Sukma Pedang 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 12 September 2011

"Mengapa Kwe siaute diam saja? Apakah terkaanku salah?" tanya
Lian lian.
"Mungkin benar... Hanya saja Lian kouwnio tampaknya juga
kurang yakin," sahut Kwe Po Giok.
"Aku masih mengetahui satu hal lain," kata Lian Iian kemudian.
"Hal apa?" tanya Kwe Po Giok.
"Aku juga tahu siapa yang membunuh Bok lang kun, Hong be dan
Hiat Eng," sahut Lian Iian.
"Orang yang membunuh Bok lang kun dan Hong be adalah Kiau
Bu Suang, Dan siapa yang membunuh Hiat Eng belum jelas, Menurut
Chow Ai Giok, orang itu dandanannya persis Toa Tek To Hun," kata
Kwe Po Giok mendahuluinya.
"Apakah dia benar-benar Toa Tek To Hun?" tanya Lian lian.
"Bukan," sahut Kwe Po Giok.
"Mengapa kau bisa tahu kalau bukan Toa Tek To Hun?" tanya Lian
lian kembali.
"Berdasarkan akal sehat," sahut Kwe Po Giok.
"Kwe siaute... apakah kau ada minat bekerja sama denganku?"
tanya Lian Iian.
"Tentu saja ada. silahkan Kouwnio menjelaskan lebih terperinci,"
sahut Kwe Po Giok tenang.
"Besok malam pada kentungan ketiga, aku akan mengajak Kwe
siaute menemui dua orang, Setelah itu baru kita rundingkan
bagaimana cara kerja sama kita, Apakah Kwe siaute setuju?" sahut
Lian lian.

"Siapa yang ingin ditemui?" tanya Kwe Po Giok penasaran Lian
lian tersenyum manis.
"Rahasia besar tidak boleh dibicarakan Besok malam Kwe siaute
akan tahu dengan sendirinya," sahutnya.
Lian lian sudah pergi, Di tempat itu kembali tinggal dua orang
remaja tersebut Tiba-tiba Siau kiong cu menjawil lengan kekasihnya.
"Po Giok.... Menurutmu Lian lian cantik tidak?" tanyanya.
"Cantik," sahut Kwe Po Giok.
"Menurutmu... apanya yang cantik?" tanya Siau kiong cu kembali.
Kwe Po Giok mencoba mengingat-ingat.
"Semuanya cantik," sahutnya kemudian.
Kwe Po Giok berbicara apa adanya, Dia menjawab pertanyaan
Siau kiong cu menurut kenyataan yang dilihatnya. Namun dia lupa,
seharusnya tidak boleh memuji kecantikan seorang perempuan di
depan perempuan lainnya. Hal ini malah akan merunyamkan
suasana.
Siau kiong cu tersenyum-senyum. Mimik wajahnya tampak aneh.
"Apakah raut wajahku tidak dapat menandinginya?" tanya gadis
itu.
"Tidak... kau lebih cantik," sahut Kwe Po Giok.
"Apakah bentuk tubuhku yang tidak dapat menandinginya?" tanya
Siau kiong cu tidak mau sudah.
"Juga tidak," sahut Kwe Po Giok. Wajah Siau kiong cu berubah
kelam.

"Po Giok.... Kau toh belum pernah melihat bentuk tubuhku,
Bagaimana kau bisa tahu kalau aku dapat menandinginya?" tanya
gadis itu.
"lni hanya dugaan sepintas lalu saja," sahut Kwe Po Giok.
"Hal seperti ini tidak boleh main duga saja. Harus membandingkan
dengan jelas," kata Siau kiong cu.
"Bandingkan dengan jelas? Bagaimana caranya?" tanya Kwe Po
Giok keheranan.
Siau kiong cu tidak menjawab, Fuhhh!!!
Lilin di atas meja ditiupnya, Di sekitar kolam gelap gulita, Namun
sedikit cahaya rembulan yang menerobos masih dapat membuat
mata memandang dengan samar-samar.
Hati Kwe Po Giok berdebar-debar, Dia melihat Siau kiong cu
sedang melepaskan bajunya, Dia tidak habis pikir, Siau kiong cu
adalah seorang gadis yang polos, mengapa dia sanggup melakukan
hal seperti ini?
Namun matanya memang tidak salah lihat. Siau kiong cu jelasjelas
sedang melepaskan bajunya. Bahkan satu persatu dengan gaya
memikat, Akhirnya hanya tertinggal tubuh telanjang tanpa sehelai
benang pun.
"Lu... Lu ji.... Apa... apa yang kau lakukan?" tanya Kwe Po Giok
gugup.
Siau kiong cu membalikkan tubuhnya.
"Untuk pertama kalinya aku merasa cemburu kepada seorang
perempuan sedangkan tampaknya kau sangat menyukai nya. Terus
terang saja... kalau aku seorang laki-laki, aku juga pasti akan tertarik
kepadanya," kata Siau kiong cu.
"Lu ji.... jangan berkata sembarangan!" sahut Kwe Po Giok.

"Aku tidak sembarangan berkata, Aku benar-benar
memperhatikan persoalan ini. Aku hanya ingin tahu... Apakah aku
benar-benar lebih bagus dari dia atau tidak dapat menandingi
dirinya?" kata Siau kiong cu dengan nada polos.
"Lu ji,... Kau tentunya melebihi dia!" sahut Kwe Po Giok.
"Tidak tentu, Po Giok. Sinar matamu ketika memandangnya... ada
beberapa hal yang tadinya tidak begitu kuperhatikan Aku ingat... kau
belum pernah menatapku seperti itu!" kata Siau kiong cu.
Jilid: 12
Sinar rembulan yang redup, menerobos masuk melalui jendela,
Tubuh Siau kiong cu yang berkulit halus makin kentara, pinggangnya
yang ramping, payudaranya yang ranum, sepasang pahanya yang
mempesona dan gayanya yang lemah gemulai, adalah kenyataan
yang terpampang di depan mata.
Tanpa sadar Kwe Po Giok menghampirinya. Dia memeluk gadis itu
dengan segenap cinta kasih, selamanya dia tidak pernah menyangka
kalau Lu jinya ternyata mempunyai keberanian sebesar itu.
Mungkin juga Siau kiong cu percaya bahwa Kwe Po Giok hanya
menikmati tanpa maksud merusak, namun tubuhnya sedang
bergetar jantungnya berdebar-debar, Terbukti berapa besar
keberanian yang dikeluarkannya untuk melakukan hal tersebut,
untuk memamerkan tubuhnya yang tiada cacat, dia terpaksa
melakukannya.
Untuk meyakinkan laki-laki itu dan membuktikan modalnya tinggi,
dia berbuat suatu hal yang bahkan dirinya sendiri pun tidak pernah
membayangkan selama ini.
"Po Giok.... Katakanlah terus terang.... Apakah aku tidak dapat
menandingi perempuan itu?" tanya Siau kiong cu dengan nada
sendu.

"Tidak... tidak.... Kau jauh lebih bagus dari dia!" sahut Kwe Po
Giok gugup.
"Lalu mengapa kau menatapnya dengan sinar mata yang tidak
pernah kau tujukan kepadaku?" tanya Siau kiong cu kembali.
Tiba-tiba Kwe Po Giok mengibaskan tangannya dan menghela
nafas.
"Mengapa kau menarik nafas? Apakah dia memang lebih bagus
daripadaku?" tanya Siau kiong cu.
"Bukan.... Sinar mata seperti itu hanya di tujukan kepada
perempuan yang menimbulkan keinginan buruk seorang laki-laki,
Sinar mata seperti itu dapat ditujukan kepada siapa saja, kecuali
dirimu, Pandangan seperti itu sangat tidak sopan untuk gadis sebaik
engkau," sahut Kwe Po Giok.
Wajah Siau kiong cu tampak tersipu-sipu.
*******************************
Jilid 12 Hal 5/6 Hilang
*******************************
manis kepada Kiau Bu Suang, Laki-laki itu juga tertawa, Ada
pepatah yang mengatakan It hue sin, liong hue suk (Pertama kali
asing, kedua kali tentu semakin akrab), Pe-patah itu rasanya
memang benar.
"Ai Giok.... Sudah lama tidak berjumpa. Apakah kau sering
memikirkan diriku?" tanya Kiau Bu Suang, Tentunya hanya laki-laki
seperti Kiau Bu Suang yang dapat mengucapkan kata-kata seperti
itu..
"Memikirkan dirimu?"
"Mungkinkah tidak pernah memikir-kan?" tanya Kiau Bu Suang
lagi.

"Pikir sih pikir juga... namun ada orang lain yang lebih memikirkan
dirimu daripada aku," sahut Chow Ai Giok.
"Siapa?"
"Bwe Mei," kata Chow Ai Giok menjelaskan.
"Dia memikirkan diriku?" Kiau Bu Suang seperti kurang percaya.
"Paling tidak.,, kau sering memikirkannya bukan?"
Kiau Bu Suang tersenyum penuh rahasia.
"Boleh juga dikatakan demikian," sahutnya.
"Maukah kau menemuinya?" tanya Chow Ai Giok.
"Mau," sahut Kiau Bu Suang.
"Malam ini pada kentungan keempat, dia ada di tempat ini." Dia
menjulurkan tubuh dan membisiki Kiau Bu Suang tempat tinggal
Bwe Mei.
Kiau Bu Suang tahu bahwa Chow Ai Giok mempunyai maksud
tertentu dengan memberitahukan alamat gadis itu, tapi dia memang
ingin menemui Bwe Mei.
"Chow Ai Giok.... Apa maksudmu? Bolehkah kau katakan
kepadaku?" tanya Kiau Bu Suang.
"lngin mengambil hatimu.... perempuan kan berharap menikah
dengan seorang laki-laki yang sesuai dengan dambaan hatinya,"
kata Chow Ai Giok.
"Begitu sederhana persoalannya?" tanya Kiau Bu Suang dengan
pandangan menyelidik.
"Betul! hanya begitu saja," sahut Chow Ai Giok.

"Katakan kepadaku.... Kau tinggal di mana? Biar aku bisa
mengunjungimu untuk membuka kembali kenangan lama," tanya
Kiau Bu Suang.
"Penginapan Lian Gi," sahut gadis itu.
Kiau Bu Suang meninggalkan tempat itu dengan senyum lebar
Meskipun orang mengatakan bahwa perempuan sering membuat
sial, namun dia tetap tidak menghiraukan kata-kata itu.
-oooo0oooo-
Dayang Cui thian tinggal di sebuah kamar pribadi dalam keluarga
Fang, Tanpa ijinnya, siapa pun tidak boleh masuk ke dalam kamar
tersebut Kecuali Fang Tiong Seng tentunya. Saat ini dia baru saja
memadamkan penerangan dengan niat naik ke atas tempat tidur.
Sebuah bayangan melesat dan berhenti di muka jendelanya.
"Siapa?" tanyanya.
Di luar jendela terdengar sahutan dengan suara rendah.
"Dayang Cui thian... apakah kau menyambut tamu tidak diundang
ini?" Dayang Cui thian membuka pintu, Penerangan tidak dinyalakan,
namun wajah orang yang datang dapat terlihat jelas.
"Kau adalah cucu perempuan Hiat Eng, Chow Ai Giok bukan?"
tanyanya.
"Tepat!" sahut tamu tersebut.
Dayang Cui thian bermaksud menyalakan penerangan dalam
kamarnya, tapi Chow Ai Giok segera mencegah, "Kedatangan Chow
siaumoi malam ini mungkin ada yang ingin dikatakan?" katanya.
"Betul... Dengar-dengar Cui A ie adalah orang kepercayaan Tang
hay sin sian, Siau-moi sudah lama kagum," sahut Chow Ai Giok.
"Aku tidak berani menerima," kata Dayang Cui thian.

"Menurut apa yang berhasil kucuri dengar, Kiau Bu Suang ada
janji dengan Bwe Mei malam ini," ucap Chow Ai Giok selanjutnya.
Dayang Cui thian langsung dapat mengetahui bahwa gadis ini
tidak sepolos penampilannya.
"Chow siaumoi.... Kau sengaja datang untuk memberitahukan
kabar ini?" tanyanya.
"Kiau Bu Suang membunuh kakekku, menyamar sebagai Toa Tek
To Hun. Cui A ie pasti tidak akan duduk dan menonton saja. Tentu
juga ingin membantu Bulim membasmi orang ini," kata Chow Ai
Giok.
Dayang Cui thian beranggapan bahwa gadis ini bukan saja berakal
banyak, namun pandai mengambil hati orang.
"Mengapa kau memilih aku? Bukankah masih banyak jago lain
yang dapat kau pin-takan bantuannya?" tanyanya.
"Aku rasa karena sesama perempuan, maka kita akan lebih
mudah berunding," sahut Chow Ai Giok.
"Apakah kau tidak sanggup menandingi Kiau Bu Suang?" tanya
dayang Cui thian.
"Sedang kakek saja bukan saja tandingannya, bukankah
pertanyaan Cui A ie terlalu berlebihan?" sahut Chow Ai Giok.
"Baik! Terlahir sebagai orang kangouw, tentu harus mengurus
kejadian dalam kangouw, Chow siaumoi, mari kita berangkat!" kata
dayang Cui thian.
Dayang Cui thian berpikir... Meskipun kau budak kecil mempunyai
akal busuk sebanyak apa, masa bisa menandingi kelicikan dirinya?
Dia sudah lama berada di samping Tang hay sin sian sebagai matamata,
sedangkan orang sakti itu saja tidak bisa membongkar
rahasianya, apa lagi anak kecil seperti Chow Ai Giok, Lagi pula dia

terus berada di dekat gadis itu, mana mungkin dia berbuat
kejahatan terhadapnya?
-oooo0oooo-
Maksud Kiau Bu Suang juga tidak mungkin demikian sederhana,
Dia tahu Chow Ai Giok sangat membenci Bwe Mei. Dia pasti ingin
meminjam golok membunuh orang atau paling tidak mempunyai
maksud jahat lainnya.
Kata lain dari dunia kangouw adalah pengalaman. Bayangan Kiau
Bu Suang melesat, sekejap kemudian dia sudah berada di luar
rumpunan bambu. Dia sudah melihat orang yang berada dalam
rumah itu, tubuhnya begitu kurus kering.
Sejak kehilangan sebelah lengannya, Bwe Mei memendam segala
kesedihan di hati, ia berusaha mempertahankan hidup. Beberapa kali
dia hampir bunuh diri, namun hatinya tidak puas. Kalau membalas
dendam ini, dia harus hidup, Betapa sengsaranya pun! Namun dia
juga sadar, dengan keadaan dirinya sekarang, balas dendam bahkan
lebih susah daripada mencari sebatang jarum di tengah lautan.
Tentu saja, dia bisa meminta orang lain membalaskan
dendamnya. Misalnya: Sun Put Ce. Bwe Mei yakin laki-laki ini akan
menyanggupinya, Tetapi dia tidak ingin menyusahkan laki-laki ini,
Oleh sebab itu, dia hidup dalam ke putusasaan dari penderitaan
yang dalam.
Kiau Bu Suang menyerbu masuk, Bwe Mei terkejut setengah mati.
Laki-laki itu baru melihat lengan Bwe Mei yang tinggal satu, Dia juga
ikut terkejut Karena Kiau Bu Suang tidak dapat membayangkan
siapa orangnya yang begitu kejam, mengutungi lengan kanan Bwe
Mei?
Di dunia ini memang banyak orang yang kekurangan pekerjaan
mencari gara-gara terhadap sesamanya. Namun bagi gadis secantik
Bwe Mei, siapa yang tega turun tangan sesadis itu? Kiau Bu Suang
kurang percaya jadinya, Dia mengira Bwe Mei pura-pura cacat

supaya kaum laki-laki menjadi kasihan terhadapnya, terutama Kiau
Bu Suang.
Satu hal lagi yang umum dalam dunia kangouw adalah rasa curiga
yang besar. Tidak mudah mempercayai keadaan seseorang begitu
saja. Bukankah Kiau Bu Suang pernah melakukan hal yang sama
untuk menyelamatkan dirinya dari kekejaman Toa Tek To Hun?
Tiba-tiba dia mengulurkan tangannya dan mencengkeram, Lengan
kanan itu kosong. Tidak ada kemungkinan kalau tangan kanan itu di
selipkan di belakang, Dia bahkan dapat meraba tonjolan bekas sisa
kutungan lengan tersebut.
Hati kedua orang itu sama-sama tergetar. Terutama Bwe Mei, dia
takut setelah cacat bahkan dirinya akan ternoda, Kiau Bu Suang
hanya mencengkeram sejenak, kemudian mundur, Dirinya sendiri
yang melepaskan cengkeram tersebut.
Orang yang selama ini merupakan idola sempurna baginya, telah
menjadi cacat, Dia seakan bertanya kepada dirinya sendiri apakah
masih ada daya tarik yang tersisa dari gadis ini?
Kiau Bu Suang menunjukkan mimik penuh perhatian
"Siapa yang melakukannya?" tanyanya.
"Kau tidak perlu mencemaskan diriku," sahut Bwe Mei ketus.
"Apakah Chow Ai Giok?" Dia memang seorang bajingan tua,
sedikit banyaknya dia sudah mempunyai gambaran tentang orang
yang sanggup melakukannya.
Bwe Mei tidak menyahut.
"Aku sudah mengerti... Chow Ai Giok pasti yang mengutungi
lengan kananmu, Cuma aku tidak tahu apa alasannya" kata Kiau Bu
Suang.
"Kau tidak usah tahu alasannya!" sahut Bwe Mei.

"Aku harap kau mengatakannya kepadaku," kata Kiau Bu Suang,
"Mengapa aku harus memberitahukan kepadamu?" tanya Bwe Mei
sinis.
"Karena kedatanganku malam ini, adalah hasil
pemberitahuannya," sahut Kiau Bu Suang.
Bwe Mei menatapnya dengan sinar mata menusuk. Pada saat ini,
dia baru sadar bahwa hati manusia mengandung racun, Chow Ai
Giok marah kepadanya karena dirinya akrab dengan Sun Put Ce, Dia
ingin melihat dirinya menderita, Pertama-tama mengutungi lengan
kanannya, kemudian memancing Kiau Bu Suang datang untuk
menodainya. Dia tidak ingin dirinya mati dengan mudah. Apakah hati
manusia terbuat dari darah dan daging? Sungguh tindakannya
membuat orang tidak percayai
Bwe Mei tiba-tiba mempunyai niat dalam hatinya,
"Betul! Chow Ai Giok yang mengutungi lengan ini," katanya.
"Ternyata memang dia.... Mengapa?" tanya Kiau Bu Suang,
"Siapa yang tahu? Mungkin karena rasa cemas," sahut Bwe Mei.
"Cemas tentang apa?" tanya Kiau Bu Suang kembali.
"Dia takut kalau orang yang paling dicintainya direbut olehku,
Maka dia sengaja membuat diriku cacat," sahut Bwe Mei.
Yang dimaksud tentu saja Sun Put Ce. Namun Kiau Bu Suang
salah pengertian Dia mengira Chow Ai Giok memperebutkan dirinya.
Dia cemburu melihat Bwe Mei yang lebih cantik, perempuan selalu
mengharapkan kaum laki-laki mencemburui diri mereka, kaum lakilaki
pun mempunyai harapan yang sama. Tanpa cemburu, tidak
dapat membuktikan cinta kasih dan harga diri sendiri.
"Dia benar-benar tidak tahu diri," gumam Kiau Bu Suang.

Bwe Mei tidak menyahut, juga tidak berniat menjelaskan lebih
terperinci.
"Aku beritahu kepadamu.... Yang aku suka adalah dirimu bukan
dia," kata Kiau Bu Suang.
"Mengapa kau harus mengatakannya kepadaku?" tanya Bwe Mei
datar.
"Karena apa yang aku katakan adalah hal yang sebenarnya," kata
Kiau Bu Suang. Kemudian suaranya di rendahkan "Dia menyodorkan
pun aku tidak sudi."
Biasanya, kaum laki-laki yang dapat mengatakan hal seperti itu
adalah orang yang benar-benar rendah dan tidak tahu malu, Seperti
semangkuk air yang jernih, dasarnya dapat terlihat jelas.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin di luar jendela.
Kata-kata terakhirnya sempat didengar oleh dayang Cui thian dan
Chow Ai Giok. Kedatangan mereka sungguh tepat, Mereka
mempunyai alasan masing-masing untuk tertawa dingin, hubungan
dayang Cui thian dan Kiau Bu Suang sangat dalam. Dengan segala
macam permainan yang melenakan, Kiau Bu Suang membuat
perempuan itu bertekuk lutut. Dayang Cui thian ternyata salah
kaprah, Selama ini, dia menganggap bahwa Kiau Bu Suang telah
mendapatkan segala macam kenikmatan dari dirinya, mungkin di
usirpun tetap tidak akan meninggalkannya. Setelah mengetahui
bahwa kenyataannya sama sekali jauh dari anggapannya, dia
berbalik menjadi marah.
Chow Ai Giok berbeda. Dia juga marah. Namun kekecewaannya
dan rasa malunya lebih membuat dirinya marah, Seorang
perempuan yang hanya ingin dinikmati satu kali, bahkan gairah
untuk kedua kali pun tidak ada lagi. Bagaimana perasaannya tidak
akan terpukul? seseorang yang dianggap kaum laki-laki begitu tidak
menarik sampai gairah untuk kedua kali pun tidak ada, apa lagi bagi
seorang gadis yang baru pertama kali melakukannya, benar-benar
merupakan suatu hinaan yang tidak ada bandingannya. Harga

dirinya amblas seketika! Kedua orang itu tidak dapat menahan diri
lagi, Mereka menyerbu masuk ke dalam.
Mereka menganggap dengan bergandengan tangan, mungkin
mereka bisa mengalahkan Kiau Bu Suang, Mana mereka tahu bahwa
pemeran utama malam itu bukan diri mereka? Di atas panggung,
meskipun hanya seorang figuran, ada orang yang tetap merasa
dirinya patut berbangga....
"Kiau Bu Suang.... Kau benar-benar telur busuk!" teriak dayang
Cui thian sambil menunjuk hidung laki-laki itu.
Di bandingkan dengan kedua gadis itu, usianya lebih tinggi kurang
lebih sepuluh tahun. sedangkan raut wajahnya, tidak dapat
menandingi kecantikan Bwe Mei. Kiau Bu Suang yang melihat
kedatangan dayang Cui thian, ikut terkesiap, Dia tentu tidak
menyangka, kehadiran orang-orang ini adalah hasil pekerjaan
seorang sutradara di belakang layar dan orang ini tentu saja bukan
Chow Ai Giok.
"Mengapa kau bisa datang kemari?" tanya Kiau Bu Suang heran.
"Aku tidak seharusnya datang?" teriak dayang Cui thian kalap.
"Aku mengacaukan rencana baikmu, bukan?"
"Mari.... Kita pulang... nanti akan kujelaskan," kata Kiau Bu
Suang.
Kiau Bu Suang tidak suka melihat kekalapan dayang Cui thian,
tapi perempuan itu masih ada harganya untuk diperalat. Namun
dayang Cui thian sudah berubah haluan. Malam ini dia baru
menyadari, Kiau Bu Suang bukan hanya pernah berhubungan
dengan Chow Ai Giok, dia juga ingin mendapatkan Bwe Mei.
"Pulang? Siapa yang mau pulang denganmu? Tahukah siapa
dirimu itu?" bentak dayang Cui thian.
Kiau Bu Suang benar-benar panas, Dia selalu mengira
perempuan-perempuannya pasti menuruti segala kemauannya.

Sejak melihat pertandingan antara Toa Tek To Hun dengan Tang
hay sin sian, dia menganggap bahwa zaman keemasannya sudah di
depan mata.
Sejak saat ini, dunia Bulim sudah berada di bawah
genggamannya. Dia hanya perlu mengenyahkan satu tokoh lagi.
sedangkan untuk mengenyahkan orang ini, dia memerlukan kerja
sama yang baik dengan dayang Cui thian, Sekarang dia baru sadar,
bahwa semua rencananya masih terlalu pagi untuk berhasil
Hubungannya dengan dayang Cui thian bukan berdasarkan cinta
kasih namun saling memperalat.
Chow Ai Giok dan dayang Cui thian saling melirik. Keduanya
mengeluarkan senjata masing-masing, Dayang Cui thian
menggunakan sepasang trisula pendek, Chow Ai Giok menggunakan
pedang.
Tiba-tiba pedang Kiau Bu Suang berkelebat Kedua perempuan itu
terpaksa mundur selangkah, apalagi ruangan itu sangat sempit,
membuat gerakan mereka semakin tidak leluasa.
Lengan kanan Bwe Mei baru saja terkutung, Di hadapannya
sekarang ada musuh yang membuatnya cacat, namun dia tidak
mempunyai kemampuan untuk membalaskan dendamnya, Dia
merasa sedih dan tertekan, Dia menyelinap dari pintu belakang
berjalan seraya mengucurkan air mata.
Kerja sama antara dayang Cui thian dan Chow Ai Giok tidak dapat
dipandang remeh, Tetapi Cap sa tai po Kiau Bu Suang berilmu tinggi,
Apalagi dia menyerang dengan tangan kiri Berlainan dengan
umumnya. Menghindari serangan tangan kiri lebih sulit dari tangan
kanan, Sebab boleh dikatakan semua aliran ilmu silat diciptakan
sesuai dengan kebiasaan, yaitu menahan serangan orang yang
menggunakan tangan kanan.
Kedua perempuan itu mulai kelabakan jangan dikira dia memang
gemetar kalau bertemu dengan Toa Tek To Hun, namun untuk
menghadapi jago kelas dua sebanyak dua tiga orang saja, dia masih
tidak menganggap.

Chow Ai Giok hanya mendapat perintah orang Iain. Dia telah
berhasil mengundang dayang Cui thian datang ke tempat ini.
Tugasnya sudah selesai. Oleh karena itu, dia melancarkan serangan
beberapa kali berturut-turut. Kemudian membalikkan tubuh dan
melesat keluar melalui pintu belakang.
Dayang Cui thian terperanjat seketika, meskipun dia pernah
mendapat sedikit pengetahuan dari rangkaian bunga Siau kiong cu,
tapi apa yang dipelajarinya terlalu sedikit, mungkin apa yang di
dapat oleh Sun Put Ce lebih banyak dari padanya. Dia berhasil
menghindar dari serangan Kiau Bu Suang satu kali. Ketika serangan
kedua da-tang, Dirinya benar-benar terdesak dalam bahaya....
Tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat, di dalam ruangan itu telah
bertambah satu orang lagi, Tamu yang baru datang berpakaian hijau
longgar, mukanya mengenakan sebuah topeng.
Rambutnya panjang mencapai bahu, Kalau bukan bentuk
topengnya yang aneh, dandanannya persis seperti Kiau Bu Suang,
Dia juga menggunakan pedang panjang berbentuk melengkung di
ujungnya. Tidak usah diragukan lagi, orang ini juga menyamar
sebagai Toa Tek To Hun.
Sekali pedangnya digerakkan, Kiau Bu Suang terpaksa mundur
beberapa langkah, hati laki-laki itu bergetar Orang yang dapat
membuat tubuhnya gemetar tidak banyak, kecuali Toa Tek To Hun,
hanya orang yang satu ini.
Manusia bertopeng ini kembali melancarkan sebuah serangan
yang aneh, Kiau Bu Suang dibuat mundur dua langkah lagi. Dalam
hatinya dia tahu, kekuatan Toa Tek To Hun juga tidak melebihi
orang ini. Mungkin masih kalah satu tingkat darinya. Tiba-tiba Kiau
Bu Suang berpikir untuk melarikan diri, Belum lama tadi, dia masih
berpikir untuk tidak membiarkan dayang Cui thian terlepas dari
tangannya, Sekarang dia harus mengasah otak mencari jalan keluar
untuk dirinya sendiri.
Dayang Cui thian seakan tahu siapa manusia bertopeng yang baru
datang ini. Dia berdiri dengan tubuh gemetar sikapnya seperti serba

salah, Dia yakin orang ini sudah mengetahui hubungannya dengan
Kiau Bu Suang.
Hatinya segera memutuskan, Dia harus tetap berpihak kepada
manusia bertopeng ini. Namun dia harus membungkam mulut Kiau
Bu Suang, satu-satunya cara hanyalah dengan membunuhnya.
Dengan demikian dia bisa mengatur sebuah sandiwara yang
mungkin bisa diterima oleh manusia bertopeng ini. Oleh sebab itu,
dia ikut menyerang manusia bertopeng tersebut.
Serangan ini dilakukan hanya untuk ditunjukkan kepada orang lain
seakan dia tidak mengetahui siapa manusia bertopeng tersebut
Namun tampaknya meskipun di serang oleh dua orang yang berilmu
tinggi, manusia bertopeng itu tetap tenang menanggapinya, Kiau Bu
Suang semakin menyerang, semakin menggigil hatinya, Boleh
dikatakan, jago yang begini lihai saja tidak berani menunjukkan
muka melawan Toa Tek To Hun, dia Kiau Bu Suang sudah beranganangan
terlalu tinggi.
"Creeppp!!!"
Bahu Kiau Bu Suang tertusuk oleh pedang lawannya, luka itu
mengucurkan darah dan koyak cukup lebar. Dengan serampangan
Kiau Bu Suang mengibaskan pedangnya, dengan demikian dia
berhasil mundur menuju ruangan belakang. Namun manusia
bertopeng itu segera menyusul Kiau Bu Suang tampaknya sulit
melepaskan diri. Karena baik ilmu silat maupun ginkang manusia
bertopeng itu jauh melebihinya, Rasanya sebelum zaman keemasan
Kiau Bu Suang sempat dimulai, sudah harus berakhir dengan tragis.
Kiau Bu Suang tidak dapat menandingi kekuatan manusia
bertopeng tersebut, dayang Cui thian membantunya dengan
menyerang beberapa kali, Trisulanya memutar ke kiri dan kanan,
Pada saat itu, kembali seorang manusia bertopeng lainnya memasuki
arena pertarungan Dia meloncat dari atap rumah, pakaiannya
berwarna hitam, juga longgar seperti manusia bertopeng pertama.
Tangannya juga menggenggam sebatang pedang berbentuk aneh

seperti Kiau Bu Suang dan manusia bertopeng yang satunya. Topeng
yang digunakannya juga persis.
Kiau Bu Suang terpana, Dia melihat orang yang baru datang
menyerang manusia bertopeng yang pertama. Serangannya biasa
saja, tidak tampak perubahan yang hebat, namun manusia
bertopeng itu kalang kabut menerimanya. Bahkan langkahnya
sampai mundur beberapa tindak. Terbukti, meskipun gaya serangan
orang yang baru datang itu biasa saja, namun kekuatan yang
terkandung di dalamnya justru mengerikan.
Kedua manusia bertopeng itu berdiri terpaku sesaat, Mungkin
mereka sedang menilai kekuatan masing-masing lawan, Kiau Bu
Suang berubah menjadi penonton, Dia mengetahui bahwa manusia
bertopeng yang pertama adalah seorang laki-laki berusia lanjut
sedangkan yang datang belakangan adalah seorang pemuda. Hal ini
dapat dijelaskan dari tangan yang tersembul di balik lengan baju.
Kiau Bu Suang makin meragukan zaman keemasannya yang
terbayang di depan mata. Manusia bertopeng yang masih demikian
muda saja berani menyamar sebagai Toa Tek To Hun. Mana ada
kesempatan lagi bagi dirinya untuk menguasai Bulim?
Kedua menusia bertopeng itu kembali saling menyerang,
Kelihatannya kekuatan mereka berimbang, Kiau Bu Suang tidak
perduli siapa manusia bertopeng yang baru datang itu. Pokoknya dia
menganggapnya sebagai teman karena telah membantu dirinya
menghadapi manusia bertopeng yang pertama.
Dia juga segera turun tangan menyerang manusia bertopeng
pertama, serangan ini sama artinya dengan seorang menghadapi
dua manusia berilmu tinggi, Kerja sama antara Kiau Bu Suang
dengan manusia bertopeng yang datang belakangan tidak dapat
dianggap enteng.
"Tranggg!!!"
Pedang Kiau Bu Suang kembali terpental, kekuatan kedua
manusia bertopeng tetap seimbang. Dayang Cui thian saat ini sudah

tidak menyerang lagi. Dia seperti ingin menyaksikan siapa yang lebih
unggul di antara mereka, Mungkin juga dia ingin tahu siapa manusia
bertopeng yang datang belakangan ini.
Kiau Bu Suang melihat manusia bertopeng yang datang
belakangan masih tidak mau menghentikan pertarungan, dia segera
menyerang kembali sebanyak tiga kali, Manusia bertopeng yang
pertama tampaknya tidak menerima dengan kekerasan. Dia melesat
ke kiri untuk menghindari serangan yang bertubi-tubi itu.
Pada saat itu, kembali ada seorang manusia bertopeng lagi yang
memanjat tembok dan masuk dalam arena pertempuran tersebut,
Dari ginkangnya ketika melayang turun saja, sudah terbukti bahwa
manusia bertopeng itu ilmunya tidak di bawah Kiau Bu Suang,
sedangkan manusia bertopeng yang kedua menyerang lagi bersamasama
Kiau Bu Suang, pertarungan itu jadi kacau.
Manusia bertopeng yang pertama seakan tahu bahwa orang yang
baru datang juga ingin berhadapan dengan dirinya, Dia segera
melancarkan beberapa kali serangan ke kanan dan kiri, Setelah itu,
secara tiba-tiba dia berkelebat di balik punggung Kiau Bu Suang dan
menikam sekali. Untung saja tikaman itu tidak terlalu dalam, namun
ketika semua orang memperhatikan manusia bertopeng yang
pertama telah melesat ke atas tembok dan melarikan diri.
Manusia bertopeng yang kedua segera mengejar ke atas tembok,
kedua orang itu saling bergebrak kembali, Setelah lewat lima jurus,
manusia bertopeng yang kedua agak terdesak sehingga meloncat
turun.
Manusia bertopeng yang ketiga segera meloncat ke atas tembok,
Namun manusia bertopeng yang pertama sudah melesat sejauh
duapuluh depa, Dayang Cui thian tidak menyia-nyiakan kesempatan
tersebut, Dia juga mengacir dari ruangan depan. Sebab baik
manusia bertopeng yang kedua ataupun yang ketiga, keduanya
masih belum dapat dilawannya.
Chow Ai Giok pada saat ini baru mengetahui kalau Bwe Mei sudah
tidak ada di tempat itu, Karena berpikir ada kemungkinan gadis itu

belum pergi terlalu jauh, Dia segera melesat dan menyusul. Hanya
Chow Ai Giok yang tahu, pembunuh kakeknya adalah manusia
bertopeng yang pertama, Karena dia pernah melihat jelas bentuk
punggung orang tersebut Dia juga tahu kalau manusia bertopeng
yang datang belakangan adalah seorang perempuan, sedangkan
manusia bertopeng kedua, dia masih belum dapat menerkanya.
Kiau Bu Suang juga tidak berani berdiam di tempat itu, Dia segera
melesat dan pergi, hanya tinggal kedua manusia bertopeng yang
saling menganggukkan kepala, Mereka meninggalkan rumah itu
bersama-sama. Sesampai di luar pedesaan barulah keduanya
menghentikan langkah.
Yang laki-laki adalah Kwe Po Giok. sedangkan yang perempuan
tentunya Lian lian, Lian lian yang mengumpulkan para jago untuk
menghadapi manusia bertopeng yang pertama, sedangkan
kedatangan Kwe Po Giok adalah untuk mengukur sampai di mana
kungfunya. Dia tidak mengandalkan orang banyak untuk
mengeroyok manusia bertopeng yang pertama, jalan pikirannya
berbeda dengan Lian lian.
Tadinya Lian lian bermaksud memakai tenaga Kiau Bu Suang, Kwe
Po Giok dan dirinya sendiri untuk membasmi manusia bertopeng
tersebut Ternyata orang itu benar-benar licik.
"Kwe siaute.... Maling ini sungguh banyak akal," katanya.
"Tidak salah, Kalau dia tidak banyak akal, kau juga tidak akan
mencari diriku untuk bekerja sama," sahut Kwe Po Giok.
"Kiam hoat Kwe siaute ternyata sangat tinggi, Tidak kalah dengan
manusia bertopeng itu," kata Lian lian dengan maksud memancing.
"Kau pandang diriku terlalu tinggi, Di-bandingkan dengan maling
tua itu, aku masih kalah setingkat," sahut Kwe Po Giok.
"Benar-benar masih kalah setingkat?" tanya Lian lian dengan
pandangan menyelidik.

"Ada bedak masa tidak dipupurkan ke muka sendiri?" sahut Kwe
Po Giok.
"lnti sari pedang Kwe siaute, aku dengar berasal dari Tang hay sin
sian. Apakah benar?" tanya Lian lian kembali.
"Tidak salah!" sahut Kwe Po Giok, "llmu pedang Siau kiong cu
pasti tidak di bawahmu," kata Lian lian.
"Dia tidak bisa ilmu silat," sahut Kwe Po Giok.
"Kau terlalu merendahkan diri," kata Lian lian tidak percaya.
"Dia benar-benar tidak bisa ilmu silat, Untuk apa menutupi di
depan orang sendiri?" sahut Kwe Po Giok serius.
"Siaute.... Harap menunggu aku di luar kota, dekat rumah makan
Thiang siang lau, Kita rundingkan cara membasmi maling tua itu,"
kata Lian lian.
Alis mata Kwe Po Giok berkerut
"Mengapa toaci tidak bersama-sama ke rumah See Kong Bo Hun
saja?" tanyanya.
"Aku tidak boleh menyita waktumu terlalu banyak, Lebih baik
siaute segera menuju Thian siang lau dan menungguku Aku harus
menyelesaikan sedikit urusan baru kesana," sahut Lian lian.
Kwe Po Giok pergi ke Thian siang lau, Karena hari belum terang,
rumah makan itu masih belum buka, Dia mengetuk sampai lama,
Seorang pelayan menyembuhkan kepala sambil berbangkis.
"Khek kuan... Apakah tidak terlalu pagi?" tanyanya dengan mata
mengantuk.
"Siauji (pelayan) apakah ada seorang tamu perempuan yang
sedang menanti orang?" Kwe Po Giok langsung menyerbunya
dengan berbagai pertanyaan.

"Tamu perempuan?" pelayan itu tampaknya tidak sabar, "Mana
ada tamu perempuan yang datang sepagi ini?"
"Mungkin dia ada di atas loteng sehingga kau tidak
mengetahuinya," kata Kwe Po Giok.
"Khek kuan... Siaute dari tadi tidur di atas, kalau ada tamu
perempuan yang sedang menanti kedatangan seseorang, masa
siaute tidak tahu?" sahut pelayan itu.
Perasaan Kwe Po Giok menjadi tidak enak, Meskipun dia seorang
sin tong, namun pengalaman dunia kangouw masih terlalu cetek,
sedangkan seseorang yang selalu membanggakan dirinya sin tong
justru lebih mudah diancam bahaya, Tiba-tiba dia membalikkan
tubuh dan lari. Bahkan lari dengan kekuatan pemih, Dia ingin segera
kembali ke rumah See Kong Bo Hun.
Karena dia baru sadar bahwa dirinya baru pertama kali berkenalan
dengan Lian lian, Namun dia sudah bersedia bekerja sama
dengannya, pandangannya terhadap perempuan itu tertutup oleh
penampilannya yang anggun.
Percaya terhadap seseorang harus jelas latar belakangnya dan
tujuannya dan curiga terhadap seseorang pun harus dengan bukti
yang kuat dan kenyataan, Kwe Po Giok baru sadar bahwa kata-kata
tersebut sama sekali tidak salah.
Namun manusia terlahir memang banyak peraturannya, Kadangkadang
kita merasa terkungkung oleh segala macam adat istiadat
ataupun pandangan yang kolot dari orang yang lebih tua. Meskipun
nasehat mereka biasanya tepat.
Tidak boleh menilai seseorang dari pandangan sendiri jangan
mendengar kata-kata orang sebelum membuktikannya sendiri
jangan membiarkan persoalan kecil menjadi besar, jangan mudah
terpengaruh oleh penampilan luar seseorang, Apakah kesadaran
Kwe Po Giok saat ini masih belum terlambat?

Kalau kita terlalu menuruti nasehat di atas, apakah benar-benar
tidak ada bahaya lagi yang mengancam kita? Hanya Thian yang bisa
menjawab teka teki ini!
Jarak tigapuluh li ditempuh lebih cepat dua kali lipat dari biasanya.
Pada saat seperti ini, seharusnya Siau kiong cu sudah terjaga dari
tidur. Setelah membasuh muka, dia akan menantinya untuk sarapan
pagi di ruangan tengah.
Sampai para pelayan membersihkan semua piring mangkok,
mereka masih betah mengobrol terus, Setelah cukup puas, baru
mereka menuju ke ruang belakang untuk meneruskan pelajaran
pedang dari rangkaian bunga.
Karena hati Kwe Po Giok sedang tegang, dia tidak ingat lagi untuk
masuk dari pintu depan. Dia melompati tembok pekarangan yang
tinggi dan melesat ke dalam ruangan tengah di mana mereka
bertemu setiap pagi.
Di dalam ruangan itu tidak ada orang. Di dalam rumah pun tidak
terlihat bayangan Siau kiong cu. Dia segera bertanya pada para
pelayan, namun mereka semua menjawab tidak tahu. Dia menuju ke
ruang dapur. Seorang juru masak mengatakan bahwa tadi sebelum
hari terang ada seorang perempuan yang datang dan mengajak Siau
kiong cu pergi, Mereka meloncati tembok depan lalu tidak terlihat
lagi.
Mendengar bahwa seorang perempuan yang mengajak Siau kiong
cu meloncati tembok dan pergi dari situ, Kwe Po Giok segera dapat
menduga siapa orangnya, karena setidaknya dia adalah seorang sih
tong. Dia segera menanyakan arah yang diambil kedua orang itu dan
menyusul secepatnya.
Siau kiong cu adalah in jin (penolong) nya. juga tempat
mencurahkan perhatian, Namun dia masih belum berhasil
menyandak kedua orang itu. Tentu saja, mungkin perempuan itu
adalah dayang Cui thian atau Chow Ai Giok.

Tetapi kalau dipikir secara mendalam tentang pertanyaan Lian lian
mengenai ilmu silat yang dimiliki Siau kiong cu, rasanya tidak
diragukan lagi siapa yang membawanya pergi.
Ketika Siau kiong cu masih berada di sampingnya, Kwe Po Giok
tidak pernah berpikir macam-macam, Toh, akhirnya mereka akan
menjadi suami istri. Gadis itu tidak akan terjatuh dalam pelukan lakilaki
lain.
Setelah kehilangannya, dia baru merasakan bahwa hidupnya tidak
sempurna lagi. Bagaikan ada sesuatu yang penting hilang dari
dirinya.
Sebelumnya, Siau kiong cu akan mengingatkan kalau bajunya
sudah harus diganti, kaos kakinya sudah harus dicuci, dan kapan
waktunya untuk pergi tidur. sekarang gadis itu telah tiada di
sampingnya. Kehidupannya semakin kacau melebihi sebelum dia
bertemu dengan Siau kiong cu.
-oooo0oooo-
Bagian Tujuh belas
Di ruangan besar keluarga Fang. Fang Tiong Seng duduk di depan
pintu, Mo Put Chi dan Sun Put Ce berdiri di kedua sisinya, Langit
mendung, namun udara terasa pengap. Seakan sebentar lagi akan
turun hujan. Dan hati setiap orang pun diselimuti awan gelap.
"Apakah kalian pernah melihat dayang Cui thian akhir-akhir ini?"
tanya Fang Tiong Seng,
"Tidak!" sahut kedua muridnya serentak, "Apa yang harus kalian
lakukan bila bertemu dengan dia?" tanya Fang Tiong Seng dengan
pandangan menyelidik.
"Desak sampai mati!" sahut Mo Put Chi dengan suara nyaring.
"Put Ce. Bagaimana dengan engkau?" tanya Fang Tiong Seng
kembali.

"Pertama, bujuk dia agar pulang kemari. Kalau dia menolak, teecu
akan berusaha untuk meringkusnya. Kalau gagal juga baru desak
sampai mati," sahut Sun Put Ce. Fang Tiong Seng menganggukkan
kepalanya. Wajah Mo Put Chi merah padam, bukan karena suhu
membedakannya atau sengaja memandang rendah kepadanya.
"Apa yang kalian lakukan bila bertemu dengan Kwe Po Giok
ataupun Siau kiong cu?" tanya Fang Tiong Seng. Kali ini Mo Put Chi
tidak berani menjawab.
"Harap suhu memberi perintah," sahut Sun Put Ce.
"Selekasnya melaporkan kepada Suhu," kata Fang Tiong Seng.
"Masih ada beberapa orang yang diinginkan suhu...." sahut Sun
Put Ce. "Misalnya Kiau Bu Suang dan Lian lian."
"Orang-orang ini benar-benar tidak tahu diri, Kalau bukan
melupakan budi besar, tentu sok jago, Mereka masih berani
berkecimpung di kangouw seperti seorang tokoh terkemuka," kata
Mo Put Chi.
Sun Put Ce memberi isyarat dengan kerlingan mata agar dia
jangan bicara terus, namun Mo Put Chi tidak memperhatikan.
Fang Tiong Seng tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Sun Put
Ce tahu bahwa bila gurunya tidak menunjukkan perasaan apa-apa
bukan berarti otaknya tidak sedang memikir.
"Put Ce!" panggil Fang Tiong Seng.
"Teecu ada di sini," sahutnya.
"Di atas kapal dewa.... Bukankah kau tinggal bersama Kwe Po
Giok?" tanya Fang Tiong Seng.
"Tidak...." sahut Sun Put Ce.

"Mengapa tidak tinggal bersama?" tanya Fang Tiong Seng
kembali.
"Karena Siau kiong cu menganggapnya sebagai tamu kehormatan,
dia diberi sebuah kabin yang mewah. Teecu tinggal bersama para
pelayan," sahut Sun Put Ce.
"Oleh karena itu, apa yang dibicarakan oleh Tang hay sin sian
kepadanya sama sekali tidak kau ketahui?" tanya Fang Tiong Seng.
"Betul," sahut Sun Put Ce tenang.
"Apa yang dibicarakan Siau kiong cu dengannya juga tidak kau
dengar?" tanya Tionggoan taihiap itu kembali.
"Betul," sahut Sun Put Ce.
Fang Tiong Seng terdiam untuk beberapa saat, Kemudian terlihat
dia menarik nafas panjang. wajahnya berubah kelam.
"Panca warna mempunyai kelebihan, Namun, tetap tidak
membuktikan bahwa hitam dan putih tidak mempunyai kelebihan,"
katanya.
Mo Put Chi tidak mengerti.
Sun Put Ce seperti mengerti, seperti juga tidak, Siapa pun tidak
dapat menebak isi hatinya. Dia percaya, hanya orang yang telah
kehilangan harga diri baru dapat mengucapkan kata-kata seperti itu.
Chow Ai Giok tidak berhasil menyandak Bwe Mei malam itu,
namun dia berhasil mengejar dayang Cui thian.
Dayang Cui thian sadar bahwa keadaan dirinya tidak berbeda
dengan Cu pat kai (siluman babi) yang sedang bercermin, luar dalam
pun tidak mirip dengan seorang manusia. Siau kiong cu tidak
mungkin memaafkan dia, pasti menganggapnya sebagai musuh
besar.

Fang Tiong Seng lebih-lebih tidak akan memaafkan dirinya,
karena dia tidak setia terhadap laki-laki itu, sedangkan Kiau Bu
Suang juga tidak akan benar-benar memaafkan dirinya, Sebab,
meskipun dia turun tangan membantunya, namun kentara sekali
bahwa dia sedang bersandiwara.
Manusia selicik dirinya pun, akan mendapat hari naas seperti
sekarang, Namun, kebenciannya terhadap tindak tanduk Chow Ai
Giok sudah merasuk ke dalam tulang sumsum, Dia tidak tahu siapa
yang memerintah Chow Ai Giok untuk memancingnya ke tempat itu.
Tetapi dia sadar bahwa itu adalah suatu siasat yang keji, Di satu
pihak, orang itu ingin membuktikan bahwa dia ada hubungan
dengan Kiau Bu Suang, dan di satu pihak lagi, orang itu ingin Fang
Tiong Seng dikeroyok oleh beberapa jago sekaligus. Seperti ingin
mengandalkan kekuatan beberapa orang untuk membasmi Fang
Tiong Seng. Tentu saja sejak semula dia sudah tahu bahwa manusia
bertopeng yang pertama adalah Fang Tiong Seng, Meskipun dia
tidak tahu pasti sampai di mana tingginya ilmu Fang Tiong Seng,
namun dia yakin dengan mengandalkan Kiau Bu Suang dan Lian lian
saja, masih bukan tandingannya.
"Chow Kouwnio, kau sedang mengejar diriku?" tanya dayang Cui
thian,
"Bukan.,, aku bukan mengejar dirimu," sahut Chow Ai Giok.
"Kau sedang mengejar Bwe Mei?" tanya dayang Cui thian kembali.
"Betul," sahut Chow Ai Giok.
"Tampaknya kita berjodoh," kata dayang Cui thian.
"Berjodoh?" tanya Chow Ai Giok kebingungan.
"Betul. Kalau tidak, bagaimana kau bisa mengundang aku
menonton pertunjukkan sebagus itu? Siapa yang menyuruhmu
melakukannya?" bentak dayang Cui thian.

"Aku mempunyai kesulitan tersendiri untuk mengatakannya,"
sahut Chow Ai Giok.
"Perempuan murahan! Apakah kau tidak merasa kalau
tindakanmu itu keterlaluan?" tanya dayang Cui thian dengan mata
mendelik.
Chow Ai Giok tertawa dingin.
"Dayang Cui thian! Kalau aku berani mengundangmu berarti aku
tidak takut kepadamu!" bentaknya.
Dayang Cui thian benar-benar merasa kalau tahun itu dia sangat
sial, Sampai seorang budak cilik saja berani menginjak ke atas
kepalanya, Dia memperhatikan Chow Ai Giok dengan seksama.
Cucu perempuan Hiat Eng memang tidak boleh dipandang ringan,
Hanya saja dia mempunyai keinginan untuk menguji, Tentu saja
sebelum menguji, lebih baik membujuknya terlebih dahulu.
"Budak cilik.... Aku tahu kau adalah cucu perempuan Hiat Eng,"
katanya.
"Apakah kau kira aku ini palsu?" tanya Chow Ai Giok sinis.
"Tentu saja tidak. Namun bukankah Hiat Eng juga rubuh di
tangan orang lain?" sindir dayang Cui thian.
"Aku akan mencari pembunuhnya." sahut Chow Ai Giok.
"Kalau aku tahu siapa pembunuhnya dan membantumu
membalaskan dendam. Apakah kau mau bekerja sama denganku?"
tanya dayang Cui thian.
"Bekerja sama bagaimana?" Chow Ai Giok balik bertanya.
"Mengail di air keruh," sahut dayang Cui thian.

"Apakah kau tahu siapa pembunuhnya?" tanya Chow Ai Giok
kurang percaya.
"Aku sama sekali tidak berbohong," sahut dayang Cui thian.
"Boleh dipertimbangkan. Siapa pembunuhnya?" tanya Chow Ai
Giok.
"Tempat ini bukan daerah yang tepat untuk berbicara, Mari, kita
cari tempat lain yang lebih sesuai," sahut dayang Cui thian.
"Bagaimana aku tahu kalau kau tidak bermaksud buruk?" tanya
Chow Ai Giok dengan pandangan menyelidik.
"Budak cilik.,. keadaanmu sekarang sudah terancam bahaya,
Orang yang memperalatmu telah berhasil menjalankan rencananya,
Apakah dia akan membiarkan kau hidup terus? jangan kata orang
lain, manusia bertopeng itu saja tidak akan melepaskan dirimu!" kata
dayang Cui thian.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Chow Ai Giok.
"Kalau apa yang kuketahui tidak melebihimu, apakah aku bisa
berkecimpung dalam dunia kangouw sampai saat ini?" tanya dayang
Cui thian sinis.
"Tampaknya kau mengenal manusia bertopeng yang pertama itu,"
kata Chow Ai Giok.
"Tentu saja," sahut dayang Cui thian.
"Rasanya dia merupakan orang yang ilmunya paling tinggi di
antara ketiga manusia bertopeng tadi," kata Chow Ai Giok sambil
mengingat-ingat.
"Jalan! Budak, kita bekerja sama menghindari bahaya yang
mengancam diri kita, lagipula kita bisa mencari akal membalaskan
dendammu," sahut dayang Cui thian.

Chow Ai Giok tidak begitu memperhatikan kata-kata dayang Cui
thian, Dia diam saja ketika ditarik oleh perempuan itu. otaknya
dipenuhi bayangan siapa yang membunuh kakeknya.
-oooo0oooo-
Kiau Bu Suang sedang minum seorang diri.
Minum arak tanpa batas paling mudah mabuk. Dia sudah mabuk
kira-kira tujuh bagian Hal ini disebabkan karena tiba-tiba dia merasa
dirinya bukan tokoh yang cukup penting, Bayangannya tentang
jaman keemasannya yang hampir tiba terasa begitu menggelikan.
Manusia dalam keadaan seperti dirinya, hanya akan menimbulkan
dua macam reaksi. Yang pertama adalah memaki-maki dirinya
sendiri, yang kedua tentu menertawakan. Dan tertawa itu penuh
mengandung cemoohan ataupun hinaan.
Kiau Bu Suang tidak tertawa terbahak-bahak. Dia hanya terkekehkekeh,
Dia meludahi bayangannya sendiri di atas tanah, Pada saat
itu, tampak sebuah bayangan berdiri di depan pintu, Meskipun
mabuk, kesadarannya masih ada.
"Siapa?" bentaknya.
"Aku, Bu Suang!" sahut sebuah suara yang lembut.
Dalam keadaan terpukul seperti saat itu, dapat mendengar suara
yang demikian merdu, rasanya tekanan hatinya lebih ringan
sebagian
"Apakah Lian toa moicu?" tanya Kiau Bu Suang.
"Betul." Dia duduk di hadapan laki-laki itu, Aroma harum yang
segar segera menerpa hidung Kiau Bu Suan.,
"Lian toa moicu, aku merasa bersalah terhadapmu," kata Kiau Bu
Suang.

"Bersalah terhadap diriku? Mengapa?" tanya Lian lian dengan
mata mengerling genit.
"Aku mengacaukan persoalan," sahut Kiau Bu Suang sendu.
"Apa yang terjadi?" tanya Lian lian seakan tidak mengerti.
"Dayang Cui thian adalah seorang pengkhianat. Chow Ai Giok
pembawa sial, perempuan semuanya hanya membawa kesialan!"
teriak Kiau Bu Suang.
Lian lian tertawa sendu.
"Apakah aku juga termasuk?" tanyanya.
"Tidak... tidak! Lian toa moicu, Aku bicara tanpa berpikir lagi. Kau
merupakan orang satu-satunya yang dapat kupercayai, Bagaimana
kalau kita minum secawan," ajak Kiau Bu Suang.
Lian lian tidak menunjukkan kemarahan.
"Aku memang ingin minum sepuasnya denganmu," sahut
perempuan itu. Selesai berkata, dia lalu mengangkat kendi arak dan
menuang untuk dirinya sendiri lebih dahulu. Kemudian dia
mengambil cawan dari tangan Kiau Bu Suang dan mengisinya juga.
"Mari.... Kita keringkan cawan ini," ajaknya.
Dia meminum arak di cawannya sampai kering, Kiau Bu Suang
mengikuti tindakannya. Seumur hidupnya, Kiau Bu Suang paling
gemar bercinta dengan kaum perempuan meskipun dirinya telah
kena dikhianati berkali-kali, tapi dia masih tidak jera juga.
Persis seperti seekor tikus yang pelupa, Yang diingatnya hanya di
mana ada makanan saja, sedangkan perangkap yang dipasang
untuk menjebaknya sama sekali tidak dihiraukan.
"Lian toa moicu. Andaikan aku dapat bersamamu selamanya, Aku
berjanji untuk mendengarkan setiap perkataanmu...." kata Kiau Bu
Suang dengan nada bergetar.

"Benarkah kau begitu menyukaiku?" tanya Lian lian.
"Me... mengapa? Apakah sampai saat ini kau masih belum
percaya?" Kiau Bu Suang tampaknya takut kehilangan sekali lagi.
Lian lian mengangkat cawannya tinggi-tinggi.
"Mari... keringkan arak ini!" katanya.
Entah berapa cawan arak telah masuk ke dalam perut Kiau Bu
Suang, Memang kekuatannya minum arak tidak seberapa hebat
sekarang dia sudah rebah di atas meja. Tawa Lian lian sungguh
memikat.
Selama ini, dia paling yakin dengan tawanya sendiri, Tiada
seorang laki-laki pun yang sanggup menolaknya, Kiau Bu Suang saat
ini tidak ada harganya sama sekali, Meskipun dia pernah membunuh
Bok lang kun dan Hong be, bahkan pernah menggetarkan dunia
kangouw untuk sesaat Namun seorang enghiong harus dihadapi
dengan cara yang meyakinkan. Dia berjalan ke hadapan Kiau Bu
Suang. Dia bermaksud membawanya pergi.
Tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat, di hadapannya telah
berdiri seseorang. Orang yang datang ternyata adalah Mo Put Chi.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Lian lian.
"Kau sendiri? Apa yang ingin kau lakukan?" Mo Put Chi bertanya.
"Apa yang ingin kulakukan, bukankah telah kau saksikan sendiri?"
sahut Lian lian.
"Apa yang ingin kau lakukan, sama dengan yang ingin kulakukan,"
kata Mo Put Chi.
"Kau menginginkan Kiau Bu Suang?" tanya Lian lian heran.
"Tepat!" sahut Mo Put Chi.

"Sayang sekali... aku juga menginginkan dia," kata Lian lian
tersenyum.
"Siapa yang bisa membawa dia, hanya dapat dibuktikan dengan
kepandaian," sahut Mo Put Chi.
"Tranggg!!!"
Pedangnya dihunus, Lian lian tertawa melihat sikap laki-laki itu.
"Tidak heran suhumu tidak menyukaimu," katanya.
"Bagaimana kau bisa tahu?" Kalau Sun Put Ce yang mendengar
perkataan itu, pasti ia sudah dapat menebak hubungan mereka.
"Tidak sulit untuk menduganya," kata Lian lian.
"Apakah kau mengenal suhuku?" tanya Mo Put Chi. Lian lian
tersenyum tanpa menjawab.
Mo Put Chi mengulurkan pedangnya. Serrr!!! Serangan itu cukup
mengejutkan. Lian lian berkelit ke kiri.
"Mengapa kau menyerang tanpa aturan?" tanyanya.
"Aku, Mo Put Chi selamanya memang begitu, Apakah aku harus
merasa sungkan terhadapmu?" bentak Mo Put Chi.
Lian lian sama sekali tidak menghunus pedangnya, Dia bertarung
dengan setengah hati. Mo Put Chi menyerangnya berkali-kali.
Namun tidak sekali pun sasarannya mengenai tubuh Lian lian.
Tiba-tiba Lian lian menghunus pedang-nya, Gerakannya sungguh
cepat. Mo Put Chi tidak sempat menghindar Dia langsung rubuh ke
tanah, Lian lian segera mengangkat tubuh Kiau Bu Suang. Dia
melesat melalui jendela, Kiau Bu Suang sama sekali bukan mabuk.
Dia yang menaruh obat bius di arak laki-laki tersebut.
-oooo0ooooKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Ketika Mo Put Chi tersadar Dia berada di atas tempat tidur, Sun
Put Ce berdiri di sampingnya, terhadap sutenya ini, dia tidak berani
memandang rendah lagi. "Sute.... Apa yang terjadi?" tanyanya, "Aku
baru ingin bertanya pada Suheng, Mengapa bisa tertotok jalan darah
daa rebah di atas tanah?"
Mo Put Chi segera teringat kembali Dia menarik nafas panjang.
"Suheng menarik nafas lagi," kata Sun Put Ce.
"Setiap kali melihat engkau, aku pasti menarik nafas," sahut Mo
Put Chi.
"Siaute selalu membuat Suheng marah," kata Sun Put Ce sedih.
"Tidak... tidak! Bukan begitu persoalannya," kata Mo Put Chi
sambil mengibaskan tangannya.
"Lalu apa?" tanya Sun Put Ce.
"Setiap melihat engkau, aku selalu teringat kejadian dulu ketika
bersama-sama Ji sute memandang rendah dirimu, Mengapa kita dulu
tidak membersihkan mata sendiri?" sahut Mo Put Chi sendu.
"Suheng.... Maukah kalau tidak berkata begitu lagi? Aku benarbenar
tidak pandai mengambil hati kalian," kata Sun Put Ce salah
tingkah.
"Tetapi... kau memang sangat pintar," sahut Mo Put Chi.
"Suheng.... sebetulnya apa yang telah terjadi?" tanya Sun Put Ce
mengalihkan pembicaraan ke pokok semula.
Mo Put Chi menceritakan semua yang dialaminya barusan, lama
sekali Sun Put Ce tidak menunjukkan reaksi apa-apa.
Mo Put Chi menatapnya dengan bola mata tertuju lurus, Dia
benar-benar ingin meraba isi hati Sun Put Ce. Dia ingin belajar dari

sutenya itu. Sebab, orang yang dipuji sang Suhu, tentu tidak salah
lagi.
"Suheng.,., Mari kita pulang," kata Sun Put Ce akhirnya.
"Sute.... otakmu lebih tajam dariku, Coba kau pikirkan, mengapa
Lian lian ingin membawa Kiau Bu Suang? Kemana tujuannya?" tanya
Mo Put Chi.
"Aku juga tidak tahu," sahut Sun Put Ce.
"Sute, orang yang pintar paling suka menyebutkan kata-kata itu.
Orang yang bodoh juga paling membencinya, Kau pasti tahu," kata
Mo Put Chi yakin.
Sebetulnya Sun Put Ce sudah mempunyai dugaan sebanyak
sembilan bagian, Namun ada beberapa persoalan yang tidak leluasa
dikatakannya kepada sang suheng.
"Sute.... Kepulangan kita kali ini, pasti akan mendapat dampratan
lagi," kata Mo Put Chi yang melihat sutenya diam saja.
"Suheng... kali ini mungkin tidak," sahut Sun Put Ce.
"Benar-benar tidak?" tanya Mo Put Chi dengan mata terbelalak.
Sun Put Ce menganggukkan kepalanya dengan yakin. Fang Tiong
Seng yang mendapat 1aporan, ternyata tidak memarahi mereka, Mo
Put Chi semakin kagum terhadap Sun Put Ce. Dia seakan ingin
berteriak karena terlalu senang, Dia menganggap dirinya tidak
pantas menjadi suheng Sun Put Ce.
-oooo0oooo-
Sun Put Ce dan Mo Put Chi kembali minum arak bersama-sama di
sebuah rumah makan, Sekarang, asalkan kedua orang itu keluar
bersama, selamanya Sun Put Ce tidak dibiarkan mengeluarkan uang,
Mo Put Chi menganggap bahwa dengan mentraktir sutenya, hatinya
terasa bangga juga.

Kedua orang itu minum sembari melongokkan kepala keluar
jendela melihat pemandangan dijalanan, Lampu-lampu mulai
dinyalakan, Suasana menjadi ramai. Siang hari panas, malam hari
udara sejuk. Pedagang-pedagang kecil entah datang dari mana,
tahu-tahu sudah bermunculan.
"Sute.... Apakah kau pernah tidur bersama seorang perempuan?"
tanya Mo Put Chi tanpa juntrungan.
Tiba-tiba mendapat pertanyaan seperti itu, Sun Put Ce menjadi
termangu-mangu, juga hanya Mo Put Chi yang dapat mengeluarkan
pertanyaan semacam itu. Namun Sun Put Ce tidak menyalahkan dia.
Hati orang ini terbuka dan lugu, Dia tidak suka berbelit-belit Apa
salahnya kalau dia mengajukan pertanyaan seperti itu?
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Aku tahu, kau bukan sejenis manusia yang gampang tergelincir
dalam nafsu," kata Mo Put Chi.
Sun Put Ce tertawa kecil.
"Sute. Apakah kau bisa meramal? Hari itu kau mengatakan bahwa
kita tidak akan mendapat makian sesampai di rumah, ternyata apa
yang kau katakan benar-benar terjadi," kata Mo Put Chi kembali.
Sun Put Ce tetap tertawa tanpa menjawab pertanyaan itu.
Mo Put Chi juga tidak marah meskipun tidak mendapat sahutan
dari sutenya, sekarang ini, rasa hormat kepada Sun Put Ce sudah
melebihi terhadap suhunya, Pada saat itu, Mo Put Chi tiba-tiba
menunjuk ke jalanan.
"Sute, coba kau tebak. Orang itu laki-laki atau perempuan?"
tanyanya.
"Yang mana?"
"Itu... yang mengenakan pakaian ungu dengan stelan celana
panjang, Tata rambutnya tidak dapat menjelaskan dirinya

perempuan atau laki-laki. Tangannya dimasukkan ke dalam saku
pula," kata Mo Put Chi menunjuk sekali lagi
Perhatian Sun Put Ce terpaku pada orang itu seketika, Sampai
bayangan orang itu tidak terlihat lagi, Sun Put Ce langsung berdiri
dan menghambur ke bawah.
Mo Put Chi tidak mau lepas dari pandangan Sun Put Ce, dia juga
tidak membiarkan sutenya terlepas dari pandangannya. Dia
melempar mangkok nasi di tangannya dan ikut menghambur ke
bawah.
Sun Put Ce tidak berani memastikan siapa orang itu, dia lebihlebih
tidak berani menguatkan dugaannya. Tetapi karena telah
sekian lama tidak bertemu, Sun Put Ce tetap mengharapkan kalau
orang itu adalah Bwe Mei. Namun orang yang dikejarnya tidak
kelihatan lagi.
Sun Put Ce panik sekali, Dia yakin, seandainya orang itu adalah
Bwe Mei, pasti belum melihat dirinya. Orang itu pasti juga belum
terlalu jauh, Dia berbelok ke sebuah gang kecil, tiba-tiba telinganya
menangkap suara senandung seseorang. Siapa pun yang
mendengarnya segera akan menangkap kata-katanya dengan jelas.
"Khe lim suat... yau thun chau.... Mu yang pak hai pi,., (Haus
minum salju, lapar makan rumput, gembala domba di tepi lautan
utara)."
Syair lagunya memang menyedihkan, orang yang menyanyikan
lagu ini pasti sedang dilanda duka yang mendalam, Lang-kah kaki
Sun Put Ce terhenti.
Pasti rumah yang satu ini, nomor tiga dari ujung gang. Di sana
terdapat sebuah pendopo kecil. Suara senandung itu berkumandang
dari sana. Lagipula, meskipun telah berlalu berapa tahun, dia tetap
akan mengenal suara ini, suara Bwe Mei! Sekarang, dia sudah berdiri
di muka pendopo kecil tersebut.

Orang yang menyenandungkan lagu itu sudah berhenti Dia duduk
di hadapan sebuah lampu tinggi. Dia menatap ke depan dengan
pandangan kosong. Air mata menetes membasahi pipinya.
Lengan baju sebelah kanannya berkibaran, Bagaikan telah
kehilangan sebelah tangan, Kenyataannya memang demikian,
Dandanannya dibuat seperti seorang laki-laki. Sekumpulan rasa pilu
yang susah diuraikan memenuhi perasaannya, Sun Put Ce, ingin
memanggil namanya, namun seperti ada sesuatu yang menyumbat
tenggorokannya, seseorang yang telah mengalami segala kegetiran,
yang merasa kehilangan kepercayaan terhadap kehidupan ini,
namun mau tidak mau harus tetap melanjutkan kehidupan, pasti
bisa menyanyikan lagu sesedih itu. Mengalirkan air mata sederas itu.
Cia tang si wi liau ho co....
Ai ho ciu put nen put cia tang si....
(Makan sesuatu untuk melanjutkan hidup, mau hidup tidak dapat
tidak makan apa-apa).
Sun Put Ce adalah seorang laki-laki keras hati, Hal ini tidak dapat
diragukan lagi, Dia tidak ingat berapa kali dia pernah mengalirkan air
mata selama hidupnya. Bahkan ketika Ji suhengnya meninggal, dia
juga tidak menangis. Karena dalam hati, dia telah bersumpah untuk
membalaskan dendamnya.
Namun, keadaan seperti malam ini, bukan persoalan menyangkut
balas dendam. Dia merasa air mata telah memenuhi kelopaknya,
tidak dapat tidak harus dikeluarkan. Dia melangkah setindak demi
setindak menghampiri punggungnya, Sun Put Ce tahu, ketika gadis
itu membalikkan tubuh dan mendapatkan dirinya, perasaannya pasti
akan hancur.
Tangan Sun Put Ce dengan lembut menyentuh pundaknya. Tibatiba
Bwe Mei menghambur ke depan sejauh dua langkah.
Kehidupan seakan menjadi beban hatinya, Sebelum kematian
menjelang, dia tetap harus waspada terhadap segala kemungkinan
Karena dirinya masih suci bersih, Sedang-kan seorang laki-laki

hidung belang, tidak pernah perduli apakah perempuan yang hendak
dinodainya cacat atau tidak!
"Bwe Mei... Bwe Mei.... Mengapa kau..." kata-kata selanjutnya
bagai tersekat di tenggorokan.
Bwe Mei telah melihatnya. Semua kebencian, kekesalan,
kepedihan dan perasaan terharu begitu melihat orang yang
dikasihinya berbaur menjadi satu, Dia mendekap muka dengan
kedua telapak tangannya dan menangis pilu.
Dia mengira orang yang kehilangan sebelah tangannya laksana
seekor makhluk aneh, Dia mengira, deraian air mata Sun Put Ce
adalah karena melihat keanehan dirinya, Meskipun rasa kasihan
yang ada dalam dada laki-laki itu, dia tetap tidak mau menerimanya.
"Jangan... kau pergi.... Aku tidak ingin melihatmu... aku tidak
ingin bertemu dengan siapa pun!" teriaknya pilu.
Sebagian tetesan lilin telah terjatuh ke tanah, Rumah itu kacau
balau keadaannya. pakaian Bwe Mei pun kotor sekali, Seorang
manusia yang sempurna, hanya karena kehilangan sebelah
lengannya, tidak akan memperdulikan segalanya lagi. pakaian kotor
atau bersih, sama sekali tidak menjadi perhatiannya lagi.
"Bwe Mei... katakan! Bwe Mei... berkatalah.... Aku tidak akan
menertawakan dirimu. Aku tidak akan, Kalau kau tidak
mengatakannya kepadaku, tahukah bagaimana pilunya hati ini?"
teriak Sun Put Ce.
Dia merangkul gadis itu. Pertama-tama, Bwe Mei meronta, namun
akhirnya menyelusup ke dalam dada Sun Put Ce dan menangis
menggerung-gerung. Menangis adalah obat yang paling manjur
untuk me legakan hati. Bwe Mei menceritakan semua musibah yang
dialaminya, Sun Put Ce tidak berkata apa-apa. Memang dia kurang
dapat memahami perasaan seorang perempuan Dendam otomatis
harus dibalas, tapi yang paling penting adalah menguatkan hati Bwe
Mei agar dapat tabah menghadapi masa depannya.

Jilid : 13
"Jangan bersedih, Bwe Mei, Kehilangan sebelah lengan bukan
berarti dunia sudah kiamat. Kau harus berani menghadapi kenyataan
untuk maju terus dalam hidup," kata Sun Put Ce menghiburnya.
"Kau tidak usah mengucapkan kata-kata yang menyenangkan
hati. Paling tidak, aku tidak bisa menggunakan tangan sendiri untuk
membalas dendam lagi," sahut Bwe Mei.
"Tidak bisa?" tanya Sun Put Ce.
"Apakah kau mempunyai kesanggupan?" Bwe Mei balik bertanya
kepadanya.
"Bwe Mei..,. Kalau aku hanya memiliki sebuah lengan, maka aku
akan berlatih keras dengan tangan kiri. Sebelum berhasil, aku tidak
akan berhenti," sahut Sun Put Ce.
"Tidak! Kau berdusta! Kau membohongiku! Melatih dengan tangan
kiri, lebih susah daripada melatih dari awal," kata Bwe Mei.
"Tidak, Bwe Mei. Mulai awal berarti sama sekali belum pernah
belajar ilmu silat Kekuatan atau pun pengetahuan masih seperti
selembar kertas putih, sedangkan kehilangan sebuah lengan, hanya
berarti kau tidak dapat menggunakan tangan kanan lagi, sedangkan
tenaga dalam atau pun pengetahuan yang telah kau pupuk selama
ini belum hilang.
Kalau kau mulai berlatih dengan tangan kiri, kau hanya perlu
memindahkan ilmu yang biasa kau pakai di tangan kanan ke tangan
lainnya, Asal kau berlatih dengan sungguh-sungguh, aku yakin
kehebatannya akan melebihi tangan kanan," sahut Sun Put Ce
menjelaskan.
"Aku tidak percaya," kata Bwe Mei.

"Kau pasti percaya... karena di Bulim, jago yang menggunakan
tangan kiri tidak banyak. Sekali ada, selama ini belum terdengar ada
yang dapat menandinginya, seperti para pendekar kita dari zaman
lampau. Yang menggunakan tangan kiri selalu lebih menonjol dari
yang menggunakan tangan kanan," sahut Sun Put Ce.
Bwe Mei tetap menggelengkan kepalanya. Rasa percaya dirinya
benar-benar sudah amblas, Sun Put Ce menghapus air matanya.
Tidak henti-hentinya dia menghibur dan membujuk. Dia bahkan
menjanjikan, bahwa dalam waktu tiga bulan dia akan merubah Bwe
Mei menjadi seorang Kochiu berilmu tinggi. Malah lebih hebat dari
sebelum tangan kanannya terkutung.
"Tiga bulan?" tanya Bwe Mei kurang percaya.
"Betul! Mungkin tidak sampai tiga bulan," sahut Sun Put Ce.
"Sekarang saja kau sendiri tidak termasuk jago kelas satu," kata
Bwe Mei sinis.
"Betul. Sekarang aku memang belum termasuk jago kelas satu,
Tapi kalau aku berlatih bersama-sama denganmu. Tidak lama
kemudian, aku akan berubah menjadi seorang kiam khek yang amat
lihai," sahut Sun Put Ce yakin.
"Aku tetap tidak percaya. Kau hanya bermaksud menghibur
hatiku. Agar makhluk aneh seperti aku ini tidak putus asa dan
mengambil jalan pendek," kata Bwe Mei.
"Kau tidak akan bunuh diri," sahut Sun Put Ce.
"Mengapa kau begitu yakin?" tanya Bwe Mei.
"Bila kau sudah mendengar apa yang akan kukatakan, kau pasti
tidak akan mengambil jalan pendek lagi,"
Sun Put Ce membisikkan beberapa patah perkataan di telinga
gadis itu. Bwe Mei memandangnya dengan heran, Pada saat itu,
sinar harapan mulai terbit di bola matanya.

"Bok lang kun yang memberikannya kepadamu?" tanyanya.
"Betul," sahut Sun Put Ce.
"Diletakkan dalam peti mati?" tanya Bwe Mei kembali.
"Betul. Tadinya aku tidak ingin menggunakannya, Namun aku
merasa bahaya dalam dunia BuIim makin membengkak Lebih
mengerikan daripada zaman Toa Tek To Hun mengadakan
pembunuhan beruntun, Apalagi melihat nasibmu yang begini
malang, Aku telah mengambil keputusan," sahut Sun Put Ce.
Bwe Mei menarik nafas panjang. Dia memeluk Sun Put Ce eraterat.
Sun Put Ce akhirnya mengeluarkan sebuah bumbung bambu dari
balik pakaiannya. Bambu itu licin dan berkilauan Seperti sudah
diolesi minyak untuk mengkilapkan, Di bagian tengah bumbung
bambu itu terukir huruf-huruf kecil seperti butiran beras.
Pertama-tama, mereka menggunakan waktu setengah hari untuk
mendalami sim hoat yang tertera di bambu tersebut. Kemudian Sun
Put Ce menganjurkan agar Bwe Mei berlatih sampai tiga hari
berturut-turut mengikuti ajaran sim hoat itu. Hal itu dimaksudkan
agar Iweekang yang pernah dilatih Bwe Mei berangsur-angsur hilang
dan digantikan dengan sim hoat yang baru.
Untuk mempelajari ilmu ini, konsentrasi harus penuh, Dengan
demikian, Sun Put Ce harus keluar pintu untuk membelikan segala
macam keperluan mereka sehari-hari. Seperti makanan, kayu bakar,
pakaian dan lain-lainnya. Dia juga menasehati Bwe Mei agar jangan
keluar rumah kalau tidak ada keperluan penting.
"Sun toako.... Kapan baru aku bisa menandingi Chow Ai Giok
kalau tiba-tiba bertemu dengannya?" tanya Bwe Mei.
Sun Put Ce merenung sejenak.
"Paling tidak, memerlukan waktu satu setengah bulan," sahutnya,

"Satu setengah bulan benar-benar tidak usah takut lagi
kepadanya?" tanya Bwe Mei dengan wajah penuh harapan, Tadinya
Sun Put Ce mengira gadis itu akan merasa terlalu lama.
"Asalkan kau mau berlatih dengan keras dan tanpa mengenal
lelah. Dalam waktu satu setengah bulan saja, dia tidak bisa berbuat
semena-mena lagi terhadapmu," sahut Sun Put Ce membesarkan
hati gadis itu.
Daerah sekitar Cui goat si kering kerontang. Keadaan itu sangat
berbeda dengan biara-biara Iainnya. Keadaan sepi dan gersang
seperti itu menunjukkan ketidak amanan. Banyak perampok ataupun
begal yang menghuninya, Namun, tampaknya Cui goat si tidak
memperdulikan hal ini.
Di sekeliling biara ini terdapat beberapa batang pohon, Daundaunnya
berguguran Di depan kejauhan ada sebuah gunung,
Pemandangannya tidak dapat dikatakan indah, Di tempat ini
biasanya hanya ada tiga orang, Yang pertama adalah kepala biara,
Toa pei su thay. Dan yang dua lagi adalah murid agamanya, Liau
cing dan Liau yuan. Mereka adalah dua orang nikouw yang masih
muda belia.
Sejak kedatangan Lian lian, biara itu jadi agak ramai, Dua nikouw
muda itu setiap hari menuntut pelajaran ilmu silat dari Lian lian,
Ternyata Lian lian adalah adik seperguruan Toa pei su thay. Tempat
mengurung diri atau bertapa Toa pei su thay saat ini jadi tempat
menyekap Siau kiong cu. Ruangan itu berada di bawah tanah, Sekali
terkurung di dalam, ko chiu yang berilmu setinggi apa pun, jangan
harap dapat membobolnya.
Toa pei su thay tadinya tidak begitu menyetujui tindakan Lian lian,
tapi karena sumoynya sangat keras kepala, akhirnya dia tidak dapat
berbuat apa-apa juga. Toa pei su thay tidak begitu mengetahui
urusan sumoinya sedangkan Lian lian juga tidak banyak bercerita,
Pada saat itu, kembali Lian lian membujuk Siau kiong cu. Dia
membawa serangkum bunga, gunting, vas kembang dan
sebagainya.

"Siau kiong cu, asalkan kau bersedia bekerja sama. Dalam jangka
waktu setengah bulan, aku pasti melepaskanmu," kata perempuan
itu.
"Aku memang sedang bekerja sama denganmu," sahut Siau kiong
cu.
"Kalau begitu, rangkailah bunga agar aku dapat memperhatikan,"
kata Lian lian.
"Bukankah aku sudah merangkai beberapa pot untukmu?" tanya
Siau kong cu.
"Hm.,., Apakah kau kira aku sama sekali tidak mengerti cara
merangkai bunga?" kata Lian lian sinis.
"Apakah caraku merangkai bunga tidak benar? itu adalah cara
yang paling sering digunakan kaum bangsawan," sahut Siau kiong
cu.
"Kurang ajar! Kau terang-terangan sudah tahu apa yang ku
inginkan?" bentak Lian lian kesal.
"Apa yang kau inginkan? Mengapa kau tidak mengatakannya terus
terang?" tanya Siau kiong cu seakan tidak mengerti.
"Dalam rangkaian bungamu, terselip kiam sut dan kiam gi paling
tinggi dari Tang hay sin sian. Apa kau kira aku tidak tahu?" desak
Lian lian.
"Siapa yang mengatakan?" tanya Siau kiong cu.
"Kau jangan berpura-pura lagi. Kalau tidak, bagaimana bocah
yang ilmunya cetek seperti Kwe Po Giok dalam waktu singkat bisa
menjadi seorang jago kelas satu, Aku malah yakin kalau dia belum
mempelajari seluruhnya," kata Lian lian.
"Tidak masuk akal!" sahut Siau kiong cu.

"Apa? Kau masih mau meneruskan sandiwaramu?" bentak Lian
lian.
"Kenyataannya memang tidak demikian, kau mengharap apa
dariku?" tanya Siau kiong cu seraya menarik nafas panjang.
Wajah Lian lian berubah hebat.
""Aku percaya tulangmu tidak seberapa keras, jangan sampai kau
menyesal," katanya dingin.
Siau kiong cu memejamkan matanya.
"Lian toaci,.,, Tadinya aku mengira kau seorang yang bijaksana,"
sahutnya.
"Aku beritahukan kepadamu, apa yang kulakukan adalah demi
kebaikan kaum Bu-lim," kata Lian lian.
"Kalau benar demikian, kita boleh bicara terus terang, Mengapa
harus menahanku seperti ini?" tanya Siau kiong cu.
"Apakah ada gunanya kalau aku bicara terus terang?" kata Lian
lian dengan nada ketus. Siau kiong cu memejamkan matanya
kembali Dia tidak menjawab kata-kata Lian lian.
-oooo0oooo-
Tengah malam....
Lian lian datang kembali, Tadinya Siau kiong cu mengira kalau dia
telah salah melihat Karena Lian lian memakai pakaian laki-Iaki,
bahkan gayanya seperti seorang pemuda hidung belang, Kalau
dalam keadaan biasa, Siau kiong cu pasti akan tertawa terbahakbahak.
Namun sinar mata Lian lian saat ini menunjukkan niat busuk.
"Siau kiong cu, selain caramu merangkai bunga, aku juga suka
terhadap dirimu." kata perempuan berpakaian pria itu.

"Suka apa?" tanya Siau kiong cu tidak mengerti.
Lian lian mengedipkan matanya
"Percaya atau tidak, terserah. Aku selalu suka gadis-gadis muda
seperti dirimu, ketimbang orang laki-Iaki," serunya.
"Banyak perempuan yang mempunyai perasaan sama, Mereka
senang dengan gadis remaja karena cantik dan mempesona," sahut
Siau kiong cu.
"Siau kiong cu kau agaknya tidak mengerti maksudku." Sakut
Lian-lian.
"Apa yang kau maksudkan?" tanya Siau kiong cu bingung.
"Aku senang memeluk gadis remaja kalau tidur," kata Lian lian
sambil mengerling genit.
"Ternyata kau bukan perempuan baik-baik!" sahut Siau kiong cu
marah.
"Tubuh gadis remaja akan menghangatkan kalau tidur bersama
pada musim dingin sedangkan dalam musim panas, terasa
menyegarkan Apa yang tidak baik?" kata Lian lian.
"Kau seorang perempuan yang tidak tahu malu," sahut Siau kiong
cu sambil mendelikkan matanya.
Lian lian tertawa terkekeh kekeh.
"Perempuan yang tidak tahu malu selalu melakukan perbuatan
yang memalukan juga, Oleh sebab itu, kau harus menurut
perintahku/" katanya.
Siau kiong cu terkejut.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanyanya.

"Memperkosa dirimu!" sahut Lian lian tersenyum.
"Puih! perempuan rendah! Sungguh tidak sangka kalau kau dapat
mengeluarkan kata-kata semacam itu," kata Siau kiong cu seraya
meludah ke tanah.
"Bukan hanya mengeluarkan kata-kata-nya saja, Aku bahkan
dapat membuktikannya," sahut Lian lian, Tiba-tiba dia mengangkat
tubuh Siau kiong cu dan masuk ke dalam ruangan batu. Siau kiong
cu meronta-ronta, namun bagaimana pun tenaganya tidak dapat
menaklukkan Lian lian, Akhir-nya dia terkulai lemas.
Lian lian menyeringai lebar, Dia merobek baju Siau kiong cu satu
persatu, Gadis itu memandang dengan mata terbelalak Dia hampir
semaput. Tubuhnya telah telanjang, Kemudian Lian lian melepaskan
pakaiannya sendiri, Dalam waktu sekejap saja dia juga tidak
mengenakan sehelai benang pun.
Siau kiong cu terkejut Dia takut sekali, Sebelum seseorang
melakukan sebuah perbuatan, bagaimana dapat meyakinkan diri
kalau dia itu orang jahat atau orang baik? Dada Lian lian diikat
dengan sehelai selendang, Mungkin agar payudaranya jangan terlalu
menyembul, dengan demikian kesan kelaki-lakiannya akan
berkurang, Apa yang terlebih mengerikan, adalah bagian bawah
tubuhnya, Ternyata dia mempunyai alat kelamin seperti seorang
laki-laki.
Siau kiong cu belum pernah melihat pemandangan seperti itu, Dia
mendongakkan kepalanya ke atas.
"Asalkan manusia, pasti masih mempunyai perasaan kemanusiaan
Lian lian, di manakah, perasaan manusiawimu?" teriaknya marah.
"Siau kiong cu! Aku beritahukan kepadamu Asal tulangmu cukup
keras, aku masih mempunyai beberapa cara yang lebih kejam lagi,"
kata Lian Uan.
Air mata Siau kiong cu tidak terbendung lagi.
"Manusia jahat! Apakah kau seorang laki-laki atau perempuan?"

Tentu saja Lian lian adalah perempuan. Hanya benda yang
bergelantung di bagian bawah tubuhnya terlihat begitu persis seperti
yang asli, Lian lian tertawa terbahak-bahak melihat keadaan gadis
itu.
"Aku lebih banyak hormon laki-laki daripada perempuannya,
Bagaimana? Apakah kau mau mengabulkan permintaanku?"
tanyanya.
Siau kiong cu menggelengkan kepala keras-keras.
"Aku benar-benar tidak tahu apa yang kau maksudkan," Dia
menganggap kematiannya bukan apa-apa. sedangkan ilmu
peninggalan Tang hay sin sian tidak boleh terjatuh ke tangan
perempuan jahat ini.
Kalau siluman ini telah berhasil menguasai ilmu tersebut, bukan
saja dia tidak mungkin membalaskan dendam ayahnya, bahkan akan
menyebar racun bagi kaum Bulim.
Lian lian berniat memeluknya. Tangannya sudah terulur.
"Jangan mendekat Kalau kau maju setindak lagi, aku akan bunuh
diri!" teriak Siau kiong cu.
Lian lian tidak jadi merangkul Dia takut kalau Siau kiong cu benarbenar
nekat dan bunuh diri, Bukankah kesibukannya beberapa hari
ini akan menjadi sia-sia saja? Tepat pada saat itu, di luar pintu ruang
bawah tanah tersebut, berkumandang suara Toa pei su thay.
"Sumoi.... Tempat ini adalah rumah ibadat kaum Budha."
"Suci.... Aku tidak melakukan apa-apa," sahut Lian lian.
"Kau memang belum melakukan apa-apa. Kalau sampai terjadi,
kau tidak punya muka lagi menghadap pintu Budha di akherat
nanti," kata Toa pei su thay.
"Suci... aku hanya menakut-nakuti dirinya saja," sahut Lian lian.

"Sumoi.... Barang siapa yang membiarkan dirinya berkecimpung
dalam kemaksiatan tidak akan pernah mengangkat diri lagi, apa
yang jelas merupakan dosa, lebih baik jangan dimulai. Harap Sumoi
pikir tiga kali!" kata Toa pei su thay.
Kepala biara itu sudah pergi. Kata-katanya yang mengandung arti
dalam benar-benar sebuah nasehat yang baik, Namun bagi telinga
Lian lian, kata-kata itu terasa tidak enak didengar, Meskipun dia
tidak membantah, namun dari cibiran bibirnya dapat terlihat ejekan.
Nasehat yang diberikan Toa pei su thay malah dianggap sebagai
penyulut api dendam. Untuk sementara dia melepaskan diri Siau
kiong cu. Dia mengenakan pakaiannya kembali.
-oooo0oooo-
Pohon Hu yang tumbuh di belakang Cui goat si mengandung
misteri, Angin malam berhembus menggoyangkan batang-batang
pohon itu. pemandangan malam hari lebih menarik dari siang hari,
Lian lian datang ke tengah rimba tersebut.
Ada seseorang yang sedang menantinya di tempat itu. Hati orang
paling susah diraba, Kata-kata itu memang tepat, Menipu dengan
kecantikan wajah, terlebih menyeramkan.
Bagaimana watak Lian lian sebetulnya? Dia sendiri tidak mengerti
dirinya sendiri, Kalau saja semua rencananya diketahui Toa pei su
thay, dia pasti akan terkejut setengah mati. Bahkan akan
mengamuk!
"Bagaimana?" tanya laki-laki yang sedang menunggu itu. Lian lian
mengibaskan tangannya.
"Bocah ini sungguh sulit ditundukkan," katanya.
"Dia tidak mau mengatakannya?" tanya laki-laki itu kembali.
"Seharusnya kau bisa menemukan akal yang lain," lanjut laki-laki
itu setelah melihat Lian lian menganggukkan kepalanya.

Sebetulnya Lian lian hampir kehabisan akal, Namun dia tidak
dapat mengakuinya dihadapan laki-laki ini.
"Nanti kucoba lagi dengan cara yang lain," katanya.
"Benar-benar telah menyusahkan diri-mu," kata laki-laki itu. Dia
memegang tangan Lian lian. perempuan itu menjatuhkan diri ke
dalam pelukan laki-laki tersebut. Lian lian adalah sekuntum mawar
yang berduri, Siapa yang dapat membuat dirinya demikian patuh?
Mengapa laki-laki ini sanggup menundukkannya? Laki-laki ini sama
sekali tidak tampan juga tidak muda.
Hubungan mereka juga tidak mungkin dekat sekali Namun apa
yang terlihat di depan mata saat ini, membuktikan bahwa laki-laki ini
memang sanggup menguasainya. Orang yang sanggup menguasai
perempuan itu belum tentu merupakan orang yang harus memenuhi
syarat tertentu. Mungkin dia mempunyai kelebihan yang lain.
"Mengapa harus memperhatikan cara merangkai bunganya?"
tanya Lian lian.
"Karena ilmu silat peninggalan Tang hay sin sian akan
menyempurnakan rencana kita," sahut laki-laki itu.
"Apakah alasannya hanya itu?" tanya Lian lian.
"Apakah alasan ini masih tidak cukup?" Laki-laki itu balik bertanya.
"Bagaimana kalau dia lebih memilih mati dari pada
menjelaskannya?" lanjut Lian lian.
"Apakah kau anggap dia akan begitu kukuh?" tanya laki-laki
tersebut.
"Dia memang seorang gadis yang keras kepala," sahut Lian lian.
"Aku rasa kemampuanmu bukan begitu saja. Di dunia ini masih
banyak hal yang lebih mengerikan daripada mati," kata laki-laki itu
kembali.

"Aku tahu maksudmu Tapi suciku sangat tidak menyukai
permainan semacam ini," sahut Lian lian.
"Aku bisa membujuknya," kata laki-laki itu.
"Membujuknya?" Lian lian seperti kurang percaya.
"Tentu saja, Dengan cara tersendiri membujuknya."
Kedua orang itu saling menatap dan tertawa. Laki-laki itu
menggendong Lian lian dan masuk ke dalam hutan, Sinar mata
kedua orang itu telah menyiratkan sesuatu yang dalam.
Chow Ai Giok benar-benar tinggal di Yat lai khek can.
Hari belum terang, Dia masih tenggelam dalam alam mimpi.
Sebuah tangan yang besar membangunkannya,
Dia hampir berteriak Tangan orang itu membekap mulutnya.
"Jangan teriak. Aku yang datang," kata suara itu.
Biar siapa pun, asalkan tidak turun tangan terhadapnya, pasti
bukan orang luar. Yang datang ternyata adalah Kiau Bu Suang,
Apakah orang ini termasuk musuhnya? seseorang bila ingin
mencari keyakinan untuk diri sendiri, sebetulnya mudah sekali, Kita
bisa memandang orang yang baru kita kenal sebagai musuh asalkan
mencari kesalahan setitik saja.
Begitu pun seorang sahabat Kita dapat menganggap orang yang
baru kita kenal sebagai sahabat asalkan dapat menemukan
kelebihannya kepada kita. Laki-laki itu telah mempermainkannya.
Bahkan pernah mengeluarkan kata-kata bahwa hubungan mereka
tidak ada untuk kedua kalinya, Perkataan itu benar-benar menusuk
perasaannya.

"Ada apa? Berubah pendapat?" tanya Chow Ai Giok ketus.
"Apa maksud perkataanmu itu?" tanya Kiau Bu Suang.
Bukankah kau tidak mempunyai kegairahan untuk mengulanginya
kembali?" Chow Ai Giok mencibirkan bibirnya.
Kiau Bu Suang mengangkat bahunya dan tertawa, Seakan ingin
meredakan pertanyaan tentang kenyataan yang pernah diucapkannya.
"Jantung hatiku.... Kau rupanya tidak mempunyai selera humor
sama sekali?" kata Kiau Bu Suang, hari itu dia dipancing oleh Lian
lian, Kali ini dia ingin menguji perempuan ini. Sengaja mengikutinya
dan mencari tahu tempat tinggalnya.
"Apakah kau hanya bergurau?" tanya Chow Ai Giok.
"Kalau kau menganggap perkataanku serius, bukankah aneh
sekali?" sahut Kiau Bu Suang, Dia yakin perbuatan Chow Ai Giok
juga disetir oleh Lian lian, Sekarang dia baru sadar bahwa
perempuan memang tidak boleh dipercaya seratus persen.
"Selera humormu rasanya sangat berbeda dengan orang lain,"
kata Chow Ai Giok.
"Coba kau pikir baik-baik, Perempuan secantik dirimu, laki-laki
mana yang akan mengucapkan kata-kata hinaan dengan serius?"
sahut Kiau Bu Suang, Laki-laki yang tidak pandai mengeluarkan
kata-kata pujian bagi seorang wanita, barulah termasuk orang yang
bodoh, Tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun, asalkan mulut
mau mengucapkan kata-kata yang manis, Akibatnya tentu
menyenangkan
Chow Ai Giok terpaksa percaya, ia tidak menyangsikan
kecantikannya sendiri, meskipun dia mengakui masih kalah sedikit
dibandingkan Bwe Mei.
"Untuk apa kau datang ke tempat ini?" tanyanya.

"Aku...." Kiau Bu Suang tertawa-tawa, "Apakah perlu dijelaskan
lagi?" katanya.
Dia ingin mengulangi untuk kedua kalinya. Dia mengingkari katakatanya
sendiri, Kenyataannya, modal Kiau
Bu Suang memang tidak rendah. Baik bentuk wajahnya,
penampilannya, atau pun ilmu silat yang dimilikinya, sudah termasuk
pria idaman, Dan dia tidak segan-segan menggunakan kelebihan
dirinya untuk menutupi kekurangannya.
Chow Ai Giok menyukai Sun Put Ce, namun dia sadar dirinya tidak
berharga lagi. perempuan semacam dirinya memang hanya pantas
bersanding dengan laki-laki seperti Kiau Bu Suang, juga boleh
dikatakan, apabila dirinya dapat bersanding dengan Kiau Bu Suang
juga sudah termasuk lumayan.
Oleh sebab itu, mereka mengulangi lagi perbuatan itu untuk
kedua kalinya, Orang yang mengucapkan kata-kata seperti itu, tidak
perduli untuk menelan kembali ucapan yang telah dikeluarkannya,
Perempuan yang telah pernah dipermainkan lebih-lebih tidak perduli
lagi kalau dirinya dipandang hina.
Mereka seakan hanya memenuhi kebutuhan masing-masing. Kiau
Bu Suang kembali mengenakan pakaiannya begitu turun dari tempat
tidur.
"Mengapa kau tidak bisa berlaku lebih lembut? Mengapa kau
selalu tergesa-gesa?" tanya Chow Ai Giok.
Kiau Bu Suang tidak menyahut.
"Apakah kau tidak mendengar perkataanku?" tanya Chow Ai Giok
dengan nada kurang senang.
"Tentu aku sudah mendengar dengan jelas," sahut Kiau Bu
Suang.
"Lalu... mengapa kau tidak menjawab?" tanya Chow Ai Giok.

"Aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan lebih dahulu," kata
Kiau Bu Suang.
"Pertanyaan apa?" tanya Chow Ai Giok, Hatinya merasa tegang.
"Mengapa kau menyuruh aku mencari Bwe Mei?"
Dia benar-benar tidak dapat menjawab, Meskipun dengan huruf
yang bagaimana rumitnya, dia tetap tidak dapat berterus terang.
"Terus terang saja, aku juga bukan manusia baik-baik. Tapi
mengenai kelicikan dan kekejaman, aku masih kalah denganmu,"
kata Kiau Bu Suang.
"Aku kejam?" tanya Chow Ai Giok.
"Tidak salah, Pertama-tama, kau mengutungi lengannya,
Kemudian kau memancing aku agar menodai dirinya, Bila ada cara
yang lebih kejam, aku yakin kau tidak akan segan
mengeluarkannya," sahut Kiau Bu Suang.
"Tepat!" kata Chow Ai Giok.
"Mengapa kau melakukan semua itu?" tanya Kiau Bu Suang.
"Aku benci kepadanya," sahut Chow Ai Giok dengan mata
membara.
"Aku percaya... aku tidak akan mempunyai gairah untuk ketiga
kalinya. Oleh sebab itu, kita tidak perlu mengucapkan sampai
jumpa," kata Kiau Bu Suang sinis.
Wajah Chow Ai Giok merah padam.
"Rupanya kau hanya ingin menyalurkan hasrat Karena tidak ada
perempuan lain, maka kau mencari diriku!" teriak Chow Ai Giok kesal
"Tebakanmu kali ini sungguh tepat!" sahut Kiau Bu Suang.

"Kau bukan manusia, Aku tidak akan melepaskan dirimu!" teriak
Chow Ai Giok kalap.
"Silahkan mencari akal yang baik. Aku beritahukan kepadamu,
Setidaknya kau masih lebih bersih daripada perempuan yang
melacurkan diri," kata Kiau Bu Suang.
Kemarahan Chow Ai Giok tidak dapat dibendung lagi.
"Pergi! Enyah! Kau binatang berkedok manusia!"
Kiau Bu Suang sudah melangkah keluar. Namun dia membalikkan
tubuh dan tersenyum.
"Masih ada satu hal lagi yang rasanya perlu kujelaskan
kepadamu," katanya.
Chow Ai Giok mengatupkan gerahamnya. Matanya seakan hampir
keluar karena mendelik.
"Biasanya tubuh kaum perempuan halus dan lembut, Tetapi
tubuhmu sama sekali tidak ada rasanya. Aih!
Toh, semuanya sudah terjadi, Paling-paling hanya bisa
menyesalkan diri."
Chow Ai Giok rasanya ingin memakan daging Kiau Bu Suang
mentah-mentah, Namun dia sadar, kepandaiannya sekarang masih
bukan tandingan laki-laki iblis ini. Sebelumnya, dia tidak pernah
merasa bahwa kulit tubuhnya kasar.
Dia mengulurkan tangan untuk meraba, Ternyata memang seperti
apa yang dikatakan Kiau Bu Suang. Dia memang bukan tandingan
Bwe Mei. Dia bagaikan seporsi sayuran yang tidak enak, Orang yang
memakannya hanya karena perut lapar. Sama sekali tidak ada
selera. Kalau saja perut orang itu sudah kenyang, tentu makanan itu
tidak tertelan, Namun masih ada satu hal yang membuat
kemarahannya makin tidak tertahankan, yaitu kata-katanya yang
terakhir Setidaknya, dia masih lebih bersih dari perempuan yang
melacurkan diri.

"Kurang ajar kau! Kiau Bu Suang! Bila suatu hari nanti aku tidak
berhasil membunuhmu aku tidak akan mengaku she Chow lagi!"
teriaknya.
Di sekitar villa banyak pohon buah li.
Malam mulai menjelang, hujan pun turun. Rintiknya menerpa
pohon buah li. pintu juga tertutup rapat,
Dalam ruangan yang besar, Fang Tiong Seng sedang mengasah
otak. Keadaan sudah berubah demikian jauh, Bagaimana dia harus
menyelesaikan persoalannya? Dia yakin, orang yang mengetahui
identitas dirinya, mungkin lebih dari dua atau tiga orang.
Sebuah bayangan melintas. Di depan pintu sudah berdiri
seseorang.
"Tiong Seng.... Aku datang untuk mengakui kesalahan."
"Kau...? Lekas masuk!" undangnya.
Dayang Cui thian masuk dengan langkah gemulai, Terhadap Fang
Tiong Seng, dia mempunyai pengertian yang terbatas, Orang ini
hatinya keras." Tidak mudah membujuknya.
Namun dia yakin, Fang Tiong Seng tidak mungkin mencari
perempuan lain yang melebihi dirinya, Kesetiaan adalah hal yang
paling penting bagi seorang prajurit Anak buah yang melakukan
kesalahan memang harus menerima hukuman.
Kalau kesalahannya tidak berat, mungkin dia masih mempunyai
kesempatan, Bila kesalahannya berat, hanya kematian yang dapat
menebusnya. Tentang hal ini, dayang Cui thian jelas sekali.
Dia sudah banyak pengalaman dengan kaum laki-laki. Mungkin
kelebihannya dapat menebus kesalahannya kali ini.
"Tiong Seng,.,, Aku. mempunyai kesulitan yang susah di
jelaskan," katanya.

"Aku percaya," sahut Fang Tiong Seng.
"Sungguh! Kiau Bu Suang adalah teman baikku semasa muda.
Kami bertemu lagi di tempat ini, Dia menempel terus padaku," kata
dayang Cui thian.
"Lihat.... Aku toh tidak menyalahkan dirimu," sahut Fang Tiong
Seng.
"Kau benar-benar sama sekali tidak menyalahkan aku?" tanya
dayang Cui thian dengan mata terbelalak.
Fang Tiong Seng tersenyum.
"Manusia bukan dewa, mana mungkin tiada kesalahan? jangan
kata hubungan kita sudah demikian jauh, hanya berdasarkan
kelebihan pada dirimu saja, kau suruh aku cari di mana lagi dayang
Cui thian kedua?" sahut Fang Tiong Seng.
Ucapan apa pun tidak semerdu yang satu ini. Dayang Cui thian
mengembangkan senyum. Memang, kalau Fang Tiong Seng masih
ingin merasakan kelebihannya, tentu akan memaafkan dirinya, Kalau
tidak, dia tentu akan dibunuhnya.
"Tiong Seng, aku sungguh kagum kepadamu!" Dia duduk di
hadapan cermin, sebelum datang ke tempat ini, dia telah
menghabiskan waktu yang tidak sedikit untuk berbenah diri, Dia juga
memakai bermacam-macam perhiasan.
"Mengapa kagum?" tanya Fang Tiong Seng.
"Sampai aku sendiri, saat sekarang baru mengerti seluruh
rencanamu," sahut dayang Cui thian.
Fang Tiong, Seng tertawa.
"Kau mengundang Toa Tek To Hun datang ke Tionggoan. Semua
jago-jago yang mungkin akan menentangmu dibasminya. Kau
kemudian memperalat diriku sebagai mata-mata Tang hay sin sian,
Setelah itu kau mengadu domba kedua orang itu. Mereka pasti akan

terluka bersama, Semua orang ini sudah disingkirkan kau tinggal
memunguti hasilnya," sahut dayang Cui thian melanjutkan.
Fang Tiong Seng menganggukkan kepala. Dia seakan mengakui
semuanya. Sinar matanya bagai ingin menembus bahan tipis di sela
paha dayang Cui thian.
"Saat ini, kau sudah jadi orang terkuat di Tionggoan. Aku pun
terpaksa harus mengambil hatimu," lanjut perempuan itu.
"Ucapan apa itu?" kata Fang Tiong Seng. "Hari ini aku dapat
mencapai kedudukan seperti ini, semuanya berkat jasamu juga."
Dayang Cui thian melepaskan pakaiannya yang terakhir, Seperti
seekor domba, dia merebahkan diri di haribaan laki-laki tersebut
Fang Tiong Seng meraba sekujur tubuhnya.
"Memiliki perempuan jalang seperti dirimu, apa lagi yang
kuharapkan?" katanya.
Dayang Cui thian tidak marah. Dia malah tertawa terkekeh-kekeh,
sebetulnya dia tidak boleh tidak percaya kepada dirinya sendiri.
Beberapa hari belakangan ini, dia masih terus dicekam ketakutan.
Dia hilir mudik di jalanan, Tepat seperti apa yang dikatakan Fang
Tiong Seng, Memiliki perempuan jalang seperti kau, boleh dibilang
semuanya sudah terpenuhi Apa yang diharapkan lagi. Pada saat ini,
hatinya sudah tenang.
Dia seakan sudah menduduki tahta Bulim Bengcu hujin, Tiba-tiba
tangan Fang Tiong Seng terulur, jarinya sudah menotok tiga jalan
darah terpenting di bagian atas tubuhnya. Bayangan Bulim Bengcu
hujin amblas seketika.
Perempuan di kolong langit ini tidak kalah banyak dengan kaum
laki-laki. juga hanya orang yang tidak banyak bergaul dengan kaum
perempuan baru merasa sayang. Hanya orang yang tidak pernah
merasakan seorang perempuan baru terpesona sampai hilang akal
sehatnya.

"Tiong Seng, apakah kau juga tega membunuh perempuan seperti
aku?" tanya dayang Cui thian dengan suara tersekat
"Tentu saja aku tidak tega membunuhi mu. Tapi bagaimana pun
kau tetap harus mati," sahut Fang Tiong Seng.
"Mengapa?" tanya dayang Cui thian dengan nada pilu.
"Karena kau tidak setia terhadapku Coba bayangkan, seandainya
Kiau Bu Suang menghianatimu dan mencari perempuan lain, apakah
kau akan datang untuk mengakui kesalahan?" kata Fang Tiong Seng
sinis.
"Apakah kau benar-benar hendak membunuh aku?" tanya dayang
Cui thian.
"Dengan alasan apa kau anggap aku sudah bergurau?"
"Perempuan di dunia ini memang banyak, tapi di mana lagi kau
akan menemukan dayang Cui thian kedua?"
"Aku lebih baik kehilangan dayang Cui thian. Dan manusia she
Fang ini tidak pernah kekurangan perempuan, Lagipula dalam hal
melayani kaum perempuan, aku memang ahlinya." kata Fang Tiong
Seng menyombongkan diri.
"Namun... mudahkah mencari seorang perempuan sejalang
dayang Cui thian?" tanya perempuan itu mengembangkan
harapannya sendiri Semoga Fang Tiong Seng berubah pikiran.
"Kau terlalu membanggakan diri, Aku beritahukan kepadamu.
Perempuan yang aku miliki sekarang, kejalangannya seratus kali
lipat melebihimu," kata Fang Tiong Seng.
"Siapa dia?" Seakan siapa orangnya lebih penting dari
keselamatan nyawanya.

"Bukankah kau terlalu berlebihan?" sahut Fang Tiong Seng sambil
tertawa dingin.
Dayang Cui thian mencibirkan bibirnya.
"Kalau kau sampai membunuh diriku. Berarti kau melakukan dua
kesalahan, Aku lebih mengerti dirimu dari siapa pun. Oleh karena itu,
aku telah menulis semua tentang dirimu dan kumasukkan dalam
sebuah sulaman kapas.
Benda itu telah kuserahkan kepada Siau kiong cu. Dia adalah
seorang gadis yang cerdik, Kalau aku tidak mati, dia tidak akan
membuka bungkusan kapas itu. Begitu mendengar kematianku, dia
segera akan mengetahui semua rencana busuk-mu," katanya,
"Baiknya saat ini dia sama sekali tidak tahu kalau kau akan mati,
Lagipula, aku yakin tidak ada orang ketiga yang tahu," sahut Fang
Tiong Seng tertawa lebar.
Dayang Cui thian tidak merasakan kehebatan dirinya lagi, Dia
memang paling mengerti jiwa Fang Tiong Seng, Orang yang paling
berjasa baginya pun, tetap tidak akan lolos dari akhir demikian, Cara
ini sama juga membungkam mulut orang yang tidak dibutuhkan lagi.
Fang Tiong Seng menarik nafas panjang.
"Terus terang saja, bahwa perempuan yang kumiliki sekarang
tidak mempunyai banyak kelebihan, bermain cinta denganmu
memang suatu hal yang menyenangkan juga. Namun, untuk
menjaga keselamatan diriku, juga untuk membalaskan dendam bagi
Hu Put Chiu, aku harus membunuh dirimu.
Setelah kau mati, kau tidak usah khawatir Aku akan memakamkan
dirimu secara layak agar arwahmu dapat tenang di alam baka," kata
Fang Tiong Seng. Kata-katanya itu membuktikan bahwa sejak
semula memang dia sudah tahu kalau pembunuh Hu Put Chiu adalah
dayang Cui thian, Apakah atas perintahnya? Hanya kedua orang itu
yang tahu!"

Tangan Fang Tiong Seng melingkar di leher perempuan itu.
Cekikannya dipererat, Mata dayang Cui thian membelalak, Tidak
lama kemudian, hanya bagian putihnya saja yang terlihat.
-oooo0oooo-
Bagian Delapan belas
Di sekitar Cui goat si ada tanah perkebunan, Di sana ditanam
berbagai macam sayur-sayuran. Semua itu untuk memenuhi
kebutuhan makanan Toa pei su thay dan kedua muridnya.
Siang hari udara terlalu menyengat, mereka selalu bekerja di
malam hari, seperti mencabuti rumput-rumput kering atau sayuran
yang layu, juga menyirami agar tumbuh subur. Toa pei su thay
bertugas mencabuti rumput dan memetik sayuran, kedua nikouw
mengambil air dan menyiram tanaman tersebut Suara byur... byur...
dari gentong kayu yang disiram ke arah tanaman menambah
semangat mereka.
Sesosok bayangan panjang terlihat seorang manusia menembus
hutan berjalan ke arah mereka, Di kaki pegunungan ada kabut tipis.
Kira-kira jarak langkah orang itu tinggal tiga depaan, kedua nikouw
itu menjerit kecil.
Orang yang datang merupakan seorang manusia bertopeng.
pakaiannya longgar berwarna hitam Di bagian
pinggang terselip sebatang pedang panjang berbentuk aneh.
Topengnya berwarna putih, memancarkan kepucatan dan
mengembangkan senyum Wajah seperti itu, meskipun tersenyum
tetap terasa mengerikan.
Manusia bertopeng ini berhenti kira-kira lima langkah dari Toa pei
su thay dan kedua muridnya, Toa pei su thay adalah jut ke lang
(orang pertapaan), Meskipun dirinya belum mencapai
kesempurnaan, namun dia percaya sekali akan nasib manusia yang
telah ditentukan oleh Thian, Sedikit banyaknya dia sudah
mempunyai dugaan akan maksud kedatangan manusia bertopeng
itu, tetapi dia tidak takut "Apa yang sicu inginkan?" tanyanya sopan.

Manusia bertopeng menunjuk ke arah Toa pei su thay, Maksudnya
menginginkan kepala biara tersebut.
"Dapatkah sicu kemukakan alasannya?" tanya Toa pei su thay
kembali.
"Tidak perlu!" sahut manusia bortopeng itu.
Toa pei su thay mendongakkan kepala menatap langit Dia
menarik nafas panjang.
"Pinni mencari makan sendiri, Tidak ada hutang piutang dengan
orang lain, Kalau sicu memang tetap ingin membunuh, pinni
menyerahkan nyawa. Namun ada satu permintaan yang pinni harap
dikabulkan," kata Toa pei su thay.
Manusia bertopeng itu menggoyangkan tangannya dengan keras,
"Tidak dapat dikabulkan? persoalan apa pun tidak dapat
dikabulkan?" tanya Toa pei su thay.
"Karena aku sudah dapat menerka apa permintaanmu," sahut
manusia bertopeng.
"Apa yang kau ketahui?" tanya Toa pei su thay.
"Kau ingin meminta pengampunan untuk kedua nikouw tersebut,"
sahut manusia bertopeng dengan nada datar.
Toa pei su thay terpana, Orang ini cukup kejam dan telengas,
Cara kerjanya juga tidak kepalang tanggung, Hok sue bo meng, yu
jin ci co (Rejeki dan sial tiada pintunya, semua itu berada di tangan
manusia sendiri Apakah semua sudah merupakan takdir kedua
muridnya? Mereka tidak pernah melakukan kejahatan, namun hidup
mereka harus berakhir tragis, Apakah hal ini dapat disebut keadilan?
Toa pei su thay tidak habis pikir. Selama hidupnya, dia tidak
merasa ada musuh seperti manusia bertopeng ini. Dia
memperhatikan sosok tubuh orang itu dengan seksama, Orang itu

tidak memandang ke arah-nya, dia sedang menatap penuh perhatian
ke arah Cui goat si.
Tiba-tiba mata Toa pei su thay juga melihat kelebatan bayangan
seseorang. Dia segera mengetahui bahwa itu adalah sumoinya, Lian
lian, Dalam seketika, Toa pei su thay telah menyadari apa yang
terjadi.
"Sungguh tidak disangka! Sungguh-sungguh tidak tersangka!"
katanya.
"Apa yang tidak tersangka?" tanya manusia bertopeng itu.
"Ternyata anda adalah kawan segolongan dengan Lian lian sumoi.
Pantas saja," sahut Toa pei su thay.
"Apakah itu bukan perkiraanmu saja?" tanya manusia bertopeng
itu dengan nada dingin.
"Rasanya aku masih percaya dengan ketajaman mata tua ini,"
kata Toa pei su thay.
Manusia bertopeng itu tertawa terbahak-bahak.
"Kedatangan Toa Tek To Hun ke Tiong-goan telah menimbulkan
bencana, Para jago kelas satu tiada yang muncul menghadapi
kebenaran. Malah manusia kelas dua yang menjadi korban, Mereka
menjadi setan oleh pedang manusia Fu sang itu. Sicu sudah terang
bukan Toa Tek To Hun, tapi sicu menyamar sebagai dia. Entah
dengan maksud apa?" tanya Toa pei su thay,
"Keluarkan senjatamu!" bentak manusia bertopeng itu.
Toa pei su thay tidak bertanya 1agi. Dia segera mengeluarkan
pedangnya, Kedua orang nikouw itu juga mengikuti tindakannya.
Toa pei su thay tidak menghalangi mereka, Karena dia tahu lawan
tidak akan melepaskan kedua orang gadis itu. Lebih baik
menghadapinya bersama.

Dia melirik kedua muridnya sekilas, Ketiga pedang menyerang
serentak. Kecepatannya bagai sambaran petir.
"Trang! Trang! Trang!"
Pedang kedua nikouw itu melayang ke udara, Di kening mereka
terlihat guratan luka memanjang, Darah segar memancar deras.
Tubuh mereka belum rubuh ke tanah. Toa pei su thay mencoba
menyerang kembali. Pedang aneh di tangan manusia bertopeng itu
berkelebat, senjata Toa pei su thay melayang jauh.
Sinar keemasan bercampur merah memenuhi angkasa, Kepala
Toa pei su thay terpenggal dan menggelinding ke tanah, Pedang
aneh manusia bertopeng itu telah masuk kembali ke dalam
sarungnya.
Jumlah keseluruhannya tidak sampai dua jurus, Tiga orang
perempuan suci ternyata meninggalkan nyawa dengan keadaan
yang patut dikasihani. Sebuah bayangan hinggap di dekat manusia
bertopeng, orang itu adalah Lian lian.
Dia hanya melirik sekejap ke arah Toa pei su thay dan kedua
orang sumoinya, Sama sekali tidak ada kesan marah di matanya, Dia
hanya mengucapkan sepatah kata.
"Bersihkan tempat ini!"
Tidak lama kemudian, ketiga perempuan itu sudah terpendam di
dalam tahah. Tidak ada batu nisan, apalagi upacara
penyembahyangan, setengah kentungan sebelumnya, mereka masih
mencabuti rumput-rumput kering dan memetik sayuran dengan
riang gembira. Suara siraman air pada tumbuh-tumbuhan telah
sirna, seperti sirnanya nyawa mereka.
-oooo0oooo-
Di ruang bawah tanah yang tertutup rapat, manusia bertopeng
berdiri di depan pintunya, Siau kiong cu telah dilepas pakaiannya
sehingga tidak mengenakan sehelai benangpun, Lian lian juga

hampir sama, payudaranya diikat kencang, menunjukkan kesan
seperti seorang laki-laki.
Dia menari dengan gaya merangsang, Gerakannya seperti laki-laki
dan perempuan yang sedang bercinta, Untuk menundukkan musuh,
cara yang paling efektif adalah kelemahannya, sedangkan
kelemahan kaum manusia sebagian besar justru pada nafsu
birahinya.
Lian lian tentu saja bukan seorang laki-laki. Juga bukan banci.
Kalau dia memang jenis manusia yang setengah laki-laki dan
setengah perempuan, manusia bertopeng itu pasti tidak akan
menyukainya, Dia hanya ingin menggertak Siau kiong cu. Entah dari
mana dia mendapatkan alat kelamin palsu milik laki-laki itu.
Bagi Siau kiong cu sendiri, dalam keadaan kalut dan bingung
seperti sekarang, mana mungkin dia menaruh perhatian atas tarian
Lian lian? Lian lian ternyata memang lebih keji dan sadis dari Kiau Bu
Suang. Sejak berhubungan dengan manusia bertopeng itu,
kejalangannya semakin menjadi-jadi.
Pada saat ini, dia bukan saja memperlihatkan gerakan yang
merangsang namun dia juga memperdengarkan rintihan-rintihan
yang menggidikkan hati seorang gadis suci Dia tidak percaya kalau
Siau kiong cu tidak akan terpengaruh. sayangnya Siau kiong cu
memang masih terlalu polos, Karena tingkah Lian lian terlalu genit,
dia menganggap gadis itu tidak tahu malu. Boleh juga dikatakan
bahwa Siau kiong cu sama sekali tidak menganggapnya sebagai
manusia, Dia seperti seekor binatang yang sedang mengendusendus
liar. Kalau memang Siau kiong cu tidak menganggapnya
sebagai manusia, mana mungkin tariannya akan mempengaruhi
gadis tersebut
Oleh sebab itu, Lian lian menari sampai peluh membasahi seluruh
tubuhnya, Badannya terasa pegal dan linu. Dia menoleh ke arah
gadis itu, wajahnya berubah hebat. Semua susah payahnya ternyata
sia-sia saja.
Karena merasa dirinya tidak berhasil, terpaksa Lian lian
mengundurkan diri. Di ruangan dalam, dia duduk berhadapan
dengan manusia bertopeng itu.

"Aku sudah berusaha sekuat tenaga," kata Lian lian putus asa.
"Jangan cepat putus asa. Kau boleh memikirkan cara yang lain,"
kata manusia bertopeng.
"Kalau kau memang mempunyai akal yang bagus, mengapa tidak
kau kemukakan sekarang?" tanya Lian lian.
"Kau adalah seorang perempuan cerdik. Mengapa tidak berpikir
sedikit jauh?" sahut manusia bertopeng.
"Pikir apa lagi?" tanya Lian lian kesal.
"Bukankah Siau kiong cu seorang anak yang berbakti?" kata
manusia bertopeng.
"Tidak salah!" sahut Lian lian.
"Pikirlah dari huruf bakti tadi," kata manusia bertopeng.
Lian lian terpana sejenak, kemudian matanya bersinar terang.
"Aku mengerti apa yang kau maksudkan!" teriaknya senang.
"Benar-benar sudah mengerti?" tanya manusia bertopeng.
"Apakah maksudmu hendak menggali...." tanya Lian lian penuh
rahasia.
"Betul!" tukas manusia bertopeng tersebut, "Siapa bilang kau
tidak cerdik? Dalam sekejap saja, kau sudah mengerti," kata
manusia jahat itu tertawa terbahak-bahak . Lian lian senang sekali
Siapa pun yang memujinya, tiada arti, Asal manusia yang satu ini
mau membuka mulut memujinya, dia baru merasa pekerjaannya
tidak sia-sia.
Hal ini disebabkan karena dia selamanya tidak pernah mengagumi
orang, Orang satu-satunya yang dikagumi di dunia ini hanya
manusia di hadapannya ini.

"Bagaimana cara mengaturnya?" tanya perempuan itu.
"Aku akan memberitahukannya kepadamu, tapi bagaimana pun
harus kau yang tampil. Suatu hal yang perlu kau ingat, Di saat yang
diperlukan, kau harus berani bertindak keji, Hanya dengan kekejian,
baru dapat membuat orang segan dan putus asa," sahut manusia
bertopeng itu.
Sun Put Ce dan Mo Put Chi tiap hari keluar untuk mencari orang.
Perintah guru sama sekali tidak boleh dibantah, Mereka ingin
mencari Kiau Bu Suang dan Kwe Po Giok, Juga dayang Cui thian,
Tentu saja kedua orang itu tidak tahu bahwa untuk mencari dayang
Cui thian harus menempuh perjalanan ke alam baka terlebih dahulu.
Sun Put Ce sangat berbakti terhadap suhengnya, Dia memang
sangat setia terhadap siapa pun. Namun pertemuannya dengan Bwe
Mei tempo hari, tidak diceritakannya terhadap sang suheng, Dia
berhasil menghindar dari Mo Put Chi hari itu, dia takut sang suheng
akan melaporkannya kepada suhu. Bukan karena Mo Put Chi jahat,
justru karena dia terlalu jujur.
"la telah keluar dengan suhengnya akhir-akhir ini, yang selalu
menuruti apa yang dikatakannya, Mo Put Chi sangat kagum
terhadapnya, Apa yang diucapkannya selalu benar. Oleh karena itu,
Sun Put Ce selalu menyarankan mereka berpencar mencari orang
yang diinginkan guru mereka. Juga hanya dengan cara demikian, dia
dapat melepaskan diri dari suhengnya dan menengok Bwe Mei.
Hari ini senja belum menjelang, mereka keluar dari gedung
keluarga suhunya lalu berpencar Mereka berjanji akan berjumpa di
Hong Lai Chun Ciulau malam harinya, Sun Put Ce membeli makanan
kesukaan Bwe Mei.
Setelah yakin bahwa dirinya tidak diikuti, dia segera menyelinap
ke tempat Bwe Mei. Gadis itu seperti sedang dirundung kesedihan
Seorang gadis remaja yang cantik jelita tapi tidak mau berhias
sedikit pun, pasti sedang dilanda kesedihan. Apalagi dia tahu bahwa
Sun Put Ce akan datang hari ini.

"A mei.... Mengapa kau bersedih lagi?" tanya Sun Put Ce.
"Tidak," sahut Bwe Mei.
"Kalau kau membohongi diriku, aku tidak apa-apa. Tapi jangan
membohongi dirimu sendiri," kata Sun Put Ce.
"Sun Toako.... Lebih baik kau jangan datang lagi."
"Mengapa? Apakah kau sebal melihat aku?" tanya Sun Put Ce.
Bwe Mei menggelengkan kepalanya.
"Katakan,., apa sebabnya?" desak Sun Put Ce.
"Sun Toako.... Di dunia ini tidak mungkin ada laki-laki yang
menyukai gadis bertangan kutung," kata Bwe Mei.
"Apakah diriku juga termasuk?" tanya Sun Put Ce.
"Sun Toako, aku tidak berkata begitu, Tapi setiap manusia pasti
menyukai benda yang utuh, Sebuah kendi yang kehilangan bibirnya
atau cangkir yang kehilangan pegangannya tentu tidak sedap
dilihat," kata Bwe Mei.
"Tidak tentu juga. Mengapa manusia membuat cangkir dengan
telinga berlubang? Bukankah cacat itu malah menambah
keindahannya?" sahut Sun Put Ce dengan maksud membesarkan
hati Bwe Mei.
"Sun Toako, kecacatan dan keindahan memang tidak mungkin
terpadu satu," kata Bwe Mei dengan wajah murung.
"Bwe Mei.... percayalah kau bahwa di dunia ini ada cinta kasih,"
tanya Sun Put Ce.
"Perasaan seperti itu bukan cinta, tapi kasihan," sahut Bwe Mei,

"Betul! Tapi tahukah kau bahwa perasaan kasihan itu selalu lebih
dalam dari cinta, Apa yang ada dalam hatiku bukan hanya kasihan
semata, tapi cinta kasih yang sejati," sahut Sun Put Ce.
Bwe Mei tidak bersuara, Sun Put Ce dapat merasakan penderitaan
seorang gadis yang kehilangan sebelah lengannya, Dia
membantunya membasuh muka, menyisir rambut lalu mengganti
pakaian. Melihat kesungguhan Sun Put Ce, hati Bwe Mei agak
terbuka sedikit.
Mereka kembali melatih ilmu bersama. "Apa yang kurang
dimengerti mereka pecahkan berdua, Sampai gelap datang, mereka
baru berhenti. Mereka masak sendiri dan makan, Di hadapan mereka
juga terdapat arak yang harum.
"Sun Toako, kau mengajarkan aku memakai tangan kiri, seakan
tangan kananmu tidak ada gunanya lagi," kata Bwe Mei.
"Tidak, Meskipun aku mengajarkan kau memakai tangan kiri,
bukan berarti aku tidak memperdulikan tangan kananku lagi. Aku
ingin kau menyempurnakan pelajaranmu sendiri, jangan berpikir
tentang diriku," sahut Sun Put Ce.
"Kau memang selalu baik terhadapku Namun aku rasanya tidak
bisa memenuhi keinginanmu," kata Bwe Mei.
"Tidak,... Dasar ilmu silat itu berasal dari lubuk hati kita sendiri,"
sahut Sun Put Ce meyakinkannya.
Sejak kehilangan Siau kiong cu, Kwe Po Giok seperti manusia
yang kehilangan sukma. Tidak usah dikatakan tentang budi yang
ditanam oleh Tang hay sin sian, hubungannya dengan gadis itu
sendiri sudah sangat memberatkan hatinya, Tanpa Siau kiong cu,
dirinya benar-benar tidak sanggup hidup lebih lama.
Dia mencari Lian lian kemana-mana. Siapa yang mengira kalau
perempuan itu ada di Cui goat si yang letaknya sejauh berpuluhpuluh
li? Meskipun dia adalah seorang sin tong, namun dia tetap
manusia biasa, bukan dewa.

Dia mencaci dirinya sendiri Mengapa demikian kekanak-kanakan
sehingga dapat mempercayai perempuan seperti itu? Dia sudah
mencari ke pelosok desa sekitar tempat itu. Kehidupannya mulai
kacau. Tampangnya semakin lusuh, Sin tong ternyata bisa mabuk
juga. Arak dan ayam panggang Hong lai chun ciulau memang sangat
terkenal Hampir setiap hari ia merenung di tempat itu.
Sun Put Ce dan Mo Put Chi keluar lagi hari ini. Mereka berpencar
Dia menuju Hong lai chun karena Bwe Mei suka makan ayam
panggang, Di tempat itu, dia bertemu dengan Kwe Po Giok.
Namun Sin tong itu tidak bertampang manusia lagi, Rambutnya
acak-acakan. Bajunya kotor. Raut wajahnya pucat, dan mulai
mabuk. Sun Put Ce merasa gembira dapat bertemu dengannya di
tempat ini. Tapi perubahannya mengejutkan laki-laki itu.
Sebelumnya, Kwe Po Giok paling suka kebersihan pakaiannya selalu
necis dan rapi, Entah sejak kapan dia berubah demikian drastis.
"Siau Kwe...." tegur Sun Put Ce sambil duduk di hadapannya.
"Kemanakah kau selama ini?"
Kwe Po Giok juga senang melihat Sun Put Ce. Dia mengangkat
cawannya.
"Mari.... Kita keringkan isi cawan ini," ajaknya.
Sun Put Ce menahan cawan yang sudah menempel di bibir
pemuda itu.
"Siau Kwe.... jangan lupa, Kau adalah Sin tong!" katanya.
"Sin,., Sin tong?" tanya Kwe Po Giok bingung.
"Bukankah pada usia tiga tahun, orang-orang memanggilmu Sin
tong?" tanya Sun Put Ce.

"Betul! Tapi seorang Sin tong tetap merupakan manusia biasa.
Seorang istri pun tidak sanggup dipertahankan," kata Kwe Po Giok
sedih.
"Apa yang kau maksudkan?" tanya Sun Put Ce tidak mengerti.
"lstriku hilang."
"Siau Kiong Cu?" tanya Sun Put Ce terkejut.
"Sini... kemarikan arak itu. Aku ingin minum sampai puas. Siau
kiong cu aku menghormatimu secawan!" seru Kwe Po Giok.
Dia mengeringkan arak di tangannya, Diisinya kembali cawan
tersebut Dia menoleh ke arah Sun Put Ce.
Matanya mulai berkunang-kunang, Dia mengira, Sun Put Ce yang
di hadapannya adalah Siau kiong cu.
Sun Put Ce tidak memperdulikan ajakannya.
"Kapan Siau kiong cu menghilang?" tanyanya.
"Be.... belum lama," sahut Kwe Po Giok.
"Bagaimana dia bisa menghilang?" tanya Sun Put Ce kembali
"Lian lian.... Perempuan itu adalah seorang penipu, Dia menculik
Siau kiong cu, Sun Put Ce.... Coba katakan.... Mungkinkah Lian lian
itu seorang germo? Mungkinkah dia menjual Siau kiong cu ke rumah
hiburan?" tanya Kwe Po Giok cemas.
"Rasanya tidak mungkin, Siau Kwe.... Coba kau ceritakan
kejadiannya dari awal," sahut Sun Put Ce.
Siau Kwe menjelaskan kejadian yang dialaminya tempo hari. Baru
separuh ceritanya berlangsung, dia sudah tidak dapat menguasai diri
1agi. Dia tertelungkup di atas meja dalam keadaan mabuk. Sun Put
Ce terpaksa mengangkatnya ke tempat tinggal Bwe Mei.
Sungguh tidak di sangka, Chow Ai Giok yang selalu kelantang
kelinting di jalanan, dapat menggigitnya dari belakang, Meskipun

gadis itu tahu bahwa dirinya tidak berharga lagi, namun dia tetap
tidak suka melihat kelanjutan hubungan Sun Put Ce dan Bwe Mei.
Kemesraan kedua orang itu membuat hati Chow Ai Giok semakin
panas.
Hatinya memang sempit, perasaannya dipenuhi dendam yang
dalam. Dia tidak sanggup membalas kematian kakeknya, maka
seluruh kebencian dalam hatinya ditumpahkan kepada Bwe Mei dan
Sun Put Ce.
Kedua orang itu masak sendiri dan makan. Mereka bersama
gurau. Cawan-cawan saling beradu. Lirikan mata menyiratkan
kemesraan dan kasih sayang, Apalagi Sun Put Ce, terlihat jelas
bahwa dia sangat mencintai Bwe Mei, berkali-kali dia menyendokkan
makanan kesukaan gadis itu, bahkan adakalanya dia menyuapi Bwe
Mei, pemandangan seperti ini makin membuat kebencian di hati
Chow Ai Giok memuncak.
Dia merasa Sun Put Ce seakan sengaja memperlihatkan
kemesraan itu di hadapannya. Kiau Bu Suang pernah dua kali
berhubungan badan dengannya, namun dia tidak memperlihatkan
kegairahan untuk ketiga kalinya. Bagi seorang perempuan,
perbuatannya terasa sangat menyakitkan.
Saat ini, dia menganggap semua musibah yang dialaminya adalah
hasil kedua orang, Bwe Mei dan Sun Put Ce. Dia benci sekali, dia
marah, seperti nyaris gila memikirkan semua itu. Tadinya, dia hanya
ingin melihat sekarang dia harus turun tangan, dia tidak ingin dirinya
dianggap remeh oleh orang lain.
Meskipun dia bukan tandingan Kiau Bu Suang, tapi untuk
menghadapi Sun Put Ce saja, dirinya masih ada keyakinan Setidaknya,
dia adalah sumoi Bok Lang Kun.
Ilmu silatnya adalah hasil ajaran Hiat Eng. Apa yang
digunakannya pernah menjadi kebanggaan kakeknya itu, Dia segera
menghunus pedang dan menyerbu ke dalam. Ketika itu, Sun Put Ce
dan Bwe Mei sedang duduk di muka jendela dan minum arak dengan

gembira. Mereka sama sekali tidak menyangka adanya kejadian
seperti ini.
Kelebatan pedang segera terlihat serangan itu dahsyat sekali,
Apalagi senjata kedua orang itu memang tidak ada di tangan. Biar
pun ada, tetap tidak sempat menangkis. Demi keselamatan Bwe Mei,
Sun Put Ce tidak dapat berpikir panjang lagi. Dia mengangkat
tangan kanannya untuk menangkis pedang tersebut Sun Put Ce
tampaknya tidak terlalu menyayangi tangan kanannya, boleh
dikatakan, kalau dia tidak menangkis dengan tangan kanah, Bwe Mei
terpaksa menerima kematian di bawah serangan Chow Ai Giok.
Sun Put Ce hanya tahu bahwa Chow Ai Giok sangat membenci
Bwe Mei. Dia pasti sangat menginginkan kematian Bwe Mei, tapi dia
sama sekali tidak mengira kalau gadis itu juga ingin membunuhnya.
"Sreettt!!!"
Suara itu terdengar jelas. Sebuah tangan melayang ke angkasa,
jatuh tepat di atas mangkok sayur dan cawan arak di atas meja.
Baik Bwe Mei ataupun Sun Put Ce sama-sama terpana, Pedang
sudah diletakkan di atas meja. Chow Ai Giok tertawa terbahakbahak,
sebetulnya tadi dia ingin membunuh Sun Put Ce.
Sekarang dia melihat mereka terkejut Wajah mereka pucat seperti
selembar kertas putih, Dia menatap kutungan tangan Sun Put Ce di
atas meja.
Bahu laki-laki itu masih terlihat gemetar Mungkin karena menahan
sakit Oleh karena itu, Chow Ai Giok merubah keputusannya, Lebih
baik membiarkan rasa putus asa mencekam hati mereka, bukankah
demikian lebih baik?
Membunuh seseorang untuk melampiaskan kebencian dalam hati
memang dapat melegakan perasaan, Tapi semua itu hanya
kesenangan sekejap saja. Kalau hanya membiarkan mereka hidup
dalam kecacatan, maka perasaan senang ini akan berlanjut

se1amanya. Cara membunuh orang memang banyak, tapi cara yang
dilakukan oleh Chow Ai Giok sekarang ini boleh dibilang paling keji.
Bwe Mei tertunduk sedih, Sun Put Ce merobek lengan bajunya
untuk mengikat luka yang masih mengucurkan darah, Dia menatap
tajam ke arah Chow Ai Giok.
"Mengapa kau tidak sekalian membunuh diriku saja?" tanyanya
sepatah-sepatah.
"Benda yang retak toh masih jauh lebih baik dari pada yang
hancur berantakan," jawab Chow Ai Giok sambil memperdengarkan
suara tawanya yang merdu, "Kapan-kapan kalau hatiku sedang
bergembira, aku masih ingin mengutungkan sebelah kaki kalian." Dia
membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat itu. Suara tawanya
yang lebih tajam dari pisau masih berkumandang.
-oooo0oooo-
Obat luka sisa Bwe Mei masih ada. De-ngan tangan gemetar, dia
memborehkan obat tersebut kepada Sun Put Ce. Untuk merawat
luka tanpa diganggu, mereka terpaksa pindah rumah lagi,
Ketika pindah rumah, Kwe Po Giok tiba-tiba pergi tanpa
mengucapkan apa-apa, Tempat tinggal mereka sekarang sangat
terpencil dan sepi. Tempat yang tenang untuk merawat luka, pemilik
rumah adalah kawan baik Sun Put Ce.
Pada saat ini, Sun Put Ce bersandar di atas tempat tidur,
wajahnya masih terlihat pucat Bwe Mei duduk di sampingnya, Dia
sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun.
"Tidak lama lagi aku pasti sudah sembuh, jangan kau khawatirkan
diriku," kata Sun Put Ce melihat kemurungan gadis itu.
Bwe Mei tidak bersuara.
Sun Put Ce menepuk-nepuk bahunya, "Tenang.... Hal ini tidak
akan berpengaruh terhadap latihan kita," kata Sun Put Ce kembali.

Tiba-tiba Bwe Mei mendongakkan kepala. wajahnya kaku dan
dingin.
"Tampaknya kau sudah mempunyai rencana sejak semula," ujar
gadis itu.
"Rencana apa?" tanya Sun Put Ce.
"Kehilangan sebuah lengan," sahut Bwe Mei.
Sun Put Ce terpana,
"Apakah kau mengira bahwa aku sudah tahu kalau Chow Ai Giok
akan mencari kita?" tanya Sun Put Ce.
"Bukan begitu. Namun dalam benakmu, kau sudah mempunyai
suatu niat," kata Bwe Mei.
"Niat apa?" tanya Sun Put Ce.
Sekali lagi Bwe Mei terdiam.
"Kau jangan berpikir yang tidak-tidak, Kehilangan lengan ini sama
sekali di luar perkiraan, Gerakan yang aku lakukan terlalu mendadak,
Kalau saja lengan ini tidak kutung, mungkin kita berdua harus
menerima kematian," lanjut Sun Put Ce.
"Tidak! Beberapa hari sebelumnya kau berlatih bersama-sama
aku. Pada saat itu kau sengaja mengikat lengan kananmu, Kau
mengatakan bahwa berlatih dengan orang yang menggunakan
tangan kiri, lebih baik mengikuti dengan tangan kiri pula, Hasilnya
akan lebih mengejutkan," kata Bwe Mei.
"Kau..." Sun Put Ce tidak sanggup melanjutkan perkataannya.
"Aku tahu, ketika itu kau sudah mengambil keputusan, Untuk
menghibur diriku, dan agar aku tidak terlalu merasa rendah diri, kau

rela mengorbankan lengan kananmu kalau perlu, Kau ingin kita
sama-sama merasakan penderitaan ini," kata Bwe Mei.
"Tidak, A Mei... itu hanya perkiraanmu saja," sahut Sun Put Ce.
"Sun Toako.... Untuk apa kau melakukan semua ini?" desak Bwe
Mei.
"A Mei.... Sama sekali tidak ada maksud demikian," sahut Sun Put
Ce.
Jilid: 14
Dua pasang mata bertemu. Bwe Mei tahu, persoalannya tentu
tepat seperti apa yang diduganya, Tiba-tiba dia menjatuhkan diri ke
dalam pelukan Sun Put Ce.
"Sun Toako, aku berhutang terlalu banyak kepadamu Seumur
hidup ini, bagaimana aku harus membalasnya?" kata gadis itu sambil
menangis tersedu-sedu.
"A Mei.... Tidak usah membalas, apalagi menyimpannya sebagai
beban di hati, Asal kau tidak meninggalkan aku, dan aku boleh
sering-sering melihatmu, berarti semua yang kulakukan tidak siasia,"
sahut Sun Put Ce sambil balas merangkulnya dengan ketat.
"Toako.... Apakah kau akan meninggalkan aku?" Bwe Mei
membalikkan pertanyaannya.
"Mengapa aku harus meninggalkan dirimu?"
"Mungkin pada suatu hari kau akan bertemu dengan seorang
perempuan, ia tidak cacat sama sekali.,." Sun Put Ce membekap
mulutnya, Kedua orang itu berangkulan dengan erat, Mereka belum
pernah saling mendekap sedemikian ketat dalam keadaan sadar, Hal
ini adalah untuk pertama kalinya.

"Sejak hari ini, keadaan kita sama. Dalam segala kesulitan, kita
harus bahu mem-bahu menghadapinya, Bukankah hal ini baik
sekali?" kata Sun Put Ce.
"Sun Toako, kalau kita meminta dua kali bayaran dari Chow Ai
Giok atas apa yang diperbuatnya, dia akan menjadi seorang cacat
yang tidak mempunyai kaki dan tangan, Tentu orang akan
menganggapnya sebagai makhluk aneh," sahut Bwe Mei.
"A Mei... Aku mengijinkan kau membalas dendam. Tapi ingat, kita
bukan manusia keji seperti dirinya, Kita tidak boleh membalas
seperti apa yang dilakukannya terhadap kita," kata Sun Put Ce
menasehati
"Toako, kalau aku tidak membuntungi sebelah kaki dan
tangannya, rasa sakit di hati ini tidak akan hilang selamanya," sa-hut
Bwe Mei.
"Dendam memang harus dibalas, tapi...." Dia tidak melanjutkan
kembali.
"Toako, aku tidak dapat menahan diri," sahut Bwe Mei.
"Jangan begitu, Aku menjadi marah nanti" sahut Sun Put Ce.
"Toako, kau kehilangan lengan demi diriku. Bagaimana hatiku
takkan perih?" tanya Bwe Mei.
"A Mei.... Kalau kau berkata begitu, dirimu sendiri pernah
kehilangan sebelah lengan demi aku," kata Sun Put Ce.
"Tidak, Toako, Bukan begitu kejadiannya," sahut Bwe Mei.
"Mengapa bukan? Ketika dia melukaimu hari itu, apakah tidak ada
hubungannya denganku?" tanya Sun Put Ce.
"Tidak, Toako, Tidak," Bwe Mei menggelengkan kepalanya berkalikali.

Kedua orang itu berpelukan kembali, Lama sekali mereka berdiam
diri.
"Toako.... Kalau semua urusan sudah selesai, apakah kau akan
mengawini aku?" tanya Bwe Mei.
"Aku tidak sabar lagi untuk segera mengawini dirimu," sahut Sun
Put Ce. "A Mei.... Coba kau berlatih lagi agar kulihat," lanjutnya.
-o0o-
Malam sudah larut. Angin bertiup kencang, Sebuah penerangan
melambai-lambai karena hembusan angin tersebut Burung hantu
tidak hentinya meratap.
Kuburan itu sudah digali. Di dalamnya tampak sebuah peti
bermutu tinggi, Di batu nisan terbaca deretan huruf - Makam
pendekar segala jaman Tang hay sin sian.
Siapa yang mengggali kuburan itu?
Tang hay sin sian sudah mati. Fang Tiong Seng yang
menguburkannya. Di sekitar kuburan sunyi senyap, Tidak terlihat
seorang manusia pun. Hanya sebuah lentera yang redup.
Tampaknya sinar penerangan itu sudah amat redup.
Setiap saat angin yang kencang akan memadamkannya. Di
samping batu nisan terdapat beberapa macam bunga dan gunting
serta berbagai peralatan lainnya.
Tiba-tiba dari arah kiri kuburan-kuburan tua itu berjalan dua
orang manusia, Keduanya adalah kaum perempuan, Yang seorang
ialah It ki bwe Lian lian dan yang satunya lagi sudah pasti Siau kiong
cu Lu ji.
Kecantikan Siau kiong cu sudah mulai pudar, Dia tampak kurus.
Matanya tidak memancarkan sinar terang, Dalam usianya yang
masih demikian muda, sudah mengalami berbagai kejadian.

Dia telah kehilangan ayah yang dikasihinya, sekarang harus
berpisah lagi dengan kekasihnya. Asal dia tahu pemuda itu baik-baik
saja, mungkin hatinya akan lebih tenang, Namun dia sudah lama
tidak menerima kabarnya.
Pernah tersirat dalam benaknya untuk bunuh diri, Namun setiap
kali ilmu merangkai bunga peninggalan ayahnya teringat, dia tidak
dapat meneruskan niatnya lagi. ilmu yang berhasil dipelajari Kwe Po
Giok belum sempurna, nasib kaum Bulim terletak di tangannya.
Dia tidak dapat menyia-nyiakan pengorbanan ayahnya, oleh sebab
itu, dia terpaksa menahan semua penderitaan dan melanjutkan
hidup. Siau kiong cu dibawa ke samping makam Tang hay sin sian,
Dia menatap dengan sedih.
"Bukankah ini makam ayahku?" tanyanya sendu.
"Betul! Malam ini aku ingin kau melihat wajah ayahmu sekali lagi
untuk terakhir kalinya," kata Lian lian.
Tubuh Siau Kiong Cu bergetar.
"Apa maksudmu? Apakah kau ingin membunuhku?" tanyanya.
"Membunuhmu?" Lian lian tertawa terkekeh-kekeh.
"Apa sebetulnya yang hendak kau lakukan?" tanya Siau Kiong Cu
cemas.
"Bukankah aku ingin kau melihat wajah Ling cun (ayahmu) untuk
yang terakhir kalinya?"
"Aku sudah melihat wajah ayahku ketika hendak dimakamkan Kau
manusia keji yang tidak segan melakukan segala macam perbuatan
terkutuk!" sahut Siau Kiong Cu dengan wajah merah padam.
"Dengarkan baik-baik. ini peringatanku untuk terakhir kalinya,
Semua yang kau perlukan telah disediakan Bunga, pot kembang,
gunting dan lain-lain. Aku ingin kau menunjukkan rangkaian bunga

peninggalan Tang hay sin sian sekali atau dua kali. Kali ini jangan
main-main!" bentak Iian Iian.
"Aku memang tidak mengerti apa yang kau maksudkan!" sahut
Siau Kiong Cu"
"Plok! Plok!" Pipi Siau Kiong cu ditampar kiri kanan Gadis itu
terjatuh di atas tanah. Dua bekas telapak tangan tertera jelas di
pipinya, Memang cukup keji. Seakan yang ditampar bukan pipi yang
halus dan lembut.
Baru pertama kali Siau Kiong Cu merasakan tamparan, hatinya
mulai mengenali sifat manusia yang banyak macam ragamnya.
"Kau pikir aku sedang bercanda?" umpatan yang kotor lantas
keluar dari bibir Lian lian.
Siau Kiong Cu sekali lagi terpana, perempuan ini tampaknya
adalah seorang yang mengenyam pendidikan tinggi, Ternyata dia
begitu tidak tahu malu, Mana ada perempuan yang mengeluarkan
kata-kata sekotor itu? Sejak zaman dahulu kala, perempuan yang
dapat mengucapkan perkataan seperti itu hanya mereka yang
bekerja sebagai penghibur kaum laki-laki. Sedangkan pernah ada
dua orang terkenal yang membunuh orang karena mengucapkan
kata-kata tersebut di hadapan mereka.
Lian lian menuding kepala Siau Kiong Cu.
"Budak hina... Dengarkan baik-baik. Kalau kau berani sepatah
kata, "tidak" lagi, maka aku akan segera melemparkan tubuh yang
ada dalam peti mati ini ke bawah gunung agar menjadi pengisi perut
serigala yang kelaparan sedangkan dirimu akan kujual ke rumah
hiburan!" bentaknya.
Selama hidupnya, Siau Kiong Cu menetap di Pak hay (Lautan
utara). Dia tidak pernah melihat perempuan sejahat ini. Setiap tahun
ada perampok-perampok besar yang mengantarkan hadiah sebagai
upeti kepadanya, semuanya bersikap sopan dan hormat perempuan
yang begini keji sungguh mengejutkannya.

Lian lian bukan hanya menggertak, begitu perkataannya selesai,
dia segera mencari sebuah alat pertukangan dan membuka penutup
peti tersebut.
"Krek! Krek!"
Suara peti itu terasa menyayat hati Siau Kiong Cu.
Dia menghampiri peti mati ayahnya. Tubuh orang tua itu sudah
mulai membusuk. Orang yang sudah meninggal pun tidak dapat
tenang. Siau Kiong Cu merasa sedih sekaligus marah.
"Kau... kau terhitung manusia atau bina-tang? Manusia yang
sudah meninggal pun tidak kau biarkan tenang!" jerit gadis itu.
"Aku tanya sekali lagi, Kalau kau masih menolak bekerja sama,
uhu akan membuang peti mati dan isinya ke bawah gunung!" bentak
Lian lian.
Perempuan ini menunjukkan sifatnya yang keji, tanpa perasaan
dan berdarah dingin. Tangannya terulur untuk merenggut peti mati
tersebut Diangkatnya peti itu ke atas. Dia seakan sudah siap
melemparkannya ke bawah gunung, jangan kata perempuan ini
betul-betul akan menjualnya ke rumah hiburan, biarpun hanya peti
mati itu saja yang dilemparnya ke bawah gunung, bagaimana
mungkin Siau Kiong Cu sampai hati membiarkannya? Karena terlalu
sedih gadis itu sampai jatuh pingsan.
Ketika tersadar, hal pertama yang dilihatnya adalah peti mati
ayahnya. Sebelah tangan Lian lian masih menahan peti mati
tersebut, Asalkan kepalanya digelengkan dia segera akan
melemparkannya ke bawah.
Luas gunung itu tidak sampai lima puluh depa saja. Dengan ilmu
yang dimiliki Lian lian, tentu tidak sulit untuk menyeretnya ke tepi
jurang. Apalagi dengan kekejaman hatinya, dia tentu bukan hanya
sekedar menggertak.

Siau Kiong Cu merenung sejenak, Akhirnya dia mengambil
keputusan.
"Baiklah... aku akan mengabulkan permintaanmu," katanya.
"Aku ingin seluruhnya, jangan sampai ada yang tertinggal!"
Siau Kiong Cu menangis pilu.
"Peristiwa sudah menjadi seperti ini, mana mungkin aku
merahasiakan apa-apa lagi. Aku hanya berharap agar kau
memakamkan ayahku dengan baik. Semuanya harus seperti
semula," kata Siau Kiong Cu.
"Tenangkan hatimu, Asal kau tidak berbuat yang bukan-bukan,"
sahut Lian lian.
Siau Kiong Cu mendeprok di atas tanah.
Dia mulai merangkai bunga. Lian lian berdiri di belakang
memperhatikan Dia ingin tahu apakah kali ini gadis itu
mempermainkannya kembali atau tidak, Setiap kali Siau Kiong Cu
merangkai sekuntum bunga, dia memerintahkan anak buah yang
baru muncul menirukan sejurus, Kalau gerakan mereka salah, dia
akan meminta Siau Kiong Cu untuk mengulanginya kembali. Dan bila
dirinya sudah merasa puas, dia akan mencatatnya di atas selembar
kertas, Secara diam-diam Lian lian juga mengingat dalam hati.
Sampai kentungan keempat lebih, Lian lian mengatakan bahwa
apa yang diperlihatkan hari itu sudah cukup, Setelah kembali ke
rumah, baru melanjutkan lagi. Pada saat itu juga dia memerintahkan
anak buahnya menutup kembali peti mati Tang hay sin sian dan
menguburkannya kembali. Setelah itu, dia mengajak Siau Kiong Cu
kembali ke Cui goat si.
Siau Kiong Cu bukan orang yang tidak waspada, Setiap manusia
yang menghadapi bahaya, pasti akan mencari akal untuk melindungi
dirinya sendiri, Dia harus berusaha mengulur waktu. Asal dia dapat
memperpanjang satu hari berarti kesempatan untuk hidup pun
bertambah satu hari.

Dia mengetahui dengan jelas bahwa Lian lian tidak akan
menyiarkannya hidup kalau seluruh ilmu yang tersimpan dalam
rangkaian bunga telah selesai dipelajari Apalagi setelah mereka
kembali ke Cui goat si.
Dia tidak melihat kepala biara dan kedua nikouw. Dia menanyakan
hal tersebut kepada Lian Han. jawaban perempuan itu tidak
menunjukkan suatu yang berarti, dia semakin bertekad untuk
melindungi dirinya sendiri.
Dia berharap Kwe Po Giok dapat menemukan tempat itu dan
menyelamatkannya, Dia ingin menurunkan warisan ayahnya kepada
pemuda tersebut, agar dapat menyingkirkan bahaya bagi kaum
Bulim.
Lian lian tidak begitu mengerti cara merangkai bunga. Yang
ditakutinya adalah kalau Siau Kiong Cu menyembunyikan beberapa
titik yang penting. Karena cara merangkai bunga memang banyak
alirannya, Setiap aliran mengandung perubahan tersendiri Asalkan
apa yang dijelaskan Siau Kiong Cu masuk akal, mereka terpaksa
mempercayainya.
Gadis itu menjelaskan dengan terperinci setiap rangkaian yang
dibuat olehnya, Bagaimana cara menggunting, merekat dan
memasang di dalam pot bunga? Lian lian memperhatikan dengan
seksama. Tidak terdapat kesan bahwa gadis itu sedang menipunya,
namun hatinya masih tetap curiga.
Pada hakekatnya, Siau Kiong Cu memang tidak merahasiakan
terlalu banyak. Tapi ada satu hal yang tidak diketahui oleh Lian lian,
Yaitu merangkai bunga bukan hanya memerlukan kecerdasan,
melainkan harus ada rasa bersatu antara pengetahuan dengan
kepintaran orangnya sendiri. Siau Kiong Cu tidak merasa perlu
menjelaskan hal tersebut.
Nama setiap jenis rangkaian bunga juga sangat berpengaruh
dalam mendalami ilmu yang satu ini. Misalnya jenis rangkaian yang

diberi nama "Hutan belantara nan menghijau" ada lagi yang diberi
nama "Mata sebening salju" dan "gadis remaja".
Semua itu harus diresapi artinya secara mendalam dengan
demikian orang baru dapat mempelajari ilmu pedang tersebut
dengan sempurna.
Satu hal yang dapat dipastikan oleh Siau kiong cu, seorang
manusia bila dijejali bermacam-macam pengetahuan dalam waktu
singkat, malah akan menjadi semakin sulit untuk dimengerti Dengan
cara demikian, waktu yang diperlukan pun semakin banyak. Dari diri
Lian lian, dia sudah mempelajari banyak hal termasuk kelicikan
manusia, perempuan ini seperti sebuah cermin, pantulannya telah
memperlihatkan banyak segi kekurangan Dalam kata lain, dia tidak
mungkin akan mudah tertipu lagi.
-oooo0oooo-
Akhir-akhir ini Fang Tiong Seng sibuk berlatih ilmu silat, terutama
ilmu pedang, Dia selalu berlatih di malam hari. Dia pernah
mengatakan, meski dirinya tidak mati di bawah pedang Toa Tek To
Hun, tapi hal itu tetap merupakan sesuatu yang memalukan.
Malam ini, guru dan kedua muridnya duduk bersama meminum
arak. Peristiwa seperti ini sudah lama tidak terjadi.
"Kabar berita Toa Tek To Hun tidak terdengar lagi. Apakah
mungkin dia sudah kembali ke Fu sang?" gumam Fang Tiong Seng.
"Dia belum membunuh seluruh ko chiu di Tionggoan," Mo Put Chi
menanggapi.
"Meskipun belum membunuh semuanya, tapi hampir sama
dengan mati semuanya," sahut Sun Put Ce.
"Sute pasti mempunyai pandangan yang tinggi," kata Mo Put Chi.
"Suhu ada di sini, mana mungkin aku berani sembarang berkata,"
sahut Sun Put Ce.

"Suhu dulu terlalu memandang rendah dirimu, Kalau ada sesuatu
yang terpikir olehmu, mengapa tidak mengatakannya saja? Kita guru
dan murid juga sudah lama tidak berbincang-bincang," kata Fang
Tiong Seng.
"Teecu tidak pandai bicara," sahut Sun Put Ce.
"Orang yang mengaku dirinya tidak pandai berbicara, biasanya
adalah orang yang hanya mengucapkan kata-kata yang masuk akal
saja. Sudahlah.... Kau katakan saja apa yang terkandung di hatimu,"
kata Fang Tiong Seng,
"Jago dalam dunia Bulim memang banyak, tapi sejak melihat
bahaya yang besar, mereka malah menyembunyikan diri, Hal ini
sama saja dengan tidak adanya jago di Tionggoan, Para pendekar ini
sebelumnya begitu mementingkan nama besar. Sekarang mereka
malah bersembunyi agar dirinya selamat, Buat apa Tionggoan
mempunyai pendekar yang begitu pengecut dan hanya
mementingkan diri sendiri? Sejak Toa Tek To Hun menghilang akhirakhir
ini, mereka baru berebutan keluar untuk merajai kaum Bulim,"
sahut Sun Put Ce.
"Bagus!" seru Fang Tiong Seng sambil mengacungkan jempolnya.
"Selama ini kata-katamu tidak pernah ditanggapi, semua ini adalah
kesalahan Suhu semata."
"Teecu memang bodoh," sahut Sun Put Ce.
"Sute... Kwe Po Giok adalah teman baikmu, mengapa dia pergi
tanpa mengucapkan sepatah kata pun? Sungguh tidak mengenal
budi," kata Mo Put Chi.
"Kalau dikatakan teman baik, rasanya tidak juga. Mungkin dia ada
kesulitan yang tidak dapat diutarakan," sahut Sun Put Ce. Dia bukan
tidak mau mengakui Kwe Po Giok sebagai teman dekatnya, namun
dia takut hal ini akan berakibat buruk bagi pemuda tersebut.
"Apa yang disebut teman baik adalah orang yang tidak perduli
jarak jauh tapi tetap datang bila kita memerlukannya, orang yang

mempercayai kita seperti dia mempercayai dirinya sendiri. Juga
orang yang tidak mementingkan keselamatan dirinya sendiri asal
dapat menolong kita dari bahaya. Orang yang demikian baru dapat
disebut teman baik," kata Fang Tiong Seng.
Mo Put Chi kagum sekali mendengar ucapan suhunya, Sun Put Ce
duduk mematung. Dia tidak berkata apa-apa.
"Aku yakin kalau Siau kiong cu, Kwe Po Giok dan dayang Cui thian
mempunyai jalinan yang erat, Mungkin ketiga orang itu sedang
berada di tempat yang sama," kata Mo Put Chi.
"Kemungkinan besar, sejak Tang hay sin sian mengorbankan diri
untuk kepentingan kaum Bulim, Siau kiong cu dan dayang Cui thian
pasti sangat sedih, Mungkin mereka berjalan bersama ke suatu
tempat dengan harapan akan menemukan seorangjago berilmu
tinggi supaya dapat membantu mereka membalas dendam." tukas
Fang Tiong Seng.
"Apa yang diterka Suhu pasti benar. Mungkin Kwe Po Giok juga
ikut dengan kedua orang itu," sahut Mo Put Chi.
"Siapa?" bentak Fang Tiong Seng tiba-tiba. Suaranya belum
hilang, orangnya sudah menghambur lewat jendela.
Sun Put Ce dan Mo Put Chi juga ikut menyerbu keluar, namun
bayangan suhunya sudah tidak kelihatan Mereka memencar diri
untuk mencari, namun tidak bertemu juga.
Sun Put Ce kembali ke tempat tinggalnya, Di dalam ruangan
terdengar sebuah suara yang rendah, "Lao Sun...."
Hati Sun Put Ce terkejut Bayangan yang dilihat suhunya ternyata
adalah pemuda ini. Dia masuk ke tengah ruangan, Kwe Po Giok
berdiri di tempat itu.
"Siau Kwe... mengapa kau pergi tanpa mengucapkan apa-apa?"
tanyanya, Kwe Po Giok masih tetap seperti tempo hari. pakaiannya
lusuh, wajahnya murung.

"Lao Sun.... Aku lelah sekali," katanya.
"Apakah kau belum berhasil menemukan Siau kiong cu?" tanya
Sun Put Ce.
Kwe Po Giok menggelengkan kepalanya,
"Mungkinkah dia ada di dalam gedung ini?" tanya Kwe Po Giok
kembali. Sun Put Ce terpana.
"Mengapa kau bisa mempunyai pikiran demikian?"
"Fang Tiong Seng sudah mulai kacau, Hal aneh apa pun dapat
dilakukan olehnya," sahut Kwe Po Giok.
"Apakah kau yang menyembunyikan diri di balik jendela dalam
ruangan tengah tadi?" tanya Sun Put Ce.
"Tidak salah," sahut Kwe Po Giok.
"Kau tidak ingin bertemu dengan Suhu?" tanya Sun Put Ce
kembali.
"Kau pasti mengerti alasannya," sahut Kwe Po Giok sambil
menggelengkan kepalanya.
Bagaimana mungkin Sun Put Ce tidak mengerti? Tempo hari dia
mendapat perintah suhunya untuk membunuh Kwe Po Giok, justru
karena rasa kasihan pemuda itu, maka dirinya tidak mati, Hal ini
juga merupakan alasan mengapa Kwe Po Giok berani menemuinya
hari ini.
"Apakah dayang Cui thian ada di tempat ini?" tanya Kwe Po Giok.
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya, "Apa? Apakah dia juga
menghilang?" tanya Kwe Po Giok terkejut.

Sun Put Ce merenung sekian lama, "Kau harus lebih berhati-hati,"
katanya, "Aku tahu, namun aku curiga mungkin Siau kiong cu ada di
tangannya," sahut Kwe Po Giok.
"Untuk sementara ini, aku berani menjamin tidak," kata Sun Put
Ce.
"Kalau kau begitu yakin, apa yang dapat kukatakan lagi?" sahut
Kwe Po Giok.
"Apakah Toa Tek To Hun sudah pergi?" tanya Sun Put Ce dengan
suara rendah.
"Sudah," sahut Kwe Po Giok. Raut wajahnya terasa aneh.
"Pulang ke Fu sang?" tanya Sun Put Ce.
Kwe Po Giok menggelengkan kepalanya.
"Siau Kwe.... Tampaknya pikiranmu sedang kalut," kata Sun Put
Ce.
"Karena Lu ji, pikiranku memang ada sedikit kacau," sahut Kwe Po
Giok.
"Rentetan pembunuhan yang dilakukan oleh Toa Tek To Hun
sudah berhenti semestinya dia sudah kembali ke negara asalnya,"
kata Sun Put Ce.
"Tidak," sahut Kwe Po Giok.
"Tidak? Kalau begitu mengapa dia tidak membunuh para jago
kaum Bulim lagi?" tanya Sun Put Ce bingung.
"Apakah kau berharap kalau dia melanjutkan pembunuhan
tersebut?" tanya Kwe Po Giok.
"Tentu saja tidak! Tapi dia tidak mempunyai alasan untuk berhenti
membunuh, sedangkan para jago di Tionggoan masih demikian

banyak, Kecuali kalau dia telah bertemu dengan seorang jago yang
benar-benar berilmu tinggi dan dirinya terluka parah atau dibunuh,"
sahut Sun Put Ce.
"Tidak salah! Dia memang telah mati!" kata Kwe Po Giok.
Hati Sun Put Ce tergetar Dia terkejut sekali mendengar berita ini.
Namun dia senang juga bahwa akhirnya ada yang sanggup
membunuh manusia berdarah dingin itu..
"Bagus sekali! Ternyata ada pendekar Tionggoan yang dapat
membalaskan hinaan ini," sahutnya.
Kwe Po Giok justru memperlihatkan wajah murung, Dia sama
sekali tidak senang mendengar peristiwa ini.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau dia sudah mati?" tanya Sun Put
Ce.
"Karena aku melihatnya dengan mata kepala sendiri," sahut Kwe
Po Giok.
"Siapakah pendekar yang berjiwa mulia ini?" tanya Sun Put Ce.
Kwe Po Giok menggelengkan kepalanya, Dia diam seribu bahasa.
"Mengapa? Apakah kau juga tidak mengetahui siapa ko chiu ini?"
tanya Sun Put Ce heran.
"Bukan! Biarpun kulitnya dikelupas dan yang tinggal hanya
tulangnya, aku tetap dapat mengenali orang ini," sahut Kwe Po Giok.
"Orang seperti dirimu sangat aneh. Mungkin setiap Sin tong pasti
mempunyai keanehan," kata Sun Put Ce.
"Kalau dijelaskan, hal ini sangat memilukan. Lao Sun, sangat tidak
aman kalau meninggalkan Bwe Mei di luaran," sahut Kwe Po Giok.

"Kami sudah pindah ke tempat lain. Rasanya tidak mungkin terjadi
apa-apa," kata Sun Put Ce.
"Kalau kalian tidak keberatan, aku bisa mengajarkan ilmu pedang
peninggalan Tang hay sin sian," sahut Kwe Po Giok. Suara langkah
kaki terdengar oleh kedua orang itu. Sun Put Ce mengisyaratkan
agar dia menyembunyikan diri.
Ternyata Mo Put Chi yang masuk ke dalam ruangan.
"Sute.... Apakah kau berhasil mencari orang itu?" tanyanya.
"Tidak, Suheng.... Di mana Suhu?"
"Mungkin mengejar sampai luar dusun," sahut Mo Put Chi.
"Lebih baik Suheng ke depan dulu untuk mempersiapkan makan
malam. Nanti siaute menyusul," kata Sun Put Ce.
"Kalau orang itu bukan Toa Tek To Hun, dia pasti juga merupakan
tokoh yang berilmu tinggi," sahut Mo Put Chi. Begitu perkataannya
selesai, dia segera melangkah keluar dari ruangan itu.
"Siau Kwe.... Kau sekarang sudah termasuk jago yang disegani
dalam dunia kangouw," kata Sun Put-Ce.
Dia tidak mendengar jawaban pemuda itu, begitu dia
membalikkan tubuh, ternyata Kwe Po Giok sudah tidak ada di
tempat itu lagi. Sun Put Ce berdiri dengan terpaku, Hatinya tidak
dapat tenang, banyak sekali persoalan yang berkecamuk di
benaknya. siapakah yang membunuh Toa Tek To Hun? Siapa yang
memiliki ilmu setinggi itu? sedangkan Siau Kwe menyaksikan dengan
mata kepala sendiri kalau manusia Fu sang itu memang sudah mati.
Meskipun bagaimana, hal ini tetap suatu masalah yang
menyenangkan Tetapi mengapa ketika Siau Kwe mengatakan hal itu,
wajahnya sama sekali tidak menampilkan kegembiraan?
-oooo0ooooKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Bagian Sembilan belas
Bok lang kun mempunyai pandangan tersendiri terhadap Sun Put
Ce. Oleh sebab itu, Sun Put Ce sangat menghormatinya. Kalau tidak,
bagaimana Bok lang kun akan memberitahukan rahasia yang
disimpannya dalam peti mati?
Rahasia yang dikemukakan orang sebelum ajalnya, tentu
merupakan sesuatu yang rahasia dan menggemparkan. sedangkan
orang yang dipercayakan rahasia tersebut, pasti merupakan orang
kepercayaan si mati.
Apa yang dilakukan orang sebelum ajal menjemputnya, bukan
suatu yang harus dikhawatirkan lagi, Bok lang kun mempunyai
keahlian dalam menilai seseorang Dia dapat melihat kalau Sun Put
Ce adalah seorang yang dapat diandalkan dan dipercaya. Dia juga
seorang manusia yang memegang janji, justru karena pandangan
Bok lang kun terhadapnya, dia juga tidak ingin membalas perbuatan
Chow Ai Giok dengan tindakan yang sama. Namun gadis itu justru
hidup dalam kebencian Dia menggunakan perasaan dendamnya
untuk melanjutkan hidup yang nista itu.
Kali ini dia datang lagi mencari Sun Put Ce dan Bwe Mei. Sebelum
berhasil membalas dendam atas kematian kakeknya, dia tetap akan
melampiaskan kekesalan hatinya terhadap kedua orang itu.
Namun dia menubruk tempat yang kosong, Bwe Mei sudah
dipindahkan ke tempat lain oleh Sun Put Ce.
Dini hari kentungan ketiga, Chow Ai Giok masih berada di atas
tempat tidur. Dia tidak memejamkan mata sepanjang malam Karena
hatinya digelayuti macam-macam persoalan Seorang tabib di
dalam.kota menyatakan bahwa dirinya telah hamil. Seorang gadis
yang belum menikah hamil, apalagi dia membenci laki-laki yang
menebarkan benih di rahimnya, maka hatinya sedih sekaIi. Dia
memikirkan sesuatu yang menakutkan.

Bagaimana mungkin seorang gadis seperti dirinya membawa perut
besar di hadapan orang? Bagaimana dia dapat menyembunyikan diri
selama berbulan bulan?
Sinar matahari mulai terbit, cahayanya cukup menusuk mata.
Tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke dalam kamarnya, Hal ini
sama sekali di luar dugaannya. Ternyata yang datang Kiau Bu Suang
lagi.
Apakah dia masih mempunyai gairah? Banyak sekali laki-laki di
dunia ini yang menganggap dirinya terlalu tinggi, Mereka merasa
sedikit sekali perempuan yang pantas mendampingi mereka seumur
hidup. Apakah Kiau Bu Suang termasuk laki-laki jenis demikian?
Sebetulnya Kiau Bu Suang cukup lumayan Di dunia Bulim aman
sekarang, bila hendak mencari laki-laki seperti dirinya sudah sangat
sulit. Chow Ai Giok tetap rebah di atas tempat tidur. Wajahnya tidak
menampilkan perasaan apa pun, Namun dalam hatinya, dia sedang
gelisah.
"Hm.... Bukankah kau sudah tidak bergairah lagi? Laki-laki busuk!
Aku lihat kau tidak dapat hidup tanpa diriku," katanya sinis.
Apakah Kiau Bu Suang persis seperti apa yang diduganya? Lakilaki
itu menunjukkan sebuah senyuman manis.
"Aku tahu kau pernah mencari seorang tabib di kota."
Chow Ai Giok terpana, Kalau dia sama sekali tidak
memperhatikannya, buat apa dia mencari tahu apa yang
dilakukannya selama ini? Dalam hati Chow Ai Giok timbul sebuah
perasaan haru.
"Ada apa kalau memang aku melakukannya?" tanyanya ketus.
"Aku juga tahu kalau dirimu sudah hamil," sahut Kiau Bu Suang.
Banyak laki-laki dan perempuan yang takut mendengar kata
"hamil, kalau sudah melakukan perbuatan mesum di luar

pernikahan, Apakah hamil dapat mempengaruhi kesenangan mereka
dalam melakukan hal tersebut? Apakah karena ingin melarikan diri
dari tanggung jawab, maka kehamilan akan membuat persoalan
lebih cepat selesai dan ceritanya akan bubar begitu saja?
Orang muda yang baru menikah, tentu akan senang begitu
mengetahui kalau dirinya sudah mempunyai keturunan. Tapi hal ini
tentu saja tidak berlaku bagi orang yang melakukannya untuk
kesenangan saja.
"Kalau benar, ada apa?" tanya Chow Ai Giok.
"Keterangan ini adalah hal yang menggembirakan Kiau Bu Suang
punya keturunan, berarti kau juga mempunyai tempat bersandar,"
kata laki-laki itu.
"Mungkin bagimu menggembirakan, tapi tidak bagi diriku," sahut
Chow Ai Giok.
"Ai Giok, perempuan memang ditakdirkan untuk melahirkan
anak," kata Kiau Bu Suang.
"Betul, perempuan memang harus melahirkan namun tidak boleh
melahirkan seekor anjing," sahut Chow Ai Giok sinis.
Kiau Bu Suang terpana.
"Ucapan apa itu?" tanyanya.
"Coba kau tanya pada dirimu sendiri, apakah dirimu melebihi
seekor anjing?" teriak Chow Ai Giok.
"Apa? Dalam hatimu kau anggap aku begitu rendah?" tanya Kiau
Bu Suang seakan tidak mempercayai pendengarannya.
"Kau anggap apa dirimu itu, Apakah kau seorang pendekar
sejati?" tanya Chow Ai Giok sambil mencibirkan bibirnya.

"Aku memang bukan seorang pendekar sejati, Aku hanya seorang
manusia biasa. Tidak heran bukan kalau seorang manusia bisa
melakukan sedikit kesalahan?" sahut Kiau Bu Suang.
"Bukankah kau sama sekali tidak mempunyai kegairahan untuk
kedua kalinya?" tanya Chow Ai Giok.
Kiau Bu Suang menepuk keningnya sendiri.
"Thian! Antara laki-laki dan perempuan perlu sedikit gelombang,
Kalau kehidupan kita datar saja, tentu tidak berarti lagi. Kalau habis
bertengkar, kita pasti akan lebih mesra dari semula kalau sudah
rujuk kembali Mengapa hatimu begitu picik? Sama sekali tidak
mempunyai selera humor?" sahutnya.
"Enyah! jangan harap menyentuhku lagi!" bentak Chow Ai Giok.
Kiau Bu Suang malah duduk ditepi tempat tidurnya.
"Ai Giok... Aku telah mengundang seorang Lo ma (pembantu tua)
untuk menemanimu Kau harus menjaga kesehatanmu agar bayi kita
dapat terlahir dalam keadaan sehat," katanya.
Chow Ai Giok tertawa dingin.
"Kau hanya menginginkan bayinya saja bukan? Aku tidak ingin
melahirkannya!" teriaknya.
"Tidak ingin melahirkannya?" tanya Kiau Bu Suang terkejut.
"Betul! Aku akan menggugurkannya!" sahut Chow Ai Giok.
Wajah Kiau Bu Suang berubah.
"Menggugurkannya? Ternyata kau dapat mengucapkan kata-kata
"menggugurkan" dengan demikian mudah!" sahut laki-laki itu
dengan mata mengandung amarah.

"Menggugurkan kandungan dengan bantuan seorang tabib yang
pandai, rasanya bukan suatu persoalan yang mengherankan," kata
Chow Ai Giok.
"Meskipun dilakukan oleh seorang tabib yang terkenal, juga tetap
ada kemungkinan terjadinya pendarahan!" sahut Kiau Bu Suang.
Seorang perempuan yang belum pernah melahirkan seorang
anak, tetap akan tahu adanya rasa sakit saat melahirkan bayi,
namun semua itu tidak akan berpengaruh apa-apa. Tetapi kata-kata
"pendarahan" membuat hati Chow Ai Giok bergidik. Dia takut
membayangkan hal tersebut.
"Meskipun harus mati, aku tetap tidak ingin melahirkan anakmu!"
katanya.
"Mengapa?" tanya Kiau Bu Suang tidak habis mengerti.
"Karena kau bukan manusia, Kau tidak mempunyai perasaan!"
sahut Chow Ai Giok.
"Aku tidak mempunyai perasaan? Kuberitahukan kepadamu, tiada
sedetik pun aku tidak memikirkanmu," kata Kiau Bu Suang.
"Kau tidak usah terlalu banyak berbual di sini!" sahut Chow Ai
Giok.
"Ai Giok, kau tidak mempercayaiku, Hatiku sangat sedih
mengetahuinya, Untuk masa depan kita, aku tidak akan
menghambur-hamburkan uang lagi, Malah aku sudah mulai
menabung, Kelak kita akan membangun sebuah rumah mungil di
atas pegunungan dan meninggalkan dunia ramai untuk selamanya,"
kata Kiau Bu Suang.
Tidak ada perempuan hamil yang tidak mengharapkan kehidupan
demikian, Setiap perempuan hamil pasti berpikir untuk mempunyai
tempat tinggal yang tetap. Tiba-tiba dia merasa bahwa dengan
mempunyai seorang suami seperti Kiau Bu Suang sudah lumayan

juga. Entah berapa banyak perempuan di dunia Bulim ini yang
mengharapkan jadi istrinya?
"Apakah kau benar-benar ingin membina rumah tangga?" tanya
Chow Ai Giok.
"Bagaimana tidak menikah kalau memang sudah punya anak?"
sahut Kiau Bu Suang.
Di wajah Chow Ai Giok tampil perasaan bahwa dia rela melakukan
apa pun yang diminta oleh Kiau Bu Suang, Laki-laki itu pun segera
menanggalkan pakaiannya.
-oooo0oooo-
Sekali lagi hujan dan badai berlalu, Chow Ai Giok tampaknya letih
sekali, "Apakah kali ini akan sama seperti dahulu?" tanyanya.
Kiau Bu Suang tidak bersuara. Dia turun dari tempat tidur dan
mengenakan pakaiannya kembali, kepuasan yang sempat tersirat di
wajah Chow Ai Giok hilang seketika.
"Apakah kau tidak akan mengulanginya untuk keempat kali?"
tanyanya.
"Omongan apa itu? Sampai seratus kali pun masih ada gairah!"
Tidak tersangka akan begitu banyak kesempatan yang ada. Chow Ai
Giok terpana sesaat.
"Tahukah kau siapa yang membunuh kakekku?" tanyanya.
"Bukan aku kan?" sahut Kiau Bu Suang.
"Aku tahu bukan kau!" bentak Chow Ai Giok, "Kau tidak akan
sanggup melakukannya."
Kiau Bu Suang sudah selesai berpakaian. Tampaknya dia hendak
meninggalkan tempat itu.

"Kau akan berlalu begitu saja?" tanya Chow Ai Giok.
"Kalau bukan berlalu dengan cara begini, apakah ada lagi cara
yang lain?" sahut Kiau Bu Suang.
Tiba-tiba Chow Ai Giok lompat dari tempat tidur. Dengan tidak
memperdulikan tubuhnya yang telanjang, dia menyambar pedang
dan menyerang Kiau Bu Suang.
Kiau Bu Suang tetap adalah Kiau Bu Suang, Sekali mengelit, dia
sudah ada di sebelah kanan perempuan itu. Tangannya terulur untuk
merebut pedang di tangan Chow Ai Giok, sekaligus mendorongnya
terjatuh ke atas tempat tidur.
Chow Ai Giok tahu bahwa Kiau Bu Suang masih ada kegairahan
untuk keempat kalinya. Kalau tidak, dia tentu sudah dibunuh oleh
laki-laki itu dengan mudah.
"Benarkah kau menginginkan anak ini?" tanyanya.
"Siapa yang tidak menginginkan darah dagingnya sendiri?" sahut
Kiau Bu Suang.
"Apakah kau lebih mementingkan anak daripadaku?" tanya Chow
Ai Giok kembali.
"Ada beberapa hal yang perlu kau pikirkan sendiri," sahut Kiau Bu
Suang.
"Apa maksudmu?" tanya Chow Ai Giok.
"Maksudku? Kalau aku mengatakan bahwa aku lebih
mementingkan dirimu daripada anakku, apakah kau akan percaya?"
sahut Kiau Bu Suang.
"Tidak!" kata Chow Ai Giok.
"Mengapa?"

"Karena anak ini masih mempunyai setengah darah dalam
tubuhmu, sedangkan darahku tentu kuperoleh dari ayah ibuku
sendiri," sahut Chow Ai Giok.
"Kalau kau dapat menjelaskannya dengan demikian terperinci
untuk apa kau bertanya lagi padaku?" Begitu perkataannya selesai,
dia segera meninggalkan tempat itu.
Chow Ai Giok menggebrak tempat tidur dengan marah. Namun
dia bertanya juga kepada dirinya sendiri, seandainya Kiau Bu Suang
datang kembali dan memohon untuk keempat kalinya. Apa yang
harus dia lakukan?
Siau kiong cu merangkai bunga setiap hari. Hal itu sudah
merupakan kebiasaannya sekarang. Tentu saja dia melakukannya
dengan terpaksa, Dia terus menerus menunjukkan rangkaian bunga
yang beraneka ragam.
Malam itu dia baru saja menyelesaikan tugasnya.
"Dapatkah kau mengatakan kepada saya di mana Kwe Po Giok
sekarang?" tanyanya.
"Dia baik-baik saja," sahut Lian lian.
"Di mana dia sekarang?" tanya Siau kiong cu sekali lagi.
"Pokoknya dia dalam keadaan baik-baik. Kalau kau ingin bertemu
dengannya, maka kau harus lebih rajin lagi menunjukkan semua
cara merangkai bunga yang kau kuasai," kata Lian lian.
"Aku sama sekali tidak menyembunyikan apa-apa," sahut Siau
kiong cu.
"Kau pasti menyembunyikan sedikit," kata Lian lian.
"Mengapa kau tetap tidak mempercayaiku?" tanya Siau kiong cu.

"Karena kalau aku menjadi dirimu, aku tetap akan
menyembunyikan sedikit," kata Lian lian.
Siau kiong cu terpana, Sedikit reaksi yang ditunjukkannya
barusan, sudah diketahui oleh Lian 1ian.
"Seandainya tidak dapat memaksamu mengemukakan seluruhnya,
aku hanya mempunyai dua buah jalan," kata Lian lian.
"Dua jalan apa?" tanya Siau kiong cu.
"Jalan pertama adalah melepaskan dirimu. Jalan kedua tentunya
membunuhmu." sahut Lian lian.
Siau kiong cu menarik nafas panjang, "Melepaskan atau
membunuh diriku tidak banyak bedanya," katanya.
"Bagaimana bisa tidak banyak bedanya?" tanya Lian lian.
"Karena hidup pun aku tidak merasa ba-hagia," sahut Siau kiong
cu.
"Aku ingin melepaskan dirimu," kata Lian lian.
Sekali lagi Siau kiong cu terpana. Namun dia tetap mengira kalau
Lian lian hanya menghibur dirinya saja.
"Kau pasti tidak menyangka kalau aku ingin melepaskan dirimu,"
kata Lian lian.
"Aku memang kurang percaya," sahut Siau kiong cu.
"Sebetulnya hal ini tidak perlu diherankan," kata Lian lian,
"Mengapa kau tiba-tiba berubah baik?" tanya Siau kiong cu.
"Karena dia mempunyai maksud tertentu terhadapmu," kata Lian
lian.

"Siapa dia?" tanya Siau kiong cu.
"Orang yang bekerja sama denganku, sekaligus kekasih," sahut
Lian lian dingin.
"Mengapa dia harus mempunyai niat tertentu terhadapku?" tanya
Siau kiong cu tidak mengerti.
"Matanya yang memberitahukan kepadaku. Mata seseorang
adalah alat pembuka rahasia. Bila seseorang laki-Iaki menyukai
seorang perempuan atau seorang perempuan menyukai seorang
laki-laki. Bagaimana pun tidak bisa ditipu dari sinar matanya," kata
Lian lian.
"Apa yang kau katakan mungkin benar," kata Siau kiong cu.
"Sekarang juga aku akan melepaskan dirimu."
"Sekarang?" tanya Siau kiong cu seakan salah dengar.
Lian lian menganggukkan kepalanya dengan tegas.
"Kau boleh pergi kemana saja, Aku tidak ambil perduli," katanya,
Hati Siau kiong cu tergetar
"Kalau kau memang benar-benar tulus, mungkin kelak aku akan
mengajarkan sisa rangkaian bunga tersebut," sahutnya.
"Terima kasih, sebetulnya aku sudah tidak terlalu mementingkan
persoalan itu lagi. Siau kiong cu, mengingat perbuatanku
sebelumnya, aku sungguh merasa malu," kata Lian lian datar.
"Kau?" tanya Siau kiong cu hampir tidak mempercayai
pendengarannya.
"Aku hanya mendengar kata-kata orang itu. Aku terlalu menurut
kepadanya," sahut Lian lian.
"Dalam hal ini kau tidak dapat menyalahkan dirimu, Kau juga
diperalat olehnya," kata Siau kiong cu.

"Mengapa kau hendak melepaskan diriku? Bagaimana kalau dia
sampai mengetahuinya?" tanya Siau kiong cu.
"Paling-paling aku dibunuh olehnya," sahut Lian lian.
"Kau dapat meninggalkannya jauh-jauh," kata Siau kiong cu.
"Jangan kau perdulikan diriku. Pergilah segera, Kau harus berhatihati,"
sahut Lian lian dengan sedih.
"Lian ci, tampaknya kau sebetulnya seorang yang baik, Kalau aku
sudah bertemu dengan Kwe Po Giok, aku tentu tidak akan
melupakan budimu ini," kata Siau kiong cu.
Air mata Lian lian mengalir dengan deras.
"Siau kiong cu, bila kau bertemu dengan aku kelak, harap jangan
menyebut kata budi. Aku tidak dapat menerima penghormatanmu
yang demikian tinggi," sahutnya.
"Tidak, Lian ci! seseorang bila benar-benar menyadari
kesalahannya dimasa lalu, Thian pun akan memaafkan Baik-baiklah
menjaga diri, Aku pergi...." kata Siau kiong cu.
Lian lian mengantarkannya sampai sejauh lima li dari Cui goat si.
Sebelum berpisah, Lian lian masih memberikan beberapa stel
pakaian dan uang sebanyak lima puluh tail.
Siau kiong cu seperti memasuki sebuah dunia yang lain.
Keberuntungan ataupun musibah kaum manusia memang susah diduga.
Apa yang tidak pernah terbayangkan ternyata dapat terjadi.
Gadis itu mungkin tersesat. Rupanya dia telah sampai di daerah
pegunungan. Di sebelah kanan ada sebuah air terjun yang deras,
Juga banyak tumbuhan yang lebat. Dia memasuki hutan kecil di
dekat air terjun.
Kira-kira sepeminuman teh, sebuah bayangan terlihat berkelebat
di sekitar tempat itu. Gerakannya cepat dan penuh rahasia. Orang

itu tidak melihat Siau kiong cu keluar kembali, Padahal dia tahu
kalau di balik hutan kecil itu justru merupakan sumber air terjun,
Lagipula keadaan di dalam sana sangat gelap. Orang yang ahli
dalam bidang perairan pun tidak berani memandang enteng tempat
itu. Lalu ke mana perginya Siau kiong cu?
"Kemana Siau kiong cu? Apakah dia dapat terbang?" gumam
bayangan yang ternyata seorang laki-laki itu seorang diri.
"Di dunia ini tentu tidak ada manusia yang dapat terbang,
Meskipun Tang hay sin sian sendiri semasa hidupnya juga tidak bisa
terbang, Namun kenyataannya Siau kiong cu benar-benar
menghilang dari tempat itu.
Kwe Po Giok kembali meminum arak bahkan arak yang di
minumnya sangat keras. Arak itu tidak murni, lagipula memakai
berbagai macam bahan campuran, Oleh sebab itu harganya pun
sangat murah, Sebab Kwe Po Giok sudah jatuh miskin.
Untung saja dia sangat cepat menyesuaikan diri. Ketika banyak
uang, dia menikmati segala macam kemewahan Arak yang dipilihnya
adalah arak mahal. Sekarang dirinya sedang melarat, maka dia
terpaksa mengikuti keadaan isi sakunya.
Siau kiong cu sudah lama menghilang, sukmanya juga ikut
melayang bersama gadis itu. Pada saat ini, matahari mulai
terbenam. sinarnya juga mulai memudar. Rumah makan itu maIah
menjadi ramai, tiba-tiba, seorang gadis cilik masuk kedalam
ruangan.
Dia meletakkan secarik kertas kecil di atas mejanya, Tadinya Kwe
Po Giok mengira bahwa yang diletakkan adalah bon minuman
Setelah lewat sekejap, dia baru memperhatikan dengan seksama.
Tulisan yang tertera di kertas itu rasanya tidak asing lagi.
"Pada kentungan kedua malam ini, harap datang ke daerah Kwan
tong. Kita bertemu di Coa kok (Lembah ular) Lu ji".

Mata Kwe Po Giok terbelalak. Hampir saja dia berteriak
kegirangan. Hatinya terlalu bersemangat suaranya bagai tercekat di
tenggorokan. Rasanya dia ingin tertawa terbahak-bahak untuk
menghilangkan kemurungannya selama ini.
Namun dia tidak berteriak ataupun meloncat-loncat. Dia hanya
menempelkan kertas tersebut di keningnya, Matanya terpejam
seakan yang melekat di pipinya saat ini adalah Lu ji.
Kerinduan selama satu bulan telah membuat hatinya tersiksa,
Kalau saja dia tidak merasa malu kepada dirinya sendiri, mungkin dia
akan menangis sampai keluar air mata darah. Hanya selembar kertas
dari Lu ji saja sudah dapat membuat perasaannya lebih lega. Dia
memperhatikan tulisan itu sekali lagi, Dia yakin pandangannya
memang tidak salah, itu memang tulisan Lu ji.
"Siau ji (pelayan)!" Caranya memanggil pelayan sudah jauh lebih
sopan.
Seorang pelayan mendekatinya.
"Apa yang Khek kuan perintahkan?" tanyanya.
"Antarkan makanan dan arak yang paling enak. Hari ini Tuan
muda mu ingin minum sampai puas," katanya.
Pelayan itu terpana sejenak, Karena selama ini dia hanya minum
arak murahan dan memesan sayuran saja, Pelayan itu mempunyai
mata yang tajam. Dia tahu tamu mana yang mempunyai banyak
uang. Dan tamu mana yang merupakan orang berpangkat. Sekali
lirik saja dia sudah mengetahuinya. Semua itu berkat
pengalamannya.
Pepatah mengatakan "uang dapat membeli segalanya", memang
benar. Asal kantong banyak uang, jalan pun dada akan dibusungkan
sebaliknya kalau kantong kempes, bicara apa pun orang tidak akan
perduli, pelayan itu mencatat pesanan Kwe Po Giok, namun matanya
terus memperhatikan pemuda itu. Bagaimana kalau sudah makan
dia kabur?

Tidak berapa lama pesanan Kwe Po Giok sudah datang, Dia
makan perlahan-lahan, dia ingin menunda waktu sampai kentungan
satu lewat baru pergi, namun waktu tampaknya lebih lambat dari
biasa, Detik demi detik serasa bertahun-tahun.
"Aku bisa berjalan dengan santai. Sambil menikmati
pemandangan sekitar tempat itu. Yang penting sebelum kentungan
kedua aku harus sampai di sana," pikirnya dalam hati.
Dia memanggil pelayan untuk menghitung jumlah makannya.
Semuanya empat tail tujuh ci. sedangkan jumlah uang di
kantongnya tidak lebih dari dua tail setengah. Dia merogoh-rogoh
kantongnya dengan harapan akan menemukan uang yang kurang,
tiba-tiba ada seseorang yang meletakkan segenggam uang perak di
atas meja.
"Siau ji.... Biar aku yang bayar," kata orang itu.
Kwe Po Giok menolehkan kepalanya, Temyata Sun Put Ce yang
datang. Pemuda itu tertawa getir.
"Kalau kau tidak datang, entah apa jadinya?"
"Katakan pada Ciang kui di sini untuk memasukkan bonmu atas
namaku," kata Sun Put Ce.
"Aku sama sekali tidak terpikir ke situ," sahut Kwe Po Giok.
"Lalu apa yang akan kau lakukan?" tanya Sun Put Ce.
"Aku bisa lari." Sahut Kwe Po-Giok. "Sekali-sekali makan gratis
kan tidak apa-apa."
"Kau bisa berbuat seperti itu?"
Kwe Po Giok menganggukkan kepalanya.

"Karena aku tidak mungkin bertele-tele dengan mereka, Waktuku
tinggal sedikit," katanya.
"Untuk apa kau tergesa-gesa?" tanya Sun Put Ce.
"Aku ingin menemui Luji!" sahut Kwe Po Giok.
Sun Put Ge ikut bergembira, Begitulah kalau seorang sahabat, Dia
tentu akan ikut merasakan, bila kita sedang bergembira atau pun
sedang bersedih, Meskipun hal itu tidak ada hubungan dengan
dirinya, Persoalannya sendiri sudah cukup banyak, namun pikirannya
tetap tidak dapat lepas dari Kwe Po Giok,
"Bagaimana? Kau sudah menemukan-nya?" tanyanya dengan
suara rendah.
"Malam ini baru ketemu," sahut Kwe Po Giok.
"Selamat. Tapi aku sarankan kau jangan berkeliaran di sekitar
rumah ini lebih lama," kata Sun Put Ce.
"Aku tahu, Terima kasih, Lao Sun." Dia menepuk pundak Sun Put
Ce berkali-kali, Kemudian meninggalkan rumah makan itu dengan
tergesa-gesa, Sun Put Ce memandang pemuda itu sampai
bayangannya menghilang di kegelapan.
"Siau Kwe sudah dewasa," gumamnya seorang diri.
Seorang dapat tumbuh dewasa dalam waktu sesingkat itu padahal
beberapa bulan sebelumnya dia masih seorang bocah cilik,
Kedewasaan seseorang bukan dinilai dari usianya, tinggi pendeknya
ataupun gemuk kurusnya, Tapi dinilai dari akal budinya.
Kira-kira kentungan kedua, Fang Tiong Seng kembali berlatih ilmu
silat di taman belakang, Akhir-akhir ini dia selalu berlatih di tempat
dan pada waktu yang sama karena pada saat seperti itu semua
orang sedang pulas dalam tidurnya. Tentu tidak ada yang akan
mengetahui apa yang sedang diperbuatnya.

Melatih diri untuk memperdalam ilmu apa salahnya? Namun dia
tidak mau ada yang mengetahuinya. Tiba-tiba, pedangnya ditarik
kembali.
"Siapa?" bentaknya sambil menghambur ke sebelah kiri.
Sekali sentak, tubuhnya melesat sampai sepuluh depa. Angin
dingin bertiup, Tidak terlihat sesuatu pun. Dia adalah seorang yang
banyak pengalaman, reaksinya sungguh cepat. Dia yakin tadi ada
seseorang yang mengintainya.
Dan ia juga tahu kalau orang tadi mempunyai ginkang dan
kesigapan kelas satu. Bersamaan dengan reaksinya ketika
mengetahui orang itu sudah kabur, Lagipula dia percaya orang itu
bukan perempuan.
Sekali lagi dia memeriksa di sekitar hutan kecil itu. Dia tidak
melanjutkan latihannya, Terhadap orang yang mengintai tadi dia
merasa sedikit curiga. Dia kembali ke taman belakang sambil
mengasah otak. Siapa orang itu? Dia harus dapat memikirkan siapa
orang itu, seandainya otaknya harus pecah, dia juga harus terpikir
Setelah masuk kembali ke dalam rumah, dia masih
menyempatkan diri berdiri di luar kamar Sun Put Ce dan Mo Put Chi
karena kedua orang ini membuat hatinya tidak tenang, Terutama
yang pertama, Orang di dunia ini yang dapat menimbulkan rasa
tidak tenang di hatinya hanya sedikit.
Siau Kwe menunggu di Coa kok sampai kentungan kedua.
Sebentar dia bersandar di sebuah batu besar, sebentar kemudian dia
berdiri dan berjalan hilir mudik, sebentar lagi dia berdiri mematung
serta menatap ke atas langit.
Dia tampak gelisah, akhir-akhir ini pikirannya kalut, Siau kiong cu
tidak bisa ilmu silat, di mana dia berada selama ini? Mungkinkah dia
seperti keadaannya saat ini? Rasa gairah untuk hidup telah hilang
sehingga lupa membasuh diri dan mencuci rambut?

Dia tidak dapat menduga dengan pasti, namun satu hal yang dia
tahu, Siau kiong cu sangat cantik, tidak mungkin Lian lian bisa
mencelakai dirinya.
"Perempuan." Hampir saja Kwe Po Giok melambaikan tangannya.
perempuan memang betul! Tapi tidak mirip Lu ji.
Cara jalan Lu ji sangat indah, Apa pun yang dilakukannya,
sikapnya selalu lemah gemulai penampilannya sangat anggun,
perempuan yang menghampirinya tidak menunjukkan sikap
demikian.
Ternyata Lian lian, Kwe Po Giok kecewa, Tapi Siau kiong cu
berada dalam genggaman Lian lian, lagipula huruf yang tertera di
atas kertas tadi adalah tulisannya, pasti Siau kiong cu berada di
sekitar tempat itu.
"Di mana Siau kiong cu?" tanya Kwe Po Giok.
"Mengapa begitu tergesa-gesa?" sahut Lian lian sambil tersenyum
manis.
"Di mana dia sebetulnya?" tanya Kwe Po Giok cemas.
"Sudah mati," sahut Lian lian.
"Kau... kau katakan dia sudah mati?" Wajah Kwe Po Giok pucat
seketika.
"Mengapa? Apakah dia tidak bisa mati? Adakah manusia yang
tidak bisa mati di dunia ini?" sindir Lian lian.
"Apakah kau yang membunuhnya?" tanya Kwe Po Giok,
tangannya segera menggenggam pedang yang terselip di ikat
pinggang. Dia belum pernah memegang pedang dengan tangan
yang begitu kuat. Matanya juga belum pernah memancar sedemikian
dingin dan menusuk.

"Memang aku yang membuatnya pergi, tapi siapa yang
membunuhnya aku tidak tahu. Bukankah sama saja?" sahut Lian
lian.
"Sret!!!"
Pedang Kwe Po Giok sudah terhunus. Siau kiong cu sudah mati.
Hal ini sama saja dengan kiamatnya dunia.
"Kau boleh membunuh siapa pun, asal bukan dirinya!" kata
pemuda itu sepatah-patah.
"Egois sekali!" sindir Lian lian.
"Tidak! Siau kiong cu terlalu baik budi, Dia dibunuh, di mana
keadilan Thian?" Pedang di tangannya ditusukkan ke depan, Lian lian
terpaksa mundur satu langkah.
Kepandaian Lian lian sangat tinggi, Kiau Bu Suangpun tidak berani
memandang rendah dirinya, Hal ini adalah kenyataan, tapi hati
perempuan itu tercekat melihat serangan Kwe Po Giok. Dia sendiri
belum terlalu mendalami ilmu pedang yang dilihat dari rangkaian
bunga Siau kiong cu, dia lebih-lebih tidak ingin bertarung dengan
Kwe Po Giok.
Dia sadar dirinya masih bukan tandingan pemuda itu, Namun ilmu
silat Lian lian sendiri memang sudah cukup matang, Kwe Po Giok
menyerang sebanyak lima kali, dia hanya berhasil membuat Lian I
lian mundur sebanyak tiga langkah.
Kwe Po Giok tidak puas melihat hasil serangannya, Tapi Lian lian
lain Iagi. Melihat kepandaiannya sekarang, pa!ing-pa-ling dia baru
terhitung jago kelas tiga atau bisa jadi empat Karena pandangan
setiap orang selalu membandingkan dengan yang nomor satu.
Kalau bisa malah melebihi yang nomor satu, Bisa mengalahkan
yang pertama berarti memenangkan diri sendiri pula.

Tiba-tiba Kwe Po Giok merubah gerakannya. Dia menyerang
sebanyak tiga kali, serangannya yang pertama telah membuat
lengan baju Lian lian koyak sebagian, serangan kedua membuat Lian
lian meloncat sejauh lima tindak.
Dia tahu dirinya tidak sanggup bertahan lagi, Kalau dia berani
menerima serangan ketiga, paling tidak dirinya akan terluka parah
atau mati."
"Tunggu sebentar!" teriak Lian lian, "Kwe Po Giok! Ada satu hal
yang ingin kukatakan kepadamu."
"Cepat katakan!" bentak Kwe Po Giok,
"Apakah kau mengira bahwa Siau kiong cu sangat menyukaimu?"
"Jangan mengoceh sembarangan!"
"Bukan mengoceh sembarangan Kalau menurut penglihatanku,
rasanya pemuda dambaan Siau kiong cu bukan dirimu!" kata Lian
lian.
"Bukan aku?" Kwe Po Giok tertawa dingin. "Kami mungkin
merupakan pasangan paling ideal di dunia ini. Siapa pun jangan
harap memecahkan kami."
Lian lian menggelengkan kepalanya seraya menampilkan sekulum
senyumab getir.
"Semua ini hanya kesalahan dalam menduga. Kau harus tahu,
antara laki-laki dan perempuan paling sering terjadi kesalah
pahaman seperti ini," katanya.
"Kau jangan harap dapat mengadu domba kami!" sahut Kwe Po
Giok.
Lian lian tahu ilmu pedang Tang hay sin sian sangat tinggi, Kwe
Po Giok belum berhasil menguasai seluruhnya, namun
kepandaiannya sudah begitu hebat, Hal ini membuat Lian lian
semakin kagum dan harus mendapatkan seluruhnya, Bersamaan

dengan serangan ketiga Kwe Po Giok, dia menghindar lagi sejauh
tiga depa. Tiba-tiba pemuda itu merasa kakinya anjlok, Hatinya
terkejut Kejadiannya begitu cepat, begitu dirinya sadar, dia segera
meloncat ke atas, namun tidak keburu lagi, Rupanya tempat yang
dipijak oleh Kwe Po Giok adalah sebuah perangkap.
Di tempat itu ada sebuah lubang yang tidak begitu dalam,
Ternyata Lian lian sudah menyediakan sebuah jaring untuk menjerat
pemuda itu, Maka dia menghindar terus sampai Kwe Po Giok tidak
menyangka dan menginjak perangkapnya, jaring itu segera
terangkat dan mengurung pemuda itu.
Kwe Po Giok tidak sempat lagi mengangkat pedangnya untuk
memutuskan jaring tersebut Dia tidak melihat Lian lian menarik
jaring itu. Dengan demikian, dia yakin di luar lembah Coa kok itu ada
seorang begundal perempuan itu yang melaksanakan tugas tersebut
Dengan pandainya Lian lian mengalihkan perhatian Kwe Po Giok
sehingga ia tidak menyadari bahaya yang mengincar.
Cara itu sebenarnya sangat sederhana, dan biasa dilakukan
terhadap binatang buas. Ternyata Kwe Po Giok yang sejak berusia
tiga tahun sudah mendapat sebutan Sin tong berhasil ditipunya.
itulah sebabnya, banyak orang yang mengatakan bahwa semakin
cerdasnya seseorang semakin dia menganggap remeh persoalan di
hadapannya. Ada kalanya menipu seorang yang cerdas malah lebih
mudah dari pada menipu orang bodoh.
Siau kiong cu tentu saja tidak lenyap begitu saja. Karena dia takut
dirinya diikuti Lian lian dan rekannya, maka dia menggunakan air
terjun tersebut sebagai tempat persembunyian. Orang yang
bagaimana pintar pun pasti ada lengahnya, Mereka berhasil ditipu
oleh Siau kiong cu.
Kedua orang itu mana tahu, Kwe Po Giok memang seorang Sin
tong sejak usia tiga tahun. Tapi Siau kiong cu sampat saat ini adalah
seorang yang berbakat. Orang yang kecilnya adalah Sin tong,
setelah dewasa belum tentu berguna kalau sudah dewasa, Siau
kiong cu merasa dirinya tidak mempercayai Lian lian.

Dia memang sangat cerdas, Setelah dirinya berhasil dikelabui satu
kali, tentu dia tidak akan membiarkan dirinya terpedaya sebanyak
dua kali, Sejak kecil ia hidup di Pak hay, bagaimana mungkin dirinya
tidak mengenal sifat air walaupun itu sebuah air terjun yang deras?
Sekarang, dia merubah dirinya dengan pandangan seorang
pemuda, Dia berjalan-jalan di dalam kota. Meskipun dia bertemu
dengan Lian lian atau kaki tangannya, belum tentu mereka
mengenali Siau kiong cu. Alisnya dikerengkan, kulit wajahnya agak
berkerut Di bawah dagunya terpasang sebuah jenggot yang lebat. Di
atas bibirnya terlihat segaris kumis tipis.
Dia melakukan semua ini bukan hanya untuk menghindari Lian
dan kaki tangannya, tapi dalam hatinya ada sebuah rencana besar.
Dia harus memastikannya secepat mungkin, rencananya boleh di
bilang terbalik dari sifat aslinya, tetapi dia tidak merasa merugikan
atau menguntungkan siapa pun.
Cara merias dirinya sangat hebat, Dulu dia sering memainkan
peran sandiwara di atas kapal ayahnya, Tang hay sin sian sendiri
yang memberi pengarahan kepada Siau kiong cu. Tujuan Tang hay
sin sian tentu bukan untuk main-main. Siau kiong cu tidak bisa ilmu
silat. Dia harus mempelajari sesuatu agar dapat terhindar dari
bahaya bila berkelana di Bu lim.
Saat itu, dia sedang duduk di sebuah rumah makan. Dari arah luar
datang dua orang laki-laki. Mata Siau kiong cu menyipit, tapi hatinya
berdebar-debar tidak menentu. Yang jalan di depan adalah Mo Put
Chi, sedangkan yang mengiringi di belakang tentu saja Sun Put Ce.
Kedua orang itu memang langganan rumah makan tersebut
apalagi mereka sangat royal dalam memberikan persenan, seorang
pelayan segera menampilkan senyuman lebar dan menyambut
mereka, Sun Put Ce dibawa ke meja di sebelah kiri Siau kiong cu.
"Sute.... Hari ini kita jangan makan ayam panggang," kata Mo Put
Chi.

"Suheng ingin makan apa, Siaute mengiringi saja," sahut Sun Put
Ce.
"Apakah kau suka makan daging babi hutan dan kijang?" tanya
Mo Put Chi.
"Boleh juga. Tapi tidak terlalu suka," sahut Sun Put Ce.
"Hari ini aku yang traktir, Sute pilih saja beberapa macam sayur
yang lain," kata Mo Put Chi.
"Suheng.... secukupnya saja, Tidak usah terlalu boros," sahut Sun
Put Ce tersenyum.
"Tentu, jangan karena aku yang membayar lalu tidak memikirkan
isi kantongku," kata Mo Put Chi membalas senyuman sutenya,
"Sute... Bukankah kau mengatakan bahwa kau akan mencari
seorang gadis untukku?"
Mo Put Chi lebih tua tiga tahun dari pada Sun Put Ce, tapi
mengungkit persoalan tersebut, mukanya masih merah padam.
Sun Put Ce tidak mengira suhengnya akan mengungkit masalah
tersebut.
"Siaute memang pernah berjanji," sahutnya.
"Apakah sulit menemukan seorang gadis yang sesuai dengan
diriku?" tanya Mo Put Chi.
Sun Put Ce berpikir sesaat
"Ada seorang nona... tapi entah Suheng menyukainya tidak?"
katanya.
"Siapa?" tanya Mo Put Chi dengan mata bercahaya.
"Lian lian," sahut Sun Put Ce.

"Nama ini pernah kudengar, namun orangnya belum sempat
bertemu," kata Sun Put Ce.
"Tuh!" sahut Sun Put Ce mendongakkan kepalanya seraya
menunjuk. Di sebelah kanan dekat jendela duduk seseorang yang
tampaknya seperti pelajar.
"Bukankah itu seorang laki-laki?" tanya Mo Put Chi keheranan.
"Palsu, Dia adalah It ki bwe Lian lian," sahut Sun Put Ce.
"Sute.... Bukankah kau sengaja bergurau denganku? Lian lian
sudah lama terkenal namanya, lagipula usianya pasti lebih besar tiga
atau empat tahun, hal ini tidak mungkin berhasil," kata Mo Put Chi
sambil menggelengkan kepalanya.
Jilid 15
"Yang siaute maksudkan adalah adiknya, It pian hun Lian hu,"
sahut Sutenya.
"Siapa pula Lian hu itu?" tanya Mo Put Chi semakin kebingungan
"Adik Lian-lian, Usianya sekitar duapuluh lima atau duapuluh
empat tahun, Sama cantiknya dengan sang cici," sahut Sun Put Ce.
"Boleh... boleh! Di mana dia sekarang?" tanya Mo Put Chi.
"ltu! pelajar muda tadi," sahut Sun Put Ce sambil menunjuk sekali
lagi ke arah laki-laki yang duduk di sebelah kanan.
"Bukankah tadi kau mengatakan bahwa dia adalah Lian-lian?"
tanya Mo Put Chi semakin heran.
"Tadi aku hampir menyangka dia adalah Lian lian. Suheng....
Mendekati seorang perempuan diperlukan keberanian Bagaimana
kalau mencoba mendekatinya?" Sun Put Ce menyarankan.

Untuk kebenaran, Mo Put Chi bisa menganggap kematian seperti
pulang ke rumah sendiri.
Mendekati seorang perempuan dia belum pernah mencoba,
hatinya merasa sedikit tegang. perempuan harus lemah lembut, lakilaki
harus sekeras baja.
Seorang laki-laki yang tidak pernah gentar menghadapi apa pun
ternyata tidak bisa membuka suara kalau menghadapi perempuan.
"Suheng.... Seorang guru hanya mendidik sampai ilmumu cukup.
Orang tua hanya membesarkan sampai kau bisa berdiri di kaki
sendiri. Siapa pun tidak membantumu dalam masalah ini, apalagi
membimbing dirimu sampai menjelang masuk kamar pengantin"
kata Sun Put Ce.
Mo Put Chi meremas-remas jari tangannya dengan gelisah.
"Sute.... Bagaimana kalau dia menghina aku di depan umum?
Haruskah diletakkan di mana wajahku ini?" tanyanya cemas.
"Lian lian mungkin bisa berbuat begitu, tapi Lian hu tidak," sahut
Sutenya.
"Bagaimana kalau pendapatmu salah kali ini?" tanya Mo Put Chi
ragu.
"Ada siaute di sini, tentu aku akan membelamu," sahut Sun Put
Ce.
Mo Put Chi bangkit dari tempat duduknya. Dia mengusap rambut
kepalanya berkali-kali, ditariknya pakaiannya agar terlihat rapi, Lalu
dia berjalan ke sebelah JuMoan.
Pertama-tama, Lian hu agak heran melihat dirinya, namun tidak
berapa lama kemudian, dia seperti mulai menanggapi Mo Put Chi,
Murid perguruan Fang Tiong Seng pasti mempunyai kelebihan yang
dapat diandalkan.

Mungkin Lian hu bisa bercakap-cakap dan berbicara dengannya
karena alasan yang satu itu juga. Benang Mo Put Chi sudah
tersambung, berkali-kali dia melirik ke arah Sun Put Ce seakan ingin
mengatakan "Sute, kau boleh juga."
Sun Put Ce meminta pelayan memesankan beberapa macam
masakan dan sekendi arak wangi, setelah itu dia menyuruh pelayan
tersebut mengantarkannya ke meja Lian hu. Dia membayar semua
pesanan itu dan pergi. Lu ji juga segera membayar makanannya dan
mengikuti dari belakang,
Cinta kasih seorang perempuan dan Iaki-laki memang aneh,
Kadang-kadang ada yang mengemukakan secara terus terang, tapi
tidak kurang banyak yang menyembunyikannya dalam lubuk hati,
Bahkan ada orang yang tidak menyadari bahwa dirinya mencintai
seseorang. Sekali menyadari, ternyata perasaan tersebut sudah
sangat mendalam.
Sun Put Ce datang ke tempat Bwe Mei. Gadis itu sendiri yang
membukakan pintu, Luji juga sudah melihat Bwe Mei. sebelumnya
dia pernah melihat gadis itu satu kali. Sekarang yang dilihatnya
adalah Bwe Mei yang telah kehilangan sebelah lengan.
Di antara mereka tidak terdapat budi atau pun dendam, Tapi pada
waktu ini, Siau kiong cu merasa sebuah perasaan janggal dalam
hatinya.
"Bwe Mei... Hari ini aku membawakan makan kesukaanmu, Ada
bakcang tausa, bakso goreng, sio may, kacang kedelai rebus, sop
ayam campur sui kiau (sejenis pangsit berisi udang dan bangkuang
yang dicincang), ada...."
"Sudah.... Masuk dulu!" Bwe Mei menarik tangan Sun Put Ce,
"Blang!" Pintu rumah itu tertutup rapat.
Pintu itu juga menutup pandangan Siau kiong cu. Hatinya terasa
kosong melompong, Namun, Lu ji adalah seorang gadis yang sabar.
Tindak tanduknya selalu lemah lembut. Orang yang sabar biasanya

juga merupakan orang yang percaya diri, Dia terpaku sejenak, dari
dalam rumah sayup-sayup terdengar suara tawa.
Mungkin orang akan berpikir, mayat Tang hay sin sian masih
hangat, tidak seharusnya dia memikirkan hal yang lain,
Kenyataannya dia memang menempatkan pembalasan dendam pada
urutan pertama, Persoalan pribadinya malah ditempatkan di
belakang, Siau kiong cu membalikkan tubuh dan meninggalkan
tempat Bwe Mei.
Lian lian terpaksa mempercayai kata-kata Kwe Po Giok. Meskipun
dia pernah dipermainkan oleh Siau kiong cu. Lian lian duduk di
hadapan pemuda itu. Mereka berada di ruang bawah tanah Cui goat
si. Tubuh pemuda itu tertotok sehingga tidak dapat bergerak, Dia
hanya dapat membuka mulut dan bercakap-cakap.
"Asal kau tidak nakal dan menuruti perkataanku, aku akan segera
melepaskan dirimu," kata Lian lian seperti terhadap seorang anak
kecil.
"Bukankah sekarang aku tidak nakal?" tanya Kwe Po Giok.
"lni masih belum cukup, Aku ingin kau bekerja sama denganku,"
kata Lian lian.
"Masih belum cukup? Aku duduk di sini dalam keadaan tertotok,
persis seperti sebuah patung. Kau masih mengatakan aku nakal dan
tidak mau bekerja sama?" tanya Kwe Po Giok dengan mata
mendelik.
Lian lian tersenyum manis.
"lnti sari ilmu pedang Tang hay sin sian ada di dalam rangkaian
bunga Siau kiong cu. Berapa banyak yang telah kau pelajari?"
tanyanya.
Kwe Po Giok tahu, dia tidak mungkin tidak mengakuinya sama
sekali, Tapi dia harus hati-hati menjawab pertanyaan ini. Kalau dia
mengatakan bahwa dirinya belum berhasil mempelajari seluruhnya,

mereka pasti akan mencari Lu ji, lalu mencelakainya. Mereka pasti
akan mencari akal untuk mengorek keterangan dari gadis itu.
Mungkin bila dia mengatakan bahwa dia telah menguasai
seluruhnya barulah mereka akan melepaskan Siau kiong cu.
Kenyataannya, dia memang belum mempelajari semua, Karena
masih ada beberapa bagian yang belum dimengerti olehnya. Oleh
karena itu, Siau kiong cu sering merasa Kwe Po Giok terlalu
membesar-besarkan dirinya sebagai Sin tong.
"Aku sudah mempelajari seluruhnya," kata Kwe Po Giok.
"Kau berbohong," sahut Lian lian.
"Mengapa harus berbohong?" tanya Kwe Po Giok.
"Anak muda biasanya suka membual," kata Lian lian.
"Aku tidak membual. Kenyataannya, aku memang sudah
mempelajari keseluruhan ilmu itu, sayangnya tenaga dalamku belum
cukup tinggi, hanya lima bagian dari kepandaian Tang hay sin sian,"
sahut Kwe Po Giok.
"Hanya lima bagian? Enam bagian pun belum sampai?" tanya Lian
Han kurang percaya.
"Paling banyak lima bagian setengah," sahut Kwe Po Giok.
Lian lian tidak tahu apakah dia harus mempercayai keterangan
Kwe Po Giok. Dia tahu Siau kiong cu merahasiakan tidak sedikit ilmu
tersebut.
"Kalau begitu, tolong tunjukkan semua yang kau ketahui Tidak
boleh merahasiakannya," kata Lian lian.
"Bagaimana kau tahu kalau aku merahasiakannya?" tanya Kwe Po
Giok.

"Karena Siau kiong cu pernah memberitahukan dan merangkai
bunga di hadapan-ku," kata Lian lian.
"Dia pernah di sini?" tanya Kwe Po Giok terkejut.
"Dia juga menetap di sini selama beberapa hari. Untung saja dia
mau bekerja sama sehingga aku melepaskannya," kata Lian lian.
"Kau mau melepaskannya?" tanya Kwe Po Giok kurang percaya.
"Apakah kau kira aku telah membunu-nya?"
"Bagaimana aku dapat berpikir lain?" tanya Kwe Po Giok.
"Aku tidak ingin berdebat denganmu, Untung saja tidak lama lagi
kau bisa bertemu dengannya," kata Lian lian.
"Di alam baka?" sindir Kwe Po Giok.
"Aku tidak keberatan memberitahukan satu hal lagi kepadamu,
Percaya atau tidak terserah! Aku melepaskan dirinya bukan tanpa
sebab, Orang yang bekerja sama denganku mempunyai perhatian
besar terhadapnya. Kau tentu mengerti sendiri, Siau kiong cu adalah
seorang gadis yang secantik bidadari," kata Lian lian.
"Tidak salah, Siapa begundalmu itu?" tanya Kwe Po Giok.
"Aku hanya dapat mengatakan kalau dia pasti bukan perempuan,"
kata Lian lian, "Aku adalah kekasihnya, Tidak usah memikirkan
keselamatan Siau kiong cu, hanya memandang lirikan matanya
terhadap Siau kiong cu, hatiku sudah tidak tahan, LagipuIa aku tidak
dapat menyaksikan Siau kiong cu ternoda di tangannya, Andaikan
untuk kepentinganku sendiri, aku juga harus mencegahnya, Oleh
sebab itu, aku melepaskan Siau kiong cu. Aku mengantarkannya
sampai perbatasan Dengan mata kepala sendiri aku melihat dia
masuk ke dalam hutan kecil selanjutnya dia menghilang, Bagaimana
nasibnya aku tidak tahu," kata
Lian lian sambil menghela nafas.

"Bagaimana dia bisa menghilang?" tanya Kwe Po Giok.
"Aku takut dia dimakan oleh serigala, maka aku mencarinya ke
mana-mana, Kenyataannya aku telah menjelajahi seluruh tempat itu
tapi tidak dapat menemukannya," kata Lian lian.
"Mungkinkah dia benar-benar dimakan serigala atau terjatuh ke
dalam air terjun yang deras lalu mati tenggelam?" tanya Kwe Po
Giok cemas.Lian lian tertawa.
"Bocah... kau sungguh cerdik," katanya.
"Aku sejak kecil dipanggil Sin tong, bagaimana tidak cerdik?"
sahut Kwe Po Giok.
"Terang-terangan kau sudah tahu kalau di tempat itu ada air
terjun, Dan di bawahnya terdapat sebuah sungai yang deras," kata
Lian lian.
"Betul, sedangkan orang yang ahli saja tidak berani memandang
ringan air terjun tersebut," sahut Kwe Po Giok.
"Bocah, Siau kiong cu dibesarkan di Pak hay. Setiap hari bermain
dengan lautan, mungkinkah dia seperti seekor anak bebek yang baru
lahir?" kata Lian lian.
"Ternyata kau juga tidak bodoh, Boleh bertanding dengan Sin
tong,"
"Apakah kau sekarang masih menganggap Siau kiong cu telah
mati?" tanya Lian lian.
"Lalu, apa yang harus kupikirkan?" sahut Kwe Po Giok.
"Lebih baik kau menunjukkan ilmu pedang rangkaian bunga
supaya aku dapat menyaksikannya dengan teliti," kata Lian lian.

"Bagaimana aku dapat menunjukkan ilmu itu dalam keadaan
seperti ini?" tanya Kwe Po Giok.
Lian lian menotok kembali tiga buah jalan darahnya, Saat itu Kwe
Po Giok bisa berdiri dan bergerak, Namun dia tidak mempunyai
tenaga untuk melancarkan serangan.
"Kau sungguh licik," katanya.
"Kalau hal begini saja dapat dianggap licik, apalagi tokoh zaman
dulu seperti Tio Lang, Hang Sing dan Cu Kek Liang, Mereka semua
terhitung manusia licik nomor satu, Namun tidak ada orang yang
berani menganggap mereka licik di depan umum," sahut Lian lian.
"lt ki bwe Lian lian adalah salah satu dari sekian banyaknya ko
chiu di Bulim. Mengapa kau mau diperintah oleh orang lain?" tanya
Kwe Po Giok.
"Dalam hal ini kau belum mengerti ilmu silat dan pelajaran lainnya
tidak jauh berbeda. Hanya saja pengetahuan lainnya lebih mudah
dipelajari dan banyak gurunya. Kau sendiri mempelajari ilmu silat
Tang hay sin sian, bukankah atas perintah orang lain juga?" sahut
Lian lian.
"Hal itu tidak dapat disamakan," kata Kwe Po Giok.
"Apa bedanya?" tanya Lian lian.
"Aku melakukannya dengan senang hati, karena semua itu
menyangkut kepentingan orang banyak," kata Kwe Po Giok.
"Aku melepaskan Siau kiong cu karena hal ini juga, Apakah kau
juga tidak dapat berbuat hal yang sama? Menunjukkan ilmu untuk
kepentingan Siau kiong cu?" tanya Lian lian.
Akhirnya Kwe Po Giok menganggukkan kepalanya juga. Masa
keemasan Kiau Bu Suang belum menjelang. Dia sadar, bukan saja
dia tidak akan berhasil menguasai dunia persilatan tapi dia juga tidak

dapat menetap lebih lama lagi di tempat ini. Dia hanya ingin tahu,
apakah Toa Tek To Hun juga sudah pulang ke negaranya?
Sejak mengetahui bahwa Lian lian memperalat dirinya dan dayang
Cui thian, dia mulai membenci kaum wanita, Dia ingin membalas
perbuatan mereka, Chow Ai Giok adalah tujuan pertamanya.
Kiau Bu Suang kembali minum arak. setiap kali dia ingin datang ke
tempat Chpw Ai Giok, dia harus minum arak dulu, Mungkin kalau
sudah sedikit mabuk baru menemui seorang perempuan,
perasaannya akan dapat melihat kelebihan perempuan tersebut
Kekurangannya pun tidak begitu terlihat jelas lagi. Dia sama sekali
bukan jenis laki-laki yang menginginkan seorang anak, Tapi dia
harus berkata demikian, Hanya dengan mengucapkan kata-kata itu,
Chow Ai Giok baru percaya kepadanya.
Chow Ai Giok mau menyerahkan diri secara suka rela juga karena
menganggapnya benar-benar menginginkan seorang anak,
Sebetulnya, sebelum dia menemukan perempuan yang melebihi
Chow Ai Giok, dia terpaksa harus menerimanya. Persis seperti apa
yang dikatakannya tempo hari. Setidaknya Chow Ai Giok masih lebih
bersih dari pelacur di rumah hiburan.
Huruf cina satu per satu berlainan semuanya tergantung dari cara
orang yang menulisnya, Ada yang dapat menulis dengan indah dan
adapula yang seperti cakar ayam. Namun ada juga orang yang dapat
menuliskannya dengan tajam. Huruf demi huruf berdiri tegak lurus
dengan ujung yang runcing, Begitu runcingnya sehingga dapat
melukai seseorang.
Kiau Bu Suang adalah sebilah pedang, bahkan pedang yang telah
dilumuri racun jahat.
Menghilangkan dayang Cui thian, dia sudah dapat menebak apa
yang menyebabkannya, Dia juga sudah dapat menerka apa
sebabnya Lian lian memperalat dirinya. Dia cuma belum berani
memastikan betul tidaknya saja.

Tiga kendi arak telah diminumnya, rasanya sudah cukup untuk
pergi ke tempat Chow Ai Giok, Tiba-tiba sebuah bayangan
berkelebat di depan pintu telah berdiri seorang manusia yang
mengenakan topeng.
Orang ini pernah dilihatnya satu kali, Topeng yang dikenakannya
berwarna putih kepucatan, ada seulas senyum yang tersungging di
sudut bibir.Penampilannya dingin dan kaku. Bajunya berwarna hitam
dan longgar. Di pinggangnya terselip sebatang pedang.Kalau
dikatakan orang ini adalah Toa Tek To Hun, kekuatannya memang
hampir seimbang, Tapi dia percaya kalau orang ini bukan Toa Tek
To Hun.
Pada saat sekarang, orang yang berani berlagak di hadapannya
memang masih ada beberapa. Misalnya Co san Tuan chang
(Pembelah usus gunung Co) Hua Can Lei. Hun bang (lmpian awan)
ada seorang tokoh yang disebut Hok su thi (Mayat hidup) Seebun Cu
Yap. Ada lagi salah satu dari ketiga Siauya dari Hulam, Miao Hua
Fang serta Suhunya Tok ku peng.
Nama-nama yang disebut tadi adalah orang berilmu lebih tinggi
dari dirinya.Namun tokoh-tokoh tersebut tampaknya sudah
menyucikan diri dan meninggalkan dunia ramai. Mereka tidak perduli
dengan kehadiran Toa Tek Tok Hun di Tionggoan. Kiau Bu Suang
menggenggam pedangnya yang terletak di atas meja erat-erat.
Dia melihat pedang lawannya persis seperti pedangnya sendiri.
Meski pun pedang yang sama, namun terselip di pinggang manusia
bertopeng itu tampaknya jadi jauh berbeda,
Hawa pembunuhan yang tersirat pada orang tersebut jauh lebih
tebal.
"Apakah kau datang untuk membunuhku?" tanya Kiau Bu Suang.
"Kau sungguh pandai menebak," sahut manusia bertopeng itu.
"Bagaimana kau tahu bukan aku yang akhirnya membunuhmu?"
tanya Kiau Bu Suang sembari tertawa dingin.

"Kalau kau sanggup melakukannya, kau tentu tidak menunggu
sampai sekarang," sahut manusia bertopeng.
"Mengapa kau sendiri menunggu sampai sekarang baru mau
membunuhku?" tanya Kiau Bu Suang.
"Karena sekarang sudah mencapai titik persoalannya," sahut
manusia bertopeng.
"Titik persoalan?" tanya Kiau Bu Suang tidak mengerti.
"Tidak salah!" sahut manusia bertopeng sambil mendengus,
"Sekarang perananmu telah
selesai. Kau sama sekali tidak ada manfaatnya lagi untuk
diperalat."
"Peranan apa yang kumainkan?" tanya Kiau Bu Suang.
"Pembunuh suruhan!" sahut manusia bertopeng.
"Aku sama sekali tidak pernah disuruh untuk membunuh
seseorang," sahut Kiau Bu Suang.
"Kalau kami menyuruhmu membunuh seseorang, hal itu tidak
dapat disebut hebat. justru kau mewakilkan kami membunuh
beberapa orang lawan tanpa kau sadari. Misalnya Hong be, Bok lang
kun dan lain-lain." kata manusia bertopeng.
"Aku tahu siapa dirimu?" kata Kiau Bu Suang.
"Pendapatku justru berlawanan. Kau belum tentu tahu siapa aku,"
sahut manusia bertopeng.
"Kau adalah sebilah papan gilasan?" kata Kiau Bu Suang dingin,
"Apakah kau tahu kalau dayang Cui thian memanggilmu demikian di
belakang punggungmu?"

"Se sa pang (papan gilasan)?" tanya manusia bertopeng itu.
"Apakah kau juga mengetahui hal ini?" Kiau Bu Suang tampak
terpana.
"Coba kau bayangkan. Hal apa yang tidak kuketahui di dunia ini!"
sahut manusia bertopeng.
"Apakah kau tahu di mana Toa Tek To Hun sekarang?" tanya Kiau
Bu Suang memancing.
"Masih ada di Tionggoan," sahut manusia bertopeng.
"Bagaimana membuktikan bahwa dirimu bukan Se sa pang?"
tanya Kiau Bu Suang kembali.
Manusia bertopeng itu menarik lengan bajunya, Sebuah tangan
yang bersih dan tanpa kerutan sedikit pun tersembul di balik lengan
baju tersebut Uratnya belum ada yang menonjol. Ternyata dia
memang bukan Se sa pang.
Tiba-tiba manusia bertopeng itu mengeluarkan pedangnya,
sinarnya yang berkilauan membawa segulung hawa dingin. Kiau Bu
Suang juga mengangkat pedangnya, pedang itu tidak mengeluarkan
cahaya. Tapi hatinya justru merasa dingin.
Kedua orang itu berdiri berhadapan. Kiau Bu Suang merasa
manusia bertopeng itu sedang memperhatikan lilin di atas meja, Dia
menunggu kira-kira sepeminuman teh lagi, namun manusia
bertopeng itu tetap tidak bergerak.
Kiau Bu Suang mulai tidak sabar Tetapi dia tidak ingin memulai
menyerang, Dia tetap berharap kalau lawannya akan gentar sendiri
dan mengundurkan diri.
Kira-kira sepeminuman teh telah lewat kembali, Kiau Bu Suang
merasa kesal. Dia seperti sedang dipermainkan.

"Apa yang kau tunggu? Mungkinkah ada...." Kata-katanya belum
selesai terucap, sinar pedang sudah menyambar
Mungkin juga karena dia sedang kesal sehingga perhatiannya
terpecah, pedangnya belum sempat diangkat untuk menyerang,
namun sudah terkulai kembali ke ba-wah. Di keningnya tampak
guratan luka memanjang, Matanya tetap terbelalak ke arah depan,
Pedang di tangan manusia bertopeng telah masuk kembali ke dalam
sarung, orangnya sudah melayang pergi.
Rumah yang ditinggali Kiau Bu Suang adalah rumah sewaan, Tiga
hari kemudian, pemilik rumah itu datang untuk membetulkan atap
rumah, Penyewanya tidak kembali lagi, Dia sudah mendengar kabar
bahwa laki-laki itu terbunuh di bawah pedang Toa Tek To Hun.
Karena hanya ada sebuah luka panjang di kening.
Tidak ada orang yang sanggup membunuh Kiau Bu Suang dengan
cara demikian kecuali Toa Tek To Hun. Lalu masih ada beberapa
korban lain yang keningnya juga mempunyai guratan panjang
namun di bagian tubuh yang juga terdapat luka, apakah mereka
juga dibunuh oleh Toa Tek To Hun? Atau ada orang lain lagi?
-ooo0ooo-
Bab Dua puluh
Beberapa hari ini, Chow Ai Giok pasti menyempatkan diri
berdandan. Meskipun hanya untuk bayi dalam perut, Kiau Bu Suang
tetap akan datang menemuinya. Oleh karena itu, dalam sehari dia
bisa berkaca sampai puluhan kali.
Dia menganggap bila memasang senyuman manis dalam
menghadapi seorang laki-laki pasti ada faedahnya juga. Hal ini
disebabkan karena ia telah berpikir berulang kali, Dia memastikan
dirinya untuk menikah dengan Kiau Bu Suang.
Tetapi, biarpun dia merias secantik mungkin bahkan berkaca
berpuluh kali untuk meyakinkan bahwa dirinya sudah tidak ada
kekurangan, Kiau Bu Suang tetap tidak muncul.

"Bedebah! Benar-benar sudah tiada kegairahan untuk keempat
kalinya!" maki Chow Ai Giok dalam hati.
Dia tidak betah berdiam di rumah, oleh sebab itu dia pergi ke
Hong lai chun dan minum sendiri. Hari belum begitu sore, tamu
masih tidak banyak yang berkunjung. Hanya ada seorang laki-laki
muda yang duduk di meja sebelah kiri.
Di punggungnya tergantung senjata yang berbentuk aneh. Dia
juga sudah minum arak, senjatanya adalah sepasang roda dengan
gerigi di dalamnya, Bahkan gerigi tersebut juga aneh. Berwarna
hitam dan putih selang-seling.
Chow Ai Giok sejak kecil diasuh oleh Hiat Eng. Dia sering diajak
berkelana ke berbagai tempat. Tokoh-tokoh persilatan yang
diketahuinya juga amat banyak karena bila ada waktu senggang,
Hiat Eng sering menceritakan kepadanya.
Dia yakin kalau laki-laki tersebut adalah salah satu dari ketiga
siauya dari Hu lam, Hek pai suang lun (Sepasang roda hitam putih)
Miao Hua Fang yang amat terkenal. Dia juga tahu meskipun usia
laki-laki itu sudah di atas tigapuluh tahun tapi masih terlihat muda.
Miao Hua Fang melihat Chow Ai Giok sedang memperhatikannya.
Dia juga melirik beberapa kali.
"Bukankah nona ini cucu perempuan dari Hiat Eng Cian pwe?"
tanyanya.
"Betul. Kongcu tentunya Hek pai suang lun Miao Hua Fang
taihiap," sahut Chow Ai Giok.
"Aku tidak berani menerima penghormatan setinggi itu. Cayhe
memang Miao Hua Fang adanya."
"Miao taihiap sudah lama berkecimpung di dunia persilatan,
apakah pernah mendengar nama Cap sa tai po Kiau Bu Suang?"
tanya Chow Ai Giok.

"Pernah," sahut Miao Hua Fang.
"Apakah Miao taihiap mengenalnya?" tanya Chow Ai Giok.
"Kami pernah berjumpa beberapa kali," sahut Miao Hua Fang.
"Apakah Miao taihiap bertemu dengannya akhir-akhir ini?" tanya
Chow Ai Giok kembali.
Miao Hua Fang mengernyitkan alis matanya.
"Apa hubungan Chow Kouwnio dengan Kiau Bu Suang?"
tanyanya."
"Teman," sahut Chow Ai Giok.
Miao Hua Fang tertawa dingin.
"Mengapa Chow kouwnio tidak mengenakan pakaian berkabung?"
sindirnya.
"Mengapa?" tanya Chow Ai Giok.
Miao Hua Fang bangkit dari tempat duduknya dan meletakkan
mangkok makan di atas meja.
"Karena dia sudah mati." Begitu kata-katanya selesai, dia
langsung menuju ke pintu dan pergi.
Kiau Bu Suang sudah mati? Kalau bukan lelucon paling besar yang
pernah didengarnya, pasti Miao Hua Fang mempunyai dendam
pribadi dengan Kiau Bu Suang. Dia sengaja mengesalkan hati Chow
Ai Giok.
"Hari ini nasibku sedang sial, bertemu dengan seorang telur
busuk," makinya dengan penuh kebencian.

Namun hal ini patut dicurigai Miao Hua Fang bukan orang jahat,
Kalau bukan dia yang turun tangan sendiri membunuh Kiau Bu
Suang, pasti dia tidak akan mengatakan hal itu.
Setidaknya, Chow Ai Giok merasa dirinya tidak pernah melakukan
kesalahan apa pun terhadap Miao Hua Fang.
Meskipun Chow Ai Giok sendiri sering menyumpahi Kiau Bu
Suang, tetapi itu karena kelakuan laki-laki itu yang menghinanya
secara terang-terangan, ia sering memaki Kiau Bu Suang agar cepat
masuk neraka. Namun mendengar kematiannya sekarang, dia
merasa hatinya tertekan seolah ada sesuatu yang hilang.
"Kalau Kiau Bu Suang benar-benar sudah mati, bukankah anak
dalam perut ini tidak mempunyai ayah lagi? Kemungkinan besar
Miao Hua Fang membenci Kiau Bu Suang sehingga dia mengoceh
yang tidak-tidak," pikirnya dalam hati.
Kata-kata "sudah mati" terasa menyelimuti batinnya, Kalau benar
sudah mati, pasti tidak mungkin bisa hidup kembali. Tak ada sesuatu
pun yang ditinggalkan oleh Kiau Bu Suang, hanya janin dalam rahim
yang akan menimbulkan noda.
Bukankah hal ini membuat dirinya susah? Kiau Bu Suang pernah
mengejek bahwa kulit tubuhnya kasar, dia sendiri telah mengakui.
Kalau kenyataannya dia sudah mati, apa yang dapat dilakukannya
lagi? Dia adalah seorang laki-laki bersifat jahat. Bukankah ada
pepatah yang mengatakan "Orang baik pendek umur, orang jahat
hidup ribuan tahun,
Pepatah ini sungguh tidak tepat di-gambarkan pada diri Kiau Bu
Suang kalau benar dia sudah mati, karena dia bukan orang baik.
Pada saat itu, ada dua orang laki-laki setengah baya masuk ke
dalam rumah makan tersebut. Yang pertama adalah Bong san to mo
Yap Thian, yang kedua adalah Pak hay ok hi Oey Gi Bun. Kedua
orang ini pernah bertarung dengan It Cheng Hong di atas perahu
tempo hari. Mereka berebutan siapa dulu yang menyeberangi
sungai, Oey Gi Bun meletakkan senjatanya di atas meja.

"Yap heng.... Apakah tidak aneh, Cap sa tai po Kiau Bu Suang
kalau dikatakan juga masih lebih tinggi ilmunya dari kita berdua,
bagaimana dia dapat dibunuh oleh Toa Tek To Hun?" tanyanya.
"Oey heng, memang luka di kening mirip dengan guratan Toa Tek
To Hun, tapi ada yang mengatakan bahwa yang melakukannya
belum tentu orang itu," sahut Yap Thian.
Chow Ai Giok merasa kepalanya diguyur oleh seember air dingin.
Hatinya tergetar, tanpa dapat ditahan lagi dia pingsan, untung saja
dia tengkurap di atas mejanya sendiri, orang lain tidak mengetahui
apa yang terjadi. Ketika tersadar, Oey gi Bun dan Yap Thian masih
menikmati hidangan sambil bercakap-cakap.
"Oey heng, baik siapa pun yang membunuh Kiau Bu Suang, tapi
dia dapat melakukannya dalam sekali serangan, berarti ilmu silat
orang itu memang tinggi sekali," kata Yap Thian.
"Tentu saja, Kita tidak boleh berdiam di sini terlalu lama lagi,
Lebih baik cepat-cepat meninggalkan tempat ini dan pergi jauh,"
sahut Oey gi Bun.
"Oey heng, ada beberapa patah kata yang ingin siaute ucapkan,
jangan sampai tersebar di luaran mereka akan memalukan derajat
kita." kata Yap Thian.
"Maksud Yap heng...."
"Kalau kita cukup berharga masuk dalam daftar hitam Toa Tek To
Hun, apakah sekarang kita masih sempat duduk di sini dan
menikmati hidangan? Tentunya nyawa kita sudah melayang sejak
dulu kalau dia menginginkannya," kata rekannya.
"Kepandaian kita memang tidak dapat menandingi orang-orang
tersebut, kita juga harus berani mengakuinya, Tapi tempo hari Kiau
Bu Suang menyembunyikan diri ketika Toa Tek To Hun melakukan
pembunuhan besar-besaran, dia menyebarkan berita bahwa dirinya
cao hue jit mo sehingga sebagian tubuhnya lumpuh.

Manusia seperti dia seharusnya tidak berharga dibunuh, tapi toh
terjadi juga. Siapa yang bisa tahu kalau kita akan mengalami nasib
yang sama? Mungkin saja tokoh kelas satu di Tionggoan tinggal
segelintir, Toa Tek To Hun sengaja membunuh tokoh kelas rendah
untuk memancing keluarnya tokoh-tokoh tersebut," sahut Oey Gi
Bun.
"Sebetulnya, siaute memang tidak berpikir demikian jauh," kata
Yap Thian.
Chow Ai Giok membanting mangkok dan sumpitnya. Dia
menghambur ke arah kedua orang itu.
"Kiau Bu Suang mati di mana?" tanyanya. Oey Gi Bun dan Yap
Thian terpana.
"Siapa nona?" tanya Yap Thian.
"Pertanyaan itu tidak ada hubungannya dengan siapa diriku," kata
Chow Ai Giok tajam.
Bagi Chow Ai Giok, Kiau Bu Suang adalah seseorang yang begitu
jahat terhadapnya dan meninggalkan segudang kesulitan dan
kesengsaraan yang tiada akhir, sebetulnya dia tidak usah
memperdulikan mati hidupnya Kiau Bu Suang.
Oey Gi Bun dan Yap Thian melihat sikapnya yang amat tidak
ramah, Mereka saling lirik sekilas. Keduanya sepakat untuk tidak
memperdulikan Chow Ai Giok. Mereka melanjutkan makan dan
minumnya.
Chow Ai Giok hampir gila saat itu. seluruh manusia di dunia ini
mengacuhkannya. Kedua orang itu juga sama. Dia mengulurkan
tangan untuk menarik leher baju Yap Thian.
"Kau tidak mempunyai hak untuk tidak menjawab pertanyaanku!"
bentaknya.

Kali ini Yap Thian sudah memandang perempuan itu. Dikiranya
perempuan itu hanya duduk dan tidak memperdulikan dia sudah
terlepas dari segalanya, Kalau saja dia tahu Chow Ai Giok adalah
cucu Hiat Eng, dia pasti akan berpikir dua kali sebelum menyakiti
hatinya.
Leher baju Yap Thian dicengkeram dengan erat, sekali hentak
tubuh laki-laki itu sudah melayang keluar, Menyusul Oey Gi Bun
yang mendapat giliran, Kedua orang ini hanya tergolong tokoh
nomor empat dalam dunia persilatan, bagaimana mungkin mereka
bisa menandingi Chow Ai Giok?
Yap Thian tampak kelabakan, dia berusaha menghindarkan diri,
namun tubuhnya belum sempat bergerak, leher bajunya sudah kena
ditarik oleh perempuan tersebut.
Sebelum menyadari apa yang terjadi, bagian pinggangnya terasa
sakit, Dia sudah kena tendangan Chow Ai Giok. Dia sempat melirik
sekilas ke senjatanya yang tergeletak di atas meja, namun sekarang
ternyata sudah pindah ke tangan lawan. Oey Gi Bun dan Yap Thian
terkejut setengah mati.
Mereka seakan tidak mengetahui kekuatan diri sendiri dan
perempuan di hadapan mereka sekarang telah menunjukkannya.
"Tempat kematian Kiau Bu Siang tidak berapa jauh, kami akan
mengantar kau ke sana," kata Yap Thian tergopoh-gopoh.
"Cepat unjuk jalan!" teriak Chow Ai Giok, Dia melempar kembali
senjata yang tadi tergeletak di atas meja ke arah Oey Gi Bun.
Ketiga orang itu keluar dari rumah makan beriringan Mereka
sempat mendengar suara pelayan yang berkata kepada majikan nya.
"Kedua laki-laki itu tampaknya sangat berguna."
"Kouwnio pasti keturunan tokoh terkemuka," kata Oey Gi Bun
sembari melangkah.

Chow Ai Giok tertawa dingin.
"Kakekku adalah Hiat Eng," sahutnya.
"Ternyata memang keturunan terkemuka. Bukankah Hiat Eng
yang dibunuh oleh seorang tokoh tak dikenal?" tanya Oey Gi Bun.
Pikiran Chow Ai Giok sedang kalut, Dia tidak mendengar jelas
perkataan laki-laki itu. Mereka membawanya ke sebuah kayu di
mana Kiau Bu Suang tinggal sebelumnya. Ternyata mayat laki-laki
itu telah dibawa ke sana. Pada saat itu banyak penduduk sekitar
yang sedang berkumpul juga ada kepala desa, Mereka sedang
memeriksa mayat Kiau Bu Suang.Chow Ai Giok mendorong
kerumunan orang-orang itu, Dia juga sudah melihat tubuh Kiau Bu
Suang. Keningnya terdapat luka memanjang, Kira-kira dua cun
dalamnya, Bagian tubuh yang lain tidak ada luka sedikit pun.
penduduk desa dan lurahnya memang sedang kebingungan mencari
sanak keluarga Kiau Bu Suang untuk menyerahkan mayatnya.
Mereka segera menatap perempuan yang baru datang itu.
Chow Ai Giok tertawa seperti orang kesurupan, Puh! Dia meludah
ke tanah, Matanya memandang mayat Kiau Bu Suang dengan
mendelik.
"Setan pendek umur, Ternyata kau benar-benar tidak mempunyai
kesempatan untuk keempat kalinya..."
Padahal pada saat itu Chow Ai Giok bukannya membenci Kiau Bu
Suang, ia merasa tidak puas terhadap dirinya sendiri dan
menyesalkan kemalangan nasibnya. Oleh sebab itu, dia
menumpahkan segala kekecewaan dan kemarahannya pada mayat
laki-laki itu.
Kenyataannya, dari sekian laki-laki yang pernah dikenalnya, hanya
Kiau Bu Suang yang mempunyai hubungan paling erat dengannya,
Biarpun selama ini ia hanya mengucapkan kata-kata manis palsu
terhadapnya, namun dia toh sudah melakukan tiga kali perbuatan
terlarang dengannya.

Kakeknya sudah mati, laki-laki busuk itu juga sudah mati, Yang
tertinggal hanya benih dalam perutnya, Dia merasa Thian
memperlakukannya dengan kejam, Tiba-tiba dia berjalan
menghampiri mayat tersebut dan mengangkatnya, Dia bermaksud
meninggalkan tempat itu.
Kepala desa setempat merasa curiga melihat sikapnya.
"Apa hubungan kouwnio dengan almarhum?" tanyanya.
"Untuk apa kau menanyakan hal tersebut?"
"Aku adalah kepala desa di sini, sekarang sudah terjadi suatu
pembunuhan, kami toh harus menyelidikinya sampai jelas," sahut
kepala desa itu.
"Aku bukan pembunuhnya. Kalian seharusnya mencari pembunuh
yang sebenarnya," kata Chow Ai Giok.
"Tapi tampaknya mempunyai hubungan garis yang erat dengan
laki-laki ini," sahut kepala desa.
"Kalau memang benar, apa yang ingin kau lakukan?" tanya Chow
Ai Giok dingin.
"Kami hanya mengharapkan kouwnio mau datang ke balai desa
sebentar," kata laki-laki setengah baya itu.
"Biarpun kau menjemputku dengan tandu mewah, aku juga tidak
mau ke balai desa!" sahut Chow Ai Giok tajam.
"Kalau kouwnio tidak mau ke sana, bukankah kami semakin curiga
terhadap diri kouwnio?" kata kepala desa tersebut.
Mata Chow Ai Giok merah membara.
"Enyah!" bentaknya, Empat lima laki-laki penduduk setempat
segera mengurungnya. Di tangan mereka tergenggam berbagai
senjata, Ada pentungan besi, golok bahkan ada juga yang membawa

kampak, Dengan pundak memanggul Kiau Bu Suang, Chow Ai Giok
menggunakan sepasang kakinya untuk menyapu orang-orang
tersebut.
Mereka tidak sempat melihat gerakan perempuan itu, tahu-tahu
tubuh masing-masing sudah terlempar keluar. Begitu mereka
mengangkat kepalanya, Chow Ai Giok sudah melayang jauh.
Kira-kira lima enam li Chow Ai Giok berlari Dia memasuki sebuah
hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar. Di situ dia
menghentikan langkah kakinya dan melemparkan tubuh Kiau Bu
Suang ke atas tanah.
"Manusia she Kiau... kau memang pantas mati, Tidak ada yang
akan membalaskan kematian, sedangkan kematian kakekku pun
tidak ingin kubalas lagi," gumamnya seorang diri.
Chow Ai Giok duduk di atas tanah untuk meredakan nafasnya
yang tersengal-sengal, Matanya melirik sekilas ke arah mayat yang
tergeletak di sampingnya. Bayangan kemesraan Kiau Bu Suang
bermain di benaknya.
Hal ini tidak membuat dia mengasihani Kiau Bu Suang, malah
membuatnya semakin membencinya, Paling tidak, dia tahu kalau
laki-laki ini mempunyai hubungan yang luar biasa dengan dayang
Cui thian. Dan dia juga tertarik dengan Bwe Mei. Mungkin di luar
pengetahuannya masih ada segudang perempuan lain.
Laki-laki busuk seperti ini kenyataannya adalah ayah dari janin
dalam rahimnya, penguasa alam sungguh tidak adil terhadap dirinya,
Kalau saja dia menolak untuk melakukan yang kedua atau ketiga
kalinya, mungkinkah benih ini akan tumbuh dalam perutnya?
Namun apakah memang semuanya kesalahan penguasa alam
saja? Apakah dirinya sendiri tidak mengambil bagian dalam musibah
ini?
Setiap kali teringat kata-kata Kiau Bu Suang setelah bermesraan
dengannya, hati kecilnya semakin benci, Sekali lagi dia meludah, Kali

ini tepat di wajah mayat itu. Setelah itu meninggalkan tempat
tersebut tanpa menoleh lagi.
Tadinya dia membawa mayat Kiau Bu Suang dengan niat
memakamkannya dengan baik, sekarang dia tidak perduli lagi. Lakilaki
ini telah menghancurkan hidupnya. Biar mayatnya menjadi
umpan binatang buas. Dia bertekad untuk mencari tabib yang
terkenal untuk menggugurkan kandungannya.
-ooo0ooo-
Pek hua lau (gedung bunga putih) adalah sebuah rumah hiburan
yang sangat terkenal di kota ini. perempuan penghibur yang
menghuni di dalamnya tidak kurang dari tigapuluh lima orang, Tapi
yang benar-benar cantik dapat terhitung dengan jari.
Namun ada pepatah yang mengatakan, "Ka hua bo ya hua hiong
(Bunga peliharaan tidak seharum bunga jalanan)" tampaknya
memang benar. Kecuali orang yang sudah berumah tangga juga
berpikir demikian, yang bujangan juga dapat menyalurkan kesepian
hati.
Bedanya, kalau yang bujangan berani datang secara terangterangan,
sedangkan yang sudah menikah mengambil jalan
belakang, Soalnya mereka takut bertemu dengan salah seorang
kenalan, Seandainya berita itu tersiar di luaran, bukankah akan
mendapat palang pintu dari sang istri dan mendapat dampratan dari
mertua..?
Lentera-lentera baru dipasang ketika dari arah pintu berjalan
masuk seorang laki-laki yang masih cukup muda, Hanya jenggot dan
kumisnya yang tipis membuat tampangnya lebih tua dari usia
sebenarnya. Seorang penyambut tamu segera menghampirinya.
"Apakah Siauya sudah mempunyai kenalan di sini?" sapanya.
"Belum," sahut pemuda itu.

"Kalau tidak keberatan, Siaute boleh memperkenalkan seorang
untuk Siauya, jamin Siauya senang dan puas," kata penyambut tamu
tersebut.
Orang yang bekerja dalam bidang ini, paling pandai mengambil
hati, Dia juga pandai merayu para tamu agar tertarik dengan
perempuan yang ada di tempat hiburannya.
“Siau jui bisa diajak bercakap-cakap tentang apa saja. Orangnya
riang dan cerdas. Biasa disebut Khui sim ko oleh para tamu yang
datang, (Khui sim ko artinya buah gembira), yang dimaksudkan
adalah sifatnya yang periang dan dapat menggembirakan hati siapa
saja, Siau hun agak montok, dia diberi gelar Man cheng hui yang
berarti Seluruh ranjang terbang, kata-kata yang menggidikkan bagi
orang yang sopan dan tidak pernah menginjak tempat seperti
itu.Ada lagi satu gadis yang cantik dan menawan, namanya Siau mo
tho. .ih! sebelumnya siaute perlu mengingatkan begitu menariknya
perempuan ini sehingga bisa membuat kaum pria mati gemas," kata
penyambut tamu itu mempromosikan dagangannya.
"Siapa bunga yang tercantik di Kui lau (rumah hiburan) ini?" tanya
pemuda beralis tebal itu.
"Rupanya Siauya sudah sangat berpengalaman tidak mau
memakan daun layu, hanya mau yang segar. Ada... ada. Kalau
sudah melihat, Siauya baru membuktikan bahwa siaute tidak
berdusta, Mari.... siauya ikut siaute ke dalam," kata penyambut tamu
tersebut.
Sampai di belakang gedung itu, si penyambut tamu melongok ke
dalam sekejap. Dia menunjuk ke arah sebuah kamar yang tertutup
rapat.
"Gadis yang siaute katakan sedang menemani tamu," katanya
menerangkan kepada pemuda tersebut, namun wajahnya
menampilkan senyum berarti ketika tamu itu menyelipkan uang
sebanyak duapuluh tail di tangannya.

Di kota sekecil ini, mau mendapatkan tamu yang begitu royal
sungguh sulit ditemukan. Seorang perempuan tua yang bertindak
sebagai comblang keluar dari ruangan dalam dengan diiringi dua
orang budak.
Di belakang mereka ada seorang gadis yang melangkah dengan
gemulai dan wajah tersipu-sipu, Meskipun bukan seorang
perempuan yang cantik sekali, tapi memang sudah termasuk
lumayan, Paling tidak, terlihat bahwa perempuan itu pernah
mengenyam beberapa tahun pendidikan. Kalau tidak, bagaimana
mungkin menjadi bunga di rumah hiburan ini?
"Siauya... perempuan ini adalah salah seorang yang terlaris di sini,
ia sangat pandai menghibur bahkan bisa bernyanyi dengan menari
sekaligus. jangan sampai siauya mengecewakannya," kata mak
comblang itu.
"Rupanya kembang di rumah hiburan ini," sahut tamu tersebut.
"Apakah Khek kuan hendak bermalam atau mau khui pua?"
Di daerah Utara mereka memakai istilah khui pua (membuka
piring) yang artinya hanya sekali pakai saja dan tidak menginap.
juga boleh menemani bercakap-cakap dan menyanyi untuk
menghibur sang tamu dihitung dari lamanya waktu.
"Aku sedang kesal. Lebih baik menemani aku bercakap-cakap saja
lebih dahulu, nanti baru kita rundingkan lagi kalau sudah cocok,"
sahut tamu itu.
Betapa sebuah pengalaman yang mendelu arkan? pemuda beralis
tebal itu ternyata Siau kiong cu adanya, Maksud hati manusia
sungguh sulit diduga, Dia menyamar sebagai seorang laki-laki dan
berkunjung ke tempat hiburan seperti ini, tentunya dengan maksud
yang tidak mudah diraba.
Dia tidak seperti Chow Ai Giok yang dalam kekecewaan
melakukan hal yang merugikan diri sendiri. Bahkan perempuan itu
mungkin hampir tidak percaya apa yang dilakukannya, Di dalam hati

Lu ji, sejak dilepaskan oleh Lian lian sudah mempunyai rencana
tertentu, Hanya saja, saat ini rencananya baru dapat dilaksanakan
Kembang rumah hiburan itu bernama Siau lok. Tubuhnya tidak
seperti para perempuan penghibur yang lain, Kebanyakan tubuh
mereka sudah gembur dan kendor.
Yang satu ini masih kencang dan menawan, Seperti seorang gadis
keluarga baik-baik.Pada umumnya, tulang dan tubuh seorang
perempuan tidak boleh terlalu enteng tetapi juga tidak boleh terlalu
berat, Kalau dibayangkan sungguh sulit menjadi perempuan di masa
itu, Semua yang dilakukan oleh perempuan pada zaman itu ada
peraturannya. Begini tidak, begitu tidak boleh.
"Apakah kongcu bukan penduduk setempat?" tanya Siau lok.
"Bukan." sahut Siau kiong cu.
"Dan kongcu juga datang untuk tidur dengan seorang perempuan
hanya sebagai alasannya saja bukan?" tanya Siau lok kembali.
"Apa maksudmu?"
"Karena kau satu jenis dengan aku," sahut Siau lok sambil tertawa
terkekeh-kekeh.Siau kiong cu tersipu malu.
"Rupanya kau sudah tahu kalau aku seorang gadis yang
menyamar," katanya.
"Perempuan memang tidak ada setitik pun mirip dengan laki-laki.
Kita kan sesama perempuan, tentu lebih mudah mengenali," sahut
Siau lok.
"Pandanganmu sungguh tajam. Coba kau terka, perempuan
macam apa aku ini?" tanya Lu ji.
"Kau tentunya gadis kaum bangsawan atau paling tidak keluarga
terkemuka, pasti tidak sama dengan kami yang berleburan debu,"
sahut Siau lok.

"Begitu yakin?" tanya Lu ji tersenyum "Kami sudah melihat
berbagai macam manusia di dunia ini, Apalagi kami memang terlahir
dalam keluarga tidak mampu dan kekurangan. Kami paling kagum
melihat putri bangsawan atau keluarga kerajaan. Kami sering
memperhatikan segala tindak tanduk dan kelakuan mereka, Kalau
bisa, kami ingin menirunya semirip mungkin. Kadang-kadang, para
cici di sini suka mengejek.Kata mereka "Toh sama-sama perempuan,
apa yang harus disombongkan?" sebetulnya, biar bagaimana pun
tidak dapat di-samakan. Seorang perempuan yang berlumur debu
seperti kami kalau melangkah di tengah jalan, siapapun akan
mengenali," kata Siau lok.
"Aku lihat cici ini juga bukan dari keluarga sembarangan pasti
pernah mengenyam sekolah yang cukup lama," kata Siau kiong cu.
Perempuan penghibur itu tiba-tiba menarik nafas
panjang.Perempuan yang pekerjaannya menghibur laki-laki paling
pandai mengarang cerita bohong. pertama untuk menutupi rasa
rendah diri mereka, kedua supaya tamu yang mendengar merasa
kasihan kepada mereka, Tetapi, Siau kiong cu tahu kalau Siau lok
tidak berbohong.Orang tuanya sudah sejak lama meninggal siok-siok
(paman) nya merampas harta benda keluarga mereka, Tidak lama
kemudian Piauko (kakak misan) nya yang pengangguran dengan
sembunyi-sembunyi menjualnya ke sebuah rumah hiburan.
"Moaycu, kau datang ke tempat seperti ini dengan maksud apa?"
tanya Siau lok.
"Cici, aku ingin memohon nasihatmu," sahut Lu ji.
"Bagaimana aku berani memberi nasihat untukmu?" tanya Siau
lok.
"Cici,tidak usah rendah diri, Sudah berapa lama cici berada di
tempat ini?"

"Tiga tahun lebih, tapi aku belum pernah menjajakan diri, Palingpaling
hanya menemani minum dan bersyair, Pada mulanya aku
hampir saja membunuh diri karena peristiwa ini," sahut Siau lok.
"Aku percaya, Cici, mohon tanya, bagaimana baru bisa
mencengkeram hati seorang laki-laki?" tanya Siau kiong cu.Rupanya
itulah maksud kedatangannya.
Perempuan penghibur itu seakan sedang diujinya, Laki-laki terdiri
dari banyak jenis, Hubungan antara laki-laki perempuan juga
bermacam-macam.Siau lok tertawa merdu.
"Rupanya maksud Moi moi datang kemari untuk urusan ini?"
Lu ji menganggukkan kepalanya dengan wajah merah padam.
"Moi moi seharusnya menerangkan lebih jelas, Lagipula aku
kurang berpengalaman dalam hal yang satu ini," kata Siau lok sambil
tersenyum.
"Cici terlalu sungkan," Siau kiong cu lalu menceritakan semua
pengalaman yang dialaminya. Bagaimana dia bertemu dengan Kwe
Po Giok. Juga ketika ayahnya yang tercinta mati dibunuh oleh
seorang musuh sampai dia tertawan di tangan Lian lian.
Sebetulnya dia tidak mempunyai janji apa-apa dengan Kwe Po
Giok, almarhum ayahnya juga tidak meminta mereka mengikat diri,
Namun dia tahu, di dalam hati orang tua itu merasa bahwa kedua
remaja itu saling tertarik, juga menganggap mereka pasangan yang
serasi.
Akhir-akhir ini dia sering merenung kisah asmaranya dengan
pemuda itu. Apalagi ketika dirinya dikurung di ruangan bawah tanah
oleh Lian-lian. Dia memang mempunyai banyak waktu untuk
berpikir. Dia merasa Kwe Po Giok terlalu membanggakan dirinya
sebagai Sin tong.

Dia sering mengucapkan kata-kata itu di hadapannya, Nada
suaranya membawa kesan sombong. sebetulnya sebuah pujian
seharusnya keluar dari mulut orang lain bukan dari mulut sendiri.
Siau kiong cu juga merasa, entah benar tidak Kwe Po Giok sudah
dipanggil Sin tong sejak usia tiga tahun, tapi apa yang dilihatnya
sekarang sama sekali jauh dari kenyataan.
Karena dia sudah menunjukkan seluruh kiam sut dari rangkaian
bunga, bahkan dia mengulangi berkali-kali, tetapi yang paling
sederhana saja sulit dicernanya.
Sebaliknya, dia merasa Sun Put Ge diam-diam menyimpan
pengertian yang dalam, rendah diri, hatinya lembut, daya
tangkapnya akan suatu pelajaran sungguh mengejutkan.
Secara sembunyi-sembunyi, dia pernah melihat Sun Put Ce dan
Bwe Mei mendiskusikan ilmu peninggalan Tang hay sin sian,
Pengertiannya sudah hampir mencapai ayahnya, hanya prakteknya
yang belum lancar. sedangkan Kwe Po Giok yang mendapat
bimbingan langsung belum mencapai taraf tersebut.
Kebanyakan, kaum perempuan lebih menyukai laki-laki yang
penampilannya biasa-biasa saja, namun menyimpan kecerdasan di
dalam, Bukan tong kosong yang hanya nyaring bunyinya, Tentu
saja, perempuan juga tidak akan menyukai laki-laki yang benarbenar
bodoh.
Sun Put Ce benar-benar merupakan teladan bagi kaum laki-laki
yang bijaksana, Dia sebetulnya cocok sebagai pemimpin dunia,
Hanya saja dia terlalu rendah diri, perhatiannya besar terhadap siapa
saja, ia lebih menitik beratkan budi daripada dendam.
Oleh karena itu, meskipun dia tidak termasuk laki-laki berwajah
tampan seperti Kwe Po Giok ataupun Kiau Bu Suang, tapi
perempuan yang menggandrunginya lebih banyak dari kedua orang
yang disebut pertama.

Dan yang paling penting bukan itu saja, dia mempunyai rasa
hormat yang tinggi kepada orang yang lebih tua, kepada orang yang
berusia sebaya dan terlebih-lebih besarnya rasa setia kepada kekasih
hati.
Untuk kebenaran, dia tidak ragu-ragu menelan semua kepahitan,
mengorbankan diri sendiri, lagi pula tidak terburu-buru mengambil
keputusan seperti Mo Put Chi. Laki-laki semacam dia seperti
sepotong batu kumala yang belum digosok.
Lambat laun orang akan mengetahui bahwa dia adalah sesuatu
yang berharga, Namun Siau kiong cu toh mengetahuinya lebih dini,
Bukan dia saja, juga Bwe Mei dan Chow Ai Giok.
Sayangnya, dia terlambat satu langkah dari Bwe Mei. Tetapi dia
memiliki rasa percaya diri yang tebal. Baik status diri, kecantikan dan
kecerdasan otaknya. Dia percaya sekali kepada dirinya sendiri.
Dia tidak menganggap dirinya bersalah apabila mengejar laki-laki
yang diingininya selama laki-laki itu belum mengikat janji ataupun
terikat secara resmi, Karena bila hal itu berhasil, dia bukan hanya
memenuhi kepuasan hatinya sendiri, tetapi juga membuat laki-laki
itu menjadi seorang yang berilmu tinggi, sehingga dapat
membalaskan sakit hati para jago Tionggoan yang telah gugur. .
Siau lok sudah mendengar kisah cinta kasih antara Sun Put Ce
dan Bwe Mei yang berliku-liku, wajahnya terlihat murung, Hatinya
merasa apa yang diharapkan Siau kiong cu terlalu berat untuk dapat
terlaksana.
"Moi moi. Kalau aku menjadi dirimu. Aku pasti tidak akan
meneruskan niat ini," katanya.
"Cici. Nyatanya kau memang bukan aku," sahut Lu ji.
"Tetapi... kalau kau memang bertekad meneruskan niat ini,
mungkin memang ada hasilnya, namun Moi moi harus menyadari,
menyakiti orang lain kadang-kadang sama juga dengan menyakiti

diri sendiri. Paling tidak, akibatnya akan seperti itu," kata Siau lok
sambil menarik nafas panjang.
Perempuan itu memang bukan seperti perempuan penghibur
lainnya.
"Cici, urusan yang lain kau tidak usah terlalu pusingkan, engkau
hanya perlu memberitahukan kepadaku bagaimana caranya
mendapatkan laki-laki itu," sahut Siau kiong cu.
"Bunuh saja Bwe kouwnio itu," kata Siau lok.
"Bagaimana kau bisa memberikan nasehat sejahat itu?" tanya
Siau kiong cu.
"Apakah kau kira bila tidak membunuh Bwe kouwnio itu, kau akan
mendapatkan laki-lakinya?" kata Siau lok.
"Aku justru mengharap nasehat yang tidak mencelakai gadis
tersebut," sahut Siau kiong cu.
"Aih...." Siau lok menarik nafas kembali "Sebetulnya kau bunuh
atau tidak, sama saja. Setelah laki-laki itu direbut olehmu, apakah
Bwe kouwnio bisa hidup lebih lama?" tanyanya.
"lni yang kau maksudkan membunuhnya?"
"Jika kau memecahkan hubungan kedua orang itu, dan pada
akhirnya kau sendiri juga tidak mendapatkan apa-apa. Apa yang
akan kau lakukan selanjutnya?" tanya Siau lok.
Kepala Siau kiong cu tertunduk mendengar ucapan tersebut.
"Moi moi aku bermaksud baik. Kau jangan salah sangka, Laki-laki
di dunia ini sangat banyak, memaksakan diri untuk mendapatkan
yang satu itu hanya akan membuat diri Moi moi menderita," kata
Siau lok menasehati.

"Apakah perempuan macam dirimu juga ada perasaan?" tanya
Siau kiong cu dengan suara ketus, Tatapan matanya tajam sekali.
Dia sendiri tidak pernah menyangka kalau dirinya dapat
mengeluarkan kata-kata seperti itu.
Ketika dia meninggalkan rumah hiburan tersebut, Siau lok sama
sekali tidak marah kepadanya, Dia malah berpesan kepadanya.
Apabila seorang perempuan ingin menguasai hati seorang laki-laki,
menguasai dalam arti selamanya. Hanya satu kata yang perlu di
ingat, "kejujuran". Tanpa kejujuran, dia tidak mungkin akan
memperolehnya.
Mereka berpisah di depan pintu kamar. Siau kiong cu berjanji,
kalau urusannya dapat terselesaikan dengan sempurna, dia akan
kembali lagi untuk menebus Siau lok agar terlepas dari lembah nista
tersebut.
-ooo0ooo-
Fang Tiong Seng kembali berlatih ilmu pedang.
Setelah berhasil membunuh Toa Tek To Hun, hatinya semakin
tidak tenang, Dia merasa bahaya di sekitar dirinya semakin menebal.
Sikap manusia di mana-mana sama saja. Ketika hati mereka ingin
melakukan sesuatu, mereka akan melakukannya tanpa berpikir
akibat yang timbul.Seakan bila semua sudah terlaksana maka hati
pun akan puas, Kenyataannya tidak semua yang demikian, Kadangkadang
kekecewaan yang timbul malah lebih besar dari sebelumnya.
Sebetulnya, makin tinggi kedudukan seseorang, beban yang
dipikulnyapun semakin berat. Malah adakalanya pikiran semakin
banyak sehingga menjatuhkan diri sendiri.Bila seseorang
memandang ke atas dari tempat yang rendah, hal itu sering
menimbulkan perasaan pusing, karena tidak terbiasa, Tapi apabila
memandang ke atas dari tempat yang cukup tinggi, maka tidak akan
menimbulkan akibat apa-apa. Artinya, manusia lebih baik menurut
apa yang sewajarnya harus dialami, jangan memaksa diri untuk
suatu yang mustahil.

Pada kentungan kedua lewat sedikit, Fang Tiong Seng baru mulai
berlatih ilmu silatnya, Tiba-tiba ada seorang yang melayang datang
dengan selembar daun kering sebagai alas. Suara yang diterbitkan
dari luncurannya memekakkan telinga, Fang Tiong Seng
memperhatikan orang tersebut, "Cayhe rasanya tidak mengenal..."
"Aku mengenalmu sudah cukup," sahut orang yang baru datang
itu. Orang itu berwajah persegi matanya sipit. penampilannya seperti
orang yang sedang murung hatinya.
"Tempat ini adalah taman bagian belakang dari Jin gi san cuang,"
kata Fang Tiong Seng mengingatkan.
"Jin Gi san cuang adalah kekayaan alam Bulim, Tidak dapat
dikatakan milikmu seorang," sahut orang itu.
Fang Tiong Seng tertawa.
"Cayhe ingin tahu maksud perkataan saudara," katanya.
"Fang Tiong Seng.... selamanya menutupi kejahatan dengan
berlagak mulia. Setiap perbuatan busukmu dilakukan dengan rapi.
Setiap tahun kau pasti pergi ke tempat yang jauh. Dan kalau kembali
pasti saku terisi penuh, Apa yang kau lakukan kau anggap tidak ada
yang tahu.
Kau merampok, membakar rumah orang, Kejahatan yang kau
lakukan sungguh tidak sedikit, harta yang kau dapatkan seluruhnya
dari cara tidak benar, Apakah kau berani mengatakan Jin Gi san
cuang ini dibangun dengan harta pribadimu?" tanya orang tersebut.
"Rupanya kau adalah seorang yang penuh perhatian," sahut Fang
Tiong Seng.
"Tidak perlu memujiku terlalu tinggi. Manusia she hua ini juga
bukan orang baik-baik. Oleh sebab itu, aku dapat mengetahui
dasarmu," kata orang itu sambil tertawa lebar.

"Rupanya Co san tuan chang Huan can lei, Hua taihiap!" seru
Fang Tiong Seng ikut memperlihatkan senyumnya.
"Fang Tiong Seng. Apa yang kukatakan tidak salah bukan?" tanya
Hua can lei.
Fang Tiong Seng tersenyum semakin lebar.
"Ada keperluan apa hua taihiap berkunjung?" tanyanya,
"Aku terdesak uang sebesar lima laksa tail. Aku harap kau dapat
menyumbangnya untukku," sahut Hua can lei.
"Boleh... jumlah kecil," kata Fang Tiong Seng.
Hua can lei seumur hidupnya pernah mengalami tujuh kali
kemalangan, Pertama ketika usianya tujuh tahun, Dia kehilangan
ibunya, Sepuluh tahun, kehilangan ayahnya, Tigapuluh tahun,
kehilangan istri. Usia tigapuluh dua sampai tigapuluh enam anaknya
yang empat orang mati berturut-turut, Oleh karena itu, nama aslinya
yang Hua Cuan Fang diganti menjadi Hua can lei (Hua mengalirkan
airmata) panggilan Co san tuan chang (pembelah usus dari gunung
Co) disebabkan hal itu juga.
"Sejak Toa Tek To Hun datang ke Tionggoan dan membunuh
sebagian besar jago kelas satu, Hanya kau seorang yang selamat
dari serangannya. Aku sudah menduga kalau ada udang di balik
batu," sahut Hua can lei.
"Aku bersedia mendengar keterangan selanjutnya," kata Fang
Tiong Seng.
"Pernah terdengar berita bahwa kedatangan Toa Tek To Hun
adalah atas undanganmu. Kau ingin meminjam tangannya untuk
melenyapkan sebagian besar jago yang mungkin akan
menggoyahkan kedudukanmu," sahut Hua can lei.

"Semakin bicara semakin kacau, Lalu kemana perginya Toa Tek
To Hun sekarang? Mengapa dia bisa melepaskan jago kelas satu
seperti Hua heng?" tanya Fang Tiong Seng.
"Karena cayhe tidak berada di Tionggoan," sahut Hua can lei.
"Setahuku.... Asalkan orang yang namanya tertera dalam daftar
Toa Tek To Hun, meskipun tidak berada di Tionggoan, tetap akan
dicarinya sampai ketemu, Kecuali satu hal," kata Fang Tiong Seng.
"Kecuali satu hal apa?" tanya Hua can lei.
"Menyebarkan berita bahwa dirinya sudah mati atau mengarang
cerita palsu seperti Kiau Bu Suang yang mengatakan dirinya Coa hue
jit mo. Toa Tek To Hun tidak membunuh orang yang demikian," kata
Fang Tiong Seng.
"Apakah cayhe menyebarkan berita bahwa cayhe cao hue jit mo?"
tanya Hua can lei.
"Meskipun tidak menyiarkan berita seperti itu. Namun Hua heng
menyembunyikan diri ke tempat yang susah dicapai Toa Tek To Hun
tidak berhasil menemukan Hua heng," kata Fang Tiong Seng.
"Maksudmu, Aku sengaja menyembunyikan diri?" tanya Hua can
lei.
"Aku merasa berat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun,
cayhe merasa kagum terhadap beberapa jago yang berani
menghadapi Toa Tek To Hun, meskipun mereka harus
mengorbankan diri," sahut Fang Tiong Seng.
"Sayangnya cayhe terlambat satu langkah," kata Hua can lei
sambil tersenyum sinis.
"Apa maksud perkataan Hua heng itu?" tanya Fang Tiong Seng.
"Kalau Toa Tek To Hun masih ada di Tionggoan, cayhe mau
bertarung dengannya," sahut Hua can lei.

Fang Tiong Seng tertawa dingin.
"Kalau Hua heng bersedia, boleh bertanding denganku saja,"
katanya.
"Toa Tek To Hun pernah mengalahkanmu," sahut Hua can 1ei.
"Justru karena dia pernah mengalahkan aku, maka aku
mengajukan pertandingan ini, seandainya Hua heng bisa
mengalahkan aku, baru pantas menantang Toa Tek To Hun," kata
Fang Tiong Seng.
"Manusia she Hua bersedia menerima," sahutnya.
Kedua orang itu berdiri berhadapan, pedang masing-masing telah
tergenggam di tangan, Kalau diurut dari tingkatan, nama Hua can lei
masih berada di atas Fang Tiong Seng. Namun Fang Tiong Seng
adalah satu-satunya lawan yang dapat lolos dari ancaman pedang
Toa Tek To Hun.
Ketika mata mereka bertemu, pedang masing-masing juga
dihunus dalam waktu yang bersamaan. Sinar-sinar berpijaran bagai
bunga api. Kedua orang itu saling menyerang sebanyak lima kali,
namun lima kali serangan itu berbaur menjadi satu. Pada serangan
keenam, salah satu pedang tersebut telah masuk kembali ke dalam
sarungnya.
Kelebatan cahaya dari pedang telah sirna. Pedang telah disimpan
kembali, Orang yang pedangnya belum ditarik kembali menatap
lawannya dengan hati kecut. Kedua tangannya terkulai ke bawah.
Darah mengucur deras dari kening. Kedua matanya terbelalak,
seakan tidak mempercayai apa yang dialaminya.
Apa yang dialirkan oleh Hua can lei bukan air mata lagi, namun
darah segar. Ada sekelumit manusia yang berlatih pedang separuh
hidupnya, namun ketika bertarung dengan lawan, toh dia hanya
menyerang seadanya. Tanpa sempat memilih tempat kematian bagi
lawannya itu.

Ketika Toa Tek To Hun merajalela, dia menyembunyikan diri,
Setelah jejak orang itu tidak menentu, entah dia muncul dari mana.
Satu hal lagi yang tidak dapat dimaafkan dia sudah tahu kalau
kedatangan Toa Tek To Hun adalah atas undangan Fang Tiong
Seng.
Toh, dia masih berani memeras Fang Tiong Seng sebanyak lima
laksa tail, Lima laksa tail memang kecil bagi Fang Tiong Seng,
Namun, bagi orang semacam dia, pasti tidak akan mengeluarkan
uang dalam keadaan seperti itu.
Sebelumnya, Hua can lei seharusnya sudah memikirkan hal itu.
Fang Tiong Seng bukan orang yang suka diancam, jika dia
memintanya secara baik-baik, mungkin akhir ceritanya tidak akan
seperti ini. Tetapi, orang yang sudah mati kan tidak bisa hidup
kembali?
Jilid 16
Bagian Dua Puluh Satu
Sun Put Ce setiap hari berkumpul bersama Bwe Mei. Dia mereka
berlatih tanpa mengenal lelah, Hubungan mereka pun semakin
dalam.Sedangkan Mo Put Chi juga berubah menjadi orang baru
setelah berkenalan dengan Lian hu. Bila dulu dia hanya makan dua
mangkok nasi sehari tiga kali, sekarang bertambah menjadi empat
mangkok, wajahnya selalu dipenuhi senyuman, Dia tampaknya jauh
lebih riang daripada ketika Hu Put Chiu masih hidup. Sun Put Ce
mengingatkannya agar memberitahu Lian hu supaya hubungan
mereka jangan dilaporkan kepada sang suci, Lian hu mengatakan
bahwa saat ini dia masih belum ingin bertemu dengan Lian-lian. Dia
juga memberitahu Mo Put Chi maksud kedatangannya. Rupanya dia
menerima perintah dari suhunya untuk menyelidiki tindak tanduk
Lian lian, Mereka berasal dari perguruan Lam hai (Lautan Selatan).
Mo Put Chi semakin kagum terhadap sutenya. Kalau bukan Sun
Put Ce yang membuka jalan, mungkin seumur hidupnya dia tidak

pernah mempunyai keberanian untuk mendekati seorang
perempuan.
Hari ini Mo Put Chi dan Sun Put Ce keluar rumah. Tidak lama
kemudian mereka berpencar diri, Tanpa disangka-sangka, Sun Put
Ce bertemu dengan Siau kiong cu. Dia mengira pertemuan itu hanya
kebetulan saja.
Siapa tahu, dalam hal ini perempuan paling pandai memainkan
peran perangkap tikus, Tentu saja laki-laki yang menjadi tikusnya,
Meskipun perangkap itu adalah sebuah benda mati, tapi tikusnya
adalah makhluk hidup.
"Siau kiong cu, kau sudah terlepas dari cengkeraman Lian lian?"
tanya Sun Put Ce dengan nada gembira.
"Betul, Sun Toako," sahut Lu ji.
"Apakah kau sudah bertemu dengan Siau Kwe?" tanya Sun Put Ce
kembali.
"Tidak, Apakah kau sendiri pernah bertemu dengannya?" Gadis itu
membalikkan pertanyaan Sun Put Ce.
"Beberapa hari yang lalu, Bukankah dia menerima surat darimu
dan berjanji untuk bertemu denganmu di Coa kok?" tanya Sun Put
Ce.
Siau kiong cu terpana.
"Tidak pernah ada kejadian seperti itu. Aku tidak pernah menulis
surat kepadanya," sahutnya.
"Celaka! Kwe Po Giok pasti ditipu oleh Lian lian, Siau kiong cu....
Bagaimana kau dapat terlepas dari tangannya?" tanya Sun Put Ce.
"Dia meminta aku mengajarkan Kiam sut rangkaian bunga.
Terang-terangan dia tahu bahwa aku tidak mungkin menjelaskan
semuanya," kata Siau kiong cu.

"Tentu saja," sahut Sun Put Ce.
"Betul, Dia menggunakan kebaikan palsu untuk melunakkan
hatiku. Tentunya dengan harapan aku akan tergerak dan
menjelaskan semuanya. Dia juga mengarang sebuah cerita bohong
bahwa orang yang bekerja sama dengannya menaruh perhatian
terhadapku, dengan demikian dia takut kalau diriku akan ternoda
dan untuk menunjukkan kebaikan hatinya, dia melepaskan diriku,"
kata Siau kiong cu.
"Dia benar-benar melepaskan dirimu?" tanya Sun Put Ce.
"Betul Tapi, aku tahu dia tentu mengikutiku secara diam-diam,"
kata Siau kiong cu.
"Lalu bagaimana kau terlepas dari kuntitannya, padahal kau tidak
bisa ilmu silat?" tanya Sun Put Ce.
"Meskipun aku tidak bisa ilmu silat, namun aku paham sekali sifat
air. Dia tentu tidak menduganya," kata Siau kiong cu.
"Kau melarikan diri lewat jalan air?" tanya Sun Put Ce. Suaranya
seakan kagum sekali,
"Di daerah pegunungan itu ada sebuah air terjun yang deras,
Mereka tentu tidak mengira kalau aku akan mengambil jalan yang
berbahaya itu," kata Siau kiong cu menjelaskan.
"Hal ini sebetulnya tidak mengherankan Kau dibesarkan di tengah
lautan, tentu paham sekali ilmu dalam air. Siau kiong cu.... Di mana
kau tinggal sekarang?" tanya Sun Put Ce.
"Aku juga tidak tahu harus tinggal di mana," sahut Siau kiong cu.
"Siau kiong cu kalau tidak keberatan Untuk sementara boleh
tinggal dengan Bwe kouwnio, Kalian bisa saling melindungi. Bukankah
tidak ada hal lain yang lebih bagus lagi?" kata Sun Put Ce.

"Sun Toako.... Aku tidak ingin mengganggu kalian. Aku ingin
menyewa sebuah rumah sendiri," sahut Siau kiong cu.
"Baiklah, Aku akan mencari secepat mungkin," kata Sun Put Ce.
Sun Put Ce memang banyak mengenal penduduk kota itu, Dia
sangat pandai bergaul penduduk setempat sangat menyukainya,
Tidak lama kemudian dia sudah berhasil mencari sebuah pondokan
untuk gadis itu. Siau kiong cu langsung pindah hari itu juga.
"Sun Toako.... Setelah kejadian ini, aku ingin mewariskan semua
ilmu peninggalan ayah kepada orang yang sesuai," katanya.
"Memang sudah seharusnya begitu," sahut Sun Put Ce
menyetujui.
"Aku merasa Sun Toako merupakan pilihan yang tepat," kata Siau
kiong cu kembali.
"Aku? Tidak.... Tidak bisa," sahut Sun Put Ce gugup.
"Betul. Tidak ada orang yang lebih sesuai daripada Sun Toako,"
kata Siau kiong cu tegas.
Sun Put Ce termangu-mangu.
"Mengapa Siau kiong cu tahu kalau aku sanggup mempelajari ilmu
itu?" tanyanya.
"Aku tahu. Kau pernah menyaksikan aku merangkai bunga
beberapa kali, Daya tangkapmu sungguh cepat, Dalam waktu yang
hanya beberapa kali saja kau sudah mengerti maknanya yang
dalam," sahut Siau kiong cu.
"Tetapi, Siau Kwe adalah Sin tong. Yang dipelajarinya lebih
banyak dari aku. Dia baru...."
Siau kiong cu menggelengkan kepala menukas perkataan Sun Put
Ce.

"Aku sudah mengajarkan semua ilmu pedang rangkaian bunga itu
kepadanya, tapi yang paling sederhana pun tidak bisa diterimanya
dengan cepat," katanya.
"Mengapa?" tanya Sun Put Ce.
"Mungkin karena dia terlalu membanggakan dirinya sendiri," sahut
Siau kiong cu.
Sun Put Ce terpana.
Ternyata ada juga hal yang tidak dapat dipelajari oleh Sin tong.
Tadinya dia mengira tidak ada hal yang tidak dapat dilakukan oleh
Sin tong.
"Karena aku takut ada orang jahat yang mengincar diriku, lebih
baik aku cepat-cepat mewariskannya kepada orang yang pantas
menerimanya," kata Siau kiong cu selanjutnya,
Sun Put Ce berusaha menolak,
"Siau kiong cu.... Aku rasa tidak ada orang yang lebih sesuai
daripada Siau Kwe," sahutnya.
"Tetapi saat ini, entah dia ada di mana. sedangkan waktu tidak
memungkinkan lagi untuk menunda," kata Siau kiong cu.
Sun Put Ce tiba-tiba merasa, bahwa keselamatan dan keadaan
Kwe Po Giok sekarang tidak terlalu menjadi perhatian Siau kiong cu.
Dia benar-benar tidak mengetahui apa alasannya.
"Siau kiong cu.... Kalau kau masih ingin meminum arak, aku
rasanya tidak sanggup lagi, Harap maafkan," katanya.
Siau kiong cu tidak memperdulikan kata-kata itu.
"Sebelum ayahku pergi, dia pernah mengatakan kepadaku, Sun
Toako merupakan orang yang dapat diandalkan Mungkin beliau

sudah menyiratkan bahwa dirinya tidak melarang bila aku
meninggalkan ilmu pedang ini kepadamu. sayangnya ayah tidak
sempat mengenalmu lebih lama," sahut Siau kiong cu.
"Siau kiong cu.... Aku tetap menganggap Siau Kwe lebih pantas
menerimanya," kata Sun Put Ce berkeras.
"Sun Toako,... Apakah kau menganggap Kiam hoat ayah tidak
cukup tinggi?" tanya Siau kiong cu.
"Tidak.... Tentu tidak!" sahut Sun Put Ce gelagapan.
"Nah.... Apa yang kau tunggu lagi? Tidakkah kau lihat bahaya
yang semakin mengancam Bulim sekarang?" kata Siau kiong cu.
Sun Put Ce tidak sanggup memberi jawaban.
"Baik. Kita mulai sekarang, Aku harap Sun Toako datang setiap
hari, Aku akan merangkai bunga di depan Toako, Tentu Siau Kwe,
aku harap Sun Toako juga membantu mencarinya," kata Siau kiong
cu kembali
"Ketika dikurung oleh Lian lian tempo hari, apakah Siau kiong cu
masih mengingat di mana tempatnya?" tanya Sun Put Ce.
"Tampaknya seperti sebuah biara," sahut Siau kiong cu.
Sun Put Ce merenung sesaat.
"Mungkinkah Cui goat si?" tanyanya.
"Kemungkinan besar betul, Tadinya ada Toa pei su thay dan dua
orang nikouw yang menetap di sana. Toa pei su thay adalah kepala
biara tersebut Namun belakangan, mereka tidak terlihat lagi. Aku
selalu merasa bahwa keadaan mereka lebih banyak bahaya dari
pada selamatnya," sahut Siau kiong cu.

Sebetulnya, yang paling dikhawatirkan Siau kiong cu memang
masalah ilmu pedang ayahnya yang belum mendapatkan ahli waris
yang sesuai.
*****
Yang dipelajari oleh Sun Put Ce dan Bwe Mei memang ilmu
pedang peninggalan Tang hay sin sian. Tapi dia tidak
memberitahukan kepada Siau kiong cu.
Siau kiong cu merangkai sejambangan bunga untuk diperlihatkan
kepada Sun Put Ce. Dengan cepat laki-laki itu dapat memahaminya,
Tetapi pikirannya terus tertuju kepada Bwe Mei.
Dia menjelaskan apa yang dipahaminya dengan tergesa-gesa,
Tentu saja Siau kiong cu mengerti isi hatinya.
Gadis itu pernah memamerkan keindahan tubuhnya agar dilihat
oleh Kwe Po Giok. Mengapa sekarang dia berubah haluan? Bukankah
dia dapat dianggap gadis yang begitu mudah berubah hatinya dan
tidak setia?
Sebetulnya, Siau kiong cu juga dapat dikatakan seorang Sin tong.
Dia dapat merasakan kalau Kwe Po Giok dapat terpincut oleh
kecantikan dan kegenitan Lian lian, pandangannya terhadap
perempuan itu tempo hari, menyiratkan gairah dan harapan.
Kwe Po Giok tidak pernah memandangnya dengan tatapan seperti
itu, Dia mengatakan bahwa dirinya tidak memandang dengan
tatapan seperti itu karena menghormatinya, Tapi Siau kiong cu tidak
menganggap demikian.
Pengetahuan dan usianya tidak dapat di-samakan, Dia tahu, biar
bagaimana pun rasa hormat seseorang terhadap kekasih-nya,
namun hubungan antara laki-laki dan perempuan memang tidak
terlepas dari gairah dan nafsu. Sebaliknya, dia merasa dirinya
mempunyai kekurangan sehingga perasaan Kwe Po Giok kepadanya
menjadi tidak menggebu-gebu.

Dapat juga dikatakan bahwa antara laki-laki dan laki-laki lainnya
bisa ada persahabatan tapi antara laki-laki dan perempuan tidak
mungkin, Yang ada hanya rasa cinta atau benci. Dan itu berarti
kalau hubungan antara laki-laki dan perempuan sudah mencapai
taraf tertentu, pasti akan terjalin hubungan batin yang dalam.
Meskipun Sin tong, pada saat kedewasaannya sudah sampai, pasti
akan mempunyai keinginan dan kebutuhan yang sama.
Sun Put Ce menceritakan kejadian itu kepada Bwe Mei.
"Siau kiong cu ingin mewariskan ilmu pedang peninggalan Tang
hay sin sian kepadamu, hal ini membuktikan bahwa dia sudah
mengenal sifatmu benar-benar," kata Bwe Mei datar.
"Bwe Mei.... Kata-katamu ini seakan lebih membela dirinya," sahut
Sun Put Ce.
"Apakah ucapanku salah?" tanya Bwe Mei.
"Apakah aku terhitung seorang pendekar?"
"Kalau kau tidak berjiwa pendekar, mungkinkah pilihan Bok lang
kun jatuh pada dirimu?" tanya Bwe Mei.
"Bwe Mei.... jangan terlalu besar hati," sahut Sun Put Ce.
"Bagaimana mungkin? Hanya saja, mendengar nada suaramu,
rasanya rasa kepercayaan Siau kiong cu terhadap Kwe Po Giok
sudah hilang sebagian," kata Bwe Mei.
"Siau Kwe juga tidak dapat disalahkan. Usianya masih terlalu
muda. Perasaan ingin main-mainnya masih kuat. Dia belum cukup
serius menangani sesuatu hal," sahut Sun Put Ce.
"Mungkin ini juga penyebab Siau kiong cu tidak yakin terhadap
dirinya, Apalagi Lian lian justru berhasil menculik Siau kiong cu lewat
tangannya," kata Bwe Mei.

"Apakah kau anggap hanya karena hal ini maka Siau kiong cu
kehilangan kepercayaan kepada Siau Kwe?" tanya Sun Put Ce.
Bwe Mei tersenyum-senyum.
"Mungkin kepercayaannya, beralih kepadamu," sahutnya.
"Bwe Mei.... Kau terlalu curiga," kata Sun Put Ce.
"Aku hanya bergurau, Siapa suruh kau menanggapi secara
serius?" sahut Bwe Mei.
Bwe Mei masuk ke dapur untuk mempersiapkan makanan, Sun
Put Ce tahu, meskipun gadis itu menyangkal tapi dalam hatinya
memang ada sedikit kecurigaan. Sun Put Ce mengajarkan apa yang
dipelajarinya dari Siau kiong cu kepada Bwe Mei.
Lian lian ternyata jauh lebih jalang dari dayang Cui thian,
Perempuan seperti dia, persis seperti para gundikdi Istana Raja,
Biarpun laki-laki macam apa yang berhasil digaetnya, tentu akan
diajaknya berbuat mesum. Yang penting laki-laki. Baik tua ataupun
muda.
Sejak bertemu Kwe Po Giok untuk pertama kalinya. Dia sudah
merasa kalau pemuda itu sudah cukup dewasa, Dia tahu,
perempuan yang diinginkan Kwe Po Giok bukan sejenis Siau kiong cu
yang lemah lembut.
Dia menginginkan seorang perempuan yang dapat membuat
hatinya berdebar-debar, yang dapat membuat bulu kuduknya berdiri
dan membuat hatinya tegang.
Kwe Po Giok telah terjatuh dalam pelukan Lian lian, Begundalnya
sendiri sudah dapat melihat dengan jelas.
"Asalkan kau berhasil memancing ilmu pedang Tang hay sin sian
dari dirinya, aku tidak melarang kau mempergunakan siasat apa
pun," katanya.

Lian lian mana mungkin tidak mengerti apa maksudnya? Oleh
sebab itu, Lian lian hari ini mengajak Kwe Po Giok minum arak
berdua, Dia sengaja mengenakan pakaian yang tembus pandang.
Yang terlihat jelas justru bagian dada dan sela-sela pahanya. Apa
yang paling senang dinikmati pemuda itu memang bagian tersebut
Lian lian merasa bangga terhadap dirinya. Dia yakin Kwe Po Giok
sudah berada dalam cengkeramannya
"Kwe siaute.... Aku tahu kau sangat menyukaiku," katanya.
"Tidak salah," sahut Kwe Po Giok.
"Sebetulnya aku juga tertarik padamu," kata Lian lian.
"Sayang sekali usia kita terpaut jauh," sahut Kwe Po Giok.
"Usia tidak menjadi soal. Di dunia ini banyak sekali laki-laki tua
beristri muda. Begitu juga sebaliknya, Yang penting sama-sama
suka," kata Lian lian sambil tersenyum manis.
Dia sengaja meliuk-liukkan pinggangnya dengan gaya memikat.
Tampaknya dia ingin membuat Kwe Po Giok kesem-sem.
"Kau tidak takut dia akan cemburu?" tanya Kwe Po Giok.
"Dia siapa?" tanya Lian lian pura-pura tidak mengerti.
"Siapa lagi kalau bukan laki-lakimu," sahut Kwe Po Giok.
"Dia tidak berhak cemburu. Dia juga tidak berani mengatur
kemauanku," kata Lian lian.
"Kau bebas sekali," Hati Kwe Po Giok tergerak.
Api yang dikobarkan perempuan ini memang jauh lebih panas dari
Siau kiong cu. Kwe Po Giok ingin sekali mencobanya, Kenyataannya
jarang sekali ada laki-laki yang sanggup menolak gairah yang
dibangkitkan oleh Lian lian.

"Kau ingin bukan? Maka dari itu kau harus jujur terhadap cici,"
kata Lian lian.
"Tentu, Apa yang ingin aku lakukan pasti akan segera dilakukan
dengan baik," sahut Kwe Po Giok.
"Kalau kau memberitahukan seluruh ilmu pedang peninggalan
Tang hay sin sian, aku tentu tidak akan mengecewakan dirimu.
Kapan saja kau menginginkannya, aku akan memberikan pada
waktu itu juga," kata Lian lian.
"Memberikan pada waktu itu juga?" tanya Kwe Po Giok yang
tampaknya tertarik dengan tawaran tersebut.
"Tentu, Karena aku juga menyukaimu," kata Lian lian.
"Di mana sebetulnya Siau kiong cu sekarang?" Dia tetap tidak
dapat melupakan Siau kiong cu.
"Sudah kulepaskan Benar-benar sudah kulepaskan," sahut Lian
lian.
"Baiklah, Aku percaya kata-katamu. Bila kau ingin mempelajari
ilmu pedang peninggalan Tang hay sin sian, maka kau harus
mempelajari sim hoatnya terlebih dahulu," kata Kwe Po Giok.
"Sim hoat?" tanya Lian lian.
"Betul, Tanpa mempelajari sim hoatnya, untuk selamanya kau
jangan harap dapat berlatih ilmu pedang tersebut," sahut Kwe Po
Giok.
"Kau akan mengajarkan sim hoatnya terlebih dahulu?" tanya Lian
lian.
"Betul, Aku akan membacakan sebaris rahasianya, Kau coba-coba
duduk sekitar satu kentungan, Kau lihat sendiri bagaimana
reaksinya," kata Kwe Po Giok dengan wajah serius.

"Kau sungguh-sungguh bisa mengajari aku?" tanya Lian lian.
Kwe Po Giok menyapu tubuh Lian lian dengan sikap penuh gairah.
"Bukankah semua ini demi mendapatkan dirimu yang cantik?"
sahutnya.
Lian lian tertawa dengan gaya mengundang, Dapat membuat
seorang anak muda terbangkit birahinya, dia merasa sangat bangga,
perempuan memang perempuan, Tapi daya tariknya berlainan,
Kecerdasan otaknya juga tidak sama, Seperti juga seorang
perempuan yang cantik, Ada yang dapat memanfaatkan
kelebihannya, ada yang tidak berani.
Kwe Po Giok memberitahukan sekelumit rahasia sim hoat
tersebut, Lian lian segera duduk bersila dan mengikuti ajarannya,
Kwe Po Giok sendiri juga duduk bersila, Hanya saja tujuan mereka
berbeda, Lian lian sedang memusatkan pikirannya mempelajari sim
hoat Tang hay sin sian, sedangkan Kwe Po Giok sedang berusaha
melepaskan totokan jalan darahnya.Sebab dia selalu yakin dirinya
adalah Sin tong. Dia memang tertarik dengan kegenitan perempuan
itu, namun menyelamatkan diri lebih penting dari segalanya.
Kira-kira sepeminuman teh kemudian, dia telah berhasil
melancarkan kembali jalan darah yang tertotok, Dia membuka mata
dan memandang Lian lian, perempuan itu memang mempesona,
Sampai sekarang, dia belum pernah bertemu dengan seorang
perempuan yang mempunyai daya tarik demikian hebat perempuan
yang dapat membuat seorang laki-laki enggan mengedipkan matanya.
Tanpa dapat menahan diri, dia mengulurkan tangan untuk
menjamah.
Tiba-tiba dia terperanjat karena pada waktu yang bersamaan,
Lian lian juga membuka matanya.
"Apa yang hendak kau lakukan?" tanyanya.
"Aku hanya ingin meraba," sahut Kwe Po Giok.

"Mengapa harus meraba?" tanya Lian lian.
"Aku hanya ingin membuktikan, apakah perasaan dalam khayalan
dan kenyataan itu sama rasanya?" kata Kwe Po Giok.
"Siau Kwe.... Ternyata kau memang Sin tong."
"Sejak usia tiga tahun, orang sudah tahu kalau aku Sin tong,"
sahut Kwe Po Giok tersenyum.
"Tetapi, Sin tong di dunia ini mungkin bukan hanya satu dua
saja," kata Lian lian.
"Apakah dirimu juga termasuk salah satu di antaranya?" tanya
Kwe Po Giok.
"Meskipun aku tidak termasuk, namun aku mengerti sekali jiwa
Sin tong," kata Lian lian,
Tiba-tiba dia mengulurkan tangan untuk menampar salah satu
jalan darah penting di bagian dada Kwe Po Giok, Mungkin dia sama
sekali tidak menyangka kalau pemuda itu sudah dapat mengeluarkan
tenaga. Dia terkejut sekali ketika telapak tangannya disambut oleh
pemuda tersebut. Pada saat yang sama, mereka bangkit.
"Blang!!!"
Pertemuan antara kedua telapak itu belum dapat memastikan
kepandaian siapa yang lebih tinggi Karena di pihak Lian lian,
memang tidak sungguh-sungguh ingin melukai Kwe Po Giok,
sedangkan pemuda itu tidak menyangka adanya serangan tersebut.
Namun pada serangan kedua dan ketiga, Lian lian terdesak mundur
sebanyak lima langkah.
Semuanya telah usai, impiannya seakan melayang jauh, Dia
segera menarik diri. Bukan Lian lian tidak berani bertanding kembali
tapi dia juga merasa lebih baik mundur teratur. Dia terpaksa melihat
Kwe Po Giok menghilang dari hadapannya.

Dia menyalahkan dirinya sendiri. Kalau saja dia tetap
memejamkan mata dan membiarkan Kwe Po Giok menjamahnya.
Mungkin pemuda itu akan menunduk sepenuhnya. Namun hal itu
juga tidak berani dipastikan. Karena Kwe Po Giok adalah seorang Sin
tong sedangkan dirinya bukan.
Sun Put Ce merangkul sekumpulan bunga. Dia memang tidak
pandai merangkai bunga, namun dia amat menyukainya.
Siau kiong cu sering meminta dia membawa pulang bunga-bunga
segar. Dia sudah mempelajari cukup banyak dari rangkaian bunga
Siau kiong cu. Gadis itu pernah menyatakan bahwa daya tangkapnya
lebih cepat dari Kwe Po Giok.
Sun Put Ce tidak tahu apakah dia menyukai Siau kiong cu. Tapi
dia tahu pasti dirinya sangat menghormati gadis itu. Namun dia
merasa perhatian dan kasih sayang Siau kiong cu terhadapnya
semakin mendalami Dia sering memaksa Sun Put Ce melepaskan
balutan luka di tangannya dan membersihkannya sendiri.
Kadang kala dia juga memasakkan makanan yang enak-enak. Dan
satu persoalan lagi yang membuat hatinya tidak tenang, Antara
hitam dan putih bola mata Siau kiong cu, dia melihat secercah sinar
yang tidak dimengertinya, Siau kiong cu sering mencuri pandang
terhadapnya.
Sun Put Ce memang belum terlalu lama berdekatan dengan
perempuan, namun pengetahuannya tentang lawan jenis itu sudah
cukup mendalam. Hatinya merasa tertekan Dia merasa dirinya turut
bersalah kalau membiarkan perasaan itu tumbuh. Meskipun tanpa
maksud demikian pada mulanya.
Dengan serangkum bunga di tangan, dia mengetuk pintu rumah
Siau kiong cu. Gadis itu cepat-cepat membukakan dan menerima
rangkuman bunga tersebut.
"Toako..." Dia memanggil dengan suara merdu.

Tanpa sepengetahuan kedua orang itu, ada sepasang mata yang
memandang dengan terbelalak. Mata itu seperti sebuah koin
besarnya, Mereka sudah masuk ke dalam. Kwe Po Giok keluar dari
tempat persembunyiannya dan menghampiri pintu rumah itu.
Siau kiong cu yang dikenalnya sudah jauh berubah, Dulu dia pasti
akan menundukkan kepala kalau dipandang oleh seorang laki-laki.
Mengapa dia menjadi demikian berani dan terbuka? Kwe Po Giok
merasa Siau kiong cu semakin lincah dan gairah hidupnya juga
terlihat jelas.
Apa sebabnya? Kwe Po Giok takut memikirkan dugaannya sendiri.
Dia menganggap Sun Put Ce bukan sahabat yang jujur, Oleh karena
itu, dia belum mau mengunjukkan dirinya. Dia melihat Siau kiong cu
merangkai bunga di hadapan Sun Put Ce. Dia juga melihat gadis itu
membersihkan lukanya.
Kwe Po Giok yang mengintip dari balik kegelapan, semakin
belingsatan, Hatinya gemas. Semakin kesal hatinya, semakin tidak
mau dia bertemu dengan Siau kiong cu. Chow Ai Giok mondar
mandir setiap hari. Seekor anjing gila sudah cukup menakutkan.
Tampaknya dia lebih menakutkan daripada seekor anjing gila.
Sejak Kiau Bu Siang terbunuh, dia sudah berusaha menemui
beberapa tabib terkenal Namun setiap tabib yang ditemuinya selalu
mengatakan bahwa kandungannya sudah cukup besar sehingga
berbahaya apabila digugurkan, pikirannya semakin kalut.
Dia membenci kaum laki-laki. Dengan sendirinya, dia juga
membenci benih dalam perutnya, Dia tidak sanggup meredakan
kemarahan di hatinya. Oleh sebab itu, di mana-mana dia
menimbulkan bencana.
Hari ini, dia melihat Kwe Po Giok sedang mengetuk sebuah rumah
penduduk di pinggiran kota, Dari dalam terdengar sahutan.
"Apakah Kwe Po Giok yang memanggil?"
"Betul," sahut Kwe Po Giok.

"Kwe Siaute ada urusan apa?" tanya suara dari dalam rumah itu.
"Bwe kouwnio, Aku ingin menanyakan satu hal kepadamu," kata
Kwe Po Giok kembali.
"Hal mengenai apa?" tanya suara dalam rumah itu sekali lagi.
"Mengenai Sun Toako dan Lu ji," sahut Kwe Po Giok.
"Masuklah!" Hanya sekejap pintu itu terbuka lalu menutup kembali
Mendengar nada suaranya saja, Chow Ai Giok sudah tahu kalau
orang yang ada di dalam rumah tersebut adalah Bwe Mei. Dia sama
sekali tidak menyangka rumah penduduk yang dilewatinya setiap
hari merupakan tempat tinggal gadis itu.
Pada saat itu, Kwe Po Giok sedang bercakap-cakap dengan Bwe
Mei sambil minum teh, Dia tahu kalau dengan cara kekerasan, gadis
itu pasti tidak akan mengatakan apa-apa.
"Bwe ci... mengapa sebelah tanganmu dapat terkutung?"
tanyanya.
"Jangan diungkit kembali Siapa lagi kalau bukan Chow Ai Giok,
perempuan busuk itu!" sahut Bwe Mei.
"Tidak tersangka.... Baru satu bulan berpisah ternyata sudah
demikian banyak kemalangan yang terjadi," kata Kwe Po Giok.
"Kemalangan apa lagi?" tanya Bwe Mei heran.
"Misalnya, aku pernah terjatuh kedalam cengkeraman Lian lian,
sebelumnya Siau kiong cu juga mengalami hal yang sama," kata Kwe
Po Giok.
"Betul. Untung kalian mendapat kesempatan untuk meloloskan
diri," sahut Bwe Mei. "Bwe ci... mengapa Lu ji tidak tinggal bersamasama
denganmu?" tanya Kwe Po Giok.

"Dia takut mengganggu aku. Mungkin juga takut dirinya
terganggu," sahut Bwe Mei.
"Tahukah kau kalau Sun Toako ke tempatnya setiap hari?" tanya
Kwe Po Giok.
"Tahu," sahut Bwe Mei. "Tampaknya dia tidak takut terganggu
oleh Sun Toako," kata Kwe Po Giok sambil tersenyum sinis.
Saat itu juga, Bwe Mei langsung dapat menebak maksud
kedatangan pemuda tersebut.
"Kwe siaute,.,, Aku mempercayai mereka."
"Paling tidak, aku juga mempercayai Lu i ji," sahut Kwe Po Giok.
Mendengar kata-kata itu, dalam hati Bwe Mei timbul perasaan
untuk membesarkan hati Sun Put Ce.
"Sebetulnya Siau kiong cu yang memaksa dia ke sana, Dia ingin
menunjukkan intisari ilmu pedang dari rangkaian bunganya," kata
gadis itu.
"Kalau begitu, berarti Lu ji yang mencoba memikatnya," tanya
Kwe Po Giok.
"Kata-kata "memikat" rasanya terlalu kasar," kata Bwe Mei
"Kalau tidak menggunakan kata-kata itu, bagaimana menjelaskan
ucapanmu tadi?" tanya Kwe Po Giok.
"Rupanya sejak terlepas dari cengkeraman Lian lian, kau belum
sempat bertemu dengannya," kata Bwe Mei.
"Betul. Aku justru melihat Sun Toako merangkul sekumpulan
bunga ke tempatnya. Sikap kedua orang itu lebih panas dari api,"
sahut Kwe Po Giok.

"Siau Kwe.... Tidak boleh terlalu banyak curiga, Aku percaya
penuh kepada Sun Toa-ko. Terhadap Siau kiong cu pun sama," kata
Bwe Mei.
"Karena yang pertama adalah laki sejati sedangkan yang satunya
dari keluarga baik-baik?" tanya Kwe Po Giok.
"Boleh dikatakan demikian," sahut Bwe Mei. "Siau Kwe.... jangan
menduga yang bukan-bukan, Lekas kembali dan temui Siau kiong
cu."
"Bagaimana kalau kau yang menjadi diriku saat ini?" tanya Kwe
Po Giok yang ingin mengetahui apa tindakan Bwe Mei.
"Kalau aku menjadi engkau, maka aku akan segera menemuinya
dan menanyakan sampai persoalan ini jelas," katanya.
"Coba kau tebak. Bagaimana Lu ji memanggil Sun Put Ce?" tanya
Kwe Po Giok.
"Kalau bukan Sun Toako, tentunya Toako saja," sahut Bwe Mei
"Betul. Cuma panggilan itu terdengar amat manis," kata Kwe Po
Giok.
Bwe Mei tertawa-tawa, Dia juga tidak berani memastikan kalau di
antara kedua orang itu tidak ada hubungan pribadi perkembangan
mereka terlalu cepat rasanya. Tapi, demi keselamatan umum, Bwe
Mei tetap menganjurkan Sun Put Ce menemui Siau kiong cu. Untuk
itu, Bwe Mei harus membujuknya berkali-kali. Kalau saja sikap Bwe
Mei seperti Kwe Po Giok, mungkin persoalannya akan berlainan.
Bwe Mei membujuk Kwe Po Giok pulang ke tempat Siau kiong cu.
Namun hatinya sendiri menjadi gelisah.
"Mungkinkah Sun Toako akan jatuh cinta kepada Siau kiong cu?
Mengapa gadis itu bisa berubah hatinya? Sun Toako tidak mungkin
mengandung maksud lain terhadap gadis itu," katanya dalam hati.

Pertanyaan-pertanyaan itu mengelilingi benaknya sepanjang hari
Tepat pada saat itu, Chow Ai Giok muncul dari depan pintu, Mata
kedua orang itu merah membara, sekali lihat saja, Bwe Mei sudah
dapat menduga maksud kedatangan Chow Ai Giok.
Karena dia baru kehilangan sebuah lengan. Dia masih mempunyai
sebuah tangan lainnya dan sepasang kaki, Dia pernah mengatakan
kalau hatinya sedang gembira, mungkin dia akan datang lagi untuk
meminta bagian tubuhnya yang lain.
"Kau sudah berubah," kata Bwe Mei. "Berubah sekali."
"Apanya yang berubah?" tanya Chow Ai Giok.
"Paling tidak, matamu sudah berubah," kata Bwe Mei dingin.
"Mata?" tanya Chow Ai Giok tidak mengerti.
"Matamu seperti mata seekor binatang buas," sahut Bwe Mei.
"Kau memang mempunyai lidah yang tajam. Kedatanganku adalah
mengambil sebelah kakimu," kata Chow Ai Giok.
Bwe Mei mengertakkan giginya.
"Apakah kau tidak menyadari satu hal?" tanyanya.
"Hal apa?" tanya perempuan itu bingung.
"Bagaimana kau harus melindungi sebelah kaki atau tanganmu,"
sahut Bwe Mei ketus.
Tawa Chow Ai Giok seperti lolongan srigala, Orang yang hatinya
jahat, Bukan hanya terlihat dari penampilan tapi suaranya juga
menyiratkan sifat sejahat hatinya.
Bwe Mei sudah meraih pedangnya, Dia pernah bertanya kepada
Sun Put Ce, Apa bila dia mempelajari kiam hoat peninggalan Tang

hay sin sian, berapa lama waktu yang diperlukannya untuk dapat
menandingi Chow Ai Giok.
Sun Put Ce mengatakan bahwa kemungkinan dalam satu bulan
setengah saja, dia sudah tidak usah takut akan dikalahkan oleh
perempuan itu, tetapi sekarang waktu yang diberikan oleh Sun Put
Ce belum sampai.
Kalau tidak salah dia baru belajar selama satu bulan lewat tiga
hari, Api kebencian membara di hatinya, Bwe Mei belum yakin
dengan kemampuannya sendiri Tampaknya Chow Ai Giok justru
terbalik, ia seperti sudah melihat kemenangan yang akan diraihnya.
"Bwe Mei.... Ternyata nasibmu jauh lebih malang daripadaku,"
kata Chow Ai Giok.
"Aku memang tidak pernah menyatakan bahwa nasibku baik,"
sahut Bwe Mei.
"Kekasihmu telah terjatuh dalam pelukan perempuan lain," kata
Chow Ai Giok.
"Kalau memang benar, rasanya bukan sesuatu yang
mengherankan," sahut Bwe Mei.
"Tampaknya jiwamu sangat besar," kata Chow Ai Giok.
"Terlahir sebagai perempuan, rasanya sudah lumrah mengalami
hal demikian. Tapi engkau,.,."
"Apa dengan aku?" tanya Chow Ai Giok dengan pandangan
menusuk.
"Kiau Bu Suang sudah mati. Bayi itu akan terlahir tanpa ayah.
Kalau kabar yang kuterima tidak salah, kau pernah mencari berbagai
tabib untuk menggugurkannya bukan?" sindir Bwe Mei.
Chow Ai Giok tidak menyangka kalau lawannya dapat mengetahui
peristiwa busuk yang dialaminya. Apalagi soal menggugurkan

kandungan, Keburukan sendiri pasti takut diketahui orang lain, Chow
Ai Giok menghunus pedangnya perlahan-lahan.
Dia sengaja menggunakan jempolnya meraba ujung pedang
tersebut seakan ingin membuktikan ketajaman senjatanya.
"Kaki sebelah mana yang ingin kau pertahankan untuk
sementara?" tanyanya ketus.
"Sebentar lagi kau merasakan keluguan dan kekanak-kanakan
dirimu sendiri," sahut Bwe Mei sambil tertawa dingin.
"Perempuan maling! Kalau aku mengatakan bahwa kakimu hanya
akan tersisa berapa cun, maka yang akan terjadi tentu ! seperti yang
aku katakan, Aku berani bertaruh untuk hal itu!" bentak Chow Ai
Giok, Laksana seorang penjagal binatang, Mereka sudah memenggal
leher binatang itu setiap hari. Maka jarak antara kepala leher pasti
sama seperti sebelumnya.
Ketika baru sampai tadi, dia sempat mendengar Bwe Mei
memanggilnya sebagai perempuan busuk. Hatinya sudah panas
sekali. Sejak kematian Kiau Bu Suang tempo hari, Dia mengakui
harga dirinya telah tiada.
Bwe Mei tidak ingin berdebat lagi dengan Chow Ai Giok, Kalau
pertarungan ini tidak dapat dimenangkan olehnya, sama saja dirinya
tinggal menunggu kematian, Matanya tentu tidak dapat terpejam
apabila dia mati di tangan perempuan ini.
Dengan penuh keyakinan, Chow Ai Giok menyerang satu kali, Dia
mengira bahwa dengan ilmu yang dimilikinya, dia dapat mendesak
Bwe Mei dalam satu jurus, jurus kedua dikeluarkan, niatnya tentu
akan terlaksana.
Tapi, kenyataannya ternyata jauh di luar dugaan, pedang Bwe Mei
lebih dulu mengancam tempat yang berbahaya, Chow Ai Giok harus
memikirkan cara menghindarkan diri supaya dia tidak celaka oleh
serangan tersebut. Kalau dia berkeras hendak mengambil sebelah
kaki Bwe Mei. Dia pasti harus menebusnya dengan selembar nyawa.

Chow Ai Giok terkejut sekaligus marah. Dia berseru lantang,
Tubuhnya melejit mundur. Seperti seekor serigala yang tertusuk
panah, Dia meraung keras, seakan ingin menelan Bwe Mei hiduphidup.
Mata-nya memandang dengan tatapan menusuk, Giginya
dikertakkan.
"Bagaimana mungkin? Baru belum lama aku mengutungkan
lengannya, Sungguh-sungguh tidak masuk akal," gumamnya
seorang diri.
Bwe Mei tidak menjawab. serangannya telah membawa hasil,
Rasa percaya dirinya semakin menebal. Perasaan ingin membalas
dendam memenuhi hatinya, Sinar matanya menyapu bagian tubuh
lawan yang diincar. Bagian kakinya. Dia belum pernah
menggenggam pedang seerat itu selama hidupnya. Karena dia tahu,
Chow Ai Giok kali ini pasti akan menyerangnya dengan jurus maut
ajaran Hiat Eng.
Bwe Mei juga tidak bodoh. Dia tahu lawannya memang benarbenar
ingin mencelakainya. Chow Ai Giok berteriak sekali lagi,
serangannya memang amat berbahaya. cahayanya bagaikan
sambaran petir yang menyilaukan mata. Bwe Mei terpaksa mengelit,
Rasa percaya dirinya belum terpupuk penuh, Kalau saja dia
menyambut serangan itu dengan keyakinan yang tebal, tentu
akibatnya tidak sama.
"Trang!!!" Pedang di tangan Bwe Mei melayang, Tetapi dia
menyadari bahwa dirinya sama sekali tidak boleh kalah. perubahan
jurus yang dikeluarkannya belum sempurna, sedangkan pedang di
tangan Chow Ai Giok sudah di depan mata. Rasa percaya diri Bwe
Mei seakan sedang diuji, Dia belum sempat mengelak.
"Bret!!!" Lengan bajunya sudah terkoyak. Disusul datangnya
sebuah serangan yang tidak kalah dahsyat Bwe Mei menggelinding
di tanah. Dia mencoba mengelak dengan cara berputar Chow Ai Giok
memastikan dirinya untuk mendapatkan sebelah kaki Bwe Mei.
sedangkan gadis itu tahu, kalau dia kalah kali ini berarti mati,

Kehilangan sebelah kaki juga lebih baik mati. Keadaannya benarbenar
terdesak, Chow Ai Giok tertawa sinis.
Dia berpikir dalam hati. Kalau tidak cukup menyerang tiga kali, dia
akan menyerang sepuluh kali, Pokoknya sampai berhasil mengutungi
sebelah kaki Bwe Mei. ingin kulihat kau dapat bertahan berapa lama!
Asalkan dia tidak memberi kesempatan untuk gadis itu berdiri dan
kabur dari tempat tersebut, dapat dipastikan bahwa sebelah kaki
Bwe Mei akan menjadi miliknya, Bwe Mei juga mempunyai pendapat
yang sama.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara dengan nada berat.
"Kejam... tidak berperasaan!" Suara yang terdengar adalah suara
seorang perempuan Chow Ai Giok menolehkan kepalanya, Sebelum
dia sempat membentak suara itu terdengar kembali.
"Chi fang... Chan cao!" Chi fang artinya aliran air di kolam,
sedangkan Chan cao adalah panggilan untuk sejenis bunga yang
hanya tumbuh di musim semi daerah utara.
Bunga-bunga yang sering ditemui di sekitar daerah itu palingpaling
Mei kui (mawar) Yek lai hiang (bunga sedap malam) Jit thau
hue (bunga matahari sedangkan bunga yang disebut tadi hanya
suatu kiasan, Yang mana menjelaskan bahwa kehidupan jangan
disia-siakan.
Dalam keadaan yang bagaimana bahaya pun harus berusaha
menyelamatkan diri Chow Ai Giok mengira ada orang yang datang
mengacau, Tidak demikian dengan Bwe Mei. Dia mengerti arti kiasan
tersebut.
Dalam keadaan terdesak di mana pedang Chow Ai Giok hampir
mengenai tumitnya, dia segera merubah gerakan, Pedang yang tadi
melayang sudah ada di tangannya kembali hahkan dia berhasil
menghindarkan diri dari serangan Chow Ai Giok. Semua ini tentu di
luar dugaan perempuan itu.

Sekarang giliran Bwe Mei yang memegang peranan, Dia
menyerang Chow Ai Giok dengan gaya yang bagus. Perlu
diketahui,dalam ilmu silat bukan hanya diperlukan kecepatan, tapi
juga ketetapan mencapai sasaran, Cepat saja tidak sulit Tapi
memadukan kecepatan dan ketetapan yang susah dipelajari.
Serangan itu benar-benar di luar jangkauan pikiran Chow Ai Giok,
"Sret!!!" Dia tidak dapat menghindar lagi. Sebuah tangan
mencelat ke udara, Dalam keadaan terdesak dapat menyelamatkan
diri sendiri bahkan dapat melukai lawannya, sungguh terasa mustahil
Bwe Mei hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Di mana dia saat ini? Kapan hal ini terjadi? Dia bagaikan berada
dalam alam mimpi, Mungkinkah ilmu pedangnya bisa mencapai
kekuatan sehebat itu?
Lengan sebelah kanan Chow Ai Giok telah terlepas dari
persendiannya. ia berdiri mematung dengan tubuh gemetar,
wajahnya menunjukkan rasa terkejut penderitaan yang dialami oleh
Sun Put Ce dan Bwe Mei ternyata dialaminya sendiri sekarang.
Pada saat itu, dia hanya merasakan bahwa bagian tubuh sebelah
kanannya menjadi ringan, Darahpun belum mengalir Dia merasa
marah, juga penasaran, Karena dia tidak mengerti kata-kata "Chi
fang dan Chan cao" yang terucap dari mulut orang yang baru datang
itu.
Sekarang Bwe Mei berbalik dari pecundang menjadi pemenang,
Dia merasa apa yang dialami olehnya dan Sun Put Ce harus diberi
bunga. Paling tidak, dia masih ingin mengutungi sebelah kaki Chow
Ai Giok. Karena perempuan itu sendiri yang memulai semua
kekejaman ini.
Sekali pedang terhunus, Terdengar seseorang berseru....
"Bwe ci, dia akan mati...."

Apakah karena dia tahu kalau Chow Ai Giok sama saja sudah mati
apabila kehilangan sebelah kaki lagi sehingga dia tidak tega atau
kalau mati dengan begitu mudah maka rasa kepuasan hanya
bersikap sementara?
Bwe Mei menarik kembali pedangnya dengan wajah kaku, Karena
sedikit itulah maka paha sebelah kiri Chow Ai Giok tertusuk juga.
Luka itu cukup dalam, Yang berteriak ternyata Siau kiong cu.
Kwe Po Giok belum menemuinya. Dia datang juga dengan maksud
tertentu. Dia ingin mendengar bagaimana penyambutan Bwe Mei
terhadapnya. Siapa sangka malah peristiwa ini yang dialaminya.
Dia mengagumi Sun Put Ce. Dia menyukai sikapnya yang rendah
diri, sederhana dan menghormati siapa saja, Laki-laki itu selamanya
tidak pernah memamerkan sampai di mana tinggi ilmu silat yang
dimilikinya.
Juga tidak sok pahlawan pandangan ini sama dengan pandangan
Bwe Mei. Gadis itu sendiri merasa sedikit cemburu terhadap Siau
kiong cu, tapi dia tidak pernah menusukkannya secara terangterangan.
Siau kiong cu tentunya tahu mengapa Chow Ai Giok ingin
membunuh gadis itu. Pasti karena Sun Put Ce juga. sedangkan dia
sendiri menyukai Sun Put Ce. semestinya dia senang karena ada
orang lain yang melenyapkan satu saingan untuknya, Namun....
Pada dasarnya Siau kiong cu memang orang yang baik hati, Dia
tidak dapat menerima keuntungan dengan cara demikian.
"Siau kiong cu! Dia terlalu kejam. Dia memperlakukan kami
dengan cara yang keji," kata Bwe Mei.
"Masalah harus diperkecil, jangan malah dibesarkan Sebelah
lengan telah dibayar dengan sebelah lengan pula, Sudahlah....
Apakah Chow kouwnio mempunyai obat luka?" tanyanya sambil
menoleh ke arah perempuan itu.

Tubuh Chow Ai Giok masih gemetar. Dia melirik sekilas ke arah
Siau kiong cu. Tanpa mengucapkan terima kasih sedikit pun, dia
membalikkan tubuh dan pergi dengan membawa pandangan benci.
Di atas tanah terlihat kutungan lengan perempuan itu. Hati mereka
jadi tergetar.
Bwe Mei merasa sakit hatinya masih belum lenyap, Namun dia
berlutut di hadapan Siau kiong cu.
"Kalau hari ini Siau kiong cu tidak kebetulan datang dan memberi
tahu rahasia ilmu pedang tersebut. Aku, Bwe Mei pasti sudah
tergeletak dengan sebelah kaki," katanya.
Siau kiong cu tergopoh-gopoh membimbingnya bangun Dia
menarik nafas.
"Bwe-ci.... sebetulnya aku kemari dengan maksud tertentu.
Sungguh memalukan bila dikatakan," sahutnya.
"Siau kiong cu mempunyai maksud apa?" tanya Bwe Mei.
Siau kiong cu menggelengkan kepalanya, Cinta kasih bisa
membutakan segalanya, Malam ini dia sudah melihat kenyataan
tersebut.
"Siau moi hampir saja melakukan kesalahan," katanya.
Bwe Mei tentu mengerti apa yang dimaksudkan Tapi dia purapura
tidak tahu, Siau kiong cu membantunya membalut luka di
lengan.
"Sun Toako jujur, setia, rendah diri, lagi-pula kepintarannya
melebihi orang lain, perempuan mana yang tidak memuji laki-laki
seperti itu?" katanya.
Bwe Mei tetap tidak mengatakan apa-apa.
"Laki-laki sejati memang tidak akan menarik keuntungan dari
orang lain dengan cara yang licik, Mulai hari ini, aku tetap akan

mengajarkan ilmu silat rangkaian bunga kepadanya, tapi api dalam
hati ini pasti akan dipadamkan" kata Siau kiong cu selanjutnya.
Bwe Mei merasa kagum terhadap gadis itu.
"Apakah Siau kiong cu sudah bertemu dengan Siau Kwe?"
tanyanya.
"Maksudmu Kwe Po Giok?"
"Betul. Dia sudah terlepas dari cengkeraman Lian lian," kata Bwe
Mei.
"Kapan terjadinya hal itu?" tanya Siau kiong cu.
"Dua hari yang lalu," sahut Bwe Mei.
Siau kiong cu tertawa getir.
"Tampaknya dia sedang cemburu," katanya.
"Kalau Siau kiong cu bersedia, aku akan menjelaskan kepada Siau
Kwe. Orang yang cerdas dan baik hati seperti Siau kiong cu tentu
akan dimengerti olehnya," sahut Bwe Mei.
Siau kiong cu tampaknya tidak memperhatikan apa yang
dikatakan gadis itu. Dia berdiri sambil menengadahkan kepalanya ke
atas.
"Apakah Siau kiong cu sungguh-sungguh menyukai Sun Toako?"
tanya Bwe Mei mengalihkan pembicaraan Siau kiong cu terpana, Dia
sama sekali tidak siap menerima pertanyaan seperti itu.
"Bwe ci.... Mengapa kau tiba-tiba mengajukan pertanyaan
tersebut?" tanyanya rikuh.
"Kau adalah in jinku (penolong). Apa yang tidak dapat kita bahas
bersama?" sahut Bwe Mei.

Siau kiong cu selalu terlihat lemah gemulai dan lemah lembut,
Tapi sebetulnya dia hanya lembut di luar namun keras di dalam.
"Bwe ci ingin menggunakan Sun Toako sebagai balas jasa, Kau
anggap apa Sun Toako itu? Dan kau anggap apa diriku ini?"
tanyanya dengan nada berwibawa.
Hubungan cinta kasih antara laki-laki dan perempuan tidak dapat
diperjual belikan. Juga bukan suatu sarana untuk diperalat Siau
kiong cu sangat anggun, Biar dilihat dari sudut mana pun. Dia juga
sangat cerdas, Mendengar perkataan Bwe Mei tadi dia sudah dapat
menerka tujuannya.
Dia tidak akan berbuat seperti Chow Ai Giok yang seakan
mengemis cinta kasih Kiau Bu Suang, Sampai kapan pun tidak akan,
Namun, dia juga tidak mudah melepaskan kesempatan yang terlihat
di depan mata, Pada saat itu, terdengar ketukan di pintu.
"Bwe ci.... jangan katakan kalau aku ada di sini, Harap berikan
satu kesempatan padaku agar dapat memadamkan perasaan di hati,
Kalau tidak, kita akan sama-sama terluka," katanya memperingatkan
"Maksud Siau kiong cu...."
"Aku juga menyukai Sun Toako, Celaka tidak?" sahutnya.
"Perasaan cinta kasih antara laki-laki dan perempuan paling sulit
diraba. Kalau memang Siau kiong cu menyukainya, aku rasa tidak
ada salahnya," sahut Bwe Mei di luar dugaan Siau kiong cu.
"Tidak ada salahnya?" tanya Siau kiong cu heran.
"Betul. itu hanya keberuntungan seorang laki-laki sejati," sahut
Bwe Mei tersenyum
Siau kiong cu tidak menjawab. Dia mencari tempat untuk
menyembunyikan diri, Bwe Mei segera bangkit dan membuka pintu,
Sun Put Ce melangkah masuk ke alam. Hidungnya diciutkan

beberapa kali, "Bwe Mei... Biar aku tebak.,., Pasti tim daging sapi
bukan?" tanyanya.
"Betul," sahut Bwe Mei.
"Bwe Mei.... Akhir-akhir ini aku sering merasa seakan sudah
berumah tangga.
Kadang-kadang banyak urusan yang belum selesai tapi rasanya
sudah ingin cepat-cepat pulang ke rumah untuk menengok istri
tersayang, Walaupun kita masih suci bersih," kata Sun Put Ce.
"Bagaimana kau tahu kalau aku pasti akan menikah denganmu?"
tanya Bwe Mei.
"Bagaimana aku bisa mengira kalau kau tidak mau menjadi
istriku?" Sun Put Ce mengembalikan pertanyaan Bwe Mei.
"Sun Toako... percayakah kau kalau di dunia ini masih ada
perempuan lain yang lebih kau cintai dan lebih mencintai dirimu?"
tanya Bwe Mei.
Sun Put Ce terpana.
"Siapa?" tanyanya.
"Kau rasa ada tidak?" tanya Bwe Mei kembali
"Tidak ada," sahut Sun Put Ce yakin.
"Kalau Siau kiong cu menyukaimu. Apakah kau akan
menikahinya?" tanya Bwe Mei.
"Tidak." Nada suara Sun Put Ce tidak terdengar dibuat-buat.
Bwe Mei mengira dia sedang berdusta.
"Tidak?" tanyanya kurang percaya.

"Aku menghormati Siau kiong cu. Aku juga berterima kasih
kepadanya. Tapi bagaimana pun aku tidak dapat menyuntingnya,"
kata Sun Put Ce tegas.
"Mengapa?" tanya Bwe Mei.
"Tidak dapat, ya, tidak dapat Tidak harus ada alasannya bukan?"
sahut Sun Put Ce.
Bwe Mei tidak menyangka kalau hati Sun Put Ce demikian teguh.
Dia merasa kagum sekali.
Namun dia tahu hati Siau kiong cu pasti terluka.
"Siau kiong cu ada di sini," katanya.
Sun Put Ce mengira Bwe Mei sedang bergurau.
"Biarpun dia ada di sini, aku juga tetap akan berkata seperti tadi,"
sahutnya sambil tersenyum-senyum.
Tepat pada saat itu, Siau kiong cu sedang keluar dari pintu
belakang, Dia sempat mendengar ucapan Sun Put Ce. Dia adalah
seorang gadis yang polos, Berakal sehat dan tahu diri. Dia akan
menentukan pilihannya, tapi tidak akan memaksa kehendaknya, Dia
sudah pergi.
Sekarang dia harus menanti Kwe Po Giok, Dia sangat mengagumi
Sun Put Ce namun dia tidak ingin bersedih karena penolakannya,
Andaikata dia tidak jadi menikah dengan Kwe Po Giok pun, dia tetap
akan menjelaskan segalanya.
Sepanjang jalan dia merenung, Dia memikirkan cara yang terbaik
untuk mengatasi masalahnya dengan Siau Kwe. Dia bukan tidak
tertarik kepada pemuda itu lagi. Namun dia ingin sifatnya yang suka
menyombongkan diri itu dirubah.
Sampai di rumah pikiran tersebut masih menghantuinya.

****
Fang Tiong Seng duduk di bagian kepala meja makan, Mo Put Chi
dan Sun Put Ce menemani duduk di sebelah kiri dan kanan, Nasi dan
berbagai macam masakan telah terhidang di atas meja, Semuanya
dapat menerbitkan selera.
Tapi Fang Tiong Seng belum menggerakkan sumpitnya, Dengan
sendirinya Mo Put Chi dan Sun Put Ce tidak berani mendahului
Suasana di ruangan itu terasa kaku. Seperti ada sebuah bom yang
siap untuk meledak.
Mo Put Chi bukan jenis orang yang sabar.
"Suhu tampaknya sedang marah kepada seseorang?" tanyanya.
"Betul! Kau!" sahut Fang Tiong Seng. Matanya mendelik dan
telunjuknya diarahkan kepada Mo Put Chi.
Sun Put Ce dan Mo Put Chi sama-sama terkejut.
"Kalau teecu memang melakukan kesalahan, silahkan Suhu
memberi hukuman," kata Mo Put Chi.
"Tidak perlu aku yang menghukummu, perbuatan yang bodoh!
Sebentar lagi ada petugas yang mencarimu," sahut Fang Tiong Seng
sinis.
"Petugas?" Mo Put Chi semakin tercenung, "Biarpun betapa
bodohnya, teecu juga tidak akan melanggar kesalahan yang
berakibat demikian."
"Kurang ajar! Kejadian sudah terlanjur begini masih berusaha
menghindar. Coba kau tanya.... Siapa yang membunuh It ki bwe
Lian-lian?" tanya Fang Tiong Seng dengan suara bengis.
"lt ki bwe Lian lian sudah mati?" Sampai Sun Put Ce sendiri
rasanya tidak percaya.

"Suhu.... Kapan terjadinya?" Siapa yang membunuh Lian-lian?"
Fang Tiong Seng mendelik sekali lagi ke arah Mo Put Chi.
"Tanya dia!" bentaknya.
Mo Put Chi segera menjatuhkan diri di hadapan Fang Tiong Seng.
"Suhu.... Teecu juga tidak tahu apa-apa. Teecu tidak membunuh
Lian-lian," katanya.
"Ada orang yang melihat kalian selalu keluar masuk berpasangan.
Bahkan menyewa sebuah rumah kecil di luar desa, Akhir-akhir ini
kalian sering kuperintahkan untuk mencari orang, Aku masih
mengira kalian melaksanakan tugas dengan sepenuh hati, ternyata
tenggelam dalam lembah asmara sehingga kasmaran!" Fang Tiong
Seng berkata dengan suara tinggi.
Sun Put Ce memandang ke arah Mo Put Chi. suhengnya tampak
semakin tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Suhunya.
"Suhu.... seandainya teecu memang berniat membunuh Lian lian,
rasanya teecu masih bukan tandingannya," sahut Mo Put Chi.
Sun Put Ce juga mempunyai pendapat yang sama. Dia tahu
tentunya telah terjadi salah pengertian Mo Put Chi juga sudah mulai
mengerti.
Suhu telah menganggap Lian hu sebagai Lian-Lian.
"Suhu.... Teecu hanya mengenal Lian hu. Sama sekali tidak
mengenal Lian lian," kata Mo Put Chi.
"Lian hu? Siapa Lian hu itu?" tanya Fang Tiong Seng heran.
"Lian hu adalah moi-moinya Lian lian, Usia mereka berbeda hanya
tiga tahun, Wajah mereka sangat mirip," sahut Mo Put Chi
menjelaskan.

Wajah Fang Tiong Seng berubah hebat, Meskipun dia berusaha
sewajar mungkin, namun dia tetap tidak dapat mengelabui mata Sun
Put Ce yang tajam. Tapi, dia adalah orang yang cerdik, Dia tidak
memperlihatkan bahwa tingkah laku Suhunya telah menerbitkan
kecurigaan dalam hati.
"Apakah Suhu salah mengira Lian hu adalah Lian-lian?" tanyanya.
Fang Tiong Seng tidak menjawab.
"Apakah ada orang yang membunuh Lian hu?" Suara Mo Put Chi
bagaikan tercekat di tenggorokan.
"Tidak salah, Kepala desa sudah mengutus beberapa orang untuk
memeriksa mayat. perempuan itu terbunuh dalam satu jurus," sahut
Fang Tiong Seng.
Mo Put Chi adalah orang yang lugu, Bila dia sudah mencintai
seseorang, maka dia akan mencintainya sampai akhir hayat.
Kejadian ini terlalu mendadak sekali Mo Put Chi tidak dapat
menerimanya.
Tiba-tiba dia bangkit lalu berteriak seperti seekor harimau
ngamuk, "Lian hu!!!"
Dia menghambur keluar dari ruangan makan. Kakinya belum
sempat menginjak ruangan tengah, Fang Tiong Seng terdengar
berteriak.
"Kembali!" Suaranya sangat berwibawa, Mo Put Chi sangat
penurut. Meskipun dia tidak melangkah kembali ke dalam, tapi
kakinya terpaku di tempatnya.
"Kau hendak ke mana?" bentak Fang Tiong Seng.
"Suhu.... Aku ingin melihat Lian hu. Aku juga ingin mencari
pembunuh itu," sahutnya.

Fang Tiong Seng menarik nafas panjang. "Meskipun peraturan
dalam perguruan aku, Fang Tiong Seng, amat ketat, Tapi aku tidak
pernah melarang muridku bergaul dengan perempuan. Put Chi....
Benarkah kau tidak membunuh Lian hu?" tanyanya.
"Teecu amat menyayanginya, Selama ini teecu masih merasa
tidak cukup memberikan kasih sayang kepadanya, Mana mungkin
teecu bisa membunuhnya?" sahut Mo Put Chi dengan mata merah.
"Pada saat ini, petugas sedang memeriksa keadaan mayat Lian
hu. Lebih baik kau jangan pergi, Mereka mungkin akan mencurigai
dirimu," kata Fang Tiong Seng dengan nada memperingatkan.
"Tidak, Suhu,... Bagaimana pun teecu harus pergi..." sahut Mo Put
Chi.
Sejak masuk dalam perguruan Fang Tiong Seng, mungkin ini
adalah untuk pertama kalinya dia membantah kata-kata sang Suhu,
Fang Tiong Seng tampaknya tidak marah, Hal ini juga merupakan
keistimewaan. Sesuatu yang luar biasa banyak terjadi hari ini, Di
dalam pandangan Sun Put Ce, keistimewaan itu seperti berubah
menjadi sesuatu yang wajar.
Karena, apabila kita menggabungkan sesuatu yang istimewa dan
biasa maka setiap benda atau pun setiap hal akan terasa sempurna.
"Put Ce.... Coba kau tebak, Siapa yang dapat membunuh Lian
hu?" tanya Fang Tiong Seng.
Sun Put Ce merenung sejenak.
"Suhu... Lian lian dan saudaranya tidak cocok, Mungkinkah dia
yang membunuh Lian hu?"
"Dia? Cici membunuh adiknya sendiri?" tanya Fang Tiong Seng
seakan terkejut mendengar perkiraan Sun Put Ci
"Suhu.,., Andaikata Lian lian tahu adiknya ada hubungan dengan
suheng. Lian lian tentu tahu kalau adiknya akan sulit diajak bekerja

sama, Bukan tidak mungkin dia yang membunuh Lian hu. Tentu saja
tidak sengaja. Bisa jadi di antara mereka terjadi pertengkaran,
karena khilaf Lian lian lupa diri dan membunuh adiknya," sahut Sun
Put Ce.
Fang Tiong Seng mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ya.,., Mungkin juga. Put Chi.... Dalam hal ini bukannya Suhu
tidak menaruh perasaan iba pada dirimu, tapi kau tetap tidak boleh
kesana," kata Fang Tiong Seng.
"Suhu.... Teecu hanya melihat dari kejauhan," Begitu ucapannya
selesai, dia langsung melangkahkan kaki dan keluar dari ruangan
tersebut.
Fang Tiong Seng terdiam sekian lama, Tampaknya ada pikiran
yang menggelayuti benaknya,
Namun dia tidak mencegah Mo Put Chi lagi.
"Put Ce.... Kau lihat.... Sebagai murid terbesar perguruan Suhu,
tindakan suhengmu begitu tidak sopan," katanya.
Bola mata merah, Ada butiran airmata yang menggenang di sana.
"Suheng hanya pergi meninjau. Mungkin ada sesuatu yang dapat
menyimpulkan siapa pembunuh Lian hu. Apalagi yang mati adalah
kekasihnya," sahut Sun Put Ce seraya menarik nafas panjang.
-ooo0ooo-
Langit hitam, angin bertiup kencang.
Di dalam kuil tua tidak terlihat sinar lampu, Kalau ada, tentu orang
ini tidak akan berdiam di sana. Di atas meja sembahyang rebah
seseorang, Apabila orang umum melihatnya, tentu tidak akan
menduga kalau itu adalah seorang manusia. Kentungan ketiga belum
sampai, tapi sudah hampir, Di luar kuil berdiri sesosok bayangan,
Orang yang rebah di atas sembahyang sama sekali tidak bergerak.

"Untuk apa kau menjanjikan cayhe bertemu di tempat ini?" tanya
orang yang baru datang.
"Ketika datang, aku bersama-sama dengan Hua can lei. Dia
mengatakan ingin mencari dirimu, Apakah kau sudah bertemu
dengannya?" tanya orang yang rebah di atas meja sembahyang itu.
"Belum."
"Kurang asem! Aku sudah menduga kau akan berkata demikian."
Sahut orang yang rebah di atas meja sembahyang.
"Sifat Hok su thi Seebun Cu Yap selamanya tidak berubah," kata
orang yang baru datang sambil mendengus.
Orang yang rebah di atas meja sembahyang itu ternyata Hok su
thi (Si mayat hidup dari Hun bang), Seebun Cu Yap adanya, Ketika
masih muda, dia pernah tertusuk panah beracun dari suku liar di
Lam hong. Wajah sebelah kirinya rusak berat.
Sampai sekarang tidak dapat disembuhkan. Yang paling aneh
justru bentuk kepalanya, sebelah kiri masih tersisa rambut seperti
bulu jagung, Yang sebelah kanan botak sama sekali, Dengan wajah
seperti ini, tidak heran kalau dia mendapat gelar Hok su thi.
Seebun Cu Yap dan Hua can lei memang tidak mengetahui
kedatangan Toa Tek To Hun yang menimbulkan badai di Tionggoan.
Ketika mereka tahu, jejak orang itu tidak terdengar lagi. Tetapi
mereka mempunyai dugaan bahwa kedatangan Toa Tek To Hun
tentu ada hubungannya dengan Fang Tiong Seng. Karena dia adalah
satu-satunya manusia yang luput dari kematian.
"Manusia she Fang.... Kau sudah membunuh Hua can lei,
mengapa masih tidak berani mengakui?" tanya Seebun Cu Yap.
"Bukannya tidak berani. Karena membunuh dia sama sekali bukan
sesuatu yang patut dibanggakan." sahut Fang Tiong Seng.

"Manusia she Fang. Berapa besar keyakinanmu untuk
mengalahkan aku?" tanya Seebun Cu Yap kembali.
"Sepuluh bagian," sahut Fang Tiong Seng yakin.
"Kalau begitu, Toa Tek To Hun pasti mati dalam tanganmu?"
tanya Seebun Cu Yap.
"Tidak perlu banyak omong, Aku ingin berkenalan dengan Han
hong ciangmu," kata Fang Tiong Seng.
Begitu ucapannya habis, Han hong ciang telah sampai di depan
mata. Orang ini tidak mau kehilangan kesempatan baik. Caranya
yang licik memang cocok dengan Fang Tiong Seng.
Jago kelas satu ini sama sekali tidak menduga dirinya akan
langsung diserang. Sedikit kerepotan dia mengelit, Han hong ciang
mulai memperlihatkan pengaruhnya, ilmu itu adalah sejenis ilmu
yang mengerahkan tenaga dalam namun hawa yang terpancar
dingin sekali Han hong ciang (Telapak angin dingin) adalah ilmu
andalan Seebun Cu Yap.
Meskipun Fang Tiong Seng berusaha keras untuk menghindarkan
diri tetapi bahu kirinya masih sempat tersambar. Dia tahu dirinya
sudah terkena Han hong ciang, Dia tidak khawatir, karena dengan
tenaga dalamnya yang tinggi, dia dapat mengeluarkan racun dingin
tersebut dengan mudah. Fang Tiong Seng memang tetap Fang Tiong
Seng adanya, Dia tidak gugup sama sekali.
Pedangnya dengan cepat meluncur. Tidak dapat diuraikan sampai
di mana kecepatan atau pun perubahan gerakannya, Seebun Cu Yap
tergetar melihat serangan tersebut, Dia segera mengeluarkan golok
bajanya, semuanya serba cepat, Rasanya sulit membedakan siapa
yang lebih cepat dan siapa yang lebih lambat, Sampai di mana
kecepatannya? Sampai di mana kelambatannya? Hanya terdengar
suara Cep! Disusul dengan pedang yang masuk kembali ke dalam
sarung.

Di antara kedua mata Seebun Cu Yap terdapat luka memanjang.
Darah memancur dengan deras, Dia masih berteriak sekali sebelum
rubuh ke tanah.
Angin di ketinggian mengeluarkan hembusan yang keras, Deru
suaranya dapat terdengar sampai kejauhan. Kegelapan makin kelam
menyelimuti padang rumput yang menjadi saksi bisu. Ketika Fang
Tiong Seng keluar dari kuil itu, ada sepasang mata dari balik patung
dewa Kwang kong yang menatap tajam.
Dia memperhatikan Fang Tiong Seng yang menghilang di
kegelapan malam. Tidak lama kemudian, orang itu keluar dari
tempat persembunyiannya, Dia berdiri di samping tubuh Seebun Cu
Yap yang mulai kaku. Matanya tidak berkedip melihat ke arah luka
yang mematikan laki-laki itu.
Siapa pun tidak menyangka kalau dia adalah Toa Tek Tok Hun!
-----------------------------------
Halaman 59 2/d 63 Hilang
-----------------------------------
Jilid 17
Bagian Dua puluh Dua
Malam beriring hujan. Ada angin yang berhembus.
Di dalam rumah juga ada segelombang badai menerjang. Lilin
merah melambai-lambai. Manusianya sendiri sudah mulai mabuk.
Setiap kali dia meminum arak bersama laki-laki ini, sebentar lagi
tentu akan terjadi hujan badai, Dia mengangkat cawannya tinggitinggi.
Sinar matanya mengikuti cahaya lilin yang tertiup angin. "Mari
kita keringkan cawan ini," katanya.

Laki-laki itu mengangkat cawan serta mendongakkan kepala dan
meminum arak tersebut sampai kering, Kemudian dia meremas
cawan di tangannya sampai hancur.
"Ada apa?" tanya perempuan itu terkejut.
"lni adalah cawan terakhir yang kita pakai," sahut laki-laki
tersebut.
"Mengapa?"
"Karena kita akan mengisi arak besok dengan cawan yang lain,"
Lian lian tertawa merdu.
"Tiong Seng, dalam hal apa pun, kau tetap berbeda dengan orang
biasa," katanya.
"Kalau sama, maka aku Fang Tiong Seng tidak akan hidup sampai
hari ini," sahut laki-laki yang ternyata Fang Tiong Seng adanya.
"Rencanamu akan terwujud tidak lama lagi," kata Lian lian.
"Tinggal satu tokoh lagi yang harus kulenyapkan, maka tidak akan
lagi duri yang menusuk mata ini," sahut Fang Tiong Seng.
"Siapa?" tanya Lian lian, "Tokku Peng dan muridnya, salah satu di
antara sam sauya, yaitu Miao Hua Fang!" sahut Fang Tiong Seng.
"Bukankah mereka terdiri dari dua orang? Mengapa kau tadi
berkata satu?" tanya Lian lian bingung.
"Aku tahu mereka akan bergandengan tangan menghadapiku
Maka aku menganggap lawan tersebut hanya satu," sahut Fang
Tiong Seng.
"Krek!!!" Lian lian juga meremas cawan di tangannya sampai
remuk.

"Betul, Arak yang akan kita minum besok harus diisi dengan
cawan baru!" serunya.
Fang Tiong Seng menatapnya dengan pandangan dingin. Dalam
keadaan seperti biasa, dia akan menyeret Lian lian ke atas tempat
tidur. Pada mulanya, Lian lian mengira daya tariknya telah
menyentuh hati kecil laki-laki itu. Tiba-tiba dia sadar, sinar matanya
mengandung maksud tertentu, sinar mata demikian bukan semacam
gairah untuk mengajaknya naik ke tempat tidur.
Lian lian melihat hawa panas yang berbeda dalam sinar mata
tersebut.
"Tiong Seng... Sinar matamu bagai sebatang pedang, bahkan
pedang yang sudah terhunus dari sarungnya," kata perempuan itu.
"Lian lian.... Kerja sama kita telah berakhir," sahut Fang Tiong
Seng, Wajah Lian lian berubah pucat "Kerja sama? Apakah termasuk
cinta kasih kita?" tanyanya.
"Betul, Setiap kali aku bekerja sama dengan seorang perempuan,
aku tidak pernah menambahkan hubungan cinta kasih ke dalamnya,
Terhadap engkau juga demikian, begitu juga dayang Cui thian atau
perempuan-perempuan yang lainnya," sahut Fang Tiong Seng.
"Masih ada perempuan-perempuan lain?" tanya Lian lian.
"Pertanyaan bodoh! Laki-laki yang bercita-cita tinggi, tidak
mungkin hanya memiliki beberapa orang perempuan saja," sahut
Fang Tiong Seng sinis.
"Apakah besok akan ada perempuan lain yang jauh lebih cantik
daripada aku dalam pelukanmu?" tanya Lian lian.
"Tidak salah!" sahut Fang Tiong Seng.
"Siapa?" perempuan seperti mereka ternyata sama saja, Rupanya
siapa orang yang menggantikan kedudukan mereka jauh lebih
penting dari selembar nyawa sendiri.

Fang Tiong Seng tersenyum sekilas, Meskipun senyuman itu
sangat tipis, namun Lian lian sudah dapat melihat keyakinannya
yang besar.
"Yang ini adalah seorang gadis, Bahkan seorang gadis yang
cantiknya bagaikan bidadari," sahutnya.
"Siapa orangnya?" tanya Lian lian sekali lagi.
"Lian-lian... Tidakkah kau menganggap bahwa pertanyaanmu
hanya sia-sia belaka?" sahut Fang Tiong Seng.
"Apakah kau akan membunuh diriku?" tanya Lian lian.
"Aku masih berharap kalau bukan aku yang harus turun tangan.
Aku tetap tidak tega melakukannya," kata Fang Tiong Seng.
Lian-lian tertawa dingin.
"Kau adalah seorang manusia berdarah dingin. Apakah kata-kata
"tidak tega bisa masuk dalam kamusmu?" tanyanya.
"Ada satu hal yang ingin kuberitahukan kepada dirimu, seandainya
kau ingin memanggilku manusia berdarah dingin, masih belum
terlambat," kata Fang Tiong Seng tersenyum lembut.
"Tentang apa?" tanya Lian-lian.
"Maaf... Tadinya aku mengira telah membunuhmu," sahut Fang
Tiong Seng.
"Apa maksudmu?" tanya Lian-lian.
"Aku telah membunuh Lian hu," sahut Fang Tiong Seng tenang.
Mata Lian lian terbelalak Dia menatap tajam ke arah laki-laki
setengah baya yang mempunyai wajah welas asih dan lemah lembut
itu.

Dia mulai menderita, Hal ini disebabkan oleh penyesalan
"Seandainya dia membuka mata agar dapat melihat dengan tajam,"
"Seandainya sejak dini dia tahu kalau adiknya telah datang. Apakah
musibah ini tetap akan terjadi?"
Akibat perbuatannya yang tercela maka adiknya mati terbunuh.
Biarpun ia mati sebanyak seratus kali juga belum dapat menebus
dosanya yang setumpuk.
"Namun ada satu hal yang perlu kujelaskan Pada waktu itu aku
mengira dia adalah dirimu," kata Fang Tiong Seng.
"Tampaknya kau tidak memberi kesempatan kepadanya untuk
memperkenalkan diri," sahut Lian lian sinis.
"Bukan begitu.... Dia sendiri yang tidak segera menjelaskan siapa
dia sebetulnya, Tampaknya dia ingin menyamar dirimu agar aku
bicara sejujurnya," kata Fang Tiong Seng.
"Rasanya kau juga tidak memberi kesempatan kepadaku untuk
membela diri?" tanya Lian-lian.
"Tidak! Aku pasti akan memberimu kesempatan Selama bertahuntahun,
tidak sedikit kesenangan yang telah kau berikan kepadaku,
Aku tentu akan memberi kebebasan kepadamu untuk memilih jalan
melepaskan diri dari tempat ini," kata Fang Tiong Seng.
Dia dapat mengucapkan semua itu dengan wajar, Memang tidak
sama dengan orang yang biasa, Dia tidak perduli bagaimana
tanggapan lawan terhadapnya, Karena dia tidak perduli segala
macam adat istiadat atau pun etika dalam kehidupan manusia, Dia
hanya tahu satu hal! Di dunia ini yang kuat akan menindas lawannya
yang lemah.
Semua persoalan di dunia ini ada di dalam tangan manusia itu
sendiri, Tidak ada Thian atau Tuhan yang mengaturnya, Baginya,
segala bentuk kepercayaan di dunia ini hanya ada dalam benak
orang bodoh.

***
Lian lian telah mengenakan baju luarnya. Dia juga mengambil
pedangnya yang tergeletak di samping tempat tidur.
"Aku ingin bertarung denganmu," katanya.
"Aku telah mengatakan bahwa aku akan memberimu kesempatan
Selama ini, aku selalu menurut apa katamu, bukan?" kata Fang
Tiong Seng dengan suara lembut.
Ini adalah gaya kehidupan Fang Tiong Seng, Selama dia
menampilkan wajah yang lembut dan penuh perhatian kepada
sesamanya, Kalau dia sampai menunjukkan kemarahan, berarti
lawan bicaranya telah berbuat suatu kesalahan.
Kedua orang itu keluar dari halaman depan. Lian lian menatap
setumpuk rumput yang luas. Bentuknya seperti sebuah tikar, Dan di
sampingnya ada segulung tali, Selain itu ada sebuah salib dan kereta
kecil yang terbuat dari besi lengkap dengan paculnya.
Orang yang usianya masih muda rasanya tidak pernah
memikirkan soal kematian, sedangkan orang yang sudah berusia
lanjut saja enggan mengungkat soal ajal yang akan menjemput
mereka segera.
Kematian terlalu jauh untuk dijangkau oleh pikiran biasa.
Meskipun setiap orang tahu bahwa di dunia ini akan ada kematian,
tapi orang hidup tidak mau repot memikirkannya. "Kematian" juga
merupakan suatu penyakit yang tidak dapat dihindari oleh siapa pun.
Namun Lian lian telah merasakan hawa kematian yang
menggigilkan. Dia seakan tidak dapat percaya, bahwa pada saat
dirinya sudah mati, sebuah peti mati pun dia tidak dapatkan, Yang
ada hanya setumpukan rumput yang akan menutupi tubuhnya yang
tersalib.
Dia sudah dapat membayangkan apa yang akan dilakukan Fang
Tiong Seng terhadap dirinya apabila dia sudah mati. Kereta yang

sudah tersedia itu tentu akan menjadi sarana supaya dirinya dapat
dibuang ke dalam jurang setelah diikat dan ditutupi tikar rumput
tersebut, sedangkan Fang Tiong Seng sendiri sudah lama
mempersiapkan sebuah peti mati untuk keperluan dirinya kalau dia
sudah mati.
Bahkan peti mati itu dirawat dengan baik. Setiap tahun pasti dia
akan menyuruh orang memeriksa kayunya dan memelitur sehingga
mengkilap kembali.
"Aku sangat mengagumi dirimu...." kata Lian lian, "Manusia
semacam dirimu ternyata dapat mengelabui orang-orang dalam
Bulim dan membuat mereka menuruti apa yang kau inginkan."
Fang Tiong Seng mengunjukkan sebuah senyum manis di sudut
bibirnya.
"Orang yang sependapat denganmu sangat banyak," sahutnya.
"Kalau kau dapat membunuhku dalam setengah jurus, Aku akan
mati dengan mata terpejam," kata Lian lian.
"Aku telah mengatakan bahwa aku akan menurut apa
kemauanmu," sahut laki-laki berdarah dingin itu. Kedua orang itu
menghunus pedang masing-masing dalam waktu yang bersamaan
Tiba-tiba Lian lian bertanya dengan nada penuh ejekan.
"Apakah kau pernah membayangkan kalau pada suatu hari
keningmu juga akan ditembusi sebatang pedang?"
"Dulu aku pernah membayangkannya," kata Fang Tiong Seng.
"Siapa kira-kira orangnya?" tanya Lian lian.
"Toa Tek To Hun. Tapi sekarang tidak perlu dikhawatirkan lagi. Di
dunia Bulim saat ini, tidak pernah akan terdengar nama itu lagi,"
kata Fang Tiong Seng.

"Aku justru menganggap bahwa saat kematianmu tidak akan lama
lagi. Sayang sekali aku tidak mendapat kesempatan untuk
menyaksikannya," sahut Lian lian ketus.
Fang Tiong Seng menarik nafas panjang, Dia seakan turut
menyayangkan Lian lian yang tidak mendapat kesempatan untuk
menyaksikan hari kematiannya.
Tiba-tiba pedang Lian lian sudah terhunus. ilmu pedang
perguruan Lamhai tidak boleh dianggap enteng, Nama perguruan
mereka sudah sangat terkenal sejak berpuluh-puluh tahun yang
lampau. Serangan Lian lian kali ini pasti merupakan jurus yang
mematikan.
Serangan dengan jurus yaiag mematikan telah dikeluarkan,
pedang Fang Tiong Seng juga ikut berkelebat. Tampaknya dia
mengeluarkan pedang belakangan masih lebih cepat sekedipan
mata. "Kehidupan" seseorang dapat ditentukan dalam waktu
sekedipan mata itu. "Kematian" seseorang juga dapat menjadi
sempurna dalam sekejapan mata. Tenggorokan Lian lian telah
tertembus oleh pedang di tangan Fang Tiong Seng.
Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa kali sebelum rubuh ke
tanah. Tangan kiri Fang Tiong Seng menangkap tubuh yang hampir
mencapai tanah itu. sedangkan tangan kanannya meraih tikar
rumput dan berbagai macam peralatan yang lainnya, Dia
meninggalkan tempat tersebut dengan tenang.
Bagi Fang Tiong Seng, membunuh seseorang adalah pekerjaan
yang mudah sekali, Semudah membalikkan telapak tangannya. Oleh
karena itu, dia tidak percaya apa yang dikatakan Lian lian tadi,
Umurnya masih sangat panjang. Dia tidak mungkin dibunuh oleh
siapa pun. Tidak ada orang lagi yang dapat menandinginya di dunia
ini.
***
Hujan badai antara Siau kiong cu dan Kwe Po Giok sudah berlalu,
Hal ini disebabkan karena Siau Kwe yang mau mengalah

terhadapnya, Namun, tidak mudah baginya untuk menerima
tanggapan orang lain yang mengira dirinya bukan Sin tong.
Oleh karena itu, Kwe Po Giok setiap hari pasti keluar rumah. Dia
ingin mengurangi beban hatinya, jangan sampai masalah tersebut
menjadi penghalang antara dirinya dan Siau kiong cu.
Kentungan kesatu baru lewat Siau kiong cu sedang membasuh diri
di sebuah ruangan khusus, Air yang hangat menyamankan
perasaannya yang kacau belakangan ini. Di tempat yang gelap ada
sepasang mata yang sedang mengintai.
Mata itu sangat tajam, berpengalaman, dan mengetahui dengan
jelas bagaimana bentuk tubuh seorang perempuan yang sempurna.
Tubuh Siau kiong cu tidak gemuk ataupun kurus, Setiap lekukannya
memberi kesan keindahan. Kulitnya bercahaya bagai sehelai sutera,
Juga amat halus. Ada satu hal lagi yang paling utama, Dia masih suci
bersih bagai sebuah batu kumala.
Gadis yang suci bersih selalu mendapat rasa hormat dan kasih
sayang siapa pun yang memandangnya, Meskipun seorang laki-laki
yang berjiwa busuk juga akan mempunyai pendapat yang sama.
Siau kiong cu sama sekali tidak menyadari kalau dirinya sedang
diperhatikan oleh seseorang, Dia memang tidak bisa ilmu silat
pendengarannya tidak cukup tajam untuk mengetahui kehadiran
seseorang yang mempunyai ginkang tinggi. Sampai dia selesai
mengenakan pakaiannya, barulah sepasang mata itu menghilang di
kegelapan.
Karena kematian Lian hu, Mo Put Chi jadi kehilangan
keseimbangan. Dia memang sangat menyayangi gadis itu, Dia juga
seorang yang berpikiran polos, ia bukan jenis manusia yang sanggup
menerima pukulan bathin yang begitu berat.
Mo Put Chi pergi ke balai desa dan mengatakan kepada petugas di
sana bahwa dia yang membunuh Lian hu. Tentu saja dia diinterogasi
oleh pihak berwajib. Belakangan dia mengatakan bahwa dia tidak
membunuh Lian hu, tapi kematiannya mungkin disebabkan olehnya,

Namun para petugas sudah curiga kepadanya, Dia ditahan dan
dijebloskan ke dalam penjara, Tekanan bathinnya semakin kuat. Dia
telah menjadi gila.
Manusia macam Mo Put Chi, apabila menghadapi kenyataan
demikian, tentu akan berakibat buruk, Tidak heran kalau dia jadi
gila.
***
"Tinggal satu halangan lagi," Fang Tiong Seng berkata kepada
dirinya sendiri.
Setelah berhasil melewati satu halangan ini, dunia Bulim akan
bertekuk lutut di bawah kakinya, Tidak ada seorang pun yang
sanggup menerima satu jurus serangannya lagi. Tingkatannya
sekarang sudah tidak mungkin ada yang melampaui lagi.
Janji untuk bertemu di tempat pembakaran mayat ada baiknya,
Tempat ini terpencil di pelosok desa. Tempatnya juga jauh di atas
gunung, Apalagi pada saat seperti ini, orang-orang sedang terlelap
dalam dunia mimpi. Tidak mungkin ada yang mengetahui apa yang
diperbuatnya, pertarungan kali ini, kedua belah pihak sama-sama
tidak ingin ada yang mengetahui kalau lawannya terbunuh oleh
salah satu dari mereka. Tujuan mereka hanya membunuh, bukan
untuk mencari nama, Karena lawannya akan bergabung berdua
untuk bertarung dengannya.
Sekitar tujuh li dari tempat pembakaran mayat tersebut ada
sebuah dermaga yang sudah tidak terpakai Di bawah dermaga ada
sebuah jurang yang dalam, Sebuah sungai yang deras mengalir
disana, Orang yang pandai berenang pun tidak berani memandang
enteng tempat yang begitu berbahaya.
Mereka justru memilih tempat ini untuk bertarung, Masing-masing
membelakangi jurang yang dalam itu. Sebelum berangkat tadi, Fang
Tiong Seng sempat memberi pesan kepada Sun Put Ce. Apabila
sampai kentungan kelima dia belum juga kembali, maka dia harus
datang ke tempat itu untuk membereskan jenasahnya.

Fang Tiong Seng sama sekali tidak menjelaskan siapa Iawannya.
Bagi laki-Iaki itu, kejadian seperti ini merupakan yang pertama
kalinya, Namun Sun Put Ce juga mempunyai pikiran tersendiri.
Bahkan dia memberitahukan pikirannya itu kepada Kwe Po Giok dan
Siau kiong cu. Selama ini dia sangat setia terhadap Suhunya, tetapi
gilanya Mo Put Chi membuat hatinya sakit.
Ketika Fang Tiong Seng sampai di tepi dermaga tua itu, Tokku
Peng dan muridnya Miao Hua Fang sudah sampai lebih dahulu,
pertarungan kali ini pasti merupakan pertarungan yang paling
mendebarkan.
Karena ilmu yang dimiliki Tokku Peng jauh di atas Hua can lei atau
pun Seebun Cu Yap. Apalagi dia bergabung dengan muridnya dalam
menghadapi Fang Tiong Seng. Pertarungan ini juga menentukan
masa depan kedua belah pihak, Fang Tiong Seng beranggapan,
kalau dia dapat memenangkan pertarungan ini, maka di dunia Bulim
tidak ada tokoh yang perlu dikhawatirkan lagi.
Sedangkan Tokku Peng berpikir kalau dia memenangkan
pertarungan dan berhasil membunuh Fang Tiong Seng, berarti dia
telah menyelamatkan dunia persilatan dari ancaman bahaya orang
jahat ini. Dia juga telah membalaskan dendam tokoh-tokoh yang
gugur akibat ulahnya.
Dengan demikian, bukan saja dunia Bulim akan tentram kembali,
namun ia juga dapat melewatkan hidup dengan tenang, Tokku Peng
sudah berusia enam puluhan. Rambutnya telah memutih sebagian,
pedang yang digunakannya lebih panjang lima cun dari pedang
biasa. Lebarnya juga melebihi kira-kira dua cun.
Muridnya Sam ta siau ya (Ada juga yang memanggilnya sam ta
kongcu) yaitu Miao Hua Fang memakai senjata berupa sepasang
roda dengan gerigi berwarna hitam putih. Siapakah Fang Tiong Seng
itu? Mungkinkah dia tidak tahu seberapa hebatnya gabungan kedua
guru dan murid tersebut.

"Fang Tiong Seng, tentunya kau sudah tahu alasan kami yang
ingin membunuhmu," kata Tokku Peng.
Fang Tiong Seng tertawa terkekeh-kekeh.
"Tokku Peng.... Yang kau maksudkan kami adalah kau dan
muridmu bukan?" tanyanya.
"Demi keselamatan kaum Bulim, tidak ada orang yang akan
menyalahkan kami," sahut Tokku Peng.
"Demi keselamatan kaum Bulim? Apakah alasannya sudah tepat?"
tanya Fang Tiong Seng.
"Fang Tiong Seng, meskipun kau pandai bersilat lidah, tapi di
dunia ini masih banyak orang yang tidak terjerat dalam tipu
dayamu!" sahut Tokku Peng dengan suara tajam.
Fang Tiong Seng sengaja tertawa lebih keras, Seakan dia ingin
menjelaskan bahwa di dunia ini tidak mungkin ada orang yang tidak
terjerat dalam kepalsuannya, orang-orang yang terjerat makin
banyak, mereka malah bersedia melakukannya tanpa mengetahui
dirinya telah diperalat.
Apa yang dilakukannya selama ini sudah menjadi kebiasaan.
Setiap kesempatan yang terluang akan digunakannya baik-baik. Dia
tidak akan membiarkan seorang pun lepas dari cengkeramannya.
Mungkin kebiasaan itu akan menjadi sesuatu yang wajar.
Dia juga akan tertipu, Tertipu oleh dirinya sendiri justru
perangkap ini yang paling susah dilepaskan dalam dunia ini. Siapa
pun jangan harap membuka perangkap yang menjerat diri sendiri.
"Apakah kau juga tertipu olehku?" tanya Fang Tiong Seng.
"Pasti kau sendiri yang menyebarkan berita bahwa Toa Tek To
Hun sudah mati. Mana kenyataannya?" Tokku Peng membalikkan
pertanyaan tersebut.

"Mengapa aku harus menyiarkan berita seperti itu?" sahut Fang
Tiong Seng tenang.
"Karena dalam berita yang tersiar, engkaulah yang membunuh
Toa Tek To Hun," kata Tokku Peng.
"Toa Tek To Hun memang sudah mati, Apa yang tidak benar?
Tapi, aku masih belum sanggup membunuhnya," sahut Fang Tiong
Seng.
"Tipuanmu sungguh hebat. Kau sengaja berkata demikian agar
orang memandang rendah padamu," kata Tokku Peng.
Fang Tiong Seng tertawa terkekeh-kekeh sekali lagi.
"Aku sendiri belum mempunyai pikiran sejauh itu," sahutnya.
"Dalam anggapanmu, apakah Toa Tek To Hun sudah mati?" tanya
Tokku Peng dengan mata menyelidik.
"Tentu sudah mati," kata Fang Tiong Seng.
"Kalau bukan kau yang membunuhnya mengapa kau bisa tahu
bahwa dia sudah mati?" tanya Tokku Peng.
"Kabar yang tersiar memang demikian, kalau tidak, mengapa dia
menghentikan rentetan pembunuhan yang dilakukannya?" sahut
Fang Tiong Seng.
Tiba-tiba Tokku Peng tertawa terbahak-bahak.
"Tampaknya kau hanya sembarangan mengoceh saja," katanya.
Wajah Fang Tiong Seng berubah serius.
"Apakah yang kukatakan salah?" tanyanya.
"Toa Tek To Hun sama sekali tidak mati," sahut Tokku Peng.

Mata Fang Tiong Seng terbelalak. Dia mengira telinganya salah
dengar.
"Bagaimana kau bisa begitu yakin?" tanyanya.
"Karena aku melihatnya dengan mata kepala sendiri," kata Tokku
Peng.
Sekali lagi Fang Tiong Seng terpana.
"Kapan kau melihatnya?" tanyanya.
"Dua hari yang lalu," sahut Tokku Peng.
Keterangan itu membuat hati Fang Tiong Seng tergetar. Siapa
pun bisa berbohong, tetapi dia tahu, Tokku Peng tidak. Dia juga
tidak mungkin bisa salah lihat.
"Fang Tiong Seng, hal ini membuktikan bahwa kedatangan Toa
Tek To Hun adalah atas undanganmu," kata Miao Hua Fang dingin.
"Kalau memang demikian, mengapa Toa Tek To Hun harus
menghilang sekian lama?Dan mengapa dia muncul lagi sekarang?
Bukankah dia akan menundukkan para jago di Tionggoan apabila dia
terus membunuhi jago-jago kelas satu." sahut Fang Tiong Seng.
"Hal ini disebabkan oleh Kiau Bu Suang yang melihat pertarungan
antara Toa Tek To Hun dengan Tang hay sin sian, Manusia sakti itu
telah lama terkena Cao hue jit mo.Kepandaiannya telah punah, Toa
Tek To Hun terharu melihat pengorbanannya yang besar, Dia
berjanji untuk meninggalkan Tionggoan dan tidak akan membunuh
lagi.Toa Tek To Hun yang muncul belakangan adalah samaran
dirimu dan Kiau Bu Suang," kata Miao Hua Fang.
Fang Tiong Seng tidak memberikan pendapatnya, Pokok
pembicaraan kembali lagi pada Toa Tek To Hun.
"Tokku Peng... Apakah kau benar-benar melihat Toa Tek To
Hun?" tanyanya dengan hati penuh harap kalau dia salah dengar.

"Jangan samakan aku dengan dirimu yang tidak pernah
mengucapkan kejujuran sama sekali," sahut Tokku Peng.
"Bagaimana membuktikan kalau yang kau lihat benar-benar
adalah Toa Tek To Hun?" tanya Fang Tiong Seng.
"Karena sejak membunuh Lau san chi siong sampai Chao pak
seng, aku selalu mengintip dari kejauhan," sahut Tokku Peng.
Tiba-tiba Fang Tiong Seng tertawa terbahak-bahak.
"Aku tahu mengapa kau tertawa?" kata Tokku Peng sinis.
"Kau memang seharusnya mengerti," sahut Fang Tiong Seng.
"Kau pasti akan mengatakan, mengapa aku tidak mengunjukkan
diri melihat Toa Tek To Hun membunuh para jago di Tiong-goan,
bukan?" tanya Tokku Peng tenang.
"Kau toh sudah menjelaskan sendiri, buat apa aku mengulanginya
kembali?" kata Fang Tiong Seng.
"Untuk mengetahui kenyataan dari suatu hal, kita harus dapat
menahan diri. Apalagi waktu itu aku baru saja bertempur dengan It
to hun Seeto Kang dan Hok su thi Seebun Cu Yap, serta Go bun tho
sehingga mendapat luka dalam. Ketika itu muridku Miao Hua Fang
juga tidak ada di sisiku. Oleh sebab itu, aku tidak dapat turun tangan,"
sahut Tokku Peng.
Paling tidak, alasannya memang tepat dan tidak dibuat-buat.
Namun, Fang Tiong Seng masih belum mengerti mengapa Toa Tek
To Hun tidak mati.
Sekarang, Tokku Peng telah mengeluarkan pedang panjangnya,
Miao Hua Fang juga siap dengan senjatanya yang berupa sepasang
roda bergerigi hitam putih. Fang Tiong Seng sama sekali tidak berani
memandang ringan kedua guru dan murid tersebut.

Dia juga menghunus pedangnya, Pedang di tangannya telah
banyak membunuh manusia, Bahkan manusia yang termasuk jago
kelas satu di Bulim. Oleh karena itu, setiap dia menghunus pedang
tersebut, rasa percaya dirinya pun makin bertambah.
Terlalu sering dia membunuh orang hanya dengan setengah jurus.
Lawannya bahkan belum sempat menghunus pedang, Kekuatannya
sudah sulit ditandingi apa lagi setelah dia berhasil melenyapkan Toa
Tek To Hun, dia semakin yakin tidak ada orang yang sanggup
mengalahkannya lagi.
Malam musim panas. Hawa terasa pengap, Angin semakin enggan
bertiup semilir. Di kening ketiga orang itu telah terlihat peluh
membasah. Tokku Peng dan muridnya saling lirik sekilas, Pedang di
tangan Tokku Peng bergerak perlahan.
Gerakan ini tidak mirip seperti orang yang sedang mengadu
nyawa, Malah memberi kesan seakan seorang guru yang memberi
contoh kepada murid-muridnya, Dan karena takut melukai mereka,
maka tenaga yang dikeluarkan hanya sedikit.
Tetapi Fang Tiong Seng tahu, gerakan itu akan berlanjut sebuah
serangan yang mematikan perubahannya akan mengejutkan siapa
saja yang melihat. Dalam waktu yang sekejap, dia sadar, kecuali Toa
Tek To Hun, Tokku Peng dan muridnya merupakan lawan terberat
yang pernah ditemuinya.
Pedang Fang Tiong Seng juga sudah bergerak. Deru angin yang
mengiringinya memekakkan telinga, Miao Hua Fang tidak mau
ketinggalan. Dia segera melancarkan sebuah serangan, Fang Tiong
Seng berhasil memecahkan jurus yang dikerahkan oleh Tokku Peng,
Tanpa membuang waktu dia berkelit untuk menghindari sepasang
roda yang mengancam dirinya.
Miao Hua Fang gagal melukai Fang Tiong Seng, Dia berputar
sekali, kembali sepasang rodanya meluncur ke arah laki-laki itu. Kali
ini rodanya yang bergerigi hitam berhasil mengunci pedang Fang
Tiong Seng.

Serangan ini merupakan jurus andalan Tokku Peng dan muridnya,
Pada saat yang sama, pedang Tokku Peng dengan gerakan kilat
mengincar bagian dadanya, Fang Tiong Seng tergetar.
Hal ini benar-benar di luar dugaannya, Nama besar Tokku Peng
benar-benar nyata. Bagi Fang Tiong Seng, tokoh yang nama
besarnya betul-betul diperoleh dengan kepandaian sejati, lawan
seperti mereka dapat terhitung oleh jari.
"Trang! Tring! Trang!!!"
Tiba-tiba pedang Fang Tiong Seng sudah terlepas dari roda di
tangan Miao Hua Fang. Entah bagaimana cara Fang Tiong Seng
melepaskan pedangnya dari kurungan roda tersebut. Dengan
kecepatan yang tidak sanggup dilihat oleh mata biasa, pedangnya
memutar. Leher Miao Hua Fang sudah tersayat sebagian. Kulit dan
daging di tenggorokan itu menghambur di udara, pemandangan ini
membuat Tokku Peng terkesima. Namun, Fang Tiong Seng tidak
menggunakan kesempatan itu untuk membunuh Tokku Peng, Dia
ingin berduel dengan orang tua itu untuk mengetahui sampai di
mana perbedaan di antara mereka.
"Tokku Peng, berapa jurus?" tanya Fang Tiong Seng dengan nada
angkuh.
Tokku Peng kecewa, putus asa, Dia tidak sanggup mengucapkan
apa-apa. Dengan mata kepala sendiri dia melihat muridnya telah
berhasil mengunci pedang lawan, dia juga tidak membuang waktu
dan segera menyerang. Bagaimana kejadiannya malah bisa berakhir
demikian tragis? jurus andalannya masih belum dapat mengalahkan
lawan, ilmu apa yang digunakan Fang Tiong Seng?
Sebetulnya cara Fang Tiong Seng melepaskan pedangnya dari
cengkeraman roda bergerigi Miao Hua Fang bukan salah satu dari
ketigabelas jurus bangau terbangnya, Dia menggunakan ilmu yang
ditinggalkan oleh Tang hay sin sian. Ia memperalat Lian lian untuk
menipu Siau kiong cu agar merangkai bunga di depan

perempuan itu. Dia mengintai dari balik kegelapan, Kemudian Lian
lian juga berhasil membujuk Kwe Po Giok agar menunjukkan
kepadanya.
Meskipun apa yang diperlihatkan kedua muda mudi itu belum
seluruhnya, namun Fang Tiong Seng adalah orang yang sudah
banyak makan asam garam, Dia sudah mempelajari ilmu silat sejak
kecil pengetahuan dan kecerdasannya melebihi orang lain. Dengan
caranya sendiri, dia berhasil menguraikan cukup banyak ilmu
peninggalan Tang hay sin sian tersebut. Bahkan dia
menggabungkannya dengan ilmu pedangnya sendiri.
"Dari awal sampai akhir tidak mencapai empat jurus setengah,"
gumam Tokku Peng.
"Apakah kau merasa sedih?" tanya Fang Tiong Seng.
"Bukan sedih, Tetapi sekarang aku baru menyadari bahwa selama
ini aku telah membuang waktu yang berharga, Ternyata aku masih
menganggap diriku sebagai tokoh nomor satu atau paling tidak
nomor dua di Bulim," sahut Tokku Peng.
"Sebetulnya perkiraanmu tidak terlalu salah. Meskipun kau tidak
termasuk tokoh nomor satu atau pun nomor dua di Bulim, tapi
perkiraanmu memang tidak meleset jauh, kau termasuk tokoh
nomor tiga saat ini," kata Fang Tiong Seng.
"Siapa tokoh nomor dua itu?" tanya Tokku Peng.
Manusia memang aneh, Sampai saat itu, mereka masih sempat
berdiskusi siapa tokoh nomor satu, dua atau tiga.
"Mungkin seorang bocah yang baru meningkat dewasa," gumam
Fang Tiong Seng ragu.
"Bocah? Berapa usianya?" tanya Tokku Peng.
"Mungkin belum cukup dua puluh tahun," sahut Fang Tiong Seng.

Tokku Peng berdiri terpaku di kegelapan malam. Dia hampir tidak
dapat percaya bahwa tokoh nomor dua di Bulim saat ini hanya
seorang pemuda yang usianya belum mencapai duapuluh tahun.
"Kau juga tidak perlu merasa sedih, seorang pemuda yang masih
ingusan berada di bawah deretanku, juga bukan hal yang
membanggakan," kata Fang Tiong Seng.
Tokku Peng sama sekali tidak mendengar apa yang diucapkan
Fang Tiong Seng barusan. Tatapan matanya terpusat pada luka
dileher Miao Hua Fang. Dia merasa bersalah, Karena dirinya, maka
Miao Hua Fang mengalami kematian yang begitu tragis. Tiba-tiba
pedang di tangannya diarahkan ke dadanya sendiri.
***
Fang Tiong Seng menggelengkan kepala dengan tertawa getir.
"Orang seperti dirimu juga bisa memilih kematian dengan cara
demikian pengecut?" tanyanya.
"Kematianku tidak perlu disayangkan ingin mengadu nyawa pun
sia-sia saja," sahut Tokku Peng.
"Tapi seorang pendekar tidak boleh mati dengan cara demikian
sedangkan kau adalah seorang pendekar," kata Fang Tiong Seng.
Dia memang tidak berharap jago nomor tiga itu mati dengan cara
demikian. Kesenangannya akan berkurang, Dia juga akan kehilangan
sebuah ujian yang dapat menentukan seberapa tinggi ilmu yang
dimilikinya sekarang.
Tokku Peng memandang alam di sekitarnya. Rumput-rumput
menghijau, Cahaya bulan bersinar, Semua itu merupakan sebuah
pemandangan yang sulit dilupakan. Kenyataannya, hidup tentu lebih
senang daripada mati. Namun, dia tahu bahwa dirinya tidak mungkin
meninggalkan tempat itu dalam keadaan hidup.

"Kau pasti menginginkan kematian dengan cara itu?" tanya Fang
Tiong Seng.
"Tentu!" sahut Tokku Peng.
"Apakah kau tidak perduli nama baik yang telah kau pupuk selama
ini?" tanya Fang Tiong Seng.
"Guru dan murid bergabung masih belum dapat menandingimu
mana ada lagi segala nama baik yang tersisa?" sahut Tokku Peng
kecewa.
"Tidak tentu! Nama baik setelah orangnya mati tetap akan ada.
Tinggal bagaimana keputusanmu saja?" kata Fang Tiong Seng. Dia
benar-benar manusia licik. Untuk tujuan pribadinya, dia tega
menggunakan segala macam cara dan orang itu toh akhirnya mati
juga.
"Keputusanku sudah bulat!" sahut Tokku Peng.
"Semestinya itu bukan keputusan yang terakhir," kata Fang Tiong
Seng.
"Fang Tiong Seng.... Kalau kau menjadi diriku, kau pasti akan
menggunakan tangan dan pedang sendiri mengakhiri hidupmu,"
sahut Tokku Peng.
"Aku tidak akan sebodoh itu!" kata Fang Tiong Seng.
"Meskipun kau tidak mungkin, tapi aku tetap pada keputusanku!"
sahut Tokku Peng tegas.
***
Fang Tiong Seng tertawa dingin, "Kalau tekadmu sudah bulat, aku
juga tidak memaksa. Hanya ada satu hal yang perlu kuingatkan
kepadamu," katanya.

"Hal apa?" tanya Tokku Peng, "Kalau kau memaksa ingin bunuh
diri, maka sesudahnya aku akan menyiarkan kepada teman-teman di
Bulim bahwa kalian guru dan murid kalah di tanganku hanya dengan
satu jurus saja," sahut Fang Tiong Seng sinis.
Tokku Peng meraung keras-keras. suaranya mirip ratapan serigala
di musim dingin, Dia merasa menyesal telah menantang Fang Tiong
Seng. Tadinya dia berharap dapat menyelamatkan dunia Bulim dari
cengkeraman orang jahat ini.
Thian sungguh tidak adil terhadapnya. Harapannya yang suci di
balas dengan cara sekeji ini. Sekarang, menyesal pun sudah
terlambat. Nama baik tetap penting bagi manusia yang sudah mati.
Bukankah ada pepatah yang mengatakan, "harimau mati
meninggalkan kulitnya, gajah mati meninggalkan gadingnya,
sedangkan manusia mati meninggalkan kehaf uman namanya?
Paling tidak, Tokku Peng merasa nama baik sangat penting,
Bukan hanya karena dia ingin disanjung orang, tapi apabila Fang
Tiong Seng benar-benar menyebarkan berita bahwa mereka guru
dan murid hanya sanggup menerima satu jurus dari orang itu, maka
dunia Bulim akan gempar. Tidak mungkin ada lagi yang berani
menghalangi niat jahatnya.
Fang Tiong Seng tetap Fang Tiong Seng. Hanya sepatah
perkataan saja sudah sanggup merubah keputusan Tokku Peng.
pedangnya ditarik kembali dari dada. Dia ingin mengadu nyawa
dengan manusia jahat itu. Setidaknya, dia ingin mati dengan cara
yang gagah perkasa.
"Begini baru dapat disebut seorang pendekar," kata Fang Tiong
Seng.
Tiba-tiba, pedang di tangan Tokku Peng diangkat ke atas. Fang
Tiong Seng masih berdiri di tempatnya dengan tangan
menggenggam pedang erat-erat. Sekali melengos, serangan Tokku
Peng luput. Melihat serangannya yang pertama tidak berhasil, dia
kembali menyerang tiga kali beruntun. Pedang Fang Tiong Seng
yang tadinya mengarah ke bawah, tiba-tiba menyerang ke atas,

Tokku Peng seakan melihat kembang api sedang berpijar,
pandangan matanya berkunang-kunang.
Angin dingin, menyelimuti dirinya. Pada serangan ketiga dari Fang
Tiong Seng, dia tidak dapat menghindar lagi, Tubuhnya masih
terpaku di tempat, tapi kepalanya melayang ke udara. Setelah lima
detik kemudian, tubuhnya baru menyusul rubuh ke tanah.
Suatu pemandangan yang sangat menyeramkan terjadi Kepala
Tokku Peng masih berputar di udara. Fang Tiong Seng menyabetkan
pedangnya sekali lagi Kepala itu terbelah menjadi dua sebelum
berdebum ke atas tanah, jatuhnya tepat di samping tubuh itu
sendiri. Pedang di tangan Fang Tiong Seng dimasukkan kembali ke
dalam sarungnya.
Ternyata dengan seorang diri melawan Tokku Peng yang
termasyur, dia juga hanya memerlukan dua jurus setengah,
bagaimana hal ini tidak membuat kepalanya menjadi besar? Oleh
karena itu, Fang Tiong Seng mendongakkan kepalanya dan tertawa
terbahak-bahak, pula jika tidak tertawa saat ini, kapan lagi dapat
merapat kebanggaan seperti ini?
Semakin lama, rasa percaya. dirinya semakin tinggi, Meskipun
orang yang dikatakan tokoh nomor dua di Bulim saat ini
mengunjukkan diri, dia juga akan mempunyai rasa keyakinan yang
sama. Rasa percaya diri itu amat penting, banyak hal di dunia ini
terlaksana karena keyakinan yang teguh, sedangkan para manusia
yang gagal, biasanya merupakan mereka yang mempunyai
kemampuan, tapi tidak percaya kepada dirinya sendiri.
Fang Tiong Seng baru saja hendak meninggalkan tempat itu.
seseorang meloncat ke dalam kancah pertarungan tersebut, Orang
yang datang ternyata Kwe Po Giok, Dia juga merupakan orang yang
disebut tokoh nomor dua di Bulim saat ini oleh Fang Tiong Seng.
***

"Bagus sekali! Orang yang seharusnya tampil sudah ada di sini.
Dengan demikian, membuat pekerjaanku jauh lebih ringan," kata
Fang Tiong Seng.
"Aku justru tidak menganggap kalau dirimu dapat disebut sebagai
tokoh nomor satu di Bulim," sahut Kwe Po Giok dengan nada
mengejek.
Fang Tiong Seng menatap Kwe Po Giok dengan seksama, Pemuda
ini adalah Sin tong. sedangkan Sin tong tentu tidak dapat disamakan
dengan orang biasa. Namun, ada satu hal yang tidak diketahui oleh
Kwe Po Giok. Pada masa kecilnya, Fang Tiong Seng juga sudah
mendapat panggilan Sin tong.
"Dayang Cui thian pernah mengatakan bahwa dia menitip sebuah
dompet sulaman yang terbuat dari kapas kepada Siau kiong cu.
Kwe Po Giok mendengus satu kali.
"Dompet sulaman apa?" tanyanya.
"Dompet sulaman, ya dompet sulaman," sahut Fang Tiong Seng.
"Kalau memang dia mempunyai dompet seperti itu, dia pasti
sudah mengatakannya padaku," kata Kwe Po Giok.
Fang Tiong Seng mengira dayang Cui thian mungkin hanya
menipu dirinya agar dapat memperpanjang waktu sehingga dia
mempunyai kesempatan melarikan diri. Untung saja saat itu dia
tidak berpikir panjang dan langsung membunuhnya.
"Sebetulnya tidak perlu menitip segala macam dompet pada Siau
kiong cu. Sejak semula kau sendiri sudah menunjukkan wajahmu
yang sebenarnya," kata Kwe Po Giok yang cerdik,
Meiihat kerut di wajah Fang Tiong Seng, dia sudah dapat
menduga apa isi dompet yang dimaksudkan.
"Aku?" tanya Fang Tiong Seng terkejut.

Sampai hari ini, dia masih yakin bahwa rahasianya ini tak banyak
yang mengetahui. Apakah bocah ini juga sedang mempermainkan
dirinya?
"Toa Tek To Hun, baru pertama kali menginjak tanah Tionggoan,
bagaimana dia bisa tahu siapa-siapa saja tokoh-tokoh kelas satu di
negeri ini, itu bahkan tahu di mana tempat tinggal mereka.
sasarannya selalu tepat!" Dengan demikian, terbukti bahwa ada
seseorang yang menjadi petunjuk baginya, sedangkan di antara
semua jago-jago yang diincarnya, tidak ada satu pun yang dapat
meloloskan diri dari kematian. Mengapa dirimu merupakan
kekecualian? Sejak dulu, aku sudah berpikir ke situ." sahui Kwe Po
Giok.
"Sin tong" memang tidak dapat di samakan dengan orang biasa."
kata Fang Tiong Seng.
"Sebetuinya bukan aku saja, Sun Put Ce juga sudah lama
mengetahuinya," sahut Kwe Po Giok.
"Sejak semula aku sudah tahu Sun Put Ce bukan orang bodoh,
Mungkin dia malah lebih pintar darimu," kata Fang Tiong Seng. Kwe
Po Giok tidak suka mendengar kata-kata itu. Dia tidak percaya
bahwa di dunia ini ada begitu banyak Sin tong.
"Kau pernah mengutus Sun Put Ce membunuhku bukan?"
tanyanya.
"Coba kau terka, untuk apa aku mengutusnya membunuhmu?"
"Mungkin karena kau sudah tahu kalau dia bukan tandinganku?"
tanya Kwe Po Giok tenang.
Fang Tiong Seng tersenyum. Pada saat orang itu tersenyum,
kesan yang ditampilkan adalah seorang laki-laki setengah baya yang
penuh pengertian. Sungguh mengherankan manusia sejahat dirinya
ternyata dapat tersenyum begitu lembut dan enak dipandang,
Apakah manusia demikian yang disebut Serigata berbulu domba?

"Apa bedanya kalau kalian memang sudah mengerti maksud
hatiku," kata Fang Tiong Seng.
"Sun Put Ce adalah orang baik, Berbeda dengan diri mu. Dia tahu
kalau dirinya tidak sanggup membunuhku, dia juga tidak bisa
membantuku Karena dia tahu, aku juga belum tentu bisa
memecahkan jurus ketiga-belas bangau terbangmu. Oleh sebab itu,
dia hanya mempunyai satu jalan yang harus ditempuh," sahut Kwe
Po Giok.
"jalan apa?" tanya Fang Tiong Seng.
"Jalan kematian," sahut Kwe Po Giok.
"Tapi dia kan tidak mati?" kata Fang Tiong Seng.
"Pada waktu itu, dia sengaja menyodorkan tenggorokannya ke
arah pedangku, untung saja aku cukup sigap sehingga menariknya
segera, Tapi tak urung ia terluka cukup parah juga," sahut Kwe Po
Giok.
"Apakah dia bermaksud menerima kematian saat itu?" tanya Fang
Tiong Seng.
"ltu merupakan jalan terbaik bagi pikirannya. Sekarang, kau juga
hanya mempunyai satu pilihan," kata Kwe Po Giok.
Kedua orang itu sama-sama menghunus pedangnya, pertarungan
antara tokoh nomor satu dan dua di Bulim. Bagi perasaan Fang
Tiong Seng, pertarungan itu tentu berbeda dengan pertarungan
yang dialami selama ini. Dia yakin, sebelum ajal, Tang hay sin sian
pasti sudah merencanakan segala sesuatu.
"Pikiranmu terlalu berbelit-belit. Tapi ada beberapa bagian yang
tepat juga. Namun, ada satu hal yang kau lupa," kata Fang Tiong
Seng.

"Apa itu?" tanya Kwe Po Giok. "Bahwa aku bukan Sun Put Ce!"
sahut Fang Tiong Seng ketus.
Kwe Po Giok tidak menjawab. Dia langsung menyerang. Hunusan
pedang kedua orang itu sangat cepat, Seakan deretan nama mereka
seharusnya seimbang, Tapi, kalau diperhatikan dengan seksama.
pedang Fang Tiong Seng memang lebih cepat beberapa kejapan
mata dari pada-Kwe Po Giok, karena pemuda itu telah terluka.
Fang Tiong Seng berteriak nyaring, Sekali pedangnya berkelebat
Baju lengan kiri Kwe Po Giok terkoyak. Dia mundur sebanyak lima
langkah. Fang Tiong Seng tidak mau kehilangan kesempatan yang
baik itu. Dia menusuk sekali lagi. Kwe Po Giok terpaksa meloncat
mundur lagi.
Sekarang jaraknya tinggal tiga langkah dari jurang yang dalam itu.
Pada saat yang berbahaya itu, suara kibaran baju mendesir di
udara. seseorang melayang turun di dekat mereka, Kepala orang itu
tertunduk ke bawah, Dia seakan segan menatap wajah orang yang
di hadapannya Orang yang datang, ternyata Sun Put Ce yang Kwe
Po Giok sendiri sulit menyangkal bahwa dia juga seorang Sin tong,
Wajah Fang Tiong Seng berubah hebat, "Untuk apa kau datang ke
tempat ini?" tanyanya marah.
"Mohon jangan membunuh Siau Kwe!" sahut Sun Put Ce.
"Seharusnya aku yang menuruti perintahmu atau kau yang harus
mendengar apa kataku?" tanya Fang Tiong Seng dengan mata
mendelik.
"Dengan kejahatan memuaskan diri sendiri Bagaimana menghalau
ombak besar di tengah lautan, Meskipun ombak itu berhasil dihalau,
di belakang akan datang lagi segulung ombak yang lebih tinggi. Di
dunia ini tidak ada manusia yang benar-benar nomor satu. Di atas
gunung masih ada gunung lainnya, Teecu harap Suhu mau
merenungkannya sekali lagi," kata Sun Put Ce.

Fang Tiong Seng tertawa dingin, "Kalau kau mau terjun ke dalam
jurang itu, baru dapat dianggap dirimu tulus, Mungkin aku akan
mempertimbangkannya kembali," katanya.
"Mati untuk seorang sahabat, Sun Put Ce tidak akan
mengernyitkan dahi sedikit pun, Mohon Suhu tidak mengingkari
janji," sahut Sun Put Ce.
"Sun Put Ce, maling tua itu tidak dapat dipercaya!" teriak Kwe Po
Giok panik.
"Kwe siaute, kau pergilah!" kata Sun Put Ce.
"Apakah kau mengira dia akan melepaskan diriku selamanya?"
tanya Kwe Po Giok.
"lya," sahut Sun Put Ce.
"Menaruh harapan pada seorang iblis, memberi kepercayaan
kepada seekor harimau yang sedang kelaparan Sun Put Ce, ternyata
kau masih belum sadar siapa manusia itu," kata Kwe Po Giok.
"Suhu.... Fu tam cianpwe (Nama asli Tang hay sin sian) telah cao
hue jit mo, namun dia masih memiliki kemauan untuk berkorban
demi dunia Bulim, jasa sebesar itu akan dikenang pendekar
Tionggoan selamanya, sedangkan Kwe siaute adalah ahli waris
tumpuan harapannya, Apalagi dia juga menitipkan Siau kiong cu
yang sudah yatim piatu. Harap Suhu memandang muka orang tua
yang sudah meninggal itu dan melepaskan Kwe siaute," Sun Put Ce
memohon kepada Suhunya dengan wajah memelas.
Pada saat ini, rencana Fang Tiong Seng sudah hampir rampung,
cita-citanya yang ingin menguasai dunia Bulim sudah tampak di
depan mata. Mana mungkin dia rela melepaskannya hanya karena
permohonan murid terakhir itu.
Adat Kwe Po Giok sendiri sangat keras dan angkuh, Dia tidak akan
meminta belas kasihan orang lain walaupun hal ini menyangkut
hidup mati dirinya, Tadinya, dia mengira bahwa kepandaiannya

sudah sanggup menandingi Fang Tiong Seng, ternyata jarak mereka
masih terpaut jauh.
"Sun Put Ce, mari kita mengadu nyawa dengannya!" teriak Kwe
Po Giok tiba-tiba.ucapannya selesai, orangnya juga langsung
menyerang, Sun Put Ce tahu, saat ini Siau Kwe tidak mungkin
sanggup menandingi Suhunya, seandainya dia tidak perduli, pemuda
itu pasti akan mati. Dan apabila dia turut campur, dia merasa
bersalah kepada Fang Tiong Seng.
Meskipun dia mengerti Fang Tiong Seng bukan manusia baik-baik,
Dia tidak dapat berpikir banyak lagi Nyawa Kwe Po Giok sedang
terancam, Dia segera melayang ke udara dan membantu pemuda
tersebut.
Sinar mata Fang Tiong Seng menyiratkan hawa pembunuhan
yang tebal, Dia ingin menyelesaikan persoalan ini dengan cepat,
jangan sampai ada yang mengetahui kalau dia membunuh muridnya
sendiri.
Manusia yang berambisi terlalu tinggi, mungkin otaknya juga
sudah mulai tidak waras, Fang Tiong Seng segera menghentakkan
kaki dan menyerang kedua orang itu.
Tusukan pedang yang tajam menikam paha Kwe Po Giok, secepat
kilat ditariknya kembali pedang memutar mengarah ke Sun Put Ce,
Tapi dia lebih beruntung, dia sempat berkelit. Hatinya masih berat
untuk bertarung dengan gurunya sendiri Dia hanya berharap agar
Fang Tiong Seng mau mengerti dan sadar serta melepaskan Kwe Po
Giok, Nasibnya sendiri tidak begitu diperdulikan.
Kwe Po Giok kembali terdesak, Sun Put Ce berusaha membantu
sekuat tenaga, Fang Tiong Seng semakin gencar menusuk ke arah
kedua orang itu, Mereka mengelak ke sana ke mari. Sekali lagi Fang
Tiong Seng menikam, Kwe Po Giok sudah berada di sudut jurang,
Keseimbangannya goyah, Sun Put Ce mencoba menarik
tangannya, Akibatnya malah semakin runyam. Kedua-duanya jatuh
tergelincir ke dalam jurang yang mempunyai aliran sungai deras.

Fang Tiong Seng menatap ke dalam jurang tersebut Dia masih
menanti beberapa lama, Tapi kedua orang itu tidak terlihat timbul
dari sungai Sekarang dia baru yakin. Dunia ini tidak lama lagi akan
berada di bawah cengkeraman tangannya.
Bulim memang sangat luas, Aliran partai yang ada juga amat
banyak, Tapi, tidak mungkin ada seorang pun yang dapat
mengalahkannya lagi. Dia menengahkan kepala ke atas langit
Suara tawanya yang terbahak-bahak menggema di sekeliling
pegunungan tersebut.
-ooo0ooo-
Bagian Dua puluh Tiga
Siau kiong cu tidak sabar lagi menunggu. Dia pergi menemui Bwe
Mei. Mereka memang tahu bahwa Sun Put Ce dan Kwe Po Giok pergi
memenuhi janji, tapi entah di mana tempatnya,
Kedua gadis itu tadinya merupakan saingan, Sekarang tidak ada
permusuhan sedikit pun di antara mereka.
"Bwe Mei.... Apa yang harus kita Iakukan?" tanya Siau kiong cu.
Bwe Mei juga kebingungan Dia tidak tahu harus berbuat apa.
Tetapi, dia harus dapat menemukan jawaban bagi Siau kiong cu.
Sebetulnya, apapun yang hendak dilakukan oleh seseorang, sampai
pada waktu yang sangat terdesak barulah terpikirkan.
"Siau kiong cu... Kwe siaute sangat cerdas, Sun Toako juga
banyak pengalaman, mereka saling bahu membahu, rasanya tidak
mungkin terjadi apa-apa." sahut Bwe Mei menenangkan Lu ji.
"Bwe ci, dapatkah kau menduga siapa lawan mereka?" tanya Siau
kiong cu dengan wajah cemas.
Bwe Mei menggelengkan kepalanya.

"Meskipun aku juga tidak tahu, namun melihat kemurungan Kwe
Po Giok akhir-akhir ini, aku dapat membayangkan berapa tingginya
ilmu yang dimiliki lawan," kata Siau kiong cu selanjutnya.
"Betul, dengan gabungan kedua orang itu, berapa banyaknya
tokoh di Bulim yang sanggup menandingi saat ini?" sahut Bwe Mei.
Tepat pada waktu itu, terdengar ada seseorang yang mengetuk
pintu, Bwe Mei segera membukakannya, Yang datang adalah Fang
yen yang bekerja sebagai pelayan di gedung keluarga Fang Tiong
Seng.
"Ada urusan apa Fang lopek berkunjung ke tempat kami?" tanya
Bwe Mei dengan pandangan menyelidik.
Di mata orang tua itu masih tersisa genangan air mata.
"Aku datang untuk memberitahukan sesuatu hal kepada Kouwnio
dan Siau kiong cu," katanya.
"Memberitahukan soal apa?"
"Murid perguruan Loya, Sun Put Ce dan Kwe siaute mengadakan
perjanjian dengan Tokku peng dan muridnya untuk bertarung di
dermaga tua di luar kota. Tokku Peng dan muridnya tewas bersama,
Namun Kwe siaute dan Sun Put Ce terluka parah dan jatuh
tergelincir ke dalam jurang, Sampai sekarang mayat mereka belum
ditemukan," kata Fang yen menjelaskan.
Bwe Mei merasa seakan ada batu besar yang membentur
kepalanya, tetapi Siau kiong cu hanya terkejut sesaat. Tidak lama
kemudian, dia sudah tenang kembali.
"Fang lopek.... Apakah kau pergi ke tempat itu dan
menyaksikannya dengan mata kepala sendiri?" tanyanya.
"Tidak, Sun Put Ce pernah memberitahukan bahwa dia dan Kwe
Po Giok akan bertarung dengan kedua guru dan murid tersebut

Setelah menunggu sekian lama, aku melaporkannya kepada majikan.
Loya segera berangkat ke tempat tersebut, namun tetap terlambat
satu langkah," sahut Fang yen dengan wajah sendu.
"Kalau memang sudah terlambat satu langkah, mengapa Loyamu
bisa mengetahui bahwa Kwe Po Giok dan Sun Put Ce terluka parah
jatuh tergelincir ke dalam jurang? Dia toh tidak menyaksikannya
sendiri," tanya Siau kiong cu yang berotak cerdik itu.
"Hal ini dapat diduga dari apa yang dilihat Loya di dermaga tua
tersebut," kata Fang yen.
"Apa yang dilihat Loyamu di dermaga itu?" tanya Siau kiong cu.
"Loya melihat mayat Tokku Peng dan muridnya ada di tepi jurang,
sedangkan Sun Put Ce dan Kwe Po Giok tidak terlihat sama sekali.
Loya telah mencari di sekeliling tempat itu, namun tetap tidak
terlihat bayangan mereka, dengan demikian Loya menduga mereka
tergelincir ke dalam jurang," sahut Fang yen.
"Meskipun uraianmu cukup masuk akal, tapi belum tentu mereka
sudah mati," kata Siau kiong cu.
"Betul. Hamba juga berharap mereka bukan terjatuh ke dalam
jurang, tapi hanya mendapat luka dan sudah meninggalkan tempat
tersebut," sahut Fang yen sambil menganggukkan kepalanya.
"Apakah Loyamu yang memerintahkan kau datang
memberitahukan hal ini kepada kami?" tanya
Bwe Mei dengan air mata berlinang.
"Betul, Loya berpesan, keadaan kalian sangat berbahaya. Apalagi
kalau tinggal di luar tanpa ada yang menjaga, Lebih baik, untuk
sementara kouwnio berdua tinggal di gedung keluarga Fang, Dengan
demikian lebih aman," kata pelayan tua itu.
"Terima kasih! Yang paling penting sekarang adalah mencari
orang yang hilang, Fang lopek, apakah kau dapat menunjukkan

jurang di mana mereka terjatuh?" tanya Bwe Mei dengan suara
sendu.
"Tentu saja, Tapi Loya mengharap kedua kouwnio datang ke
gedung keluarga Fang lebih dahulu, Soal mencari mereka, Loya akan
membantu sekuat tenaga," sahut Fang yen.
"Siau kiong cu, mari kita pergi bersama Fang lopek," ajak Bwe
Mei.
***
Orang yang dicari tidak ketemu, Bwe Mei menangis sepanjang
hari. Siau kiong cu menasehati gadis itu supaya jangan terlalu
bersedih, Kalau Sun Put Ce dan Kwe Po Giok memang sudah mati,
paling tidak ada mayatnya sebagai bukti. Siau kiong cu tetap yakin
kedua orang itu masih hidup.
Bwe Mei sangat kagum terhadap pendirian Siau kiong cu.
Tampaknya dia tidak begitu khawatir dengan keadaan Kwe Po Giok,
Pendapat seperti itu mungkin saja, tapi tidak tentu tepat.
Bwe Mei tidak sanggup membuat pikirannya begitu terbuka
seperti Siau kiong cu. Oleh karena itu, ketika malam hari gadis itu
sedang mandi, dia tidak dapat menahan diri lagi. Dia keluar lagi
mencari kedua orang tersebut Biasanya Siau kiong cu tidak
menyalakan lampu sehabis mandi.
Dia takut ada yang mengintip. Tapi kali ini tidak seperti biasanya,
Dia malah menyalakan tiga buah lilin yang besar. Keadaan dalam
kamar mandi jadi terang benderang. Bentuk tubuhnya terlihat jelas.
Sepasang mata seperti maling mengintai dari balik kegelapan Siau
kiong cu tidak mengenakan apa-apa lagi, Mata itu dapat
memandang dengan puas. Mengapa Siau kiong cu merubah
kebiasaan? Apakah dia sekarang tidak takut kalau dirinya diintip?

Tengah malam Bwe Mei baru kembali Siau kiong cu sudah pulas di
atas tempat tidur, Bwe Mei menggelengkan kepalanya, Dia
menganggap gadis itu benar-benar masih ke kanak-kanakan.
Malam sudah larut.
Di tengah hutan sunyi sekali. Ada sekumpulan kabut tipis yang
melayang di atas tanah. Mungkin semua orang sedang terlelap
dalam alam mimpi, Hanya Fang Tiong Seng yang belum tidur, Dia
sedang berlatih ilmu silat.
Kadang-kadang sambaran pedangnya menimbulkan suara
menderu. Dia mulai berhasil menyelami inti sari ilmu pedang
peninggalan Tang hay sin sian, Hatinya senang sekali, dia semakin
giat berlatih.
Dia tahu kalau ingin menguasa dunia kangouw, maka dia harus
banyak latihan, Keyakinannya terhadap ilmu pedang Tang hay sin
sian semakin dalam. Karena sejak mempelajari ilmu pedang
tersebut, tidak ada satu tokoh pun yang dapat menahan lima jurus
serangannya, sedangkan Kwe Po Giok dapat bertahan sebanyak
tujuh jurus. Hal ini membuktikan bahwa ilmu pedang Tang hay sin
sian memang tidak boleh diremehkan.
Pada saat itu, dari balik kabut yang tipis muncul seseorang, Fang
Tiong Seng menatap dengan seksama, wajahnya berubah seketika,
Orang yang baru datang ternyata Toa Tek To Hun.
Bertemu sekali lagi dengan orang yang dianggap sudah mati,
sungguh menimbulkan perasaan yang tidak enak. Dia tahu yang
dilihatnya bukan hantu. Sebab, meskipun ginkang Toa Tek To Hun
sangat tinggi, namun ketika dia melayang turun dengan bantuan
selembar daun, dia tetap menerbitkan sedikit suara.
"Apakah Toa Tek To Hun yang datang?" tanya Fang Tiong Seng.
"Mungkinkah yang ini juga palsu?" sahut Toa Tek To Hun sambil
mendengus dingin.

"Rupanya kau memang tidak mati!" kata Fang Tiong Seng.
"Kalau aku mati, siapa yang akan membereskan dirimu?" sahut
Toa Tek To Hun datar.
Fang Tiong Seng tersenyum lebar.
"Toa Tek To Hun.... Bagaimana kau bisa hidup kembali?"
tanyanya.
"Hal ini mempunyai kaitan yang dalam dengan ilmu ninja dari
negara kami. pedangmu memang menusuk dadaku dengan tepat.
Namun pada saat yang paling kritis, aku masih sempat
mengeluarkan ilmu andalan kami, yaitu menutup jalan pernafasan
sehingga mati untuk sementara," sahut Toa Tek To Hun.
"Tapi... aku sudah menguburmu di dalam tanah?" Fang Tiong
Seng tidak begitu percaya dengan keterangan itu.
"Betul. Karena jalan pernafasan itu tertutup, Denyut nadi pun
akan terhenti untuk beberapa lama, Setelah hidup kembali, aku
mendobrak peti dan keluar. Selama ini aku berada di sekitar sini
merawat luka. Gerak-gerikmu tidak lepas dari pengawasanku," kata
Toa Tek To Hun.
Fang Tiong Seng menggelengkan kepala sambil menarik nafas.
"Toa Tek To Hun.... Tidak kau seharusnya datang kemari,"
katanya.
"Tidak seharusnya datang?" tanya Toa Tek To Hun.
"Betul. Kalau aku menjadi dirimu lebih baik aku segera pulang ke
kampung halaman," kata Fang Tiong Seng.
"Mengapa?" tanya Toa Tek To Hun.
"Dulu kau bukan tandinganku, apa lagi sekarang," kata Fang
Tiong Seng.

"Kalau aku berani datang, berarti keyakinanku di atas tujuh
bagian," sahut Toa Tek To Hun.
"Bila keyakinanku tidak di atas sembilan bagian, aku tidak akan
mencoba-coba," kata Fang Tiong Seng.
"Kau dan aku jangan disamakan, Kalau membunuh dirimu,
Kemarahan di hati ini tidak bisa reda, Lagipula aku merasa bersalah
kepada Tang hay sin sian locianpwe," sahut Toa Tek To Hun.
"Kalau memang demikian, lebih baik kau mati saja," kata Fang
Tiong Seng sinis.
"Kematian bagi kita yang berkecimpung di dunia persilatan, bukan
hal yang mengherankan lagi, Lagipula merupakan sebuah kewajiban
untuk menunaikan bakti pada negara, Semboyan hidup kami adalah
berani berkorban bagi majikan!" sahut Toa Tek To Hun.
"Siapa cu jin mu sekarang?" tanya Fang Tiong Seng,
"Tang hay sin sian Pu Tam Cing," sahutnya.
Fang Tiong Seng sampai termangu-mangu mendengar jawaban
Toa Tek To Hun. Ternyata dia rela menjadi bawahan Tang hay sin
sian, Hal ini membuatnya semakin kagum kepada almarhum Tang
hay sin sian. Hati seorang budak atau pun bawahan sangat sulit
dimengerti. Berani mati demi majikan merupakan persoalan yang
patut dikagumi.
"Hari ini aku baru tahu, kau bukan manusia!" kata Toa Tek To
Hun.
"Betul. Dan aku akan mengajakmu menjelajahi duniaku," sahut
manusia jahat itu. Toa Tek To Hun menggenggam pedangnya eraterat.
Matanya menatap dingin, wajahnya tidak menampilkan
perasaan gentar sedikit pun, pedang Fang Tiong Seng sejak tadi
sudah terhunus. Mereka saling menatap dengan tajam, kemudian,
terlihat pedang di tangan Toa Tek To Hun berkelebat.

Saat itu, dia baru menyadari bahwa Fang Tiong Seng memang
susah dicari tandingannya lagi. perubahan gerakannya sangat
mengejutkan pedang di tangan Toa Tek To Hun yang biasanya
hanya menyerang sekali lalu masuk kembali ke dalam sarung tidak
terlihat kali ini.
"Trang.,, trang., trang.,.!" Tujuh kali Toa Tek To Hun menyerang
berturut-turut, Dia mengerahkan seluruh kepandaiannya, Fang Tiong
Seng terkejut juga melihat kenekatan orang itu. sekarang dia baru
tahu, ketika bertarung dengannya tempo hari, Toa Tek To Hun
belum mengeluarkan jurus andalannya.
Rahasia kepandaian seseorang, pasti tidak akan ditonjolkan
kecuali pada saat yang genting, Fang Tiong Seng berteriak nyaring.
pedangnya menyambar ke samping, kemudian membentur pedang
di tangan Toa Tek To Hun. "Trang!"
Manusia Fu sang merasa tangannya kesemutan. Tenaganya
lenyap seketika, Fang Tiong Seng menggunakan kesempatan itu
dengan sebaik-baiknya. Tanpa menunda lebih lama, dia menyabet
sekali lagi, Leher Toa Tek To Hun tertembus oleh pedang itu.
Darah segar menyembur ke mana-mana, Tubuh Toa Tek To Hun
menyusul rubuh. Tangannya tetap menggenggam pedang erat-erat.
Sampai mati pun, dia tidak mau melepaskan pedangnya.
Kematiannya yang pertama juga terjadi di tangan manusia jahat
ini. Tapi banyak orang yang merasa gembira, karena dia merupakan
manusia yang tadinya membunuhi jago-jago kelas satu di
Tionggoan, sedangkan kematiannya kali ini, patut disesalkan. Sebab,
sejak dia menerima baik permintaan Tang hay sin sian, hatinya
merasa terpukul, Dia berani mengakui kesalahannya dan berjanji
untuk tidak membunuh lagi. Dia bagaikan seorang penjahat yang
masuk dalam pintu Budha untuk menyucikan diri.
Sekarang, boleh dibilang kematiannya adalah demi memenuhi
janji kepada Tang hay sin sian, Dia ingin membalas kebaikan
manusia sakti itu. Dia bangga mati dalam cara demikian. Sekali lagi

Bwe Mei mencari Sun Put Ce dan Kwe Po Giok yang hilang tanpa
kabar berita, Dia tidak dapat disamakan dengan Siau kiong cu.
Tanpa Sun Put Ce, hidupnya kehilangan sebuah tempat menyandar,
seandainya mereka sudah mati, dia tetap ingin melihat mayat
mereka sebagai bukti. Tanpa menemukan mayat kedua orang itu,
dia tetap optimis.
Di dunia ini banyak orang yang hidup dalam penderitaan. Karena
apa pun yang dilakukan, pikiran mereka selalu menuju ke arah putus
asa dan kecewa. Bwe Mei menyusuri pegunungan sejauh sepuluh li.
Sampai ke ujungnya yang sempit dan berakhir buntu, Dia kembali
lagi. Dia tidak berhasil menemukan jejak apa pun dari kedua orang
tersebut Baik sehelai sapu tangan atau pun sepasang sepatu,
Berhari-hari dia melongok ke dalam sungai. Apabila Sun Put Ce atau
pun Kwe Po Giok mati tenggelam, tentu pada suatu hari mayat
mereka akan mengapung ke atas permukaan air.
Dengan berderai air mata, dia naik kembali ke atas dermaga tua.
Ada seseorang yang sedang berlatih ilmu di dalam hutan kecil, Baru
saja dia bermaksud membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat
itu, tapi sudah terlambat Kalau saja pikirannya tidak sedang kalut
sehingga perhatiannya terpecah, dia pasti masih sempat
meninggalkan tempat itu tanpa diketahui orang tersebut.
Orang itu ternyata hanya mempunyai sebelah lengan juga. Dia
adalah Chow Ai Giok, Sekarang, mereka masing-masing mempunyai
alasan untuk saling membenci "Kadang-kadang dunia ini sangat
sem-pit," kata Chow Ai Giok.
"Tepat. sebetulnya aku tidak ingin bertemu denganmu," sahut
Bwe Mei.
"Tampaknya sudah merupakan takdir yang kuasa," kata Chow Ai
Giok.
"Kau selamanya tidak mau mengoreksi diri, mengapa nasibmu
bisa menjadi demikian?" sahut Bwe Mei.

"Meskipun aku telah kehilangan sebelah lengan, namun masih
sanggup membunuhmu, percaya tidak?" tanya Chow Ai Giok.
"Aku juga mempunyai pikiran yang sama," sahut Bwe Mei.
"Kau juga sanggup membunuhku?" tanya Chow Ai Giok
menganggap kata-kata itu lelucon terbesar yang pernah
didengarnya, "Tapi aku sama sekali tidak ingin saling membunuh,
tujuanku kemari adalah untuk mencari orang," sahut Bwe Mei.
"Sebetulnya aku juga tidak ingin membunuhmu, aku hanya
menginginkan sebelah kakimu saja," kata Chow Ai Giok.
"Mengapa kau tidak pernah menyerah?" tanya Bwe Mei.
"Karena apa pun yang kulakukan harus ada tambahannya," kata
Chow Ai Giok sinis.
"Sayang sekali kau tidak tahu bahwa kesempatan itu hampir tidak
ada," sahut Bwe Mei.
Tiba-tiba Chow Ai Giok menggenggam pedangnya erat-erat. Dia
menggunakan tangan kiri, Bwe Mei juga menggunakan tangan yang
sama. Siapa pun tidak ada akan saling merugikan, Bwe Mei menarik
nafas panjang.
"Kalau kita harus bertarung lagi, rasanya menyedihkan juga amat
lucu. Apakah kau tidak mempunyai anggapan demikian?" tanyanya.
Pedang Chow Ai Giok menyambar Bwe Mei segera menghindar
Dengan gerakan yang tidak kalah cepat, dia membalas.
"Trang!"
Kedua pedang beradu sedetik.
Chow Ai Giok menjerit, pedangnya telah terlepas dari tangan,
Ternyata luka di bahunya baru saja sembuh. Kalau menggunakan
tenaga besar masih terasa sakit, Lagipula dia belum lama belajar

menggunakan pedang dengan tangan kiri, Hasilnya belum
sesempurna Bwe Mei. Mana mungkin dia dapat menandinginya.
Pedang Bwe Mei menempel di lengan kirinya. Wajah Chow Ai Giok
pucat pasi, Namun dia masih bisa berteriak dengan galak....
"Mengapa tidak kau bunuh?"
"Bukan aku tidak mau membunuhmu perbuatanmu sungguh keji.
Seratus kali mati pun masih belum cukup untuk menebusnya,
Namun, bila melihat nasib yang dialami kau dan aku, tampaknya kita
memang sependeritaan" kata Bwe Mei.
"Siapa yang sependeritaan denganmu?" tanya Chow Ai Giok.
"Kau!" sahut Bwe Mei.
Pedangnya yang tadi menempel di lengan kiri Chow Ai Giok
ditariknya kembali Dia melengos kemudian meninggalkan tempat
tersebut.
"Kau masih memiliki seorang laki-laki yang melindungimu
sedangkan aku adalah sekuntum mawar yang telah layu," kata Chow
Ai Giok.
"Laki-laki yang kumiliki itu entah masih hidup atau sudah mati,
Mungkin dia sendiri yang tahu," sahut Bwe Mei tanpa menghentikan
langkah kakinya,
Jilid 18 TAMAT
Chow Ai Giok terpana, Dia menghampiri Bwe Mei dengan tergesagesa,
Gadis itu mengira Chow Ai Giok masih tidak mau sudah, dia
berdiri di tempatnya semula untuk bertarung kembali.
"Mengapa kau begitu panik? Aku tidak bermaksud apa-apa,
Katamu tadi, Sun Toa-ko menghilang?" tanya Chow Ai Giok.
Bwe Mei menganggukkan kepalanya.

"Bagaimana bisa menghilang?" tanya Chow Ai Giok penasaran.
"Kau tentunya gembira sekali," sahut Bwe Mei ketus.
"Mengapa?" tanya Chow Ai Giok.
"Banyak manusia di dunia ini yang senang melihat penderitaan
orang lain. Apalagi kalau penderitaan orang itu melebihi dirinya,"
kata Bwe Mei.
Tanpa disangka, Chow Ai Giok menggelengkan kepalanya.
"Bwe Mei.,., Meskipun aku seorang manusia busuk, tapi aku tetap
tidak mengharapkan kematian Sun Toako," sahutnya.
Bwe Mei menatap Chow Ai Giok. Pada saat itu, semua dendam
dan kebencian tak setitik pun tertinggal lagi di hati mereka.
"Sebetulnya aku memang perempuan busuk, Kiau Bu Suang juga
pernah berkata demikian." kata Chow Ai Giok acuh tak acuh.
Bwe Mei memandangnya dengan termangu-mangu.
"Kau tidak percaya bukan?" tanya Chow Ai Giok.
Bwe Mei tetap tidak bersuara.
"Semasa hidupnya, Kiau Bu Suang pernah menyatakan bahwa
diriku hanya lebih bersih dari perempuan penjaja diri di rumah
hiburan," kata Chow Ai Giok selanjutnya.
"Dia benar-benar pernah berkata seperti itu?" tanya Bwe Mei
dengan mata terbelalak.
"Untuk apa aku berbohong padamu?" sahut Chow Ai Giok.
"Dia benar-benar bukan manusia," kata Bwe Mei kesal.

"Tepat, Dan laki-laki yang bukan manusia itu ternyata pernah
meniduri aku sebanyak tiga kali," sahut Chow Ai Giok.
Mata Bwe Mei mendelik semakin lebar.
Dia seakan ingin melihat dengan tegas, apakah Chow Ai Giok
masih waras? Apakah dia tidak terserang semacam penyakit lupa
ingatan? Bagaimana dia bisa mengucapkan kata-kata seperti itu?
Chow Ai Giok tertawa lebar. Tampaknya dia sedang
menertawakan dirinya sendiri.
"Apakah kau anggap diriku sangat jalang?" tanyanya.
"Tidak! pukulan batin yang kau terima terlalu hebat," sahut Bwe
Mei.
"Sebetulnya kami sama-sama jalang, Dia mempermainkan aku
seperti perempuan penjaja diri, sedangkan aku menganggapnya
seperti seekor ayam jantan, Pokoknya, apabila seorang perempuan
sudah pernah melakukannya satu kali, dia tidak akan perduli untuk
kedua atau ketiga kalinya," kata Chow Ai Giok.
Bwe Mei sama sekali tidak menyahut. Dia yakin, apabila Chow Ai
Giok tidak mengalami tekanan mental seberat itu, dia pasti tidak
akan mengucapkan kata-kata semacam itu. Tiba-tiba Chow Ai Giok
menarik nafas panjang lagi.
"Meskipun dia begitu keji, begitu tidak menghargai diriku, tapi
setelah dia mati, aku masih sering memikirkannya."
"Manusia memang mempunyai perasaan," sahut Bwe Mei.
"Sebetulnya aku sudah hamil, lalu aku memutuskan untuk
menggugurkannya secepat mungkin, Tapi sekarang pendirianku
sudah berubah," kata Chow Ai Giok.
"Kau tidak jadi menggugurkan kandunganmu?" tanya Bwe Mei.

"Hm.... Mengapa harus digugurkan? Anak toh tidak bersalah.
Lagipula sebagian darinya adalah milikku," kata Chow Ai Giok.
"Betul, seharusnya kau memang tidak boleh menggugurkan
kandunganmu, Lagipula terlalu berbahaya," sahut Bwe Mei.
"Aku merasa bersalah padamu," kata Chow Ai Giok.
"Mengapa kau tiba-tiba bisa mengucapkan kata-kata seperti itu?"
tanya Bwe Mei hampir tidak percaya, sifat Chow Ai Giok sangat
keras. Tidak biasanya dia mau mengakui kesalahannya terhadap
seseorang. Mungkin dia lebih baik mati daripada harus minta maaf
kepada orang lain. Hal ini membuktikan bahwa perempuan itu sudah
berubah.
"Tahukah kau, entah berapa banyak musibah dan penderitaan
yang telah kualami, baru membuat diriku sadar kalau selama ini aku
sangat berdosa terhadap kalian?" katanya.
"Yang sudah berlalu tidak usah diungkit kembali. Aku harap kau
akan membesarkan anak itu dengan baik-baik," sahut Bwe Mei.
"Aku sangat iri kepadamu. Tapi untuk selanjutnya aku tidak akan
menyusahkan dirimu lagi," kata Chow Ai Giok.
"Hal apa yang membuat kau iri kepadaku?" tanya Bwe Mei.
"Cinta Sun Toako kepadamu sangat dalam. Dla setia, baik hati,
selamanya tidak akan berpaling, Bukankah laki-laki semacam ini
yang selalu didambakan kaum perempuan?" kata Chow Ai Giok.
"Tetapi dia menghilang, Lagipula tampaknya lebih banyak bahaya
daripada selamat. Coba kau bayangkan.,., Terjatuh ke dalam jurang
seperti ini, apakah masih ada harapan untuk hidup?" sahut Bwe Mei.
"Bwe Mei.... Aku juga membantu mencarinya," kata Chow Ai Giok.
"Ai Giok.... Mengapa kau tidak tinggal bersama kami saja?" tanya
Bwe Mei seraya menggenggam tangannya dengan lembut.

"Aku?" Chow Ai Giok menggelengkan kepalanya dengan keras,
"Tidak! Aku bukan perempuan baik-baik, Siau kiong cu pasti sebal
melihatku. Sudahlah! perempuan semacam aku tidak mungkin ada
yang mengasihani," kata Chow Ai Giok.
"Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Kalau kau bersedia,
kapan saja kau boleh datang ke tempat kami. sebetulnya nasib kita
bertiga sama-sama buruk. Siau Kwe juga menghilang," sahut Bwe
Mei.
"Mari! Aku temani kau mencari kedua orang itu," kata Chow Ai
Giok. "Aku justru merasa mereka tidak mungkin sudah mati."
"Mudah-mudahan apa yang kau katakan akan menjadi
kenyataan," sahut Bwe Mei pelan.
-ooo0ooo-
Bagian Dua puluh Empat
Siau Kwe belum mati Sun Put Ce juga sama. Pada saat terdesak di
pinggir jurang, Sun Put Ce mengulurkan tangannya untuk menolong
Kwe Po Giok, Namun dia tetap tidak tega turun tangan terhadap
Fang Tiong Seng. Manusia jahat itu menyerang mereka sekali lagi,
sehingga kedua-duanya jatuh tergelincir ke dalam jurang tersebut.
Sebetulnya, seratus kali mati pun, Fang Tiong Seng masih belum
cukup menebus dosanya, Kalau pada saat itu Sun Put Ce jatuh
seorang diri ke dalam jurang, sudah dipastikan dia akan mati.
Karena Sun Put Ce tidak bisa berenang, Untung saja ada Kwe Po
Giok. Pemuda itu menarik leher bajunya erat-erat. Sun Put Ce diajak
menyelam ke dalam air dan menyelamatkan diri dengan cara itu.
Oleh karena itu, Fang Tiong Seng menunggu sekian lama tapi ia
tidak melihat mereka timbul kembali, Kwe Po Giok sengaja
menimbulkan kesan seakan mereka mati tenggelam. Setelah
berenang cukup jauh, Kwe Po Giok menarik Sun Put Ce naik ke

daratan untuk merawat luka. Tentu saja, perut Sun Put Ce sudah
dipenuhi air. Dengan susah payah, baru berhasil Kwe Po Giok
menyelamatkan dari kematian.
Sekarang luka mereka sudah sembuh. Untuk membuktikan suatu
persoalan, mereka terpaksa menggali pasir di tepi sungai. Sun Put
Ce terus menggali Lubang itu sudah cukup dalam, Mungkin setinggi
seorang manusia dewasa, Tapi tidak berhasil menemukan apa pun.
Sun Put Ce mengusap keringatnya yang bercucuran.
"Po Giok... Apakah tempatnya tidak salah?" tanya Sun Put Ce.
"Tidak!" sahut Kwe Po Giok.
"Apakah harus menggali sampai dalam sekali?" tanyanya,
"Tidak, Tapi tidak terlalu dangkal juga."
"Mengapa harus demikian dalam?" tanya Sun Put Ce.
"Mungkin takut ada anjing yang menggali lalu memakannya,"
sahut Kwe Po Giok tenang-tenang. Sejak tadi, memang lebih banyak
Sun Put Ce yang menggali daripada dia.
"Coba kau lihat, apakah sekarang sudah cukup dalam?" tanya Sun
Put Ce.
Siau Kwe menghampiri Dia menaksir-naksir sejenak.
"Pada waktu itu, aku mengintip dari jarak kurang lebih sepuluh
depa, Aku hanya mengira-ngira dalam otak," sahutnya.
"Thian! persoalan ini bukan main-main. Mana boleh kau asal
mengira saja?" Sun Put Ce hampir kehabisan akal menghadapi
pemuda itu.
"Pokoknya di sekitar tempat ini. Rajinlah sedikit. Coba kau gali lagi
lebih lebar,

Pasti akan kau temukan apa yang kuceritakan itu," kata Kwe Po
Giok, Dia duduk kembali di atas sebuah batu besar dan memikirkan
masalahnya sendiri.
Sun Put Ce menggali kembali. Pekerjaan seperti ini selalu menjadi
bagiannya, tapi dia tetap tidak mengeluh.
"Lao Sun, coba kau tebak, bagaimana keadaan Lu ji dan Bwe Mei
saat ini?" tanya Kwe Po Giok.
Tiba-tiba Sun Put Ce berhenti menggali.
"Kau tidak membantu menggali, aku tidak perduli Tapi jangan
bikin kacau pikiran orang!" sahut Sun Put Ce kesal.
"Sudahlah! Kau teruskan saja pekerjaan itu," kata Kwe Po Giok.
"Tapi begitu kau mengungkit kedua gadis itu, aku sudah tidak
mempunyai semangat untuk menggali lagi," sahut Sun Put Ce.
"Mana boleh tidak menggali. Bukankah kau ingin membuktikan
apakah Toa Tek To Hun benar-benar sudah mati? Apakah kau tidak
ingin mengetahui apakah Fang Tiong Seng benar-benar mempunyai
kemampuan membunuh orang tersebut?" kata Kwe Po Giok.
"Kepingin sih kepingin, tapi aku lelah sekali, apalagi tidak makan
sejak semalam. Apakah kau tidak dapat menggantikan aku menggali
sejenak?"
"Tahukah kau mengapa aku terus-terusan memintamu yang
menggali pasir itu?" tanya Kwe Po Giok.
"Karena perutmu lebih lapar dari aku?"
"Bukan begitu, Aku menyuruh kau menggali adalah untuk
kebaikanmu sendiri," kata Kwe Po Giok.
"Untuk kebaikanku?" Sun Put Ce tidak mengerti maksudnya.

"Betul. Kau tidak dapat tenang. Selalu berpikir yang tidak-tidak,
Aku tidak akan seperti dirimu, Oleh sebab itu, aku menyuruhmu
menggali sendiri, Aku tidak ingin otakmu terlalu banyak berpikir,"
kata Kwe Po Giok.
"Tapi, meskipun tanganku bekerja, otakku juga terus berpikir,"
sahut Sun Put Ce.
"Kalau memang demikian, biar aku membantumu menggali
sejenak."
Kwe Po Giok tidak pernah menggali tanah, Sejak kecil, dia hanya
tahu belajar membaca dan menulis, Orang tuanya bukan orang
biasa, Mereka adalah keturunan pendekar Dia selalu dimanjakan,
apalagi sebagai putra tunggal. Oleh sebab itu, dia tidak pernah
melakukan pekerjaan kasar semacam ini.
Sun Put Ce beristirahat sambil memperhatikan pemuda itu
menggali. Dalam hatinya dia berpikir, apabila menggali seperti cara
Siau Kwe, mungkin sampai hari terang kembali juga tidak akan
mendapat hasil apa-apa.
"Lao Sun, tahukah kau mengapa aku begini tenang?" tanya Kwe
Po Giok.
"Mungkin inilah perbedaan antara manusia biasa dengan Sin
tong," sahut Sun Put Ce.
"Bukan, Aku pernah bertengkar dengan Lu ji. Menghilangnya kita
dapat dijadikan bahan untuk menguji kesetiaannya. Aku ingin tahu
apakah dia mencemaskan diriku?" kata Kwe Po Giok,
"Memang ini sebuah kesempatan yang baik untuk mengujinya,
sebetulnya apa yang jadi pokok pertengkaran kalian?" tanya Sun Put
Ce.
Tiba-tiba Kwe Po Giok menghentikan pekerjaannya.

"Nih! Kau gali sendiri," katanya.
"Baik," sahut Sun Put Ce. Dia mengambil sekop dari tangan Kwe
Po Giok dan mulai menggali "Kau belum menjawab pertanyaanku"
"Kau ini kadang-kadang pandai berpura-pura!" teriak Kwe Po
Giok.
"Aku berpura-pura?" tanya Sun Put Ce kebingungan.
"Apakah kau tidak tahu, sikap Lu ji terhadapmu?" Kwe Po Giok
tersadar. Dia tidak melanjutkan kata-katanya. Kalau sampai dia
menjelaskan berarti dia membocorkan keburukannya sendiri, Juga
merendahkan derajat Sin tong,
Tetapi Sun Put Ce sudah mengerti Sebenarnya dia juga sudah
merasakan hal tersebut perhatian seorang gadis terhadap seorang
laki-laki, pasti bukan tanpa maksud apa-apa.
"Siau Kwe, seandainya ada peristiwa seperti itu, tetap bukan
kesalahanku," kata Sun Put Ce.
"Kau tidak merayunya?" tanya Kwe Po Giok.
Dia masih tetap menganggap dirinya seorang pemuda sempurna,
Apabila bukan Sun Put Ce yang merayu Siau kiong cu, gadis itu tidak
akan berpaling muka, Tanpa disangka-sangka,
Sun Put Ce marah sekali mendengar pertanyaan itu.
"Seorang laki-laki sejati boleh dibunuh, tapi tidak boleh dihina!"
Sekop di tangannya dibanting ke atas pasir, padahal Siau Kwe
tahu dia bukan orang semacam itu. Dia tidak berkata apa-apa lagi,
Dia mendekati lubang galian tersebut. Rasanya sudah cukup dalam,
tapi tidak terlihat sedikit pun tanda-tanda mayat Toa Tek To Hun.
"Lao Sun. Tahukah kau mengapa Lu ji kesal terhadapku?"
tanyanya.

Sun Put Ce terpana.
"Mana mungkin dia kesal terhadap seorang Sin tong?"
Kwe Po Giok menarik nafas panjang, Tatapan matanya
memandang jauh ke depan.
"Mungkin aku memang perlu mengoreksi diri," katanya.
"Apa yang perlu dikoreksi?" tanya Sun Put Ce.
"Jangan sepanjang hari terus menyebut diri sendiri Sin tong!"
sahut Kwe Po Giok sendu.
Sekali lagi Sun Put Ce terpana, jawaban Kwe Po Giok sama sekali
di luar dugaannya. Bagi Kwe Po Giok, perkataan tersebut merupakan
perkataan yang paling memalukan yang pernah diakui selama
hidupnya, Tapi dia tahu, Sun Put Ce tidak akan menertawakannya,
Kwe Po Giok saat itu persis seperti Mo Put Chi tempo hari, Mati pun
tidak mau mengakui kalau Sun Put Ce lebih pintar daripadanya.
"Siau Kwe.... Apakah harus menggali lebih dalam lagi baru dapat
menemukan mayat Toa Tek To Hun?" Sun Put Ce segera
mengalihkan pokok pembicaraan.
"Buat apa menggali lagi? Orang itu sudah hidup kembali!" Tibatiba
terdengar seseorang menyahut.
Hati kedua orang itu tercekat. Suara itu tidak asing lagi di telinga
mereka, kepala mereka menoleh serentak Fang Tiong Seng berdiri
dalam jarak lima langkah di tempat itu.
Sun Put Ce berdiri terpaku. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia
adalah seorang murid yang setia dan berbakti justru karena terlalu
jujur, sehingga tempo hari dia bermaksud mati di bawah pedang
Siau Kwe. Dan karena tidak jadi mati, dia sempat mendengar dan
melihat semua tingkah laku Fang Tiong Seng yang menggidikkan
hati.

Sejak itulah, kata-kata "Suhu" tidak sanggup diucapkan lagi
olehnya, Kalau sampai ia memanggil maka perbuatan itu
bertentangan dengan hati kecilnya. Kwe Po Giok dan Sun Put Ce
memandangnya dengan termangu-mangu, Fang Tiong Seng tidak
pernah membayangkan kejadian ini, Paling tidak, dia mengira Sun
Put Ce akan berlutut dihadapannya,
"Sun Put Ce!" teriak Fang Tiong Seng. "Ternyata kau berani
kurang ajar terhadap Insu (Guru yang berbudi)?"
Sun Put Ce sama sekali tidak bergerak, Sebetulnya, dalam hati
laki-laki itu sedang berkecamuk berbagai perasaan, Dia kecewa,
sedih, marah, menyesal pertemuan ini membuat dia serba salah. Dia
tidak memiliki keinginan untuk menyebut suhu lagi, namun dia juga
tidak mempunyai keberanian untuk melawan.
Kwe Po Giok melihat Sun Put Ce tidak menjawab. Dia juga tidak
mengatakan apa-apa. Dua pasang mata menatap Fang Tiong Seng
dengan tajam. Laki-laki itu balas menatap mereka, Selama ini, Fang
Tiong Seng tidak menganggap mereka akan berani menatapnya
dengan sinar mata demikian. Namun malam ini, cahaya mata
mereka sangat aneh, membuat perasaannya jadi tidak enak.
"Sun Put Ce!" bentak Fang Tiong Seng marah.
Murid bungsunya tetap tidak memperlihatkan reaksi apa-apa.
Tiba-tiba Kwe Po Giok tertawa terbahak-bahak. Fang Tiong Seng
belum pernah ditertawakan seperti itu. Apalagi nada tawa itu
sungguh tidak sedap didengar, perasaannya semakin kalut
"Anak haram!" bentak Fang Tiong Seng tanpa memperdulikan
kedudukannya lagi, "Apa yang kau tertawakan?"
"Sun Put Ce adalah muridmu yang paling jujur, bukan?" tanya
Kwe Po Giok.
Fang Tiong Seng tidak menjawab Dia tahu maksud pemuda itu.

"Dia juga merupakan murid yang perangainya paling sabar. Toh
dia saja tidak sanggup menahan lagi sifat binatangmu, Mengapa kau
harus memanggilnya terus menerus?" sindir Kwe Po Giok.
"Anak haram! Menggelinding kau ke sana!" teriak Fang Tiong
Seng sambil menunjukkan ke arah batu besar dekat sungai.
"Tidak perlu! Fang Tiong Seng, di dalam hati kami, kau hanya
seorang pecundang yang licik, Kau boleh juga disebut penjual
negara. Aku ingin tanya kepadamu, di mana mayat Toa Tek To
Hun?"
"Kupendam di tempat lain," sahut Fang Tiong Seng sambil tertawa
sinis.
"Bukankah waktu itu kau kubur di tempat ini?" tanya Kwe Po Giok.
"Tidak salah! sayangnya aku sendiri juga tertipu," kata Fang Tiong
Seng,
"Tertipu? Orang mati masih bisa menipu?" tanya Kwe Po Giok
kurang percaya.
"Dia belum mati. Pada waktu itu dia menggunakan semacam ilmu
sihir, ilmu yang dapat menipu pandangan mata. Dia hanya pura-pura
mati saja, Setelah aku meninggalkan tempat ini, dia bangun kembali
dengan mendobrak peti," kata Fang Tiong Seng.
"Ternyata ada kejadian seperti itu. Bagaimana kau bisa tahu?
Apakah kau sudah membuktikannya dengan mata kepalamu
sendiri?" tanya Kwe Po Giok.
"Tepat! Bahkan telah terjadi pembunuhan untuk kedua kalinya,"
sahut Fang Tiong Seng.
"Apakah kau juga yang membunuhnya?" tanya Kwe Po Giok.
"Tidak salah!"

"Mungkinkah kali ini dia pura-pura mati lagi?" tanya Kwe Po Giok.
"Di dunia ini tidak keberuntungan sebanyak itu," sahutnya.
"Malam ini kau datang untuk membunuh kami?" tanya Kwe Po
Giok.
"Kau berkeras memakai kata "kami", Maksudmu tentu ingin
memecah belah hubunganku dengan dia bukan? Apakah akan
berhasil?" sahut Fang Tiong Seng ketus.
"Apakah kau kira kekaguman hati Lao Sun masih belum berubah?"
tanya Kwe Po Giok tak mau mengalah.
"Put Ce.... Di depan orang luar, kehormatan kita guru dan murid
harus dijaga," kata
Fang Tiong Seng dengan suara lembut. Sun Put Ce ingin
mengucapkan sesuatu, tapi tenggorokannya seperti tercekat sesuatu
sehingga tidak sanggup bicara. Dia juga tidak tahu bagaimana harus
membuka mulut di hadapan Fang Tiong Seng.
"Put Ce... ingatkah kau pada suatu musim dingin kau terjatuh ke
dalam sungai. Kau kedinginan setengah mati, hampir saja nyawamu
melayang karena peristiwa itu?" tanya
Fang Tiong Seng membangkitkan kenangan lama.
"lngat," sahut Sun Put Ce. Dia tidak mungkin melupakan kejadian
itu.
"Masih ingatkah kau siapa yang menolongmu saat itu?" tanya
Fang Tiong Seng tersenyum manis.
"Suhu yang menyelamatkan diriku," sahut Sun Put Ce. Tiba-tiba
dia menjatuhkan diri di hadapan Fang Tiong Seng.
Kwe Po Giok menjadi panik melihat perbuatannya.

"Lao Sun, apa yang kau hutangi sudah kau bayar lunas. Karena
kau sudah dua kali hampir mati demi dirinya, Pertama, ketika kau
lolos dari ancaman pedangku, Kedua, dia mendesak kau jatuh
tergelincir ke dalam jurang, jangan mau dibohongi orang jahat
tersebut!" teriaknya cemas.
Fang Tiong Seng menghunus pedangnya, Dia menyerang Kwe Po
Giok bertubi-tubi. Sun Put Ce masih berlutut di atas tanah, sikapnya
bukan berarti tidak mengkhawatirkan keadaan Siau Kwe, Hal ini
karena dia tidak dapat melupakan kejadian dulu sama sekali, Dia
sedikit bingung. Lagipula rasa setianya terhadap sang guru memang
dalam sekali,
Untuk mengubah sifat seseorang memang tidak mudah, Namun,
Kwe Po Giok panik sekali, pengetahuannya akan pendirian seseorang
bertambah maju. Apa yang terlihat hampir berhasil, belum tentu
benar sampai waktunya tiba. ilmunya juga sudah jauh lebih tinggi
dari sebelumnya,karena ketika dia terjatuh ke dalam jurang tempo
hari, sambil merawat luka, mereka saling bertukar pikiran tentang
ilmu peninggalan Tang hay sin sian, Tadinya dia mempunyai
harapan dalam hati bahwa tidak lama lagi mereka akan sanggup
mengalahkan Fang Tiong Seng, Siapa tahu kejadiannya dapat
berakhir seperti ini.
Dia bukannya takut kalah, Tapi kalah atau menang dalam
pertarungan antara dirinya dengan manusia yang satu ini akan
membawa pengaruh besar bagi dunia Bu-lim. Dia tahu Fang Tiong
Seng belum sempat menyelami semua ilmu rangkaian bunga Lu ji,
namun dia seorang manusia yang sangat berbakat dalam ilmu silat
otaknya juga sangat cerdas.
Kwe Po Giok sendiri terpaksa mengakui dalam hati kalau Fang
Tiong Seng lebih cerdas daripadanya ataupun Sun Put Ce. Hal ini
terbukti dari caranya menghadapi Sun Put Ce saat ini.
Fang Tiong Seng menyerang tiga kali berturut-turut, Kwe Po Giok
terdesak mundur sebanyak tiga depa. Fang Tiong Seng seakan tidak
memberi kesempatan baginya untuk memperbaiki kedudukan, Dia

menikam lagi tujuh kali, Tubuh Kwe Po Giok sudah ada luka
beberapa tusukan. Bahkan tampaknya luka itu cukup dalam.
"Sun Put Ce, kau manusia tolol! Kau anak kura-kura! Setelah aku
mati nanti, dia tetap akan membunuhmu. Dia sengaja melunakkan
hatimu karena dia tidak yakin dapat mengalahkan kita berdua!"
teriak Kwe Po Giok panik.
Fang Tiong Seng tidak membiarkan dia bicara terlalu banyak,
Dalam tiga serangan berikutnya, Kwe Po Giok tertusuk sekali lagi,
Dia terjatuh di atas tanah. Sun Put Ce tetap berlutut, tapi dia
berusaha mencegah Fang Tiong Seng melanjutkan serangannya
terhadap Kwe Po Giok.
"Suhu, harap jangan dilanjutkan lagi," katanya,
Pang Tiong Seng tidak menoleh, namun dia tidak berani
menyerang lagi, sikapnya tenang-tenang saja. Seakan dia yakin,
sampai kapan pun Sun Put Ce tidak akan berani menikamnya dari
belakang.
"Put Ce, Suhu menamakan kau demikian agar kau lebih waspada
bila terjun di dunia persilatan, bukan mengharap kau benar-benar
tidak mempunyai akal budi," sahut Fang Tiong Seng.
"Suhu tidak dapat berhenti membunuh?" tanya Sun Put Ce.
"Sun Put Ce, kejadian sudah sampai tahap seperti ini, kau masih
berharap dia berubah menjadi orang baik, Harapanmu selamanya
tidak akan menjadi kenyataan, mengerti?" sahut Kwe Po Giok tajam.
"Siau Kwe.... Aku mengerti," kata Sun Put Ce.
"Kentut busuk yang kau mengerti! Kau hanya ingin dirimu menjadi
orang yang paling berbakti dan setia di dunia ini, Apakah supaya
namamu terkenal? Coba kau Iebarkan mata, manusia macam apa
dia itu?" teriak Kwe Po Giok kesal.

Dia hampir menangis menghadapi sikap Sun Put Ce. Kalau bisa,
rasanya dia ingin membunuh laki-laki itu untuk melampiaskan
kedongkolan hatinya.
"Siau Kwe, biar bagaimana dia tetap Suhuku, Dia yang
membesarkan diriku," sahut Sun Put Ce.
Kepala Kwe Po Giok rasanya mau meledak mendengar kata-kata
itu.
"Aku tidak memungkiri jasanya terhadapmu Tapi apa yang dia
perbuat masih belum cukup untuk menebus dosanya selama ini."
Sahutnya.
"Siau Kwe... Suhu memang punya kesalahan. Manusia mana yang
tidak mempunyai kesalahan sama sekali. Apalagi dia Suhuku," kata
Sun Put Ce berkeras.
Siau Kwe pusing tujuh keliling, Dia hampir putus nafas. Dia adalah
Sin tong. Dalam hal ini pandangannya lebih tepat dari Sun Put Ce,
apalagi dia merupakan penonton.
"Put Ce, coba kau papah dia. Apakah lukanya parah?" tiba-tiba
Fang Tiong Seng memberi perintah.
"Sun Put Ce, berdiri di tempat, jangan mendekat!" teriak Kwe Po
Giok cemas, Sun Put Ce seperti orang bodoh, Dia tidak mendengar
perkataan Kwe Po Giok, Fang Tiong Seng memasang wajah muram.
"Orang muda zaman sekarang tidak tahu menghormati yang tua.
sebetulnya tadi Suhu tidak tega melukai dia, tapi bocah itu memang
perlu diajar adat sedikit," katanya.
Sun Put Ce percaya penuh pada apa yang dikatakannya. Dia
mendekati Siau Kwe, Tepat pada saat itu, bayangan berkelebat sinar
pedangnya menyilaukan mata.

"Lao Sun, di belakang?" Kepandaian Sun Put Ce sudah amat
tinggi. Lagipula reaksinya cepat, dia segera berkelit ke samping
untuk menghindar.
"Cep! Cep!"
Tak urung bagian bahunya terluka juga, Tubuhnya mencelat
sejauh satu depa lebih, Dia terjatuh ke atas tanah, Pedangnya sudah
tergenggam di tangan, Darah mengalir dengan deras dari lukanya,
Dia menatap Fang Tiong Seng dengan terkesima.
"Sun Put Ce.... Kau benar-benar goblok! Bagaimana dapat tertipu
oleh kata-kata-nya?" teriak Kwe Po Giok.
Pemuda itu meringis kesakitan Saking kesal, dia menghentakkan
kakinya berkali-kali ke atas tanah, Dia tidak sadar, gerakannya itu
membuat lukanya semakin lebar. Sun Put Ce terkejut, kecewa,
menyesal, marah, juga sedih, Semuanya membaur menjadi satu, Dia
hampir tidak dapat percaya, Suhunya, Fang Tiong Seng dapat
sejahat itu? Dia benar-benar sulit menerima kenyataan tersebut.
Kepercayaan dan rasa hormat yang telah dipupuk selama
berpuluh tahun hancur dalam sekejap, Memang sulit diterima! Bagi
orang lain, dia memang sangat tolol, Tapi ini merupakan
kelebihannya, juga kekukuhan hatinya terhadap sesuatu.
"Suhu.... Kau benar-benar telah menjadi gila?" tanya Sun Put Ce.
Fang Tiong Seng berdiri dengan wajah kaku, Dia tidak menjawab.
siasatnya belum berhasil, malah melucutkan topengnya sendiri. Dia
juga menimbang dalam hati, apakah perlu membunuh Sun Put Ce?
peristiwa sudah terlanjur terjadi, Apakah masih perlu
mempertimbangkannya lagi?
Tentu saja, karena dia baru sadar Sun Put Ce begitu setia
kepadanya. Rasanya sayang membunuh murid sebaik itu. Memiliki
seorang murid yang setia, lebih baik dari sepasukan kaum keroco,
Sampai sekarang, Fang Tiong Seng masih percaya kepada Sun Put
Ce.

Tampaknya kesetiaan murid yang satu ini sulit dicari
penggantinya. Murid yang begitu setia, lagipula berilmu demikian
tinggi, bukan saja sayang apabila dibunuh, namanya pun akan jadi
buruk bila tersebar di luaran bahwa seorang guru membunuh
muridnya, Sebuah senyuman menghias di bibirnya.
"Put Ce, meskipun Suhu belum gila, Tapi akhir-akhir ini memang
pikiran sedang kalut," katanya dengan suara lembut.
"Lao Sun, jangan dengarkan ocehannya. Apakah serangannya tadi
tidak cukup keji? Apakah perbuatannya masih tidak dapat
membangunkan mimpimu yang indah?" teriak Kwe Po Giok.
Bahu Sun Put Ce sakit sekali. Tapi rasa sakit dalam hatinya jauh
lebih nyeri dari luka luar.
"Coba Suhu jelaskan perbuatan Suhu tadi?" katanya.
Fang Tiong Seng menarik nafas panjang. Dia sungguh pandai
bersandiwara.
"Suhu memang bersalah, Tapi sebetulnya aku tidak tega turun
tangan terhadap murid yang kuasuh sejak kecil. Namun bocah itu
terus mengacau, Dia bermaksud mengadu domba kita guru dan
murid, Suhu sangka kau akan bekerja sama dengannya menghadapi
aku," sahutnya dengan suara sendu.
"Sun Put Ce, akhir-akhir ini bukan saja aku mau tidak mau harus
mengakui kecerdikanmu, demikian juga Bwe Mei, Lu ji, Mo Put Chi
dan manusia busuk itu. Tapi, apa yang terjadi denganmu malam
ini?" tanya Kwe Po Giok dengan maksud memperingatkan.
"Hanya karena aku adalah muridnya, sedangkan kau bukan,"
sahutnya.
"Justru karena aku bukan muridnya, maka aku melihat lebih jelas,
Apa yang dilakukannya sekarang hanya sandiwara, jangan

dengarkan lagi, Kalau tidak, kita berdua akan mati tanpa kubur,"
kata Kwe Po Giok tajam.
Sun Put Ce tidak menyahut Dia memandang Fang Tiong Seng
dengan seksama, sebaris demi sebaris masa lalu lewat di benaknya,
Gurunya memang bukan manusia semacam itu. Lalu kejadian yang
ada di hadapannya sekarang, apakah suatu kenyataan atau hanya
sebuah mimpi buruk? Kalau nyata, mengapa Suhunya dapat berubah
sedemikian rupa?
Fang Tiong Seng berjalan ke arah Sun Put Ce.
"Put Ce, mari kita pulang!" katanya lembut.
Sun Put Ce masih memandang terus.
Fang Tiong Seng merasa harus mempergunakan kesempatan
dengan sebaik-baiknya, jangan sampai muridnya berubah pendirian.
Sun Put Ce sendiri merasa serba salah, Meskipun bahu dan hatinya
masih sakit, Dia tetap harus mengakui bahwa Fang Tiong Seng
masih merupakan seorang guru yang menanam budi besar
kepadanya.
Tiba-tiba, pedang di tangan Fang Tiong Seng menyerang kembali.
Dalam keterkejutan Kwe Po Giok menyambut. Karena dia tahu, Fang
Tiong Seng tidak main-main lagi, Menyerang dan diserang adalah hal
yang jauh berbeda.
Orang yang berani mulai menyerang pasti mempunyai keyakinan
yang besar sedangkan pihak yang diserang belum tentu, Memang
Kwe Po Giok sudah bertekad, Dia tahu Fang Tiong Seng pasti tidak
akan melepaskannya sampai kapan pun.
Seandainya dia hanya bermaksud mengambil hati Sun Put Ce, dia
tidak akan menyusahkan Kwe Po Giok. Tapi suatu waktu niat hatinya
tetap akan dilaksanakan.
"Sret!!!"

Pinggang Kwe Po Giok tersayat cukup dalam, pemuda itu
mencelat sejauh beberapa tombak Nafasnya tersengal-sengal. Dia
marah, kecewa dan kesal Mengapa Sun Put Ce mau mendengar
kata-katanya? Sampai lama dia tidak sanggup berkata apa-apa.
"Apalagi yang akan kau jelaskan kali ini?" tanya Sun Put Ce
dengan nada berat.
"Pemuda ini terlalu licik, Suhu tidak akan melepaskannya. Bila
tidak, dia akan mengajarmu berbuat jahat," kata Fang Tiong Seng.
"Dengan kedudukanmu, kau boleh menyerang seorang boanpwe
(Generasi muda) dengan diam-diam?" tanya Sun Put Ce datar.
"Ditinjau dari usia, dia memang tergolong boanpwe. Tapi dia
sudah mewarisi ilmu peninggalan Tang hay sin sian yang masih lebih
tua daripada aku. Dengan demikian dia tidak dapat digolongkan
muda lagi!" kata Fang Tiong Seng.
Kwe Po Giok menatap tajam ke arah Sun Put Ce. Dia ingin tahu
apakah sampai saat ini dia masih belum sadar dari khayalannya...?
"Kalau aku ikut kau pulang, apakah kau mau berjanji tidak akan
menyulitkan Siau Kwe lagi..?" tanya Sun Put Ce.
"Hmm..." Fang Tiong Seng seakan berat meluluskan permintaan
tersebut Dia merenung sejenak, "Put Ce, dengan memandang
dirimu, biarlah aku melepaskannya, Tapi aku harap lain kali dia
jangan mencoba memecahkan hubungan kita lagi." Akhirnya dia
menyetujui.
"Siau Kwe, kau pulanglah. Aku memutuskan untuk mengikut Suhu
pulang," kata Sun Put Ce.
Kwe Po Giok hampir tidak percaya, seorang yang berotak cerdas
seperti Sun Put Ce ternyata tetap mempercayai maling tua itu
meskipun bukti sudah di depan mata, Dia kesal sekali. Hanya
matanya saja yang diarahkan kepada mereka berdua, Tidak sepatah
kata pun yang diucapkannya.

"Put Ce... Mari kita berangkat," kata Fang Tiong Seng.
Jaraknya dengan Sun Put Ce tinggal tiga langkah, Baru saja
perkataannya selesai dia membalikkan tubuh seakan ingin
meninggalkan tempat tersebut Tapi, tiba-tiba tubuhnya membalik
kembali. Gerakannya secepat kilat sinar pedangnya menyilaukan
mata.
Tusukannya mengarah kepada Sun Put Ce. Kwe Po Giok sendiri
terpana. Dia sama sekali tidak menduga kalau Fang Tiong Seng
masih mengandung maksud buruk kepada muridnya. Dia mengira
hanya dirinya akan jadi sasaran. Sun Put Ce juga tidak dapat
percaya kalau gurunya sejahat itu.
Tidak percaya kalau gurunya adalah manusia berdarah dingin,
Dalam kepanikan dia mencoba berkelit. Kwe Po Giok baru tersadar.
Dia bermaksud memperingatkan, tapi sudah terlambat. "Creppp!!!
Creppp!!!" Leher dan dada Sun Put Ce telah tertusuk oleh pedang
Fang Tiong Seng.
Kalau saja dia tidak mundur selangkah, pasti urat leher dan tulang
dadanya telah tersayat putus, justru karena gerakan Kwe Po Giok
yang sedikit tadi, dia mengira akan diserang oleh pemuda itu, maka
tenaganya jadi berkurang.
Oleh sebab itu, dia benci sekali kepada Kwe Po Giok, sedangkan
pemuda itu sendiri seperti mendapat keberuntungan karena kejadian
itu. Dia hanya melirik sekilas kepada Sun Put Ce. Tampaknya lukaluka
itu tidak seberapa parah, Dia tertawa mengejek....
"Hai, murid yang berbakti, murid yang setia.... ikutlah
bersamanya. Dia tentu akan mengantarmu pulang ke rumah, Asal
kau tahu saja, rumah yang dimaksudkan adalah rumah yang jauh di
alam sana," sindirnya.
Air mata Sun Put Ce mengalir seperti sebuah sungai yang deras.
Dia tidak dapat menahan kepiluan hatinya. Dia merasa sedih melihat
kekejaman dan sifat jahat Fang Tiong Seng, Dia juga merasa malu,

Akhirnya dia juga terjaga juga dari mimpi panjangnya, untuk
seorang murid, kesetiaannya sulit dicari tandingannya lagi.
Bagaimana dia tidak menangis melihat tingkah Suhunya? Bagaimana
dia tidak kecewa terhadap orang yang begitu dihormatinya selama
ini?
Setelah mempertimbangkan matang-matang, Dia tetap ingin
membunuh Sun Put Ce. Anak buahnya yang lain tidak ada satupun
yang berilmu setinggi yang satu ini. Dia juga sangat setia, Tapi Sun
Put Ce juga merupakan anak murid yang paling jelas dengan segala
perbuatan busuknya selama ini. Meskipun dia setia, meskipun dia
lebih berbakti lagi, derajatnya sebagai Suhu sudah jatuh di mata
murid tersebut. Fang Tiong Seng telah bertekad untuk membasmi
semua manusia yang mengetahui rahasianya, Termasuk Sun Put Ce.
Dengan demikian, dia dapat memulai suatu kehidupan baru
sebagai pendekar tanpa bandingan, Semua orang akan menaruh
rasa hormat kepadanya, sedangkan kebusukannya sudah terkubur
bersama orang-orang yang akan dibunuhnya. Dia tidak dapat
membiarkan hidupnya menjadi tenang karena masih tersisa orangorang
yang akan membongkar perbuat annya.
"Lao Sun, apakah kau tetap akan pulang bersamanya?" Kwe Po
Giok baru sanggup membuka mulut.
Sun Put Ce bangkit dari atas tanah.
"Kesabaranku sudah sampai batasnya!" sahutnya.
"Seharusnya sejak tadi kau membuka matamu, Kalau saja kau
menurut perkataanku tentu kau tidak perlu terluka di tangannya,"
kata Kwe Po Giok.
"Siau Kwe, mari kita mengadu nyawa dengannya," ajak Sun Put
Ce.
"ltu baru betul! Sayang sekali, tadinya kita mempunyai keyakinan
diatas tujuh bagian

Karena kau mengacaukan segalanya, sekarang aku tidak begitu
yakin lagi," bisik Kwe Po Giok.
"Siau Kwe, aku bersalah padamu," sahut Sun Put Ce.
Mereka saling melirik sekilas, Sun Put Ce berdiri di bagian kiri,
Kwe Po Giok di bagian kanan. Mereka tampaknya telah bersiap
mengadakan pertarungan. Meskipun Fang Tiong Seng telah berhasil
melukai kedua orang itu, namun sebelum benar-benar bertarung, dia
tidak berani terlalu senang dahulu, Dia tidak yakin pasti akan
menang. Kalau tidak, mengapa dia harus menjalankan siasat agar
kedua orang itu terluka?
"Ringkikan kuda senada dengan seruling!" Tiba-tiba Kwe Po Giok
berteriak. Dalam waktu yang sama, mereka bersiap menyerang,
Tergopoh-gopoh Fang Tiong Seng mengibaskan tangannya meminta
mereka bersabar sebentar.
"Tunggu dulu, ada yang ingin kukatakan !" teriaknya.
Reaksi Sun Put Ce kali ini sangat berbeda. Tanggapannya sangat
cepat. Dia sama sekali tidak ingin mendengar ocehan Fang Tiong
Seng lagi.
"Kau sudah membunuh Lian hu sehingga Toa Suheng menjadi
gila, Kau merayu dayang Cui thian agar membunuh ji suheng, Hu
Put Chiu. Tatkala perempuan itu tidak memberikan manfaat apa-apa
lagi kepadamu, kau bunuh dia. Kemudian kau semakin mengganas,
keinginanmu membunuh semakin kuat, Lian lian juga telah kau
bunuh, Termasuk Toa pei suthay dari Cui goat si dan kedua
muridnya. Masih ada Hiat Eng, Kiau Bu Suang, Hua Can lei, Seebun
Cu Yap serta Tokku Peng dan lain-lainnya. Daftar dosamu terlalu
panjang bila diuraikan satu persatu!" katanya.
Sebelum ajal, Kiau Bu Suang masih tidak tahu siapa dia. Dia
hanya tahu dayang Cui thian sering memanggilnya si Papan gilasan.
Bahkan dia menaikkan lengan baju agar kulitnya yang masih
kencang terlihat. Hal ini membuat Kiau Bu Suang semakin tidak
mengerti, padahal yang ditunjukkannya adalah lengan palsu.

Fang Tiong Seng terpana mendengar kata-kata Sun Put Ce. Bagaimana
dia bisa tahu seluruh rahasianya? sebetulnya hal ini yang
membuat Sun Put Ce tidak dapat menahan diri lagi, Tadinya dia
ingin mencari alasan terbaik untuk dirinya sendiri, mengapa Fang
Tiong Seng sampai melakukan semua kejahatan itu?
Mungkin dengan demikian, dia dapat memaafkan gurunya, Tapi
sekarang tidak lagi, Dia sudah mengerti kalau manusia yang satu ini
tidak mempunyai alasan yang masuk akal. Dia melakukan semua
perbuatan itu untuk kepentingan dirinya sendiri, Dia juga sudah
tahu, Fang Tiong Seng rela melakukan apa saja untuk mencapai
angan-angan.
"Kau ingin berkata apa lagi?" tanya Sun Put Ce.
Fang Tiong Seng mengibaskan tangannya sekali lagi. Mungkin
maksudnya tidak ada lagi yang perlu diucapkan. Mungkin karena
semua alasan yang sudah disiapkan di ujung bibir telah disindir lebih
dahulu oleh Sun Put Ce. Dia juga sudah kehilangan akal untuk
menipu kedua orang itu.
"Jalan yang terbaik bagimu adalah menghabiskan nyawa sendiri!"
kata Kwe Po Giok.
Sun Put Ce juga sependapat dengannya. Namun apabila Fang
Tiong Seng mau melakukan saran Kwe Po Giok, tentu namanya
bukan Fang Tiong Seng lagi. Dia sudah mulai menyerang. Dia tidak
tahu apa arti "Ringkikan kuda senada dengan seruling" yang
diucapkan Kwe Po Giok.
Mungkin juga sebuah syair atau tanda yang telah disepakati
kedua orang itu. Dia sama sekali tidak menyangka kalau itu adalah
nama sebuah jurus ampuh peninggalan Tang hay sin sian yang
diajarkan lewat rangkaian bunga Siau kiong cu.
Memang gadis itu pernah menjelaskan bahwa jurus-jurus tersebut
mempunyai nama yang indah dan aneh, seperti "Bunga seruni
bermekaran sepanjang tahun" "Malam merayap" atau Dua pasang

mata saling memandang". sedangkan kata-kata yang diucapkan oleh
Kwe Po Giok tadi tidak pernah didengarnya.
Dia tidak tahu, ketika kedua orang itu merawat luka di sebuah
tempat persembunyian mereka telah mengubah semua nama-nama
jurus rangkaian bunga itu. Kedua orang itu memang sudah terluka,
tapi bukan luka yang terlalu parah, serangan mereka sangat aneh,
Yang satu bersifat lunak, yang satu lagi bersifat keras. Bila gerakan
yang satu lurus, maka yang lainnya miring, Kadang keras, kadang
lunak.
Kadang lurus, kadang miring, pedang berkelebat di antara
bayangan manusia. Manusianya sendiri kadang-kadang berkelebat di
antara pedang.
Fang Tiong Seng mulai merasakan kehebatan "Ringkikan kuda
senada dengan seruling" mereka, Ketiga orang itu mempertahankan
diri mati-matian, Kwe Po Giok dan Sun Put Ce sudah menyerang
sebanyak lima belas kali. Mereka juga sudah menerima sembilan kali
serangan Fang Tiong Seng. Tiba-tiba, tanpa perjanjian apa-apa,
kedua belah pihak menghentikan serangannya. Fang Tiong Seng
perlu mempertimbang-kan sekali lagi, Sun Put Ce dan Kwe Po Giok
juga perlu mempertimbangkan sekali lagi.
Fang Tiong Seng baru tahu, apabila Sun Put Ce tempo hari
mengeluarkan seluruh kepandaiannya, pasti dia tidak akan terjatuh
ke dalam jurang, Sun Put Ce sengaja mengalah kepadanya,
sebetulnya dia memang tidak tega turun tangan terhadap Suhunya.
Kwe Po Giok dan Sun Put Ce saling melirik. Mereka masih belum
dapat mengukur sampai di mana tingginya ilmu silat Fang Tiong
Seng, Laki-laki itu benar-benar licik. Kalau saja lawannya seorang
yang tidak berpikiran luas, tentu sudah terjerat oleh perangkap yang
dipasang olehnya, Kwe Po Giok dan Sun Put Ce tidak mungkin
tertipu lagi.
Oleh karena itu, Sun Put Ce berteriak....
"Tengah malam lonceng berbunyi, janji bertemu di atas kapal!"

Kata-kata "kapal" belum selesai diucapkan kedua orang itu sudah
maju serentak, Manusia bergerak, pedang berkelebat. Manusia di
antara pedang, pedang di antara manusia, Pedang dan manusia sulit
dibedakan Manusia serta pedang berpadu satu.
“Tengah malam lonceng berbunyi, janji bertemu diatas kapal".
Bagi Fang Tiong Seng, ucapan itu bagai sebaris puisi yang entah
digubah oleh pujangga mana. Namun akhirnya dia sadar, ucapan itu
mengandung arti yang dalam. Sebab dia merasa, serangan yang
dikeluarkan kedua orang itu semakin lama semakin berbahaya.
Kedua orang itu berkelebat di antara terpaan angin dan sinar
menyilaukan yang diterbitkan oleh pedang-pedang di tangan.
Mereka menyerang tujuh belas kali berturut-turut. sedangkan Fang
Tiong Seng baru membalas tigabelas kali. Dia seakan ingin
menemukan titik kelemahan Sun Put Ce dan Kwe Po Giok dengan
menyerang secara lambat.
Karena dia tahu, ketika dia bersama Lian lian menahan Kwe Po
Giok ataupun Siau kiong cu, mereka tidak mengeluarkan semua inti
sari ilmu pedang yang ditinggalkan oleh Tang hay sin sian, Lagi-pula,
dia tidak tahu apakah Kwe Po Giok pernah mendapat didikan
langsung dari orang tua itu ketika tinggal di atas kapal.
Fang Tiong Seng memang tua-tua keladi, Tebakannya hampir
benar. Tapi bukan Kwe Po Giok yang mendapat didikan dari Tang
hay sin sian, Yang sebenarnya adalah orang tua yang memiliki ilmu
sakti itu meninggalkan amanat untuk Sun Put Ce, yaitu lewat Bok
lang kun yang meletakkannya dalam peti mati yang kelak akan
dipakai oleh Fang Tiong Seng apabila meninggal.
Bok lang kun adalah Bengcu dari aliran hekto. Tapi dia merupakan
tokoh yang berotak cerdik. Sejak pertama dia sudah curiga terhadap
rencana jahat Tionggoan taihiap tersebut. Hal itu dikatakannya
dalam surat yang ditujukan kepada Sun Put Ce. Selain itu, dia juga
meninggalkan ilmu jurus ampuh. Rupanya sebelum memenuhi janji
dengan Toa Tek To Hun, Tang hay sin sian pernah mencari Bok lang

kun. Meskipun dia adalah Bengcu dari aliran hekto, tapi jiwanya
masih bersikap pendekar.
Dari penyelidikannya, Tang hay sin sian merasa Bok lang kun
lebih dapat diandalkan apabila dibandingkan dengan dayang Cui
thian. Dia juga mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak
dibandingkan Kwe Po Giok atau Sun Put Ce.
Oleh karena itu, dia mengajarkan lima buah jurus ampuh kepada
Bok lang kun. Apabila keadaan tidak dapat dipertahankan lagi, dia
harus segera melatih diri untuk melawan Toa Tek To Hun atau orang
yang menyuruhnya, Tang hay sin sian sudah menduga bahwa ada
tokoh berilmu tinggi yang mendalangi Toa Tek To Hun.
Karena orang itu baru pertama kali menginjakkan kaki di tanah
Tionggoan ini. Dia tidak mungkin tahu tokoh-tokoh kelas satu yang
harus dibunuh apabila tidak ada petunjuk dari orang lain, Tang hay
sin sian juga berpesan, Bok lang kun juga boleh mewariskan ilmu
yang diajarkannya kepada seseorang yang dapat dipercaya.
Pada saat itu, Tang hay sin sian belum begitu memperhatikan Sun
Put Ce. Adalah Bok lang kun sendiri yang mengambil keputusan
untuk mewariskannya kepada laki-laki itu, Sebab pada waktu itu, dia
sudah membuktikan bagaimana besarnya jiwa Sun Put Ce.
Sejak membaca tulisan peninggalan Bok lang kun, Sun Put Ce
sudah tahu semuanya. Apalagi dengan kejadian yang bertubi-tubi-
Seperti menghilangnya dayang Cui thian kemudian Lian lian. Hatinya
sudah curiga kalau Fang Tiong Seng yang melakukan semua itu.
Tapi pada dasarnya dia memang murid yang setia dan berbakti,
tanpa menyaksikan dengan mata dan kepala sendiri, dia belum
percaya guru yang membesarkannya sejak kecil bisa berubah
sejahat itu.
Sun Put Ce telah kehilangan sebelah lengannya, Untung saja
otaknya cerdas, sehingga inti sari ilmu peninggalan Tang hay sin
sian dapat diselami dalam waktu tidak lama, Apalagi dengan adanya
Bwe Mei sebagai penambah semangat belajar

"Trang!"
Sekali lagi kedua pihak mencelat sejauh tiga langkah lalu
menghentikan pertarungan. sebetulnya gerakan itu memang
merupakan langkah penutup jurus "Ringkikan kuda senada dengan
seruling" tapi Fang Tiong Seng tidak mau menunggu serangan
mereka selanjutnya.
Karena hal itu berarti dia sudah kalah selangkah, Seperti orang
bermain catur, siapa yang menyerang lebih dahulu pasti lebih kuat
kedudukannya. Tanpa menunda waktu lagi, pedang dan orangnya
maju sekaligus.
Kali ini tampaknya Kwe Po Giok dan Sun Put Ce rada kelabakan
menghadapinya. Tigapuluh kali sabetan dilancarkan Fang Tiong Seng
dengan gencar, Bahu Kwe Po Giok tertusuk satu kali. Paha kiri Sun
Put Ce juga tersayat sedikit.
"Matahari terbenam petani pulang!" teriak Kwe Po Giok.
Kata-kata itu juga gubahan mereka sendiri jurus yang satu ini
terlebih aneh dari yang tadi. Kedua orang itu tidak menyerang
ataupun menangkis. Mereka seperti sedang berjalan dengan
lenggang lenggok, persis seperti seorang petani yang baru pulang
dari sawah.
Pertarungan mereka makin lama makin menakjubkan, Gerakan
yang dikeluarkannya makin lama makin aneh. Kadang-kadang keras
dilawan dengan kekerasan Suara semilir angin menderu, sinar-sinar
pedang menyilaukan mata. Kadang-kadang lembut dilawan dengan
kelembutan juga, Mereka tidak seperti orang yang sedang bertarung
tapi tampaknya sedang belajar menari.
Kedua belah pihak berusaha sekuat tenaga memenangkan
pertarungan Karena malam ini merupakan malam penentuan Apakah
Fang Tiong Seng yang akan merajai dunia Bulim atau Kwe Po Giok
dan Sun Put Ce yang akan menjadi pendekar pembela negara? Tapi

satu hal yang pasti, siapa pun yang kalah, tentu tidak dapat
meninggalkan tempat itu dalam keadaan hidup.
Fang Tiong Seng tidak dapat bersabar lagi, serangannya makin
gencar. pedang di tangannya seperti sedang mengamuk Siau Kwe
terkena lagi dua tusukan, Sun Put Ce juga tertusuk satu kali. Lukaluka
terlihat di sekujur tubuh kedua orang itu.
Untung saja bukan luka yang terlalu dalam, apalagi ditambah
dengan ketekadan dalam hati, rasa perih yang ditimbulkan oleh luka
itu tidak diperdulikan lagi.
Bagaimana dengan Fang Tiong Seng?
Rupanya dia juga mengalami luka. Belakang lehernya tampak
mengucurkan darah. Baju di bagian dadanya juga terkoyak beberapa
lubang. Namun luka di dadanya hanya goresan pedang kedua orang
itu saja, sama sekali tidak menghkawatirkan.
Pertarungan tetap berlangsung. Luka di tubuh Kwe Po Giok dan
Sun Put Ce semakin cepat bertambah sedangkan luka di tubuh Fang
Tiong Seng juga semakin banyak, Tampaknya kekuatan mereka
seimbang.
Masih sulit menentukan siapa yang akan keluar sebagai
pemenang, Namun apa bila Fang Tiong Seng hanya melawan satu
orang saja, mungkin salah satu dari kedua orang itu sudah lama
tergeletak.
Tepat pada saat itu, tiga orang perempuan melangkah perlahan
dari balik kabut, Yang pertama adalah Siau kiong cu. pakaiannya
sangat tipis, kerah lehernya rendah, memperlihatkan sebagian
payudaranya yang ranum, Yang kedua adalah Bwe Mei. sedangkan
yang terakhir adalah Chow Ai Giok.
Pertarungan antara kedua belah pihak berhenti segera, Mereka
menatap kearah ketiga perempuan yang baru datang itu. Sun Put Ce
dan Kwe Po Giok merasa hal itu di luar dugaan, Bagaimana ketiga
perempuan yang tadinya saling bersaing itu dapat datang dalam

satu rombongan? Tapi melihat sikap mereka yang tidak bermusuhan,
hati kedua orang itu menjadi agak tergetar, juga menambah
keyakinan dalam hati mereka.
Mata Fang Tiong Seng juga terarah pada mereka, Namun
pandangan matanya mengerling beberapa kali, lalu terhenti pada
salah satu dari perempuan tersebut Siau kiong cu dapat merasakan,
mengapa pandangan itu tertuju kepadanya. Angin malam yang
berhembus membuat gaunnya melambai-lambai.
Bagian payudaranya yang menyembul memberi pemandangan
yang indah dan menarik, Dia laksana seorang dewi khayangan yang
turun dari langit. Dalam otak Fang Tiong Seng terbayang kembali
tubuh telanjang yang diintipnya dalam kamar mandi, Kulit yang
halus dan memerah, Bersih dan berkilauan laksana mutiara, Sinar
mata Fang Tiong Seng berubah menjadi liar.
Rasanya berat menarik diri dari pemandangan yang menawan itu.
Diam-diam dia mengakui, semua kelebihan seorang perempuan ada
pada diri Siau kiong cu. Dia percaya, setiap laki-laki yang pernah
memandang tubuh yang indah itu, pasti akan berusaha mati-matian
untuk mendapatkannya, Dia benar-benar seorang perempuan
istimewa di antara perempuan yang lainnya.
"Apakah Ongsun hendak pulang?" teriak Kwe Po Giok.
Kata-kata itu dikutip dari salah satu syair perpisahan seorang
tokoh zaman lampau. Kwe Po Giok sengaja mengambil kata-kata itu
untuk nama jurus terakhir ilmu pedang Tang hay sin sian. Kedua
orang itu bergerak serentak Meskipun di tubuh mereka terdapat
banyak luka sehingga gerakan mereka menjadi kurang leluasa,
namun serangan kali ini malah lebih ganas dari yang sebelumnya.
Tentu saja Fang Tiong Seng menanggapi dengan cepat Sinar
pedangnya bagaikan bunga api yang berpijar, serangannya seperti
seekor banteng mengamuk.
Sekarang dia baru mengeluarkan jurus andalannya, Dalam sekali
serang, perut Kwe Po Giok telah tersayat dada Sun Put Ce juga
tergores cukup dalam. Kedua orang itu mencelat mundur tiga

langkah, Tubuh mereka sempoyongan Belum lagi sempat
menegakkan diri, Fang Tiong Seng dan pedangnya sudah hampir
tiba.
Siau kiong cu menjerit kecil, tubuhnya gontai Fang Tiong Seng
menengok ke arahnya. Dia tampak terpana. Bayangan gadis itu yang
telanjang kembali berputar di-angan-angannya. pandangan matanya
terpaku, pedang di tangannya berhenti di udara. Sekejap kemudian
dia bagai tersadar. Dia cepat-cepat menenangkan hatinya, namun
sudah terlambat...
Dalam sekali kedipan mata, pedang Sun Put Ce mengarah lurus di
hadapannya, Dia panik sekali, dari arah samping Kwe Po Giok juga
sedang melayang ke tempatnya berdiri. pedang yang pertama
amblas ke dadanya. pedang yang kedua menusuk bagian
pinggangnya yang kanan sampai tembus ke pinggang bagian kiri.
Sebuah pemandangan yang menggidikkan hadir di hadapan mata
mereka, Fang Tiong Seng tampaknya ingin tertawa terbahak-bahak,
namun wajahnya hanya dapat meringis. Darah menyembur ke
mana-mana. Mengapa dia hendak tertawa? Apakah dia
menertawakan dirinya sendiri yang terjebak oleh gerakan seorang
perempuan? Atau dia ingin menertawakan kebodohannya yang
menyia-nyiakan kemenangan yang sebetulnya akan diperolehnya?
Pedang Kwe Po Giok belum ditarik keluar. Ketiga perempuan itu
menahan perasaan yang membaur didalam hati. Mereka sudah
melihat dengan jelas, sebetulnya apa yang dipelajari Sun Put Ce
lebih banyak dari Kwe Po Giok, namun dia tetap memberikan
kesempatan untuk membunuh Fang Tiong Seng kepadanya, pertama
karena dia memang bukan orang yang suka menonjolkan diri.
Kedua, dia mungkin tidak tega turun tangan sendiri.
"Bagus....! Bagus sekali!" Suara Fang Tiong Seng tersendatsendat,
Tubuhnya lunglai.
Apakah kata-katanya mengandung maksud bahwa mereka pandai
sekali mengambil kesempatan pada saat dirinya lengah? Atau suatu

pujian bahwa ilmu kedua orang itu benar-benar sangat bagus?
Mungkin tidak ada orang yang tahu maksud sebenarnya.
Sun Put Ce telah menguburkan mayat Fang Tiong Seng. Dia
masih berusaha menenangkan perasaannya juga mencoba
meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua yang dialaminya hanya
sebuah mimpi buruk.
Sampai di manakah tingginya ilmu silat Fang Tiong Seng?
Mungkin tidak ada yang pernah tahu. sebetulnya kemenangan yang
diperoleh Sun Put Ce dan Kwe Po Giok hanya kebetulan saja, Apabila
pikiran orang itu tidak sedang bercabang, apakah mereka sanggup
membunuhnya?
Kalau Kwe Po Giok yang ditanyakan, jawabannya pasti bisa. Tapi
kalau pertanyaan ini diajukan kepada Sun Put Ce, dia pasti berani
mengakui tidak.
Kwe Po Giok mencoba bertanya kepada Lu ji, mengapa Fang
Tiong Seng bisa begitu terpesona memandangnya? Gadis itu hanya
memberikan jawaban yang samar-samar. Apakah dia sengaja
menarik perhatian Fang Tiong Seng?
Apakah dia sejak lama sudah mengetahui bahwa ada orang yang
mengintipnya ketika mandi? Kalau tidak, mengapa dia sengaja
menyalakan lilin besar sehingga bentuk tubuhnya dapat terlihat
jelas? jawaban ini juga tidak akan diketahui untuk selamanya,
Namun, Siau kiong cu berbuat satu hal yang berada di luar
dugaan Sun Put Ce, Bwe Mei, Chow Ai Giok, terlebih-lebih Kwe Po
Giok, Dia mengeluarkan uang sebanyak seribu tail untuk menebus
diri Siau lok yang bekerja di rumah hiburan Pek Hua lau, perkataan
yang sudah diucapkannya pasti akan ditepati.
Masih ada satu persoalan yang patut dikemukakan Dia tidak ingin
segera menikah dengan Kwe Po Giok, Dia ingin memastikan diri
untuk beberapa lama. Kwe Po Giok seharusnya mengerti apa yang
dimaksudkan Siau kiong cu tidak ingin lagi mendengar dia
membanggakan diri sebagai Sin tong.

Bagi Sun Put Ce, Fang Tiong Seng masih merupakan guru yang
berbudi dia memakamkannya dengan upacara sederhana, Kwe Po
Giok sudah pergi, demikian juga Siau kiong cu. Mereka sangat
membenci Fang Tiong Seng dan tidak sudi menggabungkan diri
dalam upacara tersebut.
Sebetulnya Chow Ai Giok juga sama, Karena Fang Tiong Senglah
yang membunuh Kiau Bu Suang, Namun dia tidak meninggalkan
tempat itu. Dia hanya berdiri di sudut dan memperhatikan Sun Put
Ce dan Bwe Mei membakar kertas sembahyang Bwe Mei adalah
gadis penuh pengertian. Meskipun dia juga tidak pernah suka
kepada Fang Tiong Seng, namun Sun Put Ce adalah calon suaminya.
Dia harus mengikuti apa yang dilakukannya.
Setelah upacara sederhana itu selesai, Bwe Mei menghampiri
Chow Ai Giok dan duduk di sampingnya. perempuan itu bersandar di
sebatang pohon dan melamun.
"Chow cici.... Kalau kau tidak keberatan kau boleh tinggal di
rumah kami, Setidaknya sampai anakmu lahir," kata Bwe Mei.
"Terima kasih, Bwe moi. Aku tidak ingin merepotkan kalian.
Lagipula jalan hidup kita telah terpaut demikian jauh. Aku tidak mau
kejelekan diriku mempengaruhi kalian," sahutnya.
"Kalau boleh aku ingin mengusulkan sesuatu," kata Sun Put Ce
sambil berjalan ke depan mereka, Dia sempat mendengar
percakapan kedua perempuan itu.
"Apa itu, Sun Toako.,.?" tanya Bwe Mei.
"Aku mengerti maksud Chow kouwnio, Memang setiap manusia
harus mempunyai kebebasan dalam rumah sendiri, tanpa diganggu
pihak lain. Aku akan mencari sebuah rumah yang letaknya tidak jauh
dengan tempat tinggal kita. Dengan demikian, apabila ada apa-apa,
kita bisa saling menjaga, Bagaimana pendapat Chow kouw-nio?"
sahut Sun Put Ce.

Chow Ai Giok sangat terharu, Dia pernah berbuat jahat kepada
dua orang ini. Tapi bukan saja mereka sudah menghapuskan semua
dendam dalam hati, bahkan bersedia menolong dirinya.
"Terserah bagaimana anggapan yang terbaik dari Sun Toako, Siau
moi hanya mengikuti. Mulai sekarang kita sudah seperti saudara,
Harap Sun Toako jangan memakai embel-embel kouwnio lagi di
belakang namaku. Bwe moi juga boleh memanggil aku cici," sahut
Chow Ai Giok dengan nada lembut.
Bwe Mei saling pandang dengan Sun Put Ce. Gadis itu merasa
gembira bahwa akhirnya mereka bisa menyelesaikan persoalan yang
terjadi di antara mereka dengan baik, Dia menyetujui pendapat Sun
Put Ce.
"Sun Toako.... Mari kita berangkat sebentar lagi matahari akan
terbit. Kita akan memulai hidup baru, Cepat laksanakan kata-katamu
tadi," katanya.
Mereka berjalan beriringan dengan wajah riang. Sinar keemasan
dari ufuk Timur mulai menampakkan diri.
-ooo0ooo-
Bagian Dua puluh Lima
Musim semi telah tiba. Bunga-bunga berwarna warni bermekaran
di mana-mana, Daunnya yang hijau melambai-lambai.Pada saat
seperti ini banyak pelancong yang berdatangan dari daerah, Cuaca
pada musim semi memang paling segar. Angin bertiup semilir.
Matahari tidak terlalu terik. pemandangan alam membuat manusia
terpukau.
Di telaga See 0uw.
Perahu-perahu dengan hiasan-hiasan indah hilir mudik, Terlihat
beberapa gadis penjual bunga sedang menawarkan dagangannya.
Mereka menjinjing dua buah keranjang di tangan kiri dan kanan,

Kepalanya diikat dengan selendang, Ada beberapa yang memakai
selendang berwarna merah muda, ada juga yang berwarna kuning
jeruk dan ada pula yang memakai selendang ungu, Gaun-gaun
sederhana melambai-lambai tertiup angin nakal, Sungguh suatu
pemandangan yang indah.
Sejak kematian Fang Tiong Seng, dunia Bulim tenang kembali
tidak ada gejolak yang meresahkan hati rakyat, Setiap jalanan
ataupun gang kecil dipenuhi para penjaja dan anak-anak yang
sedang bermain. Suasana terlihat riang gembira.
Pada saat itu, seorang gadis dengan wajah cantik jelita mendekati
tepian sungai. Dia berjalan kearah sebuah perahu yang tampak
kekar dan kokoh.
"Lopek.... Apakah perahumu ini disewakan..?" tanyanya.
Orang tua itu menoleh, Dia terkesima memandang gadis di
hadapannya. Seumur hidup ini dia sudah banyak melihat
perempuan-perempuan cantik, Apalagi pada musim pesiar seperti
ini. Tapi gadis yang ada di hadapannya ini memang mempunyai
kelebihan tersendiri
Dia yakin gadis itu pasti bukan keturunan orang biasa. Setidaknya
kaum bangsawan atau mungkin juga turunan seorang pendekar
besar. Tapi orang tua itu merasa heran juga. Mengapa gadis
secantik itu berani berpesiar seorang diri?"
"Betul, Siocia (nona), Perahu ini memang disewakan Apakah
Siocia ingin mendayung sendiri atau ditemani Lopek?"
"Terima kasih, Aku minta Lopek membawaku mengelilingi telaga
ini. Cuaca sangat cerah. pemandangan pun demikian indah," sahut
gadis itu.
Tukang perahu itu segera mengiakan, Dia melepaskan tali
penambat perahu tersebut. Dibantunya gadis itu naik ke atas, Dan
dia mulai mendayung.

"Apakah Siocia berasal dari sekitar tempat ini?" tanya tukang
perahu penasaran.
"Tidak. Aku berasal dari Pak hay," sahut gadis tersebut.
"Oh.... Jauh sekali... Siocia hanya seorang diri?" tanya si tukang
perahu.
"Betul. Kebetulan aku baru saja mengunjungi seorang teman yang
rumahnya tidak seberapa jauh, Karena cerita teman itu pula, maka
aku tertarik dan ingin melihat keindahan telaga See Ouw ini," sahut
gadis itu yang ternyata Siau kiong cu adanya.
Tukang perahu itu menganggukkan kepalanya, Dalam hati dia
terus bertanya-tanya. Mengapa temannya tidak menemani dia
berpesiar? Laki-laki atau perempuan temannya itu? Siau kiong cu
mengedarkan pandangannya ke sekeliling telaga, Banyak sekali
perahu-perahu di sana. Ada juga kapal yang agak besar. Suara tawa
dan nyanyian berkumandang sampai perahu yang ditempati Siau
kiong cu.
Gadis itu mendengarkan dengan seksama, Dia merasa ingat
dengan lagu itu. Bibirnya bergerak-gerak menirukan. Suaranya
merdu namun perlahan Dia terbawa keindahan lagu tersebut.
Musim chun telah tiba.
Rakyat bersorak menyambutnya.
Anak-anak memetik bunga-bunga,
Yang perempuan mengambilnya untuk penghias kepala,
Musim chun telah tiba.
Hati bak bunga yang bermekaran,
Cinta pun mulai bersemi.
Harapan akan menjadi kenyataan....
"Apakah cinta akan menjadi kenyataan?" Terdengar suara
seseorang di sampingnya.
Siau kiong cu terkejut. Dia menolehkan kepalanya, Hatinya
tergetar melihat orang itu. Seorang pemuda berwajah tampan dan

kulit tubuh berwarna kecoklatan karena tersinar matahari. Baju yang
dikenakannya adalah pakaian yang biasa dipakai oleh kaum nelayan.
Bibirnya menyunggingkan sebuah senyum kedewasaan.
Dia adalah Kwe Po Giok!
Jodohkah artinya? Kalau tidak, mengapa mereka bisa kebetulan
bertemu di telaga See Ouw ini? Atau ada yang mengatur pertemuan
itu?
Rupanya Siau kiong cu baru saja mengunjungi Sun Put Ce dan
Bwe Mei yang sudah menikah, Dan entah bagaimana, setelah Siau
kiong cu berlalu, Kwe Po Giok juga tiba-tiba ingin mendatangi kedua
orang itu. Dia tahu mereka akan menikah, tapi pada saatnya hampir
tiba, Sun Put Ce tidak berhasil menemui mereka.
Dari pemberitahuan Sun Put Ce, Kwe Po Giok mengetahui bahwa
Siau kiong cu sedang berpesiar di telaga See 0uw. Dia segera
menyusulnya. Tukang perahu yang sedang mendayung tersenyumsenyum
Rupanya mereka mengadakan perjanjian untuk bertemu di
tempat.
“Apakah hatimu masih ragu ter...?" tanya Kwe Po Giok, Siau kiong
cu menggelengkan kepalanya, Kwe Po Giok cerah seketika, .... Aku
tinggal di sebuah perkampungan nelayan, Maukah kau tinggal
bersama disana?" tanyanya.
Lagi lagi Siau kiong tersipu, Namun dia anggukkan kepalanya.
Langit makin membiru. Suara nyanyian berkumandang. Bungabunga
memang sedang bermekaran, demikian pula hati mereka.
Kini, pikirnya dalam hati, Siau kiong cu sendiri tidak tahu harus
berkata apa, wajahnya tertunduk malu, Kwe Po Giok sudah berubah.
penampilannya lebih matang dan dewasa. Dia ingin membuktikan
keraguan hatinya tempo hari.
"Apa yang kau lakukan selama ini?" tanyanya.

"Lu ji.... Aku mencari nafkah, Hidupku tenang sekali sekarang,
Tidak ada yang membebani pikiran lagi kecuali dirimu. Tunggu
dulu...."
Siau kiong cu tidak mengerti mengapa dia menghentikan katakatanya.
Ternyata Kwe Po Giok loncat ke perahu gadis itu. Dia
meminta tukang perahu membawa perahunya ke tepian telaga,
Dengan demikian, dia jadi bebas berbicara dengan Siau kiong cu.
"Nah.... Kita lanjutkan kembali," kata-nya. "Bagaimana
keadaanmu belakangan ini, Lu ji?" tanyanya dengan penuh
perhatian.
Siau kiong cu tersipu. Siau Kwe telah dewasa, Waktu enam bulan
ternyata bisa merubah sikap seseorang.
"Aku baru saja mengunjungi Sun toako dan Bwe ci. sebelumnya
aku bersembahyang di kuburan ayah," sahutnya.
Tamat
Anda sedang membaca artikel tentang Sukma Pedang 2 dan anda bisa menemukan artikel Sukma Pedang 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/sukma-pedang-2.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Sukma Pedang 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Sukma Pedang 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Sukma Pedang 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/sukma-pedang-2.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar