Cersil : Pendekar negeri Tayli 5

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 23 September 2011

884




Maka begitu memasuki perkampungan keluarga Buyung,
setiap saat ia selalu waspada. Waktu matanya merasa
sepat dan layap-layap akan pulas mendadak ia tersadar,
“Celaka! Rupanya budak setan ini sedang merancang
sesuatu muslihat untuk menggasak kami.”

Segera ia berseru, “Awas, Ko-hiantit, banyak orang
Kangouw berjiwa keji dan banyak tipu muslihatnya yang
serbaaneh, engkau harus hati-hati dan waspada.”

Ko Gan-ci mengangguk dan menyahut dengan
samar-samar, “Benar! Sampai bertemu esok pagi!”

Habis berkata, ia terus menguap.

Kuapan Ko Gan-ci ini ternyata membawa daya
menular, seketika Cui Pek-khe dan Toan Ki ikut menguap
dengan pikiran mulai melayap-layap, yang terdengar
hanya suara Khim yang ulem merdu, sekelilingnya terasa
sunyi senyap, setiap orang merasakan tubuh penat dan
ingin tidur, kalau bisa terus hendak selonjor dan terpulas
segera.

Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar
“cring” sekali, dada Toan Ki serasa diketok dan “Thian-tihiat”
di samping ketiak seketika lancar kembali dari
tutukan Ciumoti tadi.

Sungguh girang, dan kejut Toan Ki tak terkatakan, ia
menyangka tutukan Ciumoti tadi kurang keras hingga
Hiat-to yang tertutuk itu tidak buntu seluruhnya, maka
setelah lewat sekian lama jalan darahnya lantas lancar
kembali dengan sendirinya.

885




Tak terduga suara kecapi A Pik kembali dipetik sekali
pula, “cring”, lagi-lagi “Pek-hou-hiat” di punggung Toan Ki
terasa lancar pula dengan sendirinya.

Ketika Toan Ki coba mengerahkan tenaga dalamnya,
ia merasa separuh tubuh bagian atas sudah dapat
bergerak dengan bebas, jalan darah pun lancar tanpa
suatu rintangan.

Baru sekarang ia tahu suara kecapi A Pik itu dapat
mengadakan kontak dengan hawa murni dalam tubuh
orang dan mampu melancarkan jalan darah.

Selang sebentar, Hiat-to bagian kaki yang tertutuk
juga terbuka semua mengikuti bunyi kecapi.

Dengan termangu-mangu Toan Ki memandangi A Pik,
hati merasa terima kasih tak terhingga. Ia lihat A Pik
masih terus memetik kecapi dengan penuh perhatian, di
sampingnya terdengar suara orang mendengkur dengan
keras, Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci sudah tertidur
nyenyak. Sebaliknya Ciumoti masih tetap duduk dengan
tenang, tampak jelas sedang mengerahkan Lwekang
untuk melawan suara kecapi si A Pik.

Tidak lama kemudian, Toan Ki lihat jidat A Pik mulai
berkeringat, di atas kepala kabut tipis mulai menguap.
Sebaliknya Ciumoti tetap tenang dengan mengulum
senyum dan berseri-seri.

Diam-diam Toan Ki jadi khawatir, “Bila suara kecapi si
A Pik tak dapat mengatasi kekuatan si Hwesio hingga
malah dilukai olehnya, lantas bagaimana baiknya nanti?”

886




Pada saat yang genting itulah tiba-tiba terdengar A Cu
menyanyi dengan suara yang merdu, lagunya, “Angin
mendesir dingin di sungai Ih, sekali pergi sang pahlawan
tak kembali lagi!”

Suara kecapi sangat kalem dan halus, sebaliknya
suara nyanyian gagah penuh semangat, keduanya
berbeda irama, Toan Ki menjadi heran.

Tapi berulang A Cu masih terus membolak-balik
menyanyikan lagu “angin mendesir ...” hingga tiga-empat
kali, Toan Ki lihat tangkai bunga yang tersunting di atas
sanggul A Pik tiada hentinya bergemetar, bibir si gadis
yang tadinya merah kini pun mulai pucat.

Hati Toan Ki tergerak, mendadak ia sadar, “Ah,
tahulah aku. Sebabnya A Cu menyanyikan dua kalimat
lagunya itu, maksudnya minta aku menirukan perbuatan
Keng Ko, membunuh raja Cin di zaman Ciongkok. Ya,
tenaga dalam A Pik terang bukan tandingan si Hwesio,
kalau bertambah lebih lama lagi mungkin akan terluka
dalam parah.”

Diam-diam Toan Ki mulai menghafalkan kembali Lakmeh-
sin-kiam, ia coba menjalankan tenaga dalam dan
terasa lancar tanpa sesuatu rintangan.

Cuma sejak kecil ia mendapat ajaran falsafah Kongcu
dan Buddha yang menyuruh setiap manusia harus
berlaku bajik dan welas asih kepada sesamanya, karena
itu ia menjadi ragu untuk menyerang, ia pikir seorang
laki-laki harus bertindak secara terang-terangan, kalau
menyerang orang secara mendadak dan di luar
penjagaan, rasanya terlalu kotor dan rendah.

887




Tengah Toan Ki ragu itulah, sekonyong-konyong
“creng” sekali, seutas senar kecapi si A Pik putus, tubuh
gadis itu pun tergeliat sedikit, suara nyanyian A Cu pun
terhenti mendadak, sepasang sumpit yang terpegang di
tangannya segera siap hendak ditusukkan ke arah
Ciumoti.

Menyusul terdengar pula suara “cring”, kembali
seutas senar kecapi putus. Berbareng Cui Pek-khe dan
Ko Gan-ci berseru kaget, keduanya sama-sama terjaga
bangun.

Toan Ki tahu keadaan sangat mendesak, diam-diam
ia bergumam, “Demi menolong orang, terpaksa aku
harus berlaku pengecut sebentar.”

Segera ia angkat tangan kanan, dengan telunjuk dan
jari tengah mengacung ke arah Ciumoti, “cus-cus”,
seketika dua arus kekuatan yang tak kelihatan menusuk
dengan cepat.

Itulah jurus serangan “Siang-yang-kiam” dan “Tiongciong-
kiam” yang lihai.

Bila Ciumoti lagi bertanding berhadapan dengan Toan
Ki, betapa pun cepatnya serangan itu pasti dapat
dipatahkan olehnya. Tapi kini Ciumoti menyangka Hiat-to
pemuda yang telah ditutuknya, untuk sementara ini
pemuda itu terang tidak dapat berbuat apa-apa, maka
antero perhatiannya dicurahkan untuk menempur suara
kecapi si A Pik.

888




Tatkala itu Ciumoti sudah mulai di atas angin dan A
Pik terdesak, ia sudah berusaha mengacaukan suara
kecapi untuk membingungkan pemusatan pikiran A Pik,
kemudian suara kecapi segera akan diperalat olehnya
untuk melukai A Cu sekalian.

Sama sekali tak terduga olehnya bahwa Toan Ki
mendadak menyerang dengan Lak-meh-sin-kiam. Dalam
kagetnya Ciumoti bersuit panjang sembari meloncat ke
atas, “brak”, sekaligus lima senar kecapi si A Pik sama
putus. Menyusul tertampaklah darah mengucur di badan
Ciumoti. Bu-heng-sin-kiam atau pedang sakti tak
berwujud yang dilontarkan Toan Ki ternyata berhasil
menusuk bahu kanannya.

Cepat sekali A Pik tarik A Cu dan tangan lain
menggandeng Toan Ki, sekali kaki mengentak, ketiga
orang lantas melayang keluar melalui jendela pondok di
atas air itu dan tepat turun ke dalam perahu yang
tertambat di tepi gili-gili. Segera A Cu menyuruh Toan Ki
mendekam di dalam perahu, ia sendiri sambar pengayuh
terus didayung cepat ke tengah danau.

Maka terdengarlah suara “blang-blung” yang keras,
perahu kecil itu terombang-ambing bagai didampar
ombak raksasa di tengah samudra, air danau muncrat ke
dalam perahu hingga Toan Ki basah kuyup.

Waktu ia mendongak, ia lihat Ciumoti berdiri di tepi
gili-gili sedang melemparkan meja batu, bangku batu dan
sebagainya, untung A Cu cukup cekatan dan dapat
mendayung dengan cepat, pula Ciumoti telah terkena
pedang tanpa wujud Toan Ki tadi hingga lukanya cukup

889




parah, tenaganya banyak berkurang, maka timpukannya
tiada satu pun yang tepat mengenai perahu itu.

Namun begitu A Cu terkejut juga oleh ketangkasan si
Hwesio. Diam-diam ia bersyukur dapat lolos dari bahaya.
Sekuatnya ia mendayung lebih jauh hingga dapat diduga
Ciumoti tidak dapat menyusul mereka lagi.

“Toan-kongcu,” kata A Pik kemudian, “terima kasih
atas pertolonganmu tadi, kalau tidak, saat ini aku tentu
sudah binasa di tangan Hwesio itu.”

“Akulah yang harus berterima kasih padamu,” sahut
Toan Ki. “Hwesio itu berani berkata berani berbuat,
bukan mustahil aku benar-benar akan dibakar hiduphidup
olehnya.”

“Sudahlah, tidak perlu lagi terima kasih sini dan terima
kasih sana, apakah kita dapat lolos dari kekejaman padri
itu masih belum dapat dipastikan,” ujar A Cu.

Pada saat itu juga Toan Ki mendengar suara
tersiahnya air, ada perahu sedang didayung ke arah sini,
segera katanya, “Benar juga, Hwesio itu sedang
mengejar kemari!”

Karena pertarungan Lwekang tadi, keadaan A Pik
sudah sangat lelah, seketika tenaganya belum dapat
dipulihkan, ia bersandar di dinding perahu katanya, “A Cu
Cici, marilah kita menyingkir sementara ke tempat Lioktoaya
saja.”

“Ya, terpaksa begitulah,” sahut A Cu dengan
mendongkol. “Sungguh sialan, tentu kita akan ditertawai

890




Liok-toaya lagi bahwa ilmu silat kita tak berguna, baru
ketemu musuh lantas lari berlindung ke rumahnya. Hidup
kita selanjutnya pasti akan selalu dibuat buah tertawaan
olehnya.”

Toan Ki sendiri sejak tenaga dalamnya bertambah
kuat, daya pendengarannya menjadi sangat tajam pula.
Ia dapat mendengar perahu yang sedang mengejar
mereka itu makin mendekat. Cepat saja ia pun sambar
pengayuh lain dan bantu mendayung, bertambah tenaga
seorang, daya luncur perahu mereka menjadi seperti
anak panah terlepas dari busurnya, jarak dengan perahu
pengejar itu pun makin lama makin jauh.

“Kepandaian Hwesio itu sungguh luar biasa, kalau
kedua Cici yang masih muda belia dikalahkan olehnya,
kenapa mesti dibuat pikiran, apa yang memalukan?” ujar
Toan Ki kemudian.

Tiba-tiba dari jauh sana terdengar suara seruan
orang, “Wahai, A Cu dan A Pik! Kembalilah kalian!”

Terang itulah suara Ciumoti, ucapannya itu terdengar
lemah lembut dan bersahabat hingga menimbulkan daya
tarik yang sukar ditahan, rasanya ingin menurut saja apa
yang dikatakan itu.

A Cu tertegun juga, pikirnya, “Dia menyerukan kita
kembali ke sana dan menyatakan takkan membikin
susah kita.”

Sembari berkata ia menghentikan dayungnya dengan
pikiran tergerak dan bermaksud memenuhi permintaan
Ciumoti itu.

891




Bahkan A Pik lantas ikut menyokong, “Jika begitu,
marilah kita putar kembali ke sana!”

Syukur tenaga dalam Toan Ki sangat kuat dan tidak
mudah terpengaruh oleh seruan Ciumoti yang membawa
daya tarik itu, cepat ia berkata, “Jangan kalian percaya,
ia sengaja hendak menipu kalian!”

Namun suara Ciumoti yang halus dan enak didengar
itu kembali berkumandang pula, “Kedua nona cilik A Cu
dan A Pik, Kongcu kalian telah pulang dan sedang
mencari kalian, lekaslah dayung kembali, lekas kembali!”

“Baiklah!” kata A Cu tiba-tiba terus angkat pengayuh
untuk membelokkan arah perahu.

Toan Ki menjadi khawatir. Diam-diam ia pikir, “Jika
benar Buyung-kongcu sudah pulang, tentu ia sendiri
akan panggil A Cu dan A Pik, kenapa mesti si Hwesio
yang memanggilnya? Jelas suaranya itu adalah
semacam ilmu penggoda sukma orang yang sangat
lihai.”

Cepat Toan Ki menyobek dua potong ujung bajunya
untuk menyumbat telinganya A Cu, lalu menyumbat pula
telinga A Pik.

Setelah tenangkan diri sejenak, A Cu berseru kaget,
“Wah, hampir saja kita terjebak!”

“Ya, Hwesio itu dapat menggunakan Liap-hun-tayhoat
(ilmu sakti pencabut sukma, sebangsa hipnotis),
hampir kita masuk perangkapnya,” tukas A Pik.

892




Segera A Cu mendayung lagi sekuatnya, katanya,
“Toan-kongcu, lekas mendayung, cepat!”

Kedua orang terus mendayung dengan gotong royong
hingga dalam sekejap suara Ciumoti tidak terdengar
pula. Toan Ki lalu memberi tanda agar sumbat telinga
kedua nona itu dibuka.

Sambil menepuk dada A Cu berkata sembari menarik
napas lega, “Selamatlah sekarang. Tapi lantas
bagaimana selanjutnya?”

“Enci A Cu,” kata A Pik, “jika kita berlindung ke tempat
Liok-toaya di Siau-thian-jun, bila nanti si Hwesio juga
menyusul ke sana, tentu ia akan bergebrak dengan Lioktoaya
dengan sengit.”

“Benar, dan bila terjadi begitu, tentu runyam,” sahut A
Cu. “Meski ilmu silat Liok-toaya cukup tinggi, tapi
tampaknya bukan tandingan si Hwesio yang aneh dan
licin itu. Biar begini saja, kita terus main kucing-kucingan
di danau yang luas ini, kita putar kian kemari menghindari
pengejarannya. Kalau lapar, kita bisa petik lengkak dan
ubi teratai untuk tangsel perut, meski harus bertahan
sampai 10 hari atau setengah bulan juga kita sanggup.”

“Baiklah, terserah kepada keinginanmu,” ujar A Pik
dengan tersenyum. “Cuma entah bagaimana dengan
pendapat Toan-kongcu?”

“Haha, justru itulah melebihi harapanku,” sahut Toan
Ki sambil bertepuk tangan kegirangan. “Pemandangan
danau ini indah permai, ditambah ada kawan dua nona

893




cantik, jangankan cuma setengah bulan, sekalipun
selamanya juga aku setuju hidup demikian, biarpun
malaikat dewata juga tidak sebahagia ini!”

A Pik tersenyum geli oleh banyolan pemuda itu,
katanya pula, “Dari sini menuju ke arah tenggara banyak
sekali terdapat anak sungai dan teluk, kecuali nelayan
setempat, jarang yang hafal perjalanan di sekitar sini.
Bila kita sudah dapat memasuki ‘Pek-kiok-oh’ (danau
beratus muara) itu, betapa pun lihai si Hwesio takkan
dapat menemukan kita lagi.”

Dengan girang terus saja Toan Ki mendayung lebih
giat, tidak lama sampailah mereka di tengah danau yang
banyak terdapat muara sungai. Bila ketemu simpang
jalan begitu, terkadang A Cu dan A Pik perlu berunding
lebih dulu barulah dapat menentukan arah mana yang
harus ditempuh.

Dengan begitu perahu mereka telah meluncur hingga
satu-dua jam lamanya. Tiba-tiba bidang Toan Ki
mengendus semacam bau harum bunga yang aneh,
waktu tercium mula-mula kepalanya meraba pening, tapi
lantas terasa sangat enak dan segar pula.

“Kedua Cici, bunga apakah yang harum itu? Kenapa
aku tidak pernah mencium bau harum begini di negeri
Tayli kami?” tanya Toan Ki.

Tiba-tiba A Pik membisikinya, “Jangan kau tanya, kita
harus lekas meninggalkan tempat ini.”

Toan Ki heran oleh suara si nona yang rada gugup
dan khawatir itu. Dalam pada itu didengarnya A Cu juga

894




sedang berkata dengan lirih, “Akulah yang tersesat. Tadi
kau bilang lebih tepat membelok ke kiri, tapi aku berkeras
menyatakan ke kanan, dan nyatanya aku salah jalan. A
Pik, jika kau yakin arahmu yang tepat, mengapa engkau
menuruti arahku?”

“Waktu itu aku sendiri pun ragu, kupikir jangan-jangan
arahmu yang benar,” sahut A Pik dengan gegetun.

Kiri semangat A Pik sudah pulih kembali, ia ambil
pengayuh dari tangan A Cu dan menggantikannya
mendayung.

Mendengar percakapan kedua nona itu, Toan Ki
menduga di balik bau harum bunga yang aneh itu tentu
terdapat sesuatu yang membahayakan. Sebenarnya ia
ingin tanya, namun A Cu telah menggoyang tangan
untuk mencegahnya supaya jangan bersuara.

Dalam kegelapan Toan Ki tak jelas melihat air muka
kedua nona itu. Tapi dapat diduga keadaan pasti gawat
melebihi bahaya waktu terancam pengejaran Ciumoti
tadi.

Tiba-tiba A Cu mendekatkan mulutnya ke telinganya
Toan Ki dan membisikinya, “Toan-kongcu, aku dan A Pik
akan bicara dengan suara keras, tapi engkau jangan ikut
campur sepatah kata pun, paling baik engkau berbaring
saja di dalam perahu.”

Toan Ki bingung karena tidak paham apa maksud
nona itu. Namun ia mengangguk dan menurut, ia
menyerahkan pengayuh kepada A Cu dan merebahkan
diri di geladak perahu. Ia lihat bintang berkelip-kelip di

895




tengah cakrawala, hati merasakan semacam keheranan
yang tak terkatakan.

“Adik A Pik,” demikian terdengar A Cu sedang
berkata, “jalan di sini susah dibeda-bedakan, kita harus
hati-hati, jangan sampai kesasar.”

“Ya,” sahut A Pik, “Hwesio yang mengejar kita itu
tentu tidak bermaksud baik. Sebaliknya kalau kita sampai
tersesat jalan, orang akan menyalahkan kita sengaja
datang ke sini dan tentu akan banyak membawa
kesukaran bagi Kongcu.”

Suara percakapan A Pik dan A Cu itu dilakukan
dengan keras seakan-akan sengaja diperdengarkan
kepada seseorang.

Tapi ketika Toan Ki melirik jauh ke depan, yang
terlihat cuma daun lengkak melulu yang menghijau
terapung rapat di permukaan air. Kecuali suara gesekan
antara badan perahu dengan daun tetumbuhan itu,
keadaan sunyi senyap tiada sesuatu pun yang
mencurigakan, bau harum bunga yang bukan mawar
bukan melati, semacam bau harum yang susah
dilukiskan dan sukar diterka.

Tiba-tiba A Pik bernyanyi perlahan, suara
nyanyiannya terasa mengandung rasa takut. Nyata ia
menyanyi hanya untuk menghilangkan perasaan
takutnya.

“Apakah Hwesio itu mengejar kemari?” demikian Toan
Ki bertanya.

896




“Ssstt!” cepat A Cu mendekap mulut pemuda itu agar
jangan bersuara. Ia celingukan kian kemari, setelah
sekitarnya sunyi senyap barulah dia membisiki telinga
Toan Ki, “Jangan bersuara. Kita telah kesasar ke tempat
yang berbahaya, tuan rumah di sini jauh lebih lihai
daripada Hwesio tadi!”

“Sungguh celaka tiga belas,” demikian pikir Toan Ki,
“belum terhindar dari bahaya yang satu, bahaya yang lain
mengancam pula.”

Tapi segera terpikir pula olehnya, “Ah, kedua nona
adik ini belum kenal betapa lihainya Ciumoti, di dunia ini
masakah ada jago lain yang lebih lihai daripada Hwesio
itu? Apalagi di sini adalah tempat bercokolnya orang she
Buyung, mana dia boleh membiarkan seorang tokoh lain
hidup berdampingan dengan dirinya?”

Habis nyanyi A Pik tidak bicara pula, ia menengadah,
memandang bintang-bintang di langit. Ia sedang
berusaha membedakan arah berdasarkan kedudukan
bintang yang bertaburan di cakrawala itu sambil
mendayung bersama A Cu.

Toan Ki memandang sekitarnya, keadaan hening
sepi, di tengah danau seluas itu melulu perahu mereka
saja yang menyiah air hingga menerbitkan suara
gemeresik perlahan. Ia merasa heran mengapa kedua
gadis itu begitu ketakutan menghadapi suasana yang
cuma sepi ini?

Setelah perahu meluncur lagi agak jauh dan tiba pula
di suatu muara sungai, A Cu dan A Pik bertukar pikiran
ke mana perahu mereka harus menuju.

897




Padahal dalam pandangan Toan Ki, ia merasa
jalanan air di sini sama saja tanpa sesuatu perbedaan, ia
menjadi heran berdasarkan tanda apa hingga kedua
nona itu mengadakan perdebatan?

Sesudah mendayung lagi sekian lamanya, Toan Ki
mendengar napas kedua gadis itu tersengal-sengal.
Segera ia mengambil pengayuh dari tangan A Cu dan
menggantikannya mendayung.

Tidak hina kemudian, tiba-tiba A Pik berseru kaget,
“Hai, kita ... kita kembali lagi ke tempat tadi.”

Benar juga, segera Toan Ki mengendus bau harum
bunga yang aneh tadi. Ia menjadi lemas dan kecewa,
tampaknya mereka cuma berputar-putar saja di tengah
danau itu, percuma mereka mendayung dengan susah
payah selama setengah malam di situ.

Sementara itu sudah dekat fajar, ufuk timur mulai
remang-remang. Wajah A Pik tampak sedih. Tiba-tiba ia
membuang pengayuh ke atas perahu dan menangis
terguguk sambil menutupi mukanya.

A Cu merangkul A Pik dan menghiburnya, “Kita toh
tidak sengaja datang kemari. Sebentar bila bertemu
dengan Ong-hujin, kita katakan saja terus terang, jangan
khawatir.”

Walaupun menghibur kawannya, sebenarnya
perasaan sendiri juga kacau dan khawatir.

898




Pada saat itulah tiba-tiba di angkasa terdengar suara
burung mencicit, dari arah barat sana terbang datang
seekor burung putih mirip bangau. Burung itu terbang
mengitari perahu beberapa kali, kemudian terbang ke
arah barat pula dengan perlahan.

A Cu mengangkat pengayuh dengan menghela
napas, katanya, “Sudah diketahui, terpaksa mesti ke
sana, marilah kita ke sana!”

Segera ia mendayung perahunya mengikuti arah
burung tadi.

“Kiranya burung itu adalah penunjuk jalan yang diutus
majikannya,” ujar Toan Ki dengan tertawa.

“Toan-kongcu,” kata A Pik tiba-tiba, “engkau adalah
orang luar dan tidak tahu peraturan di tempat ini.
Sebentar bila sampai di ‘Man-to-san-ceng’, tak peduli apa
yang terjadi, hendaklah engkau menurut perintah saja,
biarpun dihina juga engkau jangan membangkang.”

“Sebab apa?” tanya Toan Ki. “Apakah tuan rumahnya
sangat kasar dan sewenang-wenang? Kita hanya sesat
jalan, kalau perlu kita segera pergi dari sini, dosa apakah
kalau cuma kesasar saja?”

Tiba-tiba mata A Pik memberambang, katanya,
“Toan-kongcu, di dalam persoalan ini banyak hal-hal
yang sukar kujelaskan. Mereka berani berlaku kasar
tentu mereka mempunyai alasannya sendiri. Pendek
kata, semua gara-gara Hwesio jahat itu hingga kita
diuber-uber dan kesasar kemari. Kalau tidak, masakah
kita bisa masuk ke sini?”

899




Rupanya sifat A Cu lebih periang, dengan tertawa ia
berkata. “Orang baik tentu diberkahi dengan rezeki
besar. Kalau kita berdua datang kemari, tentu bakal
celaka, tapi Toan-kongcu adalah seorang agung,
seorang yang membawa berkah, siapa tahu kita akan
ikut diberkahi dengan keselamatan.”

“Aku justru khawatir bagi Toan-kongcu, soal kita
berdua malah tak kupikirkan,” ujar A Pik. “Ong-hujin telah
menyatakan bila ada lagi orang laki-laki menginjak Manto-
san-ceng, maka kedua kaki orang itu akan ditebasnya
dan kedua matanya akan dikorek. Enci A Cu, sifat Onghujin
sudah kau kenal, sekali dia sudah omong, pasti
dilaksanakannya. Kini kita membawa Toan-kongcu ke
sini, bukankah kita yang membikin susah padanya ....”

Berkata sampai di sini, tak tertahan lagi air matanya
bercucuran.

“A Pik,” kata A Cu, “siapa tahu mendadak timbul rasa
welas asih orang, bisa jadi Toan-kongcu pandai omong
dan pintar berdebat hingga dapat mematahkan perasaan
baja orang, lalu kita bertiga dilepas pergi.”

“Sebenarnya tokoh macam apakah Ong-hujin itu?”
tanya Toan Ki.

A Pik memandang A Cu sekejap, hendak menjawab
tapi urung. Sebaliknya A Cu lantas memberi tanda
beberapa kali dengan tangannya, lalu celingukan,
kemudian baru berkata, “Tentang diri Ong-hujin? Wah,
betapa tinggi ilmu silatnya boleh dikata sudah mencapai
tingkatan yang sukar diukur, di dunia persilatan sekarang

900




tiada seorang pun yang dapat menandinginya. Kongcu
kami biasanya tidak mau tunduk kepada siapa pun,
hanya Ong-hujin saja yang paling dikagumi olehnya.”

Meski begitu mulutnya berkata, tapi mimik wajahnya
mengunjuk tanda-tanda yang aneh, mulut merat-merot
dan mata terpicing sambil mengangkat bahu pula.
Pendek kata tanda-tanda yang menyatakan apa yang
dikatakan itu sama sekali tidak dapat dipercaya
melainkan buatan belaka sekadar menyenangkan hati
orang.

Keruan Toan Ki heran, pikirnya, “Masakah bicara di
tengah perahu yang sekelilingnya cuma air belaka juga
khawatir didengar orang? Apakah Ong-hujin itu begitu
sakti sehingga memiliki telinga yang mampu mendengar
dari jauh?”

Ia lihat burung putih tadi telah terbang kembali dan
mengitar pula di atas perahu mereka seperti tidak sabar
menunggu lagi, setelah berputar lagi dua kali, kembali
burung itu mendahului terbang ke depan. Setelah perahu
didayung lagi mengikuti arah burung putih itu, kini jalanan
air itu penuh dengan teluk dan muara sungai yang
berliku-liku.

Akhirnya perahu mereka tiba di depan sebaris pagar
bambu. Pagar bambu itu jarang-jarang anyamannya
sebagaimana umumnya dipakai kaum nelayan untuk
mengurung ikan.

Sesudah dekat dengan pagar bambu itu, tampaknya
perahu mereka teralang dan tak dapat meluncur maju
lagi.

901




Tak terduga begitu haluan perahu membentur pagar
bambu itu, seketika pagarnya ambruk ke bawah air
hingga perahu dapat meluncur terus.

Kiranya pagar bambu itu dipasang dengan pesawat
rahasia yang bisa dibukatutupkan.

Setelah melintasi beberapa rintangan pagar bambu
lagi, akhirnya tertampaklah di depan sana pohon Liu
melambai-lambai di tepi pantai, dari jauh kelihatan pula di
tepi pantai penuh tumbuh bunga kamelia yang kemerahmerahan
bercerminkan air danau.

Melihat itu, tak tertahan lagi Toan Ki berseru heran
dengan perlahan.

“Ada apa?” tanya A Cu.

“Itu adalah San-teh-hoa (bunga kamelia) di negeri
Tayli kami, mengapa di tengah danau ini tumbuh juga
jenis bunga ini?” sahut Toan Ki sambil menunjuk pohon
kembang itu.

“Oya? Tapi mungkin San-teh-hoa di Tayli tidak dapat
menandingi San-teh-hoa di tempat kami ini,” kata A Cu.
“Tempat ini bernama Man-to-san-ceng, bunga mantolo di
sini terhitung nomor satu di dunia, betapa pun bunga
keluaran Tayli kalian juga takkan mampu
menandinginya.”

Kiranya nama lain dari San-teh-hoa atau bunga
kamelia adalah kembang mantolo, yaitu berasal dari kata
Mandala dalam bahasa Sanskerta. Dan kembang

902




mantolo yang paling terkenal adalah keluaran provinsi
Hunlam, orang menyebutnya sebagai “Tin-teh” atau
bunga kamelia dari Hunlam.

Oleh karena itulah Toan Ki tidak dapat menerima
pendapat A Cu tadi, bahwa kamelia Tayli tak dapat
menandingi bunga yang tumbuh di Man-to-san-ceng atau
perkampungan bunga mantolo ini. Pikirnya,
“Pemandangan alam di daerah Kanglam memang harus
diakui indah permai dan sukar ditandingi Tayli. Tapi
bicara tentang bunga kamelia yang merupakan bunga
pusaka negeri kami kuyakin tiada tempat lain yang dapat
melebihinya.”

Sebenarnya ia bermaksud menyanggah ucapan A Cu
tadi, tapi dilihatnya gadis itu sedang memicingkan mata
dan memerotkan mulut pula sebagai tanda jangan
banyak bicara, maka Toan Ki urung buka suara. Ia pikir
Man-to-san-ceng itu sudah di depan mata, lebih baik
jangan sembarangan bicara.

Dalam pada itu A Cu telah mendayung perahunya
menuju ke semak bunga kamelia itu. Sampai di tepi
pantai, Toan Ki melihat sepanjang mata memandang di
situ hanya bunga kamelia belaka yang berwarna merah
dan putih, sebuah rumah pun tidak tertampak.

Ia dibesarkan di negeri Tayli yang terkenal sebagai
negeri kembang kamelia, maka ia tidak heran oleh bunga
San-teh yang berserakan itu. Bahkan ia merasa bunga
kamelia sebanyak itu tiada satu pun terdiri dari jenis yang
berharga.

903




Setelah merapatkan perahunya ke gili-gili, segera A
Cu berseru dengan suara nyaring dan penuh hormat,
“Hamba A Cu dan A Pik dari keluarga Buyung dalam
menghindari kejaran musuh secara tidak sengaja telah
tersesat ke sini, sungguh dosa kami pantas dihukum
mati, mohon kemurahan hati Ong-hujin sudilah
mengingat ketidaksengajaan kami dan memberi ampun,
untuk mana hamba berdua akan sangat berterima kasih.”

Akan tetapi biar A Cu sudah gembar-gembor sendiri,
di balik semak-semak pohon sana tetap tiada suara
sahutan orang.

Nona itu berseru lagi, “Dan orang yang datang
bersama kami ini adalah Toan-kongcu yang tak kami
kenal sebelumnya, ia adalah tamu asing dan juga tidak
kenal-mengenal dengan Kongcu kami, tiada sangkut
paut apa-apa dengan kesasaran kami ini.”

Segera A Pik ikut berkata juga, “Kedatangan orang
she Toan ini ke tempat kami sebenarnya tidak punya
maksud baik melainkan hendak membikin onar pada
Kongcu kami. Tak terduga secara kebetulan ia ikut
kesasar kemari.”

Toan Ki menjadi heran, pikirnya, “Kenapa mereka
menegaskan aku adalah musuh Buyung-kongcu, apa
barangkali tuan rumah di sini sangat benci kepada
Buyung-kongcu, asal aku mengaku sebagai musuh orang
she Buyung itu lantas aku takkan dipersulit di sini?”

Tidak beberapa lama, tiba-tiba di tengah hutan
kembang kamelia itu terdengar suara tindakan orang,
kemudian muncul seorang pelayan kecil berbaju hijau,

904




tangan membawa segebung karangan bunga, usianya
lebih tua satu-dua tahun daripada A Cu dan A Pik.
Sampai di tepi pantai, dengan tertawa dayang itu berkata
dengan tersenyum, “A Cu, A Pik, kalian benar-benar
bernyali besar sekali dan berani ngelayap ke sini. Karena
itu Hujin memerintahkan muka kalian masing-masing
harus disilang dengan pisau agar wajah kalian yang
cantik ayu terusak!”

Namun A Cu jadi lega malah demi tampak sikap
dayang yang bicara itu. Sahutnya dengan tertawa, “Enci
Yu Cau, Hujin tidak berada di rumah bukan?”

“Hm, Hujin justru mengatakan bahwa kalian berani
membawa laki-laki asing ke sini, maka kedua kaki orang
itu harus segera dipotong,” demikian sahut si dayang
yang dipanggil dengan nama Yu Cau itu. Tapi belum
selesai ia omong sudah lantas menutup mulut dengan
tangan dan tertawa cekikikan.

“Enci Yu Cau,” A Pik ikut bicara sambil tepuk dada,
“jangan engkau menakut-nakuti orang. Sebenarnya
sungguh-sungguh atau tidak ucapanmu itu?”

“A Pik,” ujar A Cu dengan tertawa, “jangan gampang
digertak olehnya. Kalau Hujin ada di rumah masakah
budak ini berani main gila seperti ini? Adik Yu Cau,
katakanlah, ke manakah Hujin pergi?”

“Huh, berapakah umurmu sekarang, berani kau
panggil aku sebagai adik?” sahut Yu Cau dengan
tertawa. “Kau memang siluman cilik cerdik, dengan tepat
dapat kau terka Hujin tidak berada di rumah.”

905




Ia merandek sejenak, tiba-tiba ia menghela napas,
lalu meneruskan, “A Cu dan A Pik, syukurlah kalian dapat
berkunjung kemari pula, sungguh aku ingin menahan
kalian agar dapat tinggal barang beberapa hari di sini,
cuma ....”

“Ya, sudah tentu kami pun suka tinggal sementara
denganmu di sini,” sahut A Pik. “Enci Yu Cau, sebaiknya
engkau dapat datang ke tempat kami saja. Untuk mana
kami siap tiga-hari-tiga malam tidak tidur selalu
menemanimu.”

Tengah bicara, tiba-tiba dari semak-semak bunga
sana terdengar suara keresekan, kemudian muncul pula
seorang dayang cilik dengan tertawa, dayang ini pun
berseru girang, “Hai, A Cu dan A Pik, nona kami
mengundang kalian ke tempatnya sana.”

“He, kiranya adik Hong Le,” sahut A Cu dengan
tertawa. “Terima kasih atas kebaikan nona kalian.
Sampaikanlah bahwa Kongcu kami sedang bepergian,
kedatangan kami ke sini sungguh-sungguh karena sesat
jalan. Harap dimaafkan.”

“Bagus,” kata Hong Le setengah mengomel, “nona
kami mengundang kalian, tapi kalian menolak. Baiklah,
dan kalian juga jangan mengharapkan Pek-ih-sucia
(penunjuk jalan berbaju putih, maksudnya burung putih
tadi) akan membawa kalian keluar dari sini.”

A Cu saling pandang sekejap dengan A Pik, sikap
mereka tampak serbasalah. Kemudian A Pik membuka
suara, “Enci Hong Le, engkau sendiri tentu tahu, mana
kami berani menolak undangan nonamu? Akan tetapi

906




bila nanti kebetulan Hujin pulang, lantas ... bagaimana
....”

“Hujin sedang pergi ke tempat yang jauh, kemarin
beliau berangkat, tidak mungkin pulang dengan cepat,”
sahut Hong Le atau si burung kenari kuning. “Ayolah ikut
ke sana, masakan kalian tidak tahu isi hati nona kami?”

“Baiklah, marilah A Pik, terpaksa kita menempuh
bahaya lagi,” ujar A Cu.

Kedua gadis itu lantas melangkah ke gili-gili. Kata A
Pik kepada Toan Ki, “Toan Ki, Toan-kongcu, harap
menunggu sebentar di sini, kami pergi menemui tuan
rumahnya, segera kami kembali.”

Toan Ki mengiakan dan menyaksikan kepergian
keempat gadis cilik yang lincah dan riang gembira itu.

Sesudah sekian lama duduk di dalam perahu, Toan Ki
menjadi iseng, pikirnya, “Biarlah aku mendarat untuk
melihat bunga mantolo yang ditanam di sini, ingin kulihat
apakah ada jenis-jenis yang bagus atau tidak?”

Terus saja ia melangkah ke pantai dan menikmati
pemandangan di sepanjang jalan. Ia lihat di antara
tetumbuhan bunga selebat itu, kecuali bunga kamelia,
sama sekali tiada jenis bunga lain lagi. Akan tetapi bunga
kamelia itu juga terdiri dari jenis-jenis yang umum tiada
sesuatu yang bernilai tinggi, satu-satunya
keistimewaannya adalah dalam hal jumlah. Memang
jumlahnya sangat banyak.

907




Tengah Toan Ki memandang kian kemari, tiba-tiba
hidungnya mengendus bau harum pula. Harum bunga itu
sebentar keras sebentar halus hingga sukar diraba dari
mana datangnya, bau harum itu serupa bau harum aneh
yang diciumnya selama di dalam perahu itu.

Diam-diam Toan Ki heran, pikirnya, “Di sini tidak
tampak ada jenis bunga lain lagi kecuali kamelia, apakah
mungkin di antara kamelia sebanyak ini terdapat sejenis
yang dapat mengeluarkan bau harum yang aneh ini?”

Tertarik oleh rasa ingin tahu, terus saja Toan Ki
mengusut lebih jauh mengikuti arah datangnya bau
harum itu. Setelah berpuluh meter jauhnya, ia lihat jenisjenis
kamelia yang mekar bertambah banyak, terkadang
juga ada satu-dua jenis yang bernilai lumayan.

Tidak lama pula, sedang Toan Ki asyik memerhatikan
bunga kamelia yang luar biasa jumlahnya itu, mendadak
bau harum yang aneh itu lenyap sama sekali.

Meski Toan Ki sudah menyusuri ke sana dan ke sini
bau harum itu tetap tak terendus lagi. Ia pikir, “Sudahlah,
aku harus lekas kembali ke sana, sebentar kalau A Cu
dan A Pik kembali dan melihat aku tiada berada di sana,
tentu mereka akan khawatir.”

Segera ia putar tubuh hendak kembali ke arah
datangnya tadi. Akan tetapi celaka, ia mengeluh. Kiranya
sudah sekian jauh ia menyusur kian kemari di antara
hutan bunga itu, ia lupa memberi tanda pada jalan yang
dilaluinya itu. Kini hendak balik ke tempat perahunya
berlabuh terang menjadi sulit.

908




Ia coba membedakan arah menurut keyakinannya
sendiri, pikirnya asal dapat mencapai tepi danau, urusan
tentu akan menjadi mudah.

Tak tersangka makin jauh ia berjalan, makin tak
keruan jurusan yang dipilihnya itu. Mendadak
didengarnya ada suara orang bicara di sisi kiri hutan
bunga sana, segera dapat dikenali itulah suara A Cu.
Pikir Toan Ki dengan girang, “Biarlah kutunggu sebentar
di sini, bila mereka selesai bicara, tentu dapat aku ikut
kembali ke tempat tadi bersama mereka.”

Ia dengar A Cu sedang berkata, “Kesehatan Kongcu
sangat baik, nafsu makannya juga bertambah. Selama
dua bulan ini beliau tekun mempelajari ‘Pak-kau-panghoat’
(ilmu pentung penggebuk anjing) dari Kay-pang,
mungkin sedang menyiapkan diri untuk mengukur
kepandaian dengan tokoh Kay-pang.”

Toan Ki menjadi ragu mendengar percakapan itu,
pikirnya, “A Cu sedang membicarakan urusan Kongcu
mereka, tidaklah pantas kalau diam-diam aku
mendengarkan di sini. Aku harus menyingkir yang jauh.
Tapi juga tidak boleh terlalu jauh, sebab sebentar bila
mereka selesai bicara dan berangkat, jangan-jangan aku
malah tidak tahu.”

Dan pada saat itulah, tiba-tiba Toan Ki mendengar
suara seorang perempuan menghela napas dengan
perlahan. Begitu mendengar suara helaan napas itu,
seketika tubuh Toan Ki terguncang, hati berdebar dan
muka berubah merah. Pikirnya, “Suara orang menghela
napas itu sungguh enak sekali didengar, mengapa di
dunia ini terdapat suara semerdu itu?”

909




Sementara itu didengarnya suara yang halus dan
merdu tadi sedang tanya pula, “Kepergiannya sekali ini
menuju ke manakah?”

Ketika mendengar suara helaan napas tadi perasaan
Toan Ki sudah terguncang, kini demi mendengar pula
ucapannya, darah seluruh tubuh terasa bergolak, tapi
hati timbul semacam rasa getir dan kecut, rasa kagum
dan iri yang tak terkatakan. Pikirnya, “Yang
ditanyakannya terang adalah Buyung-kongcu. Ternyata
sedemikian besar perhatiannya kepada Buyung-kongcu
hingga selalu dirindukan olehnya. Wahai, Buyungkongcu,
betapa bahagianya hidupmu ini!”

Terdengar A Cu sedang menyahut, “Waktu Kongcu
hendak berangkat, beliau menyatakan hendak pergi ke
Lokyang untuk menjumpai jago-jago Kay-pang. Malahan
Lu-toako dan Pau-siansing juga ikut pergi, harap nona
jangan khawatir.”

“Pada waktu Kongcu kalian berlatih Pak-kau-panghoat,
apakah ada sesuatu kesukaran atau rintangan?”
tanya suara wanita itu.

“Tidak,” sahut A Pik. “Kongcu dapat memainkan Pakkau-
pang-hoat dengan sangat lancar dan cepat sekali
....”

“Hai, salah besar!” tiba-tiba wanita itu berseru, “apa
betul dia memainkannya dengan sangat cepat?”

“Ya, kenapa dikatakan salah malah?” tanya A Pik
heran.

910




“Sudah tentu salah,” kata perempuan itu. “Pak-kaupang-
hoat itu mengutamakan keuletan, makin lambat
makin baik, bila perlu dapat dipercepat dan segera
diperlambat lagi. Tapi kalau terus-menerus dimainkan
dengan cepat, tentu sukar mengerahkan kelihaian ilmu
pentung itu. Ai, apakah ... apakah kalian dapat
menyampaikan sedikit pesan kepada Kongcu?”

“Tapi sekarang Kongcu berada di mana, kami sama
sekali tidak tahu, bukan mustahil saat ini beliau sudah
selesai pula bertemu dengan tokoh-tokoh Kay-pang,”
demikian sahut A Cu. “Nona, apakah terlalu cepat
memainkan Pak-kau-pang-hoat benar-benar tidak
boleh?”

“Sudah tentu tidak boleh, masakah perlu kujelaskan
lagi!” sahut si nona. “Mengapa ... mengapa waktu akan
berangkat dia tidak ... tidak datang menemui atau dulu?”

Sembari berkata ia pun mengentak kaki dengan rasa
khawatir dan cemas.

Toan Ki menjadi heran, pikirnya, “Biasanya nama
Koh-soh Buyung sangat dihormati dan disegani, tapi dari
ucapan nona ini, agaknya ilmu silat Buyung-kongcu itu
seakan-akan memerlukan petunjuknya. Apa mungkin
seorang nona muda belia seperti ini mempunyai
kepandaian setinggi langit?”

Ia dengar si nona sedang berjalan mondar-mandir,
suatu tanda betapa gelisah perasaannya waktu itu. Tibatiba
terdengar nona itu berkata lagi dengan perlahan,
“Tempo hari kuminta dia mempelajari ilmu gerak langkah

911




itu, tapi dia justru tidak mau belajar, coba kalau dia sudah
paham ‘Leng-po-wi-poh’ itu ....”

Mendadak mendengar kalimat “Leng-po-wi-poh” atau
langkah indah si dewi cantik, seketika Toan Ki kaget dan
tanpa terasa berseru sekali, cepat ia dekap mulut sendiri,
namun sudah terlambat.

“Siapa itu?” segera terdengar nona itu menegur.

Tahu tak bisa menyembunyikan diri, terpaksa Toan Ki
berdehem lebih dulu, lalu menjawab, “Cayhe bernama
Toan Ki, karena terpesona oleh keindahan bunga
kamelia sekitar sini hingga tanpa sengaja kesasar
kemari, mohon diberi maaf.”

“A Cu, apakah dia itu Siangkong yang datang
bersama kalian itu?” tanya nona itu kepada A Cu dengan
perlahan.

“Benar Kohnio (nona),” sahut A Cu cepat. “Orang ini
adalah Sutaycu (pelajar tolol), jangan nona
mengurusnya. Biarlah sekarang juga kami mohon diri
saja.”

“Nanti dulu,” kata si nona, “tunggu kutulis sepucuk
surat untuk menerangkan tanda-tanda rahasia Pak-kaupang-
hoat itu dan harap kalian segera berusaha untuk
disampaikan kepada Kongcu kalian.”

“Hal ini ... Hujin pernah menyatakan ....” sahut A Cu
dengan ragu.

912




“Menyatakan apa? Jadi kalian cuma menurut katakata
Hujin dan tidak mau menurut perintahku?” ucap
nona itu dengan nada marah.

Cepat A Cu menjawab, “Mana kami berani
membangkang perintah nona. Asal saja tidak diketahui
Hujin, sudah tentu kami akan menurut. Apalagi kalau ada
faedahnya bagi Kongcu kami.”

“Baiklah, mari kalian ikut aku ke kamar,” kata nona itu.

Terpaksa A Cu mengiakan.

Dalam pada itu Toan Ki tambah kesengsem sejak
mendengar suara helaan napas yang penuh daya tarik
itu. Kini mendengar si nona akan pergi, ia pikir sekali si
nona sudah pergi, mungkin selamanya takkan dapat
melihatnya lagi, hal itu bukankah akan dibuat penyesalan
selama hidup? Meski nanti akan dikatai orang karena
kelakuannya yang sembrono, paling-paling juga cuma
didamprat saja, betapa pun aku harus melihat muka
aslinya.

Karena pikiran itu, segera Toan Ki berseru sambil
melangkah keluar, “Enci A Pik, harap tinggal di sini untuk
menemani aku, ya?”

Mendengar Toan Ki berjalan keluar, nona itu berseru
kejut dan cepat membalik ke sana. Waktu Toan Ki
menerobos keluar dari semak-semak, yang terlihat
olehnya cuma seorang wanita berbaju putih mulus dan
berdiri mungkur, perawakannya ramping, rambut panjang
terurai sampai di punggung dan hanya diikat oleh seutas
benang sutra warna perak. Cukup melihat bayangan

913




belakang si gadis saja Toan Ki yakin gadis itu pasti
sangat cantik laksana dewi kahyangan dan anggun.
Segera ia memberi hormat dari jauh sambil berkata,
“Terimalah hormatku nona!”

“A Cu,” tiba-tiba gadis itu mengentak kaki, “garagaramu
membawa semua orang ke sini. Aku tidak ingin
bertemu dengan laki-laki luar yang tiada sesuatu
hubungan.”

Habis berkata, terus saja ia berjalan cepat ke depan,
hanya sekejap saja bayangan gadis itu sudah
menghilang di balik semak-semak bunga sana.

Dengan tersenyum A Pik menoleh dan berkata
kepada Toan Ki, “Toan-kongcu, tabiat nona ini sangat
angkuh, kini kebetulan malah, marilah kita pergi dari sini.”

“Ya, berkat pertolongan Toan-kongcu yang
melepaskan kami dari kesukaran,” A Cu ikut berkata
dengan tertawa. “Kalau Toan-kongcu tidak muncul, tentu
Ong-kohnio akan suruh kami antar surat segala dan jiwa
kami ini menjadi berbahaya akibatnya.”

Semula sebenarnya Toan Ki merasa khawatir akan
diomeli A Cu dan A Pik karena secara sembrono telah
berani unjuk diri hingga membikin nona Ong kurang
senang. Tak tersangka kedua dayang cilik itu malah
memberi pujian padanya, keruan Toan Ki menjadi
bingung malah.

Segera mereka bertiga kembali ke perahu mereka. A
Cu angkat pengayuh hendak mulai mendayung lagi. Tapi
belum sampai perahu meluncur, tiba-tiba A Pik berkata,

914




“Enci A Cu, tanpa diberi petunjuk jalan oleh Pek-ih-sucia,
betapa pun kita sukar keluar dari sini. Terpaksa kita
harus menunggu dulu surat Ong-kohnio. Kita cuma
terdesak oleh keadaan dan bukan sengaja datang ke
sini, andaikan diketahui Ong-hujin juga tak dapat
menyalahkan kita.”

“Ya, semuanya gara-gara si Hwesio busuk itu ....”
demikian sahut A Cu dengan menyesal.

Belum selesai ucapannya, tiba-tiba dari jauh
terdengar suara suitan nyaring panjang bagai naga
meringkik.

Demi mendengar suara suitan aneh itu, seketika
wajah A Cu dan A Pik berubah pucat. Begitu pula Toan
Ki terkejut. Pikirnya, “He, suara suitan ini sudah kukenal
dengan baik. Wah, celaka, itulah dia muridku Lam-haygok-
sin yang datang. Tetapi, ah, salah, bukan dia, bukan
dia!”

Sebagaimana diketahui, ketika mula-mula Toan Ki
bertemu dengan Lam-hay-gok-sin ia pernah dengar
suara ringkikan naga seperti tadi. Tapi kemudian waktu
Lam-hay-gok-sin berada di depannya, kembali suara
suitan nyaring itu terdengar pula, karena itu, Lam-haygok-
sin lantas buru-buru menyusul ke arah datangnya
suara itu. Maka dapat dipastikan suara suitan itu bukan
suara Lam-hay-gok-sin, tapi suara seorang lain lagi.

Biasanya sifat A Cu sangat lincah dan periang, kini
demi mendengar suara suitan itu, seketika badan
gemetar ketakutan.

915




“Toan-kongcu,” kata A Pik dengan bisik-bisik, “Onghujin
telah pulang, terpaksa kita terserah pada nasib
masing-masing. Tapi sebaiknya engkau berlaku kasar
kepada kami, lebih kasar dan lebih kurang sopan kepada
kami akan lebih baik bagimu.”

Akan tetapi Toan Ki tidak mungkin disuruh berlaku
kasar terhadap kedua dara cilik itu. Sejak dia
meninggalkan rumah, sudah banyak pengalaman dan
bahaya yang dihadapinya. Ia pikir bila aku ditakdirkan
harus mati, biarlah kuterima nasib saja, masakah aku
diharuskan berbuat tidak sopan kepada dua nona cilik?

Karena itu, segera ia menjawab, “Lebih baik mati
secara sopan daripada hidup dengan kurang ajar. Enci A
Cu, engkau menyebut aku sebagai Sutaycu, dan
memang begitulah sifat ketolol-tololan seorang Sutaycu
seperti diriku ini.”

A Cu hanya melototinya sambil menghela napas
gegetun.

Pada saat itulah dari jauh tertampak sebuah perahu
meluncur tiba secepat terbang, hanya sekejap saja
sudah mendekat. Tampak jelas perahu itu sangat besar
dengan ujung berbentuk kepala naga dan mulutnya
terpentang lebar dengan rupa sangat menakutkan.

Sesudah kapal itu lebih dekat lagi, mendadak Toan Ki
menjerit kaget. Ia lihat di ujung tanduk kepala naga kapal
itu tergantung tiga buah kepala manusia yang darahnya
masih berketes-ketes, nyata kepala manusia itu baru saja
dipenggal.

916




“Rupanya di tengah jalan Ong-hujin memergoki
musuh dan lantas dibunuhnya, makanya pulang lebih
cepat daripada rencananya. Ai, dasar nasib kita lagi
jelek,” demikian ujar A Cu perlahan.

Sementara itu kapal berkepala naga itu sudah
merapat dengan gili-gili. A Cu dan A Pik bangkit berdiri
dengan kepala menunduk, sikapnya sangat menghormat.
Berulang-ulang A Pik memberi tanda kepada Toan Ki
dengan maksud menyuruh pemuda itu pun ikut berdiri.

Namun Toan Ki menggeleng kepala, katanya dengan
tertawa, “Biarlah tuan rumahnya muncul dulu, tentu aku
akan bangkit menghormatinya. Seorang laki-laki
masakah mesti merendahkan derajat sendiri?”

Tiba-tiba suara seorang wanita berkata dari dalam
kapal itu, “Lelaki dari manakah berani sembarangan
masuk ke Man-to-san-ceng ini? Apakah tidak pernah
dengar bahwa setiap laki-laki yang berani masuk ke sini
pasti akan ditebas kedua kakinya?”

Suara wanita itu sangat kereng, nyaring dan merdu,
pula enak didengar.

Segera Toan Ki menjawab, “Cayhe bernama Toan Ki,
Cayhe tersesat kemari tanpa sengaja, harap suka
dimaafkan!”

Wanita itu cuma mendengus sekali dan tidak
menggubrisnya.

917




Sesudah kapal itu berlabuh, dari dalam anjungan
kapal muncul dua dayang muda berbaju hijau, yang
seorang lantas melompat menyambar ketiga kepala
manusia yang tergantung di tanduk naga itu, dengan
enteng ia turun kembali ke geladak kapal sambil
menjinjing ketiga buah kepala manusia itu. Gerakannya
cepat dan gayanya indah.

Melihat kedua dayang itu menghunus pedang, diamdiam
Toan Ki membatin, “Kaum hambanya saja begini
lihai, apalagi majikannya? Biarlah, toh kepalaku cuma
sebuah saja, kalau mau boleh mereka penggal sekalian.”

Dalam pada itu terdengar wanita di dalam kapal itu
berkata pula, “Hm, A Cu dan A Pik ini memang kepala
batu dan berani sembarangan datang kemari lagi, dasar
majikanmu si bocah Buyung Hok itu juga tidak pernah
berbuat baik, selalu main gila dan berbuat hal-hal yang
jahat.”

“Lapor Hujin,” sahut A Pik tiba-tiba, “hamba tidak
sengaja datang kemari, tapi kesasar waktu diuber musuh
dan tanpa sengaja masuk ke sini lagi. Kongcu kami
sedang bepergian, maka tiada sangkut-pautnya dengan
beliau.”

Karena urusan sudah kadung begini, dara yang
tampaknya lemah lembut itu menjadi berani mendebat
dengan tegas.

Kemudian dari dalam kapal itu muncul berpasangpasang
gadis berbaju hijau yang lain, semuanya
berdandan dayang dan menghunus pedang. Seluruhnya
yang keluar itu ada delapan pasang, ditambah dengan

918




kedua dayang yang pertama tadi, jumlah seluruhnya
menjadi 18 orang. Mereka berbaris menjadi dua baris
dengan sikap kereng, habis itu, barulah dari dalam kapal
keluar seorang wanita berpakaian istana.

Begitu melihat wajah wanita itu, terus saja Toan Ki
berseru kaget, seketika ia melongo dan merasa seperti di
dalam mimpi.

Kiranya wanita itu berpakaian sutra putih mulus,
dandanannya ternyata mirip benar dengan patung dewi
yang telah dilihatnya dalam gua di Tayli itu. Bedanya
cuma wanita ini sudah setengah umur, sebaliknya patung
dewi itu adalah seorang gadis jelita berusia belasan
tahun.

Dalam kejutnya Toan Ki coba mengamat-amati wanita
cantik itu pula. Ia melihat wajahnya benar-benar seperti
patung dewi di dalam gua itu, kecuali perbedaan dalam
umur, wajahnya juga sudah mulai berkerut, tapi makin
dipandang makin mirip seakan-akan saudara kembar
dengan patung cantik di dalam gua itu.

A Cu dan A Pik menjadi khawatir melihat Toan Ki
memandangi Ong-hujin itu dengan mata tanpa berkedip,
kelakuannya itu benar-benar sangat kurang ajar, tiada
ubahnya seperti seorang pemuda yang mata keranjang.
Berulang-ulang mereka memberi isyarat agar Toan Ki
jangan menatap begitu rupa kepada Ong-hujin itu tapi
sepasang mata Toan Ki itu seakan-akan sudah tak
berkuasa dan terpaku pada wajah Ong-hujin.

Segera Ong-hujin itu menjadi gusar juga, katanya
kepada kaum hambanya, “Orang ini sangat kurang ajar,

919




sebentar sesudah potong kedua kakinya, harus korek
pula kedua matanya dan iris lidahnya.”

Salah seorang dayangnya yang berbadan lencir dan
berkulit badan hitam manis lantas mengiakan.

Diam-diam Toan Ki gelisah juga, pikirnya, “Kalau aku
dibunuh, paling-paling juga mati akhirnya. Tapi kalau
kedua kakiku dipotong lebih dulu, mataku dikorek, dan
lidahku diiris hingga mati tidak hidup celaka, wah, rasa
derita ini tentu sangat berat.”

Baru sekarang timbul rasa takutnya. Ia coba berpaling
memandang A Cu dan A Pik, ia lihat wajah kedua dara
itu pun pucat pasi seperti mayat dan berdiri terpaku bagai
patung.

Setelah Ong-hujin mendarat, menyusul dari dalam
kapalnya berjalan keluar pula dua dayang berbaju hijau
yang lain, tangan mereka memegang seutas tali sutra
dan menyeret keluar dua orang laki-laki.

Toan Ki melihat salah seorang laki-laki yang terikat
tali dan diseret keluar itu bermuka putih bersih dan cakap
seperti putra keluarga hartawan. Seorang lagi segera
dapat dikenalinya sebagai Cin Goan-cun yang bergelar
“Nau-kang-ong” atau si Raja Pengamuk Sungai itu.

Waktu mengeroyok Bok Wan-jing dahulu, lagak Cin
Goan-cun luar biasa garangnya. Tapi kini kedua
tangannya terikat oleh tali sutra, kepala menunduk
dengan lesu seperti orang sudah pasrah nasib.

920




Toan Ki menjadi heran, orang ini selamanya tinggal di
Hunlam, mengapa sekarang kena ditangkap ke sini oleh
Ong-hujin.

Sementara itu terdengar Ong-hujin sedang bertanya
kepada Cin Goan-cun, “Sudah terang kau orang Tayli,
mengapa tidak mengaku?”

“Aku memang orang Hunlam, tapi kampung
halamanku tidak berada di bawah kekuasaan negeri
Tayli,” sahut Cin Goan-cun.

“Hm, berapa jauh jarak tempat tinggalmu dengan
Tayli?” tanya Ong-hujin pula.

“Lebih dari empat ratus li jauhnya,” sahut Cin Goancun.


“Belum ada lima ratus li, engkau termasuk pula orang
Tayli,” kata Ong-hujin. “Harus dipendam hidup-hidup di
bawah bunga mantolo sebagai rabuk.”

“Aku salah apa?” teriak Cin Goan-cun penasaran.
“Silakan memberi penjelasan, kalau tidak mati pun aku
tidak rela.”

“Hm,” jengek Ong-hujin, “aku tidak peduli kau salah
apa! Asal orang Tayli atau orang she Toan, sekali
kebentur di tanganku, tentu ikan kupendam hidup-hidup.
Meski kau bukan orang Tayli, tapi orang tetangga Tayli,
bukankah sama juga?”

Sungguh gemas Toan Ki tak terkatakan, pikirnya,
“Aha, kiranya akulah yang kau maksudkan, mengapa

921




mesti main sandiwara segala? Biarlah aku mengaku lebih
dulu dan tidak perlu kau tanya padaku.”

Karena itu, segera ia berteriak keras-keras, “Ini dia
orangnya, aku inilah orang Tayli tulen dan she Toan pula.
Kalau engkau mau kubur aku hidup-hidup, silakan
kerjakan!”

“Dari tadi kau sudah mengaku, katanya Toan Ki
namamu,” demikian jengek Ong-hujin. “Hm, orang she
Toan dari Tayli tidak boleh mati secara begitu mudah.”

Habis berkata ia memberi tanda dan si dayang tadi
lantas menyeret pergi Cin Goan-cun yang tak berdaya
itu, entah karena Hiat-to tertutuk atau karena terluka
dalam yang parah, yang terang sama sekali Cin Goancun
tidak dapat membangkang sedikit pun. Ia cuma
dapat berteriak-teriak saja, “Di dunia ini masakah ada
peraturan begini? Orang Tayli ada berjuta-juta
jumlahnya, apakah engkau dapat membunuhnya hingga
habis?”

Akan tetapi ia lantas diseret ke tengah hutan bunga
itu, makin lama makin jauh dan semakin perlahan
suaranya hingga akhirnya tak terdengar lagi.

Kemudian Ong-hujin berpaling ke arah tawanannya
yang lain yang bermuka putih bersih itu, lalu tanyanya,
“Dan apa yang hendak kau katakan?”

Mendadak orang itu tekuk lutut di hadapan si nyonya
dan berulang-ulang memberi sembah, katanya, “Ayahku
adalah pembesar pemerintah pusat, beliau hanya
mempunyai seorang putra seperti diriku ini, maka mohon

922




Hujin memberi ampun. Untuk mana, apa saja permintaan
Hujin pasti akan dipenuhi ayahku.”

“Hm, ayahmu adalah pembesar negeri, apa kau
sangka aku tidak tahu?” jengek Ong-hujin dengan dingin.
“Untuk mengampuni jiwamu tidaklah sukar, asal sesudah
pulang segera istrimu di rumah itu kau bunuh dan
esoknya lantas menikah dengan nona Biau yang
berhubungan gelap denganmu di luar nikah itu, tapi
harus dengan upacara resmi dan lengkap memakai emas
kawin. Nah, dapat tidak kau laksanakan syarat ini?”

Pemuda bangsawan itu serbasusah, sahutnya
dengan gemetar, “Su ... suruh aku membunuh istri-kawin
sendiri, wah, aku ... aku tidak tega. Menikah secara resmi
dengan nona Biau, orang tuaku tentu ... tentu melarang
pula. Bukan aku ... aku ....”

“Seret pergi dan kubur dia hidup-hidup,” bentak Onghujin
segera. Dayang yang menuntun tali pengikat
pemuda itu mengiakan sekali, lalu menyeretnya pergi.

Dengan ketakutan cepat pemuda itu berseru dengan
gemetar, “Ba ... baiklah, aku terima syaratmu!”

“Nah, Siau Jui, giring dia kembali ke kota Sohciu dan
saksikan sendiri dia membunuh istrinya, kemudian dia
harus menikah dengan nona Biau, habis itu barulah kau
boleh pulang,” pesan Ong-hujin kepada dayang yang
menuntun pemuda itu.

Siau Jui mengiakan lagi dan menarik pemuda
bangsawan itu melangkah ke dalam perahu yang tadi
ditumpangi Toan Ki itu.

923




“Harap Hujin menaruh belas kasihan,” demikian
pemuda bangsawan itu memohon pula. “Istriku kan tiada
sakit hati apa-apa denganmu dan engkau pun tidak kenal
nona Biau, buat apa engkau mesti membantunya dan
memaksa aku membunuh istriku sendiri dan menikah lagi
padanya? Biasa ... biasanya aku pun tidak kenal engkau,
apalagi juga tidak pernah berbuat salah apa-apa
kepadamu.”

“Aku tidak peduli kenal atau tidak,” sahut Ong-hujin
dengan gusar. “Jika kau sudah punya istri, mengapa
mesti menggoda anak gadis orang lagi? Dan sekali kau
berani main gila dengan gadis lain, kau harus kawin
dengan dia, sekali hal ini kuketahui pasti akan
kuselesaikan seperti ini, apa lagi perbuatanmu ini
bukanlah yang pertama kalinya, apa yang perlu kau
sesalkan? Siau Jui, coba katakan, perbuatan ke
berapakah kejahatannya ini?”

“Hamba telah menyelidiki kota Busik, Kahia dan
tempat lain, semuanya tujuh kali terjadi perbuatannya
yang tidak senonoh, belum lagi Siau Lan dan Siau Si
yang mengusut ke kota lain,” sahut dayang itu.

Mendengar memang begitu ketetapan hukuman yang
biasa dijalankan Ong-hujin, pemuda itu cuma dapat
mengeluh saja dan tidak berani membantah pula. Segera
Siau Jui mendayung perahunya dan membawanya pergi.

Bab 19

Toan Ki melongo kesima menyaksikan tindak-tanduk
Ong-hujin yang aneh dan tidak masuk akal itu. Yang
terpikir dalam benaknya waktu itu hanya “masakah ada

924




peraturan begitu” atas keputusan si nyonya. Saking
penasarannya tanpa terasa ia berseru, “Masakah ada
peraturan begitu?!”

“Hm, mengapa tidak ada?” jengek Ong-hujin. “Di
dunia ini terlalu banyak peraturan begini?”

Sungguh kecewa dan cemas Toan Ki oleh tindakan
Ong-hujin itu. Tempo hari, waktu ia lihat patung dewi
cantik dalam gua di tepi sungai wilayah Tayli itu, begitu
kagum dan begitu kesengsemnya kepada patung cantik
itu. Dan kini, wajah wanita yang berada di hadapannya
ini sungguh mirip benar dengan patung dewi itu, namun
tindak tanduknya ternyata lebih mirip setan iblis yang tak
kenal ampun.

Untuk sejenak Toan Ki hanya menunduk dengan
termangu-mangu saja. Kemudian dilihatnya empat
dayang Ong-hujin itu masuk lagi ke dalam kapalnya
untuk membawa keluar empat pot besar bunga yang
indah. Melihat itu, seketika semangat Toan Ki berbangkit.

Kiranya keempat pot bunga itu semuanya adalah
bunga kamelia dan terdiri dari jenis-jenis yang terpilih.

Dalam hal kembang kamelia, di seluruh dunia ini tiada
yang bisa melawan kamelia keluaran Tayli, lebih-lebih
yang tertanam di Tin-lam-onghu. Karena itu sejak kecil
Toan Ki sudah biasa dengan bunga kamelia di sekitarnya
itu, pada waktu iseng ia pun sering mendengarkan
percakapan belasan tukang kebun membicarakan jenisjenis
bunga kamelia, sebab itulah tanpa belajar ia pun
sangat paham pengetahuan bunga itu.

925




Tadi ia sudah jauh menyusuri kebun Man-to-san-ceng
itu dan melihat tiada satu jenis bunga Mantolo yang
tumbuh di situ ada harganya untuk dinikmati. Maka
kesannya kepada perkampungan yang ternama “Man-tosan-
ceng” ini rada kecewa, sebab dianggapnya nama
tidak sesuai dengan kenyataannya.

Terdengar Ong-hujin sedang pesan kepada dayangdayang
yang membawakan pot bunga tadi, “Siau Teh,
keempat pot kamelia ‘Moa-gwe’ (bulan purnama) itu tidak
mudah mendapatkannya, maka kalian harus merawatnya
baik-baik.”

Dayang yang dipanggil Siau Teh itu mengiakan.

Toan Ki tertawa geli oleh ucapan Ong-hujin yang
dianggapnya masih hijau itu.

Namun Ong-hujin tidak gubris padanya, kembali ia
pesan si dayang, “Angin danau terlalu keras, bunga itu
pun sudah tersimpan beberapa hari di dalam kapal dan
tidak pernah terjemur sinar matahari, maka lekas kalian
menaruhnya di tempat terbuka, dijemur sebentar dan
tambahi sedikit rabuk.”

Kembali Siau Teh mengiakan.

Mendengar itu, Toan Ki bertambah geli hingga saking
tak tahan ia terbahak-bahak, “Hahahaha!”

Karena heran oleh suara tertawa si pemuda yang
agak aneh itu, dengan mendongkol Ong-hujin menegur,
“Apa yang kau tertawakan?”

926




“Aku tertawa karena engkau tidak paham tentang
bunga kamelia, tapi justru senang tanam bunga ini,”
sahut Toan Ki. “Bunga sebagus itu jatuh dalam
tanganmu, itu sama dengan membakar sangkar untuk
memasak burung kenari, sungguh runyam.”

Ong-hujin menjadi gusar, dampratnya, “Hm, aku tidak
paham kamelia, apakah kau yang pintar?”

Tapi segera terpikir olehnya bukankah baru saja
pemuda ini mengaku she Toan dan berasal dari Tayli,
jika begitu bukan mustahil pemuda ini memang paham
bunga kamelia.

Walaupun begitu pikirnya, namun di mulut ia tidak
mau kalah, “Tempat ini bernama Man-to-san-ceng
(perkampungan bunga Mantolo atau kembang kamelia),
di mana-mana tumbuh bunga Mantolo dengan subur dan
indah permai, bukan?”

“Ya, barang kasar sudah tentu dapat ditanam secara
kasar dan hidup kasar pula, “ sahut Toan Ki dengan
tersenyum. “Tetapi bila keempat pot kamelia putih ini
dapat kau tanam hingga hidup subur, biarlah aku tidak
she Toan lagi.”

“Wah, celaka!” demikian pikir A Cu dari A Pik, bahaya
sudah di depan mata, pemuda ini malah berani
mengolok-olok Ong-hujin tidak pandai tanam bunga,
barangkali pemuda ini ingin mati lebih cepat?

Kiranya sifat Ong-hujin itu sangat suka kepada bunga
kamelia, untuk mana ia tidak sayang membuang biaya
besar untuk mengumpulkan jenis-jenis yang baik. Akan

927




tetapi bila jenis pilihan itu sudah ditanam di Man-to-sanceng,
selalu bunga itu mati layu, paling lama juga cuma
tahan setengah atau satu tahun saja. Karena itulah Onghujin
sangat kesal oleh kegagalannya menanam bunga
itu.

Kini demi mendengar ucapan Toan Ki, bukannya dia
marah sebaliknya menjadi girang malah. Segera ia
melangkah maju dan bertanya, “Menurut pendapatmu
keempat pot kameliaku ini terdapat kesalahan apa? Cara
bagaimana untuk bisa menanamnya dengan baik?”

“Jika maksudmu hendak minta petunjuk padaku, kan
ada tata caranya orang minta petunjuk,” demikian sahut
Toan Ki. “Tapi kalau engkau ingin pakai kekerasan untuk
memaksa aku mengaku itulah jangan kau harap dan bila
perlu boleh kau tebas dulu kedua kakiku.”

Ong-hujin menjadi gusar, serunya, “Untuk menebas
kakimu apa susahnya? Siau Si, tebas kaki kirinya
dahulu.”

Pelayan yang dipanggil Siau Si itu mengiakan dan
segera melangkah maju dengan pedang terhunus.

“Jangan, Hujin!” cepat A Pik mencegah. “Sifat orang
ini sangat kepala batu. Bila engkau melukainya, biarpun
mati ia takkan bicara lagi.”

Memangnya maksud Ong-hujin juga cuma
menggertak saja. Maka ia lantas memberi tanda agar
Siau Si urungkan maksudnya.

928




“Haha, paling baik kalau kau potong kedua kakiku
untuk ditanam di samping keempat pot bunga, tentu akan
merupakan rabuk paling subur dan kelak kamelia putih
itu pasti akan mekar dengan indah. Wah, tentu akan
sangat cantik dan baguuus sekali!” demikian Toan Ki
sengaja berolok-olok.

“Tidak perlu membual,” sahut Ong-hujin dengan
mendongkol. “Di mana letak kebaikan dari kejelekan
keempat jenis bunga kameliaku ini, coba katakan lebih
dulu. Bila uraianmu beralasan dan dapat kuterima,
mungkin akan kuterima dirimu dengan hormat.”

“Ong-hujin,” segera Toan Ki berkata, “engkau bilang
keempat jenis kamelia ini bernama ‘Moa-gwe’,
sebenarnya engkau salah besar. Satu di antaranya justru
bernama ‘Ang-ceng-soh-kwe’ (berdandan sederhana
dengan pupur merah) dan satu jenis lagi bernama ‘Coaboa-
bi-jin-bin’ (mencakar muka orang cantik).”

“Coa-boa-bi-jin-bin? Kenapa begitu aneh namanya?
Jenis yang manakah?” tanya Ong-hujin dengan heran.

“Haha, jika ingin minta petunjuk padaku, engkau
harus pakai aturan sebagaimana mestinya,” sahut Toan
Ki dengan tertawa.

Ong-hujin menjadi kewalahan. Tapi demi mendengar
di antara bunga yang dikumpulkannya itu satu di
antaranya terdapat nama yang aneh menarik, ia menjadi
sangat girang. Dengan tersenyum katanya pula, “Baiklah!
Nah, Siau Si, perintahkan kepada koki, suruh
menyiapkan perjamuan di ‘Hun-kin-lau’ untuk
menghormati Toan-siansing ini.”

929




Siau Si mengiakan terus bertindak pergi.

Untuk sejenak A Cu dan A Pik hanya saling pandang
dengan melongo. Sungguh mimpi pun tak terpikirkan
bahwa Toan Ki bisa lolos dari kematian, bahkan Onghujin
malah akan menjamunya sebagai tamu terhormat.

Dalam pada itu Ong-hujin telah memberi perintah pula
kepada pelayan yang menjinjing ketiga buah kepala
manusia itu agar ditanam di tepi kamelia merah di depan
rumah “Ang-he-lau”. Segera pelayan itu mengiakan dan
pergi.

Habis itu barulah Ong-hujin berkata kepada Toan Ki,
“Marilah silakan ke kediamanku, Toan-kongcu!”

“Untuk itu tentu akan mengganggu ketenteraman
Hujin, harap dimaafkan,” sahut Toan Ki.

“Atas kunjungan Toan-kongcu yang serbapandai,
sungguh suatu kehormatan bagi Man-to-san-ceng kami,”
kata Ong-hujin pula.

Begitulah di antara nyonya rumah dan tamunya saling
mengucapkan kata-kata merendah sambil berjalan ke
sana.

Suasananya sama sekali sudah berubah, kalau tadi A
Cu dan A Pik kebat-kebit mengkhawatirkan keselamatan
Toan Ki, adalah sekarang mereka menjadi lega dan ikut
dari belakang. Tapi mereka kenal watak Ong-hujin yang
susah diraba, sekarang sikapnya ramah tamah, sebentar
lagi bisa berubah menjadi gusar dan kasar. Maka mereka

930




tetap berkhawatir bagi Toan Ki entah bagaimana jadinya
nanti.

Sesudah menyusuri tanaman bunga yang lebat,
akhirnya Ong-hujin membawa Toan Ki sampai di depan
sebuah gedung bertingkat yang kecil mungil. Pada papan
di bawah emper rumah itu Toan Ki melihat tertulis tiga
huruf “Hun-kin-lau”. Di sekitar rumah itu pun penuh
tertanam bunga kamelia. Tapi bunga sebanyak itu kalau
dibandingkan kamelia yang terpelihara di Tayli boleh
dikatakan tidak berarti, paling-saling juga cuma kelas tiga
atau empat saja. Dibandingkan gedung indah itu
sungguh tidak serasi.

Sebaliknya Ong-hujin merasa sangat bangga,
katanya, “Toan-kongcu, kamelia di negerimu Tayli sangat
banyak, tapi kalau dibandingkan dengan tanamanku ini
mungkin masih jauh ketinggalan.”

Toan Ki mengangguk, sahutnya, “Kamelia seperti ini
memang tiada seorang pun yang mau tanam di Tayli
kami.”

“O, ya?” Ong-hujin semakin bangga dan berseri-seri.

“Ya,” Toan Ki menegas. “Seorang petani yang paling
bodoh sekalipun di Tayli kami juga tahu bila menanam
bibit bunga yang jelek seperti ini akan merosotkan harga
diri.”

“Apa katamu?” seru Ong-hujin cepat dengan muka
berubah. “Jadi kau maksudkan Teh-hoa yang kutanam ini
semuanya bernilai rendah? Ah, engkau ini ke ...
keterlaluan.”

931




“Jika engkau tidak percaya, terserahlah!” sahut Toan
Ki. Ia tuding setangkai Teh-hoa atau kamelia pancawarna
di depan rumah itu dan berkata pula, “Ini, seperti jenis ini
tentu kau pandang sangat berharga bukan? Ya, pagar
kemala yang mengelilingi bunga itulah yang benar-benar
barang berharga dan sangat indah.”

Ia hanya mengagumi kebagusan pagar kemala yang
mengelilingi bunga dan tidak memuji bunganya, hal ini
sama seperti memuji keindahan baju seorang wanita, tapi
tidak memuji akan kecantikan orangnya.

Keruan Ong-hujin rada mendongkol, padahal kamelia
pancawarna itu justru dipandangnya sebagai jenis yang
jarang terdapat masakah sekarang dicela oleh pemuda
itu.

Tapi Toan Ki lantas berkata pula, “Numpang tanya
Hujin, bunga ini di daerah Kanglam sini disebut dengan
nama apa?”

“Kami tidak tahu apa namanya yang asli, maka kami
menyebutnya Ngo-sik-teh-hoa (kamelia pancawarna),”
sahut Ong-hujin.

“Tapi di Tayli kami terkenal dengan nama yang hebat,
yaitu ‘Loh-te-siucay’ (sastrawan yang masuk kotak),” kata
Toan Ki.

“Huh, begitu jelek namanya, tentu sengaja kau bikinbikin
sendiri,” ujar Ong-hujin. “Bunga itu indah dan
megah, masa mirip seorang Loh-te-siucay?”

932




“Silakan Hujin coba hitung, warna bunga itu
seluruhnya ada berapa?” tanya Toan Ki.

“Sudah lama kuhitung, paling sedikit juga ada belasan
warna,” sahut Ong-hujin.

“Tepatnya ada 17 warna,” tukas Toan Ki. “Di Tayli
kami ada sejenis yang disebut ‘Cap-pek-haksu’ (delapan
belas sarjana). Itulah jenis yang tiada bandingannya di
dunia ini. Satu pohon dapat mekar 18 tangkai bunga dan
setiap tangkai warnanya berbeda, kalau merah ya merah
mulus, bila ungu ya ungu seluruhnya, sama sekali tidak
bercampur warna lain. Bahkan ke-18 tangkai bunga itu
bentuknya berbeda-beda pula dan masing-masing
mempunyai keindahan sendiri-sendiri, pada waktu mekar
serentak mekar, kalau layu, seluruhnya layu. Apakah
Hujin pernah melihat jenis bunga begitu.”

Dengan terkesima Ong-hujin mendengarkan cerita
Toan Ki itu, sungguh ia sangat tertarik. Maka sahutnya
dengan menggeleng kepala, “Apa betul di dunia ini ada
Teh-hoa sebagus itu? Dengar saja baru sekarang,
apalagi melihatnya!”

“Jenis lain yang kualitasnya di bawah Cap-pek-haksu
itu juga masih ada seperti ‘Pat-sian-kue-hay’ (delapan
dewa menyeberang laut), jenis ini adalah delapan
tangkai bunga dengan warna yang berlainan tumbuh
pada satu pohon. ‘Cit-sian-li’ (tujuh bidadari) jumlahnya
tujuh tangkai, ‘Hong-tim-sam-hiap’ (tiga pendekar
pengembara) ada tiga tangkai, dan ‘Ji Kiau’ (dua wanita
ayu zaman Sam Kok) terdiri dari dua tangkai berwarna
merah dan putih. Warna kamelia itu harus mulus dan
murni, bila umpama di antara warna merah terdapat

933




warna putih, maka itu adalah jenis yang berkualitas
rendah.”

Ong-hujin mengangguk dengan kesengsem, sungguh
selama hidupnya belum pernah didengarnya bahwa di
antara bunga kamelia terdapat jenis sebanyak dan
sebagus ini.

Maka Toan Ki meneruskan, “Umpama kita bicara
tentang ‘Hong-tim-sam-hiap’, jenis ini lebih istimewa lagi,
ada yang ciamik (tulen) dan ada yang kemik (gadungan).
Kalau barang ciamik, di antara ketiga tangkai itu yang
paling besar harus warna ungu, kemudian warna putih
dan yang paling kecil warna merah. Bila umpama bunga
merah lebih besar daripada bunga ungu dan bunga putih,
maka itu adalah jenis yang rendah, nilainya menjadi jauh
berkurang.”

Ong-hujin benar-benar terpesona oleh cerita Toan Ki
itu, katanya dengan gegetun, “Jenis yang rendahan saja
aku tidak pernah melihat, apalagi jenis yang ciamik.”

Sampai di sini, Ong-hujin sudah percaya benar-benar
dan kagum kepada kepandaian Toan Ki yang paham
tentang Teh-hoa atau bunga kamelia itu. Terus saja ia
mengajak pemuda itu ke atas loteng, dan tidak lama
perjamuan pun dimulai dengan macam-macam masakan
yang enak dan mahal. Sedang A Cu dan A Pik ada
kawan pelayan yang mengawani makan-minum di
ruangan lain.

Sekarang Ong-hujin sudah sangat menghormat
kepada Toan Ki, ia duduk mengiringi makan-minum di
depan pemuda itu. Sesudah tiga cawan arak dihabiskan,

934




lalu Ong-hujin menanya pula, “Tadi aku telah
mendengarkan uraian Kongcu yang panjang lebar
tentang jenis-jenis Teh-hoa, aku menjadi seperti orang
bodoh yang mendadak menjadi pintar. Tapi dari tukang
bunga di kota Sohciu yang kubeli keempat pot kamelia
itu, katanya bunga-bunga itu bernama ‘Moa-gwe’,
sebaliknya Kongcu mengatakan satu di antaranya
bernama ‘Ang-ceng-soh-kwe’ dan yang lain bernama
‘Coa-boa-bi-jin-bin’, entah cara bagaimana membedabedakan
jenis bunga itu, dapatlah Kongcu memberi
penjelasan?”

“Mudah sekali membedakannya,” sahut Toan Ki. “Di
atas daun bunga putih yang terdapat bintik-bintik merah,
itulah yang bernama ‘Ang-ceng-soh-kwe’ dan daun
bunga putih di atasnya terdapat garis-garis merah yang
kecil, itu yang bernama ‘Coa-boa-bi-jin-bin’. Sebaliknya
kalau garis-garis merahnya terlalu banyak dan kasar,
namanya menjadi ‘Bi-jin-coa-boa-bin’ (muka si cantik
babak-bonyok). Sebabnya, coba pikirkan, seorang wanita
cantik seharusnya lemah lembut dan sopan santun, jika
kebetulan mukanya tercakar luka sedikit, itulah tiada
menjadi soal. Tetapi kalau mukanya selalu bonyok main
cakar-cakaran dengan orang, terang wanita cantik itu
suka berkelahi, lantas kecantikan apa yang dapat
dikagumi?”

Sebenarnya Ong-hujin mendengarkan uraian itu
dengan penuh perhatian, tapi mendadak ia lantas
menarik muka dan membentak, “Kurang ajar! Kau berani
menyindir aku?”

935




Toan Ki terkejut, sahutnya gugup, “Mana Cayhe
berani, entah di manakah Cayhe menyinggung perasaan
Hujin?”

“Sebenarnya kau disuruh siapa ke sini untuk sengaja
omong yang tak keruan untuk menghina diriku?” damprat
Ong-hujin. “Siapa bilang wanita akan tidak cantik bila
belajar ilmu silat? Kalau lemah lembut apanya yang
baik?”

Toan Ki tertegun sejenak, sahutnya kemudian, “Tapi
apa yang kukatakan tadi cuma berdasarkan kejadian
umum, di antara wanita yang mahir ilmu silat memang
juga banyak yang cantik dan sopan santun.”

Tak terduga ucapan ini bagi pendengaran Ong-hujin
tetap menyinggung perasaannya, tanyanya segera
dengan gusar, “Jadi kau maksudkan aku tidak sopansantun
ya?”

“Sopan atau tidak Hujin sendiri tentu lebih tahu, mana
kuberani sembarangan menarik kesimpulan,” sahut Toan
Ki tegas, akhirnya ia menjadi marah juga hingga tidak
sungkan-sungkan lagi. “Tapi seperti memaksa orang
membunuh istri untuk menikah lagi, tindakan demikian
betapa pun tidak mungkin dilakukan oleh orang yang
beradab.”

Ong-hujin tidak berkata lagi, ia tepuk tangan perlahan,
segera tiga pelayan berlari ke atas loteng dan berdiri di
situ menunggu perintah.

“Gusur orang ini ke bawah, suruh dia pikul air dan
menyiram bunga,” pesan Ong-hujin.

936




Ketiga pelayan itu serentak mengiakan.

“Toan Ki,” kata Ong-hujin pula. “Kau she Toan dan
orang berasal dari Tayli pula, seharusnya sejak tadi mesti
kubunuh. Tetapi bila kau benar-benar paham sifat
kehidupan Teh-hoa, biarlah sementara ini jiwamu
kuampuni dan hanya kuhukum kerja paksa menanam
dan merawat Teh-hoa yang tumbuh di kebunku ini, lebihlebih
terhadap keempat kamelia putih yang baru kubeli
ini, harus kau rawatnya dengan baik-baik. Ingin
kukatakan padamu, bila satu di antara keempat pot
kamelia putih itu mati, sebagai hukumannya sebelah
tanganmu akan kutebas, kalau mati dua kamelia, dua
tanganmu ditebas semua, empat mati seluruhnya, empat
anggota badanmu juga putus semua.”

“Dan kalau keempat pohon bunga itu hidup semua?”
tanya Toan Ki dengan tertawa.

“Kalau keempat pohon itu hidup semua, kau harus
menanam dan merawat bunga yang lain, terutama jenis
pilihan seperti Cap-pek-haksu, Pat-sian-kue-hay, Citnian-
li, Ji Kau dan lain-lain, setiap jenisnya harus kau
tanamkan beberapa pohon. Kalau tidak dapat kau
laksanakan, kedua matamu akan kukorek.”

“Lebih baik sekarang juga kau bunuh aku saja,” sahut
Toan Ki. “Aku tidak sudi terima hukuman sehari dipotong
tangannya, lain hari ditebas kakinya, bahkan kedua mata
akan dikorek pula!”

937




“Dasar kau sudah bosan hidup ya? Di hadapanku
berani sembarang mengoceh?” damprat Ong-hujin.
“Gusur pergi!”

Ketiga pelayan tadi mengiakan terus melangkah maju,
yang dua memegangi lengan Toan Ki dan yang lain
mendorongnya dari belakang serta diseret ke bawah
loteng. Ketiga pelayan itu mahir ilmu silat, Toan Ki
menjadi tak bisa berkutik, ia cuma dapat mengeluh saja
di dalam hati.

Sesudah menyeret Toan Ki ke suatu tempat di dalam
taman, segera salah seorang pelayan itu mengambilkan
cangkul dan pelayan lain menyodorkan sebuah ember
kepadanya sambil berkata, “Turutlah perintah Hujin dan
tanamlah bunga dengan baik-baik, dengan demikian
jiwamu mungkin masih ada harapan buat hidup terus.
Engkau tergolong orang yang beruntung juga, padahal
tiada seorang laki-laki yang dapat hidup keluar dari sini
bila menginjak tanah Man-to-san-ceng ini.”

“Selain menanam dan merawat tanaman, jangan
sekali-kali engkau berkeliaran di dalam taman ini,” kata
pelayan yang lain. “Bila engkau berani sembarangan
mendatangi tempat terlarang, itu berarti engkau mencari
mampus sendiri dan tiada seorang pun yang dapat
menolongmu.”

Begitulah pelayan-pelayan itu memberi pesan dengan
wanti-wanti kepada Toan Ki, habis itu barulah mereka
tinggal pergi. Untuk sejenak Toan Ki hanya berdiri
menjublek di situ dengan serbarunyam.

938




Di negeri Tayli kedudukan Toan Ki hanya di bawah
paman-baginda Po-ting-te dan ayahnya, Tin-lam-ong.
Kelak kalau sang ayah menggantikan sang paman dan
naik takhta, itu berarti dengan sendirinya ia menjadi putra
mahkota. Siapa tahu sampai di daerah Kanglam ia mesti
mengalami nasib begini jelek, mula-mula ia hendak
dibunuh orang, anggota badannya akan dipotong dan
matanya akan dikorek, bahkan sekarang dipaksa untuk
menjadi tukang kebun.

Syukurlah watak pembawaan Toan Ki memang ramah
tamah terhadap kaum bawakan, sering pula ia bergaul
dengan tukang kebun dan ikut menanam bunga dan
mencangkul segala. Kecuali itu sifatnya juga periang dan
dapat berpikir panjang, tidak peduli mengalami
kegagalan apa pun, paling-paling ia cuma lesu setengah
hari saja untuk kemudian lantas gembira pula.

Kini ia pun coba menghibur diri sendiri, “Ketika di
dalam gua tempo hari aku sudah menyembah beratus
kali kepada patung dewi itu sebagai guru. Sekarang Onghujin
ini wajahnya serupa dengan Enci Dewi itu, hanya
usianya lebih lanjut sedikit, biarlah aku tetap
menganggapnya sebagai Suhuku. Dan kalau Suhu ada
perintah, sudah sepantasnya anak murid mesti
melaksanakannya. Apalagi tanam bunga memang juga
pekerjaan iseng kaum pelajar, jauh lebih baik daripada
mesti main silat dan beradu senjata. Lebih-lebih kalau
dibandingkan daripada ditawan Ciumoti dan akan dibakar
hidup-hidup di depan kuburan Buyung-siansing, kan lebih
enak menjadi tukang kebun bunga. Cuma sayang jenis
bunga yang terdapat di sini jenisnya terlalu jelek hingga
rasanya tidak sesuai kalau mesti dirawat oleh seorang
putra pangeran kerajaan Tayli.”

939




Begitulah, dengan bernyanyi-nyanyi kecil sambil
memanggul pacul dan menjinjing ember, kemudian Toan
Ki berjalan ke depan sembari berpikir, “Ong-hujin suruh
aku menanam keempat pot kamelia yang baru dibelinya
itu. Ehm, betapa pun keempat jenis ini terhitung lumayan
juga, aku harus mencari suatu tempat yang baik untuk
menanamnya agar bunga dan tempatnya cocok satu
sama lain.”

Sambil berjalan ia terus mengawasi sekitarnya.
Mendadak ia terbahak-bahak geli melihat pemandangan
di situ, pikirnya, “Dalam hal menanam Teh-hoa
sebenarnya Ong-hujin sama sekali tidak paham, tapi ia
justru sangat suka menanam Teh-hoa di sini dan
menyebut kediamannya ini sebagai Man-to-san-ceng apa
segala. Nyata ia tidak tahu bahwa Teh-hoa suka tempat
yang lembap dan takut cahaya matahari. Kalau ditanam
di tempat terbuka, meski tidak mati oleh sinar matahari,
tentu juga sulit mekar bunganya, ditambah lagi diberi
rabuk sebanyak-banyaknya, biarpun bunga dari jenis
paling bagus juga akan mati. Sayang, sungguh sayang!”

Segera ia pilih tempat yang rindang dan menuju ke
sana. Sesudah melintasi sebuah gunung-gunungan kecil,
ia dengar gemerciknya air sungai kecil. Di sisi kiri penuh
pohon bambu yang rindang, sekitarnya sunyi senyap.

Tempat itu lembap dan tidak tercapai oleh sinar
matahari, maka Ong-hujin menyangka tidak cocok untuk
ditanami Teh-hoa. Namun kini Toan Ki menjadi girang,
katanya sendiri, “Inilah dia tempat yang cocok sekali!”

940




Cepat ia berlari kembali ke tempat tadi dan
mengusung keempat pot bunga menjadi dua kali ke
bawah pohon bambu yang rindang itu. Ia hancurkan pot
bunga itu, lalu pohon bunga bersama tanah yang masih
melengket di akar pohon ditanamnya ke liang yang telah
digalinya.

Meski Toan Ki tidak pernah bekerja menanam bunga,
tapi pada waktu kecilnya sering menyaksikan pekerjaan
tukang kebun, muka sekarang ia pun menirukan caranya
hingga cukup memenuhi syarat sebagai tukang kebun.
Tiada setengah jam lamanya, keempat pot kamelia putih
itu sudah selesai ditanamnya.

Lalu ia berdiri menjauh dan menikmatinya dari kanan
dan kiri, dari sudut sana dan sudut sini. Sesudah merasa
puas barulah ia tepuk-tepuk tangan yang kotor dan pergi
mencuci tangan ke tepi sungai.

Selesai cuci tangan, ia kembali ke depan bunga yang
ditanamnya itu untuk menikmati pula hasil karyanya itu.

Tengah Toan Ki merasa senang menyaksikan buah
tangannya yang berhasil itu. Tiba-tiba terdengar suara
tindakan orang, ada dua wanita sedang berjalan
mendatangi. Terdengar satu di antaranya lagi berkata,
“Di sini keadaan sangat sunyi, tak mungkin didatangi
orang lain lagi ....”

Mendengar suara itu, seketika hati Toan Ki berdebardebar.
Kiranya itulah suara si nona berbaju putih yang
cuma dilihat bayangan belakangnya siang tadi.

941




Segera Toan Ki menahan napas, sedikit pun tidak
berani bersuara. Pikirnya, “Dia telah menyatakan tidak
mau menemui laki-laki yang tiada sangkut paut dengan
dia, dan aku Toan Ki dengan sendirinya adalah laki-laki
yang tiada sangkut paut apa-apa dengan dia. Tapi aku
ingin mendengar beberapa patah katanya, asal dapat
kudengar suaranya yang merdu bagai musik malaikat
dewata itu, rasaku sudah seperti mendapat rezeki besar.
Maka jangan sekali-kali aku dilihat olehnya.”

Dalam pada itu terdengar nona itu sedang berkata
pula, “Siau Si, kabar apa yang kau dengar tantang dia?”

Kecut rasa hati Toan Ki. Ia tahu si “dia” yang
dimaksudkan nona itu tentulah Buyung-kongcu yang
nama lengkapnya menurut Ong-hujin adalah Buyung
Hok. Suara si gadis tadi penuh nada rindu dan penuh
perhatian. Diam-diam Toan Ki berpikir, “Bila nona ini
sedemikian menaruh perhatian dan rindu padaku,
biarpun aku Toan Ki harus mati seketika juga rela
rasanya.”

Pikiran Toan Ki itu memang sungguh-sungguh, sedikit
pun tidak bergurau. Padahal selama ini wajah si nona
baju putih itu belum dilihatnya, entah cantik entak jelek,
namanya juga tidak diketahui, tentang tabiatnya bajik
atau jahat, sifatnya halus atau kasar, sama sekali ia tidak
tahu. Namun sejak mendengar beberapa patah tata
ucapan si nona baju putih di tepi danau, aneh juga ia
menjadi jatuh cinta padanya dan merasa mati pun rela
untuknya.

Sebab apa bisa begitu dan mengapa timbul perasaan
demikian, ia sendiri pun tidak dapat memberi penjelasan.

942




Dan oleh karena itulah, ketika didengarnya sedemikian
perhatian si nona kepada Buyung-kongcu, tak tertahan
lagi timbul rasa cemburu dan penyesalannya.

Sementara itu terdengar Siau Si lagi tergegap-gegap
seperti tidak berani menjawab terus terang. Maka si nona
baju putih berkata pula, “Ayolah, katakanlah padaku!
Pasti takkan kulupakan kebaikanmu.”

“Hamba takut ... takut didamprat Hujin,” sahut Siau Si
akhirnya.

“Budak tolol,” omel si nona, “asalkan tidak kukatakan
kepada Hujin bahwa kau yang memberitahukan padaku,
kan beres? Bila kau tidak mau bicara, sebentar akan
kutanya Siau Teh dan kelak kalau ditanya Hujin, tentu
akan kubilang kaulah yang memberitahukan padaku.”

“Siocia, jangan bikin susah padaku,” seru Siau Si
gugup.

“Habis bagaimana?” ujar si nona. “Siapa yang
menjadi orang kepercayaanku, tentu akan kubela, dan
siapa yang tidak menurut keinginanku apa salahnya
kubikin susah dia?”

Siau Si berpikir sejenak, lalu berkata, “Baiklah, akan
kuceritakan padamu, tapi jangan sekali-kali Siocia
mengatakan aku yang membocorkan rahasia ini.”

“Sudahlah, Siau Si, jangan bertele-tele, lekas katakan,
tanggung takkan terjadi apa-apa atas dirimu,” ujar si
nona baju putih.

943




Siau Si menghela napas dulu, kemudian katanya,
“Kabarnya Piausiauya pergi ke Siau-lim-si.”

“Siau-lim-si? Kenapa A Cu dan A Pik bilang dia pergi
ke Lokyang tempat Kay-pang?” si nona menegas.

Diam-diam Toan Ki heran mengapa Buyung-kongcu
disebut “Piausiauya” atau tuan muda misan. Pikirnya,
“Jadi Buyung-kongcu itu Piauko (kakak misan) si nona.
Dengan sendirinya mereka adalah kawan main sejak
kecil, pantas maka ... maka ....”

Dalam pada itu terdengar Siau Si sedang berkata
pula, “Kepergian Hujin kali ini, di tengah perjalanan telah
bertemu dengan Hong-siya dari Yan-cu-oh yang katanya
sedang menuju ke Siau-lim-si untuk memberi bantuan
kepada Piausiauya.”

“Untuk apa mereka pergi ke Siau-lim-si?” tanya si
nona.

“Menurut Hong-siya, katanya Piausiauya telah
mengirim berita padanya bahwa kali ini banyak orang
Kangouw dan jago dari berbagai golongan sedang
menghadiri apa yang disebut Enghiong-tay-hwe di Siaulim-
si untuk merundingkan cara bagaimana melawan
Buyung-si dari Koh-soh. Karena buru-buru, Piausiauya
lantas berangkat lebih dulu seorang diri. Kabarnya Yancu-
oh sudah kirim orang memberi bantuan.”

“Jika Hujin sudah mendapat kabar itu, mengapa ia
malah pulang dan tidak pergi membantu kesukaran
Piausiauya?” tanya si nona.

944




“Tentang ini hamba ... hamba tidak tahu,” sahut Siau
Si. “Mungkin disebabkan Hujin tidak suka kepada
Piausiauya.”

“Hm, suka atau tidak suka betapa pun adalah orang
sendiri,” kata si nona dengan kurang senang. “Kalau
Buyung-si dari Koh-soh terjungkal di luaran, apakah
keluarga Ong kita tidak ikut malu?”

“Ya, Siocia,” sahut Siau Si.

“Ya apa?” bentak si gadis dengan gusar.

Siau Si kaget, sahutnya gelagapan, “Hamba ...
maksudkan kita tentu akan ikut merasa malu.”

Lalu gadis itu berjalan mondar-mandir di bawah
pohon bambu itu seperti sedang memikirkan sesuatu
akal. Tiba-tiba ia lihat pohon kamelia putih yang ditanam
Toan Ki dan pot bunga yang baru saja dipecahkan itu. Ia
bersuara heran, segera ia tanya kepada Siau Si,
“Siapakah yang tanam Teh-hoa di sini?”

Tanpa ayal lagi Toan Ki menyelinap keluar dari
tempat sembunyinya, ia memberi hormat dan berkata,
“Cayhe diperintahkan oleh Hujin agar menanam Teh-hoa
di sini, bila hal ini mengganggu Siocia, harap dimaafkan.”

Meski ia membungkuk memberi hormat, tapi matanya
tetap menatap ke depan, sebab khawatir si nona akan
berkata “tidak sudi bertemu dengan laki-laki asing”, lalu
putar tubuh dan tinggal pergi hingga kesempatan untuk
melihat muka si jelita tersia-sia lagi.

945




Tak terduga, begitu sinar matanya bertemu dengan
sinar mata si nona, seketika telinganya serasa
mendengung dan mata seakan-akan gelap, kakinya
menjadi lemas pula dan tanpa merasa bertekuk lutut di
hadapan si jelita, bahkan kalau ia tidak bertahan
sekuatnya, hampir saja ia menyembah, namun begitu toh
tercetus juga kata-kata dari mulutnya, “O, Enci Dewi,
betapa ... betapa aku merindukan dikau selama ini!”

Ternyata si nona baju putih yang berada di depan
mata ini sungguh mirip benar dengan patung dewi yang
telah dilihatnya dalam gua di daerah Tayli itu. Ong-hujin
yang telah dilihatnya itu juga mirip patung cantik itu,
cuma usianya yang berbeda. Tapi si jelita baju putih ini,
selain dandanannya agak berbeda sedikit, namun baik
raut muka, mata, hidung, bibir, telinga, kulit badan,
perawakan, kaki dan tangan, semuanya mirip, semuanya
persis hingga seperti patung dewi itu hidup kembali.

Sungguh Toan Ki merata dirinya seakan-akan dalam
mimpi. Entah sudah beratus kali atau beribu kali ia
merindukan patung dewi itu, kini dengan mata kepala
sendiri yang dilihatnya bukan lagi patung melainkan
duplikatnya dalam keadaan hidup, sungguh ia tidak tahu
dirinya sebenarnya berada di mana, di alam baka atau di
surga?

Ketika mendengar suara seruan Toan Ki tadi,
ditambah lagi kelakuan aneh pemuda itu, si gadis
berseru kaget juga dan mengira sedang berhadapan
dengan seorang sinting, cepat ia melangkah mundur dan
menegur, “Engkau ... engkau ....”

946




Namun Toan Ki lantas menyela sambil berbangkit,
“Tempo hari Toan Ki sudah diberi kesempatan
menyembah di hadapan patung Enci Dewi, hal itu
kuanggap sebagai suatu karunia yang mahabahagia, tak
terduga hari ini dengan mata kepala sendiri dapat kulihat
wajah asli Enci Dewi, nyata di dunia ini memang benarbenar
terdapat bidadari dan bukan omong kosong
belaka!”

“Apa ... apa yang dia maksudkan, Siau Si? Sia ...
siapa dia?” tanya si jelita kepada Siau Si.

“Dia adalah si pelajar tolol yang dibawa kemari oleh A
Cu dan A Pik itu,” sahut Siau Si. “Katanya ia pandai
menanam berbagai macam Teh-hoa. Hujin menjadi
percaya kepada obrolannya dan suruh dia tanam bunga
di sini.”

“Hai, si tolol, jadi percakapan kami tadi telah kau
dengar semua, ya?” tanya si gadis kepada Toan Ki.

“Cayhe bernama Toan Ki, orang berasal dari negeri
Tayli dan bukan si tolol,” sahut Toan Ki dengan tertawa.
“Percakapan Enci Dewi dan Enci Siau Si tadi memang
telah kudengar dengan tidak sengaja. Tapi Enci Dewi
jangan khawatir, Cayhe pasti takkan membocorkannya
barang sepatah pun dan tanggung Enci Siau Si takkan
didamprat oleh Hujin.”

Tiba-tiba si gadis menarik muka, ia menyemprot,
“Siapa sudi mengaku Enci segala denganmu? Kau tidak
mau disebut sebagai pelajar tolol, bilakah pernah kau
lihat diriku?”

947




“Habis, kalau tidak kupanggil engkau Enci Dewi, lalu
memanggil apa?” sahut Toan Ki.

“Aku she Ong, cukup kau sebut Ong-kohnio saja,” ujar
si gadis.

“Ong-kohnio! Ah, tidak bisa!” kata Toan Ki sambil
menggeleng kepala ketolol-tololan. “Nona she Ong di
dunia ini entah betapa banyak jumlahnya, barangkali ada
berjuta-juta, sedangkan Enci Dewi secantik bidadari,
mana boleh hanya kupanggil sebagai Ong-kohnio saja?
Akan tetapi panggilan apakah yang paling tepat? Wah,
sukar juga! Umpama kupanggil engkau Ong-siancu (si
dewi she Ong), rasanya terlalu umum dan kurang agung.
Misalnya kusebut engkau Man-to-kongcu (putri bunga
kamelia), rasanya juga kurang cocok, banyak terdapat
putri raja di dunia ini, tapi siapakah yang dapat
menandingi engkau?”

Melihat pemuda itu berkomat-kamit tak keruan
bicaranya, semakin dipandang semakin ketolol-tololan,
yang diucapkan itu melulu pujian-pujian atas
kecantikannya, betapa pun si jelita menjadi geli-geli
girang. Katanya kemudian dengan tersenyum, “Rupanya
nasibmu masih baik juga, maka ibuku tidak potong kedua
kakimu.”

“Wajah ibumu serupa cantiknya dengan Enci Dewi,
hanya tabiatnya yang luar biasa aneh, sedikit-sedikit
suka membunuh orang, rasanya menjadi kurang sesuai
dengan bangunnya yang mirip dewi kahyangan ....”

Mendadak si gadis berkerut kening, katanya dengan
kurang senang, “Lekas pergi menanam bunga saja dari

948




jangan mengoceh tak keruan di sini, kami masih akan
bicara urusan penting lagi.”

Nyata nadanya menganggap Toan Ki seperti tukang
kebun benar-benar.

Namun Toan Ki tidak ambil pusing, yang dia harap
hanya dapatlah bicara lebih lama sedikit dengan si jelita
dan memandangnya sekejap lagi. Pikirnya, “Untuk bisa
memancing dia bicara denganku secara suka rela
terpaksa harus kuajak bicara padanya mengenai diri
Buyung-kongcu, kecuali itu, segala apa tentu takkan
menarik perhatiannya lagi.”

Maka segera Toan Ki berkata, “Para kesatria dari
segala pelosok saat ini sedang berkumpul di Siau-lim-si
untuk berunding cara bagaimana menghadapi Buyung-si
dari Koh-soh, tokoh-tokoh dan jago-jago berbagai
golongan dan aliran yang hadir di sana sungguh tidak
sedikit jumlahnya, sebaliknya Buyung-kongcu hanya
seorang diri, kalau secara gegabah ia menempuh
bahaya ke sana, rasanya tidaklah menguntungkan dia.”

Benar juga badan si gadis tergetar karena ucapan
Toan Ki itu. Tapi Toan Ki pura-pura tidak tahu dan tidak
berani memandang wajah si gadis. Hanya dalam hati
diam-diam ia mengomel, “Perhatiannya kepada bocah
Buyung Hok itu benar-benar lain daripada yang lain.
Kalau aku memandang wajahnya, mungkin aku sendiri
akan menangis saking irinya.”

Ia lihat baju sutra si gadis yang panjang itu tiada
hentinya bergemetar, suatu tanda betapa hebat
guncangan perasaannya. Lalu terdengar suara si gadis

949




yang merdu melebihi seruling itu lagi bertanya, “Tentang
keadaan di Siau-lim-si itu apakah engkau tahu? Le ...
lekas katakan padaku.”

Mendengar permohonan si gadis yang lemah lembut
itu, karena tidak tega hampir-hampir Toan Ki
menceritakan apa yang diketahuinya. Tapi segera terpikir
olehnya, “Ah, jangan kuceritakan sekarang. Kalau selesai
kukatakan, sebentar aku tentu akan didesak pergi
menanam bunga pula, dan untuk mengajaknya bicara
lagi kelak pasti tidak mudah, maka sekarang aku harus
putar lidah sebisanya, cerita pendek kubikin panjang,
urusan kecil sengaja kubesarkan, setiap hari aku hanya
bicara sedikit, sedapat mungkin akan kutarik sepanjangpanjangnya,
agar setiap hari ia mesti mencari dan
mengajak bicara padaku, kalau mencariku dan tidak
bertemu, biar dia kelabakan serupa orang gatal tapi tak
bisa menggaruk.”

Setelah ambil keputusan demikian, ia berdehem
perlahan lalu berkata, “Sebenarnya aku sendiri tidak
paham ilmu silat, sejurus pun tidak bisa, biarpun jurusjurus
sederhana seperti ‘Kim-khe-tok-lip’ (ayam emas
berdiri dengan kaki tunggal) atau Hek-hou-thau-sim
(harimau kumbang mencuri hati) segala, sama sekali aku
tidak paham. Tapi di rumahku ada seorang sobat baikku
bernama Cu Tan-sin berjuluk ‘Pit-hi-sing’ (si Sastrawan
Ahli Tulis). Jangan kau kira dia cuma seorang pelajar
yang ketolol-tololan dan lemah seperti aku, tapi ilmu
silatnya, wah, lihai sekali! Satu kali aku pernah
menyaksikan dia melipat kipasnya dan tepat menutuk
sekali pada bahu seorang lawannya, kontan lawannya
roboh meringkuk bagai cacing dan tidak berkutik pula.”

950




“O, itu adalah ilmu Tiam-hiat ‘Cing-liang-sian-hoat’
jurus ke-38 yang disebut ‘Tau-kut-sian’ (tutukan kipas
penembus tulang), tangkai kipas dipegang terbalik dan
menutuk dengan miring,” demikian kata si gadis.
“Rupanya Cu-siansing itu adalah orang Kun-lun-pay,
mungkin anak murid Sam-in-koan. Ilmu silat golongan ini
mengutamakan memakai senjata pit (pensil) dan lebih
lihai daripada memakai senjata kipas.”

Bila uraian si gadis ini didengar oleh Cu Tan-sin
sendiri atau didengar oleh Po-ting-te atau Toan Cing-sun,
tentu mereka akan terkejut mengapa gadis yang masih
muda belia ini begini luas pengetahuannya akan
berbagai ilmu silat cabang lain. Bahkan hanya
mendengar cerita Toan Ki sekadarnya saja ia dapat
mengatakan dengan tepat tentang asal usul aliran ilmu
silat Cu Tan-sin. Bila Toan Ki paham ilmu silat dan
menyiarkan kepandaian si gadis itu, maka pastilah orang
Kangouw akan gempar oleh peristiwa luar biasa ini.

Namun kini cara uraian si nona jelita itu hanya
sepintas lalu saja seakan-akan membicarakan sesuatu
yang umum. Sebaliknya Toan Ki juga mendengarkan
uraian si gadis dengan tawar saja.

“Kemudian bagaimana?” demikian tanya si gadis pula.

“Kemudian? Wah, ceritanya terlalu panjang, marilah
silakan Siocia duduk di sana, nanti akan kuceritakan
lebih jelas,” demikian Toan Ki sengaja mengulur waktu
dan menunjuk satu bangku batu di bawah pohon bambu
sana.

951




Namun gadis itu menjadi kurang senang, sahutnya,
“Kenapa kau suka bertele-tele dan tidak ceritakan saja
cepat-cepat? Aku tiada waktu untuk mendengarkan
ocehanmu.”

“Jika hari ini Siocia tiada waktu, besok datang lagi
juga boleh, dan kalau besok tiada tempo luang masih
dapat mencari aku lagi, asal saja Hujin tidak memotong
lidahku, tentu aku dapat bercerita, apa yang Siocia ingin
dengar tentu akan kuceritakan sejelas-jelasnya.”

Si gadis mengentak kaki sekali dan tidak gubris lagi
pada Toan Ki, ia terus berpaling dan tanya Siau Si, “Lalu
Hujin berkata apa lagi?”

“Semula Hujin akan pergi mencari Kongya-hujin untuk
diajak main catur,” tutur Siau Si. “Tapi demi mendengar
Buyung-kongcu pergi ke Siau-lim-si, di tengah jalan
beliau lantas suruh putar haluan kapal untuk pulang.”

“Sebab apa?” tanya si gadis, tapi sebelum Siau Si
menjawab ia sudah bergumam sendiri, “Ya, tahulah aku,
tentu ibu khawatir dimintai bantuan oleh Kongya-hujin,
maka ia pikir lebih baik pura-pura tidak tahu saja.”

“Siocia,” kata Siau Si, “mungkin Hujin mencari aku,
hamba ingin mohon diri saja.”

Si gadis mengangguk, dan sesudah Siau Si pergi,
perlahan ia mendekati bangku batu yang ditunjuk Toan
Ki tadi dan duduk, namun Toan Ki tak disuruhnya duduk,
dengan sendirinya pemuda itu pun tak berani
sembarangan duduk di samping si jelita.

952




Melihat si nona duduk menyanding bunga kamelia
putih yang jaraknya tidak jauh, bunganya indah dan
gadisnya cantik, sungguh perpaduan yang sangat serasi.
Tanpa terasa Toan Ki berkata dengan gegetun, “Dahulu
Li Tay-pek suku membandingkan kecantikan Nyo Kui-hui
dengan bunga botan (peony), tapi bila dia beruntung
dapat melihat Siocia sekarang, tentu dia akan tahu
betapa indahnya bunga, namun benda mati mana dapat
menandingi si cantik yang hidup.”

“Terus-menerus kau memuji kecantikanku, padahal
aku sendiri tidak tahu apakah diriku betul-betul cantik
atau tidak?” kata si nona.

Toan Ki menjadi heran, katanya, “Sungguh aneh,
nona tidak tahu akan kecantikan sendiri? Apa barangkali
engkau sudah terlalu banyak mendengar pujian serupa,
maka sudah bosan rasanya?”

Si gadis menggeleng kepala perlahan, sinar matanya
mengunjuk rasa penuh kekosongan hati, sahutnya,
“Selama ini tiada seorang pun yang berkata padaku
apakah aku ini cantik atau tidak. Di tengah Man-to-sanceng
sini, kecuali ibuku, selebihnya adalah pelayan dan
kaum hamba lainnya. Mereka cuma tahu aku adalah
Siocia, siapa peduli apakah aku cantik atau tidak?”

“Lalu bagaimana dengan pendapat orang luar?” tanya
Toan Ki.

“Orang luar apa maksudmu?” si gadis menegas.

953




“Umpamanya engkau keluar dan orang lain tentu
akan melihat kecantikanmu sebagai bidadari, masakah
mereka pun tidak berkata apa-apa?”

“Selamanya aku tidak pernah keluar, untuk apa aku
keluar? Bahkan ibu juga melarang aku ke Lang-goankok,
bila menumpang kapal, daun jendela kapal pun
ditutup rapat.”

“Lang-goan-kok? Jadi benar ada suatu tempat yang
bernama demikian? Apa sangat banyak kitab yang
tersimpan di sana?”

“Tidak terlalu banyak, cuma kira-kira tiga-empat
kamar banyaknya.”

“Apakah dia juga ... juga tidak pernah mengatakan
kecantikanmu?” tanya Toan Ki tiba-tiba.

Mendengar Toan Ki menyinggung Buyung-kongcu,
gadis itu menunduk dengan sedih, tiba-tiba dua titik air
mata menggelinding jatuh dari kelopak mata si nona.

Toan Ki tercengang sejenak, ia tidak berani tanya lagi,
tapi juga tidak tahu cara bagaimana harus menghiburnya.

Selang agak lama barulah si gadis buka suara
perlahan, “Dia justru selalu ... selalu sibuk, setiap hari,
setiap tahun selalu sibuk saja tiada waktu senggang
sejenak pun. Bila dia berada bersama denganku, kalau
bukan bicara tentang ilmu silat tentu berunding urusan
rumah tangga. Aku ... aku justru benci pada ilmu silat.”

954




“Cocok!” seru Toan Ki mendadak. “Aku juga benci
pada ilmu silat! Ayah dan pamanku selalu menyuruhku
belajar silat, tetapi aku tidak mau aku lebih suka minggat
dari rumah.”

“Tapi agar aku bisa sering berjumpa dengan dia,
biarpun dalam hati tidak suka, aku tetap tekun
mempelajarinya, bila di antaranya dia kurang paham aku
pasti memberi petunjuk padanya. Dia suka pada cerita
kuno tantang bunuh-membunuh di antara raja satu dan
raja yang lain, terpaksa aku pun mesti membaca untuk
menceritakan kembali padanya.”

“Aneh, mengapa engkau yang menceritakan
padanya? Apa dia sendiri tidak dapat membaca?” tanya
Toan Ki.

Gadis itu melototi Toan Ki sekejap, katanya,
“Memangnya kau sangka dia buta huruf?”

“O, tidak, tidak!” sahut Toan Ki cepat. “Biarlah
kukatakan saja dia orang paling baik di dunia ini, nah,
puas?”

Si gadis tersenyum, katanya pula, “Ia adalah aku
punya Piauko (kakak misan), di tempat kami ini, kecuali
Kuku dan Kubo (paman dan bibi, saudara ibu) serta
Piauko, selamanya tiada orang lain yang datang kemari.
Tapi sejak ibuku berselisih paham dengan Kuku, ibu pun
melarang Piauko datang ke sini. Maka aku pun tidak tahu
apakah dia terhitung orang yang paling baik di dunia ini
atau bukan. Maklum, orang jahat atau orang baik di
dunia ini tiada seorang pun yang pernah kulihat.”

955




Berkata sampai di sini, si gadis menjadi sedih, dan
mata merah basah.

“Ehm, jadi ibumu adalah adik Kukumu dan ia ... ia
adalah putra Kukumu,” demikian Toan Ki mengulangi.

“Huh, kau benar-tenar ketolol-tololan,” omel si nona
dengan tertawa. “Memangnya Kuku adalah kakak ibuku
dan dia putra Kuku, dengan sendirinya dia adalah
Piaukoku.”

Toan Ki merasa senang melihat si gadis dapat
dipancing tertawa, katanya, “Ah, tahulah aku sekarang.
Tentu karena Piaukomu sangat sibuk, tiada waktu buat
membaca, maka engkau yang mewakilinya membaca.”

“Boleh juga dikatakan begitu,” sahut si gadis dengan
tertawa. “Tetapi masih ada satu sebab lain. Ingin katanya
padamu, jago aliran manakah yang mengadakan
Enghiong-tay-hwe apa segala di Siau-lim-si?”

Toan Ki tidak menjawab, sebab dia sedang
kesengsem pada bulu mata si gadis yang panjang hitam
dengan setitik air mata laksana embun di pagi hari itu.

Melihat pemuda itu tidak menyahut, si gadis menjawil
perlahan punggung tangan Toan Ki dan menegur, “Hai,
kenapa engkau?”

Tubuh Toan Ki seakan-akan terkena aliran listrik, ia
melonjak kaget dan berseru, “Oo ....”

956




Karena tidak terduga-duga, si gadis ikut kaget juga
oleh kelakuan Toan Ki yang lucu itu. “Ada apa?”
tanyanya segera.

Dengan muka merah Toan Ki menjawab, “Jarimu
menyentuh tanganku, Hiat-toku jadi seperti tertutuk
olehmu.”

Mata si gadis terbelalak lebar, ia tidak tahu pemuda
itu sedang bergurau, maka katanya dengan sungguhsungguh,
“Di punggung tangan tiada terdapat Hiat-to,
yang ada cuma di telapak tangan, di sini ....”

Sambil berkata ia angkat tangan sendiri untuk
memberi contoh.

Melihat jari-jemari tangan si gadis yang putih halus
dan lentik itu, seketika Toan Ki terlongong-longong.
Akhirnya dengan tergegap-gegap ia tanya, “No ... nona,
siapa ... siapakah namamu?”

“Kelakuanmu benar-benar aneh,” omel si gadis
dengan tersenyum. “Tapi baiklah, tiada alangannya
kukatakan padamu.”

Lalu ia menggores-gores dengan jari di atas
punggung tangan sendiri untuk menulis tiga huruf “Ong
Giok-yan.”

Toan Ki rada tercengang oleh nama orang, pikirnya,
“Gadis secantik ini mengapa pakai nama yang begini
umum? Pantasnya ia pakai nama yang romantis dan
puitis.”

957




Tapi sesudah dipikir pula. Toan Ki ketok-ketok jidat
sendiri dan berseru, “Ya, bagus, bagus sekali namamu
ini! Memangnya engkau mirip burung Yan (layanglayang)
yang suci murni dan terbang bebas di angkasa!”

“Nama setiap orang memang suka cari yang enak
didengar dan bermakna baik pula, banyak juga penjahat
dan pengkhianat yang bernama bagus, sebaliknya
perbuatannya tidak dapat dipuji. Engkau sendiri bernama
Toan Ki, apa engkau punya Bengki (nama baik) benar
baik? Haha, mungkin sedikit ....”

“Sedikit dogol bukan?” sambung Toan Ki. Maka
tertawalah keduanya dengan terbahak-bahak.

Sebenarnya wajah Ong Giok-yan senantiasa
kelihatan murung, tapi kini ia benar-benar merasa
senang dengan muka berseri-seri.

Diam-diam Toan Ki gegetun, “Coba bila selama
hidupku dapat membuatmu selalu tertawa, rasanya
hidupku ini takkan sia-sia lagi.”

Tak terduga kegembiraan Ong Giok-yan itu hanya
terjadi dalam waktu singkat saja, kembali sorot matanya
tampak sayu menanggung sesuatu pikiran. Katanya
dengan perlahan, “Dia ... dia selalu bersikap sungguhsungguh
dan tidak pernah mengobrol iseng padaku. Ai,
Yan-kok, selalu Yan-kok, apa benar begitu pentingnya
bagimu?”

Sebagai seorang yang banyak membaca kitab-kitab
kuno, demi mendengar kata-kata “Yan-kok” itu, seketika
beberapa istilah yang didengarnya akhir-akhir ini

958




sekaligus teringat kembali oleh Toan Ki dan dirangkainya
menjadi satu Buyung-si Yan-cu-oh, Som-hap-ceng, Yankok
....

Tanpa terasa lantas tercetus kata-kata dari mulutnya,
“He, jadi Buyung-kongcu ini keturunan Buyung-si dari
suku Sianbi pada zaman Ngo-oh-loan-hoa ? Jadi dia
orang asing dan bukan bangsa Tionghoa?”

“Ya, dia memang anak cucu keturunan Buyung-si dari
Yan-kok (negeri Yan) pada zaman Ngo-oh. Tapi sudah
beratus tahun lamanya, mengapa dia masih belum
melupakan peristiwa leluhurnya? Dia tidak suka menjadi
orang Tionghoa dan lebih suka menjadi orang Oh
(asing), bahkan tulisan Tionghoa tak mau dipelajarinya
dan kitab Tionghoa tak mau dibacanya. Pernah satu kali
aku minta dia menulis bahasa Tionghoa dan dia lantas
marah-marah.”

Berbicara tentang Buyung-kongcu, rupanya Ong
Giok-yan menjadi begitu kesengsem, ia memandang jauh
ke sana, lalu tuturnya pula dengan penuh pada rindu, “Ia
lebih tua sepuluh tahun daripadaku, selamanya ia
pandang aku sebagai adiknya yang masih kecil, ia
sangka aku cuma tahu membaca dan belajar silat, halhal
lain tidak paham. Padahal kalau bukan untuk dia, aku
benar-benar tidak sudi belajar hal begituan, aku lebih
suka piara ayam, tulis-menulis atau petik Khim.”

“Masakah ia sama ... sama sekali tidak tahu engkau
sangat baik padanya?” tanya Toan Ki dengan suara tak
lampias.

959




“Sudah tentu ia tahu, makanya ia sangat baik
padaku,” sahut Giok-yan. “Tapi kebaikannya padaku
hanya ... hanya kebaikan seperti saudara sekandung dan
tidak lebih dari itu. Selamanya ia tidak pernah katakan
padaku bagaimana perasaannya dan selamanya tidak
pernah pula menanyakan bagaimana isi hatiku.”

Berkata sampai di sini, pipi si nona menjadi bersemu
merah hingga makin menambah kecantikannya yang
menggiurkan.

Sebenarnya Toan Ki ingin berkelakar dan tanya apa
isi hati si gadis, tapi khawatir disemprot, maka urung,
hanya katanya dengan tersenyum, “Engkau kan dapat
menolak bicara tentang ilmu silat dan membaca baginya.
Pula engkau kan dapat mengutarakan perasaanmu
dengan berpantun dan bersyair?”

Ia maksudkan si gadis mestinya dapat memancing
perasaan cinta Buyung-kongcu dengan pantun dan syair
percintaan. Tapi setelah diucapkan, ia menjadi menyesal
telah telanjur omong. Pikirnya, “Wah, kenapa aku begini
goblok dan mengajar demikian padanya?”

Sebaliknya Giok-yan menjadi malu mendengar ajaran
Toan Ki itu, cepat sahutnya, “Mana ... mana boleh
begitu? Aku adalah anak gadis yang pegang aturan,
bagaimana bila aku dipandang hina oleh Piauko karena
kelakuanku itu?”

“Ya, ya, benar! Aku yang salah omong!” seru Toan Ki.
Diam-diam ia memaki diri sendiri mengapa mengajarkan
seorang gadis suci murni untuk berbuat menyeleweng?

960




Selamanya Giok-yan tidak pernah mengutarakan isi
hatinya kepada siapa pun. Tapi aneh, setelah bertemu
dengan Toan Ki yang bersifat bebas lepas, entah
mengapa ia menjadi menaruh kepercayaan penuh dan
menceritakan segala isi hatinya yang penuh manisnya
madu itu.

Bahwa diam-diam ia cinta dan merindukan sang
Piauko, sudah tentu A Cu, A Pik, Siau Si, Siau Teh dan
dayang-dayang lain sama tahu, cuma saja mereka tidak
berani membicarakannya.

Setelah Giok-yan mengutarakan isi hatinya, rasa
masygulnya menjadi agak hilang, katanya kemudian,
“Sudah sekian banyak aku mengobrol padamu, tapi
belum lagi kita bicara tentang persoalan pokok,
katakanlah, jago dari mana saja yang berkumpul di Siaulim-
si dan mengapa mereka hendak melabrak Piauko?”

“Ketua Siau-lim-si bergelar Hian-cu Taysu, beliau
mempunyai seorang Sute yang bergelar Hian-pi Taysu,”
tutur Toan Ki. “Hian-pi Taysu itu mahir ilmu Kim-kong-cu
(gada baja raksasa). Tapi entah mengapa Hian-pi Taysu
itu telah dibunuh orang dan cara musuh
membinasakannya itu justru menggunakan ilmu ‘Kimkong-
cu’ andalan Hian-pi Taysu itu. Menurut kesimpulan
mereka, cara membunuh orang demikian itu adalah ciri
perbuatan Buyung-si dari Koh-soh yang disebut ‘Ih-pi-cito,
hoan-si-pi-sin’ (gunakan caranya untuk dipakai atas
dirinya). Sebab itulah Siau-lim-pay bertekad hendak
membalas dendam kepada Buyung-si. Cuma ilmu silat
Buyung-si teramat lihai, mereka khawatir sukar
melawannya, maka mengundang kawan-kawan lain
untuk berunding cara bagaimana menghadapi musuh.”

961




“Masuk di akal juga ceritamu ini,” kata Giok-yan. “Lalu
siaga lagi kecuali tokoh-tokoh Siau-lim-pay?”

“Masih ada seorang yang bernama Kwa Pek-hwe dari
Ko-san-pay, katanya juga tewas di bawah ilmu ruyung
andalannya sendiri yang disebut ‘Leng-coa-siam-keng’
(ular sakti melibat leher), maka Sute dan muridnya juga
ingin menuntut balas pada Buyung-si. Kecuali itu, masih
... masih banyak lagi yang aku tidak kenal.”

Sudah tentu ia tidak berani bilang bahwa Toan-si
mereka dari Tayli juga ikut campur dalam urusan itu.

“Aku kenal tabiat Piauko, bila ia tahu ada orang begitu
banyak akan memusuhinya, tanpa menunggu orang
datang padanya, lebih dulu ia akan pergi ke sana,” tutur
Giok-yan. “Cuma, belum tentu ia dapat memahami ilmu
silat aliran sebanyak itu. Apalagi mereka berjumlah
banyak, bila mengerubutnya serentak, tentu akan sukar
dilawan.”

Bicara sampai di sini, tiba-tiba terdengar suara orang
berlari datang, kiranya Siau Si dan Yu Chau. Dengan
khawatir Yu Chau berseru, “Wah, celaka Siocia! Hujin
telah memerintahkan agar A Cu dan A Pik ....”

Berkata sampai di sini mulut Yu Chau serasa
tersumbat dan tidak sanggup meneruskan lagi.

Maka cepat Siau Si menyambung, “Mereka hendak
dipotong kaki dan tangannya sebagai hukuman atas
kesalahan mereka berani datang ke Man-to-san-ceng ini.
Siocia, bag ... bagaimana baiknya ini?”

962




“Wah, jika begitu, engkau harus lekas mencari akal
untuk menolong mereka, nona Ong!” seru Toan Ki
khawatir.

Giok-yan juga sangat khawatir, katanya, “A Cu dan A
Pik adalah pelayan pribadi Piauko, kalau mereka dibikin
cacat, bagaimana aku harus bicara dengan Piauko.
Mereka berada di mana, Yu Chau?”

Mendengar Siocia mereka ada maksud menolong A
Cu dan A Pik, segera Yu Chau menyahut, “Hujin
memerintahkan menggusur mereka ke ‘Hoa-pui-pang’
(kamar rabuk bunga). Telah kumohon kepada nenek
galak di sana agar menunda hukumannya setengah jam
lagi, bila sekarang juga Siocia pergi minta ampun kepada
Hujin mungkin masih keburu.”

Walaupun Giok-yan tidak yakin usahanya akan
berhasil, tapi tiada jalan lain, terpaksa ia mengangguk,
segera ia bertindak pergi bersama Yu Chau dan Siau Si.
Tinggal Toan Ki yang berdiri kesima di tempatnya sambil
memandangi bayangan si gadis yang menghilang di balik
semak-semak bunga sana.

Ketika Giok-yan sampai di kamar sang ibu, ia lihat
ibunya lagi duduk bersila, di depannya dupa mengepul di
dalam Hiolo, terang ibunda bersemadi, betapa pun
besarnya urusan juga tidak dapat mengganggunya.
Maka cepat ia berdatang sembah, “Mak, ada sedikit
urusan ingin kubicarakan.”

Perlahan Ong-hujin membuka mata, dengan wajah
kereng ia tanya, “Urusan apa? Kalau ada sangkut

963




pautnya dengan keluarga Buyung, aku tidak ingin
mendengarkan.”

“Mak, A Cu dan A Pik tidak sengaja datang ke sini,
maka sukalah engkau mengampuni mereka,” pinta si
nona.

“Dari mana kau tahu mereka tidak sengaja?” tanya
Ong-hujin. “Hm, tentu kau khawatir Piaukomu takkan
gubris padamu lagi bila kupotong kaki-tangan mereka
bukan?”

Dengan mengembeng air mata Giok-yan menjawab,
“Piauko terhitung keponakanmu sendiri, mengapa ibu
membencinya sedemikian rupa? Andaikan Kuku berbuat
salah padamu, tidak perlu Piauko juga dibenci.”

Dengan berani Giok-yan mengucapkan kata-kata itu,
segera ia berdebar-debar karena dirinya berani
membantah sana ibu.

Sinar mata Ong-hujin menyorot sekilas muka putrinya
itu, untuk sejenak ia tidak bicara dan mata lantas
terpejam pula. Dengan menahan napas Giok-yan berdiri
terpaku di situ, ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan
ibundanya.

Selang agak lama barulah Ong-hujin membuka mata
pula dan berkata, “Kau tahu Kuku berbuat salah padaku?
Di mana letak kesalahannya? Coba katakan!”

Mendengar pertanyaan yang bernada tajam dan
dingin itu, seketika Giok-yan menjadi bungkam dan takut.

964




“Cobalah katakan. Usiamu sekarang juga sudah
dewasa, boleh tidak menurut kataku lagi,” demikian ucap
Ong-hujin.

Tak tertahan lagi air mata Giok-yan berlinang-linang,
sahutnya dengan penasaran dan takut pula, “Mak,
engkau sedemikian benci kepada Kuku, dengan
sendirinya lantaran Kuku berdosa padamu. Akan tetapi
apa kesalahannya, selama ini ibu tidak pernah bicara
padaku.”

“Pernah dengar dari orang lain tidak?” tanya Onghujin
dengan suara bengis.

“Tidak,” sahut Giok-yan sambil menggeleng,
“Selamanya ibu melarangku keluar Man-to-san-ceng ini,
orang luar juga dilarang masuk kemari, dari siapa dapat
kudengarnya?”

Ong-hujin menghela napas lega, nada suaranya
sekarang juga lebih halus, katanya, “Semuanya itu
adalah demi kebaikanmu. Orang jahat di dunia ini terlalu
banyak, dibunuh juga tidak habis-habis. Usiamu masih
muda, seorang gadis lebih baik jangan bertemu dengan
orang jahat.”

Ia merandek sejenak, tiba-tiba teringat sesuatu
olehnya, segera ia menyambung, “Seperti si tukang
kebun she Toan itu, ia pandai omong dan pintar putar
lidah, pasti bukan orang baik-baik. Maka kalau dia berani
omong sepatah saja padamu, seketika kau bunuhnya,
jangan membiarkan dia omong kedua kalinya.”

965




Giok-yan terdiam, ia pikir, “Jangankan cuma sepatahdua
kata, mungkin seratus patah dua ratus kata pun
sudah lebih.”

Melihat putrinya diam saja, Ong-hujin menegur,
“Kenapa? Apa kau tidak tega? Gadis berhati lemah
seperti kau ini, selama hidup entah betapa banyak akan
diperdayai orang.”

Lalu ia tepuk tangan dua kali dan Siau Si segera
masuk, Ong-hujin berkata padanya, “Sampaikan
perintahku bahwa siapa pun dilarang bicara dengan
orang she Toan itu. Siapa yang melanggar keduanya
akan dipotong.”

Siau Si mengiakan dengan wajah kaku tanpa
perasaan seakan-akan apa yang dikatakan Ong-hujin
adalah sesuatu hal yang sudah biasa serupa orang
memotong babi atau menyembelih ayam saja, lalu
mengundurkan diri.

“Nah, pergilah kau!” kata Ong-hujin kemudian sambil
memberi tanda kepada Giok-yan.

Si gadis mengiakan, tapi sampai dia ambang pintu, ia
berhenti dan menoleh, katanya, “Mak, engkau
mengampuni A Cu dan A Pik saja dan peringatkan
mereka agar lain kali jangan lagi datang kemari.”

“Apa yang sudah kukatakan kapan pernah ketarik
kembali? Percumalah meski kau banyak bicara pula,”
sahut Ong-hujin.

966




Tiba-tiba Giok-yan menggigit-gigit gigi dan berkata
dengan perlahan, “Kutahu sebab ibu benci pada Kuku
dan mengapa pula benci pada Piauko.”

Habis berkata, ia terus putar tubuh dan bertindak
keluar.

“Kembali!” bentak Ong-hujin mendadak.

Giok-yan tidak berani membangkang, dengan kepala
menunduk ia masuk kembali ke dalam kamar.

Sambil memandangi tubuh putrinya yang agak
gemetar itu, Ong-hujin bertanya, “Apa yang kau ketahui,
Yan-ji? Coba katakan saja terus terang, tidak perlu
membohongi aku.”

“Kutahu ... kutahu ibu menyesalkan Kuku tidak becus,
dan gemas pada Piauko yang kurang berlatih silat
sehingga tidak dapat mengembangkan keturunan
Buyung yang tiada tandingannya di dunia ini,” demikian
sahut Giok-yan sambil menggigit bibir.

Ong-hujin menjengek sekali, katanya, “Hm, anak kecil
tahu apa? Ibumu sudah lama tidak she Buyung lagi,
tahu? Peduli apa keluarga Buyung dapat menjagoi dunia
atau tidak, aku tidak pusing lagi.”

“Kutahu ibu menyesal bukan lelaki sehingga tidak
dapat membangun kembali keluarga Buyung, maka ibu
menyalahkan Kuku dan Piauko tidak tekun belajar silat
dan cuma bercita-cita membangun kembali kerajaan
Yan.”

967




“Siapa yang berkata demikian padamu?” tanya Onghujin
dengan kereng.

“Tanpa orang mengatakan juga anak dapat menerka,”
sahut Giok-yan.

“Hm, tentu Piaukomu yang bilang begitu padamu,
bukan?”

Giok-yan tidak dusta kepada sang ibu, tapi juga tidak
mengaku. Ia hanya bungkam saja.

Maka Ong-hujin berkata pula, “Usia Piaukomu lebih
tua 10 tahun daripadamu, tapi tidak belajar yang baik,
setiap hari hanya gentayangan kian kemari entah apa
yang dikerjakan hingga ilmu silatnya jauh di bawahmu.
Sungguh bikin malu nama baik Buyung-si saja. Selama
ratusan tahun ini betapa tenar nama kebesaran ‘Koh-soh
Buyung-si’, akan tetapi bagaimana dengan ilmu silat
Piaukomu itu? Apa dia sesuai menyebut dirinya
keturunan Buyung-si?”

Dengan wajah sebentar merah sebentar pucat Giokyan
mendengarkan ucapan sang ibu yang ada benarnya
juga itu. Seketika ia tidak dapat menjawab.

Lalu Ong-hujin meneruskan, “Sekarang katanya dia
telah pergi ke Siau-lim-si, tentu budak-budak ceriwis itu
buru-buru datang memberitahukan padamu. Hm, dia
berani pergi ke Siau-lim-si, mustahil takkan dibuat buah
tertawaan orang di sana? Bahkan aku akan berterima
kasih, karena dengan begitu orang tentu tidak percaya
seorang keroco begitu adalah anak cucu Buyung-si dari

968




Koh-soh. Lebih baik lagi jika jiwanya melayang sekalian
hingga asal-usulnya sukar diusut.”

“Mak,” kata Giok-yan tiba-tiba sambil melangkah
maju, “harap engkau pergi menolongnya. Betapa pun
Piauko adalah satu-satunya keturunan keluarga Buyung.
Bila terjadi apa-apa atas dirinya maka musnahlah
selanjutnya keturunan Buyung-si dari Koh-soh.”

“Hm, musnah? Mereka tidak pikirkan diriku, buat apa
mesti kupikirkan mereka? Sudahlah, pergi sana, pergi!”

“Mak, Piauko kan ....”

Namun Ong-hujin lantas membentaknya dengan
bengis, “Makin lama kau semakin berani, ya?”

Dengan cemas dan mengembeng air mata terpaksa
Giok-yan bertindak keluar dengan kepala menunduk.
Hatinya bingung dan tak berdaya. Sampai di serambi
sana, tiba-tiba didengarnya teguran seorang dengan
suara tertahan, “Bagaimana hasilnya, nona?”

Waktu Giok-yan mendongak, kiranya Toan Ki. Cepat
ia menyahut, “Engkau jang ... jangan bicara lagi
denganku.”

Kiranya sesudah ditinggal pergi Giok-yan tadi, Toan
Ki menjadi seperti kehilangan sesuatu. Dengan linglung
kemudian ia mengikutinya dan menunggu dari jauh.
Begitu melihat si gadis keluar dari kamar Ong-hujin
segera ia memapaknya dan tanya.

969




Melihat wajah Giok-yan mengunjuk sedih dan putus
asa, ia tahu permintaannya tentu ditolak Ong-hujin. Maka
katanya segera, “Seumpama ibumu tidak mau
mengabulkan permintaan nona, kita kan harus mencari
akal lain.”

“Kalau ibu sudah menolak permohonanku, akal apa
yang dapat kau gunakan?” sahut si nona. “Piauko lagi
terancam bahaya, tapi dia ... dia tega membiarkannya.”

Dan saking sedihnya, air mata hampir-hampir
menetes.

“O, kiranya Buyung-kongcu sedang terancam bahaya
....” tiba-tiba Toan Ki teringat sesuatu, cepat ia
menyambung pula, “He, ilmu silatmu kan lebih tinggi
daripada Piaukomu, kenapa engkau sendiri tidak pergi
menolongnya?”

Kedua mata si nona terbelalak lebar, heran seakanakan
tiada sesuatu ucapan lain di dunia ini yang lebih
aneh daripada ucapan Toan Ki itu. Selang agak lama
barulah ia berkata, “Cara bagaimana aku ... aku bisa
pergi? Tidak mungkin ibu mengizinkan.”

“Sudah tentu ibumu takkan mengizinkan, namun
engkau sendiri dapat pergi secara diam-diam?” ujar Toan
Ki dengan tersenyum. “Aku sendiri sudah pernah minggat
dari rumah, kemudian waktu kupulang, ayah dan ibu juga
cuma mengomel saja padaku.”

Mendengar uraian itu, seketika Giok-yan seakan-akan
orang bodoh yang mendadak menjadi pintar. Katanya
dalam hati, “Benar, mengapa aku tidak pergi secara

970




diam-diam untuk menolong Piauko, andaikan nanti ibu
mendampratku kan nasi sudah menjadi bubur, Piauko
sudah dapat kuselamatkan. Orang ini bilang pernah
minggat dari rumahnya, mengapa aku sendiri tidak
pernah berpikir hal ini?”

Melihat si gadis ragu-ragu, segera Toan Ki menghasut
lebih lanjut, “Orang hidup seperti engkau sebenarnya
harus merasa bosan. Apakah engkau akan tinggal di
Man-to-san-ceng ini sampai hari tua dan tidak ingin pergi
melihat dunia luar yang indah permai itu?”

“Apanya yang indah?” sahut Giok-yan sambil
menggeleng. “Yang kupikir hanya untuk membantu
Piauko saja karena dia sedang menghadapi bahaya.
Namun aku sendiri belum pernah melangkah keluar
rumah, di mana letak Siau-lim-si juga aku tidak tahu.”

Tanpa diminta lagi segera Toan Ki mencalonkan diri
sebagai “sukarelawan”, katanya cepat, “Akan kubawa
engkau ke sana, segala apa dalam perjalanan biarlah
aku yang mengurus bagimu.”

Namun Giok-yan masih ragu-ragu. Maka Toan Ki
bertanya pula, “Dan bagaimana dengan A Cu dan A
Pik?”

“Ibu juga tidak mau mengampuni mereka,” sahut si
nona.

“Sekali berbuat, jangan tanggung-tanggung lagi. Bila
A Cu dan A Pik dikutungi kaki tangannya tentu Piaukomu
akan menyalahkan dirimu. Marilah kita pergi menolong

971




mereka sekalian dan kita berempat lantas minggat
bersama!”

Giok-yan melelet lidah, katanya khawatir, “Perbuatan
durhaka seperti ini tentu takkan diampuni ibuku. Nyalimu
ini benar-benar setinggi langit.”

Toan Ki tahu si gadis susah dibujuk kecuali
memperalat Piauko yang dicintainya itu. Maka ia sengaja
berkata, “Jika demikian, marilah kita berdua saja segera
berangkat, biarlah A Cu dan A Pik dibikin cacat oleh
ibumu. Kelak bila engkau ditanya Piaukomu, jawablah
engkau tidak tahu dan aku pun tidak akan membocorkan
rahasia ini.”

“Mana boleh jadi,” sahut Giok-yan. “Dengan demikian,
berarti aku mendustai Piauko, bukan?”

Tapi sesudah berpikir sejenak, akhirnya ia mengambil
keputusan, katanya tiba-tiba, “Marilah ikut padaku!”

Melihat si nona berjalan ke arah barat secepat
terbang, buru-buru Toan Ki ikut berlari menyusulnya.

Tidak lama Giok-yan sampai di depan sebuah rumah
batu. Dari luar gadis itu berseru, “Peng-mama (ibu Peng),
marilah keluar, ingin kubicara padamu.”

Mata terdengarlah suara orang tertawa terkekeh, lalu
suara seorang berkata dengan serak, “Nona baik,
apakah engkau sengaja datang kemari untuk melihat
Peng-mama membuat rabuk bunga?”

972




Tadi waktu Toan Ki mendengar laporan Siau Si dan
Yu Chau bahwa A Cu dan A Pik telah digusur ke Hoapui-
pang atau kamar rabuk bunga, tatkala itu ia tidak
perhatikan tentang istilah itu. Tapi kini demi mendengar
kata-kata “rabuk bunga” dan diucapkan orang dengan
suara seram itu, mendadak ia terperanjat dan berpikir,
“Hoa-pui-pang apa maksudnya? Apakah rabuk tanaman
bunga? Haya, memang benarlah begitu! Ong-hujin
sangat kejam, suka membunuh orang untuk dijadikan
rabuk bunga kamelia. Wah, untung kedatangan kami
tepat waktunya, kalau tidak, tentu kaki dan tangan kedua
dayang itu sudah dipotong untuk dijadikan rabuk.”

Dalam pada itu Giok-yan sedang berkata lagi, “Pengmama,
engkau dipanggil ibu, hendaklah lekas ke sana.”

“Peng-mama sedang repot,” sahut suara tadi dari
dalam rumah. “Ada urusan penting apakah hingga Hujin
menyuruh Siocia memanggilku ke sini?”

“Kata ibu ....” Giok-yan tidak meneruskan, tapi lantas
melangkah masuk ke dalam rumah batu itu. Segera
terlihat olehnya A Cu dan A Pik terikat kencang pada dua
pilar besi, mulut mereka tersumbat, hanya air mata saja
berlinang-linang, tapi tak dapat bersuara.

Lega hati Toan Ki sesudah melongok ke dalam rumah
dan melihat keadaan A Cu dan A Pik masih baik-baik
tanpa kurang sesuatu apa. Tapi jantungnya kembali
berdebar-debar pula ketika dilihatnya di dalam rumah situ
terdapat seorang nenek bungkuk, rambut putih bagaikan
perak, tangan menghunus sebilah pisau jagal, di
sampingnya terdapat baskom air mendidih.

973




“Peng-mama,” demikian Giok-yan berkata pula, “ibu
ingin tanya mereka tentang suatu hal penting, maka
engkau disuruh melepaskan mereka.”

Ketika nenek itu menoleh, sekilas Toan Ki dapat
melihat kedua siungnya yang kuning dan lancip hingga
mirip hantu yang menakutkan, tanpa merasa ia bergidik.

Ia dengar nenek itu berkata, “Baiklah, sesudah
ditanya, kirim kembali lagi ke sini untuk dipotong kaki dan
tangan mereka.”

Lalu nenek itu pun bergumam pula, “Peng-mama
selamanya tidak suka melihat anak dara cantik, maka
kedua budak ini harus ditebas tangan-kakinya, supaya
lebih menarik kalau dipandang.”

Toan Ki menjadi gusar, ia pikir nenek ini tentu sangat
jahat, entah sudah betapa banyak orang yang dibunuh
olehnya. Sayang dirinya tidak bertenaga, kalau tidak,
ingin sekali ia memberi persen beberapa kali tamparan
pada nenek jahat itu.

“Siapa itu yang berada di luar?” tanya Peng-mama
mendadak. Nyata biarpun usianya sudah lanjut, namun
pendengarannya masih sangat tajam. Suara napas Toan
Ki yang memburu karena menahan rasa gusar itu segera
dapat didengarnya. Ketika ia melongok keluar dan
melihat pemuda itu seketika timbul rasa curiganya,
tanyanya, “Siapa kau?”

Bab 20

974




“Aku adalah tukang kebun yang disuruh menanam
bunga oleh Hujin,” sahut Toan Ki dengan berlagak
tertawa. “Peng-mama, apakah sudah siap rabuknya?”

“Tunggulah sebentar, tidak lama lagi akan tersedia,”
sahut Peng-mama. Lalu ia berpaling kembar dan tanya
Giok-yan, “Siocia, Buyung-siauya sangat sayang kepada
kedua pelayannya ini, bukan?”

Dasar Giok-yan memang tidak biasa berdusta, maka
jawabnya tanpa pikir, “Ya, makanya lebih baik jangan
engkau melukainya.”

“Dan saat ini Hujin sedang bersemadi bukan, Siocia?”
tanya pula Peng-mama.

“Ya,” sahut Giok-yan. Tapi segera ia tutup mulut
sendiri ketika sadar telah salah omong.

Diam-diam Toan Ki mengeluh, “Ai, Siocia ini benarbenar
lugu luar biasa, berdusta sedikit pun tidak bisa.”

Untunglah Peng-mama ini seperti orang tua yang
sudah pikun dan tidak memerhatikan kesalahan itu,
terdengar ia berkata pula, “Siocia, tali pengikatnya ini
sangat erat, harap engkau bantu melepaskannya.”

Sembari berkata ia terus mendekati A Cu yang
diringkus di pilar itu untuk melepaskan tali pengikatnya.

Giok-yan mengiakan sambil mendekatinya. Di luar
dugaan, mendadak terdengar suara “krak” sekali, dari
dalam pilar besi itu tahu-tahu menjulur keluar sebatang

975




baja melingkar bulat hingga tepat pinggang si gadis
terkurung.

Keruan Giok-yan menjerit kaget. Namun gelang baja
itu sangat kuat, untuk melepaskan diri terang sangat sulit.

Toan Ki terkejut juga oleh kejadian itu, cepat ia
memburu masuk dan membentak, “Apa yang kau
lakukan? Lekas lepaskan Siocia!”

Peng-mama terkekeh-kekeh seram, sahutnya,
“Katanya Hujin sedang bersemadi, mengapa kedua
budak ini bisa dipanggil ke sana? Banyak sekali pelayan
Hujin, masakah perlu menyuruh Siocia sendiri memanggil
ke sini? Di dalam ini tentu ada apa-apanya, silakan
engkau menunggu dulu di sini, Siocia!”

Kiranya “Hoa-pui-pang” atau kamar rabuk bunga itu
adalah tempat Ong-hujin menghukum atau membunuh
orang. Di dalam rumah batu itu penuh terpasang pesawat
rahasia untuk membikin tawanannya tidak bisa berkutik.

Peng-mama itu dahulunya adalah seorang begal
wanita yang terkenal sangat kejam, entah sudah berapa
banyak jiwa manusia telah menjadi korban
keganasannya. Tapi ia telah ditaklukkan oleh Ong-hujin,
dan karena orangnya sangat cerdik dan rajin, maka ia
diberi tugas melaksanakan kekejaman di kamar rabuk ini.

Peng-mama memang sangat cerdik, ia melihat
tingkah laku Giok-yan sangat mencurigakan, ia pun tahu
Ong-hujin biasanya sangat benci kepada keluarga
Buyung. Ia pikir ilmu silat Siocia sangat tinggi, dirinya
pasti bukan tandingannya, bila tidak turut perintahnya,

976




mungkin gadis itu akan bertindak dengan kekerasan.
Karena itulah dengan muslihatnya ia kurung Giok-yan
dengan gelang baja, salah satu pesawat rahasia yang
terpasang pada pilar besi itu.

Maka Giok-yan menjadi gusar, bentaknya, “Kurang
ajar! Kau berani padaku? Lekas lepaskan aku!”

“Siocia,” sahut Peng-mama, “aku selalu jujur
menjalankan tugas, sedikit pun tidak berani berbuat
salah. Maka ingin kutanya Hujin dahulu, bila memang
benar beliau suruh melepaskan kedua budak ini, tentu
aku akan menjura pada Siocia untuk minta maaf.”

Keruan Giok-yan bertambah gugup, serunya, “Hei,
jangan kau tanya Hujin, ibuku tentu akan marah!”

Sebagai seorang yang banyak pengalamannya,
Peng-mama semakin yakin si gadis itu hendak main gila
di luar tahu ibunya. Ia menjadi girang telah berjasa bagi
majikannya, maka katanya pula, “Baiklah! Silakan Siocia
tunggu sebentar, segera aku kembali!”

“Engkau lepaskan aku dahulu!” seru Giok-yan.

Namun Peng-mama tidak gubris lagi padanya,
dengan langkah cepat segera ia hendak bertindak keluar.

Melihat keadaan sudah gawat, tanpa pikir lagi Toan Ki
pentang kedua tangan merintangi kepergian si nenek
sambil berkata dengan tertawa, “Harap engkau bebaskan
Siocia dahulu, kemudian barulah pergi melapor kepada
Hujin. Betapa pun dia adalah putri majikanmu, bila

977




engkau bikin susah padanya, tentu takkan
menguntungkan dirimu sendiri.”

Di luar dugaan, mendadak Peng-mama membaliki
tangannya dan tahu-tahu sebelah tangan Toan Ki kena
dipegang olehnya. Karena urat nadi tergenggam,
seketika tubuh Toan Ki menjadi lumpuh, meski tenaga
dalam Toan Ki luar biasa kuatnya, tapi sayang ia tidak
dapat menggunakannya. Maka ia kena diseret oleh
Peng-mama ke depan pilar, ketika nenek itu menekan
pesawat rahasia pula, “krak”, dari pilar besi yang lain
mendadak terjulur keluar geleng baja hingga pinggang
Toan Ki juga terjepit.

Tadi begitu tangan Peng-mama memegang
pergelangan tangan Toan Ki, seketika ia merasa tenaga
dalamnya tiada hentinya merembes keluar dan rasanya
sangat menderita. Maka sesudah pemuda itu dikurung
oleh gelang baja, segera ia lepaskan pegangannya.

Merana pegangan nenek itu sudah dikendurkan,
dalam gugupnya tanpa pikir Toan Ki terus menyikap
leher Peng-mama dengan kedua tangan sambil berteriak,
“Jangan kau pergi!”

Keruan Peng-mama kaget oleh rangkulan itu, dengan
gusar ia membentak, “Lepas, lepaskan!”

Dan karena bersuara, tenaga dalamnya yang
merembes keluar itu semakin santer.

Sejak mendapat pelajaran sang paman ketika berada
di Thian-liong-si, kini Toan Ki sudah paham tentang ilmu
memusatkan hawa murni ke dalam perut. Maka tenaga

978




dalam yang disedotnya itu segera dapat ditabung ke
dalam pusatnya.

Berulang-ulang Peng-mama meronta, namun sedikit
pun tidak sanggup melepaskan diri dari dekapan Toan Ki.
Ia menjadi takut luar biasa dan berteriak-teriak, “Hai,
engkau mahir ... mahir ‘Hoa-kang-tay-hoat’? Lepas ...
lepaskan aku.”

Karena leher Peng-mama didekap, terjadi muka Toan
Ki berhadapan dengan muka nenek itu, jaraknya cuma
belasan senti saja, maka ia dapat melihat nenek tua itu
sekuatnya berusaha melepaskan diri dengan meringis,
giginya yang kuning penuh gudal dengan siungnya yang
lancip, napasnya kerbau bacin pula. Toan Ki menjadi
muak dan hampir-hampir tumpah.

Tapi ia pun tahu, dalam saat berbahaya itu, kalau ia
lepas tangan, tentu Giok-yan akan mendapat hukuman
dari sang ibu dan ia sendiri bersama A Cu dan A Pik juga
tak terhindar dari kematian. Karena itulah terpaksa ia
menahan napas dan pejamkan mata, ia tidak pandang
Peng-mama lagi, tapi membiarkan nenek itu kelabakan
sendiri.

“Kau ... kau mau melepaskan aku tidak!” teriak Pengmama
pula dengan nada mengancam. Akan tetapi,
napas ada tenaga sudah berkurang.

Seperti diketahui, bila tenaga dalam Toan Ki semakin
bertambah, daya sedot Cu-hap-sin-kang juga semakin
kuat. Dahulu waktu mula-mula ia menyedot tenaga murni
tokoh-tokoh seperti Boh-tin, Boh-tam dan kawannya,
waktu yang dibutuhkannya sangat lama, kemudian dapat

979




menyedot pula antero tenaga murni tokoh kelas satu Uibi-
ceng dan Ciok-jing-cu, serta sebagian tenaga dalam
Po-ting-te, Thian-in, Thian-koan dan lain-lain, kini daya
sedot Cu-hap-sin-kang itu boleh dikatakan sudah luar
biasa kerasnya, maka untuk menyedot tenaga dalam
Peng-mama hanya diperlukan waktu singkat saja sudah
selesai.

Begitulah, maka tiada seberapa lama keadaan Pengmama
sudah sangat payah dan lemas lunglai dengan
napas kempas-kempis. Akhirnya terpaksa ia memohon,
“Lepaskan aku, lepaskanlah!”

“Baik, buka dulu pesawat rahasianya!” kata Toan Ki.

Peng-mama mengiakan. Tapi Toan Ki masih khawatir,
ia pegang tangan kiri nenek itu dan membiarkan tangan
kanannya menekan alat rahasia di bawah meja, “krek”,
segera gelang baja yang mengurung pinggang Toan Ki
itu mengkeret masuk ke dalam pilar.

Segera Toan Ki perintahkan Peng-mama
membebaskan pula Giok-yan, A Cu dan A Pik.

Namun meski Peng-mama sudah berusaha membuka
pesawat rahasia yang mengurung Ong Giok-yan itu,
ternyata sedikit pun tidak berhasil.

“Kau berani main gila? Ayo lekas!” bentak Toan Ki.

“Tapi ... tapi tenagaku sudah habis!” sahut Pengmama
dengan muka muram dan lesu.

980




Toan Ki coba meraba ke bawah meja dan menarik
sekali alat jeplakannya, perlahan gelang baja yang
melingkari pinggang Giok-yan pun mengkeret masuk ke
dalam pilar.

Toan Ki sangat girang, tapi ia belum mau melepaskan
Peng-mama, sambil masih pegang tangan nenek itu, ia
jemput golok dan memotong tali pengikat A Cu dan A
Pik, kemudian kedua dayang itu mengeluarkan sendiri
sumbat mulut mereka, saking girang dan terharunya
sampai kedua dayang itu tidak sanggup bersuara untuk
sejenak lamanya.

Giok-yan melototi Toan Ki dengan sikap terheranheran,
katanya kemudian, “Jadi kau mahir ‘Hoa-kang-tayhoat’?
Ilmu yang terkenal kotor itu juga engkau pelajari?”

“Kepandaianku ini bukan ‘Hoa-kang-tay-hoat’ segala,
tapi adalah ilmu warisan keluarga Toan kami yang
disebut ‘Thay-yang-yong-swat-kang’ (ilmu sang surya
mencairkan salju), yaitu semacam ilmu perubahan dari
campuran It-yang-ci dan Lak-meh-sin-kiam, boleh
dikatakan merupakan ilmu lawan dari Hoa-kang-tay-hoat
yang jahat itu, maka tidak dapat disamaratakan,”
demikian sahut Toan Ki. Ia pikir tidak mungkin
menceritakan pengalamannya tentang mendapat ilmu
Cu-hap-sin-kang yang panjang dan makan waktu itu,
maka sengaja dikarangnya suatu nama sekenanya atas
ilmu itu.

Ternyata Giok-yan percaya sepenuhnya, katanya
dengan tertawa, “Maaf, jika begitu adalah aku sendiri
yang kurang pengalaman. Bahkan tentang It-yang-ci dan
Lak-meh-sin-kiam dari keluarga Toan kalian di Tayli juga

981




aku cuma tahu namanya saja, maka kelak masih
diharapkan petunjukmu.”

Bagi Toan Ki, asal si cantik sudi minta petunjuk
padanya, itulah jauh melebihi harapannya, maka cepat
sahutnya, “Asal Siocia suka, segala pertanyaanmu pasti
akan kujelaskan sampai sekecil-kecilnya.”

Sungguh mimpi pun tak diduga oleh A Cu dan A Pik
bahwa pada saat yang genting itu tiba-tiba Toan Ki bisa
datang menolong mereka, bahkan tampak bicara sangat
akrab dengan Ong-siocia, tentu saja mereka lebih-lebih
heran. Segera A Cu berkata, “Banyak terima kasih atas
pertolonganmu, Kohnio! Agar rahasia kami tidak sampai
bocor, kami ingin membawa pergi Peng-mama ini.”

Keruan Peng-mama menjadi khawatir, serunya
dengan lemah, “Jang ... jangan ....”

Namun A Cu sudah lantas pencet pipi nenek itu
hingga mulutnya mengap, terus saja ia masukkan
sumbat yang dikeluarkannya dari mulut sendiri tadi ke
dalam mulut Peng-mama.

“Haha! Bagus!” seru Toan Ki dengan tertawa. “Ini
namanya ‘Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin’, sesuai dengan istilah
‘senjata makan tuan’ dari keluarga Buyung kalian!”

Tiba-tiba Giok-yan ikut berkata, “Marilah biar aku ikut
pergi bersama kalian untuk melihat bagaimana ...
bagaimana dengan dia.”

982




A Cu dan A Pik menjadi girang, mereka tahu siapa
yang dimaksudkan si “dia” itu, serta mereka berbareng,
“Jika nona sudi pergi membantunya, itulah paling baik.”

Segera kedua dayang itu menyeret Peng-mama ke
dekat pilar dan menarik alat jeplakan hingga nenek itu
kena dikurung di dalam lingkaran gelang baja Habis itu
mereka berempat lantas menuju ke tepi danau.

Syukurlah sepanjang jalan mereka tidak dipergoki
kawanan dayang yang lain. Sesudah berada di atas
perahu, segera A Cu dan A Pik mendayung dengan
cepat meninggalkan Man-to-san-ceng.

Berkat petunjuk Giok-yan, maka dengan mudah
dapatlah mereka keluar dari perairan yang
membingungkan itu. Setiba di luar danau yang bebas, A
Cu dan A Pik sendiri sudah dapat mengenali jalanan air
di situ. Sementara itu hari sudah dekat magrib, cuaca
sudah remang-remang.

“Nona, dari sini paling dekat kalau menuju ke pondok
hamba, malam ini terpaksa mesti bikin susah nona
menginap semalam di tempat hamba dan besok kita
dapat berunding cara bagaimana harus pergi mencari
Kongcu,” demikian kata A Cu.

“Baiklah,” sahut Giok-yan singkat.

Semakin jauh meninggalkan Man-to-san-ceng, gadis
itu bertambah pendiam tampaknya.

Setelah perahu didayung sekian lama pula, cuaca
sudah mulai gelap, hanya jauh di arah timur sana tampak

983




sinar api yang berkelip-kelip. Maka berkatalah A Pik,
“Tempat yang ada sinar api itulah Thing-hiang-cing-sik
tempat tinggal Enci A Cu.”

Segera perahu didayung ke arah sinar pelita itu.

Tiba-tiba timbul pikiran Toan Ki, “Alangkah senangnya
bila selama hidup ini dapat berada dalam perahu seperti
sekarang ini dan selamanya takkan mencapai tempat
sinar pelita itu!”

Dalam pada itu terdengar Giok-yan lagi menghela
napas perlahan, lalu terdengar A Pik menghiburnya
dengan suara halus, “Harap nona jangan khawatir.
Selamanya Kongcu tidak pernah mengalami kesukaran
apa-apa, sekali ini tentu juga akan pulang dengan
selamat.”

“Kalau dia pergi ke tempat orang Kay-pang tentu aku
tidak perlu khawatir,” kata Giok-yan. “Tapi Siau-lim-si itu
tidak boleh dipandang remeh. Meski ke-72 macam ilmu
Siau-lim-si telah dipahami semua olehnya, tetapi bila
tiba-tiba ada orang menyerangnya dengan ilmu aneh
yang jarang diketahui orang luar, kan berbahaya. Ai ....”

Mendengar ucapan si nona yang penuh rasa khawatir
dan bernada gegetun, seketika timbul rasa cemburu
Toan Ki. Tiba-tiba terpikir olehnya, “Bilamana di dunia ini
ada juga seorang gadis jelita seperti nona ini sedemikian
mendalam cintanya padaku, entah betapa rasa bahagia
hidupku ini? Pernah juga Wan-moay mencintaiku, sejak
dia tahu aku ini kakak kandungnya, tentu perasaannya
kepadaku sudah berubah sekarang. Dan selama ini
entah dia berada di mana? Tentang nona Ciong? Nona

984




cilik ini masih kekanak-kanakan dan hijau, kalau
terkadang dia terkenang padaku, paling-paling juga cuma
sepintas ingat saja untuk lain saat akan lupa lagi, tidak
nanti ia merindukan kekasihnya setiap saat sebagaimana
Ong-kohnio sekarang ini. Dan entah bagaimana nasib
gadis cilik yang digondol lari In Tiong-ho itu? Ayah dan
paman telah menjodohkan aku dengan putri Ko-pepek.
Tapi muka nona Ko itu selamanya belum pernah kukenal,
apakah dia cantik atau jelek, apakah tinggi atau pendek,
bundar atau gepeng, sama sekali aku tidak tahu, dengan
sendirinya aku tidak dapat mengenangkan dia dan dia
tentu juga takkan merindukan aku.”

Sementara itu perahu mereka sudah makin mendekati
tempat tujuan. Tiba-tiba A Cu membisiki A Pik, “Lihatlah
A Pik, tampaknya agak kurang beres gelagatnya!”

“Ya, kenapa begitu banyak sinar pelitanya?” sahut A
Pik sambil mengangguk. Tapi segera katanya pula
dengan tertawa, “Ah, mungkin di rumahmu sedang
diadakan perayaan Cap-go-meh, maka terang
benderang begitu? Atau boleh jadi mereka sedang
menantikan engkau untuk merayakan hari lahirmu?”

Namun A Cu diam saja sambil terus memerhatikan
titik sinar api di kediamannya sana. Kini Toan Ki juga
dapat melihat jelas bahwa pada suatu benua kecil sana
terdapat beberapa bangunan rumah, di antaranya ada
dua gedung bersusun dan dari jendela rumah itulah
tampak banyak sinar pelitanya.

“Rumah tinggal A Cu ini namanya ‘Thing-hiang-cingsik’,
tentu sama indahnya seperti ‘Khim-im-siau-tiok’
tempat tinggal A Pik itu,” demikian pikir Toan Ki.

985




Kira-kira beberapa ratus meter sebelum tiba di rumah
A Cu itu, mendadak A Cu tidak mendayung lagi, katanya,
“Ong-kohnio, di rumahku kedatangan musuh!”

“Apa katamu? Kedatangan musuh? Dari mana kau
tahu dan siapakah musuhmu?” tanya nona Ong terkejut.

“Musuh macam apa belum kuketahui,” sahut A Cu.
“Namun cobalah engkau menciumnya, bau arak yang
keras ini pastilah perbuatan kaum perusuh itu.”

Giok-yan coba mengendus beberapa kali sekeraskerasnya,
tapi tidak mencium sesuatu bau apa-apa.
Begitu pula Toan Ki dan A Pik juga tidak mengendus
sesuatu bau aneh.

Kiranya daya endus A Cu memang lain daripada
orang lain tajamnya, dari tempat jauh ia dapat
membedakan sesuatu bau yang aneh. Maka katanya,
“Wah, celaka! Mereka telah mengubrak-abrik macammacam
sari bunga melati, mawar dan lain-lain yang
kukumpulkan dengan susah payah itu, wah, ludeslah
sudah ....”

Begitulah ia mengeluh dan hampir-hampir menangis.

Toan Ki menjadi heran dari mana A Cu mengetahui
hal itu? Maka ia coba tanya, “Dari mana kau tahu? Masa
matamu begitu tajam hingga dapat melihat tempat jauh?”

“Bukan melihat, tapi aku dapat mengendusnya,” sahut
A Cu. “Ai, dengan hati-hati aku membuat sari bunga itu,

986




kini pasti telah habis diminum oleh orang-orang jahat itu
sebagai arak.”

“Lantas bagaimana Enci A Cu?” tanya A Pik. “Kita
tetap pergi ke sana melabrak mereka atau menyingkir
saja?”

“Entah musuh lihai atau tidak ....” sahut A Cu dengan
ragu.

“Benar,” sela Toan Ki tiba-tiba, “kalau lihai, lebih baik
kita menghindari saja. Bila cuma kaum keroco, ayolah
kita tabrak mereka biar kapok.”

Memangnya A Cu lagi mendongkol, mendengar
ucapan Toan Ki yang tidak berguna itu, segera ia
mengomel, “Hm, hanya berani pada yang lemah,
terhitung orang gagah macam apa? Dan dari mana kau
tahu musuh lihai atau tidak?”

“Hal ini sangat mudah,” sahut Toan Ki. “Biarlah
kupergi ke sana untuk menyelidiki lebih dulu dan kalian
bertiga boleh menunggu saja di dalam perahu, jika
gelagatnya jelek, cepatan kalian melarikan diri dan
jangan urus diriku.”

Sungguh ucapan Toan Ki ini sama sekali di luar
dugaan ketiga gadis itu. Mereka melihat tingkah laku
pemuda ini sangat kaku, sedikit pun tiada tanda-tanda
mahir ilmu silat. Akan tetapi nyatanya Peng-mama,
penjaga gudang rabuk bunga yang ganas itu sekali
tangannya kena dipegang olehnya terus tak bisa
berkutik, bahkan tenaganya lantas hilang dalam waktu

987




sekejap saja. Apakah sesungguhnya pemuda ini memiliki
ilmu silat mahahebat dan sengaja berlagak bodoh saja?

Segera Giok-yan berkata, “Jika engkau pergi ke sana
dan dipergoki musuh, lalu engkau dihajar atau dibunuh,
lantas bagaimana?”

“Jika begitu, ya, apa boleh buat?” sahut Toan Ki
sambil angkat pundak. “Tapi biasanya aku selalu
dilindungi Yang Mahakuasa, kalau ada bahaya selalu
berubah selamat.”

Di mulut ia berkata demikian, tapi dalam hati ia
merasa biarpun mati bagi gadis jelita seperti dikau juga
aku rela.

Mendadak Giok-yan angkat jari kiri terus menutuk
Thay-yang-hiat di pelipis Toan Ki. Hiat-to itu adalah salah
satu tempat mematikan di tubuh manusia, kalau kena
tertutuk seketika akan terbinasa. Tak peduli betapa tinggi
ilmu silat orangnya, tidak mungkin Hiat-to berbahaya itu
dapat ditutup. Namun dalam kegelapan sama sekali
Toan Ki tidak sadar bahwa jiwanya lagi terancam.

Melihat itu, A Pik bersuara kaget, sebaliknya A Cu
diam saja, ia tahu sang Siocia sengaja lagi menjajal Toan
Ki apakah benar-benar tidak mahir ilmu silat atau cuma
berlagak pilon?

Ternyata ketika jari Giok-yan hampir menempel Thayyang-
hiat, tapi Toan Ki tetap tidak berasa, bahkan
pemuda itu berkata, “Kalian bertiga nona muda belia,
kalau mesti menghadapi musuh jahat, rasanya memang
kurang baik.”

988




Maka perlahan Giok-yan tarik kembali jarinya dan
bertanya, “Apa benar-benar engkau tidak pernah belajar
silat?”

“Jika kepandaianku Thay-yang-yong-swat-kang ini
tidak terhitung sebagai ilmu silat, maka aku benar-benar
tidak pernah belajar,” sahut Toan Ki dengan tertawa.

“He, aku mendapat alat,” tiba-tiba A Cu berkata.
“Marilah kita berganti pakaian dahulu, kita pergi menemui
mereka dengan menyamar sebagai kaum nelayan.”

Segera ia menunjuk ke sebelah timur sana dan
berkata pula, “Di situ terdapat beberapa keluarga kaum
nelayan, semuanya kukenal, marilah kita ke sana dulu.”

“Bagus, akal bagus!” seru Toan Ki dengan tertawa.

Segera perahu mereka didayung ke sana. Rumah
kaum nelayan itu berdekatan dengan Thing-hiang-cingsik,
maka A Cu cukup kenal para tetangga itu.

Lebih dulu A Cu, A Pik dan Giok-yan minta pinjam
beberapa perangkat pakaian keluarga nelayan itu.
Sesudah menyamar sebagai wanita tukang tangkap ikan,
lalu datang giliran Toan Ki menyaru sebagai nelayan
setengah umur.

Kepandaian menyamar A Cu ternyata sangat hebat
dan persis sekali. Ia gunakan tepung dan tanah liat
sebagai bahan pembantu untuk mengubah muka
mereka. Ia sendiri menyaru sebagai nenek pula, Giokyan
dan A Pik menjadi wanita nelayan setengah umur.

989




Hanya sekejap saja wajah mereka sudah berubah jauh
daripada usia mereka yang sebenarnya.

Kemudian A Cu pinjam pula perahu nelayan, jala,
pancing, dan ikan yang masih segar. Dengan perahu
pinjaman itu mereka lantas menuju ke Thing-hiang-cingsik.


Meski wajah mereka sekarang sudah sukar dikenali,
tetapi suara Toan Ki, Giok-yan dan A Pik tetap tidak
berubah, begitu pula tingkah laku mereka mudah
diketahui. Maka berkatalah Giok-yan dengan tertawa, “A
Cu, segala apa nanti terserahlah padamu, kami terpaksa
menjadi orang gagu untuk sementara.”

“Memang begitulah harapanku, tanggung rahasia kita
takkan diketahui musuh,” sahut A Cu dengan tertawa.

Perlahan perahu mereka meluncur sampai di depan
rumah tinggal A Cu itu. Ternyata sekeliling rumah itu
penuh pohon Yangliu, dari dalam rumah terus-menerus
terdengar suara teriakan dan gelak tawa orang yang
kasar dan kotor hingga sangat bertentangan dengan
keindahan rumah dan pemandangan di sekitar rumah.

A Cu menghela napas dengan mendongkol. Segera A
Pik membisikinya, “Jangan resah Enci A Cu, setelah
mengenyahkan musuh akan kubantu membersihkan
rumahmu.”

A Cu meremas-remas tangan A Pik dengan perlahan
sebagai tanda terima kasih. Lalu ia membawa Toan Ki
bertiga berputar ke arah dapur di belakang rumah. Di
sana tampak koki Lau Koh yang gendut sedang sibuk

990




hingga mandi keringat, anehnya koki itu terus-menerus
meludahi santapan dalam wajan, lalu mencomot pula
segenggam debu kotoran dan ditaburkan juga ke dalam
wajan.

A Cu merasa heran dan dongkol, serunya segera,
“Hei, Lau Koh, apa yang kau lakukan?”

Keruan Lau Koh berjingkrak kaget, sahutnya
tergegap, “O, aku ... aku ... engkau ....”

“Aku nona A Cu,” kata A Cu dengan tertawa.

“Hah, kiranya nona A Cu sudah pulang,” seru Lau Koh
dengan girang. “Di depan banyak kedatangan orang
jahat dan aku dipaksa menyediakan daharan, lihatlah!”

Habis berkata ia mengusap ingusnya dan dibuang ke
dalam sayur, bahkan tambah diludahi sekali lagi, lalu
tertawalah koki gendut itu dengan terkekeh-kekeh.

Melihat kelakuan si koki yang lucu itu, diam-diam A
Cu dan A Pik juga geli menahan tawa.

Kiranya musuh yang bikin rusuh ke rumah A Cu itu
telah memerintah dan memanggil Lau Koh ke sini dan ke
sana hingga koki itu sibuk tak keruan, akhirnya
disuruhnya pula cepat menyediakan perjamuan. Karena
penasaran, terpaksa Lau Koh membalas dendam
dengan menaruh kotoran di dalam masakan yang
dibuatnya itu.

“Idiih, masakanmu begini kotor,” demikian kata A Cu
dengan kening bekernyit.

991




“O, tidak, tidak! Masakan untuk nona, tentu
sebelumnya kucuci tangan sebersih-bersihnya,” cepat
Lau Koh menyahut. “Tapi masakan untuk orang jahat,
sengaja kubikin sekotor-kotornya.”

“Kelak kalau kulihat sayur masakanmu, bila teringat
perbuatanmu sekarang pasti aku akan merasa muak,”
ujar A Cu.

“Tidak, pasti tidak sama! Santapan untuk nona,
tanggung seratus persen bersih,” sahut Lau Koh agak
gugup.

Harus diketahui bahwa meski A Cu adalah pelayan
Buyung-kongcu, tapi di Thing-hiang-cing-sik ia adalah
majikan dan mempunyai pelayan dan koki sendiri serta
tukang kebun dan lain-lain.

Kemudian A Cu tanya, “Ada berapa orang musuh
yang datang?”

“Pertama datang satu rombongan kira-kira belasan
orang jumlahnya, kemudian datang lagi serombongan
lebih 20 orang,” tutur Lau Koh.

“Jadi terdiri dari dua rombongan? Orang-orang
macam apa saja? Bagaimana dandanan mereka? Dari
logat bicara mereka kedengarannya orang dari daerah
mana?” tanya A Cu.

“Tampaknya yang satu rombongan orang utara,
kelakuan mereka mirip bandit, dan rombongan yang lain

992




terang orang Sujoan, semuanya memakai jubah putih,
tapi tidak diketahui asal usulnya,” tutur Lau Koh.

“Mereka ingin mencari siapa? Apakah sudah melukai
kita?” tanya A Cu.

“Kedua gerombolan itu begitu datang lantas
menanyakan di mana Kongcu berada, kami menjawab
tidak tahu, tapi mereka tidak percaya terus menggeledah
seluruh isi rumah hingga para pelayan sama ketakutan
dan bersembunyi, hanya aku merasa penasaran melihat
tingkah laku mereka yang tidak kenal aturan itu, maka
telah kutegur mereka, mak ....”

Sebenarnya Lau Koh hendak memaki dengan katakata
kotor, tapi teringat olehnya sedang bicara dengan A
Cu, maka kata-kata yang sudah setengah diucapkannya
itu ditelannya kembali mentah-mentah.

A Cu dapat melihat mata kiri Lau Koh matang biru,
pipi merah bengap, terang tadi habis dihajar oleh
kawanan perusuh itu, pantas ia masih dendam, maka
meludah dari mengingusi masakan yang akan disajikan
kepada kawanan penyatron itu.

Setelah berpikir sejenak, segera A Cu membawa
Giok-yan bertiga keluar dari pintu samping dapur dan
menuju ke ruangan depan. Kira-kira beberapa meter
sebelum sampai di samping ruangan tengah yang dituju,
tiba-tiba terdengar suara ribut orang.

Giok-yan adalah gadis yang tidak pernah keluar
rumah, sedang Toan Ki tinggal di daerah selatan yang
jauh terpencil, maka mereka kurang pengalaman dan

993




tidak mendengar sesuatu yang mencurigakan dari suara
orang-orang itu.

Akan tetapi A Cu yang pandai menyamar dan pintar
menirukan macam-macam suara dan nada orang itu,
begitu mendengar suara ramai orang-orang itu segera
merasa heran, sebab suara ribut itu kedengarannya
sangat kasar, banyak kata-kata di antaranya sukar
dimengerti, biarpun A Cu mahir berbagai bahasa daerah.
Malahan logat orang Sujoan sama sekali tidak terdengar,
padahal menurut cerita Lau Koh tadi, katanya salah satu
rombongan orang itu terdiri dari orang Sujoan.

Dengan perlahan A Cu mendekati jendela panjang
ruangan itu, ia robek sedikit kertas jendela dengan
kukunya dan mengintip ke dalam. Ia lihat sinar lilin terang
benderang, tapi hanya sebelah timur saja yang tersorot
jelas dan kelihatan balasan laki-laki kasar dan kekar
sedang makan-minum dengan senang dan bebas,
mangkuk piring di atas meja tampak tumpang-siur tak
keruan, di sekitar meja pun morat-marit, beberapa orang
di antaranya tampak duduk di atas meja, sumpit yang
tersedia juga tak diperlukan lagi, dengan tangan mereka
menyambar paha ayam dan daging terus digerogoti
dengan lahap. Bahkan ada di antaranya terus
menggunakan golok mereka untuk memotong daging
dan ikan serta menyunduk dengan ujung golok, lalu
dicaplok begitu saja dengan lahapnya.

Sungguh A Cu sangat gemas melihat tempatnya yang
rajin bersih itu dipakai pesta pora hingga morat-marit tak
keruan macamnya. Ia lihat tingkah laku orang-orang itu
sangat kasar, terang adalah orang dari daerah
perbatasan yang kurang beradab.

994




Sesudah mengintip rombongan orang kasar itu,
kemudian ia memandang pula ke arah lain, semula ia
tidak menaruh perhatian, tapi sesudah dipandang pula,
tanpa terasa ia bergidik sendiri.

Kiranya rombongan lebih 20 orang di sebelah lain
semuanya mengenakan jubah putih dan duduk dengan
rajin dan prihatin. Di atas meja mereka cuma tersulut
sebatang lilin kecil hingga tempat yang dicapai cahaya
lilin itu cuma satu-dua meter jauhnya, hanya beberapa
orang di antaranya yang berdekatan dengan api lilin itu
dapat terlihat jelas, wajah mereka tampak kurus kering,
perawakan juga tinggi kurus, muka kaku tanpa perasaan
hingga lebih mirip mayat hidup belaka.

Makin dipandang A Cu makin mengirik. Orang-orang
itu tetap duduk saja tanpa bergerak dan tidak bersuara,
kalau bukan beberapa orang di antaranya terkadang
mengedip mata, mungkin mereka akan disangka sebagai
mayat hidup sungguh-sungguh.

Melihat A Cu terpaku di tempatnya, segera A Pik
mendekatinya, ketika ia memegang tangan kawan itu, ia
merasa tangan A Cu sedingin es, bahkan rada gemetar.
Ia menjadi heran, ia pun mencukit setitik lubang kertas
jendela dan ikut mengintip ke dalam. Kebetulan sorot
matanya kebentrok dengan seorang laki-laki yang
berwajah kaku dan kurus, orang itu melototi A Pik sekali
serupa setan iblis. Keruan A Pik terkejut dan menjerit
tertahan.

Sedikit suara berisik itu lantas didengar oleh orang-
orang di dalam ruangan, terdengarlah suara gedubrakan,

995




daun jendela menjadi jebol dan berbareng empat orang
melompat keluar. Persis yang dua orang adalah jago
perbatasan dan dua orang yang lain adalah manusia
aneh dari Sujoan.

“Siapa kalian?” bentak kedua laki-laki kekar itu
segera.

“Kami nelayan di sekitar sini, kami dapat menangkap
beberapa ekor ikan segar dan ingin dijual kepada tuan
rumah di sini. Wah, ikan dan udang yang benar-benar
masih sangat segar!” demikian sahut A Cu dengan
bahasa daerah Sujoan sambil menunjukkan ikan dan
udang besar yang sengaja dibawanya itu.

Sebenarnya laki-laki itu tidak paham bahasa yang
diucapkan A Cu itu, tapi demi melihat dandanan A Cu
sebagai wanita nelayan serta ikan dan udang yang
dibawanya itu, dengan sendirinya mereka dapat
menangkap maksud perkataannya. Segera salah
seorang di antaranya merampas ikan yang dibawa A Cu
sambil berseru, “Ah, kebetulan sekali. Hai, koki, mana
koki! Ini, bawalah ke dapur untuk dimasak sebagai
pengiring arak!”

Begitu pula laki-laki yang lain segera menerima ikan
yang dipegang Toan Ki terus dibawa ke dapur.

Kedua tokoh aneh dari Sujoan yang kurus kering itu
melihat A Cu berempat hanya kaum nelayan saja,
mereka tidak urus lebih jauh dan hendak masuk kembali
ke dalam.

996




Ketika kedua orang Sujoan itu berjalan lewat di
samping A Pik, tiba-tiba A Pik mengendus semacam bau
bacin seperti ikan busuk yang memualkan. Saking tak
tahan, A Pik angkat sebelah tangan hendak mendekap
hidung.

Karena itu sekilas salah seorang jago Sujoan itu
dapat melihat lengan A Pik yang putih bersih laksana
salju, ia menjadi curiga seketika. Pikirnya, “Masakah
seorang wanita tukang tangkap ikan setengah umur bisa
mempunyai lengan sedemikian putih dan halusnya?”

Langsung ia pegang lengan A Pik sambil membentak,
“Aha, berapakah umurmu, hah?”

Keruan A Pik terkejut, tanpa pikir ia kipratkan
tangannya sambil menjawab, “Apa yang hendak kau
lakukan? Mengapa main pegang-pegang segala?”

Suara A Pik kedengaran nyaring dan lembut, tenaga
kipratannya itu sangat cekatan pula hingga tangan
Sujoan-koay-khek atau orang aneh dari Sujoan itu
kesemutan, ia terentak hingga terhuyung-huyung mundur
beberapa tindak.

Karena kejadian ini, pecahlah guci wasiat A Cu,
terbongkarlah rahasia penyaruannya. Begitu keempat
orang di luar itu berteriak, lantas saja dari dalam
membanjir keluar pula belasan orang hingga Toan Ki
berempat dikepung rapat di tengah.

Segera seorang laki-laki kekar menarik sekuatnya
jenggotnya Toan Ki, untuk menghindar terang Toan Ki
tidak mampu, maka terlepaslah jenggot palsunya itu.

997




Seorang lagi hendak memegang A Pik, tapi sekali
mengegos sambil mendorong, kontan orang itu
disengkelit roboh oleh si gadis. Menyusul seorang lain
tiba-tiba membabat dengan pedangnya dari belakang,
cepat A Pik mendakkan tubuh untuk menghindar, tapi ia
lupa telah memakai rambut palsu hingga sanggulnya
lebih tinggi beberapa senti daripada biasanya. “Sreet”,
tahu-tahu rambut palsunya yang ubanan itu jatuh tersapu
pedang hingga kelihatanlah rambut asli A Pik yang hitam
mengilap.

Keruan suasana menjadi geger seketika, beramairamai
kawanan penyatron itu berteriak-teriak, “Hai, matamata
musuh, tangkap mereka!” — “Ya, malah sengaja
menyamar hendak menipu kita!” — “Lekas tangkap
mereka dan beri hajaran yang setimpal!”

Namun A Cu lantas balas membentak dengan gusar,
“Tutup mulut kalian! Rumah siapa ini? Siapa yang
menjadi mata-mata?”

Tapi orang-orang itu lantas menggiring A Cu
berempat ke dalam ruangan dan memberi laporan
kepada seorang tua yang berduduk di pojok timur sana,
“Yau-cecu, kita telah dapat menangkap mata-mata yang
menyamar sebagai nelayan!”

Di tengah kepungan orang sebanyak itu, Giok-yan, A
Cu, dan A Pik menjadi ragu-ragu. Meski mereka bertiga
mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi, tapi mereka
kurang pengalaman dan masih muda, mereka menjadi
bingung apakah mesti melabrak perusuh-perusuh ini atau
menunggu sampai nanti bila keadaan sudah terpaksa.
Lebih-lebih Toan Ki, ia tidak mahir ilmu silat, sama sekali

998




ia tidak tahu siapa di antara perusuh-perusuh itu paling
kuat dan siapa lebih lemah. Karena itu mereka berempat
hanya saling pandang saja dengan bingung, terpaksa
mereka berdiri di depan orang tua itu untuk
mendengarkan apa yang hendak dikatakan olehnya.

Perawakan orang itu sangat kekar dan tegap,
jenggotnya yang putih itu memanjang sampai di dada,
sebelah tangannya sedang memainkan tiga butir bola
besi hingga menerbitkan suara gemerantang yang
nyaring.

Terdengarlah ia bersuara, “Mata-mata musuh dari
manakah kalian ini? Kalian menyamar dengan tingkah
laku yang mencurigakan, kalian pasti bukan manusia
baik-baik.”

“Menyamar sebagai nenek tidak menarik, aku tidak
mau lagi A Cu,” tiba-tiba Giok-yan berkata sambil
membuang rambut palsunya serta mengucap muka
sendiri hingga rontok semua tepung dan tamah yang
lengket di mukanya itu.

Ketika mendadak seorang nenek berubah menjadi
seorang gadis cantik tak terhingga, seketika laki-laki yang
berada di situ terlongong-longong kesima, untuk sesaat
di tengah ruangan itu menjadi sunyi senyap. Bahkan
jago-jago Sujoan mengarahkan sinar mata mereka
kepada Giok-yan.

“Kalian pun buang saja penyamaranmu,” kata Giokyan
kepada A Cu dan lain-lain. Lalu dengan tertawa
katanya pula kepada A Pik, “Gara-garamu hingga rahasia
kita terbongkar.”

999




Meski sekelilingnya dikepung rapat oleh laki-laki buas
sebanyak itu, namun Giok-yan tetap bicara dengan
sewajarnya saja seperti pandang sebelah mata kepada
kawanan perusuh itu.

Segera Toan Ki, A Cu dan A Pik menurut dan
membersihkan samaran mereka. Untuk sejenak semua
laki-laki yang berada di situ sama ternganga, mereka
pandang Giok-yan, lalu memandang pula A Cu dan A
Pik, sungguh tak terpikir oleh mereka bahwa di dunia ini
ada nona-nona cantik bagaikan bidadari seperti ini?

Selang agak lama orang tua yang tegap kekar itu baru
membuka suara lagi, “Siapakah kalian? Untuk apa kalian
datang ke sini?”

“Haha, sungguh lucu!” sahut A Cu dengan tertawa.
“Aku inilah pemilik Thing-hiang-cing-sik, bukannya aku
menegur kalian, sebaliknya kalian malah tanya padaku.
Bukankah sangat janggal? Nah, siapakah kalian, untuk
apa kalian datang ke sini?”

“O, jadi kau tuan rumah di sini, itulah bagus sekali,”
kata orang tua itu. “Apakah engkau ini Buyung-siocia?
Tentunya Buyung Bok itu ayahmu, bukan?”

“Aku cuma seorang budak rendahan, masakah punya
rezeki sebesar itu untuk menjadi putri Loya?” sahut A Cu
dengan tersenyum. “Siapakah tuan? Ada keperluan apa
datang ke sini?”

Mendengar A Cu mengaku sebagai seorang budak
saja, kakek itu separuh tidak percaya, ia pikir sejenak,

1000




kemudian baru berkata, “Jika demikian, silakan panggil
keluar majikanmu, nanti akan kuberi tahukan maksud
kedatanganku.”

“Majikanku sedang bepergian,” sahut A Cu. “Tuan ada
keperluan apa, katakan padaku juga sama saja.
Siapakah nama tuan yang terhormat, apakah tidak dapat
memberi tahu?”

“Ehm, aku Yau-cecu dari Cin-keh-ce di Hunciu,
namaku Yau Pek-tong adanya,” sahut si kakek.

“O, kiranya Yau-loyacu, kagum, sudah lama kagum!”
ujar A Cu.

“Haha, seorang nona cilik seperti dirimu bisa tahu
apa?” kata Yau Pek-tong dengan tertawa.

Di luar dugaan Ong Giok-yan lantas menyambung,
“Cin-keh-ce di Hunciu terkenal karena ‘Ngo-hou-toanbun-
to’. Dahulu Yau Kong-bang menciptakan 64 jurus
Toan-bun-to itu, namun keturunannya telah melupakan
lima jurus di antaranya dan kabarnya tinggal 59 jurus
saja yang masih turun-temurun diajarkan anak muridnya.
Yau-cecu, engkau sendiri sudah mahir sampai jurus
keberapa?”

Sungguh kejut Yau Pek-tong tak terkatakan, tanpa
terasa tercetus jawabannya, “Ngo-hou-toan-bun-to dari
Cin-keh-ce kami memang aslinya ada 64 jurus, dari
mana engkau dapat tahu!”

“Begitulah apa yang tertulis dalam buku, tentunya
tidak salah bukan?” sahut Giok-yan dengan tawar. “Dan

1001




kelima jurus yang kurang itu masing-masing adalah Pekhou-
tiau-kang (harimau putih melompat parit), ‘It-siuhong-
sing’ (sekali bersuit keluarlah angin), ‘Cian-bok-cuju’
(memotong dan menubruk dengan bebas), ‘Hiong-pakun-
san’ (merajai di antara gunung-gunung) dan jurus
terakhir adalah ‘Hong-siang-seng-say’ (taklukkan gajah
dan kalahkan singa), betul tidak?”

Yau Pek-tong mengelus jenggotnya dengan heran.
Tentang kekurangan lima jurus paling bagus dari ilmu
golok perguruan sendiri itu diketahuinya memang sejak
dulu tidak diajarkan lagi, dan tentang kelima jurus apa
yang hilang itu pun tiada seorang yang tahu. Tapi kini
nona ini dapat menguraikan secara lancar dan tepat,
keruan Yau Pek-tong terkejut dan curiga, pertanyaan
Giok-yan itu pun tak bisa dijawabnya.

Segera seorang laki-laki setengah umur di antara
rombongan jago-jago Sujoan yang aneh itu berkata
dengan suara yang banci, “Ngo-hou-toan-bun-to dari Cinkeh-
ce sangat disegani di daerah Hosiok, baik lebih lima
jurus ataupun kurang lima jurus juga tidak menjadi soal.
Numpang tanya ada hubungan apakah nona ini dengan
Buyung Hok Buyung-siansing?”

“Buyung-loyacu adalah aku punya Kuku, dan siapa
nama tuan yang terhormat?” sahut Giok-yan.

“Nona berasal dari keluarga terpelajar, sekali melihat
lantas dapat mengatakan asal usul ilmu silat Yau-cecu,”
kata laki-laki itu dengan dingin. “Maka tentang asal-usul
kami, ingin kuminta nona juga coba-coba menerkanya.”

1002




“Untuk itu coba mengunjuk sejurus-dua lebih dulu,”
sahut Giok-yan. “Kalau cuma berdasarkan beberapa
patah kata saja aku tidak sanggup menerkanya.”

“Benar,” ujar laki-laki itu sambil mengangguk. Habis
itu ia lantas masukkan tangan kanan ke dalam lengan
baju kiri dan tangan kiri menyusup ke dalam lengan baju
kanan hingga mirip orang yang kedinginan. Tapi ketika
kemudian kedua tangan dilolos keluar, tahu-tahu setiap
tangan sudah bertambah dengan semacam senjata yang
aneh bentuknya.

Senjata yang dipegang tangan kiri adalah sebatang
Thi-cui (gurdi) sepanjang belasan senti, bagian ujungnya
yang runcing itu melengkung-lengkung seperti keris.
Sedangkan tangan kanan memegang senjata sebatang
palu kecil, palu itu berbentuk astakona atau segi delapan,
panjangnya kurang lebih 30 senti. Senjata-senjata yang
kecil mungil itu lebih mirip mainan kanak-kanak,
tampaknya kurang berguna dipakai sebagai alat
bertempur.

Karena itu segera beberapa laki-laki kekar dari
rombongan sebelah timur sana lantas bergelak tertawa.
Kata mereka di antaranya, “Hahaha, mainan anak kecil
juga dikeluarkan di sini!”

Tapi Giok-yan lantas berkata, “Ehm, senjatamu ini
adalah ‘Lui-kong-hong’ (beledek menyambar), agaknya
tuan ini mahir menggunakan Am-gi dan Ginkang.
Menurut catatan di dalam buku, ‘Lui-kong-hong’ adalah
senjata tunggal dari Jing-sia-pay dari Sujoan. ‘Jing’
meliputi 18 macam senjata dan ‘Sia’ mencakup 36 tipu

1003




serangan. Caranya sangat aneh dan hebat. Besar
kemungkinan tuan she Suma, bukan?”

Wajah laki-laki itu sebenarnya selalu membeku tanpa
perasaan, tapi demi mendengar uraian Giok-yan itu,
seketika wajahnya berubah, ia saling pandang dengan
kedua pembantu di kanan-kirinya. Selang sejenak baru ia
berkata pula, “Betapa luas pengetahuan ilmu silat dari
Buyung-si di Koh-soh, nyata memang bukan omong
kosong belaka. Cayhe memang she Suma dan bernama
Lim. Numpang tanya sekalian pada nona, apa benarbenar
istilah ‘Jing’ meliputi 18 macam senjata dan ‘Sia’
mencakup 36 tipu serangan?”

“Pertanyaanmu ini sangat kebetulan,” sahut Giok-yan.
“Aku justru merasa ‘Jing’ itu meliputi 19 jenis senjata,
sebab di antaranya Po-te-ci (biji tasbih) dan Thi-lian-ci
(biji teratai) tidak dapat dipersamakan, bentuknya
memang hampir mirip, tapi cara menggunakannya
berbeda. Sedang mengenai ‘Sia’ yang mencakup 36 tipu
serangan itu, kukira tiga serangan ‘Boh-kah’
(memecahkan perisai), ‘Boh-tun’ (memecahkan tameng),
dan ‘Boh-pay’ (memecahkan utar-utar) satu-sama-lain
tidak banyak bedanya, maka lebih baik dihapuskan,
hingga tinggal 33 jurus saja, supaya lebih sempurna.”

Suma Lim terlongong-longong mendengarkan cerita
Ong Giok-yan itu. Padahal dalam ilmu silat perguruannya
itu, sebagian belum pernah lengkap dipelajarinya, dan
bagian lain justru sangat diandalkan olehnya. Tapi kini
gadis semuda ini berani memberi komentar tentang ilmu
silat perguruannya itu, keruan ia menjadi gusar dan
menyangka orang keluarga Buyung sengaja hendak
menghina padanya.

1004




Namun watak Suma Lim sangat sabar, ia dapat
menahan perasaannya, maka katanya, “Banyak terima
kasih atas petunjuk nona, sungguh aku seperti orang
bodoh yang menjadi pintar sekarang.”

Dan sesudah berpikir sejenak, timbul suatu akalnya,
segera ia berkata kepada pembantu di sisi kiri, “Cu-sute,
boleh coba kau minta sedikit pengajaran kepada nona
ini.”

Sutenya yang she Cu itu adalah seorang laki-laki
setengah umur bermuka jelek karena seantero mukanya
burik, kecuali jubahnya yang putih mulus itu, kepalanya
juga memakai ubel-ubel putih hingga mirip orang sedang
berkabung. Di bawah sinar lilin yang remang-remang itu
tampaknya menjadi tambah seram.

Kiranya nama lengkap laki-laki ini Cu Po-kun,
sebelum masuk perguruan Jing-sia-pay ia sudah pernah
belajar silat. Usianya sebenarnya balasan tahun lebih tua
daripada Suma Lim, tapi karena masuk perguruan lebih
belakang, maka urut-urutannya menjadi lebih muda
daripada Suheng yang kini menjabat ketua perguruan itu.

Tentang asal usul ilmu silat yang dipelajari Cu Po-kun
sebelum masuk Jing-sia-pay, karena selama ini dia
bungkam saja dan tidak pernah dipamerkan, maka Suma
Lim sendiri pun tidak jelas, beberapa kali ia pernah tanya,
tapi Cu Po-kun selalu menjawab dengan samar-samar.
Yang terang bagi Sama Lim adalah ilmu silat Cu Po-kun
itu sangat tinggi dan pasti tidak di bawah dirinya.

1005




Sekarang ia sengaja suruh Cu Po-kun bergebrak
dengan Ong Giok-yan, taktiknya memang sangat bagus.
Pertama, kalau si nona dapat membongkar rahasia Cu
Po-kun, itu berarti akan terjawablah teka-teki sang Sute
yang belum terpecahkan selama ini.

Maka Cu Po-kun lantas berdiri, ia pun memberi
hormat sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam
lengan baju, ketika tangan terlolos keluar, tahu-tahu
sudah memegang sepasang senjata gurdi dan palu atau
Lui-kong-hong serupa apa yang dikeluarkan Suma Lim
tadi.

“Silakan nona memberi petunjuk,” demikian katanya
segera.

Semua orang menjadi heran, kalau dengan mudah
senjata Suma Lim dapat ditebak dengan jitu oleh si nona,
kini senjata Cu Po-kun juga serupa dengan Suma Lim,
masakah suruh orang menebak lagi?

Maka Giok-yan lantas berkata, “Jika tuan juga
memakai senjata ‘Lui-kong-hong’, dengan sendirinya
juga berasal dari Jing-sia-pay.”

Namun Suma Lim lantas memberi penjelasan, “Cusute
sebelum masuk perguruan kami sudah belajar ilmu
silat aliran lain. Dan dari aliran manakah asal usulnya
itulah kami ingin menguji ketajaman pandangan nona.”

Ini benar-benar persoalan sulit pikir Giok-yan. Dan
belum lagi ia membuka suara, tiba-tiba Yau Pek-tong
mendahului buka suara, “Suma-ciangbun, apa artinya

1006




caramu minta si nona mengenali Kungfu asli Sutemu itu?
Bukankah hal ini terlalu janggal?”

“Terlalu janggal bagaimana?” tanya Suma Lim
dengan tercengang.

“Habis, muka Sutemu penuh lubang-lubang,
ukirannya sangat bagus dan rata, muka aslinya dengan
sendirinya sukar diterka,” kata Yau Pek-tong dengan
tertawa.

Mendengar Cecu mereka mengolok-olok muka Cu
Po-kun yang bopeng itu, seketika bergelak tawalah
orang-orang dari Cin-keh-ce hingga riuh rendah.

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara
mendenging, secepat kilat sebuah senjata rahasia kecil
lembut menyambar ke arah dada Yau Pek-tong.

Kiranya watak Cu Po-kun itu sangat keji dan culas,
biasanya paling benci kalau ada orang menertawakan
mukanya yang burik itu. Apalagi kini Yau Pek-tong
mengolok-oloknya di muka wanita cantik, keruan
bencinya sampai tujuh turunan, tanpa pikir lagi segera ia
arahkan gurdinya ke dada Yau Pek-tong, sekali jarinya
memijat ujung gurdi, terus saja sebatang Am-gi atau
senjata gelap menyambar ke depan.

Meski Yau Pek-tong juga sudah menduga bahwa
olok-oloknya itu pasti akan menimbulkan serangan
lawan, tapi tak tersangka olehnya serangan Cu Po-kun
bisa begitu cepat datangnya. Dalam gugupnya ia tidak
sempat mencabut golok buat menangkis, terpaksa

1007




tangan kirinya menyambar tatakan lilin di atas meja untuk
menyampuk Am-gi itu.

“Creng”, Am-gi itu mencelat ke atas dan menancap di
belandar, kiranya Am-gi itu adalah sebatang jarum yang
panjangnya cuma beberapa senti saja. Dan ternyata
jarum sekecil itu membawa tenaga yang sangat besar,
tangan Yau Pek-tong sampai pegal dan kesemutan
hingga tatakan lilin itu terbentur jatuh ke lantai dan
menerbitkan suara gemerantang nyaring.

Seketika gempar gerombolan Cin-keh-ce itu. Mereka
berkaok-kaok dan mencaci-maki kalang kabut dari yang
halus sampai yang paling kasar. Tapi kawanan orang
Jing-sia-pay tetap bersikap dingin dan bungkam saja
terhadap teriakan dan makian pihak Cin-keh-ce dianggap
seperti tidak mendengar dari tidak melihat saja.

Sungguh tak terduga oleh Yau Pek-tong bahwa
tatakan lilin seantap itu dapat terlepas dari cekalannya
hanya terbentur oleh sebatang jarum selembut itu. Kalau
menurut peraturan Bu-lim itu berarti dirinya telah kalah
satu jurus lebih dulu. Pikirnya dalam hati, “Ilmu silat
lawan tampaknya agak aneh, seumpama mesti
bertempur dengan mereka juga harus berhadapan
secara terang-terangan. Tapi menurut uraian nona cilik
itu tadi katanya Jing-sia-pay mempunyai 18 macam jenis
serangan, mungkin maksudnya 18 jenis Am-gi, untuk ini
aku harus berlaku hati-hati supaya tidak kecundang lagi.”

Segera ia hentikan teriakan begundalnya, lalu katanya
dengan tertawa, “Kepandaian saudara Cu barusan
sungguh sangat bagus dan teramat keji pula! Apa
namanya kepandaianmu ini?”

1008




Tapi Cu Po-kun cuma tertawa dingin saja tanpa
menjawab. Sebaliknya orang-orang Cin-keh-ce lantas
berteriak-teriak lagi. Satu di antaranya berbadan
segendut babi menggembor, “Namanya tidak punya
muka!”

“Hahaha! Sungguh tepat, sungguh jitu! Memang
orangnya tidak punya muka, nama ini benar-benar sesuai
sekali!” demikian seorang lagi yang bermuka mirip
monyet menanggapi.

Teranglah ucapan orang Cin-keh-ce itu sengaja
digunakan untuk menyindir muka Cu Po-kun yang burik
bagai sarang tawon itu.

Giok-yan menggeleng kepala, katanya kemudian
dengan suara lembut, “Yau-cecu, ini terang engkau yang
salah!”

“Salah apa?” tanya Pek-tong melengak.

“Setiap manusia jarang yang tidak punya cacat
badan, baik besar maupun kecil cacat itu,” sahut Giokyan.
“Umpama waktu kecil terjatuh mungkin akan
mengakibatkan kakinya patah dan menjadi pincang.
Dalam pertempuran, siapa berapi menjamin takkan
kehilangan sebelah kaki atau sebelah matanya. Maka
kalau di antara kawan Bu-lim ada yang badan terdapat
sesuatu cacat sebenarnya adalah soal jamak bukan?”

Terpaksa Yau Pek-tong membenarkan.

1009




“Dan tentang Cu-ya ini, karena waktu kecilnya
menderita sesuatu penyakit sehingga mengakibatkan
mukanya cacat, apanya yang perlu ditertawakan?” kata
Giok-yan lebih lanjut. “Seorang laki-laki sejati yang harus
diutamakan pertama adalah kepribadiannya, jiwa yang
bersih. Kedua adalah perbuatannya, amal bakti bagi
sesamanya, dan ketiga mengenai ilmu silatnya atau ilmu
sastranya. Orang laki-laki tidak bersolek seperti wanita,
tentang bagus atau tidak mukanya, apa alangannya?”

Uraian Giok-yan yang terus terang dan wajar ini
membikin Yau Pek-tong tak bisa menjawab. Akhirnya ia
terbahak-bahak dan berkata, “Hahaha, ada benarnya
juga kata-kata nona cilik ini. Haha, jika demikian, jadi aku
yang salah menertawakan Cu-heng!”

Giok-yan tersenyum, katanya, “Loyacu berani
mengaku salah secara terus terang, suara tanda jiwa
kesatria Loyacu pantas dipuji.”

Sampai di sini, tiba-tiba ia berpaling kepada Cu Pokun
dan berkata dengan menggeleng kepala, “Tidak,
cukup, percumalah itu!”

Nada ucapannya sangat ramah dan penuh simpati
mirip seorang kakak sedang memberi nasihat kepada
adiknya.

Sudah tentu ucapan terakhir si nona bukan saja
membingungkan orang lain, bahkan Cu Po-kun juga
melongo tidak paham apa maksud perkataan Giok-yan
itu.

1010




Tadi ia merasa sangat senang dan berterima kasih
kepada si nona oleh karena selama hidupnya yang
paling disesalkan adalah mukanya yang burik itu, kini
gadis itu membela orang yang cacat dan katanya yang
penting bagi seorang pria adalah jiwa pribadi dan tingkah
lakunya.

Tapi sekarang didengarnya pula gadis itu berkata
“tidak cukup dan percumalah”, entah apa yang
dimaksudkannya? Apa mungkin maksudnya aku punya
‘Thian-ong-po-sim-ciam’ belum sempurna dan percuma
kalau digunakan? Demikian pikir Cu Po-kun.

Padahal ia yakin ‘Thian-ong-po-sim-ciam’ atau Jarum
Raja Langit yang jumlah seluruhnya ada 12 batang itu
kalau sekali dibidikkan pasti jiwa si tua bangka Yau Pektong
sudah melayang sejak tadi. Ia pikir setiap saat aku
toh dapat menghabiskan nyawanya, sementara ini
biarlah aku tidak gubris padanya, supaya tidak sampai
rahasiaku terbongkar di hadapan Suheng Suma Lim.

Karena pikiran itu, ia pura-pura bodoh dan tanya
Giok-yan, “Apa artinya yang nona katakan itu?”

“Kumaksudkan kau punya ‘Thian-ong-po-sim-ciam’
benar-benar semacam Am-gi yang sangat ganas, tetapi
....”

Belum selesai Giok-yan bicara, serentak Suma Lim
dan ketiga tokoh Jing-sia-pay yang lain berseru kaget,
“Hah, apa? Thian-ong-po-sim-ciam?”

Cu Po-kun sendiri juga tergetar dan air muka berubah
tapi cepat ia tenangkan diri dan menjawab, “Salah

1011




pandangan nona ini, bukan Thian-ong-po-sim-ciam, tapi
Am-gi andalan Jing-sia-pay kami yang disebut ‘Jinghong-
ciam’ (jarum tawon hijau).”

“Bentuk Jing-hong-ciam memang demikian adanya,”
sahut Giok-yan dengan tertawa. “Caramu membidik
Thian-ong-po-sim-ciam juga serupa dengan cara
menggunakan Jing-hong-ciam. Tapi dasar dari Am-gi
masing-masing terletak pada tenaga yang digunakannya
dan daya menyambarnya. Seperti melempar pisau Siaulim-
pay mempunyai tenaga lemparan Siau-lim-pay
sendiri, Hoa-san-pay juga mempunyai gaya sendiri yang
tidak sama. Tentang caramu ....”

“Nona cilik tahu apa? Hendaknya jangan banyak
omong hingga mencari kematian sendiri, tiba-tiba Cu Pokun
menyela dengan bengis. Sekilas sinar matanya
penuh nafsu membunuh, gurdi baja terangkat di depan
dada, asal palu mengetok sekali pada ujung gurdi,
seketika jarum bajanya akan menyambar ke arah Giokyan.


Namun demikian, biarpun ia sangat keji, demi melihat
si gadis yang cantik molek, pula tadi orang telah
membela cacat mukanya, seketika ia tidak tega turun
tangan jahat untuk membunuh Giok-yan.

Namun Giok-yan menghadapinya dengan tersenyum
saja, katanya, “Engkau tidak tega membunuhku, terima
kasih atas kebaikanmu. Tapi andaikan kau berani turun
tangan, rasanya juga percuma. Jing-sia-pay dan Hong-
lay-pay bermusuhan turun-temurun, usahamu sekarang
sudah pernah dicoba oleh Ciangbunjin angkatan ketujuh
golongan kalian, yaitu Hay-hong-cu Totiang.

1012




Kepintarannya dan ilmu silatnya kurasa tidak berada di
bawahmu.”

Toan Ki, A Cu, A Pik, Yau Pek-tong, Suma Lim dari
lain-lain menyaksikan gurdi Cu Po-kun sudah diarahkan
pada Giok-yan, akan tetapi tampaknya agak takut-takut.
Padahal tadi waktu ia menyerang Yau Pek-tong, betapa
cepat dan kuat sambaran senjata rahasianya sungguh
jarang ada bandingannya, terang di dalam gurdi itu
terpasang pegas yang daya jepretnya sangat keras.
Untung Yau Pek-tong cukup gesit hingga terhindar dari
maut. Tapi kini kalau Cu Po-kun juga membidikkan Am-gi
seperti tadi, apakah gadis jelita seperti Giok-yan ini
sanggup menghindar?

Namun menghadapi ancaman elmaut Giok-yan
ternyata anggap sepi saja, bahkan seenaknya ia
menceritakan pula rahasia besar Bu-lim tentang
permusuhan Jing-sia-pay dan Hong-lay-pay, keruan
seketika tokoh-tokoh Jing-sia-pay menjadi curiga dan
sama melototi Cu Po-kun, pikir mereka, “Jangan-jangan
Cu-sute ini orang Hong-lay-pay yang menjadi musuh
bebuyutan kita dan sengaja menyusup ke dalam Jing-siapay
kita? Akan tetapi mengapa logat suaranya orang
Sujoan dan tiada tanda logat orang Soatang?”

Kiranya Hong-lay-pay itu berada di daerah Soatangpoan-
to (semenanjung Santung), dan sudah ratusan
tahun lamanya bermusuhan dengan Jing-sia-pay di
Sujoan, awal mula permusuhan itu adalah karena
berdebat tentang ilmu silat hingga akhirnya jadi bunuhmembunuh.
Tapi karena ilmu silat kedua pihak sama
kuatnya, masing-masing mempunyai keunggulan sendiri-

1013




sendiri, maka kedua pihak sama-sama belum
terkalahkan, sebaliknya telah banyak memakan korban.

Hay-hong-cu yang disebut Giok-yan tadi adalah
seorang tokoh kenamaan Hong-lay-pay, ia merasa ilmu
silat kedua pihak sama kuatnya, untuk mengalahkan
lawan terang tidak mungkin. Jalan satu-satunya adalah
mempelajari juga ilmu silat pihak lawan, dengan demikian
lawan dapat dikalahkan.

Karena itulah ia kirim salah seorang murid pilihannya
untuk menyelundup ke dalam Jing-sia-pay. Akan tetapi
sebelum murid itu cukup sempurna mempelajari ilmu silat
Jing-sia-pay, ia keburu diketahui dan dihukum mati oleh
ketua Jing-sia-pay.

Karena kejadian itu, permusuhan kedua pihak
semakin mendalam dan kewaspadaan masing-masing
pihak pun tambah tinggi, khawatir kalau pihak lawan
menyelundupkan mata-mata ke dalam perguruan sendiri.

Maka selama berpuluh tahun ini Jing-sia-pay
menetapkan peraturan tidak mau menerima orang dari
daerah utara sebagai murid, bahkan sampai akhirnya
penerimaan anak murid hanya terbatas pada orang
Sujoan sendiri saja.

“Jing-hong-ciam” yang dikatakan itu adalah Am-gi
khas golongan Jing-sia-pay, sebaliknya “Thian-ong-posim-
ciam” yang disebut Giok-yan itu adalah senjata
andalan Hong-lay-pay.

Sebagai murid Jing-sia-pay, senjata yang dibidikkan
Cu Po-kun itu dengan sendirinya adalah Jing-hong-ciam,

1014




tapi Giok-yan justru bilang itu adalah Thian-ong-po-simciam,
keruan hal itu membikin jago-jago Jing-sia-pay
terkejut dan curiga. Sebab sama halnya dengan Jing-siapay,
dalam Hong-lay-pay juga ada peraturan yang
melarang menerima anak murid dari daerah lain, kecuali
orang Soatang sendiri. Sedang Cu Po-kun adalah
keturunan keluarga Cu yang terkenal di kabupaten
Khekoan di Sujoan Barat, mana bisa dia menjadi murid
Hong-lay-pay?

Maksud Suma Lim menyuruh Cu Po-kun maju
menghadapi Giok-yan juga cuma timbul dari rasa ingin
tahu asal usul Cu-sute itu dan bukan timbul dari niat
jahat. Maka ia benar-benar tidak mengerti mengapa
senjata rahasia Cu-sute itu adalah senjata andalan
Hong-lay-pay yang merupakan musuh besar itu?

Kalau ada orang yang paling kaget, maka orang itu
adalah Cu Po-kun sendiri, yaitu karena rahasia
pribadinya kena dibongkar oleh Giok-yan.

Kirinya guru Cu Po-kun yang pertama bernama Toleng-
cu, seorang tokoh terkemuka dari Hong-lay-pay.
Pada waktu mudanya To-leng-cu pernah juga dihajar
orang Jing-sia-pay, maka dengan mati-matian ia mencari
jalan untuk membalas dendam. Akhirnya ia mendapat
satu akal.

Ia suruh seorang kawannya menyaru sebagai begal
besar dan menggerayangi keluarga Cu di Khekoan, tuan
rumahnya diringkus serta akan memerkosa anak istrinya.
Sementara itu To-leng-cu sudah menunggu di luar
rumah, pada saat yang paling genting itulah baru ia

1015




muncul dan pura-pura menolong keluarga Cu serta
mengenyahkan penjahat itu.

Sudah tentu tuan rumah sangat berterima kasih dan
menganggapnya sebagai dewa penolong. To-leng-cu
sengaja berlagak sebagai imam bisu, ia memberi isyarat
bahwa bukan mustahil kawanan begal itu akan datang
kembali, keruan tuan rumahnya ketakutan setengah mati
dan minta tolong supaya To-leng-cu suka tinggal
sementara waktu di rumah keluarga Cu.

Padahal sebelumnya To-leng-cu sudah menyelidiki
dan mendapat tahu putra keluarga Cu, yaitu Cu Po-kun
mempunyai bangun tubuh dan bakat yang bagus, semula
ia pura-pura keberatan, tapi kemudian setelah dimohon
pula akhirnya ia terima undangan tuan rumah dan tinggal
di situ.

Maju setindak, pada suatu kesempatan lain ia lantas
memancing agar Cu Po-kun mengangkatnya sebagai
guru. Dan nyata, Cu Po-kun memang sangat pintar,
bakatnya sangat menonjol, belajarnya juga giat maka
kemajuannya sangat pesat. Tiada seberapa tahun,
jadilah Cu Po-kun seorang tokoh pilihan Hong-lay-pay.

To-leng-cu itu kecuali bermaksud membalas dendam
kepada Jing-sia-pay, sebenarnya tiada niat jahat lain. Ia
pun sangat sabar dan telaten, sedari mulai sampai akhir
ia tetap pura-pura bisu dan tidak pernah bicara sepatah
kata pun.

Pada waktu memberi pelajaran pada Cu Po-kun juga
dilakukan dengan isyarat-isyarat tangan dan bila perlu
dengan tulisan, sebab itulah meski ia tinggal bersama Cu

1016




Po-kun selama sepuluh tahun, si murid tetap tidak
pernah mendengar sepatah kata sang guru yang
berlogat Soatang.

Ketika Cu Po-kun sudah tamat belajar, To-leng-cu
lantas menuliskan sebab musabab tentang dirinya
memondok di rumah keluarga Cu serta minta keputusan
si murid. Sudah tentu mengenai muslihat kawannya
disuruh menyamar sebagai begal dan dirinya pura-pura
menolong itu sama sekali tidak disinggungnya.

Oleh karena selama sepuluh tahun itu To-leng-cu
sangat berbudi padanya, boleh dikatakan segenap ilmu
silat Hong-lay-pay telah diturunkan padanya, karena
terima kasihnya, setelah mengetahui maksud tujuan sang
guru, segera Cu Po-kun terima tugas dengan baik dan
masuk Jing-sia-pay sebagai murid Suma Wi.

Suma Wi adalah ayah Suma Lim yang menjadi ketua
Jing-sia-pay sekarang. Tatkala itu usia Cu Po-kun sudah
tidak muda lagi, sebenarnya Suma Wi tidak mau
menerimanya. Tapi keluarga Cu adalah hartawan
berpengaruh di Sujoan Barat, betapa pun Jing-sia-pay
juga ingin menambah nama baik dengan dukungan
golongan berpengaruh, maka akhirnya ia pun
menerimanya.

Di dalam memberi pelajaran, Suma Wi dapat
mengetahui juga bahwa Cu Po-kun sudah menguasai
dasar ilmu silat yang lumayan, beberapa kali ia coba
tanya, tapi Po-kun memberi jawaban bahwa
kepandaiannya itu diperoleh dari guru silat pasaran yang
diundang ke rumah oleh orang tua. Suma Wi pikir
hartawan besar seperti keluarga Cu memang bukan

1017




mustahil ada beberapa penjaga rumah yang berilmu silat,
maka ia pun tidak tanya lebih jauh.

Cu Po-kun sendiri sebelum masuk Jing-sia-pay lebih
dulu sudah diberi petunjuk oleh To-leng-cu tentang ilmu
silat Jing-sia-pay mana yang harus diperhatikan dan
diselami secara mendalam. Apalagi setiap tahun baru
atau hari raya ia suka memberi sumbangan-sumbangan
kepada sang guru dan para saudara seperguruan, bila
Suhu ada kesukaran apa-apa, berkat keluarganya yang
berharta dan berpengaruh, segala apa dapat
dibereskannya dengan baik olehnya.

Karena itulah Suma Wi merasa tidak enak sendiri,
dalam hal pelajaran ia berikan apa semestinya, maka
apa yang dipahami Cu Po-kun boleh dikatakan tiada
berbeda daripada Suma Lim yang merupakan putra
tunggal Suma Wi itu.

Sebenarnya tiga-empat tahun yang lalu To-leng-cu
telah minta pada Po-kun agar pura-pura ingin berkelana
untuk menambah pengalaman, lalu datang ke Hong-laypay
untuk mempertunjukkan ilmu silat Jing-sia-pay yang
telah dipelajarinya itu. Dengan begitu supaya Hong-laypay
bisa menyelami kepandaian musuh untuk kemudian
dapat membasminya habis-habisan.

Namun sejak Cu Po-kun menjadi murid Jing-sia-pay,
ia merasa Suma Wi memandangnya tidak berbeda
serupa putra sendiri, kalau dia disuruh membasmi Jingsia-
pay dengan tangan sendiri dan membunuh keluarga
Suma, betapa pun ia tidak tega.

1018




Maka diam-diam ia ambil keputusan kalau nanti Suma
Wi sudah wafat barulah ia tega melaksanakan niat Toleng-
cu itu. Mengenai Suma Lim karena Suheng ini
lumrah saja terhadapnya dan tiada sesuatu yang luar
biasa, kalau membunuhnya terasa tidak menjadi soal.
Sebab itulah rencana To-leng-cu menjadi tertunda lagi
beberapa tahun.

Beberapa kali To-leng-cu pernah mendesaknya, tapi
selalu Po-kun memberi alasan belum sempurna
mempelajari kepandaian Jing-sia-pay, belum lengkap
apa yang dipahaminya, kalau buru-buru turun tangan,
mungkin akan gagal setengah jalan. Karena itu, dengan
sendirinya To-leng-cu tidak berani memaksa dan
terpaksa bersabar terus.

Sampai pertengahan tahun yang lalu, tiba-tiba
terjadilah sesuatu di luar dugaan. Suma Wi telah
dibinasakan orang di dekat Pek-te-sia dengan “Boh-goatcui”,
salah satu di antara ke-36 macam Kungfu Jing-siapay
sendiri. Telinganya pecah dan otaknya terluka
hingga tewas.

Apa yang disebut “Boh-goat-cui” itu tidak berwujud
gurdi sungguh-sungguh, tapi kelima jari tangan disatukan
hingga lancip tampaknya terus dijujukan untuk
menyerang telinga musuh dengan tenaga dalam yang
dahsyat.

Ketika Suma Lim dan Cu Po-kun mendapat kabar
kematian Suma Wi itu, siang malam mereka memburu ke
tempat kejadian, yaitu Pek-te-sia. Ketika memeriksa luka
sang guru, ternyata bekas ditewaskan dengan ilmu “Boh-

1019




goat-cui” atap Gurdi Perusak Bulan, padahal ilmu itu
adalah Kungfu andalan Jing-sia-pay sendiri.

Keruan kejut dan berduka kedua orang itu. Setelah
mereka berunding, mereka berpendapat kecuali Suma
Wi sendiri yang mahir menggunakan “Boh-goat-cui”
cuma Suma Lim dan Cu Po-kun sendiri, ditambah lagi
dua tokoh tua Jing-sia-pay yang lain. Tapi pada waktu
peristiwa terbunuhnya Sama Wi itu keempat orang yang
mahir “Boh-goat-cui” itu sedang berada di rumah dan
berkumpul menjadi satu hingga tiada seorang pun yang
mungkin dicurigai. Dan jika begitu pembunuh Suma Wi
itu selain Buyung-si dari Koh-soh yang terkenal “Ih-pi-cito,
hoan-si-pi-sin”, terang tiada orang lain lagi.

Sebab itulah segenap anggota Jing-sia-pay telah
dikerahkan serentak untuk mengaduk ke Koh-soh dan
hendak bikin perhitungan dengan Buyung-si.

Sebelum berangkat, diam-diam Cu Po-kun tanya
kepada To-leng-cu apakah matinya Suma Wi itu adalah
perbuatan orang Hong-lay-pay? Tapi To-leng-cu
memberi jawaban tertulis, “Ilmu silat Suma Wi setingkat
dengan aku. Kalau aku harus menyergap dia tentu
kugunakan Thian-ong-po-sim-ciam baru dapat
membinasakan dia. Kalau main keroyok, kita harus pakai
Tiat-koay-tin (barisan tongkat besi)”.

Po-kun pikir keterangan To-leng-cu itu memang
benar. Tatkala itu diketahuinya ilmu silat kedua guru itu
memang setingkat, siapa pun tak bisa mengalahkan
pihak yang lain. Kalau hendak membunuh Suma Wi
dengan “Boh-goat-cui”, jangankan To-leng-cu memang
tidak mahir ilmu itu, sekalipun mahir juga takkan mampu

1020




melawan kekuatan Suma Wi. Karena itu, tanpa sangsi
lagi Cu Po-kun lantas ikut ke Koh-soh untuk menuntut
balas.

Setiba di Koh-soh, setelah tanya ke sini-sana,
akhirnya dapatlah mereka sampai di Thing-hiang-cingsik.
Tak tersangka lebih dulu kawanan bandit dari Cinkeh-
ce itu sudah berada di situ. Orang-orang Jing-sia-pay
mempunyai disiplin yang sangat keras, kalau tidak
diperintah pemimpin tiada serang pun yang berani
sembarangan bicara atau bertindak. Maka demi melihat
kelakuan orang-orang Cin-keh-ce yang kasar itu, mereka
sangat memandang hina tingkah laku yang tidak patut
itu.

Tujuan kedatangan Jing-sia-pay adalah membalas
sakit hati, maka terhadap setiap benda di dalam Thinghiang-
cing-sik sama sekali tidak diusik sedikit pun,
santapan yang mereka makan juga ialah ransum yang
mereka bawa sendiri. Dengan demikian mereka menjadi
selamat malah, sebab mereka tidak ikut merasakan
kelezatan ingus dan ludah serta kotoran yang ditaburkan
oleh si koki gendut alias Lau Koh, yang kenyang makan
kotoran adalah orang-orang Cin-keh-ce.

Siapa duga kemudian datanglah Giok-yan berempat
hingga rahasia Cu Po-kun sekaligus terbongkar. Segera
timbul maksudnya membunuh si nona untuk menutup
mulutnya, tapi sedikit ayal lantas terlambat, kata-kata
“Thian-ong-po-sim-ciam” sudah keburu didengar oleh
Suma Lim, sekalipun umpamanya Giok-yan dapat
dibunuh olehnya juga tiada faedah baginya, paling-paling
malahan akan menandakan rasa takutnya karena
rahasianya terbongkar.

1021




Kemudian didengarnya pula Giok-yan mengatakan,
“Usahamu ini dahulu sudah pernah dilakukan oleh ketua
angkatan ketujuh kalian, Hay-hong-cu, kepintarannya
pasti tidak di bawahmu, tapi dia toh juga gagal.”

Pula gadis itu mengatakan, “Tidak cukup,
percumalah!”

Apakah maksudnya ilmu silat Jing-sia-pay yang
kupelajari dari Suma Wi ini masih kurang cukup dan
belum meliputi seluruh ilmu silat Jing-sia-pay? Atau
masuknya ke Jing-sia-pay sudah dicurigai, cuma Suhu
tidak mau membongkar rahasiaku ini? Dan sekarang
sesudah orang-orang Jing-sia-pay mengetahui aku
adalah mata-mata musuh, lalu apa yang mereka akan
perbuat atas diriku? Sejak kini pastilah namaku akan
runtuh di dunia persilatan dan sukar menancapkan kaki
lagi di kalangan Kangouw!

Begitulah makin dipikir makin risau hati Cu Po-kun.
Ketika berpaling, ia lihat Suma Lim dan lain-lain sedang
melotot padanya dengan tangan sedekap di dalam
lengan baju masing-masing.

“Hm, jadi Cu-ya sebenarnya adalah orang Hong-laypay!
Hm, bagus, bagus sekali!” demikian terdengar Suma
Lim bersuara mengejek dengan dingin.

Ia tidak menyebut Po-kun sebagai Cu-sute lagi, tapi
memanggilnya Cu-ya atau tuan Cu, ini berarti ia tidak
anggap Po-kun sebagai saudara seperguruan lagi.

1022




Tentu saja Cu Po-kun menjadi serbasusah, kalau
mengaku, terang, salah, bila tidak mengaku, lebih-lebih
salah, jadi serbasalah.

Maka Suma Lim berkata pula, “Jadi maksud tujuanmu
menyelundup ke Jing-sia-pay adalah ingin mempelajari
ilmu ‘Bok-goat-cui’, sesudah pintar akan dipakai untuk
membunuh ayahku. Hm, manusia berhati binatang
seperti dirimu ini sungguh teramat kejam!”

Habis berkata, ketika kedua tangannya terpentang,
masing-masing tangan tahu-tahu sudah bertambah
semacam senjata.

Menurut pikiran Suma Lim, jika ilmu silat perguruan
sendiri sudah berhasil dicolong oleh Po-kun, dengan
sendirinya pasti telah diajarkan pula kepada jago-jago
Hong-lay-pay. Walaupun waktu ayahnya terbunuh, Cu
Po-kun berada Sengtoh, yaitu di tempat tinggal Jing-siapay,
bukan mustahil semua itu adalah tipu muslihat Pokun
untuk mengelabui mata orang Jing-sia-pay.

Begitulah muka Cu Po-kun tampak merah padam.
Sebabnya dia menyelundup ke dalam Jing-sia-pay
sebenarnya memang bertujuan jahat, selama ini
sesungguhnya sedikit pun ia tidak pernah membocorkan
ilmu silat Jing-sia-pay. Namun urusan sudah telanjur
begini, cara bagaimana ia bisa membela diri?
Tampaknya segera bakal terjadi suatu pertarungan matimatian,
mungkin sukar menghindarkan malapetaka yang
akan menimpa dirinya. Ia pikir andaikan jiwanya mesti
melayang dibunuh Suma Lim dan kawan-kawannya,
dasar dirinya memang bermaksud jahat, rasanya juga
pantas mendapat ganjaran seperti itu.

1023




Karena itulah ia coba keraskan hati dan menjawab,
“Suma-suhu bukan aku yang mencelakainya ....”

“Sudah tentu bukan tanganmu berdiri yang
menewaskannya,” bentak Suma Lim. “Tapi secara tidak
langsung, apa bedanya dengan kau sendiri yang turun
tangan?”

Lalu ia berkata kepada kedua kakek tinggi kurus di
sampingnya, “Kiang-susiok dan Beng-susiok, terhadap
murid murtad seperti ini, tidak perlu kita bicara tentang
peraturan Bu-lim lagi, marilah kita maju bersama.”

Kedua kakek itu mengangguk, kedua tangan mereka
lantas dilolos keluar dari lengan baju, semuanya tangan
kiri memegang gurdi dan tangan kanan memegang palu,
dari kanan-kiri mereka terus mendesak maju.

Cepat Po-kun mundur beberapa langkah dan
mepetkan punggung di suatu pilar dalam ruangan itu
untuk menghindarkan serangan dari belakang.

Bab 21

“Bunuhlah murid durhaka ini untuk membalaskan sakit
hati ayah!” teriak Suma Lim mendadak sambil menerjang
ke depan, palunya lantas mengetuk kepala Cu Po-kun.

Tapi sekali mengegos dapatlah Po-kun menghindar,
menyusul ia pun balas menghantam dengan gurdinya.

“Murid murtad, kau masih punya muka untuk
menggunakan ilmu silat Jing-sia-pay?” bentak si kakek

1024




she Kiang. Berbareng gurdinya menikam leher Po-kun,
sedang palu yang kecil itu beruntun mengetuk tiga kali.

Karena dikeroyok tiga, Cu Po-kun menjadi kerepotan,
dalam sekejap saja ia sudah menghadapi ancamanancaman
maut. Suma Lim terlalu bernafsu hendak
membalas sakit hati ayahnya, maka tipu serangannya
agak kasar, untuk mana Cu Po-kun masih dapat
melawannya. Tapi kedua kakek she Kiang dan Beng itu
adalah tokoh tertua Jing-sia-pay, serangan mereka
penuh dengan tipu keji andalan Jing-sia-pay, setiap
serangan mereka selalu mengincar tempat berbahaya di
badan Cu Po-kun.

Untungnya setiap serangan ketiga orang itu sudah
hafal bagi Cu Po-kun, ia dapat menduga bagaimana
serangan-serangan berikutnya, dengan demikian barulah
ia sanggup satu lawan tiga untuk sementara.

Setelah belasan jurus pula, tiba-tiba hatinya merasa
pedih, pikirnya, “Sesungguhnya Suma-suhu sangat baik
padaku, buktinya tiada suatu pun jurus serangan Sumasuheng
dan kedua Susiok itu yang tak diketahui olehku,
jadi apa yang diajarkan padaku sudah meliputi semua
ilmu silat Jing-sia-pay yang ada, hal ini nyata tertampak
dari jurus serangan Suma-suheng bertiga sekarang,
dalam keadaan demikian pasti mereka mengerahkan
segenap kepandaian untuk menyerang aku, tapi setiap
tipu sekarang mereka jelas sudah kukenal. Hal ini pun
menandakan ilmu silat Jing-sia-pay juga memang cuma
sekian saja.”

1025




Dan oleh karena rasa terima kasihnya kepada budi
sang guru, segera ia berteriak-teriak lagi, “Suma-suhu
sama sekali bukan aku yang mencelakainya ....”

Sedikit lengah itulah telah memberi kesempatan
kepada Suma Lim untuk menubruk maju. Senjata
andalan Jing-sia-pay sangat kecil dan pendek, dan di
sinilah letak kelihaiannya dalam pertarungan jarak dekat.

Sekali Suma Lim telah mendesak maju, bila lawannya
adalah dari golongan lain, itu berarti ia sudah menang
angin lebih dulu. Tapi kini lawannya adalah Cu Po-kun
yang ilmu silatnya serupa dengan dirinya, maka
keuntungan bertarung dari jarak dekat ini berarti sama
diperoleh kedua pihak.

Di bawah cahaya lilin, sesaat itu pandangan semua
orang menjadi silau. Tertampak Suma Lim dan Cu Pokun
berdua sama cepatnya, tangan mereka sama
bergerak cepat, hanya dalam sekejap saja mereka sudah
saling gebrak 7-8 jurus. Tapi karena kedua orang sama
paham serangan masing-masing, maka setiap serangan
lawan selalu dapat ditangkis atau dihindar dengan tepat.

Dengan pertarungan Suma Lim dan Cu Po-kun dari
jarak dekat ini, seketika kelihatanlah di mana letak
kebagusan ilmu silat Jing-sia-pay. Keduanya didikan dari
satu guru yang sama, maka kepandaian masing-masing
adalah serupa. Suma Lim menang muda dan tenaga
kuat, sebaliknya Cu Po-kun lebih berpengalaman dan
lebih ulet. Maka dalam pertarungan sengit ini semua
orang cuma mendengar suara gemerantang dan
gemerencing yang ramai, tapi cara bagaimana mereka
saling serang tidak terlihat jelas lagi.

1026




Melihat Suma Lim belum dapat menundukkan
lawannya, kedua kakek she Kiang dan Beng itu
mendadak bersuit berbareng, keduanya terus jatuhkan
diri ke lantai dan mendadak menggelinding ke depan
untuk menyerang bagian bawah Cu Po-kun.

Pada umumnya orang yang biasa menggunakan
senjata pendek, kecuali kaum wanita, tentu mahir pula
kepandaian “Kun-te-tong” atau main bergelinding di
tanah, dengan cara demikian, terkadang musuh akan
menjadi kelabakan.

Sebenarnya Po-kun juga paham ilmu “Lui-kong-tio-kebong”
atau beledek menyambar dari bawah tanah itu.
Tapi celakanya kedua tangannya harus dipakai melayani
Suma Lim, dengan sendirinya ia tidak sanggup
menghadapi serangan kedua kakek, terpaksa ia hanya
bisa menghindar sambil berloncatan kian kemari.

Mendadak si kakek Kiang mengetuk dengan palunya
dari kiri ke kanan, sebaliknya gurdi si kakek Beng
menikam dari kiri. Terpaksa Po-kun hanya dapat
menyerang salah seorang, ia ayun sebelah kakinya untuk
menendang iga kakek Beng.

Kesempatan itu disia-siakan si kakek Kiang, ia
menubruk lebih dekat, palu terus mengetuk. Pada saat
yang sama itulah palu Suma Lim juga menghantam jidat
Cu Po-kun.

Dalam keadaan berbahaya itu, Po-kun terpaksa
menangkis serangan yang paling berbahaya, ia angkat
palu sendiri untuk menangkis serangan Suma Lim,

1027




“trang”, kedua palu saling bentur hingga lelatu api
meletik. Sebaliknya paha kiri Po-kun kena diketuk
mentah-mentah oleh si kakek Kiang.

Jangan kira palu sekecil itu tiada berarti, tenaga
hantamannya ternyata sangat lihai, saking sakitnya
sampai Cu Po-kun meringis, seketika ia tidak tahu
apakah tulang kaki patah atau tidak, tapi seluruh
tenaganya ia pusatkan pada kaki lain yang masih kuat.

Sekali berhasil serangannya, si kakek Kiang
mendapat hati, kembali palunya menghantam untuk
kedua kalinya. Terpaksa Po-kun menangkis dengan
palunya, “trang”, kedua palu saling beradu lagi.
Mendadak terdengar Po-kun menjerit kesakitan, kiranya
kaki kiri itu sekarang kena ditikam oleh gurdi si kakek
Beng.

Dalam keadaan repot itu sebenarnya Po-kun masih
dapat menghindarkan tikaman gurdi si kakek Beng, tapi
ia pikir kalau serangan itu dielakkan, tentu akan memberi
kesempatan kepada kedua kakek Beng dan Kiang untuk
membentuk jaring serangan Lui-kong-hong yang lebih
hebat dan tentu dirinya bisa celaka. Toh kaki kiri sudah
kena ketuk dan tidak diketahui patah atau tidak, maka
biarlah tertikam lagi juga tidak menjadi soal.

Dan karena tikaman yang cukup dalam itu, seketika
darah muncrat ketika ia loncat untuk menempur ketiga
lawannya itu, darah ikut berciprat ke mana-mana hingga
dinding di sekitarnya yang putih bersih itu penuh noda
darah.

1028




Melihat A Cu bersungut, Giok-yan tahu kawannya itu
kurang senang terhadap pertarungan orang-orang itu
hingga rumahnya yang indah bersih itu ikut menjadi
kotor. Maka berkatalah Giok-yan dengan tersenyum,
“Hai, jangan kalian berkelahi lagi, ada urusan apa boleh
bicara secara baik-baik, mengapa mesti main hantam
cara begini?”

Cu Po-kun ada maksud menuruti keinginan Giok-yan
itu, tapi di bawah keroyokan tiga orang, mana dia dapat
berhenti begitu saja?

Sebaliknya Suma Lim bertiga sudah bertekad akan
mematikan Cu Po-kun untuk membalas sakit hati
ayahnya, tentu saja mereka tidak mau gubris seruan si
nona.

Melihat anjurannya tidak dipedulikan orang, terutama
pihak Suma Lim bertiga, maka Giok-yan berkata pula,
“Semuanya gara-gara ucapanku tentang ‘Thian-ong-posim-
ciam’ hingga rahasia Cu-siangkong terbongkar. Tapi
itu adalah salahku, maka kalian, hai, Suma-siangkong,
lekas kalian berhenti!”

“Sakit hati ayah masa tidak boleh kubalas? Kenapa
engkau ikut cerewet!” bentak Suma Lim gusar.

“Kalian mau berhenti atau tidak? Jika tidak, awas,
akan kubantu dia, lho!” kata Giok-yan.

Terkesiap juga Suma Lim oleh ancaman gadis itu.
Pikirnya, “Pandangan nona cantik sangat tajam dan jitu,
bila ilmu silatnya juga sama lihainya, sekali dia
membantu lawan, tentu susah untuk menuntut balas.”

1029




Tapi segera terpikir pula olehnya, “Jago-jago pilihan
Jing-sia-pay kami sudah dikerahkan ke sini, paling-paling
kami mengerubut maju sekaligus, masakah terhadap
seorang nona lemah-lembut seperti ini juga mesti takut?”

Karena itu, ia tidak gubris lagi kepada Giok-yan,
sebaliknya serangannya semakin gencar.

“Cu-siangkong,” kata Giok-yan tiba-tiba kepada Pokun,
“gunakan jurus ‘Li Cun-hau-pak-hou-se’ (gaya Li
Cun-hau menghajar harimau), kemudian pakai jurus ‘Thio
Ko-lau-to-ki-lo’ (Thio Ko-lau menunggang keledai dengan
mungkur)!”

Cu Po-kun tercengang oleh petunjuk si gadis. Ia tahu
jurus pertama yang dikatakan itu adalah ilmu silat Jingsia-
pay, sebaliknya jurus kedua adalah Kungfu golongan
Hong-lay-pay, kedua jurus dari aliran yang tidak sama itu
mana dapat dicampurbaurkan?

Namun demikian, dalam keadaan kepepet, tiada
waktu baginya untuk berpikir lebih jauh, segera ia
mainkan jurus ‘Li Cun-hau-pak-hou-se’. Maka
terdengarlah suara gemerantang dua kali, tepat sekali
berturut palunya dapat membentur palu Suma Lim dan si
kakek Kiang yang lagi dihantamkan ke arahnya.
Menyusul tubuhnya berputar dan menyurut mundur tiga
tindak dengan terincang-incut dan tepat dapat
menghindarkan serangan si kakek Beng.

Padahal serangan berantai si kakek Beng memakai
palu dan gurdi sekaligus, sebenarnya sangat ganas dan
sukar dihindarkan lawan. Bahkan Yau Pek-tong dan jago-

1030




jago Cin-keh-ce yang menonton di samping pun kebatkebit
berkhawatir bagi Cu Po-kun.

Siapa duga setelah Po-kun membentur pergi palupalunya
Suma Lim dan si kakek Kiang, lalu sekali
berputar dengan gaya “Thio Ko-lau menunggang keledai
terbalik”, beruntun-runtun ia sudah lolos dari ancaman si
kakek Beng yang lihai itu. Saking terpesona dan
kagumnya sampai jago-jago Cin-keh-ce ikut bersoraksorai
oleh ketangkasan Cu Po-kun itu.

Memangnya wajah orang-orang Jing-sia-pay selalu
kaku membesi, kini mereka tambah merengut lagi.

Sebaliknya Toan Ki lantas ikut bersorak-sorak juga,
“Bagus, bagus! Apa yang dikatakan Ong-siocia
lakukanlah menurut perintahnya, tanggung takkan
merugikan engkau.”

Waktu Cu Po-kun menghindari serangan berantai
lawan dengan gaya “Thio Ko-lau menunggang keledai
terbalik” tadi, sebenarnya saat itu ia sendiri merasa
bingung, yang terpikir olehnya cuma pasrah nasib
belaka, baik mati maupun hidup masa bodoh.

Sungguh tak tersangka olehnya bahwa ilmu silat dari
Jing-sia-pay dan Hong-lay-pay yang berlawanan itu satusama
lain dapat digunakan bersama. Keruan yang paling
terperanjat adalah dia sendiri daripada orang-orang Cinkeh-
ce dan Jing-sia-pay.

Dalam pada itu terdengar Giok-yan telah berkata pula,
“Sekarang gunakanlah jurus ‘Han Siang-cu-swat-yonglam-
koan’ (Han Siang-cu memeluk Lam Koan di bawah

1031




salju), lalu mainkan jurus ‘Kok-keng-thong-yu-se’ (sikut
ditekuk menjulur perlahan).”

Cu Po-kun tahu jurus-jurus itu kebalikan daripada
jurus duluan tadi, sekarang jurus ilmu silat Hong-lay-pay
dimainkan lebih dulu, menyusul barulah Kungfu Jing-siapay.
Tanpa pikir segera ia menurut, ia siapkan palu dan
gurdinya di depan dada. Dan pada saat itulah gurdi si
kakek Beng dan Suma Lim telah menikam berbareng ke
arahnya.

Gerakan ketiga orang sebenarnya dilakukan pada
saat yang sama, tapi bagi penonton menjadi seperti Cu
Po-kun berjaga rapat pada saat sebelumnya, sebaliknya
Suma Lim dan si kakek Beng kelihatan menjadi bodoh
benar, sudah tahu lawan telah menjaga diri dengan rapat
toh mereka masih tetap menyerang. Maka terdengarlah
suara gemerencing yang nyaring, kedua gurdi mereka
membentur palu Cu Po-kun hingga terpental ke samping.

Tanpa pikir Po-kun terus mendak tubuh, gurdinya ikut
menikam miring dari samping. Saat itu si kakek Kiang
kebetulan sedang hendak menyerang bagian belakang
Cu Po-kun, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa gurdi
lawan bisa muncul dari arah yang tak terduga itu.

Karena itulah si kakek Kiang menjadi seperti orang
hendak membunuh diri saja, dengan cepat tubuhnya
disodorkan ke ujung gurdi lawan, tahu juga dia keadaan
yang runyam tapi untuk menghindar sudah telat.

“Cret”, tanpa ampun lagi pinggangnya tertusuk gurdi
hingga darah bercucuran bagai mata air.

1032




Kakek Kiang terhuyung hingga akhirnya roboh
terkulai. Cepat dua orang Jing-sia-pay memburu maju
untuk memayangnya ke pinggir.

“Keparat Cu Po-kun, dengan tanganmu sendiri kau
lukai Kiang-susiok, apa sekarang kau masih berani
menyangkal?” bentak Suma Lim dengan gusar.

“Bukan salahnya, akulah yang suruh dia melukai
Kiang-siansing itu,” sela Giok-yan tiba-tiba. “Sudahlah,
lekas kalian berhenti saja!

“Jika kau mampu, suruhlah dia membunuh diriku!”
teriak Suma Lim murka.

“Apa susahnya untuk itu?” ujar Giok-yan dengan
tersenyum. “Cu-siangkong, boleh gunakan jurus ‘Tiatkoay-
li-gwat-he-ke-tong-ting’ (Tiat-koay-li menyeberang
danau Tong-ting di bawah sinar bulan purnama),
kemudian gunakan jurus ‘Tiat-koay-li-giok-tong-lun-to’
(Tiat-koay-li berkhotbah di gua Giok)!”

Cu Po-kun mengiakan saja petunjuk Giok-yan itu, tapi
diam-diam ia berpikir, “Di dalam ilmu silat Hong-lay-pay
kami yang ada cuma ‘Lu Sun-yang-gwat-he-ko-tong-ting’
dan ‘Han-ciong-li-giok-tong-lun-to’, mengapa Lu Sunyang
dan Han-ciong-li disebut sebagai Tiat-koay-li oleh si
nona ini? Ah, tentu karena pengetahuannya akan ilmu
silat Hong-lay-pay kami terbatas, maka salah ucap!”

Akan tetapi Suma Lim dan si kakek Beng tidak
memberi kesempatan padanya bertanya atau minta
penjelasan pada si gadis, terpaksa Po-kun mainkan
menurut gaya yang dipahaminya, segera ia mainkan

1033




jurus “Lu Sun-yang menyeberang danau Tong-ting di
bawah sinar bulan purnama”, jadi bukan lagi Tiat-koay-li
seperti yang dikatakan Giok-yan itu.

Lu Sun-yang atau Lu Tong-ping, Han Ciong-li dan
serta Han Siang-cu seperti apa yang disebut Giok-yan itu
adalah nama dewa di antara Pat-sian atau Delapan
Dewa.

Tiat-koay-li adalah dewa pincang yang bertongkat,
sebaliknya Lu Sun-yang itu gagah bergas. Maka jurus
menyeberang danau itu seharusnya dilakukan Lu Sunyang
dengan langkah lebar, gayanya indah dan cepat
bagai terbang.

Tapi karena kaki kiri Cu Po-kun terluka dua kali, ketika
hendak melangkah lebar, tanpa terasa menjadi
berincang-incut, dengan sendirinya bukan lagi gaya Lu
Sun-yang yang gagah, tapi mirip benar dengan gaya
jalan Tiat-koay-li yang pincang itu.

Dan dengan berjalan pincang itu ada manfaatnya juga
bagi si pincang, sebab serangan Suma Lim dan si kakek
Beng buktinya meleset semua.

Menyusul Po-kun mainkan jurus “Han Ciong-li-gioktong-
lun-to”. Han Ciong-li adalah dewa yang selalu
membawa kipas dan berbadan kekar kuat. Tapi karena
kakinya pincang kembali Po-kun berincang-incut miring
ke kiri, sedangkan palu di tangan kanan mengebas
dengan gaya seperti sedang mengipas.

Kebetulan sekali saat itu kepala si kakek Beng
sedang menyelonong ke arahnya, keruan kepala kakak

1034




itu menjadi seperti sengaja disodorkan. Tanpa ampun
lagi “prak”, mulutnya tepat kena terketok oleh palu,
kontan saja belasan giginya rontok, saking kesakitan
sampai si kakek Beng berteriak-teriak dan melonjaklonjak,
ia buang senjatanya dan duduk di lantai sambil
memegangi mulutnya yang kini menjadi ompong itu.

Keruan Suma Lim ketakutan, seketika ia menjadi
bingung apa mesti bertempur terus atau berhenti saja
untuk mencari jalan lain menuntut balas di kemudian hari.

Hendaklah diketahui bahwa kedua jurus yang
diajarkan Giok-yan kepada Cu Po-kun tadi sungguh
teramat bagus dan tepat. Sebelumnya si gadis sudah
menaksir, setelah si kakek Beng menyerang tiga kali
tidak kena tentu akan menubruk ke samping Cu Po-kun,
sebaliknya pada saat itu palu Po-kun harus mengebas
keluar hingga tepat akan mengetuk mulut kakek itu.
Sungguh cara menaksir Giok-yan itu boleh dikatakan
dapat mengetahui apa yang bakal terjadi, seakan-akan
cara bagaimana ketiga orang itu akan saling serang
sudah dapat diketahui olehnya, betapa tepat dan jitu cara
menaksirnya itu sungguh sukar dibayangkan orang lain.

Biarpun Suma Lim sangat bernafsu ingin menuntut
balas sakit hati sang ayah, tapi ia bukan orang bodoh,
pikirnya, “Untuk bisa membunuh jahanam Cu Po-kun ini,
si nona harus dicegah agar jangan memberi petunjuk
padanya.”

Dan sedang Suma Lim hendak mencari akal untuk
menghadapi Giok-yan, tiba-tiba terdengar si gadis
berkata pula, “Cu-siangkong, engkau adalah orang
Hong-lay-pay yang menyelundup ke dalam Jing-sia-pay

1035




dengan maksud tujuan jahat, inilah kesalahanmu yang
tidak pantas. Tapi gurumu Suma Wi besar kemungkinan
bukan dibunuh olehnya, namun engkau telah mencolong
ilmu lain, betapa pun kau tetap berdosa, maka lekas kau
minta ampun kepada Ciangbun-suhengmu!”

Po-kun pikir apa yang dikatakan si nona memang
benar juga, apalagi dirinya telah menerima budi
pertolongannya jiwa diselamatkan dari beberapa jurus
serangan yang mematikan tadi, apa yang dianjurkan
gadis itu tidaklah enak untuk dibantah. Maka dengus
sungguh-sungguh ia pun memberi hormat kepada Suma
Lim sambil berkata, “Ciangbun-suheng, harap maafkan
....”

“Kau masih ada muka untuk memanggil Ciangbunsuheng
padaku?” bentak Suma Lim gusar sambil
mengelak ke samping.

Sekonyong-konyong Giok-yan berseru kepada Pokun,
“Lekas! ‘Go-yu-tang-hay’!”

Cu Po-kun terkesiap, tapi seketika ia pun menurut,
cepat ia mengapungkan diri ke atas setinggi dua meter
lebih, maka terdengarlah suara mendesis riuh, belasan
batang jarum Jing-hong-ciam menyambar lewat di bawah
tapak kakinya. Selisih waktunya cuma sekejap saja,
sedetik Po-kun terlambat, pasti badannya sudah menjadi
sarang jarum musuh.

Untung pada saat yang tepat Giok-yan berseru
padanya agar menggunakan gerakan “Go-yu-tang-hay”
atau Berpiknik ke Lautan Timur. Coba bila gadis itu cuma
memperingatkan, awas Am-gi, mungkin Po-kun akan

1036




celingukan mengawasi gerak-gerik musuh, tak tersangka
kalau Jing-hong-ciam itu justru dihamburkan oleh Suma
Lim dari dalam lengan baju yang tidak tertampak dari
luar, maka pasti akan celakalah Cu Po-kun.

Kiranya ilmu Am-gi atau senjata gelap Suma Lim yang
disebut “Siau-lay-kian-gun” atau Dunia Tergenggam di
Dalam Lengan Baju, kepandaian ini benar-benar
semacam Kungfu khas Jing-sia-pay yang cuma
diturunkan kepada putra sendiri dan tidak kepada murid.
Hal ini memang sudah menjadi peraturan turun-temurun
keluarga Suma, jangankan Cu Po-kun tidak memperoleh
pelajaran ilmu Am-gi itu, sekalipun si kakek Kiang dan
Beng pun tidak.

Cara menghamburkan Jing-hong-ciam itu juga sangat
luar biasa, yaitu dengan diam-diam menarik jepretan
dalam lengan baju. Sungguh di luar dugaan Suma Lim
bahwa pada saat terakhir itu Giok-yan sempat berseru
kepada Cu Po-kun untuk menghindarkan pembokongan
itu dengan gerakan yang dapat menyelamatkan diri, yaitu
dengan gerakan tipu “Go-yu-tang-hay” dari Hong-lay-pay.

Serangan yang sudah dipastikan akan mengenai
sasarannya ternyata gagal pula, keruan Suma Lim
semakin ketakutan dan seperti ketemu hantu, ia
berteriak-teriak, “Kau ... kau bukan manusia, tapi ...
setan, hantu!”

Dalam pada itu karena belasan giginya rontok kena
digampar oleh palu Cu Po-kun tadi, si kakek Beng
sedang terbatuk-batuk, sebab ada dua-tiga biji gigi rontok
itu tertelan ke dalam perut, dan karena keselak, hampir
saja ia mati sesak napas.

1037




Usia si kakek Beng sudah lanjut, tapi matanya masih
tajam, rambutnya hitam gilap, giginya juga masih rajin,
semua ini biasanya merupakan kebanggaannya di antara
kaum sebaya. Siapa duga giginya sekarang rontok
sedemikian rupa.

Di zaman dahulu dengan sendirinya tiada tukang gigi
segala, apalagi dokter gigi. Maka bila kehilangan sebuah
gigi, itu berarti berkuranglah satu giginya yang tak dapat
ditambal lagi. Apalagi sekarang si kakek Beng benarbenar
telah ompong seluruhnya, keruan ia sangat
menyesal dan murka pula, terus saja ia berteriak-teriak,
“Kita pegang dulu anak dara ini, pegang dulu anak dara
ini!”

Tapi disiplin Jing-sia-pay sangat keras, biarpun si
kakek Beng sangat tinggi kedudukannya, tanpa perintah
Ciangbunjin sendiri, tiada seorang pun jago Jing-sia-pay
berani sembarangan bergerak. Maka sinar mata semua
anak murid Jing-sia-pay lantas terarah pada Suma Lim,
asal sang ketua memberi perintah, serentak mereka akan
mengerubuti si nona.

Maka berkatalah Suma Lim dengan dingin, “Nona
Ong, ilmu silat golongan kami mengapa engkau
sedemikian hafal?”

“Aku dapat membacanya dari buku,” sahut Giok-yan.
“Ilmu silat Jing-sia-pay mengutamakan serangan secara
mendadak dan memakai tipu muslihat, tapi
perubahannya tidak terlalu ruwet, dengan sendirinya
mudah diingat.”

1038




“Buku apa yang telah nona baca?” tanya Suma Lim.

“Ah, juga bukan buku yang luar biasa,” sahut Giokyan.
“Buku yang mencatat ilmu silat Jing-sia-pay itu ada
dua jilid, yang satu adalah ‘Jing-ji-cap-pek-tah’ (18
serangan dari huruf Jing), dan jilid yang lain adalah ‘Siasi-
san-cap-lak-boh’ (36 jenis gempuran dari huruf Sia).
Engkau adalah ketua Jing-sia-pay, dengan sendirinya
pernah membacanya juga.”

Diam-diam Suma Lim jengah sendiri. Ia menjadi
teringat kepada cerita mendiang ayahnya dahulu bahwa
di antara ilmu silat Jing-sia-pay itu memang ada yang
disebut 18 serangan dan 36 gempuran. Cuma sayang
lama-kelamaan ilmu-ilmu itu sebagian tak diwariskan
hingga tidak lengkap jadinya, maka untuk mengalahkan
Hong-lay-pay menjadi agak sulit. Tapi kalau dapat
menemukan kembali ilmu silat leluhur itu dalam keadaan
lengkap, jangankan cuma Hong-lay-pay saja, sekalian
untuk merajai dunia persilatan rasanya juga tidak sulit.

Teringat cerita itu, kini mendengar pula Giok-yan
pernah membaca kitab pusaka mereka itu, tentu saja
Suma Lim sangat tertarik, segera ia tanya lebih jauh,
“Apakah nona dapat meminjamkan buku itu kepadaku
untuk membandingkannya dengan ilmu silat yang kami
pelajari sekarang, agar kutahu di mana letak
perbedaannya?”

Belum lagi Giok-yan menjawab, tiba-tiba Yau Pektong
terbahak-bahak dan menyela, “Awas, nona, jangan
engkau tertipu oleh Jing-sia-pay ini. Ilmu silat mereka
sangat rendah dan jelek, paling-paling cuma beberapa
jurus permainan cakar ayam, tapi dia bermaksud

1039




memancing kitab pusakamu, maka jangan sekali-kali kau
pinjamkan padanya.”

Karena isi hatinya tepat kena dikorek, Suma Lim
menjadi marah hingga mukanya merah padam,
bentaknya gusar, “Aku lagi bicara sendiri dengan nona
ini, apa sangkut pautnya dengan Cin-keh-ce kalian?”

“Tidak ada sangkut pautnya? Haha, justru sangat
besar sangkut pautnya!” sahut Yau Pek-tong dengan
terbahak-bahak. “Nona Ong ini dapat mengingat sekian
banyak Kungfu yang hebat dan aneh-aneh, dengan
sendirinya siapa mendapatkan dia, siapa pula akan
merajai dunia persilatan ini. Aku orang she Yau
selamanya kalau menemukan harta benda atau gadis
jelita tentu akan menaruh perhatian sepenuhnya, apalagi
terhadap nona Ong yang merupakan bawang mestika
yang sukar dicari ini, mana dapat kutinggal diam tanpa
turun tangan? Makanya, haha, jika saudara Suma ingin
pinjam buku, silakan minta izin dulu padaku. Dan,
hahahaha, cobalah terka, apakah aku mengizinkan atau
tidak?”

Perkataan Yau Pek-tong itu sangat kasar dan
sombong, tapi mendadak hati Suma Lim dan kedua
Susioknya tergetar juga, pikir mereka, “Gadis ini meski
masih muda belia, tapi dalam hal ilmu silat ternyata
mempunyai pengetahuan sedalam ini. Tampaknya dia
lemah gemulai, siapa pun takkan percaya dia dapat
menangkan kami. Tapi sudah jelas terbukti dia sangat
luas pengetahuannya dalam berbagai aliran ilmu silat,
bila kami dapat mengundangnya ke tempat Jing-sia-pay
kami, bukan mustahil akan memperoleh ajaran lengkap
18 serangan dan 36 gempuran Jing-sia-pay asli, bahkan

1040




mungkin akan bertambah lagi ilmu silat dari aliran lain.
Namun Cin-keh-ce juga sudah timbul niat jahatnya,
tampaknya hari ini pasti akan terjadi pertarungan besarbesaran.”


Dalam pada itu terdengar Yau Pek-tong berkata pula,
“Nona, kedatangan kami sebenarnya ingin mencari setori
kepada keluarga Buyung, melihat gelagatnya, agaknya
nona adalah anggota keluarga Buyung, bukan?”

Mendengar dirinya disangka anggota keluarga
Buyung, Giok-yan merasa senang dan malu-malu juga,
dengan muka bersemu merah ia mengomel perlahan,
“Aku bukan orang she Buyung, tapi Buyung-kongcu
adalah aku punya Piauko. Ada keperluan apakah engkau
mencari dia? Apakah dia berbuat kesalahan apa-apa
padamu?”

“Haha, kiranya nona ini Piaumoay Buyung-kongcu,
itulah lebih bagus lagi,” seru Yau Pek-tong dengan
terbahak-bahak. “Leluhur Koh-soh Buyung telah utang
satu juta tahil emas dan sepuluh juta tahil perak kepada
keluarga Yau kami, sampai sekarang sudah ratusan
tahun lamanya, tapi utang itu belum pernah dibayar atau
dicicil, belum lagi ditambah dengan rentenya.”

“Mana bisa jadi begitu?” ujar Giok-yan dengan
tercengang. “Keluarga Kuku terkenal kaya raya, mana
mungkin utang kepada keluargamu?”

“Utang atau tidak masakah orang semuda nona bisa
tahu?” sahut Pek-tong. “Yang pasti kedatanganku ini
ingin menagih utang kepada Buyung Bok, tapi utang itu
belum lagi dibayar dan Buyung Bok ternyata sudah mati.

1041




Bapaknya mati, terpaksa menagih kepada anaknya.
Siapa tahu si bocah Buyung Hok itu selalu menghindari
setiap penagih utang dan selalu mengumpat. Dengan
sendirinya aku tidak berdaya, ya, terpaksa aku mesti
mencari sandera yang berharga sebagai jaminan utang
itu.”

“Piaukoku orangnya sangat baik, tangannya selalu
terbuka, kalau benar-benar keluarganya ada utang
padamu, tentu sudah lama dibayarnya. Seumpama dia
tidak utang, tapi engkau kekurangan uang dan ingin
minta bantuan padanya, tentu ia pun takkan
mengecewakan harapanmu. Mana mungkin dia takut
menemuimu dan main sembunyi?” demikian kata Giokyan.


Pek-tong pura-pura berkerut kening, katanya pula,
“Baiknya begini saja. Urusan ini sukar juga dijelaskan
padamu. Marilah sekarang juga silakan nona ikut kami ke
utara untuk tinggal barang setahun-dua tahun di Cin-kehce
kami. Di sana kami jamin takkan mengganggu
seujung rambut nona. Apalagi biniku terkenal sebagai
macan betina, dalam hal perempuan, aku orang she Yau
sangat prihatin, tidak berani main gila, maka nona tak
perlu khawatir. Dan engkau juga tidak perlu berkemaskemas,
sekarang juga kita lantas berangkat. Nanti bila
Piaukomu sudah cukup menyediakan uang dan
membereskan utang lama itu, dengan sendirinya aku
akan mengantar nona pulang ke Koh-soh sini untuk
menikah dengan Piaukomu. Bahkan Cin-keh-ce pasti
akan menyumbang sebagaimana mestinya, dan aku si
orang she Yau akan ikut datang ke sini untuk minum arak
nikahmu!”

1042




Habis berkata, kembali Yau Pek-tong terbahak-bahak.

Sebenarnya ucapan Pek-tong itu sangat kasar, tapi
bagi pendengaran Giok-yan, terutama bagian terakhir itu,
ternyata dirasakan sangat senang dan kena di hatinya.

Maklum, sejak kecil Giok-yan sudah kesengsem pada
sang Piauko, beberapa tahun paling akhir ini, setelah
menginjak remaja dewasa, ia menjadi lebih rindu dan
jatuh cinta kepada kakak misan itu. Namun entah Buyung
Hok, memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, ia
tetap sibuk pada urusannya sendiri dan tiada waktu
memikirkan soal cinta, terhadap sang Piaumoay tetap
dianggapnya sebagai adik cilik saja, kecuali bicara
tentang ilmu silat dan ilmu sastra, selamanya tidak
pernah menyinggung sesuatu tentang hubungan antara
muda dan mudi.

Akhir-akhir ini karena terjadi ketegangan di antara
hubungan keluarga, Ong-hujin, yaitu ibu Giok-yan,
melarang Buyung Hok datang ke Man-to-san-ceng.
Sebab itulah Giok-yan menjadi sedih, apalagi ia adalah
gadis pingitan yang selamanya tidak pernah keluar
rumah, belum pernah dengar orang bicara secara
blakblakan padanya tentang urusan perjodohannya
dengan sang Piauko.

Kini apa yang dikatakan Yau Pek-tong itu meski
maksudnya cuma untuk berolok-olok saja, siapa tahu
justru kena di lubuk hati si gadis dan menimbulkan rasa
senangnya sebagai seorang yang tahu perasaannya,
sebab itulah di kemudian hari beberapa kali mestinya
jiwa Yau Pek-tong akan melayang, tapi akhirnya menjadi

1043




selamat, yaitu berkat kata-katanya sekarang yang
menimbulkan rasa senang Giok-yan itu.

Begitulah karena senang, maka Giok-yan berkata
pula, “Ai, engkau ini suka omong yang tidak-tidak. Guna
apa kuikut ke Cin-keh-ce? Bila betul Kuku utang padamu,
hal ini mungkin sudah terlalu lama dan dia tidak tahu,
maka melalaikan kewajibannya. Namun sesudah kedua
pihak mengajukan bukti-bukti yang sah, Piauko pasti
sanggup membayar padamu.”

Sebenarnya maksud Yau Pek-tong cuma untuk
membohongi si gadis saja, yaitu hendak menculiknya ke
Cin-keh-ce untuk dipancing ilmu silat yang diketahui
Giok-yan, tentang utang satu juta tahil emas dan
sebagainya dengan sendirinya cuma bualan belaka.

Tapi Giok-yan masih hijau, terlalu kekanak-kanakan
dan percaya penuh kepada bualannya. Maka cepat Yau
Pek-tong menambahi lagi, “Namun akan lebih baik
engkau ikut kami ke Cin-keh-ce saja. Di sana tempatnya
sangat enak, pemandangan indah permai, pada waktu
senggang kami sering berburu, kami ada piara elang dan
macan tutul, tanggung takkan bosan biarpun bermain
setahun dua tahun di sana. Dan bila Piaukomu mendapat
kabar, tentu dia akan menyusul ke sana, seandainya dia
tidak lantas membayar utangnya juga kami akan
menyerahkan dirimu padanya untuk dibawa pulang ke
Koh-soh sini. Nah, kau mau tidak?”

Propaganda ini benar-benar sangat menarik hati
Giok-yan hingga air mukanya tampak berseri-seri. Cuma
ia tidak lantas menjawab.

1044




Sebagai orang berpengalaman, segera Suma Lim
dapat melihat sikap Giok-yan yang cenderung percaya
pada obrolan Yau Pek-tong itu. Ia pikir kalau si gadis
sampai terima baik ajakan orang dan baru dirintangi, hal
itu berarti sudah ketinggalan satu tindak. Maka belum
Giok-yan membuka suara, segera ia menyela, “Cin-kehce
yang terletak di Huiciu itu adalah suatu tempat yang
tandus dan dingin, sebaliknya Ong-kohnio adalah
seorang nona jelita selemah ini, mana tahan derita
kedinginan di sana? Berbeda dengan Sengtoh kami yang
terkenal sebagai kota yang ramai dan megah, bukan saja
hasil satin dan sutranya merajai sutra keluaran tempat
lain, bahkan pemandangan di sana juga tidak kalah
daripada daerah Kanglam sini. Seorang nona cantik
sebagai Ong-kohnio kalau dapat pesiar ke Sengtoh serta
membeli sedikit kain sutra yang tersohor itu untuk baju,
pasti kecantikan nona akan bertambah dan tak ada
bandingannya. Buyung-kongcu adalah pemuda yang
serbapandai, tentu ia pun akan senang kepada gadis
yang cantik ayu.”

“Kentut! Kentut busuk! Masakah di daerah Sohciu sini
kekurangan satin dan sutra, kenapa mata anjingmu tidak
dipentang lebar, lihatlah apakah ketiga gadis di depan
matamu ini memakai kain sutra atau tidak?” demikian
maki Yau Pek-tong karena merasa usahanya disabot.

Namun kontan juga Suma Lim menjengek, “Ya,
memang sangat busuk, teramat busuk!”

“Apa yang busuk? Kau maksudkan aku?” teriak Yau
Pek-tong dengan gusar.

1045




“Mana aku berani mengatakan dirimu!” sahut Suma
Lim. “Tapi kubilang kentut anjing barusan memang
sangat busuk!”

“Sret”, terus saja Pek-tong lolos goloknya sambil
membentak, “Suma Lim, kalau Cin-keh-ce melawan Jingsia-
pay kalian bobotnya mungkin satu kati 16 tahil alias
sama kuat. Tapi kalau Cin-keh-ce bergabung dengan
Hong-lay-pay, kau bilang Jing-sia-pay kalian bakal
dihancurkan atau tidak?”

Air muka Suma Lim berubah seketika, pikirnya,
“Benar juga ancamannya. Sejak ayahku wafat kekuatan
Jing-sia-pay sudah jauh berkurang. Ditambah lagi
jahanam Cu Po-kun telah mencolong ilmu silat golongan
sendiri, kalau dia bergabung dengan Cin-keh-ce untuk
mengeroyok kami, hal ini memang perlu dipikirkan. Kata
peribahasa, ‘Turun tangan lebih dulu akan menang, turun
tangan kemudian akan celaka’. Urusan hari ini rasanya
harus kudahului menyerang mereka sebelum mereka
siap.”

Berpikir demikian, segera katanya dengan tawar,
“Habis apa abamu sekarang?”

Melihat kedua tangannya dimasukkan ke dalam
lengan baju, Pek-tong tahu setiap saat Suma Lim bisa
menyerang dengan senjata gelapnya yang berbisa keji.

Tindak tanduk Yau Pek-tong itu ternyata berbeda
daripada jago silat umumnya. Orangnya kasar, tapi waktu
menghadapi musuh ia justru bisa berlaku cermat.

1046




Maka ia lantas pusatkan perhatian dengan penuh
waspada, jawabnya kemudian, “Aku hendak
mengundang nona Ong pesiar beberapa lama ke Cinkeh-
ce dan kelak biar dipapak oleh Buyung-kongcu, tapi
sengaja kau rintangi maksud baikku bukan?”

“Kubilang tempat kalian itu banyak kekurangannya
dan tentu akan bikin susah nona Ong, maka lebih baik
kuundang nona Ong pesiar ke Sengtoh,” sahut Suma Lim
ngotot.

“Baik, jika begitu, marilah kita tentukan menang atau
kalah di atas senjata,” tantang Yau Pek-tong. “Siapa
yang menang, dia yang akan menjadi tuan rumah bagi
nona Ong.”

“Akur,” seru Suma Lim. “Memangnya bagi yang kalah
juga tidak mungkin mengundang nona Ong ke akhirat.”

Dengan ucapan itu tegas Suma Lim menyatakan
pertarungan ini bakal dilakukan dengan mati-matian
bukan lagi pertandingan biasa.

Pek-tong terbahak-bahak, sahutnya, “Hidup orang she
Yau selalu berdiri di ujung senjata. Suma-ciangbun
hendak menggertak aku dengan kematian, ha, tidak nanti
orang she Yau jeri!”

“Dan cara bagaimana kita akan bertanding? Siapa
yang menjadi wasit? Memakai senjata atau bertangan
kosong?” tanya Suma Lim.

“Sudah tentu pakai senjata, siapa sabar bertanding
dengan tangan kosong ....” belum habis ucapannya,

1047




sekonyong-konyong terdengar suara mendesis-desis tiga
kali.

Padahal pada waktu bicara pandangan Yau Pek-tong
tidak pernah meninggalkan gerak-gerik Suma Lim yang
sangat lihai, terkadang orang yang diserangnya belum
lagi merasakan dan tahu-tahu sudah binasa. Tapi sama
sekali tak terpikir olehnya bahwa ketika kedua pihak
sedang bicara, mendadak lawan terus melakukan
pembokongan.

Waktu itu tampaknya pandangan Suma Lim sedang
diarahkan ke samping seakan-akan di sana sidang terjadi
sesuatu, padahal maksudnya cuma untuk memancing
perhatian Yau Pek-tong. Dan ketika Pek-tong sadar telah
diserang musuh, namun jarak Am-gi dengan dadanya
sudah tinggal setengah meter jauhnya. Seketika ia
cemas dan yakin sekali ini jiwanya pasti melayang.

Tapi pada detik yang berbahaya itulah, sekonyongkonyong
ada sepotong benda aneh warna hitam-putih
menyelip di depan dadanya hingga beberapa batang
jarum berbisa musuh itu terbentur jatuh ke lantai.

Jarum-jarum itu sebenarnya sangat cepat
menyambarnya, sebagai seorang jagoan Yau Pek-tong
sendiri juga merasa tidak mungkin berkelit lagi. Tapi
datangnya benda penangkis itu beberapa kali lebih cepat
daripada sambaran jarum hingga tepat sekali jarum itu
terbentur jatuh, sedangkan macam apa benda aneh itu,
putih atau hitam, baik Yau Pek-tong maupun Suma Lim
sama-sama tidak lihat jelas.

1048




Sebaliknya Giok-yan menjadi girang, terus saja ia
bersorak, “Hai, apakah Pau-sioksiok yang datang itu?”

Maka terdengarlah suara seorang yang sangat aneh
menjawab, “Bukan, bukan! Bukan Pau-sioksiok yang
datang!”

“Masakah engkau bukan Pau-sioksiok?” kata Giokyan
dengan tertawa. “Engkau belum muncul, tapi
istilahmu ‘bukan, bukan’ sudah terdengar lebih dulu.”

“Bukan, bukan! Aku bukan Pau-sioksiokmu!” seru
suara itu pula.

“Bukan, bukan! Habis engkau siapa?” tukas Giok-yan
dengan menirukan lagu orang.

“Buyung-hiante panggil aku sebagai Samko, tapi kau
panggil aku Sioksiok. Bukan, bukan! Engkau salah
panggil,” demikian suara aneh itu.

Paham akan maksud ucapan orang, Giok-yan
menjadi girang hingga muka pun merah, segera katanya
pula, “Habis aku harus panggil ... panggil apa padamu?”

“Haha, soal itu boleh kau pikir sendiri!” kata suara itu.
“Engkau boleh panggil apa saja, kalau tepat, aku akan
menjadi kawanmu, kalau salah panggil, selamanya aku
akan mengacau padamu, supaya kau tidak jadi istri
Buyung-hiante!”

“Cis, ayolah lekas keluar!” semprot Giok-yan.

1049




Suara itu tidak menjawab lagi. Selang sejenak tetap
tiada sesuatu suara apa-apa, maka Giok-yan berseru
pula, “Hai, keluarlah dan bantulah aku mengenyahkan
orang-orang yang tak keruan macamnya ini!”

Tapi keadaan tetap sunyi senyap, terang orang she
Pau itu sudah pergi jauh. Giok-yan tampak agak kecewa,
katanya, “Dia memang suka begini, selalu bikin orang tak
dapat meraba jejaknya.”

“Memang begitulah tabiat Pau-samsiansing,” ujar A
Cu dengan tertawa. “Waktu nona menyuruhnya keluar
tadi sebenarnya ia sudah akan muncul, tapi demi
mendengar ucapanmu, ia justru sengaja jual mahal
padamu. Dan saat ini mungkin dia sudah berada di
tempat jauh, hari ini terang takkan muncul lagi.”

Sebenarnya Giok-yan sangat ingin bertemu dengan
Pau-samsiansing untuk diajak berunding cara bagaimana
harus pergi membantu Buyung-kongcu di Siau-lim-si.
Tapi orang she Pau ini ternyata segera menghilang
begitu saja, hal ini membuat Giok-yan merasa kurang
senang.

Di lain pihak diam-diam Suma Lim dan Yau Pek-tong
merasa senang. Tadi waktu Pau-samsiansing bersuara,
mereka berdua celingukan kian kemari hendak mencari
di mana tempat sembunyi orang she Pau itu. Akan tetapi
suara itu sangat aneh, tiba-tiba kedengaran sangat
dekat, tahu-tahu lantas menjauh, disangka berada di
sebelah timur, ternyata sudah berpindah ke barat. Maka
mereka tetap tak dapat menemukan orang she Pau itu
berada di mana.

1050




Dari perkataan orang aneh itu, ia sebut saudara
kepada Buyung Hok dan sangat baik pula hubungannya
dengan Giok-yan, bila tokoh seperti itu ikut muncul, tentu
mereka sukar melawannya. Kini orang aneh itu telah
pergi jauh, sudah tentu mereka sangat senang dan
bersyukur.

Jiwa Yau Pek-tong sendiri sembilan bagian tadi sudah
masuk liang kubur, tapi berkat pertolongan orang she
Pau itu, jiwanya dapat ditarik kembali mentah-mentah
Dengan sendirinya timbul rasa terima kasih kepada tokoh
aneh itu. Sebenarnya ia tiada permusuhan apa-apa
dengan Jing-sia-pay, tapi karena tadi diserang dan
jiwanya hampir melayang, kini ia benar-benar dendam
dan Suma Lim itu ingin dibunuhnya.

Maka sekali golok diangkat, segera ia membentak,
“Keparat yang tidak kenal malu, main membokong
dengan senjata gelap, apa kau sangka kakekmu she Yau
ini mudah diserang begitu saja?”

Habis berkata, segera golok membacok kepala Suma
Lim.

Cepat Suma Lim berkelit, ia mainkan ilmu silat Jingsia-
pay dengan senjata palu dan gurdi untuk melawan
golok tunggal Yau Pek-tong. Suma Lim memang lincah
dan gesit, sebaliknya Yau Pek-tong unggul dalam hal
tenaga, serangan golok juga sangat ganas.

Anak murid Jing-sia-pay belum pernah bertanding
melawan orang Cin-keh-ce. Kini kedua pemimpin
masing-masing saling gebrak sendiri untuk pertama
kalinya, menang atau kalah salah satu pihak pasti akan

1051




terbinasa, dan yang lebih penting lagi adalah
menyangkut nama baik masing-masing pihak, maka Yau
Pek-tong dan Suma Lim tidak berani ayal sedikit pun,
keduanya bertempur dengan sepenuh tenaga.

Kira-kira 70-an jurus, tiba-tiba Giok-yan berkata
kepada A Cu, “Lihatlah, “Ngo-hou-hoan-bun-to dari Cinkeh-
ce ternyata jauh lebih buruk daripada sangkaanku,
tadinya kusangka kurang lima jurus, tapi kini tampaknya
lebih dari itu. Buktinya jurus seperti ‘Hu-cu-toh-ho’
(mengutamakan kehormatan dan setia kawan) entah
sebab apa tak dimainkan oleh Yau Pek-tong?”

Sudah tentu A Cu tidak paham ilmu silat seluas itu
seperti Giok-yan, maka ia cuma mengiakan saja.
Sebaliknya Yau Pek-tong yang sedang bertempur itu
demi mendengar ucapan Giok-yan, kembali ia terkejut.
Pikirnya, “Mengapa pandangan nona cilik ini sedemikian
tajamnya? Selama berpuluh tahun terakhir ini ke-64 jurus
Ngo-hou-toan-bun-to kami memang hilang sebagian dan
paling akhir tinggal sisa 59 jurus saja, hal ini memang
tepat sebagaimana dikatakan olehnya tadi. Tapi sejak
ayahku menjabat ketua, karena bakatnya kurang dan
kecerdasannya puntul, maka dua jurus ‘Hu-cu-toh-ho’
dan ‘Tiong-ciat-siu-gi’ tak berhasil dipelajarinya, sebab
itulah kedua jurus itu pun lenyap dari ajaran perguruan
selanjutnya termasuk diriku. Tapi aku telah mengubah
kedua jurus itu sekadar untuk menambal kekosongan
ilmu silat Cin-keh-ce. Siapa duga tetap diketahui juga
oleh nona muda ini.”

Dan karena rahasianya terbongkar, Yau Pek-tong
menjadi malu diri dan buru-buru ingin merobohkan Suma

1052




Lim sekadar mempertahankan gengsinya sebagai
pemimpin.

Akan tetapi dalam pertandingan silat sedikit pun tidak
boleh gopoh. Sebenarnya kalau Pek-tong bertanding
dengan tenang dan sabar, semakin lama kemenangan
pasti akan diperoleh dia. Tapi karena ingin buru-buru
menjatuhkan lawan, seketika pemusatan perhatiannya
menjadi terganggu. Beruntun Pek-tong melancarkan
serangan berbahaya, tapi selalu dapat dihindar oleh
Suma Lim.

Mendadak Pek-tong menggertak sekali, golok terus
membabat dari samping. Ketika Suma Lim melompat ke
kiri untuk menghindar, cepat Pek-tong ayun sebelah kaki
untuk menendang.

Dalam keadaan tubuh masih terapung di udara Suma
Lim sukar menghindar, tapi ia cukup cekatan dan dapat
ganti gerakan dengan cepat. Mendadak ia gunakan gurdi
untuk menikam kaki orang. Dengan demikian bila
tendangan Pek-tong itu diteruskan berarti kaki akan
patah sendiri.

Benar juga Pek-tong tidak berani meneruskan
tendangannya. Tapi tendangannya itu ternyata
tendangan Wan-yang-lian-goan-tui atau tendangan
secara berantai, yaitu susul-menyusul kedua kakinya
menendang bergiliran. Begitu kaki kanan ditarik kembali,
segera kaki kiri melayang ke lambung lawan.

Namun palu kecil Suma Lim saat itu juga sedang
menyampuk ke samping, “plok”, dengan tepat batang
hidung Yau Pek-tong kena ketuk lebih dulu, keruan

1053




hidungnya lantas bocor dan keluar kecapnya. Dan pada
saat yang sama itulah pinggang Suma Lim juga kena
tendangan Yau Pek-tong.

Cuma karena muka Pek-tong lebih dulu kena palu,
dalam kaget dan sakitnya tendangannya menjadi tak
bertenaga lagi, biarpun kena tertendang, Suma Lim tidak
terluka apa-apa, hanya tulang iganya kesakitan.

Dan justru selisih dua detik dari serangan masingmasing
itulah, kalah-menang kedua pihak menjadi jelas
kelihatan. Dengan mengerang murka Yau Pek-tong
bermaksud menerjang maju untuk mengadu jiwa, namun
kepala serasa akan pecah, kaki pun menjadi ampang,
jalannya menjadi sempoyongan dan hampir-hampir
roboh.

Kemenangan Suma Lim barusan sebenarnya
diperoleh dengan agak kebetulan. Ia tahu bila jiwa lawan
dibiarkan hidup, kelak pasti akan merupakan bibit
bencana baginya, maka timbul niat jahatnya untuk
membunuh lawan. Segera ia lontarkan tipu pancingan, ia
ayun palu ke depan, ketika Yau Pek-tong angkat golok
hendak menangkis, sekonyong-konyong gurdi lantas
menjuju ke hulu hati pemimpin Cin-keh-ce itu.

Melihat Cecu mereka terancam maut, wakil Cecu dari
Cin-keh-ce cepat bersuit sekali, mendadak golok
ditimpukkan, begitu pula kawan-kawannya segera
menirukannya hingga dalam sekejap saja belasan golok
menyambar berbareng ke atas badan Suma Lim.

Kiranya dalam ilmu silat Cin-keh-ce itu terdapat
sejurus menimpuk golok sebagai senjata gelap yang

1054




lihai. Tiap-tiap golok bobotnya 8 sampai 10 kati, bila
ditimpukkan, daya serangnya menjadi sangat hebat,
apalagi sekaligus belasan golok menghambur bersama,
keruan Suma Ling kerepotan baik untuk menangkis
maupun hendak menghindar.

Tampaknya dengan segera Suma Lim akan menjadi
perkedel dihujani golok terbang itu, sekonyong-konyong
sesosok bayangan orang berkelebat, dua tangan orang
yang panjang kurus mirip cakar ayam menyambar ke sini
dan meraup ke sana secepat kilat, sekaligus belasan
golok terbang tadi kena ditangkap oleh tangan itu. Lalu
terdengarlah suara gelak tawa orang, tahu-tahu di atas
kursi tengah ruangan itu sudah bertambah dengan
seorang aneh. Menyusul lantas terdengar pula suara
gemerantang riuh, belasan golok yang ditangkap orang
itu dibuang ke lantai di samping kakinya.

Dengan kaget semua orang saling pandang dengan
melongo. Ternyata orang itu adalah seorang laki-laki
tinggi kurus, mukanya tirus, memakai jubah panjang
warna kelabu, sikapnya menantang dan tidak mau kalah.

Tadi semua orang sudah menyaksikan betapa
tangkasnya orang itu menangkap golok terbang,
kepandaian itu boleh dikatakan sudah mencapai
tingkatan yang susah diukur, semua orang menjadi
kagum dan jeri, tiada seorang pun berani bersuara.

Hanya Toan Ki saja yang tidak kenal tingginya langit
dan tebalnya bumi, dengan tertawa ia berkata, “Wah,
gerakan Hengtay (saudara terhormat) barusan ini
sungguh sangat cepat, tentu ilmu silatmu juga sangat

1055




tinggi. Siapakah nama Anda yang terhormat, bolehkah
kutahu?”

Belum lagi laki-laki jangkung itu menjawab, tiba-tiba
Giok-yan tampil ke depan, katanya dengan tertawa,
“Pau-samko, kukira engkau tidak datang lagi, aku
menjadi khawatir. Siapa tahu akhirnya kau muncul juga,
legalah hatiku sekarang.”

“O, kiranya Pau-samsiansing,” sela Toan Ki.

Pau-samsiansing melotot sekali kepada Toan Ki,
katanya dengan mendongkol, “Siapakah bocah ini?
Berani ceriwis padaku?”

“Cayhe she Toan bernama Ki, sesama hidup tidak
pernah belajar ilmu silat apa-apa, tapi sudah sekian lama
berkecimpung di Kangouw dan sampai sekarang ternyata
tidak mati, rupanya nasibku memang lagi mujur!”
demikian sahut Toan Ki dengan tertawa.

Mata Pau-samsiansing mendelik lagi, seketika ia tidak
tahu tindakan apa yang harus dilakukan terhadap
pemuda itu.

Tiba-tiba Suma Lim maju ke depan dan memberi
hormat, katanya, “Suma Lim dari Jing-sia-pay barusan
mendapat pertolonganmu, budi mahabesar itu
selamanya takkan kulupakan. Numpang tanya siapakah
nama Pau-samsiansing yang terhormat, supaya kelak
Cayhe dapat selalu mengingatnya.”

Sekonyong-konyong mata Pau-samsiansing mendelik
kepada Suma Lim, tahu-tahu sebelah kakinya melayang

1056




ke atas, “blang”, kontan Suma Ling ditendangnya hingga
terjungkal. Lalu bentaknya, “Hm, hanya macammu saja
berani tanya namaku? Aku toh tidak sengaja hendak
menolong jiwamu, soalnya karena tempat ini rumah adik
A Cu yang indah, kalau jiwamu melayang dan badanmu
tercacah menjadi bakso di sini, bukankah akan bikin
kotor tempat adik A Cu ini? Nah, lekas enyah, lekas
pergi!”

Ketika kaki orang menendang, sebenarnya Suma Lim
segera bermaksud menghindar, tapi tetap tidak keburu
hingga ia tertendang terjungkal. Keruan ia sangat malu
dan serbasusah.

Jika menuruti peraturan Kangouw, ada dua jalan yang
dapat ia pilih. Pertama, segera melabrak orang untuk
menentukan mati atau hidup. Kedua, mengadakan
perjanjian waktu untuk kemudian mengadakan
perhitungan terakhir.

Dengan sendirinya Suma Lim tidak rela menerima
hinaan demikian di hadapan orang banyak tanpa unjuk
jiwa kesatrianya. Maka dengan berani ia lantas berkata,
“Pau-samsiansing, barusan jiwaku hampir melayang di
bawah keroyokan golok musuh, untung telah ditolong
olehmu. Suma Lim selamanya dapat membedakan budi
dan dendam dengan jelas, kalau terima budi tentu
kubalas, kalau dihina pasti kubayar kembali.”

Padahal ia cukup tahu biarpun belajar sampai tua
juga tidak mampu menandingi Pau-samsiansing yang
lihai ini. Terpaksa ia gunakan kata-kata yang samarsamar
itu untuk menutupi rasa malunya.

1057




Sebaliknya Pau-samsiansing ternyata tidak
mendengarkan ocehannya, ia asyik bicara sendiri
dengan Giok-yan, “Nah, jika kau panggil aku Pau-samko,
inilah tepat. Seterusnya kau harus panggil Samko
padaku.”

“Untuk panggil Samko padamu juga boleh, tapi
engkau harus memenuhi suatu syaratku?” kata Giok-yan
dengan tertawa.

“Eeh, pakai syarat segala? Nah, coba katakan syarat
apa?” tanya Pau-samsiansing dengan mimik wajah yang
lucu.

“Begini,” kata Giok-yan. “Engkau boleh main gila
dengan siapa pun, tapi janganlah menggoda Piauko.”

“Sama sekali aku tidak boleh menggoda dia? Hah, tak
usah ya!?” kata Pau-samsiansing. “Tapi bagimu, baiklah,
boleh kukurangi perbuatanku.”

“Terima kasih, Samko,” bata Giok-yan dengan
tersenyum manis.

Melihat senyuman si gadis yang menggiurkan itu, hati
Toan Ki benar-benar terpukul, kepala terasa pening dan
timbul pula rasa irinya. Pikirnya, “Pau-samsiansing ini
cuma berjanji akan mengurangi main gilanya kepada
Buyung-kongcu, lantas dia begitu senang padanya.
Wahai, Buyung Hok! Alangkah bahagia hidupmu ini
dapat memperoleh cinta kasih sedalam ini dari gadis
secantik ini?”

1058




Sungguh dongkol Suma Lim tak terkatakan karena
ucapannya tadi sama sekali tak digubris oleh Pausamsiansing.
Sekali ia memberi tanda, segera ia
membawa anak buahnya hendak meninggalkan tempat
ini.

“Nanti dulu, dengarlah pesanku!” tiba-tiba Pausamsiansing
berseru.

“Ada apa?” sahut Suma Lim sambil putar balik.

“Kabarnya kedatanganmu ke Koh-soh sini ingin
menuntut balas bagi kematian ayahmu?” tanya Pausamsiansing.
“Jika demikian, engkau telah salah alamat.
Ayahmu, Suma Wi, bukan dibunuh oleh Buyung-kongcu.”

“Siapa yang bilang? Dari mana Pau-samsiansing
mendapat tahu?” tanya Suma Lim.

Pau-samsiansing menjadi gusar, bentaknya, “Sekali
aku bilang bukan Buyung-kongcu yang membunuhnya,
dengan sendirinya bukan dia. Seumpama benar dia yang
bunuh, kalau aku sudah bilang bukan, ya tetap bukan.
Masa ucapanku tidak masuk hitungan?”

Sungguh mendongkol dan penasaran sekali Suma
Lim oleh ucapan orang yang mau menang sendiri itu.
Tapi dengan sabar ia menjawab, “Sakit hati kematian
ayah sedalam lautan, meski ilmu kepandaian Suma Lim
terlalu rendah juga ingin menuntut balas biarpun akhirnya
akan hancur lebur. Maka siapakah sebenarnya
pembunuh ayahku, mohon sudilah memberi tahu.”

1059




“Hahaha, ayahmu kan bukan anakku, dia dibunuh
oleh siapa, peduli apa denganku?” sahut Pausamsiansing
dengan tergelak. “Kan sudah kukatakan
Buyung-kongcu bukan pembunuh ayahmu, barangkali
kau masih tidak percaya, ya? Baiklah, anggaplah aku
pembunuhnya, jika kau ingin menuntut balas, boleh
terjang padaku saja.”

“Sakit hati pembunuhan ayah mana boleh dibuat
permainan?” sahut Suma Lim dengan wajah merah
padam. “Pau-samsiansing, kutahu diriku bukan
tandinganmu, engkau boleh membunuh aku, tapi kalau
dihina secara demikian, betapa pun aku tidak terima.”

“Aku justru ingin menghinamu, dan aku justru tidak
mau membunuhmu, nah, apa yang dapat kau lakukan
padaku?” ucap Pau-samsiansing dengan tertawa.

Keruan dada Suma Lim hampir-hampir meledak
saking gusarnya. Tapi suruh dia menerjang maju untuk
mengadu jiwa, ia pun tidak berani. Karena itu ia menjadi
terpaku di tempatnya dengan serbasalah.

Maka Pau-samsiansing berkata pula, “Hanya sedikit
kepandaian Suma Wi yang tak berarti itu masakah perlu
Buyung-hiante kami yang turun tangan sendiri? Ilmu silat
Buyung-kongcu sepuluh kali lebih tinggi daripadaku,
coba kau pikir, apakah Suma Wi sesuai untuk dibunuh
olehnya?”

Belum lagi Suma Lim menjawab, tiba-tiba Cu Po-kun
lolos senjatanya dan berseru, “Pau-samsiansing, Suma
Wi Losiansing adalah guruku yang berbudi, aku melarang

1060




engkau menghina nama baiknya sesudah beliau
meninggal.”

“Haha, engkau ini mata-mata yang menyelundup ke
Jing-sia-pay, peduli apa denganmu?” ujar Pausamsiansing
dengan tertawa.

“Suma-suhu teramat baik padaku, aku Cu Po-kun
merasa malu tak dapat membalas budi kebaikannya, kini
meski mati demi membela nama baiknya, sedikitnya
dapatlah kutebus dosa karena aku telah menipunya.
Pau-samsiansing, harap kau minta maaf dan mengaku
salah kepada Suma-siansing.”

Pau-samsiansing cuma tertawa-tawa saja, sahutnya,
“Selama hidup Pau-samsiansing tidak pernah mengaku
salah dan juga tidak nanti minta maaf pada orang,
biarpun tahu berbuat salah juga akan tetap berbuat
sampai akhirnya. Pada masa hidupnya Suma Wi juga
tidak punya nama harum, sesudah mati namanya terlebih
celaka lagi. Orang macam begitu memangnya sudah
lama harus dibunuh. Maka kematiannya itu adalah
pantas, lebih daripada pantas!!”

“Silakan Pau-samsiansing keluarkan senjata!” seru Cu
Po-kun.

“Hahahaha!” Pau-samsiansing terbahak-bahak. “Anak
murid Suma Wi pintarnya memang cuma main
membokong dengan senjata gelap, selain itu, segala apa
tidak becus lagi.”

“Awas serangan!” seru Cu Po-kun segera. Palu dan
gurdi terus menyerang sekaligus.

1061




Sama sekali Pau-samsiansing tidak berbangkit,
lengan baju kiri mendadak mengebas hingga serangkum
angin keras menyambar ke arah musuh.

Seketika Po-kun merasakan napas sesak, cepat ia
mendoyong ke samping. Tak tersangka kaki kiri Pausamsiansing
lantas menjegalnya hingga Po-kun
terpelanting, menyusul kaki Pau-samsiansing yang lain
terus mendepak hingga tepat kena bokong Cu Po-kun,
kontan saja tubuhnya yang gede itu mencelat keluar
ruangan.

Tapi begitu jatuh segera Po-kun berbangkit dan
berlari balik, kembali palu dan gurdi menyerang lagi dada
Pau-samsiansing.

Tak terduga mendadak Pau-samsiansing ulur kedua
tangan hingga tangan Po-kun terpegang, sekenanya ia
lemparkan hingga tubuh Po-kun melambung ke atas,
“bluk”, tubuh Po-kun membentur belandar dan jatuh
kembali ke lantai. Terang jatuhnya Cu Po-kun itu sangat
keras dan tentu kesakitan, tapi Po-kun benar-benar
sangat bandel, untuk ketiga kalinya kembali ia menerjang
lagi ke arah Pau-samsiansing.

Mau tak mau Pau-samsiansing berkerut kening oleh
kenekatan orang. Katanya, “Kau ini benar-benar tidak
tahu diri? Apa kau sangka tak mampu membunuhmu?”

“Jika berani, lekaslah bunuh aku!” tantang Po-kun
malah.

1062




Tanpa ampun lagi Pau-samsiansing pegang kedua
tangan Cu Po-kun. Mendadak ia tolak tangannya ke
depan, “krak-krek”, kontan lengan Cu Po-kun dipatahkan,
bahkan gurdinya lantas menikam bahu kanan dan palu
mengetuk pundak kiri sendiri. Seketika darah bercucuran
dari bahu yang terluka itu dan tulang pundak remuk oleh
ketukan palu, keadaan demikian tepat sekali seperti
orang yang dilukai dengan tipu “Co-yu-hong-goan”
(mendapat hadiah dari kanan-kiri alias ketuplek rezeki),
yaitu salah satu jurus lihai Kungfu Jing-sia-pay.

Luka Cu Po-kun sudah sangat parah, walaupun ada
maksudnya hendak mengadu jiwa lagi tapi keinginan
ada, tenaga kurang, apa daya?

Orang-orang Jing-sia-pay hanya saling pandang
belaka dan bingung apa mesti maju untuk menolong Cu
Po-kun atau tidak. Terang gamblang tipu serangan “Coyu-
hong-goan” itu adalah Kungfu Jing-sia-pay, entah dari
mana Pau-samsiansing juga dapat mempelajarinya?

Maka berkatalah Giok-yan kepada Cu Po-kun, “Nah,
bagaimana Cu-ya? Kataku tadi bahwa tidak cukup dan
percuma, sekarang kau mau percaya tidak?”

Cu Po-kun menggila napas panjang, jawabnya,
“Taksiran nona memang sangat jitu, aku benar-benar
sangat kagum.”

Lalu ia berpaling, kepada Suma Lim dan berkata,
“Ciangbun-suheng, beruntung ilmu silat kedua aliran kita
satu sama lain saling mengatasi dan sama kuatnya,
Siaute telah belajar kepandaian Jing-sia-pay, tapi belum

1063




mampu menggunakannya untuk menangkis serangan
Kungfu Jing-sia-pay, sudah dibuktikan oleh serangan
Pau-samsiansing barusan. Ai, percumalah guruku
memeras otak, akhirnya toh tidak berhasil apa-apa.”

Suma Lim dapat menerima apa yang dikatakan Cu
Po-kun itu memang benar, meski Po-kun sudah mahir
ilmu silat Jing-sia-pay, tapi tetap terluka oleh tipu
serangan Jing-sia-pay sendiri. Hal ini menandakan
betapa tinggi Cu Po-kun mempelajari silat Jing-sia-pay
toh belum mampu mencapai tingkatan yang sempurna,
dan dengan sendirinya tidak mungkin ia mengajarkan
pula kepada Hong-lay-pay untuk membunuh ayahnya.
Berpikir demikian hati Suma Lim menjadi banyak
terhibur.

A Cu yang sejak tadi diam saja kini tiba-tiba menyela,
“Suma-toaya, Cu-toaya, kalian sudah menyaksikan
sendiri barusan Pau-samsiansing menggunakan ilmu
silat Jing-sia-pay, hal ini membuktikan orang yang mahir
ilmu silat Jing-sia-pay tidak melulu Kongcu kami saja.
Maka sebenarnya siapa gerangan pembunuh Sumalosiansing,
lebih baik kalian pulang saja untuk menyelidiki
lebih jauh.”

Tampaknya Suma Lim masih hendak berkata apaapa,
namun Pau-samsiansing menjadi gusar, bentaknya,
“Tempat ini adalah rumah tinggal adik A Cu, pemilik
rumah sudah minta kalian pergi, apa kalian masih tidak
tahu diri?”

“Baiklah kami mohon diri, sampai berjumpa pula
kelak,” kata Cu Po-kun segera. Ia tak dapat memberi

1064




hormat karena kedua lengan terluka, maka ia hanya
mengangguk saja lalu bertindak pergi.

Suma Lim juga tahu gelagat takkan menguntungkan
jika tinggal lebih lama di situ, maka beramai-ramai ia pun
mohon diri bersama anak buahnya.

Melihat ilmu silat Pau-samsiansing begitu tinggi,
tindak tanduknya juga sangat aneh, Yau Pek-tong
menjadi ingin belajar kenal dengan tokoh Kangouw yang
sakti ini, ditambah lagi ia masih mengincar kepandaian
Giok-yan yang meliputi segala macam ilmu silat yang tak
terhitung banyaknya itu. Maka sesudah orang-orang
Jing-sia-pay pergi, segera ia melangkah maju dan ingin
bicara dengan Pau-samsiansing.

Di luar dugaan mendadak Pau-samsiansing
mendahului buka suara, “Yau Pek-tong, aku melarang
kau bicara sepatah kata pun, lekas menggelinding pergi
dari sini!”

Keruan Yau Pek-tong melengak, saking malunya
wajahnya berubah merah padam, tanpa terasa
tangannya lantas meraba golok.

“Yau Pek-tong,” jengek Pau-samsiansing, “hanya
sedikit kepandaianmu yang tak berarti ini jangan kau
coba-coba main gila di depanku. Sekali kusuruh
menggelinding pergi, kau harus segera menggelinding
pergi, tidak ada hak bicara apa-apa bagimu, tahu?!”

Melihat pemimpin mereka dihina Pau-samsiansing,
anak buah Cin-keh-ce menjadi gusar juga dan
bermaksud main kerubut sekuatnya, tapi senjata mereka

1065




tadi sudah dirampas Pau-samsiansing ketika menghujani
Suma Lim dengan golok terbang, maka mereka cuma
gusar dalam hati, tapi tiada seorang pun berani
sembarangan menerjang maju dengan bertangan
kosong.

Tiba-tiba Pau-samsiansing terbahak-bahak sambil
kaki kanan menendang dan mendepak serabutan, tahutahu
belasan batang golok yang berserakan di samping
kakinya itu mencelat ke arah orang-orang Cin-keh-ce.
Cuma sambaran golok yang ditendang itu sangat lamban
dan dengan persis dapat ditangkap pemiliknya masingmasing,
hal itu menandakan Pau-samsiansing tidak
bermaksud melukai mereka.

Keruan orang-orang Cin-keh-ce tercengang oleh
tindakan Pau-samsiansing itu, mereka sadar bila tokoh
itu mau melukai mereka, rasanya tidak mungkin golok
dapat mereka pegang cara begitu gampang? Sebab
itulah mereka hanya berdiri dengan bingung.

“Yau Pek-tong,” kata Pau-samsiansing kemudian,
“kukatakan lekas gelinding pergi, kau mau gelinding pergi
tidak?”

“Pau-samsiansing ada budi pertolongan jiwa padaku,
dengan sendirinya apa yang kau perintahkan pasti
kuturut. Baiklah kumohon diri,” sahut Pek-tong dengan
tertawa ewa sambil membungkuk memberi hormat. Lalu
serunya kepada begundalnya, “Mari pergi semua!”

“Aku suruh kau menggelinding pergi dan bukan
menyuruhmu berjalan keluar!” kata Pau-samsiansing.

1066




Pek-tong melengak bingung, tanyanya, “Cayhe tidak
paham apa maksud Pau-samsiansing?”

“Kukatakan menggelinding pergi,” ucap Pausamsiansing.
“Gelinding ya gelinding, masakah gelinding
tidak tahu? Nah, kau mau menggelinding pergi tidak?”

Keruan Yau Pek-tong semakin tidak mengerti, ia pikir
orang ini barangkali gila, lebih baik jangan digubris. Maka
tanpa bicara ia terus putar tubuh dan bertindak pergi
dengan langkah lebar.

“Bukan, bukan,” seru Pau-samsiansing tiba-tiba.
“Kukatakan gelinding, dan caramu itu adalah berjalan
dan bukan menggelinding. Jika kau tidak paham, inilah
caranya!”

Habis berkata, mendadak ia melesat maju, sekali
cengkeram, tahu-tahu kuduk Yau Pek-tong kena
dipegangnya.

Segera Pek-tong menyikut ke belakang, tapi sedikit
Pau-samsiansing angkat tangannya, tubuh Pek-tong
lantas terkatung-katung hingga sikutannya mengenai
tempat kosong. Menyusul Pau-samsiansing lantas
jambret pula bebokong Pek-tong sambil membentak, “Di
rumah adik A Cu mana boleh kau masuk-keluar
sesukanya. Hm, menggelindinglah ke rumah kakek
moyangmu!”

Selesai ucapannya ini, sekali ia ayun tangannya,
tubuh Yan Pek-tong segede kerbau itu terus dilemparkan
keluar ruangan hingga terguling-guling seperti bola
menggelinding.

1067




Melihat pimpinan mereka dibuang keluar begitu saja,
beramai-ramai begundal Cin-keh-ce itu terus memburu
keluar untuk membangunkan Pek-tong, kemudian
bersama lantas melarikan diri dengan sipat kuping.

Kini menjadi giliran Toan Ki yang dipelototi oleh Pausamsiansing,
tapi karena tak diketahuinya asal usul
pemuda itu, ia lantas tanya Giok-yan, “Siaumoay, apakah
suruh dia juga enyah atau biarkan dia tinggal?”

“Aku bersama A Cu dan A Pik tadi telah ditawan oleh
Peng-mama, tapi berkat pertolongan Toan-kongcu ini,
dapatlah kami diselamatkan. Pula, ia menyatakan tahu
seluk-beluk di Siau-lim-si, maka kita dapat menanyakan
keterangan kepadanya,” demikian sahut Giok-yan.

“Jika begitu, jadi engkau ingin dia tinggal di sini?”
Pau-samsiansing menegas.

“Benar,” jawab si gadis.

“Apakah engkau tidak khawatir saudaraku Buyung itu
akan minum cuka?” tanya Pau-samsiansing dengan
tertawa.

Giok-yan terbelalak bingung, balasnya menanya,
“Minum cuka apa?”

“Orang ini pintar putar lidah dan pandai bertingkah,
jangan-jangan engkau akan tertipu olehnya,” kata Pausamsiansing
sambil menuding Toan Ki.

1068




“Aku tertipu oleh apanya?” tanya Giok-yan heran.
“Apa mungkin dia sengaja mengarang hal-hal tidak benar
tentang keadaan Siau-lim-si? Ah, rasanya dia juga
takkan berani sembrono.”

Mendengar ucapan gadis itu yang masih kekanakkanakan
dan sangat polos, sedikit pun belum kenal
seluk-beluk hubungan muda-mudi, Pau-samsiansing
menjadi tidak enak untuk bicara lagi. Segera ia tertawa
dingin sambil bertanya kepada Toan Ki, “Bagaimana
keadaan saudaraku?”

Keruan Toan Ki menjadi dongkol, sahutnya dengan
ketus, “Memangnya kau sedang menanya pesakitanmu?
Dan kalau aku tidak mau omong, lantas kau akan
menyiksa aku, bukan?”

Di dunia ini orang yang berani mengadu mulut dengan
Pau-samsiansing boleh dikata dapat dihitung dengan jari.
Mula-mula Pau-samsiansing tercengang juga, tapi
segera ia terbahak-bahak malah, katanya, “Hahaha,
bocah berani, bocah berani!”

Mendadak ia melangkah maju, sekali cengkeram, ia
pencet lengan kiri Toan Ki, dan sedikit ia tambahi tenaga,
seketika Toan Ki meringis kesakitan.

“Hai, hai! Apa-apaan ini?” seru Toan Ki.

“Aku sedang tanya pesakitanku dan menggunakan
siksaan, tahu?” sahut Pau-samsiansing.

Toan Ki sengaja tersenyum dan anggap lengan yang
dipencet orang itu bukan lengan sendiri lagi, sahutnya

1069




kemudian, “Boleh kau siksa aku, tapi aku takkan gubris
padamu lagi.”

Waktu Pau-samsiansing remas lebih keras, sakit
Toan Ki meresap sampai ke tulang sumsum, bahkan,
tulang lengan sampai berkeriutan seakan-akan hampir
patah. Namun pemuda itu benar-benar sangat kepala
batu, ia tetap diam saja.

“Pau-samko,” cepat A Pik berseru, “Toan-kongcu ini
berwatak sangat angkuh, tapi dia adalah tuan penolong
kami. Jangan engkau bikin susah padanya.”

“Bagus, bagus. Wataknya angkuh, itulah cocok
dengan seleraku yang suka dengan ‘bukan, bukan’!” ujar
Pau-samsiansing sambil perlahan-lahan melepaskan
cekalannya.

“Ya, bicara tentang selera, kita benar-benar sudah
merasa lapar,” kata A Cu dengan tertawa dan segera ia
memanggil si koki, “Hai, Lau Koh! Lau Koh!”

Setelah digembor lagi beberapa kali, baru kelihatan
koki gendut itu melongok dari pintu samping sana.
Melihat kawanan perusuh sudah tiada lagi, dengan
gembira ia lantas mendekati sang majikan.

“Pergilah kau sikat gigi tiga kali dulu, lalu cuci muka
tujuh kali serta cuci tanganmu dua belas kali, habis itu
barulah membuatkan daharan untuk kami,” demikian
perintah A Cu. “Tapi awas, kalau terdapat sedikit kotor
saja pasti kau akan dihajar mampus oleh Pau-samya.”

1070




“Tanggung bersih, tanggung bersih!” seru Lau Koh
berulang-ulang sambil tersenyum.

Maka kaum hamba di dalam Thing-hiang-cing-sik itu
lantas muncul lagi untuk memperbarui jamuan. A Cu
menyilakan Pau-samsiansing berduduk di tempat utama,
Toan Ki di tempat kedua dan Giok-yan ketiga. Ia sendiri
bersama A Pik mengiringi di tempat tuan rumah.

Karena buru-buru ingin mengetahui keadaan Buyungkongcu,
segera Giok-yan menanya, “Samko, dia ... dia
....”

“Dia katanya sudah pergi ke Siau-lim-si,” tutur Pausamsiansing
segera, “mendengar berita itu, malammalam
Hong-sute lantas berangkat pergi membantunya.
Tapi aku merasa urusan ini agak meragukan, lebih baik
harus dirundingkan dulu dengan para kawan.”

“Samko, keadaan sudah mendesak, seorang diri
Piauko telah masuk ke Siau-lim-si yang terkenal sangat
banyak jago-jago pilihan, maka kita harus lekas-lekas
pergi membantunya, mengapa mesti ragu-ragu dan pakai
berunding dulu segala?” ujar Giok-yan tak sabar.

“Bukan, bukan!” demikian Pau-samsiansing dengan
istilahnya yang khas. “Siaumoay, engkau masih terlalu
muda dan tidak kenal betapa palsunya hati manusia.
Kepergian Buyung-hiante ke Siau-lim-si sekali ini agak
berbeda daripada tindak tanduk biasanya. Karena itu aku
telah pergi mencari Ting-toako untuk berunding, tapi
rumahnya kosong, lalu aku pergi ke Jik-sia-cheng, tapi

1071




Kongya-jiko suami istri juga tidak di rumah. Coba pikir,
bukankah ini agak ganjil?”

“Ting-toasiok ... O, Ting-toako dan Kongya-jiko
mereka sudah biasa pergi keluar rumah, hal ini toh tidak
perlu diherankan?” ujar Giok-yan.

“Bukan, bulan,!” kata Pau-samsiansing sambil
menggeleng. “Menurut para Koankeh di sana, katanya
Toako dan Jiko suami-istri waktu meninggalkan rumah
tampaknya sangat tergesa-gesa dan tidak meninggalkan
sesuatu untukku. Bukankah hal ini sangat aneh dan luar
biasa?”

Sudah tentu Toan Ki sama sekali tidak dapat
mengikuti percakapan mereka tentang Ting-toako dan
Kongya-jiko apa segala, ia taksir orang-orang itu adalah
kaum kerabat mereka dan merupakan begundal Buyungkongcu.


Tidak lama, dua pelayan laki-laki mengantarkan
masakan yang masih panas. Kata A Cu dengan tertawa,
“Samko, hari ini Siaumoay tak dapat memasak sendiri
bagimu, lain kali tentu akan kuganti kekurangan ini ....”

Baru sekian bicaranya, tiba-tiba terdengar suara
nyaring kelinting-kelinting dua kali di udara.

“Itu dia, Jiko telah kirim berita kemari,” seru Pausamsiansing
bersama A Cu dan A Pik berbareng.

Serentak mereka lari keluar rumah dan melihat seekor
burung merpati putih sedang mengitar di udara,

1072




mendadak merpati itu menukik ke bawah dan hinggap di
pundak A Cu.

Segera A Pik melepaskan sebuah ikatan di kaki
merpati itu, sesudah dibuka bungkusan kecil itu adalah
secarik kertas. Cepat Pau-samsiansing menyambut
untuk dilihatnya. Kemudian ia lantas berseru, “Aha, jika
begitu, kita harus lekas berangkat!”

Beramai-ramai mereka lantas berlari masuk dan
berkata kepada Giok-yan, “Engkau mau ikut pergi atau
tidak?”

“Pergi ke mana dan tentang urusan apa?” tanya si
gadis.

“Jiko mengirim surat, katanya Buyung-hiante sudah
mengadakan perjanjian dengan tujuh golongan dan
aliran dari provinsi-provinsi Holam, Hopak, Soatang, dan
Soasay, untuk bertanding di kota Celam pada tanggal 24
bulan tiga. Hari ini adalah tanggal 12, jadi masih ada
waktu 12 hari, engkau mau ikut ke Celam atau tidak?”

“Sudah tentu ikut,” sahut Giok-yan cepat dengan
girang. “Dia dalam surat mengatakan apa lagi?”

“Ehm, dalam surat A Cu disuruh berusaha mencari
Ting-toako, Hong-sute dan diriku agar beramai-ramai
pergi ke sana.” Sahut Pau-samsiansing. “Tampaknya
pihak musuh sangat kuat dan susah ditempur.”

“Samko,” sela A Cu tiba-tiba, “Jiko dan Jiso biasanya
sangat angkuh, betapa pun tangguhnya musuh juga tidak
pernah mengirim surat untuk minta bala bantuan. Tapi

1073




sekali ini telah minta kita keluar semua, mungkin pihak
lawan benar-benar sangat lihai.”

“Tabiat Loji memang seperti apa yang kau katakan,”
sahut Pau-samsiansing dengan tertawa, “tapi kupikir
sebabnya dia minta bala bantuan agaknya bukan untuk
kepentingannya, tapi demi kepentingan Buyung-hiante.”

Mendengar Buyung-kongcu disinggung, Giok-yan
menjadi ketarik dan cepat menanya, “Sebab apa demi
untuk dia?”

Bab 22

“Ilmu silat Loji dengan sendirinya bukan nomor satu di
dunia ini,” demikian tutur Pau-sam. “Tapi kalau dia tak
sanggup melawan orang dan ingin melarikan diri, kuyakin
di jagat ini juga tiada seorang pun mampu menahannya.
Apalagi mereka suami-istri gabung bersama, tiada
seorang pun yang mereka takuti. Tapi demi keselamatan
Buyung-hiante, ia pikir mendatangkan bala bantuan lebih
banyak akan lebih baik.”

“Apa yang dikatakan tujuh golongan dan aliran
keempat provinsi itu entah terdiri dari orang-orang
macam apa?” tanya Giok-yan. Terhadap ilmu silat dari
berbagai aliran tiada satu pun yang tak dikenalnya. Maka
asal ia tahu dari golongan atau aliran mana, untuk
menghadapinya menjadi sangat mudah.

Setelah membaca pula surat itu, Pau-sam menjawab,
“Dalam surat Jiko ini tidak diterangkan siapa-siapa
ketujuh aliran dan golongan itu. Agaknya dia sendiri tidak
tahu, biasanya Jiko sangat cermat setiap tindak
tanduknya, kalau tahu tentu dia jelaskan di sini.”

1074




Habis ini, mendadak ia berpaling kepada Toan Ki dan
berkata kepadanya, “Hai, orang she Toan, sekarang
silakan kau pergi saja! Kami hendak berunding urusan
pribadi, tidak perlu kau ikut serta. Kami pergi bertanding
dengan orang juga tidak perlu kehadiranmu untuk
memberi sorakan.”

Dari tadi Toan Ki memang sedang merasa sangat
tawar karena dirinya hanya mendengarkan percakapan
mereka tentang Buyung-kongcu hendak bertanding
dengan orang. Kini secara terang-terangan Pausamsiansing
menuding pintu pula baginya, keruan ia
tambah tersinggung. Meski rasanya sangat berat
meninggalkan Giok-yan, namun dia toh tidak dapat
tinggal di situ tanpa kenal malu.

Maka dengan keraskan hati segera ia berkata,
“Baiklah, Ong-kohnio, nona-nona A Cu dan A Pik,
sekarang juga kumohon diri saja, sampai berjumpa pula.”

“Tengah malam buta engkau hendak pergi ke mana?”
tanya Giok-yan. “Apalagi jalanan air di sini engkau juga
tidak paham, lebih baik engkau tinggal semalam di sini,
esok pagi engkau boleh berangkat.”

Ucapan Giok-yan seperti menahan tamunya agar
jangan pergi dulu, tapi Toan Ki dapat menyelami
perasaan gadis itu jelas sudah melayang kepada diri
Buyung-kongcu. Mau tak mau Toan Ki jadi dongkol dan
merasa terhina.

Jelek-jelek dia adalah calon putra mahkota kerajaan
Tayli, sejak kecil ia pun biasa disanjung puji, walaupun

1075




sejak berkelana di Kangouw telah banyak mengalami
penderitaan dan bahaya, tapi belum pernah dipandang
rendah sebagai sekarang ini. Maka katanya segera,
“Berangkat sekarang atau besok sama saja, biarlah aku
mohon diri.”

“Jika begitu, akan kusuruh orang mengantar engkau
keluar dari danau ini,” kata A Cu.

Melihat A Cu juga tidak menahannya, Toan Ki tambah
kurang senang. Ia semakin iri kepada Buyung-kongcu
yang dipuja berlebih-lebihan itu. Maka jawabnya, “Tidak
perlu antar, cukup pinjamkan sebuah perahu, biar aku
mendayung sendiri ke mana saja tibanya nanti.”

“Engkau kurang paham jalanan air di danau luas itu,
mungkin engkau akan kesasar,” ujar A Pik.

Namun dengan marah-marah Toan Ki lantas
menyahut, “Kalian sudah memperoleh kabar Buyungkongcu,
maka lekas berunding untuk pergi
membantunya. Aku tiada punya perjanjian apa-apa
dengan jago silat segala, pula bukan Piaute kalian, tidak
perlu kalian pikirkan.”

Habis berkata, dengan langkah lebar ia lantas
bertindak keluar.

A Cu dan A Pik terpaksa mengantar tamunya keluar.
Kata A Pik, “Toan-kongcu, kelak kalau bertemu dengan
Kongcu kami, boleh jadi kalian akan menjadi sahabat
baik.”

1076




“Ah, mana aku berani mengharapkan,” sahut Toan Ki
dingin.

Mendengar nada perkataan pemuda itu agak marah,
A Pik menjadi heran, ia tanya, “Toan-kongcu, sebab
apakah engkau kurang senang? Apakah pelayanan kami
ada yang kurang sempurna?”

“Ya, sifat Pau-samko kami memang begitulah, jika
Toan-kongcu merasa tersinggung, harap dimaafkan,” A
Cu ikut berkata.

Toan Ki tidak bicara lagi, cepat ia menuju ke tepi
danau dan melompat ke dalam perahu, ia angkat
pengayuhnya terus didayung sekuatnya ke tengah
danau. Ia merasa dadanya sesak, apa sebabnya, ia
sendiri tidak dapat menerangkan. Yang terpikir olehnya
adalah selekasnya pergi, kalau tinggal lebih lama di situ,
boleh jadi air matanya akan meleleh keluar.

Sudah banyak Toan Ki menderita. Ia pernah dianiaya
orang Bu-liang-kiam dan Sin-long-pang, pernah disiksa
Lam-hay-gok-sin, pernah dikurung oleh Yan-king Taycu
dan pernah diculik Ciumoti dari Hunlam hingga sampai di
daerah Koh-soh. Duka derita kesemua itu belum pernah
dirasakannya sehebat sekarang ini.

Padahal di dalam Thing-hiang-cing-sik itu tiada
seorang pun yang menyinggungnya. Pau-samsiansing
walaupun kasar padanya, tapi tidak keterlaluan seperti
dia memperlakukan Cu Po-kun dan Yau Pek-tong. Giokyan
juga sudah buka suara minta ia tinggal lagi semalam,
A Cu dan A Pik juga mengantarnya keluar dengan ramah

1077




tamah. Akan tetapi perasaan Toan Ki justru sangat
gundah dan kesal tak terkatakan.

Angin malam meniup sepoi-sepoi di tengah danau
dengan harum bunga teratai yang semerbak, Toan Ki
mendayung terus dengan perasaan yang tetap kesal.
Sungguh ia tidak tahu apa yang ia kesalkan dan kepada
siapa ia mesti kuras rasa kesalnya itu.

Dahulu ketika ia dianiaya dan disiksa oleh Lam-haygok-
sin, Yan-king Taycu dan lain-lain derita waktu itu
sangat hebat, tetapi semuanya itu ia hadapi dengan
lapang dada.

Tapi sekarang benar-benar luar biasa. Lamat-lamat
hati kecilnya merasa kesalnya ini disebabkan ia jatuh
cinta kepada Ong Giok-yan, sebaliknya dalam hati si
nona ternyata tiada tempat bagi Toan Ki, bahkan
dayang-dayang seperti Cu dan A Pik juga pandang
sebelah mata padanya.

Padahal sejak kecil Toan Ki sudah disanjung sebagai
permata hati oleh ayah-bunda, bahkan raja dan ratu
negeri Tayli juga sangat sayang padanya. Malahan
musuh sekalipun seperti Lam-hay-gok-sin melihat dia
juga lantas kepincut dan ingin mengambilnya sebagai
murid. Lebih-lebih gadis jelita seperti Ciong Ling dan Bok
Wan-jing, siapa yang tidak jatuh hati padanya?

Tapi hari ini benar-benar untuk pertama kalinya ia
dihadapkan pada sikap dingin, meski orang lain cukup
menghormat padanya, tapi hormat itu adalah hormat
tanpa perhatian.

1078




Terasa olehnya bahwa dalam pandangan orang,
kedudukan Buyung-kongcu jauh lebih penting
daripadanya. Selama beberapa hari ini, Buyung-kongcu
itu seakan-akan menjadi pusat perhatian setiap orang.
Siapa saja asal menyebut Buyung-kongcu seketika
menimbulkan perhatian setiap orang. Giok-yan, A Cu, A
Pik, Ong-hujin, Pau-samsiansing dan orang yang disebut
Ting-toaya, Kongya-jiya, Hong-suya segala, semuanya
seperti dilahirkan melulu untuk menjunjung Buyungkongcu.


Selama hidup Toan Ki tidak pernah merasa iri dan
cemburu, kini seorang diri berada dalam perahu di
tengah danau seluas ini, samar-samar ia seperti melihat
bayangan Buyung-kongcu sedang tertawa ejek padanya,
“Toan Ki, wahai Toan Ki. Bukankah engkau ini mirip si
cebol merindukan rembulan? Haha, apa engkau tidak
merasa malu?”

Karena kesal hatinya, caranya mendayung menjadi
sekuat-kuatnya. Sampai lebih satu jam lamanya,
bukannya ia merasa lelah, sebaliknya tenaga dalamnya
semakin berkobar dan penuh semangat. Dan karena
berkobarnya semangat itu, rasa kesalnya perlahan
lenyap juga.

Setelah mendayung pula satu-dua jam lamanya, fajar
sudah mulai menyingsing, ufuk timur mulai terang. Ia lihat
di sisi utara di balik awan yang tebal itu menjulang tinggi
sebuah gunung. Ia coba menaksir kedudukannya waktu
itu berada di mana, ia taksir Thing-hiang-cing-sik dan
Khim-im-siau-tiok itu berada di arah timur, maka asal
perahu itu didayungnya ke utara, dengan sendirinya
takkan balik kembali ke tempat semula.

1079




Tapi aneh, setiap ia mendayung sekali, hatinya
bertambah berat rasanya, tanpa terasa terkenang
olehnya akan diri Giok-yan yang semakin jauh
ditinggalkan itu.

Sekitar tengah hari, Toan Ki telah mendayung
perahunya sampai di kaki gunung itu. Ia coba mendarat
dan tanya penduduk setempat. Kiranya gunung itu
bernama Ma-jik-san atau gunung tapak kuda, jaraknya
dengan kota Bu-sik sudah tak seberapa jauh lagi.

Ketika di Tayli pernah juga Toan Ki membaca nama
Bu-sik itu adalah sebuah kota yang terkenal. Ia pikir toh
tiada pekerjaan apa-apa, biarlah pergi ke kota itu saja.

Segera ia kembali ke atas perahu dan mendayung
pula ke utara, tiada sejam kemudian, tibalah dia di tepi
kota Bu-sik.

Ia tinggalkan perahunya dan masuk ke kota. Ia lihat
orang ramai berlalu-lalang di dalam kota, dibandingkan
kota Tayli, masing-masing memang mempunyai suasana
sendiri-sendiri.

Ia berjalan terus sambil menikmati pemandangan
kota. Tiba-tiba ia mengendus bau sedapnya masakan.
Sudah setengah harian ia tidak makan, ditambah
mendayung perahu selama beberapa jam, ia menjadi
sangat lapar. Maka ia kegirangan demi mengendus bau
makanan lezat itu.

Cepat ia menuju ke arah bau sedap itu. Setelah
membelok sebuah jalan, ia lihat sebuah restoran besar,

1080




papan mereknya tertulis tiga huruf “Siong-ho-loa” yang
sangat besar. Bau sedap masakan itu ternyata tersiar
dari restoran ini. Malahan sesudah dekat, terdengarlah
suara sibuk pelayan restoran itu sedang melayani
tetamunya, hal ini menandakan restoran itu pasti sangat
tersohor di kota ini.

Segera Toan Ki masuk dan naik ke atas loteng
restoran, pelayan memapaknya dengan sangat hormat
serta menyilakannya memilih tempat duduk.

Toan Ki minta disediakan sepoci arak, empat macam
makanan. Sambil bersandar di langkan loteng restoran,
ia makan minum sendiri. Mendadak hatinya terasa
kesepian dan masygul. Tanpa merasa ia menghela
napas panjang.

Karena itu, tiba-tiba seorang laki-laki yang duduk di
depannya menoleh, sinar matanya yang tajam mengilat
itu mengerling dua kali pada Toan Ki.

Waktu Toan Ki balas pandang orang, ia lihat
perawakan orang itu sangat gagah, usianya kurang lebih
33-34 tahun, berbaju besar beraut muka lebar. Walaupun
wajahnya tidak bisa dikatakan cakap, tapi gagah dan
berwibawa.

Diam-diam Toan Ki menanggapi, “Sungguh seorang
yang hebat! Pastilah seorang kesatria pilihan, baik di
Kanglam maupun di Tayli pasti sukar mendapatkan
kesatria semacam ini.”

Ia lihat di atas meja laki-laki itu tertaruh senampan
daging masak, semangkuk kuah dan sepoci arak, kecuali

1081




itu tiada masakan lain, suatu tanda cara makan minum
orang itu pun sangat sederhana.

Setelah memandang sekejap-dua-kejap kepada Toan
Ki, tampaknya laki-laki itu merasa agak heran, tapi ia pun
tidak urus lebih jauh dan berpaling pula ke sana untuk
makan minum sendiri.

Toan Ki sedang merasa kesepian, maka bermaksud
mencari sahabat. Segera ia panggil pelayan, katanya
sambil menunjuk bayangan belakang laki-laki itu,
“Sebentar rekening tuan ini sekalian dihitung ke dalam
rekeningku.”

Rupanya laki-laki gagah itu mendengar ucapan Toan
Ki, ia menoleh dan tersenyum serta mengangguk
perlahan, tapi tidak berkata apa-apa. Maksud Toan Ki
hendak berkenalan untuk menghilangkan kesepian
menjadi belum ada kesempatan.

Setelah minum beberapa cawan lagi, Toan Ki
mendengar tangga loteng berdetak, dari bawah naik pula
dua orang. Seorang yang berjalan di depan sebelah
kakinya pincang, maka ia membawa tongkat, tapi
jalannya tetap sangat cepat. Orang kedua adalah
seorang kakek yang bermuka muram durja seperti
kebanyakan utang.

Pakaian kedua orang itu pun berwarna kelabu.
Mereka mendekati meja laki-laki tadi dan memberi
hormat dengan membungkuk. Laki-laki muda itu cuma
manggut-manggut saja tanpa berdiri atau membalas
hormat.

1082




Maka berkatalah si pincang dengan hormat, “Lapor
Toako, pihak lawan menentukan tengah malam nanti
bertemu di gardu pemandangan di atas Hui-san.”

“Malam ini?” kata laki-laki muda itu sambil
mengangguk. “Apakah tidak terlalu mendesak
waktunya?”

“Sebenarnya kita tetapkan pertemuan dengan mereka
tiga hari lagi,” tutur si kakek. “Tapi pihak lawan rupanya
mengetahui jumlah kita tidak seberapa orang, mereka
sengaja berolok-olok, katanya kalau kita tidak berani
menepati janji, malam nanti tidak usah datang ke sana.”

“Baiklah,” sahut laki-laki muda itu. “Sekarang juga
sampaikan kepada kawan-kawan agar sebelum tengah
malam nanti beramai-ramai kita berkumpul di Hui-san.
Kita harus tiba di sana lebih dulu untuk menunggu
kedatangan pihak lawan.”

Kedua orang itu mengiakan dan turun lagi ke bawah
loteng.

Percakapan ketiga orang itu sebenarnya dilakukan
dengan perlahan, tamu lain di atas loteng itu tiada yang
dengar. Tapi Lwekang Toan Ki sekarang sudah sangat
tinggi, matanya jeli dan telinganya tajam, meski dia tidak
sengaja mendengarkan percakapan mereka, namun
dengan sendirinya apa yang dibicarakan orang-orang itu
terdengar olehnya.

Seperti tidak sengaja tiba-tiba laki-laki itu berpaling ke
arah Toan Ki. Melihat pemuda itu sedang termangumangu,
terang lagi memerhatikan percakapannya

1083




mendadak sinar mata laki-laki itu memancar tajam
hingga Toan Ki terkejut, tanpa terasa cawan yang
dipegang tangan kirinya terjatuh dan terbanting hancur.

“Ada urusan apakah saudara ini menjadi gugup?” kata
laki-laki itu sambil tersenyum. “Apa sekiranya sudi pindah
ke meja sini, marilah kita minum bersama?”

“Bagus, bagus sekali!” sambut Toan Ki dengan
gembira. Segera ia minta pelayan memindahkan
mangkuk-piringnya ke meja orang itu kemudian ia tanya
nama orang.

“Sudah tahu, mengapa saudara pura-pura tanya?”
demikian jawab laki-laki itu dengan tertawa. “Kita tidak
perlu saling tanya, minumlah beberapa mangkuk,
bukankah suatu pertemuan yang menggembirakan? Bila
nanti kawan atau lawan sudah menjadi terang tentu
takkan gembira seperti ini.”

Toan Ki rada heran oleh jawaban itu. Dengan
tersenyum ia berkata pula, “Rasanya Hengtay (saudara
terhormat) telah salah mengenali orang dan menyangka
aku sebagai musuh. Tapi kata-kata ‘tidak perlu saling
tanya’ menang sangat cocok dengan seleraku. Marilah
minum, silakan!”

Segera ia menuang secawan penuh dan sekali
tenggak dihabiskan.

“Saudara ini ternyata suka bicara secara blakblakan
dan tidak mirip seorang Susing (kaum pelajar) yang
tengik tingkah lakunya,” ujar laki-laki itu dengan

1084




tersenyum. “Rupanya boleh juga kekuatan minum
saudara, cuma cawanmu itu terlalu kecil!”

Segera ia berteriak, “Hai, pelayan, ambilkan dua
mangkuk besar dan bawakan 10 kati Ko-liang-ciu.”

Mendengar laki-laki itu pesan 10 kati arak Ko-liang-ciu
yang terkenal keras, keruan Toan Ki dan si pelayan kaget
semua.

“Tuan besar,” dengan tertawa si pelayan coba tanya,
“sepuluh kati Ko-liang-ciu apakah dapat habis?”

“Kongcuya ini sudah menyatakan akan menanggung
pembayaranku, kenapa kau menghemat baginya?” kata
laki-laki itu sambil tunjuk Toan Ki. “Ayo, lekas ambilkan,
kalau 10 kati kurang, sebentar ambilkan lagi 20 kati.”

Pelayan itu tidak berani banyak omong lagi, dengan
tertawa segera ia lari pergi menyediakan pesanan itu.
Tidak antara lama, dua mangkuk besar dan satu guci
arak sudah tertaruh di atas meja.

“Tuanglah sepenuhnya kedua mangkuk itu,” perintah
laki-laki itu.

Pelayan menurut membuka guci, ia isi penuh kedua
mangkuk itu dengan arak Ko-liang itu hingga hampir
luber.

Seketika hidung Toan Ki terserengguk oleh bau arak
yang keras itu hingga rasanya memabukkan. Waktu
tinggal di rumah sendiri, paling-paling ia cuma terkadang
minum secawan dua cawan bilamana suka dan belum

1085




pernah menyaksikan orang minum arak dengan memakai
mangkuk sebesar itu, apalagi isinya adalah Ko-liang-ciu
yang keras. Keruan ia berkerut kening.

“Ayolah kita masing-masing minum sepuluh mangkuk,
habis itu, anggaplah kita sudah bersahabat, sudikah
engkau?” tanya laki-laki itu tertawa.

Melihat waktu bicara sorot mata orang mengandung
rasa memandang rendah dan menyindir, jika dalam
keadaan biasa, tentu Toan Ki menolaknya dan
menyatakan terima kasih, tapi semalam ia habis dihina
dan kenyang diperlakukan dengan kasar di Thing-hiangcing-
sik, kini melihat sikap orang ini besar kemungkinan
adalah sekomplotan dengan Buyung-kongcu, kalau
bukan Ting-toaya, Kongya-jiya, tentulah Hong-siya.
Katanya mereka sudah berjanji akan bertempur melawan
jago-jago tujuh aliran besar dari berbagai provinsi. Hm,
Buyung-kongcu itu kutu macam apa? Aku justru tidak
sudi dihina oleh begundalnya, paling-paling mati mabuk,
kenapa aku mesti takut.

Karena pikiran itu, segera Toan Ki membusungkan
dada dan menyahut, “Marilah, sudah tentu kuterima
ajakan Hengtay, cuma sebentar bila aku mabuk, tentu
akan bikin susah pada Hengtay.”

Habis berkata, tanpa pikir ia terus angkat mangkuk di
depannya dan sekali tenggak habislah isi mangkuk itu
mengalir ke dalam perutnya.

Sebabnya dia nekat menghabiskan arak semangkuk
penuh itu adalah karena rasa tidak mau kalah, biarpun
Ong Giok-yan tidak di situ, tapi Toan Ki anggap seperti

1086




sedang diperlihatkan kepada nona itu sebagai tanda
tidak mau kalah daripada Buyung Hok. Jangankan cuma
semangkuk arak, sekalipun yang harus diminum itu racun
juga tanpa ragu akan diminumnya.

Melihat cara minum Toan Ki sangat cepat, hal ini rada
di luar dugaan laki-laki itu, ia terbahak-bahak dan
berkata, “Sungguh menyenangkan cara minum saudara
ini!”

Segera ia pun angkat mangkuknya dan menenggak
habis isinya. Menyusul ia menuang dua mangkuk penuh
pula.

“Ehm, arak bagus, arak bagus!” seru Toan Ki dengan
tertawa. Dan kembali mangkuk diangkatnya dan
ditenggaknya hingga kering.

Laki-laki itu menirukan juga menghabiskan isi
mangkuknya, lalu menuang lagi dua mangkuk.

Semangkuk penuh itu isinya satu kati arak. Kini dalam
perut Toan Ki sudah terisi dua kati arak keras, keruan
perutnya terasa panas bagai dibakar, kepalanya juga
mulai pusing, tapi masih teringat olehnya, “Hm, Buyung
Hok itu kutu macam apa? Masakah aku kalah daripada
begundalnya?”

Karena itu, untuk ketiga kalinya mangkuk diangkat
pula dan diminum habis.

Melihat muka pemuda itu dalam sekejap saja sudah
merah membara, diam-diam laki-laki itu merasa geli, ia

1087




yakin setelah menghabiskan tiga mangkuk arak itu,
sebentar lagi pasti Toan Ki akan menggeletak mabuk.

Setelah minum mangkuk kedua tadi memang rasa
Toan Ki sudah mual dan ingin tumpah, kini ditambahi
pula isi mangkuk ketiga itu, keruan isi perutnya seketika
bagai diaduk-aduk dan berjungkir balik.

Namun ia tutup mulut rapat-rapat supaya air arak itu
tidak tersembur keluar. Sekonyong-konyong perutnya
terasa bergetar, arus hawa murni menerjang ke atas
hingga keadaan badan rasanya seperti dahulu waktu
hawa murni dalam tubuh tak dapat dipusatkan, segera ia
menurut ajaran sang paman tempo hari untuk menarik
hawa murni ke “Tay-cui-hiat” di pusatnya.

Tak terduga, karena arak yang diminumnya terlalu
banyak, arak itu ikut terbawa hawa murni itu hingga tidak
dapat terhimpun di Tay-cui-hiat, sebaliknya terus
merembes ke Thian-cong-hiat di bagian bahu, terpaksa
Toan Ki membiarkannya, dan arak itu terus menyusur ke
Kok-cin-hiat di lengan kiri, dari situ akhirnya sampai di
Siau-tik-hiat di jari kecil kiri, maka tercurah keluarlah arak
itu bagai mata air.

Jalan yang dilalui hawa murni yang dikerahkannya
sekarang tiada ubahnya seperti “Siau-tik-kiam”, yaitu satu
di antara “Lak-meh-sin-kiam” dari keluarga Toan mereka
yang hebat itu. Sebenarnya Siau-tik-kiam itu adalah
semacam hawa pedang yang tanpa wujud, tapi kini dari
jari kecilnya itu ternyata menetes keluar air arak dengan
perlahan.

1088




Tantang air arak menetes keluar dari jari kecilnya,
semula Toan Ki sendiri tidak tahu, menyusul “Koanciong-
hiat” di jari manis kiri pun merembes keluar air
arak. Maka sebentar saja pikiran Toan Ki sudah jernih
kembali.

Karena tangan kiri Toan Ki itu dilambaikan ke bawah,
maka apa yang terjadi itu tidak diketahui oleh laki-laki itu.

Ketika dilihatnya muka Toan Ki yang tadinya merah,
sinar matanya buram sebagaimana biasanya orang
mabuk, tapi hanya sekejap saja kembali mukanya
bercahaya dan segar penuh semangat, keruan orang itu
terheran-heran, katanya dengan tertawa, “Tampaknya
Hengtay ini lemah gemulai, tapi kekuatan minum arak
ternyata sangat hebat.”

Habis berkata, kembali ia menuang penuh dua
mangkuk.

“Kekuatan minumku ini tergantung dari keadaan,” ujar
Toan Ki dengan tertawa. “Kata orang, ‘ketemu sobat
sejati, seribu cawan arak pun sedikit’. Menurut
perkiraanku, isi mangkuk ini paling-paling sama
banyaknya dengan isi 20 cawan. Maka untuk mencukupi
seribu cawan, sedikitnya harus 50 mangkuk besar ini
terisi penuh. Cuma Siaute mungkin tidak sanggup
menghabiskan 50 mangkuk ini.”

Sembari berkata, segera tangan kanan mengangkat
pula mangkuknya dan kembali diminum habis.

Karena tangan kirinya terjulur ke bawah dan
bersandar di langkan jendela, maka air arak yang

1089




merembes keluar dari jari kecil dan manis tangan kiri itu
lantas mengalir ke bawah melalui dinding yang
bergandengan dengan langkan jendela itu.

Tentu saja tiada seorang pun yang tahu akan kejadian
itu dan tiada sedikit pun tanda yang mencurigakan. Maka
tidak antara lama empat mangkuk arak yang diminumnya
itu merembes keluar semua melalui jari tangannya itu.

Orang itu sebenarnya yakin dirinya pasti paling kuat
minum arak di seluruh jagat ini, tapi kini melihat seorang
pelajar kurus lemah seperti Toan Ki ternyata sekaligus
mampu menghabiskan empat mangkuk arak keras tanpa
sinting sedikit pun, keruan ia terheran-heran. Katanya
kemudian, “Bagus, bagus! Memang seribu cawan terlalu
sedikit minum bersama sobat sejati. Marilah kuminum
dulu.”

Segera ia menuang dua mangkuk penuh dan berturutturut
dihabiskannya. Lalu ia menuangkan dua mangkuk
pula untuk Toan Ki. Sekarang Toan Ki sengaja pamerkan
kekuatannya minum arak dengan acuh tak acuh serta
bersenda gurau, ia tenggak pula kedua mangkuk arak itu
seperti orang sedang minum teh saja.

Tentu saja perlombaan minum arak mereka ini
menggemparkan tamu-tamu lain, bahkan tukang api,
tukang masak dan kuasa restoran sama datang
merubung untuk menyaksikan cara minum mereka.

“Pelayan,” tiba-tiba laki-laki itu berseru, “lekas
ambilkan pula 20 kati arak!”

1090




Pelayan melelet lidah, tapi ia tidak berani banyak
omong terus berlari ke belakang untuk mengeluarkan
pula satu guci arak yang dua kali lebih besar daripada
tadi.

Begitulah satu mangkuk sama satu mangkuk Toan Ki
bergiliran minum dengan laki-laki itu, tampaknya
kekuatan kedua orang setanding, maka tiada setengah
jam, masing-masing orang sudah menghabiskan lebih 30
mangkuk.

Dengan sendirinya Toan Ki tahu dirinya main sulap
dengan jari, arak yang diminumnya itu cuma menyalur ke
dalam tubuh untuk kemudian mengalir keluar lagi dengan
cepat, maka kekuatan minumnya boleh dikatakan tanpa
takaran, biarpun seratus atau dua ratus mangkuk juga
bukan apa-apa baginya.

Sebaliknya laki-laki itu benar-benar minum dengan
kepandaian yang sejati. Tampaknya sudah lebih 30
mangkuk arak ditenggaknya, tapi mukanya masih tetap
tenang-tenang saja tanpa ada tanda mabuk sedikit pun,
mau tak mau Toan Ki sangat kagum juga.

Dan karena melihat laki-laki itu sangat gagah perkasa,
perasaan permusuhan Toan Ki semula karena
menganggap orang adalah begundal Buyung-kongcu,
kini berbalik timbul rasa suka bersahabat dengan laki-laki
itu. Diam-diam Toan Ki pikir, “Jika minum secara begini
dipaksakan terus, sudah tentu aku takkan kalah, tapi bagi
orang ini tentu kesehatannya akan terganggu.”

1091




Karena itu, setelah persis minum sampai 40 mangkuk,
segera Toan Ki buka suara, “Kita masing-masing sudah
minum 40 mangkuk bukan, saudara?”

“Hitungan Hengtay ternyata tepat,” ujar laki-laki itu
dengan tertawa.

“Rupanya kita benar-benar telah ketemukan
tandingan yang setimpal dan sama-sama kuat,” kata
Toan Ki dengan tertawa. “Untuk bisa menentukan kalah
atau menang, mungkin tidaklah mudah. Tapi kalau kita
minum terus tanpa batas seperti wah, isi kantongku yang
bakal jebol, pasti tidak cukup untuk membayar.”

Habis berkata, terus saja ia merogoh saku dan
mengeluarkan sebuah dompet sulaman indah dan
dilemparkan ke atas meja. “Tek”, memang benar isi
dompetnya itu agak kempis.

Sebagai seorang pangeran, dengan sendirinya Toan
Ki tidak perlu banyak membekal uang, sebab kalau perlu
tentu ada pengawalnya yang akan membayarkan
kepentingannya. Apalagi datangnya ke Kanglam ini
karena diculik oleh Ciumoti, dengan sendirinya
berangkatnya itu tiada membawa sangu apa-apa.

Dompet kain sulaman yang dikeluarkannya ini sangat
indah, sekali pandang saja orang akan tahu adalah
benda yang bernilai, tapi isinya memang kempis, hal ini
pun sekali pandang saja orang akan tahu.

Maka tertawalah laki-laki itu, katanya tiba-tiba kepada
salah seorang tamu restoran yang gemuk, “Thio-toaya,
rekening kami ini haraplah suka kau bereskannya.”

1092




Tetamu gemuk itu adalah seorang saudagar setengah
umur, ia menjawab dengan tertawa, “Sudah tentu, sudah
tentu! Jika Kiau-toako sudi memberi muka, pasti Siaute
akan menjadi tuan rumah sekadarnya.”

Habis berkata, ia terus mengeluarkan serenceng uang
perak dan diserahkan kepada pelayan.

“Terima kasih!” kata laki-laki itu sambil memberi
hormat. Lalu Toan Ki digandengnya keluar sambil
berkata, “Sobat baik, marilah kita pergi!”

Sungguh girang Toan Ki tak terkatakan. Selama
tinggal di negeri Tayli ia adalah putra pangeran yang
diagungkan, jarang bisa bergaul dengan kawan-kawan
baik sejati. Tapi hari ini tanpa susah-susah, bukan
dengan ilmu sastra atau ilmu silat, tapi hanya dengan
cara yang aneh, yaitu berlomba minum arak, dan
dapatlah mengikat persahabatan dengan seorang lakilaki
segagah ini, sungguh kejadian ini dirasakannya
sebagai sesuatu yang paling aneh selama hidupnya.

Sambil menggandeng tangan Toan Ki, laki-laki itu
lantas mengajaknya turun ke bawah loteng dan
meninggalkan restoran itu. Jalan laki-laki itu makin lama
makin cepat, hanya sebentar saja mereka sudah sampai
di luar kota.

Langkah laki-laki itu bertambah cepat lagi mengikuti
jalan raya. Toan Ki himpun tenaga dan selalu berjalan
berendeng dengan laki-laki itu, meski dia tidak mahir ilmu
silat, tapi tenaga dalamnya sangat kuat, kalau cuma

1093




berjalan cepat seperti itu, sama sekali takkan
membuatnya lelah atau tersengal-sengal.

Melihat Toan Ki mengikuti jalannya dengan sama
cepatnya, laki-laki itu tersenyum, katanya, “Sobat baik,
marilah kita berlomba lari!”

Toan Ki menjadi ragu, ia sendiri tidak pernah belajar
ilmu silat atau Ginkang segala, cara bagaimana sanggup
berlomba dengan orang. Celakanya, sehabis laki-laki itu
berkata tadi, tanpa tunggu jawaban Toan Ki terus saja
orang tarik tangan anak muda itu dan dilarikan secepat
terbang ke depan.

Karena tidak siap sebelumnya, sesudah ikut lari
beberapa langkah, hampir saja ia jatuh tersandung,
syukur ia dapat menggeser kaki kiri ke samping, dengan
demikian barulah ia dapat berdiri tegak lagi. Ternyata
langkahnya yang tidak sengaja ini tepat adalah salah
satu ilmu langkah dari “Leng-po-wi-poh” yang pernah
diyakinkannya itu.

Dan karena langkah yang tak sengaja tapi tepat itu,
tanpa terasa ia terus dapat mendahului malah hingga
beberapa tindak di muka.

Toan Ki merasa senang, maka langkah kedua segera
pakai “Leng-po-wi-poh” pula. Cuma waktu menjalankan
ilmu langkah ini harus mencurahkan perhatian
sepenuhnya dan tidak boleh berpikir lain.

Tadi ia bergandengan tangan dengan laki-laki itu
sambil menahan tenaga dalamnya menurut ajaran sang
paman hingga Cu-hap-sin-kang dalam tubuh tidak

1094




sampai menyedot hawa murni laki-laki itu. Tapi kini sekali
ia menggunakan langkah “Leng-po-wi-poh”, seketika
tubuh laki-laki itu tergetar, kesempatan itu segera
digunakan Toan Ki untuk melepaskan tangannya.

Maka kedua orang itu sekarang berlari berjajar, begitu
cepat mereka berlari hingga pohon-pohon di tepi jalan
seakan-akan melayang lewat di samping mereka.

Waktu Toan Ki mempelajari “Leng-po-wi-poh” itu
sama sekali tak terpikir olehnya bahwa kepandaian itu
akan dipakai untuk berlomba lari dengan orang. Tapi kini
sekali dia mainkan ilmu langkah itu, sebagai anak panah
yang sudah terpentang di busurnya, mau tak mau harus
dilepaskannya. Cuma pikiran untuk menangkan laki-laki
itu juga tak ada pada benaknya, ia cuma berlari
menurutkan ilmu langkah yang sudah masak
diyakinkannya itu, ditambah Lwekangnya sangat tinggi,
tentu saja larinya melebihi juara marathon. Apakah lakilaki
itu sudah mendahului atau masih ketinggalan di
belakang tak sempat dipikirnya lagi.

Dan lari laki-laki itu ternyata makin lama yakin cepat.
Hanya sekejap saja Toan Ki sudah ketinggalan jauh di
belakang. Tapi asal ayal sedikit, segera Toan Ki dapat
menyusulnya lagi. Ia coba melirik pemuda itu, ternyata
tindakan Toan Ki tampak berlenggang seenaknya saja,
jadi seperti orang lagi berjalan jalan biasa, sedikit pun
tiada tanda dipaksakan.

Keruan laki-laki itu sangat heran dan diam-diam
bertambah kagum. Segera ia tancap gas hingga Toan Ki
tertinggal lagi di belakang.

1095




Begitulah beberapa kali dicoba dan laki-laki itu pun
tahu tenaga dalam Toan Ki ternyata sangat kuat, untuk
menangkan anak muda itu dalam jarak dekat memang
gampang, tapi kalau berlari jauh, pasti dirinya akan
menyerah kalah.

Mendadak ia terbahak-bahak, lalu berhenti dan
berduduk di atas batu di bawah pohon yang rindang,
serunya, “Buyung-kongcu, hari ini Kiau Hong benarbenar
menyerah padamu, Koh-soh Buyung memang
bukan omong kosong belaka!”

Cepat Toan Ki berhenti juga, dan ketika dipanggil
sebagai “Buyung-kongcu”, keruan ia terheran-heran.
Segera jawabnya, “Siaute she Toan bernama Ki, berasal
dari negeri Tayli, agaknya Hengtay salah mengenali
orang!”

Seketika wajah laki-laki itu menampilkan rasa heran
dan sangsi, katanya dengan tak lancar, “Apa? Kau ... kau
... bukan Buyung Hok, Buyung-kongcu?”

“Sejak Siaute datang di Kanglam sini, setiap hari
selalu mendengar orang menyebut nama Buyungkongcu,
sungguh Siaute kagum tak terhingga kepada
nama itu, cuma sayang sampai saat ini tidak sempat
berkenalan dengan dia,” demikian sahut Toan Ki.

Diam-diam ia pun heran, laki-laki itu salah sangka
dirinya sebagai Buyung Hok, sikapnya itu tampak bukan
pura-pura saja. Jika demikian, dengan sendirinya ia
bukan begundal Buyung Hok itu?

1096




Berpikir demikian, makin besar rasa sukanya kepada
laki-laki itu, maka tanyanya, “Hengtay barusan menyebut
namanya sendiri, apakah benar she Kiau bernama
Hong?”

“Benar, Cayhe Kiau Hong adanya,” sahut laki-laki itu
dengan tetap heran.

Toan Ki lantas duduk juga di atas batu itu, katanya,
“Siaute baru saja datang ke Kanglam sini lantas dapat
bersahabat dengan kesatria gagah seperti Kiau-heng,
sungguh sangat beruntung.”

“O, jadi engkau anak murid keluarga Toan dari Tayli,
pantas, pantas!” kata Kiau Hong sesudah berpikir
sejenak. “Toan-heng ada urusan apa datang ke daerah
selatan sini?”

“Sungguh memalukan kalau diceritakan,
kedatanganku ke sini sebenarnya ditawan orang,” tutur
Toan Ki.

Lalu ia ceritakan pengalamannya cara bagaimana
Ciumoti menawannya dan menggondolnya ke sini serta
bertemu dengan kedua dayang Buyung Hok, semua itu
ia tuturkan secara ringkas. Namun begitu sedikit pun
tidak mengurangi apa yang telah terjadi sebenarnya,
sama sekali ia tidak malu-malu untuk menceritakan
tentang dirinya dihina dan disiksa orang.

Habis mendengar, Kiau Hong terheran-heran dan
senang pula, katanya, “Toan-heng, engkau sungguh
seorang yang berhati jujur dan suka terus terang, biarpun
baru kenal, namun kita sudah bergaul sebagai kawan

1097




lama. Jika engkau sudi, maukah kita mengangkat
saudara?”

Ternyata umur Kiau Hong lebih tua 12 tahun daripada
Toan Ki, dengan sendirinya Toan Ki harus memanggilnya
sebagai Toako dan Kiau Hong memanggilnya Hiante.
Begitulah mereka mengadakan upacara singkat dan
sederhana untuk mengangkat saudara.

“Ketika di atas restoran itu, Siaute dengar bahwa
Toako telah berjanji untuk bertemu dengan musuh pada
malam ini,” demikian kata Toan Ki kemudian. “Meski
Siaute tidak mahir ilmu silat tapi juga ingin melihat ramairamai
ke sana. Dapatkah Toako mengizinkan Siaute
ikut?”

Kiau Hong coba tanya lagi dan benar-benar
mengetahui Toan Ki memang tidak bisa ilmu silat, keruan
ia tambah heran, katanya, “Dengan tenaga dalam Hiante
yang hebat ini untuk belajar silat tingkat tinggi sudah
tentu seperti orang merogoh saku mengambil barang
sendiri, sedikit pun tidak sukar. Kalau Hiante ingin
menyaksikan pertempuran malam ini, apa alangannya?
Sebentar bolehlah ikut ke sana. Cuma musuh terlalu
ganas dan keji, Hiante sekali-kali jangan unjukkan diri.”

“Sudah tentu Siaute menurut segala pesan Toako,”
kata Toan Ki dengan girang.

“Dan sekarang waktunya masih cukup, marilah kita
kembali ke kota untuk minum arak pula, setelah itu
barulah kita berangkat ke Hui-san untuk menemui
musuh,” ajak Kiau Hong.

1098




Mendengar sang Toako ingin minum arak lagi Toan Ki
kaget. Masakan baru habis minum 40 mangkuk besar
dan sekarang sudah ingin minum lagi? Maka sahutnya
segera, “Toako, cara Siaute berlomba minum denganmu
tadi sebenarnya cuma tipuan belaka, harap Toako
jangan marah.”

Segera ia acungkan jari kecil kiri ke depan, “crit”, arus
hawa terus muncrat keluar dari Siau-tik-hiat hingga debu
di tanah bertebaran oleh semburan hawa itu.

Keruan Kiau Hong terkejut, katanya dengan tergegap,
“Hiante, apakah ... apakah ini ilmu sakti ‘Lak-meh-sinkiam’?”


“Benar,” sahut Toan Ki, “belum lama Siaute
mempelajarinya, masih sangat hijau.”

Untuk sejenak Kiau Hong termangu-mangu, katanya
kemudian dengan gegetun, “Pernah kudengar cerita
guruku almarhum bahwa keluarga Toan di Tayli memiliki
semacam ilmu ‘Lak-meh-sin-kiam’ yang dapat
membunuh orang dengan hawa pedang tanpa wujud,
cuma ilmu sakti itu sudah lama lenyap, maka di zaman ini
tiada seorang yang dapat memainkannya. Tak terduga
Hiante ternyata mahir ilmu sakti itu, sungguh aku tidak
pernah menyangka sebelumnya.”

“Ah, Toako terlalu memuji,” sahut Toan dengan
menyesal. “Padahal ilmu ini kecuali dipakai main licik
tatkala berlomba minum arak dengan Toako, toh tiada
berguna pula. Buktinya aku ditawan Ciumoti, sedikit pun
aku tidak mampu melawannya. Tentang Lak-meh-sinkiam
ini sebenarnya terlalu dibesar-besarkan oleh orang

1099




luar. Toako, arak kurang baik bagi kesehatan badan,
minum sedikit saja, kita jangan minum lagi.”

Kiau Hong terbahak-bahak, katanya, “Nasihat Hiante
memang benar. Cuma Engkohmu ini sehat sebagai
kerbau, sejak kecil sudah suka minum arak, semakin
banyak minum semakin bersemangat. Malam ini aku
akan menghadapi musuh, maka perlu minum lebih
banyak agar dapat melayani mereka dengan baik.”

Begitulah sambil bicara mereka kembali ke kota Busik,
kini mereka tidak balapan lari lagi, tapi jalan
berendeng dengan perlahan.

Sifat Toan Ki memang suka bersahabat, maka hatinya
sangat gembira dapat mengikat saudara dengan Kiau
Hong. Tapi ia pun tidak pernah lupa pada Buyung Hok
dan Ong Giok-yan. Karena itu kemudian ia lantas tanya
Kiau Hong, “Toako, semula engkau salah sangka Siaute
sebagai Buyung-kongcu, jangan-jangan muka Buyungkongcu
itu rada mirip mukaku?”

“Aku pun tidak pernah kenal dia, hanya namanya
yang tersohor sudah lama kudengar, kedatanganku ke
sini ini justru disebabkan dia,” sahut Kiau Hong.
“Kabarnya Buyung Hok itu baru berusia 25-26 tahun,
cakap dan gagah, sebenarnya masih lebih tua daripada
Hiante. Tapi tidak terduga bahwa di selatan sini kecuali
Buyung Hok masih terdapat pula seorang muda dan
cakap dengan ilmu silat yang tinggi seperti diri Hiante,
makanya aku salah mengenalimu. Sungguh aku merasa
malu.”

1100




Mendengar Buyung Hok itu “ilmu silatnya tinggi dan
mukanya cakap”, mau tak mau Toan Ki merasa iri.
Tanyanya pula, “Dan jauh-jauh Toako datang ke sini
untuk mencari dia, maksudnya hendak berkawan atau
menjadi lawannya?”

Kiau Hong menghela napas, mukanya menjadi
muram, sahutnya, “Sebenarnya aku sangat berharap
dapat mengikat persahabatan dengan seorang tokoh
muda seperti dia. Tapi mungkin sukar terkabul cita-citaku
ini.”

“Sebab apa?” tanya Toan Ki.

“Sebab seorang kawanku yang paling karib, dua
bulan yang lalu telah tewas di atas Hui-san di Bu-sik sini,
semua orang mengatakan hal itu adalah perbuatan
Buyung Hok,” tutur Kiau Hong.

“Ai, Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin (gunakan cara orang itu
untuk dilakukan atas dia sendiri)!” tiba-tiba Toan Ki
bergumam.

“Benar,” kata Kiau Hong. “Justru kawanku itu
menjagoi dunia Kangouw dengan ‘Soh-au-kim-na-jiu’
(ilmu menangkap dengan mencekik leher), tapi dari
mayatnya ternyata tulang lehernya remuk, tidak salah
lagi dia dibinasakan oleh Soh-au-kim-na-jiu andalannya
itu.”

Bicara sampai di sini, suara Kiau Hong menjadi parau,
tenggorokan seakan-akan tersumbat, wajah sangat
sedih. Setelah merandek sejenak, kemudian ia
meneruskan, “Tapi kejadian di Kangouw memang aneh-

1101




aneh dan di luar dugaan orang, tidak boleh melulu
percaya kepada berita sepihak lantas sembarangan
menuduh kesalahan orang. Sebab itulah maka kudatang
sendiri ke sini untuk menyelidiki duduk perkara yang
sebenarnya.”

“Dan bagaimanakah duduk perkara yang
sebenarnya?” tanya Toan Ki.

Kiau Hong menggeleng kepala, sahutnya, “Masih sulit
untuk dikatakan sekarang. Kawanku itu sudah lama
tersohor namanya, tindak tanduknya sangat prihatin,
rasanya tanpa sebab tidak mungkin cekcok dengan
Buyung-kongcu. Dan mengapa dia sampai ditewaskan
orang, sungguh hal ini agak membingungkan.”

Toan Ki mengangguk-angguk, pikirnya, “Meski
lahirnya Toako kelihatan kasar, tapi batinnya sebenarnya
sangat cermat, dibanding Ho-siansing, Suma Lim dan
lain-lain yang tanpa mencari tahu lebih dulu lantas
menuduh Buyung-kongcu sebagai pembunuh. Nyata
cara bertindak Toako ini lebih hati-hati dan lebih
bijaksana.”

Maka ia lantas tanya lagi, “Dan musuh yang berjanji
akan bertemu dengan Toako itu orang macam apa lagi?”

“Itulah ....” baru sekian katanya, tiba-tiba terlihat dua
orang berdandan mirip pengemis berlari datang dari
depan sana dengan cepat. Rupanya kedua orang itu
berlari dengan sekuat Ginkang mereka, maka hanya
sekejap saja sudah sampai di depan Kiau Hong.

1102




Kira-kira beberapa meter di depan Kiau Hong, kedua
orang itu berhenti serta menyingkir ke tepi jalan, lalu
membungkuk memberi hormat sambil menutur, “Lapor
Kiau-pangcu, ada empat orang musuh telah menerjang
ke dalam ‘Tay-gi-hun-tho’ (cabang pimpinan bagian Gi),
kepandaian mereka sangat hebat, Cio-thocu sampai
kewalahan, maka hamba diperintahkan minta bala
bantuan kepada ‘Tay-jin-hun-tho’ (cabang pimpinan Jin).”

Mendengar dua orang itu menyebut Kiau Hong
sebagai “Pangcu”, sikap mereka pun sangat hormat,
diam-diam Toan Ki membatin sang Toako pasti ketua
dari sesuatu Pang-hwe (perkumpulan atau organisasi)
dunia Kangouw.

Sementara itu dilihatnya Kiau Hong telah
mengangguk, lalu bertanya, “Macam apakah musuh itu?”

“Terdiri dari tiga wanita dan seorang laki-laki,” sahut
salah seorang pengemis itu. “Laki-laki itu tinggi kurus dan
setengah umur, tapi sangat kasar dan kurang ajar.”

“Hm, Cio-thocu juga terlalu, masakan melawan
seorang saja kewalahan?” jengek Kiau Hong.

“Lapor Pangcu,” demikian orang itu menutur pula.
“Ketiga wanita itu pun sangat lihai.”

“O, ya? Baiklah, coba kulihat ke sana,” kata Kiau
Hong dengan tertawa.

Kedua laki-laki itu mengiakan dengan girang, lalu
membungkuk menyilakan sang Pangcu berjalan dulu.

1103




“Dan kalian tetap pergi kepada Tay-jin-hun-tho dan
minta Sin-thocu mengirim bala bantuan,” ujar Kiau Hong
pula.

Segera laki-laki yang lebih tua berkata, “Semula Ciothocu
tidak tahu Pangcu berada di sini, maka hamba
disuruh minta bantuan kepada Sin-thocu. Tapi kini
Pangcu sendiri sudi turun tangan, hanya beberapa
musuh tak berarti itu sudah tentu dengan mudah dapat
dibekuk.”

“Segala apa harus bertindak lebih hati-hati,” kata Kiau
Hong dengan menarik muka.

Maka kedua laki-laki itu tidak berani bicara lagi,
mereka mengiakan dan memberi hormat pula, lalu berlari
pergi ke arah yang dituju tadi.

“Hiante, apakah engkau akan ikut ke sana
bersamaku?” tanya Kiau Hong.

“Tentu saja,” sahut Toan Ki tanpa pikir.

Kiau Hong lantas membawa Toan Ki berangkat,
setelah berjalan beberapa li, mereka membelok ke kiri
menyusur gili-gili sawah ladang yang berliku-liku, tidak
lama Toan Ki sudah tak dapat mengenali jalan yang
dilaluinya itu.

Kira-kira beberapa li pula, baru saja mereka melintasi
sebuah hutan, maka terdengarlah suara seorang yang
lucu sedang berkata, “Buyung-hiante kami telah pergi ke
Lokyang untuk mencari Pangcu kalian, mengapa orang-
orang Kay-pang kalian berbalik datang ke Bu-sik sini?

1104




Bukankah ini sengaja menghindari untuk bertemu? Jika
kalian takut, itulah urusan kalian sendiri, tapi Buyunghiante
kami bukankah akan buang tenaga percuma pergi
ke sana? Huh, benar-benar tidak tahu aturan!”

Mendengar suara orang itu, seketika hati Toan Ki
berdebar. Kiranya itulah suara Pau-samsiansing yang
suka berkata “bukan-bukan” itu. Diam-diam ia pikir
apakah nona Ong juga datang bersama dia?

Lalu terdengar suara seorang dengan logat utara
menjawab, “Apakah Buyung-kongcu sudah lebih dulu
mengadakan perjanjian dengan Kiau-pangcu kami?”

“Berjanji atau tidak sama saja,” sahut Pausamsiansing,
“kalau Buyung-kongcu sudah pergi ke
Lokyang, betapa pun Pangcu kalian tidak boleh pergi ke
lain tempat hingga Buyung-hiante datang percuma.
Sungguh tak tahu aturan, tidak tahu aturan!”

“Jika begitu, apakah Buyung-kongcu telah mengirim
berita kepada Kay-pang kami tentang kunjungannya?”
tanya orang itu.

“Dari mana kutahu? Aku toh bukan Buyung-kongcu,
pertanyaanmu benar-benar terlalu, sungguh tidak tahu
aturan!” demikian sahut Pau-samsiansing.

Sungguh mendongkol Kiau Hong oleh kata-kata Pausamsiansing
yang suka menang sendiri itu. Dengan
langkah lebar segera ia menuju tempat suara itu. Maka
tertampaklah di situ telah berdiri dua orang berhadapan.

1105




Akan tetapi bagi Toan Ki yang lantas terlihat olehnya
adalah si gadis jelita yang berdiri di belakang Pausamsiansing
itu. Dan sekali sinar matanya kontak dengan
sorot mata si nona, maka tak terpisahkan lagi
pandangannya.

Gadis jelita itu memang benar Giok-yan adanya. Ia
bersuara heran perlahan ketika melihat munculnya Toan
Ki. “Engkau juga datang ke sini?” sapanya perlahan.

“Ya, dan engkau pun berada di sini?” sahut Toan Ki.
Terus saja ia pandang si nona dengan termangu-mangu
seperti orang linglung.

Dengan wajah merah lekas Giok-yan berpaling ke
arah lain, pikirnya, “Mengapa orang ini sedemikian
kurang ajar, memandang orang tanpa berkedip?”

Namun demikian, ia tahu Toan Ki sangat kesengsem
pada kecantikannya, hal ini dengan sendirinya
menyenangkan hatinya, maka ia pun tidak menjadi
marah oleh kelakuan pemuda itu.

Melihat gadis secantik Giok-yan, mau tak mau Kiau
Hong juga tergetar hatinya. Tapi segera ia pun
memerhatikan ketiga orang yang lain.

Ia lihat kedua gadis yang lain, yaitu A Cu dan A Pik,
yang satu lincah centil dan yang lain ramah halus. Tapi
kedua gadis itu tidak menjadikan pikiran Kiau Hong, yang
mendongkolkan dia adalah sikap Pau-samsiansing yang
mentang-mentang, seorang tokoh seperti Cio Ci-tong,
Thocu Kay-pang, ternyata sama sekali dipandang
sebelah mata olehnya.

1106




Begitulah Cio Ci-tong menjadi girang ketika melihat
sang Pangcu datang, segera ia menyambut maju dan
memberi hormat diikut oleh anggota-anggota Kay-pang
yang berada di belakangnya.

“Hamba sekalian memberi sembah bakti kepada
Pangcu!” seru Cio Ci-tong.

Ternyata sama sekali Pau-samsiansing tidak ambil
pusing atas kedatangan Kiau Hong, seperti tidak terjadi
apa-apa kemudian ia pun bertanya, “Ehm, apakah
saudara ini Kiau-pangcu dari Kay-pang? Awak bernama
Pau Put-tong, tentu pernah kau dengar namaku.”

“O, kiranya Pau-samsiansing, memang nyata tingkah
lakumu benar-benar Pau-put-tong (tanggung tidak sama
dengan orang lain),” sahut Kiau Hong. “Sudah lama
kukagum kepada namamu yang besar, kini dapat
berjumpa, sungguh sangat beruntung.”

“Ah, nama besar apa?” ujar Pau-samsiansing alias
Pau Put-tong. Kalau nama busuk sih memang sudah
terkenal di Kangouw. Setiap orang juga tahu aku Pau
Put-tong paling suka cari gara-gara dan banyak berbuat
kejahatan. Hehehe, Kiau-pangcu, secara sembarangan
kau datang ke Kanglam sini, inilah terang kesalahanmu.”

Kay-pang adalah suatu organisasi terbesar pada
zaman itu, kedudukan Pangcu sangat diagungkan siapa
pun juga terutama anggota Kay-pang memandang
Pangcu mereka seakan-akan malaikat dewata yang
terpuji. Kini melihat Pau Put-tong bersikap kasar
terhadap sang Pangcu, bahkan mengucapkan kata-kata

1107




mencela, keruan anggota Kay-pang yang berada di situ
menjadi gusar. Beberapa orang yang berdiri di belakang
Cio Ci-tong lantas gosok-gosok kepalan dan ingin
memberi hajaran kepada Pau Put-tong.

Namun Kiau Hong ternyata tenang-tenang saja,
sahutnya dengan tawar, “Mengapa aku dituduh bersalah,
coba Pau-samsiansing memberi penjelasan.”

“Ya, terang engkau salah,” seru Pau Put-tong.
“Buyung-hiante kami tahu engkau Kiau-pangcu adalah
seorang tokoh, tahu pula dalam Kay-pang tidak banyak
jago-jago lain, makanya dia ke Lokyang dengan maksud
berkenalan dengan engkau, tapi mengapa kalian berlaku
senang-senang dan datang ke Kanglam malah? Hehe,
sungguh tidak tahu aturan!”

Kiau Hong hanya tersenyum, sahutnya, “Buyungkongcu
sudi berkunjung ke tempat kami di Lokyang, bila
sebelumnya kudapat kabar, memang seharusnya kunanti
kedatangan tamu agungnya. Tentang keayalanku
menyambut dia, biarlah di sini aku minta dimaafkan.”

Sambil berkata, ia terus memberi hormat dengan
Kiongchiu (kedua kepalan dirangkap di depan dada).

Diam-diam Toan Ki memuji kebesaran jiwa Toako itu,
pikirnya, “Kata-kata Toako ini benar-benar sangat
bijaksana, memang sesuai dengan wibawa seorang
Pangcu. Sebaliknya kalau dia marah kepada Pausamsiansing,
hal ini malah akan merosotkan
kedudukannya yang diagungkan itu.”

1108




Tak terduga Pau Put-tong itu terima mentah-mentah
penghormatan Kiau Hong tanpa sungkan-sungkan, ia
manggut-manggut dan berkata, “Ehm, orang salah
seharusnya minta maaf. Kata peribahasa, orang yang
tidak tahu, tidak berdosa. Tapi apakah perlu dihukum
atau didenda, hak ini bukanlah kami yang menentukan.”

Begitulah sedang Pau Put-tong mencerocos dengan
senang, tiba-tiba terdengar di balik hutan sana riuh ramai
dengan suara orang terbahak-bahak hingga menggema
angkasa, lalu suara seorang berkata, “Haha, sudah
sering kudengar bahwa Pau Put-tong di daerah Kanglam
suka kentut, nyatanya memang bukan omong kosong
belaka!”

“Ya, ya, orang bilang kentut yang berbunyi itu tidak
bau, yang bau itu tentu kentut tak berbunyi,” demikian
kontan Pau-samsiansing menjawab, “Tapi kentut Kaypang-
su-lo (empat tertua Kay-pang) ini sudah berbunyi
keras lagi berbau busuk, nyata memang tidak omong
kosong belaka!”

“Jika Pau-samsiansing sudah kenal nama Kay-pangsu-
lo, mengapa masih jual lagak di sini?” seru suara di
balik pohon itu.

Lenyap suaranya, sekonyong-konyong dari empat
penjuru semak pohon masing-masing muncul seorang
tua, ada yang rambut dan jenggotnya sudah ubanan, ada
yang bermuka merah bergigi rajin, semuanya masih
gagah dan kuat.

1109




Begitu muncul, keempat kakek ini lantas menduduki
empat penjuru hingga Pau-samsiansing dan Giok-yan
bertiga terkurung di tengah.

Kakek-kakek itu bersenjata pula, ada yang berwajah
kereng, ada yang tertawa-tawa dengan sikap yang
berbeda-beda.

Pau Put-tong sendiri cukup tahu Kay-pang adalah
suatu perkumpulan terkemuka di kalangan Kangouw,
jago Kay-pang tak terhitung banyaknya, lebih-lebih Kaypang-
su-lo sangat terkenal dalam Bu-lim, setiap kakek itu
memiliki ilmu silat yang lihai. Tapi dasar watak Pau Put-
tong memang angkuh dan tidak mau kalah, sejak kecil
sifatnya tidak gentar kepada siapa pun juga.

Kini melihat Kay-pang-su-lo muncul sekaligus serta
menduduki tempat mengepung, mau tak mau ia
mengeluh juga, “Wah, celaka, hari ini nama baik Pausamsiansing,
mungkin akan runtuh habis-habisan.”

Namun lahirnya sedikit pun ia tidak memberi tanda
khawatir, segera ia pun berseru, “Kalian berempat orang
tua ini ada urusan apa dengan aku? Akan mengerubut
maju sekaligus untuk berkelahi dengan Pausamsiansing?
Silakan jika begitu, memang selama hidup
Pau-samsiansing paling suka berkelahi!”

“Siapakah orang di jagat ini paling gemar berkelahi?
Apakah Pau-samsiansing?” tiba-tiba suara seorang
bergema di udara. “Salah, salah! Bukan dia melainkan
Hong Po-ok, Hong-siya!”

1110




Waktu Toan Ki mendongak, tertampak di atas pucuk
dahan pohon sana berdiri satu orang. Dahan melambailambai
hingga orang itu pun turut bergoyang naik turun
dengan gaya indah. Perawakan orang itu kecil, usianya
antara 30 tahun lebih, pipinya cekung, berkumis mirip
ekor tikus, alisnya panjang melambai ke bawah,
mukanya itu lebih mirip setan daripada manusia.

Tapi lantas terdengar A Pik berseru dengan girang,
“He, Hong-siko, apakah engkau sudah mendapat kabar
baik Kongcu?”

Kiranya laki-laki jelek ini adalah Hong Po-ok berjuluk
“It-tin-hong” atau angin lesus. Ia merupakan salah
seorang pembantu kepercayaan Buyung Hok.

Maka terdengar Hong Po-ok berteriak, “Bagus, bagus!
Hari ini dapat menemukan lawan yang baik. Tentang
urusan Kongcu, biarlah tunggu sebentar, kita bicarakan
nanti, A Pik!”

Habis berkata, ia terjun ke bawah dengan
berjumpalitan, ketika hampir mendekat tanah, mendadak
ia menubruk ke arah si kakek gemuk yang berdiri di sisi
utara sana.

Kakek yang bertubuh potongan gajah dungkul itu
bersenjatakan sebatang tongkat baja. Mendadak
tongkatnya menyodok ke depan mengincar dada Hong
Po-ok.

Bulat tengah tongkat itu kira-kira sebesar telur.
Panjangnya dua meter, jadi lebih tinggi daripada tubuh
kakek itu sendiri. Biarpun badannya gemuk pendek, tapi

1111




kepandaiannya sangat hebat, begitu tongkatnya
bergerak, seketika menyambar serangkum angin yang
keras.

Tapi Hong Po-ok benar-benar pemberani, bukannya
menghindar atau mundur, sebaliknya ia memapak maju
malah dan hendak merebut tongkat lawan. Tapi
mendadak kakek itu menyendal tongkatnya hingga
menjengkit ke atas untuk menyodok muka Hong Po-ok.

“Bagus?” seru Po-ok sambil mendak ke bawah,
menyusul tangannya lantas terulur hendak
mencengkeram iga si kakek.

Sesudah tongkatnya didorong maju, untuk menarik
kembali senjatanya buat menangkis sudah tidak keburu
lagi, sedangkan musuh tampak menerjang maju,
terpaksa kakek itu angkat sebelah kakinya untuk
mendahului menendang perut Hong Po-ok.

Namun Po-ok sempat berkelit ke samping, berbareng
si kakek di sebelah timur yang bermuka merah
bercahaya itu lantas diterjang, belum tiba di depan
musuh, tahu-tahu sinar putih berkelebat, tangannya
sudah memegang sebatang golok dan lantas digunakan
untuk menebas.

Senjata yang dipegang kakek bermuka merah itu pun
sebatang golok yang berkepala setan atau Kui-thau-to,
punggung golok itu tebal dan mata golok tipis, batang
golok itu sangat panjang. Melihat Hong Po-ok menebas
dengan goloknya, cepat kakek itu tegakkan Kui-thau-to
untuk menangkis sambil menyampuk sekeras-kerasnya
untuk mengadu senjata dengan lawan.

1112




“Senjatamu lihai, aku tidak ingin mengadu golok
denganmu!” seru Hong Po-ok mendadak. Segera ia tarik
kembali goloknya dan putar ke arah lain untuk
membacok si kakek berjenggot putih yang berdiri di
sebelah selatan.

Senjata kakek berjenggot putih adalah sebatang gada
bersegi banyak (astakona), di atas gada penuh bergigi
tajam melengkung seperti kait. Senjata aneh ini dapat
digunakan merampas senjata lawan.

Melihat Hong Po-ok menyerang ke arahnya dengan
cepat, sedangkan serangan si kakek bermuka merah
masih belum ditarik kembali, maka kakek berjenggot ini
tidak ingin bergebrak, sebab dia ikut menyerang, itu
berarti Hong Po-ok digencet dari muka dan belakang, hal
mana akan merosotkan pamor Kay-pang-su-lo yang tidak
pernah main keroyok. Maka ia lantas melompat
menyingkir dan mengalah sejurus kepada lawan.

Tak tersangka orang she Hong itu paling suka
berkelahi, semakin ramai semakin memenuhi seleranya.
Sedang mengenai kalah atau menang tidak menjadi soal
baginya, bahkan peraturan-peraturan umum di waktu
berkelahi juga tidak ditaati olehnya. Maka begitu si kakek
berjenggot menyingkir, sebaliknya Hong Po-ok lantas
merangsang maju, kesempatan itu digunakan untuk
membacok empat kali secara bertubi-tubi, setiap
serangannya cepat dan berbahaya.

Sungguh sama sekali tak terduga oleh siapa pun
bahwa tindakan si kakek yang sengaja mengalah itu
lantas disalahgunakan oleh Hong Po-ok, keruan si kakek

1113




sangat mendongkol dan terpaksa menangkis sambil
mundur empat tindak baru dapat berdiri dengan kuat
pula, kini ia sudah membelakangi sebatang pohon, untuk
mundur lagi terang tidak mungkin. Tapi sedikit ia himpun
tenaga murni, mendadak gadanya menyabet ke depan.
Serangan ini adalah salah satu serangan mematikan dari
kepandaiannya, hanya dikeluarkan bila dalam kepepet.

“Coba lagi yang lain!” tiba-tiba Hong Po-ok berseru,
dan serangan si kakek ternyata tak ditangkisnya, tapi
terus melompat mundur sambil putar goloknya, tahu-tahu
si kakek keempat dari Kay-pang-su-lo itu yang diserang.

Keruan si kakek berjenggot yang baru sempat balas
menyerang sekali, tapi musuh sudah lantas menyingkir
pergi, sungguh gusarnya tak terkatakan.

Kedua tangan kakek keempat itu ternyata sangat
panjang, sedikitnya lebih panjang belasan senti daripada
orang biasa. Tangan kirinya membawa semacam senjata
yang lemas, begitu melihat Hong Po-ok menyerang tiba,
cepat tangan kirinya bergerak, senjata yang dipegangnya
itu dikebas hingga terpentang.

Dan baru sekarang semua orang dapat melihat jelas,
kiranya senjatanya itu adalah sebuah karung beras
biasa. Karena dipentang dan kemasukan angin, mulut
karung itu lantas terbuka terus mengurung ke atas kepala
Hong Po-ok.

Kaget dan girang Hong Po-ok, serunya, “Bagus,
bagus! Biar aku berkelahi dengan kau!”

1114




Kiranya selama hidup Hong Po-ok ini paling suka
berkelahi, apabila lawan mempunyai senjata yang
berbentuk aneh, atau ilmu silat luar biasa, maka ia pasti
sangat senang untuk menjajalnya.

Sifat ini mirip orang yang gemar makan enak
misalnya, kalau mendengar koki dari rumah makan mana
pandai menyajikan sesuatu masakan yang aneh dan
lezat, maka pasti akan dicobanya.

Kini dilihatnya lawan bersenjatakan sebuah karung,
bahkan mendengar pun belum pernah. Di samping
senang diam-diam ia pun waspada, sebab belum
diketahuinya cara bagaimana nanti harus mematahkan
serangan senjata lawan yang aneh itu.

Sebagai percobaan, dengan hati-hati ia gunakan
ujung golok untuk menikam karung lawan apakah benda
itu dapat dilubangi atau tidak.

Tak terduga si kakek tangan panjang itu cepat
pindahkan karung ke tangan kanan, sedang tangan kiri
mendadak menjotos ke depan.

Namun Hong Po-ok sempat dongak kepala ke
belakang, menyusul cepat ia putar golok untuk mengutik
selangkangan kakek itu. Tapi di luar dugaannya, kakek
itu ternyata sudah berhasil meyakinkan “Thong-pi-kun”
(ilmu pukulan memulurkan tangan), pukulannya
tampaknya sudah sepenuhnya dilontarkan, namun justru
di luar dugaan orang kepalannya mendadak dapat mulur
lebih panjang belasan senti.
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil : Pendekar negeri Tayli 5 dan anda bisa menemukan artikel Cersil : Pendekar negeri Tayli 5 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cersil-pendekar-negeri-tayli-5.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil : Pendekar negeri Tayli 5 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil : Pendekar negeri Tayli 5 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil : Pendekar negeri Tayli 5 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cersil-pendekar-negeri-tayli-5.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar