toliongto 10

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Sabtu, 10 Mei 2014

Description: toliongto 10 Rating: 4.5 Reviewer: Unknown - ItemReviewed: toliongto 10
"Ngotee, kau seorang yang berhati mulia dan kau pasti akan hidup beruntung." kata Cia Sun. "Tapi nasib manusia sukar ditebak dan kemauan Langit sukar diketahui. Maka itu , dalam
tindakan-tindakamu, kau haruslah berhati-hati. Bu Kie telah medapat seantero kepandaianku. Ia berotak sangat cerdas dan dihari kemudian ia pasti bisa berada disebelah atas kita berdua. Mengenai So moay, biarpun ia seorang wanita, ia gagah dan pintar sehingga ia pasti tak akan di hina orang. Ngotee, orang yang aku kuatirkan adalah kau sendiri."

"Toako, jangan kau ngaco!" kata Cui San dengan bingung. "Apa aku....kau..... tidak mau ikut kami ?"

Sang kakak bersenyum sedih. "Pada beberapa tahun berselang, aku sudah mengatakan begitu kepadamu," katanya. "Apa kau lupa ?"

Cui San terkejut. Memang benar Cia Soan pernah mengatakan begitu, akan tetapi karena soal itu tidak disebut-sebut lagi, Cui San dan So So tidak mengangapnya sungguh-sungguh. Selama membuat getek dan mempersiapkan bekal, sang kakak juga tidak pernah mengutarakan niatannya itu. Tak dinyana pada saat mau berangkat barulah ia memberitahukan keputusannya.

"Toako, mana boleh kau berdiam di pulau ini", kata pula Cui San dengan suara memohon, "Ayolah !" Seraya berkata begitu, ia membetot tangan kakaknya, tapi kedua kaki Cia Scam seolah berakar di dalam tanah.

"So moay! Bu Kie kemari ! Toako tidak mau mengikut," teriak Cui San.

So So dan Bu Kie tentu saja kaget dan buru buru mereka melompat balik kedaratan.

"Giehu, mengapa kau tidak mau turun ?" tanya si bocah, "Jika kau tidak turut, akupun tidak turut."

Tak usah dikatakan lagi, Cia Sun pun merasa sangat berat untuk berpisahan dengan mereka. Ia mengerti, bahwa perpisahan itu adalah untuk selama-lamanya. Akan tetapi, sesudah merenungkan masak-masak dalam tempo lama, ia telah mengambil keputusan untuk tidak kembali ke Tiorggoan. Mengapa? Karena, jika ia mengikut, keluar, Cui San akan menghadapi bencana yang tidak habis-habisnya. Biarpun ia mempunyai riwayat yang berlamuran darah dan ia pernah melakukan perbuatan-perbuatan kejam, tapi semenjak mengangkat saudara dengan Cui San dan So So, ia mencintai ketiga orang itu seperti mencintai diri sendiri. Dan kecintaannya terhadap Bu Kie tidak kurang daripada kecintaaanya pada anak kandung sendiri.

Ia mengerti, bahwa diatas pundaknya tertumpuk dengan beban hutang darah. Baik dalam kalangan Kangouw, maupun dalam kalangan Liok
li (Rimba hijau kalangan perampok), entah berapa banyak jumlahnya musuhnya yang ingin membalas sakit hati. Apa pula, sesudah merniliki To liong to, bakal makin banyak orang yang menghendaki jiwa dan goloknya.

Dulu sedikitpun ia tidak merasa gentar. Tapi sekarang, sesudah kedua mata nya buta, ia merasa tak sanggup untuk melayani begitu banyak musuh. Sebagai orang gagah sejati, jika ia dikerubuti, Cui San dan So So sudah pasti tak akan berdiri dengan berpeluk tangan. Maka itu, kalau ia mengikut, bukan saja ia sendiri tspi kedua saudara augkat dan anak pungutnya pun akan turut menjadi korban. Demikianlah, sesudah memikir baik-baik, ia mengambil keputasan itu.

Mendengar perkataan Bu kie, ia terharu bukan main. Sambil memeluk anak angkat itu, ia ber kata dengan suara serak: "Bu Kie, kau dengarlah perkataan Giehu! Giehu sudah tua, mata buta dan sudah enak hidup disini. Kalau kembali ke Tionggoan, Giehu akan menderita.

"Sesudah kembali ke Tionggon anak akan melayani Giehu dan tidak akan berpisahan lagi dengan Giehu," kata Bu Kie. " Giehu mau makan atau mimum apa, anak akan segera menyediakan nya. Bukankah penghidupsn begitu sama senangnya seperti penghidupan disini?"

Cia Sun menggelengkan kepala, "Tidak, aku lebih senang berdiam terus disinl," katanya.

"Kalau begitu, anakpun lebih senang hidup terus disini," kata pula bocah itu. "Thia, kita batalkan saja keberangkatan ini."

"Toako, jika kau mempunyai lain pendapat, lebih baik tau mengutarakan saja terang-terangan supaya kita beramai dapat mengatasinya" kata So So. "Biar bagaimanapun jua, kita tak nanti meninggalkan kau disini seorang diri"

"Toako," Cui San menyambungi, "apakah karena mempunyai banyak musuh, kau kuatir akan merembet-rembet kami? Sepulangnya di Tiong goan, kita boleh mencari sebuah tempat yang sepi dan kita boleh hidup menyendiri tanpa bergaul dengan manusia lain. Menurut pendapatku, paliang benar kita berdiam di Bu tong san. Tak seorang pun yang akan menduga, bahwa Kim-mo Say-ong berada di gunung itu."

"Hmm.... " Cia Sun mengeluarkan suara dihidung. "Biarpun kakakmu seorang bodoh, tak usah ia menyembunyikan diri dibawah perlindungan Thio Cinjin!'

Cui San terkejut. Ia tahu bahwa ia sudah kesalahan bicara dan buru buru berkata pula . "Bukan, bukan begitu maksudku. Kepandaian Toako tidak barada disebelah bawah Suhu dan tentu saja Toako tak perlu berlindung dibawah perlindungan Suhu. Di wilayah Tiong goan terdapat banyak sekali tempat yang terpencil dan jauh dari dunia pergaulan. misalnrya Hui kiang, Tibet, daerah gurun pasir dan sebagainya. Kita berempat boleh pergi kesitu dan menuntut
penghidupan yang tenteram "

"Kalau mau mencari tempat yang jauh dari pergaulan manusia, tempat inilah yang paling baik!" Kata sang kakak. "Eh, katakan saja, apa kamu mau pergi atau tidak?"

"Tanpa kau, kami tak akan berangkat," jawab So So dan Bu Kie dengan berbareng.

Cia Sun menghelas napas "Baiklah"' katanya "kita semua jangan pergi. Sesudah aku mati, kamu masih mempunyai banyak tempo untuk pulang ke Tiong goan."

"Benar, kita sudah berdiam disini sepuluh tahun dan tak usah kita tergesa-gesa." kata Cui San.
"Bagus!" bentak Cia Sun. "Sesudah aku mampus, aku mau lihat apa kamu masih mau berdiam disini." Seraya berkata begitu, mendadak ia menghunus To liong to dan mengayun kelehernva.

Semangat Cui San terbang. "Jangan celakakan Bu Kie!" teriaknya. Ia mengerti, bahwa ia tak akan mampu mencegah niat kakaknya sehingga jalan satu-satunya adalah berteriak begitu.

Benar saja Cia Sun terkejut. Goloknya berhenti ditengah udara dan ia, bertanya: "Apa?"

"Toako jika kau sudah mengambil keputusan pasti siauwtee tidak dapat berbuat lain dari pada meminta diri," katanya dengan suara parau dan lalu berlutut di hadapan sang kakak.

"Giehu!" teriak Bu Kie. "Jika kau tidak pergi akupun tidak pergi. "Kalau kau bunuh diri, akupun bunuh diri"

Cia Sun kaget. Ia tahu, bocah yang luar biasa pincar itu sekarang balas menggeretaknya. Buru buri ia memasukan To liong to kedalam sarung dan membentak: "Setan kecil! Jangan ngaco kau!"

Tiba tiba, ia mencengkeram punggung Bu Kie dan melemparkannya kegetek dan kemudian melontarkan juga Cui San dan So So. "Ngotee! So moay! Bu Kie!" teriaknya dengan suara duka. "Semoga perjalananmu diiring dengan angin baik dan siang-siang kembali di Tiong goan."

Melihat majikannya sudah berada digetek, si kera putihpun buru-buru melompat kegetek itu.

"Giehu! Giehu!" sesambat Bu Kie.

Cia Sun mencabut pula To liong to dengan membentak dengan suara angker: "Jika kamu turun lagi, Kamu akan temukan mayatku!"

Karena terpukul arus air, perlahan lahan getek itu meninggalkan pulau. Makin lama bayangan Cia Sun jadi makin kecil. Cui San dan So So mengerti bahwa keputusan kakak mereka sudah tak dapat diubah lagi. Mereka tak bisa berbuat lain daripada nengulap-ulapkan tangan dengan rasa sedih dan berterima kasih tak habisnya.

Sesudah berada dilautan terbuka Cui San bertiga tidak mengenal arah dan membiarkan getek itu berlayar semau maunya. Apa yang diketahui
mereka, ialah setiap pagi matahari naik dari sebelah kiri dan setiap sore, turun dari sebelak kanan. Saban malam, mereka bisa melihat bintang Pak kek dibelakang getek. Siang malam, dengan perlahan getek itu bergerak maju.

Selama kurang lebih dua puluh hari, Cui san tak berani memasang layar sebab kuatir getek itu membentur dengan gunung es. Tanpa layar, walau pun terbentur, benturan itu tidak keras, dia tak akan mencelakakan. Sesudah berpisahan dengan gunung es, barulah mereka menaikkan layar.

Dengan bantuan angin utara yang meniup tak henti-hentinya, getek itu mulai maju kearah selatan dengan pesat sekali. Dasar nasib baik, ditengah parjalanan mereka tidak pernah bertemu dengan badai dan dilihat tanda tandanya, mungkin mereka akan bisa pulang dengan selamat.

Selama sebulan Cui San dan So So tak pernah menyebut-nyebut Cia Sun, karena kuatir menbangkitkan kedukaan Bu Kie. Pada suatu hari sambil mengawasi permukaan air, tanpa merasa So So berkata "Toako benar-benar seorang luar biasa. Ia bukan saja tinggi ilmu silat nya, tapi juga paham lain-lain ilmu "

"Ibu, menurut katanya Giehu, selama setengah tahun angin meniup keselatan dan setengah tahun lagi meniup ke utara," kata Bu Kie. "Biarlah lain tahun kira kembali ke Peng hwee to untuk menengok Giehu."

"Benar," kata Cui San "Sesudah kau besar, kita beramai-rarnai mengunjungi lagi pulau itu."

"Apa itu?" So So memutuskan perkataan suaminya seraya menuding keselatan.

Jauh-jauh, digaris pertemuan antara angit dan laut, terlihat dua titik hitam.

Cui San terkesiap. "Apa ikan paus ?" katanya dengan suara ditenggorokan.

Susudah mengawasi beberapa lama, So So ber kata: "Bukan, bukan ikan paus. Aku tak lihat semburan air."

Dengan hati berdebar-debar, mereka terus memperhatikan kedua titik hitam itu. Berselang kurang lebih satu jam, tiba tiba Cui San berseru dengan suara girang: "Perahu ! Perahu !" Bahna girangnya, ia melompat bangun dan berjungkir balik. Bu Kie tertawa terbahak-bahak dan lalu mengikuti ayahuya yang sedang kegirangan. So So sendiri buru buru mengambil kayu bakar, menuang minyak ikan diatasnya dan lalu menyulutnya.

Sesudah lewat kira-kira satu jam lagi, sedang matahari mulai mendoyong kebarat, mereka sudah bisa melihat tegas dua buah perahu diatas permukaan air. Mendadak So So kelihatan menggigil dan paras mukanya berubah pucat.

"Ibu, ada apa ?" tanya Bu Kie dengan perasaan heran.

Sang ibu tidak menjawab, tapi bibirnya bergemetar. Dengan paras muka kuatir, Cui San mencekal kedua tangan isterinya. So So menghela napas. "Baru pulang, sudah bertemu," katanya.

"Apa?" menegas sang suami.
"Lihat layar itu," jawabnya sambil menuding kesebuah perahu.

Cui San mengawasi keperahu yang berada di sebelah kiri. Ia mendapat kenyataan, bahwa pada layarnya terpeta sebuah tangan berdarah dengan lima jeriji yang terpentang lebar. "Layar itu aneh sekali, apa kau tahu perahu siapa?" tanyanya.

"Perahu Peh bie kauw dari ayahku !" jawabnya dengan suara perlahan.

Cui San tertegun. Sesaat itu rupa-rupa pikiran berkelebat-kelebat diotaknya. "Ayah So So seorang jahat dan kejam, bagaimana aku harus berbuat jika bertemu dengannya ? Bagaimana si Insu terhadap pernikahanku ini tanyanya di dalam hati. Kedua tangan isterinya yang dicekelnya agak bergemetar. Ia mengerti, bahwa sang isteripun sedang memikiri berbagai soal yang tengah dihadapi mereka.

"So So," katanya dengan suara membujuk. "Kita sudah menikah dan anak kita sudah begini besar. Langit diatas, bumi dibawah apapun yang akan terjadi kita tak akan berpisah lagi. Kau tak usah kuatir."

So So mengangguk dan bersenyum. "Aku ha nya mengharap kau tidak menyesalkan aku," katanya dengan suara perlahan.

Bu Kie yang belum pernah melihat perahu, tidak menghiraukan pembicaraan antara ayah darn ibunya dan matanya terus mengawasi kedua perahu itu, yang kelihatannya sangat berdekatan, seolah-olah menempel satu sarna lain. Jika tidak ada perobahan arah, getek mereka akan perpapasan dengan kedua perahu itu dalam jarak puluhan tombak.

"Apa kita perlu memberi isyarat ?" tanya Cui San.

"Tak perlu" jawab So So. "Susudah tiba di Tiong goan, aku akan mengajak kau, dan Bu Kie pergi menemui ayah."

"Baiklah," kata sang suami.

Mendadak Bu Kie berteriak: "Hei! Lihat! Orang-orang itu sedang berkelahi!"

Cui San dan So So terkejut dan lalu melihat kedua perahu itu. Benar saja mereka melihat berkelebat-kelebatnya senjata dan empat lima orang sedang bertempur.

"Apa ayah berada disitu ?" kata So So dengan rasa kuatir.

"Sesudah terlanjur bertemu, ada baiknya kita menengok sebentar," kata Cui San. Ia segera mengubah kedudukan layar dan membelokan kemudi sehingga getek mmbelok kekiri, menuju ke arah kedua perahu itu.

Berselang kira-kira setengah jam barulah getek mendekati kedua perahu itu. "Pelancong yang tidak ada urusan jangan datang dekat !" demikian terdengar terlakan dari perahu Peh bie kauw.

"Aku adalah Hio cu dari Congto !" teriak So So. "Tocu dari bagian mana yang sedang memasang hio?"

Mendengar teriakan itu yang menggunakan istilah rahasia dari Peh bie kauw, orang yang barusan berteriak lantas saja berubah sikapnya'. "Maaf! Kami tak tahu, bahwa yang datang adalah Hio cu dari Congto," katanya dengan sikap hormat. "Kami adalah rombongan Lie Hio cu dari Thian sie tong yang memimpin Hong Tan cu dari Sin
coa tan dau Thia Tancu dari Ceng liong tan. Bolehkah kami mendapat tahu, Hio cu dari mama yang, datang kesini ?"

"Hio cu dari Cie wie tong," jawab So So.

Hampir berbareng dengan jawaban So So, keadaan di perahu Peh bie kauw menjadi kalut. Beberapa orang berlari-lari, rupanya untuk memberitahukan pemimpin mereka, sedang belasan orang berteriak dengan suara kaget dan girang: "In Kouwnio pulang ! In Kouwnio pulang !"

Biarpun sudah menjadi suami isteri sepuluh tahun, So So belum pernah membicarakan Peh bie kauw dengan suaminya. Sedang Cui San pun belum pernah menanyakan. Sesudah mendengar tanya jawab itu, barulah Cui San tahu, bahwa kedudukan Hio cu dari Cie wie tong lebih tinggi dari pada kedudukan Tancu. Waktu berada di pulau Ong poan san, ia pernah menyaksikan kepandaian Tancu dari Hian bu tan dan Cu ciak tan yang lebih unggul dari pada ilmu silat So So. Ia mengerti bahwa isterinya bisa menjadi Hiocu adalah karena So So puteri pemimpin besar dari Peh bie kauw. Maka itu, dapatlah diduga, bahwa Lie Hiocu dart Thian sie tong seorang yang berkepandaian sangat tinggi.

Tiba-tiba dari perahu Peh bie kauw terdengar suara seorang tua: "Menuiut laporan, In Kauw nio sudah kembali. Bagaimana kalau kita menghentikan pertempuran untuk sementara waktu? "

"Baiklah !" jawab seorang yang suaranya nyaring bagaikan genta. "Hentikan Pertempuran!"

Dengan serentak suara beradunya senjata terhenti dan semua orang melompat keluar dari gelanggang pertempuran.

Mendengar suara yang nyaring itu, jantung Cui San memukul keras. "Apa Jie Lian Ciu Suko?" teriaknya.

Jawab orang itu: "Aku Jie Lian Ciu. Ah...... Kau .... Kau ..."

"Siauwtee ..Cui San..." jawabnya dengan suara terputus-putus bahna terharunya. Sesaat itu jarak antara getek dan perahu Jie Lian Ciu belasan tombak. Dengan tergesa-gesa Cui San menyambar sepotong papan yang lalu dilontarkan keatas air, akan kemudian ia melompat kepapan itu dan sekali menotol dengan satu kakinya untuk meminjam tenaga, tubuhnya sudah melesat kekepala perahu Jie Lian Ciu.

Jie Lian Ciu menubruk dan memeluk Suteenya. Sesudah mereka berpisahan sepuluh tahun dapat dimengerti perasaan mereka pada sesaat itu. Si adik berseru dengan suara parau: "Jieko'" Sang kakak berbisik "Ngotee!" Mata mereka basah.

Dilain pihak, orang-orang Peh bie kauw menyambut In So So dengan segala upacara. Empat buah terompet yang dibuat dari keong laut raksasa ditiup dengan serentak. Li Hiocu berdiri paling depan dengan Hong Tancu dan Thia Tancu di belakangnya, dan dibelakang ketiga pemimpin itu berdiri kurang lebih seratus pengikut Peh bie kauw.

Diantara perahu besar dan getek dipasang selembar papan dan getek itu digaet dengan gala gaetan oleh beberapa anak buah perahu, supaya tetap pada tempatnya. Sambil menuntun Bu Kie, So So menyeberang perahu dengan melewati papan itu.

Di dalam kalangan Peh bie kauw, orang yang berkedudukan paling tinggi ialah Kauwcu (pemimpin agama), Peh bie Eng ong In Thian Ceng. Di bawah Kauwcu terdapat Lwee sam tong (Tiga "Tong" Dalam) dan Gwa ngo tan (Lima "Tan" Luar) yang bantu pemimpin para pengikut Peh bie kauw.

Lwee sam tong terdiri dari Thian-wie tong, Cia wie tong dan Thian sie tong, sedang Gwa ngo tan ialah Sin coa tan, Ceng liong tan, dan

Hiocu (pemimpin) Thian wie tong ialah putera sulung In Thian Ceng yang bernama In Ya Ong. Hiocu Thian sie tong ialah Lie Thian Hoan, Sutee (adik seperguruan) In Thian Ceng. Walau pun berkepandaian sangat tinggi dan tingkatannya lebih tua daripada So So, dengan memandang muka Kauwcu, ia berlaku sangat hormat terhadap nyonya muda itu.

Melihat So So menuntun seorang bocah dan pakaiannya, yang terbuat daripada kulit binatang, mesum dan compang campicg. Lie Thian Hoan terkejut. Tapi dengan paras muka berseri, ia tertawa neraya berkata: "Terima kasih kepada Langit, terima kasih kepada Bumi, akhirnya kau pulang juga. Selama sepuluh tahun, bukan main jengkelnya ayahmu."

So So memberi hormat dengan berlutut. "Su siok selamat bertemu pula!" katanya. Ia menengok kepada puteranya dan berkata pula: "Lekas berlutut di hadapan Su-siok-couwmu." Bu Kie buru buru menekuk kedua lututnya dengan mata mengawasi Lie Thian Hoan dan ratusan orang yang berdiri dibelakang kakek paman guru Su siok couw itu.

"Susiok," kata So So sambil bangun berdiri. "anak ini adalah anak tit lie (keponakan perempuan) bernama Bu Kie."

Lie Hiecu terkesiap, tapi sejenak kemudian, tertawa terbahak-bahak. "Bagus ! Bagus!" serunya. "Ayah mu pasti akan kegirangan. Bukan saja puterinya pulang dengan selamat, tapi juga sudah mendapatkan sang cucu yang tampan dan pintar."


Melihat noda-noda darah dan beberapa mayat yang menggeletak digeledak perahu, So So bertanya dengan suara perlahan: "Perahu siapa itu? Mengapa kalian berkelahi?"

"Orang-orang Bu tong pay dan Kun loan pay," jawab Thian Hun.
Melihat suaminya sedang berpelukan dengan salah seorang dari perahu itu, So So mengerutkan alis dan berkata pula: "Lebih baik kita menghentikan dulu pertempuran ini dan tit-lie akan berusaha untuk mendamaikan!"

"Baiklah," jawab sang Susiok.

Walaupun secara pribadi, tingkatan Lie Thian Hoan sebagai Susiok (paman guru) lebib tinggi daripada So So, akan tetapi secara resmi, di dalam kalangan Peh bie kauw, kedudukannya lebih rendah daripada nyonya muda itu, karena ia memimpin "tong" ketiga, sedang So So menjadi Hiocu "tong" kedua.

"So So, Bu Kie kemari! Temui Sukoku !" demikian terdengar teriakan Cui San.

Sambil rnenuntun Bu Kie, So So segera pergi keperahu Bu tong. Lie Thian Hoan, Hong dan Thia Tancu bingung, tapi tanpa merasa mereka lalu mengikuti nyonya muda itu.

Diatas geladak perahu Butong terdapat tujuh delapan orang dan salah seorang yang berusia kira kira empatpuluh tahun dan bertubuh jangkung kurus sedang berpegangan tangan dengan Cui San. "So So, inilah Jie Suko yang namanya sering di sebut-sebut olehku," kata Cui San sambil bersenyum, "Jieko, inilah teehumu (teehu isteri dari adik lelaki) dan keponakanmu Bu Kie."

Semua orang kaget bukan main. Peh bie kauw dan Bu tong pay sedang bertempur mati-matian. Tak nyana, dua orang penting dari kedua belah pihak telah terangkap menjadi suami isteri dengan sudah mempunyai seorang putera.

Jie Lian Ciu mengerti, bahwa kejadian itu banyak latar belakangnya dan penjelasannya meminta tempo. Secara bijaksana, ia lebih dahulu memperkenalkan kawan kawsnnya kepada Cui San dan So So.

Seorang Tosu tua yang berbadan kate gemuk ialah See hoa cu dari Kun loan pay, sedang seorang wanita setengah tua yang masih berparas cantik diperkenalkan sebagai Sumoay (adik seperguruan) dari Su hoa cu. Ia itu bukan lain dari pada San tian chioe (si Tangan kilat) Wie Su Nio, yang dalam kalangan kang ouw dikenal sebagai Son tian Nio. Beberapa orang lainnya juga jago jago kosen Kun loan pay, hanya nama mereka tidak begitu terkenal seperti See hoa cu dan Wie Su Nio.


Meskipun sudah berusia lanjut, See hoa cu masih berangasan. "Thio Ngohiap, dimana adanya bangsat jahat Cia Sun?" tanyanya. "Kau mesti tahu!"

Cui San bingung tak kepalang. Sebelum mendarat, ia sudah menghadapi dua soal sulit. Pertama partainya sendiri bermusuhan dengan Peh bie kauw dan kedua, begitu membuka mulut, orang
sudah menanyakan tempat bersembunyinya Cia Sun. Ia merasa sukar untuk menjawab pertanyaan imam itu dan segera berkata sambil berpaling kepada Jie Lian Cu: "Jieko ada apakah sehingga kalian mesti bertempur?"

See hoa cu mendongkol. "Hai ! Apa kau tak dengar pertanyaanku?" bentaknya. "Di mana adanya bangsat Cia Sun ?" Sebagai seorang yang gampang marah, dalam Kun loan pay Su hoa cu berkedudukan tinggi dan lihay ilmu silatnya, sehingga ia sudah biasa main bentak-bentak terhadap orang-orang separtainya.

Hong Tancu, pemimpin Sin coa tan, adalah seorang yang sangat "berbisa". Dalam pertempuran tadi dua orang muridnya telah binasa dibawah pedang See hoa cu, sehingga ia merasa sangat sakit hati.

Maka itu, begitu mendengar bentakan si Tosu, ia lantas saja menggunakan kesempatan baik itu. "Huh ! Jangan banyak lagak kau !" katannya deagan suara dingin. "Thio Ngohiap adalah menantu dari Peh bie kauw. Tidak boleh kau bicara begitu kasar terhadapnya"

Su hoa cu lantas saja meluap darahnya. "Tutup rnulutmu !" bentaknya. "Mana bisa seorang baik baik menikah dengan perempuan siluman dari agama yang menyeleweng ? Dalam pernikahan itu pasti terdapat latar belakarg yang busuk."

"Jangan mengacao kau !" Hong Tancu tertawa dingin. "Buktinya Kauwcu kami sudah mempunyai cucu."

Dengan kalap See hoa cu berteriak: "Perempuan siluman itu ... "

"Suheng jangan tarik urat dengan manusia itu" memotong Wie Su Nio. "Dalam urusan ini kita menyerahkan saja kapada Jie hiap." Ia sudah melihat maksud Hong Tancu untuk mengadu domba Bu tong pay dengan Kun loan pay.

Mendengar perkataan Su moaynya, See hoa cu juga tersadar dan sambil menahan amarah, ia menutup mulut.

Sambil mengawasi Cui San dan So So, Jie Lian Cu merasa bingung dan di dalam otaknya berkelebat-kelebat banyak pertanyaan. "Paling baik kita bicara digubuk perahu," katanya sesudah memikir beberapa saat. "Saudara-saudara kedua pihak yang mendapat luka harus ditolong terlebih dahulu."

Dalam perahu Jie Liam Cu, Peh bie kauw merupakan tamu dan orang yang berkedudukan paling tinggi dalam "agama" itu ialah In So So, Hio cu Cie wie tong. Maka itu, sambil menuntun Bu Kie, So So masuk paling dulu kedalam gubuk perahu, diikuti oleh Lie Hiocoo dan kedua Tancu. Selagi Hong Tancu baru mau masuk, mendadak ia merasakan kesiuran angin yang menyambar pinggangnya.

Sebagai seorang yang berpengalaman, ia tahu bahwa dirinya dibokong See hoa cu. Sebaliknya dari menangkis, ia menubruk kedepan seraya berteriaknya: " Celaka! Aku dibokong!" Dengan gerakannya itu, ia sudah mempunahkan pukulan Sam in Coat houw chioe dari See hoa cu. Mendengar teriakan itu, semua orang menengok mengawasi Hong Tancu dan See hoa cu yang muka nya berubah marah seperti kepiting direbus.

Dengan rasa jengah, Wie Su Nio deliki Su hengnya. Pada saat itu, Hong Tancu ialah seorang tamu terhormat dan bokongan terhadapnya bukan saja melanggar peraturan, tapi juga memalukan.

Di dalam gubuk perahu, So So menduduki kursi tamu yang pertama dengan Bu Kie berdiri didampingnya, sedang Jie Lian Ciu duduk dikursi pertama dari pihak tuan rumah. Sambil menunjuk sebuah kursi disebelah belakang kursi Wie Su Nio, Jie Lian Ciu berkata: "Ngotee, kau duduk disitu." Cui San mengangguk dan lalu duduk di kursi yang ditunjuk, sehingga kedua suami isteri duduk sebagai tuan rumah dan tamu.

Selama sepuluh tahun, sesudah Thio Cui San menghilang dan Jie Thay Giam tidak pernah keluar karena lukanya, yang bergerak dalam Rimba Persilatan haaialah lima pendekar Bu tong pay dan selama sepuluh tahun itu, nama mereka jadi makin cemerlang. Biarpun kedudukan mereka adalah murid turunan kedua dari Bu tong pay, tapi dalam Rimba Persilatan mereka sudah bisa berendeng dengan pendeta-pendeta Siauw lim sie yang berkeduduka n tinggi. Selama tahun-tahun yang belakangan, orang- orang Kangouw makin menghargai dan menghormati Bu tong Ngo hiap. Maka itu lah, biarpun tingkatannya tinggi. Su hoa cu dan Wie Su Nio mempersilahkan Jie Liam Ciu duduk dikursi utama.

Beberapa murid segera menyuguhkan teh dan sambil mengundang para tamunya minum teh. Jie Lian Ciu menimbang-nimbang perkataan apa yang harus diucapkannya terlebih dahulu. Perangkapan jodoh antara Cui San dan puteri In Kauwcu adalah kejadian yang sangat diluar dugaan dan ia merasa bahwa jika ia menanyakan langsung persoalan itu di hadapan orang banyak. Cui San tentu akan merasa jengah dan tidak akan mau bicara seterang-terangnya.

Memikir begitu ia lantas saja berkata dengan suara nyaring: "Sebagnimana kita tahu, Siauw lim, Kun lun. Go bie, Khong thong dan Bu tong, lima "pay". Sin kun, Ngo hong to dan lain lain, berjumlah sembilan "bun", Hay see, Kie keng dan sebagainya, tujuh "pang", sehingga semuanya duapuluh satu partai atau golongan, telah salah mengerti dengan Peh bie kauw karena usaha kita untuk mencari Cia Sun. In Kouwnio dan Suteeku, Cui San. Salah mengerti itu telah berbuntut dengan bentrokan, sehingga selama telah bertahun tahun jatuh banyak korban yang binasa dan terluka . . ."

Ia berhenti sejenak dan kemudian berkata pula: "Sungguh syukur, secara tidak diduga duga, In Kouwnio dan Thio Sutee pulang dengan selamat. Peristiwa yang sudah terjadi selama sepuluh tahun itu tidak dapat dibereskan dalam tempo pendek. Maka itu menurut pendapatku, sebaiknya kita menunda dulu permusuhan dan pulang kemasing-masing tempatnya. Biarlah In Kouwnio melaporkan segala pengalamannya kepada In Kauw cu, sedang Thio Sutee memberi pertanggungan jawab di hadapan guru kami. Sesudah itu, kita boleh mengadakan pertemuan pula untuk coba membereskan soal-soal kita. Adalah kejadian yang sangat di harap-harapkan, jika dalam pertemuan itu kita dapat menyudahi permusuhan yang sudah berlarut-larut ini "

"Dimana adanya bangsat Cia Sun ?" See-hoa cu memutus perkataan Lian Ciu. " Tujuan kita yang terulama adalah mencari bangsat Cia Sun." Cui San kelihatan berduka sekali. Ia merasa sangat tidak enek, karena, gara-gara mencari orang yang hilang dalam Rimba Persilatan telah muncul gelombang yang begitu besar dan yang sudah meminta sangat banyak korban. Mendengar pertanyaan See hoa cu, ia jadi serba salah. Jika ia memberitahukan terang-terangan, sejumlah besar pentolan Rimba Persilatan sudah pasti akan meluruk ke Pang hwee to untuk mencari kakaknya. Jika ia membungkam ..... bagaimana ia dapat membungkam?

Selagi ia bimbang, tiba-tiba terdengar suara So So: "Bangsat Cia Sun yang jahat dan membunuh manusia secara serampangan sudah mampus sembilan tahun yang lalu,"

Semua orang kaget. "Sudah mati ?" mereka menegas serentak.

"Benar," jawabnya. "Pada suatu malam, yaitu ketika aku melihatnya anakku, bangsat Cia Sun mendadak kalap. Selagi mau membunuh Ngoko dan aku, tiba-tiba dia dengar suara tangisan bayi ku. Penyakitnya kambuh dan bangsat itu mati dengan mendadak."

Cui San mengerti maksud isterinya. Dengan, mengatakan, bahwa "Cia Sun yang jahat sudah. mati." So So tidak berdusta, karena, bagai mendengar tangisan Bu Kie, kekalapan dan kekejaman "Cia Sun yang jahat" menghilang dan mulai dari detik itu, ia berubah menjadi seorang baik, dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa sembilan tahun berselang , "Cia Sun yang jahat" sudah mati dan Cia Sun yang baik menjelma dalam dunia.

See hoa cu mengeluarkan suara dihidung. Ia tidak percaya keterangan So co yang dianggapnya sebagai perempuan menyeleweng dari "agama,
yang menyeleweng pula.

"Thio Ngohiap, apa benar bangsat Cia Sun sudah mampus?," tanyanya dengan suara keras.

"Benar, bangsat Cia Sun yang jahat sudah mati pada sembilan tahun berselang," jawab Cui San dengan suara sungguh-sungguh.

Sekoyong-konyong Bu Kie menangis keras "Giehu bukan bangsat jahat!" teriaknya. "Giohu tidak mati! Giehu tidak mati! "

Biarpun berotak sangat cerdas, Bu Kie masih terlalu kecil dan belum berpengalaman. Rasa cintanya terhadan Cia Sun tidak kurang dari rasa cintanya terhadap kedua orang tuanya sendiri.

Maka itu, dapatlah dimengerti, jika ia tidak tahan mendengar tanya jawab itu dan cacian-cacian yang ditujukan terhadap ayah angkatnya.

Semua orang terkesiap dan tertegun. Dalam gusarnya. So So menggapelok muka puteranya. "Diam!" bentaknya dengan bengis. "Ibu, mengapa kau mengatakan Giehu sudah mati?" tanya bocah itu dengan suara serak "Bukankah ia masih hidup segar bugar?"

"Jangan campur-campur urusan orang tua !" bentak sang ibu "Yang sudah mati adalah Cia Sun, si penjahat jahat, bukan Giehumu."

Bu Kie bingung, tapi ia tidak berani membuka rnulut lagi.

See hoa cu tertawa dingin. "Saudara kecil," katanya kepada Bu Kie. "Cia Sun ayah angkatmu bukan? Dimana dia sekarang ?"

Si bocah mengawasi muka kedua orang tuanya. Sekarang ia mengerti, bahwa perkataan yang tadi dikeluarkanuya mempunvai arti yang sangat penting. Ia menggelengkan kepala seraya menjawab: "Tidak, aku akan beritahukan kau." Dengan tidak sengaja, jawaban itu merupakan bukti yang lebih kuat, bahwa Cia Sun sebenarnya belum mati .

Sambil mengawasi Cui San dengan mata men delik, See hoa cu membentak: "Thio Ngohiap! Apa benar In Kouwnio isterimu ?"

"Benar, dia isteriku!" jawabnya dengan suara nyaring.

"Dua orang murid partai kami telah celaka dalam tangan isterimu." kata pula See hoa cu sambil menahan amarah. "Mereka mati tidak, hidup pun tidak. Bagaimana kita harus memperhitung kan perhitungan ini ?"

Cui San dan So So terkejut.

"Jangan ngaco!" bentak nyonya muda itu.

"Dalam hal ini mungkin terselip salah mengerti," kata Cui San, "Sudah sepuluh tahun karni berdua meninggalkan wilayah Tionggoan. Cara bagai man kami bisa mencelakakan murid partai kalian"'

"Huh huh! " See hoa cu menggeram. "Memang.....memang Ko Cek Seng dan Chio Tauw sudah menderita lebih dari sepuluh tahun lamanya."

"Ko Cek Seng dan Chio Tauw ?" menegas So So.

"Apa Thio Hujin masih ingat kedua orang itu?" ejek See hoa cu. "Aku kuatir kau sudah tidak ingat lagi karena kau telah membunuh ter lalu banyak manusia."

"Mengapa mereka?" bentak So So. "Mengapa kau menuduh aku secara membuta tuli ?"

"Menuduh membuta tuli! Membuta tuli...!" teriak Su hoa cu. "Ha ha ha ! .... Mereka se karang sudah jadi gila..... sudah hilang ingatan.. Tapi mereka masih ingat namanya satu manusia. Mereka masih ingat, bahwa yang mencelakakan mereka adalah In So So!" Seraya mengatakan begitu, ia menatap wajah nyonya Cui San dengan mata beringas.

"Tutup mulutmu !" bentak Hong Tancu. "Kau tidak berhak untuk menyebutkan nama terhormat dari Hiocu Cie wie tong kami. Apakah kau tidak tahu adat-istiadat Rimba Persilatan? Cian pwee apa kau ? Thia Hiantee, apakah dalam dunia ini ada hal yang lebih memalukan dari pada itu?"

"Tak ada," jawab Thia Tancu. "Aku sungguh tak mengerti, mengapa sebuah partai yang begitu tersohor mempunyai murid ugal-ugalan seperti dia. Sungguh memalukan ?"

Di ejek begitu, See hoa cu jadi kalap. "Binatang ! Siapa yang memalukan ?" teriaknya seraya mencekal gagang pedangnya.

Hong Tancu tetap tenang, bahkan melirikpun tidak. "Thia hiantee," katanya pula. "Seseorang yang sudah memiliki beberapa jurus ilmu pedang kucing kaki tiga sebenarnya harus mengenal kesopanan manusia. Bagaimana pendapatmu ?"

Thia Tancoa mengangguk seraya menjawab "Benar. Semenjak Giok hie Too tiang meninggal dunia, makin lama mereka makin tidak keruan macam."

Giok hie Too tiang adatah Su peh (paman guru) See hoa cu. Imam yang beribadat itu bukan saja tinggi ilmu silatnya, tapi juga sangat mulia hatinya, sehingga ia dihormati sangat dalam Rimba Persilatan.

Paras muka See hoa cu berubah merah padam. Tak dapat ia menjawab sindiran itu. Jika ia membantah. bukankah ia jadi menhina Su pehnya sendiri yang namanya telah menggetarkan seluruh negeri ?

Tiba tiba ia bangun, badannya berkelebat dan ia sudah berdiri diluar pintu gubuk perahu, "Srt!" Ia menghunus pedang. "Bangsat!" teriaknya. "Kalau kau mempunyai nyali, keluarlah!"

Ejekan kedua pemimpinan Peh bie kauw itu terhadap See hoa cu adalah untuk menolong in So So dari desakan. Mereka menganggap. bahwa dengan pernikahan Cui San dan So So, perhubungan antara Bu tong pay dan Peh bie kauw sudah berubah. Meskipun Jie Lian Ciu dan Thio Cui San tidak sampai turun tangan untuk membantu pihaknya, kedua orang itu juga pasti tidak akan menyerang Peh bie kauw. Menurut perhitungan mereka, tanpa campur tangannya pihak Bu tong, mereka akan dapat mengalahkau orang orang Kun loan pay yang hanya terdiri dari tujub delapan orang.

Perhitungan Peh bie kauw itu sudah dapat ditebak oleh Wie Su Nio yang bisa berpikir dengan otak dingin. "Suko!" teriaknya. "Mereka yang berada di perahu ini adalah tamu tamu kita. Kita harus turut segala keputusan Jie Jie hiap "

Dengan berkata bergitu, San-tian Nio nio telah berlaku bijaksana. Jie Lian Ciu adalah seorang pendekar yang tulus bersih, sehingga ia pasti tidak akan berlaku curang.

Tapi diluar dugaan dalam gusarnya, See-hoa cu yang tolol tidak mengerti maksud Su-moay nya. "Omongan kosong!" teriaknya. "Bu tong pay dan Peh bie kauw sudah terikat famili. Mana bisa dia berlaku sama tengah lagi!"

(Bersambung jilid 14)


BU KIE
Karya : CHING YUNG
Terjemahan: Bu Beng Tjoe

Jilid 14

Jie Lian Ciu adalah seorang yang sabar dan panjang pikirannya. Ia jarang memperlihatkan rasa girang atau gusar pada paras mukanya. Perkataan See hoa cu yang sangat menusuk tidak dijawab olehnya dan ia mengasah otak untuk mencari jalan keluar.

"Suka, jangan kau menggoyang lidah sembarangan," kata Wie Su Nio cepat-cepat dengan rasa mendongkol. "Semenjak dulu, Bu tong dan Kun loan mempunyai hubungan yang sangat erat. Dalam sepuluh tahun, dengan bahu membahu kita bersama sama melawan musuh. Jie Jiehiap alalah seorang jujur yang sangat dihormati dalam kalangan Kang-ouw, sehingga tidak mungkin ia mengeloni pihak yang salah."

See hoa cu mengeluarkan suara dari hidung, "Belum tentu," katanya
Bukan main rasa mendongkolnya Wie Su Nio yaag diam diam mencaci kakak yang tolol itu: "Suko!" bentaknya. "Jika tanpa sebab kau cari cari urusan dengan Bu tong Ngohiap dan kau di gusari oleh Ciangbun susiok, aku tak akan campur campur lagi urusanmu."

Mendengar ancaman itu, barulah See hoa cu menutup mulut.

"Urusan ini telah menyeret berbagai partai dan golongan dalam Rimba Persilatan," kata Jie lian Cu. "Aku seorang bodoh maka tidak berani mengambil keputusan sendiri. Apa pula, karena sudah berlarut larut selama sepuluh tahun, persoalan ini tentu sukar dibereskan dalam tempo pendek. Aku telah mengambil keputusan untuk pulang ke Bu tong bersama-sama Thio Su tee guna memberi laporan kepada Insu dan Toa suheng dan meminta petunjuk Insu."

See hoa cu tertawa dingin, "Sungguh lihay pukulan Jie hong Soo pit Jie Jiehiap." ejeknya.

"Jie-hong Su-pit," (Seperti tutupan seperti kurungan) adalah serupa pukulan Bu-tong-pay untuk membela diri yang sangat terkenal dalam Rimba Persilatan. Dengan berkata begitu See hoa cu bukan saja mengejek Jie Lian Ciu pribadi tapi juga menghina pukulan Bu tong pay itu yang digubah oleh Thio Sam Hong sendiri. Biarpun sabar, darah Jie Lian Ciu meluap juga. Syukur sebelum mengumbar napsu, ia keburu ingat segala akibatnya, sehingga, sambil menarik napas, ia menindih hawa amarahnya dan hanya menyapu muka See hoa cu dengan sinar mata berkilat-kilat. "Jika See hoa Toheng mempunyai pendapat lain, aku bersedia untuk mendengamya." katanya dengan suara dingin.

Setelah disapu dengan sorot mata gusar, See hoa cu jadi keder. "Sumoy," katanya, "bagaimana pendapatmu? Apakah sakit hati Ko Cek Seng dan Chio Tauw boleh disudahi dengan begitu saja ?"

Sebelum Wie Su Nio menjawab, disebelah selatan sekonyong-konyong terdengar suara terompet dan sesaat kemudian seorang murid Kun Lun masuk seraya berkata: "Kawan-kawan dari Khong tong pay dan Go bie pay sudah tiba untuk menyambut kita."

Lie Thian Hoan dan dua kawannya saling melirik. Paras muka mereka agak berubah.

Dilain pihak, See hoa cu dan Wie Su Nio jadi girang. "Jie Jiehiap." kata San tian Nionio, "kurasa kita sebaiknya minta pendapat pihak Khong tong dan Gobie."

"Baiklah," jawab Lian Ciu.

Kedatangan orang orang Khong tong dan Go bie menambah kejengkelan Cui San. Partai Go bie masih tidak apa, tapi Khong tong pay mempunyai permusuhan yang sangat hebat dengan kakaknya, yang sudah melukakan Khong tong Ngoloo dan merampas kitab Cit siang kun. Ia merasa pasti, bahwa orang-orang Khong tong tak akan mau mengerti jika ia tidak memberitahukan di mana adanya Cia Sun.

Sementara itu, So So memikir dari yang lain. Disatu pihak ia mendongkol terhadap puteranya, tapi dilain pihak ia ingat, bahwa anak itu belum mengerti kejustaan dan rasa cintanya terhadap Cia Sun tak dapat diukur dalamnya. Maka itu, bahwa dia menangis dan membantah pernyataan orang tentang kematian ayah angkatnya adalah hal yang sangat dapat dimengerti. Memi kirbegitu, ia merasa menyesal sudah menggaploknya begitu keras dan lalu memeluk Bu Kie sambil mengusap-usap pipi sibocah.

"Ibu. Giehu tidak mati, bukan?" bisik Bu Kie dikuping ibunya.

"Tidak, tidak mati, aku hanya mempedayai mereka," jawab sang ibu "Mereka adalah orang orang jahat yang ingin mencelakakan Giehumu."

Bu Kie tersadar. Dengan mata gusar, ia me nyapu Jie Lian Cui dan semua orang yang berada disitu, Mulai hari itu, kedua kakinya menginjak dunia Kangouw dan mulai saat itu, ia mengerti akan kekejaman manusia.

Beberapa saat kemudian, orang-orang Khongtong dan Go bie masing-masing pihak berjumlah enam tujuh orang sudah masuk kegubuk perahu. Pemimpin rombongan Khong tong adalah Kat-ie Loojin, seorang tua yang bertubuh kurus kering, sedang kepala rombongan Go bie adalab seorang Niekouw (pendata wanita) setengah tua. Melihat Lie Thian Hoan dan kawan-kawannya, mereka kaget dan heran.

"Tong Samko! Ceng hie Su thay!" teriak See hoa cu. "Bu tong pay dan Peh bie kauw sudah bergandengan tangan. "Kali ini kita rugi besar."

Orang yang dipanggil "Tong Samko" adalah Kat-ie Loojin Tong Bu Liang, salah seorang dari Khong thong ngoo loo, sedang Ceng hie
Suthay ialah murid turunan keempat dari Go bie pay dan dalam Rimba Persilatan, pendeta wanita itu mempunyai nama yang cukup besar.

Mendengar teriakan See hoa cu, mereka tercengangang, Ceng hie Suthay yang berpikiran panjang dan mengenal adat See hoa cu tidak mau lantas percaya. tapi Tong Bun Liang lantas saja naik darahnya, "Jie Jie hiap, apakah benar begitu?" tanyanya dengan suara keras.

Sebelum Jie Lian Ciu keburu menjawab, See hoa cu sudah mendahului: "Bu tong pay dan Peh bie kauw sudah jadi cinkee (besan). Thio Cui San, Thio ngohiap, sudah menjadi menantu In Toakauwcu..."

"Thio Ngohiap yang sudah menghilang sepuluh tahun yang lalu?" tanya Tong Bun Liang dengan heran.

"Benar, itulah adikku Cui San," jawab Lian Ciu seraya menunjuk Ngohiap. "Ngotee, inilah Tong Bun Liang, Tong Samya, seorang Cianpwee dari Khong tong pay."

Bu Liang dan Cui San saling membungkuk dan mengucapkan kata-kata merendahkan diri.

See hoa cu yang sudah tak dapat menahan sabar lagi, lantas saja berkata pula: "Thio Ngo hiap dan In Kauwnio tahu tempat persembunyiannya Kim mo Say ong Cia Sun, tapi mereka menolak untuk memberitahukannya kepada kami. Mereka malah berdusta dan mengatakan, bahwa bangsat Cia Sun sudah mampus."

Begitu mendengar nama Kim mo Say ong Cia Sun, darah Tong Bun Liang meluap. "Dimana dia sekarang ?" tanyanya dengan suara keras,

"Dalam urusan ini, lebih dulu aku harus melaporkan kepada In su dan aku mohon maaf karena tak dapat segera memberitahukan kepada kalian." jawab Cui San.

Kedua mata Tong Bun Liang seolah-olah mengeluarkan api. "Dimana adanya bangsat Cia Sun?" teriaknya. "Dia telah membinasakan keponakanku. Aku tak mau hidup bersama-sama dia dalam dunia. Dimana dia? Katakan saja! Kau mau memberitahukan atau tidak?"

Perkataan-perkataan itu yang dikeluarkan tanpa sungkan-sungkan dan tanpa mengenal kesopanan sudah menggusarkan So So yang lantas saja
berkata dengan suara dingin : "Mengapa kau tidak menceritakan juga, bahwa dia sudah melukakan Kong tong Ngoolo dan merampas kitab Cit siang Kun?"

Dalam melukakan Ngoolo dan merampas kitab Cit siang kun, Cia Sun telah menggunakan nama Seng Kun. Hal yang sebenamya baru diketahui Khong tong pay pada kira-kira lima tahun berselang. Tapi, karena kejadian tersebut menodai nama partay maka orang-orang Khong tong pay selalu meenutupkan rapat. Bagaimana nyonya muda itu bisa tahu rahasia tersebut?

Paras muka Kat-ie Loojin lantas saja berubah pucat dan sambil mementang sepuluh jarinya, ia mengangkat kedua tangannya untuk menyerang. Tapi dilain detik, ia ingat, bahwa sebagai seorang tua, tak pantas ia turun tangan lebih dahulu terhadap seorang wanita muda yang kelihatannya begitu lemah lembut sehingga tangan yang sudah terangkat itu berhenti ditengah udara.

Sambil menahan amarah, ia berpaling kepada Cui San dan bertanya: "Siapa dia ?"

"Isteriku," jawabnya.

"Puterinya In Toakauwcu dari Peh bie kauw," menyelak See hoa cu.

Peh bie Eng ong In Thian Ceng memiliki ilmu silat yang tidak dapat diukur tingginya dan sehingga waktu itu, seorangpun belum pemah dapat melayaninya dalam sepuluh jurus. Mendengar, bahwa nyonya Cui San adalah puteri In Thian Ceng, Tong bun Liang lantas saja merasa keder dan berkata dengan suara terputus-putus : "Oh!... begitu"

Sesaat itu, Ceng hie Suthay yang sedang masuk kegubuk perahu belum pemah bicara, baru membuka mulut. "Sebaiknya kita minta Jie Jiehiap menerangkan seluk beluk kejadian ini," katanya.

"Urusan ini berbelit belit dan sudah menyeret banyak sekali orang," kata Lian Ciu. "Disamping itu, permusuhan sudah berjalan lama sekali, sudah kurang lebih sepuluh tahun, sehingga dapatlah dimengerti, jika kita tak akan dapat mengupasnya dalam tempo pendek. Begini saja, tiga bulan kemudian partai kami akan mengadakan perjamuan di Hong ho lauw dan mengundang wakil-wakil berbagai partai serta golongan. Dalam pertemuan itu, kita akan merundingkan persoalan ini sedalam-dalamnya. Bagaimana pendapat kalian ?"

"Aku setuju," jawab Ceng hie seraya mengangguk.

"Siapa benar, siapa salah, boleh dibicarakan tiga bulan lagi," kata Tong Bun Liang. "Tapi tempat sembunyinya Cia Sun harus diberitahukan sekarang juga."

Cui San menggelengkan kepala. "Sekarang tidak bisa," katanya dengan suara tetap. Tong Bun Liang gusar tak kepalang, tapi sebisa bisanya ia menahan sabar, karena ia mengerti bahwa jika Bu tong pay sampai bersatu padu dengan Peh bie kauw, akibat bakal hebat sekali. Maka itu, dengan muka merah padam, ia bangun berdiri dan mengangkat kedua tangannya: "Baiklah. Kita akan bertemu kembali tiga bulan kemudian."

"Tong Samya, bolehkah kami menumpang di perahumu ?" tanya See hoa cu.

"Mengapa tidak ?" jawabnya.

"Bagus! Sumoay, ayolah !" mengajak See hoa cu. Orang orang Kun loan datang ketempat pertempuran dengan menggunakan perahu Bu tong dan dengan sikapnya itu, terang terang See hoa cu sudah memandang Bu tong pay sebagai lawan.

Tapi Jie Lian Ciu tetap bersikap tenang. Dengan manis budi ia mengantar semua tamu kekepala perahu. "Sepulangnya kami ke Bu tong dan sesudah kami memberi laporan kepada Insu, kami akan segara mengirim surat undangan," katanya sambil membungkuk.

Baru saja See hoa cu mau menyebrang keperahu Khong tong, tiba-tiba So So berkata: "See hoa Tootiang, tahan dulu! Aku mau menanyakan serupa hal."

"Ada apa ?" tanya siberangasan sambil memutar tubuh.

"Tootiang," kata pula si nyonya sambil bersenyum. "tak henti-hentinya kau mengatakan, bahwa agama kami agama menyeleweng, agama sesat. sedang aku sendiri perempuan siluman. Bolehkah aku tahu dimana sesatnya dan dimana sifat silumannya?"

Untuk sejenak See hoa cu tertegun. Sesudah menenteramkan hati, ia menjawab: "Agamamu bukan agama tulen, tapi menyeleweng dan tersesat dari jalan yang lurus. Kecantikanmu seperti kecantikan siluman rase yang jahat dan cabul. Itu jawabanku. Perlu apa kau rewel rewel. Kalau kau bukan siluman, bagaimana seorang laki laki sejati Thio Ngohiap bisa terpincuk ! Hu-hu !"

"Terima kasih untuk penjelasan itu," kata So So.

See hoa cu girang dan bangga, menganggap nyonya muda itu sudah dijatuhkan dengan kata katanya yang tajam. Sambil bersenyum, ia menindak kepapan untuk menyeberang keperahu Tong Bun
Liang.

Perahu Bu tang dan Khong tong adalah perahu perahu besar dengan tiga layar sehingga walaupun berdempetan, jarak antara kedua perahu itu, yang dihubungkan dengan papan masih kira kira dua tombak.

Karena harus bicara dulu dengan So So, See hoa cu jadi ketinggalan dan sesudah semua orang berada di perahu Tong bun Liang, ia sendiri baru mulai menyeberang. Baru berjalan beberapa tindak, mendadak ia merasakan kesiuran angin luar biasa dibelakangnya. Meskipun berangasan dan pendek pikiran, ia berkepandaian tinggi dan berpengalaman luas. In tahu dirinya dibokong dan begitu memutar badan, tangannya sudah mencekal pedang.


Mendadak, mendadak saja, ia merasa kedua kakinya menjeblos kebawah. Papan penyeberangan putus jadi dua! Sebisa-bisanya ia berusaha untuk menolong diri, tapi karena jarak keperahu Khong tong masih agak jauh, maka tanpa ampun lagi ia tercebur kedalam air.

Sial sungguh, ia tidak bisa berenang, sehingga dalam sekejap, ia sudah minum beberapa ceguk air asin. Selagi ia kebingungan dan memukul serta menendang air dengan tangan dan kaki,tiba-tiba melayanglah seutas tambang. Cepat cepat ia mencekalnya dan dilain saat, ia merasa badannya terangkat naik keatas permukaan air.

Ia menengadah dan melihat bahwa yang mengangkatnya adalah Thia Tancu yang paras muka nya seperti tertawa, tapi bukan tertawa.

Tak usah dikatakan lagi, itu semua kerjaan So So. Karena mendongkol, diam-diam ia memerintahkan Hong dan Thia Tancu "mengerjakan." si berangasan itu. Tigapuluh enam golok terbang dari Hong Tancu terkenal dalam kalangan Kang ouw. Golok itu yang tipis dan tajam luar biasa, jarang meleset dari sasarannya. Selagi So So bicara dengan See hoa cu, dengan sekali menimpuk, Hoag Tancon telah memotong papan itu dengan hui to nya dan meninggalkan sebagaian kecil supaya tidak lantas jatuh kedalan air dan baruakan patah jika diinjak.Thia Tancu sendiri siapa sedia deagan seutas tambang, tapi pertolongannya baru diberikan sesudah See hoa cu minum banyak air.

Wie Su Nio, Tong Bun Liang dan yang lain lain menyaksikan itu dengan mata membelalak, tapu mereka tidak dapat segera menolong, karena berada dalam jarak yang agak jauh.

See hoa cu merasa dadanya seperti mau meledak, tapi dalam keadaan tidak berdaya, sedapat dapatnya ia menahan amarah. Celaka sungguh, baru mengangkat kira kira satu kaki dari permukaan air, Thia Tancu berseru. "Toheng," katanya, "jangan kau bergerak. Tenagaku tidak cukup. Jika kau bergerak tambang ini bisa terlepas !"

See hoa cu bingung bukan main. Kalau dilepas, ia bisa celaka, atau sedikitnya bakal minum lebih banyak air asin.

Tiba tiba Thia Tancu berteriak: "Hati hati!" Dengan sekali menyentak, tubuh See hoa cu terayun kebelakang tujuh delapan kaki dan kemudian, ia melemparkan bandulan manusia itu keperahu seberang.

Begitu kedua kakinya hinggap diatas geladak perahu Khong tong, See hoa cu kalap bahna gusarnya. Kegusarannya lebih meluap-luap, karena orang-orang Peh bie kauw dengan serentak bersorak-sorai. Karena pedangnya sendiri sudah hilang di dalam air, bagaikan kilat ia menghunus pedang Wie Su Nio dan melompat kekepala perahu untuk menerjang musuh. Tapi, jarak antara kedua perahu itu sudah sangat jauh, sehingga apa yang dapat dibuatnya hanialah mencaci habis-habisan.

Semua perbuatan So So telah dilihat oleh Jie Lian Ciu, yang diam-diam mengakui, bahwa wanita itu benar mempunyai sifat-sifat yang sesat dan kurang tepat untuk menjadi pasangan adiknya. Maka itu, ia lantas saja berkata. "In Hio cu dan Lie Hio cu, kuharap kalian suka menghadapi pertemuan di Oey ho lauw pada tiga bulan kemudian. Sekarang kita berpisah saja. Ngotee, mari ikut aku pergi menemui Insu."

"Baiklah," kata Cui San dengan perasaan tidak enak.

So So mengerti, bahwa dengan berkata begitu. Lian Ciu berusaha untuk memisahkan diri dari sang suami. Dengan paras muka duka, ia mendongak mengawasi langit dan kemudian menunduk, memandang geladak perahu.

Cui San lantas saja mengerti maksud isterinya, yang ingin mengingatkan sumpahnya sendiri yaitu "Langit diatas. Bumi dibawah, kita tak akan berpisahan lagi."

Maka itu, ia lantas saja berkata: "Jieko, aku ingin sekali mengajak teehumu dan anakku pergi menemui Insu lebih dulu dan sesudah mendapat perkenan beliau, barulah aku mengunjungi Gakhu (mertua). Bagaimana pendapatmu?"

"Begitupun baik," jawab sang kakak sambil pengangguk.

So So girang. "Susiok", katanya kepada Lie Thian hoan, "aku mohon kau suka memberitahu kan Thia thia (ayah), bahwa anaknya yang tidak berbakti telah bisa pulang kebali, dan di dalam beberapa hari, kami akan pulang ke Cong to untuk menemui beliau."

"Baiklah." kata Lie Hiocu seraya manggutkan kepala. "Kami akan menunggu kalian di Cong to." Ia bangun berdiri dan berpamitan.

"Bagaimana dengan kakakku?" tanya So So sebelum Lie Thian hoan berlalu.

"Bagus, sangat bagus!" jawabnya. "Selama bebarapa tahun ini, ilmu silat kakakmu telah mendapat kemajuan luar biasa, sehingga aku sendiri sudah ketinggalan sangat jauh."

"Ah! Susiok selamanya suka guyon-guyon dengan anak anak." kata So So sambil tertawa.

"Tidak, aku tidak bicara main-main," kata sang paman dengan suara sungguh?sungguh. "Kemajuan kakakmu malah telah dipuji juga oleh ayahmu sendiri."

"Ah Susiok!" kata nyonya Cui San. "Janganlah memuji orang sendiri di hadapan orang luar. Aku kuatir Jie Jie hiap akan tertawa."

"Sesudah Thio Ngohiap menjadi Kouw-ya (menantu), apakah Jie Jie hiap masih dipandang sebagai orang luar" kata Lie Thian Hoan seraya tertawa dan kemudian, sesudah memberi hormat, bersama dengan kawannya, ia lalu meninggalkan perahu Bu tong. Mendengar tanya jawab itu, Lian Ciu merasa kurang senang, tapi ia hanya mengerutkan alis dan tidak mengatakan apa-apa.

Begitu lekas orang-orang Peh hie kauw berlalu, Cui San segera bertanya dengan tergesa-gesa : "Jieko, bagaimana dengan keadaan Samko ? Apa..apa.. lukanya sudah sembuh?'

Lian Ciu menghela napas, ia tidak lantas menjawab pertanyaan adiknya.

Jantung Cui San berdebar keras. Dengan mata membelalak, ia mengawasi muka sang kakak.

"Samtee tidak mati," kata Lan Cui akhimya. "Tapi, hampir tiada beda dengan mati. Ia telah menjadi orang bercacad, kaki tangannya tidak dapat digerakkan lagi. Jie Thay Giam Jie Sam hiap..hm....dunia Kangouw tak akan melihatnya lagi."

Air mata Cui San lantas saja mengucur. " Apa kah sudah diketahui siapa yang mencelakakannya?" tanyanya dengan suara parau.

Lian Ciu tidak meniawab. Mendadak ia mutar kepala dan sinar matanya yang seperti kilat menatap wajah So So. "In Kauwnio, apa kau tahu siapa yang melakukan Jie Samtee?" tanyanya dengan suara tajam .

So So menggelengkan kapala. "Kudengar Jie Samhiap kena pukulan Kim kong cie dari Siauw lim sie," jawabnya.

"Benar! Tapi apa kau tahu siapa yang melakukan serangan itu?" tanya pula Lian Cu.

"Tidak, aku tak tahu," jawabnya.

Lian Ciu tidak mendesak lagi, tapi menengok kepada Cui San seraya berkata: "Ngotee, menurut Siauw lim pay kau telah membinasakan keluarga Liang boan Piauw kiok dan beberapa pendata. Siauw lim sie. Apa benar?"

Cui San tergugu dan menjawab dengan suara terputus-putus : "Ini... ini .."

"Kejadian itu tiada sangkut pautnya dengan dia ", menyelak So So. "Akulah yang sudah membunuh mereka."

Lian Ciu melirik nyonya muda itu dengan sorot mata gusar, tapi sejenak kemudian, paras mukanya udah berubah sabar kembali. "Aku memang tahu bahwa Ngo tee tak akan membunuh orang secara serampangan." katanya. "Semenjak kau menghilang antara partai kita dan Siauw lim pay telah terjadi sangketa. Kita mengatakan, bahwa mereka telah melukakan Samko, tapi mereka sebaliknya menuduh kau sebagai orang yang telah membunuh puluhan orang Siauw lim. Karena tak ada saksi, maka urusan itu sehingga sekarang masih belum bisa dibereskan. Untung juga Kong bun Tay-su Ciang bun jin dari Siauw-lim pay, adalah seorang yang berpandangau jauh dan menghormati Insu. Dengan sekuat tenaga, ia sudah melarang murid-muridnya menimbulkan gelombang. Itulah sebabnya mengapa selama sepuluh tahun, Bu-tong dan Siauw lim belum pernah terjadi bentrokan senjata."

"Diwaktu muda aku telah bertindak semberono dan sekarang aku merasa sangat menyesal" kata So So. "Tapi apa mau dikata beras sudah menjadi nasi. Jalan satu satunya adalah menyangkal tuduhan mereka,"

Paras muka Lian Ciu lantas saja berubah. Ia sungguh tak mengerti, bagaimana adiknya yang begitu mulia bisa menikah dengan wanita sesat itu.

Dilain pihak, So So pun merasa kurang senang terhadap Lian Ciu, karena Jie-hiap ini bersikap dingin tapi juga terus memanggil dengan panggilan "In Kouwnio" (nona In) dan tidak menggunakan "teehu" (isteri dari adik lelaki). Maka itu, ia lantas saja berkata dengan suara tawar: "Siapa yang berbuat, ia yang harus bertanggung-jawab,
urusan ini, aku pasti tak akan menyeret-nyeret pihak Bu tong pay. Suruh saja Siauw lim pay cari Peh bie kauw."

Lian Ciu jadi gusar dan berkata dengan suara nyaring: "Dalam kalangan Kangouw, yang paling diutamakan adalah keadilan. Jangankan Siauw lim pay sebuah partai besar, anak kecilpun tak boleh dihina dengan mengandalkan kekuatan."

Jika teguran pedas itu diberikan pada sepuluh tahun berselang, So So tentu sudah menghunus pedang. Tapi sekarang, biarpun darahnya meluap, sebisa-bisa ia menahan napsu.

"Ajaran Jieko sedikitpun tak salah," kata Cui San seraya membungkuk.

"Aku tak kepingin dengar ajaranmu," kata So So di dalam hati dan sambil menarik tangan Bu Kie, ia bertindak keluar. "Bu Kie, mari kita meninjau perahu besar ini yang belum pemah dilihat olehmu," katanya.

Sesudah isteri dan puteranya berlalu dari gubuk perahu, Cui San segera berkata dengan suara jengah. "Jieko, selama sepuluh tahun ini, aku...."

"Ngotee," sang kakak memotong perkataannya sambil mengebas tangan. "Kecintaan antara kau dan aku adalah kecintaan darah daging. Dalam bahaya apapun juga, aku akan tetap berdiri didampingmu untuk hidup dsn mati bersama-sama. Urusan pernikahanmu, kau tak usah membicarakan dengaku. Sesudah kemali di Bu tong, kau boleh melaporkan kepada Suhu, Jika Suhu gusar dan lalu menjatuhkan hukuman, kita beramai, Bu tong Cit hiap, akan berlutut di hadapan Suhu untuk memohon pengampunan. Puteramu sudah begitu besar dan aku tidak percaya, bahwa Suhu akan cukup tega untuk memisahkan kau dengan anak isterimu."

Bukan main rasa girang dan terima kasihnya Cui San. "Terima kasih atas kecintaan Jieko," katanya dengan suara terharu.

Jie Lian Ciu adalah seorang yang diluarnya kelihatan menyeramkan dan keras, sedang di dalamnya, lembek dan mulia. Diantara Bu tong Cit hiap ialaj yang paling jarang berguyon, sehingga adik-adik seperguruannya lebih takut terhadapnya daripada terhadap Song Wan Kiauw. Tapi selain ditakuti, ia juga sangat dicintai, karena ia sangat mencintai saudara-saudara seperguruannya. Hilangnya Cui San mendukakan hatinya, sehingga hampir-hampir ia menjadi kalap. Pertemuan dengan si adik pada hari itu merupakan kejadian yang luar biasa menggirangkan, tapi ia tidak memperlihatkan kegirangannya itu pada paras mukanya dan malah sudah menegur So So dengan kata-kata keras.

Sesudah berada berduaan, barulah ia mengutarakan isi hatinya di hadapan si adik. Apa yang paling dikuatirkan olehnya adalah keselamatan So So yang sudah membunuh begitu banyak murid Siauw lim sie dan ia merasa, bahwa peristiwa itu tidak mudah dapat dibereskan dengan jalan damai. Tapi diam-diam ia sudah mengambil keputusan bahwa jika perlu, ia rela mengorbankan jiwanya sendiri, demi kepentingan dan keutuhan keluanga Su teenya.

"Jieko apakah bentrokan kita dengan Peb-bie kauw karena gara gara siauwtee?" tanya pula Cui San. "Siauw tee sungguh merasa tidak enak."

"Bagaimana sebenamya kejadian dalam pertemuan Ong-poan-san ?" Lian Ciu balas menanya, tanpa menjawab pertanyaan siadik.

Cui San lantas saja menuturkan segala pengalamannya, cara bagaimana malam malam ia masuk kegedung Long bun Piauw kiok, bagaimana ia mengenal So So, bagaimana ia turut menghadiri pertemuan di Ong poan san, bagaimana Cia Sun membunuh orang, merampas To liong to dan akhirnya menawan ia dan So So. Sesudah mendengar penuturan itu, Lian Ciu lalu meminta penjelasan mengenai nasib Ko Cek Sang dan Chio Tauw. Sesudah segala apa jelas baginya, ia menghela napas seraya berkata: "Jika kau tidak pulang, entah sampai kapan rahasia ini baru bisa diketahui."

"Benar," kata Cui San, "Saudara angkatku .....hmm. Pada hakekatnya, Cia Sun sebenarnya bukan manusia jahat. Ia telah melakukan
banyak kedosaan sebab mengalami pengalaman hebat dan mendendam sakit hati yang hebat pula. Pada akhimya, aku telah mengangkat saudara dengan ia."

Lian Ciu hanya manggut manggutkan kepalanya.

"Dengan teriakannya yang maha dahsyat, Gie heng (saudara angkat) telah merusak urat syaraf semua orang yang berada di pulau itu." kata pula Cui San. "Ia mengatakan, bahwa andaikata orang orang itu tidak menjadi mati, mereka akan kehilangan ingatan dan dengan begitu, barulah rahasia To liong to tidak sampai menjadi bocor."

"Didengar dari penuturanmu, biarpun sangat kejam, Cia Sun adalah manusia luar biasa," kata Lian Ciu. "Sepak terjangnya sangat hati-hati, tapi ia masih terpeleset dan melupakan satu orang."

"Siapa?" tanya Cui San.

"Pek Kwie Sioe," jawabnya.

"Ah! Tancu dari Hian bu tan," kata Cui San dengan kaget.

Lian Ciu mengangguk. "Menurut keteranganmu, diantara jago-jago yang berkumpul di pulau Ong poan san pada hari itu, Pek Kwie Sioe-lah yang memiliki Lweekang yang tinggi," katanya. "Karena diserang dengan semburan arak oleh Cia Sun, ia telah jatuh pingsan. Jika ia tidak berada dalam keadaan pingsan, mungkin sekali ia tak dapat mempertahankan diri pada waktu Cia Sun mengeluarkan teriakannya yang dahsyat itu."

"Benar!" Cui San memotong perkataan Su hengnya sambil menepuk lutut. "Waktu itu memang Pek Kwie Sioe belum tersadar, sehingga oleh karenanya ia tak mendengar teriakan Gie heng dan secara kebetulan berhasil menyelamatkan dirinya. Benar! Gieheng seorang yang berpikiran panjang, tapi ia tidak bisa berpikir sampai di situ."

Lian Ciu menghela napas, "Yang masih hidup hanya Pek Kwie Sioe dan kedua murid Kun lun pay itu," katanya pula, "Sebagaimana kau
tau Lweekang Kun lun pay sangat luar biasa dan walaupun tenaga dalamnya masih belum cukup tinggi, Ko Cek Sang dan Chio tauw bisa terlolos juga dari kebinasaan. Tapi mereka hilang ingatan, seperti orang menderita penyakit urat syaraf. Setiap kali ditanya, siapa yang mencelakakan mereka, mereka hanya menggeteng-gelengkah kepala, Ko Cok Sang hanya menyebutkan nama seorang, yaitu nama 'In So So'...Hmmm".

Ia berhenti sejenak dan kemudian berkata lagi . "Sekarang baru aku mengerti, bahwa si orang she Ko menyebut-nyebut nama Teehu, karena ia tidak dapat melupakan kecantikan Teehu. ..hm. Jika dilain kali See hoa cu mengeluarkan kata-kata yang kurang ajar, entah bagaimana aku harus menjawabnya. Pihaknya sendiri yang tidak benar, tapi dia masih mau menialahkan orang."

"Jika Pak Kwie Sioe tidak kurang suatu apa, dia tahu dari seluk beluk dari segala kejadian di Ong poan san," kata Cui San.

"Tapi dia tetap menutup mulut," kata Lian Ciu. "Apa kau bisa menebak sebab musababnya?"

Siadik memikir sejenak. "Ya." jawabnya, sesaat kemudian. "Mereka menutup mutut karena masih mengharap bisa merampas To liong to "

"Benar," kata Lian Ciu. "Permusuhan dalam Rimba Persilatan berpangkal disitu. Kun loan pay menuduh, bahwa In So So mencelakakan Ko Cek Seng dan Chio Tauw, sedang pihak kita menganggap kau sudah dibunuh oleh orang orang Peh bie kauw"

"Apakah hadirnya Siauwtee di pulau itu telah diberitahukan oleh Pek Kwie Sioe ?" tanya Cui San.

"Bukan," jawabnya. "Pek Kwie Sioe membungkam tidak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bersama Sie tee dan Cit tee, aku telah membuat penyelidikan di pulau itu. Kami tahu kehadiranmu, sebab melihat duapuluh empat huruf yang di tulis olehmu ditembok batu dengan menggunakan Tiat pit. Kami, segera mencari Pek Kwie Sioe dan menanyakan tentang dirimu. Karena jawabannya kurang ajar, kita bertempur dan dia kena satu pukulanku. Tak lama kemudian orang orang Kun lun pay minta keterangan dari Peh bie kauw dan berbuntut dengan pertempuran. Malam pertempuran itu, Kun lun pay menderita kerugian dua orang dipihaknya binasa dan permusuhan menghebat. Srlama sepuluh tahun, dendaman sakit hati ini jadi makin mendalam."

Cui San sangat berduka. "Karena gara gara siauwtee suami isteri, berbagai partai menemui bencana " katanya. "Siauwtee sungguh merasa sungguh sangat tak enak. Sesudah memberi laporan kepada Insu, siauwtee akan mengunjungi berbagai partai untuk coba mendamaikan dan siauw tee rela menerima hukuman apapun jua."

Lian Ciu menghela napas. "Dalam urusan orang ridak dapat menialahkan kau," katanya. "Jika hanya karena persoalan kau berdua suami istri yang terseret dalam permusuhan, paling banyak hanya Kun loan, Bu tong dan Peh bie kauw, Tapi, dalam keinginannya untuk merampas To liong to, Peh bie kauw tidak pernah menyebut nyebut nama Cia Sun, sehingga dengan begitu, Kie keng pang, Hay see pay dan Sin kun boon sudah menumplek kedosaan diatas kepala Peh bie kauw. Mereka menganggap, bahwa orang orang Peh Bie kauwlah yang sudah membinasakan pemimpin-pemimpin mereka. Itulah sebabnya, mengapa Peh bie kauw sudah dikeroyok oleh begitu banyak partai dan golongan"

Cui San menggoyang-goyangkan kepalanya. "Aku sungguh-sungguh tidak mengerti apa kebaikannya To liong to, sehingga Gakhu (mertua lelaki) rela menerima segala tuduhan yang tidak-tidak itu," katanya.

"Aku sendiri belum pernah bertemu muka dengan mertuamu," kata Lian Ciu. "Tapi kepandaiannya dalam memimpin orang-orangnya untuk melawan begitu banyak musuh, sangat dikagumi oleh semua orang."

"Jieko, ada hal lain yang tidak dimengerti olehku," kata pula Cui San. "Go bie dan Khong tong tidak turut hadir dalam pertemuan di Ong Poan San, mengapa mereks juga bermusuhan dengan Peb bie kauw?"

"Sebab musababnya berpangkal pada Giehengmu, Cia Sun, " jawabnya. "Dalam usahanya untuk mendapatkan To liong to Peh bie kauw tetah mengirim perahu-parahu Cia Sun diberbagai pulau. Kau harus mengetahui bahwa rahasia tak mungkin ditutup selama-lamanya. Meskipun Pek Kwie Sioe tetap membungkam, lama-lama rahasia itu bocor juga. Dangan menggunakan nama Hun-Goan Pek lek chioe Seng Kun, Gie-hengmu telah melakukan lebih dari tiga puluh pembunuhan yang menggemparkan. Banyak jago dari berbagai partai yang binasa ditangannya. Apa kau tahu kejadian ini?"

Cui San manggutkan kepala. "Kalau begitu, orang akhirnya tahu, bahwa itu semua telah dilakukan olehnya," katanya dengan suara perlahan.

"Setiap kali membunuh orang, diatas tembok ia menulis huruf-huruf besar yang berbunyi:Yang membunuh ialah Hun goan Pek-lek-chioe Seng Kun," Lian Ciu melanjutkan penuturannya.

"Kejadian kejadian itu sedemikian hebatnya, sehingga aku dan lain-lain saudara pernah menerima perintah insu untuk turun gunung guna bantu menyelidiki. Semula, tak satu manusiapun yang dapat menebak siapa penjahatnya, sedang Seng Kun sendiri tak pernah muncul. Tapi, sesudah rahasia Pak bie kauw bocor, orang-orang pandai berbagai partai lantas saja bercuriga dan mulai menebak-nebak. Cia Sun adalah murid tunggal dari Hun-goan Pek lek Chie. Orang juga tahu meskipun tak tahu sebab sebabnya bahwa, belakangan Cia Sun bermusuhan hebat dengan gurunya. Maka itu, orang lantas saja menduga bahwa yang menggunakan nama Seng Kun adalah Cia Sun."

"Jumlah manusia yang dibunuh Cia Sun sudah terlalu besar dan jumlah partai yang punya dendam sudah terlalu banyak. Bahkan seorang yang berkedudukannya paling tinggi dalam Siauw lim-pay, yaitu Kong kianTaysu, juga binasa dalam tangannya . Coba kau menaksir-naksir berapa jumlah orang yang ingin membalas sakit hati terhadapnya"

Paras muka Cui San berubah. pucat sekali, "Ya... Gie heng telah kembali kejalan lurus, tapi kedua tangannya berlumuran terlalu banyak darah." katanya dengan suara parau. "Jieko .. Pikiranku terlalu kusut dan aku tidak dapat memikir lagi."

"Dengan demikian semua orang mengeroyok Peh bie kauw," kata pula Lian Cu. "Karena kau, aku dan saudara-saudara mencari Peh bie kauw, karena Ko Cek Seng dan Chio Tauw, Kun loan pay mencari Peh bie kauw, karena kebinasaan pemimpinnya. Kie keng pang mencari Peh bie kauw. Siauw lim pay dan lain-lain golongan mencari Peh bie kauw sebab mau menanyakan dimana tempat sembunyinya Cia Sun. Selama beberapa tahun sudah terjadi lima kali pertempuran besar dan jumlah pertempuran kecil tak dapat dihitung lagi. Dalam pertempuran-pertempuran besar, pihak Peh bie kauw selalu jatuh dibawah angin. Akan tetapi, dengan kecerdikannya, Gak humu selalu dapat menolong rombongannya, sehingga tidak sampai menjadi hancur. Mau tidak mau semua orang orang mengakui, bahwa dia benar benar manusia luar biasa. Selama persoalan belum jelas dan masih banyak hal yang meragukan, Siauw lim, Kun lun, bu tong dan lain-lain pengurus tidak mau bertindak keterlaluan. Tapi golongan-golongan Kang ouw yang lainnya tidak sungkan-sungkan lagi. Kali ini, kami mendapat warta bahwa Hiocu dari Thian sie tong telah berlayar dengan sebuah perahu besar. Kami lantas saja menguntip. Lie Hiocu gusar dan pertempuran lantas saja terjadi. Jika kau tidak keburu datang, jumlah korban pasti akan lebih besar"

Bukan main rasa menyesalnya Cui San. Dengan sorot mata duka ia mengawasi kakak seperguruannya yang kelihatannya banyak lebih tua daripada sepulah tahun berselang. "Jieko selama sepuluh tahun, kau sungguh menderita..." katanya dengan suara berbisik. "Sesudah bisa bertemu lagi dengan kau, matipun aku rela...aku..."

"Ngotee, tak usah kau terlalu sedih," memotong kakak. "Berkumpulnya kembali Bu tong Cit hiap adalah kejadian yang sangat menggembirakan. Semenjak Samtee terluka dan kau menghilang, orang-orang Kangouw mengubah panggilan menjadi Bu tong Ngo Hiap. Huh huh! Hari ini Cit Hiap berkumpul kembali....." Ia tak dapat meneruskan perkataannya, sebab mendadak ia ingat, bahwa biarpun Cit hiap masih lengkap tujuh orang, tapi sebenarnya tidak begitu, karena Jie Thay Giam sudah tak dapat menunaikan lagi tugasnya sebagai seorang pendekar.

Sesudah berlayar belasan hari, mereka tiba dimulut Sungai Tiang kang. Mereka segera menukar perahu yang lebih kecil dan meneruskan perjalanan disungai itu. Cui San dan So So sudah menukar pakaian yang pantas dan mereka sungguh merupakan pasangan yang setimpal yang satu tampan, yang lain cantik. Bu Kie pun mengenakan baju baru dan sebagian rambutnya dibuat menjadi dua kuncir yang diikat dengan sutera merah.

Dengan parasnya yang tampan, kegesitan dan kecerdasannya, ia sungguh seorang bocah yang menarik.

Dalam sibuknya mempelajari ilmu silat, Lian Ciu tidak menikah dan ia sekarang menumplek kasih sayangnya kepada putera Suteenya itu. Bu Kie yang pintar mengetahui, bahwa Supeh yang parasnya menyeramkan itu sangat mencintai nya, sehingga, saban-saban Lian Ciu mempunyai waktu luang, ia selalu mendekati sang paman untuk menanyakan ini dan itu. Sebagai anak yang bisa bidup di pulau terpencil, pengalaman bocah itu sangat terbatas sekali banyaknya, sehingga hampir segala apa yang dilihatnya merupakan suatu yang baru baginya. Lian Cioc tidak pemah merasa bosan untuk menjawab penjelasan penjelasan yang seperlunya. Sering-sering dengan mendukung Bu Kie, ia berdiri di kepala perahu untuk menikmati pemandangan alam bersama sama keponakannya itu.

Hari itu, perahu tiba dikaki gunung Teng koan san, daerah Tong leng dalam propinsi An hui. Diwaktu magrib, perahu itu berlabuh didekat sebuah kota kecil dan juragan perahu mendarat untuk membeli daging dan arak. Cui San suami isteri dan Jie Lian Ciu beromong-omong digubuk perahu sambil minum teh, sedang Boa Kie main-main sendirian di kepala perahu.

Didarat, duduk didekat perahu itu, kelihatan seorang pengemis tua yang lehemya dilibat seckor ular hijau, sedang kedua tangannya bermain-main dengan seekor ular besar yang badannya hitam dengan titik putih.

Karena belum pemah melihat ular, Bu Kie menonton permainan sipengemis dengan mata membelalak. Melihat si bocah, pengemis itu mengangguk sambil tertawa-tawa. Tiba-tiba sekali ia mengebas tangan, ular hitam itu melesat keatas, jungkir batik ditengah udara beberapa kali dan kemudian jatuh didadanya. Boo Kie heran bukan main dan terus mengawasi dengan mata tidak berkedip. Sipengemis tertawa dan menggapai-gapai sebagai undangan.

Tanpa memikir panjang Bu Kie segera melompat kedarat dan mendekatinya, Pengemis itu mengambit sebuah kantong kain yang menggemblok dipunggungnya dan sambil membuka mulut kantong, Ia berkata seraya berkata: "Di dalam kantong ini terdapat serupa benda yang lebih menarik. Coba kau lihat."

"Benda apa?" tanya Bu Kie.

"Sangat menarik, kau lihat saja sendiri," jawabnya.

Bu Kie membungkuk dan mengawasi kedalam kantong itu, tapi ia tak dapat melihat apapun juga. Ia maju setindak lagi untuk melihat dengan lebih jelas. Mendadak, bagaikan kilat, kedua tangan si pengemis bergerak, menungkup kepala Bu Kie. Bocah itu hanya dapat mengeluarkan teriakan di tenggorokan, karena mulutnya sudah dibekap dan badannya diangkat keatas.

Teriakan Bu Kie memang sangat lemah. Tapi Lian Ciu dan suami isteri Cui San adalah ahli kelas satu yang kupingnya tajam luar biasa.

Seketika itu mereka tahu, bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak baik. Dengan serentak mereka berlari lari kekepala perahu dan melihat Bu Kie yang sudah menjadi tawanan si pengemis. Baru saja mereka mau melompat kedarat, pengemis itu sudah membentak: "Jangan bergerak! Kalau kau masih sayang akan jiwa anak ini, jangan bergerak!"

Seraya mengancam, ia merobek baju Bu Kie dibagian pinggang dan mengangsurkan mulut ular hitam itu kedekat kulit punggung si bocah.
Melihat begitu, bukan main bingung dan gusarnya So So. Tanpa memikir lagi tangannya bergerak untuk melepaskan jarum emas.

"Jangan!" bentak Lian Ciu dengin suara perlahan. Ia sudah mengenali, bahwa ular hitam itu adalah salah satu dari delapan belas macam ular paling berbisa di dalam dunia. Ular tersebut yang mengambil kedudukan kesebelas, diberi nama Cit lie seng. Makin hitam warnanya dan makin halus titik-titik putihnya, makin hebat bisanya. Ular sipengemis itu, yang hitamnya mengkilap dan titik putihnya bersinar terang, kelihatan membuka mulutnya yang besar, dalam mana terdapat empat batang caling, siap sedia untuk memagut punggung Bu Kie yang putih bersih.

Sekali dipagut, bocah itu pasti akan segera binasa. Andaikata pengemis itu bisa lantas dibinasakan dan obat pemunah bisa lantas didapatkan, masih belum tentu jiwa Bu Kia keburu ditolong dengan obat itu.

Itulah sebabnya, mengapa Lian Ciu mencegah niatan So So Dengan paras muka tidak berubah, ia bertanya: "Sebab apa tuan menawan anak itu ?"

"Sebelum aku menjawab, kau lebih dulu harus menolak perahumu sampai kira-kira delapan tombak dari tepi sungai," kata sipengemis.

Lian Ciu mengerti, bahwa sesudah perahu terpisah jauh dari tepian, Bu Kie makin sukar ditolong. Tapi karena anak itu menghadapi bencana, ia tidak dapat berbuat lain daripada menurut. Ia lalu menjemput rantai sauh dan sekali menyentak, sauhnya yang beratnya kira-kira lima puluh kati sudah melompat keluar dari permukaan air.

Melihat Lweekang Jie Jiehiap yang sangat tinggi itu, paras muka si tua agak berubah.

Dengan jantung berdebar keras, Cui San mengambil gala dan menotol tanah, sehingga perahu itu lantas saja bergerak ketengah sungai.

"Lebih jauh sedikit ?" teriak pengemis itu.

"Apa belum delapan tombak ?" tanya Cui San dengan mendongkol.

"Waktu mengangkat sauh Jie Jiehiap telah memperlihatkan Lweekang yang begitu tinggi," kata si tua sambil tertawa "Maka itu, biarpun sudah terpisah delapan tombak, aku yang rendah masih sangat kuatir,"

Apa boleh buat, Cui San mendorong pula sejauh beberapa tombak.

"Apakah aku boleh mendapat tahu she dan nama tuan yang mulia ." tanya Lian Ciu sambil menyoja.

"Aku yang rendah hanialah seorang perajurit yang tidak masuk hitungan dalam Kay pang (Partai pengemis), sehingga namaku hanya akan mengotor kuping Jie Jiehiap," jawabnya.

Melihat pengemis itu menggendong enam buah karung, Lian Ciu merasa heran, sebab seorang pengemis yang membawa karung sebanyak itu mempunyai kedudukan yang cukup tinggi. Disamping itu. sepanjang pengetahuannya, Kay pang adalah sebuah partai yang selalu melakukan perbuatan perbuatan mulia, sedang Pangcu dari partai itu adalah sahabat karib dari Toa seekonya, Song Wan Kiauw.

Selagi ia berpikir, tiba tiba So So berkata: "Apakah, Bu san pang dari Su coan timur sudah dipersatukan dengan Kay pang? Kalau tidak salah, dalam partai pengemis tidak terdapat orang yang seperti tuan."

Si tua mengeluatkan seruan tertahan, bahna kagetnya. Sebelum ia menjawab, So So sudah berkata pula : "Ho Loosam, kau jangan main gila. Jika kau mengganggu selembar rambut anakku, aku akan mencincang tubuh Bwee Ciok Kian !"

Pengemis itu kaget tak kepalang, sehingga paras mukanya berubah pucat. Sesaat kemudian, sesudah dapat menenteramkan hatinya, ia berkata: "In Koawnio mempunyai mata yang sangat tajam dan dapat mengenali Ho Loosam, Atas perintah Bwee Pangcu, aku datang kemari untuk menyambut Kongcu."

"Singkirkan ular itu !" bentak So So dengan gusar. "Hu hu! Gerombolan Bu san pang yang tiada artinya berani menyentuh kepala Peh bie kauw!"

"In Kouwnio, kau salah," bantah Ho Loosam "Sedikitpun kami tidak mempunyai niatan untuk melanggar keangkeran Peh bie kauw. Asal saja In Kouwnio sudi menjawab pertanyaanku, bukan saja aku akan segera mengembalikan Kongcu, tapi Bwee Pangsu sendiripun akan datang berkunjung untuk meminta maaf."

"Pertanyaan apa ?" tanya So So.

"In Kouwnio sendiri mungkin sudah mendengar, bahwa putera satu satunya dari Bwee Pangcu telah binasa di dalam tangan Cia Sun." jawab nya. "Bwee Pangcu memohon supaya Thio Ngo hiap dan In Kouwnio .... aku salah ... supaya Thio Ngo Hiap dan Thio Hujin sudi menaruh belas kasihan dengan memberitahukan tempat bersembunyinya Cia Sun. Untuk budi yang sangat besar itu, seluruh partai akan merasa sangat berterima kasih."

So So mengerutkan alis. "Kami tak tahu " katanya.

"Kalau begitu, kami memohon supaya kalian suka mendengar dengarkan dimana adanya Cia Sun, sedang dipihak kami, kami akan merawat Kongcu baik baik" kata pula sipengamis. "Nanti sesudah kalian mendapat tahu tempat sembunyinya Cia Sun. Bwee Pangcu sendiri akan mengembalikan Kongcu."

Melihat caling ular hanya terpisah beberapa dim dari punggung puteranya, hati So So berdebar debar. Jika ia dapat mengambil keputusan sendiri, ia tentu akan segera membuka rahasia. Ia menengok dan mengawasi muka suaminya. Sesudah menjadi suami isteri sepuluh tahun, ia mengenal adat sang suami yang keras dan mulia. Ia tahu, bahwa apapun jua yang akan terjadi Cui San pasti tidak akan menghianati Cia Sun. Ia mengerti, bahwa jika ia membuka rahasia dan Cia Sun binasa oleh karenanya, perhubungan mereka sebagai suami isteri sudah pasti tak bisa dipertahankan lagi. Maka itulah melihat paras muka Cui San yang menyeramkan, ia terpaksa menutup mulut.

"Baiklah, kau boleh menawan anakku," kata Thio Ngohiap dengan suara nyaring. "Seorang laki-laki tak akan menjual sahabat. Ho Loosam, kau terlalu memandang rendah kepada Bu tong Cit hiap."

Si pengemis terkejut, itulah jawaban yang tidak diduga-duga. Semula ia menaksir, bahwa begitu cepat Bu Kie tertawan, Cui San dan So So pasti akan memberitahukan tempat sembunyinya Cia Sun. Dengan rasa kagum, sambil berpaling kearah Lian Ciu, ia berkata: "Jie Jiehiap, Cia Sun adalah manusia berdosa yang kedosaannya bertumpuk tumpuk bagaikan gunung. Bu tong pay selalu mengutamakan keadilan dan pendirian yang sangat dihormati dalam Rimba Persilatan. Aku mengharap Jiehiap suka membujuk Ngohiap"

"Mengenai urusan ini, aku dan Ngotee sekarang justeru ingin pulang ke Bu tong untuk melaporkannya kepada Insu dan meminta keputusannya," kata Lian Ciu, "Tiga bulan kemudian, kami akan mengadakan pertemuan di Hong ho lauw. Aku harap Bwee Pangcu dan tuan juga suka menghadiri pertemuan itu, supaya kita beramai bisa berunding untuk mendapatkan suatu penyelesaian yang memuaskan. Sekarang aku minta kau suka melepaskan anak itu."

Lian Ciu bicara dengan suara perlahan dari jarak belasan tombak. Tapi setiap perkataannya dapat didengar jelas oleh Ho I.oosam yang jadi kagum bukan main. "Bu tong Cit hiap yang namanya mengetarkan seluruh negeri sunguh-sungguh bukan nama kosong." katanya di dalam hati. "Kali ini aku sudah menanam bibit permusuhan bagi Bu san pang. Tapi, biar bagaimanapun juga, sakit hati Bwee Pangcu tidak bisa tidak dibalas."

Ia merangkap kedua tangannya seraya berkata: "Kalau begitu, aku memohon beribu maaf dari kalian. Tidak ada jalan lain dari pada aku mengajak Thio Kongcu pulang ke Tongcoa."

Karena Ho Loosam merangkap kedua tangannya, maka mulut ular yang dicekal dengan salah satu tangannya jadi tepisah agak jauh dari pungung Bu Kie. Biarpun kepalanya berada di dalam karung, bocah itu telah mendengar jelas semua pembicaraan. Begitu lekas ia merasa tangan sipengemis terlepas dari dirinya, bagaikan kilat ia menepuk jalanan darah Leng tay hiat, dipunggung Ho Loosam, dan dengan berbareng, ia menendang seraya melompat. Karena kuatir musuh melepaskan ular, tanpa membuka karung yang masih menutup kepalanya, ia meloncat beberapa kali deagan sekuat tanaga.

Sesudah kabur belasan tombak, barulah ia mencabut karung dari kepalanya. Ia heran sebab melihat pengemis tua itu rebah ditanah tanpa bergerak.

Sementara itu, cepat-cepat Cui San menolak perahunya ketepi sungai dan kemudian, bersama isterinya dan kakaknya, ia melompat kedaratan. Bagaikan terbang So So berlari-lari kearah puteranya, yang lalu dipeluk dengan rasa girang yang meluap-luap.

Cui San sendiri segera menghunus pedang dan membunuh kedua ular berbisa itu.

Sesudah itu, barulah ia membungkuk dan memeriksa keadaan Ho Loosam yang mulutnya terus mengeluarkan darah dan kelihatannya sedang menderita kesakitan hebat,

"Ngotee," kata Lian Ciu dengan perasaan heran, "apa mungkin tepukan Bu Kie yang begitu enteng bisa mengakibatkan luka yang begitu berat ?" Ia mengangsurkan tangan dan coba mengangkat lengan kiri situa, tapi lengan itu kaku, seperti orang yang tertotok jalanan darahnya. Melihat begitu, ia segera mengurut jalanan darah Tau tiong hiat, dibagian dada, dan Toa twie hiat, dibelakang leher Ho Loosam.

Diluar dugaan, begitu diurut, sipengemis mengeluarkan teriakan menyayat hati. "Aduh! Mau bunuh, lekas bunuh .... Jangan kau ... menyiksa!" Ia sesambat. Seluruh tubuhnya menggigil dan giginya bercetukan.

Lian Ciu kaget tak kepalang, karena dengan urutan itu, ia bermaksud untuk menolong. Tan tiong hiat ialah pusat, atau sumber dari hawa tubuh manusia, sedang Toa twie hiat adalah tempat berkumpulnya jalanan darah besar dibagian kaki tangan manusia. Maka itu, jika kedua jalanan darah sudah mengalir baik, lain lain jalanan darah yang tertutup akan terbuka kembali.

Tapi diluar dugaan, akibatnya justeru sebaliknya. Melihat Ho Loosam menderita kesakitan yang begitu hebat, Lian Ciu segera menotok jalanan darah dipundaknya untuk mengurangkan penderitaannya dan keemudian berpaling mengawasi Cui San.

Tapi Cui San pun tidak mengerti sebab musababnya. "Sumoay," katanya. "Apakah kau melukakan dia dengan jarum emas?"

"Tidak," jawabnya. "Mungkin dia kena dipagut ulamya sendiri."

Sambil menahan sakit, si tua berkata: "Tidak... anakmu yang menghantam punggungku..." Ia melirik Bu Kie dengan sorot mata heran dan takut.

So So senang hatinya. "Bu Kie," katanya dengan suara bangga, "benarkah kau sendiri yang menghajamya ? Bagus! Bagus sekali!"

"Jalan darah apa yang harus dibuka untuk menolongnya?" tanya Cui San dengan suara jengah. Ia merasa main, bahwa sebagai ayah ia tidak dapat menolong orang yang dihajar oleh puteranya sendiri, sehingga pertanyaan itu tidak langsung ditujukan kepada Bu Kie.

So So tertawa geli. "Anak," katanya. "Thia thia menyuruh kau membuka jalanan darahrnya. Tolonglah dia! Sekarang dia sudah mengena lihaynya Cia Bu Kie."

Mendengar perkataan Cia Bu Kie, Lian Ciu merasa heran. "Cia Bu Kie ?" menegasnya.

"Ya," jawab Cui San sambil mengangguk. "Siauwtee telah menyerahkan anak itu kepada Gieheng dan sedari dilahirkan ia telah mengguna kan she Cia."

Bu Kie menggelengkan kepalanya. "Aku tak bisa," katanya.

"Mengapa tak bisa?" tanya sang ayah.

"Giehu hanya mengajar aku untuk menotok orang, tapi tidak memberitarukan cara bagaimana harus membuka totokan itu," jawabnya. Ia diam sejenak dan kemudian berkata pula: "Waktu menurunkan pelajaran itu kepadaku, Giehu mengatakan, bahwa jika pukulan mengenai Tai-yang, Tan-tiong, Toa-twie dan Leng tay, empat jalanan darah besar, orang yang terpukul bisa lantas binasa. Aku segera menanyakan bagaimana caranya menolong orang yang terpukul. Ia nneagerutkan alis dan berselang beberapa saat, barulah ia menjawab begini: Di dalam dunia, ilmu ini hanya dikenal olehku dan olehmu berdua orang. Perlu apa kau belajar cara menolongnya? Kau hanya boleh memukul musuh dengan pukutan ini. Dan kalau yang dipukul musuh, perlu apa kita menolongnya? Apakah kau mau memberi kesempatan kepadanya, supaya dibelakang hari dia bisa membalas sakit hati? Itulah jawab Giehu terhadap pertanyaanku."

Cui San dan isterinya mengakui bahwa suara itu, memang suara Cia Sua yang tangannya kejam dan kalau membabat, selalu membabat sampai diakarnya.

Biar bagaimanapun jua, Ho Loosan seorang laki laki yang keras kepala. "Jie Jiehiap, Thio Ngohiap, dalam hal ini, yang bersalah memamg aku sendiri," katanya. "Hatiku tidak baik dam memang pantas aku mendapat pembalasan yang tidak baik. Sekarang aku memohon supaya kalian cepat cepat mengambil jiwaku, supaya aku tidak menderita terlalu lama."

Lian Ciu menggelengkan kepala. "Tidak, kedosaanmu tidak pantas mendapat hukuman mati," katanya. "Aku meminta maaf untuk keponakanku yang sudah turun tangan tanpa mengetahui berat entengnya tangan itu. Kami akan berusaha sedapat mungkin untuk menolong jiwamu," sehabis berkata begitu, ia mendukung Ho Loosam dan menaruhnya di dalam gebuk perahu.

Sesudah itu ia kembali kedaratan dan bertanya kepada Bu Kie: "Apa namanya pukulan yang telah digunakan olehmu ?"

Melihat paras sang paman yang menyeramkan, bocah itu jadi ketakutan dan lantas saja menangis. "Aku bukan sengaja mau membinasakannya," jawabnya "Dia... dia mengancam aku dengan ular ... Aku takut, aku ... sangat takut ...."

Lian Ciu menghela napas. Dengan rasa cinta ia mendukung keponakannya dan mensusutan matanya. "Jiepeh tidak menialahkan kau," katanya dengan suara halus. "Jika dia mengancam Jiepeh dengan ular, akupun akan menghajar dia."

Sesudah dibujuk dan dielus elus, barulah Bu Kie berhenti menangis "Menurut katanya Giehu pukulan itu ialah pukulan yang sudah hilang dari Rimba Persilatan," Ia menerangkan. "Namanya Hang liong Sip pat ciang (Delapanbelas pukulan untuk menaklukkan naga)"

Begitu mendengar perkataan Hang liong Sip pat ciang, paras muka Lian Ciu berubah dan ia lalu menurunkan sibocah dari dukungannya.

Hang liong Sip pat ciang adalah ilmu silat yang sangat tersohor dari Ang Cit Kong, Pangcu partai pengemis pada akhir jaman kerajaan Lam tong, Di samping ilmu itu Ang Cit Kong, melirik ilmu silat tongkat yang diberi nama Tah kauw Pang hoat. (Ilmu silat tongkat untuk memukul anjing ), yang juga sudah menggetarkan Rimba Persilatan dan sangat disegani oleh jago-jago pada masa itu, Tah kauw Pang hoat adalah ilmu yang hanya diturunkan kepada Pangcu dari Kaypang dan sampai pada waktu itu masib dikenal orang. Tapi Han-liong Sip pat ciang sudah lama menghilang dari dunia persilatan.

Ilmu itu telah diturunkan oteh Ang Cit Kong kepada Kwee Ceng, tidak terdapat orang yang berbakat cukup untuk mempelajarinya. Sin tiauw Tay hiap Yo Ko adalah seorang yang mengenal macam-macam ilmu silat antaranya Hang liong Sip pat ciang, tapi lantaran belakangan satu lengannya putus ia tidak dapat menggunakan ilmu itu yang harus digunakan dengan kedua-dua tangan. Maka itulah, selama kira-kira seratus tahun, Rimba Persilatan hanya mendengar nama, tapi belum pernah melihat ilmu silat tersebut. Diluar dugaan, Bu Kie telah mendapatkannya dari Cia Sun.

"Apa benar kau memukul Ho Loosam dengan Hong liang Sip pat ciang?" mendesak Lian Ciu yang masih tidak percaya akan keterangan keponakannya.

Bu Kie mengangguk. "Menurut kata Giehu pukulan itu diberi nama Sin liong Pa bwee (Naga sakti menyabet dengan buntutnya)." jawabnya.

Lian Ciu dan Cui San lantas saja ingat bahwa waktu menceritakan Hong liang Sip pat ciang, guru mereka memang pemah menyebutkan nama "Sin-liong Pa bwee," tapi Thio Sam Hong sendiri tidak mengenal pukulan itu. Mengingat bahwa dalam usianya yang masih begitu muda, Bu Kie sudah melukakan Ho Loosam begitu berat, keterangannya tentang Hang-liong Sip pat ciang mungkin tidak palsu.

"Waktu Bu Kie menerima pelajaran dari Gie hang, Siauwtee berdua isteri dilarang mendekat," menerangkan Cui San. "Siauwtee tak nyana Giehu sudah menurunkan ilmu yang luar biasa itu"

"Giehu mengatakan, bahwa ia hanya mengenal tiga dari delapanbelas pukulan itu dan ia mendapatkannya dari seorang ahli yang sudah mengasingkan diri dari dunia Kangouw." kata Bu Kie, "Giehu juga mengatakan, ia merasa bahwa dalam perubahan perubahan ketiga pukulan itu ada sesuatu yang kurang tepat. Mungkin sekali, ahli itu sendiri belum dapat menyelami isi pukulan pukulan itu sampai kedasar dasarnya."

Jie Lian Ciu dan Thio Cui San jadi bengong. Mereka kagum bukan main akan lihaynya jago jago dijaman dulu. Cia Sun yang hanya memdapat oleh beberapa pukulan, sudah begitu hebat. Maka itu, lihaynya Ang Cit Kong dan Kwee Ceng hanya dapat dibayang bayangkan.

Antara ketiga orang itu, So So lah yang paling bunga hatinya. Sebagai seorang ibu, ia sangat bangga bahwa dalam pukulannya yang pertama puteranya yang masih begitu kecil sudah memperlihatkan kepandaian yang tinggi itu, Dalam girangnya, ia tidak memperhatikan pembicaraan antara suami dan Jiepehnya.

"Kurasa, selain Ho Loosam, Bu san pang juga mengirim lain orang untuk memyantu," kata Cui San. "Sebaiknya kita lekas lekas menyingkir dari tempat ini"

"Benar," ka'a Lian Ciu. "Aku sudah memberikan obat Tok bing sinsan kepada Ho Loosam. Harap saja obat itu dapat menolong jiwanya."

Mereka berempat lantas kembali keperahu. Napas Ho Loosam sangat lemah dan mulutnya masih mengeluarkan darah.

"Bu Kie," kata Ciu San dengan suara keren. "Kali ini, aku tidak menialahkan kau. Lantaran adanya ancaman hebat, kau terpaksa turun tangan. Tapi lain kali, kecuali jika terlalu terdesak, tak boleh kau sembarangan bertempur. Lebih lebih, aku melarang kau menggunakan tiga pukulan dari Hang liong Sip liong itu. Kau mengerti ?"

"Baiklah. Anak tak akan melupakan pesan ayah," jawab sibocah.

Melihat paras muka ayah nya yang menyeramkan, air mata lantas saja berlinang linang dikedua matanya dan sesaat kemudian, ia lantas saja menangis keras.

Tak lama kemudian, juragan perahu sudah kembali dengan membawa arak dan daging, Lian Ciu segera memerintahkannya untuk menjalankan perahu.

(Bersambung Jilid 15)


BU KIE
Karya : CHING YUNG
Terjemahan: Bu Beng Tjoe

Jilid 15

Malam itu, sesudah bersantap, Lian Ciu bersila dengan tangan menekan jalanan darah Toatwie hiat dibelakang leher Ho Loosam dan kemudian mengempos Lweekangnya untuk bantu mengobat sipengemis.

So So sangat tak puas akan cara-cara Jiepehnya itu yang dianggapnya seperti nenek2. Menurut jalan pikirannya, manusia semacam Ho Loosam bukan saja tidak pantas ditolong, malah harus dilemparkan kedalam air.

Sesudah mengalirkan Lweekangnya beberapa jam, Lian Ciu merasa lelah dan Cui San lalu menggantikannya. Diwaktu fajar menyingsing, pengemis tua itu tidak mengeluarkan darah lagi dan pada mukanya mulai terdapat sinar dadu.

"Jiwamu sudah ketolongan," kata Lian Ciu dengan girang. "Hanya mungkin ilmu silatmu tidak bisa pulih kembali "

"Budi Jie-wie tak akan dilupakan olehku si orang she Ho," kata Ho Loosam. "Akupun tak ada muka untuk menemui lagi Bwee Pangcu. Mulai dari sekarang, aku akan menyingkir dari diri pergaulan dan tidak akan berkeliaran lagi di dalam kalangan Kangouw."

Waktu perahu tiba di An keng, pengemis itu berpamitan dan berlalu.
Sesudah berpisahan sepuluh tahun dengan guru dan saudara-saudara seperguruannya, Cui San ingin sekali tiba di Bu tong secepat mungkin. Ia merasa sangat tidak sabar akan perlahannya perahu, maka sesudah melewati An keng, ia mengajukan usul untuk mengambil jalanan darat dengan menunggang kuda.

"Ngotee, kurasa kita lebih baik terus menggunakan perahu," kata sang kakak. "Biarpun lebih lambat beberapa hari, kita lebih selamat. Diwaktu ini, entah berapa banyak orang ingin menyelidik tempat sembunyinya Cia Sun."

"Dengan berjalan bersama-sama Jiepeh, apakah masih ada manusia yang berani mencegat kita ?" kata So So.

"Kalau kami tujuh saudara semua berkumpul, mungkin sekali orang akan sangsi untuk mengganggu," kata Lian Ciu. "Tapi dengan hanya bertiga, tak bisa kita menghadapi begitu banyak orang pandai. Disamping itu, tujuan kita ialah untuk menyelesaikan urusan ini secara damai. Perlu apa kita menanam lebih banyak bibit permusuhan?"

Cui San mengangguk "Tak salah apa yang di katakan Jieko" katanya.

Beberapa hari kemudian, mereka tiba di Bu hiat, wilayah Oawpak. Malam itu, setibanya di Hok-tie-kouw, perahu itu melepas sauh dan bersiap untuk bermalam disitu.

Tiba-tiba Lian Ciu mendengar suara kaki kuda digili-gili dan ia mendongok keluar dari gubuk perahu. Secara kebetulan, dua penunggang kuda sedang membelokkan tunggangannya yang lalu dikaburkan kearah kota. Dengan begitu ia tidak bisa melihat muka kedua orang itu. Tapi dilihat dari gerak-geraknya yang gesit dan lincah, mereka pasti bukan sembarang orang.

Lian Ciu melirik adiknya dan berkata dengan suara perlahan: "Kurasa di tempat ini bakal terjadi sesuatu. Lebih baik kita berangkat sekarang juga."

"Baiklah," kata Cui San dengan rasa berterima kasih.

Semenjak Bu tong Cit-hiap turun gunung. dengan memiliki kepandaian tinggi dan sepak terjangnya selalu menuruti jalan yang lurus, mereka tak pernah menyingkir dari orang lain. Selama beberapa tahun yang paling belakang, nama Jie Lian Ciu naik makin tinggi, sehingga malah para Ciang bun jin dari partai-partai ternama, seperti Kun loan, Khong dan sebagainya, menaruh hormat terhadapnya. Tapi, malam itu, ia tak mau berdiam lama-lama di Hoktie kouw karena melihat bayangan dua orang yang tidak ternama. Cui San mengerti bahwa sikap sang kakak itu adalah demi keselamatan keluarganya.

Sementara itu, Lian Ciu sudah memanggil juragan perahu. Sambil mengangsurkan sepotong perak yang beratnya lima tahil, ia minta supaya perahu diberangkatkan sekarang juga. Meskipun lelah, melihat uang yang berjumlah besar itu, ia jadi girang dan mengiakan.

Malam itu, rembulan memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Bu Kie sudah menggeros, sedang ayah bundanya bersama sang Jiepeh minum arak di kepala perahu sambil menikmati pemandangan malam yang sangat indah itu. Dengan hati lapang, mereka minum sambil beromong-omong.

"Tak lama lagi Insu berulang tahun yang ke seratus," kata Cui San. "Bahwa siauwtee keburu pulang untuk turut serta dalam pertemuan yang langkah itu merupakan bukti bahwa Langit menaruh belas kasihan atas diri siauwtee."

"Hanya sayang kita tidak bisa menyediakan antaran yang sepantasnya," menyambungi si isteri.

Lian Ciu tertawa seraya berkata: "Teesu, apakah kau tahu, siapa diantara tujuh muridaya yang paling dicintai Insu?"

"Tentu saja Jiepah," jawabnya sambil bersenyum.

Lian Ciu tertawa. "Teehoa nakal sekali," katanya. "Kau tahu, tapi kau sengaja mengatakan begitu. Diantara kami bertujuh orang, yang paling dicintai Insu adalah suamimu yang tampan."

So So girang bukan main. "Aku tak percaya," katanya dengan paras muka berseri-seri.

"Diantara kami bertujuh setiap orang mempunyai keunggulan sendiri-sendiri," menerangkan Lien Ciu. "Toasuko mempelajari kitab Ya keng dan sebagai manusia, ia rendah hati, sederhana besar jiwanya dan luas pemandangannya. Samtee seorang hati-hati dan pandai bekerja. Pekerjaan yang diberikan Insu belum pernah digagalkan olehnya. Sietee berotak cerdas luar biasa. Lioktee unggul dalam ilmu pedang dan Cit tee belakangan ini telah mempelajari juga Gwakang (ilmu silat luar), sehingga ia akan mahir dalam ilmu dalam dan ilmu luar serta akan dapat menangkap tenaga keras dan tenaga lembek."

"Bagaimana dengan Jiepeh sendiri?" tanya So So.

"Aku berotak tumpul dan tak mempunyai keunggulan dalam apapun jua," jawabnya," jika Tee hu ingin tahu juga, boleh dikatakan bahwa dalam pelajaran yang diturunkan oleh Suhu, akulah yang paling giat mempelajarinya."

So So bertepuk tangan. "Aku memang tahu, bahwa diantara Bu tong Cit hiap, Jiepeh yang ilmu silatnya paling tinggi," katanya sambil tertawa. "Tapi Jiepeh sangat merendahkan diri dan suka mengakuinya."

"Memang, diantara kami bertujuh, memang Jie ko yang berkepandaian paling tinggi," kata Cui San. "Hai! .... Selama sepuluh tahun Siauwtee tak pernah menerima pelajaran In su dan diwaktu ini, siauwtee pasti menduduki kursi yang paling buncit." Waktu mengucapkan kata-kata itu, suaranya bernada sedih.

"Akan tetapi, diantara kita bertujuh, kaulah yang Bun bu coan cay," kata Lian Ciu, "Tee hu, aku sekarang ingin membuka suatu rahasia. Pada lima tahun berselang, ketika Suhu merayakan ulang tahunnya yang kesembilan puluh lima, tiba-tiba paras muka beliau berubah sedih Sesudah menghela napas, beliau berkata: Diantara tujuh muridku, yang otaknya paling cerddas dan bun bu song coan hanialah Cui San seorang. Aku sebenarnya mengharap, hahwa dihari kemudian ia akan bisa menjadi ahli warisku. Ah! .. Hanya sayang rejeki anak itu tipis sekali dan selama lima tahun, belum diketahui bagaimana nasibnya. Mungkin.... mungkin sekali ia sudah mendapat kecelakaan"

"Kau dengarlah, Teehu. Apakah keliru, jika aku mengatakan, bahwa Ngotee paling disayang oleh Suhu?"

Mendengar itu, Cui San merasa berterima kasih dan terharu, sehingga air matanya lantas saja berlinang-linang.

"Sekarang Ngotee sudah kembali dengan selamat dan pulangnya bersama-sama kalian, sudah merupakan antaran yang paling berharga untuk Suhu," kata pula Lian Ciu.

Bicara sampai disini sekonyong konyong terdengar suara kaki kuda yang di kaburkan digili gili sungai. Kuda-kuda itu mendatangi dari sebelah timur dan menurut kearah barat. Ditengah malam yang sunyi, suaranya terdengar tegas sekali dan dari suara tindakan bisa diketahui, bahwa jumlahnya empat ekor kuda.

Lian Ciu bertiga saling mengawasi. Di dalam hati mereka tahu, bahwa empat penungang kuda itu yang datang ditengah malam buta, kebanyakan mempunyai sangkut paut dengan mereka.

Meskipun mereka sungkan mencari urusan, mereka bukan orang-orang yang takut mendapat urusan. Maka itu, biarpun bercuriga, mereka tenang tenang saja dan tidak membicarakan kejaran empat pengunggang itu.

"Pada waktu aku turun gunung, Suhu sedang menutup diri dan bersemedhi," kata pula Lian Ciu. "Menurut perhitungan, setibanya kita di Bu-tong, beliau sudah selesai."

"Dulu ayah pernah memberitahukan kepadaku, bahwa selama hidup ia hanya mengagumi Thio Cinjin dan Kian bun tie seng, empat pendeta suci dari Siauw lim-pay," kata So So. "Tahun ini Thio Cinjin sudah mencapai usia seratus tahun dan dalam keagamaan, mungkin ia tidak mempunyai tandingan lagi didunia ini. Apakah beliau sedang mempelajari ilmu untuk hidup abadi?"

"Bukan, Insu sedang merenungkan ilmu silat," jawabnya.

So So agak kaget. "Dalamnya ilmu silat yang dimiliki beliau sudah tak dapat diukur lagi," katanya. "apa lagi yang ingin dipelajari? Apakah pada jaman ini beliau masih mempunyai tandingan?"

"Semenjak usia sembilan puluh lima tahun, saban tahun in Su menenutup diri sembilan bulan lamanya," menerangkan Lian Ciu. "Beliau sering mengatakan, bahwa intisari daripada ilmu silat Bu tong terletak di dalam kitab Kioe yang Cin keng. Hanya sayang, pada waktu Kak wan Couw su menghafal isi kitab itu, Insu masih terlalu muda dan sesudah lewat sekian tahun, ia sudah tidak ingat lagi seluruh isinya. Maka itulah, dalam ilmu silat kami masih terdapat kekurangan-kekurangan."

"Kioe yang Cin keng adalah warisan Tat mo Couw su Insu mengatakan, bahwa makin lama beliau merenungkan, makin beliau merasa, bahwa dalam ilmu silat kami masih terdapat terlalu banyak kekurangan, seolah hanya merupakan separoh dari sebuah keseluruhan. Beliau mengatakan, bahwa untuk mencapai keseluruhan itu, orang harus mendapatkan dan mempelajari Kioe im Cin keng. Hanya sayang, sedang Kioe yang Cin keng saja masih belum lengkap, dimanakah orang harus mencari Kioe im Cin keng ? Disamping itu, apakah di dalam dunia benar-benar terdapat kitab Kioe im Cin keng, masih merupakan sebuah teka teki."

"Tat mo Couw su adalah seorang luar biasa dari negeri Thian tiok (India). Dalam kecerdasan dan bakat belum tentu Insu kalah dari Tat mo Couw su. Maka itu, sedang Cin keng tak mungkin didapatkan, apakah Insu sendiri tidak mampu mengubah ilmu silat yang sempurna? Pertanyaan itu tidak bisa menghilang dari otak Insu. Maka itulah, beliau lalu menutup diri untuk mempelajari dan merenungkan ilmu silat kami guna mencapai suatu kesempurnaan."

Mendengar keterangan itu, bukan main rasa kagumnya Cui San dan So So.

"Yang turut mendengar Kak wan Couwsu menghafal Kioe yang Cin keng ada tiga orang." Lian Ciu melanjutkan penuturannya. "Yang satu Insu sendiri, yang kedua Bu sek Taysu dari Siauw lim sie, sedang yang ketiga seorang wanita yaitu Couwsu Goe bie pay, Kwee Siang Kwee Lie hiap. Kecerdasan, bakat dan kepandaian mereka berlainan satu sama lain. Yang ilmu silatnya paling tinggi pada waktu itu adalah Bu sek Taysu, Kwee Lie hiap ialah puteri Kwee Tayhiap dan Oey Yong, Oey Pangcu. Sebagai puterinya ahli-ahli silat kelas utama pada jaman itu, beliau sudah memiliki ilmu silat yang beraneka warna. Insu sendiri pada waktu itu dapat dikatakan belum mengenal ilmu silat. Tapi sebab itulah ilmu silat Bu tong menjadi ahli waris yang paling bersih dari pada kitab Kioe yang Cin keng."

"Belakangan mengenai ilmu-ilmu silat Siauw Lim, Go bie dan Bu tong, orang memberi julukan Ko (tinggi) kepada Siauw lim. Pok (luas) kepada Go bie dan Sun (bersih) kepada Bu tong. Ketiga partai masing-masing mempunyai keunggulan sendiri dan juga mempunyai kekurangan kekurangan."

"Kalau begitu, Kak wan Couw su memiliki ilmu silat yang paling tinggi pada jaman itu," kata So So.

"Tidak !" jawabnya. "Kak wan Couw su tidak mengerti ilmu silat. Dalam kuil Siauw lim sie, ia bekerja sebagai pengurus Cong keng kok (gedung perpustakaan). Ia seorang kutu buku yang membaca segala rupa kitab dan menghafalnya. Secara kebetulan ia mendapatkan Kioe yang Cin-keng Yang lalu dibacanya dan dihafalnya. Ia sama sekali tak tahu, bahwa dalam kitab itu terdapat ilmu silat yang sangat tinggi."

Lian Ciu selanjutnya menuturkan cara bagaimana kitab itu hilang dan tidak dapat ditemukan lagi. Cui San sendiri sudah pernah mendengar cerita itu dari gurunya, tapi So So yang baru pertama kali mendengarnya, merasa ketarik bukan main.

Lian Ciu seorang pendiam dan biasanya sangat jarang bicara. Tapi sekarang, dalam kegembiraannya karena sudah bertemu pula dengan adiknya yang disangka mati, ia berbicara banyak sekali, bahkan berguyon. Sesudah bergaul belasan hari dengan So So, ia merasa, bahwa si Teehu sebenarnya bukan manusia jahat. Ia yakin, bahwa kekejaman So So pada masa yang lampau, adalah akibat daripada suasana dan pergaulannya. Kata orang, mendekati bak (tinta) keluaran hitam, mendekati cu see (bubuk merah) berlepotan merah. Sedari kecil, apa yang dilihat dan didengar So So adalah perbuatan-perbuatan sesat dan kejam, sehingga sesudah besar, ia tidak dapat membedakan lagi apa yang benar, apa yang salah dan biasa membunuh manusia secara serampangan. Tapi sesudah menikah dengan Suteenya, adat yang kejam itu perlahan-lahan berubah. Itulah kesimpulan Lian Ciu.

Baru saja Cui San ingin menanyakan Suhengnya tentang kemajuan yang telah dicapai oleh gurunya dalam usaha menyempurnakan ilmu silat Bu-tong, sekonyong konyong suara tindakan kuda tadi terdengar pada kali ini dari menuju ketimur dan tidak lama kemudian mereka lewat diatas gili gili dekat perahu.

Cui San agak terkejut, tapi ia tidak menggubris. "Jieko" katanya. "jika Insu mengundang tokoh-tokoh Siauw lim dan Gobie untuk bersama2 menyempurnakan ilmu silat, kurasa ketiga partai ini sama-sama akan memperoleh keuntungan yang sangat besar."

Lian Ciu menepuk lututnya. "Kau benar !" katanya dengan bersemangat. "Perkataan Suhu, bahwa dihari kemudian kau bakal menjadi ahli warisnya sungguh tepat sekali."

"Perkataan itu kurasa sudah dikeluarkan karena Insu selalu mengingat Siauwtee yang tidaak diketahui kemana perginya," kate Cui San. "Bukankah seorang anak durhaka yang bergelandangan di luaran lebih dipikirkan oleh ibunya daripada anak berbakti yang selalu berdampingan dengan sang ibu? Pada waktu ini, janganlah dibandingkan dengan Toako, Jieko dan Sieko, sedangkan dengan Lioktee dan Cit tee pun, ilmu silat Sauwtee masih belum bisa menempil."

"Bukan, tafsirannya bukan begitu," kata Lian Ciu sambil meggelengkan kepala. "Sebegitu jauh mengenai ilmu silat, memang juga Ngotee tidak bisa menandingi aku. Akan tetapi, seorang ahli waris Insu mempunyai tanggung jawab yang sangat besar untuk memperkembangkan ilmu silat. Insu sering mengatakan, bahwa dalam dunia yang lebar ini, soal gemilang atau suramnya Bu tong pay sebagai partai persilatan adalah soal remeh. Soal yang penting ialah seorang ahli silat harus menunaikan tugasnya sebagai seorang anggota dari Rimba Persilatan. Jika ia bisa mempelajari menyelami rahasia ilmu silat dan kemudian menurunkan pelajarannya itu kepada orang lain, supaya ilmu silat seorang kun cu (manusia utama) berbeda dengan ilmu silat seorang Siauwjin (manusia rendah). Jika ia dapat mempersatukan pencinta-pencinta negeri untuk mengusir penjajah dan merampas pulang negeri yang sedang dijajah, maka dapatlah dikatakan, bahwa ia sudah menunaikan tugasnya yang sangat mulia. Itulah penedapat Insu mengenai tanggung jawab seorang ahli silat. Maka itulah seorang ahli warisnya, pertama harus mempunyai batin yang luhur dan kedua harus memiliki kesadaran. Mengenai batin, kita bertujuh tiada banyak bedanya. Tapi mengenai kesadaran, Ngotee lah yang paling unggul."

Cui San menggoyangkan tangannya. "Tapi siauw tee masih tetap berpendapat, bahwa perkataan itu sudah dikeluarkan Insu karena beliau terlalu memikirkan siauwtee," katanya dengan suara ter haru. "Andaikata benar Insu mempunyai niat begitu, biar bagaimanapun jua, siauwtee tak akan dapat menerimanya."

Mendadak Lian Ciu berpaling kearah So So. Ia bersenyum seraya berkata: "Teehu pergilah kau melindungi Bu Kie, supaya ia tak jadi kaget. Urusan diluar akan diurus olehku dan Ngotee."

So So memandang kedarat, tapi ia tak dapat melihat sesuatu yang luar biasa. Selagi ia bersangsi, Lian Ciu berkata pula: "Diantara pohon pohon itu bersembunyilah orang dan diantara rumput alang-alang disebelah depan pasti bersembunyi perahu-perahu musuh"

So So membuka rnatanya lebar-lebar dan mengawasi keempat penjuru, tapi ia tetap tak melihat apapun jua. Diam-diam dia menduga mata sang Jiepeh kabur.

Sekonyong konyong Lian Ciu berteriak: "Bu tong san Jie Jiehiap dan Thio Ngo hiap numpang lewat di tempat ini. Kami memohon kalian sudi memaafkan, jika kami melanggar kesopanan. Kami mengundang kalian untuk naik keperahu ini guna minum bersama-sama."

Teriakan Lian Ciu diikuti dengan suara air yang terpukul dayung dan sesaat kemudian, dari antara rumput alang-alang muncullah enam buah perahu kecil yang didayung cepat sekali dan yang kemudian berbaris dan menghadang dari satu tepi kelain tepi sungai. Dari salah sebuah perahu itu terdengar suara "uuu...uuu..." dan dilepaskan sebatang anak panah pertandaan, yang mengeluarkan suara nyaring. Hampir berbareng, dari antara gerombolan pohon pohon melompat keluar belasan orang yang ringkas dan badannya semua mengenakan pakaian warna hitam dan semua mencekal senjata. Sedang muka mereka ditutup dengan topeng kain yang berwarna hitam juga.

So So kagum tak kepalang. "Nama besar Jie peh sungguh bukan nama kosong," pikirnya. Melihat jumlah musuh yang besar cepat cepat ia masuk kedalam gubuk perahu untuk melindungi puteranya. Anak itu ternyata sudah mendusin. Sesudah merapikan pakaiannya ia berbisik "Anak kau jangan takut!"

"Sahabat dari mana yang akan berkunjung?" tanya Lian Ciu. "Bu tong Jie Jie dan Thio Ngo hiap menyampaikan salam persahabatan."

Tapi tak satu manusiapun yang muncul dari perahu-perahu itu dan pertanyaan Jiehiap tetap tidak mendapat jawaban.

"Celaka!" Lian Ciu mengeluarkan seruan tertahan dan lalu melompat keair. Ia kelahiran Kang lam dan rumah tinggalnya berdekatan dengan sungai, sehingga semenjak kecil ia sudah mahir dalam ilmu berenang.

Ia menyelam dan melihat empat orang sedang berenang mendekat, ia mengerti maksud mereka yaitu ingin membor dasar perahu supaya perahu itu karam.

Jie Lian Ciu segera bersembunyi disamping badan perahu. Begitu lekas keempat orang itu datang dekat, kedua tangannya bergerak dan dua orang sudah tertotok jalanan darahnya. Hampir berbareng ia mengirim tendangan dan jalanan darah Cit sit hiap, dipinggang orang ketiga, kena tertendang. Musuh yang keempat coba melarikan diri, tapi Lian Ciu keburu menjambret pergelangan kakinya dan lalu melontarkannya keatas perahu. Mengingat, bahwa ketiga musuhnya pasti bakal mati kalelap jika tidak ditolong, ia segera melemparkan mereka satu persatu kekepala perahu dan kemudian barulah ia sendiri meloncat keatas perahu.

Sementara itu sesudah bergulingan, musuh keempat melompat bangun dan lalu menikam dada Cui San dengan bornya. Melihat ilmu silat orang itu biasa saja, tanpa berkelit. Cui San menangkap pergelangan tangannya yang mencekal senjata kemudian menotok jalanan darah didada dengan sikutnya. Tanpa mengeluarkan teriakan, dia rubuh diatas geladak perahu.

"Diantara yang berkumpul didarat kelihatannya terdapat beberapa orang yang berkepandaian tinggi", kata Lan Ciu. "Sesudah berhadapan, tak dapat kita berlaku sungkan lagi."

Cui San mengangguk dan lalu memerintahkan juragan perahu untuk menjalankan kendaraan air itu. Karena mesti melawan arus air, jalanannya perahu perlahan sekali. Begitu berdekatan dengan enam perahu musuh, Lian Ciu mengangkat keempat tawanannya, membuka jalanan darah mereka dan lalu melemparkannya keperahu yang paling dekat. Tapi sungguh heran dari enam perahu itu sama sekali tidak terdengar suara manusia, belasan orang yang berkumpul di daratanpun tidak mengeluarkan sepatah kata, seolah-olah mereka semua gagu, sedang keempat orang yang barusan dilontarkan juga tak muncul lagi.
More abouttoliongto 10