Bok lang kun masih kalah dua detik. Tetapi kecepatannya sudah
jauh melebihi Hong Be.

Pedang di tangan manusia bertopeng bergerak tiga kali berturutturut.
Bok lang kun kelabakan menghadapinya. Pada saat genting
itu, Bok lang kun dapat melihat gerakan yang dikeluarkan lawannya
agak mirip gaya lukisan Tiongkok, Juga mirip rangkaian bunga pada
setiap perubahannya.
Maknanya sangat dalam seharusnya bukan digunakan untuk
membunuh orang, Dari pandangannya ini, sudah dapat dibuktikan
bahwa ilmunya jauh melebihi Hong Be. Tapi biar bagaimana pun Bok
lang kun berusaha melawan, tetap masih bukan tandingan manusia
bertopeng tersebut. Juga tidak bisa melebihi banyaknya jurus yang
dikatakan tadi.
Sinar pedang berkelebat tujuh kali, Pada jurus kedelapan, dia
menggeram, keningnya terdapat jalur memanjang. Darah pun
mengalir dengan deras. Pedang di tangan manusia bertopeng telah
masuk kembali ke dalam sarungnya, Tubuh Bok lang kun
sempoyongan. Tanpa harus menunggu lebih lama lagi, dia rubuh di
samping tubuh Hong Be.
Manusia bertopeng memandang dua mayat yang terbujur di
hadapannya. Dia mendongakkan wajah dan tertawa terbahak-bahak
Kecuali Toa Tek To Hun, tidak! Orang itu sudah tidak masuk dalam
hitungan.
Di dalam dunia sekarang ini, dia sudah ada tandingannya lagi,
Umur Toa Tek To Hun tidak mungkin lebih lama dari dirinya, Tibatiba
sebuah suara yang merdu berkumandang dari dalam hutan.
"Bagaimana kalau dengan delapan jurus tadi kau melawan Toa
Tek To Hun?"
Pertama-tama manusia bertopeng itu agak terperanjat Setelah
merenung sebentar, dia menolehkan kepalanya.
"Rupanya...." kata-katanya tidak jadi diteruskan.
Orang yang datang juga mengenakan sebuah topeng, Wajah
setiap orang yang paling mudah dikenali adalah mata dan bentuk

hidungnya. Kedua orang ini menggunakan penutup yang hanya
terlihat kedua buah bola mata dan bentuk bibir.
Dengan demikian, kalau bukan orang yang saling mengenal
dengan akrab, tidak mudah menebak wajah siapa yang tertutup di
balik topeng tersebut.
Sun Put Ce yang bermaksud pergi melihat rumah kayu kecil,
membatalkan niatnya dan kembali lagi setelah setengah perjalanan
Dia merasa nada suara perempuan bertopeng itu tidak asing, namun
pada saat itu ia belum berhasil mengetahui siapa orangnya.
Kata-kata yang belum sempat diselesaikan oleh laki-laki bertopeng
itu telah ditukas oleh lawan jenisnya.
"Toa Tek To Hun belum pernah menggunakan tangan kiri!"
katanya, Laki-laki bertopeng itu tidak menjawab.
"Bagaimana membandingkan setengah jurus dengan delapan
jurus?" lanjut perempuan itu. Laki-laki bertopeng itu hanya
mendengus sebagai jawaban.
"Kau belum bisa mencapai tingkatannya sudah merasa begitu
bangga," sindir perempuan itu kembali.
"Aku hanya bermaksud mengadu ilmu, salahnya sendiri bila belum
dapat menandingi diriku!" sahut laki-laki bertopeng itu agak ketus.
"Dalam delapan jurus bisa membunuh Bok lang kun, memang
sudah terhitung luar biasa, Namun orang yang akan kau hadapi
mungkin jauh lebih menakutkan daripada Toa Tek To Hun," kata
perempuan tersebut.
"Bagaimana kau bisa menduga bahwa ilmu orang itu lebih tinggi
dari pada Toa Tek To Hun?" tanya si laki-laki bertopeng.
"Kalau ilmunya lebih rendah, apakah dia pantas mengundang Toa
Tek To Hun datang ke Tionggoan? Rasanya pembunuh bayaran ini
bukan membunuh untuk imbalannya saja," sahut perempuan
bertopeng.

Tubuh laki-laki bertopeng tampak bergetar sedikit. Hati Sun Put
Ce semakin tertekan. Dia menundukkan wajahnya dengan pilu,
Ketika kepalanya didongakkan kembali Kedua manusia bertopeng itu
telah meninggalkan tempat tersebut dengan mengambil arah yang
berlawanan.
Sun Put Ce sadar ilmunya tidak mungkin dapat mengejar kedua
orang tersebut, dia melangkah perlahan menuju mayat Bok lang
kun. Laki-laki itu adalah bekas Bulim bengcu dari Hek to. Tetapi
dalam pandangan Sun Put Ce saat itu, wajahnya sama sekali tidak
menunjukkan kebengisan.
Di dunia ini banyak manusia yang dianggap orang suci, namun
penampilannya terlalu menakutkan Ada juga manusia yang rupanya
buruk, namun sedap dipandang. Oleh karena itu, ada orang yang
buruk rupa tapi menyenangkan ada lagi manusia yang
penampilannya baik, namun dibenci oleh banyak kalangan.
-oooo0oooo-
Bwe Mei adalah seorang gadis yang polos. Namun dia bijaksana
dan cerdas, Manusia yang cerdas dapat mengetahui segala hal,
Manusia yang bijaksana dapat menilai seseorang, Dia kembali ke
rumah kayu dengan hati-hati. Setiap kali dia datang ke rumah itu,
dia pasti meyakinkan dirinya bahwa tidak ada orang lain yang
mengikutinya.
Ketika masuk ke dalam rumah, dia juga sangat memperhatikan
keadaan ruangan dalam. Dia akan meneliti dengan seksama kalaukalau
ada musuh yang mengincar kekasihnya, lagipula dia selalu
merasa banyak laki-laki itu tidak tulus mencintainya.
Hal ini sudah lama dicurigainya, Namun bagaimana pun, dia tidak
dapat menghilangkan kecurigaannya itu.
Dia berjalan menuju ke dalam kamar. Ketika langkah kakinya
bergerak sampai di luar jendela, dia mendengar suara yang aneh
berkumandang dari dalam. Dia mengurungkan maksudnya masuk ke

kamar, dia mempertajam pendengarannya, Suara-suara yang
terdengar itu pasti akan segera dimengerti oleh orang yang sudah
menginjak dewasa. Desahan nafas yang memburu, cekikikan tawa
yang genit. Biarpun Bwe Mei adalah seorang gadis suci, dia juga
segera bisa menangkap apa yang tengah terjadi di dalam kamar
tersebut.
Di dalam dunia ini memang banyak hal yang perlu dibuktikan
dengan mata kepala sendiri, tidak boleh sembarangan dengar dari
pihak ketiga saja. Bwe Mei merasa keringat dingin mengalir dari
kening dan kedua belah tangannya.
Kemudian hatinya terasa panas membara. Mungkinkah seorang
yang terkena Cao hue jit mo bisa melakukan hal itu? Meskipun
seorang yang belum punya pengalaman, juga tentu akan tahu orang
lumpuh tidak akan sanggup melakukannya!
Pikirannya yang polos ingin sekali mengetahui apakah dengan
sekali gerakan pedang dia dapat membunuh kedua orang yang tidak
tahu malu itu? Suara semilir angin yang meniup dedaunan seakan
tenggelam oleh kecabulan laki-laki dan perempuan dalam kamar
tersebut.
Suara deruan nafas dan deritan tempat tidur membuat Bwe Mei
seakan meledak Suara itu adalah suara wajar, yang sering terdengar
oleh kita, Apalagi bagi orang yang sudah berumah tangga. Tapi bagi
pendengaran Bwe Mei, suara itu lebih menakutkan daripada geledek
yang menggelegar.
Sampai sekian lamanya dia berdiri mematung di luar jendela itu.
bukan ingin menikmati suara yang menyebalkan, tapi sibuk
memikirkan cara untuk mengenyahkan kedua orang tersebut,
Hatinya ragu.
Bila dugaannya tidak meleset, laki-laki itu selama ini telah
mendustainya, dia pasti pura-pura lumpuh, Dan apabila
keampuhannya hanya palsu, tiga orang Bwe Mei pun tidak akan
sanggup melawannya, Belum lagi perempuan yang belum diketahui
siapa olehnya.

Mungkin dia juga mempunyai ilmu yang cukup tinggi, Bukankah
dengan menunjukkan diri sama artinya dengan membuang nyawa
secara percuma.,.?
Kemudian suara dalam kamar itu lenyap, Suasana hening
seketika, hanya desahan keletihan yang sayup-sayup masuk ke
dalam telinganya.
"Apakah tua bangka itu masih bisa melakukannya?" Tiba-tiba
terdengar suara yang sangat tidak asing baginya.
"Tubuh kurus seperti papan gilasan, Bila musim dingin hanya
berkerumung selimut," jawab yang perempuan.
Bwe Mei mengkertakkan giginya, Dia berusaha menahan perasaan
hatinya yang tidak karuan, Ternyata dirinya telah dikelabui orang
begitu lama. Dia benci sekali kepada laki-laki itu. Dia juga
memandang rendah yang perempuan. Di samping itu, Bwe Mei juga
menyesali dirinya sendiri. Meskipun sampai saat ini, dirinya belum
ternoda oleh orang tersebut.
"Laki-laki harus gagah, perempuan harus genit. Kata-kata ini
memang tidak salah. Tua bangka itu telah kesemsem dengan
dirimu," kata laki-laki dalam kamar itu.
"Kata-kata ini jangan terlalu cepat di-ucapkan!" sahut yang
perempuan.
"Mengapa?" tanya sang lelaki.
"Aku selalu merasa kalau tua bangka itu agak menakutkan," kata
yang perempuan menjawab pertanyaan laki-laki itu.
"Menakutkan?" tanyanya heran.
"Betul! Kepalsuannya terlalu menakutkan." sahut yang
perempuan.

"Kalau menurut pendapatmu, bagaimana aku dapat mengalahkan
dirinya?" tanya yang laki-laki.
"Kecuali kalau kau dapat membunuh Bok lang kun dalam satu
jurus. Baru kau bisa menghadapinya, ilmunya jauh lebih tinggi dari
orang itu," sahut yang perempuan.
Tentu saja perbandingan delapan jurus dengan satu jurus sangat
jauh, kata-kata memang mudah diucapkan, melaksanakannya yang
sulit.
"Hanya aku yang bisa mewujudkan impianmu itu," kata
perempuan itu kembali dengan nada suara yang manja.
Semangat laki-laki itu seperti bangkit kembali.
"Betul! Hanya kau yang bisa!" serunya gembira.
"Bagaimana kau menyampaikan rasa terima kasihmu?" tanya yang
perempuan.
"Pokoknya aku akan selalu melayani dengan cara yang paling kau
sukai," sahut laki-laki dalam kamar itu, Mendengar perkataan itu,
tanpa sadar Bwe Mei mendengus dingin, Biarpun suara itu ringan
sekali, tetap tidak dapat luput dari pendengaran kedua orang itu.
Kecuali bila mereka sedang berada pada puncaknya kenikmatan
hubungan gelap yang mereka lakukan.
"Siapa di luar?" bentak laki-laki di dalam kamar itu dengan nada
tajam.
Bwe Mei sadar, jangan kata dua-duanya, satu saja dia belum
dapat menandingi ia tidak ingin mengunjukkan diri, dengan sekuat
tenaga dia berlari. Paling tidak orang itu memerlukan sedikit waktu
untuk berpakaian, namun ternyata dugaannya salah.
Baru dia berlari beberapa langkah, sudah terdengar susulan dari
arah belakang, Rupanya orang itu sejak tadi sudah merapihkan
dirinya, Dia menolehkan kepala memandang, Terlihat bayangan
seorang laki-laki dengan pakaian hitam, Di pundaknya tersampir

secarik kain berwarna hitam, Dari kejauhan tampaknya seperti
seekor kelelawar besar.
Ingin sekali dia menghentikan langkah kaki dan membunuh
penghianat itu. Namun kesadarannya dengan cepat mengisiki
hatinya. Dia tidak boleh mengikuti kemauannya yang tidak mungkin
tercapai Bila dirinya mati di tangan orang ini, maka untuk selamanya
arwahnya tidak akan dapat tenang.
Tadinya dia pernah mendekati Sun Put Ce. Malahan dia
memberikan sebuah dompet untuknya, laki-laki itu adalah orang
yang serius, dia begitu setia terhadapnya hanya karena dia telah
memberikan sebuah dompet yang tidak berharga.
Mana mungkin dia terpikir kalau gadis itu hanya memperalatnya?
Dia justru benar-benar mencintai laki-laki bajingan ini, Terpikir
olehnya bahwa Toa Tek To Hun pasti akan mencari kekasihnya itu.
Bwe Mei mencari seribu akal untuk menyelamatkan kekasihnya.
Dia tahu kalau Kwe Po Giok dan Sun Put Ce mendapat tugas
untuk mencari Tanghay sin sian, Dia juga percaya di dalam Bulim
saat ini, hanya pendekar sakti itu yang dapat menandingi Toa Tek
To Hun. Demi laki-laki ini, dia rela menipu perasaan Sun Put Ce.
Dengan harapan, bila suatu hari Toa Tek To Hun mencari
kekasihnya, kedua orang itu bisa membujuk Tang hay sin sian
melindunginya, Akibatnya malah di luar dugaan.Tang hay sin sian
pun belum dapat menandingi iblis Fu sang itu.
Jarak antara kedua orang itu semakin mendekat Manusia
bertopeng itu berteriak dengan suara ramah.
"Rupanya Siau Mei! Mengapa harus lari?"
Hampir saja Bwe Mei tertipu oleh suara yang lembut itu. Untung
saja, pikirannya bergerak cepat. Dia sudah mendengar percakapan
kedua orang di dalam kamar, tentu saja dia juga tahu apa yang
mereka lakukan.

Cao hue jit mo! Sungguh sebuah tipuan yang berhasil! Dirinya
dibohongi begitu lama tanpa sadar. Pernah juga Bwe Mei merasakan
tatapan laki-laki itu yang seperti ingin menelan dirinya. Namun
dahulu dia sering berpikir bahwa semua itu hanya karena kekasihnya
ingin cepat-cepat memiliki dirinya. Sekarang dia merasa bersyukur
dirinya tetap dapat mempertahankan kesucian .
Dengan membawa bermacam pikiran, Bwe Mei lari semakin cepat,
namun jarak keduanya tetap semakin dekat. Rasanya tidak lama lagi
dirinya pasti akan tersusul.
Dia sadar sepenuhnya, bila ia sampai terkejar bukan saja
nyawanya akan melayang, kesuciannya juga akan ternoda, Ketika
jarak antara keduanya kira-kira tinggal lima depa, sekonyongkonyong
Bwe Mei berubah haluan.
Dia membelok ke dalam hutan. Di antara pohon-pohon yang lebat
dia menyelinap ke kanan dan ke kiri. Dia melihat ada sesosok mayat
yang tergeletak, namun Bwe Mei tidak terlalu mengambil perhatian,
Tentu saja dia tidak tahu bahwa tadinya malah ada dua sosok mayat
yang tergeletak, Yang satunya adalah jenazah Bok lang kun yang
telah diambil oleh Sun Put Ce.
Jarak antara keduanya semakin lama semakin menjauh. Mengejar
orang dalam hutan tentu yang mendapat kesulitan bagi pihak
pengejar, Dengan cerdik Bwe Mei berlari serampangan, Dia
berbelok-belok tak tentu arah, Tubuhnya telah basah oleh keringat
Nafasnya tersengal-sengal.
Banyak orang mengatakan bahwa manusia lebih baik tidak kenal
huruf daripada tidak mengenal manusia itu sendiri. Bwe Mei hampir
kehilangan kesucian dan nyawa karena tidak mengenal jiwa laki-laki
itu secara mendalam.
Wajahnya sudah pucat pasi, matanya terasa berkunang-kunang,
Belum lagi perasaan takut yang mencekam, hanya untuk sementara
dia dapat bertahan dari kejaran laki-laki itu, sebentar lagi dia pasti
akan tersusul Bwe Mei tidak berani membayangkan akibatnya.

Hari ini, dia sudah menyadari sepenuhnya jiwa orang itu. Tentu
dia tidak akan melepaskan dirinya begitu saja setelah rahasianya
terbongkar.
Tiba-tiba Bwe Mei melihat seseorang yang sedang melangkah di
jalan setapak dalam hutan itu, sendirian berjalan di dalam hutan,
lagipula langkah kakinya begitu cepat, namun tidak
memperdengarkan sedikit suara pun.
Dia berlari kencang melewati orang itu. Matanya sempat melihat
bentuk sepatunya yang aneh, dan jejak kakinya yang teratur
Memangnya apa yang harus diherankan kalau jejak kakinya teratur?
Hatinya tergetar, pikirannya melintas. Berapa orang di dunia ini
yang sanggup bertanding dengan orang yang langkah kakinya
teratur ini?
"Berhenti!" teriak orang itu.
Bwe Mei memang sudah hampir kehabisan nafas, Dia tidak tahu
siapa yang dimaksudkan oleh laki-laki ini, Kalau dia bukan orang
yang diduganya dan ternyata orang lain yang juga bermaksud jahat,
sudah dapat dipastikan nyawanya akan melayang malam ini. Dia
berlari lagi beberapa puluh langkah baru berhenti.
Tubuhnva sempoyongan, Dia hanya dapat menerima nasib saja.
Yang tidak disangka olehnya adalah kejadian berikutnya. Ternyata
bukan dirinya yang disuruh berhenti, tetapi pengejarnya, sekarang
dia baru dapat melihat dengan jelas.
Laki-laki itu memang mengenakan sepasang sepatu yang aneh, Di
tangannya tergenggam sebatang pedang yang tinggal separuh,
Meskipun pedang itu telah buntung, panjangnya masih ada kira-kira
ukuran dua buah penggaris.
Mata Bwe Mei bersinar terang, Bukankah ini Toa Tek To Hun?
Belum pernah dia begitu senang melihat laki-laki yang selama ini
dibencinya itu. Memang hanya Toa Tek To Hun yang dapat berjalan
dengan langkah yang begitu teratur, Dan memang hanya orang

negara Fu sang yang memakai sepatu yang begitu aneh. Hatinya
semakin tenang.
Laki-laki bertopeng itu rupanya dalam sekali pandang saja sudah
dapat menebak siapa orang yang menyuruhnya berhenti tadi. Dia
terkejut sekali, pembunuhan yang beruntun oleh orang ini telah
menggetarkan seluruh Tionggoan.
Meskipun manusia bertopeng ini menyamar sebagai Toa Tek To
Hun, tapi tujuannya bukanlah dia. Meski-pun orang yang dituju
olehnya lebih tinggi kedudukannya, namun dia sama sekali tidak
berani memandang rendah Toa Tek To Hun.
Penjelasannya sangat gamblang. Sampai saat ini, hanya dirinya
yang pernah menyaksikan pertarungan antara Toa Tek To Hun
dengan Tang hay sin sian dengan mata kepala sendiri. Dia tentu
mengerti bahwa dirinya masih bukan tandingan manusia Fu sang itu.
Hanya dirinya pula yang tahu bahwa Tang hay sin sian bukan
takut atau ilmunya kalah tinggi dengan Toa Tek To Hun, hanya
karena dirinya telah cacat serta mengalami Cao hue jit mo.
Dia sendirilah yang takut kepada Toa Tek To Hun. Kalau tidak,
buat apa dia menyebarkan berita bohong bahwa dirinya telah
lumpuh karena penyakit yang sama, Dia pernah bersembunyi di balik
pohon dekat tempat itu dan menyaksikan bagaimana Toa Tek To
Hun menghunuskan pedangnya.
Kecepatannya melebihi makhluk hidup apapun yang pernah
dikenalnya, gerakannya itu malah sulit disamai oleh ko chiu dari
daerah mana pun. Pokoknya si manusia bertopeng itu masih belum
berani bertarung dengan Toa Tek To Hun saat ini.
Manusia bertopeng itu mempunyai pendapatnya sendiri, Asalkan
dia mendapat kesempatan untuk bersama-sama perempuan tadi
melakukan suatu hal tujuh atau delapan kali lagi, dia pasti sudah
berhasil menyamakan dirinya dengan Toa Tek To Hun. Pada saat itu,
meskipun Toa Tek To Hun tidak ingin bertarung dengannya, dia juga
tidak akan melepaskan orang itu begitu saja.

"Siapa kau?" tanya Toa Tek To Hun dengan suara berat.
"Aku hanya seorang Bu beng siau cut (prajurit tak ternama)!"
sahut manusia bertopeng cengar cengir.
Toa Tek To Hun tertawa dingin, "Mengapa pedangmu bisa sama
dengan milikku?" tanyanya sedikit heran.
"Kalau aku bukan Bu beng siau cut, buat apa aku meniru
pedangmu?" sahutnya.
Toa Tek To Hun menganggap alasannya cukup tepat Hanya
seorang manusia berjiwa kerdil yang mau meniru orang lain untuk
memuaskan dirinya sendiri
"Mengapa kau harus mengenakan topeng?" tanyanya kembali
"Karena aku tidak mirip denganmu. Aku juga tidak mempunyai
sepatu yang aneh seperti punyamu. Lagipula aku juga tidak sanggup
meniru langkah kakimu yang teratur Oleh karena itulah, aku
memakai to-peng," sahutnya.
Toa Tek To Hun tersenyum tipis. ini merupakan senyumnya yang
pertama sejak menginjakkan kaki di tanah Tionggoan.
Sebetulnya manusia bertopeng itu sedang menjalankan siasat
untuk menyelamatkan dirinya saja, Tapi anggapan Toa Tek To Hun,
meskipun orang itu menyamar sebagai dirinya, namun ada lucunya
juga. Manusia yang tidak suka dirinya dipuji memang terlalu sedikit
Bwe Mei tahu kalau manusia bertopeng itu sedang berdusta.
"Tidak! Toa Tek To Hun! Dia sengaja memuji-muji dirimu,
sebetulnya dia sedang menyamar buat mencelakakan engkau!"
teriaknya dengan suara keras.
Toa Tek To Hun menoleh ke arah gadis itu.
"Mengapa dia harus mencelakakan diriku?" tanyanya.

"Karena... karena...." Dia benar-benar tidak dapat mengatakan
alasannya.
Manusia bertopeng itu mundur sebanyak lima depa, ketika Toa
Tek To Hun menolehkan kepala kepadanya, dia sudah berada dalam
jarak belasan depa. Karena merasa sudah kepalang tanggung, dia
malah berlari terbirit-birit Bila Toa Tek To Hun merasa perlu
mengejarnya, apakah akan berhasil?
Hanya dirinya sendiri yang tahu. Di pegunungan sebelah Barat
tempo hari, dia sudah berjanji kepada Tanghay sin sian bahwa ia
tidak akan membunuhi para jago di Tionggoan lagi, Dia adalah
seorang laki-laki sejati janjinya lebih berat daripada segala hal di
dunia, Hanya manusia bertopeng itu saja yang melupakan hal ini.
Apa bila dia belum berjanji kepada Tang hay sin sian, apakah
manusia bertopeng itu sanggup meloloskan diri?
Toa Tek To Hun mengibaskan tangannya .
"Pulanglah! Manusia itu belum terhitung seberapa jahat!" katanya.
Bwe Mei ingin membantah, tapi Toa Tek To Hun telah pergi
dengan langkah lebar. Dia hanya dapat memandangnya sampai
jauh.
Mayat Bok lang kun diletakkan di atas lantai, Sun Put Ce baru saja
melaporkan semua pengalamannya, tetapi dia tidak mengatakan
apa-apa tentang rumah kayu kecil. Air mata Fang Tiong Seng
mengalir bagai anak sungai.
"Meskipun Bok lang kun tadinya adalah seorang Bulim bengcu
aliran Hek to, tapi sejak kedatangan Toa Tek To Hun, tanpa
mengenal lelah dan rasa rendah dia mencari segenap bantuan. Dan
sekarang biar pun tahu dirinya bukan tandingan orang itu, dia tetap
melawannya. Sungguh harus disanjung dan dihormati!" katanya
dengan nada pilu.
Dayang Cui thian memperlihatkan wajah kesal.
"Entah Toa Tek To Hun kapan baru meu berhenti membunuh?"
serunya.

"Bok lang kun bukan mati di bawah pedang Toa Tek To Hun!"
kata Sun Put Ce. ucapannya mengejutkan setiap orang yang hadir.
"Sam sute, kau tidak boleh sembarangan mengoceh di hadapan
suhu!" seru Ho Put Chi dengan suara teguran.
"Saya mana berani...."
"Pada zaman ini, siapa yang sanggup membunuh Bok lang kun
dalam satu jurus, Apalagi tepat di keningnya," kata Mo Put Chi
kembali.
"Perkataan saya belum selesai...." sahut Sun Put Ce.
"Sam sute, kalau aku adalah dirimu, maka aku akan
mengatakannya sekaligus," ujar Hu Put Chiu menyarankan.
"lya, Ji suheng!" sahut Sun Put Ce dengan nada hormat.
"Mengapa kau masih tidak mau cepat-cepat mengatakannya?
Kalau Bok lang kun bukan mati di bawah pedang Toa Tek To Hun,
siapa yang sanggup membunuhnya?" tanya Fang Tiong Seng.
"Seorang manusia yang mengenakan topeng!" sahut Sun Put Ce
menjelaskan.
"Manusia bertopeng?" tanya Pang Tiong Seng seakan salah
dengar.
"Betul! Dia juga menggunakan sebatang pedang panjang yang
aneh. Rasanya ingin meniru Toa Tek To Hun!" kata Sun Put Ce
selanjutnya.
"Omong kosong! Kalau dilihat dari bekas luka di kening Bok lang
kun, ilmu silatnya masih ketinggalan jauh, Bok lang kun pasti mati
dalam lima jurus lebih," Fang Tiong Seng mengemukakan
pendapatnya.

"Benar!" sahut Sun Put Ce.
"Berapa jurus?" tanya Fang Tiong Seng kembali.
"Delapan jurus!" sahut Sun Put Ce.
"Dengan delapan jurus membunuh Bok lang kun memang belum
termasuk hebat." kata Hu Put Chiu.
Fang Tiong Seng mendengus mendengarnya.
"Kau kira siapa Bok lang kun ini? Bisa dengan delapan jurus
membunuhnya sudah jarang ada orang yang dapat melakukannya"
katanya ketus.
"Apa yang dikatakan oleh Fang Taihiap memang benar, Tapi kalau
digantikan dengan Toa Tek To Hun, entah berapa jurus yang akan
digunakannya?" tanya dayang Cui thian.
Fang Tiong Seng menggelengkan kepala.
"Kalau Fang taihiap saja tidak bisa menduganya, maka di dunia ini
tidak mungkin ada yang tahu lagi," kata dayang Cui thian sambil
menarik nafas.
"Bagaimana bentuk badan orang itu? Suaranya kira-kira berasal
dari daerah mana?" tanya Fang Tiong Seng pada anak muridnya.
"Badannya tinggi Nada suaranya yang sulit ditebak," kata Sun Put
Ce setelah mengingat-ingat sejenak.
"Apakah orang itu tidak mempunyai keistimewaan sama sekali?"
tanya Fang Tiong Seng mendongkol.
"Ada!" sahut Sun Put Ce.
"Aiya! Mengapa kau harus selalu menunggu orang bertanya dulu
baru menjawab?" tegur Hu Put Chiu.

"Orang itu menggunakan tangan kiri ketika menghunus pedang,"
kata Sun Put Ce menerangkan. Tidak ada satu orang pun yang tidak
tersentak.
"Fang Cianpwe pasti tahu siapa yang menggunakan tangan kiri
untuk menghunus pedang di dunia Bulim?" tanya dayang Gui thian.
Fang Tiong Seng mengerutkan alisnya dan berpikir sekian lama,
Tubuhnya yang kurus semakin ciut kelihatannya.
"Kurang ajar! Aku juga tidak terpikir ada orang seperti itu!"
serunya.
"Mungkinkah Toa Tek To Hun sendiri?" tanya Hu Put Chiu.
"Toa Tek To Hun sudah membunuh tiga puluh orang sejak
kedatangannya di tanah Tionggoan, Selama ini dia tidak pernah
mengenakan topeng penutup muka, Mengapa sampai sekarang dia
baru mengenakannya? Dasar kau ini tidak tahu arti susah!" bentak
Mo Put Chi.
"Tentu!" sahut Hu Put Chiu.
"Apalagi orang ini menggunakan tangan kiri untuk menghunus
pedang, sedangkan Toa Tek To Hun menggunakan tangan kanan,"
lanjut Mo Put Chi.
Ruangan itu hening beberapa saat.
"Siapkan semua keperluan untuk pemakaman Bok lang kun!" kata
Fang Tiong Seng memecahkan kesunyian. Semua anak murid dan
para pelayan segera menurut perintah tersebut.
-oooo0oooo-
Ucapan "rumah kayu kecil" hanya diketahui oleh Sun Put Ce dan
Bok lang kun. Waktu itu mereka sedang beristirahat di bawah
sebatang pohon, Kedua orang itu bercakap-cakap sambil bercanda.

Bok lang kun mengatakan siapa pun pada suatu hari akan
terbaring dalam sebuah rumah kayu kecil, Rumah itu begitu kecilnya
sehingga untuk membalikkan tubuh saja sulit, Tentu saja
keadaannya tidak menyenangkan. Namun saatnya untuk berbaring
di dalam rumah kayu kecil, rasanya tidak berapa lama lagi. Rumah
kayu kecil yang dimaksudkannya adalah sebuah peti mati.
Sekarang Bok lang kun benar-benar sudah meninggal, tetapi di
dalam hati Sun Put Ce, dia seperti masih hidup saja. Kata-kata yang
diucapkan Bok lang kun menjelang kematiannya, tak akan pernah
dilupakan oleh Sun Put Ce.
Dia menganggap perkataannya ketika itu hanya supaya dirinya
mau terpancing meninggalkan tempat tersebut Agar nyawanya tidak
hilang percuma. Setelah dipikirkan dengan seksama, dia merasa
kata-kata itu mengandung arti yang dalam, Benar-benar ada rahasia
yang terkandung di dalamnya.
Saat ini di rumah keluarga Fang ada dua rumah kayu kecil, Di
dalamnya terbaring dua sosok mayat. Yang satu adalah tubuh
Tanghay sin sian, Yang satunya lagi tentunya tubuh Bok lang kun. Di
dalam kedua peti mati itu pasti tidak ada rahasia apa-apa.
Karena dia sendiri turun tangan membantu memandikan tubuh
Tang hay sin sian dan Bok lang kun. Dia juga melihat ketika kedua
mayat itu dimasukkan ke dalam peti mati tersebut. Dia tidak
meninggalkan kedua peti mati itu sampai semuanya selesai Sun Put
Ce terus memikirkan perkataan Bok lang kun.
Mungkinkah dia hanya menipunya? Rasanya tidak mungkin! Tibatiba
ingatan Sun Put Ce melayang ke rumah kayu kecil yang satu
lagi. Peti mati suhu-nya, Setiap keluarga berada pasti dari jauh
sebelumnya sudah mempersiapkan segala sesuatu supaya ketika
kematiannya tiba tidak perlu repot-repot lagi.
Begitu pula Fang Tiong Seng, Waktu usianya menginjak empat
puluh tahun, dia telah menyuruh anggota keluarganya membeli
sebuah peti mati dari bahan yang paling bagus. Peti mati itu
disimpan di dalam gudang. Setiap sebulan sekali, pasti ada salah

satu pelayannya yang membersihkan dan merawatnya agar tetap
dalam keadaan baik.
Dia berpikir berulang kali. Ketika malam hari mendapat giliran
tugas jaga, dia mencari kesempatan selagi semua orang sibuk dan
menyelinap ke dalam gudang penyimpanan peti mati tersebut Bok
lang kun mengatakan bahwa di dalam rumah kayu kecil ada rahasia
besar. Sun Put Ce menjadi penasaran Lebih baik dia mengintip
sekejap. Bila tidak, dia pasti tidak akan bisa pulas sepanjang malam.
Peti mati itu mengeluarkan suara deritan ketika dibuka oleh Sun
Put Ce. Untung saja tidak ada satu orangpun yang memperhatikannya,
Di dalamnya terdapat secarik kertas. Di atasnya terdapat
tulisan-tulisan.
Sun Put Ce mengambil kertas itu dan membacanya, Dia tidak
terlalu terkejut, sebab setiap hal yang ditulis di atas kertas itu
memang sebagian besar telah diduganya, Apakah ini berarti ada
kaitan dengan kecacatannya selama ini?
Tiba-tiba ada langkah kaki halus terdengar olehnya, Sun Put Ce
bergerak cepat, dia meremas kertas di tangannya dan ditelannya ke
dalam perut. Pintu gudang itu terbuka, Di dalamnya tidak ada
penerangan. Hanya terlihat bayangan yang samar-samar dan peti
mati yang telah terbuka. Tidak ada waktu untuk menutupnya
kembali.
"Siapa yang berani main gila di Jin gi sancung?" bentak orang
yang baru masuk itu, ucapannya selesai, pedangnya menyerang.
Begitu cepat dan telengas, Tadinya Sun Put Ce masih belum
mengenali suaranya, tapi begitu melihat serangan yang dikeluarkan
dia langsung mengetahui siapa orang yang masuk ini. Dia melompat
mundur dua langkah.
"Saya!" sahutnya.
"Apakah Sam sute?" tanya orang itu sambil menarik kembali
serangannya yang kedua.

"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Mengapa Sam sute bisa berada di gudang ini?" tanya Hu Put
Chiu.
"Ketika meronda di depan gudang ini, rasanya terdengar suara
yang mencurigakan Seperti suara peti mati dibuka oleh seseorang,"
kata Sun Put Ce mengemukakan alasannya, Hu Put Chiu menyalakan
sebatang korek api. Dia menyinari peti mati milik Fang Tiong Seng.
"Sam sute! Siapa orangnya yang berani memegang peti mati
suhu?" tanya Hu Put Chiu dengan nada heran.
"Saya juga tidak tahu" sahut Sun Put Ce.
"Apakah ketika kau masuk tadi, peti mati ini sudah terbuka?"
tanyanya kembali.
"Betul!" sahut adik seperguruannya.
"Giliran kau bertugas, justru terjadi peristiwa ini," gerutu Hu Put
Chiu.
"Siauwte memang kurang teliti," sahut Sun Put Ce dengan wajah
tertunduk.
"Apakah kita perlu melaporkan hal ini kepada suhu?" tanya Hu Put
Chiu.
"Saya rasa lebih baik tidak usah," Sun Put Ce menyarankan.
"Mengapa?" tanya Hu Put Chiu kembali.
"Toh peti mati tidak mengalami kerusakan apa-apa. Buat apa
banyak urusan?" sahut Sun Put Ce.
-oooo0ooooKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Sun Put Ce sudah selesai bertugas, Dia digantikan oleh orang lain,
Begitu masuk kamar dan mengganti pakaian, dia langsung
merebahkan diri di tempat tidur, Musim semi belum berlalu, Hatinya
masih tetap tertekan. Seluruh tubuhnya berkeringat Setiap tulisan di
atas kertas menari-nari dalam otaknya, tubuhnya pasti akan basah
oleh keringat dingin.
Seumur hidupnya, Sun Put Ce tidak pernah setakut ini. Dia bisa
menghapal seluruh tulisan dalam kertas tersebut Setiap hurufnya
bagaikan sebilah bambu runcing, yang dengan tepat menghunjam
jantungnya.
Tetapi dia tetap tidak dapat menerima nasehat yang diberikan
oleh Bok lang kun karena orang itu belum sepenuhnya mengerti
jiwanya, Dia tidak mengingkari bahwa maksud Bok lang kun baik,
Terkadang maksud baik pun sulit di laksanakan Air mata Sun Put Ce
bercucuran bagai hujan deras.
-oooo0oooo-
Entah berapa lama telah berlalu, Tiba-tiba dia mendengar suara
halus dari ruangan luar, Tadinya Sun Put Ce mengira tentu salah
satu suhengnya sedang meronda, tetapi sekejap kemudian, suara itu
sudah berada di depan kamarnya. Sun Put Ce terperanjat. Dia tahu
suara itu pasti bukan langkah kaki suhengnya tetapi orang luar
"Siapa yang berada di luar?" bisik Sun Put Ce
"Apakah Sun toako?" Orang yang di luar balik bertanya dengan
suara lirih, Sun Put Ce terpana.
"Kau adalah Bwe kouwnio?" tanyanya.
Orang itu melangkah ke dalam kamarnya. Tubuhnya
memancarkan keharuman, Sun Put Ce duduk di atas tempat tidur.
Dia memandang dengan wajah termangu-mangu. Kemudian dia
bangun dengan maksud ingin menyalakan lilin. Tapi gadis itu
menghalanginya.
"Jangan!"

"Kalau sampai ada yang lihat, mereka akan menganggap kita..."
kata Sun Put Ce.
"Asal hati kita lurus, tidak usah takut diejek orang." sahut Bwe
Mei.
"Betul!" kata Sun Put Ce sependapat.
"Dulu aku bersalah terhadapmu," Bwe Mei benar-benar merasa
menyesal.
"Kau selalu baik terhadapku...." kata Sun Put Ce polos, Dia adalah
seorang manusia yang tidak banyak mengenal kelicikan dari
manusia.
"Kau tidak tahu...." sahut Bwe Mei.
"Saya tahu.. Saya sangat berterima kasih kepadamu," kata Sun
Put Ce.
Bwe Mei menarik nafas panjang.
"Kalau kau berkata demikian, perasaanku semakin tak enak,"
katanya.
Tiba-tiba Sun Put Ce menggenggam tangan gadis itu. Sampai saat
ini, asalkan dia dapat sering-sering memegang tangan yang halus
ini, dia rela mengorbankan jiwanya, Seorang yang selalu menghargai
apa yang dicintainya, maka rasa ego dalam dirinya makin berkurang.
"Kalau perlu, aku rela mati untukmu," katanya dengan wajah
sendu.
Bwe Mei makin terharu, dia percaya penuh dengan setiap kata
atau kalimat yang diucapkan laki-laki ini. Sayangnya, cinta kasih
sucinya justru dipersembahkan kepada seorang penipu. Kalau saja
cintanya yang sejati dipersembahkan kepada Iaki-laki yang satu ini,
bukankah akan baik sekali? Dengan lembut Bwe Mei menggeser
tubuhnya.

"Aku tidak pantas bagimu," katanya lirih.
"Tidak!" sahut Sun Put Ce.
"Dulu aku mempunyai seorang teman," Bwe Mei bermaksud
menjelaskan.
"Aku juga pernah berkenalan dengan seorang nona bernama
Chow Ai Giok," sahut Sun Put Ce tidak mau kalah.
"Aku tahu.... Dia juga memberimu sebuah dompet," kata Bwe Mei.
"Saya tidak tahu dompet mana yang mengisyaratkan cinta sejati?"
tanya Sun Put Ce.
"Mungkin yang diberikan Chow Ai Giok," kata Bwe Mei dengan
wajah tertunduk.
Sun Put Ce agak terpana.
"Mengapa bukan milikmu?" tanyanya heran.
"Karena aku hanya bermaksud memperalat dirimu," kata Bwe Mei
terus terang.
Sun Put Ce tidak bersuara.
"Andaikata kau membenci aku, kau tetap tidak akan kusalahkan,"
kata gadis itu selanjutnya.
"Mengapa saya harus membencimu?" tanya Sun Put Ce.
"Bukankah aku sudah katakan barusan bahwa aku memberikan
dompet kepadamu hanya untuk memperalat dirimu?" sahut Bwe Mei.
"Memperalat saya? Apa gunanya?" tanya Sun Put Ce.

"Pertama, kau adalah murid Fang Tiong Seng. Kedua, ketika itu
kalian hendak pergi mencari Tang hay sin sian, tentu ada
manfaatnya, Kau tentu tahu, setiap orang Bulim yang mempunyai
nama pasti akan mencari seorang pelindung yang kuat untuk
melindungi dirinya dari ancaman Toa Tek To Hun!" kata Bwe Mei
menjelaskan.
"Apa salahnya berbuat begitu?" tanya Sun Put Ce dengan nada
wajar.
"Kau tidak membenci diriku?" Bwe Mei balik bertanya kepadanya.
"Mengapa harus benci karena suatu persoalan kecil?" kata Sun
Put Ce.
"Karena waktu itu aku tidak sungguh-sungguh menyukaimu, aku
hanya ingin menarik keuntungan saja," sahut Bwe Mei dengan
perasaan malu.
"Seseorang jika masih bisa diperalat oleh orang lain, berarti
dirinya termasuk cukup berharga," kata Sun Put Ce.
Bwe Mei menyandarkan dirinya di bahu Sun Put Ce.
"Kau memang seorang manusia yang berbudi," katanya.
Sun Put Ce merasa hatinya berdebar, karena tindakan Bwe Mei
itu.
"Jangan cepat mengambil dugaan tentang seseorang, mungkin
saya sering menjengkelkan dirimu," sahutnya kemudian
"Apa yang kau maksud dengan menjengkelkan?" tanya Bwe Mei,.
"Saya tidak pandai berbicara, saudara seperguruanku sendiri
sering mengejek saya. Mereka mengatakan rasanya aneh mengapa
di dunia ini ada makhluk seperti saya ini," kata Sun Put Ce.
Bwe Mei mengibaskan rambutnya harum yang terpancar membuat
tubuh Sun Put Ce menggigil.

"Orang yang tidak bisa bicara malah kalau mengeluarkan
mengeluarkan ucapan selalu yang bermutu," sahut Bwe Mei lembut
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya mendengar hal itu.
"Mengapa kau menggelengkan kepala?" tanya Bwe mei.
"Benar atau tidaknya kata-katamu saya tidak tahu, namun
kenyataannya kedua suheng saya sering mengatakan bahwa di
dunia ini rupanya masih ada seorang manusia seperti dirimu," sahut
Sun Put Ce sambil menarik nafas berkali-kali.
"Apakah mereka sering mengejekmu seperti itu?" tanya Bwe Mei
dengan perhatian besar..
"lya!" sahut Sun Put Ce.
"Merekalah yang pantas disebut orang buta!" kata Bwe Mei. keras.
"Tadi kau mengatakan bahwa kau hanya memperalat diri saya?"
tanya Sun Put Ce mengalihkan pembicaraan.
"lya! Aku melakukannya demi seorang bajingan. Akibatnya, aku
sendiri yang hampir celaka," kata Bwe Mei.
"Orang yang bisa membuatmu begitu setia, tentunya adalah
seorang laki-laki sejati." sahut Sun Put Ce.
Bwe Mei malah tertawa tergelak-gelak, nadanya mengandung
ejekan.
"Dia adalah seekor anjing budukan yang tidak berharga!" katanya.
"Biarpun turunan anjing, tapi masih bisa mendapatkan
perhatianmu yang begitu besar, dia masih terhitung hebat," sahut
Sun Put Ce.
Bwe Mei tidak suka mendengar perkataan itu, ucapan demikian
kebanyakan keluar dari mulut kaum laki-laki. Oleh karena itu, Bwe

Mei merasa, bahwa setiap laki-laki pasti akan membela kaumnya
sendiri, meskipun orang itu adalah manusia terjahat di dunia.
Dia memang sedang bersandar di bahu Sun Put Ce. Tiba-tiba
tangannya terulur dengan cepat. Nadi Mei fu dan Thian cong laki-laki
itu sudah tertotok, Nadi Thian cong terletak di sebelah bawah ketiak
sedangkan nadi Mei fu terletak di bagian atas pusar.
Bila kedua nadi ini tertotok, maka bagian tubuh sebelah bawah
akan lumpuh seketika: Tubuh akan terasa lemas. Tangan saja sulit
digerakkan. Bagian kepala masih bisa menoleh atau bicara, Meskipun
Bwe Mei telah menotok kedua nadi pentingnya, dia masih
tidak bersuara.
"Kau sungguh menakutkan!" kata gadis itu.
"Saya?" tanya Sun Put Ce dengan suara tenang.
"Ketenanganmu agak mengerikan," sahut Bwe Mei sambil tertawa
dingin, Sun Put Ce hanya menghela nafas.
"Mengapa kau malah menarik nafas?" tanya gadis itu kembali Sun
Put Ce menggelengkan kepalanya lagi.
"Selamanya kau tidak akan mengerti perasaan saya," sahut lakilaki
tersebut.
"Apakah karena nadimu tertotok sehingga kau tidak dapat
menggerakkan tubuh selama setengah hari maka kau menarik
nafas?" tanya Bwe Mei.
Sun Put Ce tetap menggelengkan kepala.
Bwe Mei bangkit dari tempat tidur, Dia menatap Sun Put Ce
dengan pandangan dingin.
"Tampaknya kau lebih menakutkan dari orang itu!" katanya.
"Siapa?" tanya Sun Put Ce.
"Cap sa tai po Kiau Bu Suang!" sahut Bwe Mei.

"Nama orang itu sangat terkenal, kalau saja dia mau menampilkan
diri, kemungkinan besar dia sanggup melawan Toa Tek To Hun,"
kata Sun Put Ce.
Bwe Mei tertawa terbahak-bahak Sun Put Ce terpana.
"Saya sudah mengatakan bahwa saya memang tidak pandai
berbicara," katanya.
"Orang yang penampilannya tidak pandai bicara, justru biasanya
merupakan orang yang cerdas," sahut Bwe Mei.
"Aku tidak mengerti...." kata Sun Put Ce.
"Banyak bicara, otak berkurang," sahut Bwe Mei.
"Akh.... Baru pertama kali saya mendengar kata-kata yang
demikian dalam maknanya, Akan saya ingat selamanya," kata Sun
Put Ce sambil mendesah. Bwe Mei memperhatikannya sampai lama
sekali.
"Kalau kau bukan orang yang paling baik di dunia ini, pasti kau
orang yang paling jahat," katanya.
"Orang seperti saya ini, mana berani mengaku diri sendiri orang
baik?" Sun Put Ce menggelengkan kepala.
Bwe Mei tersenyum tipis mendengarkan ucapan itu.
"Sekarang kau terancam bahaya akan terbunuh olehku, mengapa
sedikit pun kau tidak tampak khawatir?" tanyanya.
Sun Put Ce memejamkan matanya, Dia, menarik nafas berkalikali.
"Kau tidak mengerti...." sahutnya.

"Aku memang tidak mengerti, kalau bukan otakku ada masalah,
tentunya dirimu itu yang patut dianggap makhluk aneh," kata gadis
itu.
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Bwe kouwnio, setiap orang pasti harus mati, bila waktunya sudah
tiba, ditolak pun tidak mungkin." Sahutnya.
"Kau anggap sekarang adalah waktu kematianmu?" tanya Bwe
Mei.
Sun Put Ce menganggukkan kepalanya..
"Mengapa?" Tanya Bwe Mei heran.
"Sejak duIu, dalam mimpi pun tidak pernah saya bayangkan kalau
saya akan mati di tangan gadis yang paling saya kagumi," sahut lakilaki
itu. Bwe Mei tampak kurang percaya mendengar kata-kata
tersebut.
"Kau sudah tahu bahwa demi Cap sa tai po, aku telah memperalat
dirimu. Apakah kau masih mengagumi diriku?" tanyanya.
Sun Put Ce menganggukkan kepala dengan yakin.
"Apakah maksudmu, kau telah menyukaiku sejak pertemuan
pertama?" tanya Bwe Mei kembali Dia seakan ingin meminta
penegasan dari Sun Put Ce. Dia hampir tidak percaya kalau di dunia
ini ada laki-laki sebaik orang ini. Dan ternyata Sun Put Ce tetap
menganggukkan kepala.
"Harap jangan memakai kata "suka" jawabnya.
"Mengapa?" tanya Bwe Mei semakin tidak mengerti.
"Meskipun saya mengagumimu, tapi selama ini saya selalu merasa
tidak cukup berharga untuk menyukaimu," sahut Sun Put Ce dengan
mata tetap terpejam.

Bwe Mei merasa terharu sekali mendengar perkataan Sun Put Ce
itu.
"Mengapa kau selalu merendahkan dirimu sendiri?" tanyanya.
"Saya mengagumimu karena kebaikanmu melebihi apa yang
kupikirkan, oleh sebab itu saya tidak berani menggunakan kata
"suka", Tentang rasa rendah diri, sulit dijelaskan dalam waktu yang
singkat," kata Sun Put Ce.
"Apakah kau tetap menyukaiku?" tanya Bwe Mei dengan
pandangan mata menyelidik.
"Apa yang kau maksud dengan kata "tetap"?" Sun Put Ce
tampaknya tidak mengerti.
"Seorang gadis yang pernah dipermainkan oleh seorang laki-laki,
meskipun belum sempat ternoda, sering dianggap rendah oleh lakilaki
lain," sahutnya dengan suara sendu.
"Saya bukan laki-laki seperti itu," kata Sun Put Ce.
"Apakah kau termasuk laki-laki yang merasa sayang
mencampakkan seorang gadis hanya karena dia masih sedap
dipandang?" tanya Bwe Mei.
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Bagaimana caranya membuktikan bahwa kau bukan laki-laki
seperti yang aku katakan?" tanya Bwe Mei penasaran.
"Apa yang harus dibuktikan?" Sun Put Ce membuka matanya dan
menarik nafas panjang, Benar kata kedua suhengnya, bahwa
makhluk yang paling sulit dimengerti di dunia ini adalah perempuan.
"Bukankah kau memandang tinggi setiap gadis yang mendekati
dirimu?" tanya Bwe Mei.

"Saya hanya memandang tinggi gadis yang saya kagumi," sahut
Sun Put Ce.
"Bagaimana kalau yang mendekatimu, seorang gadis yang tidak
kau sukai?" tanya-nya.
"Setiap gadis pasti mempunyai sikap pembawaan masing-masing,
mengapa saya harus merasa suka atau tidak?" sahut Sun Put Ce.
Bwe Mei merogoh dua buah-dompet dari saku bajunya, Yang satu
adalah miliknya, Yang satunya lagi merupakan pemberian orang lain.
Dompet itu masih rapi dan memancarkan keharuman. Berbeda
dengan pemberiannya yang sudah tampak lusuh dan tidak harum
lagi.
Hanya dua macam perempuan di dunia ini. Putih dan belang,
Yang dimaksud putih, tentu saja adalah seorang gadis yang bijaksana,
tidak cepat cemburu buta, Dan yang belang, pasti marah dulu
baru mencari kebenarannya. Sun Put Ce sendiri belum berani
memastikan Bwe Mei termasuk jenis yang mana?
Tiba-tiba Bwe Mei merasa benci melihat dompet itu. Dia
meremasnya berulang-ulang sehingga lusuh, Masih kurang puas dia
rasanya, dilemparkannya dompet tersebut ke lantai dan diinjakinjaknya
sampai kotor dan bau.
"Siapa yang memberikan dompet ini untukmu?" Sebuah
pertanyaan yang sebetulnya sudah diketahuinya sejak lama. Namun
Sun Put Ce merasa sedih melihat kemarahannya, Dia tetap
menjawab dengan sopan.
"Chow Ai Giok, cucu perempuan Pang Chow Ceng."
"Kau menyukainya?" tanya Bwe Mei dengan mata mendelik, Sun
Put Ce menganggukkan kepalanya, dengan sikap seperti biasa.
"Mungkin dia ada di sekitar tempat ini." sahutnya. Akibat ucapan
ini memang tak diduganya, Mata Bwe mengeluarkan sinar
pembunuhan.

"Coba kau katakan sekali lagi!" ancamnya.
"Kalau kau belum mendengar jelas, saya akan mengulanginya
sekali lagi," sahut Sun Put Ce tenang.
"Apakah kau hanya menyukainya dan tidak menyukai diriku?"
tanya Bwe Mei dengan pandangan mata membara, Sun Put Ce
hanyalah tertawa getir, Mengapa perempuan selalu tidak henti
bertanya?"
"Saya menyukainya, tapi saya mengagumi dirimu," sahut Sun Put
Ce.
"Aku tidak perlu segala macam rasa kagum. Mengapa kau tidak
pernah bisa mengerti perasaan seorang gadis?" tanya Bwe Mei
dengan nada kesal.
"Saya juga tidak tahu," sahut laki-laki.
"Kalau kau masih berani menyukainya, aku akan membunuhmu!"
kata Bwe Mei dengan suara ketus.
"Saya rasa hanya ada dua macam orang yang paling menakutkan
di dunia ini," sahut Sun Put Ce sambil menarik nafas.
"Dua macam orang yang bagaimana?" tanya Bwe Mei.
"Yang pertama adalah orang yang membunuh tanpa berkedip,
seperti Toa Tek To Hun. Yang kedua, adalah perempuan," sahut Sun
Put Ce dengan suara sendu, Bwe Mei sampai termangu-mangu
dibuatnya.
"Benarkah perempuan demikian menakutkan?" tanyanya.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Coba jelaskan dengan terperinci," kata gadis itu.

"Dompet yang kau berikan untukku tidak harum lagi karena
terjatuh dalam air, bukan?"
"Tidak salah! Hal ini membuktikan kalau kau menyimpan
pemberiannya dengan baik. Sedang pemberianku justru kau abaikan,"
kata Bwe Mei sedih.
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Bukan begitu.... Dompet pemberianmu, dilemparkan oleh Chow
Ai Giok ke laut. Untuk mengambilnya, hampir saja..." kata-katanya
tidak dapat dilanjutkan lagi.
"Mengapa tidak mengatakan sampai selesai?" tanya gadis itu
penasaran.
"Lebih baik tidak usah diteruskan, belum tentu kau akan percaya,"
sahut Sun Put Ce.
"Kalau kau belum mengatakan, bagaimana bisa yakin aku tidak
akan percaya?" tanya Bwe Mei.
Sun Put Ce kembali menarik nafas, Dia bukan jenis orang yang
suka membanggakan diri.
"Saya terjun ke laut untuk mengambilnya. Karena saya tidak
dapat berenang, hampir saja mati tenggelam," Akhirnya terpaksa dia
menerangkan.
"Siapa yang menolong dirimu?" tanya Bwe Mei mulai serius.
"Teman seperjalanan saya, Kwe Po Giok," sahut Sun Put Ce.
Bwe Mei tampak tercengang, Dia tidak menyangka akhir cerita itu
demikian adanya.
"Mengapa bukan gadis Chow Ai Giok itu?" tanyanya.

"Setelah melempar dompetmu ke laut, dia pergi tanpa menoleh
lagi," sahut Sun Put Ce.
Bwe Mei meraba pipi Sun Put Ce dengan telapak tangannya yang
halus, Sun Put Ce merasa gadis itu tadi seperti sekuntum mawar
yang penuh berduri, sekarang malah berubah menjadi sekuntum
melati yang lembut dan harum.
Bwe Mei mengelus-ngelus Sun Put Ce dengan penuh perasaan,
Sinar matanya yang sendu seakan ingin menembus hati Sun Put Ce.
Laki-laki itu tidak tahu harus tertawa atau menangis, Perempuan
juga merupakan makluk yang paling mudah berubah, Tiba-tiba saja
totokannya sudah terlepas.
Seorang yang sama sekali tidak pandai berenang, tetapi berani
terjun ke laut demi sebuah dompet, dari sini sudah dapat
dibayangkan betapa dalam cinta kasihnya terhadap pemilik dompet
tersebut.
Bwe Mei jatuh dalam pelukan Sun Put Ce. Dia sadar bila kejadian
tadi dialami oleh Cap sa taipo Kiau Bu Suang, pasti ceritanya akan
jauh berbeda, Laki-laki itu pasti tidak akan mengorbankan diri demi
seorang gadis. Dia lebih menyayangi jiwanya sendiri.
Bila seorang gadis menunjukkan kelembutannya yang paling
dalam, berarti seluruh perhatiannya teIah diserahkan kepada lakilaki
itu. Namun manusia seperti Sun Put Ce tidak mengerti perasaan
ini.
"Saya berjanji akan mengubah perasaan kagum turun menjadi
perasaan suka," katanya.
"Kau salah! Membuat perasaan kagum bertambah menjadi
perasaan suka", sahut Bwe Mei sambil tersenyum manis, Mendengar
perkataan nona itu, hati Sun Put Ce jadi berdebar-debar, tanpa
sadar ia bergerak dan memeluk gadis itu erat-erat.
"Mengapa Kiau Bu Suang tidak mencari ? Toa Tek To Hun?" tanya
laki-laki itu mengalihkan pembicaraan

"Karena dia mengalami Cao hue jit mo," sahut Bwe Mei.
"Sayang sekali...." kata Sun Put Ce dengan nada mengeluh.
Bwe Mei memperdengarkan tertawa dingin.
"Apa yang harus disayangkan? Dia adalah seorang laki-laki tidak
bertulang, Tidak berbeda dengan para ko chiu yang
menyembunyikan diri karena takut dicari oleh Toa Tek To Hun, juga
hampir sama dengan si tua Peng Chow Ceng," sahut Bwe Mei.
"Tapi dia kan terkena Cao hue jit mo, seharusnya bisa
dimaafkan," kata Sun Put Ce.
"Apakah laki-laki yang terkena Cao hue jit mo, bisa berhubungan
dengan seorang perempuan di tempat tidur?" tanya Bwe Mei ketus,
Sun Put Ce termangu-mangu sejenak dibuatnya.
"Rasanya tidak mungkin...." sahutnya.
"Dari hal ini saja sudah terbukti bahwa kau adalah laki-laki yang
masih polos sekali," kata Bwe Mei tersenyum manis.
"Apakah Cap sa tai po menghianati dirimu?" tanya Sun Put Ce.
"Dia bersama seorang perempuan di dalam rumahnya, Dari suarasuara
yang terdengar aku bisa mengambil kesimpulan apa yang
sedang mereka lakukan ini bukan didengar dari mulut orang lain.
Aku sendiri yang memergoki perbuatannya," kata Bwe Mei kesal.
"Apakah di dunia ini ada perempuan lain yang lebih menarik
darimu?" tanya Sun Put Ce seperti kurang percaya.
"Menarik atau tidak, hanya pandangan manusianya masingmasing,".
kata Bwe Mei.
"Siapa perempuan itu?" tanya Sun Put Ce.

"Aku juga tidak tahu. Aku hanya mendengar suara pembicaraan
mereka," Bwe Mei menjelaskan.
"Apa saja yang mereka bicarakan?" tanya Sun Put Ce kembali.
"Mereka membicarakan seorang laki-laki yang rasanya sudah
cukup berumur Laki-laki itu adalah gendak perempuan itu. Dia
menggambarkan keadaan orang tua itu yang katanya seperti papan
gilasan, Dia juga mengatakan bahwa gendaknya itu sangat
menakutkan Terlalu dibuat-buat lagaknya. Dia juga berjanji akan
merubah Cap sa tai po menjadi seorang yang paling berkuasa di
dunia persilatan," kata Bwe Mei setelah berpikir sejenak.
"Bagaimana merubahnya?" tanya Sun Put Ce semakin tertarik.
"Dari delapan jurus yang digunakannya untuk membunuh Bok
lang kun menjadi satu jurus, Dengan demikian dia baru dapat
menandingi Toa Tek To Hun," kata gadis itu.
Hati Sun Put Ce bergetar.
"Dia adalah manusia bertopeng," katanya dengan nada terkejut.
"Manusia bertopeng yang mana?" tanya Bwe Mei tidak mengerti.
"Manusia bertopeng yang membunuh Raja tinju Hong Be dari luar
perbatasan di hutan tempo hari," sahut Sun Put Ce menerangkan.
"Apakah seorang laki-laki berambut pirang, berjenggot dan bentuk
wajahnya panjang? Aku melihatnya ketika melarikan diri lewat
hutan," kata Bwe Mei.
"Tepat! Dia juga membunuh Bok lang kun di tempat itu. Mayat
Bok lang kun sudah saya bawa pulang untuk diurus!" sahut Sun Put
Ce. Dia tidak menyangka kalau manusia bertopeng itu adalah Cap sa
tai po Kiau Bu Suang yang termasyhur.
"Rupanya dia yang mengenakan topeng untuk membunuh para
jago kaum Bulim, Aku malah kena ditipu oleh kepura-puraannya

terkena Cau hue jit mo. Entah maksud apa yang terkandung di balik
semua ini?" Suara Bwe Mei terdengar sinis sekali.
Jilid 9
"Pertama, dia ingin kaum Bulim semua mendengar tentang
musibah yang menimpa dirinya, Dengan demikian Toa Tek To Hun
akan menganggap diri orang itu tidak pantas mati di tangannya.
Kedua, secara diam-diam dia menyamar dengan mengenakan
topeng, dengan maksud menguji ilmu silatnya sendiri. Pasti tidak
akan ada orang yang menduga manusia bertopeng itu adalah Kiau
Bu Suang," kata Sun Put Ce mengeluarkan pendapatnya.
"Kau sama sekali tidak bodoh!" Bwe Mei memandangnya dengan
seksama.
"Kau merupakan orang kedua yang mengatakan saya tidak
bodoh," sahut Sun Put Ce. Bwe Mei segan menanyakan siapa orang
yang pertama.
"Kalau menurutmu.... Siapa yang lebih menakutkan? Kiau Bu
Suang atau perempuan itu?" tanya Bwe Mei.
"Perempuan yang mana?" Sun Put Ce kadang-kadang memang
mirip orang tolol.
"Perempuan yang berhubungan dengan Kiau Bu Suang!" Bwe Mei
menerangkan.
"0h... tentu perempuan itu," sahut Sun Put Ce.
"Aku kemari karena dikejar oleh Kiau Bu Suang," kata Bwe Mei.
"Kiau Bu Suang tidak berhasil mengejar dirimu?" tanya Sun Put Ce
kurang percaya.
"Kalau bukan karena seorang dewa penolong yang muncul tibatiba.
Mungkin aku sudah mati saat ini," kata Bwe Mei.

"Siapa dewa penolong itu?" tanya Sun Put Ce penasaran.
"Kau tentu tidak akan menyangka siapa orangnya.... Dia adalah
Toa Tek To Hun!" kata Bwe Mei sambil tersenyum-senyum. Benar
saja dugaan gadis itu, Mata Sun Put Ce sampai membelalak!
"Toa Tek To Hun masih ada di sekitar tempat ini?" tanyanya.
"Tidak salah! Begitu melihat Toa Tek To Hun, tulang Kiau Bu
Suang menjadi lemas seketika," sahut Bwe Mei.
"Manusia sepertinya tentu tidak mengherankan lagi, Dia pasti
ketakutan bukan?" tanya Sun Put Ce.
Bwe Mei menceritakan semua kejadiannya dari awal hingga akhir,
Sun Put Ce mendengarkan dengan seksama, Sampai cerita itu
selesai, dia masih termangu-mangu.
"Aku harus bagaimana? Kiau Bu Suang ingin membunuhku
perempuan itu juga pasti tidak akan melepaskan diriku, Aku yakin
perempuan itu tinggal di tempat yang tidak terlalu jauh," kata Bwe
Mei selanjutnya.
"Saya juga percaya. Begini saja, untuk sementara kau boleh
tinggal di penginapan kecil di ujung jalan, Saya akan
mengunjungimu kapan saja. Bila tidak penting se-kali, lebih baik
jangan keluar," kata Sun Put Ce menyarankan sebuah jalan keluar
untuknya.
-ooo0ooo-
Di meja perabuan, terdapat bermacam-macam kue dan buahbuahan.
Juga ada dua pot bunga sedap malam di kiri dan kanan
ujung meja. Asap hio mengepul tinggi.
Fang Tiong Seng menyalakan hio dan berlutut di depan meja
perabuan Tang hay sin sian, Anak murid mengikuti jejaknya di
belakang. Tidak ada satu pun yang bersuara. Suasana hening

mencekam, Hati setiap orang bagai tersayat sembilu, Setelah selesai
bersembahyang, Pang Tiong Seng menuangkan tiga cawan arak di
atas meja. Dia bangkit dan berdiri di samping peti jenasah.
Kepalanya tertunduk.
"Tionggoan kembali kehilangan seorang pendekar besar...."
Kemudian dia menuju ke peti mati sebelahnya yang berisi mayat Bok
Lang kun. "Juga kekurangan seorang laki-laki sejati," Suaranya
sendu.
"Tapi masih ada suhu...." tukas Mo Put Chi yang sangat memuja
sang guru.
"Meskipun aku berhasil luput dari kematian, dan tetap akan
berusaha membalaskan dendam bagi para jago kita, namun
dibandingkan dengan Tang hay sin sian dan Bok lang kun, aku masih
tidak pantas disebut pendekar," sahutnya dengan mata basah.
"Suhu tidak boleh menyesali diri, Asal suhu bisa selamat dari
kematian, tentu bisa mengumpulkan para sahabat supaya ber-samasama
mengusir Toa Tek To Hun atau membasminya!" kata Hu Put
Chiu membesarkan hati Fang Tiong Seng.
Laki-laki itu menghela nafas berkali-kali.
"Memang saya berhasil selamat, tapi saya tetap akan mencoba
melawan Toa Tek To Hun. Kalau sampai kalah lagi untuk kedua
kalinya, aku sudah tidak mempunyai keberanian untuk
mengunjukkan muka di Bulim," sahut Fang Tiong Seng.
"Tayhiap tidak boleh putus asa. Pepatah mengatakan, asal hayat
masih dikandung badan, untuk membalas dendam duapuluh tahun
juga belum terlambat," kata dayang Cui thian dengan air mata
berlinang.
Fang Tiong Seng tidak menyahut lagi. Bagi seorang pendekar,
kadang-kadang kehidupan malah lebih menyedihkan daripada
kematian.
"Suhu! Orang yang membunuh It Cheng Hong, Kao Kie, Hong Be,
Bok lang kun pasti Toa Tek To Hun!" ujar Mo Put Chi.

Fang Tiong Seng menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bukan!"
"Saat ini siapa yang bisa membunuh beberapa orang ini, terutama
Hong Be dan Bok lang kun?" tanya Hu Put Chiu.
"Tentu saja ada manusia demikian. Tapi apa maksudnya itulah
yang sulit ditebak!" kata Fang Tiong Seng.
Malam musim semi. Hujan turun rintik-rintik, Cuaca demikian
paling cocok untuk orang yang bercinta, Tentunya sang kekasih pun
akan menyambut gembira.
Tempat ini berada di luar kota, Di daerah yang agak terpencil ada
sebuah bangunan indah. Majikan pemilik gedung ini merupakan
seorang yang suka kemewahan, dapat dibuktikan dari bentuk
bangunan dan isinya.
Dia tidak sayang mengeluarkan uang banyak untuk mendirikan
gedung yang mempunyai ciri tersendiri ini. Di dalamnya terdapat
sebuah ruang bawah tanah, Ada dua buah kamar besar yang isinya
kebanyakan barang-barang langka.
Gedung ini dibangun untuk seorang perempuan simpanannya,
Tentunya ruang bawah tanah itu hanya diketahui oleh orang
tersebut, Mereka mengadakan pertemuan di tempat yang tidak
diketahui oleh orang lain.
Dari luar yang tertampak adalah sebuah gedung milik seorang
hartawan, Ada beberapa pelayan yang bekerja di rumah itu. Mereka
juga sudah diperintahkan oleh sang majikan untuk menutup mulut.
Siapa pun yang masuk ke dalam gedung itu, pasti akan terpesona,
warna dinding dan permadani yang terhampar didominasi oleh
semaraknya merah jambu dan hijau muda membuat orang yang
berada dalam ruang besar tersebut serasa sejuk dan damai. Laksana
sehelai selimut di musim salju. Siapa saja yang sudah masuk di
dalamnya, tentu enggan keluar.

Di atas kamar dalam ruangan bawah tanah, terdapat dua buah
gelas kristal, isinya berupa anggur merah, Ada dua orang manusia
yang sedang duduk di masing-masing sisi meja tersebut.
Yang seorang adalah laki-laki berusia kurang lebih limapuluh
tahun. Tubuh bagian atas telanjang, Tulang-tulangnya bertonjolan,
Dadanya rata seperti sebuah papan gilasan.
Seorang laki-laki setengah baya lagipula berbadan kurus
kerempeng ternyata ditemani seorang perempuan berusia kira-kira
duapuluh enam tahun. Cantik, menawan, dan dewasa. Laki-laki ini
pasti bukan orang biasa. Apakah kekayaannya yang menarik bagi
perempuan tersebut?
Perempuan itu hampir telanjang, Selain selembar kain penutup
bagian bawah, bagian atasnya hanya terdapat selembar selendang
yang hanya dikaitkan di 1eher. Warna selendang itu juga merah
jambu dengan sulaman emas di sudutnya.
Tubuh yang halus dan putih itu membuat sang laki-laki terpesona.
Tangannya yang berjari lentik mengangkat gelas kristal dengan gaya
memikat.
"Loya.... Mari kuhaturkan segelas anggur merah untukmu."
Suaranya pun begitu merdu.
Minum anggur adalah soal kedua, sinar mata yang penuh gairah
malah merupakan hal pertama dan pasti bisa membuat laki-laki itu
mabuk, anggur belum masuk lewat tenggorokan namun dada sudah
mulai terbakar. Tangannya yang kasar dan berkeriput mengangkat
gelasnya dan meminum seteguk, jarinya bergetar mengiringi anggur
merah dalam gelas yang menari-nari. Deburannya bagaikan darah
yang muncrat dari sebuah luka besar.
"Semestinya aku yang menghaturkan segelas anggur untukmu,"
kata laki-laki bertubuh papan gilasan itu.
"Mengapa?" tanya yang perempuan.

"Bila urusan besar ini bisa berhasil, jasamu tidak boleh dianggap
kecil," kata orang tua itu.
Yang perempuan mengerlingkan matanya dengan gaya genit.
"Loya.... Mengapa harus demikian sungkan terhadapku?" katanya.
"Bukan begitu, Kau memang orangku, Tapi bila digantikan dengan
orang lain, belum tentu dapat menutup rahasia serapat ini. Jasamu
memang cukup besar bagiku," sahut si papan gilasan.
"Loya... aku belum berani terlalu yakin. Karena Toa Tek To Hun
masih ada di Tiong-goan," kata yang perempuan.
Orang tua itu tersenyum tipis.
"Kekalahannya tinggal menunggu waktu saja," sahutnya.
" Loya,... Apakah kau yakin sepenuhnya?" tanya perempuan itu.
Orang tua bertubuh kerempeng tertawa terbahak-bahak, dia suka
menggunakan tawanya yang menyeringai ataupun terbahak-bahak
sebagai ungkapan hati bila yakin akan sesuatu, sayang sekali,
banyak orang yang tidak terlalu memperhatikannya. Banyak orang
yang merendahkan kehebatan dirinya, sampai Toa Tek To Hun pun
tidak memandang sebelah mata kepadanya.
Manusia yang menganggap dirinya rendah terlalu banyak, Bahkan
termasuk orang-orang kepercayaannya. Benarkah demikian? Atau
mungkin hanya perasaannya sendiri yang terlalu banyak curiga...?
Namun bukan semua orang menganggapnya rendah, Paling tidak
ada dua orang yang menjunjungnya setinggi langit.
Dan ada beberapa orang lagi yang tahu kehebatannya, sedangkan
jumlah yang tidak banyak ini, justru merupakan manusia bermata
tajam.
Gelas kedua orang itu telah kosong, Empat buah bola mata saling
memandang.

"Kedua gelas kristal ini hanya boleh mengisi anggur hari ini.
sedangkan anggur besok dan waktu tidak boleh diisi di dalam gelas
ini bukan?" tanya si orang tua.
"Betul, Loya!" sahut yang perempuan
"Anggur kelak harus diisi di gelas lain!" kata laki-laki itu kembali.
Ucapan mereka membingungkan, mungkin hanya kedua orang itu
yang mengerti artinya yang dalam. tiba-tiba gelas di tangan laki-laki
itu diremas hingga pecah berantakan. Pecahan kacanya berserakan
di lantai. Setelah itu, dia mengambil gelas di tangan perempuannya,
dia melakukan hal yang sama.
Mungkin dalam hatinya dia ingin membuktikan bahwa
kekayaannya sekarang bukan apa-apa. Mereka masih bisa
menguasai dunia yang luas ini. Oleh sebab itu, setiap pekerjaan
harus mereka lakukan dengan penuh perasaan, termasuk hubungan
antara laki-laki dan perempuan.
"Malam ini kita harus menggunakan gerakan untuk mengeluarkan
apa yang terkandung dalam hati kita, Seperti pepatah yang
mengatakan "malam panjang harus dinikmati selagi mungkin." kata
laki-laki tersebut Dia mengulurkan tangan dan mengajak perempuan
tersebut naik ke atas tempat tidur
Mata perempuan itu mengerling kenes, Gairahnya terlihat meluap.
"Siau moi hanya menuruti apa kata Loya," sahutnya manja.
Dia rebah di atas tempat tidur dengan sprei warna merah jambu,
Dia membiarkan laki-laki itu melucuti seluruh pakaiannya yang
tersisa, Keduanya saling berdekapan, Mata perempuan itu terpejam.
sekarang yang laki-laki tidak dapat melihat apa yang tersirat di
dalamnya.
Dia hanya tahu bahwa perempuan itu tetap mengikuti gerakan
tubuhnya, Saling berirama. Akhirnya kedua tubuh telanjang itu
bersatu, dalam segala kecabulan dan kemaksiatan!

-oooo0oooo-
Hujan musim semi turun rintik-rintik. Hawa dingin mulai
menyelinap. Di sebuah jalan panjang di ujung kota terlihat dua
orang mendatangi dari arah yang berlawanan. Di sebelah Utara
adalah seorang laki-laki yang masih muda, sedangkan dari arah
Selatan, adalah seorang perempuan.
Suara hujan menggigiikan perasaan yang sudah terasa
mencekam. Tiupan angin membawa segumpalan kabut
pembunuhan. Ketika kedua orang itu sudah agak dekat, laki-laki
muda itu mengangkat tangannya untuk menyapa. Namun, dalam
sekejap saja dia sudah merasa ada yang tidak beres, Sinar mata
perempuan itu buas sekali, Seakan ingin melumatkan seluruh
tubuhnya. Bagi Hu Put Chiu, tidak ada yang perlu disusahkan di
dunia ini. Dia tidak percaya kalau perempuan itu bersungguhsungguh.
Mengapa perempuan ini ingin membunuhnya? Mereka
tidak pernah terlibat dendam pribadi atau sebagainya.
"Tampaknya kau ingin membunuhku?" tanya Hu Put Cbm.
Perempuan itu menganggukkan kepalanya.
"Betul!"
"Mengapa?" tanya Hu Put Chiu dengan senyum mengembang.
"Kau tidak usah tahu alasannya!" sahut perempuan tersebut
dengan ketus.
Hu Put Chiu melebarkan bibir dan tertawa bebas, Meskipun besok
langit akan runtuh, dia tetap akan mati dengan membawa senyum.
Biarpun ada orang yang berkata kepadanya bahwa besok adalah hari
kematiannya, dia tetap akan makan dan minum sepuasnya.
Tampaknya ia tidak memperdulikan meskipun perempuan itu terlalu
serius.
"Kau merupakan tamu dalam keluarga Fang, Suhu juga amat baik
terhadapmu, malah membantu pemakaman Tang hay sin sian besok,

Dia bahkan telah mengundang Siau kiong cu kemari. Apalagi yang
kurang?" tanya Hu Put Chiu.
"Segala sesuatunya sudah cukup, Tidak ada yang kurang!" sahut
perempuan itu.
"Harus ada alasannya bukan?" tanya Hu Put Chiu.
"Tidak selalu harus!" sahut perempuan itu kembali.
Hu Put Chiu tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha ha.,.! Benar-benar mengherankan" katanya.
Perempuan itu bergerak cepat, Hu Put Chiu baru merasa ada titik
hujan yang membasahi wajahnya ketika tendangan perempuan itu
telah tepat mengenai ulu hatinya.
Gerakan apa yang begitu cepat? Selain tiga belas jurus sayap
bangau dari perguruan Fang Tiong Seng, Hu Put Chiu tidak percaya
ada ilmu lain yang lebih cepat, memang para murid Fang Tiong Seng
sangat yakin bahwa ilmu sayap bangau yang berjumlah tiga belas
jurus itu adalah ilmu tersakti di dunia.
Oleh sebab itu, Hu Put Chiu yang bisa bertahan sebanyak lima
jurus, malah sudah terkena dua kali tendangan lagi dalam satu
setengah jurus saja. Tubuhnya mencelat ke udara, Namun bibirnya
masih mengembangkan senyum.
"Ternyata kau benar-benar ingin membunuhku!" teriaknya riang.
Tendangan ketiga dari perempuan itu seakan merupakan jawaban
bagi pertanyaan Hu Put Chiu. Punggg!!! Sekali lagi Hu Put Chiu
terlempar. Tenggorokannya mengeluarkan suara "krok-krok" dua
kali. Mungkin dia masih ingin mengucapkan sesuatu, namun
tenaganya untuk berbicara saja sudah tidak ada. Dari hal itu terbukti
bahwa Hu Put Chiu telah terluka dalam dengan parah. Darah
mengalir dari sudut bibirnya, Laki-laki itu bagaikan bermimpi meski
ajal sudah di depan mata.

Tidak berapa lama kemudian, kepalanya terkulai, nyawanya pun
melayang, tampaknya mirip seekor ayam yang baru disembelih.
Tanpa menoleh ke arah korbannya sekalipun, perempuan itu
membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat tersebut.
Lantai ruangan besar keluarga Fang ada sesosok mayat, sejak
mengalami kekalahan dan berhasil selamat melawan Toa Tek To
Hun tempo hari, ruangan ini telah kedatangan tiga mayat.
Tubuh Hu Put Chiu terbujur kaku, mulai saat ini dia benar-benar
tidak usah mengenal kata kesedihan lagi. Fang Tiong Seng menatap
dengan airmata berlinang.
"Sejak kedatangan Toa Tek To Hun di tanah Tionggoan, ada
orang yang menggunakan kesempatan ini untuk memancing di air
keruh, Kita harus membalaskan dendam Ji sute!" kata Mo Put Chi
sambil mengepalkan tinju. Suaranya berkumandang di seluruh
ruangan, Wajah setiap orang terlihat kelam.
"lni bukan saja memancing di air keruh. Tapi sudah menghina
sampai di pintu rumah!" kata dayang Cui thian dengan mata
membara.
"Sam sute!" teriak Mo Put Chi.
"Siaute di sini!" sahut Sun Put Ce dari arah samping.
"Mari kita cari pembunuh itu!" serunya gusar.
"Pembunuh tidak akan menanti di tempat semula setelah
tujuannya berhasil," jawab Sun Put Ce dengan wajah tak kalah
sedih.
"Apakah kita harus menunggu sampai dia datang untuk mengaku
dosa?" tanya Mo Put Chi dengan wajah merah padam.
"Tidak!" sahut sam sutenya.

"Apanya yang tidak? Kalau bicara harus lebih jelas!" bentak Mo
Put Chi dengan nada dingin.
"Siaute rasa, meskipun pembunuh itu sudah pergi, tapi dia tetap
tidak akan bersembunyi untuk selamanya," kata Sun Put Ce.
"Omong kosong!" Teriak Mo Put Chi marah.
"Betul!" sahut Sun Put Ce dengan kepala tertunduk.
"Mengapa di dunia ini masih ada manusia macam dirimu?" kata
Mo Put Chi mengulangi kebiasaannya.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
Mo Put Chi kesal sekali, Tubuhnya gemetar Dia membalikkan
tubuh dan meninggalkan tempat itu.
"Put Chi, mau ke mana kau?" tanya Fang Tiong Seng.
"Teecu harus mencari pembunuh itu sampai ketemu!" sahut Mo
Put Chi.
Fang Tiong Seng menarik nafas panjang.
"Orang yang membunuh Put Chiu, mungkin merupakan orang
yang membunuh Hong Be dan Bok lang kun juga. Kalau kau tidak
dapat menemukannya, berarti nasibmu masih baik. Bila kau berhasil
bertemu dengannya, sama saja dengan membuang nyawa secara
percuma, Bok lang kun dan Hong Be saja bukan tandingannya,
apakah ilmumu lebih tinggi dari kedua orang itu?" kata Fang Tiong
Seng dengan suara kereng.
"Teecu rela mati!" sahut Mo Put Chi se-dih.
"Ada pepatah yang mengatakan "ilmu silat harus dipelajari seiring
dengan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan mengajarkan kita
untuk berakal budi. Berbuat sesuatu tidak boleh hanya berdasarkan
keinginan hati. Harus menimbang untung rugi! Put Chi, kau benarbenar
lebih tidak berakal dari Put Ce," kata Fang Tiong Seng. Dia

menoleh kepada murid terakhirnya itu, "Kau bahkan harus banyak
belajar darinya!" Fang Tiong Seng melanjutkan kata-katanya,
Mo Put Chi hampir menganggap perkataan gurunya bermaksud
menyakiti hatinya. Belajar dengan siapa pun tidak akan menjadi
persoalan, Hanya belajar dengan Sun Put Ce yang tidak boleh, Dia
ikut menatap adik seperguruannya itu.
Sun Put Ce menundukkan kepalanya, Dia seakan dapat
merasakan tatapan Mo Put Chi yang tajam itu, Oleh karena itu, Mo
Put Chi merasakan kesedihan yang tidak terucapkan, Mengapa suhu
menganjurkan agar dia belajar pada Sun Put Ce? Apakah rentetan
pembunuhan yang dilakukan Toa Tek To Hun telah membuat para
jago di Tionggoan mengalami kegoncangan? sehingga pikiran
mereka menjadi kacau dan mengoceh yang bukan-bukan.
Bila tidak, bagaimana suhu bisa menjadikan Sun Put Ce sebagai
teladan? Manusia yang ketolol-tololan seperti Sun Put Ce apakah
dapat menjadi panutan dalam dunia Bulim saat ini?
Tiba-tiba Mo Put Chi berlutut di depan Fang Tiong Seng dan
menyembah sekali, Kemudian dia menghambur ke depan pintu.
"Mo Sau hiap! Apa yang akan kau lakukan?" tanya dayang Cui
thian dengan suara lembut.
"Tikus saja meski kecil berani mengendap-endap mencari
makanan, Semut rela tinggal di tempat gelap, Aku, Mo Put Chi,
biarpun tidak berguna, tetap tidak dapat berdiam diri melihat nasib
Bulim yang semakin tenggelam!" katanya sepatah-patah.
"Dunia Bulim memang sedang berada dalam ambang
kemerosotan. Orang asing merajalela di tanah kita. Kita sebagai
orang yang mempelajari ilmu silat, mana mungkin mendiamkannya
begitu saja? Namun semua persoalan harus diselesaikan dengan
kepala dingin, jangan terpengaruh emosi sesaat." sahut dayang Cui
thian memberi nasehat.

Mo Put Chi memandang Fang Tiong Seng, Dia tahu dirinya telah
berbuat kurang sopan di depan suhunya, Dia langsung menjatuhkan
diri berlutut.
"Tidak boleh keras kepala dan tidak boleh mengambil keputusan
sendiri, Tadi aku mengatakan bahwa kau masih belum bisa
menandingi Put Ce. Apakah kau sudah memikirkannya dengan
matang?" kata Fang Tiong Seng dengan nada penuh wibawa.
"Teecu masih belum paham...." sahut Mo Put Chi dengan kepala
tertunduk.
"Kalau sudah paham baru temui aku lagi!" kata Fang Tiong Seng
dengan suara dingin.
"Teecu sangat bodoh, Mungkin untuk selamanya juga tidak akan
mengerti," sahut Mo Put Chi.
"Kalau hal ini saja kau tidak dapat paham, berarti kau tidak pantas
menjadi muridku!" kata Fang Tiong Seng.
Mo Put Chi benar-benar tidak dapat mengakui keunggulan Sun
Put Ce. Dia tidak percaya manusia yang hanya bisa mengatakan
betul dan tidak itu, dapat menjadi teladan baginya.
"Mati adalah hal yang mudah, Namun bila kita ingin mati dengan
membawa kecemerlangan bagi nama kita sendiri, hal itu lebih sulit
daripada apa pun di dunia, Yang kumaksud dengan mati dengan
kecemerlangan adalah kematian yang patut dihargai. Bukan asal
mati saja. Siapa pun sanggup melakukannya!" kata Fang Tiong Seng
tetap dengan wajah kaku dan dingin.
"Teecu memang bebal!" sahut Mo Put Chi.
"Bebal tidak menjadi persoalan, Yang disayangkan mengapa
sampai saat ini kau baru merasa dirimu bebal?" kata Fang Tiong
Seng kembali.

"Mohon Insu (guru yang berjasa) memberi pelajaran untuk
teecu," sahut Mo Put Chi dengan suara pilu.
"Pergilah berlutut di depan jenazah Tanghay sin sian dan Bok lang
kun. Mungkin pikiranmu akan terbuka!" perintah sang guru.
"Baik!" sahut Mo Put Chi seraya meninggalkan ruangan itu.
Sampai saat ini, Mo Put Chi tetap tidak dapat menerima perkataan
suhunya yang satu ini: "Kau harus belajar dari Sun Put Ce!" Manusia
yang dalam keadaan emosi dan kehilangan akal sehatnya mau
menerima keunggulan orang lain, Bagi Mo Put Chi, bukan saja Sun
Put Ce tidak pantas dijadikan teladan, namun orang itu merupakan
manusia terbodoh yang pernah dijumpainya. sedangkan gurunya
malah menganjurkan agar dia banyak belajar dari orang itu.
Dia tidak akan mengalah terhadap adik seperguruannya, Kalau
tidak, namanya harus dirubah dan tidak patut disebut Put Chi (tidak
kenal kalah) lagi.
Baru saja dia masuk ke dalam kamar tempat mayat Tanghay sin
sian disemayamkan dia menjatuhkan diri dan berlutut. Di
sampingnya terlihat bayangan seseorang. Dia menolehkan
kepalanya, Wajahnya merah padam melihat adik seperguruannya
ikut berlutut di sisi kirinya,
Api kemarahan serasa memenuhi dadanya. Sun Put Ce
menyongsongkan tubuh ke dekat nya.
"Toa suheng.... Ada orang yang membunuh habis kita saudara
seperguruan" bisik Sun Put Ce.
Mo Put Chi ingin sekali tahu siapa orangnya yang ingin membunuh
habis saudara seperguruan mereka, Namun sebagai Toa suheng,
apalagi selama ini dia selalu menganggap rendah Sun Put Ce,
merasa malu untuk menanyakannya.
Paling tidak, hal ini akan membuktikan bahwa pengetahuan adik
seperguruannya memang lebih tinggi daripadanya, Kewibawaannya
sebagai Toa suheng lenyap seketika di dalam ruangan besar tadi.

Dia menatap Sun Put Ce dengan penuh kebencian Kadang-kadang
peluapan hati dengan pukulan bisa meredakan hawa amarah.
Tangannya sudah terangkat ke atas, ketika dia mendengar suara
lirih orang melangkah, rupanya pelayan tua Fang Yen. Kebetulan itu
membuat Sun Put Ce terlepas dari umbaran hawa amarah Mo Put
Chi.
Bila saja pelayan itu tidak datang tepat pada waktunya, dapat
dibayangkan penderitaan yang akan diterima oleh Sun Put Ce.
Fang Tiong Seng yang berada dalam ruangan besar telah
memerintahkan anak buahnya untuk membawa mayat Hu Put Chiu
ke kamar lain untuk dibersihkan Dia menoleh kepada dayang Cui
thian....
"Siapa yang membakar api menyiram minyak?" tanyanya.
Dayang Cui thian merenung sejenak.
"Saat ini, para jago Bulim sudah pada menyembunyikan kepala,
Siapa yang bisa melakukannya?" Dia berbalik bertanya.
"Siapa yang bisa membunuh Bok lang kun dan Hong Be?" Fang
Tiong Seng tidak habis pikir.
"lt to hun (segumpal awan), Seeto Kiang dan It ki bwe (Sekuntum
bunga bwe). Lian lian, dua-duanya mempunyai kemungkinan Tentu
saja, Cap sa tai po Kiau Bu Suang juga mempunyai kemungkinan
kalau dia belum terserang Cao hue jit mo," kata dayang Cui thian
mengeluarkan pendapatnya.
Wajah Fang Tiong Seng berubah hebat.
"Apakah Lian lian masih hidup dalam dunia ini?" tanyanya,
"Apakah pernah terdengar berita kalau dia sudah tiada?" Kembali
perempuan itu membalikkan pertanyaannya.

Fang Tiong Seng menggelengkan kepalanya. Kedua orang ini
memang mempunyai ilmu yang cukup tinggi untuk membunuh Hong
Be dan Bok lang kun. Namun kedua orang ini rasanya tidak mungkin
sengaja datang ke Tionggoan untuk membunuh orang. Tadinya
hanya ada satu Toa Tek To Hun yang datang ke Tionggoan untuk
membunuh para ko chiu. persoalannya gamblang sekali. Sekarang
tiba-tiba terdapat banyak perubahan yang membuat kepalanya
semakin pusing dan seakan hampir pecah berantakan.
Di tempat ini ada lagi sebuah rumah kayu yang lain.
Kiau Bu Suang sedang menikmati araknya sendirian Karena rumah
kecilnya dulu sudah konangan, dia tidak dapat tidak harus berganti
tempat, Setidaknya, Bwe Mei sudah mengetahui rumah itu. Dan dia
juga sudah tahu bahwa Kiau Bu Suang yang menyandang gelar Cap
sa tai po sama sekali tidak menderita Cao hue jit mo.
Oleh karena itu, dia harus menemukan Bwe Mei dan
membunuhnya. Dia menyesal sekali mengapa tidak sejak dulu dia
mencari akal untuk mendapatkan kesucian gadis itu? padahal dia
yakin, dengan cinta kasih Bwe Mei yang dalam terhadapnya, gadis
itu rela berbuat apa pun asalkan hatinya senang. Sekarang,., bahkan
bayangannya pun dia tidak menemukan.
Sekumpulan burung di hutan, tentu jauh lebih baik seekor burung
pilihan, apalagi kecantikannya melebihi yang satu itu. Meskipun dia
hanya bermaksud memperalatnya untuk sementara, Sekarang Bwe
Mei sudah mengetahui penghianatannya, Kalau dinilai dari adatnya
yang keras kepala, dia tidak akan memaafkan Kiau Bu Suang, Dia
yakin sekali jalan yang terbaik memang hanya dengan
membunuhnya, Tapi di mana dia sekarang?
Arak hangat dalam cawan telah kering, Rembulan menutupi
wajahnya sebagian dengan tersipu-sipu. Sebuah bayangan berdiri
tegak di depan pintu, Kiau Bu Suang sama sekali belum mabuk, Dua
cawan arak tidak mungkin membuatnya mabuk, Namun orang itu
sudah berdiri di depan pintunya,, dirinya masih belum sadar juga.
Hatinya bergetar. Hal ini membuktikan bahwa dirinya masih sering
terpengaruh oleh suasana hati dan pikiran kacau, bila orang yang

dihadapinya kelak adalah Toa Tek To Hun atau orang lain yang
ilmunya lebih tinggi, panca indera keenamnya belum cukup cepat
tanggap, Kiau Bu Suang meraba pedang panjang di atas meja.
"Siapa?" bentaknya.
"lt ki bwe!" sahut bayangan luar tadi.
Pertama-tama Kiau Bu Suang terpana mendengar nama itu,
kemudian reaksinya adalah terkejut. Apakah bayangan itu tidak
berdusta? It ki bwe sudah terkenal sejak lima belas tahun yang
silam. Dia adalah seorang pendekar wanita yang bernama besar dan
cukup kejam di dunia Bulim.
Dia juga mendapat sebutan Raja tinju wanita, Dalam kalangan
para pendekar wanita saat ini, tiada satu pun yang ilmu silatnya
dapat menandingi yang satu ini.
"Sudah lama aku mendengar nama besar Lian toa moicu, Selama
ini tidak ada jodoh untuk bertemu, Kalau hari ini sudah ber-kunjung,
mengapa tidak masuk dan menemani Kiau Bu Suang mabuk
bersama?" undang Cap sa tai po.
"Kiau Bu Suang! Setahu saya, meskipun kau menyembunyikan diri
berpura-pura terserang penyakit, namun secara diam-diam kau
sering keluyuran di luar untuk mengadu ilmu dengan para jago,
Tentunya kau mempunyai maksud tertentu!" kata Lian lian.
Hati Kiau Bu Suang kembali bergetar, Di dunia ini benar-benar
tidak ada rahasia yang tertutup rapat.
"Setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk ternama. Apa
salahnya?" jawab Kiau Bu Suang menyembunyikan perasaan
hatinya.
"Betul!" Kata-katanya selesai, orangnya pun masuk.
Kiau Bu Suang hanya pernah mendengar nama besar It ki bwe.
orangnya bagaimana, dia sama sekali belum tahu. Tidak pernah

terbayangkan olehnya bahwa wanita yang sudah berusia di atas tiga
puluh tahun ini masih begitu menawan dan menarik.
Seorang perempuan bila ingin mengangkat nama besar dalam
dunia Bulim, selain ilmu silat yang tinggi, penampilan luar juga
teramat penting. Cara berpakaiannya seperti seorang gadis desa.
Dia mengenakan stelan celana panjang berwarna ungu. sepatunya
bersulam indah, warnanya sesuai dengan pakaiannya. Di
pinggangnya yang ramping terikat sehelai selendang warna putih, Di
dalamnya terselip sebatang pedang panjang.
Setiap bergerak, bentuk tubuhnya melenggok dengan lemah
gemulai, Mempesonakan siapa saja yang memandangnya, Bila dia
tidak menyebut nama besarnya, pasti orang akan menduga dia
masih seorang gadis remaja.
Ditambah lagi dengan bentuk payudaranya yang seakan
menantang dan sepasang kaki yang panjang serta padat. Semua
syarat untuk disebut wanita cantik sudah terpenuhi olehnya, Dia
melangkah masuk dengan gaya yang memikat.
"Bagaimana kau memanggilku tadi?" tanyanya dengan suara
merdu merayu.
Kiau Bu Suang segera bangkit dan menjura dengan hormat,
"Lian toa moicu!" panggilnya sekali lagi.
"Berapa usiamu sekarang?" tanya Lian lian.
Kiau Bu Suang mengira-ngira dalam hati. Usia perempuan ini pasti
hampir sebaya dengan dirinya, Malah mungkin lebih tua satu atau
dua tahun, Dia sangat memahami perasaan seorang wanita.
Bila di depan seorang perempuan ia mengaku usianya lebih tua
sedikit, bukan saja akan mendapat penghormatan, namun sudah
pasti dapat meraih simpati.

"Cayhe baru saja melewati ulang tahun ketigapuluh lima, Saya
rasa Lian toa moicu tidak mungkin lebih dari tiga puluh usianya,"
jawab Kiau Bu Suang. Dia menambah usianya sendiri tiga tahun
lebih tua.
Lian lian tersenyum-senyum, Dia tidak menjawab pertanyaan itu.
Kiau Bu Suang mengajaknya duduk, Dituangkannya secawan arak
dan disodorkannya ke hadapan It ki bwe.
"Malam panjang, lingkungan sepi, sungguh sulit menahan
keinginan hati untuk menenggak secawan arak, Terima kasih untuk
kunjungan Lian toa moicu," katanya seramah mungkin.
"Jangan sungkan!" sahut Lian lian.
"Aku memberikan hormat dengan secawan arak," kata Kiau Bu
Suang.
"Aku sudah berhenti minum," sahut Lian lian.
"Apakah ada alasan tertentu?" tanya Kiau Bu Suang dengan nada
penuh perhatian.
"Hanya karena arak sering membuat orang salah tindak," sahut
Lian lian sambil tersenyum manis.
"Kalau Lian toa moicu kurang percaya pada cayhe, lebih baik
jangan memaksakan diri," kata Kiau Bu Suang dengan mimik agak
kecewa.
"Kalau tidak percaya, aku tidak akan datang malam ini!" sahut
Lian lian.
"Betul! Aku ingin mendengar maksud kunjungan Lian toa moicu
malam ini," kata Kiau Bu Suang menimpali.
"Aku ingin memperingatkan satu hal kepadamu, Namun kau
belum tentu akan percaya!" sahut Lian lian.

"Jika aku belum tentu akan percaya, buat apa Lian toa moicu
mengatakannya!" kata Kiau Bu Suang dengan nada sewajar
mungkin.
Lian lian tersenyum manis sekali, Membuat siapa pun yang
memandangnya akan yakin bahwa hatinya juga begitu manis dan
baik seperti senyumannya. Bila seseorang tidak dapat berbuat
demikian, sekali bertemu dengan orang yang berpengalaman
tawanya akan menjadi menakutkan.
"Bila memikirkan kepentingan kaum Bu-lim, menerima sedikit
hinaan toh tidak menjadi persoalan," kata Lian lian.
"Terima kasih, Cayhe mengerti sekali perasaan Lian toa moicu,"
sahut Kiau Bu Suang.
"Lebih baik kita saling berterus terang," kata Lian lian selanjutnya.
"Dengar-dengar kekasihmu mempunyai hubungan dengan sebilah
papan gilasan.,,." kata Lian lian.
Kiau Bu Suang merasa susah untuk tidak mengakui, karena lawan
telah yakin baru berani bertanya, dia pasti sudah menyelidiki
persoalan dirinya dengan seksama.
Kata-kata sebilah papan gilasan sungguh tidak sedap didengar.
Apalagi bila mengatakan kekasih Kiau Bu Suang bermesraan dengan
orang yang jauh lebih tua dan bertubuh seperti papan gilasan,
Sungguh merendahkan derajatnya saja!
Namun, bila kekasihnya bergendakan dengan seorang kantong
nasi, yang hidupnya hanya bergendakan dengan perempuan saja,
apakah perasaannya akan lebih nyaman?
"Kau tidak berani mengakuinya?" desak Lian lian setelah sekian
lama tidak mendapat jawaban.
"Aku belum mengatakan apa-apa bukan?" Kiau Bu Suang
membalikkan perkataan dengan cerdik.

"Kalau begitu... berarti kau telah mengakuinya?" kata Lian lian.
"Bolehkah aku tahu maksud Lian toa moicu menaruh perhatian
pada persoalan ini?" tanya Kiau Bu Suang. Dia mengisi cawan
araknya sampai penuh, Dengan sekali teguk dikeringkannya
sekaligus.
"Demi rencana besar keselamatan Bu-lim," jawab Lian lian.
"Seekor ular berkepala dua dan menclok di sana sini bisa ada
hubungannya dengan keselamatan Bulim?" Tanya Kiau Bu Suang
kurang percaya.
Sikap kenes Lian lian lenyap seketika, Dia memandang laki-laki itu
dengan tatapan menusuk, "Tentu bisa! Kau toh tahu dari mana
asalnya, juga kau pasti tahu perintah apa yang harus dituruti
olehnya dengan berada di samping papan gilasan itu," kata Lian lian.
Kiau Bu Suang tidak bersuara. Keadaan mereka seperti dua orang
buta. Sebelum melihat jelas tujuan lawannya, mereka merasa lebih
baik banyak mendengar, kurang bicara.
"Toa Tek To Hun pasti akan kembali ke Fu sang. Badai yang
ditimbulkan olehnya telah berlalu," kata Lian lian selanjutnya.
"Apakah maksud Lian toa moicu bahwa akan datang lagi badai
yang lebih dahsyat dari yang ditimbulkan oleh Toa Tek To Hun?"
tanya Kiau Bu Suang dengan pandangan menyelidik.
Lian lian menganggukkan kepalanya.
Untuk sesaat rumah kecil itu menjadi sunyi. Kiau Bu Suang tidak
mengucapkan apa-apa. Lian lian juga tidak bersuara, Keduanya
beranggapan lebih baik mendengarkan pihak lainnya lebih dulu,
Akhirnya Kiau Bu Suang terpaksa mengalah.
"Siapa pemegang peran utama dalam badai dahsyat yang akan
timbul kali ini?" tanyanya.

"Bagaimana kalau kukatakan pemegang peran utama adalah
kekasihmu dan papan gilasannya?" tanya Lian lian ingin melihat
reaksi Kiau Bu Suang.
Laki-laki itu tertawa terbahak-bahak.
"Tidak mungkin!" katanya.
"Apa yang kau maksud dengan tidak mungkin? Apakah gabungan
kedua orang itu tidak bisa menerbitkan badai dahsyat bagi Bulim?
Atau mereka sama sekali tidak mungkin bekerja sama?" tanya Lian
lian.
"Aku tahu jelas keadaan kedua orang itu. Mereka tidak mungkin
bekerja sama," sahut Kiau Bu Suang yakin.
Lian lian mengangkat bahunya.
"Tapi aku ingin memberitahukan bahwa kedua orang ini terlibat
dalam asmara yang membara," ejek perempuan itu.
"Maksudmu mereka berkasihan?" tanya Kiau Bu Suang dengan
perasaan tidak tenang.
"Justru karena kau menganggap dia seperti sebilah papan gilasan
dan umurnya sudah tua, maka kau tidak percaya kalau dia masih
sanggup membuat seorang perempuan bergairah!"
Kiau Bu Suang seperti disadarkan kembali, hubungan antara laki-
Iaki dan perempuan tidak dapat dinilai dari usia keduanya, juga tidak
boleh diukur dari bentuk tubuhnya.
Keperkasaan seorang tua malah kadang-kadang lebih
menakjubkan, tentu mereka tidak akan mengatakannya kepada
orang lain dengan terus terang, apalagi hubungan mereka tidak
resmi.

Kiau Bu Suang hanya tidak tahu bagian mana dari orang tua itu
yang melebihinya? pikirannya segera terpusat pada kekayaan,
karena harta memang merupakan senjata yang paling ampuh untuk
menarik perhatian seorang perempuan.
"Lian toamoicu.... Mengapa tidak mengatakan secara terus terang
maksud kedatangan kau kali ini?" desak Kiau Bu Suang yang
pikirannya mulai kacau.
Lian lian menganggukkan kepalanya, Dia mengerling penuh arti.
"Kalau kau dan aku bekerja sama, tentu akan meredakan badai
dahsyat yang akan mereka timbulkan," katanya.
Kiau Bu Suang sama sekali tidak menyangka kedatangannya
untuk bekerja sama, Kalau dinilai dari daya tarik, Lian lian penuh
pesona, Jauh melebihi kekasihnya itu, Hanya usianya yang lebih tua
sedikit tapi bagi Kiau Bu Suang, hal itu sama sekali bukan persoalan.
Dalam ilmu silat, dia merasa kekasihnya juga tidak mungkin lebih
unggul dari Lian lian.
Namun selama ini, kekasihnya terus berada di samping seorang
pendekar besar. Apakah ilmunya telah maju pesat? Kiau Bu Suang
belum dapat menerkanya, Oleh sebab itu, dia menatap langit luas
dengan perasaan meluap. Paling tidak, bertambah seorang kekasih
adalah hal yang menyenangkan.
Lian lian seperti dapat menduga isi hati-nya.
"Kalau kau memang berniat bekerja sama, kau harus
melakukannya dengan tulus. Sepasang kaki tidak boleh menginjak
dua buah perahu, seorang laki-laki tidak boleh mempunyai dua
orang kekasih!" katanya.
"Lian toa moicu.... Dari jauh kau datang untuk bekerja sama
denganku. Hal ini membuktikan pandanganmu tentu menganggapku
istimewa. Bagaimana mungkin aku berani melakukan hal yang tidaktidak?"
sahut Kiau Bu Suang dengan nada merayu.

"Meskipun kekasihmu menipu si tua bangka dengan cinta palsu,
namun biar bagaimana pun perasaanmu terhadapnya akan
terganggu pula..." kata Lian lian.
Kiau Bu Suang terpaksa menganggukkan kepalanya. Dia merasa
tidak boleh terlalu banyak berdusta dengan perempuan yang satu
ini, Dia adalah orang yang sangat cerdik, kebohongannya pasti akan
terlihat.
"Aku beritahukan kepadamu, Dalam hati kekasihmu itu ada
harapan bahwa hanya bekerja sama dengan si papan gilasan baru
bisa menggetarkan dunia persilatan Bila usahanya telah berhasil, dia
akan mencari akal mengenyahkan si tua. Setelah itu, dia akan
mencari jalan lain lagi untuk membasmi dirimu, Dia akan menikmati
segala kesenangan dan kekuasaan seorang diri!" kata Lian lian
menjelaskan.
"Bagaimana kau begitu yakin?" tanya Kiau Bu Suang kurang
percaya.
"Karena rahasiamu sudah bocor. Caramu mengadu ilmu juga
terlalu kasar. Kau bisa memukul rumput mengejutkan ular," kata
Lian lian.
Kiau Bu Suang merasa dirinya ditelanjangi oleh Lian lian, setiap
gerak-geriknya selama ini dapat diketahui dengan jelas. Hal ini
makin membuktikan dugaannya bahwa perempuan itu telah
mengadakan penyelidikan sejak lama.
Bukan hanya persoalannya saja yang dapat diketahui oleh
perempuan itu, bahkan urusan kekasihnya pun sama juga. Rasanya
pendapat Lian lian tentang kekasihnya memang tidak berlebihan
Setelah usahanya berhasil, dia pasti akan dicampakkan.
"Lian toa moicu.... Cayhe tidak tahu bagaimana mengucapkan
terima kasih atas pemberitahuanmu," kata Kiau Bu Suang, Dia
berdiri dan menjura dalam-dalam kepada perempuan itu.
"Sebagai rekan kerja sama, kau tidak perlu mengucapkan terima
kasih. Aku mengatakannya, juga untuk kebaikan kita ber-dua.

Namun ada satu hal yang harus kau ingat, bila kau bertemu dengan
kekasihmu itu, kau tidak boleh menunjukkan kecurigaanmu, Malah
kau harus pandai bersandiwara agar rahasianya dapat kau ketahui.
Tentu termasuk rahasia si papan gilasan itu", kata Lian lian
menasehati.
"Aku akan melakukannya dengan baik," sahut Kiau Bu Suang.
Lian lian mengangguk dan tersenyum manis.
"Bu Suang! Tuangkan secawan arak lagi," katanya sambil
mengeringkan cawan yang berada di hadapannya.
Laki-laki itu cepat-cepat memenuhi cawannya kembali Lian lian
mengangkat cawan tersebut dan dibenturkannya ke cawan di tangan
Kiau Bu Suang, Mereka seperti menggunakan arak itu sebagai tanda
untuk bekerja sama.
Desiran angin di musim semi menyemarakkan suasana dalam
rumah itu.
Kiau Bu Suang sering menganggap bahwa penyelesaian sebuah
persoalan besar sangat berhubungan dengan seorang yang sedang
menjalin kasih. Kedua-duanya ingin penyelesaian yang tuntas, dan
tentunya tidak boleh diabaikan setengah jalan. Karena ingin
memperalat perempuan yang satunya lagi, maka dia rela
mencampakkan Bwe Mei.
Tiba-tiba dia menggenggam tangan Lian lian, Dia hampir tidak
percaya bahwa pada suatu hari dia bisa menggenggam tangan ini.
Padahal tangan ini merupakan tangan yang paling indah, paling
halus dan otomatis paling lihai. Dia percaya, kecuali dirinya, mungkin
tidak ada laki-laki kedua yang bisa menggenggam tangan itu tanpa
penolakan dari pemiliknya.
Kiau Bu Suang merasakan kedudukannya yang menjadi lebih
tinggi setingkat Atau selama ini memang dia sendiri terlalu
merendahkan kemampuannya? Bila tidak, mana mungkin
perempuan sehebat It ki bwe akan membiarkan tangannya
disentuh...?

Dan terhadap pemilik tangan yang sudah mengangkat derajatnya,
dia merasa berhutang budi, Tentu saja untuk mendapatkan bagian
yang lainnya tidak akan menjadi masalah.
Kalau membandingkan Lian lian dengan kekasihnya yang lama,
rasanya perbedaan mereka terlalu banyak, Sudah pasti perempuan
ini yang akan meraih kemenangan bila dibandingkan satu persatu.
Dan dia yakin Lian lian tidak akan berhubungan dengan dua orang
laki-laki sekaligus, meskipun kekasihnya yang lama melakukan
semua demi rencana mereka, sedangkan bagi laki-laki seperti Kiau
Bu Suang, rencana yang telah diatur adalah persoalan yang lain, biar
bagaimana pun, mendengar perempuan milik sendiri menjalin
asmara dengan laki-laki lain bahkan sampai pada tahap tempat tidur,
tentu tidak menyenangkan sebetulnya Kiau Bu Suang bukan tidak
tahu adanya kemungkinan itu. Namun cara Lian lian
memberitahukannya tadi membuat perasaannya sedikit marah.
Dari nada suara perempuan itu ia seakan ingin menekankan
bahwa kekasih lamanya menikmati apa yang terjadi di tempat tidur
bersama sebilah papan gilasan tersebut.
Lian lian menggeser tubuhnya sedikit Tangan laki-laki itu
dipindahkannya. Dia berdiri dan menatap dengan pandangan tajam.
"Jangan lupa!" katanya.
"Aku mana berani lupa? Kapan kau akan datang lagi?" tanya Kiau
Bu Suang..
"Bila ada keperluan di mana aku harus datang, aku pasti sudah
berada di sini," sahut Lian lian datar.
Tanpa mengatakan apa-apa, Kiau Bu Suang memandangi
kepergiannya....
Bayangannya sudah berlalu, selama ini dia tidak pernah merasa
pesimis, Sejak mendengar perkataan Lian lian tadi, perasaan yang
belum pernah timbul menjadi ada seketika.

Derajatnya memang terasa agak tinggi dari sebelumnya, namun
apakah dengan derajat yang lebih tinggi saja, semuanya akan
tercapai?
Dia tidak tahu. Matanya menerawang menembus kegelapan
malam, Apakah perasaan menggenggam tangan perempuan itu dan
memeluk bagian lainnya sama? Kiau Bu Suang tersenyum samarsamar.
Jauh dari keramaian... ditemani lampu yang redup, dalam sebuah
kedai kecil terlihat dua orang manusia... seorang tua, seorang lagi
muda. Yang tua terlihat sudah renta. sedangkan yang muda, di
bawah cahaya lampu yang redup terlihat masih remaja.
Mata orang tua itu agak terpicing, seperti silau terhadap sinar
lampu. Tapi kalau mata itu terbuka, ternyata lebih berbahaya dari
sinar lampunya sendiri, Mereka adalah Peng Chow Ceng dan Chow
Ai Giok, kakek serta cucu.
"Yaya.... Tampaknya rentetan pembunuhan Toa Tek To Hun telah
berhenti," kata cucunya.
"Hong Be dan adik seperguruanmu, Bok lang kun telah mati.
Mereka menjadi setan penasaran, Dan yang membunuh ternyata
bukan Toa Tek To Hun. Apa bedanya antara berhenti atau tidak?"
sahut Peng Chow Ceng.
"Siapakah orang itu?" tanya Chow Ai Giok.
Peng Chow Ceng tertawa-tawa. Tampangnya bahkan lebih jelek
dari anak kecil yang sedang merengek, Chow Ai Giok tentu tidak
akan bertanya lagi.
Setiap sang kakek memperdengarkan tawa semacam ini, pasti dia
tidak akan banyak bicara lagi, Suasana dalam rumah sunyi sekali
Peng Chow Ceng berjalan mondar mandir. Kemudian dia menuju ke
pintu.

"Aku pergi sebentar. Kau jangan meninggalkan rumah ini," kata
orang tua itu memecahkan keheningan.
Chow Ai Giok tidak menjawab, bila kakeknya memerintahkan agar
dirinya jangan keluar, dia pasti tidak berani kemana-mana. Tetapi
meskipun dia tidak keluar dari kedai itu, dia dapat hilir mudik di
dalamnya.
Dia melangkah menuju sebuah rumah kecil di belakang kedai
tersebut. Belum lagi tangannya mendorong pintu tersebut, suara di
dalam sudah terdengar.
"Siapa?"
"Aku," sahutnya.
Dia mendorong pintu dan masuk ke dalang, ternyata kedai itu
merupakan sebuah penginapan kecil Di dalamnya terdapat beberapa
buah kamar yang dibagi dalam beberapa bagian, Chow Ai Giok dan
kakeknya menempati bagian depan. Dan tempat yang ditujunya
sekarang merupakan bagian belakang.
Lampu penerangan dalam kamar itu juga redup. Lampu itu dipadu
dengan kamar yang kecil sungguh serasi Bagi orang yang tidak
mempunyai uang banyak, segera dapat mengetahui bahwa hanya
dengan satu buah uang perakan, kita sudah dapat menginap
semalaman.
Di atas tempat tidur duduk seorang nona, wajahnya lebih cantik
dari Chow Ai Giok, Dia memperhatikan nona tersebut dengan
seksama, Bila seorang yang berotak cerdas, bertemu dengan
seorang pintar lainnya, pasti masih ada perasaan saling kagum.
Namun bila seorang gadis bertemu dengan gadis lainnya yang juga
sangat cantik, perasaan yang ada adalah iri, tetapi bila dua orang
gadis berwajah buruk bertemu, mereka segera akan menjadi
sahabat karib.
"Rupanya engkau, bangsa siluman!" kata gadis di atas tempat
tidur.

Chow Ai Giok tertawa dingin.
"Bwe Mei, tampaknya dewa keberuntungan makin enggan
mendekatimu!" katanya.
"Aku?" tanya Bwe Mei tidak mengerti.
"Ternyata engkau juga memilih penginapan kecil ini," kata Chow
Ai Giok ketus.
"Kalau memang keberuntunganku makin jauh, lalu apa
urusanmu?" tanya Bwe Mei dengan nada ketus pula.
"Dua orang perempuan boleh berusaha bersama, boleh membuka
toko bersama, Tapi belum pernah aku dengar kalau dua orang
perempuan mempunyai seorang suami yang sama," kata Chow Ai
Giok kembali.
"Memang kenyataan ini jarang ada," sahut Bwe Mei yang kini
justru tersenyum-senyum.
"Oleh sebab itu, aku ingin membunuhmu!" kata Chow Ai Giok,
"Bila kau benar-benar ingin membunuhku... tetap akan kuucapkan
terima kasih kepadamu!" sahut Bwe Mei tenang.
Chow Ai Giok agak terpana, Sekejap kemudian dia tertawa dingin.
"Meskipun kau mengatakannya tanpa menunjukkan kekhawatiran,
tekadku untuk membunuhmu tetap tidak akan berubah!" kata Chow
Ai Giok dengan nada yang lebih tajam.
Bwe Mei menghela nafas.
"Semakin kau ingin membunuhku, hati ini juga semakin senang.
Mana mungkin kau bisa mengerti persoalan ini?" sahutnya.
"Aku memang tidak mengerti, Tapi aku tahu kau pasti mendapat
pukulan batin sehingga segan untuk hidup lebih lama lagi." kata
Chow Ai Giok dengan nada sinis.

"Memang hidupku sedang terancam bahaya, namun ada seorang
laki-laki yang baik sekali terhadapku. Kalau kau mengatakan hidupku
sudah membosankan, maka kau salah besar," sahut Bwe Mei.
Chow Ai Giok mendengus.
"Siapa laki-laki itu?" tanyanya dengan nada penasaran sekali.
"Siapa lagi kalau bukan dia!" sahut Bwe Mei datar.
Rasa terkejut tersirat di wajah Chow Ai Giok, Dia boleh
mengingkari bahwa perempuan mana pun tidak akan lebih cantik
daripada dirinya, Namun di hadapan Bwe Mei dia tidak dapat tidak
harus mengakui kecantikan perempuan ini.
"Kalau kau tidak melempar dompet pemberianku ke dalam laut,
mana aku tahu dia begitu setia?" kata Bwe Mei seperti kepada
dirinya sendiri.
Biasanya kaum perempuan tidak menganggap perkataan seperti
itu lebih tajam dari sebilah pisau.
"Aku tidak percaya kalau dompet itu masih bisa memancarkan
keharuman setelah terjatuh ke dalam laut!" kata Chow Ai Giok
dengan bibir mencibir.
"Ada semacam keharuman yang tidak dapat tercium oleh hidung,
Harus menciumnya dengan hati yang paling dalam," sahut Bwe Mei
tenang tapi terasa menusuk pendengaran Chow Ai Giok.
"Jangan bangga dulu! Biar mati pun aku tetap tidak akan
mempercayai kata-kata-mu!" kata Chow Ai Giok ketus.
"Membuat orang semacam kau mengerti persoalan ini, rasanya
lebih sulit dari pada meminta seekor unta menusukkan benang ke
lubang jarum, Coba kau tebak bagaimana kelanjutannya?" tanya
Bwe Mei.

"Tidak usah ditebak lagi. Dompetmu pasti sudah tenggelam ke
dasar lautan," sahut Chow Ai Giok dingin, Dia mengira Bwe Mei
hanya ingin memanaskan hatinya.
Bwe Mei tertawa terkekeh-kekeh.
"Bila dia tidak terjun ke dalam laut, apalagi dia memang tidak bisa
berenang dan hampir mati tenggelam, Bagaimana aku bisa tahu
perasaan hatinya kepadaku?" katanya.
Mata Chow A Giok membelalak.
"Dia benar-benar terjun ke laut hanya untuk mengambil
dompetmu?" tanyanya dengan nada kurang percaya.
"Tentu benar! Bila tidak, mana mungkin dia hampir mati
tenggelam?" sahut Bwe Mei dengan sebuah senyuman manis.
"Lebih baik dia mati tenggelam saja!" kata Chow Ai Giok kesal.
"Tapi Kwe Po Giok malah menolongnya," sahut Bwe Mei.
"Jangan senang dulu, Dia mati aku tetap ingin menikammu sekali
Dia hidup, juga sama." kata Chow Ai Giok dengan mata membara.
Begitu kata-katanya selesai, pedangnya benar-benar menikam ke
depan. Bwe Mei meloncat bangun dari tempat tidur, pedangnya
belum dihunus, serangan Chow Ai Giok telah luput dari sasaran.
Mereka seakan tidak sadar bahwa selama ini mereka sama-sama
menyembunyikan kepandaian masing-masing. Saat ini mereka
merasa tidak merasa perlu menyembunyikan kepandaian lagi, semua
ilmu yang telah dipelajari segera dikeluarkan.
Mereka saling menyerang dengan telengas, pertarungan mereka
bahkan lebih hebat daripada membalaskan dendam bagi kematian
seorang ayah.
Chow Ai Giok merubah gerakannya menyerang dua kali, Bwe Mei
tidak kalah, Dia juga mengganti jurus yang lain untuk mengelak dari

dua serangan gadis tersebut, kemudian dia memutar badannya dan
menghantam ke depan, serangan itu juga luput Chow Ai Giok
tampak terkejut.
"Ternyata kau bukan seorang Bubeng siau cut!" katanya.
"Sama! Sama!" sahut Bwe Mei sambil menghindar dari serangan
lawannya.
"Sayangnya kau tidak pernah mengetahui asal usulku, kecuali aku
mengatakannya kepadamu!" teriak Chow Ai Giok menyombongkan
diri.
Bwe Mei tertawa terkekeh-kekeh, Dia tidak mau kalah dalam
berdebat.
"Kalau kau bisa mengetahui asal usulku, kau baru terhitung
hebat!" katanya.
"Biarpun aku mengatakannya kepadamu aku tidak takut Kau toh
tidak dapat meninggalkan tempat ini hidup-hidup!" bentak Chow Ai
Giok.
"Mungkin!" jawab Bwe Mei. "Dengarkan baik-baik. Kakekku adalah
susiok dari Bok lang kun. Orang itu saja ilmunya sudah jarang ada
tandingannya. Dapatkah kau bayangkan sampai di mana tingkat
kepandaian yaya?" kata Chow Ai Giok.
Ucapan ini rupanya cukup menimbulkan guntur dalam hati Bwe
Mei. Bukan hanya dia yang tidak menyangka, bahkan semua para
jago Pek To di Bulim juga tidak akan mengira kalau Peng Chow Ceng
adalah Elang salju Chow Sek ki.
Nama Elang salju sangat terkenal di luar perbatasan, malahan
sampai ke wilayah Barat. Tetapi belum pernah terdengar kabar
bahwa orang ini datang ke daerah Tionggoan.
Rasa terkejut Bwe Mei ditahan sebisa mungkin, Dia berlagak
wajar.

"Nama Elang salju memang cukup terkenal, tapi toh hanya nama
kosong saja!" katanya.
"Apa maksudmu?" tanya Chow Ai Giok dengan suara dingin.
"Kemungkinan besar dia sudah terlalu tua untuk menjadi seorang
pendekar. Buktinya kematian keponakannya, Bok lang kun, di
tangan manusia bertopeng yang menyamar sebagai Toa Tek To Hun
didiamkannya saja, Mengapa dia tidak berani menunjukkan diri dan
membalaskan dendam Bok lang kun?" kata Bwe Mei sambil mencibir
bibir.
"Apa yang kau katakan? Bok lang kun mati di tangan orang yang
menyamar sebagai Toa Tek To Hun?" tanya Chow Ai Giok terkesiap.
Bwe Mei baru sadar bahwa dirinya telah kelepasan bicara, Hal
seperti ini lebih baik jangan cepat-cepat disebarluaskan, Orang itu
akan semakin tidak mengampuni dirinya. Namun setelah direnungi
kembali, mungkin dia dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk
mengadu domba kedua pihak. Bukankah dirinya yang akan
mendapat keuntungan...?
Chow Ai Giok bertanya kepada Bwe Mei. Namun tangannya tidak
berhenti menyerang. pedangnya berkelebat ke kiri dan kanan, Dalam
gerakannya banyak terdapat perubahan-perubahan yang aneh. Bwe
Mei tidak pernah melihat serangan seperti itu sebelumnya
penerangan sudah padam. Kamar itu kecil pula. Ruang gerak
semakin sempit.
"Katakan dengan jelas! Siapa yang menyamar sebagai Toa Tek To
Hun lalu membunuh Bok lang kun?" bentak Chow Ai Giok.
Bwe Mei menggeser tubuh untuk menghindari serangan
lawannya.
"Cap sa tai po Kiau Bu Suang!" jawabnya.

Chow Ai Giok terkejut. Nama orang ini memang sangat terkenal
Tetapi mengapa Kiau Bu Suang ingin membunuh Bok lang kun? Dia
tahu bahwa orang ini memang mungkin bisa membunuh adik
seperguruannya itu.
Umur Bok lang kun memang jauh lebih tinggi dari Chow Ai Giok,
Namun kakeknya adalah susiok Bok lang kun, sedangkan dirinya
sendiri adalah murid sang kakek, jadi kalau ditilik dari silsilah
tersebut Kedudukannya lebih tinggi setingkat dari Bok lang kun. Dia
menyebutnya Sute.
Dia tidak berhenti menyerang, namun otaknya juga terus berpikir
Apakah Kiau Bu Suang mempunyai niat tertentu dengan membunuh
Bok lang kun? Apakah dia ingin merebut kedudukan Hek to Bulim
bengcu? Lalu mengapa sampai saat ini belum terdengar orang itu
memproklamirkan diri?
Persoalan tentu tidak semudah itu. Para jago golongan Hek to
yang ilmunya lebih tinggi dari Kiau Bu Suang masih banyak, mereka
semua cukup pantas diangkat jadi Hek to Bulim bengcu, Lagipula
bila Kiau Bu Suang benar-benar berani mengangkat dirinya sendiri,
tentu dia harus memikirkan akibat yang akan ditimbulkan oleh
perbuatannya itu! Satu hal lagi yang penting adalah mereka semua
sedang merasa takut karena adanya Toa Tek To Hun...
Kiau Bu Suang juga rasanya tidak akan setolol itu merebut
kedudukan Bulim beng-cu pada saat ini?
Chow Ai Giok makin mendesak Bwe Mei.
"Katakan! Mengapa Kiau Bu Suang harus membunuh Bok lang
kun?" tanyanya.
"Mengadu ilmu!" jawab Bwe Mei sambil menghindarkan diri. Dia
sudah hampir tidak mampu mengembalikan serangan, Dia terlihat
kelabakan.
"Aku tidak percaya!" bentak Chow Ai Giok.

"Aku memang tidak mengharapkan kau akan percaya!" sahut Bwe
Mei tak mau kalah.
"Mengapa dia harus mencari Bok lang kun untuk mengadu ilmu?
Bukankah orang lain masih banyak?" tanya Chow Ai Giok makin
penasaran.
"Tanya saja kepada Kiau Bu Suang," sahut Bwe Mei. Dia sendiri
juga tidak tahu kejadian yang sebenarnya, Bagaimana dia dapat
mengatakan maksud orang itu?
"Kau pasti tahu tempat tinggal Kiau Bu Suang!" kata Chow Ai
Giok.
"Tahu sedikit.... Tapi aku lebih suka menjawab pertanyaan orang
yang sopan," sahut Bwe Mei.
"Orang she Bwe. Hari ini saat apesmu tiba. Sebentar nanti aku
akdn menyeretmu ke hadapan Yaya, aku tidak takut kalau kau
berkeras tidak mau mengatakannya." kata Chow Ai Giok dengan
suara dingin.
Dia menggunakan gerakan yang aneh dan cepat. Bwe Mei
percaya bahwa gadis ini benar-benar adalah cucu Elang salju, Cara
turun tangannya cukup membuktikan hal tersebut. Bila keadaannya
begini terus, rasanya belum sampai tigapuluh jurus dia akan rubuh
di tangan gadis itu.
Bwe Mei tertawa dingin.
"Sebagai jago yang ilmunya sangat tinggi manusia seperti Elang
salju rasanya sudah tidak banyak, sementara bangsa kita di bunuh
habis-habisan oleh pembunuh bayaran dari Fu sang, ternyata dia
tidak berbeda dengan para pengecut lainnya. Malah mengganti
nama menjadi Peng Chow Ceng.... He he he.... Aku yakin dia juga
tidak berani mengadapi Toa Tek To Hun gadungan!" katanya dengan
maksud menyindir.
Chow Ai Giok tidak menjawab. Tampaknya dia ingin merubuhkan
Bwe Mei dalam lima jurus lagi, Bwe Mei memandang sekitar kamar

itu. Dia berusaha mencari jalan untuk keluar ke ruangan depan.
Chow Ai Giok menghalanginya. Menghadang di depan pintu agar dia
tidak dapat meloloskan diri.
Akhirnya Chow Ai Giok mengganti gaya serangannya, jurus yang
dikeluarkan malah lebih dahsyat dan aneh dari yang sebelumnya,
Dia menikam secara kilat ke arah dada Bwe Mei.
"Sayang sekali laki-laki yang mau mengorbankan nyawa untuk
dompetmu itu tidak datang untuk menolongmu!" teriaknya sinis.
"Kalau kau bisa membunuhku, bibir ini tetap akan tersenyum
menjelang kematian, Betapa manis membayangkan biar harus mati,
tapi ada seorang laki-laki yang akan mengenang kita untuk
selamanya," sindir Bwe Mei kembali.
"Dan kalau kau sudah mati, aku akan tertawa tergelak-gelak
sebagai pengganti buah-buahan dan hio wangi!" sahut Chow Ai Giok
tak mau kalah.
Saat itu dia berdiri membelakangi pintu kamar. Tiba-tiba ada
sebuah bayangan hitam membuka pintu dan berdiri tegak. Kalau
saja reaksi Chow Ai Giok agak lambat, pasti dia sudah mengalami
kerugian besar. Begitu tahu orang itu menyerangnya, dia segera
menggeser tubuh dan membiarkan Bwe Mei.
Sebetulnya gadis itu pula yang lebih dulu melihat bayangan
manusia di belakang Chow Ai Giok, Ketika tubuh lawannya
menggeser dan perhatiannya terbagi, Dia segera menerobos ke arah
ruangan depan dan meloncat sejauh tiga depa.
Tepat pada saat itu, Chow Ai Giok berdiri berhadapan dengan
manusia bertopeng itu. Bwe Mei tidak mau kehilangan kesempatan
"Chow Ai Giok.... Dia adalah Cap sa tai po Kiau Bu Suang!"
teriaknya memberitahukan, secepat kilat tubuhnya melesat dan lari
meninggalkan tempat tersebut.

Kiau Bu Suang sengaja keluar untuk mencari Bwe Mei. Dia tahu
gadis itu tidak akan dapat dibujuknya, jalan terbaik adalah
membunuhnya. Ketika dia lewat di penginapan tersebut, dia
mendengar suara pertengkaran dua orang gadis.
Dia segera mengenali suara salah satu gadis itu adalah Bwe Mei.
Dia menganggap dirinya sedang dikejar keberuntungan Pertama
tanpa diduga, It ki bwe mengajaknya kerja sama. Kedua, tidak perlu
terlalu susah, dia berhasil menemukan Bwe Mei.
Dia yakin kesempatan yang diusahakan oleh manusia cerdas lebih
banyak daripada kebetulan saja. Dia harus berhasil menangkap Bwe
Mei. Yang tidak tersangka justru gadis itu juga sangat cerdik, Dia
berteriak dan gadis yang lain segera menghalanginya. Kesempatan
baik itu lalu digunakan Bwe Mei untuk kabur.
Jilid : 10
Chow Ai Giok menyerang satu kali, Dari cara manusia bertopeng
itu mengelakkan diri, dia langsung dapat mengetahui kebenaran
kata-kata Bwe Mei. Orang ini memang mempunyai kesanggupan
untuk membunuh Bok lang kun.
Tadinya Kiau Bu Suang menganggap, meskipun Bwe Mei sudah
berteriak, dia pasti masih sanggup membunuh dulu gadis yang satu
ini baru mengejar Bwe Mei. Tidak tahunya dia mendapat kesulitan
untuk menghadapi satu saja.
Kiau Bu Suang merasa terkejut sekaligus marah, Siapa orangnya
yang dapat menggembleng gadis kecil ini sampai begini lihai?
Namun Kiau Bu Suang dapat membunuh Bok lang kun dalam
delapan jurus saja. ilmunya juga bukan sembarangan. Meskipun
kakek gadis itu menggembleng lebih dalam lagi, dia tetap masih
bukan tandingan Kiau Bu Suang.
Dia ingin sekali mengetahui asal usul gadis ini. Apalagi dia ingin
cepat-cepat mengejar Bwe Mei. Akhirnya Kiau Bu Suang merasa
yang terakhir lebih penting, pedangnya yang aneh berkelebat dua

kali, Chow Ai Giok sibuk menghindari diri, secepat kilat manusia
bertopeng itu meloncat ke atas tembok dan menghilang.
Kedua orang ini memang belum sempat mengucapkan sepatah
kata pun, Namun Chow Ai Giok percaya kalau dia memang benar
Cap sa tai po Kiau Bu Suang. Malam yang mencekam. Angin bertiup
kencang, Ombak bergulung tinggi, Titik air memercik, Di atas atau
pun di tepi laut terlihat air bergelombang.
Di jalanan setapak pesisir pantai ada manusia yang sedang
berjalan. Bekas tapak kakinya terlihat jelas, begitu teratur dan rapi.
Tidak ada selisih sedikit pun pada setiap jaraknya, Orang yang tidak
berlatih dengan keras, mana mungkin akan menghasilkan jejak
seperti itu?
Tepat pada saat itu, di kegelapan muncul sebuah titik terang,
cahayanya menari-nari karena hembusan angin, lagi-lagi sebuah
lampu kristal yang indah....
Di samping lampu kristal tersebut ada sebuah kendi emas, dua
buah cawan yang juga terbuat dari emas dan serenceng mutiara.
Toa Tek To Hun berjalan ke arah batu karang.
Thi Bian Jin juga menyambut dari balik bebatuan itu. Topeng besi
yang dikenakannya masih memperlihatkan sekulum senyum. Toa
Tek To Hun berdiri di hadapannya dan memperhatikan dengan mata
tajam. Mata Thi Bian Jin juga menelusuri seluruh tubuh Toa Tek To
Hun. Dari atas kepala sampai pada pedangnya yang telah kutung
lalu kembali memandang wajahnya yang kaku tanpa perasaan.
"Siansing sudah mau pergi?" tanya Thi Bian Jin.
"Aku sebetulnya tidak boleh datang." sahut Toa Tek To Hun
dingin.
Waktu datang angin kencang, laut menghempas. Waktu
berangkat pun tidak berbeda. Namun perasaan hati waktu datang
dan berangkat justru berbeda jauh.

"Kalau tidak semestinya datang, semestinya tidak boleh pergi
juga!" kata Thi Bian Jin dengan nada yang tak kalah dingin.
Angin bergemuruh Ombak mengamuk.
"Apakah kau ingin menahan aku?" tanya Toa Tek To Hun dengan
suara datar. Thi Bian Jin memperdengarkan suara seringai yang
menyeramkan.
"Di kolong langit, hanya kau yang tahu siapa aku. Hanya kau yang
tahu siapa yang mengundang kedatanganmu di tanah Tionggoan,
Apakah aku harus meninggalkan sebuah mulut hidup untuk
menyiarkan berita ini?" tanyanya.
Tiba-tiba Toa Tek To Hun tertawa tergelak-gelak. Suara tawanya
sangat menusuk telinga, Suara angin dan ombak terhapus oleh
suara tawanya. Dalam ingatannya, tidak ada orang yang pernah
berkata begitu terhadapnya, Pasti tidak ada yang berani.
"Kau berani menahanku?" tanya Toa Tek To Hun.
"Aku sudah menduga bahwa kau akan mengira aku tidak berani.
Hal ini disebabkan oleh karena kau menganggap rendah diriku,
Setiap orang di dunia ini juga menganggap rendah derajatku!" kata
manusia bertopeng besi itu. Siapa pun tidak ingin dirinya dianggap
rendah. Namun kadang kala penghinaan yang kita harapkan justru
tidak mudah didapat, Dihina orang sebetulnya merupakan cambuk
untuk meraih kemajuan. Bila kesempatan sudah tiba, pedang akan
terhunus dan mengejutkan seisi dunia.
"Sebetulnya kau ingin mengadu domba antara diriku dan Tang
hay sin sian, agar kami sama terluka, Dengan demikian kau tinggal
meraih hasilnya. Sayangnya...", kata Toa Tek To Hun dengan nada
mengejek.
"Siapa sangka dia sudah Cao hue jit mo sehingga dirimu tidak
mendapat kerugian apa-apa," lanjut Thi Bian Jin.

Tiba-tiba manusia bertopeng besi itu mengeluarkan kutungan
pedang Toa Tek To Hun. Dia mengibas-ngibaskannya ke udara.
selamanya ada pepatah yang mengatakan, "bila pedang ada,
orangnya pun ada. Pedang putus, orangnya pun mati", Kata-kata ini
terasa kebenarannya oleh Thi Bian Jin. Paling tidak begitulah
tanggapannya tentang keadaan Toa Tek To Hun sekarang.
"Semua ini sudah dalam dugaanku sebelumnya." kata Toa Tek To
Hun sepatah demi sepatah.
"Sayangnya, meskipun kau tidak mengalami apa-apa tapi
pedangmu toh sudah putus!" sahut Thi Bian Jin.
Dia mengambil cawan yang terbuat dari emas dan diisi dengan
arak, warnanya yang merah tampak seperti darah di bawah cahaya
lampu kristal. Semakin menggidikkan siapa pun yang
memandangnya, Disodorkannya secawan ke arah Toa Tek To Hun.
"Apa pun yang akan terjadi, aku tetap ingin memberi hormat
dengan secawan arak," katanya.
Toa Tek To Hun tertawa dingin.
"Aku pernah mengatakan bahwa aku tidak minum arak.
Tionggoan Bulim tak akan habis begitu saja. Masih banyak jago yang
tersisa, Apakah kau sudah memikirkan resikonya kelak?" tanya lakilaki
berpakaian hitam itu sinis.
Thi Bian Jin tidak menyahut Dia mengeringkan arak di tangannya.
"Apalagi di Tionggoan ada pendekar besar seperti Tang hay sin
sian!" lanjut Toa TekToHun.
"Sayangnya dia sudah mati. Orang mati kan tidak mungkin hidup
kembali!" kata Thi Bian Jin dengan perasaan bangga.
"Daerah Tionggoan luas sekali, Penduduknya pun banyak, Orang
seperti Tang hay sin sian pasti mempunyai ahli waris yang dapat

diandalkan. Mungkin hanya saatnya yang belum tepat untuk
mengunjukkan diri," sahut Toa Tek To Hun yakin.
Sekali lagi Thi Bian Jin tertawa tergelak-gelak, karena dia sudah
memperhitungkan dengan matang, Begitu Tang hay sin sian mati,
maka di dunia Bulim tidak ada orang yang dapat menandinginya lagi,
Biar pun orang sakti itu mempunyai murid namun menunggu sampai
muridnya berhasil melatih diri sampai taraf cukup tinggi,
kepandaiannya sendiri sudah mencapai kesempurnaan.
Yang diharapkan justru keadaan seperti ini, Zaman yang sudah
lewat boleh ada seribu pendekar kelas satu, namun zaman yang
akan datang dunia hanya berada di bawah kuasanya seorang,
Sekarang dia sudah mendapatkannya, maka dia harus menjaganya
dengan baik.
Toa Tek To Hun sudah mencabut pedang kutung yang terselip di
pinggangnya, Urat berwarna kehijauan mulai bertonjolan di tangan,
Angin masih bertiup kencang, ombak menggulung semakin tinggi.
"Dengan kutungan pedang ini, aku masih sanggup
membunuhmu!" katanya dengan suara berat.
"Kau salah! Kau menganggap diriku terlalu rendah. Sama halnya
dengan orang-orang di Bulim yang menganggapku tiada, Kalian akan
menyesal!" sahutnya.
Thi Bian Jin keluar dari balik batu karang. Tiba-tiba Toa Tek To
Hun menyerang dengan pedangnya, sinarnya yang berkilauan bagai
cahaya bintang di langit. Pada saat yang bersamaan Thi Bian Jin
juga menghunus pedangnya. Gerakan pedang bagaikan seekor ular
yang mengamuk.
Gerakannya cepat dan aneh, perubahannya tidak tersangka,
Dalam dua kali gerakan saja, Toa Tek To Hun sudah tertusuk oleh
pedang itu tepat di jantung, Kenyataannya, memang orang-orang
sudah menganggap rendah dirinya, Namun sabetan pedang Toa Tek
To Hun juga sudah sampai di topeng manusia keji tersebut.

Tubuh Toa Tek To Hun limbung. Sebelah tangan memegang
pedang, sebelahnya lagi mendekap dada. Dia memperhatikan
manusia bertopeng besi itu. Topeng itu terbelah tepat di tengahtengah.
Persis seperti buah semangka yang dibacok pisau,
Rekahannya membuka, Sebuah wajah tersembul dari balik topeng
tersebut.
Wajah ini telah menerima entah berapa banyak pujian dan
sanjungan dari kaum Bulim. Wajah yang selalu terlihat berwibawa
dan bijaksana. Wajah Fang Tiong Seng! Kelak wajah ini akan
membawa banyak kemalangan bagi dunia persilatan khususnya
daerah Tionggoan.
Toa Tek To Hun terhuyung-huyung. Dia masih mencoba bertahan
sekuat tenaga, Darah menyembur dari lukanya di dada. Tubuhnya
pun rubuh ke tanah, Angin masih bertiup, Ombak menghantam batu
karang, Suasana hening seketika.
-ooo0ooo-
Bagian Empat Belas
Malam musim semi, hujan masih turun rintik-rintik, Di jalan kecil
yang sama, tidak terlihat seorang pun. Tidak berapa lama kemudian,
terlihat bayangan seorang laki-laki sedang berjalan menuju arah
selatan. Kepalanya tertunduk, entah apa yang menggelayuti
pikirannya.
Mo Put Chi selalu melangkah dengan gaya seperti itu. Langkah
yang tergesa-gesa, pikiran terus berkecamuk. Meskipun tidak ada
urusan penting yang harus dikerjakannya, dia tetap berjalan dengan
langkah lebar.
Beberapa hari ini dia telah menelusuri kota kecil tersebut, setiap
gang pun tidak diabaikan olehnya, Dia ingin mencari pembunuh
sutenya tersebut.
"Put Chi.... Kau benar-benar tidak dapat menyamai Put Ce. Kau
harus belajar banyak darinya!" Kata-kata itu terngiang di telinganya

setiap saat. Hatinya masih belum paham, namun dia memastikan
dirinya tidak akan belajar dari Sun Put Ce.
Dia mengangkat kepalanya dan menatap ke kejauhan, Tiba-tiba
dia melihat seseorang berdiri tegak di tengah jalan, Seakan memang
sengaja menantinya dan menghadangnya di tempat itu.
Orang itu mengenakan sebuah topeng, Di kepalanya terikat
secarik kain berwarna hijau pupus. Dengan demikian, sulit baginya
untuk menebak apakah laki-laki atau perempuan yang menghadang
di tengah jalan tersebut. Bahkan tua atau muda pun tidak dapat
diterkanya.
Tidak ada satu orang pun yang boleh menghadang jalannya,
Karena dia adalah Mo Put Chi. Manusia yang tidak kenal kata kalah,
Dan disebabkan oleh kemunculan orang aneh itu pula, hatinya
terbersit sedikit harapan.
"Kau yang membunuh Suteku?" tanyanya dengan mata menatap
tajam.
Orang itu tidak menjawab, kalau bukan angin malam
menghembusi lengan bajunya dan menerbitkan suara berdesir, dia
tentu akan menganggapnya sebagai sebuah patung. Kekesalan di
hati Mo Put Chi memang sudah penuh, dia merasa orang ini
memang merupakan sasaran yang tepat sebagai wadah
penampungan kemarahannya.
"Aku bertanya sekali lagi.... Bila kau tetap tidak menjawab, berarti
kau telah mengakuinya? Apakah kau pembunuh Hu Put Chiu?"
tanyanya garang.
Manusia bertopeng itu bagai terpaku di tempat itu, Di benak Mo
Put Chi terngiang kembali kata-kata gurunya.
"Kau memang tidak dapat menandingi Sun Put Ce... kau harus
belajar banyak darinya... kau harus belajar banyak darinya."

Api kemarahan terasa membara di dada-nya. Pedangnya
dikeluarkan dari sarung, Orang dan pedang bersatu, Luncuran
pedangnya mengarah ke leher orang tersebut....
Mo Put Chi adalah murid tertua Fang Tiong Seng, ilmunya paling
tinggi selama ini. Oleh sebab itu, dia sangat yakin terhadap dirinya
sendiri, Namun ketika serangannya sudah dekat sekali, entah
dengan gerakan apa orang itu dapat mundur dua langkah dan luput
dari serangan.
Tampaknya seperti hanya salah pengertian Orang itu tetap berdiri
di tengah jalan tanpa bergerak, Rasa tak kenal kalahnya tetap
membara. Namun perasaan yakin terhadap ilmunya sendiri lenyap
entah kemana. Sekali lagi menyerang ke depan, ternyata orang itu
membalas.
Pedang yang digunakan oleh orang itu aneh sekali, Bentuknya
tidak terlalu panjang juga tidak terlalu pendek, Kalau dibandingkan
dengan pedang biasa, rasanya terlalu pendek, Tapi kalau
dibandingkan dengan pisau pendek, rasanya justru terlalu panjang,
Gerakan dan serangan pedang pendek itu juga aneh sekali, Belum
sampai lima jurus, pedang Mo Put Chi telah terhempas ke tanah.
Pada saat itu, keyakinan diri Mo Put Chi entah terbang ke mana.
Dia merasa putus asa dan sedih, Kemasyhuran nama perguruannya
telah tercoreng di tangannya. Namun dia tidak akan bunuh diri
karena persoalan ini.
Dia ingin mengambil pedangnya yang terlempar dan bertarung
kembali, Pedang di tangan manusia bertopeng ini berkelebat
mengarah tenggorokkannya. Mo Put Chi menghindarkan diri dengan
susah payah. Tiba-tiba gerakan orang itu merandek sejenak Dengan
cepat, dia menggunakan kesempatan untuk meloncat mundur.
Ternyata ada orang lain yang menyerang manusia bertopeng ini
dari belakang, Dapat dikatakan bahwa nyawa Mo Put Chi juga
diselamatkan oleh orang tersebut. Bila tidak, tenggorokkannya pasti
sudah tertembus. Orang yang datang itu keluar dari sebelah kiri
taman rumah penduduk. Ternyata dia adalah Sun Put Ce.

Meskipun adik seperguruannya datang tepat pada waktunya, Mo
Put Chi tidak merasa perlu berterima kasih kepadanya, Dia masih
mendongkol oleh ucapan Fang Tiong Seng yang memintanya banyak
belajar dari Sun Put Ce.
Susah mengungkapkan perasaan hatinya saat itu. Dia tidak bisa
melaksanakan hal yang dalam mimpi pun tidak pernah terbayangkan
olehnya, Belajar dari Sun Put Ce. Manusia bertopeng itu
membalikkan tubuh dan menyerang Sun Put Ce. serangannya selain
cepat juga keji, Namun Sun Put Ce mengelak serangan itu dengan
gaya jauh lebih mudah dari abang seperguruannya.
Mo Put Chi makin tidak senang, dia juga ikut menusuk sekali,
Manusia bertopeng itu menggeser ke samping untuk menghindarkan
diri, penampilannya terlihat lebih kelabakan dari sebelumnya Apakah
disebabkan oleh kedatangan Sun Put Ce yang membuyarkan
konsentrasinya...?
Setelah melihat kejadian ini, hati Mo Put Chi masih kurang senang
juga. Bahkan semakin kecut dan tertekan. Namun Sun Put Ce
tampaknya tidak tahu perasaannya, Dia tetap menyongsong setiap
bahaya serangan manusia bertopeng tanpa memperdulikan
keselamatan dirinya sendiri.
Yang penting baginya hanyalah keselamatan Mo Put Chi. Dia tidak
sadar bahwa perbuatannya itulah yang membuat abang
seperguruannya semakin kesal, Dalam anggapannya, Sun Put Ce
hanya bermaksud mengambil hati.
Kadang-kadang manusia memang aneh, Mem-benci seseorang
tapi tanpa ada alasan tertentu Mungkin juga sekedar rasa iri dan
merasa dibedakan oleh sang suhu, Atau mungkin karena perhatian
musuhnya sekarang lebih tertarik pada Sun Put Ce?
Sebetulnya Sun Put Ce juga merasa agak gentar, kalau bukan
beberapa jurusnya yang aneh dapat menahan serangan manusia
bertopeng, mungkin dia hanya bisa menerima lima enam jurus saja.
ilmunya yang baru membuat rasa percaya dirinya tumbuh.

Dia semakin gencar melawan musuh itu, Ternyata Mo Put Chi
tidak mau ketinggalan Meskipun dalam hati dia membenci Sun Put
Ce, namun dia tetap tidak dapat membiarkan sam sutenya melawan
manusia bertopeng itu seorang diri.
Tampaknya sasaran manusia bertopeng itu beralih pada Sun Put
Ce. Dia menyerang murid bungsu Fang Tiong Seng terlebih dahulu,
kemudian baru menyerang kembali ke arah Mo Put Chi.
Tidak banyak bicara tentu berbeda dengan menganggap rendah,
Mo Put Chi mengira diamnya Sun Put Ce berarti merendahkan
derajatnya, Tiba-tiba dia menghentikan serangannya.
Musuhnya tentu saja kesenangan Nanti masih ada waktu untuk
mengurus yang satunya, Dia berturut-turut menyerang sebanyak
tujuh kali, Tujuh buah serangan itu belum pernah dilihat Mo Put Chi
seumur hidupnya, Dia merandek sejenak, Hatinya cepat mengambil
keputusan, jiwa Sun Put Ce sedang terancam.
Secepat kilat dia memburu ke dalam pertarungan yang sedang
berlangsung sengit, Dia membantu Sun Put Ce menghindarkan diri
dari serangan yang ganas itu. Namun baru saja tubuhnya bergerak,
serangan ke delapan dari manusia bertopeng itu telah menghunjam
bahu Sun Put Ce.
Mo Put Chi merasa sedikit menyesal, Bagaimana pun orang itu
adalah adik seperguruannya, Dia meraung dengan suara keras,
Pedang di tangannya menghunjam ke depan Serangan ini bukan
main lihainya, Tidak disangka, lawannya tidak merasa kerepotan
Dengan mudah dia berhasil memutar badannya dan membalas
dengan sebuah tusukan pula.
Nasib Mo Put Chi tidak sebaik manusia bertopeng itu. Uhhh!
Terdengar keluhan dari mulutnya, begitu terasa ada hawa dingin di
bagian bawah tubuhnya, dia cepat melirik sekilas, Paha kanannya
telah berlubang, Darah segar mengucur dengan deras. Sun Put Ce
panik sekali. Dia mempertahankan rasa sakit di bahunya, Dengan
sekali loncat, dia mendorong Mo Put Chi.

"Suheng! Cepat lari! Biar siaute yang menghadapinya!" teriaknya.
Rasa benci dalam hati Mo Put Chi langsung tersapu oleh kata-kata
Sun Put Ce itu. Dia baru sadar bahwa adik seperguruannya benarbenar
menyayanginya. Bukan hanya sekedar mengambil hati saja.
Sun Put Ce bagaikan berubah menjadi Toa suhengnya. Paha
kanannya terus mengalirkan darah. Bagaimana dia dapat bertarung
lagi?
"Suheng! Cepat pulang dan mencari bala bantuan! Siaute masih
mengimbangi untuk sesaat!" teriak Sun Put Ce dengan tangan terus
menyerang, Terlihat sekali dia mulai kewalahan.
Mo Put Chi menggertakkan gigi. Dia menyerang lagi dengan kaki
terpincang-pincang.
"Apakah aku cuma bisa memanggil bala bantuan?" bentaknya
keras-keras.
Manusia bertopeng itu mempunyai keyakinan bahwa dia dapat
membunuh kedua orang itu dalam lima atau paling banyak tujuh
jurus. Namun perhatiannya malah terpusat kepada Sun Put Ce.
Serangan yang dilancarkan semuanya mematikan. Sudah jelas dia
ingin membunuh yang muda dulu baru yang besar.
Sampai musuh pun memandang hina kepadanya, Mo Put Chi tidak
dapat menahan diri lagi, Dia menyerang dan mengelak dengan air
mata bercucuran, Keadaan mereka sudah sangat terdesak, Tiba-tiba
sebuah suara tepukan tangan berkumandang dari ujung jalan.
"Yang tua menghina yang muda, Terhitung manusia macam apa?
Coba kuperhatikan baik-baik. Tentu aku bisa mengenali dirimu!" kata
orang itu.
Yang berbicara ternyata Bwe Mei, Kiau Bu Suang tidak berhasil
menyandak dirinya. Dia tidak tinggal di penginapan kecil itu lagi. Dia

pindah ke rumah seorang penduduk, namun dia belum
memberitahukan Sun Put Ce.
Tidak tahunya kata-kata Bwe Mei membawa akibat lain, Bukan
berhenti, tapi malah manusia bertopeng itu bahkan menyerang tiga
kali lebih hebat Serangan pertama mengenai paha kanan Mo Put Chi,
Di pahanya sudah terlihat dua buah lubang luka yang cukup dalam.
Serangan kedua juga mengenai Mo Put Chi, tapi di bagian
punggungnya, Dan serangan ketiga mengenai bagian bawah ketiak
Sun Put Ce. setelah itu, secepat kilat dia menghilang dari arena
tersebut.
Mata Sun Put Ce jelalatan, Bwe Mei yang tadi tertepuk tangan dan
berbicara di ujung jalan juga sudah tidak terlihat lagi.
"Bwe kouwnio... Bwe kouwnio!" teriak Sun Put Ce.
Tidak ada jawaban, Mungkin Bwe Mei sudah pergi jauh. Dia
mengalihkan pandangan ke arah Mo Put Chi, Abang seperguruannya
itu telah mendeprok di tanah.
"Suheng! Apakah kau tidak apa-apa?" tanyanya khawatir.
"Omong kosong! Kau tidak lihat keadaanku?" bentak Mo Put Chi.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Kau mengenal nona tadi?" tanya Mo Put Chi denga nada dingin.
"Betul!" sahut Sun Put Ce. Tidak senang apa gunanya? Toh di
dunia ini ternyata ada seorang gadis yang begitu cantik
memperhatikannya, malah mengusir musuh mereka!
"Dia hanya mengucapkan beberapa patah kata, musuh tangguh
itu lalu pergi. Apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Mo Put Chi
dengan nada yang sama.
"Tidak tahu," sahut Sun Put Ce. "Usia manusia bertopeng itu tidak
terlalu tinggi. Mungkin sekitar tiga puluhan, Di Tionggoan ternyata

ada jago yang begitu lihai?" Mo Put Chi seperti berkata kepada
dirinya sendiri.
"Dia adalah seorang perempuan!" sahut Sun Put Ce.
"Perempuan? Tampaknya dalam hal ini, kau juga lebih
berpengalaman dari pada aku!" kata Mo Put Chi dengan suara keras.
"Tidak mungkin!" sahut Sun Put Ce dengan wajah tertunduk.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau dia adalah seorang perempuan?"
tanya Mo Put Chi penasaran.
"Pertama, ketika jarak kita agak dekat dengannya, Tubuhnya
memancarkan harum pupur, Kedua, tenggorokkannya tidak
menonjol," sahut Sun Put Ce tenang. Mo Put Chi terpana, Sejenak
kemudian dia menarik nafas.
"Sute.... Tampaknya segala macam apa pun aku tetap tidak bisa
menandingimu" katanya.
"Suheng! Kau telah kehilangan darah banyak. Biar Siaute
memapahmu kembali ke rumah," sahut Sun Put Ce mengalihkan
persoalan.
Membiarkan Sun Put Ce memapahnya pulang, sama dengan
mengakui keunggulan adik seperguruanya itu. Padahal dia sendiri
juga banyak kehilangan darah, Sun Put Ce memaksakan diri
memapah Mo Put Chi.
Dia berjalan dengan langkah cepat, Berbeda dengan
kebiasaannya. Dia menahan rasa sakit dari luka yang cukup dalam,
Begitu sampai di depan pekarangan keluarga Fang, Sun Put Ce jatuh
tidak sadarkan diri.
Mo Put Chi merasa menyesal Kalau mengingat perkataan "di dunia
ini segala macam manusia ada, herannya yang macam dirimu juga
ada", dia jadi merasa malu. Namun mereka sadar bahwa apa yang

terjadi di balik semua ini merupakan sebuah penderitaan yang masih
panjang....
-ooo0ooo-
Sinar mata Fang Tiong Seng tajam menusuk semuanya sudah ada
dalam dugaan Mo Put Chi. Pandangan suhunya terhadap Sun Put Ce
lebih tinggi, tapi dia tidak begitu kesal lagi, pandangannya sendiri
juga sudah banyak berubah.
Perasaan terima kasihnya telah berubah menjadi rasa kagum dan
hormat. Bahkan perasaan yang tadinya hanya ditujukan kepada
Fang Tiong Seng malah berkurang. Idola dalam hati sebetulnya
susah diubah, kecuali ada kejadian yang luar biasa, sesuatu yang
tulus dan ikhlas dapat menjadi idola yang konkrit.
Sebetulnya bukan Mo Put Chi saja yang merasa kekagumannya
kepada Fang Tiong Seng berkurang, Dalam hati Sun Put Ce juga
mulai terbit perasaan itu. Mereka belum tahu apa sebenarnya yang
terjadi Namun jauh dalam lubuk hati mereka, dapat merasakan
perubahan sikap Fang Tiong Seng akhir-akhir ini.
Hati Sun Put Ce jauh lebih tertekan daripada Mo Put Chi. Mungkin
karena otaknya lebih cerdas, Dia dapat menangkap suatu kejadian
dari segi yang berlainan. Kedua orang itu diberikan satu kamar
bersama untuk merawat luka.
Dulu... tapi hal ini tidak mungkin terjadi lagi, bila Mo Put Chi
sekamar dengan Sun Put Ce, Hut Pu Chi pasti akan
menertawakannya, sekarang Hut Put Chi sudah tiada. Mo Put Chi
memandang lampu penerangan dengan termangu-mangu. Sun Put
Ce memandangnya dengan terpesona, Ketika abang seperguruan itu
menolehkan kepalanya, dia mendapatkan sinar mata Mo Put Chi
yang terarah kepadanya.
"Sute... kau sedang memperhatikan aku?" tanyanya.
"Oh! Ti... tidak!" sahut Sun Put Ce gugup.

"Kau berbohong!" kata Mo Put Chi.
"Suheng... aku tidak berbohong, Aku hanya sedang berpikir,"
sahut Sun Put Ce.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Mo Put Chi.
"Mengingat sebuah peristiwa yang malang" sahut Sun Put Ce
dengan wajah tertunduk.
"Peristiwa malang apa?" tanya Mo Put Chi tidak mengerti
"Suheng.... Harap maafkan Siaute, karena aku tidak dapat
mengatakannya," sahut Sun Put Ce pilu.
"Mengapa kau tidak dapat memberitahukan kepadaku?" tanya Mo
Put Chi kurang puas.
"Aku benar-benar tidak dapat mengatakannya," sahut Sun Put Ce.
"Omong kosong!" bentak Mo Put Chi.
Biar pun hanya omong kosong, Sun Put Ce tetap tidak dapat
mengatakannya. Karena dia tahu, Toa suhengnya jauh lebih kolot
pikirannya, Dia sadar sudah merubah pendirian seseorang, Mo Put
Chi mendengus satu kali, sikapnya itu tidak mengherankan Sun Put
Ce lagi.
"Kenapa? Apakah kau menganggap dirimu benar-benar murid
suhu yang paling cerdas?" tanya Mo Put Chi.
"Mengapa Suheng bisa mempunyai pikiran seperti itu?" Sun Put
Ce menarik nafas.
"Bukankah suhu mengatakan bahwa dirimu lebih baik daripada
aku?" Suara Mo Put Chi makin tidak sedap didengar.
"Suhu mengatakan itu hanya agar dirimu makin bersemangat
untuk belajar," sahut Sun Put Ce lirih.

"Belajar darimu bukan?" sindir Mo Put Chi kembali
"Betul!" sahut Sun Put Ce terpaksa, "Apakah kau merasa dirimu
bisa menjadi guruku?" tanya Mo Put Chi sinis.
"Suheng.... Untuk kata "sabar" kau benar-benar harus banyak
belajar," sahut Sun Put Ce.
Mo Put Chi tidak dapat mengucapkan apa-apa lagi.
-ooo0ooo-
Dia bukan orang yang tidak mempunyai otak, Bila tidak, tadi dia
pasti mengamuk. Untuk kata "sabar" memang dia akui dirinya bukan
tandingan Sun Put Ce.
Sebelumnya dia memang tidak mengira Sun Put Ce sedang
bersabar. Dia menganggap sutenya tidak mempunyai kemampuan
Otak udang! Sekarang dia baru mengerti Bahkan mengerti dengan
jelas. itulah semacam ilmu yang hebat. ilmu "sabar" Mo Put Chi
menarik nafas.
"Sute... dalam hal ini aku benar-benar bukan tandinganmu,"
katanya.
"Suheng.... Di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna." sahut
Sun Put Ce.
"Tidak salah! Namun bila kita bisa mencapai taraf hampir
sempurna, sudah boleh dibilang hebat. itulah dirimu!" kata Mo Put
Chi sambil mengacungkan jempol tangannya.
"Suheng... kau masih belum mengerti diriku," sahut Sun Put Ce.
"Saat ini aku mengerti dirimu jauh dari sebelumnya," kata Mo Put
Chi yakin.
"Aku?" tanya Sun Put Ce heran.

"Betul! Kau sebetulnya mempunyai banyak kelebihan," kata Mo
Put Chi.
"Suheng... kata-katamu membuat siaute malu," sahut Sun Put Ce.
"Kalau kau tidak malu maka kau bukan Sun Put Ce. Sampai suhu
pun memuji-muji dirimu," kata Mo Put Chi tersenyum.
"Apa kelebihanku?" tanya Sun Put Ce tersipu.
"Pokoknya banyak, sampai kaum perempuan pun menyukai
dirimu," kata Mo Put Chi.
Sun Put Ce terpana. Dia merasa mendengar nada yang
bersemangat ketika suhengnya mengatakan soal perempuan. Kalau
hal ini terjadi beberapa bulan yang lalu, dia tentu tidak bisa mengerti
perasaan yang ditampilkan Mo Put Chi saat ini.
Sejak berdekatan dengan Chow Ai Giok dan Bwe Mei,
perasaannya terhadap perempuan sudah lebih jelas, Dia sudah
dapat mengerti jiwa seorang perempuan, Meskipun dia belum
mengetahui bagaimana laki-laki dan perempuan melakukan
hubungan yang mendalam. Namun daya tarik yang ditimbulkan oleh
seorang perempuan kurang lebih dia tahu sedikit
Setidaknya sekarang dia mengerti, mengapa bila kaum laki-laki
berbicara soal perempuan, suaranya pasti lebih bersemangat
perasaannya lebih peka, dan tangannya juga akan gemetar!
"Suheng... sebetulnya itu tidak terhitung apa-apa," kata Sun Put
Ce.
"Tidak,., tidak! ini juga boleh dibilang sebuah ilmu pengetahuan,"
sahut Mo Put Chi.
"Suheng... bila kau menyukai seorang perempuan, kau akan
berani mendekatkan diri," kata Sun Put Ce menjelaskan.

"Mendekatkan diri? Bagaimana caranya?" tanya Mo Put Chi yang
tidak mempunyai pengalaman sama sekali.
"Sering-sering mengajak berbincang dan bertemu," kata Sun Put
Ce sok tahu. sebetulnya dia sendiri tidak tahu apakah perkataannya
itu benar? Dia hanya ingin banyak mengobrol dengan suhengnya
saja,
"Apa yang harus kita bicarakan?" tanya Mo Put Chi mulai tertarik.
Tiba-tiba sebuah suara menyahut dari luar.
"Perempuan bagaikan api setan dalam neraka. Bila kau
mendekatinya, maka dia tidak akan melepaskan dirimu. Kecuali
sampai dirimu hangus terbakar!"
Ternyata yang berbicara adalah pelayan tua Fang Yen. Katakatanya
ada benarnya juga. Namun toa suheng tidak mungkin
mengerti.
Malam sudah larut. Angin kencang terus menghembus, Hujan
turun deras, Chow Sek Ki dan cucunya, Chow Ai Giok sedang
berbincang-bincang.
"Yaya.... siapakah sebenarnya yang membunuh Bok lang kun dan
Hong Be?" Terdengar suara Chow Ai Giok bertanya.
"Mestinya bukan Toa Tek To Hun," sahut Chow Sek Ki setelah
merenung sejenak.
"Siapa yang bisa membunuh Hong Be?" tanya Chow Ai Giok
kembali.
"Banyak orang yang memiliki kemungkinan itu," sahut sang kakek.
"Bukan Toa Tek To Hun?" tanya Chow Ai Giok kurang puas.
Chow Sek Ki menggelengkan kepalanya.

"Yaya... apa yang kita tunggu di sini?" tanya Chow Ai Giok
kembali.
"Aku ingin mencari orang yang menyamar sebagai Toa Tek To
Hun!" kata kakek itu tegas dan optimis.
"Apa yang akan Yaya lakukan kalau sudah ketemu dengannya?"
tanya sang cucu itu penasaran.
Chow Sek Ki tidak menjawab, Dia terlihat merenung sambil
memandang keluar jendela, Tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat
Di dalam ruangan itu sudah bertambah satu orang.
Kakek Chow Ai Giok tampak terkejut.
"Rupanya kau...!"
Sinar pedang berpijar, Secepat kilat sudah kembali ke sarungnya,
Sekali serangan hasilnya sudah terlihat.
Chow Sek Ki tidak mau kalah set. Dia juga sudah menghunus
pedangnya. Elang salju bukan orang biasa, Dia adalah susiok dari
Bok lang kun.
"Srettt!!!"
Sekali lagi pedang orang itu dikeluarkan. Serangan pertamanya
yang dikira berhasil ternyata gagal. Dia hanya sempat melukai dada
Chow Sek Ki. Serangan keduanya lebih dahysat daripada yang
pertama. Kembali dada Elang salju tertusuk, Serangan ketiga
laksana kilat Chow Sek Ki tidak sempat menghindari lagi. Dia berdiri
mematung, Rasa dingin menyelinap di jan-tung, Tubuh Chow Sek Ki
limbung,
"Bukk!!!"
Tanpa sempat ditahan oleh cucunya, dia rubuh di tanah. Nafasnya
putus seketika!

"Tang!!!"
Pedangnya terlepas dari tangan. Di keningnya terlihat jalur luka
memanjang, darah segar berhamburan ke seluruh tubuhnya.
Chow Ai Giok bagaikan bermimpi buruk, Tiga kali serangan,
jumlahnya tidak mencapai satu setengah jurus, Bahkan kematian
Bok lang kun membutuhkan jurus lebih banyak.
Di dunia Bulim saat ini, siapa yang sanggup membunuh si Elang
salju hanya dengan menggunakan satu setengah jurus? Kecuali Toa
Tek To Hun siapa lagi?
Manusia bertopeng tadi pasti Toa Tek To Hun. Chow Ai Giok
menyesal tadi tidak sempat turun tangan membantu kakeknya
menghadapi lawan, sebetulnya dia bukannya takut, hanya
kemunculan manusia bertopeng, berambut panjang dan berpakaian
hitam itu terlalu tiba-tiba.
Dia sama sekali tidak menyangka kalau orang itu adalah Toa Tek
To Hun. Lagipula, dia tidak perlu terlalu khawatir, karena kakeknya
adalah Elang salju yang ilmunya tinggi. justru karena pikiran itulah,
dia sekarang menyesal seumur hidup. Dan saat ini, pembunuh itu
telah melarikan diri Pasti Toa Tek To Hun! Pasti dia! Orang lain tentu
tidak sanggup membunuh kakeknya.
Chow Ai Giok berlutut di samping jenazah kakeknya terpaku.
Bagaimana kalau orang itu bukan Toa Tek To Hun? Bukankah akhirakhir
ini telah terjadi serentetan pembunuhan? Dan semua itu bukan
hasil karya Toa Tek To Hun.
Bila benar kejadiannya seperti itu, berarti masa pembunuhan Toa
Tek To Hun sudah berlalu. Lantas siapa orang yang satu ini?
sayangnya dia tadi duduk membelakangi orang berpakaian hitam itu,
sehingga dia tidak dapat melihat jelas bentuk tubuhnya dan sinar
matanya, namun kalau saja dia melihat dengan jelas, apakah orang
itu akan membiarkannya hidup sampai sekarang?

Elang salju mati dalam satu setengah jurus, Bagaimana kalau
berita ini tersebar di luaran? Reaksi apa yang akan timbul? Biarpun
orang itu adalah Toa Tek To Hun, Chow Ai Giok tetap mengharapkan
kakeknya bisa bertahan sebanyak tiga puluh jurus. Tapi apa bedanya
kalau kakeknya tetap mati.
Mulai sekarang dia akan hidup seorang diri. Dihapusnya airmata
yang membasahi pipi, Tinjunya dikepalkan.
"Aku harus membalaskan dendam Yaya!" sumpahnya, Dia
menatap langit, Dia berdoa dalam hati. Tangisnya semakin pilu, Dia
meraung dengan suara keras.
"Toa Tek To Hun! Dengan cara apa pun aku harus membasmi
dirimu!"
Tiba-tiba, sebuah suara yang dingin terdengar bertanya
kepadanya.
"Apakah Toa Tek To Hun ada di sini tadi?"
Chow Ai Giok membalikkan tubuh, Lagi-lagi seorang laki-laki
berambut panjang. Berpakaian hitam dan mengenakan topeng.
Orang itu berdiri kira-kira tiga depa di be-lakangnya, Kalau
manusia berpakaian hitam ini bermaksud buruk, tentunya Chow Ai
Giok telah tergeletak tanpa nyawa.
Tadinya gadis itu marah sekali, Dia mengira pembunuh kakeknya
datang kembali, setelah diperhatikan dengan seksama, dia yakin
yang ini bukan manusia bertopeng tadi.
Tubuhnya tinggi besar, punggungnya lurus, dari tangan yang
tersembul dan bagian leher, Chow Ai Giok mengira-ngira. Usia orang
ini tidak mungkin lebih dari empat-puluh. sedangkan pembunuh tadi,
punggungnya agak bungkuk, tubuhnya kurus.
Dia mengingat-ngingat kejadian sebelumnya. Rasanya tangan
pembunuh tadi sempat terlihat olehnya. Tangan yang kasar dan

berkeriput Hal ini membuktikan bahwa orang tadi usianya jauh lebih
tua dari yang satu ini.
Manusia bertopeng yang ada di hadapannya sekarang, Chow Ai
Giok pernah bertemu satu kali, Yaitu pada waktu dia bertarung
sengit dengan Bwe Mei. Orang ini muncul dan membuat gadis itu
melarikan diri, Chow Ai Giok percaya, orang yang satu ini masih
kalah lihai dengan yang tadi.
Dia yakin, biar pun orang ini berilmu tinggi, namun dalam sepuluh
jurus saja belum tentu bisa membunuh kakeknya.
"Siapa kau?" tanya Chow Ai Giok dengan nada berat.
"Siapa yang membunuh kakekmu?" Orang itu balik bertanya.
"Toa Tek To Hun!" sahut Chow Ai Giok.
Manusia bertopeng itu tampaknya terpana.
"Apakah kau pernah bertemu dengan Toa Tek To Hun?" tanyanya
kembali.
"Pernah atau tidak, apa urusanya denganmu?" bentak Chow Ai
Giok kesal.
"Toa Tek To Hun menggunakan sebatang pedang kutung." kata si
manusia bertopeng.
"Mengapa dia harus menggunakan pedang kutung?" tanya Chow
Ai Giok heran.
"Kalau tidak menggunakan pedang kutung, berarti orang itu
bukan Toa Tek To Hun!" sahut manusia bertopeng itu kembali.
"Mengapa?" tanya Chow Ai Giok.
"Setelah membunuh Tang hay sin sian, Toa Tek To Hun
mematahkan pedangnya sendiri, Dia bersumpah sejak itu tidak akan

membunuh pendekar Tionggoan lagi!" kata manusia bertopeng itu
menjelaskan.
Chow Ai Giok sekarang yakin bahwa pembunuh kakeknya bukan
Toa Tek To Hun. Bukan saja pedang orang itu tidak kutung, lagipula
usianya tidak mungkin di bawah empat puluh tahun, Namun, biar
bagaimana pun dia tidak dapat mengatakan" bahwa pembunuh
kakeknya bukan Toa Tek To Hun.
Sebab bila kejadian ini tersebar di luaran, nama besar Elang salju
akan kandas seketika, Kalau mati di tangan Toa Tek To Hun,
seharusnya masih bisa dimaklumi Bukankan Tanghay sin sian yang
dikatakan manusia setengah dewa saja mati di bawah pedang orang
tersebut...? sedangkan di kening Fang Tiong Seng saja masih ada
kenang-kenangan yang ditinggalkan olehnya!
"Orang itu adalah Toa Tek To Hun!" kata Chow Ai Giok kemudian.
Orang yang mati pun memerlukan nama baik, Apalagi kakeknya
adalah Elang salju, Mungkin ada satu hal lagi yang penting, Mati di
tangan orang asing tidak menanggung malu, tapi mati di tangan
sesama pendekar Tionggoan terasa mengenaskan.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau orang itu pasti Toa Tek To Hun?"
tanya manusia bertopeng itu.
"Karena dia membawa pedang kutung." sahut Chow Ai Giok,
"Berapa jurus yang digunakannya untuk membunuh kakekmu?"
tanya manusia bertopeng itu kembali.
"Tiga belas jurus!" sahut Chow Ai Giok.
Manusia bertopeng itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Toa Tek palsu!" katanya.
"Tidak... Yang asli!" sahut Chow Ai Giok berkeras kepala.

"Pasti palsu!" sahut manusia bertopeng itu tak kurang yakinnya.
"Mengapa kau begitu pasti kalau Toa Tek To Hun ini palsu?" tanya
Chow Ai Giok kesal.
"Karena Toa Tek To Hun tidak pernah menyerang lebih dari satu
kali, Bila lawannya tidak mati, dia pasti akan meninggalkannya
begitu saja, Fang Tiong Seng adalah bukti nyata," kata manusia
bertopeng itu.
"Mungkin saja kebiasaannya sudah dirubah," sahut Chow Ai Giok
berkeras konyol.
"Apa yang disebut kebiasaan adalah sesuatu yang tidak mungkin
dirubah," kata manusia bertopeng itu sambil tertawa dingin.
"Apa pun di dunia ini bisa berubah setiap saat Coba aku bertanya
pada mu. Apakah setiap hari dulunya kau juga mengenakan
topeng?" Chow Ai Giok memang banyak akal.
"Ini..."
"Kalau dulu tidak pernah mengenakan topeng, mengapa sekarang
justru mengenakan?" tanya Chow Ai Giok setengah mendesak.
"Kenyataan memaksa aku berbuat demikian," sahut manusia
bertopeng itu akhirnya.
"Apa yang dimaksudkan dengan kenyataan yang memaksakan?
Orang yang tidak pernah mengenakan topeng, tentu selamanya juga
tidak perlu mengenakannya, Ternyata kau sekarang
mengenakannya, ini berarti bahwa kebiasaanmu telah berubah!"
sahut Chow Ai Giok ketus.
Manusia bertopeng itu mengangkat bahunya.
"Apakah kau melihat dengan mata kepala sendiri ketika Toa Tek
To Hun membunuh kakekmu?" tanyanya.

"Tidak salah!" sahut Chow Ai Giok.
"Jurus yang digunakannya berjumlah tiga belas?" tanya manusia
bertopeng itu kembali. Tampaknya dia masih kurang yakin.
"Benar!" sahut gadis itu.
"Biarpun jumlahnya kurang separuh, dalam tujuh jurus dapat
membunuh kakekmu juga sudah terhitung lumayan," kata manusia
bertopeng itu.
"Apanya yang lumayan?" Tiga belas jurus. Sedikit pun tidak
kurang!" sahut Chow Ai Giok.
"Karena di tubuh Chow Sek Ki terdapat banyak luka, Hal ini
membuktikan bahwa pembunuh itu bukan Toa Tek To Hun, tapi
orang lain," kata manusia bertopeng.
"Tidak! Dia adalah Toa Tek To Hun! Dia memerlukan jurus yang
banyak karena lawannya adalah Elang saiju!" sahut Chow Ai Giok
dengan nada ketus.
Manusia bertopeng itu memperhatikan bekas luka di tubuh Cho
Sek Ki dengan seksama, Dia tertawa-tawa tapi tidak sepatah kata
pun diucapkannya sebagai bantahan, Dia adalah seorang ahli silat,
Dia dapat melihat bekas luka di tubuh Chow Sek Ki bukan
menggunakan pedang kutung, tapi pedang yang masih utuh. Bekas
luka yang ditinggalkan oleh pedang kutung dan pedang utuh tentu
berlainan.
"Baiklah! Kita tidak usah mendebatkan pepesan kosong ini. Kalau
kau berniat membalas dendam, hanya aku yang dapat
membantumu!" kata manusia bertopeng itu.
"Apakah kau benar-benar sanggup membantuku?" tanya Chow Ai
Giok kurang yakin.
"Apakah kau mengira aku tidak sanggup?" Manusia bertopeng itu
memandang Chow Ai Giok dengan tajam.

"Kakekku saja tidak sanggup melawannya. Aku rasa hanya sedikit
orang yang sanggup!" kata Chow Ai Giok sambil menarik nafas
panjang.
"Kalau aku memang tidak sanggup, apakah aku masih fcisa hidup
sampai hari ini?" tanya manusia bertopeng itu.
"Kalau ilmumu memang demikian tinggi, mengapa kau harus
menutup wajahmu?" Chow Ai Giok ingin keyakinan.
"Kakekmu sendiri seorang jago kelas tinggi, Mengapa dia harus
mengubah nama menjadi Peng Chow Ceng?" tanya manusia
bertopeng itu lagi.
Wajah gadis itu merah padam. Melihat itu, manusia bertopeng
jadi tertawa terbahak-bahak. Dia merasa menang dalam perdebatan
tersebut. Tentu saja Chow Ai Giok tahu alasan kakeknya mengganti
nama.
Dulu mereka pura-pura menyamar menjadi pengawal barang
rahasia, Tampang kakeknya dibuat ketolol-tololan. Semua itu tentu
untuk menghindarkan diri dari ancaman kematian.
Badai besar yang ditimbulkan oleh Toa Tek To Hun begitu dahsyat
Setiap insan yang mempunyai nama besar di Bulim, mau tidak mau
harus menyembunyikan identitasnya agar selamat dari incaran
manusia Fu sang itu.
Tidak ada seorang pun yang berani menyombongkan diri sebagai
pendekar kelas satu, Orang yang namanya makin terkenal malah
menyamar sebagai Bubeng siau cut. Tapi mati pun, Chow Ai Giok
menyangkal kakeknya adalah seorang pengecut yang takut mati.
"Yaya mengganti nama karena mengawal sebuah barang rahasia!"
teriak Chow Ai Giok.
"Chow kouwnio.... ikut aku!" kata manusia bertopeng itu tiba-tiba.

"Mengapa?"
"Karena hanya aku yang dapat melindungimu dan membalaskan
dendam kakekmu!" sahut manusia bertopeng itu.
"Tidak perlu!"
"Kau harus ikut denganku!"
"Mengapa?" tanya Chow Ai Giok kurang senang.
"Karena kau sudah tahu identitasku!" sahut manusia bertopeng
itu. Dia teringat hari itu Bwe Mei pernah menyebutkan namanya di
depan gadis ini. Pasti dia tidak begitu bodoh atau pikun sehingga
melupakannya.
"Kau ingin menggunakan kekerasan?" bentak Chow Ai Giok.
"Untuk kebahagiaanmu, Menggunakan kekerasan pun harus aku
lakukan," sahut manusia bertopeng .
"Kalau kau memaksakan keinginanmu, aku akan bunuh diri!" kata
Chow Ai Giok.
"Bila kau sampai melakukannya, hal ini menandakan
kebodohanmu!" sahut manusia bertopeng itu.
"Kalau kau pintar, seharusnya sudah boleh pergi sejak tadi," kata
Chow Ai Giok sambil mencibirkan bibirnya.
"Angkatlah jenazah kakekmu, kemudian ikut aku!" perintah si
manusia bertopeng.
"Tidak!" teriak Chow Ai Giok.
Tiba-tiba manusia bertopeng itu menyerbu ke arahnya, Chow Ai
Giok tahu dirinya tidak sempat menghunuskan pedangnya lagi.
Namun dia masih yakin dengan pukulan tangan kosongnya, Dia

mengira bila dirinya dapat bertahan sebanyak sepuluh jurus, pasti
ada kesempatan untuk kabur.
Tapi dalam satu jurus saja, dirinya sudah tertotok, Sekejap
kemudian, dia mendapatkan dirinya sudah berada dalam pelukan
manusia bertopeng itu. Dia ingin mati, namun teringat akan dendam
sang kakek yang belum terbalas, Dia memang belum mati. Baginya
kematian adalah hal yang sulit.
Mendung memenuhi langit.
Chow Ai Giok berdiri di depan kuburan kakeknya, Air matanya
bercucuran. Kepalanya ditengadahkan ke atas. Dia berdoa dalam
hati. Dengan cara apa pun, aku harus membalas dendam bagi Yaya.
Manusia bertopeng berjongkok di samping membakar kertas
sembahyang, sekarang topengnya sudah dilepas, Chow Ai Giok tidak
begitu sebal melihatnya. Namun hatinya masih belum tahu siapa
sebetulnya orang ini.
Kalau membandingkan Sun Put Ce dengan laki-laki ini, tentu saja
Sun Put Ce tidak dapat menandingi ketampanannya. Namun...
manusia seperti Sun Put Ce memang aneh, Makin dipandang, makin
menawan. Makin diperhatikan makin menarik, Makin dinilai makin
terasa adanya jiwa seorang laki-laki sejati.
Di dunia ini memang sudah jarang ada laki-laki yang sejati, Chow
Ai Giok menghela nafas. Akhimya laki-laki yang sebelumnya
mengenakan topeng itu mengajaknya menyembah sebanyak tiga
kali, Tindakannya membuat Chow Ai Giok terharu. Orang yang
menghormati kakeknya sama dengan menghormati dirinya juga.
Akhirnya dia memang menepati kata-katanya sendiri, Dengan cara
apa pun dia tetap ingin membalaskan dendam bagi kakeknya.
Cara apa pun ditempuh... dia menepatinya. Karena laki-laki itu
memang hanya ingin dia mengikutinya dengan satu cara. Dia
berbagi tempat tidur dengan laki-laki tersebut, Hubungan mereka
sudah amat akrab. Laki-laki itu mengaku bernama Pa lun. Berasal
dari wilayah Barat. Oleh karena itu, namanya tidak dikenal oleh

orang Tionggoan. Laki-laki itu juga meyakinkan bahwa dirinya
sanggup membunuh Toa Tek To Hun, Hujan badai kehidupan
manusia sudah berlalu, Dia laksana sekuntum bunga yang baru saja
tertimpa badai. Demi Yaya, dia merasa harus berkorban.
"Pa lun.... Mungkin Yaya bukan dibunuh oleh Toa Tek To Hun...."
kata Chow Ai Giok berterus terang, Bagaimana laki-laki itu harus
membalaskan dendamnya kalau si pembunuh siapa orangnya masih
belum ketahuan.
"Bukan?" tanya laki-laki itu.
Chow Ai Giok menggelengkan kepalanya.
"Bukankah kau mengatakan bahwa orang itu berambut panjang,
mengenakan pakaian hitam dan menggenggam sebuah pedang
kutung?" tanya laki-laki itu kembali.
"Memang berambut panjang dan berpakaian hitam, tapi
pedangnya tidak kutung," sahut gadis itu.
"Senjatanya adalah pedang panjang?" tanya laki-laki tersebut.
"Betul!" sahut Chow Ai Giok.
Laki-laki itu merenung sejenak.
"Berapakah usianya menurut perkiraanmu?" tanyanya kembali.
"Aku sudah mengatakan bahwa aku tidak berhadapan
dengannya," sahut Chow Ai Giok.
"Apakah kau tidak melihat ciri-cirinya yang lain?" tanya Pa lun.
"Ada, Tangannya berkeriput. Lagipula tampak bintik-bintik coklat
seperti ketuaan. Badannya kurus sekali!" sahut Chow Ai Giok.
Wajah Palun berubah hebat.

"Papan gilasan!" serunya.
"Papan gilasan? Apa artinya?" tanya Chow Ai Giok kebingungan
"Maksudku... mungkin orang yang membunuhnya adalah
seseorang yang mempunyai bentuk tubuh seperti sebuah papan
gilasan!" sahut Palun menutupi hal yang sebenarnya.
"Siapa orang itu?" tanya Chow Ai Giok penasaran.
"Biar kuselidiki dulu sampai jelas, Kelak akan kuberitahukan
kepadamu," sahut Pa-Iun. Laki-laki itu lalu turun dari tempat tidur
dan mengenakan pakaiannya dengan tergesa-gesa. Sebelum dan
sesudah melakukan hubungan tentu lain ceritanya. Ada orang yang
mengatakan bahwa kebanyakan laki-laki seperti itu. Tapi Chow Ai
Giok tidak mengerti.
"Pa lun.... Apakah kau akan pergi?" ta-nyanya.
"Betul!" sahut laki-laki itu.
"Seharusnya kau lebih sering menemaniku," kata Chow Ai Giok.
"Aku mempunyai banyak urusan penting, Tidak dapat
menemanimu sepanjang hari." Kata-kata ini memang sebenarnya,
namun tidak enak di dengar.
"Pa lun.... Apakah kau memang tidak bisa membalaskan dendam
Yaya?" tanya Chow Ai Giok dengan hati pilu.
"Aku tidak dapat memastikan, tapi aku akan berusaha sekuat
tenaga," sahut Palun, jawabannya makin lama makin tidak sopan
perasaan Chow Ai Giok makin tersayat.
"Pa lun.... Kau tahu perasaanku sedang sedih, Mestinya kau agak
lembut sedikit," katanya.
Laki-laki itu mendengus sekali.

"Aku sudah cukup lembut Kalau kau menganggap masih kurang
juga, silahkan mencari laki-laki lain!" bentaknya dengan suara keras.
Wajah Chow Ai Giok berubah hebat.
"Pa lun.... Apakah ucapan ini bagi seorang manusia?" serunya.
"Kau memang tidak usah menganggapku sebagai seorang
manusia!" sahut laki-laki itu sinis.
"Apa yang kau katakan?" teriak Chow Ai Giok marah.
"Terhadap perempuan yang lain, aku mungkin masih mempunyai
selera sebanyak dua atau tiga kali. Tapi terhadap perempuan seperti
dirimu, aku hanya ingin mencoba satu kali saja!" sahut Palun
mengejek.
Chow Ai Giok bagai sebuah bom yang siap meledak kapan saja,
Laki-laki ini memang bukan manusia! Biarpun dia memilih dengan
mata tertutup, rasanya nasibnya tidak akan begitu sial bertemu
dengan laki-laki seperti ini.
Apakah ini merupakan hukum karma baginya? Chow Ai Giok
meng-hempaskan diri di tempat tidur Dia tidak ingat lagi rasa sakit di
bagian bawah perutnya. Dia hanya dapat meratapi nasibnya yang
malang!
Seandainya dia tidak terburu nafsu untuk mempercayai laki-laki
ini, tentu dirinya juga tidak akan terhina seperti sekarang.
Chow Ai Giok menatap laki-laki itu dengan sorot mata penuh
kebencian Dia juga membenci dirinya sendiri.
Apakah di dunia ini ada perempuan yang lebih rendah dari
dirinya? Apakah ada perempuan lain yang mudah menyerahkan
kesuciannya hanya karena beberapa patah kata manis dan janji
muluk seorang laki-laki?

Sekarang dia baru sadar, laki-laki ini memang hanya pantas
disebut binatang Bahkan binatang yang paling nista, Benci apa
gunanya? semuanya toh tidak mungkin kembali lagi.
Pada saat itu, dia telah belajar sesuatu yang berharga, Dia harus
"sabar", Dia harus membalaskan dendam bagi kakeknya, Dia juga
ingin membayar kembali perbuatan laki-laki ini.
"Pa lun.... Kau hendak kemana?" tanyanya lembut.
"Apakah kau ingin mengatur diriku?" tanya laki-laki itu kembali
dengan nada ketus.
"Paling tidak, kau boleh memberitahukan kepadaku bila kau masih
ingin kembali," kata Chow Ai Giok dengan sebuah senyum terpaksa.
Tiba-tiba Palun tertawa terbahak-bahak, Suaranya mengandung
nada kebanggaan terhadap dirinya sendiri, Chow Ai Giok sadar
sekali. Laki-laki ini telah mempermainkannya, Dirinya masih
dibiarkan hidup termasuk sebuah keberuntungan. Suara tawanya
belum sirap, orangnya sudah melangkah keluar.
"Namamu pasti bukan Palun," kata Chow Ai Giok lirih, Laki-laki itu
tidak menyahut Namun yakin Palun mendengar ucapannya.
Di tengah ruangan keluarga Fang. Meja perabuan penuh dengan
bunga-bunga dan buah-buahan. Dua lilin putih menghias di bagian
kiri dan kanan, Di bagian tengah ada gambar wajah Tang hay sin
sian.
Di depan gambar ada sebuah papan nama, Di dalam ruangan
terlihat Fang Tiong Seng, Siau kiong cu, Sun Put Ce, Mo Put Chi,
Kwe Po Giok, dayang Cui thian dan beberapa pelayan.
Kwe Po Giok, Siau kiong cu, dan dayang Cui thian mengenakan
pakaian berkabung, Semuanya mengalirkan airmata, Tiba-tiba Siau
kiong cu membalikkan tubuh dan berlutut di hadapan Kwe Po Giok.

"Seumur hidupku, aku belum pernah berlutut di hadapan orang
lain, Tetapi hari ini aku harus memberi hormat dengan menyembah
kepada Fang taihiap, tentunya atas jerih payah karena telah
mengurus jenazah ayahku dengan baik," katanya.
Tradisi memang demikian Siapa bilang Siau kiong cu tidak
mengerti kehormatan? Memang dia belum pernah menyembah
kepada orang lain dalam seumur hidupnya, Fang Tiong Seng
menghela nafas panjang.
"Toa Tek To Hun telah meninggalkan Tionggoan atas permintaan
ayahmu, Kematiannya membawa manfaat besar bagi Bu-lim.
Sayangnya, aku tidak cukup dapat diandalkan. Dendam ayahmu
belum bisa terbalas.
Sekarang, aku hanya dapat berbuat sedikit kebaikan dalam
menangani para jago yang telah meninggal demi bangsa dan
negaranya," kata laki-laki itu.
Kecuali Sun Put Ce dan Kwe Po Giok berdua, wajah semua orang
berubah, Kalau kenyataan ilmunya tidak bisa menandingi musuh,
apa boleh buat? Dapat mengorbankan diri bagi kepentingan kaum
Bulim, Fang Tiong Seng sudah dianggap hebat.
-ooo0ooo-
Di sebuah villa, Malam hari. Asap yang keluar dari pipa cangklong
menambah romantisnya suasana. Dua orang manusia duduk
berhadapan. Tubuh bagian atas teIanjang, Dua cawan terletak di
hadapan masing-masing.
Seorang masih terhitung muda. Yang satunya lagi sudah terhitung
tua. Udara di dalam kamar panas membara, Bagaikan sebuah
ruangan kecil yang berisi dua puluhan orang, Bagian atas tubuh
perempuan itu tetap tersampir sehelai selendang yang tidak terikat.
Kulitnya putih halus. Matanya sayu, seperti selembar undangan bagi
yang laki-laki.

"Bukankah Toa Tek To Hun sudah pergi? Mengapa Elang salju
bisa mati dalam keadaan yang berbeda dengan korbannya yang
lain?" tanya perempuan itu.
"Siapa yang bisa membuktikan kepergiannya?" sahut laki-laki
bertubuh papan gilasan itu.
"Benar juga."
"Kita masih belum tahu kebenarannya," kata si papan gilasan.
"Kalau kau sempat bertarung lagi dengan Toa Tek To Hun, berapa
besar keyakinanmu untuk meraih kemenangan?" tanya sang
perempuan.
Si papan gilasan tertawa keras. Nadanya mengandung
keangkuhan.
"Aku tahu kau pasti yakin dengan dirimu sendiri," kata si
perempuan itu.
Si papan gilasan menggelengkan kepala, perempuan yang
sepintar dirinya tidak banyak, namun terkadang dia merasa masih
belum memahami isi hati laki-laki itu sepenuhnya.
"Mengapa kau menggelengkan kepalamu?" tanyanya.
"Karena tidak ada satu orang pun yang dapat mengalahkan Toa
Tek To Hun," sahut si papan gilasan.
"Kau juga tidak sanggup?" tanya perempuan itu dengan nada
kurang percaya.
"Tentu!" sahutnya. "Lalu.... Mengapa kau tertawa tadi?" Bibir
perempuan itu cemberut, membuat papan gilasan itu bertambah
senang.
"Sebab pertanyaanmu lucu sekali, bukankah kau menanyakan
berapa besar keyakinanku?" sahutnya.

"Ternyata kau juga belum ada kesanggupan," kata perempuan itu
sambil menarik nafas. perempuan itu tampaknya sedikit kecewa, Si
papan gilasan justru ingin melihat mimik kekecewaannya. Namun dia
tetap melayani laki-laki itu dengan penuh gairah. Asalkan
menghadapi seorang laki-laki dengan penuh gairah, maka kau pasti
akan menjadi kesayangannya.
Malam semakin larut. Gelora cinta telah berlalu. Perempuan itu
menghapus keringat yang membasahi keningnya.
"Bagaimana kalau Toa Tek To Hun tidak jadi meninggalkan
Tionggoan?" tanyanya.
"Pasti ada orang yang akan mengusirnya." kata si papan gilasan
sambil turun dari tempat tidur dan mengenakan pakaian.
"Siapa yang sanggup mengusirnya?"
"Semestinya seorang tokoh yang di luar dugaan siapa pun."
Dia tidak bertanya lagi, Dia tahu, banyak bertanya pun tiada
gunanya.
"Kau tidur saja di sini, Aku harus pulang dulu," kata si papan
gilasan.
Perempuan itu menganggukkan kepalanya berulang kali, begitu
laki-iaki bertubuh papan gilasan itu pergi, dia segera turun dari
tempat tidur dan mengganti pakaiannya. Tidak lama kemudian,
tampak dia juga meninggalkan tempat tersebut.
-ooo0ooo-
Si papan gilasan berjalan melewati lorong panjang yang sepi.
sembilan di antara sepuluh rumah yang ada di tempat itu tertutup
pintunya, Hanya lampu penerangan penjual susu kacang yang masih
bersinar. Ada beberapa orang yang sedang menikmati minuman
hangat tersebut.

Dengan langkah yakin si papan gilasan masuk ke dalam, Sinar
matanya terpaku kepada seorang perempuan berusia tiga puluhan
perempuan yang cantik menawan, Perempuan itu juga sedang
memandang kearahnya, namun dia langsung menundukkan
wajahnya,
Si papan gilasan mempunyai perasaan, "asalkan masih hidup, di
mana pun dapat bertemu". Dunia memang luas, tetapi terkadang
bisa menciut sehingga untuk berjalan saja seolah akan bertabrakan
dengan hidung sendiri, Dia duduk di hadapan perempuan itu.
"Lian lian... sudah lama tidak bertemu, Bagaimana kabarmu?"
tanyanya dengan suara lembut.
"Lumayan," jawab Lian lian acuh tak acuh.
"Dulu akulah yang menyia-nyiakan dirimu," kata si papan gilasan.
"Mungkin takdir yang telah menentukan," sahut Lian lian kembali.
"Tidak! Aku pulang terburu-buru. Tidak sempat berpamit lagi
denganmu. Aih! Siapa sangka sekali berpisah lebih dari sepuluh
tahun." kata si papan gilasan sambil menarik nafas panjang. .
"Meskipun saat itu aku sangat kesal, tapi akhirnya aku dapat
berpikir dengan hati-lapang," sahut Lian lian.
"Aku benar-benar tidak dapat menandingimu. Lian lian,., aku tidak
menyangka kau akan datang ke Tionggoan, Mengapa tidak
membiarkan aku menunjukkan rasa persahabatan sebagai tuan
rumah yang baik?" tanya laki-laki tersebut Tampaknya dia dibuat
terpesona oleh perempuan itu.
"Masa lalu seperti gumpalan asap, buat apa dikenang kembali?"
sahut Lian lian.
"Orang-orang kebanyakan sedang menyembunyikan diri, kau
malah datang ke daerah ini," kata si papan gilasan.

"Aku pernah mendengar bahwa Toa Tek To Hun juga tidak
melepaskan dirimu," ujar perempuan itu.
Si papan gilasan menunjuk bekas luka di keningnya. Dia menarik
nafas panjang.
"Orang yang berhasil lolos dari serangan Toa Tek To Hun, hanya
engkau seorang," kata Lian lian selanjutnya.
"Mungkin merupakan sebuah hinaan bagiku."
"Tidak, Tiong Seng! Setiap orang juga berharap selamat, hanya
saja nasib mereka tidak sebaik dirimu," sahut Lian lian.
Laki-laki yang dipanggil si papan gilasan adalah Fang Tiong Seng.
Dari bentuk tubuhnya yang kurus sudah dapat diterka, perempuan
yang bermesraan dengannya tadi di ruang bawah tanah sebuah villa,
tentu saja dayang Cui thian.
Fang Tiong Seng sudah banyak mendengar ucapan seperti yang
dikatakan Lian lian barusan. Tapi, karena yang mengucapkannya
Lian lian, maka bagi Fang Tiong Seng, artinya jadi berbeda, Ternyata
Lian lian semakin menawan dibandingkan dulu. Benar-benar di luar
dugaannya.
Jika dulu ia merenungkan baik-baik, tidak mungkin dia pergi tanpa
pamit, sekarang dia merasa agak menyesal karena dulu telah
menyia-nyiakannya. Namun, pertemuannya kembali dengan Lian lian
jauh lebih baik daripada yang terbayangkan olehnya, Semua seperti
telah direncanakan dengan matang.
Kalau dibandingkan dengan perempuan yang bermesraan
dengannya tadi, dia merasa hanya sekedar penghibur hati saja.
Kecantikannya jauh di bawah lian lian. Boleh juga dibilang bahwa
Lian lian Iebih feminin.
"A lian... aku masih bujangan," kata Fang Tiong Seng dengan
suara lirih.

Bujangan hanya menunjukkan bahwa dia belum pernah secara
resmi mengawini seorang perempuan, namun tidak membuktikan
bahwa dia tidak pernah berhubungan dengan wanita.
Lian lian tersenyum-senyum. Cara senyumnya membuat Fang
Tiong Seng kurang tenang. Karena pengalamannya luas sekali,
senyum apa pun dapat dilihat olehnya dalam arti makna senyum itu
sendiri.
"Tidak pernah ada perempuan dalam hidupmu?" tanya Lian lian
sambil lalu.
"Perempuan...?"
"Betul!"
"Perempuan apa yang kau maksudkan?" tanya Fang Tiong Seng. .
"Tentu saja perempuan yang mendekati dirimu atau perempuan
yang didekati olehmu" sahut Lian lian.
Jilid: 11
Fang Tiong Seng merasa serba salah, kalau dia tidak mengakui,
kemungkinan besar malah akan menerima reaksi yang kurang
menyenangkan. Dia menarik nafas panjang. Dia merasa bila menarik
nafas pada saat mendesak adalah sebuah siasat untuk berdusta.
"Apakah aku salah bicara?" tanya Lian lian santai.
"Tidak... aku memang berhubungan dengan seorang perempuan,"
kata Fang Tiong Seng dengan wajah tertekan penampilannya saat ini
dengan penampilannya ketika di ruangan bawah tanah tadi, berbeda
sekali. Bagaikan dua orang lain saja, "Seorang perempuan yang rela
menjual nyawanya demi diriku, Dia patut dikasihani Terhadapku dia
sangat setia," lanjutnya.

Wajah Lian lian seperti menahan tawa.
"Apakah sungguh-sungguh setia?" tanyanya.
"Maksudmu... dia tidak pantas setia terhadapku?"
"Pantas..." sahut Lian lian.
"Lalu.... Apanya yang salah?" tanya Fang Tiong Seng. Dia merasa
Lian lian menyembunyikan sesuatu darinya.
"Apakah kau merasa bahwa dia benar-benar begitu setia
terhadapmu?" kata perempuan itu dengan nada mengejek.
Alis Fang Tiong Seng berkerut.
"Apakah kau mengenalnya?" tanya laki-laki bertubuh kurus
tersebut.
"Bukankah dia dayang Cui thian?" kata Lian lian sambil menunduk
dan menikmati susu kacangnya, Fang Tiong Seng terpana. Dia
merasa bersyukur mengaku dirinya memang mempunyai seorang
perempuan simpanan. Ternyata Lian lian selama ini menyelidiki
dirinya dengan seksama.
"Betul! Dia adalah dayang Cui thian," sahutnya.
"Dia memang seorang perempuan yang penampilan luarnya
lumayan," kata Lian lian tersenyum manis.
"Apa maksudmu dengan penampilan luar? Apakah isi hatinya tidak
sama dengan yang terlihat dari luar?" tanya Fang Tiong Seng
penasaran.
"Tampaknya aku tidak boleh memberitahukan hal ini kepadamu,"
sahut Lian lian.
"Hal apa?" tanya Fang Tiong Seng.

"Aku harus pergi. Kadang-kadang banyak pertanyaan yang harus
kau cari sendiri jawabannya," kata Lian lian sambil bangun dari
kursinya.
Fang Tiong Seng memegang tangannya, "A Iian... hari ini bisa
bertemu, berarti antara kita memang ada jodoh," katanya lirih.
"lni hanya kebetulan, Tidak ada hubungannya dengan jodoh!"
sahut Lian lian.
"Tidak... aku ingin sekali mendengar hal yang tadi kau katakan,"
kata Fang Tiong Seng dengan mata memohon, Alis mata Lian lian
berkerut.
"Aku benar-benar menyesal," sahutnya.
"Menyesal karena apa?" tanya Fang Tiong Seng.
"Karena telah kelepasan bicara, padahal urusan ini tidak ada
gunanya dengan diriku," sahut Lian lian sambil menghela nafas.
"Kau salah kalau berkata seperti itu. Memandang kebaikan kita
pada masa dulu, kau malah harus memberitahukannya kepadaku,"
kata Fang Tiong Seng.
"Dia bergendakan dengan laki-laki lain," sahut Lian lian dengan
nada terpaksa.
"Siapa?" tanya Fang Tiong Seng hampir tidak percaya, Karena
dayang Cui thian adalah sebuah biji catur penting yang di
tempatkannya di samping Tang hai sin sian. Selama beberapa tahun
ini dia sangat setia terhadapnya. Sebelumnya, dia tidak pernah
mencurigai dayang Cui thian. Namun... ada beberapa hal yang dia
sendiri tutupi dari perempuan itu.
"Akhir-akhir ini ada seseorang yang menyamar sebagai Toa Tek
To Hun. Apakah kau sudah pernah mendengar berita ini?" tanya Lian
lian.

"Pernah...." sahut Fang Tiong Seng.
"Dialah laki-laki itu," kata Lian lian.
"Siapa dia?" tanya Fang Tiong Seng terperanjat.
"Cap sa tai po Kiau Bu Suang," sahut Lian lian sepatah demi
sepatah.
Fang Tiong Seng termangu-mangu, Namun dia percaya penuh.
Hanya Kiau Bu Suang yang sanggup membunuh Bok lang kun dan
Hong Be.
"Kalau begitu..." kata Fang Tiong Seng. "Berita tentang dirinya
yang Cao hue jit mo dan lumpuh total palsu?"
"Tentu.... Bila tidak, siapa yang dapat membunuh Elang salju?"
sahut Lian lian.
"Dia juga?" Suaranya terdengar aneh ketika menanyakan hal ini.
Lian lian menganggukkan kepalanya.
Fang Tiong Seng tiba-tiba merasakan sungguh tidak enak
mengenakan topi hijau bak seorang laki-laki yang mengetahui
istrinya menyeleweng, Dia hampir tidak berani membayangkan
manusia seperti dirinya masih bisa mengenakan topi hijau.
Lian lian mungkin mengerti juga perasaannya, Laki-laki memang
selalu egois, Dia tidak suka mengenakan topi hijau, namun
perbuatan mereka sendiri di luaran entah menimbulkan berapa
banyak penderitaan bagi sang istri.
"Kau tidak percaya?" tanya Lian lian dengan suara datar.
"Sebelum menyaksikan dengan mata kepala sendiri, aku tidak
begitu mudah percayai sahut Fang Tiong Seng.
Lian lian menarik nafas panjang.

"Mengapa kau menarik nafas?" tanya Fang Tiong Seng tidak
mengerti.
"Karena aku menganggap bahwa menjadi seorang manusia itu
tidak mudah. Menjadi manusia yang baik dan jujur lebih sulit lagi,"
sahut Lian lian.
"Maksudmu...."
"Aku hidup sampai usia di atas tiga puluh tahun, Baru kali ini aku
membeberkan keburukan orang lain," sahut Lian lian.
"A lian... bila kau tidak mengatakannya, apakah hatimu bisa
tenang?" tanya Fang Tiong Seng.
"Kata-kata yang sudah terucapkan toh tidak mungkin bisa ditarik
kembali," sahut Lian lian.
"Kau harus membuktikannya kepadaku," kata Fang Tiong Seng.
"Tentu, Tapi kau juga harus berjanji, dalam keadaan apa pun, kau
tidak boleh mengatakan bahwa aku yang memberitahukan
kepadamu," sahut Lian lian.
"Aku menjamin dengan harga diriku!" kata Fang Tiong Seng.
Lian lian bangkit dari duduknya, Fang Tiong Seng juga mengikuti
perbuatannya, Dia belum pernah mendengar kata-kata orang,
Apalagi mengenai simpanannya. Namun sekarang, dia tidak mau
berpikir lebih jauh lagi, yang penting melihat dengan mata kepala
sendiri.
Tapi ada satu hal yang membingungkannya. Dayang Cui thian
berada di vilanya. Apakah Kiau Bu Suang berani menemuinya di
tempat itu?
Dia mengikuti Lian lian keluar dari kota tersebut, namun ketika
mendekati villa-nya, perempuan itu berganti arah, Fang Tiong Seng

akhirnya mengerti bahwa tempat pertemuan kedua orang itu bukan
di kandangnya sendiri.
Setelah melewati lima enam li, mereka sampai di sebuah dusun
kecil.
"Apakah kau ingin membunuhnya saat ini juga atau menyelidiki
dulu dengan sek-sama?" tanya Lian lian.
"Aku belum dapat memastikannya," sahut Fang Tiong Seng.
"Aku tidak ke sana, Kau pergi sendiri Tempatnya di belakang
taman itu. Rumah yang terbuat dari bambu," katanya.
Fang Tiong Seng yakin bahwa Lian lian tidak akan mendustainya,
Namun hubungan mereka dulu pernah mengalami kegoncangan,
Bagi perempuan tertentu, hal ini bisa menjadi alasan untuk
membalas dendam.
Dengan ginkangnya yang tinggi, dia naik ke atas atap, seharusnya
tidak akan diketahui oleh penghuni rumah tersebut Di dalamnya
tidak ada penerangan Terdengar suara orang bercakap-cakap.
Bagi orang yang berpengalaman nada pembicaraan seperti itu,
pasti setelah mengadakan hubungan intim, Sisa nafas yang
tersengal-sengal masih ada.
"Si papan gilasan ada gerakan apa?" tanya yang laki-laki.
"Rasa curiganya sangat tebal, kita tidak boleh tergesa-gesa,"
sahut si perempuan.
"Apakah dia yang membunuh Elang salju?" tanya laki-laki itu
kembali.
"Delapan bagian. Coba kau pikir dengan seksama, Mengandalkan
ilmu silat para jago Bulim saat ini, selain engkau dan dia, siapa lagi
yang dapat membunuh Elang salju?" sahut perempuan itu.

"Betul!" kata laki-laki tersebut.
"Bukankah Elang salju mempunyai seorang cucu perempuan?
Mungkin dia tahu siapa yang membunuh kakeknya?" tanya
perempuan itu.
"Kalau dia tahu, tidak mungkin dia dibiarkan hidup," kata laki-laki
tersebut.
Fang Tiong Seng merasa darahnya naik ke atas kepala. Dia sudah
percaya kata-kata Lian lian sepenuhnya, Namuh dia tidak menyerbu
masuk ke rumah itu, Dia merasa terlalu enak bagi kedua orang itu
menerima kematian yang begitu mudah. Dia ingin sebuah cara yang
lain, Perlahan-lahan dia mundur dari tempat pengintaiannya, Dia
menganggukkan kepala pada Lian lian.
-ooo0ooo-
Bagian Lima Belas
Matahari bersinar dengan terik, Di daerah pegunungan juga tidak
terdengar kicauan burung. Kwe Po Giok di depan. Sun Put Ce di
belakang. Kedua orang itu melangkah di jalanan setapak daerah
pegunungan. Di dekat pohon yang lebat, Kwe Po Giok menghentikan
langkahnya.
"Memang sudah waktunya beristirahat" kata Sun Put Ce.
Kwe Po Giok tidak menjawab. Dia memandang rekannya lekatlekat.
"Meskipun kita belum lama berkenalan, tapi hubungan kita cukup
akrab, Apalagi setelah mengalami suka duka bersama," Sun Put Ce
melanjutkan kata-katanya.
"Tidak salah, Oleh sebab itu, aku hanya ingin kau yang
mengantarkan kepergianku" sahut Kwe Po Giok.
Sun Put Ce tidak menjawab.

"Sun Put Ce.... Aku sudah cukup mengerti jiwamu," kata Kwe Po
Giok selanjutnya.
"Iya... aku tahu," sahut rekannya.
"Aku juga tahu bahwa Fang Tiong Seng yang meminta engkau
mengantarkan aku." kata Kwe Po Giok sambil tersenyum getir.
"Kau benar-benar tahu?" tanya Sun Put Ce dengan mata
terbelalak.
"Tentu! Sejak usia tiga tahun, saya sudah mendapat sebutan
bocah ajaib!" sahut Kwe Po Giok.
Wajah Sun Put Ce berubah kelam.
"Ada baiknya juga kalau kau tahu, Akhir-nya kau toh akan tahu
juga," katanya dengan bibir gemetar.
"Fang Tiong Seng memerintahkan kau membunuh saya bukan?"
tanya Kwe Po Giok yang sebetulnya sudah yakin. Sun Put Ce
menganggukkan kepalanya, Air mata bercucuran membasahi pipi.
"Mengapa kau harus menangis?" tanya Kwe Po Giok.
"Perintar itu tidak boleh dibantah, Orang yang tak patut dibunuh
juga harus kubunuh, Hal ini adalah alasan yang tepat untuk
mengelurkan airmata. Engkau dan aku adalah teman sependeritaan
Bagaimana aku tidak berduka menerima kenyataan ini?" sahut Sun
Put Ce.
"Mendengar ucapan ini, rasanya mati pun aku rela," sahut Kwe Po
Giok.
"Siaute.... Maafkan aku!"
" Sejak semula aku sudah memaafkan dirimu.... Tahukah kau,
mengapa FangTiong Senjt menyuruh engkau membunuh aku?"
tanyai Kwe Po Giok.

"Mungkin karena kau menyimpan beberapa rahasia." sahut Sun
Put Ce.
"Rahasia apa?" tanya Kwe Po Giok dengan alis dikerutkan.
"Untuk apa kau menguji diriku? Bukan-kah sejak usia tiga tahun
kau sudah mendapat sebutan bocah ajaib?" sahut Sun Put Ce
dengan nada getir.
"Kalau Fang Tiong Seng seorang penjahat, apakah kau tetap akan
melaksanakan perintahnya?" tanya Kwe Po Giok.
Sun Put Ce menganggukkan kepala dengan terpaksa.
"Bukankah berarti kau tidak membedakan lagi mana putih dan
mana hitam?" tanya Kwe Po Giok dengan mata menusuk.
"Dia adalah suhuku, apalagi dia mengasuhku sejak kecil," jawab
Sun Put Ce.
"Hanya untuk membalas budi, kau rela berbuat kejahatan?" teriak
Kwe Po Giok dengan suara keras.
"Setia dan budi tidak dapat dipisahkan Harap siaute bersiap-siap."
sahut Sun Put Ce dengan nada sedih.
"Pulanglah segera!" kata Kwe Po Giok.
"Pulang?"
"BetuI! Katakan bahwa aku tidak sanggup melawanmu kemudian
melarikan diri." kata Kwe Po Giok menyarankan.
"Dia tidak akan percaya." sahut Sun Put Ce sambil
menggelengkan kepala.
"Mengapa kau selamanya tidak bisa ber-ubah? Selalu menurut
meskipun diinjak-injak!" bentak Kwe Po Giok sinis.

"Aku memang selalu begitu," sahut Sun Put Ce.
Tiba-tiba Kwe Po Giok menghunus pedangnya. Sun Put Ce juga
menghunus pedang panjangnya, Dia malah langsung menyerang,
serangannya mengandung jurus perguruan Tang hay sin sian. Sama
sekali tidak dapat dianggap enteng, Namun Sun Put Ce mengelakkan
diri dengan mudah. Sun Put Ce terpana sejenak.
"Bagus sekali!" serunya.
"Seranganmu luput Niatmu masih belum berhasil Mengapa kau
mengatakan bagus?" tanya Kwe Po Giok heran.
"Kewajiban tetap harus dilaksanakan Kalau tidak bisa
membunuhmu, bukankah malah lebih baik?" sahut Sun Put Ce.
"Kalau aku yang ingin membunuhmu?" tanya Kwe Po Giok dengan
nada sedih.
"Kau ingin membunuhku?" Sun Put Ce tampak terpana.
"Kau anggap aku tidak sanggup?" tanya Kwe Po Giok ketus.
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Bukan! sekarang aku percaya kau sudah memiliki kemampuan
itu," sahut Sun Put Ce.
"Tahukah kau mengapa aku ingin membunuhmu?" tanya Kwe Po
Giok kembali.
"Karena aku ingin membunuhmu!" sahut Sun Put Ce tenang.
"Tidak salah! Bila aku tidak membunuhmu kau tetap akan
membunuhku," kata Kwe Po Giok dengan nada pilu.
"Bagaimana kalau aku tidak jadi membunuhmu?" tanya Sun Put
Ce.

"Kau tidak mungkin membatalkan niat-mu!" sahut Kwe Po Giok.
"Kau memang pintar sekali. Aku sudah mendapat perintah suhu.
Apa pun tidak dapat merubah keputusanku," kata Sun Put Ce.
"Bagaimana kalau aku tidak membalas?" tanya Kwe Po Giok.
"Sama juga!" kata Sun Put Ce.
Tiba-tiba pedangnya berkelebat itulah salah satu dari tiga belas
jurus andalan Fang Tiong Seng, Tiga belas jurus sayap bangau!
Kwe Po Giok mundur dua langkah. Tam-paknya bukan tidak
sanggup melawan, Sun Put Ce menyerang beberapa kali berturutturut.
Untuk melaksanakan perintah suhu, dia terpaksa menahan
kepiluan di dada.
Meskipun berat, dia tetap harus melaksanakan kewajibannya. Kwe
Po Giok mundur terus. Tangannya memutar pedang untuk
menangkis serangan lawannya, Bila diperhatikan dengan seksama,
jurus yang digunakannya mirip orang yang sedang merangkai
bunga.
Merangkai bunga banyak jenisnya, Setiap jenisnya menunjukkan
pandangan yang berbeda-beda. Seperti ilmu pedang atau ilmu golok
dari berbagai aliran yang tidak sama. Gerakan yang berbeda juga
menimbulkan kekuatan yang berbeda pula.
Ingatan Kwe Po Giok sangat tajam, Setiap perubahan yang
dilihatnya akan teringat selamanya, Gerakannya bagai bunga-bunga
yang bermekaran di musim semi, Sun Put Ce berteriak nyaring, Dia
mengeluarkan sebuah jurus ampuh dari ajaran Fang Tiong Seng,
namun Kwe Po Giok berhasil memecahkannya. Dia sendiri agak
terkejut melihat kenyataan tersebut.
Kekuatan apa yang membuat dirinya maju sepesat ini? Rangkaian
bunga benar-benar bisa digunakan untuk melawan ilmu pedang?
Rasanya tidak masuk akal, Hal ini memang perlu dimaklumi

Meskipun dia sudah banyak belajar. Tapi selama ini dia boleh
dibilang tidak mempunyai kesempatan untuk menggunakan ilmunya.
Tiba-tiba Kwe Po Giok melesat ke udara. Tubuhnya memutar
seperti sebuah kitiran angin. Ketika turun, tubuhnya meluncur,
Tangan yang tergenggam di tangan terulur lurus, Mengarah
tenggorokan Sun Put Ce....
Sebetulnya Sun Put Ce juga sempat melihat Siau kiong cu
merangkai bunga ketika berada di atas kapal Tang hai sin sian, Dia
juga sempat belajar sedikit ingatannya juga sangat tajam. Namun
orang yang benar-benar mengerti dirinya sangat sedikit Lagipula
yang dilihat olehnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Kwe Po
Giok.
"Aku sudah memecahkan ketiga belas jurus sayap bangaumu,"
kata Kwe Po Giok dengan suara dingin.
Ternyata ada senyuman tersungging di bibir Sun Put Ce.
"Bagus sekali! Cara pemecahan yang sangat bagus!" katanya
nyaring, Mereka bagaikan dua orang sahabat yang sedang berlatih
Tidak tampak keseriusan sama sekali.
"Kau bilang cara pemecahannya bagus?" tanya Kwe Po Giok
mengira dirinya salah dengar.
"lya! Bagus sekali!" sahut Sun Put Ce dengan nada yakin.
Kwe Po Giok tiba-tiba menyerang dengan tenaga penuh. Sun Put
Ce juga memperlihatkan reaksi yang cepat Dia menggeser tubuh
sejauh tiga depa. Namun dia terlambat beberapa detik. pedang Kwe
Po Giok telah menyayat tenggorokannya. Darah segar menyembur
Tubuh Sun Put Ce rubuh ke tanah.
Kwe Po Giok terpana,
"Mengapa kau tidak menghindar? Aku yakin kau masih sanggup
melakukannya," kata pemuda itu sedih,

Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Tidak.... Aku memang bukan tandinganmu lagi. Dan aku tahu
kau tidak akan tega membunuhku...."
"Tentu tidak... Aku hanya ingin kau membawa sedikit bekas luka
kembali ke rumah Fang Tiong Seng," sahut Kwe Po Giok.
"Kau tidak perlu mengkhawatirkan diriku...." Sun Put Ce jatuh
tidak sadarkan diri.
Ketika tersadar, Sun Put Ce memicingkan mata menatap
sekitarnya. Kwe Po Giok sudah tidak terlihat lagi. Namun di
sampingnya berlutut seorang lain.
"Kau sudah bangun.... Akhirnya nyawamu berhasil dipungut
kembali," kata Bwe Mei dengan nada lega.
Sun Put Ce bagai baru terjaga dari sebuah mimpi buruk, Meskipun
hanya sebuah mimpi buruk, Sun Put Ce menganggap bahwa di
dalam dunia lebih banyak penderitaan dari pada kebahagiaan.
Tapi biar bagaimana hidup lebih baik dari pada mati. Paling tidak,
dia dapat bersama gadis cantik ini sekarang, Mungkin juga untuk
selamanya.
Ternyata Kwe Po Giok tetap tidak membunuhnya, Dia
mengeluarkan tangan untuk meraba tenggorokan Entah siapa yang
sudah membalutnya dengan obat Apakah Kwe Po Giok menganggap
dirinya sudah mati? Atau sengaja melepaskannya? Hal ini belum
dapat dijelaskan saat ini.
"Bwe Kouwnio.... Kau yang menyelamatkan nyawaku?" tanya Sun
Put Ce.
"Bila Kwe Po Giok benar-benar ingin membunuhmu, aku pasti juga
tidak sanggup menyelamatkan," sahut Bwe Mei.

"Menurut perkiraan Bwe Kouwnio, Kwe Po Giok memang tidak
bermaksud membunuh aku?" tanya Sun Put Ce ingin penjelasan
yang lebih lengkap.
"Tentu saja! Mungkin juga dia mengira bahwa kau tidak akan
tertolong lagi," sahut Bwe Mei.
"Bagaimana pun, kau adalah penolongku," kata Sun Put Ce.
"Sun toako.... Kita tidak usah membicarakan hal ini," pinta gadis
itu.
"Apa yang ingin kau bicarakan? Aku pasti bersedia menemani,"
kata Sun Put Ce.
"Aduh! Sekarang saat apa?"
"Ditilik dari sinar matahari Rasanya hari belum begitu siang,"
sahutnya.
"Maksudku.... waktu dan detik ini kita tidak perlu meributkan
segala pepesan kosong, lebih baik kita cari sebuah tempat untuk
merawat luka," kata Bwe Mei sambil tertawa getir.
"Baik...." Sun Put Ce merasa bahwa setiap perempuan pasti
memiliki jiwa keibuan. ini merupakan hukum alam, Tidak heran kalau
suhengnya merasa iri. Dia memang tidak memiliki kelebihan, tapi
banyak perempuan yang menaruh perhatian kepadanya.
Lilin merah besar memancarkan sinar membara, Dua orang
manusia duduk berhadapan. Di bawah cahaya, sang wanita terlihat
semakin cantik, apalagi dia adalah seorang wanita yang sudah
matang dan banyak pengalaman.
Di dalam dada Kiau Bu Suang ada setungku api, persis seperti api
yang keluar dari lilin merah, Dayang Cui thian memang tidak dapat
melebihi Lian lian, Chow Ai Giok juga tidak dapat menandinginya,
Chow Ai Giok hanya menang remaja saja, Gadis memang selalu
memikat.

"Lian toa moicu, Aku sudah melaksanakan apa yang kau pinta,"
kata Kiau Bu Suang.
Dengan kedudukan Kiau Bu Suang, sebetulnya tidak ada orang
yang dapat membuatnya bicara dengan nada selembut itu. Meskipun
seorang laki-laki bisa malang melintang di dunia persilatan, tapi
seorang perempuan selalu menemukan jalan untuk
menundukkannya.
Wajah Lian lian sangat kaku, justru kekakuannya yang membuat
Kiau Bu Suang agak segan, Bila dia sering tertawa-tawa maka
seorang laki-laki akan menganggapnya gampangan. Dia mempunyai
kepandaian untuk memancing seorang laki-laki. Umpan apa pun
yang diikatkan pada kailnya, seekor ikan besar akan terpancing.
Dia menganggap laki-laki mudah dikendalikan, lagipula ia
mempunyai naluri alami dalam menangani seorang laki-laki. Dan
wajah kaku memang lebih mujarab dari tawa senyum.
Lian lian meliriknya sekilas, Meskipun wajahnya kaku namun sinar
matanya justru mengandung gairah. Kiau Bu Suang hampir tidak
dapat menahan diri. Tapi dia sadar, perempuan yang satu ini tidak
dapat disamakan dengan dayang Cui thian dan Chow Ai Giok,
perempuan lain tentu mudah diajak ke atas tempat tidur, Lian lian
merupakan kekecualian. Dia mempunyai wibawa yang mana laki-laki
tidak akan berani bertindak kurang sopan.
"Apa yang telah kau lakukan?" tanya Lian lian dengan suara
dingin.
"Dayang Cui thian sudah kukuasai, dia akan melaporkan setiap
tindak tanduk orang itu," kata Kiau Bu Siang menjelaskan.
"Apa sudah terlihat hasilnya?" tanya Lian lian kembali.
"Paling tidak, si papan gilasan sudah terpikat olehnya," jawab Kiau
Bu Suang.

"Terpikat?" tanya Lian lian memperdengarkan tawa sinis.
"Tentu! Dayang Cui thian mempunyai keistimewaan yang dapat
membuat kaum laki-laki terlena," sahut Kiau Bu Suang yakin.
"Kau kira dia benar-benar bisa menguasainya?" kata Lian lian
memancing rasa penasaran Kiau Bu Suang.
"Apakah menurut Lian toa moicu, dia tidak akan sanggup?" tanya
Kiau Bu Suang.
"Doakan saja dia sanggup.... Apakah ada hasil lainnya?" kata Lian
lian dengan jawaban mengambang.
"Gerakan pihak sana tidak akan lolos dari perempuan itu," sahut
Kiau Bu Suang yakin.
"Apakah dia berhasil memancing siapa yang membunuh Hiat Eng
(Elang salju)?" tanya Lian lian kembali.
"Saya rasa semuanya tinggal menunggu waktu saja," sahut Kiau
Bu Suang.
Tampang laki-laki itu terlihat agak aneh sewaktu mendengar
pertanyaan tersebut, seolah ada sesuatu yang disembunyikannya.
"Baiklah kalau begitu, Kita boleh memberi dia sedikit waktu lagi,"
kata Lian lian setelah merenung sejenak.
"Ada urusan apa lagi?" tanya Kiau Bu Suang.
"Selidiki sampai jelas apakah Toa Tek To Hun sudah
meninggalkan Tionggoan?" kata Lian lian.
"BetuL., betul! persoalan ini perlu diselidiki sampai jelas," sahut
Kiau Bu Suang, Dia menuangkan arak ke dalam cawan Lian lian.
"Lian toa moicu.... Harap kau tidak membuat aku kecewa, juga
jangan membuat aku terlalu berharap kosong," lanjutnya.

Sinar mata Lian Han bagaikan tungku yang membara, Tatapan
Kiau Bu Suang terpaku kepadanya. Cahaya yang terpancar dari mata
mereka bagaikan sepasang lilin yang menyala di dalam kamar
tersebut Kiau Bu Suang mengulurkan tangan untuk menggenggam
jari-jarinya yang lentik dan halus.
Bentuk tangan itu sangat mempesona. Tidak terlihat sedikit pun
urat yang menonjol. Warna kulitnya seputih batu kumala. KesepuIuh
jarinya lentik-lentik, Namun Lian lian menariknya kembali.
"Usahalah lebih giat. Aku tidak akan mengecewakan dirimu,"
katanya.
Diambilnya pedang panjang yang tergeletak di meja. Sekali lagi
dia menoleh dan tersenyum kepada Kiau Bu Suang, Hati laki-laki itu
laksana terbang di angkasa.
Dalam ruangan keluarga Fang.
Menjelang siang matahari baru terbit, karena hujan turun terus
menerus selama setengah hari. Mo Put Chi masuk dan
membungkukkan tubuhnya dengan hormat.
"Suhu... Teecu sudah mencari kemana-mana, Namun bayangan
Sam sute tetap tidak kelihatan," katanya melaporkan.
Fang Tiong Seng tidak menoleh, dia tetap sibuk mengguntingi
tangkai bunga yang telah layu.
"Apakah kau melihat Kwe Po Giok?" tanyanya.
"Teecu juga tidak melihatnya, Suhu," sahut Mo Put Chi.
"Siau kiong cu?" tanya Fang Tiong Seng kembali.
"Tidak juga. Teecu rasa mungkin dia bersama-sama Kwe Po
Giok," sahut Mo Put Chi.

Fang Tiong Seng tidak bersuara, Hanya suara gerakan gunting
yang menimbulkan bunyi cep! cep! Berkali-kali. pokoknya rantingranting
yang kering dan segala macam yang tidak bermanfaat harus
dibuang.
"Suhu... Mengapa tidak menanya kepada Cui A ie (bibi)? Mungkin
dia tahu jejak Kwe Po Giok dan Siau kiong cu," kata Mo Put Chi
menyarankan.
"Suhu menyuruhmu mencari Sun Put Ce. Mengenai orang lain,
Suhu bisa urus sendiri," sahut Fang Tiong Seng tetap menekuni
pekerjaannya.
"Baik!"
"Put Chi.... Coba kau pikir baik-baik.... Kemana kira-kira perginya
Sun Put Ce?" tanya Fang Tiong Seng.
Mo Put Chi menggelengkan kepalanya.
"Teecu tidak tahu, Sun sute orangnya bijaksana. Mestinya tidak
akan mengalami apa-apa. Hanya...." kata-katanya terhenti Dia raguragu
melanjutkan apa yang terlintas di benaknya.
"Apakah ada hal yang sulit kau jelaskan kepada Suhu?" tanya
Fang Tiong Seng dengan mata menatap tajam.
"Bukan... bukan! Teecu dengar sute mempunyai hubungan yang
cukup dekat dengan dua orang gadis," sahut Mo Put Chi gugup.
"Gadis?" Fang Tiong Seng merasa ucapan itu benar-benar di luar
dugaannya.
"Tidak heran kalau Suhu tidak tahu, sebetulnya siapapun tidak
mengira kalau Sun sute berwatak mata bongsang," kata Me Put Chi.
"Berdekatan dengan gadis saja, belum dapat disebut mata
bongsang," sahut Fang Tiong Seng ketus.

"Betul, Suhu. Cuma teecu kira tidak pulangnya sam sute, mungkin
ada kaitannya dengan salah seorang gadis tersebut," kata Mo Put
Chi.
"Cari terus, Terutama jejak Kwe Po Giok dan Siau kiong cu!"
perintah Fang Tiong Seng sambil melanjutkan pekerjaannya kembali
"Baik!" sahut Mo Put Chi. Dia membalikkan tubuh dan keluar dari
taman itu.
Sun Put Ce dan Bwe Mei menyewa rumah penduduk yang
mempunyai tiga kamar kecil.
Setelah beberapa hari tinggal di desa tersebut perasaan rasanya
lain sekali, Hujan terus turun membuat pemandangan semakin
indah, Rumput menghijau, Gunung dengan selimut kabut menjulang,
pikirannya jauh lebih tenang. Malam hari hanya terdengar suara
jangkrik dan kodok.
Sun Put Ce tiba-tiba merasa kehidupan yang selama ini dijalaninya
amat tawar, Dunia Bulim penuh dengan kelicikan dan tipu muslihat.
Keadilan tidak dijunjung tinggi lagi, Manusia lebih kejam dari
binatang, Mereka tidak segan memangsa sesamanya, Dia ingin sekali
meninggalkan keramaian untuk selamanya dan dapat hidup
berdampingan dengan Bwe Mei.
Kedua orang itu duduk berhadapan di meja makan, Di atasnya
terdapat sepiring tahu. Bwe Mei sedang memetiki sayuran, Dia
menatap leher Sun Put Ce sekejap.
"Apakah sudah terasa lebih baik?" tanyanya.
"Saya tidak mengharapkan luka ini cepat sembuh," sahut Sun Put
Ce. Namun dia tetap menganggukkan kepalanya sebagai jawaban,
"Tidak mengharapkan cepat sembuh?" tanya Bwe Mei heran.
"Betul. Karena setelah sembuh, saya harus pergi," kata Sun Put
Ce dengan wajah murung.

"Mengapa kau harus pergi?" tanya Bwe Mei.
"Kalau pikiran saya bisa terlepas dari segalanya, Hari itu juga tidak
perlu memenuhi perintah untuk membunuh Kwe Po Giok," sahut Sun
Put Ce.
"Sekarang berubah haluan pun masih belum terlambat," kata Bwe
Mei.
"Apakah kau kira saya bisa mengkhianati Suhu?" tanya Sun Put
Ce.
"Mengkhianati orang jahat sama artinya dengan memulai hidup
baru," sahut Bwe Mei sambil menghela nafas.
Sun Put Ce tidak sanggup berkhianat, namun bukan berarti dia
tidak menerima sama sekali nasehat Bwe Mei. Gadis itu sedang
memandanginya. Sinar matanya memancarkan kasih sayang yang
dalam.
"Kalau kau mau berjanji untuk tidak kembali lagi ke tempat
suhumu, sekarang juga aku akan mempersembahkan segalanya
untukmu," kata Bwe Mei.
Dia menjatuhkan diri ke dalam pelukan Sun Put Ce. Laki-laki itu
hampir pingsan, Setiap orang pasti berharap memeluk kekasih hati.
Melakukan sesuatu yang sering terbayang di alam mimpi. Begitu
pula Sun Put Ce, Dalam keadaan tertentu, kebutuhannya akan
perempuan melebihi kebutuhan mengisi perut atau menghilangkan
rasa dahaga. Pada saat itu, mungkin dia rela mengorbankan
segalanya asal keinginan hatinya terpenuhi.
Hal ini sebetulnya mudah sekali didapatkan. Asalkan dia berjanji
untuk tidak kembali lagi pada suhunya, dia akan memperoleh apa
yang terbayang dalam mimpinya segera. Dalam hati kecilnya, Sun
Put Ce sadar, apa yang diperintahkan kepadanya bukan perbuatan
seorang laki-laki sejati.

Namun, dia melaksanakan perintah tersebut dengan hati ikhlas,
Budi suhu yang telah membesarkannya selalu terbayang di pelupuk
mata. "Pek sang hau wi sin" (Segala kebaktian harus diutamakan)
pepatah itu tidak dapat terlepas dari sanubarinya.
Payudara Bwe Mei lembut seperti kapas, namun membawa
kehangatan musim panas, dia bahkan memeluk Sun Put Ce eraterat,
Harum keringat yang mengalir serta aroma bedak menerpa
hidungnya. Dalam seumur hidupnya, baru pertama kali ia begitu
dekat dengan seorang perempuan.
Dengan penuh gairah dia membalas pelukan Bwe Mei dan
menciuminya dengan penuh nafsu. Kedua orang itu bagai terekat
menjadi satu. Untuk sementara yang ada hanya degupan jantung
dan nafas yang memburu.
Bwe Mei juga belum pernah diperlakukan demikian mesra oleh
seorang laki-laki. Beginikah rasanya berdekatan dengan laki-laki?
perempuan yang berpikir demikian, pasti sedang dilanda oleh
asmara. Bagaimanakah laki-laki itu? Dia sendiri belum dapat
menjawab dengan pasti.
Sun Put Ce merangkulnya, wajah keduanya saling menempel.
Gesekan-gesekan tersebut membawa perasaan tersendiri dalam jiwa
mereka. Dalam hati Sun Put Ce hanya ada satu perasaan, ternyata
seorang gadis bisa membawa kenikmatan sebesar ini! Tentu saja,
bukan semua perempuan bisa memberikan kenikmatan demikian.
Dia menggendong Bwe Mei dan meletakkannya di tempat tidur.
Senja sudah merayap, melepas segaris sinar merah yang menerobos
melalui jendela, cahayanya menerangi wajah gadis itu.
Rona merah di pipinya membuat wajah itu semakin mempesona.
Pandangan mata Sun Put Ce sudah tersihir oleh pakaiannya yang
mulai terbuka sebagian. Namun tangannya masih belum mulai
meraba karena perintah suhunya masih terus terngiang di telinga....

"Kau harus melaksanakan dengan sebaik-baiknya, Aku
menyuruhmu melakukannya, harus lebih handal dari toa suhengmu
sendiri."
Tiba-tiba Sun Put Ce membalikkan tubuh dan keluar dari rumah
itu.
Tadinya Bwe Mei mengira Sun Put Ce akan menutup pintu. Hari
masih belum gelap. Tentunya semua jendela atau pintu harus
terkunci rapat, Meskipun pikirannya ruwet, namun menyandarkan
hidup kepada laki-laki seperti ini, tentu akan tenang selamanya.
Untuk mencegah Sun Put Ce kembali ke samping orang jahat itu,
dia rela mempersembahkan benda yang paling berharga bagi
seorang gadis. Tetapi setelah menunggu sekian lama, dia tetap tidak
mendengar sedikit pun gerakannya.
"Apakah dia tiba-tiba berubah pikiran dan kembali ke samping
suhunya lagi?" tanya Bwe Mei dalam hati.
Dia tidak menemukan alasan lain yang lebih tepat, keadaan dalam
rumah itu sunyi senyap, Di dalam ruangan tidak terdapat seorang
pun, hanya tinggal dia seorang diri, Tiba-tiba hatinya merasa
terpukul, Dia merasa dihina dan dianggap rendah, Bwe Mei bangkit
dan duduk tegak, airmatanya bercucuran.
Pada saat itu, dari arah luar berkumandang suara tawa yang
mengandung ejekan. Kemudian disusul bayangan seseorang yang
menerobos masuk. Rasa malu Bwe Mei sudah pada puncaknya,
Orang yang datang ternyata Chow Ai Giok, Bwe Mei yakin dia sudah
melihat semua yang terjadi dari tempat persembunyiannya.
Tidak salah! Kalau Sun Put Ce tidak segera tersadar dan
meninggalkan tempat itu, keduanya pasti sudah mati di atas tempat
tidur.
Chow Ai Giok sudah berpengalaman, dia tentu saja mengerti
bagaimana perasaan Bwe Mei saat itu.

"Sengaja menyerahkan diri pun tidak di terima," ejeknya sambil
mencibirkan bibir.
Bwe Mei juga berpikir begitu, Dia tetap tidak menemukan alasan
penolakan Sun Put Ce terhadap dirinya. Oleh sebab itu dia menjadi
benci.
"Apa urusannya denganmu?" bentaknya kepada Chow Ai Giok.
"Kalau bukan Sun Put Ce orangnya jujur, reaksinya cepat, tentu
kau pikir segala tipu dayamu yang tidak tahu malu itu sudah
sanggup menjeratnya," sahut gadis itu.
"Aku tahu dia seorang laki-laki yang baik, namun aku cuma
memaksa dirinya untuk berbakti saja," kata Bwe Mei sendu.
"He... he... he...." Chow Ai Giok tertawa terkekeh-kekeh.
Bwe Mei bangkit dari tempat tidur, Dia menepi ke sudut di mana
pedangnya tergantung.
"Ambil saja pedangmu itu," sindir Chow Ai Giok yang dapat
menangkap maksudnya.
"Chow Ai Giok! Aku menganggap kau ini kurang pekerjaan!" kata
Bwe Mei.
"Kurang kerjaan?" tanya gadis itu seraya melebarkan senyumnya.
"Tidak salah! Kakek sendiri terbunuh, bukannya berusaha mencari
siapa pembunuhnya, malah merepotkan urusan orang lain," kata
Bwe Mei.
Chow Ai Giok dipermainkan oleh Kiau Bu Suang, semuanya adalah
kebodohan dirinya sendiri. Dia tidak dapat menyalahkan orang lain,
Tapi di mana pun manusia dalam dunia memiliki sifat yang sama.
Mereka pasti tidak ingin menunjukkan kebodohannya sendiri
Apalagi menyalahkan diri sendiri Oleh sebab itu, dia membenci

setiap orang, baik laki-laki ataupun perempuan. Hanya satu yang
terkecuali, yaitu Sun Put Ce.
Dia tahu, Sun Put Ce bukan tidak meneruskan niatnya karena dia.
Namun dalam hatinya dia tetap kagum terhadap laki-laki yang satu
ini. Di dunia ini kebanyakan kaum laki-laki bersifat sama, Lebih baik
jangan memulai, bila sudah terlanjur membuka jalan, jangan harap
dapat dihentikan Kecuali Sun Put Ce!
Dia tidak tahu mengapa laki-laki yang satu ini sangat ber-beda?
Apakah dia orang yang benar-benar tolol? Sehingga makanan yang
sudah terhidang di depan mata pun dapat dicampakkannya? Paling
tidak, perempuan yang bisa mengerti dan laki-laki yang tahu diri
selalu dikagumi orang! Chow Ai Giok semakin membenci Bwe Mei.
"Setelah urusan ini selesai, baru mencari sang pembunuh pun
belum terlambat," katanya tenang.
"Aku bisa menduga siapa pembunuhnya, namun aku tidak akan
mengatakannya kepadamu," sahut Bwe Mei.
"Kau pasti akan memberitahukannya kepadaku!" kata Chow Ai
Giok sambil mengeluarkan pedang.
"Tidak akan!" sahut Bwe Mei kukuh.
"Harus! Karena pedang ini akan membuatmu bicara!" kata Chow
Ai Giok dengan mata membara.
"Pedangku juga akan melarang aku bicara," sahut Bwe Mei.
"Mari kita buktikan. Ucapan siapa yang akan menjadi kenyataan
Bwe Mei.... Hari ini kau tidak bisa lolos lagi. Dan nasibmu-pun akan
berubah!" kata Chow Ai Giok.
Bwe Mei tidak ingin bersilat lidah dengannya, Dia langsung
menyerang, Tentu saja dia bukan lawan Chow Ai Giok, Dia hanya
mencari akal untuk melarikan diri. Namun hati Chow Ai Giok telah
dipenuhi rasa benci, dan kebencian ini bagai ditumpahkan kepada

diri Bwe Mei seluruhnya. Dia adalah turunan Hiat Eng. Keganasan
dan pengalamannya tidak dapat menandingi Bok lang kun. Namun
ada beberapa jurus yang Bok lang kun sendiri belum sempat
mempelajarinya.
Berkali-kali Bwe Mei bermaksud menerobos pintu dan melarikan
diri, Namun Chow Ai Giok tidak memberinya kesempatan Dia
mengeluarkan seluruh kepandaian menahan serangan gadis itu
sebanyak tiga puluh delapan jurus.
Bahaya kematian mendekatinya setindak demi setindak. Dia dapat
melihat hawa pembunuhan dari sinar mata Chow Ai Giok, Tiba-tiba
gadis itu merubah gerakannya, Dia mengeluarkan sebuah jurus yang
aneh, serangannya terlalu cepat.
Bwe Mei terkesiap, Dia percaya tidak sanggup mempertahankan
diri, Dengan panik diangkatnya pedang untuk menangkis. Tidak
dinyana, pedangnya belum mengenai tubuh lawannya, malah
pedang Chow Ai Giok sudah bergeser ke samping dan menebasnya.
"Creepp!!!" Sepotong benda melayang bersamaan dengan suara
mengerikan itu. Pada saat rasa terkejutnya belum sirna, Bwe Mei
merasakan lengan kanannya lebih ringan dari biasa. Dia
menundukkan kepala untuk melihat benda yang terlempar tadi
ternyata adalah kutungan lengan kanannya. Bwe Mei menjerit
histeris...
Kutungan tangan itu masih menggenggam pedang erat-erat, Di
dunia ini ternyata masih ada hal yang lebih mengerikan daripada
kematian, Siapa yang tidak ngeri melihat anggota tubuhnya sendiri
melayang jatuh ke tanah?
Bwe Mei mengeluarkan sehelai sapu tangan dan menyumbat luka
bekas kutungan lengannya itu. Dia bermaksud mundur dan lari.
Tiba-tiba Chow Ai Giok melemparkan sebotol obat ke tangannya,
"Untukmu!" katanya.

Tekanan bathin Bwe Mei tidak terkira lagi, Wajahnya pucat tanpa
darah setitik pun.
"Apa lagi yang kau inginkan?" teriaknya.
"Aku memberi obat untukmu!" sahut Chow Ai Giok tenang.
"Kau memberi obat untukku?" tanya Bwe Mei seakan tidak
percaya dengan pendengarannya sendiri.
"Mengapa tidak?" sahut Chow Ai Giok.
"Mengapa kau tidak membunuh aku?" tanya Bwe Mei dengan
pandangan sayu,
"Mengapa aku harus membunuhmu?" Chow Ai Giok balik
bertanya.
"Alasan apa yang membuat kau tidak membunuhku?" Bwe Mei
kembali bertanya.
"Karena aku hanya ingin melihat dirimu cacat. Bukan melihat
dirimu mati," sahut Chow Ai Giok sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Kau...!" Tubuh Bwe Mei terhuyung-huyung, Dalam keadaan
demikian mendengar perkataan Chow Ai Giok, ia seperti ada ribuan
jarum yang menusuki jantungnya.
"Cukup kejam! Cukup kejam!" serunya.
Chow Ai Giok tertawa terbahak-bahak, Dia seakan menikmati
tontonan yang segar, penderitaan Bwe Mei membuat perasaannya
gembira, Tidak terlintas sedikit rasa kasihan pun di benaknya.
"Di dunia ini masih banyak orang yang lebih kejam dariku!"
katanya sinis.
Kata-katanya mungkin benar, namun perempuan sekejam dirinya
pasti tidak banyak.

"lngat! Kalau kau masih ingin hidup, obat ini harus lekas dipakai
Sehari borehkan sebanyak tiga kali, Kalau tidak, darahmu akan
mengalir terus dan mati!" kata gadis itu selanjutnya.
"Kau takut aku akan mati?" tanya Bwe Mei.
"Tepat! Tapi untuk selamanya kau tidak akan menemukan
jawabannya." kata gadis itu.
Dia membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat tersebut, Bwe
Mei segera mem-borehkan obat di atas lukanya, Dia termasuk gadis
pemberani. Kalau hal ini terjadi pada diri orang lain, tentu sudah
jatuh pingsan sejak tadi.
Namun dia tidak hentinya bertanya kepada dirinya sendiri. Apakah
dia lebih baik mati? Kalau ingin mati, tidak perlu menghentikan
darah yang mengalir, Kalau ingin hidup, harus secepatnya memakai
obat itu.
Chow Ai Giok ingin dirinya terus hidup agar dipandang hina oleh
orang lain, dengan demikian perasaannya baru dapat bergembira, Di
dunia ini ternyata ada manusia macam dirinya, Mereka membangun
kebahagiaan di atas penderitaan orang lain. Manusia semacam ini
biasanya bersifat jahat, selamanya susah dirubah, Atau kalau tidak,
mereka pernah mengalami hal yang terlalu menyakitkan sehingga
ingin melihat semua orang di dunia ikut menderita seperti halnya
mereka sendiri.
Manusia semacam ini sudah tidak waras, mereka rela melakukan
apa saja asal dapat membuat orang lain lebih menderita daripada
mereka. Apa yang dilakukan Kiau Bu Suang terhadapnya
meninggalkan kepedihan yang dalam. Dia ingin membalas
sepuasnya. Seorang perempuan paling tidak sanggup menerima
penghinaan seperti itu. Hanya kesuciannya yang diinginkan Setelah
itu, tidak ada kedua kalinya!
-ooo0oooKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Sun Put Ce berlutut di bawah kaki Fang Tiong Seng. Dia
melaporkan semua pengalamannya.
Tempat ini adalah ruang rahasia, hanya mereka berdua yang ada
dalam ruangan tersebut Fang Tiong Seng terkejut sekali, Pokoknya,
asal mendengar ada seseorang yang berilmu tinggi, hatinya akan
terkesiap. Di dunia ini tidak boleh ada orang yang dapat
menandinginya.
"Kau mengatakan bahwa Kwe Po Giok sangat lihai?" tanyanya
sekali lagi, Dia berharap pendengarannya salah tadi.
"Paling tidak, teecu bukan tandingannya," sahut Sun Put Ce.
"Siapa orangnya yang sanggup membuat ilmunya setinggi itu
dalam waktu demikian singkat?" tanya Fang Tiong Seng.
"Tidak ada orang yang sanggup, Suhu," sahut Sun Put Ce.
"Jangan berkata yang bukan-bukan!" bentak Fang Tiong Seng.
"Suhu.... Pertama kali ia datang kemari, ilmunya sudah tidak
dapat dipandang rendah" kata Sun Put Ce.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Fang Tiong Seng dengan
pandangan menyelidik "Teecu pergi bersamanya ke lautan Timur
untuk mencari Tang hay sin sian, Dia pernah menimpuk Cu lao
thaiya dengan makanan kecilnya sendiri sampai mati," sahut Sun Put
Ce menjelaskan.
Dia menceritakan kembali kejadian yang dialaminya bersama Kwe
Po Giok di pesisir pantai tempo hari, Fang Tiong Seng tiba-tiba
seperti berubah menjadi sebuah patung kayu, Dia berdiri tegak
tanpa bergeming sedikit pun.
Sejak dulu Sun Put Ce sudah tahu, kalau suhunya tidak berbicara
dan mematung, berarti otaknya sedang bekerja. Juga sedang
membuat rencana, Dan rencananya tentu menyangkut kematian
seseorang.

"Tentunya kau dapat melihat, jurus apa yang digunakannya?"
tanya Fang Tiong Seng kemudian.
Sun Put Ce adalah seorang yang mempunyai akal tinggi, paling
tidak, dia jauh lebih cerdas dari Toa suheng dan Ji suhengnya, Kalau
berganti dengan kedua orang itu, mereka pasti akan mengatakan
seluruh hal yang diketahuinya kepada suhu tersebut. Tetapi dia juga
tidak berbohong sama sekali, pikirannya kalut, Kalau dia
mengatakan bahwa ilmu Kwe Po Giok berasal dari rangkaian bunga,
tentu suhunya akan mengejar bocah itu sampai dapat, Mungkin Siau
kiong cu juga tidak terlepas dari bahaya.
"Jurus yang digunakannya sangat aneh." Akhirnya Sun Put Ce
menjawab.
"Tidak dapat menebak dari perguruan mana?" tanya Fang Tiong
Seng.
Sun Put Ce tidak lupa budi suhu yang telah membesarkannya.
Keadaannya saat ini adalah karena terpaksa, Iya...." sahutnya.
"Ketika di atas kapal, apakah dia pernah belajar ilmu silat dari
Tang hay sin sian?" tanya Fang Tiong Seng kembali.
"Teecu yakin tidak pernah," sahut Sun Put Ce. Dia memang tidak
berbohong, Kwe Po Giok memang tidak pernah belajar langsung dari
Tang hay sin sian.
Fang Tiong Seng merenung sejenak, "Bagaimana kungfunya Siau
kiong cu?" tanyanya.
"Setahu teecu, Siau kiong cu tidak bisa ilmu silat," sahut Sun Put
Ce.
"Tidak bisa?" Fang Tiong Seng menghentikan pertanyaannya, Dia
menatap Sun Put Ce dengan pandangan menyelidiki seakan ingin
melihat kejujuran dari sinar matanya itu.

Fang Tiong Seng tentu saja tidak percaya. Biarpun dia tahu, Sun
Put Ce tidak suka berdusta, sebetulnya Sun Put Ce sendiri tidak tahu
apakah Siau kiong cu bisa ilmu silat? Namun dia hanya mendugaduga
saja dalam menjawab pertanyaan suhunya.
Dia hanya pernah melihat gadis itu merang-kai bunga dan sama
sekali belum pernah melihatnya melatih silat, Dia berani menjawab
seperti itu juga ada alasannya, Dia sering melihat para pelayan
mengangkat kan benda-benda yang agak berat untuk Siau kiong cu.
Kelihatannya gadis itu memang bertubuh lemah,
"Benar-benar tidak bisa? Sedikit pun tidak?" tanya Fang Tiong
Seng sekali lagi.
"Betul!" sahut Sun Put Ce kepalang tanggung.
"Mustahil!" kata Fang Tiong Seng, Dia berhenti sejenak untuk
memperhatikan reaksi murid bungsunya,
"Segala yang kuperintahkan kepadamu, sama sekali tidak boleh
diceritakan kepada orang lain, mengerti?" lanjutnya.
"Baik!" sahut Sun Put Ce.
"Termasuk suhengmu!" kata Fang Tiong Seng lagi.
"Baik!"
-ooo0ooo-
Di tepi telaga ada sebuah gedung yang mewah. Tanahnya tidak
terlalu luas, namun bentuk bangunannya sangat istimewa. Orang
yang ahli dalam hal bangunan, tentu akan mengetahui bahwa
pemiliknya pasti bukan dari kalangan biasa.
Sebuah jembatan yang panjang dibuat untuk mencapai sebuah
tempat peristirahatan di tengah telaga, Atapnya berbentuk pagoda,
dengan empat tiang yang besar-besar sebagai penyangga, Di

tengah-tengahnya terdapat sebuah meja marmer dengan beberapa
buah kursi batu kumala.
Di sekelilingnya terbuka, Di musim semi orang dapat menatap
keindahan telaga dan mendengar rintik hujan yang merdu. pada
musim dingin terlihat gumpalan salju dan menikmati cahaya
rembulan, Pokoknya, setiap saat tempat itu memang tepat untuk
digunakan sebagai pelipur hati.
Pemilik gedung dan tempat peristirahatan itu bernama See Kong
Be Hun. Orang ini bisa ilmu silat, bahkan ilmunya cukup tinggi
namun dia tidak pernah berkelana di dunia Bulim, itulah sebabnya
jarang orang-orang dunia kangouw yang mengenal orang ini.
sedangkan Kwe Po Giok dan Siau kiong cu malah tinggal di tempat
ini. Ternyata See Kong Bo Hun adalah Susiok Kwe Po Giok.
Istri See Kong Bo Hun sudah meninggal Dia tidak mempunyai
keturunan Kecuali lima orang pelayan yang mengurus gedung itu,
tidak ada keluarga lainnya lagi, Kedatangan Kwe Po Giok dan Siau
kiong cu meramaikan suasana rumah, membuat See Kong Bo Hun
senang bukan kepalang.
Mereka disediakan kamar tidur yang paling besar. Dia juga
berpesan, bila pasangan itu menikah, jangan tinggal di tempat lain
melainkan menetap di gedungnya saja. Telaga itu memang tidak
terlalu besar, namun cukup luas juga. jelas telaga itu bukan telaga
alam, tapi buatan, Namun hasil karya orang yang membuatnya perlu
diberi acungan jempol. Pada jaman itu mungkin orang yang dapat
membuat telaga buatan seindah itu dapat dihitung dengan jari.
Pada musim panas pun angin tetap berhembus membawa
kesejukan, Tempat ini memang cocok untuk memadu kasih, Pada
saat ini, Kwe Po Giok dan Siau kiong cu sedang duduk berhadapan
Mereka duduk di ruangan besar dengan sebuah kolam kecil yang
dikelilingi tumbuh-tumbuhan. Bentuknya seperti taman. Dengan
rumput-rumput yang tebal, namun ruangan ini tidak terbuka
seluruhnya sebagaimana taman-taman biasa.

Usia Siau kiong cu sudah tujuh belas, dan Kwe Po Giok masuk
delapan belas tahun, Namun keduanya masih kekanak-kanakan,
Tetapi daya minum orang dewasa pun tidak akan sekuat kedua
remaja tersebut. Wajah Siau kiong cu memburat kemerahan di pipi,
membuat kecantikannya semakin nyata.
"Po Giok.... Mengapa kau ingin membunuh Sun Put Ce?" tanya
gadis itu.
"Karena dia terlalu setia terhadap Fang Tiong Seng," sahut Kwe
Po Giok.
"Setia terhadap guru apa apa salahnya " tanya Siau kiong cu.
"Saya juga mempunyai pikiran yang sama...." kata Kwe Po Giok,
"Lalu mengapa kau ingin membunuhnya?" tanya Siau kiong cu
tidak habis mengerti akan sikap kekasihnya itu.
"Dia yang ingin membunuh saya, sedangkan saya belum berhasil
membunuhnya," sahut Kwe Po Giok.
"Dia tidak mati?" tanya Siau kiong cu terkejut.
"Betul.... seharusnya dia belum mati," sahut Kwe Po Giok.
"Apakah kau tidak sampai hati turun tangan terhadapnya?" tanya
Siau kiong cu.
"Dia adalah orang baik, Juga sangat berbakat. Sayang sekali
pendiriannya terlalu kukuh, apa pun sukar merubah niat dalam
hatinya," Kwe Po Giok menjelaskan.
Siau kiong cu menarik nafas panjang.
"Dapat memandang debu seperti permata, dia juga mempunyai
kesulitan tersendiri yang tidak dapat diutarakan, Untuk apa kau
terlalu menyusahkan dirinya?" sahut Siau kiong cu.

"Bagaimana kau dapat menganggap hal ini tidak terlalu
menyusahkannya?" tanya Kwe Po Giok.
"Yang kau maksudkan adalah tidak beraninya Sun Put Ce
mengkhianati suhunya, bukan? Bagaimana kalau kau yang
mengganti dirinya saat ini?" Siau kiong cu balik bertanya.
Tiba-tiba wajah Kwe Po Giok menjadi kelam. Dia merenung sekian
lama.
"Lu ji.... pertanyaanmu bagus sekali, mungkin mata manusia
diciptakan lebih baik untuk memandang orang daripada diri sendiri
Manusia biasanya memang hanya bisa menyalahkan orang lain,
sedangkan diri sendiri selalu benar," sahutnya kemudian.
Nama Siau kiong cu adalah Lulu, Kwe Po Giok memanggilnya Lu ji
(Anak Lu)," sebagaimana Tang hay sin sian selalu "memanggilnya.
"Akhirnya kau memaklumi Sun Put Ce juga," kata gadis tersebut
Kwe Po Giok menganggukkan kepalanya.
"Entah bagaimana caranya dia melaporkan kejadian tersebut
kepada suhunya?"
"Bukankah kau mengatakan bahwa dia sangat cerdas?" tanya Siau
kiong cu.
"Aku memang pernah berkata demikian," sahut Kwe Po Giok.
"Kalau begitu, dia pasti bisa mengemukakan alasan yang tepat,"
kata Lu ji. Dia berhenti sejenak, "Fang Tiong Seng mempunyai
seorang simpanan. Tahukah kau siapa orangnya?"
Wajah Kwe Po Giok berubah semakin kelam.
"Luji.... sebaiknya kau tidak usah menanyakan hal tersebut,"
katanya.

"Caramu ini bukankah membuat aku semakin penasaran?" tanya
Siau kiong cu.
"Keringkan cawan," kata Kwe Po Giok berusaha mengalihkan
percakapan.
"Tidak.... Sebelum kau mengatakan siapa orangnya, aku tidak
mau minum," sahut Siau kiong cu keras kepala.
"Orang itu adalah dayang Cui thian," kata Kwe Po Giok akhirnya.
Cawan di tangan Siau kiong cu terlepas.
"Trang!!!"
Suaranya memekakkan telinga, pecahan cawan itu berserakan
kemana-mana. isinya juga tumpah, sebagian bahkan membasahi
pakaiannya sendiri.
Tiba-tiba Siau kiong cu berdiri dan mencengkeram tangan Kwe Po
Giok.
"Po Giok.... Katakan.... Apakah dia menjadi mata-mata di samping
ayahku selama ini?" tanyanya.
Kwe Po Giok tidak sanggup menatap mata gadis itu, dia hanya
menganggukkan kepalanya berkali-kali.
"Coba kau katakan... apakah ayahku cao hue jit rao, ada
hubungannya dengan dayang Cui thian?" tanya Siau kiong cu
dengan mata semakin membara.
Sekali ini Kwe Po Giok menggelengkan kepalanya.
"Maksudmu, tidak ada hubungannya?" tanya Siau kiong cu kurang
percaya.
"Tidak.... Aku tidak tahu," sahut Kwe Po Giok.

Air mata Siau kiong cu bercucuran "Po Giok, salahkah bila aku
menganggap dayang Cui thian sebagai musuh besar nomor dua?"
tanyanya.
"Tidak...." sahut Kwe Po Giok, Pada saat itu, sebuah bayangan
meloncat ke tepi kolam, Kwe Po Giok terperanjat Orang-orang Bulim
tidak mungkin mengetahui mereka berada di tempat ini. Untuk
melindungi Siau kiong cu, Kwe Po Giok segera menarik lengan gadis
itu dan menyerang orang yang baru datang.
Serangan ini sedikitnya mengandung lwekang sebanyak tujuh
bagian, orang-orang Buiim saat ini yang bisa menerima serangan itu
tidak banyak, Namun orang yang baru datang itu dengan mudah
mengelit ke samping, tangannya dikibas-kibaskan.
"Jangan salah paham!" katanya.
Ketika kedua remaja itu menatap tamu yang baru datang, mereka
mengira mungkin benar-benar telah terjadi salah paham, Bisa jadi
orang ini adalah tamu pemilik rumah, perempuan ini berusia tiga
puluhan, mungkin kurang sedikit. Cantik, mempunyai daya tarik
tersendiri Laki-laki mana pun yang menatapnya pasti akan tergerak .
Kwee Po Giok merangkapkan kedua kepalannya, Dia menjura
hormat.
"Kouwnio adalah...."
"Namaku Lian lian," sahut perempuan itu.
"Apakah Kouwnio yang mendapat julukan It ki bwe?" tanya Kwe
Po Giok dengan mata terbelalak.
"Betul!" sahut Lian lian.
Kwe Po Giok pernah mendengar nama It ki bwe, namun belum
pernah melihat orangnya. Dia sama sekali tidak menyangka orang
yang bernama besar itu ternyata masih demikian belia.

"Apakah Kouwnio mengenal pemilik gedung ini?" tanyanya.
"Tidak, Aku sengaja datang untuk menemui kalian berdua," kata
Lian lian.
"Lian cici menemui kami untuk keperluan apa?" tanya Lu ji.
"Siapa Fang Tiong Seng, aku rasa tidak perlu dijelaskan lagi.
Sekarang sayapnya terbentang semakin lebar. Kita tidak boleh
menganggap remeh, Untuk membasmi orang ini, harus kerja sama
yang kompak," sahut Lian lian.
"Betul! Tidak boleh terulang kembali kejadian seperti Toa Tek To
Hun. Para jago kaum Buiim bukannya bersatu, malah
menyembunyikan diri masing-masing," sambung Lu ji.
"Apa yang dikatakan Siau kiong cu memang tepat! Bersatu kita
teguh, bercerai kita runtuh!" kata Lian lian. Dia menoleh ke arah
Kwe Po Giok. "Bagaimana pendapat Kwe siaute tentang hal ini?"
tanyanya.
Kwe Po Giok adalah seorang sin tong (Anak ajaib), Tentu saja dia
mempunyai pikiran tersendiri Apalagi dia pernah mendengar tentang
masa lalu Lian lian.
"Siaute bersedia mendengar Lian cici lebih dahulu," sahutnya.
"Kepintaran Kwe siaute melebihi orang biasa, Bila kita bekerja
sama, tentu tidak sulit membasmi musuh besar ini," kata Lian lian.
"Apakah Lian kouwnio tahu rahasia tentang Fang Tiong Seng?"
tanya Kwe Po Giok.
"Kemungkinan besar, kedatangan Toa Tek To Hun adalah atas
undangannya," sahut Lian Han, Kwe Po Giok tidak menggeleng atau
menganggukkan kepalanya.
"Tentunya dengan maksud meminjam tangan menyembelih
ayam," lanjut perempuan itu. Hal ini bukan rahasia lagi bagi Kwe Po
Giok.
Anda sedang membaca artikel tentang Sukma Pedang 1 dan anda bisa menemukan artikel Sukma Pedang 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/sukma-pedang-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Sukma Pedang 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Sukma Pedang 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Sukma Pedang 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/sukma-pedang-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar