Harimau Kumala Putih 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 13 September 2011

Bu-ki tak pernah bertemu dengan suaminya, belum pernah juga mendengar mereka
membicara-kan tentang suaminya.
Apakah dia adalah seorang janda?
Ditinjau dari sikapnya terhadap Samwan Kong yang begitu lembut dan mesra, serta sikap
Samwan Kong terhadapnya yang begitu menaruh hormat serta sayang, jelas dapat diduga
bahwa hubungan di antara mereka berdua pasti bukan hubungan biasa.
Tapi hubungan apakah yang terikat diantara mereka? Apakah terdapat hubungan cinta kasih
yang dapat diberitahukan kepada orang lain?
Tentang persoalan-persoalan seperti ini Bu ki ingin sekali mengetahuinya.
Tapi ia tidak menanyakan persoalan itu, karena dalam hatinya masih ada persoalan lain yang
membuat perasaannya masgul, bahkan sedikit agak ngeri dan takut.
Persoalan apakah itu? Tak lain adalah senjata rahasia beracun dari keluarga Tong.
Jilid 8________
SENJATA rahasia sisa yang merupakan bekas-bekas yang tak bisa dipakai oleh anak cucu
keluarga Tong pun sudah memberikan ancaman yang begini menakutkan, tiga orang manusia
206
kurcaci yang tidak mempunyai kedudukan dalam keluarga Tong pun sudah hampir merenggut
nyawanya, bisa dibayangkan betapa mengerikannya anak cucu keluarga Tong sendiri.
Setiap kali teringat akan persoalan itu, dia mulai merasa sedih dan bersusah hati.
Kini keluarga Tong telah bersekongkol dengan pihak Pek leng tong, diantara pengiring
Sangkoan Jin terdapat pula orang orang keluarga Tong . . .
Mungkinkah diantara mereka sudah terikat persekongkolan rahasia? Mungkinkah Sangkoan
Jin telah bersembunyi di gedung keluarga Tong?
Tentu saja ia tak dapat melakukan penggeledahan di rumahnya keluarga Tong, ia sama sekali
tidak mempunyai bukti, apa lagi sekalipun dia mempunyai bukti juga tak mungkin pergi
mencari nya.
Berbicara dari ilmu silat yang dimiliki sekarang, jangankan melakukan penggele-dahan, untuk
memasuki pintu gerbang keluarga Tong pun belum tentu mampu.
Teringat sampai di situ, ia merasakan sekujur badannya menjadi dingin karena basah oleh
peluh.
Dia cuma berharap Samwan Kong bisa menemukan jejak Sangkoan Jin yang sebenarnya, agar
ia dapat menyusun rencana yang bagus untuk menyusup ke dalam gedung keluarga Tong serta
berusaha melakukan sergapan.
Dendam sakit hatinya tak mungkin bisa di balas hanya mengandalkan keberanian serta
semangat yang berkobar-kobar saja.
Di situ ada arak, arak yang sangat wangi.
Orang yang baru menderita luka tak boleh minum arak, orang yang gemar berjudi tak boleh
terlampau suka minum arak, seorang diri minum arak lebih lebih tidak menarik hati lagi.
Maka arak yang tersedia hampir tak pernah disentuh oleh siapapun. Bu-ki memenuhi cawan
araknya dengan air teh, kemudian sambil di angkat ke hadapan Samwan Kong ia berkata:
"Kali ini kugunakan air teh sebagai pengganti arak untuk menghormatimu, lain kali aku pasti
akan menggunakan arak sungguhan untuk menemanimu minum sampai puas"
"Asal lewat dua tiga hari lagi, kau boleh minum arak sungguhan," kata Samwan Kong.
"Aku tak bisa mengendon terlalu lama di sini!"
207
"Hei, kau buru-buru hendak pergi? Ataukah buru-buru hendak mengusirku pergi untuk
mencarikan jejak orang yang sedang kau cari?"
“Kedua-duanya perlu segera kulakukan!"
"Kau buru-buru hendak ke mana?*
"Aku harus pergi ke bukit Kiu-hoa-san, menunggu orang datang mencariku . . . !"
*Menunggu siapa?”
"Aku tidak mengetahui namanya, tidak mengetahui pula asal-usulnya, tapi aku tahu, jika di
dunia ini masih ada orang yang mampu memecahkan kelihayan keluarga Tong, maka orang
itu pasti dia!"
"Dengan cara apa ia sanggup memecahkan kelihayan orang-orang keluarga Tong?*
"Dengan pedangnya!"
Samwan Kong segera tertawa dingin.
"Pernahkah kau saksikan ilmu Boan thian hoa yu (seluruh langit penuh dengan air hujan)
kepandaian melepaskan sen ata rahasia yang paling tangguh dari keluarga Tong?"
Bu-ki tak pernah menyaksikan, tapi ia pernah mendengar.
Konon, jika kepandaian tersebut telah dilatih hingga mencapai puncak kesempurnaan, dalam
waktu yang hampir bersamaan sepasang tangannya bisa melancarkan enampuluh empat
macam senjata rahasia, yang secara bersamaan pula mengancam enam puluh empat buah jalan
darah penting di tubuh seseorang.
Dalam keadaan demikian, kendatipun kau berusaha berkelit ke arah manapun, jangan harap
bisa lolos dari ancaman senjata rahasia tersebut.
"Kecuali dia seorang mempunyai sepuluh buah tangan dengan sepuluh bilah pedang, kalau
tidak jangan harap kepandaian Boan-thian-hoa yu dari keluarga Tong dapat kau pecahkann
demikian Samwan Kong berkata"
"Dia hanya mempunyai sepasang tangan dengan sebilah pedang, tapi sudah lebih dari cukup
untuk mengatasi kepandaian itu," Bu-ki kembali menegaskan dengan penuh keyakinan.
Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik mata Samwan Kong, agaknya iapun telah
menduga siapa gerangan manusia yang dimaksudkan itu.
208
Setelah hening sejenak, kembali Bu-ki berkata:
"Kecepatan gerak dari ilmu pedangnya aku jamin belum pernah kau saksikan atau me dengar
sebelumnya.!”
Samwan Kong sengaja tertawa dingin.
“Heehhh . . . heeehhh . . . heeehhh . . . . sekalipun ilmu pedangnya benar-benar sangat cepat,
sekalipun jurus-jurus pedangnya cukup mampu untuk mengatasi ilmu Boan thian hoa yu dari
keluarga Tong, belum tentu dia akan mewariskan ilmu pedangnya yang maha sakti itu kepada
orang lain, apa lagi kepadamu.*
"Tentu saja belum tentu ia wariskan ilmu pedang tersebut kepadaku, sebab setiap saat ia dapat
membinasakan diriku."
"Bila ia tak ingin membinasakanmu, berarti dia akan mewariskan ilmu pedang itu kepadamu?
Kalau dia tak ingin mewariskan ilmu pedangnya kepadamu, maka dia pasti akan
membinasakan dirimu?"
“Yaa, memang begitulah kenyataannya!”
Samwan Kong tidak berbicara lagi, dia hanya menatap wajah pemuda itu dengan termangu-
-mangu, mungkin saja ia sedang merasapi makna dari kata katanya itu.
BUKIT KIU HOA-SAN
CI PENG mengaca dulu di depan cermin yang besar di dalam ruangan depan perkampungan
Ho hong-san-ceng, setelah merasa puas dengan dandanannya, ia baru melangkah masuk
dengan tindakan lebar.
Dia adalah seorang pemuda yang tampan, tubuhnya jangkung dan gagah, selembar wajah
"babyface"nya yang tak pernah memuakkan orang yang memandangnya selalu dihiasi oleh
sekulum senyuman yang jujur dan mendatangkan simpatik bagi orang melihatnya.
Dandanannya tidak terlalu perlente, tapi tidak juga terlalu rutin, gerak-gerik maupun tingkah
lakunya amat sopan dan terpelajar sehingga tidak akan mendatangkan kesan jelek lagi
memuakkan bagi siapapun.
Dilihat dari luaran, ia adalah seorang pemuda yang tanpa cacad, asal usul serta sejarah
hidupnya tidak pula mendatangkan kecurigaan atau bahan perbincangan bagi orang lain.
Ayahnya adalah seorang piausu yang namanya tidak begitu termashur, tapi sampai menjelang
masa pensiun belum pernah barang kawalannya dibegal orang, setelah pensiun dan pulang ke
kampung, ia membuka perguruan dan menerima murid, meski tiada seorang muridnya yaug
209
berhasil punya nama besar dalam dunia persilatan, murid-muridnya tidak pula melakukan
kejahatan yang menodai pamornya.
Ibunya amat ramah dan terpelajar, dia adalah seorang ibu bijaksana yang terkenal dalam
kampung, dan lagi ilmu sulam menyulamnya amat bagus sekali.
Dimusim dingin yang membekukan badan, di atas badan bocah bocah fakir miskin dalam
kampung, pasti akan ditemukan mantel-mantel hasil bikinan Ci to tay tay.
Sebab itu meskipun keluarga mereka tidak begitu ternama, tapi sikapnya yang begitu ramah
dan bijaksana kepada orang membuat keluarga Ci selalu dihormati dan disanjung orang.
Tahun ini dia berusia dua puluh tiga tahun, masih jejaka dan belum punya istri, kecuali sedikit
suka minum arak, boleh dibilang ia tidak mempunyai kegemaran lain yang sifatnya sebagai
pemborosan uang.
Pada usia enam belas, ia telah bekerja di perusahaan pengawalan barang yang pernah di ikuti
ayahnya selama banyak tahun, tiga tahun kemudian ia telah diangkat menjadi seorang piausu
secara resmi.
Waktu itu dia sudah tahu kalau perusahaan pengawalan barang itu berada di bawah naungan
perkumpulan Tay hong tong, maka serta merta diapun menggabungkan diri dengan
perkumpulan Tay hong tong serta menjadi muridnya seorang Toucu di bawah pimpinan
Sugong Siau hong.
Tak lama kemudian, bakat serta kemampuannya bekerja membuat ia menjadi pusat perhatian
para pemimpin, oleh Sugong Siau hong pribadi diapun diangkat menjadi seorang Hun si.
Walaupun sebagai seorang "Hun si" ia tidak memiliki kedudukan yang tetap, tapi kedudukkan
tersebut langsung berada di bawah pimpinan ketiga orang toa Tongcu, baik dalam soal gaji
maupun dalam hal kedudukan sederajat dengan kedudukan seorang Toucu kantor cabang
malah kadangkala hak kekuasaannya lebih besar.
Tugas serta tanggung jawabnya adalah dalam hal melakukan kontak hubungan serta
penyampai-an berita, diantaranya termasuk juga dalam soal melakukan hubungan ke luar serta
melakukan kunjungan-kunjungan.
Sebab bakat istimewa yang dimilikinya bukan melakukan pembunuhan, juga bukan
menggunakan tenaga kekerasan.
Ia pandai bergaul dan mempunyai selembar mulut yang pandai berbicara, oleh sebab itu ke
manapuu ia pergi, dengan cepat dapat mengikat tali persahabatan dengan siapapun.
210
Ia mempunyai cara penganalisa yang tajam terhadap suatu masalah, reaksi maupun cara
berpikirnya cepat, melakukan pokerjaan tak pernah seadanya dan acuh, bila ia tugaskan uetuk
melakukan pemeriksaan terhadap suatu persoalan, maka dia tak akan membuat orang menjadi
kecewa.
Sugong Siau hong pernah berkata demikian kepadanya: "Nak, suatu ketika kau pasti akan
menjadi seorang Tongcu!"
Sudah dua kali ia pernah berjumpa dengan Tio Kian, Tio jiya, tapi hari ini baru untuk pertama
kalinya ia berkunjung keperkampungan Ho hong san ceng.
Hari ini Sugong Siau-hong memanggilnya datang secara khusus, konon karena sedikit "urusan
prihadi".
jika Tongcu pribadi ada persoalan yang memintanya untuk menyelesaikan, itu berarti ia sudah
masuk ke dalam pusat organisasi tersebut.
Meskipun di luar wajahnya ia berusaha mengendalikan ketenangan hatinya, namun tak dapat
menutupi pergolakan rasa gembira dalam hatinya.
Sudah lama ia mendengar orang berkata bahwa putri kesayangan Tio jiya adalah seorang
gadis cantik yang ternama, lagipula sampai sekarang masih belum punya jodoh, sejak Tio jiya
meninggal dunia, sejak Tio kongcu pergi menmggalkan rumah, Tio siocia inilah yang
mengatur serta mengendalikan perkampungan Ho hong san ceng.
Jika aku dapat menjadi menantunya perkumpulan Hohong san ceng . . . . "
Sesungguhnya hal ini merupakan suatu pengharapannya yang paling rahasia, ia jarang
berpikir sampai ke situ karena setiap kali teringat kembali, jantungnya pasti akan berdenyut
lebih cepat.
Hari ini adalah bulan tujuh tanggal lima, jaraknya dengan saat kematian Tio Kian sudah
mencapai empat bulan lebih.
Sejak bulan empat, tak seorang manusiapun yang pernah mendengar kabar berita tentang Tio
Kongcu, Tio Bu ki lagi.
Tio Bu ki seakan-akan telah lenyap tak berbekas.
Hari ini udara sangat panas.
Walaupun ruang tengah perkampungan Ho hong san ceng tinggi lagi lebar, tapi bila duduk
terlalu lama akan menyebabkan peluh bercucuran bagaikan hujan.
211
Wi Hong nio menghantarkan sendiri sebuah handuk kecil yang direndam dalam air sumur
yang dingin ke hadapan Sugong Siau-hong serta mempersilahkannya menggosok keringat.
Ia selalu lemah lembut dan menyenangkan, tapi belakangan ini ia lebih menunjukkan
ketekatannya serta keteguhan hatinya.
Secara diam-diam ia selalu membantu Cian-cian mengatur rumah tangga, sekalipundemikian,
belum pernah ia memperlihatkan sikap angkuhnya sebagai seorang majikan perempuan.
Hampir semua kelebihan dan keindahan dari seorang perempuan, dapat kau temukan dari
tubuhnya seorang.
Tapi, bakal suaminya ternyata telah "lenyap" tak berbekas.
Dalam hati kecilnya Sugong Siau-hong menghela napas panjang . . . mengapa gadis cantik
selalu bernasib jelek?
Cian-cian masih mengenakan pakaian berkabung, setelah melewati penderitaan serta
percobaan yang berbulan bulan lamanya, sekarang ia sudah benar-benar menjadi dewasa.
Sekarang ia bukan lagi seorang nona kecil yang binal dan liar seperti dulu, sekarang ia telah
menjadi seorang gadis yang dapat berdiri sendiri.
Perubahan tersebut membuatnya tampak lebih matang, lebih berpengalaman dan lebih cantik.
Perkembangan tubuhnya memang sangat baik, semenjak dulu ia sudah mesti mengenakan
selembar kain untulc menutupi bagian dadanya. Hal ini membuatnya kelihatan bertambah
menggairahkan dan mempesonakan, ia tampak seperti sekuntum bunga mawar yang indah
tapi berduri
Setiap kali dia merasakan ada sekelompok pemuda-pemuda tampan yang secara diam-diam
memperhatikannya, lalu tanpa sebab dia akan marah-marah.
Dari luar kedengaran ada orang melapor.
"Hun-si di bawah pimpinan Tongcu dari Tit it tong, Ci Peng mohon menghadap."
Sugong Siau-hong segara memberi penjelasan.
"Aku yang menyuruhnya datang, dua bulan berselang aku telah menyuruhnya pergi mencari
kabar tentang Bu ki."
Cian-cian segera bertanya.
212
"Sudahkah ia menemukan sesuatu kabar tentangnya?"
"Itulah yangingin kutanyakan," Sugong Siau-hong menerangkan. "Maka dari itu kusuruh ia
datang ke mari, agar kaupun ikut mendengarkan keterangannya."
Ketika Ci Peng berjalan masuk, senyuman yang menghiasi bibirnya begitu jujur dan
sederhana. sikapnya mantap dan cukup menyenangkan bagi siapapun yang melihatnya.
Tapi semenjak pandangan pertama, Cian-cian sudah mempunyai kesan yang kurang baik
terhadap orang ini.
Ia kuraug begitu suka terhadap laki-laki yang gemar memakai baju yang begitu rapi dan
rambut yang disisir dengan rapinya semacam ini.
Ia selalu manganggap bahwa laki-laki semacam ini terlalu berlebihan, terlalu tidak memiliki
ke-pribadian.
Seperti kakaknya yang bebas merdeka tidak mengurusi soal dandan dan tubuh sendiri, ia
merasa lelaki-lelaki semacam itulah baru betul-betul merupakan seorang lelaki sejati.
Untung Ci Peng tidak seperti pemuda-pemuda lainnya, menggunakan sorot mata yang
memuakkan untuk memperhatikan wajahuya, lagi pula begitu buka suara yang dibicarakan
adalah adalah pokok persoalan.
Ia berkata demikian:
"Bulan tiga tanggal duapuluh delapan, masih ada orang yang pernah menjumpai Tio kongcu,
agaknya itulah penampilannya yang terakhir di depan umum!"
"Hari itu dia menampakkan diri di mana?” tanya Sugong Siau-hong.
"Disebuah rumah penginapan yang memakai merek Tay-pek-ki di bawah bukit Kiu-hoa-san."
Setelah berhenti sebentar, ia menambahkan lagi.
"Mula-mula dia membeli arak dan rangsum kering lebih dulu di kota, kemudian menitipkan
kuda tunggangannya di rumah penginapan Tay-pek ki dan berpesan kepada ciangkwee untuk
merawat kudanya baik-baik, malah ia meninggalkan pula uang sebesar sepuluh tahil perak
sebagai uang rumput untuk kudanya."
"Kalau begitu, dia pasti telah pergi ke bukit Kiu-hoa-san!" kata Sugong Siau-hong.
"Semua orang memang berpendapat demikian, cuma saja . . . .cuma saja"
213
Menyaksikan ia berbicara terbata-bata, dengan suara menggeledek Cian-cian segera
membentak:
"Cuma saja kenapa?"
Sikapnya itu kurang begitu baik, karena selamanya ia paling benci dengan segala manusia
yang bicaranya terbata-bata.
Ci Peng mengetahui akan persoalan itu, maka segera jawabnya:
"Setelah naik ke atas gunung, tak pernah ia turun kembali dari tempat tersebut!"
"Dari mana kau bisa tahu?" tanya Cian-cian.
"Sebab kota kecil itu merupakan jalan lintas yang paling fital untuk memasuki bukit tersebut,
lagipula kuda tunggangannya hingga sekarang masih tertinggal di rumah penginapan Taypek-
ki, dengan mata kepala sendiri kusaksikan bahwa kuda tersebut adalah sebuah kuda
baik."
Buat seorang lelaki macam Bu-ki, nilai dari seekor kuda jempolan kadangkala hampir
me-nyerupai seorang sahabat karib.
Oleh karena itu, aku pikir jika Tio kongcu sudah turun gunung, tak mungkin dia akan
meninggalkan kuda sebagus itu dirumah penginapan, kata Ci Peng.
Setelah berpikir sebentar, kembali ia menambahkan:
"Akan tetapi Han ciangkwee pemilik rumah penginapan itu merasa tak perlu cemas, karena
ongkos rumput sebesar sepuluh tahil perak itu paling tidak bisa memelihara kuda itu selama
satu tahun."
"Satu tahun?"ujar Cian-cian sambil mengernyitkan alis matanya, "apakah ia telah mempunyai
rencana untuk tinggal selama satu tahun di atas bukit tersebut?"
"Oleh sebab itulah aku dengan membawa dua belas orang telah naik ke bukit untuk
melakukan pencarian, setiap gua karang dan kuil Budha yang besar kecil tak terhitung
banyaknya itu sudah kami geledah semua, tapi setitik jejakpun tidak berhasil kami temukan."
"Apakah setelah naik ke atas bukit, dia lantas lenyap tak berbekas dengan begitu saja?"
Ci Peng termenung dan berpikir sejenak, lalu sahutnya:
214
"Mungkin saja ia tak pernah naik keatas gunung, sebab semua hwesio yang ada di atas bukit
telah kutanyai semua, tapi mereka semua mengatakan bahwa tak pernah menyaksikan seorang
pemuda macam Tio kongcu "
Padahal manusia semacam Tio Bu-ki adalah seorang pemuda yang gampang meninggalkan
kesan mendalam di hati orang, entah ke manapun dia pergi, pasti akan menarik perhatian
orang banyak.
Sugong Siau-hong lantas bertanya:
"Hari itu manusia-manusia siapa saja yang telah menjumpai dirinya?"
“Tidak sedikit penduduk yang tinggal di sekitar tempat itu merasa kenal dengan Tio Kongcu."
"Kenapa mereka bisa kenal dengan dirinya?"
Tampaknya Ci Peng tidak bermaksud menerangkan alasannya, tapi setelah menyaksikan raut
wajah Cian-cian yang cemberut, ia segera berubah pikiran semula.
Secara ringkas ia menjelaskan:
"Sejak bulan tiga tanggal delapan sampai bulan tiga tanggal dua puluh tiga, selama setengah
bulan saja Tio Kongcu telah menjadi orang yang ternama di tiga belas kota disekitar tempat
itu."
Sinar matanya seakan-akan telah memancarkan kekaguman, lanjutnya lebih jauh:
"Karena dalam setengah bulan itu, seluruhnya ia sudah melemparkan tigapuluh sembilan kali
angka "tiga kali enam," hampir semua rumah judi berhasil dia kalahkan, bahkan Ciau Jit tayya
yang punya julukan "Raja judipun" pernah jatuh kecundang di tangannya."
Sesungguhnya dia tak ingin membicarakan persoalan semacam itu, sebab iapun tahu kalau
waktu itu Bu-ki masih mengenakan pakaian berkabung, tidak pantas bagi orang berkabung
untuk mengunjungi rumah judi clan bermain dadu.
Tapi ia tak ingin Cian-cian menuduhnya sengaja menyembunyikan sesuatu, ia dapat menebak
tabiat dari perempuan itu.
Dapat mengenali watak dan perangai seseorang dalam sekali dua kali pandangan saja, hal itu
sudah merupakan salah satu kemampuannya yang luar biasa.
Paras muka Hong-nio segera berubah, Cian-cian ikut berteriak pula keras-keras:
"Kenapa ia berkunjung ke rumah judi untuk bertaruh? ia bukan manusia macam itu!"
215
Ditatapnya Ci Peng dengan mata melotot dan nada marah, kemudian ujarnya kembali.
"Kau pasti sedang ngaco belo sendiri!"
Ci Peng tidak membantahpun tak ingin membantah, dia tahu cara yang paling cerdik adalah
mempertahankan ketenangannya.
Betul juga, Sugong Siau-hong segera berkata untuknya:
"Dia tak akan berani berbohong, tentu saja Bu-ki bukan seorang manusia sembrono yang
bodoh semacam itu, dia bisa berbuat demikian karena ia pasti mempunyai tujuan tertentu."
Padahal ia tahu, Bu ki berbuat demikian karena ingin "memancing" kemunculan Samwan
Kong.
Diapun tahu kenapa Bu-ki bcrkunjung ke atas bukit Kiu-hoa-san, dia bahkan tahu siapa yang
sedang dicari si anak muda itu.
Anehnya, ternyata ia tidak mengatakan kepada mereka, mungkin dia mengira bila persoalan
tersebut diutarakan, mungkin Cian-cian akan lebih kuatir lagi.
Kembali Cian-cian melotot dua kejap ke atas wajah Ci Peng, kemudian baru tanyanya:
"Sebelum bulan tiga tanggal duapuluh tiga, ia berada di mana?"
"Tengah hari bulan ketiga tanggal duapuluh tiga, ia bersantap siang bersama dua orang tauke
rumah judi dirumah makan Siu-oh-khang yang baru dibuka dan khusus menjual hidangan
Suzhuan, pada waktu itu dia telah membinasakan tiga orang anggota keluarga Tong dari
Suzhuan."
Seolah berhenti sejenak ia melanjutkan:
"Aku telah menyelidiki dengan jelas asal usul mereka, kecuali seseorang yang bernama Tong
Hong adalah cucu keponakan dari Tong Ji sianseng, dua orang lainnya adalah famili jauh dari
keluarga Tong.""
Cian-cian tertawa dingin tiada hentinya, kemudian katanya:
"Orang-orang keluarga Tong telah memasuki wilayah kekuasaan kita, ternyata kalian baru
tahu setelah kakakku berhasil membinasakan mereka, sebetulnya apa pekerjaan kalian diharihari
biasa?"
Ci Peng. kembali menutup mulutnya rapat-rapat.
216
Akhirnya Cian-cian merasa bahwa perkataannya bukan hanya mmaki dia saja, bahkan Sugong
Siau-hongpun ikut kena didamprat, maka cepat-cwpat dia mengalihkan pembicaraan ke soal
lain.
"Setelah membunuh ketiga orang itu, ke mana ia telah pergi .?" tanyanya kemudian.
"Sejak tanggal dua puluh tiga sampai tanggal dua puluh tujuh selama lima hari, tak seorang
manusiapun yang pernah berjumpa dengan jejak Tio kongcu, hingga pada tanggal duapuluh
delapan ia baru munculkan diri dibawah bukit Kiu-hoa-san."
"Dan kemudian secara tiba-tiba ia lenyap tak berbekas?"
"Benar!"
Tidak tahan lagi Cian-cian tertawa dingin.
"Inikah hasil penyelidikanmu selama ini?" tegurnya.
"Benar!"
Sugong Siau-hong yang berada di sampingnya segera tertawa ewa, timbrungnya dari
samping:
“Sekalipun hanya soal-soal itu saja yang berhasil ia selidiki, aku pikir belum tentu orang lain
dapat manyelidiki kabar sebanyak itu.”
Tiba-tiba Cian-cian melompat bangun, lalu teriaknya keras-keras:
"Kenapa aku musti menyuruh orang lain yang mencari berita? Memangnya aku tak bisa pergi
sendiri?"
“Tapi urusan di sini ..........”
"Urusan kakakku jauh lebih penting dari persoalan apapun," tukas Cian-cian sebelum Sugong
Siau-hong menyelesaikan kata-katanya.
Tentu saja Sugong Siau-hong dapat memahami wataknya, maka ia tidak bermaksud
menghalangi niatnya, dia hanya bertanya:
"Siapa-siapa saja yang akan kau ajak pergi?"
Sebelum Cian-cian menjawab, tiba-tiba Hong-nio bangkit pula sambil berkata:
217
"Dia hanya mengajakku seorang!"
Meskipun sikapnya masih lembut, tapi memancarkan ketegasan dan tekad hatinya.
"Karena sekalipun ia tidak mengajakku, aku sendiripun bisa pergi seorang diri."
Dulu berada di sungai Kiu-kung.
Jauh memandang bukit Kiu-hoa.
Air terjun airnya jernih.
Tanganku menggapai.
Siapapun boleh ikut.
Tuan men jadi tukang traktir.
Berbaring di bawah awan nun tebal.
Itulah bait-bait syair dari dewa syair Li Pak, Kiu-hoa-sun erat sekali hubungannya dengan
orang ini.
Ia pernah bilang begini:
"Dulu namanya bukit Kiu-cu-san, Li Pak bilang sembilan bukit bagaikan bunga teratai yang
disayat-sayat, karenanya mengganti Kiu-cu-san menjadi di Kiu-hoa-san."
Kalau bukitnya erat hubungan dengan dewa syair ini, maka di atas bukit, di bawah bukit akan
kau temui banyak tempat yang memakai nama Tay-pek.
Tay-pek-ki adalah salah satu diantaranya.
Kini Tio Cian-cian dan Wi Hong-hio telah berada di Tay-pek-ki.
*****
"Inilah kuda milik Tio kongcu," kata ciang-kwee dari Tay-pek-ki, "kami belum pernah
mengurangi rumput segar bagiannya barang sedikitpun jua. ...."
Tak bisa disangkal lagi ciangkwee yang gemuk dan putih itu adalah seorang lelaki jujur, Ciancian
juga tahu kalau ucapannya itu adalah kata-kata yang jujur.
218
Kuda milik Bu-ki dipelihara dalam sebuah istal kuda yang tersendiri, kuda itu sangat gemuk,
hanya saja selalu menunjukkan sikap acuh tak acuh, seakan-akan diapun sedang merindukan
majikannya.
Berjumpa dengan Cian-cian, ternyata ia masih mengenalinya, ia meringkik dengan gembira
dan membesutkan kepalanya di tubuh Cian-cian.
Hampir saja Cian-cian melelehkan air matanya karena pedih.
Ia berpaling menengok ke arah Hong Nio, ketika itu Hong-nio berdiri jauh seorang diri di
bawah sebatang pohon, air matanya telah jatuh bercucuran membasahi seluruh wajahnya.
Sesungguhnya ke mana perginya Bu-ki? Ke mana ia pergi dan tak kembali lagi?
Waktu bersantap telah tiba.
Mereka tak ingin makan, pun tak tega untuk makan, sayur dan nasi telah dihidangkan di atas
meja menantikan mereka.
Sayur yang mereka pesan terdiri dari enam macam sayur dengan semacam kuah, sepiring
ayam masak tauge, sepiring cah sayur putih, sepiring hati babi masak kecap, sepiring sayur
dimasak cabe, sepiring ikan gurame masak tauco, sepiring Ang-sio-hi dan semangkuk kuah
gambas.
Sesungguhnya sayur semacam itu hanya sayur biasa, tapi mereka sangat terkejut dibuatnya.
Sebab keenam macam sayur itu justru merupakan kesukaan mereka dihari-hari biasa, dalam
sepuluh kali bersantap paling tidak ada sembilan kali mereka bersantap dengan sayur-sayur
tersebut.
Mengapa ciangkwee rumah penginapan ini bisa mengetahui sayur kesukaan mereka?
"Siapa yang suruh kalian membuatkan sayur-sayur itu?" tak tahan Cian-cian segera bertanya.
"Seorang tamu di ruang sebelah barat yang memesankan" jawab ciangkwee itu sambil tertawa
paksa, "katanya sayur-sayur itu adalah sayur kesukaan nona-nona sekalian."
Paras muka Cian-cian segera berubah menjadi merah padam karena marah dan mendongkol
serunya:
"Bukankah tamu itu bernama Ci Peng?"
Ciangkwe segera mengangguk.
219
Sebelum ia sempat berkata apa-apa lagi, Cian-cian telah melompat bangun sambil berteriak:
"Panggil dia ke mari, cepat sedikit, makin cepat semakin baik!"
Ci Peng telah datang, datang dengan sangat cepat.
Ketika bertemu dengannya, Cian-cian menunjukkan sikap bagaikan berjumpa dengan musuh
besarnya.
Dengan wajah membesi ia berseru:
"Mau apa kau mengikuti kami sampai di sini?"
"Aku datang untuk menjalankan perintah!" jawab Ci Peng.
"Perintah siapa?"
"Sugong tongcu!"
"Mau apa dia suruh kau datang kemari?"
"Untuk menjaga nona berdua!"
Kontan saja Cian-cian tertawa dingin, “Heeeh. . .Hee. . . heeehhh . . . atas dasar apa kau
menganggap kami membutuhkan perlindungan orang lain?"
"Aku hanya tahu melaksanakan tugas seperti yang diperintahkan!"
"Dari mana kau bisa tahu kalau sayur-sayur itu adalah kegemaran kami?"
"Setelah Sugong tongcu melimpahkan tugas dan tanggung jawab itu kepadaku, sudah
sepantas-nya kalau persoalan itupun harus kuketahui."
Dengan gemas Cian-cian melotot sekejap ke arahnya, lalu tertawa dingin tiada hentinya.
"Hehhhe. . . heehhe. . . heehhe. . . tampaknya kau memang sangat pandai melaksanakan
tugas!"
Ci Peng tidak menjawab.
"Dapatkah kau melaksanakan sebuah pekerjaan untukku?"
"Silahkan diperintahkan."
220
Kembali Cian-cian melompat bangun, kemudian teriaknya keras-keras: "Dapatkah kau
menyingkir dari hadapan kami? Semakin jauh semakin baik !"
Malam telah tiba, sinar lentera menerangi seluruh ruangan:
Tampaknya Cian-cian masih marah, sekalipun dihari-hari biasa diapun sering marah, tapi
belum pernah selama ini marahnya.
"Apa yang membuat kau menjadi marah?" tanya Hong-nio lembut.
"Aku sangat benci dengan orang itu!"
"Aku tidak berhasil menemukan hal-hal yang membuatnya tampak amat menjemukan atau
pantas dibenci!"
"Tapi aku dapat melihatnya!"
Hong-nio tidak bertanya lebih jauh.
Ia tahu seandainya dia bertanya lagi.
"Bagian manakah dari tubuhnya yang paling menjemukan?"
Serta marta Cian-cian pasti akan menjawab begini:
"Seluruh tubuhnya dari atas sampai bawah, tak sebagianpun dari tubuhnya yang tidak
men-datangkan rasa jemu!"
Jika seseorang telah membenci orang lain, pada hakekatnya ia tidak memerlukan alasan
apapun.
Seperti pula jika seseorang telah menyukai orang lain, diapun tidak memerlukan alasan
apapun jua.
Kadangkala tanpa alasan memang jauh lebih baik dari pada ada alasan.
Maka dari itu Hong-nio hanya berkata dengan hambar: "Entah bagaimanapun juga, dia toh
diutus kemari oleh Sugong Tayya, paling tidak kau harus memberi muka untuk Sugong tayya!"
Manjur juga perkataannya itu.
Di hari hari biasa Hong-nio memang jarang berbicara, tapi bila ia sudah berbicara, maka
seringkali ucapannya akan mendatangkan kemanjuran.
221
Sikap Cian-cian sudah banyak berubah, tapi pada saat itulah mereka mendengar suara jeritan
kaget.
Itulah jeritan kaget yang diperdengarkan oraug banyak pada saat yang hampir bersamaan.
*****
Tio Cian-cian dan Hong-nio tinggal di kamar tamu sebelah belakang, ke arah belakang sana
adalah tempat tinggal dari ciangkwe pemilik rumah penginapan serta para pelayannya.
Jeritan ngeri itu berkumandang dari arah belakang sana.
Hong-nio bukan seorang perempuan yang suka banyak urusan, tapi mendengar jeritan itu,
Cian-cian telah menerjang ke luar.
Terpaksa dia harus mengikuti di belakangnya, ia tak ingin berdiam seorang diri di dalam
kamar yang sepi dan masih asing baginya ini.
Ruang bangunan di belakang sana jauh lebih buruk dari pada bangunan di depan sana, mana
lebih kecil lagi, dalam ruangan hanya ada sebuah lentera yang menerangi sekeliling ruangan.
Rumah itu amat sempit, hanya memuat sebuah meja dan beberapa buah bangku, di atas meja
tertera nasi dan sayur.
Tadi Ciangkwe suami istri dan keempat orang pelayannya sedang bersantap, makan punya
makan, tiba-tiba ciangkwe itu roboh ke tanah.
Ia salah makan sebatang duri ikan, baru saja duri itu hendak dicabutnya dari dalam mulut,
tubuhnya telah roboh terjengkang ke tanah.
Sewaktu orang lain memayangnya bangun, tiba-tiba saja sekujur badannya telah melingkar
menjadi satu, mana mengejang pula tiada hentinya, bibir yang gemuk kini membengkak besar
sekali, seperti baru saja kena sebuah pukulan keras.
Bininya sudah hampir gila saking paniknya, ia berlutut di tanah sambil berusaha keras
merogoh ke dalam mulutnya dan suruh ia muntahkan ke luar duri ikan tersebut.
Setiap orang telah menduga kalau duri ikan itu beracun, tapi tidak menyangka kalau racun
dari sebatang duri ikan ternyata begini lihaynya . . . . . .
Ketika Cian-cian tiba di sana, paras muka sang ciangkwe yang gemuk itu telah menghitam,
sepasang biji matanya melolot ke luar.
222
Menanti bininya berhasil mengorek ke luar duri ikan itu, sekujur tubuhnya telah kaku dan tak
mampu berkutik lagi.
"Gara-gara duri ikan sialan!"
Dengan perasaan cemas, takut dan marah, istrinya menggigit duri ikan itu dan berusaha
melumatnya sampai hancur.
"Cepat tumpahkan ke luar, cepat tumpahkan lee luar!" tiba-tiba Cian-cian membentak keras.
Sekali lagi istrinya Ciangkwe merasa terkejut, duri ikan di mulutnya terjatuh lee tanah dan....
"Tring!" menimbulkan dentingan yang cukup nyaring.
Sekarang semua orang baru melihat, duri ikan itu bukan sembarangan duri ikan, duri ikan itu
tak lebih hanya sebatang jarum, sabatang jarum yang lebih kecil dari pada jarum untuk
menjahit.
Di bawah timpaan sinar lentera, ujung jarum itu memantulkan sinar hijau kegelapan yang
agak kebiru-biruan.
Cian-cian mengambil sepasang sumpit dan menjepit jarum tadi, paras mukanya segera
berubah hebat, tak tahan ia menjerit tertahan:
"Aaaah . . . Jarum beracun dari keluarga Tong!"
"Haaah . . . ? Mana mungkin jarum beracun?" jerit istri ciangkwe macam orang histeris,
"mana mungkin dalam ikan ada jarum beracunnya?"
Di tengah jeritan-jeritan histerisnya yang parau dan menyeramkan, tiba-tiba kulit mukanya
mulai mengejang kencang, menyusul kemudian sekujur badannya melingkar menjadi satu,
keidaannya persis seperti keadaan suaminya ketika roboh terkapar ke atas tanah tadi.
Menyaksikan keadaan majikan perempuannya, para pelayan merasa sangat ketakutan, mereka
berdiri tertegun dan take tahu apa yang musti dilakukan . . . .
"Siapakah diantara kalian yang telah makan ikan?" Cian-cian berteriak dengan lantang,
Paras muka para pelayan itu berubah hebat, dengan ketakutan dan perasaan ngeri yang
bercampur aduk, semua orang berdiri kaku seperti patung, tubuh mereka gemetar keras,
karena setiap orang telah makan ikan yang di maksud.
Mereka semuapun mulai berjongkok dan sekuat tenaga mengorek mulut sendiri, mereka ingin
memuntahkan ke luar semua isi perut yang baru saja dimakannya itu.
223
Tapi apa yang berhasil mereka tumpahkan ke luar tak lebih hanya air asam, sekalipun duri
ikan yang mereka makan berhasil dikocok ke luar, keadaanpun sudah terlambat.
Tiba-tiba tiga orang diantara keempat orang pelayan itu roboh terkapar di atas tanah,
kemudian tubuhnya segera menyusut dan menggumpal menjadi satu.
Pelayan yang tidak ikut roboh itu sudah dibikin ketakutan setengah mati, sekujur badannya
lemas tak bertenaga, bahkan celananya sudah ikut basah kuyup karena entah sedari kapan ia
sampai terkencing-kencing.
"Kau tidak makan ikan itu?" tegur Cian-cian.
Dengan gigi yang saling beradu karena takut, pelayan itu menjawab terbata-bata:
"Aku . . aku telah maa. . . makan ikan yang. . . yang tidak pakai . . . pakai tauco"
Betul juga, di meja memang terdapat dua macam masakan ikan laut, yang satu adalah ikan
gurame masak ang-sio sedang yang lain adalah ikan masak tauco.
Ia hanya makan Ang sio hi dan tidak makan ikan masak tauco.
Jarum beracun itu justru berada dibalik ikan masuk tauco tersebut, racun jahat dari ujung
jarum telah merubah sepirng ikan masak tauco menjadi sepiring ikan beracun pencabut
nyawa, asal orang makan sepotong saja maka jiwanya tak akan ketolongan, apalagi sang
ciangkwe langsung menggigit jarum beracunnya tentu saja daya karja racun itu kambuh jauh
lebih cepat.
Sekarang jelasnya sudah bahwa ada orang yang sengaja hendak mencelakai mereka, tak
mungkin tanpa sebab musabab senjata rahasia beracun dari keluarga Tong bisa terjatuh
kedalam sepiring hidangan ikan masak tauco .....
Tapi, siapakah yang menaruh jarum beracun itu dalam ikan? Siapa pula yang sebenarnya
hendak mereka racuni?
*****
Di atas meja terdapat aneka macam sayur di tambah semangkuk kuah.
Kecuali dua macam hidangan ikan segar itu, masih ada lagi sepiring ayam masak tauge,
sepiring cah sayur putih, sepiring hati babi masak kecap, sepiring sayur masak cabe dan
semangkuk besar kuah gambas.
Sebenarnya sayur itu disiapkan untuk Cian-cian dan Hong nio.
224
Ciangkwee rumah penginapan itu selalu hidup menghemat, kalau di rumah tak ada orang,
untuk memasang lampupun enggan, tentu saja lebih lebih tak mungkin untuk membuang uang
guna memesan hidangan selezat dan semewah itu.
Karena Cian-cian berdua sama sekali tidak menjamahnya, maka diapun mengundang istri dan
pegawai pegawainya untuk menikmati bersama hidangan tersebut.
Siapa tahu sayur semeja itu justru merupakan bencana pencabut nyawa bagi mereka semua.
Menyaksikan kematian mengerikan yang menimpa orang-orang tak bersalah itu, sekujur
badan Hong nio gemetar keras, ia bersandar di dinding ruangan sambil mengucurkan air mata.
"Rupanya kami berdualah yang sebenarnya hendak ia racuni!"
Aneka macam sayur itu disiapkan secara khusus olah Ci Peng untuk mereka berdua, tapi
mengapa Ci Peng hendak meracuni mereka berdua? Jangan jangan ia telah betsekongkol
secara diam-diam dengan keluarga Tong?
Dengan wajah hijau membesi Cian-cian menggigit bibirnya lalu berkata: "Kau hendak ikut
aku pergi? Ataukah menunggu di sini saja?"
Kau . . . kau hendak kemana?*
"Aku hendak membunuh orang !"
Kembali air mata Hong nio jatuh bercucuran, selamanya dia paling benci dengan segala
macam kekerasan serta drama yang mengakibatkan mengalirnya darah kental, ia tak berani
melihat orang lain membunuh orang, tapi ia lebih-lebih tidak berani untuk berdiam seorang
diri di situ.
Tiba-tiba ia mulai membenci diri sendiri, ia membenci diri mengapa begitu lemah dan tak
berguna?
Sambil menutupi wajahnya dia menerjang ke luar, baru saja ke luar dari pintu, ia telah
menumbuk di tubuh seseorang.
Ternyata orang itu tidak lain adalah Ci Peng.
Malam itu malam bulan tujuh, beribu-ribu bintang memenuhi angkasa.
Sinar bintang yang redup memancar di atas wajah Ci Peng, senyumannya yang jujur dan
polos kini lenyap tak berbekas, sebagai gantinya terlintaslah sikap buas, sesat dan jahat di atas
wajahnya.
225
Ketika Cian-cian memburu ke luar setelah mendengar jeritan kaget dari Hong nio, Ci Peng
telah mencengkeram pergelangan tangan gadis itu.
"Lepaskan dia !"
Ci Peng hanya memandang ke arahnya dengan pandangan dingin, sama sekali tidak terlintas
ingatan baginya untuk lepas tangan.
Cian-cian ingin menerkam ke muka, tapi niat tersebut segera dibatalkan, Hong nio masih
berada di tangannya, ia tak boleh bertindak secara sembarangan.
Dengan susah payah ia berusaha mengendalikan perasaannya yang bergolak, lalu dengan
suara rendah tegurnya:
"Kenapa kau lakukan perbuatan seperti ini?"
Sinar mata Ci Peng sama sekali tidak berperasaan, jawabnya dengan dingin dan ketus:
"Sebab aku ingin membuat kau tahu, bahwa sesungguhnya kau bukan seorang gadis yang luar
biasa."
Suaranya kian lama kian bertambah tajam, ibaratnya sebilah pisau yang amat tajam, kau tidak
lebih hanya seorang lonte kecil yang sudah terbiasa dimanja oleh bapakmu."
Siapapun tidak akan menyangka kalau ucapan semacam itu bisa diutarakan oleh seorang
lelaki yang dihari-hari biasa tampak lemah lembut dan amat terpelajar.
Saking mendongkolnya, sekujur badan Cian-cian gemetar keras.
Tiba-tiba dari kegelapan sana kedengaran ada orang bertepuk tangan sambil tertawa cekikikan
.
"Haaahhh . . . haaahhh . . , haaahh . . tepat sekali, bocah perempuan itu memang rada mirip
lonte, wah, kalau dibayangkan gerakan tubuhnya sewaktu "gituan" di ranjang, tanggung pasti
yahud !"
Dua orang manusia muncul dari balik kegelapan.
Yang rada tinggian berbahu lebar dan perut agak busung, senyumannya licik dan tengik
sepasang matanya sedang mengawasi bagian bawah pinggang Cian-cian dengan sorot mata
yang amat buas.
Sedang yang rada pendek bermuka licik dan serius, sepasang matanya yang kecil tapi tajam
itu kelihatan seperti seekor ular berbisa.
226
Pada bagian pinggang kedua orang itu sama-sama tergantung sebuah kantung kulit, sedang
pada tangan kanannya mengenakan sebuah sarung tangan yang terbuat pula dari kulit
menjangan.
Tapi sepasang mata Cian-cian sudah berubah merah membara, ia tak ambil perduli apa yang
bakal terjadi, ruyung lemas pada pinggangnya segera dilepaskan, kemudian sekali melompat
ia telah menubruk ke muka.
Sekalipun Tio jiya kurang setuju kalau anak perempuannya belajar silat, tapi nona besar ini
secara diam-diam telah melatihnya dengan tekun dan sungguh-sungguh.
Pada dasarnya dalam perkampungan Ho-hong-san-ceng memang banyak terdapat jago lihay,
ditambah lagi kakaknya sering mewariskan ilmu silat kepadanya, dan diapun luar biasa
cerdiknya,maka setelah berlatih banyak tahun, permainan ruyungnya boleh dibilang sudah
amat lihay.
Cuma sayangnya kedua orang itu bukan anggota perkampungan Ho-hong san-ceng,
merekapun tak perlu sengaja mengalah kepadanya.
Si pendek macam ular berbisa itu tiba-tiba menggetarkan tangannya yang bersarung tangan ke
depan, lalu seperti lilitan seekor ular tahu-tahu ia cengkeram gagang ruyung itu.
Meski Cian-cian terkejut, ia tak berani gegabah, tendangan Yen yang siang hui tui (tendangan
berantai burung meliwis) nya sudah banyak merobohkan lawan.
Serentak sepasang kakinya melancarkan serangkaian tendangan berantai ke depan.
Menanti ia mengetahui kalau ilmu silatnya tidak setinggi apa yang dibayangkan semula,
keadaan sudah terlambat.
Kakinya tahu-tahu sudah kena ditangkap oleh sebuah tangan yang sangat besar.
Orang yang rada tinggi itu menggunakan tangannya yang besar untuk mencengkeram kakinya
yang kecil mungil, lalu pelan-pelan mengangkatnya tinggi ke atas, senyuman yang menghiasi
ujung bibirnya makin jalang dan cabul kemudian sambil tertawa terkekeh-kekeh ejeknya:
"Waaah . . . gaya beyini meming sedap dilihat, apalagi kalau dipakai untuk gituan . . . . Ooh,
sedap!"
Meskipun Cian-cian masih perawan dan suci bersih, bukan berarti kata-kata kotor tersebut
tidak dipahami olehnya, sebab bagaimanapun juga manusia memang serba tahu, apalagi
dalam masalah busuk ini? semacam begitu.
227
Gadis itu merasa yaa malu, yaa cemas, yaa benci, akhirnya ia menyemburkan semulut riak
kental ke wajah orang itu.
"Babi kau!"
Paras muka orang itu berubah hebat, berubah sedemikian hebatnya sampai kelihatan
menyeringai seram dan menakutkan.
"Jangan!" tiba tiba Ci Peng berteriak.
Tapi orang itu sudah menyarangkan sebuah bogem mentahnya ke atas dada Cian-cian, rasa
sakit yang aneh dan luar biasa membuat air mata gadis itu jatuh bercucuran, sekujur badannya
mengejang keras, bahkan untuk berteriakpun tak sanggup.
Semakin mencorong sinar tajam dari mata itu, kembali ia tertawa terkekeh-kekeh, kepalannya
telah disiapkan untuk melancarkan sebuah pukulan lagi.
Tapi kali ini kepalannya sudah kena ditangkap oleh laki-laki yang agak pendek itu.
Dengan gelisah orang itu berseru: "Lo-sam, bolehkah kubereskan dulu lonte busuk ini”
"Tidak boleh!" jawab Lo-sam.
"Kenapa tidak boleh?"
"Karena aku mengatakan tidak boleh!"
Kembali orang itu berteriak: "Hei, apakah kau harus menyuruh loco menyerahkan bocah
perempuan yang halus dan lembut ini untuk si anak kura-kura itu?"
Sebenarnya mereka berbicara dengan dialek umum, tapi dalam berangnya orang itu telah
memperdengarkan dialek aslinya.
Paras muka Lo-sam berubah menjadi hijau membesi, sambil menarik muka jawabnya ketus:
"Kau bukan loco, dan dia bukan anak kura-kura, kita semua adalah sahabat!"
Teman mereka sudah barang tentu Ci Peng.
Sekalipun lelaki itu tidak bermaksuk menganggap Ci Peng sebagai temannya, tapi rupanya ia
takut juga terhadap Lo-sam, maka sekalipun mendongkolnya sudah mencapai ke otak, ia toh
melepaskan juga cekalannya atas diri Cian-cian.
228
Tong Lip atau Si Lo sam kembali berkata: "Jauh - jauh menembusi ribuan li dari wilayah Siok
tiong sampai ke mari, tujuan kami tak lain adalah ingin membereskan sedikit perhitungan
dengan Tio Bu ki.
"Perhitungan apa yang hendak kau bereskan dengannya?" tak tahan Cian-cian bertanya.
"Seorang saudaraku telah tewas di tangannya! Saudara mereka bukan lain adalah Tong Hong.
"Tong Hong hendak membunuh Tio Bu ki, maka Tio Bu ki membunuhnya," Tong Lip
menerangkan, "sebetulnya kejadian semacam ini adalah kejadian yang umum dan lumrah, tapi
kematiannya benar-benar terlalu mengenaskan . . .
Terbayang kembali mayat Tong Hong yang hancur tak karuan, serta rasa ngeri dan yang
ter-cermin di atas wajahnya menjelang kematian, tiba-tiba sorot matanya lebih buas dan
kejam, terusnya:
"Aku tahu diantara kalian berdua, seorang adalah bininya Tio Bu-ki dan seorang yang lain
adalah adik perempuannya, aku sebenarnya hendak membunuh kalian agar ia merasakan pula
siksaan dan penderitaan tersebut ."
"Kenapa kau belum juga turun tangan?" tanya Cian-cian.
"Karena kami dengan sahabat she Ci ini telah mengadakan suatu kontrak barter."
"Barter apa?"
"Menggunakan kau untuk ditukar dengan Tio Bu-ki!" jawab Tong Lip.
Kemudian setelah tertawa seram, ia melanjutkan:
"Barter ini akan berjalan sangat adil, yang kami inginkan adalah batok kepala Tio Bu-ki,
sedang yang dia inginkan adalah kau, dia hendak mengajak kau untuk menemaninya tidur."
Cian-cian berpaling dan melotot ke arah Ci Peng dengan gemas, sinar mata yang membara
memancar ke luar dengan seramnya.
Tapi Ci Peng melengos ke samping, seakan-akan tak pernah melihat sinar matanya itu.
Kembali Tong Lip berkata:
"Kami tidak bermaksud mencopoti celana dalammu dan memaksa kau untuk menemaninya
tidur, dia musti mengandalkan kepandaiannya sendiri untuk melaksanakan keinginannya, tapi
kuanjurkan kepada kalian agar lebih baik bertindaklah lebih jujur, jangan mencoba untuk
229
menimbulkan keonaran, lebih-lebih lagi jangan mencoba untuk kabur, sebab kalau tidak,
terpaksa kami akan serahkan kamu berdua kepada Tong Bong."
Lanjutnya kembali setelah berhenti sebentar:
"Cara Tong Bong dalam menghadapi kaum perempuan istimewa sekali, aku jamin mimpipun
kalian belum pernah memikirkannya."
Teringat akan sepasang mata Tong Bong yang jalang, cabul dan mengerikan itu serta
sepasang tangannya yang kotor, Cian-cian ingin sekali tumpah-tumpah.
Terdengar Tong-bong tertawa terkekeh-kekeh, ujarnya pula:
"Akupun amat menyukaimu, terutama menyukai sepasang kakimu, coba lihatlah, kakimu
begitu panjang, begitu kuat dan padat berisi, oh! bikin jantung berdebar saja."
Dipungutnya sebatang kayu bakar lalu dipencetnya pelan, seketika itu juga kayu kering itu
hancur berkeping-keping.
"Jika kau berani bermain gila di hadapanku, maka kakimu yang indah akan berubah menjadi
seperti kayu kering ini!" ancamnya.
Mau tak mau Cian-cian harus mengakui bahwa kekuatan tangan orang ini benar-benar
mengerikan.
Tapi ia tahu Tong Lip pasti lebih menakutkan lagi, kalau seorang gadis sudah terjatuh ke
tangan dua orang manusia macam begini, lebih baik memang mati saja daripada hidup
menanggung derita.
Tong Lip kembali berkata:
"Aku harap kalianpun jangan mencoba-coba untuk mencari mati, karena kujamin untuk
matipun kalian tak akan sanggup."
"Sebenarnya apa yang kau inginkan?" teriak Cian-cian sambil menggigit bibir.
"Aku hanya minta agar kalian mengikuti kami dengan jinak, menanti Tio Bu-ki berhasil kami
temukan, maka kalian akan kuserahkan kepada sahabat Ci ini, waktu itu terserah apapun yang
hendak kalian lakukan, perbuatan kalian sama sekali tak ada hubungannya dengan kami."
"Kau sanggup untuk menemukan Bu-ki?"
Ia telah menyanggupi kepada kami bahwa dalam tiga hari, Tio Bu-ki pasti.sudah dapat ia
temukan!
230
Lalu dengan sepasang matanya yang berbisa seperti ular beracun ia melotot sekejap ke arah
Ci Peng, katanya lebih lanjut: "Bukankah kau sendiri yang berjanji demikian?"
"Benar!"
"Aku harap apa yang bisa kau ucapkan, bisa pula kau laksanakan!"
"Aku pasti dapat melaksanakannya!"
Tong Bong tertawa terkekeh-kekeh.
"Heeehhh . . . . heeehhh. . . heeehhhh. . . jika kau tak sanggup melaksanakannnya, bukan
cuma tubuhmu saja yang secara tiba-tiba akan berubah menjadi sangat jelek dipandang tubuh,
kedua orang bocah perempuan inipun akan beruhah menjadi amat tak sedap dinikmati."
Ia teristimewa menekan kata "badan" secara berat, seakan-akan minatnya terhadap tubuh
orang lain besar sekali.
Cian-cian merasa seluruh bulu kuduk tubuhnya pada bangun berdiri, seakan-akan terdapat
beribu-ribu ekor semut yang merambat di atas tubuhnya ....
Iapun berharap mereka bisa temukan Bu-ki, sebab ia percaya Bu-ki pasti mempunyai cara
yang baik untuk menghadapi orang-orang itu, ia selalu mempunyai kepercayaan yang tinggi
terhadap kemampuan Bu-ki.
Tong Lip manatapnya tajam-tajam, kemudian berkata:
"Sekarang, apakah aku telah menerangkan setiap persoalan dengan sangat jelas?"
Terpaksa Cian-cian mengangguk.
"Kalau begitu bagus sekali!" seru Tong Lip, ia berpaling ke arah Ci Peng dan kembali
tanyanya:
"Benarkah Tio Bu-ki bersembunyi di atas bukit Kiu-hoa-san?"
"Benar!"
"Besok pagi-pagi kita akan naik keatas gunung dan malam ini kita beristirahat di sini!"
Kemudian kepada Hong-nio katanya:
231
"Pergilah ke dapur dan siapkan makanan untuk kami, kalau dilihat tampangmu, aku sudah
tahu kalau kau pandai sekali memasak sayur."
"Akan kutemani dia!" seru Cian-cian cepat.
"Tidak, kau tak boleh kesana!" cegah Tong Lip.
"Kenapa?"
"Karena kau sakit!"
Belum habis perkataannya itu, secepat sambaran kilat ia telah menotok jalan darah Cian-cian.
Sungguh cepat gerakan tubuhnya, ini membuktikan kalau kepandaian silat yang dimiliki telah
mencapai tingkatan yang luar biasa.
Ilmu silat yang dimiliki Cian-cian memang termasuk hebat, tapi dihadapannya, ilmu silat
Cian-cian bagaikan permainan seorang anak kecil yang tak ada arti baginya.
Tong Lip menunjukkan wajah yang sangat puas.
"Sekarang aku hanya ingin makan hidangan yang paling lezat, minum sedikit arak wangi dan
beristirahat dengan nyenyak ..........
"Suatu idee yang bagus!" seru Tong Bong sambil tertawa terkekeh-kekeh, "heehh ....heehh.....
memang suatu idee yang bagus sekali ."
Hong-nio bersembunyi disudut ruangan, seluruh tubuhnya melingkar menjadi satu, ia hanya
merasa lelah, sedih dan putus asa.
Mereka tidak mengikat tubuhnya, tidak pula menotok jalan darahnya, mereka tidak takut ia
kabur dari situ.
Babi yang cabul, tengik dan memuakkan itu selalu mengincarnya secara diam-diam, bahkan
kemungkinan besar ia selalu berharap agar ia mencoba untuk kabur dari situ.
Dalam hati kecilnya ia telah bersumpah, ia tak akan kabur dari situ, diapun tak akan
melakukan perbuatan apapun yang dapat menimbulkan kemarahan mereka.
Ia hanya berharap agar Cian-cian dapat pula berpendapat sepertinya, karena dalam keadaan
demikian mereka harus tunduk dan menuruti saja, perkataan mereka.
"Tapi, bagaimana selanjutnya? Berapa lama mereka harus menahan diri ?
232
Untuk berpikirpun ia tak berani.
Dua buah pembaringan yang berada dalam kamar telah ditempati oleh Tong Lip dan Tong
Bong, setelah minum arak mereka tidur ngorok persis seperti babi.
Ci peng tak dapat bergerak bebas, karena jalan darahnya telah ditotok pula oleh mereka.
Mereka mengikatnya menjadi satu dengan Cian-cian dengan mempergunakan seutas tali.
Sambil tertawa terkekeh-kekeh Tong Bong berkata:
"Asal kau punya kepandaian untuk bergerak, silahkan bergerak dengan cara apapun, aku tak
ambil perduli."
Ci Peng tak mampu bergerak.
Tong Bong kembali berkata sambil tertawa:
"Bisa dilihat tak dapat dinikmati, siksaan tersebut tentu sangat tak enak dirasakan.”
Ia merasa sangat bangga, karena idee ini berasal darinya, dialah yang bersikeras hendak
menotok jalan darah Ci Peng.
"Sekarang kau masih belum serahkan Tio Bu ki kepada kami, kenapa kami harus percepat
menyerahkan nona itu untuk kau nikmati?!
Ci Peng masih juga tersenyum.
"Aaaah . . . tidak menjadi soal, aku tidak terburu napsu!" sahutnya.
BUKAN ALAM MANUSIA
CIAN-CIAN tak berani membuka mata.
Bila ia membuka matanya, maka akan terlihat tampang Ci Peng, si manusia munafik yang tak
tahu malu itu tepat di hadapannya.
Selisih jarak antara muka Ci Peng dengan wajahnya hanya terpaut tidak sampai setengah
depa.
Bagaimanapun, Cian-clan telah mencoba meronta, tubuh mereka berdua masih juga
menempel satu sama lain.
233
Kalau bisa dia ingin sekali mencekik laki-laki itu sampai mampus, belum pernah ia jumpai
laki-laki tak tahu malu memuakkan seperti ini.
Meski demikian, suatu hawa panas dan bau khas seorang lelaki yang terpancar ke luar dari
tubuh Ci Peng, menyebabkan hatinya terasa aneh, kalut dan sukar dilukiskan dengan katakata.
Ia hanya berharap agar malam yang menyiksa ini dapat dilewatkan dengan cepat, tapi
bagaimana pula dengan besok?
Ia benar benar tak berani berpikir lebih lanjut.
Rasa lelah dan sedih yang kelewat batas, akhirnya membuat Hong-nio terlelap tidur dengan
amat nyenyak.
Tapi . . . tiba-tiba ia tersentak bangun karena kaget, seketika itu juga seluruh tubuhnya
menjadi kaku dan mengejang keras.
Sebuah tangan yang besar dan kasar sedang meraba pahanya dan pelan-pelan bergerak naik ke
atas pinggangnya, lalu dengan suatu cara yang kasar dan bodoh mulai melepaskan kancing
bajunya satu persatu.
Dia ingin berteriak, dia ingin muntah.
Tapi ia tak dapat muntah, ia pun tak berani berteriak, tahu seandainya menggusarkan babi ini,
akibatnya akan jauh lebih fatal.
Tapi tangan itu bergerak makin berani, makin lama makin brutal dan tak tahu aturan, ia makin
lama merasa makin tersiksa, makin tak tahan...
Untuk pertama kalinya dia teringat akan kematian, sayang untuk matipun saat ini dia tak
mampu.
Kancing sudah terlepas semua, kini tiba giliran pakaiannya yang dicopot satu demi satu...
Tangan yang besar dan kasar itu telah menyentuh kulit tubuhnya yang halus dan lembut,
dengusan napas yang membawa bau arak pelan-pelan semakin mendekati tengkuknya,
dagunya dan makin mendekati bibirnya . . . .
Ia sudah tak dapat mengendalikan diri lagi mendadak sekujur badannya mulai gemetar keras.
Gemetar semacam ini rupanya semakin membangkitkan napsu birahi dari kaum pria,
tangannya yang meraba, meremas dan memegang itu makin bekerja keras, makin bertenaga,
makin bernapsu dan berani . . .
234
Tiba-tiba, tangan ditarik ke luar dari balik celana dalamnya, menyusul kemudian tubuh yang
berat seperti babipun ikut ditarik ke belakang ....
Terdengar Tong Bong meraung penuh kegusaran:
“Perempuan ini toh bukan milik anak kura-kura itu, kenapa loco tak boleh menyentuhnya?"
"Enyah kembali, ke pembaringanmu!" suara Tong Lip tetap sedingin es, baik-baik tidur di
tempat, kalau tidak kukutungi sepasang tanganmu yang kotor itu!"
Ternyata Tong Bong tak berani membangkang.
Hong nio menggigit bibirnya keras-keras, menggigit hingga berdarah, sekarang sekujur
tubuhnya baru terasa mengendor, akhirnya meledaklah isak tangisnya yang memilukan hati.
Dari balik kegelapan, sepasang mata yang berbisa bagaikan ular beracun itu sedang
menatap-tajam-tajam, ternyata dia mengulurkan tangannya untuk menyeka air mata yang
membasahi pipinya.
Terhadap laki-laki ini, dia tak tahu haruskah merasa berterima kasih? Benci? Ataukah takut?
Ia takut laki-laki itu bertindak selangkah lebih ke depan, ia kuatir gerakannya diteruskan
dengan gerakan lain.
Untunglah tangan Tong Lip setelah meraba pipinya tadi segera ditarik kembali, diapun segera
bangkit berdiri.
Secara lambat-lambat ia seperti mendengar helaan napasnya yang panjang.
Keesokan hatinya, pagi-pagi sekali Hong nio telah bangun dan memasak sekuali besar bubur,
ia mengambilkan semangkuk lebih dulu untuk Tong Lip.
Kali ini, ternyata Tong Lip berusaha menghindari tatapan matanya, bahkan memandang
se-kejappun tidak, hanya ujarnya dengan dingin:
"Selesai makan bubur, kita akan segera naik gunung!”
Empat puluh delapan buah puncak bukit Kiu-hoa yang letaknya berjajar dengan membentuk
lingkaran, bentuknya persis seperti sembilan kuntum bunga teratai.
Diantara empat puluh delapan buah puncak itu, Thian-ho merupakan puncak yang tertinggi,
setelah naik ke atas gunung, tempat pemberhentian pertama dinamakan Soat-thian-bun,
selewatnya tempat itu, jalan gunung makin sempit dan berbahaya.
235
Dalam waktu singkat mereka sudah melewati Yong swan-ting, Teng sim sik, Poan siau teng,
menyeberangi jembatan Tay siau sian kiau, lalu melewati pula Wong kang lo, Hay tham lim,
melewati lagi Peh cap si ti leng ci soat dan sampailah di pagoda tempat menyimpan jasad
Tee-cong pousat.
Tapi mereka semua tidak terlalu berminat dengan pousat.
Akhirnya sampailah beberapa orang itu di puncak Thian tay hong, terlihatlah awan bergerak
lewat, bukit menjulang ke angkasa, batu aneh berserakan di mana-mana dan diantara celahcelah
batu cadas tumbuh pohon siong yang rindang.
Kaki Hong nio sudah robek dan pecah-pecah, rambutnya kusut dan pakaiannya basah oleh
keringat.
Segulung angin dingin berhembus lewat, bagaikan sebuah anak panah menerpa tubuhnya dan
membuat sekujur tubuhnya gemetar keras. Tapi ia tidak menggerutu, tidak mengeluh atau pun
menghela napas karena menyesal.
Tong Lip memandang sekejap ke arahnya, tiba-tiba ia berkata: "Kita harus sampai ke atas
puncak bukit itu!"
"Aku tahu!" jawab Hong-nio.
*Kau harus pula sampai diatas!"
Hong-nio menundukkan kepalanya.
“Aku. . . aku boleh mencobanya!” ia berbisik.
"Tak perlu dicoba!”
*Aku bersedia menggendongnya" seru Cian-cian.
"Tidak boleh!"
"Kenapa tidak boleh?"
Jilid 9________
KARENA aku pernah berkata kesempatan untuk matipun tak akan kalian temui!`
Selama berada ditempat seperti ini, kearah manapun kau melompat turun, tubuhmu pasti
hancur dan nyawamu pasti melayang.
236
"Masakan kau hendak meninggalkan dia di sini? jerit Cian-cian.
“Ia boleh mencari seseorang untuk membopongnya!"
"Mencari siapa?"
"Kecuali kau, terserah ia mau minta tolong kepada siapa!"
"Biar aku saja! " Tong Bong segera berseru dengan penuh semangat.
Tong Lip tertawa dingin, ia tidak menggubris rekannya itu, sebaliknya bertanya kepada Hong
nio:
"Kau menginginkan siapa yang akan membopongmu?"
"Kau! " jawab Hong-nio tanpa berpikir panjang lagi.
*****
Kabut yang menyelimuti wilayah sekitar tempat itu sangat gelap, dari jarak beberapa depa
pun sulit untuk melihat bayangan manusia.
Berada di atas gendongan Tong Lip, tiba-tiba Hong-nio bertanya:
"Tahukah kau mengapa kupilih dirimu?"
"Tidak tahu!"
"Karena aku tahu bahwa kau sesungguhnya bukan seseorang yang terlalu jahat."
"Aku orang jahat!"
"Kalau begitu, mengapa kau harus menolongku."
Tong Lip termenung, lama, lama sekali ia baru bertanya:
"Kau benar-benar ingin tahu?"
"Yaa, aku benar-benar ingin tahu!"
Suara jawaban dari Tong Lip berubah menjadi begitu dingin dan kaku, jawabnya:
237
"Kulepaskan kau karena aku telah dikebiri orang, pada hakekatnya aku tak mungkin
menyentuh dirimu lagi, oleh karena itu akupun tak ingin membiarkan orang lain menyentuh
dirimu."
Hong nio tertegun.
Mimpipun ia tak mengira kalau ada seorang pria yang berani mengutarakan rahasia besarnya
kepada gadis asing yang belum lama dijumpainya.
"Kalau aku masih sanggup" lanjut Tong Lip dengan suara dingin, "sekarang kau telah
kugagahi sebanyak berpuluh-puluh kali banyaknya!"
Hong nio tidak tahu bagaimanakah reaksi gadis lain seandainya mereka mendengar perkataan
itu.
Tapi baginya sekarang hanya ada perasaan iba, kasihan dan simpatik yang sukar dilukiskan
dengan kata-kata, sekalipun hakekatnya itulah luapan perasaan yang paling mulia dan agung
dari makhluk yang disebut manusia . . . . . . .
Ia tak tahu ucapan apakah yang harus dikatakan untuk menghibur hatinya, sementara
pemandangan di depansanasudah samakin terang.
Akhirnya sampailah mereka dipuncak paling tinggi dari puncak Thian Tay hong.
Tempat itu merupakan sebuah dataran yang datar, pepohonan yang lebat, bukit bukit karang
yang menjulang di mana mana serta sebuah tebing dengan ukiran tiga huruf yang amat besar.
"HUI-JIN KIAN" (Bukan alam manusia).
*****
Tempat itu adalah alam semesta? Ataulah alam baka?
Di atas sorga loka? Ataukah dalam neraka?
Entah tempat apapun, yang pasti di situ tak ada kehidupan, sebab jauh memandang kesana,
tak nampak sesosok bayangan manusiapun.
Tong Lip telah menurunkan Hong nio dari bopongannya, lalu dengan sepasang matanya yang
berbisa seperti mata ular beracun menatap Ci Peng tajam tajam, katanya:
"Naik ke atassana, sudah tiada jalan lagi?"
"Yaa, tidak ada lagi!" jawab Ci Peng.
238
"Bukankah kau mengajak kami datang untuk mencari Tio Bu ki?"
"Benar!"
"Tio Bu ki berada di mana?"
Sambil menuding ke arah tebing terjal yang terukir tulisan "Hui jin kiam" tersebut jawab Ci
Peng:
"Tuh, disana!"
Di sekitar tebing terjal tidak nampak bayangan manusia, pada hakekatnya tempat itu bukan
alam manusia.
"Di belakangsanamasih ada sebuah gua rahasia, Tio Bu-ki bersembunyi di dalamsana" kata Ci
Peng lagi.
"Mengapa ia musti bersembunyi ditempat seperti ini?"
"Karena dia takut!"
"Apa yang dia takuti?"
"Ia tahu selama ia masih hidup harus membalas dendam atas kematian ayahnya, kalau tidak
maka siapapun tak akan menjumpai dirinya lagi."
Bagi orang persilatan, dendam sakit hati lebih dalam dari samudra, sebagai seorang putra
yang berbakti ia musti membalas sakit hati tersebut.
"Ia sendiripun tahu bahwa ia sendiri bukan tandingan dari musuh besarnya Sangkoan Jin!"
kata Ci Peng lagi.
Maka ia takut pergi membalas dendam, takut menenukan jejak Sangkoan Jin”
"Yaa, ia ketakutan setengah mati!"
"Maka dari itu dia baru bersembunyi di sini?"
"Di alam kehidupan manusia sudah tiada tempat berpijak lagi baginya . . " kata Ci Peng
dingin.
"Aku harap kau berbicara sejujurnya" ancam Tong Lip.
239
"Baik jujur atau tidak, sebentar lagi persoalan ini akan tersingkap, kenapa aku musti
membohongimu?"
"Baik, bawalah kami ke situ!" kata Tong Lip kemudian.
"Tidak, aku tak boleh ikut pergi!"
"Kenapa?"
"Aku telah menghianatinya, bila ia bertemu denganku, maka akulah yang pertama-tama akan
dia bunuh."
Setelah tertawa getir kembali katanya: "Sekalipun ilmu silat yang dimiliki Tio Bu-ki tidak
terlampau lihay, untuk membunuhku bukan suatu pekerjaan yang sukar, waktu itu kalian pasti
tak akan menolangku."
Tong Lip tertawa dingin, katanya: "Kau anggap aku tak dapat membunuhmu?"
"Bagaimanapun juga asal kalian berputar menaiki batu cadas itu, benar atau tidaknya
perkataanku segera akan terbukti, kenapa tidak kalian periksa dulu kebenarannya? Kalau ia
memang tak ada di situ, toh belum terlambat bila kau datang kembali untuk membunuhku?"
Tong Lip menatapnya tajam-tajam, pelan-pelan ia menyodokkan kedua jari tangannya ke
depan dan menotok jalan darah lemas pada pinggangnya.
Ci Peng sama sekali tidak bermaksud untuk menghindarkan diri.
Tiba-tiba jari tangan Tong Lip berputar lagi seperti gangsingan, kemudian tahu-tahu jalan
darahSianki hiat di tubuh Cian-cian ikut ditotoknya pula.
Totokan tersebut tidak dilancarkan dengan tenaga yang terlampau berat, tapi sasarannya tepat
sekali:
Seketika itu juga Cian-cian terkapar dengan lemas.
Ci Peng telah roboh terkapar pula di tanah, sebab jari tangan Tong Lip kembali berputar dan
jalan darahSianki hiat di tubuhnya ikut tertotok juga.
"Kau harus tahu" kata Tong Lip dengan dingin, "keluarga Tong bukan saja memiliki senjata
rahasia yang manunggal, kamipun mempunyai ilmu totokan yang manunggal juga."
Ci Peng mengerti.
240
Satu totokan dari keluarga Tong seperti juga senjata rahasia dari keluarga Tong, kecuali anak
keturunan keluarga Tong, orang lain jangan harap bisa membebaskannya.
"Oleh sebab itu jika aku tak kembali lagi, kalianpun hanya akan menanti kematian di sini"
sambung Tong Lip lebih lanjut.
Menunggu kematian biasanya lebih mengerikan daripada menghadapi kematian itu sendiri.
Tiba tiba Hong nio berkata:
"Seandainya kau berhasil menemukan Bu ki, bolehkah kujumpai wajahnya sekali saja?"
Sudah lama ucapan itu tersimpan dalam hatinya, selama ini ia tak berani mengucapkannya ke
luar, karena ia tidak tahu apa akibatnya bila perkataan itu dia utarakan.
Tong Lip menatapnya tajam-tajam, sepasang matanya yang berbisa seperti ular beracun
memancarkan sinar yang mengerikan, tiba-tiba saja mimik wajahnya mengalami parubahan
yang sangat aneh.
Hong nio menundukkan kepalanya, dengan sedih ia berkata:
"Akupun tak tahu bagaimana penyelesaiannya atas dendam sakit hati yang terikat di antara
kalian berdua, tadi aku hanya ingin bertemu sekali saja dengannya."
"Asal dapat bertemu sekali saja dengannya, relakah kau mati?" kata Tong Lip dingin.
Hong nio menggigit bibirnya keras-keras, kemudian pelan-pelan mengangguk.
Sorot mata Tong Lip semakin aneh, ia sendiripun tak tahu haruskah merasa benci?
Dendam? Sedih? Ataukah cemburu?
Cian-cian memandang ke arah mereka berdua, perubahan emosi dalam hatinya ikut pula
mengalami suatu perubahan yang aneh.
Dia sendiripun sedang menunggu jawaban dari Tong Lip.
Tapi Tong Lip tidak mengucapkan apa-apa, sepatah katapun tidak, kantung kulit di
pinggangnya segera dikencangkan, sarung tangan kulit menjangan dikenakan dan paras
mukanya berubah menjadi begitu sinis dan seram bagaikan kabut dingin di puncak bukit.
Kemudian ia putar badan dan berjalan pergi, melirik sekejap ke arah Hong-nio pun tidak.
Tong Bong tiba-tiba berpaling, lalu katanya:
241
"Baik, kukabulkan permintaanmu itu, aku pasti akan memberi kesempatan kepadamu untuk
bertemu muka dengannya."
Kemudian, sambil menepuk kantung kulit di pinggangnya, ia tertawa terkekeh-kekeh.
Heeehh. . . heeeh. . . heeh. . cuma saja, aku tidak berani menjamin masih hidupkah dia?
Ataukan sudah mati?"
*****
Hari makin lama semakin gelap.
Hong-nio berdiri seorang diri di tengah hembusan angin barat yang kencang, dengan
termangu-mangu ditatapnya tulisan "Hui jin-kian" yang besar di atas dinding tebing itu tanpa
berkedip.
Sekalipun telah bulan ke tujuh, angin yang berhembus di puncak bukit itu terasa dingin sekali
seperti sayatan pisau.
Dua bersaudara dari keluarga Tong telah membelok di tebing karang sebelah depan, dapatkah
mereka berjumpa dengan Bu ki? Apa yang bakal terjadi setelah mereka menemukannya?
Sekalipun ia tak pandai bersilat, tapi iapun tahu kalau senjata rahasia dari keluarga Tong
menakutkan sekali.
Sesaat meninggalkan tempat itu mimik wajah Tong Lip kelihatan menakutkan sekali, apalagi
masih ada seorang babi gila yang kejam, brutal dan buas . . . . .
Sudah pasti mereka tak akan melepas Bu-ki dengan begitu saja, dan pertemuannya kembali
dengan Bu ki, mungkin si anak muda itu sudah tiada lagi di dunia ini.
Pelan pelan Hong-nio memutar tubuhnya dan memandang ke arah Ci Peng, katanya dengan
sedih: "Tayhong tong bersikap sangat baik kepadamu, mengapa kau lakukan perbuatan seperti
ini?"
Ci Peng tidak menjawab.
Cian-cian segera tertawa dingin, serunya ketus:
"Pada hakekatnya dia bukan seorang manusia, apa gunanya kau mengajak dia untuk
mem-bicarakan kata-kata manusia?"
242
Hong-nio menundukkan kepalanya, air mata telah jatuh bercucuran membasahi seluruh
wajahnya.
Cian-cian memandang ke arahnya, suata sinar mata yang sangat aneh kembali memancar ke
luar dari balik matanya, tiba tiba ia bertanya:
"Kalau benar-benar sedang menguatitkan keselamatan Bu ki?"
Hong-nio berpaling dan memandang ke arahnya dengan terkejut, ke lututnya dengan nada
agak gemetar: "Masakah aku bakal menguatirkan keselamat dari orang lain?"
"Aku sama sekali tidak bermaksud lain. aku tak lebih hanya . . . "
Hong-nio tidak membiarkan ia berbicara lebih jauh, tukasnya dengan cepat: "Kau harus tahu,
seandainya Bu-ki mati, akupun tak akan hidup lebih jauh!"
Cian-cian menghela napas ringan pula.
"Aaai. . . . seandainya Bu-ki mati, siapa lagi yang sudi hidup lebih jauh . . . .?"
Kembali ditatapnya Hong-nio lekat-lekat, lama, lama sekali ia baru berkata lebih jauh :
"Bagaimanapun juga, kau toh tetap masih merupakan ensoku!"
"Semasa masih hidup aku menjadi anggota keluarga Tio, setelah matipun aku menjadi setan
ketuarga Tio!"
"Kalau begitu, aku ingin memohon satu hal kepadamu!"
"Apa yang kau inginkan?"
"Di balik sepatuku ada sebilah pisau belati, cabutlah ke luar pisau tersebut!"
Betul juga, di balik sepatunya memang ada sebilah pisau panjangnya mencapai tujuh nci,
mana tipis, tajam lagi.
Hong-nio telah mencabut ke luar pisau belati itu.
Dengan gemas dan penuh kebencian Cian-cian melotot sekejap ke arah Ci Peng, kemudian
katanya:
"Kau harus mewakili diriku untuk membunuh manusia pengecut yang terkutuk dan tak tahu
malu ini!"
243
Hong-nio sangat kaget setelah mendengar perkataan itu, jerit nya tertahan: "Apa? Kau . . . kau
suruh aku membunuh orang?"
"Aku tahu selama ini belum pernah kau bunuh orang, tapi membunuh orang bukan suatu
pekerjaan yang sukar, asal pisau ini kau tusukkan ke dalam ulu hatinya, sekali tusukan saja
sudah cukup untuk membereskan selembar nyawanya."
Saking takutnya paras muka Hong-nio telah berubah menjadi pucat pias seperti mayat, tangan
yang memegang pisau pun mulai gemetar keras, menyusul kemudian sekujur tubuhnya ikut
menggigil.
"Kalau kau masih merasa dirimu adalah ensoku, kau harus melakukannya bagiku, bangsat itu
harus kau bunuh sampai mampus!" sera Cian-cian penuh luapan dendam.
"Tapi . . . . tapi . . . . seandainya mereka balik ke mari . . . - "
"Kalau mereka sampai kembali ke sini, kau harus bunuh juga diriku, sampai matipun aku tak
akan membiarkan manusia pengecut yang tak tahu malu itu menyentuh tubuhku."
Air mata Hong nio sudah tidak bercucuran lagi, tapi keringatnya mengucur semakin deras,
keringat dingin lagi.
Sepasang mata Cian-cian sudah berubah menjadi merah membara, ia mulai menjerit keras:
"Mengapa kau belum juga turun tangan ? Apakah kau baru puas setelah menyaksikan mereka
menganiaya diriku?"
Akhirnya Hong-nio menggigit bibirnya kencang-kencang, lalu selangkah demi selangkah
berjalan ke depan menghampiri Ci Peng, pisau yang berada ditangannya segera diarahkan ke
ulu hati lawan.
Tapi secara tiba-tiba saja ia merasa keheranan.
Semestinya manusia pengecut yang terkutuk dan tak tahu malu sangat takut menghadapi
kematian, tapi mengapa wajahnya sekarang sama sekali tidak dihiasi rasa takut atau ngeri
barang sedikitpun ? Sabaliknya ia malah kelihatan lega dan gembira ?
Hanya manusia yang merasa tak pernah melakukan perbuatan salah baru akan
memperlihatkan sikap lega semacam itu.
Tak tahan lagi, Hong-nio bertanya:
"Apa lagi yang hendak kau ucapkan?"
244
"Hanya ada sepatah kata!" akhirnya Ci Peng menjawab.
“Katakanlah!"
"Kau musti berusaha keras untuk membuat setumpuk api unggun di sekitar kami!"
"Kenapa harus membuat api unggun?" Hong-nio bertanya keheranan.
Tak ada orang lain yang bisa membebaskan totokan jalan darah keluarga Tong kecuali
anggota keluarga Tong sendiri, tapi bagaimanapun jahatnya suatu ilmu menotok jalan darah,
paling banyak hanya bisa bcrtahan selama satu jam, asal kita mempunyai api unggun maka
kalian bisa melewati masa kritis itu dengan selamat."
Rupanya Cian-cian sudah tidak sabar lagi, kembali ia berteriak dengan suara keras:
"Mengapa kau belum juga turun tangan? Kenapa kau musti mendengarkan segala ocehannya
yang tak berguna? Tidakkah kau melihat bahwa ia sengaja sedang mengulur waktu?"
Kali ini Hong nio tidak menggubrisnya lagi, kembali tanyanya kepada Ci Peng: "Apakah
mereka tak akan kembali lagi?"
Ci Peng tertawa, bahkan tampaknya sangat gembira.
"Tak mungkin bagi mereka untuk kembali dalam keadaan hidup!"
Tapi baru saja ia menyelesaikan perkataannya itu, Tong Bong telah muncul kembali di depan
mata!
Sinar matahari sore memercikkan sinarnya dari balik bukit, senjapun telah menjelang tiba.
Tong Bong sudah melampaui tebing itu dan selangkah demi selangkah berjalan mendekat,
sinar matahari sore persis menyinari raut wajahnya.
Mimik wajahnya kelihatan aneh dan sangat luar biasa, seolah-olah merasa sangat gembira,
seakan-akan juga merasa ngeri dan takut.
Cian-cian segera berteriak keras:
"Kalau kau tidak turun tangan sekarang juga, nanti kau sudah tak sempat lagi!"
Hong-nio menggigit bibir, pisaunya segera ditusukkan ke depan.
Dikala mata pisaunya sudah menembusi ulu hati Ci Peng, seperti harimau terluka Tong Bong
telah menubruk datang lalu roboh ke tanah.
245
Ia roboh terkapar seperti sebatang batok kayu yang sangat berat.
Hong nio tertegun. Cian cianpun tertegun.
Sebaliknya Ci Peng tertawa, darah segar sudah mulai mengucur ke luar dari mulut luka di ulu
hatinya, tapi gelak tertawanya masih begitu riang dan gembira.
Pada saat itulah dari belakang tebing yang curam meluncur kembali sesosok bayangan
manusia, setelah berjumpalitan di udara orang itu langsung menubruk ke arah mereka.
Diantara percikan sinar matahari terakhir, tampaklah sepasang matanya yang berbisa seperti
sepasang ular beracun itu.
Di balik sinar matanya itu seakan-akan penuh dengnn pancaran sinar benci, dendam dan
menyesal.
Hong nio menjerit kaget, sambil melepaskan pisau di tangannya ia mundur ke belakang,
sementara seluruh tubuh Tong Lip sudah menubruk tepat di atas tubuh Ci Peng.
Gelak tertawa Ci Peng masih kedengaran nyaring, bahkan kedengaran begitu gembira dan
riangnya.
Napas Tong Lip terengah-engah, ditatapnya sekejap pemuda itu dengan sinar mata kebencian,
kemudian teriak keras keras:
"Bagus sekali kau, bagus sekali, sungguh tak disangka akupun ikut tertipu oleh siasatmu.
Tiba-tiba ia menyaksikan pisau di ulu hati Ci Peng, segera dicabutnya senjata itu lalu
menyeringai dan tertawa seram.
"Heehhh... heeehhh...heeehhh .. sayang kali toh akhirnya musti mampus juga di tanganku."
Ci Peng tersenyum.
"Untungnya sekalipun mati, aku bisa mati dengan hati yang puas." katanya lirih.
Pisau di tangan Tong Lip sudah siap ditusukkan ke bawah, tiba-tiba ia berpaling dan
memandang sekejap lagi ke wajah Hong nio secara tiba-tiba mimik wajahnya menunjukkan
suatu perubahan yang sangat aneh.
Pada saat itulah mendadak mukanya menjadi kaku dan napasnya berhenti.
Menyusul kemudian kepalanya terkulai dan roboh tak berkutik lagi di atas tanah.
246
Mereka memang sudah kembali, sayang bukan muncul kembali dalam keadaan hidup.
Paras muka Ci Peng pucat seperti mayat, darah kental sudah hampir menodai sebagian besar
bajunya.
Tusukan dari Hong nio tadi tidak terhitung enteng, bila setengah inci lebih ke dalam, saat ini
Ci Peng pasti sudah menjadi mayat.
Terbayang sampai ke situ, keringat dingin Hong-nio yang telah mengering kini mulai
mengucur kembali dengan derasnya.
Sebab pada saat inilah ia baru terbayang, orang yang barusan hendak dibunuhnya itu
kemungkinan besar justru adalah tuan penolong yang telah menyelamatkan jiwa mereka.
Tapi ia masih juga tak habis mengerti, dia tak tahu apa sesungguhnya yang telah terjadi, dia
harus memaksa Ci Peng untuk menerangkannya bagi mereka.
Kata Ci Peng: "Meskipun Tong Lip adalah cucu buyut dari keluarga Tong, ilmu silatnya
justru diperoleh langsung dari Tong Ji sianseng . . "
Konon keluarga Tong di wilayah Suchuan semuanya dibagi menjadi sepuluh bagian besar, di
antaranya termasuk pula bagian pembuatan resep obat racun serta pembuatan bahan obatnya,
pembuatan motif senjata rahasia serta penyimpanan senjata rahasia, bagian keamanan, melatih
anak murid serta meronda keamanan wilayah.
Kesepuluh bagian ini secara terpisah masing-masing diurusi oleh sepuluh orang tianglo dari
keluarga Tong. Tong Ji siangseng adalah salah seorang diantara ke sepuluh orang tianglo
tersebut.
Tiada yang tahu bagian manakah yang diurusi olehnya, orang hanya tahu dia angkuh, kejam
dan berilmu tinggi.
Diantara ke sepuluh orang tianglo dari keluarga Tong, dia pula yang lebih sering melakukan
perjalanan dalam dunia persilatan, oleh sebab itu namanya pula yang paling termashur.
Sedemikian takutnya orang kepadanya bisa terbukti dari sikap orang persilatan bila bertemu
dengan seorang kakek berjubah biru, berikat kepala putih dan mengisap sebuah huncwe, entah
dia adalah Tong Ji sianseng atau bukan, mereka selalu berusaha menyingkir jauh-jauh.
Entah suatu kesengajaan atau tidak, barang siapa berani menyalahi Tong Ji sianseng, maka
selama hidup jangan harap bisa melewatkan hari-hari dengan tenang.
247
Kata Ci Peng: “Sejak muda sampai tua, tidak banyak murid yang diterima Tong Ji siangseng
tapi Tong Lip tersebut bukan saja telah menyumbang banyak tenaga dan pikiran untuk
keluarga Tong, lagi pula dia harus menerima dulu banyak siksaan dan penderitaan sebelum
akhirnya dapat menerima warisan ilmu silat darinya"
Hong-nio menghela napas di hati, ia tahu penderitaan macam apa yang telah diterima oleh
Tong Lip.
Buat seorang laki-laki, penderitaan apalagi yang lebih berat dari pada suatu penderitaan akibat
dikebiri orang?
Dia memang selalu berhati lembut, penderitaan serta siksaan yang dialami orang lain,
seringkali dia ikut merasakannya pula, meski hanya terbatas pada bersedih hati belaka.
Ci Peng berkata lebih jauh: “Aku tahu, sudah terang kami bukan tandingan mereka, aku . . .”
Ia tundukkan kepalanya dengan sedih, setelah berhenti sebentar baru terusnya:
"Asal usulku amat biasa dan umum, lagi pula akupun tak pernah peroleh pendidikan khusus
dari seorang guru kenamaan, ditambah lagi selama banyak tahun belakangan, terlampau
banyak urusan aneka ragam yang telah menyita waktuku, jangankan menangkan mereka,
untuk melayani tiga gebrakanpun belum tentu aku sanggup.”
Hong nio segera menaruh rasa simpati kepadanya, dengan lembut ia menghibur:
"Hebat atau tidaknya ilmu silat yang di miliki seseorang sesungguhnya bukan suatu persoalan
yang penting, bagaimanapun juga kita bukan binatang buas, belum tentu kita harus
mengandalkan kekuatan dan kekerasan untuk menghadapi pelbagai masalah yang kita
hadapi."
Ci Peng tertawa paksa, sorot matanya penuh dengan pancaran rasa terima kasih.
"Akupun tahu bahwa Tong Bong ada seekor babi gila, aku tak boleh membiarkan kalian
terjatuh ke tangannya, oleh sebab itu terpaksa aku harus mempergunakan akal untuk
membawa mereka datang ke mari."
"Apakah kau tahu bahwa mereka bakal mampus bila berani datang ke mari . . . . . ?" tanya
Hong-nio.
Tempo hari sewaktu aku datang ke mari untuk mencari Tio kongcu, dengan mata kepala
sendiri kusaksikan ada tiga orang jago silat yang jauh lebih lihay dari mereka tewas di bawah
tebing curam itu, baru saja aku hendak menyelidiki sebab kematian mereka, tiba-tiba
kudengar ada orang memperingatkan bahwa tempat itu adalah daerah terlarang, barang siapa
berani memasukinya berarti akan mampus!"
248
Meskipun kata-kata itu di ucapkan dengan sederhana, padahal setiap kali teringat kembali
dengan peristiwa yang terjadi waktu itu, sampai sekarang pun hatinya masih terasa keder,
ngeri dan takut sekali.
Tentu saja apa yang diketahui olehnya jauh lebih banyak dari pada apa yang dikatakan
sekarang.
Tiga orang yang tewas di bawah jurang tempo hari rata-rata adalah jago pedang yang sudah
kenamaan dan banyak tahun mengasingkan diri dari keramaian dunia persilatan.
Mereka datang ke situ adalah disebabkan untuk membalas dendam.
Musuh besar mereka konon adalah seorang jago yang sudah lama meninggal dunia, tapi
menurut perkiraan Ci Peng, sampai sekarang orang itu pasti masih hidup, bahkan ia
bersembunyi di belakang tebing curam yang disebut Hui jin kian tersebut.
Ilmu pedang yang dimiliki prang itu sudahmalangmelintang tiada tandingannya di kolong
langit semenjak tigapuluh tahun berselang, tentu saja kepandaiannya sekarang sudah tak
terlukidkan lagi kehebatannya.
Kalau memang ia tak ingin membiarkan orang lain tahu bahwa ia masih hidup di dunia ini,
kenapa Ci Peng membocorkan rahasianya.
Membocorkan rahasia pribadi orang merupakan suatu perbuatan yang tercela, suatu perbuatan
yang tidak baik.
Ci Peng telah bersumpah tidak akan mengutarakan rahasia tersebut kepada siapapun jua.
Hong-nio tidak bertanya lebih jauh, dia hanya menghela napas panjang lalu berkata:
"Aku tahu, hatimu waktu itu tentu menderita sekali!"
"Kenapa menderita?"
"Sebab bukan saja kami telah salah menuduhmu dengan tuduhan yang bukan-bukan, malah
aku hendak membunuh dirimu."
Digenggamnya tangan pemuda itu erat-erat, kemudian menambahkan lagi".
"Akupun tahu mengapa kau tidak memberi penjelasan sejak tadi, sebab sekalipun kau
terangkan kepada kami, belum tentu kami akan mempercayaiuya dengan begitu saja."
Tiba-tiba Cian cian tertawa dingin, katanya:
249
"Heeehhh . . . heeehhh . . . heeehhh. ... dari mana kau bisa tahu kalau apa yang diucapkan
sekarang adalah kata-kata yang sejujurnya?"
Hong-nio berpaling memandang ke arahnya, lalu dengan lembut berkata:
"Aku tidak menyalahkan kau, sebab aku tahu hatimu tentu saja mempunyai perasan menyesal
dan minta maaf kepadanya seperti apa pula yang kurasakan sekarang, oleh sebab itulah kau
baru mengucapkan kata kata semacam itu."
Cian-cian menutup mulutnya rapat-rapat, malah sepasang matanya ikut pula dipejamkan
rapat-rapat.
Matahari sore sudah tenggelam di langit barat, kegelapan malam pelan-pelan menyelimuti
seluruh jagat, angin yang berhembus lewat terasa lebih dingin dan merasuk ke dalam tulang.
"Sekarang kau harus berusaha untuk membuat api unggun ....." kata Ci Peng kemudian.
Hong-nio seakan-akan sedang termenung memikirkan sesuatu, ia tidak menjawab.
"Kemungkinan sekali dalam saku Tong-Lip terdapat bahan untuk membuat api . . . . . " Ci
Peng kembali berkata.
Tapi Hong-nio seakan-akan sama sekali tidak mendengar apa yang dia bicarakan, mendadak
gadis itu bangkit seraya berkata:
"Aku harus pergi menengoknya, aku harus menjumpainya walau apapun yang bakal terjadi!"
"Mau pergi ke mana kau? Apa yang hendak kau lihat?" Ci Peng mendesak dengan cemas.
Hong-nio alihkan sorot matanya ke arah tebing curam di depansana, tebing itu bagaikan
seekor binatang buas di tengah kegelapan malam, katanya:
"Kalau toh disanaada orangnya, mungkin juga Bu-ki berada di situ."
Sambil bergumam selangkah demi selangkah gadis itu berjalan menuju ke arah bukit
curamsana.
Melihat perbuatan gadis itu, Ci Peng segera menjerit tertahan.
"Jangan kesana, tempat itu adalah daerah terlarang!"
Hong-nio sama sekali tidak mendengar, bahkan menggubrispun tidak.
250
Menyaksikan gadis itu selangkah demi selangkah mendekati tebing curam yang bernama "Hui
jin kian" tersebut, peluh dingin membasahi sekujur badan Ci Peng saking tegangnya.
Cian-cian ikut gelisah, tak tahan ia berseru:
"Betulkah tempat itu adalah daerah terlarang yang tidak memperkenankan siapapun
memasukinya?"
"Ehmm . . . .!" Ci Peng mengiakan: "Dia adalah seorang anak gadis, mana tak pandai ilmu
silat lagi, masakah orang di sans akan membunuhnya?"
"Tempat itu bukan alam manusia, mana mungkin ada manusia yang bisa hidup segar bugar di
situ?"
Cian-cian menjadi amat gelisah, peluh dingin bercucuran pula membasahi sekujur tubuhnya.
"Kalau memang di situ bukan alam manusia, mana mungkin ia bisa mati dibunuh?"
"Jika seoraug manusia telah tiba di tempat yang bukan alam manusia, mana mungkin dia tak
akan mati.”
Malam semakin gelap, bukit yang terjal dan mengerikan ternyata bukan alam kahidupan
manusia.
Selangkah demi selangkah Hong-nio berjalan menelusuri kegelapan, akhirnya ia telah lenyap
dibalik kegelapan yang mencekam seluruh jagat itu . . .
Meskipup paras muka Ci Peng tetap tenang, tanpa emosi, namun kelopak matanya telah
berkaca-kaca, seakan-akan ia menyaksikan tubuh si gadis yang lemah lembut itu sudah
terjatuh ke dalam jurang yang tiadataradalamnya itu, tapi apa lacur ia justru tak mampu
menyelamatkan jiwanya . . . .
Tiba-tiba Cian-cian bertanya:
"Apakah kau merasa bersedih hati bagi keselamatan jiwanya yang terancam . . . . ?"
"Ehmm . . . . !" Ci Peng tidak menjawab apa-apa cuma mengiakan.
"Seandainya aku yang pergi ke sana sekarang, sudah pasti takkan ada orang yang merasakan
sedih bagi nasibku yacg buruk, sebab aku tidak lebih hanya seorang gadis yang binal, tak tahu
aturan dan tak kenal baik buruknya manusia, tentu saja mati hidupnya tak akan diperhatikan
pula oleh orang lain."
Ci Peng tidak menjawab, walau hanya sepatah katapun.
251
“Sebaliknya dia lemah lembut, berhati welas, cantik lagi, setiap pria yang bertemu dengannya
pasti akan senang kepadanya dan terpesona oleh kelembutan hatinya.”
Setelah tertawa dingin, ia meneruskan lagi.
“Bahkan manusia she Tong yang buas, kasar dan tak kenal peri kemanusiaan pun
menyukainya, aku dapa tmenyaksikan kesemuanya itu dengan amat jelasnya!”
Lama kelamaan Ci Peng tidak tahan juga katanya kemudian:
“Orang lain menyukainya karena ia baik berbudi pekerti dan lemah lembut hatinya, terlepas
apakah dia cantik wajahnya atau jelek sekalipun...!”
“Betul, dia memang sangat baik budi pekertinya, lemah lembut perasaannya, sedang aku
berhati busuk, dengki dan jahat, aku tak dapat menarik tangan orang lain sambil sengaja
memperlihatkan sikapnya yang hangat dan lemah lembut, aku... aku...”
Makin berbicara suaranya semakin parau dan sesenggukan, tanpa disadari air matanya seperti
bendungan yang jebol mengucur ke luar dengan amat derasnya.
Padahal ia sendiripun tahu bahwa tidak seharunya dia sebagai seorang anak gadis
mengucapkan kata kata seperti itu, siapa pula yang mengatakan bahwa ia tidak bersedih hati?
Begitulah, diakala ia sedang merasa sedih dan kesal oleh perasaan dengki yang muncul secara
membingungkan dalam hati kecilnya itu, tiba tiba ia saksikan ada sesosok bayangan manusia
dengan kecepatan luar biasa sedang bergerak emnuju kearah mereka.
Itulah sesosok bayangan putih yang amat samar, seakan akan seorang manusia, seorang
manusia yang amat kecil.
Andaikata bayangan tersebut adalah sesosok bayangan manusia, maka orang itu sudah pasti
adalah seorang bocah cilik.
Tapi mengapa seorang bocah cilik bisa terbang? Kalau tidak terbang, kenapa ia bisa bergerak
dengan kecepatan yang luar biasa?
Sementara ia masih kaget bercampur keheranan, tiba tia pinggannya menjadi kaku dan selapi
kegelapan menutupi matanya.
Seketika itu juga ia merasa seakan-akan sudah sepuluh tahun lebih tak pernah tidur, ia merasa
mengantuk sekali, matanya menjadi berat dan tak sanggup dipentangkan kembali ia betulbetul
ingin tidur.
Akhirnya ia benar-benar tertidur.
*****
252
ADASETAN
SINAR matahari berwarna keemas-emasan memancar masuk lewat jendela.
Sinar itu menyorot di atas sebuah meja yang berkilat bagaikan sebuah cermin.
Semua barang yang berada di ruangan itu sama dengan meja tersebut, bersih, mengkilap dan
sedikitpun tidak berdebu.
Ketika mendusin dari pingsannya, Cian-cian sudah berada dalam ruang tersebut.
Padahal dengan jelas ia merasa bahwa dirinya berada di atas sebuah bukit gersang yang gelap
dan dingin, mengapa tahu-tahu sudah berada di sini ?
Jangan-jangan ia lagi bermimpi ?
Tapi ia bukan sedang bermimpi, ia benar-benar berada dalam keadaan sadar, diapun
menyaksikan pula Ci Peng berada disana.
Sebenarnya Ci Peng sedang memandang ke arahnya, menanti gadis itu memandang pula ke
arahnya, cepat-cepat ia menghindari tatapan sinar matanya itu. Ia memandang sekuntum
bunga kuning yang berada di atas daun jendela . . .
Bunga kuning itu sedang mekar.
Kamar tidur Hong-nio selalu bersih tak berdebu, di atas jendela selalu pula terletak sekuntum
bunga kuning seperti itu.
Tapi tempat ini bukan kamar Hong-nio.
"Di mana Hong-nio?"
Ci Peng tidak menjawab, tapi di balik sinar matanya justru terselip rasa sedihnya yang tak
dapat diketahui oleh siapapun .
. . . Kenapa kita bisa sampai di sini? Di manakah kita berada? Cian-cian tidak bertanya, semua
persoalan semacam itu tidak penting baginya.
Ia tidak pernah melupakan perkataan dari Ci Peng, iapun tak pernah melupakan mimik wajah
Tong Bong menjelang kematiannya.
Ia harus pergi mencari Hong-nio, entah tempat itu adalah alam manusia atau bukan.
253
Tapi sebelum dia pergi, Hong nio telah muncul di hadapannya.
oo0oo
"Baru saja aku mencapai tebing curam itu, kusaksikan ada sesosok bayangan putih kecil
meluncur kearahku, kemudian kudengar ada seseorang berkata kepadaku : “Orang yang kau
cari tidak berada di sini," kemudian secara tiba-tiba saja aku merasa mengantuk sekali dan
tertidur nyenyak."
"Ketika mendusin tadi, kau telah berada di sini?" tanya Cian-cian.
Hong-nio mengangguk, sorot matanya penuh diliputi perasaan bingung dan tidak habis
mengerti.
"Sesungguhnya tempat apakah ini?" ia berbisik.
"Siapapun tak ada yang tahu, tempat macam apakah di sini."
Terlepas tempat apakahsana, yang pasti tempat itu boleh dibilang merupakan sebuah tempat
baik.
Di luar jendela terdapat sebuah halaman kecil, sinar matahari yang berwarna keemas-emasan
sedang menyoroti kuntum bunga kuning ;yang sedang mekar itu.
Di luar rumah aneka bunga tumbuh subur, di luar pagar bambu adalah sebuah gunung
gunungan dengan kolam ikan yang memelihara beberapa puluh ekor ikan leihi, di bawah
wuwungan rumah bergelantungan sangkar burung nuri yang menyanyikan irama merdu.
Rumah itu cukup besar, perabotnya meski sederhana tapi amat bersih, selain ada kamar baca,
kamar makan ada pula tiga buah kamar tidur, bahkan seprei di atas pembaringanpun tampak
masih bersih.
Di belakang ada dapur, dalam dapur tersedia segentong penuh beras, di atas rak kayu
tergantung pula segala macam daging babi, daging sapi, ikan asin dan ayam.
Paling belakangsanamerupakan sebuah kebun sayur yang menanam sayur putih, kedelai,
kacang kapri serta lobak yang besarnya setangan bocah cilik.
Tak bisa disangkal tempat itu merupakan rumah tinggal seorang hartawan yang sedang
menyepi, atau paling tidak merupakan rumah kediaman seorang jago silat yang telah
mengasingkan diri dari keramaian dunia.
Setiap barang kebutuhan sehari-hari yang dapat kau pikirkan, dapat dijumpai dengan komplit
disana, apa yang kau inginkan bisa segera didapatkan di situ.
254
Tapi di tempat itu justru tak ada orang. Mungkin tuan rumah sedang pergi keluar?" tapi
sekalipun mereka sudah menunggu lama sekali, belum juga kelihatan bayangan tubuh dari
tuan rumahnya.
"Sebenarnya manusia-manusia macam apa yang tinggal dalam wilayah Hui-jin kian?" Ciancian
bertanya..
Jawaban Ci Peng masih juga jawaban yang semula: "Kalau sudah tahu tenpat ini Hui-jin kian
(bukan alam manusia), dari mana datangnya manusia?"
Sekarang bahkan Ci Peng sendiripun tahu bahwa orang lain pasti dapat mengetahui, bahwa ia
sedang menyimpan. suatu rahasia.
Ia telah bertekad, bagaimanapun juga rahasia tersebut tak akan dia utarakan.
Sebab siapapun yang mengetahui rahasia ini, hal tersebut tidak akan mendatangkan manfaat
apa-apa baginya.
Kata Ciao cian: "Mereka adalah manusia juga boleh, setan juga tak mengapa, kalau toh
mereka telah menghantar kita ke mari, maka kita boleh saja tinggal di sini dengan tenang.”
Kenapa kita musti tinggal di sini terus menerus?.
"Sebab walaupun Bu-ki tidak berada di Hui jin-kian, sudah pasti ia masih berada di bukit Kiuhoa-
san, asal kita selalu sabar maka cepat atau lambat kita pasti akan berhasil mendapatkan
kabar beritanya!" demikian Hong-nio menyahut.
Ia jarang sekali mengemukakan pendapat-nya, tapi pendapat yang dia ungkapkan selalu
jarang dibantah orang.
Walaupun Ci Peng tak ingin tinggal di situ, mau tak mau ia musti menutup mulutnya rapatrapat.
Untung saja kamar tidur di rumah itu terdiri dari tiga bilik, mereka setiap orang dapat
menempati sebuah kamar yang tersendiri, atau mungkin kamar-kamar itu memang secara
khusus disediakan untuk mereka?
Cian-cian selalu riang gembira bagaikan seorang anak kecil, sesungguhnya ia selalu kuatir
kalau tidak menemukan tempat yang baik di atas bukit sebagai tempat tinggal, sungguh tak
disangka secara tiba-tiba saja dari langit muncul sebuah tempat nyaman seperti ini.
Pada hakekatnya kejadian tersebut adalah suatu kejadian yang menyenangkan, seperti anakanak
kecil sedang bermain "Kee-kee- ciu."
255
Bahkan Hong-nio sendiripun ikut membuang jauh-jauh kerisauan hatinya, ia berkata:
Mulai hari ini, menanak nasi memasak sayur adalah pekerjaanku!"
Mencuci pakaian, mencuci mangkuk adalah pekerjaanku!" sambung Cian-cian tak kalah
gembira-nya.
Mau tak mau Ci Peng mesti mengepos semangat sambil menambahkan:
"Dan tugasku adalah memotong kayu bakar dan mengambil air!"
Di sebelah kiri rumah di belakang bukit terdapat sebuah sumber mata air, di atas bukit
merupa-kan sebuah kebun buah dengan aneka macam buah yang sudah masak, buah pear
yang kecut, buah Tho yang manis dan banyak airnya merupakan buah-buah kesukaan para
gadis remaja.
Hampir seluruh kebutuhan manusia yang diperlukan sehari-harinya dapat diperoleh di tempat
itu, sayang diantara semua barang yang serba komplit masih kekurangan sebuah benda.
Ternyata tempat itu tak ada lampu.
Bukan saja tak ada lampu, malah lilin, lentera, obor, batu api dan lampu tengtengan pun tak
ada, pokoknya semua benda yang berhubungan dengan api dan lampu tak akan dijumpai di
situ.
Kalau bukan tuan rumah di sana terlalu awal sudah pergi tidur, maka satu-satunya
kemungkinan adalah ia tak pernah pulang ke rumah di malam hari.
masih untung di dapur tersedia korek api untuk menanak nasi, Ci Peng segera membuat api
dan Hong-nio memasak daging ayam dan sebaskom besar kacang kapri yang baru dipetik,
lalu menanak pula sebakul penuh nasi putih.
Cian-cian menuang piring kecil dengan minyak babi lalu mencari seutas tali sebagai sumbu
dan menyulutnya sebagai pengganti lampu.
Sambil tertawa bangga ia berkata:
Dengan lampu kecil ini paling tidak kita tak sampai keliru menghantar nasi ke dalam hidung "
"Pemandangan di luar rumah sangat indah, kalau kita biar mendapatkan beberapa buah lampu
lentera yang terbuat dari kaca, tentu pemandangannya jauh lebih indah lagi," kata Hong-nio.
256
Ia memang selalu menyukai hal-hal yang indah, ia selalu merasa bahwa dalam rumah kecil
yang ada di bukit dengan kebun yarg indah akan terasa lebih syahdu jika diterangi oleh
lentera-lentera kaca yang indah . . . .
Tapi diapun tahu bahwa di tempat semacam ini jangan harap bisa memperoleh lampu lentera
seindah itu.
Maka sore-sore mereka telah pergi tidur, mereka berharap keesokan harinya dapat pergi
menjelajahi sekeliling bukit untuk mencari kabar berita tentang Bu-ki.
Malam itu Hong-nio menulis kembali buku hariannya di bawah penerangan lentera kecil yang
terbuat dari piring minyak, dalam hati kecilnya ia masih mengharapkan lampu lentera
semacam itu.
Keesokan harinya, ia bangun paling pagi.
Ketika ia membuka pintu, terlihatlah belasan buah lampu lentera yang indah tertera api di
depan pintu, lentera itu semuanya terbuat dari kaca dan memantulkan sinar tajam di bawah
sorotan sang surya.
*****
“Siapa yang mengantar lampu lampu lentera itu ke mari?”
“Darimana dia bisa tahu kalau kau menginginkan lampu lampu lentera semacam ini?”
Hong nio tak mampu menjawab.
Memandang lentera lentera sebanyak itu, ia termangu untuk beberapa waktu lamanya,
kemudian sambil tertawa getir katanya:
“Padahal aku sama sekali tidak menginginkan sebanyak ini, asal setiap ruangan ada sebuah itu
sudah lebih dari cukup, sebab terlalu banyak malah merepotkan saja”
Kemudian mereka ke luar rumah untuk mencari jejak Bu Ki, menanti ketiga orang itu kembali
lagi kesitu, ternyata dari sepuluh buah lentera yang semula berada di situ, kini tinggal lima
buah saja.
Menyaksikan kenyataan tersebut, semua orang merasa tertegun, mereka merasa seakan akan
ada segulung hawa dingin yang menyusup masuk lewat telapak kainya danlangsung
menerjang naik ke dalam tubuh.
... Benarkah ada seseorang yang bersembunyi di dalam rumah dan selalu mendengar
pembicaraan mereka?
257
Meskipun di mulut mereka tidak membicarakannya, tapi begitulah yang dipirkan di dalam
hati.
Maka mereka mulai mengadakan pencarian secara besar besaran, setiap sudut ruangan
diperiksa dengan seksama, bahkan di kolong ranjang, di dalam peti, di atas wuwungan rumah,
di balik lubung dapur mereka periksa dengan teliti, tapi hasilnya tetap nihil, tak sesosok
bayangan manusiapun yang ditemukan.
Tangan dan kaki Cian-cian mulai menjadi dingin, tiba tiba ia berkata dengan lirih:
“Kalian tahu apa yang sedang kupikirkan sekarang?”
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Hong nio.
“Aku menginginkan sebuah boneka dari tanah liat!”
Kemudian ia bertanya kepada Hong nio:
“Dan kau? Hari ini apa yang kau inginkan?”
“Boneka tanah liat mudah pecah kalau jatuh, aku menginginkan boneka dari kain.”
“Boneka kain mudah robek, bukankah boneka dari kayu jauh lebih indah dan kuat?” sela Ci
Peng.
“Apakah kau menginginkan boneka kayu?" Cian-cian berseru.
"Aku menginginkan kedua duanya!" jawab Ci Peng
*****
Malam itu sebelum berangkat tidur sekali lagi mereka memeriksa setiap sudut rumah dengan
teliti dan seksama, setelah yakin bahwa di sekitar tempat itu tiada orang yang bersembunyi,
mereka baru mengunci baik-baik semua pintu dan jendela kemudian baru pergi- tidur.
Malam ini tidur mereka tidak nyenyak.
Keesokan harinya, ketika mereka membuka pintu, di luar pintu tak ada boneka tanah liat,
tidak ada pula boneka kayu.
Tapi di luar pintu sana terdapat sebuah boneka kain, sebuah boneka kain yang besar sekali.
Kontan saja Cian-cian melotot besar-besar ke arah Hong-nio. Hong nio sendiri walaupun
merasa tertegun, namun diapun tahu apa yang sedang dipikirkan gadis tersebut.
….. Apapun yang diinginkan orang lain agaknya sama sekali tidak diperhatikan oleh orang
itu, tapi apa yang diminta Hong-nio segera diberikan dengan cepat.
. . . Mungkinkah dia adalah sahabatnya Hong-nio?
. . . Sesungguhnya "sahabat" macam apakah dia? Kenapa tak berani memperlihatkan diri?
258
Hong-nio sendiripun tak sanggup untuk menerangkan persoalan itu, karena ia sendiri juga
tidak habis mengerti.
Jangankan sahabat, seorang kenalanpun tidak ia miliki di tempat itu.
Sepasang biji mata Cian-cian segera berputar kian ke mari, kemudian tiba-tiba ia berkata:
"Aku sudah bosan makan hidangan masakanmu, sekarang aku ingin mencicipi masakan yang
lain !"
"Kau ingin makan apa?" Hong nio segera bertanya.
"Aku ingio makan Ti tie masak kecap dan daging sapi masak kecap dari Gi hoa cay serta
bakpao daging dari Gu put li !"
Hidangan yang disebutkan itu adalah hidangan-hidangan kenamaan dari ibukota.
Gi hoa cay terletak dikotasebelah barat, konon kuali yang dipakai untuk masak kecap daging
sudah ada dua tiga ratus tahun tak pernah berhenti, daging kecap yang mereka jualpun
mempunyai ciri khusus, asal masuk mulut maka orang dapat membedakan rasanya.
Gu put li terletak di Gang Soat say kang, bakpao yang mereka buat tak dapat ditandingi oleh
siapapun.
Padahal jarak antara tempat itu dengan ibukotamencapai beberapa ribu li, sekalipun burung
yang terbang di angkasa pun tak nanti bisa pulang pergi dalam setengah hari.
Hong nio tahu, rupanya Cian-cian sengaja hendak mengajukan persoalan yang sulit untuk
mencoba orang itu, maka ia segera menyahut:
“Bagus sekali, malam ini akupun ingin masakan tersebut !”
Cian-cian masih tidak lega hati, sekali lagi dia bertanya:
“Kau ingin makan apa?"
Sepatah demi sepatah kata Hong nio menjawab:
"Aku ingin makan Titie masak kecap dan daging sapi masak kecap dari Gi Hoa cay di
ibukotaserta bakpao daging dari Gu put li !"
Hari itu kembali mereka ke luar rumah untuk melakukan pencarian, sekali pun demikian di
hati mereka hanya selalu memikirkan daging masak kecap serta bakpao daging.
259
Sekalipun orang itu memiliki kepandaian yang luar biasa, jangan harap bisa barangkat ke
ibukotauntuk membeli barang-barang semacam itu dan kembali setengah harian kemudian.
Cian-cian tertawa dingin di dalam hati, pikirannya:
"Heeehh . . . heeehhh. . . . heeehhh . . aku ingin melihat apakah selanjutnya kau masih punya
muka untuk melanjutkan permainan ini?"
Sebelum matahari terbenam, mereka telah buru-buru pulang ke rumah.
Benar juga, di atas meja telah siap sepiring besar Titie masak kecap, sepiring daging sapi
masak kecap dan dua puluh biji bakpao yang masih panas.
Kalau hanya begini saja masih tidak termasuk aneh.
Yang lebih aneh lagi, ternyata daging kecap itu benar-benar membawa ciri khas masakan Gihoa-
cay, kalau dimakan maka akan terasalah minyak kecap yang sudah berumur lama itu.
Yang lain mungkin bisa palsu, tapi kalau dalam hal ini tak mungkin bisa ditiru lagi.
Ci Peng gemar pula makan daging kecap macam begini, tapi ketika memakannya sekarang, ia
tak tahu bagaimanakah rasa sebenarnya.
Sekali lagi Cian cian melotot ke arah Hong nio, kemudian sambil tertawa dingin sindirnya:
“Heeehhh...heeehhh...heeehhh... tampaknya kepandaian yang dimiliki sahabatmu itu betul
betul luar biasa sekali”
Hong nio tidak menyalahkannya.
Peristiwa ini memang terlalu aneh, memang sepantasnya kalau orang akan merasa curiga
kepadanya.
“Siapa sih temanmu itu?” tanya Cian cian,
“Kalau toh sudah datang, kenapa tidak tampilkan diri untuk makan bersama kamu?”
Sengaja ia memperlihatkan tertawanya yang amat riang, terusnya:
“Bagaimanapun juga, makanan ini kan sengaja ia beli dari tempat yang sangat jauh....”
“Jauh sekali?” tiba tiba Ci Peng bertanya.
“Yaa, jauh sekali!”
“Dapatkah kau pergi ke tempat yang begitu jauhnya untuk membeli hidangan hidangan
tersebut kemudian kembali lagi ke sini dalam setengah harian saja?”
“Tentu saja aku tidak mampu!”
260
“Pernahkah kau bayangkan manusia macam apakah di dunia ini yang sanggup berangkat ke
ibu kota untuk membeli hidangan hidangan tersebut kemudian balik lagi kemari hanya dalam
waktu setengah harian saja”
“Aku tidak dapat membayangkannya!”
“Aku sendiripun tak dapat membayangkan!” kata Ci Peng dengan cepat,
“Sebab pada hakekatnya tak ada seorang manusiapun di dunia ini yang sanggup melakukan
perbuatan tersebut!”
“Tapi, bukankah semua hidangan yang kita minta sudah tertera didepan mata sekarang?”
Ci Peng segera menghela napas panjang.
“Aaaai.... aku toh hanya mengatakan bahwa tiada “manusia” di dunia ini yang sanggup
melakukan pekerjaan itu!” katanya.
Sengaja kata `manusia" diucapkan dengan tekanan yang lebih keras. Tiba tiba Cian-cian
merasa ada hawa yang dingin yang menerobos masuk lewat dasar telapak kakinya.
"Maksudmu di sini ada setannya ? ia menjerit.
*****
PEMILIK RUMAH SETAN
SETAN dapat mengikuti semua pembicaraanmu, sekalipun suara pembicaraanmu amat lirih
dan kecil, setan tetap dapat mendengarnya.
Tapi sebaliknya kau tak akan mampu mendengar suara pembicaraan setan.
Setan dapat pula menyaksikan dirimu, memperhatikan semua gerak gerikmu dan mengikuti
semua perbuatanmu, sekalipun berada ditengah kegelapan diapun melihat dengan jelas.
Tapi kau tak dapat melihat setan, sekalipun setan berada di sampingmu, kau toh tetap tak
dapat melihatnya.
Setan tak membutuhkan lampu. Semua barang kebutuhan tersedia di rumah itu, hanya lampu
yang tak dimiliki.
Setan pun bisa menempuh perjalanan sejauh ribuan li dalam waktu singkat, tapi kau harus
menempuh perjalanan selama tiga hari tiga malam untuk bisa mencapainya.
Mungkinkah "teman" Hong nio bukan manusia melainkan setan? Benarkah rumah itu adalah
sebuah rumah setan?
oo0oo
261
Malam telah tiba, bintang bertaburan memenuhi angkasa, air telaga yang jernih di bawah
timpaan sinar bintang memantulkan sinar perak yang memanjang seperti sebuah ikat pinggang
berwarna perak.
Menelusuri sumber air itu Hong nio pelan-pelan bergerak maju ke depan.
ia merasa tak dapat tidur, hatinya amat gundah, bukan saja kesal mana takut lagi, takutnya
setengah mati.
Ia sama sekali tidak takut dengan setan.. Andaikata penghuni rumah itu benar-benar adalah
setan, kalau toh ia baik kepadanya, diapun tak perlu takut kepadanya.
Sejak kecil ia tak pernah takut dengan setan, ia selalu merasa ada sementara orang justru lebih
menakutkan dari pada setan.
Perduli apakah dia manusia atau setan, asal ia betul-betul sangat baik kepadanya, ia tetap
merasa amat berterima kasih
Ia menjadi takut, karena secara tiba-tiba ia teringat akan diri Bu-ki . . . . .
Walaupun di dunia ini sungguh-sunggub terdapat sukma gentayangan, hanya sukma
gentayangan dari Bu ki yang akan bersikap demikian baik kepadanya. "
Betulkah Bu ki sudah mati? Benarkah setan itu adalah sukma gentayangan dari Bu ki?"
Ia tak berani berpikir lebih lanjut, iapun tak berani mengungkap masalah tersebut di hadapan
Cian-cian, ia telah merasakan bahwa antara mereka berdua sesungguhnya ada suatu selisih
jarak.
Mungkin hal ini disebabkan karena sesungguhnya mereka bukan seorang sahabat yang akrab,
mereka mempunyai hubungan satu sama lainnya karena Bu-ki lah yang menghubungkan tali
perhubungan tersebut.
Cian-cian memang tak pernah memahami perasaan hatinya, diapun tak pernah
mempercayai-nya,kalau diantara mereka sudah tak dapat saling memahami, mana mungkin
bisa saling mem-percayai?"
Ujung dari sumber mata air itu adalah sebuah telaga kecil. Sekeliling telaga penuh tumbuh
pepohonan siong yang amat besar dan rindang, selain itu tumbuh pula aneka macam bunga
liar yang menyiarkan bau harum semerbak.
Di atas langit penuh tersebar beribu ribu bintang, di atas permukaan telaga memantulkan pula
cahaya bintang.
262
Tak tahan ia berjongkok di tepi telaga, mendayung segenggam air dan membasuh tangannya.
Penyerapan sinar matahari sepanjang siang membuat suhu air dalam telaga itu begitu sejuk,
begitu lembut dan hangat .
Dibelakang bukit desa kelahirannya dulu, terdapat pula sebuah telaga sebesar telaga ini.
Sewaktu masih kecil dulu seringkali di tengah malam buta ia lari ke telaga dan berenang
sepuasnya.
Sebenarnya ia memang seorang bocah perempuan yang nakal, hanya saja selama ini ia selalu
mengekang kebinalan serta kebebasannya.
Sekarang, tanpa disadari terbayang kembali kenangannya dikala masih kecil dulu, saat saat
kehidupannya yang paling bebas, paling senang dan tidak terikat oleh segala batas batas
ketentuan.
Tak tahan lagi, ia mulai bertanya pada diri sendiri:
“Seandainya waktu bisa berulang kembali, dapatkah aku hidup sebebas dulu lagi?”
Mendadak dalam hati kecilnya muncul suatu dorongan yang amat misterius...
Seandainya seorang dapat membuang semua pikiran dan perasaannya yang mencekam
perasaannya untuk sementara waktu, lalu mengenag kembalai kenangan indahnya dikala
masih kanak kanak dulu, maka jalan pikiran semacam itu bagi siapapun akan merupakan
suatu daya pancingan yang sukar dilawan.
Denyut jantungnya berdebar keras, makin lama berdebar semakin cepat...
Sudah terlalu lama ia mengenang diri sendiri, ia merasa sudah sewajarnya kalau saat ini ia
mendorongkan sedikit seluruh perasaannya.
Malam yang sepi terasa begitu syahdu, bukit yang hening menambah mesranya suasana
ditambah lagi air telaga yang begitu sejuk, begitu hangat dan merangsang hati...
Akhirnya tak tahan lagi dengan tangan yang gemetar ia mulai melepaskan kancing kancing
bajunya...
*****
Mungkin karena diusia mudanya dulu ia pernah mengalami suatu kehidupan yang bebas tanpa
ikatan, maka perkembangan tubuhnya pun amat indah dan mempesona.
Kakinya yang panjang dan ramping kelihatan amat kencang, payudaranya mesti tidak
terhitung besar tapi montok dan padat berisi, hanya saja lantaran sudah terlalu lama tak pernah
263
kena matahari maka tampak sedikit pucat dan lembek, apalagi lekukan tubuhnya yang tinggi
semampai dengan lekukan lekukannya yang indah, membuat gadis itu tampak semakin
mempesona dalam keadaan bugil seperti sekarang ini.
Potong badang semacam ini justru merupakan potongan badang yang paling ideal dan pantas
dibanggakan olehnya, belum pernah ada orang kedua yang pernah menyaksikan lekukan
tubuhnya itu, bahkan ia sendiripun jarang sekali menikmatinya.
Setiap kali ia memandang tubuh sendiri yang padat dan indah, jantungnya selalu terasa
berdebar keras.
Dengan cepatnya ia telah menyelam kedalam air, membiarkan air telaga yang segar serta
kenangan dimasa kanak kanak dulu memeluk dan membuai tubuhnya.
Pada saat beginilah, tiba tiba ia merasa seperti ada sepasang mata sedang memperhatikannya.
Itulah sepasang mata yang besar dengan sorot mata yang tajam, mata itu bersembunyi di balik
semak belukar yang lebar dan sedang mengawasinya tanpa berkedip, sorot mata itu penuh
disertai rasa kaget, girang dan suatau perasaaan kagum yang disertai dengan kobaran napsu
birahi.
Dengan cepat gadis itu merasa sekujur tubuhnya menjadi dingin dan kaku, cepat cepat ia
melindungi tubuh bagian terlarangnya denga sepasang tangan sementara badannya cepat cepat
menyelam ke dalam air.
Ketika ia muncul kembali diatas permukaan air untuk ganti napas, ternyata sepasang mata itu
masih menatap terus kearahnya, bahkan sedang tertawa terkekeh kekeh.
Ia tidak menjerit.
Ia tidak berani memanggil Cian cian serta Ci Peng, ia hanya membenci pada diri sendiri,
membenci diri sendiri kenapa bertindak kurang hati hati.
Padahal dengan sangat berhati hati ia telah memeriksa sekeliling tempat itu, sesungguhnya
diatas bukit yang sunyi dan malam yang sepi tak mungkin ada manusia yang datang ke sana.
Tiba tiba orang itu tertawa lalu berkata:
“Haahhh...haahhh...haahhh...kau tidak menyangka kalau di sini masih ada orang lain, bukan?”
Hong nio menutup mulutnya rapat rapt.
Ia benar benar tak tahu bagaimana harus menjawab, dia cuma berharap agar orang itu adalah
seorang lelaki sejati dan segera meninggalkan tempat itu.
264
Rupanya orang itu bukan seorang lelaki sejati, bukan saja ia tidak bermaksud untuk pergi dari
situ, malahan dengan cekatan tubuhnya melompat ke luar dari semak belukar.
Dia adalah seorang pemuda yang gagah dan kekar, bajunya adalah pakaian ringkas berwarna
kuning telur, bukan saja mukanya ganteng, badannya kekar, bertenaga besar lagi.
Perasaan Hong-nio makin tercekat, jantungnya berdebar makin keras, ia benar-benar
ketakutan setengah mati.
Pemuda semacam itu adalah pemuda berdarah panas, apalagi di tempat yang begini sepi tanpa
orang ketiga, mustahil kalau dia akan membuang kesempatan, sebaik ini untuk melepaskan
birahinya.
Menyaksikan rasa kaget, takut dan ngeri yang menghiasi wajah gadis itu, pemuda tersebut
tertawa semakin riang, katanya:
"Aku sendiripun tidak menyangka kalau aku bakal mempunyai rejeki sebaik ini."
Untung permukaan air sangat gelap, dia tak dapat melihat tubuh bagian bawahnya yang
tersembunyi di dalam air, tapi celakanya ternyata pemuda itu mulai melepaskan pakaian yang
dikenakannya satu persatu .
Jangan-jangan diapun hendak terjun pula ke dalam air?
Sebelum dia melompat ke air. Hong-nio sudah menjerit dengan perasaan takut.
"Tidak boleh?"
Orang itu sengaja mengerdipkan matanya berulang kali.
"Tidak boleh apa?" tanyanya pura pura tidak mengerti
"Kau . . . . kau tidak boleh turun ke air."
Orang itu segera tertawa.
"Telaga ini toh bukan milikmu seorang, mengapa aku tak boleh turun ke air?"
Ia tidak buru-buru terjun ke air, perbuatannya sekarang ibaratnya seekor kucing sedang
mempermainkan tikus tangkapannya, ia tidak terlalu buru-buru untuk menelannya.
Pemuda itu masih bermaksud untuk menggodanya dan mempermainkannya sepuas mungkin.
Hong-nio sudah tak dapat mengendalikan perasaannya lagi, ia mulai berteriak-teriak.
265
Sambil tertawa orang itu segera berkata:
"Sampai pecahpun tenggorokanmu berteriak jangan harap ada orang yang bakal muncul di
sini . . . ., hayo berteriaklah terus! Di tempat semacam ini yang ada hanya setan, jangan harap
kau temui manusia!"
Maksud pemuda itu sebenarnya hendak menakut-nakuti dara tersebut, tapi teriakannya itu
justru mengingatkan Hong-nio kepada "temannya."
Mendadak ia teringat dengan "setan" yang selalu memenuhi apa yang diharapkan itu, segera
teriaknya dengan suara lantang:
"Tahukah kau, apa yang kuinginkan sekarang?"
"Apakah menginginkan diriku?"
Sambil menggigit bibir teriak Hong nio:
"Aku hanya menginginkan kau menjadi seorang buta!"
Baru selesai perkataan itu, mendadak dari balik kegelapan menyambar lewat serentetan
cahaya yang lebih cepat dari pada sambaran kilat.
Seketika itu juga sepasang matanya yang jeli dan tajam segera berubah menjadi dua buah
lubang hitam yang penuh berlepotan darah kental . . . .”
Agaknya ia masih belum tahu apa gerangan yang telah terjadi, setelah tertegun sejenak,
wajahnya baru menunjukkan perasaan ngeri bercampur takut, ia mulai menjerit kesakitan
dengan suara yang menyayatkan hati, sambil menutupi mukanya ia lari dari situ, tapi
kepalanya segera menumbuk di atas dahan pohon dan terjungkal, cepat-cepat ia merangkak
bangun lagi dan lari terbirit birit dari situ.
Hong-nio sendiripun merasa terkejut karena ngeri dan ketakutan.
Cahaya tajam yang menyambar lewat bagaikan sinar petir itu munculnya sangat tiba-tiba tapi
perginya pun di luar dugaan.
Jilid 10________
DALAM waktu singkat, suasana di sekeliling tempat itu telah pulih kembali dalam
keheningan, tak sesosok bayangan manusiapun yang tampak, seakan-akan disanatak pernah
terjadi suatu kejadian apapun.
266
Tapi orang itu dengan jelas sudah roboh, secara tiba-tiba berubah menjadi seorang buta.
Tak tahan Hong-nio mengendalikan perasaannya yang tak keruan, ia berteriak keras:
"Aku ingin menjumpaimu, dapatkah aku bertemu muka denganmu?"
Suasana di sekeliling bukit itu masih tetap hening, sepi dan tak kedengaran sedikit suarapun.
Hong-nio betul-betul sangat ketakutan, hampir gila rasanya dia menghadapi keadaan seperti
itu, tanpa berpikir panjang lagi ia melompat bangun dan tanpa menyeka tubuhnya lagi yang
basah kuyup, ia kenakan pakaiannya dan kabur pulang ke rumah.
Untungnya sepanjang perjalanan ia tidak menjumpai hal-hal di luar dugaan lagi, deogan
selamat tibalah gadis itu di depan rumah kecil yang misterius.
Sekalipun ia merasa sangat takut, sangat lelah, tapi ia tak ingin membangunkan Cian-cian
serta Ci Peng, menanti dengusan napasnya sudah mulai tenang kembali, ia baru membuka
pintu dan kembali ke dalam kamarnya.
Suasana dalam kamar gelap gulita.
Untung gadis itu masih ingat di mans ia menyimpan korek api, dengan cepat ia telah
memasang lampu, sinar lentera yang lembut dan terang selalu mendatangkan perasaan hangat
dan aman bagi siapapun.
Tapi dikala sinar lentera mulai menerangi sekeliling ruangan, gadis itu kembali menjerit
kaget.
Ternyata seseorang telah duduk di dalam kamarnya.
Dia adalah seorang manusia berbaju kasar yang bsrwajah pucat, orang itu duduk di atas kursi
di sudut ruangan tak berkutik, sepasang matanya berwarna putih juga dan tak tampak biji
matanya, juga jelas diapun tak dapat menyaksikan keadaan disekitarsana.
Ternyata orang itu adalah seorang buta.
Cian cian dan Ci Peng telah datang pula, sesungguhnya mereka sendiripun tidak tidur ketika
Hong-nio pulang merekapun tahu.
Tapi tak ada yang tahu sejak kapan si buta itu muncul disana, kehadirannya yang tak di
sangka dan tak dirasakan itu cukup mengejutkan hati mereka berdua.
“Siapa kau?" Cian-cian segera berteriak keras.
267
Dengan wajah tanpa emosi si buta itu balik bertanya dengan suara dingin:
"Dan siapa pula kau?"
"Mau apa kau datang ke mari?"
“Mau apa pula kau datang ke mari?" balas si buta.
Cian-cian menjadi amat gusar, teriaknya: "Sekarang akulah yang sedang bertanya kepada m
u! "
"Akupun tahu bahwa sekarang kau lagi bertanya kepadaku, tapi pertanyaan-pertanyaan
semacam itu seharusnya akulah yang mengajukan kepada kalian .. . !"
Dengan dingin ia melanjutkan:
"Rumah ini adalah rumahku, siapa kalian semua? Mau apa datang ke mari . . . ?`
Cian-cian tak bisa berbicara lagi, walaupun kadangkala diapun seorang gadis yang tidak tahu
aturan, tapi kali ini ia betul-betul tak dapat berbicara apa-apa, tentu saja tak dapat pula
mem-bantah.
Sekarang mereka tak bisa berkata apa-apa lagi, sebab mereka memang tidak mempunyai
alasan yang cukup untuk membantah atau menjawab pertanyaan si buta itu.
Diapun percaya bahwa si buta itu tidak bohong.. rumah samacam ini tentu saja tak mungkin
tak ada pemiliknya.
Dalam rumah itu, benda apapun dapat kau jumpai, hanya lampu lentera yang tidak ada, karena
tuan rumahnya adalah seorang buta, orang buta tentu saja tidak membutuhkan lampu.
Yaa, apa gunanya seorang manusia buta menggunakan lampu? Toh ia tak dapat melihat apaapa.
Sambil tertawa paksa Ci Peng berkata:
"Kami datang ke sini untuk berpesiar, rumah ini hanya ingin kami gurakan selama beberapa
hari saja!"
`Aku tak mau tahu ada urusan apa kalian datang ke mari, aku hanya berharap kalian segera
pergi dari sini."
"Bolehkah kami berdiam beberapa hari lagi?* Ci Peng meminta.
268
"Tidak boleh!"
Kami bersedia membayar uang sewa yang tinggi, baik berapapun yang kau harapkan!*
"Tidak, aku tak akan mengabulkannya, walau berapa saja yang akan kalian bayar!”
Kemarahan Cian-cian kembali berkobar, teriaknya dengan suara lantang:
"Apakah kau suruh kami pindah dari sini sekarang juga?"
Si Buta itu merenung sejenak, akhirnya ia menjawab:
“Baik, aku akan memberi waktu sehari lagi kepadamu, sebelum matahari terbenam besok,
kalian sudah harus pergi meninggalkan tempat ini . . .`
Pelan-pelan ia bangkit berdiri, lalu dengan menggunakan tongkat berwarna putih sebagai
pe-nunjuk jalan pelan- pelan ia ke luar dari situ, sementara mulutnya seakan-akan sedang
bergumam:
"Padahal lebih cepat kalian tinggalkan tempat ini semakin baik, sebab kalau tidak pergi juga,
kukuatirkan bencana besar, segera akan muncul di depan mata!"
Suasana di luar rumah masih tetap gelap gulita.
Setelah berada di luar, tiba-tiba bayangan tubuh si buta itu lenyap di balik kegelapan.
Mengapa seorang buta dapat tinggal di atas gunung yang terpencil? Kenapa ia bisa
membersihkan tempat sedemikian bersih dan rapinya?
Ci Peng menghela napas panjang, katanya: "Si orang buta itu sudah pasti bukan manusia
sembarangan, kita .. ."
"Heeehh...heeehh...heeehh... apakah kau hendak menasehati kami agar segera angkat kaki dari
sini? “ Cian-cian menyindir sambil tertawa dingin.
Ci Peng tidak menyangkal, memang begitulah tujuan sebenarnya.
"Tentu saja kita harus pergi dari sini” ujar Cian-cian lebih lanjut, "sebab bagaimanapun juga
aku sudah tak betah tinggal terus di tempat macam rumah setan ini.!"
Walaupun ia sedang berbicara dengan Ci Peng sepasang matanya mengawasi Hong nio lekat
lekat.
269
Keadaan Hong nio sekarang persis seperti seseorang yang baru naik dari dalam air,
keadaannya basah kuyup.
Mau apa ia ke luar rumah ditengah malam buta? Kenapa ia sampai tercebur ke dalam air.
Tentu saja Hong-nio sendiripun mengeta-hui bahwa keadaannya sekarang memang gampang
menimbulkan kecurigaan orang, namun Cian-cian tidak bertanya kepadanya, walau hanya
sepatah katapun.
Tidak bertanya rasanya lebih runyam dari pada ditanya.
la tahu selisih jarak di antara mereka berdua kian lama kian bertambah jauh.
*****
Malam semakin kelam.
Sebenarnya Hong-nio menganggap dirinya pasti tak dapat tidur malam itu, siapa tahu
mendadak ia tertidur dengan begitu saja.
Tapi tidurnya tidak dapat dikatakan terlalu nyenyak, sebab ia masih dapat merasakan sesuatu.
Dalam lelap tidurnya itu, ia merasa seakan-akan di sisi tubuhnya telah bertambah dengan
sesuatu dan sesuatu itu agaknya seperti seorang manusia.
Orang itu berbaring persis di samping tubuhnya, tapi orang itu mempunyai perawakan tubuh
yang kecil dan pendek, lagi pula dari tubuhnya terendus semacam bau harum yang aneh
sekali.
Dia ingin berteriak, namun tak sepotong suarapun dapat ke luar, ia ingin bergoyang namun
tubuhnya tak mampu berkutik.
Orang itu seolah-olah sedang memeluk tubuhnya, mencium pipinya dan mencium bibirnya
......
Ia merasa amat gelisah, merasa amat takut, tapi tubuhnya segera menunjukkan suatu reaksi
yang aneh sekali, dia ingin membuka matanya dan memeriksa siapa gerangan orang itu?
Dia ingin tahu, apakah orang itu adalah Bu ki?
Tapi ia tak sanggup membuka matanya, sekali pun sudah mengerahkan segenap kekuatan
tubuhnya, mata terasa begitu berat dan tak mampu dibentangkan lagi.
Secara lamat-lamat iapun mendengar orang itu seakan-akan sedang bergumam:
270
"Kau adalah milikku, kecuali aku, siapapun tak boleh menyentuh dirimu lagi!"
Meskipun suara tersebut dengan jelas berkumandang dari sisi telinganya, tapi ia merasa suara
tersebut seakan akan datangnya dari suatu tempat yang jauh sekali.
Apakah orang itu adalah Bu ki? Kenapa suaranya tidak mirip suara dari Bu ki?
Tiba tiba ia tertidur lelap, ketika mendusin kembali sekujur badannya sudah basah oleh
keringat dingin.
Dia dikejutkan oleh suara ketukan pintu yang gencar, tentu saja Ci Peng yang ke luar
membuka pintu.
Ternyata orang yang mengetuk pintu adalah siorang buta yang semalam itu,kunjungannya
yang mendadak ini sangat di luar dugaan Ci Peng.
“Apakah kau datang untuk mendesak kami agar lekas-lekas angkat kaki dari sini?" Ci Peng
segera menegur.
Di luar dugaan, ternyata si orang buta itu menggelengkan kepalanya.
“Mulai sekarang kalian tak perlu pindah lagi!" katanya.
Tak disangka begitu cepat si orang buta itu telah berubah pikirannya . . . .
Hampir saja Ci Peng tidak percaya dengan kenyataan tersebut, serunya agak sangsi,
"Maksudmu, kami boleh berdiam terus di sini?"
"Yaa, terserah kalian suka betapa lama saja di sini, pokoknya kau boleh tinggal di sini sepuas
puasnya."
”Kenapa secara tiba-tiba kau berubah pikiran?" tidak tahan Ci Peng bertanya lagi.
"Sebab rumah ini sudah bukan menjadi milikku!"
*Lantas siapakah pemilik rumah ini?"
"Seorang sahabat!"
"Seorang sahabat? Sahabat siapa?"
Si orang buta itu tidak menjawab.
271
Tapi dengan cepat Ci Peng telah teringat kembali dengan "orang" yang mengirim lentera
kaca, boneka kain serta daging kecap dan Gi hoa cay tersebut.
Ci Peng merasakan napasnya rada dingin, tapi mau tak mau dia musti bertanya lagi:
“Apakah sahabat itu mengijinkan kepada kami untuk tetap tinggal di tempat ini?"
"Yaa, tapi dia punya sebuah syarat!"
"Apa syaratnya?*
"Malam ini dia akan datang bersantap bersama kalian.”
Ucapan itu segera membuat Ci Peng menjadi tertegun.
Syarat semacam ini tak berani ia sanggupi secara gegabah, tapi bagaimanapun jua dia harus
menyanggupinya.
Bagaimanapun jua, kau telah tinggal di rumah milik orang, kalau orang itu hanya ingin datang
untuk bersantap, maka permintaan tersebut boleh dibilang merupakan suatu permintaan yang
tidak terlampau keterlaluan.
Tapi persoalannya sekarang hanya satu.
“Sababat itu sesungguhnya adalah seorang sahabat macam apa?
Sementara Ci Peng masih ragu ragu, Cian-cian sudah menyerbu ke luar sambil berseru:
"Dia ingin makan apa?"
"Apa saja bolehlah, ia tahu di tempat ini terdapat seorang nona Wi yang pandai memasak!"
ooo0ooo
Senja itu, Hong-nio sedang mempersiapkan sayur untuk makan malam. Ayam, daging dan
sosis sudah dinaikkan ke dalam kukusan, ikan asinpun sedang siap masuk kuali.
Lobak-lobak yang baru dicabut akan dimasak kuah, sekalipun tidak tersedia daging iga yang
masih segar, paling tidak kalau dimasak dengan daging asinpun sama lezat rasanya.
Selain dari pada itu, dari kolam diapun menangkap dua ekor ikan leihi segar, sebetulnya ikan
itu akan dimasak kuah tapi setelah berpikir kemudian akhirnya ikan itu dikukus.
272
ikan yang dimasak terlalu lama maka kesegaran dan kegurihannya akan hilang, ikan leihi
yang tidak segar dan tidak gurih akan terasa hambar dan seperti makan kayu.
Coba kalau ikan mas, paling sedap tentu saja dimasak kuah karena kegurihannya akan lebih
kentara.
Memasakpun harus ada suatu kepandaian khusus, terutarna untuk menjodohkan suatu bahan
masakan dengan cara memasaknya.
Berbicara sesungguhnya, semua bahan yang tersedia bukan termasuk bahan masakan yang
baik, tapi berada di tangan seorang ahli masak memasak maka ibaratnya sebilah pedang yang
tidak terlalu baik berada di tangan seorang jago yang ahli dalam permainan pedang.
Terhadap soal itu, Hong-nio mempunyai keyakinan khusus.
Tapi sewaktu memasak sayur, tiba-tiba perasaan hatinya selalu merasa tidak tenang.
Siapakah pemilik rumah ini? Sesungguhnya manusia macam apakah dia itu?
Dia adalah seorang "manusia"? Apakah hanya setan atau sukma gentayangan?
Atau mungkin dia adalah Bu ki?
Kalau bukan Bu ki, siapa pula orang itu? Kenapa begitu baik kepadanya? Kenapa setiap
per-mintaannya selalu dikabulkan dengan begitu saja?
Hong-nio sedang mencuci tauge.
Sosis masak tauge merupakan sejenis hidangan yang termasuk lumayan juga kelezatannya.
Waktu itu Cian-cian sedang memotong sosis, mendadak ia berpaling dan memandang
wajahnya lekat-lekat, kemudian tegurnya:
"Benarkah kau adalah ensoku?"
Hong nio menghela napas panjang di dalamhati.
Walaupun ia merasa Cian cian tidak pantas mengajukan pertanyaan semacam itu kepadanya,
tapi ia menyahut juga:
"Selamanya aku adalah ensomu!”
"Kalau begitu sudah sepantasnya kalau kau memberitahukan kepadaku, siapakah orang yang
akan makan malam bersama kita malam nanti!”
273
"Dari mana aku bisa tahu siapakah orang itu?”
Cian-cian mengiris sosis-sosis itu keras-keras, dengan menarik muka sindirnya:
“Aaaah . . : ! Masa kau tidak tahu? Bukankah dia adalah sahabatmu?"
Hong nio memejamkan matanya rapat-rapat, ia kuatir air matanya jatuh bercucuran, sekalipun
air mata serasa hendak meleleh ke luar, air mata itu hanya boleh meleleh dalam perutnya.
Tiba-tiba ia teringat pula dengan impian buruk yang dialaminya semalam, suatu impian buruk
yang tak mungkin bisa diceritakan, kepada siapapun jua . . .
Bau harum yang aneh . . . ciuman di atas bibirnya yang hangat dan mesrah . . .
Sebenarnya dia adalah Bu-ki atau bukan?.
Kalau dia memang benar-benar adalah Bu-ki, kenapa dengan cara semacam itu dia bersikap
kepadanya? .
Walaupun sepasang tangan Hong-nio tidak berada dalam air dingin, tapi entah mengapa tibatiba
saja sekujur badannya menggigil keras sekali, seperti orang ketakutan.
Pada saat itulah, ia mendengar di luar rumahsanaada orang sedang berseru, suara itu parau
tapi nyaring sekali.
Itulah suara dari si buta, ia berteriak dengan lantang.
"Tamu kehormatan kalian telah datang!”
Hong-nio sedang menggorengtempe, ia memasaknya dengan irisan sosis yang tersedia, untuk
pertama kalinya ia lupa memberi garam dalam masakannya..
Hati kecilnya selalu membayangkan "tamu" yang telah duduk di ruang depan itu .... apakah ia
lebih pantas disebut tamu ? Ataukah sebagai tuan rumah? Dia hanya berharap bisa lekas-lekas
menyelesaikan masakan sayurnya yang terakhir dan keluar ke ruang depan untuk melihatnya
sendiri.
Sesungguhnya manusia macam apakah dia? Kenapa ia mempunyai kekuatan sebesar itu
sehingga dapat melakukan pekerjaan yang sebenarnya sulit dilakukan orang lain.
Mimpipun ia tak menyangka kalau tamu misteriusnya itu, ternyata tidak lebih hanya seorang
bocah cilik.
274
TAMU AGUNG
BOCAH itu duduk di kursi utama, sedikit pun tidak menunjukan perasaan tak tenang, se
akan-akan sudah terbiasa disanjung dan di hormati orang.
Dia mengenakan pakaian berwarna putih salju, bahannya dari bahan berkwalitet tinggi,
bersih, putih dan sedikitpun tiada bernoda.
Sikap serta tingkah lakunya agung sekali, mukanya yang pucat memancarkan sinar serius,
keren dan berwibawa seperti seorang raja muda.
Mukanya yang pucat serta sikapnya yang keren, serius dan berwibawa seakan-akan sudah
merupakan ciri khas dari kaum bangsawan.
Walaupun ia sedang berusaha keras untuk memperlihatkan sikapnya sebagai seorang dewasa,
tapi usianya toh tetap masih kecil, paling banter belum mencapai dua belas atau tiga belas
tahun.
Ketika menyaksikan Hong-nio berjalan masuk ke dalam ruangan, di atas wajahnya yang
keren, serius dan berwibawa itu tiba-tiba saja mengalami suatu perubaban yang sangat aneh,
sorot matanyapun memancarkan sinar kehangatan.
Ci Peng sedang memperkenalkan bagi mereka berdua . . .
"Saudara ini adalah Lui kongcu, tamu agung kita semua, sedangkan dia adalah nona Wi,
tukang masak kita yang paling jempolan!
Bocah cilik itu seakan-akan sama sekali tidak mendengar apa yang sedang dia katakan.
sepasang matanya yang memancar-kan sinar kehangatan menatap wajah Hong-nio tanpa
berkedip.
Seandainya ada seorang laki-laki dewasa yang memandang seorang gadis dengan sinar mata
semacam itu, tak bisa disangkal lagi tindakannya itu adalah suatu tindakan yang kurang
sopan. Tapi ia tak lebih hanya seorang bocah cilik.
Walaupun Hong-nio merasa kaget dan keheranan, bahkan di luar dugaan, namun perasaan
was-was dan beban yang menekan perasaannya jauh lebih berkurang.
Tentu saja orang yang muncul dalam impian nya semalam juga tak mungkin adalah bocah
cilik ini, mungkin juga apa yang terjadi benar-benar hanya suatu impian belaka. Suatu impian
yang menakutkan dan memalukan sekali.
275
Ketika terbayang kembali impiannya semalam, wajah gadis itu segera berubah menjadi
merah, apalagi ketika mengetahui kalau dalam sayurnya lupa diberi garam, mukanya berubah
semakin merah lagi.
Tapi tamu agung kecil ini agaknya menaruh perhatian khusus terhadap hidangan semacam ini,
sebab sayur yang lain hampir boleh dibilang tak pernah disentuh olehnya.
Sedikit sekali yang dia makan, sedikit pula yang dibicarakan. Pada hakekatnya tak sepatah
katapun yang pernah ia ucapkan, malah kecuali Hong-nio seorang yang selalu diperhatikan.
seakan-akan orang lainnya dianggap seperti orang mati saja, sekejappun tak pernah ia
perhatikan diri mereka.
Sepasang matanya itu tak pernah meninggalkan wajah Hong-nio barang sekejappun,
sekalipun dia tak lebih hanya seorang bocah cilik, tak urung Hong-nio dibikin tersipu-sipu
juga.
Cian-cian selalu memperhatikan gerak-gerik mereka berdua, tapi lama kelamaan ia dibikin tak
betah juga.
Untung tamu agung itu sudah bangkit berdiri, rupanya hendak pergi meninggalkan tempat itu,
atau dengan perkataan lain santap malam yang penuh keseraman dan kengerian itu segera
akan berakhir.
Baru saja Hong-nio menghembuskan napas lega, tiba-tiba bocah cilik itu berkata:
"Temanilah aku berjalan-jalan keluar!"
Apa yang dia inginkan selalu dilaksanakan dengan begitu saja, seakan-akan ia tak ambil
perduli bagaimanakah pandangan orang terhadap dirinya.
Ia selalu menganggap setiap perkataannya merupakan perintah, suatu perintah yang tak boleh
dibangkang oleh siapapun jua.
Hong-nio betul-betul tak tahu apa yang musti dia lakukan, ia berharap Cian-cian
membantunya berbicara. Tapi rupanya Cian-cian sudah ber tekad tak akan mencampuri
urusan mereka.
Bocah cilik itu masih menatapnya tak berkedip, menantikan jawabannya, sorot mata itu penuh
disertai dengan pengharapan yang menyala-nyala, seakan-akan dia kuatir kalau ajakannya
ditolak.
Menyaksikan kejadian tersebut, diam-diam Hong-nio menghela napas panjang, akhirnya ia
menyahut juga:
276
"Baiklah, akan kutemani kau untuk berjalan jalan di luar!"
Diapun seperti juga Bu-ki, selalu tak tega menampik permintaan orang, apalagi orang itu tak
lebih hanya seorang bocah.
Apa yang bisa dilakukan seorang bocah berusia dua-tiga belas tahun kepadanya?.
Malam amat sepi, bintang-bintang bertaburan di angkasa.
Menelusuri sumber air yang berwarna ke perak-perakan mereka berjalan menuju kedepan.
lama sudah mereka jalan bersanding namun tak seorangpun yang buka suara.
Bocah ini benar-benar sangat istimewa dan aneh sekali.
Hong-nio betul-betul tak dapat menebak apa yang sedang ia pikirkan sekarang? Kadangkala
ia tampak masih amat kecil, tapi kadangkala ia tampak jauh lebih besar dari usia yang
sebenarnya.
Sudah berapa lama mereka berjalan, kini mereka hampir tiba di ujung sumber air ter sebut
yakni kolam air tersebut.
Tak tahan Hong-nio segera berbisik: "Bagaimana kalau kita jangan maju lebih ke
depansana?"
“Kenapa?" tanya si bocah.
Hong-nio tak sanggup mengucapkannya, ia pun tak berani mengatakannya, peristiwa
semalam hingga kini masih membuatnya ketakutan, membuat jantungnya berdebar lebih
cepat.
Si bocah itu manatapnya lekat-lekat, tiba-tiba ia berkata:
"Kau tak usah takut, orang yang semalam berada di sini, kini sudah tidak berada di tempat itu
lagi".
"Kau maksudkan manusia yang mana?" seru Hong-nio terkejut.
"Itu orang yang secara tiba-tiba berubah menjadi buta!"
Hong-nio lebih terkejut lagi.
"Dari mana kau bisa tahu?" serunya.
Bocah cilik itu tertawa tergelak.
277
"Haaahhh. . . haaahhh. . . haaahhh. . . kenapa aku tidak tahu?"
Senyumannya tampak begitu misterius dan berbangga hati.
Dengan rasa amat terperanjat Hong-nio mengawasinya, lalu dengan nada menyelidik
tanyanya:
"Apakah kau?"
"Tentu saja aku!"
"Kau yang telah melukai sepasang matanya sehingga menjadi buta?"
"Sesungguhnya dia adalah salah seorang yang diutus oleh musuh kami untuk mencari jejak
kami, orang itu memang tidak seharusnya dilepaskan dengan begitu saja, apalagi ia berani
ber-sikap begitu kurangajar kepadamu .........”
Paras mukanya segera menampilkan keseriusan dan kekerenan, lanjutnya lebih jauh:
"Selama aku masih ada, tak akan ada orang yang berani mempermainkan dirimu lagi".
Dengan perasaan kaget, tercengang ya berterima kasih Hong-nio lantas berseru:
"Jadi kau yang mengirim lentera kaca untukku?"
Bocah itu manggut-manggut.
"Aku pula yang mengirim babi kecap dari Gi-hoa-cay untukmu!" ia menambahkan.
Lama sekali Hong-nio menatapnya, mula- mula menghela napas panjang, kemudian katanya
lagi sambil tertawa.
"Mengapa aku tak dapat melihat kalau kau berilmu kepandaian sehebat itu?"
"Kepandaianku jauh lebih besar dan hebat dari pada apa yang kau bayangkan dalam
benakmu", kata bocah itu dengan angkuhnya.
Tiba-tiba Hong-nio merasakan bahwa bocah ini bukan saja amat misterius, mana lucu lagi.
"Heee . . . dari mana kau dapatkan daging masak kecap dari Gi-hoa-cay itu ?" tanyanya.
"Kau tak usah tahu dengan cara apa kudapatkannya, asal kau menginginkannya, asal kau
menginginkan sesuatu, aku pasti dapat melakukannya untukmu".
278
Hong-nio merasa lebih berterima kasih, lebih gembira lagi.
Bocah ini benar-benar terlalu baik kepadanya, bila ia dapat dilindungi oleh seorang bocah
ajaib semacam ini, sesungguhuya peristiwa itu betul-betul merupakan suatu peristiwa yang
me-nyenangkan.
Tak tahan lagi ia bertanya:
"Dapatkah kau memberitahukan kepada-ku, siapa namamu?"
"Namaku adalah Lui, Lui dari arti kata geledek".
"Siapa pula she mu?"
Tiba-tiba wajah si bocah itu menunjukkan rasa sedih yang amat sangat, tapi kemudian
sahutnya dengan dingin:
"Aku tidak mempunyai nama marga!"
Kenapa ia bisa tak punyai nama marga?
Apakah dia adalah seorang anak yatim piatu yang semenjak dilahirkan sudah tak tahu nama
marganya sendiri?
Segera timbul perasaan kasihan dan simpatik dalam hati kecil Hong-nio, ia merasa sudah
se-harusnya melindungi bocah itu sebagaimana seorang ibu yang sayang kepada anaknya.
Dengan penuh kelembutan ia menarik tangan bocah itu lalu menggenggamnya dengan hangat,
katanya lembut:
"Kalau begitu, untuk selanjutnya aku akan memanggil Siau-lui kepadamu !"
Tiba-tiba ia merasa tangannya berubah menjadi amat hangat, lalu tangannya tergenggam
kencang, dengan suara yang lirih bocah itu bergumam:
"Kau adalah milikku, kau adalah milikku.."
Entah disebabkan telapak tangannya yang panas, ataukah sepasang matanya yang
memancar-kan sinar kehangatan, tiba-tiba saja Hong-nio merasakan jantungnya ikut berdebar
keras.
Tapi dengan cepat ia memberitahukan pada diri sendiri:
279
"Dia tak lebih hanya seorang anak kecil!"
Tapi tangannya, matanya, sedikitpun tidak mirip dengan seorang bocah cilik.
Hong-nio ingin melepaskan diri dari genggamannya, tapi ia takut menyinggung perasaannya,
maka dengan lembut katanya lagi:
"Aku mengetahui maksudmu, aku bersedia menjadi toa-cicimu!"
"Kau bukan enciku!" kata Siau-lui tiba-tiba.
"Aku bukan?"
"Apakah kau tak tahu bahwa kau adalah orangku? Semenjak kemarin malam, kau sudah
menjadi milikku, kau telah menjadi istriku."
Hampir saja jantung Hong-nio melompat ke luar dari rongga dadanya karena kaget, kontan
saja ia menjerit:
"Jadi kemarin malam adalah kau?"
Siau-lui manggut-manggut.
"Semua bagian tubuhmu dari atas sampai ke bawah telah kulihat, setiap bagian tubuhmu telah
ku .telah ku. . "
Tiba-tiba telapak tangannya terasa lebih panas, tangan Hong-nio digenggamnya semakin
kencang.
Seandainya Cian-cian yang menghadapi kejadian itu, sekarang sudah pasti ia telah
melepaskan diri dari genggamannya, bahkan mungkin telah menempeleng wajahnya.
Tapi Hong-nio bukan Cian-cian.
Hong-nio adalah seorang gadis yang lemah lembut dan berbudi luhur, itulah type dari seorang
gadis bangsa Han yang sesungguhnya.
Ia sangat tak tega untuk melukai hati siapapun juga.
Baginya ia tak lebih hanya seorang bocah, apa yang dilakukanpun tak lebih dari dorongan
emosi dari seorang bocah, karena ia terlampau menyendiri, terlampau kesepian, terlalu
membutuhkan kasih sayang dan cinta kasih dari orang lain.
Ia sangat berharap agar bocah itu dapat menenangkan hatinya, maka katanya:
280
"Apa yang telah kau lakukan dapat kumaafkan bagimu, asal dikemudian hari kau harus ingat
selalu agar jangan mengulangi kembali perbuatan semacam itu. Karena aku adalah seorang
perempuan yang telah bersuami, aku bukan seorang gadis remaja lagi".
Sekuat tenaga Siau-lui gelengkan kepalanya berulang kali, serunya dengan suara keras:
"Aku tahu bahwa kau tak punya suami, suamimu Tio Bu-ki yang belum pernah tidur
bersamamu itu kini sudah mati, sekarang akulah suamimu, kecuali aku, siapapun tak boleh
menyentuh dirimu lagi".
Tiba-tiba Hong-nio dipeluknya erat-erat, seperti apa yang telah dilakukannya semalam, ia
mencium bibirnya dengan mesra.
Hong-nio merasakan pikirannya benar-benar sangat kalut.
Suatu kelembutan dan kehangatan dari seorang ibu terhadap anaknya membuat ia tak tega
mencelakai bocah tersebut, tak tega untuk mendorong tubuhnya dari situ.
Apalagi sekalipun dia hendak mendorongnya juga tak akan mampu untuk melepaskan diri
dari pelukannya.
Tapi dengan cepat suatu reaksi lain sebagai seorang gadis membuat tubuhnya secara otomatis
menimbulkan suatu reaksi yang sangat aneh, suatu reaksi yang membuat badannya menjadi
menggigil.
Ia mulai merasa hawa panas yang aneh mulai menyusup ke luar dari tubuhnya dan menjalar
ke mana-mana, ia mulai menggigil, tapi apa mau di kata lawannya tak lebih hanya seorang
bocah.
Hakekatnya ia tak tahu apa yang mesti dilakukannya sekarang.
Pada saat itulah, mendadak tubuh Siau-lui melompat ke udara lewat hadapan mukanya,
seakan-akan sebuah boneka kayu yang tiba-tiba tali di belakang punggungnya diangkat
seseorang ke atas.
*****
Benarkah ada orang yang telah mengangkatnya ka atas?
Hong-nio tak sempat melihat dengan jelas,
Ia hanya menyaksikan sesosok bayangan berwarna putih kelabu berkelebat lewat dari hadapan
mukanya kemudian lenyap dibalik kegelapan.
281
Mengikuti lenyapnya bayangan manusia itu, tubuh Siau-luipun ikut lenyap tak berbekas.
Segala sesuatunya kembali sudah lewat, seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu apapun
disana, tapi benarkah Hong nio dapat menganggap apa yang telah terjadi selama ini atas
dirinya hanya sebagai suatu persoalan yang seakanakan tak pernah terjadi?
Berhadapan dengan bukit yang sepi, cahaya bintang yang berkilauan, tiba-tiba ia merasa ada
suatu kepedihan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata menyelimuti perasaannya, hanya ia
tak tahu kesedihan itu lantaran musibah yang telah menimpa dirinya selama ini? Ataukah
karena kabar Bu ki yang tak kunjung sampai?
Apakah Bu ki begitu tega meninggalkannya dengan begitu saja, bahkan pertemuan yang
ter-akhirpun tak pernah ia lakukan?
Tentu saja Bu ki tak mau mati, lebih lebih lagi tak ingin mati.
Akan tetapi kematian sama pula seperti musibah lain yang ada dalam dunia ini, biasanya
membuat orang tak berdaya, membuat orang harus menerima kenyataan dengan perasaan apa
boleh buat.
Hong nio bertekad tak akan menangis.
Kalau harus menangis, dia akan menangis sepuasnya setelah berjumpa dengan Bu ki nanti.
Entah ia sudah mati juga boleh, masih hidup juga boleh, pokoknya setelah bersua muka
dengannya, dia akan menangis dengan sepuas-puasnya.
Lantas, buat apa ia menangis? Sekalipun ia menangis sampai mati, juga tak akan ada gunanya.
Pelan-pelan ia membesut air matanya dan bangkit berdiri, tiba-tiba ia menyaksikan ada
se-seorang sedang berdiri di hadapannya sambil memandang ke arahnya dengan pandangan
dingin.
Tentu saja orang itu tak dapat memandang dengan sepasang matanya, sebab orang itu bukan
lain adalah si buta yang pernah dijumpainya semalam.
Tapi orang itu justru seakan-akan sedang memandang ke arahnya, memandangnya dengan
se-pasang mata yang buta dan tak mungkin bisa dipakai untuk melihat orang itu.
Tiba-tiba ia bertanya:
"Inginkah kau bertemu lagi dengan Tio Bu ki?"
282
Hong nio segera merasakan jantungnya berdebar dengan keras.
"Kau tahu sekarang dia berada di mana"!" serunya.
“Ikutilah aku!" pelan-pelan si buta memutar badannya, lalu dengan toya putihnya sebagai
pe-nunjuk jalan, pelan-pelan maju ke depan.
Tanpa berpikir panjang lagi Hong-nio segera mengikuti di belakangnya.
Setelah menembusi sebuah hutan lebat, sampailah si manusia buta itu di ujung sumber mata
air, yakni di tepi kolam kecil itu.
Dia berada di sini?"
"Benar!"
Di tepi kolam itu tak seorang manusiapun yang tampak, disanahanya ada sebuah peti mati,
peti mati berwarna hitam dan tampak masih baru.
Apakah Bu ki berada dalam peti mati itu?
*****
Peti mati itu kosong.
"Di manakah Bu ki?"
"Bila kau ingin bertemu dengan Bu ki, maka tidurlah di dalam peti mati itu!"
"Tidur di dalam peti mati itu?"
Kalau orang itu masih hidup segar bugar, kenapa ia harus tidur di dalam peti mati?
Apakah ia telah dianggap sebagai seorang yang telah mati? Atau paling tidak sudah hampir
men-dekati saat kematiannya.
Paras muka si orang buta itu tetap dingin, tanpa emosi, siapapun tak tahu apa yang sedang ia
pikirkan sekarang.
Tapi Hong-nio tak mau ambil perduli terhadap kesemuanya itu, soal-soal semacam itu tak
penting baginya, apa yang ia ketahui hanya ber temu dengan Bu ki secepatnya, sekalipun ia
harus mati secara wajar ataukah harus mati secara mengerikan, ia tak ambil perduli, bahkan ia
rela untuk melakukannya.
283
Sebab itu ketika si orang buta itu memintanya untuk tidur ke dalam peti mati itu, ia tidak
membantah, bahkan mengucapkan sepatah kata pun tidak.
Ia sudah pasrah, ia hanya tahu berjumpa dengan Bu ki, walau apapun resikonya.
Maka iapun tidur ke dalam peti itu, membaringkan diri ke dalam peti mati hitam itu.
DIKUBUR HIDUP - HIDUP
PENUTUP peti mati itu ditutupkan ke tempatnya semula, menyusul kemudian peti mati
itupun digotong orang.
Apakah si orang buta itu hendak menguburnya hidup-hidup ?
Hong-nio masih berada dalam keadaan sadar, kengerian dan rasa seram selalu membuat orang
berada dalam keadaan sadar.
Ia merasa bukan hanya seorang yang menggotong peti mati itu, karena gotongannya amat
tenang dan jalannya amat cepat.
Pada mulanya mereka melalui jalan-jalan yang datar dan rata, tapi selanjutnya jalanan itu
makin menanjak dengan tajamnya.
Meskipun sedang berbaring di dalam peti mati tapi ia masih dapat merasakan udara makin
lama semakin dingin, jelas mereka sedang berjalan menuju ke atas, sekian lama dan sekian
jauh sudah mereka lakukan perjalanan, akhirnya sampailah di dekat suatu puncak bukit
rasanya.
Tapi mereka sama sekali tidak berhenti, malah perjalanan yang dilewati terasa aneh sekali,
kadang kala mereka jalan naik ke atas tapi ada kalanya turun ke bawah, ada kalanya jalan itu
lurus sekali, tapi ada kalanya pula berliku-liku.
Kalau didengar dari langkah kaki mereka, kadangkala mereka seakan-akan sedang berjalan
melalui batu kerikil, ada kalanya pula berjalan melalui lapisan batu yang keras sekali.
Suhu udara di luarsanatiba-tiba saja mengalami perubahan lagi, kini udara terasa hangat dan
nyaman, agaknya mereka sedang melalui sebuah gua karang.
Kembali mereka lanjutkan suatu perjalanan yang cukup jauh, tiba-tiba dari
luarsanakedengaran beberapa suara yang aneh sekali.
Seolah-olah ada batu karang yang sedang bergesek, seakan-akan pula ada suatu roda yang
sedang berputar.
284
Meskipun peti mati itu ditutup rapat sekali, tapi masih ada pula bagian yang tembus udara,
tiba tiba saja ia mengendus bau harum yang semerbak.
Pada saat itulah peti mati itu sudah diletakkan pelan di atas tanah, agaknya di atas sebuah
tanah berumput yang lembut dan lunak.
Seandainya mereka bermaksud untuk menguburnya hidup-hidup, kenapa harus melakukan
perjalanan sekian lama dan memilih tempat di situ?, sebenarnya tempat apakah ini?
*****
Suasana di sekeliling tempat itu amat hening, sepi, tak kedengaran sedikit suarapun.
Lama sudah ia menunggu dalam peti mati yang gelap gulita itu, tapi dari luarsanabelum
kedengaran juga sesuatu gerakan, ia mencoba untuk mengetuk penutup peti mati, tapi tiada
jawaban juga.
Rupanya para penggotong peti mati itu secara diam-diam telah mengundurkan diri dari situ
setelah meletakkannya disana.
Setengah harian kembali ia menunggu, akhirnya ia tak sabar dan membuka penutup peti itu.
Betul juga, di luar tak tampak seorang manusia pun, bahkan si orang buta itupun tak
kelihatan.
Sekuat tenaga ia menggeser penutup peti mati itu bangun, lalu duduk, tapi dengan cepat ia
menemukan bahwa dirinya seakan-akan berada dalam alam impian seperti dalam cerita
dongeng.
Tapi jelas tempat itu bukan alam impian, tempat itupun jelas bukan alam manusia.
Bangunan rumah itu terbuat dari batu granit yang keras dan berkilap seperti kaca, empat
penjuru sekelilingsanapenuh dilapisi sutera merah yang berkembang emas, di depan pintu
tergantung sebuah tirai yang terbuat dari kain halus.
Tepat di ruangan tengah berdiri sebuah meja sembahyang yang bentuknya seperti gua alam,
cuma di atas meja sembabyang itu tidak di sembah patung Budha atau patung pousat, yang
ada disanahanya sebilah pedang.
Pedang itu bentuknya panjang sekali tapi bentuknya antik, sama sekali tidak dihiasi oleh
mutiara atau berlian sebagaimana pedang-pedang lainnya.
Bentuk sederhana seperti itu berbeda jauh sekali bila dibandingkan dengan perabot mewah
yang berada di sekeliling tempat itu.
285
Apakah pedang itulah yang disembah- sembah oleh tuan rumah tempat misterius ini?"
*****
Cahaya lampu menyinari seluruh ruangan itu, sinar lampu memancar ke luar dari aneka
macam lentera kacaPersiayang berbentuk aneh-aneh.
Di atas sebuah meja kecil terdapat sebuah tungku terbuat dari emas, dari tungku itulah
menyiar ke luar bau harum yang semerbak.
Permukaan tanah dilapisi oleh permadani buatanPersia, motifnya indah bahannya halus,
membuat siapapun yang menginjakkan kakinya di atas permadani itu akan merasa bagaikan
menginjak di tanah berumput dimusin semi yang indah.
Meskipun Hong-nio sendiripun berasal dari keluarga kaya, belum pernah ia jumpai tempat
semewah dan semegah seperti tempat ini.
Rasa kejut dan cengang membuatnya hampir saja melupakan keseraman dan kengerian yang
semula mencekam perasaannya.
Sambil melihat serta berjalan, tanpa terasa sudah amat jauh ia berjalan, mendadak ia
mem-perdengarkan kembali suatu jeritan kaget.
Ternyata ia telah menjumpai sebuah peti mati lagi.
Peti mati itu terbuat dari tembaga, sesosok tubuh membujur di dalam peti mati tersebut,
sepasang tangannya disilangkan di depan dada dan mengenakan baju berwarna putih bersih,
mukanya yang kurus kering berwarna pucat sedikitpun tiada warna darah, tampaknya sudah
mati agak lama ....
Hong-nio sendiri digotong masuk ke tempat itu di dalam sebuah peti mati dan sekarang
kembali dijumpai sebuah peti mati lagi ditempat ini.
Apakah tempat yang mewah dan megah ini tak lebih hanya sebuah kuburan belaka?
Hong-nio merasakan kaki dan tangannya menjadi dingin seperti es, suatu reaksi serta merta
muncul dalam hatinya, membuat gadis itu berusaha mencari suatu benda untuk melindungi
dirinya.
Tiba-tiba ia teringat dengan pedang yang tergantung di atas meja sembahyangan itu.
Sambil memutar badannya ia memburu ke situ, tapi sebelum jari tangannya sempat
menyentuh gagang pedang itu, mendadak terdengar seseorang berseru:
286
"Jangan kau sentuh pedang itu!"
Suara itu sangat dingin, kaku dan teramat asing sekali, yang lebih mengerikan lagi ternyata
suara tersebut berasal dari dalam peti mati tembaga itu.
Saking ngerinya Hong-nio merasakan sekujur tubuhnya menjadi kaku seperti patung, lewat
lama sekali ia baru memutar badannya untuk menengok ke arah peti mati itu.
Kini orang yang mati dan semula berbaring dalam peti mati itu telah bangkit berdiri, waktu itu
dengan sapasang matanya yang jeli bagaikan cahaya kilat sedang memandang kearahnya,
kemudian sepatah demi sepatah kata berkata:
"Kecuali aku seorang, tak seorang manusiapun di dunia ini yang boleh menyentuh pedang
tersebut!"
Lalu diantara pembicaraan itu terdengar nada penuh kewibawaan yang membuat orang lain
mau tak mau harus mempercayainya:
“Siapa berani menyentuhnya, dia harus mati!”
“Kau...”
“Aku bukan orang mati, juga bukan sesosok mayat hidup!”
Lalu dengan suara yang tinggi melengking dan penuh mengandung nada sindiran ia berkata
lebih jauh.
“Ada banyak orang yang mengira aku telah mati sayang sampai sekarang aku masih belum
mati”
Hong nio menghembuskan napas panjang, ia berusaha untuk mengendalikan perasaan sendiri,
tapi tak tahan, akhirnya ia bertanya:
“Tempat ini adalah milikmu?”
“Coba lihatlah, bagaimanakah keadaan tempat ini?”
“Aku tidak tahu, pada hakekatnya aku tak tahu bagaimana harus menjawab...!” kata Hong nio
sambil bergumam.
Sesudah berpikir sebentar, kembali katanya:
“Akupun tak pernah berkunjung ke keraton kaisar tapi aku percaya tempat ini pasti jauh lebih
indah dan menarik daripada kertaonnya kaisar...”
Tiba tiba orang itu tertawa dingin, katanya:
“Keraton? Huuh... kertaon itu baru terhitung seberapa?”
Keraton yang indah dan megah, tempat Kaisar bertahta, ternyata dalam padangannya masih
belum terhitung seberapa.
287
Tiba tiba Hong nio memberanikan diri sambil berkata:
“Ada satu persoalan ingin kutanyakan pekadamu, cuma bersediakah kau untuk
menjawabnya?”
“Tanyakanlah!”
“Sebenarnya siapakah kau?”
Orang itu termenung sejenak, kemudian pelan pelan memutar badannya dan menuding
sepasang “lian” yang tercantum di luar peti mati itu.
Lian tersebut berbunyi demikian:
“Tenang bersabar bagaikan langit dan bumi. Tenang mendalam seakan-akan menyimpan
rahasia."
Berulang kali Hong-nio membaca sepasang "lian" tersebut dan berusaha untuk membahas
arti-nya, tapi kemudian sambil tertawa getir katanya: "Sayang aku tidak mengerti!"
"Bait tersebut merupakan dua bait dalam kitab sembahyangan milik Tee-cong-sip-lun-keng,
karena hal itu pula Tee-cong pousat mendapat nama hingga tenar di mana-mana."
"Aaah, kalau begitu kau adalah Tee-cong pousat?" seru Hong-nio sambil memandangnya
dengan terperanjat.
"Meskipun kedua patah tulisan itu berasal dari atas kitab Buddha, namun arti yang sebenarnya
justru mengandung inti sari dari suatu ilmu pedang ......." pelan-pelan orang itu menerangkan.
Sepasang matanya semakin memancarkan sinata tajam terusnya:
"Dalam dunia yang luas dewasa ini, hanya aku seorang yang benar-benar memahami arti dari
kata-kata tersebut."
Hong-nio masih saja. menantikan jawaban dari pertanyaannya tadi.
Kembali orang itu berkata: "Di tempat inilah Tee-cong mendapatkan ilhamnya, sedang aku,
walaupun sudah mendapat ilham sayang tak dapat menjadi Buddha, sebaliknya malahan
hidupku sepanjang tahun ada dalam neraka."
Sinar matanya tiba-tiba memancarkan kesedihan, katanya lebih lanjut:
"Selama dua puluh tahun ini, kehidupanku selalu kulewatkan bagaikan berada dalam neraka
saja."
"Kalau begitu kau ....." bisik Hong-nio.
Akhirnya orang itu menjawab juga pertanyaannya:
288
"Aku bukan pousat, tapi namaku adalah Teo cong, soal lain lebih baik kau tak usah tahu,
sebab tahupun tiada manfaatnya bagimu."
Hong-nio tak berani bertanya lagi.
Ia telah mengetahui bahwa orang ini pasti mempunyai pengalaman yang memedihkan hati
dimasa silamnya, asal usulnya pasti pula menyelimuti suatu rahasia yang besar sekali.
Rupanya orang itu sudah lama tak pernah mengucapkan kata-kata sebanyak itu, seakan-akan
pula secara mendadak merasa lelah sekali.
Baru saja Hang-nio ingin bertanya kepadanya: "Apakah kau yang menyuruh si orang buta
mengantarku kemari? Di manakah Bu-ki sekarang?"
Tapi orang itu keburu sudah masuk kembali ke dalam peti matinya, memejamkan mata,
menyilangkan tangannya di depan dada dan tidak berkutik lagi..
Hong-nio tak berani mengganggunya .
....Dikala orang lain membutuhkan waktu untuk beristirahat, belum pernah ia mmgganggu
siapapun meski dikarenakan pelbagai alasan apapun yang dapat dipertanggung jawabkan.
Iapun duduk, sementara sepasang matanya memperhatikan tirai sutera yang tergantung di
depan pintu itu.
Ingin sekali ia berjalan ke luar dari ruangan itu untuk melihat-lihat, tapi tempat ini adalah
rumah orang lain .
Belum pernah ia berjalan mondar-mandir seenaknya sendiri di rumah orang lain, entah di
rumah siapapun sama saja.
Tentu saja iapun tak dapat duduk sepanjang masa di tempat itu dengan cara semacam ini.
Untunglah pada saat itulah si orang buta munculkan diri.
Sambil menyingkap tirai pintu dan berjalan masuk, ia hanya mengucapkan sepatah kata saja,
"Silahkan!"
Kata-kata tersebut ibaratnya suatu mantera sakti yang mengandung suatu kekuatan mujizat,
serta merta Hong-nio bangkit berdiri dan tanpa mengucapkan sepatah katapun pergi
me-laksanakan perintahnya itu.
289
Di balik pintu merupakan suatu alam impian lain yang jauh lebih indah, kecuali perabot yang
sama-sama megah dan mewah nya seperti perabot di ruang depan, di situ masih ada pula
sebuah pembaringan.
"Mulai hari ini, kamar ini akan menjadi kamarmu" demikian si buta berkata, "kalau lelah, kau
boleh tidur di sini, kalau lapar bunyikan bel yang berada di ujung pembaringan, apapun yang
ingin kau makan, segera akan ada orang yang mengantarkannya bagimu".
"Perkataan itu seperti dalam dongeng belaka. Setiap orang tak akan terlepas dari rasa ingin
tahunya, tak tahan Hong-nio berkata:
"Terserah apapun yang ingin kumakan?"
Tiba-tiba ia teringat dengan daging masak kecap, segera katanya lebih lanjut:
"Andaikata aku ingin makan daging masak kecap dari Gi-hoa-cay, apakah kau dapat
me-nyediakannya?"
Si buta segera memberikan jawabannya dengan suatu kenyataan, ia ke luar sebentar untuk
mem-beri perintah dan tak lama kemudian hidangan yang diinginkan telah dihidangkan di
depan matanya.
Hong-nio tak dapat mempercayainya dengan begitu saja, ia segera bertanya lagi:
"Benarkah daging masak kecap ini dibeli dari Gi-hoa cay yang berada di ibukota?"
"Daging masak kecap yang di jual di Gi-hoacay sekarang sudah tidak asli lagi, sebab kuali
besi serta bumbu asli mereka telah kubeli dengan uang sebesar sembilan ribu tahil perak".
"Bagaimana pula dengan bakpao dari Ko-put-li?"
"Toa-suhu yang membuat bakpao ditempat itu, semenjak banyak tahun berselang sudah
berada di dapur kami".
Kalau dibicarakan, hal tersebut mirip sekali dengan cerita dongeng, tapi jelas bukan kata
bohong, atau paling tidak telah menjelaskan banyak sekali persoalan yang sesungguhnya
susah untuk dijelaskan.
"Aku sama sekali tak ingin tahu di manakah suhu pembuat bakpao dari Ko-put-li berada, aku
hanya ingin tahu di manakah Bu-ki pads saat ini .........?" kata Hong-nio.
"Menanti kau sudah sampai waktunya untuk bertemu dengannya, kau akan mengetahui
dengan sendirinya!"
290
Dibalik sepasang matanya yang kosong dan berwarna kelabu itu, entah berapa banyak rahasia
yang telah disimpan olehnya.
Hong-nio tidak bertanya lagi.
Dia adalah seorang perempuan yang telah mengerti keadaan, ia tahu banyak persoalan di
dunia ini adalah sama saja, semuanya harus menunggu sampai tiba saat yang dinantikan.
Bila saatnya belum tiba, sekalipun gelisah juga sama sekali tak ada gunanya.
Sekalipun demikian, ia toh bertanya kembali:
"Mengapa kau mengorbankan uang sebesar sembilan ribu tahil perak untuk membeli kuali
besi itu?"
"Yang kubeli bukan kuali besinya, melainkan bumbu kecap yang sudah mengental di dasar
kuali tersebut".
"Aku tahu bumbu di dasar kuali itu memang luar biasa sekali, konon sekalipun kita masukkan
sebatang kayu balok ke dalam bumbu kecap itu, sewaktu dimakanpun rasanya juga nikmat".
"Sayang kami tak pernah memasak kayu balok masak kecap, yang kami masak adalah
daging", kata si buta hambar.
"Jadi dengan uang sebesar sembilan ribu tahil perak," tujuanmu hanya ingin membeli bumbu
kecap yang telah mengerak di dasar kuali itu untuk membuat daging masak kecap sendiri?"
"Benar!"
Andaikata Cian-cian, dia pasti akan bertanya lagi:
"Apakah kalian hendak membuka rumah makan penjual daging kecap? Apakah kalian hendak
menyaingi dagangan dari rumah makan Gi-hoa-cay"
Tapi Hong-nio bukan Cian-cian, maka dia hanya bertanya:
"Kenapa?"
"Sebab setiap saat kemungkinan besar majikan ku ingin makan daging masak kecap".
"Kenapa kau tidak berangkat untuk membelikannya?"
291
"Sebab sekalipun menunggang kuda yang paling cepat dan menempuh perjalanan siang
malam tak berhentipun, paling tidak juga membutuhkan waktu selama dua sampai tiga puluh
jam untuk berhasil memperolehnya".
"Kau pernah mencobanya?"
"Hanya pernah mencoba sekali saja!"
"Apakah pada kali itu juga kau telah membeli pula kuali yang berisi bumbu tersebut?"
"Benar!"
"Jadi kalau majikanmu ingin makan, maka setiap saat setiap waktu telah tersedia?"
"Benar!"
"Seandainya dia ingin makan . . . "
Belum habis gadis itu berkata, si buta telah menukas dengan suara dingin:
"Sekalipun dia ingin makan hidungku, segera akan kupotong hidungku ini dan
mempersembah-kan ke hadapannya".
Hong-nio tak dapat berbicara lagi.
"Apakah kau masih ingin menanyakan sesuatu lagi?" tanya si buta kemudian.
Akhirnya Hong-nio menghela napas panjang, katanya:
"Padahal aku tidak ingin menanyakan persoalan-persoalan tentang masalah tersebut".
"Aku sudah tahu persoalan apakah yang sesungguhnya ingin kau tanyakan . ."
"Kau tahu?"
"Ya, bukankah kau ingin bertanya kepadaku, siapakah sebenarnya dia? Kenapa mempunyai
ke-kuasaan sebesar ini?"
Hong-nio tak dapat menyangkal kebenaran dari perkataannya itu.
Tiba-tiba ia menemukan bahwa si buta itu meski sudah buta dan tak berbiji mata lagi,
sesungguhnya dapat menembusi hati orang.
Terdengar si buta berkata lagi:
292
"Kau adalah seorang perempuan yang sangat berpendidikan, amat lemah lembut, amat sopan
dan tahu urusan, selamanya tak pernah membiarkan orang merasa jemu dengan perkataannya,
apalagi melakukan perbuatan yang membuat orang menjadi jemu, demi orang lain kau rela
menyiksa diri sendiri".
Tiba-tiba ia menghela napas panjang dan berkata lagi:
"Sekarang, gadis semacam kau sudah tidak terlalu banyak bisa didapatkan lagi ............”
Sebenarnya perkataan itu adalah suatu kata-kata pujian dan kata-kata sopan santun, tapi ketika
diucapkan olehnya ternyata mengandung perasaan sedih dan ketidak beruntungan yang amat
tebal.
Sepasang matanya yang telah tak dapat melihat apa-apa itu, seakan-akan telah menyaksikan
suatu musibah, suatu ketidak beruntungan yang segera akan menjelang tiba.
*****
Ketika si buta muncul kembali untuk kedua kalinya, ini terjadi pada dua hari kemudian.
Hong-nio tak dapat memastikan secara pasti bahwa waktu sudah lewat dua hari, sebab tempat
itu pada hakekatnya adalah lambung bukit, di tempat semacam itu sulit untuk membedakan
siang ataupun malam.
Dia hanya tahu dari titik-titik bocornya air, dari teko tembaga disudut ruangansana, sudah
hampir dua puluh jam lebih kebocoran itu terjadi.
Ia merasakan dirinya sangat lemah tak bertenaga.
Karena ia tak pernah menelan sebutir nasi atau setitik airpun.
Walaupun ia tahu asal bel di ujung pembaringan itu dibunyikan, maka makanan apapun yang
diinginkan segera akan didapatkan.
Tapi ia tak pernah menyentuh bel tersebut, setiap benda yang berada dalam ruangan itupun
tak pernah ia sentuh.
Sekalipun pintu itu tak dikunci, asal ia menyingkap tirai yang menutupi pintu tersebut, ia
segera akan ke luar darisana, tapi ia lebih suka tinggal di tempat itu.
Sebab selamanya, ia tak pernah melakukan perbuatan yang sudah secara jelas diketahui
olehnya bahwa hal tersebut tak akan mendatangkan hasil apa-apa.
293
Sekalipun dia lemah lembut, sangat tahu urusan dan dapat menyiksa diri, tapi apa yang sudah
tak ingin dilakukannya, tak pernah ada orang yang akan memaksanya untuk melakukan.
*****
Si buta seakan-akan sedang "memperhati-kan" pula dirinya. Akan tetapi kali ini ia tak berhasil
menebak suara hatinya.
Sikap Hong-nio kepadanya masih tetap lemah lembut, amat sopan dan begitu menyaksikan
ke-datangannya ia segera bangkit untuk menyambutnya.
"Silahkan duduk!"
Si buta tidak duduk, dia hanya menyingkap tirai pintu seraya berseru pula:
"Silahkan!
Hong-nio sama sekali tidak bertanya kepadanya hendak diajak ke manakah ia pergi, seakanakan
terhadap kejadian apapun ia sudah bersiap sedia untuk menerimanya tanpa membantah.
Baru berjalan ke luar dari pintu itu, ia telah menyaksikan manusia berbaju putih yang
mengaku bernama "Tee-cong" itu sedang duduk di ruangan menantikan kedatangannya.
Di atas meja telah dihidangkan pelbagai masakan yang lezat dan menyiarkan bau harum, dua
orang budak yang berdiri kaku di samping bagaikan patung, masing-masing membawa sebuah
baki besar terbuat dari emas yang berisikan penuh dengan aneka buah-buahan yang tampak
masak dan segar, di antaranya tampak buah pear dari Peng-ciu, buah kurma dari Lay-yang,
semangka dari Hami, buah delima dari Peking, jeruk dari Lamhong dan pisang serta nanas
dari pulau Lam hay.
Ia duduk di tepi meja makan, sekalipun tidak bangkit berdiri namun sikapnya sangat ramah
dan lembut, bahkan sepasang matanya yang memancarkan sinar setajam sembilu itupun
berubah jauh lebih lembut, halus dan tenang.
Sekarang ia sudah tidak mirip lagi sebagai sesosok mayat hidup yang misterius, melainkan
lebih mirip seorang tuan rumah yang mempunyai pengetahuan mendalam tentang soal
hidangan dan buah-buahan.
Tepat di hadapannya masih tersedia sebuah kursi kosong yang berlapiskan kulit rase,
sekalipun saat ini adalah musim panas yang amat gerah, tapi di tempat dasar bumi yang
lembab dan basah, benda tersebut memang terasa sangat dibutuhkan.
"Silahkan duduk!" ia berkata.
294
Hong nio pun duduk di kursi tersebut.
Hidangan yang telah siap di mejapun merupakan aneka macam hidangan lezat yang selama
hidupnya belum pernah ia jumpai.
Dengan sorot mata tajam, manusia berbaju putih itu mengawasinya sekejap, kemudian pelanpelan
berkata:
"Kau adalah seorang manusia yang sangat aneh. Barang siapapun di dunia ini seandainya
mengalami keadaan sepertimu sekarang, tak nanti mereka akan melakukan tindakan seperti
apa yang telah kau lakukan sekarang . . . “
Hong nio segera tertawa, "Sesungguhnya apapun tidak kulakukan," katanya.
Hidangan apapun juga tak pernah kau makan," sambung manusia berbaju putih itu cepat.
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya lebih jauh:
"Seseorang bila sedang tak ingin makan, sekalipun ada yang memaksanya juga tak akan dapat
untuk memaksanya menuruti kemauanmu . . .”
"Aku sendiripun berpendapat demikian!"
"Bila kuberitahukan satu hal kepadamu, entah dapatkah kau berubah pikiranmu itu?"
Hong nio tidak berbicara, ia sedang menantikan pembicaraannya lebih jauh.
“Tio Bu-ki sama sekali belum mati” kata manusia-berbaju putih itu, "cepat atau lambat kau
pasti dapat berjumpa dengannya."
Hong-nio berusaha keras untuk mengendalikan diri, sebab ia tahu luapan rasa gembira yang
diperlihatkan di meja makan adalah suatu perbuatan yang melanggar sopan santun.
"Aku jamin kalian pasti akan saling berjumpa muka, selama hidup belum pernah aku
mengingkari janji," kata orang berbaju putih itu lagi.
Hong nio tidak mengucapkan sepatah kata lagi, diapun tidak menanyakan persoalan apa-apa
lagi.
Ia mulai menggerakkan sepasang sumpitnya.
*****
Seperti juga Siau lui, manusia berbaju putih itu hanya makan sangat sedikit sekali.
295
Hong-nio juga tidak makan terlalu banyak.
Sebenarnya seseorang yang sudah dua tiga hari menderita kelaparan, kemudian secara tibatiba
berhadapan muka dengan semeja penuh hidangan lezat, semestinya dia akan
menunjukkan sikap yang kurang terkontrol dan agak rakus.
Tapi Hong nio adalah terkecuali.
Karena ia sadar bahwa dirinya sama sekali tak memiliki kekuatan untuk melawan orang lain,
karenanya ia harus mempergunakan otak dan perasaannya untuk mengendalikan keadaan itu.
Dalam melakukan perbuatan apapun jua, ia setalu berusaha untuk mengendalikan luapan
emosi sendiri.
Manusia berbaju putih itu sedang memandang ke arahnya, sinar mata yang tajam itu penuh
dengan pancaran rasa kagum dan memuji, pelan-pelan katanya:
"Kau harus tahu bahwa aku adalah seseorang yang gemar sekali bermakan enak, tapi jumlah
makanan yang bisa kumakan hanya sedikit sekali, lagi pula setiap waktu setiap saat aku
membutuhkan waktu untuk beristirahat.
Tiba-tiba ia berhenti sekian lama, sedang menantikan pertanyaan dari Hong-nio yang
menanyakan alasannya.
Betul juga, pada saat yang tepat Hong-nio sedang bertanya:
"Kenapa demikian?"
"Karena aku keracunan!"
`Sejak kapan kau menderita keracunan?" paras muka Hong-nio agak berubah.
"Sudah hampir mendekati duapuluh tahun lamanya."
Tiba-tiba paras mukanya berubah menjadi penuh kesedihan, kekesalan dan kemu-rungan,
katanya lebih jauh:
"Racun itu benar-benar merupakan sejenis racun yang menakutkan sekali, selama duapuluh
tahun terakhir ini selalu menggerogoti tubuhku dan menyiksa diriku, setiap tahun sekali aku
harus pergi meminta sebutir obat pemunah untuk mempertahankan selembar jiwaku,
sekalipun demikian aku masih tak boleh terlalu lelah apalagi mempergunakan hawa murniku
untuk melakukan suatu pertarungan, kalau tidak, bila racun itu sampai kambuh kembali maka
sekalipun bisa mendapatkan obat pemunahnya juga sama sekali tak berguna."
296
Siapapun juga, semua orang dapat melihat bahwa dia adalah seorang laki-laki yang sombong
dan tinggi hati, tapi sekarang ia telah menceritakan musibah yang telah menimpa dirinya itu
kepada Hong-nio.
Cerita tersebut bukan saja menimbulkan simpatik di hati Hong-nio, lagi pula membuatnya
merasa sangat terharu, dengan suara yang lembut segera katanya:
"Aku rasa, selama banyak tahun ini kau pasti sudah banyak merasakan penderitaan dan
siksaan."
Ternyata orang berbaju putih itu menghindari tatapan sinar matanya, lewat lama sekali ia baru
berkata lagi setelah tertawa dingin:
“Obat penawar itu bukan kudapatkan dengan cara memohon kepadanya, tapi aku
memperoleh-nya dengan jalan menukar memakai kepandaianku kalau tidak demikian,
sekalipun harus mati akupun tak akan pergi memohon kepadanya.
Walaupun Hong-nio tak tahu perselisihan-nya dengan Siau Tang-lo, tapi ia tidak menaruh
curiga atas perkataannya itu.
Kembali mencorong sinar tajam dari mata manusia berbaju putih itu, katanya:
"Dulu dengan mengandaikan sebilah pedang, aku telah malang melintang tanpa tandingan
dalam dunia persilatan, tak terhitung jumlah manusia yang kubunuh selama ini, musuh besar
ku tersebar dimana-mana, sekalipun orang yang tiada sakit hati dengankupun selalu berusaha
menginginkan batok kepalaku, sebab siapapun yang dapat membunuhku, maka ia dapat
mempergunakan darahku untuk mempolesi namanya hingga menjadi tenar."
Kembali ia tertawa dingin, katanya lebih jauh:
Jilid 11________
CUMA sayangnya, aku tak akan membiarkan harapan mereka terkabul sesuai dengan apa
yang diinginkan."
Akhirnya Hong-nio baru sadar sekarang, rupanya tujuan orang itu berbaring kaku dan tak
bergerak barang sedikitpun bukan lantaran ingin menakuti-nakuti orang, melainkan jika racun
yang mengeram dalam tubuhnya tiba-tiba menjadi kambuh.
Seperti orang mati ia hidup di bawah tanah, tinggal dalam peti mati seperti mayat, itupun
bukan dikarenakan sengaja berbuat sok misterius dan menyeramkan, melainkan untuk
menghindari kejaran dari musuh besarnya.
297
Tiba-tiba saja ia merasa bahwa orang ini sedikitpun tidak menakutkan, bukan saja tidak
menakutkan, lagi pula patut dikasihani.
Sebab walaupun ia belum mati, tapi keadaan tersebut sama halnya pula seperti dikubur hiduphidup.
KEBEBASAN HONG-NI0
ARAKPUN terdiri dari aneka macam jenis.
Adasemacam arak berwarna merah seperti darah, itulah arak anggur dariPersia.
Cawan terbuat dari kaca itu lebih anggun dan menawan hati. Semacam keindahan yang
misterius dan merangsang hati orang.
Pelan-pelan orang berbaju putih itu menghirup setegukan, di atas wajahnya yang putih ke
pucat-pucatan seakan-akan diliputi pula oleh warna semu merah yang misterius dan
merangsang hati.
Dengan suara yang lembut kembali ia berkata: "Meskipun jejakku agak rahasia, tapi
belakangan ini tampaknya sudah mulai bocor dan diketahui oleb khalayak ramai, anak muridmusuh
musuhku dimasa lalu secara beruntun telah berdatangan ke bukit Kiu hoa san untuk
mencari jajakku."
Sengaja ia tidak memandang ke arah Hong nio, terusnya:
"Orang yang beshasil dilenyapkan oleh Lui cu hari itu misalnya, dia adalah anak murid dari
seorang musuh besarku yang paling lihay.
Hong nio menundukkan kepalanya, berusaha keras menghilangkan bayangannya atas bocah
aneh itu dan berusaha pula tidak membayangkan kembali kejadian pada malam itu.
Sekarang ia sudah mengetahui hubungan antara dia dengan manusia berbaju putih itu.
“Meskipun aku tidak takut kepada mereka,” kata orang berbaju putih itu lebih lanjut, "tapi
racun yang mengeram dalam tubuhku setiap saat kemungkinan akan kambuh, bila sampai
demikian adanya maka aku pasti akan tewas di tangan mereka"
Warna semu merah yang menyelimuti wajahnya lambat laun mulai luntur, akhirnya ia
berpaling dan memandang ke arah Hong nio sambil berkata lebih jauh:
“Bila aku sampai tewas, malca semua pengikutku pasti akan mati semua, lagi pula mereka
akan mati dalam keadaan yang mengenaskan sekali"
298
Hong nio tidak bersuara, ia betul-betul tak tahu apa yang musti dikatakan, sesungguhnya
persoalan-persoalan semacam ini tak sepantasnya kalau diceritakan kepadanya.
Kembali orang berbaju putih itu berkata:
“Aku beritahu kesemuanya ini kepadamu, karena aku . . . aku berharap agar kau tetap tinggal
di sini menemani aku."
Ketika secara tiba-tiba ia mengucapkan kata-kata tersebut, Hong-niopun ikut merasa terkejut.
"Selama banyak tahun aku selalu kesepian, belum pernah kutemukan seseorang yang cocok
menemani aku bercakap-cakap .
Memang tidak banyak jumlah perempuan yang begitu balus budi seperti Hong-nio dalam
dunia ini.
“Akan tetapi aku sama sekali tidak menaruh maksud lain kepadamu," kata orang berbaju putih
itu lebih jauh, "seharusnya kau sudah tahu bahwa aku adalah seorang manusia yang cacad.”
Sekalipun dia juga berusaha keras untuk mengendalikan diri, tapi suatu perasaan sedih dan
menderita yang sukir dikendalikan telah memancar ke luar dari sepasang matanya yang dingin
dan tak berperasaan itu.
Hong nio tidak membiarkan ia berkata lebih lanjut, tiba tiba sahutnya:
“Kukabulkan permiataanmu itu!"
Tampaknya jawaban tersebut sangat mengejutkan hati orang yang berbaju putih itu, bisiknya
gemetar:
“Kau...kau mengabulkan permintaanku?"
"Aku bersedia tinggal di sini untuk menemanimu!"
Sekarang ia masih belum dapat berjumpa dengan Bu ki, entah apapun alasannya, semuanya
itu merupakan kenyataan yang tak bisa dirubah ataupun dibantah.
Ia percaya Cian-cian dan Ci Peng pasti dapat menjaga diri sendiri, mereka pasti tak akan
ber-sedih hati karenanya.
Ia merasa bahwa satu-satunya pekerjaan yang dapat dilakukan olehnya sekarang adalah
membuat orang yang sombong, tapi penuh penderitaan, penuh siksaan dan menakutkan serta
mengenaskan ini hidup selama beberapa hari lagi dalam keadaan yang amat gembira.
299
Warna semu merah kembali menghiasi wajwh orang berbaju putih itu, katanya kemudian:
"Aku tidak bermaksud untuk memaksamu!"
"Tidak, kau tidak memaksaku, aku sendiri yang rela berbuat demikian, sebab perbuatan yang
tak ingin kulakukan tak akan bisa dipaksakan oleh siapapun juga".
"Tapi kau. . ., Aku hanya berharap agar kaupun dapat menyanggupi sebuah permintaanku !"
"Katakanlah!"
"Asal Bu-ki sudah ada kabarnya, kau harus membiarkan aku pergi dari sini".
"Kau tidak mempunyai syarat lain?"
"Jika kau masih mengharapkan aku untuk mengajukan syarat lain, maka kau . . . kau berarti
sedang menghina diriku".
Orang berbaju putih itu memandang ke arahnya, tiba-tiba saja di atas wajahnya yang pucat
memancarkan cahaya tajam, seperti juga sebatang pohon yang telah layu tiba-tiba muncul
kembali harapannya untuk hidup lebih lanjut.
Bagi sejenis manusia, "pemberian" selamanya jauh lebih senang dan bahagia dari pada
"perampasan".
Hong-nio tak salah lagi adalah manusia semacam itu.
Si Buta masih berdiri agak jauh di tepi ruangansana, sekalipun sepasang matanya tak dapat
melihat apa-apa lagi, tapi seakan-akan ia telah menyaksikan kembali suatu kesedihan dan
ketidak beruntungan.
*****
Sampai waktu itu, Hong-nio masih tak pernah lupa untuk menulis catatan hariannya setiap
hari.
Ia mencatat hari mengikuti "titik-titik" air yang berbunyi, sekalipun tidak cocok seratus
persen, paling tidak setiap bulannya hanya selisih antara setengah jam belaka.
Menurut perhitungan penanggalan waktu itu, maka setiap tahun hanya terdiri dari tiga ratus
enampuluh hari.
300
Kehidupan di bawah tanah amat sederhana dan tawar, asal dapat memilih catatan dari tiga hari
di antaranya, kita dapat memahami seluruh pengalaman serta kejadian yang telah menimpa
dirinya selama beberapa bulan ini.
Tentu saja tiga hari tersebut adalah tiga hari yang terpenting dalam kehidupannya selama
be-berapa bulan ini, sekalipun demikian sudah cukup untuk merubah nasib seseorang, dan
perubahan tersebut justru terjadi dalam tiga hari itu.
Diantara kejadian-kejadian tersebut, tentu saja ada yang menguntungkan, tapi ada pula yang
membawa ketidak beruntungan. Peristiwa yang tidak beruntung terjadi pada bulan sembilan
tanggal dua puluh tiga.
*****
Bulan sembilan tanggal dua puluh tiga, hari terang. Walaupun di tempat seperti ini sulit untuk
mengetahui apakah cuaca sedang mendung atau cerah, tapi aku tahu bahwa hari ini udara
pasti terang.
Sebab ketika si tuan buta pergi ke luar, ia mengenakan baju yang tipis sekali dan sewaktu
pulang telapak sepatunya kering dan bersih.
Ia pergi untuk mencari Siau-lui.
Siau-lui telah minggat dari rumah.
Selama aku berada di sini, tak pernah satu kalipun kujumpai dirinya, Tee-cong seakan-akan
secara sengaja menghindari pertemuan di antara kami berdua.
"Tee-cong" memang manusia aneh, Siau-luipun seorang bocah yang aneh pula. . .
Walaupun demikian, sesungguhnya hati mereka itu ramah dan baik hati.
Terutama sekali Siau-lui, belum pernah aku membenci dirinya, sekdipun ia bersikap demikian
kepadaku, mungkin saja disebabkan pada masa yang lalu belum pernah ia memperoleh kasih
sayang dari ibunya ..... mungkin juga wajahku agak mirip dengan wajah ibunya.
Dalam pandangan dan perasaan seorang bocah, ibu selamanya adalah perempuan yang paling
cantik dan paling lembut di dunia ini.
Tapi, kenapa ia harus minggat dari rumah?
Aku ingin menanyakan persoalan ini kepada "Tee-cong," tapi secara tiba-tiba saja wataknya
berubah menjadi kasar dan berangasan, ia bersikap galak dan ganas kepadaku. "
301
Tapi akupun tidak menyalahkan dirinya, aku tahu ia sedang marah dan bersedih hati karena
kepergian Siau-lui yang tanpa pamit itu.
Terlalu besar dan tinggi pengharapannya terhadap Siau-lui dimasa-masa mendatang.
Ketika mereka sedang pergi mencari Siau-lui, tiba-tiba kutemukan kembali suatu kejadian
yang sangat aneh..
Di tempat ini seluruhnya terdapat enam belas buah ruangan, di belakangsanaterdapat pula
se-buah pintu batu, dihari-hari biasa pintu batu itu selalu tertutup rapat, kalau dugaanku tak
salah tempat itu pasti merupakan gudang mestika yang paling rahasia milik "Tee-Cong".
Hari ini, di tempat apapun sudah mereka cari, tapi tak pernah memeriksa ruangan itu, apakah
mereka beranggapan bahwa Siau - liu tak mungkin bersembunyi disana, karena tempat itu tak
boleh didatangi oleh siapapun jua ?
Akhirnya tak tahan lagi kutanyakan persoalan ini secara diam-diam kepada Sia-sianseng (tuan
buta), tapi begitu mendengar perkataan itu, bagaikan dipagut ular berbisa, tanpa mengucapkan
sepatah katapun ia berlalu darisana.
Belum pernah kusaksikan ia menunjukkan sikap begini takutnya, tapi apa yang ia takuti?
Bulan sebelas tanggallimabelas.
Kalau dihitung-hitung maka hari ini semestinya bulan akan purnama lagi, entah di luar hari ini
ada rembulan atau tidak? Entah rembulan itu masih tetap bulat seperti dulu?
Sudah empat kali bulan purnama aku berdiam di sini.
Seringkali aku teringat akan diri Bu-ki, setiap hari bahkan mernikirkannya, yaa, setiap waktu
setiap detik selalu memikirkannya, tapi tak pernah kubicarakan tentang dirinya.
Sebab aku tahu, dibicarakanpun tak ada gunanya.
Agaknya Bu-ki sedang berada dalam suatu keadaan yang amat istimewa, aku harus menunggu
sampai suatu saat tertentu sebelum dapat bertemu dengannya.
Aku mempunyai perasaan semacam itu, maka aku harus menunggu dengan hati yang sabar.
Lagi pula akupun percaya bahwa "Tee-cong" bukanlah seseorang yang tidak pegang janji,
iapun sangat baik kepadaku, belum pernah ia ungkapkan kepadaku kalau "mempunyai
maksud lain", dalam hal ini dia benar-benar memegang janji.
302
Tapi semenjak kepergian Siau-lui tanpa pamit, wataknya makin lama berubah makin aneh,
seringkali ia berbaring seorang diri di dalam peti matinya, sepanjang hari sepanjang malam
tak mengucapkan sepatah katapun denganku, akupun hanya duduk termangu seorang diri di
sana. .
Kehidupan semacam ini tentu saja bukan suatu kehidupan yang terlalu baik, tapi untunglah
aku dapat melewatinya dengan baik.
Adaorang mengatakan bahwa aku terlalu lemah, ada pula yang mengatakan bahwa aku
bagaikan sebuah benda antik, begitu dibentur segera akan hancur berantakan.
Selamanya aku tak pernah membantah atau mengucapkan sesuatu komentar tentang persoalan
ini.
Benda paling lembek di tubuh manusia adalah rambut, sedang yang paling keras adalah gigi,
tapi alat tubuh manusia yang paling mudah rusak justru adalah gigi, sebaliknya bila seseorang
telah mati, sekujur tubuhnya telah membusuk dan hancur, rambutnya masih akan tetap utuh.
Benda paling lemah di tubuh manusia adalah mata, akan tetapi setiap hari setiap waktu dari
pagi sampai malam yang selalu dipergunakan oleh manusia adalah mata, tak pernah orang
me-ngatakan kalau matanya tak terpakai atau matanya tak digunakan lagi.
Matapun tak pernah lelah, kalau kau pergunakan mulutmu untuk berbicara terus tiada
hentinya atau menggunakan tangan tak hentinya ataukah menggunakan kaki tak hentinya,
maka sejak dulu-dulu kau sudah mampus karena lelah.
Oleh karena itu aku pikir bahwa "lemah dan lembut" serta "keras dan kuat" sesungguhnya
bukan bisa dibedakan dengan nyata.
Hingga hari ini aku baru tahu bahwa kepergian Siau-lui sebenarnya adalah lantaran aku.
Kiranya sebelum pergi meninggalkan tempat itu, ia telah meninggalkan sepucuksurat, dalam
suratnya ia hanya mengucapkan beberapa patah kata saja:
"Aku suka dengan Hong-nio, tapi kau telah merampasnya, maka aku pergi dari sini, aku
ber-sumpah suatu hari aku pasti akan merampasnya kembali dari tanganmu".
Siau-lui benar-benar seorang anak yang aneh, aku selalu tak habis mengerti kenapa ia bisa
bersikap demikian kepadaku.
Setiap bulan sedang purnama, tabiat Tee-cong pasti akan berubah menjadi begitu gundah,
berangasan dan tak tenang.
303
Lebih-lebih hari ini, wataknya benar-benar jelek sekali, apalagi setelah minum sedikit arak,
oleh karena itulah ia mengeluarkansuratyang ditinggalkanSiau-lui dan memperlihatkannya
kepadaku.
Sekarang aku baru mengerti, mengapa si Sia sianseng memandangku dengan sinar mata
macam itu.
Ia pasti menganggap kedatanganku ke mari telah membawa bencana serta ketidak
beruntungan, kepergian Siau-lui tanpa pamit tak lebih hanya salah satu contoh saja di
antaranya.
Aku sama sekali tidak menguatirkan keselamatan Siau-lui, sebab bocah semacam dia tak akan
menderita kerugian ke manapun ia pergi.
Aku hanya berharap agar ia jangan berjalan sesat, karena ia terlampau cerdik, ilmu pedangnya
begitu lihay, kalau sampai jalan serong niscaya seluruh dunia akan kacau balau dibuatnya-.
Pada bulan delapan tanggal limabelas aku mulai belajar pedang, hingga kini sudah ada tiga
bulan lamanya.
Aku sama sekali tidak memiliki dasar dasar belajar ilmu pedang, kecuali sewaktu kecil dulu
aku pernah belajar sedikit ilmu semedi dan ilmu tenaga dalam dari paman Sam siok,
hakekatnya sedikit kepandaian silatpun tidak kupahami.
Akan tetapi “Tee-cong” justru mengatakan bahwa aku boleh belajar ilmu pedang.
Ia bilang akupun sangat aneh, siapa tahu kalau pada akhirnya bisa berhasil mempelajari ilmu
pedang Giok li kiam hoat yang sudah lama punah dari dunia persilatan, karena katanya
watakku agaknya sesuai dengan ilmu pedang tersebut.
Aku selamanya tak pernah tahu kalau untuk belajar pedangpun harus meninjau pula watak
serta perangai seseorang, sudah tiga bulan aku melatihnya dengan tekun, entah sampai pada
batas apakah kepandaian yang telah kulatih sekarang.
Cuma saja “Tee-cong” memang seorang manusia yang luar biasa, ia bilang dahulu “dengan
sebilah pedang ia malang melintang, dan tiada tandingannya dikolong langit”, aku lihat ia
bukan sedang mengibul.
Ilmu pedang yang dimilikinya memang betul betul mengagumkan.
Suatu kali ia pernah berkata, ia dapat memutuskan kutung selembar rambut di kepalaku,
kemudian mematas pula rambut yang telah terpapas itu menjadi dua bagian, dan kemudian ia
dapat memapasnya pula beberapa bagian yang ia inginkan.
Ia tidak mengibul, ia benar benar dapat melakukannya.
304
Sengaja kusisir rambutku kencang kencang, aku hanya melihat cahaya pedangnya berkilauan
dan tahu tahu selembar rambutku telah terpapas kutung, menanti rambut itu terjatuh ke tanah,
ia telah berubah menjadi tigabelas bagian.
Hanya sekilas cahaya pedangnnya berkelebat, ternyata rambutku telah terpapas kutung tidak
lebih dan tidak kurang dari selembar saja, bahkan kemudian mematasnya kembali menjadi
tidak lebih dan tidak kurang dari tigabelas bagian.
Meskipun aku tidak mengerti tentang ilmu pedang, tapi aku dapat melihatnya bahwa ilmu
pedang yang dimilikinya itu pasti jarang sekali yang bisa menandinginya.
Karena caranya turun tangan benar benar terlalu cepat, sedemikian cepatnya membuat orang
benar benar tak dapoat mempercayainya.
Ia bilang aku telah mempelajari seluruh rahasia serta intisari yang terkandung dalam ilmu
pedang Giok li hiam hoat, asal dikemudian hari sering melatihnya, maka sekalipun orang lain
sudah berlatih selama sepuluh tahun belum tentu sanggup untuk menandingi diriku.
Aku percaya dia adalah seorang guru yang pandai, tapi tidak percaya kalau aku adalah
seorang muridnya yang begitu baik.
Tapi terlepas dari semuanya itu, asal ia sudah berbaring kembali dalam peti matinya, akupun
mencari sebilah pedang dan mulai melatihnya dengan tekun.
Tentu saja aku tak berani menyentuh pedang yang terletak di atas meja sembahyang itu,
bahkan ia sendiripun belum pernah menyentuhnya.
Seringkali ia berkata bahwa kini ia tidak pantas untuk mempergunakan pedang itu lagi, sebab
dahulu pedang tersebut tak pernah kalah, tapi sekarang ia sudah bukan jago pedang tak
terkalahkan yang dulu lagi.
Bulan tiga tanggal duapuluh delapan.
Tanpa terasa aku sudah hampir delapan bulan lamanya tinggal disini, hari ini adalah hari
peringatan kematian dari ayah Bu Ki.
Hari ini ditahu silam, adalah hari perkawinanku dengan Bu Ki, setiap orang bilang bahw ahari
itu adalah hari yang baik, hari penuh keselamatan dan rejeki.
Aaaai! Hari rejeki macam apakah itu? Pada saat itulah telah terjadi peristiwa yang
mengerikan, bukan saja telah mencelakai jiwa loyacu, emnghancurkan masa depan Bu Ki,
telah menghacurkan pula kehidupanku ini.
305
Andaikata loyacu tidak mati, betapa bahagianya aku hari ini, betapa senangnya kehidupanku,
bahkan siapa tahu kalau aku telah mendapatkan anak untuk Bu Ki.
Tapi hari ini...
Dibawah tulisan “hari ini” tampak ada bekas bekas basah yang lembab, agaknya ia telah
banyak mengucurkan air matanya.
Apakah peristiwa yang telah terjadi hari ini jauh lebih menyedihkan dan lebih menakutkan
dari pada hari ini ditahun silam?
Bila kau sempat membaca catatan rahasianya ini dan membaca sampai di sini, maka kau pasti
akan membacanya lebih jauh.
Tulisan di bawah sana tampak jauh lebih awut awutan dari pada tulisan dihari hari biasa.
Pagi ini ternyata Tee-cong bangun jauh lebih cepat dariku, ketika aku bangun tidur, ia telah
menungguku, sikapnyapun jauh lebih berbeda dari pada dihari hari biasa.
Ia mengatakan bahwa dalam istana bawah tanah ini masih ada satu tempat yang belum pernah
ia mengajaknya kesana, maka hari ini dia akan mengajakku untuk meninjau tempat tersebut.
Tentu saja aku merasa sangat girang, sebab aku telah menduga bahwa tempat yang akan
dikunjungi bersamaku ini pastilah gudang harta yang amat rahasia itu.
Ternyata dugaanku memang tak salah.
Ia benar benar memerintahkan orang untuk membuka pintu batu di sebelah belakang, ketika
aku masuk mengikutinya, aku baru tahu bahwa dugaanku ternyata masih ada satu hal yang
salah.
Tempat itu bukan saja bukan gudang harta, bahkan baunya minta ampun, ketika berjalan
masuk ke gua itu, segera terendus bau busuk yang amat memuakkan tersiar ke luar dari sana,
bau busuk itu macam bau busk dalam kandang babi.
Walaupun oleh bau busuk itu kepalaku dibikin pusing tujuh keliling dan rasanya ingin
muntah, tapi rasa ingin tahuku semakin besar, dengan keraskan kepala aku ikut pula masuk ke
dalam.
Tempat itupun merupakan sebuah ruangna yang terdiri dari batu granit, sebetulnya perabot di
situ tidak jelek, tapi sekarang telah sama sekali berubah bentuknya, tirai merah berbunga emas
yang semula melapisi dinding ruangan, kini hampir berubah menjadi hitam pekat, tong untuk
buang air, tempolong untuk meludah serta sisa nasi dan sayur yang bercampur aduk hampir
menumpuk dimana mana.
306
Di atas dinding, di atas permukaan tanah, diamanpun penuh dengan lukisan manusia yang
sedang melakukan suatu gerakan pedang, setiap lembar lukisan itu semuanya sudah kuno dan
kumal.
Seorang manusia berambut panjang, mana dekil mana bau lagi duduk di sana sambil
memperhatikan lukisan-lukisan pedang itu, adakalanya seakan-akan ia terkesima, kadangkala
juga melompat bangun dan menggerak-gerakkan tangannya, siapapun tak tahu jurus macam
apakah yang sedang ia perlihatkan itu.
Orang itu kurusnya bukan kepalang hingga tinggal kulit pembungkus tulang, lagi pula sudah
beberapa bulan tak pernah mandi, rambutnya, jenggotnya kotor dan bau busuk, hakekatnya
tak berani aku memandang ke arah wajahnya.
Iapun seakan-akan tak pernah tahu kalau ada orang berjalan masuk ke dalam ruangan, bahkan
memandang sekejap ke arah kamipun tidak, sebentar-sebentar ia mencengkeram segenggam
kitab ilmu pedang dan memeluknya sambil tertawa terbahak-bahak, lalu menangis pula
tersedu-sedu.
Aku rasa orang itu pastilah seorang sinting.
"Tee-cong" mengatakan bahwa ia belum sinting, cuma sudah menjadi "Tidak waras" karena
terpikat oleh buku-buku ilmu pedang tersebut, sedemikian terpikatnya oleh ilmu, sampai
makanpun enggan, tidurpun tak pernah, apa lagi mandi, ia terpikat sampai melupakan segalagalanya.
Aku sendiri tak dapat membedakan apa perbedaan antara "sinting" dan "Tidak waras".
Entah dia sinting juga boleh, tidak waras juga boleh, yang pasti aku enggan berdiam lebih
lama di tempat semacam itu.
"Tee-coug" masih juga mengawasinya lekat-lekat, seakan-akan menaruh perhatian yang
khusus terhadap orang tersebut.
Diam-diam aku ngeloyor ke luar dari situ, sebab aku sangat mual dan benar-benar tak tahan
untuk mau muntah, tapi akupun tak ingin muntah di hadapannya.
Sebab bagaimanapun jua, dia toh tetap seorang manusia.
Aku bersembunyi di dalam kamarku dan muntah hebat, setelah minum secawan air teh panas,
"Tee-cong" pun datang.
Ia kembali menatapku setengah harian lamanya sebelum memberitahukan kepadaku bahwa
sekarang adalah saat baginya untuk pergi mohon obat penawar bagi mencegah bekerja racun
307
di dalam tubuhnya, setiap tahun ia harus minta obat penawar sekali, katanya pula bahwa
per-jalanan yang akan ditempuh tidak dekat, paling tidak satu bulan kemudian baru akan
pulang kembali ke sana.
Ia bertanya kepadaku, bersediakah mengikutinya? Ataukah ingin tetap tinggal di sini?
Sudah barang tentu aku lebih suka mengikutinya pergi, sudah terlampau lama aku berdiam di
tempat ini, tentu saja aku ingin melihat lihat ke tempat luaran.
Siapa tahu setibanya di luar, aku akan mendapat kabar tentang Bu-ki, apalagi akupun ingin
tahu keadaan dari Cian-cian serta Ci Peng.
Aku selalu merasa bahwa kedua orang itu adalah sepasang sejoli yang sangat ideal, watak
Cian-cian kurang baik, Ci Peng pasti akan selalu mengalah kepadanya, Cian-cian selalu
menerbitkan gara-gara di semua tempat dan Ci Peng pasti akan menyelesaikan semua
kesulitan itu bagi dirinya ........
Sayang sekali Ciao-cian selalu bersikap dingin terhadap Ci Peng, selamanya tak pernah
memberi kesan atau mimik wajah yang lebih baik kepadanya.
Ketika "Tee-cong" tahu bahwa aku bersedia mengikutinya pergi, ia merasa gembira sekali,
aku diberi setengah cawan arak anggur untuk menghangatkan tubuh.
Setelah meneguk separuh cawan arak itu, akupun tertidur dengan nyenyaknya.
Menunggu aku telah sadar kembali dari tidurku, baru kuketahui bahwa kami telah
meninggalkan gua dalam dasar bumi itu.
Aku duduk dalam sebuah kereta kuda dengan mengenakan pakaian berkabung, beberapa
orang berbaju hitam sambil menggotong peti mati tembaga dari "Tee-cong” mengikuti di
belakang kereta.
Aku tahu, ia pasti berada di dalam peti mati itu, dan akupun didandani demikian untuk
mengelabui mata orang.
Malam itu kami mencari sebuah rumah penginapan yang kecil dan sepi untuk beristirahat
seluruh penginapan itu kami borong semua.
Pelayan-pelayan dari penginapan tersebut samuanya mengira bahwa aku adalah janda yang
baru kematian suami, pelayanannya terhadap segala keperluanku amat baik dan istimewa.
Aku menginap di dalam sebuah kamar besar seorang diri, aku selalu tidak tidur karena aku
tahu bahwa "Tee-cong” pasti akan datang.
308
Tengah malam itu, ia benar-benar telah datang, aku menemaninya makan semangkuk bubur
dan diapun menatapku lekat-lekat.
"Kau benar-benar tidak kenali dia?" tiba-tiba ia mengajukan sebuah pertanyaan yang aneh
sekali kepadaku.
Pada mulanya aku masih tidak mengerti, kemudian setelah menjumpai sikapnya yang aneh itu
tiba-tiba saja aku merasa sedikit kalap, suatu ingatan yang menakutkan mendadak melintas di
dalam benakku . .
Mungkinkah manusia yang kotor, busuk dan aku tak berani memandang barang sekejappun
kepadanya itu adalah Bu-ki yang membuatku rela berkorban asal dapat bertemu sekejap lagi
dengannya?
"Tee-cong” dapat meraba suara hatiku, tiba tiba ia menerangkan:
"Apa yang kau duga memang benar, dia adalah Bu-ki."
Aku hampir saja gila karena gelisah, aku ingin menangis sekeras-kerasnya, ingin menjerit
sekuat-kuatnya, dan ingin mencekiknya sampai mati, tapi apapun tidak kulakukan.
"Tee-cong" memang tidak mengingkari janji, ia telah menepati janjinya dan mengajakku
menjumpai Bu-ki.
Ia sama sekali tidak salah, akulah yang salah! ia tidak pantas mati, akulah yang pantas mati,
akulah yang pantas mati!
Ternyata aku tak dapat mengenali kembali diri Bu-ki.
Siang malam aku ingin bertemu dengannya, tapi dikala aku telah berjumpa dengannya
ternyata aku tidak mengenali lagi dirinya.
Apalagi yang bisa kukatakan kini?
Menanti perasaanku sudah jauh lebih tenang dan pergolakan darah dalam dadaku telah normal
kembali, "Tee cong" baru beritahu kepadaku bahwa Bu ki datang mencarinya untuk belajar
pedang, diapun menganggap Bu-ki mempunyai bakat untuk belajar pedang.
Tapi diantara mereka berdua berlaku suatu perjanjian, yakni sebelum Bu ki berhasil selesai
dengan pelajaran pedangnya, ia tak boleh berjumpa dengan siapapun.
Bu-ki telah setuju dengan perjanjian itu dan menepatinya, maka setiap kali aku ingin bertemu
dengan Bu-ki. ia selalu mengatakan belum sampai waktunya.
309
Tee-cong berkata kembali:
"Kami telah berjanji dengan batas waktu setahun, pada waktu itu aku akan pergi untuk
mencoba ilmu pedangnya, asal ia berhasil mengalahkanku, maka aku akan mempersilahkan ia
pergi meninggalkan tempat itu . . .
Setelah ia mengucapkan kata-kata tersebut, aku baru tahu bahwa perjanjian di antara mereka
berdua tidaklah sederhana.
Aku amat memahami jalan pemikiran Bu-ki.
Dia tahu bahwa "Tee-cong" tak nanti akan mewariskan ilmu pedangnya kepadanya, maka dia
pasti telah mempergunakan suatu cara yang sangat istimewa untuk memaksa “Tee-cong" mau
tak mau harus menyanggupi untuk mewariskan ilmu pedang kepadanya.
Oleh karena itu, ketika Tee-cong mengajukan syarat tersebut, diapun mau tak mau harus
menerimanya.
Tapi dari mana mungkin ia bisa mengalahkan “Tee-cong”? Pada hakekatnya ia sama sekali
tak punya kesempatan untuk menang.
Agaknya "Tee-cong" telah berhasil menebak pula apa yang sedang kupikirkan di hati, dengan
dingin katanya kepadaku:
Ia bukannya tak punya kesempatan, sebab ilmu pedangkupun kupelajari dari kitab-kitab dan
lukisan-lukisan tersebut, selamanya aku selalu bekerja adil.
Kemudian ia berkata lagi:
"Tapi setelah menjumpai dirimu, jalan pikiranku tiba-tiba berubah, aku kuatir kalau ilmu
pedangnya benar-benar telah berhasil dan merebutmu dari sisiku, aku ingin sekali
membunuhnya agar selamanya kau tak dapat berjumpa lagi dengannya."
Akan tetapi ia sama sekali tidak berbuat demikian, karena ia bukan seorang siaujin yang tak
tahu malu seperti itu.
Maka hatinya penuh dengan perasaan sedih, tersiksa dan serba bertentangan, oleh sebab itu
pula kadang-kadang wataknya akan berubah menjadi begitu berangasan dan aneh.
Ternyata kesemuanya itu adalah lantaran aku.
Sekarang aku baru mengerti kenapa si buta selalu beranggapan bahwa aku akan
mendatangkan ketidak beruntungan bagi mereka.
310
Tee-cong kembali berkata:
"Tapi, akupun tidak menyangka kalau ia dapat melatih ilmu pedang sehingga menjadi "tak
waras," seakan-akan sama sekali telah berubah menjadi seseorang yang lain!"
Mungkin lantaran dia tahu kalau Bu-ki telah berubah, maka ia baru membawaku untuk pergi
menjumpai Bu-ki.
"Tee-cong" menatapku tajam tajam, kemudian berkata lagi:
"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan di dalam hati, tapi kau keliru kalau berpendapat
demikian, karena aku telah bertekad untuk membiarkan kau kembali ke sisi Bu ki, sebab aku
dapat melihat dan merasakan bahwa kau benar-benar telah mencintai dirinya, bila suatu hari
kau tahu bahwa aku melarang kalian saling berjumpa, kau pasti akan membenciku sepanjang
masa, aku tak ingin kau membenciku sepanjang masa!”
Kembali ia berkata:
"Tapi sekarang, setelah ia berubah menjadi begitu rupa, bila kau menjumpainya hari ini malah
justru akan mencelakainya, bila ilmu pedangnya berhasil dikuasai maka belum terlambat
rasanya bila kalian berjumpa kembali pada waktu itu.
Aku tidak bersuara, karena aku telah merasa bahwa apa yang dikatakan itu bukanlah kata-kata
yang seratus persen jujur.
Aku tidak menyalahkannya, sebab tiap manusia tentu mempunyai watak serakah, lebih
me-mentingkan diri sendiri dan ternyata diapun seorang manusia begini.
Harus menunggu sampai kapankah Bu-ki baru akan berhasil dengan ilmu pedangnya? Sampai
kapan pula baru dapat mengalahkannya?
Hari seperti itu kemungkinan besar tak akan bisa dijumpai lagi untuk selamanya.
Tapi aku dapat menanti sampai dia kembali ke guanya, waktu itu akupun dapat bertemu
kembali dengan Bu ki.
Perduli Bu ki sudah gila juga boleh, sinting juga boleh, tidak waras juga boleh, pokoknya
setelah bertemu kembali dengannya, aku tak akan meninggalkannya lagi untuk selamanya.
*****
Hong nio meninggalkan bukit Kiu hoa sun pada bulan tiga tangga duapuluh delapan.
311
Pada malam bulan empat tanggal satu, ketika para hwesio kuil Bwee-sham-wan sedang
bersembahyang malam, tiba-tiba mereka menjumpai seorang manusia aneh yang kotor, bau,
kurus dan kelelahan hebat sedang berbaring di atas undak-undakan batu di depan altar besar
sambil memandangi bintang-bintang di angkasa, seakan-akan sudah lama, lama sekali ia tak
pernah melihat sinar bintang hingga memandangnya dengan terpesona.
MENCOBA PEDANG
BULAN empat tanggal dua, udara sangat cerah.
Dihari-hari yang berudara segar seperti ini, perasaan Lau Pat selalu luar biasa baiknya.
Terutama pada hari ini.
Hari ini ia bangun pagi sekali, setelah bersarapan pagi dengan hidangan yang lezat, diapun
pergi menunggang kuda mencari angin.
Malam harinya ia terbiasa untuk minum banyak arak, kadangkala bahkan diwaktu makan
siangpun akan minum, oleh karena itu dia selalu memperhatikan sarapan paginya ini.
Pagi ini dengan makan seekor ayam, ayam yang dimasak dengan arak, seekor ikan leihi hidup
yang dimasak Ang sio dan semangkuk besar sawi hijau yang dimasak udang.
Kecuali dapat mempergunakan uang dalam jumlah besar, bermain perempuan cantik dan
minum arak wangi, ayam, ikan leihi dan sawi hijau kemungkinan bssar adalah tiga macam
hidangan yang paling disukai Lau Pat.
Pagi ini dalam waktu setengah jam ia telah mengitari tembokkotasatu kali dan kembali ke
rumah.
Inilah rekor tercepat darinya dalam mengitari tembokkota.
Tentu saja ia bukan lari, dengan mempergunakan sepasang kakinya, ia lari dengan
menunggang kuda.
Tentu saja kuda tunggangannya adalah seekor kuda cepat, sekalipun bukan kuda tercepat
di-dunia, paling tidak merupakan kuda paling cepat di dalam wilayah delapan belaskotadi
sekitarsana.
Kuda itu sesungguhnya bukan miliknya.
Sejak dengan mata kepala sendiri ia menyaksikanBu-ki membinasakan tiga orang saudara dari
keluarga Tong di atas loteng Siu oh khang, tak seharipun ia dapat tidur dengan tenang.
312
Iapun seorang jago persilatan, selama berkecimpungan dalam dunia persilatan, dendam sakit
hati semalam ini ini harus dituntut balas.
Jika Bu ki datang untuk membalas dendam maka pada hakekatnya ia tak bertenaga untuk
melakukan perlawanan.
Oleh karena itu selain ia mengutus orang untuk mencari jago lihay guna metindungi
keselamatan jiwanya, diam-diam iapun menyelidiki jejak dari Bu ki.
Menanti ia dengar orang berkata bahwa Bu-ki munculkan diri untuk terakhir kalinya
diTaypek ki di bawah bukit Kiu hoa san, ia segera membawa orang memburu kesana, tapi
suami istri pemilik penginapanTaypek ki ternyata telah tewas dibunuh sehari sebelumnya.
Dia hanya menjumpai pelayan yang bernama Siau ting beserta kuda ini. Kuda dari Tio Bu ki.
Ia merasa persengketaannya dengan Bu ki sudah pasti akan berlangsung, maka apa salahnya
kalau perselisihan itu ditambah lagi dengan perselisihan lain? Maka kuda itupun menjadi kuda
miliknya.
*****
Selama setahun belakangan ini, kehidupannya boleh dibilang dapat dilewati dengan aman dan
tenteram, Tio Bu ki yang dahulu merupakan momok baginya kini sudah makin dilupakan.
Satu-satunya hal yang membuat ia menjadi pusing sekarang adalah tiga orang jago lihay yang
dipeliharanya selama ini dengan beaya yang amat tinggi itu.
Sesungguhnya dia ingin sekali menyuruh mereka pergi, tapi takut menyinggung perasaan
mereka, terutama si Pincang Oh tersebut, ia paling takut untuk membuatnya menjadi
tersinggung.
Ia telah bertekad untuk menyelesaikan masalah tersebut dalam beberapa hari ini juga,
sekalipun harus kehilangan sejumlah uang lagi, diapun rela.
Beaya untuk memelihara tiga orang pelindungnya ini hakekatnya jauh lebih mahal dari pada
memelihara tiga orang bini muda, ia sudah merasa agak kewalahan.
Sekarang ia baru tahu, bahwa persoalan yang paling membuang beaya besar di dunia ini
bukan mencari `kesenangan`, melainkan "Dendam sakit hati".
Lantaran persoalan ini, dia telah kehilangan uang sebesar tigapuluh laksa tahil lebih, ditambah
lagi uang yang dimenangkan Bu ki, walaupun sekarang ia tampaknya masih gagah dan
mentereng, sesungguhnya isi koceknya sudah kian menipis.
313
Untung saja "Tempat perjudian"nya masih ada, hasil yang dia perolehpun jauh lebih baik dari
pada hasil tahun berselang, oleh sebab itu ia masih dapat bertahan sampai sekarang.
Selesai membersihkan badan dengan air dingin, persoalan yang sebenarnya memusingkan
kepala itu seakan-akan telah berubah menjadi bukan suatu persoalan lagi.
Setelah berganti dengan satu stel baju yang bersih, ia bermaksud untuk memeluk bini
mudanya dan mengajak ia tidur.
Pada saat itulah, Hui Iotau tiba-tiba muncul di situ.
*****
Hui lotau adalah pengurus dari tempat perjudiannya, dia adalah seorang rase tua yang
ber-pengalaman dan boleh diandalkan, sudah puluhan tahun ia bekerja di tempat perjudian,
permainan busuk macam apapun ia kenal dan pahami dan kejadian dan peristiwa macam
apapun pernah ditemuinya.
Tapi ia tampak agak kaget dan gugup pada hari ini, dengan napas tersengal-sengal ia lari
masuk hampir saja jatuh terjerembab karena terkait palang pintu.
Sambil tertawa Lau Pat segera mendamprat:
"Hei, coba kau lihat tampangmu yang begitu gelisah, apakah bini tuamu lagi-lagi dibawa
kabur orang?"
Hui lotau menghela napas dan tertawa getir, sahutnya:
"Tidak aneh kalau cuma bini tuaku dibawa kabur orang, tapi kejadian yang berlangsung hari
ini baru betul-betul dibilang kejadian yang aneh dan luar biasa"
"Apakah terjadi peristiwa lagi di dalam rumah perjudian kita?" tanya Lau Pat dengan dahi
berkerut.
“Yaa, bahkan tidak terhitung kecil peristiwa yang telah terjadi disana. . . ."
Peristiwa yang paling ditakuti tempat perjudian adalah jika secara tiba-tiba kedatangan
seorang penjudi yang mempunyai rejeki luar biasa bagusnya, seperti juga Heng ing pa cu
(macan kumbang yang mujur) tahun berselang.
Tapi manusia seperti Heng ing pa cu sudah tak akan bisa dijumpai lagi untuk selamanya
dalam masa seperti ini.
314
"Aturlah dulu pernapasanmu, duduk dan bicaralah pelan-pelan," kata Lau Pat pelan,
"sekalipun langit bakal ambruk, kita masih sanggup untuk menahannya, buat apa kau musti
gelisah?"
Agaknya untuk dudukpun Hui lotau tak sanggup, kembali katanya dengan gelisah:
"Hari ini rumah perjudian kita telah kedatangan lagi seorang jago lihay dan menggaet
sejumlah uang kita secara meyakinkan."
"Menggaet," artinya adalah memenangkan.
Apapun tidak ditanya Lau Pat, dia cuma bertanya:
"Apakah sekarang orang itu telah pergi?`
"Belum!
"Heehhh "heeehhh ....heehhh....asal orang itu belum pergi, kita masih mempunyai cara untuk
menghadapinya" kata Lau Pat sambil tertawa dingin tiada hentinya. .
Asal bertaruh itu bukan terhitung suatu kekalahan, Hui lotau adalah seoraog ahli di dalam
bidang perjudian, sudah barang tentu diapun memahami akan teori tersebut.
Akan tetapi hari ini ia tidak berpendapat demikian, katanya lagi:
"Oleh karena ia belum mau pergi juga, maka baru ada kerepotan buat kita semua."
“Kenapa?"
"Sebab ia masih akan bertaruh terus, bahkan kelihatannya akan menang lebih jauh."
"Kau dapat melihatnya?"
"Tentu saja! Ketika datang, ia hanya bermodal sepuluh tahil perak, sekarang ia sudah
memenangkan empat belas kali taruhan."
"Berapa banyak yang dia menangkan dari ke empat belas kali taruhan ini . . . . . ?"
"Enam belas laksa tiga ribu delapan ratus empat puluh tahil perak!" sahut Hui lotau.
Paras maka Lau Pat segera berubah, sambil menggebrak meja keras keras teriaknya:
"Apa pekerjaanmu disana? Kenapa kau biarkan ia menang sebanyak empat belas kali?”
315
"Aku sama sekali tak berdaya untuk mencegahnya, karena setiap lemparan dadunya selalu
menunjukkan angka enam tiga kali."
Kali ini Lau Pat melompat bangun saking kagetnya, dengan wajah berubah serunya:
"Apakah Heng in pa cu yang telah datang lagi?" "Sebenarnya aku memang mencurigai
dirinya, tapi tampangnya sedikitpun tidak mirip dengan si macan tutul yang mujur!"
Setelah berpikir sebentar, kembali katanya:
"Kalau Heng in pacu adalah seorang pemuda yang bertampang ganteng dan menarik, maka ini
tampangnya seperti orang yang kena penyakit t. b.c.!"
"Cara apa yang telah ia pergunakan?” Lau Pat meraung penuh kegusaran.
"Aku tidak melihatnya!”
Lau Pat semakin berang.
"Masa di dalam empat belas kali lemparan dadunya, kau sama sekali tak tahu dengan sistim
apa ia melepaskan dadunya itu!"
“Tampaknya ia seperti tidak menggunakan sistim apapun!"
Padahal dalam hati kecilnya diapun tahu bahwa dalam dunia tiada seorang manusiapun yang
memiliki rejeki semujur itu dalam empat belas kali lemparan semuanya menunjukkan angka
enam tiga kali.
"Sekalipun ia menggunakan sistim permainan, orang yang ada di sanapun tak dapat
melihatnya" kata Hui lotau lebih jauh, "oleh sebab itu akupun tak berani mengusiknya, aku
hanya membiarkan ia berdiam dulu untuk sementara disana."
Setelah berhenti sejenak, dengan wajah murung dan kesal katanya kembali:
“Sekarang dalam ruangan sudah tak punya uang lagi untuk membayar taruhannya itu, bukan
saja ia sedang menunggu untuk mengambil uang bahkan masih akan berjudi terus: “Pat-ya!
Coba lihat apa yang musti kita lakukan sekarang?”
Masakah kau tak tahu apa yang musti kita lakukan sekarang?” Lau Pat tertawa dingin.
"Tapi kalau dilihat dari keberaniannya untuk datang makan kita, sudah pasti ia mempunyai
sedikit asal usul yang besar pula."
Lau Pat menjidi sangat gusar, serunya:
316
"Perduli amat ia mempunyai asal usul yang besar atau tidak, pokoknya kau harus
melakukannya begitu lebih dulu!"
“Sekalipun kita akan menangkap dia, paling tidak taruhannya musti kita bayar dulu !"
Hal ini memang merupakan peraturan permainan, jika peraturan dirusak maka siapakah yang
berani datang bertaruh lagi dilain waktu?
Tentang soal ini Lau Pat bukannya tidak mengerti, sayangnya ia tak punya uang untuk
meng-gantinya.
*****
"Kau pergilah untuk menahan dia lebih jauh, aku akan pergi mencari akal . . .
Satu satunya jalan yang dapat ditempuh oleh nya adalah pergi mencari Cia lakkonya, tapi
diapun tahu bahwa jalan tersebut belum tentu bisa ditembusi.
Hubungan mereka telah makin menjauh, sejak modal sebesar duapuluh laksa tahil perak yang
di tanamkan dalam tempat perjudiannya kena dilalap oleh Heng-in-pa-cu, hubungan mereka
sudah sedemikian renggangnya sehingga nyaris tek pernah berhubungan lagi.
Benar juga, jawaban Cia Lak adalah begini: "Yaa, apa boleh buat, belakangan aku sendiripun
agak kesulitan uang, malah akupun hendak mencarimu untuk mencari pinjaman."
Oleh karena itulah terpaksa ia harus pergi mencari Oh Po cu (si Pincang Oh).
Terhadap orang yang sudah mati, selamanya ia tak perlu membayar kemenangan dari
taruh-annya lagi.
Sekalipun cara tersebut bukan peraturan dari rumah perjudian, tapi hal mana justru merupakan
suatu kenyataan yang tak akan menimbulkan perdebatan orang.
Bila seseorang telah berada dalam keadaan tak punya uang, seringkali kenyataan tersebut
dipandang jauh lebih dari pada peraturan macam apapun.
Dan terhadap banyak persoalan, diapun akan memandang jauh lebih penting dari peraturan.
Si Pincang Oh bukan cuma kakinya saja yang pincang sekali, bagian tubuh yang lainpun
tumbuh kurang begitu sempurna.
317
Ia kurus kecil, berkepala botak, hidungnya agak bengkok dan telinganya kurang sebagian,
bukan saja wajahnya tak sedap, dekilnya bukan main, sama sekali tidak bertampang seseorang
yang pantas dihormati.
Orang ini hanya mempunyai suatu kebaikan, yaitu kurang begitu suka banyak bicara.
Sewaktu ia datang untuk pertama kalinya, bukan Lau Pat saja yang tak pandang sebelah mata
kepadanya, dua orang jago yang diundang Lau Pat dengan bayaran tinggipun lebih lebih tak
pandang sebelah matapun kepadanya, bahwa mereka tak sudi untuk bersantap bersama di satu
meja.
Dulu, kedua orang itu katanya adalah jago-jago hebat dari wilayah Lau-pak, terutama di
kalangan Liok lim. "Ting Kang" dan "To Jiang” yang mereka pergunakan jelas bukan nama
mereka yang sesungguhnya.
Ting Kang mempergunakan pedang Siang bun kiam sedang To Jiang menggunakan golok
Yan ling to, ilmu silat yang mereka berdua miliki tergolong kepandaian "keras".
Tentu saja mereka tak sudi berada dalam satu pekerjaan dengan si pincang yang jelek dan
memuakkan itu, maka bertekadlah kedua orang itu untuk baik-baik memberi pelajaran
kepadanya, agar ia tahu keadaan dan mengundurkan diri.
Suatu malam setelah mereka minum beberapa cawan arak, dicarinya si pincang Oh untuk
"ber-cakap-cakap" dalam lorong gelap di belakangsana.
Tapi keesokan harinya, Lau Pat menemukan bahwa sikap mereka terhadap si Pincang Oh
telah berubah seratus delapan puluh derajat, bukan saja gerak geriknya amat sungkan dan
munduk-munduk bahkan lebih mendekati ketakutan setengah mati.
Lau Pat bukan bodoh, tentu saja iapun dapat menerka sebab apa yang membuat sikap mereka
berdua berubah menjadi begini rupa.
Maka, sikapnya terbadap si Pincang Oh pun seketika berubah pula seratus delapan puluh
derajat.
Tapi si Pincang Oh sendiri sama sekali tak berubah, terserah bagaimana sikap orang lain
ke-padanya, seakan-akan dia tak ambil perduli.
Sekalipun kau menempelengnya dua kali, mungkin diapun seakan-akan tak ambil perduli.
Sebulan setelah ia datang ke tempat itu seorang piausu yang telah kalah bertaruh dan mabuk
karena arak benar-benar telah menoempelengnya .. . .
Malam itu, Piausu tersebut tahu-tahu sudah "lenyap" tak berbekas.
318
*****
Sebenarnya Lau Pat mengira bahwa si Pincang Oh belum tentu akan bersedia untuk
mengurusi persoalan tersebut, karena persoalan semacam ini sudah cukup diselesaikan oleh
Ting Kang dan To Jiang.
Sungguh tak disangka si Pincang Oh secara sukarela menyatakan kesanggupannya untuk maju
sendiri, sebab dia ingin melihat sepasang tangan yang dapat melemparkan empat belas kali
angka enam tiga kali itu.
Bu-ki sedang memperhatikan sepasang tangannya.
Walaupun sepasang tangannya sedikitpun tak berubah, tapi ia tahu tampang wajahnya
sekarang pasti telah mengalami banyak perubahan.
Itu terbukti dari tak seorang manusiapun di sana yang mengenali dirinya lagi. Hanya sepuluh
bulan lebih sedikit, ternyata seseorang telah mengalami banyak sekali perubahan.
Ia sudah bercermin, alhasil hampir saja ia tidak mengenali akan diri sendiri.
Wajahnya telah berubah menjadi pucat dan berkilat karena sudah amat lama tak pernah
tertimpa sinar matahari, sepasang matanya telah cekung ke dalam karena kurang tidur dan
penggunaan otak yang berlebihan, bahkan rambutnya pun jauh lebih sedikit dari pada dulu.
Tapi yang aneh, jenggotnya justru tumbuh dengan kelewat cepatnya, bahkan kadangkala
dapat menutupi codet di atas wajahnya.
Dia harus berendam diri hampir satu jam lamanya dalam air panas sebelum pada akhirnya bau
busuk yang tersiar ke luar dari badannya dapat dilenyapkan.
Tapi ia tahu bahwa selama hidup jangan harap ia dapat pulih kembali seperti dulu.
Ya, barang siapapun manusia di dunia ini, asal ia telah mengalami penghidupan selama tiga
ratus hari dalam keadaan seperti itu, pada akhirnya ia pasti akan berubah menjadi seseorang
yang lain.
Ia dapat mempertahankan diri lebih jauh lantaran dia masih mempunyai rasa percaya pada diri
sendiri, ia percaya dirinya pasti dapat berjalan ke luar dari tempat itu dalam keadaan hidup.
Karena dia tahu, manusia macam mayat hidup itu pasti akan meninggalkan tempat itu untuk
minta obat penawar setiap bulan empat.
319
Asal ia dapat meyakinkan manusia mayat itu bahwa ia benar benar sudah "tidak waras", maka
dia pasti akan memperoleh kesempatan untuk melarikan diri.
Dalam hal ini tak bisa diragukan lagi ia telah melakukannya dengan sukses.
Oleh karena itulah di menang.
Dengan jelas dia tahu bahwa sekalipun berlatih sepuluh tahun lagi, belum tentu ia mempunyai
kesempatan untuk mengalahkan mayat hidup itu, ia telah mempertaruhkan kebebasan
hidupnya dengan manusia aneh itu.
Karenanya dia harus menang.
*****
Sekarang, secara beruntun dia telah menangkan empat belas kali permainan, ia telah
memenangkannya secara memuaskan.
Semua pertaruhan yang sedang berlangsung dalam rumah perjudian itu praktis telah berhenti,
tapi tak seorangpun diantara mereka yang mampu pergi meninggalkan tempat itu.
Semua orang sedang menantikan perkembangan selanjutnya dari peristiwa tersebut.
Bu-ki pun sedang duduk menanti.
Ia sedikitpun tidak gelisah, bahkan jauh lebih tenang dari pada siapapun juga.
Ketika To Jiang dan Ting kang masuk ke dalam, ia segera tahu bahwa pemain-pemain
sandiwara telah datang.
Ketika berjalan masuk ke dalam ruangan, Ting Kang merasakan lambungnya seakan-akan ada
gumpalan bara api yang sedang membakar perutnya.
Setiap kali sebelum membunuh orang, dia selalu mempunyai perasaan seperti itu.
Dalam sekilas pandangan saja ia telah menemukan Bu-ki.
Rupanya Lau Pat telah melukiskan potongan tubuh orang itu dengan sejelas-jelasnya.
"Kalian harus pergi membunuhnya karena dia mempunyai dendam sakit hati dengan kalian
bukan aku yang suruh kalian membunuhnya, tentang soal ini kalian harus mengingatnya baikbaik!"
Tentu saja Ting Kang dapat memahami maksud hati dari Lau Pat.
320
Jikalau kedatangan mereka untuk membunuh orang adalah dikarenakan hendak membalas
dendam, itu berarti peristiwa tersebut sama sekah tiada hubungannya dengan rumah perjudian
tersebut, maka siapapun tak bisa mengatakan bahwa Lau Pat telah merusak peraturan rumah
perjudian.
Orang itu tampaknya tidak begitu keren atau mengerikan, seakan-akan seorang manusia yang
sama sekali tak berguna.
Dia hanya berharap bisa menyelesaikan parsoalan ini dengan cepat, agar diapun dapat cepatcepat
pergi mencari perempuan serta menyelesaikan persoalan sendiri.
*****
Jalan pemikiran To Jiang jauh lebih sempurna lagi.
Ia sedang berpikir apakah orang ini masih mempunyai pembantu ataukah mungkin ada orang
diantara penonton yang tiba-tiba turut campur di dalam urusan mereka.
Ketika diperhatikan, dalam ruangan itu hanya ada dua orang manusia yang tampaknya agak
menyolok.
Orang pertama adalah seorang laki-laki yang bertubuh tinggi, berwajah tampan dan
berdandan perlente, walaupun usianya paling tidak sudah mencapai tiga puluh tahun, namun
gayanya keren benar, tampaknya bukan saja sangat beruang, keluarganya pasti mempunyai
kekuasaan besar.
Untung saja bila seseorang mempunyai asal usul yang besar, biasanya dia paling enggan
untuk mencampuri urusan orang lain.
Lagi pula iapun dapat merasakan bahwa orang itu tidak mirip sahabat Bu-ki, maka To Jiang
pun tak ingin mencari gara-gara dengannya.
Orang kedua tidak bertampang bagus, sewaktu tidak tertawa dapat pula kita temukan
sepasang lesung pipitnya yang dalam, sepasang matanya besar dan lincah, dalam melihat
benda apapun, ia selalu menunjukkan sikap seakan-akan ingin tahu.
Andaikata dia benar-benar adalah seorang pria, jelas ia merupakan seorang laki-laki tampan
yang jarang ditemukan, cuma sayangaya rada kebanci-bancian.
To Jiang adalah seorang jago kawakan dari dunia persilatan, maka sekilas pandangan saja
telah diketahui olehnya bahwa dia adalah seorang perempuan yang menyaru sebagai seorang
pria.
321
Pandangannya terhadap kaum wanita, ia selalu mempunyai pendapat yang sama dengan Ting
Kang . . . Yang paling menakutkan buat perempuan ada diatas ranjang, bukan diujung
kepalan.
Oleh sebab itu ketika dengan sekali lompatan lebar Ting Kang melompat kehadapan Bu-ki,
diapun segera menyusulnya, kemudian sambil tertawa dingin serunya:
"Oooh, rupanya kau!"
*****
Bu-ki segera tertawa.
Dua orang ini betul-betul pandai bermain sandiwara, sejak semula ia telah menduga
permainan sandiwara macam apakah yang bakal dipertontonkan oleh kedua orang itu.
Dengan wajah membesi Ting Kang berseru: "Sudahlimatahun lamanya kami mencarimu,
sungguh beruntung jejakmu berhasil kutemukan pada hari ini, apa lagi yang bisa kau
katakan?"
Bu-ki segera tersenyum.
"Kalau begitu kalian datang mencariku, karena ada dendam sakit hati denganku?" katanya.
Pertanyaan yang diajukan itu persis seperti ucapan yang hendak mereka utarakan.
Dengan cepat Ting Kang menyahut:
"Tentu saja ada dendam, dendam sakit hati yang lebih dalam dari samudra . . . . "
"Oleh karena itu, kalian bertekad hendak membunuhku hari ini?" Bu-ki menyambung lagi.
"Yaa, kami akan membunuhmu sampai mampus!"
"Bolehkah aku membalas?"
Ting Kang tertawa dingin.
"Asal kau mempunyai kepandaian, mau membunuh kami berduapun juga boleh . . . " katanya.
"Sungguh?"
Ting Kang sudah enggan untuk ribut lagi dengannya, golok Yan leng to yang tersoren di
pinggangnya telah diloloskan dari sarung.
322
To Jiang pun telah mencabut pula pedang Siang bun kiam miliknya.
Sesungguhnya dia tidak gemar membunuh orang seperti Ting Kang, tapi persoalan ini
memang lebih cepat diselesaikan semakin baik lagi.
Bu-ki kembali berkata:
"Kalian ada yang menggunakan golok, ada pula yang menggunakan pedang, tentunya aku tak
akan melayani dengan tangan kosong belaka bukan . . . . . ?"
Dengan sinar mata yang tajam dia celingukan sekejap sekeliling tempat itu, kemudian serunya
lagi:
"Apakah di antara kalian yang hadir ada yang membawa pedang? Bolehkah meminjamkan
sebentar kepadaku?"
Tentu saja ada di antara mereka yang membawa pedang, tapi tak seorang manusiapun yang
senang terlibat dalam persoalan semacam ini.
"Kaupun pandai menggunakan pedang?" To Jiang bertanya.
"Yaa, bisa sedikit-dikit!"
To Jiang segera tertawa dingin.
"Ditanganku ada pedang, asal kau punya kepandaian, kau boleh mengambilnya sendiri!"
"Baik!"
Begitu, ucapan tersebut berkumandang keluar, pedang To Jiang telah berputar kencang di
tangannya, cahaya pedang yang menyilaukan mata segera memancar ke udara.
Menyusul kemudian Ting Kang dan To Jiang pun roboh terkapar di atas tanah.
Ting Kang dan To Jiang sebenarnya bukan manusia yang gampang roboh ke tanah.
Sewaktu berada di wilayah Liau-pak, mereka sudah tersohor sebagai jago-jago aliran "keras",
karena mereka benar-benar memiliki serangkaian kepandaian yang mengagumkan.
Tapi sekarang bukan saja mereka sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk menangkis
ataupun menghindar, bahkan gerakan apakah yang dipergunakan lawannya tak sempat pula
terlihat jelas, tahu-tahu seperti dua batang balok kayu yang dipegang orang, mereka roboh
terkapar dengan begitu saja.
323
Dalam waktu singkat itulah mereka berdua sama-sama sudah tertusuk oleh dua buah tusukan
menusuk persis di atas bagian tubuh mereka yang membuat kedua orang itu mau tak mau
harus roboh ke tanah.
Setelah terkapar di atas tanah, mereka masih tidak percaya kalau peristiwa itu adalah suatu
kenyataan.
Bu-ki sendiripun hampir-hampir tidak percaya dengan kenyataan itu.
Sebenarnya dia tidak ingin memperguna-kan pedang, tapi dia benar-benar tak tahan untuk
menjajalnya.
Dia ingin mencoba kepandaian ilmu pedangnya.
Terlalu besar yang telah ia bayar untuk mendapatkan kepandaian tersebut, maka dia ingin
tahu seberapa besar hasil yang telah diperolehnya itu.
Sekarang ia telah tahu.
Perasaan Lau Pat makin lama semakin tenggelam, ia masih belum tenggelam sama sekali,
sebab masih ada sebercik harapan yang dimilikinya.
Satu-satunya harapan yang dimilikinya yakni si Pincang Oh.
Tiba-tiba si Pincang Oh berkata:
"Agaknya aku datang ke mari pada tahun berselang bulan tujuh tanggal duapuluh tiga
bukan?"
" Yaa, agaknya memang benar!" Lau Pat mengangguk.
Pelan-pelan si Pincang Oh berkata lagi:
"Bukankah hari ini adalah bulan empat tanggal dua?"
"Benar!"
"Kalau begitu aku sudah berada di sini selama duaratus limapuluh hari tepat!" .
"Yaa, memang begitulah!"
"Setiap hari aku bersantap dua kali, nasi berikut arak paling tidak juga bernilai tiga tahil
perak".
324
"Tapi aku tak pernah memperhitungkan-nya!" kata Lau Pat.
"Kau tak pernah memperhitungkannya, aku telah menghitung dengan sangat jelas, dari dulu
sampai sekarang kau telah memberi delapan laksa tujuh ribu tahil perak, bila ditambah dengan
tujuh ratus limapuluh tahil uang nasi berarti semuanya berjumlah delapan laksa tujuh ribu
tujuh ratus limapuluh tahil perak"”
Tiba-tiba ia mengambil ke luar setumpuk uang dari sakunya dan diletakkan di hadapan Lau
Pat, kemudian katanya kembali:
"Semua uang itu berjumlah sepuluh laksa tahil perak, anggaplah aku telah mengembalikannya
kepadamu, uang pokok berikut bunganya".
Walaupun jumlah itu selangit banyaknya buat rakyat kecil, bagi seorang bandar judi sepuluh
laksa tahil perak tidak terhitung sejumlah uang yang besar.
Tentu saja Lau Pat merasa terkejut sekali dengan perbuatannya itu, cepat ia berseru:
"Kenapa kau mengembalikan semua uang itu kepadaku?"
"Karena aku takut mati!" Ternyata jawaban dari si Pincang Oh cukup jelas dan gamblang.
Setelah memandang sekejap ke arah Bu-ki, dia memberi penjelasan lebih jauh:
"Jika uang itu tidak kukembalikan kepadamu, berarti aku harus membantumu untuk
membunuh orang, itu berarti aku harus pergi mengantarkan kematianku sendiri".
"Kau pergi mengantar kematian?" Lau Pat berkata dengan nada tidak habis mengerti.
"Benar, siapapun yang berani maju ke depan, itu berarti dia sedang mengantar kematian
sendiri".
Paras muka Lau Pat berubah hebat.
Kembali si Pincang Oh berkata lagi:
"Tahun ini aku telah berusialimapuluh tahun, sebenarnya aku mempersiapkan uang yang
sepuluh laksa tahil perak itu untuk membeli tanah, mencari bini dan mempunyai beberapa
orang anak sambil hidup selama beberapa tahun lagi "
Setelah menghela napas panjang, ia melanjutkan lebih jauh:
325
"Tapi sekarang aku lebih suka mengembalikannya kepadamu, karena aku benar-benar takut
mati!"
Lau Pat dapat melihat, bahwa ia bukan sedang berbohong, untung saja uang yang diberikan
kepadanyapun bukan uang kertas palsu.
Terhadap seseorang yang sudah hampir jatuh bangkrut, uang yang sepuluh laksa tahil perak
itu tentu saja sangat berguna sekali.
Sekali cengkeram Lau Pat telah mencopot uang yang sepuluh laksa tahil perak banyaknya itu,
keadaannya ketika itu ibarat seseorang yang hampir mati tenggelam tiba-tiba berhasil
me-nangkap sebatang kayu balok untuk menyelamatkan diri.
Seharusnya uang modal yang berada dalam rumah judi ini masih ada tujuh delapan laksa tahil.
Maka dengan membusungkan dada, ia berjalan kehadapan Bu-ki dengan langkah lebar,
katanya dengan suara keras:
"Taruhanmu segera akan kubayar, kemudian kita boleh berjudi lagi ........
*****
Sekali bertaruh, kembali ia kalah.
Ia berusaha untuk melemparkan dadu lebih dulu, dia ingin sekali bisa meraih angka "Pa-cu"
yakni tiga enam tiga kali, sayang sekali dadu yang digunakan bukan dadu palsu, maka
kembali ia merasa tegang sekali.
Ketika dadunya dilempar maka angka yang berhasil diraihpun dua angka enam dan satu
angkalima.
Limatidak terhitung sebuah angka yang kecil.
Tapi ketika Bu-ki melemparkan dadunya dengan begitu saja, segera muncullah enam tiga kali,
dadunya tidak palsu, caranya bermainpun tidak palsu.
Tentu saja diapun tak bisa membayar taruhan itu dengan uang palsu pula.
"Kali ini kau harus membayar tiga puluh dua laksa tujuh ribu enam ratus delapan puluh
perak” demikian Bu-ki berkata.
Kali ini Lau Pat betul-betul sudah tenggelam, peluh dingin telah mengucur keluar dengan
derasnya membasahi sekujur tubuhnya.
326
"Bila kau ingin bertaruh lagi, maka kau musti membayar dulu semua kekalahanmu itu
kepadaku!" Bu-ki kembali berkata.
Setelah tertawa ewa ia menambahkan lebih jauh: "Jika kau tidak bertaruh lagi, maka baik atau
buruk kaupun musti membayar uang taruhan tersebut kepadaku."
Jilid 12________
LAU PAT sedang menyeka keringat.
Seseorang yang semakin tak punya uang keringatnya yang mengucur keluarpun semakin
banyak, semakin tak mampu mengganti semakin tak kering keringat yang disekanya.
Setelah termenung dan ragu-ragu beberapa waktu lamanya, dengan perasaan apa boleh buat
Lau Pat menggigit bibir dan berkata:
"Aku tak sanggup untuk membayar uang taruhanmu itu!"
Bu-ki tampak seperti tertegun setelah mendengar perkataan itu, sebab kejadian tersebut benarbenar
di luar dugaannya.
"Masakan uang yang hanya berjumlah tiga puluh laksa tahil lebih sedikit pun tidak sanggup
kau bayar? " katanya.
"Jangankan tigapuluh laksa lebih, tiga laksapun aku tak sanggup untuk membayar."
*Kalau sudah tahu tak mampu membayar, kenapa kau masih juga bertaruh denganku?"
"Karena aku ingin menangkan kembali uangku."
Jawaban tersebut terhitung pula sebuah jawaban yang jujur.
Barang siapa yang sudah kalah bertaruh, siapakah yang tak ingin menangkan kembali
modalnya? Tapi siapa yang ingin menangkan kembali modalnya, siapa pula yang bisa tak
kalah?
"Sekarang apa yang hendak kau lakukan?" Bu ki bertanya kemudian setelah termenung
sebentar.
"Aku sendiripun tak tahu apa yang musti kulakukan sekarang . . . ." Lau Pat gelengkan
kepalanya berulang kali.
Kenapa kau tidak berusaha untuk pergi meminjam kepada orang lain . . .?"
327
`Tapi ke manakah aku harus pergi meminjam?,
"Pergilah mencari saudara-saudaramu, atau mungkin juga pergi mencari teman-temanmu.`
Tiba-tiba Lau Pat tertawa keras, suara tertawanya seperti seseorang yang sedang menangis,
katanya: "Jika seseorang sudah hampir jatuh bangkrut, mana ada saudara lagi dan mana ada
teman lagi?"
Inilah pelajaran dan pengalaman yang harus dialaminya dengan perasaan yang tertekan dan
tersiksa, sebenarnya dia tidak ingin mengatakannya ke luar.
Tapi sekarang ia mengatakannya juga, karena hatinya benar-benar sudah dingin dan putus asa.
Semua orang lain telah menganggap pula bahwa ia benar-benar sudah menghadapi jalan
buntu, tapi kecuali seseorang.
Tiba-tiba ia berkata : "Kau keliru!"
KAU KELIRU
KAU keliru !" Orang yang mengucapkan kata-kata tersebut mempunyai logat yang istimewa,
nada perkataannyapun istimewa.
Suara itu diucapkan dengan nada yang rendah, berat dan asing, sekalipun seseorang yang
merupakan jago kawakanpun tak dapat membedakan suara itu berasal dari dialek propinsi
mana.
Nada suaranya seakan-akan membawa semacam kekuatan yang memaksa orang lain harus
menerima maksud hatinya itu.
Kalau dia mengatakan kau keliru, maka kau pasti keliru, bahkan kau sendiripun akan
merasakan bahwa dirinya pasti telah keliru.
Hal ini memang sesuai sekali dengan gayanya yang anggun dan perlente, dandanannya yang
necis dan sikapnya yang agung.
Dahulu ia jelas tak pernah berkunjung ke tempat itu, dulu diapun belum pernah berjumpa
dengannya.
Lau Pat tidak kenal dengan orang itu, katanya kemudian:
"Kau mengatakan bahwa aku keliru?"
Manusia asing yang berasal dari tempat tak dikenal itu menyahut:
328
"Yaa, kau bukannya sudah tak punya teman, paling tidak kau masih ada seorang teman
sekarang”
"Siapakah temanku itu?"
“Aku!"
Pelan-pelan ia berjalan kedepan.
Serta merta orang-orang yang berada di sekeliling ternpat itu menyingkir ke samping dan
memberi sebuah jalan lewat baginya.
Setibanya di depan Bu-ki, ia hanya menggumankan sepatah kata.
"Aku akan membayarkan ketiga puluh dua laksa tujuh ribu enam ratus delapan puluh tahil itu
bagimu!"
Ketika selesai mengucapkan kata-kata tersebut, setumpuk uang kertas telah berserakan di atas
meja.
Di dalam melakukan pekerjaan ia selalu berbuat seperti waktu berbicara, sederhana, singkat
lebih jauh, tapi jelas, sama sekali tidak bermain sabun.
Lau Pat tertegun.
Seorang manusia asing yang belum pernah dijumpai sebelumnya ternyata bersedia menjadi
sahabatnya dikala ia sedang menghadapi jalan buntu, bahkan secara sakarela mengeluarkan
pula sejumlah uang yang tak terhitung besarnya itu untuk membantunya.
Lau Pat bukan seorang manusia yang gampang dibuat terharu oleh kejadian apapun, tapi
sekarang secara tiba-tiba saja ia merasakan matanya rada basah, tenggorokannya seakan akan
tersumbat oleh suatu yang amat besar.
Lama sekali dia baru bertanya lagi.
"Benarkah kita adalah sababat?”
Orang asing itu menatapnya tajam tajam, lalu pelan-pelan men jawab:
"Setahun berselang, ada seorang sahabatku yang kalah ludas sewaktu berjudi di sini, kau
membiarkannya berhutang, bahkan tidak memaksanya, malahan memberi sangu uang jalan
kepadanya, masih ingatkah kau akan kejadian itu?"
329
Sambil menepuk bahu Lau Pat, dia berkata:
"Sejak hari itulah, kau adalah sahabatku!"
"Tapi . . . tapi itukan suatu kejadian kecil!"
"Kejadian tersebut bukan suatu kejadian kecil saja, karena orang itu adalah sahabatku!"
Asal mengucapkan kata "sahabat," maka nada suaranya segera akan berubah menjadi begitu
serius dan menaruh hormat.
Bukan saja ia memandang tinggi arti dari pada kata "hormat" tersebut, bahkan kata-kata itu
dipandang jauh lebih berharga dari pada apa pun juga.
"Mari kite pergil" katanya lagi sambil menarik tangan Lau Pat.
"Pergi? Kenapa harus pergi?"
"Kau sudah bangkrut di tempat ini, karena itu sambil mendongakkan kepala kau harus keluar
dari sini dan berjuang kembali untuk membangun usaha baru"
"Benar!" kata Lau Pat kemudian sambil mendongakkan kepalanya, "kita harus pcrgi!"
"Tunggu sebentar!" tiba tiba Bu ki berseru.
Sinar mata orang asing itu segera memancarkan sinar yang lebih tajam dari sembilu, dengan
dingin tegurnya
"Apakah kau masih akan bertaruh lagi?"
Bu ki tertawa .
"Sebenarnya aku memang ingin bertaruh lagi, karena hanya dengan bertaruh baru dapat
membuat keluarga orang hancur berantakan dan sepanjang masa tak dapat mendongakkan
kcpalanya kembali."
Begitu ia tertawa, maka codet di atas wajahnya itu seakan-akan merubah semuanya itu
menjadi luar biasa seramnya, begitu seram dan sadisnya hingga sukar dilukiskan dengan katakata.
Pelan-pelan ia berkata lebih lanjut:
"Sebenarnya aku telah bertekad untuk bertaruh dengannya sehingga dia bangkrut dan
mampus."
330
Orang asing itu sama sekali tidak bertanya:
"Kenapa?"
Karena ia tahu Bu ki pasti dapat menjelaskan sendiri.
"Karena setahun berselang, ada seseorang yang hampir mati di tangannya, dan kebetulan
sekali orang itupun seorang sahabatku."
Setelah tertawa ewa Bu-ki melanjutkan:
"Ia pernah membantu sahabatmu, maka kau membantunya, tapi dia ingin merenggut nyawa
sahabatku, maka sudah barang tentu akupun menginginkan pula selembar jiwanya."
Dengan gigi membayar gigi, dengan darah membayar darah, hal ini sudah lumrah dan berlaku
pada saat itu.
Meskipun pembalasan semacam ini agak kejam dan liar, tapi dendam sakit hati antara umat
persilatan hanya bisa diselesaikan pula dengan cara seperti itu.
Orang asing itu termenung beberapa waktu lamanya, lama sekali, dia baru bertanya:
"Sekarang apa yang ingin kau lakukan?"
Bu-ki menatap orang itu lama sekali, kemudian baru sahunya :
"Kau adalah seorang sahabat yang baik. Bisa berkenalan dengan seorang sahabat seperti kau,
sedikit banyak memang ada juga hal-hal yang menyenangkan, make dari itu. ."
Pelan-pelan ia mendorong seluruh tumpukan uang yang berada di hadapannya itu ke hadapan
orang tersebut.
"Maka dari itu sekarang juga aku minta kepada kalian untuk membawa pula semua benda
tersebut pergi dari sini."
Selesai mengucapkan kata-kata itu dia putar badan dan pergi dirisana, ia pergi dengan langkah
lebar dan sama sekali tidak berpaling kembali.
*****
Cuaca hari ini sangat cerah, matahari bersinar indah, anginpun berhembus silir semilir.
331
Bu-ki menarik napas panjang-panjang, mendadak ia merasakan hatinya gembira sekali, sudah
lama sekali dia tak pernah merasakan kcgembiraan seperti hari ini.
Dia selalu adalah seorang manusia yang berpikiran aneh.
Ia tak pernah memaksa orang lain, diapun tak ingin orang lain memaksanya, dia tak suka
berhutang kepada orang lain, karena itu diapun tak suka orang lain berhutang kepadanya.
Itulah kebiasaan yang aneh baginya.
Seperti juga kebanyakan manusia yang berperasaan sama, ketika suatu hutang telah berhasil
dibereskan, dia selalu akan merasakan betapa enteng dan senang hatinya.
Apalagi dia telah mencoba ilmu pedangnya, bahwa dia sendiripun merasa amat puas dengan
hasil yang berhasil diperolehnya itu.
*****
Tempat itu adalah sebuah lorong panjang yang sepi dan tiada manusia lain, ketika hampir
sampai di mulut lorong, ia sudah mendengar ada ujung baju tersampok angin berkumandang
dari atas atap rumah, gerakan itu sangat enteng dan cepat, jelas seseorang yang memiliki ilmu
meringankan tubuh yang amat sempurna.
Menanti ia sudah hampir tiba di mulut lorong tadi, orang itu sudah berdiri di bawah pohon
Pek-yang di luar lorong tersebut dan sedang menantikan kedatangannya.
Ternyata orang itu tak lain adalah si nona yang tak usah tertawapun kelihatan sepasang lesung
pipinya yang dalam itu.
Sekarang ia sedang tertawa.
Sambil bertolak pinggang dengan tangan sebelah dan memegang cambuk kuda dengan tangan
yang lain, ia memandang ke arah Bu-ki sambil tertawa manis.
Bu-ki tidak tertawa, diapun tidak menengok ke arahnya. Seakan-akan sama sekali tak terlihat
olehnya bahwa disanaada seorang manusia seperti itu, ia berjalan lewat di hadapannya tanpa
berkedip.
Sudah cukup banyak kesulitan yang dihadapinya, ia benar-benar tak ingin mencari kesulitan
lagi bagi dirinya sendiri.
Kesulitan biasanya akan datang bersama-sama dengan perempuan, terutama seorang gadis
cantik yang menyaru sebagai seorang pria.
332
Apalagi terhadap seseorang yang sudah jelas orang lain mengetahui bahwa dia adalah seorang
gadis yang sedang menyaru sebagai seorang lelaki, tapi ia sendiri justru mengira bahwa orang
lain tidak mengetahui kalau dia adalah seorang perempuan.
Jika perempuan semacam ini membawa pula sebuab cambuk, maka bila kau sampai bertemu
dengannya, jalan terbaik adalah mengambil langkah seribu.
Bu-ki memilih sebuah cara yang baik, sayangnya sekali cara itu yang terbaik kadangkala bisa
mendatangkan pula ketidak manjuran.
Baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba bayangan manusia berkelebatan lewat, seorang
manusia yang memegang cambuk kuda di tangan kanannya telah berdiri tepat dihadapan
mukanya.
Asal kau maju satu dua langkah lagi ke depan, kemungkinan besar hidungmu akan saling
beradu dengan hidungnya.
Entah dia itu seorang laki ataupun seorang perempuan, dia tak ingin hidung mereka saling
beradu.
Maka terpaksa dia harus berhenti.
Si nona yang menyaru sebagai seorang laki-laki itu melotot ke arahnya dengan
mempergunakan sepasang matanya yang besar dan jeli, lalu tegurnya:
"Apakah kau adalah seorang manusia bermata buta yang tak dapat melihat orang?"
Tentu saja dia bukan.
Maka Bu ki menggeleng, karena dia bukan seorang buta.
"Apakah aku adalah seorang manusia yang tanpa wujud?" kembali gadis itu bertanya.
Sekali lagi Bu ki harus menggelengkan kepalanya.
Sambil menatap ke atas wajahnya dengan mata yang melotot besar, gadis itu berkata lebih
jauh:
"Kalau memang begitu kenapa kau tidak menengok diriku?"
"Karena aku tidak kenal denganmu!" akhirnya Bu-ki harus menjawab pula dengan pelan.
Alasan tersebut memang suatu alasan yang paling baik, sebab barang siapa sudah terkena
batunya, biasanya dia akan putar badan dan angkat kaki darisana.
333
Tapi hal tersebut ternyata terkecuali untuk si nona tersebut.
Dia malah tertawa tergelak, lalu serunya. "Apa salahnya kalau memang tidak kenal? Siapakah
yang akan saling mengenal sejak dilahirkan di dunia? Kau tak usah merasa tak enak hati, aku
tak akan menyalahkan dirimu!"
Terpaksa Bu-ki harus membungkam diri dalam seribu bahasa.
Tiba-tiba ia merasa bahwa sekalipun kau mempunyai alasan yang bagaimanapun kuatnya,
percuma saja bila dibicarakan dihadapan nona itu, sebab urusan tak bakal akan beres.
Sambil menuding ujung hidung sendiri dengan cambuk kudanya, nona itu memperkenalkan
diri:
"Aku she Lian, bernama Lian It-lian, yang berarti sekuntum bunga teratai"
Setelah tertawa ia berkata-lagi:
"Jika kau beranggapan bahwa nama tersebut adalah nama seorang perempuan maka
dugaanmu itu keliru besar, sebab pada jaman dahulu dalam dunia persilatanpun terdapat
seorang jago gagah yang bernama It-to- lian-hoa (sekuntum bunga teratai) Liu Tek-tay!"
Bu-ki masih juga membungkam diri.
Lian It-lian telah menunggu sekian lama, karena belum ada jawaban juga yang kedengaran,
tak tahan ia berkata lagi:
"Aku telah selesai berkata, kenapa kau masih belum juga berbicara . . .
"Aku hanya ingin mengucapkan dua patah kata saja!" ucap Bu ki kemudian.
"Due kata yang mana?"
"Sampai jumpa!"
“Sampai jumpa” biasanya berarti tidak sampai berjumpa lagi.
Setelah mengucapkan sampai jumpa, sebetulnya ia benar benar akan “Sampai jumpa”, siapa
tahu ia benar benar telah berjumpa lagi.
Walaupun nona itu seakan akan tidak begitu mengerti tentang segala persoalan, tapi ilmu
meringankan tubuhnya benar benar tak terkirakan hebatnya.
Baru saja Bu Ki memutar badannya, tahu tahu dia sudah menanti di hadapannya, sambil
menarik muka tegurnya:
“Hei, sebearnya apa maksudmu?”
334
Sekalipun dia sedang menarik muka, tapi sepasang lesung pipitnya justru tampak makin jelas.
Bu Ki sama sekali tidak menikmati sepasang lesung pipitnya itu, bahkan sambil menarik
muka pula katanya:
“Aku sama sekali tidak mempunyai maksud apa apa, aku hanya ingin cepat cepat sampai
jumpa!”
“Sekarang bukankah kita telah berjumpa lagi?”
Setelah tertawa dia menambahkan:
“Bil kau ingin cepat cepat sampai jumpa lagi, maka akupun segera pula berjumpa lagi
denganmu, bukankah hal ini bagus sekali?”
Bu Ki benar benar dibikin bodoh.
Ia benar benar tidak menyangka kalau dalam dunia benar benar terdapat manusia semacam
ini.
Terdengar Lian It lian berkata lebih jauh
“Kalau toh kita sudah berjumpa lagi sekarang, maka kau harus mengakui pula akan hal ini,
nah sekarang kau mesti beritahu kepadaku, siapa namau? Darimana kau mempelajari ilmu
pedangmu itu?”
Ternyata gadis itu bukannya benar benar tak punya aturan, diapun bukan sungguh sungguh
bermuka tebal, dia hanya ingin mengetahui nama Bu Ki serta asal usul ilmu pedangnya.
Tentu saja Bu Ki sendiripun bukan sungguh sungguh menjadi bodoh.
Dia seperti sedang mempertimbangkan hal itu, lama sekali dia termenung, kemudian baru
katanya:
“kupun ingin sekali memberitahukan kepadamu, sayangnya akupun merasa amat takut”
“Apa yang kau takuti?”
"Takut bini, aku takut sekali dengan bini aku”
Lian It lian segera tertawa.
"Bukan cuma kau seorang yang takut bini, katakan saja dengan berterus terang, aku
takkanmentertawakan dirimu."
"Bila kau tidak mentertawakan aku, aku lebih-lebih tak boleh mengatakannya kepadamu."
"Kenapa?"
335
"Sebab aku selalu menuruti perkataan dari biniku, apa yang dia suruh aku lakukan, akupun
segera melakukannya tanpa membantah, Jika dia melarang aku melakukan sesuatu, aku pasti
tak akan melakukan apa yang telah dilarang kepadaku itu."
Bukan saja dia mengucapkan banyak sekali perkataan, bahkan kata-kata itu semrawut dan
tidak jelas kedengarannya.
"Apakah dia melarang kau berbicara?" tanya Lian It lian kemudian dengan wajah tercengang,
"Ia mengizinkan aku berbicara, tapi tidak mengizinkan aku berbicara dengan laki tidak laki
perempuan tidak perempuan dan manusia yang perempuan menyaru sebagai lelaki."
Lian It lian tidak tertawa lagi? Sepasang pipinya kontan berubah menjadi merah padam,
sambil melompat bangun ia tertawa dingin tiada hentinya.
"Kalau kau tak mau bicara, memangnya aku tak dapat melihatnya sendiri....? " bentaknya.
Lompatannya itu mencapai ketinggaan tujuh delapan depa lebih, belum lagi habis berbicara
tahu-tahu ia sudah mengayunkan cambuknya ke bawah dari tengah udara.
Meskipun senyumannya manis, tapi caranya melancarkar seranganpun amat ganas, jika hal ini
terjadi pada setahun berselang. sekalipun Bu-ki dapat menghindari serangan cambuk yang
pertama, belum tentu ia dapat menghindari serangannya yang kedua.
Serangan gadis itu sejurus demi sejurus menyambar ke bawah tiada hentinya, mana cepat
ganasnya bukan kepalang.
Bila setahun berselang dia diserang semacam begini, kemungkinan besar Bu-ki sudah terhajar
sebanyak tujuh-delapan puluh kali banyaknya.
Untung saja Bu-ki yang sekarang bukan lagi Bu-ki pada setahun berselang . . . .
Sekalipan serangan cambuknya amat cepat, cara Bu-ki untuk menghindarpun jauh lebih cepat.
Sekalipun serangan cambuknya bagaikan ular berbisa yang mencari korban, jangankan
melukainya, untuk menjawil ujung bajunyapun tak mampu.
Dia hanya menghindar terus, sama sekali tidak membalas.
Bila gadis itu ingin mengetahui asal usul dari ilmu pedangnya, maka diapun ingin pula
mengetahui asal usul dari ilmu silatnya.
Sayang sekali ia tak berhasil untuk mengetahui hal tersebut. Ternyata ilmu silat yang dimiliki
nona itu benar-benar terlampau kacau, macam gado-gado.
336
Mungkin saja hal ini dikarenakan ilmu silat yang dipelajarinya terlampau beraneka macam,
maka dari itu tenaga dalamnya sukar ditingkatkan mutunya.
Secara lamat lamat Bu-ki dapat mendengar dengusan napasnya yang makin lama makin
ter-sengal, wajahnya pun makin lama semakin memucat, tiba-tiba saja ia berdiri tak berkutik.
Tentu saja Bu-ki tiada maksud untuk menggunakan kesempatan tersebut untuk mencari
kemenangan.
Dia hanya ingin cepat-cepat pergi dari situ.
Ia belum juga pergi, karena secara tiba-tiba nona itu membuang cambuknya lalu mendekap
ulu hatinya dengan sepasang tangan, dengusan napasnya makin lama makin menderu, paras
mukanya makin lama pun semakin menakutkan, seakan-akan telah menderita luka dalam
yang cukup parah.
Padahal Bu ki tahu, jangankan melukainya, menjawil seujung rambutnyapun tidak.
Lian It lian menatapnya tajam-tajam, seolah-olah ingin mengucapkan sesuatu, tapi belum
sempat mengucapkan sesuatu, mendadak ia roboh terkapar ke tanah dan tak berkutik lagi.
Bu ki menjadi tertegun.
Dia bukannya seorang manusia yang terlalu menaruh curiga kepada orang lain, tapi mau tak
mau dia musti bersikap lebih waspada dan berhati hati lagi .
. . . . Apakah si nona itu sedang bermain sandiwara?
Ia tak ingin tertipu, tapi iapun merasa tak baik untuk berlalu darisanadengan begitu saja.
. . Kalau ia bukan lagi bersandiwara? Kenapa pula tiba-tiba bisa berubah jadi begitu?
Jangankan memukul, menyentuhpun tidak, tapi kenapa ia roboh mendadak? Sekalipun
penyakit lamanya tiba tiba kambuh, toh mustahil kalau langsung berubah seserius itu.
Apalagi barusan ia tampak begitu gagah, sehat dan segar seperti sekuntum bunga mawar yang
merah, segar tapi penuh berduri.
Bu-ki bersiap-siap akan pergi dari situ.
Ia tak ingin kena ditempelang olehnya sewaktu menundukkan kepala untuk memeriksa
keadaannya nanti.
337
Sudah amat jauh pemuda itu pergi, tapi si nona tersebut masih berbaring tak berkutik dl
tempat semula.
Bisa waspada dan berhati hati, meski merupakan tindakan yang bagus, tapi melihat orang
kesusahan tanpa ditolong bukanlah watak yang dimilikinya. . . . . . walaupun bakal tertipu,
baik buruk dia harus menerimanya juga untuk kali ini saja.
Ia segera berjalan kembali, jauh lebih cepat dari pada sewaktu berlalu darisanatadi.
Ia membungkukkan badannya lebih dulu untuk memeriksa dengusan napasnya.
Napas itu lirih dan lemah.
Lalu ia meraba jidatnya, jidat itu dingin seperti es.
Dengan cepat ia menarik tangannya.
Tangan tersebut lebih dingin lagi, bahkan jari-jari tangannya telah membeku denyutan
nadinya begitu lemah dan lirih hampir saja tak terdengar lagi.
Bu-ki mulai gelisah, ia tak tahu apakah jantungnya masih berdetak atau tidak?
Teringat sampai di situ, ia segera memeriksanya dengan seksama, dalam keadaan begini ia tak
mau berpikir terlalu jauh, sebab dalam hatinya tak pernah terlintas niat jahat atau niat cabul
lainnya.
Dengan sangat berhati-hati, telapak tangannya ditempelkan di atas dadanya dan kemudian
dengan cepat ia berhasil membuktikan dua persoalan.
Jantungnya masih berdetak.
Dia adalah seorang perempuan, perempuan asli yang masih hidup segar.
Tapi si gadis yang lebih segar dari sekuntum bunga mawar tadi, kini telah berubah menjadi
seuntai rumput kering yang layu dan nyaris tak bernilai lagi.
Lantas apa yang harus dia lakukan?
Tentu saja ia harus menghantarnya pulang, sayang ia sama sekali tak tahu di manakah tempat
tinggalnya?
Iapun tak dapat membawa pulang ke tempat di mana ia menginap sekarang.
338
Dua hari terakhir ini ia tinggal di rumah penginapan, tapi membopong pulang seorang nona
gede yang setengah hidup setengah mati ke dalam rumah penginapan, rasanya bukan suatu
perbuatan yang baik.
Kalau ia membuangnya di situ dan tidak mengurusinya lagi, tentu saja hal ini lebih-lebih
merupakan suatu perbuatan yang tak baik.
Bu-ki menghela napas panjang, dibopongnya nona itu dari tanah, ia bersiap-siap mencari
seorang tabib untuk memeriksakan dulu penyakitnya. .
Waktu itulah tiba-tiba muncul sebuah kereta kosong yang sedang lewat.
Menjumpai kereta kosong tersebut, keadaan Bu-ki ibaratnya seorang yang hampir mati
tenggelam tiba-tiba bertemu dengan sebuah perahu.
Buru-buru ia lari ke depan dan menghadang kereta tersebut.
"Tahukah kau ditempat mana aku bisa temukan seorang tabib di sekitar sini?"
Kakek tua si kusir kereta itu segera tertawa.
"Kau dapat mencari aku, sesungguhnya telah mencari orang yang paling tepat!"
Sekalipun si kusir kelihatannya sudah tua, loyo dan tak bertenaga lagi, namun ia dapat
melarikan kereta tersebut secepat terbang.
Si nona gede sepetti mawar merah itu masih juga macam seuntai daun kering, begitu loyo,
sayu dan dingin hingga sedikitpun tidak membawa tanda kehidupan lagi.
Tiba-tiba Bu-ki teringat, semestinya ia harus membawa nona itu untuk menjumpai Ciau In.
Perkumpulan Tay hong tong membuka kantor cabanya di sini, Ciau In adalah Tongcu dari
kantor cabang itu, seperti pula namanya, dia adalah seorang mausia pilihan yang mantap dan
tenang, paling cocok kalau ditugaskan mengurusi pelbagai persoalan penting.
Tapi kemudian iapun berpikir kembali, andaikata Ciau In sampai salah sangka akan
hubungannya dengan nona tersebut, sudah pasti urusan akan bertambah runyam.
Seseorang bila telah bertemu dengan persoalan semacam ini, rasanya ia tak bisa berbuat lain
kecuali menerima kesialan tersebut.
Baru saja ia menghela napa di hati, krereta itu telah berhenti, berhenti tepat di pinggir sebuah
sungai yang sepi, bukan saja tak nampak si Tabib yang akan memeriksa penyakit si nona,
malah setengah potong bayangan manusiapun tak nampak.
339
Jangan jangan kakek loyo kusir kuda itu adalah seorang anggota Liok lim yang biasa bekerja
sebagai “totokan” (penodong dengan senjata)?
Tampak kakek loyo itu mengayunkan cambuk kudanya ke udara hingga berbunyi “Taaarr,
taarrr....!”, kemudian serunya dengan lantang:
“Telah kubawa ke mari dua ekor kambing gemuk, satu jantan satu betina, satu mampus satu
hidup!”
“Kiriman kuterima...” dari balik alang alang sungai segera terdengar seseorang menyahut.
*****
Bunga alang alang belum memutih, dari balik ilalang yang lebat tapi gundul itu, tiba tiba
meluncur ke luar sebuah sampan kecil.
Seorang nelayan yang memakai topi lebar terbuat dari anyaman bambu dengan baju jas hujan,
menutulkan sebuah galah panjang ke dasar sungai, meluncurlah sampan itu ke depan dengan
kecepatan luar biasa.
Topi lebarnya dikenakan sangat rendah hingga hampir menutupi sebagian besar wajahnya, Bu
Ki tak dapat melihat raut wajah orang itu.
Bu Ki pun tidak kenal dengan nelayan tersebut.
Ternyata ia tidak menanyakan soal ini kepada si kakek kusir kereta, padahal seorang tabib
yang dicari, kenapa ia membawa mereka menjumpai seorang nelayan.
Iapun tidak bertanya siapakah nelayan itu.
Sang nelayan hanya mengucapkan sepatah kata: "Naiklah ke perahu!"
Bu-kipun membopong nona itu dan melompat naik ke atas sampan kecil tersebut.
Seorang yang tadi masih bertindak hati-hati dan penuh kewaspadaan, kenapa sekarang secara
tiba-tiba bertindak begitu gegabah?
Galah panjang di tangan nelayan itu sedikit menutul di dasar sungai, sampan kecilpun
meluncur ke tengah sungai.
Kakek kusir kereta menjalankan pula keretanya meninggalkan tempat itu, cuma ia sempat
berteriak kembali:
"Kambing gemuk telah diantar datang, sampai kapan arak wangi bisa diambil?"
340
"Empat guci arak wangi, besok pasti sudah dikirim, segucipun tidak berkurang" jawab sang
nelayan dengan suara lantang.
Kereta itu berlalu dengan cepat meninggalkan tempat itu, dalam sekejap mata hanya debu
yang beterbangan di udara.
Sampan kecil itupun telah berada di tengah sungai.
Baru saja Bu-ki membaringkan si nona dalam ruang perahu, nelayan itu telah meletakkan
galah panjangnya dan berjalan mendekat.
Sampan kecil mulai berputar-pu.tar di tengah sungai.
Nelayan itu menatap wajah Bu-ki, kemudian sambil tertawa dingin tiba-tiba tanyanya:
"Kau dapat berenang?"
"Bisa sedikit!" jawab Bu-ki.
"Apa artinya bisa sedikit?"
"Bisa sedikit artinya aku tak akan tenggelam bila tercebur ke dalam air, tapi bila ada orang
menarik kakiku, maka tak mau tenggelampun terpaksa aku musti tenggelam juga."
"Sungguh tak kusangka kau begitu jujur dan berterus terang!"
"Aku memang jujur!"
"Tapi kadang kalapun orang jujur tak boleh berbicara jujur!"
"Kenapa?"
"Sebab bila terlampau jujur, maka ia bakal kebobolan uangnya!"
"Aah, baik-baik begini masa uangku bakal kebobolan? Yang benar saja!"
Nelayan itu tertawa dingin tiada hentinya.
"Kau tak usah berlagak goblok." katanya, "aku ingin bertanya kepadamu, kau ingin harta atau
nyawa?"
"Aku inginkan kedua duanya!"
341
"Kau tidak kuatir kuceburkan dulu dirimu ke dalam air, lantas menarik kakimu hingga
tenggelam?"
"Aku kuatir!"
"Kalau begitu lebih baik serahkan saja semua uangmu tanpa melawan, aku tahu banyak juga
hasil yang berhasil kau raih dari tempat Lau Pat-ya hari ini."
Bu-ki menghela napas panjang, kemudian tertawa getir.
"Aaaai, rupanya sudah semenjak tadi kau mengincar diriku!" pekiknya.
"Ah, tak usah banyak omong!" bentak nelayan itu keras, "mau kau serahkan tidak?"
"Tidak!"
"Kau pingin mampus?"
"Tidak!"
"Lantas apa yang kau inginkan?" tanya sang nelayan tak tahan, rupanya ia merasa agak
keheranan.
"Aku ingin keempat guci arak wangi itu kau hidangkan kepadaku, dan kita menikmatinya
bersama," ujar Bu-ki pelan.
Nelayan itu jadi tertegun.
Belum lagi penodong mendapatkan hasil todongannya, ia malah kena ditodong duluan, ini
baru lucu namanya!
"Hei, aku lihat kau punya penyakit mungkin?" seru nelayan itu kemudian tak tahan.
"Tidak! Aku sama sekali tidak mengidap penyakit apa-apa!"
"Dengan dasar apa kau anggap aku bukan saja tak akan menodong uangmu bahkan akan
mengundangmu minum arak?"
"Dengan dasar apa pula kau anggap diriku ini seorang telur busuk yang goblok?" Bu-ki balik
bertanya sambil tertawa lebar.
"Siapa yang menuduhmu sebagai telur busuk yang goblok?"
342
"Kalau aku bukan seorang telur busuk yang goblok, memangnya aku suka menaiki sampanmu
secara begitu ceroboh dan gegabah?"
Nelayan itu jadi tertegun dibuatnya.
"Jadi kau sudah kenali diriku semenjak tadi?" ia bertanya.
"Tentu saja!"
"Lantas siapakah aku ini?"
"Kau adalah si setan judi paling sial yang tiada tandingamnya di kolong langit, karena jumlah
kekalahan yang pernah kau alamipun tak pernah bisa disusul orang lain!"
Nelayan itu jadi bodoh dibuatnya.
Bu ki tertawa terbahak-bahak, tapi pada saat ia sedang tertawa paling gembira itulah , tibatiba....
"Plok!" bunyi amat nyaring bergema memecahkan kesunyian.
Suara itu berasal dari pipinya, ternyata sebuah tamparan paling halus, tapi paling keras telah
mampi di situ"
Bu-ki ikut dibikin bodoh jadinya.
Ternyata menggunakan kesempatan dikala mereka sedang tidak menaruh perhatian, nona Lian
itu sudah melompat bangun, waktu itu ia sedang melotot ke arahnya dengan sepasang
matanya yang besar seperti gundu, lalu sambil tertawa dingin ujarnya:
"Dengan dasar apa kau berani meraba tubuhku lalu membopong aku? Kalau bukan aku yang
menempelengmu siapa pula yang akan menempelengmu?"
Bu-ki tidak berdebat.
Dia sendiri seharusnya sudah tahu, ia meraba dadanya karena dia hendak menolongnya.
Ya, apa lagi yang dapat dibicarakan bila menghadapi seorang perempuan tak tahu aturan itu?
Belum lagi sang nelayan memahami duduk perkaranya, tiba-tiba berkumandang kembali
sebuah suara nyaring . . . . "Plok!"
Kali ini suara tersebut bukan berasal dari wajah Bu-ki, tapi muncul dari atas wajah si nona itu.
343
Diapun kena ditempeleng satu kali.
Nona itu terbodoh dibuatnya, dengan kaget ia memandang ke arah Bu-ki, lalu serunya
tergagap:
"Kau , . . kau berani memukul orang?"
"Kalau kau berani memukul, kenapa aku tak berani?
"Aku boleh memukulmu, kau tak boleh memukulku."
"Kenapa?"
Karena . . . karena . . ." saking gelisahnya nona Lian mendepak depakkan kakinya ke lantai
perahu, "kaukansudah tahu bahwa aku adalah seorang perempuan."
"Perempuan itu manusia atau bukan sih"
"Tentu saja manusia!"
"Nah, kalau memang perempuan boleh memukul lelaki, kaum lelaki kan boleh juga memukul
perempuan?"
Lian It-lian gelisah bercampur mendongkol tapi apa mau dikata ia tak sanggup menghadapi
ketajaman mulut orang.
Bila seorang perempuan tak mampu menandingi orang lain, seringkali mereka akan
pergunakan cara yang sama . . . nekad !
Tiba-tiba ia melompat lompat seperti orang gila, kemudian teriaknya dengan gemas:
"Kau berani meraba dadaku, membopong aku sekarang menempeleng aku pula, aku tak ingin
hidup, aku ingin mati saja dihadapanmu!"
Tiba-tiba ia lari kedepan dan. . "Pluung!" menceburkan diri ke dalam sungai.
*****
BUNGA TERATAI BERDURI
ARUS sungai yang amat deras!
Begitu melompat ke air, tubuhnya tak pernah muncul kembali di atas permukaan.
344
Tak tahan Bu-ki bertanya:
"Dalamkah air di sini?”
"Tidak terhitung terlampau dalam," sahut sang nelayan, "cuma, kalau untuk menghanyutkan
beberapa orang nona seperti dia sih masih belum menjadi persoalan."
Bu-ki tertawa dingin.
"Toh bukan aku yang mendorongnya mencebur ke air, mati hidupnya apa pula sangkut
pautnya denganku?”
"Oh, tentu saja tak ada sangkut pautnya, sedikitpun tak ada sangkut pautnya.”
"Apalagi perempuan tak tahu aturan macam dia memang lebih baik mampus saja daripada
hidup."
"Bagus, bagus sekali, memang bagus sekali!"
Perkataannya itu belum lagi selesai diucapkan, tiba-tiba . . . . "Plung!"
Bu-kipun menceburkan diri ke sungai.
Air itu bersih sekali, namun dinginnyapun bukan kepalang..
Bisa berenang dalam sungai yang berarus deras dalam udara semacam ini memang terhitung
pula satu kejadian yang menyenangkan.
Sayang Bu-ki sedikitpun tidak merasa gembira.
Baru saja tubuhnya tercebur ke air, ia lantas merasa ada orang yang sedang menarik kakinya,
dalam waktu sekejap ia sudah meneguk air sungai beberapa tegukan.
Walaupun air sungai itu bersih lagi dingin, namun meneguk air deagan cara semacam itu
memang kurang begitu nyaman.
Apalagi ketika air diminum lewat mulut, kemudian harus disembur ke luar lewat lubang
hidung, oh! Betapa tersiksanya perasaan semacam itu.
Bahkan ia sendiripun tak tahu berapa teguk sudah air sungai yang ia teguk, iapun tak tahu
berapa banyak yang masuk ke perut dan berapa banyak yang tersembur ke luar lagi lewat
hidung.
345
Sekarang dia baru tahu, bagaimanapun tenangnya seseorang, bila sudah tercebur ke sungai
dan meneguk beberapa teguk air sungai, maka ia lantas akan berubah jadi pusing tujuh
keliling, sedemikian pusingnya sehingga tak sanggup lagi membedakan mana timur mana
barat, utara atau selatan. . .
Dengan susah payah tangannya berhasil juga menyambar sebuah benda, agaknya sebuah
galah bambu yang panjang, akhirnya muncul juga kepalanya dari permukaan air.
Si nona Lian telah berada di pantai, ia sedang memandangnya seakan-akan lagi menertawakan
dan mengejeknya.
"Di atas tanah aku tak sanggup mengalahkanmu, terpaksa aku musti memberi sedikit
pelajaran dalam air, akan kulihat dikemudian hari kau berani memukuli perempuan lagi atau
tidak?"
Menunggu ia tersadar sama sekali, nona itu sudah lenyap, sebaliknya si nelayan itu sedang
memandang ke arahnya sambil tertawa.
"Ternyata kaupun seorang setan yang lagi sial, kalau aku adalah si setan judi yang sial, maka
kau adalah si setan perempuan yang sial, tampaknya kau jauh lebih siap dari pada aku."
Si Setan bertaruh yang sial ini sudah barang tentu adalah Samwan Kong.
*****
Bu-ki mengaku bahwa dirinya sedang sial.
Tapi ia sama sekali tak marah.
Memang begitulah romantikanya orang hidup, kadangkala apes, kadangkala mujur.
Dikala lagi mujur, ia tak pernah bersikap terlalu gembira hingga lupa daratan, dikala sial
diapun tak pernah terlalu marah dan sedih.
Sambil tertawa terkekeh-kekeh Samwan Kong sedang memandang kearahnya, lalu berkata:
Biasanya kesialan seseorang seringkali datang karena dicari sendiri . . . .!"
"Kalau sialku ini bukan kucari sendiri!"
"Dia toh seorang nona muda, masakah tanpa sebab tanpa musabab ia datang mencari mu?"
seru Samwan Kong tertawa.
Tapi memang begitulah kenyataannya, nona itu bersikeras mencarinya tanpa sebab musabab.
346
Tapi Bu-ki sudah tak ingin membicarakan lagi persoalan itu, katanya:
"Kenapa kau tidak bertanya kepadaku, kenapt aku dapat mengenali diriku ?"
"Ya, aku memang hendak menanyakan persoalan ini kepadamu!"
Topi lebar yang dipakai rendah-rendah hingga menutupi sebagian besar wajahnya itu segera
dilepaskan, sekarang Bu-ki baru bisa melihat bahwa raut wajahnya sama sekali telah berubah,
kini wajahnya berubah menjadi begitu suram menggidikkan hati dengan sepasang mata mati
yang mendirikan bulu roma orang.
"Raut wajahmu itu tampaknyapun tidak terlalu hebat, lebih baik kenakan saja topi lebarmu
itu!" ujar Bu-ki..
"Tapi raut wajahku ini jauh lebih berharga dari pada raut wajahku yang dahulu."
“Oya?"
"Apakah tidak kau lihat bahwa aku sedang mengenakan selembar kulit manusia?"
Setelah tertawa tergelak, ia berkata lebih jauh:
"Aku rasa kulit wajah ini mungkin sekali adalah kulit wajah yang paling mahal di dunia saat
ini, konon buatan dari Jit-kiau-tongcu (bocah berkepandaian sakti) pribadi, coba lihatlah !
Bagaimana pendapatmu?"
"Bagus sekali!"
Topeng kulit manusia itu memang amat sempurna pembuatannya, seandainya ia tidak
me-ngatakannya sendiri, sekalipun berada di bawah cahaya matahari, orang lainpun sulit
untuk me-lihatnya dengan jelas.
"Tapi sebelum naik ke atas sampan, kau telah mengenali diriku," seru Samwan Kong.
"Aku tak usah mesti melihat dulu wajahmu!" Bu-ki menerangkan.
"Kau dapat mengenali suaraku?"
"Tepat sekali!"
"Sudah hampir setahun lamanya kita tak pernah bersua muka, tadipun aku cuma
mengucapkan sepatah kata, masakah kau dapat menangkap suara siapakah itu?"
347
"Sekalipun sepuluh tahun tak pernah bersua, aku tetap dapat mengenali suaramu!"
Samwan Kong segera menghela napas panjang
"Aaai ....tampaknya bukan cuma kepandaianmu saja yang hebat, lagi pula permainan setanmu
juga tak sedikit jumlahnya".
"Apakah raut wajahkupun banyak berubah?" tanya Bu-ki kemudian!.
"Yaa, banyak sekali perubahannya!"
"Apakah kau yang menyuruh kereta kuda itu pergi menjemputku?"
"Betul!"
"Dari mana kau bisa tahu kalau aku berada disana? Apakah masih ada orang yang dapat
me-ngenali aku sebagai Tio Bu-ki?"
"Kalau di tempat lain aku tak tahu, tapi di sekitar tempat ini tampaknya memang masih ada
seorahg".
"Siapakah dia?"
"Aku!" jawab Samwan Kong cepat.
Sesudah tertawa lebar, ujarnya lebih jauh:
"Meskipun wajahmu telah berubah, codet di atas wajahmu masih belum berubah, codet
tersebut adalah tanda khusus, yang kutinggalkan sendiri di atas wajahmu, mana mungkin aku
tidak kenal?" .
Wajah Bu-ki pernah tersambar robek oleh pasir beracun yang amat jahat, waktu itu memang
dialah yang turun tangan sendiri memotong daging beracun yang ada di atas pipinya itu,
sehingga sampai sekarang tertinggallah sebuah codet besar seakan-akan sebuah senyuman.
Tentu saja selama hidup Bu-ki tak akan melupakan peristiwa tersebut ........
Sambil tertawa Samwan Kong kembali berkata.
"Kalau kau masih ingat bahwa kepandaianku kalah dalam bertaruh nomor satu di kolong
langit, maka seharusnya kaupun tak akan lupa kalau kepandaianku dalam mencari orangpun
nomor satu di kolong langit, bahkan Siau Tang lo pun kutemukan, kenapa kau tak dapat
kutemukan?"
348
"Apakah tahun ini kau kembali pergi mencarinya?"
"Tahun ini tidak!"
"Kenapa?"
"Sebab aku tak ingin membawa kesulitanku kepadanyasana, sudah terlampau banyak
kesulitan yang dia hadapi."
"Oleh karena itu kaupun tidak pergi ke tempat tinggalnya Bwe hujin?"
"Aku lebih-lebih tak boleh mendatangkan segala kesulitan baginya."
"Sesungguhnya kesulitan apakah yang kau maksudkan?"
Samwan Kong tidak langsung menjuwab, dari sakunya ia mengeluarkan sebuah bungkusan
kecil yang terbuat d:ri kertas minyak.
Ia mengelupas kertas minyak bagian luar, di dalamnya masih terdapat dua lapis bungkusan
dari kain kasar, setelah kedua lapisan tersebut dilepas maka tampaklah sebatang senjata
rahasia yang memancarkan sinar gemerlapan.
Itulah senjata rahasia duri beracun dari keluarga Tong yang telah menggetarkan seluruh
kolong langit.
Keluarga Tong dari wilayah Suchuan yang tersohor karena senjata rahasia beracunnya!
*****
Sang surya telah tenggelam dilangit sebelah barat.
Di bawah timpaan sinar matahari menjelang senja, Tok-ci-li atau Duri beracun tersebut
tampak terbuat dari tigabelas lembar daun baja yang kecil dan lembut sekali, bukan cuma cara
buatannya saja yang indah dan bagus lagi pula setiap lembar daun baja tersebut memancarkan
cahaya yang berbeda, hingga tampak seperti sekuntum bunga iblis yang indah.
Meski indah menarik, tapi keindahan tersebut membawa suatu rasa ngeri dan seram bagi
siapa-pun yang melihatnya.
Entah sudah berapa kali Samwan Kong memperhatikan senjata rahasia tersebut, tapi sekarang
kembali ia terpesona dibuatnya oleh senjata rahasia penyebar maut tersebut.
Seakan-akan senjata rahasia tersebut telah membawa suatu daya kekuatan iblis yang bisa
membetot sukma setiap orang.
349
Ia menjulurkan tangannya seolah-olah hendak merabanya, tapi sebelum ujung jarinya
menyentuh lembaran daun baja yang kecil tersebut, tiba-tiba ia menariknya kembali seakanakan
terkena aliran listrik yang bertegangan tinggi.
Akhirnya ia menghela napas panjang, sambil tertawa getir katanya :
"Inilah kesulitanku!"
"Apakah pihak keluarga Tong mengutus orang untuk mencari gara-gara denganmu?"
"Bukan mereka yang hendak datang mencariku, adalah aku yang telah pergi mencari mereka"
"Kau pernah berkunjung ke keluarga Tong?"
"Aku telah berkunjung ke situ dan merekapun telah datang pula kemari .....!" Samwan Kong
membenarkan.
Paras muka Bu-ki agak berubah.
"Keluarga Tong telah mengutus orangnya ke mari?" ia menegaskan.
"Sepanjang jalan paling tidak ada tiga orang yang selalu membuntutiku, dari wilayah Suchuan
mereka menguntit terus sampai di sini."
Matahari senja masih belum tenggelam di balik bukit, Tok-ci-li yang berada di tangannya
masih memantulkan sinar yang gemerlapan.
Tiga belas lembar daun baja memantulkan tigabelas macam sinar yang gemerlapan, seakan-
-akan setiap saat warna cahaya tersebut berubah selalu dengan teraturnya.
"Benda ini merupakan salah satu senjata rahasia paling ampuh dari senjata rahasia yang
dimiliki keluarga Tong, hanya jago-jago kelas tinggi dari keluarga Tong yang pantas
mempergunakan senjata rahasia tersebut." Samwan Kong menerangkan.
Sesudah menghela napas, ia melanjutkan:
"Sewaktu berada dalam rumah penginapan kecil di sebelah barat wilayah Suchuan, hampir
saja benda itu merenggut selembar nyawaku".
"Kalau begitu salah satu di antara tiga orang yang menguntitmu itu, paling tidak ada seorang
yang merupakan keturunan langsung dari keluarga Tong yang memiliki ilmu tinggi".
"Aaai ! Siapa tahu kalau ketiga-tiganya adalah jago lihay semua!" keluh Samwan Kong.
350
"Kau tidak menjumpai mereka?"
"Tiga orang telur busuk cilik itu bukan cuma memiliki sepasang kaki yang lebih cepat dari
kelinci, hidung yang lebih tajam dari anjing pemburu, bahkan pandai pula sedikit ilmu
merubah wajah, sepanjang perjalanan paling tidak ketiga orang itu telah berubah sebanyak
empat puluh enam kali, malah suatu kali ia pernah merubah dirinya menjadi seorang
perempuan yang sedang bunting tua!"
Sesudah tertawa terbahak-bahak, ia berkata lebih lanjut.
"Untung saja kebetulan sekali aku adalah seorang kakek moyangnya permainan macam
begitu, meskipun mereka telah merubah diri dengan cara apapun, aku selalu berhasil
menangkap ekor rase nya! Haaahh...haaahh....haaahhh...."
Padahal sepanjang jalan ia sendiripun telah merubah diri sebanyak delapan belas kali, bahkan
suatu kali dia merubah dirinya menjadi seorang gadis dusun yang berkaki besar.
Akan tetapi bagaimanapun ia merubah diri, orang lain sama saja selalu berhasil menangkap
ekor rasenya.
Hakekatnya ilmu merubah wajah memang bukan ilmu sihir atau ilmu sulap, bagaimanapun
sempurnanya seseorang merubah diri, tak mungkin mereka bisa merubah dirinya menjadi
seseorang yang lain.
"Aku rasa jumlah keturunan langsung dari keluarga Tong selamanya tidak begitu banyak, dari
ketiga angkatan yang masih hidup sekarang, terhitung dari sang kakek sampai sang cucu,
yang betul-betul telah mencapai dewasa hanya tiga puluh orang lebih, sedang kaum lelakinya
paling tidak cuma dua puluh orang lebih."
Terhadap segala sesuatu yang menyangkut soal keluarga Tong, tidak sedikit yang dia fahami.
Terhadap setiap perguruan dan keluarga yang mungkin akan mendatangkan ancaman bagi
per-guruanTayhong tong, ia selalu memahami dan mendalaminya secara bersungguhsungguh.
"Meskipun jumlah keturunan mereka tidak terlampau banyak, tapi dalam sepuluh orang,
paling tidak tujuh orang diantaranya adalah jago-jago tangguh," ucap Samwan Kong.
Gemerlap sorot mata Bu-ki setelah mendengar ucapan tersebut, segera ucapnya:
"Menurut pendapatmu apakah diantara tiga orang yang datang kali ini terdapat pula Tong Oh
dan Tong Giok diantaranya?"
351
Ketika mendengar nama `Tong Oh` disinggung, Samwan Kong seperti merasa terperanjat,
segera serunya:
"Kaupun tahu bahwa dalam keluarga Tong terdapat dua orang manusia macam itu?"
"Aku pernah mendengar orang membicarakannya"
“Kali ini mereka tidak datang?"
*Dari mana kau bisa tahu?"
"Bila mereka telah datang, masa aku bisa hidup sampai sekarang?"
Sekali lagi mencorong sinar tajam dari balik mata Bu-ki, tanyanya dengan cepat:
"Benarkah mereka sedemikian lihaynya?``
"Benar," jawaban dari Samwan Kong ternyata amat singkat dan begitu terbuka.
Bu-ki termenung beberapa saat lamanya, lewat lama sekali pelan-pelan ia baru berkata.
"Jika mereka betul-betul sedemikian lihaynya, maka dikala kau anggap mereka belum datang,
kemungkinan besar mereka telah datang ke mari."
Kau bisa hidup sampai sekarang, mungkin dikarenakan tujuan mereka yang sesungguhnya
sama sekali bukan kau.
Ucapan tersebut tidak diutarakan oleh Bu-ki, ia hanya menyimpannya dalam hati saja.
Tiba tiba sambil tertawa dingin kembali ucapnya:
“Perduli mereka cuma tiga orang yang datang, setelah sampai di sini, bagaimanapun juga aku
tak akan membiarkan mereka pulang dengan tangan hampa...”
“Apakah yang kau inginkan ketika mereka pulang nanti?”
“Semoga saja mereka bisa pulang dengan menenteng batok kepala”
“Batok kepala siapa?”
“Batok kepala mereka sendiri!”
Dengan terkejut Samwan Kong memandang ke arahnya, tiba tiba ia bertepuk tangan keras
keras dan tertawa tergelak.
“Bagus, bagus sekali, bocah muda! Kau memang punya semangat!”
“Dimanakah mereka bertiga sekarang?” tanya Bu Ki kemudian
“Setelah bersusah payah, aku berhasil meloloskan diri dari pengawasan mereka semalam”
“Tapi aku yakin mereka pasti berada di sekitar tempat ini!” Bu Ki menandaskan.
“Ya, kemungkinan tersebut memang selalu ada”
352
“Asal kau menampakkan diri, maka dengan cepat mereka akan berdatangan kemari”
Samwam Kong seakan akan merasa terperanjat sekali, dengan suara tertahan ia berseru:
“Apakah kau hendak menggunakan aku sebagai umpan untuk memancing ikan...?”
“Benar!” jawaban dari Bu Kipun cukup singkat dan jelas.
“Dahulu akupun mempunyai seorang teman yang gemar memancing ikan, suatu kali ia
berhasil mendapatkan seekor ikan yang besar sekali”
ditatapnya Bu Ki dengan mata melotot, lalu meneruskan,
“Tapi bagaimana kahirnya? Kau bisa tebak?”
“Yaa, apalagi? Akhirnya dia pasti malah kena ditelan oleh ikan besar tersebut!”
“Tepat sekali!” kata Samwan Kong.
“Ketiga ekor ikan yang hendak kita pancing itu bukan cuma besar, lagipula beracun, bahkan
racunnya hebat sekali”
“Kau takut?”
“Yaa, tentu saja aku takut.!”
"Kau tak berani pergi?"
Samwam Kong kembali menghela napas panjang.
"Takutnya sih sebetulnya takut, tapi perginya juga harus tetap pergi!”
Bu-ki segera merasakan semangatnya berkobar kembali, katanya:
"Sekarang masih ada dua persoalan yang hendak kuajukan kepadamu!"
"Tanyalah!"
"Siapakah kakek loyo si kusir kereta itu?"
"Dia adalah seorang sahabatku!"
"Bisa dipercaya?"
Samwan Kong tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dia hanya menyebutkan nama kakek
tersebut.
"Dia she Ciau bernama Ciau In.”
"Ciau In dari perkumpulan,Tayhong tong?"
"Benar!"
"Kau tidak beritahu kepadanya siapakah aku bukan?” tanya Bu ki lebih jauh dengan cemas.
353
"Aku cuma mengatakan kepadanya bahwa kau adalah sahabatku, tapi kau juga penagih
hutangku.”
"Oleh sebab itu kecuali kau, di tempat ini tiada orang lain yang tahu lagi bahwa aku adalah
Tio Bu ki!”
"Yaa, aku rasa memang tak ada!"
Bu ki menghembuskan napas panjang, dengan sorot mata tajam ditatapnya Samwan Kong
lekat-lekat.
Sekarang tinggal satu pertanyaan yang harus diajukan kepadanya, tapi persoalan yang terakhir
ini biasanya justru merupakan yang terpenting.
Akhirnya ia bertanya juga:
"Kepergianmu ke keluarga Tong apakah demi menemukan jejak Sangkoan Jin?
"Benarkah ia bersembunyi disana?"
*****
Lorong itu panjang dan dalam sekali. Menurut hasil sensus dari pemerintahan setempat,
dalam lorong yang panjang itu seluruhnya terdapat penghuni sebanyak seratus tiga puluh
sembilan keluarga.
Ke seratus tiga puluh sembilan keluarga itu hampir memiliki kegemaran yang sama,yakni
setiap keluarga gemar makan lombok.
Maka dari itu lorong itupun disebut orang sebagai Gang lombok.
Adaorang bilang:
“Keluarga yang miskin gemar makan lombok, karena mereka tak mimpi membeli sayur lain,
maka kebanyakan makan nasi dengan lombok (cabe), demikian pula dengan keluarga di
lorong tersebut, mereka gemar makan lombok berhubung mereka semua amat miskin.”
Adaorang bilang:
“Orang-orang dari wilayah In-lam, Suchuan dan Ou-lam gemar makan lombok, karena
wilayah sekitar tempat itu berhawa amat lembab, keluarga yang menghuni di lorong tersebut
gemar makan lombok berhubung mereka berasal dari wilayah-wilayah tersebut yang
kemudian hijrah ke mari,
354
Tapi sesungguhnya kenapa keluarga dalam lorong itu pada gemar lombok, tak seorangpun
yang tahu.
Tapi semua orang tahu kalau lorong itu bernama Gang lombok.
Ketika senja telah lewat, si pincang oh dengan langkah yang terpincang-pincang berjalan
masuk ke Gang lombok.
Ting Kang dan To Jiang dengan langkah yang terpincang-pincang pula, mengikuti di
belakangnya, bahkan mereka jauh lebih pincang dari pada rekannya yang benar-benar
pincang.
Karena kaki mereka semua telah terluka, terluka tepat di atas tempurung lututnya yang kini
dibalut dengan kain.
Mereka mengikuti Oh Po cu (si pincang 0h) ke mari bukan lantaran mereka ingin makan
lombok, melainkan mereka ingin melampiaskan rasa dendam sakit hatinya, mereka
beranggapan hanya Oh Po-cu yang bisa membalaskan dendam sakit hati mereka.
Karena dengan mata kepala sendiri mereka telah menyaksikan kepandaian sebenarnya dari Oh
Po-cu.
Malam itu, ketika mereka suruh ia ke luar untuk "bercakap-cakap", meskipun Oh Po-cu tidak
memberi pelajaran kepada mereka, tapi telah mendemonstrasikan suatu kepandaian yang
sangat lihay di hadapan mereka.
Mereka percaya, kepandaian silat yang di miliki Oh Po-cu sama sekali tidak berada dibawah
si setan t.b.c. yang secara beruntun melemparkan angka enam tiga kali sebanyak empat belas
kali itu.
Oh Pocu lebih suka mengembalikan sepuluh laksa tahil peraknya dari pada turun tangan, jelas
disebabkan oleh maksud lain.
Maka mereka selalu mengikuti di belakangnya.
Pada mulanya, Oh Po cu masih berlagak pilon, tapi sampai akhirnya ia menyanggupi juga.
"Baik, aku akan membalaskan dendam buat kalian," demikian ia berjanji, "bahkan akupun
akan menghajar putus sepasang kaki anjing kecil itu, tapi aku punya syarat."
Syaratnya adalah:
"Peduli apapun yang kuminta kalian lakukan, kalian harus melaksanakannya dengan mulut
membungkam."
355
Arti dari pada membungkam, tentu saja tak boleh banyak bertanya.
Syarat tersebut kedengarannya memang rada sedikit janggal dan tak masuk di akal, tapi
mereka toh menyetujuinya juga.
Bagaimanapun mereka tak akan membiarkan seorang prajurit tanpa nama pergi dari situ
dengan bebas merdeka, setelah menusuk kaki mereka masing-masing dengan dua tusukan.
Apapun yang harus dilakukan, berapapun yang harus dibayar, mereka tetap akan
me-lakukannya.
Dendam sakit hati sedalam lautan ini musti dibalas berikut rentenya, walau bagaimanapun
caranya.
Oh Po-cu segera memperlihatkan wajah yang puas, katanya kemudian:
"Sekarang, kalian harus mengundang aku untuk bersantap lebih dulu, aku ingin makan ikan
leihi masak tausi serta ayam panggang masak lombok . . . . "
Setelah berhenti sebentar, ia bertanya kembali:
"Sukakah kalian makan hidangan-hidangan yang pedas dan berlombok . . . . . ?"
"Kami suka sekali!" buru buru Ting Kang berseru.
Oh Po-cu tertawa lebar, kembali katanya.
"Kalau begitu bagus sekali, aku tahu di tempat manakah kita musti menikmati panggang ayam
masak Cabe, tanggung saking pedasnya air mata akan bercucuran membasahi wajah dan
peluh dingin membasahi sekujur badan."
Oleh sebab itulah, merekapun berkunjung ke Gang lombok.
WARUNGLOMBOK
MENJELANG malam adalah saat orang bersancap malam, seluruh Gang lombok dipenuhi
oleh bau harum lombok yang semerbak dalam kuali, tiap keluarga hampir semuanya sedang
memasak lombok.
Dalam anggapan orang-orang itu, kalau makan tak ada lombok, ibaratnya seperti lagi berjalan
tanpa bercelana, suatu hal yang serasa tak sedap di hati.
356
Bila kau tak pernah makan lombok, lebih baik jangan memasuki lorong tersebut, kalau tidak
maka air matamu segera akan bercucuran karena kepedasan.
Diam-diam To Jiang sedang menyusut air matanya.
Ia tak habis mengerti mengapa Oh Po-cu membawa mereka untuk bersantap di tempat seperti
ini? Karena pada hakikatnya ia tak percaya kalau dalam lorong tersebut bisa di jumpai warung
makan.
Pada hakekatnya ia tak dapat membayangkan bakal ada orang yang mendatangi tempat
semacam itu untuk bersantap.
Tapi pada saat itulah ia telah menjumpai sebuah warung makan.
Itulah sebuah warung makan yang sangat kecil, di depan pintu tergantung sebuah lombok
berenteng-renteng banyaknya yang berwarna merah darah, tentu saja rentengan lombok merah
itu digunakan sebagai papan nama.
Oleh karena itu warung makan itu disebut orang sebagai Warung lombok.
Pemilik warung lombok adalah seorang laki-laki gemuk yang bertubuh pendek, ia she Cu dan
mempunyai tabiat yang baik sekali.
Sekalipun ada orang memakinya sebagai "Ti Pat-kay" (siluman babi ) tepat di depan
hidungnya, diapun tak akan marah.
Bila pada setahun berselang kau pernah berkunjung ke rumah makan Siau-oh khong itu,
rumah makan paling besar dan paling megah dalamkota, maka kau pasti akan merasa
keheranan.
Karena ciangkwe dari warung lombok ini tak lain adalah Toa tauke dari rumah makan Siu oh
khong setahun berselang.
Menurut pengakuannya, ia jatuh pailit dengan amat cepatnya lantaran terjadinya peristiwa
pembunuhan pada bulan empat tahun berselang.
Tiga orang kawan sedesanya yang khusus datang dari wilayah Suchuan untuk membantunya,
tiba-tiba tewas secara mengerikan pada saat yang bersamaan dalam ruang utama di atas
lotengnya.
Sejak peristiwa itu, semakin jarang tamu berkunjung ke situ, maka rumah makan Siu oh
khong pun terpaksa harus tutup pintu.
357
Maka dari itu, terpaksa ia harus pindah ke mari dan membuka sebuah warung lombok yang
kecil.
Ternyata usaha di warung lombok tidak termasuk jelek, dari tujuh-delapan buah meja yang
tersedia, ada separuh diantaranya sudah di tempati para tamu.
Yang paling mengherankan Ting Kang adalah kehadiran Cia-Lak, itu toa tauke dari rumah
perjudian yang selalu memperhatikan soal makanan dan minuman di tempat itu.
Belum lama mereka duduk di situ, Cia Lak telah datang, ia datang ditemani seorang pemuda
yang kurus kering lagi kecil seperti seekor monyet.
Baik dia maupun Oh Po-cu, mereka sama-sama pernah berjumpa dengan Cia tauke, tapi Cia
Lak berpura-pura tidak kenal dengan mereka.
Si pemuda kurus kering macam monyet itu pun memesan ikan leihi masak tausi serta ayam
panggang masak lombok.
Jilid 13________
CIA-LAK sedang menundukkan kepalanya sambil bersantap, air mata telah bercucuran, peluh
telah membasahi sekujur tubuhnya karena kepedasan.
Keadaan Ting Kong lebih payah lagi, karena kepedasan hampir saja ia tak mampu menahan
diri.
Ia benar-benar merasa tak habis mengerti, mengapa orang-orang itu baru merasa puats setelah
makan hidangan yang pedas sehingga kepedasan seperti itu, ia lebih lebih tidak mengerti
kenapa Oh-Po cu mengajak mereka bersantap ditempat semacam ini.
Tapi ia tak berani bertanya, karena inilah syarat dari mereka dengan Oh-Po cu yang telah
disetujui bersama.
Oh Po cu betul-betul tak takut pedas, bukan saja setiap sayur yang dipesan selalu diberi cabe
yang berlipat kali banyaknya, bahkan diapun masih makan lombok mentah, minum arak dan
sebutir keringatpun tidak membasahi wajahnya.
Tapi dengan cepat Ting Kang menemukan bahwa masih ada orang lain dalam warung itu
yang jauh lebih tak takut pedas dari padanya.
Orang itu adalah seorang kakek, pinggangnya ke lewat panjang dengan punggung yang lurus
dan tegap, ia memakai sebuah jubah panjang warna biru yang sudah mulai memutih karena
tuanya, sebuah huncwe panjang terselip pada pinggangnya.
358
Seorang pemuda yang duduk semeja dengannya ternyata tidak makan cabe sedikitpun, dia
hanya memesan semangkok mi kuah yang dimasak dengan telur ayam.
Mereka duduk dimeja tepat disamping meja Ting Kang tepat berhadapan muka dengan
pemuda tersebut.
Kalau dilihat usianya maka paling banter baru berkisar dua puluh tahunan, wajahnya halus
dan tampan, kulitnya yang putih kemerah-merahan mirip sekali dengan kulit badan seorang
nona.
Bahkan tingkah lakunya jauh lebih malu-malu kucing daripada seorang nona.
Asal orang lain memandang dua kejap kearahnya, kontan saja pipinya berubah menjadi merah
jengah, andaikata Ting Kong tidak memperhatikan lebih dulu kalau dadanya datar tanpa
tonjolan, dan lagi tidak diikat dengan selembar kain, hampir saja dia akan menganggap orang
itu sebagai seorang perempuan yang menyaru sebagai laki-laki.
Sekarang mereka telah selesai bersantap, kakek itupun mulai menghisap huncweenya.
Beruntun para tamupun membayar rekening dan berlalu, kini dalam warung tinggal tiga meja
saja yang berisi tamu.
Kecuali mereka dua meja, Cia Lak beserta pemuda yang kurus seperti monyet pun masih
belum angkat kaki dari situ.
Cu tauke yang ramah tentu saja tidak mengusir mereka, sebaliknya malah menutup pintu
besarnya.
Sekarang sudah saatnya warung ditutup, tapi kenapa para tamunya belum juga meninggalkan
tempat itu?
Ting Kong kembali merasa keheranan.
Tiba-tiba saja suasana dalam warung itu berubah menjadi hening, sepi dan tak kedengaran
se-dikit suarapun, hanya kakek itu saja yang sedang pelan-pelan menghisap huncwenya.
Cia Lak masih juga kegerahan, peluh mencucur keluar tiada hentinya dan iapun menyeka
keringat tiada habisnya.
Mendadak Ting Kang merasakan suatu suasana yang sangat aneh. ia merasa warung lombok
yang kecil dan bobrok itu secara tiba-tiba berubah menjadi begitu menyeramkan dan
mengerikan, seakan-akan suatu bencana besar segera akan menjelang tiba.
Pada saat itulah pemuda kurus kering seperti monyet itu berteriak secara tiba-tiba:
359
"Cia tauke!"
Seperti merasa terperanjat Cia Lak segera melompat bangun, kemudian sambil tertawa paksa
ia bertanya:
"Ada urusan apa?"
Si Bandar judi yang dihari-hari biasa selalu meletakkan sepasang matanya di atas kepala itu,
ternyata bersikap luar biasa sungkannya terhadap pemuda ceking seperti monyet tersebut.
Dengan suara pelan, pemuda ceking bertampang monyet itu berkata lagi:
"Aku secara khusus mengundang kehadiranmu kemari, tak lain hanya ingin mengajukan
beberapa pertanyaan kepadamu"
"Tanyalah!" kata Cia Lak.
"Bulan empat tahun berselang, benarkah kau bersama Tio-Bu-ki bersama-sama pergi ke
rumah makan Siu-oh khong?"
"Paras muka Cia Lak segera berubah hebat. .
"Tapi aku......”
"Aku hanya bertanya benar atau tidak" tukas pemuda ceking itu dengan suara ketus, "soal lain
kau tak perlu memberi penjelasan lagi!"
"Baik!"
"Hari itu, benarkah kau melakukan perjalanan bersama-sama Tio Bu ki ........?" tanya pemuda
itu kemudian:
"Benar!"
"Benarkah dengan mata kepala sendiri kau menyaksikan ia membunhuh mati tiga orang itu?"
"Benar!"
"Setelah peristiwa tersebut, Apakah ia sendiri menderita luka atau tidak.?"
"Agaknya tidak!"
"Kau betul-betul yakin kalau ia tidak terluka?"
"Aku ....aku tidak begitu yakin"
360
“Kalian berdiri saja disana sambil menyaksikan ia pergi meninggalkan tempat itu, bukankah
kalian tak berani turun tangan menghadapinya meskipun ia sudah terluka sekali pun. . .”
"Waktu itu kami .......”
"Aku hanya bertanya kepadamu, benar atau tidak?" bentak pemuda ceking itu sambil menarik
wajah.
"Benar!"
Pemuda itu memandang kearahnya tiada emosi diatas wajahnya, kemudian pelan-pelan
berkata:
"Sebenarnya adalah kalian yang ingin membunuh dia, tapi tidak menyaksikan ia pergi
meninggalkan tempat itu untuk berkentutpun kalian tak berani"
Tiba-tiba ia menghela napas panjang, sambil ulapkan tangan katanya kembali:
"Pertanyaanku telah selesai kuajukan sekarang pergilah dari tempat ini ....!"
Agaknya Cia Lak tidak mengira kalau ia bakal lolos dari situ dengan demikian gampangnya,
dengan rasa kejut bercampur girang ia lantas bangkit berdiri dan siap berlalu.
Sambil tertawa meringis, Cu ciangkwe memperhatikan wajahnya, tiba-tiba ia berkata:
"Apakah Cia tauke tidak melupakan sesuatu persoalan?"
"Persoalan apa?" tanya Cia Lak keheranan.
"Apakah kau tidak lupa untuk melunasi dahulu rekeningmu .....?"
"Oooh .....yaa, yaa, yaa" seru Cia Lak sambil tertawa paksa, "segera akan kulunasi, segera
akan kulunasi, berapa jumlah seluruhnya?"
"Rekening hari ini ditambah rekening tahun berselang, total jenderal semuanya adalah dua
tahil perak ditambah selembar nyawa”
"Selembar nyawa?" bisik Cia Lak dengan wajah berubah, "nyawa siapa?"
"Tentu saja nyawamu!"
Kemudian sambil pincingkan matanya dan tertawa lirih, ia julurkan tangannya ke depan
sambil berkata:
361
"Harap dua tahil perak itu di bayar lebih dulu!"
Dengan paras muka hijau membesi Cia Lak segera mengeluarkan sekeping uang perak dan
mem-bantingnya keras-keras ke wajah Cu ciangkwe, bentaknya keras-keras:
"Tak usah dikembalikan lagi sisanya!°°
Ditengah bentakan keras tubuhnya menerjang ke depan dengan kecepatan luar biasa, dia
bermakud hendak menerjang keluar lewat selembar daun jendela disisinya.
Tapi Cu ciangkwe yang gemuk pendek yang sebenarnya masih duduk dibelakang meja kasir
itu, mendadak telah menghadang didepan jendela sambil memandang kearahnya sambil
tertawa cekikikan, katanya:
"Uang kembalinya apakah kau berikan kepada ku sebagai tip?"
"Benar!"
"Uang kembalinya masih ada delapan tahil perak, terima kasih banyak, terima kasih banyak!"
Selangkah demi selangkah Cia Lak mundur terus kebelakang, tiba-tiba ia roboh terjengkang
ke tanah tanpa sebab tanpa musabab langsung roboh terjengkang dengan begitu saja.
Begitu roboh ke tanah, tubuhnya masih melejit-lejit beberapa kali, kemudian tak berkutik lagi
untuk selamanya.
Ketika memeriksa wajahnya, ternyata paras mukanya telah berubah menjadi hitam pekat
seperti arang, lidahnya menjulur ke luar, sepasang biji matanya melotot keluar. Seakan-akan
lehernya dicekik oleh sutas tali yang tidak terlihat oleh mata.
Suasana dalam warung pulih kembali dalam keheningan.
Cu ciangkwe yang pendek lagi gemuk itu telah kembali ke belakang meja kasirnya sambil
duduk dengan tenang.
Si kake pun masih duduk tenang ditempat semula sambil menghisap huncwenya penuh
kenikmatan.
Ting Kang dan To Jiang tak berani berkutik lagi, saking takutnya kedua orang itu merasakan
sepasang kakinya menjadi lemas semua.
Mereka selalu mementangkan matanya lebar-lebar, tapi tidak diketahui apa yang
menyebabkan kematian Cia Lak.
362
Pelan-pelan pemuda ceking bertampang monyet itu bangkit berdiri, ia membawa sepasang
sumpit dan menuju kehadapan Cia Lak, tiba-tiba sumpitnya bergerak kedepan dan menjepit
ke atas tenggorokan Cia Lak.
Tahu-tahu ia telah menjepit keluar sebatang jarum.
Sebatang jarum yang lebih kecil dari pada jarum pentul, pada ujung jarum masih tersisa noda
darah.
Diatas tenggorokan Cia Lak pun terbentik keluar setitik gelembung darah yang amat sedikit.
Sebatang jarum dengan Setitik darah dan selembar nyawa!
Suatu jarum beracun yang sungguh lihay, suatu gerakan serangan yang sungguh amat cepat.
Pemuda ceking bertampang moyet itu memperhatikan jarum beracun dalam jepitan sumpitan
sambil gelengkan kepalanya berulang kali.
Setelah menghela napas panjang, ia pun bergumam:
“Sayang. . . . .sayang. . . ."
Pelan-pelan ia berjalan kembali ketempat semula, dicucinya jarum tersebut dalam cawan
araknya, lalu mengeluarkan selembar sapu tangan yang putih bersih untuk menyekanya
sampai kering, setelah itu membungkusnya dengan kain tadi dan dimasukkan ke dalam
sakunya.
la tidak berpaling lagi kearah Cia Lak, bahkan memandang sekejap kearahnya pun tidak.
Yang dia sayangkan adalah jarum tersebut, bukan selembar nyawa dari Cia Lak.
*****
TELAPAK tangan Ting Kang dan To Jiang telah basah oleh peluh dingin, mereka benarbenar
ingin sekali meninggalkan tempat itu secepatnya.
APA mau dikata Oh Po-cu justru tak bermaksud untuk meninggalkan tempat itu, bahkan
sikap maupun gerak-geriknya masih begitu santai dan tenang.
Tiba-tiba kakek tua itu menyodorkan huncwe ditangannya kepada sipincang Oh.
Oh Po cu juga tidak berbicara, ia menerima huncwe tersebut dan menghisapnya sekali, lalu
menyodorkan kembali huncwe tersebut kepada kakek tadi.
363
Kakek itu menyedot kembali huncwenya sekali sedotan, lalu untuk kedua kalinya diberikan
kepada Oh Po-cu.
Begitulah kejadian tersebut berlangsung berulang-ulang, kau satu sedotan aku saju sedotan,
mereka berdua sama-sama menyedot dengan mulut membungkam.
Percikan api dalam tabung huncwenya berkelip-kelip tiada hentinya, asap tembakau yang
menyelimuti ruanganpun makin lama semakin menebal, kedua orang itu seakan-akan sedang
menunggu pihak lawannya untuk buka suara lebih dulu. .
Akhirnya Oh Po cu berkata juga:
"Orang yang kutunggu-tunggu telah munculkan diri!"
"Bagus sekali!" kakek itu menyahut.
"Tahun ini secara beruntun ia telah melepaskan kembali empat belas kali angka emam tiga
kali!”
"Sungguh tak disangka kemujurannya tahun ini masih seperti juga kemujurannya tahun
berselang"
"Benar"
"Cuma sayang selama hidup ini tak akan memiliki kemujuran semacam itu lagi.”
Ia menerima huncwe tersebut dan menyedotnya sekali, kemudian sambil disodorkan kembali
ke tangan Oh Po-cu, ia melanjutkan:
Sebab pada saat ini sudah barang tentu dia adalah seorang mati, tentu saja orang mati tak akan
memiliki kemujuran lagi”
"Dia belum mampus!" Oh Po-cu menukas.
"Kau belum membunuhnya?"
"Belum!"
"Kenapa?"
"Karena aku tidak memiliki keyakinan yang menunjukkan bahwa dia adalah orang yang sama
seperti tahun berselang"
"Kau tidak yakin?"
364
"Ya, wajahnya sama sekali telah berubah, bahkan Lau Pat sendiripun tidak lagi
mengenalinya"
"Raut wajah seseorang memang sesungguhnya seringkali dapat berubah-ubah ."
"Ilmu silatnya juga ikut berubah!" Oh po-cu menambahkan.
"Darimana kau bisa tahu kalau ilmu silatnya juga ikut berubah"
"Aku telah pergi memeriksa mayat dari Tong Hong sekalian, dilihat dari mulut luka ditubuh
mereka yang mematikan itu dapat diketahui bahwa meski serangan orang itu cukup ganas,
namun tenaganya masih kurang dengan tenaga yang kurang tentu saja tak akan terlalu cepat
gerakannya?"
"Bagaimana pula dengan orang yang kau jumpai pada tahun ini?"
Oh Po-cu tidak menjawab, ia berpaling ke arah Ting Kang serta To Jiang, kemudian
perintahnya:
"Berdirilah kalian, biar dia orang tua memeriksa mulut luka ditubuh kalian itu"
Mulut luka itu tidak terlalu dalam, maka dengan cepat mereka dapat bangkit berdiri dan
berjalan.
Kakek itu memeriksa mulut mereka dengan seksama, paras mukanya masih belum
menunjukkan perubahan apa-apa.
Api pada tabung huncwenya telah padam.
Pelan-pelan ia mengeluarkan batu api dan selembar kertas untuk menyusut tabung
huncuwenya itu, kemudian pelan-pelan ia baru bertanya:
"Apakah ketika itu kalian hanya bertangan kosong belaka?"
"Tidak!" jawab Ting Kong.
"Aku membawa pedang Siang bun kiam, dan ia membawa golok Yan leng to . . ." To Jiang
me-nambahkan.
"Kalian tidak melancarkan serangan?"
Ting Kong tertawa getir.
365
"Pada hakekatnya kami tak sempat untuk turun tangan!" sahutnya.
"Siapa yang terkena tusukan lebih dulu?"
Ting Kong memandang kearah To Jiang, ToJiang balik memandang kearah Ting Kong, lalu
mereka berdua sama-sama gelengkan kepalanya.
"Kami tak dapat mengingatnya lagi, sahut kedua orang itu kemudian.
"Tak dapat mengingatnya kembali? Ataukah memang tak dapat membedakannya dengan
jelas?"
Sekali lagi To Jiang memandang kearah TingKong dan Ting Kong balas memandang To
Jiang, kedua orang itu terpaksa harus mengakui kebenaran dari perkataannya itu.
Sesungguhnya mereka memang bukan tak ingat lagi, tapi memang tak dapat mengetahuinya
dengan jelas. sambaran pedang itu terlampau capat, mereka merasa seakan-akan terkena
tusukan pada saat yang bersamaan.
Bahkan kaki manakah dari kedua belah kaki mereka yang terkena lebih dulu pun tidak
diketahui oleh mereka berdua.
Tiba-tiba kakek itu menghembuskan napas panjang, lalu pujinya berulang kali:
"Bagus, ilmu pedang yang bagus! Ilmu pedang yang bagus!.
Kembali ia sodorkan huncwenya ke tangan Oh Po cu, kemudian bertanya:
"Apakah kau dapat melihat, ilmu pedang apakah yang ia pergunakan?"
Oh Po-cu gelengkan kepalanya berulangkali.
"Aku hanya dapat melihat bahwa ilmu pedang yang ia pergunakan itu bukan ilmu pedang
Hhe-hong wu li-kiam-hoat dari Tio Kian, juga bukan ilmu pedang Sip-ci-hwe kiam dari
Sugong Siau-hong"
"Oleh karena itu kau merasa yakin bahwa dia bukan Tio Bu ki?" kakek itu menambahkan.
Oh Po cu termenung agak lama, kemudian baru jawabnya:
"Aku tak berani memastikan!"
Kakek itu tidak berbicara lagi.
366
Huncwe itupun bergerak dari tangan yang satu kembali ke tangan yang lain, asap huncwe
yang disembur keluar kian lama kina bertambah tebal sehingga ruangan tersebut seolah-olah
diselimuti oleh selapis kabut yang tipis.
Diantara kerlipan api yang berkedip-kedip peluh sebesar kacang lambat-lambat sudah
membasahi jidat Oh Po-cu.
Kembali lewat cukup lama, akhirnya kakek itu berkata lambat-lambat.
"Agaknya kau tidak membawa serta Lau Pat kemari!"
"Aku tak membawa dia kemari" Oh Po cu segera menerangkan.
"Kenapa?"
"Karena ia telah dibawa pergi oleh seeorang sahabatnya”
"Siapakah sahabatnya itu?”
"Giok-bin siau-beng siang (Beng siang kecill berwajah pualam) Thio Yu hiong, Thio jiko dari
antara tujuh bersaudara keluarga Thio dari Lam-hay!”
Walaupun paras muka kakek itu masih tetap tanpa emosi, tapi sesudah mendengar nama
tersebut, biji mata mulai melompat-lompat.
Betul jejak kependekaran dari tujuh bersuadara keluarga Thio dari Lam-hay sangat jarang
bertemu dalam dunia persilatan, tapi jika pendekar mereka, kekayaan keluarga mereka,
kekuasaannya dan kehebatan ilmu silatnya jarang yang tidak diketahui dalam dunia persilatan.
Terutama sekali Thio jiko tersebut, begitu sosial dan ksatrianya siapapun juga merasa amat
bangga dan gembira bila dapat bersahabat dengannya.
Tak seorang manusiapun yang suka berbuat kesalahan atau menyinggung sahabat semacam
ini.
Pelan-pelan kakek itu berkata lagi!
"Sudah hampir setahun lamanya kau tiba disini, kejadian yang seharusnya kau lakukan
ternyata tak satupun yang telah kau kerjakan”
"Aku tak dapat mengerjakannya!"
Kakek itu kembali menutup mulutnya rapat-rapat.
367
Huncwe tersebut sudah cukup lama berada ditangannya, tapi kali ini ia sama sekali tidak
menyerahkannya kembali ke tangan Oh Po cu.
Ting Kong sudah mulai bermandi keringat dingin karena menguatirkan keselamatan dari Oh
Po-cu.
Ia pernah menyaksikan ilmu silat milik Oh Po-cu, ia percaya Oh Po cu dapat disebut sebagai
seorang jago kelas satu dalam dunia persilatan.
Akan letapi orang-orang yang berada dalam warung lombok saat ini, seakan-akan setiap
orang-nya memiliki semacam kekuatan yang misterius tapi jahat yang dapat merubah niat
serta jalan pikiran mereka untuk menentukan mati hidup seseorang..
Mereka seakan-akan seperti setiap saat menginginkan seseorang roboh dihadapan mereka
secara mengerikan.
Malam sudah amat larut.
Tiba-tiba Cu ciangkwe bangkit berdiri, lalu sambil menarik suara dia berkata:
"Aku tak tahu apakah orang yang dijumpai Po-ko hari ini adalah Tio Bu ki atau bukan, tapi
aku yakin bahwa hari itu dia pasti sudah terluka"
Kakek yang menghisap huncwee itu tak bersuara lagi.”
Pemuda ceking bertampang monyetpun membungkam diri dalam seribu bahasa. .
Apalagi pemuda tampan yang pemalu itu, tentu saja lebih-lebih tak mungkin buka suara.
Oh Po-cu memandang sekejap ke arah mereka, lalu memandang pula ke arah Cu ciangkwe,
tiba-tiba ia bertanya lagi:
"Kau yakin?"
"Yaa, aku yakin"
"Tapi pada waktu itu toh kau tidak hadir diatas loteng?"
"Walaupun waktu itu aku tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, tapi aku
mempunyai keyakinan bahwa dia pasti telah terluka"
"Atas dasar apakah kau berani berkata demikian?"
368
“Ketika Tong Hong datang waktu itu, aku telah memeriksa kain pas jalannya sehari sebelum
keluar rumah ia baru berhasil mendapatkan dua puluh tiga batang senjata rahasia Ci li beracun
dan sepuluh tahil tiga rence pasir Toan huan sah!"
Kemudian ia menambahkan kembali:
"Dua macam senjata rahasia yang diperolehnya itu termasuk senjata rahasia kelas sembilan,
engkoh Koat lah yang memberi kain pas jalan kepadanya!"
"Betul!" Oh Pa-cu mengangguk tanda membenarkan.
"Ketika mengikuti Sangkoan Jin berkunjung keperkampungan Ho-hong-san-ceng, untuk
membunuh seorang centeng dari keluarga Tio guna merahasiakan jejaknya, ia telah
pergunakan sebatang senjata Tok-ci-li!" kata Cu ciangkwe lebih jauh.
"Ia tidak membawa pergi Tok ci li yang telah dilepaskan waktu itu?"
"Merurut pengakuannya, waktu itu keadaan mendesak sekali, ia tidak mempunyai kesempatan
lagi untuk berbuat demikian!"
"Yang ia bunuh ketika itu tak lebih cuma seorang centeng, kenapa ia musti mempergunakan
senjata rahasia dari perguruan kita?"
"Oleh sebab itulah aku telah menghukumnya menurut peraturan perguruan kita, aku telah
menyuruhnya berbaring hampir setengah bulan lamanya diatas pembaringan"
"Bagus, lanjutkan lebih jauh!"
Cu ciangkwe mendehem sebentar, kemudian meneruskan:
"Kecuali sebatang Tok ci li yang telah terpakai itu, dalam sakunya masih sisa dua puluh dua
batarg senjata Tok ci li, sedangkan pasir beracun yang sepuluh tahil tiga rence tersebut masih
tetap segelan dan sama sekali tidak digunakan"
"Sehari sebelumnya terjadinya peristiwa itu, dia minta kepada kami untuk carikan orang guna
membuat dua perangkat sarung tangan yang terbuat dari kulit menjangan, katanya sarung
tangan tersebut hendak dipergunakan oleh dua orang saudara dari keturunan mak inang tua"
"Kau mengabulkan permintaannya?” tanya Oh Po-cu..
Cu ciangkwe manggut-manggut.
"Yaa, karena ia bilang orang yang hendak dihadapinya adalah Tio Bu ki, putra Tio Kian"
369
"Kenapa mereka dari golongan lo-nay ma bisa mempunyai senjata rahasia dari perguruan
kita" tanya Oh Po cu.
"Ia telah membagi empat belas batang senjata rahasia tok ci-li miliknya kepada mereka dan
menitahkan kedua orang itu menyergap bersama dari depan dan belakang, sehingga dalam
sekali penyerangan Tio Bu ki bisa dibereskan jiwanya"
"Kemudian?"
"Setelah mereka gagal melaksanakan tugas aku segera menutup tempat itu dan pencarian
di-lakukan, tapi hanya lima belas batang tok ci li yang berhasil ditemukan kembali", "Padahal
enam belas batang yang mereka lancarkan bukan?"
"Benar!”
"Waktu itu Cia Lak maupua Lau-pat hadir pula ditempat kejadian, jangan-jangan dibawa
kabur mereka?" Oh Po cu mengemukakan kecurigaannya.
"Ah, hal ini tak mungkin terjadi, jangankan membawanya kabur, untuk menyentuhpun
mereka tak berani"
"Oleh sebab itu kalian lantas menduga bahwa sebatang tok ci li yang tidak ditemukan kembali
itu, sudah pasti bersarang ditubuh Tio Bu-ki?"°
"Waktu itu dia pergi meninggalkan tempat tersebut dengan langkah tergesa-gesa, dan orang
yang melihat kalau langkahnya sudah gontai sewaktu meninggalkan tempat itu, bahkan ada
juga yang mengatakan bahwa sepasang matanya sudah terbelalak kaku!"
Setelah berpikir sebentar, ia berkata lagi:
"Tapi anehnya, beberapa hari kemudian ada yang mengatakan pernah melihatnya muncul di
Tay-pek-ki dibawah bukit Kiu-hoa-san, kemudian engkoh Lip dan engkoh Bong pergi kesana
mencarinya, siapa tahu setelah ke sana merekapun telah kembali lagi"
"Seandainya ia memang sudah terkena senjata rahasia perguruan kita. kenapa tidak mati?"
tanya Oh Po-cu.
"Yaa. itulah sebabnya aku sendiripun tidak habis mengerti!"
*****
SEKARANG tentu saja Ting Kang dam To Jiang telah mengerti, kecuali mereka berdua
hampir semua orang yang hadir dalam warung lombok saat ini adalah orang yang berasal dari
sekeluarga.
370
Ob Po-cu sudah pasti bukan she Oh, Cu ciangkwe pun pasi bukan she Cu, sebab mereka
semua bukan lain adalah jago-jago dari keluarga Tong di wilayah Zuchuan.
tentu saja sudah lama mereka mengetahui tentang kelihayan senjata rahasia beracun dari
keluarga Tong, tapi mereka tidak menyangka kalau susunan organisasi dari keluarga Tong,
ternyata sedemikian rahasianya, sehingga setiap orang yang diutus keluar tampaknya tidak
sederhana, semua gerak geriknya terorganisir dengan suatu kerja sama yang amat rapi.
Kelihayan dari pemuda bertampang monyet itu sudah cukup mengejutkan hati mereka, tapi
ketelitian Cu ciangkwe lebih-lebih mengagumkan hati mereka berdua.
Si kakek tua itu masih saja duduk tak berkutik ditempat semula sambil menghisap
huncweenya, ia duduk setangguh sebuah bukit karang, cukup ditinjau dari ketenangan dan
kemantapannya ini, sudah bisa diketahui bahwa orang inipun pasti tidak sederhana.
Kecuali pemuda tampan yang pemalu itu, kini hampir setiap orang telah memberikan
pertanggungan jawabnya atas tugas yang harus dilaksanakan.."
Tugas Oh Po-cu adalah mengawasi Lau Pat, sambil menunggu kemunculan kembali dari
Heng-in-Pa-cu, (si Macan tutul yang mujur).
Tugas si pemuda bertampang monyet itu membereskan Cia Lak, tugas Cu ciangkwe adalah
bercokol disitu sambil melakukan kontak dengan orang-orangnya.
Dari tugas-tugas yang harus mereka laksanakan, ada yang berhasil dengan sukses, ada pula
yang gagal total, tapi baik itu berhasil atau gagal, suatu laporan resmi harus dibereskan
kepada atasannya.
Orang yang akan memberikan penyelesaian atas tugas-tugas tersebut semestinya adalah kakek
yang duduk sambil menghisap huncwe itu, tapi diapun tidak berbicara walaupun sepatah
katapun.
Apakah ia sedang menunggu orang juga?
Siapa yang sedang ditunggunya?
Tiba-tiba suatu perasaan aneh muncul dari dasar hati Ting Kong, ia merasa kakek berhuncwe
itu agaknya bukanlah sang pemimpin yang sebenarnya.
Sang pemimpin yang sebetulnya pasti orang lain, seseorang yang tak dapat mereka lihat.
Hanya orang inilah baru-betul-betul memiliki kekuasaan yang bisa menentukan mati hidup
orarg lain.
371
Sejak awal sampai sekarang, orang itu lah yang sesungguhnya telah mengendalikan suasana
di tempat ini.
Setiap orang harus melaporkan semua perbuatan, semua perjuangan dan semua peristiwa yang
dialaminya kepada orang itu, untuk selanjutnya menunggu keputusannya.
Tapi siapakah orang ini?
.. ....... Kenapa hingga saat ini, mereka masih belum melihat orang tersebut?
Jantung Ting kong mulai berdebar keras. Lamat-lamat perasaannya seperti sedang berkata, tak
lama kemudian orang itu akan munculkan diri dihadapan mereka..
*****
MALAM sudah semakin larut.
Tiba tiba angin puyuh berhembus kencang diluat kedai, angin itu sedemikian kencangnya
sehingga menjebolkan kertas jendela yang mulai lapuk dan berkibar-kibar menimbulkan suara
gemerisik yang sangat gaduh..
Kakek itu masih saja menghisap huncwenya dengan penuh kenikmatan, percikan api yang
berkelip-kelip sayup-sayup menerangi raut wajahnya yang kaku bagaikan peti mati itu.
Angin diluar tak dapat berhembus masuk ke dalam ruangan, asap huncwenya tak dapat pula
menyebar keluar.
Ini membuat asap tersebut memenuhi seluruh ruangan warung lombok, sehingga bagaikan
selapis kabut yang tebal.
*****
JAGO LIHAY
KABUT asap menyelimuti seluruh ruangan.
Ting Kang menyaksikan bocah muda yang ayu tapi pemalu itu seperti sudah sedikit tak tahan,
ia mulai mendengus berulang kali.
Pemuda itu tidak menghisap huncwe, tidak minum arak, pun tidak makan lombok.
Apakah dia juga bukan anggota keluarga Tong? Yang lebih aneh lagi, baru saja ia mulai
terbatuk-batuk, kakek yang perokok hebat itu segera menurunkan huncweenya, bahkan
372
menggunakan ibu jarinya yang dibasahi sedikit dengan air ludah untuk memadamkan api
dalam mangkuk huncwee tersebut.
Bocah muda yang ayu itu memandang sekejap kearahnya sambil tertawa, kemudian berkata.
“Terima kasih!”
Suara pembicaraannya lembut dan halus pula, bahkan membawa dialek dari ibu kota malah
sama sekali tidak terbawa logat orang Zuchuan sebagaimana yang lainnya.
Ia mengeluarkan secarik sapu tangan berwarna putih bersih, lalu dipakai untuk menyeka
tangannya.
Ia memiliki jari jemari yangpanjang, ramping dan halus, tingkah lakunya sangat lembut dan
halus bagaikan seorang gadis perawan.
Ting Kong memandang kearahnya, hampir saja ia dibikin terpesona.
Padahal Ting Kong bukan seorang Homo, dia bukan seorang laki laki yang tertarik dengan
kaum jenisnya.
Tapi setelah berjumpa dengan seorang laki laki ayu seperti ini, bahkan diapun mulai terpikat
hatinya, mulai tergetar oleh keayuannya itu.
Ternyata bocah muda yang ayu itupun sedang memandang kearahnya sambil tertawa, tiba tiba
ia berkata:
“Aku dapat melihatnya kalau kaupun tidak suka yang peda pedas, tadi, kau tentu bleum
kenyang!”
Ting Kong tak berani mengaku, tak berani pula menyangkal.
“Akan kusuruh Cu ciankwe buatkan beberapa macam sayur yang tak pedas lagi, kalian boleh
pelan pelan bersantap disini, menanti aku selesai bercakap cakap dengan mereka, pasti akan
kutemani kalian berdua lagi, mau bukan?”
Suaranya masih tetap begitu lembut, sikapnya masih begitu tulus, sekalipun terhadap seorang
asing, sikapnya tetap lemah gemulai dan menawan hati.
Dalam keadaan seperti ini, Ting Kong mana berani menampik?
Cu ciankwe telah menitahkan orang untuk menyiapkan beberapa macam sayur yang tidak
pedas, tapi bocah ayu itu tiba tiba menghela napas panjang, lalu berkata:
“Aku benar benar tidak habis mengerti, kenapa setiap hari masih ada juga orang orang kita
yang melakukan pekerjaan yang salah?”
373
Perkataan itu masih diucapkan olehnya dengan lemah lembutnya, tapi setelah mendengar
perkataannya itu, paras muka Cu ciangkwe segera memperlihatkan rasa ngeri dan takut yang
amat tebal.
Apalagi Oh Pocu, peluh sebesar kacang telah membasahi seluruh jidat dan tubuhnya.
Pemuda ayu itu berpaling ke arah Cu ciangkwe, lalu bertanya:
“Hari itu, setelah keluar dari pintu Tio Bu ki telah berbelok ke arah mana?”
“Ia berbelok ke sebelah kanan!” buru-buru Cu ciangkwe menjawab.
“Pada deretan sebelah kanan, berapa banyak rumah yang berada disana. . . .?”
Cu ciangkwe agak tertawa, kemudian sahutnya:
“Tentang soal itu. . . aku belum pernah menghitungnya!”
Aku telah menghitungnya! Pemuda ayu itu menyambung cepat.
Kemudian tanpa berpikir lagi, ia berkata lebih jauh:
"Rumah pertama sebelah kananmu adalah sebuah kedai penjual barang kelontong, rumah
kedua sebelah pegadaian, rumah ketiga penjual barang antik dan lukisan kenamaan...”
Sepanjang jalan ia menghapal terus, sehingga pada akhirnya ia berkata:
“Rumah yang terakhir adalah sebuah toko penjual peti mati, besar kecil seluruhnya terdiri dari
seratus dua puluh enam buah toko”
Peluh sudah mulai membasahi wajah Cu ciangkwe.
Sudah hampir setahun lebih ia berdiam di situ, tapi tidak banyak yang diketahui, sebaliknya
pemuda ayu itu baru datang dua hari, tampaknya jauh lebih memahami daripadanya.
Pemuda ayu itu berkata kembali:
“Ketika keluar rumah makan Siu oh khong hari itu, waktu menunjukkan tengah hari baru
lewat, setiap toko sedang buka untuk berjualan, setiap toko pasti ada orangnya, apakah kau
telah bertanya kepada mereka semua?”
“Tidak!” sahut Cu ciangkwe sambil menyeka keringat pada jidatnya dengan ujung baju.
374
“Aku telah bertanya kepada mereka!” kata pemuda ayu itu.
Pelan-pelan ia melanjutkan.
“Ketika Tio Bu ki tiba di depan rumah yang ke delapan belas, sebuah kedai penjual wangiwangian,
ia sudah hampir roboh ke tanah. Nyonya majikan kedai tersebut menyaksikan
kejadian ini dengan mata kepala sendiri, ia sering duduk dibelakang meja kasir sambil
menonton laki-laki yang lewat didepan rumahnya, karena suaminya masih memiliki tiga
orang gundik. diluar rumah"
Bahkan persoalan semacam inipun berhasil ia selidiki sedemikian jelasnya, bukan saja Cu
ciangkwe merasa terkejut, diapun merasa kagum sekali.
Pemuda ayu itu berkata lagi.
"Waktu itu adalah musim semi, agaknya setiap orang tak ingin mampus dimusim semi, maka
usaha penjual peti mati diujung jalan itu kurang begitu baik. Pelayan dan para tukang kayunya
sering main kartu dalam toko, ketika itu ada seorang tukang kayu yang sedang kalah bertaruh
dan berdiri di depan pintu dengan wajah murung, dialah yang telah melihat Tio Bu ki berjalan
lewat didepan tokonya"
.....Tukang kayu itu she Yu, hari itu total jendral ia kalah tiga rencee lima hun.
.....Hari itu, kebetulan majikan mereka sedang keluar rumah, maka sehabis bersantap siang
merekapun mulai bermain gaple.
menurut penuturan tukang kayu she Yu itu, baru saja Tio Bu ki berbelok ketikungan jalan, ia
sudah menumbuk diatas tubuh seseorang. Orang itu memiliki parawakan tubuh yang tinggi
besar, wajahnya bengis bukan cuma kenal dengan Tio Bu-ki, malahan ia seperti datang kesitu
khusus untuk mencarinya, dengan cepat ia memanggil sebuah kereta kuda dan membawa Tio
Bu-ki pergi dari situ.
Setiap adegan, setiap kejadian, ia telah selidiki semua dengan teliti dan jelas, maka pada
akhirnya diapun dua kesimpulan:
.... ..Tio Bu-ki memang betul-betul termakan oleh sebatang Tok ci li kita, bahkan baru keluar
dari rumah makan Siu oh khong racun jahat itu sudah mulai bekerja.
. .....Orang yang menyelamatkan dirinya tak lain adalah orang yang kita kuntit terus semenjak
dari wilayah Cuan tiong.
Maka sekarang, tinggal satu persoalan yang belum terpecahkan.
375
......Barang siapa terkena senjata rahasia dari keluarga Tong, maka satu jam kemudian dia
pasti akan mati tak ketolongan lagi, kenapa Tio Bu ki bisa muncul kembali di bukit Kiu hoa
san?
Apakah ia belum mati!
*****
SELESAI mengutarakan semua keterangannya, pemuda ayu itu memandang ke arah Cu
ciangkwe dan menantikan pendapatnya.
Peluh dingin telah membasahi sekujur tubuh Cu ciangkwe semenjak ia mendengarkan
keterangan tersebut, bahkan Ting Kang dan To Jiang pun dibuat termangu oleh keterangan
itu.
Sebetulnya mereka selalu beranggapan bahwa cara kerja Cu ciangkwe sudah merupakan cara
kerja dari seorang yang teliti, tapi kalau dibandingkan dengan pemuda ayu itu sekarang, pada
hakekatnya Cu ciangkwe betul-betul mirip Ti pat kay (siluman babi). . . .
Sayur yang tidak pedas telah dihidangkan ternyata makanan tidak pedas yang dibuat warung
lombok ini lezat juga rasanya.
Sayang Ting Kang dan To Jiang sudah tak dapat makan lagi, sekalipun bisa makan,
merekapun tak bisa membedakan bagaimana rasanya.
Karena pada waktu itu, Cu ciangkwe telah bersembunyi di sudut ruangan dan diam-diam
tumpah.
Ia betul-betul terpampau ketakutan, saking takutnya sampai air pahit dalam lambungpun ikut
ditumpahkan keluar.
Kakek penghisap huncwe itu kelihatan agak ragu, tapi akhirnya berkata juga:
“Putra-putrinya terlalu banyak, beban keluarganya sangat berat, apalagi di rumah masih ada
seorang ibu yang tua”
“Aku tahu!” jawab pemuda ayu itu.
“Meskipun dia agak sedikit bodoh, tapi tugas tersebut toh sudah ia lakukan dengan segala
kemampuan yang dimilikinya”
“Aku tahu!”
Kakek penghisap huncwe itu menghela napas panjang, ia tidak berbicara lagi.
376
Tiba-tiba pemuda ayu itu berseru:
"Monyet kecil, kemari kau!"
Pemuda bertampang monyet itu segera beranjak dan menghampirinya, kemudian dengan
sikap penuh hormat berdiri hadapannya.
"Apalah Cia Lak adalah orang kenamaan di kota ini?” pemuda ayu itu mulai bertanya..
“Benar”
"Seandainya secara tiba-tiba ia lenyap tak berbekas, apakah akan ada banyak orang yang
mencarinya?” "Benar"
"Ketika kau mengajaknya datang kemari tadi, apakah ada orang dijalan yang berjumpa
dengannya?"
Tentu saja ada!, Cia Lak adalah searang kenamaan, tentu saja tidak sedikit jumlah orang yang
kenal dengannya.
"Kecuali mempergunakan senjata rahasia dapatkah kau membunuhnya denigan
mempergunakan cara yang lain?" kembali pemuda ayu itu bertanya.
"Dapat!"
"Kalau memang begitu, kenapa kau musti mempergunakan senjata rahasia dari perguruan
kita? Apakah ingin membiarkan orang lain tahu, kalau dari perguruan kita sudah ada orang
yang tiba di sini? Bahkan tinggal di Gang Lombok?"
Pemuda bertampang monyet yang sesungguhnya bernama Tong Kau itu tak sanggup
berbicara lagi, raut wajahnya yang bertmpang monyet itu mulai mengejang keras, bahkan
penuh diliputi oleh rasa takut dan ngeri yang amat tebal.
Padahal pemuda ayu itu sama sekali tidak mengatakan hendak msngapakan diri mereka, tapi
ia dari Cu ciangkwe sudah ketakutan setengah mati sehingga untuk berbicarapun tak mampu
lagi.
Sekarang, tentu saja Ting Kang dan To Jiang telah tahu, siapakah sesungguhnya pemimpin
di-tempat ini.
Sesungguhnya mimpipun mereka tak menyangka kalau orang itu adalah si pemuda ayu yang
lebih mirip banci ini.
377
Perasaan Ting Kang yang sebenarnya sudah mejadi "tertarik" itu, tentu saja saat ini telah
padam.
Sekali lagi pemuda ayu itu tertawa kepadanya, tiba-tiba ia bertanya dengan lembut:
"Tahukah kau, mengapa mereka demikian ketakutan?"
Ting Kang menggeleng.
Pemuda ayu itu tertawa manis, sahutnya.
"Sebab mereka tahu kalau diri mereka telah melakukan kesalahan, merekapun tahu macam
apakah diriku ini"
Sambil tersenyum ia melanjutkan:
"Aku pikir, kau tentu tidak tahu bukan manusia macam apakah aku ini ?"
Ting Kang mengakuinya.
"Dahulu, ada orang yang pernah menghadiahkan sebait kalimat kepadaku untuk melukiskan
diriku yang sebenarnya" ujar pemuda tersebut. "dan kalimat tersebut berbunyi: Kejam tak
berperikemanusiaan tak punya perasaan tanpa emosi, orang tua sendiripun tidak kenal"
Gelak tertawanya semakin riang dan gembira, lanjutnya:
"Orang itu benar-benar amat memahami keadaanku yang sebenarnya, kalimat yang ia
lukiskan tentang diriku itu memang sangat bagus sekali ......”
Dengan perasaan terkejut Ting Kang memandang kearahnya, tapi bagaimanapun ia
memandang, tidak ditemukan juga kengerian seperti apa yang telah ia lukiskan tentang
dirinya sendiri itu.
"Kau tidak percaya?" tanya pemuda ayu itu.
Ting Kang menggeleng.
Pemuda ayu itu tertawa.
"Yaa, jangankan kau, akupun kadang kala juga tak percaya!"
Tiba-tiba ia mangalihkan pembinaraannya ke soal lain, katanya:
378
"Sayur yang telah dihidangkan itu tidak pedas mengapa kalian berdua tidak mendahar lebih
banyak lagi?"
“Kami semua telah kenyang?"° jawab To Jiang.
"Benar-benar telah kenyang?"
"Yaa benar-benar telah kenyang?"
Pemuda ayu itu segera menghela napas panjang, katanya:
"Aaai, .....kalau begitu akupun bisa berlega hati, aku selalu beranggapan bahwa membiarkan
seseorang mati dalam keadaan lapar, hal itu salah sauatu peristiwa yang kejam dan tak berperi
kemanusiaan, lagipula sangat tidak sopan”
Diiringi helaan napasnya yang ringan, tiba tiba ia merentangkan ketiga buah jari tangannya
dan menotok tenggorokan To Jian dengan ujung jarinya.
Ting Kang segera menangkap suara remukkan tulang tenggorokan yang amat nyaring,
bersamaan itu pula dia melihat juga sepasang biji mata To Jiang tiba tiba melotot keluar,
napasnya tiba tiba berhenti dan sekujur tubuhnya tiba tiba mengejang kaku.
Kemudian, ia mendengus bau busuk yang menusuk hidung dan sangat memuakkan.
Pemuda ayu itu kembali memandang ke arahnya sambil tersenyum, lalu bertanya:
“Sekarang kau sudah percaya bukan?”
Ting Kang merasa tubuhnya seakan akan menjadi beku dan kaku, untuk bergerak pelanpun
tak sanggup.
Akhirnya ia paham juga kenapa CU cciangkwe ingin muntah muntah tadi, sebab saat ini
diapun ingin muntah.
Keseraman seolah olah suatu tangan besar yang tak dapat dilihat dengan mata sedang
meremas remas usus dan lambungnya dengan kekuatan yang sangat besar.
Kini ketiga buah jari tangan sang pemuda ayu yang panjang dan lembut itu telah tiba pula
diatas tenggorokannya.
Mendadak ia kerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk berteriak keras:
“Siapa kau?”
Seseorang dikala mengetahui bahwa kematian tak akan dihindari lagi, seringkali berharap
agar ia tahu sebetulnya dirinya telah mati ditangan siapa.
379
Sebetulnya hal ini merupakan suatu kebiasaan yang menggelikan, suatu perbuatan goblok
yang lucu dan mentertawakan orang, bahkan bisa membuat seseorang tertawa sehingga
empedu, air pati dan air matanya meleleh keluar.
“Aku adalah Tong Giok!” pemuda ayu itu menjawab.
*****
TONG GIOK
Setelah mendengar nama itu, Ting Kangpun segera menghembuskan napasnya yang
penghabisan lewat tenggorokannya yang telah remuk, seakan akan ia merasa bahwa
kematiannya tidak terlalu penasaran.
Bila seseoraag entah bertemu dengan Tong Giok, tentu saja dia akan tewas ditangan Tong
Giok dan pendapat ini seakan-akan sudah tercamkan dalam hati setiap orang, suatu pendapat
yang telah mendarah daging dan tak bisa dihapus lagi.
Tong Giok kembali mempergunakan selembar sapu tangan putih itu membersihkan
tangannya, caranya membersihkan tangan tak akan berbeda dari cara seorang pengumpul
barang antik sedang membersihkan benda antik kesayangannya yang bernilai amat tinggi.
Tangannya memang kelihatan seperti sebuah barang antik, sebuah benda porselen yang
mengkilap, halus dan licin.
Tapi siapapun tak akan menyangka kalau sepasang tangannya itu sanggup meremukkan
tulang tenggorokan orang hanya dengan sebuab pencetan yang ringan sekalipun.
Tiba-tiba Tong Kau berseru:
"Kalau ingin turun tangan, cepatlah turun tangan! Aku sendiri yang telah melakukan
perbuatan salah, aku tak akan menyalahkan dirimu"
"Kau telah melakukan perbuatan salah?" ujar Tong Giok, "kenapa aku sama sekali tidak
teringatnya kembali?"
Dengan terkejut Tong Kau memandang ke arahnya, lalu berbisik:
“Kau. . . . .”
Tong Giok tersenyum. kembali katanya:
380
"Kadangkala ada sementara persoalan memang cepat kulupakan lagi, jika ada orang yang
menyinggung kembali masalahnya, mungkin selama hidup aku tak akan teringatnya kembali"
Wajah Tong Kau yang diliputi rasa kaget dan tercengang, segera berubah menjadi berseri
karena kegirangan,
Tong Giok kembali bertanya pula kepada Cu ciangkwe:
"Masih ingatkah kau, apa yang telah kau lakukan tadi?"
Dengan cepat Cu ciangkwe gelengkan kepalanya berulang kali.
"Aku tidak teringat lagi, sedikitpun tidak teringat lagi" sahutnya.
Tong Giok menepuk-nepuk bahu Oh Po cu, talu berkata lagi:
"Sedang tentang kau, dirimu sama sekali tak pernah bersalah, jika aku adalah kau maka
akupun akan berbuat demikian, sebab aku tak ingin menyalahi Thio ji kongcu, aku lebih lebih
tak ingin mati diujung pedang orang lain"
Oh Po cu memandang kearahnya, rasa hormat dan penuh luapan rasa terima kasih terpancar
keluar dari balik matanya.
Meskipun orang lain yang telah dibunuh tapi hal itu sekaligus telah memberi pelajaran kepada
Cu ciangkwe dan Tong Kau yang tak akan dilupakan mereka selamanya.
Sekarang ia sedang membutuhkan pembantu, mereka semua adalah saudara-saudaranya, ia
membutuhkan tenaga-mereka untuk setiap saat membiarkan mereka beradu jiwa demi
kepentingannya.
Sekalipun cara kerjanya terhitung aneh, eksentrik, tapi sama saja dapat mencapai tujuan,
bahkan seringkali jauh lebih mujarab dibandingkan dengan cara-cara yang lain.
Tong Giok merasa puas sekali dengan penampilan rasa hormat dari orang-orang itu.
Menghormat, biasanya dapat diartikan juga sebagai kesetiaan dan ketaatan melakukan
perintah.
Ia sangat membutuhkan kesetiaan dan ketaatan orang lain terhadapnya, karena ia tahu jika dia
ingin menggantikan kedudukan ayahnya yang telah tua untuk memegang tampuk pimpinan
tertinggi dalam keluarga Tong, maka dia masih harus merangkak keatas melewati kepalakepala
orang yang setia kepadanya itu.
Saingannya yang paling besar sesungguhnya bukan Tong Oh.
381
Tong Oh terlalu sombong, sedemikian sombongnya dia sehingga segan untuk memperebutkan
kursi kebesaran tersebut dengannya.
Orang yang benar-benar ia kuatirkan adalah orang lain, setiap kali teringat akan orang itu,
bahkan dalam hati kecilpun ia akan merasakan sedikit kedinginan dan menggigil.
Tapi apa mau dikata, justru ia tak tahan untuk memikirkannya juga sampai kesitu!
Seandainya Tong Koat berada disini, entah bagaimana caranya menyelesaikan persoalan ini?
Dengan cara apa pula dia hendak menghadapi Tio Bu ki?"
*****
KAKEK penghisap huncwe itu sedang menatapnya lekat-lekat, dari balik matanya seakanakan
telah muncul kembali sesosok bayangan manusia lain.
Selama ini kakek tersebut tidak begitu suka dengan Tong Giok, tapi ia tak bisa tak setuju
dengan cara kerjanya.
Sebab cara kerja Tong Giok, hampir persis satu sama lainnya dengan cara kerja Tong Koat.
Ia masih ingat ada orang pernah berkata begitu:
“Profil Tong Giok seperti Tong Koat yang diperkecil, hubungan antara mereka berdua tak
jauh berbeda seperti hubungan Tong Ci tham dengan jikonya”
Tong Ci tham adalah kakek penghisap huncwe itu, sedang jikonya tak lain adalah Ji sianseng
yang amat termashur dalam dunia persilatan itu.
Dalam hati kecilnya kakek itu mulai tertawa getir:
Selama ini dia memang selalu menirukan lagak jikonya, tapi ia tahu selama hidup tak
mungkin ia tdapat menandingi jikonya itu.
Jika Tong Ji siangseng berada disini, tak nanti Tong Giok akan berani bersikap begitu
sombong dan jumawa seperti ini.
Walaupun dalam hati kecilnya kakek ini merasa sedih dan meneyesali nasib dirinya yang
jelek, namun perasaan tersebut tak sampai ditampilakn diatas wajahnya.
Paras mukanya selalu dan sepanjang masa kaku macam sebuah peti sebab itulah ia baru
bernama Tong Ci tham.
382
Kwalitet kayu terbaik untuk membuat peti mati adalah kayu dari jenis Ci tham, karena itu ia
bernama Tong Ci tham.
Hanya dia tak tahu, setelah mati nanti apakah dia akan memeproleh pula sebuah peti mati
yang terbuat dari kayu Ci tham.
Sudah berulang kali persoalan dia renungkan di dalam hati.
Seandainya Tong Ji sianseng sedang menghisap huncwe, Tong Giok tak akan berbatuk batuk,
sekalupun benar benar ingin batuk, diapun akan berusaha untuk menahannya.
Tong Ci tham sekali lagi menyusut huncwenya.
Ia tak ingin menyalahi Tong Giok...
Siapa pyang tak ingin menyalahi seorang manusia tak berperasaan yang bapaknya sendiripun
kau kenal?
Tapi diapun tak ingin membiarkan Tong Giok menganggap dirinya benar-benar seorang
kakek bangkotan yang tidak berharga untuk dihormati.
Seorang kakek loyo yang sudah mendekati akhir hayatnya, harus bergaul menjadi satu dengan
Tong Giok, Seorang pemuda berillian yang sinarnya mulai memancar ke empat penjuru,
bagaimanapun juga timbul pula sedikit rasa sedih dan serba salah yang tak wajar.
*****
KALI ini bukan saja Tong Giok tidak batuk dia malah membantunya mengambil kertas dan
menyulutkan api untuk huncwenya.
Bagaimanapun juga, Tong Ci-tham merasa hatinya jauh lebih lega dan nyaman.
Maka Tong Giok pun berkata kembali:
"Apakah sekarang kita sudah dapat memastikan hari itu Tio bu-ki benar-benar telah terkena
senjara rahasia dari perguruan kita atau tidak?"
Untuk memperlihatkan rasa hormatnya terhadap orang tua, tentu saja pertanyaan ini diajukan
kepadanya.
“Ya, sudah!" Tong Ci-tham mengangguk.
"Tapi kitapun telah memastikan kalau Tio Bu-ki belum mati!" lanjut Tong Giok.
"Benar!”
383
"Orang yang kita kuntit mulai dari wilayah Cuan-tiong sampai disini, memiliki ilmu
meringankan tubuh yang sangat lihay, lagi pula pandai ilmu merubah wajah, bahkan kadang
kala perawakan tubuhnya yang tinggi atau pendekpun bisa dirubah-rubah, jelas diapun
memahami pula ilmu Sut-kut-kang (ilmu menyusut tulang) yang merupakan ilmu paling sulit
untuk dipelajari"
"Benar!”
"Orang ini sudah pasti gemar bertaruh, walaupun dengan jelas tahu kalau kita sedang
menguntitnya, tapi seringkali diam-diam mengeloyor pergi untuk bertaruh, bahkan tiap kali
bertaruh tentu aklah, sedemikian kalahnya sampai seringkali harus mencuri untuk menutupi
ongkos perjalanannya.”
Setan judi semacam dia memang amat jarang dijumpai dalam dunia dewasa ini.” Kata Tongci-
tham.
“Untuk bisa memenuhi semua syarat sebagai seorang setan judi macam dia, rasanya meamng
ada seorang di dunia saat ini.”
“Kau maksudkan Samwan Kong?” mencorong sinar tajam dari balik mata Tong Ci-tham.
“Betul, memang dialah yang kumaksudkan!”
“Apakah orang ini ada permusuhan atau perselisihan dengan pihak kita. . . .?” tanya Tong Citham
lagi.
“Tiada perselisihan, ia berkunjung ke benteng keluarga Tong tak lain hanya membantu Tio
Bu-ki mencari seseorang”
“Apakah Sangkoan Jin yang sedang ia cari?”
“Benar!”
“Oleh karena itu, kau beranggapan bahwa orang yang telah menyelamatkan Tio Bu-ki hari itu
juga dia?”
“Seratus persen pasti dia!”
*****
SEKARANG mereka telah mengancingkan kancing yang pertama kuat-kuat, dikala berhasil
mengancingkan setiap kancing, mereka pun melepaskan pula suatu tali simpul yang
memusingkan mereka.
384
Sekarang mereka sedang bersiap-siap untuk membebaskan tali simpul yang kedua.
Tong Giok segera mengajukan kunci dari persoalan tersebut, katanya:
"Di sini Samwan Kong tidak berteman, tidak pula memiliki tempat untuk menyembunyikan
diri, kenapa ia musti kabur ke sini?"
Sepintas lalu persoalan ini kelihatannya gampang dan sederhana, padahal tidak mudah untuk
memecahkannya.
Tong Ci-tham memang seorang jago kawakan yang berpengalaman luas, dengan cepat ia telah
mengutarakan jawabannya.
"Yaa, karena Tio Bu ki sedang menantikan kedatangannya disini!"
Kemudian ia menjelaskan lebih jauh.
"Ia pergi kesana untuk mencarikan berita buat Tio Bu ki, tentu saja ia harus kembali kemari
untuk melaporkan hasil penyelidikannya kepada Tio Bu ki, siapa tahu kalau mereka
sebenarnya memang telah berjanji untuk bertemu muka disini"
Mencorong sinar tajam dari balik mata Tong Giok, dengan wajah kagum dan memuji,
katanya:
"Yaa, keteranganmu memang tepat dan bagus"
"Berbicara sebaliknya, kalau toh ia sudah sampai disini, berarti Tio Bu ki pasti berada disini
pula" kata Tong Ci tham lebih lanjut.
"Tepat sekali!" .
"Orang yang dijumpai si pincang hari ini, meski tampangnya telah banyak berubah, tapi toh
tiada orang yang mengatakan bahwa dia bukan Tio Bu ki!"
Oh Po-cu, si pincang she Oh ini amat setuju dengan pendapat tersebut.
Tong Ci tham berkata lagi:
"Jika dia adalah Tio Bu ki, maka dengan pelbagai cara ia pasti akan berusaha untuk bertemu
muka dengan Samwan Kong"
Setelah berpikir sejenak, katanya kembali:
385
"Sebaliknya, jika mereka sudah saling berjumpa muka, maka orang itu sudah pasti adalah Tio
Bu ki"
"Tepat sekali!"
"Oleh karena itu ........”
Oleh karena itu bagaimana? ia tidak melanjutkan lagi.
Persoalan ini sebenarnya merupakan suatu masalah yang penuh liku-liku dan suatu masalah
yang perlu otak yang kuat untuk menelusuri serta memecahkannya, tapi ia sudah tua, makin
hari otaknya makin lemah, tampaknya agak kewalahan juga kakek itu untuk mengatasi semua
masalahnya.
Dengan cepat Tong Giok membantunya untuk berbicara lebih lanjut:
"Oleh karena itu asal kita dapat menemukannya, berarti dapat pula menemukan Tio Bu ki!"
"Masa kita masih dapat menemukan dirinya?" tanya Tong Ci tham agak keheranan"
Tong Giok tertawa.
"Sekalipun kita tak mampu menemukan dirinya, diapun akan membuat kita dapat menemukan
kembali jejaknya!"
Tong Ci tham semakin tidak berhasil mengerti, terutama terhadap perkataannya yang terakhir
itu.
"Aku sengaja membiarkan dia dapat meloloskan diri dari penguntilan kita, tujuannya tak lain
agar ia dapat berjumpa dengan Tio Bu ki dan menyelidiki apa tujuan sebenarnya dari
kunjungannya kebenteng keluarga Tong"
"Kenapa?" Tong Ci tham mesib juga tidak mengerti.
"Sebab bilamana mereka telah berjumpa, maka Tio Bu ki akan segera tahu kalau dari pihak
keluarga Tong sudab ada tiga orang yang menguntil sampai disini"
"Betul!"
"Bila kau adalah Tio Bu ki dan mengetahui kalau dari pihak keluarga Tong ada tiga orang
telah sampai di wilayah kekuasaan Tay-hong-tong, dapat kah kau biarkan ketiga orang itu
pulang lagi dalam keadaan selamat?"
"Tidak mungkin!"
386
"Diapun berpendapat demikian, maka jika dia ingin membunuh kita, maka pertama-tama ia
harus menemukan diri kita?" kata Tong Ci tham cepat.
"Oleh sebab itulah dia pasti akan pergunakan Samwan Kong sebagai umpan untuk
memancing kita tiga ekor ikan besar!"
Seperti baru menyadari akan hal itu, dengan cepat Tong Ci-tham berseru lagi:
"Oleh sebab itu sekalipun kita tak berhasil menemukan Samwan Kong, diapun pasti akan
membiarkan kita dapat menemukannya kembali!"
Tong Giok tersenyum.
"Oleh sebab itu juga, asal kita dapat menemukan Samwan Kong, kitapun dapat menemukan
pula diri Tio Bu- ki.
Sekarang simpul mati yang kedua telah terbuka, kancing kedua pun telah dikaitkan kencangkencang.
"Didalam keadaan seperti ini, Tio Bu-ki seperti akan mengatur suatu jebakan dan membiarkan
kita masuk perangkap!" Tong Giok lagi-lagi berbicara.
"Betul!" Tong Ci- tham mengangguk.
"Dia pasti akan bersembunyi ditempat kegelapan, menanti Samwan Kong berhasil
memancing kemunculan kita, maka dari balik kegelapanpun dia akan melancarkan sergapan
kilat, asal sergapannya itu mematikan dan salah seorang diantara kita berhasil dibunuhnya
lebih dulu, maka dua orang sisanya, dengan kekuatan ilmu silat yang mereka miliki tentu
dapat mengatasi secara mudah. Apalagi mereka bisa minta bantuan dari kantor cabang Tayhong-
tong disini untuk membantu pihaknya."
"Itukan menurut perhitungannya!" kata Tong Ci-tham sambit tertawa dingin.
"Berbicara dari sudutnya, perhitungan semacam ini tidak termasuk perhitungan yang salah,
sebab dia tak akan menyangka kalau kita berhasil memperhitungkan kehadirannya di sini"
"Padahal hal tersebut justru sangat penting!" ucap Tong Ci-tham lagi .
"Yang lebih penting lagi, ia sama sekali tak tahu kekuatan yang sebenarnya kita miliki"
sambung Tong Giok.
"Tapi paling tidak dia kan sudah tahu kalau dari pihak kita sudah ada tiga orang yang datang!"
387
"Tapi ia tak tahu siapakah ketiga orang itu? Hal mana masih belum cukup untuk
memperhi-tungkan kekuatan kita yang sebenarnya"
"Tentu saja mereka lebih lebih tak menyangka kalau Tong Giok pun telah ikut datang" Tong
Ci-tham menambahkan dengan suara tawar.
Tong Giok tetap santai, seolah-olah sindiran tersebut sama sekali tak terdengar olehnya,
katanya kembali:
"Sewaktu berada di rumah penginapan kecil di wilayah Cuan see tempo hari, aku sengaja
menyerangnya tanpa mengena pada sasaran, bukan cuma membiarkan ia berhasil kabur,
bahkan membawa lari juga sebatang Tok ci li kita, hal tersebut tak lain bermaksud agar ia
menilai rendah kekuatan kita yang sebenarnya, agar dia mengira kalau Tok ci li tersebut sudah
merupakan senjata rahasia terlihay yang kita miliki"
Setelah tersenyum, pelan-pelan dia melanjutkan: "Mengetahui diri mengetahui lawan, dengan
begitu setiap pertempuran baru bisa dimenangkan, jika ia sampai menilai rendah kekuatan
kita, maka itu berarti mereka sedang mencari jalan kematian buat diri sendiri!"
Pelan-pelan Tong Ci-tham menghembuskan napas panjang, ucapnya:
"Oleh sebab itu pula, dalam pertarungan yang akan kita hadapi nanti, hanya kemenangan yang
bakal kita raih"
"Tapi merekapun bukan berarti sudah tidak memiliki prasyarat lagi yang sekiranya bisa
menguntungkan pihaknya!" kata Tong Giok.
"Prasyarat apakah itu?"
"Tempat ini adalah wilayah kekuasaan Tay-hong-tong, paling tidak mereka sudah menang
dalam soal daereh!"
Tong Ci-tham mengakui kebenaran dari perkataan tersebut.
"Tentu saja merekapun menaruh rasa was-was terhadap kehebatan dari senjata rahasia
keluarga Tong, oleh sebab itu mereka pasti akan mencari suatu tempat yang paling
menguntungkan bagi pihaknya untuk Mempersiapkan jebakan tersebut.
"Tempat yang bagai manakah baru akan menguntungkan bagi pihaknya?"
"Pertama, tempat itu harus merupakan sebuah tanah lapang yang luas, agar mereka
mempunyai tempat yang cukup untuk menghindarkan diri"
"Ehmm, betul!".
388
"Kedua, tempat tersebut harus memiliki banyak tempat yang dapat membuat mereka
menyembu-nyikan diri secara baik"
Setelah berhenti sejenak, ia menjelaskan lebih jauh:
"Seperti misalnya pohon, benda ini merupakan suatu tempat yang baik untuk bersembunyi,
jika pepohonannya rindang dan lebat maka sulitlah buat senjata rahasia untuk mencapai
sasaran"
"Ehmm, betul!"
"Ketiga tempat itu harus masih berada dalam wilayah kekuasaannya, dengan demikian
mereka dapat menyiapkan orang-orangnya disekitar tempat tersebut secara aman dan rahasia
terjamin misalnya saja jika tempat itu adalah sebuah rumah makan maka mereka dapat
mengganti semua pelayan dan ciangkwe rumah makan tersebut dengan anak murid Tay-hong
tongnya ."
"Inipun betul juga!"
"Tapi sayangnya, setiap hal yang ada untungnya pasti ada ruginya, jika mereka berbuat
demikian maka ada pula kejelekan-kejelekannya yang merugikan pihak mereka"
"Apa kejelekan-kejelekannya" kembali Tong Ci-tham bertanya dengan perasaan tak habis
mengerti.
"Tempat semacam itu sudah pasti tidak terlalu banyak jumlahnya, jika kita menebak secara
jitu tempat macam apakah yang bakal dipilihnya, maka asal kita pergunakan cara yang sama
dengan menyembunyikan juga orang-orang kita disana habis sudah rencana bagus mereka
tersebut ..... "
"Aku tahu tempat manakah yang memiliki syarat-syarat seperti itu!" tiba tiba Cu ciangkwe
berkata.
Jilid 14________
TONG GIOK segera tersenyum, katanya:
"Aku memang sedang menunggu jawaban darimu !"
"Disebelah selatan kota terdapat sebuah hutan lebar yang dinamakan Say cu lim (hutan singa),
bukan cuma tanahnya yang luas, banyak pula pepohonannya, tempat itu merupakan sebuah
rnmah makan di alam terbuka, dan kebetulan juga tauke rumah makan itu adalah sahabat
karib Ciao In, itu ketua cabang kantor Tay hong tong disini!"
389
Setelah berhenti sejenak, ia menerangkan lebih jauh:
"Sudah cukup lama Ciau In bercokol dikota ini menjabat kedudukannya sebagai kepala kantor
cabang Tay hong tong!"
Tong Giok tertawa lebar, katanya kemudian:
"Buat mereka, tempat semacam itu memang terhitung suatu tempat yang paling bagus!"
Agaknya Cu ciangkwe ingin menebus dosanya dengan membuat pahala, penampilannya
sekarang tampak begitu bersemangat dan begitu menjual tenaga.
Terdengar ia bertanya kembali dengan cepat:
"Sekarang dengan cara bagaimanakah kita akan mempersiapkan orang-orang kita?"
"Aku harus berkunjung lebih dulu ke tempat lokaasinya sebelum mengambil keputusan"
"Peninjauan akan dilakukaa kapan?"
"Aku pikir mereka pasti akan memilih besok sebelum senja untuk mulai melancarkan operasi
ini, oleh karena itu kitapan tak perlu terlalu tergesa-gesa untuk melakukan pekerjaan ini"
Setelah tertawa, kembali ujarnya:
"Mulai sekarang sampai senja besok, hampir ada sepuluh jam lamanya waktu yang kita miliki
aku pikir sepuluh jam yang tersedia tersebut sudah cukup buat kita untuk mengerjakan banyak
urusan"
Sepuluh jam memang merupakan suatu jumlah waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan
banyak persoalan, tapi apa saja yang telah mereka kerjakan selama ini?
"Operasi kita selama ini merupakan operasi yang pertama kalinya buat kita dipusat wilayah
kekuasaan Tay hok-tong karena itu kalau tidak bergerak masih tidak mengapa, sekali bergerak
hasilnya harus mengejutkan sehingga paling tidak harus menyuramkan ke wibawaan mereka
dimata orang banyak!"
Sepasang mata yang sebenarnya begitu lembut, halus dan menawan itu, mendadak berubah
menjadi begitu tajam melebihi tajamnya sembilu.
Dengan suara hambar ia berkata lebih jauh:
390
"Kali ini bukan saja kita akan membunuh Samwan Kong, membunuh T"io Bu ki, membunuh
Ciau In, kitapun akan membunuh semua orang Tay hong-tong yang berada disini ...."
Setelah mengucapkan empat kali kata "membunuh", namun senyuman lembut kembali
menghiasi ujung bibirnya.
Angin berhembus kencang, tiba-tiba dari tengah udara berkumandang suara guntur yang
menggelegar memekikkan telinga.
Sambil tersenyum Tong Giok kembali berkata:
"Kali ini kita akan membasmi orang-orang Tay hong tong ke akar-akarnya!"
Sementara itu, Samwan Kong telah memberikan jawaban yang pasti untuk Bu-ki.
Benar Sangkoan Jin memang berada di Benteng keluarga Tong!"
*****
SALING BERHADAPAN
BUNYI guntur menggelegar diudara, hujanpun turun dengan amat derasnya ......
Bu ki masih saja duduk diujung perahu tidak bergerak, dengan cepat curahan hujan deras
membasahi sekujur tubuhnya.
Sejak kecil ia sudah amat membenci dengan hujan, bila tiap kali hujan sedang turun, ia selalu
mengurung diri dalam kamar dan menbaca kitab-kitab sembahyangan yang hingga kini pun
belum pernah dipahami olehnya .........
Tapi sekarang ia tidak terlalu membenci dengan hujan tersebut, sebab paling tidak air hujan
bisa membuat kepala dan otaknya menjadi lebih dingin.
"Sangkoan Jin ternyata ada di Benteng keluarga Tong!"
Sekarang ia telah mengetahui jejak dari musuh besarnya, dengan cara apakah dia hendak
menuntut balas atas sakit hatinya ini?
Bangunan benteng keluarga Tong luas sekali, aku tak dapat memastikan ia sebenarnya berada
dimana, aku hanya pernah mendengar bahwa ia sudah kawin dengan seorang adik perempuan
pocu, bahkan kini sudah menjadi salah seorang diantara beberapa orang anggota staf
terpenting yang mengurusi kelurga Tong"
Sangkoan Jin sudah lama kehilangan istrinya karena ditinggal mati.
391
Politik keluarga Tong terhadap pihak luar, persis seperti taktik politik yang pernah di
pergunakan pihak pemerintah Han dimasa lalu, yakni gemar menggunakan hubungan
"berbesan" untuk mengikat tali hubungan.
Perkawinan dari Sangkoan Jin ini pada hakekatnya telah menjadi semacam bukti bahwa
antara dia dengan keluarga Tong sudah terikat suatu hubungan yang erat.
"Belakangan ini, jumlah anggota keturunan keluarga Tong bertambah makmur, jago lihaynya
bertambah banyak, sejak berserikat dengan pihak Pek-lek tong, kekuasaannya bertambah
besar, Tong ji siangseng dan Tong Oh, Tong Giok sekalian meski bernama lebih termashur
dalam dunia persilatan tapi dalam benteng keluarga Tong sesungguhnya masih terdapat
banyak sekali jago-jago lihay tak ternama yang mungkin jauh lebih menakutkan dari pada
mereka"
Padahal persoalan-persoalan semacam ini tak perlu Samwan Kong terangkan, karena Bu-ki
pun telah memahaminya..
Setelah melewati suatu masa penderitaan yang cukup sengsara, ia jauh lebih matang daripada
dugaan siapapun atas dirinya.
*****
SAMWAN KONG telah barsembunyi dibalik ruang perahu, ia tak tngin kehujanan, tapi
diapun tidak keberatan orang lain kehujanan.
Akhirnya Bu ki menengadah juga dan memandang ke arahnya, tiba-tiba ia berkata sambil
tertawa:
"Aku tahu, apa yang sedang kau pikirkan sekarang".
"Oya ?" Samwan Kong agak terkejut.
Kembali Bu-ki tertawa.
"Kau kuatir aku pergi ke benteng keluarga Tong untuk menghantar kematianku!" katanya.
Samwan Kong mengakui kebenaran dari ucapan tersebut.
"Tapi kau tak usah kuatir" kata Bu-ki lagi "Akue sudah bukan manusia dungu yang bisanya
cuma terbelalak dengan muka tertegun lagi, aku bukannya seorang bocah cilik yang cuma
tahu mengadu jiwa dengan musuh besarnya. Akupun tak akan menangis sampai air mataku
bercucuran, atau mata menjadi merah karena sedih, tak nanti aku akan menyusup ke dalam
benteng keluarga Tong dengan begitu saja untuk mencari Sangkoan Jin"
392
Sikapnya berubah menjadi mantap dan tenang, terusnya:
"Karena sekarang aku telah tahu, menderita dan terburu napsu hakekatnya tak akan mampu
untuk menyelesaikan pelbagai persoalan, semakin menderita kau, musuhmu semakin senang,
semakin terburu napsu kau, musuhpun semakin girang"
Kali ini Samwan Kong tertawa, ujarnya:
"Aku memang sudah tahu kalau kau bukan manusia sejenis telur busuk kecil yang pura-pura
berlagak seperti seorang berbakti kepada orang tuanya.”
"Tadi kau masih melihat aku tertipu, tapi aku jamin peristiwa tersebut merupakan kejadian
yang terakhir kalinya bagiku"
"Semoga saja betul-betul memang untuk terakhir kalinya " Samwan Kong kembali tersenyum.
“Akupun dapat menjamin kepergianku kali ini bukan untuk menghantar kematian dengan
percuma, selama Sangkoan Jin masih hidup, aku tak akan mati duluan.”
Ia tidak menggertak gigi mengangkat sumpah, diapun tak mengtarakan kata-kata sesumbar,
penampilannya yang tenang tersebut sebaliknya malah justru lebih mencerminkan kebulatan
tekadnya.
"Aku pun tak akan membiarkan tiga orang yang sepanjang jalan menguntil dirimu terus
menerus itu pulang dari sini dalam keadaan hidup!" kata Bu ki dengan tegas.
"Apa yang hendak kau lakukan?" Samwan Kong bertanya.
Bu ki cuma termenung, tiada jawaban.
"Kalau ingin memancing ikan, kita harus memilih tempat yang baik" kata Samwan Kong,
"aku tahu ditempat ini terdapat sebuah hutan yang bernama Say cu lim, tempatnya luas dan
banyak pepohonannya.. .... "
"Aku tahu tentang tempat itu, aku pernah kesana!" tukas Bu ki sebelum ia menyelesaikan
kata-katanya.
"Tempat yang luas dan lebar lebih mudah digunakan untuk menghindari senjata rahasia,
tempat yang banyak pepohonannya lebih gampang dipakai untuk tempat persembunyian"
"Tapi tempat yang luaspun lebih gampang buat mereka untuk melarikan diri, lagi pula mereka
berada dalam kegelapan sekarang, sedang yang membantu kita masih terlalu minim"
393
"jadi menurut anggapanmu tempat itu tidak bagus?"
"Tidak bagus!"
"Jadi kalau begitu kau .....”
"Bagaimana caranya kau menyusup kedalam benteng keluarga Tong?" tiba-tiba Bu ki
menukas pembicaraanya sambil mengajukan pertanyaan semacam itu.
"Sekilas pandangan, keluarga Tong ibaratnya suatu kota yang amat ramai, didalamnya
terdapat beberapa buah jalan raya, beberapa puluh buah toko dan rumah makan, asal kau
dapat mengatakannya maka disanapun akan kau jumpai"
"Kalau memang ada toko disana, itu berarti tak bisa dihindari lagi mereka tentu mempunyai
hubungan dengan orang luar dalam soal perdagangan"
Samwan Kong tertawa.
"Tepat sekali" katanya, "oleh karena itu akupun menyamar sebagai seorang pedagang besar
yang datang dari Liau tang dengan membawa separtai besar Jinsom asal tiang pek san dan
separtai besar dagangan kulit domba, dengan gaya pedagang yang murni aku memasuki
benteng keluarga Tong"
"Kemudian, secara bagaimana mereka bisa mengetahui kalau toa tauke ini sesungguhnya
seorang tauke gadungan?"
"Dalam keluarga Tong terdapat seorang telur busuk kecil, ketika sedang kalah bertaruh
diapun hendak main gila denganku, perbuatan itu ketahuan aku maka kuhajar dirinya habishabisan,
kemudian ia tidak melanjutkan kembali kata-katanya.
Dalam keadaan seperti ini, ia masih bertaruh, masih juga memukuli orang, tentu saja ia
merasa agak rikuh untuk menceritakan kesemuanya secara terus terang.
Bu-ki tersenyum, katanya:
"Aku jadi teringat dengan sepatah kata lama yang sering dipakai oleh para setan judi.”
"Kata-kata lama biasanya adalah kata-kata yang baik, sedikit banyak tentu punya alasan yang
cukup kuat"
"Seringkali, arti kata dari suatu kalimat belum tentu hanya menunjukkan satu hal saja.”
"Tapi, bagaimanakah bunyi dari ujar-ujar lama tersebut?" tanya Samwan Kong ingin tahu.
394
"Apa yang dihabiskan dalam perjudian harus dirampas kembali pula lewat perjudian!"
Haaahhh. . . . haaahhh. . . . haaahhh. . . . yaa, kata-kata ini memang amat cocok, ucapan
tersebut memang sangat masuk di akal!" seru Samwan Kong sambil tertawa terbahak-bahak.
"Tempo hari, mereka berhasil menangkap ekormu dari meja perjudian, maka kali ini apa
salahnya jika kau biarkan mereka menangkap ekormu sekali lagi.”
"Selama tugas itu diembel-embeli dengan judi, aku pasti akan setuju!" kata Samwan Kong
tertawa.
"Walaupun pepohonan merupakan tempat persembunyian yang baik, tapi masih ada sesuatu
yang jauh lebih baik lagi dari pada pepohonan tersebut."
Benda apakah itu?”
"Manusia!"
Setiap tempat yang ada tempat judinya, disitu pasti ada orang, asal pertaruhannya berlangsung
seru, maka manusia yang berkumput di sana pasti tak sedikit jumlahnya.
Dimana Samwan Kong hadir, tentu saja tempat itu tak mungkin tak akan ramai.
Tiba-tiba Samwan Kong mcnggelengkan kepalanya sambil berseru:
"Cara ini tidak baik!"
"Kenapa tidak baik?"
"Senjata rahasia dari keluarga Tong tidak bermata, andaikata sampai menghajar ditubuh orang
lain, bukankah orang-orang itu akan mati dengan penasaran?"
"Keluarga Tong bukan komplotan urakan yang bertindak secara ngawur, bagaimanapun juga
mereka adalah orang-orang dari keluarga persilatan, merekapun memiliki peraturan rumah
tangga yang ketat, apalagi senjata rahasia mereka berharga sekali, tak nanti mereka akan
sembarangan mempergunakan senjata rahasianya, apalagi sebelum yakin jika serangannya
akan memberikan hasil yang diharapkan!"
Setelah tertawa, kembali ujarnya:
"Oleh karena itu semakin banyak orang disana semakin kalut suasananya, mereka semakin tak
berani melepaskan senjata rahasianya secara sembarangan!"
395
"Tapi didalam kekalutan suasana seperti itu bukankah kitapun sama saja sulit untuk
menemukan mereka?"
"Kita pasti akan berhasil menemukan mereka!"
"Kenapa?"
"Sebab Tay hong tong mempunyai kantor cabangnya disini, paling tidak dalam sebuah kantor
cabang tentu teedapat puluhan orang saudara yang bersedia membantu kita"
Akhirnya Samwan Kong paham juga, katanya kemudian:
"Oleh karena itu, orang yang akan berjudi denganku, semuanya adalah saudara-saudara dari
Tay hong tong"
"Yaa betul, setiap orang adalah orang sendiri!"
“Tapi kau harus memperlihatkan lebih dulu wajah-wajah mereka semua kepadaku!"
"Bahkan akupun bisa meninggalkan tanda rahasia di tubuh mereka yang hanya dipahami oleh
mereka sendiri, orang lain tak akan melihat tanda rahasia tersebut, maka jika orang-orang dari
keluarga Tong muncul disitu....."
"Maka keadaaaaya seperti tiga ekor tikus yang kecebur dalam tepung, bahkan seorang
butapun dapat menanggap mereka keluar!" sambung Samwan Kong sambil tettawa tergelak.
"Benar, benar sekali!" Bu ki ikut tertawa.
Tiba-tiba Samwan Kong menggelengkan kepalanya lagi.
"Cara ini tidak baik, paling tidak ada sedikit yang tidak baik !" katanya.
"Bagaimana yang kurang baik?"
Samwan Kong tertawa terbahak-bahak.
"Kalau orang yang bertaruh denganku semuanya adalah saudara-saudara sendiri, aku kan
menjadi rikuh untuk menangkan uang mereka!"
Suara guntur membelah bumi, hujan kembali turun dengan derasnya seperti diguyurkan dari
langit.
396
Cia In sedang berdiri ditepi jendela sambil memandang hujan deras yang mirip sebuah tirai
tersebut, sebenarnya dia bermaksud hendak menutup jendela, tapi entah mengapa, tiba tiba
saja ia menjadi berdiri terkesima disana.
Tempat ini adalah suatu tempat yarg kering, sudah lama sekali belum pernah turun hujan
sede-ras ini.
Dia masih ingat, hujan deras terakhir turun pada bulan sembilan tahun berselang.
Dia masih ingat jelas hal itu, karena pada malam tersebut ia telah kedatangan dua orang tamu
agung, yaitu satu adalah Ci Peng sedang yang lain adalah Toa siocia dari keluarga Tio, Tio
Cian-cian.
Sebenarnya waktu itu adalah musim gugur yang berhawa kering, disiang hari panasnya bukan
kepalang, sedang hujan deras pada malam harinya segera mengguyur panas disiang harinya,
ia telah menyiapkan sedikit sayur arak ditambah buah untuk menikmatinya seorarg diri.
Pada saat itulah. Ci Peng dan Cian-cian telah datang, bahkan keadaan mereka mengenaskan
sekali.
Kemudian ia baru tahu kalau mereka sudah berdiam selama due bulan diatas bukit Kiu hoasan
demi menemukau jejak Bu ki, siapa tahu bukan saja Bu ki tidak ditemukan, malah
sebalikmpa Hong nio ikut lenyap tak berbekas. . . .
Watak toa siocia tersebut betul-betul jelek sekali, terhadap Ci Peng selalu saja ia membentak
atau mengahrdik seenaknya, sedikitpun tidak bermaksud memberi muka kepadanya.
Tapi Ci Peng sedikitpun tidak marah.
Semenjak Hong-nio lenyap tak berbekas, sepasang muda-mudi ini hidup sendirian di atas
bukit yang terpencil, apa yang kemudian terjadi atas diri mereka berdua?
Tentu saja Cia In tidak bertanya, dia tak berani untuk menanyakan persoalan semacam itu.
Selamanya dia adalah seorang manusia yang bersikap teliti dan tahu diri, walaupun tak pernah
melakukan suatu pakerjaan besar, dia pun tak pernah melakukan pelanggaran besar.
Sekalipun ia selalu merasa bahwa Ci Peng terlalu lemah dan mengalah, bukan berarti ia jemu
terhadap pemuda yang mau berjuang untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi ini, bahkan
diapun akan merasa gembira sekali bila Ci Peng dapat mempersunting Tio-siocia ini.
Maka dari itu, dia menitahkan orang untuk menambah arak, menambah sayur dan
menyiapkan kamar tamu.
397
Tapi Tio toa-siocia bersikeras hendak berangkat lagi pada malam itu juga, mereka berkunjung
kesana tak lebih karena ingin mencari ongkos jalan, nona itu minta tiga ribu tahil perak.
Tiga ribu tahil bukan termasuk suatu angka yang kecil, jumlah tersebut sudah cukup bagi
mereka untuk pergi kc tempat yang jauh sekali, hendak kemanakah toa siocia?
Ciau In pun tidak bertanya.
Banyak yang dikerjakan banyak pula kesalahannya, banyak bicara hanya mengundang
datangnya bencana, semakin banyak persoalan yang diketahui, semakin banyak juga kesulitan
yang dihadapi.
Itulah merupakan dasar teori paling penting yang harus dicamkan oleh setiap manusia.
Justru karena ia selalu dapat memegang teguh teori tersebut, maka dalam jabatannya yang
sekarang ini ia bisa bercokol selama dua puluh tahun lamanya.
Dua puluh tahun bukan suatu jangka waktu yang terlampau singkat.
Dalam peristiwa "Heng-in Pacu" si macan tutul yang mujur tahun berselang, ia bukannya
tidak mendengar tentarg hal tersebut, diapun bukannya tidak tahu kalau Heng-in pocu tak lain
adalah Toa-kongcu dari Tio Kian, Tio Jiya.
Tapi oleh karena Bu ki tidak datang mencarinya, maka diapun berlagak seolah-olah tidak
tahu.
Hari ini Samwan Kong datang berkunjung, ia disuruh menyambut kedatangan seseorang,
siapakah orang itu? Sedikit banyak dalam hati kecilnya telah ada perhitungan.
Tapi, kalau toh orang lain tidak mengatakannya, buat apa pula ia mesti banyak urusan?
Lebih banyak yang dikerjakan lebih banyak pula kesalahan yang akan dilakukan, makin
sedikit yang dkerjarkan makin sedikit pula kesalahannya, apalagi kalau tiada sesuatu yang
dikerjakan, pasti tiada kesalahan juga yang akan dilakukan.
Seseorang yang telah berusia enam puluh tahun lebih, apakah masih ingin terlalu
menonjolkan diri? Apakah dia masih ingin melangkak lebih ke atas lagi, menjadi seorang
Tongcu?”
Sekarang ia sudah mempunyai sedikit tabungan, di luar kotapun memiliki beberapa hektar
sawah yang penanamannya diserahkan kepada dua orang buruh tani untuk mengerjakannya,
tiap tahun ia tinggal memungut hasil penanamannya saja.
398
Sejak istrinya mengidap penyakit asma, mereka tidur berpisah kamar, tapi tak pernah terlintas
dalam ingatannya untuk mencari bini muda lagi, apalagi terhadap dayang-dayang dalam
rumahnya, ia lebih-lebih tak pernah menyentuhnya.
Peraturan dalam Tay-hong tong sangat ketat, ia tak boleh membiarkan orang lain
membicarakan soal isengnya secara diam-diam.
Akan tetapi setiap kali dalam Liu cun wan didalam kota sana datang seorang nonva cilik yang
masih baru dan orisinil! dari pihak rumah pelacuran tersebut pasti akan mengirim orang untuk
memberi kabar kepadanya, kemudian diapun akan mengatur suatu tempat pertemuan yang
sangat rahasia, untuk menikmati malam syahdu tersebut dengan penuh kenikmatan.
Barter semacam itu merupakan suatu transaksi perdagangan yang sama-sama tidak saling
merugikan, dia tak perlu malu atas perbuatannya itu, diapun tak perlu kuatir atas terjadinya
banyak kesulitan atas kejadian tersebut .....
Apalagi didalam usianya yarg lanjut seperti ini, ternyata ia masih cukup "bertenaga" untuk
melakukan pekerjaan semacam ini, sedikit banyak timbul juga perasaan girang dalam hatinya.
Setiap kali selesai "bekerja", ia selalu merasakan semangatnya menjadi segar dan berkobar
kembali, semangat kerja pun akan berlipat ganda.
Oleh karena itu ia sudah merasa puas sekali dengan cara hidupnya yang sekarang ini.
*****
UDARA kembali terasa agak dingin, dia ingin menyuruh Po-hok menyiapkan sedikit arak dan
sayur, sebab pada setiap malam yang sedang hujan deras, ia selalu suka minum dua cawan
arak.
Popohok adalah pelayan kepercayaannya, sudah hampir dua puluh tahun lebih ia bekerja
mengikutinya, dihari-hari biasa jarang sekali ia berpisah dari sisinya.
Tapi hari ini sudah dua kali ia berteriak memanggil namanya, namun belum ada juga suara
jawabannya.
Usia Po-hok tidak terhitung kecil, telinganya sudah tidak setajam dahulu lagi, lewat beberapa
waktu kemudian, sudah sepantasnya kalau ia diberi kesempatan untuk menikmati sisa
hidupnya dengar aman, tenang dan penuh kebahagiaan.
Po hok, po-hok, hanya mereka yang tahu bagaimana caranya melindungi (Po) rejekinya
(Hok), baru benar-benar akan mendapat rejeki sepanjang waktu ......
399
Ciau In menghela napas dalam hatinya kemudian pelan-pelan berjalan kedepan pintu dan
berteriak kembali memanggil nama pelayannya"
Dari luar segera terdengar suara sahutannya: "Aku sudah datang!"
Baru saja jawaban itu terdengar, seseorang telah melayarag masuk dengan kecepatan luar
biasa.
Ia bukan berjalan masuk, pun bukan berlarian tapi melayang, melayang masuk bagaikan
sebatang balok kayu kemudian seperti pula sebatang batok kayu tergeletak diatas tanah, tak
berkutik lagi.
Orang itu memang Po hok, cuma ia sudah tak bernapas lagi, sebab tulang tengkuknya sudah
dipatahkan orang.
Sekujur tubuh Ciau In menjadi dingin dan kaku, dan merasa tubuhnya seakan-akan tercebur
ke dalam gudang es yang dingin sekali.
Suara guntur kembali menggelegar di angkasa, kilat ikut menyambar-nyambar.
Ia menjumpai seseorang sambil membawa sebuah payung berdiri dibawah wuwungan rumah,
tepat dihadapannya sana.
Tapi menunggu suara guntur menggelegar untuk kedua kalinya, tahu-tahu orang itu sudah
berdiri persis didepan matanya.
Dia adalah seorang pemuda yang masih muda belia, mukanya halus dan ayu, kulitnya putih
kemerah-merahan sehingga sepintas lalu lebih mirip seorang gadis daripada seorang pemuda.
Tentu saja ia tak tahu kalau orang ini tak lain adalah orang yang paling keji dan perbuatannya
paling kejam diantara anak keturunan keluarga Tong lainnya. . . . Tong Giok adanya.
Namun dengan pengalaman yang dimilikinya selama banyak tahun ia sudah merasa bahwa
dengan kemunculan orang ini, maka kehidupannya yang aman dan tenang selama inipun akan
berakhir.
Ia saksikan orang itu pelan-pelan melipat payung kertasnya dan meletakkan dibelakang pintu,
ia selalu berusaha mengendalikan perasaannya, berusaha untuk bersikap setenang mungkin.
Akhirnya Tong Giok mendongakkan juga kepalanya dan memandang kearahnya sambil
tertawa.
"Bukankah Po hok telah datang?" demikian ia berseru, "siapa lagi yang hendak kau cari?”
400
Gelak tertawanya bertambah riang, katanya lebih jauh.
"Empat puluh tiga orang saudaramu dalam kantor cabang ini telah datang semua dan kini
sedang menunggu diluar halaman sana, bila aku memanggil mereka akan datang, cuma
...tentu saja mereka tak bisa datang sendiri tanpa bantuanku"
Ciau In merasakan hatinya tertekan seakan-akan terjatuh dari atas bukit yang puluhan ribu
kaki tingginya.
Walaupun orang itu berbicara dengan suara yang lembut dan senyuman manis menghiasi
seluruh bibirnya, namun ia membawa hawa pembunuhan yang menggidikkan hati.
Bila manusia semacam ini berkata bahwa ia telah membunuh empat puluh tiga orang, maka
sudah pasti ke empat puluh tiga sosok mayat itu telah berbaring dalam halaman, tak mungkin
akan kurang walau hanya sesosokpun.
Ciau In tahu peluh dingin telah membasahi sekujur tubuhnya, bahkan kerutan diatas wajahnya
yang mulai mengejang keraspun tak sanggup dikendalikan lagi.
Empat puluh tiga orang dengan empat puluh tiga lembar nyawa, mereka semua adalah
saudara-saudara seperkumpulannya yang berkumpul dan bergaul selama banyak tahun.
Siapakah orang ini? Kenapa ia turun tangan sekeji ini terhadap mereka semua?
Tong Giok tersenyum.
"Kau tak akan bisa menebak siapakah diriku ini, sebab ditanganku tidak mengenakan sarung
tangan kulit menjangan yang berat dan tebal itu, senjata rahasiaku pun tak akan kusimpan
dalam kantung kulit yang menjemukan, aku tak ingin orang lain segera mengetahui asal
usulku hanya dalam sekilas pandangan saja"
"Kau berasal dari keluarga Tong?" Ciau In bertanya.
"Akulah Tong Giok !"
Ciau In pernah mendengar nama ini, bahkan bukan cuma satu kali ia mendengar nama
tersebut.
Konon orang ini pernah menciptakan rekor pembunuh orang paling banyak dalam semalaman
suntuk .
Seratus tiga orang anggota Hu tau pang yang banyak tahun berselang bercokol di wilayah
Cuan-tang telah disikat habis semua olehnya hanya dalam satu malam.
401
Tiba-tiba Ciau In bertanya:
"Kau benar-benar pernah membunuh seratus tiga orang dalam semalaman suntuk?"
"Aaah, itu mah bohong!" sahut Tong Giok, dengan suara tawar ia melanjutkan:
"Aku hanya membunuh sembilan puluh sembilan orang, sedang sisanya yang empat orang
mampus lantaran ketakutan!" Ciau In segera menghela napas. "Aaai ..... kelihatannya akupun
bukan tandinganmu!" ia berbisik.
"Yaa, sudah pasti kau bukan tandinganku!"
"Sampai kapan kau baru akan membunuhku?"
Aku belum tentu akan membunuhmu!"
Apakah aku masih agak berguna bagimu”
"Yaa, sedikit saja!"
"Apakah aku harus melaksanakan perintahmu sebelum peroleh pengampunan darimu?"
"Apa yang bisa kau lakukan bagiku?" Tong Giok balik bertanya.
"Semua orang dari Tay-hong tong percaya kepadaku, walaupun saat ini semua saudaraku
telah mati tapi aku bisa mengarang sebuah cerita palsu untuk mereka dan merekapun tak akan
mencurigai diriku, karena itu aku masih bisa menjadi seorang Taucu dari kancor cabang ini,
aku dapat mempersembahkan semua rahasia Tay hong-tong kepada kalian, jika ada dari
orang-orang kalian yang datang kemari, akupun bisa mencarikan akal untuk melayaninya"
“Oooh, itu terlampau baik!"
"Aku bahkan bisa membatu kalian untuk memancing Tio Bu ki datang kemari, aku tahu
bahwa kalian tentu ingin sekali membunuhnya, membabat rumput sampai seakar-akarnya".
"Tepat sekali"
"Meskipun aku seorang tua bangkotan yang loyo, tapi orang yang semakin tua sebenarnya
semakin takut mati"
"Aku mengerti!"
402
"Aku amat senang untuk melewati kehidupan seperti sekarang ini, aku benar-benar enggan
untuk mati duluan, maka dikala senggang aku sering kali berpikir, kalau aku berjumpa dengan
keadaan seperti hari ini, apa yang harus kulakukan?"
"Menurut pendapatmu?"
"Ilmu silatku sudah lama terbengkalai, sekalipun bertarung melawanmu, paling banter hanya
akan membuat malu diri sendiri"
"Ehmm . . ! Kau benar-benar scorang manusia yang tahu diri"
"Maka dari itu sudah lama aku bertekad, seandainya menjumpai keadaan seperti ini maka aku
hanya bisa menghianati Tay hong-tong untuk menyelamatkan jiwa sendiri"
Berbicara sampai disitu, pelan-pelan ia melanjutkan:
"Seorang manusia hanya mempunyai selembar nyawa, apapun juga persoalannya, tak akan
lebih berharga dari pada nyawa sendiri"
"Yaa, perkataan itu memang tepat sekali"
"Maka jika seseorang bersedia mangorbankan jiwanya hanya dikarenakan persoalan lain,
maka orang itu sudah pasti adalah seorang telur busuk yang goblok!"
Tong Giok tersenyum.
"Tentu saja kau bukan seorang telur busuk yang goblok bukan?" katanya.
"Aku adalah telur busuk goblok yang kumaksudkan tadi!"
Agaknya Tong Giok merasakan jawaban tersebut sama sekali diluar dugaannya, cepat ia
bertanya lagi:
"Kau adalah seorang telur busuk yang goblok?"
"Hingga kini aku baru benar-benar menjumpai keadaan seperti ini, sekarang aku baru tahu
bahwa kematian dari seseorang sesungguhnya bukan suatu hal yang terlalu penting, bahkan
kadang kala daripada hidup lebih enakan mati!"
"Apakah kan bersedia menjadi seorang telur busuk yang goblok"
"Aku bersedia!"
*****
403
CIAU IN malah menubruk kedepan, menubruk ke muka dengan menggunakan segenap
tenaga yang dimilikinya, kepalannya yang keras seperti baja langsung diayunkan ke wajah
Tong Giok.
Seseorang yang bisa menjabat sebagai ketua cabang Tay-hong-tong selama banyak tahun,
tentu saja dia bukan seorang manusia yang sama sekali tak berguna.
Ia pun pernah berlatih ilmu silatnya dengan tekun, ilmu Tay-hong-kun yang dilatihnya cukup
bisa diandalkan. sekalipun sudah banyak waktu tak pernah turun tangan, tapi serangan
tersebut masih dapat dilancarkan dengan kecepatan luar biasa, apalagi disertai dengan seluruh
tenaga yang dimilikinya, tentu saja serangan tersebut benar-benar amat dahsyat.
Ia benar-benar sedang beradu jiwa!
Tapi sayang, tandingannya kali ini adalah Tong Giok.
Baru saja kepalannya diayunkan ke depan, jari-jari tangan Tong Giok yang halus telah
mematahkan tulang tenggorokkannya.
Pelan-pelan ia mundur kembali dua langkah, lalu pelan-pelan roboh terkapar keatas tanah,
seperti seorang yang amat lelah sedang membaringkan tubuhnya diatas pembaringan, ia roboh
dengan begitu pelan dan tenang.
Sesaat menjelang elmaut merenggut selembar nyawanya, orang yang takut mati ini tiba-tiba
saja menjadi sedikitpan tidak takut.
Sebab siapa menginginkan kebajikan dia akan menerima kebajikan, dan kini apa yang
diharapkan telah terpenuhi.
Ia merasa dirinya telah menunjukkan rasa baktinya kepada Tay hong-tong, iapun
menunjukkan kesetiaannya kepada empat puluh tiga orang saudaranya yang berada diluar
halaman.
Ia tak usah malu pula terhadap dirinya sendiri.
*****
MENYAKSIKAN orang yang rela menjadi seorang telur busuk yang bodoh itu terkapar
ditanah, entah apa yang dipikirkan Tong Giok?
Dikala membunuh orang, sekulum senyuman selalu akan menghiasi ujung bibirnya, tapi kali
ini senyuman tersebut hampir boleh dibilang lenyap tak berbekas.
404
Setelah membunuh orang, ia selalu akan merasakan suatu kegembiraan dan kepuasan yang
sadis dan mengerikan.
Tapi yang ini dia merasa begitu kosong, hambar dan tiada perasaan apa-apa.
Bahkan ia merasa begitu tidak bernapsu. tidak senang hati.
Sekarang ia baru mengerti apakah seseorang benar-benar pemberani atau tidak, tak akan
diketahui dihari-hari biasa.
Seseorang yang dihari biasa kelihatan lemah dan tak berguna, seringkali menun-jukkan
keberanian yang mengagumkan dikala menghadapi kematian.
Sebaliknya seseorang yang dihari-hari biasa selalu bertepuk dada sambil mengatakan tak takut
mati, biasanya setelah berada dalam keadaan demikian malah sebaliknya akan ketakutan dan
barusaha melarikan diri dari ancaman tersebut.
Tidak terasa lagi Tong Giok bertanya kepada diri sendiri.
Andaikata aku adalah Ciau In dan aku berada dalam keadaan seperti hari ini, apa pula yang
akan kulakukan?"
Dia tak ingin mengetahui jawabannya.
Dengan langkah lebar, cepat-cepat ia berjalan keluar dari ruangan dan meninggalkan tempat
itu.
*****
SEANDAINYA Ciau In benar-benar bersedia menghianati teman-temannya untuk
menyelamatkan jiwa sendiri, Tong Giok tetap saja akan membunuhnya.
Cuma perasann Tong Giok setelah membunuh orang waktu itu akan jauh berbeda sekali.
Dia akan merasakan kegembiraan yang meluap-luap, merasa sangat puas dan senang karena ia
kembali telah mempermainkan watak atau perangai manusia.
Tapi sekarang diapun mulai mengerti, disuatu saat perangai manusiapun akan berubah, sering
kali orang akan merasakan pula harga dirinya.
Sering kali orang akan merasa bahwa harga diri jauh lebih bernilai beratus-ratus kali dari
apapun didunia.
405
Jika seseorang telah berpendapat demikian, maka siapapun jangan harap bisa membuat malu
dirinya lagi.
Hal mana sedikit banyak telah menimbulkan pula rasa hormatnya terhadap "manusia"...... atau
paling tidak, dikala ia berjalan keluar meninggalkan ruangan tersebut ia mempunyai perasaan
demikian.
Walaupun belum tentu perasaan tersebut akan berdiam terlalu lama didasar hatinya..
Yaa, begitulah keadaan dari Tong Giok. seorang manusia super aneh dari keluarga Tong.
*****
ILMU HAWA DINGIN
BULAN empat tanggal tiga, udara cerah.
Semalaman suntuk Tong Ci tham tak tidur nyenyak, ketika bangun keesokan harinya ia
merasa pinggangnya linu dan tulangnya sakit, ia merasa perasaannya masgul sekali, ia
menyesal kenapa kali ini mengikuti Tong Giok keluar rumah dan melakukan perbuatan yang
sama sekali tidak disukai olehnya.
Setiap kali melakukan perjalanan, ia selalu akan menginap dirumah penginapan yang
termahal dan paling nyaman, tapi kali ini Tong Giok bersikeras menolak usulnya itu.
Maka terpaksa mereka harus menyiapkan tiga lembar pembaringan dalam rumah kayu kecil
yang gelap dan pengap dibelakang warung lombok yang kotor dan bobrok itu.
Pembaringan dari Tong Giok agaknya semalam dibiarkan kosong, sebaliknya Tong Kau yang
bertampang seperti monyet tidur begitu nyenyak sehingga mendengkur macam babi.
Cu ciangkwe serta Oh Po cu yang berada dikamar sebelah selalu berbolak balik pula diatas
pembaringannya, jelas tidur merekapun tidak nyenyak.
Hingga mendekati fajar, ia baru terlelap tidur sebentar, ketika bangun Tong Giok sudah mulai
sarapannya.
Semangkuk besar nasi goreng telur yang panas sudah dihabiskan separuh mangkuk lebih.
Napsu makannya seperti selalu baik dan besar ia selalu makan sangat banyak dan tak pernah
memilih bahan makanan.
Tong Koat yang amat memperhatikan soal makanan pernah berkata begini:
406
"Sekalipun kau memasak sebatang balok kayu, dia toh sama saja akan melahapnya sampai
habis"
Berbeda dengan pendapat Tong Oh, ia berkata begini:
"Sekalipun kau tidak memasaknya hingga matang, ia tetap bisa menghabiskannnya dengan
tenang"
Keluarga Tong bukanlah suatu keluarga yang kaya mendadak, semua anak keturunan
keluarga Tong amat menaruh perhatian terhadap pakaian dan makan minum mereka.
Satu-satunya yang terkecuali adalah Tong Giok.
Seringkali Tong Ci tham merasa heran:
Kenapa manusia semacam ini masih bisa hidup? Apakah dia hanya hidup untuk membunuh
orang?
Ia tahu, semalam Tong Giok pasti telah membunuh orang, sebab biasanya setelah membunuh
orang dia tentu mempunyai selera makan yang sangat baik.
Ketika Tong Kau dan Oh Po-cu masuk ke dalam ruangan, ia sudah menghabiskan mangkuk
yang ke tujuh.
Akhirnya ia turunkan juga sumpitnya. kemudian sambil memandang ke arah mereka dengan
senyuman dikulum, katanya:
"Aku yang menggoreng sendiri nasi itu, telah kugunakan minyak babi setengah kati serta
sepuluh butir telur ayam, rasanya sih tidak terlalu jelek, apakah kalian punya minat untuk
makan barang dua mangkok saja?"
Sepagi ini, siapa yang tega makan nasi goreng telur dengan minyak sebanyak itu?"
Tiba-tiba Tong Ci tham bertanya:
"Siapa yang telah kau bunuh semalam?"
"Kau tahu kalau aku telah membunuh orang .........?" Tong Giok balik bertanya sambil
tertawa.
"Tapi aku tak dapat menduga manusia berharga manakah yang pantas kau bunuh ditengah
malam buta seperti itu?"
407
"Tidak sedikit orang yang pantas dibunuh di tempat ini" jawab Tong Giok kembali, "sayang
aku hanya membunuh empat puluh empat orang!"
Waktu itu Cu ciangkwe baru saja akan menghirup air teh, tapi setelah mendengar jawaban
tersebut, saking kagetnya air teh itu sampai muncrat keluar lagi lewat lubang hidungnya.
Agaknya Tong Ci-tham sudah terbiasa oleh berita semacam itu, dia hanya bertanya:
"Empat puluh empat orang?"
"Yaa, mereka adalah Ciau In beserta ke empat puluh tiga orang anggotanya dalam kantor
cabang!"
Paras muka Tong Ci-tham segera berubah hebat.
"Apakah kau tak dapat menunggu sampai kita membunuh Tio Bu ki lebih dulu baru
membunuh mereka?"
"Tidak bisa!"
"Kau tidak kuatir mengusik rumput mengejutkan sang ular?"
"Tidak takut!"
Tong Ci-tham tidak berbicara lagi, diapun tiada perkataan yang bisa diucapkan lagi.
Tong Giok memenuhi sendiri cawannya dengan air teh panas. kemudian pelan-pelan
meneguknya, setelah itu sambil tersenyum dia baru berkata:
"Kemarin malam sebenarnya aku telah berencana untuk tidur nyenyak, aku pun tak ingin
menempuh hujan badai untuk pergi membunuh orang"
"Kemudian, mengapa kau berubah pikiran?" tak tahan Tong Ci-tham bertanya.
"Karena secara tiba-tiba aku telah teringat akan suatu hal"
"Apakah itu?"
"Tiba-tiba saja terpikir olehku bahwa pepohonan bukanlah suatu tameng atau tempat
perlindungan yang paling baik, masih ada semacam pelindungan lagi yang jauh lebih baik.”
"Apakah itu?"
"Manusia!"
408
Tong Ci-tham melongo, jelas ia tidak habis mengerti.
"Bila Tio Bu-ki cukup pintar, maka dia pasti dapat menduga bahwa kita tak akan
menghamburkan senjata rahasia perguruan kita yang jauh lebih berharga dari emas ini pada
tubuh sekawanan manusia yang sama sekali tiada sangkut paut dengannya" kata Tong Giok.
"Yaa, senjata rahasia perguruan kita memang tak boleh digunakan secara sembarangan
bilamana keadaan tidak terlalu mendesak!" Tong Ci-tham manggut-manggut tanda
membenarkan.
"Maka dari itu, jika Tio Bu-ki cukup cerdik, dia pasti akan menyaruh anggota Tay-hong tong
untuk menyamar sebagai manusia-manusia tersebut, sementara dia dan Samwan Kong akan
menyusup diantara orang orang itu, dengan demikian kita pasti tak akan berani melepaskan
senjata rahasia kepada mereka”
Sekalipun Tong Ci tham tidak menjawab, tapi mau tak mau dia harus mengakui juga
ketelitian serta kesempurnaan jalam pemikirannya itu.
“Orang orang itu semua dalah orang orang mereka sendiri” kata Tong Giok lebih jauh.
“Maka bila kita ikut membaurkan diri diantara mereka, ibaratnya tiga ekor musang diantara
sekelompok ayam dalam seklias padnagan saja mereka tentu akan mengenali diri kita”
Setelah menghela napas panjang, kembali berkata:
“Waktu itu, bukan saja kita tak dapat menghajar mereka dengan senjata rahasia, malah
sebaliknya kita akan menjadi umpan anak panah mereka...”
Tong Ci tham ikut menghela napas panjang, akhirnya dia mengakui juga.
“Yaa, jika Tio Bu Ki cukup ceridk, dia pasti akan berbuat demikian...”
“Aku rasa dia bukan mirip seorang tolol!”
“Yaa, memang tidak mirip!”
“Oleh sebab itulah terpaksa aku harus menempuh hujan badai untuk membunuh orang pada
malam itu juga”
Tong CI tham berpikir sebentar, kemudian tak tahan ia bertanya lagi:
“Tapi bukankah sekarangpun mereka masih bisa membaurkan diri ditengah kerumunan orang
banyak?”
“Keadannya akan berbeda!”
“Kenapa?”
“Sebab asal orang orang itu bukan orang orang mereka sendiri, maka jika mereka dapat
membaurkan diri, kitapun bisa pula membaurkan diri, mereka takan akan mengenali kita,
sebaliknya kita kenali diri mereka...”
Setelah tertawa, ia menambahkan:
409
“Bila Tio Bu Ki cukup pintar, dia tak akan melakukan tindakan berbahaya seperti ini”
Tentu saja! Bila orang itu berbuat seperti itu, berarti dia kurang cerdik.
Tong Ci tham bukannya tidak mengerti atas perkatannya tersebut, tapi paras mukanya macam
peti mati itu masih tetap kaku tanpa emosi, tanyanya lagi dengan suara ewa.
"Menurut pendapatamu, apa yang bakal dia lakukan?"
"Setelah kita membunuh Ciau In beserta konco-konconya, maka dia pasti akan makin
bernapsu untuk membunuh kita!"
"Tentu saja!" Tong Ci-tham manggut-manggut.
"Maka dari itu, paling lambat malam nanti, Samwan Kong pasti sudah munculkan diri.”
"Dia bakal munculkan diri dimana?"
"Dalam hutan Say-cu-lim?."
"Yaa, mungkin saja merekapun menganggap tempat itu kurang sesuai, tapi mereka tak akan
menemukan tempat lain yang jauh lebih baik lagi!"
"Tapi hutan Say-cu-lim itu luas sekali ....." tak tahan Cu Ciangkwe menyela.
Tong Giok sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berbicara lebih jauh,
segera tukasnya:
"Pagi tadi aku telah berkunjung kesana, sekarang baru saja kembali ke rumah!"
Cu Ciangkwee segera membungkam, ia tidak berkata apa apa lagi...
Tong Giok kembali berkata lebih jauh:
"Dalam hutan Say-cu-lim seluruhnya terdapat tiga buah pintu, aku pikir dia pasti akan
melewati beberapa buah jalan yang terang dan masuk melewati pintu yang paling ramai pula,
karena tujuan mereka yang sebenarnya adalah agar kita menemukan jejaknya.
"Setelah masuk?"
"Aku pikir dia pasti akan mencari tempat duduk di warung teh yang bernama Hoa swat-sian"
Kenapa?"
410
"Sebab tempat itu berlatar belakang telaga dengan sisi kiri kanannya berupa kebun bunga,
karena itu meskipun empat penjuru berupa pagar pagar bambu yang terbuka, namun hanya
ada sebuah jalan masuk kearah sana, karena itulah bila kita masuk ke luar, dia dapat
memperhatikan gerak gerik kita dengan seksama"
Setelah berhenti sebentar, kembali dia berkata:
"Orang itupun mempunyai suatu kepandaian yang paling hebat, yakni bagaimanapun kita
menyaru, dia dapat segera mengetahui hanya dalam sekilas pandangan saja"
"Banyak tahun berselang aku pernah mendengar tentang orang ini! "kata Tong Ci-tham,
konon dia berasal dari perguruan Hoa Ngo koh, baik dalam ilmu meringankan tubuh, senjata
rahasia menyaru serta ilmu lembek semuanya terhitung jagoan kelas satu."
Tong Giok manggut-manggut, ia mengalih-kan kembali pembicaraannya kepokok
pembicaraan semula katanya:
"Waktu itu kemungkinan sekali Tio Bu ki sudah bersembunyi disekitar tempat itu, mungkin
juga ia telah berada dalam warung penjual teh"
"Aku dapat mengenalinya dengan cepat!" tak tahan Oh Po cu menukas dari samping.
"Yaa, andai kata Tio Bu ki masih berwujud seperti apa yang telah kau jumpai kemarin!"
Oh Po cu seketika itu juga terbungkam dalam seribu bahasa.
"Seandaipya ia sudah menyaru diri, toh kau tetap tak akan mengenalinya juga" Tong Giok
me-lanjutkan.
Oh Po cu tak berani membantah, ia cuma diam saja.
Maka Tong Giok pun berkata lebih jauh:
“Tempat itu ramai sekali, biasanya banyak penjajah makanan yang hilir mudik disitu,
peminta-mintapun tak sedikit jumlahnya, salah satu diantara orang-orang itu kemungkinan
besar adalah Tio Bu ki, maka kita harus menunggu sampai dia turun tangan lebih dahulu"
Setelah tertawa, katanya kembali:
"Asalkan dia telah turun tangan, maka wajah aslinya akan segera diketahui secara jelas dan
pasti!”
Tong Ci tham termenung sebentar, kemudian katanya:
411
"Bila kita tinjau dari mulut luka dua orang itu, ilmu pedang yang dimilikinya bukan saja
sangat cepat, lagipula amat tepat, bila kita biarkan ia turun tangan lebih dulu apakah hal ini
tidak terlampau berbahaya ?"
Tong Giok kembali tertawa hambar.
"Untuk memotong dagingpun ada resiko-nya, apalagi membunuh orang!"
Tong Ci-tham telah mengeluarkan batu apinya dan siap menyulut tabung huncwe.
Tiba-tiba Tong Giok berkata lagi:
"Ia tahu kalau kita ada tiga orang, karena itu kita biarkan mereka menjumpai tiga orang.”
Siapapun tidak mengerti akan kalimat dari perkataannya itu tapi siapapun tak ingin bertanya,
Tong Giok berkata lebih jauh:
"Begitu Samwan Kong duduk, paman Tham, monyet kecil dan Lo Cu segera mengurungnya,
bahkan boleh perlihatkan asal-usul kalian agar dia tahu bila orang-orang dari keluarga Tong
telah datang”
“Akupun harus pergi?” tak tahan Cu ciangkwe bertanya.
“Yaa!, Tio Bu ki pernah berjumpa dengan engkoh Po, karena itu terpaksa hau harus
menggantikanya!”
“Tapi aku. . . “
“Aku tahu kau terpaksa dimasukkan kedalam hitungan karena keadaan yang mendesak, tapi
Tio Bu-ki tak akan tahu, dia hanya tahu kalau dari pihak keluarga Tong sudah datang tiga
orang munculkan diri lagi, pula setiap saat mungkin akan merenggut nyawa Samwan Kong,
maka dia pasti akan turun tangan”
Setelah tertawa, ia menambahkan:
“Waktu itu, tentu saja akupun sudah hadir disitu, asal Tio Bu ki turun tangan maka dia pasti
akan mampus!”
*****
RENCANA ini tersusun amat rapi, setiap bagian, setiap langkah boleh dibilang telah
diperhitungkan secara tepat, bahkan boleh dikatakan amat cermat dan teliti.
Hanya ada satu hal, satu bagian yang tidak ia terangkan kepada mereka semua. . . .”
412
Tong Ci tham, Tong Kau dan Cu ciangkwe, entah siapakah diantara mereka bertiga ini yang
pasti ada seorang diantara mereka yang bakal mampus diujung pedang Tio Bu ki.
Dengan kecepatan pedang yang dimiliki Tio Bu ki, kemungkinan semacam itu boleh dibilang
be-sar sekali.
Baginya hal ini merupakan suatu bagian yang tidak terlalu serius, asal ia dapat membunuh
TioBu ki, persoalan yang lain dianggapnya sama sekali tak penting, mati hidup orang lainpun
lebih-lebih tak akan dipikirkan dalam hatinya.
Ia tahu, Tong Ci-tham semua mungkin saja akan berpikir juga sampai kesitu, sayang sekali
pada hakekatnya mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali berbuat demikian.
Karena mereka sudah pasti tak akan sanggup untuk mendapatkan rencana lain yang jauh lebih
baik, karena ia jauh lebih pintar dari mereka semua.
Mengetahui kalau dirinya jauh lebih pintar dari pada orang lain, tak bisa diragukan lagi hal ini
merupakan suatu persoalan yang pantas digirangkan. .
Dengan wajah berseri Tong Giok menghembuskan napas panjang, kemudian katanya:
"Selesai bersantap nanti, kalian boleh mulai mempersiapkan diri!"
"Kau sendiri?" tanya Tong Ci tham.
"Sekarang aku ingin tidur dulu, tapi dikala kalian telah sampai dirumah makan Hoa gwat sian,
aku pasti telah berada pula disana"
Setelah tertawa sejenak, ia berkata lagi:
"Cuma bila kalian tidak melihat diriku, kalian pun tak usah merasa kuatir!"
"Kenapa?"
"Sebab aku pasti akan berusaha keras untuk menyaru diriku sedemikian rupa, sehingga
bahkan kalian sendiripun tidak mengenalinya kembali"
"Kenapa?" kembali Tong Ci-tham bertanya.
"Bila kalian masih bisa mengenaliku, setelah melihat aku nanti, sedikit banyak wajah kalian
akan menunjukkan pula sedikit perubahan, siapa tahu kalau pelubahan wajah kalian, itu justru
akan digunakan oleh Tio Bu ki sebagai petunjuk yang jelas"
413
Sesudah tersenyum ia menambahkan:
“Tio Bu ki adalah seorang yang pintar, kemungkinan sekali ia jauh lebih pintar dari pada kita
semua"
Walaupun dibibir ia berkata demikian, tentu sajaa dalam hatinya tidak berpikir demikian,
Sudah barang tentu ia jauh lebih pintar daripada Bu ki, bahkan lebih pintar dari siapapun juga,
Terhadap kemampuannya itu, dia mempunyai rasa percaya pada diri sendiri yang sangat tebal.
*****
SEWAKTU melihat Mayat Ciau In tergeletak ditanah Tio Bu ki tidak melelehkan airmata,
diapun tidak muntah.
Kesedihan dapat membuat orang melelehkan air mata, ketakutan bisa membuat orang muntah.
Yang ada didalam hatinya sekarang hanya kemarahan.
Dia bukannya tak tahu kalau kemarahan paling mudah membuat orang melakukan kesalahan,
tapi setiap orang tentu akan menjumpai suatu saat dimana ia tak dapat menguasahi diri
sendiri.
Pelan-pelan Samwan Kong membelai tulang tenggorokan Ciau In yang hancur, tiba-tiba ia
bertanya:
"Tahukah kau bahwa dalam tenaga dalam pun terdapat semacam ilmu yang dinamakan ilmu
hawa dingin?”
Bu ki mengetahui akan hal ini.
Ilmu hawa dingin adalah sejenis ilmu tenaga dalam yang paling sulit dipelajari, tapi
merupakan pula ilmu tenaga dalam yang paling menakutkan didunia ini.
Orang yang membunuh Ciau In adalah seseorang yang melatih diri dengan ilmu hawa dingin"
kembali Samwan Kong berkata.
"Aku dapat melihatnya!"
"Sekalipun kepandaian ini merupakan sejenis kepandaian yang sangat lihay, namun siapapun
enggan untuk melatihnya"
"Kenapa?"
414
"Karena siapa yang melatih ilmu hawa dingin, biasanya dirinya akan berubah pula menjadi
laki tidak lelaki, perempuan tidak perempuan, jadinya seorang banci yang tulen!"
"Apakah kau berhasil mengingat seseorang yang pernah melatih kepandaian semacam ini?”
"Yaa, aku pernah mendengar orang mengatakannya!"
"Siapakah itu?"
"Tong Giok!"
Bu-ki segera mengepal sepasang tangannya kencang-kencang, kemudian berbisik:
"Aku sangat berharap kalau diapun ikut datang!"
"Apakah kau masih ingin mempergunakan diriku untuk memancing kemunculannya?"
"Yaa!"
“Kapan?"
"Hari ini!"
"Dimana?"
"Hutan Say-cu-lim!"
"Masih di hutan Say-cu-lim?"
"Yaa! sebab aku tak bisa menemukan tempat yang jauh lebih baik daripada tempat itu!"
Setelab tertawa, pelan-pelan ia melanjut-kan:
"Aku masih ingat kalau disitu terdapat sebuah warung penjual teh yang memakai merek Hoa
Gwat sian!"
"Ehmm, tempat itu memang suatu tempat yang sangat baik!" Samwan Kong manggutmanggut".
"Sore nanti, kau boleh berjalan-jalan lebih dulu mengitari jalan raya, kemudian pergilah kesitu
untuk menunggu sang ikan menubruk umpan, sebelum aku munculkan diri tak mungkin
mereka akan turun tangan!"
415
"Dan kau?" tanya Samwan .Kong.
"Aku akan menunggu lebih dulu disana!"
Dalam kamar Ciau In tergantung sebilah pedang, meski hanya dipakai sebagai tumbal untuk
mengusir hawa sesat, mata pisaunya masih tajam sekali.
Bu ki meloloskannya dari atas dinding dan membelai mata pedang yang dingin dan tajam itu.
Bunga akan tumbuh dengan segar bila seringkali disirami air, demikian pula dengan pedang,
bila telah menghirup darah maka pedang itu akan tampak lebih bercahaya dan lebih tajam.
Pelan-pelan Bu ki berkata:
"Hari ini aku akan meminjam dirimu, aku pasti akan membuat kau mencicipi darah musuhmu
aku tak akan menyia-nyiakan harapanmu"
Ia menyentuh pedang dan bergumam mengemukakan suara hatinya.
Sayang meskipun pedang itu berisi, ia tak dapat bersuara, kalau tidak dia pasti akan
memberitahukan kepadanya:
"Walaupun aku tak akan menyia-nyiakan harapanmu, sayang semua rencanamu sudah berada
didalam perhitungan orang lain, kau sudah pasti akan mampus!"
*****
SEBELUM matahari tenggelam di langit barat, saat itulah sinar matahari bercahaya dengan
terangnya.
Cahaya matahari meninggalkan bayangan tubuh yang menajang dari Tong Ci-tham, Cu
ciangkwe serta Tong Kau di atas tanah, memanjang lagi melengkung, sehingga mirip dengan
tiga sosok sukma gentayangan.
Ketika Oh Po-cu menyaksikan ketiga orang itu berjalan keluar, sorot matanya seakan-akan
sedang melihat ada tiga sosok mayat sedang berjalan. . . .
Ia percaya Tio Bu0ki pasti akan mati kali ini, tapi ketiga orang itupun jangan harap bisa
pulang kembali dalam keadaan hidup.
Untung ia tak perlu menguatirkan bagi keselamatan dirinya sendiri, tugas yang harus
diselesaikannya kali ini amat ringan. Tong Giok hanya menyuruh dia untuk melakukan
pengintaian belaka di sekitar tempat itu, bahkan makin jauh dari Hoa gwat sian makin baik.
416
Tugas semacam ini tak mungkin akan menjumpai bahaya.
Maka sambil tersenyum, selangkah demi selangkah ia berjalan keluar dari Gang lombok.
*****
HUTAN SINGA
BULAN empat tanggal tiga senja.
Udara disenja itu masih secerah siang harinya, baru saja sang surya mulai tenggelam dilangit
barat, udara terasa bersih dan membiru, sinar matahari sore meman-carkan keindahan warna
menyejukkan hati.
Perasaan Samwan Kong ketika itu tidak terlalu sejuk.
Seperti orang tolol, ia berjalan menyusuri dua buah jalanan yang konon merupakan jalanan
terindah disekitar tiga ratus li dari tempat itu, selama hampir setengah jam lamanya, diapun
menyaksikan banyak nona dan isteri-isteri muda yang diam-diam keluar dari rumahnya untuk
pergi secara sembunyi-sembunyi.
Biasanya mereka berbuat demikian hanya untuk membeli pupur atau gincu ditoko pupur
sambil membuang beberapa lirikan untuk para penjaga toko yang masih muda itu, sebab
kecuali berbuat demikian, tiada pekerjaan lain yang bisa menimbulkan kegembiraan mereka.
Kemudian diapun berkunjung ke sebuah rumah penjual barang antik untuk menikmati
serangkaian lukisan yang indah sambil pura-pura menjadi seorang calon pembeli yang serius.
Bahkan diapun sempat membeli sebungkus gula-gala untuk kemudian secara diam-diam
membuangnya kedalam selokan.
Ia sendiripun tak tahu kenapa ia bisa melakukan perbuatan-perbuatan semacam ini.
Sesungguhnya ia sama sekali tidak terlibat atau punya sangkut paut perselisihan antara Tio Bu
ki dengan keluarga Tong.
Tapi dia amat menyukai Tio Bu ki.
Seringkali seseorang bila pergi melakukan serangkaian perbuatan yang belum tentu
menyenangkan hatinya, hanya demi orang-orang yang disenanginya.
Demikian pula halnya dengart Samwan Kong.
417
Sekarang, untunglah dia sudah duduk dan memesan sepoci air teh kegemarannya.
Air yang mengalit dalam sungai amat bersih dan jernih, aneka bunga yang tumbuh di sekitar
taman menyiarkan bau harum yaug semerbak, ia duduk dengan punggungnya menempel
diatas sebuah tiang penyangga besar, dengan begitu iapun tak usah kuatir kalau ada senjata
rahasia beracun dari pihak keluarga Tong yang akan menyambar ke arahnya dari belakang
......
Tangannya diletakkan, sangat dekat dengan kaki meja, sehingga setiap saat ia bisa
mempergunakan meja tersebut sebagai tameng untuk melindungi dirinya.
Untung saja ia mulai merasa agak nyaman dan segar.
Apakah tiga orang dari keluarga Tong telah menjumpainya? Dapatkah mereka datang kemari
mengikutinya?
Berbagai ragam penjaja kecil berjalan mondar mandir dalam warung teh itu, mereka
membawa keranjang yang berisikan aneka macam buah-buahan segar serta aneka macam
kueh kering serta manisan.
Delapan sembilan orang pengemis tua yang loyo duduk termenung dipinggir pagar, sambil
menunggu pemberian sedekah dari orang lain.
Mereka sama sekali tidak memperlihatkan sikap tengik, sikap rendah yang menimbulkan rasa
muak bagi siapapun yang melihatnya, orang-orang itu hanya bersandar sambil menunjukkan
keletihan yang amat, suatu keletihan ysag telah merasuk ke tulang sumsum akibat keputus
asaannya menghadapi kehidupan.
Mungkinkah diantara mereka terdapat pula orang keluarga Tong yang sedang menyamar?
Dari tiga puluhan tempat duduk yang tersedia disana, hanya belasan orang tamu yang
menempatinya.
Seorang nenek bungkuk sedang menggunakan sebiji kueh untuk menghentikan tangisan
cucunya yang makin menjadi.
Tiga orang pedagang yang gemuk-gemuk sedang ribut soal harga hingga wajah pun ikut
berubah menjadi merah padam.
Dua orang kakek sedang duduk bermain catur.
Sepasang suami istri muda duduk dikejauhan sana sambil berbisik-bisik membicarakan kata
cinta.
418
Disamping sebelah lain sepasang suami istri setengah umur yang duduk disitu seperti orang
asing, sepatah katapun tidak berbicara. Sang suami sedang menikmati sebiji bak pao dengan
penuh kenikmatan, sebaliknya sang istri sedang memperhatikan suami istri muda jauh dipojok
sana dengan terpesona.
Jilid 15________
MUNGKIN iapun teringat bahwa dimasa lalupun ia pernah mengalami masa indah seperti itu,
tapi musim semi lewat musim gugurpun tiba, masa seindah itu sudah lewat lama, kini yang
tinggal hanya masa ketuaan yang makin mendekat.
Selama masa-masa begini, mungkin saja suaminya mencari hiburan perempuan lain di luaran,
sedang ia harus duduk dalam dapur dengan pakaian yang kotor sambil melewatkan hidupnya.
Selain mereka, terdapat pula seorang laki-laki berpakaian perlente yang tinggi besar sedang
berdiri bergendong tangan dibelakang pagar sambil menikmati air telaga yang jernih seakanakan
ia sedang menikmati keindahan senja itu.
Diantara orang-orang itu tak mungkin ada orang-orang dari keluarga Tong, tidak ada pula diri
Tio Bu-ki.
Selama ini ia tak berhasil menemukan Bu-ki, diapun tak ingin mencarinya dengan teliti,
pokoknya ia tahu bahwa Bu-ki pasti berada disekitar tempat itu.
Sepoci air teh sudah hampir habis diminum, setelah menempuh perjalanan sejauh itu, sedikit
banyak ia merasa haus juga.
Baru saja dia hendak memanggil orang untuk menambah air.
Pada saat itulah, ia menyaksikan ada tiga orang munculkan diri dari jalanan sempit beralas
batu itu dan berjalan dan menghampiri kearahnya.
Ketiga orang itu semuanya mengenakan baju berwarna hijau dengan celana putih, yang
seorang bertubuh gemuk sedang yang lain bertubuh kurus seperti monyet.
Orang ketiga adalah seorang kakek ceking yang amat tinggi dengan membawa sebuah
huncwe, pinggangnva amat panjang lagi lurus seperti kayu, ketika berjalan tubuhnya sama
sekali tak bergoyang, mukanya yang hitam kelihatan serius dan tanpa emosi.
Menyaksikan kemunculan ketiga orang itu, kelopak mata Samwan Kong segera berkerut
kencang.
Ia telah mengenali kembali orang-orang tersebut, diantara mereka bertiga paling tidak ada dua
orang diantaranya adalah mereka yang menguntilnya sejak dari Cuan-tiong.
419
Terutama sekali pemuda bertampang monyet itu, sekalipun ia menyaru sebagai seorang
perempuan yang lagi meteng tua, dalam sekilas pandangan saja ia pasti dapat mengenalinya
kembali.
Sekarang rnereka benar-benar telah datang.
Pemuda maupun si gemuk itu tak perlu dia risaukan, jelas orang yang paling sukar dihadapi
adalah kakek pembawa huncwe tersebut.
Bahkan Samwan Kong merasa agak kuatir.
Sebab ia mencurigai kakek pembawa huncwee itu kemungkinan bear adalah Tong Jisiangseng
yang namanya amat menggetarkan dunia persilatan itu ...............
*****
WALAUPUN kakek itu bukan Tong Ji siangseng, dia adalah Tong Ci-tham.
Dalam hati kecilnya ketika itu ia sedang tertawa dingin tiada hentinya.
Sebab sekalipun Tong Giok bertekad tak akan membiarkan mereka untuk mengenalinya juga
hanya dalam sekilas pandangan.
Dalam sekali pandangan saja, ia telah menyaksikan dua buah titik kelemahan yang pantas
dicurigai.
bocah kecil yang menangis terus menerus itu hanya memakai kaus dan tidak bersepatu . . .
tangis bocah itu terlalu keras.
Seorang bocah yang keluar rumah bersama neneknya, tidak semestinya kalau menangis
sekeras itu.
Seorang nenek yang berhati welas dan teliti, tak akan mengajak cucunya bermain tanpa
memakai sepatu, apalagi hanya mengenakan kaus kaki belaka.
Oleh sebab itu, dengan cepat Tong Ci-tham mengambil kesimpulan:
Nenek itu adalah penyamaran dari Tong-Giok .
Bocah itu sedang tertidur nyenyak ketika "dipinjam" oleh Tang Giok.
420
Tong Ci-tham ingin sekali menghampirinya dan memberi pelajaran yang setimpal kepada
pemuda itu, agar ia sedikit mengetahui sopan santun, agar ia tahu bahwa orang yang berusia
lanjut pantas menerima penghormatannya.
Tentu saja perbuatan semacam ini tak akan ia lakukan secara sungguh-sungguh, karena
bagaimanapun juga mereka sama-sama adalah orang-orang dari keluarga Tong.
Walaupun dalam keluarga Tong seperti juga keluarga keluarga lain, tak akan terhindar dari
suatu perebutan kekuasaan.
Tapi dikala mereka sedang menghadapi orang luar, selamanya mereka akan bersatu padu.
Sekarang orang yang harus mereka hadapi adalah Tio Bu ki.
Entah bagaimana pun juga, ia bisa mempunyai idee untuk "meminjam" seorang anak kecil
milik orang lain untuk melindungi diri, hal ini terhitung pula sebagai suatu perbuatan yang
cerdik.
Tong Ci-tham percaya baik Tio Bu ki maupun Samwan Kong, tak nanti akan menduga sampai
ke situ.
Oleh sebab itu ia lebih mantap dan yakin atas keberhasilan operasinya kali ini.
Tetapi diapun tidak mengetahui siapakah diantara sekian banyak orang adalah Tio Bu ki.
Tiga orang yang sedang membicarakan soal dagangan terlampau gemuk, dua orang kakek
yang sedang bermain catur terlalu tua dan loyo.
Mereka-mereka itu tak mungkin bisa ditirukan .
Dua pasang suami istri itupun tidak mirip.
Dua orang istri itu betul-betul perempuan tulen, sedangkan dua orang suami itu yang muda
terlalu loyo dan seram sinar matanya, jelas karena pengantin baru terlalu banyak "bekerja
keras", sebaliknya yang berusia setengah umur bermuka kaku, jelas bukan manusia-manusia
yang tahu akan ilmu silat.
Sisanya tinggal dua orang penjajah makanan serta seorang pelayan yang membawa sepoci
besar air panas.
Dari tiga orang yang bersisa, seorang bermuka burik, yang seorang kehilangan separuh
telinganya, sedang pelayan yang siap menambah air panas dalam poci Samwan Kong itu
bertangan kasar berkaki besar, jelas merupakan seseorang yang sudah terbiasa kerja keras.
421
Tio Bu-ki bukan berasal dari pekerja keras, telinganya tidak tinggal separuh bagian, dia lebihlebih
tidak bermuka burik.
Lantas siapakah sebenarnya Tio Bu- ki.
Tong Ci-tham ingin sekali memeriksa orang-orang itu sekali lagi dengan teliti, sayang pada
saat itulah mereka sudah tiba dihadapan Samwan-Kong.
Seandainya ia tahu keadaan yang sebenarnya, maka ia pasti akan merasa amat terperanjat.
Sebab pada saat itu hakekatnya Tio Bu ki sama sekali tidak hadir di Hoa gwat-sian.
*****
SAMWAN KONG memperhatikan terus diri Tong Ci-tham dengan seksama.
Langkah kaki kakek itu enteng dan mantap sepasang keningnya menonjol amat tinggi,
sewaktu berjalan sepasang bahunya sama sekali tak bergoyang.
Itu semua adalah ciri-ciri khas dari seorarg jago yang berilmu sangat tinggi.
Jika seorang jago persilatan berpengalaman bersiap sedia akan menghadapi seseorang, tentu
saja seluruh perhatian dan pikirannya akan terhimpun pada tubuh orang itu.
Sekarang sasarannya adalah Samwan Kong, tapi ia tidak terlalu memperhatikan Samwan
Kong, sebaliknya ia amat tertarik sekali untuk memperhatikan sang nenek yang bermain
dengan cucunya itu.
Peduli bagaimana tuanya seorang kakek, tak nanti dia akan tertarik terhadap seorang nenek.
Biasanya hanya anak-anak gadis remaja yang akan menimbulkan rasa tertarik bagi seorang
kakek.
Apakah nenek itu mempunyai sesuatu keistimewaan.
Samwan Kong tak sempat lagi untuk memperhatikan dengan teliti, karena pada waktu itu
Tong Ci-tham sekalian telah tiba dihadapannya.
*****
AGAKNYA pelayan sedang menambah air dalam poci itu merasakan juga maksud jahat dari
kedatangan ketiga orang itu, dengan terperanjat ia melompat mundur ke belakang.
422
Ternyata Samwan Kong amat sebat dan tenang sambil tertawa kepada mereka katanya
"Silahkan duduk"
Tentu saja mereka tak akan duduk.
Dengan suara dingin Tong Ci-tham berkata:
"Tahukah kau, mau apa kami datang kemari?"
"Tidak tahu!"
Setelah tertawa, ia berkata lagi:
"Seandainya kau adalah seorang nona, aku pasti akan mengira kau telah tertarik kepadaku,
maka dari tadi menatapku terus menerus, sayang kau lebih tua daripadaku lagipula
tampangmu jelek amat.
Paras muka Tong Ci-tham yang kaku seperti peti mati, belum juga menunjukkan reaksi apaapa,
dia bukan seseorarg yang gampang dibuat marah, karena itu diapun tak ingin bersilat
lidah.
Tong Kau sebaliknya tak tahan, tiba-tiba ujarnya:
"Kami memang tertarik sekali oleh semacam benda milikmu dan kami bersiap-siap untuk
membawanya pulang"
"Bukankah kalian tertarik oleh batok kepalaku ini?"
"Tepat sekali!"
Samwan Kong segera, tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhhh. . . . . haaahhh. . . . haaahhh. . . . sudah cukup lama aku bosan dengan batok
kepalanya itu, kalau kalian menginginkan, ambit saja secepatnya, lebih cepat lebih baik!"
Tapi mereka sama sekali tidak turun tangan.
Tiba-tiba saja mereka lepaskan jubah luarnya yang berwarna hijau, sehingga tampaklah
sebuah kantong kulit Yang tergantung disisi pinggangnya ........
Disamping kantong kulit itu, tergantung pula sebuah sarung tangan dari kulit menjangan,
milik Tong Ci-tham sudah tampak mengkilap dan halus.
423
Itulah lambang dari keluarga Tong, kebanyakan orang persilatan akan ketakutan setengah
mati bila menjumpai kantong-kantong kulit semacam itu, mungkin saja nyawa mereka serasa
melayang saking takutnya.
Samwan Kong tiduk takut, ia malah tertawa tergelak.
Dugaan Bu ki ternyata sama sekali tak meleset, sasaran mereka bukanlah dia, melainkan Tio
Bu ki.
Sekarang mereka seperti juga dirinya, sengaja mengulur waktu sambil menunggu Tio Bu ki
munculkan diri.
Mengapa Bu ki masih belum turun tangan? Apalagi yang sedang ia nantikan?
Sambil tertawa Samwan Kong kembali berkata:
"Apa isi dari kantong-kantong kalian itu? Apakah. . .”
Ia tidak melanjutkan kata-katanya, hatinya mulai tercekat dan seakan-akan terjatuh kedalam
jurang yang beratus-ratus kaki dalamnya.
Akhirnya ia menemukan juga diri Tio Bu-ki.
Ternyata Tio Bu-ki tidak berada di warung Hou gwat sian, ternyata ia berdiri jauh di atas
gunung-gunungan sana, seakan-akan sedang siap menyaksikan suatu adegan seram.
Ia tidak habis mengerti menapa Bu-ki harus berbuat demikian? Dia hanya tahu cepat atau
lambat ketiga orang itu pasti akan turun tangan.
Asal mereka telah turun tanagn, itu berarti dia bakal mati konyol. . . . !
*****
SISA SISA matahari sore masih memancarkan sinarnya memenuhi seluruh udara.
Permukaan air telaga bergoyang keras, seorang gadis remaja diam-diam sedang memetik
sekuntaum bunga Botan.
Waktu itu, Oh Po cupun berada disekitar sana berada di suatu tempat yang aneh, yang
istimewa dan sama sekali tak terduga oleh siapapun.
Ia percaya tak akan ada orang yang dapat melihat dirinya, tapi ia dapat melihat orang lain
dengan jelas.
424
Setiap orang dapat ia lihat dengan amat jelasnya.
Ia melihat Tong Ci-tham bertiga masak ke dalam warung Hoa gwat sian, iapun melihat Tong-
Ci-tham memandang kearah nenek tersebut dengan sinar mata yang sangat aneh.
Diam-diam ia merasa geli sekali.
Satu-satunya hal yang tidak ia pahami adalah mengapa hingga kini Tio Bu ki masih belum
juga munculkan diri.
Sekarang Tong Ci-tham bertiga telah mengenakan sarung tangan kulit menjangan mereka,
wak-tu sudah tak bisa diulur lebih jauh.
Perduli apakah Tio Bu ki akan turun tangan atau tidak, mereka bertiga akan melancarkan
serangannya.
Pada saat seperti itulah tiba-tiba berlangsung suatu kejadian yang sangat aneh, suata peristiwa
yang mimpipun tak pernah disangka oleh Po cu.
Selama hidup belum pernah ia merasakan rasa kaget yang sedemikian hebatnya seperti
sekarang.
Hampir saja ia tak tahan dan ingin melarikan diri.
Tapi ia tak boleh berkutik, iapun tak boleh menunjukkan wajah kaget yang luar biasa.
Kalau tidak, diapun akan mati konyol!
Pelan-pelan Tong Ci-tham telah mengenakan sarung tangan kulit menjangan. Kulit lama yang
terasa hangat lagi empuk.
Sarung tangan itu terbuat dari kulit menjangan, kulit dari seekor anak menjangan.
Pada usia tujuh belas tahun, ia membunuh sendiri anak menjangan tersebut.
Dan seorang nona kecil yang gemar mengikat sepasang kuncirnya dengan pita kupu merah
menjahitkan sendiri sarung tangan itu baginya.
Dia dan jikonya sama-sama menyukainya.
Kemudian meskipun ia berhasil mempersunting nona itu, tapi jikonya berhasil mendapatkan
nama dan kedudukan dalam dunia persilatan.
425
Sekarang si nona kecil yang suka mengikat kuncirnya dengan pita kupu merah itu sudah
berada di dalam tanah, sebaliknya nama besar dan kejayaan Tong Ji-sianseng makin
cemerlang bagaikan matahari di tengah hari.
Waktu itu seandainya nona berkuncir itu bersedia kawin dengan jikonya, entah bagaimana
pula keadaannya sekarang?
Mengapa begitulah kehidupan manusia, di saat kau mendapatkan suatu benda, sering kali kau
pun akan kehilangan benda yang lain.
Oleh karena itu ia tak pernah menyesal.
Setiap kali ia kenakan sarung tangan itu, segera akan timbul suatu perasaan yang aneh dalam
hatinya, ia selalu akan terbayang kembali kenangan-kenangan lama yang tak akan terlupakan
untuk selamanya, teringat bagaimana syahdunya suasana ketika itu, dikala nona kecil
terkuncir itu menjahitkan sarung tangannya dibawah sinar lentera.
Dalam keadaan seperti itu, seberanrnya ia tidak memiliki hasrat untuk membunuh orang.
Tapi setiap kali ia kenakan sarung tangan tersebut, dia harus pula membunuh orang.
*****
Pada saat itulah, suatu perubahan yang mengerikan tiba tiba saja berlangsung.
Pelayan bertangan kasar berkaki besar itu, mendadak mengankat poci air panasnya dan
digurukan keatas kepala Cu ciangkwe.
Si muka burik penjajah makanan kecil tiba tiba meloloskan sebuah pisau tajam dari balik
keranjangnya danlangsung ditusukkan ke pinggang Cu ciangkwe.
Orang yang kehilangan separuh teligannya mengangkat keranjang isi gula gulanya dan
diguyurkan ke wajah Tong Kau, ternyata dibawah gula gula itu adalah batu kapur.
Tong Kau meraung keras, tubuhnya melompat keudara, tangannya segera meraup segenggam
pasir beracun.
Belum sempat pasir beracunnya ditebarkan keudara, tiga orang pedanga gemuk yang
bersitegang tadi telah menubruk tiba dengan kecepatan luar biasa.
Ternyata gerakkan tubuh ketiga orang itu cepat dan gesit, kerja sama mereka sungguh bagus
sekali, seorang menggunakan meja sebagai tameng, yang kedua membawa kolongan tali yang
siap menjirat kaki Tong Kau, sedangkan yang ketiga menghimpun tenaga dalamnya dan....
“Duuuk!” sebuah pukulan dahsyat bersarang telak diatas punggung Tong Kau, kekuatannya
mengerikan sekali.
426
Anda sedang membaca artikel tentang Harimau Kumala Putih 2 dan anda bisa menemukan artikel Harimau Kumala Putih 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/harimau-kumala-putih-2.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Harimau Kumala Putih 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Harimau Kumala Putih 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Harimau Kumala Putih 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/harimau-kumala-putih-2.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar