Imbauan Pendekar 2 [Lanjutan Renjana Pendekar]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 12 September 2011

"Anak murid keluarga Tong tidak pernah meninggalkan senjata rahasianya, pada waktu
tidurpun selalu membawanya," jawab Tong Lin.
"Apakah inipun peraturan leluhur kalian?" tanya Yang Cu-kang.
"Betul," jawab Tong Lin tegas.
"Dan dengan Tok-cit-le yang dicurinya darimu itu digunakannya untuk membunuh ayahmu?"
tanya Yang Cu-kang lagi.
Tong Lin menunduk dengan muram, sambungnya lagi," Pada waktu ia mohon diri, ayah
mengantarnya keluar, setiba di ambang pintu, mendadak dia membalik badan dan memberi
hormat, tapi kesempatan itu telah digunakannya menepuk sekali di dada ayah, siapapun tidak
menyangka pada telapak tangannya tersembunyi senjata rahasia, lebih-lebih tidak menyangka
hanya lantaran ayah menolak meminjamkan senjata rahasia kepadanya, lalu dia turun tangan
keji terhadap ayah."
Sampai di sini ceritanya, tanpa terasa semua orang percaya tujuh bagian kepadanya. Sebab
meski urusan ini tidak seluruhnya masuk akal, tapi urusan sudah terlanjur begini, betapapun
Tong Lin sendiri ikut bertanggung jawab, jadi mustahil dia berdusta hal-hal yang tidak
menguntungkan dia.
Yang Cu-kang menghela napas panjang, katanya," Jika demikian, jadi kau menyaksikan
sendiri ketika orang itu membunuh Tong-locianpwe?"
"Betul," jawab Tong Lin.
Mendadak Yang Cu-kang membentak dengan gusar," Jika benar kau saksikan sendiri kejadian
itu, mengapa baru kau ceritakan sekarang?"
Tong Lin menunduk, ucapnya dengan sedih. "Sebab... sebab orang yang bertindak begitu
adalah ...adalah bakal suamiku, ayah memang sudah menjodohkan diriku kepadanya."
Keterangan ini seketika menggemparkan para hadirin, ada yang terkejut, ada yang
menyesalkan, ada yang kasihan, tapi terhadap apa yang diceritakan itu tidak curiga lagi.
Sebab kalau tidak terpaksa, tidak mungkin Tong Lin mau membeberkan rahasianya sendiri.
Diam-diam Pwe-giok juga merasa gegetun, sungguh dia tidak menyangka urusan bisa
berbelit-belit begini.
Dengan menangis Tong Lin berkata pula, "Waktu kulihat dia berani turun tangan keji
terhadap ayah, sebenarnya saat itu juga ingin ku adu jiwa dengan dia, tapi hatiku menjadi
lemah setelah dia membujuk rayu diriku."
"Hm, dasar perempuan," jengek Yang Cu-kang, "perempuan memang condong ke luar, kalau
sudah punya suami, ayah ibu pun tak terpikir lagi. Kebanyakan perempuan di dunia memang
begini, maka kaupun tak dapat disalahkan."
255
"Kuminta jangan kau omong lagi," kata Tong Lin dengan air mata bercucuran. "Akupun tahu
dosaku, namun menyesalpun tidak keburu lagi, sebab apa yang terjadi ini tidak kubeberkan
waktu itu, kemudian aku semakin tidak berani omong. Waktu ayah dimasukkan peti, akulah
yang mengatur segala sesuatu, sebab ku kuatir luka di tubuh beliau diketahui orang lain."
"Jika demikian, urusan ini tiada sangkut-pautnya dengan saudaramu yang lain?" tanya Yang
Cu-kang.
"Ya, hakekatnya mereka tidak tahu apapun," kata Tong Lin.
"Hm, bagus, pemberani, kau memang pemberani dengan menanggung semua perbuatan ini,"
jengek Yang Cu-kang.
"Hal ini memang kesalahanku, dengan sendirinya aku harus bertanggung jawab," kata Tong
Lin dengan menangis.
"Tapi siapakah bakal suamimu itu? Masa orang lain tidak tahu?" tanya Yang Cu-kang.
"Perjodohan kami ini diputuskan oleh ayah dan mestinya akan diresmikan pada hari ulang
tahunku yang ke 18 nanti, siapa tahu...siapa tahu belum tiba hari ulang tahunku dan beliau
sudah...sudah ...." dia menangis tersedu-sedu sehingga tidak sanggup melanjutkan.
"Apakah kau masih hendak menyembunyikan identitasnya?" tanya Yang Cu-kang dengan
bengis.
Tong Lin menangis sambil menutup mukanya dan tidak menjawab.
Semua orang jadi murka, ada yang berteriak "Siapa anak jadah itu? Jika tidak kau katakan,
cara bagaimana akan kau hadapi ayahmu di alam baka nanti nona tong?"
Tong Lin menggreget, seperti mengambil keputusan dengan tekad yang bulat, mendadak ia
mendongak, katanya sambil menuding seorang, "Bakal suamiku itu ialah dia!"
Sungguh, siapapun tidak menduga bahwa orang yang dituding oleh Tong Lin adalah Ji Pwegiok!
Mimpipun Pwe-giok sendiri juga tidak menduga, dia malah menyangka yang dimaksudkan
Tong Lin adalah seorang yang berdiri di belakangnya, ia menoleh.
Tapi segera didengarnya Tong Lin menyambung lagi, "Iyalah orang ini, Ji Pwe-giok."
Keterangan ini tidak cuma menggemparkan para hadirin, para anak murid Tong juga serentak
mengepung Pwe-giok di tengah, semuanya melototinya dengan mata merah berapi, seperti
sekawanan binatang liar yang sudah kalap dan siap menerkam dan mengganyangnya.
Selama hidup Pwe-giok sudah acapkali dituduh dan difitnah, entah sudah betapa banyak dia
mengalami kejadian di luar dugaan dan mengejutkan, tapi tidak ada satupun yang lebih
menggetarkan hatinya seperti sekarang. Sungguh ia tidak tahu cara bagaimana harus
membantah atau memberi penjelasan, seketika ia terkesima dan tidak dapat bicara.
256
Di ruangan besar itu kembali gempar, ada yang berteriak murka, ada yang mencaci-maki.
Ada yang berkata, "Sungguh tidak tersangka sudah membunuh Tong-loyacu, keparat ini
masih juga berani datang ke sini, sungguh besar amat nyalinya."
"Ya, tampaknya dia ramah tamah dan sopan santun, siapa tahu dia adalah manusia yang
berhati binatang," sambung yang lainnya.
Ada lagi yang menanggapi dengan suara tertahan, "Jika bukan pemuda cakap seperti dia ini,
mana bisa Tong-jikohnio terpikat olehnya."
Dengan sendirinya Lui-ji juga melenggong kaget, baru sekarang ia berteriak, "Tidak, bukan
dia, tidak mungkin dia, kalian keliru!"
Seperti orang kesetanan dia menerjang ke tengah kerumunan orang banyak dan menubruk ke
samping Pwe-giok terus mendekapnya, dengan suara parau ia berteriak pula, "Tidak mungkin
dia melakukan hal ini. Apalagi dua hari yang lalu hakekatnya dia tidak berada di sini, tapi
masih berada beratus li jauhnya di sana, mana bisa dia terbang ke sini untuk membunuh
orang.?"
"Dari mana kau tahu dua hari yang lalu dia masih berada di tempat beratus li jauhnya?"
bentak Tong Siu-hong mendadak.
"Dengan sendirinya ku tahu, sebab selama ini aku selalu berada bersama dia," jawab Lui-ji.
"Memangnya kau ini apanya?" tanya Siu-hong.
"Akulah isterinya " jawab Lui-ji tegas.
Tong Siu-hong menggeleng dan menghela napas, katanya, "Ai, nona cilik, mungkin kau telah
tertipu dan diperalat olehnya."
Dengan suara parau Lui-ji berteriak, "Meng....mengapa kalian tidak percaya kepada
keteranganku ? Mengapa kalian memfitnah orang baik-baik.?"
"Orang semacam ini tidak ada harganya untuk dibela, nona cilik," ujar Tong Siu-hong dengan
gegetun. "Kalau dia dapat menipu orang lain, lambat atau cepat kaupun akan tertipu olehnya."
"Dia pernah menipu siapa? Coba katakan!" teriak Lui-ji.
"Kalau dia sudah mengikat jodoh dengan gadis keluarga Tong, tapi di luaran dia memelet
pula dirimu, jahanam yang tidak berbudi pekerti seperti ini masakah masih kaubela?" teriak
Siu-hong dengan gusar.
"Tapi hakikatnya dia tidak pernah mengikat jodoh apa segala dengan orang keluarga Tong
kalian," kata Lui-ji.
"Darimana kau tahu?" Siu-jing ikut bertanya.
257
"Tentu saja kutahu, sebab sejak kukenal dia, selama ini kami tidak pernah berpisah," jawab
Lui-ji tegas.
Gemerdep sinar mat Tong Siu-jing, tanyanya pula, "Bilakah kau kenal dia?"
"Aku....aku ...." hanya satu kata saja Lui-ji berucap dan tidak dapat menyambung lagi. Sebab
perkenalannya dengan Ji Pwe-giok belum lagi ada sebulan lamanya, apa yang dilakukan Pwegiok
lebih sebulan yang lalu, tentu saja tak diketahuinya sama sekali.
Baru sekarang ia merasakan dirinya sama sekali tidak tahu apapun mengenai diri Ji Pwe-giok,
kecuali tahu namanya, urusan lain tidak pernah diberitahu oleh Pwe-giok. Bahkan namanya
asli atau palsu juga tidak diketahuinya dengan pasti.
Tong Siu-jing melihat perubahan air muka si nona, katanya dengan lembut, "Nona cilik,
urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kau, lebih baik kau menyingkir saja."
"Apa ..... apa kehendak kalian?" tanya Lui-ji
Wajah para anak murid keluarga Tong tampak kelam dan masam, semuanya tutup mulut.
Padahal tanpa menjawabpun semua orang tahu apa yang hendak mereka lakukan.
Jika benar Ji Pwe-giok telah membunuh orang tua mereka, mana bisa mereka melepaskan dia
begitu saja. Sejak tadi mereka sudah menyiapkan senjata rahasia maut di tangan masingmasing.
Kini Pwe-giok terkepung oleh berpuluh orang. Asal Am-gi atau senjata rahasia mereka
dihamburkan, biarpun punya sayap juga sukar bagi Pwe-giok untuk menghindar.
Pwe-giok menghela napas panjang, ucapnya dengan rawan," Ya, persoalan ini memang tidak
ada sangkut-pautnya dengan kau, maka lebih baik kau menyingkir saja."
Dia tahu mati hidupnya hanya bergantung dalam sedetik saja, maka ia tidak ingin membuat
susah Lui-ji, apalagi iapun dapat melihat kini anak dara itupun curiga kepadanya dan tidak
lagi percaya kepadanya seperti sebelum ini.
Lui-ji mengertak gigi dan berkata, "Tidak, apapun juga ku tahu hal ini pasti takkan kau
lakukan."
"Apa gunanya kalau tahu?" ujar Pwe-giok dengan tersenyum getir, "apa yang kau katakan
hakekatnya tidak dipercaya mereka, padahal selain dirimu, siapa lagi yang dapat memberi
kesaksian bahwa dua hari yang lalu hakekatnya aku tidak berada di sini."
Ia menengadah dan menghela napas panjang, lalu menyambung pula dengan suara parau,
"Ya, seandainya ada orang lain yang tahu, siapakah di dunia seluas ini yang sudi menjadi
saksi bagi Ji Pwe-giok."
Air mata Lui-ji sudah meleleh di pipinya.
258
Dilihatnya Tong Lin telah menyusup ke tengah orang banyak sambil berseru, "Ji Pwe-giok,
jangan kau salahkan diriku, aku....aku terpaksa, maka kukatakan terus terang."
Pwe-giok tersenyum pedih, katanya, "Ya, kau sangat baik, sangat baik...."
"Tapi bagaimanapun juga, bila kau mati, akupun tidak ingin hidup lagi di dunia ini...." ucap
Tong Lin dengan menangis.
Mendadak Lui-ji membentak, "Kau perempuan jahanam, kau bikin celaka dia hingga begini,
kau masih berani bicara lagi dengan dia!" Di tengah bentakannya segera ia menubruk ke sana.
Tong Lin tidak menangkis, dan juga tidak menghindar, ucapnya dengan pedih, "Bagus,
biarlah kita mati bersama-sama saja!"
Belum lenyap suaranya, tahu-tahu tangan Lui-ji sudah mencekik lehernya.
Tong Siu-jing bermaksud melerai mereka, tapi dicegah oleh Tong Siu-hong, "Tidak perlu,"
bisik Tong Siu-hong dengan suara tertahan, "keluarga Tong kita tidak beruntung, sehingga
terjadi urusan begini, biarkan saja dia mati."
Tong Siu-jing menoleh, dilihatnya Tong Ki masih berdiri kaku di tempatnya tadi dengan
wajah pucat seperti mayat, sama sekali tidak ada niatnya hendak mencegah keributan antara
kedua nona itu.
Dalam pada itu para hadirin lantas berteriak-teriak, "Ji Pwe-giok, apa lagi yang akan kau
katakan.... Hayolah, anak murid keluarga Tong, lekas kalian turun tangan, kami sama
menunggu hendak menggunakan hati keparat ini untuk sesaji di depan layon Tong-locengcu."
Tapi Pwe-giok berdiri berpangku tangan tanpa bicara apapun, sebab ia tahu tiada gunanya
bicara terhadap orang-orang yang sudah kehilangan akal sehat ini.
Pada saat itulah mendadak terdengar seorang berseru, "Ji Pwe-giok, wahai Ji Pwe-giok,
sungguh kau bernasib sial, tanpa sebab kau difitnah sebagai pembunuh. Tampaknya lebih baik
kau mati di tanganku saja daripada mati secara penasaran."
Suaranya bergema hingga lebih keras daripada suara beratus orang yang sedang berteriakteriak
itu. Tanpa terasa semua orang sama mendongak dan memandang ke atas. Baru
diketahui mereka entah sejak kapan Yang Cu-kang telah melompat lagi ke atas belandar,
dengan tangan memegang poci arak dan mulut menggigit sepotong paha ayam, sedang makan
dengan nikmatnya.
"Difitnah apa? Bukti sudah nyata, saksi juga ada, masa kaupun ingin membelanya ? "teriak
Tong Siu-hong.
Yang Cu-kang menjengek, "Hm, bukti dan saksi ? Di mana ? Siapa pula yang menyaksikan
dia membunuh Tong-locengcu ? "
"Apa yang dikatakan Ji-kohnio tadi masa tidak kau dengar? "kata Siu-hong.
259
Yang Cu-kang menghela napas dan menggeleng, ucapnya, "Hanya berdasarkan keterangan
seorang perempuan dan kalian lantas hendak menjatuhkan vonis padanya, sungguh anggap
nyawa orang bagai permainan anak kecil saja."
Tong Siu-hong menjadi gusar, teriaknya," Memangnya kau anggap Ji-kohnio berdusta?"
"Ya, mana mungkin Jikohnio berdusta!" teriak orang banyak.
"Betul, tindakannya itu selain membikin celaka orang lain, ia sendiripun susah dan ikut
tersangkut, sungguh akupun tidak paham mengapa dia berdusta? Yang jelas ku tahu dia
memang berdusta."
"Kau tahu? Kau tahu apa?" teriak Siu-hong dengan murka.
"Ku tahu dengan pasti malam kemarin dulu orang she Ji ini memang tidak berada di Tongkeh-
ceng, tapi jauh berada di tempat ratusan li sana."
"Hm, hanya berdasarkan keteranganmu saja masa dapat dipercaya?" jengek Siu-jing.
Yang Cu-kang menghela napas, katanya, "Ya, akupun tahu keteranganku sukar dipercaya oleh
kalian, sebab itulah sejak tadi aku diam saja."
Baru saja habis ucapannya, sekonyong-konyong terdengar suara "cas" satu kali, menyusul
lantas terjadi getaran dahsyat seperti langit runtuh dan bumi ambles, belandar ruangan
pendopo itu mendadak patah. Atap pendopo itu ambruk dengan menerbitkan suara gemuruh
yang menggetar sukma.
Seketika jeritan kaget dan takut terdengar di mana-mana, semua orang berebut lari keluar agar
tidak tertindih oleh gedung yang ambruk itu. Ada yang bertenaga lemah dan berilmu silat
rendah, kontan roboh terinjak-injak sehingga timbul teriakan ngeri di sana-sini.
Tong Siu-hong, Tong Siu-jing dan lain-lain merasa kayu dan batu bertebaran menjatuhi
mereka, terpaksa mereka harus mencari selamat lebih dulu. Dengan tangan mereka
melindungi kepala masing-masing, walaupun begitu, tidak urung merekapun tidak terhindar
oleh urukan puing, sebelah kaki Tong Siu-hong malah tertindih oleh belandar patah dan
merintih kesakitan.
Walaupun begitu, ia tetap berteriak memberi komando, "Awas, jangan sampai lolos keparat
she Ji itu, jaga rapat pintu keluar!"
Tapi seluruh ruangan pendopo itu sekarang sudah kacau balau, mana Ji Pwe-giok dapat
ditemukan lagi.
"Mungkin dia sudah kabur pada waktu kekacauan terjadi," teriak Siu-jing dengan gusar.
Di tengah teriakannya, serombongan anak murid keluarga Tong yang tidak terluka telah ikut
dia menerjang ke luar. Tapi baru sampai di ambang pintu, kembali debu pasir dan rontokan
puing berhamburan dari depan, bahkan sedemikian kuat sehingga tanah pasir yang rontok ke
lantai juga menerbitkan suara gemerasak.
260
Mendadak tampak Yang Cu-kang berdiri di depan pintu dengan tertawa, ucapnya dengan
tenang, "Apa yang kalian kejar ? Memangnya kalian tidak percaya kepada keteranganku ?
Kalau tidak percaya, agaknya terpaksa harus kuruntuhkan segenap rumah Tong-keh-ceng
kalian. "
*****
Pada waktu terjadi kekacauan, tiba-tiba Pwe-giok mendengar suara Yang Cu-kang berkata di
sampingnya, "Di sini dapat kulayani sendiri, lekas kalian menerjang keluar dan menyusur
jalan raya, nanti kalian akan dipapak orang.... "
Belum habis ucapan Yang Cu-kang, segera Pwe-giok menarik Cu Lui-ji dan sebelah tangan
mengempit Tong Lin yang sudah jatuh pingsan itu, mereka terus menerjang keluar mengikuti
arus manusia.
Tanpa banyak buang tenaga, dapatlah Pwe-giok menerjang keluar pintu, sebab Yang Cu-kang
telah menghadang di depan sana, didengarnya di ruangan pendopo sana masih ramai dengan
suara gemuruh.
Tetamu yang semula duduk makan minum di luar, karena diterjang oleh arus manusia yang
membanjir keluar dari dalam, serentak merekapun lari lintang pukang, meja kursi jungkir
balik, mangkok piring pecah berantakan. Ada yang sol sepatunya agak tipis, begitu menginjak
pecahan beling seketika menjerit kesakitan, tapi baru menjerit kontan mereka diterjang roboh
dan terinjak-injak oleh arus manusia.
Ada sementara tamu yang hadir dengan membawa anak kecil, maksud mereka ingin hemat,
daripada makan di rumah, mumpung ada pesta, nunut makan sekalian. Siapa tahu keuntungan
tidak diperoleh, sebaliknya malah tertimpa petaka.
Maka di tengah jeritan di sana sini terselip pula jerit tangis orang perempuan dan anak kecil.
Jika yang hadir cuma orang-orang kangouw saja, mungkin kekacauan itu akan lebih mudah
diatasi, tapi kini di antara tamu ditambah sanak famili dan sobat andai keluarga Tong di
sekitar Tong-keh-ceng, maka suasana benar-benar kacau-balau tak keruan, ada orang yang
biasanya bisa bersikap tenang, dalam keadaan begitu pusing kepala juga oleh suasana hiruk
pikuk ini.
Hanya Pwe-giok saja yang sudah gemblengan dan kenyang siksa derita, pada saat demikian
masih tetap tenang dan kepala dingin. Ia menyapu pandang sekejap sekelilingnya, segera ia
menarik Lui-ji berlari menuju ke sebuah gang di sebelah kiri sana.
"Mengapa kita tidak menyusuri jalan raya, bukankah di sana katanya akan dipapak orang ? "
tanya Lui-ji.
Dengan suara tertahan Pwe-giok menjawab, " Meski Yang Cu-kang menolong kita, tapi katakatanya
tetap tidak boleh dipercaya, orang ini banyak tipu akalnya, tindak-tanduknya sukar
diduga, dia menolong kita pasti dengan tujuan tidak baik. "
"Betul, akupun tidak habis mengerti mengapa dia tidak membunuh kita, sebaliknya malah
menyelamatkan kita, "kata Lui-ji.
261
Setelah masuk ke jalan kecil ini, orang berlalu lantas sedikit, sebab pada umumnya semakin
kacau suasananya, semakin sedikit orang yang menuju ke tempat sepi, kebanyakan orang
tentu berlari menuju ke tempat yang banyak orangnya dan tidak dapat membedakan arah
mana yang lebih aman.
Meski ada orang yang jelas-jelas tahu di depan ada jurang berapi, tapi bila melihat semua
orang sama berlari ke sana, tanpa kuasa iapun akan ikut orang banyak berlari ke situ. Sebab
dalam keadaan demikian umumnya orang sudah kehilangan rasio, sudah tidak mempunyai
kepercayaan kepada diri sendiri.
Di depan kelihatan pepohonan yang jarang-jarang, ternyata suatu tempat yang sunyi, suasana
kacau balau tadi tampaknya sudah ditinggalkan jauh di belakang sana.
"Tempat apakah ini ? " tanya Lui-ji.
"Tempat pribadi keluarga Tong, " jawab Pwe-giok.
Lui-ji terkejut, serunya, "Lari saja kuatir tersusul, kenapa kita malah menuju ke tempat
mereka? Memangnya kita sengaja mengantar nyawa?"
"Hanya jalan ini paling baik bagi kita, "ujar Pwe-giok, "sekalipun rada berbahaya, terpaksa
harus kita coba."
Lui-ji berpikir sejenak, katanya kemudian, "Kau kira segenap anggota keluarga mereka
berada di depan sana, maka sengaja kau tempuh bagian yang sepi dan penjagaan longgar ini?"
Belum lagi Pwe-giok menjawab, mendadak terdengar seorang menghardik, "Berhenti!
Apakah kalian ingin lari?"
Berbareng dengan suara bentakan itu, belasan pemuda berpakaian ringkas ketat serentak
melayang keluar dari balik hutan di sebelah kanan sana, yang menjadi kepala adalah orang
yang terluka sebelah kakinya, darah di kaki yang cidera itu belum lagi kering, nyata dia inilah
Tong-Siu-hong yang tadi tertindih oleh belandar patah itu.
Orang ini benar-benar manusia baja, meski kaki sudah patah tulang, tapi tubuh masih tegak
seperti tonggak.
"Kau lagi, seru Lui-ji dengan gregetan. "Mengapa kau terus membuntuti kami?"
Ia tidak tahu bahwa Tong Siu-hong tidaklah sengaja mengejarnya, hanya lantaran jalan
mereka dirintangi Yang Cu-kang, terpaksa mereka harus memutar dari belakang, siapa tahu
secara kebetulan jalan lari Pwe-giok dan Lui-ji malah benar-benar tercegat.
Nasib manusia terkadang memang sangat ajaib, seperti kata peribahasa: "Sengaja menanam
bunga, bunga tidak berkembang. Tidak sengaja menanam pohon Liu, justru pohon ini tumbuh
rindang." Seluk-beluk hal demikian mungkin hanya orang yang sudah mengalami sendiri
barulah dapat memahaminya.
262
Baru habis Lui-ji berkata tadi, serentak anak murid keluarga Tong lantas terpencar dan
mengepung mereka di tengah, cuma merekapun jelas merasa jeri, maka tidak berani
sembarangan turun tangan.
Berputar biji mata Lui-ji, segera ia tahu pihak lawan merasa kuatir bila melukai Tong Lin
yang berada dalam cengkeraman Pwe-giok. Maka ia lantas berkata dengan tertawa, "
Sesungguhnya kami tidak membunuh Tong Bu-siang, selamanya kita tidak kenal mengenal
dan tiada sengketa apapun, asalkan kalian melepaskan kami, segera kami kembalikan nona
Tong kepada kalian."
Ia menyangka ucapannya ini sudah cukup tepat. Siapa tahu Tong Siu-hong seakan-akan tidak
mendengar saja, mendadak ia membentak, "Tok-soa ! "
"Tok-soa" atau pasir berbisa adalah senjata rahasia keluarga Tong yang paling lihai, meski
jaraknya tak dapat mencapai jauh, tapi asal dalam lingkaran seluas kurang dari dua tombak,
asalkan pasir beracun itu dihamburkan, jarang ada orang yang dapat lolos dari serangannya,
dan asalkan terkena satu butir pasir saja, kalau tidak dioperasi bagian lukanya, dalam waktu
singkat bagian luka itu akan membusuk dan dalam waktu tiga hari, orang itu akan mati.
Tong Siu-hong tidak malu berjuluk sebagai "Thi-bin-giam-lo", si raja akhirat bermuka besi,
artinya orang yang berhati keras tanpa kenal ampun, nyata ia sudah bertekad mengambinghitamkan
Tong Lin, bila perlu nona itu akan dibiarkan mati bersama Ji Pwe-giok.
Di antara anak murid keluarga tong ada juga sementara pemuda yang diam-diam menaksir
Tong Lin, tapi sekali mendengar perintah Tong Siu-hong, tiada seorangpun yang ragu dan
membangkang. Dalam sekejap itu belasan tangan yang bersarung kulit menjangan sudah
meraup pasir beracun yang berada di kantung masing-masing, bila tangan mereka ditarik
kembali, segera akan terjadilah hujan pasir, dan dalam jarak belasan tombak di sekitar Pwegiok
dan Lui-ji akan berada di bawah ancaman pasir berbisa itu.
Tapi sekarang mendadak Pwe-giok menerjang ke sebelah kiri.
Rupanya pada waktu Tong Siu-hong memberi perintah tadi, ia sempat melihat perubahan air
muka dua orang pemuda di sebelah kiri, mereka memandang Tong Lin dengan sorot mata
yang sedih dan tidak tega.
Maka tahulah Pwe-giok kedua pemuda ini pasti diam-diam mencintai tong Lin, serangan
mereka tentu juga tidak tega, asalkan cara turun tangan mereka memperlihatkan agak ragu,
tentu Pwe-giok ada harapan untuk menerjang keluar kepungan.
Walaupun cara demikian sangat berbahaya, tapi dalam keadaan kepepet, tiada pilihan lain lagi
baginya. Dia benar-benar menerjang keluar.
Tapi dia lupa terjangannya itu tetap tak dapat lolos dari jangkauan pasir beracun itu, bila anak
murid keluarga Tong itu menghamburkan pasir beracun dari belakang, tentu juga akan sulit
menghindarkannya.
Untunglah pada saat itu juga mendadak terdengar suara Tong Ki berteriak, "Berhenti,
semuanya berhenti!"
263
Di tengah suara teriakannya, muncul Tong Ki bersama Li Be-ling , di belakang mereka ikut
pula tujuh atau delapan orang pelayan berpakaian singset, semuanya berlepotan debu pasir.
"Hamburkan Tok soa, jangan sampai mereka kabur!" bentak Siu-hong dengan bengis.
"Jangan! Tidak boleh!" bentak Tong-ki tidak kurang bengisnya.
"Serang!" teriak Siu-hong pula sambil menghentak kaki.
Tong Ki juga menghentakkan kakinya ke tanah dan berteriak, "Siu-hong apa kau tidak
pikirkan lagi keselamatan Jimoay?"
Dalam pada itu para anak murid keluarga Tong sudah siap menggenggam pasir berbisa, tapi
semuanya ragu dan serba salah, entah perintah siapa yang harus mereka turut. Sementara itu
Pwe-giok dan Lui-ji sudah sempat menerjang pergi beberapa puluh tombak jauhnya.
"Kohnaynay (bibi), jika kau pikirkan hubungan pribadi, keluarga Tong bisa hancur oleh
tindakanmu ini, "seru Siu-hong dengan suara parau.
Tib-tiba Li Be-ling ikut bicara, "Urusan ini tidak perlu kalian ikut campur, kujamin mereka
takkan bisa kabur, turutlah kepada perkataanku dan tentu takkan salah."
Biasanya Li be-ling terkenal pendiam dan jarang bicara, maka setiap ucapannya cukup
berbobot.
Tong Siu-hong melotot, katanya," Baik, biarlah kuserahkan mereka kepada kalian."
Sembari bicara rombongan anak murid keluarga Tong itu tetap mengejar ke depan sana.
Sebaliknya Pwe-giok membawa seorang tawanan, jalanan tidak apal pula, maka sukar untuk
lolos dari kejaran lawan. tapi setelah Siu-hong memberi tanda, pengikutnya tadi lantas
berhenti mengejar, hanya tinggal Li Be-ling dan Tong Ki saja yang masih terus mengejar ke
depan.
Dengan ginkang Pwe-giok dan Lui-ji, mestinya mereka dapat lolos dari kejaran musuh, tapi
apa yang dapat dikatakan lagi kalau di depan sudah buntu, beberapa rumah tampak
menghadang di depan sana, di belakang rumah adalah dinding tebing belaka.
Yang dipikir Pwe-giok hanya selekasnya meloloskan diri, tidak ada hasratnya untuk
bergebrak dengan lawan. Dia tidak ingin mencelakai lawan, juga kuatir sukar kabur bila
terlibat lagi dalam pertempuran, namun keadaan sekarang memaksanya mau-tak-mau harus
menggunakan kekerasan.
Tak terduga, setiba di sini, Tong Ki dan Li Be-ling lantas berhenti jauh di sana dan tidak
mendesak maju lagi. Malahan Tong Ki memberi tanda lambaian tangan, agaknya menyuruh
mereka lekas pergi.
Pwe-giok jadi melengak, seperti ingin bicara sesuatu, tapi akhirnya tidak jadi, ia tarik Lui-ji
dan menerjang masuk ke dalam deretan rumah di depan.
264
Tampak segala sesuatu yang terdapat di dalam rumah itu teratur dengan rapi, setiap alat
perabotnya serba antik dan indah.
Lui-ji menggeleng, katanya, "Aku tidak paham mengapa yang Cu-kang menolong kita, tapi
aku lebih-lebih tidak habis mengerti bahwa Tong-toakohnio inipun menolong kita, sungguh
aneh dan ajaib."
"Di dunia ini memang banyak kejadian yang tak terduga," ucap Pwe-giok.
"Dan bahwa Tong-jikohnio bisa membikin susah padamu, mungkin juga tidak kauduga
bukan?" jengek Lui-ji tiba-tiba.
Pwe-giok hanya menghela napas dan tidak bicara lagi.
Saat itu Tong Lin belum lagi siuman, Pwe-giok menaruhnya di atas kursi, lalu dia mencari di
seluruh ruangan.
Lui-ji tidak tahu apa yang dicari anak muda itu, ia coba tanya, "Tempat apakah di sini?"
"Kamar pribadi Tong Bu-siang," jawab Pwe-giok.
Lui-ji terkesiap, ucapnya, "Tong-toakohnio sudah menolong kita, kesempatan ini tidak kita
gunakan untuk kabur, untuk apa kita berbalik lari masuk ke kamar rahasia Tong Bu-siang?"
"Untuk mencari jalan keluarnya."
"Jalan keluar? Masa di sini ada jalan keluarnya?"
Belum lagi Pwe-giok menjawab, Lui-ji sudah melihat dipan di pojok kamar itu mulai
bergeser, di bawah tempat tidur itu muncul sebuah lorong di bawah tanah yang sangat gelap.
"Hah, kiranya di sini memang ada jalan keluar rahasia, "seru Lui-ji sambil berkedip-kedip,
"pantas Tong-jikohnio ini mengatakan kau masuk ke sini melalui jalan rahasia, caranya
berdusta ternyata sangat hidup dan seperti terjadi sungguhan. "
Pwe-giok hanya menyengir saja tanpa menanggapi, segera ia mendekati tong Lin dan
mengangkatnya.
Mendadak Lui-ji mendengus, "Hm, tampaknya kalian memang tidak mau berpisah sedikitpun,
kukira lebih baik kalian berdua diikat menjadi satu saja dengan tali. "
Sementara itu Pwe-giok sudah melangkah turun ke lorong di bawah tanah itu, tiba-tiba ia
menoleh dan berkata, "Saat ini bukan waktunya bicara, maukah kau tutup mulut ?"
Terkesiap Lui-ji, matanya menjadi merah. Belum pernah Pwe-giok bicara kepadanya dengan
muka masam seperti ini.
Pwe-giok berjalan di depan dengan hati-hati, setelah berjalan sekian jauhnya, ia menghela
napas dan berkata," Nah, apa yang hendak kau katakan sekarang boleh kau katakan saja
sepuasmu."
265
Tapi mulut Lui-ji justru tertutup rapat-rapat.
"Meski tadi tidak kau bunuh dia, tapi ku tahu dia pasti terkena racun di tubuhmu, jika
sekarang kau paham maksudku, hendaklah kau punahkan dulu racun dalam tubuhnya."
Tapi Lui-ji tutup mulut semakin rapat, seakan-akan tidak mau lagi dibuka.
Pwe-giok berkerut kening, katanya, "Kenapa. Sekarang kau malah tidak mau bicara."
Lui-ji tetap tutup mulut, hanya dengan jarinya ia tuding Pwe-giok, lalu tuding pula mulutnya
sendiri.
Pwe-giok tersenyum, ucapnya, "Sekarang kau sudah dewasa, masa masih suka ngambek
seperti anak kecil.?"
Mendengar dirinya dianggap sudah "dewasa", Lui-ji tertawa, dengan mulut menjengkit, ia
berkata, "Kau yang suruh aku tutup mulut, aku kan selalu menuruti perintahmu saja. "
"Jika begitu, lekaslah kau menolong dia, "kata Pwe-giok.
Mata Lui-ji kembali merah, ia menggigit bibir dan berkata, "Tahumu hanya menyuruh ku
tolong dia, kau hanya gelisah baginya, mengapa tidak kau tanyakan diriku, apakah juga
terkena racunnya atau tidak? Anggota keluarga Tong mereka kan juga terkenal ahli racun?"
"Meski senjata rahasia berbisa keluarga Tong sangat terkenal, tapi kau sendiri kan..."
"Aku kenapa? Aku ini orang berbisa, begitu? Barang siapa bila menyentuh diriku pasti
keracunan, begitu? Jika demikian, kenapa sampai sekarang kau tidak keracunan?"
Pwe-giok jadi melenggong, jawabnya, "Soalnya ku...kulihat Gin-hoa-nio yang cuma
menampar kau satu kali dan tangannya lantas keracunan, anggota Thian-can-kau itupun hanya
mencolek kau sekali dan dia juga...."
"Tapi Tong-jikohnio ini kan tidak memukul dan mencolek diriku? Jika racun di tubuhku tak
dapat kukuasai sendiri, mungkin sejak dulu Sacek sudah mati keracunan."
"O, jadi begitu, jadi dia tidak keracunan?"
"Memangnya kau kira aku ini orang goblok dan tidak tahu bahwa nona Tong kita ini tidak
boleh dibunuh?"
Pwe-giok menghela napas, katanya, "Ai, rupanya aku salah mengomeli kau, soalnya kulihat
sampai saat ini nona Tong itu belum lagi siuman, maka kukira...."
Belum habis ucapan Pwe-giok, Lui-ji mendekati Tong Lin dan menepuk bahunya sambil
mendengus, "Tong-jikohnioku sayang, tampaknya kau tidak cuma pintar berdusta, caramu
pura-pura juga sangat ahli. Akan tetapi bila kau tidak segera siuman, sekarang juga akan
kubelejeti pakaianmu."
266
Tubuh Tong Lin tampak bergetar, benarlah dia lantas membuka mata.
Lui-ji melototi Pwe-giok, katanya, "Nah, sekarang tentunya kau paham apa yang terjadi.
Lantaran kuatir ditanyai, maka dia sengaja pura-pura mampus.....Hm, tanpa membedakan
hitam dan putih lantas menuduh orang yang tak bersalah, malahan menganggap dirinya sangat
pintar dan cerdik , huh.!"
Terpaksa Pwe-giok menerima omelan itu dengan jujur, bahkan tunduk lahir batin.
Mulut Lui-ji menjengkit, dia melengos dan mengejek pula, "Nah, Tong-jikohnio, apakah
sekarang kau masih segan untuk bangun berdiri?"
Muka Tong Lin yang pucat itu kelihatan merah, ia menggreget, jawabnya, "Sudah jelas
kau....kau tahu hiat-to kakiku tertotok, tapi kau bicara seenaknya."
"Terkadang aku memang juga bisa membikin dongkol orang," ujar Lui-ji tak acuh.
"Memangnya hanya kalian saja yang boleh memfitnah diriku dan aku tidak boleh
membalas.?"
Sekujur badan Tong Lin gemetar saking gemasnya, tapi tak dapat menjawab.
Pwe-giok menghela napas, katanya kemudian. "Ji-kohnio, aku tidak ada permusuhan apapun
dengan kau, mengapa kau sengaja mencelakai diriku?"
Tiba-tiba Lui-ji mendengus pula. "Kau boleh sembarangan menuduh diriku, tentu boleh juga
dia sembarangan menuduh kau. Kalian berdua adalah sepasang ahli yang suka menuduh orang
baik, kenapa kau salahkan dia ? "
Sungguh Pwe-giok serba susah, ia hanya menyengir saja, tapi sekarang ia tidak berani lagi
menyuruh Lui-ji tutup mulut, sebab ia telah mendapatkan suatu pelajaran berharga pula, yaitu:
Jangan sekali-kali kaum lelaki menyuruh orang perempuan tutup mulut. Sebab seketika itu
mungkin si dia akan benar-benar tutup mulut, tapi seterusnya bukan mustahil dia akan
cerewet selama hidup.
Kini yang tutup mulut benar-benar adalah Tong Lin, dia seperti sudah mengambil keputusan
takkan bicara lagi.
Dengan suara lembut Pwe-giok membujuknya. "Caramu bersikap demikian bisa jadi lantaran
kaupun mempunyai kesulitan, sebab jelas kau bukan seorang yang suka berdusta."
"Hm, justru lantaran dia bukan seorang yang suka berdusta, maka apa yang diucapkannya
tentu dipercaya orang lain," jengek Lui-ji. "Apabila dia kelihatan sebagai seorang perempuan
bawel, tentu tiada orang yang mau percaya kepada ocehannya."
Setiap kali Pwe-giok tanya Tong Lin, yang ditanya tidak bersuara, tapi Lui-ji selalu
mendahului menanggapi.
Terpaksa Pwe-giok berlagak pilon dan bersabar, katanya pula, "Bisa jadi ada alasanmu yang
kuat sehingga terpaksa kau berdusta, asalkan kau tuturkan terus terang, pasti tidak kusalahkan
kau."
267
"Hm, bisa jadi memang benar-benar kekasihnya yang membunuh Tong Bu-siang itu, demi
untuk menyelamatkan kekasihnya, maka dia perlu mencari seorang sebagai tumbal," jengek
Lui-ji lagi.
Sekali ini dia tidak menanggapi dengan ngawur, tapi yang dikemukakan cukup masuk akal.
Terbeliak mata Pwe-giok, serunya, "Masa benar-benar kau tahu siapa si pembunuhnya?"
"Sudah tentu dia tahu, "Lui-ji mendahului menanggapi pula, "Tapi caramu bertanya ini tentu
juga takkan mendapatkan jawabannya."
Lalu Lui-ji mendekati Tong Lin, dengan bengis ia berkata, "Sesungguhnya siapa yang
membunuh Tong Bu-siang itu ? Jika tetap tidak kau katakan, segera ku.... "
Belum habis ucapannya, mendadak seorang menanggapi dengan perlahan, "Orang yang
membunuh Tong Bu-siang itu ialah diriku ini."
Dalam kegelapan entah sejak kapan telah bertambah sesosok bayangan orang yang berwarna
putih kelabu, seperti badan halus saja yang mendadak muncul di situ.
Karena tak dapat melihat jelas wajah orang, Pwe-giok dan Lui-ji berseru berbareng, "Siapa
kau ? "
Orang itu tidak menjawab, tapi lantas mengetik api.
Di bawah cahaya api, tampak seorang perempuan berkabung, geretan api yang dipegangnya
berkelip seperti api setan, wajahnya pucat lesi tanpa warna darah sedikitpun.
Melihat orang ini, Pwe-giok benar sangat terperanjat, serunya tanpa terasa, "He, kau ?!"
"Ya, betul aku!" sahut orang itu sambil menghela napas.
"Sungguh tak tersangka olehku yang berbuat itu adalah dirimu," kata Pwe-giok dengan
gegetun.
Mendadak Lui-ji membentak, "Kau berani mengaku sebagai si pembunuhnya di depan kami,
apakah kau sudah bertekad akan membunuh kami untuk menghilangkan saksi?"
Orang itu mendengus, "Huh, jika ingin kubunuh kalian, mengapa tadi ku tolong kalian?"
Orang yang mengaku sebagai "pembunuh" ini ternyata nona besar keluarga Tong, yaitu Tong
Ki.
Air mata Tong Lin sudah bercucuran, ucapnya dengan suara parau, "Toaci, untuk apa kau
datang kemari? Aku sudah jelas tak dapat hidup lagi, juga tidak ingin hidup lebih lama lagi,
mengapa tidak kau biarkan ku tanggung dosa ini?"
"Ku tahu tindakanmu ini adalah demi diriku," ucap Tong Ki dengan rawan. "Kau rela
mengorbankan dirimu, kau memang anak yang baik, tapi aku...."
268
"Akupun tahu tindakan toaci ini adalah demi mempertahankan nama baik keluarga Tong
kita..."
"Bagus, bagus, kalian semuanya anak baik, apa yang kalian lakukan semuanya beralasan.
Tapi Ji Pwe-giok apakah harus ikut dikorbankan ?" teriak Lui-ji mendadak.
Tong Ki menghela napas panjang, katanya. "Ya, ku tahu tindakan kami ini telah membikin
susah Ji-kongcu, tapi di dalam persoalan ini sesungguhnya memang mengandung banyak
rahasia yang tidak boleh diketahui orang luar. "
"Masa sekarang kami belum juga berhak mengetahui rahasia ini?" tanya Lui-ji.
"Kedatanganku untuk menemui kalian ini justru sudah siap hendak kuberitahukan rahasia ini
kepada kalian," ucap Tong Ki. Ia berhenti sejenak dan tersenyum getir, lalu melanjutkan,
"Tentu dalam hati kalian merasa sangat heran mengapa aku membunuh ayah sendiri, bukan ?
"
"Ya, aku memang sangat heran," kata Lui-ji.
"Setelah ku beritahu rahasia ini, kuharap kalian jangan menyiarkannya, sebab rahasia ini
sesungguhnya sangat penting."
"Masa kau tidak percaya kepada Ji Pwe-giok?" Lui-ji mendahului bertanya.
"Justru ku tahu lantaran Ji-kongcu adalah seorang kuncu sejati, maka ku datang ke sini...",
tiba-tiba Tong Ki tersenyum misterius, "Kalian tahu, Tong Bu-siang yang kubunuh itu
sebenarnya bukanlah ayahku."
Ia mengira keterangannya ini pasti akan membikin kaget Ji Pwe-giok dan Cu Lui-ji, tak
terduga Lui-ji hanya mencibir saja dan berkata, "Rahasia ini tidak luar biasa, sebelumnya
kami sudah tahu."
Tong Ki berbalik terperanjat, serunya, "Apa, kalian sudah tahu sebelumnya?"
"Ya, memang betul, "tukas Pwe-giok.
Dia sebenarnya adalah pemuda yang pendiam, apalagi berada bersama Lui-ji, kesempatannya
bicara boleh dikatakan sangat sedikit, sejak tadi sampai sekarang, hanya ketiga kata itu saja
sempat diucapkannya.
Malahan sekarang Lui-ji terus mendahului berkata pula, "Tidaklah heran jika hal ini diketahui
oleh kami, yang ku herankan justru cara bagaimana kalianpun mengetahuinya?"
Tong Ki tersenyum getir, tuturnya, "Sebenarnya urusan keluarga Tong ini hanya diketahui
olehku sendiri, tapi sekarang kalianpun mengetahuinya, tentu saja sangat mengherankan."
"Malahan kami tahu pula bahwa Tong Bu-siang gadungan itu aslinya cuma seorang kusir,"
kata Lui-ji pula.
269
"Kusir?" Tong Ki menegas dengan tercengang.
"Betul, hanya seorang kusir," kata Lui-ji. "Dia berkasak-kusuk dengan anak buah Ji Hong-ho
di Bong-hoa-lou sana, mereka tidak tahu kami mengintipnya dari balik dinding, sehingga
rahasianya ketahuan."
Mendingan dia tidak bicara, sebab Tong Ki tambah bingung oleh ceritanya itu.
Dengan menyesal Pwe-giok berkata, "Urusan ini memang sangat ruwet, tapi yang paling
penting haruslah diketahui oleh nona, bahwa semua tipu muslihat, semua intrik keji ini datang
dari .... dari Ji Hong-ho itu, dialah yang mendalangi semua kejadian ini."
"Ji Hong-ho?" Tong Ki menegas pula dengan melenggong. "Kau maksudkan Ji-lo-siansing
yang menjadi Bu-lim bengcu itu?"
"Betul, siapa lagi kalau bukan dia?" jawab Pwe-giok dengan menggreget.
Tong Ki tambah tercengang, katanya, "Dan apa sangkut-pautnya dengan urusan keluarga
Tong kami ini?"
"Justru lantaran ia ingin menguasai keluarga Tong yang berpengaruh ini, maka dia telah
menculik Tong-locianpwe untuk memalsukannya, "tutur Pwe-giok. "Tindakannya ini
sebenarnya berlangsung dengan sangat rahasia, siapa tahu secara tidak sengaja dapat kami
pergoki."
"Kedatangan kami ke sini justru hendak membongkar tipu muslihatnya itu," timbrung Lui-ji
tak tahan.
Tong Ki melengak sejenak, mendadak ia bergelak tertawa.
Pwe-giok dan Lui-ji saling pandang dengan bingung, mereka tidak tahu mengapa nona besar
keluarga Tong itu tertawa sedemikian geli.
Setelah tertawa sekian lamanya, tiba-tiba Tong Ki menghela napas panjang dan bergumam,
"Agaknya inilah yang disebut manusia berencana, Thian yang menentukan. Betapapun usaha
manusia takkan berhasil jika Thian tidak berkenan."
"Apa maksudmu?" tanya Lui-ji sambil berkerut kening.
"Terus terang, ayahku sudah wafat belasan tahun yang lalu," tutur Tong Ki dengan suara
tertahan.
Kembali Pwe-giok terkejut, serunya, "Belasan tahun yang lalu? Tapi jelas...jelas ku.."
"Waktu beliau wafat, saat itulah suasana di daerah Sujwan ini sedang kacau balau, keluarga
Tong kami waktu itupun menghadapi sesuatu yang sangat berbahaya," tutur Tong Ki. "Berkat
mendiang ayahku bertahan dengan tenang sehingga segala kesulitan dapat diatasi. Tapi beliau
kuatir apabila dia meninggal, suasana bisa kacau lagi, maka beliau sengaja mencari seorang
duplikat untuk menyaru sebagai dia, guna mengatasi segala kemungkinan."
270
Dia tertawa, lalu melanjutkan, "Duplikat yang ditemukan ayah itu adalah seorang paman yang
masih sanak keluarga kami dan bukanlah kusir segala. paman ini memang sangat mirip ayah,
setelah dirias, sukarlah orang luar akan membedakannya. Apalagi seumpama ada sesuatu
yang tidak betul, tentu orang akan menyangka karena ayah habis sakit, sehingga terjadi
perubahan."
"Jika demikian, jadi Tong-locianpwe yang pernah kutemui itu sesungguhnya juga palsu?"
kata Pwe-giok dengan menyesal.
Baru sekarang ia paham, mengapa Tong Bu-siang itu kelihatan takut urusan, terkadang
sikapnya tidak menampilkan wibawa seorang pemimpin.
Akhirnya iapun paham sebab apa "Tong Bu-siang" itu mengkhianatinya.
"Paman itu memang bukan seorang bijaksana dan cekatan, maka sebelum wafat, ayah telah
pesan padaku secara wanti-wanti agar paman itu hanya dijadikan sebagai boneka saja.
Apabila suatu waktu timbul pikiran jahatnya hendak merebut kedudukan dan merampas
kekuasaan, ayah menyuruhku agar membinasakan dia tanpa ragu," setelah berhenti sejenak
sambil menghela napas, lalu Tong Ki menyambung, "Justru karena diberi tugas berat ini oleh
mendiang ayahku, terpaksa ku jaga keluarga ini sepenuh tenaga, betapapun aku tak dapat
menikah dan ikut suami."
Teringat kepada pengorbanan Tong Ki yang besar ini, tanpa terasa Pwe-giok ikut terharu dan
bersedih baginya. Seorang perempuan rela mengorbankan masa muda sendiri dan hidup
kesepian, kehidupan demikian tidaklah mudah dilakukan setiap orang.
"Selama belasan tahun ini," tutur Tong Ki pula, "pamanku itu tampaknya juga hidup prihatin,
segala persoalan akulah yang memutuskan, ia sendiri tidak berani bertindak di luar tahuku.
Siapa tahu, setelah pulang sekali ini, dia kelihatan berubah, dalam waktu satu hari saja dia
berani mengambil keputusan sendiri dan mengeluarkan belasan macam perintah. Demi untuk
melaksanakan pesan ayah, terpaksa kubunuh dia."
Ia berhenti sejenak, lalu menyambung lagi, "Tapi akupun tidak menyangka bahwa di balik
kepalsuan itu, masih ada tiruan pula. Kejadian aneh di dunia ini sungguh terkadang jauh lebih
mustahil daripada dongeng."
Termangu-mangu Lui-ji mendengarkan ceritanya, baru sekarang ia tersenyum getir dan
bergumam, "Ya, memang tidaklah gampang bila suatu keluarga persilatan ternama ingin
mempertahankan nama dan kehormatannya."
Tong Ki tersenyum pedih, katanya, "Betul, umumnya orang hanya tahu kebesaran dan
kejayaan keluarga Tong kami, tapi siapa yang tahu di balik kejayaan ini entah tersembunyi
betapa banyak pahit getir, betapa banyak mengalirkan darah dan air mata...."
Dia seperti terkenang kepada kejadian-kejadian di masa lampau, tanpa terasa air matanya
bercucuran.
Pwe-giok jadi teringat kepada nasib Tong Ki yang pernah bertunangan 2 - 3 kali, tapi setiap
kali bakal suaminya selalu mati mendadak, apakah orang-orang itu hanya mati secara
kebetulan ? Adakah di balik kematian itu tersembunyi suatu rahasia ?
271
Teringat demikian tanpa terasa Pwe-giok bergidik.
Ia tidak ingin memikirkannya lagi, juga tidak sampai hati untuk memikirkannya, apapun juga
Tong Ki harus dianggap sebagai anak perempuan yang tidak beruntung dan perlu dikasihani.
Kejayaan hanya bisa diperoleh dengan macam-macam imbalan yang besar. Sejak dahulu kala,
di balik soal "kejayaan", entah telah berapa banyak menimbulkan korban, entah berapa
banyak tulang-belulang yang bertumpuk dan betapa banyak darah yang mengalir.
Dan semua ini apa cukup berharga?
Lui-ji termenung sejenak, tiba-tiba ia bertanya, "Apakah Tong Giok juga tidak tahu rahasia
keluarga kalian ini?"
"Tidak, iapun tidak tahu," jawab Tong Ki.
"O, pantas dia...... "mendadak Lui-ji tidak melanjutkan ucapannya, sebab ia merasa orang
yang telah mati tidak perlu lagi disinggung perbuatannya yang memalukan itu.
Pwe-giok memandangnya sekejap sebagai tanda memujinya.
Betapapun pada dasarnya Lui-ji adalah anak perempuan yang berhati bajik, cuma seperti juga
kebanyakan anak perempuan di dunia ini, terkadang dia suka banyak bicara walaupun
sebenarnya bukan waktunya untuk bicara.
Tong Ki lantas menutur pula, "Kecuali diriku dan paman itu, di dunia ini jelas tiada orang lain
lagi yang tahu rahasia penyamaran ini. Sebab waktu itu adik-adikku masih kecil, maka ayah
menyuruhku sekalian merahasiakan urusan ini bagi mereka."
Diam-diam Pwe-giok menghela napas gegetun, ia tahu Tong Jan juga pasti tidak tahu rahasia
ini, kalau tidak, mustahil ia mau membantu Tong Bu-siang gadungan itu untuk
mengkhianatinya dahulu.
Rupanya setelah belasan tahun menjadi boneka, Tong Bu-siang palsu itu tidak rela dan
merasa penasaran, maka dia bersekongkol dengan Ji Hong-ho untuk mempertinggi kedudukan
sendiri dan memperkuat kekuasaannya.
Tapi meski dia telah mengkhianati Ji Pwe-giok, dia tidak menjual keluarga Tong, sebab itulah
ketika ajalnya itu, dia tetap tidak memberitahukan rahasia kepalsuannya sendiri kepada Ji
Hong-ho.
Pwe-giok menghela napas panjang, ucapnya, "Apapun juga pamanmu itu tidak bersalah
terhadap keluarga Tong kalian."
Tong Ki menghela napas, katanya, "Demi kehormatan keluarga, terpaksa harus berkorban
sendiri, inilah penderitaan kebanyakan murid ke keluarga persilatan di dunia ini, juga
semangat dasar keluarga persilatan ini supaya dapat bertahan hidup di dunia persilatan. "
272
"Tadinya akupun sangat mengagumi para murid keluarga persilatan, tapi sekarang..... "Lui-ji
berucap dengan rawan, sebab iapun mempunyai penderitaannya sendiri, menjadi puteri "Siauhun-
kiongcu", betapapun bukanlah sesuatu yang enak.
Selang sejenak, tiba-tiba ia bertanya pula, "Rahasia ini mungkin tidak diketahui orang lain,
tapi Ji-kohnio tentunya tahu, bukan? "
"Ia baru tahu pada kemarin malam, "jawab Tong Ki.
"Ooh ? Baru kemarin malam ? "Lui-ji merasa heran.
"Ya, baru kemarin malam, memang betul ada sesuatu yang harus dibicarakan dengan
Tong...Tong Bu-siang itu, setiba di luar pintu, ia memang berhenti di sana, sebab saat itu aku
sedang bicara di dalam kamar. "
"O, jadi dia menyaksikan kau bunuh Tong Bu-siang itu, tentu saja dia terkejut, ketika kau tahu
dia berada di luar kamar, terpaksa kau beritahukan rahasia keluargamu itu kepadanya, begitu ?
"tanya Lui-ji.
"Ya, memang betul begitu, "sahut Tong Ki.
"Aku memang lagi heran mengapa kalian tidak mau menjelaskan duduk perkara yang
sebenarnya."
"Soalnya waktu itu kami belum mengetahui liku-liku urusan ini, lebih-lebih tidak tahu bahwa
Tong Bu-siang palsu itu telah dipalsukan pula oleh orang lain."
Lui-ji menjengek, "Hm, kalian tidak ingin orang luar mengetahui perebutan kekuasaan di
tengah keluarga sendiri, demi menjaga nama baik keluarga Tong, lantas kalian korbankan Ji
Pwe-giok, begitu bukan?"
Terpaksa Tong Ki menghela napas panjang, sebab dia memang tidak dapat menjawabnya.
Lui-ji melototi Tong Lin, katanya pula dengan perlahan, "Ji-kohnio, ingin kuminta penjelasan
sesuatu kepadamu."
Tong Lin menundukkan kepala, seakan-akan tak mau mendongak lagi untuk selamanya.
Maka Lui-ji berkata pula. "Jika kau perlu cari tumbal, siapapun boleh kau cari, kenapa
pilihanmu jatuh pada diri Ji Pwe-giok ? Ada persoalan apa antara kau dengan dia ? "
Kepala Tong Lin tertunduk lebih rendah lagi, air matapun berderai.
Mendadak Tong Ki menghela napas, katanya, "Daripada kau minta penjelasannya, lebih baik
aku saja yang berbicara baginya."
"Hm, kiranya kaupun tahu apa sebabnya, jangan-jangan hal inipun atas gagasanmu?" jengek
Lui-ji.
273
Tong Ki tak tahan, iapun balas menjengek, "Hm, jika gagasanku, tentu takkan jadi begini,
sebab biarpun Ji-kongcu adalah pemuda cakap yang jarang ditemukan, tapi bagiku rasanya
tidak berarti apa-apa."
Dia seperti dibikin marah oleh Lui-ji sehingga cara bicaranya juga tidak sungkan-sungkan
lagi.
Lui-ji berbalik tertawa geli malah, ucapnya, "Baik sekali, justru kuharapkan dia akan
dipandang sebagai siluman buruk di mata wanita lain. Apabila semua perempuan di dunia ini
berpandangan serupa Tong-toakohnio, maka amanlah hatiku."
Tong Ki memandangnya, rasa gusarnya perlahan-lahan lenyap, sebab ia merasa Lui-ji tidak
lebih hanya seorang anak kecil yang berlagak menjadi orang tua. Ia tertawa, lalu menghela
napas panjang lagi dan berkata, "Namun adik perempuanku ini justru...."
"Toaci!" seru Tong Lin mendadak sambil mendongak, "jangan...jangan kau..."
"Mengapa jangan?" jawab Tong Ki lembut. "Seorang anak gadis jatuh cinta kepada seorang
pemuda kan bukan sesuatu yang memalukan ? Mengapa tidak boleh kita katakan terus
terang?"
Tubuh Tong Lin tampak gemetar, mukanya bersemu merah.
Lui-ji mendelik, ucapnya, "Jadi maksudmu, lantaran dia suka kepada Pwe-giok, maka dia
mencelakainya pula. Wah, kalau begitu, rasa sukanya itu rada-rada tidak enak."
"Dia memang jatuh cinta kepada Ji-kongcu," sambung Tong Ki, "ketika diketahuinya Jikongcu
sudah menikah denganmu, betapa sedih hatinya, tentu dapat kau bayangkan, ditambah
lagi kemalangan yang menimpa keluarga kami, derita batinnya mana bisa ditahannya ? "
Dia menatap Lui-ji lekat-lekat, lalu berkata pula dengan perlahan, "Tentu nona juga tahu,
jarak antara cinta dan benci sedemikian kecilnya. Bilamana nona yang berada dalam keadaan
seperti dia ini, mungkin kaupun akan bertindak demikian. "
Lui-ji terdiam sejenak, ia pandang sekejap Pwe-giok yang sedang melenggong itu, lalu
berucap dengan sayu, "Ya, bisa jadi aku akan bertindak terlebih kejam daripada dia. "
"Apalagi, memang cuma Ji-kongcu saja yang dapat disebutnya, bila dia menyebut orang lain,
pasti tidak ada yang mau percaya, "kata Tong Ki.
"Sebab apa? "tanya Lui-ji.
"Sebab dia telah cukup tersiksa demi membela Ji-kongcu, "tutur Tong Ki dengan gegetun.
"Jika bukan lantaran kejadian itu, meski kemudian tidak menimbulkan banyak persoalan,
mungkin dia sudah dihukum mati menurut peraturan rumah tangga kami....."
Sampai di sini, Pwe-giok tidak tahan lagi, ucapnya dengan terharu, "dia membawa Gin-hoanio
ke tempat rahasia pembuatan Am-gi keluarga Tong, apakah tindakannya itu demi diriku
?"
274
"Asal kau tahu saja," ujar Tong Ki dengan tersenyum getir, "dan kalau Ji-kongcu sudah tahu,
tentunya kau harus memaafkan perbuatannya tadi."
Pwe-giok pandang Tong Lin yang sedang menangis itu dan entah apa yang harus
diucapkannya.
Tapi Lui-ji lantas mendekati Tong Lin, ucapnya dengan suara lembut. "Jikohnio, sebenarnya
aku benci padamu, tapi sekarang aku benar-benar bersimpati padamu..."
Mendadak Tong Lin melonjak bangun, teriaknya dengan suara parau, "Aku tidak memerlukan
simpatimu, tidak perlu kasihanmu. Kubenci padamu, kubenci kau!..." dia terus meronta dan
hendak menerjang maju, tapi lantaran hiat-to kaki tertotok, ia jatuh terjungkal pula.
Lui-ji menggigit bibir dan tersenyum pedih, ucapnya," Tidak perlu kau benci padaku,
kubilang dia suamiku, sesungguhnya hanya menipu diriku sendiri saja, sebab dalam hatinya
hanya terisi oleh nona Lim Tay-ih itu. Akupun serupa kau, sama-sama gadis yang harus
dikasihani, aku...aku..... "sampai di sini air matanyapun berderai.
Tong Ki memandangi mereka, matanya juga mengembeng air mata, gumamnya, "Cinta... O
cinta..." mendadak ia pandang Pwe-giok, ucapnya dengan dingin, "Ji-kongcu, tampaknya
tidak sedikit kau bikin susah orang!"
Pwe-giok tampak terkesima dan bergumam, "Tidak sedikit orang yang ku bikin susah..." ia
mengulang kalimat tersebut beberapa kali, tapi selain itu dia memang tidak dapat bicara lain.
Apalagi, biarpun bicara apapun juga, Tong Ki takkan bersimpati padanya.
Tong Ki membangunkan Tong Lin, lalu berkata, "Sekarang, selesailah perkataanku, bolehlah
Ji-kongcu pergi!"
Dia seperti tidak mau memandang Pwe-giok lagi, sampai Lui-ji juga tidak menyangka
sikapnya akan berubah menjadi sedingin itu.
Lui-ji tidak tahu bahwa seorang perawan tua biasanya paling benci terhadap lelaki yang tidak
berbudi dan tidak setia, seakan-akan dia sendiri sudah beratus kali ditipu oleh kaum lelaki.
Padahal masakah dia tidak tahu bahwa Pwe-giok tidak bersalah, hanya saja ia tidak mau
mengakui fakta ini, sebab yang dibencinya bukanlah Ji Pwe-giok melainkan kaum lelaki.
Melihat Tong Ki mulai melangkah pergi dengan memayang Tong Lin, Lui-ji tidak tahan,
serunya, "Nona Tong, apakah rahasia tadi akan kau siarkan ? "
"Tidak, "jawab Tong Ki.
"Jika ... jika begitu, apa gunanya kau beritahukan rahasia ini kepada kami ? "tanya Lui-ji pula.
"Kenapa tidak ada gunanya ? "sahut Tong Ki.
"Sebab kalau orang lain tidak tahu seluk-beluk persoalan ini, bukankah Pwe-giok akan tetap
dianggap sebagai pembunuh Tong-locengcu?"
275
"Hm, sudah jelas dia tidak setia padamu, untuk apa kau perhatikan dia?" jengek Tong Ki,
sambil bicara, tanpa menoleh lagi ia terus tinggal pergi.
Lui-ji melenggong, ia ingin menyusul ke sana, tapi Pwe-giok keburu menariknya dan berkata.
"Sudahlah, biarkan dia pergi."
"Sudahlah!?" teriak Lui-ji. "Urusan ini mana boleh dianggap sudah? Masa kau lebih suka
dituduh orang sebagai pembunuh?"
Pwe-giok termangu sejenak, ucapnya kemudian dengan tersenyum getir, "Aku sendiri sudah
cukup dibebani berbagai tuduhan, biarpun ditambah lagi urusan ini juga tidak menjadi soal."
"Sungguh aku merasa bingung, kau ini orang macam apa," ucap Lui-ji dengan mendongkol.
"Orang lain membikin susah padamu, tapi kau tidak marah sedikitpun. Orang lain kuatir dan
gelisah bagimu, kau sendiri malah adem-ayem?"
Pwe-giok tertawa, katanya, "Jika kau anggap aku ini orang yang tak berbudi dan tak setia,
untuk apa lagi kau perhatikan diriku?"
Ucapan Pwe-giok ini membuat Lui-ji melengak, mendadak ia mendekap mukanya dan
menangis, dengan gemas ia berkata, "Masa kau anggap ucapanku tadi tidak pantas?
Memangnya hatimu tidak memikirkan Lim Tay-ih melulu? Apakah aku salah omong, salah
menuduh padamu?"
Apapun Pwe-giok tidak dapat bicara lagi.
Setelah menangis sejenak, rasanya Lui-ji sudah cukup menangis, kemudian ia bergumam,
"Mungkin akulah yang salah. Aku ini gadis cerewet, cengeng, sedikit-sedikit menangis, sering
pula bicara, hingga menimbulkan kemarahanmu, mengapa tidak kau tinggalkan diriku dan
pergi sendiri saja ? "
Pwe-giok tetap tidak bicara apapun, ia hanya gandeng tangan si nona dan diajaknya
berangkat, maka dengan menurut Lui-ji juga ikut berangkat.
Tanpa bicara memang cara yang paling baik untuk menghadapi kaum perempuan.
*****
Pwe-giok tahu lorong di bawah tanah itu menembus ke kelenteng yang letaknya terpencil itu.
Di kelenteng itulah anak buah Ji Hong-ho menculik "Tong Bu-siang" dan membunuh Tong
Jan.
Juga di kelenteng itu untuk pertama kalinya Pwe-giok bertemu dengan Kwe Pian-sian. Tanpa
terasa ia jadi teringat kepada Ciong Cing, gadis yang merana karena cinta itu.
Ke manakah mereka sekarang? masih hidup atau sudah mati?
Iapun teringat kepada Gin-hoa-nio, teringat kepada nasibnya yang mengerikan itu, maka
wajah Kim-hoa-nio, Thi-hoa-nio, Kim-yan-cu dan lain-lain seolah-olah terbayang pula di
depan matanya.
276
Dengan sendirinya, ia lebih-lebih tak dapat melupakan Lim Tay-ih.
Ia menghela napas panjang, pikirnya dengan rawan, "Nasib mereka sama tidak beruntung,
apakah benar akulah yang membikin susah mereka...?"
Hampir setiap anak perempuan yang dikenalnya seakan-akan tidak ada satupun yang
beruntung dan bahagia. Apakah sebabnya?
Wanita cantik biasanya dipandang orang sebagai "air bencana", lalu pemuda cakap seperti Ji
Pwe-giok ini terhitung apa?
Jalan tembus pada lorong di bawah tanah itu ditutup oleh sepotong batu yang dapat diputar,
sehingga tidak banyak suara yang ditimbulkannya. Apalagi di luar sana adalah kelenteng di
tanah pegunungan sunyi dan jauh dari jejak manusia, biarpun menerbitkan sedikit suara juga
tidak menjadi soal.
Namun begitu Pwe-giok tetap sangat hati-hati, lebih dulu ia geser batu itu sedikit, di luar
ternyata gelap gulita, biarpun ada cahaya bulan dan bintang juga tak dapat menyinari tempat
ini.
Dan biasanya kegelapan selalu berkawan kesunyian, kecuali denyut jantung sendiri, hampir
tak terdengar apapun oleh Pwe-giok, bahkan anginpun berhenti berdesir.
Setelah yakin benar keadaan aman, barulah Pwe-giok menarik Lui-ji naik ke atas.
Tapi pada saat itu juga dalam kegelapan mendadak timbul serentetan suara orang tertawa.
Seorang dengan tertawa berkata, "Baru sekarang kalian muncul? Sudah lama kutunggu di
sini."
Pwe-giok terkejut dan menyurut mundur, tapi segera cahaya lampu terang benderang.
"He, Yang Cu-kang!" seru Lui-ji kaget, "Kau benar-benar seperti arwah yang tidak mau
buyar, kenapa kaupun ikut ke sini?"
"Bisa jadi lantaran aku dan kalian memang berjodoh..." Yang Cu-kang tersenyum, dia duduk
bersila di lantai, di depannya ada sebotol arak dan beberapa bungkus makanan, ada pula
sebuah lampu dan sebuah geretan api.
Dengan tertawa ia berkata pula, "Arak dan makanan ini kubawa sendiri dari tempat perjamuan
keluarga Tong sana, meski arak masih hangat, namun makanannya sudah dingin, karena
barang didapatkan dengan gratis, biarlah kita nikmati saja seadanya. Marilah, silahkan kalian
ikut minum barang secawan. "
Pwe-giok memandangnya dengan tersenyum, ucapnya kemudian, "terima kasih!"
Dia benar-benar mendekati Yang Cu-kang dan ikut duduk di situ, cawan arak diangkatnya
dan ditenggak habis. Lui-ji ingin mendahului mencicipi arak itu, tapi sudah tidak keburu lagi.
277
Yang Cu-kang tertawa, katanya. "Ji-heng, ilmu silatmu sebenarnya tidak seberapa,
kecakapanmu juga tidak melebihi diriku, tapi kau memang jauh lebih sabar daripadaku. Hal
ini mau-tak-mau aku harus kagum padamu. Marilah, ku suguh kau satu cawan."
Lalu dia tertawa terhadap Lui-ji dan berkata pula, "Hendaknya nona Cu jangan kuatir, arak ini
tidak beracun, untuk membunuh orang cukup banyak caraku dan tidak perlu memakai racun."
Biji mata Lui-ji berputar, ucapnya hambar, "Tapi caraku membunuh orang cuma ada satu,
yakni pakai racun. Setiap saat dan di manapun juga dapat ku taruh racun, entah sudah berapa
banyak orang yang mati ku racun, tapi tiada seorangpun yang mengetahui cara bagaimana
matinya." Sampai di sini mendadak ia tertawa terhadap Yang Cu-kang dan menambahkan,
"Bukan mustahil akupun sudah menaruh racun di dalam arak yang akan kau minum ini, kau
percaya tidak?"
Jika orang lain yang berkata demikian, bisa jadi Yang Cu-kang akan bergelak tertawa dan
menenggak habis araknya itu, tapi sekarang kata-kata tersebut diucapkan oleh puteri tunggal
Siau-hun-kiongcu, maka bobotnya menjadi lain.
Yang Cu-kang pandang arak dalam cawan yang dipegangnya itu, katanya dengan tetap
tertawa, "Bila benar arak ini sudah kau racuni, tentu takkan kau beritahukan kepadaku,
bukan?"
"Kenapa tidak kau coba?" ucap Lui-ji dengan tersenyum.
Melengak juga Yang Cu-kang, betapapun ia menjadi sangsi, seumpama tahu benar arak ini
tidak beracun juga tidak sanggup diminumnya lagi.
"Kenapa? Bukankah nyalimu biasanya sangat besar?" tanya Lui-ji.
"Nyaliku memang sangat besar, tapi kalau dipancing orang, seketika bisa berubah menjadi
kecil," kata Yang Cu-kang.
Dengan jarinya yang lentik, Lui-ji mengambil cawan arak yang dipegang Yang Cu-kang itu,
arak dalam cawan dituangnya ke dalam cawan Pwe-giok, lalu berkata dengan terkikik,
"Sayang jika arak ini dibuang, dia tidak mau minum, biar kau saja yang menghabiskannya. "
Pwe-giok tertawa, tanpa bicara ia tenggak araknya hingga habis.
Dengan tertawa Lui-ji berkata pula, "Nah, lihatlah, hakekatnya arak ini tidak beracun, kenapa
tidak berani kau minum? Sungguh memalukan jika keberanian minum arak saja tidak ada."
Yang Cu-kang tidak malu juga tidak rikuh, ia malah tertawa dan menjawab," Apa salahnya
jika bertindak hati-hati, apalagi arak kan harus disuguhkan dulu kepada tetamu."
Habis berkata ia menuangi lagi cawan sendiri dengan arak dalam poci, lalu berkata,
"Sekarang arak ini tentunya dapat kuminum tanpa kuatir."
Mata Lui-ji berkedip, katanya, "Betul, arak baru ini tidak beracun, lekas kau minum saja."
278
Tapi kembali Yang Cu-kang merasa sangsi, sampai sekian lama ia pandang cawan arak yang
dipegangnya itu, katanya dengan menyengir, "Ah, kalau terlalu banyak minum arak mungkin
akan mengidap kanker hati, lebih baik mengurangi minum arak."
Lui-ji tertawa senang, ucapnya, "Coba lihat, kubilang di dalam arak beracun, kau tidak berani
minum, kukatakan arakmu tidak beracun, kaupun tidak berani minum. Memangnya apa yang
harus kukatakan supaya kau berani minum arak ?"
"Apapun yang kau katakan, jelas aku tidak ingin minum lagi, " ujar Yang Cu-kang dengan
tertawa. Ia menaruh cawan araknya, lalu bergumam, "Jiwanya telah kuselamatkan, tapi
secawan arak saja aku tidak boleh minum, tampaknya memang lebih baik tidak menolong
siapapun."
Mendadak Lui-ji menarik muka, ucapnya, "Siapa yang minta kau tolong kami ? Tong Giok
telah kau bunuh, Kim-hoa-nio juga kau celakai, Thi-hoa-nio juga kau binasakan, kenapa kami
tidak kau bunuh, sebaliknya malah menolong kami ?"
"Memangnya kau senang jika kubunuh kalian ?" tanya Yang Cu-kang dengan tersenyum.
"Mendingan kau tidak mengincar kami, kalau tidak, tentu susah kau !" jengek Lui-ji.
"Bagiku bukan soal susah atau tidak, jika aku berniat membunuh orang, yang menjadi soal
adalah orang itu pantas dibunuh atau tidak, " kata Yang Cu-kang, mendadak ia menarik muka
dan menegas, "Coba, ingin kutanya padamu, seorang demi mendapatkan isteri, dia lupa
kepada sanak famili, sampai saudara sendiri juga dikhianatinya, orang demikian pantas
dibunuh atau tidak ?"
"Hal ini disebabkan kalian sendiri yang memaksa dia berbuat demikian, masa kau salahkan
dia malah ?" jawab Lui-ji.
"Jika kupaksa kau bunuh Ji Pwe-giok, kau mau ?" tanya Yang Cu-kang.
"Dengan sendirinya tidak mau," sahut Lui-ji.
"Nah, apa bedanya, " ujar Yang Cu-kang. "Kupaksa kau atau tidak adalah satu hal, kau mau
melakukannya atau tidak juga satu hal yang lain. Jika Tong Giok setia kepada sanak
keluarganya seperti kesetiaanmu terhadap Ji Pwe-giok, lalu apa gunanya kami memaksa dia
?"
"Tapi bagaimana dengan Kim-hoa-nio ? Ken..kenapa kau…."
"Kim-hoa-nio ? Bilakah pernah kuganggu seujung rambutnya ? " sela Yang Cu-kang, "Dia
sendiri yang rela mati bersama kekasihnya, apa sangkut pautnya dengan diriku? Di dunia ini
banyak perempuan bodoh seperti dia, entah berapa banyak yang mati setiap hari, masa aku
yang kau salahkan? "
"Hm, kau tolak bersih semua kesalahanmu, jika demikian, jadi kau ini manusia baik hati
malah," jengek Lui-ji.
279
"Ah, predikat ini tak berani kuterima, "jawab Yang Cu-kang dengan tertawa, "cuma orang
yang memang tidak harus dibunuh, biarpun orang menyembah padaku agar membunuhnya
juga takkan kulakukan."
Mata Lui-ji mendelik, teriaknya dengan bengis, "Lantas bagaimana dengan Thi-hoa-nio?
Dalam hal apa dia pantas dibunuh?"
"Thi-hoa-nio? Siapa bilang kubunuh dia?"
"Aku yang bilang!" teriak Lui-ji.
"Kau lihat kubunuh dia? Apakah kau lihat jenazahnya? Darimana kau tahu dia sudah mati?"
"Tanpa melihatnya sendiri juga ku tahu dia mati di tanganmu," jengek Lui-ji.
"Eh, coba jawab, bagaimana jika dia tidak mati?" tanya Yang Cu-kang tiba-tiba.
"Jika dia tidak mati, biar ku… kutelan guci arak ini," kata Lui-ji.
"Wah, guci arak ini sekali-kali tidak boleh ditelan, kalau kau telan, bila ada orang melihat
perutmu mendadak buncit, tentu orang akan heran, masa ada anak perawan bunting sebelum
bersuami, bahkan mengandung anak kembar, kalau tidak masakah perutmu sebesar gentong?"
"Siapa bilang perutku besar? " teriak Lui-ji dengan gusar dan muka merah.
"Bila perut terisi dua guci, mustahil tidak menjadi besar?"
Lui-ji melengak, tanyanya, "Dua guci? Dari mana datangnya dua guci ?"
"Kan nona sendiri sudah mempunyai guci cuka, sekarang menelan lagi guci arak, jadinya kan
dua guci?" jawab Yang Cu-kang dengan tertawa.
Seorang anak perempuan kalau kalah berdebat dengan orang, biasanya kalau tidak menangis
dan ribut, sedikitnya juga akan ngambek dan menggunakan macam-macam alasan yang tidak
masuk akal, orang lain kudu dibikin keok barulah dia merasa puas.
Jilid 10________
Tapi sayang, segala macam senjata orang perempuan ternyata tidak mempan terhadap orang
semacam Yang Cu-kang. Lui-ji juga tahu bicaranya sia-sia belaka, maka akhirnya dia cuma
melotot doang dengan hati gemas.
"Baiklah, anggaplah aku tak dapat mengungguli pembicaraanmu," kata Lui-ji akhirnya
dengan tertawa, "Jika kau jadi perempuan, tentu kaupun seorang perempuan bawel dan barang
siapa berhadapan dengan perempuan bawel, anggaplah dirinya sedang sial!"
Tiba-tiba Pwe-giok tertawa dan berkata, "Eh, Yang-heng menunggu di sini sekian lama.
Apakah tujuanmu untuk bertengkar mulut dengan dia?"
280
Yang Cu-kang jadi melengak dan tidak dapat menjawab untuk sekian lamanya, mendadak
iapun tertawa dan berkata, "Anjing yang menggigit orang biasanya tidak menggonggong,
pameo ini ternyata benar. Tampaknya selanjutnya harus kupandang Ji-heng dengan cara lain."
Pwe-giok hanya tertawa saja tanpa menjawab.
Terpaksa Yang Cu-kang berhenti tertawa dan berucap dengan sungguh-sungguh. "Cayhe
sengaja menunggu di sini berhubung ku tahu Ji-heng adalah seorang Kuncu sejati."
"Ah, tidak berani," jawab Pwe-giok.
"Selama hidupku paling benci kepada Kuncu palsu, manusia munafik," kata Yang Cu-kang
pula. "Tapi Kuncu sejati seperti Ji-heng ini, Cayhe tetap sangat kagum dan hormat."
"Ah, tidak berani," ucap Pwe-giok pula.
"Lebih-lebih orang jujur dan berpendirian teguh seperti Ji-heng, penuh rasa tanggung jawab
dan sanggup menderita..."
Lui-ji tidak tahan, ia menyela, "Sesungguhnya apa keperluanmu, ingin bicara lekas bicara,
ingin kentut lekas kentut, tiada gunanya kau menyanjung puji belaka. Sebab cara
bagaimanapun kau jilat dia, jawabannya tetap kedua kata itu saja, yakni tidak berani."
Yang Cu-kang terkekeh, katanya lagi, "Cayhe hanya ingin minta petunjuk satu hal kepada Jiheng,
Kuncu sejati seperti Ji-heng tentunya takkan berdusta padaku."
Benar juga seperti apa yang dikatakan Lui-ji, dengan tersenyum Pwe-giok tetap menjawab,
"Ah, tidak berani!"
"Begini," ucap Yang Cu-kang. "Cayhe hanya ingin tanya satu hal saja, sesungguhnya
siapakah yang membunuh Tong-Bu-siang itu? Apakah Tong-toakohnio yang membunuhnya?
Untuk apa dia membunuhnya? Apakah karena dia sudah mengetahui ayahnya itu barang
palsu? Darimana pula dia tahu akan hal ini?"
Pwe-giok termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata, "Soal ini bukan lagi satu hal, tapi meliputi
lima hal."
Mencorong sinar mata Yang Cu-kang, katanya dengan melotot, "Baiklah, boleh dianggap
Cayhe minta petunjuk lima hal kepadamu."
Dengan perlahan Pwe-giok menjawab, "Karena Yang-heng sudi bertanya, dengan sendirinya
Cayhe tidak berani memberi keterangan bohong. Hanya saja..."
"Hanya saja apa?" tukas Yang Cu-kang.
Mendadak Pwe-giok tutup mulut dan tidak bicara lagi.
Lui-ji bertepuk tangan dan berkata dengan tertawa, "Hihi, masakah kau tidak paham
maksudnya? Dia tidak boleh membohongi kau, tapi juga boleh tutup mulut tanpa bicara. Baru
sekarang ku tahu cara inilah cara yang paling baik untuk menghadapi perempuan bawel."
281
Mendadak Yang Cu-kang berbangkit dan bertanya dengan suara bengis, "Jadi kau tidak mau
bicara?!"
Serentak Lui-ji juga melompat bangun dan menjawab dengan mendelik, "Memangnya mau
apa jika tidak bicara?"
Kelam air muka Yang Cu-kang, Lui-ji menyangka orang pasti akan turun tangan
menyerangnya, mau-tak-mau tegang juga hatinya. Sebab ia menyadari apabila orang mulai
turun tangan maka serangannya pasti maha dahsyat.
Tak terduga Yang Cu-kang lantas tertawa malah, katanya, "Ya sudahlah! Kalau Ji-heng tidak
mau bicara, anggaplah aku tidak pernah bertanya."
Lui-ji jadi melengak sendiri, tanyanya, "He, kenapa kau jadi sungkan?"
"Sebab sesungguhnya aku ingin bersahabat dengan Ji-heng," jawab Yang Cu-kang. "Apabila
Ji-heng sudi mampir ke tempat tinggalku untuk minum barang satu-dua cawan, maka hatiku
akan sangat bergembira."
"Ke tempat tinggalmu? Kau punya rumah?" tanya Lui-ji dengan terkejut.
"Setiap orang harus punya rumah, masa aku dikecualikan?" jawab Yang Cu-kang dengan
tertawa.
"Betul, tikus pun punya liang, apalagi kau," ujar Lui-ji. "Eh, dimanakah letak liang tikusmu?"
"Kediamanku terletak tidak jauh dari sini," jawab Yang Cu-kang. "Biniku juga dapat
membuatkan dua-tiga macam santapan yang dapat sekedar untuk teman minum arak."
Kembali Lui-ji terkejut, ia menegas, "Hah, binimu? Kaupun punya bini?"
"Jika ada tikus jantan, tentunya perlu tikus betina, kalau tidak darimana datangnya tikus
anakan?" ujar Yang Cu-kang dengan tertawa.
Lui-ji menghela nafas, katanya kemudian, "Ai, sebenarnya permainan apa yang sedang kau
lakukan? Sampai akupun merasa bingung. Tapi aku pun benar-benar ingin tahu macam
apakah binimu itu, ternyata sudi diperistri oleh makhluk semacam kau ini."
"Entah Ji-heng sudi mampir atau tidak?" tanya Yang Cu-kang.
Ji Pwe-giok tertawa, belum lagi dia bersuara, Lui-ji telah mendahului, "Kuyakin dia juga
ingin melihat binimu itu, betul tidak?"
"Haha, bagus," seru Yang Cu-kang sambil bertepuk tangan. "Bila nona sudah omong begini,
mau-tak-mau Ji-heng harus pergi."
Padahal Pwe-giok memang benar ingin pergi juga, sebab kini diketahuinya Yang Cu-kang ini
bukan saja misterius, bahkan ajaib, bukan saja menakutkan, tapi juga sangat menarik.
Diundang orang macam begini mungkin sukar ditolak oleh siapapun juga.
282
Rumah Yang Cu-kang memang betul terletak tidak jauh dari situ, setiba di sana fajar belum
lagi menyingsing. Terlihat di kaki gunung sana ada tiga atau lima buah rumah gubuk, asap
dapur kelihatan sudah mengepul keluar atap rumah.
"Wah, tampaknya binimu sangat rajin," ujar Lui-ji sambil berkedip-kedip. "Sedini ini dia
sudah bangun dan menanak nasi."
"Hal ini dilakukannya karena dia tahu bakal kedatangan tamu agung, maka perlu persiapan
lebih dulu," jawab Yang Cu-kang.
"Oo? Sebelumnya dia sudah tahu akan kedatangan kami?" tanya Lui-ji heran.
"Betul," jawab Yang Cu-kang dengan tertawa. "Terus terang apabila kalian tidak kubawa
pulang sekarang, pintu rumah itu tidak nanti akan terbuka lagi untukku."
Lui-ji bertambah bingung, tanyanya, "He, sebab apa dia mengharuskan kau bawa pulang
kami? Memangnya dia kenal kami?"
Sekali ini Yang Cu-kang hanya tertawa saja tanpa menjawab, tampaknya urusan menjadi
semakin misterius.
"He, kutanya padamu, mengapa tidak kau jawab?" kata Lui-ji pula.
"Sikapku ini kubelajar dari Ji-heng," ujar Yang Cu-kang. "Ini namanya kulak kontan jual
tunai."
Dengan gemas Lui-ji berkata, "Baik, sudahlah jika kau tidak mau bicara, toh sebentar juga
akan kuketahui."
Pagar bambu di luar rumah gubuk itu penuh dirambati akar-akaran, pintu pagar setengah
terbuka, kebun di depan rumah penuh bunga seruni yang sedang mekar sehingga menambah
keindahan suasana subuh.
Yang Cu-kang menyilakan tetamunya masuk ke rumah dengan mengulum senyum, sikapnya
benar-benar seorang tuan rumah yang simpatik, tapi sesungguhnya apa yang sedang
dirancangnya hanyalah Thian yang tahu.
Tepat di tengah ruangan rumah ada sebuah meja sembahyang, yang dipuja adalah lukisan
Tho-wan-sam-kiat-gi, atau tiga bersaudara angkat di jaman Tho, yaitu gambar Lau Pi, Kwang
Kong dan Thio Hui. Di sebelahnya adalah gambar Kwan-im-posat. Di depan tempat
pemujaan ada sebuah meja besar.
Pajangan rumah ini adalah model rumah petani asli. Dipandang dari depan, diamati dari
samping, Lui-ji merasa tidak melihat sesuatu yang luar biasa, tapi justeru karena tiada sesuatu
yang luar biasa, hatinya juga semakin heran.
Apapun juga Yang Cu-kang tidak mirip petani atau orang yang mau tinggal di rumah gubuk
begini.
283
Di atas meja besar itu benarlah sudah disiapkan beberapa mangkuk santapan, ada mangkuk
besar atau mangkuk kecil, semuanya masih mengepulkan asap, jelas baru saja selesai diolah.
Di samping ada satu kuali nasi liwet dan satu guci arak.
Lui-ji tidak sungkan-sungkan lagi, tanpa disuruh ia terus berduduk dan makan.
Setelah berjuang semalam suntuk, dia memang sudah lapar. Sambil makan sembari berkata
dengan tertawa, "Hah, seni masak binimu memang boleh juga. Sungguh besar rejekimu
berhasil mendapatkan seorang bini yang pandai masak."
"Ah, beberapa macam masakan udik ini mungkin tidak cocok dengan selera kalian," ujar
Yang Cu-kang dengan tertawa senang.
"Dan dimanakah Enso (sebutan kepada isteri kawan)? Mengapa tidak kau undang keluar
untuk bertemu?" tanya Pwe-giok.
"Sebentar, mungkin dia lagi sibuk di dapur," ujar Yang Cu-kang.
"Sudah sebanyak ini santapan yang disediakan, apalagi Enso hendak menambahinya lagi, wah
hati kami menjadi tidak enak," kata Pwe-giok.
"Untuk tamu agung dengan sendirinya dia bekerja giat," tukas Yang Cu-kang.
"Wah, apakah kalian ingin membikin perut kami meledak? Sudahlah, lekas mengundang Enso
keluar saja!" pinta Pwe-giok dengan tertawa.
"Baik, baik," Yang Cu-kang juga tertawa. "Jika demikian terpaksa ku turut perintah dengan
hormat."
Apabila ada orang lain menyaksikan keadaan ini serta mendengar percakapan mereka, tentu
akan disangka sepasang suami-isteri desa ini sedang meladeni sanak famili kaya dari kota.
Mimpi pun takkan tersangka oleh siapa pun bahwa apa yang diucapkan ketiga orang ini
adalah basa-basi yang sangat umum, tapi yang terpikir oleh mereka justeru hal-hal yang
sangat rumit dan misterius.
Dengan sendirinya lebih-lebih tak terpikir oleh siapapun bahwa ketiga orang yang sedang
duduk makan dan omong iseng ini, yang seorang mengemban tugas berat keluarga yang
mengalami musibah, putera keluarga ternama dunia persilatan yang telah banyak
menimbulkan huru-hara. Seorang lagi adalah tokoh ajaib yang tindak-tanduknya sangat aneh,
sebentar baik, lain saat jahat, tapi memiliki ilmu maha sakti. Sedangkan orang ketiga adalah
puteri mendiang Siau-hun-kiongcu yang termasyhur dan disegani.
Apabila benar ada orang melihat mereka sekarang dan mengetahui asal-usul mereka yang
sesungguhnya, bisa jadi siapapun akan ketakutan dan segera angkat langkah seribu, biarpun
dibunuh juga tak berani lagi kembali ke sini.
Begitulah terdengar Yang Cu-kang lagi berseru dengan tertawa, "Ya, menantu buruk rupa
akhirnya toh harus menghadap mertua. Bolehlah kau keluar saja sekarang!"
284
Benarlah, di dapur lantas terdengar seorang perempuan menjawab dengan suara merdu,
"Setelah Pak-lay-cah (goreng jerohan) ini selesai kubuat, segera ku keluar!"
Seketika Lui-ji melengong, ucapnya, "He, suara siapa itu? Rasanya seperti sudah apal."
"Sudah tentu apal, masa tak dapat kau kenal suaranya?" ujar Yang Cu-kang tertawa.
Pwe-giok juga merasa heran.
Pada saat itulah, tirai bambu tersingkap dan muncul seorang nyonya muda berbaju hijau
dengan membawa satu piring Pak-lay-cah yang masih hangat.
Melihat nyonya ini, Pwe-giok dan Lui-ji benar-benar melengong.
Isteri Yang Cu-kang ternyata tak-lain tak bukan ialah Thi-hoa-nio.
Sungguh mimpi pun tak terpikir oleh siapapun. Seumpama saat itu dari dapur mendadak
muncul siluman yang berkepala tiga dan berenam tangan takkan membuat mereka lebih kaget
daripada sekarang.
Mulut Lui-ji sampai melongo seakan-akan sukar terkatup kembali. Karena terlalu lebar
mulutnya melongo sehingga sepotong Ang-sio-bak yang baru saja dimasukkan ke mulut itu
hampir jatuh keluar.
Dengan muka merah Thi-hoa-nio berucap, "Masakanku kurang enak, hendaknya jangan
kalian tertawai."
"Ah, janganlah... enso merasa sungkan," kata Pwe-giok.
Betapapun sabarnya, kini iapun harus melongo dan tergagap, sebutan "enso" itu harus
diucapkannya dengan sepenuh tenaga.
Muka Thi-hoa-nio bertambah merah, katanya, "Pak-lay-cah ini harus dimakan selagi hangathangat,
hendaknya Ji-kongcu jangan sungkan."
"Ya, ya, aku tidak sungkan," kata Pwe-giok.
Sungguh ia tidak tahu apa yang dapat dikatakannya lagi, terpaksa mulutnya diisi saja dengan
Pak-lay-cah.
Apapun juga Pwe-giok dapat menahan perasaannya, tapi Lui-ji tidak sanggup bertahan lagi,
mendadak ia melonjak bangun dan berseru, "Jadi kau benar-benar telah menikah dengan dia?"
Thi-hoa-nio menengadah, ucapnya dengan tersenyum, "Seorang perempuan, lambat atau
cepat kan harus menikah, bukan?"
Cu Lui-ji duduk lagi di kursinya, ia menggeleng kepada dan berkata, "Sungguh aku tidak
paham, mengapa kau bisa menikah dengan makhluk aneh ini?"
285
"Kau pandang diriku sebagai makhluk aneh, tapi tidak aneh bagi pandangannya," ujar Yang
Cu-kang dengan tertawa. "Ini namanya lain ladang lain belalangnya, lain pandang lain
kesimpulannya. Kalau tidak, setiap perempuan di dunia ini kan serupa nona Cu, hanya Ji-heng
saja yang sedap dalam pandanganmu dan lelaki lain tiada satupun yang cocok. Wah, bisa
runyam kaum lelaki."
Mendadak ia angkat guci arak dan bergumam, "Eh, entah betapa rasa guci arak ini dan entah
siapa yang beruntung dapat mencicipinya."
Lui-ji menarik nafas panjang, "Tidak perlu kau pancing diriku, karena sudah kalah dengan
sendirinya akan kutelan guci arak ini. Hanya menelan guci arak sekecil ini apa artinya?
Bagiku rasanya lebih mudah daripada makan sayur."
"Ha, jika benar kau sanggup barulah benar-benar ku kagum padamu," ujar Yang Cu-kang
dengan tertawa.
"Baik, boleh kau lihat saja nanti," kata Lui-ji.
Dia benar-benar mengangkat guci arak itu.
Seketika mata Yang Cu-kang terbelalak, ia tahu bahwa segala sesuatu dapat diperbuat oleh
anak dara ini, bisa jadi dia benar-benar akan menelan guci arak itu, maka dia ingin tahu
dengan cara bagaimana guci itu akan ditelannya.
Dilihatnya Cu Lui-ji mengangkat guci itu ke atas, lalu dipandang dari kiri dan diamati dari
kanan, mendadak ia menggoyang kepala dan berucap, "Ah, tidak, tidak benar."
"Apanya yang tidak benar?" tanya Yang Cu-kang.
"Guci arak yang kukatakan tadi bukanlah guci ini, hendaknya kau pergi ke kelenteng tadi dan
mengambilkan guci yang berada di sana," kata Lui-ji.
Saking geli, akhirnya Yang Cu-kang bergelak tertawa.
"Apa yang kau tertawakan? Pergilah ambil! Sudah lama ingin kucicipi rasanya guci arak,
sungguh aku tidak sabar menunggu lagi!" seru Lui-ji.
"Nona berkata demikian, tentunya kau kira ku malas pergi ke sana," kata Yang Cu-kang
dengan perlahan. "Padahal jarak ke kelenteng itu tidak terlalu jauh dari sini, apa halangannya
kalau ku pergi lagi ke sana."
Sembari bicara ia lantas berdiri sungguh-sungguh.
"Hm, kalau mau pergi lekaslah pergi, aku tidak sempat menunggu terlalu lama di sini," jengek
Lui-ji.
Thi-hoa-nio tertawa, katanya, "Jika benar dia pergi mengambil guci arak itu, biar kubantu kau
makan setengahnya."
286
"Huh, jika mau makan harus kumakan satu guci bulat, kalau cuma setengah saja belum cukup
kenyang bagiku," ujar Lui-ji.
"Wah, apapun juga nona memang tidak mau mengaku kalah," ujar Yang Cu-kang.
"Kenapa aku harus mengaku kalah?" jawab Lui-ji dengan ngotot.
Yang Cu-kang tergelak, ucapnya, "Tapi jangan kau kuatir, jika benar ku pergi ambil guci itu
tentu akan merusak suasana gembira ini. Mana berani ku bikin marah si cantik dan
mengharuskan nona menelan guci arak sungguhan."
"Nah, kau sendiri yang tidak mau pergi mengambilnya dan bukanlah aku yang tidak berani
makan gucinya," kata Lui-ji.
"Ya, ya, jangankan cuma sebuah guci arak, biarpun selusin juga kupercaya akan dilalap habis
oleh nona," seru Cu-kang dengan tertawa.
Tanpa terasa Cu Lui-ji tertawa geli, ucapnya, "Ya, memang betul. Tampaknya kau cepat
belajar menjadi pintar."
Pada saat itulah, sekonyong-konyong dari kejauhan ada suara ringkik kuda. Meski suaranya
masih sangat jauh, tapi terdengar sangat jelas pada waktu subuh di daerah pegunungan yang
sunyi ini.
Lui-ji berkerut kening, ucapnya, "Jangan-jangan kalian kedatangan tamu pula."
"Ya, tampaknya memang begitu," sahut Cu-kang.
"Siapakah yang datang?" tertarik juga Lui-ji.
Yang Cu-kang tersenyum, tanyanya, "Menurut pendapat nona, siapakah kiranya yang datang
itu?"
"Tentunya tidak lain daripada begundalmu itulah," jengek Lui-ji.
Mendadak Yang Cu-kang menggebrak meja, serunya dengan bergelak tertawa, "Hahaha,
sedikitpun tidak salah, tampaknya nona cepat belajar menjadi pintar."
Terdengar suara derapan kaki kuda semakin dekat, benar juga arahnya menuju ke rumah
gubuk ini, bahkan derap kaki kuda itu sangat kerap, agaknya yang datang ini berjumlah tidak
sedikit.
Air muka Lui-ji rada pucat, berulang ia mengedipi Pwe-giok, namun anak muda itu tetap
mengulum senyum saja, seolah-olah tidak mendengar apapun.
Mendadak Yang Cu-kang menggebrak meja pula dan berkata, "Ji Pwe-giok, wahai Ji Pwegiok,
sekujur badanmu sungguh nyali belaka, sampai aku mau-tak-mau harus kagum
padamu."
"Ah, tidak berani," sahut Pwe-giok dengan tersenyum.
287
"Kalau nyalimu tidak besar, mana kau berani ikut aku ke sini?"
"Pemandangan di sini sangat indah, Enso juga pandai masak, masa aku tidak ikut ke sini?"
kata Pwe-giok.
Dengan sinar mata mencorong Yang Cu-kang menatap anak muda itu, katanya, "Masakah
tidak kau kuatirkan kemungkinan ku pancing kau ke sarang harimau?"
"Ku tahu Anda bukanlah manusia licik demikian," ujar Pwe-giok dengan tertawa.
"Tahu orangnya, kenal mukanya, tapi tidak tahu hatinya, janganlah Ji-heng menganggap
diriku ini orang baik."
"Apabila Anda bermaksud membikin celaka diriku, tentu tidak perlu menunggu sampai
sekarang, lebih-lebih tidak perlu banyak membuang tenaga percuma."
Sejenak Yang Cu-kang melototi Pwe-giok, tiba-tiba ia menengadah dan terbahak-bahak,
ucapnya, "Hahaha! Ji-heng menggunakan hati Kuncu untuk menilai perut Siaujin (orang
kecil/rendah), mungkin kau akan menyesal kelak."
Terus menerus dia memaki dan menjelekkan dirinya sendiri, tapi Pwe-giok berbalik memberi
penjelasan baginya. Lui-ji menjadi serba salah dan bingung, ia tidak tahu mengapa Pwe-giok
sedemikian mempercayai orang ini.
Sejak mula Lui-ji merasakan orang she Yang ini tidak dapat dipercaya, tapi seumpama
sekarang mau pergi pun tidak keburu lagi, sebab ketika suara tertawa Yang Cu-kang telah
berhenti, tahu-tahu suara derapan kaki kuda yang ramai tadi pun berhenti di depan gubuk.
Segera terdengar seorang berseru, "Sepada?!"
"Jelas kau tahu di dalam sini ada orang, untuk apalagi bertanya?" jawab Yang Cu-kang.
"Setiba di tempat kediaman Yang-kongcu mana kami berani sembarangan masuk ke situ,"
kata orang di luar dengan mengiring tawa.
"Kau sudah cukup sopan, lekaslah masuk kemari," kata Yang Cu-kang sambil berkerut
kening.
Maka terdengarlah suara langkah orang, sejenak kemudian tertampaklah tiga orang
melangkah masuk ke dalam gubuk.
Dua orang diantaranya masing-masing membawa sebuah peti, ukuran peti cukup besar,
tampaknya tidak ringan bobotnya. Tapi kedua orang itu dapat mengangkatnya dengan enteng,
sedikitpun tidak nampak memakan tenaga.
Orang ketiga bermuka putih, tidak jelek, malahan selalu tertawa, bajunya sangat serasi dengan
potongan badannya, golok yang tergantung di pinggangnya tampaknya bukan sembarangan
golok, sekujur badannya boleh dikatakan cukup sedap dipandang orang, tapi entah mengapa
Yang Cu-kang justeru merasa tidak cocok dengan orang demikian.
288
Lui-ji merasa orang ini sudah dikenalnya, seperti pernah dilihatnya entah dimana, tapi Pwegiok
lantas memberitahukan bahwa tempo hari orang inipun berada di Li-toh-tin dan
menyaksikan Ji Hong-hong main catur bersama Tong Bu-siang itu. Malahan kemudian ketika
Ji Hong-ho mengunjungi Hong-samsiansing di loteng kecil itu, rasanya orang inipun ikut
serta.
Begitu masuk segera orang ini memandang sekejap Ji Pwe-giok dan Cu Lui-ji, seketika
sikapnya rada berubah.
Pwe-giok diam saja dan berlagak tidak mengenalnya.
"Barang yang ku hendaki apakah sudah dibawa kemari?" tanya Yang Cu-kang.
Kedua orang yang membawa peti itu menjawab, "Ya, berada di dalam peti ini."
"Tentunya tidak keliru, bukan?" Cu-kang menegas.
"Barang pesanan Kongcu mana bisa keliru?" ujar kedua orang itu dengan tertawa sambil
melirik Pwe-giok, tampaknya merekapun rada sirik padanya.
Mendadak Yang Cu-kang berseru, "He, kiranya kalian saling kenal?"
Si muka putih bergolok tadi terkejut, cepat ia berkata dengan tertawa, "O, ti... tidak kenal."
"Jika tidak kenal, biarlah kuperkenalkan kalian," kata Cu-kang dengan tertawa. Lalu ia tuding
kedua orang yang menggotong peti itu dan menjelaskan, "Kedua orang ini yang satu bernama
Pi-san-to (golok pembelah gunung) Song Kang dan yang lain bernama Pah-hou-kun (jago
pukul harimau) Tio Kiang. Konon mereka adalah tokoh terkemuka di sekitar utara Kangsoh."
Tio Kiang dan Song Kang tertawa dan mengucapkan kata-kata rendah hati.
Yang Cu-kang lantas menyambung lagi sambil mendengus, "Padahal, huh, golok pembelah
gunungnya itu tidak lebih banyak golok pembelah kayu, dan si jago pukul harimau itu,
hahaha... bukan saja harimau tak terpukul mati, bahkan kucing saja tak dapat dipukulnya
mati."
Keruan muka Tio Kiang dan Song Kang sebentar merah sebentar pucat, mereka tidak berani
marah, mau tertawa juga tidak bisa, jadinya cuma menyengir.
Melihat keadaan mereka yang serba salah itu, Lui-ji merasa kasihan kepada mereka.
Lalu Yang Cu-kang menuding lagi si muka putih dan berkata, "Dan kungfu saudara ini jauh
lebih tinggi daripada kedua orang tadi, dia bernama Giok-bin-sin-to (si golok sakti bermuka
kemala) Co Cu-eng. Golok yang tergantung di pinggangnya itu meski tak dapat memotong
besi dan merajang baja seperti memotong sayur, tapi sedikitnya berharga beberapa tahil perak
untuk beli arak. Beberapa jurus permainan goloknya juga cukup menarik untuk ditonton."
Tak tertahan tersembul juga senyuman bangga Co Cu-eng, dengan tertawa ia berkata, "Ah,
Kongcu terlalu memuji."
289
Yang Cu-kang tidak menghiraukannya, ia menyambung pula, "Cuma orang ini lebih tepat
diberi nama "macan ketawa" atau "Siau-li-cong-to" (di balik senyuman tersembunyi pisau),
perutnya penuh berisi air kotor, dia inilah model orang munafik yang dimulut menyebut
sayang, tapi sekaligus juga menikam."
Co Cu-eng masih juga tertawa, cuma tertawa yang lebih tepat disebut menyengir.
"O, kagum," demikian Pwe-giok memberi hormat.
"Kau tidak perlu sungkan terhadap mereka," kata Cu-kang pula. "Ketiga orang ini adalah
begundal Ji Hong-ho, jika ada kesempatan setiap saat jiwamu diincar mereka, tidak nanti
mereka sungkan padamu."
Tiba-tiba Lui-ji menyeletuk, "Ah, kalian datang dari jauh, jangan-jangan menghendaki jiwa
kami?"
Co Cu-eng tertawa terkekeh, katanya. "Untuk ini harus melihat bagaimana kehendak Yangkongcu,
sebab kamipun termasuk begundal Yang-kongcu."
Serentak Lui-ji berdiri sambil melototi Yang Cu-kang.
Namun dengan tenang Yang Cu-kang berkata, "Siapa di antara kalian yang mengincar jiwa
siapa, semuanya aku tidak ambil pusing, terserah kepada kalian siapa yang lebih tangguh."
Mendadak ia berkata kepada Co Cu-eng dengan tertawa, "Santapan sudah ku sediakan di atas
meja, apakah kalian perlu menunggu ku tuangkan ke dalam mulut kalian?"
Seketika semangat Co Cu-eng terbangkit, mata Tio Kiang dan Song Kang juga terbeliak.
"Bagus, kiranya kau pancing kami ke sini dan menganggap kami sebagai santapan lezat?"
teriak Lui-ji dengan gusar.
Yang Cu-kang menghela nafas, katanya, "Kan sudah kukatakan padamu bahwa aku ini cuma
seorang Siaujin, siapa suruh dia mengukur diriku sebagai Kuncu. Dia sendiri yang mau masuk
perangkap, masakah menyalahkan orang lain?"
Pwe-giok tertawa hambar, katanya, "Cayhe tidak pernah menyalahkan orang lain."
Segera Co Cu-eng memberi isyarat kepada Tio Kiang dan Song Kang, lalu berkata, "Jika
demikian, kami akan..."
Mendadak Thi-hoa-nio berteriak, "Aku tidak perduli apa kehendak kalian, yang pasti santapan
yang kubuat dengan susah payah ini tidak boleh disia-siakan, seumpama kalian harus
mengadu jiwa, sedikitnya harus tunggu dulu setelah mencicipi masakanku ini."
"Dan nona ini siapa lagi?" tanya Co Cu-eng dengan ketus.
"Ini bukan nona, tapi nyonya isteriku," kata Cu-kang.
290
Co Cu-eng melengak, cepat ia memuji dengan tertawa, "Wah, pantas masakan ini enak
dipandang dan sedap dimakan, kiranya adalah hasil karya nyonya."
"Belum kau makan, darimana kau tahu rasanya masakan ini?" ujar Thi-hoa-nio.
"Biarlah kami menyelesaikan urusan pokok dulu, habis itu barulah kami menikmati masakan
enak nyonya," kata Co Cu-eng dengan tertawa.
"Wah, akan terlambat nanti, sebab masakan ini harus dimakan selagi panas," kata Thi-hoanio.
"Apalagi jika diantara kalian berlima ada dua yang mati, mungkin masakan ini takkan
habis termakan, kan sayang?"
Yang Cu-kang menghela nafas pula, katanya, "Masakan lezat yang sudah disiapkan oleh
orang perempuan, kalau tidak ada yang makan, rasanya sakit seperti mukanya tertampar.
Maka kupikir kalian perlu makan lebih dulu."
"Betul, kenyang makan barulah bertenaga, kalau mati juga tidak perlu menjadi setan
kelaparan," tukas Thi-hoa-nio dengan tertawa.
Dengan simpatik ia mengambilkan tiga pasang sumpit dan dibagikan kepada Co Cu-eng
bertiga.
Kalau tangan sudah memegang sumpit, dengan sendirinya tak dapat lagi memegang senjata.
Padahal setelah menempuh perjalanan jauh, Song Kang dan Tio Kiang memang juga sudah
lapar. Mula-mula mereka merasa sungkan, tapi setelah menyumpit dua-tiga kali, akhirnya
makan mereka jadi bernafsu, kerja sumpit mereka seperti mesin saja cepatnya.
"Cara menyerang kalian kalau bisa secepat sumpit kalian ini, maka Ji-heng pasti akan
celakalah nanti," kata Yang Cu-kang dengan tertawa.
"Plak," mendadak Thi-hoa-nio menampar Yang Cu-kang dengan perlahan, omelnya dengan
tertawa, "Cis, coba kau lihat, sedikitpun kau tidak pantas menjadi tuan rumah, kan seharusnya
kau bujuk para tamu makan lebih banyak."
"Plok," Yang Cu-kang juga membalas menamparnya perlahan serta menjawab dengan
tertawa, "Isteriku sayang, jangan kuatir, sebelum masakanmu ini dimakan habis, siapapun
dilarang turun tangan."
Di hadapan sekian orang, kedua suami isteri ini ternyata bersenda gurau dengan mesranya.
Melihat kedua orang ini sedemikian mesra dan penuh kasih sayang, diam-diam Lui-ji merasa
heran dan dongkol pula.
Semula dia mengira sebabnya Thi-hoa-nio memaksa Co Cu-eng bertiga makan dulu pastilah
mempunyai maksud tujuan tertentu, bisa jadi ingin membantu dirinya dan Pwe-giok, bahkan
mungkin sekali di dalam santapan itu sudah diberinya racun untuk mematikan Co Cu-eng
bertiga. Tapi sekarang tampaknya tidak demikian adanya.
291
Thi-hoa-nio benar-benar seperti pengantin baru yang mulai belajar masuk dapur dan buruburu
ingin memperlihatkan kemahirannya memasak, di dalam makanan ternyata tiada racun
sedikitpun.
Tampaknya Yang Cu-kang sudah mengambil keputusan akan menjual Ji Pwe-giok kepada Ji
Hong-ho, cuma dia sendiri malas turun tangan. Meski Lui-ji tidak gentar menghadapi Co Cueng
bertiga, tapi kalau mereka tidak mampu mengatasi Pwe-giok, akhirnya Yang Cu-kang
juga akan turun tangan dan Pwe-giok tetap sukar lolos dari cengkeraman mereka.
Makin dipikir makin kuatir Lui-ji, dengan sendirinya dia tidak bernafsu makan, sungguh ia
ingin mendepak meja makan itu supaya jungkir balik, kalau bisa lari akan terus lari, kalau
tidak bisa lari harus turun tangan lebih dulu.
Tapi Pwe-giok kelihatan makan dengan nikmatnya, bahkan ia sibuk menyumpit Pak-lay-cah
yang masih hangat itu dan dikunyah dengan perlahan.
Lui-ji sangat mendongkol, ia tidak tahan, katanya, "Apakah selama hidupmu tidak pernah
makan Pak-lay?"
Lebih dulu Pwe-giok menelan makanan yang memenuhi mulutnya itu dan didorongnya
dengan seceguk arak, lalu memejamkan mata dan menghela nafas lega, kemudian menjawab
dengan tersenyum, "Pak-lay-cah selezat ini, selanjutnya mungkin sulit untuk mencicipinya
lagi, kesempatan terakhir ini mana boleh dilewatkan secara sia-sia?"
Hampir saja Lui-ji berteriak, tapi bila terpikir setelah mengalami perjuangan mati-matian,
akhirnya Pwe-giok tetap juga akan jatuh ke dalam cengkeraman Ji Hong-ho, tanpa terasa
hatinya menjadi pedih.
Pwe-giok menyumpit secuil daging itik ke mangkuk Lui-ji, katanya, "Itik cah sayur Kay-lan
ini adalah masakan terkenal daerah Sujwan, meski tidak selezat bebek panggang Peking yang
termasyhur itu, tapi mempunyai cita rasa tersendiri, kau perlu mencicipinya."
Lui-ji memandang sekejap, tanpa omong apa-apa ia makan daging bebek itu.
Melihat Pwe-giok dan Lui-ji juga makan dengan nikmatnya, Thi-hoa-nio berucap dengan
tertawa, "Bebek ini memang tidak selezat bebek panggang Peking, tapi cukup untuk
meledakkan perut orang yang makan terlalu bernafsu."
Saat itu Tio Kiang dan Song Kang memang sudah penuh mengisi perut mereka, mendengar
ucapan Thi-hoa-nio itu, mereka menjadi melengak dan curiga.
Benarlah, ketika mereka mengerahkan tenaga dalam, terasa perut seperti ditusuk jarum, sakit
dan perih. Mereka tahu gelagat jelek, segera Tio Kiang meraung, "Keparat orang she Yang,
sampai hati kau kerjai kawan sendiri dan mengkhianati perintah Bengcu?!"
Co Cu-eng lebih cerdik, sejak tadi dia belum sempat makan, demi melihat keadaan kedua
rekannya itu, serentak ia mendahului angkat langkah seribu.
Akan tetapi baru saja tubuhnya melayang keluar gubuk, mendadak Yang Cu-kang
membentak, "Lari kemana!" Berbareng kedua tangannya bekerja dengan cepat, belum lagi
292
Tio Kiang dan Song Kang sempat melakukan perlawanan, tahu-tahu mereka tercengkeram
seperti anak ayam dicengkeram elang, sekali lempar kedua orang itu disambitkan ke arah lari
Co Cu-eng.
Sungguh dahsyat luar biasa daya lempar kedua sosok tubuh itu, baru saja Co Cu-eng sempat
melompat keluar halaman, dua sosok tubuh kawan sendiri sudah menumbuk punggungnya,
dia menjerit ngeri dan roboh terkapar. Song Kang dan Tio Kiang juga terbanting dan tak bisa
bergerak lagi.
Rupanya pada waktu mencengkeram mereka, sekaligus Yang Cu-kang telah meremas Hiat-to
maut mereka sehingga binasa seketika.
Selesai membereskan ketiga orang itu, Yang Cu-kang tepuk-tepuk tangannya, lalu berduduk
kembali, katanya, "Aku ini memang orang busuk, jangan Ji Hong-ho harap akan dapat
memperalat diriku."
Lui-ji tertawa, katanya, "Kau ini sungguh orang aneh. Kalau orang lain sedapatnya ingin
orang lain memujinya sebagai orang baik, hanya kau saja yang justeru lebih suka dimaki
orang sebagai telur busuk, makin sering dimaki orang makin senang kau."
"Aku ini memang telur busuk, biarpun setiap orang bilang aku ini baik, memangnya aku dapat
berubah menjadi telur baik?" ujar Yang Cu-kang.
Dengan tertawa Thi-hoa-nio ikut berkata, "Sejak kecil dia sudah biasa dimaki orang, kalau
tiga hari tidak dimaki, tentu tulangnya akan terasa gatal dan pegal, lantaran inilah aku mau
menjadi isterinya, sebab aku paling suka memaki orang dan sekarang setiap hari aku dapat
memaki dia secara gratis."
Lui-ji tertawa, "Wah, tampaknya kau mendapatkan suami yang tepat, dapat memaki lakimu
setiap hari dan lakimu pasti tidak balas memaki, sungguh besar rejekimu dapat memperoleh
laki semacam ini."
"Eh, kalau nona merasa iri, kenapa tidak menikah sekalian denganku," ujar Yang Cu-kang
dengan tertawa.
"Tapi sayang kau sudah berbini, kalau tidak tentu aku..."
"Tambah bini tambah rejeki, semakin banyak bini semakin baik," seru Yang Cu-kang sambil
terbahak.
"Akan tetapi sayang, aku ini tidak suka memaki orang," kata Lui-ji.
"O, kiranya nona juga serupa diriku, lebih suka dimaki orang," tanya Yang Cu-kang.
"Wah, baru saja kukatakan kau ini seorang Kuncu, sekarang penyakitmu sudah kumat lagi?"
omel Lui-ji.
"Aku memang bukan seorang Kuncu, siapa bilang aku ini seorang Kuncu?" jawab Cu-kang
dengan serius. "Apabila aku ini seorang Kuncu, sekarang kuterima upah dari Ji Hong-ho,
293
seharusnya aku setia kepada perintahnya dan bekerja baginya. Tapi aku justeru terima upah
dari dia tapi bekerja bagi orang lain, apakah ini perbuatan seorang Kuncu?"
"Jika demikian, bilamana kami kau bunuh barulah kau terhitung seorang Kuncu?" tanya Luiji.
"Juga belum tentu," ujar Yang Cu-kang. "Cuma sedikitnya perlu ku tutuk Hiat-to kalian, ku
masukkan kalian ke dalam peti, lalu ku antarkan ke tempat Ji Hong-ho."
Bicara tentang peti, tanpa terasa pandangan Lui-ji jadi tertarik kepada kedua peti yang dibawa
datang oleh Tio Kiang dan Song Kang tadi. Kedua peti itu berukuran cukup besar dan
memang dapat memuat satu orang.
"Eh, apakah isi kedua peti itu?" tanya Lui-ji.
"Kedua peti adalah kado Ji Hong-ho yang minta ku antarkan kepada Pek-hoa-pangcu Kunhujin,"
tutur Cu-kang.
"Kado? Kado apa?" tanya Lui-ji pula.
"Apa salahnya jika nona menerkanya?"
"Aku bukan Khong Beng, mana dapat kuterka isi kedua peti ini?"
"Isi peti itu sudah lama dilihat oleh nona..."
Tiba-tiba Pwe-giok menimbrung dengan tertawa, "Eh, bagaimana kalau Cayhe ikut menebak
teka-teki ini?"
"Boleh saja," sahut Yang Cu-kang.
"Isi peti itu adalah manusia."
"Oo?!" Yang Cu-kang bersuara singkat.
"Bahkan terdiri dari seorang lelaki dan seorang perempuan."
"Oo?!" Yang Cu-kang bersuara pula.
"Mereka adalah Kwe Pian-sian dan Ciong Cing," demikian Pwe-giok menambahkan.
Gemerdep sinar mata Yang Cu-kang, ia tatap Pwe-giok lekat-lekat, selang sejenak barulah ia
menghela nafas panjang, ucapnya, "Pantaslah Ji Hong-ho bertekad harus melenyapkan
dirimu, bilamana aku mempunyai musuh cerdik pandai semacam kau, mungkin akupun tidak
enak makan dan tidak nyenyak tidur."
"O, jadi isi peti memang betul orang she Kwe itu?" tanya Lui-ji.
294
"Ya, sedikitpun tidak salah," sahut Cu-kang. "Tempo hari, ketika timbul kebakaran di Li-tohtin,
akhirnya mereka jatuh pingsan di tengah lautan api, untung mereka diselamatkan lalu diisi
ke dalam peti seperti babi panggang."
Sembari mendengarkan cerita Yang Cu-kang itu, segera Lui-ji mendekati peti dan bermaksud
membukanya. Tapi sekali berkelebat, tahu-tahu Yang Cu-kang sudah berduduk di atas peti,
ucapnya dengan perlahan, "Peti ini tidak boleh disentuh olehmu, kecuali Kun Hay-hong
sendiri, siapapun tidak boleh membukanya."
"Siapa bilang tidak boleh?" teriak Lui-ji dengan mendelik.
"Janganlah nona mendelik padaku, larangan ini bukan kehendakku," kata Yang Cu-kang
dengan tertawa.
"Bukan kau, habis siapa?" tanya Lui-ji.
"Siapa lagi, tentulah Bu-lim Bengcu sekarang, Ji Hong-ho, Ji-losiansing," jawab Cu-kang.
"Hah... kenapa sekarang kau tunduk lagi kepada perintahnya?"
"Ehmm!" Yang Cu-kang hanya mengangguk.
Seketika Lui-ji melonjak bangun, teriaknya, "Yang Cu-kang, coba jawab, sesungguhnya kau
ini kawan kami atau antek Ji Hong-ho?"
"Adakah faedahnya menjadi kawan kalian?" tanya Yang Cu-kang acuh tak acuh.
"Sudah tentu banyak faedahnya, misalnya..." tapi Lui-ji jadi sukar untuk menerangkan.
"Haha, jika nona tak dapat menerangkan, biarlah ku wakili dirimu sebagai juru bicara," seru
Yang Cu-kang dengan tertawa sambil menekuk jarinya. "Pertama, kalian sanggup membantu
aku makan minum. Faedah kedua, jika aku lagi iseng, boleh ku pergi kemanapun untuk
menolong kalian. Faedah ketiga, haha... pokoknya banyak sekali faedahnya dan sukar untuk
diceritakan satu per satu. Akan tetapi aku lebih suka tiada satupun mendapatkan faedah itu."
"Jadi akhirnya kau toh mengaku dirimu adalah antek Ji Hong-ho," ujar Lui-ji.
"Seorang baik-baik seperti diriku menjadi bos besar saja cukup memenuhi syarat, untuk apa
aku menjadi antek orang lain?" jawab Cu-kang dengan tertawa.
"Habis, sesungguhnya apa maksud tujuanmu?"
"Aku tetap aku, bukan kawan siapapun, juga tidak menjadi antek siapapun. Apa yang
kulakukan tanggung jawabku sendiri, ingin berbuat apapun boleh kulakukan sesukaku."
"Jadi urusan apapun yang berfaedah bagimu lantas kau lakukan, begitu?"
"Tepat! Sedikitpun tidak salah, ucapan nona sungguh kena di dalam hatiku," seru Yang Cukang
sambil bergelak.
Lui-ji tidak sanggup berucap pula saking dongkolnya.
295
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara roda kereta yang berkumandang dari kejauhan.
"Aha, meski aku tidak punya kawan, tapi tidak sedikit tetamuku," kata Cu-kang dengan
tertawa. Sembari bicara ia terus melayang keluar, sekali mengitar hanya sekejap saja ketiga
sosok mayat di luar sana telah di depak ke tempat gelap, baru lenyap suaranya dia sudah
duduk kembali di tempat semula seperti tidak pernah bergerak sedikitpun.
"Yang datang ini apakah juga mengantarkan kado?" jengek Lui-ji, lalu sambungnya, "Tapi
sayang, seperti mak inang yang mengasuh anak, akhirnya anak itu tetap punya orang."
Dia bicara sambil berdiri di ambang pintu, kini dapat dilihatnya seorang muncul dengan
mendorong sebuah gerobak beroda satu dari liku jalan pegunungan sana. Di atas gerobak
memang betul termuat dua buah peti, pendorong gerobak itu hanya berlengan satu, sebelah
lengannya sudah buntung. Akan tetapi gerobak itu dapat dikuasainya dengan stabil, bahkan
cukup cepat lajunya.
Mendadak Thi-hoa-nio mengikik tawa.
"Kenapa kau tertawa gembira?" tanya Lui-ji dengan mendelik.
"Dia mendapatkan suami semacam diriku, kalau dia tidak gembira lantas siapa yang akan
gembira?" ujar Yang Cu-kang.
"Hm, kukira terlalu dini dia bergembira," jengek Lui-ji.
"Aku bukan gembira, melainkan merasa rasa geli," kata Thi-hoa-nio.
"Apa yang menggelikan?" tanya Lui-ji.
"Coba lihat," jawab Thi-hoa-nio sambil mencibir keluar. "Kanglam-tayhiap Ong Uh-lau yang
gagah perkasa dan terhormat kini ternyata telah menjadi tukang gerobak, apakah tidak lucu
dan menggelikan?"
"Perbuatannya ini hanya sekedar menebus dosa saja," ujar Yang Cu-kang.
"Menebus dosa?" Thi-hoa-nio menegas.
"Ya, sebab dia suka membual, tapi seorang anak ingusan seperti Tong Giok saja tak dapat
dijaganya, untuk kesalahannya itu mestinya akan kutabas pula sebelah tangannya," kata Cukang.
Dalam pada itu gerobak dorong satu roda itu sudah masuk halaman, Ong Uh-lau juga sudah
melihat jelas Cu Lui-ji dan Ji Pwe-giok yang berada di dalam rumah, seketika air mukanya
berubah pucat, tapi cepat pula ia tertawa, katanya, "Aha, tidak tersangka Ji-kongcu juga
berada di sini, selamat bertemu!"
Dengan tertawa genit Thi-hoa-nio menegur, "Masakah yang kau kenal cuma Ji-kongcu saja
dan tidak kenal lagi padaku?"
296
Saat itu sebelah kaki Ong Uh-lau baru melangkah masuk ke dalam rumah, ia memandang
sekejap kepada Thi-hoa-nio, seketika sebelah kakinya itu ditarik kembali keluar, mukanya
juga berubah pucat, serunya dengan parau, "Hah, Khing hoa-samniocu!"
"Hihi, boleh juga daya ingatmu!" kata Thi-hoa-nio dengan tertawa.
Tanpa terasa Ong Uh-lau memandang lengan baju sendiri yang kosong melompong itu, lalu
berucap sambil menyeringai, "Kebaikan nona terhadapku, selama hidup tentunya tak dapat
kulupakan, bukan?"
"Aku bukan nona lagi, tapi nyonya," sahut Thi-hoa-nio.
"Oo, Ji-hujin?" ucap Ong Uh-lau sambil mengerling ke arah Ji Pwe-giok.
Thi-hoa-nio menggeleng, dan Yang Cu-kang lantas berkata dengan tertawa, "Bukan Ji-hujin
melainkan Yang-hujin."
Terbelalak mata Ong Uh-lau, sampai sekian lama ia melenggong, mendadak ia membungkuk
tubuh sebagai tanda hormat dan berkata, "Kionghi, kionghi, selamat, selamat! Yang-Kongcu
menikah, kenapa tidak mengirim kartu undangan padaku? Wah, aku harus disuguh arak
bahagia kalian!"
"Arak bahagia baru saja habis terminum, yang masih tersisa adalah satu porsi Ang-sio-paykut
(tulang iga saus manis), jika sudi, silahkan minum saja satu-dua cawan," kata Yang Cukang,
ia sendiri lantas mengambilkan sepasang sumpit dan ditaruh di depan Ong Uh-lau.
Kalau Thi-hoa-nio yang mengambilkan sumpit, mungkin matipun Ong Uh-lau tidak berani
menggunakannya, tapi Yang Cu-kang sendiri yang mengambilkan sumpitnya, Ong Uh-lau
tidak curiga sedikitpun, bahkan rada bangga karena dilayani tuan rumah sendiri. Berulang kali
ia mengucapkan terima kasih, katanya sambil tertawa, "Ehm, Ang-sio-pay-kut adalah
kegemaranku, satu macam makanan ini sudah cukup bagiku, terima kasih. Aku tidak sungkan
lagi."
Tadinya Lui-ji kuatir orang tidak dapat dijebak, siapa tahu tanpa ragu ia terus pegang sumpit
dan mulai makan, diam-diam Lui-ji merasa girang dan juga heran.
Padahal Ong Uh-lau terkenal licik dan licin, menghadapi keadaan yang lain daripada biasanya
ini seharusnya dia waspada dan berjaga-jaga, tapi sekarang dia sedemikian percaya kepada
Yang Cu-kang, hal ini menandakan hubungan antara Yang Cu-kang dan Ji Hong-ho pasti lain
daripada yang lain, tentunya sebelumnya Ji Hong-ho telah memberi pesan padanya agar
segala urusan harus tunduk kepada perintah Yang Cu-kang.
Ji Hong-ho sendiri juga sangat licin dan sangat cermat memperhitungkan segala sesuatunya,
kalau dia sedemikian mempercayai Yang Cu-kang, tentu juga ada alasannya. Akan tetapi
tindak tanduk Yang Cu-kang justeru luar biasa, sebentar baik lain saat jahat sehingga sukar
diraba, sekarang bahkan Ong Uh-lau juga akan dibinasakan olehnya, sesungguhnya apa
maksud tujuannya dengan bertindak demikian?
Sesungguhnya ada hubungan apa antara dia dengan Ji Hong-ho? Dan mengapa Ji Hong-ho
sedemikian percaya padanya?
297
Sungguh makin dipikir makin bingung Cu Lui-ji.
Didengarnya Yang Cu-kang lagi tanya kepada Ong Uh-lau, "Peti yang kau bawa kemari
tentunya tidak keliru bukan?"
"Kongcu jangan kuatir, Cayhe sudah salah satu kali, masakah berani salah untuk kedua
kalinya?" jawab Ong Uh-lau. Ia menenggak araknya lalu menyambung pula, "Cayhe telah
melaksanakan pesan Kongcu dan menemui Hay-kongcu di tempat yang ditentukan, lalu Haykongcu
menyerahkan kedua peti ini kepadaku. Tanpa melihatnya terus saja Cayhe
mengangkutnya kemari."
"Apakah Hay-kongcu tidak titip surat untukku?" tanya Yang Cu-kang.
"Kata Hay kongcu, mendadak ia melihat jejak seorang yang mencurigakan, maka harus
diselidiki hingga jelas, sebab itulah dalam beberapa hari ini mungkin Kongcu tak dapat
bertemu dengan beliau."
Yang Cu-kang berkerut kening dan berpikir sejenak, tiba-tiba ia tertawa dan berkata,
"Pekerjaanmu ternyata dapat kau laksanakan dengan cukup memuaskan, dan sekarang
bilamana kau ingin memberi pesan terakhir apa-apa boleh kau katakan saja padaku."
Ucapan ini membuat Ong Uh-lau melengak, wajahnya yang berseri-seri tadi seketika lenyap,
ia menegas dengan suara parau, "Pesan terakhir?"
"Ya, setelah kau makan racun dari Siau-hun-kiong, masa kau kira dapat hidup lebih lama
lagi?" sahut Yang Cu-kang dengan tak acuh.
Tubuh Ong Uh-lau bergetar hebat, cawan arak yang dipegangnya hampir saja jatuh ke lantai,
ucapnya dengan terputus-putus, "Ah, jangan... janganlah Kongcu bergurau."
"Siapa bergurau dengan kau?" jengek Yang Cu-kang sambil menarik muka.
Tubuh Ong Uh-lau menggigil dan muka pucat seperti mayat, mendadak ia mendepak meja
sehingga mangkuk piring berantakan, teriaknya dengan suara parau, "Bengcu menaruh
kepercayaan penuh padamu, tapi kau... kau..." mendadak tenggorokannya seperti tersumbat,
sekonyong-konyong tangannya menghantam ke belakang, mengincar batok kepala Cu Lui-ji.
Rupanya dia menyadari dirinya bukan tandingan Yang Cu-kang, maka Lui-ji yang diincarnya.
Serangan ini cukup nekat, tujuannya hanya untuk mencari tumbal saja daripada mati konyol.
Sejak tadi dia melotot dan menghadapi Yang Cu-kang, orang lain sama sekali tidak
menyangka dia akan menyerang Cu Lui-ji, apalagi serangan cepat dan keji, dapat
dibayangkan betapa bahayanya.
Pengalaman tempur Lui-ji juga masih cetek, keruan ia terkejut akan serangan itu, tampaknya
dia tidak sempat berkelit. Syukurlah pada detik terakhir Pwe-giok telah melompat maju,
sebelah tangannya juga menghantam sekuatnya ke arah Ong Uh-lau.
298
Terdengarlah suara "blang" yang keras, kedua tangan beradu, tubuh Ong Uh-lau tergetar
mencelat, waktu ia jatuh ke bawah, sementara itu racun dalam tubuhnya sudah bekerja,
mukanya kelihatan putih seperti perak laksana orang yang mendadak berbedak.
Yang Cu-kang memandang Pwe-giok sekejap, ucapnya dengan tersenyum, "Anda adalah
seperti anak panah yang hampir jatuh, tak tersangka masih menyimpan tenaga dalam sekuat
ini, tampaknya selama ini kami terlalu menilai rendah dirimu."
"Ya, jangan kau pandang Ji-kongcu ini lemah lembut, padahal tenaga saktinya jarang ada
bandingannya di dunia Kangouw," sambung Thi-hoa-nio dengan tertawa.
Sementara itu Cu Lui-ji sudah dapat menenangkan diri, cepat ia berkata, "Sesungguhnya apa
isi peti yang diantarnya kemari itu?"
Pertanyaan ini sudah lama ditahannya di dalam hati, begitu ada kesempatan segera
dilontarkannya.
Yang Cu-kang tertawa, katanya, "Peti ini kalau tidak kubuka dan diperlihatkan padamu,
mungkin selamanya kau akan dendam padaku."
Sembari bicara peti pun sudah dibuka olehnya.
Ketika melihat isi peti itu, serentak Lui-ji menjerit kaget dan tidak dapat bicara lagi.
Yang terisi dalam peti ternyata Ki Leng-hong adanya.
Betapapun sabar dan tenangnya, tidak urung Pwe-giok juga terkejut.
Tertampak mata Ki Leng-hong terpejam rapat, mukanya pucat, seperti kepiting saja dia
diringkus dan dimasukkan ke dalam peti, sampai saat ini dia masih dalam keadaan pingsan.
Padahal biasanya nona Ki ini berkuasa dan suka memerintah, setiap orang di dunia ini seolaholah
dapat dipermainkan olehnya. Sungguh tak tersangka oleh Pwe-giok bahwa Ki Leng-hong
juga bisa jatuh habis-habisan seperti sekarang ini.
Dengan sinar mata gemerdep Yang Cu-kang bertanya, "Apakah Ji-kongcu kenal dia?"
Pwe-giok tersenyum getir dan mengangguk, katanya, "Ya, kenal."
Lui-ji menghela nafas gegetun dan berkata, "Mestinya dia berjanji dengan kami akan bertemu
lagi di Tong-keh-ceng, aku memang lagi heran mengapa dia tidak muncul, siapa tahu dia telah
berubah menjadi begini."
"Dengan ilmu silatnya yang tinggi dan kecerdasannya, betapapun Ong Uh-lau pasti bukan
tandingannya, entah mengapa dia..."
Yang Cu-kang memotong sebelum habis ucapan Pwe-giok itu, "Tidakkah Ji-heng dengar tadi
bahwa peti ini diterima oleh Ong Uh-lau dari seorang Hay-kongcu?"
Biji mata Cu Lui-ji berputar, serunya, "He, Hay-kongcu? Maksudmu Hay Tong-jing?"
299
Yang Cu-kang seperti terkejut dan heran, tanyanya, "Kaupun kenal Hay Tong-jing?"
"Dengan sendirinya kukenal dia," jawab Lui-ji. "Dan kau sendiri, cara bagaimana bisa kenal
dia?"
"Sejak berumur satu sudah kukenal dia," tutur Yang Cu-kang dengan tertawa.
Lui-ji melengak, "Sejak umur satu? Apakah kalian...?"
"Dia adalah Suhengku," tukas Yang Cu-kang.
Untuk sejenak Lui-ji melengong, katanya kemudian dengan tertawa, "Hah, pantas sifat kalian
rada-rasa sama, mata kalian seolah-olah tumbuh di atas kepala, siapapun diremehkan oleh
kalian, kiranya kalian memang berasal dari satu sarang..."
Dia mengikik tawa dan urung mengucapkan "sarang anjing".
Pwe-giok menghela nafas, "Ilmu silat Hay-heng pernah kulihat, pantaslah nona Ki bukan
tandingannya. Tapi ada permusuhan apa pula antara kalian dengan nona Ki ini?"
"Tidak ada permusuhan apapun," jawab Yang Cu-kang. "Hanya saja Ji Hong-ho ingin
mengantar pulang dia ke Sat-jin-cengcu."
"Hm, orang semacam Hay Tong-jing itu juga sudi menjadi antek Ji Hong-ho?" jengek Lui-ji.
"Jika kami berasal dari satu sarang, dengan sendirinya kamipun bernafas dari satu lubang,"
ujar Yang Cu-kang dengan tertawa.
"Bila kalian toh harus tunduk kepada perintah Ji Hong-ho, mengapa pula kau bunuh Ong Uhlau
dan lain-lain ini?" tanya Lui-ji.
"Sebab aku senang," sahut Cu-kang dengan tertawa. Baru habis ucapannya, mendadak air
mukanya berubah dan membentak perlahan, "Siapa itu?"
Setelah ucapan Yang Cu-kang itu selesai barulah Lui-ji mendengar ada suara kesiur angin dari
jauh telah mendekat, hanya sekali melayang saja sudah tiba.
Selagi Lui-ji terkejut oleh ginkang orang yang maha tinggi ini, "blang" tahu-tahu seorang
menerjang masuk dengan membobol jendela. Siapa lagi dia kalau bukan Hay Tong-jing.
Kejut dan girang Lui-ji, serunya dengan tertawa, "Hah, baru saja dibicarakan, seketika
orangnya datang, apakah kau..." mendadak ucapannya terhenti, sebab baru sekarang
dilihatnya baju Hay Tong-jing yang hitam itu penuh berlepotan darah, sebaliknya mukanya
pucat pasi.
Yang Cu-kang tidak bicara apa-apa, ia terus merobek baju orang, terlihat tubuh Hay Tongjing
juga berlumuran darah, sedikitnya ada belasan tempat luka.
300
Padahal betapa tinggi ilmu silat Hay Tong-jing sudah sama diketahui oleh Pwe-giok dan Luiji,
sekarang dia juga dilukai orang, sungguh Lui-ji hampir tidak percaya kepada matanya
sendiri.
Mau-tak-mau berubah juga air muka Yang Cu-kang, dengan suara tertahan ia tanya, "Siapasiapa
saja yang melukaimu?"
Dia tidak bertanya "siapa", melainkan "siapa-siapa", sebab ia yakin kalau musuh cuma satu
orang saja tidak mungkin mampu melukai Hay Tong-jing.
Kedua tinju Hay Tong-jing terkepal erat-erat, sambil mengertak gigi ia berkata, "Ialah..."
Meski bibirnya bergerak, tapi suaranya tak terdengar.
"Siapa? Siapa dia?" desak Yang Cu-kang.
Bibir Hay Tong-jing tampak bergerak lagi dua tiga kali, lalu "bluk", ia jatuh terkulai.
Maklumlah lukanya sangat parah, sebenarnya sejak tadi tidak tahan lagi, hanya setitik
tekadnya ingin hidup itulah, dengan sisa tenaga terakhir dapatlah ia lari ke sini. Kini setelah
bertemu dengan sanak keluarga sendiri, lega perasaannya dan badan juga tidak tahan lagi.
Cepat Thi-hoa-nio memapahnya ke atas kursi dan memeriksa lukanya.
Sedangkan Yang Cu-kang hanya berdiri terpaku di tempatnya, sampai sekian lamanya
mendadak ia melotot dan berteriak, "Tidak peduli siapa saja yang melukai dia, biarpun dia lari
ke ujung langit juga akan kususul ke sana."
"Aku sudah datang, untuk apa disusul ke sana?!" mendadak seorang menanggapi.
Suaranya sangat dingin, tapi juga tajam melengking sehingga membuat telinga orang yang
mendengarnya merasa tidak enak.
Umumnya suara orang tentu bernada entah tinggi entah rendah, entah cepat entah lambat, tapi
suara orang ini kedengaran datar dan hambar saja, monoton begitulah, membuat
pendengarnya merasa kesal dan bosan.
Muka orang ini tidak terlalu jelek, juga tidak terlalu buas, lebih-lebih tiada sesuatu cacat
badaniah. Tapi entah mengapa, siapapun yang melihatnya akan merasa ngeri dan menggigil.
Alisnya sangat tebal, matanya sangat besar, bahkan boleh dikatakan cukup ganteng dan cakap,
malahan ujung mulutnya selalu mengulum senyum, sekilas pandang bahkan cukup menarik.
Tapi bila dipandang secara cermat, sekujur badannya terasa kaku dan dingin, tiada rasa
senyuman sedikitpun. Jadi senyuman itu seolah-olah cuma dibuat-buat belaka, seperti orang
lain yang mengukir pada wajahnya. Sebab itulah senyuman aneh itu tetap menghiasi
mukanya, pada waktu marah tersenyum, pada waktu duka juga tersenyum, waktu membunuh
orang tersenyum, waktu makan juga tersenyum, di dalam kakus jelas juga tersenyum, bahkan
waktu tidur juga tetap tersenyum.
301
Jadi senyuman yang abadi, tak berubah selamanya.
Dia memakai baju hitam yang ketat, sangat pas dengan potongan tubuhnya, memakai ikat
pinggang warna merah darah, pada ikat pinggangnya terselip sebilah golok melengkung,
golok sabit. Bagian gagang golok juga terhias kain sutera merah, tapi batang goloknya
berwarna hitam pekat.
Meski terkejut, segera Yang Cu-kang dapat menenangkan hatinya, katanya sambil melototi
pendatang itu, "Jadi kau yang melukainya?"
"Betul, Suhengmu dibunuh oleh Lengkui (setan gaib)," jawab orang itu dengan tersenyum.
"Lengkui? Jadi kau inilah Lengkui?" Tanya Yang Cu-kang menegas.
"Ya," orang itu tersenyum.
"Bagus, suruh pembantumu keluar semua," kata Cu-kang.
"Lengkui membunuh orang tidak perlu pembantu," ucap orang itu dengan tersenyum.
"Melulu kau sendiri dapat melukainya?" terkesiap juga Yang Cu-kang.
"Ya, cukup Lengkui seorang saja."
Keterangan ini membikin semua orang terkejut pula, bahwa orang ini dapat melukai Hay
Tong-jing yang lihay, betapa tinggi ilmu silatnya jelas sukar diukur.
Dalam keadaan demikian barulah Lui-ji membuktikan ketenangan Yang Cu-kang juga luar
biasa dan sukar dibandingi siapapun.
"Siapa yang menyuruh kau ke sini?" tanya Cu-kang pula.
"Lengkui sendiri," jawab orang itu.
"Ada permusuhan apa antara kau dengan kami?"
"Lengkui tidak ada permusuhan apapun dengan kalian."
Orang itu selalu menyebut dirinya sebagai "Lengkui" dan tidak pernah menggunakan istilah
"aku".
"Sesungguhnya siapa kau?" bentak Cu-kang.
Mendadak Lengkui menyebut dua bait syair kuno yang sama sekali bukan merupakan
jawaban atas pertanyaan tadi, tapi setelah mendengar syair itu, air muka Yang Cu-kang
berubah hebat.
"Lengkui melepaskan dia lari ke sini, tujuannya justeru hendak membunuh kau," kata pula
orang yang mengaku sebagai Lengkui itu.
302
Habis berkata, mendadak bayangan tubuhnya berkelebat, entah kapan golok yang terselip
pada ikat pinggangnya sudah terhunus, dan entah cara bagaimana ujung golok juga sudah
mengancam tenggorokan Yang Cu-kang.
Gerakan ini sungguh cepat luar biasa dan sukar untuk dibayangkan. Tanpa terasa Thi-hoa-nio
menjerit kaget.
"Creng," terdengar suara nyaring berdenging memekak telinga. Entah sejak kapan Yang Cukang
sudah memegang dua batang pedang pendek dan tahu-tahu kedua pedang pendek itu
bersilang untuk menangkis tabasan golok sabit Lengkui.
Gerak tangkisan pedangnya juga cepat luar biasa dan sukar dibayangkan.
Dalam sekejap sinar golok yang hitam itu laksana gumpalan awan terus memburu ke arah
Yang Cu-kang, di tengah gumpalan awan hitam terkadang juga berkelebat cahaya kilat yang
menyerang Lengkui, meski golok seperti awan hitam dan pedang laksana kilat, namun
langkah kedua orang tidak bergeser, bahkan tidak terdengar lagi suara benturan senjata.
Bagi pandangan orang biasa, pertarungan kedua orang itu lebih mirip orang yang lagi menari,
hakikatnya bukan lagi bertempur. Tapi Pwe-giok tahu telah terjadi pertarungan sengit, kecuali
kedua orang yang bersangkutan mungkin sukar dibayangkan orang lain betapa hebat gerakan
mereka.
Kini jarak kedua orang itu tidak ada lima kaki jauhnya, dengan senjata mereka cukup untuk
mencapai sasarannya dan lawan dapat tertusuk tembus, tapi anehnya serang menyerang
mereka justeru tidak mengenai sasarannya.
Yang paling aneh adalah kaki kedua orang sama-sama tidak menggeser sedikitpun, dari sini
terbukti bahwa setiap serangan kedua pihak sama-sama jitu dan cermatnya, asalkan
ketinggalan sedetik saja segera akan banjir darah dan terkapar.
"Mengapa kedua orang ini hanya berdiri tanpa bergerak, sungguh sebal," kata Lui-ji tak sabar.
Tapi Pwe-giok sangat prihatin, ucapnya, "Sebab serangan kedua orang sama-sama secepat
kilat, begitu Lengkui menebas dengan goloknya, kontak Yang Cu-kang balas menusuk
dengan pedangnya, terpaksa Lengkui ganti serangan untuk menyelamatkan diri, menyusul ia
terus menyerang lagi dan terpaksa Yang Cu-kang juga harus bertahan. Sebab itulah meski
keduanya kelihatan serang menyerang, tapi sebenarnya tak dapat melukai lawan."
Lui-ji terkesiap, "Jika demikian, asal lengah sedikit saja gerak serangan Yang Cu-kang, tentu
dia akan termakan oleh satu kali tabasan golok."
Pwe-giok memandang luka yang memenuhi tubuh Hay Tong-jing, katanya, "Mungkin tidak
cuma satu kali."
Melihat luka Hay Tong-jing itu, dapatlah Lui-ji membayangkan serang menyerang mereka
pasti akan berbahaya, tanpa terasa tangannya berkeringat dingin, ia tercengang sejenak, lalu
berucap pula dengan menarik nafas, "Darimanakah datangnya makhluk aneh ini, mengapa
kungfunya setinggi ini?"
303
"Ya, baru sekarang juga ku tahu betapa luasnya dunia kangouw dan orang kosen macam
apapun ada," ujar Pwe-giok dengan gegetun.
Tiba-tiba Lui-ji mendesis, "Meski sekarang ku tahu Yang Cu-kang bukan orang baik, tapi
jelek2 dia pernah menolong kita. Bagaimana kalau kita juga membantunya sekarang?"
"Kaupun ingin turun tangan?" tanya Pwe-giok.
"Makhluk aneh ini meski berdiri di situ tanpa bergeser, dia hanya memperhatikan golok lawan
di depan, kalau kita mengitar ke belakangnya dan menyerangnya, tentu dia takkan tahu dan
tak berjaga," bisik Lui-ji.
Pwe-giok tidak bersuara, ia memutar ke belakang Lengkui, dijumputnya sebatang sumpit,
dengan cara menyambitkan anak panah ia timpuk punggung Lengkui. Terdengar suara "cring"
pula, suara nyaring mendenging.
Entah sejak kapan Lengkui dan Yang Cu-kang sudah bertukar tempat, waktu sumpit yang
disambitkan Pwe-giok itu dicari, ternyata sudah terputus-putus menjadi tujuh potong dan
menancap di tanah seperti paku.
Sama sekali Lui-ji tidak tahu cara bagaimana sumpit itu bisa tertabas putus.
"Nah, bagaimana?" tanya Pwe-giok sambil memandang Lui-ji.
Karuan Lui-ji hanya melongo saja dan tak dapat menjawab.
Di tengah sinar pedang dan cahaya golok, kelihatan air muka Yang Cu-kang semakin kelam,
sebaliknya wajah si Lengkui tetap mengulum senyum serupa waktu datang tadi, sedikitpun
tidak berubah.
Kini Pwe-giok dapat menilai bila pertarungan ini berlangsung terus, jelas Yang Cu-kang lebih
banyak celaka daripada selamatnya.
Kalau bicara ilmu silat, kedua orang kelihatan setali tiga uang alias sama kuatnya. Tapi bila
pertarungan berlangsung lama, betapapun hati Yang Cu-kang kurang mantap.
Betapapun tenangnya Yang Cu-kang bukan orang tanpa perasaan, bila teringat olehnya
Suheng sendiri terluka parah, ilmu silat isterinya rendah, kalau dirinya kalah, akibatnya
sukarlah dibayangkan.
Dan kalau teringat hal-hal demikian, tentu saja pikirannya rada terganggu, dan karena
ketenangannya terganggu, cara bertempurnya tentu saja terpengaruh, sedikit lambat saja gerak
serangannya akibatnya tentulah fatal.
Sebaliknya Lengkui tampaknya cuma sebuah raga yang kosong, seperti cuma sesosok mayat
hidup belaka, kalau dia juga punya perasaan dan bisa gelisah, rasanya tidak ada yang mau
percaya.
Mungkin lantaran demikian inilah, maka Hay Tong-jing dapat dilukai oleh Lengkui.
304
Mendadak terdengar Yang Cu-kang menarik nafas panjang, tahu-tahu ia melayang ke atas.
Jelas iapun menyadari bilamana pertarungan ini diteruskan pasti takkan menguntungkan,
maka sekarang ia hendak berganti siasat.
Siapa tahu, baru saja tubuhnya mengapung ke atas, menyusul Lengkui juga melayang ke atas
sehingga kedua orang kembali saling serang beberapa kali di udara. Setelah turun ke bawah,
kedua orang tetap berhadapan dalam jarak dekat.
Yang Cu-kang ternyata tidak dapat berbuat apa-apa, maklum golok lawan terlalu cepat,
terpaksa ia menangkis setiap serangan dan pada detik yang masih luang ia balas menyerang,
dengan demikian barulah ia dapat mematahkan serangan musuh, jadi sama sekali tidak ada
peluang lain baginya untuk bergerak.
Kini bukan hanya Yang Cu-kang sendiri, sampai Lui-ji juga berkeringat saking tegangnya.
Thi-hoa-nio juga pucat dengan badan gemetar.
Pada saat itulah mendadak Ji Pwe-giok melompat keluar rumah malah.
Meski Lui-ji yakin anak muda itu bukan seorang pengecut yang mencari selamat sendiri pada
saat gawat, tapi dia lari keluar dalam keadaan demikian, sungguh Lui-ji tidak tahu apa
maksudnya.
Meski pertarungan yang berlangsung di depan mata ini sangat hebat, namun hatinya sudah
melayang ikut kepergian Ji Pwe-giok, biarpun pedang dan golok kedua orang yang bertempur
itu dapat terbang sendiri juga tidak dihiraukannya lagi.
Syukurlah hanya sekejap kemudian Pwe-giok sudah lari masuk kembali, kini tangannya sudah
bertambah dengan sebatang pohon kecil yang dicabutnya bersama akar dan berikut daunnya.
Setengah tahun yang lalu, waktu menghadapi berpuluh tokoh Kun-lun-pay dan Tiam-jong-pay
yang mengubernya masuk ke Sat jin-ceng dulu, dia menggunakan tiang gardu untuk
menghalau para pengeroyok itu. Kini dilihatnya ilmu golok Lengkui yang aneh dan ajaib itu,
tiba-tiba timbul pikirannya akan menggunakan akal "dengan berat mengalahkan kelincahan".
Maka ia lantas berlari keluar dan mencabut sebatang pohon yang bulatan batangnya sebesar
mangkuk.
Walaupun Lui-ji sudah tahu tenaga Pwe-giok sangat besar, tapi tak terduga dalam keadaan
letih begitu ia masih sanggup mencabut sebatang pohon, seketika ia menjadi melengong.
Sembari berjalan Pwe-giok terus membersihkan ranting dan daun pohon itu, mendadak ia
membentak keras-keras, batang pohon terus menyerang ke punggung Lengkui.
Meski rumah ini cukup luas, tapi batang pohon yang diputar itu sedikitnya mencakup tempat
seluas beberapa tombak, maka terdengarlah suara gemuruh, segala isi ruangan telah tersapu
berantakan.
Dari suara angin Lengkui merasakan datangnya serangan, mendadak golok sabit berkelebat
dan menebas ke belakang, gerakan serangan ini sungguh sangat cepat, tempat yang diarah
juga jitu. Cuma sayang, yang sedang menghantam punggungnya itu bukan lagi sebatang
sumpit melainkan sebatang pohon.
305
Biarpun tenaga dalam Lengkui sangat hebat, tapi untuk menabas putus batang pohon dengan
golok sabitnya yang kecil itu terasa rada sulit juga. Maka terdengarlah suara "crat" satu kali,
batang pohon tertabas golok, tapi golok itu terus terjepit oleh batang pohon.
Hampir pada saat yang sama pedang pendek Yang Cu-kang juga sudah menusuk, terdengar
suara "crat-cret" susul menyusul, dalam sekejap saja sekujur badan Lengkui telah tertusuk
belasan kali oleh pedang Yang Cu-kang sehingga darah berhamburan.
Namun wajah Lengkui masih tetap mengulum senyum, katanya, "Tusukan hebat, serangan
bagus! Cuma sayang, selamanya Lengkui tak dapat mati, siapapun tak dapat membunuh
Lengkui..."
Sembari bicara golok bulan sabit yang terjepit batang pohon telah dicabutnya, mendadak
goloknya membalik, ia tikam hulu hati sendiri, golok sepanjang tiga kaki lebih itu hampir
amblas seluruhnya hingga sebatas gagang golok, ujung golok tampak menembus ke
punggung.
Air muka Lengkui sedikitpun tidak memperlihatkan rasa sakit dan menderita, ia tetap
tersenyum dan berkata, "Jika kalian tidak lekas angkat kaki, sebentar Lengkui akan kembali
lagi dan menuntut balas padamu."
Omong kosong ini jelas tak dipercaya oleh siapapun, tapi melihat Lengkui mendadak
membunuh diri, kematiannya juga sedemikian aneh, mau tak mau hati semua orang merasa
ngeri.
Lui-ji menghela nafas lega, ucapnya, "Orang ini tidak cuma aneh ilmu goloknya, orangnya
juga sangat aneh."
"Ilmu golok aneh ini, mungkin di dunia Kangouw sekarang tidak ada sepuluh orang yang
mampu menangkis sepuluh jurus serangannya," kata Yang Cu-kang.
"Tapi dia telah kau bunuh, tokoh Kangouw yang mampu menangkis sepuluh kali seranganmu
pasti juga takkan lebih dari sepuluh orang," ujar Lui-ji.
Yang Cu-kang tersenyum, katanya, "Ah, masa!"
Tapi Lui-ji lantas menjengek, "Hm, betapapun tinggi ilmu pedangnya, coba kalau Pwe-giok
tidak ikut turun tangan, mungkin saat ini jiwamu sudah melayang, memangnya apa yang kau
banggakan?"
Yang Cu-kang tidak menjadi marah, sebaliknya ia bergelak tertawa, "Haha, memang betul,
sedikitpun tidak salah."
Lalu ia berpaling dan berkata kepada Ji Pwe-giok, "Wahai Ji-heng, waktu pertama kali kulihat
kau, kukira tidak lebih kau ini cuma seorang pemuda bangor saja. Ketika bertemu lagi untuk
kedua kalinya, kesannya memang bertambah baik sedikit, tapi masih kupandang sepele akan
dirimu. Pernah juga kulihat kau bertempur tiga kali, setiap kali penilaianku kepada kungfumu
selalu bertambah. Tapi sesungguhnya betapa tinggi dan betapa dalam kungfumu, sekarang
akupun merasa bingung."
306
"Ah, Yang-heng terlalu memuji," jawab Pwe-giok. "Padahal bila Cayhe bergebrak dengan
Lengkui ini, mungkin akupun tidak sanggup menahan sepuluh kali serangannya."
"Apa yang kau katakan mungkin betul, "kata Cu-kang. "Ilmu silatmu sekarang mungkin
belum luar biasa, tapi tiga tahun lagi, tanggung kepandaianmu pasti tidak di bawahku."
Lui-ji tertawa, katanya, "Eh, kenapa kau jadi rendah hati sekarang?"
Dengan sungguh-sungguh Yang Cu-kang menjawab, "Yang kukatakan ini sama sekali bukan
basa-basi, akupun tidak perlu menjilat pantatnya. Betapa besar kungfu akan dicapai oleh
seseorang sudah ditakdirkan, sudah pembawaan, biarpun berlatih giat juga tidak besar
manfaatnya. Seperti halnya orang main catur atau melukis, perlu juga melihat bakat orangnya.
Kalau tidak berbakat, biarpun berlatih mati-matian, hasilnya tetap terbatas dan tidak dapat
mencapai titik tertinggi, hanya bentuknya saja berhasil, tapi tak dapat menjiwainya."
Tiba-tiba ia tertawa, lalu menambahkan, "Tapi walaupun bakatmu sangat bagus, tanpa giat
berlatih juga tidak akan menghasilkan apa-apa."
"Eh, kenapa bicaramu menjadi banyak, apakah kau tidak kuatir Lengkui akan datang lagi dan
menuntut balas padamu?" kata Lui-ji dengan tertawa.
"Orangnya saja aku tidak takut, apalagi cuma Kui (setan)?" ujar Cu-kang.
Meski bersenda gurau, tidak urung sinar mata semua orang sama memandang ke arah
Lengkui yang sudah menggeletak tak bernyawa itu, se-akan2 kuatir orang mati ini mendadak
bisa melompat bangun untuk menuntut balas.
Tapi sekali pandang, wajah semua orang yang sedang tertawa dan senda gurau itu seketika
berubah kejut dan melongo.
Mayat Lengkui ternyata mulai membusuk, tulang belulangnya sudah mulai berubah menjadi
cairan darah.
Pwe-giok jadi teringat kepada kejadian dulu atas diri Cia Thian-pi, itu tokoh Tiam-jong-pay
yang dipalsukan, mayatnya waktu itu juga membusuk di bawah hujan lebat, keadaannya
serupa benar dengan mayat Lengkui sekarang, keruan ia terkejut dan curiga.
Kalau Cia Thian-pi gadungan itu adalah antek Ji Hong-ho, maka Lengkui ini tentu juga
begundalnya, kalau tidak masakah mayat kedua orang bisa membusuk dengan cara yang
sama? Jelas racun yang membikin mayat membusuk itu tersembunyi di sela-sela gigi dan
sudah disiapkan akan digunakan apabila keadaan kepepet, supaya rahasia penyamaran mereka
tidak ketahuan.
Dan kalau Lengkui adalah begundal Ji Hong-ho, kan juga segolongan dengan Yang Cu-kang,
mengapa sekarang dia datang hendak membunuh Yang Cu-kang, apakah Ji Hong-ho sudah
mengetahui pengkhianatan orang she Yang ini.
Yang jelas, baik Lengkui maupun Yang Cu-kang, ilmu silat mereka jauh di atas Ji Hong-ho,
mengapa mereka tidak berdiri sendiri, sebaliknya rela menjual nyawa baginya?
307
Begitulah dalam hati Pwe-giok penuh tanda tanya, tapi dia memang seorang sabar dan
pendiam, dapat berpikir panjang, teringat olehnya tindak-tanduk Yang Cu-kang yang sukar
diraba, maka iapun tidak ingin bertanya lagi, hanya terlintas sesuatu ingatan dalam benaknya,
ia coba tanya Yang Cu-kang, "Tadi mendadak orang ini menyebut dua bait syair kuno, apakah
Yang-heng paham maksudnya?"
Yang Cu-kang termenung sejenak, jawabnya kemudian, "Persoalan ini sangat besar dan luas
sangkut-pautnya, bahkan..."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong seorang menanggapi, "Selamanya Lengkui tak
bisa mati, siapapun tak dapat membunuh Lengkui, sekarang juga Lengkui sudah datang lagi
untuk menuntut balas."
Suaranya datar dan hambar, tidak cepat dan tidak lambat, terasa bersahaya nadanya dan
mencekam. Berbareng dengan datangnya suara itu, tahu-tahu seorang sudah muncul di depan
pintu.
Wajah orang ini kelihatan putih, alis tebal dan mata besar, ujung mulutnya selalu mengulum
senyum laksana wajah ukiran, kaku dan dingin. Baju yang dipakainya berwarna hitam dan
sangat pas dengan tubuhnya, pinggangna juga ada ikat pinggang warna merah darah dan
golok sabit terselip miring pada ikat pinggangnya.
Jelas orang inilah Lengkui!
Waktu mereka pandang mayat Lengkui di tanah tadi, ternyata sudah habis cair, sudah lenyap.
Apakah Lengkui benar-benar tak dapat dibinasakan?
Apakah betul sekarang dia telah hidup, kembali dan datang menuntut balas? Biarpun Pwegiok
dan Yang Cu-kang sangat tabah, berdiri juga bulu romanya demi munculnya orang ini
secara mendadak. Apalagi Thi-hoa-nio dan Cu Lui-ji, mereka sama menjerit kaget.
Yang Cu-kang tidak berucap apapun, cepat ia melompat maju, pedang berputar, langsung ia
menusuk tenggorokan Lengkui. Baru saja menusuk serentak ia menggeser dua tiga kali dan
mengitar ke samping lawan.
Ia kuatir kejadian tadi berulang lagi, maka harus mendahului turun tangan, sekali menyerang
segera menggunakan gerak perubahan yang cepat dan sukar diraba.
Siapa tahu, belum lagi dia berputar lebih jauh, golok sabit musuh telah berubah menjadi
selapis tabir cahaya, "sret-sret-sret", sekaligus tiga kali tabasan, si Lengkui seperti sudah
memperhitungkan gerak perubahan serangan Yang Cu-kang, serentak ia tutup jalan
mundurnya.
Namun Yang Cu-kang tetap berdiri saja tanpa bergerak, maka tiga kali tabasan golok itupun
takkan menyentuh bajunya, tapi sedikit ia bergerak, maka samalah seperti tubuhnya sengaja
ditumbukkan kepada golok sabit Lengkui.
Terpaksa Yang Cu-kang memutar pedangnya dan menyampuk golok lawan.
308
Tak terduga, Lengkui seakan-akan sudah tahu bahwa dia pasti akan bertindak demikian,
goloknya ditarik miring ke bawah sehingga meluncur lewat mata pedang musuh, berbareng ia
menusuk bahu Yang Cu-kang.
Lekas Yang Cu-kang memutar lagi pedangnya, berturut empat kali ia ganti serangan,
walaupun tiba cukup untuk menghindarkan tebasan golok lawan, namun kakinya tidak
mampu bergeser sedikitpun. Dia benar-benar tidak dapat berkutik dengan bebas.
Setelah sepuluh jurus, tanpa terasa tangan Yang Cu-kang berkeringat dingin. Dia mulai
merasakan betapapun dia memutar pedangnya, cukup lawan menyerang satu kali saja dan
buntulah jalannya, setiap gerak-geriknya sudah berada dalam dugaan musuh.
Dalam pertarungan tadi, sedapat-dapatnya ia mendahului menyerang, tapi sekarang Lengkui
seperti sudah tahu jelas setiap gerak perubahannya. Sekalipun dia mengeluarkan segenap
kemampuannya juga cuma sanggup bertahan saja sekedarnya, serangannya sama sekali tidak
dapat dikembangkan, jangankan hendak mengatasi musuh.
Jadi seperti dua orang bermain catur, kalau langkah kita selanjutnya sudah diketahui pihak
lawan, maka setiap langkahnya seolah-olah akan masuk jaring belaka dan terjebak oleh siasat
yang sudah diatur lawan. Maka belum lagi permainan catur ini selesai, kekalahan sudah
ditentukan, andaikan permainan diteruskan juga tidak menarik.
Sebaliknya Lengkui dapat memainkan golok sabitnya dengan bebas dan leluasa, namun
senyumannya masih tetap kaku dan dingin, dengan sorot mata yang dingin tajam menembus
cahaya pedang ia tatap Yang Cu-kang, ucapnya dengan tersenyum, "Kau sendiri tentunya tahu
bahwa setiap jurus serangan Lengkui dapat mencabut nyawamu, untuk apalagi kau bertahan?
Lekas serahkan nyawamu saja kan lebih enak?"
Tapi Yang Cu-kang anggap tidak mendengar ucapannya, padahal setiap kata lawan itu
setajam sembilu yang menikam ulu hatinya, bahkan lebih tajam daripada sembilu.
Rontakan orang dalam keadaan putus asa memang jauh lebih menderita daripada kematian.
Lengkui tersenyum dan berkata pula, "Tentunya kau heran, mengapa Lengkui sedemikian
paham jurus ilmu silatmu bukan? Padahal hal ini cukup sederhana, sebab Lengkui sudah
pernah bertempur satu kali denganmu."
Tiba-tiba Yang Cu-kang merasakan hawa dingin dari lubuk hatinya dan merembes hingga
ujung kaki.
Masakan Lengkui yang ini benar adalah orang yang telah dibunuhnya tadi? Makanya orang
sedemikian paham akan ilmu silatnya. Kalau demikian, andaikan Lengkui yang ini
dibunuhnya pula, bukankah Lengkui masih akan hidup kembali, dan dalam pertarungan
berikutnya akan lebih paham pula pada setiap jurus serangannya? Jadi seumpama Lengkui
dapat dibunuhnya seratus kali, lambat atau cepat dirinya akan mati juga di tangan Lengkui,
sebaliknya Lengkui akan tetap hidup dan tak bisa mati.
309
Pada waktu hal ini tidak terpikir oleh Yang Cu-kang, sekuatnya dia masih kuat bertahan, tapi
demi teringat, makin dipikir makin takut sehingga pedang hampir tidak kuat lagi
dipegangnya.
Waktu ia melirik kesana, dilihatnya Hay Tong-jing sudah pingsan, wajah Thi-hoa-nio pucat
pasi, tampaknya setiap saat juga bisa jatuh semaput.
"Nah, matilah, lekas matilah!" seru Lengkui dengan tersenyum. "Lengkui sudah pernah mati
berpuluh kali, Lengkui berani menjamin bahwa kematian bukan kejadian yang menyakitkan,
mati tidak menimbulkan derita, bahkan jauh lebih enak daripada tidur."
Ucapannya masih tetap datar dan dingin, namun nadanya seolah-olah membawa semacam
kekuatan gaib yang membuat orang secara tidak sadar melepaskan daya perlawanannya dan
tertidur lelap.
Jika Yang Cu-kang berasal dari perguruan Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay, maka tidaklah
perlu diherankan jika setiap jurus serangannya dapat diselami orang lebih dulu. Sebab
beberapa perguruan ternama ini sudah turun temurun sekian ratus tahun, setiap jurus ilmu
silatnya ada aturannya, tapi setelah berjalan sekian ratus tahun, sedikit banyak jago persilatan
sudah dapat memahami setiap jurus ilmu silatnya, lantaran itulah kebanyakan tokoh
terkemuka dari perguruan ternama itu tidak suka mengalahkan musuh dengan jurus
serangannya, tapi mengatasi lawan dengan tenaga dalamnya yang jauh lebih ulet.
Tapi sekarang ilmu silat Yang Cu-kang dipelajari dari perguruannya yang tidak dikenal
umum, setiap jurus serangannya boleh dikatakan masih asing bagi jago silat lain. Namun
sekarang Lengkui ternyata dapat mengetahui sebelum Yang Cu-kang melontarkan
serangannya, kalau tidak pernah bergebrak dengan dia, darimana pula lawan mengetahui
rahasia serangannya.
Seumpama Yang Cu-kang tidak percaya Lengkui yang sudah mati dapat hidup lagi, tapi
menghadapi kejadian demikian, mau tak mau ia menjadi percaya, ia pikir kalau musuh yang
dihadapinya adalah seorang yang tak bisa mati, lalu apalagi yang dapat diperbuatnya?
Cu Lui-ji dan Thi-hoa-nio tidak tahu dimana letak kehebatan jurus serangan musuh, tapi kini
pun sudah dapat melihat keadaan Yang Cu-kang yang terdesak dan berbahaya itu.
Mereka menjadi heran mengapa sekali ini Ji Pwe-giok tidak turun tangan membantunya.
Pada saat itulah mendadak terdengar Pwe-giok berseru, "Yang diketahuinya bukanlah tipu
seranganmu, melainkan kepunyaan Hay Tong-jing."
Lui-ji melengak, ia tidak paham apa maksud Pwe-giok. Tapi semangat Yang Cu-kang
seketika terbangkit, matanya juga mencorong, teriaknya dengan bergelak tertawa, "Aha, betul,
pahamlah aku, pahamlah aku sekarang..." di tengah tertawanya itu mendadak pedangnya
menusuk.
Jilid 11________
310
Tusukan ini langsung menuju ke dada dan tidak ada gerak perubahan lain, juga tiada gerak
tersembunyi, tapi Lengkui justru terdesak oleh tusukan demikian dan tidak mampu balas
menyerang.
Sinar pedang Yang Cu-kang terus memanjang, "sret-sret-sret", berturut ia menusuk pula tiga
kali, semuanya lurus ke depan tanpa gerak perubahan, tapi Lengkui lantas terdesak mundur
satu langkah.
Lui-ji juga dapat melihat ke empat jurus Yang Cu-kang itu sama sekali berbeda daripada gaya
semula, setelah berpikir, ia tertawa cerah dan berseru: "Aha, akupun jadi pahamlah...." tapi
segera ia berkerut kening dan menggeleng pula, sambungnya: "Tapi akupun tetap tidak
paham"
Thi-hoa-nio menjadi heran, tanyanya: "Kau paham apa? Dan apa pula yang membuat kau
tidak paham?"
Belum lagi Lui-ji menjawab, dilihatnya Pwe-giok entah sejak kapan sudah menjemput sebilah
golok, ia melangkah maju terus menabas ke pundak Lengkui.
Tebasan ini sangat lambat, seumpama dapat mengenai sasarannya juga belum pasti dapat
melukainya, kelihatannya malah lebih mirip hendak menaruh golok di atas pundak Lengkui.
Dengan sendirinya Lengkui tidak pernah menghindari, tapi ketika mata golok sudah dekat
dengan pundaknya, terlambatlah baginya biarpun dia ingin cepat berkelit.
Sebab gerakan yang sangat lambat ini memang sangat mudah dihindari oleh siapapun, tapi
ketika Lengkui bermaksud mengelak, gerakan mata golok Pwe-giok itu mendadak juga
berputar. Terdengar suara "sret" satu kali, golok itu berputar satu lingkaran.
Gerakan ini sangat cepat, tapi tiada ubahnya seperti lagi main lingkaran, sama sekali tidak ada
maksud hendak mencelakai orang. Jadi Lengkui juga tidak perlu lagi mengelak.
Akan tetapi cahaya golok justeru berkelebat di depan mata, mana boleh Lengkui tinggal diam.
Semula Lui-ji merasa cara menyerang Pwe-giok itu agak membingungkan, tapi sekarang ia
sudah tahu dimana letak keajaiban serangan itu.
Gerakan golok Pwe-giok itu lambat luar biasa, hakekatnya tidak bergaya jurus, sebab itulah
sukar untuk diraba kemana tujuannya. Maka Lengkui menjadi tidak tahu cara mengelak atau
mematahkannya.
Tapi meski gerakan itu tanpa jurus, ada goloknya, kalau ada golok, Lengkui harus mengelak,
sebab yang akan melukainya bukanlah jurusnya melainkan goloknya.
"Hah, permainan golok yang hebat!" seru Lengkui dengan tertawa.
Belum habis ucapannya, tahu-tahu golok Pwe-giok sudah kena bacok di atas tubuhnya.
Sebab dia tidak tahu cara bagaimana harus mengelak atau mematahkan bacokan golok Pwegiok
itu, terpaksa ia harus mematahkan dulu tiga kali tusukan pedang Yang Cu-kang dari
311
depan, setelah dia berhasil mematahkan serangan Yang Cu-kang, tidak dapat lagi baginya
untuk menghindari serangan Pwe-giok.
Dan kalau serangan Pwe-giok tak dapat dihindarkan, pedang Yang Cu-kang juga akan
menusuk tubuhnya.
Seketika tertampaknya sinar pedang berkelebat, darah segar pun berhamburan.
"Bagus, bagus sekali!" seru Lengkui tetap dengan tertawa. "Cuma sayang Lengkui tak dapat
dibunuh oleh siapapun, selamanya Lengkui tak dapat dibunuh..."
Robohlah dia bermandikan darah, namun wajahnya masih tetap membawa senyuman yang
kaku itu.
Sekali ini Yang Cu-Kang tidak memandangnya sama sekali, tapi melototi Ji Pwe-giok, sampai
sekian lamanya barulah ia menghela napas panjang dan berkata, "Konon dahulu pendekar
golok kilat si Li kecil terkenal sebagai golok nomor satu di dunia, menurut cerita, tidak pernah
ada seorangpun mampu menahan sekali serangannya, sebab sekali goloknya bergerak,
sukarlah bagi lawan untuk mengetahui cara bagaimana dia hendak menyerang sehingga orang
tidak mampu untuk menghindar apalagi mematahkannya."
"Ya, cerita pendekar si golok Li kecil pernah juga kudengar," ujar Pwe-giok.
"Sama halnya kelak namamu pasti juga akan banyak dikenal orang," kata Yang Cu-kang
dengan tertawa.
"Aku?" Pwe-giok menegas.
"Betul, kau!" kata Yang Cu-kang dengan agak penasaran terhadap dirinya sendiri sambil
menuding golok di tangan Pwe-giok, "tapi bukan lantaran pribadimu ini, bukan lantaran
wajahnya yang cakap, tapi karena ilmu permainan golok yang tidak pernah ada dan juga tidak
bakal ada di kemudian hari."
Pwe-giok tertawa, bukan tertawa puas karena dipuji, tapi karena tiba-tiba teringat olehnya
seorang cerdik pandai pernah berkata padanya, "Seorang yang sombong, dalam keadaan
terpaksa harus memuji orang lain, biasanya dia akan marah terhadap dirinya sendiri".
"Kau bilang ilmu permainan golok? Hakekatnya aku tidak paham ilmu golok apapun," sahut
Pwe-giok kemudian dengan tertawa.
"Justeru lantaran kau tidak paham ilmu golok, makanya menakutkan," ujar Yang Cu-kang
sambil tersenyum kecut. "Ada golok tanpa jurus, kan jauh lebih menakutkan daripada ada
jurus tanpa golok?"
Mendadak Lui-ji menyela dengan tertawa, "Umumnya seorang lelaki suka bilang perempuan
bawel, tapi menurut pendapatku, yang benar-benar bawel adalah kaum lelaki, perempuan
hanya bawel pada waktu menganggur, tapi lelaki bisa lebih bawel di mana dan kapanpun
juga, biarpun dalam keadaan tegang juga suka bicara hal-hal yang sukar untuk dimengerti.
312
Tertawalah Yang Cu-kang, katanya, "Ucapanmu ini memang betul, saat ini memang bukan
waktunya untuk mengobrol."
Mendadak Lui-ji menarik muka dan berucap, "Lengkui takkan mati, segera Lengkui akan
muncul lagi untuk menuntut balas."
Cara bicaranya menirukan nada Lengkui dan kedengaran lucu, tapi bila teringat kepada
makhluk yang tak dapat dihalau, tak dapat dibunuh mati siapa yang dapat tertawa geli?
Yang Cu-kang mengusap keringat pada tangannya, lalu berkata, "Ji-heng, ku tahu dalam
hatimu pasti banyak menaruh curiga terhadapku, tapi dapat kukatakan padamu, aku bukanlah
lawan melainkan kawanmu."
Pwe-giok menjawab dengan cekak aos, "Kupercaya!"
Yang Cu-kang menghela napas panjang, katanya pula, "Bagus, sekarang aku hanya ingin
memohon sesuatu padamu."
"Urusan apa?" tanya Pwe-giok.
"Di dalam rumah ini ada jalan rahasia di bawah tanah, lekas kau pergi dulu membawa yang
terluka dan perempuan, juga ketiga peti ini perlu kau bawa sekalian."
"Dan kau?" tanya Pwe-giok.
"Paling tidak aku masih sanggup menjaga diriku sendiri, tidak perlu kau kuatirkan aku dan
juga tidak perlu tinggal di sini untuk membantu diriku, "ujar Yang Cu-kang dengan tak acuh.
"Akan tetapi kau...."
Mendadak Yang Cu-kang tidak sabar, ia mendesak, "Sudahlah, seumpama aku tak dapat
menandingi orang, sedikitnya dapat ku kabur. Tapi bila kalian tetap tinggal di sini bisa jadi
aku ingin laripun sukar."
Dia memapah Hay Tong-jing, lalu berkata pula, "Apabila dalam hati kalian ingin tahu apaapa,
tanya saja kepada Suhengku bila dia sudah siuman."
"Tapi kau ... "Lui-ji juga kuatir.
Yang Cu-kang berkerut kening, katanya, "Biniku saja sudah kupasrahkan kepada kalian,
masakah kalian masih kuatir aku minggat dan tidak kembali lagi?"
*****
Lorong di bawah tanah itu serupa lorong rahasia umumnya, gelap dan lembab, bahkan karena
berada di bawah dapur, maka tercium bau yang memualkan.
Jalan masuk lorong rahasia itu dibukakan oleh Thi-hoa-nio, tapi dia sendiri tidak tahu lorong
itu menembus ke mana, lebih-lebih tidak tahu mengapa di dapur terdapat jalan rahasia ini.
313
Lui-ji terus menerus menggerundel, "Persetan! Kenapa kita jadi menuruti kehendaknya dan
menyusup ke liang tikus ini? Jika di depan sana ada binatang buas atau makhluk berbisa atau
perangkap maut, nah, baru celakalah kita!"
Thi-hoa-nio menggigit bibir, katanya, "Apakah selamanya kau tidak percaya kepada siapapun
juga?"
Jawab Lui-ji dengan ketus, "Seumpama kupercaya kepada orang lain juga takkan kukawin
dengan dia dengan begitu saja tanpa pertimbangan."
Dia melototi Thi-hoa-nio, Thi-hoa-nio juga mendelik kepadanya, kedua orang saling melotot
seperti dia dua ekor ayam jago aduan yang sedang saling melotot, sampai sekian lamanya,
perlahan Thi-hoa-nio menunduk, matanya tampak basah.
"Aku tidak seperti kau," demikian katanya dengan hampa, "ada yang sayang, ada yang
mencintai kau pula, tapi aku sebatangkara, asalkan ada orang suka padaku sudah cukup
membuatku kegirangan."
Lui-ji menjengkitkan mulut, lalu melangkah ke depan, tapi beberapa langkah mendadak ia lari
balik terus merangkul Thi-hoa-nio, ucapnya, "Aku tidak sengaja bicara demikian, kuharap
jangan kau marah padaku. Aku .. akupun sebatangkara, bahkan sejak kecil tidak pernah
mendapatkan pendidikan yang layak, makanya selalu menjemukan."
Thi-hoa-nio tertawa sebisanya, ucapnya dengan lembut, "Siapa bilang kau menjemukan? Jika
kau menjemukan, di dunia ini mungkin tidak ada anak perempuan yang menyenangkan."
Lui-ji menunduk, lalu melirik Pwe-giok sekejap, katanya kemudian dengan menyesal,
"Sebenarnya akupun tahu maksudmu, demi melindungi kami, demi mencari tahu seluk-beluk
Yang Cu-kang, makanya kau kawin dengan dia."
"Mungkin semula memang begitu maksudku." ujar Thi-hoa-nio dengan gegetun, "tapi
kemudian kulihat cara bicara orang ini meskipun sangat menjengkelkan, tapi sebenarnya
bukan orang jahat."
Pwe-giok tertawa, katanya, "Menurut pendapatku, bahkan sikapnya yang menjengkelkan
itupun sengaja dibuat-buat"
"Untuk apakah dia sengaja berbuat demikian?" tanya Lui-ji.
"Ada sementara orang yang bercita-cita tinggi dan bertugas berat, dia terpaksa harus mandah
menerima hinaan dan ...."
Pada saat itulah mendadak terdengar suara "blang" yang keras di lorong rahasia itu.
Lui-ji terkesiap, katanya, "Lengkui yang tidak dapat dibunuh itu mungkin sudah muncul lagi."
Wajah Thi-hoa-nio berubah pucat, agaknya juga rada gemetar.
Tiba-tiba Pwe-giok tertawa, katanya, "Eh, apakah kalian pernah dengar cerita tentang Siausin-
tong (si bocah ajaib) membikin Hiat-eng-jin (manusia bayangan darah) mati kecapaian."
314
"Ti .... tidak tahu," jawab Thi-hoa-nio.
Dalam keadaan dan pada waktu demikian, Pwe-giok justeru ingin bercerita, sungguh aneh.
tapi meski heran, karena bisa mendengar cerita menarik, betapapun Lui-ji merasa senang,
katanya dengan tertawa, "Hiat-eng-jin, nama ini sungguh aneh, kukira orang ini bukan barang
baik."
"Betul," kata Pwe-giok, "orang ini berhati keji dan bertangan ganas, membunuh orang seperti
membunuh ayam, meski setiap orang Kangouw sama membencinya, tapi juga tidak dapat
berbuat apa-apa."
"Ilmu silatnya sangat tinggi?" kata Lui-ji.
"Bukan saja sangat tinggi, bahkan Ginkangnya tidak ada bandingannya," tutur Pwe-giok,
"beberapa kali sudah jelas dia terkepung oleh belasan tokoh kelas tinggi, tampaknya
riwayatnya pasti akan tamat, tapi akhirnya dia berhasil lolos juga berkat Ginkangnya yang
hebat."
"Lantas, orang macam apa pula Siau-sin-tong itu? Cara bagaimana dia membikin Hiat-eng-jin
mati kecapaian?" tanya Lui-ji.
"Sesuai julukannya, Siau-sin-tong dengan sendirinya adalah seorang anak kecil, bahkan baru
saja muncul di dunia Kangouw, tidak ada yang tahu bagaimana asal-usulnya sehingga orang
pun tidak menaruh perhatian padanya. Suatu hari, ketika Siau-sin-tong mendadak berbuat
sesuatu yang menggemparkan dunia persilatan sehingga setiap orang sama tertarik padanya."
"Perbuatan apa?" tanya Lui-ji.
"Dia memberi upah dan menyuruh orang menempel plakat di setiap kota besar, katanya dia
hendak bertanding Ginkang dengan Hiat-eng-jin, bahkan menyatakan apabila Hiat-eng-jin
tidak berani menerima tantangannya, maka Hiat-eng-jin bukan manusia melainkan hewan."
"Wah, meski kecil orang nya, tampaknya nyali Siau-sin-tong itu sangat besar," ujar Lui-ji
dengan tertawa.
Kini Thi-hoa-nio juga mulai tertarik oleh cerita itu, ia tidak tahan dan bertanya, "Lalu, Hiateng-
jin terima tantangannya atau tidak?"
"Sudah biasa Hiat-eng-jin malang melintang di dunia Kangouw, siapapun tidak terpandang
olehnya, mana dia tahan akan tantangan itu. Tidak sampai tiga hari dia sudah mendatangi
Siau-sin-tong. Kedua orang bersepakat mengadakan pertandingan Ginkang, diputuskan
pertandingan lari cepat itu dimulai dari kotaraja hingga Bu-han, jaraknya kurang lebih lima
ribu li. Siapa yang tiba lebih dulu di tempat tujuan dianggap menang, dan yang kalah harus
membunuh diri dengan menggorok leher sendiri tanpa syarat."
"kalau Hiat-eng-jin adalah orang ganas dan keji begitu, mengapa dia tidak membunuh saja
Siau-sin-tong?" tanya Thi-hoa-nio.
315
"Sebab dia memang sombong dan anggap dirinya nomor satu di dunia, kalau Siau-sin-tong
menantang lomba Ginkang dengan dia, bila ia membunuh bocah itu dengan cara lain, kan
kelihatan gagah," Pwe-giok tertawa, lalu menyambung pula, "Apalagi Ginkangnya memang
sangat tinggi dan sukar ditandingi siapapun, sampai tokoh Kun-lun-pay, Hui-liong Cinjin
yang termasyhur dengan Ginkangnya juga mengaku bukan tandingannya, apalagi cuma Siausin-
tong seorang bocah berumur 13-14 tahun. Biarpun bocah ini berlatih Ginkang sejak masih
berada di dalam rahim ibunya, paling-paling juga cuma berlatih selama 15 tahun saja."
"O, demikian, bukankah berarti Siau-sin-tong itu mencari susah sendiri?" ujar Lui-ji.
"Waktu itu setiap orang Kangouw memang menganggap Siau-sin-tong mencari mati sendiri,
semua orang sama berkuatir baginya. Siapa tahu apa yang terjadi kemudian ternyata sama
sekali di luar dugaan mereka."
"Hah, Siau-sin-tong menang, bukan?" tanya Lui-ji dengan gembira.
"Waktu fajar mereka mulai lari dari pintu gerbang timur ibukota, ketika matahari terbenam,
sampailah Hiat-eng-jin di kota Titlik."
"Wah, kecepatan lari Hiat-eng-jin sungguh melebihi kuda lari," ujar Thi-hoa-nio.
"Tatkala mana iapun mengira sudah jauh meninggalkan Siau-sin-tong di belakang, selagi dia
bermaksud berhenti untuk mengaso, cuci muka dan mengisi perut, siapa tahu, baru saja ia
melangkah masuk rumah makan, belum lagi pegang sumpit, mendadak dilihatnya Siau-sintong
berkelebat lewat di depan pintu secepat terbang, kecepatannya serupa pada waktu mulai
start, sedikitpun tidak ada tanda-tanda lelah."
"Haha, Siau-sin-tong memang hebat," seru Lui-ji dengan tertawa cerah.
"Dengan sendirinya Hiat-eng-jin kuatir ketinggalan, tanpa sempat makan minum lagi segera
ia taruh sumpit terus mengejar," tutur Pwe-giok pula. "Setelah lari lagi sehari semalam,
biarpun Hiat-eng-jin tergembleng dari baja juga mulai lelah."
"Jika aku mungkin sudah lama kurebahkan diri." ujar Lui-ji.
"Waktu dilihatnya di tepi jalan ada penjual wedang kacang hijau yang baru buka pasaran,
kelihatan masih mengepul dan berbau sedap, ia tidak tahan, ia mendekati penjual wedang
kacang dan ingin minum barang satu-dua mangkuk sekedar mengisi perut."
"Siapa tahu, baru saja dia pegang mangkuk kacang hijau itu, segera dilihatnya Siau-sin-tong
berkelebat lewat secepat terbang, begitu bukan?" sambung Lui-ji dengan tertawa.
"Betul, sedikitpun tidak salah," jawab Pwe-giok dengan tertawa. "Bocah itu masih tetap
mempertahankan kecepatan larinya seperti semula, seolah-olah manusia yang tidak kenal
capai. Keruan Hiat-eng-jin takut kalah, belum sempat minum wedang kacang hijau itu,
seketika ia angkat kaki dan mengejar lagi."
"Apakah dia tidak salah lihat?" tanya Thi-hoa-nio.
316
"Waktu itu Hiat-eng-jin juga tergolong jago am-gi terkemuka, ketajaman matanya juga luar
biasa, konon seekor lalat saja dapat dilihatnya dengan jelas dari jarak beratus tombak."
"Wah, awas benar matanya," seru Lui-ji.
"Itu saja belum," kata Pwe-giok dengan tertawa, "konon lalat itu dapat pula dibedakan lalat
jantan atau betina. Sebab itulah ketika Siau-sin-tong berkelebat lewat di depan pintu segera
dapat dilihatnya dengan jelas."
Sampai di sini Thi-hoa-nio jadi melongo terkesima.
"Wah, orang ini benar-benar bermata maling." kata Lui-ji dengan tertawa.
"Ya, orang ini memang dapat dikatakan tokoh ajaib dunia persilatan yang sukar dicari
bandingannya," ujar Pwe-giok dengan gegetun. "Tapi apapun juga dia kan manusia, dan
manusia tentu terbatas kekuatannya, ada kalanya dia tidak sanggup bertahan lagi. Maka setiba
di Bu-han, akhirnya dia roboh".
"Masa sepanjang jalan itu dia tidak pernah beristirahat?" tanya Lui-ji.
"Bukan saja tidak beristirahat, bahkan satu butir nasi saja tidak pernah masuk perut," tukas
Pwe-giok dengan tertawa. Lalu sambungnya, "Sebab setiap kali dia hendak mengaso atau
makan, baru saja dia pegang sumpit, segera dilihatnya Siau-sin-tong melayang lewat.
Terpaksa ia terus mengejar ke depan, dan lupa berhenti akhirnya ia sampai di tempat tujuan.
Ketika tiba di depan Wi-hau-lau, restoran yang menjadi tempat tujuan terakhir, ia mengira
pertandingan ini pasti dimenangkan oleh dirinya. Siapa tahu, sekali mendongak, tahu-tahu
Siau-sin-tong kelihatan sedang menggapai padanya di atas loteng restoran itu."
"Ha ha, bagus, bagus, cerita ini sungguh sangat menarik," seru Lui-ji sambil berkeplok.
"Dan kemudian, apakah Hiat-eng-jin benar-benar membunuh diri dengan menggorok leher
sendiri?" tanya Thi-hoa-nio.
"Biar jahat, tapi orang ini sok anggap dirinya lain daripada orang biasa, tindakan ingkar janji
dan main belit tidak pernah dilakukannya, apalagi setiba di Bu-han keadaannya sudah payah,
hampir berdiri saja tidak kuat, sekalipun ingin kabur juga sulit, padahal orang lainpun pasti
takkan mengampuni dia."
"Dan seorang tokoh jahat itu lantas mati ditangan seorang anak kecil?!" tanya Thi-hoa-nio.
"Betul" jawab Pwe-giok.
Mencorong sinar mata Lui-ji, katanya, "Seorang anak berusia belasan tahun sudah memiliki
Ginkang setinggi itu, sungguh sangat mengagumkan."
Pwe-giok tersenyum dan menggeleng, "Meski Ginkangnya cukup hebat, tapi kalau
dibandingkan Hiat-eng-jin, sungguh selisihnya sangat jauh".
Liu-ji jadi melengak, tanyanya, "Jika Ginkangnya tidak melebihi Hiat-eng-jin, kenapa dia bisa
menang?"
317
"Bisa lantaran usianya lebih muda dan tenaganya lebih kuat." sambung Thi-hoa-nio.
Pwe giok menggeleng pula, katanya dengan tersenyum, "Tidak, bukan begitu sebabnya."
"Habis meng... mengapa bisa begitu?" tanya Lui-ji.
"Masa tak dapat kau terka?" tanya Pwe-giok.
Lui-ji merunduk dan berpikir agak lama, mendadak ia berkeplok, katanya sambil tertawa,
"Aha, tahulah aku, Siau-sin-tong pasti dua saudara kembar yang serupa, salah seorang
menunggu lebih dulu dibagian depan, apabila Hiat-eng-jin sampai di situ, dia sengaja
memperlihatkan diri sejenak, sedangkan yang lain segera menunggang kuda cepat mendahului
ke depan lagi, bila Hiat-eng-jin dapat melampaui yang satu, sementara itu Siau-sin-tong yang
lain sudah menunggu lagi di depan."
"Bukan, juga bukan begitu," kata Pwe-giok dengan tertawa.
"Masih tidak betul?" Lui-ji melengak.
"Coba kau pikir, selama hidup Hiat-eng-jin malang melintang, masa dia mudah ditipu?
Apalagi dengan gerak tubuhnya yang cepat, sekalipun ada kuda pilihan juga sukar
mendahului dia jauh di depan sana."
"Bisa jadi... bisa jadi mereka mengambil jalan potong yang lebih dekat." kata Pwe-giok.
"Wah, jika demikian, aku menjadi... menjadi bingung," ujar Liu-ji sambil tersenyum.
"Ha, tahulah aku!" seru Thi-hoa-nio mendadak.
"Oo? Kau tahu?" heran juga Pwe-giok.
"Tentu Siau-sin-tong telah mengumpulkan beberapa anak yang serupa dengan dia, lalu
didandani hingga sama, mereka sembunyi di sepanjang jalan, apabila Hiat-eng-jin hendak
berhenti mengaso, segera salah seorang diantara sengaja berlari lewat di depan Hiat-eng-jin."
"Tidak, tetap tidak betul," ujar Pwe-giok sambil menggeleng.
"Masa tetap tidak betul?" Thio-hoa-nio menegas dengan melengak.
"Kan sudah kukatakan tadi, Hiat-eng-jin bukan orang yang mudah ditipu, bahkan
pandangannya sangat tajam, mana bisa Siau-sin-tong menipunya dengan cara begitu?"
"Betul, kalau cuma menyamar dan dirias saja tetap ada bagian yang kelihatan, apalagi, untuk
mencari anak lain yang serupa dan berperawakan sama dengan Siau-sin-tong juga bukan
pekerjaan yang gampang."
"Lebih-lebih Siau-sin-tong memiliki Ginkang dengan gaya tersendiri, gerak tubuhnya sangat
aneh, orang lain sukar menirukannya. Justru lantaran inilah, maka sejak mula sampai akhir
Hiat-eng-jin tidak curiga sedikitpun."
318
"Wah, jika demikian, lantas bagaimana kejadian yang sesungguhnya, aku benar-benar tidak
mengerti, kata Thi-hoa-nio."
"Kalau sudah tersingkap, hal ini sedikitpun tidak mengherankan," ujar Pwe-giok dengan
tertawa. "Sebabnya, meski Siau-sin-tong bukan kembar dua, tapi justeru kembar lima. Mereka
lima bersaudara serupa barang cetakan."
*****
Oleh karena Yang Cu-kang memberi pesan agar orang di dalam peti jangan di lepaskan dulu,
agar gerak-gerik mereka bisa leluasa, terpaksa mereka menggendong peti itu dan mengikatnya
dengan tali di punggung.
Sudah tentu bukan pekerjaan enak menggendong peti seberat itu, tanpa terasa Thi-hoa-nio dan
Lui-ji lupa pada beban di punggung mereka.
"Hah, tadinya kukira kau tidak suka bicara, siapa tahu, sekali kau mau bercerita, orang mati
pun dapat kau lukiskan seolah-olah hidup kembali," kata Lui-ji dengan tertawa. "Bahkan
kaupun dapat tahan harga, jual mahal, bikin ceritamu tambah menarik."
"Wah, kalau kelima bersaudara kembar itu berbentuk serupa, kukira benar-benar sangat lucu
dan menarik," tukas Thi-hoa-nio.
"Tapi kuberani bertaruh kelima bersaudara ini pasti sukar mencari bini," kata Lui-ji.
"Aneh, sebab apa?" tanya Thi-hoa-nio.
"Setelah tahu kejadian itu, anak perempuan mana lagi yang berani kawin dengan mereka?"
kata Lui-ji.
"Mengapa tidak berani?" tanya Thi-hoa-nio pula.
"Coba pikir, apabila mereka iseng, lalu mereka pun menggunakan cara menghadapi Hiat-engjin
itu terhadap isterinya sendiri, coba, anak perempuan mana yang tahan?"
Bicara demikian, tanpa terasa muka sendiri menjadi merah.
Thi-hoa-nio mengikik tawa, ucapnya, "Ya, betul juga kalau terjadi kekeliruan, kan repot!"
Habis berkata, mukanya menjadi merah juga.
Pwe-giok tertawa, katanya, "Maksudku, apakah kalian tahu untuk apakah ku tuturkan cerita
ini?"
Terbeliak Lui-ji, katanya, "Maksudmu apakah Lengkui itupun terdiri dari lima saudara
kembar?"
"Ya, kira-kira begitulah," kata Pwe-giok. "Cuma, mereka tentu saja bukan lima saudara
kembar sungguhan, tapi kembar buatan."
319
"Tapi sama sekali tidak kulihat sesuatu ciri bekas riasan pada diri mereka," kata Lui-ji.
Pwe-giok menghela napas, katanya, "Ilmu rias umumnya hanya dapat mengelabui orang
untuk sementara, tapi dengan sangat mudah segera akan ketahuan. Apabila dilakukan
pembedahan secara cermat, pada waktu masih kecil wajah mereka sudah dibedah dan dirias
hingga serupa benar, lalu diberi obat bius untuk mempengaruhi pikiran mereka, akibatnya
jadilah mereka sekawanan boneka yang berwajah serupa, suara dan gerak-gerik juga tidak
banyak berbeda."
Setelah menghela napas panjang, lalu ia menyambung pula, "Kejadian ini kedengarannya
sukar untuk dimengerti, tapi tidak mustahil terjadi. Aku berani menjamin, bahwa di dunia ini
memang ada orang pandai yang pintar permak wajah seseorang."
Lui-ji tercengang, katanya, "Jika demikian, manusia segar bugar juga dapat dipermaknya
menjadi seperti patung, mukanya dapat diukir menurut kehendaknya dalam bentuk apapun?"
"Ya, begitulah," kata Pwe-giok.
"Jika demikian, Lengkui kedua itulah yang melukai Hay tong-jing, sebab dia yang pernah
bergebrak dengan Hay Tong-jin, makanya dia sangat apal terhadap ilmu silat Yang Cu-kang."
"Betul, Yang Cu-kang dan Hay tong-jing adalah saudara seperguruan, ilmu silat mereka tentu
saja sama," kata Pwe-giok.
"Pantas setelah Yang Cu-kang mendengar ucapanmu tadi, seketika semangatnya terbangkit,"
kata Lui-ji. "Tadinya dia mengira Lengkui itu benar-benar hidup kembali, makanya begitu
apal terhadap ilmu silatnya."
"Sebab itulah, biarpun datang lagi Lengkui ketiga juga tidak perlu dikuatirkan lagi," kata
Pwe-giok. "Sebab Lengkui ketiga ini pasti tidak tahu gaya ilmu silatnya, sebaiknya dia sudah
pernah bergebrak dengan dua Lengkui, tentu dia dapat mengenali gaya serangan lawan.
Kalian pasti dapat melihatnya juga, meski cepat dan aneh daya serangan Lengkui, tapi tidak
banyak perubahannya."
"Ya, kalau tidak, masa kau tinggalkan Yang Cu-kang di sana sendirian, bukan?"
Pwe-giok hanya tertawa dan tidak menjawab, tapi Thi-hoa-nio lantas berkata. "Barang siapa
yang dapat berkawan dengan orang semacam Ji-kongcu, sungguh beruntunglah dia."
"Tapi aku tetap tidak jelas sesungguhnya Yang Cu-kang kawan Ji Pwe-giok atau bukan,"
tukas Kui-ji. "Kupikir tindak tanduknya rada-rada bolak-balik dan sukar untuk diraba apa
maksud dan tujuannya."
Mendadak seseorang menanggapi dengan menghela nafas, "Sesungguhnya ada kesukarannya
yang tidak dapat dikatakan, sebelum tiba saat terakhir tidak nanti diberitahukannya rahasia
dirinya kepada orang lain..."
320
Ternyata entah sejak kapan Hay Tong-jing telah mendusin, sejak tadi Pwe-giok
memayangnya berjalan dengan setengah merangkul, baru sekarang dia dapat berdiri sendiri
dengan tegak.
"Syukur kepada Thian dan Te, akhirnya kau sadar juga," kata Lui-ji. "Tapi sampai kapan
barulah hendak kau katakan rahasia kalian? Bilakah baru akan tiba saat terakhir kalian?"
"Meski sekarang belum sampai detik terakhir, tapi rasanya sudah boleh kukatakan rahasia
ini." ucap Hay Tong-jing setelah berpikir sejenak.
"Oo ? Sebab apa ?" tanya Lui-ji.
"Sebab rahasia ini sudah bukan rahasia lagi." kata Hay Tong-jing dengan gegetun.
"Bukan rahasia lagi ? Padahal jelas-jelas masih tetap rahasia," tukas Lui-ji.
"Di dunia ini tidak ada sesuatu yang mutlak rahasia, bergantung persoalannya terhadap siapa ?
Umpama terhadap kau .... "
"Baik, baik," sela Lui-ji, "tak ku perduli apakah keteranganmu ini benar rahasia atau bukan,
aku cuma ingin tanya padamu, sesungguhnya siapa kalian? Apa artinya kedua bait syair yang
diucapkan Yang Cu-kang itu ?"
Hay Tong-jing termenung sejenak, katanya kemudian dengan pelahan, "Aku dan Yang Cukang
sebenarnya sama-sama anak piatu, guru kami sama seperti juga ayah kami ... "
"Ku tahu kalian adalah anak yatim piatu, aku hanya ingin tahu siapa guru kalian?" tanya Luiji.
Mendadak Hay Tong-jing menarik muka, jengeknya, "Peristiwa ini terlalu panjang untuk
diceritakan, jika kau ingin tahu, hendaklah kau sabar."
Lui-ji mendongkol, ia mencibir dan menjawab, "Baik, tidak perlu kau ceritakan, memangnya
apa yang menarik ?"
"Sekarang biarpun kau tidak mau mendengarkan tetap akan kuceritakan," kata Hay Tong-jing.
Tertawalah Lui-ji, katanya, "Hihi, ini nama sifat keledai Soasay, kalau di halau tidak mau
jalan, di tarik dia malah mundur. Dasarnya memang hina."
Hay Tong-jing tidak menghiraukannya, tapi berkata kepada Pwe-giok, "Sesungguhnya rahasia
ini sejak dahulu harus kuceritakan, sebab urusan ini mungkin besar sangkut pautnya dengan
Ji-heng."
Air muka Pwe-giok berubah, belum lagi ia bersuara, Hay Tong-jing sudah menyambung,
"Sudah lama guruku mengasingkan diri, umpama ku sebut nama beliau juga belum tentu
dikenal kalian, meski aku tidak ingin menjunjung tinggi beliau, tapi sesungguhnya beliau
memang seorang kosen dunia persilatan, pada 50 tahun yang lalu beliau sudah tidak ada
tandingannya di dunia."
321
"Bisa jadi lantaran dia tidak pernah bertemu dengan tokoh semacam Hong-samsiansing dan
sebagainya," ujar Lui-ji.
Tapi Hay Tong-jing tetap tidak menghiraukan, katanya pula, "Selama hidup beliau hanya ada
seorang musuh, konon orang inipun tokoh yang sukar dicari bandingannya di dunia persilatan,
bukan saja ilmu silatnya maha tinggi, bahkan mahir segala macam ilmu pengetahuan, cuma
hatinya keji dan tangan ganas, dahulu tokoh ini terpaksa kabur sejauh-jauhnya karena terdesak
oleh guruku dan seorang jago tua lain, bahkan orang itu dipaksa bersumpah, selama guruku
dan jago tua itu masih hidup, selama itu pula dia tidak pulang ke daerah Tionggoan."
"Siapakah orang ini ?" tanya Pwe-giok terkesiap.
"Guruku tidak pernah menyebut namanya hanya di katakan dia berjuluk Tangkwik-siansing...
"
"Tangkwik-siansing? ... " Pwe-giok mengulang nama itu sambil berkerut kening.
"Dengan sendirinya Ji-heng tidak kenal namanya, sebab sudah hampir 30 tahun orang ini
mengasingkan diri di daerah terpencil, bahkan tetap taat kepada sumpahnya, selama ini tidak
pernah selangkah pun menginjak daerah Tionggoan."
Pwe-giok menghela napas gegetun, katanya, "Betapapun jahatnya, tokoh kalangan hitam di
masa lampau masih menjaga harga diri dan sayang pada namanya sendiri, tapi sekarang,
agaknya satu angkatan semakin surut daripada angkatan yang tua."
"Meski orang ini hidup jauh terpencil, tapi tidak benar-benar tirakat dan mawas diri," tutur
Hay Tong-jing pula. "Hanya untuk sementara saja dia tidak berani melakukan kejahatan
secara terang-terangan"
Dia menghela napas, lalu menyambung: "Setahu guruku, selama 30 tahun ini terus menerus ia
merancang tipu muslihat secara diam-diam dan bermaksud timbul kembali, bahkan sekaligus
akan menyapu jagat. Kini guruku sudah lama mengundurkan diri, jago tua seangkatannya
juga sudah lama wafat, maka Tangkwik-siansing merasa sudah tiba saatnya, dia
lantas...lantas...."
Sampai di sini agaknya dia sudah lemah, berdiri saja tidak kuat lagi.
Cepat Thi-hoa-nio menurunkan peti dan memapahnya berduduk.
Hay Tong-jing adalah kakak seperguruan Yang Cu-kang, dengan sendirinya ia wajib menjaga
dan memperhatikan keselamatannya.
Tapi Lui-ji buru-buru ingin tahu, ia tanya pula: "Maksudmu iblis Tangkwik-siansing itu tidak
rela hidup terpencil, akhirnya merancang sesuatu intrik untuk bergerak secara besar-besaran?"
Hay Tong-jing menghela napas, katanya: "Meski guruku sudah mengundurkan diri, tapi
beliau cukup kenal betapa jahatnya orang ini, sebab itulah diam-diam guruku tetap mengawasi
dia. Cuma gerak-gerik orang ini memang sangat misterius, tindak-tanduknya juga rapi, selama
ini guruku tetap tidak berhasil mendapatkan sesuatu bukti. Sampai akhir-akhir ini guruku
322
keluar rumah selama lebih tiga bulan, sepulangnya kami lantas ditugaskan melakukan
sesuatu."
"O, sesuatu tugas apa?" tanya Lui-ji.
"Kami ditugaskan mengawasi tindak-tanduk Ji Hong-ho, Bu-lim-bengcu sekarang."
Air muka Pwe-giok berubah kelam, ucapnya: "Jika demikian, jadi.... orang she Ji ini adalah
boneka Tangkwik-siansing yang dipergunakan untuk memegang kekuasaan tertinggi di dunia
persilatan. Memang sudah lama kuperkirakan dia pasti mempunyai sandaran kuat di
belakangnya"
"Tindakan guruku biasanya tidak suka banyak penjelasan, tapi menurut perkiraan kami,
keadaannya pasti demikian adanya" ujar Hay Tong-jing.
"Kalau Tangkwik-siansing tidak tampil ke muka, terpaksa ia menggunakan boneka yang
mempunyai nama dan kedudukan di dunia persilatan, dan Ji Hong-ho biasanya memang suka
meninggikan nama untuk mencari keuntungan pribadi, dialah pilihan yang paling tepat"
Air muka Pwe-giok berubah pula, ingin bicara tapi ditahan lagi.
Gemerdep sinar mata Lui-ji, katanya kemudian: "Pantas tempo hari dia hanya memberi suatu
tanda, lalu si gendut Thian-sip-sing itu tidak berani mengganggunya. Tentunya Thian-sip-sing
itupun kenal kelihaian Tangkwik-siansing"
"Pada jaman ini, kecuali guruku, mungkin tiada seorangpun yang sanggup menahan sekali
pukulan Tangkwik-siansing itu, biarpun Hong Sam...hehe!" Hay Tong-jing hanya tertawa
dingin saja dan tidak melanjutkan, namun sudah cukup jelas apa maksudnya.
Tapi sekali ini, Lui-ji tidak lagi balas mengejek, sebab ia pikir kungfu Thian-sip-sing itu
memang betul tidak di bawah paman Hong, kalau Thian-sip-sing saja takut kepada Tangkwik-
Siansing, maka betapa tinggi kungfu Tangkwik-siansing itu dapatlah dibayangkan.
Begitu terpaksa Lui-ji menahan rasa dongkolnya, lalu tanya pula: "Dan apa artinya kedua bait
syair yang disebut-sebut kalian itu?"
"Soalnya Tangkwik-siansing sendiri tidak dapat masuk ke daerah Tionggoan untuk
mengadakan kontak langsung dengan Ji Hong-ho, maka dia mengutus dua orang untuk
menyampaikan perintahnya. Tapi kedua orang ini telah dicegat guruku di tengah jalan, dan
sandi yang hendak mereka gunakan untuk mengadakan hubungan dengan Ji Hong-ho adalah
dengan kedua bait syair itu"
"Mengapa kedua orang itu mau memberitahukan rahasia ini kepada gurumu?" tanya Lui-ji.
"Di depan guruku, mungkin tidak ada orang di dunia yang berani berdusta"
"Makanya gurumu lantas menyuruh kau dan Yang Cu-kang menyamar sebagai kedua orang
yang dibekuk gurumu itu untuk bekerja sama dengan Ji Hong-ho?"
"Ya" jawab Hay Tong-jing.
323
Lui-ji menghela napas gegetun, ucapnya: "Pantaslah Ji Hong-ho sedemikian mempercayai
kalian"
"Tapi kalau Tangkwik Siansing mau menyerahkan pekerjaan besar itu kepada Ji Hong-ho,
suatu tanda orang ini pasti tidak boleh diremehkan. Setelah kami bertemu dengan dia,
kamipun dapat merasakan orang ini memang licik dan licin, cerdik dan pandai. Sebab itulah
tidak boleh tidak kami harus bekerja sedikit baginya agar tidak menimbulkan curiganya"
"O, makanya kalian gunakan orang lain sebagai oleh-oleh" kata Lui-ji
"Demi kebaikan urusan keseluruhannya, terpaksa kami bertindak demikian. Apalagi, orang
yang kami korbankan juga pantas mampus, kalau tidak, mengapa kami tidak turun tangan
terhadap Ji-heng?"
Lui-ji tertawa, katanya, "Ya, hitung-hitung kalian dapat membedakan antara baik dan buruk,
kalau tidak, mungkin kaupun takkan hidup sampai sekarang."
Meski sekarang dia sudah tahu asal-usul Yang Cu-kang dan Hay Tong-jing, tapi cara
bicaranya masih tetap tajam dan tidak mau kalah sedikitpun.
Hay Tong-jing berlagak tidak tahu, katanya pula, "Gerakan kami boleh dikatakan sangat rapi,
tapi tidak kami duga bahwa Tangkwik-siansing telah mengirim pula beberapa orang untuk
berhubungan dengan Ji Hong-ho, setelah mereka saling bertemu, dengan sendirinya identitas
kami lantas terbongkar. Maka Ji Hong-ho lantas mengirim mereka untuk membunuh kami."
"Kawanan Lengkui itulah yang kau maksudkan?" tanya Lui-ji.
"Betul, guruku juga pernah dengar Tangkwik-siansing mempunyai anak buah Ngo-kui (lima
setan), bahkan setiap kui mempunyai beberapa duplikat lagi. Sebabnya karena Tangkwik
siansing tidak cuma mahir ilmu rias, ilmu pertabibannya juga sangat tinggi, maka dapat
dibayangkan duplikat kelima Kui itu pastilah hasil karya pisau operasinya yang mahir itu."
Wajah Pwe-giok bertambah pucat, tapi sinar matanya tambah mencorong, sebab bermacam
persoalan yang aneh dan misterius itu kini sudah dapat diketahui hal ikhwalnya.
Tapi Lui-ji lantas tanya lagi, "Kalau gurumu sudah tahu Ngo Kui masih mempunyai banyak
duplikat, mengapa tadi Yang Cu-kang masih ketakutan menghadapi mereka?"
"Rahasia ini baru diketahui guruku akhir-akhir ini," tutur Hay Tong-jing. "Belum lama pernah
ku pulang untuk menemui guruku, tapi Yang Cu-kang tetap berada di tempat Ji Hong-ho, baru
malam tadi kami berjumpa lagi."
"O, makanya demi mendengar Lengkui menyebutkan syair itu, air mukanya lantas berubah
hebat, sebab ia menyadari rahasia dirinya sudah diketahui," kata Lui-ji.
Tiba-tiba Thi-hoa-nio berkata, "Jika duplikat Lengkui itu ada lima-enam orang, wah, dapatkah
dia me... melayani mereka?"
324
"Jika seorang Lengkui ada enam duplikat, satu Kui berarti ada tujuh Kui, cuma sebelumnya
sudah kutumpas dua," kata Hay Tong-jing.
"Jika begitu masih ada tiga, apa... apakah..." Thi-hoa-nio tetap kuatir.
"Jangan cemas," kata Lui-ji dengan suara lembut, "orang macam Yang Cu-kang, jangankan
cuma tiga Kui, biarpun tiga ratus setan juga tak berdaya terhadapnya."
Thi-hoa-nio tersenyum sebisanya, namun tetap tidak mengurangi rasa kuatirnya.
Hay Tong-jing berkata pula, "Apabila ketiga Kui itu turun tangan berbareng, bisa jadi Yang
Cu-kang akan repot melayani mereka. Cuma, meski ilmu silat mereka sangat aneh, namun
pikiran sehat mereka sudah terpengaruh oleh obat sehingga gerak-gerik mereka jauh lebih
lambat daripada orang biasa. Sebab itulah meski aku terluka, tetap dapat lolos dari
cengkeraman mereka. Kupikir, umpama Cu-kang tak dapat menandingi mereka, sedikitnya
dia dapat kabur dengan selamat."
"Tapi bagaimana dengan kita?" tanya Lui-ji. "Menembus kemanakah lorong hantu ini?
Siapakah yang membuat jalan di bawah tanah ini? Sebab apakah dia membuat lorong ini?"
"Urusan ini tidak perlu kita tanya, cukup asal kita tahu setiap jalan di bawah tanah di dunia ini
pasti ada lubang keluarnya," ujar Hay Tong-jing dengan tak acuh.
"Tapi sesungguhnya kau tahu tidak jalan keluar lorong ini? Kalau jalan buntu, lantas
bagaimana?"
Hay Tong-jing berkerut kening, katanya, "Apapun juga, jalan ini pasti tidak menuju ke
gerbang akhirat."
"Ah, juga belum tentu," ujar Lui-ji. "Bisa jadi lorong ini adalah jalan masuk menuju neraka..."
Entah mengapa, belum habis ucapannya, tiba-tiba ia merasa hawa dingin dan seram berkesiur
di samping kakinya sehingga tanpa terasa ia merinding.
Didengarnya Pwe-giok lagi berkata, "Hay-heng, aku ingin... ingin mohon sesuatu padamu."
Gemerdep sinar mata Hay Tong-jing, katanya, "Kau minta kubawa kau menemui guruku,
begitu bukan?"
"Betul," sahut Pwe-giok.
Hay Tong-jing menggeleng, ucapnya, "Urusan ini mungkin tidak mudah..."
"Tapi aku harus menemui beliau," kata Pwe-giok.
"Untuk apa?" tanya Hay Tong-jing.
"Ada suatu rahasia besar harus kuberitahukan kepada beliau."
325
Air mukanya memperlihatkan penderitaan yang sukar dikatakan, dengan rawan ia menjawab
kemudian, "Mungkin di dunia ini hanya gurumu saja yang dapat menyelesaikan persoalanku
ini, kuyakin beliau pasti mau menerima diriku."
Hay Tong-jing berpikir sejenak, katanya, "Apakah rahasia ini juga ada sangkut pautnya
dengan Tangkwik-siansing itu?"
"Bukan saja ada sangkut pautnya, bahkan sangat besar sangkut pautnya," jawab Pwe-giok.
"Dapatkah kau katakan dulu kepadaku?"
Pwe-giok menghela nafas panjang, ucapnya, "Bukanlah aku tidak mempercayai Hay-heng,
soalnya urusan ini... urusan ini..." mendadak bibirnya gemetar dan tidak sanggup melanjutkan.
Melihat penderitaan batin anak muda itu, tanpa terasa Hay Tong-jing juga menghela nafas,
katanya, "Bukannya aku tidak mau membantu permintaanmu, soalnya sudah lebih 20 tahun
guruku tidak pernah memperlihatkan wajah aslinya kepada orang lain, bahkan kami dilarang
keras membocorkan jejak beliau. Perintah guru tak boleh dilanggar, kuharap engkau dapat
memaklumi kesukaranku."
Pwe-giok tersenyum getir dan mengangguk, "Ya, ku paham," ucapnya dengan lesu.
"Tapi bisa jadi setiap saat beliau akan menemui kau, bahkan bukan mustahil kalian sudah
pernah berjumpa," tutur Hay Tong-jing pula. "Tindak tanduk beliau selamanya memang sukar
diraba, siapapun tidak dapat menduganya."
Pwe-giok mengangguk, tiba-tiba ia seperti teringat kepada sesuatu kejadian, dibayangkan lagi
peristiwa dahulu itu sehingga melamun.
Hay Tong-jing lantas berdiri, katanya, "Lorong ini entah berapa panjangnya, marilah kita
mencari dulu jalan keluarnya."
"Dan bagaimana dengan ketiga peti ini?" tanya Lui-ji. "Untuk apa kita menggendongnya?
Kan lebih baik kita lepaskan orang yang tersekap di dalamnya?"
"Untuk sementara orang di dalam peti tidak dapat siuman, kau lepaskan mereka juga
percuma, lebih baik kau gendong lagi sebentar," kata Hay Tong-jing.
"Sialan!" omel Lui-ji sambil menghentakkan kaki.
*****
Jalan di bawah tanah itu memang rahasia dan berliku-liku, bahkan sangat dalam dan panjang,
untung setiap belokan selalu diterangi sebuah pelita yang terselip di sela dinding. Cahaya
pelita guram sehingga mirip api setan.
Mendadak Lui-ji bertanya, "Eh, tahukah kau sudah berapa buah pelita yang kita lalui?"
Pwe-giok tahu anak dara ini tidak dapat diam. Lewat sekian lama tentu akan timbul sesuatu
pertanyaan baru, bahkan setiap pertanyaannya selalu aneh-aneh.
326
Siapapun tidak tahu untuk apa dia bertanya begitu, maka tidak ada yang menjawab.
"Sampai saat ini, sudah 39 buah pelita yang kita lalui, coba, aneh tidak?" kata Lui-ji pula.
"Apanya yang aneh?" Hay Tong-jing tidak tahan dan menanggapi.
"Tidak kau rasakan aneh, karena kau tidak suka banyak melihat dan tidak mau banyak
berpikir," omel Lui-ji.
"Soalnya urusan yang harus kupikirkan jauh lebih penting daripada urusan lampu," jengek
Hay Tong-jing.
Sekali ini Lui-ji ternyata tidak menanggapi, ia hanya memandangi pelita perunggu itu dengan
termangu-mangu.
Tanpa terasa Hay Tong-jing ikut berhenti, tapi setelah dipandang sekian lama tetap tidak
terlihat sesuatu keanehan pada lampu itu, akhirnya ia tidak tahan pula dan berucap, "Tiada
sesuatu keanehan pada lampu ini."
"Oo? Begitukah?" kata Lui-ji.
"Memangnya ada kau lihat sesuatu?" tanya Hay Tong-jing.
"Betul, makin kulihat makin mengherankan, makin kupikir juga makin aneh, sungguh aneh
sekali."
"Dimana letak keanehannya?"
Lui-ji mencibir, jawabnya, "Jika kau anggap urusan ini tidak penting, untuk apa bertanya?"
Mendongkol juga Hay Tong-jing, tapi terpaksa tak dapat bicara lagi.
Meski Thi-hoa-nio sendiri lagi memikirkan keselamatan Yang Cu-kang, kini iapun merasa
geli. Ia merasa kepandaian Lui-ji yang terbesar adalah memancing kemarahan orang, jauh
lebih pandai daripada caranya menaruh racun. Berhadapan dengan anak perempuan semacam
ini, kaum lelaki sebaiknya sedikit bicara, bahkan lebih baik jangan bicara.
Tapi Lui-ji juga ketemu batunya, yaitu terhadap Pwe-giok, di depan pemuda itu mau tak mau
dia harus pendiam, sebab waktu tidak perlu bicara pasti juga Pwe-giok takkan bicara.
Dengan berseri seri Lui-ji lantas berkata pula, "Di lorong ini ada 39 buah lampu, tapi belum
juga sampai di lubang keluarnya, dari sini dapat diketahui lorong ini pasti sangat panjang.
Dan lorong sepanjang ini kan tidak banyak?"
"Ya, memang jarang ada," ujar Pwe-giok.
"Di dalam lorong bawah tanah ini ada 39 buah lampu, sedikitnya ada empat lima hal yang
pantas diherankan, apabila kau mau menirukan diriku, mau banyak memeras otak, bisa jadi
akan dapat kaupikirkan."
327
"Anak perempuan umumnya memang jauh lebih cermat daripada lelaki, meski sejak tadi
kuperas otak, tetap tak dapat memikirkan apapun," kata Pwe-giok dengan tersenyum.
Lui-ji tambah gembira, katanya pula, "Orang ini membuat lorong bawah tanah sepanjang ini,
dapat diperkirakan pasti ada maksud tujuan yang khusus, sebab kalau tujuannya hanya untuk
jalan lari saja, kan dimanapun dapat dibuatnya sebuah lubang keluar. Untuk apa mesti banyak
membuang tenaga dan membangun jalan sepanjang ini."
Sikap Pwe-giok mulai prihatin, katanya, "Ya, betul juga."
Untuk membuat lorong sepanjang ini sedikitnya diperlukan waktu tiga atau lima tahun,
padahal Yang Cu-kang belum lama muncul di Kangouw, jelas lorong ini bukan hasil
kerjanya."
"Mungkinkah gurunya?..." kata Thi-hoa-nio.
Lui-ji memandang Hay Tong-jing sekejap, jawabnya, "Pasti tidak, buktinya orang inipun
tidak tahu."
Thi-hoa-nio mengangguk-angguk.
Lalu Lui-ji berkata pula, "Jika dia sengaja membuang tenaga dan pikiran sebanyak ini untuk
membangun jalan di bawah tanah ini, tentu dia mempunyai tujuan tertentu, kalau ada tujuan,
pasti gerak-geriknya sangat rahasia, lalu bagaimana Yang Cu-kang dapat mengetahui
rahasianya?"
"Bisa jadi lorong ini sudah lama sekali dibangun dan baru akhir-akhir ini ditemukan Cu-kang
secara tidak sengaja, mungkin orang yang membangun lorong ini sudah lama mati," kata Thihoa-
nio.
"Tidak betul," ucap Lui-ji tegas.
"Sebab apa?" tanya Thi-hoa-nio.
"Rumah gubuk di luar sana pasti dibangun bersama dengan lorong di bawah tanah ini,
tentunya dapat kau lihat gubuk itu tidak terlalu tua, umurnya pasti tidak lebih daripada
sepuluh tahun."
"Tapi rumah gubuk begitu kan setiap waktu dapat diperbaiki..."
"Gubuk itu hanya untuk menutupi jalan di bawah tanah ini dan bukan untuk tempat tinggal,
makanya tidak perlu diperbaiki segala, apalagi semua inipun bukan masalah pokok yang
penting."
"Habis apa masalah utamanya?" tanya Thi-hoa-nio.
"Lampu-lampu ini," jawab Lui-ji.
"Lampu?" Thi-hoa-nio melongo.
328
"Ya, lampu," kata Lui-ji. "Coba jawab, lampu semacam ini semacam ini, kalau tidak ditambah
minyak, umumnya dapat menyala berapa lama?"
"Lampu umumnya kalau tidak tambah minyak, satu malam saja akan kehabisan minyak dan
padam sendiri," jawab Thi-hoa-nio. "Meski lampu ini lebih besar sedikit daripada lampu
biasa, paling-paling juga tahan menyala sehari semalam saja."
Mendadak Lui-ji berkeplok dan berkata, "Tepat. Sedangkan lampu-lampu ini terus menyala
tanpa membedakan siang atau malam dan tidak pernah padam, ini membuktikan bahwa setiap
hari pasti ada orang datang ke sini untuk menambahkan minyak lampu."
Dengan sinar mata yang gemerdep ia menyambung pula, "Tapi akhir-akhir ini Yang Cu-kang
jelas tidak berada di sini, suatu tanda orang yang menambahi minyak lampu bukanlah dia."
"Jika begitu, lantas siapa?" tanya Thi-hoa-nio.
"Bisa jadi orang yang membangun lorong bawah tanah ini, mungkin juga budaknya," ujar
Lui-ji. "Tapi apapun juga di lorong ini pasti ada orangnya, meski kita tidak melihat dia, bukan
mustahil secara diam-diam dia sedang mengintai kita."
Di tengah kelip cahaya pelita minyak itu, suasana di lorong itu seolah-olah mendadak berubah
dingin.
Thi-hoa-nio memandang sekelilingnya, ia menjadi was-was, jangan-jangan di tempat
kegelapan yang tak sampai oleh cahaya lampu itu benar tersembunyi orang yang sedang
mengintai mereka sambil menyeringai?
Tanpa terasa ia bergidik, ucapnya sambil menyengir, "Aneh, nyaliku terasa makin kecil
sekarang."
"Anak perempuan yang kawin biasanya akan bertambah kecil nyalinya," kata Lui-ji.
"Seumpama di sini benar ada orangnya, kukira juga tak bermaksud jahat terhadap kita,
buktinya Yang Cu-kang menyuruh kita masuk ke sini tanpa kuatir," kata Hay Tong-jing.
"Ah, juga belum tentu," jengek Lui-ji. Tanpa memberi kesempatan bicara kepada orang, ia
menyambung pula, "bisa jadi ia sendiripun tidak tahu apakah di lorong bawah tanah ini ada
orang atau tidak, bisa jadi dia menemukan rumah gubuk itu secara tidak sengaja dan di dalam
rumah juga kebetulan tidak ada penghuninya..."
"Betul," tukas Thi-hoa-nio, "waktu aku dibawanya ke sini, semula rumah itu penuh debu,
tungkunya juga kotor dan dingin, jelas sudah lama tidak ditinggali orang."
"Tapi dia pasti sudah lama menemukan tempat ini, kalau tidak masakah dia berjanji dengan
Ong Uh-lau dan lain-lain untuk bertemu di sini?" Setelah memandang Hay Tong-jing sekejap,
lalu Lui-ji bertanya, "Tentunya kaupun sudah lama mengetahui akan tempat ini, kalau tidak
tentu kaupun takkan lari ke sini, betul tidak?"
329
"Tempat ini justeru ku dapat tahu dari Ong Uh-lau, sebelum ini aku tidak pernah ke sini,"
jawab Hay Tong-jing. Setelah merandek sejenak, segera ia melanjutkan pula, "Tapi apapun
juga di lorong sini pasti ada orang lain, kalau kita sudah sampai di sini, mau tak mau harus
kita temukan orangnya, apa gunanya kita hanya sembarangan menerka tanpa bukti?"
Tiba-tiba Pwe-giok menyela dengan tertawa, "Sebenarnya tanpa kita mencari dia, pasti juga
dia akan mencari kita."
Segera Thi-hoa-nio memandang lagi sekeliling, katanya, "Perduli dia orang macam apa,
kuharap selekasnya dia mau muncul, makin cepat makin baik."
"Siapapun orangnya tidak kutakuti, jika yang muncul bukan orang, itulah yang repot," kata
Lui-ji.
Kembali Thi-hoa-nio merinding, tanpa terasa ia mendekatkan tubuhnya ke samping Pwe-giok.
Lui-ji mengikik tawa, ucapnya, "Hihi, kukira kau tidak takut sungguh-sungguh, tapi mencari
kesempatan..."
Belum habis ucapan Lui-ji, mendadak pelita minyak sama padam, kegelapan seakan-akan
mendatangkan hawa dingin yang membuat bungkam mulut anak dara itu.
Akan tetapi cahaya lampu segera terlihat di balik belokan sana, tanpa disuruh semua orang
lantas memburu ke sana. Siapa tahu, setiba di bawah lampu itu, sekonyong-konyong lampu
inipun padam.
Seketika suasana tenggelam dalam kegelapan yang membuat orang putus asa, meski tempat
dimana mereka berada sangat sempit, namun kegelapan justeru tak terhingga luasnya. Setiap
orang seakan-akan beku oleh kegelapan, siapapun tidak dapat bicara lagi.
Sampai agak lama barulah Lui-ji menghela nafas dan berkata, "Apabila sekarang dapat ku beli
minyak lampu, kuberani bayar satu tahil minyak dengan satu kati perak."
"Jangan kuatir, aku membawa geretan api," kata Hay Tong-jing.
"Geretan api dapat menyala berapa lama?" tanya Pwe-giok.
"Sudah terpakai dua kali, sisanya mungkin masih tahan setanakan nasi," tutur Hay Tong-jing.
"Lekas keluarkan, setanakan nasi lamanya mungkin dapat kita temukan jalan keluarnya," seru
Lui-ji.
"Dan kalau tidak menemukannya?" tanya Pwe-giok.
"Betapapun harus kita coba, kan?"
"Tidak dapat dicoba! Sebab geretan api ini adalah kesempatan kita yang terakhir, jika geretan
api ini terpakai habis, tanpa orang turun tangan terhadap kita, jelas kita akan mati terkurung di
sini."
330
"Tapi kita kan dapat mundur kembali ke sana?" ujar Lui-ji.
"Tidak bisa mundur lagi," kata Pwe-giok.
"Sebab apa?" tanya Lui-ji.
"Lorong ini tampaknya seperti cuma satu, yang melingkar dan berliku-liku, jika kita merayap
di dalam kegelapan, bisa jadi kita akan terus putar kayun di tempat semula."
"Jika demikian, jangan-jangan lampu ini sengaja dipadamkan orang?" seru Thi-hoa-nio
dengan suara serak.
"Adakah kau lihat seseorang?" tanya Lui-ji.
"Tidak, akan tetapi..."
"Memangnya hendak kau katakan orang itu bisa ilmu menghilang?" ujar Lui-ji dengan
tertawa. Meski sambil tertawa, tanpa terasa ia memegang lengan Pwe-giok erat-erat.
"Apapun juga kita tak dapat berdiri di sini," kata Hay Tong-jing.
"Betul, jika di luar tentunya kita dapat menunggu hingga terang tanah," tukas Lui-ji. "Tapi
berada di tempat setan ini, selamanya takkan pernah terang tanah."
"Maka sekarang juga kita harus merambat ke depan, kalau perlu barulah kita menyalakan
geretan api," kata Pwe-giok.
"Tapi bilakah baru akan dianggap perlu?" tanya Lui-ji.
"Untuk ini..." Pwe-giok menjadi ragu.
"Sekali ini kukira ucapan nona Cu tidak... tidak betul," sela Hay Tong-jing. "Kalau sekarang
juga kita menyalakan api terus menerjang ke depan, mungkin sebelum geretan api menyala
habis sudah dapat kita temukan jalan keluar."
"Betul, meski ini merupakan pertaruhan terakhir, betapapun boleh kita coba daripada tinggal
diam," tukas Thi-hoa-nio.
"Agar gerakan kita bisa lebih leluasa, biarlah kita tinggalkan dulu di sini ketiga peti ini, nanti
kalau kita sudah keluar baru berusaha lagi menolong mereka," kata Hay Tong-jing.
"Jika kita tidak dapat menemukan..." Pwe-giok tetap ragu.
"Jika tidak menemukan jalan keluar, toh kita tetap akan mati terkurung di sini," ujar Hay
Tong-jing.
Pwe-giok termenung sejenak, kemudian menghela nafas panjang, katanya, "Akupun tidak
tahu tindakan kalian ini tepat atau tidak, cuma kupikir... pendapat tiga orang tentunya lebih
baik daripada pendapat seorang..."
331
*****
Meski cahaya geretan api yang dinyalakan itu tak dapat mencapai jauh, tapi dalam kegelapan
asalkan ada setitik sinar tentu akan membangkitkan semangat orang. Maklumlah, siapapun
juga bila berada dalam kegelapan tentu akan merasa putus asa dan kehilangan keberanian.
Pwe-giok memegang obor kecil itu dan mendahului jalan di depan, sangat cepat jalan mereka.
Meski Hay Tong-jing terluka, tapi dia dipegang oleh Pwe-giok sehingga tidak sampai
ketinggalan.
Akan tetapi jalan di bawah tanah ini memang panjang luar biasa, seolah-olah tidak berujung.
Sejak awal Hay Tong-jing terus memperhatikan obor yang dipegang Pwe-giok, tiba-tiba ia
menghela nafas dan berkata, "Mungkin api sudah hampir padam."
Benarlah, api obor itu sudah mulai guram.
Dengan gemas Lui-ji berkata, sungguh aku benci mengapa manusia tidak membuat baju dari
bahan kertas, kalau tidak, tentu dapat kita nyalakan."
Mendadak Pwe-giok ingat dalam bajunya masih tersimpan satu jilid "buku catatan". Meski
buku ini adalah benda yang diharap-harapkan oleh Ji Hong-ho dan begundalnya dan dicari
dengan segala daya upaya, tapi bagi Pwe-giok buku ini justeru tidak ada sesuatu yang
istimewa dan menarik.
Ia tahu ada sementara buku yang sengaja ditulis secara rahasia dan sukar terbaca, tapi kalau
kertas buku dibasahi dengan air, tulisan itu akan timbul dan terbaca dengan jelas.
Akan tetapi ia sudah pernah mencobanya dengan merendam buku itu di dalam air dan tetap
tiada kelihatan satu huruf pun.
Cuma Pwe-giok tetap merasa buku kosong ini pasti besar artinya bagi Ji Hong-ho, kalau tidak
masakah ia mengerahkan begundalnya dan membumi-hanguskan sebuah kota.
Dan sekarang ia merasa buku ini ada gunanya.
Pwe-giok lantas mengeluarkan buku itu, meski buku yang cuma belasan halaman inipun
takkan tahan lama dibuat obor, tapi kan lebih baik ada daripada tidak ada, sebab soal sedetik
saja terkadang justeru menentukan antara mati dan hidup.
Sama sekali tak terpikir oleh Pwe-giok bahwa buku ini ternyata tidak dapat dibakar.
Di bawah gemerdepnya cahaya obor yang guram, tiba-tiba dilihatnya buku kosong yang tidak
dapat menyala ini timbul beberapa huruf, yang ditulis seperti nama beberapa orang.
Pada saat lain, api obor itupun padam.
Hampir saja Lui-ji berteriak, omelnya, "He... masakah menyalakan kertas saja tidak bisa ?"
332
Sedapatnya Pwe-giok menahan gejolak hatinya yang bergembira, jawabnya tenang, "Sebab
kertas buku ini basah."
"Basah?" Thi-hoa-nio pun tidak tahan dan berseru, "kenapa bisa basah?"
"Kena keringat badanku," jawab Pwe-giok.
Lui-ji melengong sejenak, katanya kemudian, "Ya, betul, jika ada orang yang tidak
berkeringat dalam keadaan demikian, tentu dia itu orang-orangan terbuat dari kayu."
"Dan sekarang lelatu api saja tidak ada, lantas bagaimana baiknya?" tanya Thi-hoa-nio.
"Bagaimana baiknya? Kau malah tanya? Kan kalian tadi yang menganjurkan menyalakan
api?" kata Lui-ji.
"Tapi... tapi semula itu kan usulmu?" ujar Thi-hoa-nio.
"Siapa suruh kalian menurut kepadaku?" seru Lui-ji. "Mengapa kalian tidak turut kepada
anjuran Pwe-giok? Kalian memang pantas mampus terkurung di sini."
Thi-hoa-nio jadi melenggong, selang sejenak didengarnya dalam kegelapan ada orang
menangis perlahan, kiranya Lui-ji tidak tahan dan telah menangis.
"Sayang, air mata tak dapat dijadikan minyak lampu, kalau tidak, tentu akan banyak
manfaatnya jika kita menangis semua," ejek Hay Tong-jin.
Lui-ji melonjak bangun dan berteriak, "Siapa menangis ? Kau sendiri yang menangis, untuk
apa aku menangis ? Meski kedua mataku tidak dapat melihat apa-apa, tapi kedua kakiku tidak
buntung, tetap dapat keluar."
"Betul, akan kupapah Hay-heng, dan kalian memegangi tangannya, kita jangan sampai
terpencar," kata Pwe-giok.
"Aku lebih suka memegang kaki anjing daripada pegang tangannya," ucap Lui-ji.
"Biar kupegang dia dan kau pegang tanganku, boleh?" kata Thi-hoa-nio.
Lui-ji hanya mendengus saja. Dia lantas menjulurkan tangannya ke arah Thi-hoa-nio dan
memegang satu tangan, dalam kegelapan ia merasa tangan ini tidak terlalu besar, juga tidak
kasar, ia pikir tangan ini pasti tangan Thi-hoa-nio.
Siapa tahu mendadak terdengar Hay Tong-jing berucap dengan tertawa, "Inilah kaki anjing."
Keruan Lui-ji terkejut, baru saja ia hendak lepas tangan, tapi urung, bahkan ia tertawa dan
berkata, "Karena kau mengaku ini kaki anjing, ya sudahlah."
Orang yang baru saja menangis dengan sedih, kini telah tertawa. Coba, siapa yang dapat
marah terhadap anak perempuan demikian?
333
Begitulah Pwe-giok terus merambat ke depan, dirasakan meski dinding terasa licin, padahal
yang benar sangat kasar, agaknya lorong ini dibuat dengan tergesa-gesa asal jadi.
Sangat lama mereka berjalan, semula mereka berusaha bicara ini dan itu, sebab mereka tahu
dalam kegelapan bila tidak terdengar suara, suasana akan tambah mencekam.
Akan tetapi lama-lama mereka merasa sudah kehabisan bahan bicara, sampai Lui-ji juga tidak
menyangka dirinya akan kehabisan bahan cerita.
Namun sekarang biarpun perasaan semua orang terasa tertekan, semuanya tetap mempunyai
harapan, yaitu lubang keluar lorong itu setiap saat muncul di depan mereka. Tanpa harapan
ini, mungkin satu langkah saja tidak ada yang sanggup berjalan.
Entah sudah berjalan berapa lama lagi, mendadak Lui-ji dengar di depan sana ada suara 'trang'
yang keras, seperti suara tambur ditabuh. Seketika Hay Tong-jing yang berjalan di depannya
menerjang beberapa langkah ke depan dengan sempoyongan.
Baru saja Lui-ji terkejut, tahu-tahu kaki sendiripun kesandung sesuatu dan menimbulkan
bunyi 'trang' yang keras.
"He, barang apa ini?" seru Thi-hoa-nio.
Sudah sekian lama dia berucap, tapi tiada seorangpun menjawab.
Seketika hati Thi-hoa-nio merasa ngeri, katanya dengan suara gemetar, "He, ke... kenapa
kalian tidak bicara?"
Padahal saat itu setiap orang juga sedang berpikir barang apakah yang kesandung kaki
mereka, hanya tiada seorangpun berani bersuara.
Sampai lama sekali barulah terdengar Pwe-giok berucap dengan menyesal, "Inilah peti."
"Peti?" Thi-hoa-nio menegas. "Masa... masakah peti yang... yang kita tinggalkan tadi?"
Sekuatnya dia mengucapkan kata-kata itu dan kedua kaki sendiripun terasa lemas.
Selang sekian lama pula, Pwe-giok berkata lagi dengan perlahan, "Betul, ketiga peti tadi."
Thi-hoa-nio menjerit kaget dan jatuh tersungkur, ia tidak sanggup berdiri lagi.
Kalau tidak salah mereka sudah berjalan hampir seharian, siapa tahu berjalan kesana kemari,
ternyata kembali lagi ke tempat semula.
Lui-ji juga merasakan kedua kakinya jauh lebih berat daripada diganduli sepotong besi,
dengan lemas iapun roboh bersandarkan dinding batu, nyata harapannya yang terakhir juga
lenyap, di dunia ini tidak ada lagi tenaga yang dapat mendorongnya berjalan pula.
Entah sudah lewat berapa lama, mendadak terdengar Pwe-giok berkata, "Bukan mustahil pada
tubuh Kwe Pian-sian dan Ki Leng-hong membawa geretan api."
334
Seketika Lui-ji melonjak bangun, serunya, "He, betul, kenapa kita tidak ingat tadi..."
Sembari bicara ia terus meraba ke sana dan menemukan sebuah peti.
Baru saja Thi-hoa-nio hendak menyusul ke sana, mendadak terdengar lagi jeritan kaget, suara
Lui-ji dan Pwe-giok yang menjerit bergema.
Bahwa Ji Pwe-giok sampai menjerit kaget, maka keadaannya pasti luar biasa.
Seketika Thi-hoa-nio merasa telapak tangannya berkeringat dingin, ia coba berseru, "He,
ada... ada apakah?"
"Peti... peti sudah kosong...!" kata Lui-ji.
Thi-hoa-nio baru saja berdiri, segera dia jatuh terduduk lagi, ucapnya dengan tergegap,
"Kosong?... masakah mereka sudah siuman dan... dan sudah pergi ?"
"Bukan," jawab Lui-ji. "Gembok pada peti ini dipuntir patah orang."
"Mungkinkah salah seorang di antara mereka siuman lebih dulu, lalu memutuskan gembok
pada kedua peti yang lain ?" tanya Thi-hoa-nio.
"Tidak, gembok ketiga peti ini sama-sama dipatahkan orang dari luar," tutur Lui-ji. "Apalagi,
kalau cuma kekuatan Kwe Pian-sian bertiga tidak nanti mampu memuntir patah gembok ini."
Meski sedapatnya dia menahan perasaannya, tidak urung suaranya kedengaran rada gemetar.
Walaupun sejak tadi semua orang sudah menduga di lorong bawah tanah ini ada orang lain,
tapi semula mereka berharap dugaan mereka tidaklah benar, tapi sekarang harapan inipun
meleset.
Jadi tidak perlu disangsikan lagi bahwa di dalam lorong ini memang ada orang, bahkan
selama ini selalu mengintai setiap gerak gerik mereka, hanya saja orang itu tidak pernah unjuk
muka.
"Sungguh aku tidak paham apa maksud mereka? Mengapa main sembunyi dan tidak berani
menemui orang?" ujar Lui-ji dengan menyesal.
"Masa kau tidak paham ?" tanya Hay Tong-jin.
"Tidak," jawab Lui-ji.
"Sebab orang itu ingin mengurung mati kita di sini, hakekatnya dia tidak perlu
memperlihatkan dirinya," tutur Hay Tong-jing.
"Siapakah dia? Ada permusuhan apa pula dengan kita?" tanya Thi-hoa-nio dengan parau.
"Dia tidak perlu bermusuhan dengan kita, yang jelas kita sudah melanggar tempat rahasianya,
tidak boleh tidak kita harus dibunuhnya."
335
Keterangan ini membikin semua orang tidak dapat bersuara lagi.
Pada saat itulah, mendadak dalam kegelapan bergema serentetan suara yang aneh, seperti
orang menghela nafas menyesal, seperti suara orang menangis dan seperti juga orang
mengejek.
Dalam keadaan dan di tempat demikian, suara ini sungguh membikin orang mengkirik.
Thi-hoa-nio berkata sambil tertawa getir, "Kami sudah cukup tersiksa, untuk apa pula kau
menakut-nakuti kami lagi?"
"Ada sementara orang sedikitpun tidak dapat diam," kata Hay Tong-jing.
"Siapa yang kau maksudkan?" tanya Lui-ji.
Hay Tong-jing tertawa, jawabnya, "Aku cuma heran, entah bagaimana caramu mengeluarkan
suara semacam ini?"
"Huh, ada sementara orang suka kentut, tapi selalu menyangkal, bahkan suka menuduh orang
lain yang kentut," jengek Lui-ji.
"Makanya kau tuduh diriku?" tanya Hay Tong-jing.
"Suara ini jelas suara orang lelaki, kalau bukan kau lantas siapa?" kata Lui-ji dengan gusar.
Mendadak Hay Tong-jing diam saja, selang sejenak barulah berucap pula, "suara itu masa
bukan suaramu?"
"Sudah tentu bukan," teriak Lui-ji. "Siapa yang bohong, anggaplah dia bukan manusia."
"Tapi juga bukan suaraku," kata Hay Tong-jing.
Tiba-tiba Thi-hoa-nio menyela dengan suara parau, "Jika kalian sama-sama tidak bersuara,
habis si... siapa?"
"Jangan-jangan kau?" tanya Lui-ji mendadak.
"Dengan sendirinya bukan diriku," cepat Thi-hoa-nio membantah. "Sejak tadi aku ketakutan
setengah mati, memikirkan diri sendiri saja tidak sempat, masa menakut-nakuti orang lain?"
Mereka sama sekali tidak tanya Ji Pwe-giok, sebab siapapun tahu anak muda itu pasti tidak
mau berbuat hal-hal begini. Seketika semua orang sama melenggong.
Dari suara tadi, jelas dalam kegelapan ada lima orang.
Tapi siapapun tidak dapat melihat kelima orang itu, juga tidak diketahui mereka sembunyi di
mana.
Mendadak Lui-ji berteriak, "Aku sudah melihat kau, kau hendak sembunyi kemana lagi?"
336
Thi-hoa-nio terkejut, tapi segera ia tahu ucapan Lui-ji itu cuma gertak sambal saja, segera
iapun berteriak, "Ya, jika kau sudah datang kemari, apakah ingin lari lagi ?"
Meski mereka berkaok-kaok sampai sekian lamanya, namun dalam kegelapan tetap tidak ada
suara jawaban dan reaksi apapun. Mereka sama merasa keringat dingin membasahi tangan
sendiri, orang itu tidak dapat digertak, sebaliknya diri sendiri yang tambah ketakutan.
Tiba-tiba Pwe-giok berucap, "Kalian salah dengar semua, hakekatnya tidak ada suara apapun
tadi"
"Tapi... tapi jelas kudengar," kata Lui-ji.
"Mengapa aku tidak mendengarnya ?" ujar Pwe-giok.
Lui-ji bermaksud bicara lagi, tapi mendadak dirasakan Pwe-giok memegang tangannya sambil
berbisik, "Marilah kita bergandengan tangan dan menerjang ke depan, coba saja dia akan lari
ke mana ?"
Segera tangan kanan Lui-ji memegang tangan kiri Thi-hoa-nio, tangan Thi-hoa-nio lantas
menarik tangan Hay Tong-jing, ke empat orang sama menempel dinding dan maju ke depan
dengan perlahan dengan maksud mengepung orang itu.
Tak terduga, meski sudah belasan langkah jauhnya, tiada sesuatu apapun yang mereka sentuh.
Tiba-tiba Lui-ji berseru terkejut, "He, kenapa tempat ini mendadak menjadi longgar."
Lorong di sini luasnya tidak ada tujuh kaki, tapi sekarang mereka sudah melangkah belasan
kaki dan tidak membentur dinding batu bagian depan. Hal ini membuat mereka terkejut.
Selang sejenak, terdengar Thi-hoa-nio berkata, "Jangan... janganlah kau meremas tanganku."
"Persetan, menyentuh tanganmu saja tidak," jawab Lui-ji.
"Aku juga tidak, aku berada di sebelah sini," Hay Tong-jing menambahkan.
"Betul kau di sisi kananku," ucap Thi-hoa-nio dengan suara rada gemetar. "Tapi tangan
kiriku..."
Belum habis ucapannya, dapatlah dirasakan tangan yang menariknya itu bukan Cu Lui-ji.
sedangkan Lui-ji juga merasakan tangan yang dipegangnya itu kaku lagi dingin, jelas bukan
tangan Thi-hoa-nio.
Sungguh tidak kepalang rasa kaget kedua orang itu, serentak mereka melepaskan tangannya
dan menyurut mundur, serunya dengan suara parau, "Siapa kau?"
Dalam kegelapan tiba-tiba ada suara orang mengekeh tawa.
Suara tertawa itu timbul di tengah-tengah mereka, tapi hanya sekejap saja sudah menjauh,
agaknya terus masuk ke balik dinding batu antara kedua sisi lorong.
337
Membayangkan tangan yang dipegangnya itu entah tangan siapa, seketika setengah badan
Lui-ji terasa lemas.
Bahwa orang itu dapat memegang tangan mereka tanpa disadarinya, maka kalau orang hendak
membunuh mereka bukankah segampang mengambil barang di saku sendiri?
Betapapun besar tabahnya hati Lui-ji, mau tak mau kedua kakinya terasa lemas juga dan
hampir tidak sanggup berdiri.
Thi-hoa-nio juga tidak berani bergerak sama sekali.
Terdengar Pwe-giok berkata, "Tempat ini bukan lorong yang pernah kita lalui tadi."
"Tapi ketiga peti ini..." Lui-ji merasa bingung.
"Justeru lantaran ketiga peti ini telah dipindahkan orang ke sini, makanya kita mengira tempat
ini adalah tempat semula."
"Lantas, sesungguhnya kita sudah berada di tempat apa ?" tanya Lui-ji.
Dalam kegelapan tempat manapun akan berubah sama, sebab tempat ini baik besar atau kecil,
luas atau sempit, semuanya tak dapat dirasakan.
Selagi Pwe-giok termenung, tiba-tiba seorang mengikik tawa dan berkata, "Inilah rumahku,
tidak jelek tempatnya, di atas meja ada arak, di kotak sana ada buah. Kalian sudah datang ke
sini, silahkan minumlah barang secawan."
Suara orang ini kecil lagi melengking, kedengarannya seperti suara anak kecil yang sedang
bertembang.
Bila hari-hari biasa tentu Lui-ji akan merasa suka, tapi sekarang dalam keadaan begini, suara
orang dirasakannya seperti jeritan setan.
Pada saat itulah sekonyong-konyong setitik sinar lilin telah dinyalakan.
Baru sekarang mereka mengetahui sudah berada di dalam sebuah ruangan yang sangat luas,
cahaya lilin itu terasa sangat kecil, tapi karena sudah terlalu lama berada dalam kegelapan,
cahaya yang suram ini jadi cocok bagi mereka, sebab kalau cahaya lampu terlalu terang, bisa
jadi mereka akan silau dan sukar membuka mata.
Terlihat di ruangan besar ini berduduk belasan orang, ada yang tinggi, ada yang pendek, ada
yang kurus, ada yang gemuk, ada yang sedang main catur, ada yang lagi membaca, ada pula
yang sedang memandang lukisan, juga ada yang lagi memetik kecapi.
Sikap orang-orang ini kelihatan sangat santai, apa yang dikerjakan merekapun sangat bernilai
seni adanya. Tapi pakaian mereka justeru terdiri dari kain kasar, malahan baju lengan cekak,
bahkan sepertinya telanjang kaki, paling-paling hanya pakai sandal, sekilas pandang mereka
lebih mirip kuli yang baru pulang dari tempat kerja, sama sekali tidak sesuai dengan apa yang
sedang dikerjakan mereka.
338
Ditengah-tengah ruangan besar ini terdapat sebuah meja perjamuan, beberapa lelaki kekar dan
berwajah kasar sedang minum arak. Dilihat dari dandanan mereka sepantasnya mereka makan
minum dengan lahapnya, tapi tampaknya semuanya justru duduk dengan sangat sopan. Satu
cawan arak terpegang ditangan, tapi sampai sekian lama belum lagi diminum, agaknya melulu
bau harum arak saja yang dinikmatinya, meski jelas tahu kedatangan rombongan Pwe-giok,
tapi tiada seorangpun yang berpaling.
Betapapun Lui-ji tidak menyangka akan mendadak melihat orang sebanyak ini, tentu saja ia
terkejut. Meski orang-orang ini tidak mirip tokoh Bu-lim, tapi muncul ditempat misterius
begini tentu membuat orang sukar meraba orang macam apakah mereka ini. Lui-ji juga tidak
berani meremehkan mereka.
Terdengar suara mengikik tawa tadi bergema pula, kata seorang. "Kalau tuan rumah tidak
pelit, kenapa tetamunya rikuh? Silahkan, silahkan minum barang secawan." - Jelas suara
tertawa ini berkumandang dari meja makan sana.
Perawakan orang yang bicara itu tidak tinggi meski duduk di dalam rumah yang seram ini,
namun kepalanya justru memakai caping bambu yang biasa digunakan kaum petani, sehingga
wajahnya hampir tertutup dan tidak kelihatan.
Pwe-giok berpikir sejenak, katanya kemudian, "Jika demikian, terpaksa kami harus
mengganggu kawan."
Pelahan mereka lantas menuju ke tengah ruangan, orang-orang itu masih asyik main catur dan
membaca, tiada seorangpun menghiraukan mereka, seperti tidak menghargai sang tetamu
sama sekali. Sungguh lagak orang ini teramat sombong.
Meski mendongkol, tapi berada ditempat demikian, Lui-ji tidak berani sembarangan
bertindak.
Pada meja bundar itu hanya diduduki enam-tujuh orang, kebetulan masih ada lima-enam
tempat duduk luang. Maklumlah, meja perjamuan umumnya disediakan untuk 12 orang.
Pwe-giok mendahului maju dan berduduk tanyanya dengan tersenyum, "Siapakah she Tuan
rumah yang mulia?"
Orang yang memakai caping itu tertawa dan menjawab, "Kalian adalah tetamu yang tidak
diundang, untuk apa bertanya nama tuan rumah segala?"
Lilin yang menyala itu kebetulan terletak di sebelahnya, ditambah lagi dia memakai caping
bertepi lebar, meski Pwe-giok duduk di depannya, tetap tidak dapat melihat jelas wajahnya.
Ia coba memandang orang-orang yang duduk di sebelahnya, semuanya memakai topi yang
ditarik rendah ke depan, tampaknya orang-orang ini sudah berniat tidak mau menegur, bahkan
memandang mereka sekejap saja tidak mau.
Air muka orang-orang ini sama dingin dan seram, yang dipakai adalah baju dari kain kasar
dan sudah rombeng, namun topi yang dipakai mereka tampak masih baru, juga dari kwalitas
tinggi. Malahan ada sebagian diberi hiasan batu permata sehingga tidak serasi dengan baju
mereka, seperti habis membeli topi, lalu tidak punya uang lagi untuk membeli baju.
339
Berputar biji mata Cu Lui-ji, ia mengejek. "Tampaknya kalian merasa berat untuk membeli
baju dan sepatu, tapi berani membeli topi dengan royal, sungguh aneh bin heran."
Dia sengaja membikin marah orang-orang itu, siapa tahu mereka tetap diam saja seperti tidak
mendengar ocehannya, bahkan bergerak sedikit saja tidak.
Hanya orang yang bercaping besar itu lantas berkata dengan tertawa. "Manusia adalah
makhluk yang paling cerdik di jagat raya ini, soalnya karena manusia mempunyai otak yang
jauh lebih besar daripada makhluk lain. Maka layaklah kalau otak harus lebih diperhatikan
dan dijaga, harus dilindungi lebih dari yang lain."
Kepala orang ini memakai sebuah caping batu, tapi tubuhnya memakai baju dari bahan yang
sangat bagus, jadi sangat berbeda dengan orang lain.
Biji mata Lui-ji berputar pula, jengeknya, "Jika demikian, mengapa kau keberatan membeli
sebuah topi? Memangnya buah kepalamu tidak lebih berharga daripada kepala orang lain?"
Orang itu bergelak tertawa, ucapnya, "Tajam benar mulut nona, cuma mulut harus digunakan
untuk makan nasi dan bukan untuk bicara."
"Ah, belum tentu, lihat keadaan," ujar Lui-ji.
"Tidak makan nasi bisa mati, tidak bicara apakah juga bisa mati?" tanya orang itu dengan
tertawa.
"Suruh aku tidak bicara rasanya terlebih tidak enak daripada mati," kata Lui-ji.
Apa yang dikatakannya ini memang sejujurnya, hampir saja Hay Tong-jin dan Thi-hoa-nio
tertawa geli, cuma dalam keadaan demikian tak dapatlah mereka tertawa.
Orang bercaping batu itu tertawa, katanya pula, "tepat juga ucapan nona cilik, bolehlah kau
tidak bicara dan tidak makan nasi, tapi santapan yang ku sediakan ini tidak beracun, silahkan
kalian makan saja dan jangan kuatir."
"Jika beracun, kau kira aku tidak berani makan?" jengek Lui-ji.
Hidangan yang tersedia di atas meja itu ada satu porsi Ang-sio-hi, ikan gurami masak saus
manis, maka sumpit Lui-ji langsung menuju kepada Ang-sio-hi ini. Siapa tahu beberapa kali
ia menyumpit, ikan itu tetap tidak bergerak. Ketika ia menjepit sekuatnya, ikan itu lantas
hancur.
Kiranya santapan yang tersedia di atas meja ini semuanya adalah model yang terbuat dari
lilin, hanya dapat dilihat, tapi tak dapat dimakan.
Dongkol dan geli pula Lui-ji, baru saja dia hendak memaki, tiba-tiba dilihatnya air muka Pwegiok
berubah hebat, tanyanya sambil memandang seorang yang bertopi yang berduduk di
sebelahnya, "Siapa nama Anda?"
340
Kedua tangan orang ini tampak kasar dan besar, otot hijau timbul di punggung tangannya,
sebuah cawan arak terpegang di tangannya dan menempel bibir sejak tadi, tapi arak tidak lagi
diminum, tampaknya cukup baginya melulu mengendus bau sedap arak saja dan merasa
sayang untuk diminum. Pertanyaan Pwe-giok juga sama sekali tidak digubrisnya.
Watak Lui-ji memang pemarah, maka ia lantas mendamprat, "He, apakah kau ini tuli?" -
Sembari bicara, sumpit yang dipegangnya itu terus menutuk ke Hiat-to siku orang itu,
tujuannya hendak membikin orang melepaskan cawan araknya sehingga berantakan dan
membuatnya malu.
Siapa tahu sumpitnya langsung ambles ke dalam daging tangan orang itu, yang aneh orang itu
seolah-olah tidak merasakan sesuatu.
Karuan Lui-ji terkejut, baru sekarang diketahuinya orang inipun terbuat dari lilin. Semua
orang yang duduk bersanding meja ini ternyata terbuat dari lilin seluruhnya.
Lui-ji benar-benar melenggong, sampai sekian lamanya barulah ia mendengus. "Hm, paling
sedikit di sini kan ada seorang hidup."
Tapi baru habis ucapannya, diketahuinya satu-satunya orang hidup tadi kinipun sudah
menghilang entah kemana, hanya caping bambunya yang besar dan bobrok itu masih
tertinggal di atas meja.
Lui-ji menarik napas dingin, dengusnya, "Pantas orang-orang ini sama mengenakan baju
rombengan, tapi memakai topi baru."
Sekarang ia sudah paham semua ini adalah permainan orang tadi, patung-patung lilin ini
sengaja diberi pakaian dan topi agar tulen atau palsunya sukar untuk diketahui dengan cepat.
Saking gemasnya, Lui-ji terus mencopoti semua topi yang dipakai orang-orangan ini,
tertampak semua patung lilin itu berwajah cerah, jenggot dan alisnya juga asli, sungguh mirip
sekali dengan manusia tulen.
Lui-ji menghela napas, katanya dengan tersenyum getir, "Apapun juga, karya seni orang ini
memang harus dipuji."
"Ya, sampai si ahli pembuat patung lilin dari kota raja si patung Thio mungkin juga tidak
lebih pandai daripada dia," tukas Hay Tong jing.
Jilid 12________
"Dan ginkangnya juga tidak rendah, buktinya kita sama tidak tahu kapan dan kemanakah
perginya?" sambung Pwe-giok.
"Masa.....masa orang-orang ini seluruhnya patung lilin?" tanya Thi-hoa-nio.
Berpuluh orang itu masih tetap berduduk di tempatnya tanpa bergerak, tampaknya seperti
manusia hidup benar-benar.
341
"Untuk apakah orang itu memasang patung-patung sebanyak ini di sini?" tanya Thi-hoa-nio
pula.
"Mungkin dia kesepian tinggal sendirian di sini, maka membuat orang-orangan ini untuk
mengawaninya", ujar Lui-ji, mendadak ia tertawa dan menambahkan: "Apapun juga patung
lilin kan jauh lebih baik daripada manusia tulen."
"Masa? Apa alasanmu?" tanya Thi-hoa-nio.
"Paling sedikit patung lilin kan tidak dapat menyerang kita?" jawab Lui-ji
Meski merasa tempat ini sangat menyeramkan, tapi lega juga hati Thi-hoa-nio, sebab ia
merasa ucapan Lui-ji memang tidak salah. Berada bersama orang-orangan lilin tentunya tidak
akan berbahaya.
Hanya Pwe-giok saja yang kelihatan prihatin, tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu, ucapnya
kemudian dengan suara tertahan, "Kita tidak boleh tinggal di sini, lekas kita pergi."
"Kenapa? Orang hidup sudah lari, masakah kita takut kepada kawanan patung lilin ini?" ujar
Lui-ji. Dia terus mendekat ke sana dan menambahkan, "Coba kau lihat, ku pukul mereka juga
tidak ada yang berani membalas."
Sembari bicara ia terus menampar muka salah satu patung lilin itu.
Patung lilin itu tadinya duduk bersandar kursi dan sedang "membaca". Karena ditampar Lui-ji
robohlah patung itu, "brak", patung itu pecah berantakan.
"Maaf, maaf, apakah kau sakit? Biar kubangunkan kau!" kata Lui-ji dengan tertawa.
Betapapun dia masih seorang anak dara, sejak lahir belum pernah bermain boneka, sekarang
mendadak melihat "boneka raksasa" sebanyak ini, dengan sendirinya ia sangat tertarik.
Begitulah seperti anak kecil yang sedang momong boneka, Lui-ji membangunkan patung
yang jatuh dan perlahan memijati bagian punggungnya sambil berucap, "O, sayang, tentunya
kau kesakitan, biar kupijat..."
Selagi Thi-hoa-nio merasa geli melihat kelakuan Lui-ji itu, mendadak anak dara itu menjerit
kaget sambil melompat mundur. Kontan patung lilin itu terguling dari kursinya dan hancur.
Cepat Pwe-giok melompat maju dan bertanya, "Ada apa?"
Lui-ji menjatuhkan diri pada pelukan anak muda itu, katanya sambil menuding patung lilin
yang sudah hancur itu. "Di tubuh lilin itu ada... ada tulangnya."
"Tulang?" Thi-hoa-nio menukas dengan kaget. "Patung lilin masa bertulang?"
Belum habis ucapannya, dilihatnya dalam patung lilin yang hancur itu memang betul ada
seonggok tulang putih, bahkan dapat dipastikan bukan tulang buatan.
Nyata, tulang di dalam patung lilin itu adalah tulang orang mati asli.
342
Pwe-giok coba menjemput beberapa cuil lilin remukan patung itu dan diperiksanya dengan
teliti, seketika air mukanya berubah hebat, tampaknya seperti mual dan hendak tumpah.
"He, ken... kenapakah kau?" tanya Lui-ji.
Pwe-giok menghela nafas panjang, ucapnya, "Ini bukanlah orang-orangan buatan dari lilin,
tapi mayat manusia tulen, lorong di bawah tanah ini adalah hasil kerja mereka."
"Apa katamu?" seru Lui-ji.
"Tentunya begini kisahnya," tutur Pwe-giok. "Lantaran kuatir orang-orang ini akan
membocorkan rahasia lorong di bawah tanah ini, maka orang yang menyuruh pembuatan
lorong ini telah membunuh seluruh pekerja ini tatkala lorong ini sudah selesai dibuat, lalu
tubuh mereka disiram dengan vaselin sehingga jadilah mereka patung lilin."
Merinding Lui-ji oleh cerita ngeri ini, katanya, "Pantas, makanya mereka kelihatan seperti
orang hidup."
Dengan gegetun Hay Tong-jing ikut berkata, "Begitu masuk kemari memang sudah kurasakan
keadaan di sini rada-rada janggal, orang-orang kasar ini kenapa bisa berubah seperti seniman.
Waktu itu jika kuperiksa dengan teliti mungkin sudah dapat ku bongkar rahasia mereka."
"Tapi waktu itu mana dapat kita bayangkan di dunia ini ternyata ada orang gila sekejam ini?"
ucap Lui-ji dengan gregetan.
Mendadak seorang tertawa terkekeh-kekeh dan menanggapi, "Hehe, kau salah, nona cilik, aku
sama sekali tidak kejam, juga tidak gila, sebaliknya aku ini manusia yang paling welas asih,
seorang yang paling tahu aturan, orang yang paling punya hati nurani."
Meski semua orang dapat mendengar suaranya, tapi bagaimana bentuk orang ini tidaklah
kelihatan.
Lui-ji lantas menjawab, "Seumpama kau punya hati nurani juga sudah lama hatimu itu
dimakan anjing."
"Justeru lantaran mengingat mereka terlalu lelah menggali lorong di bawah tanah ini,
makanya kuundang mereka istirahat di sini, supaya mereka selanjutnya tidak perlu
berkeringat dan kerja keras lagi," kata orang itu dengan tertawa. "Coba kalau tidak ada aku,
mana bisa mereka menikmati kebahagiaan begini. Dan kalau begini baik kuperlakukan
mereka, kenapa kau maki diriku sebagai orang gila dan orang busuk?"
"Hm, kau bukan saja orang busuk, bahkan bukan orang. Tapi setan, iblis, iblis yang gila!"
maki Lui-ji pula.
Dia ingin memancing keluar orang itu. Siapa tahu meski dia mencaci maki sekian lama, orang
itu tetap tidak memberi reaksi apa-apa. Bahkan satu kata saja tidak bicara pula, keadaan
menjadi sunyi senyap.
343
Dengan gemas Lui-ji mengusulkan, "Tempat ini toh tidak terlalu luas, marilah kita ketemukan
dia."
Thi-hoa-nio menghela nafas, katanya, "Kalau dia tidak mencari kita kan sudah untung,
masakah kau malah ingin cari dia?"
Mendadak Pwe-giok berkata kepada Hay Tong-jing dengan tertawa, "Dalam keadaan
demikian, masakah kau belum mau membongkar teka-teki ini?"
"Teka-teki? Teka-teki apa?" Hay Tong-jing jadi melengak malah.
"Sungguh aku tidak mengerti untuk apa kalian berdua sengaja memancing kami kesini?"
tanya Pwe-giok.
"Ap... apa katamu?" Hay Tong-jing menegas dengan bingung. "Mengapa kami memancing
kalian ke sini? Hakekatnya aku tidak pernah kenal tempat ini, lebih-lebih tidak kenal si gila
ini."
"Bisa jadi Hay-heng memang belum pernah datang ke tempat ini, tapi Lo-siansing ini justeru
sudah dikenal Hay-heng," kata Pwe-giok.
"Mana bisa kukenal dia?" sahut Hay Tong-jing dengan gugup. "Untuk.. untuk apa ku tipu
kau?"
Pwe-giok menghela nafas, ucapnya, "Akupun tidak tahu untuk apa Hay-heng menipuku? Tapi
berita yang dituturkan Hay-heng di lorong tadi... cerita tentang Tangkwik-siansing itu, tadinya
kupercaya penuh setiap kata ceritamu, tapi sekarang mau tak mau harus kusangsikan."
"Sebab apa?" tanya Hay Tong-jing.
"Demi membuat lorong bawah tanah ini, dia tidak sayang membunuh semua pekerja ini untuk
menutup mulut mereka selamanya. Dengan sendirinya lorong di bawah tanah ini menyangkut
sesuatu rahasia maha besar, betul tidak?"
"Ya, betul," jawab Hay Tong-jing.
"Jika demikian, mengapa dia perlu membangun rumah gubuk pada ujung jalan keluar tadi?
Jika di atas gunung yang paling sepi ini ada sebuah rumah kosong, bukankah hal ini akan
sangat menarik perhatian orang?"
Kembali Hay Tong-jing melengak, katanya, "Bisa jadi... bisa jadi rumah itu bukan rumah
kosong."
"Betul, rumah itu pasti tidak kosong, tapi dimana orangnya?"
"Mungkin telah dibunuh oleh Yang Cu-kang?"
Pwe-giok tertawa, katanya, "Apakah mungkin demi merampas sebuah rumah Yang-heng
perlu membunuh orang tak berdosa sebanyak itu?"
344
"Ini ... ini ... " Hay Tong-jing tak dapat menjawab.
"Apalagi, jika dia menyuruh orang-orang itu berjaga di dalam rumah, tentu mereka ada
kontak satu sama lain, setelah mereka dibunuh Yang-heng, mustahil dia tidak tahu? Dan kalau
dia tahu, masakah Yang-heng dibiarkan tinggal di sana?"
"Jadi maksud Ji-heng ...."
"Maksudku hanya ingin menyatakan antara Yang-heng dan Lo-siansing ini pasti sudah ada
hubungan, dia menyuruh kita masuk ke lorong ini juga sebelumnya telah direncanakan."
Berubah air muka Hay tong-jing, katanya, "Untuk apa dia berbuat begini? Kenapa aku tidak
diberitahu?"
"Hay-heng benar-benar tidak tahu?" Pwe-giok menegas dengan melotot.
"Ya, sedikitpun tidak tahu," jawab Hay Tong-jing tegas.
"Jika demikian, mengapa Hay-heng mengantar nona Ki Leng-hong ke sini?"
"He, apa pula artinya ucapanmu ini?"
"Aku memang lagi heran, sebab apakah Hay-heng menangkap Ki Leng-hong? Padahal ku
tahu kalian hendak menyerahkan Kwe Pian-san dan Ciong Cing kepada Pek-hoa-bun untuk
mengambil hati Hay-hong-hujin, tapi sejauh itu aku tidak mengerti Ki Leng-hong hendak
kalian serahkan kepada siapa? Dan baru sekarang ku tahu jelas duduknya perkara."
"Tahu jelas duduknya perkara? Perkara apa?" tanya Hay Tong-jing dengan bingung.
"Tujuan Hay-heng menangkap Ki Leng-hong adalah untuk diserahkan kepada Lo-siansing
ini."
"Untuk apa diserahkan kepadanya? Untuk apa pula dia menghendaki Ki Leng-hong?" tanya
Hay Tong-jing.
Pwe-giok tertawa, katanya, "Bisa jadi untuk dijadikan patung lilin, mungkin juga ada
keperluan lain. Kukira Hay-heng tentu jauh lebih jelas dari padaku."
Hay tong-jing menghela napas panjang, katanya, "Meski aku tidak tahu apa yang harus
kukatakan, tapi kuyakin jalan pikiranmu pasti keliru, hakekatnya aku tidak ada sangkutpautnya
dengan urusan ini, jika Ji-heng tidak percaya, terpaksa aku ....."
Mendadak terdengar suara jeritan, suara jeritan Lui-ji dan Thi-hoa-nio.
Pwe-giok terkejut dan berpaling, terlihatlah kedua orang itu telah berada dalam pelukan dua
patung lilin.
Muka Lui-ji tampak pucat, serunya dengan suara parau, "Patung lilin ini bukan mayat, tapi
orang hidup."
345
Thi-hoa-nio tampak gemetar dan hampir saja jatuh kelengar.
Terdengar orang lilin itu berkata, "Jika kalian menghendaki mereka tetap hidup, maka
berdirilah di situ dan jangan bergerak."
Sembari bicara, lapisan lilin yang tipis pada mukanya lantas terkelupas sepotong demi
sepotong.
Terpaksa Pwe-giok berdiri di tempatnya dan tidak bicara apapun.
Hay Tong-jing tidak tahan, ucapnya, "apa kehendak kalian?"
Padahal pertanyaannya ini terlalu berlebihan dan menggelikan. Tapi setiap orang bila sudah
kepepet memang sering mengucapkan kata-kata yang lucu.
Pada saat itulah tertampak dua patung lilin yang sedang main catur di kejauhan sana
mendadak juga bergerak, tubuh mereka hanya berkelebat dan tahu-tahu sudah menubruk tiba.
Tapi patung lilin yang memeluk Cu Lui-ji itu lantas berseru, "Berhenti, barang siapa di antara
kalian bergerak sedikit saja, jiwa kedua perempuan ini segera melayang."
"Jangan urus diriku, mereka tidak berani membunuhku!" teriak Lui-ji.
Pwe-giok menghela napas, tahu-tahu ia merasakan dua tangan yang kuat telah merangkul
tubuhnya, menyusul beberapa tempat Hiat-to penting juga tertutuk.
Kembali Lui-ji menjerit kuatir, teriaknya parau, "He, apa ... apa kehendak kalian? ..." belum
habis ucapannya, berderailah air matanya.
Terdengar seorang tertawa terkekeh-kekeh, ucapnya, "Nona cilik, tentunya sekarang kau tahu
orang-orang lilin tidaklah lebih baik daripada manusia tulen. Padahal terkadang merekapun
jauh lebih berbahaya daripada orang asli."
Ditengah suara tertawa yang melengking itu, si kakek berjubah hitam tadi telah muncul pula,
cuma sekarang topinya bukan lagi caping bambu melainkan sebuah topi tinggi dan berbentuk
aneh.
Potongan badan kakek ini sangat pendek, sekarang memakai topi setinggi ini, sekilas
pandang, topinya seakan-akan lebih tinggi daripada orangnya, bentuknya kelihatan lucu dan
mentertawakan.
Tapi dalam keadaan demikian siapa pula yang dapat tertawa?
Segera Lui-ji memaki, "Kau tua bangka, siluman ..." segala kata makian yang paling keji telah
dihamburkan seluruhnya, tapi si kakek mendengarkan saja seperti sangat tertarik.
Setelah Lui-ji kehabisan kata-kata makian barulah kakek itu berkata dengan tersenyum,
"Nona cilik, kau sangat pintar menangis, juga pandai memaki orang, aku justeru sangat suka
kepada nona cilik semacam kau ini. Sebentar tentu akan kujadikan kau patung lilin yang
cantik, secantik boneka."
346
"Kau ... kau ..." Lui-ji sampai kehabisan suara. Ia ingin memaki lagi, tapi ngeri, bibirpun
kering.
Topi tinggi di atas kepala si kakek tampak bergoyang-goyang, ia mendekati Pwe-giok dan
berkata, "He, anak muda, namamu Ji Pwe-giok bukan?"
"Betul." jawab Pwe-giok.
Si kakek mengekeh tawa, ucapnya, "Meski belum pernah kulihat kau, tapi sekali pandang saja
lantas kukenali kau."
Mendadak Pwe-giok juga tertawa, katanya, "Meski aku tidak pernah melihat kau, tapi akupun
kenal kau."
"Oo?!" si kakek melengak, lalu bergelak tertawa, katanya, "Wah, jika benar kau kenal diriku,
sungguh tidak kecil kepandaianmu."
"Kau bukan manusia," kata Pwe-giok.
Si kakek menyeringai, "Kau pun serupa nona cilik itu, pintar memaki orang. Aku bukan
manusia, memangnya siluman?"
"Kaupun bukan siluman, cuma sesosok mayat," ujar Pwe-giok. "Sebab sudah lama kau mati."
"Kau bilang aku ini mayat?" seru si kakek dengan terbahak.
"Betul, meski belum pernah kau lihat diriku, tapi aku sudah pernah melihat kau."
"Pernah kau lihat diriku? Dimana?" tanya si kakek.
"Di dalam sebuah kuburan." jawab Pwe-giok.
Seketika Lui-ji melenggong, ia merasa bingung oleh ucapan Pwe-giok itu, bahkan anak muda
ini hampir disangkanya rada kurang waras.
Sebab seorang yang sehat, seorang yang normal, tentu takkan menuduh seorang hidup sebagai
sesosok mayat, lebih-lebih takkan menyatakan dirinya pernah pesiar ke dalam sebuah
kuburan. Semua ini hakekatnya bukan ucapan Ji Pwe-giok yang sebenarnya.
Siapa tahu, setelah mendengar kata-kata demikian, air muka si kakek mendadak berubah, dia
melototi Pwe-giok hingga sekian lamanya, lalu menegas, "Kau pernah datang di kuburan itu?"
"Betul, malahan cukup lama ku tinggal di sana."
"Dan cara bagaimana kau keluar lagi?"
Pwe-giok tertawa, jawabnya, "Keluar melalui pantatmu."
347
Sampai di sini, bukan cuma Lui-ji saja yang menganggap anak muda itu kurang waras,
bahkan Thi-hoa-nio dan Hay Tong-jing juga mengira Pwe-giok mendadak sinting, sebab apa
yang diucapkannya sama sekali bukan kata-kata manusia normal.
Tapi air muka si kakek lantas berubah menjadi lebih menakutkan, mendadak ia berseru,
"Cucu perempuanku sayang, marilah keluar!"
Ketika cucu perempuannya sudah keluar, kecuali Pwe-giok, yang lain-lain sama terperanjat
pula. Sebab siapapun tidak menyangka cucu perempuannya adalah Ki Leng-hong.
Tapi sejak tadi Pwe-giok sudah tahu kakek ini adalah Ki go-ceng yang menghilang dengan
berlagak mati itu. Kepandaiannya membikin patung lilin memang bagus (bacalah jilid ke-4
Renjana Pendekar).
Terdengar si kakek alias Ki Go-ceng lagi bertanya kepada cucu perempuannya, "Apakah betul
perkataan bocah ini?"
"Entah, aku tidak tahu," jawab Ki Leng-hong. Nona ini kelihatan sangat kurus dan lesu,
sangat lemah, tapi jawabannya cukup tegas.
"Dia pernah datang ke Sat-jin-ceng bukan?" tanya pula Ki Go-ceng.
"Jika dia belum pernah ke Sat-jin-ceng, cara bagaimana dapat kukenal dia? Tapi banyak juga
orang yang pernah mengunjungi sat-jin-ceng, tidak cuma dia saja."
Ki Go-ceng tertawa, ia tepuk-tepuk pelahan muka Ki Leng-hong yang bulat telur itu, ucapnya
dengan tertawa, "Ai, cucu perempuanku sayang, bicara terhadap kakek mana boleh sekasar
ini."
Ki Leng-hong moncongkan mulutnya dan berucap manja, "Orang pening kepala, ingin tidur."
Begitu habis ucapannya, segera ia melangkah pergi, sama sekali tidak memandang lagi
terhadap Ji Pwe-giok.
Ki Go-ceng geleng-geleng kepala, gumamnya
*****
"Ai, bocah ini jadi rusak karena terlalu dimanjakan ibunya" Mendadak ia melototi Pwe-giok
pula dan bertanya: "Eh, kabarnya putra Ji Hong-ho itupun bernama Ji Pwe-giok, apa betul?"
"Begitulah kalau tidak salah", jawab Pwe-giok.
"Konon dia sudah mati di Sat jin-ceng"
"Agaknya juga betul"
Mendadak mencorong sinar mata Ki Go-ceng, ucapnya dengan pelahan: "Bisa jadi tidak mati,
mungkin dia telah pesiar sejenak ke kuburan, lalu hidup kembali, bahkan bertemu dengan
seseorang yang telah mengubah bentuk wajahnya"
348
Mendadak ia jambret leher baju Pwe-giok dan berteriak: "Dan mungkin kau inilah dia, kau
inilah putra Ji Hong-ho itu"
Sebenarnya Pwe-giok tidak mengerti apa sebabnya Ki Leng-hong berdusta, dan sekarang ia
tahu duduknya perkara. Meski lahirnya dia tetap tenang saja, tapi telapak tangan sudah
merembeskan keringat dingin.
Bukan mustahil Ki Go-ceng adalah sekelompotan dengan "Ji Hong-ho" itu, Pwe-giok sengaja
dipancing ke sini untuk diselidiki apakah dia dan Pwe-giok yang tersiar sudah mati itu sama
atau tidak.
Maklumlah, tentang perubahan wajah Pwe-giok hanya diketahui oleh Ki Leng-hong saja, tapi
nona itu ternyata tidak menyingkap rahasianya, meski tidak tahu mengapa orang menutupi
rahasianya, namun Pwe-giok sangat berterima kasih padanya.
Ki Go-ceng masih terus melototi Pwe-giok, tanyanya pula: "Sesungguhnya kau anak Ji Hongho
atau bukan?"
Pwe-giok tertawa, jawabnya: "Aku ini anak siapa, ada persoalan apa dengan kau?"
"Sekalipun kau mengaku sebagai anak Ji Hong-ho kan juga tidak menjadi soal?" ujar Ki Goceng.
"Kenapa kau sendiri tidak mau mengaku sebagai anaknya?" jawab Pwe-giok.
Ki Go-ceng menarik muka, mendadak ia tertawa pula: "Bagus, anak muda, anggaplah
mulutmu memang keras, jika kau tidak suka bicara terus terang, biarlah sekalian kubikin kau
tak dapat bicara untuk selamanya"
Gua batu ini jauh lebih terang daripada ruangan gua sebelah luar sana, juga jauh lebih hangat,
sebab api pada sebuah tungku besar telah dinyalakan, di atas tungku ada sebuah wajan besar.
Lilin di dalam wajan sudah mulai cair.
Dengan sebuah gayung besar, pelahan Ki Go-ceng mengaduk cairan lilin itu, ketika api
tungku sudah mulai menghijau, menguaplah hawa panas dari wajan besar. Di bawah
gemerdep cahaya api dan uap lilin, wajah Ki Ko-ceng kelihatan seperti sebuah topeng setan.
Sinar matanya juga gemerdep memancarkan cahaya kebuasan dan kegilaan, terdengar dia
berucap " Bukanlah pekerjaan mudah membuat patung lilin dengan manusia berdarah daging,
pertama harus memperhatikan waktu masak lilin, selain lilin harus cair seluruhnya dan tidak
boleh terlalu mendidih, pada saat lilin baru mulai bergelembung segera cairan lili dituang
pada tubuh manusia."
Dia tertawa, lalu menyambung, "Jadi seperti koki memasak Ang-sio-hi, setelah gorengan
irisan ikan diangkat dari wajan, pada saat yang tepat disiram dengan saus asam manis. Cuma
disini gerakan tangan harus cepat, siraman lilin harus rata, apabila lapisan lilin pertama sudah
beku seluruhnya barulah mulai siram lapiran kedua, sedikit salah siram, semua usaha akan
gagal total."
349
Dia bicara dengan adem ayem, seperti halnya seorang ahli masak yang sedang memberi
ceramah di depan sekawanan penggemar makanan enak. Cuma sayang, yang mendengarkan
ceramahnya sekarang bukanlah penggemar makanan melainkan "ikan" yang sedang menanti
giliran untuk dijadikan Ang-sio-hi.
Hati Lui-ji saat ini diliputi rasa gusar dan juga takut, sungguh kalau bila ia ingin menggigit
mampus orang gila ini.
Sebaliknya Thi-hoa-nio seperti tidak dapat mengekang diri lagi saking takutnya, ia berteriak
dengan histeris, "Lekas kau bunuh kami saja, lekas, kenapa tidak lekas turun tangan ?"
Ki Go-ceng tertawa, katanya, "Aku ingin membuat patung lilin yang indah, untuk ini masih
harus diperhatikan sesuatu, yaitu tidak boleh membunuh mati model yang akan ku gunakan,.
Dengan demikian , hasil patung yang kubuat barulah akan kelihatan hidup dan bergairah.
Apabila modelnya dibunuh mati mati dulu baru kemudian disiram lilin, maka patung yang
dihasilkan juga akan kelihatan mati dan kaku."
"Kau ... kau ... " Thi-hoa-nio tidak sanggup bersuara lagi. Bibirnya gemetar, mulut seperti
tersumbat.
Mendadak Ki Go-ceng tertawa padanya dan berkata, "Tapi Yang-hujin juga tidak perlu
khawatir, aku pasti takkan membikin susah padamu, sebab kuyakin Yang Cu-kang pasti tidak
suka tidur bersama patung lilin."
Air muka Hay Tong-jing berubah, tanyanya, "Apakah benar Yang Cu-kang ada
persengkongkolan dengan kau ?"
Ki Go-ceng tertawa, jawabnya, "Betul, dia terlebih cerdik daripadamu, juga lenih pintar
memilih kawan. Jika dia memilih si koki sebagai kawannya, sebaliknya kau pilih kawan pada
ikannya."
Sampai sekian lama Hay Tong-jing termangu-mangu, katanya dengan suara gemetar, "Yang
Cu-kang, wahai Yang Cu-kang, tidak jelek suhu terhadapmu, kenapa kau melakukan
perbuatan khianat begini, memangnya sudah kaulupakan semua ajaran dan peraturan
perguruan ?"
Sembari bicara, matanya mendelik dengan menahan rasa murka.
Dengan lemas Lui-ji juga berkata, "Pantas dia tidak takut di bunuh Lengkui, kiranya dia tahu
setelah kita pergi, maka dapatlah dia bicara dengan Leng-kui bahwa antara mereka
sesungguhnya adalah kawan. Hah, bangsat ini telah berbuat khianat, tapi justru bicara seperti
seorang baik hati."
Belum habis ucapannya, menangislah Thi-hoa-nio tergerung-gerung.
Lui-ji menjengek, "Yang-hujin, apakah yang kau tangisi ? Bisa kaudapatkan suami sebaik itu,
masakah kamu tidak senang ?"
"Aku ... Aku ... "
350
"Eh, siapa di antara kalian yang mau tolong singkirkan nyonya Yang ini dari sebelahku,
sungguh aku tidak tahan lagi bau busuk pada tubuhnya," ejek Lui-ji pula.
Dengan tertawa Ki Go-ceng berucap, "wah. hampir saja kulupa jika tidak kau singgung sejak
tadi-tadi seharusnya ku undang nyonya Yang berduduk di tempat yang terhormat."
Tapi Thi-hoa-nio lantas berteriak-berteriak pula dengan histeris, "Jangan kalian menyentuh
diriku, aku bukan istri Yang Cu-kang, aku lebih suka mati bersama mereka."
Dengan tak acuh Ki Go-ceng berkata, "Siapapun kalau sudah berada disini, mati atau
hidupnya tidak bebas lagi baginya."
Hay Tong-jing memandang Pwe-giok, ucapnya dengan rawan, "Ji-heng, aku telah salah
menilai Yang Cu-kang, maaf, aku ... aku menyesal."
"Ini bukan salahnya dan bukan salahmu, untuk bisa (jangan) Hay-heng merasa sedih." ujar
Pwe-giok.
Hay Tong-jing menghela napas, ucapnya, "Betapapun dia adalah saudaraku, aku ... "
Mendadak Ki Go-ceng berseru, "Cepat lekas buka pintu tungku dan kerek wajan agak tinggi
sedikit, saat itulah cairan lilin sudah dapat digunakan!"
Lalu ia mulau menceduk cairan lilin dengan gayungnya, mengepul uap lili panas itu.
Dengan tertawa Ki Go-ceng berkata, "Pertama kali disiram lilin memang akan terasa sakit,
maka hendaknya Ji-kongcu dapat bertahan sedikit, nanti kalau sudah tersiram tiga empat
gayung, perlahan tidak lagi merasa sakit."
Lebih dulu ia menyiram lilin pada gayungnya pada sepotong papan, melihat cairan lilin yang
membeku di atas papan, Ki Go-ceng bergumam, "Ya, memang saat yang paling tepat untuk
disiram ... Nah, lekas kau buka baju, Ji-kongcu!"
Mendadak Lui-ji berteriak, "Kenapa tidak kau mulai dari diriku!... "
"Sabar, sabar! Sebentar lagi akan datang giliranmu, kenapa terburu-buru ?" ujar Ki Go-ceng
dengan tertawa.
"Kumohon dengan sangat, mulailah atas diriku, matipun aku berterima kasih padamu." teriak
Lui-ji dengan parau.
"Apakah kau tidak tega menyaksikan Ji Pwe-giok tersiksa dan ingin tutup mata lebih dulu ?"
tanya Ki Go-ceng.
Lui-ji hanya menggigit bibir, ia mengangguk sambil menangis.
"Tapi apakah kau suka telanjang di hadapan mereka ?" tanya Ki Go-ceng dengan tertawa.
Lui-ji jadi melengak, segera ia menangis lagi tergerung-gerung.
351
Dengan suara parau Thi-hoa-nio berteriak, "Silakan kau turun tangan dulu padaku, aku tidak
... tidak takut ... "
Ki Go-ceng mengawasi dia sekejap, lalu berucap, "Potongan tubuhmu tidak jelek, kukira
merekapun jika kuturun tangan padamu dulu, sebelum mati dapat menyaksikan perempuan
cantik telanjang bulat seperti dirimu ini, tentu kematian merekapun cukup berharga," Dia
menghela napas, lalu menyambung, "Cuma sayang, kau ini bini Yang Cu-kang, sayang,
sungguh sayang... "
"Kau tua bangka, kau binatang, hewan, sungguh kau bukan manusia ... " mendadak Hay
Tong-jing mencaci maki.
"Apakah sengaja kau bikin marah diriku agar turun tangan dulu padamu ?" kata Ki Goceng
tertawa.
Hay Tong-jing berteriak gusar, "Memangnya kau berani turun tangan padaku?"
"Haha, bagus, bagus!" Ki Go-ceng terbahak. "Kalian memang sangat setia kawan, sungguh
ksatria sejati, semuanya berebut mati lebih dulu. Jika demikian, biarlah kupenuhi kehendak
kalian sekaligus."
Ia menyeringai, lalu menyambung, "Akan kubelejti kalian bertiga hingga telanjang bulat, akan
kuikat kalian menjadi satu dalam keadaan saling rangkul, akan kubikin kalian menjadi sebuah
patung yang istimewa, agar sekali pandang saja siapapun tahu kalian adalah sahabat karib
yang tak dapat dipisahkan."
Hay Tong-jing dan Cu Lui-ji berteriak-teriak, meski sudah banyak siksa derita yang
dialaminya tapi baru sekarang Lui-ji benar-benar kenal apa artinya takut.
Meski Pwe-giok hanya diam saja sejak tadi, tapi di dalam hati jauh lebih murka dan berduka.
Ia tidak tahu mengapa Thian memberi nasib seburuk ini kepadanya. Tahu begini, lebih baik
dulu mati saja di tangan Siang Cap-long. Walaupun Siang Cap-long juga sangat kejam, tapi
jauh lebih baik daripada Ki Go-ceng, betapapun dia tidak sampai melakukan hal-hal yang gila
dan kotor begini.
Pada saat gawat itulah, sekonyong-konyong seorang terbang masuk dari luar dengan kaki dan
tangan menari-nari di udara, serupa boneka yang dikerek dan terapung di udara, melayang
tibanya orang ini sungguh cepat luar biasa.
"Siapa?!" bentak Ki Go-ceng.
Baru lenyap suaranya, dengan tepat orang itu jatuh di dalam wajan yang penuh cairan lilin
panas itu, maka terdengarlah suara jeritan ngeri yang menyayat hati.
Cairan lilin di dalam wajan muncrat kemana-mana, ada setitik cairan yang menciprat ke tubuh
Lui-ji, meski cuma setitik, namun rasa sakitnya sudah tak terkatakan.
Pada saat lain, dari luar melayang masuk lagi orang, juga menari-nari di udara dan "plung",
dengan tepat kembali nyemplung di dalam wajan disertai jeritan yang sama ngerinya.
352
Seketika wajan itu terguling, cairan lilin tumpah memenuhi lantai.
Serentak Ki Go-ceng mengapung ke atas, dengan gusar ia membentak, "Siapa itu?"
Di tengah suara bentakannya, orang ketiga melayang tiba pula, sekali ini menerjang ke arah
Ki Go-ceng.
Cepat tubuhnya menggeliat di udara sehingga terhindar. Tapi segera orang ke empat dan
kelima melayang pula dan menumbuk Ki Go-ceng. Betapapun tinggi ginkangnya juga sukar
untuk mengelak lagi.
"Blang", dalam keadaan mengapung di udara Ki Go-ceng menghantam, kontan kedua orang
yang menerjang ke arahnya itu digenjot hingga tergetar balik, tapi ia sendiripun tergetar jatuh
ke bawah dan hampir saja menumbuk dinding.
Kejut dan girang Lui-ji, baru sekarang dapat dilihatnya dengan jelas bahwa kelima orang yang
melayang dari luar itu semuanya adalah "patung lilin palsu" anak buah Ki Go-ceng.
Tadi dia telah dikerjai "patung lilin" ini, meski disergap, tapi jelas ilmu silat orang-orang ini
juga tidak lemah, bahkan sangat cepat dan cekatan cara turun tangannya. Tapi sekarang hanya
dalam sekejap saja mereka telah dilempar masuk seperti lempar bola, jelas sedikitpun tidak
mampu melawan. Maka betapa tinggi kungfu pendatang ini tentu dapat dibayangkan.
Air muka Ki Go-ceng tampak pucat hijau, ia melototi Pwe-giok dan berkata, "Tak tersangka
masih ada juga bala bantuanmu, tampaknya tidaklah sedikit kawanmu."
Tapi seorang lantas menanggapi, "Aku tidak kenal anak muda itu, sebaliknya aku dan kau
adalah sahabat lama."
Suara ini sangat halus dan lembut, empuk dan enak didengar.
Lui-ji dan Thi-hoa-nio sama-sama anak perempuan cantik pembawaan, yang satu adalah
puteri Siau-hun-kiongcu yang terkenal pembetot sukma setiap lelaki, yang lain adalah
"Khing-hoa-samniocu" yang genit dan pemikat lawan jenisnya, keduanya tahu suara yang
enak didengar adalah senjata yang paling ampuh kaum wanita untuk menghadapi kaum lelaki.
Suara mereka sendiri sangat merdu dan enak didengar, tapi kalau dibandingkan suara
perempuan pendatang ini, mau tak mau mereka harus tutup mulut dan tidak berani bersaing.
Selain enak didengar suaranya, bahkan apa yang dikatakannya seperti air dingin yang
menyiram kepala Cu Lui-ji, sebab pendatang ini ternyata mengaku sebagai sahabat lama Ki
Go-ceng.
Hanya Hay Tong-jing saja yang segera memperlihatkan rasa kegirangan, desisnya perlahan,
"Inilah guruku, tertolonglah kita."
Lui-ji melengong, tanyanya kemudian, "Gurumu seorang perempuan?"
Hay Tong-jing tidak menjawabnya dan memang juga tidak perlu menjawab, sebab waktu itu
seorang perempuan berbaju hitam sudah muncul.
353
Mukanya juga memakai cadar sutera hitam, meski Lui-ji tidak dapat melihat jelas wajahnya,
tapi entah mengapa, ia merasa perempuan ini pasti cantik tiada bandingannya. Lui-ji tidak
pernah melihat wanita bergaya secantik dan seluwes ini.
Jalan perempuan berbaju hitam itu seperti sangat lambat, tapi tahu-tahu sudah berada di
dalam, siapapun tidak tahu persis cara bagaimana dia menggeser kakinya dan cara bagaimana
masuk ke situ.
Dia memakai jubah panjang warna hitam, panjangnya sampai menyentuh tanah, hanya ujung
sepatu saja yang masih kelihatan, pada tangannya juga mengenakan sarung tangan warna
hitam.
Meski melihat orang, tapi rasanya sama seperti tidak tahu, yang dilihat Lui-ji hanya
pakaiannya saja, namun dalam hati sudah timbul perasaan enak, perasaan aman.
Ki Go-ceng juga seperti kesima memandang perempuan berbaju hitam itu, sampai sekian
lama barulah ia menghela nafas dan berkata, "Kiranya kau!"
"Tak kau duga bukan?" ujar perempuan berbaju hitam.
Kembali Ki Go-ceng menghela nafas, lalu berucap pula sambil tersenyum getir, "Kukira
sudah lama kau mati."
Perempuan berbaju hitam itu seperti tersenyum, lalu mendekati Ki Go-ceng dengan perlahan.
Di dalam gua ini suasana dingin dan seram, di atas tanah juga penuh cairan lilin dan mayat.
Namun gaya berjalan perempuan itu seperti sedang berada di tengah istana.
Yang dihadapinya juga seorang gila dan kejam, tapi gaya perempuan itu seperti seorang
permaisuri yang hendak menghadap Sri Baginda.
Siapapun tidak mengira perempuan lemah gemulai ini adalah tokoh persilatan yang lihay,
lebih-lebih tidak ada yang percaya bahwa dalam sekejap tadi dia sudah membunuh lima
orang.
Dahi Ki Go-ceng tampak berkeringat, ia menyengir dan berucap, "Belasan tahun tidak
bertemu, masakah baru bertemu lantas hendak berkelahi denganku?"
"Aku tidak bermaksud demikian," jawab si perempuan baju hitam.
Ki Go-ceng seperti merasa lega, ucapnya, "Jika begitu, hendaklah kau berdiri agak jauh. Bila
kau mendekat, hatiku lantas berdetak."
"Kau memang tidak punya hati, mana bisa hatimu berdetak ?" ujar perempuan itu. Dia
berjalan dengan lambat, tapi tidak berhenti.
Bibir Ki Go-ceng seperti mengering, ucapnya dengan suara serak, "Sesungguhnya apa
kehendakmu?"
354
Perempuan itu tidak menjawabnya, tapi bertanya malah, "Tahun ini usiamu sudah ada 72
bukan?"
"Ingat juga kau..."
Perempuan itu berucap pula, "Siapapun kalau sudah hidup 72 tahun, tentunya sudah cukup
bukan?"
"Apa maksudmu ini?" tanya Ki Go-ceng sambil mengusap keringatnya.
"Apa maksudku masakah belum jelas bagimu?"
"Selama berpuluh tahun ini, siapa pula yang pernah tahu jelas maksudmu?"
Perempuan itu menghela nafas perlahan, lalu berkata, "Ai, kuharap janganlah kau paksa ku
turun tangan padamu."
Air muka Ki Go-ceng berubah hebat, mendadak ia menengadah dan terbahak-bahak,
"Hahaha... memangnya baru bertemu kau menghendaki aku segera bunuh diri?"
Meski tertawa, tapi suara tertawanya jauh lebih tidak enak didengar daripada suara menangis.
Pada saat itu juga, mendadak tubuh Ki Go-ceng mengapung ke atas, perawakannya yang
kurus itu seperti bukan tubuh manusia melainkan seekor elang yang buas dan lapar.
Namun si perempuan baju hitam tetap berdiri tenang di tempatnya, jika Ki Go-ceng ibaratnya
seekor elang, maka dia sama seperti seekor domba. Tapi ketika Ki Go-ceng menubruk tiba,
lengan bajunya lantas mengebut perlahan.
Siapapun tidak menyangka kebutan lengan bajunya yang perlahan ini dapat menahan
serangan Ki Go-ceng. Maka terdengarlah suara jeritan, bukan perempuan itu yang menjerit
melainkan Ki Go-ceng, tubuhnya mendadak mencelat beberapa tombak jauhnya dan
menumbuk dinding, "blang", lalu tubuhnya memberosot ke kaki dinding dan jatuh terduduk,
matanya melotot ke arah perempuan baju hitam, ucapnya dengan serak, "Inilah Cing... Cinggi..."
Belum habis ucapannya, darah segar lantas menyembur dari mulutnya.
Dengan tak acuh, perempuan baju hitam berkata, "Betul, inilah Sian-thian-cing-gi, tajam juga
pandanganmu!"
Mendadak Ki Go-ceng bergelak seperti orang gila, teriaknya, "Bagus, haha, bagus! Sianthian-
cing-gi, tiada tandingannya di dunia, matipun aku tidak penasaran."
Sambil tertawa kaki dan tangannya juga bergerak-gerak, keadaannya benar-benar mirip orang
gila.
Percikan darah tampak berhamburan mengikuti suara tertawanya, waktu habis ucapannya
darahpun kering, suara tertawa juga berhenti, tinggal kerongkongannya mengeluarkan suara
"krok-krok" seperti kodok ngorok.
355
Meski benci terhadap orang ini, tanpa terasa Lui-ji memejamkan mata juga dan tidak tega
memandangnya.
Pwe-giok sendiri pernah mendengar nama "Sian-thian-cing-gi" atau tenaga sakti asli, selama
ini ia menyangka ilmu itu hanya dongeng Kangouw seperti halnya orang bilang "pedang
dapat dikendalikan dengan hawa" serta "mengirimkan gelombang suara" segala. Ilmu sakti ini
mungkin terjadi di jaman dahulu, tapi sekarang tentunya sudah lenyap dan tiada orang yang
mampu melatihnya lagi.
Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa sekarang dirinya justeru dapat menyaksikan ilmu sakti
tersebut.
Dilihatnya Ki Go-ceng telah terkulai di tengah genangan darah, semula masih terus ngorok
seperti suara kodok, selang sejenak mendadak tubuhnya melonjak ke atas, lalu jatuh dan tidak
bergerak lagi.
Baru sekarang si perempuan baju hitam berpaling dan memandang Pwe-giok. Sinar matanya
masih tetap tenang dan lembut, tapi seakan-akan dapat menembus cadar sutera dan menembus
darah daging, terus menembus ke lubuk hati Pwe-giok. Tanpa terasa anak muda itu
menunduk.
"Kau inikah Ji Pwe-giok, Ji-kongcu ?" tanya si perempuan baju hitam.
Bahwa dia ternyata kenal nama Pwe-giok, bahkan bersikap seramah ini padanya, kalau orang
lain tentu akan merasa senang seperti mendapat rejeki di luar dugaan.
Tapi Pwe-giok justeru merasa rada takut. Ia tidak mengerti dirinya ternyata sedemikian
terkenal. Ia tahu terkenal bukan sesuatu yang menyenangkan.
"Terkenal" dapat diibaratkan sepotong baju yang mewah, meskipun dapat membuat orang
kelihatan cemerlang, tapi harganya terkadang juga sangat menakutkan.
Melihat anak muda itu termenung, Hay Tong-jing lantas menyela, "Ji-heng, guruku sedang
bicara denganmu."
"O, ya, cayhe memang betul Ji Pwe-giok," cepat Pwe-giok menenangkan diri.
"Baik, coba kau ikut padaku," kata perempuan itu sambil mengebaskan lengan bajunya
perlahan.
Ji Pwe-giok, Hay Tong-jing dan Cu Lui-ji bertiga segera seperti diembus angin sejuk, seketika
hiat-to mereka yang tertutuk tadi telah terbebas semua.
Cepat Hay Tong-jing menyembah, "Tecu..."
"Urusanmu dengan Yang Cu-kang sudah kuketahui dan tidak perlu bicara lagi," kata si
perempuan baju hitam, sedikit bergeser, tahu-tahu sudah sampai di luar pintu.
356
Mendadak Lui-ji menarik tangan Pwe-giok erat, tanyanya dengan suara tertahan, "Hendak
kau ikut pergi bersama dia?"
Pwe-giok merasa tangan anak dara itu rada gemetar, tanpa terasa timbul perasaan kasihannya,
jawabnya dengan lembut, "Sudah tentu kaupun ikut bersamaku."
Terbeliak mata Lui-ji, makin kencang ia pegang tangan anak muda itu, katanya, "Kemanapun
pasti akan kau bawa serta diriku?"
Pwe-giok terharu, jawabnya, "Ya, kemanapun aku akan tetap berada bersamamu."
Tapi mendadak si perempuan baju hitam menyeletuk, "Tapi sekali ini dia tidak dapat
membawa kau."
Tubuh Lui-ji tergetar dan melepaskan tangan Pwe-giok, tanyanya dengan parau, "Sebab apa?"
"Sebab aku yang omong," sahut perempuan itu.
Lui-ji melonjak dan berteriak, "Berdasarkan apa hendak kau pisahkan kami? Meski kau telah
menyelamatkan kami, tapi kalau bukan muridmu yang membikin susah kami, tidak nanti
kami datang ke sini..."
Suaranya seperti tersumbat, air matanya bercucuran pula, lalu ia menghentakkan kaki dan
berteriak lagi, "Jadi adalah pantas jika kau selamatkan kami, berdasar apa lantas bersikap
garang dan main kuasa?"
Air muka Hay Tong-jing berubah, ia menyembah di tanah dan memohon, "Dia masih anak
kecil, mohon Suhu jangan marah padanya."
Lui-ji mendongak, ia tahan air matanya dan berseru, "Tidak perlu kau mohonkan ampun
bagiku. Aku tidak takut, biarpun dia membunuhku juga aku tidak takut. Matipun aku ingin
berada bersama Ji Pwe-giok."
Ia pegang lagi tangan Pwe-giok dan berkata: "Kau sendiri yang bilang, kemanapun akan kau
bawa serta diriku, masa... masa akan kau tarik kembali janjimu?"
Pwe-giok terdiam, dengan lembut ia mengusapkan air mata di pipi anak dara itu, mendadak ia
berpaling menghadapi si perempuan berbaju hitam dan berkata, "Sudah ku janji padanya, juga
sudah berjanji pada Saceknya, betapapun tidak boleh kutinggalkan dia."
"Masa hubungan mesra ini saja tidak dapat kau tinggalkan, lalu pekerjaan besar apa yang
dapat kau hasilkan?" jengek si perempuan baju hitam.
Dengan sekata demi sekata Pwe-giok menjawab, "Jika aku tidak dapat menepati janji, lalu
dapatkah aku dikatakan manusia?"
Perempuan baju hitam memandangnya lekat-lekat, perlahan sinar matanya menampilkan
secercah senyuman, ucapnya, "Bagus, bagus, kau memang anak yang baik..." ia melayang ke
depan Lui-ji dan perlahan mengangkat tangannya.
357
Nafas Pwe-giok dan Hay Tong-jing serasa berhenti, sebab mereka tahu, asalkan tangan itu
jatuh ke bawah, seketika kepala Lui-ji bisa hancur luluh.
Terdengar perempuan itu bertanya kepada Lui-ji, "Jadi kau merasa berat untuk berpisah
dengan dia?"
Dengan menggertak gigi Lui-ji memandangnya dan menjawab, "Siapapun jika ingin
memisahkan aku dan dia, lebih dulu dia harus melangkahi mayatku."
Memandangi tangan si perempuan berbaju hitam, jantung Pwe-giok serasa mau berhenti
berdetak.
Tapi tangan perempuan itu perlahan diturunkan lagi, dengan perlahan dia membelai rambut
Lui-ji, katanya dengan suara halus. "Kaupun anak yang baik, tapi kalau benar-benar kau suka
padanya, selayaknya tidak boleh menjadi bebannya, harus membiarkan dia pergi sendiri untuk
melakukan tugas berat."
Lui-ji melengak, mendadak ia mendekap mukanya dan menangis.
"Bukan maksudku hendak menyuruh dia meninggalkan kau," kata pula si perempuan baju
hitam, "aku hanya menghendaki kalian berpisah untuk sementara, toh kalian masih sangat
muda, kesempatan bertemu di kemudian hari kan masih panjang."
Lui-ji mendelik, ucapnya dengan suara parau, "Baik, tidak perlu kau katakan lagi. Aku akan
pergi, pergi seorang diri..." dia mendekap mukanya dan berlari pergi.
Tapi Pwe-giok sempat menariknya dan bertanya, "Hen... hendak kemana kau?"
Sambil menggigit bibir Lui-ji menjawab, "Kaupun tidak perlu urus diriku, dengan sendirinya
ada tempat yang ku tuju."
Meski dia menahan perasaan sedapatnya, tidak urung air mata masih terus berderai.
Meski dunia ini tidak cuma seluas daun kelor, tapi kemanakah dia harus pergi?
Tiba-tiba perempuan berbaju hitam menghela nafas perlahan, ucapnya, "Tong-jing, boleh kau
bawa dia pulang ke gunung, tentu akan kusuruh Ji-kongcu kesana untuk mencarinya, tahu
tidak?"
Dengan girang dan kejut Hay Tong-jing mengiakan, tanyanya, "Apakah Suhu hendak
mengambilnya sebagai murid perempuan?"
Tersenyum juga perempuan baju hitam, jawabnya dengan perlahan, "Dia memang anak
perempuan yang baik."
*****
Cuaca cerah dan hawa sejuk, sang surya memancarkan sinarnya dengan gemilang, meski
sudah di buntut musim rontok, namun hawa udara seperti musim semi.
358
Untuk pertama kalinya Pwe-giok merasakan betapa menyenangkan sinar matahari setelah
sekian lama dirundung malang.
Sekarang segalanya sudah mulai ada titik balik, Lui-ji juga mempunyai harapan hari depan
yang baik. Berdiri di bawah sinar sang surya yang hangat ini, saking tak tahan hampir saja dia
bersenandung sekerasnya.
Satu-satunya urusan yang disesalkannya adalah ia tidak menemukan Kwe Pian-sian dan
Ciong Cing, juga tidak menemukan Ki Leng-hong, bisa jadi Ki Leng-hong telah membawa
pergi Kwe Pian-sian dan Ciong Cing secara diam-diam.
Tapi kalau dibandingkan dengan hal-hal yang menyenangkan itu, apa artinya sedikit
penyesalan.
Didengarnya si perempuan berbaju hitam lagi berkata, "Meski Yang Cu-kang adalah murid
khianat, tapi ada sementara urusan dia tidak berdusta, tatkala mana Hay Tong-jing berada di
sampingnya, tentunya dia tidak berani berdusta."
"Apakah Ki Go-ceng adalah Tangkwik-sianseng?" tanya Pwe-giok.
"Bukan," jawab perempuan baju hitam. "Ki Go-ceng tidak lebih juga cuma salah seorang
boneka Tangkwik-sianseng, baik ilmu silat maupun tipu akal dan keganasannya bukan apaapa
kalau dibandingkan dengan Tangkwik-sianseng."
"Dan Cianpwe sendiri..."
"Terus terang," tukas perempuan baju hitam sambil menghela nafas, "aku sendiripun bukan
tandingan iblis jahat itu."
"Tapi Sian-thian-cing-gi Cianpwe kan tiada tandingannya di dunia?" ujar Pwe-giok.
"Meski Sian-thian-cing-gi maha sakti, tapi sang pencipta alam ini sangat adil, setiap makhluk
setiap barang, selalu diciptakan secara saling anti menganti. Meski kelabang adalah serangga
berbisa, tapi ayam jago adalah musuhnya. Biarpun Sian-thian-cing-gi sangat hebat, tetap
belum terhitung tiada tandingannya di dunia."
Setelah menghela nafas, lalu ia melanjutkan. "Demi menghadapi diriku, selama belasan tahun
ini Tangkwik-siansing telah berhasil meyakinkan semacam kungfu yang khusus ditujukan
untuk melawan Sian-thian-cing-gi. Kalau tidak, mana dia berani muncul lagi di dunia
Kangouw?"
"Wah, kungfu apakah itu?" tanya Pwe-giok.
"Bu-siang-sin-kang (ilmu sakti tak berwujud)!"
"Bu-siang-sin-kang?" Pwe-giok menegas. "Wah, setelah berhasil meyakinkan Bu-siang-sinkang,
lantas orang ini boleh malang melintang di dunia Kangouw tanpa takut kepada siapa
pun?"
359
"Di dunia ini sekarang memang tiada seorang pun dapat menandingi dia, orang yang dapat
menumpasnya di dunia ini mungkin hanya ada seorang saja," tutur si perempuan baju hitam.
"Oo, siapa?" tanya Pwe-giok.
"Kau!" jawab perempuan itu tegas.
"Ak... aku?!" Pwe-giok jadi melenggong. "Tapi... aku..."
"Bicara tentang ilmu silat, dengan sendirinya kau bukan tandingannya, tapi kau seorang yang
dapat berpikir panjang, berhati tabah, tenang, banyak segi baikmu yang tidak terdapat pada
orang lain."
"Akan tetapi..."
"Apakah kau tahu kisah Heng Ko membunuh raja Cin di jaman Ciankok dahulu?" sela si
perempuan baju hitam.
"O, maksudmu aku... akupun harus membunuh Tangkwik-siansing secara gelap?"
"Membunuh secara licik sebenarnya bukan tindakan seorang ksatria sejati," ujar si perempuan
baju hitam. "Tapi keadaan mendesak, urusan sudah terlanjur begini, terhadap iblis jahat
seperti dia itu tidak perlu lagi bicara tentang tindakan terang atau gelap."
"Tapi orang kosen semacam Tangkwik-siansing, cara... cara bagaimana dapat kudekati dia?"
"Banyak sekali kesempatanmu untuk mendekati dia."
"Caranya?" tanya Pwe-giok.
"Sudah tentu jalan yang paling mudah adalah berusaha mendapat kepercayaan dan kaupun
dapat mendekati dia dengan leluasa."
"Tapi berdasarkan apa Tecu akan mendapatkan kepercayaannya?"
"Tentu saja kau memiliki barang yang bisa mendapatkan kepercayaan Tangkwik-siansing,
hanya saja kau sendiripun tidak mengetahuinya."
"Oo? Sudikah Cianpwe memberi penjelasan?"
"Coba katakan dulu, benda mestika simpanan Siau-hun-kiongcu sudah kau dapatkan bukan?"
Pwe-giok tidak berani berdusta, tanpa pikir dia membenarkan.
Mencorong sinar mata si perempuan baju hitam, katanya, "Dan di antara barang-barang
tinggalan Siau-hun-kiongcu itu terdapat sepotong Tik-pai (plat bambu) bukan?"
Orang kosen ini ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa dan pengetahuan yang luas,
rasanya sukar sekali bagi orang yang ingin berdusta padanya.
360
Maka Pwe-giok mengiakan pula.
"Dan Tik-pai itu apakah masih berada padamu?" tanya perempuan baju hitam.
"Syukurlah sampai sekarang masih kusimpan," jawab Pwe-giok.
"Sebenarnya barang itu cuma sepotong belahan bambu yang sangat umum, tapi dalam
pandangan orang lain justeru merupakan benda yang tak ternilai harganya, dan apakah kau
tahu dimana letak nilainya yang tinggi itu?"
"Justeru hal inilah yang tidak kuketahui," jawab Pwe-giok.
"Sebab Tik-pai itu adalah benda kepercayaan Tangkwik-siansing."
"Benda tanda kepercayaan?"
"Ya, barang siapa memegang pelat bambu itu, seketika jadilah dia tuan penolong Tangkwiksiansing,
apapun yang harus dilakukan Tangkwik-siansing atas permintaan orang yang
memegang benda itu pasti takkan ditolaknya."
"O, sebab apa?" tanya Pwe-giok.
"Orang ini meski sangat kejam, tapi berwatak angkuh, tinggi hati, sama sekali dia tidak mau
hutang budi, betapapun dia tidak suka ditolong orang. Tak tersangka, 30 tahun yang lalu ia
justeru telah utang budi kepada seseorang, dan orang ini justeru tidak mengharapkan balas
jasa apapun dari dia. Karena itu, terpaksa dia mengukir sepotong bambu dan diberikan kepada
penolongnya itu sebagai tanda kepercayaannya. Pada potongan bambu itu terukir huruf yang
mengatakan "melihat Tik-pai sama dengan ketemu orangnya", jadi Tik-pai itu mewakili
Tangkwik-siansing..."
"Ya, ku paham maksudnya," kata Pwe-giok. "Dan siapakah orang yang memegang Tik-pai
itu?"
"Siapapun orang ini tidaklah penting bagi kita, sebab dia sudah mati, yang utama sekarang
adalah Tik-pai tersebut sekarang berada padamu," kata si perempuan baju hitam. "Jika
Tangkwik-siansing sudah menyatakan Tik-pai itu sama dengan dia pribadi, maka sekarang
kau juga sama sebagai tuan penolongnya. Apapun yang kau minta, pasti dilakukannya tanpa
ditolak. Kan sudah kukatakan, watak orang ini sangat tinggi hati, apa yang sudah
diucapkannya tidak nanti dijilat kembali."
"Jadi maksud Cianpwe agar kubawa Tik-pai untuk menemui Tangkwik-siansing dan
menyuruh dia memenggal kepalanya sendiri?" tanya Pwe-giok setelah berpikir.
Perempuan baju hitam tertawa, katanya, "Biarpun dia tidak bakalan menjilat kembali apa
yang diucapkannya, kala kau minta dia memenggal kepalanya sendiri, betapapun tidak nanti
dilakukannya. Jika 30 tahun yang lalu permintaanmu mungkin akan terpenuhi, tapi sekarang,
usia seorang kalau sudah tambah lanjut, semakin dekat akhir hayatnya, biasanya orang akan
semakin merasakan betapa berharganya jiwa sendiri."
"Jika demikian, jadi maksud Cianpwe..."
361
"Boleh kau temui dia dengan membawa Tik-pai dan minta dia mengajarkan Bu-siang-sinkang
padamu."
"Kemudian?"
"Untuk belajar Bu-siang-sin-kang, tentu saja tidak dapat diselesaikan dalam waktu tiga atau
lima hari. Selama kau belajar kungfu padanya, tentu banyak kesempatanmu untuk berdekatan
dengan dia."
"Ya, betul," kata Pwe-giok.
"Tidak dapat membalas budi, inilah yang dianggapnya penyesalan selama hidup. Sekarang
kau datang padanya dengan membawa Tik-pai serta memohon sesuatu padanya, hal ini boleh
dikatakan telah melunasi cita-citanya selama ini. Dia pasti akan sangat girang dan takkan
tanya asal usulmu, juga pasti tidak berprasangka buruk padamu, pepatah bilang "harimau pun
ada kalanya berkedip". Nah, karena kau dapat mendekati dia setiap saat, tentu banyak
kesempatan bagimu untuk turun tangan."
"Akan tetapi..."
Perempuan baju hitam tidak membiarkan anak muda itu bicara, dengan suara tegas ia
menyela, "Setelah kau tahu kejahatan dan rencana kejinya, apa pula yang kau ragukan lagi?
Masakah kau tidak ingin menumpas kejahatan bagi dunia Kangouw umumnya, masakah kau
tidak ingin membalas dengan bagi dirimu sendiri?"
"Jadi asal usul diriku sudah diketahui Cianpwe?" tergerak hati Pwe-giok.
Perempuan itu tersenyum, katanya, "Tahukah kau siapa yang mengubah bentuk wajahmu
ini?"
"Sungguh menyesal, Tecu menerima budi pertolongan beliau, tapi siapa nama beliau yang
mulia sejauh ini belum kuketahui," jawab Pwe-giok dengan sedih.
"Pribadinya juga menanggung penderitaan yang sangat mendalam, sebab itulah sudah lama
dia mengasingkan diri dan melupakan nama, tapi dapat kuberitahukan kepadamu, dia adalah
sahabatku yang paling karib."
Mau tak mau Pwe-giok merasa kagum.
"Sudah lama sekali Tangkwik-siansing tidak berani bergerak," demikian perempuan baju
hitam menyambung lagi, "sebabnya adalah karena dia jeri terhadap kami berdua, sebab meski
Bu-siang-sin-kang telah berhasil dilatihnya dengan baik, tapi kalau menghadapi gabungan
kami berdua, tetap kami sanggup mematikan dia... cuma... cuma sayang..." suaranya semakin
lemah dan berubah menjadi helaan nafas.
"Cuma sayang apa?" tanya Pwe-giok. "Masakah beliau sudah..."
Sampai cukup lama si perempuan baju hitam terdiam, habis itu kelihatan terangsang pula,
dadanya naik-turun, ia menghela nafas panjang sekali lalu berucap dengan sedih, "Mungkin...
362
mungkin ia sudah terkena tangan keji Tangkwik-siansing..." tapi dengan cepat ia
menyambung pula, "Namun urusan ini belum dapat kubuktikan, jika Tangkwik tidak
mengetahui jelas dia sudah meninggal, mana dia berani muncul lagi di dunia Kangouw?
Justeru lantaran dia sudah mati, maka Tangkwik menjadi berani."
Pwe-giok mengertak gigi dan berkata, "Apa pesan Cianpwe pasti akan kukerjakan, cuma,
kalau gerak-gerik Tangkwik-siansing ini sedemikian misterius, kemana harus kucari dia?"
"Dengan sendirinya sukar bagimu untuk mencarinya, tapi dapat diusahakan agar dia yang
mencari kau," kata perempuan baju hitam.
"O, maksud Cianpwe agar Tecu menyiarkan berita bahwa Tik-pai itu berada pada tanganku?"
"Betul, jika mendengar berita Po-in-pai (pening balas budi) sudah jatuh di tanganmu, tentu dia
akan mencari kau betapapun jauhnya."
"Melihat Tik-pai itu sama melihat orangnya, artinya hanya kenal pada Tik-pai itu dan tidak
pula kenal orangnya, tapi sebelum kuserahkan Tik-pai itu padanya, kan setiap orang juga
dapat merampas Tik-pai itu dari tanganku?"
"Tapi siapakah yang mampu merebut Tik-pai itu dari tanganmu?" ujar si perempuan baju
hitam.
Pwe-giok tersenyum getir, ucapnya, "Bukannya Tecu tidak dapat menilai dirinya sendiri, tapi
sesungguhnya orang kosen di dunia Kangouw ini masih sangat banyak."
"Betul juga ucapanmu," kata perempuan itu, "dengan ilmu silatmu sekarang, di dunia ini
sedikitnya masih ada 13 tokoh yang mampu mengalahkanmu, bisa jadi lebih. Tapi orangorang
ini kebanyakan sudah mengasingkan diri, jika mendengar berita hangat ini, mungkin
sekali merekapun akan tertarik, andaikan tidak sampai main rebut secara terang-terangan,
bukan mustahil akan mengincarnya secara diam-diam."
Tanpa memberi kesempatan bicara kepada Pwe-giok, dengan tertawa ia menambahkan pula,
"Tapi kau juga sudah memegang Giam-ong ceh (piutang raja akhiran), kenapa mesti takut lagi
kepada orang-orang ini?"
"Giam-ong-ceh?" Pwe-giok menegas dengan heran.
"Ya, jika kau pegang Po-sin-pai, masa tidak pegang Giam-ong-ceh?" ujar si perempuan baju
hitam.
"Yang Cianpwe maksudkan apakah buku catatan itu?" tanya Pwe-giok.
"Betul," jawab perempuan itu, lalu dengan perlahan ia berucap, "Manusia bukan nabi, siapa
yang tidak pernah berbuat salah? Orang hidup selama berapa puluh tahun, sedikit banyak
pasti pernah berbuat salah dan merugikan orang lain, lebih-lebih orang yang sudah terkenal
itu, orang hanya melihat sebelah yang gemilang, tapi lupa pada sisi yang lain. Siapapun tidak
tahu dengan batu loncatan apa mereka berhasil merangkak ke atas?"
363
Pwe-giok menghela nafas panjang, iapun tahu jalan menuju sukses memang tidak mudah,
untuk bisa mencapai titik final entah perlu melangkahi berapa banyak mayat orang.
"Misalnya," demikian perempuan baju hitam menyambung lagi, "sebabnya Ang Seng-ki dapat
menjadi ketua Hong-bwe-pang, justeru lebih dulu dia membunuh Suhengnya, lalu meracun
mati gurunya. Rahasia ini akhirnya toh terbongkar. Tapi sebelum tersingkap, setiap orang
Kangouw sama mengakui Ang Seng-ki adalah seorang ksatria sejati, seorang pahlawan
besar."
Pwe-giok menghela nafas dan diam saja.
Perempuan itu melanjutkan, "Setelah rahasianya terbongkar, maka orang hanya menganggap
nasib Ang Seng-ki lagi malang, sebab entah berapa banyak peristiwa serupa yang terjadi di
dunia Kangouw, hanya saja tidak diketahui orang luar."
"Jika ingin orang lain tidak tahu, hanya diri sendiri jangan berbuat," ucap Pwe-giok menyitir
pepatah. "Seorang kalau berbuat dosa, lambat atau cepat pasti akan ketahuan."
"Betul, rahasia apapun juga akhirnya pasti akan terbongkar, dan diseluruh dunia ini, orang
yang paling banyak mengetahui rahasia ini ialah Siau-hun-kiongcu."
"Oo ?!" Pwe-giok bersuara heran.
"Kau tahu Siau-hun-kiongcu cantik molek dan tidak sedikit lelaki yang terpikat, dan saat yang
paling sukar untuk menyimpan rahasia kaum lelaki adalah pada waktu berbaring di tempat
tidur, di samping si molek."
Ucapan perempuan baju hitam ini hanya samar-samar, tapi apa maksudnya cukup gamblang
bagi pendengarnya.
Artinya, bilamana seorang perempuan cantik tidur bersama kau di suatu tempat tidur, sebuah
mulut mungil berbisik-bisik di tepi telingamu, sepasang mata jeli memandangi kau di samping
bantal. Dalam keadaan demikian, jika kau dapat tutup rahasia, maka tergolong kuat imanmu
dan harus diberi tanda pujian. Sebab kalau seorang dapat menjaga rahasia bagi orang lain,
maka hakikatnya kau adalah seorang nabi.
Dan betapapun nabi di dunia ini tidaklah banyak.
"Dari sekian orang yang dikenalnya, Siau-hun-kiongcu telah memperoleh macam-macam
rahasia yang tidak diketahui umum," demikian perempuan baju hitam itu melanjutkan.
"Semua rahasia yang didengarnya itu lantas ditulisnya dalam buku catatan itu. Dia memang
seorang pintar, dia cukup tahu betapa nilainya sesuatu urusan, ia dapat menunggu naiknya
harga pasar. Ditunggunya bilamana harga urusan itu sudah mencapai titik tertinggi barulah
dijualnya. Sebab itulah buku catatan itu selalu disimpannya dengan baik dan tidak pernah
dibawanya dalam baju, sebab dia yakin pada suatu hari kelak buku catatan itu pasti banyak
gunanya."
"Tapi sejauh itu toh tidak pernah digunakannya," kata Pwe-giok dengan menyesal.
"Hal ini disebabkan mendadak ia berubah menjadi bodoh," kata perempuan baju hitam.
364
"Bodoh?" Pwe-giok menegas.
"Ya, bodoh," perlahan perempuan baju hitam bertutur. "Di dunia ini ada dua macam orang
yang paling bodoh. Yang pertama adalah kakek yang mencintai anak gadis. Kakek semacam
ini mungkin saja cerdas, juga kenyang asam garam kehidupan, tapi sering-sering kelabakan
dan pusing kepala karena dipermainkan oleh seorang anak dara yang masih berbau pupuk
jeringau. Orang semacam ini meski kasihan, tapi tidak ada orang yang bersimpatik padanya,
sebab perbuatannya itu adalah akibat tingkah polah sendiri."
Pwe-giok hanya tersenyum getir saja, ia tahu orang yang tergila-gila kepada anak gadis
memang bukan kejadian yang menggembirakan, tapi sering2 malah dramatis, bahkan
terkadang juga komedi.
"Dan orang bodoh macam kedua adalah anak gadis yang edan kasmaran," tutur si perempuan
baju hitam lebih lanjut. "Betapapun biasanya anak gadis sangat pintar dan cerdik, sekali dia
gila cinta, seketika akan berubah menjadi bodoh dan buta. Sudah jelas orang yang dicintainya
itu adalah seorang penjahat, seorang pengeretan, tapi dalam pandangannya lelaki itu adalah
orang yang paling jujur di dunia ini, lelaki yang paling menarik. Biarpun lelaki itu bilang
padanya bahwa salju itu hitam dan bak (tinta Cina) itu putih, maka iapun akan percaya
penuh."
Pwe-giok jadi teringat kepada Ciong Cing yang tergila-gila kepada Kwe Pian-sian yang sudah
berumur itu, tanpa terasa ia menghela nafas menyesal pula.
"Tapi Siau-hun-kiongcu kemudian justeru berubah menjadi orang yang jauh lebih bodoh
daripada kedua macam orang tadi, dia bukan saja jatuh cinta secara membuta, bahkan orang
yang dicintainya itu adalah binatang kecil yang umurnya lebih muda beberapa puluh tahun
daripada dia."
Kembali Pwe-giok menghela nafas, katanya, "Lantaran orang iniliah, Cu-kiongcu tidak
sayang mengorbankan segalanya, dengan sendirinya pula dia tidak mau menggunakan rahasia
pribadi untuk mengancam orang tua kekasihnya. Kemudian ketika diketahuinya bahwa
mereka semua itu adalah manusia berhati binatang, namun segalanya sudah kasip, sudah
terlambat."
"Betul, memang begitu," kata perempuan itu. "Tapi dengan kecerdasanmu, apabila buku
catatan ini dapat kaupergunakan dengan baik, tentu banyak hal-hal yang mengejutkan dapat
kau lakukan, lebih lebih tidak perlu takut orang lain akan mengusik dirimu."
"Akan tetapi..."
"Tidak perlu kau katakan, kutahu maksudmu," potong perempuan itu sebelum lanjut ucapan
Pwe-giok. "Tapi air memang dapat melajukan kapal dan juga dapat menenggelamkan kapal.
Pada dasarnya sesuatu benda itu tidak jahat, bergantung pada hati orang yang
menggunakannya, hal ini perlu kau ketahui."
Pwe-giok mengiakan.
365
Maka tertawalah perempuan itu, katanya, "Bagus sekali, sudah habis ucapanku, pergilah kau!
Pada hari suksesmu, hari itu pula kita akan bertemu. Tatkala mana, segala angan-anganmu
akan dapat kubantu kau menunaikannya."
*****
Ketika bayangan tubuh Pwe-giok menghilang di kejauhan, perempuan baju hitam itu masih
tetap berdiri di situ.
Sang surya belum terbenam, remang senja sudah mulai meliputi bumi.
Dalam keremangan senja itu perempuan baju hitam itu mendadak berubah menjadi sangat
misterius, sangat menyeramkan.
Dia seperti mempunyai dua macam peran, pada siang hari dia adalah manusia. Tapi bila
malam tiba, dia lantas berubah menjadi badan halus dalam kegelapan.
Kini dalam kegelapan telah muncul pula sesosok badan halus yang lain.
Badan halus ini adalah Ki Go-ceng.
Bajunya masih berlepotan darah, tapi mukanya sudah tercuci bersih, kedua matanya yang
mencorong itu menampilkan senyuman yang misterius, katanya dengan terkekeh, "Wah, hari
ini tidaklah sedikit pembicaraanmu."
"Untuk mengurangi sedikit kesulitan di kemudian hari, apa alangannya bicara lebih banyak?"
ujar si perempuan berbaju hitam.
"Bunuh saja dia agar tidak mendatangkan kesulitan?" kata Ki Go-ceng.
Perempuan baju hitam menggeleng, "Kau tidak paham..."
"Aku memang tidak paham mengapa kau suruh aku pura-pura mati dan mengapa melepaskan
dia?"
"Sebab hanya dengan jalan ini dapatlah memancing dia menceritakan berbagai urusan ini."
"Sudah diceritakannya?" tanya Ki Go-ceng.
"Ya, dia sudah mengaku memang dialah anaknya Ji Hong-ho, bahkan dugaanku juga tidak
keliru, memang betul si anjing tua itu yang mengubah bentuk wajahnya, dua hal inilah yang
selama ini tidak dapat kupastikan..."
"Setelah sekarang sudah diketahui dengan pasti, mengapa kaulepaskan dia?"
Kembali perempuan itu menggeleng, "Kau tidak paham, tapi selekasnya kau akan tahu..."
"Kuharap semoga kau tidak berbuat salah."
366
"Bilakah aku pernah melakukan sesuatu kesalahan?" jengek perempuan baju hitam.
Mendadak ia menyurut mundur dua langkah dan berkata, "Tubuhmu itu berdarah, kenapa
tidak ganti pakaian dulu?"
"Haha, kaupun mengira ini darah sungguhan, tampaknya makin lama makin hebat
kepandaianku," kata Ki Go-ceng dengan tertawa.
Perempuan itu tertawa, ucapnya, "Kepandaianmu memang tidak kecil."
"Eh, dimanakah muridmu itu?"
"Maksudmu Hay Tong-jing?"
Ki Go-ceng mengiakan.
"Dia sudah pulang dengan membawa Cu Lui-ji dan Thi-hoa-nio."
"Apakah dia tahu urusan kita ini?"
Dengan sekata demi sekata si perempuan baju hitam menjawab, "Untuk suksesnya urusan
besar, makin sedikit orang yang mengetahui seluk beluknya akan makin baik."
"Dan bagaimana dengan Yang Cu-kang?" tanya pula Ki Go-ceng.
"Demi suksesnya usaha kita, kanperlu mencari beberapa orang untuk dijadikan kambing
hitam?" jawab perempuan berbaju hitam dengan perlahan.
*****
Tanpa terasa musim rontok sudah lalu, makin dinginlah angin yang bertiup.
Selama beberapa hari terakhir ini boleh dikatakan selalu dilalui oleh Pwe-giok dalam keadaan
tegang. Setiap hari selalu terjadi hal-hal yang tidak terduga, satu persatu susul menyusul, yang
satu lebih berbahaya daripada yang lain sehingga menimbulkan pikirannya bahwa hari ini
mungkin adalah hari kehidupannya yang terakhir. Dan baru sekarang dia benar-benar dapat
menghela nafas lega.
Sekarang baru diketahuinya keadaan sendiri yang nelangsa, baju yang dipakainya sangat tipis
dan kotor, harus ganti dan perlu mandi sebersihnya.
Jika tidak mati, maka dia harus hidup sebaik-baiknya.
Dia ingin mencari suatu tempat yang santai, lebih dulu mandi dan bersihkan muka, lalu ganti
pakaian bersih. Terbayang betapa nikmatnya berendam dalam air panas, sekujur badan
seketika terasa gatal.
Cuma sayang, dalam saku Pwe-giok sekarang tertinggal beberapa mata uang saja. Seorang
kalau keselamatan jiwa selalu terancam, dalam keadaan demikian barulah dia melupakan
uang.
367
Petang itu dia sampai di suatu kota kecil, dengan dua duit dia membeli sekotak geretan dan
membeli mi pangsit dengan empat duit. Waktu dia meninggalkan kota kecil itu, sakunya
sudah kosong melompong.
Namun hati terasa sangat senang, terutama rahasia orang-orang ternama adalah hal yang
paling menarik bagi siapapun.
Sifat suka menyelidiki rahasia orang lain memang merupakan sifat buruk manusia.
Begitulah di luar kota Pwe-giok mendapatkan sebuah tempat yang teraling dari tiupan angin,
di situ ia membuat api unggun, setelah dipanggang dengan api, timbullah huruf-huruf yang
tertulis pada buku catatan tinggalan Siau-hun-kiongcu.
Nama-nama yang tercatat di dalam buku harian itu memang seluruhnya terdiri dari tokohtokoh
terkenal, kebanyakan sudah pernah didengar Pwe-giok, diantaranya termasuk kesepuluh
tokoh top seperti Tonghong Tay-beng, Li Thian-ong, Oh-lolo cinjin, dan sebagainya, juga
nama ketua ke-13 orang besar yang ikut dalam pertemuan Wi-ti semuanya tercatat di situ.
Yang paling menyolok dan mendebarkan bagi Pwe-giok adalah nama ketiga orang ini, Ki Goceng,
Hong Sam, dan Ji Hong-ho.
Ia hampir tidak percaya kepada matanya sendiri. Selama hidupnya ayahnya terkenal jujur dan
lurus, tidak kemaruk harta, tidak cari nama. Lalu ada perbuatan apa yang juga dianggap
berdosa?
Meski dia tidak percaya, tapi juga tidak berani tidak percaya.
Ketika membaca nama Hong Sam, halaman itulah dilewatkan.
Hong Sam adalah saudaranya, sahabatnya, biarpun pernah berbuat sesuatu kesalahan juga
dapat dimaklumi, maka iapun tidak ingin tahu.
Tapi dia tidak melampaui catatan mengenai Ki Go-ceng. Dilihatnya di bawah nama Ki Goceng
tercatat keterangan: Berzinah antar kakak dan adik.
Jantung Pwe-giok seakan-akan berhenti berdenyut. Sungguh sukar dipercaya di dunia ini
ternyata ada manusia yang tidak tahu malu dan kotor begini. Tapi mau tidak mau ia harus
percaya, sebab lantas teringat olehnya putera Ki Go-ceng, yaitu Ki Cong-hoa, kalau bukan
hasil perzinahan antara kakak dan adik, manabisa melahirkan orang yang gila itu?
Tapi anehnya Ki Leng-hong dan Ki Leng-yan tidak mendapatkan bibit jahat keturunan
mereka. Padahal umumnya putera-puteri orang kerdil juga jarang yang normal. Apakah
mereka memang bukan puteri sedarah Ki Cong-hoa?
Pwe-giok jadi teringat pada lorong di bawah tanah di Sat-jin-ceng atau perkampungan
pembunuh orang itu. Di lorong rahasia itu ditemukannya sepotong batu giok, lalu teringat
pula kekasih Ki-hujin yang misterius itu. Tidak perlu disangsikan lagi orang itu jelas adalah
anggota keluarga Ji (mengenai Sat-jin-ceng dan keluarga Ki, hendaknya baca Renjana
Pendekar).
368
Apakah semua itulah rahasia pribadi "Ji Hong-ho" gadungan itu?
Pwe-giok tidak berani memikirkannya lagi, tapi ia tahu bila urusan ini tidak dibikin terang,
kelak setiap saat toh masih tetap akan teringat olehnya.
Tanpa terasa ia membalik halaman yang tercatat nama "Ji Hong-ho". Tangannya terasa
gemetaran dan jantung berdetak keras.
Dilihatnya di bawah nama "Ji Hong-ho" itu tertulis keterangan: kakak beradik tidak akur, adik
diusir sehingga menjadi bandit. Wajahnya kelihatan alim, tapi perbuatannya rendah.
Di samping terdapat pula sebaris huruf kecil yang menjelaskan "Bandit di padang pasir utara
It-koh-yan (satu gulung asap) ialah adik Ji Hong-ho, diusir sang kakak sejak kecil, akhirnya
menjadi penjahat. Sang kakak terkenal sebagai orang suci, adiknya tersohor sebagai bandit.
Sungguh lucu."
Seketika tangan Pwe-giok berkeringat dingin.
Teringat olehnya waktu kecil pernah didengarnya mempunyai seorang Jicek atau paman
kedua, tatkala mana ibunya belum meninggal dunia, apabila dirinya bertanya mengenai
paman itu, sang ibu lantas marah dan menjawab, "Jicek sudah mati, sudah lama mati."
Bahkan disuruhnya selanjutnya jangan bertanya pula.
Dan baru sekarang diketahuinya sang paman tidak mati, jika demikian apakah kekasih gelap
Ki-hujin itu memang betul pamannya? Jangan-jangan Ki Leng-hong dan Ki Leng-yan adalah
puteri pamannya, hasil hubungan gelap antara sang paman dengan Ki-hujin?
Selama ini Ki Leng-hong terus berusaha melindungi dirinya, apakah lantaran di antara mereka
memang ada semacam hubungan darah dan kontak perasaan yang aneh?
Selagi Pwe-giok termenung-menung sendiri, tiba-tiba didengarnya bunyi gemertak roda
kereta. Seorang yang memakai mantel ijuk dan bertopi caping dengan mendorong sebuah
gerobak roda satu tampak muncul dari arah timur.
Dalam kegelapan tidak kelihatan barang apa yang termuat di atas gerobak itu, tapi dari jauh
sudah tercium bau obat-obatan, jadi muatan gerobak itu kebanyakan adalah bahan obatobatan.
Jalanan di daerah Sujwan memang tidak datar, tapi banyak liku jalan pegunungan yang sukar
dilalui kereta dan kuda. Hanya gerobak roda satu beginilah yang paling leluasa didorong kian
kemari. Di daerah pegunungan Sujwan juga banyak menghasilkan bahan obat-obatan, maka
pedagang obat di berbagai daerah kebanyakan adalah orang Sujwan.
Orang dengan gerobak roda satu ini tidak ada sesuatu yang istimewa, jika orang lain tentu
takkan menaruh perhatian. Tapi Pwe-giok justeru merasa orang ini dan gerobaknya perlu
dicurigai.
Dari suara roda kereta dapat diketahuinya barang muatan gerobak itu cukup berat, padahal
umumnya bobot bahan obat-obatan sangat ringan.
369
Curah hujan di daerah Sujwan sangat sedikit, tapi orang ini justeru memakai mantel ijuk yang
biasanya cuma dipakai kalau hari hujan, meski mendorong kereta seberat ini, namun
langkahnya sangat cepat dan enteng, tidak kelihatan makan tenaga.
Saudagar obat-obatan biasanya juga suka berkelompok, tapi orang ini menempuh perjalanan
seorang diri, bahkan kini sudah jauh malam dan dia masih meneruskan perjalanannya.
Semua ini cukup menimbulkan curiga. Hanya saja saat ini Pwe-giok tidak sempat memikirkan
orang lain. Sedangkan tukang gerobak itupun sedang mendorong dengan kepala tertunduk dan
tidak memperhatikan anak muda itu.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong dari kejauhan bergema pula derap kaki kuda lari yang
riuh, hanya sekejap saja, suara itu sudah mendekat, nyata kuda ini berlari dengan sangat cepat.
Pwe-giok terkejut oleh suara derap kaki kuda yang cepat itu, dalam kegelapan malam yang
sunyi, suara kaki kuda ini kedengarannya sangat menusuk telinga. Namun si tukang gerobak
tadi ternyata tidak angkat kepala dan juga tidak berpaling, seperti orang yang tidak mendengar
apa-apa.
Tampak seekor kuda membedal dengan cepat, kira-kira masih tiga tombak jauhnya serentak si
penunggang kuda melayang dari pelana kuda dan sekali berjumpalitan di udara, seperti
burung seriti menerobos hutan, dengan tepat ia hinggap di depan si tukang gerobak.
Kuda yang ditinggalkannya itu meringkik nyaring dan berhenti seketika.
Diam-diam Pwe-giok memuji, "Orangnya cekatan, kudanya tangkas!"
Tapi si tukang gerobak seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi, ia masih terus mendorong
gerobaknya ke depan dengan tunduk kepala.
Padahal si penunggang kuda tepat menghadang di tengah jalan, tampaknya gerobak itu segera
akan menumbuknya, namun dia tetap tidak bergerak sedikitpun, sungguh tenang dan tabah
luar biasa.
Sekarang dapat dilihat Pwe-giok potongan badan penunggang kuda itu pendek lagi gemuk,
sehingga mirip sebuah bola. Pada punggungnya justru menyandang sebatang pedang yang
amat panjang, bentuknya menjadi rada lucu.
Namun sikapnya ternyata luar biasa, dia hanya berdiri di situ, seketika timbul semacam
wibawa yang membikin orang jeri dan tidak berani menghinanya.
Meski tidak dapat melihat jelas mukanya, tapi diam-diam Pwe-giok sudah dapat menduga
siapakah orang buntak ini.
Ketika gerobak yang didorongnya itu persis hampir menyentuh tubuh orang, barulah
mendadak dihentikan, begitu cepat berhentinya seperti halnya rem pakem pada kendaraan
bermesin jaman kini. Padahal muatan gerobak itu sangat berat, tapi baginya ternyata tidak ada
artinya, sekali mau berhenti segera berhenti.
370
Baru sekarang si penunggang kuda menengadah dan bergelak tertawa, serunya. "Hahaha,
mengapa Auyang-pangcu telah berganti usaha menjadi saudagar obat-obatan ? Wah, inilah
baru berita !"
Kiranya si tukang gerobak adalah Auyang Liong, pemimpin besar ke 72 kelompok bajak di
perairan Tiangkang. Orang ini sudah pernah dilihat Pwe-giok sewaktu rapat di Hong-ti, cuma
sekarang pentolan bajak ini memakai topi dan jas hujan, sehingga wajah aslinya tertutup, tadi
Pwe-giok juga merasa orang seperti sudah pernah dikenalnya, cuma tidak ingat siapa dia.
Begitulah terdengar Auyang Liong sedang menjawab dengan tertawa, "Tajam benar
pandangan Hi-tocu, kagum, kagum !"
Dia mendorong capingnya ke atas, lalu menyambung pula. "Hi-tocu sendiri tidak memancing
ikan saja di lautan selatan, tapi jauh-jauh lari ke sini, memangnya ada pekerjaan apa?
Memangnya jabatan pemimpin besar lautan selatan juga sudah ditinggalkan Hi-tocu dan
sekarang telah berganti jenis usaha?"
Benar juga, Pwe-giok tidak salah lihat, si buntak ini memang betul gembong bajak laut di
daerah selatan, terkenal sebagai Hui-hi-kiam-khek atau si pendekar pedang ikan terbang,
namanya Hi Soan.
Kedua orang ini sama-sama bajak, yang satu bajak laut, yang lain perompak sungai, tapi
sekarang keduanya bertemu di daratan sini. Jelas ini tidak terjadi secara kebetulan, diam-diam
Pwe-giok merasa heran.
Barang apakah muatan gerobak Auyang Liong itu? Sesungguhnya ada usaha apakah di antara
mereka?
Pwe-giok memang bersembunyi di balik batu yang teraling dari tiupan angin, sebab itulah
meski dia menyalakan api unggun juga tidak diketahui oleh kedua orang itu, apalagi sekarang
api unggun itu sudah mulai padam.
Terdengar Hi Soan berkata lagi, "Kedatanganku dari jauh ini, masakah Pangcu tidak tahu apa
sebabnya?"
"Memang tidak tahu, mohon penjelasan, "jawab Auyang Liong.
"Pangcu sendiri datang untuk apa, untuk urusan yang samalah ku datang, kenapa Pangcu
berlagak pilon?" kata Hi Soan dengan tertawa.
Auyang Liong berdiam sejenak, mendadak ia mengeluarkan semacam barang dan berkata,
"Apakah Hi-tocu juga menerima barang ini ? "
Yang terpegang di tangan Auyang Liong hanya sehelai kartu undangan saja, dengan
kedudukan mereka, biarpun setiap hari menerima kartu undangan juga tidak mengherankan,
tapi anehnya tangan Auyang Liong yang memegang kartu undangan itu justru rada gemetar
seperti orang ketakutan.
Setelah melihat kartu undangan itu, tertawa Hi Soan seketika pun lenyap, jawabnya sambil
menghela napas, "Betul, tahun ini akupun tertimpa sial."
371
"Hahaha!" Auyang Liong tertawa. "Tahun ini Hu-patya berusia 70 tahun, jauh-jauh beliau
mengirim undangan ke laut selatan, hal ini kan suatu kehormatan besar bagi Hi-heng, kenapa
malah kau katakan sial?"
Hal ini juga yang membuat Pwe-giok heran. Bahwa orang mengirim kartu undangan padanya,
hal ini menunjukkan orang yang diundang itu cukup luas bergaul, biarpun perjalanan terlalu
jauh dan tidak dapat hadir sendiri, kan dapat mengutus orang dengan membawa kado sekedar
tanda hormat. Padahal gembong kang-ouw seperti mereka ini masakah perlu hemat sedikit
kado?
Tapi dari suara tertawa Auyang Liong yang penuh rasa bersyukur itu, rasanya seperti orang
yang dekat ajalnya mendadak menemukan seorang pengiring yang akan masuk kubur
bersama. Hal ini benar-benar membikin Pwe-giok tidak habis mengerti.
Terdengar Hi Soan tertawa ngekek, katanya, "Betul juga ucapan Pangcu, undangan Hu-patya
memang harus kuterima sebagai suatu kehormatan, hanya saja, sudah dua bulan ini kucari
kian kemari dan belum menemukan suatu kado yang sekiranya cocok. Coba, bagaimana
baiknya kalau menurut pendapat Pangcu?"
Pwe-giok bertambah heran. Mengirim kado adalah tanda persahabatan, asalkan kirim,
bagaimanapun bentuk kado itu, tentunya takkan ditolak oleh si penerima. Apalagi emas perak,
batu permata, benda antik, bahan baju dan makanan, semuanya juga dapat dijadikan sebagai
kado. Masakah Hui-hi-kiam-khek yang terkenal kaya raya sampai mengalami kesukaran
mencari kado, hal ini sukar untuk dipercaya bagi siapapun yang mendengarnya.
Auyang Liong lantas mendengus, "Hi-tocu dikenal setiap orang kangouw sebagai hartawan
dan tokoh berpengaruh, kalau mengaku sukar mendapatkan kado, alasan ini apakah tidak
lucu?"
Hi Soan termenung sejenak, mendadak ia tanya, "Pernahkah Pangcu mendengar orang yang
bernama The Hian?"
"Maksudmu apakah The-tocu dari Ci-sah-to sahabat karib Hi-tocu sendiri?" tanya Auyang
Liong. "Meski pengetahuan Cayhe kurang luas, tapi kalau nama The-tocu saja pernah
kudengar."
"Dan tahukah kau cara bagaimana kematiannya?" tanya Hi Soan pula.
Auyang Liong melengak, sahutnya, "Apakah The-tocu meninggal sakit?"
Jilid 13________
"Dia cukup sehat, sepanjang tahun tidak pernah sakit, masuk angin saja tidak pernah, mana
bisa sakit?"
"Kalau bukan meninggal sakit, habis..... apakah....apakah terbunuh orang?" tanya Auyang
liong dengan ragu.
372
"Betul, dia mati terbunuh," jawab Hi Soan. "Padahal senjata The-tocu, sepasang Ji-goat lun
(gada bulan dan matahari) konon adalah ajaran langsung mendiang Tonghong-sengcu, selama
berpuluh tahun tidak pernah ketemu tandingan, siapa ada yang mampu membunuhnya?"
"Siapa lagi kalau bukan Hu-patya!" sahut Hi Soan.
Seketika air muka Auyang Liong berubah pucat dan tidak bersuara lagi.
Hi soan berucap pula, "Tahun yang lalu waktu Hu patya merayakan ulang tahun, kartu
undangannya tersebar ke Ci-sah-to, karena itu The Hian lantas bekerja giat, dia menyelam ke
dasar laut selama tiga hari dan barulah didapatkan setangkai bunga karang setinggi tiga kaki,
Diam-diam ia bergirang ia anggap kadonya ini umpama tidak dapat melebihi orang lain,
sedikitnya akan dapat memuaskan Hu-patya."
"Oo!" Auyang Liong terkesiap.
"Seterima kado itu, Hu-patya tidak memberi komentar apapun, ia hanya membawa The Hian
ke sebuah kamar, didalam kamar itu tidak ada barang lain, isinya melulu bunga karang, setiap
bunga karang sedikitnya lima kaki tingginya," Hi Soan menghela nafas, lalu menyambung,
"Melihat itu, hati The Hian terasa dingin, benarlah, setetes arak saja Hu-patya tidak
memberinya minum, tapi langsung mengantar dia angkat kaki, malahan beliau sendiri yang
mengantar The Hian hingga jauh ke luar kota.
"O, dan kemudian bagaimana?" tanya Auyang Liong.
"Kemudian The hian langsung pulang ke rumah. tapi begitu sampai dirumah dia lantas
tumpah darah dan roboh, sampai dia sendiripun tidak tahu mengapa bisa terluka. Ia hanya
ingat waktu Hu-patya hendak berpisah setelah memberi soja (hormat dengan kedua kepalan di
depan dada) dan saat itu juga dia merasa dadanya rada panas."
"Berapa hari dia hari sampai....sampai dirumah?" tanya Auyang Liong.
"Tujuh hari, daerah yang ditumpahkannya hampir sebaskom penuh dan malam itu juga dia
meninggal."
Auyang Liong berdiam sejenak dengan wajah kelam, gumamnya kemudian, "Lihay benar
Pek-poh-sin-kun (pukulan sakti seratus langkah), bukan saja dapat mencelakai orang tanpa
kelihatan dan baru kambuh lukanya setelah lewat tujuh hari. Tampaknya nama kebesaran Hupatya
memang bukan omong kosong belaka."
"Setiap orang Kangouw sama tahu ilmu pukulan sakti Hu-patya tiada tandingannya," kata Hi
Soan dengan gegetun. "siapapun tahu bila ada yang mengirim kado tidak cocok dengan
seleranya, maka sukarlah terhindar dari suatu pukulannya, apa yang tersiar ini tidak omong
kosong."
Seketika Auyang Liong memandang, menatap di atas gerobaknya dan tidak dapat bersuara
lagi.
"Karena sudah ada contoh yang terjadi di atas diri The Hian, maka kado yang harus ku
sediakan tahun ini tidak dapat sembarangan kukirimkan kata Hi Soan pula. "Begitu menerima
373
kartu undangannya, segera ku mulai mencari dan sampai saat ini belum lagi mendapatkan
kado yang sekiranya dapat memuaskan hati Hu-patya. Padahal hari ulang tahun Hu-patya
sudah dekat, coba bagaimana baiknya kalau menurut pendapat Pangcu?"
Baru sekarang Pwe-giok paham duduknya perkara, diam-diam iapun merasa serba runyam, di
dunia ini memang tidak sedikit orang mencari keuntungan pada saat-saat tertentu, seperti
ulang tahun, perkawinan dan hajat lain, tapi cara Hu-patya yang bertindak sewenang-wenang
ini sungguh jarang terdengar, caranya ini jelas jauh lebih ganas dan kejam daripada kaum
perampok dan pembegal di tengah jalan.
Iapun tahu Pek-poh-sin-kun adalah ilmu pukulan Siau-lim-pay yang tidak diajarkan kepada
orang lain, jadi Hu-patya ini mungkinkah murid Siau-lim-si dari keluarga orang preman?
Hi Soan dan Auyang Liong adalah tokoh kelas satu di dunia Kangouw, kalau merekapun
sedemikian ketakutan, dengan sendirinya Hu-patya yang dimaksudkan itu bukanlah tokoh
sembarangan, Tapi seketika Pwe-giok tidak ingat siapakah gerangan Hu-patya ini?
Dilihatnya Auyang Liong terdiam sekian lamanya, katanya kemudian dengan perlahan.
"Betapa tertekan perasaan Tosu saat ini dapat juga kurasakan, cuma saja, menjaga diri sendiri
saja sukar, terpaksa aku tidak dapat memberi bantuan apa-apa kepada Tocu."
Gemerdep sinar mata Hi Soan, iapun sedang mengawasi barang muatan di atas pedati,
jengeknya, "Jika demikian jadi Pangcu juga belum berhasil mendapatkan kado yang sesuai?"
Auyang Liong menyengir, ucapnya, "Kado sih sudah ku sediakan, cuma tidak diketahui
apakah memenuhi selera Hu-patya atau tidak."
"Ah, janganlah Pangcu berkelakar," ujar Hi Soan dengan tertawa. Mendadak ia berhenti
tertawa, lalu melototi Auyang Liong, katanya pula, "Di depan kaum ahli tidak perlu omong
kosong. Kalau saja kado Pangcu tidak dapat memenuhi selera Hu-patya, lalu kado siapakah
yang dapat memuaskan beliau?"
Seketika air muka Auyang Liong berubah, katanya, "Memangnya kau sudah tahu kado apa
yang hendak kupersembahkan kepada Hu-patya?"
"Ya, tahu sekedarnya," ucap Hi Soan dengan tenang.
"Jadi sepanjang jalan kau selalu mengintai di belakangku?" bentak Auyang Liong.
"Sepanjang jalan telah dilalui Pangcu dengan aman dan tenteram, sampai di sini satu maling
kecil saja tidak ku pergoki, barangkali inilah kemahiran Pangcu menyembunyikan dan
mengelabuhi mata orang," kata Hi Soan. Dia menengadah dan tergelak, lalu sambungnya.
"Padahal, biarpun seorang maling kecil yang masih hijau juga dapat melihat barang muatan
pedatimu pasti bukan bahan obat-obatan segala....Haha, di dunia ini mana ada bahan obatobatan
seberat ini?"
Mendadak Auyang Liong mendengus, "Hmmm.. seumpama ada sementara maling kecil yang
lamur dan bermaksud mengincar barang muatan pedati ini, rasanya juga aku tidak perlu takut
padanya.
374
"Eh, tahulah Pangcu bahwa sepanjang jalan orang she Hi telah banyak membantu mengawasi
Pangcu ke sini, entah berapa banyak penjahat yang sedikitnya juga sudah berkeringat...." dia
tertawa lalu melanjutkan, "makanya kedatanganku ini adalah ingin minta sekedar persen pada
Pangcu, tentunya takkan Pangcu tolak bukan?"
Sekalipun Auyang Liong ini seorang tolol juga sekarang dapat menangkap apa maksud
ucapan Hi Soan itu.
Sekarang dia lantas bersabar malah, jawabnya kemudian, "O, jangan-jangan yang dikehendaki
Tocu adalah gerobak ini?"
Hi Soan menghela nafas, katanya, "Kalau kukatakan memang rikuh, soalnya memang
terpaksa."
"Baik, akan kuberikan kepadamu," kata Auyang Liong, mendadak ia mendorong gerobaknya
ke depan, langsung menumbuk Hi Soan.
Namun sebelumnya Hi Soan sudah berjaga akan kemungkinan ini, sebelum tertumbuk dia
sudah melompat ke atas lebih dulu, "creng", pedang segera dilolosnya. Di tengah
gemerdepnya sinar pedang, segera ia menusuk Auyang Liong.
Hui hi kiam khek, si pedang ikan terbang, sudah lama terkenal sebagai jago pedang paling
cepat di lautan selatan, serangan ini sungguh cepat luar biasa, reaksinya cepat, caranya
meloloskan pedang juga cepat, serangan yang dilancarkan terlebih-lebih cepat.
Tapi Auyang Liong sempat mendak ke bawah, sekali tangan menarik, mantel ijuk yang
dipakainya terus menyambar ke depan untuk menangkis tusukan pedang Hi Soan.
Kiranya mantel ijuk yang dipakaiannya ini bukanlah ijuk sungguh-sungguh melainkan terbuat
dari benang emas hitam dan tidak mempan ditembus senjata, inilah senjata andalannya yang
sudah terkenal, untuk menyerang senjatanya ini mungkin agak lamban, tapi untuk berjaga
boleh dikatakan sangat efektif.
Maka terdengarlah suara "creng-cring" beberapa kali, lelatu api meletik ketika ujung pedang
bersentuhan dengan mantelnya.
Waktu Auyang Liong memutar mantelnya, dengan dahsyat ia sabet ke arah Hi Soan, serentak
di bawah mantel itupun memancar berpuluh bintik cahaya, langsung menyerang dada lawan,
dibalik mantelnya tersembunyi pula senjata rahasia sungguh serangan yang keji dan sangat
lihay, sejak Auyang Liong terkenal, belum pernah ada lawan yang sanggup menghindarkan
serangan ini.
Siapa tahu, mendadak bayangan orang berkelebat, kembali Hi Soan mengapung lagi ke atas
sinar pedang melingkar di udara, tahu-tahu ia sudah berada di belakang Auyang Liong. Inilah
gerakan "ikan terbang" andalan Hi Soan.
Dalam keadaan demikian, sudah terlambat bagi Auyang Liong untuk membalik tubuh, sinar
pedang sudah terbenam dipunggungnya, tokoh perairan ini memang tidak seharusnya
meninggalkan air, kalau ikan meninggalkan air jelas akan mati di daratan.
375
Sungguh Pwe-giok tidak nyana, tidak sampai tiga jurus Auyang Liong sudah tewas di bawah
pedang Hi Soan, padahal ia sendiri belum lagi mengambil keputusan apakah mesti ikut
campur urusan ini atau tidak dan tahu-tahu Auyang Liong sudah mati.
Dilihatnya Hi Soan lagi mencabut pedangnya sambil menghela nafas panjang, gumamnya,
"Auyang pangcu, sebenarnya dia tidak ingin kubunuh kau, tapi kalau tidak kubunuh kau
berarti aku sendiri yang harus mati. Jadi janganlah kau sesalkan diriku, yang harus disesalkan
ialah Hu-patya...."
Sembari bergumam ia terus siap mendorong gerobak roda satu tadi.
Pada saat itulah mendadak seorang berseru, "Kawan satu haluan asal melihat mendapat
bagian, Mayat bagianmu, gerobak serahkan padaku!"
Suaranya lantang, kedengarannya masih jauh, tapi begitu kata terakhir terucapkan, tahu-tahu
orangnya sudah berada di depan Hi Soan, sampai Hi Soan sendiri tidak tahu cara bagaimana
orang muncul di situ. Hanya terdengar suara "tring-tring" dua kali, suara nyaring seperti bunyi
keleningan dan orang itupun sudah berada di depannya seakan tumbuh dari bawah tanah.
Pwe-giok tidak dapat melihat air muka Hi Soan hanya diketahuinya bahwa melihat orang ini,
seketika tubuh Hi Soan seolah-olah lantas mengkeret sebagian, menegakkan leher saja tidak
berani, apalagi membusungkan dada.
Gerak tubuh orang ini sangat cepat, tapi perawakannya tinggi besar, cuma bagian punggung
membonggol, ternyata dia seorang bungkuk.
Melihat sikap Hi Soan yang ketakutan itu serta melihat bentuk tubuh orang bungkuk ini,
mendadak Pwe-giok ingat pada semboyan yang pernah didengarnya: "Apabila keleningan
unta berbunyi, jiwa akan melayang seketika". Jangan-jangan orang ini adalah "Hui-toh" (unta
terbang) It Kun, seorang tokoh yang sederajat dengan Lo-cinjin, Oh-lolo dan lain-lain.
Dilihatnya Hi Soan tetap menyapa dengan mengiring senyum, "Sudah belasan tahun It-cinjin
tidak pernah muncul di daerah Tionggoan, beruntung hari ini dapat berjumpa, sungguh
beruntung....."
Tapi It Kun sama sekali tidak menggubrisnya sorot matanya yang tajam terus mengincar
muatan di atas gerobak roda satu itu.
Hi Soan berusaha mengalingi gerobak itu, kalau bisa gerobak itu akan disulapnya menjadi
kecil dan disembunyikannya.
Mendadak It Kun melayang ke dekat gerobak, sekali tangannya bekerja, barang muatan di
atas gerobak diobrak-abriknya sehingga kelihatanlah sebuah kotak besi.
Mata Hi Soan seakan-akan menyemburkan api, tapi dia tidak berani merintangi perbuatan
orang.
Terlihat It Kun telah mengangkat kotak besi itu dan dibuka, dipandangnya sekejap isi kotak,
lalu menengadah dan terbahak-bahak, katanya. "Hahahaha! Bagus, bagus...."
376
"Hehe, tidak bagus, tidak bagus!..." Hi Soan menukas, "Isinya cuma beberapa potong patung
batu saja, dimana kebagusannya belum lagi kau ketemukan, masa It-cinjin tertarik oleh
beberapa potong batu ini?"
"Jika kau bilang tidak bagus, boleh kau berikan padaku saja," ujar It Kun dengan tertawa.
Hi Soan jadi melengak, ia tidak dapat mengelak lagi, tapi berkata dengan gelagapan, "Barangbarang
ini tidak berharga, apabila...apabila It Cinjin suka, biarlah lain hari ku pesankan
beberapa pasang patung perempuan cantik ukiran ahli pahat terkenal di kota raja, kujamin
pasti jauh lebih indah dan bernilai daripada beberapa potong orang-orangan batu ini."
"Tidak, aku tidak suka barang lain, hanya menyukai beberapa patung ini," kata It Kun dengan
tertawa.
Hi Soan mengusap keringat, katanya, "Akan...akan tetapi..."
Mendadak It Kun mendelik, bentaknya, "Hampir tidak pernah kubuka mulut minta sesuatu
kepada siapapun, kau berani bicara keras kepadaku, memangnya kau hanya takut pada Pekboh-
sin-kun Hu Lopat dan tidak gentar kepada Tui-hong-ciangku?"
Hi Soan tampak mandi keringat, sudah diusap masih terus mengucur, ia menunduk dan
memandangi pedang sendiri, seperti ingin melabrak orang tapi ragu-ragu.
It Kun mendengus, "Konon pedangmu sangat cepat, bahwa kau dapat menjadi pemimpin
lautan selatan, tentu sedikit banyak kau mempunyai kemampuan. Marilah mari, boleh cobacoba
kau tusuk aku satu-dua kali, takkan kusalahkan perbuatanmu."
Hi Soan menggreget, katanya, "Jika demikian terpaksa ku turut saja kehendak It-cinjin."
Sembari bicara pedang lantas menusuk, menghadapi saat gawat yang menyangkut mati
hidupnya dengan sendirinya ia menyerang sepenuh tenaga, terlihat sinar pedang berkelebat,
tahu-tahu ujung pedang itu menyambar ke tenggorokan It Kun.
Tapi It Kun tetap berdiri di tempatnya dengan tegak seakan-akan menganggap serangan lawan
seperti permainan anak kecil saja.
Diam-diam Hi Soan bergirang, ia pikir bila pedang sudah dekat, jangan harap akan dapat kau
hindarkan.
Siapa tahu, pada saat terakhir itu, sekonyong-konyong It Kun mengangkat tangannya, secepat
kilat jarinya menjepit. Betapa cepat gerakan pedang Hi Soan, gerak tangan It Kun ternyata
lebih cepat, hanya dengan dua jari saja batang pedang Hi Soan sudah terjepit.
Keruan Hi Soan terkejut, ia putar mata pedangnya dan bermaksud melukai jari lawan, siapa
tahu jepitan It Kun itu ternyata lebih kuat daripada tanggam, meski Hi Soan sudah
mengerahkan segenap tenaganya pedang tetap tidak dapat bergerak.
Mendadak terdengar It Kun tertawa panjang, tangannya menyendal pelahan dan pedang itu
sudah berpindah ke tangan It Kun, bahkan patah menjadi dua.
377
"Hahaha!" It Kun bergelak tertawa. "Besok lusa barulah tiba hari ulang tahun Hu-lopat,
sedangkan esok pagi sudah tiba hari ulang tahunku kini akupun ketularan penyakit Hu-lopat,
barang siapa tidak mengirim kado padaku akan kubunuh dia. Nah, kado ini akan kau berikan
padaku tidak, katakanlah, terserah kepada keputusanmu!"
Muka Hi Soan tampak pucat seperti mayat, satu kata saja tidak mampu bersuara.
Mendadak seorang menanggapi dengan tertawa, "Esok baru tiba hari ulang tahun Anda,
padahal hari ini juga sudah tiba hari lahirku, kukira lebih dulu kado ini kudu diberikan
padaku."
Di tengah gelak tertawanya seorang muncul dari balik batu karang sana dengan tenang,
pakaiannya kotor, tapi tidak kelihatan miskin dan jelek.
Terkejut juga It Kun, selama berpuluh tahun belum pernah ada orang berani bicara demikian
dihadapannya. Sinar matanya menyapu pandang sekejap pada pendatang ini, lalu mendengus
dengan gusar. "Diberikan padamu? Hm, memangnya kau ini orang macam apa?"
"Cayhe Ji Pwe-giok, berjuluk pendekar pedang paling gagah di dunia...."
Belum habis ucapannya, tertawalah it Kun, katanya "Hahahaha, pendekar pedang paling
gagah?
Haha, selama hidupku banyak juga melihat orang yang bermuka tebal, tapi belum ada seorang
pun yang melebihi kau."
Hi Soan juga merasa kaget dan geli, cuma tak dapat tertawa.
Sesudah berhadapan baru dirasakan Pwe-giok bahwa perawakan It Kun memang sangat
tegap, meski bungkuk, tetap lebih tinggi satu kepala daripada Pwe-giok, dandanannya juga
nyentrik, bukan pertapa, bukan preman, panjang jubahnya yang mirip jubah kaum Tosu juga
kepalang tanggung, hanya sebatas lutut. Suara tertawanya lantang seperti bunyi genta, nyaring
memekak telinga, jelas tenaga dalamnya juga luar biasa, pantas Hui hi kiam khek yang
malang melintang di lautan selatan juga ketakutan padanya.
Tapi Pwe-giok seperti tidak pandang sebelah mata kepada orang ini, dengan tersenyum ia
berkata, "Serupa Anda, akupun akan marah barang siapa tidak memberi kado padaku."
Suara tertawa It Kun seketika berhenti, dengan mata terbelalak ia pandang Pwe-giok, seperti
selama hidup tidak pernah melihat makhluk seaneh ini. Pandang sejenak barulah ia bergelak
tertawa dan berkata pula, "Hahaha! Bagus, boleh coba kau marah padaku, ingin ku tahu cara
bagaimana kau marah.
"Baik," kata Pwe-giok.
Begitu kata "baik" terucapkan, mendadak ujung kakinya mencungkit, pedang patah di tanah
telah diungkitnya ke atas dan disambarnya. "Sret.. serentak ia menusuk ke arah It Kun.
378
Sama sekali Hi Soan tidak menyangka anak muda ini benar-benar berani menyerang It Kun,
dilihatnya tusukan pedang patah itu sangat enteng tak bertenaga, gerakannya juga tidak cepat.
Ia yakin dengan mudah saja It Kun pasti dapat membikin pedang kutung itu terpental.
Siapa tahu, bukannya menangkis, tapi sebaliknya It Kun terdesak mundur dua tiga langkah
oleh tusukan itu, bahkan berkaok-kaok, "Aha, tak tersangka kau anak busuk ini memang
mempunyai sedikit kepandaian."
Hi Soan jadi melengak. masa permainan pedang yang lamban mendapatkan pujian dari It
Kun.
Tertampak sinar pedang terus menyambar, meski tidak terlalu cepat, tapi terus menerus dan
tidak terputus, sudah belasan kali Pwe-giok menusuk It Kun tidak melakukan serangan
balasan.
Walaupun Hi Soan juga seorang ahli pedang tapi sudah sekian lama ia mengikuti pertarungan
ia merasa tidak melihat sesuatu daya serangan yang lihai pada ilmu pedang Pwe-giok itu,
bahkan jurus apa yang digunakannya juga tidak dikenalnya.
Tapi didengar It Kun memuji terus menerus, "Baik, bagus, anak muda, seperti kau inilah baru
dapat dianggap pemain pedang yang sesungguhnya. Kalau ada manusia lain yang tidak becus,
hanya putar pedang seperti anak kecil juga menandakan dirinya ahli pedang dan menjadi
pimpinan suatu aliran, maka julukanmu sebagai pendekar pedang paling gagah di dunia
memang tidak terlalu berlebihan."
Meski dia tidak tunjuk hidung dan menyebut namanya, tapi siapa yang disindirnya cukup
jelas bagi Hi Soan. Meski dia tidak berani membantah, tapi dalam hati penuh rasa penasaran,
maka berulang ia mendengus.
Ia menyangka dengusannya itu takkan didengar oleh It Kun, tak tahunya mata telinga It-Kun
benar-benar tajam dan luar biasa, sekali lompat mendadak ia mendekat Hi Soan dan bertanya,
"Apa yang kau denguskan? Memangnya kau kira ilmu pedangmu terlebih tinggi
daripadanya?"
Hi Soan tidak tahan, ia menjawab, "Cayhe memang tidak tahu dimana letak kehebatan ilmu
pedangnya."
"Hm, jika kau dapat melihat dimana letak kebagusan ilmu pedangnya, maka berarti ilmu
pedangnya tidak bagus lagi. Sama halnya seorang pemusik mahir, kalau pendengarnya bukan
seorang peminat seni musik, tentu juga takkan tahu dimana kebagusannya."
Tidak kepalang dongkol Hi Soan, mendadak ia melompat maju, dia jadi lupa bahwa Pwe-giok
berdiri satu garis dengan dia, tapi segera ia melancarkan dua kali pukulan terhadap anak muda
itu.
Pwe-giok juga tidak menyangka orang ini berwatak sedongol ini, melihat pukulan yang cukup
dahsyat ini, terpaksa ia putar pedangnya melabrak ke belakang.
379
Dia menebaskan pedangnya sekenanya, akan tetapi bagi Hi Soan terasa sukar ditahan hawa
pedang yang tajam itu sekujur badannya seketika seperti terkurung ditengah hawa pedang,
sukar ditembus dan sulit pula menarik diri.
Beberapa kali dia berganti serangan dan akhirnya dapatlah dia lolos dari kurungan hawa
pedang lawan, tapi tidak urung pundaknya keserempet juga oleh ujung pedang, meski tidak
terluka, namun baju sudah robek.
It Kun bergelak tertawa, katanya, "Nah, sekarang apakah kau tahu dimana letak kebagusan
ilmu pedangnya?"
Muka Hi Soan sebentar merah sebentar pucat, mendadak ia memberi hormat kepada Pwe-giok
dan berucap, "Ilmu pedang Anda memang jauh lebih hebat dari padaku, sungguh aku
menyerah kalah"
"Hah, boleh juga kau ini, sedikitnya kau masih mau mengaku salah dan menyerah kalah,
"Kata It Kun.
"Sebenarnya sudah lama kudengar di dunia Kangouw muncul seorang anak muda yang
bernama sama dengan putera Ji-bengcu, selama tiga bulan saja telah banyak melakukan halhal
yang menggemparkan," kata Hi Soan.
Pwe-giok tersenyum, ucapnya, "Berita dunia Kangouw ternyata cepat juga tersiar."
"Konon ilmu silat Ji-kongcu ini tidak lemah, juga ramah tamah, rendah hati dan prihatin,"
kata Hi Soan pula.
It Kun bergelak tertawa, katanya, "Haha, menurut pendapatku, ramah tamah dan prihatin
memang cocok bagi orang lain, tapi tidak sesuai bagimu."
"Oo, maksudmu?" tanya Pwe-giok.
"Habis, seorang kalau berani mengaku sebagai pendekar pedang paling gagah di dunia,
apakah orang ini ramah tamah dan rendah hati?"
"Ya, memang tidak cocok," kata Pwe-giok.
"Nah, meski ilmu pedangmu tidaklah rendah, tapi sekarang masih bukan tandinganku," kata It
Kun pula.
"Betul, dalam 300 jurus, meski aku tidak sampai kalah, tapi juga sukar untuk menang," ujar
Pwe-giok.
"Tidak bisa menang berarti kalah," kata It Kun.
"Selewatnya 30-0 jurus jelas kau pasti kalah, tapi tampaknya kau ingin bergebrak denganku,
apakah orang demikian terhitung prihatin segala?"
"Setiap orang tentu bisa berubah," ujar Pwe-giok dengan tertawa. "Dan diriku sekarang sudah
bukan diriku yang kemarin."
380
"Kau kan baik-baik saja, kenapa bisa berubah?" tanya It Kun.
Pwe giok berdiam sejenak, jawabnya kemudian dengan perlahan, "Sebab sekarang aku
mendadak menjadi sangat terkenal."
"Manusia takut ternama, babi takut gemuk masakah kau lupa pada kiasan ini? Semakin besar
namamu, semakin banyak orang yang akan mencari perkara padamu dan semakin cepat pula
kematianmu, apa gunanya terkenal?"
Kembali Pwe-giok tertawa, katanya, "Justeru kuharap dicari orang."
It Kun menggeleng kepala, "Turutlah pada nasehatku, lebih baik kau pulang saja dan hidup
aman tenteram dirumah, tidaklah jelek kupandang dirimu, maka tidak ingin ku celakai kau."
"Asalkan kau serahkan kotak besi ini padaku, segera aku akan angkat kaki," kata Pwe-giok.
Gemerdep sinar mata It Kun, tanyanya, "Apakah kau tahu apa isi kotak ini?"
"Tidak tahu," jawab Pwe-giok.
"Habis untuk apa kau minta kotak ini?"
"Tidak untuk apa-apa."
It Kun menjadi melenggong, "Kalau tidak untuk apa-apa, perlu apa pula kau minta?"
"Karena kalian sama menghendakinya, kenapa aku tidak boleh memintanya?" kata Pwe-giok.
Seketika It Kun menarik muka, "Kiranya kau sengaja mencari perkara padaku."
Belum lenyap suaranya, kembali kedua orang saling gebrak lagi.
Sampai di sini, bahkan Hi Soan juga menganggap Pwe-giok tidak waras, malah cukup parah
penyakitnya. Maka ia berharap pertarungan kedua orang akan berakhir dengan sama
menggeletak, maka kotak besi itu dapat dimilikinya lagi.
Dengan sabar ia menonton di samping. Selang cukup lama, ia merasa sinar pedang Pwe-giok
sudah mulai guram, sebaliknya angin pukulan It Kun bertambah dahsyat.
Di bawah ketiak It Kun masih mengempit kotak besi tadi, namun tidak menghalangi gerakgeriknya,
dari sini terbukti bahwa sesungguhnya belum sepenuh tenaga dia melayani Ji Pwegiok.
Sungguh Hi Soan tidak habis mengerti untuk apakah anak muda itu sengaja cari garagara,
bukan mustahil cari mampus malah.
Dilihatnya It Kun sudah hampir dapat mengalahkan Pwe-giok, siapa tahu, pada saat itulah
anak muda itu seperti membisikkan sesuatu pada It Kun, Hi Soan tidak tahu apa yang
dikatakannya, hanya dilihatnya It Kun terus berjumpalitan ke belakang, lalu dipandangnya
Pwe-giok dengan mata terbelalak dan muka pucat, bahkan badan raga gemetar.
381
Lagi-lagi Hi Soan tercengang. Sungguh aneh, mengapa tokoh bungkuk ini mendadak bisa
berubah menjadi begini?
Selang sejenak, dengan suara gemetar It Kun berkata, "Se...sesungguhnya siapa kau?
Dari....darimana kau tahu urusan ini?"
Pwe-giok hanya memandangnya dengan diam, apapun tidak diucapkannya.
Tertampak butiran keringat sebesar kedelai menghiasi dahi It Kun. Sampai sekian lama lagi
barulah dia menghela nafas panjang, lalu berkata, "Sudah 29 tahun, lewat 17 hari lagi
genaplah 29 tahun. Sungguh tak tersangka masih ada orang ingat akan peristiwa ini, masih
ada orang tahu..."
"Masakah kau sendiri sudah melupakan peristiwa ini?" tanya Pwe-giok tiba-tiba.
"Sangat kuharapkan dapat melupakannya, cuma sayang, selamanya sukar melupakannya,"
kata It Kun.
"Kalau kau sendiri tidak dapat melupakannya, mana bisa orang lain melupakannya?"
"Akan...akan tetapi urusan ini tidak diketahui oleh siapa-siapa."
"Bila tidak ingin diketahui orang lain, kecuali diri sendiri jangan berbuat, dan bukankah aku
telah mengetahuinya?" ujar Pwe-giok.
"Jangan-jangan kau dan urusan ini ada....ada hubungannya?" tanya It Kun.
"Setiap orang di dunia ini, asalkan berperasaan tentu dia ada hubungannya dengan urusan ini,"
jawab Pwe-giok dengan hambar.
Mendadak It Kun menengadah dan bergumam "Ya, akupun tahu utang ini cepat atau lambat
harus kulunasi."
Mendadak ia menghentakkan kakinya ke tanah dan berteriak dengan parau, "Tak perduli siapa
kau aku hanya minta diketahui olehmu bahwa aku It Kun bukanlah manusia yang tidak mau
bayar hutang."
"Kedatanganku juga bukan untuk menagih utang, aku cuma menghendaki keinsafanmu dan
memperbaiki kesalahanmu," kata Pwe-giok.
IT Kun bergelak pula, ucapnya, "Jika aku tidak menyesali kesalahanku, begitu kau berani
menyinggung peristiwa itu, tentu sejak tadi sudah kubunuh kau."
Perlahan ia menaruh kotak besi yang dikempitnya itu ke tanah, lalu menghela nafas pula dan
berkata. "Sekali salah langka, menyesal selama hidup....." sampai di sini, mendadak
tangannya menghantam kepala sendiri dan robohlah dia.
"Sekali salah langkah, menyesal selama hidup," Pwe-giok bergumam mengulang kata-kata
itu, mendadak hatinya merasa pedih dan tertekan.
382
Perbuatan salah yang dilakukan seorang dalam sekejap harus ditebus dengan jiwa selama
berpuluh tahun ini, bukankah hal ini rada kurang adil dan rada kejam?
Jika It Kun tidak punya perasaan menyesal, di memang tidak perlu menebus dosanya dengan
membunuh diri. Kalau dia sudah mau menyesal, kenapa kesalahannya tidak dapat diampuni?
Pwe-giok berdiri dengan menunduk kepala, gumamnya, "Apakah salah
tindakanku?...Salahkah tindakanku?...."
Hi Soan terkesima menyaksikan apa yang terjadi itu baru sekarang ia bertanya,
"Sesungguhnya apa yang pernah diperbuatnya?"
Mendadak Pwe-giok mengangkat kepalanya dan menjawab dengan bangis, "Kenapa kau tidak
tanya pada dirimu sendiri telah berbuat salah apa?"
"Aku?" Hi Soan melenggong.
"Demi beberapa potong patung mainan yang tak berarti ini lantas kau bunuh orang, inilah
perbuatanmu yang salah," seru Pwe-giok.
"Kalau tidak kubunuh dia, tentu aku yang akan dibunuhnya, sebab itulah terpaksa kubunuh
dia, yang kuat hidup, yang lemah mati, inilah hukum dunia persilatan," kata Hi Soan.
"Sebagai orang Kangouw, soal mati hidup tidak pernah ku risaukan. Jika kaupun sudah
berkecimpung di dunia Kangouw, pada suatu hari tentu kaupun akan membunuh orang,
kenapa kau pandang mati hidup segawat ini?"
Pwe-giok termenung agak lama, setelah menghela nafas panjang, kemudian berkata,
"Mungkin ucapanmu memang benar, sebagai orang Kangouw, mati atau hidup seharusnya
tidak perlu dipikir lagi, akan tetapi...jika kau tidak takut mati, kenapa kau takut kepada Hupatya
tersebut?"
Muka Hi Soan menjadi merah, ucapnya, "Orang yang tidak takut mati, bisa juga....bisa juga
takut pada setan."
"Masakah dia itu setan?" tanya Pwe-giok.
"Menurut pandanganku, dia lebih menakutkan daripada setan," kata Hi Soan dengan gegetun.
Lalu sambungnya, "Orang ini she Hu (kaya), maka di belakangnya orang Kangouw suka
bilang dia "kaya tapi tidak mulia", tapi dihadapannya tidak seorang pun berani menyebutkan
poyokannya ini. Pernah satu kali seorang salah omong, baru keluar dari pintu rumah Hupatya,
kontan dia tumpah darah dan roboh binasa...."
"He, dia mempunyai seorang isteri yang dipanggil sebagai Hu-pat-naynay (nyonya besar Hu)
bukan?" tanya Pwe-giok tiba-tiba.
"Betul, konon Hu-patnaynay ini seorang nyonya yang baik hati dan bijaksana, hidup prihatin
dan bersujud kepada Buddha, selamanya tidak suka kepada bunuh membunuh, sebab itulah
orang yang dibinasakan Hu-patya selalu terjadi setelah meninggalkan pintu rumahnya."
Gemerdep sinar mata Pwe-giok, gumamnya, "Ah, ingatlah aku... akhirnya kuingat juga."
383
"Kau ingat apa?" tanya Hi Soan.
Pwe-giok tidak menjawabnya, ia hanya tertawa dan berkata, "Orang ini cukup menarik,
akupun ingin berkunjung padanya."
"Menarik?....." seru Hi Soan. "O, masakah kau bilang orang ini cukup menarik?.... Nanti kalau
sudah berhadapan dengan dia barulah kau tahu dia tidak menarik."
Ketika matanya mengerling kotak besi tadi air mukanya lantas berubah, katanya pula, "Tapi
disini hanya tersedia kado ini, jika...jika kaupun ingin berkunjung kesana...."
"Boleh kau antarkan kadomu dan aku akan pergi menurut keinginanku sendiri," kata Pwegiok.
"Tapi...tapi seorang yang tidak membawa kado, cara....cara bagaimana dapat masuk ke
rumahnya?" ujar Hi Soan.
Kembali Pwe-giok tertawa, katanya. "Aku tidak perlu membawa kado, sebab aku hanya
pengiringmu, seorang Ciangbunjin dengan kado berharga ini, kan pantas jika membawa
seorang pengiring?"
*****
Tempat tinggal Hu patya itu bernama "Ge-sik-wan" atau taman asyik.
Di dunia ini, hartawan yang rakus dan pelit justeru sok menganggap diri sendiri paling hebat,
hidupnya paling senang, maka kediaman "Ge-sik-wan" inipun dibangun serupa kompleks
perumahan orang kaya umumnya, bangunannya sangat kukuh, sangat luas, seperti hendak
didiami oleh beberapa ratus tahun lamanya, ia lupa bahwa hidupnya paling-paling cuma
beberapa puluh tahun, sesudah mati harus ditanam, tanah yang diperlukan paling-paling juga
cuma tujuh kaki.
Tapi semua itu tidak ada sesuatu yang istimewa, yang aneh adalah penghuni perumahan ini.
Begitu masuk pintu halaman, segera kelihatan banyak centeng, tempat kediaman kaum
hartawan tentu saja banyak centengnya, hal inipun tidak perlu heran. Yang aneh adalah
centeng ini meski semuanya lelaki dan juga berilmu silat, tapi gaya jalannya kelihatan
berlenggak-lenggok, mirip anak perempuan.
Kedatangan Hi Soan dan Pwe-giok telah disambut oleh dua orang, yang satu tinggi dan yang
lain pendek, yang pendek ini bermuka putih dan berjerawat, yang terus menerus dipandang
justeru Ji Pwe-giok, pandangannya itu lebih mirip anak gadis yang sedang mata dengan
kekasihnya.
Memang sudah sering Pwe-giok mendapat main mata dari anak perempuan, tapi lelaki main
mata padanya baru pertama kali ini terjadi. Sungguh tidak kepalang gemas Pwe-giok, ingin
sekali dia mencolok biji mata si pendek ini.
Sedangkan si jangkung berdiri dengan bertolak pinggang dan seperti sedang menegur Hi
Soan. "Siapakah kau ya? Ada keperluan apa ya?
384
Suaranya kecil dan setengah melengking, waktu bicara pinggangnya juga berlenggaklenggok,
kalau mukanya tidak ada akar janggut, mungkin sukar orang membedakan dia ini
lelaki atau perempuan.
Hi Soan berdehem, lalu menjawab, "Cayhe Hi Soan dari laut selatan, khusus datang untuk
menyampaikan selamat ulang tahun kepada Hu patya."
Dengan lagak genit si jangkung berseru, "Oo! Kiranya Hi-tayciangbun ya. dan kadonya sudah
kau bawa belum ya?"
"Kado sudah tersedia, mohon Koankeh (pengurus rumah tangga) sudi melaporkannya," ucap
Hi Soan.
Tiba-tiba si jangkung melirik Pwe-giok dan berkata pula, "Dan siapakah yang ini ya? Untuk
apa pula kemari ya?"
Setiap kalimat ucapannya selalu disertai dengan kata "ya", suaranya ditarik panjang sehingga
membikin tidak enak telinga yang mendengarkannya, sungguh Pwe-giok ingin sekali jotos
merontokkan giginya.
Anehnya Hi Soan yang berwatak berangasan itu setiba di sini mendadak berubah menjadi
sabar, sedikitpun tidak berani memperlihatkan rasa kurang senang, dengan tertawa ia
menjawab, "Dia bernama Hi Ji, pengiringku, berharap Koankeh suka banyak memberi
petunjuk padanya."
"Kiranya Hi-jiko ya?" kata si jangkung dengan tertawa genit, "Ai, cakap ya? Entah sudah
beristri belum ya?"
Mendadak si pendek mendekat dan memegang tangan Pwe-giok, ucapnya dengan terkikik,
"Silahkan Tay-ciangbun masuk dan memberi selamat kepada Patya, Hi-jiko ini boleh tinggal
di sini untuk mengobrol dengan kami."
Tangan si pendek ini terasa basah dan lengket, Pwe-giok merasa seperti disentuh benda cair
seperti riak kental. Hampir saja ia muntah.
Syukurlah pada saat itu juga muncul lagi satu orang yang berseru, "Patya dengar Hitayciangbun
datang, silahkan masuk bersama kado yang dibawa."
Cepat Hi soan menukas, "Baik, baik, segera Cayhe menghadap beliau!"
Segera ia mendahului melangkah ke dalam, setelah naik ke undak-undakan baru menoleh dan
berseru, "Eh, Hi Ji, kenapa tidak lekas bawa kemari kado kita itu."
Maka legalah Pwe-giok akhirnya Hi Soan telah membebaskan dia dari kerumunan si
jangkung dan si pendek.
Tampaknya si pendek merasa berat melepaskan tangan Pwe-giok, dia titip pesan pula,
"Sebentar jangan lupa keluar dan mencari diriku ya, namaku si genit!"
385
Tidak kepalang dongkol Pwe-giok, kalau bisa dia ingin menempelengnya beberapa kali, lalu
didepaknya pula. Tanpa menghiraukan segera ia ikut Hi Soan ke ruangan besar sana.
Di tengah pendopo itu sudah berduduk beberapa orang, semuanya kelihatan angker, pakaian
merekapun mentereng, jelas semuanya berkedudukan dan terhormat. Tapi di sini jelas
kelihatan mereka serba salah, duduk tidak tenang, berdiripun tidak enak.
Tepat ditengah ruangan besar itu sudah dipajang tempat duduk kehormatan yang empunya
hajat, dan yang duduk di situ dengan sendirinya ialah Hu-patya dan Hu-pat-naynay. Tuan
rumah yang termasyhur ini ternyata seorang kakek yang berbentuk aneh.
Sebenarnya dia juga punya hidung, punya mata, tidak bungkuk, tidak pincang, telinganya juga
satu di kanan dan satu di kiri, hidungnya juga tidak pesek dan tidak mancung. Cuma, entah
mengapa rasanya tidak sedap dipandang.
Hu-patnaynay, si nyonya rumah, jelas kelihatan seorang nyonya yang anggun, hanya
mukanya terlalu banyak dipoles pupur.
Semakin tua usia seorang perempuan, semakin banyak pula pupur yang diperlukan, ini soal
biasa dan jamak, jika muka perempuan di dunia ini tidak berkeriput dan tidak hitam, maka
pembuat pupur di dunia ini mungkin sudah bangkrut semua.
Setiba di ruangan tengah, meski Hi Soan ingin berlagak sebagai seorang pemimpin, seorang
ketua suatu perguruan, tapi tubuhnya justeru sukar ditegakkan, terpaksa ia membungkuk
tubuh dan menyampaikan hormat kepada tuan rumah, katanya. "Wanpwe Hi Soan dari Lamhay
khusus datang menyampaikan selamat ulang tahun kepada Pat-ya, semoga Pat-ya panjang
umur, banyak rejeki, tambah Hokkhi."
Hu-patya tampak acuh tak acuh, ucapnya, "Wah, bikin repot juga padamu datang dari jauh,
duduk, silahkan duduk."
Ketika Hi Soan menyodorkan kotak besi yang dibawanya, segera wajah Hu-patya bertambah
cerah, apa lagi setelah kotak itu dibuka, senyuman lantas menghias wajahnya. Dia memegang
sebuah patung orang-orangan sepanjang satu kaki lebih, dipandangnya dengan cermat patung
itu, lalu diraba-raba, setelah senyuman bertambah lebar, matapun hampir terpejam, berturutturut
ia mengucapkan belasan kali "bagus, bagus".
Lalu ia tepuk pundak Hi Soan dan berkata, "Bagus bagus sekali. Silahkan duduk, silahkan
duduk ditempat utama. Syukurlah kau dapat menemukan kado sebaik ini untukku, tempat
duduk utama dalam perjamuan ini pastilah bagianmu."
Ucapan ini tidak cuma membuat Hi Soan seakan-akan anak yang mendadak mendapat pujian,
bahkan tetamu lain sama merasa heran dan juga penasaran.
Maklumlah, setiap orang yang menyampaikan selamat ulang tahun kepada Hu-patya tidak
dibedakan tinggi rendahnya kedudukan, juga tidak ditentukan oleh tua mudanya umur, barang
siapa mengantar kado paling berharga, dia yang akan menduduki tempat paling terhormat.
Inilah peraturan yang tidak tertulis, tapi diketahui setiap orang.
386
Meski tempat duduk utama itu tidak akan memberi imbalan apa-apa yang lebih berarti, tapi
orang persilatan paling suka pada kehormatan, asalkan mendapat muka, urusan lain tak
terpikir lagi.
Apalagi orang yang bisa menerima kartu undangan Hu-patya pasti bukan orang miskin, yang
hadir ini kalau bukan ketua sesuatu aliran dan golongan terkemuka tentu juga pemimpin
sesuatu perusahaan pengawalan besar dan gembong bandit terkenal, semuanya mencari kado
dengan susah payah, yang diharapkan adalah menggirangkan hati Hu-patya, sekaligus juga
menonjolkan muka sendiri di depan orang banyak.
Jadi kado yang diantar para tetamu ini tiada satupun yang tidak bernilai, semuanya sangat
berharga dan sukar dicari, satu diantaranya mengantar kado 18 biji Ya-beng-cu, mutiara
sebesar gundu yang bercahaya di waktu malam.
Seorang lagi mengantar sebuah Kiu-liong-pwe, cangkir kemala berukir sembilan naga. Pada
waktu mendung, cangkir ini akan berubah menjadi kelam, jika hari cerah, warna cangkir
inipun gemilang. Air yang tertuang ke dalam cangkir akan berubah menjadi arak.
Kedua benda mestika ini sekalipun didalam istana raja juga tidak dapat ditemukan, tapi
sekarang mereka telah digunakan sebagai kado ulang tahun Hu-patya, walaupun terasa berat,
tapi juga bergembira, sebab mereka mengira kado sendiri pasti akan mengalahkan kado orang
lain, bila tersiar, tentu namanya akan semakin menonjol.
Siapa tahu, sekarang Hi Soan hanya memberikan kado beberapa patung orang-orangan dan
benda mestika mereka lantas terkalahkan, padahal mereka tidak tahu dimana letak kebagusan
patung-patung kecil itu.
Begitulah semua orang bertanya-tanya di dalam hati, sementara itu perut merekapun
bertambah lapar.
Kiranya sudah lama tiba waktunya makan, padahal mereka jauh-jauh datang kemari, minum
saja belum disuguhi, dan kini perut pun sudah lapar, mereka berharap selekasnya tuan rumah
akan menjamunya.
Siapa tahu tiada sedikitpun tanda Hu-patya akan membuka perjamuan, sebaliknya ia malah
memejamkan mata, seperti tertidur. padahal perut semua orang sudah berkeroncongan, tapi
siapakah yang berani ribut?
Untung Hu-patnaynay sedikit banyak masih punya perasaan, diam-diam ia memanggil
seorang pesuruh dan berpesan padanya. "Waktu makan Loyacu belum tiba, sedangkan para
tetamu yang datang dari jauh ini tentu sudah lapar, coba tanya ke dapur, adakah makanan
kecil yang enak, boleh keluarkan dulu sekedar untuk ganjal perut para tetamu."
Mendengar ini, hati semua merasa lega, seketika mereka merasa Hu-patnaynay ini dua puluh
tahun lebih muda, makin dipandang makin manis.
Selang tak lama benarlah ada dua orang membawa senampan makanan yang masih panas.
Dipandang dari jauh bentuknya sangat menarik, tapi sesudah dekat baru diketahui bahwa isi
kedua nampan ini adalah ketela rebus.
387
Kalau ketela rebus digolongkan "makanan kecil yang enak", maka segala macam ubi di dunia
ini tentu juga terhitung makanan lezat.
Tampaknya Hu-patnaynay juga merasa rikuh, terpaksa ia berucap, "Meski makanan kecil ini
tidak begitu baik, kuharap kalian sudilah makan seadanya, sebab tidur Patya ini entah
berlangsung hingga kapan, kalau kalian terlambat mengisi perut, bisa masuk angin."
Sudah tentu para tokoh persilatan ini tidak pernah makan ketela rebus, tapi mengingat waktu
perjamuan masih belum ada kepastiannya, maka mau tak mau mereka harus isi perut
seadanya.
Diam-diam Pwe-giok merasa geli dan juga mendongkol. Dilihatnya Hu-patnaynay sedang
tertawa, ia menjadi kuatir kalau-kalau labur pada wajah nyonya rumah akan rontok semua.
Kalau labur pada mukanya rontok, entah bagaimana bentuknya, sesungguhnya ia tidak berani
membayangkannya.
Untung pupur Hu-patnaynay itu dilabur dengan lapisan lebar itu tidak sampai terkelupas.
Waktu ia pandang para tokoh dunia persilatan itu, biasanya mereka sudah bosan makan ikan
dan daging, tapi sekarang ketela rebus itupun disikatnya dengan lahap.
Sehabis makan ketela, semua orang merasa haus dan terpaksa minum air sebanyaknya,
mendingan tidak minum air, sekali minum air satu-dua mangkuk, seketika perut mereka sama
kembung dan sesak nafas.
Banyak orang diantaranya yang cukup encer otaknya dapat memahami maksud tujuan Hupatya,
mereka sengaja dijejali ketela rebus, sebentar kalau santapan lezat disuguhkan, tentu
perut mereka sudah tidak ada tempat luang lagi dan terpaksa harus melotot memandangi tuan
rumah makan sendirian.
Karena itulah, beberapa orang yang lebih cerdik itu segera berhenti makan setelah melalap
satu dua biji ketela rebus itu, mereka lebih suka menahan lapar sebentar lagi.
Dugaan mereka ternyata tidak keliru, setelah perut tetamunya kembung, segera Hu-patya
mendusin dan berulang mendesak, "Ayo, siapkan perjamuan! Para tetamu tentu sudah lapar,
kenapa tidak lekas dimulai, tunggu apa lagi?"
Diam-diam beberapa orang yang lebih cerdik tadi merasa geli, mereka menganggap orang
yang terlanjur makan ketela itu orang tolol, sebentar bila perjamuan dimulai, terpaksa orangorang
yang kenyang ketela itu hanya akan menyaksikan orang lain makan minum belaka.
Beberapa orang cerdik ini bertambah gembira ketika diketahui hidangan pertama yang
diantarkan adalah Hay-hong-hi-sit (kepet ikan masak telur kepiting).
Betapa sedapnya masakan ini, tidak perlu makan, cukup memandang warnanya saja sudah
bisa membikin mereka mengiler.
Maka orang yang sudah kenyang ketela tadi menjadi menyesal, yang belum banyak makan
ketela mulai mengedip mata, mereka hanya menunggu komando tuan rumah saja, sekali
diberi aba-aba, kontan Hay-hong-hi-sit itu akan segera diserbu.
388
Bukan cuma hidangannya yang tergolong kelas satu, malah arak yang segera disuguhkan juga
arak simpanan berpuluh tahun. Begitu poci arak ditaruh di atas meja, serentak bau arak yang
merangsang tercium oleh para tetamu.
Maka orang-orang yang terlanjur kenyang ketela tadi merasa gembira pula, mereka pikir
meski tuan rumah yang pelit ini telah menjejal perut mereka dengan ketela, tapi arak enak
tentu dapat minum beberapa cawan lagi.
Terlihat Hu-patya mengangkat poci arak, dan dia mengendus dulu isi poci itu, mendadak ia
berkata dengan serius, "Wah, arak adalah cairan tajam yang dapat merantas usus, minum arak
lebih banyak celaka daripada faedahnya, sedangkan para hadirin adalah tamu undanganku,
jauh-jauh kalian mengantar kado padaku, mana boleh ku bikin susah kalian malah? Tidak
bisa....jelas tidak bisa........"
Segera ia memberi tanda dan berseru, "Ayo, lekas isi cangkir para tetamu dengan sirup, juga
jangan terlalu banyak sirupnya, kalau terlalu banyak makan gula, gigi cepat rusak."
Semua orang saling pandang dengan melongo. Orang yang gemar minum arak tadi sudah
tergelitik ingin membasahi kerongkongannya dengan arak sedap itu, tapi sekarang hampir saja
mereka tumpah darah saking gemasnya.
Sebaliknya Hu-patya lantas menuang cawan sendiri, yang dituangnya adalah arak, lebih dulu
ia mencium bau arak itu, lalu bergumam, "Ehm, alangkah sedapnya arak simpananku ini. Aku
sudah tua, sudah bosan hidup, seumpama mati keracunan arak juga tidak menjadi soal...Eh,
marilah mari, ku suguh dulu satu cawan kepada kalian...Ayo, minum lagi satu cawan!"
Orang yang suka minum arak hanya dapat menyaksikan orang lain minum arak enak,
sedangkan yang diminumnya adalah air sirup, bagaimana rasa dongkolnya tentu dapat
dibayangkan.
Setelah beberapa cawan arak masuk perut, wajah Hu-patya tampak cerah, ia tertawa dan
berkata, "Sirup tentu saja jauh lebih enak daripada arak...., Hahaha, mari-mari, silahkan
makan!"
Sejak tadi beberapa orang yang lebih cerdik itu memang lagi menunggu "komando" tuan
rumah, maka belum lenyap Hu-patya menarik muka dan membentak, "He, siapa yang
mengantarkan makanan ini? Apakah sengaja bikin celaka orang."
Hati beberapa orang cerdik itu seketika mencelos lagi demi mendengar ucapan yang tidak
beres itu.
Seseorang merasa tidak tahan, dengan tersenyum ia tanya. "Memangnya dimana ketidak
beresan hidangan ini?"
"Masa kalian tidak tahu?" ujar Hu-patya.
"Makanan berminyak kurang baik bagi kesehatan, bikin gemuk dan menyumbat pembuluh
darah, lebih-lebih kaum persilatan kita, bila terlalu banyak makan barang berminyak, umpama
tidak bikin perut mules, akibatnya akan membikin gemuk badan. Dan bila badan sudah
gemuk, gerak-gerik tentu tidak leluasa..." ia merandek, lalu menyambung pula, "kalau gerakImbauan
Pendekar > karya Gulong/Khulung > diceritakan oleh Gan K.L. > buyankaba.com 389
gerik kurang leluasa, jika bergebrak dengan orang, sedikit banyak kungfunya pasti akan
berkurang pula. Sedangkan kalian datang dari jauh untuk mengucapkan selamat padaku, bila
terjadi apa-apa setelah makan hidanganku, kan aku yang berdosa kepada kalian."
Dia bicara seperti beralasan, bahkan jujur dan terus terang, malahan seperti sangat bersimpati
terhadap orang lain, meski para tamunya sangat mendongkol, tapi juga tidak dapat
membantah.
Karena itulah, Hu-patya lantas mengangkat satu porsi besar Hay-hong-hi-sit itu ke depan
sendiri, katanya dengan menyesal, "Jika yang makan kakek semacam diriku tentu tidak
menjadi soal, sebab aku kan sudah bosan hidup dan hampir masuk liang kubur, apa yang perlu
kutakuti?"
Begitulah sambil minum arak dan makan Hi-sit, berulang-ulang ia menyatakan rasa
penyesalannya, "Ai, kalau aku tidak masuk neraka, siapa yang mau masuk neraka, Demi para
sahabatku, biarpun aku memikul dosa bagi mereka juga pantas. Eh, silahkan kalian minum
sirup, boleh tambah lagi jika kurang."
Semua orang saling pandang dengan melongo dan terbelalak, meski di mulut tidak berani
bicara, tapi didalam hati semua orang hampir mati kaku saking gemas terhadap orang pelit ini.
Baru sekarang Pwe-giok tahu artinya istilah "orang kaya tidak mulia" itu. Sudah banyak juga
dilihatnya orang serakah, iapun tahu orang yang tamak harta tentu pula pelit, tapi orang kaya
pelit semacam Hu-patya ini sungguh ia tidak tahu cara bagaimana lahirnya.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong seorang menanggapi dengan tertawa, "Sahabat baik
harus ada rejeki dinikmati bersama, ada kesulitan ditanggung bersama, dosa yang kau
tanggung sudah terlalu banyak, biarlah akupun ikut memikulnya sebagian."
Apa yang diucapkan orang ini sama juga apa yang dipikirkan oleh orang banyak, kini orang
ini telah mewakilkan mereka menyatakan isi hatinya, tentu saja mereka merasa senang. Tapi
diam-diam merekapun berkuatir bagi orang ini, bahwa ada orang berani bicara demikian di
hadapan Hu-patya, barang kali orang ini sudah bosan hidup.
Air muka Hu-patya tampak berubah, "brak mendadak ia gabrukkan sumpitnya ke meja dan
mendengus, "Selama hidupku tidak punya sahabat, semua sahabatku sudah lama mati.
Memangnya siapa kau?"
Terdengar orang itu menjawab dengan tertawa "Siaute sengaja datang buat mengucapkan
selamat hari jadinya Hu-patko, belum lagi bertemu muka kenapa Patko sudah menyumpahi
diriku?"
Waktu pertama kali dia bicara orang lain merasakan orangnya sudah berada di sekitar situ,
tapi belum kelihatan mukanya, dan sekarang waktu bicara untuk kedua kalinya, semua orang
berbalik merasa dia berada di tempat jauh. Tapi begitu kata terakhir terucapkan, tahu-tahu di
depan pintu sudah muncul sesosok bayangan orang.
Perawakan orang ini sangat tinggi dan kurus, pakaiannya berwarna ungu bukan, hijau bukan,
kelabu pun tidak, ikat pinggangnya berwarna kuning jingga dan terselip sebatang pedang
berbentuk antik. Kepalanya memakai sebuah caping, begitu lebar caping ini sehingga mirip
390
sebuah baskom yang menutupi hampir seluruh mukanya, orang lain tidak dapat melihat
bagaimana bentuk wajahnya, tapi dia dapat melihat orang lain dengan jelas.
Agaknya Hu-patya sudah dapat mengenali pendatang ini, sampai sikap Hu-patnaynay juga
rada berubah, untung mukanya berpupur tebal sehingga perubahan air mukanya sukar dilihat
orang lain.
Si jubah hijau berpedang antik ini mendekati Hu-patya dengan langkah berlenggang, katanya
dengan tertawa, "Eh, kenalan lama datang dari jauh, masakah Patko tidak menyilahkan
duduk?"
Air muka Hu-patya berubah kelam seperti telapak sepatu, ucapnya, "Ya, duduk, silahkan
duduk."
Entah beberapa banyak kata "duduk" yang diucapkannya tapi badannya tidak bergerak
sedikitpun.
"Ah, pahamlah aku," kata pula si jubah hijau, "menurut peraturan Patko, untuk mendapatkan
tempat duduk harus memberi kado dulu, orang yang tidak membawa kado bukan saja tidak
disediakan tempat duduk, sebaliknya pantatnya mungkin akan di depak hingga luluh.
Dia tepuk-tepuk bajunya, lalu berkata pula. "Celakanya Siaute justeru lupa membawa kado,
wah, bagaimana baiknya?...Aha, betul, seperti kata orang, sekedar angpau sebagai tanda
hormat, meski kecil nilainya, tapi besar artinya. Betul tidak?"
Ia terus merogoh saku, tapi digagap-gagap, sampai sekian lamanya, akhirnya dikeluarkannya
secarik kertas kumal, entah kertas bekas apa, tapi kertas kumal itu terus disodorkan kepada
Hu-patya, katanya dengan tertawa, "Eh, entah kadoku ini cukup berbobot atau tidak?"
Kini air muka Hi Soan juga berubah kelam, orang mengantar bunga karang sebagai kado saja
akibatnya pulang sampai dirumah terus mati tumpah darah, sekarang orang ini memberikan
secarik kertas kumal dan katanya juga kado, mustahil kalau kepala orang ini tidak
dihancurkan oleh Hu-patya.
Tapi keanehan segera terjadi. Hu-patya justeru manggut-manggut dan berkata. Ya, cukup,
sudah cukup...."
"Jika Patko bilang cukup, kan Siaute pantas diberi tempat duduk untuk ikut memikul dosa
bagimu," kata si jubah hijau. Habis berkata, mendadak sebelah tangannya terjulur, kuduk
salah seorang tamu seketika dicengkeramnya.
Padahal tamu itu berjuluk "Poan-cat-san" atau setengah gunduk gunung, dari nama
julukannya dapat dibayangkan betapa besar tubuhnya dan betapa kuat tenaganya, tapi
sekarang kena dicengkeram begitu saja oleh si jubah hijau, mirip elang mencengkeram anak
ayam, menyusul terus dilemparkan ke luar pintu tanpa bisa melawan sedikitpun.
Lalu si jubah hijau terus menempati tempat duduk yang luang itu, dalam sekejap saja sisa
Hay-hong-hi-sit yang baru dimakan sedikit oleh Hu-patya itu telah disikatnya hingga bersih.
Kemudian ia angkat poci arak, seperti ikan paus mengirup air, arak yang mancur dari poci itu
terisap seluruhnya ke dalam perut si jubah hijau.
391
Apa yang diperbuat si jubah hijau telah disaksikan oleh Hu-patya dengan diam saja tanpa
bergerak sedikitpun.
Setelah makan dan minum, si jubah hijau mengusap mulut dan menghela napas lega.
"Patko, sudah lama Siaute tidak menanggung dosa sebagus ini, apa bila Patko masih ada dosa
lain, biarlah kuwakilkan sekalian." katanya dengan tertawa.
Maka Hu-patya tampak sebentar pucat sebentar hijau, mendadak ia menggebrak meja dan
berkata, "Hm, percuma kalian mengaku sebagai tokoh dunia Kangouw, masakah melihat
kedatangan Dian toaya kalian tetap duduk saja ditempat tanpa memberi hormat dan mengucap
selamat?!"
Semula semua orang mengira sasaran kemarahan Hu-patya itu pastilah si jubah hijau, siapa
tahu justeru orang lain yang dijadikan alat pelampias dongkolnya.
Hanya Pwe-giok saja yang diam-diam merasa geli, ia tahu "si pelit" kembali menggunakan
akal licik untuk melepaskan diri dari "kewajiban, sebab sekali ia sudah marah-marah berarti
telah dihematnya perjamuan selanjutnya.
Sejak semula Hi Soan sudah memperhatikan pedang antik yang dibawa si jubah hijau,
sekarang ia lantas berbangkit dan memberi hormat, seraya berkata "Anda she Dian, entah
adakah hubungan dengan Dian-toaya yang berjuluk Sin-liong-kiam-khek (pendekar pedang
naga sakti) yang termasyhur dari Thian san itu."
Si jubah hijau tidak menjawabnya, tapi perlahan ia menanggalkan capingnya sehingga
kelihatan wajahnya yang kurus pucat, wajah ini kalau dipandang dari jauh akan kelihatan
cakap, tapi bekas luka pedang atau golok pada mukanya yang menakutkan itu.
Serentak Hi Soan menyurut mundur dua langkah demi nampak wajah luar biasa ini. Para tamu
juga sama tergetar dan berbangkit meninggalkan tempat duduknya.
"Ah, kiranya memang betul Dian-locianpwe sendiri," ucap Hi Soan sambil memberi hormat
lagi.
"Tidak berani, Cayhe memang betul Dian Liong-cu adanya," kata si jubah hijau dengan
tertawa.
Karena tertawa, kulit mukanya yang penuh codet itu bergerak sehingga menambah keseraman
dan misteriusnya dan membikin orang tidak berani lebih lama memandang padanya.
Pwe-giok sudah lama mendengar orang ini adalah salah seorang tokoh terkemuka yang
sederajat dengan Lo-cinjin dan lain-lain, jejaknya sukar dicari dan cara turun tangannya
paling ganas, Pwe-giok sendiri sudah pernah belajar kenal dengan kepandaian muridnya yang
bernama Dian Ce-hun, maka sekarang iapun mencoba mengamati orang beberapa kejap.
Sinar mata Dian Liong-cu menyapu pandang sekeliling ruangan itu, ketika sampai pada wajah
Pwe-giok, ia melototinya dengan senyum tak senyum, tanyanya, "Siapakah nama sahabat
muda ini?"
392
Cepat Hi Soan mendahului menjawab, "Dia bernama Hi Ji pengiringku."
"Oo?!" Dian Liong-cu bersuara heran, "tidak nyana pemuda bertampang segagah ini adalah
pengiring dan anak buah Hi-tayciangbun."
Ia pandang Pwe-giok pula beberapa kejap, lalu sinar matanya beralih ke wajah Hi Soan dan
bertanya, "Konon Bu-lim-pat-bi (delapan cantik dunia persilatan) telah jatuh di tanganmu
entah betul tidak?"
Hi Soan menunduk, ucapnya dengan tergagap sambil melirik Hu-patya, "O, tentang ....tentang
ini...."
"Ah, tahulah aku," tukas Dian Liong cu sambil tertawa, "Pantas Hu-patko meladeni Anda
sebagai tamu utama, kiranya Anda telah menggunakan Bu-lim-pat-bi sebagai kado."
Semua orang merasa heran, masakah patung orang-orangan tadi disebut "Bu-lim-pat-bi"
segala.
Terdengar Dian Liong-cu berkata pula, "Patko, jika kumakan minum di sini tentu akan
membuat Patko seperti disayat-sayat, kalau sekarang aku cuma minta pinjam lihat Bu-lim-patbi,
tentunya kau tidak keberatan bukan?"
Hu-patya hanya diam saja dengan muka kelam.
Mendadak Dian Liong cu menarik muka, katanya, "Aku hanya pinjam lihat saja, toh takkan
membikin si cantik kehilangan secuil daging apapun?"
Muka Hu-patya sebentar pucat sebentar merah, mendadak ia menggebrak meja dan berseru,
"Dian Liong-cu, jangan kau kira aku benar-benar takut padamu, Pek-poh-sin-kun belum tentu
bisa dikalahkan oleh Yu-liong-ciang andalanmu!"
"Dan juga belum tentu bisa menang, begitu bukan?" tukas Dian Liong cu dengan tak acuh.
"Hmk!" Hu patya mendengus.
Dian Liong-cu manggut-manggut dengan tertawa, katanya, "Ya, sudah lama kutahu, kalau
tidak yakin pasti menang, tidak nanti Patko mau berkelahi. Sebab itulah akan lebih baik Patko
perlihatkan saja Bu-lim-pat-bi, aku berjanji takkan mengusiknya."
Hu-patya mengertak gigi, tampaknya masih ragu.
Hu-patnaynay lantas menyela dengan tertawa, "Dian toaya selama bisa pegang janji, apa
halangannya kalau kau perlihatkan kepadanya. Apa lagi para tamu yang hadir tentu juga ingin
tahu dimana letak kebagusan Bu-lim-pat-bi yang termasyhur ini."
Sampai sekian lama pula Hu-patya berpikir, akhirnya ia memberi tanda dan berseru, "Baik,
ambilkan Cui-ci-boan (baskom kristal) dan isi dengan air jernih."
393
Kembali semua orang merasa heran, untuk menonton patung kecil yang disebut Bu-lim-pat-bi
itu, untuk apa disediakan air jernih segala?
Namanya Cui-ci boan atau baskom kristal, dengan sendirinya baskom itu tembus pandang,
besarnya baskom, kira-kira dua kaki, tampak gemerlapan di bawah cahaya lampu sehingga air
didalam baskom juga berkilauan.
Hampir setiap orang yang hadir ini adalah ahli barang antik, begitu melihat baskom kristal ini,
semua lantas tahu inilah sebuah benda antik yang jarang ada bandingannya. Tapi tiada
seorangpun tahu hendak diapakan baskom antik ini oleh tuan rumahnya.
Hu-patya menyuruh baskom itu di taruh di atas meja, lalu berkata dengan perlahan, "selama
30 tahun ini, tidak sedikit muncul tokoh dunia Kangouw yang baru, tidak sedikit pula
pahlawan yang ternama, tapi perempuan maha cantik yang diakui secara resmi oleh dunia
Kangouw, selama 30 tahun ini hanya ada delapan orang. Meski usia dan kedudukan mereka
tidak sama, tapi sejauh ini ke delapan perempuan cantik ini memang benar sangat mempesona
dan membikin orang tergila-gila."
Dia angkat baskom kristal itu, lalu menyambung, "Nah, kado yang diantar Hi-tocu ini adalah
patung daripada ke delapan perempuan cantik tersebut."
Mendengar sampai di sini, semua orang merasa sangat kecewa. Sebab, sekalipun patung
perempuan paling cantik di dunia juga takkan menarik bagi mereka. Patung tetap patung,
sungguh mereka tidak habis mengerti apanya yang menarik hanya sebuah patung benda mati.
Terdengar Hu-patya berkata pula, "Patung-patung ini meski tetap patung belaka, tapi berbeda
daripada patung biasa. Kalau patung lain adalah benda mati, maka patung-patung ini adalah
patung hidup."
Sungguh aneh dan sukar dipercaya, masakah ada patung hidup di dunia ini?
Dalam pada itu Hu-patya telah mengeluarkan sebuah patung dan ditaruh di atas meja, lalu
bertanya, "Adakah para hadirin kenal siapa dia?"
Tertampak patung ini memang terukir dengan sangat halus dan indah serupa orang hidup,
sampai rambut dan alisnya juga begitu jelas seolah-olah dapat dihitung, wajahnya terlebih
hidup ukirannya, cantiknya seperti bidadari, pakaiannya justeru berdandan sebagai gadis suku
bangsa Mongol sehingga tampaknya mempunyai gaya tersendiri.
"Apakah nona ini yang terkenal sebagai Say-siang-ki-hoa (bunga aneh di luar perbatasan) si
Ang-boh-tan (si peoni merah)"
"Betul, luas juga pengetahuanmu," jengek Hu-patya.
Dian Liong-cu tersenyum, katanya, "Ang-boh-tan ini adalah isteri kesayangan tokoh utama
Lama besar sekte Mi yang bergelar Ang-hun Lama, konon tidak saja lahiriahnya cantik
molek, juga pembawaannya memiliki daya tarik yang menggiurkan setiap orang yang
memandangnya. Cuma sayang, Ang-hun Lama adalah seorang pencemburu, isterinya ini
disimpan rapat-rapat, orang luar dilarang memandangnya sekejap pun."
394
Air muka Hu-patya tampak senang, katanya "Dan sekarang kita justeru boleh memandangnya
dengan jelas."
Sampai akhirnya hanya tertampak tubuhnya yang mulus, si cantik yang telanjang bulat itu
timbul tenggelam didalam air, di bawah cahaya lampu yang berkilauan si cantik seolah-olah
sedang menari.
Saking gembiranya Hi-patya berkeplok tertawa, katanya, "Ang-hun menyimpannya sebagai
perempuan pingitan, barang siapa memandangnya sekejap saja akan dilabraknya, tapi
sekarang kita tidak cuma memandangnya sekenyangnya, bahkan boleh mempermainkan dia
sesukanya."
Kebanyakan tamu yang hadir sama kesima memandangi si cantik dalam air itu, semua
melongo dan ada yang hampir saja mengiler. Hanya satu dua orang saja yang dapat berpikir
dengan sehat, mereka merasa jiwa Hu-patya pasti kurang beres, tapi kelainan jiwa demikian
rasanya juga menghinggapi kebanyakan lelaki di dunia ini.
Ada pepatah yang mengatakan "hwa-pia-jong-ki" atau menggambar pia (panganan) untuk
menelan lapar, yaitu cerita orang yang kelaparan dan sukar mendapatkan makanan, terpaksa
melukis barang panganan sekedar mengurangi rasa laparnya dengan membayangkan betapa
lezatnya sedang menikmati panganan tersebut.
Dalam hal patung dan lukisan perempuan cantik, hal ini memang banyak mendapat peminat
kaum lelaki tertentu, terutama tidak "mampu". Meski tahu apa yang dilihatnya itu cuma benda
mati, tapi jauh lebih baik aripaa sama sekali tidak ada dan cuma berkhayal belaka.
Begitulah terdengar Dian Liongcu berkata dengan tertawa, "Daripada menari sendirian, kan
lebih menarik jika menari berduaan, kenapa patko tidak mencarikan partner baginya?"
"Eh, usul bagus," ujar Hu-patya. Ia memandang ke dalam kotak, lalu berkata, "Usia Ang-bohtan
sudah tidak sedikit, biarlah kucari seorang muda untuk menari bersama dia."
Lalu mengeluarkan lagi sebuah patung dan dimasukkan ke dalam baskom, katanya dengan
tertawa, "Apakah para hadirin tahu siapakah si cantik nomor satu di daerah Kanglam? Nah,
sekarang juga akan kuhadapkan si cantik nomor satu daerah Kanglam dan si cantik nomor
satu dari daerah perbatasan untuk menari bersama. Kecuali berada ditempatku ini, selama
hidup kalian mungkin tidak ada harapan dapat menyaksikan tontonan menarik ini."
Belum habis ucapannya, air muka Pwe-giok berubah hebat. Ternyata patung kedua yang
dimasukkan ke dalam air itu bukan lain daripada Lim-Tay-ih.
Melihat "Lim-Tay-ih" sedang menari-nari didalam air, mata alisnya seperti orang hidup,
sambil tersenyum dan mengerling seolang-olah sedang menuturkan penderitaannya selama
ini.
Pwe-giok tidak tahan lagi, mendadak ia menerjang maju, meja itu terus didepaknya hingga
terjungkir balik.
Keruan semua orang terkejut dan juga gusar, beramai-ramai mereka berlari menyingkir,
mereka mengira anak muda ini mungkin sudah gila, makanya mencari kematian sendiri. Air
395
muka Hi Soan juga pucat seperti mayat, kalau Pwe-giok berbuat sesuatu yang membikin
marah tuan rumah, dia sendiri pasti ikut bertanggung jawab.
Hu-patya tampak terkejut juga, sungguh tak tersangka olehnya bocah ini berani main gila di
hadapannya hanya Dian Liong-cu saja tetap tersenyum-senyum menghadapi Pwe-giok yang
mengamuk itu, agaknya dia sudah dapat mengetahui asal-usul anak muda ini.
Setelah melenggong sejenak, bukannya gusar, berbalik Hu-patya lantas tertawa, katanya
sambil mengangguk, "Bagus, bagus sekali! Jika kau sudah bosan hidup, kenapa tidak
kupenuhi kehendakmu?"
Segera ia mendorong minggir meja yang terbalik itu dan membersihkan arak yang muncrat di
atas tubuhnya, lalu selangkah demi selangkah mendekati Pwe-giok.
Mengingat betapa hebatnya Pek-poh-sin-kun tuan rumah itu, sekarang dalam keadaan murka,
betapa dahsyat pukulannya sungguh sukar dibayangkan. Maka semua orang sama menyingkir
agak jauh, mereka kuatir ikut terkena getahnya apa bila berdiri terlalu dekat dengan Pwe-giok.
Hanya Hi Soan saja yang masih punya rasa setia kawan, tampaknya dia ingin membantu Pwegiok
tapi juga ragu-ragu, Dian Liong-cu sempat pula menariknya ke samping.
Orang yang paling tenang adalah Ji Pwe-giok sendiri, Meski rasa gusarnya belum reda, tapi
orang lain tak dapat melihat perasaannya itu. Waktu Hu-patya mendekatinya, ia tidak
memapak maju dan tak menyurut mundur, dia hanya berucap dengan tak acuh, "Kau bukan
tandinganku, akan lebih baik suruh istrimu saja yang maju."
Ucapan ini membikin heran pula semua orang. Padahal Pek-poh-sin-kun tuan rumah
termasyhur di seluruh dunia, justeru tidak pernah terdengar bahwa kungfu Hu-patnaynay
terlebih tinggi daripada suaminya.
Tapi air muka Hu-patya lantas berubah, seperti mendadak pantatnya di depak orang, dia
berseru kaget, "Apa...apa maksudmu?"
"Apa maksudku masakah belum jelas bagimu? Perlu kukatakan lagi?" jawab Pwe-giok
dengan ketus.
Hu-patya yang tadinya berlagak seperti paling kuasa di dunia ini sekarang ternyata berdiri
terkesima seperti patung tanpa bisa menjawab. Juga Hu-patnaynay kelihatan serba salah,
meski tidak kelihatan bagaimana perubahan air mukanya, tapi pupur pada mukanya sudah
mulai rontok, seperti labur dinding yang terkelupas karena gempa bumi.
Pwe-giok tertawa, katanya, "Padahal kalian kan tidak benar-benar ingin mendapatkan patung
cantik ini, minat kalian juga tidak terletak pada perempuan, soalnya karena barang ini sudah
diantar kemari, terpaksa kalian menerimanya."
Air muka Hu-patya pucat seperti mayat, ia menyurut mundur setindak, ucapnya dengan suara
serak, "Dari....darimana kau tahu?"
396
Belum lagi Pwe-giok menjawab, mendadak Hu-patnaynay menyerobot maju terus menjotos,
belum lagi kepalannya mengenai sasarannya, angin pukulannya terlebih dulu sudah
menyambar ke dada Pwe-giok.
Siapapun tidak menyangka nyonya rumah yang ramah tamah dan anggun itu memiliki daya
pukulan sedahsyat ini, tampak Pwe-giok berputar dengan cepat sehingga daya pukulan maut
itu terhindar, namun sekali sudah mendahului, segera Hu-patnaynay melancarkan pukulan
lain lagi susul menyusul.
Demikian gencar pukulan lawan sehingga ganti napas saja Pwe-giok tidak sempat, terpaksa ia
main mundur untuk menyelamatkan diri. Pada saat itulah sekonyong-konyong sinar pedang
berkelebat, tahu-tahu Hu-patnaynay menjerit terus melompat mundur, beberapa orang yang
berpandangan tajam sempat melihat dada baju nyonya rumah itu telah tertabas robek hingga
kelihatan dadanya.
Anehnya nyonya rumah itu mempunyai dada yang lapang, bahkan bersimbar dada, penuh
tumbuh bulu panjang dan lebat.
"Hahahaha" Dian Liong-cu bergelak tertawa dengan pedang terhunus. "Dugaanku ternyata
tidak keliru, Hu-patnaynay memang benar seorang lelaki."
Baru sekarang para hadirin melenggong.
Tertampak Hu-patya meringkuk di pojok sana dengan malu, sedangkan Hu-patnaynay
berusaha menutupi dadanya dengan baju yang sudah robek itu, keadaannya yang runyam itu
sungguh menggelikan dan juga pantas dikasihani.
Padahal dengan kungfu Hu-patya "suami-isteri" cukup kuat untuk menandingi Dian Liong-cu,
tapi sekarang mereka seolah-olah ayam jago yang sudah keok, bersuara saja tidak berani.
Maklum, bila perbuatan seseorang yang memalukan terbongkar di depan umum, betapapun
hatinya pasti malu dan gugup. Apalagi rahasia mereka ini sudah berjalan selama berpuluh
tahun, yang mengetahui rahasia mereka mestinya ada seorang lagi, cuma sayang orang ini
sudah lama mati, sekarang rahasia mereka terbongkar begini saja oleh seorang anak muda
ingusan, sungguh mereka merasa heran dan bingung entah cara bagaimana anak muda ini
mendapat tahu rahasia mereka, karena tidak mengerti tentu juga semakin takut.
Kalau mereka sudah takut, dengan sendirinya orang lain tidak takut lagi kepada mereka,
malahan ada diantaranya segera tertawa mengejek.
Dian Liong-cu juga tertawa dan menyindir, "Haha, pantas di tempatmu ini penuh dipelihara
makhluk-makhluk aneh, semuanya lelaki bukan perempuan tidak, kiranya kalian sendiri inilah
biangnya kawanan siluman ini. Hehe, kalau lelaki berniat memperistri lelaki, hal ini benarbenar
berita aneh yang jarang terdengar di dunia."
Mendadak seorang menanggapi, "Kalau dia suka memperistri seorang lelaki, ini kan urusan
pribadinya. Seumpama dia suka memperistri seekor monyet, hal ini pun haknya, asalkan dia
sudah memaksamu menjadi isterinya, kan sudah, berdasarkan apa kau ikut campur
urusannya?!"
397
Berbareng dengan ucapan itu, seorang telah masuk ke ruangan besar itu dengan langkah
berlenggang.
Orang ini berbicara dengan suara lemah, seperti orang yang sudah beberapa hari tidak makan
nasi, tapi cara berjalannya justeru seperti tuan besar. Cuma sayang mukanya kelihatan kurus
kering, kulit badannya kendur semua, mirip balon yang gembos, Bahan bajunya berkualitas
tinggi, yang longgar, cukup untuk mengisi tiga sosok tubuhnya. Orang pakai baju selonggar
ini mustahil takkan dituduh sebagai baju hasil mencuri.
Orang yang berani bicara kasar dengan sin-liong-kiam-khek Dian Liong cu boleh dikatakan
sangat sedikit di dunia ini, semula orang mengira pendatang ini pasti seorang tokoh besar
yang hebat, karena itu semuanya ikut kebat-kebit dan berdebar-debar.
Siapa tahu yang muncul adalah seorang berbaju kedodoran, kulit badannya juga kedodoran,
tampaknya sekali pukul saja pasti akan mencelat.
Tentu saja Dian Liong-cu mendongkol dan juga geli, tapi dia tidak berani mengumbar rasa
marahnya, sebaliknya ia menyapa dengan tertawa, "Wah, tampaknya Anda ini juga
beristerikan seorang lelaki, sebab kalau melihat tampang Anda, mungkin tiada perempuan di
dunia ini yang sudi menjadi istrimu."
Ucapan ini membikin para hadirin tertawa geli.
Tapi makhluk aneh ini sama sekali tidak memperlihatkan reaksi apa-apa, maklumlah, kulit
mukanya terlalu kendur, seumpama kulit dagingnya bergerak, kulit yang kedodoran itu tentu
takkan ikut bergerak.
Terdengar dia bergelak tertawa lalu berseru, "Seumpama aku beristerikan seorang lelaki kan
juga tiada sangkut-pautnya dengan kau, bukan?"
Kalau orang lain tertawa di kulit, maka dia tertawa di daging dan kulitnya tidak tertawa,
meski keras suara tertawanya, tapi wajahnya tetap lesu dan lemas, seakan-akan orang yang
tertawa itu bukan dia, suara tertawanya seperti timbul dari suatu tempat yang lucu dan aneh.
Semula semua orang merasa orang ini sangat lucu, tapi sekarang berbalik terasa rada
menakutkan.
Dian Liong-cu berdehem beberapa kali, lalu berkata, "Kalau lelaki beristerikan lelaki, lalu
harus dikemanakan orang perempuan? Jadi urusan ini aku kudu campur?"
"O, jadi kau pasti akan ikut campur," tanya orang itu.
"Betul, aku pasti ikut campur." jawab Dian Liong-cu.
Tapi baru saja kata "campur terucapkan, "plak-plok", mendadak terdengar suara gamparan
keras dan nyaring. Tahu-tahu pipi kanan kiri Dian Liong-cu telah bertambah lima jalur merah
bekas jari seperti sengaja digores dengan pensil, sampai ia sendiri tidak tahu cara bagaimana
kena digampar.
398
Yang dirasakan ketika pipi kanan berbunyi "plak", segera tubuhnya mendoyong ke kiri, tapi
segera pipi kiri ditampar dan "plok", lalu tubuhnya menegak kembali seperti semula.
Waktu dipandang si orang aneh itu, dia masih tetap berdiri di depan dan sedang memandang
padanya dengan gayanya yang khas itu, kalau dikatakan kedua kali gamparan itu dilakukan
olehnya mungkin tidak ada orang yang mau percaya.
Dian Liong-cu merasa seperti bermimpi saja, mendingan mukanya tidak merasa sakit.
Anehnya semua orang sama memandang mukanya dengan sorot mata yang kaget dan kuatir,
seperti orang yang melihat setan di siang bolong.
Tanpa terasa Diong Liong-cu meraba mukanya sendiri, baru sekarang diketahuinya bagian
mukanya telah membengkak lima jalur bekas jari, rasanya kaku dan panas dan sukar bergerak.
Saking kagetnya tanpa terasa ia menjerit perlahan, dan baru diketahuinya bahwa kulit muka
sendiripun kaku, makanya tidak terasa sakit.
"Hehehe, coba katakan lagi, kau pasti ikut campur urusan ini bukan?" dengan tertawa orang
aneh itu bertanya pula.
Kerongkongan Dian Liong-cu berbunyi "krak-krok", tapi sukar berbicara.
Orang aneh itu tepuk-tepuk pundak Hu-patya, lalu berkata, "Nah, sudah ku lampiaskan rasa
gemasmu tadi, sekarang apa imbalannya sebagai tanda terima kasihmu padaku?"
"Ini...Cianpwe..." rupanya Hu-patya jadi bingung juga oleh kungfu si orang aneh yang maha
sakti ini, tepukan orang pada pundaknya membuatnya hampir berjongkok kebawah, mana
sempat lagi bicara.
"Jika kau tidak tahu cara bagaimana harus berterima kasih padaku, biarlah kukatakan saja
padamu." kata orang itu lalu ia pungut patung yang berantakan bersama kotaknya tadi dan
menyambung pula, "Nah, cukup kau berikan saja mainan ini padaku."
Hu-patnaynay menabahkan hati dan berseru, "Siapakah nama Cianpwe yang terhormat,
bolehkah kami diberi tahu?"
Anda sedang membaca artikel tentang Imbauan Pendekar 2 [Lanjutan Renjana Pendekar] dan anda bisa menemukan artikel Imbauan Pendekar 2 [Lanjutan Renjana Pendekar] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/imbauan-pendekar-2-lanjutan-renjana.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Imbauan Pendekar 2 [Lanjutan Renjana Pendekar] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Imbauan Pendekar 2 [Lanjutan Renjana Pendekar] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Imbauan Pendekar 2 [Lanjutan Renjana Pendekar] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/imbauan-pendekar-2-lanjutan-renjana.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar