Pisau Terbang Li {pendekar Budiman] 2 [Lanjutan Pendekar Baja] Seri Kedua Pisau Terbang

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 13 September 2011

428
jamin berita ini hangat dan menarik. Lagi pula, Anda bisa
makan dan minum sambil mendengarkannya.”
A Fei menutup jendela sambil menggelengkan kepala.
Tanya Lim Sian-ji, “Kau tidak ingin mendengarkan?”
“Tidak.”
Kata Lim Sian-ji, “Tapi aku mau. Lagi pula, kita kan harus
makan.”
A Fei tersenyum. “Sepertinya orang-orang ini tahu
bagaimana caranya berdagang.”
Lim Sian-ji menyingkapkan selimutnya hendak bangkit.
Namun segeranya ditariknya selimutnya kembali
menutupi tubuhnya. Wajahnya bersemu merah. “Apakah
kau tak akan memberikan pakaianku?”
Wajah A Fei pun menjadi merah. Hatinya berdebar
kencang, jantung berdebar karena melihat tubuh yang
bugil itu.
Sian-ji tertawa mengikik dan berseru pula, "Berpaling ke
sana, tidak boleh mengintip."
A Fei menghadap dinding, jantung serasa mau melompat
keluar.
***

429
Rumah makan itu hampir penuh. Kisah-kisah dunia
persilatan memang sungguh menarik, sehingga semua
orang ingin mendengarnya.
Sewaktu mendengar kisah ini, orang-orang merasa
bahwa mereka seperti bagian dari cerita itu.
Di kursi dekat jendela, duduk seorang tua berpakaian
kain katun biru, menghisap pipanya dengan mata
terpejam.
Di sebelahnya duduk seorang gadis muda. Rambutnya
dikuncir dua, matanya besar dan tajam. Waktu mata itu
berputar, seakan-akan bisa merenggut jiwa laki-laki.
Saat A Fei dan Lim Sian-ji memasuki ruangan, mata
mereka berbinar. Mata gadis berkuncir dua itu terus
menatap mereka.
Lim Sian-ji juga menatap gadis itu, lalu tersenyum.
Bisiknya, “Kau lihatkah mata gadis itu? Aku harus
berhati-hati supaya dia tidak membawamu lari.”
Mereka memesan makanan. Orang tua itu berdehem lalu
berkata, “Hong-ji, sudah tibakah waktunya?”
Si gadis berkuncir menjawab, “Ya, sudah waktunya.”
Orang tua itu membuka matanya. Walaupun ia terlihat
sangat tua, ia masih penuh semangat, terlebih lagi
matanya.

430
Orang tua itu meniup cawannya dan menghirup tehnya
sedikit. Tiba-tiba ia berkata, “Bwe-hoa-cat hanya
melakukan kejahatan, Pelajar Tamhoa berbudi luhur dan
berbakat besar.”
Ia memandang para pemirsa. “Tahukah kalian siapa yang
kubicarakan?”
Kata si gadis berkuncir, “Siapakah kedua orang itu? Aku
tidak pernah mendengar tentang mereka.”
Si Tua Sun terkekeh. “Kau pasti tidak begitu terpelajar.
Kedua orang ini sangat terkenal. Bwe-hoa-cat hanya
muncul dua kali dalam tiga puluh tahun ini. Namun
ribuan bandit digabung pun belum dapat menyaingi
kejahatan yang telah diperbuatnya.”
Si gadis berkuncir tersenyum. “Bagaimana dengan Si
Tamhoa itu?”
Si Tua Sun berkata, “Ia adalah putra seorang pejabat
besar. Keluarga itu sungguh luar biasa. Dalam tiga
generasi, tujuh orang anggota keluarga itu lulus ujian
kekaisaran. Hanya saja, tidak seorang pun berhasil
meraih gelar Conggoan [Conggoan adalah gelar untuk
ranking pertama dalam ujian kekaisaran. Tamhoa adalah
gelar untuk ranking ketiga]. Kedua kakak beradik
generasi terakhir ini lebih berbakat lagi daripada para
pendahulunya. Maka ayah mereka sangat berharap
bahwa salah satu dari mereka bisa memperoleh gelar
Conggoan.”

431
Si gadis berkuncir tersenyum dan berkata, “Gelar
Tamhoa saja sudah sangat bagus. Mengapa terlalu
berharap mendapat gelar Conggoan?”
Si Tua Sun terus melanjutkan kisahnya, “Siapa sangka,
waktu Siauya yang pertama mengikuti ujian, dia pun
hanya berjasil memperoleh gelar Tamhoa. Seluruh
keluarga merasa kecewa. Harapan mereka tertumpu
pada Siauya yang kecil. Namun sayangnya, nasib begitu
kejam terhadap keluarga Li. Putra kedua inipun hanya
mendapat gelar Tamhoa. Ayah mereka sangat sedih dan
kecewa, akhirnya meninggal dua tahun kemudian. Putra
pertamanya pun terkena penyakit parah dan akhirnya
meninggal tak lama kemudian. Hati Li-tamhoa pun mati
bersama mereka berdua. Ia mundur dari jabatannya dan
mengasingkan diri.”
Sampai di sini, ia menghirup tehnya sedikit lagi.
A Fei pun hanyut dalam kisah itu. Ia merasa berbahagia
waktu orang-orang memuji Li Sun-Hoan, lebih daripada
waktu mereka memuji dirinya.
Lalu si orang tua melanjutkan lagi, “Orang ini bukan saja
pelajar yang sangat berbakat, ia juga seorang ahli silat.
Sejak kecil ia telah berlatih ilmu silat yang tinggi.”
Si gadis berkuncir pun bertanya, “Jadi ceritamu hari ini
adalah mengenai kedua orang ini?”
Jawab si orang tua, “Betul.”

432
Kata si gadis berkuncir lagi, “Pasti cerita itu amat
menarik. Tapi….tapi bagaimana mungkin seorang
Tamhoa dapat berhubungan dengan kriminal seperti
Bwe-hoa-cat itu?”
Sahut si orang tua, “Pasti ada alasannya.”
“Apa alasannya?”
Kata Si Tua Sun sekata demi sekata, “Karena Li Sun-
Hoan adalah Bwe-hoa-cat . Bwe-hoa-cat adalah Li Sun-
Hoan.”
A Fei menjadi sangat gusar, ingin sekali ia
menyanggahnya. Namun ia keduluan oleh si gadis
berkuncir. “Li-Tamhoa ini pasti seorang yang sangat
kaya. Mana mungkin ia mau menjadi bandit dan
pemerkosa? Tidak masuk akal. Aku tidak percaya.”
Si Tua Sun menjawab, “Bukan hanya kau. Aku pun tidak
percaya. Jadi kuselidiki persoalan ini.”
Si gadis berkuncir bertanya, “Pasti kau sudah
menemukan sesuatu, bukan?”
Jawab Si Tua Sun, “Tentu saja. Kisah ini sungguh
berbelit-belit, menarik, dan juga amat aneh…”
Sampai di sini, tiba-tiba ia berhenti bicara dan
memejamkan matanya seperti hendak tidur.
Si gadis berkuncir berlaku seolah-olah ia tidak sabar dan
mulai merecoki kakeknya. “Mengapa kau berhenti?”

433
Si Tua Sun meniup pipanya.
Si gadis berkuncir lalu berkata, “Kau memang pandai
menarik perhatian pemirsa. Berhenti pada bagian yang
lagi tegang-tegangnya.”
Wajah gadis itu pun berseri-seri. “Oh….aku mengerti.
Kau ingin minum arak.”
Bukan hanya gadis itu yang mengerti, semua pendengar
pun mengerti. Mereka semua merogoh saku dan
mengeluarkan uang. Pelayan pun berkeliling
mengumpulkan uang sumbangan.
Kini si orang tua mulai bicara lagi. “Semuanya berawal
dari Hin-hun-ceng.”
Si gadis berkuncir segera memotong, “Hin-hun-ceng? Itu
kan tempat kediaman Liong-siya? Tempat itu sangat
indah.”
Si Tua Sun berkata, “Sudah tentu. Namun tempat yang
indah itu adalah pemberian Li Sun-Hoan baginya. Karena
mereka adalah saudara angkat dan istrinya adalah
sepupu Li Sun-Hoan.”
Kakek-cucu ini seakan-akan sedang berbincang-bincang
berdua, namun dengan cara itu mereka berhasil
menceritakan keseluruhan cerita. Ketika ia sampai di
bagian Li Sun-Hoan tidak sengaja melukai Liong Siau-in,
lalu tertangkap, semua pendengar menghela nafas
prihatin. Ketika ia sampai di bagian Lim Sian-ji
terperangkap dan bagaimana cepatnya pedang si

434
pemuda A Fei, matanya seolah-olah melayang pada Lim
Sian-ji dan A Fei. Mata si gadis berkuncir pun sebentarsebentar
hinggap di meja mereka.
Walaupun ia tidak menunjukkannya, A Fei sungguh
merasa bahwa kedua orang ini mengenali mereka
berdua. Mungkinkah kakek-cucu ini menceritakan cerita
ini khusus bagi mereka?
Kemudian si gadis berkuncir berkata, “Kalau begitu, Bwehoa-
cat sudah mati di tangan A Fei, bukan?”
Kata Si Tua Sun, “Tio-lotoa dan Dian-jitya tidak percaya
bahwa yang dibunuhnya adalah Bwe-hoa-cat . Mereka
berkeras bahwa Li Sun-Hoanlah Bwe-hoa-cat .”
Si gadis berkuncir lalu bertanya, “Jadi siapa sebenarnya
Bwe-hoa-cat ?”
Jawab Si Tua Sun, “Tidak ada seorang pun yang pernah
melihat wajah asli Bwe-hoa-cat . Tidak ada seorang pun
yang tahu siapa yang salah dan siapa yang benar.
Namun Tio-lotoa dan Dian-jitya adalah orang-orang
terhormat. Kata-kata mereka dianggap sebagai
kebenaran. Jikalau mereka telah menyatakan bahwa Li
Sun-Hoan adalah Bwe-hoa-cat , siapakah yang berani
membantah? Oleh sebab itu, Sim-bi Taysu memutuskan
untuk mengadili dia di Kuil Siau-lim-si.”
Ia menyedot pipanya lalu melanjutkan, “Namun ketika
mereka tiba di Kuil Siau-lim-si, malah Li Sun-Hoanlah
yang membawa Sim-bi Taysu ke sana.”

435
Waktu ia mengatakan itu, bahkan Lim Sian-ji pun
terkejut. A Fei hampir jatuh pingsan. Mereka berdua
mulai menduga-duga apa yang terjadi dalam perjalanan.
Untungnya, si gadis berkuncir membantu mereka
bertanya pada si orang tua.
Jawab Si Tua Sun, “Ternyata dalam perjalanan mereka
dijebak oleh Ngo-tok-tongcu. Dian-jitya Tan Okmpat
pendeta Siau-lim-si pun terbunuh. Sim-bi Taysu akhirnya
memutuskan untuk membebaskan Li Sun-Hoan setelah ia
kena racun. Li Sun-Hoan mengetahui bahwa hanya di
Siau-lim-silah ada obat penawar untuk racun yang
melukai Sim-bi, sehingga dibawanyalah pendeta itu
kembali ke Siau-lim-si.”
Si gadis berkuncir mengacungkan jempolnya. “Li Tamhoa
ini memang seorang pahlawan. Jika orang lain yang
berada di tempatnya, orang itu pasti sudah kabur.”
Sahut Si Tua Sun, “Kau memang benar. Sayangnya, para
pendeta di Siau-lim-si tidak berterima kasih padanya,
mereka bahkan ingin membunuhnya.”
Mata si gadis berkuncir terbelalak kaget, “Kenapa?”
Jawab Si Tua Sun, “Karena kisah ini diceritakan oleh Li
Tamhoa sendiri. Para pendeta Siau-lim-si tidak
mempercayainya sedikitpun.”
Si gadis berkuncir berkata terbata-bata, “Tapi…tapi kan
Sim-bi Taysu bisa membelanya?”

436
Si Tua Sun tertawa getir. “Sayangnya Sim-bi Taysu
meninggal sesaat setelah sampai di Siau-lim-si. Selain
Sim-bi, tidak ada seorang pun di dunia yang dapat
membuktikan kata-katanya!”
Terdengar desahan dari segala penjuru rumah makan itu.
A Fei sudah hampir meledak, dia tidak tahan lagi dan
bertanya, “Apakah Li-tayhiap sudah mereka bunuh?”
Mata Si Tua Sun berbinar. “Walaupun Siau-lim-si cukup
terkenal dan memiliki banyak pesilat tangguh, tetap sulit
bagi mereka untuk membunuh seorang Li Sun-Hoan.”
Si gadis berkuncir pun melirik A Fei . “Namun jika sampai
terjadi pertempuran, bahkan orang yang terhebat
sekalipun tidak akan mampu menandingi banyak musuh
sekaligus. Pisau terbang Li Tamhoa memang tidak ada
duanya di dunia persilatan, namun tetap saja ia tidak
mungkin membunuh seluruh murid Siau-lim-si.”
Si Tua Sun pun berkata, “Walaupun Siau-lim-si
mempunyai banyak murid dan tiap orang adalah ahli
silat, siapa yang akan menyerang paling dulu? Siapakah
yang berani menantang pisau Li Sun-Hoan yang
pertama?”
Si gadis berkuncir pun menjadi gembira lagi dan
bertepuk tangan. “Kakek benar. Siau Li Sin To (Pisau
Kilat si Li Ajaib) tidak pernah luput. Tidak seorang pun
akan berani mendekatinya. Jadi pastilah saat ini dia
sudah pergi jauh.”

437
Kata Si Tua Sun, “Tapi dia tidak pergi.”
“Mengapa?”
Sahut Si Tua Sun, “Walaupun tidak seorang pun di Siaulim-
si berani menghadapinya, Li Sun-Hoan pun tidak
punya jalan keluar. Lagi pula, dengan keadaan yang
menggantung seperti ini, ia tidak mungkin pergi begitu
saja.”
Si gadis berkuncir menjadi bingung. “Jika ia tidak bisa
pergi, dan juga tidak bisa bertempur, apa yang bisa
dilakukannya?”
Si Tua Sun menjawab, “Ia dikelilingi oleh ratusan
pendeta Siau-lim-si. Ia sadar bahwa sekali ia
menyambitkan pisaunya, ia akan mati. Bagaimana pun,
sebilah pisau tak akan mampu membunuh ratusan orang
sekaligus.”
Si gadis berkuncir pun berkata, “Ini adalah kerugiannya.
Seseorang tak mungkin bertahan untuk selamalamanya.”
Ini sama dengan kekuatiran A Fei. Dan ia tidak tahu apa
yang harus ia lakukan.
Kata Si Tua Sun lagi, “Mereka berbicara di depan
ruangan tempat mereka menyemayamkan jenazah Simbi
Taysu. Setelah itu, Li Sun-Hoan berhasil menyelinap ke
dalam ruangan itu.”
Si gadis berkuncir tercekat. “Jadi dia terkurung di situ?”

438
Sahut Si Tua Sun, “Pendeta-pendeta Siau-lim-si pun
beranggapan bahwa dia akan berusaha kabur. Kini
mereka menyesal.”
“Kenapa? Bukankah mereka seharusnya senang bahwa ia
sudah terperangkap?”
Jawab Si Tua Sun, “Dalam ruangan itu bukan hanya ada
jenazah Sim-bi Taysu. Di situ juga tersimpan naskahnaskah
kuno yang sangat berharga untuk Siau-lim-si.”
Si gadis berkuncir itu pun menyanggah, “Tapi kan
mereka hanya perlu menunggu di luar beberapa hari.
Setelah itu Li Sun-Hoan akan mati kelaparan dan
kehausan di dalam.”
Kata Si Tua Sun, “Awalnya mereka pun berpendapat
demikian. Tapi Li Sun-Hoan berhasil menawan Sim-si
Taysu bersamanya di dalam kamar. Mereka tidak
mungkin membiarkan Sim-si Taysu mati bersama dengan
Li Sun-Hoan.”
“Tentu saja tidak.”
“Jadi mereka harus mengantarkan makanan dan
minuman setiap hari, supaya Sim-si Taysu dan Li Sun-
Hoan tidak mati.”
Si gadis berkuncir pun bertepuk tangan. “Sudah lama
Siau-lim-si dianggap tempat suci dunia persilatan. Selama
beratus-ratus tahun tidak ada orang yang berani
bertindak ugal-ugalan di sana. Namun seorang Li Sun-
Hoan saja sudah bisa memporak-porandakan tempat itu.

439
Pendeta-pendeta itu bukan hanya tidak bisa berbuat apaapa,
mereka bahkan harus menyediakan makanan
baginya setiap hari. Sungguh menggelikan.”
Ia menjadi sangat ceria sekarang. “Li Tamhoa ini benarbenar
karakter yang hebat ya, Kek. Ceritamu sungguh
luar biasa.”
Saat ini, A Fei tenggelam dalam kegembiraan juga. Ia
harus menahan dirinya kuat-kuat untuk tidak berteriak
keras-keras bahwa Li Sun-Hoan adalah sahabatnya.
Namun Si Tua Sun kini menghela nafas. “Kau benar.
Akan tetapi, cepat atau lambat Li Sun-Hoan akan
terkubur di Siau-lim-si.”
Si gadis berkuncir menjadi heran, “Mengapa?”
Si Tua Sun seperti melirik pada A Fei. “Selama tidak ada
orang yang bisa membuktikan bahwa Li Sun-Hoan bukan
Bwe-hoa-cat , dan bahwa Sim-bi Taysu memang dibunuh
oleh Ngo-tok-tongcu, Siau-lim-si tidak akan pernah
melepaskannya!”
Si gadis berkuncir pun bertanya, “Siapakah yang dapat
membuktikannya?”
Si Tua Sun terdiam. Akhirnya ia berkata, “Sayangnya,
tidak ada seorangpun!”
Bab 22. Bwe-hoa-cat Muncul Kembali

440
Makan siang sudah selesai, cerita pun sudah selesai.
Orang-orang mulai bubar, dan sambil berjalan keluar,
mereka membicarakan keadaan Li Sun-Hoan.
Lim Sian-ji terus memandangi A Fei. A Fei sendiri
tenggelam dalam pikirannya. Makanan di meja mereka
tidak tersentuh sedikit pun.
Di meja yang lain, si gadis berkuncir meletakkan
sumpitnya dan bertanya, “Kakek, menurutmu apakah Li
Tamhoa tidak bersalah?”
Jawab Si Tua Sun, “Sekalipun aku tahu bahwa ia tidak
bersalah, apa yang dapat kulakukan?”
Kata si gadis berkuncir, “Bagaimana dengan sahabatnya?
Tidak ada seorang pun yang mau menolong dia?”
Jawab Si Tua Sun, “Jika ia terperangkap di tempat lain,
mungkin ada orang yang berusaha menolongnya. Tapi ia
terperangkap di kuil Siau-lim-si. Aku rasa tidak akan ada
seorang pun yang dapat menolong dia.”
Si gadis berkuncir tampak sedih. “Jadi akhirnya dia akan
mati di Siau-lim-si?”
Si Tua Sun berpikir cukup lama, lalu berkata, “Sebetulnya
ada jalan. Namun kemungkinan berhasilnya sangat tipis.”
Waktu A Fei mendengarnya, matanya langsung cerah.
Si gadis berkuncir langsung bertanya, “Bagaimana?”

441
Kata Si Tua Sun, “Jika Bwe-hoa-cat yang sesungguhnya
masih hidup dan muncul lagi, maka Li Sun-Hoan akan
terbebas. Jika dia bukan Bwe-hoa-cat , ia tidak punya
alasan untuk membunuh Sim-bi Taysu.”
Si gadis berkuncir pun mendesah. “Kemungkinannya
memang kecil sekali. Sekalipun Bwe-hoa-cat masih
hidup, ia pasti sedang bersembunyi sekarang. Menunggu
mereka membunuh Li Sun-Hoan.”
Si Tua Sun meletakkan pipanya di atas meja, “Kau sudah
selesai makan mi?”
Sahut si gadis berkuncir, “Tadinya aku lapar sekali. Tapi
setelah mendengar cerita itu, nafsu makanku jadi
hilang.”
Kata Si Tua Sun, “Kalau begitu, ayo kita pergi. Kita tak
bisa menyelamatkan Li Tamhoa hanya dengan dudukduduk
di sini.”
Ketika si gadis berkuncir itu keluar dari pintu, ia menoleh
pada A Fei dan memandangnya, seolah-olah berkata,
“Jika kau hanya duduk-duduk di situ, bagaimana kau
dapat menolongnya?”
Sambil memandang kepergian mereka, Lim Sian-ji
tertawa dingin. “Tahukah kau, orang macam apakah
mereka itu?”
“Apa?”

442
Sahut Lim Sian-ji, “Dari penampilan mereka, tenaga
dalam orang tua itu sangat tinggi. Langkah gadis kecil itu
ringan dan cepat. Ilmu meringankan tubuhnya paling
tidak setaraf denganku.”
“O ya?”
“Dalam pandanganku, mereka bukan tukang cerita biasa.
Mereka pasti punya alasan lain datang ke sini.”
Lanjut Lim Sian-ji, “Mereka sengaja menceritakan kisah
itu padamu, supaya kau pergi bunuh diri.”
“Bunuh diri?”
Lim Sian-ji mendesah. “Jika kau tahu bahwa Li Sun-Hoan
terperangkap di Siau-lim-si, pasti kau akan berusaha
keras untuk membebaskannya. Namun bagaimana kau
bisa melawan seluruh kuil Siau-lim-si?”
A Fei berpikir dalam-dalam, ia tidak menjawab.
Kata Lim Sian-ji, “Lagi pula mungkin saja mereka
berdusta. Supaya kau juga terjebak.”
Ia menggenggam tangan A Fei dan berkata dengan
manis, “Walaupun mereka tidak berbohong bahwa Li
Sun-Hoan ada dalam bahaya, jika kau pergi, kau hanya
akan mengacaukan konsentrasinya. Dan jika para
pendeta itu berhasil menangkapmu, maka ialah yang
harus menyelamatkanmu. Kau malah akan mempersulit
dia, bukan menolongnya.”

443
Setelah A Fei berpikir lama, akhirnya dia berkata, “Kau
betul.”
Kata Lim Sian-ji, “Jadi kau berjanji tidak akan pergi ke
Siau-lim-si?”
“Ya.”
Ia menjawab sangat cepat, sehingga Lim Sian-ji tidak
yakin bahwa A Fei berkata jujur.
Ketika mereka kembali ke penginapan, A Fei berkata,
“Karena kita tidak jadi pergi ke Siau-lim-si, kau lebih baik
pulang saja.”
“Lalu engkau?”
Jawab A Fei, “A…aku mau berjalan-jalan sebentar.”
Lim Sian-ji langsung menyambar tangannya, suara
bergetar waktu dia berbicara. “Apakah kau akan berpurapura
menjadi Bwe-hoa-cat ?”
A Fei hanya memandangi lantai. Lalu ia menghela nafas
panjang dan akhirnya menjawab, “Ya.”
Kata ‘ya’ itu diucapkannya dengan sangat tegas, seakanakan
menyatakan bahwa tak akan ada yang bisa
mengubah pikirannya.
Kata Lim Sian-ji, “Lalu…lalu mengapa kau suruh aku
pulang?”

444
Sahut A Fei, “Karena ini adalah persoalanku.”
Kata Lim Sian-ji lagi, “Persoalanmu adalah persoalanku.”
Kata A Fei, “Tapi Li Sun-Hoan bukanlah sahabatmu.”
Wajah A Fei penuh rasa terima kasih, namun ia tidak
mengatakannya.
Sahut Lim Sian-ji, “Kau dapat menghargai suatu
persahabatan begitu tinggi. Mengapa aku tidak?
Walaupun aku tidak berguna, paling tidak aku bisa
memberimu dukungan moral.”
A Fei menggenggam tangan Lim Sian-ji erat-erat.
Walaupun ia tidak bicara, matanya, air mukanya, sudah
mewakilinya berbicara.
Dengan diamnya, ia telah berbicara lebih banyak.
Lim Sian-ji tersenyum manis. “Jika kau ingin berpurapura
menjadi Bwe-hoa-cat , kau perlu seseorang untuk
dirampok.”
“Betul.”
Kata Lim Sian-ji, “Tidak bisa sembarang orang, bukan?”
Sahut A Fei, “Yang pasti, kita harus menemukan orang
kaya yang kekayaannya tidak halal.”
Mata Lim Sian-ji berputar, “Aku tahu orang yang tepat.”

445
“Siapa?”
Sahut Lim Sian-ji, “Orang ini dulunya seorang bandit.
Lalu dia berhenti waktu usianya 50 tahun. Namun sampai
sekarang dia masih berbisnis gelap.”
Tanya A Fei, “Siapa namanya?”
Lim Sian-ji berpikir keras, lalu jawabnya, “Ah, aku ingat.
Namanya Thio sing-ki. Namun sekarang ia dipanggil
Thio-wangwe (Hartawan Thio), Thio-taysianjin (si Thio
mahadermawan).”
A Fei mengangkat alisnya. “Taysianjin?”
Kata Lim Sian-ji, “Ia merampok sepuluh ribu tail perak,
lalu menyumbangkan seratus tail untuk memperbaiki
jalan. Di malam hari ia membunuh seratus orang, namun
di siang hari ia menolong orang sakit.
Mudah sekali bagi seorang bandit untuk menjadi
dermawan.”
***
Thio sing-ki sedang berbaring di kursi panjangnya sambil
memandang ke kuali di atas api yang sedang
memanaskan sup sarang burung.
Di luar salju sudah turun lagi, namun di dalam rumahnya,
hangat bagaikan musim semi.

446
Ia memejamkan matanya, bermaksud untuk tidur
sejenak. Tapi ia dikagetkan oleh suara kuali yang
terguling dan pecah berantakan.
Ia segera membuka matanya dan dilihatnya seorang lakilaki
berpakaian serba hitam. Tidak ada yang tahu dari
mana ia datang.
Walaupun Thio sing-ki telah mengundurkan diri, ilmu
silatnya masih terlatih dengan baik. Ia berteriak, “Pencuri
kecil, berani-beraninya kau masuk ke rumahku!”
Segera ia memasang kuda-kuda, siap menyerang si lelaki
baju hitam itu.
Saat itulah, terlihat suatu kilatan di depannya.
Thio Sing-ki tidak tahu dari mana datangnya atau macam
apakah senjata yang menyerangnya. Tiba-tiba saja lima
tanda luka telah menghiasi dadanya.
Bwe-hoa-cat telah muncul kembali!
Di rumah-rumah minum teh, warung-warung arak,
semua orang membicarakannya. Apakah pembunuh Thio
Sing-ki adalah Bwe-hoa-cat yang sebenarnya?
Siapa korban berikutnya?
Orang-orang kaya itu mulai sulit tidur lagi.
***

447
Di waktu senja, suara genta menggema di Lingkungan
kuil, dan para pendeta dengan wajah tegang dan dingin
masuk satu per satu ke dalam ruangan.
Langkah mereka terasa lebih ringan daripada biasanya,
karena beberapa hari terakhir ini pikiran mereka sungguh
galau.
Di atas Siong-san, hawa dingin terasa lebih kejam dan
salju meliputi seluruh pegunungan. Seseorang menaiki
gunung dengan tergesa-gesa. Ia adalah salah satu murid
Siau-lim-si yang bukan pendeta, ‘Pahlawan dari Lamyang-
hu’, Siau Cing.
Dia bicara sejenak dengan saudara seperguruan yang
bertugas jaga di kaki bukit, gardu depan biara, lalu
masuk ke ruangan belakang.
Ruangan Hongtiang (ketua) sunyi senyap, hanya terlihat
asap dupa mengepul keluar dari jendela, lalu buyar ke
udara.
Langkah Siau Cing sangat ringan, tidak bersuara saat
menyentuh tanah. Namun saat memasuki halaman,
Pendeta Sim-oh Taysu yang sedang berada di ruang
kerjanya berseru, “Siapa itu?”
Langkah Siau Cing terhenti. Ia membungkuk dan
berkata, “Murid Siau Cing datang untuk memberi
laporan.”
Ada tiga orang dalam ruangan itu. Sim-oh Taysu, Sinkam
Taysu, dan Pek-hiau-sing.

448
Siau Cing tidak berani banyak bicara. Ia masuk ke dalam,
membungkuk lagi dan berkata, “Bwe-hoa-cat telah
muncul kembali!”
Lanjutnya lagi, “Tiga hari yang lalu, mantan bandit Thio
sing-ki mendadak terbunuh dan barang-barang
berharganya dicuri. Satu-satunya tanda adalah luka
berbentuk bunga Bwe di dadanya.”
Sin-kam Taysu dan Pek-hiau-sing saling pandang. Wajah
mereka memucat.
Setelah cukup lama terdiam, akhirnya Sim-oh Taysu
mendesah. “Kini Bwe-hoa-cat telah muncul kembali.
Mungkin Li Sun-Hoan memang tidak bohong.”
Pek-hiau-sing memandang Sin-kam Taysu, tapi tidak
berkata apa-apa.
Sin-kam Taysu berjalan perlahan-lahan ke jendela,
memandangi salju di luar. “Namun ini pun bisa
membuktikan bahwa memang Li Sun-Hoanlah Bwe-hoacat
!”
Kata Sim-oh Taysu, “Apa maksudmu?”
Sahut Sin-kam Taysu, “Jika aku adalah Bwe-hoa-cat dan
aku tahu bahwa kesalahanku telah dituduhkan pada
orang lain, aku akan bersembunyi untuk sementara
sampai orang itu dihukum. Kalau aku beraksi, bukankah
itu berarti menyelamatkan nyawa Li Sun-Hoan?”

449
Pek-hiau-sing mengangguk. “Kau benar. Satu-satunya
alasan mengapa Bwe-hoa-cat muncul sekarang adalah
untuk membersihkan nama Li Sun-Hoan. Jika aku adalah
Bwe-hoa-cat , aku pun tidak akan pernah
melakukannya.”
Tanya Sim-oh Taysu, “Kalau begitu, apa saranmu?”
Sahut Sin-kam Taysu, “Jika Li Sun-Hoan bukan Bwe-hoacat
yang sebenarnya, maka teman-temannya tidak
mungkin melakukan ini.”
Sim-oh Taysu bangkit berdiri dan berjalan ke jendela.
“Siapa yang menjaga Li Sun-Hoan sekarang?”
Sahut Sin-kam Taysu, “Murid-murid Jisuheng, It-in dan
It-tun.”
Kata Sim-oh Taysu, “Suruh mereka kemari.”
Ketika It-in dan It-tun masuk, ia tidak menoleh, hanya
bertanya, “Apakah kalian sudah mengantar makanan
untuk Gosusiok?”
Sahut It-in, “Sudah. Tapi….”
Sim-oh Taysu memotong, “Tapi apa?”
Kata It-in, “Aku mengikuti perintahnya untuk menaruh
makanan di depan pintu. Banyaknya sama dengan
kemarin, dua kali ukuran normal tambah satu gelas air.”

450
Sambung It-tun, “Aku membawa keranjang makanan itu
karena aku ingin melihat apa yang terjadi di dalam. Aku
mundur sedikit dan aku melihat Li Sun-Hoan mengambil
keranjang itu, melihat makanan itu dan melemparkannya
ke luar.”
“Kenapa?”
Sahut It-in, “Katanya makanannya tidak enak dan tidak
ada arak, jadi dia tidak mau makan.”
Sim-oh Taysu menjadi sangat geram, “Dipikirnya dia itu
ada di mana? Di rumah makan?”
It-in dan It-tun sudah berada di kuil selama sepuluh
tahun dan baru kali ini mereka melihat ketua Siau-lim-si
ini marah. Mereka tidak berani memandangnya.
Setelah beberapa saat, ia pun menjadi tenang, lalu
bertanya, “Lalu ia ingin makan apa?”
Sahut It-in, “Ia menulis daftar dan melemparkannya ke
luar. Ia bahkan menyertakan cara memasaknya. Jika ada
kesalahan, dia bilang makanan itu akan dilemparkannya
ke luar lagi.”
Daftar makanan itu adalah:
Rebung Merah Rebus
Sup Sayur Campur
Sayur asin dengan jamur
Sayur masak
Tahu dengan jamur dan rebung

451
[Terjemahannya mungkin kurang tepat]
Selain empat jenis masakan dan satu sup itu, ia pun ingin
tiga kati arak Tik-yap-jing kualitas super. Seakan-akan
Siau-lim-si adalah rumah makan vegetarian kelas atas di
Ibu Kota.
Siapapun yang melihat daftar itu takkan tahu apakah
mereka harus tertawa atau menangis. Namun Sim-oh
Taysu menjawab pendek, “Berikan saja keinginannya.”
Sin-kam Taysu cepat berkata, “Suheng, kau….”
Sim-oh Taysu memotongnya. “Jika Li Sun-Hoan tidak
makan, Gosute pun kelaparan. Kesehatannya telah
memburuk dalam beberapa tahun terakhir ini. Ia takkan
mampu bertahan lama tanpa makan.”
Sin-kam Taysu menunduk. “Tapi jika kita melakukannya,
bukannkah itu berarti membiarkan Li Sun-Hoan
memegang kendali?”
Mata Sim-oh Taysu berbinar. “Aku sudah punya rencana.
Tidak jadi soal kalau dia yang memegang kendali satu
dua hari ini.”
***
A Fei berbaring di ranjang.
Sudah empat jam. Ia berbaring saja, tidak bergerak,
seakan-akan tubuhnya menjadi batu.

452
Ia hanya menunggu.
Dengan tidak bergerak, ia dapat menghemat tenaganya.
Ia memerlukan tenaga untuk mencari makanan, dan
memerlukan makanan untuk bertahan hidup, untuk
menghadapi alam.
Beberapa kali, bahkan kelinci liar pun menyangka bahwa
ia hanyalah sebuah batu. Pernah suatu ketika, ia sangat
lemah dan kelaparan, tidak ada tenaga sedikit pun. Jika
kelinci liar itu tidak melompat dan hinggap di tangannya,
mungkin ia sudah mati kelaparan waktu itu.
Kali lain, ia berpura-pura mati selama dua hari, sampai
seekor anjing liar menghampirinya.
Kesabaran dan daya tahan semacam ini tidak dapat
dimiliki secara alamiah. Hanya dapat diperoleh dengan
latihan yang tak kenal lelah.
Mulanya, ia pun tidak bisa melakukannya dengan baik. Ia
tidak tahan untuk tidak meringkuk dalam hawa dingin.
Tapi kini, ia tidak merasa apa-apa lagi. Selama ia tidak
perlu bergerak, ia tidak akan bergerak seinci pun.
Ketika Lim Sian-ji kembali, ia menyangka A Fei telah
tidur.
Hari ini pakaiannya sungguh aneh. Ia berpakaian kain
abu-abu polos yang menutupi seluruh tubuhnya.
Ia telah pergi selama empat jam untuk mencari
informasi.

453
A Fei tiba-tiba bangkit, mengagetkan Lim Sian-ji. Tapi
Lim Sian-ji lalu tersenyum. “Jadi kau cuma pura-pura
tidur saja. Mau menakut-nakuti aku ya?”
A Fei diam saja.
Lim Sian-ji menyisir rambutnya yang hitam legam, lalu
menggigit bibirnya. “Kau tidak menyukai aku?”
A Fei menggelengkan kepalanya.
Lim Sian-ji menatapnya dengan matanya yang bening,
lalu menghampirinya dan mencium pipinya. “Kau sangat
baik.”
A Fei berdiri dan bertanya, “Ada berita apa?”
Lim Sian-ji menggelengkan kepalanya. “Siau-lim-si selalu
berhati-hati. Mereka harus mengawasi lebih dulu sampai
cukup lama, baru bertindak. Bagi mereka, lebih baik tidak
berbuat apa-apa daripada berbuat yang salah.”
Kata A Fei, “Tapi ini sudah enam hari.”
Kata Lim Sian-ji, “Mungkin mereka tidak percaya bahwa
Bwe-hoa-cat lah yang membunuh Thio sing-ki. Karena
setiap kali Bwe-hoa-cat berbuat ulah, kejadiannya selalu
berturut-turut, bukan hanya satu saja.”
A Fei berpikir lama, lalu katanya, “Cepat atau lambat
mereka harus percaya. Aku akan membuat mereka
percaya.”

454
Kata Lim Sian-ji, “Mari kita pergi. Aku akan tunjukkan
suatu tempat kepadamu.”
“Di mana?”
“Korbanmu yang kedua.”
***
Malam pun tiba. Salju telah mencair. Mereka mengganti
pakaian supaya tidak dapat dikenali.
Tiba-tiba Lim Sian-ji menunjuk pada papan nama sebuah
rumah gadai. Rumah gadai itu cukup besar, dengan
papan nama yang besar pula, bertuliskan, ‘Rumah Gadai
Sun-ki’
Tanya A Fei, “Apa istimewanya papan nama itu?”
Lim Sian-ji tidak menjawab, malah kini ia menunjuk pada
papan nama yang lain, papan nama sebuah rumah
makan. “Coba lihat yang itu.”
Rumah makan itu sangat laris. Bangunan bertingkat itu
penuh dengan pembeli. Papan namanya berbunyi
‘Rumah Makan Sun-ki’.
Sebenarnya, tiap lima atau enam usaha di jalan itu
mempunyai papan nama dengan tulisan ‘Sun-ki’. Dan
semuanya adalah usaha yang laris.
Kata Lim Sian-ji, “Semua usaha ini adalah milik Sinlosam.”

455
Kata A Fei, “Ke mana kita pergi?”
Sahut Lim Sian-ji, “Mari ikut aku.”
A Fei memang tidak suka banyak bertanya, sehingga ia
pun mengikuti Lim Sian-ji tanpa banyak bertanya.
Ketika mereka sedang berjalan, tiba-tiba Lim Sian-ji
menunjuk ke langit. “Lihat, ada meteor.”
A Fei terdiam sesaat, lalu bertanya, “Apakah engkau
memohon sesuatu?”
Jawab Lim Sian-ji, “Meteor selalu lewat terlalu cepat.
Tidak ada yang sempat memohon apapun juga, kecuali
orang itu sudah tahu sebelumnya bahwa meteor itu akan
muncul. Tapi siapa yang bisa menebak kapan meteor
akan muncul? Aku rasa itu hanya dongeng saja.”
Kata A Fei, “Walaupun begitu, meteor membuat orang
mempunyai harapan dan mimpi. Itu kan sangat bagus.”
Sahut Lim Sian-ji, “Aku tidak pernah menyangka kau
tahu segala omong kosong macam itu.”
A Fei hanya memandangi kejauhan, ke arah meteor itu
menghilang. Di matanya terbayang kesedihan yang
mendalam, lalu berkata, “Aku sudah tahu sejak kecil.”
Lim Sian-ji menatap mata itu lekat-lekat, lalu berkata
dengan halus, “Kau ingat akan ibumu, kan? Apakah
beliau yang mengatakannya padamu?”

456
A Fei tidak menjawab. Ia mempercepat langkahnya.
Sian-ji menggelendot di samping A Fei dengan diam saja
sambil terus melangkah ke depan. Tiba-tiba A Fei melihat
di depan ada sebuah puri yang sangat besar, semakin
dekat keadaan puri ini berbalik tidak jelas kelihatan.
Maklumlah, karena dinding perkampungan ini tingginya
luar biasa sehingga mengalangi jarak pandangnya.
Lim Sian-ji memandangi tembok besar yang mengelilingi
tempat itu. “Tembok ini tinggi sekali. Mungkin tingginya
12 meter?”
“Kira-kira.”
Tanya Lim Sian-ji, “Kau bisa melompatinya?”
Sahut A Fei, “Tidak ada seorang pun yang dapat
melompat setinggi itu. Jika kau ingin masuk ke dalam,
aku akan memikirkan cara lain.”
Kata Lim Sian-ji, “Ini adalah rumah Sin-losam.”
Tanya A Fei, “Apakah dia itu korbanku yang kedua?”
Jawab Lim Sian-ji, “Aku tahu kau tidak ingin menyakiti
pedagang. Tapi ada bermacam-macam jenis pedagang.”
“Macam apakah dia?”
“Yang paling buruk, yang paling kotor.”

457
Lim Sian-ji tersenyum sambil melanjutkan, “Coba
bayangkan. Bagaimana caranya dia membuka begitu
banyak usaha di kota ini? Dan mengapa ia membangun
tembok setinggi ini di sekeliling rumahnya?”
Sahut A Fei, “Tidak ada salahnya membangun tembok
yang tinggi. Dan tidak ada hukum yang melarangmu
mempunyai begitu banyak usaha.”
Lim Sian-ji berusaha menjelaskan, “Tembok yang begini
tinggi berarti dia takut karena usahanya yang tidak
bersih. Dalam generasi ini ada 16 bersaudara. Dan 16
bersaudara ini membuka lebih dari 40 usaha.”
Kata Eh Fei, “Jadi tiap orang punya sekitar tiga usaha.
Itu kan biasa.”
Sahut Lim Sian-ji, “Namun keempat puluh usaha itu
dimiliki oleh Sin-losam.”
“Kenapa?”
Bab 23. Masuk Jebakan
Di malam yang dingin dan berangin kencang ini, Lim
Sian-ji dan A Fei sampai di depan sebuah puri yang
megah. Sambil menunjuk pada temboknya yang sangat
tinggi itu, Lim Sian-ji berkata, “Ini adalah rumah Sinlosam.
Ia dan saudara-saudaranya membuka lebih dari
empat puluh usaha. Tapi sekarang, seluruh usaha itu
menjadi miliknya karena kelima belas saudaranya yang
lain telah masuk ke dalam peti mati!”

458
Tanya A Fei, “Bagaimana mereka mati?”
Jawab Lim Sian-ji, “Secara resmi, mereka mati karena
sakit. Tapi tidak ada seorang pun yang tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Aneh bukan kalau lima belas orang
yang segar bugar bisa sakit dan mati semua dalam tiga
tahun, sedangkan Sin-losam tidak kurang suatu apapun?”
A Fei tidak menjawab. Ia hanya berkata singkat, “Aku
akan menemuinya besok malam.”
***
Dengan koordinasi tangan dan kaki yang baik, A Fei
memanjat tembok itu.
Setelah dilewatinya, ia melihat sebuah taman yang luas
dan beberapa rumah. Pada saat itu, hanya sedikit cahaya
yang tampak, sebagian besar orang sudah tidur.
Lim Sian-ji menemukan seorang pelayan yang mau
menggambarkan peta tempat itu untuknya. Jadi A Fei
tahu pasti ke mana ia harus pergi.
Sin-losam masih terjaga. Rambut pengusaha yang licik
itu sudah memutih, namun ia masih duduk di dalam
cahaya lilin dengan sipoanya, menghitung
pendapatannya.
Ia menghitung tidak terlalu cepat, karena jari-jarinya
pendek dan gemuk. Bagaimana seorang dari keluarga
kaya mempunyai tangan seperti seorang pekerja?

459
Karena pada waktu ia masih kecil, ayahnya mengusir dia
dari rumah, sehingga selama 5 tahun ia terlunta-lunta.
Tidak seorang pun tahu apa yang ia lakukan saat itu. Ada
yang bilang ia jadi pengemis, ada yang bilang ia pergi ke
Siau-lim-si, mengerjakan pekerjaan kasar dan belajar
ilmu silat yang hebat di sana. Oleh sebab itu, waktu
saudara-saudaranya meninggal, tidak ada seorangpun
yang berani berbicara walaupun sebenarnya mereka
curiga.
Tentu saja ia menyangkal semua tuduhan itu. Namun ia
tidak bisa menyangkal kedua belah tangannya. Kedua
belah tangan itu adalah bukti bahwa ia pernah belajar
ilmu silat Thi-soa-ciang atau ilmu pukulan pasir besi dan
telah mencapai taraf yang cukup tinggi. Kalau tidak, tidak
mungkin kakaknya yang tertua mati selagi muntah darah.
A Fei mendorong jendela di kamar itu dan masuk ke
dalam.
Reaksi Sin-losam boleh dibilang cepat, namun ketika ia
sadar jendela kamarnya terbuka, A Fei telah berdiri di
hadapannya. Ia tidak dapat percaya ada orang yang
dapat bergerak secepat itu. Ia menjadi sangat ketakutan
dan hanya bisa berdiri mematung.
A Fei memandangnya dingin dan bertanya, “Apakah kau
Sin-losam?”
Sin-losam hanya bisa mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Tanya A Fei, “Apakah kau tahu apa yang kuinginkan?”

460
Ia terus mengangguk.
Tanya A Fei lagi, “Adakah yang ingin kau katakan?”
Kini Sin-losam berhenti mengangguk dan mulai
menggeleng.
Pedang A Fei terhunus, namun di saat yang sama A Fei
merasa ada kejanggalan. Hanya intuisi, seperti yang
dimiliki hewan liar, seperti seekor kelinci dapat
merasakan kehadiran seekor serigala liar. Tanpa
mendengar apa pun juga, atau pun melihat bayangan si
serigala.
Kini tanpa ragu-ragu A Fei mengacungkan pedangnya!
Secepat meteor, ditebaskannya pedang itu ke arah dada
Sin-losam. Tapi yang terdengar adalah suara berdentang,
seperti logam bertemu logam. Pedang itu mengenai
lempengan logam, sehingga tidak dapat menembusnya.
Setelah serangan itu, Sin-losam segera berguling ke
bawah meja. A Fei segera melompat untuk melarikan
diri. Sayang, ia terlambat selangkah.
Sebuah jaring raksasa telah jatuh dari langit-langit.
Jaring itu sebesar ruangan itu, sehingga siapapun yang
berada di situ pasti akan terperangkap.
A Fei pun terperangkap.

461
Anehnya ia tidak merasa panik atau ketakutan. Ia hanya
merasa sedih, karena ia baru tahu bagaimana perasaan
seekor binatang yang tertangkap oleh pemburu.
Seekor binatang tidak mungkin lolos dari perangkap
pemburu.
Oleh sebab itu, A Fei tidak berusaha melepaskan diri.
Ia tahu usaha itu sia-sia belaka.
Saat itu, dua bayangan turun ke atas jala itu, masingmasing
membawa sebuah tongkat panjang. Kedelapan
Hiat-to (jalan darah) A Fei segera ditutup.
Dua orang ini adalah Sin-kam Taysu dan Pek-hiau-sing
dari Siau-lim-si.
Sin-losam sudah tidak ada di bawah meja lagi, karena di
situ ternyata ada jalan rahasia.
Sudah jelas sekarang, ini semua adalah jebakan.
Wajah Pek-hiau-sing penuh kemenangan. “Aku tahu kau
pasti datang ke sini. Kau menyerah sekarang?”
A Fei diam saja.
Walaupun ia masih bisa bicara, ia tidak merasa perlu
untuk menjawab atau bertanya, “Bagaimana kau bisa
tahu aku akan datang ke sini?”

462
Matanya menatap kosong, seolah-olah pikirannya pun
kosong.
Ia tidak bisa berpikir? Atau tidak mau berpikir? Atau tidak
berani berpikir apa-apa?
Kata Pek-hiau-sing, “Aku tahu, kau berusaha menolong
temanmu, Li Sun-Hoan, jadi kau berpura-pura menjadi
Bwe-hoa-cat .”
A Fei berteriak, “AKULAH Bwe-hoa-cat . Aku tidak perlu
berpura-pura. Aku tidak kenal siapa itu Li Sun-Hoan.”
Sahut Pek-hiau-sing, “Benarkah…. Sim-kam Suheng, ia
bilang ialah Bwe-hoa-cat . Apakah kau percaya?”
“Tidak.”
Kata Pek-hiau-sing lagi, “Tapi ini cukup sulit dibuktikan.
Sim-kam Suheng, tahukah kau siapa yang membunuh
Hong-thian-lui?”
“Bwe-hoa-cat .”
“Bagaimana dia mati?”
“Walaupun di tubuhnya ada tanda bunga Bwe, serangan
yang mematikan adalah totokan pada Hian-ki-hiat.”
Kata Pek-hiau-sing, “Kalau begitu, Bwe-hoa-cat bukan
hanya pesilat tangguh, namun Tiam-hiat (ilmu totok)nya
pun sangat tinggi.”

463
“Betul.”
Pek-hiau-sing tersenyum, menoleh pada A Fei. “Jika kau
bisa menyebutkan nama kedelapan Hiat-to (jalan
darah)mu yang baru saja aku tutup, kami semua akan
percaya bahwa kaulah Bwe-hoa-cat dan kami akan
segera membebaskan Li Sun-Hoan. Bagaimana?”
A Fei mengertakkan giginya kuat-kuat.
Pek-hiau-sing mendesah. “Kau memang sahabatnya yang
setia. Untuk dia, kau rela mengorbankan nyawamu. Tapi
seberapakah pentingnya engkau dalam pandangannya?
Jika kau dapat membujuknya keluar dari kamar itu saja
sudah cukup bagus.”
***
Ada arak dalam cawan.
Li Sun-Hoan memegang cawan itu di tangannya.
Di sudut kamar tampak seorang pendeta kurus yang
tampak sangat lemah. Walaupun ia sudah lewat
setengah umur, wajahnya belum tampak tua. Ia
kelihatan seperti seorang kutu buku.
Orang ini adalah Sim-si Taysu.
Walaupun ia adalah tawanan Li Sun-Hoan, ia tetap
kalem, duduk tenang di sudut ruangan.

464
Tiba-tiba Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata padanya,
“Tak kusangka Siau-lim-si mempunyai arak selezat ini.
Mau secawan?”
Sim-si Taysu menggelengkan kepalanya.
Li Sun-Hoan berkata, “Aku minum arak di depan jenazah
Saudaramu. Apakah itu termasuk kurang ajar?”
Sahut Sim-si Taysu, “Secara umum, orang menggunakan
arak untuk bersulang, di mana pun tempatnya. Kau sama
sekali tidak kurang ajar.”
Kata Li Sun-Hoan, “Bagus. Tidak heran kalau orang
bilang, setelah masuk ke dalam biara, hatimu akan lebih
lega.”
Wajah Sim-si Taysu yang tenang berubah sedikit, seperti
berusaha menyembunyikan rasa pedih.
Ia menghela nafas, wajahnya penuh kesedihan. Apakah
ia sedih untuk saudaranya yang telah meninggal, atau
untuk keadaan dirinya saat itu, tidak ada yang tahu.
Li Sun-Hoan memandangi cawan araknya, lalu menghela
nafas juga. “Sejujurnya, aku tidak menyangka bahwa
kaulah yang menyelamatkan aku kali ini.”
Sahut Sim-si Taysu, “Aku tidak menyelamatkanmu.”
Kata Li Sun-Hoan, “Empat belas tahun yang lalu, aku
mengundurkan diri dari jabatanku di pemerintahan.
Walaupun alasan resminya adalah bahwa aku sudah

465
bosan berkecimpung dalam dunia politik, sesungguhnya,
jika bukan karena tulisanmu yang mengatakan bahwa
aku punya bersekongkol dengan para bandit, aku
mungkin tidak akan berbulat hati untuk mengundurkan
diri.”
Sim-si Taysu memejamkan matanya, lalu berkata, “Go
Hun-ih yang gila kekuasaan itu sudah lama mati.
Mengapa kau mengungkit tentang dia kembali?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Kau memang benar. Setelah
seseorang masuk ke biara, ia menjadi seorang yang
baru. Tetap saja, aku masih tidak bisa percaya bahwa
kaulah yang menyelamatkan aku hari ini.”
Sim-si Taysu membuka matanya dan berseru, “Sudah
kubilang, aku tidak menyelamatkan engkau. Karena
tenaga dalamku lemah, maka aku tidak bisa lepas dari
cengkeramanmu. Jangan berbicara seolah-olah kau
berhutang padaku.”
“Tapi jika bukan kau yang memberiku tanda untuk
masuk ke sini, aku tidak akan memilih untuk masuk ke
ruangan ini. Dan jika kau berusaha lepas, tak mungkin
aku benar-benar bisa menahanmu di sini.”
Mulut Sim-si Taysu komat-kamit, tapi tidak ada satu kata
pun yang keluar.
Li Sun-Hoan tersenyum. “Pendeta kan tidak boleh
berdusta. Lagi pula, hanya ada kita berdua di sini.”

466
Sim-si Taysu pun tersenyum. “Walaupun memang aku
berniat untuk menyelamatkanmu, itu bukan karena
kejadian di masa lalu itu.”
Li Sun-Hoan tidak kelihatan terkejut. Ia hanya bertanya,
“Lalu kenapa?”
Dari wajahnya, kelihatannya Sim-si Taysu tidak tahu
harus menjawab apa.
Li Sun-Hoan tidak memaksanya. Ia lalu menghabiskan
araknya.
Saat itu, seseorang dari luar berseru, “Li Sun-Hoan, lihat
ke luar jendela!”
Ini adalah suara Sin-kam Taysu.
Ketika Li Sun-Hoan melihat ke luar jendela, wajahnya
langsung berubah.
Tak pernah disangkanya bahwa A Fei akan jatuh ke
tangan mereka.
Pek-hiau-sing hanya berdiri saja di situ dengan wajah sok
tahu. Katanya, “Li Tamhoa, kurasa kau mengenalnya,
bukan? Demi engkau, ia ingin dianggap sebagai Bwehoa-
cat . Bagaimana kau akan berterima kasih padanya?”
Sin-kam Taysu berseru, “Jika kau ingin menyelamatkan
dia, lebih baik kau keluar dan menyerah!”

467
Tangan Li Sun-Hoan gemetar. Ia tidak melihat wajah A
Fei, karena wajahnya menelungkup di tanah.
Kelihatannya ia terluka parah.
Sin-kam Taysu tiba-tiba mengangkat tubuh A Fei. “Li
Sun-Hoan kuberi kau waktu empat jam. Jika kau tidak
keluar dengan Gosuhengku, kau tak akan pernah melihat
temanmu ini lagi.”
Pek-hiau-sing berkata, “Li Tamhoa, orang ini sangat
memperhatikan engkau. Sepantasnya kau pun membalas
kebaikannya.”
Li Sun-Hoan sungguh tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya.
Ia melihat bagaimana mereka menyeret A Fei seperti
seekor anjing, dan melihat luka-lukanya akibat
penganiayaan mereka.
Anak muda itu tidak mengucapkan sepatah katapun.
Ia hanya memandang sekilas ke arah jendela, wajahnya
sungguh tenang. Seakan-akan berkata pada Li Sun-Hoan
bahwa ia tidak takut mati.
Li Sun-Hoan mengeluh. “Sahabatku…. Aku tahu apa yang
kau pikirkan. Kau tidak ingin aku menolongmu.”
Sim-si Taysu terus memandangnya, lalu tiba-tiba
bertanya, “Apa yang akan kau lakukan?”

468
Li Sun-Hoan minum tiga cawan lagi, baru menjawab,
“Tentu saja aku akan menyerah. Kapan kau mau, silakan
ikat aku dan bawa aku keluar.”
Kata Sim-si Taysu, “Kau pasti mati kalau keluar!”
“Aku tahu.”
“Tapi kau masih mau keluar juga?”
“Tentu saja.”
Jawabannya begitu pasti, tidak bisa didebat lagi.
Kata Sim-oh Taysu, “Bukankah itu sangat bodoh?”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Kita semua pernah berbuat
kebodohan dalam hidup kita. Jika setiap orang
mengambil keputusan yang benar, bukankah hidup ini
akan menjadi terlalu membosankan?”
Sim-si Taysu merenungkan kata-kata ini, lalu berkata,
“Kau memang benar. Kadang-kadang tidak ada jalan lain.
Kau tahu dengan melakukan hal ini, kau pasti mati. Tapi,
tetap saja kau harus melakukannya!”
Li Sun-Hoan terkekeh. “Setidaknya kau tahu cara
berpikirku.”
Lanjut Sim-si Taysu, “Persahabatan adalah yang
terutama, lebih penting daripada hidup dan mati. Li Sun-
Hoan memang benar-benar Li Sun-Hoan.”

469
Li Sun-Hoan tidak memandangnya lagi, dan berkata,
“Aku jalan duluan.”
Sim-si Taysu tiba-tiba berseru, “Tunggu dulu.”
Seolah-olah ia baru saja mengambil keputusan penting.
Matanya menatap Li Sun-Hoan lekat-lekat. “Aku belum
selesai bicara.”
“O ya?”
Kata Sim-si Taysu, “Tadi sudah kukatakan bahwa aku
punya alasan lain menyelamatkanmu.”
“Benar.”
Kata Sim-si Taysu, “Ini adalah rahasia besar Siau-lim-si,
dan menyangkut banyak orang, sehingga tadinya aku
tidak ingin memberi tahu padamu.”
Li Sun-Hoan berdiri saja, mendengarkan.
Lanjut Sim-si Taysu, “Di Siau-lim-si ada begitu banyak
buku langka. Sebagian kitab suci agama Budha, sebagian
lagi buku-buku ilmu silat.”
“Tentu saja aku tahu.”
Kata Sim-si Taysu lagi, “Selama beberapa ratus tahun
terakhir ini, segeLimtir orang berusaha untuk mencuri
buku-buku ini dari Siau-lim-si, namun tidak ada yang
berhasil.

470
Walaupun pendeta tidak seharusnya membunuh, tetap
saja, buku-buku ini adalah dasar kuil Siau-lim-si. Jadi
setiap orang yang berusaha mencurinya akan menjadi
sasaran kemarahan seluruh murid Siau-lim-si.”
Kata Li Sun-Hoan, “Aku hampir tidak pernah mendengar
ada orang yang berani mencuri dari sini.”
Sahut Sim-si Taysu, “Kau orang luar, tentu saja kau tidak
tahu secara detil. Sebenarnya Siau-lim-si pernah kecurian
buku sebanyak tujuh kali. Satu buku adalah petunjuk
untuk ketenangan hati dan yang lain adalah kitab ilmu
silat tingkat tinggi.”
Li Sun-Hoan sungguh terkejut mendengarnya. “Siapa
yang berbuat?”
Jawab Sim-si Taysu, “Anehnya, tidak ada tanda-tanda
pencurian ataupun jejak apa pun yang dapat diselidiki.
Setelah dua pencurian yang pertama, kami telah
meningkatkan penjagaan. Namun pencurian itu tetap
berlanjut. Pada awalnya, Samkolah yang menjaga
perpustakaan, namun sejak peristiwa itu ia
mengundurkan diri.”
Kata Li Sun-Hoan, “Ini kan persoalan besar. Mengapa
tidak tersiar ke mana-mana?”
Sahut Sim-si Taysu, “Justru karena ini adalah masalah
yang sangat besar, Ciangbun-suheng sudah wanti-wanti
pada semua orang yang tahu untuk tutup mulut. Jadi

471
sekarang, termasuk engkau, hanya sembilan orang yang
tahu akan hal ini.”
Tanya Li Sun-Hoan, “Selain ketujuh pendeta utama,
siapakah orang yang kedelapan?”
“Pek-hiau-sing.”
Li Sun-Hoan mengeluh. “Orang ini benar-benar suka ikut
campur urusan orang lain.”
Kata Sim-si Taysu lagi, “Setelah Samko mengundurkan
diri, Jisuheng dan akulah yang menjaga perpustakaan,
sejak setengah bulan yang lalu.”
Li Sun-Hoan bertanya, “Jika Sim-bi bertugas menjaga
perpustakaan, mengapa dia pergi?”
Jawab Sim-si Taysu, “Sebab Jisuheng curiga bahwa Bwehoa-
cat terlibat dalam pencurian itu, jadi ia pergi untuk
menyelidiki. Siapa sangka ia tidak pernah kembali lagi.”
Setelah diam beberapa saat, Sim-si Taysu melanjutkan,
“Aku dan Jisuheng adalah teman lama. Sebelum ia pergi,
ia mengambil tiga kitab yang paling berharga dari
perpustakaan dan menyembunnyikannya di tiga tempat.
Hanya Ciangbun-suheng dan aku yang tahu tempat
persembunyiannya.”
“Satu ada dalam ruangan ini bukan?”
“Betul.”

472
Kata Li Sun-Hoan, “Pantas saja mereka begitu enggan
menyerbu ke sini.”
Kata Sim-si Taysu lagi, “Karena pencurian itu begitu
aneh, aku dan Jisuheng berpendapat bahwa mungkin
ada orang dalam yang terlibat.
Namun, walaupun kami berdua sudah curiga, kami tidak
berani mengatakannya. Karena selain dari kami bertujuh
pendeta utama, tidak ada seorang pun yang dapat
mencuri kitab-kitab itu.”
Mata Li Sun-Hoan berbinar. “Jadi pencurinya pasti salah
satu dari kalian bertujuh?”
Sahut Sim-si Taysu, “Kami tujuh bersaudara telah hidup
bersama di sini selama lebih dari sepuluh tahun. Kami
pun saling mempercayai satu dengan yang lain. Hanya
saja…”
“Apa?”
“Sebelum Jisuheng pergi, ia sempat mengatakan padaku
bahwa ia sangat curiga pada salah seorang dari kami
bertujuh.”
Li Sun-Hoan bertanya cepat, “Siapa?”
Sim-si Taysu menggelengkan kepalanya. “Ia tidak
menyebutkan namanya, karena ia tidak mau asal tuduh.
Ia masih berharap bahwa pencurinya adalah Bwe-hoa-cat
.”

473
Sampai di sini, tenggorokan Sim-si mengering, tak bisa
bicara lebih lanjut.
Kata Li Sun-Hoan, “Aku mengerti perasaan Sim-si.
Namun bagaimana mungkin ia hanya berpangku tangan
sementara si pencuri masih bebas berkeliaran, bahkan
menyebutkan namanya pun tidak mau.”
Sim-si Taysu pun berkata, “Jisuheng pun telah berpikir
demikian. Jadi sebelum ia pergi, ia sudah berpesan, jika
sampai terjadi apa-apa pada dirinya, aku harus membaca
buku hariannya. Nama orang yang dicurigainya tertulis di
halaman terakhir.”
Li Sun-Hoan bertanya tidak sabar, “Lalu di mana buku
harian itu?”
“Tadinya ada bersama dengan kitab-kitab berharga itu.
Sekarang ada padaku.”
Ia mengeluarkan sebuah buku, yang kemudian segera
direbut oleh Li Sun-Hoan. Seluruh buku itu berisi tentang
ajaran-ajaran agama Budha, tidak ada tulisan tentang
orang yang dicurigai.
Tanya Li Sun-Hoan, “Halaman terakhirnya sudah dirobek
oleh si pencuri?”
Jawab Sim-si Taysu, “Bukan hanya itu. Kitab-kitab itu
pun telah berubah menjadi kitab-kitab kosong!”
Kata Li Sun-Hoan, “Ini berarti si pencuri sudah tahu
bahwa Jisuheng mencurigainya.”

474
“Betul.”
“Tapi hanya engkau dan Ciangbun-suheng yang tahu
tempat persembunyiannya. Jadi kau curiga….”
Kata Sim-si Taysu, “Tidak sepenuhnya. Jika si pencuri
tahu bahwa Jisuheng mencurigainya, ia pasti akan
membayangi Jisuheng kemana saja. Dengan cara itu,
kemungkinan ia bisa mengetahui tempat
persembunyiannya. Tapi….”
“Tapi apa?”
“Sebenarnya, sewaktu kau membawa Jisuheng kembali
ke sini, ia masih hidup. Dan ia tidak seharusnya mati!”
Li Sun-Hoan kaget setengah mati.
Ia melihat Sim-si Taysu mengepalkan tangannya.
“Walaupun aku bukan ahli tentang racun, aku telah
belajar cukup banyak beberapa tahun terakhir ini dari
buku-buku kami. Jadi, sewaktu aku melihat keadaan
Jisuheng waktu ia sampai, aku tahu ia pasti akan
tertolong. Paling tidak ia tidak mungkin mati secepat itu!”
Kata Li Sun-Hoan, “Jadi maksudmu…..”
Kata Sim-si Taysu, “Siapapun yang mencuri kitab-kitab
itu, dialah yang membunuh Jisuheng.”
Tiba-tiba Li Sun-Hoan merasa ruangan itu menjadi
sangat sempit, ia menjadi sulit bernafas.

475
Ia mengelilingi ruangan itu untuk menenangkan diri, lalu
bertanya, “Berapa orang yang datang menjenguknya?”
Jawab Sim-si Taysu, “Toasuheng, Sisuheng, dan
Laksute.”
“Jadi salah satu dari merekalah pembunuhnya?”
Sim-si Taysu mengangguk. “Ini adalah petaka besar bagi
biara ini. Seharusnya aku tidak mengatakannya padamu,
namun aku tahu sekarang bahwa kau bukanlah orang
yang mengkhianati sahabatmu. Jadi aku ingin kau….”
“Kau ingin aku membantumu menangkap si pembunuh?”
“Betul.”
Li Sun-Hoan berpikir sejenak, lalu ia bertanya perlahan,
“Bagaimana jika ternyata pembunuhnya adalah Sim-oh
Taysu?”
Tubuh Sim-si Taysu menegang, keringat membasahi
keningnya.
Kata Li Sun-Hoan, “Walaupun seluruh murid Siau-lim-si
akhirnya mengetahui bahwa pembunuhnya adalah Simoh
Taysu, tidak ada seorang pun yang mau
mengakuinya, bukan?”
Sim-si Taysu tidak menjawab, karena memang
pertanyaan ini tidak butuh jawaban. Semua orang
menganggap Siau-lim-si sebagai perguruan silat yang

476
terhormat. Apa jadinya jika Ketua Siau-lim-si ternyata
adalah seorang pembunuh?”
Li Sun-Hoan berkata lagi, “Walaupun aku bisa
membuktikan bahwa pembunuhnya adalah Sim-oh
Taysu, aku yakin kau tak akan mendukungku, demi
mempertahankan reputasimu.”
Sim-si Taysu mendesah. “Kau benar. Demi reputasi Siaulim-
si, aku akan mengorbankan apapun juga.”
Tanya Li Sun-Hoan, “Lalu mengapa kau minta aku
melakukannya?”
Jawab Sim-si Taysu, “Walaupun aku tidak mau merusak
reputasi Siau-lim-si, jika kau bisa membuktikan siapa
pembunuh Jisuheng, aku jamin ia akan mati bersama
denganku.”
Kata Li Sun-Hoan, “Bagaimana bisa seorang pendeta
berbicara mengenai pembunuhan? Kelihatannya kau
masih terikat dengan dunia luar.”
Sahut Sim-si Taysu, “Sang Budha sendiri pun pernah
marah, apalah artinya seorang pendeta kecil.”
Kata Li Sun-Hoan, “Mendengar jawabanmu, aku sudah
puas.”
Tanya Sim-si Taysu, “Kau sudah tahu siapa
pembunuhnya?”

477
Sahut Li Sun-Hoan, “Belum. Tapi aku tahu seseorang
yang tahu.”
Kata Sim-si Taysu, “Si pembunuhnya pasti tahu.”
Kata Li Sun-Hoan, “Selain si pembunuh, ada seorang lagi
yang tahu. Orang itu berada di ruangan ini.”
“Siapa?”
Li Sun-Hoan menunjuk pada jenazah Sim-bi, “Dia!”
Kata Sim-si Taysu, “Sayang sekali, dia sudah tidak bisa
berbicara.”
Li Sun-Hoan terkekeh. “Kadang-kadang orang mati pun
bisa bicara.”
Ia menyingkapkan kain yang menutupi tubuh Sim-bi.
Sinar matahari menyinari wajahnya yang sudah berwarna
abu-abu gelap.
Li Sun-Hoan bertanya, “Pernahkah kau melihat korban
Ngo-tok-tongcu?”
“Tidak.”
Bab 24. Menangkap Pengkhianat
Li Sun-Hoan mengeluh. “Kau benar-benar beruntung.
Mereka sama sekali bukan pemandangan yang
menyenangkan.”

478
Setiap orang yang mati karena racun Ngo-tok-tongcu
tubuh dan wajahnya rusak parah.
Li Sun-Hoan memejamkan matanya, lalu perlahan-lahan
berkata, “Beberapa tahun yang lalu, aku melihat
seseorang yang mati karena racunnya. Dalam beberapa
detik saja wajahnya menghitam dan tidak lama kemudian
seluruh tubuhnya membusuk.”
Sim-si Taysu menatap tubuh Sim-bi lalu berseru, “Tapi
Jisuheng sudah meninggal beberapa hari….”
Li Sun-Hoan membuka matanya kembali. “Betul sekali.
Dia sudah keracunan beberapa hari, namun tubuhnya
belum membusuk. Kau tahu kenapa?”
Sim-si Taysu menggelengkan kepalanya.
Kata Li Sun-Hoan, “Karena ia kena racun yang lain lagi!”
Kata Sim-si Taysu terbata-bata, “Mak…Maksudmu…”
Kata Li Sun-Hoan melanjutkan, “Walaupun ia kena racun
Ngo-tok-tongcu, keadaannya tidak terlalu
membahayakan. Racun itupun telah ditahannya dengan
tenaga dalamnya, sehingga racun itu tidak bekerja lagi
sewaktu dia sampai di Siau-lim-si.”
“Betul.”
Sambung Li Sun-Hoan, “Si pembunuh pasti takut ia akan
menyebarkan rahasianya. Maka untuk mempercepat

479
kematiannya, ia meracuni Sim-bi Taysu dengan racun
yang lain.”
Tanya Sim-si Taysu, “Ada banyak cara untuk membunuh,
mengapa menggunakan racun?”
“Karena cara apapun yang ditempuhnya akan
meninggalkan jejak. Namun karena Sim-bi Taysu sudah
keracunan, jejaknya akan tersamarkan.”
Sahut Sim-si Taysu, “Benar juga. Dengan cara ini, semua
orang akan berpikir bahwa dia mati karena racun Ngotok-
tongcu.”
Kata Li Sun-Hoan, “Orang ini betul-betul penuh
perhitungan, tapi ada satu hal yang dilupakannya.”
“Apa itu?”
“Ia lupa bahwa racun dapat saling menetralisir. Karena ia
memberikan racun yang mematikan dalam jumlah besar,
racun itu menghalangi bekerjanya racun Ngo-tok-tongcu.
Oleh sebab itu, tubuh Sim-bi tetap dalam keadaan baik
setelah sekian lama.”
Mata Li Sun-Hoan berbinar. Tanyanya, “Setelah Sim-bi
Taysu datang, apakah ia makan sesuatu?”
Jawab Sim-si Taysu, “Hanya semangkuk obat.”
“Siapa yang memberikan obat itu padanya?”

480
“Obat itu dibuat oleh Jitsute Sin-kam. Tapi yang
menyuapkan obat itu padanya adalah Sisuheng Sim-ciok
dan Laksute Sim-ting.”
Ia mengeluh. “Jadi mereka bertigalah tersangkanya.”
Kata Li Sun-Hoan, “Ada dua jenis racun yang terkenal di
dunia. Yang pertama sifatnya tidak berbau dan tidak
berasa. Namun racun ini bisa membuat orang mati
mengenaskan. Jadi tidak hanya membunuh si korban,
namun juga menakutkan bagi yang menyaksikan.”
Kata Sim-si Taysu, “Racun Ngo-tok-tongcu sudah tentu
masuk kategori ini.”
Li Sun-Hoan menyambung lagi, “Jenis yang kedua, lebih
mudah dideteksi. Namun dapat menyebabkan kematian
tanpa tanda-tanda khusus. Kadang-kadang orang tidak
menyangka bahwa si korban mati keracunan.”
“Maksudmu, si pembunuh menggunakan racun jenis ini?”
Li Sun-Hoan mengangguk. “Karena sifatnya yang
berbeda itulah, kedua racun ini malah saling menetralisir.
Walaupun jenis yang pertama itu lebih mengerikan, jenis
yang kedua lebih mematikan. Sedikit sekali orang yang
dapat menyatukan dua macam racun ini.”
Ia menatap Sim-si Taysu lekat-lekat, lalu bertanya,
“Berapa orang di Siau-lim-si yang tahu betul tentang
racun?”
Sim-si Taysu menghela nafas panjang. “Ini…..”

481
Kata Li Sun-Hoan, “Siau-lim-si adalah pelopor dalam
dunia persilatan. Murid-muridnya tidak mungkin belajar
sesuatu yang sesat seperti ini, bukan?”
Sim-si Taysu menjawab dengan tegas, “Hal semacam ini
sama sekali tidak diajarkan di Siau-lim-si!”
Kata Li Sun-Hoan, “Pendeta Sim-ciok dan Sim-ting….”
Sim-si Taysu segera memotong perkataannya. “Sim-ciok
menjadi pendeta waktu berumur sembilan tahun. Simting
telah menjadi pendeta saat masih bayi. Aku berani
bertaruh bahwa mereka berdua belum pernah melihat
racun jenis apapun seumur hidup mereka.”
Li Sun-Hoan terkekeh. “Jadi, siapa pembunuhnya?”
“Maksudmu, sudah pasti Jitsute Sin-kam?”
Li Sun-Hoan diam saja.
Sin-kam Taysu menjadi pendeta setelah ia dewasa.
Sebelum ia masuk ke Siau-lim-si, ia sudah terkenal dalam
dunia persilatan terkenal dengan julukan "Jit-giau-susing"
atau si sastrawan serbamahir, seorang ahli racun!
***
Permainan Go sedang berlangsung di paviliun itu.
Pek-hiau-sing memainkan buah catur itu ditangannya.
Bunga-bunga salju berjatuhan ke tanah dari buah catur
itu.

482
Pemandangan di situ sungguh indah, namun di manamana
dapat terasa hawa membunuh yang tebal dan
semua orang sangat tegang.
Pendeta Sim-oh Taysu, Sim-ciok, Sim-ting dan Sin-kam
Taysu ada di situ.
A Fei berlutut di sudut paviliun itu. Wajahnya tertunduk.
Sim-oh Taysu memandangnya dan bertanya, “Apakah
menurutmu Li Sun-Hoan akan datang?”
Pek-hiau-sing tersenyum. “Pasti.”
Sim-oh Taysu bertanya lagi, “Apakah dia itu orang yang
mau berkorban untuk sahabatnya?”
“Bahkan kaum pencuri pun punya kode etik.”
Sim-oh Taysu mengeluh. “Kuharap kau benar….”
Suaranya terhenti.
Ia melihat Sim-si Taysu.
Sim-si Taysu masuk ke paviliun itu, tapi sendirian saja.
Sim-oh Taysu berdiri menyambutnya, “Bagaimana
keadaanmu?”
Ia tidak bertanya yang lain, hanya menyapa Sim-si Taysu
seperti biasa. Hanya seorang Ciangbun-suheng Siau-limsi
yang mampu berbuat demikian.

483
Sahut Sim-si Taysu, “Terima kasih, Suheng. Untungnya
tecu masih selamat.”
Sim-si Taysu melanjutkan, “Ia pergi mengambil kitabkitab
itu?”
Sin-kam Taysu bertanya, “Kitab? Kitab apa?”
Jawab Sim-si Taysu, “Kitab-kitab yang hilang dari
perpustakaan.”
Mulut Sin-kam Taysu komat-kamit, lalu ia tertawa dingin.
“Ternyata dia biang keladinya! Lalu kenapa kau biarkan
dia pergi begitu saja?”
Sahut Sim-si Taysu, “Karena bukan dia pencurinya.”
Tanya Sin-kam Taysu, “Lalu siapa?”
Jawab Sim-si Taysu tegas, “Engkau!”
Mulut Sin-kam Taysu komat-kamit lagi, tapi kemudian ia
menenangkan diri. “Gosuheng, bagaimana mungkin kau
menuduhku? Aku tidak mengerti.”
Kata Sim-si Taysu, “Jika kau tidak mengerti, siapa yang
mengerti?”
Sin-kam Taysu menoleh pada Sim-oh Taysu, lalu berkata
dengan memelas, “Suheng, katakanlah sesuatu. Tecu
tidak bisa membela diri.”

484
Wajah Sim-oh Taysu pun berubah. “Jisuheng telah
dibunuh oleh Li Sun-Hoan. Mengapa kau malah
membantunya?”
Pek-hiau-sing pun menjadi kesal. “Jika benar ingatanku,
Sim-si suheng dan Li Sun-Hoan lulus ujian kekaisaran
pada tahun yang sama.”
Sin-kam Taysu berkata dingin, “Kalau begitu, Gosuheng
pun pasti telah kena racun Li Sun-Hoan.”
Sim-si Taysu tidak menggubris ocehan mereka. Katanya,
“Racun yang membunuh Jisuheng bukanlah racun Ngotok-
tongcu.”
Sin-kam Taysu memotong cepat, “Kau tahu dari mana?”
Sim-si Taysu tertawa dingin. “Kau pikir tidak seorang pun
tahu perbuatanmu? Atau kau lupa bahwa Jisuheng
meninggalkan sesuatu sebelum meninggal?”
Ia mengeluarkan buku harian Sim-bi.
Tanya Sim-oh Taysu, “Apa itu?”
Jawab Sim-si Taysu, “Sebelum Jisuheng berangkat, ia
sudah tahu siapa pencuri pengkhianat itu. Tapi ia tidak
mau bertindak tanpa bukti nyata, sehingga Sim-bi hanya
menuliskan namanya pada buku ini, supaya kalau dia
mati, bukti itu tidak akan hilang.”
Sim-oh Taysu terperanjat mendengarnya, “Betulkah?”

485
Sin-kam Taysu memotong lagi. “Jika memang betul ada
Cayhe di buku itu, aku akan….”
Kata Sim-si Taysu, “Kau akan apa? Walaupun sudah kau
sobek halaman terakhirnya, bagaimana kau bisa yakin ia
tidak menuliskan namamu di halaman yang lain juga?”
Tubuh Sin-kam Taysu gemetar, lalu berseru, “Gosuheng
telah bersekongkol dengan orang luar untuk memfitnah
aku. Lotoa, tolong selidiki hal ini baik-baik.”
Sim-oh Taysu hanya berdiri mematung sambil
memandang Pek-hiau-sing.
Kata Pek-hiau-sing, “Siapapun dapat menuliskan nama
itu.”
Sin-kam Taysu pun segera mengiakan, “Betul… Sekalipun
Cayhe tertulis di situ, tidak dapat dibuktikan bahwa
Jisuhenglah yang menulisnya.”
Tambah Pek-hiau-sing, “Setahuku, Li-tamhoa adalah
seseorang yang sangat terpelajar. Ia pun pandai dalam
ilmu tulis-menulis.”
Sin-kam Taysu pun berkata, “Betul sekali. Mudah sekali
baginya untuk meniru tulisan tangan seseorang.”
Sim-oh Taysu memandang pada Sim-si Taysu. “Suheng,
biasanya kau adalah seorang yang berhati-hati. Apakah
kau tidak terlalu gegabah saat ini?”

486
Wajah Sim-si Taysu tidak berubah, terus menatap Sinkam
Taysu. “Jika kau pikir ini belum cukup, aku masih
punya bukti yang lain.”
Kata Sim-oh Taysu, “O ya? Cepat katakan.”
Sahut Sim-si Taysu, “Kitab ‘Ta-ma-ih-kin-keng’ yang
tersembunyi dalam kamar Jisuheng telah lenyap.”
“O ya?”
Lanjut Sim-si Taysu, “Menurut perhitungan Li Tamhoa, si
pencuri pasti belum sempat membawanya keluar. Jadi
kitab itu pasti masih ada di kamar Sin-kam Taysu. Ia
telah pergi bersama dengan murid-muridku ke sana
untuk mencarinya.”
Sin-kam Taysu melompat bangun dan berteriak,
“Suheng, jangan dengarkan dia. Ia sedang
memfitnahku!”
Sambil mengatakan itu, tubuhnya pun sudah berada di
luar.
Sim-oh Taysu mengangkat alisnya, segera berdiri dan
mengejarnya.
Dalam sekejap saja, mereka telah tiba di kamar Sin-kam
Taysu.
Pintunya telah terbuka lebar.

487
Sin-kam Taysu bergegas masuk. Ia segera menoreh
sebuah lemari dan terlihatlah laci rahasia di baliknya.
Kitab ‘Ih-kin-keng’ ada di dalamnya.
Sin-kam Taysu berteriak, “Buku ini tadinya ada di kamar
Jisuheng. Karena mereka mau memfitnahku, maka
ditaruhnyalah buku ini di situ. Tapi tipuan ini kan sudah
ratusan kali dilakukan. Bagaimana mungkin seorang
sepandai Suheng dapat tertipu oleh tipuan murahan
kalian?”
Setelah ia selesai, Sim-si Taysu berkata dengan tenang,
“Jika kami ingin memfitnahmu, bagaimana kau bisa tahu
kalau buku ini ada di balik lemari itu? Mengapa kau tidak
perlu mencari-cari di tempat lain terlebih dulu?”
Sin-kam Taysu mengejang, wajahnya berkeringat.
Sim-si Taysu bernafas lega. “Li Tamhoa sudah
memperhitungkan bahwa hanya dengan cara inilah kau
akhirnya mengakui perbuatanmu.”
Terdengar suara tawa seseorang. “Tapi cara ini kan
sangat riskan. Jika ia tidak terjebak, sampai kapan pun ia
tidak akan tertangkap!”
Di tengah suara tawa itu, muncullah Li Sun-Hoan.
Sim-oh Taysu menghela nafas panjang, lalu
membungkuk untuk menyapanya.
Li Sun-Hoan membalas sapaannya.

488
Sin-kam Taysu diam-diam melangkah mundur, namun
Sim-ciok dan Sim-ting telah menghalangi jalannya. Wajah
mereka penuh kemarahan yang mematikan.
Kata Sim-oh Taysu, “Tan Ok, Siau-lim-si sudah begitu
baik padamu, mengapa kau berbuat seperti ini?”
Tan Ok adalah nama Sin-kam Taysu sebelum menjadi
pendeta.
Keringat Tan Ok bercucuran. Katanya, “A…Aku mengakui
kesalahanku.”
Tiba-tiba ia berlutut dan berkata, “Tapi akupun telah
dimanfaatkan oleh orang lain.”
Sim-oh Taysu membentak, “Oleh siapa?”
Pek-hiau-sing memotong cepat, “Kukira aku tahu siapa
orangnya.”
Kata Sim-oh Taysu, “Tolong beri tahu kami.”
Sahut Pek-hiau-sing, “Dia!”
Semua orang menoleh ke arah yang ditunjuk Pek-hausing,
namun mereka tidak melihat siapa pun juga.
Waktu mereka menoleh kembali, wajah Sim-oh Taysu
telah berubah.

489
Tangan Pek-hiau-sing sudah berada di punggungnya.
Jari-jarinya telah terarah pada empat Hiat-to (jalan
darah) utama Sim-oh Taysu.
Wajah Sim-si Taysu pun jadi berubah. “Ternyata kau!”
Kata Pek-hiau-sing, “Aku hanya ingin meminjam
beberapa buku. Siapa sangka kalian ini pelit sekali.”
Kata Sim-oh Taysu, “Kita berteman sudah sepuluh tahun
lebih. Aku tidak pernah menyangka kau akan berbuat
seperti ini padaku.”
Pek-hiau-sing menghela nafas. “Aku pun tidak ingin
melakukannya. Tapi karena Tan Ok bermaksud
menyeretku jatuh bersamanya, terpaksa aku melakukan
ini.”
Tan Ok segera melompat, menyambar kitab ‘Ih-kin-keng’
itu, lalu tertawa mengejek. “Betul sekali. Kau harus
menemani kami turun gunung. Jika kalian semua masih
ingin bertemu Ketua Siau-lim-si hidup-hidup, kalian
sebaiknya tidak melakukan gerak yang mencurigakan.”
Walaupun geram luar biasa, Sim-si Taysu hanya bisa
menonton saja.
Kata Sim-oh Taysu, “Jika kalian semua menghargai Siaulim-
si, jangan pedulikan aku. Tangkap pengkhianat ini
sekarang juga!”

490
Kata Pek-hiau-sing, “Kata-katamu tidak berarti. Mereka
tidak mungkin bermain-main dengan hidupmu. Hidup
seorang Ketua Siau-lim-si terlalu berharga.”
Waktu kata yang terakhir diucapkannya, senyumnya pun
tiba-tiba hilang.
Sebilah pisau berkilau.
Pisau Kilat si Li telah keluar!
Dan kini pisau itu telah melayang menuju lehernya!
Tidak seorang pun melihat kapan pisau itu keluar.
Pek-hiau-sing pun telah menggunakan Sim-oh Taysu
sebagai tamengnya. Lehernya selalu berada di belakang
leher Sim-oh Taysu. Hanya sebagian kecil lehernya yang
tampak.
Kapan pun juga ia bisa segera berlindung di balik Sim-oh
Taysu.
Dalam situasi ini, tidak seorang pun berani bergerak.
Namun begitu cepat pisau itu berkilat, dan lebih cepat
dari halilintar, Pisau Kilat si Li telah menembus lehernya!
Sim-si Taysu, Sim-ciok dan Sim-ting segera berhamburan
melindungi Sim-oh Taysu.

491
Mata Pek-hiau-sing dengan penuh kebencian menatap Li
Sun-Hoan. Tubuhnya masih tidak percaya dan kaget luar
biasa.
Dalam kematian pun, ia tidak bisa percaya bahwa pisau
Li Sun-Hoan telah menembus lehernya.
Mulutnya masih berusaha bicara, tapi tidak ada kata-kata
yang keluar. Namun semua orang bisa menebak bahwa
ia hendak mengatakan, “Aku salah….. Aku salah….”
Betul sekali. Pek-hiau-sing tahu segala sesuatu, dapat
melihat segala sesuatu, tapi ia salah terhadap satu hal.
Pisau Kilat si Li sungguh lebih cepat daripada yang ia
bayangkan!
Pek-hiau-sing pun ambruk.
Li Sun-Hoan mendesah. “Pek-hiau-sing menulis buku
‘Kitab Persenjataan’, dan mengurutkan senjata-senjata
ampuh di dunia. Sungguh sial, ia mati karena salah satu
dari senjata yang diurutkannya.”
Sim-oh Taysu membungkuk beberapa kali, lalu berkata,
“Aku pun salah.”
Lalu wajahnya tiba-tiba berubah, “Di mana si
pengkhianat itu?”
Tan Ok telah mengambil kesempatan dalam kekacauan
itu dan kabur.

492
Seorang seperti dia tidak akan melewatkan kesempatan
semacam ini. Dalam sekejap saja ia sudah meninggalkan
halaman biara.
Murid-murid yang lain tidak tahu akan kejadian ini. Jadi
kalaupun mereka melihat dia, mereka tak akan
menghalanginya.
Ketika ia sampai di paviliun itu, A Fei sedang berusaha
bangun.
Walaupun Pek-hiau-sing telah menutup Hiat-to (jalan
darah)nya kuat-kuat, akhirnya lepas juga setelah sekian
lama.
Ketika Tan Ok melihatnya, matanya penuh kebencian. Ia
ingin melampiaskan rasa frustrasinya pada A Fei.
Setelah disiksa begitu lama, bagaimana mungkin A Fei
dapat melawannya?
Jadi, membunuh A Fei tidak akan memakan waktu lama.
Tanpa berkata apa-apa, Tan Ok menyerang. Pukulan
Siau-lim-si terkenal di seluruh dunia dan Tan Ok telah
berlatih di Siau-lim-si selama sepuluh tahun, sehingga ia
pun cukup lihai menggunakannya.
Pukulan ini mengandung seluruh tenaganya, cepat dan
mematikan, dan tentunya dapat membunuh dengan
mudah. Tan Ok tahu, setelah membunuh A Fei pun dia
masih punya cukup banyak waktu untuk melarikan diri.

493
Tapi siapa sangka, di saat yang genting itu tangan A Fei
tiba-tiba teracung.
Ia bergerak belakangan, tapi menyerang lebih dulu!
Tan Ok hanya merasa kerongkongannya sedingin es.
Lalu ada rasa sakit menyertai hawa dingin itu. Nafasnya
berhenti, seakan-akan tercekik.
Mukanya menunjukkan rasa tidak percaya…. Ia tahu
gerakan pemuda ini memang sangat cepat, tapi apakah
yang digunakan pemuda ini untuk menusuk lehernya?
Ia tidak akan pernah tahu.
Tan Ok pun rubuh.
A Fei bangun berdiri, mengatur nafasnya.
Saat itu, Sim-oh Taysu dan yang lain telah tiba. Mereka
terkejut luar biasa, karena tidak ada yang menyangka
bahwa pemuda ini, dalam kondisi seperti itu, dapat
membunuh Tan Ok.
Batangan es menembus tenggorokan Tan Ok.
Es itu mulai mencair.
Pemuda ini hanya membutuhkan sebatang es untuk
membunuh salah satu dari tujuh pendeta Hou-hoattaysu.

494
Sim-oh Taysu hanya bisa menatap wajahnya yang putih
pucat itu. Tidak tahu harus bicara apa.
A Fei pun tidak memandang mereka sekilas pun. Ia
langsung berjalan menuju Li Sun-Hoan, langsung
tersenyum.
Li Sun-Hoan pun tersenyum.
Suara Sim-oh Taysua masih lemah. “Maukah kalian
berdua tidak mampir dulu ke….”
A Fei memotongnya cepat, “Apakah Li Sun-Hoan adalah
Bwe-hoa-cat ?”
Sahut Sim-oh Taysu, “Bukan.”
“Apakah aku adalah Bwe-hoa-cat ?”
“Bukan.”
Kata A Fei, “Kalau begitu, kami boleh pergi sekarang?”
Sim-oh Taysu memaksakan tersenyum. “Tentu saja. Tapi
kupikir kalian sebaiknya beristirahat di sini….”
A Fei memotongnya lagi, “Jangan repot-repot. Sekalipun
aku harus merangkak, aku akan merangkak turun
gunung sekarang juga.”
Sim-ciok dan Sim-ting, keduanya menunduk dalamdalam.
Tidak ada seorang pun yang berani bersikap
kurang ajar terhadap Ketua Siau-lim-si selama beratusKANG
ZUSI at http://cerita-silat.co.cc/
495
ratus tahun. Namun saat ini mereka hanya dapat
menelannya bulat-bulat.
A Fei meraih lengan Li Sun-Hoan dan berjalan keluar
Siau-lim-si.
Li Sun-Hoan memutar badannya dan berkata, “Hari ini
kita berpisah. Jika kita bertemu kembali, lupakanlah
kekasaran kami hari ini.”
Kata Sim-si Taysu, “Mari kuantar kalian.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Mengantar, seperti tidak mengantar.
Tidak mengantar, seperti mengantar. Mengapa Pendeta
harus membuat perbedaan?”
Waktu mereka lenyap dari pandangan, Sim-oh Taysu
menghela nafas panjang. Ia tidak berkata apa-apa,
namun diam terkadang lebih menyakitkan dari banyak
kata-kata.
Sim-ciok tiba-tiba berkata, “Suheng, sesungguhnya kau
jangan membiarkannya pergi.”
Tanya Sim-oh Taysu, “Mengapa?”
“Walaupun Li Sun-Hoan tidak mencuri kitab-kitab itu,
ataupun membunuh Jisuheng, kita masih belum bisa
membuktikan bahwa dia bukanlah Bwe-hoa-cat .”
Tanya Sim-oh Taysu lagi, “Lalu bagaimana kita
membuktikannya?”

496
Jawab Sim-ciok, “Ia dapat membuktikannya dengan
menangkap Bwe-hoa-cat yang sebenarnya.”
Sim-oh Taysu kembali mendesah. “Aku tahu, ia pasti
akan menangkapnya dan membawanya ke sini. Itu
tidaklah penting. Namun enam kitab itu….”
Walaupun pencurinya telah tertangkap, kitab-kitab itu
belum ditemukan. Kepada siapa diberikannya kitab-kitab
itu?
Siapa sebenarnya yang berdiri di balik semua ini?
Li Sun-Hoan tidak suka berjalan, lebih-lebih berjalan di
atas salju. Namun kali ini ia tidak punya pilihan.
Walaupun angin dingin mengiris kulitnya, tidak ada
kereta yang dapat ditumpangi.
Tapi A Fei telah terbiasa berjalan. Dalam benak orang
lain, berjalan itu sangat melelahkan, namun bagi A Fei,
berjalan itu menenangkan. Dengan lebih banyak
berjalan, lebih banyak juga tenaganya dipulihkan.
Mereka berbagi cerita dan Li Sun-Hoan pun mulai
berpikir. Katanya, “Kau bukan Bwe-hoa-cat . Aku juga
bukan. Lalu siapa?”
A Fei memandang ke kejauhan. “Ia sudah mati.”
Li Sun-Hoan berkata, “Apa betul ia sudah mati? Apa betul
yang kaubunuh itu Bwe-hoa-cat ?”
A Fei diam saja.

497
Li Sun-Hoan tiba-tiba terkekeh. “Pernahkah kau terpikir
bahwa Bwe-hoa-cat bukan seorang laki-laki?”
“Jika ia bukan laki-laki, lalu apa?”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Jika ia bukan laki-laki, maka ia
pasti seorang wanita!”
Bab 25. Pedang yang Kejam, Ahli Pedang yang
Lembut Hati
A Fei tidak bisa menahan tawanya mendengar pendapat
Li Sun-Hoan bahwa Bwe-hoa-cat adalah seorang wanita.
“Bagaimana dia bisa memperkosa wanita?”
Kata Li Sun-Hoan, “Di sinilah kelicikannya. Dengan
begitu, tidak seorang pun mengira bahwa Bwe-hoa-cat
adalah seorang wanita.”
“Tapi mana caranya wanita bisa memperkosa wanita?”
Li Sun-Hoan terkekeh. “Ada satu cara.”
Ia terbatuk sedikit, lalu melanjutkan, “Jika memang
benar Bwe-hoa-cat adalah seorang wanita, ia bisa saja
menggunakan laki-laki untuk mengerjakan perkerjaan
hina itu. Sesudah itu, pada waktu yang tepat laki-laki itu
pun dibunuhnya.”
Kata A Fei, “Kau berpikir terlalu jauh.”
Kata Li Sun-Hoan, “Mungkin kau benar, tapi lebih baik
berpikir terlalu jauh daripada tidak berpikir sama sekali.”

498
Kata A Fei lagi, “Bwe-hoa-cat mula-mula muncul tiga
puluh tahun yang lalu. Paling tidak sekarang usianya
sudah lebih dari 50 tahun.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Bwe-hoa-cat tiga puluh tahun yang
lalu dan yang sekarang, mungkin bukan orang yang
sama. Mereka bisa jadi guru dan murid, atau ayah dan
anak.”
A Fei terdiam.
Li Sun-Hoan pun diam untuk beberapa lama. Lalu ia
berkata, “Pek-hiau-sing tidak mungkin adalah otak
pencurian kitab-kitab itu, karena tidak mungkin ia bisa
membujuk Sin-kam Taysu untuk mengambil resiko
sebesar itu baginya.”
“O ya?”
Li Sun-Hoan melanjutkan, “Sebelum Sin-kam Taysu
masuk ke Siau-lim-si, ia sudah terkenal. Jika ia
menginginkan harta, ia bisa mendapatkannya. Jadi
motifnya pasti bukan uang.”
“O ya?”
“Walaupun ilmu silat Pek-hiau-sing cukup tinggi, pasti
tidak dapat menakut-nakuti Pendeta Siau-lim-si.”
Kata A Fei, “Mungkin ia tahu sesuatu yang dapat dipakai
untuk memeras Sin-kam Taysu.”

499
Tanya Li Sun-Hoan, “Sesuatu apa? Sebelum ia masuk ke
Siau-lim-si, apapun yang dilakukan Tan Ok tidak ada
sangku-pautnya dengan Sin-kam Taysu, karena engkau
harus melepaskan diri dari kehidupanmu di masa lalu
sebelum menjadi seorang pendeta. Pek-hiau-sing tidak
dapat menggunakan apa yang diperbuatnya di masa lalu
untuk mengancamnya. Dan setelah Tan Ok masuk ke
Siau-lim-si, kejahatan apa yang mungkin diperbuatnya?”
“Kenapa tidak mungkin?”
“Jika ia ingin berbuat jahat, tidak ada gunanya masuk ke
Siau-lim-si. Semua orang tahu bagaimana ketatnya
peraturan Siau-lim-si. Jadi ia tidak mungkin mengambil
resiko, kecuali…..”
Tanya A Fei, “Kecuali apa?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Kecuali ada sesuatu yang dapat
menggerakkan hatinya. Dan ini pasti bukan ketenaran,
bukan juga uang.”
Tanya A Fei lagi, “Lalu apa yang dapat mendorong
seseorang berbuat seperti ini?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Hanya kecantikan yang tiada
taranya.”
“Bwe-hoa-cat ?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Betul sekali. Hanya kecantikan yang
memukaulah yang dapat membuat dia mengkhianati
Siau-lim-si dan mencuri kitab-kitab itu.”

500
Kata A Fei, “Bagaimana kau bisa menebak bahwa Bwehoa-
cat pasti adalah seorang wanita cantik?”
Li Sun-Hoan terdiam sejenak sebelum menjawab,
“Mungkin aku salah….
Kuharap aku salah….”
A Fei tiba-tiba menghentikan langkahnya, dan menatap
Li Sun-Hoan. “Apakah kau akan kembali ke Hin-hunceng?”
Li Sun-Hoan tersenyum sedikit, jawabnya, “Aku tidak
tahu ke mana lagi harus pergi.”
***
Malam gelap gulita.
Hanya ada sebatang lilin yang menyala di rumah itu.
Li Sun-Hoan menatap kosong ke arah cahaya lilin itu
sampai cukup lama. Ia mengambil sapu tangan, menutup
mulutnya dan mulai batuk-batuk.
Terlihat darah mengotori sapu tangan itu, yang kini
dimasukkan kembali ke dalam sakunya. Lalu katanya
sambil tersenyum, “Aku tidak ingin lagi masuk.”
Tanya A Fei, “Mengapa?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Tidak tahu. Aku sering tidak tahu
mengapa aku melakukan sesuatu.”

501
Kata A Fei, “Liong Siau-hun memperlakukanmu seperti
itu, dan kau tidak ingin mencarinya?”
Li Sun-Hoan hanya tersenyum dan berkata, “Tapi ia tidak
bersalah…. Karena seseorang tidak pernah dapat
disalahkan untuk apapun yang diperbuat demi istri dan
anaknya.”
A Fei memandangnya sangat sangat lama. Lalu ia
menundukkan kepalanya, katanya, “Kau memang benarbenar
orang aneh. Tapi kau juga adalah seorang sahabat
yang tak mungkin terlupakan.”
Kata Li Sun-Hoan, “Tentu saja kau tidak akan melupakan
aku, karena kita akan berjumpa lagi di lain hari.”
A Fei terkejut. “Tapi…Tapi sekarang….”
Li Sun-Hoan meneruskan kata-katanya, “Tapi sekarang,
ada yang harus kau lakukan. Jadi, pergi dan lakukanlah.”
Mereka berdua berdiri mematung di situ tanpa kata-kata.
Angin berhembus kencang membelah dataran itu.
Dari jauh kedengaran suara kentongan. Jauh sekali,
hingga suaranya bagaikan air mata yang jatuh ke atas
rumput.
Tidak ada bintang, tidak ada bulan, hanya kabut yang
tebal….

502
Li Sun-Hoan tiba-tiba tertawa dan berkata, “Hari ini
berkabut. Besok hari pasti cerah.”
Sahut A Fei, “Ya.”
Tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang tersangkut di
tenggorokannya dan ia tidak dapat melanjutkan
bicaranya.
Ia melompati dinding yang tinggi itu, dan terlihat olehnya
lilin di kamar Lim Sian-ji masih menyala. Sesosok
bayangan wanita terbayang di jendela kertas itu.
Hati A Fei tercekat.
Orang yang berada di dalam seakan-akan sedang
membaca buku, dan sebentar-sebentar merenung.
A Fei membuka pintu.
Setelah pintu terbuka, terlihatlah wajah yang menawan
itu. Setelah pintu terbuka, kakinya tidak mampu
melangkah lebih jauh.
Lim Sian-ji menoleh. Ia terperanjat melihat siapa yang
datang, namun kemudian tersenyum. “Oh, kau yang
datang,” katanya.
Kata A Fei, “Aku yang datang.”
Ia mendengar suaranya sendiri terasa sangat jauh.
Sampai-sampai ia sulit mendengarnya.

503
Lim Sian-ji mendekapkan tangannya ke dadanya, lalu
berkata, “Lihat, kau sudah mengagetkan aku.”
Kata A Fei, “Kau pikir aku sudah mati, jadi kau begitu
terkejut melihat aku, bukan?”
Lim Sian-ji mengerjapkan matanya yang indah, “Kau ini
bicara apa? Ayo cepat masuk, nanti kau masuk angin.”
Ia segera menarik tangan A Fei masuk ke dalam
kamarnya.
A Fei menarik tangannya dari genggaman Lim Sian-ji.
Lim Sian-ji berkata dengan manis, “Kau sedang marah
ya? Dengan siapa? Mari kubantu engkau.”
Ia berusaha memeluk A Fei, namun A Fei mendorongnya
pergi.
Lim Sian-ji kehilangan keseimbangannya dan jatuh
terduduk.
Air mata mengambang di matanya yang bening. “Apakah
aku yang membuat kau marah? Mengapa kau
memperlakukan aku seperti ini? Apa kesalahanku?
Katakan saja padaku dan aku pun tak akan mati dengan
menyesal.”
A Fei mengepalkan tangannya.
Ia baru saja melihat buku apa yang sedang dibaca oleh
Lim Sian-ji. Kitab suci agama Budha.

504
Kitab suci dari Kuil Siau-lim-si.
A Fei menatapnya, seolah-olah ia tidak mengenal orang
ini.
Lalu A Fei berkata dengan dingin, “Apa yang kau
lakukan? Kau tahu bahwa waktu aku melangkah masuk
ke dalam rumah Sin-losam jiwaku akan melayang.”
Kata Lim Sian-ji, “Ap…Apa maksudmu?”
Kata A Fei, “Waktu Pek-hiau-sing dan Sin-kam Taysu
memberikan kitab Siau-lim-si itu padamu, kau menyuruh
mereka memasang perangkap di rumah Sin-losam.”
Lim Sian-ji menggigit bibirnya kuat-kuat. Katanya, “Kau
berpikir bahwa aku ingin mencelakaimu?”
Sahut A Fei, “Sudah pasti. Hanya kau seorang yang tahu
bahwa aku akan datang ke rumahnya malam itu.”
Lim Sian-ji menutupi wajahnya dengan tangannya dan
menangis lagi. “Tapi, kenapa aku ingin mencelakaimu?
Kenapa?”
“Karena kaulah Bwe-hoa-cat !”
Wajah Lim Sian-ji bengong seperti baru saja dicambuk
seseorang tiba-tiba. Ia langsung melompat dan berseru,
“Aku adalah Bwe-hoa-cat ? Berani-beraninya kau bilang
bahwa aku adalah Bwe-hoa-cat ?”
Sahut A Fei tegas, “Ya, kaulah Bwe-hoa-cat .”

505
Kata Lim Sian-ji, “Bwe-hoa-cat kan sudah mati. Kau….”
A Fei segera memotongnya, “Aku hanya membunuh
salah seorang bonekamu, supaya kau dapat mengalihkan
kecurigaan orang dari dirimu.”
Ia melanjutkan lagi, “Kau tahu bahwa Kim-si-kah ada
pada Li Sun-Hoan, dan kau tahu bahwa ia tidak akan
tertipu olehmu. Maka kau ada dalam bahaya besar. Oleh
sebab itulah, kau undang dia datang ke bilikmu malam
itu.”
Sahut Lim Sian-ji, “Aku memang punya janji bertemu
dengan dia malam itu, karena saat itu aku belum
mengenal engkau.”
A Fei tidak menggubrisnya. “Kau suruh bonekamu itu
pura-pura menculikmu, supaya Li Sun-Hoan datang
menyelamatkanmu dan membunuhnya. Jika seluruh
dunia tahu bahwa Bwe-hoa-cat sudah mati, tidak akan
ada yang bisa mencurigaimu.”
Lim Sian-ji pun menjadi tenang. Ia hanya berkata,
“Teruskan.”
Kata A Fei, “Tapi kau tidak menyangka bahwa Li Sun-
Hoan dijebak orang lain, dan lebih tidak menyangka lagi
bahwa aku akan muncul.”
Kata Lim Sian-ji, “Jangan lupa, aku pun menyelamatkan
engkau.”
“Betul sekali.”

506
“Jika aku adalah Bwe-hoa-cat , mengapa aku
menolongmu?”
Sahut A Fei, “Karena rencanamu gagal, dan pada saat
itu, bagimu aku lebih berguna dalam keadaan hidup.
Waktu tidak ada seorang pun yang datang memeriksa
bilikmu saat itu, aku mulai curiga.”
Tanya Lim Sian-ji, “Kau pikir aku bersekongkol dengan
Liong Siau-hun dan yang lain untuk menjatuhkan Li Sun-
Hoan?”
Jawab A Fei, “Tentu saja mereka tidak tahu rencanamu.
Kau hanya memanfaatkan mereka.
Lagi pula, Liong Siau-hun sudah lama membenci Li Sun-
Hoan. Jadi ia pasti tidak keberatan ikut dalam
rencanamu.”
Kata Lim Sian-ji, “Apakah ini semua ide Li Sun-Hoan?”
Sahut A Fei, “Kau pikir semua laki-laki di dunia ini adalah
orang tolol, boneka yang bisa kau permainkan. Waktu Li
Sun-Hoan tidak kena kau kibuli, kau segera memasang
merangkap untuk melenyapkan dia.”
A Fei merasa suaranya mulai bergetar. Ia mengertakkan
giginya dan melanjutkan, “Kau bukan hanya licik dan
berdarah dingin. Kaupun sangat rakus, sampai tega
merampok kitab suci Siau-lim-si. Kau….. Kau…..”
Lim Sian-ji mendesah. “Sepertinya aku salah menilai
engkau.”

507
Sahut A Fei, “Tapi aku tidak salah menilai engkau!”
Kata Lim Sian-ji, “Jika kukatakan bahwa bukan Tan Ok
dan Pek-hiau-sing yang memberikan kitab-kitab ini
padaku, kau tak akan percaya bukan?”
Kata A Fei, “Apapun yang kau katakan, selamanya aku
tidak akan pernah percaya padamu lagi.”
Lim Sian-ji tertawa. “Sekarang aku mengerti engkau,
mengerti hatimu….”
Sambil berbicara, ia melangkah mendekati A Fei.
Langkahnya pasti.
Angin menderu dan cahaya lilin pun bergoyang-goyang.
Cahaya lilin menerangi wajahnya yang ayu, yang
bersimbah air mata. Ia menatap A Fei lekat-lekat dan
berkata, “Aku tahu kau datang untuk membunuhku,
bukan?”
A Fei hanya mengepalkan tangannya dan mengatupkan
bibirnya.
Ia menunjuk ke dadanya. “Kau ada pedang, mengapa
belum juga kau bunuh aku? Aku harap kau tusuk aku di
sini, tepat di hatiku.”
Pedang A Fei telah tergenggam di tangannya.
Lim Sian-ji memandangnya sayu, katanya, “Bunuhlah
aku. Aku berbahagia bisa mati di tanganmu.”

508
A Fei tidak sanggup memandangnya. Ia memandang ke
arah pedangnya.
Matanya penuh perasaan. Penuh kelembutan, penuh
kasih, namun juga penuh kebencian…. Tidak ada satu hal
pun di dunia ini yang dapat menggetarkan hati laki-laki
lebih kuat daripada sepasang mata ini.
Secercah sinar terpancar di sudut matanya. “Kau adalah
orang yang paling kusayangi di dunia ini. Jika kau pun
tak mempercayai aku, tidak ada alasan lagi bagiku untuk
hidup lebih lama.”
A Fei menggenggam pedangnya erat-erat, sampai jarijarinya
merasa sakit.
Lanjut Lim Sian-ji, “Jika kau pikir aku adalah Bwe-hoa-cat
, aku adalah wanita yang menjijikkan, bunuh sajalah aku.
Aku….Aku tidak akan menyalahkan engkau.”
Tangan A Fei mulai bergetar.
Pedang yang kejam. Pedang memang kejam. Namun hati
manusia?
Bagaimana mungkin manusia tidak berperasaan?
Cahaya lilin pun padam.
Namun kecantikan Lim Sian-ji kian berkilau dalam
kegelapan.

509
Ia tidak mengatakan apa-apa. Namun dalam kegelapan,
suara nafasnya pun terdengar sungguh menghanyutkan,
menghangatkan hati yang mendengar.
Adakah kekuatan yang lebih besar daipada kekuatan
cinta?
Melihat wanita seperti ini, mengingat perasaan terdalam
yang pernah dialaminya seumur hidupnya, memandang
kegelapan tak berujung itu…..
Bagaimana mungkin A Fei membunuhnya?
Pedang memang kejam! Namun si ahli pedang memang
lembut hati!
Bab 26. Orang Aneh di Warung Kecil
Musim gugur, daun-daun berguguran.
Di ujung jalan itu terlihat sebuah puri besar. Namun
seperti daun-daun di musim gugur, telah tiba waktunya
untuk runtuh.
Di depannya tampak pintu besar yang kelihatannya tidak
pernah dibuka lebih dari satu tahun. Pegangan
tembaganya sudah penuh dengan karat.
Sudah begitu lama tidak terdengar suara apapun dari
dalam. Hanya suara jangkrik dan burung gereja.
Namun demikian, tidak selamanya puri itu seperti
sekarang ini. Tujuh Jin Shi dan tiga Tamhoa pernah

510
hidup di sini, termasuk satu di antaranya yang
merupakan pahlawan gagah dunia persilatan.
Namun dua tahun yang lalu, puri ini berganti pemilik, dan
begitu banyak kejadian menegangkan terjadi di sini.
Begitu banyak pesilat tangguh mati di sini.
Setelah itu, puri ini menjadi sunyi senyap.
Orang-orang tidak tahu apa yang terjadi. Ada yang
bilang sepertinya ada hawa kejahatan yang
menyelimutinya.
Kini, tidak lagi terdengar suara tawa dari dalam. Tidak
ada lagi lentera yang menerangi di malam hari. Hanya
sebatang lilin yang menyala di ruangan kecil di bagian
belakang.
Seolah-olah orang di dalam itu sedang menantikan
kedatangan seseorang. Tapi siapa yang dinantinantikannya?
***
Sekotor apapun, segelap apapun suatu tempat, ada saja
orang yang mau tinggal di situ.
Mungkin karena orang itu tidak punya tempat tinggal
lain, atau mungkin orang itu sudah bosan dengan
kehidupan, lebih suka bersembunyi dalam kegelapan,
menunggu orang-orang melupakannya.

511
Di jalan kecil ini ada sebuah warung kecil. Warung ini
menjual makanan dan arak di depan, dan di belakang
adalah beberapa kamar untuk penginapan. Pemiliknya, Si
Bungkuk Sun, adalah seorang cacad.
Walaupun ia tahu bahwa tempat itu bukan tempat yang
baik untuk bisnis, ia tidak mau memindahkan warungnya.
Ia memilih hidup sebatang kara di situ, tidak mendengar
suara tawa gembira orang lain, karena ia tahu uang tidak
bisa membeli ketenangan hidup.
Tentu saja ia kesepian.
Kira-kira setahun yang lalu, seorang pelanggan yang
aneh datang ke warungnya. Sebenarnya, ia tidak
mengenakan pakaian yang aneh, ataupun bertampang
aneh.
Walaupun ia cukup jangkung dan berwajah cukup
lumayan, ia kelihatan sangat lemah, selalu sakit-sakitan
dan tidak henti-hentinya batuk.
Ia benar-benar tampak seperti orang biasa.
Namun Si Bungkuk Sun langsung tahu bahwa ia lain dari
yang lain.
Ia tidak menertawai Sun karena punggungnya yang
bungkuk, tapi ia juga tidak peduli dan tidak menunjukkan
sedikitpun rasa simpati.

512
Ia tidak pilih-pilih tentang arak, juga tidak menilai. Ia
tidak banyak bicara.
Yang aneh, setelah ia masuk ke warung itu, ia tidak
pernah keluar lagi.
Pertama kali ia datang, ia memilih meja di sudut. Ia
memesan tahu kering, daging sapi, dua kerat roti dan
tujuh guci arak.
Setelah ia menghabiskan araknya, ia meminta Si
Bungkuk Sun untuk membawakan lagi tujuh guci. Lalu ia
tidur di kamar paling pojok di penginapan itu, dan
bangun esok senja.
Waktu ia keluar, ketujuh guci araknya sudah pasti habis
ludes.
Itu sudah berlangsung satu tahun, kini. Tiap malam,
sudut yang sama, makaLam-yang-hu sama, tahu kering,
daging sapi, dua kerat roti dan tujuh guci arak.
Ia minum sambil terbatuk-batuk. Setelah habis, ia akan
membawa tujuh guci lagi masuk ke dalam kamarnya, dan
tidak muncul lagi sampai malam berikutnya.
Si Bungkuk Sun juga seorang peminum, tapi ia kagum
pada orang ini. Baru kali ini ia melihat orang minum 14
guci dan tidak mabuk.
Kadang-kadang ia ingin bertanya pada orang itu, tapi
diurungkannya. Ia tahu bahwa ia tidak akan mendapat
jawaban.

513
Si Bungkuk Sun pun bukan orang yang senang ngobrol.
Ini sudah terjadi berbulan-bulan, ketika hawa menjadi
sangat dingin dan hujan terus menerus beberapa hari. Si
Bungkuk Sun pergi ke belakang untuk memastikan
semuanya baik-baik saja. Ia melihat jendela kamar pojok
itu terbuka. Ia melongok ke dalam dan terlihat si orang
aneh itu telentang di lantai dengan wajah sangat merah,
seolah-olah berlumuran darah.
Si Bungkuk Sun segera membaringkannya di tempat tidur
dan pergi mencari obat, memasaknya dan merawatnya
selama tiga hari. Sampai ia bisa bangkit dari tempat tidur
dan meminta arak lagi.
Saat itu tahulah Si Bungkuk Sun bahwa orang itu
memang ingin mati. Jadi ia berusaha menasihatinya,
“Tidak ada orang yang bisa hidup kalau minum arak
terus seperti ini.”
Tapi orang itu hanya tersenyum. Ia bertanya,
“Bagaimana kau tahu kalau minum arak akan
memperpendek umurku?”
Si Bungkuk Sun tidak bisa menjawab.
Sejak hari itu, mereka menjadi sahabat.
Jika tidak ada tamu lain, mereka akan minum bersama,
mengobrol ngalor ngidul. Si Bungkuk Sun jadi tahu,
orang ini cukup terpelajar.

514
Ia hanya tidak mau bicara tenTong Toka hal, masa
lalunya dan namanya.
Suatu ketika Si Bungkuk Sun bertanya, “Kita kan
sekarang berteman, bagaimana aku memanggilmu?”
Ia berpikir sebentar lalu menjawab, “Aku kan seorang
pemabuk, panggil saja aku seperti itu.”
Si Bungkuk Sun pun jadi paham bahwa orang ini pasti
mempunyai masa lalu yang tragis, sampai-sampai ia
tidak mampu menyebutkan namanya sendiri, dan lebih
memilih untuk tenggelam dalam araknya.
Selain arak, orang ini punya satu kesukaan lain.
Mengukir.
Ia selalu menggunakan pisau kecilnya untuk mengukir
potongan-potongan kayu. Namun Si Bungkuk Sun tidak
pernah tahu apa yang diukirnya, karena ia tidak pernah
menyelesaikan ukirannya itu.”
Tamu ini memang benar-benar aneh, bahkan bisa
dibilang, menakutkan.
Namun Si Bungkuk Sun berharap dia tidak akan pernah
pergi.
Pagi ini cuaca sungguh dingin. Si Bungkuk Sun harus
mengenakan mantel tebalnya untuk keluar membuka
warungnya.

515
Lalu dilihatnya dua orang menunggang kuda datang ke
arah warungnya.
Tidak banyak orang yang menunggang kuda di daerah
ini, jadi Si Bungkuk Sun memperhatikan dengan
seksama.
Kedua orang ini mengenakan jubah panjang berwarna
kuning. Orang yang di depan bermata besar, dan yang di
belakang berhidung runcing. Keduanya berambut pendek
dan berusia sekitar 30-an.
Kedua orang ini tidak tampak luar biasa, hanya jubah
mereka yang kuning sangat menyolok. Mereka tidak
memperhatikan Si Bungkuk Sun. Mereka hanya
mengawasi keadaan sekitar.
Ia tahu bahwa kedua orang ini tidak menyadari
kehadirannya.
Kedua orang ini terus melewati warungnya dan lenyap
dari pandangan. Namun sebentar kemudian, mereka
kembali lagi.
Anehnya, kali ini mereka turun dari kuda tepat di depan
warung itu.
Walaupun tabiat Si Bungkuk Sun sering juga aneh, ia
masih ingin berdagang. Oleh sebab itu segera ia
bertanya, “Apa yang Tuan-Tuan perlukan?”
Si mata besar berkata, “Kami tidak perlu apa-apa, kami
hanya ingin bertanya.”

516
Si Bungkuk Sun meneruskan pekerjaannya. Ia memang
tidak gemar bercakap-cakap.
Si hidung runcing pun tertawa dan berkata, “Bagaimana
jika kami membeli jawaban darimu? Satu tail perak untuk
tiap jawaban.”
Mata Si Bungkuk Sun pun menjadi cerah. Ia mengangguk
dan menjawab, “Boleh.”
Seraya menjawab, ia mengacungkan satu jari.
Si mata besar tertawa. “Tadi sudah termasuk satu
jawaban?”
Si Bungkuk Sun menjawab, “Ya.”
Kini dua jari teracung.
Si hidung runcing bertanya, “Sudah berapa lama kau
tinggal di sini?”
Si Bungkuk Sun menjawab, “Dua puluh tahun lebih.”
Si hidung runcing bertanya lagi, “Siapa yang tinggal di
puri di seberang warungmu itu?”
“Keluarga Li.”
Si hidung runcing kembali bertanya, “Siapa pemiliknya
setelah itu?”
“Shenya Liong, namanya Liong Siau-hun.”

517
Lagi ia bertanya, “Pernahkah kau melihat dia?”
“Tidak.”
“Di mana dia sekarang?”
“Ia sudah pergi.”
“Kapan?”
“Kira-kira setahun yang lalu.”
“Ia tidak pernah kembali lagi sejak itu?”
“Tidak.”
“Jika kau tidak pernah melihat dia, bagaimana kau tahu
begitu banyak?”
“Tukang masaknya sering datang membeli arak ke sini.”
Si hidung runcing berpikir beberapa saat lalu bertanya,
“Belakangan ini, adakah orang asing yang datang ke sini
dan bertanya-tanya?”
“Tidak. Jika ada….aku pasti sudah kaya raya.”
Si mata besar tersenyum. “Ini upahmu.”
Ia melemparkan beberapa koin perak, lalu tanpa berkata
apa-apa lagi, mereka menaiki kuda mereka dan pergi.

518
Si Bungkuk Sun memandangi uang perak itu dan
menggumam, “Kadang-kadang aku tidak bisa percaya
begitu mudahnya mendapatkan uang.”
Ia membalikkan badannya, dan kaget karena si pemabuk
itu sudah berada tetap di belakangnya. Ia memandang
ke arah kedua penunggang kuda itu pergi.
Si Bungkuk Sun tersenyum. “Kau bangun pagi sekali hari
ini.”
Si pemabuk pun tersenyum. “Semalam aku minum cepat
sekali. Jadi aku sudah sadar lagi pagi-pagi.”
Ia menunduk dan terbatuk, lalu bertanya, “Hari ini
tanggal berapa?”
Kata Si Bungkuk Sun, “Tanggal 14 bulan 9.”
Wajah si pemabuk yang pucat menjadi bersemu merah.
Ia memandang ke kejauhan dan terdiam cukup lama.
Lalu ia bertanya, “Jadi besok adalah tanggal 15 bulan 9,
bukan?”
Si pemabuk sepertinya masih ingin bicara, namun ia
mulai terbatuk-batuk. Dan ia terus terbatuk-batuk.
Si Bungkuk Sun mengeluh sambil menggelengkan
kepalanya. “Jika seuma orang minum arak sebanyak
engkau, semua penjual arak akan jadi orang kaya.”
Senja pun tiba dan di kejauhan cahaya lilin tampak di
ruangan kecil di bagian belakang.

519
Si pemabuk pun tetap minum di tempatnya yang biasa.
Bab 27. Makin Banyak Orang Aneh yang Datang
Hari ini si pemabuk tampak berbeda. Ia minum sangat
sangat lambat. Matanya sangat terang. Tidak ada
potongan kayu di tangannya dan secara khusus
dipindahkannya lilin di mejanya ke tempat lain.
Matanya terus memandang ke pintu, seolah-olah
menantikan kedatangan seseorang.
Namun waktu terus berlalu tanpa ada tamu lain yang
datang.
Si Bungkuk Sun menguap. “Sepertinya sudah tidak akan
ada tamu lagi. Aku rasa sudah waktunya tutup warung.”
Si pemabuk tertawa. Katanya, “Jangan buru-buru.
Kujamin, hari ini bisnismu akan luar biasa.”
Si Bungkuk Sun bertanya, “Bagaimana kau bisa tahu?”
Jawab si pemabuk, “Karena aku bisa meramal.”
Ia memang benar-benar bisa meramal, karena sebentar
saja, beberapa kelompok orang telah datang ke warung
itu.
Kelompok yang pertama terdiri dari dua orang.
Yang satu adalah orang tua berambut putih, berbaju biru
dan membawa sebuah pipa.

520
Yang satu lagi adalah seorang gadis kecil, kelihatannya
adalah cucu orang tua itu. Rambutnya yang hitam
berkilauan itu dikuncir dua. Kedua matanya besar, lebih
hitam dan lebih berkilauan daripada rambutnya.
Kelompok yang kedua juga terdiri dari dua orang.
Keduanya terlihat kotor dan berantakan, namun mereka
berdua berbadan kekar dan mengenakan pakaian yang
sama persis, dan membawa senjata yang sama pula.
Seperti pinang dibelah dua.
Kelompok yang ketiga terdiri dari empat orang.
Yang seorang bertubuh jangkung, yang seorang
bertubuh pendek, yang seorang adalah seorang pemuda
berbaju ungu dan membawa tombak di punggungnya,
dan yang seorang lagi seorang wanita berbaju hijau yang
mengenakan begitu banyak perhiasan. Wanita ini
berjalan sambil menggoyangkan pantatnya seperti
seorang gadis kecil. Padahal ia sudah cukup tua untuk
menjadi ibu seorang gadis kecil.
Kelompok yang terakhir hanya terdiri dari satu orang.
Orang ini sangat sangat kurus. Ia membawa pedang
lemas yang tersemat di pinggangnya.
Di ruangan itu ada lima meja, sehingga keempat
kelompok ini sudah memenuhi seluruh warung. Si
Bungkuk Sun menjadi sangat sibuk. Ia hanya bisa
berharap besok warungnya tidak selaris ini lagi.

521
Keempat kelompok orang ini hanya duduk-duduk sambil
minum arak. Mereka berbicara sedikit saja. Kalaupun
berbicara, mereka berbisik-bisik, seolah-olah takut yang
lain akan mendengar.
Setelah beberapa saat, si pemuda bertombak mulai
memandang si gadis berkuncir. Anehnya si gadis itu
tampak tidak peduli.
Si pemuda itu tiba-tiba tertawa. “Apakah gadis ini
seorang penyanyi?”
Si gadis berkuncir menggelengkan kepala, sehingga
kuncirnya berkibar-kibar ke kiri ke kanan. Ia tampak
makin cantik.
Kata si pemuda, “Walaupun kau bukan penyanyi, pastilah
kau bisa menyanyi. Jika kau menyanyi dengan baik, aku
akan memberimu hadiah.”
Si gadis berkuncir menyahut, “Aku tidak bisa menyanyi,
aku hanya bisa bicara.”
“Bicara tentang apa?”
“Tentang buku, atau cerita.”
Kata si pemuda, “Oh, itu lebih bagus. Tapi cerita macam
apakah yang akan kau ceritakan? Pelajar dan gadis yang
bertemu di taman? Anak perempuan menteri mencari
jodoh?”

522
Si gadis berkuncir menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Salah semua. Aku bercerita tentang kabar terbaru dan
terhangat dari dunia persilatan.”
Si pemuda bertepuk tangan senang. “Hebat. Hebat. Aku
jamin, cerita itulah yang paling diminati semua orang di
sini. Ayo cepat mulai.”
Sahut si gadis berkuncir, “Tapi bukan akulah yang bisa,
hanya kakekkulah yang akan bercerita.”
Si pemuda memandang si orang tua, lalu bertanya pada
si gadis, “Lalu apa yang kau bisa?”
“Aku hanya dapat membantu kakekku.”
Si orang tua minum beberapa cawan arak, lalu mulai
mengisap pipanya. Ia bekata perlahan-lahan, “Pernahkah
kau dengar nama Li Sun-Hoan?”
Selain si pemuda, orang-orang lain di warung itu tidak
memperhatikan kakek dan cucu ini. Namun ketika
mereka mendengar nama Li Sun-Hoan disebut, telinga
mereka langsung berdiri.
Si gadis berkuncir menjawab sambil tersenyum, “Tentu
saja pernah. Ia adalah seorang pahlawan yang gagah, Litamhoa
yang terkenal itu, bukan?”
Jawab si orang tua, “Tepat sekali.”

523
Si gadis berkuncir berkata, “Kudengar Pisau Kilat si Li
tidak pernah luput. Sampai hari ini, tidak ada seorang
pun yang dapat lolos darinya. Apakah memang begitu?”
Sahut si orang tua, “Jika kau tidak percaya, kau boleh
tanya pada si serba tahu Pek-hiau-sing, atau Ngo-toktongcu,
dan kau pun akan mengerti apakah perkataan itu
benar atau tidak.”
Tanya si gadis berkuncir, “Maksudmu Pek-hiau-sing dan
Ngo-tok-tongcu sudah mati?”
“Ya. Mereka mati karena mereka tidak percaya akan
perkataan itu.”
Orang kurus jangkung itu terbatuk perlahan, namun
semua orang telah hanyut dalam cerita itu, sehingga
mereka tidak memperhatikan.
Hanya si pemabuk yang tertelungkup di atas mejanya,
sepertinya ia sudah mabuk berat.
Si orang tua menyeruput tehnya, lalu berkata,
“Sayangnya, Li Sun-Hoan pun sudah mati.”
Si gadis berkuncir terperanjat, “Mati? Siapa yang begitu
hebat bisa membunuh dia?”
Sahut si orang tua, “Dirinya sendiri!”
Si gadis berkuncir memandang kakeknya beberapa saat,
lalu ia tersenyum. “Mana mungkin ia bunuh diri? Ia pasti
masih hidup.”

524
Si orang tua mendesah. Katanya, “Walaupun ia masih
hidup, ia pun hidup seperti orang mati…. Sungguh
sayang…..”
Si gadis berkuncir pun mendesah. Lalu bertanya, “Selain
dia, siapakah lagi yang bisa disebut sebagai pahlawan?”
Kata si orang tua, “Pernahkah kau dengar tentang A
Fei?”
Si gadis berkuncir menjawab, “Sepertinya pernah
dengar.”
Matanya berputar, lalu ia melanjutkan, “Kudengar
kecepatan pedangnya tiada duanya di dunia persilatan.
Benarkah itu?”
Si orang tua balas bertanya, “Menurutmu bagaimanakah
ilmu silat In Gok?”
Jawab si gadis berkuncir, “Dalam Kitab Persenjataan,
Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau) menduduki tempat
kesembilan. Jadi pastilah dia sangat hebat.”
Tanya si orang tua lagi, “Bagaimana dengan Thi-tiok
Siansing, Pendeta Sin-kam Taysu, Tio Cing-ngo dan Dianjitya?”
Jawab si gadis berkuncir, “Mereka semua orang-orang
terkenal dalam dunia persilatan. Semua orang tahu
tentang mereka.”

525
Kata si orang tua, “Jika pedang A Fei tidak terlalu cepat,
bagaimana mungkin semua orang ini dikalahkannya?”
Tanya si gadis berkuncir, “Apa yang terjadi pada A Fei
sekarang?”
Si orang tua menghela nafas. “Seperti Li-tamhoa, ia pun
menghilang. Tidak ada yang tahu di mana ia berada.
Hanya saja, ia menghilang hampir bersamaan waktunya
dengan menghilangnya Lim Sian-ji.”
“Lim Sian-ji? Maksudmu wanita yang katanya tercantik di
seluruh dunia?”
Jawab si orang tua, “Betul sekali.”
Si gadis berkuncir pun berkata, “Oh, apakah cinta itu?
Mengapa banyak orang terperangkap oleh cinta dan tidak
dapat lepas…..”
Si pemuda menjadi tidak sabar dan berkata, “Jangan
menyimpang dari cerita. Ayo cepat teruskan.”
Si orang tua menggelengkan kepalanya dan berkata,
“Orang seperti A Fei dan Li Sun-Hoan sudah tidak ada
lagi. Apa lagi yang dapat diceritakan tenTong Toknia
persilatan? Sampai di sini saja.”
Si kurus tertawa dingin, “Mungkin kau salah.”
Kata si orang tua, “Maksudmu, kau punya cerita yang
lebih baik?”

526
Orang itu memandang ke sekelilingnya. “Aku tahu,
sesuatu yang luar biasa akan terjadi sebentar lagi.”
Tanya si orang tua, “Kapan? Di mana?”
Si kurus menggebrak meja lalu berseru, “Sekarang, di
sini!”
Waktu mendengar ini, kedua orang kembar dan
kelompok empat orang itu menjadi pucat. Hanya si
wanita berbaju hijau itu saja yang masih tersenyum.
Katanya, “Aku tidak melihat ada sesuatu pun yang luar
biasa yang sedang terjadi.”
Kata si kurus, “Menurut perhitunganku, setidaknya akan
ada enam orang yang mati di sini SEKARANG!”
Si wanita baju hijau bertanya, “Enam orang yang mana?”
Si kurus minum araknya, lalu menjawab, “Pek-mo-kau
(monyet berbulu putih) Oh Hui, Tay-lik-sin (malaikat
bertenaga raksasa) Toan Kay-san, Thi-jiang-siau-pa-ong
(si raja tombak) Nyo Seng-cu, Cui-coa (ular air) Oh Bi,
dan Lam-san-sin-hou kedua Han bersaudara!”
Setelah disebutnya enam nama itu, dua bersaudara dan
keempat orang dari kelompok yang ketiga itu pun segera
bangkit. Mereka berteriak, “Kau pikir kau ini siapa?
Berani-beraninya kau omong kosong di sini!”
Suara yang terkeras sudah pasti adalah suara si orang
berotot besar itu, Tay-lik-sin Toan Kay-san.

527
Waktu ia berdiri, ia lebih jangkung daripada semua orang
yang lain. Bahkan Lam-san-sin-hou kedua Han
bersaudara yang tinggi besar pun lebih pendek setengah
kepala.
Kelihatannya ia masih belum puas mengejek. “Aku rasa
kaulah yang sedang sial hari ini. Kau tidak akan hidup
lewat tengah malam….”
Belum selesai ia bicara, si kurus mengangkat kakinya
menendang dan menampar pipinya tujuh belas kali.
Walaupun Tay-lik-sin Toan Kay-san punya dua tangan, ia
tidak dapat menangkis tamparan itu. Walaupun ia punya
dua kaki, ia tidak dapat mengelak dari tamparan itu.
Seakan-akan kepalanya dipukul sampai dia Linglung,
tidak bisa bergerak.
Yang lain hanya bisa memandang dengan heran.
Namun orang itu berkata, “Kau pikir aku ini datang untuk
membunuh kalian? Kalian ini tidak berharga untuk
kubunuh! Aku hanya ingin memberi kalian pelajaran,
supaya kalian belajar sopan santun dalam berbicara.”
Seraya berbicara, ia kembali ke tempat duduknya.
Kata Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu, “Tunggu dulu.
Katakan, siapa yang akan datang untuk membunuh
kami?”
Sambil bertanya, ia menghunus tombaknya tiba-tiba.

528
Ditusukkannya ke arah si kurus.
Orang itu tidak melirik sedikitpun. Katanya, “Orang yang
akan membunuh kalian sudah hampir tiba.”
Pinggang si kurus meliuk sedikit dan kini tombak itu telah
terjepit di bawah ketiak si kurus. Thi-jiang-siau-pa-ong
Nyo Seng-cu berusaha keras menariknya kembali, namun
tidak berhasil. Wajahnya langsung memucat.
Si kurus kemudian berkata, “Karena kau tidak mungkin
lolos, sebaiknya kau tunggu saja di sini dengan tenang.”
Mendadak ia kendurkan kepitannya, karena lagi
membetot dengan bernafsu, keruan Nyo Seng-cu
kehilangan imbangan badan, ia terjengkang ke belakang.
Kalau Cui-coa Oh Bi, yaitu si nyonya berbaju hijau, tidak
keburu menahannya, bisa jadi meja kursi akan
ditumbuknya hingga berantakan.
Waktu ia periksa tombak sendiri, tombak itu sudah
berubah menjadi toya. Entah sejak kapan ujung
tombaknya telah hilang.
Terdengar suara berdesing dan kepala tombak itu sudah
menancap di meja. Si kurus menuang arak lagi ke
cawannya, seolah-olah tidak ada sesuatu pun yang baru
saja terjadi.
Tetapi Keenam orang tidak bisa setenang si kurus. Wajah
mereka sudah tidak ada warnanya.

529
Mereka semua sedang berpikir, “Siapakah yang akan
datang untuk membunuh kami? Siapa….”
Angin di luar bertiup makin kencang, sampai lentera di
dalam pun bergoyang-goyang. Si kurus tetap duduk di
situ tanpa bicara.
Siapakah orang ini?
Dilihat dari ilmu silatnya, ia pasti adalah salah satu tokoh
dunia persilatan yang hebat. Namun mengapa mereka
semua tidak mengenalnya?
Kenapa ia datang ke sini?
Tidak ada seorang pun yang tahu jawabannya.
Bagaimana mungkin mereka bernafsu untuk minum arak
lagi?
Beberapa dari mereka sudah ingin kabur, tapi mereka
tahu itu tindakan pengecut. Lagi pula, bagaimana mereka
bisa kabur?
Oh Hui bertubuh kurus kecil, pada mukanya berbulu
putih, maka berjuluk si monyet berbulu putih, mendadak
ia berbangkit dengan sinar mata gemerdep, ia mendekati
meja kedua Han bersaudara itu, ia memberi hormat dan
menyapa, "Nama kebesaran Lam-san-siang-hou sudah
lama kukagumi."
Cepat kedua Han bersaudara juga berdiri dan membalas
hormat, Toa-hou, si harimau besar, Han Pan, menjawab,
"Ah, terima kasih. Oh-tayhiap dan nona Oh berdua

530
saudara juga terkenal menguasai Ginkang dan senjata
rahasia yang tidak ada bandingannya, kami juga sudah
lama sangat kagum."
"Terima kasih," sahut Oh Hui.
Di sebelah sana si ular air Oh Bi yang berbaju hijau itu
pun mengangguk dengan tertawa genit sebagai tanda
hormat.
Segera Oh Hui berkata pula, "Apabila Anda berdua tidak
menolak, bagaimana kalau pindah saja ke sebelah sana
untuk bicara lebih lanjut?"
"Baik, kami memang ada maksud demikian," jawab Han
Beng, si harimau kedua.
Kedua kelompok ini bila bertemu di tempat lain, bisa jadi
akan segera saling labrak mati-matian, tapi sekarang
mereka harus menghadapi musuh yang sama, biarpun
bukan sahabat juga berubah menjadi keluarga.
Sesudah berkumpul dan saling angkat cawan arak, lalu
Oh Hui berkata pula, "Selama ini kalian tinggal di daerah
timur, sedangkan kami bergerak di daerah selatan,
sungguh tidak habis kupikir siapakah gerangan yang
bermaksud menumpas kita sekaligus?"
"Ya, kami juga heran," jawab Han Pan.
"Dari nada ucapan sobat itu tadi, Kungfu orang yang
hendak membunuh kita itu pasti sangat tinggi, mungkin
kita memang bukan tandingannya," kata Oh Hui pula.

531
"Tapi apa pun juga, gabungan beberapa orang bodoh
akan menghasilkan seorang pintar. Dengan tenaga
gabungan kita berenam rasanya masih dapat
memberikan perlawanan yang memadai."
Serentak semangat kedua Han bersaudara terbangkit,
seru Han Pan, "memang tepat ucapan Oh-heng. Jelekjelek
kita berenam juga tokoh daerahnya masing-masing,
kita bukan patung, memangnya diam saja membiarkan
kepala sendiri dipenggal orang?"
Segera Han Beng juga berseru, "Betul, seperti kata
peribahasa, datang prajurit tahan dengan panglima,
banjir air uruk dengan tanah. Jika dia betul-betul datang
.... Hehe ...."
Banyak orang memang membesarkan nyali, setelah
enam orang bergabung, hati Toan Kay-san dan Nyo
Seng-cu menjadi tabah juga. Mereka terus berceloteh,
yang ini memuji yang itu, yang itu mengumpak pula yang
ini.
Mendadak terdengar orang menjengek di luar.
Wajah keenam orang ini langsung berubah. Dalam
tenggorokan mereka seolah-olah tumbuh tumor,
sehingga mereka tidak dapat bicara. Bahkan tidak dapat
bernafas.
Si Bungkuk Sun amat ketakutan. Namun keenam orang
ini lebih lagi ketakutannya.
Empat orang muncul di pintu.

532
Keempat orang ini semuanya mengenakan jubah panjang
berwarna kuning. Satu bermata besar, satu berhidung
runcing. Merekalah orang yang datang tadi pagi.
Walaupun mereka sudah di depan pintu, tidak ada
seorang pun yang masuk. Mereka berempat hanya
berdiri di situ. Wajah mereka pun tidak menakutkan.
Si Bungkuk Sun tidak habis pikir mengapa keenam orang
ini sungguh ketakutan melihat mereka. Dari wajah
Keenam orang itu, seakan-akan empat orang yang baru
datang itu bukan manusia, tapi setan dari neraka.
Mereka kini menjadi iri hati terhadap si pemabuk, karena
ia tidak melihat apapun, mendengar apapun, sehingga
sedikitpun ia tidak merasa takut.
Yang aneh adalah perilaku kelompok yang pertama. Si
orang tua itu hampir tidak punya gigi lagi, dan si gadis
kecil itu masih sangat muda. Seolah-olah angin sepoisepoi
pun dapat menerbangkannya.
Namun kedua orang ini tidak menunjukkan sedikitpun
rasa takut. Si orang tua masih terus minum arak.
Mereka hanya memandang sekilas ke arah empat orang
itu, lalu minggir sedikit.
Seorang pemuda yang masih sangat muda masuk,
tangannya ada di balik punggungnya. Ia berjalan pelanpelan.

533
Anak muda ini juga mengenakan jubah kuning panjang.
Ia kelihatan sangat berwibawa, dan perilakunya penuh
tata krama. Perbedaannya dengan keempat orang yang
lain hanyalah bahwa jubahnya memiliki garis keemasan
di bagian samping.
Akan tetapi, wajahnya sedingin es, tanpa perasaan
sedikitpun. Matanya tertuju pada si jangkung kurus.
Si kurus tidak mempedulikan anak muda itu. Ia terus saja
minum.
Si anak muda berrjubah kuning itu hanya tersenyum, lalu
menoleh ke arah enam orang yang lain.
Keenam orang ini semuanya kelihatan terlebih buas
daripada anak muda itu, tapi tersapu oleh sorot matanya,
kaki keenam orang itu serasa lemas semua, berduduk
saja tidak mantap.
Perlahan-lahan ia berjalan ke arah mereka, sambil
mengeluarkan beberapa koin emas. Lalu diletakkannya
koin itu ke atas kepala kepala Keenam orang itu, masingmasing
satu.
Keenam orang itu seakan-akan berubah menjadi
sebatang kayu. Mereka hanya menatap nanar waktu si
anak muda meletakkan koin itu ke atas kepala mereka.
Kentut saja tidak berani.
Si anak muda berbaju kuning itu masih punya beberapa
koin lagi di tangannya. Ia lalu berjalan ke arah si orang
tua dan si gadis muda.

534
Si orang tua tersenyum. “Jika kau ingin minum arak,
silakan saja. Aku yang bayar.”
Si orang tua kelihatan sudah agak mabuk. Pipinya
menggembung seperti ada telur di dalamnya. Bibirnya
membengkak, sehingga kata-katanya sulit dimengerti.
Si anak muda berjubah kuning itu menatap dia lekatlekat
dengan wajah kaku. Tiba-tiba ia menggebrak meja
dan kacang goreng dalam piring pun berhamburan ke
udara, lalu berjatuhan ke atas kepala si orang tua.
Si orang tua pasti ketakutan setengah mati, sampaisampai
ia tidak berusaha menghindar dari kacang-kacang
itu. Namun sebelum kacang itu mengenai kepalanya, si
anak muda mengebaskan lengan bajunya dan kacangkacang
itu pun kembali jatuh ke atas piring.
Si gadis berkuncir tertawa gembira. “Wah. Hebat sekali.
Aku tidak tahu kalau kau bisa ilmu sulap. Bisakah kau
mengulanginya sekali lagi? Jika kau mau, pasti kakekku
tak akan keberatan mentraktirmu arak.”
Si anak muda berjubah kuning itu baru saja
mendemonstrasikan ilmu silat tingkat tinggi, namun
sayangnya kali ini ia bertemu dengan dua orang yang
tidak tahu apa-apa. Bahkan menyangka dia sedang main
sulap.
Tapi si anak muda ini tidak marah. Ia memandang
sekejap pada si gadis berkuncir, dan tersenyum. Lalu ia
pergi meninggalkan mereka.

535
Tapi si gadis berkuncir berkata dengan tidak sabar,
“Kenapa kau tidak mau mengulanginya sekali lagi? Aku
ingin melihatnya lagi.”
Si kurus tiba-tiba tertawa. “Lebih baik kau tidak
melihatnya terlalu sering.”
“Kenapa?”
Jawab si kurus, “Kalau kau tahu ilmu silat, sulapan itu
akan membuatmu menjadi orang mati.”
Si gadis berkuncir melirik si anak muda berjubah kuning
itu dengan sudut matanya, seakan-akan tidak percaya.
Namun ia tidak berani bertanya apa-apa lagi.
Sementara itu si anak muda berjubah kuning itu sendiri
tidak mendengar percakapan itu. Ia sudah berjalan
menghampiri si pemabuk. Koin bergemerincing di
tangannya.
Si pemabuk sudah mabuk berat dari tadi. Ia tidur saja
seperti orang mati.
Si anak muda tertawa sambil mencekal rambutnya. Ia
memandang wajah si pemabuk dan melepaskan
pegangan pada rambutnya.
Kepala si pemabuk berdebam ke meja, namun ia terus
tidur.
Si kurus berkata, “Mabuk dapat menyembuhkan banyak
kekuatiran. Perkataan ini benar sekali. Lihat saja,

536
keadaan si pemabuk ini lebih baik daripada keadaan
Keenam orang yang sadar ini.”
Si anak muda berjubah kuning itu tidak menghiraukan
perkataannya. Ia berjalan ke arah pintu.
Lucunya Keenam orang dengan koin emas di atas kepala
mereka berbaris mengikuti dia. Seakan-akan mereka
ditariknya dengan tali.
Wajah mereka semua murung. Mereka memandang
kosong. Kaki mereka melangkah ke depan dan tubuh
mereka tegak seperti tongkat, seolah-olah takut koin itu
akan jatuh.
Si Bungkuk Sun sudah hidup berpuluh-puluh tahun, tapi
baru kali ini ia melihat pemandangan seaneh ini.
Kalau mengingat ilmu silat mereka, seharusnya mereka
bisa memberikan perlawanan. Mengapa mereka melihat
si anak muda seperti tikus melihat kucing?
Si Bungkuk Sun sungguh tidak mengerti.
Tapi ia pun tidak kepingin tahu. Untuk orang setua dia,
ada beberapa hal lebih baik ia tetap tidak tahu.
Sudah cukup lama tidak turun hujan, sehingga debu
beterbangan saat angin bertiup.
Keempat orang berjubah kuning itu menggambar
beberapa Lingkaran di tanah, ukurannya kira-kira sebesar
mangkuk sup.

537
Ketika Keenam orang itu sudah di luar, mereka tidak
menunggu perintah, masing-masing langsung berdiri di
dalam satu Lingkaran.
Mereka berdiri tegak seperti sebatang pohon.
Si anak muda berjubah kuning itu berjalan kembali ke
arah warung, dan duduk di kursi yang tadinya diduduki
Tay-lik-sin Toan Kay-san.
Wajahnya masih tetap dingin. Ia pun tidak berbicara
sepatah katapun.
Beberapa menit kemudian, ada seorang berjubah kuning
lagi yang masuk ke dalam warung.
Orang ini tampak lebih tua, satu telinganya sudah putus,
satu matanya buta, dan wajahnya penuh amarah.
Dijubahnya pun ada garis emas di bagian sampingnya.
Bersama dia datang sekelompok orang, ada yang
jangkung, ada yang pendek, ada yang tua, ada yang
muda.
Dari penampilan mereka, kelihatannya mereka adalah
orang-orang yang cukup penting. Hanya saja wajah
mereka terlihat sama dengan wajah Tay-lik-sin Toan Kaysan
dan teman-temannya. Mereka pun lalu mengikuti
orang berjubah kuning itu keluar dan masing-masing
juga berdiri dalam sebuah Lingkaran.
Salah satu dari mereka berkulit gelap dan kurus kering.
Wajahnya tampak sangat kacau.

538
Ketika yang lain melihat dia, mereka semua
memandangnya dengan aneh. Seakan-akan heran,
mengapa ia ada di situ.
Si mata satu memandang sekilas pada Tay-lik-sin Toan
Kay-san dan yang lain-lain, ia terkekeh. Lalu ia masuk ke
dalam warung dan duduk di depan si anak muda.
Mereka saling pandang. Keduanya mengangguk, tapi
tidak bicara apa-apa.
Tidak berapa lama kemudian, seorang berjubah kuning
lagi datang.
Ia lebih tua lagi. Rambutnya sudah putih semua.
Jubahnya pun bergaris emas dan di belakangnya tampak
lebih banyak lagi orang.
Dari jauh ia tidak kelihatan istimewa, tapi setelah dekat,
terlihat wajahnya yang hijau. Ditambah dengan
rambutnya yang seluruhnya putih, ia tampak sangat
menyeramkan.
Bukan hanya wajahnya yang hijau, tangannya pun hijau.
Orang-orang yang berdiri di luar memandangnya seperti
melihat hantu. Nafas mereka tertahan, beberapa bahkan
gemetaran.
Dalam satu jam saja, seluruh Lingkaran telah terisi
dengan orang yang berdiri kaku, tidak berani bergerak
atau bicara.

539
Orang keempat berjubah kuning bergaris emas pun tiba.
Yang terakhir ini adalah seorang tua yang tampak lemah.
Ia lebih tua lagi dari orang yang tadi. Sampai-sampai
berjalan pun susah. Tapi jumlah orang yang dibawanya
adalah yang terbanyak.
Keempat orang ini duduk semeja, di tiap-tiap sisinya.
Mereka duduk di situ tanpa berbicara.
Orang-orang di luar pun tida ada yang berbicara. Yang
terdengar hanya suara nafas mereka.
Warung kecil ini sepertinya telah berubah menjadi
kuburan. Bahkan Si Bungkuk Sun pun tidak tahan lagi!
Namun si orang tua dan si gadis muda itu belum pergi
juga.
Apakah mereka sedang menunggu pertunjukan sulap
berikutnya?
Ini memang benar-benar pertunjukan yang sangat hebat!
Bab 28. Koin Pencabut Nyawa
Setelah beberapa lama, terdengar suara du, du, du, du….
dari arah jalan. Suara itu monoton dan membosankan.
Namun di tengah malam seperti itu, suara itu sungguh
mencekam. Seakan-akan memukul-mukul hati manusia
dengan tongkat.
Du, du, du…. bisa membuat orang yang mendengarnya
jadi gila.

540
Keempat orang berjubah kuning itu saling pandang, lalu
keempatnya bangkit berdiri.
Dari kegelapan malam, muncul sesosok bayangan.
Kaki kiri orang ini buntung, ia berjalan dengan tongkat.
Ketika cahaya suram dari warung itu menyinari wajah
orang itu, terlihatlah rambutnya yang acak-acakan,
wajahnya yang hitam seperti pantat panci dan penuh
dengan bekas luka.
Matanya segitiga, alisnya tebal, hidungnya besar,
mulutnya pun besat. Wajahnya sangat jelek, walaupun
tanpa bekas-bekas luka itu.
Semua orang pasti jijik melihatnya.
Namun keempat orang berjubah kuning itu
menghampirinya dan membungkuk dengan hormat.
Si kaki satu hanya mengibaskan tangannya.
Du, du, du…. orang itu berjalan masuk ke dalam warung.
Si Bungkuk Sun melihat bahwa orang inipun mengenakan
jubah kuning dengan garis keemasan di bagian
sampingnya.
Si kurus pun melihat dia masuk. Wajahnya langsung
berubah.

541
Si kaki satu memandang ke seluruh ruangan. Matanya
berbinar waktu melihat si kurus. Katanya pada keempat
orang itu, “Kalian telah bekerja keras.”
Walaupun wajahnya mengerikan, suaranya amat
menyenangkan.
Keempat orang berjubah kuning itu hanya menjawab,
“Ah, biasa saja.”
Si kaki satu bertanya, “Apakah mereka semua di sini?”
Salah seorang yang berjubah kuning itu menjawab,
“Semuanya ada 49 orang. Mereka semua di sini.”
Si kaki satu bertanya lagi, “Apakah kalian yakin mereka
semua datang untuk itu?”
Si tua berjubah kuning menjawab, “Aku telah
memastikannya. Mereka semua datang dalam tiga hari
terakhir ini. Jadi pasti mereka datang untuk itu. Kalau
tidak, buat apa mereka datang ke sini?”
Si kaki satu mengangguk dan berkata, “Bagus kalau kau
sudah memastikannya, jadi kita tidak akan menyakiti
orang yang tidak berdosa.”
Si tua berjubah kuning pun menyahut, “Tentu saja.”
Si kaki satu pun bertanya, “Jadi orang-orang itu sudah
paham?”
Sahut si tua berjubah kuning, “Belum.”

542
Si kaki satu pun berkata, “Kalau begitu mereka harus
diberi tahu.”
“Ya.”
Ia berjalan keluar, lalu berkata, “Aku yakin kalian semua
tahu siapa kami. Kami pun tahu pasti apa maksud kalian
datang ke sini.”
Sambungnya, “Aku tahu kalian semua mendapatkan
surat yang sama. Itulah alasannya kalian datang kemari.”
Orang-orang itu tidak bisa mengangguk, dan mereka pun
takut salah bicara. Jadi tidak ada seorang pun yang
menjawab.
Si tua berjubah kuning pun berkata lagi, “Tapi dengan
kemampuan kalian, kalian tidak pantas datang. Oleh
sebab itu, kalian semua harus berdiri di sini. Sampai kami
menyelesaikan urusan kami, dan demi keselamatan
kalian semua, berdirilah di sini dengan tenang. Kalian
akan baik-baik saja.”
Ia terkekeh. “Aku yakin kalian tahu bahwa kecuali
terpaksa, kami tidak akan melukai siapapun.”
Ketika ia mengatakan ini, seseorang terbatuk.
Orang itu adalah Cui-coa Oh Bi, si wanita genit berbaju
hijau.
Supaya pinggangnya tetap tampak ramping, ia lebih baik
kedinginan daripada mengenakan pakaian yang tebal. Ini

543
adalah salah satu kebiasaan buruk yang dimiliki hampir
setiap wanita.
Ia berpakaian sangat minim dan kebetulan hari ini angin
bertiup cukup kencang. Ditambah lagi, ia berdiri paling
depan, sehingga angin langsung menerpanya. Tidak
heran, ia langsung masuk angin.
Sewaktu ia bersin, koin di atas kepalanya jatuh.
Terdengar bunyi ‘cring’ sewaktu koin itu jatuh ke tanah
dan bergulir menjauh. Wajahnya langsung memucat,
demikian pula wajah semua orang di situ.
Si tua berjubah kuning bertanya, “Kau tahu peraturan
kami?”
Cui-coa Oh Bi menjawab terbata-bata, “Y….ya.”
Si tua berjubah kuning menggeleng-gelengkan
kepalanya. “Kau seharusnya lebih berhati-hati.”
Seluruh tubuh Cui-coa Oh Bi gemetaran. “Itu adalah
kecelakaan. Tolong ampuni nyawaku.”
Si tua berjubah kuning pun menyahut, “Aku pun tahu itu
kecelakaan, tapi aku tidak bisa melanggar peraturan.
Siapa yang akan menaati peraturan jika orang bisa
seenaknya melanggar? Kau sudah lama berkecimpung
dalam dunia persilatan. Seharusnya kau sudah tahu.”
Cui-coa Oh Bi menoleh pada Pek-mo-kau Oh Hui,
kakaknya. “Toako, kau… tidak mau menolong aku?”

544
Pek-mo-kau Oh Hui memejamkan matanya. Otot
wajahnya mengejang. “Aku bisa berbuat apa?”
Cui-coa Oh Bi tersenyum. “Aku mengerti…. Aku tidak
akan menyalahkan engkau.”
Mata Cui-coa Oh Bi kini memandang Thi-jiang-siau-paong
Nyo Seng-cu. “Bagaimana dengan engkau, Yang
sayang? Aku sudah akan pergi, adakah yang ingin kau
katakan padaku?”
Mata Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu terus
memandang kosong ke tanah, tanpa perasaan.
Kata Cui-coa Oh Bi, “Kau bahkan tidak ingin melihatku?”
Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu memejamkan
matanya.
Cui-coa Oh Bi tiba-tiba tertawa histeris sambil menuding
Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu. “Kalian semua, lihat
ini. Orang ini adalah kekasihku. Semalam ia berkata
bahwa selama aku mencintainya, ia rela mati bagiku.
Tapi sekarang? Sekarang, melihat padaku pun tidak mau,
seakan-akan aku akan menularkan penyakit….”
Tawanya sedikit demi sedikit berhenti, berganti dengan
air mata yang turun membasahi pipinya. “Apa itu kasih
sayang? Apa itu cinta? Untuk apa aku hidup sekarang?
Lebih baik mati sekarang daripada terus hidup.”
Sambil berbicara, tubuhnya berguling di tanah sejauh
beberapa meter dengan cepat dan disambitkannya

545
sejumlah senjata rahasia Bintang Es ke arah si tua
berjubah kuning itu.
Lalu tubuhnya segera melayang, berusaha melewati
tembok.
Keahlian Cui-coa Oh Bi adalah meringankan tubuh dan
senjata rahasia. Kepandaiannya di bidang ini sebetulnya
cukup tinggi. Menyambitkan begitu banyak Bintang Es
dengan cepat, akurat, dan sangat mematikan!
Si tua berjubah kuning itu hanya mengangkat alisnya
sedikit lalu berkata, “Buat apa kau berbuat ini….”
Ia mungkin berjalan dan berbicara dengan lambat,
namun gerakannya sungguh sangat cepat. Ketika
kalimatnya selesai, ia pun sudah menangkap seluruh
Bunga Es itu dengan lengan bajunya.
Pada saat Cui-coa Oh Bi akan melompat melewati
tembok itu, ia merasa ada serangkum tenaga yang besar
datang ke arahnya, sehingga ia malah menubruk tembok
itu dan jatuh ke tanah. Seluruh tubuhnya mengeluarkan
darah.
Kata si tua berjubah kuning, “Sebenarnya kau bisa mati
dengan tenang, sayang….”
Tangan Cui-coa Oh Bi memegangi dadanya. Ia terbatuk
dan terus terbatuk, mengeluarkan darah.
Si tua berbaju kuning pun berkata lagi, “Sebelum kau
mati, akan kukabulkan satu permintaanmu.”

546
Tanya Cui-coa Oh Bi, “Ini juga salah satu peraturanmu?”
“Ya.”
“Apapun yang kuminta, akan kau kerjakan?”
Si tua menjawab, “Jika kau punya urusan yang belum
selesai, kami akan menyelesaikannya. Jika kau ingin
membalas dendam, kami dapat melakukannya untukmu.”
Ia terkekeh, lalu menyambung, “Jadi siapapun yang mati
di tangan kami bisa dibilang cukup beruntung.”
Mata Cui-coa Oh Bi menjadi cerah. Katanya, “Karena aku
memang harus mati, bolehkah aku memilih siapa yang
akan membunuhku?”
Si tua berjubah kuning menjawab, “Tidak ada masalah.
Siapa yang kau inginkan?”
Cui-coa Oh Bi menggigit bibirnya, dan berkata, “Dia, Thijiang-
siau-pa-ong Nyo Seng-cu!”
Wajah Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu langsung
memucat, katanya, “Apa maksudmu? Kau ingin
membunuhku juga?”
Sahut Cui-coa Oh Bi, “Kau cuma berpura-pura sayang
padaku, padahal aku betul-betul cinta padamu. Jika aku
bisa mati di tanganmu, aku mati berbahagia.”

547
Si tua berjubah kuning pun berkata, “Mudah sekali
membunuh orang. Jangan bilang bahwa kau tidak pernah
membunuh.”
Tangannya bergerak sedikit dan sebilah pisau pun keluar.
Lalu ia berjalan dan memberikannya kepada Thi-jiangsiau-
pa-ong Nyo Seng-cu. “Pisau ini sangat tajam. Tidak
perlu menusuk dua kali untuk membunuh.”
Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu menggelengkan
kepalanya, katanya, “Aku tidak…..”
Sewaktu berbicara, koin di atas kepalanya pun jatuh ke
tanah.
Tubuh Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu langsung
mengejang.
Cui-coa Oh Bi langsung tertawa terbahak-bahak.
“Katamu kemarin, jika aku mati, kau pun tidak ingin
hidup lagi. Kini, kau benar-benar akan mati bersamaku.
Setidaknya sebagian kata-katamu benar juga.”
Tubuh Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu bergetar
hebat, lalu ia berteriak, “Kau…..!!! Kau wanita tidak
berperasaan…”
Ia segera menyambar pisau itu, berjalan cepat ke arah
Cui-coa Oh Bi-toasiansingn menyayat leher Cui-coa Oh
Bi. Darah muncrat membasahi tubuhnya.
Akhirnya dia menjadi tenang dan mengangkat kepalanya.

548
Semua orang memandangnya dingin.
Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu menghentakkan
kakinya, lalu menyayat lehernya sendiri dengan pisau
yang sama. Tubuhnya menelungkup di atas tubuh Cuicoa
Oh Bi.
Kini Si Bungkuk Sun mengerti mengapa orang-orang itu
berjalan dan berdiri dengan aneh.
Peraturan orang-orang berjubah kuning ini sungguh
mengerikan dan sulit dimengerti.
Namun si kurus tidak peduli sedikitpun. Seolah-olah hal
seperti ini terjadi setiap hari.
Saat ini, si kaki satu bangkit berdiri, lalu berjalan ke arah
meja si kurus dan duduk di hadapannya.
Si kurus pun mengangkat kepalanya dan memandang si
kaki satu lekat-lekat.
Mereka tidak bicara sepatah kata pun, namun Si Bungkuk
Sun merasa suatu peristiwa besar akan segera terjadi.
Mata kedua orang ini bagaikan pisau, saling menusuk
hati satu sama lain.
Cukup lama mereka saling pandang, akhirnya si kaki satu
tersenyum.

549
Senyumnya sangat unik, sangat aneh. Bisa membuat
orang lupa betapa jelek wajahnya, karena senyumnya
begitu hangat dan lembut.
Ia tersenyum sambil berkata, “Sekarang aku tahu siapa
engkau.”
“O ya?”
“Aku rasa kau pun tahu siapa kami.”
“Dalam dua tahun terakhir ini, rasanya tidak ada seorang
pun yang tidak tahu siapa kalian.”
Si kaki satu terkekeh. Lalu dikeluarkannya selembar
surat.
Surat itu tampak biasa saja, namun Si Bungkuk Sun ingin
sekali tahu apa isi surat itu.
Si kaki satu berkata, “Aku rasa kau datang jauh-jauh
karena surat ini juga, bukan?”
Si kurus menyahut, “Mungkin.”
Kata si kaki satu, “Katanya, lebih dari seratus orang
menerima surat ini, namun tidak seorang pun yang tahu
siapa pengirimnya. Walaupun sudah berusaha kuselidiki,
aku tidak menemukan jejak apapun.”
Si kurus pun berkata, “Jika kau tidak berhasil
menemukan jejaknya, tidak ada seorang pun yang bisa!”

550
Kata si kaki satu, “Walaupun kami tidak tahu siapa
penulisnya, kami tahu alasan dia menulis.”
“O ya?”
Si kaki satu menerangkan, “Ia berusaha mengumpulkan
jago-jago silat ke tempat ini, supaya kita semua saling
bertempur, dan pada akhirnya dialah yang memetik
hasilnya.”
Tanya si kurus, “Kalau begitu, mengapa kau masih ada di
sini?”
“Karena rencana yang sangat berbahaya itulah, kami
harus datang.”
“O ya?”
Si kaki satu tersenyum. “Kami datang untuk memberi
tahu semua orang alasan surat itu dikirimkan, supaya
tidak seorang pun masuk ke dalam perangkapnya.”
Si kurus pun menyahut, “Betapa setia kawannya
engkau.”
Si kaki satu seperti tidak menangkap nada sindiran dalam
suara si kurus. Ia berkata, “Kami hanya ingin membuat
persoalan besar menjadi kecil, dan persoalan kecil
menjadi tidak ada, agar semua orang bisa hidup
tenteram.”

551
Si kurus pun berkata, “Sebenarnya, tidak ada yang tahu
pasti apakah di sini betul-betul ada harta karun atau
tidak.”
Sahut si kaki satu, “Oleh sebab itu, bukankah sangat
disayangkan kalau seseorang kehilangan nyawanya
hanya karena omong kosong ini.”
Si kurus pun menjawab, “Namun karena aku sudah
berada di sini, sekalian saja aku lihat apa yang
sebenarnya terjadi. Bagaimana mungkin hanya dengan
beberapa kata seseorang berusaha membujukku untuk
pergi?”
Wajah si kaki satu pun berubah tegang, katanya, “Jadi
kau tidak mau pergi?”
Si kurus tertawa dingin. “Walaupun aku pergi, harta
karun itu tidak akan jatuh ke tanganmu!”
Sahut si kaki satu, “Selain engkau, kurasa tidak ada lagi
yang dapat menandingi kami.”
Ia menekan tongkat besinya dan terdengar suara
berderak. Tongkatnya yang dua meter itu kini satu
setengah meternya tertanam dalam tanah.
Si kurus berkata dengan dingin, “Ilmu silat kelas tinggi.
Tidak heran dalam Kitab Persenjataan Pek-hiau-sing,
tongkat besimu ada di urutan ke delapan.”

552
Si kaki satu pun berseru, “Cambuk Ularmu yang terkenal
itu ada di urutan ketujuh. Aku sudah lama ingin
menjajalnya!”
Si kurus pun menjawab, “Aku pun sudah menantinantikan
pertempuran ini!”
Bab 29. Cambuk yang Punya Mata
Tangan si kurus menggebrak meja dan tubuhnya
melayang ke udara. Angin dingin berkelebat dan sebuah
cambuk berwarna hitam mengkilat telah tergenggam di
tangannya.
Ia menyentak pergelangan tangannya dan cambuk
panjang itu bergelora, menghasilkan angin yang menerpa
orang-orang yang berada di luar. Terdengar suara ting
ting tang tang. Empat puluh koin jatuh ke tanah.
Keempat puluh orang itu adalah jago-jago dalam dunia
persilatan, namun tidak satupun pernah melihat
permainan cambuk yang begitu mengagumkan.
Ketika cambuk itu ada di tangannya, cambuk itu seolaholah
menjadi hidup, seperti punya mata.
Keempat puluh orang itu saling pandang, lalu segera
menggunakan ilmu meringankan tubuh mereka untuk
kabur. Sebagian lari ke jalan, sebagian memanjat
tembok. Langit penuh dengan bayangan orang-orang
yang berhamburan. Dalam sekejap saja, semua sudah
pergi.

553
Wajah si tua berjubah kuning itu memucat. Ia
membentak dengan marah, “Kau telah mengambil Koin
Pencabut Nyawa mereka. Apakah kau ingin mati
menggantikan mereka?”
Si kaki satu tertawa dingin, “Nyawa Dewa Cambuk Sebun
Yu memang cukup berharga untuk menggantikan nyawa
mereka semua!”
Ditariknya tongkatnya dan ia pun berdiri dengan satu
kaki. Seakan-akan kakinya itu tertancap di tanah, seperti
sebatang pohon yang kuat.
Si tua berjubah kuning mengacungkan tangannya. Dalam
tangannya tergenggam sebuah Boan-koan-pit, Pensil
Baja.
Siapapun yang mempunyai senjata seperti itu, pastilah
mempunyai kungfu tingkat tinggi.
Empat orang mengelilingi Sebun Yu.
Si mata satu mundur beberapa langkah dan membuka
jubahnya. Tampak 49 mata tombak, ada yang panjang,
ada yang pendek.
Kelima pasang mata orang itu memandang ke arah
cambuk panjang Sebun Yu.
Si kaki satu lalu tertawa. “Aku rasa kau pasti sudah tahu
siapa keempat temanku ini.”
Sahut Sebun Yu, “Aku sudah tahu dari tadi.”

554
Si kaki satu berkata, “Kalau dipandang dari segi keadilan,
kami berlima seharusnya tidak main keroyok. Tapi hari ini
lain.”
Sebun Yu tertawa. “Aku sudah melihat begitu banyak
orang dalam dunia persilatan menang dengan cara main
keroyok. Kau pikir aku peduli?”
Si kaki satu pun menyahut, “Awalnya, aku tidak ingin
membunuhmu, tapi kau telah melanggar peraturan kami.
Bagaimana mungkin kami melepaskanmu? Jika kami
membiarkan peraturan kami dilanggar, kami akan jadi
sekelompok pendusta. Aku harap kau bisa mengerti.”
Kata Sebun Yu, “Bagaimana jika aku mau pergi?”
Si kaki satu menjawab, “Kau tidak bisa lagi pergi!”
Sebun Yu hanya tertawa. “Kalau aku benar-benar ingin
pergi, kalian berlima tidak mungkin menghalangiku!”
Si kaki satu menggeram, tongkatnya sudah bergerak!
Walaupun gerakannya sederhana, tenaganya sungguh
tidak terkira!
Sebun Yu masih tersenyum, cambuknya meliuk-liuk
dengan cepat seraya melompat ke atas.
Si mata satu mengacungkan tangannya dan 13 mata
tombak mencelat, membawa segulung angin ke arah
Sebun Yu.

555
Yang panjang disambitkan lebih dulu, namun yang
pendek lebih cepat. Terdengar suara klak klak klik klik
secara beruntun, waktu cambuk itu menghalau ketiga
belas mata tombak itu.
Seperti angin puyuh, Sebun Yu melayang makin tinggi,
lalu tiba-tiba mencelat, menghilang dari pandangan.
Si kaki satu segera berseru, “Kejar!”
Si kaki satu pun menutul tanah dengan tongkat besinya
dan melayang ke udara. Ilmu meringankan tubuhnya
lebih baik dari orang berkaki dua. Ia pun segera
menghilang dari pandangan.
Keempat orang berjubah kuning yang lain segera
menyusul, dan seketika warung itu pun sunyi senyap.
Hanya dua mayat tertinggal di situ.
Kalau bukan karena kedua mayat itu, Si Bungkuk Sun
mengira bahwa itu semua hanya mimpi buruk belaka.
Si kakek tua terbangun. Pada wajahnya tidak kelihatan
tanda-tanda ia mabuk. Ia memandang ke arah orangorang
berjubah kuning itu pergi dan menghela nafas.
“Tidak heran bahwa Cambuk Ular Sebun Yu berada di
urutan yang lebih tinggi daripada Jing-mo-jiu (Tangan
Setan Hijau) In Gok. Dari gerakannya, ia memang pantas
disebut Si Dewa Cambuk. Pek-hiau-sing memang benarbenar
tahu apa tentang persenjataan.”
Si gadis berkuncir bertanya, “Apakah betul ia adalah ahli
cambuk yang paling hebat saat ini?”

556
Sahut si orang tua, “Keahlian yang baru saja
ditunjukkannya itu belum pernah ada di antara ahli
senjata lemas dalam tiga puluh tahun terakhir ini.”
Tanya si gadis berkuncir lagi, “Bagaimana dengan si kaki
satu?”
“Ia bernama Cukat Kang. Julukannya di dunia persilatan
adalah Heng-siau-jian-kun’ ‘Si Penyapu Seribu Tentara’.
Tongkatnya yang disebut Tongkat Baja Emas,
mempunyai berat 100 kati. Senjata yang terberat yang
pernah ada.”
Si gadis berkuncir pun tersenyum. “Yang satu bernama
Sebun Yu. Yang satu lagi bernama Cukat Kang. Mereka
memang ditakdirkan menjadi musuh.”
[Yu artinya lunak. Kang artinya keras.]
"Meski senjata Sebun Yu termasuk lunak, tapi orangnya
justru sangat lurus dan keras, sebaliknya Cukat Kang
yang bersenjata keras itu justru berhati licik dan licin.
Kungfu kedua orang memang saling berlawanan,
perangai masing-masing juga tidak sama, namun lunak
dapat mengatasi keras, bicara tentang Kungfu, Cukat
Kang kalah setingkat, soal adu tipu akal Sebun Yu bisa
jadi akan kecundang."
"Menurut pandanganku, si kakek berjenggot putih itu
jauh lebih culas daripada Cukat Kang," kata si nona.

557
"Orang itu bernama Ko Hing-kong, seorang ahli Tiamhiat
(ilmu totok) (ilmu menutuk Hiat-to)," tutur si kakek.
"Sedangkan si mata satu bernama Yan Siang-hui,
sekaligus ia mampu menyambitkan 49 buah lembing kecil
dalam sekejap dan jarang meleset. Senjata kedua orang
ini dalam daftar senjata yang disusun Pek-hiau-sing
menempati urutan nomor 37 dan 46, di dunia Kangouw
mereka pun tergolong jago kelas satu."
Si nona berkucir mencibir, "Huh, masakah urutan nomor
46 juga terhitung jago kelas satu?"
"Memangnya kau tahu ada berapa juta orang di dunia
ini yang berlatih ilmu silat, dan ada berapa orang pula
yang namanya bisa tercantum dalam daftar yang disusun
Pek-hiau-sing itu?"
"Dan orang yang bermuka pucat hijau itu menggunakan
senjata macam apa? Apakah juga terdaftar?"
"Orang itu bernama Tong Tok dan berjuluk ‘Tok-tanglang’
(si belalang berbisa), senjata yang digunakannya
disebut Tong-long-to (golok belalang), golok beracun,

558
barang siapa sampai terluka oleh goloknya, dalam waktu
satu jam pasti binasa tanpa tertolong."
Si nona tertawa mengikik, "Hihi, aku jadi ingat, konon
orang ini gemar makan lima macam serangga berbisa,
karena hobi makannya itu sehingga sekujur tubuhnya
berubah warna hijau, sampai matanya juga berwarna
hijau."
"Ya, beberapa orang itu sudah tergolong jago kelas
terkemuka di dunia Kangouw," tutur si kakek sambil
mengetuk pipa tembakaunya dan mengisi tembakau, lalu
udut lagi. Setelah mengembuskan asap tembakaunya, ia
menyambung pula, "Tapi bila mereka dibandingkan anak
muda berbaju kuning yang angkuh itu, mereka boleh
dikatakan belum masuk hitungan."
"Benar, dapat kulihat juga orang itu memang tidak boleh
diremehkan," ujar si nona, "Meski usianya paling muda,
tapi dia paling sabar, senjata yang digunakannya juga
lain daripada yang lain, entah bagaimana asal usulnya?"
"Pernahkah kau dengar nama Liong-hong-goan (gelang
naga dan hong) Siangkoan Kim-hong?" tanya si kakek.

559
"Tentu saja pernah kudengar," sahut si nona. "Senjata
andalan orang ini bernama Cubo-liong-hong-goan
(gelang induk beranak naga dan hong) dan menempati
urutan nomor dua dalam daftar senjata susunan Pekhiau-
sing, namanya bahkan di atas pisau kilat Li-tamhoa.
Orang Kangouw siapakah yang tidak kenal namanya?"
"Nah, pemuda itu bernama Siangkoan Hui, dia putra
satu-satunya Siangkoan Kim-hong," tutur si kakek tukang
dongeng. "Cukat Kang, Tong Tok, Ko Hing-kong dan Yan
Siang-hui, mereka juga anak buah Siangkoan Kim-hong."
Si nona berkucir melelet lidah, "Wah, pantas mereka
bertindak sedemikian semena-mena, kiranya mereka
mempunyai dukungan sekuat itu."
"Sudah cukup lama Siangkoan Kim-hong menghilang,"
tutur pula si kakek, "tapi dua tahun yang lalu mendadak
dia muncul kembali, ada 17 tokoh kelas top yang
termasuk dalam daftar senjata itu dicakup olehnya dan
terbentuklah Kim-ci-pang (sindikat mata uang emas).
Selama dua tahun ini mereka malang melintang di dunia
Kangouw dan tidak terkalahkan, setiap orang Kangouw
sama miring terhadap mereka, besar pengaruh mereka

560
sekarang bahkan sudah di atas Kay-pang (serikat
pengemis)."
"Kay-pang adalah organisasi terbesar di dunia persilatan,
masakah sindikat yang kurang terhormat seperti mereka
itu dapat menandingi Kay-pang?" ujar si nona.
Si kakek menghela napas, "Selama dua tahun ini,
kesatria Kangouw yang hebat sudah semakin berkurang,
yang baik surut, yang jahat tumbuh, apabila kaum
kesatria muda tidak berusaha maju dari berjuang, entah
sampai kapan dunia ini akan dikuasai Kim-ci-pang."
Sampai di sini, seperti tidak sengaja ia melirik sekejap ke
arah "setan arak" yang masih tetap mendekap di atas
meja dan belum lagi sadar itu.
Nona berkucir itu menghela napas gegetun, "Jika
demikian, bila Kim ci-pang sudah ikut campur urusan ini,
pihak lain terpaksa harus menonton saja di samping."
"Itu pun belum pasti," ujar si kakek dengan tertawa.

561
"Memangnya ada pendatang baru yang Kungfunya
terlebih tangguh daripada Siangkoan Kim-hong?" tanya
si-nona.
"Meski Liong-hong-goan termasuk senjata nomor dua
dalam daftar senjata, tapi pisau kilat si Li yang
menempati urutan nomor tiga dan Ko-yang-thi-kiam
(pedang besi Ko-yang) yang nomor empat itu, Kungfu
keduanya belum pasti di bawah Siangkoan Kim-hong," si
kakek tertawa, lalu menyambung pula dengan perlahan,
"Apalagi di atas Liong-hong-goan juga masih ada
sebatang pentung mahasakti dan serbahebat yang
disebut Ji-ih-pang (pentung serbajadi)."
"Sesungguhnya di mana letak kehebatan Ji-ih-pang itu,
mengapa bisa mendapatkan urutan nomor satu di dalam
daftar senjata Pek-hiau-sing?" tanya si nona.
Si kakek menggeleng, "Ji-ih-pang juga disebut Thian-kipang
(pentung rahasia alam), rahasia alam tidak boleh
dibocorkan, maka selain Thian-ki-lojin (si kakek rahasia
alam) yang memegang Thian-ki-pang itu, mana orang
lain bisa tahu?"

562
Nona berkucir itu termenung sejenak, mendadak ia
tertawa dan berkata pula, "Biarpun Kim-ci-pang itu
sangat hebat, tapi kurang pintar mencari nama, masa
pakai nama ‘uang’ segala, kan mata duitan jadinya?
Sungguh lucu dan menggelikan."
"Setan pun doyan duit, apalagi manusia," ucap si kakek
dengan sungguh-sungguh. "Segala apa di dunia ini,
adakah yang punya daya pikat terlebih besar daripada
‘duit’? Nanti kalau kau sudah berumur setua diriku
barulah kau tahu nama ini tidak menggelikan sedikit
pun."
"Tapi di dunia ini juga ada sementara orang yang tidak
dapat dipengaruhi dengan duit," ucap si nona.
"Ya, tapi orang macam begitu teramat sedikit, bahkan
makin lama semakin jarang," kata si kakek.
Kembali si nona terdiam dan termenung memandangi
kuku jari sendiri.

563
Si kakek asyik udut pula, lalu dia mengetuk pipa
tembakaunya di tepi meja dan berkata lagi, "Apa yang
kuceritakan ini telah kau dengar seluruhnya bukan?"
Berputar biji mata si nona, ia pun melirik si setan arak
sekejap dan menjawab dengan tertawa cerah, "Aku kan
tidak mabuk, tentu sudah kudengar dengan jelas."
Si kakek manggut-manggut, "Dan asal usul orang-orang
itu tentu juga sudah kau ketahui semua?"
"Ya, tahu semua," jawab si nona.
"Bagus, dengan demikian selanjutnya kau perlu hati-hati
bilamana bertemu dengan mereka."
Dengan tersenyum si kakek lantas berbangkit, lalu
bergumam, "Meski arak di warung ini lumayan, tapi
orang hidup kan tidak dapat senantiasa berendam di
dalam guci arak dan melewatkan hidup ini secara sia-sia,
jika tiba waktunya harus pergi kan harus angkat kaki
juga. Betul tidak juragan?"

564
Kedua kakek bercucu ini bertanya jawab seakan akan
sedang bercerita bagi orang lain.
Sampai terkesima Sun bungkuk mendengarkan, kini ia
tidak tahan, tanyanya dengan tertawa, "Wah, tampaknya
Losiansing sangat hafal terhadap segala seluk-beluk
dunia Kangouw, tentu engkau jaga seorang kesatria
besar, maka rekening minum kalian biarlah kubereskan
bagimu."
Si kakek tukang dongeng menggeleng dengan tertawa,
"Ah, sama sekali aku bukan kesatria apa segala, paling
banter aku cuma setan arak saja. Baik seorang kesatria
maupun seorang pemabuk, utang harus dibayarnya
sendiri, tidak boleh ingkar, juga tidak dapat menghindar."
Si orang tua mengeluarkan beberapa uang perak dan
meletakkannya di atas meja. Ia dan cucunya lalu keluar
dari warung itu masuk ke dalam kegelapan malam.
Si Bungkuk Sun mengawasi kepergian mereka. Sewaktu
ia menoleh kembali, ia melihat bahwa si pemabuk pun
kini sudah bangun. Ia berjalan ke arah tempat duduk
yang tadi diduduki oleh Sebun Yu. Ia memungut surat
yang ditinggalkan oleh Cukat Kang.

565
Si Bungkuk Sun tersenyum. “Sayang sekali kau sudah
mabuk tadi. Kau melewatkan pertunjukan yang sangat
seru.”
Si pemabuk tertawa, lalu menghela nafas. “Pertunjukan
yang sebenarnya belum lagi dimulai. Walaupun aku tidak
ingin menonton, aku kuatir aku harus menontonnya.”
Si Bungkuk Sun hanya menaikkan alisnya. Ia merasa
semua orang sangat aneh hari ini. Seolah-olah mereka
salah minum obat.
Si pemabuk membaca surat itu dalam sekejap, dan
wajahnya pun berubah merah. Ia membungkuk dalamdalam
dan mulai terbatuk-batuk.
Si Bungkuk Sun bertanya, “Apa kata surat itu?”
Sahut si pemabuk, “Ti…tidak apa-apa.”
Kata Si Bungkuk Sun, “Kudengar mereka semua datang
ke sini karena surat itu.”
“O ya?”
Si Bungkuk Sun pun tersenyum. “Mereka menyebutnyebut
tentang semacam harta karun. Apa pun itu,
mereka pasti hanya main-main.”
Lalu ia pun bertanya, “Kau mau arak lagi? Kali ini gratis.”

566
Ia tidak mendengar jawaban. Ketika ia menoleh,
dilihatnya si pemabuk hanya berdiri di situ sambil
menatap ke kejauhan.
Matanya tidak tampak mabuk, bahkan tersirat suatu
kegagahan yang tidak biasa.
Si Bungkuk Sun mengikuti arah pandangannya. Ia hanya
dapat melihat secercah cahaya lilin di kejauhan. Cahaya
itu tampak semakin jauh karena kabut yang menyelimuti
tempat itu.
***
Waktu Si Bungkuk Sun kembali ke halaman belakang,
hari sudah tengah malam.
Di halaman, suasana selalu tenang. Terlihat lilin di kamar
si pemabuk masih bercahaya, namun pintunya terbuka
lebar. Melambai-lambai karena tiupan angin.
Si Bungkuk Sun pergi ke sana untuk melihat. Ia
mengetuk pintu dan bertanya, “Apakah kau sudah tidur?”
Tidak ada suara.
Apa yang dilakukannya di luar selarut ini?
Si Bungkuk Sun masuk. Dilihatnya ruangan itu kacau
balau. Potongan-potongan kayu tersebar di seluruh
ruangan, tapi pisau kecilnya tidak nampak di mana pun
juga. Setengah guci arak terlihat masih di atas meja.

567
Segumpal kertas yang telah diremas-remas ada di
sampingnya.
Si Bungkuk Sun segera mengenali bahwa itu adalah surat
yang ditinggalkan oleh Cukat Kang.
Ia tidak tahan untuk tidak membacanya.
“15 September. Hin-hun-ceng akan menunjukkan harta
karunnya. Anda diharapkan datang untuk turut
menyaksikan.”
Hanya tiga kalimat saja. Lebih sedikit yang tertulis, surat
itu menjadi lebih misterius dan menarik perhatian orang.
Penulisnya sungguh memahami hati manusia.
Si Bungkuk Sun mengangkat alisnya. Wajahnya pun
berubah.
Ia tahu Hin-hun-ceng adalah puri di depan warungnya.
Namun ia tidak habis pikir, apakah hubungan si pemabuk
dengan puri itu?
Bab 30. Malam yang Sangat Sangat Panjang
Kabut menyelimuti keheningan malam. Di dahan hanya
terlihat satu dua lembar daun. Kolam teratai pun penuh
dengan daun-daun kering yang gugur. Rumput di jalan
setapak sudah menjadi coklat. Dulu, bunga-bunga
berwarna merah, pohon-pohon penuh dengan daunnya
yang hijau lebat, harum bunga Bwe semerbak ke seluruh

568
paviliun. Tapi kini semua telah tiada. Di ujung jembatan
itu ada sebuah bangunan kecil, Leng-hiang-siau-tiok.
Di sini pernah tinggal pahlawan gagah dunia persilatan.
Pernah juga tinggal wanita tercantik di seluruh dunia.
Saat itu, bunga-bunga Bwe masih bermekaran dan
keharumannya sungguh menawan hati.
Namun kini, sarang laba-laba terlihat di tiap sudut
ruangan. Debu tebal melapisi jendela. Tidak ada
keindahan yang tersisa. Bahkan pohon Bwe pun sudah
menjadi kering.
Dalam kegelapan malam, sesosok bayangan muncul.
Rambutnya acak-acakan, pakaiannya kusut. Ia kelihatan
seperti gembel jalanan, namun wajahnya tampak gagah,
matanya bersinar terang bagai bintang.
Ia berjalan melewati jembatan sambil memandangi
pohon-pohon Bwe. Ia menghela nafas. Pohon-pohon
Bwe itu adalah sobat lamanya. Namun kini, mereka
sudah layu, sama seperti dirinya sendiri.
Tapi tiba-tiba ia melayang terbang ke sana bagai seekor
burung!
Jendela di tingkat atas tertutup rapat.
Namun ada banyak guratan di jendela itu. Dari sela-sela
guratan itu, terlihatlah wajah seorang wanita yang
kesepian. Ia menghadap ke arah cahaya lilin, menjahit.

569
Wajahnya pucat. Matanya yang dulu menarik bagai
magnet kini tampak sayu.
Wajahnya tampak dingin, tidak berperasaan. Seakanakan
ia sudah lupa arti kebahagiaan ataupun kesedihan.
Ia duduk di sana menjahit, dan layu sedikit demi sedikit.
Lubang di baju dapat ditambal, namun lubang di hati
tidak dapat ditutup….
Di sisi lain ruangan itu, tampak seorang anak lelaki
berusia 13 atau 14 tahun.
Wajahnya kelihatan sangat pandai. Matanya yang
bersinar membuat dia tampak semakin pandai. Namun
wajahnya pucat, sangat pucat sampai orang akan lupa
bahwa ia masih kanak-kanak.
Ia sedang berlatih menulis.
Walaupun ia sangat muda, ia sudah belajar hidup dalam
kesepian.
Lelaki tua itu mengawasi mereka dari luar.
Air mata meleleh, membasahi pipinya.
Setelah sekian lama, anak itu berhenti menulis. Ia
mengangkat kepalanya dan menatap api lilin.
Si wanita pun berhenti menjahit dan memandangi
putranya. Wajahnya penuh lelembutan seorang ibu dan

570
bertanya dengan halus, “Siau-in, apa yang sedang kau
pikirkan?”
Anak itu menggigit bibirnya dan berkata, “Aku hanya
sedang berpikir kapan ayah akan kembali?”
Tangan si wanita gemetar hebat, jarumnya menusuk
salah satu jarinya. Namun sepertinya ia tidak merasa
kesakitan, karena semua rasa sakitnya sudah terkumpul
dalam hatinya. Kata anak itu lagi, “Ibu, kenapa ayah
tiba-tiba pergi? Sudah dua tahun dan sama sekali tidak
ada kabar.”
Si wanita hanya terdiam lama. Ia mendesah dan
menjawab, “Aku pun tidak tahu mengapa ia pergi.”
Tiba-tiba wajah anak itu menyiratkan kebencian yang
mendalam. Katanya, “Aku tahu kenapa ia pergi.”
Ibunya berkata dengan lembut, “Kau kan masih anakanak.
Kau tahu apa?”
Sahut anak itu, “Tentu saja aku tahu. Ayah pergi karena
ia takut Li Sun-Hoan akan datang untuk membalas
dendam. Setiap kali ia mendengar nama Li Sun-Hoan
diucapkan, wajahnya langsung berubah.”
Si wanita tadinya ingin menjawab, tapi diurungkannya. Ia
hanya menghela nafas.
Ia menyadari bahwa anaknya memang tahu banyak hal,
mungkin terlalu banyak.

571
Anak itu melanjutkan, “Namun Li Sun-Hoan tidak pernah
datang. Mengapa ia tidak pernah menjengukmu, Bu?”
Tubuh si wanita bergetar. Ia berseru, “Mengapa ia harus
datang untuk menjengukku?”
Anak itu tersenyum. “Aku tahu ia dan Ibu adalah sahabat
karib, bukan?”
Wajah ibunya putih seperti kertas. Keningnya berkerut.
“Sudah hampir fajar, mengapa kau belum pergi tidur?”
Si anak mengejapkan matanya, katanya, “Aku tidak mau
tidur. Aku ingin menemani Ibu, sebab dalam dua tahun
ini Ibu tidak pernah tidur nyenyak.”
Ibunya memejamkan matanya, dan air matanya meleleh
turun.
Anak itu bangkit dan tersenyum. “Tapi aku memang
harus tidur sekarang. Besok adalah hari ulang tahun Ibu.
Aku mau bangun pagi-pagi…..”
Ia menghampiri ibunya dan mengecup keningnya.
Katanya lagi, “Ibu juga harus tidur. Sampai jumpa
besok.”
Ia tersenyum sambil melangkah keluar. Di luar ruangan,
senyumnya langsung lenyap dan berganti dengan wajah
yang penuh kelicikan, “Li Sun-Hoan, semua orang takut
padamu, namun aku tidak. Cepat atau lambat, kau pasti
mati di tanganku.”

572
Mata si wanita mengiringin kepergian anaknya. Mata itu
penuh dengan kesedihan dan kelembutan. Putranya
memang adalah anak yang pandai.
Ia hanya memiliki seorang putra.
Putranya adalah seluruh hidupnya. Walaupun ia
melakukan perbuatan yang membuatnya sedih atau
marah, ia tetap akan mencintainya sepenuh hati.
Kasih seorang ibu terhadap anaknya selalu tidak
terbatas, selalu tidak bersyarat.
Ia kembali duduk dan menyalakan lilin yang lain.
Setiap malam menjelang fajar, perasaan hatinya selalu
teramat muram.
Suara batuk terdengar dari luar jendela.
Wajah si wanita langsung berubah.
Seluruh tubuhnya menjadi kaku seperti sebatang kayu.
Ia tidak dapat bergerak, hanya matanya yang
memandang cepat ke arah jendela. Dalam matanya
terbersit kegembiraan, namun juga kesedihan….
Setelah sekian lama, akhirnya ia bangkit dari kursinya
dan berjalan menuju ke jendela. Dengan tangan gemetar
dibukanya daun jendela itu perlahan-lahan. Ia berseru,
“Siapa di situ?”
Tidak ada setitik bayangan pun di luar sana.

573
Si wanita memandang ke sekelilingnya, lalu berkata, “Aku
tahu kau ada di sini. Kalau sudah datang, mengapa tidak
menemuiku?”
Tidak ada suara, tidak ada jawaban.
Si wanita mengambil nafas dalam-dalam, lalu berkata,
“Aku tidak menyalahkanmu jika kau tidak ingin bertemu.
Aku sudah bersalah padamu….”
Suaranya semakin lemah, dan akhirnya ia hanya berdiri
di situ, tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya
ditutupnya kembali daun jendela itu.
Bumi diselimuti kegelapan.
Sesaat sebelum fajar adalah saat yang paling gelap.
Namun kegelapan pasti akan berlalu, seiring dengan
munculnya secercah sinar dari arah timur. Sesosok
bayangan muncul dari balik pepohonan.
Ia telah berdiri tidak bergerak di sana cukup lama.
Rambutnya, pakaiannya, semua basah kuyup oleh air
mata.
Matanya tidak pernah lepas dari jendela itu. Ia kelihatan
sangat tua, sangat kuyu, sangat lemah….
Ia adalah orang yang sama yang datang ke situ tadi
malam. Orang yang sama dengan si pemabuk daro
warung Si Bungkuk Sun!

574
Ia tidak berbicara, namun hatinya menggapai-gapai.
Si-im, Si-im, kau tidak melakukan kesalahan apa-apa.
Akulah yang bersalah padamu….
Walaupun aku tidak melihat wajahmu selama dua tahun
ini, aku selalu berada di sisimu sepanjang waktu,
menjagamu. Tahukah engkau?
Langit semakin terang.
Tangan orang ini membekap mulutnya, berusaha keras
untuk tidak terbatuk.
Lalu ia berjalan menuju ke pintu. Pintu itu tidak dikunci.
Didorongnya pintu itu.
Sewaktu pintu itu terbuak bau arak langsung menyengat
hidungnya. Kamar itu kator dan bernatakan. Seorang
laki-laki tidur di atas meja. Tangannya menggenggam
sebotol arak.
Seorang pemabuk lagi.
Ia tersenyum dan mengetuk pintu.
Si pemabuk terbangun. Diangkatnya kepalanya dan
tampaklah wajahnya burik.
Tidak akan ada yang menyangka bahwa ia adalah ayah
Lim Sian-ji.

575
Masih setengah mabuk, ia memandang sekelilingnya.
Katanya, “Mengapa ada yang datang pagi-pagi buta
begini? Habis bertemu setan atau hantu?”
Setelah ia menyelesaikan kalimatnya, barulah dilihatnya
laki-laki setengah baya berdiri dekat pintu. “Siapa kamu?
Apa kerjamu di sini?”
Si lelaki setangah baya tersenyum. “Kita bertemu dua
tahun yang lalu. Kau sudah lupa?”
Si burik menatap orang itu lekat-lekat, lalu dengan
tercekat ia berkata, “Kau Li….”
Ia bermaksud akan berlutut, namun sebelum lututnya
menyentuh lantai, Sun-hoan mengangkat tubuhnya.
“Bagus juga kau masih mengenaliku. Ayo, mari kita
duduk-duduk dan berbincang-bincang sejenak.”
Si burik tersenyum. “Bagaimana mungkin aku tidak
mengenalimu, Tuan. Aku berjanji tidak akan berbuat
seperti itu lagi. Namun, Tuan, kau kelihatan bertambah
tua dalam dua tahun ini.”
Sun-hoan merasa hangat di dadanya. “Kau pun
bertambah tua. Semua orang juga bertambah tua. Apa
kabarmu dua tahun ini?”
Sahut si burik, “Di depan orang lain aku bisa
menyombong, tapi di hadapanmu, Tuan, aku….”
Ia menghela nafas, lalu melanjutkan, “Sejujurnya, aku
tidak tahu bagaimana aku bisa melewati dua tahun ini.

576
Hari ini aku menjual lukisan, besok aku menjual
perabot,…..”
Si lelaki setangah baya mengangkat alisnya. “Apakah
seburuk itu keadaannya, sampai tidak ada uang sama
sekali di sini?”
Si burik hanya menunduk.
Sun-hoan bertanya lagi, “Maksudmu, waktu Liong-siya
pergi, ia tidak meninggalkan sepeser pun untuk
menunjang rumah tangga ini?”
Si burik menggelengkan kepalanya. Matanya merah.
Wajah Sun-hoan pun menjadi pucat lesi, dan ia mulai
batuk-batuk tidak berhenti.
Si burik pun berkata, “Pada awalnya, Nyonya memiliki
banyak perhiasan. Namun hatinya sungguh mulia. Ia
memberikan uang pesangon pada para pelayan, supaya
mereka bisa membuka usaha sendiri di luar…. Nyonya
lebih baik menderita daripada melihat para pelayan
menderita.”
Ia mengatakannya dengan suara serak.
Sun-hoan hanya terdiam sampai beberapa lama. Lalu ia
berkata, “Namun kau tidak pergi. Kau adalah orang yang
setia.”
Si burik tersenyum kecut. “Aku hanya tidak punya tempat
tujuan lain.”

577
Sahut Sun-hoan, “Kau tidak perlu menjelaskan. Ada
orang yang perangainya kasar, namun hati mereka baik.
Hanya sedikit orang saja yang dapat mengerti mereka.”
Wajah si burik menjadi merah. Ia memaksakan seulas
senyum. “Arak ini tidak lezat, namun jika Tuan tidak
keberatan, mari kita munm bersama.”
Ia hendak menuangkan isi botol itu ke dalam cawan, dan
baru disadarinya bahwa botol itu sudah kosong.
Sun-hoan pun tersenyum. “Aku tidak ingin minum arak
saat ini, teh saja. Tidakkah kau heran bahwa aku ingin
minum teh? Sudah lama aku tidak melakukannya.”
Si burik pun ikut tersenyum. “Aku akan menjerang air
untuk membuat teh.”
Kata Sun-hoan, “Siapa pun yang kautemui, jangan
katakan bahwa aku ada di sini.”
Si burik pun menjawab, “Jangan kuatir, Tuan. Rahasiamu
aman padaku.”
Ia keluar dengan hati riang, sampai lupa mengunci pintu.
Sun-hoan mengerutkan keningnya sambil menggumam,
“Si-im, Si-im, kau telah mengalami begitu banyak
penderitaan karena aku. Aku harus menjagamu. Takkan
kubiarkan siapapun menyakitimu.”
Sinar matahari telah menembus melewati jendela. Hari
sudah siang.

578
Tehnya sama sekali tidak sedap.
Namun selama teh itu kental, orang dapat meminumnya.
Sama seperti seorang wanita. Selama ia masih muda,
tidak akan ada yang menolaknya.
Sun-hoan minum tehnya perlahan-lahan, lalu tiba-tiba
tertawa. “Dulu aku punya teman yang pandai, katakatanya
selalu tepat mengenai sasaran.”
Si burik tertawa juga. “Tuan, Anda pun pandai juga.”
Kata Sun-hoan, “Dia pernah bilang, ‘Tidak ada arak yang
tidak memabukkan, dan tidak ada gadis muda yang
jelek’. Kemudian dia berkata, ‘Karena dua hal inilah aku
bertahan hidup’.”
Matanya penuh dengan tawa. Sambungnya, “Namun
sebenarnya, arak yang baik adalah arak yang sudah
disimpan lama, demikian juga wanita yang lebih tua
sesungguhnya lebih baik karena mereka lebih
berpengalaman.”
Si burik tidak mengerti secara keseluruhan, jadi dia tidak
menyahut. Ia hanya menuangkan teh ke dalam cawan
lagi. “Mengapa Tuan kembali lagi?”
Sun-hoan terdiam beberapa saat sebelum menjawab,
“Katanya di sini ada harta karun….”
Si burik tertawa. “Harta karun? Ya, aku juga berharap
ada harta karun di sini.”

579
Tiba-tiba tawanya berhenti. Matanya menatap Sun-hoan
lekat-lekat. “Jika di sini ada harta karun, Tuan pasti tahu,
bukan?”
Sun-hoan hanya mendesah. “Walaupun kau dan aku
tidak percaya kabar burung ini, kelihatannya banyak
orang yang percaya.”
Si burik bertanya, “Siapa yang menyebarkan kabar
burung itu? Kenapa?”
Jawab Sun-hoan, “Ada dua alasan. Yang pertama, untuk
mengundang orang-orang yang rakus datang dan saling
membunuh, supaya pada akhirnya ialah yang mengeruk
keuntungan.”
Tanya si burik, “Alasan yang lain?”
Sahut Sun-hoan, “Sudah lama aku tidak muncul. Banyak
orang ingin tahu di mana keberadaanku. Siapa pun yang
menyebarkan kabar burung itu, pasti ingin aku segera
muncul.”
Kata si burik, “Apa salahnya? Mereka akan tahu betapa
hebatnya Anda.”
Kata Sun-hoan, “Namun kali ini ada beberapa orang yang
tidak mampu kuhadapi.”
Si burik sungguh terkejut. “Maksudmu, ada orang di
dunia ini yang kautakuti?”

580
Sebelum pertanyaannya sempat dijawab, terdengar
bunyi orang mengetuk pintu dengan keras. Lalu
terdengar suara lantang berseru, “Apakah betul ini
tempat tinggal Liong-siya? Kami datang untuk bertamu.”
Kata si burik, “Sungguh aneh. Kami tidak pernah
kedatangan tamu dua tahun terakhir ini. Siapakah
mereka itu?”
Setelah hampir satu jam, si burik kembali sambil
terkekeh-kekeh. “Hari ini adalah hari ulang tahun nyonya.
Aku saja lupa, tapi orang-orang itu ingat. Mereka bahkan
membawa hadiah.”
Sun-hoan berpikir sesaat, lalu bertanya, “Siapakah
mereka?”
Jawab si burik, “Ada lima orang yang datang. Seorang
tua yang sangat modis, seorang pemuda gagah, seorang
bermata satu, seorang yang sangat jelek dengan wajah
hijau,….”
Sun-hoan memotong, “Dan yang kelima adalah seorang
berkaki satu, bukan?”
Si burik mengangguk. “Betul…. Bagaimana kau bisa
tahu? Tahukah kau siapa mereka itu?”
Sun-hoan terbatuk. Matanya bersinar tajam, setajam
pisau.
Namun si burik tidak memperhatikan, dan ia terus
tersenyum. “Walaupun orang-orang ini kelihatan aneh,

581
hadiah mereka sungguh luar biasa. Kami tidak pernah
mendapat hadiah seperti itu, bahkan waktu Liong-siya
masih ada di sini.”
“O ya?”
“Salah satu dari hadiah itu adalah sebatang emas murni
yang beratnya paling tidak 4 atau 5 kati. Aku belum
pernah melihat orang begini royal sebelumnya.”
Sun-hoan mengangkat alisnya dan bertanya, “Nyonya
berkenan menerima hadiah ini?”
Sahut si burik, “Awalnya beliau tidak mau, tapi orangorang
itu terus duduk di ruang tamu dan tidak mau
pergi. Mereka berkeras hendak bertemu dengan nyonya,
karena mereka adalah sahabat Liong-siya. Nyonya tidak
tahu harus bagaimana, jadi disuruhnya Siauya untuk
melayani mereka.”
Ia tersenyum. Lanjutnya, “Tuan, walaupun Siauya masih
sangat muda, ia sungguh tahu bagaimana melayani
tamu, kadang-kadang lebih mahir daripada kita yang
sudah dewasa. Para tamu semuanya memuji-muji
kepandaiannya.”
Sun-hoan hanya memandangi cawan tehnya. “Apakah
masih ada orang yang akan datang lagi, apakah masih
ada orang yang berani datang?”
Cukat Kang, Ko Hing-kong, Yan Siang-hui, Tong Tok, dan
Siangkoan Hui, mereka semua duduk di ruang tamu yang

582
luas. Mereka sedang berbicara dengan seorang anak
berjubah merah.
Walaupun mereka ini adalah jago-jago silat kenamaan,
mereka tidak memandang rendah pada anak ini sama
sekali.
Hanya Siangkoan Hui yang duduk diam di situ, tidak
berbicara sepatah katapun. Seolah-olah tidak ada
sesuatu pun di dunia ini yang dapat membuat dia bicara.
Cukat Kang tersenyum sambil berkata, “Siauya sungguh
hebat sekali. Potensimu tidak terbatas. Di kemudian hari,
sewaktu engkau menjadi pahlawan yang terkenal, aku
harap engkau tidak akan melupakan kami yang tua-tua.”
Anak itupun tersenyum dan berkata, “Kalau nanti aku
bisa mencapai setengah kesuksesanmu saja, aku sudah
sangat puas. Yang pasti, aku membutuhkan pengarahan
para Cianpwe di kemudian hari.”
Cukat Kang bertepuk tangan. “Siaucengcu sungguh
pandai bicara. Tidak heran Liong-siya….”
Tiba-tiba ia berhenti bicara dan memandang ke luar, ke
halaman di depan.
Si burik masuk lagi mengantar seseorang yang
berpakaian serba hitam. Jubah hitam, celana hitam,
sepatu hitam, dan menyandang sebilah pedang panjang
berwarna hitam di punggungnya.

583
Orang ini besar dan berotot, hampir dua kali lipat besar
si burik. Wajahnya menyiratkan hawa membunuh.
Matanya tajam, dan jenggotnya menari-nari ditiup angin.
Ia tampak angkuh, namun gagah dan tegas, juga terlihat
agak liar.
Setiap orang yang melihatnya pasti sadar bahwa orang
ini bukanlah orang sembarangan.
Kelima orang ini saling pandang, seakan-akan berusaha
menebak identitas tamu yang baru datang ini.
Ang-hai-ji bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah
orang itu, lalu membungkuk. “Senang sekali Tuan mau
berkunjung. Cayhe Liong Siau-in….”
Si jubah hitam menatapnya. “Jadi kau ini anak Liong
Siau-hun?”
Jawab Ling Siau-in, “Ya. Cianpwe pasti sahabat lama
ayah. Bolehkah aku mengenal namamu?”
Si jubah hitam menjawab, “Walaupun kuberi tahu, kau
juga tidak akan kenal.”
Ia melangkah masuk ke dalam ruangan.
Cukat Kang bangkit berdiri dan membungkuk. “Aku
adalah….”

584
Baru dua kata diucapkannya, si jubah hitam sudah
memotongnya. “Aku tahu siapa engkau. Kalian tidak
perlu repot-repot berusaha mengetahui siapa diriku.”
Kata Cukat Kang, “Tapi….”
Si jubah hitam memotongnya lagi. Katanya dengan nada
sedingin es, “Aku datang untuk alasan yang berbeda
dengan kalian. Aku hanya ingin menonton.”
Cukat Kang tersenyum. “Aku sangat senang
mendengarnya. Setelah kami selesai dengan urusan kami
di sini, kami pasti sangat berterima kasih kepadamu.”
Sahut si jubah hitam, “Aku tidak mencampuri urusan
kalian. Kalian jangan ikut campur urusanku. Kita urus
saja urusan kita masing-masing. Tidak perlu berterima
kasih.”
Ia menarik sebuah kursi, duduk, dan memejamkan
matanya, beristirahat.
Kelima orang itu hanya bisa saling pandang.
Ko Hing-kong tersenyum. “Katanya halaman belakang
rumah ini sangat terkenal. Apakah Siauya sudi mengajak
kami berjalan-jalan.”
Liong Siau-in hanya mendesah. “Sayangnya, halaman
belakang kini sudah tidak terpelihara…”
Kata Ko Hing-kong, “Ah, tidak apa-apa. Kami hanya ingin
melihat-lihat.”

585
Sahut Liong Siau-in, “Kalau begitu, mari kutunjukkan.”
Orang-orang itu berbaris keluar ke arah halaman
belakang.
Yang paling depan adalah Liong Siau-in, yang paling
belakang adalah si jubah hitam. Matanya setengah
terbuka, setengah terpejam, seakan-akan ia sedang
menghemat tenaganya.
Liong Siau-in menunjuk ke arah hutan yang dipenuhi
oleh pohon Bwe yang sudah mengering. Katanya, “Di
sana itu adalah Leng-hiang-siau-tiok (Villa Keharuman
Sejuk).”
Mata Yan Siang-hui berbinar-binar. “Katanya dulu Li
Tamhoa tinggal di sana?”
Liong Siau-in menundukkan kepalanya. “Ya, betul.”
Yan Siang-hui menggenggam mata tombaknya dan
tertawa dingin. “Ia punya pisau terbang, aku punya
tombak terbang. Jika kita berdua bisa berduel suatu hari
nanti, pasti sangat menyenangkan.”
Si jubah hitam menyahut dari kejauhan, “Jika kau bisa
berduel dengan dia, itu baru namanya mujizat.”
Yan Siang-hui menoleh cepat ke arahnya dan
menatapnya dengan sangat marah.

586
Bab 31. Pisau Kilat si Li
Ketika Liong Siau-in melihat kemarahan Yan Siang-hui,
cepat-cepat ia berkata, “Pisau terbangnya hanya terbuat
dari besi biasa. Sama sekali bukan senjata mustika, tapi
entah mengapa orang-orang menganggapnya seperti
mustika. Kadang-kadang aku pikir itu sangat
menggelikan.”
Si jubah hitam berkata dengan tenang. “Kudengar ia
sudah memusnahkan ilmu silatmu. Kau pasti masih
sangat membencinya, bukan?”
Liong Siau-in tersenyum sambil berkata, “Paman Li
adalah seorang Cianpwe. Mana mungkin aku marah
terhadap Cianpwe yang memberi pelajaran kepadaku?
Lagi pula, seseorang tidak hanya memerlukan ilmu silat
untuk menjadi terkenal.”
Si jubah hitam memandanginya, tidak dapat mengerti
jalan pikirannya.
Cukat Kang kembali bertepuk tangan. “Bagus sekali! Kau
memang betul. Kau memang pantas menjadi anak Liong
Siau-hun.”
Liong Siau-in membungkukkan badannya. “Cianpwe, kau
sungguh berlebihan.”
Tiba-tiba Siangkoan Hui buka suara, “Katanya Lim Sian-ji
juga pernah tinggal di sini, bukan?”

587
Ia benar-benar buka suara. Bahkan Liong Siau-in pun
tidak menyangka. “Betul sekali.”
Tanya Siangkoan Hui, “Ke mana dia pergi?”
Jawab Liong Siau-in, “Bibi Lim tiba-tiba menghilang dua
tahun yang lalu. Ia bahkan tidak membawa perhiasan
ataupun pakaiannya. Tidak seorang pun tahu ke mana
dia pergi. Ada yang bilang dia diculik A Fei, ada yang
bilang A Fei sudah membunuhnya.”
Siangkoan Hui hanya mengangkat alisnya dan tidak
bersuara lagi.
Barisan orang ini terus menyeberangi jembatan dan
sampailah mereka di Leng-hiang-siau-tiok.
Mata Cukat Kang bersinar lagi, seakan-akan ia sangat
tertarik pada bangunan ini.
Tanya Ko Hing-kong, “Jadi apakah tempat ini? Apakah
ibumu tinggal di sini?”
“Ya.”
Kata Ko Hing-kong, “Kami sebenarnya datang untuk
memberikan hadiah ulang tahun pada ibumu. Bolehkah
kami naik ke atas untuk menemui beliau?”
Mata Liong Siau-in berputar dan ia pun tersenyum. “Ibu
tidak biasa menemui tamu. Bolehkah aku naik untuk
menanyakannya pada beliau?”

588
Sahut Ko Hing-kong, “Tentu saja.”
Liong Siau-in naik ke atas perlahan-lahan.
Tong Tok tersenyum. “Sangat menakjubkan kalau anak
seperti itu dapat berumur panjang.”
Senyum Cukat Kang lenyap dari bibirnya. Dengan wajah
serius ia bertanya, “Apa kau yakin ini tempatnya?”
Sahut Ko Hing-kong setengah berbisik, “Telah kupelajari
surat itu dengan seksama semalam. Harta karun
keluarga Li memang ada di sini. Katanya, sudah
beberapa generasi keluarga ini merupakan pejabat
kerajaan tingkat tinggi, jadi pastilah kekayaan mereka
tidak terkira.”
Sambil bicara, matanya melirik pada si jubah hitam.
Si jubah hitam berdiri di kejauhan sambil mengawasi dua
jangkrik yang sedang berkelahi. Seakan-akan ia tidak
peduli sama sekali pada orang-orang ini.
Kata Cukat Kang, “Sebetulnya harta karun itu tidak
terlalu penting. Yang lebih berharga adalah lukisanlukisan
berharga milik Li Tamhoa dan buku-buku
silatnya.”
Ko Hing-kong mengangguk. Pada saat yang sama terlihat
Liong Siau-in menuruni anak tangga.
Cukat Kang kembali tersenyum, katanya, “Jadi apa
jawaban ibumu?”

589
Liong Siau-in menggelengkan kepalanya. “Ibu tidak ada
di atas.”
Tanya Cukat Kang, “Lalu di mana?”
Sahut Liong Siau-in, “Aku pun bingung. Ibu hampir tidak
pernah meninggalkan kamarnya.”
Kata Cukat Kang, “Kalau begitu kami akan menunggu
beliau di atas.”
Tiga orang berjubah kuning segera menghambur ke atas.
“Kami akan membereskan kamar itu lebih dulu.”
Liong Siau-in sepertinya ingin menghalangi langkah
mereka, namun ia takut, sehingga akhirnya dibiarkannya
mereka pergi ke atas.
Lalu terdengar bunyi ‘Wuuuut’. Cambuk sepanjang lima
meter telah membuat tiga Lingkaran, masing-masing di
sekeliling leher ketiga orang itu.
Cambuk panjang itu seketika menegang, lalu
mengendur.
Orang pertama tidak mengeluarkan suara sedikit pun
sebelum jatuh ke tanah, mati.
Orang kedua hanya bersuara ‘Eek’, sebelum tergeletak
mati.

590
Orang ketiga memegangi lehernya, terhuyung-huyung ke
depan lalu tersungkur. Seluruh tubuhnya bergetar hebat,
ia tidak bisa bicara.
Walaupun ia tidak mati seketika, rasa sakit yang
dialaminya sepuluh kali lebih buruk daripada kematian itu
sendiri.
Kemampuan merubuhkan tiga orang sekaligus seperti ini
sungguh mencengangkan, bahkan bagi Cukat Kang.
Hanya si jubah hitam yang tidak kelihatan terkejut.
Katanya, “Ternyata Cambuk Ular itu terlalu dilebihlebihkan
orang.”
Ia menghela nafas dan kelihatan sangat kecewa.
Jikalau ilmu Sebun Yu telah mencapai kesempurnaan,
ketiga orang itu akan mati seketika. Tapi karena ketiga
orang itu mati tidak bersamaan, bahkan dengan cara
berbeda-beda, menandakan bahwa ilmu cambuknya
belum sempurna.
Mata Cukat Kang kembali berbinar. “Sebun Yu, kemarin
kau masih beruntung bisa kabur. Namun kau pikir kau
akan beruntung lagi hari ini?”
Sebun Yu tidak menjawab. Hanya cambuknya yang
menerjang.
Cambuknya tidak bersuara sedikit pun. Hanya pada saat
cambuk itu terentang, terdengar bunyi letupan kecil,
seakan-akan kecepatannya melebihi kecepatan suara.

591
Cukat Kang segera melompat dan tongkat besinya
bertemu dengan cambuk itu di udara. Cambuk itu
membelit dan meremas tongkat itu seperti ular.
Lalu terdengar dentuman keras, saat tongkat itu
menghantam tanah.
Kaki Cukat Kang terarah ke atas, tubuhnya terbalik 180
derajat dan meliuk. Tongkatnya pun ikut meliuk
mengikuti gerakan tubuhnya.
Cambuk itu makin membelit tongkat itu dan menjadi
semakin pendek. Sebun Yu pun terpaksa bergerak
semakin mendekat. Kini cambuk itu hampir seluruhnya
terlilit pada tongkat.
Satu tangan Sebun Yu masih memegangi cambuknya,
sehingga tenaganya sangat kurang dibandingkan dengan
Cukat Kang, yang seluruh kekuatannya sudah terkumpul
pada tongkatnya.
Wajahnya berubah dari pucat menjadi merah, dari merah
menjadi seputih kertas. Keringat pun mulai membasahi
tubuhnya.
Cukat Kang berteriak keras dan tubuhnya yang terbalik
itu mencelat.
Gerakan ini mirip dengan jurusnya yang sangat terkenal
‘Sekali Sapu Seribu Tentara’. Hanya saja kali ini,
tubuhnya berperan sebagai tongkatnya, dan tongkatnya
sebagai tubuhnya.

592
Jika Sebun Yu melepaskan cambuknya, ia pasti dapat
menghindari serangan itu. Namun ia terkenal karena
cambuknya. Bagaimana mungkin ia melepaskannya?
Jika ia tidak melepaskan cambuknya, ia hanya dapat
menghadang tendangan Cukat Kang dengan tangan
kirinya, dan sudah dapat dipastikan tangan kirinya pasti
patah.
Namun Sebun Yu adalah salah satu jagoan di antara
jago-jago silat, sehingga di saat genting seperti ini pun ia
tidak kehilangan ketenangannya. Tiba-tiba ia
menggunakan ilmu meringankan tubuhnya dan mulai
berputar di sekeliling tongkat itu.
Pastinya, ia ingin melepaskan lilitan cambuknya dari
tongkat itu, namun Cukat Kang pun telah menduganya.
Ia pun mulai berputar. Kakinya hanya berada sedikit di
belakang tubuh Sebun Yu.
Si jubah hitam mengeluh lagi. “Ternyata Tongkat Baja
Emas pun dilebih-lebihkan orang.”
Jika perhitungan Cukat Kang lebih akurat, tendangannya
pasti sudah dapat membunuh Sebun Yu.
Walaupun jurus itu tidak dilakukannya dengan sempurna,
tetap saja kedudukan Sebun Yu ada di ujung tanduk.
Sepertinya ia akan segera mati oleh tendangan Cukat
Kang.

593
Tong Tok tertawa. “Mengapa kau terus berusaha kalau
sudah pasti mati? Mari, kubantu kau.”
Ia menghunus senjatanya yang unik, Tang-long-to (sabit
Belalang). Sekilas cahaya berkelebat, dan sabit itu tertuju
ke punggung Sebun Yu.”
Namun baru saja ia melakukannya, tubuhnya telah
terjengkang ke belakang, seolah-olah didorong oleh
tangan yang tidak nampak. Ia terduduk di tanah.
Sebelum ia dapat berbicara, nafasnya sudah berhenti!
Karena sebilah pisau telah tertancap di tenggorokannya!
Pisau yang biasa.
Namun wajah semua orang langsung berubah.
Cukat Kang melihat pisau itu dan menjerit kaget, “Pisau
Kilat si Li!”
Pergelangan tangan Sebun Yu langsung mengejang.
Cambuk Ularnya meliuk menjauhi tongkat itu.
Cukat Kang bersalto di udara, lalu jatuh ke tanah dan
terhuyung sedikit sebelum keseimbangannya pulih. Di
kejauhan tampak seseorang muncul.
Pakaian orang ini berantakan, rambutnya pun kusut
masai. Wajahnya tampak lemah, namun sinar matanya
sangat tajam.

594
Cukat Kang mempererat genggamannya pada
tongkatnya. Teriaknya, “Li-tamhoa?”
Orang ini tersenyum, “Kau terlalu berlebihan.”
Cukat Kang berseru lagi, “Mengapa kau melawan kami?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tidak pernah ingin melawan
siapa pun, namun aku pun tidak ingin siapa pun
menggangguku.”
Ia memutar-mutar pisau di tangannya. “Tidak ada harta
karun di sini. Maaf, kalian sudah membuang banyak
waktu. Oh, jangan lupa bawa pulang juga hadiah kalian
tadi.”
Cukat Kang, Siangkoan Hui, dan Ko Hing-kong hanya
menatap pisau di tangannya lekat-lekat. Tenggorokan
mereka seakan-akan tersumbat, tidak bisa bicara.
Yan Siang-hui tiba-tiba berteriak marah, “Bagaimana
kalau kami tidak mau pergi?”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Sebaiknya kalian mengikuti
saranku dan segera pergi.”
Kata Yan Siang-hui, “Aku selalu ingin berduel denganmu.
Orang lain boleh takut akan engkau, tapi aku tidak!”
Ia membuka mantelnya dan terlihatlah dua lajur mata
tombak.
Li Sun-Hoan tidak meliriknya sedikitpun.

595
Yan Siang-hui berteriak dan kedua tangannya bersamaan
menyambitkan sembilan mata tombak. Semuanya jatuh
ke tanah sebelum sampai ke tempat Li Sun-Hoan.
Ketika orang-orang melihat ke arah Yan Siang-hui, ia
sudah rebah di tanah. Di tenggorokannya telah tertancap
sebilah pisau yang berkilauan.
Pisau Kilat si Li!
Tidak ada seorang pun yang melihat kapan pisau itu
tertancap di lehernya, mungkin hanya sekejap setelah ia
menyambitkan mata tombaknya.
Oleh sebab itu tenaganya pun tidak penuh waktu
menyambit, sehingga mata tombak itu tidak sampai ke
tempat Li Sun-Hoan.
Pisau yang luar biasa cepat!
Dalam kematiannya sekalipun, Yan Siang-hui tidak
percaya ada pisau yang dapat bergerak secepat itu di
dunia ini.
Si jubah hitam memandang sekilas ke arah tubuh Yan
Siang-hui dan tersenyum. “Sudah kubilang bahwa kau
tidak sekelas dengan dia. Kau percaya sekarang?”
Ia mengangkat wajahnya dan memandang Li Sun-Hoan.
Katanya sekata demi sekata, “Pisau Kilat si Li tidak
mengecewakanku.”
Kata Li Sun-Hoan, “Dan kau adalah….”

596
Si jubah hitam memotongnya cepat. “Aku telah
mendengar kemashuran nama Li Tamhoa sejak lama.
Sungguh beruntung kita bisa bertemu hari ini….”
Setelah selesai bicara, ia langsung mencelat.
Terdengar bunyi mendesing dan pedang pun keluar dari
sarungnya.
Pedang itu seluruhnya hitam legam, tidak berkilau.
Sewaktu keluar, Lintasan hitam berkelebat membawa
tenaga yang besar.
Ko Hing-kong merinding sewaktu Lintasan pedang hitam
itu lewat di depan matanya. Lintasan hitam itu seolaholah
mengiris bola matanya.
Ia menutup matanya dan rasa sakit pun lenyap.
Ia jatuh ke tanah.
Cukat Kang hanya melihat pedang hitam itu menyapu ke
depan dan tiba-tiba darah sudah muncrat dari tubuh Ko
Hing-kong. Ko Hing-kong tidak sempat menangkis
ataupun mengelak.
Pedang si jubah hitam berbelok dan menerjang ke arah
sebaliknya. Terdengar suara ‘Tang’, dan tongkat seberat
100 kati itu pun patah menjadi dua, namun pedang itu
tidak berkurang kecepatannya sedikit pun!
Cukat Kang merasa merinding sedikit, namun hanya
sekejap saja.

597
Sekejap berikutnya, ia sudah rebah di tanah.
Semua ini terjadi dalam waktu kurang dari satu menit.
Sebun Yu menatap ke langit dan mendesah. “Sepertinya
tidak ada lagi tempat bagiku dalam dunia persilatan….”
Ia pun menghilang ke balik atap.
Di saat itu, Siangkoan Hui pun segera melompat dengan
ilmu meringankan tubuhnya.
Namun Lintasan pedang hitam itu sudah mengejarnya.
Siangkoan Hui segera mengeluarkan Cincin Baja Ibu-
Anaknya dan melingkarkannya pada pedang itu dan
menangkisnya.
Si jubah hitam berseru, “Bagus!”
Di saat yang sama, pedangnya bergetar dan membelah
cincin itu.
Ujung pedang itu berhenti tepat di depan leher
Siangkoan Hui.
Siangkoan Hui memejamkan matanya, namun wajahnya
tetap dingin dan tenang. Seolah-olah hati pemuda ini
terbuat dari batu.
Si jubah hitam menatapnya dan bertanya dingin,
“Apakah kau murid Siangkoan Kim-hong?”
Siangkoan Hui mengangguk.

598
Si jubah hitam berkata, “Pedangku tidak pernah
membiarkan siapapun hidup, namun walaupun engkau
masih sangat muda, engkau sudah berhasil menangkis
seranganku satu kali. Sangat mengesankan.”
Ditariknya kembali pedangnya dan ditepuknya bahu
Siangkoan Hui. “Kau boleh pergi.”
Siangkoan Hui tidak bergerak. Ia menatap si jubah hitam
dan berkata, “Kau tidak membunuhku, namun aku harus
memberi tahu engkau satu hal.”
Sahut si jubah hitam, “Katakan saja.”
Kata Siangkoan Hui, “Walaupun hari ini kau biarkan aku
hidup, suatu hari nanti aku akan menuntut balas. Saat
itu, aku tidak akan melepaskanmu!”
Si jubah hitam tertawa. “Bagus. Memang pantas kau jadi
putra Siangkoan Kim-hong.”
Ia berhenti tertawa, matanya menatap lurus ke arah
Siangkoan Hui. “Jika suatu hari nanti aku bisa mati di
tanganmu, aku tidak akan menyalahkanmu. Aku malah
akan berbahagia, karena aku tidak salah menilaimu.”
Wajah Siangkoan Hui tetap membeku. “Kalau begitu,
selamat tinggal.”
Kata si jubah hitam, “Aku akan menunggumu.”
Tiba-tiba si jubah hitam berseru, “Tunggu!”

599
Siangkoan Hui memperlambat langkahnya, kemudian
berhenti.
Kata si jubah hitam, “Ingat ini baik-baik. Kulepaskan kau
hari ini bukan karena kau adalah putra Siangkoan Kimhong,
tapi karena kau adalah kau.”
Siangkoan Hui tidak menjawab. Ia kembali melangkah
dan perlahan-lahan hilang dari penglihatan. Si jubah
hitam lalu menoleh pada Li Sun-Hoan. “Aku gembira kita
bisa bertemu hari ini.
Li Sun-Hoan memandangi pedangnya, lalu bertanya, “Koyang-
thi-kiam (Pedang Besi Puncak Matahari)?”
Si jubah hitam menyahut, “Aku memang Kwe ko-yang.”
Li Sun-Hoan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Koyang-
thi-kiam memang sehebat apa kata orang!”
Kwe ko-yang memandangi pedangnya. “Namun
bagaimana kalau dia melawan Pisau Kilat si Li?”
Li Sun-Hoan terkekeh. “Sebenarnya aku lebih baik tidak
tahu jawabannya.”
“Kenapa?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Karena…..jika kita ingin tahu
jawabannya, salah satu dari kita akan menyesal.”
Kwe ko-yang mengangkat kepalanya.

600
Sebersit rasa haru tampak di wajahnya. Namun ia
berseru, “Namun cepat atau lambat kita hatus tahu,
bukan?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku berharap kita tahu
selambatnya.”
Kata Kwe ko-yang tegas, “Aku lebih suka tahu
secepatnya.”
“O ya?”
Kata Kwe ko-yang, “Sampai hari kita tahu siapa
pemenangnya, aku tidak akan dapat tidur nyenyak.”
Li Sun-Hoan berpikir sejenak, lalu ia bertanya, “Kapan
kau ingin menyelesaikannya?”
Jawab Kwe ko-yang, “Hari ini!”
Tanya Li Sun-Hoan lagi, “Di sini?”
Kwe ko-yang memandang sekitarnya lalu tertawa dingin.
“Dulunya ini rumahmu. Jika kita bertarung di sini, kau
akan untung, sudah tahu keadaannya.”
Li Sun-Hoan terkekeh. “Betul juga. Ditilik dari kalimatmu
yang terakhir, kau memang patut disebut jago silat kelas
wahid.”
Kata Kwe ko-yang, “Tapi aku sudah menentukan
waktunya. Sekarang kau yang menentukan tempatnya.”

601
Sahut Li Sun-Hoan, “Tidak perlu sungkan.”
Kwe ko-yang pun berpikir lama, lalu berkata, “Bagus.
Kalau begitu, ikut aku.”
Kata Li Sun-Hoan, “Silakan jalan dulu.”
Li Sun-Hoan berjalan beberapa langkah, lalu tidak tahan
untuk tidak menoleh ke belakang, ke arah Leng-hiangsiau-
tiok. Dilihatnya Liong Siau-in sedang menatap
kepergiannya. Matanya penuh dengan bisa.
Tidak ada sesuatu pun, bahkan jurus pedang Kwe koyang
yang luar biasa, ataupun kematian Cukat Kang dan
yang lain, yang bisa menggerakkan hati anak kecil ini.
Namun begitu pandangannya bertemu dengan
pandangan Li Sun-Hoan, seketika ia tersenyum dan
membungkuk. “Paman Li. Apa kabarmu?”
Li Sun-Hoan mengeluh dalam hati sambil tersenyum.
“Halo.”
Kata Liong Siau-in, “Ibu memikirkan engkau setiap saat.
Kau harus datang menjenguk kami lebih sering.”
Li Sun-Hoan pura-pura terkekeh.
Ia selalu mengalami kesulitan menjawab anak kecil ini.
Liong Siau-in datang mendekat. Ia menarik jubahnya dan
berbisik, “Orang itu kelihatan seram. Paman, mungkin
kau seharusnya tidak pergi dengan dia.”

602
Sahut Li Sun-Hoan, “Kalau kau sudah dewasa nanti, kau
akan mengerti bahwa kadang-kadang kau harus
melakukan apa yang tidak ingin kau lakukan.”
Kata Liong Siau-in dengan memelas,
“Tapi….Tapi…..bagaimana jika paman sampai mati?
Siapa yang akan mengurus ibu dan aku?”
Li Sun-Hoan mematung.
Setelah sekian lama, diangkatnya kepalanya. Ia melihat
Lim Si-im berdiri di puncak anak tangga, mengawasi
mereka berdua.
Ia terlihat kuatir, namun wajahnya juga membayangkan
kegembiraan.
Li Sun-Hoan merasa ulu hatinya tertusuk. Ia menunduk
lagi.
Seru Liong Siau-in, “Ibu, lihatlah. Paman Li baru saja
datang, namun ia sudah akan pergi lagi.”
Lim Si-im memaksakan seulas senyum. “Paman Li ada
urusan yang penting. Dia….Dia harus pergi.”
Senyumnya sangat lemah, sangat terpaksa. Jika Li Sun-
Hoan melihat senyum ini, hatinya pasti akan hancur
lebur.
Kata Liong Siau-in, “Ibu, tidak adakah yang kau ingin
bicarakan dengan Paman Li?”

603
Bibir Lim Si-im bergetar. “Itu bisa menunggu sampai dia
kembali.”
Bibir Liong Siau-in berkerut. Ia mengejapkan matanya.
“Tapi…..kupikir setelah Paman Li pergi hari ini, ia tidak
akan pernah kembali lagi.”
Lim Si-im segera menyergah dengan setengah berbisik,
“Husss! Sana pergi ke atas supaya Paman Li bisa segera
berangkat.”
Liong Siau-in akhirnya mengangguk. Dilepaskannya
pegangannya pada jubah Li Sun-Hoan dan berkata,
“Paman Li, kau boleh pergi sekarang. Jangan kuatir akan
kami. Ibu dan aku sudah terbiasa hidup kesepian. Jangan
kuatir.”
Ia mengusap matanya, seakan-akan air mata akan
segera keluar….
Kwe ko-yang sudah berada di ujung jembatan. Ia hanya
memandangi mereka.
Li Sun-Hoan akhirnya memutar badan.
Ia tidak mengangkat wajahnya, tidak mengatakan apa
pun juga.
Dalam keadaan seperti ini, kata-kata tidak akan berarti.
Lagi pula, ia memang tidak tahu harus bicara apa.
Waktu seseorang terbawa perasaan, kadang-kadang ia
malah jadi terlihat tidak berperasaan.

604
Di luar tembok, tanda-tanda musim gugur lebih nyata.
Kedua tangan Kwe ko-yang terbungkus lengan bajunya.
Ia berjalan perlahan di depan.
Li Sun-Hoan mengikutinya dari belakang.
Jalan itu panjang dan agak sempit. Ujungnya tidak
kelihatan.
Angin musim gugur bertiup, daun-daun sudah berubah
warna.
Walaupun langkahnya perlahan, langkah Kwe ko-yang
lebar-lebar.
Tatapan Li Sun-Hoan lekat pada langkahnya.
Tanah yang mereka injak agak empuk, sehingga tiap
langkah meninggalkan jejak. Jejak Kwe ko-yang sama
jaraknya dan kedalamannya.
Walaupun ia seperti sedang berjalan santai, ia
sebenarnya sedang mengumpulkan tenaga dalam yang
khusus. Seluruh tubuhnya berirama harmonis, sehingga
menghasilkan langkah-langkah yang sama persis.
Ketika ia sudah mengumpulkan seluruh tenaganya, ketika
tubuhnya sudah berada dalam harmoni yang sempurna,
ia akan berhenti…. Itu adalah ujung jalan ini.
Bab 32. Mengerti Musuh Terbesar

605
Waktu sampai di sana, salah satu dari hidup mereka
akan berakhir!
Li Sun-Hoan sungguh menyadarinya.
Kwe ko-yang memang musuh yang sangat berbahaya.
Sepanjang hidup Li Sun-Hoan, mungkin inilah pertama
kalinya ia berhadapan dengan musuh yang setanding.
Banyak jago silat ‘mencari kekalahan’ karena mereka
berpikir bahwa selama mereka bisa bertemu dengan
lawan yang setanding, walaupun kalah, mereka akan
merasa bahagia.
Namun Li Sun-Hoan sama sekali tidak berbahagia.
Hatinya berdebar-debar.
Ia tahu, dalam kondisinya saat ini, kemungkinan besar ia
akan kalah.
Ketika jalan ini berakhir, kemungkinan demikian pula
hidupnya!
Ini bisa jadi jalan menuju ke neraka baginya.
Ia tidak takut mati, namun bagaimana bisa dia mati
sekarang?
Keadaan sekeliling semakin tandus, terlihat hutan di
depan sana.

606
Daun-daun musim gugur berwarna merah bagai darah.
Mungkinkah ini ujung jalan itu?
Langkah Kwe ko-yang makin lama makin besar, dan jejak
kakinya makin lama makin dangkal. Ini menunjukkan
bahwa tenaga dalam dan tenaga luarnya sudah hampir
bersatu padu mencapai puncaknya.
Saat itu, konsentrasinya, tenaganya, tubuhnya, akan
menjadi satu dengan pedangnya. Saat itu, pedangnya
bukan lagi hanya sebilah logam, tapi pedang itu sudah
mempunyai jiwa. Saat itu, kekuatan pedangnya akan
menjadi tanpa batas dan tidak ada sesuatu pun yang
dapat menghalanginya!
Li Sun-Hoan tiba-tiba berhenti.
Ia tidak berbicara. Ia tidak bersuara sedikit pun. Namun
Kwe ko-yang tahu.
Ia tidak menoleh, hanya bertanya singkat, “Di sini?”
Li Sun-Hoan diam saja sampai cukup lama. Lalu katanya,
“Hari ini….aku tidak dapat melawanmu.”
Kwe ko-yang memutar badannya, dan matanya menusuk
tajam menatap Li Sun-Hoan. Ia berteriak, “Apa katamu?”
Li Sun-Hoan menunduk. Kepalanya terasa berdenyutdenyut.

607
Ia tahu ini adalah tindakan pengecut, sesuatu yang
dalam mimpi pun tak pernah dilakukannya.
Tapi saat ini, itulah yang harus dilakukannya.
Tanya Kwe ko-yang, “Katamu, hari ini kau tak dapat
melawan aku?”
Li Sun-Hoan hanya bisa mengangguk.
Tanya Kwe ko-yang, “Mengapa?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Karena aku mengaku kalah.”
Kwe ko-yang menatapnya dengan pandangan tidak
percaya. Seakan-akan tidak dikenaLimya lagi orang ini.
Sampai sekian lama, akhirnya Kwe ko-yang mengambil
nafas panjang. “Li Sun-Hoan, Li Sun-Hoan, kau betulbetul
pahlawan sejati!”
Li Sun-Hoan terkekeh. “Pahlawan? Orang seperti aku
disebut pahlawan?”
Kwe ko-yang menggelengkan kepalanya dan mendesah.
“Mungkin di seluruh dunia ini, hanya kaulah yang dapat
disebut pahlawan sejati.”
Li Sun-Hoan diam saja dan Kwe ko-yang melanjutkan,
“Kau mengaku kalah. Aku tahu betapa sulitnya
mengatakan hal itu. Bagiku, mungkin lebih baik mati
daripada harus mengatakannya.”

608
Ia tersenyum, sambungnya, “Sebetulnya, mati itu sangat
mudah. Namun untuk mengakui kekalahan demi
membantu orang lain, itu adalah kakrakter seorang
pahlawan, seorang laki-laki sejati!”
Kata Li Sun-Hoan, “Kau….”
Ia merasakan kehangatan dalam hatinya, dan ia tidak
sanggup menyelesaikan kalimatnya.
Kata Kwe ko-yang, “Aku mengerti mengapa kau tidak
dapat melawanku. Kau tidak boleh mati sekarang, karena
masih ada orang yang hidupnya bergantung padamu.”
Li Sun-Hoan masih tidak bisa bicara, namun air mata
bahagia hampir menetes dari matanya.
Kadang kala, sahabat karibmulah yang akan jadi musuh
terbesarmu. Namun kadang kala, musuh yang paling kau
takutilah yang paling mengerti tentang dirimu.
Karena hanya lawan yang sepadan, yang pantas menjadi
sahabatmu.
Karena hanya lawan yang sepadan, yang sungguhsungguh
mengerti apa yang kau rasakan.
Li Sun-Hoan tidak tahu apakah ia harus merasa gembira,
sedih, atau berterima kasih.
Kwe ko-yang kemudian berkata, “Tapi hari ini kita tetap
harus bertempur!”

609
Li Sun-Hoan terperanjat, “Mengapa?”
Kwe ko-yang tersenyum. “Ada berapa banyak Li Sun-
Hoan di dunia ini? Jika hari ini kita tidak bertempur,
kapan lagi aku akan bertemu dengan lawan yang
sepadan?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Waktu aku sudah menyelesaikan
tanggung jawabku, aku akan melawanmu kapan pun kau
inginkan.”
Kwe ko-yang menggelengkan kepalanya. “Sayangnya,
jika saat itu tiba, mungkin kita tak akan bisa bertempur
lagi.”
Tanya Li Sun-Hoan, “Mengapa?”
Mata Kwe ko-yang melayang ke kejauhan, lalu dengan
perlahan dan pasti ia berkata, “Saat itu, mungkin kita
sudah menjadi sahabat.”
Li Sun-Hoan berpikir cukup lama. “Kau lebih suka jadi
musuhku daripada jadi sahabatku?”
Wajah Kwe ko-yang menegang, lalu ia berseru, “Aku
telah mendedikasikan seluruh hidupku untuk pedangku.
Kapan aku punya waktu untuk berteman? Lagi pula….”
Suaranya menjadi lembut saat ia meneruskan
kalimatnya, “Mudah sekali untuk menemukan sahabat.
Namun hampir tidak mungkin untuk bertemu seorang
lawan yang tenggang rasa dan penuh perhatian.”

610
‘Tenggang rasa dan penuh perhatian’ adalah kata-kata
yang biasa digunakan untuk mendeskripsikan seorang
sahabat. Kwe ko-yang menggunakan kata-kata ini untuk
menggambarkan seorang lawan. Sungguh janggal.
Namun Li Sun-Hoan mengerti.
Kata Kwe ko-yang, “Kau bukanlah satu-satunya orang di
dunia ini yang merupakan lawan setandingku dalam hal
ilmu silat. Namun walaupun ada seseorang yang sepuluh
kali lebih hebat daripada aku, aku tetap tidak akan terlalu
menghargai dia dan aku rasa aku tidak akan mungkin
merasa bahagia mati di tangannya.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Kau memang benar. Tidak mudah
bertemu dengan lawan yang tenggang rasa dan penuh
perhatian.”
Kata Kwe ko-yang, “Oleh sebab itu kita harus bertempur
hari ini. Walaupun aku mati di tanganmu, sedikit pun aku
tidak akan menyesal.”
Sanggah Li Sun-Hoan, “Tapi aku….”
Kwe ko-yang langsung memotongnya. “Aku mengerti
perasaanmu. Jika kau mati di tanganku hari ini, aku akan
menyelesaikan kewajibanmu. Aku akan menjaga siapa
saja yang ingin kaujaga.”
Li Sun-Hoan memandang ke tanah. Lalu berkata, “Kalau
begitu, aku bisa mati dengan tenang…. Terima kasih.”

611
Ia hampir tidak mengatakan ‘terima kasih’ dalam
hidupnya. Kata ‘terima kasih’ ini diucapkannya dari
hatinya yang terdalam.
Kata Kwe ko-yang, “Terima kasih kau bersedia berduel
denganku. Mari mulai!”
Sahut Li Sun-Hoan, “Mari mulai!”
Jika sahabatmu memperhatikan engkau, itu hal yang
biasa. Namun jika musuhmu memperhatikan engkau,
rasanya lebih dalam, lebih mengharukan.
Sayangnya, perasaan ini takkan mungkin dirasakan oleh
orang lain!
Angin bertiup membawa daun-daun kering beterbangan
ke antara mereka.
Suasana penuh dengan hawa pembunuhan.
Kwe ko-yang perlahan-lahan menghunus pedangnya dan
memegangnya di depan dadanya. Pandangannya tidak
pernah lepas dari tangan Li Sun-Hoan.
Tangan yang sungguh menakutkan.
Li Sun-Hoan seakan-akan telah berubah menjadi orang
lain. Rambutnya masih acak-acakan, jubahnya masih
kusut, namun ia tidak lagi tampak lemah.
Wajahnya telah berubah sama sekali!

612
Dua tahun terakhir ini, hidup Li Sun-Hoan bagaikan
sebilah pedang dalam sarungnya. Menunggu waktunya,
belum menunjukkan potensi yang sebenarnya, karakter
yang sesungguhnya.
Namun saat ini, pedang itu telah keluar!
Diangkatnya tangannya. Sebilah pisau telah tergenggam
di dalamnya.
Sebilah pisau yang dapat menembus tenggorokan,
sebilah pisau yang tidak pernah luput, Pisau Kilat si Li!
Pedang Besi Kwe ko-yang mengikuti gerakan angin.
Selintas cahaya hitam melaju cepat ke arah leher Li Sun-
Hoan. Gulungan angin telah mendahului pedang itu dan
menghancurkan segala sesuatu yang merintangi
jalannya.
Li Sun-Hoan melangkah ke belakang dengan ringan.
Dengan satu hentakan saja, tubuhnya telah bergeser
sepuluh meter lebih. Sebatang pohon kini tepat berada di
belakang punggungnya.
Pedang Kwe ko-yang pun berganti arah mengikuti
langkah Li Sun-Hoan dalam jarak dekat.
Li Sun-Hoan sudah tidak bisa mundur lagi. Namun kini
tubuhnya mencelat naik ke atas pohon.
Kwe ko-yang ikut mengejar naik dan pedangnya terus
mengikuti Li Sun-Hoan, bercahaya bagai pelangi.

613
Tubuh dan pedang telah menjadi satu.
Gulungan angin pedang itu membabat habis seluruh
daun di pohon itu.
Pemandangan saat itu sungguh menakjubkan!
Li Sun-Hoan terus melayang di atas gulungan angin
pedang itu, mengikuti daun-daun merah yang
berhamburan dan kemudian perlahan-lahan melayang ke
bawah.
Kwe ko-yang bersalto di udara dan menggerakkan
pedangnya sedemikian sampai terlihat tabir hitam putih
yang memburu ke arah Li Sun-Hoan.
Kekuatan serangan ini tidak diragukan lagi.
Bahkan dalam jarak beberapa meter di depannya, Li Sun-
Hoan dapat merasakan hebatnya tekanan gulungan
angin pedang itu. Ke mana pun ia menghindar, ia akan
terhempas juga.
Lalu terdengar bunyi ‘Tring’, dan terlihat percikan bunga
api.
Pisau Li Sun-Hoan tepat mengenai ujung pedang itu.
Gulungan angin pedang itu langsung lenyap, dan
suasana tiba-tiba hening. Kwe ko-yang berdiri mematung
di situ, memegang pedangnya.

614
Li Sun-Hoan pun masih memegang pisaunya. Hanya kini,
ujungnya sudah gompal.
Ia menatap Kwe ko-yang tanpa suara, Kwe ko-yang
menatapnya tanpa suara.
Wajah keduanya tidak berekspresi apa-apa.
Mereka berdua tahu, pisau Li Sun-Hoan kini tak dapat
meninggalkan tangannya lagi.
Pisau Kilat si Li, cepatnya bagai kilat. Namun setelah
digunakan untuk menghancurkan gulungan angin pedang
tadi, ujungnya sudah patah, sehingga kalau disambitkan,
kecepatannya akan jauh berkurang.
Walaupun pisau itu lepas dari tangannya, pisau itu tidak
akan membahayakan siapa pun lagi!
Pisau yang tidak pernah luput, kini harus menelan
kekalahannya.
Li Sun-Hoan menurunkan tangannya.
Seiring dengan gugurnya daun yang terakhir ke tanah,
suasana hutan pun kembali sunyi senyap.
Sesunyi kematian itu sendiri.
Walaupun wajahnya tetap kosong, mata Kwe ko-yang
berbinar sedikit, lalu katanya, “Aku sudah kalah!”
Kata Li Sun-Hoan, “Siapa bilang kau yang kalah?”

615
Sahut Kwe ko-yang, “Aku yang bilang.”
Ia terkekeh. Sambungnya, “Sebelum ini, kupikir aku lebih
baik mati daripada mengatakannya. Namun kini, aku
telah mengatakannya, dan aku merasa lega, sangat
lega….”
Ia menengadah ke langit dan tertawa terbahak-bahak.
Sambil masih tertawa, ia membalikkan badannya dan
pergi berjalan ke luar hutan.
Li Sun-Hoan memandangi punggungnya sampai hilang
dari pandangan, lalu mulai terbatuk-batuk.
Saat itu, seseorang tiba-tiba muncul dan bertepuk
tangan. “Sungguh hebat. Luar biasa. Sangat luar
biasa….”
Suara itu bening dan renyah.
Li Sun-Hoan mengangkat kepalanya dan ternyata suara
itu adalah milik cucu perempuan si orang tua tukang
cerita.
Matanya yang besar dan jernih penuh dengan senyum
yang lugu. Katanya, “Setelah menyaksikan pertempuran
hari ini, bahkan aku pun dapat mati dengan tenang.”
Mungkin perasaan Li Sun-Hoan masih begitu tegang,
sehingga ia tidak menjawab apa-apa.

616
Si gadis berkuncir pun berkata, “Pada suatu hari, Tuan
Lan Da dan Xiao Sun berduel di punak Gunung Tai.
Senjata Tuan Lan Da adalah Palu Besi yang beratnya 50
kg, sedangkan Xiao Sun hanya menggunakan sabuk
sutra. Ia menggunakan kelembutan untuk mengatasi
kekerasan. Mereka bertarung sepanjang malam. Bahkan
ada yang bilang mereka mengubah langit malam menjadi
siang.”
Si gadis terkekeh dan bertanya, “Menurutmu,
pertarungan itu seru atau tidak?”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Dengan kehebatan nona muda
bercerita, aku merasa seolah-olah sedang berada di
puncak Gunung Tai, menyaksikan secara langsung duel
antara Xiao Sun dan Tuan Lan Da.”
Si gadis berkuncir komat-kamit. “Aku tak menyangka
bahwa mulutmu lebih hebat daripada pisaumu.”
Kata Li Sun-Hoan, “Masa iya?”
Sahut si gadis berkuncir, “Pisaumu dapat mengambil
nyawa orang, namun kata-katamu dapat mengambil hati
seorang wanita. Bukankah lebih sulit mendapatkan hati
seorang wanita daripada nyawa manusia?”
Matanya yang besar menatap Li Sun-Hoan. Li Sun-Hoan
mau tidak mau merasa tertarik padanya. Ia tidak pernah
menyangka bahwa gadis semuda ini bisa begitu
memikat.

617
Tapi si gadis kembali bertanya, “Jadi, menurutmu,
apakah pertarungan tadi menarik?”
Li Sun-Hoan tidak lagi berani menjawab panjang lebar. Ia
hanya tersenyum dan mengangguk. “Sepertinya cukup
menarik.”
Sahut si gadis berkuncir, “Walaupun pertarungan itu
sangat terkenal dan telah menjadi legenda, pertarungan
itu tidak ada artinya dibandingkan dengan pertarungan
yang baru saja berakhir.”
Li Sun-Hoan terkekeh. “Walaupun aku bukan orang yang
suka menyombongkan diri, aku pun bukan orang yang
rendah hati. Dalam hal ini, nona terlalu melebihlebihkan.”
Si gadis berkuncir menjawab dengan tegas, “Aku hanya
menyatakan fakta. Kau punya tiga kesempatan untuk
membunuhnya, namun dalam tiga kesempatan itu kau
tidak melakukannya. Akhirnya, kau pun kehilangan nafsu
membunuh, dan juga ujung pisaumu. Pada saat itu, Kwe
ko-yang dapat membunuhmu, namun ia malah mengaku
kalah….”
Ia mendesah dan melanjutkan, “Orang-orang seperti
kalianlah yang disebut pria sejati. Jika kau
membunuhnya atau ia membunuhmu, sehebat apapun
ilmu silat kalian, sedikit pun aku tidak akan terkesan.”
Kata Li Sun-Hoan, “Kau benar. Kwe ko-yang memang
pahlawan sejati.”

618
“Dan kau?”
Li Sun-Hoan menggelengkan kepalanya. “Aku? Aku
bukan apa-apa.”
Si gadi berkuncir berkata, “Kalau begitu, aku mau
bertanya. Jurus apa yang pertama kali dilancarkannya?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Hong-kui-liu-in,Angin Berhembus
Memutar Awan.”
Si gadis berkuncir bertanya lagi, “Lalu jurus keduanya?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Liu-sing-tui-goat, Bintang Jatuh
Mengikuti Bulan.”
Dan si gadis pun bertanya lagi, “Sewaktu berubah dari
jurus ‘Hong-kui-liu-in’ ke jurus ‘Liu-sing-tui-goat’, ia
melakukannya terlalu cepat, sehingga dirinya terbuka
untuk serangan. Jika pada saat itu, kau sambitkan
pisaumu bukankah kau dapat membunuhnya?”
Li Sun-Hoan tidak bisa berkutik.
Bab 33. Percakapan yang Mengejutkan
Kata si gadis berkuncir, “Itu adalah kesempatan pertama
yang tidak kau pergunakan untuk membunuhnya. Kau
ingin aku melanjutkan lagi?”
Li Sun-Hoan hanya bisa terkekeh.”Tidak perlulah.”

619
Si gadis berkuncir pun berkata lagi, “Orang-orang bilang
kau adalah pria sejati, tapi menurutku kau sebenarnya
agak feminin.”
Seumur hidupnya, Li Sun-Hoan telah mengalami berbagai
macam hinaan. Namun ini adalah pertama kalinya ia
dituduh sebagai seorang ‘feminin’. Ia tidak tahu harus
tertawa atau menangis mendengarnya.
Si gadis berkuncir masih menatapnya dengan matanya
yang besar dan jernih. “Jika kau tidak tahu harus bilang
apa, mengapa kau tidak mulai batuk-batuk?”
Li Sun-Hoan mendesah. “Mata Nona Muda sangat tajam.
Rasanya kau adalah seorang penting. Maafkan kalau aku
tidak mengenalimu.”
Si gadis segera menyergah, “Tidak usah memuji-muji.
Aku bukan siapa-siapa.”
Kini Li Sun-Hoan benar-benar mulai terbatuk-batuk.
Si gadis pun berkata dengan manis, “Aku tahu kau tidak
pernah menyombongkan diri dan suka sekali memuji
orang lain. Ini adalah sifatmu yang terbaik, tapi juga
yang terburuk. Seseorang tidak boleh terlalu
merendahkan dirinya.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Nona Muda….”
Si gadis langsung memotongnya cepat, “Sheku bukan
‘Nona’ dan Cayhe bukan ‘Muda’. Mengapa kau terusterusan
memanggilku ‘Nona Muda’?”

620
Li Sun-Hoan tersenyum. Kini ia merasa, gadis ini
memang sungguh menarik.
Si gadis berkuncir menambahkan, “Sheku adalah Sun,
dan nama lengkapku Sun Sio-ang. ‘Ang’ yang berarti
warna merah.”
Kata Li Sun-Hoan, “Cayhe Li….”
Si gadis kembali memotongnya, “Aku sudah tahu
namamu sejak lama. Sekarang aku menantangmu
berduel!”
Li Sun-Hoan terperanjat, tanyanya, “Duel apa?”
Sun Sio-ang pun cekikikan. “Yang pasti bukan duel
silat.Walaupun aku berlatih seratus tahun lagi, aku tidak
akan mungkin mengalahkanmu. Aku ingin bertanding
minum denganmu. Waktu aku mendengar seseorang
lebih jago minum daripada aku, aku jadi jengkel.”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Aku tahu semua peminum
berpikiran seperti ini. Tak kusangka kau pun begitu.”
Kata Sun Sio-ang, “Tapi jika kita bertanding sekarang,
aku sudah berada di atas angin.”
“Kenapa?”
Sahut Sun Sio-ang dengan serius, “Setelah pertempuran
tadi, tubuhmu sudah lelah dan toleransimu terhadap
alkohol sudah menurun. Pertandingan minum sama
seperti pertandingan silat. Kau harus berada di tempat

621
yang tepat, waktu yang tepat, dan kondisi yang prima
untuk bisa menang. Jika salah satu dari faktor ini hilang,
kesempatanmu akan berkurang drastis.”
Kata Li Sun-Hoan, “Dari jawabanmu ini, aku tahu pasti
bahwa kau memang jago minum. Kalau bisa berduel
dengan jago minum seperti itu, mabuk berat pun tidak
jadi masalah.”
Mata Sun Sio-ang yang besar dan jeli itu pun makin
bersinar, menyiratkan kegembiran, menggambarkan
kekaguman. Namun wajahnya masih tetap serius. “Kalau
begitu…. karena aku sudah mendapatkan keuntungan
dari segi waktu, sekarang kau yang pilih tempatnya.”
Li Sun-Hoan tidak dapat menahan tawanya. “Kalau
begitu, mari ikut aku.”
Sahut Sun Sio-ang, “Silakan duluan.”
Beberapa jam sebelum magrib adalah waktu yang tersepi
bagi warung arak.
Si Bungkuk Sun sedang duduk di depan pintu
memandangi matahari yang mulai memerah.
Saat itu, datanglah Li Sun-Hoan bersama Sun Sio-ang. Si
Bungkuk Sun tak dapat mempercayai matanya.
Bagaimana kedua orang ini bisa datang bersama?
Memang aneh bahwa kedua orang ini bisa menjadi
sahabat.

622
Li Sun-Hoan tidak melihat perubahan wajah Si Bungkuk
Sun, namun ia memang menganggap keadaan ini
sungguh lucu.
Gadis kecil ini tidak pernah berhenti bicara. Sekali
mulutnya terbuka, ia akan berkicau tak henti-hentinya.
Sampai-sampai sulit untuk membalas percakapannya.
Li Sun-Hoan paling sebal dengan dua hal dalam hidup ini.
Yang pertama adalah waktu ia tahu bahwa ternyata
orang yang duduk makan bersamanya, satu pun tidak
ada yang minum arak.
Yang kedua adalah waktu bertemu dengan seorang
wanita yang cerewet.
Ia merasa, hal yang kedua itu sepuluh kali lebih
menyebalkan daripada yang pertama.
Tapi anehnya, saat menghadapi gadis ini, ia tidak merasa
sakit kepala sama sekali mendengar ocehannya, bahkan
merasa lebih segar.
Jika seorang wanita itu pandai, cantik, dan jago minum,
walaupun ia cerewet, seorang laki-laki tentu akan suka
padanya…..tapi kalau tidak, seorang wanita lebih baik
bicara seperlunya saja.
Selama perjalanan, Li Sun-Hoan mendengarkan gadis ini
berbicara mengenai macam-macam hal. Orang tua itu di
panggil Si Rambut Putih Sun. Ia adalah kakek Sun Sioang.
Orang tua gadis ini sudah meninggal dan ia sudah

623
bersama dengan kakeknya sejak kecil. Mereka hampirhampir
tidak pernah berpisah.
Oleh sebab itu ia tidak bisa tidak bertanya, “Lalu
mengapa sekarang kakekmu tidak bersama dengan
engkau?”
Sun Sio-ang menjawab pendek, “Ia sedang ke luar kota
mengantarkan seseorang.”
Li Sun-Hoan ingin mendesak, “Mengapa ia harus
mengantar orang sampai ke luar kota?”
“Siapa yang diantarkannya?”
“Mengapa kau tidak ikut dengannya?”
Namun Li Sun-Hoan tidak pernah banyak bicara. Lagi
pula, dengan Sun Sio-ang di depannya, ia tidak akan
punya kesempatan bicara.
Seakan-akan, ia memang tidak ingin membiarkan Li Sun-
Hoan menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu. Ia malah
balas memberondongnya dengan segudang pertanyaan.
“Bagaimana kau mempelajari ilmu pisaumu yang
legendaris itu?”
“Kudengar kau pernah punya sahabat bernama A Fei.
Kecepatannya bisa dibilang setanding denganmu.
Tahukah kau dimana ia sekarang berada?”

624
“Kau menghilang selama dua tahun. Tidak seorang pun
tahu bahwa kau bersembunyi di penginapan milik Si
Bungkuk Sun. Mengapa kau bersembunyi di situ?”
“Sekarang, setelah semua orang tahu di mana kau
berada, apa yang akan kau lakukan?”
“Siapakah sebenarnya Bwe-hoa-cat ?”
“Jika ia sudah tertangkap, apakah kau yang
menangkapnya?”
Li Sun-Hoan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
Sebagian karena ia tidak ingin menjawabnya, sebagian
lagi karena ia tidak tahu jawabannya.
Ia tahu bahwa Lim Sian-ji adalah Bwe-hoa-cat .
Ia tahu bahwa A Fei tidak akan tega membunuh Lim
Sian-ji.
Ia tahu bahwa A Fei telah membawa pergi Lim Sian-ji.
Tapi ke mana?
Apakah kini Lim Sian-ji telah berubah menjadi wanita
baik-baik?
Apakah Lim Sian-ji mencintai A Fei?
Waktu ia memikirkan ini, ia hanya dapat menghela nafas.

625
Ia pun tidak tahu apa yang akan dilakukannya di
kemudian hari.
Mata Sun Sio-ang tidak pernah lepas dari dirinya.
Tatapan matanya bukan saja penuh dengan kekaguman,
namun juga penuh pengertian.
Li Sun-Hoan mengangkat kepalanya dan menyambut
tatapan matanya.
Hatinya jadi berdebar-debar.
Sun Sio-ang berkata, “Kita mulai bertanding sekarang?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Mari.”
Mata Sun Sio-ang berputar. “Bagus. Mari kita bicarakan
cara pertandingannya.”
Li Sun-Hoan bertanya, “Memang ada berapa cara
bertanding minum arak?”
Sahut Sun Sio-ang, “Tentu saja ada banyak cara. Masa
kau tidak tahu?”
Kata Li Sun-Hoan, “Aku cuma tahu satu cara, yaitu tiaptiap
orang harus minum sebanyak-banyaknya. Siapa
yang muntah duluan, dia yang kalah.”
Sun Sio-ang terkekeh dan menggelengkan kepalanya.
“Kelihatannya ilmu minummu masih agak rendah.”
“O ya?”

626
Kata Sun Sio-ang, “Kalau bicara soal bertanding minum
arak, secara garis besar ada dua cara. Satu: cara brutal,
dua: cara terpelajar.”
Tanya Li Sun-Hoan, “Bagaimana itu cara brutal, dan
bagaimana cara terpelajar?”
Sahut Sun Sio-ang, “Cara yang baru saja kau sebutkan
itu adalah cara brutal. Hanya asal masuk saja.”
“Asal masuk?”
Jawab Sun Sio-ang, “Tentu saja. Bisa disebut apa lagi,
jika orang hanya memasukkan arak sebanyak-banyaknya
ke dalam mulutnya.”
Kata Li Sun-Hoan, “Apa lagi yang bisa dilakukan? Apa
harus dimasukkan lewat telinga?”
Sun Sio-ang tersenyum manis. “Jika kau bisa minum
lewat telingamu, aku mengaku kalah sekarang juga.
Sudah pasti aku tidak bisa.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Terlalu lama kalau minum lewat
telinga. Aku tidak sabar.”
Kata Sun Sio-ang, “Aku kan hanya seorang gadis kecil,
bagaimana mungkin aku bertanding dengan cara brutal
itu? Akan tetapi, cara terpelajar pun ada beberapa jenis.”
“Bagaimana?”

627
Sahut Sun Sio-ang, “Kau bisa menebak angka, bertepuk
tangan, tapi cara-cara itu terlalu biasa. Bagaimana
mungkin orang seperti kita bertanding dengan cara itu?”
Tanya Li Sun-Hoan, “Lalu bagaimana?”
Jawab Sun Sio-ang, “Ada satu cara lagi.”
Li Sun-Hoan tidak bisa menahan tawa. Sun Sio-ang pun
tertawa. “Akan tetapi, cara terakhir ini bukan saja sangat
unik, tapi juga sangat menarik. Walaupun ada seribu
satu cara, kita akan tetap menggunakan cara ini.”
Kata Li Sun-Hoan, “Arak sudah tersedia di meja, dan aku
sudah tidak tahan ingin minum. Jadi, ayo pilih cara yang
kau inginkan.”
Kata Sun Sio-ang, “Dengarkan baik-baik. Cara ini
sebenarnya cukup mudah.”
Li Sun-Hoan hanya dapat bersabar dan mendengarkan.
Lanjut Sun Sio-ang, “Aku akan bertanya. Jika kau dapat
menjawab, kau menang dan aku harus minum secawan.”
Kata Li Sun-Hoan, “Kalau aku tidak bisa menjawab? Aku
kalah?”
Jawab Sun Sio-ang, “Belum tentu. Tapi jika aku dapat
menjawab pertanyaanku sendiri, barulah kau kalah.”
Tanya Li Sun-Hoan, “Kalau aku kalah, lalu aku boleh
bertanya, bukan?”

628
Sun Sio-ang menggelengkan kepalanya. “Tidak begitu.
Yang menang boleh terus bertanya sampai dia kalah.”
Kata Li Sun-Hoan, “Jika kau bertanya pertanyaan pribadi
yang hanya diketahui olehmu, kau pasti akan menang
terus, bukan?”
Sun Sio-ang tersenyum. “Sudah pasti kita tidak boleh
bertanya pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Jika aku
bertanya siapa nama ibuku, berapakah kakak adikku,
berapakah umurku….pasti kau tidak tahu.”
Tanya Li Sun-Hoan, “Jadi pertanyaan seperti apa yang
akan kau tanyakan?”
Sahut Sun Sio-ang, “Kau akan tahu segera setelah kita
mulai.”
Li Sun-Hoan terkekeh. “Baiklah. Aku sudah siap untuk
kalah.”
Sung Sio-ang tersenyum dan berkata, “Siap? Ini
pertanyaan pertama.”
Senyumnya menghilang, matanya menatap tajam pada Li
Sun-Hoan. “Tahukah kau siapa penulis surat itu?”
Pertanyaan yang sungguh mengejutkan!
Mata Li Sun-Hoan berbinar. Dengan terbata-bata ia
menjawab, “Aku tidak tahu…. Kau tahu?”

629
Sun Sio-ang menjawab dengan kalem, “Kalau aku tidak
tahu, buat apa aku bertanya? Orang itu adalah….”
Sun Sio-ang sengaja mengulur waktu. Lalu
disambungnya, “….Lim Sian-ji!”
Jawabannya ternyata lebih mengejutkan lagi! Li Sun-
Hoan termasuk orang yang tenang, namun ia merinding
mendengar jawaban itu. “Bagaimana kau bisa tahu?”
Kata Sun Sio-ang, “Ini bukan giliranmu bertanya. Ayo
minum secawan sebelum kita lanjutkan lagi.”
Segera Li Sun-Hoan menghabiskan cawan arak yang
pertama.
Tanya Sun Sio-ang yang kedua kali, “Tahukah kau
bagaimana keadaan A Fei?”
Li Sun-Hoan harus menjawab, “Tidak.”
Sahut Sun Sio-ang, “Walaupun ia tinggal bersama
dengan Lim Sian-ji, ia tidak tahu apa yang sebenarnya
dilakukan Lim Sian-ji.”
Segera Li Sun-Hoan bertanya, “Di mana dia sekarang?”
Sun Sio-ang menggelengkan kepalanya. “Mengapa kau
begitu tidak sabar. Tunggu sampai kau menang, baru
bertanya.”
Li Sun-Hoan hanya dapat menghabiskan cawannya yang
kedua. Cawan ini lebih besar daripada mangkuk sup,

630
namun ia menghabiskannya lebih cepat daripada
biasanya. Karena ia ingin sekali mendengar pertanyaan
yang ketiga.
Tanya Sun Sio-ang untuk yang ketiga kali, “Tahukah kau
mengapa Lim Sian-ji menulis surat itu?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Tidak.”
Walaupun sebenarnya ia telah menduga-duga, ia tidak
tahu pasti.
Kata Sun Sio-ang, “Karena ia tahu bahwa jika ada orang
yang akan mengganggu Lim Si-im, kau pasti akan
muncul. Ia ingin kau muncul, sehingga ia bisa mengirim
orang untuk membunuhmu. Kau adalah musuh
terbesarnya di dunia ini. Ia takut setengah mati
terhadapmu. Selama kau masih hidup, ia tidak akan
mungkin hidup bebas.”
Li Sun-Hoan mendesah. Ia minum cawan yang ketiga.
Sun Sio-ang bertanya, “Tahukah kau siapa orang
pertama yang menginginkan kematianmu?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Aku sudah terlalu banyak
membunuh dalam hidup ini. Bagaimana mungkin aku
tahu yang mana yang menginginkan nyawaku?”
Sahut Sun Sio-ang, “Hanya dua atau tiga orang dalam
dunia ini yang sanggup membunuhmu. Yang pertama
adalah Siangkoan Kim-hong!”

631
Li Sun-Hoan tidak kaget mendengarnya. Ia minum cawan
yang keempat, namun tidak tahan untuk tidak bertanya,
“Apakah ia ada di sini sekarang?”
Bab 34. Berita yang Mengejutkan
Sun Sio-ang menggelengkan kepalanya dan tersenyum.
“Lihat, kau terus saja berbuat kesalahan. Tunggu sampai
giliranmu.”
Lalu ia menambahkan, “Kau pasti tahu perangai
Siangkoan Kim-hong. Harta karun biasa tidak akan
menggerakkan hatinya. Tahukah kau apa yang
diinginkannya?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Tidak.”
Kata Sun Sio-ang, “Karena ia mendengar bahwa dulu
ayahnya bersahabat akrab dengan pesilat nomor satu
dunia, Sim Long.”
[Sim Long adalah nama karakter utama dalam novel Gu
Liong yang berjudul “Pendekar Baja”]
Kata Li Sun-Hoan, “Sim Long memang sahabat karib
ayahku. Namun ia sudah lama mengundurkan diri dan
hidup di pulau terpencil. Lalu apa hubungannya dengan
peristiwa ini?”
Sun Sio-ang tersenyum. “Kelihatannya, kalau kau tidak
diberi kesempatan bertanya, kau bisa jadi gila. Baiklah,
tapi kau harus minum tiga cawan terlebih dulu.”

632
Sepertinya, ia memang ingin Li Sun-Hoan jadi mabuk.
Hanya saja, pertanyaannya sungguh mengejutkan dan
jawabannya lebih mengejutkan lagi. Walaupun Li Sun-
Hoan tahu apa yang diinginkannya, ia terus saja minum.
Lalu Sun Sio-ang pun melanjutkan, “Karena, ia
mendengar bahwa sebelum Sim Long mengundurkan
diri, ia memberikan dua kitab pusaka silat kepada
ayahmu. Dengan belajar dari salah satu kitab itu saja,
ilmu pisaumu sudah tidak ada tandingannya di dunia
persilatan. Jika seseorang bisa belajar dari keduanya,
bayangkan betapa hebat jadinya orang itu! Jadi bahkan
Siangkoan Kim-hong sekalipun tak bisa melewatkannya.”
Li Sun-Hoan terdiam sejenak sebelum menjawab, “Jika
ini memang benar, mengapa aku sendiri tidak tahu?”
Kata Sun Sio-ang, “Ini hanyalah kabar burung yang
disiarkan oleh Lim Sian-ji. Sim Long kan orang yang
sangat pandai. Mengapa ia sengaja meninggalkan kitab
pusaka itu untuk dijadikan rebutan orang banyak?”
Ia tersenyum dan melanjutkan, “Sekalipun ia
meninggalkan kitab pusaka, ia tidak akan
meninggalkannya di rumahmu. Mengapa ia membawa
kesulitan bagi sahabatnya?”
Li Sun-Hoan mendesah. “Betul juga.”
Sun Sio-ang mengejapkan matanya, lalu bertanya, “Aku
ingin memberi kesempatan padamu untuk mengajukan
pertanyaan. Oleh sebab ini, kau pasti bisa menjawab
pertanyaanku yang satu ini.”

633
Matanya memandang Li Sun-Hoan dengan polos.
“Apakah ia masih satu-satunya wanita dalam hatimu?
Apakah kau masih rela mati baginya? Aku tahu kau pasti
paham siapakah ‘ia’ yang kumaksudkan.”
Li Sun-Hoan terdiam.
Ia tidak pernah menyangka Sun Sio-ang akan
mengajukan pertanyaan ini.
Siapapun yang menanyakannya, ia tidak akan
menjawabnya. Ini adalah rahasianya yang paling pahit,
sakit hatinya yang paling dalam.
Mendengar pertanyaan ini sama dengan ditusuk dengan
sembilu.
Ia tidak mengerti mengapa Sun Sio-ang harus
menanyakannya.
Gadis-gadis muda memang selalu ingin tahu. Apakah itu
alasannya?
Ia pasti tidak ingin menyakiti Li Sun-Hoan. Jika itu
maksudnya, ia tidak mungkin memberitahukan padanya
semua rahasia yang barusan diceritakannya itu.
Tapi siapakah sebenarnya dia?
Bagaimana ia bisa tahu begitu banyak?

634
Kakeknya sudah pasti orang yang sangat berpengaruh. Si
Rambut Putih Sun, pasti bukan namanya yang
sesungguhnya. Siapakah dia sebenarnya?
Siapa yang ditemuinya di luar kota? Apakah Siangkoan
Kim-hong?
Di manakah A Fei dan Lim Sian-ji bersembunyi?
Li Sun-Hoan rela berbuat apa saja untuk mengetahui
jawaban dari rahasia-rahasia ini!
Li Sun-Hoan duduk di situ sampai sekian lama, lalu
menghela nagas panjang. “Ketika sepertinya tidak ada
lagi cinta, ternyata cinta masih ada. Ketika cinta menjadi
dalam, ternyata ia berubah dangkal…. Kejam? Atau
sentimental? Siapa yang dapat menghakimi? Siapa yang
dapat….”
Suaranya makin lama makin halus, sampai tidak
terdengar lagi.
Sun Sio-ang mendesah dan berkata dengan lembut,
“Mengapa kau lakukan ini pada dirimu
sendiri?...Mengapa?”
Mereka terdiam cukup lama, lalu tiba-tiba Sun Sio-ang
mengambil cawan arak dan meneguk isinya sampai
habis. Ia tersenyum sambil berkata, “Baiklah, aku kalah
kali ini. Kau boleh bertanya lagi.”
Wajah Li Sun-Hoan kini sungguh serius, dan ia bertanya,
“Di manakah A Fei saat ini?”

635
Sun Sio-ang tersenyum. “Aku tahu, kau pasti akan
menanyakannya. Selain dari si ‘dia’, mungkin ia adalah
orang yang paling kau sayangi.”
Kata Li Sun-Hoan, “Tentu saja. Siapa pun yang
mempunyai sahabat seperti dia, pasti akan menguatirkan
keadaannya.”
Sahut Sun Sio-ang, “Jika seseorang dapat mempunyai
sahabat seperti dirimu, bukankah mereka juga pasti akan
menguatirkan keadaanmu?”
Lalu ia tersenyum penuh rahasia dan mengeluarkan
sepucuk surat. “Ini adalah tempat di mana A Fei kini
tinggal. Ikuti saja peta ini dan kau pasti akan
menemukan dia.”
Kata Li Sun-Hoan, “Terima kasih.”
Ini adalah kali kedua ia mengucapkan ‘terima kasih’
sepanjang hari ini.
Sun Sio-ang menatapnya. “Kau tidak mengucapkan
terima kasih waktu kuberitahukan padamu rahasia yang
terbesar. Kau tidak mengucapkan terima kasih ketika
kuberitahukan siapa yang ingin membunuhmu. Mengapa
sekarang kau berterima kasih?”
Li Sun-Hoan diam saja.
Kata Sun Sio-ang lagi, “Aku tahu jawabannya walaupun
kau tidak memberi tahu. Alasannya adalah bahwa
dengan peta ini kau dapat menemukan A Fei. Hanya

636
dengan cara itu kau dapat menyelamatkannya. Kau
dapat menasihatinya untuk tidak mencintai orang yang
tidak pantas dicintai dan merusak dirinya sendiri. Kau
berterima kasih padaku demi dia.”
Lanjutnya, “Alasan ini jugalah yang membuat kau
berterima kasih pada Kwe ko-yang. Demi Lim Si-im….
Pernahkah kau berterima kasih pada seseorang demi
dirimu sendiri?”
Li Sun-Hoan masih diam saja.
Sun Sio-ang hanya bisa mengeluh. “Kakekku pernah
bilang, jika seseorang tidak pernah hidup untuk dirinya
sendiri, hidup orang itu sungguhlah menyedihkan.”
Kini Sun Sio-ang pun berhenti bicara. Wajahnya tampak
muram. Setelah sekian lama, terbayang senyuman di
bibirnya.
“Namun jika seseorang hanya hidup untuk dirinya
sendiri, betapa membosankannya hidupnya itu!”
Li Sun-Hoan minum secawan lagi, lalu bertanya,
“Kakekmu sedang mengantar siapa?”
Sahut Sun Sio-ang, “Siangkoan Kim-hong.”
Jawaban ini sungguh membuat Li Sun-Hoan terhenyak.
Ia tidak tahan untuk tidak bertanya, “Siangkoan Kimhong
belum masuk ke dalam kota. Mengapa dia sudah
akan pergi lagi?”

637
Jawab Sun Sio-ang, “Karena kakek secara khusus ingin
mengantarkan dia pergi. Bagaimana mungkin ia bisa
menolak?”
Kata Li Sun-Hoan, “Maksudmu, kakekmu adalah….”
Sampai di sini, ia mulai terbatuk-batuk lagi.
Ia membungkukkan badannya dan merasa kepalanya
berkunang-kunang.
Si Bungkuk Sun sejak lama berdiri di sudut yang jauh,
namun kini ia datang mendekati mereka. Katanya pada Li
Sun-Hoan, “Kau sudah minum terlalu banyak hari ini, dan
juga terlalu cepat. Lanjutkanlah permainan ini esok hari
saja.”
Li Sun-Hoan malah bertanya kepadanya, “Kau tahu di
mana Siangkoan Kim-hong?”
Jawab Si Bungkuk Sun, “Aku tidak tahu. Kelihatannya
aku harus minum satu cawan arak juga.”
Li Sun-Hoan tertawa terbahak-bahak. “Tidak perlu. Kau
kan tidak ikut dalam pertandingan ini. Kau tidak perlu
mengikuti aturannya.”
Si Bungkuk Sun memandang Li Sun-Hoan dengan aneh,
seakan-akan belum pernah kenal dengan orang ini
sebelumnya.
Kata Li Sun-Hoan lagi, “Tapi aku tahu jawabannya.
Siangkoan Kim-hong menganggap dirinya sebagai pesilat

638
nomor satu di dunia. Ia sangat angkuh dan tidak
memandang sebelah mata pada siapa pun juga. Namun
kali ini, ia malah mau menuruti Si Tua Sun. Kau tahu
kenapa?”
Jawab Si Bungkuk Sun, “Tidak.”
Kata Li Sun-Hoan, “Aku juga tidak tahu. Oleh sebab
itulah aku harus bertanya, karena aku ingin tahu
jawabannya.”
Kata Si Bungkuk Sun, “Kau bertanya terlalu banyak.
Pantas saja kau mabuk.”
Li Sun-Hoan mengangkat cawan araknya dan bertanya
pada Sun Sio-ang, “Nona Sun, siapakah sebenarnya Si
Tua Sun?”
Sun Sio-ang tersenyum dan menjawab, “Si Tua Sun
adalah ayah dari ayahku. Kakek kandungku.”
Li Sun-Hoan terbahak-bahak. “Betul. Betul. Kau memang
betul sekali.”
Ia minum secawan penuh.
Setelah menghabiskannya, pandangannya menjadi
kabur. Katanya, “Aku punya pertanyaan lagi.”
Mata Sun Sio-ang malah menjadi semakin terang. Ia
terkekeh. “Tanyakanlah sebelum kau benar-benar
mabuk.”

639
Tanya Li Sun-Hoan, “Aku bertanya. Mengapa kau ingin
aku mabuk? Mengapa….”
Sun Sio-ang mengisi cawan Li Sun-Hoan dengan arak,
lalu menjawabnya dengan senyum lebar, “Karena kita
sedang melangsungkan pertandingan minum arak.
Bukankah tujuannya adalah membuat lawan mabuk
terlebih dahulu? Semua peminum suka melihat orang lain
mabuk lebih dulu. Betul kan?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Itu betul, betul, betul….”
Kali ini, ia benar-benar mabuk berat.
Si Bungkuk Sun maupun Sun Sio-ang tidak bersuara.
Mereka berdua hanya menatap Li Sun-Hoan. Mereka
tidak yakin apakah dia memang benar-benar mabuk atau
hanya pura-pura.
Malam pun tibalah.
Si Bungkuk Sun menyalakan lilin. Ia berkata, “Sudah
waktunya makan malam. Mungkin akan ada pelanggan
yang lain.”
Sambil berbicara, ia melangkah cepat ke arah pintu dan
menguncinya. Seakan-akan ingin menahan Sun Sio-ang
di situ.
Sun Sio-ang tidak merasa keberatan.
Kunci itu sangat besar. Biasanya perlu waktu cukup lama
bagi Si Bungkuk Sun untuk mengancingkannya di pintu.

640
Namun hari ini, kelihatannya ia tiba-tiba menjadi kuat
dan mengangkat kunci besar itu bagai mengangkat bulu
ayam saja.
Sun Sio-ang tiba-tiba tersenyum. “Orang bilang Jicek
(paman Kedua) bertenaga sangat besar. Sayang aku
baru tahu sekarang.”
Si Bungkuk Sun memutar badannya. Ia mengangkat
alisnya dan bertanya, “Siapa Jicekkmu? Apa kau juga
sudah mabuk?”
Kata Sun Sio-ang, “Aktingmu memang sangat bagus.
Tapi apakah kau ingin terus berakting sampai sekarang?”
Si Bungkuk Sun hanya menatapnya. Namun tatapannya
sedingin es.
Bagaimana mungkin Si Bungkuk Sun bisa menatap
seperti ini?
Jika Li Sun-Hoan melihat kedua mata ini, ia pasti akan
merasa bangga, sebab ia tidak pernah melihatnya
menatap orang seperti ini dalam dua tahun mereka
bersama-sama.
Sayang sekali Li Sun-Hoan tidak bisa melihat apa-apa
sekarang.
Kata Sun Sio-ang, “Aku yakin hari ini dia benar-benar
mabuk, bukan cuma pura-pura.”

641
Kata Si Bungkuk Sun, “Tahukah kau berapa besar
ketahanannya terhadap alkohol? Bagaimana mungkin ia
bisa mabuk secepat itu?”
Sahut Sun Sio-ang, “Kalau seseorang sedang jengkel,
ditambah dengan tubuh yang lelah, bagaimana pun
besarnya kekuatan minumnya, ia pasti cepat mabuk.”
Si Bungkuk Sun pun bertanya, “Mengapa kau ingin
membuatnya mabuk?”
Sahut Sun Sio-ang, “Kau tidak tahu? Inilah yang
diinginkan kakek.”
“O ya?”
“Sekarang orang sudah tahu di mana ia berada. Mereka
pasti akan segera datang mencarinya. Itulah sebabnya
mengapa kakek ingin menyembunyikan dia untuk
sementara waktu.”
Sun Sio-ang menghela nafas dan melanjutkan, “Namun
kau pasti tahu sifatnya. Bagaimana mungkin kita
membawanya pergi kalau ia tidak mabuk?”
Si Bungkuk Sun berkata, “Sejujurnya, aku tidak mengerti
sama sekali pikiran kekekmu.”
Tanya Sun Sio-ang, “Apa yang tidak kau mengerti?”
Kata Si Bungkuk Sun, “Waktu Li Sun-Hoan sendiri ingin
bersembunyi, kakekmu terus mendorong dia untuk

642
muncul kembali. Sekarang, waktu dia sudah muncul,
kakekmu ingin menyembunyikan dia.”
Sun Sio-ang menggelengkan kepalanya. “Inilah
kesalahanmu. Kakek hanya akan menyembunyikannya
untuk sementara waktu.”
Lalu ia menatap Li Sun-Hoan yang tidak sadarkan diri
dan tersenyum. “Tahukah kau mengapa begitu banyak
orang yang menginginkan kepalanya?”
Si Bungkuk Sun tertawa dingin. “Siapa yang peduli?
Selain Siangkoan Kim-hong, siapakah yang harus
ditakutinya?”
Sahut Sun Sio-ang, “Kau salah lagi. Setiap orang yang
menginginkan kepalanya pasti tahu apa yang mereka
perbuat.”
Tanya Si Bungkuk Sun, “Apa benar? Coba kau sebutkan
siapa saja mereka itu.”
Jawab Sun Sio-ang, “Lupakan dulu yang pria, mari kita
mulai dengan yang wanita. Ada Si Budha Perempuan
Mahagembira dan Na Kiat-cu….”
Sewaktu nama-nama ini disebutkan, Si Bungkuk Sun
mengangkat alisnya.
Lanjut Sio-ang, “Pek-hiau-sing berat sebelah terhadap
kaum pria, sehingga Kitab Persenjataannya tidak
menyebutkan para wanita. Tapi aku yakin kau pasti tahu
kedua iblis wanita ini, bukan?”

643
Si Bungkuk Sun mengangguk.
Kata Sun Sio-ang, “Na Kiat-cu adalah kekasih Si Setan
Hijau. Si Budha Perempuan Mahagembira adalah ibu
angkat Ngo-tok-tongcu. Mereka telah mencari-cari Li
Sun-Hoan sekian lama. Kalau mereka tahu ia ada di sini,
mereka pasti akan langsung datang.”
Ia mendesah, lanjutnya, “Walaupun hanya salah satu
dari mereka yang datang, Li Sun-Hoan pasti akan
kerepotan.”
Si Bungkuk Sun mengambil lapnya dan mulai
memebersihkan meja.
Setiap kali ia merasa kesal, ia berlaku seperti ini.
Kata Sun Sio-ang, “Sekarang mari kita menyebutkan
yang pria.”
Ia memejamkan matanya dan mengacungkan jarinya.
Katanya, “Siangkoan Kim-hong, Lu Hong-sian, Hing Bubing,
dan….kau pasti tahu yang terakhir.”
[Bu-bing artinya Tidak Ada Kehidupan]
Si Bungkuk Sun terus membersihkan meja, mengangkat
wajah pun tidak. Ia bertanya singkat, “Siapa?”
Sahut Sun Sio-ang, “Oh Put-kiu.”

644
Si Bungkuk Sun berhenti mengelap dan mengangkat
wajahnya melongo. Tanyanya, “Oh Put-kiu? Kau maksud
Oh si gila?”
Kata Sun Sio-ang, “Betul sekali. Orang ini memang
tampak gila. Senjatanya adalah pedang bambu.
Kudengar ilmu pedangnya segila orangnya. Kadangkadang
tampak hebat, kadang-kadang tidak karuan,
tidak pantas dilihat. Oleh sebab itu, Pek-hiau-sing tidak
mengikutsertakannya dalam Kitab Persenjataan.”
Si Bungkuk Sun menjawab, “Bagian yang payah itu cuma
pura-pura, bagian yang hebat itu yang sesungguhnya.”
Setelah berpikir beberapa saat ia bertanya, “Tapi orang
ini selalu menyendiri. Mengapa tiba-tiba ia ingin
mengganggu Li Sun-Hoan?”
Kata Sun Sio-ang, “Kudengar, Liong Siau-hun yang
memintanya. Oh si gila berhutang budi pada guru Liong
Siau-hun.”
Kata Si Bungkuk Sun, “Sulit untuk menemukan orang
seperti dia. Hebat juga Liong Siau-hun bisa
menemukannya.”
Sahut Sun Sio-ang, “Itulah sebabnya mengapa Liong
Siau-hun pergi dari rumahnya selama dua tahun ini.”
Tanya Si Bungkuk Sun, “Apakah Lu Hong-sian yang tadi
kau sebutkan adalah yang berada di urutan nomor lima
Kitab Persenjataan?”

645
Sahut Sun Sio-ang, “Betul. Ia telah mempelajari ilmu silat
yang aneh akhir-akhir ini. Dan ia ingin bertarung dengan
semua pesilat yang urutannya berada di atas dia.”
Tanya Si Bungkuk Sun lagi, “Bagaimana dengan
Hing…..Hing….”
“Hing Bu-bing? Hing Bu-bing adalah pesilat yang paling
tangguh di bawah naungan Siangkoan Kim-hong.”
Si Bungkuk Sun mengerutkan keningnya. “Mengapa aku
belum pernah mendengar namanya?”
Sahut Sun Sio-ang, “Ia baru muncul dua tahun terakhir
ini. Menurut kakek, di antara pesilat-pesilat muda, ia dan
A Fei adalah yang terbaik.”
“O ya?”
Kata Sun Sio-ang, “Ia juga menggunakan pedang, dan
seperti A Fei, pedangnya pun luar biasa cepat, tepat dan
mematikan! Selain itu, dia punya satu sifat lagi yang
sungguh berbahaya.”
Si Bungkuk Sun terus menyimak dengan serius.
Lanjut Sun Sio-ang, “Ia jarang bertempur, namun sekali
bertempur, ia seakan-akan tidak peduli lagi akan
hidupnya sendiri. Tiap serangan adalah serangan berani
mati. Karena ia disebut ‘Tidak Ada Kehidupan’, sudah
tentu ia tidak peduli akan hidupnya.”

646
Si Bungkuk Sun hanya terdiam. Lalu ia bertanya, “Di
mana kakekmu?”
Jawab Sun Sio-ang, “Kami berjanji bertemu di luar
kota…”
Ia tersenyum penuh kemenangan. “Kakek tahu aku akan
menemukan cara untuk membawa Li Sun-Hoan ke sana.”
Si Bungkuk Sun hanya tersenyum dan menggelengkan
kepalanya. “Kau memang betul-betul gadis kecil yang
penuh akal bulus.”
Sun Sio-ang memonyongkan mulutnya. “Aku sudah
hampir dua puluh tahun. Mengapa kau masih
memanggilku gadis kecil?”
Bab 35. Manusia Pemakan Kalajengking
Si Bungkuk Sun mendesah dan berkata, “Kau betul-betul
sudah dewasa kini. Terakhir aku melihatmu, kau baru
berumur lima tahun…”
Lalu ia kembali mengelap meja.
Sun Sio-ang menundukkan kepalanya. Katanya, “Jicek,
kau tidak pernah pulang ke rumah selama berapa, tiga
belas atau empat belas tahun?”
Si Bungkuk Sun mengangguk. “Ya. Empat belas tahun.
Beberapa hari lagi, akan genap empat belas tahun.”

647
Tanya Sun Sio-ang, “Mengapa kau tidak pernah pulang
dan menjenguk kami?”
Si Bungkuk Sun menggebrak meja dan berseru dengan
lantang, “Aku sudah berjanji akan melindungi sebuah
keluarga selama lima belas tahun. Kau boleh bertaruh
bahwa aku akan melakukannya sampai genap!”
Kata Sun Sio-ang, “Oh begitu.”
Setelah sekian lama, Si Bungkuk Sun kembali mengelap
meja.
Ketika ia mulai mengelap, matanya yang tajam dan
bersinar terang itu langsung menghilang.
Inilah yang akan terjadi jika seseorang harus mengelap
meja selama empat belas tahun.
Si Bungkuk Sun lalu bertanya pelan, “Bagaimana kabar
yang lain?”
Sun Sio-ang tersenyum. “Mereka semua baik. Bibi
Pertama dan Bibi Ketiga melahirkan tahun ini. Bibi
Keempat punya anak kembar. Tahun Baru ini pasti
sangat ramai.”
Dari sudut matanya, Sun Sio-ang bisa melihat mata Si
Bungkuk Sun yang tampak sedih. Ia langsung berhenti
bicara. Lalu dengan cepat ia menambahkan, “Semuanya
berharap kau bisa pulang juga.”

648
Si Bungkuk Sun memaksakan seulas senyum dan
berkata, “Sampaikan pada mereka semua bahwa aku
pasti pulang Tahun Baru berikutnya.”
Sun Sio-ang langsung bertepuk tangan. Katanya, “Bagus
sekali. Aku ingat kaulah yang paling hebat membuat
kembang api.”
Sahut Si Bungkuk Sun, “Aku pasti akan membuatnya
untukmu tahun depan. Sekarang, kau lebih baik pergi
cepat-cepat. Kakekmu akan merasa kuatir.”
Lalu ia memandang Li Sun-Hoan dan bertanya,
“Bagaimana kau akan membawanya pergi?”
Sahut Sun Sio-ang, “Aku akan menggendongnya.”
Ia lalu bangkit berdiri dan terdengarlah seseorang
membentak dengan bengis, “Kau boleh pergi, tapi si
pemabuk ini harus tinggal!”
Suara ini adalah suara seorang wanita.
Si Bungkuk Sun dan Sun Sio-ang telah mengawasi pintu
depan dari tadi, namun suara ini terdengar dari arah
belakang. Tidak ada yang tahu kapan wanita ini masuk.
Wajah Si Bungkuk Sun langsung tertekuk.
Dilemparkannya lapnya.
Ia sudah mengelap meja selama empat belas tahun. Jika
tiap hari ia mengelap dua puluh kali, maka dalam
setahun ia sudah mengelap 7300 kali, atau 102.200 kali

649
dalam empat belas tahun. Siapapun yang telah mengelap
meja sebanyak ini, pasti mempunyai kekuatan yang
besar.
Lagi pula, Cakar Elang Si Bungkuk Sun sudah malang
melintang di dunia persilatan sejak lama. Waktu ia
melemparkan lapnya, tenaganya tidak kurang daripada
seorang pesilat yang melemparkan senjata rahasia.
Terdengar suara ‘Pang’, dan debu pun beterbangan ke
seluruh ruangan. Lap itu membuat lubang besar di
dinding belakang, namun orang yang berdiri di depan
pintu tidak terluka sedikitpun.
Kelihatannya ia tidak bergerak. Namun jika ia benarbenar
tidak bergerak, lap itu pasti sudah melubangi
perutnya.
Entah bagaimana, lap itu bisa luput.
Mungkin karena pinggangnya sangat ramping sehingga
mudah baginya untuk menghindar.
Yang membuat wanita ini sangat memikat bukan hanya
pinggangnya yang ramping.
Kakinya panjang dan lurus. Dan bagian tubuhnya yang
seharusnya berisi, memang tidak kurus, dan bagian yang
seharusnya langsing, memang tidak gemuk.
Matanya panjang dan menawan, namun mulutnya besar
dan bibirnya sangat tebal.

650
Kulitnya putih mulus, namun kelihatan bersisik dan
penuh bulu.
Ia tidak bisa dibilang wanita yang cantik, namun ia
mempunyai pesona tersendiri.
Si Bungkuk Sun memutar badannya dan
memandanginya.
Ia pun menatap Si Bungkuk Sun. Dari ekspresi wajahnya,
seakan-akan ia menganggap Si Bungkuk Sun sebagai
laki-laki tergagah dan paling ganteng sedunia. Seakanakan
ia sedang memandangi kekasihnya.
Namun ketika matanya sampai pada Sun Sio-ang,
tatapannya menjadi sedingin es.
Ia membenci semua wanita begitu rupa.
Si Bungkuk Sun terbatuk dua kali sebelum bertanya, “Na
Kiat-cu (Si Kalajengking Biru)?”
Na Kiat-cu tertawa.
Waktu tertawa, matanya menjadi makin panjang dan
sipit, seperti seutas benang yang panjang.
Katanya sambil tersenyum, “Kau memang orang yang
berpengetahuan luas. Aku suka laki-laki seperti itu.”
Si Bungkuk Sun tetap bermuka masam dan tidak
menjawab.

651
Ia tidak suka berdebat dengan wanita, karena ia tidak
tahu caranya.
Kata Na Kiat-cu, “Aku pun berpengetahuan cukup luas.
Aku tahu siapa dirimu.”
Suara Si Bungkuk Sun menggelegar. “Jika kau tahu,
mengapa masih bercokol di sini?”
Na Kiat-cu mendesah dan berkata, “Aku tahu kau tak
akan membiarkan aku membawanya pergi begitu saja.
Namun aku juga tidak ingin bertempur denganmu. Lalu
bagaimana baiknya kita menyelesaikan persoalan ini?”
Tiba-tiba wanita itu melambaikan tangannya ke belakang
dan berkata dengan tenang, “Ke sini.”
Si Bungkuk Sun melihat sesosok bayangan lain datang
dari arah belakang.
Seorang lelaki bertubuh besar. Ketika Na Kiat-cu
melambaikan tangannya, ia masuk ke dalam.
Pakaian laki-laki ini sangat apik dan kumisnya yang
kemilau tercukur rapi. Di pinggangnya terselip sebilah
golok bercincin sembilan yang mentereng.
Na Kiat-cu bertanya, “Tahukah kau siapa dia?”
Si Bungkuk Sun diam saja, namun Sun Sio-ang
menjawab, “Aku tahu.”

652
Na Kiat-cu sedikit heran. “Kau benar-benar tahu siapa
dia?”
Jawab Sun Sio-ang, “Namanya Coh Siang-ih. Julukannya
Hoat-pah-ong (Si Raja Perkasa).”
Na Kiat-cu memandang pada Hoat-pah-ong dan berkata,
“Ternyata kau cukup terkenal juga. Gadis kecil pun
mengenal engkau.”
Wajah Hoat-pah-ong terlihat sombong.
Kata Sun Sio-ang, “Aku tahu hampir semua orang
terkenal dalam dunia persilatan. Yang aku tidak tahu
adalah apa yang dikerjakannya dengan wanita seperti
engkau.”
Na Kiat-cu tersenyum dan berkata, “Ia merayuku dalam
perjalanan ke sini.”
Sun Sio-ang pun tersenyumdan berkata, “Apakah dia
yang merayumu? Atau sebaliknya?”
Sahut Na Kiat-cu, “Sudah pasti dia yang merayuku.
Walaupun kau tahu bahwa ia terkenal dan ilmu silatnya
pun cukup tinggi, mungkin kau tidak tahu bahwa ia juga
pandai merayu wanita.”
Si Bungkuk Sun mulai kelihatan gelisah. Ia lalu bertanya,
“Mengapa kau membawanya kemari?”
Sahut Na Kiat-cu, “Coh Siang-ih adalah pesilat yang
cukup tangguh. Ketika ia menggunakan jurus ‘Delapan

653
Puluh Satu Tangan Golok Bercincin’, sebagian besar
orang tidak dapat medekatinya.”
Si Bungkuk Sun hanya mendengus. “Hmmmh.”
Kata Na Kiat-cu lagi, “Jika aku bilang bahwa aku dapat
membunuhnya dalam satu jurus, kau percaya atau
tidak?”
Coh Siang-ih yang dari tadi berdiri dengan pongah
menjadi terperanjat. “Apa katamu?”
Si Kalajengking Britu berkata dengan lembut, “Bukan
masalah besar. Aku cuma bilang bahwa aku akan
mengambil nyawamu.”
Wajah Coh Siang-ih langsung memucat. Setelah raguragu
sesaat, ia pun berkata, “Ah, kau bercanda saja.”
Na Kiat-cu mendesah lagi dan berkata, “Hanya karena
kita melewatkan satu malam bersama, kau tidak percaya
aku akan membunuhmu?”
Sahut Coh Siang-ih, “Bagaimana mungkin aku bisa begini
buta? Di tempat tinggalku ada banyak kalajengking.”
Tanya Na Kiat-cu, “Dan kau pasti tahu kebiasaan unik
kelajengking betina.”
Coh Siang-ih memaksakan untuk tersenyum, “Tapi kau
kan bukan kalajengking.”

654
Kata Na Kiat-cu, “Kata siapa? Aku memang adalah
kalajengking. Kau tidak tahu?”
Coh Siang-ih cepat melompat mundur, dan
menjungkirbalikkan meja di belakangnya. Namun
keseimbangannya cukup baik, sehingga ia sendiri masih
bisa berdiri.
Ia menghunus Golok Sembilan Cincinnya.
Ia sangat berpengalaman di dunia persilatan, jadi sudah
pasti ia tahu siapakah Na Kiat-cu ini. Akan tetapi, ia tidak
bisa percaya bahwa seorang wanita yang begitu mudah
kena rayuannya adalah Na Kiat-cu sendiri.
Na Kiat-cu masih berkata dengan kalem, “Aku punya
beberapa nasihat. Lain kali kalau kau merayu wanita,
selidiki dulu latar belakangnya. Sayangnya….”
Ia mendesah lagi dan berjalan ke arah Coh Siang-ih.
“Sayangnya tidak ada lain kali.”
Coh Siang-ih berteriak, “Stop! Jika kau mendekat lagi,
akan kubunuh kau!”
Kata Na Kiat-cu sinis, “Baiklah. Bunuh saja aku. Aku
sungguh berharap bisa mati di tanganmu.”
Coh Siang-ih menjerit keras, dan Golok Sembilan
Cincinnya menebas dengan cepat.
Angin dari golok itu menderu seperti auman harimau.
Tebasannya sungguh bertenaga kuat.

655
Namun inilah gerakannya satu-satunya.
Terlihat kilau biru, Lintasan cahaya berwarna hijau pupus
yang dingin melesat di depan mata. Coh Siang-ih rubuh.
Bahkan jeritannya yang terakhir, terpotong setengah.
Tidak ada luka yang terlihat di tubuhnya, hanya dua titik
darah di lehernya. Seakan-akan ia baru saja disengat
kalajengking.
Si Bungkuk Sun dan Sun Sio-ang menyaksikan peristiwa
itu tanpa suara. Keduanya tidak berusaha menengahi,
karena memang tidak berniat untuk ikut campur.
Siapapun yang merayu wanita di tengah jalan, pasti
bukan orang baik-baik.
Na Kiat-cu terus memandangi tubuh Coh Siang-ih.
Ia memandanginya cukup lama, seakan-akan sedang
mengagumi hasil karyanya sendiri.
Lalu ia tertawa.
Sambil tertawa ia berkata, “Aku sudah bilang, aku hanya
perlu satu gerakan saja. Sekarang kau percaya, bukan?”
Tidak ada yang menjawab.
Lanjutnya lagi, “Ilmu silatku cukup lumayan, bukan?”
Masih tidak ada jawaban.

656
Na Kiat-cu pun berkata lagi, “Jing-mo-jiu (Tangan Setan
Hijau) In Gok berada di urutan ke sembilan dalam Kitab
Persenjataan. Kalau Pek-hiau-sing memasukkan aku
dalam kitabnya, ia pasti jatuh paling tidak ke nomor
sepuluh.”
Itu benar, karena ia memang menyerang lebih cepat dan
lebih mematikan daripada In Gok!
Na Kiat-cu memandang Si Bungkuk Sun, lalu berkata,
“Kelihatannya ilmu silatku cukup untuk membawa si
pemabuk ini pergi bersamaku, bukan?”
Si Bungkuk Sun menjawab dengan dingin, “TIDAK!”
Na Kiat-cu mengeluh. “Lalu aku harus berbuat apa untuk
membawa pergi si pemabuk ini? Tidur denganmu?”
Si Bungkuk Sun berteriak keras dan kedua tangannya
melesat ke depan.
Tangan kanannya menyerang seperti cakar dan tangan
kirinya seperti tinju. Tinju kirinya penuh dengan tenaga
halilintar. Cakarnya tampak seperti kait dan mengandung
ribuan gerak tipu. Walaupun hanya dengan tangan
kosong, kekuatannya sepuluh kali lebih besar
dibandingkan dengan golok Coh Siang-ih.
Na Kiat-cu meliukkan pinggangnya dan tiba-tiba lenyap.
Ketika Si Bungkuk Sun menyerang, ia segera berpindah
ke belakangnya.

657
Untungnya, Si Bungkuk Sun adalah pesilat kelas atas. Ia
segera menarik tangannya kembali, menarik balik
kekuatan tinju dan cakarnya.
Salah satu hal yang paling sulit dilakukan dalam
bertempur adalah membatalkan serangan. Karena
kecepatan dan kekuatan tiap serangan, sulit untuk
menghentikannya setengah jalan.
Namun Si Bungkuk Sun dapat melakukannya dengan
mulus.
Jika itu orang lain, kemungkinan ia sudah terjengkang ke
belakang, langsung ke dalam tangan Na Kiat-cu.
Untungnya Si Bungkuk Sun adalah seorang bungkuk. Jadi
waktu ia menarik balik serangannya, semua kekuatannya
terserap oleh punuknya.
Ia mengerutkan pundaknya dan menerjang ke belakang
dengan punuknya.
Ini adalah jurusnya yang terkenal itu. Ia telah berlatih
keras, sehingga punuknya telah menjadi sekeras baja.
Dan terjangannya itu membawa tenaga yang sangat
kuat.
Na Kiat-cu tahu benar jurus ini. Ia kembali meliukkan
pinggangnya dan jubahnya yang panjang menari-nari di
udara. Sekejap saja ia sudah kembali ke depan Si
Bungkuk Sun. Lalu ia berkata, “Bukan saja kau
berpengetahuan luas, ilmu silatmu pun luar biasa.

658
Katakan saja, dan aku akan mengikut engkau ke mana
pun engkau pergi.”
Si Bungkuk Sun pun berteriak, “Pergi saja ke neraka!”
Na Kiat-cu tersenyum manis dan berkata, “Jika aku mati,
aku harus mati di atas ranjang!”
Di depan wanita seperti ini, setelah melihat senyum
manisnya, seorang pria akan sulit mengerahkan seluruh
tenaganya.
Ketika lawannya sulit mengerahkan seluruh tenaganya,
tidak demikian halnya dengan dirinya sendiri. Oleh sebab
itulah, dalam sepuluh tahun ini, entah berapa laki-laki
mati di tangannya.
Sayangnya, hari ini lawannya adalah Si Bungkuk Sun. Si
Bungkuk Sun tidak tertarik lagi pada wanita.
Seiring dengan teriakannya, Cakar Besi Si Bungkuk Sun
pun melejit ke depan.
Na Kiat-cu mengibaskan lengan bajunya dan mundur
beberapa langkah. Lalu berkata, “Tunggu sebentar.”
Si Bungkuk Sun menarik kembali serangannya dan
bertanya, “Tunggu apa lagi?”
Kata Na Kiat-cu, “Karena kita akan bertempur, paling
tidak kau harus melihat senjataku terlebih dulu.”

659
Sebelum kalimatnya selesai, selintas cahaya biru
terpancar dari lengan bajunya, menyerang ke arah Si
Bungkuk Sun.
Si Bungkuk Sun mengangkat tangannya, hendak
menangkap cahaya biru itu.
Ia selalu ingin menyelesaikan pertempuran secepatnya.
Jadi, walaupun ia tahu kehebatan senjata Na Kiat-cu, ia
masih berusaha menangkapnya. Si Bungkuk Sun yakin
bahwa latihan Cakar Elangnya selama empat puluh tahun
akan dapat mengalahkan senjata Na Kiat-cu. Lalu ia akan
dapat mengalahkan wanita itu dengan hanya sekali
pukul!
Namun mungkin ia sedikit terlalu percaya diri.
Sun Sio-ang berdiri di situ tanpa suara. Matanya tidak
pernah lepas dari lengan baju Na Kiat-cu.
Matanya sangat tajam.
Ketika Lintasan cahaya biru itu berkelebat, ia segera tahu
apa itu.
Ia belum pernah melihat senjata seaneh ini sebelumnya.
Senjata itu tampak seperti ekor kalajengking raksasa,
panjang dan melingkar. Seakan lembut namun keras dan
dapat meliuk dengan mudah.
Tentu saja Sun Sio-ang sangat yakin pada Cakar Elang
pamannya. Namun ia pun tahu, jika tangannya kena

660
senjata ini, pamannya akan dimakan hidup-hidup oleh si
pemakan kalajengking ini.
Namun karena kecepatan serangan Na Kiat-cu, Sun Sioang
tahu, ia tidak mungkin menghalanginya. Ia hanya
tidak bisa percaya, mengapa pamannya begitu gegabah
hendak memegang senjata itu langsung dengan tangan
kosong.
Yang tidak disadari Sun Sio-ang adalah bahwa setelah
empat belas tahun mengelap meja, Si Bungkuk Sun
sudah gatal ingin bertempur. Kini kesempatan sudah
terbuka, dan Si Bungkuk Sun pun tidak bisa bertempur
setengah-setengah. Ia ingin meraih kemenangan
secepatnya.
Sun Sio-ang menjerit.
Namun tangan itu bergerak lebih cepat daripada
jeritannya. Ketika ia masih berteriak, tangan itu telah
menangkap tangan Na Kiat-cu.
Terdengar bunyi berdentang dan cahaya biru itu pun
terkulai ke tanah.
Ketika cahaya biru itu jatuh ke tanah, Si Kalajegking Biru
pun mundur beberapa langkah. Ia bergerak mundur
terlalu cepat, sehingga keseimbangannya hilang dan ia
membentur dinding belakang.
Ruangan itu menjadi sunyi senyap seperti kuburan.
Semua orang hanya berdiri mematung.

661
Semuanya memandangi tangan itu. Mata Na Kiat-cu
bukan hanya kaget, namun juga penuh rasa nyeri yang
hebat.
Tangannya telah patah!
Ia menarik tangannya kembali perlahan-lahan.
Saat itu seseorang bangkit berdiri dengan malasmalasan.
Orang ini adalah orang yang sudah mabuk
berat itu, Li Sun-Hoan!
Dengan rasa gembira dan terkejut. Sun Sio-ang berseru,
“Ternyata kau tidak mabuk!”
Li Sun-Hoan terkekeh dan berkata, “Aku tahu aku
memang sedang bersedih, dan tubuhku memang letih.
Namun aku memang sangat tahan minum arak.”
Sun Sio-ang menatapnya dengan perasaan campur aduk
dalam hatinya. Bahkan ia sendiri pun tidak tahu perasaan
apa saja yang ada di sana. Mungkin kaget? Atau
gembira? Atau kagum? Atau mungkin penyesalan?
Ternyata ia sudah gagal membuat Li Sun-Hoan mabuk.
Na Kiat-cu menatap Li Sun-Hoan dengan penuh rasa
takut.
Karena dilihatnya pisau di tangan Li Sun-Hoan.
Pisau Kilat si Li!

662
Pisau itu menjadi sangat mengerikan selama masih
berada di tangan Li Sun-Hoan. Karena setelah pisau itu
tidak ada lagi di sana, sang lawan tidak sempat lagi
merasa ngeri.
Orang mati tidak lagi bisa merasa takut.
Satu-satunya suara yang terdengar di sana, adalah
helaan nafas orang.
Bab 36. Perasaan yang Aneh
Keringat membasahi kening Na Kiat-cu.
Ia terus menerus gemetar sambil berteriak, “Ayo cepat
sambitkan pisaumu! Segera bunuhlah aku!”
Kata Li Sun-Hoan, “Karena kau ingin membalaskan
dendam In Gok, sudah tentu kau sangat mencintainya.
Kini ia telah mati, kau pasti sangat menderita…..”
Ia memandang pisau di tangannya, lalu berkata dengan
tenang, “Aku mengerti kesedihanmu. Aku sungguh
mengerti…. Aku hanya ingin memberi tahu bahwa rasa
sakit di hatimu tidak akan berkurang walaupun kau
membunuh orang. Berapa orang pun yang kau bunuh,
kesedihan itu akan tetap ada.”
Pisau itu berkilat dan melesat ke depan.
Menghunjam dinding tepat di samping Na Kiat-cu.
Kata Li Sun-Hoan, “Kau boleh pergi sekarang.”

663
Na Kiat-cu hanya mematung di situ.
Setelah sekian lama, akhirnya ia bertanya, “Kalau begitu,
bagaimana aku caranya mengurangi kepedihan hatiku?”
Li Sun-Hoan mendesah, lalu menjawab, “Aku tidak tahu
jawabannya. Mungkin….. Mungkin jika kau dapat
menemukan penggantinya, itu bisa menolong. Aku
berharap kau bisa bertemu dengan orang itu.”
Na Kiat-cu menatapnya. Air mata bergulir satu per satu
di pipinya.
Sun Sio-ang juga menatap Li Sun-Hoan.
Ia belum pernah bertemu dengan pria seperti ini dalam
hidupnya. Ia tidak pernah menyangka bahwa ada orang
seperti ini. Ia memandangi tubuh Li Sun-Hoan lekatlekat,
berusaha menembus dadanya dan melihat hatinya.
Na Kiat-cu pergi. Ia pergi dengan tangis.
Pikiran Li Sun-Hoan melayang jauh sebelum akhirnya
tersenyum. Katanya, “Kau pasti heran kenapa aku tidak
membunuhnya.”
Sun Sio-ang diam saja.
Si Bungkuk Sun pun hanya menatap senjata aneh yang
tergeletak di lantai. Ia pun diam saja.
Kata Li Sun-Hoan, “Menurutku, jika seseorang masih
dapat menangis, artinya orang itu belum pantas mati.”

664
Tiba-tiba Sun Sio-ang tersenyum. Katanya, “Aku tahu kau
tidak suka membunuh orang, jadi aku tidak begitu heran
waktu kau melepaskannya. Yang ingin aku tahu, kalau
kau tidak mabuk, kenapa pura-pura mabuk?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Kau kan ahli minum. Kau pasti tahu
bahwa pura-pura mabuk lebih menyenangkan daripada
benar-benar mabuk. Jika aku benar-benar mabuk, bukan
hanya aku tidak akan menikmati acara ini, namun sakit
kepala esok harinya pun sangat menyakitkan.”
Sahut Sun Sio-ang, “Mmm, masuk akal juga.”
Kata Li Sun-Hoan, “Tapi orang yang minum arak, suatu
saat akan mabuk juga. Jadi kalau kau ingin melihat aku
mabuk, akan ada banyak kesempatan di kemudian hari.”
Sun Sio-ang mendesah, lalu berkata, “Tapi aku tahu,
karena aku melewatkan kesempatan ini, aku tak akan
pernah bisa membuatmu mabuk lagi.”
Kata Li Sun-Hoan, “Sesungguhnya aku…”
Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, ia melihat Si
Bungkuk Sun berjalan ke balik meja dan mulai
menenggak arak langsung dari guci.
Ia telah minum lebih dari setengah, sebelum Sun Sio-ang
berhasil merebut guci arak itu dari tangannya. Gadis itu
menghentakkan kakinya dan berkata, “Dia saja lebih
suka pura-pura mabuk daripada benar-benar mabuk.
Mengapa engkau dengan sengaja ingin mabuk?”

665
Si Bungkuk Sun menjawab terpatah-patah, “Mabuk bisa
melenyapkan sejuta kekuatiran. Sungguh… Sungguh
lebih baik mabuk.”
Tanya Sun Sio-ang, “Kenapa?”
Si Bungkuk Sun pun berteriak kesal, “Kau mau tahu
kenapa? Mari kuberi tahu. Karena aku tidak mau
berhutang budi pada siapa pun! Lebih baik dia
menusukku daripada menolongku!”
Lalu ia terkulai di kursi dan menutup wajahnya dengan
kedua tangannya. “Li Sun-Hoan, oh Li Sun-Hoan.
Mengapa kau menolongku? Tidakkah kau tahu bahwa
dulu nyawaku pun pernah diselamatkan orang? Tahukah
kau mengapa aku berada di sini bertahun-tahun ini?”
Li Sun-Hoan ingin sekali bertanya, “Siapakah orang yang
menyelamatkanmu dulu?”
“Mengapa kau mau berjaga di sini selama lima belas
tahun?”
“Apa yang sebenarnya kau jaga?”
Namun suara Si Bungkuk Sun makin lama makin lemah.
Apakah dia sudah mabuk? Atau ia sudah mulai terlelap?
Li Sun-Hoan memandang Sun Sio-ang. Ia pun ingin
menanyakan pada gadis itu pertanyaan yang sama.
Namun ketika dilihatnya matanya yang begitu
bersemangat, begitu terang, begitu hitam berkilau, ia
mengurungkan niatnya.

666
Ia tahu ia tidak mungkin mendapatkan informasi dari
gadis seperti itu.
Li Sun-Hoan hanya dapat menghela nafas panjang, lalu
ia berkata, “Pamanmu memang adalah seorang pria
sejati.”
Sun Sio-ang meliriknya dari sudut matanya. Ia tersenyum
dan berkata, “Maksudmu, hanya seorang pria sejatilah
yang dapat menjadi mabuk begini cepat?”
Kata Li Sun-Hoan, “Maksudku, hanya seorang pria
sejatilah yang dapat menepati janjinya, apapun
keadaannya. Hanya seorang pria sejati, yang tidak sudi
menerima bantuan, yang mengorbankan dirinya demi
kepentingan orang lain.”
Sun Sio-ang memutar matanya. Katanya, “Jadi itulah
sebabnya kau juga berada di sini. Untuk melindungi
seseorang, bukan?”
Li Sun-Hoan diam saja.
Kata Sun Sio-ang lagi, “Apapun yang terjadi, kau pun
tidak akan pergi, bukan?”
Li Sun-Hoan tetap diam.
Sun Sio-ang pun berkata, “Apakah kau masih peduli pada
A Fei? Apakah kau ingin menjumpainya? Bukankah ia
sahabatmu?”

667
Li Sun-Hoan tetap diam sampai cukup lama. Akhirnya ia
menjawab, “Setidaknya ia dapat menjaga dirinya
sendiri.”
Kata Sun Sio-ang, “Aku sudah sering mendengar bahwa
Lim Sian-ji berwajah bagaikan malaikat, namun
kehebatannya adalah menyeret laki-laki ke neraka.”
Lalu ia melanjutkan perlahan-lahan, “Apakah kau tidak
kuatir bahwa ia akan menyeret sahabatmu ke neraka?”
Li Sun-Hoan mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
Sun Sio-ang mendesah. Lalu katanya, “Aku tahu kau
tidak akan pergi. Demi ‘dia’, kau dapat melupakan
apapun juga. Apapun!”
Lalu matanya penuh dengan kelembutan dan
kehangatan, memandangi Li Sun-Hoan. Tanyanya,
“Mengapa kau tidak berusaha mencari penggantinya?”
Tubuh Li Sun-Hoan gemetar hebat dan ia pun mulai
terbatuk-batuk lagi.
Kata Sun Sio-ang, “Jika kau tidak mau, aku tidak akan
memaksamu untuk pergi. Namun setidaknya kau harus
menemui kakekku.”
Di sela-sela batuknya Li Sun-Hoan bertanya, “Di…Di
manakah beliau?”
Sahut Sun Sio-ang, “Ia berada di Tiangting (paviliun
panjang) di luar kota.”

668
Tanya Li Sun-Hoan, “Kenapa beliau ada di sana?”
Jawab Sun Sio-ang, “Karena Siangkoan Kim-hong akan
lewat di sana.”
Kata Li Sun-Hoan, “Walaupun Siangkoan Kim-hong lewat
di sana, belum tentu kakekmu dapat bertemu
dengannya.”
Sahut Sun Sio-ang, “Ah, sudah pasti mereka akan
bertemu, karena Siangkoan Kim-hong tidak pernah naik
kuda atau naik kereta. Ia sering berkata bahwa manusia
punya kaki, oleh sebab itu mereka seharusnya berjalan.”
Li Sun-Hoan terkekeh, katanya, “Kau memang serba
tahu.”
Sun Sio-ang membalasnya dengan senyuman. Lalu
katanya, “Memang.”
Kata Siangkoan Kim-hong, “Kau bukan hanya tahu
bahwa Siangkoan Kim-hong akan datang, namun kau
juga tahu jalan mana yang akan dilaluinya. Kau bukan
hanya tahu bahwa Lim Sian-jilah yang menulis surat itu,
namun kau juga tahu di mana ia bersembunyi….”
Ia menatap mata gadis itu dalam-dalam, lalu bertanya,
“Bagaimana kau bisa tahu semuanya ini?”
Sun Sio-ang menggigit bibirnya. Lalu ia tersenyum dan
menjawab, “Aku punya cara tersendiri. Tapi aku takkan
memberitahukannya padamu!”

669
***
Malam yang gelap gulita.
Langkah Sun Sio-ang ringan dan cepat, seakan-akan ia
tidak mengenal kata lelah. Ia tertarik pada segala
sesuatu di dunia ini.
Ia sungguh-sungguh penuh dengan semangat hidup.
Ia masih muda belia.
Li Sun-Hoan merasa ia sangat berbeda dengan orang
yang berdiri di sampingnya, bagai langit dengan bumi.
Ia kagum pada gadis ini, mungkin sedikit iri hati. Waktu
ia menyadari perasaan ini, ia jadi kaget sendiri.
Apakah betul aku sudah setua ini?
Ia tahu hanya seorang tua yang cemburu pada kebeliaan
orang muda.
Katanya dengan tersenyum, “Jika aku berusia sepuluh
tahun lebih muda, aku tidak akan berjalan begini dekat
denganmu.”
Tanya Sun Sio-ang, “Kenapa?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Semua orang bilang aku laki-laki
mata keranjang. Jika aku begini dekat dengan seorang
gadis, orang-orang pasti akan berpikiran macammacam.”

670
Ia terkekeh sebelum melanjutkan lagi, “Untungnya, kini
aku sudah tua bangka. Jika seseorang melihat kita, ia
akan menyangka bahwa kita adalah ayah dan anak.”
Sun Sio-ang cemberut dan berseru, “Ayahku? Kau pikir
kau setua itu?”
“Tentu saja.”
Tiba-tiba Sun Sio-ang tertawa terbahak-bahak.
Tanya Li Sun-Hoan, “Mengapa kau tertawa?”
Sahut Sun Sio-ang, “Aku menertawaimu.”
“Kenapa?”
Jawab gadis itu, “Karena aku tahu sekarang bahwa kau
takut padaku!”
Kata Li Sun-Hoan, “Apa? Takut padamu?”
Mata Sun Sio-ang bersinar terang bagai bintang di langit.
Ia tertawa polos dan berkata, “Kau berkata begitu karena
kau takut padaku. Kau kuatir bahwa kau akan….akan
baik padaku….Karena itu kau bilang bahwa kau adalah
laki-laki tua bangka.”
Li Sun-Hoan hanya dapat tertawa getir.
Kata Sun Sio-ang lagi, “Sebenarnya, jika kau adalah lelaki
tua bangka, aku pun adalah wanita tua bangka.”

671
Ia tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berkata pada
Li Sun-Hoan dengan halus, “Ketika orang merasa dirinya
tua, maka saat itulah ia benar-benar menjadi tua.
Kakekku tidak pernah menganggap dirinya tua. Dan kau
pun belum tua. Jadi jangan pernah berpikir seperti itu
lagi.”
Li Sun-Hoan menatap matanya yang jernih. Tiba-tiba ia
teringat pada Lim Si-im sepuluh tahun yang lalu.
Saat itu Lim Si-im pun sangat muda dan bersemangat.
Tapi sekarang?
Li Sun-Hoan mengeluh dan menghindari tatapan gadis
itu. Ia memandang ke kegelapan yang tidak berujung,
lalu berkata, “Tiangting itu ada di depan sana, bukan?
Ayo kita cepat ke sana.”
Dalam kegelapan malam, secercah cahaya lilin tampak
dari paviliun itu. Samar-samar terlihat bayangan orang di
dekat cahaya lilin itu.
Tanya Sun Sio-ang, “Kau lihat lilin itu?”
“Ya.”
Kata Sun Sio-ang sambil tersenyum, “Kau tahu apa itu?
Kalau kau tahu, aku akan benar-benar kagum padamu.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Itu kakekmu sedang mengisap
pipanya.”

672
Kata Sun Sio-ang, “Wah! Kau memang jenius!”
Li Sun-Hoan terkekeh. Entah mengapa, di depan gadis ini
ia jadi lebih banyak tersenyum dan lebih sedikit batuk.
Kata Sun Sio-ang, “Siangkoan Kim-hong sudah datang
belum ya? Atau kakek sudah mengantarkannya pergi?”
Ia jadi agak gugup dan menambahkan, “Ayo kita segera
ke sana, supaya kita bisa….”
Sebelum kalimatnya selesai, Li Sun-Hoan telah menarik
tangannya.
Hati Sun Sio-ang berdebar cepat, mukanya merah
jengah.
Ia berusaha mencuri pandang ke arah wajah Li Sun-
Hoan, dan terlihat olehnya wajah yang sangat tegang.
Matanya terpaku pada sesuatu di kejauhan.
Dua titik sinar samar-samar terlihat.
Dua lentera.
Lentera itu berwarna keemasan dan tergantung di ujung
tongkat bambu yang kurus panjang.
Entah mengapa, lentera itu tampak misterius, tampak
mengerikan.
Sekejap saja, Li Sun-Hoan telah membawa Sun Sio-ang
bersembunyi di balik sebatang pohon dekat situ.

673
Sun Sio-ang berbisik, “Kim-ci-pang (Partai Uang Emas)?”
Li Sun-Hoan mengangguk.
Kata Sun Sio-ang, “Kelihatannya Siangkoan Kim-hong
baru datang. Mungkinkah mereka menemui persoalan di
tengah jalan?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Mungkin karena dia hanya punya
sepasang kaki, jadi ia tidak bisa jalan begitu cepat.”
Di belakang dua lentera itu, dua lentera lagi datang
menyusul.
Di antaranya tampak dua sosok manusia.
Keduanya tinggi besar. Keduanya mengenakan jubah
berwarna kuning. Jubah orang yang di depan sangat
panjang, hampir menyentuh tanah, namun sama sekali
tidak memperlambat langkahnya.
Jubah orang yang di belakang sangat pendek, hampirhampir
tidak menutupi lututnya.
Orang yang di depan bertangan kosong, sepertinya ia
tidak membawa senjata apapun.
Orang yang dibelakang membawa pedang, yang terselip
di pinggangnya.
Li Sun-Hoan melihat bahwa gaya orang itu menyelipkan
pedangnya sangat mirip dengan A Fei. Hanya saja A Fei

674
menyelipkan pedangnya di tengah, dan pegangannya
menghadap ke kanan.
Pedang orang ini terselip di sebelah kanan pinggangnya
dan pegangannya menghadap ke kiri.
Mungkinkah orang ini kidal?
Li Sun-Hoan mengangkat alisnya.
Ia tidak suka bertarung dengan orang yang kidal. Jurus
pedang orang itu berlawanan dengan orang yang normal,
sehingga lebih sulit menghadapinya.
Lagi pula, sekali pedang itu keluar dari sarungnya,
kecepatannya pasti luar biasa.
Li Sun-Hoan mengetahuinya karena begitu banyak
pengalamannya di dunia persilatan. Ia tahu bahwa orang
ini pasti adalah lawan yang sulit dikalahkan!
Bab 37. Si Orang Tua
Selagi perhatian Li Sun-Hoan tercurah pada jago pedang
kidal itu, perhatian Sun Sio-ang tercurah pada sesuatu
yang lain.
Kedua orang ini berjalan perlahan-lahan dan langkah
mereka lebar-lebar. Sekilas, langkah mereka seperti biasa
saja. Namun Sun Sio-ang merasa ada sesuatu yang
janggal.

675
Setelah beberapa saat, barulah ia menyadari
kejanggalannya.
Biasanya, dua orang yang berjalan bersama-sama akan
mempunyai langkah-langkah yang seirama.
Namun kedua orang ini berbeda. Waktu kaki orang yang
pertama menginjak tanah, kaki orang kedua terangkat ke
atas, tepat di tengah-tengah jejak orang yang pertama.
Jadi jejak mereka tampak seperti jejak satu orang saja.
Orang pertama melangkah pertama, lalu orang kedua
melangkah kedua. Orang pertama melangkah ketiga, dan
orang kedua pun melangkah keempat. Seluruhnya dalam
irama yang sama.
Sun Sio-ang belum pernah melihat dua orang berjalan
seperti ini. Ia sungguh tertarik.
Sebaliknya Li Sun-Hoan sama sekali tidak tertarik.
Ia merasa gentar.
Langkah mereka yang seirama, menandakan pikiran
mereka yang seirama pula.
Kalau mereka bersama-sama menghadapi musuh,
gerakan mereka akan melengkapi satu dengan yang lain
dengan sempurna.

676
Siangkoan Kim-hong sendirian adalah salah satu pesilat
terbaik di dunia. Tidak bisa dibayangkan apa jadinya jika
Hing Bu-bing bertarung bersama-sama dengan dia.
Hati Li Sun-Hoan merosot.
Ia tidak dapat menemukan kelemahan serangan
gabungan dua orang ini.
Ia juga tidak dapat menemukan cara bagaimana si orang
tua di paviliun itu dapat mengantarkan dua orang ini
pergi.
Tiba-tiba cahaya dalam paviliun itu menjadi sangat
terang, bagaikan cahaya lentera.
Li Sun-Hoan belum pernah melihat seseorang dapat
membuat cahaya seterang itu dengan pipanya.
Siangkoan Kim-hong pun melihat cahaya itu. Langkahnya
terhenti.
Lalu cahaya dalam paviliun itu lenyap.
Setelah berhenti sekian lama, akhirnya Siangkoan Kimhong
mulai melangkah lagi. Kini ia menuju ke paviliun
itu, ke depan si orang tua.
Ke mana pun ia melangkah, Hing Bu-bing mengikut di
belakangnya.
Seolah-olah ia adalah bayangan Siangkoan Kim-hong.

677
Lentera itu pun kini masuk ke dalam paviliun dan
menerangi tempat itu.
Siangkoan Kim-hong tidak bersuara. Ia menundukkan
kepalanya, seakan-akan ia tidak ingin orang melihat
wajahnya.
Namun matanya menatap lekat pada tangan si orang
tua, mengawasi setiap inci gerakannya.
Si orang tua mengambil tembakau dan menaruhnya pada
pipanya. Lalu ia mengambil batu pemantik.
Gerakannya perlahan tapi pasti.
Tiba-tiba Siangkoan Kim-hong menghampiri si orang tua
dan memungut kertas api dari meja batu di situ.
Ia meneliti kertas itu baik-baik, lalu meletakkannya di
dekat batu pemantik.
Kertas itu segera terbakar.
Siangkoan Kim-hong meletakkan kertas itu di dalam pipa.
Walaupun Li Sun-Hoan dan Sun Sio-ang bersembunyi
cukup jauh dari paviliun itu, mereka melihat setiap
gerakan di sana dengan jelas.
Tanya Li Sun-Hoan, “Haruskah kita pergi ke sana?”
Sun Sio-ang menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak
perlu. Kakekku pasti bisa membuat mereka pergi.”

678
Suaranya penuh keyakinan, namun Li Sun-Hoan
merasakan tangan gadis itu begitu dingin, sepertinya ia
berkeringat dingin.
Ia tahu mengapa gadis ini sangat kuatir.
Pipa itu tidak panjang. Siangkoan Kim-hong dapat
menggunakan kesempatan itu untuk menutup Hiat-to
(jalan darah) si orang tua.
Tapi ia tidak melakukannya. Apakah ia menunggu
kesempatan yang lebih baik?
Si orang tua mengisap pipanya.
Namun karena suatu hal, mungkin karena tembakaunya
terlalu lembab atau terlalu padat, pipa itu tidak mau
menyala. Kertas api itu hampir terbakar habis.
Siangkoan Kim-hong memegang kertas itu dengan ibu
jari dan telunjuknya. Tiga jari yang lain, melingkar ke
belakang.
Jari manis si orang tua hanya beberapa inci saja dari
pergelangan tangan Siangkoan Kim-hong.
Api sudah membakar jari-jari Siangkoan Kim-hong.
Tapi Siangkoan Kim-hong seperti tidak merasa.
Saat itu, ‘Puff’, pipa pun menyala.

679
Sekelebat terlihat tiga jari Siangkoan Kim-hong yang
bebas bergerak sedikit. Demikian pula jari manis dan
keLingking si orang tua. Semua gerakan itu sangat cepat
dan sangat ringan.
Lalu Siangkoan Kim-hong mundur beberapa langkah.
Si orang tua pun terus mengisap pipanya.
Selama itu, kedua orang itu tidak pernah saling pandang.
Saat itu juga, Li Sun-Hoan menghela nafas lega.
Dari pandangan orang awam, kejadian ini hanyalah soal
menyalakan pipa. Namun dari mata Li Sun-Hoan, ia tahu
bahwa pertarungan sengit telah terjadi!
Siangkoan Kim-hong terus menunggu kesempatan.
Menunggu kelengahan si orang tua, menunggu
kesempatan untuk menyerang.
Namun kesempatan itu tidak pernah datang.
Akhirnya ia tidak tahan lagi dan menyerang dengan tiga
jarinya yang bebas.
Namun serangannya segera dipunahkan oleh jari manis
dan keLingking si orang tua.
Pertarungan seperti inilah yang mengesankan bagi Li
Sun-Hoan. Di dalamnya terkandung seni yang tertinggi
dari ilmu silat.

680
Di balik gerakan jari yang sederhana, tersimpan gerak
tipu yang tidak terbatas.
Kini bahaya sudah berlalu.
Siangkoan Kim-hong sudah mundur tiga langkah, kembali
pada posisi awalnya.
Si orang tua tersenyum, lalu berkata, “Kau di sini?”
Sahut Siangkoan Kim-hong pendek, “Ya.”
Kata si orang tua, “Kau terlambat!”
Sahut Siangkoan Kim-hong, “Kau sudah menunggu di
sini. Apakah kau tahu aku akan lewat sini?”
Kata si orang tua, “Aku berharap kau tidak datang.”
Tanya Siangkoan Kim-hong, “Mengapa?”
Sahut si orang tua, “Karena walaupun datang, kau harus
pergi secepatnya.”
Siangkoan Kim-hong menarik nafas panjang. Katanya,
“Bagaimana kalau aku tidak mau?”
Sahut si orang tua tenang, “Aku tahu, kau akan pergi.”
Siangkoan Kim-hong mengepalkan tangannya.
Hawa membunuh melingkupi seluruh paviliun.

681
Si orang tua mengisap pipanya lagi dan menghembuskan
asapnya.
Asap itu keluar seperti garis lurus.
Lalu di udara, asap itu berbelok, melayang ke arah wajah
Siangkoan Kim-hong.
Siangkoan Kim-hong terperanjat.
Asap itu pun segera lenyap.
Siangkoan Kim-hong membungkukkan badannya dan
berkata, “Luar biasa.”
Kata si orang tua, “Kau berlebihan.”
Kata Siangkoan Kim-hong, “Sudah dua puluh tujuh tahun
sejak pertemuan kita sebelumnya. Aku tidak tahu kapan
kita akan bertemu lagi.”
Sahut si orang tua, “Kita tidak perlu bertemu lagi.”
Siangkoan Kim-hong berpikir sejenak. Sebenarnya ia
ingin mengatakan sesuatu, namun ia diam saja.
Si orang tua kembali mengisap pipanya.
Siangkoan Kim-hong memutar badannya dan pergi dari
situ.
Hing Bu-bing mengikutinya bagai bayang-bayang.

682
Li Sun-Hoan masih menatap paviliun itu sambil berpikir.
Sebelum Siangkoan Kim-hong pergi, ia memandang
sekilas ke tempat Li Sun-Hoan bersembunyi. Ini adalah
pertama kalinya Li Sun-Hoan beradu pandang dengan
mata Siangkoan Kim-hong.
Dari tatapan matanya, Li Sun-Hoan tahu bahwa tenaga
dalam orang ini sungguh besar, bahkan lebih daripada
yang diceritakan orang-orang!
Namun yang lebih mengerikan adalah mata Hing Bubing.
Siapapun yang memandang mata ini akan merasa tidak
enak, bahkan mungkin merasa jijik.
Karena mata itu bukan seperti mata manusia, bukan pula
mata mata binatang.
Sepasang mata itu seperti mata yang mayat hidup!
Tidak berperasaan, tidak ada kehidupan.
Sun Sio-ang tidak melihat semua ini, karena matanya
menatap ke arah Li Sun-Hoan.
Inilah pertama kalinya ia melihat Li Sun-Hoan dari jarak
sangat dekat.
Bahkan dalam kegelapan, ia dapat melihat profil wajah Li
Sun-Hoan, terutama mata dan hidungnya.

683
Matanya besar dan bercahaya, memancarkan
kepandaiannya. Tatapannya terlihat agak lelah, sedikit
ragu, namun penuh dengan kasih sayang.
Hidungnya tinggi dan lurus, seperti pikirannya, penuh
kebenaran.
Di sudut matanya terlihat kerut-kerut, membuat ia
tampak dewasa, menawan, dan memberikan keteduhan
bagi orang lain. Ia tampak seperti orang yang bisa
dipercaya untuk menjaga nyawamu.
Ia adalah sosok laki-laki yang diimpikan setiap wanita
dalam tidurnya.
Keduanya tidak menyadari bahwa si orang tua sedang
berjalan menghampiri mereka dengan senyum kepuasan.
Ia memandang mereka berdua sampai cukup lama
sebelum bertanya, “Maukah kalian berdua mengobrol
dengan seorang tua?”
***
Bulan telah naik ke atas.
Si orang tua dan Li Sun-Hoan berjalan di depan. Sun Sioang
mengikuti mereka dari belakang.
Ia tidak bicara apa-apa, namun hatinya ingin memekik
bahagia. Karena ia hanya cukup memandang ke depan
untuk melihat orang yang paling dikaguminya dan orang
yang dipujanya.

684
Hatinya berbunga-bunga.
Kata si orang tua, “Aku telah mendengar tentang engkau
sejak lama. Aku pun sudah lama ingin mengundangmu
minum. Dan kini setelah kita berjumpa, aku senang
sekali berbincang-bincang denganmu.”
Li Sun-Hoan tersenyum. Demikian pula Sun Sio-ang yang
terus menyela, “Padahal dia cuma bilang ‘Halo’.”
Kata si orang tua, “Itulah hebatnya dia. Dia tidak pernah
menanyakan hal-hal yang tidak perlu. Orang lain pasti
akan bertanya tentang identitasku.”
Kata Li Sun-Hoan, “Mungkin karena aku sudah tahu
identitasmu.”
“O ya?”
Kata Li Sun-Hoan, “Tidak banyak orang di dunia ini yang
dapat mengintimidasi Siangkoan Kim-hong.”
Sahut si orang tua, “Jika kau pikir aku dapat
mengintimidasi Siangkoan Kim-hong, kau salah besar.”
Sebelum Li Sun-Hoan sempat menyahut, ia sudah
melanjutkan lagi, “Kau pasti sudah dapat meraba
kelihaian Siangkoan Kim-hong, juga anak muda yang
mengikutinya. Kalau mereka bahu-membahu, tidak ada
seorang pun di dunia ini yang dapat menahan lebih dari
300 jurus mereka, apalagi mengalahkan mereka.”

685
Mata Li Sun-Hoan berkilat, lalu bertanya, “Tidak juga
engkau?”
Kata si orang tua, “Tidak juga aku.”
Kata Li Sun-Hoan, “Tapi mereka pergi.”
Sahut si orang tua, “Mungkin karena mereka belum mau
membunuhku. Atau mungkin juga, mereka tahu kau ada
di situ dan mereka tidak yakin dapat mengalahkan kita
berdua.”
Sun Sio-ang tidak tahan untuk tidak menyela, “Walaupun
mereka tahu ada seseorang yang bersembunyi di balik
pohon, bagaimana mereka tahu bahwa orang itu adalah
Li…Li Tamhoa?”
Sahut si orang tua, “Karena jika seorang pesilat tangguh
seperti Li Tamhoa merasa bermusuhan dengan
seseorang, ia akan memancarkan hawa membunuh.”
Tanya Sun Sio-ang, “Hawa membunuh?”
Jawab si orang tua, “Benar. Namun hanya pesilat
tangguh macam Siangkoan Kim-hong pulalah yang dapat
merasakannya.”
Sun Sio-ang mendesah, lalu berkata, “Kau terlalu
berbelit-belit. Aku tidak mengerti sedikitpun.”
Kata si orang tua, “Ilmu silat memang berbelit-belit.
Hanya sedikit orang yang dapat mengerti.”

686
Kata Li Sun-Hoan, “Apapun alasan mereka pergi, aku
tetap berterima kasih atas bantuanmu.”
Si orang tua berkata sambil tersenyum, “Aku hanya ingin
orang-orang seperti dirimu terus hidup, karena tidak
cukup banyak orang seperti engkau di dunia ini.”
Li Sun-Hoan hanya tersenyum tanpa kata-kata.
Kata si orang tua lagi, “Walaupun kita baru saja bertemu,
aku tahu sifat-sifatmu. Jadi aku tidak akan memaksa
engkau untuk pergi.”
Ia memandang Li Sun-Hoan dalam-dalam dan berkata,
“Namun aku ingin kau menyadari satu hal.”
Kata Li Sun-Hoan, “Silakan katakan.”
Kata si orang tua, “Lim Si-im tidak memerlukan
perlindunganmu. Kau hanya dapat membantunya jika
kau pergi.”
Li Sun-Hoan bergidik.
Lanjut si orang tua, “Tidak ada seorang pun yang ingin
menyakiti Lim Si-im. Jika mereka ingin menyakitinya, itu
sebenarnya karena engkau, karena engkau menjaganya.
Jika kau meninggalkannya, tidak ada alasan untuk
menyakitinya.”
Li Sun-Hoan merasa seperti dicambuk dengan cambuk.
Seluruh tubuhnya merasa kesakitan.

687
Namun sepertinya si orang tua tidak memahami
kesakitannya. Ia melanjutkan, “Jika kau kuatir ia akan
kesepian, kau tidak perlu kuatir lagi. Liong Siau-hun
sudah kembali. Kau hanya akan memperkeruh suasana
jika kau tetap tinggal di situ.”
Li Sun-Hoan menengadah ke langit malam yang gelap
gulita. Ia berpikir sampai lama, lalu menghela nafas. Ia
berkata, “Aku salah, lagi-lagi salah….”
Ia membungkuk, karena ia tidak bisa lagi berdiri tegak.
Sun Sio-ang hanya dapat memandangnya dari belakang.
Hatinya penuh rasa kasihan, rasa kasih sayang.
Ia tahu kakeknya sedang berusaha membangkitkan
perasaan Li Sun-Hoan, membangkitkan sakit hatinya. Ia
juga tahu bahwa hal ini baik untuk Li Sun-Hoan, namun
tetap saja berat baginya menyaksikan laki-laki ini
menderita begitu rupa.
Kata si orang tua lagi, “Liong Siau-hun akhirnya pulang
karena ia telah menemukan seseorang untuk
membunuhmu.”
Kata Li Sun-Hoan, “Mengapa dia berbuat begitu? Aku
masih menganggap dia sahabat.”
Sahut si orang tua, “Tapi ia tidak berpikir demikian.
Tahukah kau siapa yang ditemukannya?”
Kata Li Sun-Hoan, “Oh Put-kiu?”

688
Sahut si orang tua, “Betul. Orang gila itu.”
Sun Sio-ang menyela, “Apakah ilmu silat orang gila itu
benar-benar tinggi?”
Jawab si orang tua, “Ada dua orang di dunia ini yang aku
tidak bisa mengukur secara pasti seberapa tinggi ilmu
silat mereka.”
Tanya Sun Sio-ang, “Siapakah dua orang itu?”
“Satu adalah Li Tamhoa, yang satu lagi adalah Oh si
gila.”
Kata Li Sun-Hoan, “Cianpwe, kau berlebihan. Ilmu silat A
Fei sama tingkatannya dengan aku. Lalu ada Hing Bubing….”
Si orang tua memotong cepat, “Tapi A Fei dan Hing Bubing
itu setali tiga uang. Mereka termasuk golongan yang
tidak mengerti seni ilmu silat.”
Li Sun-Hoan terhenyak. “Kau bilang mereka tidak tahu
seni ilmu silat?”
Sahut si orang tua, “Benar sekali. Bukan hanya itu,
mereka sama sekali tidak pantas bicara tentang seni ilmu
silat.
Mereka hanya membunuh orang. Mereka hanya tahu
bagaimana membunuh orang.”

689
Kata Li Sun-Hoan, “Namun A Fei berbeda dari Hing Bubing.”
“Apa bedanya?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Cara mereka membunuh mungkin
hampir sama, tapi tujuan mereka membunuh sudah pasti
berbeda.”
“O ya?”
Kata Li Sun-Hoan, “A Fei hanya membunuh jika terpaksa.
Hing Bu-bing membunuh karena nafsu membunuh.”
Li Sun-Hoan menundukkan kepalanya, dan
menambahkan, “Aku….”
Si orang tua menyergah, “Jika kau ingin menemuinya,
masih ada kesempatan sekarang. Atau kau akan
terlambat!”
Li Sun-Hoan bangkit berdiri lalu berkata, “Kalau begitu,
aku pergi sekarang untuk menemuinya.”
Si orang tua tersenyum. “Kau tahu di mana ia tinggal?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tahu.”
Sun Sio-ang tiba-tiba berjalan ke depan Li Sun-Hoan dan
berkata, “Tapi mungkin kau tidak bisa menemukan
tempatnya. Mari kuantarkan ke sana.”

690
Sebelum Li Sun-Hoan menjawab, si orang tua berkata
dingin pada gadis itu, “Kau masih ada tugas lain. Lagi
pula, ia tidak perlu bantuanmu.”
Wajah Sun Sio-ang seperti ingin menangis.
Li Sun-Hoan segera berkata, “Selamat tinggal.”
Ia ingin bicara lebih banyak, tapi akhirnya hanya itu yang
diucapkannya.
Si orang tua mengacungkan jempolnya. Katanya, “Bagus
sekali. Pergi jika kau ingin pergi. Itulah yang diperbuat
pria sejati.”
Li Sun-Hoan segera pergi. Ia bahkan tidak menoleh lagi.
Sun Sio-ang hanya mengawasi kepergiannya. Kini
matanya merah.
Si orang tua menepuk bahunya. “Apakah kau merasa
sedih?”
Sahut Sun Sio-ang, “Tidak.”
Si orang tua terkekeh. Suaranya lembut dan
menenangkan hati. Katanya, “Gadis bodoh. Kau pikir
kakekmu tidak mengerti isi hatimu?”
Sun Sio-ang menggigit bibirnya. Ia tidak bisa menahan
rasa ingin tahunya, “Kalau kakek tahu, mengapa kakek
memisahkan kami?”

691
Sahut si orang tua, “Kau harus menyadari, tidak mudah
mendapatkan laki-laki seperti Li Sun-Hoan. Jika kau
menginginkannya, kau harus berjuang untuk merebut
hatinya. Itu bukan pekerjaan mudah. Kau harus
melakukannya perlahan-lahan. Kalau tidak ia malah akan
segera lari ketakutan.”
Walaupun sepertinya Li Sun-Hoan berkeputusan bulat
untuk pergi, dalam hatinya rasa sakit masih bergelora.
Ia tidak tahu kapan ia dapat bertemu lagi dengan Lim Siim.
Sangat menyakitkan untuk bertemu dengannya, sangat
menyakitkan untuk meninggalkannya.
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, ia hanya bertemu
dengannya tiga kali. Ketiga kali itu, ia hanya
memandangnya sepintas, bahkan ada kali ketika ia tidak
berbicara padanya sama sekali. Tapi ada benang yang
mengikat hati Li Sun-Hoan. Dan Lim Si-imlah yang
memegang benang itu. Jika ia dapat memandangnya,
jika ia tahu dia dekat, ia sudah sangat puas.
Bab 38. Nenek dan Cucunya
Angin musim gugur menerpa wajahnya. Cuaca sudah
seperti musim dingin.
Sisa-sisa musim gugur hanya terasa sedikit saja.
Hati Li Sun-Hoan pun seperti musim gugur, sedikit demi
sedikit layu.

692
“Kau hanya memperkeruh suasana jika kau tinggal….”
Kata-kata si orang tua terus berdengung di telinganya.
Ia menyadari bahwa ia tidak hanya tak boleh
menemuinya lagi, ia tak boleh berpikir tentang Lim Si-im.
Si orang tua adalah orang yang sungguh bijaksana. Ia
juga seorang yang misterius. Seorang pesilat tangguh. Ia
pun tahu segala sesuatu yang terjadi di dunia ini.
Tapi siapakah dia sebenarnya? Apakah yang
disembunyikannya?
Li Sun-Hoan mengagumi Si Bungkuk Sun.
Siapa saja yang bersedia mengelap meja selama lima
belas tahun untuk membalas budi, ia patut dikagumi.
Tapi apakah yang sebenarnya dikerjakannya?
Apa yang dijaganya?
Dan tentang Sun Sio-ang…. Bagaimana mungkin ia tidak
tahu perasaan gadis itu?
Namun ia tidak dapat menerimanya. Ia takut untuk
menerimanya.
Satu keluarga ini sungguh penuh dengan misteri. Penuh
rahasia sampai terasa menakutkan….
***

693
Sebuah desa di atas gunung.
Di kaki gunung itu ada sebuah warung arak.
Araknya tidak lezat, namun sangat menyegarkan. Pasti
dibuat dengan air dari sumber mata air dekat situ.
Mata air itu ada di balik gunung, sangat jernih. Li Sun-
Hoan tahu, jika ia mengikuti aliran air itu, ia akan sampai
di sebuah rumah kayu di dalam hutan.
A Fei dan Lim Sian-ji tinggal di rumah itu.
Muka Li Sun-Hoan berseri-seri saat ia membayangkan
wajah A Fei yang rupawan. Matanya yang tajam Tan
Okkspresi wajahnya gagah.
Dan yang lebih tak terlupakan adalah senyumannya yang
jarang terlihat, kehangatan yang tersembunyi di balik
sikapnya yang dingin.
Ia tidak tahu seberapa banyak A Fei sudah berubah
dalam dua tahun ini.
Ia tidak tahu bagaimana Lim Sian-ji telah
memperlakukan A Fei.
Walaupun wajahnya bagaikan malaikat, ia hanya tahu
cara menarik laki-laki ke lembah neraka yang paling
dalam.
Jadi apakah kini A Fei sudah jatuh ke neraka?

694
Li Sun-Hoan tidak ingin memikirkan hal itu, karena ia
memahami A Fei. Ia tahu bahwa A Fei tidak akan
keberatan hidup di neraka demi cintanya.
Hari telah mulai senja.
Li Sun-Hoan duduk di sudut gelap warung arak itu.
Ini sudah menjadi kebiasaannya, karena dari situ ia
dapat melihat dengan jelas siapa yang masuk, namun
orang lain tidak dapat melihatnya dengan jelas.
Ia tidak dapat mempercayai matanya, sebab yang
pertama masuk adalah Siangkoan Hui.
Ia duduk di meja yang paling dekat dengan pintu.
Matanya menatap ke luar, sepertinya ia sedang
menunggu seseorang. Ia menunggu dengan tidak sabar.
Ini sungguh berbeda dari penampilannya yang dingin dan
tenang saat terakhir kali Li Sun-Hoan melihatnya.
Kelihatannya ia akan menemui seseorang yang cukup
penting. Ia juga datang sendiri, tanpa satu orang pun
pelayan, yang artinya, pertemuan ini adalah pertemuan
yang rahasia.
Sepertinya tidak ada orang yang begitu penting yang
tinggal di tempat terpencil seperti ini.
Lalu siapakah yang dinanti-nantikannya?
Apakah ada hubungannya dengan A Fei dan Lim Sian-ji?

695
Li Sun-Hoan menangkupkan tangan menutupi wajahnya.
Sebenarnya itu tidak perlu, karena mata Siangkoan Hui
tidak pernah lepas dari pintu itu.
Akhirnya si penjaga warung menyalakan lilin.
Sikap Siangkoan Hui makin tidak sabar, semakin tampak
kesal.
Saat itulah, dua buah tandu muncul di depan pintu.
Orang-orang yang mengangkat tandu itu adalah
beberapa pemuda gagah.
Seorang gadis yang berusia 13 atau 14 tahun yang
sangat menarik turun dari tandu yang pertama. Ia
mengenakan jubah berwarna merah.
Siangkoan Hui baru saja mengangkat cawannya, lalu
segera diletakkannya kembali.
Gadis muda ini berjalan menuju Siangkoan Hui dan
berkata, “Maaf, sudah membiarkan kau menunggu.”
Mata Siangkoan Hui berputar. Ia bertanya, “Di manakah
dia? Apakah ia tidak bisa datang?”
Si gadis berjubah merah tersenyum dan menjawab,
“Jangan kuatir. Mari ikut aku.”
Siangkoan Hui keluar dari warung itu dan naik ke tandu
yang kedua. Li Sun-Hoan mengawasi kepergian mereka
dan merasa ada sesuatu yang aneh.

696
Pemuda-pemuda pengangkat tandu itu berbadan kekar.
Mereka tidak kesulitan sama sekali mengangkat tandu
yang pertama.
Namun para pemikul tandu yang kedua sangat bersusahpayah
mengangkat tandu itu.
Li Sun-Hoan segera membayar dan pergi.
Biasanya ia tidak suka ikut campur urusan orang, namun
kali ini ia merasa perlu untuk membuntuti Siangkoan Hui,
untuk mengetahui siapakah yang akan ditemuinya.
Perasaan Li Sun-Hoan, ini pasti ada hubungannya
dengan A Fei.
Tandu-tandu itu masuk ke dalam hutan maple.
Tiba-tiba terdengar suara tawa dari tandu itu.
Suara tawa itu sangat halus dan merdu. Setiap laki-laki
yang mendengarnya pasti akan tergerak hatinya.
Jika orang yang berada di dalam tandu adalah Siangkoan
Hui, mengapa suara tawa yang terdengar adalah suara
tawa seorang wanita?
Selang sejenak, kembali tersiar suara genit yang
menggetar sukma, "Jangan, Hui cilik ... jangan begini ...
tidak boleh di sini ...."
Lalu terdengar suara Siangkoan Hui dengan napas
terengah, "Sungguh aku tidak tahan lagi, aku ... aku

697
tidak sanggup menunggu, kau tahu betapa kurindukan
dirimu?"
"Kiranya kau pun serupa lelaki lain, merindukan diriku
adalah karena ingin menganiaya diriku."
"Betul juga ucapanmu, aku justru ingin menganiaya
dirimu, sebab kutahu kau suka dianiaya lelaki, betul tidak
... betul ...."
Sengal napas bertambah keras, tapi suara ucapannya
tambah rendah, "Ya, ya, boleh ... boleh kau aniaya diriku
...."
Suara itu terdengar makin lama makin halus, sampai Li
Sun-Hoan tidak dapat mendengarnya lagi.
Tandu itu sampai di puncak bukit.
Li Sun-Hoan mendesah.
Jadi ada dua orang dalam tandu itu.
Yang satu adalah Siangkoan Hui.
Tapi siapakah sang wanita?
Ia cukup berpengalaman dalam hal wanita. Ia tahu
banyak wanita yang suka bicara, namun hanya sedikit
yang dapat merayu pria dengan cara itu.
Ia hampir dapat meneriakkan nama wanita dalam tandu
itu.

698
Namun sekarang belum bisa, karena ia belum begitu
yakin.
Ia memang tidak pernah gegabah, karena ia tidak ingin
membuat keputusan yang salah lagi. Satu saja keputusan
yang salah rasanya sudah terlalu banyak.
Satu keputusannya yang salah, dan ia telah merusak
hidupnya, dan hidup orang lain juga.
Tandu itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah
kecil. Pemuda-pemuda pengangkat tandu yang kedua,
menyeka keringat yang membasahi wajah mereka.
Gadis muda dari tandu yang pertama turun dan berjalan
ke arah pintu rumah itu.
Tok, tok, tok. Ia mengetuk tiga kali dan pintu itu pun
dibuka.
Seseorang turun dari tandu yang kedua.
Seorang wanita.
Li Sun-Hoan tidak dapat melihat wajahnya, namun
pakaian dan rambut wanita itu kusut. Tubuhnya sungguh
elok dan gerakannya gemulai.
Sepertinya Li Sun-Hoan kenal dengan wanita ini.
Ia berjalan ke arah pintu, lalu melambai ke arah
Siangkoan Hui yang masih berada di tandu sebelum
masuk ke dalam rumah itu.

699
Li Sun-Hoan melihat separuh dari wajah itu.
Kini dia yakin siapa wanita ini.
Memang betul, dia adalah Lim Sian-ji!
Kalau Lim Sian-ji tinggal di sini, di manakah A Fei?
Li Sun-Hoan ingin segera memburu dan menanyakannya,
namun ia menahan diri.
Ia bukan laki-laki yang baik, namun ia akan melakukan
apa yang tidak akan atau tidak ingin dilakukan oleh ‘lelaki
baik-baik’.
Caranya menghadapi masalah kadang-kadang tidak
dapat dimengerti banyak orang.
Walaupun banyak orang di dunia ini yang menginginkan
kematiannya, tidak sedikit pula orang yang bersedia
kehilangan nyawa mereka untuk menyelamatkannya.
Kini hari sudah gelap.
Li Sun-Hoan masih menanti di luar.
Selama menunggu, ia berpikir akan banyak hal.
Ia teringat saat pertama berjumpa dengan A Fei.
Ia tidak kesepian saat itu karena Thi Toan-kah ada
bersama dengan dia.

700
Lalu ia pun teringat pada Thi Toan-kah. Wajahnya yang
begitu setia dan lembut hati, juga tubuhnya yang sekuat
baja….
Sayangnya, walaupun dadanya sekuat baja, hatinya
begitu lembut, begitu mudah tersentuh. Oleh sebab
itulah, ia lebih sering merasa sedih daripada bahagia.
Selagi berpikir dan berpikir, Li Sun-Hoan tiba-tiba ingin
minum arak lagi.
Ia mengeluarkan botol araknya dan minum sampai habis.
Lalu ia mulai terbatuk-batuk.
Saat itu pintu rumah terbuka lagi. Siangkoan Hui keluar
dengan wajah berseri-seri bahagia, namun tampak agak
lelah.
Sebuah tangan keluar dan menggapai tangan Siangkoan
Hui.
Terdengar suara berbisik-bisik, mungkin bisikan selamat
tinggal.
Sampai cukup lama, akhirnya kedua tangan yang bertaut
itu pun terlepas.
Siangkoan Hui berjalan perlahan-lahan, sebentarsebentar
menoleh ke belakang. Sepertinya ia tidak rela
pergi dari situ.
Pintu pun tertutup.

701
Siangkoan Hui menengadah menatap langit. Langkahnya
menjadi semakin cepat, wajahnya terlihat aneh, kadang
tersenyum, kadang mengeluh.
Apakah ia pun sudah jatuh ke neraka?
Cahaya dalam rumah remang-remang, membuat jendela
kertas berwarna kemerahan.
Akhirnya Siangkoan Hui pergi dari situ. Li Sun-Hoan
merasa sangat prihatin terhadap pemuda ini.
Li Sun-Hoan menghela nafas dan berjalan ke arah rumah
itu.
Tok. Li Sun-Hoan mengetuk sekali. Tok,tok, lalu ia
mengetuk lagi dua kali berturut-turut, sama seperti cara
gadis berjubah merah tadi mengetuk pintu.
Pintu memang dibuka.
Seseorang berkata, “Kau….”
Ia hanya mengatakan sepatah kata itu sebelum melihat
Li Sun-Hoan. Lalu ia segera berusaha menutup pintu itu
kembali.
Namun Li Sun-Hoan telah menghalangi pintu itu.
Orang yang membuka pintu bukanlah Lim Sian-ji, bukan
juga si gadis berjubah merah, namun seorang nenek
berambut putih.

702
Ia memandang Li Sun-Hoan dengan ketakutan dan
bertanya, “Si…Siapakah engkau? Apa yang kau kerjakan
di sini?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku datang untuk bertemu teman
lama.”
Si nenek bertanya, “Teman lama? Siapakah teman
lamamu?”
Li Sun-Hoan tersenyum dan menjawab, “Ia akan tahu
kalau ia melihatku.”
Seraya berbicara, ia masuk ke dalam kamar.
Si nenek takut menghalanginya, namun ia berteriak,
“Tidak ada temanmu di sini. Yang ada di sini hanya aku
dan cucuku.”
Ada tiga kamar di rumah itu,. Lim Sian-ji tidak tampak di
ketiga kamar itu.
Si gadis berjubah merah menggigil ketakutan dan
wajahnya pucat seperti kertas. Ia berseru, “Nenek?
Apakah dia perampok?”
Si nenek pun sangat ketakutan dan tidak bisa menjawab.
Li Sun-Hoan tidak tahu apakah ia harus tertawa atau
menangis. Ia akhirnya bertanya, “Apakah aku kelihatan
seperti seorang perampok?”

703
Si gadis menggigit bibirnya dan berkata, “Kalau kau
bukan perampok, mengapa kau memaksa masuk rumah
kami malam-malam buta seperti ini?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku datang untuk menemui Nona
Lim.”
Setelah melihat Li Sun-Hoan bicara baik-baik, si gadis
pun berkurang ketakutannya. Ia mengejapkan matanya
dan berkata, “Tidak ada Nona Lim di sini. Yang ada Nona
Ciu.”
Apakah itu nama samaran Lim Sian-ji?
Li Sun-Hoan segera bertanya, “Di manakah Nona Ciu?”
Si gadis menuding hidungnya sendiri dan berkata, “She
ku Ciu. Maka sudah tentu akulah Nona Ciu.”
Li Sun-Hoan pun tersenyum.
Ia merasa seperti orang tolol.
Si gadis pun kelihatannya menikmati pertunjukan ini.
Katanya lagi, “Namun aku tidak mengenalmu sama
sekali. Mengapa kau datang untuk mencariku?”
Li Sun-Hoan tersenyum getir, katanya, “Aku mencari
seorang gadis dewasa, bukan gadis kecil.”
Sahut si gadis, “Tidak ada gadis dewasa di sini.”

704
Tanya Li Sun-Hoan, “Maksudmu tidak ada orang yang
baru saja datang ke rumah ini?”
Kata si gadis, “Tentu saja, ada beberapa orang pernah
datang….”
Li Sun-Hoan langsung memotong, “Siapa?”
Sahut si gadis, “Nenek dan aku. Kami baru saja kembali
dari kota.”
Si gadis memutar matanya, dan menambahkan, “Hanya
kami berdua yang tinggal di sini. Aku adalah yang kecil,
nenek adalah yang dewasa. Namun sudah lama nenek
bukan gadis lagi. Jadi kau tak mungkin mencari beliau
bukan?”
Li Sun-Hoan tersenyum lagi.
Ia merasa, ia banyak tersenyum kalau ia merasa tolol.
Ia merasa yakin bahwa Lim Sian-ji masuk ke rumah itu.
Apakah ia hanya bermimpi?
Apakah wanita dalam tandu itu adalah si nenek ini?
Si nenek tiba-tiba berlutut dan memohon-mohon, “Kami
hanya orang miskin dan tidak ada barang berharga di
sini. Jika kau menginginkan sesuatu, cepat ambillah dan
tinggalkan kami.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Baik.”

705
Ada sebotol arak di atas meja.
Disambarnya botol itu dan segera melangkah ke luar.
Terdengar suara gadis itu menggumam, “Oh, jadi dia
memang bukan perampok. Hanya seorang pemabuk.”
Bab 39. A Fei
Bulan masih tergantung di langit malam.
Air terjun di bawah sinar bulan tampak berkilauan
bagaikan perak.
Li Sun-Hoan mengikuti aliran air, berjalan perlahanlahan.
Ia tidak ingin sampai di rumah A Fei sebelum
fajar, supaya tidak mengganggu tidurnya.
Ia tidak suka mengganggu orang lain.
Namun siapapun boleh mengganggunya, setiap saat. Ia
tidak akan marah.
Si nenek tidak mungkin adalah Lim Sian-ji yang
menyamar.
Jadi di manakah Lim Sian-ji?
Li Sun-Hoan mengucek-ucek matanya, “Apakah aku
sudah gila?”
Akhirnya matahari pun terbit di ufuk timur. Musim gugur
sudah hampir berlalu, dan bunga Bwe mulai bermekaran.

706
Jauh di dalam hutan itu terdapat sebuah rumah kayu.
Li Sun-Hoan memandangi hutan itu seperti orang tolol.
Dekat pohon-pohon Bwe itulah sumber mata air sungai
itu.
Air itu mengalir dari atas gunung, melewati hutan itu.
Pemandangan itu tampak seperti lukisan.
Dalam lukisan itu tampak sosok seseorang.
Li Sun-Hoan tidak dapat melihat wajah orang itu, namun
terlihat ia berpakaian rapi. Ia mengenakan jubah baru
berwarna hijau dan rambutnya pun tersisir rapi.
Ia memikul ember berisi air dari dalam hutan ke dalam
rumah kayu itu.
Bentuk tubuh orang itu serupa dengan A Fei, namun Li
Sun-Hoan tidak yakin betul bahwa orang itu adalah A Fei.
Ia segera bergegas menuju rumah itu.
Pintunya terbuka dan di dalamnya tidak ada suatu
kemewahan sama sekali. Namun segala sesuatu bersih
mengkilap.
Terlihat sebuah meja persegi model lama untuk makan 8
orang. Si pemuda berjubah hijau itu mengambil lap dari
embernya dan mulai menggosok meja.

707
Ia menggosok meja itu lebih perlahan dan lebih telaten
daripada Si Bungkuk Sun. Seolah-olah ia tidak ingin ada
sebutir debu pun yang menempel di situ.
Li Sun-Hoan berjalan menghampirinya dari belakang.
Punggung orang itu serupa benar dengan punggung A
Fei.
Tapi ia tidak mungkin A Fei.
Li Sun-Hoan sama sekali tidak bisa membayangkan A Fei
menggosok meja. Ia hanya ingin bertanya kepada orang
ini di manakah A Fei.
Li Sun berdehem, dan berharap orang ini menoleh.
Gerak refleks orang ini sangat lamban, tapi akhirnya ia
menoleh juga.
Li Sun-Hoan terhenyak.
Orang yang tidak mungkin A Fei ini ternyata….adalah A
Fei.
Wajah A Fei tidak berubah. Matanya masih besar,
hidungnya masih lurus. Ia masih terlihat tampan, bahkan
lebih tampan dari sebelumnya.
Namun ekspresinya telah berubah. Berubah sama sekali.
Ia telah kehilangan daya tariknya, kegagahannya,
kemurungannya. Ia kini tampak lemah, tampak kaku.

708
Ia mungkin terlihat lebih tampan dan lebih resik
sekarang, namun karismanya sudah lenyap tak berbekas.
Apakah orang ini betul-betul A Fei?
Li Sun-Hoan tidak bisa terima, sungguh tidak bisa terima
bahwa pemuda rapi dengan lap itu adalah A Fei yang
dikenalnya!
A Fei juga melihat Li Sun-Hoan.
Sepertinya ia tidak mengharapkan orang yang datang itu
adalah Li Sun-Hoan. Mukanya mengejang. Perlahanlahan
ia tersenyum…..untungnya senyumnya belum
berubah.
Li Sun-Hoan pun tersenyum.
Walaupun wajahnya tersenyum, hatinya merosot ke
bawah.
Mereka hanya saling pandang sambil tersenyum. Tidak
ada yang bergerak atau bicara, namun mata mereka
mulai basah dan memerah…. Setelah sekian lama,
akhirnya A Fei berkata, “Ternyata kau.”
Kata Li Sun-Hoan, “Ya, ini aku.”
“Kau akhirnya datang.”
“Ya, akhirnya aku datang.”
“Aku tahu kau akan datang.”

709
Mereka berbicara perlahan-lahan dengan suara serak.
Sampai di situ, keduanya kembali terdiam.
Namun saat itu, A Fei menghambur ke luar dan Li Sun-
Hoan menghambur ke dalam. Kedua orang ini bertemu di
tengah, hampir bertabrakan. Mereka berjabat tangan
dengan hangat.
Keduanya hampir berhenti bernafas. Lalu Li Sun-Hoan
berkata, “Apa kabarmu dua tahun ini?”
A Fei mengangguk-anggukkan kepalanya dan menjawab,
“A….Aku baik. Kau bagaimana?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Aku? Ah, sama saja.”
Ia mengambil botol arak dan tersenyum sambil berkata,
“Lihat, aku masih saja minum. Bahkan sepertinya
batukku sudah habis tersapu oleh arak yang kuminum.
Kau….”
Sebelum ia bisa meneruskan, Li Sun-Hoan sudah
terbatuk-batuk lagi.
A Fei hanya memandangnya tanpa suara. Setitik air mata
mengambang di sudut matanya.
Tiba-tiba terdengar suara, “Hei, mengapa kau tidak
persilakan Li-heng duduk? Tidak sopan mengajak tamu
mengobrol sambil berdiri.”
Akhirnya Lim Sian-ji muncul.

710
Ia pun sama sekali tidak berubah.
Ia masih tetap begitu muda, begitu cantik. Senyumnya
masih sangat menawan, sangat manis. Matanya masih
bercahaya bagai bintang di langit.
Ia berdiri di situ menatap Li Sun-Hoan dengan hangat.
Lalu ia berkata dengan lembut, “Sudah hampir dua
tahun. Mengapa kau tidak datang lebih cepat? Apakah
kau sudah lupa akan kami?”
Ia berbicara seakan-akan Li Sun-Hoan sudah tahu lama
tentang tempat ini, hanya belum punya waktu untuk
berkunjung.
Li Sun-Hoan tersenyum dan menyahut, “Bagaimana aku
bisa datang jika kau tidak menyiapkan tandu untuk
mengantarku ke sini?”
Lim Sian-ji mengejapkan matanya dan berkata, “Kini kau
bicara tentang tandu. Aku jadi ingin naik tandu suatu hari
nanti. Hanya ingin tahu bagaimana rasanya.”
Mata Li Sun-Hoan bersinar, tanyanya, “Kau belum pernah
naik tandu?”
Lim Sian-ji menunduk dan berbisik, “Bagaimana mungkin
orang seperti aku sanggup membayar kemewahan
macam itu?”
Kata Li Sun-Hoan, “Namun aku melihat seseorang naik
tandu semalam. Orang itu mirip benar denganmu.”

711
Matanya menatap Lim Sian-ji lekat-lekat.
Sedikit pun Lim Sian-ji tidak menunjukkan rasa panik. Ia
hanya tersenyum. “Kalau begitu pasti aku ngeLimdur
semalam….ya kan?”
Pertanyaan ini ditujukan pada A Fei.
A Fei langsung berkata, “Ia selalu tidur awal setiap
malam. Ia tidak pernah keluar setelah hari gelap.”
Li Sun-Hoan merasa hatinya dipeLimtir.
Ia tahu bahwa A Fei tidak akan berbohong padanya.
Namun jika Lim Sian-ji memang ada di rumah, siapakah
wanita dalam tandu itu?
Lim Sian-ji berjalan ke sisi A Fei dan merapikan
jubahnya. Dengan hangat ia bertanya, “Apakah nyenyak
tidurmu semalam?”
A Fei hanya mengangguk.
Lim Sian-ji berkata lagi, “Ajaklah Li-heng jalan-jalan
sementara aku memasak.”
Lim Sian-ji memandang Li Sun-Hoan dan berkata, “Bunga
Bwe sudah mulai bermekaran. Aku tahu bunga Bwe
adalah kesukaan Li-heng , bukan?”
***
Cara berjalan A Fei pun sudah berubah.

712
Dulu tubuhnya selalu tegak dan otot-ototnya rileks.
Orang lain menganggap berjalan adalah suatu beban,
namun bagi A Fei adalah relaksasi.
Tapi kini tubuhnya tidak lagi tegak. Pikirannya seperti
ada pada hal lain yang membuatnya merasa gelisah.
Jadi otot-ototnya pun tidak bisa rileks.
Setelah berjalan beberapa lama, Li Sun-Hoan tetap diam.
Ia tidak tahu harus bicara apa.
Ia ingin sekali bertanya pada A Fei, “Mengapa kau
datang ke sini? Apakah Lim Sian-ji telah mengubah
kebiasaannya? Apa jadinya dengan harta yang
dirampoknya?”
Namun satu pertanyaan pun tidak diucapkannya.
Ia tidak ingin membangkitkan kenangan lama A Fei.
Setelah sekian lama, akhirnya A Fei bicara. “Aku minta
maaf.”
Li Sun-Hoan mendesah dan berkata, “Kau berpura-pura
menjadi Bwe-hoa-cat untuk menyelamatkan aku. Kau
bersedia mengorbankan hidupmu demi aku. Mengapa
kau minta maaf?”
A Fei tidak menggubris. Ia hanya melanjutkan,
“Seharusnya aku berpamitan sebelum pergi.”

713
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tahu kau pasti punya alasannya.
Aku tidak menyalahkanmu.”
Kata A Fei, “Aku tahu aku sudah berbuat kesalahan,
namun aku sungguh tidak dapat membunuhnya. A…Aku
tidak dapat meninggalkannya.”
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Cinta adalah
kodrat manusia. Tidak ada yang salah dengan cinta.
Mengapa kau menyalahkan dirimu sendiri karena kau
jatuh cinta?”
Sahut A Fei, “Ta…..Tapi….”
Tiba-tiba ia menjadi sangat emosional dan berseru, “Tapi
aku merasa telah bersalah padamu dan juga pada para
korban Bwe-hoa-cat .”
Li Sun-Hoan terdiam sejenak, lalu bertanya dengan
curiga, “Tapi ia sudah berubah, bukan?”
Sahut A Fei, “Sebelum kami pergi, ia telah
mengembalikan semua hasil rampokannya kepada
pemiliknya yang sah.”
Kata Li Sun-Hoan, “Lalu apa lagi yang salah? Tiap orang
berhak mendapat kesempatan kedua.”
Li Sun-Hoan tidak ingin melanjutkan topik ini lagi,
sehingga ia berkata, “Lihat, bunga Bwe sudah mulai
bermekaran.”
Sahut A Fei pendek, “Ya.”

714
Li Sun-Hoan bertanya, “Kau tahu ada berapa banyak
bunga di pohon itu?”
“Tujuh belas.”
Maka wajah Li Sun-Hoan pun menjadi murung, sama
seperti hatinya.
Dulu ia pun pernah menghitung bunga-bunga Bwe.
Hanya orang yang sangat kesepian yang menghitung
bunga-bunga Bwe.
A Fei mengangkat kepalanya dan berkata, “Lihat, ada
satu lagi yang mulai mekar. Mengapa mereka mekar
begitu cepat? Lebih cepat mereka mekar, lebih cepat
mereka mati.”
***
Rumah kayu itu mempunyai lima kamar. Satu ruang
duduk, satu gudang, satu dapur dan dua kamar dengan
tempat tidur.
Kamar tidur yang besar berdekorasi sangat anggun. Di
dalamnya terdapat meja rias yang cukup besar.
Kata A Fei, “Lim Sian-ji tidur di sini.”
Kamar yang kecil juga sangat bersih, namun begitu
sederhana.
Kata A Fei, “Ini kamarku.”

715
Li Sun-Hoan terkejut dalam hatinya.
Ia baru tahu bahwa selama dua tahun ini, A Fei dan Lim
Sian-ji tidur di kamar yang terpisah. Dan A Fei adalah
pemuda normal.
Ia sungguh terkejut, namun ia sangat mengagumi A Fei.
A Fei tersenyum dan berkata, “Kau pasti heran kalau
mendengar bahwa aku tidur sangat banyak dalam dua
tahun ini.”
“O ya?”
Kata A Fei, “Aku selalu pergi tidur tepat setelah hari
mulai gelap, dan tidurku nyenyak sekali sampai keesokan
paginya. Aku tidak pernah terjaga sedikit pun di tengah
malam.”
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Kalau hidupmu
teratur, tidak heran kau bisa tidur nyenyak.”
Bab 40. Tidak Setia
Kata A Fei, “Aku sudah hidup damai sejahtera dua tahun
ini…. Aku belum pernah merasa sedamai ini. Ia…. Ia
begitu baik padaku.”
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Aku gembira
mendengarnya. Aku sungguh gembira….”

716
Ia tidak ingin A Fei merasa bahwa senyumnya tidak
wajar, jadi sambil berbicara ia memaLingkan wajahnya.
Ia memandang ke sekelilingnya dan bertanya, “Di mana
pedangmu?”
Jawab A Fei, “Aku sudah tidak menggunakan pedang.”
Li Sun-Hoan sungguh terkejut dan bertanya, “Kenapa?”
Sahut A Fei, “Pedang adalah senjata, dan itu hanya akan
membangkitkan kenangan lama.”
Tanya Li Sun-Hoan, “Apakah ia membujukmu untuk
melakukan ini?”
Sahut A Fei, “Ia juga bersedia meninggalkan semua
masa lalunya, supaya kami bisa memulai hidup baru kami
dengan bersih.”
Li Sun-Hoan mengangguk-angguk. “Baik. Baik. Baik….”
Ia ingin bicara lagi, namun tiba-tiba suara Lim Sian-ji
terdengar berseru dari dalam rumah, “Makan siang
sudah siap. Mari masuk untuk makan.”
Jenis masakannya tidak banyak, namun semuanya
masakan istimewa.
Ia sungguh heran Lim Sian-ji dapat mempersiapkan
masakan seperti ini.
Selain makanan, di meja pun ada botol arak. Namun
isinya adalah teh.

717
Kata Lim Sian-ji, “Di tempat terpencil seperti ini, kita
tidak punya arak. Kami hanya dapat menyiapkan teh
untukmu.”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Untungnya, aku bawa arak
sendiri….”
Ia mencari-cari ke sekelilingnya, dan akhirnya
ditemukannya botol arak yang dibawanya. Ia menuang
ke cawannya, lalu berkata pada A Fei, “Mari, kutuangkan
secawan untukmu.”
A Fei diam saja.
Tiba-tiba ia berkata, “Aku sudah tidak minum arak lagi.”
Li Sun-Hoan kembali terperanjat dan berkata, “Tidak
minum arak lagi? Kenapa?”
Wajah A Fei tampak kaku.
Kata Lim Sian-ji, “Alkohol tidak baik untuk tubuh. Apakah
bukan begitu, Li-heng ?”
Li Sun-Hoan berpikir sejenak dan berkata, “Betul sekali.
Jika kau terus minum arak, mungkin kau akan jadi
seperti aku. Jika aku dapat kembali ke sepuluh atau dua
puluh tahun yang lalu, mungkin aku pun tidak akan
minum arak.”
A Fei hanya menunduk dan mulai makan.

718
Ia tidak berkonsentrasi pada makanannya. Ia menyumpit
sebuah bakso, tapi bakso itu terlepas dan jatuh ke meja.
Kata Lim Sian-ji, “Lihat, kau seperti anak kecil saja. Tidak
hati-hati.”
A Fei memungut bakso itu.
Kata Lim Sian-ji lagi, “Kau masih mau makan barang
yang sudah jatuh ke meja?”
Ia mengambil bakso yang lain dan menyuapkannya ke
mulut A Fei.
Makan malam lebih lezat lagi daripada makan siang.
Li Sun-Hoan tidur di kamar A Fei dan A Fei tidur di ruang
duduk.
Lim Sian-ji secara khusus menyiapkan seprai yang baru
dan bersih untuk A Fei dan menaruh baju tidur bersih di
atas tempat tidurnya.
“Aku suka Fei sayangku ganti baju setiap hari.”
Sebelum pergi tidur, ia mengambil air dan mengawasi A
Fei mencuci mukanya. Sesudah itu, ia mengambil handuk
dan menyeka wajah dan telinga A Fei.
Ketika A Fei berbaring untuk tidur, ia memastikan selimut
A Fei terpasang rapi menutupi tubuhnya.
“Hari ini agak dingin, jangan sampai kau masuk angin.”

719
Ia melayani A Fei dalam segala hal. Mungkin seorang ibu
pun tidak melayani anaknya setelaten ini.
Seharusnya A Fei sangat berbahagia.
Namun Li Sun-Hoan tidak tahu apakah A Fei sebenarnya
sedih atau bahagia.
Ia pun tidak tahu apakah keadaan ini lucu atau
menyedihkan.
A Fei segera terlelap.
Namun Li Sun-Hoan tidak bisa tidur. Ia tidak pernah
pergi tidur seawal ini sejak ia berusia tiga tahun. Ia tidak
bisa tidur seawal ini sekalipun jiwanya terancam.
Kamar Lim Sian-ji pun sudah sepi. Sepertinya ia pun
sudah tidur.
Li Sun-Hoan mengenakan jubahnya dan keluar dari
kamarnya.
Ia ingin berbincang-bincang dengan A Fei.
Namun tidur A Fei sangat pulas. Ia sudah mengguncangguncang
A Fei, namun pemuda itu terus tidur.
Bahkan seekor babi pun tidak mungkin tidur seperti ini,
apalagi A Fei yang selalu siaga.
Li Sun-Hoan berdiri memandangi A Fei. Tiba-tiba ia
teringat sesuatu.

720
“Ia selalu pergi tidur awal setiap malam…. Ia tidak
pernah pergi keluar sesudah gelap.”
“Tiap malam aku tidur tepat setelah hari mulai gelap, dan
tidak pernah terbangun sampai keesokan paginya.”
Li Sun-Hoan ingat bahwa mereka makan sup iga babi
malam itu. Masakan itu sangat sedap dan A Fei makan
banyak. Lim Sian-ji juga membujuk Li Sun-Hoan makan
sup itu banyak-banyak.
Tapi dalam sup itu ada rebung dan Li Sun-Hoan tidak
suka rebung. Namun ia bukan jenis orang yang suka
menampik kebaikan hati orang.
Jadi ia memberikan supnya pada A Fei sewaktu Lim Sianji
pergi ke dapur untuk memeriksa makanan.
Ia teringat bahwa waktu Lim Sian-ji kembali, ia
tersenyum melihat mangkuk Li Sun-Hoan yang telah
kosong.
Obat tidur apa yang ada dalam sup itu?
Ternyata A Fei tidur nyenyak setiap malam karena obat
tidur.
Tentunya ia tidak akan tahu apa yang dilakukan Lim
Sian-ji di malam hari.
Tapi kenapa Lim Sian-ji tidak menaruh racun dalam
makanan itu?

721
Ah, tentu saja karena A Fei masih berguna untuknya.
Li Sun-Hoan menjadi amat berang. Ia memutar
badannya dan menggedor pintu kamar Lim Sian-ji kuatkuat.
Tidak ada jawaban.
Li Sun-Hoan belum pernah menendang pintu kamar
orang sebelumnya.
Namun hari ini ia membuat pengecualian.
Tidak ada seorang pun dalam kamar itu. Ke mana
perginya Lim Sian-ji?
Li Sun-Hoan merasa, pasti Lim Sian-ji berada di rumah
yang ia datangi semalam.
Waktu ia tiba di sana, ia menimbang-nimbang apakah ia
sebaiknya menggerebek masuk atau tidak.
Waktu ia masih berpikir-pikir, tiba-tiba pintunya terbuka.
Seseorang keluar dari sana dan seperti Siangkoan Hui,
wajahnya berseri-seri bahagia walaupun nampak sedikit
lelah.
Cahaya di rumah itu menyinari wajahnya.
Li Sun-Hoan sebenarnya jarang terkejut, namun kali ini
hatinya terguncang melihat wajah orang itu.

722
Orang itu adalah Kwe ko-yang!
Terlihat tangan dari dalam menggenggam tangan Kwe
ko-yang.
Mereka sepertinya sedang saling membisikkan salam
selamat tinggal.
Setelah beberapa saat, akhirnya Kwe ko-yang pun pergi.
Ia berjalan perlahan-lahan dan beberapa kali menoleh ke
belakang, seolah-olah belum ingin pergi dari situ.
Namun pintu sudah tertutup.
Apakah ini adalah pintu ke surga atau ke neraka?
Li Sun-Hoan merasa sedih bercampur marah. Ia sedih
karena memikirkan A Fei, dan merasa marah untuk A Fei.
Ia belum pernah merasa marah seperti ini seumur
hidupnya.
Ia ingin segera muncul dan memberitakan semua
sandiwara ini, namun ia tidak melakukannya. Karena Kwe
ko-yang adalah sahabatnya, seorang pria sejati.
Ia melihat Kwe ko-yang menatap ke langit dan menghela
nafas panjang.
Setelah berjalan beberapa langkah, ia berhenti dan
berseru nyaring, “Siapa yang bersembunyi? Tunjukkan
dirimu!”

723
Kwe ko-yang memang betul-betul pesilat kelas atas.
Kesigapan dan kewaspadaannya jauh di atas Siangkoan
Hui.
Di mana pun ia berada, ia tetap berpikir jernih. Namun ia
pun tidak menyangka bahwa orang yang sedang
bersembunyi di situ adalah Li Sun-Hoan.
Warung arak di kaki gunung itu tidak jauh dari rumah itu.
Kedua orang ini tidak bicara banyak dalam perjalanan.
Mereka juga tidak membicarakan hal-hal yang tidak
perlu.
Namun beberapa hal harus dibicarakan cepat atau
lambat.
Mereka duduk di atas atap warung arak itu dan mulai
minum.
Li Sun-Hoan sudah pernah minum arak di berbagai
macam tempat, tapi baru kali ini di atas atap. Ia merasa,
tempat ini sangat cocok untuk minum arak.
Kini isi guci arak tinggal setengah.
Kwe ko-yang tiba-tiba berkata, “Kau…Kau pasti tahu apa
yang kulakukan dalam rumah itu, bukan?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tahu kau adalah seorang lakilaki
normal.”
Tanya Kwe ko-yang lagi, “Kau pun tahu siapa yang
berada dalam rumah itu, bukan?”

724
“Ya.”
Kata Kwe ko-yang, “Aku…..tidak sering datang ke sana.”
“O ya?”
“Aku hanya mengunjunginya di saat aku sedang jengkel.”
Li Sun-Hoan hanya mengangguk.
Kata Kwe ko-yang lagi, “Aku mengenal banyak wanita,
namun ialah yang terbaik.”
Tanya Li Sun-Hoan, “Tahukah kau orang macam apa
wanita itu?”
Kwe ko-yang minum arak seteguk lalu menyahut, “Aku
sudah kenal dia cukup lama.”
“Bagaimana ia memperlakukanmu?”
Sahut Kwe ko-yang, “Bagaimana ia memperlakukanku?
Wanita macam itu memperlakukan setiap pria sama saja.
Ia hanya melihat apakah pria itu berguna untuknya atau
tidak.”
“Jadi kau tahu dia hanya memanfaatkanmu?”
“Tentu saja. Tapi aku tidak keberatan, karena aku pun
memanfaatkannya. Tidak ada salahnya membayar sedikit
untuk kepuasan.”

725
Kata Li Sun-Hoan, “Memang cukup adil. Tapi….apakah
kau menyadari bahwa ini dapat menyakiti orang lain?”
“Siapa?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Tentu saja laki-laki yang sungguh
mencintainya.”
Kwe ko-yang mengeluh dan berkata, “Kadang-kadang
aku sungguh tidak mengerti mengapa wanita selalu
menyakiti pria yang paling mencintainya.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Mungkin karena wanita hanya dapat
menyakiti pria yang mencintainya. Jika pria itu tidak
mencintainya, ia tidak akan peduli apa pun yang
diperbuat wanita itu.”
Kwe ko-yang tersenyum dan berkata, “Sepertinya kau
sungguh mengerti tentang wanita.”
Kata Li Sun-Hoan, “Tidak ada seorang pria pun yang
mengerti tentang wanita. Jika seorang pria menyangka ia
mengerti, ia akan mendapatkan penderitaan yang
berlipat ganda dalam hidupnya.”
Kwe ko-yang terdiam beberapa saat sebelum bertanya,
“A Fei sungguh-sungguh mencintainya?”
“Ya.”
Kata Kwe ko-yang, “Aku tahu ia adalah sahabat A Fei dan
kau adalah sahabat A Fei.”

726
Li Sun-Hoan diam saja.
Lanjut Kwe ko-yang, “Namun aku bukan sahabat A Fei.
Aku bahkan belum pernah bertemu dengan dia.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Kau tidak perlu menjelaskan. Ini
bukan kesalahanmu.”
Kwe ko-yang terdiam lagi. Lalu bertanya, “Apakah A Fei
masih bersama dengan dia?”
“Ya.”
Li Sun-Hoan mendesah, lalu menambahkan, “Walaupun
A Fei mencintainya lebih daripada engkau, hubungan
mereka tidak seintim engkau dengan dia.”
Kwe ko-yang terbelalak. “Maksudmu mereka tidak
pernah…..”
Li Sun-Hoan tersenyum pahit. “Ia mau melakukannya
dengan semua laki-laki, kecuali A Fei.”
“Kenapa?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Karena A Fei menghormatinya dan
tidak pernah memaksa. Ia bagaikan seorang dewi bagi A
Fei. Lim Sian-ji ingin menjaga kesan ini.”
Lanjutnya, “Namun wanita dilahirkan untuk dicintai,
bukan untuk dihormati. Jika seorang pria menghormati
wanita yang tidak pantas dihormati, ia hanya akan
mendapatkan sakit hati dan penderitaan.”

727
Tanya Kwe ko-yang, “Jadi pria ini, A Fei, sungguh tidak
tahu apa yang dilakukan wanita ini?”
“Sama sekali tidak.”
“Mengapa tidak kau beritahukan padanya?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Walaupun aku memberitahu, ia tidak
akan percaya. Ketika seorang pria jatuh cinta, telinganya
menjadi tuli, matanya menjadi buta. Bahkan seorang
pandai akan menjadi bodoh.”
Kata Kwe ko-yang, “Kau ingin aku yang memberitahu
padanya?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Ia adalah seorang pemuda yang
hebat. Ia pun adalah sahabatku. Aku tidak ingin ia
menyia-nyiakan hidupnya demi wanita semacam itu.”
Kwe ko-yang diam saja.
Kata Li Sun-Hoan lagi, “Aku belum pernah minta tolong
sebelumnya, namun kini….”
Kwe ko-yang memotongnya cepat, “Tapi….apakah dia
akan percaya padaku?”
Kata Li Sun-Hoan, “Setidaknya Lim Sian-ji tidak bisa
menyangkal hubungannya denganmu.”
Kwe ko-yang bangkit berdiri dan berkata, “Baik. Aku ikut
denganmu.”

728
Li Sun-Hoan menjabat tangannya erat-erat dan berkata,
“Terima kasih. Aku yakin kau pun akan bersahabat karib
dengan A Fei.”
Kata Kwe ko-yang, “Aku cuma butuh satu sahabat. Aku
sudah begitu berterima kasih bisa mendapatkan sahabat
seperti engkau.”
***
Rumah kayu itu sudah kosong!
Tilam A Fei masih ada di ruang duduk. Sisa teh semalam
pun masih ada di atas meja. Namun sup dalam kuali
sudah habis ludes.
Kamar Lim Sian-ji masih sama dengan semalam. Angin
berhembus membuat pintu yang dijebol Li Sun-Hoan
semalam melambai-lambai.
Bab 41. Gadis Muda yang Licik
Kamar A Fei masih seperti semalam. Jubahnya pun masih
ada di sana.
Namun orangnya sudah pergi, sepertinya terburu-buru.
Li Sun-Hoan tidak bisa percaya bahwa A Fei bisa pergi
tanpa berpamitan padanya. Ia terbatuk-batuk seraya
memeriksa keadaan di sekitar rumah.
Kedua tangan Kwe ko-yang berada di balik
punggungnya. Ia memandang Li Sun-Hoan tanpa suara.

729
Lalu berkata dengan kalem, “Katamu A Fei adalah
sahabatmu.”
Sahut Li Sun-Hoan pendek, “Ya.”
“Namun kau bahkan tidak tahu kalau dia sudah pergi.”
Li Sun-Hoan terdiam lalu memaksakan diri untuk
tersenyum. Katanya, “Mungkin ia menghadapi semacam
kesulitan. Mungkin…..”
Kwe ko-yang menyelesaikan kalimatnya, “Mungkin ia
pandai sekali mengikuti perintah seorang wanita.”
Ia tidak memberi kesempatan Li Sun-Hoan menjawab.
Tanyanya lagi, “Apakah A Fei tinggal di sini sudah lama?”
“Hampir dua tahun.”
Kata Kwe ko-yang, “Namun aku sudah berkencan dengan
dia di rumah itu lebih dari dua tahun. Mungkin ini adalah
rumahnya sejak dulu.”
Li Sun-Hoan tertawa getir. “Orang licik macam dia pasti
punya lebih dari satu tempat persembunyian.”
Kwe ko-yang pun menghela nafas dan berkata,
“Sayangnya, aku tidak tahu tempat persembunyiannya
yang lain.”
Li Sun-Hoan diam saja. Ia berjalan ke arah kamar Lim
Sian-ji.

730
Di kamar itu ada ranjang, sebuah lemari, dan meja rias.
Dalam lemari tidak ada banyak pakaian. Pakaian yang
ada di situ adalah pakaian yang sederhana. Di atas meja
rias tidak ada satu pun kosmetik atau alat rias.
Sudah pasti, ia berhias di rumah yang satu lagi.
Kata Kwe ko-yang, “Waktu aku keluar, ia masih berada di
rumah itu. Namun ia pasti sudah datang ke sini untuk
mengajak A Fei pergi. Namun sama sekali tidak terlihat
jejak dari rumah itu kemari.”
Kata Li Sun-Hoan dengan wajah berkerut, “Itu karena ia
tidak melewati jalan yang sama dengan kita.”
Tiba-tiba Li Sun-Hoan mengangkat kasur di atas ranjang.
Terlihatlah jalan rahasia di bawah kasur itu.
Li Sun-Hoan sudah tahu ke mana jalan rahasia itu pergi.
Tanya Kwe ko-yang, “Tahukah kau ke mana jalan rahasia
ini pergi?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Ke bawah kasurnya di rumah yang
satu lagi.”
Sahut Kwe ko-yang, “Kupikir juga begitu.”
Ia tersenyum sinis, “Dari satu ranjang ke ranjang yang
lain. Sungguh-sungguh tidak buang waktu.”

731
Li Sun-Hoan berkata dengan datar, “Yah, dia kan banyak
janji. Sudah tentu waktunya sangat berharga.”
Wajah Kwe ko-yang berubah…. Walaupun ia tahu
memang demikian keadaannya, tetap saja hatinya
merasa terusik waktu mendengar hal itu diucapkan.
Pria memang selalu mengejek wanita karena wanita suka
meributkan hal-hal sepele. Namun ternyata, laki-laki pun
tidak jauh berbeda, dan juga yang jelas, lebih mau
menang sendiri.
Walaupun seorang laki-laki memiliki seribu orang wanita,
ia tetap ingin setiap wanitanya adalah miliknya seorang.
Walaupun ia tidak mencintai lagi wanita itu, ia tetap ingin
wanita itu tergila-gila padanya.
***
Jalan rahasia itu tidak panjang.
Dan memang benar, ujung yang lain adalah ranjang di
rumah yang satu lagi.
Ranjang itu jauh lebih bagus daripada ranjang tempat
mereka masuk. Sangat empuk, dan dihiasi dengan seprai
yang lembut dan bantal-bantal yang mewah.
Tentu saja Lim Sian-ji tidak ada lagi di situ. Hanya si
gadis berjubah merah saja yang ada.

732
Ia sedang duduk di sebelah meja rias sambil menyulam
sebuah bantal dengan gambar sepasang angsa di tengah
danau.
Ia tidak terkejut melihat dua laki-laki keluar dari bawah
ranjang itu.
Sepertinya dia sudah tahu bahwa mereka akan muncul.
Ia hanya melirik mereka dari sudut matanya dan berkata,
“Oh, ternyata kalian berdua sudah saling kenal.”
Kwe ko-yang menatapnya dengan wajah tegang dan
membentak, “Apakah kau sendirian saja di sini?”
Sahut si gadis muda, “Mengapa kau galak sekali? Aku
selalu membereskan kamar dan ranjang ini setiap kali
kau datang. Apakah kau sudah lupa?”
Kwe ko-yang terdiam.
Lalu si gadis muda menatap Li Sun-Hoan dan berkata,
“Jadi kau adalah Li Tamhoa?”
Li Sun-Hoan menjawab pendek, “Ya.”
Kata si gadis muda, “Semua orang bilang bahwa Li
Tamhoa bukan saja mempunyai ilmu silat yang tinggi, ia
pun sangat pandai dan berpengetahuan luas. Aku kaget
juga bahwa kau pun dapat tertipu.”

733
Lalu disambungnya dengan manis, “Aku mohon maaf
sudah berbohong padamu terakhir kali kau datang ke
sini.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Tidak apa-apa. Enak juga kena
dibohongi anak kecil sekali waktu. Sejak kau menipuku
kemarin, aku merasa jadi lebih muda.”
Si gadis muda hanya menatapnya lekat-lekat. Dari
pandangannya, ia seakan-akan menganggap bahwa Li
Sun-Hoan sangat menarik. Tentu saja, sangat jarang
orang bisa bertemu dengan orang semacam Li Sun-Hoan.
Gadis itu tersenyum dan berkata, “Kupikir kau memang
masih kelihatan muda, walaupun aku tidak menipumu.
Kalau kau tertipu beberapa kali lagi, mungkin kau akan
berubah menjadi bayi.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Jadi aku harus lebih berhati-hati lain
kali. Kalau tidak, bukankah sangat janggal ada bayi
berusia empat puluh tahun?”
Si gadis muda tertawa senang, katanya, “Jangan kuatir,
aku cuma berbohong karena kemarin kau adalah orang
asing. Nenekku bilang bahwa di depan orang asing
jangan berkata jujur, atau aku akan diculik oleh orang
itu.”
Tanya Li Sun-Hoan, “Kalau sekarang?”
“Sekarang aku sudah mengenal engkau, jadi aku tidak
akan berbohong lagi.”

734
Kata Li Sun-Hoan, “Kalau begitu, aku mau tanya sesuatu.
Apakah kau melihat ada orang yang keluar dari ranjang
ini baru-baru saja?”
“Tidak.”
Gadis itu mengejapkan matanya dan menambahkan,
“Tapi aku melihat seseorang lewat di sebelahnya.”
“Siapa?”
Sahut si gadis, “Seorang laki-laki. Aku tidak kenal dia.”
Ia tersenyum lebar dan melanjutkan, “Selain engkau, aku
tidak kenal banyak laki-laki.”
Li Sun-Hoan pura-pura tidak mendengar. Ia bertanya
lagi, “Apa yang dia kerjakan?”
Sahut si gadis muda, “Orang itu kelihatan menyeramkan.
Jenggotnya besar, dan di wajahnya ada bekas luka. Ia
masuk ke sini dan bertanya, ‘Apakah kau kenal Li Sun-
Hoan? Apakah ia akan datang ke sini?’”
Tanya Li Sun-Hoan, “Apa jawabmu?”
Kata si gadis muda, “Karena aku tidak mengenalnya, aku
bohong saja. Aku bilang aku tidak mengenalmu dan
bahwa kau akan segera datang.”
“Lalu apa kata orang itu?”

735
“Lalu ia memberikan surat padaku, dan menyuruhku
untuk menyampaikannya padamu.”
Tanya Li Sun-Hoan, “Jadi kau menerima suratnya?”
Jawab si gadis, “Tentu saja. Kalau tidak, aku kan
ketahuan sudah berbohong. Orang ini betul-betul
menyeramkan. Jika ia tahu aku bohong, ia pasti sudah
mencabut kepalaku.”
Ia tersenyum dan melanjutkan, “Seorang gadis kecil
dengan kepala putus akan merasa kesakitan, bukan?”
Li Sun-Hoan pun tersenyum dan berkata, “Seorang bocah
laki-laki dengan kepala putus juga akan merasa
kesakitan.”
Si gadis muda memang mempunyai satu kepandaian
istimewa. Ia dapat membuat semua kata-katanya
kedengaran sangat mayakinkan.
Orang lain mungkin akan bertanya, “Di manakah laki-laki
yang membawa surat ini? Mengapa ia meninggalkan
surat ini di sini?”
Namun Li Sun-Hoan tidak menanyakannya.
Ia pun mempunyai satu kepandaian istimewa. Apapun
yang diucapkan seseorang, ia dapat terlihat seolah-olah
mempercayai perkataan itu bulat-bulat. Itulah sebabnya
banyak orang merasa mereka telah berhasil menipunya.

736
Gadis muda itu segera mengeluarkan surat itu. Di
amplopnya memang tertulis nama Li Sun-Hoan. Surat itu
disegel, jadi si gadis muda pasti tidak tahu apa isinya.
Dalam surat itu tertulis, “Aku selalu mengagumi Litayhiap
Sun-Hoan. Mari bertemu di dekat mata air
tanggal satu bulan sepuluh. Tolong jangan kecewakan
aku.”
Surat itu ditandatangani oleh Siangkoan Kim-hong!
Surat itu sangat sederhana dan sopan. Namun siapapun
penerima surat ini lebih baik cepat-cepat menulis surat
wasiatnya, atau paling tidak ketakutan setengah mati.
Jika Siangkoan Kim-hong menantang seseorang, berapa
lama lagikah orang itu dapat hidup?
Li Sun-Hoan memasukkan surat itu ke dalam amplopnya
lagi dan memasukkan amplop itu ke dalam bajunya.
Ia masih tetap tersenyum.
Si gadis muda telah mengawasinya selama ini. Ia tidak
tahan untuk tidak bertanya, “Apa isi surat itu?”
“Tidak ada yang penting.”
“Dilihat dari senyumanmu, pasti seorang wanitalah yang
menulis surat itu.”
Jawab Li Sun-Hoan, “Tebakanmu sangat jitu.”

737
Mata si gadis muda berputar dan katanya, “Apakah surat
itu mengatakan bahwa ia ingin bertemu denganmu?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Lagi-lagi tepat.”
Si gadis muda cemberut, “Kalau tahu penulisnya adalah
seorang wanita, tak akan kuberikan kepadamu.”
Kata Li Sun-Hoan, “Tapi jika kau tidak memberikan surat
itu padaku, ia akan patah hati.”
Mata si gadis memandang Li Sun-Hoan dengan berapiapi,
tanyanya keras, “Orang macam apa sih wanita itu?
Cantik ya?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Sudah pasti. Kalau tidak, sudah
kubuang surat ini. Seorang wanita jelek lebih
menakutkan daripada seorang laki-laki bodoh.”
Tanya gadis muda itu, “Berapa usianya?”
“Ia belum tua.”
Si gadis muda menghunjamkan jarum jahitnya pada kayu
bingkai sulamannya. Ia berseru dengan berang, “Kalau
sudah ditunggu oleh wanita yang sangat cantik,
mengapa tidak segera menggelinding menemuinya? Mau
apa masih bercokol di sini?”
Kata Li Sun-Hoan, “Tahukah engkau, tidaklah sopan
seorang tuan rumah mengusir tamunya.”

738
Sahut si gadis muda masih kesal, “Tentu saja aku tahu.
Walaupun aku bukan orang yang murah hati, aku juga
tidak pelit. Jika kau mau tinggal sepuluh hari, aku akan
melayanimu sepuluh hari. Jika kau mau tinggal selamalamanya,
aku….aku akan….memperbolehkanmu tinggal
selamanya.”
Seraya berkata, wajahnya menjadi merah padam.
Jika wajah seorang gadis sudah bisa memerah, artinya ia
bukan gadis kecil lagi.
Kata Li Sun-Hoan, “Baiklah. Maka aku akan tinggal….”
Sebelum selesai kalimatnya, si gadis muda sudah
melompat dan segera berkata, “Kau tidak bohong?”
Sahut Li Sun-Hoan sambil tersenyum, “Tentu saja aku
tidak bohong. Bagaimana mungkin aku pergi jika aku
sudah menemukan tuan rumah sebaik engkau?”
Si gadis muda tersenyum cerah dan berkata, “Aku tahu
kau suka minum arak. Aku akan membelikan arak
untukmu. Mungkin di daerah ini tidak ada macam-macam
barang, namun ada cukup arak untuk
menenggelamkanmu.”
Kata Li Sun-Hoan, “Selain arak, aku juga ingin kayu.
Makin keras makin baik.”
Wajah si gadis muda penuh tanda tanya. Tanyanya,
“Kayu? Buat apa? Apakah kau makan kayu sambil minum
arak? Gigimu pasti luar biasa.”

739
Di tengah-tengah kalimatnya ia sudah tertawa.
Lanjutnya, “Tapi karena kau minta kayu, akan
kusediakan kayu. Aku dapat memberimu apa saja yang
kau minta. Bahkan jika kau ingin bulan di langit, akan
kuambilkan tangga untukmu.”
Selama itu Kwe ko-yang terus mengawasi wajah Li Sun-
Hoan. Katanya tiba-tiba, “Aku tidak makan kayu. Aku
suka makan telur. Telur apa saja, telur ayam, telur
bebek, telur burung, telur asin,…..pokoknya telur, sudah
cukup. Makin banyak makin bagus.”
Si gadis muda mengerutkan keningnya dan bertanya,
“Kau juga mau tinggal?”
Sahut Kwe ko-yang, “Dengan tuan rumah sebaik engkau,
mana mungkin aku pergi?”
Si gadis muda menggerutu dan memutar badannya,
berjalan keluar. Ia menggumam, “Mengapa begitu
banyak orang yang tidak tahu diri? Apakah mereka tidak
punya pekerjaan lain selain ikut campur urusan orang?”
Bab 42. Dengki
Kamar itu luas dan seprai di kasur itu baru saja diganti,
sangat bersih. Teko teh mulus tanpa cacad dan cawan
pun bersih mengkilap.
Lim Sian-ji duduk di atas ranjang, menisik jubah seorang
pria. Ia tidak begitu mahir memainkan jarum seperti ia
memainkan pedang, sehingga beberapa kali jarinya
tertusuk.

740
A Fei berdiri dekat jendela, memandangi bulan sambil
berpikir-pikir.
Lim Sian-ji memasang kancing di jubah itu dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Aku
sungguh tidak bisa kerasan tinggal di penginapan. Kamar
yang terbaik pun terasa seperti sangkar burung. Setiap
aku masuk, aku merasa mual.”
A Fei menyahut pendek, “Yah.”
Kata Lim Sian-ji, “Katanya memang tidak ada tempat
seperti rumah sendiri. Kau setuju?”
“Yah.”
Mata Lim Sian-ji berputar, katanya lagi, “Kau tidak
senang aku memaksamu pergi dari rumah kita itu,
bukan?”
“Tidak.”
Lim Sian-ji mengeluh dan berkata, “Aku tahu Li Sun-Hoan
memang sahabatmu. Aku pun gembira bahwa kau dapat
memiliki sahabat seperti dia. Tapi kita kan sudah sepakat
untuk mulai dari awal, jadi kita harus menjauhi dia.
Orang seperti dia hanya menyebarkan kesedihan dan
persoalan ke manapun ia pergi.”
Lalu ia melanjutkan dengan lembut, “Kita juga sudah
bersepakat tak akan melibatkan diri dari persoalan lagi,
bukan?”

741
A Fei menjawab, “Ya.”
Kata Lim Sian-ji, “Lagi pula, walaupun ia memang
sahabat yang bisa diandalkan, ia adalah seorang
pemabuk, dan dia punya penyakit yang menyebalkan,
yang mungkin dia sendiri tidak menyadarinya.”
Ia mendesah dan sambungnya, “Oleh sebab itu dia
sampai menerjang pintu kamarku untuk mencoba
memaksaku….”
A Fei segera menoleh dan memandanginya. Katanya,
“Jangan bicara soal ini lagi!”
Lim Sian-ji tersenyum penuh pengertian dan berkata,
“Aku sudah memaafkannya, karena ia adalah
sahabatmu.”
Wajah A Fei memucat dan kelihatan sangat muram.
Katanya, “Aku tidak punya sahabat….hanya kau
seorang.”
Lim Sian-ji segera bangkit dan menggenggam tangan A
Fei, lalu ditariknya perlahan sampai A Fei duduk di
dekatnya. Katanya dengan mesra, “Kau pun adalah satusatunya
pria dalam hidupku.”
Pipinya menyentuh pipi A Fei dan ia melanjutkan, “Aku
hanya membutuhkanmu. Selain engkau, aku tidak butuh
apapun juga.”
A Fei merengkuhnya dan memeluknya erat-erat.

742
Kata Lim Sian-ji, “Mengapa kau tidak mau menikahi aku,
supaya semua orang tahu bahwa aku adalah istrimu?
Apa yang kau kuatirkan? Tidak maukah kau mengampuni
kesalahanku di masa lalu? Apakah kau tidak sungguhsungguh
mencintaiku?”
Kepedihan yang dalam tergambar pada wajah A Fei. Ia
melepaskan pelukannya.
Namun Lim Sian-ji masih memeluknya erat-erat.
Kini A Fei berbaring di ranjang, ia sudah berada di
ambang kehancuran.
Hatinya penuh dengan kebencian, juga kesedihan.
Ia benci pada dirinya sendiri, karena tidak seharusnya ia
berbuat seperti ini. Namun ia tidak bisa melepaskan diri.
Kadang-kadang ia berpikir lebih baik mati, namun
sungguh ia tidak dapat meninggalkan wanita itu.
Lim Sian-ji menyisir rambutnya di depan cermin. Pipinya
merah, matanya yang besar dan bercahaya kelihatan
sangat menenangkan.
Ia dapat melakukannya dengan siapapun, kecuali dengan
A Fei.
Senyum kecil tersungging di sudut bibir Lim Sian-ji.
Senyum itu memang sangat cantik, namun juga sangat
kejam. Ia memang gemar menyiksa laki-laki. Tidak ada
sesuatupun yang dapat membuatnya lebih berbahagia.

743
Saat itu, terdengar gedoran dari luar pintu.
Terdengar suara berseru lantang, “Buka pintu. Aku tahu
kau di dalam. Aku sudah melihatmu.”
A Fei segera bangkit dan berteriak, “Siapa itu?”
Belum habis kalimatnya, seseorang sudah menerjang
masuk.
Ia menuding Lim Sian-ji dan tertawa seperti orang gila.
“Walaupun kau pura-pura tidak melihatku, aku
melihatmu. Kau pikir kau dapat meninggalkanku begitu
saja?”
Wajah Lim Sian-ji terlihat tenang. Ia hanya menjawab,
“Siapakah engkau? Aku tidak mengenalimu.”
Pemuda itu tertawa lagi. “Kau tidak mengenaliku? Kau
sungguh-sungguh tidak mengenaliku? Apa kau sudah
lupa malam itu? Bagus sekali, aku sudah menghabiskan
seluruh waktuku menulis surat untukmu, dan kini kau
bilang tidak mengenalku?”
Ia menyeruduk ke arah Lim Sian-ji, hendak
merengkuhnya dan berkata, “Tapi aku masih
mengenalmu. Aku tak akan pernah melupakanmu…..”
Lim Sian-ji tentu saja tidak akan membiarkan dirinya
direngkuh oleh pemuda itu dan segera menghindar ke
samping. Ia berseru ketakutan, “Orang ini mabuk. Dia
sudah gila!”

744
Kembali pemuda itu berusaha menggapai Lim Sian-ji,
namun A Fei sudah menghalangi jalannya. Bentaknya,
“Keluar kau!”
Kata pemuda itu, “Siapa kau? Apa hakmu menyuruh aku
pergi? Kau ingin membuatnya senang, bukan? Kuberi
tahu kau baik-baik, suatu hari nanti ia juga akan
melupakanmu, sama seperti ia melupakanku.”
Tiba-tiba pemuda itu tertawa terbahak-bahak dan
berkata, “Siapapun yang menyangka wanita ini mencintai
dia adalah seorang tolol….tolol luar biasa…. Wanita ini
sudah pernah dimiliki oleh ratusan laki-laki…”
Sebelum kalimatnya selesai, tinju A Fei sudah melayang!
‘Bam’, tubuh pemuda itu pun terpental ke luar jendela
dan terjerembab di halaman depan.
Lim Sian-ji menutupi wajahnya dan menangis tersedusedu.
Katanya di sela-sela tangisannya, “Apa
kesalahanku? Mengapa orang-orang ini memfitnahku
seperti ini? Mereka ingin menyakitiku sampai….”
A Fei mendesah dan memeluknya dengan hangat.
“Selama masih ada aku, kau tidak perlu takut.”
Sampai cukup lama, akhirnya Lim Sian-ji berhenti
menangis. Ia berbisik, “Untungnya kau ada di sini.
Selama kau berada di sisiku, aku tidak peduli apa kata
orang lain.”

745
Mata A Fei berapi-api dan giginya gemeletuk, “Lain kali,
aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu!”
Tanya Lim Sian-ji, “Siapapun?”
“Ya. Siapapun.”
Lim Sian-ji tersenyum puas dan memeluknya makin erat.
Namun matanya tertuju pada seseorang yang lain. Tidak
ada kesedihan di matanya, hanya ada kepuasan dan
kebahagiaan.
Orang itu pun menatapnya balik.
Ia berdiri tepat di samping si pemuda yang baru saja
jatuh terjengkang.
Ia kurus jangkung, dan sebilah pedang terselip di
pinggangnya!
Penerangan di halaman depan hanya remang-remang.
Yang terlihat hanya bekas luka di wajahnya.
Tentu saja, yang paling mengerikan adalah matanya.
Mata itu kelabu, tidak berperasaan, tidak tampak cahaya
kehidupan.
Ia menatap Lim Sian-ji dingin dan menganggukkan
kepalanya perlahan. Ia memutar badannya dan berjalan
pergi ke arah kamar-kamar di sebelah selatan.

746
Setelah beberapa saat, beberapa orang datang dan
menggotong pemuda itu pergi.
Kini Lim Sian-ji sudah berhenti menangis sama sekali.
Malam pun bertambah larut.
A Fei sudah terlelap di ranjang. Ia tertidur segera setelah
ia minum teh yang diberikan oleh Lim Sian-ji.
Halaman depan sunyi senyap, hanya suara angin yang
terdengar.
Lalu pintu pun terbuka.
Ia keluar dari kamar tanpa suara dan terus
menyeberangi halaman, menuju ke arah kamar di bagian
selatan.
Hanya ada satu kamar di sini yang masih terang.
Lim Sian-ji mengetuk pintu kamar itu.
Terdengar suara yang berat dan serak dari dalam,
“Pintunya tidak dikunci.”
Lim Sian-ji mendorong pintu itu pelan dan pintu itu pun
terbuka.
Orang itu adalah orang yang sama yang menatapnya
tadi. Ia duduk di situ, tidak bergerak seperti patung.

747
Lim Sian-ji mendekat dan kini mata orang itu terlihat
jelas.
Pupil matanya sangat besar, sehingga walaupun ia
memandang seseorang, sepertinya ia sedang
memandang yang lain. Namun bila ia sedang melihat
yang lain, sepertinya ia sedang memandangmu.
Mata itu suram dan tidak tajam, namun sepertinya ada
daya tarik kuasa gelap di sana. Bahkan Lim Sian-ji
merinding sedikit waktu melihatnya.
Namun di wajahnya, senyum terlukis dengan manis.
Semakin menakutkan orang yang dilihatnya, semakin
polos senyumannya. Ini adalah senjata yang pertama
dan utama melawan laki-laki. Dan keahliannya ini sudah
mendekati kesempurnaan.
Katanya sambil tersenyum, “Ah, jadi kau adalah Hingsiansing?”
Hing Bu-bing menatapnya lekat-lekat. Ia tidak menjawab,
tidak juga bergerak sedikitpun.
Senyum Lim Sian-ji makin memikat, katanya, “Aku sudah
mendengar ketenaran Hing-siansing sejak lama.”
Hing Bu-bing hanya terus menatapnya dingin. Di
matanya, wanita tercantik sedunia tidak ada bedanya
dengan seonggok kayu bakar.

748
Hing Bu-bing tiba-tiba menyela, “Kau harus ingat aturan
berbicara denganku.”
Sahut Lim Sian-ji, “Hing-siansing tinggal bilang, dan aku
akan patuh.”
Kata Hing Bu-bing, “Aku hanya bertanya, dan aku tidak
pernah menjawab. Mengerti?”
Sahut Lim Sian-ji, “Aku mengerti.”
Kata Hing Bu-bing lagi, “Namun jika aku bertanya,
jawabannya harus segera tersedia. Jawaban yang jelas
dan sederhana. Aku tidak ingin dengar segala tetekbengek.”
“Aku mengerti.”
Tanya Hing Bu-bing, “Jadi kaulah Lim Sian-ji?”
“Ya.”
“Kau ingin menemuiku di sini?”
“Ya.”
“Kau sudah menemukan Li Sun-Hoan bagi kami?”
“Ya.”
“Mengapa kau melakukan ini?”

749
Sahut Lim Sian-ji, “Aku tahu bahwa Pangcu, Siangkoan
Kim-hong, ingin bertemu dengan Li Sun-Hoan, karena Li
Sun-Hoan suka sekali ikut campur urusan orang.”
Tanya Hing Bu-bing, “Kau ingin membantu kami?”
“Ya.”
Mata Hing Bu-bing menyipit dan membentak, “Mengapa
kau ingin membantu kami?”
Lim Sian-ji menjawab tenang, “Karena aku benci Li Sun-
Hoan. Aku ingin dia mati!”
“Mengapa tak kau bunuh dia?”
Lim Sian-ji mendesah, sahutnya, “Karena aku tidak
sanggup. Aku tidak bisa berpikir waktu aku berdiri di
depannya, karena matanya dapat menembus pikiranku.
Dan satu pisaunya dapat merenggut banyak jiwa.”
Tanya Hing Bu-bing, “Apa benar pisaunya begitu hebat?”
Lim Sian-ji mendesah lagi. Katanya, “Pisau itu lebih
mengerikan dari cerita orang. Siapapun yang bermaksud
membunuhnya, malah mati di tangannya. Selain Hingsiansing
dan Siangkoan-pangcu, tidak ada seorangpun di
muka bumi ini yang sanggup membunuhnya!”
Lim Sian-ji mengangkat wajahnya dan berkata dengan
lembut, “Walaupun aku belum pernah melihat ilmu
pedang Hing-siansing, aku sudah dapat membayangkan
kehebatannya.”

750
Tanya Hing Bu-bing, “Bagaimana kau bisa
membayangkan hal seperti itu?”
Sahut Lim Sian-ji, “Dari pembawaan dan ketenanganmu.
Walaupun aku bukan ahli pedang, aku tahu bahwa ketika
pesilat tangguh bertempur, kecepatan dan perubahan
gerak bukanlah faktor yang terpenting. Faktor
penentunya adalah ketenangannya.”
“Kenapa?”
“Karena antara ilmu pedang yang satu dengan yang lain
variasinya tidak begitu banyak. Begitu pula dengan
kecepatan. Tidak banyak perbedaannya di antara para
pesilat tangguh. Jadi siapa yang bisa tetap tenang
selama pertempuran dan dapat melihat kelemahan
lawan, dialah pemenangnya.”
Lim Sian-ji memang luar biasa.
Inilah senjatanya yang ketiga dalam menghadapi lakilaki.
Ia tahu setiap laki-laki suka disanjung, terutama oleh
wanita. Pujian dapat menjadi alat yang sangat berguna
untuk memenangkan hati laki-laki.
Wajah Hing Bu-bing masih tetap kosong. Tanyanya, “Kau
menentukan pertemuannya pada tanggal satu bulan
sepuluh?”

751
Sahut Lim Sian-ji, “Ya, karena aku tahu bahwa Hingsiansing
dan Siangkoan-pangcu bisa berada di sana saat
itu.”
Tanya Hing Bu-bing, “Bagaimana kau bisa pasti kalau Li
Sun-Hoan akan datang?”
Jawab Lim Sian-ji, “Karena aku tahu ia sudah menerima
suratnya. Jika ia sudah membacanya, ia pasti akan
berada di sana.”
“Kau sangat pasti?”
Kata Lim Sian-ji, “Ia tidak takut mati, karena ia memang
tidak dapat hidup lebih lama lagi.”
Senyumnya langsung lenyap dan lanjutnya, “Namun
karena ia hampir mati, Li Sun-Hoan menjadi sangat
berbahaya. Walaupun ilmu silatmu ada di atasnya, kau
tetap harus berhati-hati. Ia bisa bertarung mati-matian.”
Tatapannya sungguh menguatirkan Hing Bu-bing. Ini
adalah senjata keempat.
Jika seorang wanita cantik dapat memanfaatkan keempat
senjata ini dengan baik, maka 99% laki-laki akan
merangkak di kakinya.
Sayangnya, bukan laki-laki biasa. Karena ia bukan lakilaki,
bukan pula manusia!
Tapi masih ada satu lagi senjata Lim Sian-ji.

752
Ini adalah senjata terakhir yang dimiliki setiap wanita
dari zaman purba. Kadang-kadang hanya senjata inilah
yang dapat mengendalikan laki-laki.
Apakah akan berhasil terhadap Hing Bu-bing?
Lim Sian-ji sedikit ragu.
Kalau ia tidak yakin, ia tidak akan menggunakan senjata
ini.
Kata Hing Bu-bing, “Kau sudah selesai mengoceh?”
“Ya.”
Hing Bu-bing bangkit berdiri dan berjalan ke tepi meja.
Wajahnya memandang ke arah lain.
Lim Sian-ji tersenyum pahit dan berkata, “Jika Hingsiansing
tidak ada perintah lain, aku pamit sekarang
saja.”
Hing Bu-bing tidak menggubrisnya. Ia mengeluarkan
sebutir pil dan menelannya dengan teh.
Lim Sian-ji tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa
kembali ke kamarnya.
Sebelum ia mencapai pintu, Hing Bu-bing tiba-tiba
berkata, “Kau suka merayu laki-laki, bukan?”

753
Lim Sian-ji terkesiap. Lanjut Hing Bu-bing, “Kau sudah
berusaha merayuku sejak pertama kali masuk ke kamar
ini, bukan?”
Mata Lim Sian-ji berbinar. Ditundukkannya kepalanya dan
berkata, “Aku suka sekali dengan laki-laki yang dapat
mengendalikan diri.”
Hing Bu-bing menoleh padanya dan bertanya, “Lalu
mengapa menyerah?”
Pipinya memerah. Sahut Lim Sian-ji, “Hatimu seperti
terbuat dari baja. Aku….Aku tidak dapat…”
Kata Hing Bu-bing, “Namun tubuhku tidak terbuat dari
baja.”
Sambungnya, “Jika kau ingin merayuku, caranya hanya
satu. Secara langsung.”
Wajah Lim Sian-ji merah jengah. Katanya, “Maukah kau
ajari aku cara itu?”
Hing Bu-bing menghampirinya dan berkata dengan
pedas, “Kau masih perlu diajari cara ini?”
Ia mengangkat tangannya dan menampar Lim Sian-ji.
Tubuh Lim Sian-ji terpental dan jatuh di atas ranjang.
Walaupun mukanya masih sakit karena tamparan itu,
matanya terlihat menyala penuh gairah.
Perlahan Hing Bu-bing menyusul ke depan ranjang.

754
Mendadak Sian-ji melompat bangun dan merangkulnya
erat-erat sambil meratap, "Jika mau pukul, silakan pukul
saja, pukul mati juga tidak menjadi soal bagiku, kurela
mati di tanganmu ...."
Tangan Hing Bu-bing kembali memukul lagi.
Berulang terdengar suara keluhan dan ratapan di dalam
rumah, namun kedengaran lebih banyak gembira
daripada derita.
Memangnya si dia suka disiksa dan dipukuli orang?
*******
Waktu Lim Sian-ji keluar dari kamar itu, fajar sudah
hampir merekah.
Ia kelihatan lelah, kehabisan tenaga. Kakinya lemah dan
lututnya gemetar sampai begitu sulit berjalan. Namun ia
merasa puas, hatinya sangat tenang.
Setiap kali ia mengobarkan api di hati A Fei, api dalam
hatinya pun ikut berkobar. Ia perlu seseorang untuk
melampiaskan gairahnya, hanya untuk memadamkan api
itu.
Ia memang suka disakiti, dan suka menyakiti.
Lim Sian-ji memandang ke langit dan menggumam, “Hari
ini sudah tanggal 25. Lima hari lagi…. Tinggal lima hari
lagi….”

755
Ia tersenyum.
Oh, Li Sun-Hoan. Kau hanya punya lima hari untuk
hidup!
Bab 43. Hidup dan Mati
Li Sun-Hoan mengukir kayu itu. Si gadis berjubah merah
memandanginya terus. Tiba-tiba ia bertanya, “Apa yang
kau ukir?”
Sahut Li Sun-Hoan sambil tersenyum, “Masa kau tidak
bisa menebak?”
Kata si gadis muda, “Seperti patung orang, tapi kenapa
setiap kali tidak selesai? Jika kau menyelesaikan satu
saja, aku jadi bisa tahu seberapa cantiknya dia.”
Senyum Li Sun-Hoan lenyap dan ia mulai terbatuk-batuk.
Ia tidak ingin siapapun tahu siapa yang diukirnya, jadi
tidak pernah ukiran itu diselesaikannya. Walaupun ia bisa
saja mengukir yang lain, tangannya seperti tidak mau
tunduk. Walaupun ia mulai mengukir sesuatu yang lain,
pada akhirnya akan menjadi orang itu juga.”
Karena ia tidak sanggup melupakan wanita itu.
Hari sudah mulai gelap.

756
Li Sun-Hoan mengangkat tangannya dan pisau di
tangannya berkilauan. Tapi kilau itu bergerak-gerak
terus.
“Apakah tanganku gemetaran?”
Hati Li Sun-Hoan tercekat. Ia sangat takut akan
datangnya hari ini, hari saat tangannya menjadi gemetar
walaupun ia tidak minum arak. Bagaimana tangan seperti
ini dapat menyambitkan pisau?
Ia menggenggam pisau itu kuat-kuat sampai buku-buku
jarinya memutih.
Lalu sedikit demi sedikit dikendorkan pegangannya dan
memandang ke luar jendela. Ia bertanya, “Hari ini
tanggal berapa?”
Si gadis muda menjawab, “Tanggal tiga puluh bulan
sembilan. Besok tanggal satu.”
Li Sun-Hoan memejamkan matanya, “Di mana Kwesiansing?”
Sahut si gadis, “Katanya ia ingin berjalan-jalan di luar.”
Li Sun-Hoan memandangi ujung pisaunya, lalu tiba-tiba
ditusukkannya ke dalam ukiran kayunya.”
Ia mengukir begitu cepat. Kayu itu hampir menjadi
bentuk manusia dengan mata yang besar, hidung yang
lurus, tampak begitu muda.

757
Namun bagaimana dengan orangnya? Orang itu sudah
menjadi tua.
Jika seseorang hidup berkubang kesedihan, ia menjadi
tua lebih cepat.
Li Sun-Hoan menatap patung itu dengan tatapan kosong.
Ia tidak ingin melepaskan pandangannya, karena ia tahu
ia tidak bisa bertemu dengan wanita itu lagi.
Tiba-tiba terdengar sebuah pertanyaan, “Patung ukiran
ini cantik sekali. Siapakah dia? Kekasihmu?”
Si gadis muda telah berada di dekatnya. Ia menjinjing
sebuah keranjang.
Li Sun-Hoan memaksakan diri untuk tersenyum, katanya,
“Aku pun tidak tahu siapa dia. Mungkin ia seorang dewi
di kahyangan….”
Si gadis muda mengejapkan matanya dan
menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kau bohong.
Semua dewa-dewi di kahyangan sangat berbahagia,
sedangkan dia kelihatan sangat sedih…”
Sahut Li Sun-Hoan, “Jika ada orang di dunia ini yang
berbahagia, mengapa tidak mungkin ada dewi di
kahyangan yang bersedih?”
Wajah Li Sun-Hoan berubah, hatinya porak poranda.

758
Kata si gadis muda, “Kau boleh memberitahukan padaku
apa yang sebenarnya terjadi. Melihat sikapmu, aku sudah
tahu bahwa aku benar.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Itu kisah yang sudah lama, lama
sekali.”
Kata si gadis muda, “Jika sudah begitu lama terjadi,
mengapa kau masih juga belum bisa melupakannya?”
Li Sun-Hoan berpikir lama sebelum menjawab, “Jika kau
sudah seumurku nanti, kau baru akan tahu bahwa orang
yang ingin sekali kau lupakan, justru tidak pernah bisa
kau lupakan…”
Si gadis muda pun mengangguk, mencoba mengerti apa
arti perkataan Li Sun-Hoan dan mulai hanyut dalam
pikirannya sendiri. Ia sampai lupa menaruh
keranjangnya.
Setelah sekian lama, si gadis muda menghela nafas
panjang dan berkata, “Semua orang mengatakan bahwa
kau orang yang berhati dingin, kejam, namun menurutku
kau tidak seperti itu.”
Tanya Li Sun-Hoan, “Lalu menurutmu, orang macam
apakah aku?”
Sahut si gadis muda, “Menurutku, kau terlalu banyak
kuatir, terlalu banyak mengasihani orang lain.
Pendeknya, kau adalah seorang yang romantis. Jika kau
benar-benar jatuh cinta pada seorang wanita, wanita itu
sangatlah beruntung.”

759
Kata Li Sun-Hoan, “Mungkin karena aku belum minum
arak. Waktu aku mulai minum, aku akan jadi setengah
sadar.”
Si gadis muda tersenyum lalu berkata, “Kalau begitu aku
harus mulai minum arak, karena sepertinya setengah
sadar itu enak juga. Setidaknya, saat itu aku tidak akan
kuatir.”
Seraya berbicara, ia mengambil botol arak dari dalam
keranjangnya, dan mulai minum sampai habis setengah
botol.”
Anak muda memang biasanya minum cepat-cepat,
karena minum arak memang membutuhkan keberanian.
Wajah gadis muda itu langsung merah seperti buah
persik. Ia kini menatap Li Sun-Hoan dan tiba-tiba
bertanya, “Aku tahu namamu adalah Li Sun-Hoan, tapi
tahukah kau siapa aku?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Bagaimana aku bisa tahu jika kau
tidak pernah memberi tahu?”
Si gadis muda membalas, “Buat apa kuberi tahu kalau
kau tidak pernah tanya?”
Ia menggigit bibirnya dan melanjutkan, “Lagi pula kau
pun tidak pernah peduli siapakah aku sebenarnya, orang
macam apakah aku, mengapa aku tinggal di sini, di
manakah keluargaku yang lain. Kau tidak pernah
menanyakannya. Apakah ini karena kau tahu kau

760
sebentar lagi akan mati, jadi kau tidak peduli lagi pada
orang lain?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Kau sudah mabuk. Kalau gadis
muda sudah mabuk, ia sebaiknya pergi tidur.”
Kata si gadis muda gusar, “Kau tidak ingin
mendengarnya? Baik, akan kupaksa kau untuk
mendengar. Aku tidak punya ayah ataupun ibu, jadi aku
pun tidak tahu siapa aku sebenarnya. Lima tahun yang
lalu, Nonaku membeli aku. Oleh sebab itu kini sheku Lim.
Dan karena Nona suka memanggil aku Ling Ling, maka
aku menjadi Lim Ling Ling…”
[Ling artinya lonceng]
Ia tertawa kecut, lalu melanjutkan, “Bukankah itu nama
yang sangat hebat, Lim Ling Ling? Persis seperti lonceng
pintu, jika seseorang menggoyangkannya, ia akan
berkleneng-kleneng. Jika tidak ada yang
menggoyangkannya, ia diam saja, tidak bersuara, tidak
bergerak.”
Li Sun-Hoan mendesah, karena kini ia pun tahu bahwa
gadis ini pun mempunyai masa lalu yang pedih. Hatinya
tidak segembira wajahnya.
Mengapa tidak pernah aku bertemu dengan seseorang
yang sungguh-sungguh bahagia?
Kata Ling Ling lagi, “Kau tahu mengapa aku tinggal di
sini? Kalaupun kau tahu, itu tidak luar biasa. Nona
menyuruhku tinggal di sini untuk melayanimu,

761
memberimu arak, supaya tanganmu terus gemetar. Kata
Nona, jika tanganmu mulai gemetar, itu tandanya kau
sebentar lagi akan mati.”
Ia menatap Li Sun-Hoan, seolah-olah menanti-nantikan Li
Sun-Hoan menjadi marah.
Namun Li Sun-Hoan hanya tersenyum hambar dan
menyahut, “Sepuluh tahun yang lalu orang juga bilang
bahwa aku akan segera mati, namun nyatanya sampai
hari ini aku masih hidup. Aneh juga ya?”
Kata Ling Ling, “Aku baru saja bilang bahwa aku telah
menyakitimu, mengapa kau tidak marah padaku?”
Li Sun-Hoan menghela nafas panjang, jawabnya, “Setiap
orang di dunia ini pernah menjadi lonceng orang lain
pada suatu ketika. Kau pun adalah lonceng orang lain.
Mengapa aku tidak bisa jadi lonceng orang lain juga?
Orang yang menggerakkan lonceng itu mungkin juga
merupakan lonceng bagi orang yang lain lagi.”
Kata Ling Ling, “Kini aku benar-benar yakin bahwa kau
adalah orang yang baik. Mengapa Nonaku ingin
membunuhmu?”
Li Sun-Hoan tersenyum, sahutnya, “Orang yang
menginginkan kematian orang lain akan mati juga cepat
atau lambat.”
Ling Ling menyergah, “Tapi ada orang yang jika dia mati,
semua orang akan bergembira. Dan ada orang yang jika
ia mati semua orang akan berduka….”

762
Ia memandang ke lantai dan sambungnya, “Jika kau
mati, aku akan menangisimu.”
Kata Li Sun-Hoan sambil tersenyum, “Karena sekarang
kita adalah sahabat….atau paling tidak kita sudah saling
kenal beberapa hari.”
Ling Ling menggelengkan kepalanya. Katanya, “Itu tidak
berarti apa-apa. Aku sudah mengenal Kwe-siansing lama
sebelum aku mengenalmu. Tapi jika ia mati, aku tidak
akan menangis setitik pun.”
Ia tersenyum dan menambahkan, “Karena jika aku mati,
ia pun tidak akan repot-repot menangis untukku.”
Tanya Li Sun-Hoan, “Kau berpikir bahwa ia tidak
berperasaan?”
Jawab Ling Ling, “Tentu saja tidak. Ada orang yang
kelihatan jahat di luar, tapi hati sangat lembut. Jika
seseorang lebih sering memendam perasaannya, maka
rasa kasih yang ditunjukkannya lebih murni daripada
orang lain.”
Li Sun-Hoan tenggelam dalam pikirannya. Begitu dalam
ia berpikir sampai ia tidak menyadari kehadiran Kwe koyang
yang berdiri dekat pintu…. Ia memang hampir tidak
pernah menunjukkan perasaannya.
Ia hanya tegak berdiri di situ. Wajahnya pun terlihat
hampa.
***

763
Hari ini, matahari terbit lebih awal.
Li Sun-Hoan bangun lebih awal lagi. Ia tidak bisa tidur
nyenyak semalam.
Sebelum fajar tiba, ia sudah mandi dan mengenakan
pakaian baru yang dibelinya di kota sebelumnya.
Ia tidak terlalu gemuk ataupun terlalu kurus. Jadi
walaupun jahitan jubah itu kurang rapi, jubah itu tetap
terlihat pas membungkus tubuhnya.
Kini, menatap langit yang cerah, ia pun merasa sangat
bertenaga.
Hari ini adalah hari istimewa.
Ketika malam tiba nanti, ia mungkin saja sudah berubah
menjadi mayat. Namun karena ia sudah berupaya
memiliki hidup yang bersih, ia ingin juga kelihatan bersih
dalam kematiannya.
Kesempatannya untuk menang hari ini sangat tipis,
sehingga bisa dikatakan bahwa kemungkinan besar ia
akan mati. Tapi selama masih ada kesempatan, ia tidak
akan pernah menyerah!
Ia tidak takut mati, namun ia tidak ingin mati dalam
sepasang tangan yang kotor.
Ia mengikat rambutnya dengan kain hijau. Kini ia akan
bercukur.

764
Tiba-tiba terdengar suara, “Bagaimana engkau bisa pergi
ke suatu pertemuan penting dengan rambut acak-acakan
seperti itu? Mari kusisirkan.”
Ia tidak tahu kapan Ling Ling masuk ke kamar itu.
Matanya terlihat merah, seperti kurang tidur semalam.
Atau mungkin karena ia diam-diam menangis.
Li Sun-Hoan tersenyum dan mengangguk.
Tiba-tiba kenangan masa lalu berkelebat dalam
kepalanya.
Hari itu sudah lewat sepuluh tahun lebih. Cuaca hari itu
sama dengan hari ini. Terlihat bunga krisan bermekaran
di luar jendela. Ia duduk di kamarnya dan seseorang
menyisir rambutnya.
Sampai kini, ia masih ingat jelas sepasang tangan yang
halus dan lembut itu.
Hari itu, ia berencana pergi jauh. Oleh sebab itu, si ‘dia’
menyisiri rambutnya perlahan-lahan.
Dengan menyisir perlahan, si ‘dia’ ingin menunda
kepergiannya, bahkan untuk sedetik saja lebih lama.
Waktu si ‘dia’ selesai menyisir, setetes air mata bergulir
di pipinya.
Dalam perjalanan itulah, ia bertemu dengan lawan yang
tangguh dan hampir kehilangan nyawanya. Untungnya
Liong Siau-hun menyelamatkannya. Ini adalah kejadian
lain yang tidak pernah dilupakannya juga.

765
Namun yang dilupakannya adalah walaupun Liong Siauhun
telah menyelamatkan nyawanya saat itu, ia pun
telah menghancurkan seluruh sisa hidup Li Sun-Hoan….
Mengapa ada orang yang hanya mengingat kebaikan hati
orang lain?
Li Sun-Hoan memejamkan matanya dan tersenyum pahit.
“Setidaknya, aku masih bisa pulang setelah perjalanan
itu. Dapatkah aku pulang hidup-hidup hari ini? Tidakkah
lebih baik kalau pada hari itu aku tidak pulang sama
sekali?”
Ia tidak ingin terus memikirkannya, dan dibukanya lagi
matanya. Tiba-tiba ia merasa bahwa tangan yang
menyisiri rambutnya saat ini pun halus dan lembut.
Ia menoleh dan melihat setetes air mata jatuh dari mata
Ling Ling ke rambutnya.
Tangan lembut yang sama. Tetes air mata yang sama.
Li Sun-Hoan merasa seperti kembali pada hari itu. Ia
menggenggam tangan Ling Ling dan bertanya dengan
lembut, “Kau menangis?”
Wajah Ling Ling menjadi merah. Ia segera memaLingkan
wajahnya. Ia mengertakkan giginya dan berkata, “Aku
tahu, perjanjianmu adalah hari ini. Oleh sebab itulah kau
berpakaian rapi seperti ini, bukan?”
Li Sun-Hoan diam saja, karena ia menyadari bahwa
tangan ini bukanlah tangan yang menyentuhnya

766
bertahun-tahun yang lalu. Masa lalu tidak pernah akan
kembali.
Ling Ling berkata lagi, “Kau akan menemui teman
wanitamu yang cantik. Tentu saja aku sedih.”
Li Sun-Hoan melepaskan genggamannya dan terpaksa
tersenyum. Katanya, “Kau masih anak-anak. Kau belum
tahu apa artinya kesedihan.”
Sahut Ling Ling, “Mungkin sebelumnya aku memang
tidak tahu, namun sekarang aku tahu. Mungkin kemarin
aku tidak tahu, namun hari ini aku tahu.”
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Kau pikir kau
sudah menjadi dewasa dalam satu hari?”
Jawab Ling Ling, “Tentu saja. Ada orang yang seluruh
rambutnya berubah menjadi putih dalam satu hari. Apa
kau belum pernah dengar?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Itu karena mereka terlalu kuatir
akan hidup dan mati. Bagaimana dengan engkau?”
Ling Ling menundukkan kepalanya dan berkata, “Karena
ini menyangkut engkau…. Kalau kau pergi hari ini,
apakah kau akan kembali lagi?”
Li Sun-Hoan berpikir sejenak lalu menghela nafas.
“Apakah kau sudah tahu siapa yang akan kutemui hari
ini?”

767
Ling Ling mengangguk perlahan, lalu ia mengikat rambut
Li Sun-Hoan dengan kain hijau itu. Katanya, “Aku tahu
kau pasti akan pergi apa pun yang terjadi. Aku tahu aku
tidak bisa menahanmu.”
Li Sun-Hoan berkata dengan lembut, “Kalau kau dewasa
nanti, kau akan tahu alasannya. Kadang-kadang kau
tidak punya pilihan dalam menghadapi suatu masalah.”
Kemudian ia terdiam cukup lama. Duka yang mendalam
terbayang di wajahnya. Akhirnya ia berkata, “Aku tidak
tinggal demi si ‘dia’…. Aku tidak pernah melakukan apaapa
bagi ‘dia’, aku….”
Ia cepat-cepat bangkit dan berkata, “Aku sudah
terlambat. Aku harus pergi….”
Sebelum kalimatnya selesai, Kwe ko-yang sudah masuk
ke dalam kamar. Ia memotong dengan suara keras, “Aku
baru saja datang, mengapa kau sudah mau pergi?”
Ia menggenggam sebotol arak. Bau alkohol terpancar
dari tubuhnya dan sudah masuk ke dalam ruangan
sebelum orangnya.
Kata Li Sun-Hoan, “Kelihatannya Kwe-heng terlalu pergi
minum-minum semalam. Kenapa tidak mengajak aku?”
Kwe ko-yang tertawa, katanya, “Kadang-kadang lebih
enak minum berdua saja. Tambah satu orang lagi akan
terlalu ramai.”

768
Tiba-tiba ia merendahkan suaranya, dan meletakkan
tangannya di bahu Li Sun-Hoan. Katanya, “Kau tahu apa
yang suka kulakukan sewaktu jengkel, bukan?”
Li Sun-Hoan tersenyum paham dan menyahut, “Ah, jadi
kau ada di situ….”
Ia masih berbicara sewaktu Kwe ko-yang menutup
sebelas Hiat-to (jalan darah)nya dengan kecepatan yang
luar biasa.
Li Sun-Hoan jatuh berdebum.
Ling Ling menjerit, dan segera mengangkat tubuh Li Sun-
Hoan. Tanyanya histeris, “Apa yang kau lakukan?”
Saat itu, Kwe ko-yang terlihat sadar sepenuhnya.
Wajahnya menjadi dingin dan tidak bersahabat. Katanya,
“Kalau dia bangun nanti, katakan padanya bahwa tidak
setiap hari seseorang dapat berduel dengan Siangkoan
Kim-hong. Aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini!”
Kata Ling Ling, “Jadi kau…kau akan pergi bersama
dengannya?”
Sahut Kwe ko-yang, “Aku tahu ia tidak akan
membiarkanku pergi bersamanya. Tapi aku pun tidak
ingin dia pergi tanpa aku.”
Air mata mengalir dari mata Ling Ling. Katanya, “Ia
benar. Kau adalah orang yang baik.”

769
Kata Kwe ko-yang, “Baik dalam hidup atau mati, aku
tidak ingin ada orang yang menangis untukku. Sangat
menjijikkan bagiku untuk melihat air mata wanita.
Simpan air matamu untuk orang lain!”
Ia segera memutar badan dan pergi.
Walaupun Li Sun-Hoan tidak dapat bicara ataupun
bergerak, ia masih dapat mengetahui apa yang terjadi.
Waktu dilihatnya Kwe ko-yang melangkah pergi, air mata
pun membasahi wajahnya.
Li Sun-Hoan memejamkan matanya, hatinya serasa
terkoyak-koyak. Ia baru tahu bahwa ada relasi antar
manusia yang begitu sulit diterangkan.
Ia telah begitu sering menolong begitu banyak orang.
Dari sekian banyak orang yang ditolongnya, beberapa
orang tidak peduli, yang lain sudah melupakannya,
bahkan ada yang tega mengkhianatinya.
Ia tidak pernah berbuat apapun untuk Kwe ko-yang.
Namun Kwe ko-yang rela mati baginya.
Inilah persahabatan sejati.
Persahabatan seperti ini tidak dapat dibeli, atau ditukar.
Mungkin karena persahabatan semacam inilah, manusia
masih ada di dunia ini.
Cahaya yang masuk dari jendela semakin suram.

770
Ling Ling mengunci pintu dan menutup jendela. Lalu ia
duduk di samping Li Sun-Hoan. Ia memandang Li Sun-
Hoan tanpa suara.
Jam berapakah sekarang?
Apakah Kwe ko-yang sudah mulai bertempur dengan
Hing Bu-bing dan Siangkoan Kim-hong?
Kwe ko-yang sedang menghadapi pertempuran yang
menentukan hidup matinya, dan aku hanya dapat
berbaring di sini, tidak berbuat apa-apa.
Kalau ia memikirkan hal ini, hatinya hancur berkepingkeping.
Tiba-tiba, terdengar langkah kaki di luar.
Lalu terdengar pintu depan diketuk, “Tok, Tok, Tok!”
Tubuh Ling Ling menegang.
Apakah Kwe ko-yang sudah mati dan mereka datang ke
sini mencari Li Sun-Hoan?
Tok, Tok, Tok!
Kali ini ketukan bertambah keras.
Keringat dingin membasahi wajah Ling Ling. Ia segera
mengangkat Li Sun-Hoan dan mencari tempat untuk
menyembunyikannya.

771
Ketukan di pintu tidak berhenti dan makin lama makin
keras. Jika Ling Ling tidak segera membuka pintu, makan
gedoran itu mungkin akan menumbangkan pintu itu.
Ling Ling menggigit bibir dan berteriak, “Ya, tunggu
sebentar. Aku masih berpakaian.”
Sambil berbicara ia menendang pintu lemari sampai
terbuka dan memasukkan Li Sun-Hoan ke dalamnya. Lalu
di tebarkannya beberapa potong baju di atas tubuh Li
Sun-Hoan.
Walaupun Li Sun-Hoan tidak suka bersembunyi, ia tidak
punya pilihan lain.
Dilihatnya Ling Ling merapikan rambutnya di depan
cermin dan menyeka peluhnya.
Lalu ia menutup pintu lemari dan menguncinya.
Ia menggumam, “Baru kali ini aku punya kesempatan
tidur siang, tapi kini ada orang mengetuk pintu. Betapa
beruntungnya aku!”
Lalu Li Sun-Hoan mendengar suara pintu terbuka.
Setelah pintu terbuka, suasana sunyi senyap. Ling Ling
terlihat sangat terkejut karena ia tidak pernah melihat
dua orang yang berdiri di muka pintu.
Mereka bukan Siangkoan Kim-hong dan Hing Bu-bing!

772
Kedua tamu pun diam saja. Lalu terdengar suara Ling
Ling bertanya, “Siapa yang kalian cari? Atau kalian hanya
mencari tempat untuk tidur?”
Kedua tamu itu tidak menjawab.
Terdengar suara berderak, sepertinya Ling Ling didorong
membentur pintu. Lalu terdengar dua pasang langkah
kaki masuk ke dalam rumah.
Bab 44. Selamat dari Kematian
Lemari itu gelap dan pengap. Orang lain mungkin akan
jadi gila menghadapi situasi seperti ini. Orang-orang
yang datang kelihatannya mempunyai maksud buruk.
Kalau tidak, mereka tidak mungkin mendorong Ling Ling
seperti itu.
Namun Li Sun-Hoan tetap tenang.
Ia tersenyum dalam hati.
Ia teringat hari dia pertama kali datang ke sini, waktu
Ling Ling mengatainya sebagai seorang perampok. Gadis
muda ini mungkin tidak pernah belajar di sekolah, namun
kepandaiannya berbohong sepertinya sudah setaraf
dengan Lim Sian-ji.
Namun kedua tamu itu tidak mempedulikan si gadis
sama sekali. Mereka berjalan menjelajahi dua kamar di
depan, sepertinya mereka sedang mencari sesuatu. Lalu
mereka masuk ke dalam kamar tempat Li Sun-Hoan
berada.

773
Ling Ling segera menghalangi langkah mereka dan
berteriak, “Ini adalah kamar pribadi Nonaku. Kalian tidak
boleh sembarangan masuk.”
Sahut salah seorang tamu, “Tapi kamu datang untuk
menemui Nonamu.”
Suara ini sangat halus, sangat empuk, bahkan
mengandung seulas senyum.
Suara seorang wanita!
Li Sun-Hoan terkesiap.
Terdengar Ling Ling berkata, “Kalau memang demikian,
apakah kalian betul-betul mengenalnya?”
Sahut wanita itu, “Tentu saja….kami bersahabat akrab.”
Kata Ling Ling, “Kalau begitu, mengapa kalian tidak
bilang dari tadi. Aku kira kalian adalah perampok.”
Si wanita terkekeh, katanya, “Apakah kami kelihatan
seperti perampok?”
Sahut Ling Ling, “Aku tidak tahu tentang kalian berdua.
Tapi perampok zaman sekarang berbeda dengan dulu.
Beberapa bahkan lebih sopan dan lebih mentereng
daripada kalian berdua. Sekarang ini, kita tidak bisa lagi
menilai seseorang dari penampilannya.”

774
Sebelum si wanita menjawab, suara yang lain berkata,
“Di mana Nonamu? Bisakah kau memintanya untuk
keluar?”
Suara ini rendah dan sedikit serak, namun cukup merdu
juga. Li Sun-Hoan merasa pernah mendengar suara ini,
namun ia tidak bisa mengingat siapa pemiliknya.
Jawab Ling Ling, “Aku sungguh mohon maaf, namun
Nona sudah pergi beberapa hari yang lalu. Aku
disuruhnya tinggal untuk menjaga rumah. Jika kalian
mau meninggalkan pesan, aku akan menyampaikannya
kepada Nona.”
Si wanita bertanya, “Kapan ia kembali?”
Sahut Ling Ling, “Mmmm, aku tidak tahu…. Jika Nona
tidak memberi tahu, aku takut untuk bertanya.”
Wanita yang lain mendengus dan berkata sinis, “Enak
betul. Ia ada di sini setiap hari, kecuali di hari kita
datang. Apakah dia bersembunyi dari kita?”
Kata-kata ini membuktikan bahwa mereka memang
datang untuk cari gara-gara.
Ling Ling tetap tersenyum, katanya, “Jika kalian berdua
adalah sahabat Nona, beliau pasti akan senang untuk
bertemu. Mengapa harus bersembunyi?”
Kata wanita itu dengan tersenyum, “Ada orang yang
bersedia menemui siapa saja kecuali sahabatnya.
Tidakkah itu aneh?”

775
Wanita yang lain berkata dengan dingin, “Mungkin
karena ia terlalu banyak berbuat salah terhadap sahabatsahabatnya.”
Ling Ling masih tersenyum. “Kalian berdua bicara yang
aneh-aneh. Tempat ini sangat kecil. Tidak ada tempat
untuk bersembunyi.”
Kata si wanita, “O ya? Walaupun aku tidak mengenal
seluk-beluk rumah ini, aku bisa saja menemukan ruang
rahasia tempat bersembunyi di sini.”
Kata Ling Ling, “Ya mungkin, jika kau dapat bersembunyi
di lemari sana.”
Lalu ia tertawa dan menambahkan, “Namun jika ada
yang bersembunyi di dalam lemari, kurasa ia akan mati
tidak bisa bernafas.”
Si wanita juga tertawa dan berkata, “Benar juga.
Nonamu sangat mengutamakan kenyamanan. Ia tidak
mungkin tahan duduk dalam lemari itu….”
Kedua wanita itu tertawa licik.
Setelah cukup lama, si wanita bertanya, “Jika Nonamu
tidak ada dalam lemari itu, siapa yang ada di sana
sekarang?”
Sahut Ling Ling terbelalak, “Apa? Ada orang dalam
lemari? Bagaimana aku bisa tidak tahu?”

776
Tanya si wanita lagi, “Jika tidak ada siapa-siapa dalam
lemari, mengapa engkau menghalanginya? Apakah kau
kuatir kami akan mengintip baju-baju Nonamu?”
Kata Ling Ling, “Apa yang kau bicarakan? Aku tidak
menghalangi apa pun…”
Si wanita berkata, “Adik kecil, kau memang pandai
bicara, tapi kau masih sangat muda. Kau belum cukup
umur untuk menipu dua rubah macam kami.”
Bersembunyi di dalam lemari pakaian bukanlah hal yang
dapat dibanggakan. Li Sun-Hoan sungguh tidak tahu
bagaimana reaksi kedua wanita ini saat menemukannya.
Ia pun belum tahu siapa mereka.
Suara wanita yang pertama, halus dan lembut, namun
kata-katanya menusuk seperti jarum. Sudah pasti, sulit
untuk menghadapinya.
Wanita yang satu lagi tidak bicara banyak, namun
dengan kata-katanya yang jarang ia ingin cari gara-gara.
Sepertinya ia punya kebencian terhadap Lim Sian-ji.
Ilmu silat keduanya setidaknya setanding dengan Lim
Sian-ji.
Terdengar Ling Ling memekik dan pintu lemari pun
terbuka.
Li Sun-Hoan memejamkan matanya, berharap kedua
wanita ini tidak mengenalnya.

777
Si wanita pun tidak dapat mempercayai penglihatannya.
Ia tidak menyangka bahwa yang di dalam lemari adalah
seorang laki-laki. Ia tertegun.
Lalu ia tersenyum dan berkata, “Adik kecil, siapa laki-laki
ini? Apakah dia sedang tidur?”
Kata Ling Ling tergagap, “Ia…. Ia adalah saudara
sepupuku.”
Si wanita tergelak, katanya, “Oh, betapa lucunya! Kau
tahu, waktu aku masih muda, aku pun sering
menyembunyikan kekasihku di dalam lemari. Suatu hari,
aku kepergok, dan aku pun mengatakan bahwa ia adalah
saudara sepupuku!”
Lalu ia pun menambahkan, “Gadis kecil ini luar biasa.
Lebih hebat daripada kita.”
Wanita yang lain terdiam cukup lama. Akhirnya ia
berkata, “Lim Sian-ji tidak ada di sini. Mari kita pulang
saja.”
Si wanita menyahut, “Mengapa terburu-buru. Kita kan
sudah ada di sini. Kenapa kita tidak bersantai dulu
sejenak?”
Waktu pintu lemari dibuka, Li Sun-Hoan mencium bau
harum semerbak. Kini keharuman itu makin kental, yang
artinya wanita itu semakin dekat dengan dia.

778
Si wanita kemudian berkata, “Adik kecil, kau mungkin
masih muda, namun pandanganmu terhadap pria
ternyata baik sekali.”
Sahut Ling Ling, “Tidak ada banyak pria di sekitar sini,
dan Nona mengambil yang bagus-bagus. Aku harus puas
dengan dia.”
Tanya si wanita, “Maksudmu kau tidak puas dengan dia?
Lihat orang ini. Ia tidak terlalu gemuk, tidak terlalu kurus.
Wajahnya pun cukup ganteng, dan kelihatannya ia cukup
berpengalaman dengan wanita.”
Kata Ling Ling, “Yah, lumayanlah. Tapi kelemahannya
adalah bahwa dia terlalu banyak tidur.”
Sahut si wanita sambil tersenyum nakal, “Mungkin
karena ia terlalu lelah….Bagaimana mungkin dia tidak
lelah setelah berjumpa dengan setan kecil sepertimu?”
Kata Ling Ling lagi, “Ia juga sudah tua.”
Kata si wanita, “Betul. Ia memang terlalu tua untukmu.
Tapi cocok sekali untukku.”
Tambahnya, “Jika adik kecil tak suka padanya, kau boleh
memberikannya untukku. Aku berjanji akan memberimu
seorang pria yang lebih muda dalam satu dua hari ini.”
Wanita itu sebelumnya tampak sopan, namun setelah
melihat Li Sun-Hoan kelakuannya berubah total. Sambil
berbicara, ia sudah mengangkat tubuh Li Sun-Hoan.

779
Saat itu Li Sun-Hoan harus membuka matanya.
Waktu ia melihat, ia sungguh terperanjat.
Wanita itu belum tua, mungkin 25 atau 26 tahun. Ia pun
tidak jelek. Sebenarnya jika ada orang yang
membelahnya menjadi tiga bagian, ia akan menjadi tiga
wanita cantik.
Sayangnya ia juga berdagu tiga lapis. Berada dalam
pelukannya, Li Sun-Hoan serasa tidur di atas kasur
kapuk.
Ia tidak dapat percaya bahwa seorang wanita dengan
tawa yang begitu menggiurkan dan suara yang begitu
merdu adalah seorang wanita yang sangat gendut.
Tapi yang lebih mengejutkan adalah wanita yang satu
lagi.
Wanita itu pun sangat cantik. Pinggangnya amat
ramping, dan mengenakan pakaian ketat berwarna biru.
Lengan bajunya amat lebar. Ia hanya berdiri mematung,
namun karismanya bagai seorang dewi.
Ia bukan lain daripada orang yang dipatahkan
pergelangan tangannya oleh Li Sun-Hoan, Na Kiat-cu!
Anehnya, Na Kiat-cu seperti tidak mengenali Li Sun-
Hoan. Wajahnya tenang. Ia bahkan tidak sering-sering
memandang ke arah Li Sun-Hoan.

780
Si wanita gendut terus tertawa. Tiap kali, seakan-akan Li
Sun-Hoan merasa ada gempa bumi.
Ling Ling mulai kebingungan. Katanya, “Tapi orang ini
kotor. Berbulan-bulan ia tidak mandi. Kau seharusnya
tidak menyentuh dia, bisa kena kutu nanti.”
Sahut si wanita gendut, “Kotor? Sudah pasti tidak. Lagi
pula, tidak ada masalah sekalipun ia berkutu. Malah
membuatnya makin jantan.”
Kata Ling Ling, “Tapi….ia juga seorang pemabuk.”
Kata si wanita gendut, “Lebih baik lagi. Seorang pria
bukan pria sejati kalau ia tidak bisa minum.”
Ia mengedip genit ke arah Li Sun-Hoan dan berbisik,
“Sebentar lagi kau akan tahu kehebatanku.”
Ling Ling mulai tertawa. Tawanya sungguh nyaring.
Mata si wanita gendut melebar, tanyanya, “Mengapa kau
tertawa?”
Jawab Ling Ling, “Aku menertawakan kebodohanmu. Aku
tidak sangka kau mau menyentuhnya.”
Kata si wanita gendut, “Apa istimewanya dia?”
Tanya Ling Ling, “Tahukah kau siapa dia?”
Si wanita gendut balas bertanya, “Tahukah kau siapa
aku?”

781
Sahut Ling Ling, “Sudah pasti kau bukan saudara
sepupunya.”
Si wanita gendut tidak menggubrisnya. “Pernahkah kau
dengan nama Budha Perempuan Mahagembira? Aku
adalah muridnya, Ci-cun-po. Kepandaianku yang
teristimewa adalah makan laki-laki.”
Kata Ling Ling, “Jika kau memakannya, dia akan
nyangkut di tenggorokanmu dan kau tidak akan bisa
mengeluarkannya lagi.”
Sahut Ci-cun-po, “Tulang pun tidak pernah kuludahkan
saat makan laki-laki.”
Ling Ling mengejapkan matanya, katanya, “Kau tidak
ingin tahu siapa dia?”
Jawab Ci-cun-po, “Jika aku ingin tahu, aku akan bertanya
padanya. Kau tidak perlu kuatir. Lagi pula….selama dia
adalah laki-laki, aku pasti puas.”
Lalu ia memandang ke arah Na Kiat-cu, katanya,
“Tolonglah aku menyingkirkan gadis kecil ini. Tempat ini
cukup bagus dan aku cuma ingin pinjam sebentar.
Jangan ngintip ya.”
Tubuh Li Sun-Hoan merinding. Ia ingin muntah, tapi
tidak bisa. Ia ingin mati, namun tidak dapat. Satusatunya
harapannya adalah supaya Na Kiat-cu menuntut
balas sekarang juga dan memberinya kematian yang
cepat.

782
Namun mengapa Na Kiat-cu berbuat seolah-olah tidak
mengenalnya? Ia hanya berdiri di sana, meliriknya pun
tidak. Tapi saat itu Na Kiat-cu berkata, “Aku juga
menginginkannya.”
Wajah Ci-cun-po tertertekuk dan berseru, “Apa? Apa kau
bilang?”
Wajah Na Kiat-cu tetap tenang. Katanya, “Aku
menginginkan lelaki itu!”
Ci-cun-po memandangnya dengan tatapan ingin
membunuh. Bentaknya, “Berani kau mengambilnya
dariku?”
Sahut Na Kiat-cu, “Ya.”
Wajah Ci-cun-po berubah hijau, lalu memucat. Ia
tersenyum keji dan berkata, “Jika kau menginginkannya
juga, bisa kita bicarakan.”
Kata Na Kiat-cu, “Aku tidak ingin tubuhnya, aku ingin
nyawanya!”
Ci-cun-po tersenyum lega. “Ah, itu lebih mudah lagi
dibicarakan. Aku ambil badannya dulu, baru kau ambil
nyawanya.”
Sahut Na Kiat-cu, “Aku ambil nyawanya dulu, baru kau
ambil tubuhnya.”

783
Meluap amarah Ci-cun-po, namun ia tetap berusaha
berdamai. “Aku memang sangat suka laki-laki, namun
aku tidak suka laki-laki mati.”
Kata Na Kiat-cu, “Saat ini, ia tidak jauh berbeda daripada
orang mati.”
Kata Ci-cun-po, “Ia tidak bisa bergerak karena Hiat-to
(jalan darah)nya tertutup. Yang pasti, aku bisa
membuatnya bergerak lagi.”
Kata Na Kiat-cu, “Kalau ia sudah bisa bergerak, aku tidak
bisa lagi mencabut nyawanya.”
Ling Ling menyela sambil tersenyum, “Betul sekali. Kalau
ia sudah bisa bergerak, ia hanya perlu menggerakkan
tangannya dan kalian berdua akan mati.”
Tanya Ci-cun-po, “Siapa sih orang ini?”
Jawab Ling Ling, “Si Pisau Kilat si Li.”
Ci-cun-po terkesiap. Ia menggelengkan kepalanya dan
berkata, “Aku tidak percaya. Kalau ia memang betul Li
Sun-Hoan, mana mungkin ia mencintaimu?”
Sahut Ling Ling, “Ia memang tidak mencintaiku. Akulah
yang mencintainya. Oleh sebab itu aku ingin kau
membunuhnya.”
Ci-cun-po tidak mengerti. “Kenapa?”

784
Jawab Ling Ling, “Nonaku bilang bahwa jika aku jatuh
cinta pada seseorang dan ia tidak balas mencintaiku,
lebih baik laki-laki itu mati daripada ia jatuh ke tangan
wanita lain.”
Ci-cun-po mendesah, “Aku tidak menyangka bahwa kau
lebih berbisa daripada aku.”
Tanya Ling Ling, “Jadi kau masih menginginkan
tubuhnya? Kau berani?”
Ci-cun-po tidak bergeming, hatinya sudah mantap. “Jika
aku dapat melewatkan semalam saja dengan laki-laki
seperti Li Sun-Hoan, aku akan mati berbahagia.”
Ia lalu menoleh ke arah Na Kiat-cu dan menambahkan,
“Jangan kuatir. Kujamin kau tetap bisa mengambil
nyawanya setelah kunikmati tubuhnya.”
Na Kiat-cu diam saja.
Kata Ci-cun-po, “Jangan lupa, aku awalnya datang ke sini
untuk membantumu. Berilah sedikit muka padaku.”
Na Kiat-cu terdiam sesaat sebelum berkata, “Apakah kau
masih menginginkan laki-laki bertangan buntung?”
Kata Ci-cun-po senang, “Tangan buntung sih tidak apaapa,
asalkan bagian yang lain itu masih utuh.”
“Kalau begitu aku ingin satu tangannya.”

785
Ci-cun-po berpikir sejenak dan bertanya, “Tangan yang
mana?”
Sahut Na Kiat-cu, “Ia menebas tangan kananku, jadi aku
juga menginginkan tangan kanannya.”
Ci-cun-po mendesah dan berkata, “Baiklah. Cepat kau
kerjakan dan jangan buat kotor.”
Sahut Na Kiat-cu, “Baik.”
Ia berjalan perlahan-lahan ke arah mereka. Matanya
berbinar-binar.
Ling Ling berseru, “Kau sungguh tidak takut padanya?”
Kata Ci-cun-po dengan lembut, “Adik kecil, kalau kau
tidak mau dia menderita....”
Ia tidak menyelesaikan perkataannya.
Sekelebat cahaya biru telah keluar dari lengan baju Na
Kiat-cu, terarah pada tangan kanan Li Sun-Hoan.
Terdengar jeritan yang segera berhenti.
Tubuh Li Sun-Hoan terhempas ke tanah.
Tidak disangka-sangka, jeritan itu keluar dari mulut Cicun-
po.
Di tengah-tengah jeritannya, ia melepaskan Li Sun-Hoan
dari pelukannya dan balas menyerang Na Kiat-cu.

786
Na Kiat-cu cepat meliukkan pinggangnya dan
menghindar.
Walaupun pinggang Ci-cun-po lebih besar dari gentong
air, ternyata ia sangat lentur. Ia segera mengubah arah
serangannya dan merenggut tangan Na Kiat-cu.
Wajah Na Kiat-cu menjadi pucat pasi.
Wajah Ci-cun-po menjadi hijau karena marah, terlihat
sangat jelek. Ia mengertakkan giginya sambil berkata,
“Kau…. Kau punya nyali menyerangku? Kubunuh kau!”
Dengan suara gemeretak ia menarik lepas tangan Na
Kiat-cu beserta dengan lengan bajunya.
Na Kiat-cu mundur beberapa langkah. Anehnya, ia sama
sekali tidak tampak kesakitan.
Ci-cun-po telah mengoyakkan tangan kanannya.
Na Kiat-cu malah tertawa. Katanya, “Lihatlah apa yang
kau pegang di tanganmu.”
Ci-cun-po melihat ke dalam tangannya dan terlihatlah
ekor kalajengking di pergelangan tangan itu, tersembunyi
di balik lengan bajunya yang Longgar.”
Kata Na Kiat-cu lagi, “Tidak ada seorang pun yang dapat
berjalan lebih dari tujuh langkah setelah terkena ekor
kalajengkingku. Kau lebih besar dari orang biasa, jadi
mungkin racunnya tidak akan menyebar begitu cepat.
Tapi aku ragu kalau kau berjalan lebih dari tiga langkah.”

787
Ci-cun-po mengaum dan menyeruduk ingin menyerang
Na Kiat-cu.
Tiga langkah ia berjalan dan ia pun rebah jatuh ke tanah.
Na Kiat-cu tidak meliriknya sedikitpun. Ia malah menoleh
ke arah Li Sun-Hoan. Ia menatap Li Sun-Hoan dengan
pandangan kosong sampai cukup lama. Lalu katanya, “In
Gok mati karena ia datang menemui Lim Sian-ji. Aku
datang untuk menyelesaikannya dengan Lim Sian-ji.
Tidak ada hubungannya denganmu sedikitpun.”
Ling Ling memotong cepat, “Kalau kau ingin dia bicara,
mengapa tak kau buka Hiat-to (jalan darah)nya.”
Na Kiat-cu tidak menggubris gadis itu dan melanjutkan,
“Walaupun kau membuat tangan kananku cacad,
setidaknya kau menyayangkan nyawaku. Aku selalu
membalas budi. Oleh sebab itu aku tidak tahan
melihatmu akan diganyang oleh babi gendut itu.”
Li Sun-Hoan mengeluh dalam hati. Ia baru tahu bahwa
Na Kiat-cu adalah orang seperti ini.
Na Kiat-cu berkata dingin, “Sekarang aku telah membalas
budimu dan tiba saatnya menuntut hakku. Tidak
berlebihan jika sekarang aku menginginkan tangan
kananmu, bukan?”
Li Sun-Hoan tersenyum, dan diangkatnya tangannya.
Na Kiat-cu tertegun, demikian pula Ling Ling.

788
Tangan Li Sun-Hoan sudah bisa bergerak! Namun pisau
terbangnya tidak ada di sana!
Melihat tangan itu teracung, apa yang bisa diucapkan Na
Kiat-cu?
Li Sun-Hoan tersenyum pahit. Katanya, “Aku berusaha
membuka Hiat-to (jalan darah)ku dengan tenaga dalam.
Sayangnya, kemampuanku tidak cukup untuk membuka
halangan yang terakhir. Siapa sangka waktu aku
terjatuh, halangan itu malah terbuka, sehingga aku dapat
bergerak lagi.”
Kata Ling Ling kesal, “Mengapa kau begitu penurut?
Mengapa kau ulurkan tanganmu begitu saja waktu ia
memintanya? Mengapa tak sekalian saja kau berikan
pisau untuk memotongnya?”
Wajah Li Sun-Hoan muram. Ia tidak menghiraukan Ling
Ling dan berkata pada Na Kiat-cu, “Nona Biru,
permintaanmu sama sekali tidak berlebihan. Ini,
ambillah.”
Na Kiat-cu terdiam, lama berpikir, lalu mendesah.
Katanya, “Ada ya orang seperti ini dalam dunia…..”
Dua kali diulangnya kalimat yang sama. Lalu ia memutar
badannya dan berjalan pergi.
Saat itu, tiba-tiba Li Sun-Hoan melompat dengan sigap
dan menghadangnya, katanya, “Tolong tunggu
sebentar.”

789
Bab 45. Hampir Saja
Na Kiat-cu tertawa dan berkata, “Buat apa? Kau sudah
membayar lunas hutangmu saat kau ulurkan tanganmu
begitu saja. Walaupun aku seorang wanita, aku juga
tahu moralitas.”
Ling Ling mengejapkan matanya dan menyela, “Namun
wanita tidak perlu bersikap moralis. Itu adalah hak kita.
Laki-laki secara alami lebih kuat daripada wanita, maka
mereka pun harus lebih pengertian sedikit terhadap kita.”
Sentak Na Kiat-cu, “Kata siapa itu?”
“Kata Nonaku.”
Tanya Na Kiat-cu, “Kau suka mendengar petunjuknya?”
Jawab Ling Ling, “Tentu saja. Ia selalu berbicara
membela kaum wanita.”
Tiba-tiba Na Kiat-cu berjalan ke arahnya dan menampar
pipinya sepuluh kali.
Ling Ling terhenyak.
Lalu kata Na Kiat-cu dengan dingin, “Seperti kalian
berdua, aku pun bukan orang baik-baik. Tapi aku harus
memukulmu, untuk memberimu pelajaran. Kau tahu apa
itu?”
Ling Ling mengertakkan giginya dan menyahut, “Karena
kau….kau….”

790
Sebelum selesai bicara, ia sudah menangis tersedu-sedu.
Kata Na Kiat-cu, “Karena wanita-wanita macam kalianlah,
kaum pria selalu memandang rendah kaum wanita.
Karena mereka memandang rendah padaku, aku selalu
ingin membalas mereka. Oleh sebab itulah kulakukan
semua yang pernah kulakukan.”
Suaranya menjadi lembut. “Tapi saat itu aku tidak
menyadari bahwa dengan berbuat demikian, aku bukan
saja menghancurkan orang lain, namun menghancurkan
diriku sendiri. Karena itulah hidupku hancur berantakan.”
Li Sun-Hoan berkata dengan penuh perhatian, “Biarkan
yang sudah lampau berlalu. Kau masih muda. Kau bisa
mulai lagi dari awal.”
Na Kiat-cu mengeluh. “Mungkin kau bisa berpikir
demikian. Bagaimana dengan yang lain?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Selama hatimu merasa lega,
mengapa kau memikirkan apa pandangan orang
terhadap dirimu? Kau harus hidup untuk dirimu sendiri,
bukan untuk orang lain.”
Na Kiat-cu menatap Li Sun-Hoan dan bertanya perlahan,
“Apakah kau hidup untuk dirimu sendiri?”
Li Sun-Hoan tergagap, “A….Aku……”
Na Kiat-cu masih terus menatapnya dan seulas senyum
muncul di sudut bibirnya. Katanya, “Tidak ada seorang
pun yang menyesal bertemu dengan orang seperti

791
engkau. Sayang sekali kita tidak bertemu sepuluh tahun
yang lalu.”
Lalu ia pun berlalu.
Terdengar suaranya yang makin menjauh, “Tinggalkan
saja tubuh Ci-cun-po di situ. Aku akan bereskan nanti.
Jangan kuatirkan aku. Belum pernah ada yang
menguatirkan aku, apapun juga yang kuperbuat.”
Saat kalimatnya selesai ia sudah jauh sekali.
Selama itu Ling Ling menangis terus, tapi kini ia
mengangkat wajahnya dan berkata, “Ia yang melakukan
kesalahan, namun ia malah menimpakan kekesalannya
pada diriku. Ia orang yang jahat, tapi ingin pura-pura
bertingkah sok berani dan sok pahlawan. Aku benci
orang-orang seperti dia.”
Li Sun-Hoan mendesah dan berkata, “Ia sama sekali
tidak seperti itu.”
Kata Ling Ling, “Kau pikir aku tidak tahu apa yang dia
lakukan?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Apapun yang telah dilakukannya,
hatinya tetap baik. Selama seseorang memiliki hati yang
baik, ia bukan orang jahat.”
Ling Ling menggigit bibirnya dan berkata, “Kau pasti
berpikir bahwa aku bukan main jahatnya, bukan?”

792
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Kau masih anakanak.
Anak seusiamu belum bisa membedakan mana
yang baik dan mana yang jahat. Selama ada yang mau
mengajarimu dengan baik mulai sekarang, kau akan
menjadi orang baik.”
Ling Ling mengejapkan matanya lagi. “Maukah kau
mengajariku?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Nanti, kalau masih ada
kesempatan….”
Kata Ling Ling, “Nanti? Mengapa tidak sekarang?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Kau tahu bahwa aku harus pergi
mencari Kwe ko-yang sekarang. Jika aku bisa kembali
dalam keadaan hidup….”
Ling Ling segera memotongnya, “Sesungguhnya, aku
tahu bahwa sekali kau pergi dari sini, kau tidak akan
pernah kembali. Aku cuma anak-anak. Mengapa orang
sepertimu harus peduli terhadap gadis kecil macam aku.”
Ia menyeka matanya dan menlanjutkan, “Lagi pula,
sebenarnya kan kita tidak betul-betul kenal. Walaupun
aku jadi orang jahat, buat apa kau peduli. Walaupun aku
menjadi sepuluh kali lebih jahat daripada Na Kiat-cu,
bukan juga urusanmu. Walaupun aku mati telentang di
jalan, kau pun tak akan sudi menguburkan aku.”
Suaranya makin lama makin sedih. Seolah-olah, jika ia
berubah menjadi orang jahat, yang salah adalah Li Sun-
Hoan.

793
Li Sun-Hoan hanya bisa tertawa pahit. Katanya, “Aku
berjanji aku akan kembali….”
Ling Ling menutup mata dengan tangannya dan berkata,
“Tapi kau begitu sibuk. Waktu kau akhirnya punya waktu
untuk datang, aku pasti sudah lama mati.”
Kata Li Sun-Hoan menenangkannya, “Aku pasti kembali
tidak lama lagi….”
Sebelum kalimatnya selesai, Ling Ling berhenti menangis
dan berkata, “Janji? Kapan? Aku akan menunggumu.”
Kata Li Sun-Hoan, “Jika aku masih hidup, aku akan
segera kembali setelah aku bertemu dengan Kwe koyang.”
Ling Ling melompat bangun dan tersenyum. Katanya,
“Kau benar-benar orang baik. Demi engkau, aku akan
berusaha menjadi orang baik juga. Apapun keadaannya,
kau tidak boleh bohong padaku. Jika kau berbohong, aku
akan jadi jahat lagi.”
Beban Li Sun-Hoan yang sudah berat, kini bertambah
berat lagi.
Membuat Ling Ling menjadi orang baik ternyata adalah
kewajibannya juga. Sekarang ia tidak dapat menolaknya,
walaupun ia tidak pasti bagaimana masalah ini bisa tibatiba
jatuh di pundaknya.
Ia hanya dapat tertawa getir.

794
Ia sudah menghadapi begitu banyak masalah dalam
hidup ini.
Namun hanya ada satu hal dalam benaknya saat ini.
Ia hanya dapat berharap bahwa Kwe ko-yang belum
bertemu dengan Siangkoan Kim-hong dan Hing Bu-bing.
Ia hanya dapat berharap bahwa ia tidak terlambat.
Ia belum terlalu terlambat.
***
Matahari musim gugur belum lagi terbenam di balik
pegunungan. Air sungai berkilauan bagai emas di bawah
pancaran sinar matahari.
Selembar daun maple mengapung di atas air keemasan
itu, bergerak ke hilir sungai, diikuti dengan daun yang
kedua, ketiga….sampai seluruh permukaan sungai
tertutup oleh dedaunan.
Tapi ini masih musim gugur. Seharusnya daun maple
belum gugur.
Mungkinkah ini akibat tenaga pedang Hing Bu-bing dan
Kwe ko-yang?
Hati Li Sun-Hoan tercekat, karena ini berarti pertempuran
telah dimulai!

795
Pertempuran ini pastilah suatu pertempuran yang
dahsyat dan mencekam.
Kwe ko-yang pasti bertarung mati-matian, sampai daun
berguguran terkena arus tenaga pedang yang begitu
kuat.
Berapa lama lagi ia dapat bertahan?
Li Sun-Hoan tidak sabar lagi ingin cepat sampai di sana.
Dua per tiga dari dedaunan di hutan itu telah gugur.
Hawa pembunuhan begitu tebal, dan daun-daun maple
merah yang berhamburan di udara seolah-olah
memenuhi angkasa dengan darah.
Apakah pertempuran sudah selesai?
Siapa yang menang?
Secuil bayangan pun tidak tampak dalam hutan itu.
Seandainya angin musim gugur bisa bicara, ia pun tidak
dapat memberi tahu apa yang Li Sun-Hoan sungguh
ingin tahu. Hanya air yang mengalir yang berseru-seru,
seolah-olah menangisi pihak yang kalah.
Jika Kwe ko-yang kalah, dimanakah mayatnya?
Daun-daun terus mengalir mengikuti arus sungai.
Kini sang surya telah bersembunyi di balik gunung. Tibatiba
terlihat olehnya selarik warna merah pada air sungai
itu.

796
Mungkinkah ini adalah darah pihak yang kalah.
Li Sun-Hoan mengangkat kepalanya, segera ia berlari ke
ujung sungai itu. Ia melihat sebuah mata air yang
menyemburkan air dari sisi sebuah gunung.
Dekat mata air itu, tampaklah seseorang.
Walaupun mata air itu menyemprotkan air ke arah orang
itu, orang itu tidak bergerak dari tempatnya.
Orang itu mengenakan jubah hitam. Ia berbaring tidak
bergerak.
Li Sun-Hoan tercekat, “Kwe ko-yang….. Kwe-heng….”
Ia melesat terbang menghampiri orang itu. Air
menyembur ke arah matanya.
Ia segera melompat turun dan meraba meraih tangan
orang itu.
Betul. Orang itu memang Kwe ko-yang.
Tubuhnya kini hampir beku karena semprotan air dingin
itu, namun tangannya tetap memegang pedangnya,
seolah-olah sampai mati pun tak akan dilepaskannya.
Pedang itu adalah pedang yang sangat terkenal, Koyang-
thi-kiam. Sarungnya telah jatuh ke dalam sungai
sedangkan pedangnya masih tertancap di batu gunung.
Mengapa ia melakukan ini?

797
Li Sun-Hoan memindahkan tubuh itu ke tanah yang
kering. Terdengar suara orang berteriak dari kejauhan,
“Mengapa ia melakukannya?”
Li Sun-Hoan tidak perlu menoleh, ia sudah tahu itu
adalah suara Ling Ling. Gadis ini, sungguh luar biasa,
telah berhasil membuntutinya.
Ling Ling bertanya, “Mengapa ia menggantung dirinya
seperti itu? Apakah ia takut kau tidak dapat menemukan
dia? Apakah dia kepingin mandi?”
Li Sun-Hoan mendesah, “Jika seseorang masuk ke dalam
dunia dalam keadaan bersih, mengapa ia tidak boleh
pergi dalam keadaan bersih juga?”
“Apa maksudmu?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Ia tidak ingin dikubur atau dibawa
pergi.”
Tanya Ling Ling, “Kenapa? Apakah ia menunggumu?”
“Tepat sekali.”
Tanya Ling Ling lagi, “Mengapa harus menunggumu? Ia
kan sudah mati.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Karena ia ingin memberitahukan
sesuatu padaku.”
Ling Ling terkesiap. Kemudian ia berkata, “Kau bilang…..
Kau bilang ia ingin mengatakan sesuatu padamu?”

798
“Betul.”
“Apakah kau tahu apa yang ingin ia katakan?”
“Ya.”
Ling Ling semaking bingung. “Ia sudah mengatakannya?”
“Ya.”
“Ta….Tapi waktu kau sampai, dia kan sudah mati.”
Bab 46. Yang Gagah Berani dan Yang Penuh
Ambisi
Li Sun-Hoan menatap tubuh Kwe ko-yang dan
mendesah. Katanya, “Kau betul. Aku sudah terlambat
selangkah.”
Kata Ling Ling, “Kalau ia sudah mati, apa yang dapat
dikatakannya padamu? Apa maksudmu orang mati bisa
bicara juga?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Walaupun tidak dalam bentuk
perkataan, aku masih dapat mendengarnya.”
Ling Ling berkata dengan gemetar, “Ta…Tapi aku tidak
mendengar apa-apa.”
Gadis ini menjadi sangat bingung dan ketakutan.
Orang memang biasanya takut pada hal-hal yang tidak
mereka mengerti.

799
Li Sun-Hoan terdiam sejenak. Lalu katanya, “Kau ingin
tahu apa yang dikatakannya?”
Ling Ling hanya bisa mengangguk.
Kata Li Sun-Hoan, “Sebenarnya ia pun memberikan
pesannya padamu juga. Hanya saja kau tidak
mendengarkan. Sejujurnya, perkataan orang mati adalah
perkataan yang paling berharga, karena perkataan ini
dibayar dengan hidup mereka. Jika kau belajar
mendengar perkataan orang mati, kau akan belajar
begitu banyak perkara.”
Tanya Ling Ling, “Bagaimana aku mendengarkan
perkataan orang mati?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Sudah pasti tidak mudah. Tapi jika
kau ingin hidup beberapa tahun lebih lama dan hidup
berbahagia, kau harus memperlajarinya.”
Nadanya sangat serius, tidak ada kesan bercanda.
Kata Ling Ling tidak sabar, “Tapi bagaimana
mempelajarinya? Maukah kau mengajar aku?”
Kata Li Sun-Hoan, “Mengapa kau tidak mencoba
mendengarkan sekali lagi?”
Ling Ling memejamkan matanya.
Ia berusaha keras untuk mendengarkan, tapi tidak ada
suara apa pun yang terdengar.

800
Kata Li Sun-Hoan, “Jangan hanya gunakan telingamu,
gunakan juga matamu.”
Ling Ling membuka matanya.
Terlihat tubuh Kwe ko-yang penuh dengan sayatan
pedang. Kini terlihat lebih jelas setelah tubuhnya bersih
tersiram air.
Tubuhnya kini berwarna abu-abu, karena tidak ada lagi
darah di dalamnya.
Setelah sekian lama, Li Sun-Hoan berkata, “Apa yang kau
lihat? Apa yang kau dengar?”
Sahut Ling Ling, “A…Aku melihat ada banyak luka di
tubuhnya. Semuanya ada 19.”
“Apa lagi?”
“Luka-luka ini sangat pendek dan dangkal. Sepertinya
yang melukai adalah ujung sebilah pedang yang sangat
tajam.”
Tanya Li Sun-Hoan, “Mengapa pedang?”
Sahut Ling Ling, “Karena golok atau tombak tidak akan
membuat luka sekecil itu.”
“Bagus sekali. Kau sudah belajar begitu banyak.”
Ling Ling tersenyum, katanya, “Oleh sebab itu, yang
membunuhnya pasti Hing Bu-bing, karena Siangkoan

801
Kim-hong menggunakan Cincin Naga dan Burung Hong,
bukan pedang. Mungkin Siangkoan Kim-hong bahkan
tidak datang.”
Kata Li Sun-Hoan, “Mungkin dia ada di sini namun tidak
menyerang sama sekali.”
Ling Ling mengangguk. Tambahnya, “Luka-luka ini
semuanya dibuat diagonal, lebih dalam di bagian bawah
dan lebih dangkal di bagian atas.”
“Betul sekali.”
“Oleh sebab itu, pasti pedang digerakkan dari bawah ke
atas. Ini jurus pedang yang sangat aneh. Aku sering
mendengar bahwa ilmu pedang Hing Bu-bing sangat
cepat dan penuh tipu daya, suatu ilmu pedang yang
sangat jarang ditemukan dalam dunia persilatan. Tapi
baru hari ini aku benar-benar yakin.”
Kata Li Sun-Hoan, “Kau benar. Ilmu pedangnya tidak saja
misterius, namun serangannya datang dari sudut-sudut
yang janggal, sehingga lawannya tidak bisa menebak
arah serangannya.”
Ia menunjuk pada salah satu luka di tubuh Kwe ko-yang.
Katanya, “Lihatlah luka ini. Luka ini adalah luka biasa jika
arah serangannya dari atas ke bawah. Tapi jika dilihat
lebih teliti, kau bisa melihat bahwa serangannya pasti
dari bawah ke atas. Ilmu pedangnya sepertinya kebalikan
dari jurus pedang pada umumnya.”
Sahut Ling Ling, “Kau benar.”

802
Kata Li Sun-Hoan lagi, “Oleh sebab itu, jurus pedang
Hing Bu-bing bermula dari bawah pinggang, dan
menggunakan kekuatan pergelangan tangan yang sangat
besar. Jika aku tidak melihat luka-luka ini, aku tidak akan
pernah menyangka ada orang yang bisa menyerang
seperti ini.”
Ling Ling hanya mengangguk.
Lanjut Li Sun-Hoan, “Kau hanya melihat tubuh bagian
depan saja. Ada tujuh luka lagi di punggungnya.
Mengingat kehebatan ilmu silat Kwe ko-yang, tidak
mungkin ia bisa dilukai dari belakang.”
Sahut Ling Ling, “Betul juga. Jika aku sedang bertempur,
aku tidak mungkin membelakangi lawanku.”
Kata Li Sun-Hoan, “Oleh sebab itu, luka-luka ini pasti
terjadi sewaktu mereka berpapasan. Hanya jika Hing Bubing
bisa menyerang dari samping tubuhnyalah, ia dapat
melukai lawannya seperti ini.”
Ia mendesah dan menyambung, “Siapa pun yang dapat
menyerang dari samping tubuhnya, pasti berlatih ilmu
pedang yang tidak lazim. Yang lebih aneh lagi, serangan
ini juga berasal dari bawah ke atas. Artinya Hing Bu-bing
pasti mengubah caranya memegang pedang pada saat
tubuh mereka berpapasan. Kemampuan ini saja dapat
membuatnya menjadi seorang pesilat yang sangat
berbahaya!”
Ling Ling hanya mendengarkan dengan pikiran kalut.

803
Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Ling Ling
mendesah dan berkata, “Jadi itulah yang ingin
disampaikannya padamu.”
“Kalau bukan dengan karena itu, tidak mungkin ia
menderita begini banyak luka.”
“Kenapa?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Karena ketika dua pesilat tangguh
bertempur, kalah atau menang hampair selalu
tergantung dari satu gerakan saja. Jika yang satu
melakukan sedikit saja kesalahan dari jurusnya,
lawannya akan segera mengambil kesempatan itu untuk
mengalahkannya.”
“Oh, begitu.”
Lanjut Li Sun-Hoan, “Coba bayangkan. Ko-yang-thi-kiam
telah malang-melintang di dunia persilatan lebih dari 20
tahun. Kwe ko-yang adalah salah satu yang terhebat dari
ahli pedang kelas wahid di dunia ini. Tidak mungkin ia
melakukan 26 kesalahan, bahkan bisa dilukai 26 kali.”
Kata Ling Ling, “Jadi maksudmu, ia sengaja
melakukannya…. Apakah ia tidak kuatir Hing Bu-bing
akan membunuhnya?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Karena ia sengaja memperlihatkan
lubang untuk diserang, ia pun pasti dapat menghindari
serangan yang mematikan. Itulah sebabnya, lukalukanya
pun amat dangkal.”

804
Ling Ling sungguh tidak memahaminya. “Mengapa ia
melakukannya?”
Li Sun-Hoan menghela nafas. “Untuk menunjukkan
padaku bagaimana ilmu pedang Hing Bu-bing!”
Tubuh Ling Ling menegang sekertika.
Lalu air mata pun mulai bergulir ke wajahnya. Katanya,
“Aku selalu berpikir bahwa tidak ada seorang pun yang
baik di dunia ini. Persahabatan berarti memanfaatkan
orang lain demi kepentingan diri sendiri. Oleh sebab itu,
jika seseorang ingin hidup enak, ia harus belajar untuk
memanfaatkan orang lain, untuk menipu. Jangan pernah
berusaha menjadi seseorang yang berbudi dan
menyayangi, karena ia akan menderita di kemudian
hari.”
Kata Li Sun-Hoan, “Apakah kau mempelajarinya dari Lim
Sian-ji?”
Ling Ling mengangguk. “Namun kini aku tahu bahwa ada
orang yang baik di dunia ini. Ada orang yang sungguhsungguh
menjunjung tinggi kehormatan dan
persahabatan, bahkan lebih daripada nyawa mereka
sendiri.”
Tiba-tiba ia berlutut di depan tubuh Kwe ko-yang dan
berkata, “Kwe-siansing, walaupun kau sudah mati, kau
berhasil menolong sahabatmu, dan juga memberikan
padaku suatu pelajaran yang sangat berharga. Kuharap
kau dapat beristirahat dengan tenang sekarang.”

805
***
Di jalan tanah di luar pegunungan itu, dua orang sedang
berjalan kaki. Cahaya matahari terbenam menyinari
jubah mereka, membuatnya berkilau keemasan yang
mengandung aura misterius.
Mereka tidak berjalan cepat, tidak juga lambat. Mereka
berjalan dengan tenang. Mereka tidak bercakap-cakap,
juga tidak membuat gerakan-gerakan aneh.
Namun tubuh mereka memancarkan hawa pembunuhan
yang tebal walaupun tidak kelihatan. Bahkan sebelum
mereka memasuki hutan, burung-burung telah terbang
berhamburan. Sepertinya ketakutan karena aura hitam
yang keluar dari tubuh kedua orang ini.
Bagi mereka hidup itu sangat penting.
Mereka tidak akan membiarkan kehidupan dalam bentuk
apapun hinggap di atas kepala mereka!
Dalam hutan cahayanya remang-remang.
Sesampainya mereka di sini, orang yang berjalan di
depan tiba-tiba berhenti. Hampir pada saat yang
bersamaan, orang yang di belakang pun berhenti.
Orang yang di depan adalah Siangkoan Kim-hong.
Tanyanya, “Bagaimana ilmu pedang Kwe ko-yang?”
Sahut Hing Bu-bing, “Bagus!”

806
Tanya Siangkoan Kim-hong lagi, “Sangat bagus?”
Sahut Hing Bu-bing, “Sangat bagus, lebih hebat daripada
para ketua dari tujuh partai pedang utama dalam dunia
persilatan.”
“Namun sewaktu ia bertempur denganmu, ia
memperlihatkan lebih dari 26 lubang kelemahan dalam
jurus-jurusnya.”
Kata Hing Bu-bing, “Dua puluh sembilan. Aku tidak
menyerang tiga di antaranya.”
Siangkoan Kim-hong mengangguk. “Benar. Tiga kali kau
menyerangnya. Mengapa?”
“Karena jika tiga kali itu aku menyerangnya, dia akan
langsung mati.”
“Apakah kau menyadari bahwa ia dengan sengaja
memperlihatkan titik-titik kelemahannya itu?”
Sahut Hing Bu-bing, “Ya, aku tahu. Oleh sebab itu, aku
tidak mau ia mati terlalu cepat. Aku ingin
memanfaatkannya untuk melatih ilmu pedangku!”
Tanya Siangkoan Kim-hong, “Tapi tahukah kau, mengapa
ia memperlihatkan kelemahannya itu?”
Hing Bu-bing menjawab, “Tidak. Aku tidak pernah
memikirkannya.”

807
Selain membunuh orang, Hing Bu-bing tidak suka
berpikir tentang hal-hal yang lain.
Kata Siangkoan Kim-hong, “Ia memperlihatkan
kelemahannya, supaya kau dapat melukainya.”
“Hah?”
Siangkoan Kim-hong menjelaskan, “Ia tahu bahwa ia
tidak mungkin dapat mengalahkan kita berdua, oleh
sebab itu cara inilah yang ditempuhnya. Supaya Li Sun-
Hoan dapat memahami ilmu pedangmu dari luka-luka
yang dideritanya.”
Ia mengangkat kepalanya, dan lanjutnya, “Oleh sebab
itu, Li Sun-Hoan pasti akan datang menyusul. Jika kita
kembali sekarang, kita pasti akan menemukan Li Sun-
Hoan!”
***
Li Sun-Hoan kembali ke rumah A Fei untuk mencari
cangkul untuk menggali kuburan. Orang kalangan dunia
persilatan memang biasa dikuburkan di tempat mereka
meninggal.
Selama itu Ling Ling hanya bisa mengawasi. Li Sun-Hoan
tidak membiarkan dia ikut campur. Menggali kuburan
untuk Kwe ko-yang adalah hak pribadinya. Tidak seorang
pun boleh mencampuri.
Ling Ling bertanya, “Apakah kau benar-benar akan
menguburkannya di sini?”

808
Li Sun-Hoan mengangguk.
Kata Ling Ling, “Jika seseorang mati dengan terhormat,
tidak ada masalah di mana ia dikuburkan, bukan?”
“Ya.”
“Kalau begitu, seharusnya kau tidak menguburkan dia di
sini.”
Tanya Li Sun-Hoan, “Kalau tidak di sini, di mana?”
Sahut Ling Ling, “Kau seharusnya menggantung dia di
sumber mata air di sana itu.”
Li Sun-Hoan terdiam.
Kata Ling Ling, “Siangkoan Kim-hong dan Hing Bu-bing
pasti akan menyadari apa maksud Kwe-siansing bukan?”
“Ya.”
“Hing Bu-bing pasti tidak ingin ilmu pedangnya
dimengerti oleh engkau. Jadi, setelah ia menyadarinya, ia
pasti akan datang kembali, bukan?”
“Ya.”
“Jika waktu mereka datang mereka menemukan tubuh
Kwe-siansing sudah dipindahkan, mereka pasti akan tahu
bahwa kau sudah datang ke sini, bukan?”
Li Sun-Hoan mengangguk.

809
Kata Ling Ling, “Kalau begitu, jika kau sampai bertempur
dengan Hing Bu-bing suatu hari nanti, ia pasti akan
mengubah jurus pedangnya bukan?”
“Betul.”
“Kalau begitu, tidakkah pesan Kwe-siansing menjadi siasia
belaka?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku sudah menyadarinya sejak
tadi.”
“Lalu mengapa kau masih berniat untuk
menguburkannya?”
“Aku tidak bisa membiarkan dia tergantung di sana. Ia
sudah berjuang dan mati untukku selagi aku….”
Ling Ling memotong cepat, “Tepat sekali. Ia mati
untukmu. Kau harus mengembalikan tubuhnya ke tempat
semula. Kalau tidak, bukankah kematiannya akan siasia?”
Li Sun-Hoan berpikir beberapa saat, lalu berkata, “Aku
yakin Siangkoan Kim-hong dan Hing Bu-bing tidak akan
datang kembali.”
***
Kata Siangkoan Kim-hong, “Jika kau kembali ke sana
sekarang, kau pasti akan kalah!”

810
Tangan Hing Bu-bing menggenggam pedangnya kuatkuat.
Suaranya menjadi serak sewaktu bertanya,
“Mengapa aku pasti kalah?”
Sahut Siangkoan Kim-hong, “Kau sudah membunuh Kwe
ko-yang. Nafsu membunuhmu pasti sudah jauh
berkurang. Sebaliknya saat ini Li Sun-Hoan sedang
mempunya tenaga tambahan karena kesedihan hatinya.
Jika kau kembali sekarang, kau sudah rugi beberapa
langkah.”
“Tapi kau….”
Siangkoan Kim-hong memotongnya, “Memang kita
berdua pasti akan dapat membunuhnya.
Tapi….bagaimana kau bisa pasti bahwa Li Sun-Hoan
datang sendirian? Bagaimana jika Si Tua Sun datang
bersamanya?”
“Bahkan berdua pun tidak pasti kita….”
Siangkoan Kim-hong segera berkata dengan tegas, “Aku
sudah bilang. Dalam kedatangan kita kali ini ke dalam
dunia persilatan, kita hanya akan menang. Kita tidak
boleh kalah. Kalau kita tidak yakin seratus dua puluh
persen bahwa kita akan menang, kita tidak akan
bertempur!”
Hing Bu-bing terdiam.
Siangkoan Kim-hong menambahkan, “Lagi pula,
perasaan sudah mulai merasuki pikiranmu.”

811
Tanya Hing Bu-bing kaget, “Perasaan?”
Sahut Siangkoan Kim-hong, “Alasan mengapa kau bisa
menang adalah karena kau tidak berbelas kasihan.
Namun kini, perasaan telah merayap masuk ke dalam
hatimu, sehingga kekuatanmu menjadi berkurang.”
Lanjutnya, “Sebelumnya kau tidak pernah seperti ini. Apa
yang terjadi? Siapa yang membuatmu begini?”
Hing Bu-bing memaLingkan wajahnya dan menjawab,
“Bukan siapa-siapa.”
Kata Siangkoan Kim-hong, “Aku bukannya ingin tahu
siapa orangnya. Namun jika kau ingin menang, jika kau
ingin mengalahkan Li Sun-Hoan, maka kau harus kembali
ke sifatmu yang semula, yang tidak kenal belas kasihan.
Jika kau ingin kembali seperti dulu, maka kau harus
membunuh wanita yang menggerakkan hatimu itu!”
Sambil berbicara, ia memutar badan dan masuk ke dalam
hutan.
***
Hari sudah tengah malam.
Hati Li Sun-Hoan terasa berat, sama seperti langkahlangkahnya.
Akhirnya Kwe ko-yang telah dikubur. Nasib jago pedang
nomor satu itu pada akhirnya tidak berbeda dari yang

812
lain. Menghuni sepetak tanah sempit dalam pelukan
bumi.
Tapi apakah kematiannya memiliki arti yang lebih penting
daripada sebagian besar orang yang pernah hidup?
Li Sun-Hoan tidak tahu jawabannya. Ia hanya tahu
bahwa Kwe ko-yang tidak perlu mati. Jika seseorang
yang tidak seharusnya mati malah mati….apakah
kematiannya tidak sedikit gila?
Mungkin setiap pahlawan dalam sejarah dunia ini
memang sedikit banyak gila.
Bahkan dirinya sendiripun cukup gila.
Ling Ling mengikutinya dari dekat. Tiba-tiba ia bertanya,
“Bagaimana kau mengetahui bahwa Siangkoan Kim-hong
dan Hing Bu-bing tidak akan kembali?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Karena Siangkoan Kim-hong sangat
ambisius. Orang yang berambisi begitu besar tidak
bertingkah seperti orang pada umumnya.”
Tanya Ling Ling, “Apanya yang berbeda?”
“Setelah mereka menyerang, berhasil atau gagal, mereka
akan segera undur dan menunggu kesempatan
berikutnya. Orang yang berambisi tidak akan mengambil
resiko.”

813
Ia mengeluh. Lanjutnya, “Orang yang ambisius tidak
pernah bertindak bodoh. Itulah perbedaan mereka dari
para pahlawan.”
Tanya Ling Ling, “Jadi pahlawan itu pasti luar biasa gila?”
Bab 47. Budha Perempuan Mahagembira
Sahut Li Sun-Hoan, “Gila itu bukan sesuatu yang lucu.
Hanya seseorang yang memiliki hasrat yang begitu besar
yang bisa belajar menjadi ‘gila’.”
Ling Ling tertawa. “Untuk jadi gila saja harus belajar?”
“Tentu saja. Tidak semua orang bisa belajar bagaimana
menjadi gila. Gila tidak sama dengan bodoh. Hanya
orang yang gila pedang dapat mempelajari ilmu pedang
yang terbaik di dunia ini. Hanya orang yang gila cinta
dapat mengecap rasa cinta yang sesungguhnya. Orang
yang tidak gila tidak mungkin dapat mengerti hal-hal
seperti ini.”
Ling Ling menundukkan kepalanya, berusaha mengerti
perkataan ini.
Setelah beberapa lama ia mendesah dan berkata, “Aku
belajar begitu banyak darimu. Sayang…sayang sekali,
kau akan segera pergi. Dan kau pasti tidak akan
membawaku pergi bersamamu.”
Li Sun-Hoan terdiam sejenak, lalu berkata, “Paling tidak
akan kuantarkan kau pulang ke rumah.”

814
Kata Ling Ling, “Mengapa kita tidak lewat jalan rahasia
saja? Lebih cepat lewat situ.”
Li Sun-Hoan tertawa dan menjawab dengan lembut,
“Hanya orang-orang yang takut terang yang
menggunakan jalan rahasia. Jika tidak betul-betul
terpaksa, seseorang sebaiknya tidak menggunakannya.”
Walaupun hatinya murung, Li Sun-Hoan tetap ingin
membuat orang lain bergembira.
Ling Ling terkekeh, katanya, “Baik, akan kuturuti
perkataanmu. Di kemudian hari, aku tidak akan bersikap
seperti seekor tikus.”
Li Sun-Hoan memandang ke langit dan menghela nafas.
Katanya, “Lihatlah tempat ini. Angin yang sejuk, bulan
yang bersinar terang di langit, air sungai yang
mengalir….Bagaimana seseorang yang berjalan di bawah
tanah dapat menikmati pemandangan seperti ini?”
Kata Ling Ling, “Tapi aku lebih memilih kue bulan yang
manis dan arak yang mengalir….”
Ia mengeluh dan menambahkan, “Jujur saja, aku lapar
sekali. Setibanya kita di rumah, aku akan langsung
menyiapkan makanan….”
Tiba-tiba ia berhenti bicara karena ia mencium wangi
makanan dan arak dari kejauhan yang terbawa oleh
hembusan angin. Wangi seperti itu tentu saja dapat
tercium dari jauh dalam hutan seperti ini.

815
Kata Li Sun-Hoan, “Ayam goreng, sapo babi,
paprika….dan arak yang bermutu tinggi.”
Kata Ling Ling, “Kau juga menciumnya?”
“Jika seseorang bertambah tua, telinganya mungkin
menjadi tuli, matanya mungkin menjadi lamur, namun
hidungnya akan tetap tajam.”
Tanya Ling Ling, “Tahukah kau darimana datangnya bau
harum ini?”
Li Sun-Hoan menggelengkan kepalanya. “Aku cuma tahu
bahwa warung kecil di sini tidak punya arak sebaik ini.
Makanan mereka pun tidak selezat ini.”
Kata Ling Ling, “Lagi pula warung itu sudah tutup.”
Kata Li Sun-Hoan, “Mungkin ada rumah yang sedang
memasak makanan tengah malam mereka.”
Sahut Ling Ling, “Tidak mungkin. Aku tahu tiap keluarga
di kampung ini. Tidak seorang pun yang kaya.
Seandainya mereka makan tengah malam sekali pun,
pasti hanya berupa semangkuk bakmi.”
Li Sun-Hoan menggumam, “Mungkin ada sanak famili
yang berkunjung. Jadi mereka masak masakan yang
istimewa….”
Sanggah Ling Ling, “Tidak mungkin juga. Tidak satu pun
dari para istri dapat memasak masakan selezat ini.”

816
Ia tersenyum dan menambahkan, “Hanya ada satu orang
yang dapat memasak masakan seperti ini.”
Li Sun-Hoan tersenyum dan bertanya, “Siapa?”
Ling Ling tersenyum sambil menunjuk hidungnya sendiri.
“Aku.”
Ia terdiam beberapa saat lalu berkata, “Oleh sebab itu
aku heran sekali. Jika aku tidak memasak, dari mana
datangnya bau harum ini?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Bau harum itu datangnya dari
rumahmu.”
***
Jalanan di situ sudah sepi.
Semua orang di kampung itu sudah tidur. Cahaya lilin
pun sudah padam semuanya. Namun ketika mereka tiba
di hutan maple, cahaya terang terlihat dari rumah Ling
Ling.
Bukan hanya bau harum arak dan makanan datang dari
arah rumah Ling Ling, tapi juga terdengar suara orang
bercakap-cakap.
Tubuh Ling Ling mengejang.
Kata Li Sun-Hoan, “Mungkin Nonamu sudah kembali?”

817
Sahut Ling Ling, “Tidak. Nona bilang ia tidak akan
kembali paling tidak selama tiga bulan.”
Kata Li Sun-Hoan, “Kau kan memang sering kedatangan
tamu. Mungkin kali ini para tamu ini tidak menemukan
tuan rumah dan memutuskan untuk memasak sendiri
saja.”
Kata Ling Ling, “Aku akan pergi melihat duluan. Kau….”
Li Sun-Hoan menyela, “Sebetulnya akulah yang harus
pergi ke sana duluan.”
“Kenapa? Orang-orang itu makan, minum dan sangat
ribut. Pastilah mereka tidak berbahaya. Aku tidak akan
mendapat kesulitan.”
Kata Li Sun-Hoan, “Soalnya aku juga jadi lapar.”
Ia segera melangkah ke depan Ling Ling dengan
waspada. Ia merasa ada perangkap dalam rumah itu
yang sedang menunggunya untuk datang dan terjerat.
Pintu depan terbuka lebar.
Ketika Li Sun-Hoan melangkah masuk, ia tercekat.
Ia belum pernah melihat begini banyak wanita gemuk
sebelumnya.
Ada dua kali lebih banyak wanita gemuk dalam rumah itu
daripada yang pernah dilihatnya seumur hidupnya.

818
Lebih dari sepuluh wanita duduk di situ. Mereka semua
duduk di lantai karena seorang pun tidak akan muat
duduk di kursi yang ada. Kalau ada yang mencoba duduk
di kursi, kursi itu pasti akan jebol.
Tidak seorang pun dari mereka yang bisa bilang bahwa
mereka segemuk babi, karena babi pun tidak ada yang
segemuk ini. Dan tidak ada babi yang makan sebanyak
para wanita ini.
Waktu Li Sun-Hoan melangkah masuk, mereka sedang
mengedarkan sepiring besar ayam goreng. Wanitawanita
gemuk ini duduk di sekeliling meja sambil makan.
Di dekat meja ada selimut sutra yang amat besar. Wanita
yang paling gemuk duduk di situ. Enam lelaki
mengelilinginya.
Tiap lelaki mengenakan jubah sutra yang berwarnawarni.
Mereka kelihatan masih muda dan berwajah
ganteng. Beberapa orang bahkan merias wajah mereka.
Para lelaki itu tidak ada yang kurus. Namun dibandingkan
dengan wanita itu, mereka kelihatan seperti monyetmonyet
kecil.
Seorang lelaki memijat kakinya. Seorang lagi memijat
pundaknya. Seorang yang lain mengipasinya. Seorang
lagi memegangi cawan dan menyuapkan arak padanya.
Dua orang meringkuk di dekat kakinya. Wanita itu
memegang sepotong besar ayam goreng di tangannya.

819
Bila ia sedang gembira, ia akan memberikan sesuap dua
suap pada mereka.
Untungnya Li Sun-Hoan sudah lama tidak makan. Kalau
tidak, ia pasti sudah muntah saat itu. Li Sun-Hoan belum
pernah melihat sesuatu yang lebih menjijikkan dalam
hidupnya.
Namun ia tidak pergi. Ia malah melangkah masuk
dengan tenang.
Semua suara langsung lenyap. Semua mata tertuju
padanya.
Saat itu, orang lain pasti akan merasa tidak nyaman,
merasa kecut.
Namun Li Sun-Hoan tidak.
Walaupun hatinya gundah, wajahnya biasa saja.
Ia berjalan dengan tenang. Walaupun ia berjalan di
istana raja sekalipun, gayanya akan sama seperti ini. Li
Sun-Hoan memang orang semacam ini.
Wanita yang paling gemuk itu memicingkan matanya.
Matanya cukup besar, namun hanya tampak seperti satu
garis tipis, karena dikelilingi oleh daging yang begitu
tebal. Lehernya pun mungkin memang besar, namun
karena saking gemuknya, lehernya bahkan tidak
kelihatan lagi.

820
Duduk di situ, ia tampak seperti sebuah gunung, sebuah
gunung daging.
Li Sun-Hoan berjalan ke depannya dan tersenyum sambil
berkata, “Budha Perempuan Mahagembira?”
Mata wanita itu langsung bercahaya. Katanya, “Kau tahu
siapa aku?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku sudah mendengar namamu
sejak lama.”
“Namun kau masih tidak melarikan diri.”
“Mengapa aku harus melarikan diri?”
Budha Perempuan Mahagembira tertawa.
Awalnya tawa itu masih kedengaran normal. Namun tibatiba
seluruh tubuhnya mulai bergoyang.
Setiap orang dalam ruangan itu ikut bergoyang. Ada
seorang laki-laki di punggungnya. Namun goyangannya
membuat laki-laki itu terpental.
Piring-piring pun ikut bergetar, seperti sedang terjadi
gempa bumi.
Untung saja tawanya segera berhenti. Ia menatap Li
Sun-Hoan dan berkata, “Walaupun aku tidak tahu siapa
engkau, aku tahu maksudmu.”
“O ya?”

821
“Kau ke sini demi Na Kiat-cu, bukan?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Betul!”
Budha Perempuan Mahagembira berkata, “Ia telah
membunuh murid kesayanganku. Apakah itu karena
engkau?”
“Ya.”
“Jadi sekarang kau ingin menolongnya?”
“Ya.”
Budha Perempuan Mahagembira tersenyum. Katanya,
“Kelihatannya kau cukup baik. Paling tidak cukup
berharga baginya untuk membunuh muridku.”
Budha Perempuan Mahagembira mengangkat jempolnya
dan melanjutkan, “Na Kiat-cu adalah wanita yang luar
biasa. Ia cukup terhormat dan gagah berani. Setelah
membunuh muridku, ia bukannya lari, malahan datang
menemui aku. Aku belum pernah bertemu wanita seperti
dia sebelumnya. Kalian berdua memang pasangan
serasi.”
Kata Li Sun-Hoan, “Jika kau merestui perjodohan ini, aku
akan berterima kasih padamu selama-lamanya.”
“Kau ingin membawanya pergi?”
“Ya.”

822
“Bagaimana jika aku telah membunuhnya?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Kalau begitu….mungkin aku harus
membalaskan kematiannya.”
Budha Perempuan Mahagembira mulai tertawa lagi.
Katanya, “Kau bukan hanya laki-laki yang baik. Ternyata
kau pun gagah berani. Aku sungguh tidak ingin
membunuhmu.”
Ia menyelonjorkan kakinya. Lelaki yang tadi duduk di situ
segera bangkit berdiri. Katanya pada lelaki itu, “Ayo
bawakan arak untuk tamu kita.”
Lelaki itu mengenakan jubah berwarna ungu cerah.
Tubuhnya cukup jangkung dan riasan wajahnya cukup
tebal.
Melihat postur tubuhnya, juga matanya, tampak jelas
bahwa dulunya ia cukup ganteng.
Ia segera kembali dengan cawan di tangannya. Ia
tersenyum dan mengulurkan cawan itu pada Li Sun-
Hoan, “Ini arak untukmu.”
Dalam keadaan seperti itu lelaki ini masih dapat
tersenyum.
Li Sun-Hoan mengeluh dalam hatinya. Diterimanya
cawan itu sambil mengucapkan terima kasih.
Li Sun-Hoan selalu sopan terhadap siapa pun juga. Ia
menganggap setiap orang adalah manusia,

823
bagaimanapun keadaannya. Ia tidak pernah ingin
menyakiti siapapun, sekalipun orang itu membahayakan
dia.
Cawan itu besar, lebih besar daripada mangkuk pada
umumnya.
Li Sun-Hoan menghabiskannya sekali teguk.
Kata Budha Perempuan Mahagembira, “Hebat! Laki-laki
yang bisa minum arak adalah laki-laki yang baik. Tidak
seorang pun dari lelakiku bisa menandingi kemampuan
minummu.”
Lelaki berjubah ungu itu mengambilkan secawan arak
lagi untuk Li Sun-Hoan. Katanya, “Li Tamhoa bisa minum
ribuan cawan tanpa menjadi mabuk. Satu cawan lagi?”
Li Sun-Hoan terhenyak.
Lelaki ini ternyata mengenalinya.
Budha Perempuan Mahagembira mengangkat alisnya.
“Kau memanggilnya ‘Li Tamhoa’? ‘Li Tamhoa’ yang mana
dia?”
Kata si lelaki, “Hanya ada satu Li Tamhoa. Tentunya dia
adalah Si Pisau Kilat si Li, Li Sun-Hoan.”
Wajah Budha Perempuan Mahagembira menjadi kaku.
Mata setiap orang di ruangan itu berbinar-binar.

824
Si Pisau Kilat si Li!
Dalam beberapa tahun belakangan ini, hanya ada
beberapa nama yang bisa menandingi ketenarannya.
Budha Perempuan Mahagembira tertawa lagi. Katanya,
“Bagus. Aku sering mendengar bahwa Li Tamhoa bukan
saja gagah berani, namun juga seorang peminum
jempolan. Kau tidak mengecewakan aku. Selain kau, aku
tidak yakin ada orang lain yang berani masuk ke sini.”
Si lelaki berbaju ungu berkata, “Pisau Kilat si Li tidak
pernah luput. Orang-orang yang berkemampuan tinggi
memang biasanya gagah berani.”
Li Sun-Hoan menatap lelaki ini. Katanya, “Dan kau
adalah….”
Si lelaki tersenyum. “Ingatan Li Tamhoa memang sudah
mundur. Tidakkah kau mengenali teman lamamu?”
Budha Perempuan Mahagembira berkata, “Mungkin ia
tidak mengenali wajahmu, namun ia pasti mengenali
jurus pedangmu.”
Kata si lelaki sambil tersenyum, “Jurus pedangku…. Aku
tidak yakin aku masih mengingatnya.”
Sahut Budha Perempuan Mahagembira, “Kau tidak
mungkin lupa. Ayo cepat ambil pedangmu.”

825
Walaupun lelaki itu agak gempal, namun ia berjalan
cukup cepat. Hanya beberapa detik saja ia kembali
membawa sebilah pedang.
Kata Budha Perempuan Mahagembira, “Tunjukkan
padanya ilmu pedangmu.”
Lalu dilemparnya ayam goreng yang tinggal setengah itu
ke arah si lelaki.
Terdengar bunyi ‘Ting’, dan pedang pun berkilat-kilat.
Lelaki itu menggeser tubuhnya dan pedang pun teracung
dan berkelebat di udara.
Ayam itu sudah menjadi empat potong. Keempatnya
tertusuk oleh pedang.
Li Sun-Hoan kaget. Katanya, “Hebat sekali.”
Ia tidak menyangka lelaki ini memiliki ilmu pedang yang
begini lihai, dengan kecepatan yang begitu cepat pula.
Anehnya, jurusnya seperti sudah pernah dilihatnya.
Sepertinya pernah digunakan untuk menyerangnya.
Lelaki itu berjalan menghampirinya dan berkata, “Ayam
ini cukup lezat. Li Tamhoa silakan mencicipi.”
Potongan ayam yang tertusuk di pedang kumala
berwarna gelap itu memang sangat menggugah selera.
Pedang kumala yang berwarna gelap itu berkilauan bagai
air di bawah sinar bulan.

826
Li Sun-Hoan tercekat. Ia berteriak, “Toat-ceng-kiam!”
Lelaki ini memegang Toat-ceng-kiam!
Li Sun-Hoan bergidik memandang lelaki ini. Katanya, “Yu
Liong-sing? Apakah kau adalah Yu-siaucengsu dari Istana
Pedang Rahasia?”
Lelaki ini tertawa, sahutnya, “Kita memang kawan lama.
Kau ternyata belum melupakan aku.”
Ia tertawa terlalu keras, sampai riasan wajahnya
berguguran.
Apakah ia betul-betul Yu Liong-sing? Lelaki yang muda
dan gagah dua tahun yang lalu itu?
Tubuh Li Sun-Hoan gemetar. Ia merasa kasihan terhadap
anak muda ini.
Namun Yu Liong-sing tidak kelihatan sedih sedikitpun.
Tanya Budha Perempuan Mahagembira, “Bisakah koki di
Istana Pedang Rahasia membuat ayam goreng selezat
ini?”
Sahut Yu Liong-sing, “Di sana ayamnya terasa seperti
sepotong kayu.”
“Kalau tidak ada aku, kau tak akan pernah merasakan
ayam goreng selezat ini, bukan?”
“Tentu saja.”

827
“Apakah kau suka hidup bersamaku?”
“Aku suka sekali.”
“Jika kau boleh memilih, siapakah yang kau pilih, Na
Kiat-cu atau aku?”
Yu Liong-sing hampir merangkak mencium kakinya.
Sahutnya dengan mata berbinar-binar, “Tentu saja
Budha Perempuanku yang tersayang.”
Budha Perempuan Mahagembira tertawa gembira.
Katanya, “Bagus. Kau memang adalah anak muda yang
pandai.”
Tiba-tiba ia menunjuk pada lehernya sendiri dan berkata,
“Ayo, mari kita buat pertunjukan untuk Li Sun-Hoan.
Tusuk aku tepat di sini.”
Kata Yu Liong-sing, “Aku tidak sanggup. Bagaimana jika
aku tidak sengaja melukai Budha Perempuan. Hatiku
akan hancur.”
Budha Perempuan Mahagembira merengut manja.
“Dasar bocah kecil. Kau pikir kau dapat melukai aku?
Jangan banyak omong, tusuk saja aku di sini.”
Ia mengangkat kepalanya dan menunggu Yu Liong-sing
bergerak.
Yu Liong-sing terdiam sekejap, matanya melirik ke kiri ke
kanan. Tiba-tiba ia berkata, “Baiklah!”

828
Cahaya kumala berkilauan. Pedang berkelebat secepat
kilat.
Yu Liong-sing masih belum bisa menandingi kecepatan A
Fei, namun ia masih merupakan jago pedang kelas satu
di dunia. Li Sun-Hoan cukup tahu akan kemampuannya.
Budha Perempuan Mahagembira tetap duduk di situ,
tidak bergerak sama sekali. Jika ia adalah seorang lakilaki,
ia sungguh tampak seperti patung Budha raksasa.
Pedang yang melesat secepat kilat itu tertancap di
lehernya!
Bab 48. Wanita Raksasa
Jurus pedang Yu Liong-sing bukan saja sangat cepat,
namun pedang itu adalah salah satu pedang yang paling
tajam di dunia.
Li Sun-Hoan tidak bisa percaya kalau ada daging yang
dapat menahan serangan ini!
Lalu terdengar jeritan. Yu Liong-sing Pun terjengkang ke
belakang dan mendarat dekat wanita gemuk yang duduk
di sebelah Li Sun-Hoan.
Wanita itu pun tertawa dan merengkuh Yu Liong-sing ke
dalam pelukannya.

829
Pedang itu masih tetap ada di leher Budha Perempuan
Mahagembira.
Namun Budha Perempuan Mahagembira masih tetap
duduk di situ, memandang Li Sun-Hoan dengan senyum
lebar.
Li Sun-Hoan kehilangan kata-kata.
Ternyata Budha Perempuan Mahagembira mengempit
pedang itu dengan lemak di lehernya!
Tidak seorang pun yang pernah melihat ilmu silat model
begini. Bahkan mendengar pun belum pernah!
Lalu ia berkata, “Wanita gemuk pun ada kelebihannya, ya
kan?”
Li Sun-Hoan mendesah dan berkata, “Orang biasa tidak
akan dapat menyamai kelihaian Budha Perempuan.”
Perkataan itu memang sejujurnya, karena memang tidak
ada orang yang mempunyai lemak sebanyak dia.
Kata Budha Perempuan Mahagembira, “Aku pun
mendengar bahwa pisu terbangmu tidak pernah luput.
Bahkan anak angkatku tidak dapat menghindarinya. Kau
pasti cukup yakin dengan pisaumu, bukan?”
Li Sun-Hoan diam saja.
“Karena pisaumulah, kau berani masuk ke sini, bukan?”

830
Ia tersenyum dan melanjutkan, “Apakah sekarang kau
masih yakin dapat membunuhku?”
Li Sun-Hoan mendesah. “Tidak.”
Budha Perempuan Mahagembira tertawa. “Lalu apakah
kau masih ingin membawa pergi Na Kiat-cu?”
“Ya.”
Kening Budha Perempuan Mahagembira berkerut, tapi
dengan cepat ia tersenyum kembali. Katanya, “Menarik
juga. Kau memang orang yang cukup menarik.
Bagaimana rencanamu untuk bisa membawa pergi Na
Kiat-cu?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Akan kupikirkan caranya. Pada
akhirnya, aku pasti akan menemukan sesuatu.”
Budha Perempuan Mahagembira kembali tertawa. “Baik.
Mengapa kau tidak tinggal dulu di sini bersamaku dan
bepikir-pikir.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Di sini ada banyak arak. Aku tidak
keberatan tinggal di sini lebih lama.”
Kata Budha Perempuan Mahagembira, “Tapi arakku tidak
gratis.”
Tanya Li Sun-Hoan, “Apa yang kau inginkan dari aku?”
Budha Perempuan Mahagembira tersenyum sambil
menjawab, “Sebelumnya kupikir kau sudah tua. Namun

831
makin lama, aku makin suka padamu. Jadi mari kita buat
perjanjian. Kau tinggal bersamaku beberapa hari, dan
aku akan membiarkanmu membawa Na Kiat-cu pergi
bersamamu.”
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Mungkin aku tidak
terlalu tua untukmu, tapi sayangnya kau terlalu gemuk
untukku. Jika kau dapat membuang beberapa puluh kilo
dagingmu, mungkin aku tak akan keberatan
menemanimu berbulan-bulan. Tapi dalam keadaanmu
saat ini….”
Ia menggelengkan kepalanya dan melanjutkan, “….aku
sungguh tidak berselera.”
Wajah Budha Perempuan Mahagembira langsung
berubah total. Ia berkata dingin, “Jadi kau tidak setuju
dengan penawaranku. Baik.”
Tiba-tiba dilambaikannya tangannya.
Empat wanita yang duduk di sebelah Li Sun-Hoan segera
bangkit.
Walaupun mereka gemuk, mereka cukup gesit.
Keempatnya segera mengepung Li Sun-Hoan.
Langit-langit rumah itu tidak terlalu tinggi, jadi tidak ada
peluang bagi Li Sun-Hoan untuk melompat melampaui
mereka. Ia tidak bisa juga menyusup di antara mereka.
Melihat lemak para wanita itu, Li Sun-Hoan merasa
sangat muak.

832
Namun keempat wanita ini bergerak makin
mendekatinya, seakan-akan ingin menjepitnya. Jika ia
menyambitkan pisau, ia pasti dapat membunuh salah
satunya, tapi tidak akan mempengaruhi yang lain.
Jika mereka benar-benar menjepitnya di tengah-tengah,
Li Sun-Hoan tidak ingin memikirkan bagaimana rasanya.
Terdengar suara Budha Perempuan Mahagembira, “Li
Sun-Hoan, aku tahu kau mampu keluar dari Barisan
Lokyanghan dari Siau-lim-si. Namun jika kau mampu
keluar dari Barisan Dagingku, itu baru suatu keberhasilan
yang patut dibanggakan.”
Suara tawanya makin lama makin keras, sampai-sampai
tiang rumah itu bergetar.
Mata Li Sun-Hoan berbinar karena tiba-tiba saja ia
teringat pada Ling Ling.
Ling Ling tidak masuk ke dalam rumah itu bersamanya.
Saat itu terdengarlah suara berderak yang amat keras,
dan rumah itu pun jebol. Bersamaan dengan itu, semua
orang pun jatuh ke tanah.
Terlihat sebuah lubang di langit-langit.
Li Sun-Hoan segera melompat dan keluar ke atas melalui
lubang itu.
Li Sun-Hoan berpikir bahwa Budha Perempuan
Mahagembira pasti terjatuh juga. Dan karena berat

833
badannya yang luar biasa, pasti ia butuh waktu cukup
lama untuk bisa bangun lagi,
Siapa sangka, gerakan Budha Perempuan Mahagembira
sangat cepat dan ilmu meringankan tubuhnya pun sangat
tinggi. Sewaktu Li Sun-Hoan melompat, ia mendengar
suara getaran yang kuat.
Ternyata Budha Perempuan Mahagembira menjebol
langit-langit rumah itu dan membuat sebuah lubang yang
lebih besar lagi. Ia meloncat ke atas seperti balon
raksasa, sampai menutupi cahaya bulan.
Li Sun-Hoan tidak melihat ke belakang lagi ketika ia
mendarat di luar hutan.
Namun segera terdengar suara Budha Perempuan
Mahagembira tertawa dan berkata, “Li Sun-Hoan, karena
aku telah telanjur suka padamu, jangan harap kau bisa
lolos.”
Sambil tertawa, ia menyeruduk ke arah Li Sun-Hoan. Li
Sun-Hoan merasakan segulung tenaga yang besar
datang dari arah wanita itu, seolah-olah sebuah gunung
akan runtuh menimpanya.
Tiba-tiba tangannya mengibas di belakang dan sejalur
cahaya berkilauan melesat cepat. Pisau Kilat si Li
akhirnya keluar juga!
Kalau pisau itu sudah meninggalkan tangannya, ia tidak
akan luput!

834
Darah mengalir dari wajah Budha Perempuan
Mahagembira.
Kali ini, Li Sun-Hoan tidak membidik pada lehernya,
namun pada mata kanannya. Ia tahu, sekali pisau itu
meninggalkan tangannya, pisau itu akan sampai ke
tujuannya.
Ia begitu yakin akan hal ini.
Namun suara tawa Budha Perempuan Mahagembira tidak
terputus. Suara tawanya membuat bulu kuduk Li Sun-
Hoan merinding. Ia menoleh ke belakang dan melihat
Budha Perempuan Mahagembira sedang berjalan ke
arahnya. Wajahnya penuh dengan darah. Pisaunya pun
masih tertancap di mata kanannya.
Tapi kelihatannya ia tidak merasa sakit sedikitpun dan
memang benar-benar tertawa. Katanya, “Jangan kira kau
bisa lolos, Li Sun-Hoan. Berapa banyak pisau lagi yang
kau miliki? Lemparkan semuanya. Pisau sekecil ini, kau
lempar seratus pun tak akan terasa apa-apa.”
Tiba-tiba dicabutnya pisau dari matanya dan mulai
mengunyahnya.
Li Sun-Hoan terbelalak.
Wanita ini bukan manusia. Ia adalah seorang monster.
Namun saat itu juga tiba-tiba Budha Perempuan
Mahagembira menjerit sangat keras dan
menggoncangkan seluruh hutan raya itu.

835
Li Sun-Hoan melihat ujung pedang kumala berwarna
gelap muncul dari dadanya. Sesudah itu terlihat darah
muncrat keluar bagai hujan badai.
Ia pun melihat Yu Liong-sing memegang Toat-ceng-kiam
dengan kedua belah tangannya. Pedang itu menembus
tubuh Budha Perempuan Mahagembira dari belakang.
Pedang itu masuk dari punggungnya, melewati jantung
dan keluar di dadanya.
Budha Perempuan Mahagembira pun akhirnya jatuh ke
tanah, menimpa Yu Liong-sing.
Terdengar bunyi tulang belulang gemeretak. Sekujur
tubuh Yu Liong-sing patah tertimpa wanita itu. Namun ia
hanya mengatupkan giginya tanpa suara.
Budha Perempuan Mahagembira masih bisa bernafas
satu-satu dengan berat. “Kau…Ternyata kau!”
Sahut Yu Liong-sing, “Kau tidak menyangka, bukan?”
Kata Budha Perempuan Mahagembira, “Aku
memperlakukanmu dengan baik, mengapa kau
membalasku seperti ini?”
Keringat mengucur di wajah Yu Liong-sing. Sambil
mengertakkan gigi ia berkata, “Alasan mengapa aku
belum mati adalah karena aku menunggu datangnya hari
ini….”

836
Ia tidak bisa bicara lagi karena ia tidak dapat bernafas di
bawah tindihan badan wanita itu. Saat ia melihat
pandangannya mulai menjadi hitam, ia merasa tubuh
Budha Perempuan Mahagembira berguling dari atas
tubuhnya.
Akhirnya ia melihat pandangan mata Li Sun-Hoan yang
tenang. Ia pun merasa sepasang tangan menyeka
keringat dari wajahnya.
Walaupun tangan ini dapat mengambil nyawa orang
sewaktu-waktu, tangan itu pun dapat memberikan
bantuan kapan saja. Walaupun tangan ini dapat
memegang pisau yang mematikan, tangan itu pun dapat
memberikan segenggam kasih sayang.
Yu Liong-sing berusaha tersenyum, tapi tidak mampu. Ia
mengumpulkan seluruh tenaganya untuk berkata, “Aku
bukan Yu Liong-sing.”
Li Sun-Hoan terdiam sesaat, lalu mengangguk. Katanya,
“Kau memang bukan.”
Yu Liong-sing berkata lagi, “Yu Liong-sing telah mati.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku mengerti.”
Lagi Yu Liong-sing menegaskan, “Hari ini kau tidak
bertemu dengan Yu Liong-sing.”
Kata Li Sun-Hoan, “Aku hanya tahu bahwa ia adalah
kawanku. Selain itu, aku tidak tahu apa-apa.”
Anda sedang membaca artikel tentang Pisau Terbang Li {pendekar Budiman] 2 [Lanjutan Pendekar Baja] Seri Kedua Pisau Terbang dan anda bisa menemukan artikel Pisau Terbang Li {pendekar Budiman] 2 [Lanjutan Pendekar Baja] Seri Kedua Pisau Terbang ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/pisau-terbang-li-pendekar-budiman-2.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Pisau Terbang Li {pendekar Budiman] 2 [Lanjutan Pendekar Baja] Seri Kedua Pisau Terbang ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Pisau Terbang Li {pendekar Budiman] 2 [Lanjutan Pendekar Baja] Seri Kedua Pisau Terbang sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Pisau Terbang Li {pendekar Budiman] 2 [Lanjutan Pendekar Baja] Seri Kedua Pisau Terbang with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/pisau-terbang-li-pendekar-budiman-2.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar