itu. Ia tak berani menangkis dan tiba-tiba menghindar kesamping.
Arah penghindarannya itu tepat menuju kemana penjagaan Ca Cu- jing. Sambil
memukul, Ih Thian-heng berseru pelahan, “Pulanglah!”
Setelah menangkis pukulan Ca Cu -jing, Ih Thian-heng mundur selangkah.
Tepat pada saat itu, pukulan Nyo Bun – giau mengancam kepala orang she Ih itu.
Sedangkan Leng Kong – siau tanpa bicara apa-apa terus maju menghampiri dan
menghantam punggung Ih Thian-heng.
Wajah Ih Thian-heng berobah tegang. Ia merapatkan kedua tangan untuk menyambut
pukulan Nyo Bun – giau.
Melihat Ih Thian-heng tumpahkan seluruh perhatiannya ke arah pukulan Nyo Bun –
giau, dam seolah – olah tak mengacuhkan dirinya, diam-diam Leng Kong – siau girang. Ia
percepat pukulan ke punggung Ih Thian-heng.
Bum…. terdengar bunyi macam kulit tambur terpukul. Ih Thian-heng pelahan-lahan
menyurut mundur selangkah. Leng Kong-siau mendengus dingin dan menyurut mundur.
“Bagaimana saudara Leng?” seru Ca Cu-jing terkejut.
Leng Kong – siau tak menjawab melainkan mundur sampai tujuh delapan langkah baru
ia berdiri tegak.
Saat itu terjadilah benturan pukulan Nyo Bun – giau dengan Ih Thian-heng. Di luar
dugaan, pukulan Nyo Run – giau yang begitu dahsyat ternyata ketika beradu dengan
lengan Ih Thian-heng yang digerakkan pelahan – lahan itu, keduanya sama melangkah
mundur.
Peristiwa Leng Kong-siau memukul punggung Ih Thian-heng lalu menyurut mundur dan
adu pukulan antara Ih Thian-heng dengan Nyo Bun-giau walaupun berlangsung susul
menyusul tetapi tampaknya seperti terjadi pada waktu berbareng.
“Saudara Nyo, apakah engkau terluka?” teriak Ca Cu – jing tertegun.
Nyo Bun – giau deliki mata dan berseru, “Luka Ih Thian-hengpun tak lebih ringan dari
aku!” Ca Cu – jing tergerak hatinya. Ia tertawa nyaring, “Lihatlah, aku hendak
melampiaskan dendam saudara Leng dan saudara Nyo!”
Wut… ia terus menghantam Ih Thian-heng.
Saat itu wajah Ih Thian-heng tampak pucat.
Tiba-tiba ia membuka mata dan secepat kilat dorongkan tangannya untuk menangkis
pukulan Leng Kong – siau.
Benturan itu telah menimbulkan angin keras Ca Cu – jing mendengus pelahan-lahan
mundur dua langkah. Walau pun tubuh Ih Thian-heng tak bergoyang tetapi wajahnya
makin pucat. Keringat bercucuran deras.
Cong To yang memperhatikan keadaan jago2 itu menghela napas, “Mereka berempat
telah menderita luka berat. Menilik gelagatnya, mereka sudah tak mampu bertempur lagi!”
Ca Giok yang sejak tadi berdiri di pinggir berdiam diri, saat itu menyelutuk, “Benarkah
itu Cong lo-ciaupwe?”
Cong To tersenyum, “Mengapa? Apakah engkau hendak memungut keuntungan?”
“Ah, tidak. Aku hanya memikirkan keadaan ayahku,” sahut Ca Giok.
Cong To tertawa, “Tak jadi apa. Mereka berempat walaupun menderita luka – dalam
tetapi tak sampai membahayakan jiwanya. Sekalipun begitu apabila sekarang ini ada
orang yang hendak menyerang mereka, memang gampang sekali untuk membunuhnya.”
Sambil kerahkan tenaga – dalam, Ca Giok berkata, “Bagaimana kalau kuperiksa luka
ayah?”
Saat itu Ting Lingpun sudah tersadar. Tetapi ia pura-pura masih pingsan dan rebahkan
diri di haribaan Cong To. Begitu melihat Ca Giok hendak menghampiri ke tempat ayahnya,
Ting Ling berbisik ; “Yah, Ca Giok hendak menyerang Ih Thian-heng….”
Cong To kerutkan dahi lalu berteriak, “Ca Giok, lekas kembali! Ilmu Thay kek-gi-kang
dari Ih Thian-heng, tiada yang menandingi. Kalau engkau hendak menyerangnya secara
diam-diam, engkau akan cari penyakit buat diri sendiri!”
Ca Giok hentikan larinya dan berpaling. “Urusan apa?” tanyanya pura-pura tak
mengerti.
Cong To mendengus, “Binatang merayap seratus kaki, matipun masih bergeliatan.
Sekalipun saat ini Ih Thian-heng sudah tak mempunyai kemampuan untuk bertempur
tetapi dengan modal kepandaianmu yang hanya begitu itu, sukar untuk melukainya.
Pengemis tua memberi tahu kepadamu agar menghapus saja pikiran untuk mencelakainya
agar engkau jangan cari penyakit buat diri sendiri!”
Ca Giok tersenyum kecil, “Kebaikan lo-cianpwe pasti kuingat selamanya!” – ia terus
lanjutkan langkah ke muka.
Sekonyong-konyong terdengar derap langkah orang. Sesaat kemudian muncullah Hud
Hoa Kongcu berlari – lari mendatangi dengan pakaian kusut dan berlumuran debu.
“Yah, apakah Hud Hoa kongcu itu dapat membuka jalandarahnya yang tertutuk itu?”
bisik Ting Ling kepada Cong To.
Sepanjang hidupnya, Cong To berkelana tiada empat menetap yang tertentu. Kecuali
hanya dengan sumoaynya, seumur hidup ia belum pernah bergaul dengan anak
perempuran. Tak pernah ia mengenyam kebahagiaan menjadi ayah. Pada saat itu ia
benar-benar tersentuh perasaannya karena dipanggil ‘ayah’ oleh Ting Ling.
“Ha, ha, jangan kuatir,” katanya tertawa riang, “kalau pengemis tua disini, siapapun
jangan harap dapat mengganggumu!”
Kiranya dengan membopong Ting Ling, Hud hoa kongcu membawanya lari melintasi
beberapa gunduk kuburan lalu berhenti. Dia bagaikan seekor harimau yang kelaparan.
Menggondol seorang mangsa yang cantik, ia benar-benar lupa daratan. Darahnya mengalir
deras, nafsunya menyala keras. 3egitu meletakkan Ting Ling, ia terus hendak
nelampiaskan nafsunya. Tetapi Cong To dapat nengejar dan menutuk jalandarah pemuda
yang gemar wanita itu.
Karena sedang dibakar api kenafsuan, maka dengan mudah dapatlah Hud Hoa kongcu
tertutuk jalandarahnya.
Setelah tertolong oleh Cong To, Ting Ling marah sekali. Ia menghajar pemuda itu
sepuasnya. Karena tertutuk jalandarahnya, Hud Hoa kongcu tak dapat berbuat apa-apa.
Mukanya bengap2, pakaian compang camping tak keruan.
Walaupun mulut Cong To menghibur Ting Ling begitu, tetapi diam-diam hatinya
terkejut mengetahui pemuda itu mampu membuka jalandarahnya yang tertutuk itu.
“Hm, boleh juga pemuda itu. Sungguh seorang lawan yang tak boleh dipandang
ringan,” pikirnya.
Dengan dua kali loncatan, tibalah Hud Hoa kongcu di samping Ih Thian-heng, serunya,
“Saudara Ih,” tiba-tiba ia hentikan kata-katanya karena melihat Ih Thian-heng pejamkan
mata dan pucat wajahnya.
Tiba-tiba Ih Thian-heng membuka mata dan tersenyum ; “Aku terluka!”
Sesungguhnya Hud Hoa kongcu geram sekali karena Ih Thian-heng tak memberi
pertolongan kepadanya. Tetapi demi melihat orang itu terluka, lenyaplah kemarahannya.
Memandang ke muka, Hud Hoa kongcu melihat Ca Giok sedang berjalan mendatangi.
Seketika kemarahan yang tersumbat tadi ditumpahkan kepada Ca Giok. Dengan
menggembor keras ia lampiaskan kemarahan yang tersumbat tadi, ditumpahkan
menghantam pemuda itu.
Ca Giok terkejut. Ia hendak menghindar tetapi kuatir Hud Hoa kongcu akan menyerang
ayahnya. Diam-diam ia kerahkan tenaga-dalam dan lepaskan pukulan Peh-poh-sin-kun.
Ketika kedua pukulan itu saling beradu, timbullah angin kisaran yang deras. Hud Hoa
kongcu tetap tegak tak bergetar. Kebalikannya Ca Giok tersurut mundur selangkah.
Nyo Bun-giau dan Ca Cu-jing serentak memandang ke arah Ca Giok tanpa berkata apaapa.
Saat itu, tokoh-tokoh yang habis bertempur itu sedang berusaha untuk menyembuhkan
lukanya. Mereka seolah-olah berlomba. Siapa yang sembuh lebih dulu, dialah yang bakal
memenangkan pertempuran itu. Maka setiap detik, sangat berharga sekali bagi mereka.
Setelah lepaskan hantaman tadi, tiba-tiba telinga Hud Hoa kongcu terngiang oleh suara
Ih Thian-heng dalam ilmu Menyusup-suara, “Harap saudara Siong jangan turun tangan
lagi. Cepat tinggalkan tempat ini. Pergilah ke arah barat, lima li jauhnya, segeralah engkau
lepaskan obat pasang yang kuberikan kepada saudara itu, untuk memanggil orang-orang
kita. Jika mereka datang tepat pada waktunya, tentu dapat menyelesaikan orang-orang ini
sampai ludas!”
Hud Hoa kongcu terkesiap. Dengan geram ia deliki mata kepada Cong To lalu cepat
berputar tubuh dan melakukan perintah Ih Thian-heng.
Jika dia tak deliki mata begitu rupa kepada Cong To, mungkin takkan menimbulkan
kecurigaan Ting Ling. Tetapi karena ia tak dapat menahan getaran perasaannya, Ting Ling
cepat menduga jelek.
Sambil memandang pemuda yang tergopoh-gopoh lari itu; Ting Ling membisiki Cong
To, “Yah, lekas suruhlah Ji siangkong mengejar dan menangkapnya. Kukuatir pemuda itu
akan melakukan siasat jahat kepada kita.”
Cong To tertegun. Cepat ia berpaling ke arah Han Ping. ternyata saat itu Han Ping
tengah menengadah memandang langit. Seolah-olah ia sedang memikirkan sesuatu yang
penting.
Sejenak bersangsi, berserulah Cong To memanggilnya, “Han Ping!”
Han Ping cepat mengiakan dan menghampiri, “Apakah lo-cianpwe memanggil aku?”
“Lekas kejar dan bawa kemari Hud Hoa kongcu itu!”
Memandang ke muka ternyata bayangan Hud Hoa kongcu sudah tak kelihatan. Han
Ping terkesiap, serunya, “Kemanakah dia?”
Ting Ling menghela napas perlahan; “Ah, terlambat!”
“Apakah yang terlambat?” seru Cong To.
“Tempat ini sebuah belantara yang dapat menembus ka seluruh penjuru. Entah
kemanakah larinya Hud Hoa kongcu itu. Untuk mengejarnya memang tak mudah!” kata
Ting Ling.
Nona itu berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi, “Tetapi masih ada akal. Tanyakan pada
Ih Thian-heng mungkin dapat kita ketahui tujuan pemuda itu.”
Cong To lepaskan tubuh Ting Ling, katanya, “Engkau tunggu di sini, aku hendak
bertanya kepada Ih Thian- heng.”
Rupanya pengemis sakti itu menyadari gentingnya suasana saat itu. Cepat-cepat ia lari
menghampiri dan berseru nyaring, “Ih Thian-heng!”
Ih Thian-heng membuka mata dan menjawab, “Saudara Cong perlu apa?”
“Kemanakah perginya Hud Hoa kongcu tadi?”
Jawab Ih Thian-heng, “Mungkin karena mengetahui aku terluka herat, ia tak mau
tinggal lebih lama di sini dan terus pergi!”
Diam-diam Cong To mengakui jawaban itu memang beralasan. Maka bertanyalah ia
pula, “Apakah ia hendak pulang ke Kwan gwa?”
“Entahlah, aku kurang jelas!” kata Ih Thian-heng. Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan,
“Jika sekiranya saudara Cong tak bermaksud mencelakai. Harap jangan tanya apa-apa lagi
kepadaku. Karena apabila Nyo Bun- giau dan Ca Cu-jing dapat sembuh lebih dulu,” aku
tentu sukar mempertahankan jiwaku.”
Cong To tertegun lalu mundur. Diam-diam ia menimang, “Mereka sama menderita luka
parah. Jika pengemis tua turun tangan, mereka tentu akan remuk binasa semua. Tetapi
apakah aku dapat berbuat begitu?”
Tengah ia merenung tiba-tiba terdengar letusan hebat. Sebagai seorang persilatan yang
kenyang makan asam garam dalam dunia persilatan, tahulah ia bahwa letusan itu berasal
dari obat pasang yang disulut orang. Ia kerutkan dahi.
Nyo Bun giau tiba-tiba membuka mata dan berseru nyaring, “Saudara Ting, apakah
engkau terluka berat?”
Sejenak Ting Yan-san merenung. Seketika ia dapat menangkap apa maksud pertanyaan
Nyo Bun-giau itu. Secepat kilat ia loncat bangun dan menghampiri Ih Thian heng seraya
menjawab Nyo Bun giau, “Tenaga-murniku sudah pulih kembali.”
Diantara tokoh-tokoh yang berada di situ, kecuali Ih Thian-heng, Nyo Bun-giaulah yang
paling cerdas dan licin. Begitu melihat Hud Hoa kongcu pergi dan tak berapa lama
kemudian terdengar letusan, cepat ia dapat menduga bahwa Ih Thian-heng sedang
melakukan rencana jahat. Seketika meluaplah nafsu pembunuhannya. Maka cepat Ting
Yan-san diberi isyarat agar menggunakan ke-sempatan selagi Ih Thian-heng sedang
melakukan pernapasan itu, segera turun tangan.
Ih Thian-heng deliki mata dan berseru nyaring, “Kim loji, aku takkan mengurus lebih
lanjut tentang penghianatanmu. Tetapi kuminta engkau suka membantuku untuk yang
terakhir kalinya. Layanilah Ting Yan-san sampai 50 jurus!”
Kim loji merenung sejenak lalu menyahut, “Jika engkau mau mencabut jarum beracun
pada tulangku, aku tentu akan membantumu!”
Ih Thian- heng tersenyum, “Baiklah, engkau mau tawar menawar dengan aku….”
Pada saat itu Ting Yan-san sudah melesat ke samping Ih Thian-heng dan
menghantamnya.
Ih Thian-heng mengempos semangat dan loncat menghindar seraya berseru kepada
Kim loji, “Baiklah, tetapi jika engkau tak mampu menahan Ting Yan-san sampai 50 jurus.
jangan sesalkan aku akan menarik kembali janjiku!”
Kim loji mengiakan lalu loncat menghantam punggung Ting Yan-san.
Ca Giok tiba-tiba melangkah maju merintangi, “Kim lo-cianpwe, harap pelahan dulu.
Maukah mendengarkan sepatah kataku dulu?”
Dalam pada itu, Ting Yan-san sudah lancarkan serangan sampai belasan jurus sehingga
Ih Thian-heng yang menderita luka itu harus berlincahan menghindar. Tubuhnya bermandi
keringat.
Kim loji ayunkan tangan membentak Ca Giok, “Menyingkirlah, kalau mau omong nanti
saja!”
Tetapi Ca Giok tak mau menyingkir malah menangkis seraya berseru, “Urusan ini
menyangkut soal mati hidup. Tak boleh ditunda lagi. Asal lo-cianpwe suka menunggu
sebentar saja, urusan yang akan kukatakan tentu sudah selesai!”
Kim loji sudah kenyang pengalaman. Ia tahu bahwa Ca Giok hendak memperpanjang
waktu agar Ting Yan-san mempunyai kesempatan untuk melukai Ih Thian-heng.
Han Ping yang menyaksikan peristiwa itu, menjadi bingung. Ia anggap orang-orang itu
tak layak ditolong. Ia tak tahu siapa di antara mereka yang baik dan yang buruk. Akhirnya
ia berpaling ke arah Cong To, “Cong lo cianpwe, kita perlu turun tangan atau tidak?”
“Lebih baik jangan membantu siapa saja dan hanya menonton bagaimana
kesudahannya nanti,” sahut Cong To.
Ketika Han Ping berpaling ke muka lagi, dilihatnya Kim loji sedang bertempur matimatian
melawan Ca Giok.
Dengan lengannya yang tinggal satu, Kim loji menyerang dengan seru. Setiap
serangannya ditujukan pada jalandarah berbahaya di tubuh lawan. Sedang Ca Giok
tampaknya tak mau melukainya. Kecuali untuk menghindari serangan yang berbahaya,
barulah ia mau menggunakan tenaga keras.
Ting Ling menghampiri ke samping Han Ping, bisiknya, “Engkau sudah dipandang
sebagai tokoh persilatan yang ternama.”
“Mengapa?” Han Ping tertegun heran.
“Kim loji masih belum biasa bertempur dengan sebuah tangan. Gerakannya masih kaku.
Jika Ca Giok sungguh-sungguh mau menyerang keras seperti lawannya, mungkin Kim loji
tak dapat bertahan lagi!” kata si nona.
Han Ping mengangguk, “Benar!”
“Tahukah engkau apa sebab Ca Giok tak mau menyerang sungguh-sungguh?” tanya si
nona pula.
Tiba-tiba Han Ping seperti tersadar. Ia tersenyum tetapi tak menyahut.
Ting Lingpun tertawa juga, “Kalau sampai melukai Kim loji, dia takut kepadamu. Itu
masih belum mengherankan. Tahukah engkau pula bahwa Ih Thian-heng juga takut
kepadamu?”
Tiba-tiba saja ia merasa ucapannya itu kurang tepat maka buru-buru ia batuk-batuk
lalu menambahi lagi, “Juga terhadap ayah-angkatku….”
Cong To tertawa gelak-gelak, “Kalau takut kepadanya itu benar tetapi kalau takut
kepada pengemis tua ini, ah belum tentu!”
“Sekalipun ayah belum tentu mampu menandingi Ih Thian-heng, tetapi ayah memiliki
peribadi yang tulus jujur. Dalam hati, sesungguhnya Ih Thian-heng sudah gentar tiga
bagian dan tiga bagian jerih terhadap keberanian ayah. Dengan beberapa ketakutan itu,
turunlah moril Ih Thian-heng dan berkuranglah gaya permainan silatnya. Itulah sebabnya
mengapa Ih Thian-heng berani memandang rendah Tiga Marga dan Dua Lembah tetapi
tak berani memandang rendah kepada ayah.”
Cong To tertawa meloroh, “Bagus, ho engkau memberi topi kebesaran kepada kepala
ayah-angkatmu ini!”
“Apa yang kukatakan itu memang suatu kenyataan. Namun kalau ayah tak percaya
akupun tak dapat berbuat apa-apa,” kata Ting Ling.
Han Pingpun membenarkan pernyataan nona itU.
“Keadaan saat ini hanyalah suatu ketenangan sementara dari datangnya suatu
prahara,” kata Cong To, “dalam waktu sejam lagi tentu akan terjadi perobahan besar. Jika
dalam saat2 mereka belum sembuh dari lukanya, pengemis tua turun tangan, jangan
harap mereka dapat hidup. Ai, tetapi dalam hidup pengemis tua, tak pernah mencelakai
orang yang sedang menderita!”
“Ayah, aku menyangsikan sebuah hal….” tiba-tiba Ting Ling berkata.
“Soal apa?”
“Sekalipun dari kerut wajah Ih Thian-heng belum dapat kuketahui jelas apakah dia
benar – benar terluka atau tidak, tetapi kurasa tenaganya masih belum habis, masih
menyimpan tipu muslihat!”
Cong To menghela napas, “Ih Thian-heng memang manusia hebat. Tiada seorangpun
yang dapat menduga setiap gerak geriknya. Tetapi apa yang terjadi saat ini, memang tak
mungkin selesai begitu saja. Pengemis tua pun mempunyai perasaan begitu juga.”
“Entah apa yang sedang dirancang Ih Thian-heng tetapi kita lebih baik berjaga – jaga.
Lebih baik kalau ayah dapat berusaha untuk memperoleh sedikit pegangan darinya, agar
jangan sampai….”
Cong To gelengkan kepala tertawa, “Penge-mis tua dapat membunuhnya, demi
melenyapkan sebuah bencana besar dalam dunia persilatan .”
“Kalau begitu harap segera turun tangan saja! Malam panjang impian berobah,
dikuatirkan akan terjadi perobahan lagi!” kata Ting Ling.
“Tak perlu engkau mendesak,” kata Cong To, “sekalipun kutahu bahwa apabila
kesempatan saat ini sampai hilang, tentu sukar untuk membunuh Ih Thian-heng. Tetapi
pengemis tua tiba-tiba menyadari bahwa apabila tak ada Ih Thian-heng, tentulah dunia
persilatan takkan timbul peristiwa seperti sekarang ini. It – kiong. Si -Loh dan Sam – poh
tentu tetap akan menjagoi dan memperluas pengaruhnya. Keadaan dunia persilatan tentu
lebih banyak kesulitan lagi. Memang dalam soal keganasan, Ih Thian-heng lebih unggul
dari Dua Lembah dan Tiga Marga. Tetapi Ih Thian-heng dapat dijadikan imbangan
kekuatan yang bagus. Dengan adanya orang itu dapatlah Dua Lembah, Tiga Marga dan
Sembilan partaipartai persilatan tak sampai saling bermusuhan. Dalam hal itu memang ada
juga jasa Ih Thian-heng.”
Ting Ling tertawa hambar, “Sekalipun ucapan ayah benar, tetapi dengan racun
mengobati racun, bukanlah cara yang benar. Sekali imbangan kekuatan itu hilang, maka
timbullah kekacauan, pembunuhan dan pertikaian!”
“Tetapi dewasa ini dalam dunia persilatan belum terdapat lain orang yang mampu
menggantikan kedudukan Ih Thian-heng sebagai imbangan kekuatan,” bantah Cong To.
Han Ping hanya berdiri di samping mendengari pembicaraan kedua orang itu. Diam –
diam ia termakan oleh ucapan Cong To yang mengatakan bahwa dalam dunia persilatan
dewasa itu tiada tokoh yang dapat menggantikan peranan Ih Thian-heng.
Tiba-tiba terdengar suara dengusan tertahan menukas pembicaraan Cong To dan Ting
Ling.
Ketika Han Ping mengangkat muka tampak Kim Loji berturut – turut mundur sampai
empat lima langkah. Han Ping kerutkan kening dan cepat loncat ke samping pamannya itu,
tanyanya, “Apakah paman terluka?”
Belum Kim Loji menjawab, Ca Giok sudah mendahului. “Maaf, aku telah kelepasan
tangan memukul Kim lo-cianpwe,” serta merta ia menjura memberi hormat.
Han Ping goyangkan tangan sebagai balas hormat. Dipandangnya Kim Loji dengan
cermat, lalu katanya, “Apakah paman terluka berat?”
“Tak apa-apa…” kata Kim Loji lalu tiba-tiba berseru nyaring, “Ih Thian-heng, kalau
kuminta lain orang untuk menahan Ting Yan-san sampai 20 jurus, engkau anggap atau
tidak?”
Saat itu memang Ih Thian-heng sudah kalang kabut menghadapi serangan Ting Yan –
san. Tetapi ia tetap rangkapkan kedua tangannya tak mau balas menyerang. Mendengar
seruan Kim Loji, ia tersenyum, “engkau berani memanggil namaku begitu saja….”
Tiba – tiba ia menghindari dua buah pukulan Ting Yan- san lalu berseru, “Baiklah!
Kerena aku memang bermaksud hendak memberi kebebasan kepadamu, maka siapa saja
yang mewakilimu, boleh juga. Asal yang penting dapat menahan serangan Ting Yan – san
ini sampai 50 jurus!”
“Anak Ping, lekas engkau tahan Ting Yan-san sampai 50 jurus saja,” kata Kim Loji
kepada Han Ping.
Han Ping tertegun, “Apa? Apakah paman suruh aku membantu Ih Thian-heng?”
“Bukan suruh engkau membantunya. Tetapi mewakili aku menahan serangan Ting Yan
– san sampai 50 jurus dan segeralah engkau mundur!”
Melihat wajah sang paman begitu ketakutan, Han Ping tak mau mendesak lebih lanjut.
Ia terus loncat ke samping Ih Thian-heng seraya ayunkan tangan kiri untuk menangkis
serangan Ting Yan – san.
“Huh, engkau hendak menempur aku?” Ting Yan – san marah sekali.
“Aku hendak menahan seranganmu hanya untuk 50 jurus saja,” jawab Han Ping.
“Cobalah saja!” seru Ting Yan san Liu menahan hatinya.
Han Ping menangkis. Setelah pukulan orang tersiak, ia tak mau balas menyerang.
Bemula Ting Yan – san masih kuatir kalau pemuda itu akan balas menyerang. Tetapi
setelah berlangsung beberapa jurus, barulab ia yakin kalau pemuda itu takkan membalas.
Segera ia lancarkan pukulan yang ganas.
Han Ping gunakan ilmu mengerat jalandarah dan memukul urat. Dengan ilmu itu ia
dapat memaksa Ting Yan – san menarik pulang setengah jalan serangannya. Tetapi ia
tetap tak mau meneruskan gerakannya itu untuk balas menyerang Ting Yan-san.
Tigapuluh jurus Ting Yan-san menyerang, tiba-tiba timbullah rasa takutnya kepada
pemuda itu. Ia hentikan serangan dan loncat mundur. Serunya dingin, “Mengapa engkau
tak balas menyerang?”
Ternyata sebagai orang tokoh persilatan ia cepat dapat mengetahui bahwa gerak
tangkisan pemuda itu sesungguhnya, apabila dilanjutkan, merupakan suatu jurus serangan
yang berhahaya sekali. Walaupun setiap kali pemuda itu selalu menarik kembali gerakan
tangannya. tetapi Ting Yansan tetap kuatir kemungkinan pada suatu saat pemuda itu akan
berobah pendiriannya dan benar-benar mau menyerangnya.
Itulah maka ia loncat mundur untuk mengatur langkah lagi bagaimana harus
menghadapi pemuda itu.
“Telah kukatakan tadi, bahwa aku hanya akan menyambut seranganmu sampai 50
jurus,” sahut Han Ping tawar.
“Huh, engkau anggap aku ini orang apa mau menerima kemurahan dari seorang bocah
ingusan seperti engkau.”
Han Ping kerutkan dahi lalu membentak marah, “Habiskan sisa 20 jurus itu, baru aku
nanti mau membalas!”
Diam-diam saat itu Ting Yan-san kerahkan tenaga-dalam Han-im-gi-kang. Ia hendak
lancarkan ilmu cakar setan Hian-im-kui-cau yang terdiri dari 24 jurus. Ia hendak
menghajar Han Ping.
Melihat wajah Ting Yan-san berobah seperti warna besi dan tulang belulangnya berderak2
sena kulitnya menyusut kerut, diam-diam Han Pingpun meningkatkan
kewaspadaannya dan siap menjaga setiap kemungkinan.
Setelah mempersiapkan tenaga-dalam Han-im- gi- kang, Ting Yan-sanpun tertawa
seram, “Engkau sendiri yang tak mau balas menyerang. Jika sampai terluka, janganlah
engkau sesalkan aku l”
Selama beberapa bulan ini memang makin bertambah luas pengalaman Han Ping
tentang seluk beluk dunia persilatan. Ia tertawa dingin, “Tak usah engkau membakar
hatiku. Sekali kukatakan tak mau balas menyerang, ilmu apapun yang hendak engkau
gunakan untuk menyerang diriku, aka tetap takkan membalas!”
Diam-diam bersoraklah hati Ting Yan-san, pikirnya, “Tenaga- dalam Han-im gi-kang
dan ke 24 jurus cakar setan Hian-im kui cau itu, merupakan ilmu simpanan dari Lembah
Raja Setan. Kecuali kalau didahului musuh sehingga aku tak herdaya menggunakan ilmu
itu, sekali mendapat kesempatan melancarkan, musuh yang bagaimana saktinyapun tak
mungkin mampu menghadapinya. Hm, budak gila engkau cari sakit sendiri!”
Ting Ling yang berada di belakang, cepat dapat menyadari keadaan yang berbahaya
itu. Ia tahu bahwa pamannya sudah mempersiapkan Han-im- gi-kang dan hendak
menyerang dengan Hian-im-kui-cau. Diam-diam nona itu gelisah dan cepat berseru
pelahan, “Paman….”
Ting Yan-san mendengus dingin. “Mengapa?”
“Apakah paman hendak menggunakan Hian-im-kui-cau dari kaum kita?”
“Siapa suruh engkau banyak mulut? Lekas menyingkir!”
Tetapi Ting Ling tetap tak gentar, ujarnya pula, “Tetapi ayah pernah menandaskan
bahwa kecuali menghadapi bahaya maut, barulah boleh menggunakannya. Hal itu demi
menjaga agar jangan sampai ilmu kebanggaan kaum Lembah Raja Setan itu diketahui
orang. Apabila ayah tahu paman hendak menggunakan ilmu itu saat ini, kemungkinan
beliau tentu tak senang….”
Ting Yan-san bahwa anak kemenakannya itu sengaja hendak memperdengarkan
pembicaraan itu kepada Han Ping. agar pemuda itu dapat berjaga-jaga. Maka bukan
mainlah marahnya ia. Ia tertawa dingin, “Bagus, pamanmu sendiripun hendak engkau jual.
Benar-benar engkau memang bosan hidup!”
“Aku berkata dengan sunggguh hati dan maksud baik. Jika paman tak mau percaya,
aku-pun tak dapat berbuat apa-apa!”
Ting Yan-san tahu bahwa apabila ia melayani bicara dengan anak perempuan itu tentu
makin banyak rahasia yang akan dibocorkan. Maka cepat ia berpaling muka dan tak
menghiraukan Ting Ling lagi. Serunya nyaring kepada Han Ping, “I1mu Hian-im-kui-cau
dari Lembah Raja Setan jarang sekali orang persilatan yang mampu menahan. Sebelum
turun tangan, aku hendak memberimu kesempatan. Jika sekarang engkau mengatakan
mau balas menyerang, masih belum terlambat!”
Dengan garang Han Ping tertawa, “Jika sampai terluka ditanganmu, salahku sendiri
karena kepandaianku yang masih dangkal. Tetapi setelah 24 jurus itu, aku bebas dari
janjiku ini!”
“Jika engkau mampu bertahan pada 24 jurus seranganku itu, akupun akan menyatakan
kalah dengan ikhlas hati!” sahut Ting Yan-san.
“Baiklah, kita setujui perjanjian itu. Tetapi apabila nanti engkau kalah, engkau harus
meluluskan sebuah permintaanku!” kata Han Ping.
Tanpa banyak pikir lagi karena yakin pemuda itu tentu kalah, Ting Yan-san cepat
menyahut, “Jika aku kalah denganmu, aku rela melakukan perintahmu.”
“Baik, silahkan mulai!” seru Han Ping.
Ting Ling memandang ke arah pemuda itu dengan sebuah helaan napas, pikirnya ; “Ah,
apakah engkau bukannya mencari kematian sendiri? Sekalipun engkau bebas menangkis,
belum tentu dapat menahan ilmu istimewa dari Lembah Raja Setan. Apalagi engkau tak
balas menyerang….”
Rupanya pengemis sakti Cong To tahu apa yang diresahkan nona itu. Ia tertawa gelakgelak,
“Tak usah engkau mencemaskan dia, kembalilah kemari. Dengan kepandaian yang
tak berarti dari Lembah Raja Setan, tak nanti dapat melukainyal”
Sejak terjeblus dalam penjara – air bersama Han Ping, barulah ia mengetahui bahwa
pemuda itu memang memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa.
Memastikan bahwa dalam 10 jurus saja pemuda itu pasti terluka atau mati, Ting Yan –
san tertawa garang; “Hati – hatilah, aku segera turun tangan!”
Han Ping mengempos semangat, mengerahkan tenaga murni dan menyahut,
“Silahkan!”
Ting Yan – san mengangkat tangan kirinya, jarinya setengah ditekuk lalu cepat-cepat
mencengkeram dada Han Ping.
Han Ping dapatkan bahwa kelima jari tokoh Lembah Raja Setan itu mengandung hawa
Im-han atau hawa dingin – jahat. Diam-diam tergetarlah hatinya. Cepat ia menghindar
kesamping.
Ting Yan-san tertawa dingin lalu mencengkeram dengan tangan kanan. Cengkeraman
itu lebih ganas. Seketika Han Ping rasakan dirinya dilanda oleh hawa dingin. Terpaksa ia
putar tangan kanannya untuk menghalau serangan ganas itu. Pikirnya Karena aku terikat
janji tak boleh balas menyerang maka dia menyerang seganas-ganasnya dengan bebas.”
Dalam pada itu Ting Yan – sanpun sudah lan-carkan ke 24 jurus Hian – im – kui – cau.
Udara disekelilingnya seolah – olah penuh dengan tahuran jari dan hamburan angin
dingin.
Han Ping cepat dapat menyadari bahwa saat itu ia sedang berhadapan dengan sebuah
ilmu kepandaian istimewa yang amat ganas. Apalagi hamburan jari yang sukar ditangkis
itu, sedangkan hawa dingin yang berhamburan itu saja sudah membuat orang tak kuat
bertahan.
Saat itu Ting Ling dan Cong To sudah merasa sesuatu yang tak lancar. Kiranya saat itu
Han Ping kena terkurung oleh bayang-bayang dari Ting Yan – san.
Sejenak memandang Cong To, berkatalah Ting Ling dengan geram, “Kubilang dia tak
dapat bertahan tetapi engkau tetap tak percaya! Sekarang, bagaimana, percaya atau
tidak!”
Jawab Cong To seenaknya. “Ting Yan- san sudah menyerang 10 jurus, asal dia dapat
bertahan 10 jurus lagi, tentu boleh balas menyerang!”
“Sekalipun tak dapat menggunakan ilmu Hian – im – kui – cau itu tetapi kutahu
bagaimana kehebatan ilmu itu. Apabila pamanku tak mau berhenti setelah 10 jurus lagi,
lalu bagaimana?”
“Kedua tangan pengemis tua ini belum pernah memutus tahu. Jika Ting Yan – san
melanggar janji, pengemis tua segera akan turun tangan!”
Walaupun mulut mengatakan begitu tetapi datam hati pengemis sakti itu sudah
menyadari. Kalau Han Ping saja sampai terluka dari serangan Hian – im – kui – cau, sia2
saja ia akan maju.
Tiba-tiba terdengar Han Ping menggembor keras, “Duapuluh jurus sudah lewat, aku
hendak balas menyerang sekarang!” ia menutup kata-katanya dengan sebuah hantaman.
Serangkum hawa dahsyat melanda dan membobol lingkaran bayangan jari. Han
Pingpun cepat loncat keluar sampai setombak jauhnya.
Rupanya Ting Yan – san tergetar nyalinya. Ia tak berani mengejar lawan.
“Ting losam, ke 24 jurus Hian – im – kui – cau itu memang hebat. Hanya saja penuh
dengan hawa setan. Semestinya tak layak digunakan oleh manusia hidup!” seru Cong To
lalu berpaling memandang ke arah Han Ping.
Dilihatnya wajah pemuda itu pucat lesi, bibirnya agak biru seperti orang yang habis
mandi dari sungai es. Diam-diam pengemis sakti itu terkejut, pikirnya, “Tak kira kalau Hian
– im – kui – cau begitu hebatnya!”
Sejenak memandang ke arah pamannya, Ting Ling berpaling memandang Han Ping lalu
berbisik kepada Cong To, “Yah, bolehkah aku minta tolong kepadamu.”
Cong To terkesiap, sahutnya, “Ah, tentu soal yang sulit sekali. Kalau tidak masakan
engkau mau minta tolong kepada pengemis tua!”
Ting Ling tertawa rawan, katanya dengan berbisik, “Sekalipun paman memperlakukan
aku tidak baik tetapi bagaimanapun dia adalah orangtuaku.”
Cong To tersenyum, “Bukankah engkau hendak minta pada pengemis tua supaya
menasehati Han Ping jangan sampai melukai pamanmu?”
“Dia dan Ji siangkong sama-sama terluka!” seru Ting Ling.
“Apa?” Cong To terkejut, “Ting Yan – san juga terluka?”
“Benar,” Ting Ling mengiakan, “tetapi karena tenaga – dalam Han – im – gi – kangnya
masih belum buyar, sukar untuk diketahui bagaimana lukanya itu.”
“Ah, sungguh tak nyana bahwa pengemis tua yang sudah berkecimpung dalam dunia
persilatan selama berpuluh – puluh tahun ini, ternyata masih kabur matanya. Apakah
pamanmu terluka berat?”
“Tak mungkin lebih ringan dari Ji siangkong,” sahut Ting Ling.
Tiba-tiba Kim loji berseru keras, “Ih Thian-heng, aku sudah memenuhi janji untuk
menahan 50 jurus serangan dari Ting Yan-san. Setelah itu engkau berjanji hendak
mengambil jarum beracun yang melekat pada tulangku. Entah apakah engkau mau
memenuhi janji itu atau tidak?”
Ih Thian-heng tersenyum, “Sudah tentu aku akan memenuhi perjanjian itu. Kemarilah
engkau!”
Kim loji menghampiri dengan pelahan. Ditingkah cahaya matahari tampaklah kepalanya
bercucuran keringat. Rupanya ia tegang sekali.
Dalam pada itu karena jalandarah vital yang disebut Seng-si-hian-kwan dalam tubuh
Han Ping sudah tembus, maka cepatlah ia dapat memulihkan tenaganya. Setelah
beristirahat beberapa saat, wajahnya yang pucat tadi menebar merah lagi.
Begitu membuka mata dan melihat pamannya menghampiri Ih Thian-heng, diam-diam
Han Ping terkejut. cepat ia loncat memburunya dan mengikuti di belakangnya.
Makin dekat pada Ih Thian-heng, makin teganglah hati Kim loji. Keringat di kepalanya
makin berhamburan seperti banjir. Dua tiga langkah di muka Ih Thian-heng, ia berhenti.
Ih Thian-heng tersenyum. Dengan nada ramah ia berkata, “Jika menghendaki kuambil
jarum2 beracun pada tulangmu, engkau harus menekuk kedua lututmu. Di hadapan
beberapa tokoh persilatan. mungkin….”
“Sudah berpuluh tahun aku menjadi orang bawahanmu. Sekalipun dilihat orang banyak
aku memberi hormat kepadamu, juga bukan suatu hal yang menghilangkan mukaku!” –
habis berkata ia benar-benar berlutut di hadapan Ih Thian-heng.
Han Ping yang berada di belakangnya, kerutkan dahi. Ia hendak mencegah tetapi tibatiba
ia mendapat pikiran, “Hm, hendak kulihat bagaimana dia hendak mencabut jarum
beracun itu.”
Sejenak memandang Han Ping, pelahan-lahan Ih Thian-heng menaangkat tangan
kanannya dan menampar tubuh Kim loji.
Saat itu mata Han Ping berkilat mengawasi perobahan muka Ih Thian-heng. Sekali
diketahuinya Ih Tnian-heng hendak main curang, ia segera akan turun tangan.
Setelah menampar jalandarah Kim loji, Ih Thian-heng pun tertawa, “Sudah kututup tiga
buah jalandarah- tubuhmu. Harus menunggu satu jam lagi, baru dapat kucabut jarum itu.
Silahkan engkau kembali ke tempatmu semula dan beristirahat.
Han Ping tertawa dingin, “Ih Thian-heng, apakah kata-katamu itu boleh dipercaya?”
“Selamanya aku tak pernah bohong!” Ih Thian-heng tertawa hambar.
“Dalam waktu sejam itu, engkaupun juga harus beristirahat memulihkan tenagamu….”
Ih Thian-heng tertawa, “Terus terang saja, saat ini tenagaku sudah pulih delapan
bagian.”
“Akan kututuk jalandarahmu. Jika engkau sampai mencelakai pamanku, jangan harap
engkau bisa hidup juga!” kata Han Ping.
Wajah Ih Thian- heng mengerut tegang, sahutnya, “Jika hendak membunuh Kim loji,
perlu apa aku harus banyak acara seperti ini?”
Jawab Han Ping, “Hati orang sukar diduga. Bagaimana aku dapat menaruh
kepercayaan?”
“Tetapi kalau engkau gagal menutuk jalan-darahku, jarum beracun pada tulang Kim loji
itupun sukar keluar selama-lamanya!”
Han Ping terkesiap, pikirnya, “Omongannya itu memang benar….”
Tengah ia merenung tiba-tiba terdengar derap orang berlari gopoh, Han Ping cepat
mengangkat muka. Belasan sosok tubuh tengah berlari lari mendatangi. Cepat sekali
mereka sudah tiba di tempat itu. Yang paling depan ternyata Hud Hoa kongcu sendiri. Dan
di belakangnya terdapat belasan orang, tua muda, tinggi pendek, semua sama membekal
senjata.
“Anak Ping, lekas menyingkir, jangan mengurusi aku!” seru Kim loji kepada Han Ping.
Saat itu Cong Topun mengetahui bahwa situasi telah berobah buruk. Segera ia maju ke
muka. Sedaugkan Ih thian-heng sejenak berpaling ke arah rombongan Hud Hoa kongcu
lalu berpaling lagi memandang ke arah tokoh-tokoh yang berada disitu. Mulutnya tak
berkata apa-apa kecuali tersenyum simpul.
Begitu tiba di lapangan situ, Hud Hoa kongcu dan rombongannya segera berdiri tegak
seperti menunggu komando.
Kembali Kim loji melambaikan tangan dan berteriak keras, “Saudara-saudara, lekas
tinggalkan tempat ini. Kalau terlambat, tentu sukar….”
Oleh karena tiga buah jalandarahnya tertutuk, Kim loji tak dapat bergerak lagi. Maka ia
hanya dapat gunakan tangan memberi isyarat.
Tepat pada saat itu dari empat penjuru terdengar derap kaki orang berhamburan
mendatangi.
Han Ping keliarkan pandang matanya ke sekeliling. Tampak empat penjuru tempat itu
bermunculan berpuluh-puluh orang.
Yang di sebelah utara, 6 orang berbaju dan mencekal pedang pandak. Di belakang
mereka terdapat 4 orang tua yang masing-masing mencekal batang tongkat berkepala
ular-ularan.
Di sebelah timur, selatan dan barat masing-masing dijaga oleh 12 orang aneh yang
berpakaian serba hitam dan mukanya ditutupi dengan kain kerudung warna hitam.
Munculnya berpuluh-puluh prang aneh itu makin menambah suasana tanah lapang di
hutan itu menjadi seram.
Tiba-tiba Ting Ling berseru nyaring kepada Cong To, “Yah. harap lekas bantu Nyo Bungiau
dan kawan2nya supaya lekas pulih tenaganya ..”
Cong To terkesiap. cepat ia lekatkan telapak tangannya ke punggung Nyo Bun-giau lalu
menyalurinya dengan tenaga-murni. Seketika jalandarah di pusar Nyo Bun-giau terasa
hangat.
Sebetulnya Nyo Bun-giau memang sudah cukup lama beristirahat. Apalagi mendapat
bantuan dari Cong To. Cepat sekali tenaga-murninya memancar ke kaki tangan dan
seluruh tubuhnya. Begitu membuka mata ia segera mengucap terima kasih kepada Cong
To.
Cong To hanya mendengus dingin lalu menghampiri ke tempat Leng Kong-siau.
Ting Ling melihat Han Ping diam saja, cepat memberi perintah, “Jangan keenakan
menganggur! Lekas bantu Ca Cu-jing dan pamanku untuk memulihkan tenaga. Lebih pulih
tenaga mereka, lebih banyak kita mempunyai kesemapatan untuk menyelamatkan diri!”
Sebenarnya dalam hati Han Ping merasa segan. Tetapi ia juga tak enak hati menolak
perintah nona itu. Dengan kerutkan kening, ia melangkah pelahan-lahan lalu lekatkan
tangannya ke pusar Ting Yan-san.
Sebenarnya tadi Ting Yan-san hendak melukai Han Ping dengan ilmu Hian-im-kui-cau.
Tetapi di luar dugaan, pemuda itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Setelah
jalandarahnya Seng-si-hian-kwan tembus, dengan mudah ia dapat melakukan pernapasan
menurut ajaran mendiang Hui Gong siansu. Dan selama satu btdan dijebluskan dalam
penjara air itu, ia bahkan mempunyai kesempatan untuk memperdalam mempelajari ilmu
yang diturunkan Hui Gong siansu. Baik tangan kosong, tenaga-dalam, ia telah memperoleh
kemajuan yang menakjubkan orang.
Pada saat Ting Yan-san menyerang dengan tenaga-jahat Han-im-gi-kang, karena tak
kuat bertahan, Han Ping telah mengerahkan tenaga-murninya untuk melawan. Dan
celakanya, pengerahan tenaga-murni itu selain untuk bertahanpun mengandung daya
mengembalikan serangan tenaga lawan.
Setelah 24 jurus selesai, barulah Ting Yan-san menyadari kalau dirinya menderita lukadalam
yang berat.
Han Ping juga menderita luka tetapi setelah beristirahat beberapa saat, dapatlah ia
memulihkan tenaga-murninya lagi. Kebalikannya, Ting Yan-san tetap terluka parah.
Karena tenaga-murninya sudah pulih, sekali lekatkan tangan, Han Ping segera dapat
menyalurkan tenaga-murninva itu. Ting Yan-san menyadari bahwa bantuan pemuda itu
merupakan satu-satunya jalan dimana ia akan pulih tenaga-dalamnya dalam waktu yang
singkat. Maka ia tak mau memberi reaksi apa-apa kecuali segera kerahkan tenaga dalam
untuk menyambutnya.
Setelah sepeminuman teh lamanya, barulah ia dapat mempersatukan tenaga-murninya
dengan tenaga-murni Han Ping.
Han Ping memang kurang pengalaman. Merasa Ting Yan-san tak memberi reaksi suatu
apa, ia terus giat menyalurkan tenaga-murni. Tetapi pada saat Ting Yan-san dapat
menyatukan tenaga-murninya, Han Ping merasa lelah sekali!
Dalam pada itu Cong To pun masih giat membantu Leng Kong-siau dan Ca Cu-jing
untuk memulihkan tenaganya.
Ih Thian-heng hanya melihati dengan tak acuh. Beberapa kali Hud Hoa kongcu hendak
menggunakan kesempatan turun tangan tetapi selalu dicegah Ih Thian-heng.
Setelah Nyo Bun-giau, Ca Cu-jing, Ting Yan-san Leng Kong-siau pulih tenaganya, Ih
Thian-heng tampak tersenyum.
“Apakah tenaga saudara-saudara sudah pulih? Siapa ang belum harap bilang. Aku
masih dapat menunggu lagi.”
Saat itu Han Ping dan Cong To amat letih sekali. Badannya mandi keringat. Keduanya
berdiri di samping memulangkan napas.
Nyo Bun- giau pelahan-lahan ayunkan langkah. Wajahnya tenang sekali seperti tak
terjadi suatu apa. Ia memandang ke sekeliling. Begitu tiba di samping Kim loji, tiba-tiba ia
ayunkan tangan kanan untuk membuka jalandarah Kim loji.
Ih Thian-heng kerutkan alis. Dari jauh ia segera lepaskan hantaman.
Entah bagaimana, tiba-tiba saja Nyo Bun-giau merasa sayang kepada Kim loji. Ia maju
dua langkah, menjaga di muka Kim loji. Ia gunakan tangan kanan untuk menangkis
pukulan Biat-gong-ciang dari Ih Thian-heng seraya menyuruh Kim loji, “Saudara Kim, lekas
mundur ke tempat saudara Cong saja!”
Kim loji menurut. Ifa lari ke samping Cong To. ternyata Ih Thian- heng tak mau
menyusuli pukulan yang kedua lagi. Nyo Bun-giaupun juga mundur kembali.
Ca Cu jing, Leng Kong-siau Ting Yan-san-pun mundur ke sebelah kiri Cong To. Mereka
tegak berjajar dan siap bertempur.
Beberapa tokoh itu membentuk diri dalam formasi bundar dan menempatkan Cong To
di tengah sebagai poros barisan.
Hanya Han Ping yang berdiri kira2 dua tombak jauhnya dari rombongan tokoh-tokoh
itu. Seorang diri ia berdiri tegak sambil pejamkan mata.
Ting Ling memandang ke sekeliling. Dilihatnya berpuluh musuh yang mengepung
itupun sudah menghunus senjatanya masing-masing. Mereka hanya menunggu komando
dari Ih Thian-heng untuk se- Cap scat meneijang maju. Melihat Han Ping berdiri seorang
diri, diam-diam Ting Ling kuatir. Apalagi pensuda itu masih melakukan pernapasan.
Bertanya Nyo Bun-giau kepada Kim loji. “Apakah saudara Kim tahu siapa kawanan
orang baju hitam itu? Tabung emas pada pinggang mereka itu?”
Memang kawanan baju hitam yang berbaris pada empat penjuru itu, sama menyanggul
bungkusan hitam di punggungnya. Dari bungkusan itu mereka mengambil sebatang
tahung emas yang panjangnya setengah meter dan besarnya sama dengan langan orang.
Dengan nada gemetar Kim loji menjawab, “Tahung emas itu bukan senjata….”
“Senjata rahasia?” tanya Nyo Bun-giau.
“Juga bukan,” jawab Kim loji, “kemungkinan mereka adalah 36 macam barisan Thiankong-
tin yang telah dilatih dengan susah payah oleh Ih Thian-heng.”
Nyo Bun-giau tertegnm, “Apakah barisan Thian-kong-tin itu?”
“Kabarnya mereka dapat bergabung diri dalam sebuah bentuk barisan yang disebut
Thian-kong-tin.”
“Segala macam barisan, kiranya tiada yang menandingi kehebatannya dari barisan Lohan-
tin partai Siau-lim-si. Aku rasa Thian-kong-tin itu tak perlu digentarkan!” kata Ca Cujing.
“Anehnya anakbuah barisan itu sama memegang tahung emas. Jika dalam tabung itu
tersimpan senjata rahasia beracun yang dapat ditembakkan. Tigapuluh enam buah tabung
menghambur dalam waktu berbareng, tentu bukan olah-olah hebat-nya!” kata Nyo Bungiau.
Kata Ca Cu-jing, “Jika Ih Thian-heng menggunakan cara sekeji itu, rasanya kitapun tak
usah sungkan lagi dan balas menggunakan senjata rahasia untuk menghadapi mereka!”
Nyo Bun-giau tertawa, “Ah, benarlah. Alt] sampai tuelupakan jarum beracun Hong-wiciam
dari saudara Ca. Jarum itu terkenal sebagai alat pengantar ke Akhirat yang ampuh!”
Sementara itu tampak Ih Thian-heng masih tegak berdiri diam. Setelah mendengar
pembicaraan beberapa tokoh sampai pada soal jarum Hong wi-ciam, barulah ia tertawa
dingin, serunya, “Tak usah saudara Nyo bersusah-susah menduga. Jib engkau memang
berani, silahkan maju dua tombak untuk mencoba tabung emas itu!”
Saat itu tiba-tiba Han Ping membuka mata dan memandang kepada Ih Thian-heng,
serunya, “Bagaimana kalau aku yang mencoba? — ia terus melangkah maju satu setengah
meter.
Ih Thian-heng tersenyum, ujarnya, “Baiklah, saudara-saudara yang berada disini,
mungkin tiada seorangpun yang dapat hidup lagi. Cepat mati atau lambat mati, hanya
terpaut tak lama. Kalau engkau ingin mencoba, akupun tak keberatan.”
Pelahan-lahan Ih Thian-heng alihkan pandang matanya ke arah salah seorang baju
hitam yang berbaris disebelah barat, serunya, “Pakailah tahung emasmu untuk melayani
pendekar muda Ji ini!”
Orang berpakaian hitam itu mengiakan seraya maju menghampiri Han Ping.
Nyo Bun-giau, Ca Cu-jing, Ting Yan-san dan kawan2 mencurahkan perhatian kepada
Han Ping dan orang baju hitam itu. Sikap mereka seperti penonton yang sedang
menunggu situkang sulap membuka benda yang ditutupi.
Tiada seorangpun yang tahu apakah isi tabung emas itu. Tetapi mereka hanya dapat
men-duga, isinya tentu benda yang berbahaya.
Ting Lingpun gelisah resah. Ia menghela napas panjang. Nadanya penuh kerawanan.
Nyo Bun-giaupun menghela napas. Diam-diam ia menyadari bahwa kalah menangnya
Han Ping akan membawa akibat besar pada rombongan tokoh itu.
Maka diam-diam ia bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Ditingkah sinar bulan remang, tiba-tiba matanya tertumbuk akan tiga batang pohon jati
tua yang menjulang tinggi. Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam benaknya. Cepat ia membisiki
Ca Cu-jing, “Saudara Ca, apabila tabung emas itu benar-benar berisi serjata rahasia yang
amat ganas, kita harus cepat-cepat menerjang ke timur untuk berlindung pada tiga batang
pohon jati tua itu!”
Ca Cu jing memandang ke arah pohon jati yang dikatakan Nyo Bun-giau. Ia anggukkan
kepala lalu mengeluarkan serangkum jarum Hong-wi clam.
Saat itu sibaju hitampun sudah berhenti satu meter di hadapan Han Ping. Tiba-tiba ia
mengangkat tahung emas terus ditutukkan ke dada Han Ping….
Jilid 26 : Pengurungan pasukan barisan dari Ih Thian Heng
Pertempuran dahsyat.
Diam-diam Han Pingpun sudah siap. Sesaat menyadari bahwa tabung emas itu tentu
mengandung alat berbahaya, ia tak mau sembarang menempuh bahaya. Cepat ia
menghindar ke samping.
Gerakan orang baju hitam itu tak cepat. Begitu Han Ping menghindar, iapun pelahanlahan
baru menarik kembali tabung emasnya.
Han Ping kerutkan dahi lalu mengangkat tangan dan lepaskan pukulan dari jauh.
Serangkum hawa berisi tenaga dahsyat, segera berhamburan melanda orang itu.
Tiba-tiba orang baju hitam itu mengisar 2 langkah ke kanan, setelah menghindari
pukulan, cepat ia meluncur ke samping Han Ping. Kali ini gerakannya amat cepat, lain dari
yang tadi.
Han Ping agak terkesiap lalu balikkan tangan menghantamnya.
Orang baju hitam itu berputar tubuh dan melangkah setengah meter ke samping kiri,
lalu dorongkan tabung emas kemuka. Segumpal asap te-bat menghambur keluar.
Tetapi karena Han Ping sudah berjaga-jaga, begitu melihat sesuatu yang tak wajar,
cepat ia loncat melambung ke udara.
Asap yang menyembur keluar itu amat kuat sekali gerakannya. Sesaat Han Ping
melambung ke atas, tempat ia berdiri tadipun sudah dihambur oleh semburan asap tebal
itu.
“Apakah asap itu?” tanya Nyo Bun-giau kepada Kim Loji.
Kim Loji gelengkan kepala, “Entahlah, tetapi sudah 10-an tahun yang lalu Ih Thianheng
melatih barisan Sa-cap-lak-kong. Dia melatih dengan giat sekali. Maka dapat diduga
kalau barisan itu tentu sukar dihadapi.”
Melihat semburan asap tak mendapat hasil, si Baju Hitam cepat menarik tabung emas
lalu tangan kirinya memutar bawah tabung dan diarahkan kepada tubuh Han Ping.
Ditingkah sinar matahari tampak belasan utas benang putih meluncur ke arah Han Ping.
Kecepatannya melebihi segala senjata rahasia yang manapun juga. Demikian pula dengan
jarak yang dapat dicapai, juga lebih jauh dari senjata rahasia lainnya.
Melihat itu gentarlah hati Ca Cu- cing. Diam-diam ia menimbang, “Menilik bentuknya
yang begitu halus dan kecil, teranglah kalau benda itu sejenis jarum beracun. Kecepatan
dan jaraknya yang dapat dicapai, tak mungkin jarum Hong-wi-ciam dari marga Ca dapat
menang. Menilik naga2nya, jarum Hong-ci-cin yang menggetarkan dunia persilatan itu
bakal diganti dengan senjata tabung emas itu…..”
Han Ping pun terkejut. Baru setombak menghambur, benar-benar warna perak dari
tabung itu sudah berhamburan semeter luasnya sehingga sukar dilihat lagi. Maka dengan
mengempos semangat, Han Ping rentangkan kedua tangan dan tiba-tiba melambung
setombak tingginya lagi.
Ia tak tahu apakah gerakan melambung lebih tinggi itu dapat terhindar dari sasaran
senjata rahasia yang aneh itu. Maka setelah mencapai ketinggian setombak itu, cepat ia
berjumpalitan dua kali dan meluncur turun sampai 4 – 5 tombak jauhhya.
Ilmu meringankan tubuh yang diunjukkan Han Ping, melambung keatas lalu diudara
melambung lagi setombak tingginya, kemudian berjumpalitan sampai dua kali dan
meluncur empat lima tombak, benar suatu kepandaian yang jarang terdapat di dunia
persilatan. Bahkan Ih Thian-heng sendiripun terkesiap heran.
Sedangkan Nyo Bun-giau, Ca Cu -jing, Ting Yan – san, Leng Kong- siau, wajahnya
berubah.
Sebentar gelisah resah, sebentar cerah gembira tak menentu.
Dalam hati mereka kecuali mengagumi kepandaian Han Ping, pun terkejut melihat
tabung emas yang menghamburkan asap tebal itu. Diam-diam mereka bersyukur bahwa
bukan merekalah yang menghadapi senjata rahasia istimewa itu. Kalau saja salah seorang
diantara mereka yang lebih dulu menghadapi tabung emas itu, tentulah akan berbahaya
akibatnya. Kalau tidak tertahur asap tentu akan termakan ber-untai2 benang halus yang
berbahaya itu.
Setelah menghambur setombak luasnya, asap tebal itupun berhenti bergerak cepat.
Gumpal asap itu rupanya menghambur pelahan sekali. Tak ubah seperti gumpal awan
yang berarak diatas langit.
Dua kali serangannya gagal. si Baju Hitam tampak terkejut dan tegak terlongong.
Beberapa kejab kemudian baru ia loncat ke tempat Han Ping.
Tetapi kali ini Han Ping tak mau memberi kesempatan pada orang itu untuk
menyemburkan senjata asap itu lagi. Dengan mengempos semangat, ia siap menunggu
kedatangan orang itu.
Selekas si Baju Hitam itu menyerbu ia terus menggembor keras dan ayunkan pukulan.
Segelombang angin pukulan dahsyat, segera melanda Han Ping.
Begitu melihat si Baju Hitam menyerbu, cepat sekali Han Ping menggembor keras dan
menyongsongnya dengan sebuah pukulan dahsyat.
Gelombang angin pukulan dahsyat, segera melanda orang itu. Karena dia masih dalam
melayang diudara, maka sukarlah untuk menghindari pukulan Han Ping. Seketika dadanya
terasa sesak, pandang matanya gelap. Dan tubuhnyapun terpental jatuh dua tiga meter ke
belakang.
Pukulan Biat- gong- ciang atau Pembelah Angkasa yang dilancarkan Han Ping itu dapat
mencapai jarak sampai 2 tombak jauhnya. Dan masih mempunyai sisa tenaga yang cukup
keras.
Seluruh jago2 yang hadir disitu, terperanjat benar-benar, Ih Thian-heng kerutkan alis
lalu mengangkat tangan menyapu ubun-ubun kepalanya. Melihat itu kawanan baju hitam
yang mengepung lapangan itu, segera cepat-cepat menyingkir untuk menduduki posnya
masing-masing. Mereka serempak mengacungkan tabung emas, siap hendak maju
menyerbu.
Si Baju Hitam yang terpukul rubuh oleh Han Ping tadi muntah darah. Ia bergeliatan
bangun lalu songsongkan tabung emasnya ke arah Han Ping. Dua butir pelor warna biru
segera meluncur ke arah Han Ping.
Han Ping sudah menyadari bahwa tabung emas itu tentu berisi ber-macam2 senjata
rahasia yang amat lihay sekali. Oleh karena tak keburu menghantam dengan pukulan,
terpaksa ia loncat melambung keudara lagi dan melayang dua tombak jauhnya.
Bum…. terdengar letupan kecil ketika kedua butir pelor biru itu meledak berbareng dan
pecah menjadi dua lingkaran asap biru sebesar roda kereta. Begitu tiba di tanah, berkobar
lagi menjadi api dan menghamburkan asap yang berhamburan sampai dua tombak
luasnya.
Sekitar tanah pekuburan ita walaupun penuh ditumbuhi rumput tetapi karena api itu
panas luar biasa maka rumput dan batu2pun ikut terbakar.
Diam-diam Han Ping bersyukur, pikirannya, “Jika tadi kutangkis dengan tangan, tentu
celakalah diriku. Aku tentu akan mau terbakar. Tabung emas itu ternyata penuh berisi
dengan beberapa macam senjata rahasia yang ganas. Itu kalau hanya seorang yang
membawa. Padahal ada 36 orang yang membekal senjata semacam itu. Tentulah mereka
mampu mengacau dunia persilatan!”
Dalam pada berpikir itu dilihatnya si Baju Hitam lawannya tadi tiba-tiba lepaskan tabung
emas dan terkulai rubuh mati di tanah.
Tiba-tiba Nyo Bun-giau loncat melayang ke tempat si Baju Hitam itu. Tepat pada saat
itu, keenam bocah baju putihpun juga loncat menghampiri. Tetapi Nyo Pun-giau lebih
cepat. Begitu tiba ia terus menyambar tabung emas itu.
“Hai, Nyo Bun-giau, apakah engkau sudah bosan akan jiwamu?”
Mendengar itu Nyo Bun-giau tertegun. Tepat pada saat itu keenam bocah baju putih
sudah tiba dan mengepung Nyo Bun-giau. Mereka mengacungkan pedang, siap
menyerang apabila Nyo Bun-giau bergerak.
Tetapi Nyo Bun-giau hanya memadang keenam bocah itu dengan tenang lalu tertawa
dingin, “Hm, kiranja hanya 6 bocah yang masih ingusan!”
Tetapi sekalipun mulut mengucap begitu, dalam hati, Nyo Bun-giau tergetar juga.
Dilihatnya pedang pendak ditangan kawanan bocah itu memancar sinar ber-kilat2 yang
menyilaukan mata. Ia menyadari bahwa pedang mereka itu tentu bukan senjata biasa.
Bahwa Ih Titian heng telah memperlengkapi dengan senjata pedang pusaka begitu, tentu
dikarenakan kawanan bocah itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi.
Keenam bocah itu kecuali sama memiliki alis dan mata yang bagus, pun pakaiannya
hampir sama semua, Begitu pula kerut wajah mereka tampak garang dan bengis.
Nyo Bun-giau tak berani lengah. Diam-diam ia kerahkan tenaga dalam dan ber-siap2.
Kiranya dengan cepat Nyo Bun-giau dapat mengetahui bahwa keenam bocah yang
mengepungnya itu memiliki ilmupedang yang hebat. Tandanya, sikap dan gerak-gerik
mereka diwaktu mencekal pedang itu amat serius sekali.
Diam-diam Nyo Bun giaupun terkejut. Ia tak menyangka bahwa anakbuah Nyo Bun
giau, bahkan yang masih bocahpun, ternyata lihay semua,
Tiba-tiba Ih Thian-heng tertawa nyaring. Nadanya berkumandang jauh sampai ke
hutan. Rupanya dia tengah menghamburkan tenaga murni sehingga Leng Kong-siau, Ting
Yan-san dan lain-lain tergetar hatinya.
Tenaga-dalam yang dipancarkan dalam tertawa Ih Thian-heng itu ternyata amat tinggi
dan kuat sekali. Bukan seperti orang yang sedang menderita luka dalam. Tokoh-tokoh itu
mengkeret nyalinya karena mereka merasa tak dapat menandingi tenagadalam Ih Thianheng.
Dari nada tertawa itu, mereka menarik kesimpulan bahwa tadi Ih Thian-heng hanya
pura-pura terluka. Dia sengaja bersikap seperti orang terluka hanya untuk menjalankan
siasat mengulur waktu saja untuk memikat perhatian sekalian musuh2nya supaya tetap
tinggal disitu. Kemudian diam-diam ia memanggil seluruh anakbuah-datang mengepung
dan membasmi sekalian orang gagah itu.
Sekonyong-konyong ia hentikan tertawa, Sisa kumandang tertawanya masih
menggema diangkasa.
“Saudara-saudara tentu sudah menyaksikan apa yang terisi dalam tabung emas itu.
Tetapi itupun masih hanya sebagian saja, belum semua yang berada dalam tabung emas
itu digerakkan keluar. Maka siapa saja diantara saudara yang yakin mampu lolos dari
serangan ke 36 tabung emas itu, silahkan tampil ke muka mencObanya!” tiba-tiba Ih
Thian-heng berseru nyaring.
Sunyi senyap, tiada seorangpun yang berani memberi jawaban. Rupanya tiada yang
merasa mampu menghadapi ke 36 tabung maut itu.
Ih Thian-heng menghela napas. ujarnya pula, “Apabila saudara sudah menyadari
takkan mampu meloloskan diri, apakah saudara-saudara tetap hendak menunggu
kedatangan maut?”
Kata-kata itu menyadarkan sekalian orang. Pikiran mereka, “Ya, memang benar.
Apakah kita ini hanya berdiam diri menunggu maut datang merenggut?”
Tiba-tiba Pengemis-sakti Cong To merentang mata memandang Ih Thian-heng tajam,
serunya, “Sepanjang hidup entah sudah berapa banyak kali pengemis tua ini menghadapi
bahaya maut. Tetapi toh sampai sekarang masih segar bugar seperti saat ini. Soal mati
hidup, masakan tergantung pada gertakan orang?”
Mendengar ucapan yang gagah dari pengemis itu, Ih Thian-heng tertegun. Tetapi cepat
sekali ia sudah tenangkan diri lalu tertawa nyaring, serunya, “Ucapan saudara Cong
memang tepat sekali. Tetapi bagi kaum persilatan seperti kita ini, siapakah dan berapakah
jumlah tokoh-tokoh yang masih hidup dari bahaya maut dalam peristiwa2 yang pernah
dihadapinya? Bahwa saudara Cong termasuk salah seorang yang beruntung dapat selamat
dari sekian banyak bahaya, memang jarang terdapat. Tetapi hendaknya hal tak boleh
dibanggakan….”
Berhenti sejenak tersenyum, ia melanjutkan berkata, “Mungkin diantara para hadirin,
banyak juga yang mempunyai pengalaman lebih berbahaya dari saudara Cong?”
Cong To tertawa dingin, “Apakah saudara Ih sudah memastikan bahwa hari ini pasti
dapat membasmi kami semua?”
Ih Thian-heng tertawa, “Hal itu sukar kujawab, Terserahkan bagaimana kepercayaan
saudara-saudara. Bila saudara percaya mampu menghadapi. silahkan saja mencobanya!”
Sepasang mata pengemis sakti yang bundar ber-kilat2 memancar sinar, mencurah pada
Ih Thian-heng. Ia tertawa nyaring lalu berseru, “Soal mati hidup, pengemis tua tak pernah
menaruh dihati. Silahkan saudara Ih memberi perintah anakbuah saudara untuk turun
tangan!” — habis berkata ia terus melangkah keluar.
Ih Thian-heng tersenyum, serunya, “Keberanian saudara Cong, sungguh
mengagumkan!”
Tiba-tiba wajahnya berobah dan berkatalah ia dengan nada dingin kepada Ca Cu-jing,
“Rupanya saudara Cong hendak coba2 membobolkan barisan Thian kong tin yang
kusiapkan. Entah bagaimana pendapat saudara Ca, saudara Leng, dan Ting dan lainlainnya?”
Ketiga prang itu walaupun termasuk tokoh-tokoh persilatan yang ternama. Tetapi
diantara mereka bertiga, Ca Cu-jing merasa lebih tinggi kedudukannya karena ia seorang
ketua Marga.
Maka setelah memandang ke kanan kiri, ia segera berseru, “Saudara memang seorang
yang luar biasa cerdasnya sehingga dapat menciptakan senjata rahasia yang begitu luar
biasa hebatnya. Turut apa yang kusaksikan tadi, memang sukar untuk menghadapi
hamburan ke 36 tabung emas itu. Tetapi sekalipun begitu, akupun tetap ingin
mencobanya. Soal mati hidup atau kalah menang, itu di luar perhitunganku. Tetapi ada
sebuah permintaan yang hendak kuajukan, entah apakah saudara Ih dapat
meluluskannya?”
“Harap saudara Ce mengatakan lebih dulu. Setelah kupertimbangkan barulah aku dapat
menjawab,” kata Ih Thian heng.
“Puteraku itu masih belum cukup kepandaiannya,” kata Ca Cu jing, “sudah tentu tak
mungkin mampu lolos dari senjata saudara yang istimewa itu. Aku hendak mohon saudara
Ih…..”
“Bukankah saudara Ca hendak minta supaya aku memberi kelonggaran untuk
melepaskannya pergi lebih dulu?”tukas Ih Thian heng tersenyum.
Wajah Ca Cu jing berobah. Ia hendak bieara tetapi hatinya menimbang. Soal itu
menyangkut nasib Ca Giok. Ia harus dapat menahan diri agar puteranya selamat. Maka ia
menghela napas panjang, ujarnya, “Betapapun saudara Ih hendak mengejek dan
menghina aku, tetapi kuharap saudara suka lepaskan puteraku lebih dulu!”
Ih Thian-heng merenung sejenak lalu menjawab tersendat, “Ini…..” — ia menghela
napas, “Dalam dunia persilatan terdapat sepatah ujar2 termasyhur. Entah apakah saudara
Ca masih ingat?”
“Pepatah yang mana?”
Kata Ih Thian-heng dengan tak ragu2, “Memotong rumput harus sampai akarnya.
Karena kalau tidak, begitu angin musim semi bertiup, rumput itu pasti tumbuh lagi…. Pada
masa akhir2 ini, dalam dunia persilatan telah berkembang luas sekali. Dua lembah, Tiga
Marga kabarnya hendak berserikat untuk menghadapi aku. Entah kabar itu benar atau
tidak?”
“Aku sendiri belum pernah mendengar berita itu. Tetapi dari mana saudara Ih
mendenganya?” Ca Cu-jing balas bertanya.
Ih Thian-heng tertawa hambar, “Tetapi tak peduli saudara mendengar atau tidak
namun ada api tentu ada asap, Maka dalam tempat pekuburan yang terpencil seperti ini,
dapat melukai seorang berarti mengurangi seorang lawan kuat. Oleh karena sudah
terlanjur berhadapan sebagai dua kekuatan yang harus hancur salah satu. maka sukarlah
untuk menghindari suatu pertempuran mengadu jiwa.”
Mendengar ucapan itu, Ca Cu -jing menyadari bahwa maksudnya hendak
menyelamatkan puteranya sia2 saja, jika ia memohon lagi pasti akan mendapat hinaan
yang lebih besar. Seketika berubahlah wajah ketua marga Ca itu dan menyahut dengan
dingin, “Memang keadaan saat ini, belum dapat dipastikan dalam tangan siapakah rusa itu
akan mati. Harap saudara Ih jangan buru-buru mengucap terlalu penuh harapan dulu!”
“Baik, mari kita coba saja!” – ia melambaikan tangan kanan dan berseru nyaring,
“Lawan yang berada disini, satupun tak boleh diberi kebebasan!”
Kawanan Baju hitam yang mengepung di empat peniuru itu segera berputaran untuk
menjaga pos masing-masing. Dalam beberapa kejap mereka telah menyusun diri dalam
sebuah barisan dan mengepung tokoh-tokoh itu di tengah. Melihat kawan2nya terkepung
dan ia sendiripun masih dikepung oleh keenam anak baju butih, Nyo Bun -giau mulai
gelisah. Ia anggap keadaan dirinya lebih berbahaya dari kawan2nya maka ia harus
berusaha secepatnya untuk menerobos kepungan kawanan bocah itu. Seketika hawa
pembunuhan timbul pada kerut wajahnya. Diam-diam ia menimang, “Oleh karena jelas Ih
Thian-heng sudah merencanakan untuk membasmi sekalian yang gagah, maka ia harus
bertempur mati2an, ia harus bertindak cepat dan ganas untuk melukai seorang orang
bocah agar mengurangi kekuatan mereka.”
Setelah mengambil keputusan, tiba-tiba ia melambung keudara seraya lontarkan
pukulan Air terjun-berhamburan-ke ember, ke arah bocah yang mengepung disebelah
selatan.
Dia gunakan delapan bagian tenaganya. Pikirnya, betapa tinggi kepandaian bocah itu,
tenth tetap sukar lolos dari serangannya itu.
Tetapi apa yang disaksikan, benar-benar di luar dugaannya. Tepat pada saat Nyo Bungiau
loncat keatas. keenam bocah baju putih itupun bergerak dengan serempak juga.
Bocah yang berkedudukan di selatan tadi, cepat menghindar ke samping. Bocah yang
disebelah timur dan barat, secepat kilatpun sudah menyerbu Nyo Bun-giau dengan
menabaskan pedangnya yang ber-kilat2 memancarkan hawa dingin. Belum pukulan Nyo
Bun-giau mengena, barisan bocah itupun sudah bergerak. Bukan kepalang marahnya.
Dengan menggembor keras ia membentak, “Hanya setengah lusin bocah yang masih
ingusan masakan dapat mengepung aku…….!”
Belum selesai ia mengucap, secercah sinar pedang menusuknya dari muka. Belum
pedang tiba, anginnya yang dingin sudah menyambar.
Nyo Bun-giau menggembor keras seraya lontarkan pukulan.
Bocah baju putih itu tiba-tiba condongkan pedang diikuti dengan gerakan tubuhnya,
melesat ke samping. Dan bocah yang berdiri di sebelah barat diam-diam segera menusuk
ke lambung Nyo Bun-giau
Gerakan bocah itu teramat cepat sekali.
Nyo Bun-giau kaya pengalaman dan tak berani memandang rendah lawan. Setelah
meneliti keadaan barisan musuh, tahulah ia bahwa keenam bocah itu memang lihay. Maka
sangatlah ia ber-hati-hati menghadapi mereka. Sekalipun begitu gerakan bocah yang
nyelonong menyerang kesamping itu, benar-benar tak di-duga2. Untung ia memang sudah
waspada. Secepat berpaling ke belakang dan melihat ujung pedang hampir menyentuh
tubuhnya, tetapi tetap kalah cepat dengan bocah itu. Lengan bajunya tetap terpapas
ujung pedang sehingga menimbulkan lubang sepanjang 3 dim. Kemudian darahnya
mencucur keluar….
Nyo Bun-giau terkejut tetapi secepat itu berkobarlah amarahnya. Dengan menggembor
keras ia segera lontarkan hantaman. Hampir sembilan bagian tenaganya yang digunakan
karena sekali pukul ia ingin membunuh anak itu.
Tetapi bocah disebelah barat yang menusuknya itu, setelah berhasil melukai, terus
berkisar ke selatan sehingga pukulan Nyo Bun-giau tak mendapat sasarannya. Dalam pada
itu bocah yang berada diutara dan baratlaut, cepat maju menyerang. Oleh karena Nyo
Bun-giau diburu nafsu hendak menghancurkan bocah yang melukainya tadi, ia telah
memukul dengan lepas sehingga kehilangan posisi pertahanan diri. Cepat sekali ia dapat
didesak oleh keenam bocah itu. Dia dikurung dalam lingkaran sinar pedang kawanan
bocah itu.
Betapapun lihay kepandaian Nyo Bun-giau tetapi begitu terdesak dibawah angin, ia
menjadi kelabakan. Terpaksa ia tumpahkan semangat dan perhatiannya, berlaku tenang
untuk menghadapi barisan pedang keenam bocah yang mencurah sederas hujan. Tetapi ia
tetap tak dapat mencari lubang kelemahan lawan, Terpaksa ia tak mau gegabah
menyerang melainkan memperketat penjagaan saja dengan mengeluarkan ilmu istimewa
Kim-sat-san-jiu atau Tangan Pasir-emas.
Belasan jurus kemudian barulah ia berhasil mengimbangi permainan lawan.
Keenam bocah itu karena tak berhasil mengalahkan lawan, merekapun tenangkan diri
tak mau mendesak keras. Dengan ilmu permainan pedang yang aneh, mereka mengepung
Nyo Bun-giau untuk menunggu kesempatan melukainya lagi.
Terdengar Ih Thian-heng tertawa, “Sandara Nyo, engkau benar-benar tak bernama
kosong! Dapat bertahan sampai begitu lama menghadapi kepungan barisan pedang Liokhap-
tin!”
Ca Cu-jing, Ting Yan-san dan Leng Kong-siau diam-diam mencemaskan Nyo Bun-giau.
Kalau tak lekas menolong orang she Nyo itu dari kepungan keenam bocah, tentu mereka
akan kehilangan seorang tenaga yang berharga.
Karena mempunyai pikiran sama, setelah saling bertukar pandang sejenak, Ca Cu-jing
berseru, “Kita harus berusaha untuk menolong saudara Nyo keluar dari barisan anak itu!”
“Ya, akupun mempunyai pikiran begitu juga,” sahut Leng Kong slaw
“Tidak! Jangan bersikap sok-pintar?” Ting Ling menyeletuk dingin.
“Siapa suruh engkau campur mulut, budak setan!” bentak Ting Yan-san marah.
Cong To yang berdiri beberapa meter dari tempat mereka kedengaran mendengus
dingin, serunya, “Ting losam, mungkin selamanya engkau gemar menghina anak
keponakanmu saja. Telinga pengemis tua gatal juga. Karena Ting Ling sudah menjadi
puteri angkatku, kelak janganlah engkau sembarangan menghinanya didepanku….”
Juga Ca Cu-jing menyeletuk, “Keponakanmu itu amat cerdas sekali. Karena ia
mencegah, tentu mempunyai alasan yang kuat!”
Ting Yan-san berpaling memadang Ting Ling tetapi tak bicara apa-apa. Hanya dalam
hati ia menimang, “Kalau begitu, nama budak perempuan itu tak kalah tenar dengan aku!”
Berkata Ca Cu-jing kepada Ting Ling, “Nama nona yang termashyur, sudah lama
kudengar. .”
Ting Ling tertawa hambar. “Ah, pujian yang terlalu tinggi. Toh kita semua takkan dapat
tinggalkan tempat pekuburan ini dengan selamat. Mati sekarang atau nanti, sama saja.
Sekalipun kalian mau mendengar kata-kataku dan menolong Nyo Bun-giau, tetapi
waktupun sudah terlambat.”
Ih Thian-heng tertawa nyaring, “Kedua nona dari lembah Raja Setan itu memang tak
bernama kosong. Sayang mereka kawanan manusia yang tak mengerti maksud nona.
Silahkan engkau memberi penjelasan kepada mereka!”
Ca Cu-jing, Leng Kong siau, Ting Yan-san dan lain-lain tak mengerti apa yang dikatakan
Ih Thian-heng. Serempak mereka berpaling dan menegas, “Apa yang dikatakan Ih Thian
heng itu?”
Ting Ling tertawa tawar, “Aku tak percaya kalau dia sungguh-sungguh tahu apa yang
kupikirkan maka dia pura-pura suruh aku mengatakan ..
Ih Thian-heng tertawa, “Kalau engkau tak percaya, bagaimana kalau kuterangkan?”
“Silahkan!” sambut Ting Ling.
Ih Thian-heng mengusap jenggot seraya tertawa. Pelahan-lahan ia sapukan pandang
mata memandang ke arah Ca Cu-jing dan kawan2nya, lalu berkata, “ Aku sungguh merasa
kasihan terhadap kalian ini. Karena dalam kepandaian dan kecerdasan otak ternyata tak
dapat menyamai seorang anak perempuan.”
Tiba-tiba ia mengangkat kedua tangannya dan menampar dua kali. Teriaknya kepada
keenam bocah, “Hai, kalian mundur semua!”
Barisan keenam bocah itupun segera menyurut mundur. Tetapi kawanan Baju Hitam
yang meajaga diempat penjuru itu cepat mengisi tempat yang ditinggalkan keenam bocah
tadi.
Berkata Ih Thian-heng pula, “Walaupun karena Nyo Bun-giau terkepung dalam barisan
Liokhap-tin kalian telah berkurang seorang tenaga yang hehat, tetapi dalam barisan Thiankong-
tin ini pun tetapi kutinggalkan sebuah lubang tabung emas yang berisi bermacam
senjata rahasia yang ganas pun tak mampu untuk menyerang. Jika kalian dapat menyerbu
ke Liok hap tin pada waktu yang tepat. bukan saja dapat menolong Nyo Bun- giau, pun
akan lobos juga dari kepungan ini. Jika dalam keadaan begitu, akupun sukar untuk
mengepung kalian lagi!”
Ih Thian-heng tersenyum lalu memandang Ting Ling, “Jika nona mau berlaku jujur,
nona tentu mau mengakui bahwa kata-kata itu adalah merupakan isi hati nona, bukan?”
“Engkau menduga tepat,” Ting Ling mengangguk. Ih Thian-heng tertawa. “Akupun
harus berterima-kasih atas peringatan nona.”
“Ah, jangan keliwat sungkan.”
Sekalian orang gagah yang mendengar percakapan kedua orang itu hanya ter-longong2
tak dapat bicara.
Kemudian Nyo Bun-giau pe-lahan2 menghampiri ke tempat rombongan orang gagah
dan berkata dengan berbisik, “Baiklah kita berpencar diri untuk menghadapi musuh.
Sebaliknya setiap orang mencari sebuah kuburan untuk melindungi diri dari taburan
senjata rahasia musuh!”
Ca Cu jing memaudang kesekeliling penjuru. Ternyata tempat mereka berada diantara
gunduk2 kuburan yang tak jauh satu sama lalu. Segera ia mengangguk, “Cara itupun baik
sekali. Asal kita dapat menghindari tahuran senjata rahasia mereka, tentu kita tak sampai
kalah dalam pertempuran ini….” – tiba-tiba ia lantangkan suara berteriak, “Ih Thian-heng
mempunyai rencana untuk membasmi habis kita semua. Sekalian orang yang hadir disini,
sebaiknya bersatu padu, menghapuskan segala dendam permusuhan. Karena yang kita
hadapi saat ini adalah suatu pertempuran mati hidup. Hanya dengan bersatu-padu,
barulah kita dapat menghadapi musuh. Jika kita masih terpecah-belah mengandung
dendam sendiri-sendiri, tentulah akhinya kita akan mati satu demi satu .”
Kembali ia batuk-batuk, lalu bertanya, “Entah bagaimana pendapat saudara Cong
kepada usulku itu?”
Cong To tersenyum, “Dalam sepanjang hidupku. pengemis tua ini hanya membedakan
garis2 yang salah dan yang benar. Dan aku selalu berdiri di tempat yang penuh Kebajikan
dan Keluhuran. Sekalipun tulang belulangku hancur lebur, aku tetap tak sayang. Soal mati
atau hidup, sudah tak kupikirkan lagi….”
Ih Thian-heng tertawa panjang untuk memutus kata-kata Cong To yang belum selesai
itu, “Dalam dunia persilatan dewasa ini, memang saudara Conglah yang paling kukagumi
sendiri. Sebenarnya tak layaklah kalau saudara harus mati bersama mereka. Kalau saudara
Cong ingin meninggalkan tempat ini, akupun takkan merintangi.”
Cong To menyahut dingin, “Bahwa pertolongan yang kulakukan kepadamu tadi. sama
sekali bukan bermaksud untuk mengikat persahabatan dengan engkau. Melainkan karena
kupikir engkau belum mengunjukkan seluruh kejahatanmu belum waktunya harus
ditumpas….”
“Betapapun saudara Cong mengandung pikiran macam2 kepadaku, tetapi aku tetap
berterimakasih. Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk membalas budi, namun kalau
saudara tetap berkeras kepala, apa boleh buat, akupun terpaksa harus meluluskan
keinginan saudara itu….”
Chong To tertawa gelak-gelak, serunya, “Jangan buru-buru bermulut besar dulu! Saat
ini belum dapat diketahui siapa yang menang dan siapa kalah. Walaupun pengemis tua tak
puas akan orang-orang Dua Lembah dan Tiga Marga itu namun dalam saat dan tepat
seperti ini, pengemis tua pun tak dapat meninggalkan mereka….”
“Karena saudara Cong berkeras hendak menentang aku, akupun tak dapat berbuat
apa-apa. Nah, barisan Thian-kong-tin sudah akan bergerak, harap saudara Cong ber-hatihati!”
– sekali tangan diangkat, maka kawanan orang Baju Hitam yang mengepung di
empat penjuru itu segera maju merapat dalam bentuk lingkaran.
Nyo Bun-giau cepat miringkan tubuh dan terus menyurut di balik sebuah kuburan. Ca
Cu-jing, Leng Kong-siau, Ting Yan san dan beberapa orangpun segera meniru langkah itu.
Hanya Cong To dan Han Ping yang tetap tak bergerak dari tempat dan tak mau
bersembunyi dibalik makam Saat itu barisan Thian-kong tin sudah bergerak. Kawanan
Baju Hitam diempat penjuru pun sudah maju merapat.
Cong Co ber-kilat2 matanya. Tiba-tiba ia ulurkan tangan menjemput sebatang ranting
kering di tanah. Sambil di-putar2 ia tertawa “Sudah sejak ber-puluh2 tahun pengemis tua
tak menggunakan senjata….”
Melihat itu Ih Thian-hengpun berseru, “Bah.”
“Bahwa hari ini saudara Cong mau mempertunjukkan kepandaian ranting kering untuk
mengganti pedang, itu berarti memandang tinggi terhadap diriku.”
“Berhenti! Berani melangkah maju lagi, aku tentu turuntangan!” tiba-tiba Han Ping
membentak keras. Oleh karena dia yang paling dekat jaraknya maka ketika kawanan Baju
Hitam itu menghampiri, ia cepat membentak mereka.
Baju Hitam yang maju menghampiri itu dari kaki sampai ke ujung kepala, dibungkus
dengan kain hitam. Hanya pada bagian mata yang diberi berlubang. Tangannyapun
memakai sarung tangan istimewa. Bentakan Han Ping itu tak dihiraukan. Mereka tetap
melangkah maju.
Pada tempat kuburan yang sunyi senyap, tampak kawanan Baju Hitam bergerak maju
pelahan2. Benar-benar menimbulkan suatu pemandangan yang seram sekali. Se-konyong2
sesosok tubuh muncul dari balik segunduk makam terus lari menghampiri Han Ping.
Saat itu sebenarnya Cong To sudah ber-siap2 hendak membantu Han Ping. Karena
munculnya orang itu dengan lengking teriakan yang nyaring, membuat pengemis tua
terkesiap kaget. Begitu mengetahui siapa orang itu, iapun cepat membentaknya ; “Ling-ji,
lekas mundur kembali!”
Pendatang yang bukan lain Ting Ling, menyahut, “Yah, jangan menguatirkan diriku. aku
toh takkan hidup lama!”
Tergopoh Han Ping berseru, “Tidak, racun pada lukamu itu sudah disembuhkan oleh
ular berbisa. Jangan bicara yang bukan2….”
Belum ia selesai bicara, Ting Lingpun sudah tiba disampingnya dan berkata dengan
lembut, “Menghadapi musuh yang begitu tangguh, mengapa engkau tak menggunakan
pedang?”
Han Ping tertegun., “Aku tak punya senjata.” tiba-tiba ia teringat akan Pedang Pemutus
Asmara yang disimpan dalam bajunya.
Maka tersenyumlah ia. “Ya, aku menyimpan pedang dalam baju, silahkan engkau
kembali ke tempatmu lagi.”
Ting Ling sejenak memandang keempat penjuru, serunya, “Ah, terlambat….aku sudah
tak dapat kembali lagi!”
Ketika Han Ping berpaling, dilihatnya kawanan Baju Hitam itu sudah tiba dua meter
didekatnya. Mereka berhenti lalu pe- lahan2 mengambil kuda2 untuk menyerang.
Ting Ling bersikap tenang-tenang saja. Sambil mengulum senyum, ia menghampiri
kesamping Han Ping.
Saat itu Han Ping sedang mencurahkan semangat dan perhatiannya kepada kawanan
Baju Hitam. Tiba-tiba hidungnya terbaur angin wangi.
Cepat ia berpaling dan membentak, “Mengapa engkau masih berada disini?”
Ting Ling tertawa rawan, “Kupercaya engkau tentu mampu melindungi keselamatanku.
Makin dekat kepadamu, nyaliku makin besar.!”
Han Ping tertegun. Tiba-tiba ia menengadah ke langit dan tertawa nyaring, “Baiklah?
Jika aku tak dapat melindungimu, biarlah kuburan ini menjadi tempatku bunuh diri!”
Kiranya memang Ting Ling hendak mempunyai rencana untuk mati disamping Han
Ping. Beberapa patah ucapannya tadi telah membangkitkan kegagahan hati Han Ping.
Dan jauh terdengar Kim Loji berseru, “Ping-ji, mati hidup itu soal besar. Bukan barang
permainan anak2. Engkau harus hati-hati!”
Han Ping cepat mengelurkan pedang pusaka Pemutus Asmara dari dalam bajunya lalu
berseru nyaring, “Harap paman jangan kuatir. Jika aku sampai mati disini, Ih Thianhengpun
jangan harap dapat pergi hidup dari sini!”
Walaupun tak keras tetapi karena menggunakan tenaga dalam, kata-kata Han Ping itu
bagai dering paku dihantam pukul besi. Telinga sekalian orang mendengar jelas setiap
patah yang diucapkan.
Ih Thian heng terbeliak. Ia berhenti lalu mengangkat tangan dan bertepuk tiga kali.
Kawanan Baju Hitam itupun segera melolos tabung emas dan siap menyerang. Tetapi
ketika mendengar tepuk tangan Ih Thian-heng, merekapun serempak berhenti.
Memandang ke arah pedang Pemutus Asmara di tangan Han Ping, Ih Thian-hengpun
tersenyum, serunya, “Pedang yang engkau cekal itu, berkilau-kilauan sinarnya. Tentulah
pedang pusaka Pemutus Asmara, bukan?”
Han Ping terawa dingin, “Benar, jika hari ini engkau dapat membunuhlcu, hari ini juga
pedang pusaka ini tentu engkau miliki….”
Ia berhenti sejenak lalu berseru lantang, “Tetapi kupercaya sekalipun engkau
beruntung mendapatkan pedang pusaka ini tetapi engkaupun harus membayar dengan
pengorbanan besar!”
“Benar,” sahut Ih Thian-heng, “tokoh-tokoh yang berada disini telah dianggap sebagai
tokoh-tokoh kelas satu. Tetapi yang kupandang benar-benar sebagai lawan berat hanya
engkau seorang!”
Ting Ling tertawa hambar, “Kiranya tak mudah bagi seorang persilatan yang sakti untuk
mendapatkan lawan yang seimbang. Oleh karena engkau menganggapnya sebagai lawan
setimpal, mengapa mumpung di hadapan sekian banyak tokoh-tokoh persilatan, engkau
tak mau bertanding satu lawan satu dengan dia? Dengan begitu, biarlah sekalian tokohtokoh
menyaksikan kepandaian yang tiada lawannya itu!”
Ih Thian-heng tertawa tawar. “Boleh dikata setiap orang persilatan tentu ingin
menantang aku. Jika setiap kali harus melayani sendiri, bukankah takkan habis2nya
kubunuh mereka?”
Ting Ling tertawa dingin, “Bukankah engkau mempunyai perasaan takut dalam
hatimu?”
“Hm, tak mudah engkau membakar hatiku!” dengus Ih Thian heng.
Setelah memandang ke sekeliling, Ting Ling lalu membisiki ke dekat telinga Han Ping,
“Tak perlu engkau memperhatikan aku. Lekas engkau menyelinap kesamping Ih Thianheng
dan terus melibatnya, jangan sampai ia sempat lolos. Walaupun kawanan Baju Hitam
itu membekal senjata rahasia yang lihay, tetapi mereka tak dapat bergerak tanpa
mendapat perintah!”
Han Ping tersenyum, “Siasat itu memang tepat, tetapi siapakah yang akan melindungi
dirimu?”
Ting Ling menghela napas. “Tak perlu memikirkan Aku hanya seorang anak perempuan
yang lemah, selemah burung seriti di bawah – dahan pohon yang-liu itu. Asal melihat
pohon yang-liu tentu akan melihat burung itu. Lain dengan engkau seorang pemuda yang
gagah perwira. Seorang pendekar yang cemerlang dalam jaman ini. Mungkin keadilan,
kebenaran dan ketenteraman dalam dunia persilatan, akan terletak dibahumu. Janganlah
engkau karena aku….”
Berkata Han Ping dengan serius, “Jangan berkata begitu. Aku sudah berjanji hendak
melindungi dirimu. Janji itu terpateri dalam hatiku. Kecuali mati, tak nanti aku ingkar pada
janji itu. ..”
Ia menghela papas pelahan, “Akupun juga menyadari bahwa kali ini tipis
kemungkinannya kita dapat keluar dari tanah kuburan sini. Namun aku percaya dalam
pertempuran kali ini barisan Thian-kong-tin yang diandalkan Ih Thian-heng itu tentu juga
hancur….”
Tiba-tiba pengemis-sakti Cong To tertawa gelak-gelak, “Benar, benar! Dengan
hancurkan barisan Thian-kong-tin yang dibanggakan Thian-heng itu, juga merupakan
suatu langkah untuk membasmi bahaya dalam dunia persilatan. Kiranya untuk itu, matipun
kita tak menyesal!”
Rupanya ucapan yang gagah dari Han Ping dan Cong To itu telah membangkit nyali Ca
Cu jing, Nyo Bun-giau dan lain-lain. Tampak dari balik gunduk tanah2 makam itu, mereka
serempak berdiri.
Berserulah Nyo Bun-giau, “Ucapan saudara Cong memang tepat. Tetapi kita tak boleh
hanya mengandalkan kegagahan dan memburu ambisi untuk menghadapi senjata mereka
.”
Diam-diam Ih Thian-heng terkejut mengetahui keadaan tokoh-tokoh itu. Dalam saat2
berbahaya, mereka telah bersatu. Jika dibiarkan mereka berunding lebih lanjut, tentu Han
Ping dan Cong To akan sadar bahwa mereka tak boleh mengandalkan kegagahan saja.
Untuk mencegah terjadinya perobahan yang tak menguntungkan, cepat Ih Thian-heng
mengangkat tangan kanannya dan berseru nyaring, “Karena sekalian saudara hendak
menjual jiwa untuk kepentingan dunia persilatan, akupun terpaksa akan membantu
keinginan saudara-saudara itu!”
Sekali tangannya melambai, dari empat penjuru, kawanan Baju Hitam itupun segera
maju menerjang. Han Ping menggembor keras sambil menghantam dengan tangan kiri.
Seorang Baju Hitam yang berada paling depan, tersurut mundur dua langkah.
Barisan Thian-kong-tin itu merupakan barisan yang bergerak ber-putar2, bergantian
tempat. Karena salah seorang anggotanya menderita luka, maka gerakan barisan itupun
agak lambat jalannya, Han Ping cepat mendorong tubuh Ting Ling, serunya, “Lekas
engkau bersembunyi agar jangan sampai berkorban sia2 .” – habis berkata pemuda itu
terus melambung ke udara dan menerjang ke tengah barisan.
Tempat persembunyian Ca Cu jing paling dekat dengan tempat Han Ping menyerbu.
Diam-diam Ca Cu-jing kerahkan tenaga-dalam dan lepaskan pukulan Peh-poh- sin kun dari
tempatnya.
Pukulan Peh-poh-sin-kun atau Pukulan-sakti seratus-langkah dari marga Ca, merupakan
ilmu sakti yang tiada keduanya dalam dunia persilatan. Apabila sudah mencapai tataran
tinggi, dari jarak seratus langkah, pukulan itu dapat membunuh korban. Peh-poh-sin-kun
jauh lebih hebat dari pukulan jarak jauh Biat-gong-ciang.
Ca Cu-jing mempelajari ilmu pukulan itu ber-puluh2 tahun. Tenaga-dalamnya mencapai
tataran yang tinggi. Dan pukulan Peh-poh-sin-kun yang dilontarkan saat itu, dilambari
dengan tenaga penuh. Dapat dibayangkan betapa kedahsyatannya.
Segera terdengar seorang Baju Hitam menjerit ngeri. Dia termakan dadanya oleh
pukulan maut itu. Setelah beberapa kali muntah darah, orang itupun rubuh ke tanah.
Nyo Bun-giau tertawa nyaring, “Ilmu pukulan Peh-poh-sin-kun, benar-benar tak
bernama kosong. Aku sungguh kagum sekali….” – tiba-tiba segulung asap tebal melanda
dari arah betakang. Cepat ia berjongkok lalu menyelinap ke balik makam dan lontarkan
sebuah pukulan.
Terlanda pukulan Nyo Bun- giau, gulungan asap tebal itu segera berhamburan buyar.
Pada saat itu terdengar beberapa jeritan ngeri.
Ketika Nyo Bun giau berpaling dilihatnya Han Ping sedang mengamuk dengan pedang
pusaka. Tiga orang Baju Hitam terkapar mati.
Melihat Han Ping menerjang kedalam barisan dan unjuk kegagahan, Ih Thian-heng
terkejut. Pemuda itu mengamuk tanpa dapat ditahan. Dan karena jaraknya amat dekat,
kawanan Baju Hitam itupun tak dapat menggunakan tabungnya. Jika beberapa anggota
Baju Hitam terluka lagi, barisan kong-tin tentu akan kacau balau.
Belum Ih Thian-heng sempat membuat rencana. Pengemis-sakti Cong To sudah loncat
menyerangnya dengan batang bambu. Ih Thian-heng tertawa dingin seraya kebutkan
lengan baju menamparnya. Setelah sambaran angin mdanda, menyusul baru pukulannya.
Cong To terpaksa menarik pulang bambu untuk melindungi diri dan mundur selangkah.
Cong To merasa bahwa tenaga pukulan Ih Thian-heng hebat bukan kepalang. Diamdiam
ia membenarkan kata-kata Ting Ling tadi bahwa Ih Thian-heng itu hanya pura-pura
terluka. Ia memutuskan, sekalipun tak dapat mengalahkan tetapi se-kurang2nya ia pasti
dapat melayani Ih Thian-heng sampai empat lima ratus jurus.
Dengan keputusan itu, mantaplah hatinya. Ia kerahkan semangat untuk menempurnya.
Kebalikannya, Ih Thian- heng tak begitu menghiraukan tingkah laku Cong To.
Memandang ke sekeliling, ia berseru lantang, “Hai, jangan mendesak maju lagi. Lekas
gunakan senjata rahasia. Baik mati atau hidup, dengan cara apa saja, yang penting harus
melukai musuh!”
Ternyata, bermula Ih Thian-heng sudah mempunyai rencana tertentu. Ia hendak
gunakan kewibawaan barisan Thian-kong-tin untuk memaksa sekalian tokoh-tokoh gagah
itu menyerah padanya.
Setelah mendapat tambahan tenaga mereka, barulah ia akan menghadapi fihak Lamhay-
bun. Oleh karena itu maka ia memberi pesan rahasia kepada barisan Thian-kong-tin,
sedapat mungkin supaya menghindari pembunuhan. Jika tak terpaksa karena terdesak,
jangan sampai melukai mereka.
Tetapi ternyata situasi saat itu berobah.
Turunnya Han Ping ke gelanggang dan matinya beberapa anggota barisan Thian- kongtin
telah mengacaukan rencananya. Dalam kebingungan, Ih Thian heng telah merobah
rencana. Ia menyerukan kepada. kawanan Baju Hitam dari barisan Thian-kong-tin, bahwa
larangannya melukai musuh sudah dihapus.
Setelah mendapat perintah itu, kawanan Baju Hitam tak mau berkukuh menjaga pos
kedudukannya lagi. Mereka segera berpencar mundur kesamping. Adalah Ting Ling yang
cepat merasakan sesuatu yang tak wajar pada gerakan musuh. ia segera memanggil Han
Ping, “Ji siangkong,lekas tendanglah gundukan tanah itu!”
Han Ping percaya apa yang diperintah nona itu. Cepat ia menendang gundukan tanah
merah di sebelahnya. Bluk….. tanah muncrat berhamburan sampai tiga tombak tingginya
sehingga mengaburkan pandang mata orang.
“Ji siangkong, cepatlah kemari…” tiba-tiba Ting Ling berseru pula.
Han Ping terkejut. Ia duga nona itu tentu menghadapi bahaya. Maka cepat ia loncat
melambung ketempat sinona.
Untung arah yang dituju itu tepat. Ketika meluncur ketanah, ia hanya terpisah semeter
dari tempat Ting Ling.
Begitu pemuda itu tiba, Ting Lingpun cepat meraih tangannya dan berseru. “Lekas
rebahkan diri….”
Han Ping memberi reaksi yang cepat sekali.
Begitu Ting Ling berkata, ia sudah cepat memeluk nona itu terus bergelundungan di
tanah untuk menghindari taburan jarum yang sehalus rambut. Setelah itu, ia loncat
bangun lalu membawa loncat nona itu ke sebuah makam. Dalam saat2 yang berbahaya
itu, ia kerahkan seluruh tenaganya, Maka walaupun membawa tubuh Ting Ling tetap ia
dapat melesat dengan pesat.
Se-konyong2 terdengar bunyi mendesis di udara. Belasan benda ber-kilat2.
berhamburan ke tempatnya. Kiranya benda2 berkilat itu adalah pelor perak beracun yang
dilepas oleh dua orang Baju Hitam. Oleh karena gerakan Han Ping sedemikian pesatnya,
mereka tak dapat mengejar, maka menggunakan senjata rahasia itu untuk menyerangnya.
Han Pingpun cepat taburkan Pedang Pemutus Asmara. Terdengar bunyi
bergemerincingan. Pelor2 beracun itu berhamburan tersapu bersih.
Saat itu Ting Ling tetap memeluk pinggang Han Ping. Sepasang mata nona itu meram2
melek, pipinya ditempelkan lekat2 kedada Han Ping. Mulutnya menyungging senyum
bahagia. Rupanya ia sudah tak menghiraukan soal mati atau hidup lagi.
Setelah menyapu pelor2 beracun, Han Ping lanjutkan gerakannya meluncur ke belakang
makam itu.
Dengan memanggul Ting Ling, Han Ping loncat keudara untuk menghindari taburan
jarum beracun dari kedua orang Baju Hitam . .
Saat itu Cong To yang sudah kerahkan tenaga-dalam, tiba-tiba ayunkan batang bambu
menyabat kepala Ih Thian-heng.
Saat itu Ih Thian-heng sedang gelisab karena melihat Han Ping membawa Ting Ling ke
balik gundukan makam. Pikirnya, “Jika mereka dapat menggunakan siasat berlindung
dibalik makam, tentu sukar untuk melukai mereka….”
Belum sempat mencari akal, tiba-tiba Cong To sudah menyerangnya. Ih Thian-heng
marah dan kebutkan lengan bajunya menangkis lalu lanjutkan menampar dada Cong To,
seraya berseru, “Selama berpuluh tahun ini, aku selalu mengalah terhadap saudara. Tetapi
rupanya saudara Cong selalu hendak memusuhi aku saja. Dalam pertempuran hari ini,
kalau bukan aku yang terluka ditangan saudara Cong, tentu saudara Cong yang terluka
ditanganku.”
Cong To lintangkan bambunya untuk menghalau pukulan Ih Thian- heng, “Bagus,
bagus, hari ini kita dapat menyelesaikan budi dan dendam yang sudah ber-tumpuk2.
Suatu peristiwa yang menggembirakan dalam kehidupan kita. Hanya saja pengemis tua
mengharap agar dalam menentukan siapa yang berhak hidup dalam dunia supaya
menggunakan ilmu kepandaian yang sesungguhnya. jangan memakai tipu muslihat untuk
menyerang secara gelap!”
Dalam pada berkata-kata. itu, Cong To pun bolang balingkan bambu dan lancarkan
empat jurus serangan. Ih Thian-heng menangkis dengan kedna tangannya, serunya,
“saudara Cong mempunyai selera, aku tentu senang untuk menemani.” – Lima jurus
serangan ber-turut2 dilancarkan kepada lawan. Kelima jurus itu cepat dan dahsyat sekali
sehingga memaksa Cong To mundur dua langkah.
Tiba-tiba Nyo Bun- giau berteriak nyaring, “Ih Thian-heng berhati ganas, kata-katanya
tak dapat dipercaya. Harap saudara Cong jangan kena dikelabuinya. Lekas saudara
mundur ke balik makam. Kalau kita masing-masing menduduki sebuah makam dan saling
bantu membantu, kita tentu dapat bertahan lama. Setelah malam tiba, barulah kita daya
untuk menghancurkan barisan Thian-kong-tin mereka!”
Dalam pada Nyo Bun-giau ber-kata-kata itu, Ih Thian-heng dan Cong To sudah
bertempur sampai 20 jurus lebih. Pukulan Ih Thian-heng makin lama makin keras dan
yang diarah selalu jalan darah yang berbahaya. Dalam keadaan seperti itu, Cong To tak
berdaya untuk menghindar mundur lagi.
Barisan Baju Hitampun tak mau mendesak main lagi. Mareka berpencar diri dan
menempati tempat2 tersendiri untuk menunggu kesempatan menyerang
Sementara itu Han Ping dan Ting Lingpun sudah selamat menyelinap kebalik sebuah
makam, Ting Ling tetap memeluknya erat2.
Han Ping kerutkan alis dan berkata, “Harap nona suka lepaskan diriku, aku hendak
menghadapi musuh!”
Ting Ling pe-lahan2 membuka mata dan tertawa kecut. “Apa? Apakah kita masih
hidup?”
Han Ping tertegun. Pada saat ia hendak bicara, Ting Ling tertawa dan beranjak bangun,
ujarnya, “Pedang Pemutus Asmara yang engkau pegang itu, benar-benar tak bernama
kosong Sekali dimainkan, dapat menghambur hawa dingin yang menyeramkan.”
Melihat nona itu tertawa riang seperti biasanya, tahulah Han Ping bahwa nona itu tidak
menderita ketakutan. Dan jelas kalau tadi memang sengaja hendak memeluknya. Karena
mendongkol, Han Ping palingkan muka tak mau melihat nona itu lagi. Begitu berpaling, ia
melihat Cong To dan Ih Thian-heng sedang bertempur seru sekali.
Walaupun Cong To membawa sebatang bambu tetapi jelas masih terdesak oleh lawan.
Pertempuran itu benar-benar dahsyat sekali. Setiap gerak serangan dan tangkisan,
selalu dilakukan dengan cepat dan keras serta membawa maut,
Tiba-tiba Ting Ling berteriak dan timpukkan sebutir batu.
Saat itu Han Ping tengah mencurahkan perhatiannya untuk mengikuti pertempuran
dahsyat dari Cong To lawan Ih Thian-heng. Pada saat mendengar jeritan Ting Ling ia
tersadar. Ketika berpaling ternyata ketiga Baju Hitam itu tengah arahkan tabung emasnya
kepadanya dan Ting Ling. Kejut Han Ping tak terkira. Diam-diam ia bersyukur kepada Ting
Ling. Jika nona itu tak menjerit, tentu saat itu ia sudah termakan senjata rahasia dari Baju
Hitam yang ganas dan tak bersuara.
Han Pingpun cepat menarik Ting Ling, loncat menghindar kesamping. Tiba-tiba salah
seorang Baju Hitam itu tersurut mundur dua langkah seperti terkena timpukan suatu
benda. Begitupun tabung emasnnya juga jatuh ketanah.
“Orang itu terkena pukulan Peh-poh-sin-kun dari Ca Cu-jing!” bisik Ting Ling.
Walau makam tempat Han Ping dan Ting Ling bersembunyi itu cukup besar. tetapi
empat penjuru sudah dikepung oleh kawanan Baju hitam yang siap dengan tabung
emasnya. Hendak bersembunyi kemanapun tetap dapat ditahur mereka. Han Ping
menghela napas, “Melihat keadaan saat ini, jika kita tak menggabungkan diri pada Nyo
Bun-giau untuk melawan mereka, kita tentu sukar lolos dari ancaman Baju Hitam!”
“Benar,” sahut Ting.Ling, “Pendekar besar, pahlawan besar, tidak hanya mengandalkan
kegagahannya saja. Tetapi harus dapat mengetahui kekuatan lawan dan dirinya sendiri,
mengenal situasi dan kondisi, baru dapat mengatasi setiap kesulitan yang dihadapi. Bahwa
engkau telah mempunyai pertimbangan itu tadi, sudah…..” – tiba-tiba nona itu merasa
bahwa ucapannya itu bernada seperti mengajari orang, maka buru-buru ia beralih nada,
“Harap jangan marah, aku . ..”
Han Ping cepat menukas, “Kecerdasan dan kepandaianmu memang telah termasyhur
didunia persilatan. Walaupun ada beberapa pandanganmu yang masih berbau aliran
Hitam, tetapi pada umumnya memang tepat dengan keadaan.”
Ting Ling tertawa, “Jika lain orang memuji aku, aku hanya ganda tertawa. Tetapi
karena engkau juga memuji begitu, benar-benar aku merasa gembira sekali . ..”
Tiba-tiba terdengar Nyo Bun-giau berseru, “Keadaan saat ini, sukar diketahui
bagaimana kesudahannya. Harap saudara Ca tak perlu memikirkan soal budi lagi…..”
Mungkin karena diserang musuh, maka Nyo Bun-giau tak melanjutkan kata-katanya.
Ting Ling kerutkan alis tertawa, “Rupanya Nyo Bun-giau itu memperingatkan Ca Cu-jing
supaya menggunakan jarum beracun Hong wi-ciam untuk menghadap barisan Thian-kongtin.
Tiba-tiba Han Ping menggembor keras dan beranjak keatas seraya taburkan pedang
Pemutus Asmara. Terdengar beberapa suara mendering halus dari beberapa batang jarum
yang berhamburan jatuh ke tanah. Tiba-tiba Ting Ling juga mendapat pikiran. Segera ia
melolos sabuk pinggangnya lalu dilipat dua dan dipegang dalam tangannya.
Tetapi serempak dengan itu, serangkum angin menyambar belakang kepalanya. Buruburu
ia mengendap dan condongkan tubuh kesamping.
Tring….dua butir pelor perak menyambar di sisi rambutnya dan terhantam pedang Han
Ping.
Dalam pada itu dari jauh terdengar bentakan Leng Kong-siau dan Ting Yan-san.
Rupanya kedua orang itu juga sedang menghadapi serangan musuh.
Menyusul Ca Cu-jingpun membentak keras, “Giok-ji, lekas mengendap kebawah. Biar
ayah yang menahan serangan musuh!”
Dari balik segunduk makam, muncullah ketua marga Ca itu. Tangan kanan
menghantam dengan Peh-poh-sin-ciang. Tangan kiri menabur serangkum jarum Hong-wiciam.
Ting Ling menghela napas, “Dalam saat dan tempat seperti ini, memang paling tepat
menggunakan senjata rahasia. Sayang kita tak membawa senjata rahasia . ..”
Tepat pada waktu ia berkata sampai disitu, terdengar angin mengaum diudara,
segerumbul pelor melayang ke arahnya.
Ting Ling segera menyambutnya dengan sabetan sabuk pinggangnya. Beberapa batang
jarum memang dapat disabatnya jatuh tetapi karena tenaga-dalamnya masih belum pulih
hingga ia tak dapat memainkan sabuk pinggangnya dengan gencar, maka diantara berpuluh2
pelor perak itu, ada sebuah yang lolos dan menghantam lengan kirinya. Ting Ling
rasakan lengannya seperti terbakar api, sakitnya bukan kepalang. Dan seketika itu
lengannya membegap sebesar biji kelengkeng yang berwarna biru matang.
Karena sakitnya, Ting Ling hampir menjerit. Tetapi karena kuatir mengganggu
perhatian Han Ping, terpaksa ia tahankan.
Han Ping berpaling dan melihat luka nona itu ia kerutkan kening, “Bagaimana? Apakah
lukamu parah?”
Ting Ling tersenyum, “Tak apa, tidak begitu parah. Tetapi kalau terus menerus begini
saja menghadapi musuh, bukan cara yang tepat. Dalam waktu sejam, mungkin kita semua
akan terluka oleh kawanan Baju Hitam itu.”
“Benar,” sahut Han Ping. “memang cara ini tidak tepat. Lebih baik kita menyerbu
barisan mereka. Sekalipun tak dapat menghancurkan barisan Thian-kong-tin, tetapi paling
tidak tentu dapat melukai mereka sebagian. Kalau duduk menunggu kematian, lebih baik
kita bertempur mengadu jiwa!”
Kata Ting Ling, “Saat ini memang sudah terlambat. Musuh dengan mengandalkan
tabung senjata rahasia itu telah mengepung kita. Betapapun kepandaian kita, tetap tak
mampu menerobos dari hujan senjata rahasia mereka. Ai, tadi waktu engkau berada
dalam barisan Thian-kong-tin, jika Nyo Bun-giau dan lain-lain dapat menggunakan
kesempatan untuk menerobos keluar, mungkin masih ada setitik harapan. Tetapi sekarang
sudah terlambat……”
Kata-kata nona itu terputus oleh sebuah jeritan ngeri yang rupanya berasal dari mulut
Ca Giok.
“Nona Ting, apakah itu bukan suara Ca Giok?” tanya Han Ping.
“Benar, dia tentu terluka!”
Han Ping kerutkan kening lalu berbisik kepada Ting Ling, “Harap engkau menjaga diri
disini, aku hendak menerjang Thian-kong-Tin.”
Ting Ling gelengkan kepala, “Saat ini janganlah menuruti nafsu kegagahan dan
bertindak secara gegabah .”
“Apakah kita harus menunggu kematian disini?” balas Han Ping.
“Keadaan saat ini…..” tiba-tiba segulung asap tebal melayang ketempat kedua anak
muda itu. Han Ping cepat menyambar tubuh Ting Ling terus dibawa loncat menuju ke lain
makam, “Tutup.”
Ia gunakan sepenuh tenaga untuk loncat. Maka ketika musuh hendak menyusuli
menabur senjata rahasia lagi, Han Ping sudah tiba dibelakang makam marmar hijau.
Dilihatnya Ca Cu-jing sedang memeluk Ca Giok. Wajah ketua marga Ca itu merah padam,
sepasang matanya berkilat2 memancar api.
Begitu angin menyambar, dengan kalap Ca Cu-jing terus hendak menghantam. Ting
Ling buru-buru berseru, “Paman Ca, akulah!”
Mendengar itu Ca Cu-jing buru-buru menarik pulang tangannya. Sedang begitu tiba di
tanah, Han Ping terus berseru menanyakan keadaan Ca Ciok.
Ca Giok memandang Han Ping, “Terima kasih, saudara Ji. Aku telah menderita dua
batang jarum beracun!”
Memandang ke arah kedua anak muda itu. Ca Cu-jingpun berseru kaget, “Hai, apakah
nona Ting juga terluka?”
“Dia terkena sebuah pelor perak!” jawab Han Ping.
“Harap saudara ji menjaga serangan nmsuh, aku hendak mengobati mereka,” kata Ca
Cujing.
Han Ping mengangguk lalu berdiri. Ketua marga Ca itu mengeluarkan sebotol pil,
manuang dua butir lalu diberikan masing-masing sebutir kepada Ting Ling dan Ca Ciok.
katanya, “Lekas minumlah pil pemunah racun ini. Senjata rahasia dari tabung emas itu
mungkin mengandung racun….”
Belum ia selesai berkata, tiba-tiba terdengar Han Ping menggembor keras dan
menghantam. Menyusul gulung api meluncur ke arah tempat mereka. Ca Cu-jing cepat
bertindak. Tangan kin memeluk Ca Giok dan tangan kanan memeluk Ting Ling, Ia berguling2
di tanah, menghindar kesamping.
Bum….tepat pada saat mereka menyingkir, gulungan api itupun jatuh ketanah, meletup
dan menghamburkan percikan api yang me-nyala2.
Han Ping lepaskan sebuah hantaman untuk menghalau api yang hendak melandanya.
Kemudian ia berbalik tubuh dan loncat kesamping Ca Cu-jing. Ia putar pedang Pemutus
Asmara untuk mengenyahkan segerombol pelor perak yang melayang ke arah ketiga
orang itu.
Ca Cu-jing beranjak loncat ke balik sebuah akam marmar hijau. Disitu dilihatnya
separuh tubuh Nyo Bun-giau bersembunyi dibalik makam to dan separuh tubuhnya berada
di luar untuk menempur kedua bocah baju putih. Disebelah makam itu terdapat dua buah
makam lagi, Disitu Leng Kong-siau dan Ting Yan-san sedang berlindung untuk melakukan
perlawanan.
Cepat Ca Cu-jing letakkan Ca Giok dan Ting ing, Ketika mengangkat muka memandang
ke depan, seorang Baju Hitam menerobos masuk, tabung emas diangkat dan diarahkan ke
punggung Nyo Bun-giau. Melihat itu Ca Cu-jing segera lepaskan pukulan Peh-poh-sinciang.
Belum si Baju Hitam itu sempat menekan tabungnya, lengannya sudah tersambar
angin pukulan Peh-poh-sin-ciang. tabung terpental jatuh dan orangnyapun tersurut
mundur dua langkah ke belakang. Melihat pukulannya berhasil, Ca Cu-jing segera
menyerhu maju dan menghantam dengan jurus Awan turun dari langit.
Oleh karena termakan pukulan Ca Cu-jing tangan si Baju Hitam itu terluka dan
gerakannyapun tidak leluasa lagi. Untuk hantaman Ca Cu – jing yang terakhir itu, ia tak
dapat menghindar lagi. Maka terpaksa ia gunakan tangan kiri untuk menangkis.
Krak .. . tenaga-dalam dari Ca Cing jing yang keras membuat si Baju Hitam terhuyung
ke belakang sampai tiga langkah. Apabila Ca Cu-jing menyusuli pukulan lagi, terang Baju
Hitam itu tentu binasa. Tetapi ketua marga Ca itu menggunakan siasat. Ia ulurkan tangan
kiri gunakan ilmu Kinna-jiu untuk menyengkeram siku kanan orang itu.
Pada saat itu Nyo Bun-giau kebetulan berpaling. Ia berseru girang. “Bagus saudara Ca,
engkau dapat menangkap hidup seorang!”
Ca Cu-jing tertawa nyaring, “Pernahkah saudara Nyo melihat seorang tawanan hidup?
Hendak kulihat orang yang telah dilatih dengan susah payah oleh Ih Thian-heng,
apakah….”
Belum habis berkata, tiba-tiba dua sosok tubuh putih melayang tiba seraya
menghantam dengan pedang.
Ca Cu-jing mengangkat tubuh si Baju Hitam tadi terus diputar untuk menangkis
serangan pedang. ternyata yang menyerang itu adalah dua bocah baju putih. Oleh karena
takut akan melukai si Daju Hitam, kedua bocah baju putih itupun segera hentikan
serangannya. Mereka adalah kedua bocah yang menyerang Nyo Bun-giau tadi.
Ca Cu-jing tertawa gelak-gelak. Ia putar tubuh Baju Hitam dengan jurus Menyapu
ribuan-pasukan dan memaksa kedua bocah baju putih itu mundur dua langkah.
Terdengar Leng Kong-siau berteriak dengan suara yang brengsek macam tambur
pecah, “Saudara Ting, hati-hatilah. Aku sudah terkena empat batang jarum beracun,
mungkin sudah tak dapat melawan lagi!”
Ting Yan-san mencekal kebut hud-tim di tangan kiri dan tangan kanan memegang
pedang. Ia putar kedua senjata itu sederas hujan mencurah untuk menghalau hamburan
senjata rahasia musuh. Mendengar teriakan Leng Kong -siau itu, semangatnya terganggu,
gerakannya agak lamban, Sebatang jarum telah lolos dan menyusup untuk menghalau
hamburan senjata rahasia musuk ketika mendengar teriakan Leng Kong-siau, perhatiannya
terganggu. Sebatang jarum lobos dari hantamannya dan menyusup ke lengan kirinya.
Seketika ia rasakan kesakitan hebat sehingga pedangnya jatuh dan buru-buru ia menyurut
bersembunyi dibalik makam.
Melihat itu musuh segera menyerbu. Empat atau lima orang Baju Hitam segera
menerobos. Begitu berada dibelakang makam, cepat mereka pencar diri lalu
mengacungkan tabung emas kepada musuhnya. Ca Cu-jing mengempos semangat_ Waktu
ia hendak lepaskan pukulan Peh-poh-sinkun. tiba-tiba terdengar Ih Thian-heng tertawa
dingin, “Harap saudara Ca jangan buru-buru turun tangan dulu. Perhatikan dulu keadaan
saat ini baru nanti melanjutkan pertempuran mati2an lagi!”
Ca Cu -jing tertegun dan hentikan tangannya. Tetapi ia tetap bersiap menghadapi
serangan kawanan Baju Hitam.
“Berhenti!” Tiba-tiba Ih Thian-heng berseru nyaring.
Saat itu Nyo Bun-giau masih sibuk bertempur dengan kawanan bocah baju putih.
Mendengar teriakan Ih Thian-heng, kawanan bocah itu segera loncat mundur. Nyo Bungiaupun
berhenti. Berpaling ke belakang. seketika semangatnya menurun. Diam-diam ia
menghela napas, keluhnya dalam hati, “Celaka, habislah sekarang….”
Ternyata situasi dalam gelanggang pertempuran sudah dikuasai oleh kawanan Baju
Hitam. setiap orang telah dikuasai oleh dua orang Baju hitam yang mengarahkan tabung
emas. Asal orang Baju hitam itu menekan alat dibawah tabung, tentu beratus-ratus batang
senjata rahasia akan menabur. Tokoh-tokoh itu sudah melihat sendiri betapa kedahsyatan
senjata rahasia tabung emas itu! Dan betapa banyak macam senjata rahasia itu. Setiap
macam tentu mengandung racun yang ganas. Tokoh yang bagaimana tinggi
kepandaiannyapun sukar untuk meloloskan diri.
Ih Thian-heng segera turun ke gundukan makam marmar hijau itu dan berkata dengan
suara yang serius, “Jika saudara-saudara tetap tak mau menyerah, harap jangan salahkan
aku bertindak ganas ..”
Nyo Bun-giau menyahut dingin, “Dalam pertempuran hari ini, walaupun kami kalah
tetapi karena saudara Ih bukan menggunakan kepandaian yang sejati, maka kami kalah
secara penasaran. Kemenangan saudara Ih itupun bukan kemenangan yang gemilang.”
Ih Thian heng menengadah tertawa gelak-gelak, serunya, “Ucapan saudara Nyo itu
memang benar. Tetapi kita bukanlah orang yang baru keluar dari gundukan dan sudah
mempunyai nama dalam dunia persilatan. Cita-cita dan berebut nama kosong, bukanlah
langkah yang akan kita ambil….”
Berhenti sejenak, ia berkata pula, “Jika saudara Nyo merasa kepandaian saudara lebih
tinggi dari aku, baiklah kita cari lain kesempatan untuk mengadu kepandaian. Tetapi pada
saat ini keadaannya memang berbeda sehingga aku tak sempat lagi untuk menemani
saudara.”
Mata Nyo Bun-giau berkeliar kesekeliling. Dilihatnya Leng Kong-siau sedang duduk
bersila mcnyalurkan napas dan tenaga dalam. Ting Yan-san duduk bersandar pada makam
sambil memegang lengan kanan dengan tangan kirinya. Ting Ling dan Ca Giok duduk
bersandar disamping makam, tubuhnya setengah telentang. Kim Loji herjongkok dua
tombak jauhnya ditepi gerumbul rumput. Diapun terluka dan tiada berdaya lagi. Hanya Ca
Cu-jing seorang sekalipun masih segar bugar tetapi sudah dikepung rapat oleh musuh
apabila ketua marga Ca itu berani bergerak, tentu akan digenjot oleh musuh2nya yang
bersenjata tabung emas.
Melihat keadaan itu, Nyo Bun-giau menghela napas, “Sebelum aku menyatakan
menyerah, ingin aku meminta penjelasan sedikit.”
Ih Thian-heng tersenyum, “Ah, jangan sungkan, sekiranya saudara Nyo hendak
memberi pesan apa-apa. asal tenagaku mampu, tentu akan kulakukan dengan senang
hati.”
Kata Nyo Bun-giau, “Boleh dibunuh tetapi tak boleh dihina….”
“Hal itu akupun mengerti, tetapi….”
“Jika saudara Ih hendak memperbudak aku untuk mengerjakan segala perintah, itu tak
mungkin sama sekali!” cepat Nyo Bun-giau menukas.
“Aku bukan bermaksud demikian,” kata Ih Thian-heng.
“Walaupun karena terpaksa oleh keadaan, hari ini aku menyerah dengan tak puas,
tetapi akupun tak mau mengecewakan keinginan saudara….” Nyo Bun-giau tiba-tiba
hentikan kata-katanya.
Mengerling ke samping, tampak Han Ping dan Cong To masih bertempur mati2an
melawan anak buah Ih Thian-heng. Ih Thian-heng memandang kelangit, tertawa,
“Sekarang masih pagi. Jika saudara Nyo mau bekerja sama dengan aku. Sebelum hari
petang. kita dapat memasuki makam tunggal itu…..” – ia memandang Ca Cu-jing lalu
melanjutkan kata-kata, “Di dunia persilatan telah tersiar luas bahwa partai2 persilatan,
Dua Lembah dan Tiga Marga, telah bersatupadu menghadapi aku.”
“Sekalipun terdapat hal itu tetapi aku dan saudara Nyo tak ikut serta,” tiba-tiba Ca Cujing
menyeletuk.
Ih Thian-heng tersenyum, “Ucapan saudara Ca, meskipun boleh dipercaya, tetapi aku
tak menghiraukan soal itu. Sesungguhnya desas desus itu tetap desas desus. Aku memang
tak percaya bahwa partai2 persilatan besar dapat bersatu dengan Dua Lembah dan Tiga
Marga. Tetapi aku ingin bersama saudara Nyo dan saudara Ca, bersatu membentuk suatu
pimpinan. Saudara Nyo mahir dalam ilmu Bangunan, saudara Ca memiliki kepandaian yang
tinggi, jika giat berlatih ilmu barisan Pat-kwa-kiu -kiong, tentu akan hebat. Dan aku
sendiri, sudah sejak berpuluh tahun tekun mempelajari ilmu kepandaian istimewa dari
berbagai partai persilatan. Kupercaya hasilku tentu memadai. Jika kedua saudara mau
bekerja sama dengan aku, rencana itu tentu akan berhasil. Apalagi dalam makam besar itu
terdapat harta permata yang tiada tara besarnya. Jika saudara berdua mau kerja sama
aku membagi rata harta benda itu. Bagaimana maksud saudara, harap lekas memberi
keputusan!”
Ca Cu-jing memandang Nyo Bun-giau, tanyanya dengan bisik2, “Bagaimana pendapat
saudara?”
“Aku menurut saja bagaimana keputusan saudara Ca,” sahut Nyo Bun-giau. Dia
memang seorang rase tua yang licin. Dia meletakkan soal yang sulit itu pada Ca Cu-jing.
Ca Cu-jing berpaling memandang Ca Giok, lalu Ting Yan-san, Leng Kong-siau. Dia
benar-benar merasa sukar untuk mengambil keputusan.
Ih Thian-heng melambaikan tangan kirinya. Seorang Baju Hitam tiba-tiba getarkan
tabung emasnya. Segulung api segera menyembur ke arah Ting Yan-san, Ting Yan-san
terkejut dan buru-buru loncat ke atas. Tetapi api itu cepat sekali. Belum tiba ada tubuh
orang, sudah pecah berhamburan dua meter luasnya. Sudah tentu Ting Yan san tak
berdaya menghindar lagi. Tubuhnya disambar gulungan api itu. Melihat itu Ting Ling
menjerit dan bergeliat bangun terus lari menghampiri pamannya. Tetapi Ih Thian-hengpun
segera melangkah maju menghadang seraya ulurkan tangan kanan mencekal tubuh nona
itu, terus diangkatnya ke atas. Melihat itu Nyo Bun-giau berseru gopoh, “Harap saudara
Nyo bermurah hati, jangan mencelakai nona itu!”
Saat itu Ting Yan-san sedang ber-guling2 di tanah. Tetapi api yang menyambar
tubuhnya pun keras sekali. Pada waktu ia tengkurap, api di dadanya padam, tetapi pada
saat ia membalikkan tubuh, api pun menjilatnya lagi. Sedang Leng Kong-siau yang saat itu
sedang mengobati lukanya, menggigillah hatinya melihat keaaan Ting Yan-san yang begitu
mengerikan. Diam-diam ia berpikir, “Tadi Ih Thian-heng hanya menawarkan kerja sama
kepada Nyo Bun-giau dan Ca Cu-jing. Tetapi tidak kepadaku. Mungkin setelah Ting Yansan,
tentu giliranku yang akan dibakarnya. Dari pada dibakar hidup2an. lebih baik aku
bunuh saja….”
Tetapi sekalipun sudah mengambil keputusan begitu, ia tetap tak rela mati seorang diri.
Sejenak mengeliarkan mata, ia memperhitungkan jarak seorang Baju Hitam yang paling
dekat dari tempatnya. Diam-diam ia kerahkan tenaga-dalam, siap untuk menyerang orang
itu. Matipun ia tak rugi karena mendapat ganti jiwa.
Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat serempak dengan pancaran sinar biru.
Saat itu Nyo Bun-giau tertawa menjawab permintaan Ca Cu-jing tadi, “Kalau saudara
Nyo suka pada anak perempuan ini, sudah tentu akan kulepaskan….” – belum selesai
berkata, ia diserang oleh sosok bayangan dengan sinar biru tadi. Dalam gugup ia putar
tubuh Ting Ling sebagai senjata untuk menangkis serangan sinar biru yang berasal dari
pedang.
Dan gumpalan sinar pedang itu, tiba-tiba menghambur angin pukulan yang keras.
Tubuh Ting Ling tersiak dan sinar pedang itupun menyusup ke dada Ih Thian-heng. Belum
benda itu mengenai dada Ih Thian-heng sudah tertampar oleh hawa dingin.
Ih Thian-heng cepat menghindar kesamping tetapi orang itu tetap membayanginya.
Dalam sekejap saja, ia sudah menyerang lima kali tabasan pedang.
Tiba-tiba sinar pedang itu lenyap dan sebagai gantinya tampaklah Han Ping tegak
berdiri dengan marah sekali. Ujung Pedang Pemutus Asmara ditujukan ke arah dada Ih
Thian-heng.
Mereka terpisah tiga empat langkah. Kawanan Baju Hitam yang mengepung
disekeliling, karena melihat jarak Han Ping dengan Ih Thian-heng itu begitu dekat sekali,
tak berani menaburkan tabung emasnya.
Saat itu wajah Ih Thian-heng menampir kebengisan yang belum tampak selama ini.
Pelahan-lahan ia lemparkan tubuh Ting Ling.
Kiranya saat itu Han Ping sedang melakukan posisi menurut ilmupedang yang paling
tinggi tingkatannya. Dia sedang salurkan seluruh tenaga-murni dalam tubuhnya ke batang
pedang. Tadi ketika ia melayang untuk menyerang Ih Thian-heng, dia telah
menghancurkan semua musuh yang hendak merintanginya.
Sedikitpun Ih Thian-heng tak mengira bahwa anak yang semuda itu, telah mencapai
tataran yang begitu tinggi dalam ilmupedang. Diam-diam ia tergetar juga. Pedang
Pemutus Asmara itu akan lebih dahsyat lagi apabila mendapat saluran tenaga-murni
pemuda itu.
Saat itu Ting Lingpun menghampiri Ting Yan-san. Melihat itu Kim Loji berseru, “Nona
Ting, lekas suruh dia rebah dan timbunlah dengan pasir!”
“Paman, jangan bergerak!” cepat Ting Ling meneriaki pamannya. Walaupun Ting Yansan
sudah arahkan seluruh tenaga-dalamnya untuk melawan api, tetapi karena sekujur
tubuhnya terbakar, ia menderita kesakitan sekali. Untunglah kesadaran pikirannya masih
belum hilang. Mendengar teriakan anak kemanakannya, iapun menurut tak mau bergerak.
Ting Ling dengan tahankan rasa sakit, paksakan diri untuk menyibak pasir dan
dilemparkan ke tubuh pamannya.
Kawanan Baju Hitam yang mengepung tempat itu, memancarkan sinar mata
kemarahan. Tetapi karena belum mendapat perintah, mereka tak berani bertindak sendiri.
Tiba-tiba Ca Cu-jing berpaling dan melambari, “Saudara Nyo, harap kemari. Aku hendak
mohon petunjuk saudara.”
Nyo Bun-giau batuk-batuk kecil. Sejenak memandang ke arah kawanan Baju Hitam, ia
melangkan pelahan-lahan ke tempat Ca Cu-jing Kuatir kalau kawanan Baju Hitam itu akan
melepas senjata rahasia atau turun tangan merintangi, maka diam-diam ia kerahkan
tenaga-dalam siap sedia.
Di luar dugaan, kawanan Baju Hitam itu tak bertindak apa-apa kecuali memandangnya
dengan mata berapi-api.
Begitu tiba lebih kurang setengah meter dari tempat Ca Cu-jing, tiba-tiba Nyo Bun-giau
berhenti. Dia memandang kesekeliling, tiba-tiba ia menghela nanpas dan mengeluh. “Ah ..
.. untuk menerobos keluar dari tempat ini, rasanya lebih sukar dari mendaki tangga
kelangit…..”
ternyata ia dapatkan bahwa tempat itu sudah dikepung rapat sekali oleh kawanan Baju
Hitam yang masing-masing mencekal tabung emas. Menurut perhitungannya, seluas 10
tombak telah dikepung rapat oleh kawanan Baju Hitam. Sekalipun burung, juga sukar
untuk terbang keluar dari situ.
Ca Cu-jing menghela napas pelahan, “Apakah saudara Nyo tahu tentang asal usul
pemuda itu?”
Nyo Bun-giau menyatakan tak jelas.
“Aku teringat sesuatu yang menimbulkan kesangsian hatiku,” kata Ca Cu-jing pula.
Nyo Bun-giau batuk-batuk lagi, katanya, “Apakah saudara Ca kuatir pertempuran kedua
orang itu kali ini….”
“Jika Ih Thian-heng kalah di tangan pemuda itu, kita semua tentu akan berkubur di
tanah kuburan sini. Asal saudara Nyo meneliti keadaan sekeliling tempat ini tentu
mengetahui bahwa kata-kata- ku ini tidak bohong….”
Sahut Nyo Bun-giau, “Jika yang menang Th Thian-heng, kita tentu mempunyai harapan
hidup, benarkah begitu?”
“Karena itulah maka aku bimbang,” kata Ca Cu-jing.
Nyo Bun giau tiba-tiba melangkah dua tindak dan berjajar dengan Ca Cu-jing. Dengan
gunakan ilmu Menyusup-suara, ia berkata, “Situasi saat ini, memang suram. Untung kita
belum memberikan persetujuan pada Ih Thian-heng. Apabila Ih Thian-heng kalah,
kawanan Baju Hitam itu tentu tumpahkan senjata rabasia pada pemuda she Ji itu. Pada
saat itu, mungkin ada kesempatan bagi kita!”
Ca Cu jing juga menyahut dengan ilmu Menyusup-suara. “Memang keadaan saat ini
genting sekali. Sekalipun Ih Thian-heng itu amat sakti, tetapi pemuda she Ji itu mungkin
tak dibawah kepandaiannya. Jika dia menang, di kemudian hari dunia persilatan tentu
timbul suatu bahaya besar. Dia seorang pemuda yang keras kepala dan tinggi hati.
Ditambah pula dengan penasehatnya si pengemis tua itu, kemudian hari dia tentu akan
berdiri sebagai suatu pimpinan lain dalam dunia persilatan. Maka siapa saja dari kedua
orang itu yang menang, bagi kita sama saja, tiada kebaikan suatu apa!”
“Benar,” Nyo Bun-giau mengiakan, “tetapi yang penting, baik siapapun yang menang,
tatap akan merupakan penghalang bagi rencana kita memasuki makam besar itu!”
Oleh karena menggunakan ilmu Menyusup suara, maka lain orang tak dapat
menangkap pembicaraan kedua orang itu.
Memandang ke arah pertempuran yang akan dilakukan oleh Ih Thian-heng dan Han
Ping. Ca Cu-jing lanjutkan berkata, “Mereka sudah sama siap, tentu pertempuran segera
berlangsung!”
Kata Nyo Bun-giau, “Jika kita menggunakan kesempatan selagi mereka bertempur
untuk menerobos kepungan kawanan Baju Hitam itu, kita mempunyai harapan setengahsetengah.”
“Jika saudara yo dapat menangkap hidup seorang Baju Hitam seperti yang kulakukan
ini, kita dapat menggunakannya sebagai senjata. Dengan begitu harapan kita makin
besar.”
Nyo Bun-giau tersenyum, “Benar, kelinci mati si rase menangis atau serupa dengan
Tanaman makan pagar. Dengan menggunakan tubuh kawannya sebagai perisai, tentulah
mereka akan gentar!”
Tiba-tiba Ca Cu-jing menghela napas, “Walaupun kita dapat menggunakan kesempatan
kedua orang itu bertempur untuk menerjang kepungan musuh, namun tindakan itu
bukanlah suatu rencana yang terbaik….”
Nyo Bun-giau keliarkan mata, lalu berkata, “Apakah saudara Ca menguatirkan putera
saudara?”
“Itu hanya salah satu sebab,” kata Ca Cu-jing, “yang panting jika sampai melewatkan
kesempatan saat ini. kita tentu sukar untuk membunuh Ih Thian-heng dan pemuda she Ji
itu. Keduanya merupakan penghalang bagi kita memasuki makam besar itu. Dalam
pertempuran itu, siapapun yang menang, sama tak menguntungkan kita. Jika kita gunakan
kesempatan ini untuk turun tangan, tentulah akan memperoleh hasil.”
Merenung beberapa saat, Nyo Bun-giau berkata, “Pandangan saudara Ca itu telah
membuka pikiranku. Tetapi jika yang menang Ih Thian-heng, mungkin rencana kita tentu
akan gagal. Tak mungkin kita dapat menghancurkan anakbuah Ih Thian-heng yang sekian
banyaknya.”
Berkata Ca Cu-jing, “Ular takkan jalan tanpa kepala. Burung tak dapat terbang tanpa
sayap. Jika Ih Thian-heng terluka oleh pemuda itu. kawanan Baju Hitam tentu akan pecah
nyalinya. Dengan gunakan kata-kata, kita dapat mempengaruhi. mereka supaya ikut kita.”
“Benar, perhitungan saudara Ca memang tepat tetapi resikonya besar sekali. Jika
sampai gagal, bukan saja kawanan Baju Hitam itu menolak ajakan kita, pun bahkan
mereka tentu akan menyerang kita habis-habisan. Dengan begitu, bukankah kita akan
mati dibawah taburan hujan senjata rahasia mereka….”
Berhenti sejenak, Nyo Bun-giau tak mau memberi kesempatan bicara pada Ca Cu-jing,
ia terus berkata, “Bukan aku hendak membangaakan diri, tetapi kecuali aku, walaupun
orang dapat memasuki makam tua itu, tetapi mereka tentu akan celaka oleh alat2
perkakas rahasia dalam makam itu. Daripada kita menempuh bahaya mengurusi mereka,
lebih baik biarkan mereka celaka sendiri dalam makam tua itu!”
Ca Cu-jing berpaling memandang Nyo Bun-giau katanya, “Menurut sepengetahuanku
kotak pedang Pemutus Asmara itu sudah jatuh di tangan orang Lam-hay-bun yalah si dara
baju ungu. Kabarnya, diatas kotak pedang itu terdapat guratan peta tempat penyimpan
harta pusaka dalam makam, dan gambar2 alat2 rahasia makam itu. Saudara Nyo jika tak
memiliki gambar itu, apakah tak sukar memasuki makam?”
Jawab Nyo Bun-giau, “Dalam soal itu harap saudara Ca tak perlu kuatir. Asal dapat
melenyapkan musuh tangguh itu, soal masuk ke dalam makam, serahkan saja padaku.”
“Maksudku, lebih dulu kita basmi musuh.” kata Ca Cu-jing, “begitu sudah tampak siapa
yang menang. Kita terus saja menyerbunya dengan seluruh kepandaian kita agar sekali
pukul dapat memperoleh kemenangan.”
Sejenak merenung, Nyo Bun-giau menyetujui.
Tepat pada saat itu tampak tangan Han Ping bergerak. Pedang Pemutus Asmara
bergemerlapan menabur Ih Thian-heng. Tetapi Ih Thian-heng pun sudah siap. Pada saat
Han Ping bergerak. iapun juga menyerempaki bergerak. Tangan kanannya menodong ke
muka. Segulung angin tenaga-dalam melanda ke muka. Kemudian ia condongkan tubuh
ke belakang sampai melekat tanah, sehingga menyerupai bentuk busur. Kemudian tibatiba
ia ayunkan tubuh keatas lagi. Bagaikan sebatang anak panah yang terlepas dari
busur, tubuhnyapun melesat sampai tiga tombak jauhnya.
Disongsong oleh pukulan Ih Thian-heng itu gerak serangan Han Ping pun agak macet
dan saat itu Th Thian-hengpun sudah lolos.
Tetapi serangan Han Ping itu, dilambari dengan seluruh tenaga-dalamnya. Pedang
pusaka itu menghamburkan angin yang dahsyat dan sinar biru yang menebar seluas satu
tonbak. Walaupun Ih Thian-heng lolos tetapi batu nisan dari kuburan tempat ia beralih
tempat, itu, hancur berantakan dan dua orang Baju Hitam yang berada pada jarak dekat
dengan tempat Han Pingpun terbelah jadi empat tubuhnya. Darah segar muncrat
berhamburan ke empat penjuru.
Memang dalam hal menguasai tenaga-dalam, Han Ping masih belum mencapai tataran
apa yang disebut dapat mengendalikan tenaga-dalam menurut sekehendak hatinya. Oleh
karena ia tak dapat menahan lagi tenaga-dalamnya yang dipancarkas melalui gerakan
pedangnya itu.
Selekas pancaran sinar pedang lenyap, tampak Han Ping berdiri tegak ditempatnya
sambil pejamkan mata untuk memulangkan napas.
Jelas serangannya itu telah menghabiskan tenaganya.
Nyo Bun-giau dan Ca Cu-jing diam-diam kerahkan tenaga-dalam bersiap. Asal Han Ping
dan Ih Thian-heng sudah ada penyelesaian, siapa yang menang tentu akan diserangnya.
Tetapi di luar dugaan telah terjadi peristiwa yang tak disangka-sangka. Ca Cujing
berpaling kepada Nyo Bun giau, katanya, “Saudara Nyo, harap jangan berburu-buru
dulu….”
Nyo Bun-giau menghela napas pelahan, tanyanya, “Apa yang terjadi saat ini, sungguh
di luar dugaan kita. lalu bagaimana tindakan kita.”
“Tunggu perkembangan lebih lanjut,” sahut ketua marga Ca.
“Menurut pendapat saudara Ca, perobahan apakah yang akan terjadi nanti? Apakah Ih
Thian-heng akan menyuruh kawanan Baju Hitam itu untuk menaburkan senjata rahasia
kepada pemuda itu?”
“Hal itu sukar dikata,” jawab Ca Cu-jing,”Sekalipun Ih Thian-heng memang mempunyai
selera untuk membunuh pemuda itu, tetapi ia tak sampai akan memberi perintah kepada
anakbuahnya untuk melepas senjata rahasia….”
Tiba-tiba saat itu Han Ping membuka mata. Sepasang matanya yang berkilat-kilat tajam
memandang ke sekeliling, serunya, “IhThian-heng, hunuslah senjatamu. Keadaan saat ini
tentu berakhir dengan menyedihkan. Sekalian orang yang berada disini tentu tak mungKin
meninggalkan tempat dengan masih bernyawa….”
Tiba-tiba terdengar derap langkah orang berlari mendatangi sehingga kata-kata Han
Ping terputus. Ketika memandang ke muka tampak si Bungkuk dan si Pendek berlari
mendatangi, mempelopori sebuah tandu bercat ungu. Sedang di belakang tandu itu
tampak diiring si nenek rambut putih Bwe Nio.
Rombongan tandu dan kedua pengawal si Bungkuk dan si Pendek itu segera berhenti di
tempat Han Ping dan Ih Thian-heng. Begitu tandu berhenti, si Bungkuk dan si Pendek
segera agak menyisih kesamping untuk menjaga tandu itu.
Yang memikul tandu adalah dua orang lelaki bertubuh kekar dan bercelana pendek.
Setelah si Bungkuk dan si Pendek melindungi dikedua samping, barulah kedua tukang
tandu itu menurunkan tandunya,
Nenek Bwe Nio cepat menyelinap kemuka untuk membuka tenda tandu. Seorang dara
baju ungu yang mukanya ditutup dengan kerudung hitam, pelahan-lahan melangkah
keluar.
Sekalian yang hadir, kecuali kawanan Baju Hitam, semua sudah kenal akan si dara baiu
ungu dan romboogan orang Lam-hay-11u. Mereka mengagumi kecaniikan dara itu. Tetapi
entah apa sebabnya, tiba-tiba saat itu si dara mengenakan kerudung muka.
Tiba-tiba kerudung muka dara itu tampak bergerak-gerak dan tangannya melambai,
“Ca Giok, apakah engkau terluka?”
Ca Giok gembira sekali. Entah bagaimana sakit pada lukanyapun terasa berkurang.
Cepat ia berdiri dan menjawab, “Terima kasih atas perhatian nona. Hanya luka sekecil ini,
tak apa!”
Berkata si dara baju ungu kepada Ih Thian-heng, “Ca Giok tentu anakbuahmu yang
melukai, lekas berikan obat penawarnya kepadaku!”
Ih Thian-heng tersenyum ia mengeluarkan sebuah botol kumis, menuang dua butir pil
lalu diserahkan kepada si dara.
Setelah mengucap terima kasih, dara itu menghampiri Ca Giok. Waktu berjalan,
pakaiannya bertebaran menyambar ke samping Han Ping. Serangkum hawa yang harum,
menabur hidung Han Ping. Di luar kesadarannya, Han Ping cepat berpaling memandang
bayangan punggung dara itu.
Dilihatnya dara itu berjalan dengan Iangkah gontai ke tempat Ca Giok. Kemudian
dengan suara lembut berkata, “Inilah obat dari Ih Thian-heng, tak mungkin dia akan
menipu aku. Harap jangan kuatir dan minumlah!”
Dengan tersendat-sendat Ca Ciok berkata, “Apapun yang nona berikan, sekalipun
racun, tentu akan kuterima!” — ia terus menyambuti pil itu.
Karena muka tertutup sutera hitam maka tiada seorangpun yang tahu bagaimana
mimik wajah dara itu. Tetapi yang jelas, betapa mesra dan lembut ia mengucapkan katakatanya
kepada Ca Giok.
Kembali dara itu berseru, “Eh, engkau benar-benar terluka berat! Harap jangan
bergerak, biarlah aku yang meminumkan kepadamu.”
Habis berkata dengan tanpa malu2 lagi dara itu terus menyusupkan obat itu ke mulut
Ca Giok.
Pada jaman itu sekalipun di antara suami isteri, pun dianggap melanggar kesusilaan
apabila bermesra-mesraan di depan umum. Paling tidak harus di tempat yang sepi tak
dilihat orang.
Tetapi ternyata dara baju ungu itu dengan disaksikan oleh berpuluh-puluh orang telah
memberikan obat ke mulut seorang pemuda. Menurut norma kesusilaan, dara itu sudah
melanggar tata kesopanan……
Jilid 27 : Han Ping dengan suka rela meminum racun
Kucing-kucingan.
Nyo Bun-giau tersenyum, “Kuhaturkan selamat kepadamu, saudara Ca!”
“Musuh masih mengepung kita. hidup dan mati belum dapat diketahui, mengapa
saudara Nyo berkelakar memberi selamat?
Belum Nyo Bun-giau menjawab, dara baju ungupun sudah kedengaran berkata pula
kepada Ca Giok, “Jangan kuatir, sekalipun yang diberikan Ih Thian-heng kepadamu itu
racun sungguh-sungguh, aku tentu dapat menyembuhkanmu.”
“Ilmu pengobatan nona, aku sudah mengetahui sendiri. Memang benar dapat
menghidupkan orang yang sudah meregang jiwa,” kata Ca Giok.
Dara baju ungu tertawa melengking, “Kepercayaan yang engkau tumpahkan kepadaku
itu, benar-benar membuat aku gembira sekali. Dalam kitab pusaka perguruan Lam-haybun,
selalu berisi ilmu pelajaran silat yang sakti, juga terdapat bermacam2 ilmu
pengobatan. Apa yang kuketahui hanya sedikit sekali. Kelak kita dapat mempelajari kitab
itu tiap malam dan sama-sama meyakinkannya agar kelak engkau menjadi jago nomor
satu di dunia persilatan. Dan aku akan menjadi ahli obat nomor satu di dunia. Engkau
yang membunuh orang, aku yang menyelamatkan umat manusia. Kita sama-sama
berkelana di dunia persilatan.”
Hampir Ca Giok tak percaya apa yang didengarnya. Telinganya seperti mendengar dewi
kahyangan mendendang lagu merdu, begitu tegang sekali perasaan pemuda, itu hingga
tubuhnya mandi keringat. Dengan napas terengah kecil ia berkata, “Ucapanmu…. itu . .. .
apakah … sungguh…. sungguh!”
Karena amat tegang sekali, mulut Ca Giok sampai tercekat tak dapat bicara lancar.
Dara baju ungu itu ulurkan tangan memegang sebelah lengan Ca Giok, serunya, “Setiap
patah kata-kataku itu keluar dari hati nuraniku. Di hadapan sekian hanyak tokoh,
kuperlakukan engkau begini rupa, masakan engkau masih tak percaya?”
“Apakah aku bukan bermimpi?” tanya Ca Cok pula.
“Di bawah sinar matahari musim rontok yang terang benderang. masakan engkau
bermimpi? Mari kita pergi, jangan berada di tempat yang begini belantara!” dengan
langkah gontai dara itu segera berjalan pelahan-lahan.
Entah girang entah kaget, tetapi Ca Giok benar seperti bermimpi. Ia mengikuti berjalan
di samping dara itu seperti sebuah patung yang bernyawa.
Nyo Bun-giau gentakkan kaki ke tanah, serunya, “Mempunyai seorang putera seperti
putera saudara Ca, alangkah bahagianya. Putera saudara Ca itu benar-benar membuat
hatiku iri!”
Ca Cu-jing tersenyum, “Mungkin bukan puteraku itu yang saudara Nyo maksudkan
melainkan kitab pusaka Lam-hay-bun.”
“Ah, masakan aku mengandung hati begitu dengki. Belum sempat aku menghaturkan
selamat kepada putera saudara, masakan aku iri kepadanya?”
Tiba-tiba Ca Cu-jing menghela napas, “Perobahan keadaan yang begini mendadak,
kukuatir bukan berarti suatu kebahagiaan tetapi malah suatu malapetaka bagi puteraku.”
Setelah menarik tangan Ca Giok berjalan sampai dua tiga tombak jauhnya, barulah
peruuda itu tersadar. Katanya berbisik, “Ayahku masih dalam kepungan musuh. Kalau aku
mengikut nona, hatiku sungguh tak enak.”
Sambil berpaling, dara buju ungu itu berkata, “Apakah engkau tak dapat memanggilnya
ikut kemari?”
Ca Giokpun berpaling. Dari tempatnya yang terpisah begitu jauh ia memberi hormat
kepada ayahnya seraya berseru, “Ayah!”
Ca Cu- jing kerutkan alis, menyahut, “Ada urusan apa?” – sambil berseru iapun
melangkah menghampiri. Melihat itu Nyo Bun-giau pun segera ikut di belakangnya.
Tiba-tiba kawanan Baju Hitam yang mengepung di sekeliling penjuru, mengangkat
tabung emas dan ditujukan kepada Ca Cu jing dan Nyo Bun- giau.
“Mau apa kalian?” bentak Ca Cu jing seraya berhenti.
Ca Giok tegang sekali. Ia berpaling ke arah dara baju ungu, katanya, “Ayahku telah
dirintangi anakbuah Ih Thian-heng.”
Dara baju ungu serentak mengangkat tangan memberi isyarat kepada Ih Thian-heng,
“Ih Thian-heng, suruh orang-orang itu mengundurkan diri, maukah?”
Ih Thian-heng melangkah maju dan tersenyum berkata, “Aku selalu menurut perintah
nona.”
Lalu ia bertepuk tangan dua kali dan berseru nyaring, “Sebelum mendadapat
perintahku, tak boleh bertindak sendiri. Siapa melanggar, hukum mati!”
Mendengar itu kawanan Baju Hitam yang sudah mengangkat tabung emas tadi, sama
menurunkannya lagi dan menyurut mundur.
Leng Kong-siau yang masih duduk di samping merawat lukanya, tiba-tiba berdiri dan
lari ke belakang Nyo Bun-giau.
Melihat beberapa orang itu sudah berusaha meloloskan diri, Ting Ling segera berbisik
kepada pamannya, “Apakah paman dapat bergerak?”
Saat itu tubuh Ting Yan-san terbenam dalam pasir dan rambut kepalanyapun terbakar
habis. Wajahnya yang tirus seperti muka kuda penuh dengan noda2 terbakar.
Luka2 itu apabila lalu orang yang menderita, tentu sudah mati. Tetapi berkat
kepandaiannya yang tinggi, Ting Yan-san dapat mengerahkan tenaga-dalam untuk
bertahan. Sekalipun lukanya amat berat, ia tetap dapat bertahan tak sampai pingsan. Ia
tetap mempunyai kemauan keras untuk hidup.
Mendengar pertanyaan anak kemanakannya itu, serentak ia melonjak bangun, serunya,
“Lukaku ini belum sampai dapat mencabut nyawa pamanmu.”
Ting Ling memandang keadaan pamannya. Dilihatnya pakaian pamannya itu sudah
sembilan bagian terbakar. Tubuhnya berlumur benjol2 putih bernanah. Boleh dikata
sekujur tubuhnya sudah tak ada daging yang masih utuh lagi. Karena ngeri, Ting Ling
palingkan muka dia menangis, “Luka paman begitu parah sekali….”
“Mengapa engkau menangis!” bentak Ting Yan-san seraya ayunkan langkah.
Nyo Bun-giau, Ca Cu-jing dan Leng Kong-siau berpaling ke belakang. Demi melihat
keadaan luka Ting Yan-san yang begitu mengerikan, menggigillah hati mereka,
Dalam pada itu timbullah rasa heran yang tak dapat dimengerti oleh Han Ping,
mengapa si jelita dara baju ungu bersikap begitu mesra kepada Ca Giok. Entah bagaimana
hati Han Ping merasa iri dan panas. Dia tak tahu perasaan yang dikandung hatinya itu
suatu kebencian atau cinta. Karena selama hidup ia belum pernah dihinggapi perasaan
semacam itu.
Sedang Ih Thian-heng hanya tegak berdiri dengan sikap yang lenggang sekali.
Dara baju ungu berjalan di muka dan Ca Giok mengikuti di belakang lalu Ca Cu-jing.
Nyo Bun-giau dan Leng Kong-siau. Sedang Ting Yan-san mengikuti di belakang pada jarak
satu tombak jauhnya. Sekalipun ia berjalan dengan tegakkan kepala dan kembungkan
dada, tetapi langkah kakinya jelas tampak tertatih-tatih. Suatu kenyataan kalau ia hanya
paksakan diri pura-pura dapat bertahan lukanya yang parah itu.
Melihat satu demi satu tokoh-tokoh itu angkat kaki tinggalkan tempat itu, begitu Ca Cujing
lewat di sampingnya, tiba-tiba Ih Thian-heng julurkan tangan manghantamnya,
“Apakah saudara Ca hendak membawa anakbuahku pergi semua?”
Kiranya Ca Cu-jing masih menyeret seorang Baju Hitam. Cepat ia lepaskan orang itu
dengan diserempaki oleh tutukan untuk membuka jalandarahnya yang tertutuk.
Pada saat itu Pengemis-sakti Cong To pun lari menghampiri. Semula dia bertempur
lawan Ih Thian-heng. Tetapi Ih Thian-heng memakai barisan Thian kong-tin untuk
mendesak Ca Cu-jing. Nyo Bun giau dan lain-lain, lalu ia membiarkan Hud Hoa Kongcu dan
tiga bocah baju putih mengurung Cong To. Rencana Ih Thian heng, lebih dulu hendak
menundukkan Ca Cu-jing dan Nyo Bun-giau, setelah itu baru akan menyelesaikan Cong To
dan Han Ping.
Adakah ia nanti akan membunuh kedua orang itu atau akan menggunakannya, tetap
akan ia laksanakan dengan tegas. Ia merasa bahwa kedok mukanya sebagai seorang
ksatrya utama saat itu sudah terbuka dan dlketahui oleh tokoh-tokoh persilatan. Maka ia
tak mau kepalang tanggung dan hendak menghancurkan mereka atau menguasainya.
Hampir sejam lamanya ia merancang rencana, ia yakin perkembangan tentu akan
mengunjuk ke arah penentuan.
Siapa tahu rencananya yang bagus itu, ternyata berantakan. Kepandaian Han Ping jauh
di luar perhitungannya. Pada saat ia hendak membujuk Ca Cu-jing dan Nyo Bun-giau
supaya takluk, pemuda itu telah menyerangnya sehingga situasi telah berobah.
Dan kemunculan si dara baju ungupun di luar dugaannya sama sekali.
Semangat Ih Thian-heng seperti tenggelam dalam lautan. Ia melihat situasi berbalik tak
menguntungkan dirinya. Jika ia tak maumemandang muka si dara baju ungu, tentulah
fihak Lam-hay-bun akan membantu musuh. Dan sekali Lam-hay-bun membantu musuh, Ih
Thian-heng tiada harapan menang lagi. Ia cukup memahami kecerdasan dara itu. Jika
dara itu berani memasuki barisan Thian-kong-tin, tentulah ia sudah mempunyai pegangan
untuk menghadapi barisan itu.
Dengan perhitungan yang tepat, Ih Thian-hengpun cepat mengambil keputusan untuk
menuruti permintaan dara itu. Dengan tindakan itu, mungkin ia masih mempunyai harapan
untuk kerja-sama dengan Lam-hay-bun. Maka ia memutuskan, mengundurkan diri untuk
memelihara kekuatan daripada maju tetapi menderita kerusakan.
Setelah dapat menerobos ke luar dari kepungan Hud Hoa kongcu dan ketiga bocah baju
putih, Pengemis-sakti Cong To pun segera bergegas menyusul Ting Yan-san yang ke luar
dari daerah kuburan itu. Melihat keadaan Ting Yan-san yang begitu mengerikan, mau tak
mau hati pengemis tua itu ikut ngeri juga. Ia menghela napas.
“Yah,” kata Ting Ling seraya menghampiri Cong To, “nasehatkanlah Ji siangkong
supaya ikut kita ke luar. Saat ini bukan saat untuk mengunjuk kegagahan.”
Sebagai seorang tokoh yang kenyang akan pengalaman dunia persilatan, memang
Cong To dapat memperhitungkan situasi saat itu. Apabila si dara buju ungu dapat
mengajak sekalian orang ke luar dari kepungan, Ih Thian-heng tentu akan menumpahkan
seluruh kekuatannya untuk menghadapi Han Ping dan ia.
Maka ia setuju akan anjuran Ting Ling, serunya kepada Han Ping, “Mari kita pergi, hari
masih panjang. Kelak masih ada kesempatan untuk mambalas dendam. Tak perlu terburuburu
harus melakukannya sekarang juga!”
“Aku hendak membawa paman Kim ke luar,” sahut Han Ping yang selalu memikirkan
keselamatan Kim Loji. Dengan dua kali loncatan, tibalah ia di tempat Kim Loji. Dilihatnya
Kim Loji pejamkan mata, wajahnya lesi tetapi tak terdapat setitik noda darahpun pada
tubuhnya.
Han Ping terkejut dan buru-buru menjamah dada pamannya, ternyata masih bernapas.
Cepat ia mendukung pamannya itu. Dengan lintangkan pedang, ia segera melangkah
maju.
Saat itu si dara baju ungu dan rombongan Nyo Bun-giau, sudah mencapai 10 tombak
jauhnya. Hanya Pengemis-sakti Cong To yang masih tetap tinggal di tempatnya,
menunggu Han Ping.
Pada saat Han Ping lewat di sampingnya, tiba-tiba Ih Thian-heng ulurkan tangan kiri
pura-pura menghadang, “Engkoh kecil, apakah tak mau tinggal sebentar lagi?”
Han Ping sabetkan pedangnya dan memaksa Ih Thian-heng menyurut mundur. Sedang
Cong To pun cepat loncat menghampiri seraya tertawa dingin, “Ih Thian-heng, apakah
engkau yakin dapat menahan pengemis tua dan Han Ping?”
Berkata Han Ping dengan nada gagah, “Hidupku sekarang ini hanya bertujuan untuk
membalas sakit hati orangtuaku. Asal dapat membunuh musuh itu, sekalipun aku mati
tercincang, tetap tak menyesal. Harap lo-cianpwe suka menolong untuk membawa
pamanku ini ke luar dari tempat berbahaya ini dan carikan seorang tabib pandai untuk
mengobati lukanya. Kemudian minta pada paman supaya menyembahyangi arwah
ayahbundaku dan menuturkan tentang peristiwa yang kulakukan dalam menuntut dendam
itu. Atas bantuan lo-cianpwe, aku merasa berterima kasih tak terhingga,” ia terus
sodorkan tubuh Kim Loji kepada Cong To. Sejenak merenung, akhirnya Cong To
menyambutinya juga. Rupanya pengemis tua itu telah memperhitungkan dengan masak.
Secara tiba tiba ia menaruh kepercayaan penuh terhadap Han Ping. Asal pemuda itu
bertempur satu lawan satu dengan Ih Thian-heng, ia percaya tentu akan menang.
Tetapi kebalikannya, saat itu Ih Thian-heng merasa cemas.
Sambil getarkan pedang Pemutus Asmara, berserulah Han Ping, “Ih Thian-heng,
kiranya engkau tentu sudah tahu siapa diriku ini. Tak perlu kuterangkan panjang lebar
lagi. Dengan telingaku sendiri, kudengar engkau mengatakan kalau engkaulah yang
membunuh ayahbundaku. Aku dengan mata kepada sendiri kusaksikan engkau telah
membunuh guruku. Lekas hunus senjatamu!”
Habis berkata Han Ping terus pasang kuda2 dengan lintangkan pedang ke muka dada.
Melihat sikap Han Ping, tiba-tiba tergetarlah nyali Ih Thian-heng. pikirnya, “Entah dan
mana anak itu mendapat kepandaian yang begitu hebat. Ia telah menguasai ilmupedang
sakti.”
Dengan dua kali loncatan, Cong To yang mendukung Kim Loji tiba di tempat Ting Ling,
“Budak setan!” serunya.
“Yah….,”Ting Ling berpaling menyahut.
“Panggullah orang ini….” tiba-tiba Cong To berkata dengan bisik2, “Tunggulah di biara
tempat aku pernah bertempur dengan Han Ping tempo hari.”
Walaupun lengan nona itu terluka tetapi ia tetap melakukan perintah ayah angkatnya
dan menyambut tubuh Kim Loji.
Setelah itu Cong To lalu loncat melambung ke udara. Ia menyambar sebatang dahan
pohon siong lalu berjalan menghampiri ke tempat Han Ping.
Saat itu tiba-tiba si dara baju ungu hentikan langkah dan berkata kepada Ca Giok,
“Bagaimana kalau kita berhenti dulu untuk menyaksikan keramaian itu?”
Ca Giok hanya mengiakan saja. Ia benar-benar terbuai oleh sikap si dara yang begitu
mesra kepadanya. Tiba-tiba ia rasakan tangannya ditekan si dara dan dibawa kembali ke
dalam lingkungan tanah pekuburan lagi.
Nyo Bun-giau, Ca Cu jing dan lain-lain karena sudah keluar dari kepungan kawanan
Baju Hitam, nyali merekapun besar lagi. Mereka hentikan langkah dan hendak
menyaksikan apa yang akan terjadi di lapangan kuburan itu.
Hanya Leng Kong siau dan Ting Yan san yang tanpa berpaling muka lagi tetap
lanjutkan berjalan pergi.
Keduanya menderita luka parah dan harus cepat-cepat tinggalkan tempat itu baru
dapat berusaha untuk mencari obat.
Ting Ling ikut di belakang Ting Yan-san, pada saat lewat di samping si dara baju ungu,
tiba-tiba mendengar dara baju ungu itu berkata, “Orang ini berbahaya sekali keadaannya.
Racun sudah menyusup ke dalam hati. Tiga jam kemudian apabila tak lekas diobati, tentu
akan mati!”
Ting Yan-san melirik ke arah dara baju ungu itu, hendak bicara tetapi tak jadi.
Tiba-tiba baju ungu itu tertawa, “Apa yang engkau pandang? Dalam dunia, hanya aku
seorang yang dapat menolongmu. Dan lagi harus menggunakan tusuk kundai Kumala itu
baru dapat menolongmu.”
Agaknya Ting Yan san menyadari bahwa lukanya tiada tertolong lagi. Maka beberapa
kali ia batuk-batuk lalu berbisik kepada Ting Ling, “Leng ji, lekas engkau pulang ke
lembah. Aku sudah tiada harapan lagi. Sekalipun ada harapan, tetapi keadaan diriku yang
begini, rasanya tak dapat kutahan lagi.”
Habis berkata Ting Yan san berputar diri lalu berjalan menuju ke timur.
Ting Ling berpaling memandang si dara baju ungu, dilihatnya dara itu berjalan sambil
sandarkan kepalanya ke bahu Ca Giok. Tiba-tiba tergerak hatinya. Diam-diam ia
menimang, “Sekalipun dara ini seorang gadis yang pilihan dan tak mau terikat akan adat
istiadat umum, tetapi tak seharusnya dia begitu rupa menonjolkan diri, tanpa malu2
bertingkah begitu mesra di hadapan sekian banyak orang. Kemungkinan ia tentu
mempunyai maksud lain.”
Secepat menduga begitu, Ting Lingpun segera berseru nyaring, “Harap nona berhenti
dulu, aku yang rendah hendak mohon petunjuk.”
Dara baju ungu itu ternyata mau berhenti juga dan berpaling, “Nona Ting hendak
mempunyai urusan apa dengan aku?”
“Pamanku rela menderita luka terbakar yang amat parah. Di dunia ini kiranya hanya
nona seorang yang dapat mengobatinya. Entah apakah nona sudi bermurah hati untuk
memberi pertolongan kepada pamanku yang sedang menderita itu?”
“Apakah engkau minta aku untuk menolongnya?”
Dara baju ungu itu tertawa mengikik, “Jika kululuskan untuk menolongnya, entah
dengan cara bagaimana nona hendak berterima kasih kepadaku?”
“Segala apa yang nona perintahkan, asal tenagaku mampu, tentu akan kulakukan,”
sahut Ting Ling.
“Sayang sedikit sekali bantuan yang kuperlukan dari lain orang,” kata si dara baju ungu,
“begini sajalah. Soal itu kita catat dalam hati dulu. Kelak apabila aku memerlukan
bantuanmu, baru aku bilang. Setuju?”
Karena memikirkan luka pamannya yang begitu parah, maka tanpa banyak sangsi lagi
Ting Ling segera menyatakan setuju.
Dara baju ungu itu tiba-tiba berpaling kepada kepada induk semangnya, “Bwe-nio,
tutuplah jalandarah orang itu dengan ilmu tutukan perguruan Lam-hay-bun lalu berikan
sebutir pil mujijad padanya, jangan sampai hawa murni dalam tubuhnya lenyap!”
Bwe Nio terkesiap, “Apa? Engkau sungguh-sungguh hendak menolongnya?”
Si dara mengangguk pelahan, “Bwe Nio, adakah saat ini engkau masih sampai hati
untuk menentang kehendak hatiku?” – Nadanya penuh haru keramahan sehingga
membuat hati orang rawan.
Tiba-tiba Bwe Nio mengangkat lengan kiri dan menutup mukanya dengan jubah
lengannya itu, “Nak, terserah engkau hendak berbuat apa aku tentu akan berusaba sekuat
mungkin untuk menolong.”
Nenek itu terus loncat ke samping Ting Yan-san lalu angkat tangan menamparnya.
Sekalipun paksakan diri berjalan dengan kerahkan seluruh tenaga-dalam, namun tetap
ia rasakan tubuhnya sakit bukan kepalang. Rasanya seperti dicacah-cacah pisau. Saking
sakitnya ia hampir tak tahan lagi dan terus hendak bunuh diri dengan menghantam batok
kepalanya sendiri. Sekonyong-konyong ia rasakan serangkum angin menampar tubuhnya.
Seketika ia rasakan beberapa jalan darahnya kesemutan dan pingsanlah ia.
Bwe Nio segera mengeluarkan sebutir pil lalu disusupkan ke mulut orang itu.
Dara baju ungu tiba-tiba melambai, “Au Bungkuk, angkutlah orang itu keluar hutan dan
serahkan pada orang supaya dirawat.”
Seorang bungkuk segera menghampiri dan terus memanggul tubuh Ting Yan-san
dibawa lari.
Ting Ling menghela napas pelahan, serunya, “Terima kasih atas budi pertolongan nona.
Kelak pasti kubalas budimu itu. Karena saat ini nona tak memerlukan aku maka akupun
hendak mohon diri.”
“Jangan pergi!” tiba-tiba dara baju ungu berkata, “engkau harus di sini merawat
lukanya. Aku sudah meluluskan permintaanmu untuk menyembuhkan lukanya yang
terbakar itu, tetapi aku tak dapat melakukan perawatannya.”
Ting Ling memandang Kim Loji yang masih didukungnya. Ia menghela napas
kehilangan faham.
Saat itu anakbuah Ih Thian-heng sudah berkumpul dan mengepung Han Ping serta
Cong To.
“Saudara Ca,” bisik Nyo Bun-giau, “rupanya kali ini pemuda she Ji itu pasti bertempur
sungguh dengan Ih Thian-heng. Entah siapa yang menang dan yang kalah, tetapi suatu
keuntungan bagi fihak kita. Hanya sayang masih ada rombongan orang Lam-hay-bun.
Sekalipun kita dapat mengambil ikan yang sudah menggelepar di tanah itu tetapipun kita
tak dapat bergerak leluasa.”
Sahut Ca Cu jing, “Keadaan saat ini memang rumit sekali. Sukar diduga bagaimana
perobahannya nanti. Tiada lain jalan kecuali harus bertindak melihat gelagat.”
Tiba-tiba Han Ping berseru keras, “Harap saudara-saudara menyingkir lebih jauh agar
jangan sampai aku salah melukai….”
“Kalian menyingkir semua, paling sedikit dua tombak jauhnya,” Ih Thian-heng ikut
berseru dengan nada dingin. Kemudian ia tertawa nyaring, serunya pula, “Dalam dunia
persilatan dewasa ini, memang banyak jago yang menggunakan pedang. Tetapi yang
mampu menunggang pedang untuk melukai musuh, rasanya hanya seorang dua orang
saja. Hari ini kalian boleh menyaksikannya….” sengaja ia nyaringkan suaranya agar
sekalian orang dapat mendengar.
Cong To tertegun. Segera ia bertanya bisik2 kepada Han Ping, “Apakah engkau pernah
belajar ilmu naik pedang itu?”
Han Ping tertawa hambar, “Belum, tetapi pernah orang memberi pelajaran itu
kepadaku. Jika Ih Thian-heng tak mengatakan, aku tentu tak tahu kalau kepandaLn itu
disebut ilmu naik pedang.”
Sambil lintangkan barang pohon siong, Cong To memandang ke sekeliling dan tertawa,
“Bagus, dalam pertempuran hari ini, entah engkau mati atau beruntung masih hidup tetapi
kegaranganmu akan jatuh dalam dunia perslatan. Selama 60 tahun tiada seorangpun yang
berumur seperti engkau, mampu mempunyai ilmu yang setaraf dengan engkau!”
Ucapan itu merupakan suatu anjuran kepada Han Ping. Ia tegakkan alis dan busungkan
dada. Sambil tengadahkan kepala bersuit panjang, ia berkata, “Ah, lo cianpwe keliwat
memuji. Mungkin dalam pertempuran nanti aku mati di tangan musuh dan dendam sakit
hati itu akan kubawa ke liang kubur. Tetapi kuyakin, Ih Thian-hengpun harus membayar
mahal juga….”
Tiba-tiba ia menghela napas pelahan, ujarnya pula, “Ada sebuah urusan yang hendak
kumohon bantuan pada lo-cianpwe. Entah apakah lo-cianpwe sudi meluluskan?”
“Bilanglah,” kata Cong To, “asal pengemis tua dapat melakukan, pasti tak menolak!”
Mata Han Ping berkilat-kilat memandang Ting Ling, ujarnya, “Harap lo cianpwe suka
membawa puteri angkat lo-cianpwe itu tinggalkan tempat ini agar hatiku tenang
bertempur dengan musuh!”
Cong To tertawa, “Dalam hidup pengemis tua ini, boleh dikata telah mengenal seluruh
tokoh dalam dunia persilatan. Tetapi setelah setua ini bertemu dengan engkau, seorang
yang lupa pada persahabatan….”
Han Ping tertawa tawar, “Aku belum pernah meyakinkan ilmu pedang. Tetapi
mengandalkan ingatanku, aku akan mencoba untuk bertempur dengan lawan. Kalah
menang, sudah dapat diperhitungkan. Nama lo-cianpwe amat harum dalam dunia
persilatan, tak selayaknya menewani aku dalam pertempuran ini.”
Rupanya Ih Thian-heng tergerak hatinya mendengar kegagahan Han Ping dan
kejujuran Cong To. Ia tersenyum berseru, “Terus terang, akupun tak yakin tentu dapat
mengalahkan engkau. Tetapi aku sudah pernah meyakinkan ilmupedang Kita saling
mempunyai harapan setengah-tengah untuk kalah atau menang. Jika engkau masih ada
pesan lain, pertempuran ini dapat kita pertangguhkan lain hari. Kita tentukan saja
harinya!”
Tiba-tiba Ting Ling melangkah ke samping pengemis tua. Melihat itu Cong To
menegurnya, “Mengapa engkau ke mari?”
Ting Ling tertawa, “Karena ayah di sini, akupun tetap menemani di sini juga.”
Melihat Kim Loji yang didukung nona itu makin lemah napasnya, tergeraklah hati Han
Ping. Ia segera menghampiri.
Ting Lingpun segera menyerahkan Kim Loji kepada pemuda itu, “Pamanku menderita
luka parah sekali. Aku harus merawatnya dan terpaksa tinggal di sini.”
Menyambuti tubuh Kim Loji, Han Ping berkata, “Terima kasih atas bantuan nona. lain
hari tentu akan kubalas.”
Sambil memutar pedang Pemutus Asmara, pemuda itu berseru keras, “Siapa
menyingkir, selamat. Siapa menghadang, binasa!” — ia terus menerobos menerjang ke
luar dari kepungan.
Yang diarah yalah justeru yang dijaga Hud Hoa kongcu. Pemuda itu walaupun tidak
tolol, tetapi karena sejak kecil dimanjakan di bawah lindungan ayahnya, maka dalam
pergaulan di kalangan Hitam atau Putih, ia selalu membawa sikap yang congkak.
Melihat Han Ping hendak menerjang ke arah tempatnya, marahlah Hud Hoa kongcu itu.
Cepat ia menyongsong sebuah hantaman.
Han Ping tebarkan pedang pusaka dalam lingkaran sinar dingin.
Cret!… Ujung lengan baju Hud Hoa kongcu terpapas dan cepat-cepat ia mengangkat
bahunya kanan untuk menyambut pukulan kongcu itu.
Karena termakan pukulan Hud Hoa kongcu, Han Ping yang melambung di udara itupun
meluncur jatuh ke tanah. Cong To terkejut dan terus hendak menghampiri untuk memberi
pertolongan.
Tetapi alangkah kejutnya ketika saat itu ia mendengar Hud Hoa kongcu menjerit keras
dan tiba-tiba menyurut mundur sampai beberapa langkah.
Cong To terkesiap dan hentikan langkah. Sebagai seorang tokoh yang berpengalaman
luas, tahulah ia bahwa Hud Hoa kongcu telah termakan tenaga-membal yang dipancarkan
oleh tubuh Han Ping.
Melihat itu diam-diam Ih Thian-heng bercekat dalam hati, “Tenaga-membal semacam
itu, kecuali ilmu Hian-bun-kong-gi, hanya Pancha-siang-kang dari aliran kaum agama yang
mampu memiliki daya sedemikian hebatnya…..”
Tengah ia menimang, tiba-tiba terdengar deru sambaran tongkat. Keempat orangtua
yang mengawal di belakang Hud Hoa kongcu, tiba-tiba serempak maju menerjang dengan
tongkatnya.
Han Ping kerutkan alis. Ia murka sekali.
Bukannya mundur tetapi ia malah maju menerjang keempat orangtua itu. Dengan jurus
Thian-ho no-sia, ia taburkan pedang untuk melindungi diri. Tring, tring, tring, keempat
batang tongkat itu terbabat kutung.
Semangat Han Ping makin menyala. Ia balikkan pedang untuk menabas. Walaupun
pedang Pemutus Asmara itu hanya pandak tetapi pedang pusaka itu memancarkan sinar
kebiru-biruan yang mencapai sampai beberapa meter jauhnya. Pada waktu dimainkan,
anginnya dapat menyerang musuh.
Keempat pengawal tua itu setitikpun tak mengira bahwa dalam satu gebrak saja,
senjata mereka sudah terpapas kutung. Mereka agak tertegun dan tahu2 angin pedang
Pemutus Asmara sudah melanda mereka. Mereka terkejut dan cepat-cepat loncat mundur.
Han Ping makin beringas. Kembali ia lancarkan serangan pedang pusaka itu memancar
sampai beberapa meter jauhnya sehingga orang-orang yang berada di sekeliling, sama
berhamburan mundur dan memberi sebuah jalan. Kesempatan itu tak di-sia2-kan Han Ping
untuk menerobos keluar dari kepungan dan terus lari.
Menyaksikan kegagahan Han Ping. tiba-tiba si dara baju ungu menghela napas .. . .
Helaan napas itu bernada rawan sekali sehingga Ca Giok yang berdiri di sampingnya
tergerak juga hatinya.
Selagi suara helaan napas itu masih mengiang di telinga, dari kerudung kain hitam yang
berlapis-lapis menutup wajah dara itu, tiba-tiba terdengar mulutnya berseru marah, “Oh
It-su, lekas tahan dial”
Oh It-su terkejut sekali. Han Ping lari sepesat anakpanah lepas dari busur. Bagaimana
mungkin ia mampu mengejarnya. Namun ia tak berani membantah perintah dara baju
ungu itu.
“Hai, berhenti!” didahului oleh teriakan keras ia terus loncat mengejar. Teriakan itu
dilambari dengan seluruh tenaga-dalam yang dimilikinya. Nadanya bagai petir meletus di
angkasa.
Saat itu Han Ping sudah berada tujuh delapan tombak jauhnya. Tiba-tiba ia terkejut
mendengar teriakan menggeledek itu dan hentik an larinya. Baru ia berputar tubuh untuk
melihat siapa yang berteriak keras itu. Oh It-su si orang pendek sudah melayang tiba di
hadapannya.
Rupanya si bungkuk itu sudah cukup faham akan kepandaian Han Ping, ia tak berani
memandang rendah dan cepat-cepat mencabut senjatanya, sebatang Kim-pit atau penaemas.
“Mau apa engkau?” tegur Han Ping.
Oh It-su sudah kuncup nyalinya akan kegagahan Han Ping. Maka sambil bersiap
dengan kim-pit ia berseru, “Aku mendapat perintah untuk meminta pelajaran barang
beberapa jurus dari saudara!”
“Siapa yang memerintahkan engkau?”
Oh It- su tersenyum, “Sudah tentu nona kami.”
“O, si dara baju ungu itukah?” Han Ping menegas.
Sahut Oh It-su dengan hormat, “Puteri dari Lam hay Sin-soh, kedudukannya tinggi
sekali. Bagaimana engkau berani sembarangan mengomong?”
Han Ping tertegun. Sambil menengadah memandang awan putih di langit, ia berkata
seorang diri, “Perlu apa ia merintangi aku?”
Tiba-tiba hatinya terasa sendu. Ia rasakan seluruh manusia di dunia ini seperti jauh dari
dirinya. Ayahbundanya, gurunya dan Hui Gong taysu, manusia yang telah melimpahkan
budi sebesar gunung kepadanya, satu demi satu telah pergi meninggalkannya….
Ia merasa dirinya sudah sebatang kara, tak seorang manusia di dunia yang tahu akan
perasaan hatinya. Ting Ling telah menyerahkan kembali Kim Loji di saat ia sedang siap
melakukan pertempuran terakhir dengan Ih Thian-heng. Ia merasa manusia2 yang
mengelilinginya itu pada saat yang menentukan bahaya, semuanya berbalik muka,
memutuskan ikatan hubungan dan tinggalkan dia berjuang seorang diri….
Han Ping tenggelam dalam lautan penderitaan. Penderitaan dari seorang ksatrya yang
merasa sepi, sunyi dan seorang diri, kelahirannya yang menyedihkan, riwayat hidupnya
yang merawankan, makin membuat perasaannya beku dan perasa sekali. Jauh lebih
sentimentil dari orang biasa.
Karena tercengkam oleh badai prahara dalam hatinya, Han Ping seperti patung tak
bernyawa. Apabila saat itu Oh It-su mau menyerangnya sungguh-sungguh, tak boleh
tidak, Han Ping tentu akan rubuh. Tetapi orang pendek itu merasa heran juga,
“Dalam pertempuran, mati dan hidup hanya tergantung pada kesempatan yang hanya
sehelai rambut besarnya. Apakah yang engkau pikirkan?”
Han Ping gelagapan. Matanya segera mencurah pada Oh It-su, serunya, “Jika engkau
hendak menantang aku berkelahi, mudah sekali. Tunggu setelah kutanya kepadanya, nanti
kita bertempur lagi!”
Oh It-su terbeliak, “Engkau hendak bertanya kepada siapa?”
“Kepada dara baju ungu itu. Aku merasa tak punya dendam permusuhan suatu apa
kepa-danya tetapi mengapa ia suruh engkau menghadang aku?”
Habis berkata ia terus melangkah menghampiri si dara jelita.
Oh It-su sempat memperhatikan betapa sunyi dan rawan senyum yang dikulum Han
Ping ketika berbicara kepadanya tadi. Tampak pemuda itu seperti kehilangan sesuatu
dalam dirinya.
Oh It-su juga mempunyai riwayat hidup yang cukup hebat. Dahulu ketika masih malang
melintang di daerah sungai Kanglam utara dan selatan, berpuluh-puluh tahun ia telah
menghadapi musuh2 yang tangguh. Si bungkuk Au dan sipendek Oh, telah diagungkan
orang persilatan sebagai tokoh aneh yang sukar dihadapi.
Tetapi di puncak tangga kemasyhurannya itu, Oh It-su si pendek, pun menderita apa
yang disebut perasaan Sunyi hati dari seorang ksatrya. Maka dapatlah ia memahami
pancaran senyum dari Han Ping tadi. Ia terkecoh hatinya dan tanpa disadarinya, ia segera
menyisth tiga langkah ke samping untuk memberi jalan kepada pemuda itu,
Dengan busungkan dada dan tegakkan kepala, Han Ping melangkah dengan langkah
lebar. Di bawah pandang berpuluh mata, ia tampak makin gagah, makin berwibawa dan
makin mengesankan…..
Banyaklah kawan maupun lawan yang surut nyalinya melihat keberanian pemuda itu.
Tetapi hanya sedikit orang yang pantang mundur itu, bersemayam suatu hati yang
dirundung kesepian dan kepatahan serta kehampaan hidup…….
Tiada seorangpun yang tahu, apakah dara baju ungu yang mukanya ditutup dengan
berlapis kain kerudung hitam, itupun memandang Han Ping juga. Yang nyata dara itu
tetap bersikap tenang sekali. Setenang batu karang di tengah gelombang lautan
Sepasang alis Han Ping yang mengerut marah dan sikapnya yang gagah perwira itu
membuat orang-orang yang hendak dilaluinya, sama menyingkir memberi jalan.
Namun si dara baju ungu tetap tegak di tempatnya. Sedikitpun tak mau berkisar. Angin
musim rontok berhembus meniup pakaiannya yang berwarna ungu. Warna yang
digemarinya….
Han Ping tiba dua meter di hadapan dara itu. Sepasang matanya yang tajam berkilatkilat
memandang dara itu. Seolah-olah hendak menembus lapisan sutera hitam gang
menutup wajah si dara. Untuk mengetahui bagaimana kerut wajahnya. Girangkah atau
marah?
Bwe Nio si nenek berambut putih, berdiri kira2 tiga meter dari data itu. Ia sudah siap
kerahkan tenaga- dalam dan mencekal tongkatnya erat2. Apabila Han Ping mengadakan
gerakan yang membahayakan dara itu, Bwe Nio tentu akan segera menerjangnya.
Saat itu seluruh orang yang berada di lapangan kuburan, mencurahkan pandang
matanya ke arah Han Ping dan si dara baju ungu.
Sekalipun pertempurannya dengan Ih Thian-heng tadi dilakukan dengan tergesa- gesa
dia belum ada penyelesaiannya. Tetapi kegagahan dari Han Ping telah merebut had
sekalian tokoh. Walaupun secara terang-terangan mereka belum pernah membicarakan
diri pemuda itu namun dalam hati mereka mengakui bahwa gerak gerik pemuda itu
mempunyai pengaruh besar atas perobahan dalam kancah dunia persilatan. Bahkan akan
membawa akibat yang besar.
Kecantikan dari si dara baju ungu itu, setiap orang yang pernah melihat, tentu masih
terbayang-bayang. Kecerdikan dara itu, setiap orang yang pernah bicara padanya, tentu
merasa takluk dan kagum. Saat itu si dara berdiri tenang seperti patung.
Demikian kedua pemuda dan pemudi yang paling menarik perhatian seluruh tokoh di
tempat itu, saling berhadapan. Sampai sepeminum teh lamanya, mareka tetap tak buka
suara.
Sekonyong-konyong terdengar suitan nyaring.
Au bungkuk yang mengantar Ting Yan-san tadi berlari-lari mendatangi.
“Hai, Bungkuk! Mengapa engkau ribut2 seperti orang gila!” bentak Oh pendek.
“Ho, orang cebol, apa engkau berhak mengurus aku?” Au bungkuk balas membentak.
Sekalian terkejut dan berpaling ke arah kedua orang yang bertengkar itu. Adalah pada
saat sekalian orang terkecoh perhatian kepada kedua orang Bungkuk dan Pendek itu, tibatiba
si dara baju ungu membuka mulut menegur Han Ping, “Mengapa engkau memandang
aku begitu rupa? Lekas pergi!”
Han Ping tiba-tiba gentakkan pedang Pemutus Asmara yang masih diregang di tangan,
serunya, “Siapakah yang engkau maki?”
Sekalian orang kembali berpaling dan curahkan perhatian ke arah kedua muda mudi itu.
Si Bungkuk dan si Pendekpun berhenti setori. Keduanya segera menghampiri ke tempat
si dara berhadapan dengan Han Ping.
Dengan nada gemerincing laksana kelinting, dara baju ungu itu melengking, “Engkau
berani membunuh aku?”
Han Ping tertegun. Ia turunkan pedang pusaka dan tertawa dingin, “Seorang lelaki
takkan berkelahi dengan anak perempuan Akupun segan bertanya padamu.”
Habis berkata, ia terus berputar tubuh dan melangkah pergi.
Tiba-tiba dara itu menyurut mundur dua langkah. Tubuhnya gemetar dan rubuh di dada
Ca Giok lalu berseru pelahan, “Bwe Nio bunuhlah…. dia….”
Nadanya gemetar. Kata-kata itu seperti telah menggunakan seluruh tenaganya. Dan
habis berkata ia terus pingsan di dada Ca Giok.
Nenek Bwe Nio segera gentakkan tongkat daa memekik, “Tahan dia!”
Sambil mengiakan si Bungkuk dan si Pendek terus menyerbu Han Ping. Sedangkan
nenek Bwe Nio segera menghampiri si dara dan bertanya, “Nak, bagaimana engkau?”- ia
meraba dada dara itu. Wajahnya tampak gelisah.
Si Pendek Oh It-su taburkan kim pit dalam jurus Burung-hong-anggukkan-kepala. Kimpit
berhamburan menjadi beribu sinar yang menabur tubuh Han Ping.
Han Ping tak gugup menghadapi serangan kedua tokoh itu. Dengan tangan kiri ia
mainkan pedang Pemutus Asmara untuk menahan serangan kim-pit. Sedang sebelah
kakinya ia gerakkan untuk menendang Au Bungkuk, serunya, “Aku tak bermusuhan
dengan kalian berdua maka tak mau berkelahi dengan kamu….”
Au Bungkuk membentak, “Berkelahi adu kepandaian, yang kuat menang, yang lemah
hancur. Mana ada alasan mau atau tak mau, suka atau tak suka?”
Sekali kedua tangannya bergerak, maka empat buah serangan segera melancar seperti
hujan mencurah.
Pun dari samping, sipendek Oh It-su menyerang dengan Dua serangan dari dua jago
lihay yang serempak dilancarkan dari dua jurusan itu, memaksa Han Ping harus mundur
tiga langkah.
Melihat itu Pengemis-sakti Cong To cepat bergegas lari menghampiri hendak membantu
seraya berteriak mendamprat, “Hai, kalian berdua tokoh Bungkuk dan Pendek yang
termasyhur di dunia persilatan! Apakah kalian tak malu mengeroyok seorang anakmuda
yang tak ternama?”
Si Bungkuk berhenti serentak dan memandang Cong To dengan beringas, “Jika engkau
tak terima, silahkan maju sekali!”
Han Ping berpaling ke arah Cong To, serunya, “Lo-cianpwe, harap menyingkir, jangan
mencampuri urusanku!”
“Apa?” Cong To terkesiap.
“Keadaan saat ini, sudah kupertimbangkan dari segala sudut. Orang-orang Lam-haybun
sudah tanpa alasan apa-apa, memaksa mengajak aku berkelahi. Lo-cianpwe jangan
sampai ikut terlibat diriku menghadapi musuh tangguh ini!” sahut Han Ping dengan nada
rawan.
Tanpa menunggu penyahutan Cong To, Han Ping terus berseru kepada kedua
lawannya, “Pedang dan golok tidak bermata, harap kalian berhati-hati!” — cepat ia loncat
dan hamburkan pedang Pemutus Asmara, menyerang si Bungkuk dan si Pendak.
Jurus permainan pedang yang istimewa itu, memaksa si Bungkuk dan si Pendek
mundur selangkah. Diam-diam si Bungkuk tergetar dalam hati, pikirnya, “Benar-benar
jurus ilmupedang yang belum pernah kuketahui seumur hidup!”
Au Bungkuk memang pernah bertempur satu kali dengan Han Ping. Ia tahu pemuda itu
memang lihay dan sukar dihadapi. Apalagi saat itu tambah senjata sebuah pedang pusaka
yang hebat. Pemuda itu benar-benar laksana seekor harimau yang tumbuh sayap. Jika
pemuda itu mendahului kesempatan untuk menyerang lebih dulu, ia pasti akan terdesak.
Au Bungkuk cepat menggembor keras lalu lontarkan sebuah hantaman yang dahsyat.
Sebuah gelombang angin yang mengandung tenaga hebat, segera melanda Han Ping,
Han Ping terkejut. Ia kuatir gelombang tenaga itu akan melukai pamannya Kim Loji
yang didukung di punggungnya. Maka iapun cepat kerahkan tenaga-dalam dan tusukkan
ujung pedang untuk menyongsong. Gerakan itu menimbulkan angin tajam yang memancar
ke muka.
Begitu angin pedang dan angin pukulan saling berbentur. Au Bungkuk segera
menyadari bahaya yang mengancamnya. Ia rasakan angin pancaran pedang itu seperti
sebuah palu besi yang tajam membelah angin pukulannya, lalu terus menusuk dirinya. Au
bungkuk terkejut. Cepat ia tarik pulang pukulannya dan loncat menyingkir.
Dalam saat itu, dari sipendek. Oh It-su menusuk dari samping kiri. Tetapi Han Ping
yang mendapat hati karena dapat mengundurkan si Bungkuk, cepat balikkan tangan,
membabat kim-pit dengan pedangnya.
Babatan pedang itu bukan melainkan cepat sekali, pun merupakan suatu gerakan yang
di luar dugaan. Si Bungkuk hendak menarik kembali kimpit dan loncat mundur, sudah tak
keburu lagi. Sekali sinar kebiru-biruan berkilat, terdengarlah dering senjata beradu dan
kim-pit yang dibanggakan si Bungkuk itu, kutung menjadi dua….
Oh It-su mendengus dingin. Cepat ia taburkan kim-pitnya yang kutung itu ke arah Han
Ping. Tring, tetapi Han Pingpun sudah siap menangkis dengan pedangnya. Kutungan kimpit
itu terhantam jatub ke tanah.
Hanya dua jurus ketiga orang itu bertempur. Namun pertempuran itu sudah merupakan
suatu pertempuran maut.
Saat itu si dara baju ungupun sudah siuman. Setelah diurut urut oleh nenek Bwe Nio,
dara itu dapat menghela napas dan tersadar. Ia segera bangun pe-lahan2. Dari sutera
hitam yang berlapis-lapis menutup wajahnya itu, mengucur beberapa titik darah. Jatuh di
tubuh Ca Giok dan pada pakaiannya si dara sendiri.
Pada saat si dara pingsan dan rubuh di dadanya, Ca Giok seperti terpagut aliran listrik.
Semangatnya seperti melayang layang merana. Pikirannya membayangkan kecantikan
yang gemilang dan wajah dara yang rubuh dipelukannya itu. Sedang hidungnyapun
terbaur hawa harum yang semerbak.
Dadanya direbahi seorang bidadari, perasaan Ca Giok tak keruan rasanya. Tak tahu ia,
girang atau takut. Beberapa kali ia gunakan telunjuk jarinya untuk menyingkap ujung
sutera hitam yang menutup wajah dara ayu itu, ingin ia menikmati kecantikan dara yang
termasyhur itu. Tetapi demi melihat betapa serius dan beringas wajah nenek Bwe Nio
dalam usahanya untuk menyadarkan si dara, hati Ca Giokpun kuncup juga. Ia tak berani
bertindak melanggar batas.
Baru setelah dara itu sadar dan menitikkan beberapa tetes darah, tergeraklah hati Ca
Giok. Pikirannya yang limbung tadi, pun tersadar juga.
“Apakah engkau terluka? Apakah Ji Han Ping melukaimu dengan tenaga dalam?” buruburu
ia bertanya.
Ia cukup tahu kesaktian Han Ping. Pemuda itu dapat gunakan kepandaiannya untuk
melukai si dara, apabila mau.
Dara baju ungu itu gelengkan kepala, “Tidak jika dia mau turun tangan, mungkin aku
sudah….” tiba-tiba ia hentikan kata-kata karena merasa telah kelepasan omong.
Memandang ke muka, ternyata Han Ping sudah berhasil meloloskan diri.
Kiranya dalam jurus itu, si Bungkuk dan si Pendek menyadari betapa lihay pemuda
yang akan ditangkapnya itu. Apalagi pemuda itu memegang sebatang pedang pusaka.
Pada saat keduanya tertegun bagaikan angin meniup, Han Ping segera menyelinap di
tengah kedua orang itu dan tahu2 sudah berada empat lima tombak jauhnya.
Melihat Han Ping sudah lolos, Cong To berbisik kepada Ting Ling, “Kitapun seharusnya
juga pergi.” — pengemis itu terus melesat. Dalam beberapa loncatan ia sudah lenyap ke
arah timur.
Ting Ling menyadari bahwa kepandaiannya, meringankan-tubuh tak sehebat Han Ping
dan Cong To. Apabila ada salah seorang ditempat itu yani hendak menghalanginya, tentu
mudah sekali. Maka ia tak mau mencontoh tindakan kedua orang itu melainkan berjalan
biasa.
Dalam pada itu nenek Bwe Nio menghampiri si Bungkuk dan si Pendek, serunya dingin,
“Biasanya kalian amat angkuh dan tak memandang kepada orang. Tetapi walaupun maju
berdua kalian tak mampu meringkus seorang anakmuda yang masih hijau. Sungguh
seperti menusuk mata kita orang Lam-hay-bun!”
Kata-kata itu, cukup berat. Wajah si Bungkuk dan si Pendek merah padam karena malu.
Mereka tundukkan kepala tak berani memandang nenek Bwe Nio,
Dara baju ungu pun menghampiri. Ia menghela napas, tukasnya, “Bwe Nio. tak bisa
mendamprat mereka berdua. Kepandaian orang itu memang tak dapat mereka kalahkan.
Dan lagi dia mempunyai sebatang pedang pusaka, ibarat macan tambah sayap.
Orangnyapun sudah lolos jauh, memaki mereka berdua, pun tiada dapat menolong
keadaan.”
Bwe Nio gentakkan tongkatnya ke tanah, “Lain kali kalau berjumpa dengan dia, aku
harus turun tangan sendiri agar dia tak sampai mampu mengejek kita.”
“Ilmu kepandaiannya memang aneh sekali. Setiap kali bertemu, dia tentu lebih maju
hebat. Aneh, betapapun cerdasnya seseorang namun tak mungkin dalam waktu sesingkat
itu dapat mencapai kemajuan yang begitu pesat!” kata dara baju ungu.
“Benar, memang mengherankan!”gumam Bwe Nio.
Ih Thian-hengpun menghampiri. Tetapi Ca Cu-jing dan Nyo Bun-giau tetap berdiri di
tempatnya. Ke dua orang itu takut kalau terjebak lagi dalam barisan Thian-kong-tin, maka
mereka tak mau gegabah bergerak. Keduanya mengawasi kawanan Baju Hitam itu dari
jauh. Asal kawanan Baju Hitam itu bergerak, merekapun akan bergerak menurut gelagat.
Ting Ling yang menyadari kalau tak mampu meloloskan diri bahkan dengan langkah
lebar ia malah maju menghampiri juga.
Ca Giok tetap mengikuti di belakang dara baju ungu. Setapakpun tak mau berpisah, si
dara melangkah maju, iapun melangkah maju.
Menyaksikan pertempuran tadi, kecongkakan Hud Hoa kongcu menurun beberapa
derajat. Dia berdiam diri, tegak berjajar dengan keempat orang tua dan enam bocah,
anakbuah Ih Thian heng.
Setiba di hadapan dara baju ungu, Ih Thian-hengpun segera memberi hormat, ujarnya
dengan tertawa, “Segala pesan nona, telah kukerjakan semua. Entah apakah perjanjian
kerjasama kita itu apa masih berlaku?”
“Saat itu dan detik ini, perjanjian itu sudah tentu masih berlaku. Tetapi isi daripada
perjanjian itu, terpaksa harus ada perobahan.”
“Silahkan nona mengatakan,” kata Ih Thian-heng, “asal menurut cengli (nalar),
sekalipun menderita kerugian, aku tetap akan menerimanya.”
“Engkau mendesak hal itu, tak lain tentu karena ingin lekas2 masuk ke dalam makam
kuno setelah memasuki….”
“Ah, nona terlalu banyak pertimbangan,” Ih Thian-heng tersenyum menukas.
“Tak perlu engkau gunakan banyak siasat terhadap aku. Dalam makam kuno itu kecuali
dilengkapi dengan pekakas2 rahasia, pun masih ada lain-lain alat terpendam.”
“Alat terpendam apa?” tanya Ih Thian-heng.
“Telah kuteliti gurat2 gambar pada kotak pedang Pemutus Asmara itu, kudapatkan ada
beberapa tempat yang aneh. Seharusnva disitu terdapat alat perkakasnya tetapi ternyata
tidak ada. Hal itu berbeda dengan lain-lain kelengkapan. Tetapi akupun tak berdaya untuk
memecahkan persoalan itu. Aku harus datang sendiri ke tempat itu baru dapat
mengetahui perkakas penggeraknya.”
Ih Thian heng memandang ke empat penjuru lalu berkata, “Menurut perhitungan nona,
masuk ke dalam makam dan memecahkan segala macam alat rahasia di situ lalu mencapai
pusat tempatnya, kira2 makan waktu berapa lama?”
“Jika jalannya lancar, dalam 12 jam tentu sudah dapat keluar dari makam kuno itu….”
“Jika tidak lancar?” desak Ih Thian-heng.
“Itu sukar dikata,” jawab dara baju ungu, “tiga mungkin lima hari. Sukar ditentukan.
Tetapi tak sampai tujuh hari.”
“Jika nona suka, bagaimana kalau malam ini kita masuk ke makam itu? Menurut
perhitunganku, dalam tiga hari ini tentu tak ada tokoh persilatan yang datang kemari.
Kecuali mereka yang mendengar berita dan sedang dalam perjalanan menuju ke tempat
ini….”
Dara baju ungu cepat menukas dengan gelengkan kepala. “Membagi rata semua benda
pusaka dalam makam tua, itu saat nanti setelah berhasil keluar dari makam. Tetapi dalam
memasuki makam, sukar ditentukan mati atau hidup. Taruh kata beruntung masih hidup,
pun dikuatirkan saat itu engkau sudah tak mau mendengar perintahku lagi.”
Ih Thian-heng tertawa, “Selama ini aku hanya menyaksikan dan mengagumi keadaan
nona. Jika disebut mendengar perintah, eh, kemungkinan dapat menyinggung perasaan.”
Dara itu pelahan-lahan ulurkan tangan, menjamah pundak Ca Giok lalu tertawa
mengikik, “Engkau begitu tergesa-gesa hendak masuk ke dalam makam tua agar lekas
mendapatkan pusaka disitu, tak tentu mempunyai dua maksud…..”
Ih Thian-heng tertawa, “Entah dua macam maksud yang bagaimana? Harap nona suka
memberi petunjuk.”
Dara baju ungu berpaling dan berbisik kepada Ca Giok, “Suruh ayahmu dan Nyo Bungiau
mari.”
Sejenak meragu, Ca Giok terus bergegas lalu serunya, “Ya, paman Nyo, harap datang
kemari.”
Ca Cu-jing kerutkan alis, “Mengapa Nona baju ungu hendak membuka rahasia maksud
Ih Thian-heng mau masuk ke dalam makam.”
“Harap ayah dan paman suka menjadi saksi.”
Nyo Bun-giau keliarkan mata memandang ke-empat penjuru. Dilihatnya keempat
orangtua dan ke enam bocah baju putih serta kawanan Baju hitam masih berada di
tempatnya. Diam-diam hati Nyo Bun-giau longgar, ia tertawa menyambut undangan Ca
Giok, “Urusan itu menyangkut dunia persilatan, baiklah, mari kita ke sana mendengarkan.”
Ia berhenti sejenak lalu berpaling tertawa kepada Ca Giok dan berkata bisik2, “Engkau
harus hati-hati menjaga jangan sampai bunga cantik itu jatuh di tangan orang lain. Selain
memperoleh seorang isteri yang cantik jelita, dengan mendapat dukungan dari perguruan
Lam-hay-bun, marga Ca pasti akan menguasai dunia persilatan. Aku yang menjadi paman,
sudah puas kalau menjadi pembantu marga Ca menguasai daerah Kanglam.”
“Aku seorang persilatan yang kasar, tak mungkin terpilih dalam pintu gerbang yang
indah,” jawab Ca Giok.
Nyo Bun-giau tertawa, “Soal ini, engkau tak perlu kuatir. Jelas di hadapan sekian
banyak tokoh-tokoh persilatan, ia bersikap begitu mesra kepadamu. Sudah tentu ia telah
menjatuhkan pilihan hatinya dengan sungguh-sungguh.”
“Lam-hay-to sebuah pulau di seberang lautan, rakyatnya mungkin tak mengerti adat
istiadat orang Tiong-goan,” masih Ca Cu-jing membantah.
Nyo Bun-giau tertawa. “Ia cerdas dan cantik luar biasa. Pengetahuannya dalam ilmu
sastra luas sekali. Tak mungkin ia tak mengerti tentang pergaulan wanita dan pria.”
Mendengar bantahan Nyo Bun-giau itu, Ca Giok memberi hormat, “Dalam hal ini mohon
paman Nyo suka memberi bantuan yang berharga.”
Nyo Bun-giau tertawa, “Dalam dunia persilatan, nona mana yang engkau penuju,
pamanmu ini tentu akan meminangnya. Tetapi terhadap nona yang itu, aku benar-benar
tak berdaya. Gagal atau berhasil, seluruhnya tergantung padamu sendiri.”
Dalam bercakap-cakap itu, merekapun sudah tak jauh dari tempat si dara baju ungu
dan Ih Thian-heng.
Nyo Bun-giau batuk-batuk pelahan lalu memberi hormat, “Nona memanggil kami, entah
hendak memberi petunjuk apa?”
Dara baju ungu menyahut, “Sengaja hendak mendatangkan dua orang untuk menjadi
saksi.”
“Menjadi saksi soal apa?” tanya Ca Cu jing.
Dara baju ungu pelahan-lahan mengisar ke samping Ca Giok lalu berseru nyaring, “Ih
Thian-heng, kedua maksud yang engkau kandung dalam hati itu yalah, Kesatu, hendak
mencari ilmu pelajaran silat yang ditinggalkan oleh Ko Tok lojin dalam makam tua itu.
Setelah berhasil meyakinkan ilmu sakti itu, engkau hendak bercita-cita menguasai dunia
persilatan….”
Ih Thian-heng tertawa, “Saat ini, siapakah yang yakin tahu tentang diri Ko Tok lojin itu,
yang konon dikabarkan telah mencatat seluruh ilmu kepandaiannya dalam makam tua.
Selama ini kau selalu mengagumi kecerdasan nona. Tetapi ucapan nona kali ini, benarbenar
seperti orang menubruk bayangan kosong.”
Dara baju ungu tertawa, “Sekalipun dalam makam itu benar-benar tak terdapat kitab
peninggalan Ko Tok Lojin, tetapi engkaupun dapat membuat sebuab kitab palsu untuk
mengelabui dunia. Tujuanmu agar engkau benar-benar dianggap telah memperoleh ilmu
kesaktian agar orang-orang jeri dan tunduk padamu.”
Ih Thian-heng mengusap jenggot tertawa keras. “Benar atau salahnya tebakan itu
bukan soal. Tetapi bahwa nona dapat merangkai suatu pandangan yang begitu luar biasa
dan tak dapat dicapai pikiran orang biasa, aku menaruh rasa kagum yang tak terhingga!”
“Tujuan yang kedua,” demikian dara itu melanjutkan pula, “benar-benar amat ganas
dan tentu mengejutkan orang yang mendengar. Maka lebih baik tak kukatakan saja.”
Seketika wajah Ih Thian-heng berobah tetapi cepat pula ia tenang lagi, bahkan tertawa,
“Silahkan nona mengatakan seluruhnya!”
“Jika engkau tetap menghendaki supaya aku mengatakan maka janganlah engkau
menyesali diriku karena telah menelanjangi isi hatimu yang ganas itu,” seru si dara.
“Ah, nona terlalu memuji,” Ih Thian-heng tertawa, “aku merasa tak mampu mencapai
kesan2 yang nona simpulkan itu.”
Seru si dara, “Engkau hendak pinjam makam tua yang penuh dengan alat2 rahasia itu
untuk melenyapkan tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi.”
Nyo Bun-giau menghela napas panjang serunya, “Sungguh cara yang bagus sekali.
Setiap orang memang tahu bahwa dalam makam kuno itu telah diperlengkapi dengan
beberapa macam perkakas rahasia yang berbahaya. Orang yang berani masuk,
sembilanpuluh persen tentu mati. Tetapi orangpun sesungguhnya tak sabar untuk
mengetahui keadaan makam itu. Asal menerima undangan, mereka tentu akan datang.”
Sekonyong-konyong Ih Thian-heng memberi hormat kepada dara baju ungu, serunya,
“Manerima petunjuk yang berharga, semua rintangan menjadi terbuka. Kecerdikan nona
benar-benar melampaui orang. Hanya sayang….” – pelahan-lahan ia alihkan pandang
matanya ke arah Ca Cu-jing dan Nyo Bun-giau. Pada kerut dahinya, memancar hawa
pembunuhan.
“Hanya sayangnya terdengar olehku dan saudara Ca?” Nyo Bun-giau menyelutuk.
Ih Thian-heng tertawa hambar, “Rahasia ini memang tak kuinginkan sampai bocor di
luar maka terpaksa harus kulenyapkan kalian berdua!”
“Sekalipun rencana saudara Ih itu tepat, tetapi mungkin pelaksanaannya tak seperti
yang engkau kehendaki. Walaupun Ting Yan-san terluka parah tetapi belum mati. Fihak
Lembah Raja-setan tentu takkan tinggal diam. Leng Kong-siau adalah adik dari ketua
Lembah-racun. Tak nanti ketua Lembah Seribu-racun tinggal diam saja adiknya dilukai
orang begitu rupa….”
Ih Thian heng menyelutuk tertawa, “Kecuali Lembah Seribu-racun dan Lembah Rajasetan,
pun masih ada kalian marga Nyo dan marga Ca….”
Tiba-tiba tubuh si dara menjorok ke muka. Ia tekan dahinya dengan tangan dan
berseru, “Ih, kepalaku sakit sekali. Bwe Nio bawalah aku ke dalam tandu!”
Nenek berambut putih itupun cepat memondongnya dan dimasukkan ke dalam tandu
lalu menutup kain tendanya.
Ca Giok tergopoh-gopoh lari menghampiri dan berseru, “Apakah sakit kepalamu itu
berat sekali?”
Dari dalam tandu itu terdengar suara penyahutan yang lemah dari si dara, “Engkau
harus sabar menunggu, aku hendak pergi dulu….”
Setiap angin berhembus. Ca Giok rasakan, musim rontok akan segera habis dan
mulailah musim dingin datang. Karena diam-diam ia rasakan bahunya tiba-tiba terasa
dingin.
Ia terlongong-longong memandang tandu itu makin lama makin jauh, meninggalkan
bayangan yang memanjang dari tandu yang menyongsong ke arah matahari terbenam.
Datang secara tiba-tiba, pergipun dengan mendadak. Ca Giok seperti terbuai di antara
kenyataan dan impian.
Lama sekali baru kedengaran ia menghela napas, pikirnya, “Jika benar-benar ia jatuh
hati kepadaku, mengapa ia bersikap begitu memandang enteng diriku? Mau pergi terus
pergi, datangpun terus datang. Adakah ia tak tahu perasaan hatiku? Tak tahu bahwa aku
tentu menderita? Namun kalau ia tak sungguh-sungguh mencintai aku, mengapa ia
bersikap begitu rupa terhadap diriku….”
Sebenarnya Ca Giok seorang pemuda yang cerdas. Maka dalam keadaan remuk rendam
seperti itu, ia masih dapat mengadakan analisa terhadap dirinya. Namun betapa dingin
pikirannya untuk menyelami sikap si dara yang jinak2 merpati itu, tetap ia bingung
memikirkannya. Tak tahu bagaimana hati dara jelita itu kepadanya.
Ih Thian-heng mengurut-urut jenggotnya sambil keliarkan matanya memandang Ca
Giok. Tiba-tiba ia tertawa gelak-gelak, “Adakah saudara Ca masih merenungkan dara ayu
yang kecantikannya tiada tandingannya di dunia itu?”
Ca Giok tertegun.
Kembali Ih Thian-heng tertawa nyaring dan berseru, “Apakah saudara Ca sedang
merangkai dugaan adakah dara itu mempunyai hati atau tidak kepada saudara?”
Ih Thian heng menghela napas dan gelengkan kepala, “Sungguh atau pura-pura, cinta
atau benci, memang sukar untuk ditujukan kepadamu.”
Jantung Ca Giok mendebur keras dan wajahnya pun berobah-robah warna. Dan habis
berkata Ih Thian-hengpun berputar diri lalu melangkah pergi. Ia menghampiri Nyo Bungiau.
Dengan mengulum senyum yang sukar ditafsirkan, berkatalah ia pelahan-lahan,
“Tentang isi hatimu saat ini saudara Nyo….heh, heh, engkau tentu sedang menimang
dalam hati. Adakah hari ini engkau dapat tinggalkan tempat ini dengan masih hidup atau
tidak.”
Tergetar hati Nyo Bun giau. Namun menyahutlah ia dengan nada tawar, “Benarkah
begitu?”
Sejenak memandang ke sekeliling, segera ia menyadari suasana saat itu Kawanan Baju
Hitam dan ketiga orangtua serta keenam bocah baju putih semua berada di tempat yang
jauh. Dalam waktu singkat, tak mungkin mereka dapat menghampiri. Maka tenanglah hati
Nyo Bun-giau. Ia yakin kalau hanya Ih Thian-beng seorang, tentu sukar untuk
mengalahkan dirinya.
Ih Thian-heng tersenyum, “Saat ini anakbuahku berada pada jarak 30 tombak, dengan
kecepatan kaki mereka, tak mungkin dalam waktu beberapa kejab mereka dapat datang
dengan segera kalau kupanggil ke mari. Oleh karena itu, tak perlulah saudara Nyo gelisah
dan boleh yakin bahwa dengan tenagaku seorang diri, tentu tak mampu menahan kalian
berdua. Benar bukan?”
Karena dibuka isi hatinya, Nyo Bun-giau yang sudah berusaha untuk bersikap setenang
mungkin, mau tak mau, berobah juga warna mukanya. Serunya dingin, “Pandangan
saudara Ih, benar-benar membuat aku kagum sekali. Hanya bagiku yang tolol ini, belum
dapat meraih pemikiran yang begitu jauh.”
Ih Thian-heng menengadah ke langit dan tertawa, “Walaupun tak tahu akan
kepandaian orang tetapi untuk menduga apa yang terkandung dalam hati saudara Nyo,
rasanya tentu takkan menyimpang jauh.”
Tiba-tiba Ih Thian-heng mengakhiri tertawanya dengan sebuah pukulan.
Nyo Bun-giau terkesiap. Setiap angin dahsyat menderu lewat di sisinya. Tenaga
pukulannya sedemikian dahsyatnya, membuatnya terkejut sekali. Belum pernah seumur
hidup ia melihat suatu pukulan yang begitu hebat perbawanya.
Berpaling ke belakang, dilihatnya gerumbul rumput dan pasir berhamburan keempat
penjuru Bahkan batang pohon jati tua yang tumbuh di situ ikut berguncang-guncang.
Dalam pada itu terdengarlah sebuah suara dengus tertahan. Dan Ca Cu-jing yang
mengisar langkah hendak maju ke muka, cepat-cepat harus menyurut mundur tiga
langkah lagi.
Diam-diam Nyo Bun-giau tergetar hatinya. Ia menyadari bahwa pukulan yang
dilepaskan Ih Thian- hen tadi, barulah benar-benar menggunakan tenaga dalam yang
sesungguhnya.
Ih Thian-hengpun tertawa, “Apakah saudara Ca merasa dapat menyambuti pukulanku
tadi? Jika saudara yakin mampu menyambuti, maka kupersilahkan saudara bertindak
bebas.”
Wajah Ca Cu-jingpun berobah. Tanpa bicara apa-apa ia melangkah kembali ke
tempatnya tadi. Jelas ia tak dapat menjawab pertanyaan Ih Thian-heng itu.
Sekali berputar tubuh, Nyo Bun-giaupun segera melesat ke samping Ca Cu jing dan
berdiri di sampingnya.
Dengan mata berkilat-kilat, Ih Thian-heng memandang kedua orang lalu berseru dingin,
“Apakah saudara berdua hendak mencoba pukulanku?”
Nyo Bun-giau tengadahkan kepala menghela napas, sahutnya, “Bila saudara Ih
memang tetap hendak mendesak, kamipun terpaksa akan berusaha untuk menjaga diri.”
Suatu ucapan yang menyatakan kepasrahan.
Dengan wajah mengerut serius, Ih Thian heng melangkah maju dua langkah, katanya,
“Saudara berdua adalah tokoh yang faham akan suasana dunia persilatan. Aku hendak
bicara beberapa patah kepada saudara, entah apakah saudara berdua suka
mendengarkannya?”
Sahut Ca Cu-jing, “Seorang jantan lebih baik mati daripada dihina. Sekalipun kami
berdua terjerat dalam kepungan anakbuah saudara yang ketat, tetapi rasanya kamipun tak
rela menerima hinaan.”
Ih Thian-heng tertawa, “Harap saudara jangan kuatir. Aku tak bermaksud hendak
menekan orang….”
Tiba-tiba ia mengurut jenggot dan menghela napas, ujarnya, “Kekuatan fihak Lam-haybun,
telah menyusup dalam2 di daerah Tiong-goan. Dengan kecantikan yang gilang
gemilang dan ilmu silat yang luar biasa anehnya, dara baju ungu itu telah mempermainkan
kita kaum persilatan dunia Tiong-goan. Yang lucu adalah kaum persilatan dunia Tionggoan
sendiri. Mereka seperti keenakan tidur pulas. Sama sekali tak mempunyai
kewaspadaan….”
Nyo Bun-giau kerutkan dahi, katanya, “Bukankah saudara Ih telah bersekutu dengan
Lam-hay-bun. Lebih dulu hendak mendapatkan pusaka dalam makam tua itu lalu
merencanakan untuk membagi kekuasaan. Tetapi mengapa sekarang tiba-tiba saudara
hendak berpaling haluan?”
Jawab Ih Thian-heng hambar, “Jika aku sungguh-sungguh hendak berserikat dengan
budak baju ungu itu, mungkin saat ini saudara berdua kalau tidak sudah menjadi mayat
yang terkapar di tanah, tentu sudah terikat dengan berhias luka parah.”
Walaupun ucapan Ih Thian-heng itu menyinggung perasaan, tetapi Ca Cu-jing dan Nyo
Bun-giau mau tak mau harus merenungkan dengan seksama. Mereka menyadari bahwa
apa yang dikatakan Ih Thian-heng itu memang benar. Tak perlu fihak Lam-hay-bun turun
tangan; cukup anakbuah Ih Thian-heng saja, tentu sudah cukup untuk mencelakai mereka
berdua.
Nyo Bun- giau saling bertukar pandang dengan Ca Cu jing. Keduanya sama-sama diam.
Sejenak merenung, Ih Thian heng berkata pula, “Aku bicara dengan terus terang.
Apabila menyinggung perasaan saudara berdua, harap suka memaafkan…..”
“Kurasa aku dengan saudara Nyo tentu masih pertimbangan yang sehat. Harap saudara
Ih katakan,” sahut Ca Cu-jing.
Kata Ih Thian-heng, “Seribu patah kata sesungguhnya hanya sepatah intinya. Kaum
persilatan dunia Tiong-goan, jika tak lekas sadar untuk bersatu, tentu lambat laun akan
dikuasai oleh budak baju ungu dan Lam-hay-bun iru. Tanpa menggunakan kekerasan dan
mengucurkan darah, ia dapat mengadu domba antara satu tokoh dengan lain tokoh dunia
persilatan Tiong-goan ini.”
Ca Cu-jing merenungkan sampai beberapa saat, baru in membuka mulut, “Ucapan
saudara Ih memang tak salah tetapi hal itu menyangkut seluruh dunia persilatan. Bukan
aku dan saudara Nyo berdua yang mampu memutuskan.”
Walaupun ia sudah mendengar dan dapat menduga ucapan Ih Thian-heng tadi, namun
ia tak mau mendahului membuka mulut. Maka sengaja ia pura-pura tak mengerti.
Ih Thian-heng tersenyum, “Dalam saat dan soal seperti ini, sudah bukan saatnya untuk
menjaga gengsi. Karena saudara berdua pura-pura tak mengerti, aku terpaksa akan
mengatakan dengan jelas!”
Merahlah muka Nyo Bun-giau dan Ca Cu-jing karena isi hatinya dibuka oleh Ih Thianheng.
Ih Thian-heng tertawa hambar, serunya, “Saat ini kekuatan fihak Lam-hay-bun belum
berkembang jauh di dunia persilatan Tiong-goan. Menurut hematku, dalam perguruan
Lam-hay-bun itu yang dapat digolongkan jago2 tingkat ko jiu (kelas satu), hanya enam
tujuh orang saja. Apabila saudara berdua mau menghapus segala prasangka dan suka
bersekutu dengan aku. Tentu tak sukar untuk menghadapi mereka.”
Ca Cu-jing tertawa gelak-gelak. serunya, “Ucapan saudara Ih memang tepat sekali.
Hanya soal menghapus prasangka itu, mudah diucap tetapi sukar dilakukan.”
“Kalau begitu kalian tak suka bekerjasama dengan aku?” Ih Thian-heng menegas.
“Bukan aku dan saudara Ca tak suka bekerjasama dengan saudara Ih. Tetapi karena
siasat hati saudara Ih itu keliwat mendalam sekali sehingga kami sukar untuk menaruh
kepercayaan,” kata Nyo Bun-giau.
“Entah dengan cara bagaimana saudara berdua baru dapat percaya kepadaku?” tanya
Ih Thian-heng.
“Soal itu sukar dijelaskan,” kata Ca Cu-jing.
“Aku punya suatu cara, yang dapat membuktikan bahwa saudara Ih benar-benar
mendendam permusuhan dengan Lam-hay-bun?” kata Nyo Bun-giau.
“Aku senang mendengarkannya,” kata Ih Thian-heng.
“Saat ini dara baju ungu itu tentu belum jauh,” kata Nyo Bun-giau, “mari kita kejar. Jika
saudara Ih mau menyerang mereka lebih dulu, aku dan saudara Ca tentu akan turun
tangan.”
Ih Thian-heng tertawa, “Adakah saudara berdua yakin bahwa kekuatan kita bertiga
mampu untuk mengalahkan mereka?”
Jawab Ca Cu-jing, “Menurut hematku, di antara tokoh Lam hay-bun yang paling sukar
dihadapi, ialah sinenek tua beramhut putih itu. Selain dia, yang lainnya tak perlu
dikuatirkan.”
“Pendapatku beda dengan saudara Ca,” kata Ih Thian-heng.
“Aku girang sekali mendengar pendapat saudara Ih,” kata Ca Cu jing.
Ih Thian-heng menghela napas, “Yang kukuatirkan bahkan si dara baju ungu itu. Selain
luar biasa cerdas dan cantiknya, pun setiap patah ucapannya sukar sekali ditafsirkan
maksudnya.”
“Baju ungu itu?” seru Ca Cu-jing.
“Putera saudaralah yang bertugas untuk menghadapinya,” Nyo Bun-giau tertawa.
Berkata Ih Thian-heng, “Menghadapi Lam-hay-bun, selain dengan ilmu kepandaian
silat, pun harus dengan rencana yang cermat baru dapat bertindak. Apabila saudara
berdua suka bersama-sama mempersiapkan rencana itu, silahkan saudara beristirahat ke
dalam gubukku. Sambil menikmati hidangan dan minuman, kita dapat menggunakan
kesempatan untuk merancang rencana menghadap fihak Lam-hay-bun.”
“Kebaikan saudara Ih, kami sungguh berterima kasih sekali. Tetapi lebih baik jangan
mengganggu saudara,” kata Nyo Bun-giau.
Ih Thian-heng, cepat memberi hormat, serunya, “Biarlah aku yang menjadi penunjuk
jalan,” ia terus berputar tubuh dan melangkah lebih dulu.
Ca Cu-jing melirik. Dilihatnya keempat orang tua dan keenam bocah baju putih serta
kawanan Baju Hitam, sudah mengundurkan diri semua.
Maka timbullah nyalinya. Segera ia menggandeng tangan Ting Ling terus diajak
berjalan mengikuti di belakang Ih Thian-heng.
Kira2 berjalan empat lima li, tibalah mereka di sebuah rimba pohon bambu. Menunjuk
ke arah rimba bambu itu, Ih Thian-heng berseru tertawa, “Itu!ah pondok kami,” – ia
membungkukkan tubuh selaku menghormat kedatangan kedua tetamu itu.
ooo000ooo
Sementara itu Han Ping yang masih mendukung Kim Loji, lari sampai belasan li
jauhnya. Saat itu ia berpaling. Setelah melihat tiada orang yang mengejar barulah ia
berhenti.
Pe-lahan2 ia letakkan tubuh pamannya ke tanah. Dipanggilnya dengan nada rawan,
“Paman, paman.”
Kim Loji yang napasnva sudah terengah-engah itu, pelahan-lahan membuka mata.
Sinar matanya sudah pudar. Namun dengan paksakan tersenyum rawan, ia berkata, “Nak,
dudukkanlah aku. Aku hendak menyampaikan beberapa patah kata penting kepadamu.”
Han Ping gelengkan kepala tertawa sedih, katanya, “Luka paman amat parah sekali.
Saat ini tak baik kalau banyak bicara. Lebih baik paman beristirahat merawat luka.”
Kim Loji tertawa hampa, “Nak, tak usah engkau gelisah. Kecuali ayahmu, dalam dunia
dewasa ini, yang tahu akan rahasia Ih Thian-heng hanyalah aku seorang. Oleh karena itu
dia harus membunuh aku baru akan merasa puas. Maka tadi dia telah melakukan
penganiayaan yang berat. Selagi aku masih ada napas untuk bicara, hendak kusampaikan
kepadamu beberapa hal yang penting. Engkaupun tahu bagaimana kematian ayahmu yang
mengenaskan itu.”
“Soal itu paman ketika sudah memberitahukan kepadaku. Dan lagi akupun sudah
mendengar mulut Ih Thian-heng mengatakan sendiri. Walaupun di dalam hal itu masih
ada beberapa hal yang belum jelas tetapi tak apa. Jelas Ih Thian-heng itulah
pembunuhnya!”
“Ai,” Kim Loji menghela napas, “separoh tubuhku saat ini sudah mati-rasa. Kecuali Ih
Thian-heng yang mungkin masih mempunyai cara untuk menolong aku, mungkin di dunia
ini tiada seorangpun yaug mampu merebut kembali jiwaku dari cengkeraman maut.” –
Kembali ia menghela napas dan pelahan-lahan mengatupkan mata. Seolah-olah
pembicaraannya itu telah menghabiskan seluruh sisa tenaganya.
Melihat pamannya mengatupkan mata dan wajahnyapun diam seperti orang mati,
terkejutlah Han Ping. Pikirnya, “Rupanya ia sudah bertekad untuk mati. Sekalipun
memberinya obat mujijat, juga tak berguna. Maka yang harus kuberinya adalah anjuran
supaya ia masih ingin hidup, setelah itu baru kuusahakan cara pertolongannya….”
Setelah mendapat pikiran begitu, ia segera berkata, “Sekalipun ilmu tutukan Ih Thianheng
itu amat ganas, tetapi jika mengatakan tiada orang yang mampu membuka
jalandarahnya yang tertutuk itu, rasanya berlebih-lebihan….”
Sambil masih meram, Kim Loji geleng-geleng kepala, katanya, “Tak usah engkau
bersusah payah aku sudah tiada harapan lagi!” – nadanya amat lemah, tiada nyala hidup
lagi.
Tiba-tiba hati Han Ping serasa tersayat. Ia merasa semua orang di dunia telah
meninggalkan dia. Hatinya terangsang dan beberapa butir airmata menitik turun dari
pelupuknya.
“Paman, apakah engkau sungguh-sungguh hendak meninggalkan aku?” – katanya
dengan nada yang keluar dari hati nuraninya. Penuh keharuan, penuh kehampaan.
Tiba-tiba mata Kim Loji terbuka dan matanya pun memancar sinar berkilat. Ia
menghela napas, serunya, “Ilmu tutukan dari Ih Thian heng yang istimewa itu, bukan saja
lain orang sukar untuk membukanya, pun ganasnya bukan kepalang. Seluruh uratnadi
dalam tubuh, pelahan-lahan akan mengeras dan akhirnya mati, karena darah tak dapat
berjalan lagi. Derita kesakitannya, sukar dilukiskan lagi. Nak, sekalipun aku sanggup untuk
menahan penderitaan itu, tetapi karena tiada orang yang mampu menolong, akhirnya
tetap sama saja.”
“Biarlah aku yang mencobanya. Yang ku-minta paman harus mempunyai semangat
untuk hidup agar usahaku dapat berhasil,” kata Han Ping.
Pada waktu belakangan ini, Han Ping telah mencapai kemajuan pesat dalam ilmu
peyakinannya. Isi pelajaran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng telah difahami dan dipelajari
sungguh-sungguh. Ia teringat bahwa dalam kitab itu terdapat pelajaran apa yang disebut
Ih kin-si cui atau Menggerakkan-urat-untuk mencuci-sumsum. Kemungkinan pelajaran itu
dapat digunakan untuk menolong Kim Loji.
Kelopak mata Kim Loji bergerak-gerak dan mulutnya meluncur kata, “Baiklah, silahkan
engkau mencobanya!”
Hatinya tergerak mendengar ucapan Han Ping tadi. Dan seketika semangatnya untuk
hiduppun menyala kembali. Ia gelorakan semangatnya untuk bertahan hidup.
Melihat kesediaan pamannya itu, semangat Han Pingpun mulai timbul lagi. Dipeluknya
sang paman lalu dibawa ke sebuah tempat yang aman. Di situ ia segera kerahkan tenagadalam
untuk mengurut tubuh pamannya.
Sambil diam-diam menghafal isi kitab, ia mulai menyalurkan tenaga-murninya ke dalam
tulang2 Kim Loji melalui pengurutannya itu. Dua jam kemudian, sekujur tubuhnya mandi
keringat, kepalanyapun pening. Adalah pada saat kepalanya pening itu, ia dapat
menyelami arti dari perkataan dalam pelajaran kitab itu.
Segera ia mengangkat muka dan menghela napas panjang. Seketika ia rasakan
semangatnya yang letih itu hilang. Dan ketika merenungkan pelajaran kitab itu lagi,
semangatnya mulai menggelora.
Kiranya isi pelajaran kitab pusaka itu walaupun dapat menyembuhkan luka Kim Loji,
tetapi harus dilakukan selama 36 jam berturut-turut tanpa berhenti mengurutnya. Memang
boleh juga kalau hendak beristirahat sebentar tetapi kedua tangannya tak boleh lepas dari
tubuh si penderita sakit.
Han Ping menyadari hal itu. Ia tak sanggup melakukan pengurutan selama 36 jam
tanpa berhenti. Apalagi selama 36 jam itu ia tak dapat berbuat apa-apa apabila ada musuh
yang tiba-tiba muncul dan menyerangnya, Dan musuh itu, tak perlu yang berilmu cukup
tinggi, orang yang tak mengertipun mampu membunuhnya juga…..
Kim Loji yang masih pejamkan mata, tiba-tiba membuka matanya dan memandang Han
Ping yang kepalanya basah kuyup keringat. Diam-diam ia menghela napas, ujarnya, “Ah,
nak, engkau letih sekali….”
Tergetar hati Han Ping dan menyahutlah ia dengan semangat menyala, “Aku sudah
mendapatkan cara menyembuhkan jalan darah paman yang terluka.”
“Nak, engkau amat susah payah….”
Han Ping mengunjuk senyum gembira, katanya, “Tetapi waktunya memang agak
panjang. Kuharap paman suka bersabar.”
“Soal itu tak perlu engkau kuatir. Aku ingin menyaksikan dengan tanganmu sendiri
engkau dapat membunuh Ih Thian-heng untuk membalas sakit hati toako dan toasoh,
baru aku dapat mati dengan tenteram.”
Kuatir pamannya tahu kalau ia lelah, buru-buru ia menyanggapi, “Pada saat
menjalankan pengobatan ini, paman harus meram, jangan melihat.”
Kim Loji tersenyum, “Baiklah, tetapi kuharap engkau jangan sampai kehabisan tenaga,”
– ia terus pejamkan mata.
Han Ping mengamatinya. Dilihatnya wajah pamannya itu menampilkan seri cahaya yang
tenang. Suatu tanda bahwa paman itu menaruh kepercayaan besar akan usaha Han Ping.
Han Ping tengadahkan kepala, menghela napas panjang. Diam-diam ia timbul suatu
rasa tanggung jawab. Katanya dalam hati, “Han Ping, Han Ping. Di dunia engkau hanya
punya seorang paman itu. Betapapun susah payahnya, engkau harus berusaha
menolongnya, sekalipun harus mati, janganlah engkau sayang jiwamu….”
Seketika bangkitlah semangat Han Ping. Ia tambahkan tenaganya dan mulai mengurut
tubuh Kim Loji.
Tubuhnya basah kuyup seperti mandi keringat. Semangatnyapun lelah sekali. Sambil
mengurut tak henti2nya ia mengingat pelajaran dalam kitab pusaka itu.
Entah selang berapa lama, akhirnya Han Ping rasakan sekujur tubuhnya dingin dan
tiba-tiba pikirannya yang hampir limbung itupun terang kembali.
Memandang ke atas, dilihatnya langit berkabut awan hitam. Entah kapan, ternyata
hujan turun deras.
Tiba-tiba terdengar Kim Loji berkata dengan suara lemah, “Ping-ji, apakah sekarang
hujan?”
“Benar! Tetapi luka paman, masih harus berapa waktu lagi. Sekalipun turun hujan, kita
tak boleh bergerak,” kata Han Ping.
“Ah, nak, apakah tak menyusahkan engkau?”
“Aku hanya menyesal karena kepandaianku rendah sehingga tak dapat menolong
paman dalam waktu yang cepat….”
“Masih berapa lama lagikah baru dapat mnyembuhkan urat yang terluka itu?” tanya Kim
Loji.
Diam-diam Han Ping menimang. Jika ia memberitahu terus terang, mungkin akan
menimbulkan kesulitan. Maka baiklah ia membohonginya saja, “Mungkin dalam 12 jam
lagilah.”
Kim Loji menghela napas tak mau bicara lagi.
Han Ping menunduk, ia mengusap peluhnya dengan ujung baju Ketika ia mengangkat
muka lagi, tiba-tiba ia rasakan lehernya dingin. Ia rasakan hawa dingin itu bukan seperti
air hujan. Diam-diam ia tergetar hatinya. Rasa lelah, lenyap seketika. Dan serempak
dengan itu ia rasakan lehernya sakit. Beberapa tetes darah mengucur jatuh ke tanah.
Saat itu ia menyadari bahwa sebatang senjata tajam, telah melekat pada lehernya,
bahkan telah mengupas kulit kepalanya. Namun ia tak gugup dan hanya batuk-batuk kecil
lalu gunakan ilmu Menyusup suara, menegur, “Siapakah engkau….”
Tiba-tiba ia kuatir orang itu akan menjawab sehingga mengejutkan Kim Loji. Maka
buru-buru ia menyusuli kata, “Gunakan ilmu Menyusup-suara untuk menjawab
pertanyaanku, agar jangan membikin kaget orang sakit.”
Orang yang di belakangnya itu benar-benar gunakan ilmu Menyusup suara dan
menyahut dingin, “Dapatkah engkau menebak aku ini siapa?”
Han Ping seperti tak asing dengan nada suara itu. Tetapi sesaat ia lupa siapa. Saat itu
ia sudah letih sekali. Sekalipun tak menggunakan pedang dilekatkan pada lehernya, iapun
sudah tiada mampu melawan lagi. Maka iapun menghela napas pelahan, ujarnya,
“Suaranya aku tak asing. Tetapi sesaat aku tak ingat lagi. Entah apakah aku boleh
berpaling ke belakang untuk melihatmu?”
Orang di belakang itu tertawa ringan, “Engkau ingin mati dengan gamblang, itupun
bukan permintaan yang berlebih-lebihan. Silahkan engkau berpaling ke belakang!”
Han Ping terus akan berpaling tetapi pada saat itu timbullah pikirannya, “Jika aku
berpaling melihat mukanya, dia tentu segera membunuh aku…..”
Maka ia meragu. Hampir seperminuman teh lamanya, orang di belakang itu rupanya tak
sabar lagi, serunya, “Mengapa engkau tak berpaling melihat aku?”
“Kalau aku berpaling melihatmu, bukankah engkau segera segera membunuhku?”
jawab Han Ping.
Orang itu menyahut dingin, “Sudah tentu! Kalau tak kubunuh, bukankah akan
merupakan bahaya di kemudian hari?”
“Kalau aku tak berpaling melihatmu, apakah engkau mau memperpanjang kematianku
itu sampai tiga hari lagi?”
Rupanya orang itu merasa aneh, “Apa? Memberi perpanjangan waktu sampai tiga
hari?”
“Benar,” kata Han Ping. “kasihlah aku waktu tiga hari 1agi. Setelah tiga hari, aku tentu
akan menyerahkan diri, takkan melawan!”
“Mengapa?” tanya orang itu heran.
“Kalau sekarang engkau membunuhku, pamanku yang terluka ini tentu akan ikut mati.
Dengan begitu berarti engkau membunuh dua jiwa. Maka berilah aku kelonggaran waktu
sampai tiga hari. Biar kusembuhkan luka pamanku ini dulu, baru nanti engkau bunuh.
Bukankah hal itu sama?”
“Bagaimana aku dapat mempercayaimu?”
“Janji seorang lelaki, sampai matipun tentu akan ditepati!”
Orang itu merenung sejenak, berkata, “Begini sajalah! Aku membawa semacam racun.
Setelah minum, dalam waktu tiga hari baru bekerja. Minumlah racun itu baru akan dapat
percaya.”
“Baik, berikanlah racun itu!” kata Han Ping.
Dari belakang menjulur sebuah tangan yang putih mulus. Dua buah jarinya menjepit
dua butir pil merah.
Han Ping kerutkan alis, pikirnya, “Kulit orang ini putih seperti kumala dan jari2nyapun
runcing. Rupanya tentu bukan orang lelaki. Apakah dia seorang anak perempuan?”
Ia menyambuti pil itu. Pada saat bendak ditelan, tiba-tiba ia mempunyai lain pikirannya,
tanyanya, “Setelah minum racun ini, apakah mempengaruhi ilmu kepandaianku?”
Orang itu tertawa, “Tiga hari kemudian, begitu racun bekerja, engkau tentu mati. Tiada
obatnya lagi. Tetapi selama tiga thari itu, kepapdaianmu tak kurang suatu apa.”
“Aku percaya omonganmu!” kata Han Ping terus menelannya,”sekarang silahkan
engkau pergi atau sembunyi di tempat yang gelap untuk mengawasi gerak-gerikku.”
Orang itu merenung beberapa saat, menghela napas, “Ucapanmu, patah demi patah,
membuat orang mau tak mau harus percaya. Engkau benar-benar seorang ksatrya yang
dapat dipercaya!”
Terdengar derap langkah yang makin lama makin jauh dan makin tak terdengar.
Setelah menelan pil racun itu, diam-diam hati Han Ping merasa rawan. Teringat akan
dendam sakit hati ayahbundanya, pesan yang diperintahkan Hui Gong taysu, semua belum
dapat dilaksanakannya. Tetapi kini ia harus mati dalam tiga hari nanti. Mungkin
kematiannya itu tiada seorangpun yang tahu. Bahkan siapa yang memaksanya menelan pil
beracun itu, ia tak sempat melihat rupanya.
Dia menghela napas pelahan. Matanya mencurah pada muka Kim Loji. Dilihatnya
sepasang alis pamannya mengerut dan wajahnya menampil kerut wajah kesakitan. Tetapi
mulut Kim Loji tetap mengulum senyum. Jelas pamannya itu menaruh kepercayaan besar
bahwa ia tentu dapat menyembuhkannya. Kerut wajah dan senyum Kim Loji memantulkan
isi hatinya, bahwa saat itu ia benar sudah menyala keinginannya hidup.
Han Ping timbul semangatnya. Beberapa kali ia menghela napas lalu pejamkan mata,
menghapus segala keresahan hati dan satukan pikirannya untuk melakukan pernapasan.
Setelah menerima tendangan dari Thian Hian totiang, Ia malah mendapat keuntungan
besar. Jalandarah Seng-si-hian-kwannya telah terbuka. Sekalipun bagian Jin dan Tok,
belum terbuka. Tetapi ia sudah dapat menyalurkan tenaga-murninya sampai pada titikjalandarah
yang sukar disaluri tenaga murni.
Tadi dalam menyalurkan tenaga-dalam untuk mengobati Kim Loji, karena pikirannya
masih resah, ia belum dapat mencurahkan seluruh tenaga murni. Tetapi kini setelah ia
dapat menghapus semua kesulitan dan keresahan pikirannya, konsentrasinyapun lebih
terarah. Seketika ia rasakan tenaga murninya menyalur lancar dari tenaga dalampun
berhamburan keluar.
Kiranya setelah menyadari bahwa dalam waktu tiga hari ia tentu mati, maka iapun
segera menghapus pikiran untuk melakukan balas dendam. Ia kerahkan seluruh semangat
dan perhatian untuk menolong Kim Loji.
Angin dan hujan makin deras. Butir2 airpun mencurah bagai mutiara. Tenaga murni
Han Ping tak putus-putusnya mengalir, tenaga dalamnya memancar gencar. Dan saat itu
iapun sudah mencapai pada tingkat kehampaan. Pikirannya hanya dipusatkan untuk
menyembuhkan Kim Loji. Curahan hujan yang deras itu sama sekali tak dihiraukannya.
Entah selang berapa lama, akhirnya hujanpun berhenti. Awan hitam berarak buyar.
Matahari sore pun mulai memancar lagi. Cakrawala memancar cahaya kekuning-kuningan
emas.
Tiba-tiba dari belakang terdengar suara helaan napas orang, “Hari akan malam lagi.
Apakah engkau tak mau beristirahat?”
Han Ping mengangkat muka memandang langit sahutnya, “Apakah sudah berjalan
sehari semalam?”
“Ya, sudah sehari semalam. Makanan yang kuantar untukmu, sama sekali tak engkau
jamah sehingga tumpah ruah dilanda hujan!” sahut orang itu.
Han Ping memandang ke samping. ternyata didekatnya terdapat sebuah piring besar
tetapi sudah kosong. Tentu tumpah didera hujan.
Ia lanjutkan mengeliarkan mata ke belakang tetapi sinar matanya tertumbuk pada
ujung pakaian waina hitam, hatinya tersirap kaget….
Jilid 28 : Ketua lembah Raja Setan
Han Ping cepat berpaling ke muka lagi. Diam-diam ia bersyukur dalam hati, “Sungguh
berbahaya. Jika aku berpaling ke belakang melihatnya, dia tentu mempunyai alasan untuk
mengatakan bahwa karena aku sudah melihat wajahnya maka perjanjian tiga hari itupun
tak berlaku lagi dan dengan demikian dia dapat membunuh aku!”
Orang aneh yang di belakangnya itu menunggu sampai beberapa saat, tiba-tiba angkat
kaki pelahan-lahan dan pergi.
Han Ping tak berani berpaling melihatnya. Hanya dari langkah kakinya ia dapat
menduga bahwa orang itu sudah jauh dari tempatnya.
Walaupun soal itu tampaknya sederhana sekali tetapi memerlukan suatu kesabaran
besar untuk menindas keinginan hati. Sekali ia mau berpaling, tentulah ia dapat mengenali
siapakah orang itu. Tetapi demi keselamatan Kim Loji, dia terpaksa menekan perasaannya.
Ia tengadahkan kapala menghela napas panjang lalu melakukan pernapasan lagi.
Setelah memulangkan semangat, ia mulai mengurut tubuh Kim Loji.
Berselang beberapa waktu, tiba-tiba ia rasakan pancaran tenaga-dalamnya macet. Ia
terkejut dan hentikan pengurutannya. Pikirnya, “Selama sehari semalam ini tenagadalamku
tak pernah berhenti. Mengapa sekarang tiba-tiba macet?”
Serentak berpikir bagitu, ia rasakan tubuhnya lemas dan lapar sekali. Kembali ia
berpaling memandang ke arah dua piring besar. Pikirnya, “Kalau makanan dalam kedua
piring besar itu tak kehujanan, aku tentu tak sampai menderita kelaparan.”
Ia merasa kemacetan tenaganya itu karena lapar. Dan saat itu ia baru menyadari
bahwa sudah dua hari satu malam ia tak makan, Dan makin teringat, makin terasa
laparnya itu. Kalau tak segera mendapat makanan, bukan saja ia tentu tak dapat
melanjutkan memberi pertolongan tenaga dalam kepada paman Kim, pun ia sendiri tentu
tak tahan lagi.
Tak disadarinya, ia meneguk air liur dan menghela napas panjang, “Masih kurang dua
hari dua malam lagi, apakah aku kuat bertahan?”
Tiba-tiba dari belakang menjulur sebuah besi porselin putih dan terdengar suara lembut
berseru, “Engkau tentu lapar sekal. Lekas makanlah separoh ayam ini.”
Han Ping memandang basi porselen itu. Selain separo ikan ayam pun masih ada dua biji
bakpao, sekerat daging wangi. Tetapi pada saat ia hendak menjemputnya tiba-tiba
teringatlah ia akan sebuah hal dan iapun menghela napas, “Budi kebaikan saudara, aku
hanya dapat menghaturkan terima kasih saja.”
“Engkau tak lapar?” tanya orang itu heran.
“Lapar sekali,” sahut Han Ping, “tetapi kedua tanganku ini tak dapat kulepaskan dari
jalan darah di tubuh pamanku. Maka terpaksa tak dapat mengambil makanan itu.
Agaknya orang itu marah sekali. Dengan mendengus dingin ia terus menarik kembali
baki porselen itu.
Han Ping menelan air liur lagi. Ia kertak gigi dan pejamkan sepasang mata, berusaha
keras untuk menindas rasa laparnya. Iapun segera empos semangat tetapi rasa lapar
menyerang hebat sekali sehingga sukar untuk mengerahkan tenaga-murni.
Seperminum teh lamanya, tiba-tiba ia mencium bau daging yang harum. Ketika
membuka mata dilihatnya sepotong paha ayam tengah melekat pada bibirnya. Dan dari
belakangpun terdengar suara yang ramah, “Baiklah, biarlah kumakankan kepadamu.”
Karena laparnya, tanpa berkata apa-apa, Han Ping pun membuka mulut dan cepat
melahapnya habis.
Orang yang di belakang itu tertawa, “Apakah engkau lapar sudah lama? Engkau makan
seperti serigala kelaparan.” – Kemudian ia menyodorkan bakpao dengan ikan ayam.
Setelah makan separo ayam dan dua buah bakpao, rasa panas yang menyerang
perutnya itu mulai mereda. Ia kesutkan mulutnya pada ujung baju seraya berkata,
“Sekalipun dua hari lagi engkau hendak membunuhku, tetapi budimu memberi makan
pada hari ini, aku tetap merasa berterima kasih sekali.”
Orang di belakang itu diam saja. Sampai beberapa jenak baru kedengaran menghela
napas rawan lalu ayunkan langkah.
Mendengar langkah kaki orang itu amat sarat, Han Ping menduga hati orang itu tentu
sedang dilanda pikiran yang berat….
Hanya sejenak memikirkan soal itu, Han Ping terus menghapus segala pikiran dan mulai
mengerahkan tenaga-murni untuk menyaiurkan tenaga dalamnya mengobati paman Kim.
Pada saat ia berhenti lagi tiba-tiba pada ubun-ubun kepalanya bertambah sebuah
beban. Dan ketika menengadah memandang ke atas, ternyata sebuah topi rumput telah
menutup kepalanya. Rupanya untuk melindungi kepalanya dari sinar matahari dan hujan.
Cepat sekali tiga hari telah lewat. Han Ping mempunyai topi untuk mencegah panas dan
hujan dan ada pula orang yang mengantarkan makanan agar tenaganya tetap kuat. Berkat
bantuan itulah maka akhirnya ia berhasil menyelesaikan pertolongan kepada Kim loji.
Orang yang mengantar makanan itu rupanya makin lama makin memperhatikan diri
pemuda itu. Hal itu dapat ditilik dari jenis makanan yang dihidangkan setiap harinya tentu
pilihan dan lezat rasanya.
Hari keempat pagi sekali, Han Ping dapatkan beberapa jalandarah Kim loji sudah mulai
melancar lagi. Lukanya hampir sembuh. Sudah tentu ia amat girang, sekali. Serunya
berbisik, “Paman, sekarang silahkan paman membuka mata melihat-lihat.”
Hampir tiga hari lamanya Kim loji dalam keadaan limbung tak ingat diri. Ada kalanya ia
seperti kehilangan kesadaran pikirannya dan tidur pulas. Dan ketika bangun pun tak tahu
apa yang telah terjadi. Tetapi ia tetapi ingat bahwa ia tak boleh membuka mata. Selama
dalam penderitaan itu, banyak sekali hal2 yang membayang di benaknya. Maka
gelagapanlah ia ketika mendengar perintah Han Ping supaya membuka mata itu. Pelahanlahan
ia segera membuka kelopak matanya.
Dengan wajah mengulum senyum, berkatalah Han Ping, “Cobalah paman mencoba
bernapas agar dapat diketahui apakah jalan darah paman yang terluka itu sudah lancar
kembali atau belum.”
Kim loji melakukan perintah. Ah, ternyata jalan darahnya sudah lancar lagi. Tiba-tiba ia
berbangkit dan mencekal lengan Han Ping, beberapa airmata menitik turun dari
pelapuknya, “Ah, nak, engkau menderita sekali….”
Selama hidup belum pernah Kim loji memiliki rasa tegang dan terharu seperti saat itu.
Luapan hatinya seperti menyumbat tenggorokan sehingga tak dapat berkata apa-apa. Tak
tahu ia bagaimana harus mulai bicara….”
Han Ping tengadahkan kepada menghela napas. Ia berusaha untuk menekan
perasaannya, “Karena mengobati paman maka tenagaku telah habis. Dan perlu
beristirahat selama beberapa hari. Aku hendak mohon paman supaya membelikan obat
untukku.”
Teringat bahwa janji-matinya kepada orang yang tak diketahui itu hanya tiga hari dan
hari itu sudah tiba, maka ia harus mencari akal untuk memergikan Kim loji dari situ.
Karena kalau tidak, pamannya itu tentu akan menghalangi pembunuhan itu.
Kim loji serentak menyahut, “Tahukah apa ramuannya? Aku tentu segera
membelikannya.”
Han Ping tertawa hambar. Sembarangan saja ia mengatakan beberapa macam obat.
Dia pernah melihat si dara baju ungu menulis resep untuk mengobati luka Ting Ling.
Samar2 ia masih ingat satu dua macam dan mengatakan kepada Kim loji.
Walaupun tak mengerti tentang obat2an, tetapi pengalaman Kim loji dalam dunia
persilatan amat luas sekali. Dia terkesiap kaget ketika Han Ping mengatakan obat2 yang
termasuk dalam resep si dara baju ungu. la segera mencatatnya dalam hati dan berkata,
“Ping-ji, tunggulah aku di sini….”
Sambil memandang ke langit, ia berkata pula, “Sebelum malam hari, aku tentu sudah
kembali ke sini.”
Han Ping hanya tersenyum, katanya, “Ah, tak perlu paman bergegas-gegas. Aku hanya
kehilangan tenaga-murni saja. Luka paman baru sembuh, jangan berjalan cepat-cepat.
Jika malam ini tak dapat datang ke mari, besok pagipun tak mengapa.”
Rupanya Kim loji ngotot hendak mengobati Han Ping, serunya, “Betapapun juga, malam
ini aku tentu dapat kembali ke sini.”
Tanpa menunggu pernyataan Han Ping, Kim loji terus Iari kencang. Memandang
bayangan pamannya, tiba-tiba timbullah rasa rawan dalam hati Han Ping, serunya
pelahan, “Sampai jumpa paman. Pada saat engkau kembali membawa obat, kepalaku
tentu sudah terpisah dari tubuhku.”
Dia berkata dengan suara yang amat lirih sekali. Tetapi entah bagaimana, Kim loji
seperti kena stroom dan tiba-tiba berhenti, berpaling ke belakang. Sudah tentu Han Ping
terkejut sekali. Ia kira pamannya tentu mendengar kata-katanya tadi.
Tampak Kim loji mengangkat lengannya yang tinggal sebelah itu dan berseru, “Jangan
pergi kemana-mana. Sebelum hari gelap, aku tentu sudah kembali.”
Habis berseru Kim loji terus gunakan ilmu lari-cepat. Setelah lenyap dari pandangan,
Han Pingpun berbangkit perlahan-lahan. Ia melangkah keluar dari gerumbul rumput.
Dilihatnya rumput menguning kering, daun2 gugur bertebaran di tanah. Suasana diselimuti
dengan hawa kematian.
Tiga penjuru arah dikelilingi gunung. Hanya di sebelah barat yang merupakan hutan
lebat. Merupakan sebuah tempat yang tak pernah dijelajahi manusia. Segerumbul rumput
setinggi orang, tampak merimbun pada jarak setombak jauhnya. Rupanya tanah itu agak
subur karena masih terdapat rumput2 yang hijau.
Hati Han Ping saat itu seperti gelombang air sungai Tiang-kiang. Bergolak dan beralun
hebat. Pelahan-lahan ia menghampiri gerumbul rumput dan berkata seorang diri, “Ah,
tempat ini baik sekali untuk kuburanku.”
Dia berdiri termangu-mangu lalu kembali ke tempat alang2 semula tadi, duduk bersila
bersemedhi mengheningkan cipta.
Tetapi ia gagal. Berbagai pikiran melalu lalang di benaknya. Segala kesukaran dan
penderitaan selama ini akhirnya hanya berakhir dengin kematian. Tetapi suatu kematian
yang tak dapat dilawan dengan kegagahan. Karena pikiran kacau, ia tak dapat
menenteramkan pemusatan hatinya.
Tiba-tiba terdengar derap langkah yang berat berjalan pesat dan berhenti di
sampingnya. Han Ping menduga tentulah orang yang membuat janjinya kepadanya itu.
Diam-diam ia pasrah, “Ah, karena aku sudah rela menyerahkan nyawa, tak perlu kuharus
melihat tampang mukanya lagi.”
Dengan keputusan itu tanpa membuka mata ia terus berseru, “Silahkan turun tangan!”
Sederhana sekali kata-kata itu tetapi penuh me ngandung luapan perasaan hatinya.
Dendam sakit hati yang belum terhimpas, kawan2 yang tak sempat ditemuinya dan segala
suka duka pengalamannya selama ini, telah campur aduk memenuhi benaknya…. . hampir
saja ia tak kuasa menahan diri untuk berteriak menumpahkan isi hatinya. Karena sejak itu
toh ia takkan berada di dunia lagi.
Tiba-tiba orang itu hentikan langkah lalu pelahan-lahan menghampiri ke arahnya. Diamdiam
Han Ping mencurahkan perhatiannya. Dari langkah kaki, mudah-mudahan ia dapat
menduga siapakah orang itu.
Tetapi pada lain saat diam-diam ia menertawakan dirinya sendiri dan hati budi manusia.
Ia heran mengapa selalu terjadi pertentangan antara akal budi yang luas dan perasaan
hati yang pasrah. Bahkan sampai pada detik2 kematian, ia masih mengandung perasaan2
itu.
Dalam saat2 itulah ia makin menyelami akan arti jiwa dan perasaan hati manusia.
Langkah kaki pendatang itu makin dekat dan akhirnya berhenti di mukanya. Han Ping
diam-diam menghela napas dan berkata pelahan, “Saat ini waktu perjanjian tiga hari
sudah tiba. Silahkan engkau turun tangan aku…. takkan mati dengan penasaran.”
Tiba-tiba ia teringat bahwa pengorbanan itu adalah karena menolong seorang keluarga
satu2nya yang dimiliki dalam dunia Mi. Secercah senyuman mengulum di bibir pemuda itu.
Angin musim rontok berhembus. Dan pendatang yang berada di hadapannya itu
berseru kaget, “Turun tangan? Turun tangan bagaimana?”
Han Ping tersenyum dan berkata pelahan, “Karena sudah berjanji dalam waktu tiga
hari, maka sekalipun engkau cincang tubuhku. aku takkan mendendam kepadamu. Saat ini
aku sudah tak menghiraukan soal kematian lagi. Silahkan engkau lekas saja mulai agar
jangan menyiksa diriku begitu lama!”
Nada kata Han Ping begitu tulus dan tak mengandung ketakutan sama sekali.
Pendatang itu diam-diam merasa kagum dan menghela napas.
Tiba-tiba terdengar pula orang itu berkata dengan suara parau yang tersendat-sendat,
“Tuan…. . apakah yang engkau katakan itu…. . aku benar-benar tak mengerti.”
Serentak tergetarlah hati Han Ping, serunya dengan nada heran, “Siapakah saudara
ini?”
Walaupun bertanya begitu namun Han Ping tetap tak membuka mata. Tiba-tiba orang
bersuara parau itu berteriak, “Hai…. . kiranya tuan ini ……”
Orang itu hendak mengatakan bahwa Han Ping seorang buta tetapi sungkan. Maka
cepat-cepat ia menjawab pertanyaan Han Ping tadi, “Aku bernama Tio Tiong, ada orang
yang menamakan diriku Tio It-ya. Jika tuan hendak memberi pesan apa-apa, silahkan. Aku
masih mempunyai cukup tenaga untuk melakukan. Jika suruh aku turun tangan , sungguh
kebenaran sekali. Tetapi kalau suruh aku mengasah otak, itu….” ia tertawa mengekeh dan
berhenti berkata.
Pikiran Han Ping bergolak tak keruan. Tak tahu ia apakah pendatang itu hendak
mengolok dirinya atau memang tak mempunyai hubungan peristiwa yang menimpa
dirinya. Akhirnya ia tak kuasa lagi untuk tak membuka mata.
Ketika memandang ke muka, tampak seorang lelaki berumur 30-an tahun, memikul
kayu bakar. Dan pada pinggangnya terselip sebatang kapak besar, dua kali besarnya dari
kapak yang biasa digunakan tukang penebang pohon. Kini sadarlah Han Ping bahwa orang
itu hanya orang yang kebetulan lalu di tempat itu.
Tio Tiong melonjak kaget dan menyurut mundur dua langkah lalu letakkan pikulannya.
Bermula ia kira Han Ping seorang buta. Tak tahunya ternyata bisa melihat bahkan
matanya memancarkan sinar berkilat-kilat tajam sekali.
Han Ping kerutkan dahi dan tertawa hambar, katanya, “Benarkah engkau ini tukang
pencari kayu yang sedang lewat di sini?”
Tio Tiong batuk-batuk lalu menyahut, “Benar! Aku menuntut penghidupan sebagai
pencari kayu di hutan sudah hampir 10 tahun lamanya.”
“Apakah tiap hari engkau lalu di sini?”
“Tidak, sudah sebulan Iebih aku tak jalan di sini.”
Han Ping menghela napas pelahan, ujarnya, “Kalau begitu engkau tentu tak tahu….”
kata Han Ping kepada orang itu dan dirinya.
Tio Tiong tertawa, “Ah, tuan seorang terpelajar, apa yang tuan ucapkan sudah tentu
aku tak mengerti.” — Habis berkata ia terus memikul pikulannya dan hendak angkat kaki.
Melihat kayu yang dipikulnya itu tak kurang dari 200 kati beratnya tetapi tampaknya
dengan mudah sekali orang itu memanggulnya, Han Ping berseru memuji, “Ah, tenagamu
sungguh hebat sekali!”
Kali ini Tio Tiong dapat mengerti kata-kata Han Ping. la merekah tertawa, “Tadi telah
kukatakan bahwa aku ini seperti kerbau liar. Kecuali menebang kayu, lain-lain pekerjaan
aku tak mampu melakukan.”
Tergerak hati Han Ping, tegurnya, “Engkau tinggal dengan siapa di rumah?”
“Kecuali ibuku dan aku, tiada lain orang lagi.”
Han Ping tertawa rawan, “Ah, engkau sungguh beruntung karena masih mempunyai ibu
yang merawatmu….” — ia merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan dua biji uang emas,
katanya, “Ambil dan pakailah.”
Seumur hidup Tio Tiong belum pernah melihat uang emas dan sekian banyak uang
perak tercengang dan memandang uang emas itu dengan agak gemetar. Dia benar-benar
terpesona melihat sekian banyak uang emas itu.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba ia menghela napas, serunya, “Aku belum
mengerjakan sesuatu untuk tuan, mana bisa menerima sekian banyak hadiah. Taruh kata
aku bekerja padamu selama 10 tahun, pun tak perlu mendapat upah sekian banyak.”
Kepolosan dan kesederhanaan pemuda itu membangkitkan perasaan nurani Han Ping,
pikirnya, “Jika aku tak menunaikan tugas membalas sakit hati, kalau aku masih
mempunyai ayah bunda, rela aku hidup sebagai dia, menuntut kehidupan yang
sederhana….” — Han Ping menghela napas, ujarnya, “Uang ini bagiku sudah tiada
gunanya lagi….”
Sepasang mata Tio Tiong terbeliak lebar, serunya, “Aneh, mengapa uang emas tak
berguna? Uang sekian banyak itu dapat dibelikan kerbau dan sawah atau kuda dan kereta.
Suatu kekayaan yang dapat dibuat mencari isteri, Ya, pendek kata dapat dibuat apa saja.
Mengapa tuan katakan tak berguna?”
Han Ping tertawa tawar, “Aku segera akan mati. Ambillah yang ini dan belikan sebuah
peti mati untukku. Besok engkau datang lagi ke mari untuk mengurus mayatku dan
tanamlah di bawah gerumbul rumput itu. Kelebihannya, belikan saja sawah, kuda, kerbau
dan isteri. Rawatlah ibumu sampai masa hari tuanya.”
Dengan tangan gemetar, Tio Tiong menerima uang itu, katanya, “Akan kubawa pulang
dulu uang ini dan akan kutanyakan bagaimana pendapat ibuku” — ternyata pemuda yang
jujur dan sederhana ternyata tertarik juga akan harta benda. Diam-diam Han Ping
tersenyum. Rupanya ia makin mengenal lebih dalam tentang hati manusia. Pelahan-lahan
ia pejamkan mata.
Pada saat menghadapi kematian, segala kenangan akan berhamburan melalu lalang.
Setelah menderita kegoncangan perasaan, akhirnva hati Han Pingpun tenang sekali.
Pelahan-lahan ia menyalurkan pernapasan.
Dalam hari2 biasa, sukar orang untuk membersihkan pikirannya dari segala ingatan dan
kenangan. Tetapi saat itu Han Ping benar-benar tetah memasrahkan diri dalam
kehampaan. Hatinya sepi ,dari segala rangsangan nafsu dan Keinginan, kenangan dan
ingatan.
Tak berapa lama ia rasakan dari perutnya meluap serangkum hawa-mumi yang
bergolak keras. Kalau biasanya mengalami hal semacam itu, ia tentu segera hentikan
penyaluran papas. Tetapi saat itu ia sudah tak menghiraukan jiwanya lagi. Diam-diam ia
memikir, “Ya, benar, racun yang diberikan orang itu tentu sudah mulai bekerja.”
Iapun melanjutkan penyaluran napasnya.
Ia merasakan hawa murni yang meluap itu, menembus ke-12 lapis urat dan jalan darah
lalu menuju ke bagian seng-si-hian-kwan. Darah dalam sekujur tubahnya, pun ikut
bergerak mengikuti hawa-murni itu. Darah yang bergolak naik turun, membuat
perasaannya tak enak dan hati tak tenang.
Tiba-tiba saat itu terdengar derap langkah kaki orang lagi. Dan detik itu Han Ping
sedang mengalami godokan hawa-murni dan darah yang bergolak dan membinal.
Keadaannya menyerupai seekor burung bangau yang kelabakan dalam sangkar dan
hendak menerobos ke luar. Topi rumput yang dikenakannya. pun sudah berlubang besar.
Dia sedang berjuang keras untuk menghamburkan kesemuanya itu ke luar, tetapi lubang
yang hendak ditembusnya itu terlalu kecil. Dia tak dapat menembusnya.
Sekalipun ia merasa bahwa pendatang ita menghampiri ke tempatnya tetapi ia tak
dapat memperhatikannya. Dan memang ia tak mau mengacuhkan siapa pendatang itu.
Karena pikirnya, toh akhirnya ia tentu harus mati
Tiba-tiba tenaga-murni dan darah itu melanda ke atas dan benaknya seolah-olah
bergetar keras. Perasaan dan kegelisahan hatinya lenyap tiba-tiba. Sebagai gantinya ia
merasa seperti dibuai-buai dan ringan sekali tubuhnya.
Tepat pada saat itu, tiba-tiba pergelangan tangan kanannya dicekal orang dan serentak
terdengar suara seseorang yang belum dikenalnya, “Bagus, menjelajah ke seluruh pelosok
dunia, akhirnya tanpa banyak susah payah telah kuketemukan.”
Merasa bahwa nada orang itu tak mengandung arti yang baik, mendadak Han Ping
membuka mata. Dilihatnya seorang paderi tinggi besar sedang gunakan tangan kiri untuk
mencekal pergelangan tangan kanannya dan tertawa nyaring.
Setelah mengamati orang itu, tiba-tiba Han Ping teringat. Paderi itu adalah Hui Ko
taysu, salah satu dari kedua orang paderi tingkat Hui dari Siau-lim-si yang masih hidup.
Hui Ko taysu tertawa meringkik seperti naga, sembada sekali dengan perawakannya
yang tinggi besar. Nadanya berkumandang memenuhi gunung.
Rupanya paderi itu gembira sekali, maka ia begitu tegang dan tertawa meringkik
sampai beberapa saat baru berhenti.
“Akhirnya engkau dapat kuketemukan juga, ha, ha. Aku telah mencarimu di seluruh
penjuru dunia,” katanya dengan dingin.
Tetapi Han Ping tenang sekali. Setitikpun ia tak gentar dan tertawa tawar, “Karena
sudah menemukan aku, kiranya lo-siansu tak perlu begitu gembira sekali!”
Dahi paderi itu meluap hawa pembunuhan, serunya, “Jangan berlagak pura-pura, lekas
serahkan!”
“Serahkan apa?” tanya Han Ping.
“Pedang Pemutus Asmara!”
Diam-diam Han Ping membatin, “Aku sudah hampir mati, menyimpan pedang pusaka
pun tiada gunanya. Pedang itu kuambil dari Siau-lim-si baik kukembalikan kepada mereka
lagi, daripada jatuh ke tangan orang lain.”
Dengan keputusan itu ia segera memasukkan tangannya ke dalam baju dan meraba
pedang pusaka itu, ujarnya, “Terimalah!”
Paderi Hui Ko cepat menyambuti lalu memasukkan ke dalam baju, katanya,
“Kotaknya?”
“Hilang!”
Seketika wajah paderi itu berobah memberingas, serunya, “Sekalipun pedang ini
tajamnya bukan kepalang tetapi kotak pedang itu jauh lebih berharga dari pedang ini. Saat
itu nyawamu berada dalam tanganku. Apabila mati, orang tentu takkan dapat berbuat
suatu apa. Menyimpan kotak pedangpun tiada gunanya. Harap suka menimbang lagi
semasak-masaknya.”
Han Ping tengadahkan kepala dan tertawa ringan, “Soal mati dan hidup, aku sudah tak
menghiraukan lagi. Apabila lo-siansu hendak menggertak dengan ancaman itu, rasanya losiansu
salah hitung….”
Ia berhenti sejenak untuk tersenyum lalu berkata pula, “Tetapi pedang itu memang
sebuah pusaka yang jarang terdapat dalam dunia Mengembalikan kepada gereja Siau-lim,
memang sudah selayaknya. Mengenai kotak pedang itu, saat ini berada pada dara baju
ungu dari Lam-hay-bun. Silahkan lo-siansu meminta kepadanya!”
Hui Ko tersenyum, “Pedang berada di tanganmu, mengapa kotaknya pada lain orang.
Bagaimana aku dapat percaya keteranganmu itu?”
Han Ping berseru lantang, “Apa yang kukatakan memang sungguh2. Tetapi kalau
engkau tak percaya, akupun tak dapat berbuat apa-apa. Hui Gong dan Hui In kedua locianpwe,
adalah paderi yang luhur pribadi. Aneh, mengapa beda sekali dengan engkau
yang begitu tamak. Sesama kaum perguruan dan sama-sama mengabdikan diri dalam
pertapaan mengapa beda sekali sifatnya? Kukembalikan pedang pusaka itu kepadamu
adalah semata-mata karena memandang muka Hui Gong dan Hui lo-cianpwe. Hm, enggan
benar aku berurusan dengan engkau!” — habis berkata ia terus pejamkan mata lagi.
Hui Koh memandang wajah pemuda itu tampak serius. Sedikitpun tak memantulkan
rasa takut mati. Diam-diam paderi itu tergetar hatinya, pikirnya, “Anak yang masih begitu
muda sekali mengapa memandang kematian seperti pulang ke rumah saja.”
Entah bagaimana Hui Ko merasa malu dan menyesal. Pelahan-lahan ia lepaskan
cekalannya.
Han Pingpun tenang sekali membuka mata dan tertawa hambar, serunya, “Bahwa kotak
pedang Pemutus Asmara berada di tangan dara dari perguruan Lam-hay-bun, seluruh
kaum persilatan dari wilayah Kanglam — Kangpak tahu semua. Mereka menduga
kedatangan dara Lam-hay-bun ke daerah Tiong-goan itu tak lain karena hendak mengejar
kotak itu. Kukira lo-siansupun tentu sudah mendengar berita itu! Saat itu tokoh2 dari Dua
Lembah dan Tiga Marga, telah terkocok dalam lomba perebutan kotak mendapatkan kotak
pedang, itu dari tangan si dara baju ungu. Lo-siansu tentu juga akan mencari kotak itu
maka silahkan saja lekas2 kesana. Kalau terlambat, dikuatirkan akan terjadi perobahan.
Mungkin akan sudah jatuh di tangan orang lain.”
“Dimanakah sekarang dara baju ungu itu?” tanya Hui Ko.
“Pada waktu kutinggalkan, mereka masih berada di makam tunggal. Saat ini pergi
kemana, akupun tak tahu. Tetapi la bermarkas di desa Bik Li-san di gunung Long-san.
Nab, apa yang kuketahui sudah kukatakan semua. Kalau lo-siansu pergi, silahkan.”
Hui Ko kerutkan sepasang alis, berkata, “Ada sebuah soal yang terkandung dalam
hatiku, entah apakah pantas kutanyakan?”
“Silahkan mengatakan sajalah?”
“Engkau berada di sini ini menunggu siapa?”
“Kematian!”sahut Han Ping.
“Apa? Menunggu mati?” Hui Ko terbeliak kaget.
“Benar, aku memang sedang menunggu kematian.” Han Ping berhenti sejenak lalu
berkata, “Jika tidak menunggu kematian, pedang Pemutus Asmara itu tentu takkan
kuserahkan kepadamu! Walaupun pedang itu milik Siau-lim-si, tetapi karena kalah
bertaruh maka Hui Gong lo-cianpwe telah menyerahkannya kepadaku. Bila aku masih
dapat hidup di dunia, aku tentu akan menjaga pedang pusaka itu sebaik-baiknya!”
“Tetapi saat ini engkau toh belum mati mengapa engkau rela melepaskan pedang itu?”
Han Ping tertawa, “Aku akan segera mati, aku takkan hidup lama lagi! Paling lama
hanya sampai besok matahari terbenam. Mungkin dalam beberapa saat ini.”
“Walaupun tak faham akan ilmu perbintangan tetapi melihat seri wajahmu, tak seperti
orang yang menderita luka parah. Juga bukan terkena racun ganas. Tetapi mengapa tak
henti2nya engkau mengatakan akan mati saja?”
Han Ping tertawa, “Soal di dunia, memang banyak yang terjadi di luar dugaan orang.
Aku tak suka mengatakan hal itu kepada lain orang, losiansu -….” — belum habis ia
berkata, tiba-tiba terdengar suara orang menggerung hebat, “Menyingkirlah!”
Telinga Hui Ko tajam sekali. Serempak pada saat mulut Han Ping berteriak supaya
menyingkir, paderi itu sudah menangkap sambaran golok menabas. Sekali kedua bahu
paderi itu bergoncang, orangnya pun sudah berkisar semeter. Wut…. . . secepat kilat
menyambar muka selarik sinar putih berkelebat di samping telinga Han Ping.
Tanpa berpaling muka, Hui Ko membentak penyerang itu, “Siapakah yang berani
menyerang aku secara pengecut itu?”
Terdengar suara tertawa melengking tinggi dan teriakan, “Cobalah engkau rasakan ilmu
Hujan-mencurah yang kumainkan ini!”
Kembali serangkum sinar putih berkelebat. Sasarannya sungguh aneh. Tidak langsung
menyerang Hui Ko, melainkan tunggu setelah paderi ita berdiri tegak, tiba-tiba ditabur
sinar kemilau seluas dua meter.
Bahu Hui Ko sedikit bergetar dan tiba-tiba tubuhnya miring. Jubahnya yang
bergerombyongan itu sepintas pandang menyerupai kupu2 yang beterbangan, melonjaklonjak
ke atas. Gerakan dan sikapnya tenang sekali. Namun hamburan sinar pedang itu tak
mampu mendekatinya.
Matahari makin panas. Tetapi sinar pedang penyerang itu jauh lebih dahsyat dari sinar
matahari. Dengan sambaran angin yang mendesis-desis, pedang itu membabat kaki Hui
Ko dan melanda ke arah Han Ping.
Han Ping tetap duduk seperti patung. Setitik-pun ia tak jeri melihat sinar pedang
pembawa maut itu. Pada saat masih terpisah setengah meter, tiba-tiba sinar perak itu
lenyap dan menyambar lewat di sisinya. Angin yang tajam menghambur bajunya.
Ternyata saat itu Hui Ko sedang melambung ke atas. Ketika melihat ketenangan Han
Ping. la pun melayang turun lagi ke bumi dan tiba-tiba mengagumi ketenangan pemuda
itu. “Kalau benar dia harus mati hari ini. sungguh suatu kerugian benar bagi dunia
persilatan.”
Sesempit-sempit pikirannya, namun ketika melihat kelapangan dada dan ketenangan
pemuda itu, tanpa disadari ia tunduk dalam hati.
Pada saat paderi itu masih menimang-nimang, sekonyong-konyong dari belakang
terdengar suara orang tertawa dingin. Hui Ko kerutkan alis dan berseru, “Setelah Hujanmencurah-
dari-langit, Ialu bagaimana lagi?”
Suara orang di belakang yang bernada seperti suara wanita itu, sepatah demi sepatah
berseru, “Masih ada Bintang-mengalir!”
Kata itu diserempaki dengan sambaran angin dari belakang.
Karena menjaga gengsi tadi Hui Ko tak mau berpaling. Tetapi saat itu ia benar-benar
terkejut mendengar kata-kata orang di belakang itu dan taburan senjatanya yang
menghamburkan angin tajam. Mau tak mau ia berputar tubuh dan terkejut melihat
segumpal sinar perak, lurus menyerang kepadanya.
Gumpalan sinar perak itu mengumpul satu, tipis tetapi tidak buyar, lalu daripada
gumpalan sinar yang tercipta dari jurus Hujan-mencurah-dari-langit tadi. Gumpalan sinar
perak kali ini mengandung perbawa yang membuat hati orang tegang.
Seketika Hui Ko tergetar hatinya. Tanpa menunggu sinar perak itu melanda dirinya,
cepat ia berputar tubuh, dan melesat dua tiga meter jauhnya.
Baru ia bergerak, tiba-tiba terdengar bunyi mendering dan sebersit sinar perak yang
melayang di atas kepalanya itu mendadak meluncur cepat sekaii. Tring, tring, tiga bersit
sinar perak, yang bermula menyerang lurus ke muka tiba-tiba pun berhamburan
membujur ke samping. Dan kemudian terdengar pula berdering-dering suara tajam.
Serentetan sinar perak itu mengumpul jadi satu dalam bentuk gumpalan-gumpalan sinar
yang berhamburan keempat penjuru. Bagaikan hujan mencurah, sinar itu menghambur ke
tubuh Han Ping yang duduk tenang laksana sebuah karang.
Rentetan bunyi mendering itu, tak ubah seperti lonceng kematian yang dicanangkan
oleh malaekat Elmaut. Belum senjata itu tiba-tiba, orang tentu sudah patah nyalinya.
Han Ping membuka mata dan mencurahkan pandang matanya ke arah sebersit benda
bersinar yang berada di tengah gumpalan sinar perak itu.
Sedikitpun ia tak mau mengacuhkan pada lingkaran sinar perak yang berhamburan di
empat penjuru itu.
Pada saat Hui Ko loncat menghindar ke samping tadi, ia masih sempat memandang ke
arah Han Ping. Dilihatnya benda bersinar yang melayang paling depan, saat itu sudah tiba
pada jalan darah berbahaya di dada Han Ping.
Dalam detik2 yang berbahaya itu, tiba-tiba Han Ping ulurkan tangan kanannya. Sekali
jarinya menutuk pelahan, terdengar suara mendering dan benda bersinar itupun tersiak ke
samping. Dan secepat itu, dengan masih dalam keadaan duduk, tubuh pemuda itu
melambung ke udara. Gumpalan sinar perak yang berhamburan tadi, pun melimpah angin
kosong.
“Keberanian yang luar biasa… ilmu yang hebat….!” Hui Ko menghamburkan pujian
pelahan.
Pun ketika masih dalam sikap duduk dan meluncur turun ke tanah, Han Ping tertawa
tawar, serunya, “Ah, lo-cianpwe keliwat memuji!”
Tetapi paderi itu tak menjawab apa-apa. Pandangan matanya diarahkan ke gerumbul
rumput yang terpisah setombak lebih jauhnya seraya berseru nyaring, “Jurus Hujanmencurah-
dari-Iangit dan Bintang-bintang-mengalir, sudah kuterima. Entah apakah masih
ada lain jurus yang lebih lihay lagi?”
Dari balik gerumbul rumput segera terdengar suara melengking, “Berkisarlah lima
langkah ke kiri dan cobalah pula jurus ilmu Sam-goan-lian-te serta Thian-hui-bong ini!”
Wajah Hui Ko berobah seketika. Serunya, “Untuk menerima kedua ilmu kepandaianmu
itu, aku tak keberatan. Tetapi lebih dulu dapatkah kuketahui siapakah gerangan nona ini?”
Seketika dari balik gerumbul rumput itu muncul seorang gadis berpakaian hitam.
Punggungnya menyanggul sepasang pedang. Dengan langkah palahan ia menghampiri ke
muka.
Han Ping terkesiap. Rasanya ia pernah kenal dengan nona itu tetapi sesaat ia lupa
entah di mana.
Tampak bola mata nona itu berkeliaran sejenak lalu mencurah ke arah Han Ping dan
tertawa, serunya, “Keberanianmu sungguh membuat orang kagum sekali!” – Kemudian ia
alihkan pandang matanya kepada Hui Ko, serunya, “Apakah engkau ini salah seorang
paderi dari gereja Siau-lim-si?”
“Aku adalah Hui Ko dari Siau-lim-si.”
Dalam dunia, orang yang mampu menghindar dari taburan ilmu Hujan-mencurah-darilangit
dan Bintang-mengalir-pindah, sedikit sekali. Ilmu kepandaianmu hebat sekali, paderi
tua. Maka kuduga engkau tentu dari gereja itu,” seru nona itu.
Hui Ko melihat nona itu berpakaian baju hitam dan wajahnya amat cantik yang
berumur di antara 20-an tahun tetapi dapat menggunakan ilmu kepandaian yang begitu
hebat, tentulah bukan seorang nona sembarangan Maka segera ia berkata dengan serius.
“Entah siapakah nama nona yang mulia?”
Setelah menyaksikan betapa kepandaian Han Ping menghadapi serangan dahsyat dari
nona itu, kecongkakan Hui Ko mulai menurun. Andaikata ia jadi Han Ping, tentulah ia tak
mudah bersikap begitu pasrah seperti anak muda itu.
Tampak nona baju hitam itu tertawa tawar, “Aku bernama Siangkwan Wan-ceng….”
Han Ping tergetar hatinya. Tiba-tiba ia teringat kalau pernah bertempur dan menderita
luka dari nona itu. la menyelutuk, “Aku berjanji padamu dalam waktu tiga tahun. Mungkin
aku tak dapat menetapi janji itu. Maka lebih dulu aku menghaturkan maaf.”
Siangkwan Wan-ceng tertawa, “Tak apa, peristiwa yang lampau, tak perlu dipikir lagi.”
Sahut Han Ping dengan hambar, “Modal dari seorang lelaki ialah kepercayaan dan budi
luhur. Karena sudah ada janji, sudah tentu tetap kuingat. Tetapi hari ini adalah hari
kematianku .. ..”
“Apabila engkau tak mati?” tukas Siangkwan Wan-ceng.
“Sudah tentu aku akan menetapi janji itu!”
Siangkwan Wan-ceng tertawa, “Tetapi sayang engkau akan mati!”
Han Ping menengadah memandang ke gumpalan awan yang berarak di langit. Diamdiam
ia berpikir, “Saat ini sudah hampir petang tetapi orang yang berjanji padaku itu
masih belum datang. Apakah ia lupa? Atau mungkin karena sudah suruhaku minum racun
tensu tak dapat hidup lebih lama dari tiga hari?”
Karena teringat akan kematian, ia tak mau memperhatikan apa yang terjadi pada saat
itu.
Angin berhembus menderu. Ketika memandang ke muka dilihatnya Siangkwan Wanceng
sudah mulai bertempur dengan Hui Ko. Keduanya bertempur dengan jurus2 yang
mengejutkan. Setiap pukulan dan jurus, tentu menerbitkan tenaga angin yang dahsyat.
Beberapa saat kemudian, Han Ping mendadak melibat di samping gerumbul rumptut
yang tinggi itu, tegak seorang berbaju putih. Han Ping memiliki mata yang tajam sekali
tetapi tak dapat melihat jelas orang itu kecuali hanya pakaiannya saja yang berwarna
putih. la memandang dengan seksama lagi beberapa saat. Tiba-tiba tergetarlah hatinya.
Tiada sesuatu yang menyakiti pandang mata pada diri orang itu. Tetapi dari kepala
sampai ke kaki dan sekujur tubuhnya. tak tampak tanda-tanda dari orang yang hidup.
Wajahnya seperti diliputi lapisan kerudung hawa yang berwarna biru sehingga sukar
diletahui bagaimana jeleknya, tetapi sekujur tuhuhnya tak mirip dengan manusia hidup.
Mukanya seperti diselubungi lapisan asap hijau sehingga tak tampak bagaimana kerut
wajahnya. Sebuah wajah yang menimbulkan rasa seram pada orang.
Han Ping menghela napas panjang, pikirnya, “Aih, masakan di dunia terdapat manusia
seperti mayat hidup begini….”
Tiba-tiba orang baju putih itu merogoh ke dalam baju dan mengeluarkan sebuah
benda. Matanya herputar-putar seperti memperhitungkan jarak antara dirinya dengan
Siangkwan Wan-ceng dan Hui Ko taysu yang sedang bertempur itu.
Melihat itu Han Ping kuatir dan cepat berseru keras, “Hai, sudahlah, jangan kalian
berkelahi lagi!”
Siangkwan Wan-ceng bergeliat menghindari serangan Hui Ko taysu dan melesat ke
samping Han Ping. Dengan tersenyum ia menegur, “Mengapa? Apakah engkau kuatir aku
tak dapat mengalahkannya?”
“Bukan,” sahut Han Ping.
Setelah bertempur, barulah Hui Ko taysu menyadari bahwa nona itu bukan olah-olah
hebatnya Jurus-jurus yang dimainkan amat aneh dan sukar diduga. Begitupun tenagadalam
nona itu Iaksana sumber air yang tak henti-hentinya mengalir. Benar-benar suatu
hal yang belum pernah dijumpainya seumur hidup. Jika akan diteruskan bertempur, tentu
dalam seratus duaratus jurus belum dapat ditentukan kalah menangnya. Maka begitu
mendengar teriakan Han Ping, iapun segera hentikan serangannya.
Sejenak nona itu keliarkan biji matanya lalu berseru, “Apakah takut kalau aku
melukainya?”
Han Ping gelengkan kepala, “Jika kalian berdua bertempur, kalah atau memang itu
memang sudah wajar, akupun tak perlu mengurus hal itu.”
“Eh, begini salah begitu keliru, lalu bagaimana? Apakah memang mulutmu terasa
gatal?” lengking Siangkwan Wan-ceng.
Han Ping kerutkan alis, sahutnya, “Cobalah kalian berputar tubuh dan lihat di tepi
gerumbul rumput itu. Setelah itu kalau man mendamprat aku, boleh2 saja.”
Siangkwan Wan-ceng berpaling ke belakang dan serentak tertegunlah nona itu,
serunya, “Uh, mereka itu orang atau setan?”
Karena melihat perwujutan dari orang baju putih yang ternyata banyak jumlahnya,
Siangkwan Wan-ceng melengking. Tetapi pada lain saat cepat ia hentikan kata-katanya.
Sebagai seorang pendekar wanita, tak seharusnya ia jeri terhadap bangsa setan.
Han Ping keliarkan mata memandang. Diam-diam ia terkesiap juga, “Anehl Mengapa
dalam sekejab saja mereka sudah berjumlah sekian banyak?”
Ternyata memang di samping gerumbul rumput itu telah tegak sederet orang baju
putih sebanyak lima orang. Baju mereka dari kain belacu dan wajah berwarna kebirubiruan.
Sukar untuk mengenal wajah mereka.
Hui Ko pun tergetar melihat kemunculan kelima orang baju putih. Tetapi oleh karena
umurnya tua, maka paderi itupun agak Iebih tenang. Diam-diam ia mengingat akan
kawanan baju putih, termasuk golongan apa dalam dunia persilatan.
Tak berapa lama, wajah Siangkwan Wan-cengpun tenang kembali. Ia memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan nyali besar. Maka tertawalah ia dengan nada dingin, “Aku tak
percaya di bawah sinar matahari, benar-benar terdapat setan….” — ia berpaling kepada
Han Ping, serunya, “Engkau punya nyali atau tidak, mari kita menghampiri mereka!”
Han Ping gelengkan kepala, “Aku akan menunggu orang disini. Sebelum dia datang,
aku takkan tinggalkan tempat ini.”
Siangkwan Wan-ceng meletus tertawa, “Siapa yang engkau tunggu?”
Tiba-tiba hati Han Ping tergetar, sahutnya, “Aku telah berjanji pada orang!”
“Orang itu takkan datang!”
“Bagaimana engkau tahu?” Han Ping heran. “Kalau datang tentu sudah datang.
Sekarang sudah lohor, tentu dia tak datanglah!”
“Ya,” sahut Siangkwan Wan-ceng, “bahkan sejak kecil kita berangkat bersama-sama
dan seperti bayangan yang tak pernah berpisah.”
Serentak tergetarlah hati Han Ping dan berseru dengan tegang, “Apakah bukan nona
sendiri?”
Siangkwan Wan-ceng tertawa mengikik, serunya, “Ah, tak berani…… tak berani….”
Han Ping menghela napas pelahan, “Entah kapankah racun itu akan mulai bekerja?”
Siangkwan Wan-ceng memandang ke langit, tertawa, “Segera….harus tunggu sampai
matahari turun gunung, sinarnya redup.”
Han Ping tersenyum, “Kalau begitu aku masih mempunyai waktu dua tiga jam lagi.”
Berkata Siangkwan Wan-ceng dengan nada lembut, “Kalau karena sudah lama, obat itu
hilang dayanya, maka engkau tentu takkan mati.”
“Lembah Raja-setan?” tiba-tiba Hui Ko taysu berteriak.
Serentak terdengar serangkum tertawa panjang yang seseram burung kukuk beluk
berbunyi di tengah malam.
“Raja dari Lembah-setan telah tiba!” tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi
menyusup tertawa seram itu.
Seruan itu diulang panjang sampai seperminuman teh lamanya. Nadanya masih
berkumandang memenuhi gunung dan lembah.
“Orang-orang lembah Raja-setan benar-benar memang tak punya bau manusia.”
Dari balik gerumbul rumput, melesat ke luar dua orang berpakaian hitam memakai topi
putih, pinggangnya bersabuk sabut tali rami.
Kedua orang itu mirip dengan mayat hidup. Waktu berjalan, kedua kaki lurus dan
melonjak-lonjak. Sepasang tangannya menjulai ke bawah, matanya mendelik tak berkedip.
Sungguh tak menyerupai manusia.
Hui Ko taysu merangkap sepasang tangan ke dada dan berseru “omitohud”. Doa puji
segera berkumandang menyusup suara tertawa seram tadi.
Diam-diam Han Ping menghela napas, pikirnya, “Ting Ling dan Ting Hong dibesarkan
dalam lingkungan manusia2 seperti itu. Sudah tentu keduanya terlumur sikap yang begitu
dingin. Tetapi setelah kedua nona itu kenal dan bergaul dengannya, pelahan-lahan sikap
merekapun berobah. Terutama Ting Hong, sungguh beruntung sekali dapat keluar dari
lingkungan manusia2 setan itu….”
Pada saat itu kedua orang bertopi putih sudah berhenti melonjak. Dan suara tertawa
seram memanjang itupun ikut berhenti juga.
Dari balik gerumbul rumput tinggi, muncul pula seorang lelaki bertubuh pendek,
berpakaian hitam. Kepalanya besar, mata bundar dan mulut lebar. Walaupun pendek
tetapi waktu berjalan sikapnya amat sombong.
Hui Ko taysu berpaling kepada Han Ping, “Dunia persilatan mengatakan bahwa marga
Ting dari Lembah Raja-setan itu, bentuknya aneh. Mungkin dia adalah Ting Ko, ketua
Lembah Raja-setan itu.”
“Apakah lo-siansu tak kenal pada ketua lembah Raja-setan?” tanya Han Ping.
“Ting Ko memang jarang le luar ke dunia persilatan. Walaupun sudah lama kudengar
namanya tetapi belum pernah melihat orangnya!” kata Hui Ko taysu.
Siangkwan Wan-ceng tiba-tiba teringat sebuah hal penting. Katanya dengan berbisik
kepada Han Ping, “Ting Ko dari lembah Raja-setan memiiiki ilmu tenaga-dalam Hian-imkhi-
keng. Ilmu itu telah diyakinkan mencapai taraf yang sukar diduga orang. Pula dia
faham tentang meramu obat bius. Harap engkau berhati-hati.”
Saat itu Ting Ko berjalan di tengah kedua orang bertopi putih tadi. Selalu dikawal oleh
beberapa anakbuah lembah Raja-setan. Mereka berhenti di tempat Han Ping dan kedua
kawannya.
Sekonyong-konyong Han Ping menutulkan tubuh dan melangkah maju menyongsong
mereka. Siangkwan Wan-ceng hendak menyambar tubuh Han Ping tetapi luput. Ia terus
melesat dan melayang ke depan Han Ping, “Berhenti!” serunya seraya hadangkan
tangannya.
Han Ping agak terkesiap tetapi ia menurut dan berhenti. Diam-diam ia berpikir, “Budak
perempuan ini benar-benar congkak sekali. Dia tak mau tahu dengan alasan apa ia berani
menghadang aku.”
Dalam pada itu orang aneh berjubah hitam itupun lambaikan tangan. Kedua
pengawalnyapun segera berhenti.
Siangkwan Wan-ceng tak memberi kesempatan Han Ping membuka mulut, cepat ia
mendahului berseru, “Apakah engkau Ting Kau dari Lembah Raja-setan?”
Orang yang kepalanya besar dan mata bundar itu berkilat-kilat memandangnya dan
tertawa seram, “Siapakah engkau? Mengapa engkau berani berkata begitu kepadaku?”
Siangkwan Wan-ceng tertawa, “Bagaimana? Kalau tak kumakimu saja, berarti aku
sudah bersikap sungkan kepadamu!”
Orang aneh berjubah hitam itu tertawa dingin, “Ringkus!”
Pengawal di sebelah kiri segera mengiakan. Secepat kilat ia ulurkan tangan
mencengkeram Siangkwan Wan-ceng.
Siangkwan Wan ceng terbeliak ketika melihat jari tetapak tangan orang itu berwarna
merah ungu. la mendengus dingin, “Tangan kotor!” — seraya melesat ke samping.
Serangannya luput, tiba-tiba orang itu loncat menyerbu. Sepasang tangan diangkat laku
dikatupkan ke bawah.
Dalam pada itu diam-diam Han Ping menimang dalam hati, “Beberapa kali aku telah
bertemu dengan rejeki luar biasa. Kesemuanya itu membuat terbentuknya ilmu sakti pada
diriku. Dendam sakit hati orangtuaku belum terhimpas dan akupun sudah mati di sini.
Mungkin saat ini merupakan kesempatan terakhir bagiku untuk mengembangkan
kepandaianku….”
Pikiran itu telah membangunkan semangatnya dan seketika berseru keraslah ia, “Nona
Siangkwan, biarlah aku yang menghadapinya!”
Ia empos semangat lalu dengan menggunakan jurus Tali emas-mengikat-naga untuk
menyambar lengan kanan orang aneh bertopi putih itu.
Saat itu Siangkwan Wan-ceng sudah loncat dua kali untuk menghindari serangan orang.
Dan secepat kilat ia sudah mencabut sepasang pedang yang terselip di punggungnya.
Tiba-tiba Hui Ko taysu berteriak tertahan, “Dua belas ilmu cengkeraman Kim-liong-jiuhwat
adalah ilmu simpanan dari Siau-lim-si yang tak pernah diwariskan….”
Orang baju hitam dengan topi putih itu walaupun tubuhnya kaku tetapi gerakannya
amat cepat sekali. Sebelum serangannya kedua menumbuk tubuh si nona, tiba-tiba ia
sudah loncat dua meter ke samping untuk menghindari pukulan Han Ping.
“lnilah duabelas ilmu Kim-liong-jiu-hwat dari kuil kalian?!” seru Han Ping seraya maju,
mengangkat tangan dan menampar Ting Kau.
Pengawal di sebelah kanan Ting Kau tiba-tiba menyelinap ke muka ketua Lembah Raja
setan itu dan menangkis dengan kedua tangannya. Serentak Han Ping rasakan serangkum
tenaga-gelap yang luar biasa kuatnya, menyelak pukulannya. Diam-diam pemuda itu
tergetar dalam hati, “Ah, tak kira kalau dia memiliki tenaga-dalam yang sedemikian
kuatnya!”
Setelah dapat menghalau pukulan Han Ping, orang itu ulurkan kelima jarinya untuk
mencengkeram kepala Han Ping.
Diam-diam Han Ping terkejut dalam hati, “Kedua manusia bertopi putih ini, waktu
berjalan tampak kaku sekali. Begitu pula sepasang tangannya berbeda dengan orang
kebanyakan. Entah ilmu apakah yang diyakinkan mereka. Baiklah kucobanya untuk
menangkis….” — setelah berpikir begitu ia terus mengangkat tangan kanan.
Han Ping hanya merasa kalau dirinya tentu mati. Maka ia tak peduli lagi ilmu apakah
yang dimiliki orang itu. Ketika saling beradu, serentak ia merasakan tangan orang itu amat
dingin sekali, ia terkejut, “Eh, mengapa tangannya begini dingin sekali?”
Pada saat ia terkesiap itu, tiba-tiba pergelangan tangan kanannya sudah dicengkeram
lawan. Tetapi Han Ping pada saat itu bukanlah Han Ping beberapa bulan yang lalu. Hawa
murni yang disalurkan oleh mendiang Hui Gong taysu sebagian besar sudah diresapkan ke
dalam urat nadinya. Dengan begitu tenaga dalamnyapun maju sekali. Begitu
jalandarahnya tercengkeram, ia segera mengempos hawa-murni disalurkan ke lengan
kanan. Seketika lengannya berobah sekeras baja.
Semula orang bertopi putih itu girang sekali karena dapat mencengkeram tangan Han
Ping. Maka tertawalah ia dengan nyaring dan berseru, “Ilmu kepandaian seperti kutu kayu,
berani jual kesombongan….” — tiba-tiba ia hentikan ejekannya karena saat itu tangan Han
Ping berobah keras sekali dan menghamburkan tenaga yang menyiak longgar
cengkeramannya.
Serentak berhentikah tertawanya, mulutnya yang menganga lebar itupun terkatup
seketika. Wajahnya menyeringai seperti monyet membau terasi.
Orang bertopi putih yang menyerang Siang-kwars Wan-ceng itupun tiba-tiba berputar
tubuh lalu menghantam Han Ping.
Setelah tangannya terbebas dari cengkeraman, tangan Han Pingpun sudah leluasa
bergerak lagi. Mendengar angin menyambar dari belakang cepat ia berputar tubuh dan
menghantam.
Pemuda itu tak mengetahui sampai dimana tingkat kepandaiannya saat itu. Ia tak
menyadari bahwa ia sudah mencapai pada tataran ‘menangkap harimau’. Karena mengira
kalau lengannya kanan masih dipegang orang, maka dalam menghantamkan serangan
dari belakang tadi, ia telah gunakan tenaga penuh.
Krak…. . . terdengar benturan keras. Penyerang dari belakang itu mengerang tertahan
dan tubuhnya mencelat ke atas lalu jatuh ke tanah. Sepasang tangannya menjulai lurus,
orangnyapun tak berkutik lagi.
Diam-diam Han Ping menghela napas, “Ah, dunia benar-benar penuh dengan tokoh2
sakti. Kedua orang itu, hanya pengawal dari ketua lembah Raja-setan, tetapi mereka
mampu menerima pukulan yang kulambari dengan tenaga penuh. Bahkan mereka diam
tak bergerak di tempatnya, setapakpun tak tersurut mundur .. .”
Tiba-tiba orang itu mengacungkan kedua tangannya ke atas dan mendadak mulutnya
muntah darah, bluk…. rubuh ke tanah.
Dugaan Han Ping ternyata salah. Pukulannya tadi memang tampaknya tiada mengunjuk
perbawa yang dahsyat. Tetapi mengandung tenaga-dalam yang luar biasa. Begitu
mengenai orang memang tak cepat mengunjuk reaksi apa-apa. Tetapi beberapa saat
kemudian orang itu tentu muntah darah dan rubuh karena alat2 dalam dadanya, hancur
berantakan. Sekalipun orang yang memiliki ilmu Thiatpoh-san atau ilmu kebal, tetap tak
mampu bertahan.
Pukulan yang luar biasa itu membuat ketua lembah Raja-setan dan Siangkwan Wanceng
terkesima.
Tiba-tiba Hui Ko taysu berseru pelahan, “Ah, pukulan Panca, pukulan yang tak boleh
diyakinkan….”
Rupanya paderi itu tak kuasa mengendalikan perasaannya lagi.
Melihat peristiwa itu, orang bertopi putih yang satunya, terlongong berdiri ketakutan.
Han Ping sendiripun terkejut atas hasil pukulannya itu. Dipandangnya orang yang rubuh
ke tanah itu lalu berputar ke belakang dan membentak pelahan, “Lepaskan tanganmu!”
Orang bertopi yang mencengkeram lengan anak muda itu, agaknya tersadar oleh
bentakan Han Ping. Cepat ia mengangkat tangan dan meninju dada pemuda itu.
Han Ping menangkis dengan jurus Lima gunung-mengurung-naga. Gerakan tangan itu
berhasil mencengkeram lengan orang.
“Lepaskan!” bentak Han Ping pula. Dan orang itu seperti kena pengaruh. Ia menurut
untuk melepaskan cengkeramannya.
Kiranya sewaktu Han Ping berhasil mencengeram lengan lawan, ia memijit dengan
sedikit menambah tenaga. Orang itu rasakan separoh tubuhnya kesemutan dan terpaksa
lepaskan cengkeramannya.
Saat itu Han Ping seperti dirangsang oleh hawa pembunuhan. Ia hendak menghantam
orang itu tetapi akhirnya ia lepaskan juga cengkeramannya seraya berkata, “Engkau bukan
tandinganku. Aku hendak menempur Ting Kau ketua lembah Raja-setan!”
Sejak keluar dari perguruan, ia sering mendengar orang mengagungkan kebesaran
nama Ting Kau ketua lembah Raja-setan. Maka ia memutusIan. sebelum mati ia hendak
mengajak berkelahi tokoh lembah Raja-setan yang termasyhur itu. Dengan demikian ia
dapat menggunakan hidupnya yang tak berapa lama itu untuk kepentingan dunia
persilatan.
Ia anggap pertempuran kali itu adalah pertempuran terakhir kali yang ia dapat lakukan,
maka ia segera bersiap menghadapi lawan berat itu.
Ting Kau berdiri di depannya pada jarak setombak jauhnya. Orang bertopi putih yang
dilepaskan Han Ping itu, tak segera angkat kaki melainkan masih tetap tegak berdiri di
tempatnya tak bergerak, seperti seorang yang terluka.
Ting Ko tertawa seram, “Ho, apakah engkau sungguh2 hendak bertempur dengan aku?
Beritahukan namamu lebih dulu!”
Han Ping tertawa nyaring, “Aku Ji Han Ping!”
Tiba-tiba orang berbaju hitam yang tak bergerak itu membuka mata. Secepat kilat
tangan kanannya menggurat ke tangan kanan Han Ping.
“Huh, engkau mau cari mati?” Han Ping membentak marah seraya membalikkan tangan
menghantarnnya. Duk…. tinjunya tepat mendarat ke dada prang itu. Terdengar jeritan
ngeri dan rubuh. Dan orang itu terjungkal ke belakang. Tetapi tangan kirinya masih
sempat mencakar lengan kiri Han Ping. Han Ping rasakan tangannya agak sakit. Ketika
memeriksa, ternyata lengan kirinya terdapat gurat darah bekas kuku orang tadi. Karena
lukanya tak seberapa, iapun tak menghiraukan.
Mendadak Ting Ko mengisar maju, serunya. “Ji Han Ping tiada mempunyai nama dalam
dunia persilatan. Tetapi merupakan salah seorang tokoh sakti yang pernah kujumpai
selama ini. Orang yang mampu menghantam mati pengawalku, memang jarang sekali.
Menilik bukti2 itu, engkau cukup berharga untuk bertempur dengan aku!”
Sambil memandang ke arah kedua orang baju hitam yang menggeletak di tanah itu,
Han Ping berkata, “Ah, sungguh beruntung sekali aku dapat menemani!”
“Hati-hatilah” teriak Ting Ko sambil tertawa nyaring dan memukul pelahan-lahan.
Han Ping cepat menghindar ke samping seraya menghantam dengan jurus Lima-jarimemetik-
senar. Dalam beberapa bulan karena bertempur dengan tokoh2 kelas satu, ia
dapat menarik pelajaran dan tambah pengalaman. Ia tahu kemasyhuran nama ketua
lembah Raja-setan itu. Walaupun gerak pukulannya pelahan tetapi tentu mengandung
serangan maut. Jika tidak suatu gerak memancing tentulah dalam pukulan itu disertai
dengan tenaga-dalam yang hebat. Maka ia cepat mengirim serangan dari samping untuk
menindas tenaga lawan. Setelah itu iapun menghindar untuk mengatur langkah
selanjutnya.
Apa yang diperhitungkan memang tak salah. Ketika kedua pukulan saling beradu,
ternyata pukulan ketua Lembah Raja-setan itu mengandung tenaga dalam membal. Han
Ping rasakan pukulannya seperti membentur sebuah aliran yang memancur ke bawah.
Dalam kelunakan tenaga lawan itu mengandung tenaga-membal yang kuat.
Ting Ko tertawa dingin lalu menyusuli sebuah hantaman lagi dengan tangan kiri.
Setelah mengetahui jenis pukulan orang, Han Ping makin berhati-hati. Sambil tegak
berdiri iapun lontarkan sebuah hantaman, kali ini ia gunakan delapan bagian tenaga.
Dan kakinyapun melangkah pada bentuk segitiga Jelas dia berketetapan untuk
menyambut pukulan raja Lembah Setan itu.
Pada saat kedua pukulan tenaga dalam saling berbentur, anginpun berputar putar
menimbulkan hawa dingin. Bagaikan taburan pukul-besi menyusup tenaga dalam yang
melindungi tubuh Han Ping. Seketika pemuda itu rasakan tubuhnya mengigil kedinginan
dan pada lain saat tubuhnya berlumuran dengan bintik2 kecil sebesar mata ayam. Ia
terkejut dan cepat-cepat loncat menghindar ke samping.
Sepasang mata raja dari Lembah Setan itu berkilat-kilat tajam dan membentak keras,
“Cobalah engkau sambuti sebuah pukulanku lagi!” – secepat kilat tangan kanannya
mendorong ke muka.
Serangan Ting Ko kali ini jauh bedanya dengan yang tadi, Angin pukulannya jauh lebih
dahsyat. Han Ping tak gentar. la dorongkan kedua tangannya untuk menyongsong.
Sesosok bayangan berkelebat. Tubuh Ting Ko yang pendek secepat kilat melesat
bersama dengan datangnya pukulan.
Dua kali menerima pukulan raja dari Lembah Raja-setan itu, hati Han Ping tergetar. Di
luar kehendaknya, ia menyurut mundur tiga langkah.
Tetapi dari samping, terdengar Ting Ko tertawa dingin dan sebelah tangannya yang
besarpun segera mencengkeram bahu pemuda itu.
Gerak yang luar biasa cepatnya itu benar-benar membuat Han Ping kelabakan. Dalam
gugup, ia mengendap ke bawah dan rubuh menyentuh tanah, tiba-tiba ia berputar diri
terus bergeliatan dua meter ke samping.
“Dalam-mega-membalik-tubuh yang bagus!” dengus Ting Ko seraya menyerempaki
maju. Sebelum tubuh Han Ping dapat berdiri tegak, pukulan tangan kanan dari raja
Lembah Setan itu sudah melanda beberapa dim di sampingnya.
Tiada lain pilihan bagi Han Ping. Kalan tidak menerima pukulan tentu harus adu
kekerasan. Han Ping memilih jalan yang kedua. Cepat balikkan tangan kanan dan
menyambut pukulan ketua Lembah Raja-setan itu.
Tetapi Ting Ko seorang tokoh yang licin dan julig. Bermula ia tak ‘mengisi’ pukulannya
itu dengan tenaga dalam, begitu beradu pukulan dengan tangan lawan, barulah ia
pancarkan tenaga-dalam Han- im-khi-kang. Maksudnya, ia hendak menghancurkan urat2
jantung pemuda itu.
Menerima tenaga-membal dari Ting Ko, Han Ping tersurut mundur sampai empat
langkah. Tubuhnya terhuyung-huyung dan langkahnya sempoyongan.
“Sinar kunang2 mengapa berani beradu dengan sinar rembulan? Nih, terimalah sebuah
pukulan lagi!” dengan Ting Ko seraya maju memburu dan menghantam dada lawan
dengan tangan kanan.
Saat itu Han ping rasakan dirinya seperti terbenam dalam genangan salju dingin.
Dinginnya sampai menggigit ke tulang-tulang. Dan pada saat itu pula ia melihat Ting Ko
menyerangnya lagi. Seketika bangunlah semangat pemuda itu. Dengan menggembor
keras, ia menangkis lagi. Kali ini ia gunakan tenaga penuh. Tetapi gerak pukulannya itu
sama sekali tak menerbitkan suara desir angin. Ia gunakan pukulan sakti Pancha cianghwat.
Pada saat untuk yang keempat kalinya mereka adu pukulan, ternyata tidak seperti yang
tadi, kali ini sama sekali tak rriengeluarkan suara apa-apa.
Tiba-tiba Ting Ko mendengus tertahan tubulanya yang pendek menyurut mundur
sampai dua meter. Tetapi kali ini bukan saja tak apa-apa bahkan Han Ping memburu maju
menyerang lagi dengan tangan kiri dan jari kanan.
Saat itu kecongkakan Ting Ko, seperti lenyap dihembus angin. Matanya membelalak
lebar2, wajahnva mengerut serius. Jelas ia tak berani memandang rendah pada pemuda
itu lagi.
Pertempuran berlangsung makin dahsyat. Ke dua fihak sama-sama hendak merebut
kemenangan dengan serangan kilat. jurus2 yang digunakan, jarang sekali tampak di dunia
persilatan.
Siangkwan Wan-ceng dan Hui Ko taysu terkesiap dan mencurahkan perhatian untuk
mengikuti.
Tiba-tiba bibir Han Ping bergerak-gerak, Dan mengalunlah dendang lagu dari mulutnya.
Wajahnya yang mengikuti dendang itu berobah serius. Serangannya yang cepat pun tibatiba
berobah pelahan.
Siangkwan Wan-ceng amat gelisah, Pikirnya, “Eh, mengapa dalam menghadapi
pertempuran maut begitu genting, seharusnya ia dapat melancarkan serangan kilat untuk
merebut kemenangan tetapi tiba-tiba dia malah menyanyi….”
Ketika berpaling, nona itu melihat Hui Ko taysu membelalakkan mata dan pelahan-lahan
mengisar kaki. Tampaknya ia makin terbenam dalam perhatian.
Tiba-tiba Ting Ko bersuit nyaring dan secepat kilat lepaskan sebuah hantaman lalu
tergopoh-gopoh berputar tubuh dan lari. Han Ping tak mau mengejar. Ia memandang
dengan terlongong pada ketua lembah Raja setan itu. Dendang nyanyiannya pun terhenti.
Seorang baju putih yang berada di gerumbul rumput tak jauh dari tempat pertempuran
itu, pun segera angkat kaki mengikuti Ting Ko.
Memandang ke arah orang baju hitam bertopi putih yang mati menggeletak di tanah,
Han Ping menghela napas panjang. Kemudian ia memandang ke arah barat bisiknya, “Ah,
matahari segera akan silam ke balik gunung….”
Siangkwan Wan-ceng menghampiri, serunya, “Apakah engkau benar-benar takut mati?”
Han Ping tertawa hambar, “Mengingat bahwa di dunia ini masih banyak pekerjaan yang
harus kulakukan, memang saat itu tidak tepat waktunya kalau aku mati.”
Tiba-tiba Hui Ko taysu menghampiri. Sambil menggeliat-geliatkan pedang Pemutus
Asmara yang berkilau-kilauan ditingkah sinar matahari senja kala, ujarnya, “Pedang ini
lebih baik untuk sementara waktu engkau yang menjaga!”
Han Ping gelengkan kepala tertawa, “Pedang itu berasal dari Siau-lim-si, sudah
selayaknya kalau kembali pada Siau-lim-si lagi. Lebih baik lo-siansu yang menyimpannya
saja!”
Kata-kata Han Ping itu penuh mengandung nada keputus-asaan dari seorang yang
sudah hampir mati.
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng ulurkan tangan dan tertawa, “Mana, serahkan
padakulah! Biar kuwakilinya untuk menjaga pedang itu!”
Tetapi Hui Ko taysu menarik pulang tangannya, “Apakah engkau tak merasa terlalu
tamak?. Cepat ia membalikkan pedang dan disohorkan kepada Han Ping, serunya, “Huh,
kepandaianmu berharga untuk menggunakan pedang ini. sampai ketemu lagi.” – habis
berkata ia terus berputar tubuh dan melangkah pergi,
Sambil memandang bayangan paderi itu, diam-diam Han Ping heran, “Aneh, dia begitu
bernafsu sekali untuk memburu pedang ini sampai ke seluruh penjuru dunia. Tetapi
mengapa setelah mendapatkan dia malah mengembalikan lagi kepadaku.
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng ulurkan tangannya pula seraya tertawa, “Karena dia tak
mau, serahkan saja kepadaku!”
Sahut Han Ping dengan nada serius, “Pedang ini adalah pusaka Siau-lim-si, aku tak
dapat menyerahkan kepadamu. Tetapi aku dapat tak minta kembali kepadamu.”
Kata-kata itu berarti bahwa karena sudah berjanji. Siangkwan Wan-ceng boleh
membunuhnya. Dengan begitu ia tentu tak dapat meminta kembali pedang itu dari tangan
si nona.
Siangkwan Wan-ceng keliarkan mata memandang keempat penjuru. Setelah tak
melihat seorangpun, tiba-tiba nona itu tersipu-sipu malu dan tundukkan kepala, “Hm,
kepandaianmu jauh sekali majunya dengan dulu. Saat ini aku merasa tak dapat
menandingimu. Janji yang engkau berikan kepadaku itu, kuhapus saja!”
“Apapun yang nona putuskan, aku tentu menurut,” kata Han Ping. Tiba-tiba ia teringat
sesuatu lalumengajak nona itu, “Maukah nona menuju kesana?”
“Baik, seharusnya aku menurut perintahmu,” sahut Siangkwan Wan-ceng.
“Tunggu dulu!” seru Han Ping seraya lari ke gerumbul rumput dan setelah menulis
beberapa huruf, ia segera lari menuju ke arah timur.
Siangkwan Wan-cengpun mengikutinya. Tampaknya Han Ping lari tanpa tujuan
tertentu. Ketika tiba di kaki gunung, terdengar gemuruh air terjun dari atas gunung
mengalir ke bawah, lalu berhenti di sebuah kolam. Kolam itu dinaungi oleh pohon siang.
Tertarik akan ketenangan alam disitu, Han Ping berhenti lalu duduk pejamkan mata.
Melihat pemuda itu sama sekali tak mengacuhkan dirinya, marahlah Siangkwan Wanceng.
Ia palingkan muka tak mau memandang Han Ping.
Lama sekali keduanya diam. Akhirnya Siangkwan Wan-cenglah yang tak tahan,
tegurnya lebih dulu, “Mengapa engkau tak bicara?”
Tampak bibir Han Ping agak gemetar, sahutnya dingin, “Lebih baik engkau pergi, perlu
apa engkau tinggal di sini?”
Seumur hidup Siangkwan Wan-ceng belum pernah menerima hinaan semacam itu.
Serentak ia melonjak bangun dan berseru marah! “Engkau yang suruh aku kesini, hm,
siapa yang kepingin ikut padamu?”
Tiba-tiba Han Ping membuka mata. Melihat cakrawala sudah berwarna kuning emas,
pertanda datangnya magrib, ia menghela napas pelahan dari ber-kata-kata seorang diri,
“Paman Kim tentu segera kembali. Mudah-mudahan dia jangan sampai menyusul kemari.”
Pemuda itu seperti kehilangan kesadaran pikirannya. Ia lupa bahwa Siangkwan Wanceng
berada disitu. Maka sama sekali nona itu tak dihiraukan.
Sikap Han Ping yang begitu tak acuh itu, benar-benar membuat Siangkwan Wan-ceng
makin penasaran sekali. Saking marahnya ia terus mencabut pedang dan ditusukkan ke
dada Han Ping.
Tetapi rupanya Han Ping seperti tak merasa sama sekali. Walaupun ujung pedang si
nona sudah menembus bajunya, namun ia tetap duduk pejamkan mata. Sedikitpun tidak
bergerak.
Siangkwan Wan-ceng cepat menarik pulang pedangnya. Karena tak dapat
menumpahkan amarahnya, airmatanyapun berderai-derai turun.
Bermula ia mengira bahwa Han Ping tentu akan bangun dan berkelahi. Atau pemuda itu
tentu akan memberi penjelasan untuk meminta kembali pedang pusaka Pemutus Asmara.
Sekurang-kurangnya pemuda itu tentu akan membuka mulut untuk membujuk atau
mendampratnya. Tetapi ternyata tidak. Han Ping tetap membisu dan tak menghiraukan
segala apa.
Siangkwan Wan ceng benar-benar terkejut melihat gerak tingkah pemuda itu.
Sesungguhnya jika mau, Han Ping tentu dapat membunuhnya. Tetapi nyatanya pemuda
itu diam saja seperti patung. Saking jengkelnya, Siangkwan Wan-ceng menangis sendiri.
Pelahan-lahan Han Ping membuka mata dan tertawa hambar, “Apa yang engkau
tangiskan?”
Siangkwan Wan-ceng membanting pedang ke tanah lalu membesut airmatanya dengan
ujung baju dan melengking marah, “Aku senang menangis, apa pedulimu? Lekas ambil
pedang pusaka itu di tanah. Akan kuberimu kesempatan untuk menang. Kali ini kalau tiada
yang mati, tidak boleh berhenti.”
Memandang pedang pusaka itu, Han Ping berkata, “Pada saat aku menderita lapar
sekali, engkau telah mengantar makanan. Topi untuk melindungi kepalaku dari panas dan
hujan itu tentulah engkau yang memberi….”
“Jangan mengungkat hal itu lagi!” tukas Siangkwan Wan-ceng.
Han Ping tersenyum, ia melanjutkan pula, “Tetapi aku sudah meluluskan untuk tak
meminta kembali pedang sebagai terima kasihku. Dengan begitu, budi dan dendam antara
kita pun sudah selesai….”
“Siapa sudi akan pedangmu itu!” lengking Siangkwan Wan-ceng lalu mencabut pedang
Pemutus Asmara terus dilontarkan. Pedang itu berkilat-kilat laksana sebuah meteor dan
hinggap masuk ke dalam sebuah batu karang hingga hanya tinggal tangkainya saja yang
masih kelihatan.
Rupanya nona itu masih belum puas. Ia mencabut pedangnya sendiri lalu mencongkel
pedang Pemutus Asmara di tanah terus dilontarkan ke arah Han Ping, “Sambutilah!”
Han Ping menyambuti pedang tetapi terus diletakkan di samping, serunya, “Janji
bertempur dengan pedang, nona katakan sendiri sudah hapus!”
Wajah Siangkwan Wan-ceng berobah-robah, pucat lalu gelap. Jelas nona itu sedang
menahan hawa kemarahan yang meluap-luap. Dengan mata berkilat-kilat ia memandang
Han Ping. serunya, “Aku tak mau membunuh seorang yang duduk mematung seperti
menunggu kematian. Jika engkau tak mau bertempur, pakailah pedang itu untuk bunuh
diri!”
Agaknya saat itu Han Ping tersinggung oleh kata-kata si nona. Serentak ia berdiri dan
mencekal pedang.
Siangkwan Wan-ceng tertawa dingin, “Bagus, begitulah baru sikap seorang lelaki!”
Habis berkata ia terus gunakan jurus Naga berjalan-lurus, menyerang Han Ping.
Serangan itu merupakan hamburan dari kemarahannya. Maka hebatnya bukan alang
kepalang.
Han Ping melangkah ke samping tiga tindak, lemparkan pedang ke tanah lalu
membusungkan dada ke muka dan tertawa ramah, “Aku sudah hampir mati, tiada
mempunyai selera untuk mencari kemenangan lagi.”
Siangkwan Wan-ceng cepat menarik pulang pedangnya dan membentak, “Ngaco
belo….”
“Engkau tak percaya omonganku?” teriak Han Ping dengan wajah berobah, “memang
aku tak dapat memaksamu percaya. Tetapi aku paling benci bicara bohong!” — habis
berkata ia pejamkan mata lalu duduk bersila di tanah lagi.
Siangkwan Wan-ceng tertegun. Ia melangkah pelahan-lahan. Dilihatnya wajah Han-Ping
berselaput cahaya biru. Ah, pertanda itu terkena racun yang sudah mendalam. Seketika
nona itu seperti seorang yang terkena pukulan keras. Tring… pedangnya jatuh ke tanah
dan pelahan-lahan ia berlutut ke tanah, serunya, “Bagaimana hal itu dapat terjadi?”
Dengan wajah mengerut serius, Han Ping menjawab dingin, “Lekas pungutlah pedang
Pemutus Asmara itu! Dengan suka rela aku telah meminum pil darimu yang beracun itu.
Tetapi setitikpun aku tak membencimu….”
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi, “Saat ini aku sedang gunakan tenaga-dalam
melawan racun itu….” — wajahnya mengerut serius lalu sambil tersenyum Han Ping
melanjutkan, “Aku bukanlah pemuda seperti yang engkau bayangkan dalam hatimu. Aku
tak mau bertempur dengan engkau, adalah karena aku merasa berterima kasih sekali
kepadamu. Dalam saat2 aku menderita kelaparan, apabila tak engkau antari makanan,
sekalipun tak menelan pil beracun itu, tentu aku sudah mati. Ah, apabila saat itu aku mati,
tentu akan menyeret juga paman Kim-ku ke liang kubur…!”
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng melengking, “Hai, pil yang kuberikan kepadamu itu
bukan pil beracun, mengapa engkau terkena racun? Ah, sungguh membuat aku gugup
setengah mati….”
Sekonyong-konyong Han Ping membuka mata. Dipandangnya Siangkwan Wan-ceng
dengan tajam. Tampak mata si nona yang berlinang airmata itu mengandung rasa kasih
yang cemas. Nona yang malang melintang di dunia persilatan daerah barat dan utara itu,
saat itu tiba-tiba berobah seperti seekor domba yang jinak.
Dan terdengarlah mulut nona itu berkata dengan nada setengah terisak setengah
menyesali nasibnya, “Sejak aku mengerti urusan dunia, tak ada orang yang berani
menghina diriku. Ayah bunda memanjakan aku dengan cinta kasih dan guruku
menyayangi aku dengan melimpahkan budi dan ilmu. Dalam lingkungan itulah aku hidup
sampai berangkat dewasa….”
“Ah, engkau sungguh beruntung,” tukas Han Ping dengan senyum rawan.
Sambil mengusap airmata dengan lengan baju, nona itu berkata pula, “Kuingat selama
ini aku belum pernah mengucurkan airmata…. ..”
“Kami kaum pria, apabila menghadapi peristiwa yang menyakitkan hati, di tempat yang
tak diketahui orang, juga sering menangis. Maka kalau anak perempuan menangis, itu
juga bukan suatu hal yang memalukan!”
Memang sebesar itu Han Ping tak pernah bergaul dengan para gadis, maka ia tak tahu
isi hati seorang gadis. Kata-kata yang sebenarnya dimaksud hendak menghibur pun
kedengarannya kaku dan menusuk perasaan.
Siangkwan Wan-ceng tertegun. Ia menghela napas, “Ah, sejak turun gunung dan
malang melintang di daerah barat dan timur, selama ini aku belum pernah bertemu
dengan musuh yang setanding. Tetapi ketika di terowongan rahasia milik Ih Thian-heng
tempo hari, aku telah bertempur dan sama-sama menderita kekalahan. Sejak hari itu, aku
benci sekali kepadamu. Entah berapa kali aku bersumpah dalam hati untuk
membunuhmu…”
“Ah, pikiran anak perempuan benar-benar sempit,” selutuk Han Ping, “Kita Berdua
sudah sama-sama menderita luka, masakan engkau masih mendendam kepadaku?”
“Maka ketika bertemu dengan engkau,” kata Siangkwan Wan-ceng tanpa menghiraukan
gangguan Han Ping, “aku memang benar sudah mengambil putusan untuk
membunuhmu….”
Han Ping tertawa hambar, “Seharusnya sekarang engkau gembira karena aku tetap
akan mati di tanganmu. Tetapi bagiku, dalam saat2 kematian ini, aku tetap tak
membencimu. Untuk membunuh jiwa seseorang, tidaklah sukar. Tetapi untuk
melenyapkan hati seseorang yang tidak membencimu, bukanlah mudah!”
“Tetapi aku, aku…. sudah tak bermaksud hendak membunuhmu lagi. Entah… entah aku
tiba-tiba mengetahui bahwa hatiku sebenarnya tak sungguh2 membencimu.”
“Tetapi diam-diam engkau sudah bersumpah berulang kali hendak membunuh aku,
apakah itu bukan karena engkau sungguh2 membenciku?”
Siangkwan Wan-ceng tertawa hambar, “Akupun tak mengerti. Pokoknya, hal itu
memang tak sesungguhnya. Pil beracun yang kuberikan kepadamu itu, sebenarnya adalah
pil manjur pengobat luka, buatan ayahku sendiri. Bukan saja takkan mematikan engkau,
bahkan kebalikannya akan menambah daya tenaga pada dirimu. Tetapi mengapa engkau
terkena racun sesungguhnya….”
Nona itu mengicupkan sepasang matanya yang bundar. Dua butir airmata menitik turun
laksana mutiara terlepas dari ikatannya. Kemudian berkata pula, “Memang benar-benar
engkau terkena racun. Wajahmu memantulkan warna yang menyatakan bahwa racun itu
sudah menyusup ke dalam isi dadamu. Engkau benar-benar tak dapat hidup.” — mata
nona itu memancarkan sinar beriba-iba penuh harap.
Han Ping tersenyum, serunya, “Ya, memang benar, aku tak dapat hidup lama di dunia
ini.” – ia menengadah memandang ke langit, katanya, “Hari sudah hampir malam
seharusnya engkau tinggalkan tempat ini!”
Siangkwan Wan-ceng mengharap dalam jawaban Han Ping akan menemukan seutas
harapan tetapi ternyata jawaban pemuda itu amat mengecewakan. Pemuda itu seperti
sudah merelakan jiwanya. sehingga membuat orang putus asa.
Siangkwan Wan-ceng juga seorang gadis yang punya keangkuhan. Tetapi entah
bagaimana, saat itu ia bersikap lunak dan lembut, katanya dengan suara pelahan, “Apakah
engkau benar-benar suruh aku pergi?”
“Aku segera mati, kalau engkau tinggal di sini, apakah engkau bersedia untuk
mengurus mayatku?”tanya Han Ping.
Siangkwan Wan-ceng tertawa, “Baiklah, tak peduli bagaimana engkau hendak
mengejek aku, aku tetap akan menurut padamu….” — ia terus berbangkit pelahan-lahan
lalu ayunkan langkah.
Sambil memandang bayangan nona itu, Han Ping berkata seorang diri, “Ah, hati wanita
memang paling sukar dimengerti. Dia memaksa aku minum pil beracun, di saat aku
menghadapi kematian dia berbalik begini baik sekali kepadaku….”
Tak berapa lama, Siangkwan Wan-ceng muncul kembali dengan membawa seikat
ranting2 kering. Terpisah dari Han Ping dua tiga meter jauhnya, ia membuat api unggun.
Karena api itu maka sekeliling tempat di situ menjadi terang.
Kemudian nona itu menghampiri ke sisi Han Ping lalu duduk di bahu kiri pemuda itu
seraya tertawa, “Bagaimana engkau rasakan sekarang? Kalau saat ini kubunuhmu, engkau
tentu tiada mempunyai daya perlawanan?”
Han Ping tersenyum, “Sekali pun tenaga perlawanan itu masih ada, tetapi akupun
sudah tak ingin melawan lagi.”
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng menghela napas rawan, “Seorang yang sudah tak
memiliki gairah hidup, sekalipun tersedia pil mujijat yang dapat merebut jiwanya dari
cengkeraman maut pun sia2. Meskipun racun itu sudah mendalam di tubuhmu engkau
belum tiba pada tingkat yang tak dapat ditolong. Asal hatimu bangkit berjuang
mempertahankan hidup, pengobatannya tentu tak sukar.”
Han Ping hanya tersenyum hambar, “Benar, aku memang merasa kalau racun itu sudah
menyusup dalam2. Tetapi kalau mengatakan bahwa malam ini nyawaku tentu amblas, ah,
itu belum tentu.”
“Lalu mengapa engkau mengatakan tentu akan mati?” tanya si nona.
“Jika engkau suka sedikit cepat tinggalkan tempat ini, mungkin aku tak mati.”
Mendengar jawaban itu seketika wajah Siangwan Wan-ceng berobah. Plak…. ia
ayunkan tangannya menampar muka Han Ping. Pipi anakmuda itu seketika membekas
lima buah jari.
Siangkwan sudah berusaha sekerasnya untuk bersikap lembut dan menindas
perangainya. Tetapi serta mendengar ucapan Han Ping yang menyakitkan hati itu, ia tak
dapat menahan luapan amarahnya.
Han Ping membuka mata memandang sejenak kepada gadis itu lalu tertawa tawar,
“Pukulan yang bagus!”
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng melengking terus rubuhkan kepala ke dada Han Ping
dan menangis terisak-isak seraya berbisik, “Aku sebenarnya tak bermaksud memukulmu
tetapi aku tak dapat menahan luapan hatiku.”
“Engkau memukul bagus sekali. Waktunya amat tepat. Dalam keadaan seperti sekarang
in seharusnya engkau memukul lagi beberapa kali kepadaku. Aku takkan membalasmu,”
kata Han Ping.
“Jika engkau mau memukul aku, tentu aku tak sampai begini marah,” kata si nona.
Han Ping tertawa, “Pada saat hendak mati kata-kata orang itu tentu baik. Hatiku saat
ini tenang sekali.”
Siangkwan Wan-ceng menghela napas pelahan, pikirnya, “Ah, mengapa dia begitu
pasrah dan sama sekali tak punya gairah hidup lagi? Tentu sukar pertolongannya.”
Satu perasaan duka merayap di hati nona itu, ia melolos baju luarnya yang hitam lalu
dikerudungkan ke badan Han Ping seraya berkata, “Matilah dengan tenang! Aku akan
menunggu di sampingmu. Aku dapat mengangkut jenazahmu ke gunung marga
Siangkwan di Kanglam. Memilih sebuah tempat yang tenang dan indah alamnya, lalu
menguburmu di situ…. . “
Han Ping gelengkan kepala, “Jangan, pada saat ini aku merasa racun sudah bekerja,
aku segera akan loncat terjun ke dalam lembah karang agar tubuhku hancur lebur dan
menjadi makanan binatang buas.”
Jawab Siangkwan Wan-ceng, “Aku sungguh2 tak memberi pil beracun. Tetapi engkau
benar-benar terkena racun. Sebelum mati, seharusnya engkau menyelidiki siapakah yang
mencelakai dirimu itu. Apakah paderi tua itu atau si raja lembah Setan Ting Ko.”
Tiba-tiba Han Ping tersadar. Ia ingat pada saat menghantam mati kedua pengawal Ting
Ko, lengannya telah tergurat oleh kuku jari salah seorang pengawal. Cepat ia
menundukkan kepala memeriksa. Dilihatnya luka pada lengannya itu hanya tinggal bekas
berwarna putih.
“Jika orang berbaju hitam itu yang menyusupkan racun ke tubuhku, luka pada lenganku
ini tentu akan membusuk. Dan tak mungkin racun akan bekerja sedemikian cepatnya Ah,
tak mungkin dia ……” pikir Han Ping.
“Siapa itu?” tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng melengking marah.
Han Pingpun cepat berpaling. Tampak di belakang api unggun itu sesosok tubuh yang
tinggi besar. Tetapi tak jelas wajahnya.
Sekonyong-konyong dari lain arah terdengar suara seseorang tertawa dingin,
“Jangankan engkau ternyata hanya bersembunyi di bawah karang gunung sini, Sekalipun
engkau bersembunyi di ujung dunia, aku tentu dapat mencarimu!”
Nada suara itu melengking tinggi, jelas dari seorang wanitu.
Han Ping merasa kenal dengan nada suara itu. Tetapi ia lupa2 ingat. Dengan dingin ia
berpaling memandangnya. Tampak sosok2 bayangan berkelebat di bawah sinar bulan.
Dengan tertawa hambar, kembali ia pejamkan mata.
Siangkwan Wan-ceng keliarkan mata. Tiba-tiba ia menggeliat bangun dan secepat kilat
terus lari ke samping batu besar. Mencabut pedang Pemutas Asmara lalu cepat-cepat
loncat pula ke samping Han Ping. Sambil menjungkirkan ujung pedang ia berkata kepada
Han Ping, “Lekas terima pedang ini!’
Bibir pemuda itu bergerak, menyambuti pedang lalu ditaruh lagi di mukanya.
Siangkwan Wan-cengpun mencabut sepasang pedang di tanah lalu berteriak dingin,
“Hai, siapakah engkau? Lekas beritahukan namamu kalau tidak, jangan salahkan aku
berlaku ganas!”
Dari arah barat terdengar suara orang tertawa nyaring. “Ho, besar sekali mulutmu,
budak perempuan!”
Han Ping berbisik, “Sebelum mereka mendekat, harap nona lekas pergi. Kita sudah
terkepung!”
Siangkwan Wan-ceng tertawa melengking, sahutnya dengan lembut, “Tak apa, apakah
engkau sungguh tak dapat bertempur!”
Han Ping belalakkan kedua mata tetapi secepat itu pula ia mengatupkan lagi, katanya,
“Mungkin aku sudah tak dapat berbuat apa-apa, lekaslah engkau pergi!”
Sambil membereskan rambutnya yang terurai tens angin malam, ia tertawa, “Kalau
begitu, aku makin tak boleh tinggalkan engkau!”
“Kenapa?” kata Han Ping heran.
“Aku akan berada di sini melindungi engkau!”
Tiba-tiba dari arah utara terdengar suara orang menghela napas, “Ah, mungkin engkau
juga tak dapat melindungi dirimu sendiri!”
Nada suaranya bening seperti lonceng pagi. Han Ping cepat membuka mata dan
mengetahui siapa yang datang itu.
Dari belakang api unggun sesosok tubuh tinggi besar pelahan-lahan melangkah maju
dan tak berapa lamapun sudah tiba di muka api unggun.
Dari pancaran api unggun dapatlah diketahui perwujudan orang itu. Mukanya persegi,
telinga besar, rambut janggutnya menjulai sampai ke dada. Ah, dia tak lain adalah Ong
Kwan-tiong, kepala desa Bik-lo-san-cung, toa suheng dari dara si baju ungu Lam-hay-bun.
Sikapnya serius sekali. Sepasang alisnya mengerut sinar kedukaan. Tetapi gerak geriknya
amat tenang. Dengan langkah yang sarat ia menghampiri api unggun.
Setelah terpisah dua meter, Siangkwan Wan-ceng tiba-tiba memungut pedangnya dan
membentak dingin, “Berhenti maju selangkah lagi, aka terpaksa akan gerakkan
pedangku!”
Dengan pandangan dingin, Ong Kwan-tiong memandang ke arah nona itu dan berteriak
sarat, “Ji Han Ping, bukalah matamu!”
Pelahan-lahan Han Ping membuka mata dan menatap wajah Ong Kwan-tiong lalu
bertanya dengan khidmat, “Ada urusan apa?”
Ong Kwan-tiong tertawa dingin, “Di dunia ada berapa orang Ji Han Ping?”
Menyahut Han Ping dengan tertawa hambar, “Menurut sepengetahuanku. hanya ada
seorang?”
“Tetapi aku pernah melihat ada dua….” kata Ong Kwan-tiong, ia berhenti sejenak lalu
lanjutkan, “Sayang Ji Han Ping yang satunya sudah mati!”
Mendengar itu Siangkwan Wan-ceng tertegun. Ia berpaling memandang Han Ping
dengan mataberkicup-kicup. Seolah-olah hendak menembus isi hati Han Ping.
Pembicaraan itu benar-benar menimbulkan perhatian besar pada Siangkwan Wan-ceng.
Han Ping tersenyum, “Jika dalam dunia ini terdapat dua orang Ji Han Ping, mungkin
seorang yang masih hidup itu pun tak lama tentu akan mati juga!”
“Bagus! Bagus!” seru Ong Kwan-tiong, “seorang yang dapat mengetahui hari
kematiannya, adalah orang yang paling pandai!”
Siangkwan Wan-ceng memandang Han Ping dengan seksama. Tetapi ia dapatkan Han
Ping yang di hadapannya saat itu, tetap sama dengan Han Ping yang dilihatnya pertama
kali dulu, pernah membenci pemuda itu dalam hati. Maka membuat kesan yang mendalam
sekali akan tampang mukanya. Dan Han Ping yang dilihatnya saat itu, memang sama
dengan Han Ping yang berada dalam kenangannya.
Sambil menggerakkan pedang, ia menuding Ong Kwan-tiong dan membentaknya
dingin, “Engkau itu orang gila! Jangan ngaco belo!”
Tiba-tiba dari belakang terdengar Han Ping berkata, “Dia tak mempunyai hubungan
apa-apa dengan engkau. Lebih baik jangan cari perkara dengannya!”
Siangkwan Wan-ceng berpaling. Di belakang ada jarak setombak jauhnya, tampak
berdiri seorang wanita tua berambut putih, tangannya mencekal sebatang tongkat bambu.
Wajahnya menampil kerut hawa pembunuhan. Matanya menatap lekat kepada dirinya.
Siangkwan Wan-ceng bercekat dalam hati. Pada lain saat meluaplah amarahnya ia bolangbalingkan
pedang seraya berteriak marah, “Engkau melihat apa?”
Belum nenek berambut putih itu menjawab, tiba-tiba dari belakang melesat keluar
seorang wanita berkerudung kain sutera hitam seraya menyelutuk, “Melihat sampai
dimana kecerdasanmu sebagai manusia….”
Siangkwan Wan-ceng makin marah, “Kalau sudah mengetahui lalu mau apa?”
Sekali ayunkan tangan, nona itu segera taburkan dua buah benda berkilat-kilat .. . .
Jilid 29.
Hutang kepala.
Han Ping terkejut. Ia tahu kepandaian melontarkan senjata rahasia dari Siangkwan
Wan-ceng itu lihai sekali. Tanpa disadari, ia menguatirkan keselamatan si dara baju ungu.
“Nona Siangkwan, jangan….” serunya berbisik.
Nenek Bwe putar tongkatnya menjadi sebuah lingkaran sinar. Tring, tring, tring,
terdengar suara berdering-dering dan beberapa benda berkilat itupun berhamburan
terpukul jatuh.
Bukan main kejutnya hati Siangkwan Wan-ceng. Ia tak menyangka bahwa nenek
berambut putih itu memiliki kepandaian yang begitu sakti.
Han Ping memandang ke sekeliling. Tampak si Bungkuk, si Kate dan seorang lelaki baju
merah yang memakai tongkat besi untuk penyanggah tubuhnya, berpencaran
mengepungnya.
Ia pun serempak berbangkit dan berseru nyaring, “Apakah maksud kalian membentuk
diri dalam barisan ini?”
Sahut Ong Kwan-tiong, “Akan meminta sebuah benda kepadamu!”
“Benda apakah yang engkau kehendaki dari diriku?” tanya Han Ping.
“Batang kepala yang berada di lehermu itu!” jawab Ong Kwan-tiong.
Han Ping tertawa tawar, “Asal kalian mau bersabar menunggu sampai besok malam,
hal itu tentu tak sukar!”
Ucapan itu benar-benar membuat Ong Kwan-tiong tertegun kaget, serunya, “Apa?”
“Asal kalian mau bersabar sampai nanti terang tanah, tidak sukar untuk mengambil
batang kepalaku ini….” Han Ping memandang ke langit dan berkata pula, “sekarang sudah
hampir tengah malam, rasanya tak terlalu lama dari terang tanah.”
Suasana hening seketika. Orang-orang yang mendesak ke tempat Han Ping pun
serempak berhenti. Rupanya mereka terkejut mendengar kata-kata anak muda itu.
Gerumbul pohon siong yang tertiup angin, mengeluarkan bunyi berdesir-desir. Makin
menambah keseraman suasana.
Siangkwan Wan-ceng turunkan pedangnya yang melempang ke muka dada lalu pelahan2
menghampiri ke samping Han Ping, tegurnya, “Apakah engkau ingin sekali mati?”
“Kalau tidak mati tentu berabe! Habis mereka menghendaki batang kepalaku, apa
daya?” jawab Han Ping.
“Tanganmu?”
Sambil mengangkat kedua tangannya, Han Ping menjawab, “Tumbuh di atas kedua
lenganku ini!”
“Apa gunanya? Kalau orang hendak membunuhmu, apakah engkau tak dapat
melawan?” seru si nona.
Han Ping menghela napas pelahan, “Sekalipun dapat kubunuh mereka beberapa orang,
tetapi racun dalam tubuhku tentu bakal bekerja dan aku tetap mati.”
Siangkwan Wan-ceng terkesiap, “Lalu engkau rela dibunuh orang?”
Han Ping tertawa hambar lalu lambaikan tangan ke arah Ong Kwan-tiong, “Jika kalian
menginginkan aku menyerah, lebih dulu berilah jalan untuk nona ini.”
Ong Kwan-tiong berpaling kepada si dara baju ungu. Rupanya dia tak dapat mengambil
keputusan sendiri.
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng bolang balingkan pedang dan berseru, “Tak perlu diberi
jalan, aku dapat menerobos keluar sendiri”
“Walaupun kepandaianmu tambah setingkat lebih tinggi lagi, tetap bukan tandingan
mereka!” kata Han Ping.
“Walaupun bukan tandingannya tetapi aku tak sudi menyerah mentah2. Melawan
sampai titik darah yang penghabisan masih perwira daripada menyerah mentah2!”
Han Ping tertawa, “Yang hendak dibunuh adalah aku. Mengapa engkau bingung
sendiri?”
Siangkwan Wan-ceng terkesiap, serunya marah, “Apakah hanya lain orang yang dapat
membunuh engkau dan aku tak dapat membunuhmu?”
“Nona salah faham,” kata Han Ping, “maksudku hanya mengatakan bahwa dalam
persoalan ini, sama sekali tiada hubungannya dengan dirimu. Sebaiknya janganlah engkau
terseret dalam urusan itu.”
Dengan masih mengkal Siangkwan Wan-ceng berkata, “Aku senang berbuat apa, ya
bertindak apa! Hm, sedang ayahku saja tak mempedulikan diriku, apakah dirimu ini? Mau
mengurus aku?”
Han Ping terkesiap. Dengan wajah ber-sungguh2 ia berkata, “Sekalipun kepandaianmu
cukup tinggi, tetapi jika engkau seorang diri hendak mengalahkan mereka, jelas tak
mungkin….”
Sekonyong-konyong si dara baju ungu berseru nyaring, “Karena nona Siangkwan itu
ingin menemaninya dalam kubur. lekaslah kalian turun tangan!”
Ong Kwan-tiong menyingkap jubahnya dan mengeluarkan sebuah senjata Thiat-ci atau
Garisan-besi.
“Sejak tinggalkan Lam hay dan menetap di Tiong-goan, belum pernah aku bertempur
dengan menggunakan senjata. Oleh karena pertempuran malam ini harus mempunyai
penyelesaian mati atau hidup, maka tak perlu bertempur dengan pukulan atau tinju, agar
lekas selesai!”
Bahu Han Ping agak tergetar, serunya, “Kini sudah hampir menjelang tengah malam.
Waktu satu malam itu, apakah kerugiannya untuk kalian? Apakah kalian benar-benar tak
dapat bersabar untuk beberapa jam lagi?”
Ong Kwan-tiong tertawa dingin, “Dewasa ini memang banyak sekali tokoh2 sakti dalam
dunia persilatan. Tetapi aku peribadi tetap mengindahkan engkau sebagai seorang
pemuda jantan, gagah dan perwira. Oleh karena itu maka aku baru mau menggunakan
senjata….”
Sepasang mata Han Ping membelalak dan serunya marah, “Sudah tahu bahwa aku
tentu akan menetapi setiap patah kata-kataku, mengapa kalian begitu mati-matian
mendesak kemarahanku? Mungkin kalian takkan menerima keuntungan apa-apa!”
Siangkwan Wan-ceng tertawa melengking dan berpaling ke arah Han Ping, serunya,
“Ucapan itubaru berjiwa seorang ksatrya!”
Si Baju Merah bertongkat besi, membentak murka, “Kalau mau menyerah, sekarang
juga engkau bunuh diri, perlu apa harus tunggu sampai terang tanah? Tetapi kalau tak
mau bertindak sekarang, terpaksa kami akan turun tangan!”
Jawab Han Ping dengan gagah, “Jika kalian ingin coba menggunakan kekerasan,
akupun tak dapat berbuat apa-apa. Tetapi senjata itu tiada bermata. Apabila bertempur
tentu tak dapat terhindar dari luka atau terbunuh!”
Si Baju Merah yang berkaki satu dan diganti dengan tongkat besi itu, walaupun cacat
tetapi wataknya berangasan sekali. Ia cepat membentak keras, “Lihat saja nanti siapa
yang akan mati!” – Habis berkata ia terus gentakkan tongkat besi dan melambung ke
udara melayang ke arah Han Ping.
Siangkwan Wan-ceng cepat putar pedang untuk menyongsongnya. Tring, tring, tring….
terdengar dering gemerincing dari senjata beradu. Si Baju Merah terlempar turun dari
udara. Tetapi Siangkwan Wan-cengpun menyurut mundur selangkah.
Si Baju Merah berkaki buntung itu terkesiap. Setitikpun ia tak menyangka bahwa
seorang nona yang tampaknya lemah gemulai dan cantik, ternyata memiliki tenaga yang
sedemikian kuat dan mampu menahan terjangannya.
Juga Ong Kwan-tiong terbeliak kaget atas peristiwa itu. Cepat ia berseru nyaring, “Nona
ternyata memiliki tenaga dalam yang hebat sekali. Maka tak heran kalau nona agak
congkak!”
Ia menutup kata-kata-nya dengan memutar thiat-ci dan melangkah maju.
Siangkwan Wan-ceng menggunakan sepasang pedang. Ia putar pedang di tangan kiri
untuk menghalau serangan Ong Kwan-tiong..
Tetapi ketika pedang bersentuhan dengan senjata thiat-ci, lingkaran sinar pedang
Siangkwan Wan-ceng pun segera bergabung dan membentur senjata lawan.
Nona itu terkesiap kaget ketika rasakan pedangnya seperti tersedot dan melekat pada
thiat-ci lawan. Cepat nona itu sabetkan pedang tangan kanannya ke tangan Ong Kwantiong.
Dengan menggembor keras, Ong Kwan-tiong lemparkan pedang si nona yang disedot
itu lalu ia menangkis tabasan pedang di tangan kanan Siangkwan Wan ceng. Dengan
gerak Menyiak-bunga-menghembus-pohon liu, ia menutuk dada nona itu.
Siangkwan Wan ceng menyurut mundur tiga langkah lalu mainkan pula sepasang
pedangnya untuk menyerang. Cepat dan ganas sekali serta penuh dengan perobahan
yang sukar diduga sehingga Ong Kwan-tiong kehilangan kesempatan untuk balas
menyerang.
Empat lima jurus kemudian, tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng rasakan ada sesuatu yang
tak wajar. Ia merasa senjata thiat-ci yang hitam mengkilap itu seperti mengandung
tenaga-penyedot yang keras. Gerak pedangnya seperti menderita hambatan sehingga tak
leluasa untuk mengembangkan perbawanya. Setiap gerakannya tentu selain kalah dulu
dan ditindas lawan.
Han Ping yang mengikuti pertempuran itu dari samping, ia pun merasa bahwa senjata
murid pertama dari perguruan Lam-hay-bun itu memang mempunyai kegunaan istimewa.
Dan jelas bahwa gerakan pedang Siangkwan Wan-ceng itu telah menderita rintangan
keras.
Sepuluh jurus kemudian, Siangkwan Wan-ceng makin terdesak dan sibuk sekali. Apabila
berlangsung 10 jurus lagi, nona itu pasti akan terluka oleh senjata lawan.
Han Ping kerutkan alis lalu ulurkan tangan memungut pedang Pemutus Asmara di
tanah, ia memandang pertempuran itu dengan pandangan terlongong dan tak tahu
bagaimana harus bertindak.
Untung dalam situasi yang genting, Siangkwan Wan-ceng dapat mengeluarkan dua
buah jurus ilmu pedang yang aneh sehingga dapat memaksa Ong Kwan-tiong mundur
selangkah. Nona itu cepat loncat ke luar dari gelanggang dan berseru, “Curang! Senjatamu
itu bukan senjata yang umum. Pertempuran ini tidak adil!”
Sambil memandang ke arah thiat-ci, berkatalah Ong Kwan-tiong, “Pertempuran malam
ini memang bukan pertempuran untuk merebut nama. Orang boleh menggunakan senjata
apa saja untuk mencapai kemenangan. Memang senjataku thiat-ci itu tidak sama dengan
senjata yang umum dipakai orang persilatan. Tetapi sama sekali bukan macam senjata
kaum Hitam. Jika engkau takut, lebih baik engkau menyerah saja….”
Sejenak melirik ke arah pedang Pemutus Asmara di tangan Han Ping, serunya pula,
“Pedang yang berada di tangannya itu, dapat membelah emas memotong kumala. Juga
bukan senjata biasa. Apakah juga tak boleh digunakan dalam pertempuran ini?”
“Pedang pusaka adalah senjata kaum Putih!” teriak Siangkwan Wan-ceng marah,
“tetapi senjatamu itu golok bukan golok, pedangpun bukan pedang. Dan mengandung
tenaga untuk menyedot senjata lawan. Bentuk dan khasiatnya yang aneh itu, jelas bukan
termasuk senjata yang wajar!”
Si kaki buntung baju merah segera gentakkan tongkat besinya dan berseru marah,
“Toa-suheng, tak perlu meladeni budak perempuan semacam dia. Waktunya sudah
mendesak!”
Mendengar itu Siangkwan Wan-ceng cepat merogoh baju dan menggenggam
serangkum jarum emas, serunya, “Karena engkau tetap menggunakan senjata setan,
terpaksa akupun akan memakai senjata rahasia!”
“Pertempuran mati hidup, tidak terpancang pada peraturan pertandingan. Silahkan
nona mengeluarkan kepandaianmu semua!” sahut Ong Kwan-tiong.
“Bagus,” lengking Siangkwan Wan-ceng, “jika terluka karena senjata rahasiaku, jangan
sesalkan aku berlaku kejam!” — Ia menutup kata-katanya dengan ayunkan tangan.
Ong Kwan-tiong menggembor keras seraya putar thiat-ci. Taburan berpuluh batang
jarum emas dari sinona itu dapat disapu bersih dan disedot oleh thiat-ci.
Diam-diam Siangkwan Wan-ceng mengeluh dalam hati, “Ih, dari bahan apakah
senjatanya itu dibuat? Menilik gelagatnya, ilmu kepandaianku melontarkan senjata rahasia,
tanpa guna….”
Bermula ia mempunyai rencana untuk menaburkan jarum emas secara cepat dan pada
jarak yang amat dekat. Di luar dugaan, senjata thiat-ci dari Ong Kwan-tiong itu justeru
khusus untuk melenyapkan senjata rahasia. Kali ini Siangkwan Wan-ceng benar-benar
ketemu batunya!
Ong Kwan-tiong tertawa nyaring, “Budak perempuan, engkau masih mempungai
senjata rahasia apalagi, hayo, keluarkanlah! Dalam hal ini akan kusuruh engkau tunduk
betu12!”
Siangkwan Wan-ceng gelisah dan marah. Dengan melengking nyaring ia menyerbu lagi.
Melihat kenekatan sinona, Ong Kwan-tiong tertawa dingin. Thiat-ci atau senjata yang
bentuknya menyerupai penggaris besi dan berwarna hitam mengkilap, segera diputar
dalam ilmu istimewa perguruan Lam-hay bun, Setelah dapat menutup amukan pedang,
thiat-ci secepat kilat balas menyerang sampai lima jurus.
Lima jurus itu cepat dan ganas sekali. Si nona terdesak sampai sibuk tak keruan.
Sesungguhnya dalam soal ilmu silat dan ilmu pedang, Siangkwan Wan-ceng dapat
mengimbangi kepandaian Ong Kwan-tiong. Tetapi karena tokoh Lam-hay-bun itu memiliki
senjata aneh yang dapat menyedot senjata lawan, pedang Siangkwan Wan-ceng tak dapat
bergerak lancar sehingga dapat dikuasai lawan.
Dara itu tetap keras kepala. Namun setelah lima jurus kemudian, keadaannya makin
payah.
Melihat keadaan itu, Han Ping tak mau berpeluk tangan lagi. Dengan mengempos
semangat, ia berseru nyaring, “Berhenti!”
Tetapi bukan saja tidak berhenti, Ong Kwan-tiong malah memperhebat gerak thiat- ci.
Setelah dapat menyedot pedang di tangan si nona, ia terus menabas siku lengan nona itu.
Karena pedang di tangan kanan tertekan, Siangkwan Wan-ceng tak dapat berbuat apaapa
lagi. Ia terpaksa lepaskan pedang di tangan kiri lalu cepat-cepat menghindar mundur.
Ong Kwan-tiong maju selangkah. Dengan gaya seperti sebatang pit (pena), ia tusukkan
thiat-ci ke dada si nona.
“Kusuruh berhenti mengapa kalian tak mendengar!” teriak Han Ping seraya lepaskan
sebuah hantaman. Angin menderu-deru melanda ke arah Ong Kwan-tiong.
Saat itu senjata Ong Kwan-tiong masih tetap mengejar Siangkwan Wan-ceng. Ia
gerakkan tangan kiri untuk mendorong, menangkis hantaman Han Ping.
Saat itu tenaga-dalam Han Ping bukan olah hebatnya. Karena perhatiannya terbagi
kepada Siangkwan Wan ceng dan Han Ping maka Ong Kwau-tiong menderita kerugian
besar. Begitu kedua pukulan mereka saling beradu, timbullah angin menderu kencang.
Kedua bahu Han Ping tampak tergetar tetapi Ong Kwan tiong tersurut mundur dua
langkah.
Menggunakan keluangan itu, Siangkwan Wan-ceng menggeliat menghindari thiat-ci,
lalu menyambar pedangnya yang jatuh di tanah seraya melesat ke samping.
Si Kaki-buntung baju merah berkaok-kaok seperti orang kebakaran jenggot. Sekali
tekankan tongkatnya ke tanah, tubuhnya melambung ke udara. Tongkat berputar
menderu-deru menghantam kepala Han Ping.
Anak muda itu menghindar ke sebelah kiri seraya sabetkan pedang Pemutus Asmara.
Gerak menghindar dan menabas itu hampir dilakukan pada waktu yang serempak. Kakibuntung
terkejut ketika hantaman tongkatnya mengenai angin kosong dan dirinya ditabas
pedang. Cepat ia bergeliatan di udara dan melayang ke tanah beberapa langkah jauhnya.
Tetapi ketika ia memeriksa dirinya, kejutnya bukan alang kepalang. Separoh jubahnya
bagian bawah telah terpapas hilang oleh pedang Han Ping. Karena main, marahlah si Kakibuntung
Cepat ia enjot tuhuhnya menyerbu Han Ping lagi. Pada saat melayang di udara, ia
bolang-balingkan tongkatnya laksana hujan mencurah. Melihat hebatnya gerak tongkat si
Buntung, Han Ping mundur dua langkah. Tongkat itu menimbulkan angin yang menderuderu
dan hamburan tenaga-dalam yang melanda ke dada.
Tiba-tiba Han Ping terkejut dan ayunkan tangan kiri untuk menangkis sebuah pukulan.
Sejenak berpaling, baru ia mengetahui bahwa yang menyerang itu si Au Bungkuk.
Si Kate Oh It-sun mengeluarkan sebatang pit-besi lalu loncat menerjang Siangkwan
Wan-ceng. Senjatanya yang asli sebenarnya pit-emas. Tetapi pit-emas itu telah dibabat
kutung oleh pedang pusaka Han Ping. Maka ia berganti memakai pit besi.
Serempak dengan itu Ong Kwan-tiongpun menyerang dari samping. Dengan begitu
Siangkwan Wan-ceng diserang dari kanan kiri.
Han Ping gerakkan pedangnya dalam jurus yang istimewa Burung-merak-rentang
sayap. Setelah dapat mengundurkan si Kaki-buntung, cepat berseru kepada Siangkwan
Wan-ceng, “Harap nona bertempur bahu membahu dengan aku!”
Rupanya Siangkwan Wan-ceng memang sudah gentar menghadapi senjata thiat-ci dari
Ong Kwan-tiong. Mendengar ajakan Han Ping itu cepat ia mengisar kaki menghampiri. Kini
dapatlah Han Ping berkelahi dengan leluasa.
Pedang segera diganti jurus, berhamburan memancarkan gulungan sinar yang
menyambut gerakan serangan senjata thiat-ci Ong Kwan tiong. Dengan begitu dapatlah
Siangkwan Wan-ceng melayani serangan si Bungkuk dan si Kate.
Memang tenaga-sedot dari senjata thiat-ci menghambat gerakan pedang Han Ping.
Tapi untunglah tenaga dalam anak muda itu amat kuat dan pedang Pemutus Asmara itu
sebuah senjata mestika sehingga dapat mengatasi rintangan dari tenaga penyedot senjata
lawan.
Pertempuran saat itu merupakan sebuah pertempuran yang jarang terjadi dalam dunia
persilatan. Orang-orang yang bertempur, termasuk tokoh2 kelas satu dalam dunia
persilatan. Pukulan dan senjata berhamburan, ditingkah dengan deru angin tongkat yang
dahsyat. Serang menyerang, hindar menghindar, tipu menipu, berlangsung amat cepat
sekali.
Setelah terlepas dari libatan senjata thiat-ci Ong Kwan-tiong, Siangkwan Wan-ceng
dapat mengembangkan permainan sepasang pedangnya dalam jurus2 permainan yang
istimewa. Setiap tusukan pedangnya selalu mengarah jalan darah maut dari si Bungkuk
dan si Kate.
Dalam beberapa kejab saja, pertempuran sudah berlangsung lima enampuluh jurus.
Saat itu Han Ping merasa bahwa gerakan pedangnya makin seret. Diam-diam ia
menimang dalam hati, “Senjata thiat-cinya, di samping mempunyai jurus2 permainan yang
aneh, pun mengandung tenaga-sedot yang kuat. Jika terus bertempur dengan cara begini,
tentu akan berlangsung lama. Untuk merebut kemenangan tiada lain jalan kecuali harus
mengalahkan Ong Kwan-tiong ini. Kalau perlu melukainya dengan pedang Pemutus
Asmara….”
Dengan keputusan itu, segera ia bersuit panjang, menghindarkan diri dari serangan
tongkat besi si Kaki-satu lalu menyerang Ong Kwan- tiong.
Serangan itu membuat Ong Kwan-tiong terkesiap. Ia merasakan senjatanya mendapat
tekanan hebat. Pedang pemuda itu mengeluarkan perbawa yang hebat. Sebelum pedang
tiba, sambaran anginnya sudah menderu tajam sehingga membuat orang ngeri.
Tiba-tiba sepasang pedang Siangkwan Wan-ceng pun menyambut tongkat besi si Kaki
satu. Tetapi dengan tindakan itu, si nona menderita kesukaran. Tongkat besi dari si Kaki
satu itu selain dahsyat dan ganas, pun mengandung tenaga yang luar biasa kerasnya.
Begitu pedang terbentur dengan tongkat besi, Siangkwan Wan-ceng merasakan tangannya
tergetar dan kesemutan dan hampir saja ia tak kuasa memegang pedangnya.
Tetapi nona itu memang keras kepala. Sekalipun tahu kekuatan lawan lebih hebat,
namun ia tetap tak gentar dan diam-diam mengerahkan seluruh tenaga dalam. Dengan
menggertak gigi, ia tak mau unjuk kelemahan.
Ilmu kepandaian dari perguruan Lam-hay-bun memang mengutamakan kekerasan dan
keganasan. Ilmu silat Siangkwan Wan-ceng pun termasuk jenis aliran ganas juga. Begitu
kedua orang itu bertempur, gaya permainan mereka sama-sama mengejutkan.
Hanya gaya permainan pedang Han Ping yang berbeda dari mereka. Dia mengganti
ilmu Tongkat-penunduk-iblis yang terdiri dari 36 jurus dengan menggunakan pedang.
Tongkat-penakluk iblis merupakan salah sebuah ilmu dalam kitab pusaka Ih-kin-keng dan
diajarkan secara lisan oleh mendiang Hui Gong taysu kepada Han Ping.
Begitu Han Ping mainkan pedangnya, maka segera tampak gaya alirannya sebagai ilmu
pedang golongan Putih. Tetapi gerak perobahan dan corak permainannya, benar-benar
menakjubkan sekali.
Senjata thiat-ci dari Ong Kwan-tiong pelahan-lahan telah tertindas oleh sinar pedang
Han Ping.
Sekonyong-konyong si dara baju ungu yang mukanya ditutup dengan kain kerudung
hitam itu, berteriak, “Toa-suheng, lekas gunakan ilmu Burung rajawali-terbang- delapanbelas-
kali dari perguruan kita. Kalau tidak, paling banyak engkau hanya mampu bertahan
dalam sepuluh jurus lagi. Jika engkau terkurung sama sekali dalam lingkaran sinar
pedangnya, jangan harap engkau dapat balas menyerang!”
Memang Ong Kwan-tiong merasa bahwa dalam menghadapi serangan Han Ping itu, ia
tak dapat mengeluarkan kepandaiannya. Setiap gerakannya selalu ditindas lawan sehingga
sering2 separoh jurus saja terpaksa ia hentikan setengah jalan.
Setelah mendengar teriakan si dara baju ungu, seperti disadarkan. Dengan berteriak
keras, that-ci tiba-tiba dirobah gerakannya, menusuk ke dada Han Ping.
Dengan kerahkan tenaga, Han Ping cepat memapas thiat-ci lawan. Ia yakin, pedang
Pemutus Asmara tentu dapat memapas kutung senjata aneh dari tokoh Lam-hay-bun itu.
Tetapi ternyata tusukan Ong Kwan-tiong itu hanya sebuah gerak tipuan. Begitu
menusuk ia terus enjot tubuh melambung ke udara. Dengan demikian Han Ping hanya
memapas angin kosong.
Murid pertama dari Lam hay-bun itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat.
Sekali enjot ia dapat mencapai ketinggian dua tombak. Setelah di udara ia segera
berjumpalitan dan menukik. Walaupun sudah banyak sekali Han Ping berhadapan dengan
tokoh2 sakti dalam dunia persilatan tetapi baru pertama kali itu ia menyaksikan suatu ilmu
permainan yang sedemikian aneh dan hebat. Diam-diam ia terkejut dan sesaat itu ia masih
bingung untuk mencari siasat memecahkannya. Terpaksa ia menghindar mundur sampai
tiga langkah.
Ketika Ong Kwan-tiong turun dan baru menginjak tanah, iapun terus melambung lagi
ke udara dan dengan suatu gerak jumpalitan yang indah ia sudah meluncur turun di
belakang Han Ping. Serempak dengan layangkan thiat-ci ke bawah, Ong Kwan-tiong
gerakkan tangan kiri untuk menghantam dengan pukulan Biat gong-ciang atau Pukulanpembelah-
angkasa. Sebuah pukulan tenaga-dalam yang hebat sekali perbawanya.
Kedudukan Han Ping kini terbalik. Dari yang menyerang menjadi yang diserang. Saat
itu ia telah dikuasai lawan.
Gerak serangan yang dilancarkan Ong Kwan-tiong dari udara itu, cepat dan dahsyat.
Dalam empat lima jurus saja, Han Ping sudah terdesak tak dapat balas menyerang.
Terpaksa ia berganti siasat. Tak mau bergerak menyerang tetapi tegak berdiri di tempat
menunggu serangan. Begitu, musuh hampir mendekatinya, barulah ia berusaha untuk
melawan.
Tiba-tiba terdengar dering gemerincing senjata yang nyaring sekali. Pedang di tangan
kiri Siangkwan Wan-ceng, terpental ke udara akibat digempur tongkat besi si Kakibuntung.
Pedang itu melayang sampai tujuh tombak jauhnya.
Tetapi Siangkwan Wan-ceng yang keras kepala tetap tak gentar. Walaupun sebuah
pedangnya sudah terpental, namun semangat tempurnya masih menyala-nyala. Tubuhnya
berputar keras, dalam saat menghindari tongkat besi dan pit-besi dari si Kate Oh It- su,
cepat ia pindahkan pedang ke tangan kiri dan tangan kanan terus merogoh ke dalam saku
baju, mengambil segenggam jarum emas terus ditaburkan ke arah ketiga pengeroyoknya.
Taburan jarum emas itu berjumlah 40 batang dan dilakukan pada jarak yang begitu dekat.
Bagaimana dahsyatnya, dapat dibayangkan.
Si Kaki-satu baju merah, si Bungkuk dan si Kate gugup dan tergopoh gopoh
merebahkan diri ke tanah untuk menghindari jarum maut itu.
Pada saat ketiga musuhnya rebah menelentang, Siangkwan Wan-ceng cepat
mengempos semangat dan melambung ke udara dan menusuk Ong Kwan-tiong.
“Jangan….!” teriak Han Ping tetapi sudah terlambat. Tampak tubuh Ong Kwan-tiong
yang tinggi besar tiba-tiba berjumpalitan dan secepat kilat thiat-ci dihantamkan ke pedang
Siangkwan Wan-ceng.
Pedang Siangkwan Wan-ceng tersedot den senjata aneh dari tokoh Lam-hay-bun itu
dan arah tusukannya pun mencong ke samping. Ong Kwan-tion segera menyusuli dengan
sebuah hantaman tangan kiri.
Bertempur di atas udara boleh dikata tak ada kesempatan yang luang. Begitu pedang
Siangkwan Wan-ceng dikuasai lawan, diri nona itu pun berada dalam lingkungan pukulan
musuh. Pada saat pukulan itu akan tiba di dada sinona, sekonyong-konyong segelombang
sinar kebiru-biruan meluncur ke arah pukulan Ong Kwan-tiong.
Ternyata setelah mengetahui bahwa Siangkwan Wan-ceng akan celaka di bawah
pukulan orang, cepat Han Ping enjot tubuh melambung ke arah Ong Kwan-tiong dan
memapas lengan kiri orang itu.
Rajawali terbang-18 kali, sesungguhnya memang ilmu kepandaian khusus untuk
bertempur di udara. Merupakan ilmu simpanan dari perguruan Lam-hay-bun yang jarang
terdapat dalam dunia persilatan.
Karena melihat Siangkwan Wan ceng dalam bahaya, tanpa menghiraukan suatu apa
lagi, Han Ping terus bertindak menolongnya. Tetapi karena harus menggunakan tenaga,
maka tenaga-dalam yang dipergunakan untuk menekan bekerjanya racun dalam tubuhnya
pun berkurang. Racun segera meliar lagi menyalur ke dalam urat2 nadinya. Karena
gangguan itulah maka gerak pedangnya yang seharusnya amat dahsyat, ikut berkurang
juga perbawanya.
Sungguhpun begitu, serangan Han Ping itu tetap membuat Ong Kwan-tiong terkejut.
Segera ia menggunakan jurus Rajawali-sakti-menembus-awan. Tubuhnya tiba-tiba
meluncur ke atas setengah meter lagi. Walaupun ia dapat menghindarkan diri, tetapi ia
tetap merasakan sambaran hawa dingin dari pedang Pemutus Asmara yang menampar ke
mukanya.
Setelah berhasil menghalau Ong Kwan-tiong, Han Ping dan Siangkwan Wan-ceng
serempak melayang turun ke bumi. Walaupun Han Ping memiliki tenaga-dalam yang
hebat, tetapi karena belum pernah mempelajari cara2 mengambil napas seperti dalam
ilmu Rajawali-terbang-18 kali itu, maka ia tak dapat meniru Ong Kwan-tiong yang dapat
bebas bertahan lama di udara.
Walaupun baru saja lolos dari bahaya maut, namun Siangkwan Wan-ceng tetap lincah.
Acuh tak acuh ia berpaling kepada Han Ping dan tertawa, “Jika engkau tak menolong, kali
ini aku tentu terluka ,….”
Tiba-tiba ia tak melanjutkan kata-katanya karena melihat napas Han Ping tersengalsengal
dan mukanya bercucuran keringat.
“Mengapa engkau?”serunya dengan cemas.
Sambil julurkan tangan kiri, Han Ping suruh nona itu menyisih, lalu cepat menyelinap di
samping nona itu.
Nona itu terkejut ketika mendengar suara orang tertahan. Cepat ia berpaling ke
belakang.
Amboi…. . dilihatnya tubuh yang tinggi besar dari si Bungkuk, terlempar ke samping.
Siangkwan Wan-ceng cepat menyadari bahwa orang bungkuk itu tentu terkena pukulan
Han Ping. Tetapi ia heran mengapa pukulan anak muda kali itu sama sekali tak
mengeluarkan suara. Dan bagaimana cara pukulan itu dilontarkan, sama sekali ia tak
mengetahuinya.
Si Kate Oh It-su dan si Kaki-satu baju merah, rupanya pecah nyalinya ketika
menyaksikan si Bungkuk dihantam jatuh oleh Han Ping. Kedua orang dari Lam-hay-bun itu
tegak terlongong-longong .
Han Ping mengusap keringat mukanya dengan lengan baju. Pada lain saat berserulah ia
dengan angkuh, “Siapa diantara saudara2 yang masih penasaran, silahkan maju. Jika
saudara2 sudah menyadari bahwa tak mungkin menundukkan aku dengan cara kekerasan,
silahkanlah saudara2 memberi jalan untuk nona ini!”
Sebagai jawaban tiba-tiba si Kaki-satu menggembor keras terus menerjang dengan
tongkat besinya. Dalam jurus Angin-prahara-menderu-dahsyat, ia membabat pinggang
Han Ping.
Babatan tongkat si Kaki-satu itu benar-benar dahsyat sekali sehingga Siangkwan Wanceng
sampai kucurkan keringat dingin karena mencemaskan diri Han Ping
Tetapi Han Ping tenang sekali. Ia berputar tubuhnya berputar, tidak menyurut mundur
tetapi menyongsong maju dan secepat kilat menampar bahu sebelah kiri dari si Kaki- satu
itu.
Serangan itu selalu memerlukan kecepatan yang luar biasa, pun harus mempunyai
keberanian yang hebat.
Tiba-tiba si Kaki-satu berteriak keras. Tubuhnya terlempar beberapa langkah ke
belakang.
“Hayo, siapa lagi yang mau coba2?” seru Han Ping dengan garang.
Sambil mengangkat thiat-ci ke muka dada, Ong Kwan-tiong melangkah maju pelahanlahan
seraya berseru dengan serius, “Ilmu pukulan saudara tadi, benar-benar baru
pertama kali ini kuketahui. Sungguh beruntung aku aku orang she Ong, mempunyai rejeki
untuk menerima pelajaran!”
Sahut Han Ping, “Sesungguhnya aku tiada bermaksud hendak melukai orang. Tetapi
saudara2 sendirilah yang memaksa aku turun tangan…. .
“Berhenti!” tiba-tiba nenek Bwe berseru kepada Ong Kwan-tiong, “engkaupun takkan
mampu menerima pukulannya. Akulah si nenek tua ini yang akan menjajalnya!”
Tiba-tiba dara baju ungu berseru dengan suara lemah, “Bwe Nio, gunakanlah ilmu
pukulan perguruan Lam hay-bun kita ialah Bu-siang-gi-kang dan To-hay-sam-si
menghadapinya!”
Ong Kwan-tiong menurut perintah. Ia berhenti dan mundur ke samping.
Ternyata ilmu pukulan Bu-siang-gi-kang dan To-hay-sam-si atau Tiga jurusmembalikkan-
laut, merupakan ilmu istimewa yang paling diandalkan oleh Lam-hay Sin
soh, ketua perguruan Lam-hay- bun. Belasan tahun belajar di perguruan Lam-hay-bun,
Ong Kwan-tiong hanya pernah mendengar suhunya mengatakan tentang ilmu sakti itu
tetapi tak pernah menyaksikan. Saat itu setelah mendengar kata-kata sumoaynya atau si
dara baju ungu, ia pun tak berani berani berkeras maju menempur Han Ping. Terpaksa ia
mundur.
Selangkah demi selangkah Bwe Nio menghampiri maju. Tongkat bambunya berdetakdetak
menghantam tanah.
Saat itu keringat pada kepala Han Ping makin mengucur deras. Tubuhnya seolah-olah
mandi keringat.
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng lari ke muka Han Ping, serunya, “Engkau sudah letih
sekali. Biarlah aku yang menghadapi nenek itu!”
Bwe Nio tertawa dingin, “Enyahlah!” – ia mengangkat tongkat dan pelahan-lahan
dipukulkan.
Siangkwan Wan-cengpun menangkis dengan pedangnya. Pada saat ia hendak gunakan
tenaga untuk menyiak tongkat si nenek, tiba-tiba ujung tongkat bambu itu memancar
aliran tenaga yang kuat sekali dan tahu2 pedang Siangkwan Wan-ceng yang tinggal
sebatang itu, mencelat lepas dari tangannya.
Seumur hidup baru pertama kali itu Siangkwan Wan-ceng bertemu dengan lawan yang
mempunyai tenaga dalam sedemikian hebatnya. Mau tak mau gentarlah hatinya.
Setelah dapat mementalkan pedang si nona, Bwe Nio ayunkan tangan kiri menghantam
Han Ping seraya membentak, “Budak kecil, cobalah dulu pukulanku Biat-gong-ciang ini.
Setelah itu baru kita nanti mulai bertempur!”
Saat itu racun dalam tubuh Han Ping sudah mulai bekerja. Ia rasakan tenaganya lemah.
Tetapi darah mudanya tetap panas. Mendengar ejekan Bwe Nio, ia segera empos
semangat dan menangkis.
Tetapi pukulan nenek itu memang luar biasa hebatnya. Seketika Han Ping rasakan
tubuhnya gemetar, darahnya bergerak naik ke atas ke dada. Telinganya tak henti2
mengiang, pandang matanya pudar, kepala berat kaki ringan dan akhirnya tak kuasa ia
berdiri tegak. Bluk…. . ia rubuh meneliku ke muka dan pingsan.
Angin malam berhembus meniup rambut Bwe Nio yang putih. Wajahnya menampil
kerut sedingin es. Dahinya memancar hawa pembunuhan. Tiba-tiba ia ayunkan tongkatnya
menusuk dada Han Ping.
Tetapi serempak dengan itu, segulung sinar pedang melesat tiba dan menyambut
tongkat si nenek. Tring…. tongkat si nenek tersiak ke samping dan menghantam segunduk
batu karang. Sekepal batu karang itu, hancur lebur.
Ternyata yang menghantam tongkat si nenek itu adalah Siangkwan Wan-ceng. Ia tahu
bahwa nenek itu memiliki tenaga dalam yang hebat maka ia kerahkan seluruh tenaga
dalam untuk menggempur. Tetapi setelah dapat menyiak tongkat, dadanya berombak
keras, napas memburu deras.
Nona yang keras kepala itu menyadari bahwa tak mungkin ia mampu melawan nenek
Bwe. Maka iapun tak mau menyusuli menyerang lagi melainkan menjulaikan pedangnya ke
bawah dan berseru dengan angkuh, “Jangan membunuhnya!”
Nenek Bwe tertawa dingin, “Mengapa….?”
Tiba-tiba ia seperti menyadari sesuatu, serunya pula, “O, benar! Lebih dulu
membunuhmu baru dia…”
Ia menarik pulang tongkat lalu mengangkat tangan hendak menghantam. Tetapi
tampaknya Siangkwan Wan-ceng tak gentar. Nona itu sudah tak menghiraukan nasibnya,
mati atau hidup.
“Memang aku tak dapat melawanmu,” serunya dengan dingin, “sudah tentu mudah
sekali bagimu hendak membunuh aku. Tetapi belum tentu engkau mampu
menandinginya….”
Berhenti sejenak, ia melanjutkan lagi, “Jika aku belum kehabisan tenaga, mungkin
dalam seratus jurus belum tentu engkau dapat melukai aku!”
Nenek Bwe gentakkan tongkatrya ke batu karang. Batang tongkat menyusup sampai
tiga bagian. Serunya marah, “Menerima sebuah pukulanku saja dia tak kuat, bagaimana
aku tak mampu mengalahkannya?”
“Pertempuran itu tidak adil!” seru Siangkwan Wan-ceng.
“Budak perempuan bermulut tajam. Mana yang tak adil?” bentak nenek Bwe murka.
Tenang-tenang saja Siangkwan Wan-ceng menjawab, “Sebelum bertempur dengan
engkau, dia sudah terkena racun ganas. Racun itu tentu sudah mulai bekerja. Tadi
beberapa kali bertempur sebenarnya sudah tak kuat. Dan pada saat dia sudah kehabisan
tenaga, engkau menghantamnya, sudah tentu ia tak kuat.”
“Sekalipun begitu tapi bukan suatu bukti bahwa aku tak dapat melawannya!”
Siangkwan Wan-ceng tertawa dingin, “Apakah engkau pernah belajar ilmu pedang?”
“Dengan memetik daun, kudapat melukai orang, dengan taburkan bunga aku dapat
membunuh musuh. Sebatang tongkat ini sudah lebih dari cukup, sekalipun punya pedang
tetapi tak kuperlukan!” sahut nenek Bwe.
Mendengar itu marahlah si dara. Tanpa disadari ia mengunjuk gaya keangkuhannya
sebagai puteri marga Siangkwan yang termasyhur di wilayah Kanglam, teriaknya, “Engkau
mengerti pedang atau tidak? Siapa yang menanyakan ilmu kepandaianmu?”
Di luar dugaan, nenek Bwe tertarik akan sifat Siangkwan Wan-ceng yang tak takut mati
itu. Diam-diam ia merasa sayang kepada si dara. Sejenak merenung ia menyahut,
“Delapan belas macam senjata, aku dapat menggunakan. Apalagi hanya pedang!”
“Nah, begitulah,” kata si dara, “ilmu pedang tingkat tinggi tak lain hanyalah ‘naik’
pedang melukai musuh. Apakah engkau yakin mempunyai kemampuan begitu?”
Nenek Bwe agak terkesiap, serunya, “Walaupun aku tak mengerti ilmu Naik-pedang,
tetapi tak mungkin dapat melukai aku!”
Berkata Siangkwan Wan-ceng dengan nada serius, “Ilmu kepandaianmu yang sakti,
memang baru pertama kali ini aku bertemu dengan musuh seperti engkau. Tetapi jika
mengatakan engkau dapat mengalahkannya, itu pasti belum tentu. Berkelana dalam dunia
persilatan, memang setiap saat tentu tak terhindar dari bahaya. Kalau engkau memang
yakin dapat mengalahkannya, sekarang janganlah membunuhhya dulu. Tujuh hari
kemudian, datanglah lagi kesini untuk bertanding secara adil. Pada saat itu, tenaganya
tentu sudah pulih. Dalam pertempuran yang adil itu, yang menang tentu puas. Yang kalah
tentu mati tak penasaran!”
Dara baju ungu yang sejak tadi diam saja saat itu tiba-tiba berseru dengan nada dingin,
“Kalau dia memang sudah keracunan, mengapa engkau dapat mengatakan dia dapat
hidup sampai tujuh hari lagi?”
Siangkwan Wan-ceng terkesiap, sahutnya, “Soal itu tak perlu engkau urus. Aku dapat
mencari usaha untuk menyembuhkannya.”
Si dara baju ungu tertawa hambar, “Jangan sok pintar sendiri. Ketahuilah, dalam dunia
dewasa ini, kecuali aku, tak mungkin ada orang lain yang mampu menolongnya. Dan tiada
seorangpun yang berani menolongnya.”
Habis berkata dara itu segera ayunkan langkah pelahan menghampiri ke tempat
Siangkwan Wan-ceng. Nenek Bwe cepat melangkah dua tindak untuk merintangi
Siangkwan Wan-ceng agar jangan mengganggu si dara baju ungu.
Setelah dekat pada Han Ping, dara baju ungu itupun berjongkok dan mengulurkan
tangan memeriksa urat nadi Han Ping. Pelahan-lahan ia menyingkap kain kerudung
mukanya. Setelah memandang wajah Han Ping, ia menghela napas pelahan, “Racun sudah
tampil ke atas, sukar dapat bertahan hidup sampai nanti tengah malam.”
Kemudian ia mengangkat muka dan memandang cakrawala, serunya, “Hanya tinggal
sejam lagi!”
Meskipun Siangkwan Wan-ceng sombong tetapi sesungguhnya ia tak mampu untuk
mengobati racun yang menyerang Han Ping. Mendengar kata-kata si dara baju ungu. ia
gelisah sekali. Tetapi sungkan untuk bertanya. Terpaksa ia tahan dalam hati.
Dara baju ungu tiba-tiba berdiri dan berkata dingin kepada Siangkwan Wan-ceng,
“Tunggulah di sini, sampai dia menghembuskan napas yang terakhir. Tetapi aku hendak
minta jenazahnya. Kalau engkau meluluskan, kami akan mundur dari sini. Setelah benarbenar
ia sudah meninggal, kami akan membawa jenazahnya!”
“Perlu apa engkau meminta jenazahnya?” tanya Siangkwan Wan-ceng.
Jawab dara baju ungu, “Siapapun tak tahu bagaimana perobahan hatiku dalam
beberapa hari nanti. Mungkin akan kulempar jenazahnya ke dalam lembah sarang ulur.
Mungkin akan kutaruh di puncak gunung untuk makanan burung.”
Ia menghela napas pelahan, ujarnya pula, “Mungkin akan kubangun sebuah makam
indah untuk tempat jenazahnya!”
Siangkwan Wan-ceng agak tertegun, “Hatimu boleh digolongkan Ganas dan Kejam.
Orang yang sudah mati tak boleh dituntut dendam lagi. Dia sudah mati mengapa engkau
masih hendak menyiksa jenazahnya?”
Dara baju ungu tertawa nyaring, “Apakah hubunganmu dengan dia?”
Selembar wajah Siangkwan Wan-ceng berobah, sahutnya, “Aku adalah kawannya,
bagaimana?”
Dara baju ungu itu kembali tertawa nyaring, “Kawan? Bukan sesama perguruan dan tak
tersangkut hubungan famili tetapi mengaku sebagai kawan, apakah engkau tak malu?”
Ia merapikan rambutnya yang tertiup angin malam lalu berkata pula, “Dan lagi, belum
tentu dia mau mengaku dirimu sebagai kawan. Ah, benar-benar seorang gadis yang suka
bertepuk sebelah tangan!”
Siangkwan Wan-ceng berwatak keras. Ia tak menghiraukan ucapan dara baju ungu itu.
Tetapi ucapannya yang terakhir itu, benar-benar menusuk perasaannya.
Ia berpaling memandang ke arah Han Ping yang rebah di tanah. Seketika dalam hati
timbul suatu perasaan sedih. Pikirnya, “Benar! Memang aku tak tahu apakah dia mau
mengakui aku sebagai kawannya atau tidak! Apalagi walaupun dapat kutanya dan ia
menggelengkan kepala, kemanakah hendak kusembunyikan mukaku?”
Seketika suasana sunyi senyap. Hati setiap orang seperti tertindih batu berat. Tiba-tiba
si dara baju ungu membungkukkan tubuh dan memungut pedang Pemutus Asmara,
serunya, “Walaupan pedang ini luar biasa tajamnya, tetapi dia seperti orang yang
memilikinya. Selamanya tak pernah mengenyam kebahagiaan. Pedang ternama sebagai
bunga ternama, keharumannya hanya dinikmati sendiri dalam kesepian….”
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng mengangkat muka lalu membentak, “Lepaskanlah,
jangan menyentuh barang miliknya.”
Berkata si dara baju ungu dengan suara lembut, “Itulah cerita yang terdapat dalam
dunia persilatan di tanah Tiong-goan. Barang siapa yang memiliki pedang ini, seumur
hidup tentu akan merasa kesepian dan hidup seorang diri. Kelak engkau tentu akan tahu
tentang cerita itu!”
“Kalau sudah tahu lantas bagaimana?” tegur Siangkwan Wan-ceng.
“Kalau tahu, itu baik sekali,” kata si dara baju ungu, “akan kugunakan pedang ini untuk
menusuk ulu hatinya, supaya dia mati. Setelah itu, pakailah pedang yang berlumuran
darahnya itu untuk bunuh diri. Nanti akan kubangun sebuah makam untuk kalian berdua.
Pedang ini sebagai tanda peringatan. Pada batu nisan makam itu akan terukir tentang
peristiwa kematianmu membela cinta itu. Dan memperingatkan kepada orang di dunia,
supaya jangan berani lagi coba2 hendak mengejar pedang Pemutus Asmara itu. Rasanya
Asmara yang begitu bergairah tentu mengalahkan kesunyian makam yang terasing!”
Nada ucapannya yang lemah lemhut itu mengandung jeritan hati dari kesedihan dan
penasaran. Setiap patah kata-katanya seolah-olah memperingatkan orang akan tibanya
kiamat, dimana se-olah-olah melukiskan dunia ini hanya penuh derita kehidupan dan
kebinasaan.
Siangkwan Wan-ceng di luar dugaan pun menghela napas, ujarnya, “Kata-katamu
memang beralasan juga. Seorang yang hidup sampai seratus tahun, akhirnya tentu mati
juga. Apabila setelah dapat meninggalkan kenangan yang mengesankan di hati orang,
itulah suatu kematian yang berharga.”
“Engkau meluluskan?” tanya si dara baju ungu.
Siangkwan Wan-ceng pelahan-lahan memandang ke empat penjuru. katanya, “Dalam
kepungan orang-orangmu yang begitu ketat, rasanya aku tentu tak menerobos mereka.”
“Hm, rupanya engkau mempunyai kesadaran juga,” nenek Bwe tertawa dingin.
Kuatir kalau nenek Bwe mengeluarkan kata-kata yang menyinggung hati Siangkwan
Wan-ceng sehingga menggagalkan rencana, maka si dara baju ungu cepat-cepat berseru
pula, “Kalau begitu sekarang juga segera kubunuhnya!”
Pedang diangkat dan pelahan-lahan ditusukkan ke dada Han Ping. Melihat itu
Siangkwan Wan-ceng menghela napas dan buru2 pejamkan mata. Gadis yang gagah dan
seorang pendekar wanita yang biasa membunuh orang tanpa berkedip mata ini, saat itu
tiba-tiba berobah lemas lemah seperti anak kambing.
Di bawah cahaya bintang yang redup, tampak lengan tangan dara baju ungu itu
gemetar. Suatu pertanda bahwa hatinya sedang dilanda ketakutan dan ketegangan.
Ujung pedang yang tajam, menyusup ke dada Han Ping. Sepercik darah segar segera
memancar deras.
Tiba-tiba kedengaran dara baju ungu itu mengerang. Tubuhnya menggigil keras. Nenek
Bwe cepat ulurkan tangan kiri untuk mengepal jari dara itu. tetapi sesaat tangan nenek
Bwe menyentuh jari si dara, ia terkejut sekali. Begitu besar rasa kejut itu sehingga
tubuhnya tergetar.
Ternyata jari tangan dara baju ungu itu, dingin seperti es.
“Nak, engkau bagaimana?”seru nenek Bwe cemas.
Sambil menggenggam kencang tangan nenek Bwe, dara baju ungu itu berseru, “Bwe
Nio, apakah aku menusuk di tempat yang salah?”
Oleh karena nenek Bwe dan dara baju ungu itu membuka mulut pada waktu yang
sama, maka mereka saling tak dapat mendengar apa yang dikatakan masing-masing.
Saat itu Siangkwan Wan-ceng sudah membuka mata. Pertama-tama ia segera terkejut
ketika melihat darah yang memancar dari dada Han Ping itu. Setelah menghela napas
rawan, cepat-cepat ia pejamkan mata pula.
Dengan susah payah dara baju ungu itu mengangkat tangannya. Tampaknya seberat
orang mengangkat benda seribu kati. Kemudian cepat 2 ia menyurut mundur dua langkah
dan sandarkan tubuhnya ke dada nenek Bwe. Tring… pedang Pemutus Asmara pun jatuh
ke tanah.
Ong Kwan-tiong, si Bungkuk, si Kate dan lelaki yang berkaki buntung itu, wajahnya
mengerut tegang. Mereka memandang lekat2 ke tubuh Han Ping. Dalam pancaran mata
mereka, mengandung rasa sayang dan kecewa atas kematian seorang jago muda yang
gagah perwira itu.
Kira2 sepeminum teh lamanya, kesunyian suasana tempat itu telah dipecah oleh
hembusan angin yang membawa suara seruan yang bernada sarat, “Ceng ji, Ceng-ji…. .”
Suara itu dari tempat jauh tetapi dapat menyusup jelas ke dalam telinga orang. Jelas
bahwa orang yang berteriak itu tentu memiliki ilmu tenaga-dalam yang tinggi.
Siangkwan Wan-ceng cepat memungut pedang Pemutus Asmara, terus hendak
diarahkan ke dadanya sendiri. Sekali ayun, ujung pedang Pemutus Asmara yang tajam itu
tentu akan bersarang ke dadanya.
Suara orang yang berseru memanggil Ceng-ji itu, makin lama makin terdengar
merawankan. Dalam malam yang sunyi, makin terdengar menyentuh perasaan.
Siangkwan Wan-ceng melirik ke arah dara baju itu, lain berkata pelahan, “Ayahku
sedang memanggil aku, biarlah aku menjumpainya sebentar lalu bunuh diri, bagaimana?”
Sahut si dara baju ungu dingin, “Ikatan anak dan orangtua itu amat berat. Setelah
menemui ayahmu, mana engkau bisa bunuh diri?”
Kemudian dara baju ungu itu memandang ke tubuh Han Ping yang rebah di tanah dan
menghela napas, “Ah, mungkin jenazahnya akan kedinginan. Jika engkau tak suka mati,
terpaksa kami akan membawa mayatnya!”
“Aku sudah meluluskan, tentu takkan ingkar!” seru Siangkwan Wan-ceng, “sehabis
bertemu ayah aku tentu bunuh diri!”
Anginpun reda dan berhembus pelahan. Dara baju ungu itu tegak berdiri seperti patung
Dan seperti tak mendengar kata-kata Siangkwan Wan-ceng, dara itupun terus melangkah
pelahan-lahan ke tempat Han Ping. Ia berjongkok dan pelahan-lahan menarik sebelah
tangan Han Ping.
Sekalipun tak bicara sepatah kata, dan mukanya tertutup oleh kerudung hitam, tetapi
langkah kakinya mengandung perbawa yang menyeramkan.
Siangkwan Wan-ceng tak senang kalau dara itu menyentuh tubuh Han Ping. Tetapi
untuk beberapa saat, ia tak dapat mencegahnya.
Tampak kesepuluh jari dara itu menggenggam tangan Han Ping erat2. Terdengar
mulutnya menghela napas dan lalu menengadahkan kepala berkata pelahan-lahan, “Ah,
tak kira dalam beberapa kejab saja, tangannya sudah sedingin begini.”
Siangkwan Wan-ceng tergetar hatinya. Pedang yang dicekalnya terlepas jatuh.
Bergegas ia berjongkok. Tanpa bicara, dara baju ungu itu segera menyerahkan tangan
Han Ping kepada Siangkwan Wan-ceng. Siangkwan Wan-cengpun terus saja menyambuti.
Lama, lama sekali Siangkwan Wan-ceng termenung2. Memandang ke langit nan biru, ia
menghela napas, “Oh, Allah….. apakah benar-benar dia harus mati secara begini sunyi?”
Ia rasakan tangan Han Ping dingin sekali. Ong Kwan-tiong dan nenek Bwe saling
bertukar pandang mata. Dalam sinar mata kedua orang itu seperti memancar rasa iba dan
sayang. Si Bungkuk dan si Kate batuk-batuk lalu bersama-sama berpaling memandang ke
arah sebatang pohon.
Si dara baju ungu tiba-tiba malah tertawa pelahan, ujarnya, “Racun sudah bercampur
darah, nyawanya sudah hilang. Sekalipun lebih cepat mati sejam, tetapi perlu apa
membuat kaget dan harus disayangkan?”
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng berbangkit. Dengan sinar mata penuh dendam
kemarahan, ia menatap dara baju ungu itu.
Dara baju ungu itupun berbangkit juga. Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng gerakkan
tangan kanan menusuknya.
“Hai, engkau mau apa!” teriak nenek Bwe terkejut sekali seraya loncat ke samping
Siangkwan Wan-ceng. Jika Siangkwan Wan-ceng berani ajukan ujung pedangnya lagi,
tongkat nenek itu tentu akan menusuk tubuhnya.
Tetapi ternyata Siangkwan Wan-ceng seperti orang yang sudah kehilangan semangat.
Ia tak merasa kalau ujung tongkat si nenek sudah menyentuh pakaiannya Tetapi iapun tak
melanjutkan tusukannya kepada si dara baju ungu. Dengan menghela nafas pelahan ia
menarik pulang pedang dan memandang lagi ke mayat Han Ping, serunya beriba, “Engkau
sudah mati, baiklah”
Sekali gerakkan pedang, ia hendak menusuk tenggorokannya sendiri.
Tepat pada saat itu, sesosok tubuh melesat tiba dan berteriak keras, “Ceng ji, Ceng-ji,
apakah bukan engkau yang bicara itu?”
Cepat laksana kilat, orang itu melayang turun dari udara dan tiba di hadapan
Siangkwan Wan-ceng.
Suara panggilan yang bernada ramah penuh kesayangan yang mesra itu, serentak
dapat menyadarkan pikiran Siangkwan Wan-ceng yang sudah gelap.
Seorang bertubuh tinggi besar dan mengenakan pakaian warna hitam serta jenggotnya
sudah bercampur putih, berdiri setengah meter di depan Siangkwan Wan-ceng. Di bawah
cahaya bintang, tampak matanya berlinang dua titik airmata dan wajahnya mengerut
kedukaan.
“Ceng-ji, apakah engkau diganggu orang?” serunya.
Ia tahu bahwa Siangkwan Wan-ceng itu dibesarkan dalam suasana kemanjaan. Sudah
tentu tak dapat menderita. Melihat nona itu hendak bunuh diri, ia duga tentu menderita
siksaan bathin yang hebat.
Siangkwan Wan-ceng tertawa rawan, sahutnya, “Ayah telah memelihara aku dengan
penuh kesayangan tetapi maaf aku tak dapat menunaikan bhakti kepada ayah….”
Ternyata yang muncul itu adalah Siangkwan Ko, ayah dari Siangkwan Wan-ceng. Sudah
tentu kepala dari marga Siangkwan itu terkejut sekali mendengar kata-kata puterinya.
“Ceng- ji!” teriaknya dengan sekuat tenaga sehingga kumandangnya mengarungi
empat penjuru gunung.
Mendengar teriakan sang ayah yang penuh dengan curahan kesayangan dan kepiluan
hati, Siangkwan Wan-ceng tersentak dari kelimbungan. “Yah……” iapun berseru dan
mencucurkan air mata.
Ia menyadari bahwa dirinya menempati kedudukan yang penting dalam hati ayahnya.
Melihat ayahnya sampai meneteskan airmata, luluhlah hati Siangkwan Wan ceng. Ia tak
mau sang ayah menderita dalam usianya yang sudah tua itu. Pelahan-lahan pedang
Pemutus Asmara diturunkan dan berkatalah ia dengan rawan, “Yah. anggaplah ayah tak
pernah melahirkan seorang anak yang tak berbakti seperti aku ini!”
Cepat sekali mata Siangkwan Ko berkeliaran memandang ke sekeliling, serunya,
“Apakah mereka yang menghinamu?”
Siangkwan Wan-ceng gelengkan kepala, “Aku sendiri yang menyetujui. Tak boleh tidak
aku harus mati.”
Siangkan Ko terkesiap, “Soal kematian, apakah bisa sembarangan saja menyetujui?”
“Sudah terlanjur, tiada guna disesalkan!” seru Siangkwan Wan-ceng.
“Ceng-ji. apakah engkau tak memikirkan betapa menderita ayahmu nanti jika engkau
meninggal itu? Dan apakah engkau tak ingat sama sekali kepada mamamu yang sedang
menderita sakit lumpuh? Jika tahu engkau meninggal. apakah engkau kira dia tak bakal
menyusulmu juga?”
Kepala marga Siangkwan itu menghela napas lalu berkata pula, “Ceng-ji, selama hidup
ayahmu selalu menepati ucapan. Dan akupun menghendaki puteriku jangan bolak-balik
bicaranya. Ketika mereka menggunakan ilmu silat untuk membunuhnya, sekalipun aku
sebagai seorang ayah tentu akan berduka sekali, tetapi aku tak dapat bicara apa-apa.
Tetapi kalau mereka hanya menggunakan omongan licin untuk menipumu supaya mati,
kuanggap hal itu bukan tindakan yang jujur. Sekalipun sudah janji, tetapi tak harus mesti
ditaati.”
Tiba-tiba nenek Bwe gentakkan tongkatnya ke tanah berseru bengis, “Karena
mengingat usianya yang begitu muda dan kurang pengalaman maka barulah kita memberi
kesempatan padanya untuk bunuh diri. Karena sekalipun tidak bunuh diri, juga serupa
saya tak nanti dapat lolos dari kematian!”
Siangkwan Ko tertawa dingin, “Di tangan siapa rusa itu akan mati, masih belum dapat
dipastikan. Baiklah jangan buka mulut besar dulu.” — ia berpaling memandang puterinya
lalu berkata, “Ceng-ji, kemarilah! Kita berdua bersatu padu menempur orang-orang Lamhay-
bun…”
Nenek Bwe kembali gentakkan tongkatnya, “Demi kecintaan ayah dan anak yang begitu
dalam, akan kulaksanakan kehendak kalian itu!” — ia menutup kata dengan ayunkan
tongkat menghantam Siangkwan Ko.
Siangkwan Ko tertawa hina. Menghindar tiga langkah ke samping, ia menghindari
serangan nenek Bwe. Nenek Bwe putar lengannya. Hantaman itu tiba-tiba dirobah menjadi
gerak menabas pinggang orang.
Siangkwan Ko diam-diam terkejut melihat kesebatan orang. Cepat ia mencabut pedang
dan hendak ditangkiskan. Tetapi sekali tangan nenek Bwe mengendap, tongkatnyapun
ditarik pulang lagi.
Sambil melirik ke arah dara baju ungu, nenek itu berkata dengan nada dingin kepada
Siangkwan Ko. “Kemarilah. kita berkelahi di tempat yang lapang. Asal engkau mampu
menerima dua-puluh jurus seranganku, segera kita bebaskan kalian berdua ayah dan anak
pergi!”
Siangkwan Ko masih mencekal pedang dan merenung diam. Diam-diam ia menimang
dalam hati, “Ceng- ji biasanya berhati keras menurut kemauannya sendiri. Sekalipun
berhadapan dengan musuh kuat, anak itu tetap tak gentar. Tetapi aneh mengapa
tampaaknya saat ini dia seperti kehilangan sifatnya yang keras itu dan menurut saja
disuruh bunuh diri?”
Dalam pada itu, Ong Kwan-tiong gentakkan senjata thiat-cinya dan berkata dengan
hormat kepada nenek Bwe, “Harap lo-cianpwe suka beristirahat. Biarlah aku yang
menghadapinya!”
Nenek Bwe memandang Ong Kwan-tiong tanpa menyahut apa-apa.
Kiranya pada waktu menghindari serangan tadi, Siangkwan Ko telah melesat ke
samping si dara baju ungu. Sekali gerakkan pedang Siangkwan Ko pasti dapat melukai
dara itu.
Rupanya Ong Kwan-tiong menyadari juga kedudukan sumoaynya yang berbahaya itu.
Ia tak berani bertindak sembarangan. Setelah batuk-batuk beberapa kali, ia berseru,
“Sudah lama aku mendengar kemasyhuran nama Siangkwan pohcu, lebih hebat dari
marga Nyo dan marga Ca. Sudah lama aku ingin sekali mendapat pelajaran. Maka silahkan
kemari ke tempat tanah lapang untuk menguji kepandaian!”
Sebagai seorang yang sudah kenyang makan asam garam dunia persilatan, sudah tentu
ketua marga Siangkwan itu tak mudah terpikat. Tiba-tiba mendapat pikiran, “Mereka dapat
memaksa puteriku bunuh diri tetapi mengapa mereka begitu sungkan sekali kepadaku?”
Secepat matanya melirik ke arah dara baju ungu yang berdiri dengan kepala
menunduk, ia tahu kalau dara itu tak menyadari tahwa ia berada di sampingnya. Karena
mengenakan kerudung muka warna hitam, Siangkwan Ko tak dapat melihat wajah dara
itu. Tetapi menilik arah ia berdiri, jelas kalau dara itu sedang memperhatikan wajah Han
Ping yang menggeletak di tanah.
“Hm, mengapa ia berdiri terlongong-longong. Apakah yang sedang dipikirkannya?”
Siangkwan Ko menduga-duga.
Tiba-tiba ia melihat tubuh Han Ping meregang-regang. Si dara baju ungu pun
kedengaran menghela napas lalu pelahan-lahan duduk dan melambai kepada Siangkwan
Wan ceng, “Lekas kemari, dengarkan perintahku untuk mengusir keluar darah beracun
dalam tubuhnya.”
Siangkwan Wan-ceng meragu tetapi akhirnya ia menurut juga. Seluruh mata yang hadir
tercurah ke arah kedua gadis itu.
Mendengar nada suara sumoaynya yang menyatakan bahwa Han Ping mempunyai
harapan hidup kembali, Ong Kwan-tiong tak keruan perasaannya. Tak tahu ia, apakah
girang atau sedih. Ia tahu akan kecerdasan yang luar biasa dari sumoaynya itu. Dara itu
telah mempelajari ilmu pengobatan. Tak nanti sembarangan bicara.
Ong Kwan-tiong menghela napas lalu menengadah memandang ke langit. Terhadap
keadaan Han Ping yang akan hidup kembali, dalam hatinya timbul dua macam perasaan
yang saling bertentangan. Di satu fihak ia merasa sayang kalau seorang tunas muda yang
memiliki bakat begitu luar biasa harus mati begini muda. Di lain fihak, jika saat itu tidak
melenyapkan pemuda itu, kelak beberapa tahun lagi, dalam dunia persilatan mungkin
tiada orang yang sanggup menandingi pemuda itu…. . .
Karena timbulnya pertentangan dalam batinnya itu, maka Ong Kwan-tiong menaruh
perhatian besar soal mati hidupnya Han Ping. Ia menyadari bahwa mati hidupnya pemuda
itu mempunyai arti yang besar bagi dunia persilatan.
Setelah jongkok maka Siangkwan Wan-ceng memandang dara baju ungu itu, tanyanya,
“Bagaimana caraku membantu?”
“Tekanlah jalan darah Hian-ki hiat di dadanya dengan tangan kirimu, lalu gunakan
tangan kanan untuk menghalau peredaran darahnya!” kata dara baju ungu.
Sejenak Siangkwan Wan-ceng memandang muka Han Ping, lalu bertanya, “Apakah dia
sudah mati? Atau masih hidup?”
“Masih ada setitik napas, denyutnya masih belum berhenti!” jawab dara baju ungu.
“Kalau begitu masih hidup?”
“Belum berhenti sama sekali, tetapi sudah dekat ajalnya. Dalam waktu sepeminuman
teh harus dapat mengeluarkan darahnya yang tercampur racun setelah itu harus menutup
jalan darahnya. Pertolongan itu harus dilakukan secepat mungkin. Jika terlambat, dia tentu
akan kehabisan darah dan mati. Sekalipun minum pil mujijad yang dapat mengembalikan
jiwa, tetap tak dapat menolongnya!” kata si dara baju ungu.
“Lalu mengapa engkau menusuknya?” tanya Siangkwan Wan-ceng, “jika tak kau tusuk,
dia tentu tak begitu gawat keadaannya!”
Sekalipun mulutnya menggerutu tetapi ia tetap melakukan apa yang diperintah si dara
baju ungu itu. Tangan kiri menekan dada Han Ping dan tangan kanan kerahkan tenagadalam
untuk melancarkan peredaran darah pemuda itu.
Dara baju ungu pelahan-lahan menyingkap ujung kerudung mukanya. Sejenak
memandang luka Han Ping, ia menghela napas, “Jika tak kutusuk, saat ini dia tentu tak
tertolong lagi jiwanya!”
Karena didorong oleh Siangkwan Wan-ceng luka Han Ping yang sudah tak berdarah itu,
tiba-tiba memancurkan darah lagi. Melihat bagaimana deras darah itu memancar keluar,
Siangkwan Wan-ceng hampir tak dapat menahan kesedihannya. Ia mengangkat muka dan
memandang dara baju ungu itu, “Apakah engkau suruh dia mati di tanganku?”
Dara baju ungu itu tertawa dingin. Ia tak mau menyahut apa-apa dan hanya
memandang Siangkwan Wan-ceng melakukan pengurutan untuk mengeluarkan darah Han
Ping yang kena racun itu.
Saat itu separoh pakaian Han Ping sudah berlumuran darah sehingga segan orang
melihatnya.
Siangkwan Wan-cengpun tak dapat menguasai ketenangan hatinya. Tangannya mulai
gemetar.
“Bagaimana?” tanyanya kepada si dara.
Si dara baju ungu diam saja seolah-olah tak manghiraukan pertanyaan Siangkwan Wanceng.
Lewat sepeminum teh kemudian, tubuh Han Ping tiba-tiba gemetar. Siangkwan Wanceng
hentikan gerakan tangan kanannya dan membentak marah sekali, “Bagaimana ini?
Apakah engkau hendak suruh aku mengeluarkan seluruh darahnya?”
Dara baju ungu menyahut dingin, “Jangan banyak ribut2. Apabila sudah waktunya,
tentu kusuruh engkau berhenti!”
Sekalipun gelisah tetapi Siangkwan Wan-ceng tetap mengurut. Hampir seluruh darah
Han Ping telah keluar. Luka itu tidak mengeluarkan darah lagi tetapi air.
Dara baju ungu menghela napas, serunya, “Sudahlah!”
Siangkwan Wan-ceng cepat berhenti lalu cepat-cepat menutup jalandarah Han Ping.
Sebelum ditanya, dara baju ungu itu mendahului, “Sekarang, darah beracun dalam
tubuhnya sudah keluar. Asal makan obat penawar racun dan beristirahat beberapa waktu,
dia tentu akan sembuh.”
Siangkwan Wan-ceng melengking marah, “Tetapi kulihat dia tak mungkin hidup.
Seorang yang sudah kehabisan darah mana bisa hidup?”
Dara baju ungu itu pelahan-lahan berdiri.
Kain kerudung mukanya berkibar-kibar tertiup angin pegunungan. Dengan langkah
lemah gontai ia berjalan maju. Sikapnya amat tenang sekali dan berjalan ke muka
Siangkwan Ko.
Kepala marga Siangkwan itu cepat lintangkan pedang peraknya. Sembari keliarkan
mata memandang ke sekeliling, ia membentak pelahan, “Berhenti!” – terus loncat
mengangkat pedang gin-kiam dilekatkan ke punggung si dara.
Serempak pada saat Siangkwan Ko membentak itu, nenek Bwe, Ong Kwan-tiong dan si
Kaki- buntungpun segera menyerbu Siangkwan Ko. Mereka bergerak cepat sekali tetapi
tetap kalah cepat selangkah dari Siangkwan Ko. Ujung pedang kepala marga Siangkwan
itu sudah lebih lulu melekat di punggung si dara baju ungu.
Nenek Bwe yang pertama loncat mundur dan membentak bengis, “Lekas mundur!”
Ong Kwan-tiong dan si Kaki-satu mengiakan dan cepat loncat mundur ketempatnya
semula.
Melihat itu Siangkwan Ko menengadahkan muka seraya tertawa nyaring. Cepat ia
mencekal siku lengan kiri dara baju ungu itu. Rapanya ia mencengkeram terlalu keras
sehingga dara itu mengerang kesakitan dan tubuhnya gemetar.
“Jangan melukainya…!” teriak nenek Bwe dengan marah.
Siangkwan Ko balas membentak, “Kalau berani maju selangkah saja, tentu akan
kutusuknya dengan pedang!”
Juga si Kaki-satu berteriak gopoh, “Jangan mengganggu selembar rambut dari
sumoayku, kalian berdua ayah dan anak jangan harap dapat tinggalkan tempat ini dengan
masih bernyawa!”
Siangkwan Ko membelalakkan mata lebar2 dan berseru mengejek, “Kalau kubunuhnya,
kalian mau apa?”
Si Kaki-satu tertegun dan tak dapat menjawab apa-apa.
Ong Kwan-tiong batuk-batuk pelahan lalu berseru, “Siangkwan pohcu, kalau mau
bicara, silahkan mengatakan. Apa yang dapat kami lakukan, tentu akan meluluskan.”
Jelas sudah, setelah dara baju ungu itu jatuh dalam kekuasaan Siangkwan Ko, orangorang
Lam-hay-bun benar-benar tak berkutik dan kehilangan kegarangannya.
Nenek Bwe gentakkan tongkatnya, menghela napas panjang, ujarnya, “Seumur hidup
aku tak mau sembarangan memberi janji. Tetapi malam ini akan kuhapus pantangan itu
dan meluluskan kalian.”
Siangkwan Ko tertawa dingin, serunya puas, “Tetapi Siangkwan Ko seumur hidup tak
pernah meminta pertolongan orang!”
Sekonyong konyong kedua bahu nenek Bwe bergerak dan cepat laksana kilat, ia sudah
melesat ke samping Siangkwan Wan-ceng dan sekali sudah mencengkeram pergelangan
tangan kanan gadis itu.
Saat itu Siangkwan Wan-ceng sedang menunduk memandang Han Ping. Seluruh
perhatiannya dicurahkan untuk mengamati setiap perobahan dari pemuda itu sehingga ia
tak menghiraukan apa yang terjadi di sekitarnya. Baru setelah pergelangan tangannya
dicengkeram nenek Bwe, ia tersentak kaget. Dengan tenang dan hambar ia berpaling
memandang nenek Bwe dan menegurnya, “Mau apa?”
Nenek Bwe kerahkan tenaga dalam tetapi tak dipancarkan ke arah jarinya. Sahutnya
dingin, “Suruh ayahmu melepaskan To-ji, segera kulepaskan tanganmu!”
“Siapakah To-ji itu….?” sahut Siangkwan Wan-ceng seraya melirik ke arah depan.
Dilihatnya ayahnya sedang mencekal siku lengan si dara baju ungu. Ia segera menyadari
dan menegas, “O, dara baju ungu itukah?”
“Benar,” jawab nenek Bwe, “lekas suruh ayahmu melepaskannya!”
Siangkwan Ko tertawa memanjang, “Kalau aku tak mau melepaskannya?”
“Anak perempuanmu ini tentu akan kubunuh lebih dulu!” seru nenek Bwe.
“Dara baju ungu ini masih sayang jiwanya atau tidak?” sahut Siangkwan Ko.
Tiba-tiba dara baju ungu itu menyelutuk, “Tak apa, sekalipun engkau bunuh aku tetap
takkan mati. Tak percaya, silahkan mencoba!”
“Apa? Aku tak mampu membunuhmu?” Siangkwan Ko menegas heran.
“Silahkan engkau mencoba semua senjata yang engkau punya,” kata si dara.
“To-ji, apakah engkau gila?” seru nenek Bwe. Dara baju ungu itu tertawa melengking,
serunya, “Bukankah aku masih waras?”
“Hidup dan Mati itu soal besar. Bukan mainan kanak-kanak! Mengapa engkau suruh dia
mencobanya!”
Dara baju ungu itu tertawa ringan, “Kalau dia menurut omonganku dan menusuk mati
aku. Bukankah kalian juga dapat menyiksa anak perempuannya?”
Mendengar kata-kata itu tergetarlah hati Siangkwan Ko, katanya, “Engkau pandang aku
ini orang macam apa? Masakan aku kena tipu seorang budak perempuan semacam
engkau! Hm, bagaimana mereka hendak mengerjai anak perempuanku, akupun akan
mencontohnya, mengerjai engkau!
Tukas pembicaraan itu jelas mengunjukkan betapa penting arti dari kedua nona itu bagi
kedua belah fihak. Keduanya sama-sama cemas.
Dari pembicaraan itu, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa apabila nenek Bwe tak
mencelakai Sangkwan Wan-ceng, Siangkwan Ko pun takkan bertindak terhadap si dara
baju ungu.
“Harap Siangkwan pohcu suka mempertimbangkan lebih lanjut,” Ong Kwan-tiong
berkata, “paling banyak engkau hanya mempunyai peluang untuk memukul satu kali.
Apabila kesempatan itu gagal, engkau tak mungkin mempunyai kesempatan turun tangan
lagi. Tetapi kebalikannya, kami masih mempunyai banyak waktu. Tak perlu terburu-buru
mengerjai puterimu! Misalnya, dapat menyayat kulitnya dan mengiris-iris dagingnya. Dan
lagi dapat melakukan hal itu di depan hidungmu!”
Siangkwan Ko sejenak keliarkan pandang ke sekeliling lalu menyahut dingin, “Pedang
gin-kiam yang kucekal ini, tak kurang dari duapuluh empat kati beratnya. Dalam dunia
kiranya tiada pedang yangmelampaui berat dari pedangku ini. Pedang perak ini sudah
menemani aku malang melintang di dunia persilatan selama tiga puluh tahun. Dan selama
itu tak pernah ada orang yang mampu menyelamatkan jiwanya di bawah tabasan pedang
ini….”
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng berteriak memanggil si dara baju ungu, “To ji… To-ji,
lekas kemarilah!”
Dara baju ungu berpaling, serunya, “Siapa yang engkau panggil?”
“Engkau! Bukankah namamu Toji?” sahut si nona.
“Siapa yang memberitahu kepadamu?”
Siangkwan Wan-ceng berpaling memandang nenek Bwe, sahutnya, “Tadi nenek itu
memanggilmu begitu dan aku mendengarnya. Tiada orang yang memberitahu kepadaku!”
Si dara baju ungu itu hendak melangkah tetapi karena lengannya dicekal Siangkwan
Ko, ia tak dapat lepaskan diri.
“Yah, lepaskan ia,” seru Siangkwan Wan-ceng dengan nada sarat dan rawan.
“Lepaskan ia, mungkin kita berdua sukar lolos dari bahaya….”sahut Siangkwan Ko.
Siangkwan Wan-ceng menghela napas. “Mati hidup sudah tersurat dalam nasib. Ayah
tak perlu kuatir, kumohon ayah lepaskan ia.”
Siangkwan Ko julaikan pedangnya ke bawah dan lepaskan cekalannya, “Pergilah!”
Sejenak gerakkan lengan kirinya, dara baju ungu itu lalu melangkah menghampiri ke
tempat Siangkwan Wan-ceng.
Siangkwan Ko kiblatkan pedang gin-kiamnya dan berseru, “Sekarang kalian tak perlu
takut. Siapa yang hendak menempur aku lebih dulu?”
Kepala marga Siangkwan itu tegak berdiri dengan wajah serius seraya siap dengan
pedang Perak atau gin-kiam.
Si Kaki satu gentakkan tongkat besinya terus hendak loncat maju tetapi Ong Kwantiong
cepat melintangkan thiat-ci di hadapannya dan membentaknya pelahan, “Jangan
bertindak sembarangan.”
Saat itu si dara baju ungupun sudah tiba di tempat Siangkwan Wan-ceng. Ia mencekal
tangan Siangkwan Wan-ceng lalu duduk di sisinya.
Nenek Bwe termangu dan lepaskan juga cekalannya pada pergelangan tangan
Siangkwan Wan-ceng.
Siangkwan Wan ceng memandang Han Ping, tanyanya, “Tadi dia bergerak lagi….”
“Apakah engkau tentu akan menolongnya?” selutuk si dara baju ungu.
Siangkwan Wan-ceng anggukkan kepala, “Dia selalu menuduh bahwa akulah yang
memaksanya minum racun. Aku hendak menolongnya supaya hidup agar dapat memberi
tahu bahwa aku tak meracuninya.”
Dara baju ungu itu menghela napas, “Baiklah. aku dapat meluluskan engkau. Tetapi
seumur hidup aku tak mau menderita kerugian. Aku mau menolongmu tetapi engkau
harus meluluskan sebuah syaratku.”
“Syarat apa?” tanya Siangkwan Wan-ceng.
“Sederhana sekali tetapi sukar untuk melakukan,” kata si dara baju ungu. “Aku kuatir
engkau sukar pegang janji.”
“Asal aku mampu, tentu akan meluluskan. Tak perlu simpan rahasia, lekas katakanlah!”
“Dalam mengerjakan sesuatu, aku selalu tak mau terjerumus dalam kesulitan .. .” kata
si dara baju ungu seraya merogoh ke dalam baju dan roengeluarkan sebuah botol kecil
dari batu kumala, katanya; “Dalam botol kumala ini terisi pil Hui-sim-sin-tan (pil perusak
hati) dari perguruan Lam-hay-bun. Setelah makan, dalam tempo sejam, racun itu segera
bekerja menyusup ke dalam urat2 jantung.”
Mendengar itu Siangkwan Ko deliki mata dan membentak marah, “Apa? Engkau hendak
suruh anakku makan pil beracun seganas itu?”
Dara baju ungu menyahut dingin, “Memang aku hendak suruh puterimu makan pil itu,
tentu saja tak perlu kuberi penjelasan pandang lebar. Andaikata kubilang pil dalam botol
kumala itu adalah obat mujijad dari perguruan Lam-hay-bun dan setelah makan akan
dapat menambah umur dan tenaga dalam, entah apakah engkau mau percaya atau
tidak?”
Siangkwan Ko batuk-batuk pelahan, serunya, “Ini, ini sudah tentu tak percaya!”
“Tetapi kukatakan bahwa pil ini adalah pil beracun penghancur hati yang ganas. Kalau
puterimu meminumnya, itu bukan salahku.”
“Katakanlah maksudmu!” seru Siangkwan Wan-ceng, “ingin kutahu dengan cara apa
engkau dapat menyebabkan aku mau menelan pil beracun itu!”
“Persoalannya sederhana sekali,” kata si dara baju ungu. “Engkau menghendaki aku
menolong jiwanya tetapi engkau harus meluluskan sebuah syaratku. Tetapi aku tak mau
memaksamu maka hendak kuajukan dua buah syarat agar engkau dapat memilih sendiri.”
“Yang pertama, tentulah suruh aku minum pil Hui-sim-sin-tan itu, bukan?” tukas
Siangkwan Wan-ceng, “jangan kuatir! Katakan saja syarat yang kedua itu!”
“Yang satu itu lebih sederhana lagi,” sahut dara baju ungu, “asal engkau mengucapkan
sumpah. Setelah lukanya sembuh, jangan engkau bicara lagi dengannya dan jangan
membantunya apa-apa. Nah, hanya begitulah!”
“Itu amat mudah, Ceng ji, lekas sanggupilah!” selutuk Siangkwan Ko.
Siangkwan Wan-ceng memandang ayahnya dengan pandang rawan2 penasaran.
Kemudian menghela napas pelahan, tanyanya, “Setelah minum pil Hui-sim-sin tan itu,
entah berapa lama aku dapat hidup?”
“Jangan kuatir,” ujar dara baju ungu, “asal engkau setiap waktu makan obat
penawarnya, tiga sampai lima tahun engkau takkan mati. Tetapi kalau tak makan obat
penawar, dalam tujuh hari saja, jantung dan uluhatimu akan remuk dan engkau tentu
mati. Lebih dulu dapat kuberimu tiga butir pil penawarnya. Setiap bulan boleh engkau
minum sebutir.”
Siangkwan Wan-ceng merenung sejenak, ujarnya, “Baik, akan kucoba pil beracun Huisim-
sin-tan dari perguruanmu Lam-hay-bun itu!”
Dara baju ungu tertawa melengking, “Bagus.” – dari botol kumala itu ia menuang
sebutir pil warna hijau, ujarnya, “Makanlah ini dan aku pun segera mulai menolongnya.
Dalam waktu sepertanak nasi lamanya, dia tentu dapat menjelma hidup kembali!”
Siangkwan Wan-ceng menyambuti pil itu. Dua butir airmata menitik turun dari sudut
matanya. Katanya dengan nada beriba kepada ayahnya, “Yah, kutahu bahwa pilihanku ini
tentu akan membuat hatimu bersedih. Tetapi kuharap ayah suka memaafkan puterimu
yang tak berbakti ini.”
Gemetar tubuh kepala marga Siangkwan itu demi mendengar kata-kata puterinya.
Dengan nada gemetar ea berkata, “Nak, apakah engkau sudah limbung pikiranmu?”
Siangkwan Wan-ceng tertawa hambar. Pada lain saat ia terus masukkan pil itu ke
dalam mulutnya.
Berkata si dara baju ungu, “Pil itu luar biasa ganasnya. Begitu masuk ke dalam mulut
terus meleleh menjadi cairan dan racunpun akan terus mengalir ke dalam tubuh,
menyusup ke dalam jantung. Apabila engkau hendak main siasat mengulumnya dalam
mulut, itu berarti engkau mencari penyakit sendiri.”
Siangkwan Wan-ceng berseru marah, “Jangan mengukur hati seorang ksatrya dengan
ukuran hati seorang rendah. Jangan kuatir, pil itu sudah kutelan. Kalau tak percaya
lihatlah!” ia terus mengangakan mulutnya lebar2.
Dara baju ungu itu kembali merogoh ke dalam baju dan mengeluarkan sebuah botol
dari kumala hijau lalu menuang empat butir pil warna putih, jarnya, “Engkau ternyata
dapat memegang kepercayaan. Empat butir pil penawar ini nanti setelah duabelas jam,
engkau minum satu. Dan selanjutya setiap satu bulan engkau minum sebutir. began
demikian engkau pasti selamat tak kurang suatu apa dalam waktu tiga bulan ini.”
Hati Siangkwan Ko mengikuti pil yang ditelan puterinya masuk kedalam perut. Hati
kepala marga Siangkwan itupun ikut tenggelam. Rasa ketegangan dan kesedihan yang
meluap dan mencengkeram hatinya, membuat tangannya lantas lunglai. Walaupun dekat
dari tempat Siangkwan Wan-ceng, namun ia tak berdaya untuk merebut pi1 beracun dari
tangan puterinya tadi.
Pula dalam anggapannya, Siangkwan Wan-ceng tentu takkan segila itu untuk menelan
pil beracun. Maka betapalah kejutnya ketika melihat puterinya benar-benar mau menelan
pil celaka itu.
Pun dara baju ungu itupun terkesiap juga melihat keberanian Siangkwan Wan-ceng
menelan pil beracun. Ia menghela napas pelahan lalu berjongkok dan cepat mengangkat
bahu Han Ping lalu berkata pelahan kepada Siangkwan Wan-ceng, “Lekas minumkan pil
putih yang engkau bawa itu sebutir!”
Siangkwan Wan ceng, menurut perintah. Setelah mengangakan mulut Han Ping, ia
susupkan sebutir pil putih tadi.
“Dengar perintahku, lakukan pengurutan jalandarah di tubuhnya,” kata si dara baju
ungu pula.
Siangkwan Wan-ceng deliki mata kepada dara itu, “Pada suatu hari kelak aku tentu
akan membelah tubuhmu dengan pedang!”
Dara baju ungu itu tertawa, “Sejak saat ini selama berbulan-bulan, engkau bakal
menderita siksaan racun Hu- sim-sin- tan itu. Mana engkau mempunyai kesempatan untuk
melampiaskan dendam kebencianmu kepadaku….”
Sejenak berhenti, ia melanjutkan kata-katanya pula, “Sekarang, lekas engkau mengurut
jalandarah Thian jong dan Lian cwan di lehernya.”
Siangkwan Wan-ceng menurut. Dengan kedua tangannya, ia mulai mengurut leher
pemuda itu tak henti2nya dara itu memberi petunjuk mana2 yang harus diurut Siangkwan
Wan-ceng. Dalam beberapa kejab saja, Siangkwan Wan-ceng telah mengurut duabelas
jalandarah di tubuh Han Ping.
Setelah menenangkan napas beberapa jenak, ketegangan hati Siangkwan Ko mulai
reda. Tiba-tiba ia maju selangkah dan lekatkan pedang gin-kiam seberat 21 kati itu ke
batang leher si dara baju ungu.
“Ya, jangan melukainya!” seru Siangkwan Wan-ceng pelahan.
Tanpa berpaling kepala dan dengan tenang sekali, dara baju ungu itu berkata, “Jika dia
membunuh aku, dia tentu akan menyaksikan betapa kelak puterinya akan menderita
siksaan pil Hu- sim-sin- tan itu. Tujuh hari tujuh malam akan mengerang-erang tak hentihentinya.
Rintihannya begitu menyayat hati….”
Habis berkata tiba-tiba ia ayunkan kedua tangannya ke dada Han Ping. Rupanya
gerakan menghantam itu menggunakan tenaga penuh. Dan seketika itu Han Ping
membuka mata terus berbangkit bangun.
Dara baju ungupun cepat-cepat berdiri terus hendak melangkah pergi. Tetapi
Siangkwan Ko tekankan pedangnya dan paksa dara itu duduk kembali.
Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam benak Siang-kwan Ko, pikirnya, “T’ubuh dara ini lemas
seperti orang kebanyakan. Asal kutambahkan tenaga tekananku, dia tentu tak kuat.
Apakah ia memang tak mengerti ilmusilat? Tetapi ia dapat mengatakan jalandarah di
tubuh orang dengan tepat sekali, seperti seorang ahli silat yang lihay….”
Pada saat itu nenek Bwe, diam-diam sudah lekatkan tangannya ke punggung
Siangkwan Wan-ceng.
Siangkwan Ko terkesiap dan berseru dengan nada dingin, “Sehelai rambut puteriku
engkau rontokkan. budak perempuan ini tentu akan kubelah tubuhnya!”
Jawab nenek Bwe, “Asal kutambahi sedikit tenaga lagi, urat2 jantung puterimu ini tentu
akan putus!”
“Dia sudah minum pil beracun dan tak dapat hidup lebih lama dari tiga bulan….” belum
Siangkwan Ko selesai dengan perkataannya, tiba-tiba Han Ping bergerak. Tangan kirinya
mendekap luka di dadanya dan tangan kanan menjemput pedang Pemutus Asmara lalu
secepat kilat menusuk pergelangan tangan Siangkwan Ko.
Cepat sekali ia bergerak sehingga kctua marga Siangkwan itu tak berjaga-jaga. Dan tak
sempat pula ia berpikir. Padahal ia dapat gerakan pedang gin-kiam untuk menyelamatkan
tangannya dari ancaman pedang Han Ping. Tetapi ia terkejut dan dengan gugup lepaskan
pedang lalu menarik tangannya.
Han Ping memang tak berniat melukainya. Begitu pedang gin-kiam terlepas ke bawah,
cepat ia sambut dengan tendangan. Pedang perak itu melayang ke udara dan meluncur ke
arah nenek Bwe. Nenek itu mendengus, menghantam dengan tongkatnya! Pedang ginkiam
yang beratnya 21 kati, terhantam melayang ke samping.
Tetapi pada saat nenek Bwe itu menghantam pedang, Han Pingpun sudah melesat dan
membabat lengan nenek itu dengan pedang Pemutus Asmara. Karena sedang
menghantamkan tongkat, nenek Bwe tak dapat balas menyerang. Terpaksa ia menghindar
ke samping. Tetapi pada saat ia mengisar, kelima jari tangan kirinyapun menarik tubuh
Siangkwau Wan-ceng setengah langkah ke samping.
Memang Siangkwan Wan ceng sudah merasa bahwa tangan yang melekat pada
jalandarah Beng-bun-hiat di punggungnya. Hebat sekali tenaga dalamnya. Kalau ia
bergeliat, tentulah nenek itu akan marah dan benar-benar akan membunuhnya. Maka
nona itu tak berani meronta atau berusana melepaskan diri.
Mendapatkan tangan kiri nenek itu masih melekat di punggung Siangkwan Wan-ceng,
Han Ping penasaran. Ia maju dan menyerang tiga kali. Serangan itu memaksa nenek Bwe
harus mundur dua langkah dan tangannya yang menempel pada punggung Siangkwan
Wan-cengpun terpaksa dilepaskan.
Siangkwan Wan-cengpun cepat loncat ke samping ayahnya.
Nenek Bwe tertawa seram, serunya, “Engkau minta mati?”
Tongkat pun segera disapukan.
Han Ping loncat mundur sampai dua meter. Dalam keadaan luka berat dan darah
hampir habis. walaupun mempunyai tenaga dalam yang hebat tetapi tenaganya sudah
lemah sekali. Demi untuk menolong kedua gadis, tadi ia telah mengerahkan semangatnya.
Tetapi setelah kedua nona itu terlepas dari bahaya, semangatnyapun berhamburan
lenyap. Kaki lantas lunglai dan bluk…. jatuhlah ia tertelentang di tanah.
Nenek Bwe cepat lekatkan ujung tongkatnya ke tenggorokan Han Ping. Nenek itu
murka sekali tetapi tak berani bertindak. Dia cukup berpengalaman. Ia tahu bahwa dara
baju ungu itu mempunyai perasaan yang aneh terhadap pemuda yang gagah dan
berbakat cemerlang itu. Terhadap Han Ping, dara itu benci setengah mati tetapipun
mencintainya lebih dari jiwanya sendiri. Suatu perasaan benci2 cinta yang aneh.
Nenek Bwepun menyadari bahwa apabila ia membunuh anakmuda itu entah bagaimana
nanti penderitaan dara itu? Kecerdasannya yang luar biasa, menyebabkan orang tak
mengerti dan sukar menduga setiap perobahan hati dara itu.
Siangkwan Wan-ceng segera berteriak keras, “Dia belum sembuh dari lukanya.
Tenaganya masih lemah. Siapapun dalam keadaan begitu, tentu dapat membunuhnya.
Mencelakai orang yang sedang menderita luka, bukanlah satu perbuatan yang perwira!”
Saat itu Ong Kwan-tiong dan si Kaki-satu sudah loncat ke samping dari baju ungu dan
berdiri di kanan kirinya.
Terdengar dara baju ungu itu tertawa nyaring lalu berseru, “Bwe Nio, jangan
membunuhnya, lepaskanlah!”
Bwe Nio mengangkat tongkat dan pelahan-lahan mundur.
Han Ping sambil mendekap luka di dadanya memungut pedang lalu berbangkit. Sejenak
memandang ke sekeliling, ia segera melangkah pergi. Ia tak mau mengucap terima kasih
kepada siapapun juga. Wajahnya menampilkan kerut kehampaan. Tiada kasih, tiada
dendam. Dia tak mengacuhkan segala apa, mati, hidup dan menderita….
Dalam cahaya malam, tampak bayangan sosok tubuh pemuda itu makin lama makin
jauh. Setiap orang tahu bahwa sesungguhnya pemuda itu paksakan diri menahan
kesakitan yang hebat tetapi tak mau unjuk kelemahan di depan orang banyak. Dia pergi
seorang diri, hampa dan sunyi karena tiada seorangpun yang bertanya kepadanya,
tentang luka maupun keadaannya.
Setiap angin berhembus dan mengguncangkan kerudung muka dara baju ungu itu.
Tetapi dara itu tak mengacuhkan. Ia seperti kehilangan semangat.
Ong Kwan-tiong cepat ulurkan tangan untuk menahan kain kerudung dara itu seraya
berkata pelahan, “Angin malam amat dingin, sumoay harus menjaga diri, mari kita
pulang!”
Dara baju ungu itu seperti dibangunkan dari mimpi. Ia menghela napas, ujarnya,
“Benar-benar seorang lelaki yang keras….” — sebutir airmata menitik turun dari pelapuk
matanya, menetes ke telapak tangan Ong Kwan-tiong.
Ong Kwan-tiong seperti menerima hantaman keras. Ia gemetar dan berbisik, “Sumoay,
mari kita pulang.”
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng melengking, “Hai, tunggulah aku .. ..”
“Dia belum jauh, tunggu dulu, aku hendak bicara padamu!” seru si dara baju ungu.
Nenek Bwe pun cepat melintangkan tongkat menghadang Siangkwan Wan-ceng.
Siangkwan Wan-ceng geram dan hendak menyelinap dari samping tetapi nenek Bwe lebih
cepat. Ia mendorong dengan tangan kanan sehingga nona itu tersurut mundur.
“Nona Siangkwan, tunggulah, aku hendak bicara dengan engkau,” seru si dara pula.
“Bicara soal apa?” tanya Siangkwan Wan-ceng.
Sambil menghampiri, bertanyalah dara itu, “Mau apa engkau hendak mengejarnya?
Racun dalam tubuhnya masih belum bersih dan dia takkan dapat hidup lama. Apakah
engkau hendak mengurus mayatnya?”
“Engkau manusia beracun. Jangan mengurusi aku!” seru Siangkwan Wan-ceng.
Dara baju ungu tertawa, “Benar, aku hendak membuatnya hidup tidak, matipun segan.
Biarlah dia menderita untuk beberapa tahun. Karena itu takkan kubiarkan dia mati cepatcepat.
Inilah sebuah resep. bawalah!”
“Resep apa?”
Kata si dara, “Untuk membersihkan sisa racun dalam tubuhnya, tetapi akan
menyebabkan lain racun yang sifatnya lebih lambat, pelahan-lahan menyusun ke dalam
dagingnya….”
“Hm, buat apa?” dengus Siangkwan Wan-ceng.
Si dara tertawa, “Itulah yang dikata Pintu muka mengusir badman, pintu belakang
memasukkan serigala.”
“Risih telingaku!” teriak Siangkwan Wan-ceng seraya memutar tubuh hendak pergi.
Dara itu berteriak makin lantang, “Sekalipun resep obat ini mengandung racun aneh,
tetapi sifat racun itu lambat sekali. Dua tiga tahun baru bekerja. Jika dia tak minum resep
obat ini, sisa racun dalam tubuhnya dalam tiga hari tentu akan merenggut jiwanya. Di
antara dua pilihan, pilih yang betul2 ringan bahayanya. Maka baiklah engkau ramukan
resep ini.”
Siangkwan Wan-ceng tertegun, diam-diam ia berpikir, “Benar, sekalipun obat itu
beracun tetapi dapat memperpanjang jiwanya sampai dua tiga tahun. Dalam jarak waktu
sekian lama itu, dapat berusaha untuk mencari tabib pandai….”
Terdengar dara itu tertawa, “Tak usah engkau banyak pikir. Engkau sendiri hanya dapat
hidup selama tiga bulan. Beaitu racun bekerja dan engkau mati di hadapannya. Tetapi jika
engkau melamun hendak mencarikan obat untuknya, bukanlah seperti menjadi
comblang?”
Siangkwan Wan-ceng marah, “Apa katamu? Aku tak mengerti!”
Si dara tertawa, “Kedua gadis dari Lembah Setan, lama sekali bergaul dengan dia.
Tentu mereka tumbuh ikatan cinta jika engkau berjerih payah mencarikan tabib pandai
untuk menyembuhkannya tetapi engkau sendiri bakal mati dalam tiga bulan. Apakah itu
bukan menjadi comblang atau engkau yang tanam, orang lain yang memetik buahnya?”
Jawab Siangkwan Wan-ceng, “Aku benar-benar tak mengerti, mengapa engkau begitu
membenci kepadanya. Dia sesungguhnya seorang pemuda yang jujur dan cerdas. Jarang
sekali terdapat seorang pemuda macam dia. Ah, dahulu akupun seperti alam pikiranmu.
Membencinya setengah mati. Siang malam aku selalu merangkai rencana, bagaimana
supaya dapat melukainya. Bagaimana supaya di hadapan ksatrya gagah di seluruh dunia
persilatan, aku dapat membuatnya malu….”
Dara baju ungu cepat memberi isyarat supaya dia jangan melanjutkan ceritanya,
“Kemudian ia mengambil sehelai sapu tangan putih, serunya, “Apakah engkau membawa
cat alis?”
“Aku tak pernah memulas alisku,” sahut Siangkwan Wan-ceng.
Dara itu menghampiri seonggok api unggun yang masih belum padam lalu mengambil
setangkai dahan yang belum terbakar hahis. Setelah menulis di atas sapu tangan itu ia
memberikan kepada Siangkwan Wan-ceng, “Sudah kuterangkan sejelas-jelasnya, percaya
atau tidak terserah kepadamu!”
Siangkwan Wan-ceng menyambuti pemberian itu. Ketika memandang ke muka, tampak
ayahnya sedang bertempur dahsyat dengan Ong Kwan-tiong. Diam-diam ia kerutkan alis.
Tiba-tiba si dara berkata, “Jika ayahmu bebas dari perkelahian, tak mungkin ia
membiarkan engkau menyusul seorang pemuda yang menderita luka. Sekarang
kesempatan yang bagus, lekaslah engkau pergi….!”
“Orangmu berjumlah lebih banyak, biarpun lihay, ayah tentu tak dapat memenangi.”
Si dara tertawa, “Cukup dengan Bwe Nio seorang saja. ayahmu sudah kalah, Engkau
harus mengerti ucapanku ini. Lekaslah engkau susul dia. Kutanggung ayahmu tentu
takkan menderita luka apa-apa….”
Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng kucurkan airmata, “Setelah berpisah ini, mungkin aku
tak dapat berjumpa dengan ayah lagi….”
“Jangan kuatir,” hibur si dara, “wajahmu bukan seorang yang pendek usia. Mungkin
engkau akan berhasil bertemu dengan tabib pandai dan dapat mengobati racun dalam
tubuhmu itu, setelah lukanya sembuh, engkau masih ada waktu untuk pulang ke Kanglam
menghadap ayahmu. Nanti akan kuberitahukan kepada ayahmu agar dia jangan menyusul
kepergianmu ini dan kunasehati supaya dia pulang.”
Siangkwan Wan-ceng menghela napas, “Berapa banyak jiwa yang melayang di bawah
pedangku. Tetapi entah bagaimana, kuheran mengapa tak dapat membunuhmu….”
Jawab Siangkwan Wan-ceng, “Soal itu panjang sekali kalau diuraikan. Tetapi pokoknya,
engkau memang tak mempunyai kesempatan untuk membunuh aku. Sekalipun dengan
sekali angkat tangan engkau dapat melakukan, tetapi sebelum angkat tangan, hatimu
sudah kutundukkan.” — berkata sampai di sini tiba-tiba ia menyurut mundur dua langkah.
Kedua tangan mendekap dada dan berseru pula, “Lelaslah, tenaganya masih belum pulih,
kalau sampai tergelincir jatuh ke dalam jurang, tulang2nya tentu akan hancur lebur!”
Siangkwan Wan-ceng menghapus airmata, “Keselamatan ayahku, kuserahkan
kepadamu. Kalau dalam tiga bulan aku tak mati, aku tentu akan membalas budimu,”
katanya.
Dara baju ungu tertawa, “Angin dan awan, tiada berketentuan, demikian dengan nasib
manusia. Siapa tahu perpisahan kali ini, kita akan dapat berjumpa lagi atau tidak? Dia
sudah jauh, lekaslah engkau susul!”
Siangkwan Wan-ceng menghela napas. Ia hendak bicara tetapi tak jadi. Berputar tubuh
ia terus lari menyusul Han Ping.
Setelah nona itu jauh dari pandangan, dara baju ungu tertawa nyaring dan melangkah
balik dengan pelahan. Serunya nyaring, “Toa-suheng, berhentilah. Aku hendak bicara!”
Dengan jurus Angin-prahara-melanda-bunga, Ong Kwan-tiong mendesak Siangkwan Ko
mundur dua langkah lalu dta sendiri loncat ke samping beberapa langkah.
Setelah Siangkwan Ko memulangkan napas, matanya menatap lekat2 pada senjata
thiat-ci dari Ong Kwan-tiong.
“Siangkwan pohcu,” seru si dara tertawa, “setelah bertempur beberapa puluh jurus
dengan toa-suhengku, kiranya engkau tentu menyadari suasana hari ini, lebih
membahayakan daripada menguntungkan dirimu!”
Siangkwan Ko tertawa dingin, “Sebelum diketahui menang kalahnya, sukar dikata siapa
yang akan membunuh rusa itu!”
“Jika kami menggunakan dua orang untuk menyerangmu apakah engkau yakin dapat
bertahan lama?” kata si dara.
“Ini, sukar dibilang,” sahut Siangkwan Ko.
“Rupanya engkau pandai melibat gelagat,” kata si dara.
Siangkwan Ko berseru marah, “Seorang lelaki boleh dibunuh tapi jangan dihina.
Siapakah diri Siangkwan Ko ini? Masakan sudi menyerah mentah2?”
“Tiada orang yang menyuruhmu menyerah!” seru si dara, “sebelum pergi puterimu
minta dengan sangat kepadaku, tak boleh melukaimu.”
“Anakku seorang gadis pilihan, mana sudi meminta belas kasihan orang. Aku tak
percaya!”
Si dara tertawa, “Memang biasanya, tak mungkin dia berbuat begitu. Tetapi keadaan
soal ini berbeda.”
“Apanya yang berbeda?”
“Ia sudah menelan pil beracun dari perguruan kami Lam-hay-bun. Tiga bulan
kemudian, tentu takkan tertolong jiwanya. Pada saat menghadapi kematian, kebanyakan
orang tentu padam nafsu ingin menang. Dia suruh aku menyampaikan kepadamu, minta
engkau jangan menyusul jejaknya. Dalam tiga bulan, dia tentu akan pulang ke Kanglam.
Diapun minta supaya engkau menyediakan sebuah peti mati yang bagus, ia hendak mati
dengan tenang di rumah.”
Siangkwan Ko tertegun, serunya, “Benarkah itu?”
“Aku sudah berjanji meluluskannya. Takkan mencelakaimu, silahkan engkau pergi….”
Siangkwan Ko bersangsi sejenak. Pada lain saat ia berputar tubuh terus angkat kaki.
Berseru si dara dengan nyaring, “Suasana di tempat ini tidak aman. Tak perlu engkau
mencari puterimu. Lekaslah pulang. Jika tertunda oleh sesuatu, tentu sukar. Tak dapar
berjumpa untuk yang terakhir kalinya dengan puterimu, bukankah suatu hal yang
mendukakan hati seumur hidup?”
Siangkwan Ko berseru dengan lantang, “Wanji Wan-ji!….” – terus lari ke muka.
Seruannya yang bernada duka nestapa itu berkumandang jauh sampai menembus awan.
Gunung dan lembah memantulkan nada kumandangnya.
Dara baja ungu menghela napas dan berbisik kepada nenek Bwe, “Mari kita pergi!”
Nenek Bwe terkesiap, “Nak, bukankah engkau lepaskan dia lagi?”
Jawab si dara, “Aku tidak membunuh dia tetapi hanya menyiksanya dengan pelahan
agar ia dapat merasakan penderitaan baru nanti mati.”
Nenek Bwe menghampirinya dan berbisik, “Du
================
Halaman 76-77
================
jenak. Kemudian baru berkata pula, “Karena kalian bersedia, harap lain kali jangan
mengungkat soal pulang ke Lam-hay lagi….”
Dara itu menghela napas panjang, “Mari kita pergi.” — ia terus ayunkan langkah.
Sekalian orang dapat merasakan bahwa ucapan dara itu mengandung jeritan hati yang
duka. Tetapi tiada seorangpun yang dapat mengetahui apakah sebenarnya yang
terkandung dalam hati dara itu.
Nenek Bwe gentakkan tongkatnya lalu mengikuti di belakang si dara. Ong Kwan-tiong,
si Kaki-satu baju merah dan kedua pengawal setia si Bungkuk dan si Kate pun menyusul.
Tokoh2 perguruan Lam-hay-bun itu tak berani menanyakan dan hanya mengikuti saja
ke mana dara baju ungu itu ayunkan langkah melanjutkan kelananya di dunia persilatan
Tiong-goan.
HABIS
ooo000ooo
Sesungguhnya ia memuja dan mencintai. Tetapi, yang dicintai tiada merasa dan tak
mengetahui. Maka berkobarlah rasa Cinta itu menjadi suatu dendam kesumat yang
menyala-nyala.
Han Ping meletakkan usaha pembalasan dendam kematian orangtuanya, di atas segala.
Ia buta akan cinta seorang dara ayu. Ia gelap akan hati gadis-gadis yang tercurah
kepadanya.
Si Dara mau menyatakan isi hatinya. Si Pemuda terlalu jujur untuk menanggapi sikap
seorang dara yang manja. Maka terjadilah kisah tragedi yang bergelimpangan airmata dan
darah.
Bagaimana akhir roman yang aneh dari dara baju ungu dengan Han Ping?
Bacalah:
MAKAM ASMARA
Lebih seru dalam pertempuran. Lebih sengit dalam dendam pembalasan. Lebih
mengharukan dalam buaian Cinta dan Kebencian. Lebih . .
Ah, silahkan baca sendiri. PASTI PUAS!__
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar