Kembali bercerita tentang ketiga tokoh kerajaan Tayli,
yaitu Suto Hoa Hek-kin, Suma Hoan Hua dan Sugong
Pah Thian-sik.
Sesudah mereka menyelundup ke dalam Ban-jiat-kok,
mereka lantas pilih tempat yang direncanakan dan terus
menggangsir liang di bawah tanah.
Sebenarnya Ban-jiat-kok itu ada yang jaga, tapi sejak
kuburan yang merupakan pintu masuk itu dibabat rata
oleh orang-orang yang dibawa Po-ting-te, tempat itu
menjadi bebas untuk keluar-masuk tanpa rintangan.
Setelah menggali semalaman, sudah berpuluh meter
terowongan yang mereka gali. Hoa Hek-kin adalah ahli
menggangsir, dibantu lagi jago seperti Pah Thian-sik dan
Hoan Hua, tentu saja kemajuan mereka sangat pesat,
mereka bertiga mengaso bergiliran, apalagi ransum dan
air minum sudah tersedia hingga mereka tidak
kekurangan perbekalan.
Hari kedua mereka menggali pula sepanjang hari,
sampai petangnya, mereka taksir sudah tidak jauh lagi
jaraknya dengan rumah batu yang mereka tuju. Mereka
tahu ilmu silat Yan-king Taycu sangat tinggi, alat-alat gali
mereka harus bekerja perlahan supaya tidak
mengeluarkan suara. Sebab bagi orang yang
Lwekangnya tinggi, biarpun dalam keadaan tidur pulas
juga akan terjaga bangun bila mendengar sedikit suara
berisik. Karena kekhawatiran itu, kemajuan mereka
lantas banyak dilambatkan.
627
Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa saat itu Yanking
Taycu justru lagi pusatkan perhatiannya untuk
mengukur kepandaian catur Ui-bi-ceng disertai adu
tenaga dalam, maka takkan dapat merasakan suara yang
timbul dari bawah tanah.
Kiranya waktu Ui-bi-ceng melihat keenam muridnya
berkerumun di luar rumah batu dengan ribut-ribut,
tampaknya terjadi sesuatu yang aneh, ia menyangka
Yan-king Taycu telah pasang perangkap apa-apa di
depan rumah batu itu hingga murid-muridnya itu telah
terjebak. Maka katanya segera, “Sicu terlalu banyak
bertingkah yang aneh-aneh, Loceng harus pergi ke sana
melihatnya dulu.”
Sembari berkata, ia terus berbangkit.
Tak terduga Jing-bau-khek justru tidak mau
melepaskannya, tiba-tiba tongkat kiri diangkat terus
menutuk ke iga kiri Ui-bi-ceng sambil berkata, “Babak
catur ini belum selesai, jika Taysu mau mengaku kalah,
boleh silakan pergi.”
Cepat Ui-bi-ceng angkat tangan kiri terus hendak
pegang ujung tongkat orang. Namun tongkat Jing-baukhek
lantas ditarik kembali, menyusul ujung tongkat itu
bergetar sambil menutuk pula ke bawah dada si padri.
Mendadak Ui-bi-ceng memotong ke bawah dengan
telapak tangan, tapi tongkat itu sudah ditarik kembali lagi
serta berubah pula dengan gerak serangan lain. Hanya
sekejap saja kedua orang itu sudah saling gebrak
beberapa jurus.
628
Sungguh celaka bagi keenam murid Ui-bi-ceng itu,
seperti terkena aliran listrik saja, satu sama lain telah
melengket tersedot oleh Cu-hap-sin-kang yang tiba-tiba
timbul dalam tubuh Toan Ki. Sebaliknya Ui-bi-ceng yang
sedang mencapai titik menentukan mati-hidup dalam
pertandingannya melawan catur dan Lwekang tokoh
utama dari Su-ok itu terpaksa tak bisa juga menolong
murid-muridnya itu.
Ui-bi-ceng pikir tongkat orang menang panjang,
terang lebih leluasa dibuat menyerang. Sementara itu
tongkat itu tampak sedang menutuk lagi ke arahnya,
tanpa pikir lagi ia pun ulur jari tengah, ia incar ujung
tongkat orang dan menutuk juga.
Jing-bau-khek tidak menghindar, ia benturkan ujung
tongkatnya pada ujung jari lawan. Keduanya saling
mengadu tenaga dalam masing-masing. Dan baru
sekarang Ui-bi-ceng mengerti bahwa di tengah tongkat
orang itu dipasang pula dengan lonjoran besi, pantas
saja begitu keras. Dan meski tongkat itu digencet oleh
dua tenaga raksasa dari dua ahli Lwekang yang tinggi
toh tidak tampak bengkok sedikit pun.
“Wah, rupanya ini adalah langkah simpanan Taysu
yang tidak sembarangan dikeluarkan, lalu, apakah
percaturan kita ini Taysu akan mengaku kalah
sekarang?” kata Jing-bau-khek.
“Haha, belum tentu aku akan kalah,” sahut Ui-bi-ceng
terbahak-bahak, berbareng jari kanan lantas menutul lagi
sekali di atas batu hingga menambah lagi satu lekukan.
629
Tapi Jing-bau-khek tanpa pikir juga balas menggores
lagi satu kali. Dengan demikian, di samping mengadu
Lwekang, kedua orang sambil bertanding catur pula. Uibi-
ceng sadar dalam keadaan demikian bila mesti
memikirkan pula keselamatan murid-muridnya, mungkin
jiwa sendiri akan melayang lebih dulu. Padahal
munculnya sekali ini adalah untuk memenuhi undangan
Po-ting-te.
Sepuluh tahun yang lalu Ui-bi-ceng pernah memohon
kemurahan hati Po-ting-te agar suka menghapuskan
pungutan pajak garam rakyat, dan harapan itu baru
sekarang diluluskan, meski kedua orang tidak bicara
secara terang, namun sebagai timbal baliknya sudah
pasti Ui-bi-ceng harus menolong Toan Ki.
Sebab itulah Ui-bi-ceng tidak berani pencarkan
perhatiannya untuk mengurus keadaan murid-muridnya
itu. Ia sudah bertekad, sekalipun jiwa sendiri harus
melayang, Toan Ki harus diselamatkan demi memenuhi
janji kepada Toan Cing-beng. Maka ia cuma kerahkan
tenaga dalam untuk menandingi musuh di samping asyik
memikirkan catur yang tegang itu, sekuat tenaga ia
bertahan mati-matian.
Dalam pada itu “Cu-hap-sin-kang” dari Toan Ki yang
mempunyai daya sedot luar biasa itu, setelah hampir
kering mengisap hawa murni Boh-tin Hwesio, kemudian
ditambah lagi menempelnya Boh-ban Hwesio, sekaligus
korban kedua lantas disedot pula hawa murninya.
Keruan terjadilah sesuatu yang hebat, sebagai
seorang yang sama sekali tidak pernah belajar silat,
630
seketika Toan Ki telah berubah menjadi seorang yang
memiliki tenaga dalam berpuluh tahun lamanya.
Murid Ui-bi Hwesio yang pertama bernama Boh-tam
dan kedua Boh-ay, kedua orang itu menjadi panik demi
melihat gelagat kedua Sutenya tidak benar, cepat
mereka pun mendekat, yang satu hendak menarik Bohtin
dan yang lain membetot Boh-ban.
Akan tetapi, dengan sendirinya mereka pun ikut
tersedot pula oleh Cu-hap-sin-kang yang lihai.
Boh-tam dan Boh-ay terhitung paling tinggi
Lwekangnya di antara murid-murid Ui-bi-ceng itu. Ketika
merasa hawa murni dalam tubuh bergolak mengalir
keluar, cepat mereka pusatkan tenaga untuk menahan,
meski sesaat itu mereka masih bisa bertahan hingga
hawa murni tidak membanjir keluar disedot Toan Ki,
namun jangan sekali-kali mereka lengah, asal sedikit
ayal, segera hawa murni merembes keluar lagi.
Tatkala itu Toan Ki masih tetap tak sadar, badannya
panas bagai dibakar penuh hawa murni yang bergolak.
Semakin banyak hawa murni dari keempat Hwesio itu
mengalir masuk ke tubuhnya, semakin kuat pula daya
isap Cu-hap-sin-kang yang hebat itu.
Syukurlah pula dasarnya dia tidak bermaksud
menyedot hawa murni korban-korbannya itu, maka Bohtam
dan Boh-ay masih dapat bertahan, tapi karena
sedikit demi sedikit masih terasa merembes, sedikitsedikit
akhirnya menjadi banyak juga, itu berarti daya
tahan sendiri semakin berkurang, sebaliknya daya sedot
lawan bertambah kuat, maka sampai akhirnya
631
perembesan hawa murni mereka pun semakin deras
keluarnya.
Murid keempat dan murid kelima masing-masing
bernama Boh-ti dan Boh-ek menjadi tertegun
menyaksikan Suheng dan Sute mereka yang celaka itu.
Maksudnya ingin minta pertolongan sang guru, tapi
gurunya sedang bertanding tenaga dalam dengan
musuh, saat itu pun sudah mencapai titik menentukan
hidup atau mati.
Keruan mereka kelabakan berlari ke sana ke sini
tanpa berdaya. Sampai akhirnya, karena dorongan
sesama saudara seperguruan, mereka pun tidak pikir
panjang lagi dan segera ikut-ikut menarik Boh-tam dan
Boh-ay sekuatnya.
Waktu itu Cu-hap-sin-kang sudah bertambah dengan
tenaga murni dari Boh-tam, Boh-ay, Boh-tin dan Boh-ban
berempat, betapa hebat daya sedotnya, sudah tentu tak
mungkin dapat mereka tarik begitu saja. Bahkan kontan
mereka berdua pun ikut tersedot dan melengket.
Sungguh sial bagi keenam padri itu, tanpa sengaja
mereka ketemu Cu-hap-sin-kang, tenaga latihan selama
berpuluh tahun mereka akan hilang dalam sekejap saja.
Sambil masih melengket satu sama lain, mereka hanya
bisa saling pandang saja dengan cemas. Bahkan saking
pedihnya, Boh-ti dan Boh-ek sampai mengucurkan air
mata ....
*****
632
Kembali bercerita tentang ketiga tokoh Suma, Suto
dan Sugong.
Menjelang magrib, menurut perhitungan Hoa Hek-kin
galian mereka sudah sampai di bawah kamar batu di
mana Toan Ki terkurung.
Tempat itu sangat dekat dengan tempat duduk Jingbau-
khek, maka kerja mereka harus lebih hati-hati lagi,
sedikit pun tidak boleh menerbitkan suara. Karena itu
Hoa Hek-kin lantas taruh sekopnya, ia gunakan jari
tangan untuk mencakar tanah.
“Hou-jiau-kang” atau ilmu cakar harimau yang dilatih
Hoa Hek-kin sangat lihai, kini dipakai mencakar tanah,
mirip benar dengan garuk besi, sekali cakar lantas
segumpal tanah kena dikeduknya. Hoan Hua dan Pah
Thian-sik mengikut di belakangnya untuk mengusung
keluar tanah galian itu.
Kini arah yang digali Hoa Hek-kin tidak lagi menjurus
maju, tapi dari bawah ke atas. Maka tahulah Thian-sik
dan Hoan Hua bahwa pekerjaan mereka sudah dekat
rampung. Dapat tidak menyelamatkan Toan Ki, tidak
lama lagi akan ketahuan dengan pasti. Karena itu, hati
mereka menjadi berdebar-debar.
Menggali tanah dari bawah ke atas dengan sendirinya
jauh lebih mudah. Sedikit tanahnya longgar, segera
longsor sendiri. Ketika Hoa Hek-kin sudah dapat berdiri
tegak, cara galinya menjadi lebih cepat lagi. Tapi setiap
633
kali mengeruk sepotong tanah, ia lantas berhenti untuk
mendengarkan apakah ada sesuatu suara di atas sana.
Tidak lama pula, Hek-kin menaksir tinggal belasan
senti saja dengan permukaan tanah, kerjanya lantas
dilambatkan lagi dengan hati-hati, perlahan ia korek
lapisan tanah dan akhirnya dapat menyentuh sepotong
papan kayu yang rata.
Ia menjadi heran bahwa lantai rumah bukan dari batu,
tapi papan kayu. Namun dengan begitu menjadi lebih
leluasa lagi bagi kerjanya.
Segera Hek-kin kerahkan tenaga pada ujung jarinya,
perlahan ia mengorek satu lubang persegi pada papan
kayu itu hingga cukup untuk dibuat masuk keluar tubuh
orang. Ia memberi tanda siap kepada kedua temannya,
lalu mengendurkan tangannya yang menyanggah papan
lubang yang sudah dipotong itu, dengan sendirinya
potongan papan itu lantas jatuh sendiri ke bawah, segera
Hek-kin ulurkan sekopnya ke atas melalui lubang itu
sambil diabat-abitkan untuk menjaga kalau diserang
musuh dari atas.
Di luar dugaan, bukannya diserang dari atas, tapi
lantas terdengar jeritan kaget seorang wanita di atas situ.
“Jangan bersuara, Boh-kohnio, kawan sendiri yang
datang untuk menolongmu!” demikian bisik Hek-kin
perlahan sambil melompat ke atas melalui lubang papan
itu.
634
Tapi kejutnya sungguh tak terkira ketika mengetahui
bahwa kamar itu ternyata bukan rumah batu yang dituju
itu.
Kamar itu banyak lemari dan meja yang penuh botol
obat. Di pojok sana tampak seorang gadis cilik meringkuk
dengan ketakutan.
Maka tahulah Hoa Hek-kin bahwa mereka salah gali.
Rumah batu yang dikatakan Pah Thian-sik itu hanya
didengarnya dari cerita Po-ting-te, maka rencana mereka
itu didasarkan pada taksiran belaka, dan kini ternyata
kesasar.
Kiranya kamar yang mereka masuki itu adalah kamar
kerjanya Ciong Ban-siu dan gadis cilik itu bukan lain
adalah Ciong Ling.
Gadis itu senantiasa berusaha mencari obat penawar
di kamar kerja ayahnya guna menolong Toan Ki. Ia tidak
tahu “Im-yang-ho-hap-san” itu tidak bisa sembarangan
disembuhkan dengan obat penawar, tapi ada cara
penyembuhan yang istimewa. Dengan sendirinya biarpun
Ciong Ling mengubrak-abrik kamar obat ayahnya tetap
tak bisa mendapatkan sesuatu obat penawar yang
diharapkan.
Waktu itu ayah-bundanya sedang menjamu tamu di
ruangan depan, maka diam-diam Ciong Ling masuk
kamar ayahnya untuk mencari lagi. Siapa duga
mendadak lantai kamar itu berlubang, menyusul
sebatang sekop menyelonong keluar, bahkan terus
melompat keluar pula seorang laki-laki tak dikenal,
keruan kaget Ciong Ling tak terperikan.
635
Hoa Hek-kin bisa berpikir cepat, sekali sudah salah
gali, terpaksa harus gali pula ke jurusan lain. Jejaknya
sudah diketahui, kalau nona cilik ini dibunuh, tentu
mayatnya akan diketemukan orang di sini dan segera
pasti akan diadakan penggeledahan secara besarbesaran,
jika hal itu terjadi, mungkin dirinya akan
diketemukan sebelum berhasil menggali sampai di rumah
batu itu. Rasanya jalan paling baik harus gondol gadis
cilik ini ke dalam lorong di bawah tanah, bila orang lain
kalau mencari gadis ini, tentu akan mencarinya di luar
sana.
Dan pada saat itulah, tiba-tiba di luar kamar ada suara
tindakan orang. Cepat Hek-kin goyang tangan kepada
Ciong Ling dengan maksud agar gadis itu jangan
bersuara, lalu ia putar tubuh dengan lagak seperti
hendak menerobos ke dalam lubang. Tapi mendadak
terus melompat ke belakang, segera mulut Ciong Ling
didekapnya, menyusul badan gadis itu lantas diangkat ke
tepi lubang terus dimasukkan ke bawah. Di situ Hoan
Hua lantas menyambutnya.
Setelah ikut melompat ke bawah lubang lagi, cepat
Hek-kin jejal mulut Ciong Ling dengan secomot tanah,
keruan gadis itu kelabakan. Namun Hek-kin tak urus lagi,
ia tutup kembali lubang papan tadi, lalu mendengarkan
apa yang terjadi di atas.
Kejadian itu berlangsung dengan cepat luar biasa,
dalam keadaan kaget dan takut, Ciong Ling menjadi
bingung hingga tidak tahu apa maksud tujuan orang
menculiknya. Apalagi mulutnya dijejali tanah, ia menjadi
gelagapan tak bisa bersuara lagi.
636
Sementara itu terdengar ada dua orang telah masuk
ke dalam kamar, yang seorang tindakannya berat, yang
lain sangat enteng. Lalu suara seorang laki-laki lagi
berkata, “Terang cintamu padanya belum lenyap
seluruhnya, kalau tidak, sengaja kurusak nama baik
keluarga Toan, mengapa kau merintangiku?”
“Belum lenyap apa segala, hakikatnya aku tidak cinta
padanya,” sahut seorang perempuan.
“Jika demikian, itulah yang kuharapkan,” kata laki-laki
tadi dengan penuh rasa syukur dan girang.
Maka terdengar wanita itu berkata pula, “Tapi nona
Bok adalah putri kandung Suciku, meski tabiatnya agak
kasar dan bertindak kurang sopan pada kita, namun
betapa pun juga adalah orang sendiri. Kau mau bikin
susah Toan-kongcu aku tidak urus, tapi nona Bok juga
akan kau korbankan nama baiknya sehingga selama
hidupnya bakal merana, itulah aku tak bisa tinggal diam.”
Mendengar sampai di sini, tahulah Hek-kin kedua
orang yang berbicara itu adalah suami-istri Ciong Bansiu.
Mendengar pembicaraan mereka menyangkut dirinya
Toan Ki, segera ia pasang kuping lebih cermat.
Terdengar Ciong Ban-siu lagi berkata, “Sucimu
berusaha melepaskan pemuda itu, untung dipergoki Yap
Ji-nio dan sekarang dia bermusuhan dengan kita,
mengapa kau malah ingin mengurus putrinya itu? A Po,
para tamu di depan itu adalah tokoh Bu-lim kenamaan
semua, tanpa pamit kau tinggal masuk kemari, bukankah
kelakuanmu ini agak kurang sopan?”
637
“Hm, untuk apa engkau mengundang orang-orang
macam begitu?” dengan kurang senang Ciong-hujin
menegur. “Huh, Lo-kang-ong Cin Goan-cun, It-hui-ciongthian
Kim Tay-peng, murid utama Tiam-jong-pay Liu Cuhi,
Co Cu-bok dan Siang-jing tokoh dari Bu-liang-kiam
dan ada lagi guru silat Be Ngo-tek apa segala,
memangnya kau sangka orang-orang macam demikian
berani main gila kepada Sri Baginda Raja Tayli
sekarang?”
“Aku tidak bermaksud mengundang mereka untuk ikut
memberontak pada Toan Cing-beng,” demikian Ciong
Ban-siu menjawab. “Hanya secara kebetulan aku melihat
mereka berada di sekitar sini, lantas kuundang mereka
kemari untuk meramaikan suasana saja agar bisa ikut
menjadi saksi bahwa putra-putri Toan Cing-sun tidur
sekamar. Malahan di antara hadirin itu terdapat pula Huisian
dari Siau-lim-si, Kah-yap Siansu dari Tay-kak-si, Ohpek-
kiam Su An. Orang-orang ini adalah tokoh di daerah
Tionggoan. Besok beramai-ramai kita pergi membuka
rumah batu itu, biar semua orang menyaksikan betapa
bagus perbuatan keturunan keluarga Toan yang terpuji
itu, bukankah hal ini sangat menarik dan segera akan
tersiar luas di dunia Kangouw dengan cepat?
Hahahaha!”
“Huh, rendah dan memalukan!” jengek Ciong-hujin.
“Kau maki siapa yang rendah dan memalukan?” tanya
Ban-siu.
638
“Siapa yang berbuat rendah dan tidak kenal malu, dia
manusia yang rendah dan memalukan,” sahut Cionghujin
mendongkol.
“Benar, keparat Toan Cing-sun itu selama hidupnya
banyak berbuat dosa, tapi akhirnya putra-putri sendiri
berbuat tidak senonoh, haha, memang rendah dan
memalukan!”
“Kau sendiri tidak mampu mengalahkan orang she
Toan, selama hidup sembunyi di lembah ini dan purapura
mati, namun maklum, engkau masih tahu diri dan
terhitung seorang laki-laki yang kenal malu. Tapi
sekarang kau sengaja mempermainkan putra-putri orang
yang bukan tandinganmu, bila diketahui kesatria-kesatria
seluruh jagat, mungkin orang yang akan ditertawai bukan
dia, melainkan engkau sendiri!”
Keruan Ciong Ban-siu berjingkrak, teriaknya gusar,
“Jadi ... jadi maksudmu aku yang rendah dan
memalukan?”
Tiba-tiba Ciong-hujin mengucurkan air mata, sahutnya
terguguk-guguk, “Sungguh tidak nyana bahwa suamiku
adalah orang sedemikian gagah perwira!”
Sebenarnya Ciong Ban-siu memang sangat cinta
pada istrinya ini, sebabnya dia benci dan dendam pada
Toan Cing-sun juga disebabkan rasa cemburunya, kini
melihat sang istri menangis, ia menjadi kelabakan,
sahutnya cepat, “Baiklah, baiklah! Kau suka maki aku,
makilah sepuasmu.”
639
Habis berkata, ia mondar-mandir di dalam kamar,
pikirnya hendak mengucapkan sesuatu untuk minta maaf
pada sang istri, tapi seketika tidak tahu apa yang harus
dikatakan. Tiba-tiba ia melihat botol obat di lemari pada
sudut kamar sana berserakan tak teratur, segera ia
mengomel, “Hm, Ling-ji ini benar-benar kurang ajar,
masih kecil sudah tanya tentang ‘Im-yang-ho-hap-san’
apa segala, sekarang berani mengubrak-abrik lagi
kamarku.”
Sembari berkata, ia terus mendekati lemari obat untuk
membetulkan botol-botol obat yang tak keruan itu dan
tanpa sengaja sebelah kakinya mendadak menginjak di
atas papan yang dilubangi Hoa Hek-kin. Keruan Hek-kin
kaget, cepat ia menyanggah dari bawah sekuatnya agar
tidak diketahui orang.
“Di mana Ling-ji?” tiba-tiba Ciong-hujin tanya. “Selama
beberapa hari ini banyak kedatangan orang jahat, Ling-ji
harus diperingatkan jangan sembarang keluar. Aku lihat
mata maling In Tiong-ho itu selalu mengincar Ling-ji saja,
kukira kau pun harus hati-hati.”
“Aku hanya hati-hati menjaga engkau seorang, wanita
cantik seperti engkau, siapa yang tidak menaksir
padamu?” demikian sahut Ban-siu dengan tertawa.
“Cis!” semprot nyonya Ciong. Lalu ia berseru
memanggil, “Ling-ji!”
Segera seorang pelayan mendekat dan memberi tahu
bahwa barusan saja sang Siocia berada di situ.
“Coba cari dan undang kemari,” perintah Ciong-hujin.
640
Sudah tentu Ciong Ling mendengar semua
percakapan ayah-bundanya itu. Tapi apa daya, mulut
tersumbat tanah, sama sekali tak dapat bersuara, hanya
dalam hati kelabakan setengah mati.
Dalam pada itu terdengar Ciong Ban-siu lagi berkata
pada sang istri, “Engkau mengaso saja di sini, aku akan
keluar mengawani tamu.”
“Hm, kau berjuluk ‘Kian-jin-ciu-sat’ (melihat orang
lantas membunuh), kenapa sesudah tua lantas ‘Kian-jinciu-
bah’ (melihat orang lantas takut)?” sindir Ciong-hujin.
Ban-siu tidak berani marah, sambil menyengir kuda ia
tinggal keluar ke ruangan depan.
Dalam pada itu, di kota Tayli dengan gembira rakyat
sedang merayakan dihapuskannya cukai garam.
Hendaklah maklum bahwa produksi garam di wilayah
Hunlam sangat terbatas, seluruh negeri hanya ada
sembilan sumur garam, yaitu sumber penghasil garam
yang terdapat di daratan Tiongkok bagian barat daya.
Maka setiap tahun kerajaan Tayli mengimpor sebagian
besar garam dari daerah Sucoan dengan cukai garam
yang berat, bahkan sebagian besar dari penduduk di
pinggiran negeri itu dalam setahun hampir setengah
tahun mesti makan secara tawar tanpa garam.
Po-ting-te tahu bila cukai garam sudah dihapuskan,
tentu Ui-bi-ceng akan berusaha menyelamatkan Toan Ki
untuk membalas kebijaksanaannya itu. Biasanya Po-tingte
sangat kagum terhadap ilmu silat serta kecerdikan Ui-
641
bi-ceng itu, keenam anak muridnya pun memiliki ilmu
silat yang tinggi, jika guru dan murid bertujuh orang
keluar sekaligus, pasti akan gol usaha mereka.
Tak terduga, sesudah ditunggu sehari semalam,
ternyata tiada sedikit pun kabar yang diperoleh, hendak
memerintahkan Pah Thian-sik pergi mencari tahu, siapa
sangka Pah-sugong dan Hoa-suto serta Hoan-suma juga
ikut menghilang tanpa pamit.
Keruan Po-ting-te menjadi khawatir, pikirnya,
“Jangan-jangan Yan-king Taycu memang teramat lihai
hingga Ui-bi Suheng bersama murid-muridnya dan ketiga
pembantuku telah terjungkal semua di Ban-jiat-kok?”
Karena itu, segera ia undang berkumpul adik
pangeran Toan Cing-sun dan permaisuri, Sian-tan-hou
Ko Sing-thay serta tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok, lalu
diajak berangkat ke Ban-jiat-kok pula.
Karena khawatirkan keselamatan sang putra, Si Pekhong
minta Po-ting-te suka mengerahkan pasukan untuk
menyapu bersih Ban-jiat-kok, namun sang raja yang
bijaksana itu tidak setuju, ia ingin pertahankan
kehormatan dan nama baik keluarga Toan sebagai tokoh
utama dunia persilatan, kalau tidak terpaksa, ia tetap
bertindak menurut peraturan Kangouw.
Dan baru saja rombongan mereka sampai di mulut
lembah yang dituju, tertampaklah In Tiong-ho memapak
mereka dengan tertawa, ia memberi hormat lebih dulu,
lalu berkata, “Selamat datang! Ciong-kokcu menduga
Paduka Yang Mulia hari ini pasti akan berkunjung kemari
lagi, maka Cayhe disuruh menanti di sini. Bila kalian
642
datang bersama pasukan secara besar-besaran, kami
lantas angkat langkah seribu. Tapi bila kalian datang
menurut peraturan Kangouw, maka kalian disilakan
masuk untuk minum dulu!”
Melihat pihak lawan sedemikian tenang, terang sudah
siap sedia sebelumnya, tidak seperti tempo hari, begitu
datang lantas saling labrak, maka diam-diam Po-ting-te
tambah khawatir dan lebih prihatin. Segera ia membalas
hormat dan berkata, “Terima kasih atas
penyambutanmu!”
Segera In Tiong-ho mendahului dan membawa
rombongan Po-ting-te ke ruangan tamu. Begitu
melangkah masuk ke ruangan pendopo itu, Po-ting-te
lantas melihat ruangan itu sudah banyak berkumpul
tokoh-tokoh Kangouw, kembali ia tambah waswas.
Segera In Tiong-ho berteriak, “Ciangbunjin Thian-lam
Toan-keh Toan-losu tiba!”
Ia tidak bilang “Paduka Yang Mulia Raja Tayli”, tapi
menyebutkan gelar keluarga Toan dalam kalangan Bulim,
suatu tanda ia sengaja menyatakan segala tindak
tanduk selanjutnya harus dilakukan menurut peraturan
Bu-lim.
Nama Toan Cing-beng sendiri dalam Bu-lim memang
terhitung juga seorang tokoh terkemuka dan disegani.
Maka begitu mendengar namanya, seketika hadirin
berbangkit sebagai tanda menyambut. Hanya Lam-haygok-
sin yang masih duduk seenaknya di tempatnya
sambil berseru, “Kukira siapa, tak tahunya Hongte-loji (si
tua raja) yang datang! Baik-baikkah kau?”
643
Sebaliknya Ciong Ban-siu lantas melangkah maju dan
menyapa, “Ciong Ban-siu tidak keluar menyambut, harap
Toan-losu suka memaafkan!”
“Ah, jangan sungkan!” sahut Po-ting-te.
Oleh karena pertemuan ini dilakukan secara orang
Bu-lim, maka ketika disilakan duduk, Toan Cing-sun dan
Ko Sing-thay lantas duduk di sisi Po-ting-te, sedang Leng
Jian-li berempat berdiri di belakang Po-ting-te, segera
pula pelayan menyuguhkan minuman.
Melihat Ui-bi-ceng dan murid-muridnya serta Pah
Thian-sik bertiga tidak tampak di situ, diam-diam Po-tingte
pikir cara bagaimana harus buka mulut untuk
menanyakannya.
Sementara itu Ciong Ban-siu lantas buka suara, “Atas
kunjungan kedua kalinya dari Toan-ciangbun ini,
sungguh aku merasa mendapat kehormatan besar.
Mumpung ada sekian banyak kawan Bu-lim berkumpul di
sini, biarlah kuperkenalkan satu per satu kepada Toanciangbun.”
Habis berkata, segera Ban-siu memperkenalkan Co
Cu-bok, Be Ngo-tek, Hui-sian Hwesio dan lain-lain
kepada raja Tayli itu. Sebagian besar Po-ting-te tidak
kenal, tapi ada juga yang pernah mendengar namanya.
Setiap orang yang diperkenalkan itu lantas saling
memberi hormat pula dengan Po-ting-te. Be Ngo-tek, Co
Cu-bok dan kawan-kawannya sangat menghormat dan
merendah diri terhadap Po-ting-te, sebaliknya Liu Cu-hi,
644
Cin Goan-cun dan begundalnya bersikap sangat angkuh.
Sedangkan Kah-yap Siansu, Kim Tay-peng, Su An dan
lain-lain memandang Po-ting-te sebagai kaum Cianpwe,
mereka tidak terlalu merendahkan derajat sendiri juga
tidak menjilat orang.
Lalu Ciong Ban-siu berkata lagi, “Mumpung Toanciangbun
sempat berkunjung kemari, sudilah kiranya
tinggal lebih lama barang beberapa hari di sini, agar para
saudara bisa minta petunjuk.”
“Keponakanku Toan Ki berbuat salah pada Ciongkokcu
dan ditahan di sini, kedatanganku hari ini pertama
adalah ingin mintakan ampun bagi bocah itu, kedua ingin
minta maaf juga. Harap Ciong-kokcu suka memandang
diriku, sudilah mengampuni anak yang masih hijau itu,
untuk mana aku merasa terima kasih sekali,” demikian
jawaban Po-ting-te.
Mendengar itu, diam-diam para kesatria sangat
kagum, pikir mereka, “Sudah lama kabarnya Toanhongya
dari Tayli suka menghadapi kaum sesama Bu-lim
dengan peraturan Bu-lim pula, dan nyatanya memang
tidak omong kosong. Padahal wilayah ini masih di bawah
kekuasaan Tayli, bila dia mengirim beberapa ratus
prajuritnya sudah cukup untuk membebaskan
keponakannya itu, tapi dia justru datang sendiri untuk
memohon secara baik-baik.”
Dalam pada itu Ciong Ban-siu sedang terbahakbahak,
belum lagi menjawab, tiba-tiba Su An telah
menyela, “Hah, kiranya Toan-kongcu berbuat salah
sesuatu kepada Ciong-kokcu, jika demikian, untuk itu
645
kuikut mohon ampun baginya, sebab aku pernah
mendapat pertolongan dari Toan-kongcu.”
Lam-hay-gok-sin menjadi gusar mendadak,
bentaknya, “Urusan muridku, buat apa kau ikut cerewet?”
“Toan-kongcu adalah gurumu dan bukan muridmu,”
cepat Ko Sing-thay menjawabnya dengan mengejek.
“Kau sendiri sudah menyembah dan mengangkat guru
padanya, apa sekarang kau hendak menyangkal?”
Muka Lam-hay-gok-sin menjadi merah, ia memaki,
“Keparat, Locu takkan menyangkal. Hari ini biar Locu
membunuh juga Suhu yang cuma namanya saja, tapi
kenyataannya tidak. Hm, masakah Locu mempunyai
seorang guru macam begitu, bisa mati kaku aku!”
Karena tidak tahu seluk-beluknya, keruan semua
orang merasa bingung oleh tanya jawab itu.
Kemudian Si Pek-hong ikut bicara, “Ciong-kokcu,
lepaskan putraku atau tidak, hanya bergantung satu kata
ucapanmu saja.”
“Oya, tentu saja kulepaskan dia, tentu kulepaskan!”
sahut Ciong Ban-siu dengan tertawa. “Buat apa kutahan
putramu itu?”
“Benar,” tiba-tiba In Tiong-ho menimbrung. “Dasar
Toan-kongcu tampan dan ganteng, sedangkan nyonya
Ciong-kokcu sangat cantik ayu, kalau Toan-kongcu
tinggal terus di lembah ini, apakah itu bukannya memiara
serigala di kandang kambing dan cari penyakit sendiri?
646
Maka sudah tentu Ciong-kokcu akan melepaskan bocah
itu!”
Semua orang menjadi tercengang oleh kata-kata In
Tiong-ho yang tidak kenal aturan dan tanpa tedeng alingaling
itu, nyata suami-istri Ciong Ban-siu sama sekali tak
terpandang sebelah mata olehnya, sungguh julukan
“Kiong-hiong-kek-ok” atau jahat dan buas luar biasa,
memang tidak bernama kosong.
Tentu saja Ciong Ban-siu menjadi murka, syukur ia
masih bisa menahan diri, katanya sambil berpaling, “Inheng,
kalau urusan di sini sudah selesai, pasti akan
kubelajar kenal dengan kepandaianmu.”
“Bagus, bagus!” sahut In Tiong-ho tertawa. “Akan
justru sudah lama ingin membunuh suaminya untuk
mendapatkan istrinya, ingin kurebut hartanya serta
mendiami lembahnya ini!”
Keruan para kesatria tambah terkesiap. Segera It-huiciong-
thian Kim Tay-peng berkata, “Para kesatria
Kangouw kan belum mati seluruhnya, sekalipun
kepandaian ‘Thian-he-su-ok’ kalian sangat tinggi, betapa
pun takkan terhindarkan dari keadilan umum.”
Tiba-tiba Yap Ji-nio terbahak-bahak dengan suaranya
yang nyaring, katanya, “Kim-siangkong, aku Yap Ji-nio
tiada permusuhan apa-apa denganmu, kenapa aku ikutikut
disinggung, ha?”
Hati Kim Tay-peng tergetar oleh suara tertawa orang
yang mengguncang sukma itu. Begitu juga Co Cu-bok
berdebar-debar, terutama bila teringat putra sendiri
647
hampir menjadi korban wanita iblis itu, tanpa terasa ia
melirik sekejap pada tokoh kedua Su-ok itu.
Yap Ji-nio sedang terkikik tawa, katanya pula, “He,
Co-ciangbun, baik-baikkah putramu itu, tentu kini tambah
gemuk dan putih mulus bukan?”
Co Cu-bok tidak berani membantah, sahutnya tak
jelas, “Ah, tempo hari ia masuk angin, sampai sekarang
masih belum sehat.”
“O, kasihan!” ujar Ji-nio. “Biarlah nanti kujenguk
putramu yang baik itu.”
Keruan Co Cu-bok terkejut, cepat ia goyang-goyang
tangannya dan berkata, “Jang ... jangan, ti ... tidak usah!”
Sudah tentu ia khawatir, kalau orang benar-benar
bermaksud baik menjenguk anaknya tentu tak mengapa,
tapi kalau digondol lari lagi untuk diisap darahnya, kan
celaka!
Melihat suasana begitu, diam-diam Po-ting-te
membatin, “Rupanya kejahatan ‘Su-ok’ memang sudah
keterlaluan dan banyak mengikat permusuhan, nanti
kalau Ki-ji sudah diselamatkan, boleh juga sekalian cari
kesempatan untuk membasminya. Yan-king Taycu dari
Su-ok ini meski terhitung orang keluarga Toan, tapi
akhirnya akan tiba juga hari tamatnya sesuai dengan
julukannya ‘kejahatan sudah melebihi takaran’.”
Dan karena melihat pembicaraan orang-orang itu
telah menyimpang dari persoalan pokok, segera Si Pekhong
berbangkit dan bicara lagi, “Ciong-kokcu, jika
648
engkau sudah menyanggupi akan mengembalikan
anakku, baiklah sekarang suruh dia keluar, biar kami ibu
dan anak bisa bertemu kembali.”
Cepat Ciong Ban-siu juga berbangkit dan menyahut,
“Baik!”
Mendadak ia menoleh dan mendelik pada Toan Cingsun
dengan penuh rasa dendam, katanya pula sambil
menghela napas, “Toan Cing-sun, engkau mempunyai
istri cantik dan putra tampan, mengapa engkau masih
belum puas dan masih sok bangor? Jika hari ini harus
menanggung malu di depan umum, itu adalah akibat
perbuatanmu sendiri dan jangan menyalahkan aku orang
she Ciong.”
Pada waktu mendengar Ciong Ban-siu bersedia
membebaskan Toan Ki begitu saja, Toan Cing-sun sudah
sangsi urusan pasti takkan terjadi demikian sederhana,
tentu musuh sudah mengatur sesuatu muslihat keji,
maka demi mendengar ucapan Ban-siu itu, segera ia
mendekati Kokcu itu dan menjawab tegas, “Ciong Bansiu,
kau sendiri punya anak-istri, bila kau bermaksud
membikin celaka orang, aku Toan Cing-sun pasti akan
membikin kau menyesal selama hidup.”
Melihat sikap pangeran Tayli yang gagah perkasa dan
agung itu, Ciong Ban-siu merasa dirinya semakin jelek,
rasa siriknya bertambah menyala-nyala, segera
teriaknya, “Urusan sudah begini, biarpun akhirnya Ciong
Ban-siu harus gugur dan rumah tangga hancur, betapa
pun aku akan melawan sampai titik darah penghabisan.
Ayolah, kau ingin putramu, mari ikut padaku!”
649
Habis berkata, segera ia mendahului bertindak keluar.
Setelah beramai-ramai semua orang ikut Ciong Bansiu
sampai di depan pagar pohon yang lebat itu, In
Tiong-ho sengaja pamer Ginkang, sekali lompat, segera
ia melintasi pagar pohon yang tinggi itu.
Toan Cing-sun pikir urusan hari ini terang tak dapat
diselesaikan secara damai, akan lebih baik sekarang
juga memberi sedikit demonstrasi, agar pihak lawan tahu
gelagat dan mundur teratur. Maka katanya segera, “Tioksing,
penggal beberapa pohon itu, agar mudah dilalui
semua orang!”
Jay-sin-khek Siau Tiok-sing, si Pencari Kayu,
mengiakan sekali lalu mengayun kapaknya, sekali bacok,
bagai pisau mengiris tahu saja, seketika sebatang pohon
ditebang putus di dekat pangkalnya. Menyusul Tiamjong-
san-long hantamkan sebelah tangannya ke depan
hingga pohon itu mencelat dan tersangkut di antara
pohon-pohon yang lain.
Beruntun-runtun tampak kapak bekerja cepat pula
hingga dalam sekejap saja sudah ada lima batang pohon
yang tumbang, maka berwujudlah sekarang sebuah pintu
masuk.
Ciong Ban-siu menanam dan merawat pagar pohon
itu selama bertahun-tahun dengan susah payah, tentu
saja ia menjadi gusar pohon itu ditebang dan dirusak
oleh Siau Tiok-sing. Tapi segera terpikir olehnya, “Orangorang
she Toan dari Tayli hari ini bakal dibikin malu
besar, buat apa aku mesti ribut urusan tetek bengek ini.”
650
Karena itu, tanpa bicara lagi ia lantas mendahului
masuk melalui pintu pagar pohon yang bobol itu.
Maka tertampaklah segera di balik pohon sana Ui-biceng
dan Jing-bau-khek, yang satu menggunakan
tangan kiri menahan ujung tongkat bambu yang lain,
ubun-ubun kedua orang kelihatan mengepulkan kabut
putih, terang kedua orang sedang mengadu Lwekang.
Mendadak Ui-bi-ceng mengulur tangan dan menekan
sekali di atas papan batu di depan situ hingga berwujud
suatu lekukan. Menyusul mana, hanya berpikir sejenak,
Jing-bau-khek juga ikut menggores satu lingkaran kecil
dengan tongkat bambunya.
Melihat itu segera Po-ting-te mengerti duduknya
perkara. Kiranya Ui-bi Suheng itu di samping bertanding
catur dengan Yan-king Taycu, berbareng juga mengadu
Lwekang dengan tokoh utama dari Su-ok itu. Jadi
mengadu otak dan tenaga secara berbareng, cara
bertanding lain dari yang lain ini sesungguhnya sangat
berbahaya. Pantas, makanya sudah ditunggu sehari
semalam sang Suheng masih tiada kabar beritanya,
rupanya pertandingan demikian itu sudah berlangsung
selama sehari semalam dan masih belum ketahuan siapa
akan menang atau kalah.
Sepintas lalu Po-ting-te melihat kedudukan di atas
papan catur, kedua pihak sama-sama sedang
menghadapi satu langkah sulit yang menentukan,
rupanya Ui-bi-ceng berada di pihak terdesak, maka matimatian
padri itu sedang mencari jalan keluar bagi biji
caturnya itu.
651
Waktu Po-ting-te menengok pula ke arah rumah batu,
ia lihat keenam murid Ui-bi-ceng sedang duduk bersila di
depan rumah dengan wajah pucat dan mata merem,
mirip orang yang sudah hampir putus napas yang
penghabisan. Keruan ia terkejut, pikirnya, “Apa
barangkali keenam murid Suheng ini telah bergebrak
dulu dengan Yan-king Taycu dan telah terluka parah
semua?”
Segera ia mendekati mereka, ia coba periksa denyut
nadi Boh-tam Hwesio, ia merasa denyut nadinya sangat
lemah, seperti bergerak seperti tidak, seakan-akan setiap
waktu bisa berhenti berdenyut.
Cepat Po-ting-te mengeluarkan sebuah botol porselen
dan menuang keluar enam biji pil merah serta dijejalkan
ke mulut keenam padri itu. Pil itu bernama “Hou-pekwan,”
sangat manjur untuk menyembuhkan luka dalam.
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Boh-tam berenam
bukanlah terluka dalam, tapi disebabkan antero hawa
murni dalam tubuh mereka telah kering benar-benar
tersedot oleh Cu-hap-sin-kang Toan Ki yang mahalihai
itu. Pil itu digunakan tidak tepat pada penyakitnya,
dengan sendirinya tidak berguna.
Dalam pada itu Cing-sun sedang berseru, “Jian-li,
kalian berempat coba dorong batu besar itu, bebaskan
Ki-ji dari dalam situ!”
Leng Jian-li berempat mengiakan, berbareng mereka
lantas maju.
652
“Nanti dulu!” tiba-tiba Ciong Ban-siu mencegah.
“Apakah kalian mengetahui siapa-apa saja yang
terkurung di dalam rumah itu?”
Toan Cing-sun dan jago-jagonya itu belum tahu
bahwa Bok Wan-jing juga sudah ditawan Yan-king Taycu
serta dikurung bersama Toan Ki di dalam satu kamar.
Bahkan kedua muda-mudi itu telah dicekoki “Im-yangho-
hap-san”, maka sama sekali mereka tidak curiga dan
serentak hendak membebaskan Toan Ki dari penjara itu
tanpa pikirkan apa yang bakal disaksikan orang banyak.
Kini demi mendengar ucapan Ciong Ban-siu itu, Cingsun
menjadi curiga, segera dampratnya, “Ciong-kokcu,
bila kau berani bikin cacat sedikit pun atas diri putraku,
hendaklah kau ingat bahwa engkau sendiri pun punya
anak istri.”
Nyata yang dikhawatirkan adalah jangan-jangan Toan
Ki telah disiksa atau dicacatkan sesuatu anggota
badannya.
Maka dengan tertawa mengejek Ciong Ban-siu
menjawab, “Hehe, memang benar orang she Ciong juga
punya anak istri, cuma anakku adalah perempuan,
untung aku tidak punya anak laki-laki, andaikan punya,
anakku laki-laki takkan melakukan perbuatan binatang
dengan anak perempuanku sendiri.”
“Kau sembarangan mengoceh apa?” bentak Cing-sun
dengan gusar.
653
“Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing adalah putrimu dari
hubungan gelap dengan wanita lain, bukan?” tanya Bansiu
dengan senyum ejek.
“Asal usul nona Bok pribadi, peduli apa kau ikut
campur?” sahut Cing-sun dengan gusar.
“Hahaha, belum tentu bahwa aku yang suka ikut
campur urusan,” sahut Ban-siu terbahak-bahak.
“Keluarga Toan kalian merajai negeri Tayli, di kalangan
Kangouw juga gilang-gemilang pula namanya. Tapi kini
biarlah para kesatria seluruh jagat membuka mata lebarlebar
untuk menyaksikan bahwa putra dan putri Toan
Cing-sun sendiri telah berbuat maksiat di antara sesama
saudara sendiri, sungguh dunia sudah terbalik!”
Mendengar itu, rasa curiga Toan Cing-sun semakin
menjadi, pikirnya, “Apa benar Jing-ji juga berada di dalam
rumah ini dan bersama Ki-ji sudah .... sudah ....”
Ia tidak berani membayangkan lebih lanjut lagi, ia
cocokkan ucapan Ciong Ban-siu dari mula hingga
sekarang, agaknya berada bersamanya kedua putraputrinya
di dalam satu kamar itu tak perlu disangsikan
lagi.
Keruan seketika badannya serasa dingin bagai
kecemplung di sungai es, diam-diam ia mengeluh,
“Betapa keji muslihat musuh ini!”
Dalam pada itu Ciong Ban-siu lantas memberi tanda
kepada Lam-hay-gok-sin, segera mereka berdua mulai
hendak mendorong batu besar yang menutupi pintu
rumah itu.
654
“Nanti dulu!” seru Cing-sun sambil ulur tangan hendak
merintangi.
Di luar dugaan, sekonyong-konyong Yap Ji-nio dan In
Tiong-ho berbareng menyerangnya dari samping kanan
dan kiri. Terpaksa Cing-sun angkat tangan menangkis,
sedang Ko Sing-thay serentak pun menyusup maju untuk
menangkis serangan In Tiong-ho.
Tak tersangka serangan kedua tokoh Su-ok itu hanya
pancingan belaka, tangan yang satu pura-pura
menyerang Toan Cing-sun, tapi tangan yang lain dipakai
membantu mendorong batu besar penutup pintu itu.
Meski batu itu beratnya beribu kati, tapi di bawah
dorongan tenaga bersama Ciong Ban-siu, Yap Ji-nio,
Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho berempat, seketika
batu itu menggelinding ke samping.
Tindakan mereka itu memang sudah direncanakan,
maka sama sekali Toan Cing-sun tak mampu
merintanginya. Di samping itu Cing-sun sendiri
sebenarnya juga ingin lekas mengetahui keadaan
putranya, maka tidak mencegah sekuat tenaga.
Dan begitu batu penutup pintu itu didorong ke pinggir,
tertampaklah di dalam rumah batu itu gelap gulita belaka,
sedikit pun tidak kelihatan pemandangan di dalam
rumah.
“Huh, dua muda-mudi berada sendirian di dalam
kamar segelap itu, dapat dibayangkan perbuatan apa
655
yang akan dilakukan mereka!” demikian Ciong Ban-siu
menjengek.
Baru lenyap ucapannya, tiba-tiba terlihat dari dalam
rumah bertindak keluar seorang pemuda dengan rambut
terurai, badan bagian atas telanjang, siapa lagi dia kalau
bukan Toan Ki adanya? Bahkan di tangan pemuda itu
membawa pula seorang wanita tak berkutik seperti orang
yang tak sadarkan diri.
Melihat itu, alangkah malunya rasa Po-ting-te, Toan
Cing-sun pun menunduk kepala, sedangkan Si Pek-hong
mengembeng air mata sambil berkomat-kamit, “Karma!
Hukum karma!”
Lekas Ko Sing-thay menanggalkan bajunya dengan
maksud agar dipakai Toan Ki, sedang Oh-pek-kiam Su
An mengingat pemuda itu pernah menolong jiwanya, ia
merasa tidak tega kalau Toan Ki dibikin malu di depan
orang banyak, maka cepat ia melompat maju untuk
mengalingkan di depan pemuda itu.
Sebaliknya Ciong Ban-siu terbahak-bahak senang.
Tapi mendadak suara tertawanya berubah menjadi
jeritan kaget menyeramkan, “He, kau, Ling-ji?”
Mendengar suara teriakan itu, hati semua orang ikut
terkesiap. Ketika semua orang memerhatikan apa yang
terjadi, tertampak Ciong Ban-siu sedang menubruk ke
arah Toan Ki terus hendak merampas wanita yang
berada di pondongan pemuda itu.
Maka sekarang dapatlah semua orang melihat jelas
wajah wanita yang dipondong Toan Ki itu, tampak
656
umurnya lebih muda daripada Bok Wan-jing, tubuhnya
juga lebih kecil mungil, mukanya masih kekanakkanakan,
terang bukan Hiang-yok-jeh yang tersohor itu,
tapi Ciong Ling, putri kesayangan Ciong Ban-siu sendiri.
Dalam kaget dan gusarnya, Ciong Ban-siu tidak
mengerti sebab apa mendadak putri kesayangannya itu
bisa berada di dalam situ, dengan cepat ia sambut
putrinya itu dari pondongan Toan Ki. Tak terduga, begitu
kedua tangannya menyentuh badan Ciong Ling,
sekonyong-konyong tubuhnya tergetar hebat, tenaga
murni dalam tubuh sendiri seakan-akan hendak terbang
meninggalkan raganya.
Waktu itu Toan Ki sendiri belum lagi sadarkan diri,
dalam keadaan samar-samar terasa dirinya dirubung
orang banyak, lamat-lamat di antaranya terdapat paman
dan kedua orang tua, segera ia lepaskan Ciong Ling dan
berseru memanggil, “Mak, Pekhu, Ayah!”
Dan karena dilepaskannya Ciong Ling oleh Toan Ki,
maka Cu-hap-sin-kang yang hebat itu tidak jadi
menyedot hawa murni Ciong Ban-siu.
Oleh karena sudah lama berdiam di tempat gelap, kini
Toan Ki menjadi silau oleh sinar matahari yang terang
benderang itu hingga seketika matanya susah dipentang.
Sebaliknya antero badannya terasa sangat kuat,
semangat berkobar-kobar, tulang anggota badan terasa
enteng seakan-akan bisa terbang saja.
Dalam pada itu Si Pek-hong sudah lantas mendekat
serta merangkul sang putra dan bertanya, “Ki-ji, ken …
kenapakah kau?”
657
“En ... entahlah, aku sendiri tidak tahu. Di ... di
manakah aku berada?” demikian sahut Toan Ki.
Sungguh sama sekali tak terpikir oleh Ciong Ban-siu
bahwa muslihatnya yang hendak bikin malu orang, kini
berbalik senjata makan tuan, putri sendiri yang menjadi
korban malah. Sedikit pun tidak terpikir olehnya bahwa
wanita yang dipondong keluar oleh Toan Ki bukanlah
Bok Wan-jing, melainkan putri kesayangannya itu.
Setelah tertegun sejenak, kemudian ia pun lepaskan
Ciong Ling ke tanah.
Ketika menyadari dirinya cuma memakai baju dalam
melulu, keruan Ciong Ling malu tak terkatakan. Cepat
Ban-siu menanggalkan baju sendiri untuk ditutupkan di
atas badan sang putri. Menyusul ia lantas persen sekali
tamparan di pipi Ciong Ling hingga muka gadis itu merah
bengap.
“Tidak malu! Siapa yang menyuruhmu berada
bersama binatang cilik itu?” demikian Ban-siu memaki.
Tentu saja Ciong Ling merasa penasaran, katanya
dengan menangis, “Aku ... aku ....” tapi sukar untuk
menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
Tiba-tiba terpikir oleh Ciong Ban-siu, “Bukankah Bok
Wan-jing juga terkurung di dalam rumah batu ini, betapa
pun dia takkan mampu membuka batu penutup pintu ini,
jelas dia masih berada di dalam, biar aku memanggilnya
keluar, paling tidak dia akan menanggung sebagian dari
rasa malu putriku ini.”
658
Karena itu segera ia berteriak-teriak, “Bok-kohnio,
silakan lekas keluar!”
Namun berulang-ulang ia berteriak hingga bejat
kerongkongannya sekalipun tetap tiada sesuatu suara
jawaban di dalam rumah batu itu.
Dengan tak sabar segera Ciong Ban-siu mendekati
pintu dan coba melongok ke dalam, rumah itu tidak luas,
maka sekejap saja sudah kentara bahwa di dalam
kosong melompong, tiada bayangan seorang pun.
Keruan dada Ciong Ban-siu hampir-hampir meledak
saking gusarnya, ia putar balik dan segera hendak hajar
lagi putrinya itu sambil membentak, “Biar kumampuskan
kau budak yang memalukan ini!”
Sekonyong-konyong dari samping ada orang
menangkis tamparannya itu, nadi tangannya terasa
kesemutan tersentuh oleh jari orang. Lekas Ban-siu tarik
kembali tangannya dan baru diketahuinya bahwa yang
menyerangnya dari samping itu adalah Toan Cing-sun.
Keruan ia tambah gusar, bentaknya, “Aku menghajar
anakku sendiri, peduli apa denganmu?”
Cing-sun menjawab dengan tersenyum, “Ciongkokcu,
rupanya engkau telah memberi pelayanan
istimewa kepada putraku itu, khawatir dia kesepian di
dalam rumah itu, sampai-sampai putri kesayanganmu
disuruh mengawaninya, sungguh aku merasa sangat
berterima kasih. Dan karena urusan sudah telanjur, nasi
sudah menjadi bubur, putrimu sudah terhitung anggota
keluarga Toan kami, dengan sendirinya aku tak bisa
tinggal diam lagi.”
659
“Apa? Terhitung anggota keluarga Toan kalian?”
sahut Ban-siu dengan gusar.
“Habis, selama beberapa hari putrimu telah melayani
anakku si Toan Ki di dalam rumah ini, coba bayangkan,
sepasang muda-mudi berada sendirian di tempat segelap
ini, kelihatan pula baju mereka terbuka, lalu perbuatan
apa yang telah mereka lakukan?” demikian kata Cing-sun
dengan tertawa. “Putraku adalah ahli waris Tin-lam-ong,
meski sudah melamar putri Sian-tan-hou sebagai istri,
tapi sebagai seorang calon pangeran, apa salahnya
kalau punya beberapa istri dan selir? Dan dengan
demikian, bukankah engkau sudah menjadi Jinkeh
(besan) dengan aku? Hahaha, hahaaaaah!”
Sungguh gusar Ciong Ban-siu tak tertahan lagi, ia
melompat maju dan beruntun menghantam tiga kali.
Namun dengan terbahak-bahak Cing-sun dapat
mematahkan setiap serangan orang kalap itu.
Diam-diam para kesatria sangat kagum pada
pengaruh keluarga Toan yang ternyata tidak boleh
sembarangan dihina itu, Ciong-kokcu hendak
menghancurkan nama baik mereka, tapi entah dengan
cara bagaimana tahu-tahu malah putri Ciong-kokcu
sendiri yang telah ditukar dan dikurung di dalam rumah
batu itu.
Kiranya kejadian itu tak-lain tak-bukan adalah hasil
karya Hoa Hek-kin bertiga. Waktu mereka menawan
Ciong Ling ke dalam lorong, maksud mereka cuma untuk
menghindarkan rahasianya dibongkar oleh gadis itu. Tapi
kemudian sesudah mendengar percakapan suami-istri
660
Ciong Ban-siu, mereka tahu nama baik keluarga Toan
sedang diuji oleh tipu muslihat yang diatur bersama
antara Ciong Ban-siu dan Yan-king Taycu.
Segera mereka bertiga berunding di bawah tanah situ
dan merasa urusan itu besar sekali sangkut pautnya
dengan junjungan mereka, pula waktunya sudah sangat
mendesak. Maka begitu Ciong-hujin keluar dari kamar
itu, segera Pah Thian-sik menerobos keluar, dengan
Ginkang yang tinggi ia menyelidiki lebih pasti di mana
letak rumah batu yang dituju itu. Dan sesudah ditentukan
pula arah galian baru, segera mereka bertiga
mempercepat galian lorong di bawah tanah itu hingga
semalam suntuk, baru pagi hari itu mereka menggali
sampai di bawah rumah batu yang tepat.
Ketika Hoa Hek-kin menggangsir ke atas lagi dan
menerobos ke dalam rumah, ia lihat Toan Ki sedang
memegang tangan orang di luar rumah dengan kencang,
wajahnya tampak sangat aneh. Sudah tentu tak terpikir
oleh Hek-kin bahwa tangan yang terjulur dari luar rumah
itu adalah tangan Boh-tin Hwesio, sebaliknya ia
menyangka sebagai tangan Yan-king Taycu, maka ia
tidak berani mengajak bicara pada Toan Ki, hanya
perlahan ia tepuk bahu pemuda itu.
Tak terduga olehnya, begitu tangannya menyentuh
badan Toan Ki, seketika tubuh sendiri tergetar seperti
menyenggol besi bakar panasnya. Ia menjadi khawatir
pula ketika melihat kedua mata pemuda itu merah
membara, sekuatnya ia bermaksud menarik Toan Ki
terlepas dari genggaman tangan orang di luar itu, untuk
kemudian melarikan diri melalui lorong di bawah tanah
yang digalinya itu.
661
Siapa sangka, begitu tangannya memegang tangan
Toan Ki, seketika hawa murni dalam tubuh Hoa Hek-kin
seakan-akan bocor keluar, saking kagetnya sampai ia
menjerit.
Pah Thian-sik dan Hoan Hua adalah orang yang
sangat cerdik, begitu melihat gelagat kurang beres, cepat
mereka pun melompat ke atas untuk menarik Hoa Hekkin
dan dibetot sekuatnya. Dan berkat tenaga gabungan
ketiga orang itulah dapat Hoa Hek-kin terlepas dari
sedotan Cu-hap-sin-kang yang lihai itu.
Untunglah tenaga dalam ketiga tokoh kerajaan Tayli
itu jauh lebih tinggi daripada Boh-tin berenam, pula dapat
bertindak cepat sebelum kasip, namun demikian, toh
mereka pun kaget luar biasa hingga mandi keringat
dingin. Pikir mereka, “Ilmu sihir Yan-king Taycu ini
sungguh sangat lihai.”
Karena itu juga mereka tidak berani menyentuh badan
Toan Ki lagi.
Dan pada saat itu juga di luar terdengar suara ramairamai
datangnya rombongan Po-ting-te, lalu Ciong Bansiu
sedang menyindir dengan terbahak-bahak. Tabiat
Hoan Hua sangat jenaka dan banyak akal, tiba-tiba
pikirannya tergerak, “Ciong Ban-siu ini benar-benar jahat,
biar kita kerjai dia agar malu sendiri.”
Terus saja mereka mencopot baju luar Ciong Ling
untuk dipakai Bok Wan-jing, lalu mereka seret Bok Wanjing
ke dalam lorong serta menutup kembali lantai batu
662
yang mereka gali itu hingga tidak kentara sesuatu yang
mencurigakan.
Begitulah setelah Toan Ki telah keluar rumah batu itu,
oleh karena hawa murni Boh-tin berenam tak dapat
dihimpunnya ke dalam perut untuk dijalankan menurut
keinginannya, maka enam arus hawa murni yang sangat
kuat itu masih terus bergolak dalam tubuh hingga isi
perut seakan-akan keterjang jungkir balik, ia menjadi
sempoyongan dan tak bisa berdiri tegak.
Melihat itu, Po-ting-te menyangka sang keponakan
keracunan jahat, cepat ia tutuk ketiga Hiat-to penting
“Jin-yang”, “Thay-yang” dan “Leng-tay-hiat” di badan
pemuda itu, walaupun hawa murni itu masih belum bisa
disalurkan ke tempat yang semestinya, namun pikiran
Toan Ki menjadi rada jernih, ia sudah bisa bicara dengan
terang, “Pekhu, aku kena racun Im-yang-ho-hap-san.”
Po-ting-te merasa lega keselamatan Toan Ki tidak
berbahaya, tapi segera teringat olehnya pertandingan di
antara Ui-bi-ceng dan Yan-king Taycu sedang mencapai
klimaksnya, maka ia tak sempat mengurus Toan Ki lebih
jauh dan mendekati Ui-bi-ceng untuk mengikuti
pertandingan otak dan Lwekang kedua orang itu.
Ia lihat jidat Ui-bi-ceng penuh butiran keringat sebesar
kedelai, sebaliknya Yan-king Taycu tampak tenangtenang
saja seperti tidak merasakan apa-apa. Terang
kekuatan kedua pihak itu sudah kentara nyata, mati
hidup Ui-bi-ceng bergantung dalam sekejap saja.
Dalam pada itu karena pikiran Toan Ki sudah jernih
kembali, ia pun memerhatikan lagi situasi percaturan
663
kedua orang itu. Ia lihat jalan mundur Ui-bi-ceng sudah
buntu, bila Yan-king Taycu mendesak maju lagi satu biji,
maka Ui-bi-ceng pasti akan menyerah kalah.
Benar juga, ia lihat tongkat bambu Yan-king Taycu
sedang diangkat dan akan menggores batu pula, tempat
yang dituju itu adalah tepat langkah yang mematikan
lawannya.
Keruan Toan Ki khawatir, pikirnya, “Biar aku
mengacaunya sekali ini!”
Segera ia ulur tangan untuk menahan ujung tongkat
orang yang akan digoreskan itu.
Sungguh kejut Yan-king Taycu tak terkatakan ketika
mendadak terasa tongkatnya tertahan sesuatu,
berbareng lengan tergetar dan tenaga murni seakanakan
membanjir keluar tak tertahankan. Waktu ia lirik, ia
lihat Toan Ki sedang menahan tongkat dengan dua
jarinya.
Keruan ia tambah kaget dan heran, “Tempo hari
waktu menangkap bocah ini, terang sedikit pun ia tak
bisa ilmu silat, paling-paling cuma pandai berkelit dengan
gerak langkah yang aneh, mengapa dalam waktu cuma
beberapa hari mendadak bisa menggunakan ilmu sihir
untuk menyedot tenaga murni orang? Apa barangkali
tempo hari ia sengaja pura-pura bodoh dan baru
sekarang turun tangan?”
Toan Ki sendiri tidak tahu bahwa sesudah makan dua
ekor katak merah itu, dalam tubuh telah timbul semacam
Cu-hap-sin-kang yang mempunyai daya isap luar biasa
664
lihainya, tentu saja Yan-king Taycu lebih-lebih tidak
mengerti mengapa bocah yang masih hijau itu
sekonyong-konyong menjadi sedemikian saktinya.
Segera ia tarik napas dalam-dalam, ia kerahkan
tenaga sekuatnya dan disalurkan ke tongkatnya, sekali
puntir dan betot, seketika terlepaslah tongkat itu dari
tangan Toan Ki.
Hendaklah diketahui bahwa Lwekang tokoh utama
Su-ok itu tinggi sekali, jarang ada bandingannya di
zaman ini. Toan Ki sendiri meski kini terhimpun tenaga
murni dari Boh-tam berenam yang disedotnya itu, namun
dia tak tahu cara menggunakannya, sedikit pun ia tak
bisa mengerahkan tenaga, dengan sendirinya ia tergetar
lepas dari puntiran tongkat lawan, segera ia merasa
separuh badan kesemutan dan hampir jatuh pingsan.
Sebaliknya tenaga dalam yang dikerahkan Yan-king
Taycu itu saking besarnya hingga ada juga sebagian
yang tak keburu ditarik kembali lagi, dalam terkejutnya,
tanpa sengaja tongkatnya lantas melambai ke bawah
dan mencoret di atas batu.
Cepat Yan-king Taycu sadar dan juga mengeluh,
namun sudah telanjur, tongkatnya sudah mencoret
setengah lingkaran di atas peta catur, cuma bukan
tempat yang ditujunya semula, tapi jatuh di sisinya,
sehingga gagal bikin buntu jalan lawan. Seketika wajah
Yan-king Taycu berubah.
Sebagai seorang tokoh yang menjaga gengsi, meski
tahu salah langkah dan itu berarti kekalahan total
baginya, namun Yan-king Taycu tidak mau ribut dengan
665
Ui-bi-ceng, segera ia berbangkit sebagai tanda menyerah
kalah. Tapi kedua tangan masih menahan di atas papan
batu itu sambil memerhatikan papan catur hingga lama
sekali.
Sebagian besar di antara hadirin itu belum pernah
kenal siapa tokoh Jing-bau-khek, melihat sikapnya yang
aneh itu, semua orang ikut memerhatikan juga apa yang
dilakukannya.
Sampai lama Yan-king Taycu memandangi papan
catur, mendadak ia angkat tongkatnya, tanpa berkata lagi
ia putar tubuh dan melangkah pergi.
Pada saat lain, tiba-tiba angin meniup, papan batu
tadi tampak bergoyang sedikit, sekonyong-konyong batu
besar itu pecah berantakan menjadi belasan potong.
Keruan semua orang ternganga dan saling pandang
dengan kesima, sungguh tak terpikir oleh mereka bahwa
Jing-bau-khek yang tidak mirip manusia dan tidak serupa
setan itu, ilmu silatnya ternyata sudah mencapai taraf
yang sukar diukur.
Ui-bi-ceng sendiri meski sudah menangkan babak
percaturan itu, namun dia masih duduk merenung di
tempatnya dengan rasa syukur dan bingung pula. Syukur
karena pertandingan yang berbahaya itu akhirnya
dimenangkan olehnya, bingung pula mengapa Yan-king
Taycu yang sudah terang memegang kunci kemenangan
itu mendadak bisa menyumbat jalan hidup sendiri,
bukankah itu sengaja mengalah? Tapi dalam keadaan
demikian, tidaklah masuk akal bahwa orang sudi
mengalah padanya.
666
Po-ting-te dan Toan Cing-sun juga merasa tidak
mengerti oleh kejadian itu. Akan tetapi mereka tidak
ambil pusing lebih jauh, yang terang sekarang Toan Ki
sudah diselamatkan dan Yan-king Taycu sudah
dikalahkan dan sudah pergi, nama baik keluarga Toan
telah dipertahankan, pertarungan ini boleh dikatakan
telah menang total.
Maka segera Toan Cing-sun berolok-olok lagi dengan
tertawa, “Ciong-kokcu, putraku pasti bukan manusia yang
tipis budi, sekali putrimu sudah menjadi selir putraku,
dalam waktu singkat tentu akan kami kirim orang untuk
memapaknya dan kami sekeluarga akan menyambut
baik-baik dan sayang padanya seperti anak sendiri,
harap engkau jangan khawatirkan urusan ini.”
Ciong Ban-siu adalah seorang kasar, jiwanya sempit
dan berangasan, karena tak tahan diolok-olok dan
disindir Toan Cing-sun, ia menjadi naik darah lagi, tanpa
tanya apakah Ciong Ling benar-benar telah dinodai Toan
Ki atau tidak, terus saja ia cabut golok dari pinggangnya
dan membacok kepala Ciong Ling sambil membentak,
“Kau bikin aku mati gusar saja, biarlah kumampuskan
budak hina dina ini lebih dulu!”
Sekonyong-konyong bayangan orang melayang tiba,
dengan cepat luar biasa Ciong Ling telah dirangkul dan
dibawa kabur beberapa tombak jauhnya. “Crat,” golok
Ban-siu membacok di atas tanah dan ketika ditegasi
orang yang menyambar Ciong Ling itu kiranya adalah
“Kiong-hiong-kek-ok” In Tiong-ho.
“Kau ... kau mau apa?” bentak Ban-siu dengan gusar.
667
“Kau tidak mau pada putrimu ini, maka hadiahkan
saja padaku dan anggap dia sudah mati kau bacok
barusan,” sahut In Tiong-ho dengan cengar-cengir,
berbareng itu orangnya lantas melesat pergi lagi
beberapa tombak jauhnya.
Ia tahu bicara tentang ilmu silat, jangankan dirinya tak
mampu menandingi Po-ting-te dan Ui-bi-ceng, sekalipun
Toan Cing-sun atau Ko Sing-thay juga sudah lebih
unggul daripadanya. Karena itu In Tiong-ho ambil
keputusan, bila gelagat jelek, segera Ciong Ling akan
digondolnya lari.
Pah Thian-sik yang diseganinya itu tidak tampak hadir
di situ, maka dalam hal Ginkang, terang tiada seorang
pun di antara hadirin itu mampu mengejarnya.
Ciong Ban-siu juga tahu Ginkang tokoh keempat dari
Su-ok itu sangat lihai, untuk mengejar terang tak mampu,
saking gemasnya ia cuma bisa berjingkrak sambil
memaki kalang kabut.
Po-ting-te tempo hari sudah menyaksikan In Tiong-ho
itu main udak-udakan dengan Pah Thian-sik, kini melihat
orang menggondol Ciong Ling dan larinya begitu cepat
dan enteng, terpaksa ia pun tak bisa berbuat apa-apa.
Tiba-tiba timbul suatu akal dalam benak Toan Ki,
segera ia berseru, “Gak-losam, sebagai gurumu, aku
memerintahkanmu lekas rebut kembali nona cilik itu?”
Lam-hay-gok-sin tercengang sekejap, segera ia
menjadi gusar dan membentak, “Keparat, apa katamu?”
668
“Kau telah menyembah aku sebagai guru, apakah kau
berani menyangkal?” sahut Toan Ki. “Memangnya apa
yang sudah kau katakan sendiri itu kau anggap seperti
kentut saja?”
Seperti diketahui, biarpun Lam-hay-gok-sin itu sangat
jahat dan buas, tapi ada suatu sifatnya yang terpuji, yaitu
apa yang pernah ia janji atau katakan, tidak pernah ia
mungkir dan pasti akan ditepati.
Ia mengangkat guru pada Toan Ki, meski hal ini
seribu kali hatinya tidak rela, tapi ia juga tidak
menyangkal, maka dengan mendelik gusar ia
membentak pula, “Apa yang telah kukatakan sudah tentu
tetap berlaku. Kau adalah guruku, lantas mau apa? Hm,
jika Locu geregetan, guru macammu juga sekalian akan
kubunuh.”
“Baiklah jika kau sudah mengaku,” ujar Toan Ki.
“Sekarang nona Ciong itu digondol si jahat keempat itu,
nona itu adalah istriku, jadi dia ibu-gurumu pula, maka
lekas kau rebutnya kembali. Kalau In Tiong-ho menghina
nona itu, sama artinya menghina ibu-gurumu, jika kau tak
mampu membelanya, bukankah terlalu pengecut?”
Lam-hay-gok-sin tercengang sejenak, ia pikir benar
juga teguran sang “guru” itu. Tapi lantas teringat olehnya
bahwa Bok Wan-jing juga mengaku sebagai istrinya,
kenapa nona cilik she Ciong ini diaku istrinya pula?
Segera ia tanya, “Kenapa begitu banyak ibu-guruku?
Sebenarnya berapa orang istrimu?”
669
“Tak perlu kau tanya,” sahut Toan Ki. “Yang penting,
lekaslah kau laksanakan perintahku, bila tidak dapat
merebut kembali ibu-gurumu, itu berarti kau tiada muka
buat bertemu lagi dengan kesatria-kesatria di jagat ini,
sekian orang gagah di sini telah menyaksikan, kalau kau
tak mampu menangkan In Tiong-ho yang nomor empat,
ya, biar urutanmu diturunkan menjadi nomor lima saja,
bisa jadi nomor enam malah!”
Mana Lam-hay-gok-sin sudi terima olok-olok
demikian? Suruh dia berada di bawah nama In Tiong-ho,
hal ini baginya lebih celaka daripada mati. Karena itu, ia
menggerung keras-keras sambil berlari mengudak ke
arah In Tiong-ho dan membentak, “Lepaskan ibuguruku!”
Cepat In Tiong-ho melayang beberapa tombak pula
ke depan sambil berseru, “Gak-losam, sungguh tolol,
ditipu orang masakah tidak tahu!”
Keruan marah Lam-hay-gok-sin semakin berkobar,
biasanya ia paling suka mengaku dirinya paling pintar,
masakan di hadapan orang banyak dicemooh sebagai
orang tolol? Segera ia “tancap gas” lebih kencang untuk
mengejar. Maka dengan cepat sekali kedua orang yang
saling uber itu telah melintas beberapa lereng bukit.
Ciong Ban-siu yang kehilangan anak perempuan itu,
meski dalam kalapnya tadi putrinya hendak dibacok mati,
tapi kini demi melihat putrinya digondol lari orang jahat,
betapa pun soal darah daging, apalagi nanti kalau
ditanya sang istri, bagaimana dia harus memberi
tanggung jawab? Maka tanpa pikir lagi ia pun ikut
mengejar dengan golok terhunus.
670
Melihat pelaku utamanya sudah pergi, segera Po-tingte
memberi hormat kepada para kesatria yang hadir itu,
katanya, “Mumpung hadirin kebetulan berkunjung ke
Tayli sini, marilah silakan mampir ke tempat kami agar
aku dapat sekadar memenuhi kewajiban sebagai tuan
rumah.”
Hui-sian dan lain-lain memang berminat untuk
berkenalan dengan Toan Cing-beng, raja Tayli yang
terkenal sebagai “orang utama di dunia selatan”, demi
diundang secara ramah, mereka lantas menerima baik
undangan itu dengan tertawa.
Hanya Yap Ji-nio yang berkata dengan tersenyum,
“Nyonyamu ini khawatir akan disembelih kalian untuk
dimakan, maka lebih baik aku angkat langkah seribu saja
lebih selamat!”
Habis berkata, tanpa pamit lagi ia lantas mengeluyur
pergi dengan tersenyum.
Po-ting-te pun tidak merintangi kepergian tokoh kedua
Su-ok itu, ia ajak para tamu meninggalkan Ban-jiat-kok
dan pulang ke Tayli.
Boh-tam berenam sudah terlalu payah dan lemas,
untuk berdiri saja tak sanggup, maka Leng Jian-li dan
kawan-kawannya lantas menaikkan mereka ke atas kuda
dan beramai-ramai kembali ke Tin-lam-onghu.
Sementara itu Pah Thian-sik bertiga sudah menunggu
di situ, mereka lantas menyambut keluar bersama
671
seorang gadis jelita yang berdandan mewah, siapa lagi
dia kalau bukan Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing!
Dalam pada itu Toan Ki yang sejak minum “Im-yangho-
hap-san”, racun yang masih mengeram dalam tubuh
itu belum lagi lenyap. Kini mendadak melihat Bok Wanjing,
tanpa kuasa lagi ia pentang kedua tangan terus
berlari maju hendak peluk gadis itu. Syukurlah, betapa
khilafnya, dalam benaknya masih timbul setitik pikiran
jernih, mendadak ia sadar perbuatannya yang tidak
pantas itu, seketika ia menahan diri dan berdiri terpaku di
tempatnya.
Ternyata Im-yang-ho-hap-san itu bukan saja sangat
lihai karena bekerjanya racun itu sangat awet, tahan
lama, bahkan kedua pihak laki-laki dan perempuan yang
minum racun itu akan timbul daya tarik yang sangat kuat.
Mendingan kalau kedua pihak dipisahkan, tapi bila
bertemu kembali, seketika pikiran kedua orang akan
kabur dan tenggelam dalam perasaan yang tidak
senonoh hingga sukar mengekang diri.
Melihat sikap kedua muda-mudi itu agak kurang
beres, pipi merah, begitu pula mata mereka seakan-akan
berapi, terang keracunan sangat hebat.
Cepat Po-ting-te bertindak, “cus-cus” dua kali, ia tutuk
dari jauh, seketika Toan Ki dan Wan-jing tertutuk roboh
pingsan. Segera Cu Tan-sin mengangkat Toan Ki dan Si
Pek-hong memondong Wan-jing ke dalam kamar.
Kemudian para tamu disilakan masuk ke istana dan
diadakan perjamuan secara meriah. Karena Siau-lim-si
dipandang sebagai bintang cemerlang dalam dunia
672
persilatan, maka Hui-sian Hwesio disilakan duduk di
tempat tamu utama oleh para kesatria.
Dalam perjamuan itu Hoan Hua lalu menceritakan
hasil karya mereka yang telah menggali lorong di bawah
tanah hingga menembus ke dalam rumah batu tempat
Toan Ki dikurung serta menaruh Ciong Ling yang mereka
tawan di dalam rumah itu. Sudah tentu ia tidak
menceritakan tentang Bok Wan-jing yang ditolong keluar
sebagai ganti Ciong Ling.
Mendengar itu, para kesatria baru tahu duduknya
perkara serta menertawakan Ciong Ban-siu yang sial itu,
ingin bikin malu orang, siapa duga senjata telah makan
tuan malah.
Dan oleh karena putra kesayangannya masih
keracunan, Cing-sun menjadi murung dan coba tanya
apakah sekiranya di antara hadirin itu ada yang bisa
menolong. Namun para kesatria hanya saling pandang
dengan bingung tak bisa berbuat apa-apa.
Pada saat itulah dari luar masuk seorang pengawal
dan menyerahkan sepucuk surat kepada Toan Cing-sun,
katanya yang membawakan surat itu adalah seorang
dayang perempuan, di dalam sampul itu katanya ada
pula resep obat untuk menyembuhkan putra pangeran
yang keracunan itu.
Sungguh kejut dan girang Cing-sun tak terkatakan,
cepat ia membuka sampul surat dan melihat di atas
secarik kertas kecil yang putih bersih tertulis enam huruf
kecil yang indah, “Banyak minum susu manusia dan
segera sembuh.”
673
Cing-sun mengenali tulisan itu adalah buah tangan
Ciong-hujin, saking terguncang perasaannya, tanpa
merasa secawan arak di atas meja telah tersampuk
tumpah oleh lengan bajunya.
“Sun-te, resep apakah itu?” tanya Po-ting-te.
Cing-sun tertegun, jawabnya dengan tergegap, “Apa?
O, resep ini bilang banyak minum susu manusia dan Ki-ji
akan segera sembuh.”
Po-ting-te mengangguk, katanya, “Tiada alangan
untuk dicoba. Banyak minum susu manusia sekalipun
tidak manjur juga tidak berbahaya.”
Segera Si Pek-hong berbangkit dan masuk ke dalam
istana untuk memberi perintah pada para “abdi dalam”
agar lekas mencari susu manusia pada para ibu yang
meneteki.
Para pesuruh itu memang sangat cekatan, pula susu
manusia juga bukan barang yang susah dicari, maka
belum lagi perjamuan bubar, Toan Ki dan Bok Wan-jing
sudah sadar kembali dari keracunan mereka serta keluar
ke ruangan depan untuk menemui para tamu.
Toan Ki mengaturkan terima kasih kepada Ui-bi-ceng
dan Hoa Hek-kin yang telah menyelamatkan jiwanya. Ia
menyatakan penyesalannya pula akan terlukanya Bohtam
berenam.
Tatkala itu keenam murid Ui-bi-ceng masih sangat
payah dan belum dapat bicara, maka bagaimana mereka
674
menjadi begitu, bukan saja Ui-bi-ceng tidak tahu
duduknya perkara, bahkan Toan Ki juga tidak mengerti
bahwa dirinya yang menjadi gara-gara atas malapetaka
yang menimpa murid-murid padri beralis kuning itu.
Kemudian Toan Cing-sun mengumumkan juga bahwa
Bok Wan-jing adalah putri angkatnya. Dalam keadaan
begitu, meski Cin Goan-cun, Hui-sian dan lain-lain saling
bermusuhan dengan gadis wangi itu, kini mereka menjadi
tidak enak untuk bikin onar di situ. Apalagi di hadapan
empat tokoh mahasakti seperti Po-ting-te, Ui-bi-ceng,
Toan Cing-sun dan Ko Sing-thay, betapa pun besar nyali
mereka juga tiada seorang pun berani berkutik.
Bab 14
Di tengah perjamuan itu, hadirin ramai mengobrol ke
timur dan ke barat, kemudian sama mengaturkan
selamat pula kepada Toan Cing-sun suami-istri dan Ko
Sing-thay karena kedua keluarga itu telah berbesanan.
Seketika suasana tambah semarak dan beramai-ramai
sama mengajak angkat cawan.
Bok Wan-jing coba melirik Toan Ki, ia lihat pemuda itu
menunduk dengan lesu, teringat olehnya waktu mereka
berduaan tinggal bersama di dalam rumah batu itu, tanpa
terasa ia pun ikut muram durja. Ia tahu selama hidup ini
terang tiada harapan untuk menjadi istri Toan Ki, tapi
demi mendengar pemuda itu sudah melamar putri Ko
Sing-thay, tentu saja ia pun berduka dan hancur
perasaannya.
Semakin memandang Ko Sing-thay, semakin gemas
hatinya, sungguh ia ingin sekali panah binasakan orang
itu sebagai hukumannya mengapa melahirkan seorang
675
anak perempuan untuk diperistri oleh kekasihnya itu?
Cuma ia tahu kepandaian Ko Sing-thay terlampau lihai,
untuk memanahnya tidaklah mudah, maka panah yang
sudah disiapkan dalam lengan baju itu tidak lantas
dibidikkan.
Ia lihat suasana perjamuan itu semakin memuncak
riang gembira, ia khawatir saking tak tahan dirinya bisa
menangis, hal mana tentu akan ditertawai orang, maka
segera ia berbangkit dan menyatakan kepalanya pusing,
ingin kembali ke kamar saja. Habis itu, tanpa permisi lagi
pada Toan Cing-sun dan Po-ting-te, ia terus tinggal
masuk ke dalam dengan cepat.
Dengan tersenyum Cing-sun minta maaf kepada para
tamu atas kelakuan putrinya yang kurang adat itu.
Tiba-tiba datang bergegas seorang penjaga dan
menyampaikan secarik kartu nama kepada Cing-sun
serta melapor, “Ko Gan-ci, Ko-siauya dari Hou-cut-koan
mohon bertemu dengan Ongya.”
Sungguh di luar dugaan Toan Cing-sun atas
kunjungan tamu yang tak diundang ini. Ia tahu Ko Gan-ci
itu adalah murid pertama dari Kwa Pek-hwe dari Ko-sanpay,
di kalangan Kangouw cukup harum namanya
sebagai pendekar yang budiman, julukannya adalah “Tuihun-
jiu” atau si Tangan Penguber Nyawa. Konon ilmu
silatnya sangat hebat, tapi selamanya tiada hubungan
apa-apa dengan keluarga Toan, lantas untuk keperluan
apa jauh-jauh dia datang kemari?
676
Walaupun agak sangsi, namun Cing-sun berbangkit
juga dan berkata, “Kiranya Tui-hun-jiu Ko-tayhiap yang
datang, aku harus menyambutnya sendiri.”
Para kesatria yang hadir di situ juga pernah
mendengar namanya Ko Gan-ci, di antaranya Hui-sian
dan Kim Tay-peng malah sudah kenal, maka beramairamai
mereka lantas ikut menyambut keluar. Hanya Poting-
te, Ui-bi-ceng, Co Cu-bok dan Cin Goan-cun yang
tetap duduk di tempat masing-masing.
Kalau Po-ting-te dan Ui-bi-ceng tidak keluar
menyambut adalah mengingat kedudukan mereka di
kalangan Bu-lim memang lebih tinggi daripada orang lain,
sedang Co Cu-bok dan Cin Goan-cun berdua sengaja
berlaku angkuh, anggap diri sendiri adalah tokoh utama
suatu aliran tersendiri. Ko Gan-ci dipandang mereka lebih
rendah setingkat, betapa pun tenar nama Ko Gan-ci juga
masih mempunyai seorang guru, yaitu Kwa Pek-hwe.
Ketika Toan Cing-sun sampai di luar, ia lihat seorang
laki-laki setengah umur yang berperawakan tinggi besar
sambil menuntun seekor kuda putih yang gagah sedang
menunggu di depan pintu. Laki-laki itu memakai baju
berkabung, wajah murung, kedua mata merah bendul,
terang orang sedang ditimpa kemalangan kematian
sanak keluarga.
Melihat orang, segera Kim Tay-peng melangkah maju
dan menyapa, “Ko-toako, baik-baikkah engkau!”
Kiranya laki-laki berbaju berkabung inilah Ko Gan-ci.
Maka jawabnya, “Kiranya Kim-hiante juga berada di sini.”
677
“Atas kunjungan Ko-tayhiap, maafkan Siaute tidak
menyambut lebih dulu,” demikian Cing-sun memberi
hormat.
Cepat Ko Gan-ci membalas hormat sambil merendah
diri, diam-diam ia mengagumi keluarga Toan di Tayli
yang tersohor bijaksana nyatanya memang tidak omong
kosong.
Sesudah saling kagum, lalu Cing-sun membawa
tamunya ke dalam serta diperkenalkan kepada Po-ting-te
dan lain-lain. Segera Cing-sun memerintahkan pelayan
menyediakan pula satu meja untuk menjamu Ko Gan-ci.
Namun Ko Gan-ci menolak, katanya, “Cayhe masih
berkabung, pula ada urusan penting lain, cukup
menerima suguhan secangkir teh saja!”
Habis itu, ia terus minum habis secangkir teh yang
disediakan, lalu katanya pula, “Ongya, sudah lama
Susiokku memondok di dalam istana sini, untuk mana
Cayhe sangat berterima kasih. Kini Cayhe ada suatu
urusan hendak bicara dengan beliau, sudilah Ongya
mengundangnya keluar.”
“Susiok Ko-heng?” Cing-sun menegas dengan heran.
Dalam hati ia tidak habis mengerti masakah di dalam
istananya ada seorang tokoh Ko-san-pay segala?
Namun Ko Gan-ci berkata pula, “Susiokku suka ganti
nama dan memondok di sini sekadar menghindari
bahaya, hal mana mungkin tak berani dikatakan terus
terang kepada Ongya, sungguh perbuatan yang tidak
678
pantas, maka harap Ongya yang bijaksana sukalah
memberi maaf.”
Berbareng ia memberi hormat lagi.
Sambil membalas hormat orang, diam-diam Cing-sun
berpikir dan tetap tidak ingat siapakah gerangan Susiok
orang yang dimaksud itu?
Tiba-tiba Ko Sing-thay berkata kepada seorang
pesuruh di sampingnya, “Coba pergi ke kamar tulis,
undanglah Ho-siansing kemari, katakan bahwa Tui-hunjiu
Ko-tayhiap sedang menunggu, ada urusan penting
yang perlu dibicarakan dengan ‘Kim-sui-poa’ Cuilocianpwe!”
Pesuruh itu mengiakan dan selagi hendak bertindak
masuk, tiba-tiba terdengar dari ruangan belakang sana
ada suara tindakan orang yang berkeletakan, dengan
langkah setengah diseret, orang itu berkata, “Sekali ini
kau benar-benar hancurkan periuk nasiku ini.”
Ketika para kesatria mendengar nama “Kim-sui-poa”
Cui-locianpwe atau si Swipoa Emas disebut, ada yang
merasa bingung tidak paham apa yang dimaksudkan,
tetapi ada pula yang terkesiap, mereka ragu apakah
benar iblis kawakan Swipoa emas itu bercokol di negeri
Tayli?
Tengah mereka heran, tertampaklah seorang kakek
berwajah jelek dan berkumis tikus sedang keluar dari
belakang dengan tertawa. Setiap orang dalam istana
kenal Ho-siansing ini adalah juru tulis rendahan
merangkap pekerjaan serabutan, yaitu juru tulis yang
679
tempo hari diseret keluar oleh Toan Ki dan diaku sebagai
gurunya untuk menggoda Lam-hay-gok-sin itu.
Keruan Toan Cing-sun terkejut, pikirnya, “Apakah
benar Ho-siansing inilah Cui Pek-khe yang
dimaksudkan? Ke manakah mukaku ini harus ditaruh
bahwa seorang tokoh terkenal setiap hari berada di
hadapanku, tapi aku tidak tahu sama sekali.”
Syukurlah dengan segera Ko Sing-thay dapat
membuka rahasia itu hingga para hadirin mengira Tinlam-
onghu sudah lama mengetahui beradanya tokoh Kosan-
pay ini, maka Toan Cing-sun tidak sampai
kehilangan muka.
Ho-siansing itu tetap lucu tampaknya, setengah
mabuk setengah sadar dengan matanya yang keriyepkeriyep.
Tapi demi tampak pakaian berkabung Ko Gan-ci,
ia menjadi kaget dan bertanya, “He, ken ... kenapakah
kau?”
Cepat Ko Gan-ci melangkah maju dan menjura ke
hadapan sang Susiok sambil menangis, katanya, “Cuisusiok,
Su ... Suhuku dibin ... dibinasakan orang.”
Seketika air muka Ho-siansing itu berubah hebat,
muka yang tertawa tadi kontan berubah muram dan
waswas. Tanyanya kemudian dengan perlahan,
“Siapakah pembunuhnya?”
“Titji (keponakan) tak becus, sampai sekarang belum
tahu dengan pasti siapa pembunuh Suhu itu,” demikian
tutur Gan-ci dengan menangis. “Tapi menurut taksiran,
besar kemungkinan adalah orang keluarga Buyung.”
680
Sekilas wajah Ho-siansing mengunjuk rasa jeri demi
mendengar nama itu, namun cepat ia bisa tenangkan diri
dan berkata dengan suara berat, “Urusan ini harus kita
bicarakan secara mendalam.”
Semua orang merasa heran melihat sikap Cui Pekkhe
itu. Mereka cukup kenal nama-nama Cui Pek-khe
dan Ko Gan-ci, namun paling akhir ini Gan-ci jauh lebih
tenar daripada nama sang Susiok. Dan tentang kelihaian
keluarga Buyung yang disebut-sebut itu, mereka sama
sekali tidak tahu. Hanya Po-ting-te dan Ui-bi-ceng saling
pandang sekejap, bahkan perlahan Ui-bi-ceng menghela
napas.
Betapa telitinya Cui Pek-khe, ternyata sedikit
menghela napas Ui-bi-ceng lantas diketahui olehnya.
Tiba-tiba ia memberi hormat kepada padri itu dan
berkata, “Dunia Kangouw bakal terancam malapetaka,
Taysu mahawelas-asih, sudilah memberi petunjuk jalan
yang sempurna.”
Cepat Ui-bi-ceng membalas hormat orang, sahutnya,
“Siancay, sudah lama kuasingkan diri dan tidak pernah
ikut campur urusan Bu-lim di Tionggoan. Padahal tokoh
sakti seperti Cui-sicu ternyata sudah sekian tahun tinggal
di Tin-lam-ong, dan sama sekali tidak kuketahui, mana
aku berani bicara tentang urusan Kangouw lagi?”
Cui Pek-khe tampak lemas dan sedih oleh jawaban
itu, katanya kepada Gan-ci, “Ko-hiantit, cara bagaimana
tewasnya Suheng, coba uraikan dengan jelas dari awal
sampai akhir.”
681
“Sakit hati terbunuhnya guru senantiasa mengganggu
pikiran Siautit, satu hari sakit hati itu tak terbalas, satu
hari pula Siautit akan merasa tidak enak makan dan tidur.
Maka mohon Susiok sekarang juga suka berangkat,
biarlah di tengah jalan nanti Siautit akan menuturkan
secara jelas demi menghemat waktu,” demikian sahut Ko
Gan-ci.
Melihat sikap sang Sutit yang ragu-ragu itu, Cui Pekkhe
tahu pasti Gan-ci merasa tidak leluasa untuk bicara
terus terang karena di depan orang banyak. Namun
dalam hati ia sudah ambil keputusan, “Telah sekian lama
aku memondok di istana pangeran ini tanpa ketahuan
jejakku, siapa duga Ko-houya ini sebenarnya sudah lama
mengetahui samaranku. Jika aku tidak minta maaf pada
Toan-ongya, itu berarti aku berbuat kurang ajar pada
keluarga Toan. Apalagi aku masih perlu membalas sakit
hati Suheng terhadap keluarga Buyung, untuk mana
melulu tenagaku seorang terang takkan berhasil, kalau
bisa mendapat bantuan keluarga Toan ini, pasti kekuatan
pihakku akan berbeda, untuk inilah aku tidak boleh
berlaku sembrono.”
Karena pikiran itu, mendadak ia menjura ke hadapan
Toan Cing-sun sambil menangis.
Hal ini tentu saja di luar dugaan semua orang. Cepat
Cing-sun hendak membangunkan orang. Tak terduga
tubuh Cui Pek-khe ternyata tak dapat ditarik, sebaliknya
seperti terpaku di lantai, sedikit pun tidak bergerak.
Diam-diam Cing-sun membatin, “Bagus kau setan
arak ini, begini lihai kepandaianmu, tapi selama ini aku
telah kau tipu.”
682
Segera ia kerahkan tenaga pada kedua tangannya
dan diangkat ke atas.
Pek-khe tidak bertahan lagi dengan Lwekangnya, tapi
lantas berdiri mengikuti daya tarikan orang. Namun baru
saja berdiri tegak, terasalah tulang seluruh tubuhnya
seakan-akan retak, sakitnya tak terkatakan.
Ia tahu Toan Cing-sun sengaja hendak menghajarnya
sebagai ganjaran perbuatannya itu. Dasar namanya
adalah “Pek-khe” atau beratus akal, otaknya memang
benar-benar cerdas. Ia pikir bila mengerahkan tenaga
untuk melawan, tentu rasa dongkol Tin-lam-ong takkan
hilang, boleh jadi malah akan mencurigai dirinya sengaja
menyelundup ke dalam istana pangeran dengan muslihat
tertentu.
Sebab itulah, ia biarkan dirinya digencet oleh tenaga
dalam orang terus menjatuhkan diri duduk di lantai
sambil berseru, “Aduh!”
Cing-sun tersenyum puas dan menarik bangun orang,
ketika tangan menempel tubuh Cui Pek-khe, sekalian ia
hapuskan rasa sesak dada orang dengan Lwekangnya.
“Tin-lam-ong,” kata Pek-khe kemudian, “karena
terdesak musuh, tiada jalan lain terpaksa Pek-khe
dengan tidak malu-malu berlindung di bawah pengaruh
Ongya dan beruntung dapat hidup sampai hari ini. Untuk
itu Pek-khe tidak pernah mengaku terus terang pada
Ongya, maka sangat mengharapkan kemurahan hati
Ongya untuk memaafkan perbuatanku yang lancang ini.”
683
“Ah, Cui-heng suka merendah diri saja,” tiba-tiba Ko
Sing-thay menyela sebelum Toan Cing-sun menjawab.
“Sudah lama Ongya mengetahui asal usulmu, cuma
Ongya sengaja tidak mau bikin malu Cui-heng.
Jangankan Ongya sudah tahu, orang-orang yang lain
juga banyak yang tahu. Misalnya tempo hari waktu Toankongcu
menerima tantangan Lam-hay-gok-sin, bukankah
Cui-heng yang diseretnya keluar untuk diaku sebagai
gurunya? Sebab Toan-kongcu juga tahu, hanya Cui-heng
saja yang mampu menandingi iblis itu.”
Padahal tempo hari hanya secara kebetulan saja
Toan Ki telah menyeret keluar Cui Pek-khe untuk diaku
sebagai gurunya, sebab di antara penghuni istana itu,
hanya wajah Cui Pek-khe yang paling jelek dan lucu,
makanya diseret keluar untuk menggoda Lam-hay-goksin.
Namun kini bagi pendengaran Cui Pek-khe, ia
percaya penuh kejadian mana seperti apa yang
dikatakan Ko Sing-thay.
Lalu Sing-thay melanjutkan lagi, “Dasar Ongya
memang suka bergurau, jangankan Cui-heng memang
tiada bermaksud jahat terhadap negeri Tayli kami,
sekalipun ada, tentu juga Ongya yang bijaksana akan
melayanimu dengan segala kebesaran jiwanya. Maka
tidak perlu Cui-heng banyak adat lagi.”
Di balik kata-katanya ini seakan-akan hendak
menyatakan bahwa syukurlah selama ini kelakuanmu
tidak mengunjuk sesuatu tanda mencurigakan, kalau
ada, tentu sudah lama kau dibereskan.
“Namun demikian, apa maksud Pek-khe berlindung di
dalam Onghu, pada sebelum mohon diri, adalah pantas
684
kujelaskan dulu, kalau tidak, rasanya terlalu tidak jujur,”
demikian kata Cui Pek-khe. “Cuma urusan ini banyak
pula menyangkut nama orang lain, maka terpaksa harus
kubicara secara terus terang.”
“Ah, rasanya Cui-heng tidak perlu tergesa-gesa, soal
sakit hati adalah sangat penting, biarlah dirundingkan
nanti setelah selesai perjamuan ini,” ujar Cing-sun.
Mendengar percakapan itu, para hadirin adalah
kesatria Kangouw yang kenal adat, maka cepat mereka
selesaikan makan-minum itu, lalu sama mohon diri.
Terhadap kawan Kangouw, biasanya Cing-sun sangat
terbuka, maka begitu para tamu hendak mohon diri,
segera ada pelayan menyediakan hadiah dan Cing-sun
sendiri yang menyampaikan kepada masing-masing
tetamu itu. Terhadap tamu dari jauh seperti Kim Taypeng,
Su An dan lain-lain malah diberi bekal sangu pula.
Dengan tanpa rikuh para kesatria itu menerima juga
pemberian itu serta mengaturkan terima kasih pada tuan
rumah.
Tengah bicara, tiba-tiba di luar pintu terdengar suara
sabda Buddha yang nyaring, “Omitohud!”
Suara itu tidak keras, tapi terdengar sangat jelas
seperti diucapkan berhadapan. Keruan semua orang
terkejut.
Harus diketahui bahwa istana pangeran itu sangat
luas, dari pintu gerbang sampai ruangan pendopo itu
jaraknya ada berpuluh tombak jauhnya, di tengah banyak
685
teraling oleh dinding dan pintu lain. Maka dapat diduga
bahwa ilmu “Jian-li-thoan-im” atau mengirim gelombang
suara dari jarak ribuan li yang dimiliki orang di luar itu
sesungguhnya sudah mencapai tingkatan sangat tinggi.
Cing-sun dapat mendengar bahwa ilmu mengirim
suara dari jauh itu adalah dari aliran Siau-lim-pay, maka
ia lantas menegur, “Padri sakti Siau-lim manakah yang
sudi berkunjung kemari, maafkan kalau Toan Cing-sun
tidak menyambut sebelumnya!”
Sembari berkata, segera ia bertindak keluar untuk
menyambut.
Sampai di luar, tertampaklah seorang Hwesio kurus
kering, berusia antara 50-an, sedang berdiri di situ.
Melihat Cing-sun, padri itu lantas merangkap tangan
memberi salam dan berkata, “Hui-cin dari Siau-lim-si
memberi hormat pada Toan-ongya.”
Tengah Cing-sun membalas hormat orang, dari
belakang muncul Hui-sian dan segera menegur dengan
heran, “He, Suheng, engkau juga datang ke Tayli sini?”
Melihat sang Sute, tiba-tiba mata Hui-cin lantas merah
basah, sahutnya dengan pedih, “Sute, Suhu sudah
wafat!”
Meski sudah menjadi murid Buddha, namun sifat Huisian
masih mudah terguncang, demi mendengar berita
buruk itu, terus ia berlari maju dan memegang tangan
sang Suheng sambil menegas dengan suara gemetar,
“Bet ... betulkah katamu?”
686
Belum lagi Hui-cin menjawab, air matanya sudah
lantas bercucuran.
“Tidak beruntung kami dirundung malang, maka kami
telah berlaku kurang adat di hadapan Ongya, hendaklah
Ongya jangan marah,” demikian pinta Hui-cin.
“Ah, kenapa Taysu berlaku sungkan,” cepat Cing-sun
menjawab. Diam-diam ia pun membatin, “Guru Hui-sian
dan Hui-cin ini adalah Hian-pi Taysu yang kabarnya amat
hebat ilmu silatnya, jika demikian, jago Siau-lim-pay yang
terkemuka kini telah hilang satu lagi.”
Lalu terdengar Hui-sian tanya pula dengan suara
parau, “Sakit apakah Suhu hingga beliau wafat?
Bukankah selama ini kesehatan beliau sangat baik?”
Melihat di depan ramai orang berlalu-lalang, banyak
kesatria Bu-lim yang pergi-datang, maka Hui-cin berkata
pula, “Ongya, atas perintah Ciangbun Supek hendak
menyampaikan surat kepada Ongya sendiri serta Hongya
(baginda raja).”
Ia lantas mengeluarkan satu buntelan kertas minyak,
ia buka berlapis-lapis kertas itu, akhirnya tertampaklah
sepucuk surat dengan sampul warna kuning dan
diserahkan kepada Toan Cing-sun.
“Kebetulan Hong-heng berada di sini, marilah
kuperkenalkan Taysu kepadanya,” kata Cing-sun. Segera
ia membawa Hui-cin dan Hui-sian ke dalam.
Tatkala itu Po-ting-te sudah undurkan diri dan sedang
istirahat di ruangan dalam sambil minum dan mengobrol
687
dengan Ui-bi-ceng. Melihat datangnya Hui-cin, segera
mereka berbangkit untuk menyambut.
Setelah Cing-sun menyerahkan sampul surat yang
diterimanya tadi, Po-ting-te membuka dan membacanya.
Ia lihat awal surat itu penuh tertulis kalimat yang
menyatakan kekaguman dan pujian atas nama keluarga
Toan mereka, kemudian ketika sampai pada soal pokok,
surat menyatakan bahwa dunia persilatan bakal tertimpa
malapetaka maka diharapkan campur tangan kedua
saudara Toan itu demi menyelamatkan dunia persilatan
umumnya, tentang hal-hal yang lebih jelas supaya tanya
kepada Hui-cin yang membawa surat ini. Penanda
tangan surat adalah Ciangbun Hongtiang dari Siau-lim-si,
Hian-cu.
Po-ting-te membaca habis surat itu sambil berdiri
sebagai tanda hormat kepada Siau-lim-si. Sedang Huicin
dan Hui-sian juga ikut berdiri di samping dengan
sikap sangat hormat.
Kemudian Po-ting-te berkata, “Silakan kedua Taysu
duduk. Jika Siau-lim Hongtiang ada panggilan, sebagai
sesama orang Bu-lim, asal dapat, tentu aku akan
menurut dan berusaha sekuat tenaga.”
Tiba-tiba Hui-cin berlutut ke hadapan Po-ting-te dan
menjura sambil menangis sedih sekali. Melihat kelakuan
sang Suheng itu, meski bingung, mau tak mau Hui-sian
ikut berlutut juga.
Melihat padri Siau-lim-si itu menjalankan
penghormatan sebesar itu padanya, diam-diam Po-tingte
merasa urusan agak ganjil, pikirnya, “Jago Siau-lim-si
688
jumlahnya sukar dihitung, urusan besar apakah yang tak
dapat diselesaikan mereka hingga perlu minta bantuanku
secara sungguh-sungguh begini?”
Segera ia membangunkan Hui-cin berdua dan berkata
pula, “Sesama kaum Bu-lim, aku tidak berani menerima
penghormatan setinggi ini.”
“Suhuku tewas di tangan orang she Buyung dari Kohsoh,
melulu tenaga Siau-lim-pay kami rasanya susah
membalas sakit hati itu, maka Hongya dimohon sudi
tampil untuk mengamankan situasi gawat dalam Bu-lim
ini,” demikian pinta Hui-cin dengan menangis.
Kembali nama “Buyung” disebut, air mula Po-ting-te
rada berubah. Sebaliknya, Hui-sian lantas berteriak
sambil menangis, “Jadi Suhu telah dibinasakan musuh
itu? Suheng, marilah kita adu jiwa dengan mereka!”
“Sute,” sahut Hui-cin dengan menarik muka, “di
hadapan Hongya, hendaklah berlaku tenang.”
Perawatan Hui-cin kurus kecil, sebaliknya Hui-sian
tinggi kekar, namun takut juga dia terhadap sang
Suheng, karena omelan itu, ia tidak berani buka suara
lagi, tapi tetap terguguk menangis perlahan.
“Silakan kalian duduk dulu untuk bicara lebih lanjut,”
kata Po-ting-te kemudian. “Lebih 20 tahun yang lalu
pernah kudengar bahwa di Koh-soh ada seorang tokoh
she Buyung, lengkapnya bernama Buyung Bok. Dia
pernah mengacau ke Siau-lim-si, apakah sekarang juga
orang itu yang berbuat?”
689
Dengan mengertak gigi saking gemasnya, Hui-cin
menjawab, “Siauceng cuma tahu musuh memang she
Buyung, namanya apa, itulah kurang jelas.”
“Siau-lim-pay adalah suatu aliran terkemuka di
kalangan Bu-lim, di jagat ini siapa yang tidak tunduk pada
nama kebesarannya, gurumu Hian-pi Taysu juga sudah
mencapai puncaknya melatih Lwekang dan Gwakang,
sebagai seorang Cut-keh-lang (penganut agama),
biasanya ia tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun,
mengapa kini bisa dibunuh orang lain?”
Maka bertuturlah Hui-cin dengan air mata berlinang,
“Suatu hari, selagi Siauceng duduk semadi di kamar
sendiri, tiba-tiba Siauceng dipanggil Hongtiang Supek,
ketika sampai di sana, jenazah Suhu sudah tampak
tertaruh di situ. Kata Supek jenazah Suhu diketemukan
orang kampung di kaki gunung, karena dikenal sebagai
padri Siau-lim-si, segera ada yang mengirim kabar ke
kuil, sebab itulah, cara bagaimana Suhu ditewaskan
musuh dan siapa nama pembunuhnya, sampai sekarang
belum jelas diselidiki.”
Sejak tadi Ui-bi-ceng hanya mendengarkan saja, kini
tiba-tiba menyela, “Bukankah tewasnya Hian-pi Taysu
disebabkan dadanya terkena serangan ‘Kim-kong-co’?”
Hui-cin terkejut, tanyanya, “Dugaan Taysu memang
tepat, entah dari ... dari mana Taysu mengetahuinya?”
“Sudah lama kudengar ilmu Kim-kong-co Hian-pi
Taysu terhitung salah satu ilmu silat khas yang tiada
tandingannya di Bu-lim, siapa yang terkena serangannya,
semua tulang iganya akan patah. Ilmu silat demikian
690
memang lihai sekali, namun sesungguhnya agak terlalu
ganas, tidaklah sesuai untuk dipelajari oleh murid
Buddha kita.”
“Ya, benar, kepandaian begitu sesungguhnya terlalu
ganas,” tiba-tiba Toan Ki ikut menimbrung.
Mendengar guru mereka dikritik Ui-bi-ceng, Hui-cin
dan Hui-sian menjadi kurang senang, tapi betapa pun
juga orang terhitung padri saleh angkatan tua, mereka
cuma kurang senang karena Toan Ki ikut mengoceh,
tanpa terasa mereka sama melototi pemuda itu. Namun
Toan Ki anggap tidak lihat dan tak gubris.
“Dari mana Suheng mengetahui Hian-pi Taysu
ditewaskan oleh ‘Kim-kong-co’?” tiba-tiba Cing-sun ikut
bertanya.
Ui-bi-ceng menghela napas, sahutnya, “Ketua Siaulim-
si, Hian-cu Taysu, begitu melihat jenazah Sutenya
lantas menduga pasti pembunuhnya adalah keluarga
Buyung dari Koh-soh. Toan-jite, orang-orang she Buyung
itu terkenal suka menggunakan istilah ‘dengan
kepandaiannya, digunakan di atas dirinya’. Pernah kau
dengar tidak ungkapan itu?”
Cing-sun menggeleng kepala tanda tidak tahu.
Ui-bi-ceng mengulangi lagi ungkapan kata-kata
tersohor dari keluarga Buyung itu, mendadak terkilas
rasa jeri pada wajahnya.
Po-ting-te dan Toan Cing-sun sudah kenal padri itu
selama berpuluh tahun lamanya, tapi selama ini tidak
691
pernah melihat dia mengunjuk rasa jeri seperti sekarang.
Seperti waktu padri itu melawan Yan-king Taycu secara
mati-matian, meski hampir keok, namun dalam keadaan
terdesak sedikit pun ia tidak khawatir, bahkan tetap
bersikap tenang sewajarnya. Tapi kini belum lihat
musuhnya sudah mengunjuk rasa jeri, maka dapat
dibayangkan pihak lawan pasti bukan orang
sembarangan.
Untuk sejenak keadaan ruangan menjadi hening
lelap. Selang sebentar, perlahan Ui-bi-ceng berkata lagi,
“Kudengar di dunia ini memang ada seorang tokoh kelas
satu bernama Buyung Bok. Ia sengaja memakai nama
‘Bok’ (luas), dengan sendirinya ilmu silatnya pasti sangat
luas peyakinannya. Agaknya tidak peduli Kungfu khas
lihai dari aliran dan golongan Bu-lim mana pun pasti
dipelajarinya dengan baik, bahkan jauh lebih mahir
daripada pemiliknya sendiri. Dan yang paling aneh,
setiap kali ia hendak membinasakan lawannya, tentu ia
gunakan ilmu silat andalan sang korban itu untuk
membunuhnya.”
“Ini sungguh sukar dimengerti,” Toan Ki ikut berkata.
“Padahal di dunia ini ada sekian banyak ilmu silat yang
berbeda, masakah dia dapat mempelajarinya dengan
lengkap?”
“Apa yang dikatakan Toan-kongcu ada benarnya
juga,” sahut Ui-bi-ceng. “Ilmu adalah sesuatu yang tiada
batasnya, cara bagaimana orang bisa lengkap
mempelajarinya? Akan tetapi musuh Buyung Bok
memang sangat banyak dan untuk membalas dendam,
sebelum dia mahir mempelajarinya, dia tidak mau
sembarangan turun tangan.”
692
“Ya, aku pun pernah mendengar ada seorang tokoh
aneh seperti itu di Tionggoan,” kata Po-ting-te. “Lok-sisam-
hiong (tiga jago she Lok) dari Hopak mahir
menggunakan Hui-cui (gurdi terbang), tapi akhirnya
mereka bertiga tewas terkena Hui-cui yang mereka
andalkan itu. Ciang-hi Tojin dari Soatang bila membunuh
orang suka memotong dulu anggota badan musuh agar
merintih-rintih setengah harian baru dibinasakan olehnya.
Tapi Ciang-hi Tojin sendiri akhirnya juga mengalami
nasib kesukaannya itu. Sebabnya Buyung Bok dikenal
suka menggunakan ungkapan memakai kepandaiannya
dan digunakan atas dirinya justru tersohor dari mulut
Ciang-hi Tojin itu.”
Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, “Waktu
itu, di tengah pasar Celam, entah betapa banyak orang
merubung Ciang-hi Tojin yang menggeletak di tanah
sambil berteriak merintih kesakitan.”
Bicara sampai di sini, lamat-lamat terbayang olehnya
keadaan waktu ajal Ciang-hi Tojin yang mengerikan itu,
maka wajahnya menampilkan rasa kurang senang pada
orang yang membunuh secara kejam begitu.
Tiba-tiba Cing-sun ingat sesuatu, katanya, “Jika
begitu, guru Ko-tayhiap, Kwa Pek-hwe, kabarnya mahir
menggunakan cambuk. Pada waktu membunuh musuh ia
sering menggunakan cambuknya untuk melilit leher
lawan hingga sesat napasnya dan akhirnya mati. Janganjangan
dia ... dia ....” tiba-tiba ia berhenti, ia memanggil
seorang pelayan dan memberi perintah, “Pergilah ke
belakang dan panggil Cui-siansing dan Ko-tayhiap ke
sini, katakan aku ingin berunding dengan mereka.”
693
Pelayan itu mengiakan, tapi tampak ragu dan tidak
lantas bertindak pergi. Maka dengan tertawa Toan Ki
berkata, “Cui-siansing itu sama dengan Ho-siansing, si
juru tulis kantor itu.”
Mendengar penjelasan itu, si pelayan mengiakan dan
segera bertindak ke belakang. Maka tidak lama Cui Pekkhe
dan Ko Gan-ci sudah diundang keluar.
“Ko-tayhiap,” segera Cing-sun bicara, “ada sesuatu
pertanyaanku, lebih dulu harap dimaafkan.”
“Ongya tidak perlu sungkan-sungkan, katakanlah,”
sahut Gan-ci.
“Tolong tanya, bagaimana gurumu Kwa-locianpwe itu
ditewaskan orang? Apakah karena terluka oleh senjata
atau terkena pukulan dan tendangan?” tanya Cing-sun.
Mendadak wajah Ko Gan-ci berubah merah jengah,
setelah ragu sejenak, akhirnya ia menjawab, “Guruku
justru tewas ... tewas di bawah serangan cambuk dengan
tipu ‘Leng-coa-sian-keng’ (ular gesit melilit leher).”
Mendengar keterangan itu, tanpa terasa Po-ting-te,
Toan Cing-sun, Ko Sing-thay dan lain-lain saling
pandang dengan terkesiap.
Tiba,-tiba Hui-cin melangkah maju ke depan Cui Pekkhe
dan Ko Gan-ci, ia memberi hormat dengan
merangkap tangan, lalu berkata, “Ternyata Siauceng
berdua mempunyai musuh yang sama dengan kalian
berdua, bila musuh she Buyung dari Koh-soh itu tak
694
dihancurkan ....” berkata sampai di sini ia menjadi raguragu
apakah yakin pasti dapat membasmi musuh yang
lihai itu, namun akhirnya ia kertak gigi dengan penuh
dendam, lalu melanjutkan, “Ya, pendek kata Siauceng
sudah bertekad mengadu jiwa dengan dia.”
“Jadi ... jadi Siau-lim-pay juga mengikat permusuhan
dengan orang she Buyung dari Koh-soh itu?” tanya Ko
Gan-ci dengan mengembeng air mata.
Hui-ciri mengangguk, lalu ia pun menceritakan
dengan ringkas cara bagaimana gurunya tewas di bawah
tangan orang she Buyung itu.
Melihat Ko Gan-ci penuh rasa dendam dari berduka,
sebaliknya sikap Cui Pek-khe tampak lesu, kepala
menunduk dan bungkam seakan-akan sakit hati sang
Suheng yang terbunuh itu sama sekali tak terpikir
olehnya, diam-diam Po-ting-te merasa heran perbedaan
sikap kedua tokoh Ko-san-pay itu.
Watak Hui-sian keras dan jujur, melihat sikap Cui
Pek-khe yang acuh tak acuh itu, ia tak tahan lagi, ia
lantas menegur, “Cui-siansing, kenapa engkau diam
saja? Apakah engkau takut pada manusia she Buyung
itu?”
“Sute, jangan kurang sopan?” cepat Hui-cin
membentak.
Harus diketahui bahwa sesudah Kwa Pek-hwe
meninggal, dengan sendirinya Cui Pek-khe akan menjadi
ketua Ko-san-pay yang sekarang. Sedangkan Ko-sanpay
adalah tetangga Siau-lim-si. Sebabnya dahulu cikal
695
bakal Ko-san-pay dapat tancap kaki dan mendirikan
perguruan di samping Siau-lim-pay, sudah tentu
orangnya mempunyai ilmu kepandaian tersendiri yang
lain daripada yang lain. Apalagi nama Kwa Pek-hwe dan
Ko Gan-ci paling akhir ini sangat menonjol di kalangan
Bu-lim, dengan sendirinya derajat Cui Pek-khe dalam
dunia persilatan juga tidak boleh dipandang rendah.
Tak tersangka, meski ditegur dengan ucapan yang
agak menghina, namun Cui Pek-khe malah celingukan
ke sana dan ke sini seperti maling kesiangan, seakanakan
ada yang sedang mengubernya, sikapnya itu penuh
mengunjuk rasa ketakutan.
Tiba-tiba Ui-bi-ceng berdehem perlahan, lalu berkata,
“Apakah orang itu ....”
Baru tercetus kata-kata “orang itu” dari mulut padri itu,
sekonyong-konyong Cui Pek-khe bergemetar dan
melompat ke belakang hingga sebuah meja teh di
sampingnya tersampuk dan terjungkir balik, mangkuk
dan cangkir pun pecah berantakan.
Setelah tenangkan diri dan melihat sorot mata semua
orang dipusatkan ke arahnya, wajah Cui Pek-khe
menjadi merah jengah, cepat katanya dengan gugup, “O,
ma ... maaf, maafkan!”
Mau tak mau Ko Gan-ci berkerut kening melihat
kelakuan sang Susiok yang tak dapat dipuji itu, segera ia
membantu membersihkan pecahan mangkuk dan cangkir
itu.
696
Diam-diam Toan Cing-sun bersungut juga, sungguh
tak tersangka olehnya bahwa Cui Pek-khe itu ternyata
seorang penakut. Segera ia berkata pada Ui-bi-ceng,
“Suheng, apa yang hendak kau katakan?”
“Orang itu ...” Ui-bi-ceng menghirup seceguk teh dulu,
lalu menyambung dengan kalem, “maksudku Buyung
Bok itu, apakah orang itu pernah dilihat oleh Cui-sicu?”
Mendengar nama “Buyung Bok”, mendadak Cui Pekkhe
menjerit kaget sambil memegangi meja, sahutnya
dengan suara gemetar, “O, ti ... tidak ... tidak pernah
kulihatnya.”
Melihat sikap orang yang pengecut itu, segera Huisian
ikut berteriak, “Sebenarnya Cui-siansing pernah
melihat Buyung Bok atau tidak?”
Cui Pek-khe termangu-mangu memandang jauh ke
depan seperti orang linglung. Sampai agak lama baru ia
jawab dengan suara gelagapan, “Ti ... tidak ... eh ...
seperti ti ... tidak pernah melihatnya.”
Cing-sun dan lain-lain menggeleng kepala melihat
kelakuan tokoh Ko-san-pay itu. Diam-diam Ko Gan-ci
juga merasa malu, sungguh tak tersangka olehnya
bahwa sang Susiok yang biasanya sangat dihormati itu
ternyata membikin malu saja di depan orang banyak.
“Loceng sendiri pernah juga mengalami suatu
kejadian, biarlah kuceritakan agar bisa dibuat bahan
pertimbangkan hadirin,” demikian tutur Ui-bi-ceng.
“Peristiwa ini terjadi pada 43 tahun yang lalu. Tatkala itu
usiaku masih muda, tenaga kuat, belum lama berkelana
697
di Kangouw, namun sedikit-sedikit sudah terkenal.
Sungguh waktu itu aku seperti anak banteng yang tidak
kenal harimau, belum kenal apa artinya takut. Aku
merasa di dunia ini kecuali guruku tiada orang lain lagi
yang berkepandaian lebih tinggi daripadaku.
“Tahun itu aku mengawal seorang pembesar yang
pensiun pulang ke kampung halamannya bersama
keluarganya. Di tengah jalan aku dicegat oleh empat
begal besar. Tujuan begal-begal itu ternyata bukan harta,
tapi begitu maju lantas hendak menggondol putri
kesayangan pembesar itu. Sebagai pemuda yang
berdarah muda, sudah tentu aku tidak bisa mengampuni
perbuatan mereka, sekali menyerang kugunakan tipu
ganas, dengan Kim-kong-ci telah kubinasakan keempat
begal itu, setiap orang kututuk ulu hatinya, tanpa
bersuara sedikit pun mereka sama menggeletak binasa.
“Dan saat itulah kudengar suara derap kuda berdetakdetak,
ada dua penunggang keledai tampak lewat di
sampingku. Dasar watak orang muda, waktu itu aku
sedang membual di hadapan pembesar yang kukawal itu
tentang betapa lihainya Kungfu Kim-kong-ci yang
menjadi andalanku itu, kataku biar musuh datang lagi
sepuluh atau dua puluh orang juga akan kubinasakan
satu per satu dengan Kim-kong-ci.
“Tiba-tiba kudengar salah seorang penunggang
keledai itu mendengus sekali, suaranya seperti kaum
wanita, tapi nada dengusan itu penuh mengunjuk rasa
hina dan memandang rendah. Waktu atau menoleh,
kiranya penunggang keledai itu memang benar orang
perempuan, yang seorang muda cantik, usianya sekitar
32 atau 33 tahun, seorang lagi adalah anak kecil
698
berumur 12-13 tahun yang bermuka putih bersih
menyenangkan. Kedua orang itu sama-sama berpakaian
berkabung warna putih. Kudengar si anak sedang
berkata pada wanita muda itu, ‘Mak, apanya yang hebat
Kim-kong-ci itu, huh, dasar pembual!’
Adapun asal usul Ui-bi-ceng sendiri, kecuali Po-ting-te
berdua saudara, orang lain tiada yang tahu. Tapi ketika
dia menggunakan tenaga jari Kim-kong-ci untuk
menggores batu melawan Yan-king Taycu di Ban-jiat-kok
tempo hari, kejadian itu telah disaksikan orang banyak
serta sudah menggemparkan kalangan Bu-lim, terutama
mengenai Kim-kong-ci-lik yang lihai luar biasa itu.
Maka kini demi mendengar ceritanya tentang ucapan
anak kecil itu, mereka sama menganggap anak itu
mengoceh tak keruan saja.
Tak tersangka Ui-bi-ceng lantas menghela napas, lalu
menyambung ceritanya, “Tatkala itu meski aku
mendongkol mendengar ucapan itu, tapi aku pikir ocehan
seorang bocah ingusan, buat apa diurus. Maka aku
hanya mendelik sekali saja pada anak itu dan tidak
menggubrisnya.
“Siapa duga wanita muda berbaju putih itu lantas
mengomeli anak itu, ‘Kim-kong-ci orang ini memang
ajaran asli Tat-mo-ih Hokkian Siau-lim-si, sedikitnya
sudah tiga bagian cukup masak. Anak kecil tahu apa?
Biar kau pun tidak sejitu jarinya itu.’
“Sudah tentu aku tambah kaget dan gusar. Padahal
asal usul perguruanku jarang diketahui orang Kangouw,
tapi nyonya muda ini dengan jitu dapat membuka rahasia
699
diriku. Sedang aku punya Kim-kong-ci dikatakan cuma
mencapai tiga bagian masak, sudah tentu aku tidak
terima. Ai, sesungguhnya waktu itu aku sendiri memang
masih hijau, tiga bagian masak bagiku sebenarnya sudah
berlebihan, tapi dalam gusarku segera aku membentak,
‘Siapakah she nyonya yang terhormat ini? Jika merasa
Kini-kong-ci-likku masih cetek, marilah coba-coba
memberi petunjuk barang sejurus-dua?’
“Nyonya itu tidak menyahut, sebaliknya anak kecil itu
segera hentikan keledainya dan hendak menjawab.
Namun mata nyonya itu tiba-tiba mengembeng air mata,
katanya, ‘Pesan apa yang ditinggalkan ayahmu sebelum
wafat? Masa sudah kau lupakan?’ Anak kecil itu
menjawab, ‘Ya, anak tidak berani melupakannya.’ Habis
itu, keledai mereka lantas dilarikan ke depan dengan
cepat.
“Tapi semakin kupikir, aku semakin penasaran karena
diolok-olok. Segera kularikan kuda dan menyusul mereka
sambil berseru ‘Hai! Kau berani sembarangan mengoceh
mencela ilmu silat orang, tanpa coba-coba dulu barang
beberapa jurus lantas hendak mengeluyur pergi begini
saja?’
“Kuda tungganganku adalah kuda pilihan, maka
dalam sekejap aku dapat melampaui dan mengadang di
depan mereka. ‘Lihatlah, karena ocehanmu orang telah
marah.’, demikian nyonya itu mengomeli anaknya.
Rupanya bocah itu sangat penurut dan berbakti pada
orang tua, ia tidak berani memandang padaku lagi.
“Dan karena melihat mereka jeri padaku, kupikir
tidaklah pantas aku berkelahi dengan anak kecil dan
700
orang perempuan karena urusan sepele. Tapi bila dari
nada ucapan nyonya itu tadi agaknya anak itu pun mahir
Kim-kong-ci-lik. Padahal ilmu ini sudah 20 tahun kulatih
dengan susah payah, masakah anak kecil itu juga bisa?
Ah, tentu bualan belaka! Karena pikiran itu, aku
membentak pula, ‘Baiklah, hari ini biar kulepaskan kalian,
tapi selanjutnya kalau bicara hendaklah hati-hati.’
“Nyonya muda itu masih tetap tidak memandang
sekejap pun padaku, katanya pada anaknya, ‘Nah, apa
yang dikatakan paman ini memang benar, selanjutnya
kalau bicara harus hati-hati!’
“Jika urusan diakhiri sampai di situ saja, bukankah
kedua pihak sama-sama tidak kehilangan muka? Tapi
waktu itu aku masih berdarah muda, ketika aku menarik
kuda ke samping jalan, segera nyonya itu keprak
keledainya jalan lebih dulu. Waktu anak itu pun larikan
keledainya lewat di depanku, dengan tertawa aku ayun
cambuk menyabet bokong keledainya sambil berkata,
‘Cepat sedikit!’
“Sungguh tak terduga, ketika cambukku masih jauh
dari bokong keledai orang; tiba-tiba terdengar suara ‘cus’
sekali, tahu-tahu anak itu menoleh dan tenaga jarinya
lantas menyambar dari jauh, kontan cambukku patah
menjadi dua. Sungguh kagetku bukan buatan. Aku
menaksir kalau bicara tentang tenaga jari, sama sekali
aku tidak mampu menandingi anak itu.
“Tiba-tiba terdengar nyonya muda tadi berkata, ‘Sekali
sudah turun tangan jangan kepalang tanggung lagi!’
Anak itu mengiakan terus melompat turun dari
701
keledainya, tanpa bicara lagi ia acungkan jarinya dan
menutuk betis kakiku.
“Perlu diketahui bahwa tubuh anak itu pendek, pula
aku menunggang kuda, maka jarinya cuma bisa
mencapai betis kakiku saja. Tapi gerak serangannya
ternyata sangat bagus dan memang benar-benar Kimkong-
ci tulen. Cepat kulompat turun, sedikit pun aku tidak
berani ayal dan menempurnya dengan Kim-kong-ci.
“Dan sesudah bergebrak, semakin lama semakin jeri
hatiku. Ilmu jari anak itu belum dapat dikatakan mahir
betul, bahkan terkadang tampak salah menggunakannya,
namun di mana tenaga jarinya sampai, suaranya
sungguh mengejutkan, maka aku tidak berani menangkis
berhadapan. Kira-kira sampai jurus kesembilan, ‘cus’,
terasa dada kiriku sakit, tenagaku pun hilang seketika.
Bicara sampai di sini Ui-bi-ceng membuka jubahnya
hingga tertampak tulang iganya yang berderek-derek
kurus itu. Semua orang kaget melihat keadaan dada
padri itu. Ternyata tepat di atas jantung di dada kiri
terdapat sebuah lubang sedalam dua-tiga senti. Meski
lubang bekas luka itu sudah sembuh, tapi dapat
dibayangkan betapa parahnya luka itu dahulu. Anehnya,
meski luka itu terang begitu dalam dan tepat di tempat
jantung tapi toh padri itu tidak tewas dan masih hidup
sampai sekarang.
Ui-bi-ceng lantas tunjuk dada sebelah kanan dan
berkata, “Coba lihat!”
Ternyata dada kanan padri itu tampak bergerakgerak.
Baru sekarang semua orang tahu bahwa
702
pembawaan tubuh padri itu ternyata berbeda daripada
manusia umumnya. Jantungnya justru terletak di dada
kanan dan tidak di sebelah kiri. Makanya terluka parah
pun tidak mati.
Setelah Ui-bi-ceng mengenakan kembali jubahnya,
kemudian katanya pula, “Orang yang jantungnya tumbuh
di sebelah kanan memang jarang terdapat. Ketika anak
itu melihat aku tidak binasa oleh tutukannya segera ia
melompat mundur dengan terheran-heran. Sebaliknya
demi melihat darah mengucur dari dada kusangka jiwaku
tak bisa diselamatkan, aku menjadi nekat dan memaki.
‘Bangsat cilik, katanya kau mahir Kim-kong-ci, tapi hm,
adakah Kim-kong-ci Tat-mo-ih dapat melukai lawannya
dan orangnya tidak binasa?’
Segera anak itu melompat maju hendak menyerang
pula. Tatkala itu aku sudah lemas dan tak bisa
melawannya lagi, terpaksa tinggal menunggu ajal saja.
Tak tersangka cambuk si nyonya muda lantas bekerja,
dengan perlahan pinggang anak itu dililit dan ditarik
kembali dan didudukkan di atas keledainya lagi.
“Dalam keadaan kesima lamat-lamat kudengar
nyonya itu mengomeli anaknya, ‘Keluarga Buyung dari
Koh-soh masakah mempunyai keturunan tak becus
seperti dirimu ini? Jika Kim-kong-cimu belum terlatih
sempurna, tidak boleh kau bunuh dia lagi. Biar kuberi
hukuman dalam tujuh hari ....’ Hukuman apa dalam tujuh
hari itu, karena aku lantas jatuh pingsan, maka tidak
kudengar lagi.”
703
“Taysu,” tiba-tiba Kim-sui-poa Cui Pek-khe bertanya,
“kemudian ... kemudian engkau pernah berjumpa lagi
tidak dengan mereka?”
“Sungguh memalukan, sejak itu aku lantas putus asa,
aku merasa hanya seorang anak kecil saja sudah
melebihiku, maka sekalipun aku berlatih selama hidup
juga takkan mampu melebihinya,” demikian sambung Uibi-
ceng. “Maka setelah luka dadaku sembuh, aku lantas
meninggalkan Tionggoan dan datang ke Tayli sini untuk
bernaung di bawah lindungan Toan-hongya, beberapa
tahun kemudian, aku lantas cukur rambut menjadi
Hwesio. Selama ini Loceng tenggelam dalam ajaran
agama Buddha, tidak pernah pikirkan lagi urusan masa
lalu itu. Cuma kalau terkadang ingat, sungguh hatiku
masih kebat-kebit, nyaliku benar-benar sudah pecah oleh
kejadian dahulu.”
Mendengar cerita itu, semua orang terdiam hingga
lama. Rasa memandang hina mereka kepada Cui Pekkhe
seketika lenyap. Sebab Ui-bi-ceng yang begitu sakti
juga takut pada keluarga Buyung di Koh-soh, maka
dapatlah dimengerti bila Cui Pek-khe juga sedemikian
jerinya.
Cui Pek-khe dapat merasakan pikiran orang banyak
itu, maka katanya, “Dengan kedudukan setinggi Ui-bi
Taysu toh bersedia menceritakan apa yang dialaminya
dahulu, sebaliknya aku Cui Pek-khe orang macam apa
hingga mesti takut malu? Biarlah kuceritakan juga sebab
musabab bernaung di istana Tin-lam-ong ini, harap pula
hadirin sebentar suka memberi pendapat masingmasing.”
704
Habis ucapkan kata-kata itu, karena guncangan
perasaan, tenggorokannya terasa kering, terus saja ia
ceguk habis semangkuk teh yang tersedia untuknya,
habis itu, ia sambar pula mangkuk teh yang disediakan
untuk Ko Gan-ci dan dituang pula ke kerongkongannya,
kemudian barulah ia mulai berkata dengan terputusputus,
“Kejadian ... kejadian ini sudah ... sudah
berlangsung 18 tahun yang lalu ....”
Bicara sampai di sini, tanpa terasa ia memandang ke
luar jendela dengan rasa jeri. Setelah tenangkan diri,
kemudian ia menyambung, “Di kota Bu-oh terdapat
seorang buaya darat she Joa yang jahat dan suka
menindas rakyat. Ada seorang sobat Suhengku, segenap
keluarganya telah dibunuh oleh buaya darat itu.”
“Susiok, apakah engkau maksudkan si jahanam Joa
Ging-toh itu?” sela Ko Gan-ci.
“Benar,” sahut Pek-khe. “Dahulu bilamana Suhumu
membicarakan jahanam itu, selalu ia geregetan dan ingin
membunuhnya. Cuma gurumu adalah seorang yang baik
hati dan patuh pada peraturan, beberapa kali ia coba
menggugat kejahatan Joa Ging-toh itu kepada pembesar
negeri, tapi karena buaya itu pintar menyogok dan
banyak hubungannya dengan kalangan atas, maka
pengaduan gurumu itu selalu ditahan oleh pembesar
yang bersangkutan.
“Kalau mau, sebenarnya tidak susah bagi gurumu
untuk membunuh jahanam she Joa itu. Tapi selamanya
gurumu memang orang alim, tidak suka berbuat sesuatu
di luar hukum. Sebaliknya berbeda dengan aku Cui Pekkhe
ini, dalam hal maling, madon, main, pendek kata
705
segala perbuatan ‘M’, bahkan membunuh sekalipun aku
tidak pantang, semuanya kulakoni.
“Maka pada suatu malam, tatkala aku sudah gemas,
diam-diam aku menggerayangi rumah jahanam she Joa
itu dan sekaligus kusapu bersih seluruh isi keluarganya
yang lebih 30 jiwa itu. Aku mulai membunuh dari pintu
depan terus sampai taman di belakang, dari penjaga
pintu sampai tukang kebun, dari kacung-kacung, babubabu,
semuanya kubunuh, tiada satu pun kuampuni.
Ketika sampai di tengah taman belakang, kulihat di balik
jendela sebuah loteng masih tampak sinar pelita. Segera
kupanjat ke atas loteng itu, kutendang pintu kamarnya
hingga terpentang.
“Kiranya loteng itu adalah sebuah kamar tulis, di
sekeliling kamar penuh terdapat rak buku. Tampak
sepasang muda-mudi sedang duduk menyanding sebuah
meja, agaknya asyik membaca sesuatu kitab. Pemuda itu
kira-kira berumur 27-28 tahun, tampan dan ganteng. Usia
yang pemudi lebih muda, cuma mungkur duduknya,
maka mukanya tidak kelihatan, tapi dari bajunya yang
dipakai serta potongan tubuhnya yang menggiurkan,
dapat dipastikan seorang wanita cantik.
“Sekaligus aku sudah membunuh puluhan orang,
semangatku masih berkobar-kobar. Tetapi demi tampak
kedua muda-mudi itu, buset, aku menjadi rada heran.
Sebab setiap orang di rumah jahanam she Joa itu kasar
dan bengis, mengapa mendadak bisa muncul sepasang
muda-mudi yang gagah dan cantik itu? Seketika aku
terkesima hingga tidak lantas turun tangan membunuh
mereka.”
706
Mendengar sampai di sini, diam-diam Toan Ki
mencocokkan cerita Ui-bi-ceng tadi dengan Cui Pek-khe
ini. Ui-bi-ceng bilang waktu bertemu dengan anak kecil
yang berusia belasan tahun itu adalah 43 tahun yang
lalu. Sedang pemuda yang dilihat Cui Pek-khe itu
berumur hampir 30 tahun dan terjadi pada 18 tahun yang
lampau. Jika demikian, usia pemuda itu dan si anak kecil
satu sama lain tidak cocok, terang bukan terdiri dari
orang yang sama.
Dalam pada itu Cui Pek-khe sedang melanjutkan,
“Dan karena aku tertegun, maka terdengarlah pemuda itu
berkata, ‘Niocu (istriku), dari sudut Kui-moay menggeser
ke tempat Bu-hong apakah demikian caranya?’”
Mendengar istilah “Kui-moay” dan “Bu-hong” segera
Toan Ki paham apa yang dikatakan itu adalah istilah
yang terdapat dalam Ih-keng.
Sementara itu Pek-khe sedang menyambung, “Maka
tertampaklah si wanita merenung sejenak, lalu berkata,
‘Apabila jalannya miring ke sana, masuk dulu ke sudut
Beng-ih, dari situ kemudian berputar ke Soan-wi, coba
bisa ditembus tidak?’”
Toan Ki bertambah kaget oleh istilah paling akhir itu,
apa yang diuraikan wanita itu terang adalah ilmu gerak
langkah “Leng-po-wi-poh” yang pernah dipelajarinya di
dasar telaga dulu itu. Cuma tempat-tempat yang
dikatakan wanita itu tempatnya kurang tepat. Janganjangan
wanita itu ada hubungannya dengan patung
cantik Enci Dewi itu? Demikian Toan Ki menjadi raguragu.
707
Sudah tentu Cui Pek-khe tidak tahu pikiran Toan Ki
itu, ia meneruskan pula, “Dan karena kedua orang itu
masih sibuk terus membicarakan entah isi kitab apa, aku
menjadi tak sabar lagi segera aku membentak, ‘Hai,
kalian berdua anjing laki-perempuan ini lekas enyah
semua!’
“Tak terduga mereka seperti orang tuli saja,
bentakanku sama sekali tak digubris, pandangan mereka
masih tetap dicurahkan ke dalam kitab mereka. Malah
terdengar pula si wanita berkata dengan lemah lembut,
‘Tapi dari sini menuju ke sudut Soan-wi seluruhnya ada
sembilan langkah, inilah tidak mungkin tercapai.’
“Saking mendongkol aku lantas membentak lebih
keras lagi, ‘Hai, lekas enyah, enyah ke akhirat untuk
menemui kakek-moyangmu.’. Dan baru aku hendak
menerjang maju, sekonyong-konyong si pemuda
bertepuk tangan sambil berseru dengan tertawa, ‘Bagus,
bagus! Im sama Kun, kakek-moyang 18 keturunan, hah,
9x2 sama dengan 18, jadi mesti berputar ke sudut Kun,
ya, benar, jalan ini sangat tepat.’.
“Sambil bicara, tangan pemuda itu pun menyambar
sebuah Swipoa di atas meja, dan entah cara bagaimana,
tahu-tahu tiga butir biji Swipoa menyambar kencang ke
arahku, seketika aku merasa dada sesak dan kesakitan,
tubuhku seakan-akan terpaku dan tak bisa berkutik lagi.
“Habis itu, kedua muda-mudi itu masih tetap tidak
gubris padaku, mereka masih tetap tukar pikiran tentang
isi kitab, perasaanku menjadi sangat ketakutan. Sebab,
hendaklah diketahui bahwa julukanku yang jelek adalah
Kim-sui-poa, ke mana pun kupergi selalu membawa
708
sebuah Swipoa terbuat dari emas, dan ke-77 biji Swipoa
itu setiap saat dapat kugunakan untuk melukai orang.
Cuma caraku membidikkan biji Swipoa adalah berkat
pegas yang terpasang di dalam Swipoa, sebaliknya
Swipoa yang dipakai pemuda tadi hanya sebuah Swipoa
kayu biasa saja. Ketika aku memandang Swipoa kayu itu,
tertampak satu ruji bambu di tengahnya sudah patah, jadi
pemuda itu menggunakan tenaga dalamnya untuk
mematahkan ruji Swipoa, lalu dengan Lwekang yang
mahahebat menimpukkan biji Swipoa ke arahku,
sungguh ilmu silat hebat yang sukar dibayangkan.
“Percakapan kedua muda-mudi itu ternyata
berlangsung terus dan semakin asyik dengan
gembiranya, sebaliknya semakin mendengar aku jadi
semakin takut. Pikirku, sudah lebih 30 jiwa di rumah ini
kubunuh, sekarang aku justru terpaku tak bisa berkutik di
situ, tak bisa bergerak dan tak bisa bicara pula, jika aku
mesti membayar jiwaku sendiri karena aku sudah utang
jiwa begitu banyak, akan tetapi dengan demikian tentu
Suhengku juga akan ikut tersangkut.
“Ada lebih dua jam aku terpaku di situ, tapi rasanya
seperti disiksa selama 20 tahun. Kira-kira sudah hampir
pagi, terdengar pemuda itu berkata dengan tertawa,
‘Niocu, langkah-langkah ini sungguh sukar kita tembus
sekarang, biarlah ditunda saja, marilah kita pergi!’
“Wanita itu menjawab, ‘Kim-sui-poa Cui-losu telah
membantumu memecahkan satu langkah bagus,
sepantasnya engkau memberi apa-apa sebagai tanda
terima kasih padanya!’ Terkejut dan girang rasaku, jadi
sejak mula mereka sudah kenal namaku. Maka terdengar
709
yang lelaki sedang berkata, ‘Jika begitu, biarlah jiwanya
diberi hidup lebih lama beberapa tahun. Lain kali kalau
bertemu lagi tentu tidak ada ampun!’
“Habis bicara, mereka menyimpan kembali kitab yang
dibaca itu, lalu bergandengan tangan melayang keluar
jendela dengan enteng sekali. Wajah wanita itu tetap
tidak terlihat olehku, cuma sebelum pergi, tiba-tiba ia
ayun tangan kirinya, lengan bajunya mengebut perlahan
pada punggungku hingga Hiat-to terbuka seketika. Waktu
kuperiksa dadaku, ternyata baju bagian situ berlubang
tiga, dua biji Swipoa tepat terjepit di atas buah dadaku
dan biji Swipoa ketiga persis berada di tengah-tengah
kedua biji yang lain. Nah, inilah, biar hadirin periksa
hiasan di dadaku ini.”
Sembari berkata ia terus membuka baju. Melihat itu,
hampir semua orang tertawa geli. Kiranya dua biji Swipoa
itu tepat sekali menclok di atas pentil teteknya dan di
tengah-tengah kedua pentil menclok, pula sebiji Swipoa
yang lain. Kejadian itu sudah belasan tahun yang lalu,
tapi biji-biji Swipoa itu ternyata tidak dibuang dari
dadanya.
Cui Pek-khe goyang-goyang kepala, ia kancing
kembali bajunya, lalu berkata pula, “Deritaku sungguh
tidak sedikit karena mencloknya tiga biji Swipoa ini di
dadaku. Sebenarnya aku bermaksud mengoreknya
keluar dengan pisau, tapi asal tersentuh sedikit saja Hiatto
sendiri, seketika aku jatuh pingsan, untuk mana harus
12 jam kemudian baru bisa sadar dengan sendirinya. Bila
perlahan aku mengikir atau menggosoknya dengan
kertas ampelas, namun sakitnya tetap tidak kepalang,
sungguh aku seperti disiksa oleh kakek-moyang ke-18
710
turunan! Rupanya sudah nasibku mesti disiksa begini,
bila hari mendung dan hawa lembap, ketiga tempat di
dadaku ini lantas kesakitan seperti disayat-sayat!”
Mendengar cerita Pek-khe yang lucu dan luar biasa
itu, semua orang merasa heran dan geli pula.
Maka Pek-khe melanjutkan pula sambil menghela
napas, “Orang itu menyatakan bila lain kali ketemukan
aku lagi jiwaku takkan diampuni. Maka jiwaku ini harus
kujaga baik-baik, jalan yang paling selamat adalah
jangan sampai kepergok lagi dengan dia. Untuk mana
terpaksa aku harus kabur jauh-jauh dan menyusup ke
dalam istana pangeran di Tayli ini. Kupikir daerah ini jauh
terpencil di selatan, orang Bu-lim dari Tionggoan jarang
datang kemari. Umpama akhirnya disusul juga oleh
keparat anak kura-kura itu ke sini, paling tidak di sini ada
Ongya dan Ko-houya serta jago lain, masakah mereka
tega berpeluk tangan tidak ikut campur dan menyaksikan
jiwaku melayang begitu saja? Selama ini, karena siksaan
tiga biji Swipoa di dada ini, bila kesakitan, terpaksa aku
minum arak sebanyak-banyaknya untuk melupakan rasa
derita yang hebat ini.”
Selesai mendengar cerita Cui Pek-khe, semua orang
berpendapat apa yang terjadi itu hampir serupa dengan
Ui-bi-ceng, bedanya cuma yang seorang akhirnya
menjadi Hwesio dan yang lain mengasingkan diri dengan
bersembunyi.
“Ho-siansing,” tiba-tiba Toan Ki tanya, karena sudah
biasa memanggil demikian, seketika pemuda itu tak bisa
ganti panggilan lain, “habis dari mana engkau
711
mengetahui suami-istri yang kau jumpai itu adalah
keluarga Buyung dari Koh-soh?”
Pek-khe garuk-garuk kepala dan menjawab, “Hal itu
adalah taksiran Suhengku, sebab setelah melihat ketiga
biji Swipoa yang bersarang di dadaku ini, Suheng
berpendapat di dunia persilatan cuma keluarga Buyung
saja yang memakai kepandaian orang untuk digunakan
atas diri orang itu. Dan karena kami yakin tak mampu
melawan tokoh keluarga setan iblis itu, jalan paling
gampang ialah kabur dan mengkeret seperti kura-kura.”
Sampai di sini, ia berpaling dan berkata kepada Toan
Cing-sun, “Nah, Toan-ongya, sekianlah penjelasanku,
sekarang aku mohon diri untuk segera berangkat ke Kohsoh.”
“Kau hendak pergi ke sana?” hanya Cing-sun heran.
“Ya,” sahut Pek-khe tegas. “Hubunganku dengan
Suheng laksana saudara sekandung. Sakit hati
membunuh saudara masakah tidak lekas kubalas? Ganci,
marilah kita berangkat!”
Habis berkata, ia memberi hormat pada hadirin, lalu
bertindak keluar diikuti oleh Ko Gan-ci.
Tindakan Cui Pek-khe itu benar-benar di luar dugaan
semua orang. Semula tampaknya sangat ketakutan
kepada keluarga Buyung itu. Tapi demi bicara membalas
sakit hati sang Suheng, walaupun tahu kepergiannya
tidak lebih daripada mengantarkan nyawa, tapi sedikit
pun ia tidak gentar lagi. Maka diam-diam semua orang
712
merasa kagum dan tidak dapat mencegah
keberangkatannya itu.
Kemudian Hui-cin Hwesio berdiri dan berkata dengan
hormat, “Ciangbun Supek telah memberi pesan bahwa
Sri Baginda Po-ting-te adalah kaum Cianpwe yang
diagungkan, dengan sendirinya kami tidak berani bikin
repot, tapi kalau Toan-ongya sudi berkunjung ke kuil
kami untuk memberi petunjuk cara bagaimana harus
menghadapi orang Buyung dari Koh-soh, hal mana
berarti Ongya telah menyelamatkan kaum Bu-lim di
Tionggoan dari bencana. Kata Ciangbun Supek pula
bahwa beliau seharusnya berkunjung sendiri ke sini
untuk minta petunjuk Toan-ongya, cuma utusan kuil kami
telah banyak dikirim untuk mengundang para tokoh
berbagai aliran terkemuka untuk berkumpul di Siau-lim-si,
sebagai tuan rumah, Supek tidak dapat tinggal pergi dan
terpaksa tinggal di rumah untuk menantikan kedatangan
para kesatria.”
“Kiranya Siau-lim-si bakal mengadakan Enghiong-tayhwe
(pertemuan besar para kesatria), itulah kesempatan
yang sukar dicari buat menemui tokoh-tokoh Bu-lim dari
Tionggoan, kalau bisa hadir, menggembirakan juga hal
itu,” ujar Cing-sun sambil memandang kakak bagindanya
untuk memberi keputusan.
Namun dengan kereng Po-ting-te berkata, “Keluarga
Toan kami berasal juga dari kalangan Bu-lim di
Tionggoan, selama ratusan tahun belum pernah lupa
pada sumbernya. Setiap kawan Bu-lim yang datang ke
wilayah Tayli sini selalu kami sambut dengan hormat.
Tapi leluhur kami ada suatu pesan agar anak-cucunya
dilarang ikut campur urusan permusuhan dan bunuh-
713
membunuh di kalangan Bu-lim. Terhadap ilmu silat dan
pribadi Hian-cu Taysu selama ini Cing-beng sangat
kagum, sayang maksud baiknya itu bertentangan dengan
pesan tinggalan leluhur, maka terpaksa tak dapat kami
penuhi dan harap saja Hian-cu Taysu suka memaafkan.”
Hui-cin sangat kecewa oleh jawaban itu, sebaliknya
Hui-sian lantai berlutut pula sambil berseru, “Untuk
membalas sakit hati Suhu, Hui-sian mohon Sri Baginda
suka memberi izin kepada Tin-lam-ong pergi ke Siau-limsi.”
Segera Hui-cin menambahi juga, “Kehadiran Tin-lamong
ke Siau-lim-si bukanlah untuk bertanding dengan
orang Buyung, soalnya cuma mengenai ilmu silat musuh
terlalu luas dan aneh, maka Supek sengaja mengundang
para kesatria sekadar berkumpul untuk memberi
prasaran yang berharga guna mengatasi keganasan
orang Buyung itu. It-yang-ci keluarga Toan di Tayli sini
adalah ilmu yang tiada bandingan dalam Bu-lim, dalam
pertemuan besar di Siau-lim-si nanti kalau tiada hadir ahli
waris keluarga Toan berarti belum lengkap dan mungkin
tak bisa lagi menandingi orang she Buyung itu.”
Tiba-tiba Po-ting-te kebas lengan jubahnya hingga
Hui-sian merasa terangkat bangun oleh tenaga
mahabesar, sungguh kagumnya tak terkatakan, serunya
segera, “Hongya, sungguh kepandaian yang luar biasa
....”
Sahut Po-ting-te, “Jauh-jauh kalian datang kemari,
silakan mengaso dan dahar dulu. Mendengar berita duka
gurumu, sungguh aku ikut merasa menyesal. Cuma
sayang keluarga Toan telah dipesan leluhur agar jangan
714
ikut campur urusan persengketaan dalam Bu-lim,
terpaksa tak dapat kuterima undanganmu, harap
dimaafkan.”
Mendengar raja Tayli itu tetap menolak, Hui-cin dan
Hui-sian tahu takkan berhasil mengubah pendirian orang,
terpaksa mereka mohon diri buat keluar.
Kini ruangan dalam itu hanya tinggal anggota
keluarga Toan sendiri, maka Cing-sun lantas berkata,
“Hong-heng, ilmu kepandaian keluarga Buyung itu
sedemikian hebatnya, seharusnya namanya
mengguncangkan dunia, tapi mengapa selama ini jarang
terdengar namanya di dalam Bu-lim?”
“Mungkin anggota keluarganya itu jarang keluar
rumah, jika bertengkar dengan orang juga belum tentu
memperkenalkan nama asli mereka, maka Siau-lim-pay
dan Ko-san-pay pun tak tahu siapakah sebenarnya
musuh mereka,” demikian sahut Po-ting-te.
“Keputusanmu untuk tidak ikut campur persengketaan
itu memang sangat tepat,” Ui-bi-ceng ikut bicara. “Kalau
sampai urusan ini menjalar menjadi besar, mungkin
dunia persilatan akan banjir darah, entah berapa jiwa
manusia akan menjadi korban. Tayli selama ini aman
tenteram, negeri makmur, rakyat subur, bila Ongya hadir
ke Siau-lim, selanjutnya tentu juga takkan terputus-putus
orang Bu-lim akan mencari perkara ke Tayli sini.”
Tengah bicara, tiba-tiba seorang pengawal masuk
memberi tahu, “Lapor Ongya, di luar ada seorang Totiang
(Tosu, imam agama Tao) mohon bertemu. Katanya
kawan lama dari Thian-tay-san.”
715
Cing-sun sangat girang, katanya, “Hong-heng, tentu
Ciok-jing-cu Toheng yang datang!”
Segera ia menyambut keluar dengan langkah lebar.
Ui-bi-ceng saling pandang sekejap dengan Po-ting-te.
Tiba-tiba padri itu berdiri dan berkata, “Biarlah aku
menyingkir saja.”
“Apakah rasa marah Suheng masa lalu sampai kini
masih belum lenyap?” ujar Po-ting-te dengan tersenyum.
Ui-bi-ceng hanya membalas tersenyum saja tanpa
menjawab, lalu ia bertindak ke ruangan belakang untuk
memeriksa keadaan murid-muridnya yang luka parah.
Selang tak lama, terdengarlah suara tertawa panjang
nyaring berkumandang dari luar. Segera Po-ting-te
berbangkit dan tertampaklah Cing-sun membawa masuk
seorang Tojin berumur antara 50 tahun.
Imam itu berjubah kuning dan berkopiah kuning,
bermuka putih, sikapnya gagah. Ia memberi hormat
kepada Po-ting-te sambil berseru dengan tertawa,
“Saudara Cing-beng, selama beberapa tahun ini engkau
hidup jaya dan diagungkan, sungguh hidupmu ini aman
tenteram penuh rezeki.”
Po-ting-te membalas hormat dan menjawab dengan
tertawa, “Dan kau Gu-pi-cu (hidung kerbau, olok-olok
pada kaum Tosu) ini selalu sibuk kian kemari di
Kangouw, apa belum merasa capek dan bosan?”
716
“Hahaha, belum bosan, belum bosan!” sahut Ciokjing-
cu terbahak-bahak. Lalu ia berpaling pada hadirin
yang lain, “Hai, saudara Sing-thay, baik-baikkah engkau?
Dan kau si maling tukang bongkar kuburan, bagaimana
rezekimu sekarang? Wah, cahaya muka Hoan-heng
tampak berseri-seri, tentu telah bertambah beberapa
putra! Tapi Thian-sik kelihatan makin kurus tinggal kulit
membungkus tulang, kalau mengandalkan tubuh sekurus
ini untuk menangkan gelar Ginkang nomor satu di dunia
rasanya juga kurang cerlang-cemerlang. Eh, tukang
pancing, engkau dapat mengait seekor kura-kura atau
tidak?”
Begitulah Ciok-jing-cu menegur setiap hadirin yang
berada di situ sebagai kawan lama tanpa canggungcanggung.
Toan Ki kenal watak sang paman yang ramah tamah,
tapi toh tidak pernah melihatnya bergurau dengan orang.
Kini dengan datangnya Tojin itu, seketika suasana di situ
menjadi riang, bahkan paman pun menyebutnya sebagai
“hidung kerbau”, maka dapat diduga Ciok-jing-cu ini
sifatnya sangat jenaka dan disukai orang.
Segera Cing-sun berkata, “Ki-ji, lekas maju memberi
hormat! Totiang ini adalah ‘Tang-hong-te-it-kiam’ Ciokjing-
cu yang sering kukatakan padamu itu, betapa tinggi
ilmu pedangnya di zaman ini tiada bandingannya.”
Toan Ki menjadi heran, sebab selama ini ia tidak
pernah mendengar tentang “Tang-hong-te-it-kiam” atau
jago pedang nomor satu di wilayah timur. Tapi ia pun
tidak enak untuk bertanya, ia menurut dan melangkah
maju untuk menjura.
717
Dengan tertawa Ciok-jing-cu berkata, “Wah, kacang
memang tidak meninggalkan lanjarannya, ayahnya
gagah, putranya ternyata juga ganteng tampan. Sebagai
keturunan keluarga Toan dari Tayli, tentu ilmu silatnya
juga hebat.”
Sembari berkata ia terus ulur kedua tangannya untuk
membangunkan Toan Ki dengan maksud sekalian
menjajal kepandaiannya.
Keruan yang khawatir adalah Toan Cing-sun, cepat ia
berseru, “Hati-hati hidung kerbau, putraku ini tidak
pernah belajar ilmu silat apa-apa!”
Belum lenyap suaranya, tangan Ciok-jing-cu sudah
menyentuh tangan Toan Ki, mendadak perasaannya
tergetar, tenaga dalam yang dikerahkannya tahu-tahu
lenyap sirna seperti lempung kecemplung ke laut, bahkan
tiba-tiba terasa tangan Toan Ki timbul semacam daya
sedot yang sangat kuat untuk mengisap tenaga
dalamnya dengan paksa.
Ciok-jing-cu sudah menjelajah ke mana pun,
pengetahuan dan pengalamannya sangat luas, dalam
kejutnya segera ia menduga, “Bukankah ini Hoa-kangtay-
hoat dari aliran Sing-siok-hay di Kun-lun-san?
Keluarga Toan dari Tayli adalah Beng-bun-cing-pay
(perguruan terkenal dan aliran baik), kenapa mempelajari
ilmu sesat yang dikutuk oleh sesama Bu-lim ini?”
Segera ia pun kerahkan tenaga, tangannya membalik
terus menggeblak punggung tangan Toan Ki hingga daya
lengket tadi terlepas.
718
Keruan Toan Ki meringis kesakitan, tulang tangan
seakan-akan dipatahkan, pikirnya dengan gusar, “Aku
memberi hormat dengan baik padamu, kenapa malah
kau pukul aku?”
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Ciok-jing-cu
menyangka dia menggunakan “Hoa-kang-tay-hoat” atau
ilmu melenyapkan kepandaian orang untuk
menyerangnya. Siapa pun yang terkena sedotan Hoakang-
tay-hoat, seketika antero kepandaian yang pernah
dilatihnya akan punah.
Cuma Hoa-kang-tay-hoat memang gunanya untuk
melenyapkan ilmu orang hingga sang korban akan
kembali seperti orang biasa, jadi merugikan orang dan
tidak membawa untung bagi diri sendiri.
Sebaliknya “Cu-hap-sin-kang” yang dimiliki Toan Ki
tanpa sadar itu mempunyai khasiat menyedot Lwekang
orang untuk memupuk tenaga dalam sendiri, setiap kali
jatuh korban, setiap kali pula tenaga dalam sendiri akan
bertambah kuat Sebab itulah dalam persentuhan tangan
Ciok-jing-cu dan Toan Ki tadi kontan ada sebagian kecil
tenaga dalam Ciok-jing-cu telah disedot oleh Toan Ki.
Melihat sikap Ciok-jing-cu itu agak aneh, Po-ting-te
dan lain-lain menjadi heran. Cing-sun khawatir juga kalau
putra kesayangannya dilukai imam itu, cepat ia
mengadang maju dan berkata dengan tertawa, “Sudah
sekian lama tidak berjumpa, sekali bertemu, si hidung
kerbau hendak memberi hadiah apa kepada putraku ini?”
719
Berbareng ia sudah bersiap-siap kalau imam itu
menyerang lagi. Ia tahu Ciok-jing-cu itu sangat lihai, asal
Toan Ki terkena serangannya, kalau tidak mati tentu juga
terluka parah.
Maka terdengar Ciok-jing-cu menjawab dengan
tertawa dingin, “Huh, It-yang-ci keluarga Toan sudah
termasyhur di seluruh jagat, buat apa mesti mempelajari
lagi ilmu sesat dari iblis tua Sing-siok-hay?”
“Apa katamu? Ilmu sesat iblis tua Sing-siok-hay? Apa
kau maksudkan ‘Hoa-kang-tay-hoat’ itu?” tanya Cing-sun
heran. “Dan siapa yang kau katakan mempelajari ilmu
itu?”
“Hm, putramu ini telah masuk golongan menyesatkan
itu, apa tidak khawatir bikin kotor nama baik keluarga
Toan di Tayli sini?” jengek Ciok-jing-cu.
Cing-sun bertambah heran dan menyangka orang
maksudkan peristiwa Lam-hay-gok-sin itu. Maka dengan
tertawa katanya pula, “Tentang Lam-hay-gok-sin,
memang benar dia penujui anakku ini dan ingin
menerimanya menjadi murid. Tapi kejadiannya justru
terbalik hingga dia yang telah mengangkat guru pada
anakku. Hal ini hanya main-main saja dan tak bisa
dianggap sungguh-sungguh.”
Namun Ciok-jing-cu menggeleng kepala, sahutnya,
“Meski ilmu silat Lam-hay-pay cukup hebat, tapi belum
tentu mahir ‘Hoa-kang-tay-hoat’ ini.”
720
“Berulang-ulang hidung kerbau bicara tentang Hoakang-
tay-hoat segala, sebenarnya apa-apaan maksudmu
ini?” tanya Cing-sun bingung.
Keruan Ciok-jing-cu mendongkol. Betapa pun tak
tersangka olehnya bahwa “Cu-hap-sin-kang” yang dimiliki
Toan Ki itu bukan saja tak diketahui ayah dan pamannya,
bahkan pemuda itu sendiri pun tidak tahu-menahu.
Maka mendadak ia berbangkit dan berkata, “Engkau
memang tidak tahu atau berlagak pilon? Aku orang she
Ciok meski orang pegunungan dan suka kelayapan di
Kangouw, tapi kedua kakiku ini pun bukan cetakan dari
besi, jauh-jauh dari Kanglam kudatang kemari, kau kira
tujuanku melulu hendak minta secangkir teh ini? Jika
kalian tidak anggap aku sebagai kawan, biarlah sekarang
juga aku akan pamit.”
Habis berkata, terus saja ia bertindak keluar.
“Hek-kin, Thian-sik, rintangi hidung kerbau itu, minta
penjelasan padanya,” seru Po-ting-te dengan tersenyum.
“Para kawan sudah datang di Tayli, tanpa makan minum
lebih dahulu masakan lantas mau angkat kaki begitu
saja?”
Hoa Hek-kin dan Thian-sik juga kawan karib Ciok-jingcu,
dengan terbahak-bahak cepat mereka melompat ke
ambang pintu untuk merintangi. “Hahaha, Ciok-lauto, kau
datang ke Tayli sini tanpa membawa pedang, itu
tandanya engkau bermaksud baik serta mengindahkan
Hongya kami. Tapi tanpa pedang engkau hendak
menerobos keluar rintangan kami, hal ini rasanya
tidaklah mudah!”
721
Melihat sikap semua orang tiada tanda bermusuhan
padanya, pikiran Ciok-jing-cu tergerak pula, “Rasanya
keluarga Toan tidak mungkin mengizinkan anak-cucunya
belajar ilmu siluman dari Sing-siok-hay yang kotor itu.
Apa barangkali diam-diam Toan Ki ini mempelajarinya, di
luar tahu ayah dan pamannya? Kalau kubongkar
rahasianya itu berarti aku akan mengikat permusuhan
dengar pemuda ini. Tetapi hubunganku dengan ayah dan
pamannya adalah lain daripada yang lain, kalau tahu
sesuatu tak boleh kutinggal diam.”
Karena itu, segera ia putar balik dan berkata pula
kepada Toan Ki dengan sungguh-sungguh, “Toankongcu,
jelek-jelek Ciok-jing-cu adalah angkatan lebih tua
daripadamu. Sekarang aku mempunyai suatu
pertanyaan, mengingat hubunganku dengan ayah dan
pamanmu, maka ingin kukatakan terus terang, harap
engkau jangan marah.”
“Ciok-totiang mempunyai petunjuk apa, silakan bicara,
aku akan terima dengan hormat,” sahut Toan Ki.
Diam-diam Ciok-jing-cu membatin bocah ini masih
tetap berlagak pilon. Segera katanya, “Sudah berapa
lama Toan-kongcu berhasil mempelajari ‘Hoa-kang-tayhoat’?
Gurumu adalah Cinjin yang mana dari anak murid
iblis tua di Sing-siok-hay itu?”
Toan Ki menjadi bingung, ia garuk-garuk kepala,
sahutnya, “Hoa-kang-tay-hoat dan iblis tua dari Sing-siokhay
apa? Wanpwe baru sekarang mendengar namanama
itu.”
722
Ciok-jing-cu pikir mungkin orang yang mengajar Toan
Ki itu sengaja tidak mengatakan asal usul dan nama
perguruannya itu. Maka tanyanya pula, “Habis, dari mana
engkau belajar ilmu itu, bagaimana wajah orang itu?”
“Wanpwe tidak pernah belajar apa-apa,” sahut Toan
Ki.
Dan pada saat itu juga, sekonyong-konyong dari
ruangan belakang berlari keluar seorang dan tangan
Toan Ki terus dicengkeramnya. Kiranya orang ini adalah
Ui-bi-ceng.
Tapi begitu kedua tangan bersentuhan, seketika
badan padri itu tergetar, tenaga dalam tubuhnya seakanakan
membanjir keluar tak terhentikan. Tanpa pikir lagi
Ui-bi-ceng ayun kakinya hingga Toan Ki didepak
terjungkal.
Tentu saja semua orang kaget, beramai-ramai
mereka berbangkit dan bertanya ada apa?
“Kedua Toan-heng, bocah ini akan kalian binasakan
sendiri atau aku membereskannya?” tanya Ui-bi-ceng
tiba-tiba dengan suara gemetar.
Kiranya berturut-turut Boh-tam berenam telah sadar
kembali dan menceritakan kejadian tenaga dalam
mereka disedot habis oleh Toan Ki. Karena itu timbul
pendapat Ui-bi-ceng yang berlainan daripada Ciok-jingcu.
Padri itu menyangka Toan Ki telah membalas air
susu dengan air tuba, ditolong malah mentung, dan
merusak Lwekang keenam muridnya itu. Apalagi waktu
tangannya memegang tangan pemuda itu, seketika
723
tenaga dalam sendiri juga akan diisap, maka ia menjadi
lebih yakin lagi akan cerita murid-muridnya itu.
Bab 15
Mula-mula Po-ting-te dan lain-lain merasa heran
ketika mendengar ucapan Ciok-jing-cu tadi, mereka
mengira imam yang biasanya jenaka itu sedang
membadut. Tapi kini demi tampak sikap Ui-bi-ceng yang
sungguh-sungguh itu, barulah mereka tahu urusan
benar-benar sangat gawat.
Segera Po-ting-te pegang tangan Toan Ki dan hendak
menyeretnya bangun. Ketika tangan menempel tangan,
tiba-tiba hati tergetar juga, tenaga dalam terus merembes
keluar. Cepat ia tahan sekuatnya berbareng lengan jubah
mengebas hingga Toan Ki terentak ke samping beberapa
tindak. Lalu bentaknya dengan suara bengis, “Sejak
kapan kau belajar ilmu sesat begini?”
Sejak kecil sampai dewasa, jarang sekali Toan Ki
melihat pamannya bicara dengan suara bengis padanya.
Saking gugupnya cepat ia berlutut dan menjawab,
“Kecuali ‘Leng-po-wi-poh’ itu selamanya anak tidak
pernah belajar ilmu apa-apa lagi. Apa barangkali ilmu
gerak langkah itu sejahat ini? Jika ... jika demikian,
biarlah anak takkan menggunakannya lagi mulai
sekarang, bahkan akan kulupakan saja seluruhnya.”
Po-ting-te cukup kenal watak keponakannya,
selamanya tidak pernah berdusta, terhadap orang tua
juga sangat hormat, maka apa yang dikatakan pasti
salah. Tentu di dalamnya ada sesuatu yang ganjil, maka
katanya pula, “Kau gunakan ilmu melenyapkan tenagaku,
724
hal ini sengaja kau lakukan atau karena terpaksa
lantaran mendapat tekanan orang lain?”
Toan Ki bertambah heran dan bingung, “Titji ben ...
benar tidak tahu sama sekali, dari mana Titji berani
melenyapkan tenaga paman? Hakikatnya Titji tidak bisa
sesuatu ilmu apa-apa!”
Tadi waktu Hui-cin dan Hui-sian menemui Po-ting-te,
sebagai Onghui yang diagungkan, Si Pek-hong tidak
bebas bertemu dengan orang luar, maka dia menyingkir
ke dalam. Kemudian waktu mendapat laporan bahwa
putra kesayangannya di depan terjungkal oleh tindakan
Ui-bi-ceng dan sedang dimarahi Po-ting-te, saking
gugupnya cepat ia keluar lagi.
Dan ketika melihat Toan Ki berlutut di hadapan sang
paman dengan sikap bingung dan takut, sebagai ibu
yang mahakasih, segera ia menarik bangun sang putra
sambil berkata, “Ki-ji, jangan khawatir, segala urusan
boleh katakan terus terang pada Pekhu dan aduuuuh ....”
Sekonyong-konyong ia merasa tangan sendiri
seakan-akan tersedot dan tenaga dalam terus merembes
keluar tak terhentikan.
Untunglah sebelum itu Po-ting-te sudah bersiap-siap,
cuma di antara ipar tidak boleh bersentuhan badan,
maka tidak enak baginya menarik tangan Si Pek-hong,
tapi cepat ia kebas lengan bajunya hingga berjangkit
serangkum angin keras ke tengah-tengah kedua orang
itu, dengan paksa ia pisahkan daya lengket tangan ibu
dan anak itu.
725
“Kenapa kau ... kau ....” seru Si Pek-hong kaget
setelah dapat menarik kembali tangannya.
Melihat kelakuan sang ibu yang kaget dan gugup itu,
Toan Ki belum sadar kalau dirinya yang menjadi garagara,
cepat ia berbangkit hendak memegang sang ibu.
“Jangan Ki-ji!” lekas Cing-sun mencegahnya sambil
mengadang di antara istri dan anaknya.
Maka sekarang tahulah semua orang bahwa pada
badan Toan Ki ada sesuatu yang tidak beres, tapi
mereka pun tidak mencurigai lagi bahwa arak muda itu
mahir “Hoa-kang-tay-hoat” dan sengaja hendak
mencelakai orang. Hal ini dapat mereka ketahui dari
sikap Toan Ki yang polos dan lugu itu, sedikit pun tidak
berpura-pura atau palsu. Pula, seumpama pemuda itu
benar-benar jahat dari keji, rasanya tidak mungkin
membunuh ibu kandung sendiri.
“Ui-bi Taysu, Ciok-jing-cu,” tiba-tiba Sing-thay berkata,
“apakah sebabnya Toan-kongcu bisa begitu? Ayolah,
coba siapa yang lebih dulu dapat menerangkannya!”
Mendengar itu, Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu saling
melotot sekali, lalu sama-sama memeras otak untuk
menemukan jawabannya.
Kiranya Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu sebenarnya
adalah dua kawan karib pada masa lalu. Suatu kali,
karena berdebat tentang agama yang dianut masingmasing
itu, keduanya sama-sama tidak mau mengalah
hingga akhirnya saling gebrak.
726
Tapi karena kepandaian masing-masing mempunyai
keunggulan sendiri-sendiri, muka kekuatan kedua pihak
boleh dikatakan setali-tiga-uang alias sama kuat.
Beberapa kali mereka pernah bertanding, pada
penghabisan kalinya, hampir-hampir keduanya
menggeletak dan gugur bersama. Untunglah datang Poting-
te memisahkan mereka dengan Lwekang yang
tinggi, tapi ketiga orang sama menderita kerugian tenaga
dalam yang besar hingga perlu merawat diri dalam waktu
cukup lama. Sejak itu Hwesio dan Tosu itu sama
bersumpah tidak sudi bertemu muka lagi. Siapa duga
hari ini justru saling berjumpa pula di istana pangeran
Tin-lam-ong ini.
Ko Sing-thay bermaksud melenyapkan persengketaan
di antara kedua tokoh itu, maka sengaja ia kemukakan
persoalan tadi dengan maksud agar kedua orang itu
bertanding kecerdasan otak dan tidak bertanding ilmu
silat, jika pertanyaannya tadi dapat dimenangkan oleh
salah satu pihak, ia harap dapatlah mengakhiri
percekcokan di antara kedua orang itu.
Pertanyaan Ko Sing-thay itu sebenarnya lebih
menguntungkan Ciok-jing-cu, sebab imam itu telah
menjelajah ke mana saja, dengan pengalamannya yang
luas terang lebih menguntungkan daripada Ui-bi-ceng
yang sudah sekian lama terasing di pegunungan sunyi.
Namun biarpun Ui-bi-ceng tidak tahu apa sebabnya
Toan Ki menjadi begitu, bagi Ciok-jing-cu, kecuali
menduga kepandaian pemuda itu adalah Hoa-kang-tayhoat
ajaran iblis tua Sing-siok-hay, lebih dari itu ia pun
tidak bisa mengemukakan pendapat lain.
727
Maka dengan gusar Cing-sun berkata, “Ketika Ki-ji
disekap di rumah batu itu, tentu dia telah dicekoki
sesuatu obat racun apa-apa oleh Jing-bau-khek itu
hingga ada ilmu sihir masuk tubuhnya tanpa
disadarinya.”
“Ya, masuk akal juga pendapatmu ini,” ujar Po-ting-te
mengangguk. “Tentu Ki-ji terkena apa-apanya, makanya
bisa begini. Ki-ji, coba katakan, waktu dikurung di rumah
batu itu, apa kau pernah pingsan?”
“Pernah,” sahut Toan Ki, “bahkan beberapa kali Titji
tak sadarkan diri.”
“Itulah dia!” seru Cing-sun. “Pasti kesempatan pada
waktu Ki-ji tak sadar itu telah digunakan oleh Jing-baukhek
untuk memasukkan ilmu sihir yang bisa
menghilangkan kepandaian orang ke dalam badannya.
Maksud tujuannya tentu secara tak langsung Ki-ji hendak
dipakai untuk mencelakai sanak familinya, yaitu, supaya
kepandaian kita lenyap semua di tangan Ki-ji. Sungguh
tipu muslihat yang keji dan terkutuk. Toako, urusan tak
boleh terlambat, marilah kita segera mencari akal untuk
melenyapkan ilmu sihir dalam tubuh Ki-ji itu.”
Dan di antara semua orang itu, dengan sendirinya Si
Pek-hong yang paling khawatir, tanyanya cepat, “Ki-ji,
apakah kau rasakan badanmu menderita sesuatu?”
Toan Ki berkerut kening, sahutnya, “Antero tubuhku
terasa penuh terisi tenaga belaka, di mana-mana
seakan-akan melembung, tepi justru susah untuk
ditumpah keluar. Hawa itu terasa meresap ke sana-sini di
728
dalam badan, mungkin seluruh isi perutku kacau-balau
diterjang olehnya.”
“O, kasihan!” seru Si Pek-hong terus hendak
merangkul sang putra.
Syukur Cing-sun keburu mencegahnya sambil
berkata, “Jangan menyentuh Ki-ji! Badannya keracunan.”
“Badan keracunan”, memang demikianlah pendapat
semua orang yang hadir di situ. Mereka menjadi kasihan
dan gegetun pemuda yang tampan itu mesti menderita
penyakit yang aneh itu.
“Toapek, kita harus lekas berdaya untuk
menyembuhkan Ki-ji,” pinta Si Pek-hong kepada Po-tingte.
“Harap adik ipar jangan khawatir,” sahut Po-ting-te.
“Di depan kita sekarang sudah siap seorang Hwesio dan
seorang Tosu, keduanya tokoh nomor wahid dalam Bulim,
satu tadi telah memaki Ki-ji habis-habisan, yang lain
bahkan telah menendangnya hingga terjungkal, dengan
sendirinya penyakit Ki-ji wajib mereka sembuhkan.”
Saat itu Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu justru sedang
peras otak memikirkan penyakit apa yang diderita Toan
Ki. Maka apa yang dikatakan Po-ting-te itu sama sekali
tak masuk dalam telinga mereka.
Sekonyong-konyong Ui-bi-ceng berteriak, “He, ya!
Semua orang ikut girang dan mengarahkan pandang
kepadanya. Siapa duga padri itu lantas goyang-goyang
729
tangan dan menyatakan dengan menyesal, “Ah, salah,
salah! Obat racun itu melulu dapat merusak kepandaian
sendiri dan tak bisa melenyapkan kepandaian pihak lain.”
Penjelasan itu membikin semua orang merasa
kecewa.
Tiba-tiba Ciok-jing-cu juga berseru, “Ya, tentu begitu!”
“Bagus!” teriak Sing-thay ikut bergirang. “Nah, apa
sebabnya, lekas katakan?”
Dengan berseri-seri segera Ciok-jing-cu bercerita, “Di
luar lautan sana, di pantai semenanjung Liautang
terdapat sebuah pulau ular ....” tiba-tiba wajah yang
berseri-seri tadi membuyar hingga akhirnya berubah
menjadi lesu, ia geleng-geleng kepala dan menyambung,
“Wah, salah rekaanku, tak mungkin terjadi begini.”
Begitulah, suasana di dalam ruangan itu menjadi
sunyi senyap, tiada seorang pun membuka suara lagi.
Dalam keadaan hening itulah, terdengar di luar ada
tindakan orang datang dan segera ada suara seorang
berseru, “Lapor Sri Baginda, ada dua orang mata-mata
musuh berpura-pura tuli dan bisu telah tertawan di luar,
pada mereka terdapat tulisan-tulisan yang tak bisa
diampuni.”
Mendengar kata-kata “tuli dan bisu”, pikiran Po-ting-te
tergerak, cepat tanyanya, “Apakah benar-benar orang
bisu, atau bisu disebabkan lidah mereka terpotong?”
730
“Baginda memang mahasakti, lidah kedua mata-mata
itu memang bekas terpotong,” sahut pelapor di luar.
Po-ting-te memandang sekejap kepada Ui-bi-ceng,
Ciok-jing-cu dan Toan Cing-sun, diam-diam ia membatin,
“Nyata Liong-ah Lojin juga sudah muncul, kesulitankesulitan
selanjutnya tentu semakin banyak lagi.”
Segera ia pun berkata, “Thian-sik, coba keluar
membawa masak kedua tamu itu!”
Thian-sik memberi hormat dan bertindak keluar.
Tidak lama, masuklah Thian-sik dengan membawa
dua pemuda berusia antara 18 atau 19 tahun dan
memberi lapor, “Cong-pian Siansing mengirim utusan
untuk menghadap Sri Baginda.”
Kiranya apa yang disebut Liong-ah Lojin atau si
Kakek Bisu Tuli itu justru sengaja memakai gelaran
“Cong-pian Siansing” atau si Tajam Telinga dan Tangkas
Mulut. Maksudnya mengatakan meski kuping budek, tapi
dapat mendengar lebih jelas daripada orang lain, dan
meski bisu, namun kalau bicara sebenarnya jauh lebih
tangkas daripada siapa pun.
Nama tokoh bisu tuli itu sangat tenar di dunia
persilatan, tindak tanduknya agak aneh, tidak suci, tidak
jahat. Kalau ada orang bermusuhan dengan dia, maka
celakalah orang itu, selama hidupnya pasti akan selalu
terlibat dalam pertempuran dengan si kakek tuli-bisu itu,
kalau sakit hatinya belum terbalas, tentu takkan selesai
urusannya. Sebab itulah, siapa pun juga, baik ilmu
silatnya sama kuat atau lebih tinggi daripada kakek itu,
731
tentu mengindahkan dan menghormatinya untuk
menghindari kesukaran-kesukaran yang mungkin terjadi.
Sikap kedua pemuda tadi ternyata cukup gagah,
wajah putih bagus, semuanya memakai baju putih, tapi di
bagian dada tertulis dua baris huruf, “Utusan Cong-pian
Siansing, ada sesuatu urusan hendak disampaikan
kepada Toan Cing-beng Siansing dari Tayli.”
Sebagai raja, nama “Cing-beng” di negeri Tayli tidak
boleh sembarangan disebut oleh siapa pun. Tapi tulisan
di dada baju pemuda itu terang-terangan menyebut
“Cing-beng Siansing” tanpa sebutan kebesaran lain,
dengan sendirinya oleh pelapor tadi dianggap perbuatan
berdosa.
Namun Po-ting-te hanya tersenyum saja, katanya,
“Cong-pian Siansing ternyata sudi menyebut Siansing
padaku, hal itu sudah boleh dikatakan mengindahkan
diriku.”
Kemudian kedua pemuda tadi mendekati Po-ting-te,
mereka hanya menghormat dengan membungkuk badan,
tidak berlutut dan menyembah.
Segera Thian-sik mengambil pensil dan menulis di
atas secarik kertas, “Cong-pian Siansing ada urusan apa,
boleh segera lapor kepada Hongsiang.”
Hendaklah diketahui bahwa watak Liong-ah Lojin itu
sangat aneh. Setiap anak murid atau pengikutnya,
semuanya dipotong lidah dan dirusak anak telinganya
hingga berwujud orang bisu tuli seperti dia sendiri,
supaya tidak bisa mendengarkan pembicaraan orang,
732
tapi ia sendiri juga tak dapat bicara. Peraturan yang aneh
dan istimewa itu sudah diketahui oleh orang Kangouw
umumnya.
Maka untuk menjawab pertanyaan Thian-sik itu,
dengan sendirinya kedua pemuda itu tak bisa bicara, tapi
pemuda sebelah kanan lantas menanggalkan buntelan
yang dibawanya, ia mengeluarkan sepotong baju wanita
warna jambon dan dikenakan di badan sendiri, lalu
mengeluarkan bedak dan gincu untuk bersolek
sekadarnya.
Pemuda yang lain lantas membantu kawan itu
melepaskan rambutnya untuk dikepang menjadi dua
kucir serta diberi pita merah pula hingga serupa
dandanan gadis remaja.
Melihat kelakuan mereka, semua orang merasa heran
dan geli pula. Tapi tiada seorang pun yang dapat
menerka apa maksud tujuan Liong-ah Lojin dengan
mengirim kedua utusannya ini.
Selesai pemuda itu berdandan sebagai seorang
gadis, lalu ia berjalan beberapa tindak dengan
berlenggak-lenggok, kemudian melompat dan berjingkrak
sebagaimana lazimnya gadis remaja yang lincah dan
riang.
Meski geli melihat kelakuan pemuda yang menyamar
sebagai gadis itu, namun semua orang menduga
tindakan Liong-ah Lojin ini tentu mempunyai maksud
dalam, maka tiada seorang pun berani tertawa.
733
Hanya Toan Ki saja yang tidak kenal siapakah
gerangan Liong-ah Lojin itu, dengan bertepuk tangan ia
tanya dengan tertawa, “Haha, kau berperan sebagai
nona cilik, dan dia menjadi siapa lagi?”
Pemuda yang lain ternyata tidak menyamar apa-apa,
ia sengaja mendongak dan berjalan dengan
membusungkan dada seakan-akan dunia ini aku punya.
Dengan lagak tuan besar ia berjalan satu putaran di
ruangan itu, ketika sampai di depan “gadis remaja” tadi,
tiba-tiba ia mengamati-matinya dengan tersenyumsenyum,
bahkan terus mencubit perlahan pipi gadis
gadungan itu.
Gadis palsu itu tampak tersenyum dan bibirnya
bergerak-gerak menandakan telah bicara apa-apa.
Mendadak pemuda itu tempelkan muka dan mencium
sekali pipi si gadis palsu. “Plak”, tiba-tiba si gadis palsu
memberi persen sekali tamparan kepada pemuda bangor
itu. Namun dengan cepat pemuda itu menjulurkan jari
telunjuknya dan menutuk iga si gadis palsu.
Melihat gerak tutukan jari itu, seketika Po-ting-te,
Toan Cing-sun, Ko Sing-thay, Ui-bi-ceng, Ciok-jing-cu,
Hoa Hek-kin dan kawan-kawannya sama terkejut hingga
bersuara heran. Bahkan saking heran Cing-sun dan
Ciok-jing-cu berbangkit dari tempat duduknya.
Kiranya tutukan jari yang digunakan pemuda itu, baik
gayanya maupun tempat yang diarah persis adalah
kepandaian khas keluarga Toan, yaitu “It-yang-ci” yang
hebat itu.
734
Gerak tutukan “It-yang-ci” itu tampaknya tidak sulit,
tapi sebenarnya membawa gerak perubahan yang hebat,
sekali tutuk, baik tempat yang diarah atau jaraknya,
sedikit pun tidak boleh salah, kalau tidak, daya
tekanannya tak bisa dilontarkan seluruhnya.
Meski Ui-bi-ceng, Ciok-jing-cu, Ko Sing-thay dan lain-
lain tidak pernah belajar ilmu itu, tetapi hubungan mereka
dengan keluarga Toan sangat erat, maka benar atau
salah It-yang-ci yang digunakan itu cukup diketahui
mereka.
Mereka pun tahu ilmu silat Liong-ah Lojin itu adalah
suatu aliran tersendiri dan tergolong lunak, sama sekali
berbeda seperti It-yang-ci yang mengutamakan
kekerasan. Tapi mengapa anak muridnya juga dapat
mempelajari ilmu tutuk itu?
Hanya sekejap itu saja rasa heran orang, sebab di
tengah kalangan itu keadaan telah berubah lagi. Ketika
melihat lawan menutuk iganya, tiba-tiba si gadis palsu
mengulur tangan dan dengan cepat menangkap jari
lawan. “Krek”, tahu-tahu tulang jari si pemuda
dipatahkannya.
Serangan balasan si gadis palsu ini meski dilakukan
dengan sangat aneh dan cepat, namun dapat diikuti
semua orang dengan jelas. Tapi tiada seorang pun
menduga sebelumnya bahwa gadis palsu itu bisa
melontarkan tipu serangan itu.
Maka menyusul pemuda tadi melangkah maju,
kembali jari tangan kiri menutuk ke dada si gadis palsu,
tipu serangan yang dipakai tetap bergaya It-yang-ci. Tapi
735
ketika kedua tangan si gadis palsu menyambar, “krek”,
lagi-lagi jari pemuda itu dipatahkan.
Meski dua jarinya sudah patah, namun, pemuda itu
seperti tidak kenal apa artinya sakit, ia masih tetap
menyerang terus, hanya sekejap saja kembali ia
keluarkan enam gerak It-yang-ci. Tapi gadis palsu itu pun
dapat menangkis dengan cepat dan menggunakan enam
gerakan yang berbeda-beda untuk mematahkan
serangan jari si pemuda.
Karena delapan jarinya telah dipatahkan dan tinggal
dua buah jari jempol saja, pemuda itu tidak berani
menyerang pula, ia putar tubuh dan terus melarikan diri
ke samping. Si gadis palsu bertepuk tangan dengan
tertawa sebagai tanda sangat senang. Menyusul ia
lantas ambil pensil dan menulis di atas kertas, “Keluarga
Toan dari Tayli, tak bisa menangkan Buyung di Koh-soh.”
Habis menulis, segera si pemuda yang patah jarinya
itu digandengnya pergi.
“Nanti dulu!” segera Thian-sik bermaksud mencegat.
Namun Po-ting-te goyang-goyang kepala dan berkata,
“Biarlah mereka pergi!”
Sesudah kedua pemuda itu pergi, pikiran semua
orang merasa tertekan, mereka paham bahwa maksud
Liong-ah Lojin mengirim kedua utusannya itu adalah
untuk menunjukkan kepada Po-ting-te dan Toan Cingsun
bahwa orang she Buyung di Koh-soh itu sudah
mempunyai ilmu khusus untuk mematahkan It-yang-ci.
736
Walaupun It-yang-ci itu kalau dimainkan Po-ting-te
atau Toan Cing-sun, daya tekannya tentu jauh lebih lihai
daripada permainan pemuda tadi. Akan tetapi sama
halnya pihak lawan juga cuma seorang gadis remaja
saja, kalau orang dewasa yang memainkan, dengan
sendirinya kekuatannya juga jauh lebih hebat.
Yang harus dipuji adalah si pemuda bisu-tuli tadi
ternyata bisa menirukan gerakan kedelapan jurus Ityang-
ci dengan sangat tepat, meski cara mengerahkan
tenaganya masih banyak kesalahannya, tapi gayanya
yang indah itu sedikit pun tidak keliru. Sebaliknya cara si
gadis palsu itu mematahkan jari-jarinya itu terlebih hebat
dan aneh pula, perubahan-perubahan ternyata sukar
diduga.
Namun Po-ting-te ternyata tidak mau mempersoalkan
hal itu, dengan tersenyum ia tanya Ciok-jing-cu, “Ciokheng,
jauh-jauh kau datang kemari, apakah ada
hubungannya dengan persoalan orang Buyung di Kohsoh
itu?”
“Tidak, tiada sangkut pautnya dengan orang Buyung
di Koh-soh,” sahut Ciok-jing-cu menggeleng kepala. “Tapi
besar sangkut pautnya dengan keluarga Toan kalian.
Anak murid Toan kalian telah keterlaluan
menggemparkan kota Yangciu. Kaisar kerajaan Song
mungkin tidak enak mengusut perkara itu mengingat
nama baikmu, tapi orang-orang Bu-lim dari Tionggoan
merasa penasaran padamu.”
Keruan Po-ting-te terkejut, cepat tanyanya, “Mana
bisa jadi begitu? Keturunan keluarga Toan kami melulu
Ki-ji seorang, tapi selamanya ia tidak pernah
737
meninggalkan wilayah Tayli, dari mana bisa
mengacaukan kota Yangciu?”
“Yangciu-sam-hiong, yaitu He Hou-siu, Kim Tiong dan
Ong Siok-kian, dan anggota keluarga laki-laki mereka
yang berjumlah 28 jiwa dalam semalam saja telah tewas
semua di bawah tutukan It-yang-ci,” demikian tutur Ciokjing-
cu, “Toan-hongya, katakanlah, dosa apakah
Yangciu-sam-hiong itu terhadap Toan-keh kalian?”
“Dua puluh delapan jiwa mati semua di bawah tutukan
It-yang-ci, apa betul dan tidak salah lihat, Ciok-toheng?”
sahut Po-ting-te.
“Cara It-yang-ci membunuh orang sangat halus, pihak
yang terkena seluruh badan terasa nikmat, anggota
badan juga hangat tanpa derita sedikit pun, makanya
korban tetap bersenyum tanpa luka, betul tidak begitu
tanda terkena It-yang-ci?” tanya Ciok-jing-cu.
“Sedikit pun tidak salah cara hidung kerbau
melukiskan itu, seakan-akan dia sendiri pernah mencicipi
rasanya It-yang-ci,” ujar Cing-sun dengan tertawa.
Namun Ciok-jing-cu tidak bisa tertawa lagi, katanya
dengan sungguh-sungguh, “Anggota keluarga Yangciusam-
hiong yang terbunuh itu semuanya mati dengan
wajah tersenyum, pada badan mereka pun tiada tanda
luka apa-apa.”
“Tapi mayat mereka lemas seperti orang hidup, sedikit
pun tidak kaku bukan?” sela Cing-sun.
738
“Ya,” sahut Ciok-jing-cu. “Kita tahu ada beberapa
macam racun bila membinasakan orang, wajah sang
korban juga tampak tersenyum-senyum, namun tiada
sesuatu ilmu lain lagi di dunia ini yang bisa menjadikan
mayat sang korban tetap lemas tanpa kaku sedikit pun
seperti halnya korban yang terkena It-yang-ci.”
“Tapi di antara anak murid dan keturunan keluarga
Toan kami, sampai kini melulu Ki-ji seorang saja,
sedangkan dia sampai saat ini belum pernah belajar Ityang-
ci,” ujar Cing-sun.
“Ciok-toheng,” kata Po-ting-te. “Kau bilang anggota
keluarga Yangciu-sam-hiong yang terbunuh itu adalah
kaum laki-laki semua, jika begitu kaum wanitanya tentu
masih hidup dan telah melihat wajah si pembunuh itu?”
“Menurut cerita He-hujin dan Ong-hujin, katanya
pembunuh itu memakai kedok kain hijau, mukanya tidak
jelas kelihatan, cuma menurut taksiran usianya masih
muda,” sahut Ciok-jing-cu.
Po-ting-te menghela napas dan memandang sekejap
kepada Toan Cing-sun.
Maka berkatalah Cing-sun, “Ciok-toheng, putraku ini
kesurupan ilmu sihir, orang yang mencelakainya itu justru
adalah anggota keluarga Toan kami sendiri, orang itu
terkenal sebagai ‘Thian-he-te-it-ok-jin’ (orang jahat nomor
satu di jagat ini).”
Lalu ia bercerita cara bagaimana Toan Ki diculik dan
dikurung oleh Yan-king Taycu di dalam rumah batu itu,
kemudian Ui-bi-ceng berusaha menolongnya.
739
Pertandingan antara Yan-king Taycu dan Ui-bi-ceng
sebenarnya dimenangkan Yan-king, tetapi Cing-sun
sengaja bilang Yan-king Taycu salah menjalankan
caturnya hingga mengaku kalah.
Karena itu Ui-bi-ceng lantas berkata, “Toan-ongya
tidak perlu menutupi maluku, pertandingan itu terang aku
yang kalah. Seumpama Gu-pit-cu yang melawan Yanking
Taycu, dia juga pasti akan kalah.”
“Ah, belum tentu,” sahut Ciok-jing-cu.
“Jika begitu, marilah kita boleh coba-coba satu
babak,” kata Ui-bi-ceng.
“Bagus, aku justru ingin minta petunjuk padamu,”
kontan Ciok-jing-cu terima tantangan itu.
“Hahaha, sungguh menertawakan orang,” tiba-tiba Uibi-
ceng terbahak-babak.
“Apa yang menggelikanmu?” tanya Ciok-jing-cu
mendongkol.
“Aku tertawa karena ada orang begitu tolol,” sahut Uibi-
ceng. “Sudah terang kejahatan itu dilakukan anak
murid Toan Yan-king, tapi Toan-hongya yang dimintai
tanggung jawabnya.”
Muka Ciok-jing-cu menjadi merah, sahutnya,
“Memangnya kalau anak murid Toan Yan-king itu bukan
anak murid keluarga Toan? Toan Yan-king itu she Toan
atau bukan?”
740
“Ah, pokrol bambu!” sahut Ui-bi-ceng.
“Ah, ngaco-belo!” jengek Ciok-jing-cu tak mau kalah.
Po-ting-te sudah biasa menyaksikan pertengkaran
kedua tokoh itu, maka ia hanya tersenyum saja, katanya
kemudian, “Cong-pian Siansing telah menyaksikan gadis
keluarga Buyung mematahkan ilmu It-yang-ci, boleh jadi
pemuda yang coba menggoda si gadis yang
dimaksudkan itulah si pembunuh Yangciu-sam-hiong.”
Bicara sampai di sini, tiba-tiba sikapnya berubah
kereng, katanya pula, “Sun-te, menurut pesan leluhur,
soal permusuhan dan bunuh-membunuh dalam Bu-lim,
jelas kita tak boleh ikut campur. Tapi sekarang ternyata
ada orang menggunakan It-yang-ci untuk melakukan
kejahatan di luaran, hal mana rasanya keluarga Toan kita
tidak boleh tinggal diam lagi.”
“Benar,” sahut Cing-sun.
Dalam hati kedua saudara itu sebenarnya mempunyai
pikiran yang sama, cuma tidak mereka katakan. Kalau
ternyata orang she Buyung di Koh-soh itu mampu
menggunakan ilmu lihai untuk mematahkan jari anak
murid keluarga Toan dan hal ini didiamkan saja, tentu
nama baik keluarga Toan di Tayli akan sangat dirugikan.
Maka Po-ting-te lantas berkata, “Sun-te, hendaknya
segera membawa serta Sam-kong Su-un (tiga tokoh dan
empat jago, maksudnya Pah Thian-sik bertiga dan Leng
Jian-li berempat) berangkat ke Siau-lim-si untuk
menemui Hian-cu Taysu, sekalian boleh juga belajar
741
kenal dengan ilmu silat keluarga Buyung di Koh-soh yang
lihai itu. Yan-king Taycu adalah keturunan lurus dari
mendiang raja yang dulu, kalau ketemu dia hendaklah
berlaku sopan dan menghormatinya. Kalau anak
muridnya ada berbuat sesuatu yang tidak senonoh,
paling baik selidiki dulu hingga terang, lalu tangkap dan
serahkan pada Yan-king Taycu untuk dihajar sendiri, kita
jangan sembarangan mencelakai mereka.”
Cing-sun dan ketiga tokoh serta empat jago sama
mengiakan menerima titah baginda itu.
Melihat Ko Sing-thay ada maksud ingin ikut serta,
dengan tersenyum Po-ting-te berkata, “Jago-jago kita
seakan-akan dikerahkan semua, biarlah Sian-tan-hou
tinggal di rumah untuk membantu aku saja.”
Ko Sing-thay mengiakan atas titah itu.
“Pekhu,” tiba-tiba Toan Ki berkata, “bolehkah Titji ikut
pergi bersama ayah untuk menambah pengalaman?”
Po-ting-te menggeleng kepala, sahutnya, “Badanmu
kesurupan ilmu sesat, aku masih harus menyembuhkan
kau, apalagi kau tak bisa ilmu silat, kalau ikut pergi
mungkin malah bikin malu keluarga Toan kita saja.”
Wajah Toan Ki menjadi merah, baru sekarang ia
menyesal mengapa dahulu tidak belajar silat hingga kini
tak boleh ikut pesiar ke Tionggoan yang indah permai itu.
Dalam pada itu perjamuan untuk menyambut
kedatangan Ciok-jing-cu lantas dilangsungkan dengan
meriah. Toan Ki duduk menyendiri, orang lain tiada yang
742
berani mendekatinya, sebab khawatir tersentuh racun
jahat di tubuh pemuda itu.
Tentu saja yang paling kesal adalah Toan Ki karena
seakan-akan terasing dari pergaulan, sedangkan hawa
murni dalam badannya masih terus bergolak karena tak
bisa dipusatkan.
Semakin lama duduk di situ, semakin tak tahan Toan
Ki, hanya minum dua cawan arak ia lantas mohon diri
untuk kembali ke kamarnya. Teringat olehnya
pengalaman yang aneh selama beberapa hari ini, ia
terkenang pada Bok Wan-jing dan Ciong Ling, kedua
nona jelita yang baru dikenalnya itu entah ke mana
perginya sekarang.
Terpikir juga olehnya putri Ko Sing-thay, Ko Bi, yang
telah dilamarkan oleh kedua orang tuanya itu, nona itu
selama ini tidak pernah dilihatnya, entah bagaimana
perangainya dan cocok tidak dengan dirinya, pula entah
cantik atau jelek makanya.
Begitulah Toan Ki rebah di ranjang dengan macammacam
pikiran yang berkecamuk dalam benaknya, hawa
murni dalam badannya masih terus bergolak tak keruan
rasanya, walaupun deritanya tidak sehebat seperti
berkobarnya nafsu waktu minum Im-yang-ho-hap-san,
tapi rasanya juga sukar ditahan, syukurlah akhirnya ia
dapat tidur pula.
Sampai tengah malam, mendadak ia terjaga dari
tidurnya ketika merasa kedua tangannya digenggam
kencang oleh orang, dan baru saja mulutnya terpentang
743
hendak menjerit, tahu-tahu sepotong kain dijejalkan ke
dalam mulutnya.
Waktu ia berpaling sedikit, di bawah sinar lilin
remang-remang ia lihat seraut wajah yang putih cakap
sedang tersenyum padanya. Itulah Ciok-jing-cu adanya.
Cepat ia berpaling pula ke sisi lain, yang pertamatama
tertampak olehnya adalah dua jalur alis kuning
yang panjang melambai, itulah dia Ui-bi-ceng. Muka padri
yang kurus itu pun mengunjuk senyum penuh welas asih
dan sedang mengangguk perlahan sebagai tanda agar
pemuda itu jangan khawatir. Menyusul ia lantas
keluarkan kain penyumbat mulut Toan Ki tadi.
Toan. Ki merasa lega melihat tokoh itu, segera ia
merangkak bangun untuk memberi hormat. Namun Ciokjing-
cu lantas berkata padanya, “Hiantit tak perlu banyak
adat, hendaklah rebah saja dengan tenang, biar kami
berdua menyembuhkan racun jahat dalam tubuhmu.”
“Sungguh Wanpwe merasa terima kasih harus
membikin susah kedua Cianpwe,” kata Toan Ki.
“Kami berdua adalah kawan karib pamanmu, hanya
sedikit urusan ini, kenapa mesti dipikirkan?” sahut Ui-biceng.
“Sedikit urusan? Huh, jangan membual dahulu,
Hwesio,” jengek Ciok-jing-cu tiba-tiba. “Dapat tidak kita
sembuhkan dia masih harus melihat hasilnya dulu.”
Selagi Toan Ki hendak berkata pula, sekonyongkonyong
terasa kedua telapak tangannya tergetar, dua
744
arus hawa sekaligus merembes masuk dari kanan-kiri,
badan Toan Ki terguncang sedikit, mukanya menjadi
merah membara seakan-akan orang mabuk arak.
Kedua arus hawa murni itu mula-mula berkeliaran
kian kemari di antara urat-urat nadinya, tapi kemudian
semakin lemah dan semakin lambat, akhirnya lantas
lenyap. Menyusul dari telapak tangan yang dipegang Uibi-
ceng dan Ciok-jing-cu itu terasa merembes masuk lagi
hawa murni yang lain.
Begitulah kira-kira sepertanak nasi lamanya, Toan Ki
merasa separuh tubuh bagian kanan semakin lama
semakin panas, sebaliknya separuh tubuh sisi kiri makin
lama makin dingin, yang kanan seperti dibakar, yang kiri
seperti direndam es. Tapi aneh bin ajaib, biarpun panas
dingin rasanya, namun nikmatnya tak terkatakan. Ia tahu
kedua tokoh terkemuka itu sedang menggunakan
Lwekang mereka yang tinggi untuk mengusir racun
dalam tubuhnya.
Sudah tentu apa yang diduga Toan Ki itu tidak benar
seluruhnya.
Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu entah sudah berapa kali
bertanding, baik mengadu kecerdasan maupun mengadu
ketangkasan, dari pertandingan kasar sampai
perlombaan secara halus, namun selalu sama kuat
hingga sukar ditentukan siapa lebih unggul.
Ketika mereka bertengkar dan saling sindir pula siang
tadi, keduanya sama-sama masih mendongkol. Sampai
tengah malam, diam-diam kedua orang itu mengeluyur
ke taman untuk berunding cara bagaimana harus
745
bertanding lagi. Akhirnya acara jatuh pada diri Toan Ki,
mereka sepakat untuk menyembuhkan pemuda itu
sebagai batu ujian mereka.
Dahulu sudah dua kali mereka bertanding Lwekang
dan banyak membuang tenaga, untung ditolong oleh Poting-
te hingga jiwa mereka dapat diselamatkan. Karena
itu, sekarang mereka ingin memberi jasa-jasa baik bagi
Po-ting-te untuk mengusir racun dalam tubuh Toan Ki.
Sebab, kalau bicara tentang menyembuhkan penyakit
dengan Lwekang di dunia ini rasanya tiada yang lebih
kuat daripada It-yang-ci, cuma tenaga dalam yang harus
dikorbankan si pemakai It-yang-ci itu terlalu besar.
Dari itu Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu telah bersepakat
untuk menyembuhkan Toan Ki masing-masing separuh
badan, kanan dan kiri, siapa yang lebih dulu berhasil, dia
yang menang.
Hwesio dan Tosu itu sudah pernah merasakan
kelihaian racun dalam tubuh Toan Ki itu. Mereka tahu
begitu menyenggol badan pemuda itu, tenaga dalam
mereka segera akan buyar. Sebab itulah, begitu mulai,
terus saja mereka mengerahkan sepenuh tenaga, sedikit
pun tidak berani ayal, pikir mereka dengan tenaga kedua
jago pilihan seperti mereka, paling-paling cuma racunnya
tidak bersih dilenyapkan, tapi pasti tiada halangan bagi
kesehatan Toan Ki.
Tak mereka duga bahwa apa yang mengeram di
dalam tubuh Toan Ki itu hakikatnya bukan racun apa
segala, tapi adalah semacam ilmu sakti yang bisa
menyedot hawa murni orang yaitu tenaga sakti yang
berasal dari sepasang katak Bong-koh-cu-hap yang
746
merupakan makhluk mestika di alam ini. Karena katakkatak
itu telah dimakan oleh Toan Ki, maka khasiat yang
berada pada katak-katak itu sudah terlebur di dalam
tubuh pemuda itu hingga tiada mungkin dilenyapkan lagi.
Apalagi daya isap tenaga Cu-hap itu memang sangat
kuat, ditambah lagi hawa-hawa murni dari Lwekang yang
dilatih Boh-tam berenam, maka tenaga dalam yang
dimiliki Toan Ki tatkala itu sesungguhnya sudah tidak di
bawahnya Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu. Cuma saja Toan
Ki tak bisa menjalankan dan menggunakan tenaganya
itu. Namun begitu, setiap kali Hwesio dan Tosu itu
mengerahkan tenaga mereka, keruan seperti air mengalir
ke laut saja, seketika kena disedot oleh Cu-hap-sin-kang
dalam tubuhnya Toan Ki.
Sebenarnya urusan memang juga sangat kebetulan,
rupanya sudah takdir ilahi dalam hidup Toan Ki harus
mengalami kejadian itu. Coba kalau bukan Ui-bi-ceng
dan Ciok-jing-cu dengan sukarela mau menyalurkan
tenaga murni mereka ke dalam tubuh Toan Ki, betapa
pun kuat daya isap Cu-hap-sin-kangnya Toan Ki juga
susah untuk menyedot Lwekang kedua tokoh kelas
wahid itu, paling tidak mereka pasti mampu melepaskan
diri dari daya isap itu.
Dan sebabnya badan Toan Ki bisa terasa panasdingin
pada kedua sisi tubuhnya itu adalah karena apa
yang diyakinkan Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu itu memang
berbeda-beda si Hwesio meyakinkan ilmu keras dari
unsur Yang, sebaliknya si Tosu meyakinkan ilmu
bersumber pada unsur Im yang lunak. Dasar agama
mereka pun berbeda, ilmu yang diyakinkan pun
berlainan, maka kedua arus tenaga mereka tidak
mungkin dipersatukan.
747
Dalam pada itu dirasakan tenaga yang mereka
kerahkan ke badan Toan Ki selalu lenyap seperti air
mengalir ke laut, sedikit pun tak bisa ditarik kembali lagi.
Hal ini tidak pernah mereka alami. Semakin kuat mereka
mengerahkan tenaga semakin cepat pula lenyapnya
Lwekang mereka.
Semula mereka terus bertahan oleh karena rasa ingin
menang, tapi setelah setengah jam kemudian, jantung
Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu mulai berdebar dan tenaga
mulai macet.
Ui-bi-ceng sadar ketidakberesan hal itu, kalau
diteruskan pasti antero Lwekangnya akan ludes sama
sekali. Segera ia berkata, “Ciok-toheng, urusan ini agak
ganjil, marilah kita berhenti sementara untuk mempelajari
apa sebab musababnya?”
Sebenarnya Ciok-jing-cu juga mempunyai maksud
begitu, tapi karena rasa ingin menangnya, ia pikir orang
telah lebih dulu minta padanya, maka ia sengaja
menjawab, “Jika tenaga Taysu kurang cukup, silakan
mundur dulu, tidak mungkin kupaksa orang yang tidak
tahan lagi.”
Ui-bi-ceng menjadi gusar, “Hidung kerbau, betapa
tinggi kepandaianmu memangnya aku tidak tahu? Him,
kau berlagak gagah apa?”
Ciok-jing-cu juga tahu tenaga mereka sebenarnya
setali-tiga-uang alias sama kuat. Tapi tempo hari si
Hwesio sudah menempur Yan-king Taysu, Lwekang
yang dikorbankan tentu sangat besar, inilah kesempatan
748
yang sukar dicari, dirinya pasti dapat mengalahkan dia,
bila kesempatan bagus ini dilewatkan, mungkin sampai
mati kelak kedua orang tetap susah menentukan kalah
dan menang.
Karena pikiran itulah, maka Ciok-jing-cu tetap
bertahan sekuatnya dengan harapan lawan terpaksa
akan undurkan diri lebih dulu.
Tak terduga Ui-bi-ceng juga mempunyai wataknya
sendiri. Dalam segala hal ia bisa berlaku tenang dan
sabar, suka mengalah. Tapi terhadap Ciok-jing-cu
sungguh aneh sifatnya, asal bertemu tentu marah,
betapa pun tidak mau mengalah.
Setelah bertahan lagi sebentar, tenaga murni dalam
tubuh Toan Ki semakin penuh, daya sedotnya semakin
kuat. Kedua orang itu merasa sisa tenaga mereka masih
terus merembes keluar, segera mereka hendak menarik
tangan, akan tetapi sudah tidak dapat lagi, dalam gugup
mereka terpaksa soal pertandingan mereka itu harus
dikesampingkan dan berbareng lepas tangan hendak
meninggalkan badan Toan Ki.
Namun sudah telat, daya sedot Toan Ki teramat kuat,
tenaga mereka bertambah lemah, tenaga murni mereka
yang terlatih selama puluhan tahun itu sebagian besar
sudah mengalir ke badan Toan Ki, sisa tenaga mereka
tinggal sedikit saja, dengan sendirinya tangan mereka
seperti lengket di badan pemuda itu dan tak bisa ditarik
kembali, jadi mirip seperti Boh-tam berenam tempo hari.
Ui-bi-ceng saling pandang sekejap dengan Ciok-jingcu,
pikir mereka, “Sebabnya bisa terjadi begini, semua
749
gara-gara karena rasa ingin menang. Bila sejak tadi
lepas tangan ketika mengetahui gelagat tidak enak, tentu
tidak sampai demikian jadinya.”
Dan tidak lama Hwesio dan Tosu itu mulai lesu dan
lemas, napas mereka sudah kempas-kempis. Celakanya
dalam peristiwa ini Toan Ki sama sekali tidak tahu apa
yang terjadi, kalau tahu bakal begitu, sejak mula tentu dia
tidak sudi terima hawa murni dari kedua tokoh itu,
perbuatan yang menguntungkan diri sendiri tapi
merugikan orang lain, betapa pun tidak mungkin
dilakukannya.
Tapi ia justru mengira kedua Locianpwe itu sedang
mengusir racun guna menyembuhkannya, hawa murni
dalam tubuhnya terasa bergolak bagai air bah
membanjir, makin lama makin keras, sampai akhirnya
saking panasnya ia menjadi mabuk dan seperti orang
tertidur pulas, maka terhadap bahaya yang sedang
mengancam Ui-bi-ceng berdua itu sama sekali tak
disadarinya.
Dalam keadaan begitu, asal lewat setengah jam lagi,
Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu pasti akan menjadi cacat
selama hidupnya. Untunglah pada detik berbahaya itu,
tiba-tiba pintu kamar didobrak orang dan masuklah
seorang yang bukan lain adalah Po-ting-te.
“Celaka!” serunya kaget melihat keadaan ketiga orang
itu. Cepat ia tarik lengan baju Ui-bi-ceng dan dibetot
hingga terlepas dari lengketan Toan Ki. Menyusul ia pun
menarik Ciok-jing-cu dan berkata, “Kalian berdua asal
ketemu tentu terjadi gara-gara, sudah kucari kalian, siapa
750
tahu kalian justru bersembunyi dan sedang main gila di
sini.”
Dan ketika melihat keadaan kedua tokoh itu sangat
payah, dengan gegetun katanya pula, “Ai, usia kalian
sudah sekian tua, urusan apa lagi yang mesti kalian
ributkan terus? Dengan pertarungan ini, tidak sedikit pula
tenaga yang telah kalian korbankan.”
Ia coba memegang nadi Ui-bi-ceng dan terasa
denyutnya sangat lemah, waktu memeriksa Ciok-jing-cu,
keadaannya serupa. Berulang Po-ting-te menggeleng
kepala, disangkanya kedua orang itu mengulangi lagi
apa yang terjadi dahulu, yaitu keduanya sama-sama
mengalami cedera. Sudah tentu tak terduga olehnya
bahwa tenaga murni kedua orang itu justru kena disedot
oleh sang keponakan.
Dan ketika melihat Toan Ki tak sadarkan diri, ia malah
menyangka keponakan itu menjadi korban pertandingan
kedua tokoh itu. Cepat ia pun memeriksa nadinya,
namun jalannya baik-baik saja, bahkan terasa ada
sesuatu tenaga sedot yang sangat kuat hendak
mengisap tenaga dalamnya.
Keruan Po-ting-te terkejut dan ragu, sebab kalau
melihat keadaan begitu, agaknya tenaga dalam kedua
tokoh Hwesio dan Tosu itu yang telah terisap ke dalam
tubuh sang keponakan malah.
Ia pikir sejenak, lalu memanggil dayang istana
pangeran agar membawa Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu ke
kamar yang terpisah untuk istirahat.
751
Esok paginya, Toan Cing-sun beserta Sam-kong Suun
memohon diri kepada kakak baginda dan sang istri
untuk berangkat ke Siau-lim-si bersama Hui-cin dan Huisian.
Meski hatinya masih khawatir karena keadaan sang
putra yang keracunan itu, tapi mengingat kakak
bagindanya sudah turun tangan sendiri, tentu takkan
terjadi apa-apa. Sebelum berangkat, Cing-sun coba
tengok Toan Ki, ia merasa lega ketika melihat pemuda itu
masih tidur nyenyak dengan wajah merah bercahaya.
Setelah mengantarkan keberangkatan adik pangeran
dan para kesatria, Po-ting-te lantas pergi memeriksa
keadaan Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu. Ia lihat kedua tokoh
itu sedang bersemadi di kamar masing-masing. Wajah
Ui-bi-ceng tampak pucat, badan gemetar. Sebaliknya
muka Ciok-jing-cu merah membara bagai terbakar,
terang kedua orang itu sama-sama terluka parah, tenaga
murni mereka banyak terbuang.
Segera Po-ting-te menutuk dengan It-yang-ci pada
Hiat-to penting masing-masing dan kemudian baru pergi
menjenguk keadaan Toan Ki.
Tapi baru saja sampai di luar kamar pemuda itu, tibatiba
terdengar suara gedubrakan dan gemerencang
keras. Dayang yang jaga di luar kamar tampak sangat
khawatir, mereka berlutut menyambut kedatangan raja
dan melapor, “Secu (putra pangeran) kesurupan dan
sedang ... sedang kumat, dua Thayih (tabib istana)
sedang mengobatinya di dalam.”
752
Po-ting-te mengangguk dan masuk ke dalam kamar.
Ia lihat Toan Ki sedang berjingkrak-jingkrak di dalam
kamar sambil mengubrak-abrik isi kamar seperti mejakursi,
mangkuk-piring dan lain-lain. Kedua Thayih tampak
bersembunyi kian kemari untuk menghindari “piring
terbang” yang mungkin menyambar kepala mereka.
“Ki-ji, kenapa kau?” tanya Po-ting-te segera. Meski
tangannya mengamuk, tapi pikiran Toan Ki masih jernih
sekali, hanya hawa murni dalam tubuh itu terlalu penuh
hingga rasanya seakan-akan meletuskan kulit badannya,
saking tak tahan, maka ia menggeraki anggota badan
sekenanya hingga perabot di dalam kamar dirusaknya,
tapi aneh, asal kaki-tangannya bergerak, rasa hawa
dalam badan itu menjadi longgar.
Ketika melihat pamannya masuk, segera Toan Ki
berseru, “Pekhu, wah, celakalah aku!”
Berbareng kedua tangannya masih terus bergerak
serabutan.
“Bagaimana rasanya?” tanya Po-ting-te.
“Seluruh badanku rasanya seperti melembung,” sahut
Toan Ki. “Pekhu, harap buangkan sedikit darahku.”
Po-ting-te pikir mungkin ada faedahnya juga cara itu,
segera katanya kepada salah seorang Thayih, “Coba
ambil sedikit darahnya.”
Tabib itu mengiakan dan segera membuka peti
obatnya. Ia mengeluarkan sebuah kotak porselen dan
mengambil seekor lintah yang besar dan gemuk, ia taruh
753
lintah itu di urat darah lengan Toan Ki agar darahnya
diisap lintah itu.
Oleh karena tabib itu tidak bisa ilmu silat, dalam
badan tidak terdapat tenaga murni latihan Lwekang,
maka ia tidak terpengaruh oleh daya sedot dalam tubuh
Toan Ki yang lihai itu. Akan tetapi begitu lintah itu
menempel lengan Toan Ki, terus saja binatang itu
berkelojotan dan tidak berani menggigit lengan yang
disediakan itu.
Tentu saja tabib itu heran, sekuatnya ia tekan lintah
itu di atas lengan Toan Ki agar darahnya terisap, tapi
hanya sebentar saja, bukannya mengisap darah,
sebaliknya tahu-tahu lintah itu mati.
Karena kepandaiannya tidak becus di hadapan raja,
tabib itu menjadi gugup hingga mandi keringat, cepat ia
keluarkan lagi lintah kedua. Tapi serupa yang tadi, hanya
sebentar binatang itu juga mati kaku di atas lengan Toan
Ki.
Melihat itu, si tabib menjadi putus asa, cepat ia
berkata, “Lapor Hongsiang, badan Secu keracunan
mahajahat, sampai lintah juga mati keracunan.”
Ia tidak tahu bahwa Cu-hap-sin-kang yang terdapat di
badan Toan Ki itu, jangankan cuma lintah, sekalipun ular
yang paling berbisa bila mencium baunya juga akan
menyingkir jauh-jauh dengan takut.
Po-ting-te menjadi khawatir juga, cepat tanyanya,
“Keracunan apakah sebenarnya, kenapa begitu lihai?”
754
“Menurut pendapat hamba,” demikian kata tabib yang
lain, “denyut nadinya sangat keras dan panas, tentu
terkena semacam racun ganas yang jarang terdapat,
adapun namanya ....”
“Bukan,” tiba-tiba tabib yang satu lagi menyela,
“denyut nadi lemah dan dingin, racunnya tentu tergolong
dingin, harus disembuhkan dengan obat yang bersifat
panas.”
Kiranya dalam tubuh Toan Ki terdapat tenaga murni
Ui-bi-ceng dari unsur Yang (panas), dan terdapat pula
tenaga murni Ciok-jing-cu dari unsur Im mahadingin,
makanya kedua tabib itu mempunyai pendapat berbeda.
Melihat kedua tabib itu tiada persesuaian paham,
padahal kedua orang ini adalah tabib istana terpandai,
tapi tak berdaya terhadap penyakit Toan Ki, maka dapat
dibayangkan racun dalam tubuh pemuda itu
sesungguhnya sangat aneh.
Dalam pada itu Toan Ki masih terus berjingkrakjingkrak
sambil menarik dan menyobek baju sendiri
hingga tak keruan macamnya, Po-ting-te menjadi tak
tega, pikirnya, “Rasanya soal ini harus dimintakan
pemecahannya ke Thian-liong-si.”
Maka katanya segera, “Ki-ji, biarlah kubawa dirimu
menemui beberapa orang tua, kukira mereka dapat
menyembuhkanmu.”
Toan Ki mengiakan. Karena rasanya semakin
menderita, yang dia harap asal lekas sembuh, maka
cepat ia ganti pakaian dan ikut sang paman keluar
755
istana, masing-masing menunggang seekor kuda terus
dilarikan ke arah barat-laut.
Thian-liong-si yang dikatakan itu terletak di puncak
Thian-liong di arah barat laut kota Tayli.
Puncak itu merupakan puncak utara pegunungan
Thian-liong yang lerengnya memanjang dari barat-laut
dan berakhir di wilayah Tayli. Leluhur keluarga Toan
yang wafat semuanya dikubur di pegunungan itu.
Pegunungan Thian-liong yang panjang itu mirip
seekor naga raksasa, maka puncak utama itu menjadi
seperti kepala naga, dan di situlah leluhur keluarga Toan
dikubur. Dan oleh karena leluhur keluarga Toan yang
menjadi raja akhirnya cukur rambut menjadi Hwesio,
maka semuanya tinggal di Thian-liong-si.
Sebab itulah Thian-liong-si merupakan kuil kerajaan
yang terpuja. Karena itu juga maka kuil itu sangat megah
dan terawat baik, biarpun kuil ternama di daerah
Tionggoan seperti Ngo-tay, Boh-to, Kiu-hoa, Go-bi dan
lain-lain yang merupakan pegunungan terkenal dengan
kuilnya yang indah, kalau dibandingkan Thian-liong-si
mungkin juga kalah. Cuma lelah Thian-liong-si itu
terpencil di daerah perbatasan, maka namanya tidak
terkenal.
Setelah ikut sang paman sampai di biara itu, Toan Ki
melihat kemegahan Thian-liong-si boleh dikatakan tidak
kalah daripada istana di Tayli.
Thian-liong-si adalah tempat yang sering didatangi
Po-ting-te. Meski dia diagungkan sebagai raja, tapi
756
Hwesio dalam kuil itu banyak yang terhitung angkatan
lebih tua, maka Ti-kek-ceng atau Hwesio penyambut
tamu dengan hormat menyambut kedatangan dan tidak
terlalu gugup seperti umumnya orang biasa bila
mendadak bertemu dengan seorang raja.
Po-ting-te dan Toan Ki lebih dulu menemui ketua
Thian-liong-si, Thian-in Taysu.
Menurut silsilah, bila Thian-in Taysu itu tidak jadi
Hwesio, beliau terhitung paman Po-ting-te. Sebagai
orang beragama, padri itu tidak kukuh lagi pada urutan
umur dan perbedaan pangkat, kedua orang saling
menghormat dengan derajat sama. Lalu secara ringkas
Po-ting-te ceritakan kejadian Toan Ki kesurupan racun
jahat itu.
Setelah berpikir sejenak, kemudian Thian-in berkata,
“Marilah ikut padaku ke Bo-ni-tong untuk menemui ketiga
Suheng dan Sute di sana.”
“Terpaksa mesti mengganggu ketenteraman para
Taysu, sungguh dosa Cing-beng tidak kecil,” ujar Po-tingte.
“Tin-lam-secu adalah calon putra mahkota kerajaan
kita, urusan keselamatannya besar sangkut pautnya
dengan kesejahteraan negara. Padahal kepandaianmu
jauh di atasku, namun sudi datang bertanya padaku,
maka dapatlah dipastikan soal ini pasti tidak sederhana,”
demikian kata Thian-in.
Begitulah setelah menyusuri serambi samping dan
belasan ruangan lain, akhirnya Thian-in membawa Po-
757
ting-te dan Toan Ki sampai di depan beberapa buah
rumah. Rumah-rumah itu dibangun dengan kayu cemara,
dindingnya dari papan kayu yang tak terkupas kulitnya,
berbeda sekali dengan rumah lain yang dibangun secara
megah itu. Malahan di antara dinding dan pilar kayu
sudah banyak yang lapuk hingga lebih mirip perumahan
kaum pemburu di pegunungan.
Dengan wajah serius Thian-in merangkap tangan dan
berkata ke dalam rumah itu, “Omitohud, Thian-in
mempunyai sesuatu kesulitan, terpaksa mesti
mengganggu ketenteraman ketiga Suheng dan Sute.”
“Hongtiang silakan masuk!” demikian sahut seorang
dari dalam.
Perlahan Thian-in mendorong pintu kayu dan
melangkah masuk diikuti Po-ting-te dan Toan Ki. Pintu itu
mengeluarkan suara berkeriut ketika didorong, suatu
tanda jarang sekali digunakan orang untuk masuk-keluar.
Toan Ki menjadi heran ketika melihat di dalam rumah
itu terdapat empat Hwesio yang duduk terpisah di empat
bangku batu, padahal tadi ia dengar Thian-in
mengatakan ketiga Suheng dan Sute.
Ketiga Hwesio yang duduk menghadap keluar itu, dua
di antaranya bermuka kurus kering, sebaliknya yang
seorang lagi sehat kuat. Hwesio keempat yang duduknya
di pojok timur sana menghadap dinding dan tidak
bergerak sedikit pun, sejak mula juga tidak berpaling.
Po-ting-te kenal kedua padri yang kurus itu masingmasing
bergelar Thian-koan dan Thian-siang, keduanya
758
Suheng Thian-in. Sedang padri yang kekar itu bernama
Thian-som adalah Sutenya.
Po-ting-te cuma tahu Bo-ni-tong itu dihuni tiga padri
saleh dan tidak tahu masih ada seorang lain, yaitu
Hwesio keempat yang duduk menghadap dinding itu.
Dengan membungkuk tubuh Po-ting-te memberi
hormat. Thian-koan bertiga membalas hormat dengan
tersenyum. Sedang padri yang menghadap dinding itu
entah sedang semadi atau latihannya lagi mencapai titik
genting hingga sedikit pun tidak boleh terganggu, maka
ia tetap tidak peduli kedatangan Po-ting-te.
Po-ting-te cukup paham ajaran Buddha, ia tahu arti
“Bo-ni” adalah tenang, sunyi. Karena ruangan itu
bernama Bo-ni-tong, lebih sedikit bicara lebih baik. Maka
secara ringkas ia menguraikan pula bagaimana Toan Ki
keracunan dan kesurupan itu. Katanya paling akhir,
“Mohon dengan sangat sudilah keempat Taysu suka
memberi petunjuk jalan yang sempurna.”
Thian-koan termenung sejenak, palu mengamat-amati
pula keadaan Toan Ki, kemudian berkata, “Bagaimana
pendapat kedua Sute?”
“Ya, walaupun harus membuang sedikit tenaga
dalam, rasanya juga takkan mengganggu hasil
peyakinan Lak-meh-sin-kiam kita,” sahut Thian-som.
Mendengar “Lak-meh-sin-kiam” itu, hati Po-ting-te
terguncang, pikirnya, “Waktu kecil pernah kudengar
cerita ayah bahwa leluhur keluarga Toan ada
mewariskan semacam ilmu yang sangat lihai dengan
759
nama ‘Lak-meh-sin-kiam’. Namun ayah mengatakan
cuma mendengar namanya saja dan selamanya tidak
pernah mengetahui siapakah gerangan tokoh keluarga
Toan yang mahir ilmu itu, maka betapa hebat
sebenarnya ilmu itu tiada seorang pun yang tahu. Kini
Thian-som Taysu mengatakan sedang meyakinkan ilmu
itu, jadi memang benar ada ilmu yang aneh dan sakti itu.”
Kemudian ia pikir pula, “Tampaknya ketiga Taysu ini
hendak menggunakan Lwekang mereka untuk
menyembuhkan Ki-ji, jika demikian, tentu akan
mengakibatkan latihan ‘Lak-meh-sin-kiam’ mereka
terganggu. Tapi melihat betapa hebatnya penyakit Ki-ji,
sampai Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu juga tidak mampu
menolongnya, kalau tidak memakai tenaga gabungan
kami berlima, mana dapat menyembuhkan Ki-ji?”
Begitulah meski menyesal mesti mengganggu
kemajuan latihan ketiga Taysu itu, namun demi
keselamatan Toan Ki yang dianggapnya seperti anak
kandung sendiri, terpaksa ia pun tidak menolak.
Begitulah, tanpa bicara lagi Thian-siang Hwesio lantas
berbangkit, dengan kepala tertunduk ia siap berdiri di
sudut yang lain.
“Siancay, Siancay,” demikian Thian-in mengucapkan
sabda Buddha, lalu ia pun ambil tempat di arah barat
daya.
“Ki-ji,” kata Po-ting-te, “keempat kakek Tianglo
dengan tidak sayang tenaga dalam sendiri hendak
menyembuhkanmu, lekas kau mengaturkan terima
kasih!”
760
Melihat sikap dan kelakuan keempat padri itu sangat
khidmat, Toan Ki tahu apa yang bakal dilakukan mereka
tentu bukan urusan kecil, maka cepat ia menjura dan
mengucapkan terima kasih kepada para padri tua itu.
“Ki-ji, duduk bersila di tengah itu, longgarkan
badanmu, sedikit pun jangan bertenaga, kalau terasa
sakit atau gatal, jangan kaget dari khawatir,” pesan Poting-
te kemudian.
Toan Ki mengiakan dan menurut perintah sang
paman.
Segera Thian-koan Hwesio angkat jari jempolnya dan
menekan Hong-hu-hiat di kuduk Toan Ki, satu arus hawa
hangat dari It-yang-ci terus merembes masuk.
Hong-hu-hiat itu kira-kira tiga senti di bawah rambut
bagian tengkuk, termasuk urat nadi “Tok-meh”. Menyusul
Thian-siang Hwesio juga menutuk Ci-kiong-hiat dan
Thian-som menutuk Tay-hiang-hiat, Thian-in ikut
menutuk juga kedua nadi yang lain dan Po-ting-te,
menutuk Jing-bing-hiat.
Begitulah tujuan mereka hendak menggunakan
tenaga It-yang-ci yang berunsurkan hawa Yang yang
keras itu untuk mengusir racun dari tubuh Toan Ki.
It-yang-ci kelima tokoh keluarga Toan ini boleh
dikatakan sama hebatnya, maka terdengarlah suara
mendesis perlahan, lima arus hawa panas berbareng
menyusup ke dalam badan Toan Ki. Seketika tubuh
pemuda itu terguncang dan merasa seperti jemur badan
761
di bawah sang surya di musim dingin, nyaman dan segar
sekali rasanya.
Berulang jari kelima tokoh itu bekerja, maka semakin
bertambah juga tenaga dalam yang masuk di badan
Toan Ki. Po-ting-te, Thian-in dan padri-padri lainnya
sama merasakan tenaga mereka yang masuk ke badan
Toan Ki itu perlahan lantas buyar dan tak bisa ditarik
kembali, bahkan terasa daya sedot pada badan pemuda
itu luar biasa kuatnya. Keruan mereka terkejut dan
terheran-heran dengan saling pandang.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara gerungan
yang sangat keras hingga memekak telinga. Po-ting-te
tahu itulah ilmu semacam Lwekang yang mahatinggi
dalam ilmu Buddha, namanya “Say-cu-ho” atau auman
singa.
Menyusul terdengar padri yang duduk menghadap
dinding tadi sedang berkata, “Musuh tangguh dalam
waktu singkat segera datang, nama kebesaran Thianliong-
si selama ratusan tahun ini akan terguncang,
apakah bocah ingusan ini keracunan atau kesurupan,
kenapa mesti banyak membuang tenaga percuma
baginya?”
Kata-kata itu diucapkan dengan penuh wibawa hingga
sukar dibantah, maka Thian-in lantas menyahut, “Ya,
ajaran Susiok memang tepat!”
Terus saja ia memberi tanda dan kelima orang lantas
melangkah mundur. Meski daya sedot Cu-hap-sin-kang
dalam badan Toan Ki itu sangat hebat, tapi untuk
762
mengisap tenaga kelima tokoh itu sekaligus, ternyata
tidak kuat juga.
Mendengar Thian-in membahasakan Hwesio itu
dengan sebutan “Susiok” atau paman guru, cepat Poting-
te memberi hormat dan berkata, “Kiranya Koh-eng
Tianglo hadir di sini, maafkan Wanpwe tidak memberi
hormat sebelumnya.”
Kiranya Koh-eng itu paling tinggi tingkatannya di
dalam Thian-liong-si, para padri dalam kuil itu tiada satu
pun yang pernah melihat wajah aslinya. Po-ting-te juga
cuma mendengar namanya dan selamanya tidak pernah
bertemu. Ia dengar padri tua itu selamanya bersemadi di
ruang Siang-su-ih dan jarang orang membicarakannya,
maka disangkanya padri tua itu sudah lama wafat. Siapa
tahu sekarang justru dijumpainya di sini.
“Urusan harus dibedakan mana yang penting dari
mana yang tidak,” demikian kata Koh-eng Tianglo pula.
“Perjanjian dengan Tay-lun-beng-ong dari Tay-swat-san
sekejap lagi akan tiba. Cing-beng, ada baiknya juga
kalau kau pun ikut berunding memberi pendapatmu.”
“Aneh, Tay-lun-beng-ong dari Tay-swat-san terkenal
sangat saleh dan tinggi ibadatnya, kenapa ada
perselisihan dengan kita?” tanya Po-ting-te dengan
heran.
Segera Thian-in mengeluarkan sepucuk surat yang
berwarna kuning menyilaukan dan diangsurkan kepada
Po-ting-te. Ternyata sampul surat itu sangat aneh,
rasanya juga antap, kiranya terbuat dari lapisan emas
murni yang sangat tipis, di atas sampul surat terbingkai
763
pula beberapa huruf dari emas putih yang ditulis dalam
bahasa Hindu kuno.
Po-ting-te paham ilmu Buddha, maka dapat membaca
tulisan itu yang berarti, “Diaturkan kepada ketua Thianliong-
si.”
Dari sampul emas itu Po-ting-te mengeluarkan secarik
kertas surat yang terbuat dari emas juga, surat itu pun
tertulis dalam bahasa Sanskerta dan terjemahannya kirakira
adalah, “Dahulu aku kebetulan bertemu dengan
Buyung-siansing dari Koh-soh di negeri Thian-tiok hingga
terikat persahabatan yang akrab. Dalam membicarakan
ilmu silat di dunia ini, Buyung-siansing sangat memuji
kitab ‘Lak-meh-sin-kiam’ kuil kalian dan menyatakan
menyesal sebegitu jauh belum dapat membacanya.
Belum lama berselang kabarnya Buyung-siansing telah
wafat, rasa dukaku sungguh tak terkatakan, sebagai
tanda persahabatanku ingin kumohon kitab yang
dimaksudkannya itu kepada kalian untuk kubawa ke
hadapan makam Buyung-siansing. Untuk itu dalam waktu
singkat aku akan berkunjung kemari, hendaklah kalian
jangan menolak permintaanku ini. Sudah tentu akan
kuberi imbalan yang setimpal dengan hadiah yang
bernilai tinggi, masa kuberani mengambilnya dengan
begitu saja.”
Tulisan Sanskerta dalam surat itu pun dicetak dengan
emas putih dengan sangat indah, terang dibuat oleh
pandai emas yang sangat mahir. Melulu sampul dan
kertas surat itu saja sudah merupakan dua benda
mestika, maka dapatlah dibayangkan betapa royalnya
Tay-lun-beng-ong.
764
Po-ting-te tahu Tay-lun-beng-ong itu adalah Hou-kokhoat-
ong atau raja agama pelindung negara negeri
Turfan, kabarnya seorang yang cerdik pandai dan mahir
ilmu Buddha, setiap lima tahun sekali tentu mengadakan
khotbah umum, banyak padri saleh dari Thian-tiok dan
negeri barat lainnya sama berkunjung ke Tay-lun-si di
Tay-swat-san untuk mengikuti ceramah keagamaan itu.
Tapi dalam surat yang ditujukan kepada Thian-liong-si
ini dia mengatakan pernah tukar pikiran dalam hal ilmu
silat dengan Buyung-siansing dari Koh-soh serta
bersahabat sangat karib, maka dapat dipastikan Tay-lunbeng-
ong pun seorang tokoh silat yang tinggi. Orang
cerdik pandai demikian kalau sudah belajar silat, maka
dapat dipastikan akan lain daripada yang lain.
Lalu terdengar Thian-in berkata, “Itu ‘Lak-meh-sinkiam-
keng’ adalah kitab pusaka kuil kita dan merupakan
ilmu tertinggi daripada ilmu silat keluarga Toan kita di
Tayli ini. Cing-beng, ilmu saat keluarga Toan yang
tertinggi terdapat di Thian-liong-si sini, engkau adalah
orang biasa meski terhitung sanak keluarga sendiri,
namun terpaksa banyak rahasia ilmu silat kita tak boleh
kukatakan padamu.”
“Ya, hal itu kupaham,” sahut Po-ting-te.
“Anehnya,” demikian Thian-koan ikut bicara, “tentang
kuil kita mempunyai ‘Lak-meh-sin-kiam-keng’, bahkan
Cing-beng dan Cing-sun juga tidak tahu, mengapa orang
she Buyung itu malah mengetahuinya?”
“Dan Tay-lun-beng-ong itu juga seorang padri saleh
yang terkemuka di zaman ini, mengapa tidak kenal
765
aturan dan berani minta kitab secara kekerasan pada
kita?” ujar Thian-som dengan gusar. “Cing-beng, oleh
karena Hongtiang-suheng tahu musuh yang bakal datang
itu tidak bermaksud baik, akibat dari urusan ini tidaklah
kecil, maka Koh-eng Susiok diundang untuk mengatasi
urusan ini.”
“Sungguh memalukan juga,” Thian-in ikut berkata,
“meski kuil kita mempunyai kitab pusaka itu, tapi tiada
seorang pun di antara kita yang mahir ilmu sakti itu,
bahkan mempelajari juga tidak pernah. Sedangkan ilmu
yang diyakinkan Koh-eng Susiok adalah semacam ilmu
sakti lain, untuk itu juga diperlukan sedikit waktu lagi baru
terlatih sempurna. Sebaliknya bila teringat akan
kedatangan Tay-lun-beng-ong itu, kalau dia tidak
mempunyai sesuatu andalan, masakah dia berani terangterangan
minta kitab pusaka kita secara kekerasan?”
“Sudah tentu ia tidak berani memandang enteng Lakmeh-
sin-kiam,” ujar Koh-eng Tianglo tiba-tiba. “Melihat isi
surat itu, agaknya dia begitu mengagumi Buyungsiansing
dan orang she Buyung itu pun sangat tertarik
pada kitab pusaka kita, dengan sendirinya Tay-lun-bengong
bisa mengukur dirinya sendiri. Namun dia menduga
dalam kuil kita tiada sesuatu tokoh yang luar biasa,
biarpun terdapat kitab pusaka juga tiada orang mampu
meyakinkannya, maka sama sekali dia tidak jeri pada
kita.”
“Jika ia sendiri mengagumi kitab pusaka kita, asal dia
mau pinjam secara baik-baik mengingat dia adalah padri
saleh dalam Buddha, paling-paling kita akan menolaknya
dengan hormat dan urusan akan selesai begitu saja. Tapi
ia justru minta kitab itu untuk dibakar di hadapan orang
766
sudah mati, bukankah tindakan demikian terlalu
menghina Thian-liong-si kita?” demikian Thian-som
berseru dengan gusar.
“Ai, Sute juga tidak perlu marah,” ujar Thian-siang.
“Kulihat Tay-lun-beng-ong itu bukan seorang yang
bodoh, dia hendak meniru perbuatan orang zaman dulu
dengan membakar kitab di depan kuburan sahabat,
agaknya dia benar-benar sangat kagum kepada Buyungsiansing
itu.”
“Apakah Thian-siang Taysu kenal pribadi Buyungsiansing
itu?” tanya Po-ting-te.
“Aku tidak tahu,” sahut Thian-siang. “Tapi mengingat
betapa seorang tokoh macam Tay-lun-beng-ong begitu
kesengsem padanya, maka dapat dipastikan Buyungsiansing
itu tentu seorang yang lain daripada yang lain.”
Berkata sampai di sini, sikapnya ikut sangat kagum
pada orang yang dibicarakan itu.
“Menurut penilaian Susiok pada kekuatan musuh,”
demikian kata Thian-in, “kalau kita tidak lekas-lekas
meyakinkan Lak-meh-sin-kiam, mungkin kitab pusaka
kita akan direbut orang dan Thian-liong-si akan runtuh
untuk selama-lamanya. Cuma ilmu pedang sakti itu
mengutamakan tenaga dalam dan tidak mungkin berhasil
dilatih dalam waktu singkat. Cing-beng, bukan kami tidak
mau membantu menyembuhkan Ki-ji, tapi kita khawatir
terlalu banyak membuang tenaga, bila musuh tangguh
mendadak datang, tentu kita akan susah melawannya.
Tampaknya keselamatan Ki-ji takkan terancam dalam
waktu beberapa hari, maka selama beberapa hari ini
767
biarlah dia merawat dirinya di sini, bila kesehatannya
bertambah buruk, kita akan dapat menolongnya setiap
saat, sebaliknya kalau tidak apa-apa, nanti kalau musuh
tangguh sudah dienyahkan baru kita akan berusaha
menolongnya sepenuh tenaga.”
Walaupun Po-ting-te sangat khawatir akan kesehatan
Toan Ki, namun demikian dia adalah seorang yang
bijaksana, ia tahu Thian-liong-si adalah modal dasar
keluarga Toan dari Tayli, setiap kali kerajaan ada
bahaya, selalu Thian-liong-si memberi bantuan
sekuatnya. Selama keturunan kerajaan Tayli banyak
mengalami kesukaran dan dapat berdiri sampai
sekarang, jasa Thian-liong-si itu sesungguhnya tidak
kecil. Sebaliknya Thian-liong-si terancam bahaya, mana
bisa dirinya tinggal diam.
Maka berkatalah Po-ting-te, “Atas kebaikan
Hongtiang, Cing-beng merasa terima kasih sekali. Entah
urusan menghadapi Tay-lun-beng-ong itu apakah Cingbeng
dapat sekadar memberi bantuan?”
Thian-in pikir sejenak, lalu menyahut, “Engkau adalah
jago nomor satu keluarga Toan kita di kalangan orang
biasa, bila engkau dapat menggabungkan tenagamu
untuk menghadapi musuh, sudah tentu akan banyak
menambah kekuatan kita. Cuma engkau adalah orang
biasa, kalau ikut campur pertengkaran dalam kalangan
agama, tentu akan ditertawai Thian-liong-si kita sudah
kehabisan jago.”
“Kalau kita latih Lak-meh-sin-kiam itu sendiri-sendiri,
biar siapa pun tiada seorang akan berhasil,” tiba-tiba
Koh-eng berkata. “Kita pun sudah pikirkan suatu akal,
768
yaitu masing-masing orang berlatih satu ‘Meh’ (nadi, Lakmeh
= enam nadi) di antara Lak-meh-sin-kiam itu.
Tatkala menghadapi musuh nanti cukup salah seorang
tampil ke muka, sedang lima orang lainnya hanya
membantunya dengan menyalurkan tenaga dalam
padanya. Asal lawan tidak tahu akal kita ini, tentu kita
akan menang. Cara ini meski kurang jujur, namun apa
daya, keadaan terpaksa. Hanya untuk mencari orang
keenam yang memiliki tenaga jari mahahebat, di Thianliong-
si ini memang sukar diketemukan lagi. Kebetulan
engkau datang kemari, Cing-beng, marilah ikut mengisi
kekurangan itu. Cuma engkau harus dicukur dulu dan
pakai jubah Hwesio.”
“Kembali pada Buddha memang sudah lama menjadi
cita-cita Cing-beng, cuma ilmu sakti yang hebat itu
selama ini Cing-beng belum pernah mendengarnya ....”
“Jika pakai akal itu, sudah lama engkau paham, kini
cukup kau pelajari tipu ilmu pedangnya saja,” sela Thiansom
cepat.
Po-ting-te merasa bingung, tanyanya, “Silakan Taysu
memberi petunjuk.”
“Coba duduklah untuk bicara lebih jelas,” kata Thianin.
Sesudah Po-ting-te duduk bersila di atas tikar, lalu
Thian-in berkata pula, “Apa yang disebut Lak-meh-sinkiam
itu sebenarnya tidak ada wujud pedang
sesungguhnya, kita hanya menggunakan tenaga jari Ityang-
ci yang hebat dan menjadikannya hawa pedang,
ada kekuatan tapi tiada wujudnya, maka boleh juga
769
dikatakan semacam Bu-heng-ki-kiam (pedang hawa yang
tak berwujud). Tentang Lak-meh (enam nadi) di atas
lengan itu adalah Thayim, Koatin ....”
Sambil berkata ia terus mengeluarkan satu berkas
kertas gulungan. Mungkin sudah terlalu tua, maka
gulungan kertas itu bersemu kuning.
Setelah Thian-som menerima gulungan kertas itu, lalu
digantung di dinding, waktu gulungan kertas itu dibuka,
kiranya adalah sebuah lukisan badan seorang laki-laki, di
atas badan tercatat jelas tempat-tempat Hiat-to mengenai
keenam urat nadi yang bersangkutan.
Po-ting-te adalah ahli It-yang-ci, pula “Lak-meh-sinkiam-
keng” itu berdasarkan tenaga It-yang-ci, jadi sejalan
dengan ilmu silat keluarga Toan mereka, dengan
sendirinya ia paham begitu melihat gambar itu tanpa
penjelasan lagi.
“Cing-beng,” kata Thian-in kemudian, “engkau adalah
seorang raja suatu negeri, untuk sementara meski dapat
menyamar, tapi kalau sampai diketahui musuh, tentu
akan sangat merugikan nama baik kita. Sebab itulah
sebelumnya hendaklah kau pertimbangkan lebih masak.”
“Maju terus, pantang mundur,” sahut Po-ting-te tegas.
“Bagus,” kata Thian-in. “Lak-meh-sin-kiam-keng ini
tidak diajarkan kepada anak murid orang biasa, maka
engkau harus cukur rambut menjadi Hwesio baru boleh
kuajarkan padamu.”
770
Tanpa pikir Po-ting-te berlutut ke hadapan Thian-in
dan berkata, “Silakan Taysu!”
“Kemarilah, biar kucukur engkau,” kata Koh-eng
Taysu tiba-tiba.
Po-ting-te menurut, ia melangkah maju dan berlutut,
oleh karena Koh-eng duduk menghadap dinding, jadi Poting-
te berlutut di belakangnya.
Dengan tenang sejak tadi Toan Ki meringkuk di
tempatnya dengan perasaan sadar, maka ia dapat
mengikuti semua percakapan orang, pikirnya, “Bicara ke
sana ke sini ternyata selalu ada sangkutnya dengan
orang she Buyung itu.”
Dan ketika melihat sang paman hendak dicukur untuk
menjadi Hwesio, diam-diam ia terkesiap juga. Ia lihat
Koh-eng Taysu telah membaliki tangannya hingga benarbenar
tinggal kulit membungkus tulang belaka.
Tetap Koh-eng Tianglo itu tidak putar tubuh sedikit
pun, hanya mulutnya mengucapkan sabda Buddha,
ketika tangannya kemudian diangkat, tahu-tahu seluruh
rambut Po-ting-te bertebaran jatuh ke tanah, kepalanya
sudah gundul kelimis, biarpun dicukur dengan pisau
cukur mungkin juga tidak sehalus itu.
Sungguh kejut Toan Ki tak terkatakan, Po-ting-te,
Thian-koan dan lain-lain juga kagum tak terhingga atas
ilmu sakti paman guru mereka itu. Maka terdengar Koheng
Taysu berkata, “Sesudah masuk ke dalam Buddha,
nama agamamu adalah Thian-tim.”
771
“Terima kasih atas pemberian nama ini,” sahut Poting-
te dengan merangkap tangan. Dan oleh karena Poting-
te telah dicukur oleh Koh-eng, menurut agama ia
menjadi Sute Thian-in, walaupun dalam urut-urutan
keluarga Thian-in sebenarnya adalah pamannya.
Lalu Koh-eng berkata pula, “Boleh jadi malam ini juga
Tay-lun-beng-ong itu akan tiba, Thian-in, boleh kau
ajarkan intisari Lak-meh-sin-kiam padanya.”
Thian-in mengiakan dan menunjuk tanda-tanda Hiatto
yang terdapat pada gambar yang tergantung di dinding
itu. Segera Po-ting-te menurutkan petunjuk itu untuk
menjalankan tenaga murni pada waktu jarinya menutuk
dan segera mengeluarkan suara mencicit perlahan.
Koh-eng sangat girang, katanya, “Tidak cetek latihan
Lwekangmu, meski Kiam-hoat ini sangat ruwet
perubahannya, namun hawa pedang sudah dapat kau
wujudkan, dengan sendirinya dapat kau gunakan sesuka
hati.”
“Marilah sekarang juga kita mulai berlatih,” ujar Thianin.
“Susiok khusus melatih Siau-siang-kiam dengan jari
jempol, aku melatih jari telunjuk, Thian-koan Suheng latih
jari tengah, Thian-tim Sute latih jari manis dan Thiansiang
Suheng melatih jari kecil tangan kiri. Waktu
mendesak, kita harus cepat meyakinkannya.”
Cepat ia mengeluarkan pula enam lukisan dan
digantung di sekeliling dinding, keenam lukisan itu
masing-masing menunjukkan titik-titik Hiat-to keenam
orang yang harus dilatihnya dan menggambarkan di
mana jari mereka harus menutuk.
772
Dalam pada itu Toan Ki merasakan hawa dalam
tubuhnya semakin penuh dan bergolak dengan hebat,
jauh lebih menderita daripada tadi, maklum, tadi Thian-in
berlima tidak sedikit mencurahkan tenaga dalam mereka
ke dalam badan pemuda itu.
Karena sang paman dan padri-padri itu sedang
memusatkan pikiran untuk berlatih ilmu sakti, maka Toan
Ki tidak berani mengganggu, ia bertahan sekuatnya
dengan termenung-menung. Dalam iseng, tanpa sengaja
ia coba memandang lukisan yang menggambarkan Hiatto
di badan manusia yang tergantung di dinding itu, dan
kebetulan pada saat itu tanpa terasa tangan kirinya
sedang melonjak-lonjak seakan-akan ada sesuatu yang
akan menerobos keluar dari bawah kulit tangannya.
Bab 16
Tempat yang berkedut-kedut seperti diterobos tikus
itu tercatat sebagai “Hwe-cong-hiat” pada lukisan itu.
Waktu ia melirik sang paman, terlihat Po-ting-te sedang
memerhatikan gambar Siau-yang-keng yang khusus
harus dilatihnya dan tergantung di depannya itu, jari
manis sang paman tampak sedang bergerak perlahan.
Toan Ki coba mengikuti tanda-tanda yang tercatat di
atas gambar itu. Aneh juga, karena pikirannya
dicurahkan untuk mengikuti garis-garis yang
menghubungkan Hiat-to satu dan lain menurut gambar,
sekonyong-konyong hawa murni dalam tubuhnya ikut
berjalan menurut perasaannya, mula-mula hawa itu
timbul dari lengan naik ke atas bahu dan terus mengalir
ke pundak.
773
Dan meski cuma sedikit hawa murni itu teralir, namun
rasa Toan Ki yang mual tadi lantas longgar. Nyata tanpa
sengaja ia telah tarik hawa murni itu ke urat nadi Sam-jiu.
Tetapi karena cara menjalankan hawa murni itu
sebenarnya semacam Lwekang yang sangat tinggi, Toan
Ki tidak paham seluk-beluknya secara tepat, baru
sebentar ia kerahkan tenaganya, seketika ia menjerit.
Untunglah sebelum hawa dalam badan itu tersesat,
karena mendengar teriakannya, segera Po-ting-te
bertanya, “Kenapa Ki-ji?”
“Dalam badanku terasa penuh terisi hawa yang
bergolak dan menerjang kian kemari, rasanya sangat
menderita, waktu kuikut garis-garis merah pada
lukisanmu itu, hawa lantas mengalir masuk ke dalam
perut, tetapi, aduuuuh ... tapi hawa dalam perut makin
lama makin penuh dan sekarang rasa perutku seakan
meledak!” demikian tutur Toan Ki sambil meringis.
Perasaan Toan Ki itu hanya dapat dirasakan oleh si
penderita sendiri, ia merasa perutnya melembung dan
seakan-akan meledak, tapi bagi penglihatan orang lain
toh keadaannya biasa saja tiada sesuatu yang aneh.
Namun Po-ting-te cukup paham tentang segala
kemungkinan bagi orang yang melatih Lwekang.
Perasaan perut melembung akan meledak itu umumnya
cuma bisa terjadi pada orang yang berlatih Lwekang
berpuluh tahun lamanya, tapi selamanya Toan Ki tidak
pernah belajar silat, dari mana bisa terjadi begitu?
Ia pikir tentu gara-gara racun yang mengeram di
dalam tubuhnya itu. Karena itu, Po-ting-te menjadi
khawatir kalau-kalau racun akan mengamuk hingga hawa
774
jahat telanjur masuk ke jantung, untuk melenyapkannya
tentu akan susah.
Biasanya Po-ting-te dapat bertindak tegas dan cepat
ambil keputusan. Tapi kejadian di depan matanya
sekarang menyangkut baik buruk selama hidup Toan Ki.
Kalau sedikit ayal, mungkin akan membahayakan jiwa
anak muda itu. Dalam keadaan kepepet, biarpun
akibatnya mungkin celaka, terpaksa harus dicobanya
juga. Maka katanya, “Ki-ji, biar kuajarkan padamu
tentang memutarkan hawa menuju ke pusat.”
Habis ini, segera ia mengajarkan penuntun ilmu itu
kepada Toan Ki sambil tangan sendiri tetap berlatih
menurut gambar.
Sambil mendengarkan petunjuk sang paman, satu
kata demi kata dituruti Toan Ki untuk melaksanakannya.
Inti Lwekang keluarga Toan dari Tayli itu memang sangat
hebat, selesai Toan Ki melakukan petunjuk sang paman,
hawa yang bergolak tadi juga sudah dapat ditarik masuk
ke pusat. Maka terasalah badannya makin segar,
rasanya enteng seakan-akan melayang ke udara.
Melihat wajah pemuda itu berseri-seri girang, Po-tingte
malah menyangka sang keponakan terlalu dalam
keracunan dan kelak akan sukar disembuhkan lagi. Maka
diam-diam ia sangat menyesal.
Meski Koh-eng Taysu sejak tadi tetap duduk
menghadap dinding, tapi percakapan kedua orang dapat
diikutinya semua. Setelah selesai mendengar Po-ting-te
mengajarkan kepandaiannya kepada Toan Ki, segera ia
berkata, “Thian-tim, ketahuilah bahwa segala apa sudah
775
takdir Ilahi, maka engkau tidak perlu khawatir bagi orang
lain, yang penting sekarang lekas kau latih Siau-yangkiam
saja!”
Po-ting-te mengiakan dan memusatkan kembali
perhatiannya untuk melatih Siau-yang-kiam yang
diwajibkan di antara Lak-meh-kiam-hoat itu.
Dalam pada itu hawa murni dalam tubuh Toan Ki
yang sangat padat itu sudah tentu tak dapat dipusatkan
seluruhnya dalam waktu singkat, cuma penuntun dasar
yang diterimanya dari Po-ting-te itu dapat berjalan
dengan lancar dan semakin cepat.
Begitulah ketujuh orang yang berada di dalam pondok
itu masing-masing melatih ilmunya sendiri-sendiri, tanpa
terasa hari sudah malam dan subuh sudah tiba pula.
Menjelang pagi itulah Toan Ki merasa kaki-tangannya
enteng leluasa tidak tersisa sedikit pun hawa yang akan
meledak seperti kemarin itu. Ia coba berdiri dan
melemaskan otot.
Ia lihat sang paman dan kelima padri saleh itu masih
asyik melatih ilmu pedang masing-masing.
Ia tidak berani membuka pintu untuk keluar, pula tidak
berani bersuara mengganggu keenam orang itu, saking
iseng ia coba mengikuti gambar di depan sang paman
yang melukiskan letak urat nadi dengan ilmu pedang
Siau-yang-kiam itu, tatkala perhatiannya terhadap
gambar itu terpusat, tiba-tiba terasa suatu arus hawa
murni membanjir keluar dari perutnya terus menerjang ke
bahu.
776
Yang paling aneh adalah bila pikiran Toan Ki
dicurahkan pada titik urat nadi dalam gambar itu, segera
hawa murni yang mengalir dalam tubuh lantas menyusup
ke sana, jadi dari bahu ke lengan dan dari lengan ke jari.
Tapi Toan Ki tidak dapat menjalankan Lwekangnya
untuk mengatur hawa murni itu, maka ketika hawa murni
menerjang ke ujung jari, ia terasa seperti bengkak
hendak pecah, maka pikirnya, “Ah, biarkan arus hawa ini
putar kembali saja.”
Aneh juga, begitu pikirannya, begitu pula hawa murni
itu lantas mengalir kembali ke perut.
Kiranya tanpa terasa Toan Ki telah berhasil
memperoleh inti dasar ilmu Lwekang yang tinggi, tapi ia
sendiri sama sekali tidak tahu. Ia hanya merasa arus
hawa yang mengalir kian kemari di lengan itu dapat
dimainkan sesukanya.
Kemudian ia lihat Thian-siang Taysu di antara ketiga
padri Bo-ni-tong itu paling ramah tamah, ia coba
melongok gambar “Siau-im-keng-meh-toh” yang wajib
dilatih padri itu.
Ia lihat titik nadi gambar itu dimulai dari “Kek-coanhiat”
di bawah ketiak terus menurun sampai di “Siauciong-
hiat” di ujung jari kecil. Kembali satu per satu ia
mengikuti garis Hiat-to itu hingga arus hawa murni dalam
tubuhnya kembali mengalir lagi seperti tadi menurut
perasaannya.
777
Ternyata dalam waktu singkat saja Toan Ki sudah
dapat menembus semua urat nadi lengan. Dan karena
Lak-meh atau enam nadi itu dapat ditembus,
semangatnya menjadi segar malah.
Dalam isengnya ia terus memeriksa pula gambar lain
yang sedang dilatih Thian-in dan lain-lain, namun ia
menjadi pusing melihat garis-garis merah, biru, hitam dan
lain-lain yang ruwet itu. Pikirnya, “Ah, begini sulit ilmu
pedang itu, mana dapat aku ingat seluruhnya?”
Lalu pikirnya pula, “Aneh, kenapa kedua padri kecil itu
tidak mengantarkan makanan kemari? Biarlah diam-diam
aku mengeluyur keluar untuk mencari makanan.”
Tapi pada saat itu juga hidungnya lantas mencium
semacam bau wangi yang halus, menyusul terdengarlah
suara orang bernyanyi dalam pujian Buddha, suara itu
hanya sayup-sayup saja, sebentar terdengar sebentar
tidak.
“Siancay, Siancay! Tay-lun-beng-ong telah tiba,
bagaimana dengan latihan kalian?” demikian Koh-eng
Taysu berkata dengan gegetun.
“Meski belum masak betul-betul, namun sudah cukup
untuk menghadapi musuh,” sahut Thian-som.
“Thian-in,” kata Koh-eng pula, “aku tidak suka
bergerak, bolehlah kau undang Beng-ong bicara ke
ruang Bo-ni-tong ini.”
Thian-in mengiakan dan keluar.
778
Segera Thian-koan menyiapkan lima kasuran tikar
dan dijajarkan menjadi satu baris. Ia sendiri lantas
menduduki kasuran pertama, Thian-siang kedua, Po-tingte
keempat, Thian-som kelima dan ketiga yang luang itu
disediakan untuk Thian-in. Toan Ki tidak punya tempat
duduk, terpaksa ia berdiri di belakang Po-ting-te.
Tahu musuh tangguh bakal tiba, lekas-lekas Koh-eng
dan Thian-koan berlima menghafalkan sekali lagi
petunjuk Kiam-hoat dalam gambar, lalu lukisan cepat
digulung dan ditaruh di depan Koh-eng.
“Ki-ji,” kata Po-ting-te, “sebentar bila terjadi
pertarungan sengit, tentu di ruangan ini akan penuh
hawa pedang yang tajam dan bisa jadi akan
membahayakan dirimu, sedangkan paman tak dapat
melindungimu, maka lebih baik kau keluar saja sana!”
Toan Ki menjadi terharu, pikirnya, “Dari percakapan
paman dan lain-lain, agaknya ilmu silat Tay-lun-beng-ong
teramat lihai, sedangkan ilmu pedang paman ini baru
saja dilatih, entah mampu atau tidak melawan musuh,
dan kalau terjadi apa-apa, lantas bagaimana baiknya?”
Maka katanya segera, “Pekhu, aku ... aku ingin tinggal
di sini, kukha ... kukhawatirkan pertempuran nanti ....”
Bicara sampai di sini, suaranya menjadi parau dan tak
lancar.
Hati Po-ting-te terharu juga, pikirnya, “Anak ini
ternyata sangat berbakti kepada orang tua.”
779
“Ki-ji,” tiba-tiba Koh-eng buka suara, “boleh kau duduk
di depanku sini, betapa lihainya Tay-lun-beng-ong juga
takkan mengganggu seujung rambutmu!”
Meski nada Koh-eng Taysu itu tetap dingin saja tanpa
perasaan, namun dari kalimat ucapannya itu kentara
sekali rasa angkuhnya.
Cepat Toan Ki mengiakan dan mendekati Koh-eng
Taysu, ia tidak berani memandang muka padri itu, ia
duduk bersila dengan menghadap dinding.
Tubuh Koh-eng jauh lebih tinggi daripada Toan Ki,
maka badan pemuda itu hampir teraling seluruhnya.
Po-ting-te menjadi girang dan terima kasih, tadi ketika
Koh-eng mencukur rambutnya dengan ilmu sakti,
kepandaian itu sudah cukup untuk ditonjolkan dalam
dunia persilatan. Sekarang Toan Ki berada di bawah
perlindungannya, sudah tentu tidak perlu khawatir lagi.
Selang agak lama, terdengar suara Thian-in
Hongtiang lagi berkata di luar, “Atas kunjungan Bengong,
silakan masuk ruang Bo-ni-tong ini!”
Lalu suara seorang menyahut, “Harap Hongtiang suka
menunjukkan jalan!”
Mendengar suara orang yang halus dan ramah tamah
itu, Toan Ki yakin Tay-lun-beng-ong itu pasti bukan
seorang yang kejam dan buas. Dari suara langkah orang
di luar, kedengarannya berjumlah belasan orang
banyaknya.
780
Kemudian terdengar suara pintu didorong oleh Thianin
sambil berkata, “Silakan Beng-ong masuk!”
“Maaf!” sahut Tay-lun-beng-ong sambil melangkah
masuk. Lalu ia memberi hormat kepada Koh-eng Taysu
dan berkata, “Wanpwe Ciumoti dari negeri Turfan,
dengan ini memberi hormat kepada Cianpwe Taysu.”
Diam-diam Toan Ki membatin, “Kiranya nama asli
Tay-lun-beng-ong ini adalah Ciumoti.”
Maka menyahutlah Koh-eng Taysu, “Beng-ong datang
dari jauh, maafkan tidak kuberi sambutan yang pantas.”
Dan sesudah saling mengucapkan kata-kata
merendah pula, kemudian Thian-in menyilakan duduk
Tay-lun-beng-ong alias Ciumoti itu.
Diam-diam Toan Ki ingin tahu macam apakah Taylun-
beng-ong yang disegani itu. Perlahan ia menoleh
sedikit dan melirik dari samping Koh-eng Taysu. Ia lihat
di sebelah sana duduk seorang padri berjubah kuning,
usianya belum ada setengah abad, sederhana
dandanannya, tapi mukanya bercahaya bagai permata
kemilauan.
Baru sekejap saja lantas timbul rasa suka dan kagum
Toan Ki. Waktu memandang pula ke luar pintu, ternyata
di luar sana berdiri 8 atau 9 lelaki berperawakan
berbeda-beda dan wajah berlainan, tapi kebanyakan
bengis menakutkan, tidak seperti orang Tiongkok
umumnya. Terang mereka pengiring Tay-lun-beng-ong
yang dibawanya dari daerah barat.
781
Kemudian dengan merangkap tangan dan memberi
hormat, Ciumoti berkata, “Buddha berkata, tiada hidup
takkan mati, tiada kotor takkan bersih. Bakatku terlalu
bodoh dan belum dapat memahami suka duka dan mati
hidup manusia. Cuma selama hidupku mempunyai
seorang kawan karib, yaitu orang she Buyung dari Kohsoh
di negeri Song. Aku berkenalan dengan dia di negeri
Thian-tiok, di sana kami bertukar pikiran tentang ilmu silat
dan pedang. Buyung-siansing itu ternyata sangat luas
pengetahuannya, tiada sesuatu ilmu silat di dunia ini
yang tak dipahaminya, berkat petunjuknya dalam
beberapa hari, segala pertanyaanku selama hidup yang
tak terjawab telah dipecahkannya dalam sekejap. Tak
terduga orang pandai itu justru berumur pendek, kini
Buyung-siansing telah pulang ke nirwana. Karena itu ada
sesuatu permohonanku yang tidak pantas, sukalah para
Tianglo menaruh belas kasihan padaku.”
Sudah tentu Thian-in paham apa maksud tujuan di
balik ucapan itu. Jawabnya segera, “Beng-ong dapat
bersahabat dengan Buyung-siansing, itu berarti ada
jodoh, dan bila masa jodoh itu sudah habis, guna apa
mesti dipaksakan lagi? Buyung-siansing sudah lama
wafat, mengapa terhadap ilmu silat di dunia fana ini mesti
disayangkan? Tindakan Beng-ong ini apa tidak
berlebihan?”
“Nasihat Hongtiang memang benar juga,” sahut
Ciumoti. “Cuma dasar berwatak rada bandel, meskipun
sudah sekian lama lalu kebaikan persahabatan dahulu
sukar untuk dilupakan. Dahulu ketika Buyung-siansing
bicara tentang Kiam-hoat di dunia ini, ia yakin ‘Lak-mehsin-
kiam’ Thian-liong-si ini adalah nomor satu dari segala
ilmu pedang, ia menyatakan sangat menyesal karena
782
selama hidupnya tidak sempat melihat ilmu pedang sakti
itu.”
“Tempat kami ini terpencil di daerah perbatasan
selatan, namun juga mendapat perhatian Buyungsiansing,
sungguh kami merasa sangat bangga,” sahut
Thian-in. “Tetapi pada waktu hidupnya mengapa Buyungsiansing
tidak datang sendiri untuk meminjam lihat Kiamkeng
(kitab ilmu pedang) kami ini?”
Tiba-tiba Ciumoti menghela napas panjang dan wajah
berubah sedih, sejenak kemudian baru ia berkata,
“Buyung-siansing sendiri tahu bahwa kitab itu adalah
pusaka kalian, meskipun mohon lihat dengan terus
terang juga tak mungkin diizinkan. Ia bilang keluarga
Toan dari Tayli diagungkan sebagai raja, namun tidak
melupakan setia kawan dunia Kangouw, cinta negeri dan
sayang rakyat, maka ia tidak boleh melakukan pencurian
atau main ambil secara paksa.”
“Terima kasih atas pujian Buyung-siansing itu,” ujar
Thian-in. “Dan bila Buyung-siansing benar menghargai
keluarga Toan dari Tayli, Beng-ong adalah sobat
karibnya, seharusnya juga dapat memaklumi jiwanya itu.”
“Ya, namun tempo dulu aku sudah telanjur omong
besar bahwa aku ini Koksu (imam negara) dari Turfan,
bukan sanak dan lain kadang dari keluarga Toan di Tayli,
jika Buyung-siansing merasa sungkan untuk memintanya
sendiri, biarlah aku akan mewakilinya. Sekali seorang
laki-laki sejati sudah buka suara, biarpun mati atau hidup
tak boleh menyesal. Dari itulah janjiku kepada Buyungsiansing
itu tidak boleh kujilat kembali.”
783
Habis berkata, ia terus tepuk tangan tiga kali. Maka
masuklah dua laki-laki sambil menggotong sebuah peti
kayu cendana dan ditaruh di lantai. Waktu lengan baju
Ciumoti mengebas, tanpa disentuh tutup peti itu lantas
terbuka sendiri. Maka tertampaklah sinar kemilauan, di
dalam peti terdapat sebuah kotak emas kecil. Segera
Ciumoti ambil kotak emas itu.
“Kita sama-sama orang beragama, masakah masih
tamak terhadap benda mestika segala?” diam-diam
Thian-in membatin. “Apalagi keluarga Toan diagungkan
sebagai raja di negeri Tayli, dengan harta pusaka
kumpulannya selama ratusan tahun masakah masih
kekurangan?”
Ciumoti lantas membuka tutup kotak emas itu, apa
yang dikeluarkan dari kotak itu ternyata tiga jilid kitab
lama. Ketika ia balik-balik halaman kitab itu, sekilas
Thian-in dan lain-lain dapat melihat isi kitab itu ada
gambar juga ada tulisan, semuanya tulisan tangan
dengan tinta merah.
Tiba-tiba Ciumoti termangu-mangu memandangi
ketiga kitab itu dengan air mata berlinang-linang,
sikapnya sangat menyesal dan berduka luar biasa.
Keruan Thian-in dan lain-lain menjadi heran.
Koh-eng Taysu lantas berkata, “Beng-ong terkenang
kepada sahabat yang sudah meninggal, batin belum
bersih dari keduniawian, apa tidak malu disebut sebagai
padri saleh?”
“Taysu mahapintar dan mahasakti, sudah tentu tak
mampu kusamai,” sahut Tay-lun-beng-ong. “Cuma ketiga
784
jilid kunci ilmu silat ini adalah tulisan tangan Buyungsiansing
yang menguraikan tentang titik pokok ke-72
jenis Kungfu khas Siau-lim-pay, diuraikan pula tentang
cara melatihnya dan cara mematahkannya.”
Semua orang terkejut oleh keterangan itu, pikir
mereka, “Ilmu silat Siau-lim-pay termasyhur di seluruh
dunia, konon sejak Siau-lim-pay didirikan, kecuali pada
permulaan dinasti Song pernah ada seorang padri sakti
yang berhasil melatih ke-36 jenis ilmu itu, selamanya
tiada orang kedua lagi yang melebihinya. Tapi Buyungsiansing
ini dapat memahami kunci ke-72 jenis ilmu silat
Siau-lim-pay yang lihai, bahkan cara bagaimana
mematahkan ilmu silat itu pun dapat dipecahkannya, hal
ini benar-benar sukar untuk dimengerti.”
Maka berkata pula Tay-lun-beng-ong, “Buyungsiansing
telah menghadiahkan ketiga jilid kitab ini
kepadaku, sesudah kubaca, sungguh tidak sedikit
kuperoleh manfaatnya. Kini aku bersedia menukar ketiga
jilid kitab ini dengan Lak-meh-kiam-keng kalian. Bila para
Taysu setuju hingga kudapat memenuhi janji kepada
sahabat lama, sungguh aku terasa terima kasih tak
terhingga.”
Thian-in terdiam, pikirnya dalam hati, “Apa yang
tercatat di dalam kitab-kitab itu bila benar ke-72 jenis ilmu
tunggal Siau-lim-si, maka sesudah kami memperolehnya
bukan saja ilmu silat Thian-liong-si bakal sejajar dengan
nama Siau-lim-si, bahkan mungkin lebih tinggi daripada
mereka. Sebab Thian-liong-si dapat memahami seluruh
Kungfu Siau-lim-si, sebaliknya ilmu silat kami tak
diketahui oleh Siau-lim-si.”
785
Lalu Tay-lun-beng-ong menyambung lagi, “Dan pada
waktu kalian menyerahkan kitab pusaka kepadaku,
silakan menyalin dulu turunannya, dengan begitu,
pertama Taysu berbuat baik kepadaku, untuk budi
kebaikan itu takkan kulupakan sampai tua, sebaliknya
tidak merugikan pihak Taysu, kedua, sesudah kuterima
kitab pusaka kalian, akan kubungkus rapat-rapat, sekalisekali
takkan kuintip isinya dan akan kusampaikan
sendiri kitab pusaka ke hadapan makam Buyungsiansing
dan kubakar di sana, dengan demikian ilmu
sakti kuil kalian ini takkan tersiar di luar. Ketiga, ilmu sakti
ke-72 jenis Siau-lim-pay ini, di antaranya seperti ‘Ciamhoa-
ci’, ‘Bu-siang-jiat-ci’ dan ‘To-lo-yap-ci’ sangat
berguna juga untuk bahan perbandingan dengan It-yangci
kalian.”
Cara berkata Ciumoti itu sangat enak didengar dan
menarik, masuk di akal pula, maka Po-ting-te dan Thiansiang
Taysu sangat tertarik. Cuma di atas mereka masih
ada Hongtiang dan sang Susiok, maka mereka pun tidak
enak untuk mengutarakan pikiran mereka.
Segera Tay-lun-beng-ong melanjutkan lagi, “Mungkin
usiaku masih muda dan pengalaman cetek, apa yang
kukatakan barusan belum tentu dapat dipercaya para
Taysu. Maka tentang ketiga jenis Ci-hoat (ilmu jari) tadi
boleh juga kuberi pertunjukan sekadarnya sekarang.”
Segera ia berbangkit dan berkata pula, “Cuma apa
yang kupahami ini masih sangat cetek dan kasar, bila
ada kesalahan, mohon para Taysu suka memberi
petunjuk. Sekarang aku mulai dengan Ciam-hoa-ci.”
786
Habis itu, ia menggunakan jari jempol dan telunjuk
kanan dengan gaya seakan-akan memetik setangkai
bunga, dengan wajah tersenyum kelima jari tangan kiri
kemudian menjentik perlahan ke kanan.
Di antara semua orang yang berada di dalam ruangan
itu, kecuali Toan Ki, yang lain-lain adalah ahli Ci-hoat
kelas wahid. Maka mereka dapat melihat betapa indah
dan lemah lembutnya gaya gerakan itu.
Setelah menjentik belasan kali, tiba-tiba Tay-lunbeng-
ong mengangkat lengan baju kanan, menyusul ia
meniup ke muka lengan baju sendiri, dalam sekejap saja
bertebaranlah berpotong-potong kain kecil sebesar mata
uang hingga lengan bajunya berwujud belasan lubang
bundar.
Kiranya jentikan ilmu “Ciam-hoa-ci” tadi telah
mengenai lengan baju sendiri dari jauh, tenaganya
lembut, tapi merusak baju, semula tertampak bajunya
tiada kurang suatu apa pun, tapi sekali ditiup angin,
barulah kentara betapa sakti kepandaian padri itu.
Thian-in, Thian-koan dan Po-ting-te saling pandang
sekejap, dalam hati mereka diam-diam terperanjat.
Dengan ilmu It-yang-ci untuk melubangi baju seperti itu
tidaklah sulit bagi mereka, tapi untuk mencapai tingkatan
selihai lawan, mau tak mau mereka harus mengaku
masih kalah setingkat.
“Sekianlah,” kata Ciumoti dengan tersenyum. “Tenaga
jari Ciam-hoa-ci barusan terang jauh di bawah Hian-toh
Taysu dari Siau-lim-si. Dan tentang ‘To-lo-yap-ci’ tentu
saja selisih lebih jauh lagi.”
787
Habis berkata, cepat ia berputar mengitari peti kayu
yang berada di lantai tadi dan menutuk beruntun-runtun
dengan sepuluh jarinya, maka tertampaklah potongan
kayu bertebaran dan dalam sekejap peti itu sudah
berwujud seonggok bubuk kayu.
Sebenarnya Po-ting-te dan lain-lain tidak heran oleh
kepandaian orang meremukkan peti kayu menjadi bubuk
itu, tapi demi tampak engsel dan sebagainya dari logam
yang berada di peti itu pun hancur berkeping-keping oleh
tenaga jarinya, mau tak mau mereka terkejut juga.
Lalu berkatalah Ciumoti, “Caraku menggunakan To-
lo-yap-ci ini masih sangat dangkal, diharap Taysu jangan
menertawakannya.”
Sembari berkata kedua tangannya sembari
dimasukkan lengan baju sendiri. Mendadak tumpukan
bubuk kayu itu menari-nari di udara seakan-akan
didalangi orang dengan sesuatu alat yang tak kelihatan.
Waktu Po-ting-te dan lain-lain memandang Tay-lunbeng-
ong, padri itu kelihatan tetap bersenyum simpul,
jubahnya sedikit pun tidak bergerak, nyata tenaga jarinya
dilontarkan dari dalam lengan bajunya hingga tidak
kelihatan wujudnya.
“Hah, inilah Bu-siang-jiat-ci (tutukan maut tak
kelihatan)! Sungguh hebat, kagum, kagum!” demikian
seru Thian-siang Taysu tak tahan.
“Ah, Taysu terlalu memuji,” ujar Ciumoti. “Padahal
bubuk kayunya tampak bergerak, itu berarti masih
788
kelihatan wujudnya. Untuk bisa mencapai tingkatan
sesuai dengan namanya hingga tanpa kelihatan, rasanya
perlu berlatih selama hidup.”
“Apakah di dalam kitab pusaka tinggalan Buyungsiansing
terdapat cara-cara mematahkan ‘Bu-siang-jiat-ci’
itu?” tanya Thian-siang.
“Ada,” sahut Ciumoti. “Ilmu pemecahannya memakai
nama seperti gelaran Taysu.”
Thian-siang termenung sejenak, katanya kemudian,
“Ehm, namanya Thian-siang-ci-hoat, Thian-siang
mengalahkan Bu-siang, sungguh pintar sekali.”
Setelah menyaksikan pertunjukan ketiga macam
tenaga jari sakti dari Ciumoti itu, Thian-in, Thian-koan,
dan Thian-som menjadi tertarik juga. Mereka tahu ketiga
jilid kitab pusaka itu benar-benar memuat ke-72 jenis ilmu
silat Siau-lim-si yang termasyhur di seluruh dunia,
apakah mesti terima tawaran tukar-menukar dengan
“Lak-meh-sin-kiam”, sungguh hal ini sangat meragukan.
Maka berkatalah Thian-in, “Susiok, jauh-jauh Bengong
berkunjung kemari, suatu tanda betapa teguh
maksud tujuannya ini. Lantas bagaimana kita harus
bertindak, harap Susiok suka memberi petunjuk.”
“Thian-in, apa tujuan kita belajar silat dan berlatih
diri?” tanya Koh-eng Taysu tiba-tiba.
Sama sekali Thian-in tidak menduga bakal ditanya
demikian oleh sang Susiok, ia terkesiap, tapi segera
jawab, “Demi membela agama dan negara.”
789
“Bila kita kedatangan orang jahat dan kita tidak dapat
menginsafkannya dengan jalan Buddha dan terpaksa
mesti turun tangan membasminya, untuk mana harus
menggunakan ilmu apa?” tanya Koh-eng pula.
“Jika sudah terpaksa, harus menggunakan It-yang-ci,”
sahut Thian-in.
“Dan dalam hal It-yang-ci, sampai tingkat ke berapa
telah berhasil kau yakinkan?” tanya Koh-eng.
“Tecu terlalu bodoh, pada waktu latihan kurang giat,
maka sampai sekarang baru mencapai tingkatan kelima,”
jawab Thian-in dengan berkeringat.
“Kalau menurut pendapatmu, It-yang-ci keluarga Toan
di Tayli ini bila dibandingkan Ciam-hoa-ci, To-lo-yap-ci
dan Bu-siang-jiat-ci dari Siau-lim-si itu, manakah yang
lebih bagus dan mana lebih jelek?”
“Ilmu tutukan itu sama-sama bagus dan bergantung
keuletan masing-masing,” sahut Thian-in.
“Benar, dan kalau It-yang-ci kita terlatih sampai
tingkatan tertinggi, lalu bagaimana?”
“Dalamnya sukar dijajaki, Tecu tidak berani
sembarangan omong!”
“Bila misalnya kau dapat hidup seabad lagi, dapat
meyakinkannya sampai tingkat ke berapa?”
790
Keringat dingin di jidat Thian-in mulai berketes-ketes,
jawabnya dengan gemetar, “Tecu tak dapat menjawab.”
“Dapatkah mencapai tingkat teratas?” tanya Koh-eng.
“Pasti tak dapat,” sahut Thian-in.
Maka Koh-eng Taysu tidak bicara lagi.
Akhirnya Thian-in berkata pula, “Petunjuk Susiok
memang tepat. Sedangkan It-yang-ci sendiri saja kita tak
mampu meyakinkannya hingga sempurna, untuk apa
mesti mengambil kepandaian orang lain lagi? Beng-ong
datang dari jauh, biarlah kami sekadar memenuhi
kewajiban sebagai tuan rumah.”
Dengan ucapannya ini, tegasnya ia telah menolak
tawaran Tay-lun-beng-ong tadi.
Ciumoti menghela napas, katanya kemudian, “Ai,
semuanya gara-gara mulutku yang usil, kalau tidak,
tentunya tidaklah sulit seperti sekarang ini. Tapi ada juga
sepatah kataku yang mungkin kurang sopan, bila Lakmeh-
sin-kiam itu benar-benar sebagus seperti apa yang
dikatakan Buyung-siansing, sekalipun kuil kalian memiliki
lukisan pusakanya, namun bukan mustahil belum ada
seorang pun yang berhasil meyakinkannya. Dan kalau
ada yang dapat meyakinkannya berarti ilmu pedang itu
tidak sebagus seperti apa yang dikagumi Buyungsiansing.”
“Sebenarnya ada sesuatu yang kurasakan tidak
mengerti, bolehkah Beng-ong memberi penjelasan?”
tanya Koh-eng.
791
“Coba katakan?” sahut Ciumoti.
“Tentang kuil kami memiliki Lak-meh-sin-kiam-keng
itu, sekalipun anggota keluarga Toan kami juga tiada
yang tahu, tapi dari manakah Buyung-siansing bisa
mengetahuinya?” tanya Koh-eng.
“Hal itu dahulu tidak dijelaskan oleh Buyung-siansing,”
kata Ciumoti. “Tapi menurut dugaanku, tentu ada
hubungannya dengan Yan-king Taycu dari keluarga
Toan.”
Thian-in mengangguk-angguk dan ikut bertanya, “Jadi
Yan-king Taycu kenal Buyung-siansing?”
“Ya, pernah Buyung-siansing memberi petunjuk
beberapa jurus ilmu silat padanya, tapi menolak
menerimanya sebagai murid.”
“Sebab apa menolak?” tanya Koh-eng Taysu.
“Itu urusan pribadi Buyung-siansing, tidak enak
banyak kutanya,” sahut Ciumoti. Di balik kata-katanya ini
seakan-akan juga minta Koh-eng jangan banyak
bertanya.
Tapi Koh-eng justru berkata pula, “Yan-king Taycu itu
adalah keturunan keluarga Toan-si kami, segala tindak
tanduknya di luar, Thian-liong-si dan kepala keluarga
Toan berhak mengurusnya.”
“Benar,” sahut Ciumoti dengan tawar.
792
Segera Thian-in Hongtiang ikut bicara, “Selama
belasan tahun Susiok kami tidak menemui orang luar,
tapi mengingat Beng-ong adalah padri saleh zaman ini,
barulah Susiok mau menemuimu. Sekarang sudah
selesai, silakanlah!”
Sembari berkata ia terus berdiri sebagai tanda
menyilakan tamunya pergi.
Namun Ciumoti menjawab, “Bila Lak-meh-sin-kiam
cuma pujian kosong belaka, mengapa kalian
memandangnya begitu penting hingga mesti
mengorbankan persahabatan Thian-liong-si dengan Taylun-
si dan antara negara Tayli dengan Turfan?”
“Apakah Beng-ong maksudkan, bila kami tidak
meluluskan permintaanmu, Tayli dan Turfan akan
perang?” tanya Thian-in.
Sebagai kepala negara, sudah tentu Po-ting-te paling
tertarik oleh tanya jawab terakhir itu.
Perlahan Ciumoti berkata, “Sudah lama Kokcu kami
kagum pada negeri Tayli yang makmur, sudah lama
beliau ingin mengadakan perburuan ke sini. Tapi kupikir
tindakan itu pasti akan banyak ambil korban jiwa dan
harta, maka selama beberapa tahun aku selalu berusaha
mencegahnya.”
Sudah tentu Thian-in dan lain-lain paham akan katakata
orang yang bersifat mengancam itu. Sebab Ciumoti
adalah Koksu kerajaan Turfan. Seperti juga Tayli, rakyat
Turfan juga memeluk agama Buddha dan Ciumoti itu
sangat dipercaya rajanya, perang atau damai banyak
793
bergantung kepada kekuasaannya. Kini kalau cuma
urusan sejilid kitab hingga kedua negara mesti terlibat
dalam peperangan, hal ini benar-benar tidak perlu. Tapi
bila sedikit digertak lantas menyerah mentah-mentah,
bukankah sangat merosotkan kehormatan Thian-liong-si
dan kerajaan Tayli?
Maka berkatalah Koh-eng Taysu, “Jika Beng-ong
bertekad harus mendapatkan kitab kami ini, mengapa
aku mesti pelit. Beng-ong bersedia menukar dengan ilmu
silat Siau-lim-si, kami pun tidak berani menerimanya.
Meski sudah berpuluh tahun aku menyepi, namun kutahu
juga kepandaian Beng-ong dari Tay-lun-si itu jauh lebih
hebat daripada ke-72 jenis ilmu Siau-lim-pay.”
Ciumoti merangkap kedua tangannya dan berkata,
“Apakah maksud Taysu supaya kupertunjukkan sedikit
kepandaianku yang jelek ini?”
“Beng-ong mengatakan bahwa Lak-meh-sin-kiamkeng
kami cuma pujian kosong belaka dan tidak berguna
dipraktikkan, maka biarlah kami belajar kenal beberapa
jurus dengan Beng-ong,” demikian sahut Koh-eng.
“Apakah benar seperti apa yang dikatakan Beng-ong
bahwa Lak-meh-kiam-hoat kami ini hanya bernama
kosong dan tidak berguna, lalu untuk apa lagi mesti kami
sayangkan? Dengan rela akan kami serahkan kitab yang
diminta Beng-ong.”
Diam-diam Ciumoti terkesiap oleh jawaban itu, ia pikir
dahulu waktu kubicara tentang “Lak-meh-sin-kiam”
dengan Buyung-siansing, keduanya berpendapat Kiamhoat
itu memang sangat bagus, tapi mungkin susah
diyakinkan oleh tenaga manusia. Kini mendengar ucapan
794
Koh-eng, agaknya bukan Koh-eng saja yang dapat
memainkan Kiam-hoat itu, bahkan kelima kawannya
yang lain juga bisa.
Segera ia menjawab, “Jika Taysu sekalian sudi
memberi petunjuk dengan Kiam-hoat yang hebat itu,
sungguh aku merasa sangat beruntung sekali.”
“Senjata apa yang dipakai Beng-ong, silakan
mengeluarkannya,” kata Thian-in segera.
Tiba-tiba Ciumoti bertepuk tangan, maka masuklah
laki-laki tinggi besar yang menunggu di luar, Ciumoti
berkata beberapa patah dalam bahasanya dan laki-laki
itu pun mengangguk-angguk, lalu keluar dan membawa
masuk seikat dupa kepada Ciumoti, kemudian laki-laki itu
undurkan diri pula keluar.
Semua orang terasa heran untuk apakah dupa itu.
Dupa itu adalah benda lemah dan mudah patah,
masakah dapat digunakan sebagai senjata?
Tertampak Ciumoti lolos sebatang dupa, lalu tangan
lain meraup segenggam bubuk kayu terus dikepal hingga
mengeras, dupa itu lantas ditancapkan di tengahnya dan
ditaruh di lantai. Dengan cara yang sama ia jajarkan
enam batang dupa dalam jarak kira-kira belasan senti
satu sama lain. Menyusul ia menggosok-gosok kedua
telapak tangannya terus menampar ke depan, serentak
ujung keenam batang dupa itu lantas menyala tersulut.
Keruan Thian-in dan lain-lain terkejut, betapa tinggi
tenaga dalam padri asing ini sungguh sudah mencapai
tingkatan yang susah diukur. Tapi Thian-in dan Po-ting-te
795
lantas mengendus pula bau belerang terbakar, maka
tahulah mereka. Kiranya pada pucuk dupa itu terdapat
obat bakar, sekali Ciumoti menggosok obat bakar itu
dengan tenaga dalamnya, segera dupa-dupa itu
menyala. Meski perbuatan itu tidak mudah dilakukan,
namun Po-ting-te merasa dirinya masih mampu
melakukannya juga.
Sesudah menyala, asap dupa lantas mengepul
menjadi enam jalur. Ciumoti duduk sambil kedua tangan
terpentang mencakup ke depan, sekali ia kerahkan
tenaga dalamnya, keenam jalur asap itu lantas berkisar
menuju ke arah Koh-eng dan Po-ting-te berenam.
Kiranya ilmu Ciumoti ini disebut “Hwe-yam-to” atau
golok kobaran api. Meski tanpa wujud dan tak dapat
diraba, tapi lihainya tidak kepalang untuk membinasakan
lawan.
Namun maksud tujuan Ciumoti sekarang cuma ingin
mendapat kitab pusaka dan tiada niat membunuh orang,
maka hanya enam batang dupa dinyalakan untuk
menunjukkan ke mana arah tenaga serangannya tertuju,
pertama sebagai tanda ia yakin pasti lebih unggul
daripada lawan-lawannya, kedua sebagai tanda rasa
welas asihnya yang tidak ingin membunuh orang,
melainkan cuma saling ukur kepandaian masing-masing.
Begitulah, ketika enam jalur asap itu sampai di depan
Thian-in dan lain-lain, mendadak asap itu lantas berhenti
dan tidak menyambar maju lagi.
Sungguh kejut Thian-in dan lain-lain bukan buatan.
Menggunakan tenaga dalam untuk mendesak majunya
796
asap tidaklah sulit, tapi memakai tenaga dalam untuk
menghentikannya, terang kepandaian ini berpuluh kali
lebih sukar daripada yang duluan.
Thian-som tidak mau unjuk lemah, sekali jari kecil kiri
terangkat, “cus”, sejalur hawa putih terpancar dari Siauciong-
hiat ke arah asap yang berada di depannya.
Karena tolakan tenaga dalam Thian-som, dengan cepat
tali asap itu lantas menyambar kembali ke arah Ciumoti.
Tapi ketika mendekat, waktu tenaga “Hwe-yam-to” yang
dikerahkan Ciumoti diperkeras lagi, jalur asap itu lantas
berhenti dan tidak mampu maju pula.
“Ehm, memang hebat,” kata Ciumoti sambil
mengangguk. “Ternyata di dalam Lak-meh-sin-kiam
memang ada ‘Siau-ciong-kiam’ seperti ini.”
Setelah kedua orang saling gempur dengan tenaga
dalam, Thian-som merasa bila dirinya tetap duduk, daya
tekan ilmu pedangnya itu akan sukar dilancarkan. Segera
ia berdiri dan melangkah tiga tindak ke kiri, dengan
tenaga dalamnya ia serang lebih kuat dari sana.
Segera Ciumoti angkat tangan kiri dan tenaga
serangan itu tertahan. Thian-koan ikut bertindak juga,
sekali jari tengahnya menegak, “cus”, ia pun menusuk
dengan “Tiong-ciong-kiam”.
“Bagus, inilah Tiong-ciong-kiam-hoat!” seru Ciumoti
sambil menangkis. Meski satu lawan dua, namun sama
sekali tak tampak terdesak.
Toan Ki duduk di depan Koh-eng, ia dapat menoleh
ke kanan dan miring ke kiri untuk mengikuti pertarungan
797
hebat yang jarang terlihat dalam Bu-lim itu. Meski dia
tidak paham ilmu silat, tapi tahu juga bahwa para Hwesio
itu sedang bertanding pedang dengan Lwekang mereka,
lihai dan bahaya pertandingan Lwekang ini jauh lebih
hebat daripada bertanding dengan senjata tajam.
Ia lihat jurus ilmu pedang dan golok yang dikeluarkan
Ciumoti, Thian-som dan Thian-koan itu sangat lambat.
Setelah belasan jurus, tiba-tiba pikirannya tergerak, “He,
bukankah Tiong-ciong-kiam yang dimainkan Thian-koan
Taysu itu tiada ubahnya seperti apa yang kubaca dalam
gambar tadi?”
Perlahan ia buka lukisan Tiong-ciong-kiam-hoat yang
memang terletak di depannya itu. Ia cocokkan antara
gerakan hawa putih yang menyambar kian kemari itu
dengan petunjuk dalam gambar, nyata ilmu pedang itu
memang sama.
Sungguh girang Toan Ki bukan buatan. Segera ia
mengikuti Siau-tik-kiam-hoat yang dimainkan Thian-som
itu. Ilmu pedang ini pun sama dengan gambar, cuma
Tiong-ciong-kiam-hoat itu lingkupnya lebih luas dan daya
tekannya lebih keras, sebaliknya Siau-tik-kiam lebih
lincah, menyusup kian kemari dengan macam-macam
perubahan yang rumit.
Melihat kedua Sutenya sama sekali tidak lebih unggul
mengeroyok Ciumoti, Thian-in menjadi khawatir latihan
mereka belum masak, jangan-jangan permainan pedang
mereka keburu dipahami Tay-lun-beng-ong yang
mahapintar itu. Segera ia berseru, “Thian-siang dan
Thian-tim Sute, marilah kita turun tangan!”
798
Berbareng Thian-in acungkan jari telunjuknya, ia
keluarkan Siang-yang-kiam-hoat. Menyusul Thian-siang
juga memainkan “Siau-ciong-kiam” dengan jari kecil
kanan. Sedang Po-ting-te menyerang dengan “Koanciong-
kiam”, yaitu dengan jari manis. Tiga arus hawa
pedang yang hebat serentak menerjang ketiga jalur asap
musuh.
Sudah tentu yang paling untung adalah Toan Ki,
melihat “Siang-yang-kiam” yang dilontarkan Thian-in itu
lebih kuat daripada Thian-som berdua, cepat ia
membuka gambar ilmu pedang itu, tapi ia menjadi heran
pula ketika melihat gerak ilmu pedang sang paman
sebaliknya sangat lambat dan berat.
Memang di antara jari-jari tangan umumnya, jari
telunjuk paling lincah dan hidup, sebaliknya jari manis
kaku dan lamban. Maka Siang-yang-kiam
mengutamakan kegesitan dan kelincahan, sebaliknya
Koan-ciong-kiam lambat dan berat gerak-geriknya.
Saking asyiknya Toan Ki mengikuti ilmu pedang itu
sambil berpaling ke sini dan menoleh ke sana, tanpa
terasa suatu waktu kepalanya menempel di depan
hidung Koh-eng Taysu. Ia merasa risi ketika kuduk
seakan-akan ditiup-tiup karena napas orang tua itu.
Tanpa sengaja ia mendongak, tapi apa yang dilihatnya
membuatnya melongo kaget.
Ternyata wajah yang dilihatnya itu aneh luar biasa,
separuh muka sebelah kiri merah bercahaya, daging
penuh, kulit gilap, mirip muka anak kecil. Tapi separuh
muka yang sebelah kanan kurus kering tinggal kulit
membungkus tulang. Kecuali kulitnya yang kuning
799
hangus itu, sedikit pun tiada dagingnya hingga tulang
pipinya menonjol mirip tengkorak.
Dalam kagetnya cepat Toan Ki menoleh dan tidak
berani memandang lagi, hati terasa berdebar-debar pula.
Ia tahu muka Koh-eng Taysu itu pasti akibat meyakinkan
“Koh-eng-sin-kang” ilmu Buddha subur dan kering,
makanya wajahnya separuh “Koh” (kering) dan separuh
“Eng” (subur).
Tiba-tiba Koh-eng Taysu membisikinya, “Kesempatan
bagus jangan dibuang, lekas memerhatikan ilmu
pedang!”
Toan Ki tersadar, ia mengangguk dan cepat
mencurahkan perhatiannya untuk mengikuti ilmu pedang
Thian-in, Thian-siang dan Po-ting-te serta dicocokkan
dengan gambar Kiam-boh yang bersangkutan.
Setelah ketiga jenis Kiam-hoat itu selesai
dipelajarinya, sementara itu permainan ilmu pedang
Thian-som dan Thian-koan sudah mengulang kedua
kalinya. Kini tanpa membandingkan dengan gambarnya,
Toan Ki dapat memahami di mana letak kebagusan Lakmeh-
kiam-hoat itu. Ia terasa garis-garis yang terlukis
pada gambar itu adalah barang mati, tapi hawa putih
yang dipancarkan dengan tenaga dalam itu benar-benar
tiada habis-habis perubahannya dan dapat dikerahkan
pergi datang dengan hidup, kalau dibandingkan apa yang
terlukis dalam gambar, terang lebih ruwet tapi lebih
padat.
Setelah mengikuti pula sebentar, terlihat Kiam-hoat
yang dimainkan Thian-in, Thian-siang dan Po-ting-te juga
800
sudah selesai. Tiba-tiba jari kecil Thian-siang menjentik
pula dengan jurus “Hun-hoa-hut-liu” atau membelai
bunga menyingkap daun Liu. Nyata untuk kedua kalinya
ia mainkan ilmu pedangnya pula.
Menyusul Thian-in dan Po-ting-te juga mengadakan
perubahan pada permainan ilmu pedang mereka yang
sudah selesai itu. Tapi mendadak di depan tubuh Ciumoti
bersuara mencicit, daya tekan “Hwe-yam-to” ternyata
bertambah hebat hingga tenaga dalam dari gerakan
pedang kelima lawannya tertolak kembali semua.
Kiranya semula Ciumoti cuma bertahan saja dengan
tujuan mengikuti permainan Lak-meh-sin-kiam kelima
orang lawan itu hingga selesai, habis itu barulah
mengadakan serangan balasan. Dan sekali ia sudah
balas menyerang, kelima jalur asap putih segera menari
dan beterbangan dengan hidup sekali, sedang jalur asap
keenam tetap berhenti kira-kira satu meter di belakang
tubuh Koh-eng Taysu.
Koh-eng Taysu sengaja hendak melihat sampai di
mana kekuatan bertahan musuh. Namun Ciumoti sadar
juga bila terlalu lama menahan jalur asap yang keenam
itu, tenaga dalamnya yang terbuang akan terlalu banyak.
Maka kini ia mulai pusatkan tekanannya ke jalur asap
keenam itu hingga sedikit demi sedikit mulai mendesak
maju ke belakang kepala Koh-eng.
Toan Ki menjadi khawatir, cepat katanya, “Thaysuhu,
awas jalur asap musuh sedang menyerang padamu.”
Koh-eng mengangguk, ia terus membentang lukisan
“Siau-siang-kiam”, yaitu bagian dari Lak-meh-sin-kiam
801
menurut gambar yang harus dimainkannya itu di depan
Toan Ki.
Pemuda itu tahu maksud baik Koh-eng Taysu. Maka
dengan memusatkan perhatian, segera ia membaca isi
gambar itu. Ia lihat ilmu pedang Siau-siang-kiam dalam
lukisan itu hanya sederhana saja garis-garis petunjuknya,
tapi memiliki tenaga mahakuat yang tiada taranya.
Sambil membaca lukisan itu, Toan Ki tidak lupa jalur
asap musuh yang mengancam Koh-eng tadi. Ketika ia
menoleh pula, ia lihat jalur asap itu tinggal beberapa
senti saja di belakang kepala Koh-eng. Ia menjadi kaget
dan berseru, “Awas!”
Mendadak Koh-eng membalik tangan ke belakang,
kedua jari jempol menahan ke depan berbareng, dengan
suara mencicit dua kali, sekaligus ia serang dada kanan
dan pundak kiri Ciumoti.
Kiranya serangan musuh tadi tak ditangkisnya,
sebaliknya Koh-eng melakukan serangan kilat di luar
dugaan musuh. Ia memperhitungkan Hwe-yam-to musuh
agak lambat majunya, untuk bisa mengenai dirinya masih
diperlukan sementara waktu lagi, tapi kalau ia
mendahului menyerang, tentu musuh akan kerepotan.
Ciumoti sendiri dapat menduga kemungkinan itu,
maka sebelumnya ia sudah siap untuk menjaga kalau
mendadak diserang oleh Koh-eng Taysu yang
merupakan lawan paling kuat. Tapi yang ia duga cuma
jurus serangan Siau-yang-kiam yang lihai dan tidak
menyangka Koh-eng sekaligus dapat menyerang dengan
dua pedang pada sasaran dua tempat.
802
Cepat ia kerahkan tenaga yang sudah disiapkan itu
untuk menangkis tenaga tusukan yang mengarah
dadanya, menyusul kakinya mengentak, buru-buru ia
melompat mundur. Tapi betapa pun cepatnya tetap kalah
cepat daripada hawa pedang yang tak kelihatan itu,
“cret”, tahu-tahu jubah bagian pundak terobek dan darah
merembes keluar.
Saat lain Koh-eng Taysu menarik kembali jarinya dan
hawa pedang ikut mengkeret kembali, maka patahlah
keenam batang dupa sekaligus.
Berbareng Thian-in, Po-ting-te dan lain-lain ikut
menarik kembali juga hawa pedang mereka, perasaan
khawatir mereka baru sekarang dapat terasa longgar.
Ciumoti melangkah maju lagi, katanya, “Ilmu sakti
Koh-eng Taysu memang bukan main hebatnya, aku
terasa kagum tak terhingga. Tapi tentang Lak-meh-sinkiam
itu, haha, kiranya cuma omong kosong belaka.”
“Kenapa omong kosong, silakan memberi
penjelasan,” kata Thian-in.
“Dahulu yang dikagumi Buyung-siansing adalah Kiamhoat
(ilmu permainan pedang) dan bukan Kiam-tin
(barisan pedang) dari Lak-meh-sin-kiam,” sahut Ciumoti.
“Walaupun benar Kiam-tin Thian-liong-si barusan ini
sangat kuat dan hebat, tapi kalau diukur juga tidak lebih
daripada Lo-han-kiam-tin dari Siau-lim-si dan Kun-goankiam-
tin dari Kun-lun-pay. Agaknya belum dapat
dikatakan Kiam-tin yang tiada bandingannya di dunia ini.”
803
Dengan menekankan Kiam-tin dan bukan Kiam-hoat,
Ciumoti anggap dirinya sekaligus telah menandingi
keenam lawan, sebaliknya pihak lawan tiada seorang
pun yang mampu menggunakan Lak-meh-sin-kiam
sebagaimana dirinya memainkan Hwe-yam-to itu.
Thian-in terasa apa yang dikatakan orang memang
benar, ia menjadi bungkam tak bisa menjawab. Namun
Thian-som lantas menjengek, katanya, “Biar Kiam-tin
atau Kiam-hoat, namun pertandingan tadi Beng-ong yang
menang atau pihak Thian-liong-si kami yang menang?”
Ciumoti tidak menjawab, ia pejamkan mata dan
berpikir sejenak, selang agak lama, lalu jawabnya,
“Babak pertama kalian memang lebih unggul, tapi babak
kedua ini aku pasti akan menang.”
Thian-in terkejut, tanyanya, “Jadi Beng-ong masih
ingin bertanding lagi?”
“Apa boleh buat,” sahut Ciumoti. “Seorang laki-laki
harus dapat dipercaya. Sekali aku sudah berjanji pada
Buyung-siansing, mana boleh mundur setengah jalan?”
“Lalu, dengan andalan apa Beng-ong yakin pasti akan
menang?” tanya Thian-in.
Ciumoti tersenyum, sahutnya, “Kalian adalah
gembong-gembong persilatan, masakah masih belum
dapat menerkanya? Terimalah seranganku!”
Sembari berkata, kedua tangannya terus mendorong
ke depan dengan perlahan.
804
Koh-eng, Thian-in, Po-ting-te dan lain-lain seketika
merasa terdesak oleh dua arus tenaga dalam yang kuat
dari arah yang berlainan. Thian-in dan lain-lain terasa
daya tekan musuh itu tidak dapat ditahan dengan Lakmeh-
sin-kiam, maka mereka menggunakan kedua
tangan untuk menangkis, hanya Koh-eng Taysu saja
tetap pakai kedua jari jempol untuk menyambut tenaga
musuh dengan ilmu “Siau-yang-kiam” dari Lak-meh-sinkiam
itu.
Namun setelah melontarkan tenaga serangan itu,
segera Ciumoti menarik kembali lagi serangannya dan
berkata, “Maaf!”
Thian-in saling pandang sekejap dengan Po-ting-te,
keduanya sama-sama paham bahwa ilmu Hwe-yam-to
padri asing itu terang lebih unggul daripada Lak-meh-sinkiam
mereka. Sekali bergerak Ciumoti mampu
mengeluarkan berbagai tenaga yang berlainan, maka
sekalipun Siau-yang-kiam yang dilontarkan Koh-eng
Susiok itu mendesak lebih kuat juga tak mampu
mengalahkan dia.
Pada saat itu juga, tiba-tiba tertampak asap mengepul
di depan Koh-eng Taysu, asap itu mengepul menjadi
empat jurusan dan mengepung ke arah Ciumoti.
Terhadap Hwesio yang duduk menghadap dinding itu
Ciumoti memang sangat jeri, kini mendadak tampak ada
asap hitam menyerang ke arahnya, seketika ia menjadi
bingung apa maksud orang, ia pun keluarkan Hwe-yamto-
hoat untuk bertahan dari empat jurusan dan tidak
balas menyerang, di samping berjaga-jaga kalau Thian-in
805
dan lain-lain ikut mengerubut, diam-diam ia perhatikan
serangan apa yang hendak dilakukan Koh-eng Taysu.
Namun yang kelihatan hanya asap hitam makin lama
makin tebal, daya serangan Koh-eng bertambah hebat.
Diam-diam Ciumoti menjadi heran, “Cara menyerangnya
dengan sekuat tenaga ini apakah dapat bertahan lama?
Koh-eng Taysu adalah seorang padri terkemuka di
zaman ini, kenapa menggunakan cara keras seperti ini?”
Ia menduga Koh-eng Taysu pasti tidak mungkin
bertindak sembrono, tentu di balik serangan itu ada pula
muslihat lain, maka dengan waswas ia menantikan
segala kemungkinan.
Selang tak lama, mendadak keempat jalur asap itu
terpencar lagi, satu menjadi dua dan dua menjadi empat,
dalam sekejap saja jalur asap berubah menjadi 16 jalur
dan merubung ke arah Ciumoti.
“Hanya kekuatan panah yang sudah hampir jatuh, apa
artinya?” demikian pikir Ciumoti sambil mengerahkan
Hwe-yam-to-hoat untuk menahan setiap jalur asap
lawan.
Dan begitu tenaga kedua pihak saling bentur, tiba-tiba
jalur-jalur asap itu bertebaran memenuhi ruangan hingga
seperti kabut tebal.
Namun sedikit pun Ciumoti tidak gentar, ia pun
mengerahkan segenap kekuatannya untuk melindungi
seluruh tubuhnya. Lambat laun kabut asap itu mulai
menipis, Thian-in berlima kelihatan berlutut di lantai
806
dengan sikap sungguh-sungguh, bahkan wajah Thiankoan
dan Thian-som tampak mengunjuk rasa sedih.
Ciumoti tertegun sejenak, segera ia menjadi sadar,
“Wah, celaka! Kiranya si tua Koh-eng ini merasa tak
mampu menandingi aku, maka Lak-meh-sin-kiam-boh
lantas dibakar olehnya.”
Ternyata lukisan Lak-meh-sin-kiam-boh itu memang
telah terbakar oleh tenaga dalam It-yang-ci yang
dipancarkan Koh-eng Taysu itu. Ia khawatir Kiam-boh itu
akan direbut Ciumoti, maka untuk mengelabui lawan ia
sengaja menyerangnya dengan kabut asap, ketika kabut
asap lenyap, sementara itu Lak-meh-sin-kiam-boh juga
sudah terbakar habis.
Thian-in dan kawan-kawannya adalah tokoh ahli Ityang-
ci, maka begitu melihat asap hitam tadi, mereka
lantas tahu sebab musababnya. Mereka tahu sang
Susiok lebih suka membakar kitab pusaka sendiri
daripada benda itu jatuh di tangan musuh. Dan dengan
demikian, permusuhan Thian-liong-si dengan Tay-lunbeng-
ong menjadi tak bisa diselesaikan dengan mudah.
Kejut dan gusar Ciumoti tak terkatakan, biasanya ia
sangat mengagulkan kecerdasannya, tapi kini telah dua
kali kecundang di bawah tangannya Koh-eng Taysu. Dan
kalau Lak-meh-sin-kiam-boh sudah terbakar,
perjalanannya ini menjadi sia-sia belaka tanpa hasil,
sebaliknya malah mengikat permusuhan dengan Thianliong-
si.
Segera ia berkata sambil memberi hormat, “Buat apa
Koh-eng Taysu mesti bertindak sekeras ini? Aku merasa
807
tidak enak mengakibatkan musnahnya kitab pusaka
kalian, untung kitab itu tak dapat dilatih oleh tenaga
seorang saja, musnah atau tidak memang juga sama,
sekarang kumohon diri.”
Dan sebelum Koh-eng dan lain-lain memberi jawaban,
sedikit ia putar tubuh, sekonyong-konyong pergelangan
tangan Po-ting-te dipegangnya, lalu katanya pula, “Kokcu
(kepala negara) kami sudah lama mengagumi nama
kebesaran Po-ting-te dan sangat ingin berkenalan, maka
sekarang juga silakan ikut padaku pergi ke Turfan.”
Kejadian ini benar-benar di luar dugaan dan sangat
mengejutkan, sergapan mendadak itu ternyata sama
sekali tak dapat dihindari oleh Po-ting-te yang berilmu
silat tinggi itu, apalagi Kim-na-jiu-hoat atau ilmu cara
menangkap dan memegang Ciumoti itu sangat aneh,
sekali Hiat-to pergelangan tangan terpegang, biarpun
dengan cepat Po-ting-te mengerahkan tenaga dalam
untuk melepaskan diri, namun sama sekali tidak berhasil.
Dalam keadaan begitu, keselamatan Po-ting-te setiap
waktu akan terancam, maka orang lain menjadi serbasulit
untuk menolongnya. Meski Thian-in dan lain-lain merasa
tindakan Ciumoti itu terlalu rendah, sangat merosotkan
pamornya sebagai tokoh ternama, tapi mereka cuma
marah belaka tanpa berdaya.
Maka tertawalah Koh-eng Taysu dengan terbahakbahak,
katanya kemudian, “Sebelum ini dia memang
benar Po-ting-te, tapi kini ia sudah meninggalkan takhta
dan menjadi padri, gelarnya Thian-tim. Nah, Thian-tim,
jika kepala negara Turfan sudah mengundangmu, tiada
alangannya ikut berkunjung ke sana.”
808
Dalam keadaan terpaksa, mau tak mau Po-ting-te
mengiakan. Ia tahu maksud sang Susiok. Kalau dirinya
dalam kedudukannya sebagai raja Tayli ditawan musuh,
tentu Ciumoti akan pandang dirinya sebagai tawanan
penting. Tapi kalau dirinya sudah turun takhta dan kini
sudah menjadi Hwesio, maka apa yang ditawan Ciumoti
sekarang tidak lebih hanya seorang Hwesio biasa dari
Thian-liong-si saja, boleh jadi dirinya akan segera
dibebaskan.
Akan tetapi Ciumoti tidak mudah diakali. Sebelumnya
ia sudah menyelidiki dan tahu di dalam Thian-liong-si itu
kecuali Koh-eng Taysu, di antara padri-padri angkatan
“Thian” cuma ada empat orang, tapi kini tiba-tiba
bertambah lagi seorang Thian-tim, tenaga dalamnya juga
tidak lebih lemah daripada keempat padri yang lain, pula
dari wajahnya yang kereng dan sikapnya yang agung,
begitu melihat segera Ciumoti menduga dia pastilah Poting-
te.
Ketika mendengar Koh-eng Taysu bilang Po-ting-te
sudah turun takhta dan menjadi Hwesio, diam-diam
Ciumoti berpikir pula, “Ya, konon setiap raja Tayli bila
sudah lanjut usia tentu mengundurkan diri untuk
kemudian menjadi padri, maka kini kalau Po-ting-te juga
menyucikan diri ke Thian-liong-si sini, hal ini pun tidak
mengherankan. Tapi umumnya bila seorang raja menjadi
Hwesio tentu diadakan upacara keagamaan secara
besar-besaran, tidak mungkin dilakukan secara diamdiam
tanpa diketahui umum.”
Karena itu, segera katanya, “Baik Po-ting-te sudah
menjadi Hwesio atau belum, pendek kata aku ingin
809
mengundangnya berkunjung ke Turfan untuk menemui
kepala negara kami.”
Sembari berkata terus saja Po-ting-te diseretnya
keluar.
“Nanti dulu!” seru Thian-in mendadak, sekali
melompat, bersama Thian-koan mereka mengadang di
ambang pintu.
“Tiada maksudku membikin susah Po-ting-te, tapi
kalau kalian terlalu mendesak, terpaksa tidak dapat
kujamin keselamatannya lagi,” kata Ciumoti. Berbareng
tangannya bersiap-siap mengancam di punggung Poting-
te.
Thian-in cukup kenal betapa lihainya orang, sekali Poting-
te sudah dicengkeram urat nadinya, pasti tak
berdaya lagi untuk melawan. Maka ia menjadi bungkam,
tapi tetap mengadang di tempatnya.
“Kedatanganku ke sini tidak membawa hasil apa-apa,
sungguh malu terhadap mendiang Buyung-siansing,
beruntung sekarang dapat mengundang Po-ting-hongya,
tidaklah hilang sama sekali arti perjalananku ini, maka
sukalah kalian memberi jalan,” kata Ciumoti pula.
Namun Thian-in dan Thian-koan masih ragu, mereka
pikir Po-ting-te adalah kepala negara Tayli, mana boleh
digondol lari oleh musuh?
Ciumoti menjadi tidak sabar, serunya, “Kabarnya para
padri Thian-liong-si sini sangat bijaksana, kenapa
810
menghadapi urusan kecil ini mesti bingung seperti anak
kecil?”
Dalam pada itu yang paling khawatir adalah Toan Ki
demi melihat sang paman ditawan musuh. Semula ia
menduga sang paman tentu dapat melepaskan diri dari
tangan musuh, siapa tahu makin lama Ciumoti makin
garang. Thian-in dan lain-lain tampak cemas dan gusar,
tapi tak bisa berbuat apa-apa, apalagi setindak demi
setindak Ciumoti mulai melangkah keluar lagi.
Tanpa pikir lagi Toan Ki berteriak, “Hai, lepaskan
pamanku!”
Segera ia melangkah keluar dari aling-aling Koh-eng
Taysu.
Sejak tadi Ciumoti sudah mengetahui juga di depan
Koh-eng ada duduk seorang lagi yang tak diketahui
siapa, pula tidak paham apa maksud Koh-eng menyuruh
seorang duduk di depannya, kini melihat orang itu
bertindak keluar, ia menjadi heran, tanyanya segera,
“Siapakah engkau?”
“Tak perlu kau tanya siapa aku, lepaskan pamanku,”
sahut Toan Ki sambil ulur tangannya hendak menarik
tangan Po-ting-te yang lain.
Segera Po-ting-te menjabat juga tangan Toan Ki yang
diulurkan sambil berkata, “Ki-ji, jangan urus diriku, lekas
pulang dan minta ayahmu segera naik takhta
menggantikan aku. Kini aku sudah menjadi seorang
Hwesio tua yang tiada artinya, buat apa dipikirkan?”
811
Dan karena tangan bergandeng tangan, seketika
tubuh Po-ting-te bergetar, segera ia merasakan daya
sedot “Cu-hap-sin-kang” dari tubuh Toan Ki. Dan pada
saat yang sama Ciumoti juga merasakan tenaga
murninya terus merembes keluar.
Dalam hal Lwekang Ciumoti lebih tinggi daripada Poting-
te, ia menyangka Po-ting-te menggunakan semacam
ilmu gaib untuk mengisap tenaga dalamnya, cepat ia
himpun kekuatan untuk saling berebut hawa murni
dengan Po-ting-te.
Kalau Po-ting-te tertawan oleh Ciumoti adalah karena
sama sekali tidak menduga padri asing itu bakal
bertindak secara pengecut, tapi tenaga dalam dan ilmu
silat Po-ting-te sedikit pun tidak berkurang, maka ketika
mendadak terasa kedua tangan sendiri berbareng timbul
dua arus tenaga mahakuat dan saling betot, segera
timbul akalnya untuk “meminjam tenaga orang untuk
melawan tenaga yang lain”, ia gunakan ilmu itu untuk
mempertemukan kedua arus tenaga yang hebat itu.
Dan begitu kedua tenaga itu saling bentrok, Po-ting-te
yang berada di tengah itu jadi bebas dari tekanan
tenaga-tenaga itu dan terhindarlah dia dari tawanan
Ciumoti. Cepat ia melompat mundur sambil menarik
Toan Ki, dalam hati diam-diam ia bersyukur hari ini
selamat berkat pertolongan keponakannya itu.
Dalam pada itu kejut Ciumoti sungguh tak terkatakan,
pikirnya, “Ternyata dunia persilatan di Tionggoan telah
muncul pula seorang jago kelas wahid, mengapa aku
sama sekali tidak tahu? Usia orang ini paling banyak
812
cuma 20-an, mengapa sudah setinggi ini
kepandaiannya?”
Tadi Ciumoti mendengar Toan Ki memanggil Po-tingte
sebagai paman, ia menjadi lebih ragu lagi, sebab
selamanya belum didengarnya bahwa di antara angkatan
muda keluarga Toan di Tayli terdapat seorang tokoh
kelas satu begini? Sungguh tak tersangka olehnya
bahwa sergapannya yang sudah berhasil menawan Poting-
te itu mendadak digagalkan oleh seorang pemuda
tak terkenal, tentu saja membuatnya sangat penasaran.
Maka dengan mengangguk perlahan ia pun berkata,
“Selama ini aku menyangka Toan-si di Tayli ini khusus
hanya meyakinkan ilmu keturunan leluhur dan tidak
mempelajari ilmu kepandaian dari luar, siapa tahu
angkatan mudanya yang gagah begini ternyata sudi
berkawan dengan iblis dari Sing-siok-hay untuk
mempelajari ‘Hoa-kang-tay-hoat’ yang hebat itu. Aneh,
sungguh aneh!”
Nyata biarpun Ciumoti seorang cerdik pandai juga
telah salah sangka Cu-hap-sin-kang yang dimiliki Toan Ki
itu sebagai Hoa-kang-tay-hoat.
Dengan tertawa dingin Po-ting-te menjawab, “Sudah
lama kudengar Tay-lun-beng-ong adalah seorang saleh
dan mempunyai pengetahuan yang luas, tapi mengapa
bisa menarik kesimpulan yang lucu ini? Sing-siok Lomo
(iblis tua dari Sing-siok-hay) banyak melakukan
kejahatan, mana boleh keturunan keluarga Toan kami
mengadakan hubungan dengan dia?”
813
Selagi Ciumoti tercengang oleh jawaban itu, tiba-tiba
Toan Ki ikut berkata, “Engkau adalah tamu, maka Thianliong-
si menyambutmu dengan hormat, tapi secara licik
engkau membokong pamanku, mengingat kita sesama
murid Buddha, maka kami mengalah sedapat mungkin,
sebaliknya engkau semakin garang, seorang alim
masakah sekasar seperti engkau ini?”
Diam-diam semua orang ikut senang mendengar
Toan Ki mendamprat Ciumoti, berbareng mereka pun
waspada kalau-kalau dari malu Ciumoti menjadi gusar
dan mendadak melontarkan serangan kepada pemuda
itu.
Tak tersangka Ciumoti tetap tenang-tenang saja,
katanya, “Sungguh hari ini aku sangat beruntung dapat
berkenalan dengan seorang tokoh muda. Sudilah
memberi petunjuk barang beberapa jurus agar
menambah pengalamanku.”
Tapi dengan terus terang Toan Ki menjawab, “Aku
tidak mahir ilmu silat, aku tidak pernah belajar apa-apa.”
Ciumoti terbahak-bahak, sudah tentu ia tidak percaya,
katanya, “Pandai, sungguh pandai. Biarlah kumohon diri
saja!”
Dan sedikit tubuh bergerak, di mana lengan bajunya
mengebas, tahu-tahu tangannya menyusup keluar,
sekaligus empat tipu serangan Hwe-yam-to terus
dilontarkan ke arah Toan Ki.
Toan Ki sama sekali tidak paham cara bagaimana
bertempur dengan ilmu silat mahatinggi itu, maka ketika
814
diserang musuh dengan tipu yang lihai, ia sendiri belum
lagi menyadari. Syukur Po-ting-te dan Thian-som segera
menolongnya dari samping, berbareng mereka memapak
serangan Ciumoti itu dengan jari mereka. Cuma begitu
membentur tenaga dalam Ciumoti yang mahakuat itu,
tubuh mereka lantas tergeliat, bahkan Thian-som terus
tumpah darah segar.
Melihat Thian-som tumpah darah, barulah Toan Ki
sadar bahwa barusan Ciumoti telah membokongnya. Ia
menjadi gusar, ia tuding padri itu sambil memaki, “Kau
Hwesio asing yang tidak kenal aturan ya!”
Dan karena dia menuding sekuatnya, pikirannya
bekerja, hawa murni pun mengalir, dengan sendirinya
lantas keluar satu jurus Kiam-hoat dari “Siau-yang-kiam.”
Lwekang Toan Ki sekarang sudah tiada
bandingannya di dunia ini, sejak ia duduk di depan Koheng
Taysu dan membaca gambar Lak-meh-sin-kiam-boh
serta cara bergeraknya, ketika tanpa sengaja jarinya
menuding, tanpa disadarinya gerakan itu tepat seperti
apa yang dilihatnya dalam gambar, maka terdengarlah
suara “cus”, serangkum tenaga dalam yang mahakuat
dengan gaya “Kim-ciam-to-jiat” atau jarum emas
menghindarkan maut, langsung menutuk ke arah
Ciumoti.
Sama sekali Ciumoti tidak menyangka tenaga dalam
pemuda itu bisa sedemikian kuatnya, bahkan jurus
tutukan “Kim-ciam-to-jiat” itu tampak sangat cekatan dan
merupakan serangan Kiam-hoat yang paling tinggi.
Dalam kagetnya cepat ia keluarkan Hwe-yam-to-hoat, ia
menangkis dengan tapak tangan.
815
Serangan Toan Ki itu ternyata tidak melulu
mengejutkan Ciumoti saja, bahkan Koh-eng, Thian-in dan
lain-lain juga merasa heran, di antaranya yang paling
heran sudah tentu adalah Po-ting-te dan Toan Ki sendiri.
Pikir Toan Ki, “Sungguh aneh sekali? Aku cuma
menuding sekenanya, mengapa Hwesio ini menangkis
dengan sungguh-sungguh? Eh, barangkali tudinganku
tadi gayanya mirip dengan sesuatu tipu serangan dan
Hwesio ini menyangka aku mahir Lak-meh-sin-kiam.
Hahaha, jika demikian, biarlah aku menggertaknya lagi.”
Segera Toan Ki berseru, “Siau-yang-kiam barusan
masih belum apa-apa! Lihatlah sekarang kumainkan
Kiam-hoat dari Tiong-ciong-kiam!”
Berbareng jari tengahnya menuding. Gayanya
memang tepat, tapi sekali ini ternyata tidak membawa
tenaga dalam yang kuat.
Ketika melihat pemuda itu menutuk lagi, cepat
Ciumoti siapkan tenaganya untuk menyambut, tak
terduga serangan Toan Ki ternyata tak membawa
kekuatan apa-apa. Semula ia terkejut sebab mengira
serangan pemuda itu mungkin hanya pancingan belaka,
tetapi sesudah tutukan kedua kalinya tetap kosong tak
terisi, barulah Ciumoti bergirang, “Memangnya aku tidak
percaya di dunia ini ada orang mahir memainkan Siauyang-
kiam dan Tiong-ciong-kiam sekaligus, dan nyatanya
bocah ini memang cuma main gertak saja hingga aku
ditipu.”
Dasar watak Ciumoti memang tinggi hati, dan orang
yang tinggi hati tentu dengki. Kedatangannya ke Thian-
816
liong-si tidak berhasil apa-apa, bahkan telah kecundang
beberapa kali, ia pikir kalau tidak balas unjuk gigi sedikit,
tentu nama baik Tay-lun-beng-ong akan tercemar.
Segera telapak tangan kirinya memotong ke kanan
dan ke kiri beberapa kali, lebih dulu ia tutup jalur bantuan
Po-ting-te dan lain-lain dengan tenaga dalamnya,
menyusul tangan kanan terus memotong ke pundak
kanan Toan Ki. Tipu serangan “Pek-hong-koan-jit” atau
pelangi putih menembus sinar matahari, adalah salah
satu jurus paling bagus Hwe-yam-to-hoat, ia yakin bahu
Toan Ki pasti akan terbelah olehnya.
Melihat itu, Po-ting-te, Thian-in dan Thian-som
berseru khawatir, “Awas!”
Berbareng jari mereka terus menutuk serentak ke
arah Ciumoti.
Serangan serentak mereka itu adalah serangan yang
memaksa musuh harus menolong diri sendiri lebih dulu.
Tak tersangka lebih dulu Ciumoti sudah membungkus
bagian bahaya tubuhnya dengan tenaga dalam yang
kuat, sedang serangannya kepada Toan Ki tetap
dilontarkan tanpa menghiraukan ancaman Po-ting-te
bertiga.
Ketika mendengar seruan kaget Po-ting-te bertiga
tadi, Toan Ki tahu gelagat tentu tidak menguntungkan,
tanpa pikir tangan kanan dan kiri terus menutuk ke depan
sekuatnya, dalam khawatirnya itu, hawa murni dalam
tubuh dengan sendirinya bergolak, maka sekaligus Siauciong-
kiam di tangan kiri dan Siau-tik-kiam di tangan
kanan dilontarkan untuk menangkis Hwe-yam-to-hoat
817
musuh, begitu kuat tenaganya hingga mampu balas
menghantam Ciumoti dengan daya tekan yang hebat.
Keruan Ciumoti kelabakan, tanpa pikir ia bertahan
sekuatnya.
Setelah beberapa kali menutuk, lamat-lamat Toan Ki
bisa merasakan bahwa terlebih dulu harus timbul sesuatu
hasrat, habis itu barulah mengerahkan tenaga dan
menutuk, dengan demikian tenaga dalam dan hawa
murninya baru dapat bekerja serentak. Namun mengapa
bisa begitu, dengan sendirinya ia bingung.
Begitulah dalam sekejap saja Toan Ki menutuk
berulang-ulang menurut perasaannya yang timbul dari
apa yang dilihatnya pada gambar Lak-meh-sin-kiam itu.
Jari bekerja dengan cepat dan indah hingga makin lama
Ciumoti makin heran dan terkesiap. Sekuatnya ia
kerahkan tenaga dalam untuk melawan Lak-meh-sinkiam
yang lihai itu, seketika hawa pedang sambarmenyambar
dengan tajamnya.
Selang sebentar, Ciumoti merasakan tenaga dalam
lawan makin lama makin kuat, perubahan Kiam-hoatnya
juga tiada habis-habisnya dan sukar diraba. Makin lama
Ciumoti tambah heran dan menyesal telah gegabah
merecoki Thian-liong-si, tahu-tahu kini muncul seorang
tokoh muda selihai ini. Sekonyong-konyong ia
menyerang tiga kali, lalu berseru, “Berhenti dulu!”
Namun meski Toan Ki mahir Lak-meh-sin-kiam, ia tak
dapat menguasai hawa murni dalam tubuhnya, maka
ketika lawan berseru minta berhenti, seketika ia menjadi
bingung cara menarik kembali tenaga dalamnya,
818
terpaksa jarinya diangkat ke atas hingga menuding ke
atap rumah. Berbareng ia berpikir, “Biarlah aku tidak
keluarkan tenaga lagi, coba apa yang hendak ia
katakan.”
Hanya sekilas saja Ciumoti yang mahapintar itu sudah
dapat melihat sikap bingung Toan Ki itu, caranya menarik
kembali hawa murninya tampak kerepotan, kentara
bingung dan masih hijau. Sedikit tergerak pikirannya,
segera Ciumoti melompat maju terus menjotos ke muka
Toan Ki.
Bahwa Toan Ki berhasil memperoleh pelajaran Lakmeh-
sin-kiam yang hebat itu adalah disebabkan secara
kebetulan saja dan ada jodoh, tapi mengenai ilmu silat
yang paling umum sekalipun sebenarnya ia tidak paham.
Maka ketika jotosan Ciumoti itu tiba, biarpun serangan ini
sangat sederhana dan mudah dihindari, namun bagi
Toan Ki malah sukar ditangkis.
Segala kepandaian di dunia ini lazimnya dipelajari
mulai dari yang cetek, kemudian menuju yang dalam,
tidak mungkin hanya memahami yang dalam, tapi malah
tidak bisa yang cetek, hanya ilmu silat Toan Ki itulah
merupakan suatu kecuali besar.
Ketika melihat dirinya dijotos, walaupun serangan itu
sangat sederhana, tapi ia justru kelabakan cara
menangkisnya. Keruan kesempatan itu tidak diabaikan
Ciumoti, mendadak ia hentikan jotosannya di tengah
jalan dan menyampuk tangan Toan Ki ke samping,
menyusul dada pemuda itu lantas dijambretnya bagian
“Sin-hong-hiat.” Tanpa ampun lagi antero tubuh Toan Ki
terasa lemas linu tak bisa berkutik.
819
Walaupun Ciumoti dapat melihat di antara ilmu silat
Toan Ki itu terdapat banyak titik kelemahannya, tapi tak
terduga olehnya bahwa secara begitu gampang pemuda
itu dapat ditangkapnya. Ia khawatir Toan Ki sengaja
tertawan dan masih ada tipu muslihat lain, maka begitu
mencengkeram Sin-hong-hiat dada pemuda itu,
menyusul ia menutuk pula “Tan-tiong”, “Tay-tui” dan
beberapa Hiat-to penting lainnya.
Tapi pada saat yang sama, Ciumoti juga terasa
tenaga murni dalam tubuh sendiri terus merembes keluar
melalui telapak tangan kanan yang mencengkeram dada
Toan Ki itu.
Cepat ia pegang pergelangan tangan kanan dengan
tangan kiri sambil menyurut mundur beberapa tindak, lalu
katanya, “Siausicu (tuan kecil) ini sudah hafal benar ilmu
Lak-meh-sin-kiam, sedangkan Kiam-boh itu sudah
dibakar oleh Koh-eng Taysu ....”
Sambil bicara, ia megap-megap juga, sebab sekali
mulutnya mengap, tak tertahan lagi hawa murninya
lantas merembes keluar, terpaksa ia bicara dengan cepat
dan terputus-putus, “Namun Siausicu ini sama ... sama
saja seperti Kiam-boh hidup, biarlah kubawa ke ... ke
kuburan Buyung-siansing untuk dibakar hidup-hidup di
sana, bukankah sa ... sama juga ....”
Dan karena khawatir kelemahannya diketahui Koheng
dan kawan-kawannya, cepat Ciumoti keluarkan
serangan Hwe-yam-to-hoat lagi beberapa kali, sekali
melompat keluarlah dia dari ruang Bo-ni-tong itu. Ketika
Po-ting-te, Thian-in dan lain-lain hendak mengejar,
820
namun mereka dipaksa mundur kembali oleh serangan
Ciumoti yang hebat itu.
Begitu sampai di luar, segera Ciumoti lemparkan
Toan Ki kepada kesembilan laki-laki yang berjaga di luar
sambil membentak, “Lekas berangkat!”
Segera dua laki-laki di antaranya berlari maju
menyambut tubuh Toan Ki dan digondol lari melalui jalan
yang tidak semestinya seperti mereka datang tadi.
Ciumoti sendiri lantas merasa tenaga murninya tidak
merembes keluar lagi begitu terpisah dengan tubuh Toan
Ki, ia tetap melontarkan serangan Hwe-yam-to-hoat yang
hebat ke pintu keluar Bo-ni-tong, seketika Po-ting-te dan
lain-lain menjadi tertahan di dalam dan sukar membobol
jaringan golok musuh yang tak berwujud itu.
Setelah mendengar derap kuda begundalnya sudah
pergi agak jauh dengan menggondol Toan Ki, maka
tertawalah Ciumoti, katanya, “Haha, Kiam-boh kertas
terbakar, kini dapat Kiam-boh yang hidup malah. Buyungsiansing
tentu takkan merasa kesepian lagi di alam baka,
beliau segera akan mendapat teman.”
Dan sekali tangannya memotong, terdengarlah suara
gemuruh, dua pilar Bo-ni-tong dipatahkan olehnya,
menyusul tertampaklah bayangan orang berkelebat,
secepat angin ia menghilang dari pandangan mata.
Ketika Po-ting-te dan Thian-som memburu keluar,
namun Ciumoti sudah pergi jauh.
821
“Hayo, lekas kita kejar!” seru Po-ting-te. Segera ia
mendahului berlari ke depan. Cepat Thian-som ikut di
belakangnya untuk mengejar musuh.
Dalam keadaan tak dapat berkutik karena Hiat-to
tertutuk, Toan Ki merasa dirinya ditaruh di atas kuda
dengan tengkurap hingga kepala terjulur ke bawah.
Karena itu ia dapat melihat sibuknya kaki kuda bekerja,
debu bertebaran memenuhi mukanya.
Ia dengar beberapa laki-laki itu sedang membentakbentak
dalam bahasa asing, entah apa yang
dipercakapkan. Ia coba menghitung kaki kuda,
seluruhnya ada 40, itu berarti ada 10 penunggang kuda.
Setelah belasan li jauhnya, sampailah mereka di
suatu simpang jalan. Terdengar Ciumoti berkata
beberapa patah, lalu lima penunggang kuda mengambil
jalan ke kiri, sedangkan Ciumoti sendiri bersama laki-laki
yang menggondol Toan Ki serta tiga orang lain lagi
membelok ke kanan.
Beberapa li pula, kembali ada simpang jalan lagi,
segera Ciumoti membagi diri mereka menjadi dua
rombongan pula.
Toan Ki tahu Ciumoti sengaja hendak memencarkan
perhatian pengejarnya agar bingung ke mana harus
mengejar mereka.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba Ciumoti melompat
turun dari kudanya, ia ambil seutas sabuk kulit untuk
mengikat pinggang Toan Ki, lalu tubuh pemuda itu
dijinjingnya terus dibawa menuju ke lereng bukit.
822
Sedangkan kedua begundalnya melarikan kuda mereka
ke jurusan lain.
Diam-diam Toan Ki mengeluh, “Wah, celaka! Jika
demikian, sekalipun Pekhu mengerahkan pasukan besar
untuk mengejar, paling banyak cuma kesembilan lelaki
itu yang dapat ditangkap kembali, tapi sukar menemukan
aku.”
Bab 17
Meski tangannya menjinjing seorang, namun tindakan
Ciumoti tidak menjadi lambat. Makin lama makin jauh
dan makin cepat jalannya. Dalam waktu beberapa jam
lamanya ia selalu berkeliaran di antara lereng gunung
yang sunyi.
Toan Ki melihat sang surya sudah mendoyong ke
ufuk barat dan menyorot dari sebelah kiri, maka tahulah
dia bahwa Ciumoti membawanya menuju ke utara.
Petangnya, Ciumoti angkat tubuh Toan Ki untuk
diletakkan di atas dahan pohon, ia ikat sabuk kulit itu
pada ranting pohon, sama sekali ia tidak ajak bicara
pemuda itu, bahkan memandang pun tidak, hanya sambil
berdiri mungkur ia sodorkan beberapa potong roti kering
padanya, ia pun membuka Hiat-to lengan kiri Toan Ki
agar pemuda itu dapat bergerak untuk makan.
Dengan tangan kiri yang sudah dapat bergerak itu,
Toan Ki pikir hendak menyerangnya dengan Siau-tikkiam,
siapa duga sekali Hiat-to besar tertutuk, hawa
murni seluruhnya ikut macet, maka jari tangannya cuma
dapat bergerak saja dan tak bertenaga sedikit pun.
823
Begitulah, selama beberapa hari Ciumoti terus
menjinjingnya ke utara. Beberapa kali Toan Ki
memancing pembicaraan orang dan tanya mengapa
dirinya ditawan serta untuk apa menuju ke utara? Namun
tetap Ciumoti tidak menjawab.
Setelah belasan hari, mereka berada di luar wilayah
Tayli, Toan Ki merasa arah yang ditempuh Ciumoti
berganti menuju ke timur-laut, tapi tetap tidak mengambil
jalan raya, sebaliknya selalu menjelajahi lereng gunung
dan hutan belukar, cuma tanahnya kian lama kian datar,
sungai pun semakin banyak, setiap hari hampir beberapa
kali menyeberang sungai.
Cara perjalanan Ciumoti dengan menjinjing Toan Ki
seakan-akan orang mencangking hewan saja, sudah
tentu sangat mengherankan orang yang berlalu-lalang di
sampingnya. Sampai akhirnya Toan Ki sendiri merasa
bosan juga setiap kali berjumpa dengan orang di tengah
jalan.
Sungguh dongkol Toan Ki tak terkatakan. Dahulu
ketika ia ditawan oleh adik perempuannya, yaitu Bok
Wan-jing, walaupun setiap hari ia dihajar dan disiksa,
banyak penderitaan yang dirasakannya, tapi rasanya
tidak kesal seperti ditawan Ciumoti sekarang.
Setelah belasan hari lagi, Toan Ki mendengar logat
bicara orang yang berlalu-lalang mulai ramah tamah dan
enak didengar, diam-diam ia membatin, “Ah, tentu tempat
ini adalah daerah Kanglam (selatan sungai Yangce). Ia
membawa diriku ke kuburan Buyung-siansing, rasanya
tidak lama lagi sudah akan tiba di tempat tujuannya. Ilmu
silat padri asing ini sedemikian lihai, sampai Pekhu
824
berenam juga tak mampu merobohkan dia. Sekarang aku
berada dalam cengkeramannya, terpaksa aku menyerah
pada nasib, masakah ada harapan buat lolos?”
Berpikir begitu, hatinya menjadi lapang malah, tanpa
pikir lagi ia mendongak untuk memandang keadaan
sekitarnya. Tatkala itu adalah pergantian antara musim
semi dan musim panas, hawa sejuk pemandangan indah,
angin meniup silir-semilir memabukkan orang.
Sudah lebih sebulan Toan Ki menjadi “barang
cangkingan” Ciumoti, hal itu sudah terbiasa baginya. Kini
melihat pemandangan alam yang indah permai itu,
hatinya menjadi gembira, tanpa merasa ia pun bernyanyinyanyi
kecil sambil menikmati pemandangan danau yang
indah di pinggir jalan.
“Huh, ajal sudah dekat, masih begini iseng?” jengek
Ciumoti.
“Manusia mana di dunia ini yang takkan mati?” sahut
Toan Ki dengan tertawa. “Paling banyak engkau cuma
hidup lebih lama buat beberapa tahun, apa bedanya
kelak?”
Ciumoti tidak gubris padanya lagi. Ia coba tanya
orang di mana letaknya “Som-hap-ceng.” Tapi meski
sudah beberapa orang ditanya, tetap tiada seorang pun
yang tahu di mana kampung itu.
“Tidak pernah kudengar dusun yang bernama Somhap-
ceng, barangkali engkau salah dengar, Hwesio,”
demikian sahut seorang tua.
825
“Jika begitu, apakah tahu seorang hartawan she
Buyung, di mana rumahnya?” tanya Ciumoti.
“Di kota Sohciu sini banyak orang she Tan, she Li dan
she lain, semua hartawan besar, tapi tidak pernah
terdengar ada hartawan she Buyung,” sahut orang tua
itu.
Sedang Ciumoti bingung, tiba-tiba didengarnya suara
seorang sedang berkata di jalan kecil di tepi danau sana,
“Kabarnya orang she Buyung itu tinggal di Yan-cu-oh
kira-kira tiga puluh li di barat kota, mari kita menuju ke
sana!”
“Ya, sudah sampai di tempatnya, kita harus berhatihati!”
demikian sahut seorang lain.
Suara percakapan kedua orang itu sangat perlahan,
maka Toan Ki tidak mendengar, sebaliknya Lwekang
Ciumoti sangat tinggi, ia dapat mendengar dengan jelas.
Diam-diam ia heran apakah orang sengaja bicara
padanya?
Ketika Ciumoti berpaling, ia lihat seorang
berperawakan gagah berpakaian berkabung, seorang
lagi kurus kecil mirip pencoleng. Tapi sekilas pandang
saja dapatlah diketahui Ciumoti bahwa kedua orang itu
memiliki ilmu silat tinggi. Belum lagi ia ambil keputusan
apa mesti tanya kedua orang itu atau tidak, mendadak
Toan Ki berseru, “Hai, Ho-siansing, Ho-siansing!”
Kiranya laki-laki kurus kecil bermuka jelek itu tak-lain
tak-bukan adalah Kim-sui-poa Cui Pek-khe, si Mesin
826
Hitung Emas. Dan laki-laki yang lain adalah murid
keponakannya, Tui-hun-jiu Ko Gan-ci.
Sesudah kedua tokoh itu meninggalkan Tayli, dengan
semangat yang berkobar-kobar mereka hendak
membalaskan dendam Kwa Pek-hwe. Walaupun mereka
juga tahu sukar untuk melawan orang she Buyung, tapi
sakit hati itu harus dibalas betapa pun akibatnya, maka
akhirnya mereka tiba juga di Koh-soh.
Sebelumnya mereka telah menyelidiki dan mendapat
tahu tempat tinggal keluarga Buyung, yaitu Yan-cu-oh,
dan secara kebetulan tiba pada waktu yang sama
dengan Ciumoti dan Toan Ki.
Ketika mendadak mendengar seruan Toan Ki tadi, Cui
Pek-khe tercengang sejenak, tapi segera ia melompat ke
depan Ciumoti dan berkata dengan heran, “He,
Siauongcu (putra pangeran kecil), kiranya engkau? Eh,
Toahwesio, lekas melepaskan Kongcuya ini, apa kau
tahu siapa dia?”
Sudah tentu Ciumoti tidak pandang sebelah mata
kepada kedua orang itu, tapi karena dia lagi bingung
mengenai tempat tinggal Buyung-siansing, kini kebetulan
orang ini mengetahui tempatnya, maka ia pun tidak
marah terhadap ucapan Cui Pek-khe. Ia taruh Toan Ki ke
tanah membiarkan pemuda itu berdiri sendiri, lalu
melepaskan Hiat-to kakinya, kemudian berkata, “Aku
hendak pergi ke rumah keluarga Buyung, harap kalian
berdua suka menunjukkan jalannya.”
Pengetahuan dan pengalaman Cui Pek-khe sangat
luas, tapi meski dipikir toh tak teringat olehnya siapa
827
gerangan Hwesio ini. Maka tanyanya, “Numpang tanya,
siapakah gelaran suci Taysu? Mengapa membikin susah
Siauongcu ini dan untuk keperluan apa hendak pergi ke
rumah keluarga Buyung?”
“Banyak omong tiada gunanya, nanti tentu akan tahu
sendiri,” sahut Ciumoti.
“Apakah Taysu sobat baik Buyung-siansing?” tanya
Cui Pek-khe pula.
“Benar, makanya kalau Ho-siansing mengetahui di
mana letak Som-hap-ceng tempat tinggal Buyungsiansing
itu, harap memberitahukan jalannya,” sahut
Ciumoti.
Tadi ia dengar Toan Ki menyerukan “Ho-siansing”
kepada Cui Pek-khe, maka ia menyangka tokoh Ko-sanpay
itu benar-benar she Ho.
Geli-geli dongkol Cui Pek-khe, sambil menggaruk
kepala ia coba tanya Toan Ki, “Bagaimana baiknya,
Siauongcu?”
Toan Ki menjadi sulit juga oleh pertanyaan itu. Ia pikir
ilmu silat Ciumoti itu teramat tinggi, di dunia ini mungkin
tiada seorang pun yang mampu melawannya, apalagi
cuma kedua tokoh Ko-san-pay ini, terang bukan
tandingannya, kalau berani berusaha buat menolongnya,
paling-paling cuma mengantarkan nyawa saja, lebih baik
memperingatkan mereka saja agar lekas melarikan diri.
Maka cepat katanya, “Taysu ini seorang diri telah
mengalahkan pamanku dan kelima tokoh tertinggi dari
Tayli, akhirnya aku pun tertawan olehnya. Katanya dia
828
sobat kental Buyung-siansing, maka aku hendak
dibakarnya hidup-hidup di depan kuburan Buyungsiansing
untuk memenuhi sesuatu janjinya. Kalian berdua
selamanya tiada sangkut paut apa-apa dengan keluarga
Buyung, maka silakan menunjukkan jalannya saja, lalu
bolehlah kalian pergi.”
Mendengar Hwesio itu telah mengalahkan Po-ting-te
dan jago-jago lain di Tayli, Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci
menjadi kaget. Lebih-lebih ketika mendengar pula bahwa
padri ini sobat baik orang she Buyung.
Namun meskipun lahiriah Cui Pek-khe itu jelek, tapi ia
kesatria. Ia pikir sudah belasan tahun dirinya
bersembunyi di Tin-lam-onghu, untuk itu belum pernah ia
membalas sesuatu kebaikan apa-apa. Kini Siauongcu
berada dalam kesulitan, mana boleh dirinya tinggal
diam? Betapa pun sekarang sudah berada di Koh-soh,
keselamatan jiwa sendiri sudah tak terpikir, biarpun akan
mati di tangan musuh atau orang lain kan sama saja.
Berpikir begitu, sekali tangan bergerak, segera ia
menarik keluar sebuah Swipoa bersinar emas kemilau, ia
angkat tinggi-tinggi senjatanya itu dan dikocak hingga
mengeluarkan suara gemerencing yang ramai. Katanya,
“Toahwesio, kau bilang Buyung-siansing adalah sobat
baikmu, sebaliknya Siauongcu ini adalah kawan karibku.
Maka lebih baik kau lepaskan dia saja!”
Melihat sang Susiok sudah siap, Ko Gan-ci cepat
melolos juga ruyung lemas yang melilit di pinggangnya.
“Hehe, apakah kalian mengajak berkelahi?” jengek
Ciumoti.
829
“Sekalipun tahu takkan mampu menandingimu,
namun apa boleh buat, betapa pun aku ingin mencoba,
mati atau hidup ... auuuh!” mendadak Cui Pek-khe
mengaduh sebelum selesai ucapannya.
Kiranya mendadak Ciumoti telah sambar ruyung yang
dipegang Ko Gan-ci itu, sekali sabet, tahu-tahu Swipoa
emas Cui Pek-khe itu kena terlilit, ketika ruyung bergerak
pula, kedua macam senjata itu mencelat berbareng ke
tengah danau sebelah kanan.
Tampaknya kedua senjata itu sekejap lagi akan
kecemplung ke dalam danau, tak tersangka tenaga yang
dikeluarkan Ciumoti itu ternyata sangat aneh dan tepat,
ujung ruyung itu mendadak menjungkat ke atas dan tepat
melilit pada suatu ranting pohon Liu di tepi danau itu.
Ranting pohon Liu itu sangat lemas, digantungi lagi
dengan sebuah Swipoa emas, maka tiada hentinya
ranting berguncang naik turun, air danau pun beriak
karena Swipoa emas itu menyentuh air.
Ko Gan-ci itu berjuluk “Tui-hun-jiu” atau si Penguber
Nyawa, suatu tanda betapa cepat gerak-geriknya,
apalagi ruyung itu adalah senjata andalan perguruan
yang terkenal, siapa sangka hanya sekali gebrak saja
sudah dirampas musuh, bahkan cara bagaimana Ciumoti
mendekat dan merebut senjata, cara bagaimana melilit
Swipoa emas lalu melompat kembali ke tempat semula,
Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci sama sekali tidak jelas
melihatnya.
830
Sambil merangkap kedua tangan kemudian Ciumoti
berkata dengan suara lemah lembut, “Harap kedua tuan
ini sudi menunjukkan jalannya.”
Cui Pek-khe saling pandang dengan Ko Gan-ci dan
bingung apa yang harus mereka lakukan. Maka Ciumoti
berkata pula, “Jika kalian tidak suka mengajak kami ke
sana, silakan menunjukkan arahnya saja, biar aku
mencarinya sendiri ke sana.”
Melihat ilmu silat si Hwesio begitu tinggi, tapi sikapnya
ramah tamah, Cui Pek-khe berdua menjadi ragu dan
serbasalah, hendak main kasar toh orang bersikap
sopan, hendak mengajaknya bicara secara baik-baik,
terang putra pangeran Tayli ditawan olehnya.
Untunglah pada saat itu terdengar suara debur air,
dari ujung danau sana tampak tiba sebuah sampan
didayung oleh seorang gadis kecil berbaju hijau, sambil
mendayung sembari bernyanyi dengan gembiranya,
lagunya indah, suaranya merdu, hingga makin
menambah permainya suasana danau.
Sudah lama Toan Ki mengagumi keindahan alam
Kanglam dari syair gubahan pujangga yang pernah
dibacanya. Kini dihadapi pemandangan permai dengan
nyanyian merdu, semangatnya seakan-akan terbang ke
awang-awang dan lupa daratan bahwa dirinya waktu itu
sedang terancam bahaya, serentak ia memandang ke
arah si gadis. Ia lihat kedua tangan si gadis putih bersih
bagai batu kemala yang bening tembus.
Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci ikut tertarik juga dan
memandang si gadis. Hanya Ciumoti saja tetap membuta
831
dan membudek, katanya, “Jika kalian tidak sudi memberi
tahu letak Som-hap-ceng, biarlah kumohon diri saja.”
Saat itu sampan si gadis sudah dekat menepi. Maka
ucapan Ciumoti itu dapat didengarnya, tiba-tiba ia
menyela, “Taysu ini hendak pergi ke Som-hap-ceng,
entah ada keperluan apa?”
Suara gadis itu ternyata sangat nyaring dan manis
hingga bagi yang dengar akan timbul rasa nikmat tak
terkatakan. Usia gadis ini ternyata baru belasan tahun,
wajah lemah lembut, dandanan serasi. Diam-diam Toan
Ki memuji, “Wanita daerah Kanglam sungguh tak
tersangka secantik ini.”
Maka menjawablah Ciumoti, “Siauceng (padri kecil)
hendak pergi ke Som-hap-ceng, apakah nona sudi
menunjukkan jalannya?”
“Nama Som-hap-ceng jarang diketahui orang luar,
dari mana Thaysuhu mengetahuinya?” tanya gadis itu
dengan tersenyum.
“Siauceng adalah sobat lama Buyung-siansing, kini
sengaja datang berziarah ke kuburannya sekadar
memenuhi janji masa dulu,” sahut Ciumoti.
Gadis itu termenung sejenak, katanya, “Wah, agak
tidak kebetulan. Kemarin dulu Buyung-kongcu baru
bepergian, kalau Thaysuhu datang lebih dulu tiga hari,
tentu dapat berjumpa dengan Kongcu.”
“Sungguh menyesal tidak sempat berkenalan dengan
Kongcu, namun jauh-jauh Siauceng datang dari negeri
832
Turfan, biarlah aku berkunjung ke makam Buyungsiansing
sekadar memberi penghormatan terakhir.”
“Jika Thaysuhu adalah sobat baik Buyung-loya,
marilah silakan minum dulu ke tempat kami, kemudian
akan kusampaikan maksudmu, mau?”
“Apa hubungan nona dengan Buyung-siansing dan
cara bagaimana harus kusebut secara hormat?” tanya
Ciumoti.
“Ah, aku cuma dayang yang melayani Kongcu
memetik Khim dan meniup seruling,” sahut si gadis
dengan tersenyum manis. “Namaku A Pik, maka
janganlah Thaysuhu sungkan-sungkan, panggil saja aku
A Pik.”
“O, baiklah,” kata Ciumoti dengan hormat.
Lalu si A Pik berkata, “Jalan dari sini ke Yan-cu-oh
harus melalui lintas air danau, marilah kuantar dengan
sampan ini.”
Setiap kata yang ditanyakan oleh A Pik
kedengarannya begitu luwes dan simpati hingga
membuat orang tidak enak untuk menolak.
Maka berkatalah Ciumoti, “Jika begitu, terpaksa
membikin repot nona.”
Berbareng ia terus gandeng tangan Toan Ki dan
melompat ke atas sampan dengan enteng. Sampan itu
hanya ambles ke bawah sedikit dan sama sekali tidak
terguncang.
833
A Pik tersenyum kepada Ciumoti dan Toan Ki,
maksudnya seakan-akan memuji kehebatan kepandaian
orang.
Lalu Ko Gan-ci membisiki Cui Pek-khe, “Bagaimana,
Susiok?”
Sebenarnya kedatangannya ingin menuntut balas
pada orang she Buyung, tapi kedudukan mereka kini
menjadi serbasalah dan sangat lucu kelihatannya.
“Jika tuan-tuan sudah datang di Sohciu, bila tiada
urusan penting lain, marilah silakan mampir juga ke
tempat kami untuk minum-minum,” demikian kata A Pik
lagi dengan tertawa. “Jangan tuan-tuan ragu terhadap
sampan kecil ini, biarpun bertambah lagi beberapa orang
juga tidak nanti tenggelam.”
Perlahan A Pik mendayung sampannya, ketika lewat
di bawah pohon Liu tadi, tiba-tiba ia ambil Kim-sui-poa
dan ruyung yang tergantung di ranting pohon itu.
Sekenanya ia ketik-ketik biji Swipoa hingga menerbitkan
suara “crang-creng” yang nyaring.
Mendengar beberapa suara nyaring itu, dengan
girang Toan Ki berkata, “He, apakah nona sedang
memetik lagu ‘Jay-song-cu’ (memetik biji arbei)?”
Kiranya biji Swipoa yang dipetik si A Pik telah
mengeluarkan suara yang berbeda-beda hingga
berwujud irama musik lagu ‘Jay-song-cu’ yang merdu.
834
Dengan tersenyum A Pik menjawab, “Ah, kiranya
Kongcu juga pandai seni suara, maukah memetik barang
satu lagu juga?”
Melihat gadis itu lincah kekanak-kanakan, ramah
tamah menarik, sahut Toan Ki dengan tertawa, “Ya, tapi
aku tidak dapat memetik Swipoa.”
Lalu ia menoleh kepada Cui Pek-khe, katanya, “Hosiansing,
Swipoamu telah digunakan orang sebagai alat
musik yang bagus.”
“Ya, benar!” sahut Cui Pek-khe dengan senyum ewa,
“nona sungguh seorang seniwati, alat hitungku yang
kasar itu sekali berada di tangan nona, jadilah segera
sebuah alat musik yang bagus.”
“Ai, ai, maafkan, jadi ini milik tuan?” seru A Pik gugup.
“Wah, alangkah bagusnya Swipoamu ini. Ehm, tentu tuan
ini seorang hartawan, sampai Swipoa juga terbuat dari
emas. Ho-siansing, ini kukembalikan.”
Sambil berkata, terus saja A Pik angsurkan Swipoa
yang dipegangnya itu. Tapi Cui Pek-khe berdiri di tepi
danau, dengan sendirinya tidak sampai menerimanya.
Ia merasa berat bila kehilangan kawan setianya yang
selalu dibawanya itu. Maka dengan ringan ia lompat ke
haluan sampan untuk menerima Swipoa itu. Kemudian ia
berpaling dan melotot sekali ke arah Ciumoti. Namun
wajah padri itu tetap tersenyum simpul dengan welas
asih, sedikit pun tidak marah.
835
Setelah Swipoa dikembalikan ke pemiliknya, kini
tinggal ruyung itu yang masih dipegang si A Pik. Ketika
tangan kanannya memegang batang ruyung dan sekali
diusap dari atas ke bawah, karena gesekan kuku jarinya
dengan ruas ruyung itu, maka terbitlah macam-macam
suara nyaring yang menarik hingga mirip orang memetik
harpa.
Ternyata senjata yang pernah melayani berbagai jago
Bu-lim itu setelah berada di tangan A Pik telah berubah
menjadi semacam alat musik lagi.
“Bagus, bagus!” saking senangnya Toan Ki berteriakteriak.
“Sungguh pintar sekali nona, ayolah silakan
memetiknya satu lagu.”
Tapi A Pik lantas berkata kepada Ko Gan-ci, “Mungkin
ruyung ini milik tuan ini bukan? Aku sembarangan
mengambilnya, sungguh terlalu tidak tahu aturan, mohon
dimaafkan. Marilah tuan, silakan naik juga ke atas
sampan, sebentar akan kusuguh dengan santapan
enak.”
Sebenarnya Ko Gan-ci merasa dendam karena
gurunya dibunuh orang she Buyung, tapi menghadapi
seorang nona cilik yang selalu tersenyum manis dan
kekanak-kanakan, betapa pun rasa dendam dalam
hatinya juga tidak mungkin dilampiaskan atas diri gadis
itu. Pikirnya, “Dia bersedia membawa kami ke tempat
tinggal orang she Buyung, inilah yang sangat kami
inginkan, bagaimanapun juga aku harus membunuh
beberapa orang mereka untuk membalas sakit hati
Suhu.”
836
Karena itu, ia mengangguk menerima tawaran A Pik,
lalu melompat ke atas perahu.
Dengan hati-hati dan menghormat A Pik menggulung
ruyung itu dan dikembalikan kepada Gan-ci. Sekali
dayung bekerja, segera sampan meluncur ke arah barat.
Cui Pek-khe saling menukar isyarat mata beberapa
kali dengan Ko Gan-ci. Diam-diam mereka pikir, “Hari ini
kita telah masuk gua harimau, entah bakal mati atau
hidup. Menghadapi keluarga Buyung yang kejam dan si
nona yang kelihatan lemah lembut ini, betapa pun kita
harus waspada, jangan sampai masuk perangkap
musuh.”
Begitulah sampan si A Pik terus meluncur ke depan,
setelah membelok kian kemari, akhirnya masuklah
sampan itu ke tengah danau yang luas. Sepanjang mata
memandang, danau itu seakan-akan tanpa ujung dan
merapat dengan langit. Keruan Ko Gan-ci bertambah
waswas, pikirnya, “Danau besar ini tentulah Thay-oh
adanya. Aku dan Cui-susiok tidak dapat berenang, bila
nona cilik ini membalik sampannya, pasti kami berdua
akan kelelap ke dasar danau sebagai umpan ikan,
jangankan lagi bicara hendak menuntut balas bagi
Suhu.”
Rupanya Cui Pek-khe juga mempunyai firasat yang
sama. Ia pikir kalau dayung sampan dapat dipegang
sendiri, bila nona itu hendak tenggelamkan sampannya
tentu akan lebih sulit. Maka segera katanya, “Nona,
marilah kubantu mendayung, engkau cukup
menunjukkan arah saja.”
837
“Ai, mana boleh jadi begitu,” sahut A Pik tertawa.
“Kalau diketahui Kongcuya, wah, tentu aku akan
didamprat tidak menghormati tuan tamu.”
Melihat orang tidak mau, rasa curiga Cui Pek-khe
semakin bertambah, katanya pula dengan tertawa,
“Haha, bicara terus terang, sebenarnya kami ingin nona
memperdengarkan ilmu kepandaian memetik sesuatu
lagu dengan ruyung lemas kawanku itu.”
“Ilmu kepandaian apa?” ujar A Pik tertawa. “Kalau
diketahui A Cu, pasti dia akan mencemoohkan aku suka
pamer di depan tetamu.”
Tapi Cui Pek-khe terus mengambil ruyung Gan-ci dan
diserahkan kepada A Pik, katanya, “Ini, petiklah lekas!”
Sembari berkata, terus saja ia ambil dayung sampan
dari tangan si gadis.
“Baiklah, dan sekalian Kim-sui-poamu juga pinjamkan
aku sebentar,” kata A Pik.
Diam-diam Pek-khe menjadi khawatir, “Dia telah ambil
senjata kami, jangan-jangan ada tipu muslihat apa-apa?”
Namun karena sudah telanjur, terpaksa ia pun
menyerahkan Swipoa emasnya itu.
Tapi Swipoa itu lantas ditaruh di atas geladak sampan
oleh A Pik, sambil duduk ia tarik batang ruyung dengan
tangan kiri, ujung ruyung itu diinjak dengan kaki kanan
hingga ruyung lemas itu tertarik lempeng, lalu menarilah
kelima jari kanannya menggesek-gesek di atas ruyung
838
hingga menerbitkan macam-macam nada suara yang
nyaring merdu melebihi Pi-pe (alat musik Tionghoa mirip
gitar).
Sambil menggesek ruyung, terkadang jari A Pik juga
sempat memainkan biji Swipoa yang terletak di depannya
itu, suara “crang-cring” dari biji Swipoa itu berselangseling
dengan suara “trang-tring” gesekan ruyung hingga
kedengarannya sangat menarik. Sampai di puncaknya,
saking gembiranya A Pik bernyanyi pula mengiringi irama
musik yang dimainkannya dengan merdu itu.
Mendengar suara si gadis yang mengalun empuk itu,
sungguh sukma Toan Ki seakan-akan terombang-ambing
di angkasa dan seperti orang linglung. Ia gegetun
mengapa baru sekarang dirinya sempat pesiar ke
Kanglam, ia kagum pula Buyung-kongcu mempunyai
seorang dayang sepandai itu, maka dapatlah
dibayangkan tokoh macam apa majikan dayang ini.
Selesai A Pik membawakan satu lagu, kemudian ia
pun kembalikan Swipoa dan ruyung itu kepada Pek-khe
berdua. Katanya dengan tertawa, “Memalukan, tidak
enak didengar, harap jangan ditertawai tuan tamu. Nah,
dayunglah ke sana, ya benar sana!”
Pek-khe menurut dan mendayung sampan itu ke
suatu muara sungai kecil, di permukaan air situ tampak
banyak tumbuh daun teratai yang lebat. Coba kalau tiada
petunjuk si A Pik, tentu tiada yang tahu bahwa di situ ada
jalannya.
Setelah mendayung pula sebentar, kemudian A Pik
berkata, “Beloklah ke sana!”
839
Pada permukaan air tempat baru ini ternyata penuh
tumbuh daun lengkak dengan buahnya yang kemerahmerahan.
A Pik memetik beberapa buah lengkak yang
merah itu, ia berikan Ko Gan-ci tiga buah, kemudian
memetik pula bagi yang lain.
Meski kedua tangan Toan Ki dapat bergerak, tapi
setelah Hiat-to ditutuk orang, sedikit pun ia tak
bertenaga, untuk mengupas kulit lengkak terasa tidak
kuat.
Maka berkatalah A Pik dengan tertawa, “Rupanya
Kongcuya bukan orang Kanglam, maka tidak biasa
mengupas lengkak. Biarlah aku mengupasnya untukmu.”
Segera ia mengupas beberapa biji dan diserahkan
kepada Toan Ki. Melihat daging lengkak itu putih bersih,
ketika dimakan rasanya manis gurih, dengan tertawa
Toan Ki berkata, “Rasa lengkak ini enak dan tidak
membosankan, mirip sekali dengan nyanyian nona tadi.”
Muka A Pik sedikit bersemu merah, sahutnya dengan
tersenyum, “Membandingkan nyanyianku dengan
lengkak, baru pertama kali ini kudengar. Terima kasih,
Kongcu!”
Dan belum selesai sampan itu menyusuri rawa
lengkak itu, A Pik telah menunjuk arah lain lagi yang
penuh tumbuh rumput lalang yang lebat.
Mau tak mau akhirnya Ciumoti jadi waswas juga,
diam-diam ia mengingat baik-baik jalan yang dilalui
perahu itu, agar nanti kembalinya tidak kesasar.
840
Tapi rawa-rawa daun teratai, lengkak dan rumput
lalang itu pada hakikatnya serupa saja tak ada
perbedaannya, apalagi tumbuh-tumbuhan air itu setiap
waktu bisa berubah bila tertiup angin hingga dalam
sekejap saja keadaan sudah berlainan daripada semula.
Ciumoti, Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci telah berusaha
juga mengikuti kerling mata si A Pik untuk mengetahui
cara bagaimana gadis itu mengenali jalannya, namun
tampaknya gadis itu acuh tak acuh saja, sambil memetik
lengkak sembari bermain air dan memberi petunjuk tanpa
pikir, seakan-akan jalanan air yang bersimpang-siur itu
sudah sangat hafal baginya.
Begitulah setelah sampan itu didayung berliku-liku
kian kemari selama dua jam, lewat tengah hari, dari jauh
tertampaklah pohon Liu melambai-lambai dengan
rindangnya dan di balik pohon tertampak ujung emper
rumah.
“Itulah dia, sudah sampai,” seru A Pik segera. “Hosiansing,
telah setengah hari membikin capek padamu,
terima kasih.”
Ia dengar Toan Ki memanggil Pek-khe sebagai Hosiansing,
maka ia pun menirukannya.
Dengan tertawa getir Pek-khe menjawab, “Asal bisa
makan lengkak sambil mendengarkan nyanyianmu,
biarpun aku disuruh mendayung selama setahun-dua
tahun juga mau.”
841
“Hah, apa susahnya jika engkau benar-benar senang
makan lengkak dan suka mendengarkan nyanyianku,”
seru A Pik sambil bertepuk tangan dan tertawa. “Untuk
mana asal engkau tinggal saja di lembah danau ini dan
selama hidup ini jangan meninggalkan sini.”
Pek-khe kaget oleh ucapan, “selama hidup tinggal di
lembah danau ini”, ia coba melirik gadis itu, ia lihat A Pik
tetap tersenyum simpul saja seperti tidak punya maksud
apa-apa di balik kata-katanya itu. Namun begitu hati Pekkhe
menjadi kebat-kebit juga.
Segera A Pik mengambil pengayuh dari tangan Pekkhe
dan mendayung sampannya ke tepian yang penuh
pohon Liu itu. Sesudah dekat, tertampaklah sebuah
tangga kayu menjulur dari tepian ke dalam air. A Pik
menambat perahunya pada ranting pohon serta
mendahului mendarat.
Ketika semua orang ikut mendarat, terlihatlah di sanasini
ada beberapa buah gubuk yang dibangun di tengah
sebuah pulau kecil atau semenanjung. Gubuk-gubuk itu
kecil mungil dan cukup indah.
“Apakah di sini ini Som-hap-ceng dari Yan-cu-oh?”
tanya Ciumoti.
“Bukan,” sahut A Pik menggeleng kepala. “Tempat ini
adalah kediamanku yang dibangun oleh Kongcu, jelek
dan sederhana, sebenarnya tidak pantas untuk
menerima tamu. Cuma Toasuhu ini menyatakan ingin
berziarah ke makam Buyung-loya, untuk itu aku sendiri
tidak berani mengambil keputusan, maka terpaksa
842
silakan tuan-tuan tunggu sementara di sini, biarlah
kubicarakan dulu dengan Enci A Cu.”
Mendengar itu Ciumoti mendongkol dan menarik
muka. Betapa tinggi dan diagungkan kedudukannya
sebagai Hou-kok-hoat-ong atau imam negara di negeri
Turfan. Jangankan di negerinya sendiri dia sangat
dihormati oleh kepala negara Turfan, sekalipun
pemerintah Song, Tayli dan negara tetangga lain juga
pasti menyambut kedatangannya dengan penuh
penghormatan.
Apalagi dia adalah sobat lama Buyung-siansing, kini
ia datang sendiri buat ziarah, kalau Buyung-kongcu
bepergian karena memang sebelumnya tidak tahu, itulah
tak dapat disalahkan, tetapi seorang dayang seperti A Pik
ini, tamu agung tidak dibawa ke ruang tamu untuk
dihormati sebagaimana mestinya, sebaliknya malah
dibawa ke suatu gubuk tempat tinggal kaum pelayan,
keruan Ciumoti merasa terhina.
Tapi demi terlihat sikap A Pik tetap kekanak-kanakan
dan lugas, sedikit pun tidak mengunjuk maksud
merendahkan dia, maka ia pikir mengapa mesti merecoki
urusan begini dengan seorang pelayan kecil.
Kemudian Cui Pek-khe bertanya, “Siapakah Enci A
Cu yang kau katakan itu?”
“A Cu ialah A Cu, dia cuma lebih tua sebulan
daripadaku, ia sok berlagak sebagai Enci (kakak) orang,”
demikian sahut A Pik dengan tertawa. “Ya, apa boleh
buat, terpaksa aku harus memanggil dia Enci. Habis,
siapa suruh dia lahir sebulan lebih dulu? Namun engkau
843
tidak perlu memanggilnya sebagai Enci, kalau tidak, tentu
lagaknya akan semakin garang.”
Sembari bicara, dengan lincahnya A Pik terus
menyilakan keempat tamunya itu masuk ke pondoknya.
Toan Ki melihat di dalam gubuk itu tergantung sebuah
papan kecil yang bertuliskan “Khim-im-siau-tiok” atau
pondok mungil suara harpa. Gaya tulisannya sangat
bagus.
Setelah masuk, A Pik silakan semua orang berduduk,
kemudian disuguhkannya air teh dan beberapa macam
makanan kecil. Tehnya wangi, makanannya sedap,
keruan tiada hentinya Toan Ki memuji.
“Silakan Kongcu menghabiskannya, persediaan
masih cukup,” demikian kata A Pik.
Sambil melangsir penganan ke dalam perut, terusmenerus
Toan Ki memberi pujian tiada habis-habisnya.
Sebaliknya Ciumoti, Pek-khe dan Gan-ci bertiga tidak
berani menyentuh minuman dan makanan itu, sebab
khawatir di dalam makanan itu ditaruh racun.
Diam-diam Toan Ki menjadi curiga juga, pikirnya,
“Ciumoti ini mengaku sebagai sobat lama Buyungsiansing,
tapi kenapa berlaku sehati-hati ini? Pula cara
orang keluarga Buyung menyambut kedatangannya juga
rada tidak beres.”
Ciumoti ternyata sangat sabar, ia menunggu hingga
Toan Ki sudah habis minum dan selesai mencicipi semua
penganan yang disuguhkan itu dengan pujian setinggi
844
langit, kemudian barulah dia berkata, “Dan sekarang
harap nona suka memberitahukan kepada Enci A Cu
seperti kau katakan tadi.”
“Tempat pondok A Cu itu dari sini masih berpuluh li
jauhnya, hari ini terang tidak keburu ke sana lagi, biarlah
tuan-tuan berempat tinggal semalam di sini, esok pagi
akan kubawa kalian ke “Thing-hiang-siau-tiok” (pondok
kecil yang wangi).”
“Tahu begitu, mengapa nona tidak sejak tadi
membawa kami langsung ke sana?” tanya Ciumoti
dengan mendongkol.
“Kenapa mesti terburu-buru?” sahut A Pik. “Selama ini
aku tiada teman mengobrol, rasanya terlalu sunyi. Kini
kedatangan tamu sebanyak ini, sudah tentu aku ingin
kalian suka tinggal barang sehari untuk meramaikan
suasana pondokku ini.”
Sejak tadi Ko Gan-ci hanya diam saja. Kini mendadak
ia berbangkit dan membentak, “Di mana tempat tinggal
anggota keluarga Buyung? Kedatanganku ke sini bukan
untuk minta makan dan minum serta mengobrol
denganmu, tapi kami datang buat membunuh musuh.
Sekali orang she Ko sudah berani datang kemari,
memangnya aku pun tidak pikir akan keluar dari sini
dengan hidup. Maka lekas kau laporkan sana, nona,
katakan aku anak murid Kwa Pek-hwe dari Ko-san-pay,
hari ini sengaja datang untuk menuntut balas sakit hati
Suhuku.”
845
Habis berkata, sekali ruyung menyabet, terdengarlah
suara gedubrakan yang keras disertai hancurnya sebuah
meja dan kursi.
Namun sedikit pun A Pik tidak kaget, juga tidak
marah, katanya dengan tenang, “Sudah banyak orang
Kangouw yang gagah perkasa datang hendak mencari
Kongcu, setiap bulannya paling sedikit ada beberapa
rombongan. Di antaranya banyak juga berlagak garang
dan kasar seperti Ko-toaya ini ....”
Belum selesai ucapannya, tiba-tiba dari ruangan
belakang muncul seorang kakek pendek kecil berjenggot
dan berambut putih bagai perak, kakek itu membawa
tongkat, sambil melangkah ia berkata, “A Pik, siapa yang
lagi ribut-ribut di sini?”
Cepat Cui Pek-khe melompat bangun dan berdiri
sejajar dengan Ko Gan-ci sambil membentak, “Suhengku
Kwa Pek-hwe sebenarnya ditewaskan oleh siapa?”
Toan Ki melihat kakek itu rada bungkuk, mukanya
penuh keriput, usianya kalau tiada seabad, paling sedikit
juga lebih 80 tahun.
Maka terdengarlah kakek itu berkata dengan suara
yang serak, “Kwa Pek-hwe? Ehm, manusia dapat hidup
sampai Pek-hwe (seratus tahun), sudah tiba waktunya
juga untuk mati!”
Memangnya Ko Gan-ci tidak sabar lagi dan ingin
membalas sakit hati sang Suhu, kini mendengar katakata
si kakek yang kasar itu, ia menjadi murka, sekali
ruyung bekerja, terus saja ia sabet punggung kakek itu.
846
Ia khawatir Ciumoti merintangi tindakannya, maka
serangannya sengaja dilontarkan dari jurusan yang tak
bisa dialangi padri itu.
Siapa duga Ciumoti cuma ulur sebelah tangan saja,
seketika tangannya seperti timbul daya sedot, ruyung Ko
Gan-ci itu kena ditariknya dari jauh. Lalu katanya, “Kotayhiap,
kedatangan kita ini adalah tamu, ada urusan apa
hendaknya dibicarakan secara baik-baik, jangan pakai
kekerasan.”
Habis berkata ia remas-remas ruyung rampasannya
itu hingga tergulung menjadi satu, lalu dikembalikan
kepada Gan-ci.
Muka Ko Gan-ci menjadi merah jengah, ia kikuk
apakah mesti menerima kembali senjatanya itu atau
tidak. Tapi demi dipikir tujuan pokok adalah untuk
menuntut balas, hinaan sementara waktu harus berani
ditanggungnya. Maka dengan agak malu ia terima
kembali ruyung itu.
Lalu Ciumoti berkata kepada si kakek, “Siapakah
nama Sicu yang terhormat ini? Apakah masih famili
dengan Buyung-siansing atau sahabatnya?”
Kakek itu tertawa, sahutnya, “Aku cuma seorang
budak tua Kongcu saja, masakah punya nama terhormat
segala? Kabarnya Thaysuhu adalah sobat baik
mendiang Loya kami, entah ada keperluan apa?”
“Urusanku harus kukatakan langsung dengan
Buyung-kongcu,” sahut Ciumoti.
847
“Tapi sayang, kemarin dulu Kongcu baru bepergian,
entah kapan baru dapat pulang,” kata si kakek.
“Jika begitu, ke manakah Kongcu pergi?” tanya
Ciumoti.
“Wah, aku lupa,” sahut kakek itu sambil ketok-ketok
jidat sendiri. “Beliau seperti mengatakan hendak pergi ke
negeri He atau Tayli, entah Turfan atau negeri mana
lagi.”
Ciumoti kurang senang oleh jawaban itu, terang tidak
mungkin seorang sekaligus mengunjungi negeri
sebanyak itu, ia tahu budak tua ini sengaja berlagak
pikun, maka katanya, “Jika demikian, aku pun tidak
menunggu lagi pulangnya Kongcu, harap Koankeh
(kepala pengurus rumah tangga) suka membawaku
bersembahyang ke makam Buyung-siansing sekadar
memenuhi kewajiban sebagai seorang sobat lama.”
“Ah, permintaan ini tidak berani kuterima, aku pun
bukan Koankeh apa segala,” sahut si kakek sambil
goyang-goyang tangan.
“Jika begitu, siapakah gerangan Koankeh kalian?
Dapatkah kutemui dia?” tanya Ciumoti.
“Ehm, baiklah, akan kupanggilkan Koankeh,” kata si
kakek sambil mengangguk. Ia putar masuk ke belakang
dengan langkah sempoyongan sebagaimana lazimnya
orang tua sambil menggerundel panjang-pendek, “Ai,
zaman ini memang terlalu banyak orang jahat, banyak
yang menyamar Hwesio dan Tosu untuk menipu orang.
848
Huh, orang tua seperti aku, pengalaman apa yang tak
pernah kulihat, mana dapat aku ditipu!”
Mendengar itu, saking gelinya Toan Ki tertawa.
Sebaliknya lekas-lekas A Pik berkata kepada Ciumoti,
“Thaysuhu, harap engkau jangan marah, Ui-pepek itu
benar-benar seorang pikun. Ia mengira dirinya sendiri
sangat pintar, kata-katanya memang menyakiti orang.”
Dalam pada itu Cui Pek-khe lantas menarik Ko Gan-ci
ke samping serta membisikinya, “Keledai gundul ini
mengaku sebagai sobat orang she Buyung, tapi orang di
sini jelas tidak pandang dia sebagai tamu terhormat. Kosutit,
kita jangan sembarangan bertindak, biarlah kita lihat
dulu apa yang akan terjadi.”
Ko Gan-ci mengiakan dan kembali ke tempatnya tadi.
Tapi karena kursinya sendiri telah dihancurkan oleh
sabetan ruyung, ia menjadi tidak punya tempat duduk
lagi.
Maka dengan tersenyum ramah A Pik memberikan
kursinya, katanya dengan tersenyum, “Harap Ko-toaya
duduk di kursi ini!”
Gan-ci mengangguk puas, pikirnya, “Andaikan dapat
kubunuh bersih antero anggota keluarga Buyung, paling
sedikit dayang cilik ini akan kuampuni.”
Sementara itu hati Toan Ki sedang diliputi suatu tanda
tanya yang aneh. Ketika si budak tua she Ui tadi masuk,
diam-diam ia merasa ada sesuatu yang kurang beres.
Tapi soal apa, ia sendiri pun tak bisa menjawab. Ia coba
849
memerhatikan alat perabot ruangan itu, kemudian
memandang A Pik, Ciumoti, Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci,
namun tiada sesuatu tanda mencurigakan yang
dilihatnya. Anehnya nalurinya justru semakin merasa ada
sesuatu yang tidak beres.
Tidak lama kemudian, terdengarlah suara tindakan
orang, dari belakang muncul seorang laki-laki kurus
setengah umur. Orang ini memiara jenggot macam
jenggot kambing, gerak-geriknya menunjukkan seorang
yang cekatan dan pandai mengatur rumah tangga,
pakaiannya juga rajin, jari tengah kiri memakai sebuah
cincin berbatu kemala yang besar. Agaknya inilah dia
Koankeh keluarga Buyung.
Orang ini memberi hormat kepada tamu-tamunya dan
berkata, “Hamba Sun Sam menyampaikan salam hormat
kepada tuan-tuan sekalian. Thaysuhu, engkau
bermaksud ziarah ke makam Loya kami, untuk mana
kami menyatakan sangat berterima kasih. Tapi Kongcuya
sedang bepergian, tiada orang yang dapat membalas
kehormatan Thaysuhu nanti, hal ini kan kurang pantas.
Biarlah kelak kalau Kongcuya pulang, pasti kusampaikan
maksud baik Thaysuhu ini ....”
Sampai di sini, tiba-tiba Toan Ki mengendus
semacam bau harum yang lembut. Seketika pikirannya
tergerak, ia curiga, “Apakah mungkin demikian halnya?”
Kiranya tadi waktu si budak tua masuk ke situ, Toan
Ki lantas mencium semacam bau wangi yang halus
sedap. Bau harum ini lamat-lamat seperti bau harum
yang teruar dari badan Bok Wan-jing, walaupun masih
850
banyak perbedaannya, namun satu hal adalah pasti,
yaitu bau wangi badan anak perawan.
Semula Toan Ki menyangka bau harum itu timbul dari
badan A Pik, maka tidak menaruh perhatian. Tetapi
sesudah budak tua itu pergi, bau wangi itu pun lenyap.
Karena itulah maka timbul perasaan Toan Ki bahwa ada
sesuatu yang kurang beres. Sebab mustahil badan
seorang kakek tua bangka begitu bisa mengeluarkan bau
harum anak perawan?”
Kemudian ketika Koankeh kurus yang mengaku
bernama Sun Sam itu muncul, kembali Toan Ki
mengendus bau harum yang sama, maka timbul pula
pikirannya, “Barangkali di belakang rumah ini tertanam
bunga apa-apa yang aneh, siapa saja yang keluar dari
ruangan belakang tentu membawa bau harum yang
mengguncangkan sukma itu. Kalau tidak, maka budak
tua itu dan si kurus ini pastilah samaran kaum wanita.”
Meski bau wangi itu menimbulkan rasa curiga Toan
Ki, tapi karena terlalu halus baunya, maka Ciumoti
bertiga sedikit pun tidak tahu.
Sebabnya Toan Ki dapat membedakan bau harum
yang halus itu adalah karena dahulu ia pernah disekap
bersama Bok Wan-jing di dalam kamar batu oleh Jingbau-
khek alias Yan-king Taycu itu. Maka bau harum khas
yang timbul dari badan anak perawan itu susah
dirasakan orang lain, tapi bagi Toan Ki pengalaman
dahulu itu sangat berkesan dan jauh lebih keras daripada
bau harum segala macam wangi-wangian lainnya.
851
Meski ia mencurigai Sun Sam itu samaran wanita, tapi
sesudah dipandang dan diamat-amati, toh tiada sesuatu
tanda yang meyakinkan. Bukan saja gerak-gerik Sun
Sam itu memang laku kaum laki-laki, bahkan mukanya
dan suaranya juga persis seperti kaum laki-laki
umumnya.
Tiba-tiba teringat oleh Toan Ki, “Kalau wanita
menyamar sebagai lelaki, biji lehernya sekali-kali tak
mungkin dipalsukan.”
Karena itu, ia coba memerhatikan leher Sun Sam,
namun jenggot kambingnya itu tepat menjulur ke bawah
dan menutupi leher hingga tidak kelihatan apakah ada
biji leher atau tidak.
Toan Ki masih penasaran, ia berbangkit dan purapura
menikmati lukisan yang tergantung di dinding sana,
dari samping ia lalu melirik untuk mengincar leher Sun
Sam.
Sekali ini dapat dilihatnya dengan jelas bahwa leher
Sun Sam halus lurus tiada sesuatu yang menonjol.
Ketika mengawasi dadanya pula, tampak dada Sun Sam
itu montok. Walaupun tanda ini tidak dapat dipastikan
sebagai tanda wanita, tapi seorang laki-laki kurus
tidaklah lazim memiliki dada yang montok.
Dapat membongkar rahasia itu, Toan Ki merasa
sangat senang, pikirnya, “Ini dia, sandiwaranya belum
tamat, biarlah kuikuti terus permainannya.”
Dalam pada itu terdengar Ciumoti sedang berkata
dengan gegetun, “Dahulu aku berkenalan dengan Loya
852
kalian di negeri Thian-tiok dan saling mengagumi ilmu
silat masing-masing, di sanalah kami mengikat
persahabatan yang kekal. Sungguh tidak nyana segala
apa di dunia fana ini memang mudah berubah, orang
bodoh seperti aku ini justru masih diberi hidup,
sebaliknya Loya kalian malah sudah mendahului ke
nirwana. Jauh-jauh aku sengaja datang dari Turfan untuk
sekadar memberi hormat di hadapan makam sobat lama,
soal ada orang membalas hormat atau tidak, mengapa
mesti dipikirkan? Maka, haraplah Koankeh suka
membawaku ke sana.”
Kening Sun Sam tampak bekernyit, agaknya merasa
serbasalah, katanya, “Aku ... aku ....”
“Entah Koankeh merasakan ada kesulitan apa,
silakan memberi penjelasan,” tanya Ciumoti.
“Watak Loya kami, sebagai sobatnya tentu Thaysuhu
cukup tahu,” sahut Sun Sam. “Loya kami paling tidak
suka ada orang berkunjung kepadanya, ia bilang orang
yang datang mencarinya kalau bukan hendak menuntut
balas dan membikin rusuh, tentu ingin mohon belajar dan
menjadi muridnya. Yang lebih rendah lagi bisa juga
datang untuk pinjam uang atau bila yang empunya
rumah lengah, terus mencuri. Beliau mengatakan kaum
Hwesio dan Nikoh lebih-lebih tak dapat dipercaya. Oo ...
maaf ....”
Tiba-tiba ia seperti sadar telah menyinggung
perasaan Ciumoti, maka cepat ia tutup mulut.
Tingkah laku menutup mulut dengan tangan itu terang
lazimnya dilakukan oleh kaum anak gadis, biji matanya
853
yang hitam pekat mendelik itu pun mengerling sekejap.
Meski hanya sekilas saja tingkah laku demikian, namun
Toan Ki yang selalu menaruh perhatian itu dapat
melihatnya, ia bertambah senang lagi, “Ha, Sun Sam ini
bukan saja memang samaran orang perempuan, bahkan
adalah seorang nona yang masih sangat muda.”
Ketika ia melirik A Pik, ia lihat ujung mulut gadis itu
tersembul senyuman yang licik. Maka Toan Ki jadi lebih
yakin lagi, pikirnya, “Sun Sam ini terang sama orangnya
dengan si budak tua tadi. Bisa jadi dia ini Enci A Cu yang
dikatakan itu.”
Dalam pada itu Ciumoti sedang berkata, “Memang
manusia baik-baik di dunia ini lebih sedikit daripada
orang jahat. Maka kalau Buyung-siansing tidak suka
banyak bergaul dengan khalayak ramai, itu pun jamak.”
“Ya, sebab itulah Loya kami meninggalkan pesan
agar siapa pun yang datang hendak berziarah ke
makamnya, semuanya harus ditolak,” tutur Sun Sam.
“Beliau bilang para keledai gundul itu tidak nanti berniat
baik, tentu bermaksud membongkar kuburannya. Ai,
maaf Thaysuhu, keledai gundul yang dimaksudkan Loya
kami itu sangat mungkin bukan ditujukan kepadamu.”
Diam-diam Toan Ki geli oleh pertunjukan itu, ada
pepatah “di hadapan Hwesio memaki keledai gundul”,
sungguh sangat tepat. Pikirnya, “Keledai gundul ini tetap
tidak marah sama sekali, semakin jahat dan semakin licik
orangnya, semakin pandai dia berlaku sabar. Keledai
gundul ini benar-benar bukan sembarangan orang.”
854
Malahan Ciumoti berkata lagi, “Apa yang dipesan
Loya kalian itu memang ada benarnya juga. Pada masa
hidupnya dahulu terlalu banyak mengikat permusuhan,
waktu hidupnya musuh tidak berani padanya, sesudah
beliau wafat, bukan mustahil ada yang berusaha
membongkar jenazahnya untuk membalas dendam.”
“Berani mengincar jenazah Loya kami? Hahaha,
jangan mimpi!” ujar Sun Sam dengan tertawa.
“Tapi aku adalah sobat baik Buyung-siansing, aku
hanya ingin memberi hormat di depan makamnya dan
tiada maksud lain, hendaklah Koankeh jangan
berprasangka jelek,” kata Ciumoti.
“Sungguh hamba tidak berani mengambil keputusan,
sebab bila pesan Loya dilanggar, nanti kalau Kongcu
pulang dan mengetahui, bukan mustahil hamba akan
mendapat ganjaran yang setimpal,” kata Sun Sam.
“Begini sajalah, biarlah kumintakan keputusan
Lothaythay, nanti kuberi tahukan lagi ke sini.”
“Lothaythay (nyonya besar)? Lothaythay yang mana?”
tanya Ciumoti heran.
“Buyung-lothaythay adalah Enci daripada Loya kami,”
sahut Sun Sam. “Setiap tamu yang berkunjung kemari
kebanyakan menghadap untuk menjura dan
menghormatinya. Kini Kongcu tidak di rumah, segala apa
harus minta keputusan kepada Lothaythay.”
“Baiklah jika begitu,” kata Ciumoti. “Harap kau
sampaikan kepada Lothaythay bahwa Ciumoti dari
Turfan menyampaikan salam hormat kepada beliau.”
855
“Ah, engkau sangat baik, terima kasih, tentu akan
kusampaikan,” sahut Sun Sam. Lalu masuklah dia ke
belakang.
Diam-diam Toan Ki membatin, “Nona ini sangat licin
dan kocak, entah apa maksud tujuannya
mempermainkan keledai gundul Ciumoti ini?”
Selang tidak lama, terdengarlah suara keriang-keriut
orang berjalan, dari dalam muncul seorang nenek. Belum
tiba orangnya bau harum yang sedap halus tadi sudah
tercium oleh Toan Ki, diam-diam ia geli, “Hah, sekali ini
dia menyamar sebagai nyonya tua.”
Tertampak nyonya tua itu memakai Kun (gaun) sutra
warna cokelat, tangan memakai gelang kemala, gelung
rambutnya berhias aneka mutiara permata, dandanannya
agung terhormat, mukanya sudah keriput, matanya
lamat-lamat seperti sudah kurang penglihatannya. Mau
tak mau Toan Ki harus memuji dalam hati akan
kepandaian menyamar orang, bukan saja samarannya
sangat persis, bahkan dapat dilakukan dalam waktu
singkat.
Begitulah sambil beringsut-ingsut dengan tongkatnya
nyonya tua itu berjalan ke tengah ruangan, lalu berkata,
“A Pik, apakah sobat baik mendiang datang? Kenapa dia
tidak menjura padaku?”
Sembari berkata, kepalanya tampak menoleh ke
sana-sini seperti lazimnya orang tua yang sudah pikun
dan kurang penglihatannya.
856
A Pik memberi tanda kepada Ciumoti dan
membisikinya, “Lekas menjura! Sekali engkau sudah
menjura, Lothaythay tentu akan senang dan segala
permintaanmu mungkin akan diluluskan.”
Nyonya tua itu lantas miringkan kepalanya, tangannya
terangkat di tepi telinga seperti orang sedang
mendengarkan sesuatu, lalu tanya keras-keras, “A Pik,
kau bicara dengan siapa? Orang sudah menjura belum?”
Maka berkatalah Ciumoti, “Lothaythay, baik-baikkah
engkau? Siauceng memberikan salam hormat.”
Lalu ia membungkuk memberi hormat, berbareng
kedua tangan mengerahkan tenaga hingga terdengar
suara “dak-duk” seperti kepala orang membentur lantai
bila bersujud.
Cui Pek-khe saling pandang dengan Ko Gan-ci, diamdiam
mereka terkesiap oleh tenaga dalam si Hwesio
yang hebat itu, kalau bertanding, sudah pasti mereka
berdua tidak mampu menangkis satu jurus serangannya.
Sementara itu si nyonya tua lagi manggut-manggut
dan berkata, “Baik, baik, sangat baik! Orang jahat di
zaman ini memang terlalu banyak, jarang sekali ada
orang jujur. Umpama orang menyembah sengaja
membikin lantai bersuara dak-duk untuk mengelabui
pandanganku yang sudah berkurang ini. Ehm, kau ini
sangat baik, sangat penurut, keras sekali caramu
menyembah ya.”
Saking gelinya tak tertahan lagi Toan Ki tertawa
mengakak.
857
Perlahan nyonya tua itu menoleh dan mendengarkan
dengan pandangan yang riyap-riyip, tanyanya, “A Pik,
suara apa tadi? Apa ada orang kentut?”
Sambil berkata, ia terus mengipas-ngipas di depan
hidungnya.
“Bukan orang kentut, Lothaythay,” sahut A Pik dengan
menahan tawa. “Tapi Toan-kongcu ini lagi tertawa.”
“Toan? Apanya yang putus?” tanya si nenek.
“Bukan Toan arti putus, Lothaythay, tapi orang she
Toan, Kongcu keluarga Toan,” sahut A Pik menerangkan.
“Ehm, Kongcu terus-menerus, yang selalu kau ingat
hanya Kongcu saja,” ujar si nenek sambil manggutmanggut.
“Lothaythay sendiri masakah tidak selalu terkenang
pada Kongcuya?” sahut A Pik dengan muka agak merah.
“Apa katamu? Kongcuya ingin makan jenang?” tanya
si nenek.
“Ya, Kongcuya ingin makan jenang, bahkan lebih
suka engkau punya kue mangkuk,” sahut si A Pik.
Sudah tentu Toan Ki mengerti percakapan bercabang
kedua orang itu, maka ia jadi lebih yakin lagi si nenek itu
pasti samaran si A Cu.
858
Kemudian nenek itu memandang ke arah Toan Ki dan
berkata, “Berhadapan dengan orang tua, mengapa kau
tidak menjura?”
“Lothaythay,” sahut Toan Ki. “Ada sesuatu ingin
kubicarakan denganmu, tapi tidak enak bila didengar
orang lain.”
“Kau bilang apa?” tanya si nenek sambil menjulurkan
kepalanya ke depan.
“Begini,” kata Toan Ki. “Di rumahku ada seorang
keponakan perempuan kecil, namanya A Cu, ia pesan
padaku agar menyampaikan beberapa patah kata
kepada Lothaythay keluarga Buyung.”
“Ah, sembrono, sungguh sembrono!” berulang si
nenek menggeleng kepala.
Namun Toan Ki melanjutkan pula dengan tertawa,
“Keponakanku si A Cu itu memang sembrono dan nakal.
Dia suka menyaru seperti monyet, hari ini menyaru
monyet jantan, besok menyamar monyet betina, malahan
pintar main sulap segala. Tapi sering kutangkap dia dan
kuhajar bokongnya.”
Kiranya si nenek ini memang benar samaran si A Cu,
teman A Pik. Kepandaiannya menyamar memang pintar
luar biasa, bukan saja wujudnya mirip, bahkan tutur kata
dan gerak-geriknya dapat menirukan dengan tepat dan
bagus tanpa cacat sedikit pun. Sebab itulah maka orang
sepintar Ciumoti dan sepengalaman Cui Pek-khe juga
kena dikelabui. Siapa duga dari bau harum yang teruar
859
dari badannya itulah rahasianya dapat dibongkar oleh
Toan Ki.
Keruan saja A Cu sangat terkejut, namun lahirnya ia
tetap tenang saja, katanya kemudian, “Anak baik,
sungguh pintar sekali kau, belum pernah kulihat anak
secerdik engkau ini. Anak baik jangan usil, nanti nenek
tentu memberikan kebaikan padamu.”
Toan Ki pikir di balik kata-kata orang terang meminta
agar dia jangan membuka rahasianya, karena tujuannya
adalah untuk melayani si keledai gundul Ciumoti.
Karena pikiran demikian, Toan Ki lantas menjawab,
“Lothaythay jangan khawatir, sekali Cayhe sudah datang
di sini, segala apa aku tentu menurut perintah
Lothaythay.”
Dasar A Cu itu memang sangat nakal, segera katanya
pula, “Bagus, anak baik, kau benar-benar anak penurut
sekali. Nah, sekarang lekas menjura tiga kali kepada
nenek, pasti nenek nanti takkan bikin rugi padamu.”
Toan Ki melengak. Kurang ajar, pikirnya, masakah
seorang putra pangeran yang diagungkan dari negeri
Tayli disuruh menjura kepada budak kecil?
Melihat sikap Toan Ki ragu-ragu dan serbasusah, A
Cu tertawa dingin, katanya, “Ada manusia yang sudah
dekat ajalnya, tapi masih sombong dan angkuh. Anak
baik, ingin kukatakan padamu, pasti takkan merugikanmu
jika menjura beberapa kali kepada nenekmu ini.”
860
Ketika Toan Ki berpaling, ia lihat A Pik dengan
bersenyum simpul sedang melirik padanya, kulit
badannya yang putih bersih itu bagai buah manggis
segar yang baru dibuka, ujung mulutnya terdapat setitik
andeng-andeng kecil menambah kecantikannya yang
menggiurkan. Hati Toan Ki tergerak, segera ia tanya A
Pik, “Katamu masih mempunyai seorang teman Enci A
Cu. Apakah dia ... dia secantik molek engkau?”
“Ai, rupaku yang jelek melebihi siluman ini mana
berani kubandingkan Enci A Cu,” sahut A Pik dengan
tersenyum. “Rupaku ini masih belum masuk hitungan,
kalau Enci A Cu mendengar pertanyaanmu ini, pasti dia
akan marah. Ketahuilah bahwa Enci A Cu itu berpuluh
kali lebih ayu daripadaku.”
“Apa betul?” Toan Ki menegas.
“Guna apa aku mendustai kau?” sahut A Pik tertawa.
“Berpuluh kali lebih cantik daripadamu, di dunia ini
kukira tidak ada lagi,” ujar Toan Ki. “Ya, kecuali ... kecuali
si dewi di dalam gua, secantik dirimu saja sukar dicari
orangnya.”
Wajah A Pik menjadi kemerah-merahan, katanya
dengan malu-malu kucing, “Kau disuruh menjura kepada
Lothaythay, tidak perlu memuji-muji diriku.”
“Wah, pada masa mudanya Lothaythay pasti juga
seorang wanita mahacantik,” kata Toan Ki pula. “Bicara
terus terang, soal rugi atau tidak kepadaku sama sekali
tidak kupikirkan, tapi disuruh menjura kepada wanita
mahacantik, aku benar-benar suka dan rela.”
861
Habis berkata, benar saja ia terus berlutut sambil
membatin, “Sekali sudah mau menjura, maka harus yang
keras. Memangnya aku sudah pernah menjura beratus
kali kepada patung dewi di dalam gua itu, apa
alangannya kalau kini cuma menjura tiga kali kepada
wanita cantik di Kanglam?”
Lalu ia pun menjura tiga kali hingga kepalanya
membentur lantai.
Dalam hati A Cu sangat girang, pikirnya, “Kongcuya
ini terang sudah tahu kalau aku cuma seorang pelayan,
tapi sudi menjura padaku, sungguh susah dicari
orangnya.”
Maka katanya kemudian, “Ehm, anak baik, pintar
sekali kau. Cuma sayang aku tidak membawa uang
receh untuk jajanmu ....”
“Sudahlah, asal Lothaythay jangan lupa, berilah lain
kali bila ketemu lagi,” sela A Pik tiba-tiba.
A Cu melotot sekali pada kawan itu, lalu ia berpaling
dan berkata kepada Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci, “Dan
kedua tamu ini mengapa tidak menjura juga kepada
nenek?”
Gan-ci mendengus dengan gusar, serunya keraskeras,
“Kau bisa ilmu silat atau tidak?”
“Eh, kau bilang apa?” A Cu menegas.
862
“Kutanya kau bisa ilmu silat atau tidak?” Gan-ci
mengulangi. “Jika berilmu silat tinggi, biarlah orang she
Ko ini terima kematian di bawah tangan Lohujin (nyonya
tua). Tapi kalau bukan orang persilatan, aku pun tidak
perlu banyak omong denganmu.”
A Cu menggeleng kepala, katanya berlagak pilon,
“Kau berkata tentang ulat atau lalat apa segala. Ulat tidak
ada di sini, kalau lalat sih banyak. Idiiiih kotor ah!”
Lalu ia pun berpaling kepada Ciumoti, “Toahwesio,
katanya engkau hendak membongkar kuburan Buyungsiansing,
memangnya engkau ingin mencuri benda
mestika apa di kuburannya?”
Ciumoti sudah dapat melihat juga bahwa nenek itu
berlagak sangat pikun dan pura-pura tuli, cuma ia belum
tahu A Cu sebenarnya adalah seorang gadis cilik yang
menyaru sebagai seorang tua. Maka diam-diam ia
bertambah waspada, ia pikir, “Buyung-siansing saja
sudah begitu lihai, angkatan tua di rumahnya tentu lebihlebih
hebat lagi.”
Maka ia sengaja pura-pura tidak dengar tentang
pertanyaan tadi, tapi menjawab, “Siauceng adalah sobat
baik Buyung-siansing, karena mendengar berita
wafatnya, jauh-jauh dari negeri Turfan datang kemari
memberi hormat padanya. Waktu almarhum masih hidup,
Siauceng pernah berjanji akan mengambilkan gambar
Lak-meh-sin-kiam-boh dari keluarga Toan di Tayli untuk
dipersembahkan kepada Buyung-siansing. Selama janji
itu belum terpenuhi, sungguh Siauceng merasa sangat
malu.”
863
Mendengar kata-kata “Lak-meh-sin-kiam-boh”,
seketika A Cu terkesiap. Ia tahu ilmu silat itu bukan
sembarangan, dirinya juga belum lama dapat mendengar
dari Kongcuya. Ia saling pandang sekejap dengan A Pik
dan sama-sama berpikir si Hwesio itu sudah mulai bicara
acara pokoknya.
Maka sahut A Cu, “Ada apa tentang Lak-meh-sinkiam-
boh segala?”
“Begini,” tutur Ciumoti. “Dahulu Buyung-siansing
berjanji padaku asal dapat mengambilkan Lak-meh-sinkiam-
boh untuk dibacanya barang beberapa hari,
sebagai timbal baliknya beliau membolehkan kubaca
kitab-kitabnya beberapa hari di pondok ‘Lang-goan-cuikok’
di kediaman kalian ini.”
A Cu terkejut, ternyata padri asing itu kenal nama
“Lang-goan-cui-kok” atau pondok air indah, mungkin apa
yang dikatakan itu memang benar-benar adanya. Tetapi
ia tetap berlagak pilon dan tanya pula, “Kau bilang ‘Langgoan-
cui-kok’ apa? O, kau kepingin makan kue
mangkuk? Itulah mudah, di rumah kami selalu sedia kue
mangkuk.”
Ciumoti benar-benar kewalahan, ia berpaling dan
berkata kepada A Pik, “Lothaythay ini entah benar-benar
sudah pikun atau cuma berlagak pilon. Yang terang
sekarang berbagai tokoh dari aliran persilatan di
Tionggoan sedang berkumpul di Siau-lim-si untuk
berunding cara bagaimana menghadapi Buyung-si dari
Koh-soh sini. Mengingat Siauceng pernah bersahabat
dengan Buyung-siansing maka sebenarnya bermaksud
mencurahkan sedikit tenagaku yang tak berarti itu untuk
864
membantunya. Tapi Lothaythay sedemikian sikapnya,
sungguh membikin hati orang menjadi dingin.”
A Cu sama sekali tidak gubris ucapannya itu, ia malah
berseru kepada A Pik, “He, A Pik, kau dengar tidak, hati
Toahwesio ini kedinginan, lekaslah kau membuatkan kue
mangkuk yang hangat-hangat untuknya.”
“Gulanya belum beli, Lothaythay,” sahut A Pik dengan
menahan geli.
“Pakailah gula batu,” kata A Cu.
“Tepungnya habis, Lothaythay!” sahut A Pik pula.
“Wah, aku benar-benar sudah pikun, lantas
bagaimana baiknya?” ujar A Cu akhirnya.
Dasar anak gadis Sohciu memang terkenal lincah dan
pintar bicara, pula kedua dayang cilik ini sehari-hari
sudah biasa bergurau dan saling berolok-olok, keruan
tingkah laku mereka ini membuat Ciumoti benar-benar
mati kutu.
Maksud kedatangannya ke Sohciu ini memangnya
berharap dapat berjumpa dengan Buyung-kongcu untuk
berunding sesuatu urusan penting. Siapa duga orang
yang dicari tidak ada, sebaliknya masih bertemu dengan
orang-orang yang mengoceh tak keruan hingga
membuatnya bingung.
Namun Tay-lun-beng-ong ini memang tokoh yang
hebat, sedikit berpikir, segera ia yakin Buyunglothaythay,
Sun Sam, si budak tua dan A Pik itu telah
865
sengaja merintanginya agar tidak dapat masuk
perpustakaan “Lang-goan-cui-kok” untuk membaca.
Kini tidak peduli lagi mereka berlagak apa pun juga,
asalkan sudah ketemukan kata-kata tepat, kelak apakah
mesti pakai kekerasan atau secara halusan, dirinya
sendiri sudah lebih dulu di pihak yang benar.
Maka dengan sabar dan ramah ia pun berkata,
“Lukisan Lak-meh-sin-kiam-boh itu sekarang juga sudah
kubawa. Sebab itulah kumohon dapat diperkenankan
pergi membaca ke ‘Lang-goan-cui-kok’.”
“Buyung-siansing sudah wafat kini,” kata A Pik.
“Pertama janji lisan itu tak ada bukti. Kedua, meski Kiamboh
itu sudah dibawa kemari, tapi tiada seorang pun di
antara kami yang paham. Maka sekalipun dahulu ada
perjanjian apa-apa, dengan sendirinya batal.”
Namun A Cu lantas berkata, “Kiam-boh apakah itu?
Di mana? Coba kulihat dulu apakah tulen atau palsu!”
“Toan-kongcu ini telah hafal seluruh lukisan Lak-mehsin-
kiam-boh itu,” sahut Ciumoti sambil menunjuk Toan
Ki. “Kini kubawanya kemari, sama saja seperti kubawa
gambar-gambar aslinya.”
“Huh, kukira Kiam-boh apa segala, rupanya Thaysuhu
cuma bergurau saja,” jengek A Pik.
“Siauceng mana berani bergurau?” sahut Ciumoti
sungguh-sungguh. “Lak-meh-sin-kiam-boh yang asli itu
telah dibakar Koh-eng Taysu di Thian-liong-si, syukur
866
Toan-kongcu ini dapat menghafalkan seluruh isinya
dengan baik.”
“Sekalipun Toan-kongcu benar-benar hafal, itu pun
adalah urusan Toan-kongcu sendiri,” ujar A Pik. “Dan
andaikan perlu pergi ke Lang-goan-cui-kok, yang benar
juga Toan-kongcu yang pantas ke sana. Apa sangkut
pautnya dengan Taysu?”
“Untuk memenuhi janjiku dahulu itu, ingin kubakar
Toan-kongcu ini di hadapan makam Buyung-siansing,”
kata Ciumoti.
Keruan Semua orang terperanjat. Tapi melihat sikap
padri itu sungguh-sungguh dan sekali-kali bukan
berkelakar, kejut mereka menjadi lebih hebat.
Maka berkatalah A Cu, “Hah, bukankah Taysu ini
sedang bergurau? Masakah orang baik-baik akan kau
bakar hidup-hidup?”
“Ya, Siauceng hendak membakarnya, rasanya ia pun
takkan mampu membangkang,” sahut Ciumoti dengan
tawar.
Segera A Pik berkata pula, “Taysu bilang Toankongcu
telah hafal isi Lak-meh-sin-kiam-boh, jelas
alasanmu ini sengaja dicari-cari saja. Pikirlah betapa lihai
ilmu Lak-meh-sin-kiam itu, kalau benar-benar Toankongcu
mahir ilmu pedang sakti itu, masakah dia bisa
dikalahkan olehmu?”
“Ya, benar juga ucapanmu ini,” sahut Ciumoti. “Tapi
nona cuma tahu kepalanya tidak tahu ekornya. Toan-
867
kongcu ini telah kututuk Hiat-to kelumpuhannya, antero
tenaga dalamnya tak dapat dikeluarkannya.”
Namun A Cu masih menggeleng kepala, katanya,
“Lebih-lebih aku tidak percaya pada alasanmu ini. Untuk
membuktikan kebenarannya, coba kau buka Hiat-to
Toan-kongcu dan suruhlah dia memainkan Lak-mehkiam-
hoat itu. Tapi kuyakin 99% engkau pasti bohong.”
Ciumoti manggut-manggut, sahutnya, “Baiklah, boleh
juga dicoba!”
Kiranya waktu datang tadi, karena kesengsem oleh
kecantikan A Pik, pula sangat tertarik oleh nyanyiannya
yang merdu, maka Toan Ki telah memberi pujian kepada
dayang itu. Kemudian Toan Ki sudi pula menjura tiga kali
kepada A Cu, hal ini pun memperoleh simpatik dayang
ini. Maka demi mendengar Toan Ki tertutuk oleh Ciumoti,
segera kedua dayang cilik itu sengaja menipu padri itu
supaya melepaskan Hiat-to Toan Ki.
Tak tersangka permintaan mereka itu telah diterima
begitu saja oleh Ciumoti. Segera padri itu menepuk
beberapa kali dada, paha dan pundak lalu Toan Ki
hingga jalan darahnya lancar kembali, sedikit Toan Ki
mengerahkan hawa murninya, terasalah bergerak
dengan sempurna.
Ia coba menjalankan tenaga menurut Tiong-ciongkiam-
hoat dari Lak-meh-sin-kiam itu, ia tarik tenaga
dalamnya ke Tiong-ciong-hiat di jari tengah kanan, maka
terasalah jari itu sangat panas, ia tahu asal sekali jarinya
menuding ke depan, jadilah sejurus tusukan pedang
yang lihai.
868
“Toan-kongcu,” demikian Ciumoti lantas berkata,
“Buyung-lothaythay tidak percaya engkau sudah mahir
Lak-meh-sin-kiam, maka silakan engkau
mempertunjukkannya. Begini, seperti aku menebas
sebatang ranting pohon ini.”
Habis berkata, dengan telapak tangan kiri ia terus
memotong miring ke depan dengan penuh tenaga dalam
yang hebat. Itulah satu jurus yang lihai dari “Hwe-yamto”.
Maka terdengarlah suara “krak” sekali, sebatang
ranting pohon yang cukup besar dan berada di pelataran
sana tahu-tahu telah patah sendiri.
Saking kagetnya sampai Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci
menjerit. Meski sebelumnya mereka tahu Kungfu padri
asing itu sangat lihai lagi aneh, tapi mereka percaya
paling-paling juga cuma sebangsa ilmu sihir dari
kalangan hitam. Tapi kini demi menyaksikan betapa
tinggi Lwekangnya yang digunakan untuk menebas
ranting pohon dari jauh itu, barulah mereka sadar telah
salah sangka.
Maka Toan Ki berkata sambil menggoyang kepala,
“Tidak, aku tidak bisa ilmu silat apa-apa, lebih-lebih tidak
tahu tentang Lak-meh atau Cit-meh-kiam-hoat segala.
Batang pohon yang indah itu kenapa kau rusak tanpa
sebab?”
“Kenapa Toan-kongcu mesti merendah diri,” sahut
Ciumoti. “Di antara jago-jago Toan-si di Tayli, engkaulah
tokoh nomor satu. Di dunia ini kecuali Buyung-kongcu
869
dan aku si Hwesio mungkin tiada seberapa orang lagi
yang mampu menandingimu. Tapi keluarga Buyung di
Koh-soh ini adalah gudangnya ilmu silat di dunia ini, bila
kau mau pertunjukkan beberapa jurus, bila ada
kesalahan, boleh jadi Lothaythay nanti akan memberi
petunjuk seperlunya, bukankah hal ini akan
menguntungkanmu?”
“Toahwesio, sepanjang jalan kau perlakukan aku
dengan kasar, kau banting dan menyeret aku ke sini,
untuk itu aku terima saja diperlakukan sesukamu karena
aku bukan tandinganmu. Sebenarnya aku tidak sudi
bicara denganmu, namun setiba di sini, aku telah dapat
menikmati pemandangan indah dengan gadis-gadisnya
yang cantik, maka rasa dendamku padamu menjadi
terhapus juga. Maka untuk selanjutnya hubungan kita
kuputuskan sampai di sini, masing-masing tidak perlu
saling urus.”
Diam-diam A Pik dan A Cu merasa geli oleh ketololtololan
Toan Ki itu. Tapi demi mendengar mereka dipuji
cantik, betapa pun mereka sangat senang.
Lalu Ciumoti berkata, “Kongcu tidak sudi
mengunjukkan Lak-meh-sin-kiam, bukankah itu berarti
omonganku tadi cuma bualan belaka?”
“Memangnya mulutmu tidak bisa dipercaya,” sahut
Toan Ki. “Jikalau benar engkau ada janji dengan Buyungsiansing,
mengapa tidak dulu-dulu mengambil Kiam-boh
ke Tayli, tapi menunggu setelah Buyung-siansing
meninggal, sesudah tiada saksi, baru kau bikin rusuh ke
sini.
870
“Hm, kulihat engkau sebenarnya mempunyai maksud
tertentu, kau kagum pada ilmu silat keluarga Buyung
yang hebat, maka sengaja mengarang dongeng yang
susah dipercaya untuk menipu Lothaythay, tujuanmu
sebenarnya ingin mengintip kitab pusaka ajaran silat di
kamar perpustakaan keluarga Buyung ini, dengan begitu
engkau akan merajai dunia persilatan.
“Tapi, hah, Ciumoti, kenapa tidak kau pikir, bahwa
nama orang sedemikian gemilangnya di dunia persilatan,
masakah tidak tahu akalmu yang licik ini? Bila cuma
mengandalkan sedikit ocehanmu ini lantas kau kira
rahasia ilmu silat keluarga Buyung dapat kau tipu, wah,
mungkin setiap orang di dunia ini bisa menjadi penipu
ulung.”
Namun Ciumoti ternyata menggeleng-geleng kepala,
katanya, “Tafsiran Toan-kongcu salah besar. Meski
sudah lama ada janjiku dengan Buyung-siansing,
soalnya karena selama ini Siauceng sedang menyepi
untuk meyakinkan ‘Hwe-yam-to’, sudah sembilan tahun
Siauceng tidak pernah keluar rumah, maka tidak sempat
pula mengunjungi Tayli. Bila ‘Hwe-yam-to’ itu tidak
berhasil kuyakinkan, mungkin Siauceng tak dapat keluar
lagi dari Thian-liong-si dengan selamat.”
“Toahwesio,” kata Toan Ki pula, “bicara tentang
nama, engkau memang sudah terkenal. Tentang
kedudukan, engkau adalah Hou-kok-hoat-ong negeri
Turfan, ilmu silatmu pun sudah sekian tingginya. Tapi
mengapa engkau tidak mau hidup tenteram di rumah
dengan kedudukanmu yang agung itu, sebaliknya malah
datang ke sini untuk menipu orang? Kupikir lebih baik
engkau lekas pulang saja.”
871
“Sudahlah, tak perlu banyak omong, bila Kongcu tidak
sudi unjuk Lak-meh-sin-kiam, janganlah menyalahkan
bila Siauceng berlaku kasar,” kata Ciumoti dongkol.
“Kasar? Engkau memangnya sudah kasar padaku,
masakah masih ada pula yang lebih kasar?” sahut Toan
Ki dengan gusar. “Ya, paling-paling sekali bacok kau
matikan aku, kenapa aku takut?”
“Kongcu mau menurut kata-kata Siauceng atau
tidak?” Ciumoti menegas pula.
“Ya, boleh,” sahut Toan Ki.
Ciumoti menjadi girang, katanya, “Jika begitu, silakan
unjukkan ilmu pedangmu yang sakti itu.”
“Ilmu pedang sakti? Apa kau bawa pedang? Boleh
dipinjamkan padaku,” sahut Toan Ki.
Sungguh dongkol Ciumoti tidak kepalang. Serunya
tidak sabar lagi, “Rupanya Kongcuya sengaja hendak
menghinaku, ya? Awas serangan!”
Berbareng telapak tangan kirinya terangkat miring
terus memotong ke muka Toan Ki dengan tenaga yang
kuat.
Namun Toan Ki sudah ambil keputusan bandel. Ia
tahu ilmu silat orang teramat tinggi, bertempur atau tidak
tetap dirinya tak bisa menang. Maksud padri itu ingin
dirinya memainkan Lak-meh-sin-kiam untuk
membuktikan ucapannya bukan bualan belaka, maka ia
872
justru tidak sudi memenuhi keinginan orang. Ketika
serangan Ciumoti itu tiba, dengan nekat Toan Ki sama
sekali tidak menghindar, juga tidak menangkis.
Keruan Ciumoti menjadi kaget malah. Sudah pasti ia
akan membakar Toan Ki di depan kuburan Buyungsiansing,
maka ia tidak ingin membunuhnya sekarang
dengan tenaga dalam serangannya itu. Cepat ia angkat
tangan sedikit ke atas, “sret”, serangkum angin tajam
menyambar lewat di atas kepala Toan Ki hingga secomot
rambutnya terkupas.
Cui Pek-khe saling pandang dengan Ko Gan-ci
dengan terperanjat. Begitu pula A Pik dan A Cu tidak
kurang kejutnya menyaksikan ilmu sakti padri itu.
“Apakah Toan-kongcu lebih suka korbankan jiwa
daripada memenuhi permintaan Siauceng?” tanya
Ciumoti.
Toan Ki memang sudah tidak pikirkan mati atau hidup
lagi, maka sahutnya dengan tertawa, “Haha, Toahwesio
sama sekali belum hilang dari segala macam pikiran
duniawi, mana ada harganya disebut sebagai padri
saleh. Huh, hanya nama kosong belaka.”
Ciumoti tidak meladeni ocehan Toan Ki lagi, tapi
mendadak serangannya ditujukan kepada A Pik sambil
berkata, “Maaf, terpaksa kukorbankan dulu seorang
budak keluarga Buyung ini!”
Sungguh kaget A Pik tak terkatakan oleh serangan
mendadak itu, cepat ia berkelit, “brak”, kursi di
belakangnya seketika hancur berkeping-keping oleh
873
tenaga pukulan Ciumoti. Bahkan golok tangan kanan
Ciumoti menyusul memotong pula.
Syukurlah A Pik sempat jatuhkan diri ke lantai dan
menggelundung ke samping dengan cepat, namun
begitu keadaannya pun sangat mengenaskan.
Pada saat lain, mendadak Ciumoti menggertak sekali,
golok tangan untuk ketiga kalinya membacok lagi.
Saking takutnya sampai muka A Pik menjadi pucat,
meski gerak-geriknya sangat cepat, tapi ia bingung juga
menghadapi bacokan tenaga dalam yang tak kelihatan
itu.
Hubungan A Cu dengan A Pik bagai saudara
sekandung, melihat kawannya terancam bahaya, tanpa
pikir lagi A Cu terus angkat tongkatnya dan menghantam
punggung Ciumoti.
Dalam samarannya baik jalannya maupun bicaranya,
lagak-lagu A Cu memang mirip benar seorang nenek
reyot. Tapi kini dalam keadaan gugup dan buru-buru,
gerak tubuhnya menjadi sangat gesit dan cepat sekali.
Bab 18
Maka sekilas pandang saja Ciumoti sudah dapat
melihat rahasia A Cu itu, katanya dengan tertawa, “Haha,
masakah di dunia ini ada seorang nenek berumur cuma
belasan tahun? Memangnya kau sangka Hwesio dapat
kau bohongi terus?”
Berbareng telapak tangannya membalik dan
menghantam, “krek”, tongkat A Cu itu kontan tergetar
874
patah menjadi tiga potong. Menyusul serangan Ciumoti
dilontarkan pula ke arah A Pik.
Dalam gugup dan khawatirnya, cepat A Pik sambar
meja di sampingnya untuk menangkis serangan orang.
“Prak-prak” dua kali, meja yang terbuat dari kayu gaharu
seketika pecah berantakan, tinggal dua kaki meja yang
masih terpegang di tangan A Pik.
Melihat A Pik terdesak mepet dinding, untuk mundur
lagi sudah buntu, hendak lari pun susah, sementara itu
serangan Ciumoti telah dilancarkan pula, Toan Ki tak
bisa tinggal diam lagi, yang ia pikir hanya lekas menolong
si gadis, tak terpikir olehnya bahwa diri sendiri sama
sekali bukan tandingan Ciumoti.
Maka cepat jari tengah kanan terus menuding ke
depan, tenaga dalamnya lantas terpancar keluar melalui
“Tiong-ciong-hiat” di ujung jari dengan membawa suara
mencicit, itulah Tiong-ciong-kiam-hoat dari Lak-meh-sinkiam
yang lihai.
Sebenarnya Ciumoti tidak bermaksud membunuh A
Pik, tujuannya cuma hendak memancing Toan Ki ikut
turun tangan. Bila dia benar-benar membunuh, mana A
Pik mampu menghindari “Hwe-yam-to” yang tanpa wujud
dan lihai luar biasa itu?
Melihat Toan Ki tertipu olehnya dan turun tangan,
segera Ciumoti membalik tangan dan ganti menyerang A
Cu. Begitu hebat tenaganya, di mana angin tebasannya
tiba, tertampaklah A Cu terhuyung-huyung, baju bagian
pundak terobek juga, gadis itu menjerit kaget.
875
Cepat Toan Ki menolong pula, jari kecil tangan kiri
terus menusuk ke depan dengan “Siau-tik-kiam” untuk
menangkis “Hwe-yam-to” musuh.
Dengan demikian, A Cu dan A Pik terhindar dari
bahaya, akan tetapi sebaliknya Toan Ki yang harus
melayani serangan Hwe-yam-to-hoat Ciumoti dengan
Lak-meh-sin-kiam.
Pertama Ciumoti sengaja hendak pamer
kepandaiannya, kedua ingin orang lain menyaksikan
bahwa Toan Ki benar-benar mahir “Lak-meh-sin-kiam”
yang dikatakan tadi. Maka ia sengaja mengeluarkan
Lwekangnya untuk saling bentrok dengan tenaga dalam
Toan Ki hingga menerbitkan suara mencicit.
Dengan menghimpun tenaga dalam dari berbagai
tokoh kelas wahid yang pernah disedotnya dengan Cuhap-
sin-kang, sebenarnya tenaga Toan Ki sekarang
sudah lebih kuat daripada Ciumoti. Celakanya dia sama
sekali tidak mengerti ilmu silat, Kiam-hoat yang
dipahaminya di Thian-liong-si itu juga cuma
dihafalkannya begitu saja, sedikit pun tak bisa
digunakannya secara hidup. Maka dengan mudah saja
Ciumoti dalam mempermainkannya dan berulang-ulang
memancing tusukan jarinya itu hingga daun pintu dan
jendela berlubang oleh tenaga dalam Toan Ki yang
hebat, berbareng ia pun mengoceh, “Wah, sungguh
hebat Lak-meh-sin-kiam ini, pantas mendiang Buyungsiansing
memujinya setinggi langit.”
Cui Pek-khe juga ternganga heran, pikirnya, “Kukira
Toan-kongcu ini sama sekali tidak mengerti ilmu silat,
siapa tahu kepandaiannya sehebat ini. Toan-si dari Tayli
876
benar-benar tidak bernama kosong. Untunglah ketika
meneduh di Tin-lam-onghu dahulu aku tidak pernah
berbuat sesuatu yang jahat, kalau tidak, masakah aku
dapat keluar dari istana itu dengan hidup?”
Makin dipikir ia jadi merinding sampai jidat penuh
keringat dingin.
Setelah menempur Toan Ki sebentar, kalau mau,
sebenarnya setiap jurus dan setiap waktu Ciumoti dapat
mematikan pemuda itu, tapi seperti kucing permainkan
tikus saja, ia sengaja menggoda Toan Ki agar
mengeluarkan jurus-jurus Lak-meh-sin-kiam.
Tapi sesudah lama, lambat laun hilanglah rasa
memandang rendah Ciumoti, ia merasa Kiam-hoat yang
dimainkan pemuda itu sesungguhnya lain daripada yang
lain, cuma entah mengapa, di mana letak kelihaiannya
sama sekali tak dapat digunakan oleh Toan Ki.
Jadi seperti seorang anak kecil, meski dibekali harta
berjuta-juta toh tidak tahu cara bagaimana
menggunakannya.
Setelah bergebrak beberapa jurus lagi, tiba-tiba
pikiran Ciumoti tergerak, “Bila kelak timbul ilhamnya dan
mendadak ia sadar serta memahami kunci kemukjizatan
ilmu silatnya ini, ditambah lagi tenaga dalamnya dan
Kiam-hoat yang bagus ini pastilah akan merupakan
lawan tangguh paling lihai bagiku!”
Toan Ki sendiri juga sudah sadar mati-hidupnya
sekarang bergantung di bawah tangan Ciumoti, cepat ia
berseru, “A Cu dan A Pik berdua Cici, lekas kalian
877
melarikan diri, kalau terlambat mungkin tidak keburu
lagi.”
“Mengapa engkau menolong kami, Toan-kongcu?”
hanya A Cu.
“Hwesio ini mengira ilmu silatnya mahatinggi dan suka
malang melintang menghina orang lain. Cuma sayang
aku tidak paham ilmu silat, susah untuk melawannya,
maka lekas kalian melarikan diri!”
“Tapi sudah terlambat!” seru Ciumoti tiba-tiba dengan
tertawa. Ia melangkah maju setindak, jari tangan kiri
terus terjulur hendak menutuk Toan Ki.
Toan Ki menjerit kaget dan bermaksud menghindar,
namun sudah terlambat. Tiga Hiat-to penting pada
tubuhnya sekaligus tertutuk, seketika kaki terasa lemas
terus roboh ke lantai. Akan tetapi ia masih berteriakteriak,
“A Cu, A Pik, lekas kalian lari, lekas!”
“Hm, jiwamu sendiri tak terjamin masih ada pikiran
untuk mengurus orang lain?” jengek Ciumoti sambil
kembali ke tempat duduknya. Lalu katanya kepada A Cu,
“Nona ini pun tidak perlu lagi main sandiwara segala.
Sebenarnya siapa yang berkuasa di rumah ini, lekas
katakan? Toan-kongcu ini telah hafal Lak-meh-sin-kiamboh
dengan lengkap, cuma ia tidak paham ilmu silat,
maka tak dapat menggunakannya. Besok juga anak
kubakar dia di hadapan makam Buyung-siansing, bila
Buyung-siansing mengetahui di alam baka, tentu beliau
akan dapat memahami pula bahwa sobat lamanya ini
telah menemui janji dengan baik.”
878
A Cu tahu di pondok Khiam-im-cing-sik ini tiada
seorang pun yang mampu menandingi si Hwesio. Tapi
segera ia mendapat akal, katanya dengan tertawa,
“Baiklah, Toahwesio. Sekarang kami sudah percaya,
kami akan membawa engkau ke makam Loya, tapi
perjalanan ke sana memerlukan satu hari penuh, hari ini
sudah tidak keburu lagi, esok pagi-pagi biarlah kami
berdua mengantar sendiri Toahwesio dan Toan-kongcu
berziarah ke makam Loya. Kini kalian berempat silakan
mengaso, sebentar harap makan malam seadanya.”
Habis berkata, ia gandeng tangan A Pik terus masuk
ke ruangan belakang.
Memandangi bayangan kedua gadis jelita itu, Toan Ki
cuma dapat tersenyum getir saja.
Selang satu jam kemudian, seorang budak laki-laki
keluar memberi tahu, “Nona A Pik mengundang tuantuan
menghadiri perjamuan sederhana di ‘Thing-uh-ki’!”
Ciumoti menyatakan terima kasih, segera ia pegang
tangan Toan Ki dan mengikuti hamba itu ke belakang
disusul oleh Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci.
Setelah menyusuri sebuah jalan kecil yang berliku-liku
dengan batu kecil berserakan, akhirnya sampailah di tepi
sebuah danau. Di bawah pohon Liu tampak tertambat
sebuah perahu kecil.
“Itu di sana!” kata hamba tadi sambil menuding ke
arah sebuah rumah kecil yang dikelilingi air danau.
879
Sesudah dekat, kiranya “Thing-uh-ki” (vila
mendengarkan hujan) yang dimaksudkan dibangun
dengan dahan pohon Siong yang tak terkupas kulitnya,
mungil dan indah seperti buatan alam.
Setelah mendarat, Toan Ki melihat A Pik sudah berdiri
di depan rumah menanti kedatangan tetamunya. Kini
gadis ini memakai baju hijau pupus, berbedak tipis
dengan yanci yang kemerah-merahan. Di sampingnya
berdiri pula seorang gadis cilik lain berusia sebaya
dengan A Pik, berbaju merah dadu, dengan sikap yang
lincah dan nakal sedang memandang Toan Ki dengan
tersenyum simpul. Kalau raut muka A Pik berbentuk bulat
telur, adalah gadis jelita ini berbentuk bundar bagai bulan
purnama, bola matanya hitam dengan kerlingannya yang
tajam hingga menjadikan kecantikannya mempunyai
daya tarik tersendiri.
Begitu Toan Ki menghampiri, segera tercium olehnya
bau harum yang halus. Tanpa pikir lagi ia menegur
dengan tertawa, “Enci A Cu, sungguh tidak nyana gadis
cilik yang cantik seperti engkau ini ternyata juga pandai
memainkan peranan sebagai nenek-nenek!”
Gadis jelita di samping A Pik itu memang benar A Cu
adanya. Ia melirik Toan Ki sekejap, lalu menyahut
dengan tersenyum, “Engkau telah menjura tiga kali
padaku, sekarang engkau menyesal bukan?”
“Tidak, tidak!” sahut Toan Ki sambil menggeleng
kepala. “Aku justru merasa perbuatanku itu cukup
berharga. Cuma terkaanku saja yang agak meleset.”
“Terkaan apa yang meleset?” tanya A Cu.
880
“Sejak mula sudah kuduga bahwa Enci sendiri pasti
serupa Enci A Pik, sama-sama gadis cantik yang jarang
terdapat di dunia ini,” ujar Toan Ki. “Cuma dalam
anggapanku, kuyakin Enci pasti tidak banyak berbeda
daripada Enci A Pik, siapa tahu sesudah bertemu muka,
ternyata ... ternyata ....”
“Ternyata jauh kalah dibandingkan A Pik, begitu
bukan?” sela A Cu cepat.
Segera A Pik menceletuk juga, “Ternyata berpuluh
kali lebih cantik daripadaku hingga engkau terpesona,
bukan?”
“Bukan, bukan! Salah semua!” sahut Toan Ki. “Kupikir
Tuhan ini memang mahaadil, sudah menciptakan gadis
cantik serupa Enci A Pik, juga menciptakan gadis cantik
yang lain seperti Enci A Cu. Raut muka keduanya sama
sekali berbeda, tapi sama-sama bagus dan sama-sama
menariknya, hatiku ingin mengucapkan berbagai pujian
padamu, tapi mulutku justru sukar mengucapkan katakata
yang tepat.”
“Cis!” semprot A Cu dengan tertawa. “Engkau ludah
mencerocos panjang lebar, tapi bilang sukar
mengucapkan sepatah kata?”
Kalau A Cu bicara dengan lincah dan mengomel,
sebaliknya A Pik lantas berkata dengan lemah lembut,
“Atas kunjungan tuan-tuan ke tempat kami yang sunyi ini,
tiada sesuatu yang dapat kami persembahkan, hanya
tersedia sedikit arak tawar dan sekadar makanan yang
terdapat di daerah Kanglam sini.”
881
Lalu ia persilakan tetamunya mengambil tempat
duduk masing-masing, ia bersama A Cu mengiringinya
semeja.
Melihat cangkir, mangkuk dan alat perkakas yang
disediakan itu terdiri dari benda halus semua, diam-diam
Toan Ki memuji. Ketika kemudian pelayan laki-laki
menyuguhkan makanan pengantar, menyusul lantas
masakan panas seperti “Leng-pek-he-jin” (udang goreng
sawi putih), “Ho-yap-tang-sun-theng” (rebung muda
masak daun teratai kuah), “Eng-tho-hwe-tui” (buah Tho
masak ham), “Bwe-hoa-keh-ting” (bunga Bwe masak
ayam), dan macam-macam lagi, setiap masakannya
sangat istimewa dan lain daripada yang lain, di tengah
udang, ikan, daging dan lain-lain dicampur dengan buahbuahan
dan bunga-bungaan, warnanya indah dan
masanya lezat, dengan sendirinya membawa semacam
bau harum dan cita rasa yang sedap.
Keruan yang tidak habis-habis memberi pujian adalah
Toan Ki, katanya sambil tidak lupa melangsir makanan di
hadapannya ke dalam mulut, “Ada tempat seindah ini
barulah ada manusia sepandai ini. Ada orang sepandai
ini barulah dapat menyuguhkan makanan seenak ini.”
“Eh, coba terka, makanan ini masakanku atau
masakan A Pik?” tanya A Cu dengan tertawa.
“Eng-tho-hwe-tui dan Bwe-hoa-keh-ting itu kuyakin
Enci yang memasaknya,” sahut Toan Ki tanpa pikir. “Dan
Ho-yap-tang-sun-theng, Leng-pek-he-jin dan lainnya
tentulah buatan Enci A Pik.”
882
“Ehm, engkau memang pintar,” seru A Cu dengan
tertawa. “Hai, A Pik, cara bagaimana kita harus memberi
hadiah kepada kepandaiannya ini?”
Dengan tersenyum A Pik menyahut, “Toan-kongcu
ingin apa, sudah tentu kita akan menurut saja, masakah
pakai memberi hadiah apa segala, kaum hamba seperti
kita masa ada harganya untuk bicara demikian?”
“Aduh, dasar mulutmu ini memang pandai memikat
hati orang, pantas setiap orang memuji kebaikanmu dan
mengatakan aku jahat,” kata A Cu.
“Yang satu lemah lembut, yang lain lincah gembira,
keduanya sama-sama baik,” ujar Toan Ki dengan
tertawa. “Enci A Pik, di dalam perahu siang tadi engkau
telah memetik sebuah lagu dengan senjata ruyung milik
Ko-toaya, suara tetabuhan itu sampai saat ini seakanakan
masih mengiang di telingaku. Bila nona tidak
keberatan, kumohon sudilah engkau memperdengarkan
beberapa lagu pula dengan alat tetabuhan yang
sungguh-sungguh, untuk mana andaikan besok aku
harus menjadi abu dibakar oleh Toahwesio ini, rasanya
pun takkan kecewa hidupku ini.”
“Jika Kongcu sudi mendengarkan, sudah tentu akan
kumainkan sekadar menghibur tuan tamu,” sahut A Pik
terus berbangkit menuju ke ruangan belakang. Waktu
keluar pula ia membawa sebuah Khim atau kecapi.
Toan Ki heran melihat Khim itu jauh lebih kecil
daripada Khim umumnya, bahkan senarnya juga tidak
tujuh, tapi sembilan senar dengan warna yang berbedabeda.
883
A Pik mengambil tempat duduk di suatu bangku kecil,
ia taruh kecapi itu di atas pangkuannya, lalu katanya
kepada Ciumoti, “Harap Toasuhu memberi petunjuk
nanti!”
“Ah, jangan sungkan,” sahut Ciumoti. Dalam hati ia
merasa curiga, “Mengapa dia menyatakan hendak minta
petunjuk padaku?”
Dalam pada itu kedua tangan A Pik yang putih bersih
bagai salju itu telah mulai beraksi, kelima jari kiri
menekan perlahan di atas senar, sekali jari tangan kanan
memetik, terdengarlah suara “creng” yang nyaring
merdu.
Meski Toan Ki sama sekali tidak paham ilmu silat, tapi
dalam hal “Su-wah-khim-ki” atau seni tulis, seni lukis,
seni musik (Khim) dan seni catur, semuanya ia mahir.
Maka begitu mendengar suara pembukaan yang dipetik
A Pik itu, segera ia tahu bahwa kesembilan senar Khim
itu terbuat dari bahan yang berbeda-beda. Ada senar
baja, ada pula senar tembaga, dan ada pula senar
benang biasa. Yang keras teramat keras, yang lemas
sangat lemas.
Hanya beberapa kali A Pik memetik perlahan suara
kecapi itu sudah mulai mengalun dengan lambat dan
makin lama makin ulem hingga keempat pendengarnya
itu merasa kelopak matanya menjadi berat, rasanya
menjadi kantuk dan ingin tidur.
Cui Pek-khe adalah tokoh yang luas pengalamannya
dan cerdik, ia kenal betapa liciknya orang Kangouw.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar